input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 65 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa kegiatan usaha perbankan syariah tidak terlepas
dari risiko yang dapat mengganggu kelangsungan bank;
b. bahwa untuk mengelola risiko tersebut bank wajib
menerapkan manajemen risiko secara individu dan secara
konsolidasi;
c. bahwa karakteristik produk dan jasa perbankan syariah
memerlukan fungsi identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko yang sesuai dengan
kegiatan usaha perbankan syariah;
d. bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank syariah
dalam memitigasi risiko harus mempertimbangkan
kesesuaian dengan Prinsip Syariah;
e. bahwa pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank harus
terintegrasi ke dalam suatu sistem dan proses pengelolaan
risiko yang akurat dan komprehensif;
f. bahwa sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia
ke Otoritas Jasa Keuangan;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
- 2 -
dalam huruf a sampai dengan huruf f perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM
SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS
adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah
Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
- 3 -
4. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut BUK
adalah Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, yang memiliki Unit Usaha Syariah.
5. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu
peristiwa tertentu.
6. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan
prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang
timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank.
7. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan nasabah atau
pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank
sesuai dengan perjanjian yang disepakati, termasuk Risiko
Kredit akibat kegagalan debitur, Risiko konsentrasi kredit,
counterparty credit risk, dan settlement risk.
8. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan
rekening administratif akibat perubahan harga pasar,
antara lain Risiko berupa perubahan nilai dari aset yang
dapat diperdagangkan atau disewakan.
9. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan
Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari
sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid
berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa
mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank.
10. Risiko Operasional adalah Risiko kerugian yang
diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai,
kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan
sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
11. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum
dan/atau kelemahan aspek yuridis.
12. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat
kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholder) yang
bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank.
- 4 -
13. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan
stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan
lingkungan bisnis.
14. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak
mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku serta
Prinsip Syariah.
15. Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah Risiko
akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan
Bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat
imbal hasil yang diterima Bank dari penyaluran dana,
yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak
ketiga Bank.
16. Risiko Investasi (Equity Investment Risk) adalah Risiko
akibat Bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah
yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil baik
yang menggunakan metode net revenue sharing maupun
yang menggunakan metode profit and loss sharing.
17. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
18. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
19. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta
mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
20. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan
yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh BUS secara
langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun
di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di bidang
keuangan, yang terdiri dari:
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu
Perusahaan Anak dengan kepemilikan BUS lebih dari
50% (lima puluh persen);
- 5 -
b. perusahaan partisipasi (participation company)
adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan BUS
50% (lima puluh persen) atau kurang, namun BUS
memiliki pengendalian terhadap perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan BUS lebih dari 20%
(dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh
persen) yang memenuhi persyaratan yaitu:
1) kepemilikan BUS dan para pihak lainnya pada
Perusahaan Anak adalah masing-masing sama
besar; dan
2) masing-masing
pemilik
melakukan
pengendalian secara bersama terhadap
Perusahaan Anak;
d. Entitas lain yang berdasarkan Standar Akuntansi
Keuangan harus dikonsolidasikan.
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif.
(2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk BUS dilakukan secara individu
maupun konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(3) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk UUS dilakukan terhadap seluruh
kegiatan usaha UUS, yang merupakan satu kesatuan
dengan penerapan Manajemen Risiko pada BUK.
Pasal 3
Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan
Pengawas Syariah;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko
serta penetapan limit Risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
- 6 -
dan pengendalian Risiko serta sistem informasi
Manajemen Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pasal 4
Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha,
ukuran, dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank.
Pasal 5
(1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mencakup:
a. Risiko Kredit;
b. Risiko Pasar;
c.
Risiko Likuiditas;
d. Risiko Operasional;
e. Risiko Hukum;
f.
g.
Risiko Reputasi;
Risiko Stratejik;
h. Risiko Kepatuhan;
i.
j.
Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk); dan
Risiko Investasi (Equity Investment Risk).
(2) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk jenis
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB III
PENGAWASAN AKTIF DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, DAN
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang
jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan
penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
- 7 -
Bagian Kedua
Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 7
(1) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 bagi Direksi paling sedikit mencakup:
a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen Risiko
secara tertulis dan komprehensif;
b. bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko dan eksposur Risiko yang diambil
oleh Bank secara keseluruhan;
c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang
memerlukan persetujuan Direksi;
d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada
seluruh jenjang organisasi;
e. memastikan peningkatan kompetensi sumber daya
manusia yang terkait dengan Manajemen Risiko;
f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah
beroperasi secara independen; dan
g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk
memastikan:
1. keakuratan metodologi penilaian Risiko;
2. kecukupan implementasi sistem informasi
Manajemen Risiko; dan
3. ketepatan kebijakan dan prosedur Manajemen
Risiko serta penetapan limit Risiko.
(2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus
memiliki pemahaman yang memadai mengenai Risiko
yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional Bank dan
mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai
dengan profil Risiko Bank.
(3) Wewenang dan tanggung jawab Direksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk UUS dilakukan oleh
Direktur UUS.
- 8 -
Bagian Ketiga
Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pasal 8
Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 bagi Dewan Komisaris paling sedikit mencakup:
a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen
Risiko; dan
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas
pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam huruf a.
Bagian Keempat
Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah
Pasal 9
Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 bagi Dewan Pengawas Syariah paling sedikit mencakup:
a. mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko yang terkait
dengan pemenuhan Prinsip Syariah; dan
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas
pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko yang terkait
dengan pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam huruf a.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO SERTA
PENETAPAN LIMIT RISIKO
Bagian Kesatu
Kebijakan Manajemen Risiko
Pasal 10
Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b paling sedikit memuat:
a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan
transaksi perbankan;
- 9 -
b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem
informasi Manajemen Risiko;
c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko;
d. penetapan penilaian peringkat Risiko;
e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam
kondisi terburuk (worst case scenario); dan
f.
penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan
Manajemen Risiko.
Bagian Kedua
Prosedur Manajemen Risiko dan Penetapan Limit Risiko
Pasal 11
(1) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b wajib
disesuaikan dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk
appetite) terhadap Risiko Bank.
(2) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang
jelas;
b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur
Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko secara
berkala; dan
c. dokumentasi prosedur Manajemen Risiko dan
penetapan limit Risiko secara memadai.
(3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib mencakup:
a. limit secara keseluruhan;
b. limit per jenis Risiko; dan
c.
limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki
eksposur Risiko.
- 10 -
BAB V
PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, DAN
PENGENDALIAN RISIKO SERTA SISTEM INFORMASI
MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 12
(1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terhadap faktor-faktor
Risiko (risk factors) yang bersifat material.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh:
a. sistem informasi manajemen yang tepat waktu; dan
b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi
keuangan, kinerja aktivitas fungsional, dan eksposur
Risiko Bank.
Bagian Kedua
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan
Pengendalian Risiko
Pasal 13
(1) Dalam rangka melaksanakan proses identifikasi Risiko,
Bank wajib melakukan analisis paling sedikit terhadap:
a. karakteristik Risiko yang melekat pada Bank; dan
b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha Bank.
(2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, Bank
wajib paling sedikit melakukan:
a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi,
sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk
mengukur Risiko; dan
b. penyempurnaan terhadap sistem pengukuran Risiko
dalam hal terdapat perubahan kegiatan usaha Bank,
- 11 -
produk, transaksi, dan faktor Risiko, yang bersifat
material yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan
Bank.
(3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, Bank
wajib paling sedikit melakukan:
a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan
b. penyempurnaan proses pelaporan dalam hal terdapat
perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor
Risiko, teknologi informasi, dan sistem informasi
Manajemen Risiko Bank yang bersifat material.
(4) Bank wajib melaksanakan proses pengendalian Risiko
untuk mengelola Risiko tertentu yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Bank.
(5) Pelaksanaan proses pengendalian Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus sesuai dengan Prinsip
Syariah.
Bagian Ketiga
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Pasal 14
(1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, paling sedikit mencakup
laporan atau informasi mengenai:
a. eksposur Risiko;
b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur
Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11;
dan
c.
realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko
dibandingkan dengan target yang ditetapkan.
(2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem
informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disampaikan secara rutin kepada Direksi.
- 12 -
(3) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk UUS dapat menggunakan
teknologi sistem informasi yang digunakan dalam sistem
informasi Manajemen Risiko BUK.
BAB VI
SISTEM PENGENDALIAN INTERN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
(1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern
secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan
operasional pada seluruh jenjang organisasi Bank.
(2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern untuk UUS dapat
digabung dengan sistem pengendalian intern dari BUK.
Pasal 16
(1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 paling sedikit mampu secara
tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan
yang terjadi.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memastikan:
a. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta kebijakan atau ketentuan intern
Bank;
b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen
yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu;
c.
d.
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional;
dan
efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi
Bank secara menyeluruh.
- 13 -
- 14 -
Bagian Kedua
Sistem Pengendalian Intern dalam Penerapan
Manajemen Risiko
Pasal 17
(1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d
paling sedikit mencakup:
a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis
dan tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan usaha
Bank;
b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk
pemantauan kepatuhan kebijakan dan prosedur
Manajemen Risiko, serta penetapan limit Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11;
c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi
yang jelas dari satuan kerja operasional terhadap
satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengendalian;
d. struktur organisasi yang menggambarkan secara
jelas kegiatan usaha Bank;
e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang
akurat dan tepat waktu;
f. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan
Bank terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
g.
kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif
terhadap prosedur penilaian kegiatan operasional
Bank;
h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap
sistem informasi Manajemen Risiko;
i.
dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap
prosedur operasional, cakupan dan temuan audit,
serta tanggapan pengurus Bank berdasarkan hasil
audit; dan
j.
verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan
berkesinambungan
terhadap
penanganan
- 15 -
kelemahan-kelemahan Bank yang bersifat material
dan tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
(2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam
penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilakukan oleh satuan kerja audit
intern.
BAB VII
ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
(1) Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen
Risiko yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank wajib membentuk:
a. komite Manajemen Risiko; dan
b. satuan kerja Manajemen Risiko.
(2) Komite Manajemen Risiko dan satuan kerja Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk UUS
dapat dibentuk secara tersendiri atau digabungkan
dengan BUK sesuai dengan ukuran dan kompleksitas
usaha UUS serta Risiko yang melekat pada UUS.
Bagian Kedua
Komite Manajemen Risiko
Pasal 19
(1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) huruf a untuk BUS, paling sedikit terdiri
dari:
a. mayoritas anggota Direksi yang salah satunya adalah
direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan; dan
b. pejabat eksekutif terkait.
- 16 -
(2) Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dibentuk
secara tersendiri, maka keanggotaan komite Manajemen
Risiko UUS paling sedikit terdiri dari:
a. Direktur UUS;
b. direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan BUK;
dan
c. pejabat eksekutif terkait.
(3) Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) digabung
dengan komite Manajemen Risiko BUK maka dalam
pembahasan yang terkait dengan Manajemen Risiko UUS,
Direktur UUS diikutsertakan sebagai salah satu anggota
komite Manajemen Risiko BUK.
(4) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang dan bertanggung jawab untuk
memberikan rekomendasi kepada Direktur Utama, yang
paling sedikit meliputi:
a. penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman
penerapan Manajemen Risiko;
b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan
Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi
pelaksanaan Manajemen Risiko; dan
c. penetapan hal-hal yang terkait dengan keputusan
bisnis yang tidak sesuai dengan prosedur normal.
Bagian Ketiga
Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pasal 20
(1) Struktur organisasi satuan kerja Manajemen Risiko Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b
disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank
serta Risiko yang melekat pada Bank.
- 17 -
(2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus independen terhadap satuan kerja
operasional (risk-taking unit) dan terhadap satuan kerja
yang melaksanakan fungsi pengendalian intern.
(3) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bertanggung jawab langsung kepada
Direktur Utama atau kepada direktur yang ditugaskan
secara khusus.
(4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen
Risiko meliputi:
a. pemantauan pelaksanaan strategi Manajemen Risiko
yang telah disetujui oleh Direksi;
b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan
(composite), per jenis Risiko dan/atau per jenis
aktivitas fungsional serta melakukan stress testing;
c.
kaji ulang secara berkala terhadap proses Manajemen
Risiko;
d. pengkajian usulan aktivitas dan/atau produk baru;
e.
evaluasi terhadap akurasi model dan validitas data
yang digunakan untuk mengukur Risiko, bagi Bank
yang menggunakan model untuk keperluan intern
(internal model);
f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja
operasional (risk-taking unit) dan/atau kepada komite
Manajemen Risiko; dan
g. menyusun dan menyampaikan laporan profil atau
komposisi Risiko secara berkala kepada:
1. Direktur Utama atau direktur yang ditugaskan
secara khusus; dan
2. komite Manajemen Risiko.
- 18 -
Bagian Keempat
Hubungan Satuan Kerja Operasional dengan
Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pasal 21
Satuan kerja operasional (risk-taking unit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) wajib menginformasikan
eksposur Risiko yang melekat pada satuan kerja yang
bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen Risiko secara
berkala.
BAB VIII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan Profil Risiko
Pasal 22
(1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko baik
secara individu maupun secara konsolidasi kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memuat substansi yang sama dengan laporan profil
Risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen
Risiko kepada Direktur Utama atau kepada direktur yang
ditugaskan secara khusus dan komite Manajemen Risiko.
(3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret,
Juni, September, dan Desember.
(4) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat
meminta Bank menyampaikan laporan profil Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di luar jangka waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
- 19 -
(5) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk posisi bulan Maret dan posisi bulan September
berpedoman pada Lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
(6) Penilaian profil Risiko dalam rangka penyusunan laporan
profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
(7) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk posisi bulan Juni dan posisi bulan Desember
disampaikan sebagai bagian dari hasil penilaian sendiri
(self assessment) atas tingkat kesehatan Bank.
Pasal 23
(1) Laporan profil Risiko secara individu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) untuk posisi bulan
Maret dan posisi bulan September disampaikan paling
lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah akhir bulan
laporan.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan profil Risiko
secara individu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh
pada hari libur maka laporan profil Risiko disampaikan
pada hari kerja berikutnya.
(3) Batas waktu penyampaian laporan profil Risiko secara
individu untuk posisi bulan Juni dan posisi bulan
Desember mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penilaian tingkat kesehatan bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
(4) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan secara
individu apabila laporan disampaikan melampaui batas
waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) namun tidak melebihi 1 (satu) bulan sejak
batas akhir waktu penyampaian laporan.
(5) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan secara
individu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
- 20 -
apabila Bank belum menyampaikan laporan melebihi 1
(satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3).
Pasal 24
(1) Laporan profil Risiko secara konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) untuk posisi bulan
Maret dan posisi bulan September disampaikan paling
lambat 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan profil Risiko
secara konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jatuh pada hari libur maka laporan profil Risiko
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(3) Batas waktu penyampaian laporan profil Risiko secara
konsolidasi untuk posisi bulan Juni dan posisi bulan
Desember mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penilaian tingkat kesehatan bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
(4) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan secara
konsolidasi apabila laporan disampaikan melampaui batas
waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) namun tidak melebihi 14 (empat belas) hari
kerja sejak batas akhir waktu penyampaian laporan.
(5) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan secara
konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) apabila Bank belum menyampaikan laporan melebihi
14 (empat belas) hari kerja sejak batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3).
Bagian Kedua
Laporan Lain
Pasal 25
(1) Bank harus menyampaikan laporan lain kepada Otoritas
Jasa Keuangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22, dalam hal terdapat kondisi yang berpotensi
- 21 -
menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi
keuangan Bank.
(2) Bank wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan laporan lain yang terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko secara berkala atau sewaktu-waktu
apabila diperlukan.
(3) Format, tata cara pelaporan, dan pengenaan sanksi atas
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu
pada ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan bank.
Bagian Ketiga
Alamat Penyampaian
Pasal 26
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 25
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat:
a. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Bagian Kesatu
Penilaian Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 27
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian terhadap
penerapan Manajemen Risiko pada Bank.
- 22 -
Pasal 28
Bank wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan
dengan penerapan Manajemen Risiko kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
Bagian Kedua
Aspek Pengungkapan Kinerja dan Kebijakan
Manajemen Risiko
Pasal 29
(1) Pengungkapan Manajemen Risiko dalam laporan publikasi
tahunan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Transparansi dan
Publikasi Laporan Bank wajib disesuaikan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mencakup kinerja Manajemen Risiko dan
arah kebijakan Manajemen Risiko.
(3) Pengungkapan Manajemen Risiko dalam laporan publikasi
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk UUS
digabungkan dalam laporan tahunan BUK.
BAB X
SANKSI
Pasal 30
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) per laporan.
(3) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dan telah dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib
- 23 -
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, namun:
a. dinilai tidak lengkap secara signifikan; dan/atau
b. tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi yang
material,
sesuai dengan format yang ditentukan, dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(5) Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) setelah:
a. Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh
Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 7
(tujuh) hari kerja untuk setiap surat teguran; dan
b. Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu
7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir.
Pasal 31
Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5 ayat (2),
Pasal 6, Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12, Pasal 13
ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 13 ayat (3), Pasal 13 ayat (4),
Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 17
ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21, Pasal 28, dan/atau Pasal
29 ayat (1) dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
c. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau
pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang
mendapat predikat tidak lulus dalam uji/penilaian
kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan
administrasi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur
dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang berlaku.
- 24 -
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko
bagi Bank diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 33
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku maka Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
pengaturan bagi Bank yang sebelumnya mengacu pada
ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko bagi
bank umum menjadi mengacu pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 34
(1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi Bagi
Bank Yang Melakukan Pengendalian Terhadap
Perusahaan Anak dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan ini.
(2) Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 dinyatakan tetap berlaku bagi BUS dan
UUS sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Ketentuan pada angka 9 Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 5/21/DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko
bagi Bank Umum dinyatakan tidak berlaku.
- 25 -
Pasal 35
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 298
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 65 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko
yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi
keuangan. Perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan
syariah yang semakin pesat mengakibatkan Risiko kegiatan usaha
perbankan syariah semakin kompleks. Menghadapi kondisi tersebut, Bank
perlu memperhatikan seluruh Risiko baik yang secara langsung maupun
tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank, termasuk
yang berasal dari Perusahaan Anak dengan menerapkan Manajemen Risiko
secara konsolidasi. Bank dituntut untuk mampu beradaptasi dengan
lingkungan melalui penerapan Manajemen Risiko yang sesuai dengan
Prinsip Syariah. Prinsip-prinsip Manajemen Risiko yang diterapkan pada
perbankan syariah di Indonesia diarahkan sejalan dengan aturan baku
yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB).
Penerapan Manajemen Risiko pada perbankan syariah disesuaikan
dengan ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank. Otoritas
Jasa Keuangan menetapkan aturan Manajemen Risiko ini sebagai standar
minimal yang harus dipenuhi oleh BUS dan UUS sehingga perbankan
syariah dapat mengembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan
yang dihadapi namun tetap dilakukan secara sehat, istiqomah, dan sesuai
dengan Prinsip Syariah.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Termasuk dalam cakupan penerapan Manajemen Risiko adalah
penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Kompleksitas usaha antara lain keragaman dalam jenis transaksi,
produk atau jasa, dan jaringan usaha. Kemampuan Bank antara lain
kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung, dan kemampuan
sumber daya manusia.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko
konsentrasi pembiayaan, counterparty credit risk, dan
settlement risk.
Risiko konsentrasi pembiayaan merupakan Risiko yang
timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1
(satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor,
dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi
menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam
kelangsungan usaha Bank.
Counterparty credit risk merupakan Risiko yang timbul
- 3 -
akibat terjadinya kegagalan pihak lawan dalam memenuhi
kewajibannya dan timbul dari jenis transaksi yang memiliki
karakteristik tertentu, misalnya transaksi yang dipengaruhi
oleh pergerakan nilai wajar atau nilai pasar.
Settlement risk merupakan Risiko yang timbul akibat
kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan
pada tanggal penyelesaian (settlement date) yang telah
disepakati dari transaksi penjualan dan/atau pembelian
instrumen keuangan.
Huruf b
Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko benchmark suku
bunga (benchmark interest rate risk), Risiko nilai tukar,
Risiko komoditas, dan Risiko ekuitas. Penerapan Manajemen
Risiko untuk Risiko komoditas dan Risiko ekuitas wajib
diterapkan oleh Bank yang melakukan konsolidasi dengan
Perusahaan Anak.
Risiko komoditas adalah Risiko akibat perubahan harga
instrumen keuangan dari posisi trading book dan banking
book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas.
Risiko ekuitas adalah Risiko akibat perubahan harga
instrumen keuangan dari posisi trading book yang
disebabkan oleh perubahan harga saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Risiko Hukum timbul antara lain karena ketiadaan
peraturan perundang-undangan yang mendukung atau
kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat
sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak
sempurna.
Huruf f
Risiko Reputasi timbul antara lain karena adanya
pemberitaan media dan/atau rumor mengenai bank yang
bersifat negatif, serta adanya strategi komunikasi bank yang
kurang efektif.
- 4 -
Huruf g
Risiko Stratejik timbul antara lain karena bank menetapkan
strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank,
melakukan analisis lingkungan stratejik yang tidak
komprehensif, dan/atau terdapat ketidaksesuaian rencana
stratejik (strategic plan) antar level stratejik. Selain itu, Risiko
Stratejik juga timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi
perubahan lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi
ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar, dan
perubahan kebijakan otoritas terkait.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) timbul antara lain
karena adanya perubahan perilaku nasabah dana pihak
ketiga Bank yang disebabkan oleh perubahan ekspektasi
tingkat imbal hasil yang diterima dari Bank. Perubahan
ekspektasi bisa disebabkan oleh faktor internal seperti
menurunnya nilai aset Bank dan/atau faktor eksternal
seperti naiknya return/imbal hasil yang ditawarkan bank
lain. Perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil tersebut
dapat memicu perpindahan dana nasabah dari Bank kepada
bank lain.
Huruf j
Risiko Investasi (Equity Investment Risk) timbul apabila Bank
memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil kepada
nasabah dengan Bank ikut menanggung Risiko atas
kerugian usaha nasabah yang dibiayai (metode profit and loss
sharing). Dalam hal ini, perhitungan bagi hasil tidak hanya
didasarkan atas jumlah pendapatan atau penjualan yang
diperoleh nasabah namun dihitung dari keuntungan usaha
yang dihasilkan nasabah. Apabila usaha nasabah mengalami
kebangkrutan maka jumlah pokok pembiayaan yang
diberikan Bank kepada nasabah tidak akan diperoleh
kembali. Sementara perhitungan bagi hasil juga dapat
menggunakan metode net revenue sharing yakni bagi hasil
- 5 -
dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kebijakan dan strategi Manajemen Risiko
adalah penetapan dan persetujuan limit Risiko baik Risiko
secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko, maupun per
aktivitas fungsional.
Kebijakan dan strategi Manajemen Risiko disusun paling
sedikit 1 (satu) kali atau lebih dalam 1 (satu) tahun dalam
hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi
kegiatan usaha BUS secara signifikan.
Huruf b
Termasuk tanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko adalah:
1. mengevaluasi dan memberikan arahan berdasarkan
laporan yang disampaikan oleh satuan kerja
Manajemen Risiko; dan
2. penyampaian laporan pertanggungjawaban kepada
Dewan Komisaris secara triwulanan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengembangan budaya Manajemen Risiko antara lain
meliputi komunikasi yang memadai kepada seluruh jenjang
organisasi tentang pentingnya Manajemen Risiko yang
efektif.
Huruf e
Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain
melalui program pendidikan dan pelatihan secara
berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen Risiko.
- 6 -
Huruf f
Yang dimaksud dengan independen antara lain adanya
pemisahan fungsi antara satuan kerja Manajemen Risiko
yang melakukan identifikasi, pengukuran, dan pemantauan
Risiko dengan satuan kerja yang melakukan dan
menyelesaikan transaksi.
Huruf g
Kaji ulang secara berkala antara lain dimaksudkan untuk
mengantisipasi jika terjadi perubahan faktor eksternal dan
faktor internal.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memiliki pemahaman yang memadai”
adalah termasuk pemahaman terhadap Prinsip Syariah yang
terkait dengan produk, jasa, dan kegiatan operasional Bank
lainnya.
Ayat (3)
Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya,
Direktur UUS dapat berkoordinasi dengan direktur lain pada
BUK.
Pasal 8
Huruf a
Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan
Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali atau lebih dalam 1 (satu)
tahun dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang
mempengaruhi kegiatan usaha Bank secara signifikan.
Huruf b
Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan
kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris
paling sedikit secara triwulanan.
Pasal 9
Huruf a
Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan
pemenuhan Prinsip Syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas
Syariah paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
- 7 -
Huruf b
Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan
kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan
Prinsip Syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah paling
sedikit secara triwulanan.
Pasal 10
Kebijakan Manajemen Risiko ditetapkan antara lain dengan cara
menyusun strategi Manajemen Risiko untuk memastikan bahwa:
1. Bank tetap mempertahankan eksposur Risiko sesuai dengan
kebijakan dan prosedur intern Bank dan peraturan
perundang-undangan serta ketentuan lain yang berlaku; dan
2. Bank dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki
pengetahuan, pengalaman, dan keahlian di bidang Manajemen
Risiko sesuai dengan kompleksitas usaha Bank.
Penyusunan strategi Manajemen Risiko dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi keuangan Bank, organisasi Bank, dan
Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor eksternal dan
faktor internal.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Toleransi Risiko merupakan potensi kerugian yang dapat diserap
oleh permodalan Bank.
Huruf d
Penetapan penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi Bank
untuk mengkategorikan peringkat Risiko Bank. Peringkat Risiko
bagi Bank dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat, yaitu:
1. peringkat 1 (Low);
2. peringkat 2 (Low to Moderate);
3. peringkat 3 (Moderate);
4. peringkat 4 (Moderate to High); dan
5. peringkat 5 (High).
Huruf e
Cukup jelas.
- 8 -
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) memperhatikan
pengalaman yang dimiliki Bank dalam mengelola Risiko.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah paling
sedikit 1 (satu) kali atau lebih dalam 1 (satu) tahun, sesuai
dengan jenis Risiko, kebutuhan, dan perkembangan Bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dokumentasi yang memadai” adalah
dokumentasi yang tertulis, lengkap, dan memudahkan
untuk dilakukan jejak audit (audit trail) untuk keperluan
pengendalian intern Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko” adalah berbagai
parameter yang mempengaruhi eksposur Risiko. Yang dimaksud
dengan “faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material”
adalah faktor-faktor Risiko baik kuantitatif maupun kualitatif
yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi keuangan
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Proses identifikasi Risiko antara lain didasarkan pada
pengalaman kerugian Bank yang pernah terjadi.
- 9 -
Ayat (2)
Untuk mengukur Risiko, Bank dapat menggunakan pendekatan
kualitatif maupun kuantitatif yang disesuaikan dengan tujuan
usaha, kompleksitas usaha, dan kemampuan Bank.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah paling
sedikit secara triwulanan atau lebih sesuai dengan
perkembangan usaha Bank dan kondisi eksternal yang
langsung mempengaruhi kondisi Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan dengan cara
pemantauan dan pelaporan Risiko yang bersifat material
atau yang berdampak kepada kondisi permodalan Bank,
yang antara lain didasarkan atas penilaian potensi Risiko
dengan menggunakan historical trend.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengendalian Risiko dapat dilakukan antara lain dengan cara
lindung nilai, metode mitigasi Risiko, dan penambahan modal
untuk menyerap potensi kerugian.
Selain itu dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko
benchmark suku bunga, Risiko nilai tukar, dan Risiko Likuiditas,
Bank paling sedikit menerapkan Assets and Liabilities
Management (ALMA).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup eksposur
kuantitatif dan kualitatif, secara keseluruhan (composite)
maupun rincian per jenis Risiko dan per jenis aktivitas
- 10 -
fungsional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan atau informasi yang disampaikan kepada Direksi dapat
ditingkatkan frekuensinya sesuai dengan kebutuhan BUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat,
tepat guna, dan tepat waktu diperlukan dalam rangka
pengambilan keputusan yang tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan, serta dikomunikasikan kepada
pihak yang berkepentingan.
Huruf c
Efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional antara
lain diperlukan untuk melindungi aset dan sumber daya
Bank lainnya dari Risiko terkait.
Huruf d
Efektivitas budaya Risiko (risk culture) dimaksudkan untuk
mengidentifikasi kelemahan dan penyimpangan secara lebih
dini dan menilai kembali kewajaran kebijakan dan prosedur
yang ada pada Bank secara berkesinambungan.
- 11 -
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Komite Manajemen Risiko harus bersifat non struktural.
Huruf b
Satuan kerja Manajemen Risiko merupakan bagian dari
struktur organisasi Bank (bersifat struktural).
Ayat (2)
Pengaturan ini dimaksudkan agar UUS dapat menentukan
struktur organisasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi BUK,
termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia.
Pasal 19
Ayat (1)
Keanggotaan Komite Manajemen Risiko dapat berupa
keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan
Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif terkait” adalah
pejabat Bank satu tingkat di bawah Direksi yang memimpin
satuan kerja operasional dan satuan kerja Manajemen
Risiko. Keanggotaan pejabat eksekutif dalam komite
Manajemen Risiko disesuaikan dengan permasalahan dan
kebutuhan Bank.
Ayat (2)
Keanggotaan Komite Manajemen Risiko dapat berupa
keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan
UUS.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
- 12 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif terkait” adalah
pejabat UUS dan BUK satu tingkat di bawah Direksi yang
memimpin satuan kerja operasional dan satuan kerja
Manajemen Risiko. Keanggotaan pejabat eksekutif dalam
komite Manajemen Risiko disesuaikan dengan permasalahan
dan kebutuhan UUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam keputusan bisnis yang tidak sesuai dengan
prosedur normal antara lain pelampauan ekspansi usaha
yang signifikan dibandingkan rencana bisnis Bank dan
pengambilan posisi atau eksposur Risiko yang tidak sesuai
dengan limit yang telah ditetapkan.
Pasal 20
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank dapat menentukan
struktur organisasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi Bank,
termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “independen” antara lain tercermin dari
adanya:
1. pemisahan fungsi atau tugas antara satuan kerja
Manajemen Risiko dengan satuan kerja operasional (risk-
taking unit) dan satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengendalian intern; dan
2. proses pengambilan keputusan yang tidak memihak atau
menguntungkan satuan kerja operasional tertentu atau
mengabaikan satuan kerja operasional lainnya.
Yang dimaksud dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit)
- 13 -
antara lain satuan kerja pembiayaan, treasuri, dan pendanaan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “direktur yang ditugaskan secara khusus”
adalah direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan atau
Direktur Manajemen Risiko. Istilah Direktur Utama dapat
dipersamakan dengan Presiden Direktur.
Ayat (4)
Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko
disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan
kemampuan Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Stress testing dilakukan guna mengetahui dampak dari
implementasi kebijakan dan strategi Manajemen Risiko
terhadap kinerja dan pendapatan masing-masing satuan
kerja operasional atau aktivitas fungsional Bank.
Huruf c
Kaji ulang antara lain dilakukan berdasarkan temuan audit
intern dan/atau perkembangan praktek-praktek Manajemen
Risiko yang berlaku secara internasional.
Huruf d
Termasuk dalam pengkajian adalah penilaian kemampuan
Bank untuk melakukan aktivitas dan/atau produk baru dan
kajian usulan perubahan sistem dan prosedur serta
pemenuhan terhadap Prinsip Syariah.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Rekomendasi antara lain memuat rekomendasi yang terkait
dengan besaran atau maksimum eksposur Risiko yang wajib
dipelihara oleh Bank.
Huruf g
Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh atas
besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh portofolio
atau eksposur Bank. Frekuensi penyampaian laporan
- 14 -
ditingkatkan dalam hal kondisi pasar berubah dengan cepat.
Untuk eksposur Risiko yang berubah relatif lama, seperti
Risiko Kredit maka penyampaian laporan disampaikan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
Pasal 21
Frekuensi penyampaian informasi eksposur Risiko disesuaikan
dengan karakteristik jenis Risiko.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Laporan profil Risiko disajikan secara komparatif dengan posisi
triwulan sebelumnya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Contoh:
Untuk laporan profil Risiko secara individu posisi bulan
September 2016, Bank wajib menyampaikan laporan dimaksud
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 21
Oktober 2016.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
- 15 -
Ayat (4)
Contoh:
Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko secara individu
posisi bulan September 2016 pada tanggal 22 Oktober 2016
sampai dengan tanggal 21 November 2016, maka Bank dianggap
terlambat menyampaikan laporan.
Ayat (5)
Contoh:
Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko secara individu
posisi bulan September 2016 setelah tanggal 21 November 2016,
maka Bank dianggap tidak menyampaikan laporan dimaksud.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk laporan profil Risiko secara konsolidasi posisi bulan
September 2016, Bank wajib menyampaikan laporan dimaksud
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 30
Oktober 2016. Mengingat tanggal 30 Oktober 2016 merupakan
hari libur maka laporan profil Risiko disampaikan paling lambat
pada tanggal 31 Oktober 2016.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko secara
konsolidasi posisi bulan September 2016 pada tanggal 1
November 2016 sampai dengan tanggal 17 November 2016, maka
Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan.
Ayat (5)
Contoh:
Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko secara
konsolidasi posisi bulan September 2016 setelah tanggal 17
November 2016, maka Bank dianggap tidak menyampaikan
laporan dimaksud.
- 16 -
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan lain yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko
antara lain Laporan Proyeksi Arus Kas dan Laporan Profil
Maturitas dalam rangka Penerapan Manajemen Risiko untuk
Risiko Likuiditas.
Ayat (3)
Ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan bank antara lain
ketentuan mengenai Laporan Berkala Bank Umum dan Laporan
Kantor Pusat Bank Umum.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Penilaian terhadap penerapan Manajemen Risiko pada Bank termasuk
penilaian Risiko yang melekat (inherent risk) dan kecukupan sistem
pengendalian Risiko (risk control system).
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kinerja Manajemen Risiko merupakan hasil penerapan
Manajemen Risiko untuk periode awal tahun (Januari) sampai
dengan akhir tahun (Desember) termasuk profil Risiko,
sedangkan arah kebijakan Manajemen Risiko merupakan arah
dan strategi Manajemen Risiko periode 1 (satu) tahun ke depan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 17 -
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja.
Ayat (2)
Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda
dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda
pada ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5988
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 65/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '5/21/DPNP|SE-BI | angka 9', '13/23/PBI/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 53 /POJK.04/2015
TENTANG
AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH
DI PASAR MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai akad yang digunakan dalam penerbitan Efek
Syariah di Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap akad yang digunakan
dalam penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal, maka
peraturan mengenai Akad-Akad Yang Digunakan Dalam
Penerbitan Efek Syariah Di Pasar Modal yang diterbitkan
sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu
diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, maka perlu
- 2 -
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Akad Yang
Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah Di Pasar
Modal;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG AKAD
YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI
PASAR MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1.
Ijarah adalah perjanjian (akad) antara pihak pemberi sewa
atau pemberi jasa (mu’jir) dan pihak penyewa atau
pengguna jasa (musta’jir) untuk memindahkan hak guna
(manfaat) atas suatu objek Ijarah yang dapat berupa
manfaat barang dan/atau jasa dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa dan/atau upah (ujrah) tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan objek Ijarah itu
sendiri.
2.
Istishna adalah perjanjian (akad) antara pihak pemesan
atau pembeli (mustashni’) dan pihak pembuat atau penjual
(shani’) untuk membuat objek Istishna yang dibeli oleh
pihak pemesan atau pembeli (mustashni’) dengan kriteria,
persyaratan, dan spesifikasi yang telah disepakati kedua
belah pihak.
- 3 -
3. Kafalah adalah perjanjian (akad) antara pihak penjamin
(kafiil/guarantor) dan pihak yang dijamin (makfuul
‘anhu/ashiil/orang yang berutang) untuk menjamin
kewajiban pihak yang dijamin kepada pihak lain (makfuul
lahu/orang yang berpiutang).
4. Mudharabah (qiradh) adalah perjanjian (akad) kerjasama
antara pihak pemilik modal (shahib al-mal) dan pihak
pengelola usaha (mudharib) dengan cara pemilik modal
(shahib al-mal) menyerahkan modal dan pengelola usaha
(mudharib) mengelola modal tersebut dalam suatu usaha.
5. Musyarakah adalah perjanjian (akad) kerjasama antara
dua pihak atau lebih (syarik) dengan cara menyertakan
modal baik dalam bentuk uang maupun bentuk aset
lainnya untuk melakukan suatu usaha.
6. Wakalah adalah perjanjian (akad) antara pihak pemberi
kuasa (muwakkil) dan pihak penerima kuasa (wakil)
dengan cara pihak pemberi kuasa (muwakkil) memberikan
kuasa kepada pihak penerima kuasa (wakil) untuk
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu.
Pasal 2
Para pihak yang melakukan perjanjian (akad) dalam penerbitan
Efek Syariah di Pasar Modal wajib memiliki kecakapan dan
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum menurut
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
BAB II
IJARAH
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Ijarah
Pasal 3
Hak dan kewajiban pihak pemberi sewa atau pemberi jasa
(mu’jir) adalah:
a. berhak menerima pembayaran harga sewa atau upah
(ujrah) sesuai yang disepakati dalam Ijarah;
- 4 -
b. wajib menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang
diberikan sesuai yang disepakati dalam Ijarah;
c. wajib menanggung biaya pemeliharaan barang yang
disewakan;
d. wajib bertanggung jawab atas kerusakan barang yang
disewakan yang bukan disebabkan oleh pelanggaran dari
penggunaan sesuai yang disepakati dalam Ijarah atau
bukan karena kelalaian pihak penyewa;
e. wajib menjamin bahwa barang yang disewakan atau jasa
yang diberikan dapat digunakan sesuai dengan maksud
dan tujuan yang disepakati dalam Ijarah; dan
f.
wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak pemberi
sewa atau pemberi jasa (mu’jir) menyerahkan hak
penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang
dan/atau memberikan jasa yang dimilikinya kepada pihak
penyewa atau pengguna jasa (musta’jir) (pernyataan ijab).
Pasal 4
Hak dan kewajiban pihak penyewa atau pengguna jasa
(musta’jir) adalah:
a. berhak menerima dan memanfaatkan barang dan/atau
jasa sesuai yang disepakati dalam Ijarah;
b. wajib membayar harga sewa atau upah (ujrah) sesuai yang
disepakati dalam Ijarah;
c. wajib menanggung biaya pemeliharaan barang yang
sifatnya ringan (tidak material) sesuai yang disepakati
dalam Ijarah;
d. wajib bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang
serta menggunakannya sesuai yang disepakati dalam
Ijarah;
e. wajib bertanggung jawab atas kerusakan barang yang
disewakan yang disebabkan oleh pelanggaran dari
penggunaan sesuai yang disepakati dalam Ijarah atau
karena kelalaian pihak penyewa; dan
f.
wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak penyewa
atau pengguna jasa menerima hak penggunaan atau
pemanfaatan atas suatu barang dan/atau jasa dari pihak
- 5 -
pemberi sewa atau pemberi jasa (mu’jir) (pernyataan
qabul).
Bagian Kedua
Persyaratan Objek Ijarah
Pasal 5
Objek Ijarah dapat berupa manfaat barang dan/atau jasa yang
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. manfaat barang atau jasa tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal dan peraturan perundang-
undangan;
b. manfaat barang atau jasa harus dapat dinilai dengan uang;
c. manfaat atas barang atau jasa dapat diserahkan atau
diberikan kepada pihak penyewa atau pengguna jasa;
d. manfaat barang atau jasa harus ditentukan dengan jelas;
dan
e.
spesifikasi barang atau jasa harus dinyatakan dengan
jelas.
Bagian Ketiga
Persyaratan Penetapan Harga Sewa atau Upah (Ujrah)
Pasal 6
Penetapan harga sewa atau upah (ujrah) wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya harga sewa atau upah (ujrah) serta waktu dan
cara pembayarannya ditetapkan secara tertulis dalam
Ijarah; dan
b. alat pembayaran harga sewa atau upah (ujrah) adalah
dalam bentuk uang.
Bagian Keempat
- 6 -
Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur Dalam Ijarah
Pasal 7
Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, dalam
Ijarah dapat disepakati hal sebagai berikut:
a. harga sewa atau upah (ujrah) untuk periode waktu
tertentu dan peninjauan kembali harga sewa atau upah
(ujrah) tersebut yang berlaku untuk periode berikutnya;
b. adanya uang muka Ijarah;
c. penggantian barang yang mendasari Ijarah;
d. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan
antar para pihak dalam Ijarah; dan/atau
e. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
BAB III
ISTISHNA
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Istishna
Pasal 8
Hak dan kewajiban pihak pembuat atau penjual (shani’)
adalah:
a. berhak memperoleh pembayaran dengan jumlah, cara,
dan waktu yang telah disepakati dalam Istishna;
b. wajib mengetahui spesifikasi objek Istishna secara jelas;
c. wajib menyediakan objek Istishna sesuai dengan
spesifikasi yang telah disepakati dalam Istishna;
d. wajib menjamin objek Istishna berfungsi dengan baik
dan/atau tidak cacat; dan
e. wajib menyerahkan objek Istishna sesuai dengan waktu
yang telah disepakati dalam Istishna.
Pasal 9
- 7 -
Hak dan kewajiban pihak pemesan atau pembeli (mustashni’)
adalah:
a. berhak menerima objek Istishna sesuai dengan spesifikasi
yang telah disepakati dalam Istishna;
b. berhak menerima objek Istishna sesuai dengan waktu dan
tempat yang telah disepakati dalam Istishna;
c. berhak memilih (khiyar) untuk melanjutkan atau
membatalkan Istishna apabila terdapat cacat atau barang
yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan;
d. wajib melakukan pembayaran (pokok dan/atau biaya lain)
atas objek Istishna sesuai yang telah disepakati dalam
Istishna; dan
e. wajib mengetahui dan menerangkan spesifikasi objek
Istishna secara jelas.
Bagian Kedua
Persyaratan Objek Istishna
Pasal 10
Objek Istishna wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dan peraturan perundang-undangan;
b.
ciri dan spesifikasi harus jelas dan dapat diakui sebagai
utang serta wajib dituangkan secara tertulis dalam
Istishna;
c. mekanisme penyerahan barang baik seluruh maupun
sebagian dari pihak pembuat atau penjual (shani’) kepada
pihak pemesan atau pembeli (mustashni’) wajib
dituangkan secara tertulis dalam Istishna meliputi waktu,
tempat dan cara penyerahan;
d. penyerahan sebagaimana dimaksud pada huruf c
dilakukan kemudian setelah waktu Istishna berdasarkan
kesepakatan;
e. harga jual objek Istishna ditetapkan secara tertulis dalam
Istishna dan dilarang berubah selama masa Istishna; dan
- 8 -
f.
pihak pemesan atau pembeli (mustashni’) dilarang
menukar barang kecuali dengan barang sejenis atau
sesuai kesepakatan.
Bagian Ketiga
Pembayaran Objek Istishna
Pasal 11
Pembayaran objek Istishna dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pembayaran atas objek Istishna dalam bentuk uang;
b. pembayaran atas objek Istishna dapat dilakukan secara
tunai dan/atau cicilan sejak Istishna ditandatangani atau
dengan cara pembayaran lain sesuai kesepakatan; dan
c. pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang
atau dalam bentuk piutang yang belum jatuh tempo.
Bagian Keempat
Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur Dalam Istishna
Pasal 12
Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, dalam Istishna
dapat disepakati hal sebagai berikut:
a. dalam memenuhi kewajibannya kepada pihak pemesan
atau pembeli (mustashni’), pihak pembuat atau penjual
(shani’) dapat melakukan Istishna lagi dengan pihak lain
pada objek Istishna yang sama, dengan ketentuan Istishna
pertama tidak bergantung atau mensyaratkan atas
pemenuhan hak dan kewajiban Istishna kedua (mu’allaq);
b. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh
masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan,
kehilangan, atau tidak berfungsinya objek Istishna;
c. ketentuan mengenai jaminan dan asuransi;
d. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum
jatuh tempo;
- 9 -
e. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan
antar para pihak dalam Istishna; dan/atau
f.
hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
BAB IV
KAFALAH
Bagian Kesatu
Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Kafalah
Pasal 13
Kewajiban pihak penjamin (kafiil/guarantor) adalah sebagai
berikut:
a. memiliki harta yang cukup untuk menjamin kewajiban
pihak yang dijamin kepada pihak yang dijaminkan
(makfuul lahu/orang yang berpiutang);
b. memiliki kewenangan penuh untuk menggunakan
hartanya sebagai jaminan atas pemenuhan kewajiban
pihak yang dijamin kepada pihak yang dijaminkan
(makfuul lahu/orang yang berpiutang); dan
c. menyatakan secara tertulis bahwa pihak penjamin
(kafiil/guarantor) menjamin kewajiban pihak yang dijamin
kepada pihak yang dijaminkan (makfuul lahu/orang yang
berpiutang) (pernyataan ijab).
Pasal 14
Kewajiban pihak yang dijamin (makfuul ‘anhu/ashiil/orang
yang berutang) adalah sebagai berikut:
a. menyerahkan kewajiban (utang) pihak yang dijamin
(makfuul ‘anhu/ashiil/orang yang berutang) kepada pihak
penjamin (kafiil/guarantor); dan
- 10 -
b. menyatakan secara tertulis bahwa pihak yang dijamin
(makfuul ‘anhu/ashiil/orang yang berutang) menerima
jaminan dari pihak penjamin (kafiil/guarantor)
(pernyataan qabul).
Bagian Kedua
Bentuk Penjaminan Dalam Kafalah
Pasal 15
Penjaminan dalam Kafalah dapat berupa jaminan kebendaan
dan/atau jaminan umum.
Bagian Ketiga
Persyaratan Objek Kafalah
Pasal 16
Objek Kafalah adalah kewajiban (utang) pihak yang dijamin
kepada pihak yang dijaminkan (makfuul lahu/orang yang
berpiutang) yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. kewajiban dimaksud dapat berupa kewajiban pembayaran
sejumlah uang, penyerahan barang, dan/atau
pelaksanaan pekerjaan;
b. kewajiban dimaksud harus jelas nilai, jumlah, dan
spesifikasinya;
c. kewajiban dimaksud bukan merupakan kewajiban yang
timbul dari hal-hal yang bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal dan peraturan perundangan-
undangan; dan
d. harus merupakan utang mengikat yang tidak mungkin
hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
- 11 -
Bagian Keempat
Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur dalam Kafalah
Pasal 17
(1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16, dalam
Kafalah dapat disepakati antara lain hal-hal sebagai
berikut:
a. para pihak dapat menetapkan besarnya imbalan (fee)
atas pelaksanaan penjaminan yang dilakukan oleh
pihak penjamin (kafiil/guarantor);
b.
jangka waktu berlakunya penjaminan dalam Kafalah;
c. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan
perselisihan antar para pihak dalam Kafalah;
dan/atau
d. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip
Syariah di Pasar Modal.
(2) Dalam hal para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a menyepakati adanya imbalan (fee), maka
Kafalah tersebut bersifat mengikat dan tidak dapat
dibatalkan secara sepihak.
BAB V
MUDHARABAH
Bagian Kesatu
Hak Dan Kewajiban Pihak dalam Mudharabah
Pasal 18
Hak dan kewajiban pihak pemilik modal (shahib al-mal) adalah
sebagai berikut:
a. berhak mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha yang
dilakukan oleh pihak pengelola usaha (mudharib);
- 12 -
b. berhak menerima bagian keuntungan tertentu yang
disepakati dalam Mudharabah;
c. berhak meminta jaminan dari pihak pengelola usaha
(mudharib) atau pihak ketiga yang dapat digunakan
apabila pihak pengelola usaha (mudharib) melakukan
pelanggaran atas Mudharabah.
d. wajib menyediakan dan menyerahkan seluruh modal yang
disepakati;
e. wajib menanggung seluruh kerugian usaha yang tidak
disebabkan oleh kelalaian, kesengajaan, dan/atau
pelanggaran pengelola usaha atas Mudharabah; dan
f.
wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak pemilik
modal (shahib al-mal) menyerahkan modal kepada pihak
pengelola usaha (mudharib) untuk dikelola dalam suatu
usaha sesuai dengan kesepakatan (pernyataan ijab).
Pasal 19
Hak dan kewajiban pihak pengelola usaha (mudharib) adalah:
a. berhak mengelola kegiatan usaha untuk tercapainya
tujuan Mudharabah tanpa campur tangan pihak penyedia
modal;
b. berhak menerima bagian keuntungan tertentu sesuai yang
disepakati dalam Mudharabah;
c. wajib mengelola modal yang telah diterima dari pihak
pemilik modal (shahib al-mal) dalam suatu kegiatan usaha
sesuai kesepakatan;
d. wajib menanggung seluruh kerugian usaha yang
disebabkan oleh kelalaian, kesengajaan, dan/atau
pelanggaran pihak pengelola usaha (mudharib); dan
e. wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak pengelola
usaha (mudharib) menerima modal dari pihak pemilik
modal (shahib al-mal) dan berjanji untuk mengelola modal
tersebut dalam suatu usaha sesuai dengan kesepakatan
(pernyataan qabul).
- 13 -
Bagian Kedua
Persyaratan Modal Yang Dikelola dalam Mudharabah
Pasal 20
Modal yang dikelola dalam Mudharabah wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. berupa sejumlah uang dan/atau aset lainnya baik
berwujud maupun tidak berwujud yang dapat dinilai
dengan uang;
b.
jika modal yang diberikan dalam bentuk aset selain uang,
maka aset tersebut tidak sedang dijaminkan atau tidak
dalam status sengketa;
c.
jika modal yang diberikan dalam bentuk aset selain uang,
maka aset tersebut harus dinilai oleh Penilai, namun
penentuan nilai aset selain uang tetap berdasarkan
kesepakatan para pihak pada waktu Mudharabah;
d. tidak berupa piutang atau tagihan di antara pihak
dan/atau kepada pihak lain; dan
e. dapat diserahkan kepada pihak pengelola usaha
(mudharib) baik seluruh atau sebagian pada waktu dan
tempat yang telah disepakati.
Bagian Ketiga
Persyaratan Kegiatan Usaha dalam Mudharabah
Pasal 21
Kegiatan usaha yang dapat dijalankan dalam Mudharabah
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dan/atau peraturan perundang-undangan; dan
b. tidak dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa
yang akan datang yang belum tentu terjadi.
- 14 -
Bagian Keempat
Pembagian Keuntungan dalam Mudharabah
Pasal 22
Pembagian keuntungan dalam Mudharabah wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. keuntungan Mudharabah merupakan selisih lebih dari
kekayaan Mudharabah dikurangi dengan modal
Mudharabah dan kewajiban kepada pihak lain yang terkait
dengan kegiatan Mudharabah;
b. keuntungan Mudharabah dibagikan kepada pihak pemilik
modal (shahib al-mal) dan pihak pengelola usaha
(mudharib) dengan besarnya bagian sesuai rasio/nisbah
yang disepakati; dan
c. besarnya bagian keuntungan masing-masing pihak wajib
dituangkan secara tertulis dalam bentuk rasio/nisbah.
Bagian Kelima
Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur dalam Mudharabah
Pasal 23
Dalam perjanjian (akad) Mudharabah tidak boleh ada
ketentuan yang memastikan pemilik modal akan memperoleh
keuntungan.
Pasal 24
Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan
Pasal 23, dalam Mudharabah dapat disepakati hal sebagai
berikut:
a. pihak pengelola usaha (mudharib) menyediakan biaya
operasional sesuai kesepakatan dalam Mudharabah;
b. jangka waktu berlakunya Mudharabah;
c. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan
antar para pihak dalam Mudharabah; dan/atau
- 15 -
d. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
BAB VI
MUSYARAKAH
Bagian Kesatu
Hak Dan Kewajiban Pihak dalam Musyarakah
Pasal 25
(1) Setiap pihak dalam Musyarakah memiliki hak dan
kewajiban yang sama, yaitu:
a. berhak menerima bagian keuntungan tertentu sesuai
dengan rasio/nisbah yang disepakati dalam
Musyarakah atau proporsional;
b. berhak mengusulkan bahwa jika keuntungan
melebihi jumlah tertentu, maka kelebihan dimaksud
dapat diberikan kepada satu atau lebih pihak;
c. berhak meminta jaminan kepada pihak lain dalam
Musyarakah untuk menghindari terjadinya
penyimpangan;
d. wajib menyediakan modal sesuai dengan tujuan
Musyarakah, baik dalam porsi yang sama atau tidak
sama dengan pihak lainnya;
e. wajib menyediakan tenaga dalam bentuk partisipasi
dalam kegiatan usaha Musyarakah; dan
f.
wajib menanggung kerugian secara proporsional
berdasarkan kontribusi modal masing-masing pihak.
(2) Dalam hal 1 (satu) atau lebih pihak tidak dapat
berpartisipasi dalam kegiatan usaha Musyarakah
sebagaimana dimaksud pada huruf e, hal ini wajib
disepakati dalam Musyarakah.
- 16 -
Bagian Kedua
Persyaratan Modal dalam Musyarakah
Pasal 26
Modal yang disetorkan dalam Musyarakah wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. berupa sejumlah uang dan/atau aset lainnya baik
berwujud maupun tidak berwujud yang dapat dinilai
dengan uang;
b.
jika modal yang diberikan dalam bentuk aset selain uang,
maka aset tersebut harus dinilai oleh Penilai, namun
penentuan nilai aset selain uang tetap berdasarkan
kesepakatan para pihak pada waktu Musyarakah;
c.
jika modal yang diberikan dalam bentuk aset selain uang,
maka aset tersebut tidak sedang dijaminkan atau tidak
dalam status sengketa; dan
d. tidak berupa piutang atau tagihan di antara para pihak
dan/atau kepada pihak lain.
Bagian Ketiga
Persyaratan Kegiatan Usaha dan Cara Pengelolaan dalam
Musyarakah
Pasal 27
a. kegiatan usaha yang dapat dijalankan dalam Musyarakah
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dan/atau peraturan perundang-undangan;
b. kewajiban pengelolaan aset sesuai dengan Musyarakah;
dan
c. pihak yang mengelola Musyarakah dilarang mengelola
modal di luar yang telah disepakati dalam Musyarakah,
kecuali atas dasar kesepakatan.
- 17 -
Bagian Keempat
Pembagian Keuntungan dan Kerugian
Pasal 28
Pembagian keuntungan dan kerugian dalam Musyarakah wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. keuntungan Musyarakah merupakan selisih lebih dari
kekayaan Musyarakah setelah dikurangi dengan modal
Musyarakah dan kewajiban kepada pihak lain yang terkait
dengan kegiatan Musyarakah;
b. untuk kepentingan pembagian keuntungan secara
periodik, maka keuntungan Musyarakah dihitung
berdasarkan selisih lebih dari kekayaan Musyarakah akhir
periode setelah dikurangi dengan modal Musyarakah awal
periode dan kewajiban akhir periode kepada pihak lain
yang terkait dengan kegiatan Musyarakah;
c. seluruh keuntungan Musyarakah harus dibagikan kepada
para pihak secara proporsional berdasarkan kontribusi
modal atau sesuai nisbah yang disepakati, dan tidak
diperkenankan menentukan jumlah nominal keuntungan
atau persentase tertentu dari modal bagi satu atau lebih
pihak pada awal kesepakatan;
d. dalam hal terdapat 1 (satu) atau lebih pihak yang
memberikan kontribusi lebih dalam pengelolaan, maka
pihak tersebut dapat menerima bagi hasil tambahan
sesuai dengan kesepakatan;
e. besarnya bagian keuntungan masing-masing pihak wajib
dituangkan secara tertulis dalam bentuk rasio/nisbah;
dan
f.
kerugian Musyarakah harus dibagi di antara para pihak
secara proporsional berdasarkan kontribusi modal.
- 18 -
Bagian Kelima
Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur dalam Musyarakah
Pasal 29
Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28, dalam
Musyarakah dapat disepakati hal sebagai berikut:
a. biaya operasional dibebankan pada modal bersama;
b. jangka waktu berlakunya Musyarakah;
c. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan
antar para pihak dalam Musyarakah; dan/atau
d. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
BAB VII
WAKALAH
Bagian Kesatu
Kewajiban Pihak dalam Wakalah
Pasal 30
Kewajiban pihak pemberi kuasa (muwakkil) adalah sebagai
berikut:
a. memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap hal yang dapat dikuasakan; dan
b. menyatakan secara tertulis bahwa pihak pemberi kuasa
(muwakkil) memberikan kuasa kepada pihak penerima
kuasa (wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan
hukum tertentu (pernyataan ijab).
Pasal 31
Kewajiban pihak penerima kuasa (wakil) adalah sebagai
berikut:
a. memiliki kemampuan untuk melaksanakan perbuatan
hukum yang dikuasakan kepadanya;
- 19 -
b. melaksanakan perbuatan hukum yang dikuasakan
kepadanya serta dilarang memberi kuasa kepada pihak
lain kecuali atas persetujuan pihak pemberi kuasa
(muwakkil); dan
c. menyatakan secara tertulis bahwa pihak penerima kuasa
(wakil) menerima kuasa dari pihak pemberi kuasa
(muwakkil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan
hukum tertentu (pernyataan qabul).
Bagian Kedua
Persyaratan Objek Wakalah
Pasal 32
Perbuatan hukum sebagai objek Wakalah wajib memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. diketahui dengan jelas jenis perbuatan hukum yang
dikuasakan serta cara melaksanakan perbuatan hukum
yang dikuasakan tersebut;
b. tidak bertentangan dengan syariah Islam; dan
c. dapat dikuasakan menurut syariah Islam.
Bagian Ketiga
Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur dalam Wakalah
Pasal 33
(1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 dalam Wakalah
dapat disepakati hal sebagai berikut:
a. para pihak dapat menetapkan besarnya imbalan (fee)
atas pelaksanaan perbuatan hukum yang
dikuasakan;
b. jangka waktu berlakunya pemberian kuasa dalam
Wakalah;
c. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan
perselisihan antar para pihak dalam Wakalah;
dan/atau
- 20 -
d. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip
Syariah di Pasar Modal.
(2) Dalam hal para pihak menyepakati adanya imbalan (fee)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka
Wakalah tersebut bersifat mengikat dan tidak dapat
dibatalkan secara sepihak.
BAB VIII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 34
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
- 21 -
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 35
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 36
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 kepada masyarakat.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasal Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP- 430/BL/2012 tanggal 1 Agustus 2012
tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek
Syariah Di Pasar Modal beserta Peraturan Nomor IX.A.14 yang
merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 38
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 22 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 404
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 53 /POJK.04/2015
TENTANG
AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan
penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait
sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam
dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan
Bapepam dan LK Nomor IX.A.14, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan
LK Nomor: KEP- 430/BL/2012 tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam
Penerbitan Efek Syariah tanggal 1 Agustus 2012.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Contoh spesifikasi barang atau jasa antara lain identitas barang,
kelaikan barang, spesifikasi pelayanan, dan jangka waktu
pemanfaatan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Contoh jaminan umum antara lain jaminan perusahaan (corporate
guarantee) dan jaminan pribadi (personal guarantee).
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Jaminan dapat berupa jaminan kebendaan dan/atau jaminan
umum, seperti jaminan perusahaan (corporate guarantee) dan
jaminan pribadi (personal guarantee).
- 4 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan Penilai adalah Penilai sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Penilai adalah Penilai sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5822
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 53/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-430/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'KEP-430/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.14' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27 /POJK.03/2016
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka menciptakan Lembaga Jasa
Keuangan yang sehat, melindungi pemangku
kepentingan dan meningkatkan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan,
diperlukan pelaksanaan tata kelola di Lembaga
Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk mewujudkan tata kelola tersebut,
Lembaga Jasa Keuangan harus dimiliki dan
dikelola oleh pihak yang senantiasa memenuhi
persyaratan kemampuan dan kepatutan;
c. bahwa untuk mendukung terwujudnya perizinan
prima diperlukan pelayanan perizinan yang lebih
cepat, tepat, mudah dan transparan;
d. bahwa dengan
beralihnya kewenangan
pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa
Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan
diperlukan penyelarasan ketentuan yang
mengatur mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan;
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan
huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan bagi Lembaga Jasa Keuangan;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3477);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4867);
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
- 3 -
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 337; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5618);
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5835);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK
UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
LJK adalah Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi:
a. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dan
kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan
di luar negeri;
- 4 -
b. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek,
Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer
Investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal;
c. Penasihat Investasi adalah perusahaan yang
memberi nasihat kepada pihak lain mengenai
penjualan atau pembelian Efek dengan
memperoleh imbalan jasa sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang
Pasar Modal;
d. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi
syariah,
perusahaan
asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan
perusahaan penilai kerugian asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
e. Dana Pensiun adalah badan hukum yang
mengelola dan menjalankan program yang
menjanjikan manfaat pensiun, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, termasuk
yang menjalankan seluruh kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah;
f. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha
yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang dan/atau jasa, termasuk yang
melakukan
seluruh
berdasarkan prinsip syariah
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai
perusahaan pembiayaan
perusahaan pembiayaan syariah;
pialang
kegiatan usahanya
sebagaimana
dan
- 5 -
g. Lembaga Penjamin adalah perusahaan
penjaminan, perusahaan penjaminan syariah,
perusahaan penjaminan ulang, dan perusahaan
penjaminan ulang syariah yang menjalankan
kegiatan penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan;
h. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya
disingkat PMV adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura
termasuk yang melakukan seluruh kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perusahaan
modal ventura dan perusahaan modal ventura
syariah;
i. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan
pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian
pemerintah termasuk yang melakukan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam
perundang-undangan
pergadaian.
mengenai
peraturan
usaha
2. Pihak Utama adalah pihak yang memiliki, mengelola,
mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang
signifikan pada LJK.
3. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya
disingkat PSP adalah badan hukum, orang
perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang
memiliki saham atau yang setara dengan saham LJK
dan mempunyai kemampuan untuk melakukan
pengendalian atas LJK.
4. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK
yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau
- 6 -
yang setara dengan RUPS bagi LJK yang berbentuk
badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun,
perusahaan umum, perusahaan daerah, perusahaan
umum daerah, atau perusahaan perseroan daerah,
atau badan usaha perseroan komanditer.
5. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi LJK yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan
Direksi bagi LJK yang berbentuk badan hukum
koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan
umum, perusahaan daerah, perusahaan umum
daerah, perusahaan perseroan daerah, badan usaha
perseroan komanditer, atau kantor cabang/kantor
perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar
negeri.
6. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK
yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau
yang setara dengan Dewan Komisaris bagi LJK yang
berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama,
dana pensiun, perusahaan umum, perusahaan daerah,
perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan
daerah, badan usaha perseroan komanditer, atau
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri.
7. Dewan Pengawas Syariah adalah pengawas yang
direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional,
Majelis Ulama Indonesia yang ditempatkan di LJK atau
unit syariah yang bertugas mengawasi kegiatan usaha
perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah.
8. Pengendali Perusahaan Perasuransian adalah pihak
yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai
kemampuan untuk menentukan Direksi dan Dewan
Komisaris, dan/atau mempengaruhi tindakan Direksi,
Dewan Komisaris pada Perusahaan Perasuransian.
- 7 -
9. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan
untuk mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan
perusahaan, termasuk pada LJK, dengan cara apapun,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
10. Auditor Internal adalah pejabat pada Perusahaan
Perasuransian yang bertanggung jawab untuk
mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas
pengelolaan risiko, pengendalian, dan proses tata
kelola perusahaan yang bekerja secara independen dan
sesuai dengan standar praktik yang berlaku.
11. Aktuaris Perusahaan adalah pejabat pada perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang
ditunjuk dan bertanggung jawab untuk mengelola
dampak keuangan dari risiko yang dihadapi
perusahaan yang bekerja secara independen dan
sesuai dengan standar praktik yang berlaku.
12. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 2
(1) Calon Pihak Utama wajib memperoleh persetujuan dari
OJK sebelum menjalankan tindakan, tugas dan
fungsinya sebagai Pihak Utama.
(2) Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bagi Bank:
1) PSP;
2) anggota Direksi; dan
3) anggota Dewan Komisaris.
b. bagi Perusahaan Efek:
1) PSP;
2) anggota Direksi; dan
3) anggota Dewan Komisaris.
- 8 -
c. bagi Penasihat Investasi:
1) PSP;
2) anggota Direksi; dan
3) anggota Dewan Komisaris.
d. bagi Perusahaan Perasuransian:
1) Pengendali Perusahaan Perasuransian;
2) anggota Direksi;
3) anggota Dewan Komisaris;
4) anggota Dewan Pengawas Syariah;
5) Auditor Internal; dan
6) Aktuaris Perusahaan.
e. bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja:
1) anggota Direksi;
2) anggota Dewan Komisaris; dan
3) anggota Dewan Pengawas Syariah.
f. bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan:
1) pelaksana tugas pengurus; dan
2) anggota Dewan Pengawas Syariah.
g. bagi Perusahaan Pembiayaan, Lembaga Penjamin,
PMV, dan Perusahaan Pergadaian:
1) PSP;
2) anggota Direksi;
3) anggota Dewan Komisaris; dan
4) anggota Dewan Pengawas Syariah.
(3) Calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian yang merupakan pemegang saham yang
belum memperoleh persetujuan dari OJK, dilarang
melakukan tindakan sebagai PSP atau Pengendali
Perusahaan Perasuransian walaupun telah memiliki
saham LJK.
(4) Calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris
dan/atau calon anggota Dewan Pengawas Syariah
yang belum memperoleh persetujuan OJK, dilarang
melakukan tindakan, tugas dan fungsi sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota
Dewan Pengawas Syariah LJK walaupun telah
mendapat persetujuan dan diangkat oleh RUPS.
- 9 -
Pasal 3
Dalam rangka memberikan persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, OJK melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan kepada calon Pihak Utama.
BAB II
FAKTOR PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Pasal 4
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk
menilai bahwa calon Pihak Utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 memenuhi persyaratan:
a.
integritas dan kelayakan keuangan bagi calon PSP atau
calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang
merupakan pemegang saham;
b.
integritas dan reputasi keuangan bagi calon Pengendali
Perusahaan Perasuransian yang bukan merupakan
pemegang saham;
c.
integritas, reputasi keuangan dan kompetensi bagi
selain calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian.
Pasal 5
Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf a, huruf b, dan huruf c, meliputi:
a. cakap melakukan perbuatan hukum;
b. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit
ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang
berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu
tertentu sebelum dicalonkan;
c. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan dan mendukung kebijakan OJK;
d. memiliki komitmen terhadap pengembangan LJK yang
sehat; dan
e.
tidak termasuk sebagai pihak yang dilarang untuk
menjadi Pihak Utama.
- 10 -
Pasal 6
Persyaratan reputasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf b dan huruf c, paling sedikit
dibuktikan dengan:
a. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; dan
b. tidak pernah dinyatakan pailit dan/atau tidak pernah
menjadi pemegang saham, Pengendali Perusahaan
Perasuransian yang bukan merupakan pemegang
saham, anggota Direksi, atau anggota Dewan
Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima)
tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Pasal 7
Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf a, paling sedikit dibuktikan dengan:
a. memiliki reputasi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6;
b. memiliki kemampuan keuangan yang dapat
mendukung perkembangan bisnis LJK; dan
c. memiliki komitmen untuk melakukan upaya-upaya
yang diperlukan apabila LJK menghadapi kesulitan
keuangan.
Pasal 8
Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf c, paling sedikit meliputi pengetahuan
dan/atau pengalaman yang mendukung pengelolaan LJK.
BAB III
TATA CARA PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Bagian Kesatu
Umum
- 11 -
Pasal 9
Calon Pihak Utama yang sedang menjalani:
a. proses hukum;
b. proses penilaian kemampuan dan kepatutan di OJK;
dan/atau
c. proses penilaian kembali karena terdapat indikasi
permasalahan integritas, kelayakan keuangan,
reputasi keuangan, dan/atau kompetensi pada suatu
LJK,
tidak dapat diajukan untuk mengikuti penilaian
kemampuan dan kepatutan untuk menjadi Pihak Utama.
Pasal 10
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi
Pihak Utama diajukan oleh:
a. calon pemilik, pendiri atau anggota Direksi LJK
dalam hal permohonan izin pendirian LJK; atau
b. anggota Direksi LJK, dalam hal LJK telah
memperoleh izin usaha;
dilengkapi dengan dokumen persyaratan administratif.
(2) LJK harus menyampaikan daftar pemenuhan
persyaratan
administratif kepada OJK yang
ditandatangani oleh:
a. calon pemilik, pendiri, atau pejabat LJK yang
berwenang dalam hal permohonan izin pendirian
LJK; atau
b. pejabat LJK yang berwenang, dalam hal LJK telah
memperoleh izin usaha.
(3) Penyampaian permohonan dan/atau dokumen
persyaratan administratif dapat dilakukan melalui
sarana elektronik dalam hal ketentuan yang mengatur
mengenai hal tersebut telah diberlakukan.
(4) OJK dapat mengembalikan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila dokumen persyaratan
administratif tidak lengkap.
- 12 -
(5) LJK dapat mengajukan calon Pihak Utama dalam
jumlah tertentu untuk setiap posisi jabatan yang
dituju.
Pasal 11
(1) Dalam hal seluruh atau mayoritas saham LJK dimiliki
oleh pemerintah pusat atau lembaga yang diberikan
tugas oleh Undang-Undang untuk menyelamatkan
LJK, permohonan untuk memperoleh persetujuan
menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris LJK dimaksud dapat diajukan oleh instansi
yang mewakili pemerintah pusat atau lembaga
tersebut.
(2) Dalam hal calon PSP akan melakukan pembelian
saham LJK dalam rangka penyertaan modal sementara
oleh lembaga yang diberikan tugas oleh Undang-
Undang untuk menyelamatkan LJK, permohonan
untuk memperoleh persetujuan menjadi PSP dimaksud
dapat diajukan oleh lembaga tersebut.
Pasal 12
Dalam hal anggota Direksi LJK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) tidak dapat menjalankan fungsinya
atau mempunyai benturan kepentingan, permohonan
diajukan oleh:
a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai
benturan kepentingan;
b. anggota Dewan Komisaris apabila seluruh anggota
Direksi tidak dapat menjalankan fungsinya atau
mempunyai benturan kepentingan; atau
c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS apabila seluruh
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris tidak
dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai
benturan kepentingan.
- 13 -
Bagian Kedua
Tata Cara Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Calon
PSP dan Calon Pengendali Perusahaan Perasuransian
Pasal 13
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP
dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian
dilakukan melalui penilaian administratif.
(2) Dalam rangka penilaian administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), calon PSP, dan calon
Pengendali Perusahaan
Perasuransian
harus
melakukan presentasi atau pemaparan paling sedikit
mengenai:
a. rencana calon PSP, dan calon Pengendali
Perusahaan
Perasuransian
pengembangan LJK yang akan dimiliki dan/atau
yang akan dikendalikannya; dan
b.
strategi calon PSP, dan calon Pengendali
Perusahaan Perasuransian dalam hal LJK yang
akan dimiliki dan/atau yang akan
dikendalikannya mengalami kesulitan keuangan.
Pasal 14
Dalam hal calon PSP, atau calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian adalah pemerintah pusat atau pemerintah
daerah,
presentasi atau pemaparan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan apabila dianggap
perlu.
Pasal 15
(1) Dalam hal calon PSP, dan calon Pengendali
Perusahaan Perasuransian berbentuk badan hukum,
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan
hukum tersebut dilakukan dengan menilai badan
hukum yang bersangkutan, anggota Direksi, dan
anggota Dewan Komisaris badan hukum yang
terhadap
- 14 -
bersangkutan, dan pihak-pihak yang berdasarkan
penilaian Otoritas Jasa Keuangan merupakan ultimate
shareholders.
(2) Dalam hal
ultimate shareholders merupakan
pemerintah negara lain, dan hukum di negara yang
bersangkutan tidak memperbolehkan
ultimate
shareholders tersebut memberikan data dan dokumen,
OJK menetapkan ultimate shareholders lain yang
secara langsung dikendalikan oleh pemerintah negara
lain tersebut berdasarkan dokumen pendukung yang
sah sebagai pengganti
pemerintah negara lain tersebut.
(3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) harus menyampaikan dokumen persyaratan
administratif.
(4) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), OJK dapat menetapkan pihak lain yang
berdasarkan penilaian OJK melakukan Pengendalian,
untuk menyampaikan dokumen persyaratan
administratif.
(5) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (4) merupakan satu kesatuan hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Tata Cara Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak
Utama Selain Calon PSP dan Calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian
Pasal 16
Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pihak
Utama selain calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian
administratif.
dilakukan OJK melalui
ultimate shareholders
penilaian
- 15 -
Pasal 17
(1) LJK harus terlebih dahulu melakukan penilaian sendiri
(self assessment) terhadap calon Pihak Utama selain
calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian sebelum diajukan kepada OJK, terkait
dengan:
a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf c; dan
b. pemenuhan persyaratan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
(2) Hasil self assessment sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada OJK pada saat pengajuan
permohonan.
Pasal 18
(1) Dalam rangka penilaian administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, OJK dapat melakukan
klarifikasi kepada calon Pihak Utama.
(2) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila:
a. terdapat informasi negatif mengenai calon Pihak
Utama;
b. calon
Pihak Utama belum mempunyai
pengalaman pada LJK di Indonesia yang relevan
dengan jabatan yang dituju dan
mempertimbangkan posisi jabatan, ukuran,
kompleksitas, dan/atau permasalahan LJK
tempat yang bersangkutan akan dicalonkan;
dan/atau
c. calon Pihak Utama pernah ditetapkan tidak
disetujui dalam pencalonan sebelumnya.
- 16 -
Bagian Keempat
Penghentian Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 19
(1) OJK menghentikan penilaian kemampuan dan
kepatutan calon Pihak Utama LJK apabila calon
tersebut menjalani:
a. proses hukum;
b. proses penilaian kemampuan dan kepatutan;
dan/atau
c. proses penilaian kembali karena terdapat indikasi
permasalahan integritas, kelayakan keuangan,
reputasi keuangan, dan/atau kompetensi pada
suatu LJK.
(2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberitahukan secara tertulis kepada LJK.
Pasal 20
Calon Pihak Utama yang dihentikan penilaian kemampuan
dan kepatutannya oleh OJK, dapat dicalonkan kembali
kepada OJK untuk menjadi Pihak Utama apabila yang
bersangkutan telah selesai menjalani proses sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
BAB IV
HASIL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Pasal 21
(1) OJK menetapkan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagai berikut:
a.
disetujui; atau
b. tidak disetujui.
(2) Jangka waktu penetapan hasil penilaian kemampuan
dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
- 17 -
(3) Dalam hal proses penilaian kemampuan dan
kepatutan calon Pihak Utama dilakukan pada saat
permohonan izin pendirian, penggabungan dan/atau
peleburan LJK, OJK memberikan penetapan hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan dalam jangka
waktu sesuai dengan peraturan yang mengatur
mengenai pemberian izin pendirian, penggabungan,
dan/atau peleburan LJK.
(4) OJK memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
tertulis kepada LJK.
(5) Selain memberitahukan kepada LJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), OJK dapat memberitahukan
hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada
pihak lain yang berkepentingan dalam rangka
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK atau
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Bagi calon PSP yang tidak disetujui oleh OJK namun
telah memiliki saham LJK:
a. yang bersangkutan wajib mengalihkan
kepemilikan sahamnya pada LJK yang
bersangkutan dan tidak melakukan Pengendalian;
dan
b. dilakukan pembatasan atas hak pemegang saham
pada LJK yang bersangkutan.
(2) LJK wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada
OJK dengan mengacu kepada peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pelaporan
perubahan anggaran dasar terkait perubahan
kepemilikan yang berlaku pada masing-masing sektor
jasa keuangan.
(3) Dalam hal tidak terdapat peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pelaporan
perubahan anggaran dasar terkait perubahan
- 18 -
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK
wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah RUPS
mengesahkan pengalihan kepemilikan saham.
Pasal 23
LJK wajib mencantumkan penjelasan mengenai status
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
dalam:
a. daftar pemegang saham LJK; dan
b.
laporan yang dipublikasikan LJK.
Pasal 24
(1) OJK dapat menetapkan pihak yang tidak
diperbolehkan menerima pengalihan saham
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1).
(2) Dalam hal pengalihan kepemilikan saham dilakukan
kepada pihak yang tidak diperbolehkan menerima
pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat
(1):
a. pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai
pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 22 ayat (1);
b. LJK dilarang melakukan pencatatan atas pihak
yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar
pemegang saham LJK; dan
c. pihak yang menerima pengalihan tidak
memperoleh hak-haknya sebagai pemegang
saham.
Pasal 25
(1) Persetujuan OJK terhadap calon Pihak Utama selain
calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan
Perasuransian menjadi tidak berlaku apabila dalam
jangka waktu tertentu tidak terdapat pengangkatan
terhadap calon Pihak Utama yang telah disetujui oleh
OJK.
- 19 -
(2) LJK wajib melaporkan pengangkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan mengacu kepada
peraturan yang mengatur mengenai pelaporan
perubahan Pihak Utama yang berlaku pada masing-
masing sektor jasa keuangan.
(3) Dalam hal tidak terdapat peraturan yang mengatur
mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib
melaporkan pengangkatan Pihak Utama paling lambat
7 (tujuh) hari kerja setelah pengangkatan.
Pasal 26
(1) Bagi calon anggota Direksi, calon anggota Dewan
Komisaris, dan/atau calon anggota Dewan Pengawas
Syariah yang tidak disetujui oleh OJK namun telah
diangkat sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris, LJK wajib menyelenggarakan RUPS untuk
membatalkan pengangkatan yang bersangkutan.
(2) LJK wajib melaporkan RUPS pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada OJK dengan mengacu
kepada peraturan yang mengatur mengenai pelaporan
perubahan Pihak Utama yang berlaku pada masing-
masing sektor jasa keuangan.
(3) Dalam hal tidak terdapat peraturan yang mengatur
mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib
melaporkan perubahan Pihak Utama paling lambat 7
(tujuh) hari kerja setelah RUPS pembatalan
pengangkatan anggota Direksi atau calon anggota
Dewan Komisaris.
Pasal 27
(1) Calon Pihak Utama selain calon PSP dan calon
Pengendali Perusahaan Perasuransian yang tidak
disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf b dapat dicalonkan kembali kepada OJK
- 20 -
paling cepat 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan
Tidak Disetujui dari OJK.
(2) Dalam hal calon Pihak Utama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak disetujui karena persyaratan
kompetensi maka calon dimaksud dapat diajukan
sebelum 6 (enam) bulan pada:
a. bidang jabatan yang berbeda pada jabatan yang
setingkat atau lebih rendah pada LJK yang sama;
b. jabatan di LJK sejenis yang mempunyai ukuran
dan kompleksitas yang lebih rendah; atau
c. jabatan di LJK yang berbeda.
(3) Pengajuan kembali calon Pihak Utama yang tidak
disetujui karena persyaratan kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen
pendukung yang membuktikan bahwa calon yang
diajukan kembali telah melakukan peningkatan
kompetensi.
Pasal 28
(1) OJK membatalkan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, apabila setelah
persetujuan diberikan:
a. diketahui bahwa informasi atau dokumen yang
disampaikan dalam proses penilaian kemampuan
dan kepatutan tidak benar sehingga menjadi tidak
memenuhi persyaratan; dan/atau
b. terdapat informasi yang diperoleh dari otoritas
lain yang mengakibatkan pihak yang telah
disetujui menjadi tidak memenuhi persyaratan.
(2) PSP yang dibatalkan persetujuannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terhadap yang bersangkutan
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (3) dan Pasal 22.
(3) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Dewan Pengawas Syariah yang dibatalkan
persetujuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
- 21 -
terhadap yang bersangkutan berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan
Pasal 26.
BAB V
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK
UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN DALAM
PENYELAMATAN/PENANGANAN DAN PIHAK UTAMA BANK
YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SARANA RESOLUSI
Pasal 29
OJK menetapkan tata cara penilaian kemampuan dan
kepatutan yang berbeda bagi Pihak Utama pada:
a. LJK dalam penyelamatan/penanganan oleh lembaga
atau instansi yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan penyelamatan/penanganan LJK; dan
b. Bank yang digunakan sebagai sarana resolusi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan
Krisis Sistem Keuangan.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
(1) Bank wajib melaporkan rencana perubahan struktur
kelompok usaha yang terkait dengan Bank termasuk
badan hukum pemilik Bank sampai dengan ultimate
shareholders kepada OJK paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum terjadinya perubahan.
(2) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut
penilaian OJK menyebabkan perubahan pengendali
Bank atau apabila menurut penilaian OJK terdapat
pengendali Bank, Bank wajib mengajukan calon PSP
untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
oleh OJK.
- 22 -
(3) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
pengendali Bank yang disebabkan karena adanya
perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
kelompok usaha.
(4) OJK berwenang menolak perubahan pengendali Bank,
dalam hal berdasarkan penilaian OJK perubahan
pengendali Bank dapat menyebabkan atau
diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan
pengawasan Bank.
BAB VII
SANKSI
Pasal 31
(1) LJK dan/atau Pihak Utama yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2
ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24
ayat (2) huruf b, Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3),
Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (3), atau Pasal 30 ayat
(1), dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembatalan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. perintah penggantian manajemen;
f. pencantuman manajemen dalam daftar pihak
yang dilarang untuk menjadi Pihak Utama;
g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan
pengesahan; dan/atau
h. pencabutan izin usaha.
(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
- 23 -
undangan yang berlaku bagi LJK pada masing-masing
sektor jasa keuangan.
(3) Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu kepada ketentuan
yang berlaku bagi LJK pada masing-masing sektor jasa
keuangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah
ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 33
Terhadap penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon
Pihak Utama yang sedang dilakukan pada saat berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini:
a.
tata cara penilaian dan hasil penilaian tetap mengacu
kepada ketentuan penilaian kemampuan dan
kepatutan yang berlaku pada masing-masing sektor
jasa keuangan; dan
b. konsekuensi hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan mengacu kepada ketentuan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 34
(1) Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini:
a. Pihak Utama pada PMV atau Perusahaan
Pergadaian yang belum pernah mengikuti
penilaian kemampuan dan kepatutan tetap dapat
menjadi Pihak Utama;
b. anggota Dewan Pengawas Syariah pada Dana
Pensiun dan Auditor Internal pada Perusahaan
- 24 -
Perasuransian yang belum pernah mengikuti
penilaian kemampuan dan kepatutan tetap dapat
menjabat dan menjalankan tugas dan fungsinya.
(2) Pihak Utama selain PSP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus mengikuti penilaian kemampuan dan
kepatutan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini sebelum yang bersangkutan dilakukan
perpanjangan jabatan atau peralihan jabatan pada
perusahaan yang sama.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 36
Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
Pasal 3 ayat (2) huruf a, Pasal 3 ayat (2) huruf b, dan Pasal
18 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
4/POJK.05/2013 tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan bagi Pihak Utama pada Perusahaan
Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan,
dan Perusahaan Penjaminan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 37
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan yang
berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 25 -
Pasal 38
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku:
a. pada tanggal 1 Agustus 2016 bagi LJK selain
Perusahaan Pergadaian;
b. 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan bagi
Perusahaan Pergadaian.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 147
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 7/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 26 Januari 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '11/26/PBI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 20 /POJK.04/2016
TENTANG
PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK
YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN
PERANTARA PEDAGANG EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa seiring dengan perkembangan Pasar Modal
Indonesia, kualitas Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan
Perantara Pedagang Efek perlu secara terus menerus
ditingkatkan;
b. bahwa peningkatan kualitas Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
dan Perantara Pedagang Efek dapat dilakukan antara lain
melalui peningkatan tata kelola yang baik, peningkatan
kualitas kepemilikan, pengendalian, dan kepengurusan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang
Efek;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN
KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN
PERANTARA PEDAGANG EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan
kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri
atau Pihak lain.
2. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat
kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran
Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa
kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.
3. Pemegang Saham Pengendali adalah Pihak yang baik
secara langsung maupun tidak langsung memiliki:
a. saham paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
saham yang dikeluarkan oleh satu Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan
mempunyai hak suara; atau
- 3 -
b. saham kurang dari 20% (dua puluh persen) dari
saham yang dikeluarkan oleh satu Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan
mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan
telah melakukan pengendalian baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek.
4. Perseroan adalah Perseroan Terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
BAB II
PERIZINAN DAN PERSYARATAN PERUSAHAAN EFEK YANG
MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI
EFEK DAN/ATAU PERANTARA PEDAGANG EFEK
Bagian Kesatu
Izin Usaha
Pasal 2
Perseroan yang melakukan kegiatan usaha Perusahaan Efek
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang
Efek wajib memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 3
(1) Izin usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek
berlaku juga sebagai izin usaha Perusahaan Efek sebagai
Perantara Pedagang Efek.
(2) Izin usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek
yang berlaku juga sebagai izin usaha Perusahaan Efek
sebagai Perantara Pedagang Efek dapat dibatasi sendiri
pelaksanaan kegiatan usahanya oleh Perusahaan Efek
pada saat pengajuan izin usaha Penjamin Emisi Efek
dengan menyatakan Penjamin Emisi Efek tidak
- 4 -
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek.
(3) Izin usaha Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang
Efek tidak berlaku sebagai izin usaha Perusahaan Efek
sebagai Penjamin Emisi Efek.
(4) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dapat menjalankan:
a. kegiatan utama, yaitu:
1. penjaminan emisi Efek; dan
2. kegiatan lain yang berkaitan dengan aksi
korporasi dari perusahaan yang akan atau telah
melakukan Penawaran Umum, seperti
pemberian nasihat dalam rangka penerbitan
Efek,
penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan, dan/atau restrukturisasi;
serta
b. kegiatan lain yang ditetapkan dan/atau disetujui
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek dapat menjalankan:
a. kegiatan utama, yaitu:
1. transaksi Efek untuk kepentingan sendiri dan
Pihak lain; dan/atau
2. pemasaran Efek untuk kepentingan Perusahaan
Efek lain; serta
b. kegiatan lain yang ditetapkan dan/atau disetujui
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 4
(1) Perseroan dapat diberikan izin usaha Perusahaan Efek
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan
untuk memasarkan Efek Reksa Dana.
(2) Ketentuan mengenai Perusahaan Efek sebagai Perantara
Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk
memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana.
- 5 -
Pasal 5
(1) Perseroan yang memperoleh izin usaha Perusahaan Efek
sebagai Penjamin Emisi Efek dilarang melakukan
kegiatan usaha selain kegiatan usaha sesuai izin usaha
yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(4) dan ayat (5).
(2) Perseroan yang memperoleh izin usaha Perusahaan Efek
sebagai Perantara Pedagang Efek dilarang melakukan
kegiatan usaha selain kegiatan usaha sesuai izin usaha
yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (5).
Bagian Kedua
Persyaratan
Paragraf 1
Persyaratan Anggaran Dasar
Pasal 6
(1) Anggaran dasar Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib memuat kegiatan usaha sesuai izin
usaha yang dimohonkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perseroan yang mengajukan izin usaha Perusahaan Efek
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib telah menetapkan kegiatan usaha
perusahaan sesuai izin usaha yang dimohonkan dalam
anggaran dasar Perseroan dimaksud.
Paragraf 2
Persyaratan Identitas
Pasal 7
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib memiliki identitas Perseroan yang
paling sedikit meliputi nama dan alamat perusahaan.
- 6 -
(2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib mencantumkan secara jelas kata
“Sekuritas” pada penulisan nama perusahaannya.
(3) Dalam hal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek menggunakan logo sebagai identitas
tambahan, Perusahaan Efek tersebut wajib
mencantumkan nama perusahaan yang merupakan
bagian dari logo dimaksud.
Paragraf 3
Persyaratan Permodalan
Pasal 8
(1) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai
Penjamin Emisi Efek wajib memiliki modal disetor paling
sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
(2) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai
Perantara Pedagang Efek yang Mengadministrasikan
Rekening Efek Nasabah wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh
miliar rupiah).
(3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai
Perantara
Pedagang
Efek
yang
tidak
Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah wajib
memiliki modal disetor paling sedikit sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai
Penjamin Emisi Efek dan Manajer Investasi wajib
memiliki modal disetor paling sedikit sebesar
Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah).
(5) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai
Perantara Pedagang Efek yang Mengadministrasikan
Rekening Efek Nasabah dan Manajer Investasi wajib
- 7 -
memiliki modal disetor paling sedikit sebesar
Rp55.000.000.000,00 (lima puluh lima miliar rupiah).
Pasal 9
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib
memiliki dan memelihara Modal Kerja Bersih Disesuaikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Pemeliharaan dan
Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan.
Paragraf 4
Persyaratan Operasional
Pasal 10
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib:
a. memiliki struktur organisasi yang dilengkapi dengan
uraian tugas dan nama pegawai pada tiap posisi
jabatan termasuk keberadaan unit kerja, anggota
Direksi, atau pejabat setingkat di bawah Direksi
yang menjalankan fungsi yang dipersyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal sesuai izin usaha yang dimiliki;
b. memiliki prosedur dan standar operasi sesuai izin
usaha yang dimiliki oleh Perusahaan Efek dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang terkait dengan pelaksanaan
kegiatan usaha yang dimiliki tersebut dengan
ketentuan paling sedikit memuat:
1. judul prosedur dan standar operasi (pedoman
standar operasi);
2. penanggung jawab prosedur dan standar
operasi;
3. pihak yang melaksanakan setiap prosedur dan
standar operasi;
- 8 -
4. diagram alir dan penjelasan dari setiap tahapan
prosedur yang dilaksanakan;
5. batasan waktu pelaksanaan dalam setiap
prosedur;
6. dokumen yang digunakan; dan
7. hasil dari prosedur yang dilaksanakan; dan
c. memiliki izin mempekerjakan tenaga kerja asing dari
instansi yang berwenang dalam hal mempekerjakan
tenaga kerja asing.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai
Penjamin Emisi Efek wajib paling sedikit memiliki 1 (satu)
orang pegawai yang telah memperoleh izin orang
perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek.
(3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai
Perantara Pedagang Efek wajib paling sedikit memiliki 1
(satu) orang pegawai yang telah memperoleh izin orang
perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau
Wakil Perantara Pedagang Efek.
Pasal 11
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib menyusun dan menerapkan
kebijakan dan prosedur tertulis berkaitan dengan hasil
riset agar riset yang dilakukan oleh analis Perusahaan
Efek untuk mendukung pengambilan keputusan
investasi perusahaan, memberikan setiap informasi,
nasihat, dan rekomendasi kepada nasabah, dan/atau
disebarluaskan kepada masyarakat, bersifat independen.
(2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit mencakup alur pelaporan
analis Perusahaan Efek dan dasar perhitungan
kompensasi bagi analis tersebut yang dapat
menghilangkan atau sangat membatasi benturan
kepentingan yang ada, yang lazim terjadi, atau yang
mungkin timbul.
- 9 -
Pasal 12
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek
bertanggung jawab penuh secara hukum dan finansial atas
segala tindakan yang dilakukan untuk dan atas nama
Perusahaan Efek oleh anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, Wakil Perusahaan Efek, pegawai, dan pihak lain
yang bekerja untuk Perusahaan Efek tersebut.
Paragraf 5
Persyaratan Integritas dan Kelayakan Keuangan Pemegang
Saham dan Pemegang Saham Pengendali
Pasal 13
(1) Pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek wajib memenuhi persyaratan integritas dan
kelayakan keuangan.
(2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. cakap melakukan perbuatan hukum;
b. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit
Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dimana
jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan
diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari
6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku
yang diberikan dari Kepolisian jika kurang dari 6
(enam) bulan;
c.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana di sektor keuangan dalam jangka waktu 20
(dua puluh) tahun terakhir sampai dengan
ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan
pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali
oleh Otoritas Jasa Keuangan;
- 10 -
d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana khusus dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil
uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham
dan Pemegang Saham Pengendali oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
e.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil
uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham
dan Pemegang Saham Pengendali oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
f. memiliki akhlak dan moral yang baik;
g. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan; dan
h. memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung
pengembangan operasional Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek atau Perantara Pedagang Efek yang sehat dan
Pasar Modal Indonesia serta kebijakan Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Persyaratan kelayakan keuangan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kemampuan keuangan;
b. bagi pemegang saham atau Pemegang Saham
Pengendali berupa orang perseorangan, tidak pernah
dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau
anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan; dan
c. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet.
(4) Dalam hal pemegang saham dan Pemegang Saham
Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek berupa badan hukum, ketentuan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mutatis mutandis berlaku bagi badan hukum, pemegang
- 11 -
saham dan/atau pengendali, baik langsung maupun
tidak langsung dari badan hukum tersebut.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi dari
Lembaga yang berwenang atas dokumen yang
disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b.
Paragraf 6
Persyaratan Integritas dan Kompetensi Anggota Direksi atau
Anggota Dewan Komisaris
Pasal 14
(1) Anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek wajib memenuhi persyaratan integritas, reputasi
keuangan, serta kompetensi dan keahlian di bidang Pasar
Modal.
(2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. cakap melakukan perbuatan hukum;
b. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit
Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dimana
jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan
diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari
6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku
yang diberikan dari Kepolisian jika kurang dari 6
(enam) bulan;
c.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana di sektor keuangan dalam jangka waktu 20
(dua puluh) tahun terakhir sampai dengan
ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana khusus dalam jangka waktu 20 (dua puluh)
- 12 -
tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil
uji kemampuan dan kepatutan anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
e.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan dalam jangka waktu 10 (sepuluh
puluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya
hasil uji kemampuan dan kepatutan anggota Direksi
dan anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
f. memiliki akhlak dan moral yang baik;
g. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan; dan
h. memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung
pengembangan operasional Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek atau Perantara Pedagang Efek yang sehat dan
Pasar Modal Indonesia.
(3) Persyaratan reputasi keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. tidak pernah dinyatakan pailit;
b. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet;
atau
c.
tidak pernah menjadi anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit.
(4) Persyaratan kompetensi dan keahlian di bidang Pasar
Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. bagi anggota Direksi adalah:
1. memiliki pengetahuan di bidang Pasar Modal
yang memadai dan relevan dengan jabatannya
serta paling rendah berpendidikan akademi
setingkat diploma; dan
2. memiliki pengalaman dan keahlian di bidang
Pasar Modal dan/atau bidang keuangan paling
sedikit 2 (dua) tahun pada jabatan manajerial di
- 13 -
perusahaan yang bergerak di sektor Pasar
Modal dan/atau jasa keuangan;
b. bagi anggota Dewan Komisaris adalah:
1. memiliki keahlian di bidang Pasar Modal yang
memadai dan relevan dengan jabatannya;
dan/atau
2. memiliki pengalaman minimal 2 (dua) tahun
pada perusahaan yang bergerak di sektor Pasar
Modal dan/atau jasa keuangan.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi dari
Lembaga yang berwenang atas dokumen yang
disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b.
BAB III
TATA CARA PERMOHONAN PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK
SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA
PEDAGANG EFEK
Bagian Kesatu
Permohonan Izin Usaha
Pasal 15
(1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Perusahaan
Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek diajukan oleh pemohon kepada Otoritas
Jasa Keuangan dalam rangkap 2 (dua) sesuai dengan
surat permohonan atau perubahan Izin Usaha
Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan
melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen yang menunjukkan identitas Perseroan
yang paling sedikit meliputi nama dan alamat kantor
pusat dan operasional perusahaan, serta logo
perusahaan (jika ada);
- 14 -
b. fotokopi akta pendirian Perseroan yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut
perubahan anggaran dasar terakhir yang telah
memperoleh persetujuan dari instansi yang
berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan
pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang;
c.
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Perseroan;
d. surat kuasa kepada Pihak yang diberi kuasa untuk
mengajukan permohonan perizinan untuk dan atas
nama perseroan (jika ada);
e.
daftar nama dan data anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan pegawai yang memiliki izin
Wakil Perusahaan Efek, meliputi:
1. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh
yang bersangkutan yang paling sedikit
mencantumkan riwayat singkat pekerjaan yang
meliputi:
a) nama jabatan;
b) alasan keluar atau mengundurkan diri
(jika ada); dan
c) uraian singkat atas tugas dan tanggung
jawab jabatan;
2. fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir;
3. fotokopi izin orang perseorangan sebagai Wakil
Perusahaan Efek;
4. dokumen yang menunjukkan anggota Direksi
memiliki pengalaman dan keahlian di bidang
Pasar Modal dan/atau bidang keuangan paling
sedikit 2 (dua) tahun pada jabatan manajerial di
perusahaan yang bergerak di sektor Pasar
Modal dan/atau jasa keuangan;
5. dokumen yang menunjukkan anggota Dewan
Komisaris:
a) memiliki keahlian di bidang Pasar Modal
yang memadai dan relevan dengan
- 15 -
jabatannya; dan/atau
b) memiliki pengalaman minimal 2 (dua)
tahun pada perusahaan yang bergerak di
sektor Pasar Modal dan/atau jasa
keuangan;
6. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor
yang masih berlaku; dan
7. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm
dengan latar belakang berwarna merah
sebanyak 2 (dua) lembar;
f. dokumen yang terkait dengan nama, data, dan
informasi pemegang saham, meliputi:
1. orang perseorangan meliputi:
a)
b) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau
paspor yang masih berlaku;
c)
pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm
dengan latar belakang berwarna merah
sebanyak 2 (dua) lembar;
d) fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
e) bukti kemampuan keuangan;
f)
daftar riwayat hidup yang ditandatangani
oleh yang bersangkutan;
surat pernyataan bahwa setoran modal
tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan dalam bentuk apapun dari
pihak lain serta tidak berasal dari dan
untuk tujuan pencucian uang dan
pembiayaan terorisme
pernyataan sumber dana atau setoran
modal sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini; dan
g) komitmen tertulis untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan mendukung pengembangan
operasional Perusahaan Efek yang
sesuai surat
- 16 -
melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek yang sehat dan Pasar Modal
Indonesia sesuai dengan surat pernyataan
integritas bagi
saham/calon
calon pemegang
Pemegang Saham
Pengendali/ pemegang saham/Pemegang
Saham Pengendali sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini;
2. badan hukum, meliputi:
a)
fotokopi akta pendirian badan hukum
Indonesia yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, berikut
perubahan anggaran dasar terakhir yang
telah memperoleh persetujuan dari
instansi yang berwenang atau telah
diterbitkan
surat
penerimaan
pemberitahuan perubahan anggaran dasar
dari instansi yang berwenang (jika
pemegang saham atau Pemegang Saham
Pengendali adalah badan hukum
Indonesia);
b)
fotokopi akta pendirian badan hukum
asing yang telah disahkan oleh instansi
yang berwenang di negara asal beserta
perubahannya (jika ada) dan dokumen
yang dipersyaratkan sesuai dengan
peraturan negara asal jika badan hukum
yang bersangkutan adalah badan hukum
asing berupa badan hukum milik negara
atau pemerintah (jika pemegang saham
atau Pemegang Saham Pengendali adalah
badan hukum asing);
c)
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
bagi badan hukum Indonesia;
- 17 -
d) keterangan mengenai Pihak yang
mengendalikan badan hukum baik
langsung maupun tidak langsung yang
paling sedikit memuat nama dan bentuk
pengendalian;
e) laporan keuangan tahun terakhir yang
telah diaudit;
f)
daftar nama dan data anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan/atau
pengurus meliputi:
1) daftar riwayat hidup yang telah
ditandatangani;
2) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau
paspor yang masih berlaku; dan
3) pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6
cm dengan latar belakang berwarna
merah sebanyak 2 (dua) lembar;
g) daftar nama dan data pemegang saham:
1) orang perseorangan meliputi:
a.
daftar riwayat hidup yang telah
ditandatangani;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk
atau paspor yang masih berlaku;
dan
c.
pasfoto berwarna terbaru ukuran
4x6 cm dengan latar belakang
berwarna merah sebanyak
2 (dua) lembar;
2) badan hukum meliputi:
a. anggaran dasar terakhir; dan
b. laporan keuangan tahun terakhir
yang telah diaudit;
h) surat pernyataan bahwa setoran modal
tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan dalam bentuk apapun dari
pihak lain serta tidak berasal dari dan
untuk tujuan pencucian uang dan
- 18 -
pendanaan terorisme sesuai dengan surat
pernyataan sumber dana atau setoran
modal sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini;
i) komitmen tertulis untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan dan
mendukung pengembangan operasional
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
dan/atau Perantara Pedagang Efek yang
sehat dan Pasar Modal Indonesia sesuai
dengan surat pernyataan integritas bagi
calon pemegang saham/calon Pemegang
Saham
Pengendali/pemegang
saham/Pemegang Saham Pengendali
sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
dan
j)
jika badan hukum yang bersangkutan
adalah badan hukum asing yang bergerak
di bidang jasa keuangan, maka wajib
dilampiri rekomendasi dari otoritas
pengawasan yang berwenang dari negara
asal yang paling sedikit menerangkan
bahwa:
1) badan hukum asing tersebut
mempunyai reputasi baik; dan
2) badan hukum asing tersebut tidak
pernah melakukan tindakan tercela di
bidang keuangan;
g.
keterangan mengenai:
1. pemegang saham hingga penerima manfaat
yang sebenarnya;
- 19 -
2. Pemegang Saham Pengendali Perseroan
Terbatas baik langsung maupun tidak langsung
yang paling sedikit memuat nama Pihak
pengendali dan bentuk pengendalian;
3. perusahaan terelasi; dan
4. anak perusahaan;
h. daftar nama pegawai setingkat di bawah Direksi
yang tidak memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dan
posisinya dalam struktur organisasi perseroan;
i.
laporan keuangan terakhir yang diperiksa Akuntan
yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan yang
jangka waktu antara tanggal laporan keuangan
terakhir tersebut dengan tanggal pemberian izin
usaha Perusahaan Efek tidak lebih dari 180 (seratus
delapan puluh) hari;
j.
fotokopi perjanjian usaha patungan bagi Perusahaan
Efek patungan;
k. rekening koran;
l. bukti penyetoran modal;
m. Modal Kerja Bersih Disesuaikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai Pemeliharaan dan
Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan;
n. surat pernyataan dari Pemegang Saham Pengendali
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek baik langsung maupun tidak
langsung yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan:
1. cakap melakukan perbuatan hukum;
2. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling
sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian
(SKCK) dimana jangka waktu tanggal
diterbitkannya sampai dengan diajukan ke
Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6
(enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku
- 20 -
yang diberikan dari Kepolisian jika kurang dari
6 (enam) bulan;
3. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di sektor keuangan dalam jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sampai
dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan
dan kepatutan pemegang saham dan Pemegang
Saham Pengendali
Keuangan;
oleh Otoritas Jasa
4. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana khusus dalam jangka waktu 20
(dua puluh) tahun terakhir sampai dengan
ditetapkannya hasil uji kemampuan dan
kepatutan pemegang saham dan Pemegang
Saham Pengendali
Keuangan;
oleh Otoritas Jasa
5. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan dalam jangka waktu
10 (sepuluh) tahun terakhir sampai dengan
ditetapkannya hasil uji kemampuan dan
kepatutan pemegang saham dan Pemegang
Saham Pengendali
Keuangan;
oleh Otoritas Jasa
6. memiliki akhlak dan moral yang baik;
7. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan; dan
8. memiliki komitmen yang tinggi untuk
mendukung pengembangan operasional
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek yang sehat dan Pasar
Modal Indonesia serta kebijakan Otoritas Jasa
Keuangan,
sesuai dengan surat pernyataan integritas bagi calon
pemegang saham/calon Pemegang Saham
Pengendali/pemegang saham/Pemegang Saham
Pengendali sebagaimana tercantum dalam Lampiran
- 21 -
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
o. surat pernyataan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek yang menyatakan
terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:
1. cakap melakukan perbuatan hukum;
2. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling
sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian
(SKCK) dimana jangka waktu tanggal
diterbitkannya sampai dengan diajukan ke
Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6
(enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku
yang diberikan dari Kepolisian jika kurang dari
6 (enam) bulan;
3. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di sektor keuangan dalam jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sampai
dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan
dan kepatutan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan;
4. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana khusus dalam jangka waktu 20
(dua puluh) tahun terakhir sampai dengan
ditetapkannya hasil uji kemampuan dan
kepatutan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan;
5. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan dalam jangka waktu
10 (sepuluh) tahun terakhir sampai dengan
ditetapkannya hasil uji kemampuan dan
kepatutan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan;
- 22 -
6. memiliki akhlak dan moral yang baik;
7. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan;
8. memiliki komitmen yang tinggi untuk
mendukung pengembangan operasional
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek yang sehat dan Pasar
Modal Indonesia;
9. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
direktur atau komisaris yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit; dan
10. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan
macet,
sesuai dengan surat pernyataan integritas bagi calon
anggota
Direksi/calon
Komisaris/anggota
Direksi/anggota Dewan
Komisaris sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
p. surat pernyataan anggota Direksi yang menyatakan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek bertanggung jawab penuh secara
hukum dan finansial atas segala tindakan yang
dilakukan atas nama perusahaan, oleh anggota
Direksi, Wakil Perusahaan Efek, pegawai, dan Pihak
lain yang bekerja untuk perusahaan tersebut sesuai
dengan surat pernyataan pertanggungjawaban
penuh secara hukum dan finansial sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini;
q. surat pernyataan:
1. anggota Direksi yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak bekerja pada perusahaan
anggota Dewan
- 23 -
atau institusi lain dalam jabatan apapun
selama menjabat sebagai anggota Direksi
Perusahaan Efek kecuali sebagai anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek, Lembaga Kliring
dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian; dan
2. anggota Dewan Komisaris yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan tidak bekerja dalam
jabatan apapun pada Perusahaan Efek lain,
termasuk sebagai anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi;
sesuai dengan surat pernyataan tidak merangkap
jabatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
r.
surat pernyataan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan mempunyai atau tidak mempunyai
hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
dalam Perusahaan Efek yang bersangkutan sesuai
dengan surat pernyataan tidak mempunyai
hubungan keluarga pada Perusahaan Efek yang
bersangkutan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
s. surat pernyataan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan mempunyai atau tidak mempunyai
hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada
Perusahaan Efek lainnya atau Emiten yang tercatat
di Bursa Efek sesuai dengan surat pernyataan tidak
mempunyai hubungan keluarga pada Perusahaan
Efek lainnya sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
- 24 -
t.
surat pernyataan pegawai yang mempunyai izin
orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek
yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak
bekerja rangkap pada Perusahaan Efek lain sesuai
dengan surat pernyataan tidak bekerja rangkap
pada Perusahaan Efek lain sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini;
u. surat pernyataan tidak melakukan kegiatan usaha
Perantara Pedagang Efek dalam hal Penjamin Emisi
Efek hanya melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek dan tidak melakukan kegiatan
usaha Perantara Pedagang Efek sesuai dengan surat
pernyataan tidak melakukan kegiatan Perantara
Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
v. surat pernyataan dari pemegang saham atau
Pemegang Saham Pengendali bahwa sumber dana
dalam rangka kepemilikan Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek tidak
berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan
dalam bentuk apapun dari pihak lain serta tidak
berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang dan
pembiayaan terorisme
sesuai dengan surat
pernyataan sumber dana atau setoran modal
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
w. surat pernyataan pemegang saham, Pemegang
Saham Pengendali, anggota Direksi, dan anggota
Dewan Komisaris dari Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang
mendukung kebijakan Otoritas Jasa Keuangan
- 25 -
sesuai dengan surat pernyataan yang mendukung
kebijakan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini;
x. surat keterangan domisili dari pengelola gedung atau
instansi berwenang terkait dengan alamat kantor
pusat dan operasional, perjanjian sewa jika tempat
usaha bukan milik sendiri, tata letak ruangan
kantor, dan foto ruangan perusahaan yang disertai
peruntukan ruangan;
y. struktur organisasi yang mencantumkan nama
pegawai pada tiap posisi jabatan dan uraian
tugasnya termasuk keberadaan unit kerja, anggota
Direksi, atau pejabat setingkat di bawah Direksi
yang menjalankan fungsi yang dipersyaratkan
peraturan perundang-undangan sesuai izin usaha
yang dimohonkan;
z. gambaran tentang rencana operasi dan misi
perusahaan dan proyeksi keuangan paling sedikit 5
(lima) tahun ke depan;
aa. jawaban atas pertanyaan sesuai dengan format
daftar pertanyaan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
bb. jawaban atas pertanyaan sesuai dengan format
daftar A, B, dan C sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
cc. daftar kantor cabang dan perubahannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai kegiatan
Perusahaan Efek di berbagai lokasi (jika ada);
dd. prosedur dan standar operasi sesuai izin usaha yang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang terkait dengan pelaksanaan
- 26 -
kegiatan usaha yang dimohonkan paling sedikit
memuat:
1. judul prosedur dan standar operasi (pedoman
standar operasi);
2. penanggung jawab prosedur dan standar
operasi;
3. pihak yang melaksanakan setiap prosedur dan
standar operasi;
4. diagram alir dan penjelasan dari setiap tahapan
prosedur yang dilaksanakan;
5. batasan waktu pelaksanaan dalam setiap
prosedur;
6. dokumen yang digunakan; dan
7. hasil dari prosedur yang dilaksanakan;
ee. bukti pembayaran biaya perizinan Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek; dan
ff. surat pernyataan calon pemegang saham, calon
Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham,
Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Direksi,
calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
dan anggota Dewan Komisaris yang menyatakan
bahwa semua dokumen yang disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan untuk pengajuan:
1. permohonan atau perubahan izin usaha;
2. perubahan pemegang saham dan/atau
pemegang saham pengendali; dan/atau
3. perubahan anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris,
adalah benar dan tidak menyesatkan sesuai dengan
surat pernyataan kebenaran dokumen dan surat
pernyataan kebenaran dokumen dari Perusahaan
Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 27 -
(2) Dalam hal terdapat anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, atau pegawai Perusahaan Efek merupakan
tenaga kerja asing, pemohon wajib memenuhi ketentuan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang
mengatur mengenai tata cara penggunaan tenaga kerja
asing.
Pasal 16
(1) Bagi Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek dan menyatakan tidak melakukan
kegiatan usaha Perantara Pedagang Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) bermaksud melakukan
kegiatan usaha Perantara Pedagang Efek, Perusahaan
Efek dimaksud wajib mengajukan permohonan ke
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disertai dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
yang menunjukkan pemenuhan persyaratan untuk
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Laporan keuangan terakhir yang disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dalam permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan laporan keuangan
yang diperiksa Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan dan jangka waktu antara tanggal laporan
keuangan terakhir tersebut dengan tanggal persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan untuk
melakukan kegiatan usaha Perantara Pedagang Efek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lebih dari 180
(seratus delapan puluh) hari.
Pasal 17
(1) Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha sebagai
Perantara Pedagang Efek bermaksud mengajukan
permohonan untuk memperoleh izin usaha sebagai
- 28 -
Penjamin Emisi Efek, Perusahaan Efek dimaksud wajib
mengajukan permohonan ke Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disertai dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
yang menunjukkan pemenuhan persyaratan untuk
melakukan kegiatan usaha Penjamin Emisi Efek
sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 18
(1) Dalam memproses permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 Otoritas Jasa
Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b. klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka;
c. permintaan presentasi mengenai rencana kegiatan
usaha perusahaan;
d. penilaian kemampuan dan kepatutan atas pemegang
saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota
Direksi, dan anggota Dewan Komisaris;
e. pemeriksaan di kantor pemohon; dan/atau
f. permintaan tambahan dokumen.
(2) Dalam hal permohonan pada saat diterima tidak
memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima)
hari sejak diterimanya permohonan Otoritas Jasa
Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada
pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau
b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan
yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah
tanggal surat pemberitahuan.
(4) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen
yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dianggap membatalkan permohonan.
- 29 -
(5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin usaha
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek
kepada pemohon yang mengajukan permohonan izin
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16,
atau Pasal 17 paling lambat 45 (empat puluh lima) hari
sejak permohonan diterima secara lengkap dan
memenuhi persyaratan.
Bagian Kedua
Permohonan Kegiatan Lain
Pasal 19
Perusahaan Efek yang mempunyai izin usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang
melakukan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf b wajib memastikan
kegiatan lain dimaksud dan pelaksanaannya:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan; dan
b. didasarkan pada manajemen risiko yang memadai untuk
memitigasi risiko yang timbul.
Pasal 20
(1) Untuk melakukan kegiatan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf b,
Perusahaan Efek yang mempunyai izin usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Permohonan persetujuan kegiatan lain diajukan oleh
Perusahaan Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
rangkap 2 (dua) sesuai dengan surat permohonan
persetujuan kegiatan lain Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, disertai dengan:
a. penjelasan rencana pelaksanaan kegiatan lain
- 30 -
meliputi:
1. jenis, deskripsi, dan aktivitas kegiatan lain;
2. waktu pelaksanaan kegiatan lain;
3. tujuan pelaksanaan kegiatan lain, termasuk
target pasar dan target pendapatan dalam
1 (satu) tahun pertama;
4. keterkaitan kegiatan lain dengan strategi bisnis
perusahaan;
5. manfaat, biaya, dan risiko bagi perusahaan atas
kegiatan lain;
6. manfaat dan risiko bagi nasabah; dan
7. mitigasi risiko atas pelaksanaan kegiatan lain;
b. prosedur dan standar operasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf dd untuk
melaksanakan kegiatan lain;
c. dokumen yang memuat identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian terhadap risiko yang
melekat pada kegiatan lain;
d.
hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan
atas kegiatan lain;
e. dokumen atau konsep dokumen dalam rangka
transparansi kepada dan/atau dari nasabah yang
terkait dengan pelaksanaan kegiatan lain yang
paling sedikit meliputi perjanjian antara Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang
Efek dengan nasabah dan/atau pihak lain, brosur,
selebaran, Prospektus, dan/atau formulir aplikasi;
f. dokumen sistem informasi akuntansi termasuk
penjelasan singkat mengenai keterkaitan sistem
informasi akuntansi tersebut dengan sistem
informasi akuntansi Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek secara menyeluruh
dan/atau sistem pencatatan administrasi;
g. surat pernyataan atau dokumen yang menyatakan
kegiatan lain yang akan dilakukan oleh Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
- 31 -
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang
Efek tidak bertentangan dan dalam pelaksanaannya
akan dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan atau telah memperoleh
persetujuan atau izin dari instansi yang berwenang,
apabila aktivitas Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek dimaksud memerlukan
persetujuan dari otoritas tersebut; dan
h. kesiapan dan hasil uji coba Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek (jika ada)
atas kegiatan lain.
Pasal 21
(1) Dalam memproses permohonan persetujuan kegiatan lain
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek, Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b. klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka;
c. permintaan presentasi mengenai rencana kegiatan
lain perusahaan;
d. pemeriksaan di kantor pemohon; dan/atau
e. permintaan tambahan dokumen (jika diperlukan).
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (2) pada saat diterima tidak memenuhi
syarat kelengkapan dokumen, paling lambat 45 (empat
puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas
Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan
kepada pemohon yang menyatakan permohonan belum
memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen.
(3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen
yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima)
hari sejak tanggal surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap telah membatalkan
permohonan persetujuan atas kegiatan lain Penjamin
- 32 -
Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(4) Dalam hal permohonan persetujuan atas kegiatan lain
Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) tidak
memenuhi syarat paling lambat 45 (empat puluh lima)
hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap
Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan.
(5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atas
permohonan kegiatan lain kepada pemohon yang
mengajukan permohonan kegiatan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) paling lambat 45
(empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima
secara lengkap dan memenuhi persyaratan.
(6) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek harus melaksanakan kegiatan lain yang telah
disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
6 (enam) bulan sejak persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Dalam hal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek tidak melaksanakan kegiatan lain yang
telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dimaksud
menjadi tidak berlaku.
(8) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek wajib menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan
kegiatan lain yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa
Keuangan terhitung sejak tanggal kegiatan lain tersebut
sudah dimanfaatkan oleh nasabah dan/atau pihak lain,
- 33 -
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kegiatan lain
dimaksud dilaksanakan, yang meliputi:
a. jenis dan nama kegiatan lain;
b. tanggal mulai pelaksanaan kegiatan lain; dan
c. kesesuaian antara kegiatan lain yang dilaksanakan
dan persetujuan kegiatan lain yang diberikan
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
KEPEMILIKAN DAN PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Kepemilikan
Pasal 22
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki
sendiri maupun dimiliki oleh perseroan lain yang
sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah
dimiliki oleh Perusahaan Efek dimaksud.
(2) Larangan pengeluaran saham untuk dimiliki sendiri
maupun dimiliki oleh Perseroan lain yang sahamnya
secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh
Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku dalam hal pengeluaran saham Perusahaan
Efek dimaksud dilakukan dalam kedudukannya sebagai
Emiten kepada:
a. Perusahaan Efek lain, yang sahamnya secara
langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh
Perusahaan Efek dimaksud, yang melaksanakan
kewajiban pembelian saham dalam penjaminan
emisi Efek atas Penawaran Umum Efek bersifat
ekuitasnya; dan
b. Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau
tidak langsung telah dimiliki oleh Perusahaan Efek
dimaksud, yang melaksanakan:
- 34 -
1. konversi atas obligasi konversi Emiten yang
dimilikinya menjadi saham Emiten;
2. kewajiban pembelian saham sebagai pembeli
siaga dalam penerbitan Efek bersifat ekuitas;
atau
3. melaksanakan Hak Memesan Efek Terlebih
Dahulu, waran, atau hak lain yang lahir dari
saham yang dimilikinya karena huruf a dan
huruf b angka 1 dan angka 2.
(3) Saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek tidak dilarang dimiliki oleh Perusahaan Efek lain
yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung
dimiliki oleh Perusahaan Efek dimaksud karena
kepemilikan yang timbul dari pembelian saham di pasar
sekunder.
Pasal 23
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek merupakan Perusahaan Efek nasional, jika seluruh
sahamnya dimiliki oleh orang perseorangan warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek merupakan Perusahaan Efek patungan, jika
sahamnya dimiliki oleh orang perseorangan warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia dan badan
hukum asing yang bergerak di bidang keuangan.
Pasal 24
(1) Saham Perusahaan Efek patungan yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) dapat dimiliki oleh badan hukum asing
yang bergerak di sektor jasa keuangan selain sekuritas
paling banyak 85% (delapan puluh lima persen) dari
- 35 -
modal disetor.
(2) Saham Perusahaan Efek patungan yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) dapat dimiliki oleh badan hukum asing
yang bergerak di bidang sekuritas yang telah memperoleh
izin atau di bawah pengawasan regulator Pasar Modal di
negara asalnya paling banyak 99% (sembilan puluh
sembilan persen) dari modal disetor.
Pasal 25
(1) Dalam hal Perusahaan Efek nasional atau patungan yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek melakukan Penawaran
Umum sahamnya, saham Perusahaan Efek nasional atau
patungan tersebut dapat dimiliki seluruhnya oleh orang
perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum
Indonesia, orang perseorangan warga negara asing, atau
badan hukum asing.
(2) Badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa badan hukum asing yang tidak bergerak
di bidang keuangan.
Pasal 26
(1) Kepemilikan saham Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek
oleh badan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan
Pasal 25 paling banyak sebesar:
a. ekuitas badan hukum yang berbentuk Perseroan
Terbatas; atau
b. setara ekuitas untuk badan hukum yang berbentuk
koperasi atau badan hukum lainnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan
melakukan penyetoran modal:
a. dalam pendirian Perusahaan Efek yang melakukan
- 36 -
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek; atau
b. dalam peningkatan modal disetor Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) huruf b tidak berlaku bagi pemegang saham yang
bukan Pemegang Saham Pengendali dari Perusahaan
Efek yang merupakan Emiten atau Perusahaan Publik.
Pasal 27
(1) Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan
saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek dilarang berasal:
a.
dari pinjaman atau utang dalam bentuk apapun dari
pihak manapun; dan/atau
b. dari dan untuk tujuan pencucian uang dan/atau
pendanaan terorisme.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tidak berlaku bagi pemegang saham yang bukan
Pemegang Saham Pengendali dari Perusahaan Efek yang
merupakan Emiten atau Perusahaan Publik.
Bagian Kedua
Pengendalian
Pasal 28
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang
menjadi pemegang saham Bursa Efek dan afiliasinya baik
sendiri maupun bersama dilarang mempunyai hubungan
dengan Perusahaan Efek lain yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek
yang juga menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama
melalui:
- 37 -
a. kepemilikan, baik langsung maupun tidak langsung, 20%
(dua puluh persen) atau lebih saham Perusahaan Efek
lain dimaksud yang mempunyai hak suara; atau
b. pengendalian di bidang pengelolaan dan/atau kebijakan
Perusahaan Efek lain dimaksud, baik langsung maupun
tidak langsung.
Pasal 29
Pengendalian atas Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b ada
apabila memenuhi salah satu kondisi berikut:
a. mempunyai hak suara lebih dari 20% (dua puluh persen)
baik dengan kepemilikan saham sendiri dan afiliasinya
maupun bersama dengan pihak lain;
b. mempunyai hak untuk mengatur dan menentukan
kebijakan finansial dan operasional Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek berdasarkan anggaran
dasar atau perjanjian;
c. mampu menunjuk atau memberhentikan anggota Direksi
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek; atau
d. mampu menguasai suara mayoritas dalam rapat Direksi.
Pasal 30
(1) Setiap perubahan modal disetor Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek kecuali penambahan
modal disetor yang timbul karena pembagian saham
bonus, wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Persetujuan perubahan modal disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berupa penambahan modal
disetor wajib dimohonkan Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa
- 38 -
Keuangan dengan disertai dokumen paling sedikit:
a. bukti pendukung yang menunjukkan kemampuan
keuangan pemegang saham yang melakukan
penambahan setoran modal;
b. bukti setoran modal;
c. keterangan beserta bukti sumber dana; dan
d. rekening koran perusahaan yang menunjukkan
penambahan setoran modal;
(3) Persetujuan perubahan modal disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berupa pengurangan modal
disetor wajib dimohonkan Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebelum diajukan permohonan persetujuan
kepada Menteri yang berwenang dengan disertai
dokumen paling sedikit:
a. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa
pengurangan modal disetor tidak mengganggu
kegiatan operasional perusahaan;
b.
hasil audit Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan yang menyatakan pengurangan modal
disetor tidak mengganggu kegiatan operasional
perusahaan;
c. keterangan mengenai alasan pengurangan modal;
d. bukti persetujuan kreditor atas keputusan Rapat
Umum Pemegang Saham mengenai pengurangan
modal; dan
e. bukti pengumuman hasil Rapat Umum Pemegang
Saham tentang pengurangan modal dalam 1 (satu)
surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
berperedaran nasional.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan data
dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan
persetujuan perubahan modal disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3).
(5) Perubahan modal disetor Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
- 39 -
atau Perantara Pedagang Efek yang timbul karena
pembagian saham bonus wajib dilaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 31
(1) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan perubahan modal disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan penelaahan dan penelitian untuk
menilai pemenuhan persyaratan integritas, dan
kelayakan keuangan calon pemegang saham, calon
Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham,
dan/atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan dokumen yang
disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(2) atau ayat (3).
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (2) atau ayat (3) pada saat diterima tidak
memenuhi syarat kelengkapan dokumen paling lambat
45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya
permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
permohonan belum memenuhi persyaratan kelengkapan
dokumen.
(3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen
yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima)
hari sejak tanggal surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap telah membatalkan
permohonan persetujuan perubahan modal disetor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) atau
ayat (3).
(4) Dalam hal permohonan persetujuan atas perubahan
modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (2) atau ayat (3) tidak memenuhi syarat, paling
lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya
permohonan secara lengkap, Otoritas Jasa Keuangan
memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang
- 40 -
menyatakan permohonan ditolak karena tidak memenuhi
syarat.
(5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan
permohonan atas perubahan modal disetor kepada
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) atau
ayat (3) paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak
permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi
persyaratan.
(6) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek yang permohonan perubahan modal disetornya
disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib melaporkan
perubahan modal disetornya dengan melampirkan:
a. perubahan anggaran dasar terkait penambahan
modal disetor beserta surat atau bukti penerimaan
pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari
Menteri yang berwenang; atau
b. perubahan anggaran dasar terkait pengurangan
modal disetor beserta surat atau bukti persetujuan
perubahan anggaran dasar dari Menteri yang
berwenang.
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak
berlaku jika Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek telah melakukan Penawaran Umum Efek
bersifat ekuitas atau Perusahaan Publik.
Bagian Ketiga
Perubahan Pemegang Saham atau Pemegang Saham
Pengendali
Pasal 32
(1) Setiap perubahan pemegang saham dan/atau Pemegang
Saham Pengendali dari Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
- 41 -
Perantara Pedagang Efek wajib terlebih dahulu mendapat
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek merupakan Emiten atau Perusahaan
Publik, kewajiban memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk perubahan
Pemegang Saham Pengendali.
(3) Permohonan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2)
diajukan oleh calon pemegang saham, calon Pemegang
Saham Pengendali, pemegang saham, dan/atau
Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa
Keuangan melalui Perusahaan Efek dimaksud.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
disertai dokumen terkait calon pemegang saham, calon
Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham,
dan/atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f, huruf g,
huruf n, huruf v, huruf w, huruf aa, dan huruf ff.
(5) Jika calon pemegang saham atau pemegang saham
Perusahaan Efek yang menjadi pemegang saham Bursa
Efek yang sama dengan Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau
Perantara Pedagang Efek dimana yang
bersangkutan memohon persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan sebagai pemegang saham berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, selain dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disertai pula
surat pernyataan yang menyatakan:
a. yang bersangkutan dan afiliasinya tidak memiliki
saham 20% (dua puluh persen) atau lebih; dan
- 42 -
b. yang bersangkutan tidak mempunyai pengendalian
baik langsung maupun tidak langsung di bidang
pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan,
pada Perusahaan Efek lain yang menjadi pemegang
saham Bursa Efek yang sama dengan Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek atau Perantara Pedagang Efek dimana yang
bersangkutan memohon persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan sebagai pemegang saham berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(6) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan data
dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan
persetujuan perubahan pemegang saham dan/atau
Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 33
(1) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(3), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan dan
penelitian untuk menilai calon pemegang saham, calon
Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham,
dan/atau Pemegang Saham Pengendali memenuhi
persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan sebagai
pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali
Perusahaan Efek sebagaimana diatur dalam Pasal 13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (3) pada saat diterima tidak memenuhi
syarat kelengkapan dokumen, paling lambat 45 (empat
puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas
Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan
kepada pemohon yang menyatakan permohonan belum
memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen.
(3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen
yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima)
hari sejak tanggal surat pemberitahuan sebagaimana
- 43 -
dimaksud pada ayat (2) dianggap telah membatalkan
permohonan persetujuan atas perubahan pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3).
(4) Dalam hal permohonan persetujuan atas perubahan
pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) tidak
memenuhi syarat paling lambat 45 (empat puluh lima)
hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap,
Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan.
(5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan
permohonan atas perubahan pemegang saham atau
Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (3) setelah calon pemegang saham,
calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham,
dan/atau Pemegang Saham Pengendali memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 paling lambat 45
(empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan
persetujuan perubahan pemegang saham atau Pemegang
Saham Pengendali secara lengkap.
Bagian Keempat
Kepemilikan Silang Akibat Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pasal 34
(1) Jika Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
Penjamin Emisi Efek yang merupakan pemegang saham
Bursa Efek melakukan penjaminan emisi Efek atas
Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dari Emiten
berupa Perusahaan Efek yang juga merupakan pemegang
saham Bursa Efek yang sama, maka jumlah keseluruhan
kepemilikan saham Emiten tersebut baik langsung
maupun tidak langsung termasuk kepemilikan karena
pelaksanaan penjaminan oleh Perusahaan Efek yang
melakukan penjaminan dimaksud, wajib memenuhi
- 44 -
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf a.
(2) Kepemilikan saham Emiten oleh Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha Penjamin Emisi Efek sebagai
pelaksanaan penjaminan emisi Efek dalam Penawaran
Umum Efek bersifat ekuitas dari Emiten yang memiliki
saham Penjamin Emisi Efek tersebut baik secara
langsung maupun tidak langsung, wajib dialihkan
kepada pihak lain dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah tanggal perolehan.
Pasal 35
(1) Jika Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
Penjamin Emisi Efek yang merupakan pemegang saham
Bursa Efek bertindak sebagai pembeli siaga atas Efek
bersifat ekuitas dari Emiten berupa Perusahaan Efek
yang juga merupakan pemegang saham Bursa Efek yang
sama, maka kepemilikan saham Emiten tersebut baik
langsung maupun tidak langsung oleh Perusahaan Efek
yang bertindak sebagai pembeli siaga dimaksud wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28
huruf a.
(2) Kepemilikan saham Emiten oleh Perusahaan Efek sebagai
pelaksanaan pembeli siaga atas Efek bersifat ekuitas dari
Emiten yang memiliki saham Perusahaan Efek tersebut
baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib
dialihkan kepada pihak lain dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun setelah tanggal perolehan.
Pasal 36
(1) Kepemilikan silang bagi Perantara Pedagang Efek yang
merupakan Anggota Bursa Efek tidak dilarang sebagai
akibat dari pelaksanaan kegiatan sebagai agen stabilisasi
dari Emiten yang merupakan Perusahaan Efek Anggota
Bursa Efek yang sama dengan mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf a.
(2) Dalam hal terjadi kepemilikan silang sebagai akibat
pelaksanaan stabilisasi, Perantara Pedagang Efek yang
- 45 -
bertindak sebagai agen stabilisasi wajib mengalihkan
kepemilikan atas saham tersebut kepada pihak lain
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal
perolehan.
Pasal 37
(1) Ketentuan larangan kepemilikan saham yang dikeluarkan
oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek untuk diri sendiri atau peralihan saham yang
mengakibatkan kepemilikan silang bagi Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku jika pemilikan saham tersebut diperoleh
berdasarkan:
a. peralihan karena hukum yang meliputi peralihan
hak yang timbul sebagai akibat penggabungan,
peleburan, atau pemisahan;
b. hibah; atau
c. hibah wasiat.
(2) Saham yang diperoleh berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dialihkan
kepada pihak lain dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah tanggal perolehan.
(3) Saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek yang dimiliki sendiri sebagai akibat peralihan
karena hukum, hibah, atau hibah wasiat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki hak suara, tidak
diperhitungkan dalam menentukan jumlah kuorum
Rapat Umum Pemegang Saham, dan tidak berhak
mendapat pembagian dividen.
Pasal 38
Saham yang dimiliki Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
- 46 -
Pedagang Efek yang mengakibatkan kepemilikan silang, tidak
memiliki hak suara, tidak diperhitungkan dalam menentukan
jumlah kuorum Rapat Umum Pemegang Saham, dan tidak
berhak mendapat pembagian dividen.
BAB V
ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Persyaratan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 39
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek yang menjadi Anggota Bursa Efek wajib memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
(2) Seorang diantara anggota Direksi Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek wajib ditetapkan sebagai
direktur utama Perusahaan Efek dimaksud.
(3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota
Dewan Komisaris.
(4) Dalam hal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek merupakan Emiten atau Perusahaan
Publik, persyaratan jumlah anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris wajib memenuhi ketentuan peraturan
yang mengatur tentang Emiten atau Perusahaan Publik.
Pasal 40
(1) Anggota Direksi Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek wajib memiliki izin orang
perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau
Wakil Perantara Pedagang Efek.
- 47 -
(2) Dalam hal izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau
Wakil Perantara Pedagang Efek yang dimiliki oleh anggota
Direksi telah habis masa berlakunya dan belum
mendapatkan persetujuan perpanjangan izin dari
Otoritas Jasa Keuangan, anggota Direksi dimaksud tidak
dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang
sebagai anggota Direksi sampai anggota Direksi
mendapatkan persetujuan perpanjangan izin dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Dalam hal izin orang perseorangan Wakil Penjamin Emisi
Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek dari anggota
Direksi yang merupakan penanggung jawab kegiatan
usaha Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek
atau Penjamin Emisi Efek dicabut, Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek wajib mengganti anggota
Direksi yang menjadi penanggung jawab kegiatan usaha
dimaksud dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
(4) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek wajib memiliki paling sedikit
1 (satu) anggota Direksi yang memiliki izin Wakil
Penjamin Emisi Efek sebagai penanggung jawab atas
kegiatan tersebut.
(5) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek wajib memiliki paling
sedikit 1 (satu) anggota Direksi yang memiliki izin Wakil
Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang
Efek sebagai penanggung jawab atas kegiatan tersebut.
Pasal 41
(1) Masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris Perusahaan Efek wajib berakhir dengan
sendirinya apabila:
a. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
b. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau
direktur yang dinyatakan bersalah atau turut
bersalah menyebabkan suatu perusahaan
- 48 -
dinyatakan pailit;
c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang
merugikan keuangan negara dan/atau yang
berkaitan dengan sektor keuangan;
d. berhalangan tetap;
e. meninggal dunia;
f.
dinyatakan tidak memenuhi persyaratan integritas
oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
g. dicabut izin orang perseorangannya sebagai Wakil
Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang
Efek oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau
Wakil Perantara Pedagang Efek yang dimiliki oleh anggota
Direksi dibekukan sementara, anggota Direksi dimaksud
tidak dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang
sebagai anggota Direksi sampai izin Wakil Penjamin
Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek
anggota Direksi berlaku kembali.
(3) Dalam hal terjadi kekosongan atas seluruh anggota
Direksi Perusahaan Efek karena sebab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) maka:
a. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek dibatasi kegiatan usahanya; dan
b. pengurusan Perusahaan Efek dijalankan oleh Dewan
Komisaris hingga diangkatnya anggota Direksi yang
baru oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 42
(1) Anggota Direksi Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek dilarang bekerja pada
perusahaan atau institusi lain dalam jabatan apapun
kecuali sebagai anggota Dewan Komisaris Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
- 49 -
(2) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek dilarang bekerja dalam
jabatan apapun pada Perusahaan Efek lain yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek,
Perantara Pedagang Efek, atau Manajer Investasi.
Pasal 43
Anggota Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek wajib berdomisili di Indonesia.
Pasal 44
(1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek wajib mengikuti program pendidikan berkelanjutan
paling sedikit 1 (satu) kali dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun.
(2) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib
melaporkan keikutsertaan dalam pendidikan
berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dokumen
pendukung paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal sertifikat atau piagam bukti keikutsertaan
pendidikan berkelanjutan diterima oleh anggota Direksi
dan anggota Dewan Komisaris.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pemenuhan persyaratan melampirkan dokumen telah
mengikuti pendidikan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris mulai
berlaku jika telah terdapat asosiasi atau pihak lain yang
telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa
Keuangan untuk menyelenggarakan pendidikan khusus
di bidang Pasar Modal.
- 50 -
Bagian Kedua
Perubahan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 45
(1) Setiap perubahan anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek wajib terlebih dahulu mendapat
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui Perusahaan
Efek dimaksud.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
disertai nama calon anggota Direksi dan dokumen terkait
dengan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e, huruf o, huruf p, huruf
q, huruf r, huruf s, huruf t, huruf aa, huruf ff, dan
ayat (2) serta keterangan tentang tugas dan fungsi yang
akan menjadi tanggung jawabnya.
(4) Penyampaian permohonan perubahan anggota Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
disertai nama calon anggota Dewan Komisaris dan
dokumen terkait dengan yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e, huruf o, huruf
q, huruf r, huruf s, huruf aa, huruf ff, dan ayat (2) serta
keterangan tentang tugas dan fungsi yang akan menjadi
tanggung jawabnya.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan data
dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan
perubahan anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
- 51 -
Pasal 46
(1) Dalam memberikan surat persetujuan atau penolakan
atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan
dan penelitian untuk menilai calon anggota Direksi, calon
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau
anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
dan/atau Perantara Pedagang Efek, memenuhi
persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan sebagai
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
Perusahaan Efek dimaksud sebagaimana diatur dalam
Pasal 14 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2) pada saat diterima tidak memenuhi
syarat kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (3) atau ayat (4), paling lambat 45
(empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima,
Otoritas
Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan
permohonan belum memenuhi persyaratan kelengkapan
dokumen.
(3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen
yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima)
hari sejak tanggal surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap telah membatalkan
permohonan persetujuan atas perubahan anggota Direksi
atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2).
(4) Dalam hal permohonan persetujuan atas perubahan
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) tidak
memenuhi persyaratan integritas, reputasi keuangan,
dan/atau kompetensi dan keahlian di bidang Pasar
Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 paling
lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya
permohonan secara lengkap, Otoritas Jasa Keuangan
- 52 -
memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang
menyatakan permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan
permohonan atas perubahan anggota Direksi atau
anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2) setelah calon anggota Direksi, calon
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau
anggota Dewan Komisaris memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 paling lambat 45 (empat puluh
lima) hari sejak diterimanya permohonan persetujuan
perubahan anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris secara lengkap.
BAB VI
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Bagian Kesatu
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Pemegang Saham dan
Pemegang Saham Pengendali
Pasal 47
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemegang
saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang
saham, atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek untuk menilai
pemenuhan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal
13 ayat (1).
(2) Otoritas
Jasa Keuangan melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemegang
saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang
saham, atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pada:
- 53 -
a. saat permohonan izin usaha Perusahaan Efek atau
perubahan pemegang saham dan/atau Pemegang
Saham Pengendali Perusahaan Efek; atau
b. setiap waktu dalam rangka penilaian kembali atas
pemenuhan persyaratan pemegang saham atau
Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek.
(3) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menilai
pemenuhan calon pemegang saham, calon Pemegang
Saham Pengendali, pemegang saham, atau Pemegang
Saham Pengendali terhadap persyaratan integritas dan
kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13.
(4) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon
pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali,
pemegang saham, atau Pemegang Saham Pengendali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penelitian administratif; dan/atau
b. klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka.
Pasal 48
Dalam hal calon pemegang saham, calon Pemegang Saham
Pengendali, pemegang saham, atau Pemegang Saham
Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek
berbentuk badan hukum, penilaian kemampuan dan
kepatutan calon pemegang saham, calon Pemegang Saham
Pengendali, pemegang saham, atau Pemegang Saham
Pengendali berbentuk badan hukum tersebut dilakukan
terhadap badan hukum yang bersangkutan dan
pengurusnya serta pihak yang berdasarkan penelaahan
Otoritas Jasa Keuangan merupakan pemegang saham
dan/atau Pemegang Saham Pengendali, baik langsung
maupun tidak langsung dari badan hukum tersebut.
- 54 -
Bagian Kedua
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Anggota Direksi dan
Anggota Dewan Komisaris
Pasal 49
(1) Otoritas
Jasa Keuangan melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota
Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek untuk menilai pemenuhan
persyaratan yang telah ditetapkan sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 ayat (1).
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada:
a. saat pengajuan permohonan izin usaha Perusahaan
Efek atau perubahan anggota Direksi atau Dewan
Komisaris Perusahaan Efek; atau
b. setiap waktu dalam rangka penilaian kembali
pemenuhan persyaratan anggota Direksi atau
Dewan Komisaris Perusahaan Efek.
(3) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon
anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
penelitian administratif; dan/atau
b. klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka.
Bagian Ketiga
Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 50
(1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang
dilakukan Otoritas Jasa Keuangan atas calon pemegang
saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang
saham, dan Pemegang Saham Pengendali dan calon
- 55 -
anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, dan anggota Dewan Komisaris, telah atau tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) disampaikan
Otoritas Jasa Keuangan kepada Perusahaan Efek dengan
ketentuan sebagai berikut:
a.
hasil penilaian kemampuan dan kepatutan atas
pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali,
anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris
dalam permohonan izin usaha sebagai Perusahaan
Efek menjadi satu bagian dari pemberian atau
penolakan permohonan izin usaha sebagai
Perusahaan Efek oleh Otoritas Jasa Keuangan;
b.
hasil penilaian kemampuan dan kepatutan atas
calon pemegang saham atau calon Pemegang Saham
Pengendali dalam permohonan perubahan pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali dan calon
anggota anggota Direksi atau calon anggota Dewan
Komisaris dalam permohonan perubahan anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris menjadi
satu bagian dari jawaban Otoritas Jasa Keuangan
atas permohonan persetujuan perubahan pemegang
saham dan Pemegang Saham Pengendali dan
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5) dan
Pasal 46 ayat (5); dan
c. hasil penilaian kemampuan dan kepatutan atas:
1.
pemegang saham dan Pemegang Saham
Pengendali yang dilakukan setiap waktu oleh
Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penilaian kembali pemenuhan persyaratan
pemegang saham dan Pemegang Saham
Pengendali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (2) huruf b; atau
2.
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
yang dilakukan setiap waktu oleh Otoritas
Jasa Keuangan dalam rangka penilaian
- 56 -
kembali pemenuhan persyaratan anggota
Direksi atau anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat (2)
huruf b,
disampaikan Otoritas Jasa Keuangan kepada
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek apabila pemegang saham, Pemegang
Saham Pengendali, anggota Direksi, atau anggota
Dewan Komisaris tidak memenuhi lagi persyaratan
pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali,
anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) atau
Pasal 14 ayat (1).
(2) Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek hanya dapat mengangkat
calon anggota Direksi atau calon anggota Dewan
Komisaris yang telah memperoleh persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan menjadi anggota Direksi atau
anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud,
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tanggal persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (5).
(3) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham belum
melaksanakan pengangkatan calon anggota Direksi atau
calon anggota Dewan Komisaris menjadi anggota Direksi
atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek
dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) menjadi tidak berlaku.
(4) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atas perubahan
permohonan pemegang saham atau Pemegang Saham
Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(5) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
persetujuan dimaksud batal dengan sendirinya apabila
tidak terdapat perubahan pemegang saham atau
- 57 -
Pemegang Saham Pengendali sebagaimana yang
dimohonkan oleh Perusahaan Efek.
(5) Perusahaan Efek wajib menyampaikan laporan
perubahan pemegang saham atau Pemegang Saham
Pengendali kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah terdapat
perubahan pemegang saham atau Pemegang Saham
Pengendali disertai dengan daftar pemegang saham
terakhir; atau
b. paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak batalnya
permohonan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan
daftar pemegang saham terakhir.
(6) Perusahaan Efek wajib menyampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan hasil Rapat Umum Pemegang Saham
tentang pengangkatan atau pembatalan pengangkatan
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud ayat (2) paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham disertai dengan ringkasan risalah atau
risalah Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 51
(1) Calon pemegang saham atau calon Pemegang Saham
Pengendali Perusahaan Efek dilarang melakukan
tindakan hukum sebagai pemegang saham atau
Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek.
(2) Pihak yang telah menjadi pemegang saham atau
Pemegang Saham Pengendali namun kemudian belum
atau tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. dilarang melakukan tindakan sebagai pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali;
- 58 -
b. tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang
saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan
dalam kuorum Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai perseroan terbatas;
dan
c. pihak yang bersangkutan tidak berhak
mendapatkan pembayaran deviden.
Pasal 52
(1) Calon anggota Direksi atau calon anggota Dewan
Komisaris Perusahaan Efek dilarang melakukan tindakan
hukum sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris Perusahaan Efek.
(2) Orang perseorangan yang telah diangkat Rapat Umum
Pemegang Saham menjadi anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris Perusahaan Efek namun belum
dinyatakan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dalam bentuk
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atau dinyatakan
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) oleh Otoritas Jasa Keuangan
dilarang melakukan tindakan hukum sebagai anggota
Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek.
(3) Orang perseorangan yang telah diangkat Rapat Umum
Pemegang Saham menjadi anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris Perusahaan Efek dan telah dinyatakan
memenuhi persyaratan anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris namun kemudian dinyatakan oleh
Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dilarang
melakukan tindakan hukum sebagai anggota Direksi
atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek.
- 59 -
Pasal 53
Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
juga berlaku bagi setiap Pihak yang ditetapkan Otoritas Jasa
Keuangan tidak memenuhi syarat integritas sebagai pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali, dimana yang
bersangkutan telah menjadi pemegang saham, Pemegang
Saham Pengendali, anggota Direksi, atau anggota Dewan
Komisaris pada Perusahaan Efek yang bersangkutan atau
Perusahaan Efek lain.
Pasal 54
Calon pemegang saham atau calon Pemegang Saham
Pengendali dan calon anggota Direksi atau calon anggota
Dewan Komisaris yang tidak memenuhi persyaratan selain
persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2) atau Pasal 14 ayat (2) dapat mengajukan permohonan
kembali paling cepat 6 (enam) bulan setelah tanggal surat
pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan yang menerangkan
bahwa calon pemegang saham atau calon Pemegang Saham
Pengendali dan calon anggota Direksi atau calon anggota
Dewan Komisaris tidak memenuhi persyaratan.
BAB VII
KEWAJIBAN LANJUTAN
Pasal 55
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan setiap perubahan berkaitan dengan:
a.
identitas perseroan, yang paling sedikit meliputi
nama, alamat kantor pusat dan operasional, atau
logo;
b. anggaran dasar perseroan;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak perseroan (NPWP);
d.
e.
Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA);
perjanjian usaha patungan bagi Perusahaan Efek
- 60 -
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek
patungan;
f.
keterangan terkait dengan alamat kantor pusat dan
operasional yang berubah dan sistem pengendalian
internal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek;
g. struktur organisasi dan uraian tugas pegawai;
h. penerimaan dan/atau pengunduran diri Wakil
Perusahaan Efek;
i.
j.
penerimaan dan/atau pengunduran diri pimpinan
unit kerja, atau pejabat setingkat di bawah anggota
Direksi yang menjalankan fungsi kepatuhan; dan
prosedur dan standar operasi perseroan.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi perubahan
tersebut.
Pasal 56
(1) Dalam hal perubahan nama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a, Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib memastikan
persetujuan perubahan anggaran dasar yang terkait
dengan perubahan nama perseroan telah diberikan oleh
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan perubahan nama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a wajib diumumkan dalam:
a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional;
dan
b. situs Perusahaan Efek (jika ada);
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal
persetujuan perubahan anggaran dasar terkait
penggunaan nama baru dari instansi berwenang.
- 61 -
(3) Pelaporan perubahan nama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a wajib disertai dengan:
a. alasan perubahan nama;
b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui
oleh instansi berwenang;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek yang baru; dan
d. bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Pasal 57
(1) Dalam hal masa jabatan anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris berakhir dengan sendirinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1),
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah peristiwa dimaksud diketahui.
(2) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris mengundurkan diri atau diberhentikan,
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah peristiwa dimaksud diketahui.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat menunda pengunduran
diri atau pemberhentian anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
dan/atau Perantara Pedagang Efek.
Pasal 58
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
- 62 -
Pedagang Efek wajib menjadi anggota asosiasi yang
mewadahi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek yang telah mendapatkan pengakuan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas paling sedikit meliputi:
a. menyusun kode etik anggota dalam rangka
memelihara terciptanya persaingan pasar yang
sehat;
b. melaksanakan pendidikan berkelanjutan bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; dan
c. melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan
lainnya.
(3) Asosiasi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus
melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
ayat (2) setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai asosiasi yang mewadahi
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 59
(1) Dalam hal pegawai di unit kerja, anggota Direksi, atau
pejabat setingkat di bawah Direksi yang menjalankan
fungsi kepatuhan Perusahaan Efek dikenakan sanksi
internal, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek wajib memberitahukan kepada Otoritas
Jasa Keuangan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah pemberian sanksi.
(2) Pegawai di unit kerja, anggota Direksi, atau pejabat
setingkat di bawah Direksi yang menjalankan fungsi
kepatuhan Perusahaan Efek tidak dapat diberhentikan
karena melaporkan pelanggaran ketentuan di sektor jasa
- 63 -
keuangan yang dilakukan oleh Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 60
Dalam hal penyampaian kewajiban dan/atau laporan
berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini jatuh pada
hari libur, kewajiban tersebut wajib disampaikan pada hari
kerja berikutnya.
BAB VIII
PENCABUTAN IZIN USAHA DAN PEMBATALAN
PERSETUJUAN KEGIATAN LAIN
Bagian Kesatu
Pencabutan Izin Usaha
Pasal 61
Izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek
dapat dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan atas
hal-hal sebagai berikut:
a.
Izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek dikembalikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan;
b. pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal;
c. putusan badan peradilan;
d. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek bubar;
e. kantor Perusahaan Efek tidak ditemukan; dan/atau
f. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek tidak melakukan kegiatan utama sebagaimana
- 64 -
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a dan ayat (5)
huruf a dalam jangka waktu 2 (dua) tahun berturut-
turut.
Pasal 62
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang akan
mengembalikan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a wajib:
a. mengumumkan rencana pengembalian izin usaha beserta
mekanisme penyelesaian seluruh hak dan kewajiban
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek
kepada nasabah paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar
harian berbahasa Indonesia berperedaran nasional dan
dalam situs web Perusahaan Efek (jika ada);
b. mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang
Saham;
c. menyelesaikan hak dan kewajiban Penjamin Emisi Efek
dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada nasabah; dan
d. menyelesaikan seluruh kewajiban bersifat finansial
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 63
Pengembalian izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal
61 huruf a wajib diajukan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek secara tertulis kepada Otoritas Jasa
Keuangan disertai dokumen, data, dan informasi sebagai
berikut:
a. keterangan mengenai alasan pengembalian izin usaha;
b. keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang
menyetujui pengembalian izin usaha tersebut;
c. Surat Keputusan tentang Pemberian Izin Usaha
Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan yang
dikembalikan;
d. bukti pengumuman tentang rencana pengembalian izin
- 65 -
usaha paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian
berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional dan
situs web Perusahaan Efek (jika ada) yang paling sedikit
memuat mekanisme penyelesaian seluruh hak dan
kewajiban Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek kepada nasabah; dan
e. laporan tentang data penyelesaian hak dan kewajiban
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek
kepada nasabah beserta dokumen pendukungnya.
Pasal 64
Jika Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek
merupakan Emiten Efek bersifat ekuitas atau Perusahaan
Publik, pelaksanaan pengembalian izin usahanya wajib
memperhatikan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait
Emiten dan Perusahaan Publik.
Bagian Kedua
Pembatalan Persetujuan Kegiatan Lain
Pasal 65
Persetujuan kegiatan lain Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek dapat dibatalkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
berdasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
a. Persetujuan kegiatan lain Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek dikembalikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan;
b. pelanggaran terhadap perundang-undangan di sektor
Pasar Modal;
c. putusan badan peradilan;
d. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf b sudah tidak lagi
- 66 -
melakukan kegiatan lain dimaksud dalam jangka waktu
2 (dua) tahun berturut-turut; atau
e.
izin usaha Perusahaan Efek dicabut oleh Otoritas Jasa
Keuangan berdasarkan hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61.
Pasal 66
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang
akan mengembalikan persetujuan kegiatan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 huruf a, wajib:
a. mengumumkan rencana pengembalian izin kegiatan lain
beserta mekanisme penyelesaian seluruh hak dan
kewajiban Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek kepada nasabah paling sedikit pada 1
(satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia
berperedaran nasional; atau
b. mengumumkan rencana pengembalian izin kegiatan lain
dalam situs web Perusahaan Efek (jika ada).
Pasal 67
Pengembalian persetujuan kegiatan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 huruf a wajib diajukan oleh
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek secara
tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dokumen,
data, dan informasi sebagai berikut;
a. keterangan mengenai alasan pengembalian persetujuan
kegiatan lain;
b. surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan kegiatan lain; dan
c. bukti pengumuman tentang rencana pengembalian
persetujuan kegiatan lain paling sedikit pada 1 (satu)
surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
berperedaran nasional atau situs web Perusahaan Efek
(jika ada).
- 67 -
Pasal 68
Perusahaan Efek yang memiliki lebih dari 1 (satu) izin usaha
dan bermaksud mengembalikan salah satu dari izin usaha
yang
dimilikinya, dapat
pengembalian salah satu izin usaha tersebut.
Pasal 69
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai
Perantara Pedagang Efek yang Mengadministrasikan
Rekening Efek Nasabah sedang dalam proses
permohonan pengembalian izin usaha kepada Otoritas
Jasa Keuangan dapat meminta Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian untuk membekukan sub rekening Efek
nasabah Perusahaan Efek dimaksud dengan tembusan
kepada Bursa Efek.
(2) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang meminta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
untuk membekukan sub rekening Efek nasabah wajib
memberitahukan kepada seluruh nasabah untuk
memindahkan Efek dari rekening Efeknya pada
Perusahaan Efek tersebut ke rekening Efeknya di
Kustodian lain.
(3) Dalam hal nasabah tidak memberikan perintah tertulis
pemindahan Efek dari rekening Efeknya pada
Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke
rekening Efeknya di Kustodian, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang memerintahkan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian untuk memindahkan Efek dalam sub
rekening Efek nasabah tersebut ke rekening
penampungan di Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian untuk keperluan penyelesaian Efek
nasabah.
Pasal 70
(1) Perusahaan Efek yang memiliki izin yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek yang
sekaligus sebagai izin usaha Perantara Pedagang Efek,
mengajukan permohonan
- 68 -
dapat mengembalikan izin usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek tanpa mengembalikan izin usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek yang melekat pada izin usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek tersebut.
(2) Izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang melekat
pada izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek tersebut
tetap dapat dimiliki oleh Perusahaan Efek sepanjang
Perusahaan Efek masih memenuhi persyaratan sebagai
Perantara Pedagang Efek sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Otoritas Jasa Keuangan akan memberikan izin usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek kepada Perusahaan
Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
menggantikan izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
yang sekaligus sebagai izin usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 71
Jika Perusahaan Efek dicabut izin usahanya dan
mengakibatkan Perusahaan Efek dimaksud tidak lagi memiliki
izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek, Perusahaan Efek dimaksud dilarang
menggunakan nama dan logo perusahaan untuk tujuan dan
kegiatan apapun, selain untuk kegiatan yang berkaitan
dengan pembubaran perseroan dimaksud.
Pasal 72
(1) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik permohonan Izin Perusahaan Efek
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek, permohonan Izin Perusahaan Efek
dimaksud dapat diajukan melalui sistem elektronik
tersebut.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik permohonan persetujuan perubahan
modal disetor, perubahan pemegang saham dan/atau
Pemegang Saham Pengendali, perubahan anggota Direksi
- 69 -
atau anggota Dewan Komisaris, permohonan persetujuan
perubahan dimaksud dapat diajukan melalui sistem
elektronik tersebut.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 73
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek yang memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini wajib:
a. menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur
tertulis berkaitan dengan hasil riset agar riset yang
dilakukan oleh analis Perusahaan Efek untuk
mendukung pengambilan keputusan investasi
perusahaan, memberikan setiap informasi, nasihat,
dan rekomendasi kepada nasabah, dan/atau
disebarluaskan kepada masyarakat, bersifat
independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
dan
b. menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis
sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada
Otoritas Jasa Keuangan,
paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek
wajib melakukan penyesuaian identitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling lambat 1
(satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek yang sudah melakukan kegiatan lain sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib
- 70 -
menyesuaikan dengan ketentuan perihal kegiatan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan
Pasal 21 dalam waktu 6 (enam) bulan sejak berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(4) Larangan sumber dana yang digunakan dalam rangka
kepemilikan Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan dalam bentuk apapun dari pihak lain
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a
berlaku 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(5) Ketentuan pendidikan berkelanjutan sebagaimana
dimaksud Pasal 44 berlaku sesuai Peraturan atau Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan terkait Pendidikan
Berkelanjutan.
BAB X
KETENTUAN SANKSI
Pasal 74
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f.
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pembatalan persetujuan; dan
- 71 -
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 75
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 76
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 kepada masyarakat.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 77
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor KEP-334/BL/2007 tanggal 28
September 2007 tentang Perizinan Perusahaan Efek beserta
Peraturan Nomor V.A.1 yang merupakan lampirannya dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 78
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 72 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 66
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 3 -
PENJELASAN
ATAS
NOMOR 20 /POJK.04/2016
TENTANG
PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK
YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN
PERANTARA PEDAGANG EFEK
I. UMUM
Perusahaan Efek, baik yang memiliki izin usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek, yang berhadapan langsung
dengan pemodal merupakan salah satu pilar dalam pengembangan Pasar
Modal dalam aktivitasnya yang berkaitan dengan pasar perdana dan pasar
sekunder. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, Penjamin Emisi Efek dapat melakukan kegiatan penjaminan
emisi Efek dan kegiatan lain yang berkaitan dengan aksi korporasi, yaitu
pemberian nasihat dalam rangka penerbitan Efek, penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, restrukturisasi serta kegiatan lain sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Sedangkan Perantara Pedagang Efek dapat melakukan transaksi Efek
baik untuk kepentingan nasabah maupun kepentingan perusahaan itu
sendiri serta kegiatan lain sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator dalam Pasar Modal telah
mengeluarkan ketentuan terkait dengan kegiatan-kegiatan Penjamin
Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek tersebut, termasuk bahwa pihak
yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau
Perantara Pedagang Efek adalah Perseroan Terbatas yang telah
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
- 2 -
Dalam melakukan kegiatannya, Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek tidak lepas dari resiko yang dapat mengakibatkan kerugian
pada Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek, pemodal dan
juga dampak ekonomi pada Pasar Modal secara keseluruhan. Hal tersebut
menjadi salah satu alasan perlunya peraturan perizinan Perusahaan Efek
yang baik dan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, Penjamin Emisi Efek
atau Perantara Pedagang Efek yang mengajukan izin untuk melakukan
usaha di Pasar Modal wajib untuk memenuhi beberapa ketentuan atau
kriteria yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Peraturan Nomor
V.A.1 mengenai Perizinan Perusahaan Efek memuat informasi persyaratan
dan tata cara pendaftaran serta kewajiban lanjutan dan pencabutan izin
usaha Perusahaan Efek, ketentuan persyaratan pengendali dan pemegang
saham serta anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dari
Perusahaan Efek yang melakukan perizinan usaha.
Dalam perkembangannya, ketentuan dalam peraturan tersebut tidak
seluruhnya sesuai dengan tingkat kebutuhan semua jenis usaha Penjamin
Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek. Dengan munculnya peraturan
perizinan khusus Manajer Investasi maka perlu pengaturan perizinan
khusus Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek. Perizinan
Perusahaan Efek yang sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dan
mengatur ketentuan kegiatan lain diharapkan dapat membentuk
Perusahaan Efek yang efektif dan efisien. Pengaturan terkait pemegang
saham seperti kriteria Pemegang Saham Pengendali, persyaratan bagi
pemegang saham asing dan kelengkapan dokumen yang lebih
merepresentasikan kemampuan keuangan diharapkan menjadi dasar
hukum dalam rangka perizinan Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek. Penambahan hal bersifat khusus seperti jumlah minimal
anggota Direksi, pendidikan berkelanjutan, larangan bertindak sebelum
penilaian kemampuan dan kepatutan, perlindungan fungsi kepatuhan,
identitas termasuk nama Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek, serta penghapusan kewajiban IKTA juga poin dalam perizinan dalam
meningkatkan kualitas Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang
Efek.
- 3 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Jenis kegiatan lain yang akan ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan antara lain kegiatan penjaminan atas Efek yang
tidak melalui Penawaran Umum.
Jenis kegiatan lain yang disetujui oleh Otoritas Jasa
Keuangan yaitu kegiatan yang diajukan oleh Penjamin
Emisi Efek secara individual.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Jenis kegiatan lain yang akan ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan antara lain kegiatan Transaksi Efek atas Efek
yang tidak melalui Penawaran Umum.
Efek yang tidak melalui Penawaran Umum tersebut
merupakan Efek baru yang diperdagangkan dalam kegiatan
tersebut belum ada otoritas yang mengatur dan
mengawasinya (misalnya: Transaksi Efek atas Medium Term
- 4 -
Notes atau Promisory Notes yang diterbitkan oleh badan
hukum Indonesia).
Kriteria kegiatan lain yang disetujui oleh Otoritas Jasa
Keuangan yaitu kegiatan yang diajukan oleh Perantara
Pedagang Efek secara individual.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Modal Kerja Bersih Disesuaikan adalah
Peraturan Nomor V.D.5, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011
tentang Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih
Disesuaikan.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai fungsi yang dipersyaratkan
dimiliki oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
- 5 -
sebagai Perantara Pedagang Efek adalah Peraturan Nomor
V.D.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-548/BL/2010
tanggal 28 Desember 2010 tentang Pengendalian Internal
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Perantara Pedagang Efek.
Huruf b
Contoh peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek dalam ketentuan huruf ini
dimana Perantara Pedagang Efek wajib memiliki memiliki
prosedur dan standar operasi:
1. Peraturan Nomor V.D.3, Lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor Kep-548/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010
tentang Pengendalian Internal Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek; dan
2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah
Bagi Lembaga Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Diagram alir dimaksud biasa disebut dengan flowchart.
Tahapan prosedur yang dilaksanakan dimaksud biasa
disebut dengan manual.
Angka 5
Batasan waktu pelaksanaan dimaksud biasa disebut
dengan service level agreement.
Angka 6
Cukup jelas.
- 6 -
Angka 7
Hasil dari prosedur yang dilaksanakan dimaksud biasa
disebut dengan output.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pekerjaan analis berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 24/POJK.04/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan
Fungsi-Fungsi Manajer Investasi dan Peraturan perundang-
undang di sektor Pasar Modal mengenai Pengendalian Internal
Perusahaan Efek Yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai
Perantara Pedagang Efek dilakukan di bawah fungsi riset.
Contoh kebijakan mengenai alur pelaporan analis dari
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau
Manajer Investasi baik fungsi riset Perusahaan Efek dilakukan
oleh satu unit kerja di bawah salah satu kegiatan usaha
Perusahaan Efek atau tidak di bawah salah satu kegiatan usaha
Perusahaan Efek namun untuk keperluan seluruh kegiatan
usaha Perusahaan Efek tersebut di atas, maka hasil analis
dalam fungsi riset yang dihasilkan tidak dilaporkan kepada atau
memerlukan persetujuan unit kerja lain yang ada pada
Perusahaan Efek yang meminta, membutuhkan, atau
mendasarkan pekerjaannya dari hasil analis dalam fungsi riset
tersebut atau menggunakan hasil analis dalam fungsi riset
tersebut untuk melakukan pekerjaannya mewakili Perusahaan
Efek.
- 7 -
Selanjutnya, kompensasi yang diterima oleh analis Perusahaan
Efek tersebut tidak boleh dikaitkan dengan kinerja dari unit
kerja lain yang meminta, membutuhkan, atau mendasarkan
pekerjaannya dari hasil analis tersebut atau menggunakan hasil
analis tersebut untuk melakukan pekerjaannya mewakili
Perusahaan Efek, atau besarnya imbalan yang diterima
Perusahaan Efek yang didasarkan pada hasil analis.
Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk
tetapi tidak terbatas pada gaji yang diterima analis dari
Perusahaan Efek.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Jika pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali
adalah Warga Negara Asing, dokumen yang menunjukkan
yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan
tercela dibuktikan antara lain dengan Police Clearance dari
negaranya dan negara dimana yang bersangkutan
berdomisili jika yang bersangkutan tidak berdomisili di
negaranya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tindak pidana di sektor keuangan”
yaitu tindak pidana di sektor perbankan, sektor Pasar
Modal, dan industri keuangan non bank.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus” yaitu
tindak pidana selain tindak pidana yang diatur dalam
KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu)
- 8 -
tahun atau lebih, antara lain korupsi,
narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan,
cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap,
terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang
kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan
dan perikanan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan” yaitu
tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara
1 (satu) tahun atau lebih.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan
macet” adalah:
1. kredit dan/atau pembiayaan macet yang tercantum
dalam Sistem informasi Debitur (SID); dan/atau
2. kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum
dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur
(SID) namun berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Bank Indonesia kredit dan/atau
pembiayaan tersebut telah memenuhi kriteria yang
tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 9 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Ketentuan ini berlaku selama suatu perseroan memiliki izin
usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Jika anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris adalah
Warga Negara Asing, dokumen yang menunjukkan yang
bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dibuktikan antara lain dengan Police Clearance dari
negaranya dan negara dimana yang bersangkutan
berdomisili jika yang bersangkutan tidak berdomisili di
negaranya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tindak pidana di sektor keuangan”
yaitu tindak pidana di sektor perbankan, sektor Pasar
Modal, dan industri keuangan non bank.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus” yaitu
tindak pidana selain tindak pidana yang diatur dalam
KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu)
tahun atau lebih, antara lain
korupsi,
narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan,
cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap,
terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang
kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan
dan perikanan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan” yaitu
tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang
- 10 -
Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara
1 (satu) tahun atau lebih.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan
macet” adalah:
1. kredit dan/atau pembiayaan macet yang tercantum
dalam Sistem Informasi Debitur (SID); dan/atau
2. kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum
dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur
(SID) namun berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Bank Indonesia kredit dan/atau
pembiayaan tersebut telah memenuhi kriteria yang
tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Angka 1
Bukti telah memiliki pengetahuan di bidang Pasar
Modal berupa memiliki izin wakil Perusahaan Efek.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Ketentuan ini tidak berlaku bagi komisaris.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf f
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Cukup jelas.
- 12 -
Huruf e)
Kemampuan keuangan pemegang saham dapat
dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan (SPT)
Pajak Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir (bagi
orang perseorangan Warga Negara Indonesia),
rekening Bank, bukti kepemilikan aset, atau aset
lain.
Kepemilikan saham di Perseroan Terbatas lain
tidak termasuk dalam bukti kemampuan
Keuangan.
Huruf f)
Pencucian uang dimaksud biasa disebut dengan
money laundering.
Pembiayaan terorisme dimaksud biasa disebut
dengan terrorism financing.
Huruf g)
Cukup jelas.
Angka 2
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Cukup jelas.
Huruf e)
Cukup jelas.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
Cukup jelas.
Huruf h)
Pencucian uang dimaksud biasa disebut dengan
money laundering.
Pembiayaan terorisme dimaksud biasa disebut
dengan terrorism financing.
- 13 -
Huruf i)
Cukup jelas.
Huruf j)
Cukup jelas.
Huruf g
Angka 1
Pemegang saham hingga penerima manfaat yang
sebenarnya dimaksud biasa disebut dengan ultimate
beneficial owner.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Perusahaan terelasi dimaksud biasa disebut dengan
sister company.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Modal Kerja Bersih Disesuaikan
adalah Peraturan Nomor V.D.5, Lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-566/BL/2011
tanggal 31 Oktober 2011 tentang Pemeliharaan dan
Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan.
- 14 -
Huruf n
Pemegang Saham Pengendali dalam ketentuan ini yaitu
orang perseorangan atau ultimate shareholder.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Jika pemegang saham dan Pemegang Saham
Pengendali adalah Warga Negara Asing, dokumen yang
menunjukkan yang bersangkutan tidak pernah
melakukan perbuatan tercela dibuktikan antara lain
dengan Police Clearance dari negaranya dan negara
dimana yang bersangkutan berdomisili jika yang
bersangkutan tidak berdomisili di negaranya.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “tindak pidana di sektor
keuangan” yaitu tindak pidana di sektor perbankan,
sektor Pasar Modal, dan industri keuangan non bank.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus” yaitu
tindak pidana selain tindak pidana yang diatur dalam
KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara 1
(satu) tahun atau lebih, antara lain korupsi,
narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan,
cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap,
terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di
bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, d
ibidang kelautan dan perikanan.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan”
yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan
ancaman hukuman penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
- 15 -
Angka 8
Cukup jelas.
Huruf o
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Jika anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris
adalah Warga Negara Asing, dokumen yang
menunjukkan yang bersangkutan tidak pernah
melakukan perbuatan tercela dibuktikan antara lain
dengan Police Clearance dari negaranya dan negara
dimana yang bersangkutan berdomisili jika yang
bersangkutan tidak berdomisili di negaranya.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “tindak pidana di sektor
keuangan” yaitu tindak pidana di sektor perbankan,
sektor Pasar Modal, dan industri keuangan non bank.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus” yaitu
tindak pidana selain tindak pidana yang diatur dalam
KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara 1
(satu) tahun atau lebih, antara lain korupsi,
narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan,
cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap,
terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di
bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di
bidang kelautan dan perikanan.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan”
yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan
ancaman hukuman penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
- 16 -
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan
macet” adalah:
1.
kredit dan/atau pembiayaan macet yang
tercantum dalam Sistem Informasi Debitur (SID);
dan/atau
2. kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum
dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi
Debitur (SID) namun berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan Bank Indonesia kredit dan/atau
pembiayaan tersebut telah memenuhi kriteria
yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Efektifnya anggota Direksi dari Perseroan yang mengajukan
permohonan izin usaha Perusahaan Efek tidak bekerja pada
perusahaan atau institusi lain dalam jabatan apapun
selama menjabat sebagai anggota Direksi Perusahaan Efek
kecuali sebagai komisaris Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dalam surat pernyataan anggota Direksi yang dijadikan
lampiran permohonan izin usaha dimaksud mulai berlaku
sejak Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin usaha
Perusahaan Efek.
Efektifnya anggota Dewan Komisaris dari Perseroan yang
mengajukan permohonan izin usaha Perusahaan Efek tidak
bekerja dalam jabatan apapun pada Perusahaan Efek lain,
termasuk sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota
Direksi dalam surat pernyataan anggota Dewan Komisaris
yang dijadikan lampiran permohonan izin usaha dimaksud
- 17 -
mulai berlaku sejak Otoritas Jasa Keuangan memberikan
izin usaha Perusahaan Efek.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Pencucian uang dimaksud biasa disebut dengan money
laundering.
Pembiayaan terorisme dimaksud biasa disebut dengan
terrorism financing.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
Huruf y
Fungsi kepatuhan harus ada dalam struktur organisasi
setiap Perusahaan Efek.
Huruf z
Cukup jelas.
Huruf aa
Cukup jelas.
Huruf bb
Cukup jelas.
Huruf cc
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai kegiatan Perusahaan Efek di
berbagai lokasi adalah Peraturan Nomor V.D.8, lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
KEP- 27/PM/2000 tanggal 30 Juni 2000 tentang Kegiatan
Perusahaan Efek Di Berbagai Lokasi.
- 18 -
Huruf dd
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Pihak yang melaksanakan setiap prosedur dan standar
operasi dapat meliputi pihak yang melaksanakan
(maker), pemeriksa (checker), pemberi persetujuan
(approver) yang disesuaikan dengan ukuran bisnis
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek.
Angka 4
Diagram alir dimaksud biasa disebut dengan flowchart.
Angka 5
Batasan waktu pelaksanaan dimaksud biasa disebut
dengan service level agreement.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf ee
Cukup jelas.
Huruf ff
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
- 19 -
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka antara lain
dilakukan apabila:
1. calon
anggota Direksi/calon anggota Dewan
Komisaris/anggota Direksi/anggota Dewan Komisaris
memiliki data/informasi negatif yang diperoleh Otoritas
Jasa
Keuangan
pendalaman/klarifikasi;
2. calon pemegang saham/calon Pemegang Saham
Pengendali/pemegang saham/Pemegang Saham
Pengendali memiliki data/informasi negatif yang
diperoleh Otoritas Jasa Keuangan yang memerlukan
pendalaman/klarifikasi;
3. calon anggota Direksi/calon anggota Dewan Komisaris
belum mempunyai
pengalaman
sebagai
Direksi/Komisaris pada Perusahaan Efek Indonesia
dengan mempertimbangkan posisi jabatan serta ukuran
dan kompleksitas Perusahaan Efek tempat yang
bersangkutan akan dicalonkan; atau
4. calon
anggota Direksi/calon anggota Dewan
Komisaris/anggota Direksi/anggota Dewan Komisaris
pernah gagal dalam pencalonan sebelumnya dalam
proses klarifikasi terkait aspek kompetensi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
yang
memerlukan
- 20 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengeluaran saham adalah suatu upaya
pengumpulan modal, yang kewajiban penyetoran atas saham
seharusnya dibebankan kepada pihak lain.
Demi kepastian, pasal ini menentukan bahwa Perusahaan Efek
tidak boleh mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri.
Larangan tersebut termasuk juga larangan kepemilikan silang
(cross ownership) yang terjadi apabila Perusahaan Efek memiliki
saham yang dikeluarkan oleh Perusahaan Efek lain dan
Perseroan yang bukan Perusahaan Efek yang memiliki saham
Perusahaan Efek tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung termasuk kepemilikan yang diperoleh melalui
pembelian pasar perdana.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Perseroan lain dalam ketentuan ini termasuk pula
Perusahaan Efek.
- 21 -
Ayat (3)
Kepemilikan saham Perusahaan Efek yang timbul dari
pembelian saham di pasar sekunder sebagaimana dimaksud
dalam Pasal ini sebagai bagian dari kepemilikan izin usaha
sebagai Perusahaan Efek.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pencucian uang dimaksud biasa disebut dengan money
laundering.
Pembiayaan terorisme dimaksud biasa disebut dengan
terrorism financing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Huruf a
Hubungan kepemilikan secara langsung sebagaimana dimaksud
dalam huruf ini terjadi apabila satu Perusahaan Efek memiliki
saham Perusahaan Efek lain yang juga menjadi pemegang
saham Bursa Efek yang sama sekurang-kurangnya 20% (dua
puluh persen) dari saham yang mempunyai hak suara.
- 22 -
Hubungan kepemilikan secara tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam huruf ini terjadi apabila sekurang-kurangnya
20% (dua puluh persen) dari saham yang mempunyai hak suara
yang telah dikeluarkan oleh 2 (dua) Perusahaan Efek atau lebih
yang menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama dimiliki
oleh Pihak yang sama.
Hubungan antara 2 (dua) Perusahaan Efek atau lebih dimaksud
merupakan hubungan kepemilikan secara tidak langsung.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 29
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Direksi merupakan Organ Perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perseroan. Perusahaan Efek dapat melakukan pengendalian terhadap
Perusahaan Efek lain melalui penempatan orang dalam Direksi yang
dapat menguasai suara mayoritas dalam rapat Direksi.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kemampuan keuangan pemegang saham dapat dibuktikan
dengan antara lain Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak
Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir (bagi orang-
perseorangan Warga Negara Indonesia), rekening Bank,
atau bukti kepemilikan aset.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bukti sumber dana” antara lain
rekening koran, laporan keuangan audit paling kurang tiga
tahun terakhir, atau bank statement.
Huruf d
Cukup jelas.
- 23 -
Ayat (3)
Yang dimaksud “Menteri” adalah menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Bukti pengumuman hasil Rapat Umum Pemegang Saham
tentang pengurangan modal dilakukan dalam rangka
memenuhi Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Saham bonus yang merupakan dividen saham berasal dari
kapitalisasi saldo laba.
Saham bonus yang bukan merupakan dividen saham berasal
dari kapitalisasi agio saham dan/atau unsur ekuitas lainnya.
Saldo laba adalah akumulasi hasil usaha periodik setelah
memperhitungkan pembagian dividen dan koreksi hasil laba rugi
periode lalu.
Agio saham adalah selisih lebih setoran pemegang saham di atas
nilai nominalnya dalam hal saham dikeluarkan di atas nilai
nominalnya.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 24 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud “Menteri” adalah menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “calon pemegang saham” adalah pihak
yang akan membeli saham Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek.
Yang dimaksud dengan “calon Pemegang Saham Pengendali”
adalah pihak yang akan membeli saham atau menambah
kepemilikan saham sehingga akan menjadi Pemegang Saham
Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek.
Yang dimaksud dengan “pemegang saham” adalah pihak yang
sudah membeli saham Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara
Pedagang Efek namun belum mendapat persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
Yang dimaksud dengan “Pemegang Saham Pengendali” adalah
pihak yang sudah membeli saham atau menambah kepemilikan
saham sehingga memenuhi kriteria Pemegang Saham Pengendali
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek namun
belum mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan
untuk menjadi Pemegang Saham Pengendali.
- 25 -
Ayat (4)
Dokumen terkait pemegang saham dan/atau Pemegang Saham
Pengendali
pembayaran/pelunasan atas jual beli tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Bursa Efek yang sama” adalah Bursa
Efek dimana baik Perusahaan Efek yang melakukan penjaminan
Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas Emiten yang berupa
Perusahaan Efek dan Emiten yang Penawaran Umum Efeknya
dijamin tersebut menjadi pemegang saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “agen stabilisasi” merupakan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek yang melakukan kegiatan stabilisasi harga
saham dari Emiten yang melakukan Penawaran Umum sesuai
dengan Prospektus dan/atau peraturan yang berlaku di bidang
Pasar Modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
seperti perikatan jual-beli dan bukti
- 26 -
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengalihan saham pada ayat ini hanya dapat dilakukan kepada
pihak lain yang tidak dilarang memiliki saham dalam
Perusahaan Efek.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud “berhalangan tetap” antara lain sakit
permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan
aktivitas pekerjaan yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 27 -
Huruf g
Ketentuan ini hanya berlaku bagi anggota Direksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud pengurusan Perusahaan Efek dijalankan
oleh Dewan Komisaris hanya terbatas untuk kegiatan
administrasi sehari-hari tidak untuk melakukan kegiatan
penjaminan emisi Efek dan/atau perantara pedagang Efek.
Pasal 42
Ayat (1)
Larangan bekerja pada perusahaan lain termasuk bekerja
sebagai anggota Direksi atau pegawai di perusahaan lain.
Yang dimaksud dengan perusahaan lain antara lain termasuk
tapi tidak terbatas pada badan usaha baik yang berbentuk
badan hukum maupun non badan hukum.
Yang dimaksud dengan institusi lain antara lain pegawai atau
pejabat dari pemerintahan, legislatif, yudikatif, atau jabatan
publik lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 28 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perubahan” adalah perubahan
susunan, penggantian, dan/atau pengisian anggota Direksi.
Penyampaian permohonan perubahan anggota Direksi disertai
“nama calon anggota Direksi” apabila perubahan anggota Direksi
dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Direksi
dengan orang perseorangan yang tidak berasal dari anggota
Direksi Perusahaan Efek yang sedang menjabat pada saat
permohonan perubahan anggota Direksi Perusahaan Efek
dimaksud ke Otoritas Jasa Keuangan.
Penyampaian permohonan perubahan anggota Direksi disertai
“nama anggota Direksi” apabila perubahan anggota Direksi
dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Direksi
tertentu dengan anggota Direksi yang lain yang sedang menjabat
pada saat permohonan perubahan anggota Direksi Perusahaan
Efek dimaksud diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan namun
tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang akan diembannya
berbeda dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawab pada jabatan
sebelumnya.
Keterangan tentang tugas dan fungsi yang akan menjadi
tanggung jawab calon anggota Direksi atau anggota Direksi
dapat dimuat dalam surat pengantar dokumen dalam rencana
pengajuan atau perubahan susunan dan/atau penggantian
anggota Direksi.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “perubahan” adalah perubahan
susunan, penggantian, dan/atau pengisian anggota Dewan
Komisaris.
Penyampaian permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris
disertai “nama calon anggota Dewan Komisaris” apabila
perubahan anggota Dewan Komisaris dilakukan dengan cara
mengganti atau mengisi anggota Dewan Komisaris dengan orang
perseorangan yang tidak berasal dari anggota Dewan Komisaris
Perusahaan Efek yang sedang menjabat pada saat permohonan
perubahan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek
dimaksud ke Otoritas Jasa Keuangan.
- 29 -
Penyampaian permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris
disertai “nama anggota Dewan Komisaris” apabila perubahan
anggota Dewan Komisaris dilakukan dengan cara mengganti
atau mengisi anggota Dewan Komisaris tertentu dengan anggota
Dewan Komisaris yang lain yang sedang menjabat pada saat
permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris Perusahaan
Efek dimaksud diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan namun
tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang akan diembannya
berbeda dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawab pada jabatan
sebelumnya. Contoh posisi komisaris utama yang kosong diisi
oleh komisaris yang sedang menjabat pada saat itu.
Keterangan tentang tugas dan fungsi yang akan menjadi
tanggung jawab calon anggota Dewan Komisaris atau atau
anggota Dewan Komisaris dapat dimuat dalam surat pengantar
dokumen dalam rencana pengajuan atau perubahan susunan
dan/atau penggantian anggota Dewan Komisaris.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Penelaahan dan penelitian untuk menilai “calon anggota Direksi”
apabila perubahan anggota Direksi dilakukan dengan cara
mengganti atau mengisi anggota Direksi dengan orang
perseorangan yang tidak berasal dari anggota Direksi
Perusahaan Efek yang sedang menjabat pada saat permohonan
perubahan anggota Direksi Perusahaan Efek dimaksud ke
Otoritas Jasa Keuangan.
Penelaahan dan penelitian untuk menilai “anggota Direksi”
apabila perubahan anggota Direksi dilakukan dengan cara
mengganti atau mengisi anggota Direksi tertentu dengan anggota
Direksi yang lain yang sedang menjabat pada saat permohonan
perubahan anggota Direksi Perusahaan Efek dimaksud diajukan
ke Otoritas Jasa Keuangan namun tugas, fungsi, dan tanggung
jawab yang akan diembannya berbeda dengan tugas, fungsi, dan
tanggung jawab pada jabatan sebelumnya.
- 30 -
Penelaahan dan penelitian untuk menilai “calon anggota Dewan
Komisaris” apabila perubahan anggota Dewan Komisaris
dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Dewan
Komisaris dengan orang perseorangan yang tidak berasal dari
anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang sedang
menjabat pada saat permohonan perubahan anggota Dewan
Komisaris Perusahaan Efek dimaksud ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Penelaahan dan penelitian untuk menilai “anggota Dewan
Komisaris” apabila perubahan anggota Dewan Komisaris
dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Dewan
Komisaris tertentu dengan anggota Dewan Komisaris yang lain
yang sedang menjabat pada saat permohonan perubahan
anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud diajukan
ke Otoritas Jasa Keuangan namun tugas, fungsi, dan tanggung
jawab yang akan diembannya berbeda dengan tugas, fungsi, dan
tanggung jawab pada jabatan sebelumnya. Contoh posisi
komisaris utama yang kosong diisi oleh komisaris yang sedang
menjabat pada saat itu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)
mencakup lingkup penelitian administratif atas kebenaran
persyaratan dokumen yang disampaikan dan klarifikasi lebih
lanjut melalui tatap muka.
Tidak dilakukannya penilaian kemampuan dan kepatutan
bukan berarti penelitian administratif atas kebenaran
persyaratan dokumen tidak dilakukan, namun yang tidak
- 31 -
dilakukan adalah konfirmasi atas dokumen dan klarifikasi lebih
lanjut melalui tatap muka kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka antara lain
dilakukan apabila calon pemegang saham/calon Pemegang
Saham Pengendali/pemegang saham/Pemegang Saham
Pengendali memiliki data/informasi negatif yang diperoleh
Otoritas Jasa Keuangan
pendalaman/klarifikasi.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test)
mencakup lingkup penelitian administratif atas kebenaran
persyaratan dokumen yang disampaikan dan klarifikasi lebih
lanjut melalui tatap muka.
Tidak dilakukannya penilaian kemampuan dan kepatutan
bukan berarti penelitian administratif atas kebenaran
persyaratan dokumen tidak dilakukan, namun yang tidak
dilakukan adalah konfirmasi atas dokumen dan klarifikasi lebih
lanjut melalui tatap muka kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
yang memerlukan
- 32 -
Huruf b
Klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka antara lain
dilakukan apabila:
1. calon
anggota Direksi/calon anggota Dewan
Komisaris/anggota Direksi/anggota Dewan Komisaris
memiliki data/informasi negatif yang diperoleh Otoritas
Jasa
Keuangan
pendalaman/klarifikasi;
2. calon anggota Direksi/calon anggota Dewan Komisaris
belum mempunyai pengalaman sebagai Direksi/
Komisaris pada Perusahaan Efek Indonesia dengan
mempertimbangkan posisi jabatan serta ukuran dan
kompleksitas Perusahaan Efek tempat yang
bersangkutan akan dicalonkan; atau
3. calon
anggota Direksi/calon anggota Dewan
Komisaris/anggota Direksi/anggota Dewan Komisaris
pernah gagal dalam pencalonan sebelumnya dalam
proses klarifikasi terkait aspek kompetensi.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Efek
telah mengangkat anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris meskipun yang bersangkutan belum dinyatakan
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka anggota Direksi atau
anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud harus
diangkat kembali dalam Rapat Umum Pemegang Saham setelah
Otoritas Jasa Keuangan menyatakan yang bersangkutan
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
melalui surat pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
yang
memerlukan
- 33 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak yang telah menjadi pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali namun belum
memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham atau Pemegang
Saham Pengendali” dalam ketentuan ini adalah pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali baik yang baru
membeli saham namun belum dinyatakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan telah memenuhi persyaratan sebagai pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Yang dimaksud dengan “pihak yang telah menjadi pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali namun tidak
memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham atau Pemegang
Saham Pengendali” dalam ketentuan ini adalah pemegang
saham atau Pemegang Saham Pengendali yang telah dinyatakan
memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham atau Pemegang
Saham Pengendali Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini oleh Otoritas Jasa
Keuangan namun kemudian berdasarkan hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan kembali oleh Otoritas Jasa
Keuangan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan
sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali
Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 52
Cukup jelas.
- 34 -
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sejak peristiwa di atas diketahui oleh
Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek, misalnya
untuk pengunduran diri berupa surat pengunduran diri dari
yang bersangkutan, untuk diberhentikan berupa hasil
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham atau surat Dewan
Komisaris (pemberhentian sementara).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sanksi internal yang diberikan oleh
Perusahaan Efek kepada anggota Direksi yang membawahkan
dan/atau melaksanakan fungsi kepatuhan dalam ketentuan ini
adalah sanksi selain yang berupa sanksi pemberhentian anggota
Direksi yang membawahkan dan/atau melaksanakan fungsi
kepatuhan.
- 35 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pelanggaran terhadap perundang-undangan di sektor Pasar
Modal termasuk antara lain Perusahaan Efek tidak lagi
memenuhi persyaratan sebagai Penjamin Emisi Efek
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pelanggaran ini termasuk pelanggaran administratif maupun
tindak pidana Pasar Modal.
Contoh pelanggaran administratif antara lain gagal memenuhi
nilai minimum Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang ditetapkan,
kantor Penjamin Emsi Efek atau Perantara Pedagang Efek tidak
ditemukan, tidak memiliki pegawai, tidak dapat memenuhi
kekurangan yang dipersyaratkan sesuai dengan peraturan yang
berlaku setelah kesempatan dan jangka waktu yang diberikan
terlewati.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Sebab bubarnya Perseroan Terbatas adalah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun
2007.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
- 36 -
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pelanggaran ini termasuk pelanggaran administratif maupun
tindak pidana Pasar Modal.
Contoh pelanggaran administratif antara lain gagal memenuhi
nilai minimum MKBD yang ditetapkan, kantor PEE atau PPE
tidak ditemukan, tidak memiliki pegawai, tidak dapat memenuhi
kekurangan yang dipersyaratkan sesuai dengan peraturan yang
berlaku setelah kesempatan dan jangka waktu yang diberikan
terlewati.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
- 37 -
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5868
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 20/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title>
<set_date> 7 April 2016 </set_date>
<effective_date> 18 April 2016 </effective_date>
<issued_date> 18 April 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-334/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007', 'KEP-334/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor V.A.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional dan mendukung perkembangan
usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersifat dinamis,
diperlukan pengaturan perizinan usaha dan
kelembagaan yang komprehensif, jelas, dan
memberikan kepastian hukum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusahaan Pembiayaan;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN.
BAB I ...
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah perusahan pembiayaan dan
perusahaan pembiayaan syariah.
2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan
barang dan/atau jasa.
3. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan
Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya
melakukan pembiayaan syariah.
4. Pembiayaan Syariah adalah penyaluran pembiayaan
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
6. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit kerja dari kantor pusat Perusahaan
Pembiayaan yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor yang melaksanakan Pembiayaan Syariah.
7. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya
disingkat PSP adalah orang perseorangan, badan
hukum, dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham atau modal Perusahaan sebesar
25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah
saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak
suara; atau
b. memiliki saham atau modal Perusahaan kurang
dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara
namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan ...
- 3 -
melakukan pengendalian Perusahaan, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
8. Direksi:
a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai
perseroan terbatas; atau
b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai perkoperasian.
9. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perseroan terbatas; atau
b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai perkoperasian.
10. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ Perusahaan yang
mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan Perusahaan agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
11. Modal Disetor:
a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah modal disetor; atau
b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi
adalah simpanan pokok dan simpanan wajib.
12. Ekuitas:
a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum
perseroan terbatas, adalah penjumlahan dari:
1. Modal Disetor;
2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas:
a) agio ...
- 4 -
a) agio/disagio saham;
b) biaya emisi efek ekuitas; dan
c) lainnya sesuai dengan prinsip standar
akuntansi keuangan;
3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas
sepengendali;
4. saldo laba/rugi;
5. laba/rugi tahun berjalan;
6. saham tresuri (treasury stock); dan
7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas:
a) perubahan dalam surplus revaluasi;
b) selisih kurs karena penjabaran laporan
keuangan dalam mata uang asing;
c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran
kembali aset keuangan tersedia untuk dijual;
d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian
instrumen keuangan lindung nilai dalam
rangka lindung nilai arus kas; dan
e) komponen Ekuitas lainnya sesuai prinsip
standar akuntansi keuangan.
b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi
adalah penjumlahan dari simpanan pokok,
simpanan wajib, dana cadangan, hibah, dan sisa
hasil usaha yang belum dibagikan.
13. Debitur:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan adalah debitur baik
badan usaha atau orang perseorangan yang
menerima pembiayaan pengadaan barang dan/atau
jasa dari Perusahaan Pembiayaan; atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah atau
Perusahaan Pembiayaan yang memiliki UUS adalah
konsumen baik badan usaha atau orang
perseorangan ...
- 5 -
perseorangan yang menerima pembiayaan dari
Perusahaan Pembiayaan Syariah atau Perusahaan
Pembiayaan yang memiliki UUS.
14. Kantor Cabang adalah kantor Perusahaan yang
memiliki kewenangan untuk:
a. memberikan persetujuan pembiayaan kepada calon
Debitur; dan
b. menandatangani perjanjian atau kontrak
pembiayaan dengan Debitur.
15. Kantor Cabang Unit Syariah adalah kantor yang
bertanggung jawab secara langsung kepada UUS dan
melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah, serta
mempunyai kewenangan untuk:
a. memberikan persetujuan Pembiayaan Syariah
kepada calon Debitur; dan
b. menandatangani perjanjian atau kontrak
Pembiayaan Syariah dengan Debitur.
16. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh 2 (dua) Perusahaan atau lebih untuk meleburkan
diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Perusahaan baru
yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan
Ekuitas dari Perusahaan yang meleburkan diri dan
status badan hukum Perusahaan yang meleburkan diri
berakhir karena hukum.
17. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh 1 (satu) Perusahaan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perusahaan lain yang
telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan
Ekuitas dari Perusahaan yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada Perusahaan yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status
badan hukum Perusahaan yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum.
18. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan
untuk ...
- 6 -
untuk mengambil alih saham Perusahaan yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian atas
Perusahaan tersebut.
19. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh Perusahaan untuk memisahkan usaha yang
mengakibatkan seluruh aset, liabilitas, dan Ekuitas
Perusahaan beralih karena hukum kepada 2 (dua)
Perusahaan atau lebih atau sebagian aset, liabilitas,
dan Ekuitas Perusahaan beralih karena hukum kepada
1 (satu) Perusahaan atau lebih.
20. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB II
BENTUK BADAN HUKUM, IZIN USAHA,
DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum
Pasal 2
(1) Perusahaan harus didirikan dalam bentuk badan
hukum:
a. perseroan terbatas; atau
b. koperasi.
(2) Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
sahamnya dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan usaha Indonesia;
c. badan hukum Indonesia;
d. badan usaha asing atau lembaga asing;
e. negara Republik Indonesia; dan/atau
f. pemerintah ...
- 7 -
f. pemerintah daerah.
(3) Ketentuan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk Perusahaan yang tercatat di bursa
efek mengikuti peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
(4) Ketentuan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b untuk Perusahaan yang berbentuk
badan hukum koperasi mengikuti peraturan
perundang-undangan di bidang perkoperasian.
Bagian Kedua
Izin Usaha
Pasal 3
(1) Perusahaan melakukan kegiatan usaha setelah
memperoleh izin usaha dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan
izin usaha kepada OJK.
Pasal 4
(1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada
OJK dengan menggunakan format 1 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen:
a. akta pendirian badan hukum yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang, yang paling sedikit
harus memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang ...
- 8 -
5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS;
dan perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada)
disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan
dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari
instansi berwenang.
b. daftar kepemilikan, berupa:
1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya
masing-masing kepemilikan saham sampai
dengan pemegang saham
ultimate
shareholder/beneficial owner, bagi Perusahaan
berbentuk badan hukum perseroan terbatas;
atau
2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok
dan simpanan wajib, bagi Perusahaan berbentuk
badan hukum koperasi.
c. data pemegang saham atau anggota selain PSP:
1. orang perseorangan, dilampiri dengan:
a) fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
b) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
c) daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas
foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6
cm; dan
d) surat pernyataan dari yang bersangkutan
yang menyatakan:
1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari kegiatan
pencucian uang (money laundering) dan
kejahatan keuangan;
3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
4) tidak tercatat dalam daftar tidak lulus
(DTL) ...
- 9 -
(DTL) di sektor perbankan;
5) tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang usaha jasa
keuangan dan/atau perekonomian dalam
5 (lima) tahun terakhir;
6) tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan berdasarkan
keputusan pengadilan yang
telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
5 (lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dinyatakan pailit atau
bersalah yang menyebabkan suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
8) tidak pernah menjadi PSP, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau
anggota DPS pada perusahaan jasa
keuangan yang dicabut izin usahanya
karena melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir.
2. badan hukum, dilampiri dengan:
a) akta pendirian badan hukum termasuk
anggaran dasar berikut perubahan yang
terakhir (jika ada), disertai dengan bukti
pengesahan, persetujuan, atau pencatatan
dari instansi berwenang;
b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik dan laporan keuangan
terakhir;
c) daftar pemegang saham berikut rincian
besarnya masing-masing kepemilikan saham;
d) dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c angka 1 huruf a), huruf b), dan
huruf ...
- 10 -
huruf c) bagi direksi atau yang setara dengan
itu dari badan hukum yang bersangkutan;
dan
e) surat pernyataan direksi atau yang setara
dengan itu dari badan hukum dimaksud yang
menyatakan bahwa:
1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari kegiatan
pencucian uang (money laundering) dan
kejahatan keuangan;
3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
4) tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus
(DTL) di sektor perbankan;
5) tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang usaha jasa
keuangan dan/atau perekonomian dalam
5 (lima) tahun;
6) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan bersalah yang menyebabkan
suatu perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
7) tidak pernah menjadi PSP pada
perusahaan jasa keuangan yang dicabut
izin usahanya karena melakukan
pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir.
3. negara Republik Indonesia, dilampiri dengan
Peraturan Pemerintah mengenai penyertaan
modal negara Republik Indonesia untuk
pendirian Perusahaan.
4. pemerintah daerah, dilampiri dengan Peraturan
Daerah mengenai penyertaan modal daerah
untuk pendirian Perusahaan.
d. risalah ...
- 11 -
d. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota mengenai pengangkatan anggota DPS, bagi
Perusahaan Pembiayaan Syariah;
e. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam
bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan
pada salah satu bank umum atau bank umum
syariah di Indonesia bagi Perusahaan Pembiayaan
Syariah dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran
yang masih berlaku selama dalam proses
pengajuan izin usaha;
f. laporan posisi keuangan awal/pembukaan
perusahaan;
g. bukti sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha
perusahaan pembiayaan dan Peraturan OJK
mengenai penyelenggaraan usaha pembiayaan
syariah bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan pejabat
satu tingkat di bawah Direksi sesuai dengan
struktur organisasi pada saat
permohonan izin usaha;
pengajuan
h. bukti kesiapan operasional paling sedikit berupa:
1. daftar aset tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
kantor;
3. contoh perjanjian pembiayaan;
4. skema Pembiayaan Syariah yang akan dilakukan
disertai dengan contoh akad Pembiayaan Syariah
untuk setiap kegiatan usaha, bagi Perusahaan
Pembiayaan Syariah; dan
5. nomor pokok wajib pajak (NPWP).
i. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang
paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
2. rencana ...
- 12 -
2. rencana penyaluran pembiayaan dan langkah-
langkah yang dilakukan untuk mewujudkan
rencana dimaksud; dan
3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan, dan
laporan laba/rugi komprehensif bulanan serta
asumsi yang mendasarinya dimulai sejak
Perusahaan melakukan kegiatan operasional.
j. fotokopi perjanjian kerja sama antara pihak asing
dan pihak Indonesia bagi Perusahaan yang di
dalamnya terdapat penyertaan dari badan usaha
asing dan/atau lembaga asing;
k. dokumen penggunaan akad yang akan digunakan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK
mengenai penyelenggaraan usaha pembiayaan
syariah;
l. struktur organisasi yang dilengkapi dengan uraian
tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur
kerja yang menggambarkan paling sedikit fungsi:
1. administrasi dan pembukuan;
2. pemasaran, analisis kelayakan pembiayaan dan
penagihan;
3. manajemen risiko, termasuk pengendalian
internal; dan
4. penerapan prinsip mengenal nasabah.
m. pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal
nasabah (P4MN); dan
n. pedoman tata kelola Perusahaan.
(3) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon
Direksi, Dewan Komisaris, PSP dan/atau DPS.
(4) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan OJK mengenai
penilaian
kemampuan ...
- 13 -
kemampuan dan kepatutan.
Pasal 5
(1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kalender sejak permohonan izin
usaha diterima secara lengkap dan benar.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana
maksud dalam Pasal 4 ayat (2);
b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana
maksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf i;
c. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon PSP, anggota DPS, anggota Dewan Komisaris
dan anggota Direksi; dan
d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pembiayaan.
(3) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan
tidak lengkap, OJK menyampaikan kepada pemohon
untuk melengkapi persyaratan paling lama 20 (dua
puluh) hari kalender setelah permohonan diterima.
(4) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan alasan
penolakan.
(5) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK
menetapkan keputusan pemberian izin usaha kepada
pemohon.
Pasal 6
(1) Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari OJK
wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 2 (dua)
bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan
oleh OJK.
(2) Perusahaan ...
- 14 -
(2) Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender
sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri:
a. daftar perjanjian kegiatan usaha pembiayaan atau
Pembiayaan Syariah yang telah dilakukan;
b. fotokopi perjanjian kegiatan usaha pembiayaan
atau Pembiayaan Syariah yang telah dilakukan; dan
c. fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin
menggunakan tenaga kerja asing yang dikeluarkan
oleh instansi berwenang bagi anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris berkewarganegaraan
asing.
Pasal 7
(1) Perusahaan harus menggunakan nama perusahaan
yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan
memuat kata:
a. finance, pembiayaan, atau kata yang mencirikan
kegiatan pembiayaan, bagi Perusahaan Pembiayaan;
atau
b. finance, pembiayaan, atau kata yang mencirikan
kegiatan pembiayaan syariah disertai dengan kata
syariah, bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah.
(2) Penggunaan nama perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ...
- 15 -
pada ayat (1) bagi Perusahaan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas harus juga memenuhi
peraturan perundang-undangan mengenai perseroan
terbatas.
Pasal 8
Nama Perusahaan wajib dicantumkan secara jelas pada
gedung kantor Perusahaan.
Bagian Ketiga
Permodalan
Pasal 9
(1) Perusahaan harus memenuhi ketentuan permodalan
pada saat pendirian sebagai berikut:
a. badan hukum perseroan terbatas, memiliki Modal
Disetor paling sedikit Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah); atau
b. badan hukum koperasi, memiliki Modal Disetor
paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).
(2) Permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk
deposito berjangka atas nama Perusahaan pada salah
satu bank umum atau bank umum syariah di
Indonesia.
Pasal 10
Total kepemilikan asing pada Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas baik secara langsung
maupun tidak langsung paling tinggi 85% (delapan puluh
lima persen) dari Modal Disetor.
Pasal 11
(1) Perusahaan hanya dapat memperdagangkan sahamnya
di bursa efek paling tinggi 85% (delapan puluh lima
persen) dari jumlah saham Perusahaan yang
bersangkutan.
(2) Paling ...
- 16 -
(2) Paling rendah 15% (lima belas persen) dari saham
Perusahaan yang tidak diperdagangkan di bursa efek,
wajib tetap dimiliki baik secara langsung maupun
tidak langsung oleh warga negara Indonesia,
pemerintah daerah, dan/atau pemerintah pusat.
Pasal 12
(1) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan usaha
Indonesia yang berbadan hukum, lembaga Indonesia
yang berbadan hukum, badan usaha asing, dan/atau
lembaga asing, jumlah penyertaan langsung pada
Perusahaan ditetapkan paling tinggi sebesar Ekuitas
pemegang saham.
(2) Jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dipenuhi pada saat badan usaha
atau lembaga yang bersangkutan melakukan:
a. penyetoran modal pendirian Perusahaan;
b. perubahan pemegang saham Perusahaan; dan/atau
c. penambahan Modal Disetor Perusahaan.
Pasal 13
(1) Ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, tidak berlaku bagi
pemegang saham Perusahaan yang merupakan dana
pensiun, Perusahaan Pembiayaan, perusahaan
perasuransian, dan/atau perbankan.
(2) Bagi pemegang saham yang merupakan dana pensiun,
Perusahaan Pembiayaan, perusahaan perasuransian,
dan/atau perbankan pada saat melakukan penyertaan
langsung pada Perusahaan, jumlah penyertaan
langsung yang dilakukan harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai investasi dan/atau penyertaan.
BAB III ...
- 17 -
BAB III
STRUKTUR ORGANISASI
Pasal 14
(1) Perusahaan wajib mempunyai struktur organisasi yang
menggambarkan secara jelas paling sedikit fungsi:
a. administrasi dan pembukuan;
b. pemasaran, analisis kelayakan pembiayaan dan
penagihan;
c. manajemen risiko, termasuk pengendalian
internal; dan
d. penerapan prinsip mengenal nasabah.
(2) Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang,
tanggung jawab, dan prosedur kerja secara tertulis.
BAB IV
SUMBER DAYA MANUSIA
Bagian Kesatu
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 15
(1) Perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja asing.
(2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk dipekerjakan sebagai:
a. tenaga ahli dengan level jabatan satu tingkat di
bawah Direksi;
b. penasihat; atau
c. konsultan.
(3) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memenuhi persyaratan:
a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang
akan menjadi tanggung jawabnya; dan
b. memenuhi ketentuan perundang-undangan di
bidang ...
- 18 -
bidang ketenagakerjaan.
(4) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
menyelenggarakan kegiatan alih pengetahuan dari
tenaga kerja asing kepada pegawai Perusahaan.
(5) Alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), harus dibuat dalam bentuk program pendidikan
dan pelatihan tahunan kepada pegawai Perusahaan.
(6) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih
dahulu melaporkan kepada OJK paling lama 30 (tiga
puluh) hari kalender sebelum tenaga kerja asing
dimaksud dipekerjakan dilampiri dengan:
a. daftar riwayat hidup tenaga kerja asing yang
dipekerjakan, disertai dengan fotokopi dokumen
yang mencerminkan bidang keahliannya;
b. rencana program pendidikan dan pelatihan
tahunan selama tenaga kerja asing dimaksud
dipekerjakan; dan
c. rencana penempatan dan bidang tugas yang
menjadi tanggung jawab tenaga kerja asing.
(7) Dalam hal tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) telah dinyatakan lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan, Perusahaan wajib
melaporkan tenaga kerja asing yang dipekerjakan
tersebut kepada OJK dengan melampirkan fotokopi
surat izin mempekerjakan tenaga kerja asing dari
instansi berwenang paling lambat 10 (sepuluh) hari
kalender sejak tanggal pengangkatan.
(8) Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan program
pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) huruf b secara tertulis kepada OJK paling
lama 1 (satu) bulan setelah tahun takwim berakhir
untuk setiap tahunnya.
(9) Dalam ...
- 19 -
(9) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan
ayat (8) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
Bagian Kedua
Pengembangan Tenaga Kerja
Pasal 16
(1) Perusahaan
wajib
menyelenggarakan program
pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga
kerja.
(2) Perusahaan wajib menganggarkan dan merealisasikan
2,5% (dua koma lima persen) dari biaya pegawai dan
pengurus sumber daya manusia Perusahaan untuk
pengembangan dan pelatihan pegawai.
(3) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
dilakukan dalam bentuk program pendidikan dan
pelatihan.
(4) Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan program
pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
tertulis kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan setelah
tahun takwim berakhir untuk setiap tahunnya.
BAB V
KEANGGOTAAN PADA ORGANISASI LAIN
Pasal 17
Perusahaan wajib terdaftar menjadi anggota lembaga
penyedia informasi perkreditan yang ditetapkan oleh OJK.
Pasal 18
Perusahaan wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang
menaungi Perusahaan di Indonesia.
BAB VI ...
- 20 -
BAB VI
UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Pembentukan UUS
Pasal 19
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
Pembiayaan Syariah wajib membentuk UUS.
(2) UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mempunyai pembukuan terpisah dari Perusahaan
Pembiayaan.
Bagian Kedua
Modal Kerja UUS
Pasal 20
(1) UUS wajib mempunyai modal kerja paling sedikit
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
(2) Modal kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disisihkan dalam bentuk deposito berjangka atas nama
Perusahaan Pembiayaan dan ditempatkan pada salah
satu bank umum syariah di Indonesia.
Bagian Ketiga
Perizinan UUS
Pasal 21
(1) UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
wajib terlebih dahulu memperoleh izin UUS dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi Perusahaan Pembiayaan harus
mengajukan permohonan pembukaan UUS kepada
OJK dengan menggunakan format 3 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Pengajuan permohonan izin pembukaan UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri
dengan ...
- 21 -
dengan:
a. perubahan anggaran dasar yang mencantumkan:
1. salah satu maksud dan tujuan perusahaan yaitu
melakukan kegiatan usaha pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah; dan
2. wewenang dan tanggung jawab DPS,
disertai dengan bukti persetujuan dan/atau surat
penerimaan pemberitahuan dari instansi
berwenang;
b. fotokopi bukti setoran modal kerja dalam bentuk
deposito berjangka atas nama Perusahaan
Pembiayaan pada salah satu bank umum syariah di
Indonesia yang dilegalisasi oleh bank penerima
setoran yang masih berlaku selama dalam proses
perizinan UUS;
c. surat keputusan Direksi Perusahaan Pembiayaan
yang menyetujui penempatan modal kerja pada
UUS disertai dengan besaran jumlah penempatan
modal kerjanya;
d. data pimpinan UUS, meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
2. daftar riwayat hidup;
3. bukti pengangkatan sebagai pimpinan UUS;
4. surat pernyataan yang menyatakan:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di
sektor perbankan;
b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain; dan
5. bukti keahlian, pelatihan, dan/atau pengalaman
di bidang keuangan syariah;
e. data DPS, meliputi:
1. bukti lulus penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi ...
- 22 -
bagi DPS;
2. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota mengenai pengangkatan DPS;
f. laporan keuangan awal UUS yang terpisah dari
kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan;
g. dokumen pelaporan penggunaan akad yang
digunakan dalam kegiatan Pembiayaan Syariah
sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK
mengenai penyelenggaraan usaha pembiayaan
syariah;
h. rencana kerja UUS yang akan dibuka yang paling
sedikit memuat:
1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
2. target penyaluran Pembiayaan Syariah dan
langkah-langkah
yang dilakukan
mewujudkan target dimaksud;
3. sistem dan prosedur kerja;
4. jumlah dan susunan personalia; dan
5. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas)
bulan yang dimulai sejak UUS melakukan
kegiatan operasional serta proyeksi laporan
posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan.
(4) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan
sebagian kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, wajib
menyampaikan permohonan izin UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan
sejak Peraturan OJK ini ditetapkan, dilampiri dengan:
a. fotokopi bukti setoran modal kerja pada salah satu
bank umum syariah di Indonesia yang dilegalisasi
oleh bank penerima setoran;
b. surat keputusan Direksi mengenai penempatan
modal kerja pada UUS;
c. surat ...
untuk
- 23 -
c. surat pencatatan perubahan anggaran dasar
Perusahaan
Pembiayaan dalam rangka
pembentukan UUS dari Menteri Keuangan atau
OJK; dan
d. daftar Kantor Cabang Perusahaan Pembiayaan
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah, disertai dengan fotokopi izin
Kantor Cabang Perusahaan.
(5) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan belum memiliki
surat pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf c, maka Perusahaan Pembiayaan harus
melampirkan anggaran dasar yang memuat maksud
dan tujuan perusahaan untuk melakukan kegiatan
Pembiayaan Syariah dan surat rekomendasi DPS dari
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 22
(1) Dalam memproses permohonan izin pembukaan UUS,
OJK melakukan:
a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
atau ayat (4);
b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf h; dan
c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pembiayaan
Syariah.
(2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin pembukaan UUS paling lama 30 (tiga
puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan
izin pembukaan UUS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (3) atau ayat (4) diterima secara lengkap
dan benar.
(3) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan
penolakan ...
- 24 -
penolakan.
Pasal 23
(1) UUS wajib melakukan kegiatan usaha Pembiayaan
Syariah paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak
tanggal izin pembukaan UUS ditetapkan.
(2) UUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
kegiatan usaha Pembiayaan Syariah kepada OJK
paling lama 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal
dimulainya kegiatan usaha UUS.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
pelaksanaan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
(4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan Direksi Perusahaan
Pembiayaan dengan menggunakan format 4
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
OJK ini dengan dilampiri:
a. daftar perjanjian kegiatan usaha Pembiayaan
Syariah yang telah dilakukan; dan
b. fotokopi perjanjian kegiatan usaha Pembiayaan
Syariah yang telah dilakukan.
Bagian Keempat
Pimpinan UUS
Pasal 24
(1) UUS wajib dipimpin oleh seorang pimpinan UUS.
(2) Pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memenuhi ketentuan:
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor
perbankan;
b. tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada
perusahaan ...
- 25 -
perusahaan yang sama; dan
c. mempunyai keahlian dan/atau pengalaman di
bidang syariah.
Pasal 25
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib melaporkan perubahan
pimpinan UUS kepada OJK paling lama 15 (lima belas)
hari kalender sejak tanggal pengangkatan pimpinan
UUS.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
perubahan pimpinan UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(3) Pelaporan perubahan pimpinan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(3) huruf d.
Bagian Kelima
Kantor Cabang Unit Syariah
Pasal 26
(1) UUS dapat membuka Kantor Cabang Unit Syariah di
dalam atau di luar negeri dengan wajib terlebih dahulu
memperoleh izin dari OJK.
(2) UUS yang membuka Kantor Cabang Unit Syariah
harus memenuhi persyaratan:
a. tingkat kesehatan keuangan syariah dengan kondisi
minimum sehat;
b. tidak sedang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha oleh OJK; dan
c. memiliki sumber daya manusia yang memiliki
pengalaman dan/atau pelatihan mengenai
keuangan syariah.
Pasal 27 ...
- 26 -
Pasal 27
(1) Untuk memperoleh izin pembukaan Kantor Cabang
Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1), Direksi Perusahaan Pembiayaan harus
mengajukan permohonan kepada OJK dengan
menggunakan format 5 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan OJK ini.
(2) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Unit
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan dokumen:
a. data pimpinan Kantor Cabang Unit Syariah,
meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku; dan
2. daftar riwayat hidup;
b. data sumber daya manusia yang memiliki
pengalaman dan/atau pelatihan mengenai
keuangan syariah;
c. data alamat lengkap Kantor Cabang Unit Syariah
disertai dengan bukti kepemilikan atau penguasaan
gedung kantor; dan
d. rencana kerja Kantor Cabang Unit Syariah yang
akan dibuka yang paling sedikit memuat:
1. target pembiayaan dan langkah-langkah untuk
mewujudkan target pembiayaan;
2. sistem dan prosedur kerja;
3. struktur organisasi; dan
4. jumlah dan susunan personalia, disertai dengan
daftar riwayat hidup.
Pasal 28
(1) Dalam rangka memproses permohonan izin
pembukaan ...
- 27 -
pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah, OJK
melakukan:
a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2);
b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d; dan
c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pembiayaan
Syariah.
(2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Unit
Syariah paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender
setelah dokumen permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2) diterima secara lengkap dan benar.
(3) Penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 29
(1) UUS wajib melaporkan perubahan alamat Kantor
Cabang Unit Syariah kepada OJK paling lambat 15
(lima belas) hari kalender terhitung sejak tanggal
perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
(3) Pelaporan perubahan alamat Kantor Cabang Unit
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diajukan oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan dengan
menggunakan format 6 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri data alamat
lengkap Kantor Cabang Unit Syariah disertai dengan
bukti ...
- 28 -
bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor.
Pasal 30
(1) UUS yang akan menutup Kantor Cabang Unit Syariah
wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada Debitur
mengenai:
a. rencana penutupan Kantor Cabang Unit Syariah;
dan
b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban.
(2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
dilakukan berdasarkan peraturan perundangan-
undangan dan memperhatikan kepentingan Debitur.
Pasal 31
(1) UUS wajib melaporkan penutupan Kantor Cabang Unit
Syariah kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari
kalender terhitung sejak tanggal penutupan Kantor
Cabang Unit Syariah.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
penutupan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas
akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(3) Pelaporan penutupan Kantor Cabang Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan
oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan dengan
menggunakan format 7 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri:
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor
Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1) huruf a; dan
b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak
dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) huruf b; dan
c. bukti ...
- 29 -
c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban.
(4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), OJK mencabut izin pembukaan Kantor
Cabang Unit Syariah.
Pasal 32
OJK dapat mencabut izin pembukaan Kantor Cabang Unit
Syariah apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan secara
terus menerus, Kantor Cabang Unit Syariah dimaksud
terbukti tidak melakukan kegiatan operasional.
Pasal 33
(1) UUS dapat membuka kantor selain Kantor Cabang
Unit Syariah di wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang:
a. memberikan persetujuan Pembiayaan Syariah
kepada calon Debitur; dan
b. menandatangani perjanjian atau kontrak
Pembiayaan Syariah dengan Debitur.
(3) Kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab kepada dan dikoordinasikan oleh Kantor Cabang
Unit Syariah sesuai dengan lingkup wilayah
operasional Kantor Cabang Unit Syariah dimaksud.
(4) Dalam hal Perusahaan belum mempunyai Kantor
Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah
bertanggung jawab kepada dan dikoordinasikan oleh
Kantor Cabang Unit Syariah terdekat atau UUS.
(5) Pembukaan kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan
secara tertulis kepada OJK paling lama 15 (lima belas)
hari kalender setelah tanggal pembukaan kantor
dimaksud, dengan menyebutkan fungsi kantor
dimaksud, alamat lengkap kantor dan identitas
pimpinan ...
- 30 -
pimpinan kantor dilampiri dengan bukti kepemilikan
atau penguasaan gedung kantor.
(6) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
pembukaan kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
Pasal 34
(1) Perubahan alamat dan penutupan kantor selain
Kantor Cabang Unit Syariah wajib dilaporkan oleh
UUS kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari
kalender setelah tanggal perubahan alamat dan
penutupan kantor.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
perubahan alamat dan penutupan kantor selain
Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
Bagian Keenam
Penutupan UUS
Pasal 35
(1) Perusahaan Pembiayaan dapat menutup UUS dengan
wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penutupan
UUS kepada OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender sebelum penutupan dilakukan.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan rencana
penutupan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian
laporan adalah hari kerja pertama berikutnya.
(3) Perusahaan Pembiayaan yang akan menutup UUS
wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada Debitur
mengenai:
a. rencana penutupan UUS; dan
b. prosedur ...
- 31 -
b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban Debitur.
(4) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban kepada
Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundangan-
undangan dan memperhatikan kepentingan Debitur.
Pasal 36
(1) Pelaporan penutupan UUS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1) harus diajukan oleh Direksi
Perusahaan Pembiayaan dengan menggunakan format
8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
OJK ini, dengan dilampiri :
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan UUS
kepada Debitur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (3) huruf a;
b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak
dan kewajiban kepada Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf b; dan
c. bukti penyelesaian keberatan dari Debitur, apabila
terdapat keberatan dari Debitur.
(2) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut izin pembukaan UUS.
Bagian Ketujuh
Pemisahan UUS
Pasal 37
(1) Perusahaan Pembiayaan yang berbadan hukum
perseroan terbatas wajib memisahkan UUS menjadi
Perusahaan Pembiayaan Syariah dengan cara
mendirikan badan hukum perseroan terbatas dengan
ketentuan:
a. apabila nilai aset UUS telah mencapai paling sedikit
50% (lima puluh persen) dari total aset Perusahaan
Pembiayaan induknya berdasarkan laporan
bulanan terakhir yang disampaikan kepada OJK;
atau ...
- 32 -
atau
b. paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya
Peraturan OJK ini.
(2) Pemisahan UUS menjadi Perusahaan Pembiayaan
Syariah dengan badan hukum perseroan terbatas
wajib dilakukan Perusahaan Pembiayaan dalam jangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam hal selama proses Pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), aset UUS menurun dan tidak
lagi mencapai paling rendah 50% (lima puluh persen)
dari total aset Perusahaan Pembiayaan induknya,
kondisi dimaksud tidak menghilangkan kewajiban
Perusahaan Pembiayaan untuk melakukan Pemisahan
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(4) Perusahaan Pembiayaan yang memiliki UUS dapat
memisahkan UUS sebelum terpenuhinya kondisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK ini dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 38
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil Pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dikecualikan
dari ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9.
(2) Modal Disetor Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil
Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) dan ayat (4)
paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(3) Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil Pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dan
ayat (4) wajib meningkatkan Modal Disetor menjadi
paling ...
- 33 -
paling sedikit sebesar ketentuan permodalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 paling lama 5
(lima) tahun sejak tanggal izin usaha Perusahaan
Pembiayaan Syariah hasil Pemisahan diberikan.
Pasal 39
Pelaksanaan pemisahan UUS wajib dilakukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
KANTOR CABANG
Pasal 40
(1) Perusahaan dapat membuka Kantor Cabang di dalam
atau di luar negeri.
(2) Untuk dapat membuka Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib terlebih
dahulu memperoleh izin pembukaan Kantor Cabang
dari OJK.
(3) Untuk memperoleh izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan
harus mengajukan permohonan izin pembukaan
Kantor Cabang kepada OJK.
Pasal 41
Perusahaan dapat membuka Kantor Cabang dengan
memenuhi persyaratan:
a. tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi minimum
sehat; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan
usaha oleh OJK.
Pasal 42
(1) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) harus
diajukan oleh
Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 9 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran ...
- 34 -
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dokumen:
a. rencana bisnis tahunan Perusahaan yang paling
sedikit memuat:
1. alamat lengkap Kantor Cabang yang akan
dibuka;
2. sumber pendanaan;
3. target pembiayaan; dan
4. proyeksi keuangan yang terdiri dari arus kas,
laporan posisi keuangan, dan laporan kinerja
keuangan;
b. rencana kerja Kantor Cabang yang akan dibuka
yang paling sedikit memuat:
1. target pembiayaan dan langkah-langkah untuk
mewujudkan target pembiayaan;
2. sistem dan prosedur kerja;
3. struktur organisasi;
4. proyeksi keuangan bulanan yang terdiri dari
arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan
kinerja keuangan selama 12 (dua belas) bulan;
dan
5. analisis potensi pasar dan persaingan usaha.
c. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor;
d. jumlah dan susunan personalia, disertai dengan
daftar riwayat hidup dan nama calon kepala
cabang.
Pasal 43
(1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).
(2) OJK ...
- 35 -
(2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan
permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dokumen
permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)
diterima secara lengkap dan benar.
(3) Dalam rangka memproses permohonan izin
pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1), OJK melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2);
b. analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2); dan
c. verifikasi langsung ke Kantor Cabang yang akan
dibuka, apabila diperlukan.
(4) Penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 44
Kantor cabang Perusahaan Pembiayaan dilarang
melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah kecuali telah
memiliki izin sebagai Kantor Cabang Unit Syariah.
Pasal 45
(1) Perusahaan yang akan menutup Kantor Cabang wajib
terlebih dahulu memberitahukan kepada Debitur
mengenai:
a. rencana penutupan Kantor Cabang; dan
b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban.
(2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
dilakukan berdasarkan
peraturan
perundang-
undangan dan memperhatikan kepentingan Debitur.
(3) Perusahaan ...
- 36 -
(3) Perusahaan wajib melaporkan penutupan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
tertulis kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari
kalender terhitung sejak tanggal penutupan Kantor
Cabang.
(4) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(5) Pelaporan penutupan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus diajukan oleh Direksi
Perusahaan dengan menggunakan format 10
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
OJK ini, dengan dilampiri:
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a;
b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak
dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b; dan
c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban Debitur.
(6) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), OJK mencabut izin pembukaan Kantor
Cabang terhitung sejak tanggal penutupan.
Pasal 46
OJK dapat mencabut izin pembukaan Kantor Cabang
apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan secara terus
menerus, Kantor Cabang dimaksud terbukti tidak
melakukan kegiatan operasional.
Pasal 47
(1) Perusahaan dapat membuka kantor selain Kantor
Cabang dengan melaporkan kepada OJK paling lama
10 (sepuluh) ...
- 37 -
10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal pembukaan.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
pembukaan kantor selain Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas
akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(3) Pelaporan pembukaan kantor selain Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
menggunakan format 11 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dilengkapi dengan
fungsi kantor beserta alamat lengkap.
Pasal 48
(1) Kantor selain Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 bertanggung jawab kepada Kantor
Cabang sesuai lingkup wilayah operasional Kantor
Cabang dimaksud.
(2) Dalam hal Perusahaan belum mempunyai Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kantor
selain Kantor Cabang bertanggung jawab kepada dan
dikoordinasikan oleh Kantor Cabang terdekat atau
kantor pusat.
(3) Kantor selain Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang:
a. memberikan persetujuan pembiayaan kepada calon
Debitur;
b. menandatangani perjanjian atau kontrak
pembiayaan dengan Debitur.
Pasal 49
(1) Perusahaan dapat meningkatkan status kantor selain
Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang dengan terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK.
(2) Permohonan persetujuan peningkatan status
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan ...
- 38 -
dengan menyampaikan surat permohonan sesuai
format 12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK dilengkapi dengan:
a. rencana bisnis tahunan Perusahaan yang paling
sedikit memuat:
1. alamat lengkap Kantor Cabang yang akan
dibuka;
2. sumber pendanaan;
3. target pembiayaan; dan
4. proyeksi keuangan yang terdiri dari arus kas,
laporan posisi keuangan, dan laporan kinerja
keuangan;
b. rencana kerja Kantor Cabang yang akan dibuka
yang paling sedikit memuat:
1. target pembiayaan dan langkah-langkah untuk
mewujudkan target pembiayaan;
2. sistem dan prosedur kerja;
3. struktur organisasi;
4. proyeksi keuangan bulanan yang terdiri dari
arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan
kinerja keuangan selama 12 (dua belas) bulan;
5. analisis potensi pasar dan persaingan usaha;
dan
c. jumlah dan susunan personalia, disertai dengan
daftar riwayat hidup dan nama calon kepala
cabang.
(3) Rencana kerja Kantor Cabang yang memuat target
pembiayaan, proyeksi keuangan, analisis potensi pasar
dan persaingan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b angka 1, angka 4, dan angka 5 dapat
disusun berdasarkan kinerja masa lampau dan
prospek usaha dari kantor selain Kantor Cabang
dimaksud.
Pasal 50 ...
- 39 -
Pasal 50
Perusahaan dilarang melakukan perubahan alamat Kantor
Cabang di luar kabupaten/kota yang menjadi lingkup
kewenangan Kantor Cabang sebelumnya.
BAB VIII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 51
(1) Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan
terbatas yang melakukan perubahan anggaran dasar
tertentu wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15
(lima belas) hari kalender setelah perubahan disetujui
atau dicatat oleh instansi yang berwenang.
(2) Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi yang
melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib
melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas)
hari kalender setelah perubahan disahkan oleh
instansi yang berwenang atau disetujui rapat anggota.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
(4) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) meliputi
perubahan:
a. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha
Perusahaan;
b. nama Perusahaan;
c. pengurangan modal ditempatkan dan disetor bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
d. status ...
- 40 -
d. status Perusahaan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas tertutup menjadi perseroan
terbatas terbuka atau sebaliknya; dan/atau
e. penambahan modal ditempatkan dan disetor bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas.
(5) Dalam hal perubahan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a memerlukan
persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha
perusahaan pembiayaan dan Peraturan OJK mengenai
penyelenggaraan usaha pembiayaan syariah, maka
Perusahaan wajib terlebih dahulu memenuhi
persyaratan dimaksud.
(6) Pelaporan perubahan maksud dan tujuan serta
kegiatan usaha Perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf a harus menggunakan format 13
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
OJK ini, dilampiri dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti pengesahan atau persetujuan dari instansi
berwenang; dan
b. contoh perjanjian pembiayaan yang akan
digunakan, dalam hal terjadi perubahan kegiatan
usaha.
(7) Pelaporan perubahan nama Perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b harus menggunakan
format 14 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
b. akta ...
- 41 -
b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan
anggaran dasar bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum koperasi; dan
c. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama baru
dari Perusahaan.
(8) Pelaporan pengurangan modal ditempatkan dan
disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf c harus menggunakan format 15
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
OJK ini, dilampiri dokumen perubahan anggaran
dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari
instansi berwenang.
(9) Pelaporan perubahan status Perusahaan yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas tertutup
menjadi perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, harus
menggunakan format 16 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri
dokumen perubahan anggaran dasar disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang.
(10) Pelaporan penambahan modal ditempatkan dan
disetor Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf e, harus menggunakan format 17
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
OJK ini, dilampiri dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti surat penerimaan pemberitahuan dari
instansi berwenang bagi Perusahaan yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas;
b. bukti penambahan modal, yaitu:
1. fotokopi bukti setoran modal pada salah satu
bank ...
- 42 -
bank umum atau bank umum syariah di
Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima
setoran, dalam hal penambahan Modal Disetor
dilakukan dalam bentuk uang tunai; atau
2. laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit
oleh akuntan publik sebelum penambahan
modal, dalam hal penambahan Modal Disetor
dilakukan dalam bentuk pengalihan pinjaman
subordinasi dan/atau saldo laba bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
c. surat pernyataan pemegang saham atau anggota
koperasi yang menyatakan bahwa setoran modal
tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian
uang (money laundering) dan kejahatan keuangan
dalam hal penambahan modal dilakukan dalam
bentuk uang tunai sebagaimana dimaksud pada
huruf b angka 1;
d. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik dan/atau laporan keuangan terakhir, dalam
hal pemegang saham berupa badan usaha, lembaga
atau badan hukum koperasi; dan
e. rencana bisnis (business plan) dan langkah-langkah
Perusahaan dalam penggunaan penambahan Modal
Disetor.
Bagian Kedua
Pelaporan Perubahan Direksi, Dewan Komisaris,
Pemegang Saham, dan Dewan Pengawas Syariah
Pasal 52
(1) Perusahaan yang melakukan perubahan:
a. anggota Direksi
b. anggota Dewan Komisaris; dan/atau
c. pemegang saham;
wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima
belas) ...
- 43 -
belas) hari kalender setelah perubahan disetujui atau
dicatat oleh instansi yang berwenang.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan/atau anggota pemegang saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas
akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(3) Pelaporan perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris Perusahaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b, harus menggunakan
format 18 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen:
a. akta risalah rapat anggota bagi Perusahaan yang
berbentuk badan hukum koperasi; dan
b. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti surat penerimaan pemberitahuan dari
instansi berwenang bagi Perusahaan yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas.
(4) Pelaporan perubahan pemegang saham Perusahaan
berbentuk badan hukum perseroan terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus
menggunakan format 19 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri
dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti surat pencatatan dari instansi berwenang;
b. akta pemindahan hak atas saham, dalam hal
terjadi pemindahan hak atas saham;
c. data pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, dalam hal terdapat
pemegang saham baru; dan
d. surat pernyataan pemegang saham yang
menyatakan ...
- 44 -
menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk
membeli saham Perusahaan tidak berasal kegiatan
pencucian uang (money laundering) dan kejahatan
keuangan, dalam hal terjadi jual beli saham.
(5) Dalam hal Perusahaan memperdagangkan sahamnya
di bursa efek, kewajiban pelaporan perubahan
pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c berlaku apabila:
a. terdapat perubahan pemegang saham dari saham
yang diperoleh bukan dari perdagangan bursa efek;
dan/atau
b. terdapat perubahan PSP.
Pasal 53
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS wajib
melaporkan perubahan susunan dan kedudukan DPS
kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender
sejak pengangkatan sesuai dengan format 20
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisah dari Peraturan OJK
ini.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
perubahan susunan dan kedudukan DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas
akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan:
a. bukti lulus penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi DPS; dan
b. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota mengenai pengangkatan anggota DPS.
Bagian ...
- 45 -
Bagian Ketiga
Laporan Perubahan Alamat
Pasal 54
(1) Perusahaan wajib melaporkan perubahan alamat
kantor pusat, Kantor Cabang, atau kantor selain
Kantor Cabang secara tertulis kepada OJK paling lama
10 (sepuluh) hari kalender terhitung sejak tanggal
perubahan.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
perubahan alamat kantor pusat, Kantor Cabang, atau
kantor selain Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(3) Pelaporan perubahan alamat kantor pusat, Kantor
Cabang, atau kantor selain Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menggunakan format 21 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan
bukti kepemilikan atau penguasaan atas gedung
kantor yang baru.
BAB IX
PENGGABUNGAN, PELEBURAN,
PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN
Bagian Kesatu
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Pasal 55
(1) Perusahaan dapat melakukan:
a. Penggabungan;
b. Peleburan; atau
c. Pengambilalihan.
(2) Penggabungan ...
- 46 -
(2) Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat
dilakukan oleh Perusahaan berbentuk badan hukum
yang sama.
(3) Pengambilalihan terhadap Perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 10, dan Pasal 12.
Pasal 56
(1) Perusahaan yang akan melakukan Penggabungan,
Peleburan, atau Pengambilalihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
wajib
menyampaikan rencana pelaksanaan Penggabungan,
Peleburan, atau Pengambilalihan kepada OJK untuk
mendapatkan persetujuan.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), disampaikan oleh Direksi kepada OJK,
dengan menggunakan format 22 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan
melampirkan:
a. rencana akta risalah rapat umum pemegang saham
atau rapat anggota;
b. rencana akta Penggabungan, Peleburan, atau
Pengambilalihan;
c. rencana daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, bagi Perusahaan
yang akan melakukan Penggabungan atau
Peleburan;
d. akta pemindahan hak atas saham, dalam hal
Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung
dari pemegang saham, bagi Perusahaan yang akan
melakukan Pengambilalihan;
e. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit;
f. laporan ...
- 47 -
f. laporan keuangan proforma dari Perusahaan hasil
Penggabungan atau Peleburan;
g. data pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c;
h. surat pernyataan pemegang saham yang
menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk
membeli saham Perusahaan tidak berasal dari
pinjaman, kegiatan pencucian uang (money
laundering) dan kejahatan keuangan, bagi
Perusahaan
yang
Pengambilalihan; dan
i. dokumen yang menyatakan bahwa Perusahaan
tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang
berwenang.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2);
b. analisis kelayakan atas rencana Penggabungan
atau Peleburan;
c. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon PSP, anggota DPS, anggota Dewan Komisaris
dan anggota Direksi; dan
d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pembiayaan.
Pasal 57
(1) Perusahaan yang menerima Penggabungan wajib
melaporkan Penggabungan atau Perusahaan hasil
Peleburan wajib melaporkan Peleburan secara tertulis
kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender
terhitung sejak tanggal diterimanya persetujuan atau
pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari
instansi berwenang.
(2) Perusahaan ...
akan
melakukan
- 48 -
(2) Perusahaan yang diambil alih wajib melaporkan
Pengambilalihan secara tertulis kepada OJK paling
lama 10 (sepuluh) hari kalender terhitung sejak
tanggal akta Pengambilalihan yang dibuat di hadapan
notaris.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atau laporan Pengambilalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
(4) Pelaporan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus menggunakan format
23 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
OJK ini, dilampiri dengan:
a. untuk Penggabungan:
1. akta risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota;
2. akta Penggabungan yang telah disetujui atau
dicatat oleh instansi yang berwenang;
3. daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b; dan
4. data pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c;
b. untuk Peleburan:
1. akta risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota;
2. akta Peleburan yang telah disetujui atau dicatat
oleh instansi yang berwenang;
3. daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b; dan
4. data pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c.
(5) Dalam ...
- 49 -
(5) Dalam rangka pelaporan Penggabungan atau
Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan yang menerima Penggabungan atau hasil
Peleburan dapat mengajukan permohonan izin
pembukaan Kantor Cabang yang sebelumnya dimiliki
oleh Perusahaan yang menggabungkan diri atau yang
meleburkan diri kepada OJK atas namanya.
(6) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus
menggunakan format 24 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan:
a. izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang
dimiliki oleh Perusahaan yang menggabungkan diri
atau yang meleburkan diri; dan
b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor.
(7) Berdasarkan pelaporan Penggabungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a dan permohonan izin
pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), OJK:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf a angka 1 sampai dengan angka 4;
b. mencabut izin usaha dan izin pembukaan Kantor
Cabang Perusahaan yang menggabungkan diri;
dan
c. memberikan persetujuan atas permohonan izin
pembukaan Kantor Cabang dalam Penggabungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Berdasarkan pelaporan Peleburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b dan permohonan izin
pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), OJK:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran ...
- 50 -
kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf b angka 1 sampai dengan angka 4;
b. mencabut izin usaha dan izin pembukaan Kantor
Cabang Perusahaan yang meleburkan diri;
c. memberikan persetujuan atau penolakan izin usaha
kepada Perusahaan yang merupakan hasil
Peleburan; dan
d. memberikan persetujuan izin atas permohonan
pembukaan Kantor Cabang dalam Peleburan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dalam hal
OJK memberikan persetujuan atas izin usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf c.
(9) Pemberian persetujuan izin pembukaan Kantor
Cabang dalam Penggabungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) huruf c dilakukan paling lama 40 (empat
puluh) hari kalender setelah dokumen pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diterima
secara lengkap dan benar.
(10) Pemberian persetujuan atau penolakan izin usaha
dalam Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
huruf c dan pemberian persetujuan izin pembukaan
Kantor Cabang dalam Peleburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) huruf d dilakukan paling lama
40 (empat puluh) hari kalender setelah dokumen
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf
b dan ayat (6) diterima secara lengkap dan benar.
(11) Dalam hal OJK menolak untuk menetapkan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c
penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara
tertulis.
(12) Sebelum persetujuan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) huruf c diberikan, Perusahaan
dilarang menjalankan kegiatan usaha pembiayaan.
Bagian ...
- 51 -
Bagian Kedua
Pemisahan
Pasal 58
(1) Perusahaan dapat melakukan Pemisahan, dengan
cara:
a. Pemisahan murni; atau
b. Pemisahan tidak murni.
(2) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a harus mengakibatkan seluruh aset,
liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan beralih karena
hukum kepada 2 (dua) Perusahaan lain atau lebih
yang menerima peralihan, dan Perusahaan yang
melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena
hukum.
(3) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b harus mengakibatkan sebagian aset,
liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan beralih karena
hukum kepada 1 (satu) Perusahaan lain atau lebih
yang menerima peralihan, dan Perusahaan yang
melakukan Pemisahan tersebut tetap ada.
Pasal 59
(1) Perusahaan dapat melakukan Pemisahan murni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf
a, dengan cara mendirikan Perusahaan baru.
(2) Perusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang melakukan kegiatan usaha pembiayaan
sebelum memperoleh izin usaha dari OJK.
(3) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Direksi Perusahaan baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mengajukan
permohonan izin usaha kepada OJK paling lama 60
(enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal
akta Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris.
(4) OJK ...
- 52 -
(4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Pasal 60
(1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (3), harus diajukan dengan
menggunakan format 25 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2);
b. akta risalah rapat umum pemegang saham yang
menyetujui Pemisahan; dan
c. akta Pemisahan.
(3) Dalam rangka permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Perusahaan baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dapat mengajukan
permohonan penetapan izin pembukaan Kantor
Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan
yang melakukan Pemisahan murni kepada OJK atas
namanya.
(4) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus
menggunakan format 26 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan:
a. izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang
dimiliki oleh Perusahaan yang melakukan
Pemisahan murni; dan
b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor.
(5) Berdasarkan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan permohonan izin
pembukaan ...
- 53 -
pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), OJK:
a. menetapkan pencabutan izin usaha dan izin
pembukaan Kantor Cabang Perusahaan yang
melakukan Pemisahan murni; dan
b. memberikan persetujuan izin pembukaan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dalam hal permohonan izin usaha disetujui.
Pasal 61
(1) Perusahaan dapat melakukan Pemisahan tidak murni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf
b, dengan cara:
a. mendirikan Perusahaan baru; atau
b. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas
Perusahaan kepada Perusahaan lain yang telah
memperoleh izin usaha.
(2) Perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak murni
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan Pemisahan dari OJK.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan
Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus diajukan oleh Direksi Perusahaan yang
akan melakukan Pemisahan kepada OJK dengan
menggunakan format 27 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri
dokumen:
a. rancangan akta Pemisahan;
b. rancangan akta pendirian Perusahaan yang akan
menerima aset, liabilitas, dan ekuitas; dan
c. proyeksi laporan posisi keuangan Perusahaan yang
melakukan Pemisahan.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan
Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberikan ...
- 54 -
diberikan paling lama 20 (dua puluh) hari kalender
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap
dan benar.
(5) Perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak murni
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dapat
melakukan kegiatan usaha pembiayaan.
Pasal 62
(1) Perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak murni
setelah memperoleh persetujuan Pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4) wajib
melaporkan pelaksanaan Pemisahan secara tertulis
kepada OJK paling lambat 6 (enam) bulan terhitung
sejak tanggal persetujuan Pemisahan diperoleh.
(2) Pelaporan pelaksanaan Pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan format 28
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
OJK ini, dilampiri dokumen:
a. akta risalah rapat umum pemegang saham yang
menyetujui Pemisahan;
b. akta Pemisahan; dan
c. perubahan anggaran dasar yang disahkan atau
disetujui oleh instansi berwenang, dalam hal terjadi
perubahan anggaran dasar.
(3) Dalam hal Pemisahan tidak murni sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b dilakukan
terhadap UUS, berdasarkan pelaporan pelaksanaan
Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) OJK
mencabut izin UUS.
Pasal 63
(1) Perusahaan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) huruf a dilarang melakukan kegiatan usaha
pembiayaan sebelum memperoleh izin usaha dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ...
- 55 -
pada ayat (1), Direksi Perusahaan baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a harus
mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK.
(3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Pasal 64
(1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (2) harus diajukan dengan menggunakan
format 29 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2).
(3) Dalam rangka permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Perusahaan baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a, dapat
mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan
yang melakukan Pemisahan tidak murni kepada OJK
atas namanya.
(4) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus
menggunakan format 30 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan:
a. izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang
dimiliki oleh Perusahaan yang melakukan
Pemisahan tidak murni; dan
b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor.
(5) Berdasarkan permohonan izin pembukaan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK
memberikan persetujuan izin pembukaan Kantor
Cabang ...
- 56 -
Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam
hal permohonan izin usaha disetujui.
Pasal 65
Pemrosesan permohonan izin usaha, pemberian
persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha bagi
Perusahaan baru hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) huruf a
berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Pasal 4.
Bagian Ketiga
Pemenuhan Ketentuan Lain
Pasal 66
(1) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan
Pemisahan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perusahaan yang menerima Penggabungan, hasil
Peleburan, Pengambilalihan, dan yang menerima
peralihan wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan
OJK ini.
BAB X
KONVERSI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENJADI
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SYARIAH
Pasal 67
(1) Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan konversi
menjadi Perusahaan Pembiayaan Syariah dengan
terlebih dahulu memperoleh izin dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi Perusahaan Pembiayaan harus
mengajukan permohonan izin kepada OJK dengan
menggunakan format 31 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan:
a. izin usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan;
b. hasil ...
- 57 -
b. hasil penilaian kemampuan dan kepatutan untuk
Direksi, Komisaris, DPS, dan PSP yang masih
berlaku;
c. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota mengenai pengangkatan anggota DPS;
d. akta risalah rapat umum pemegang saham yang
menyetujui konversi;
e. daftar pejabat satu tingkat di bawah Direksi yang
paling sedikit mempunyai keahlian dan/atau
pengalaman di bidang keuangan syariah, dilampiri
dengan bukti menunjukkan keahlian dan/atau
pengalaman dimaksud; dan
f. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama setelah
mendapatkan izin sebagai Perusahaan Pembiayaan
Syariah, yang paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
2. rencana penyaluran pembiayaan dan langkah-
langkah yang dilakukan untuk mewujudkan
rencana dimaksud; dan
3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan dan
laporan laba/rugi komprehensif bulanan serta
asumsi yang mendasarinya dimulai sejak
Perusahaan melakukan kegiatan operasional.
(4) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan
seluruh kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah sebelum berlakunya Peraturan OJK ini
ditetapkan, wajib menyampaikan permohonan izin
sebagai Perusahaan Pembiayaan Syariah dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK
ini ditetapkan, dilampiri dengan izin usaha sebagai
Perusahaan Pembiayaan dan daftar Kantor Cabang
perusahaan.
Pasal 68 ...
- 58 -
Pasal 68
(1) Dalam memproses permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), OJK
melakukan:
a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3)
atau ayat (4);
b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) huruf f; dan
c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pembiayaan
Syariah.
(2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha paling lama 30 (tiga puluh)
hari kalender setelah dokumen permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) atau
ayat (4) diterima secara lengkap dan benar.
(3) Dalam hal OJK menyetujui permohonan izin usaha,
OJK mengubah izin Perusahaan Pembiayaan menjadi
Perusahaan Pembiayaan Syariah.
(4) Dalam hal OJK menolak permohonan izin usaha,
penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara
tertulis.
Pasal 69
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil konversi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1)
dikecualikan dari:
a. ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9; dan
b. kewajiban memiliki Ekuitas paling sedikit:
1. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang
berbentuk ...
- 59 -
berbentuk badan hukum perseroan terbatas;
atau
2. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang
berbentuk koperasi.
(2) Ekuitas Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil
konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat
(1) paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah).
(3) Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil konversi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) wajib
meningkatkan Ekuitas menjadi paling sedikit sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) paling
lama 5 (lima) tahun sejak tanggal izin usaha
Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil Pemisahan
diberikan.
BAB XI
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 70
(1) Pencabutan izin usaha Perusahaan dilakukan oleh
OJK.
(2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal Perusahaan:
a. bubar;
b. dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan OJK ini;
c. melakukan perubahan kegiatan usaha; atau
d. melakukan Penggabungan atau Peleburan.
(3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh OJK,
Perusahaan wajib melakukan
kewajibannya kepada Debitur.
(4) Prosedur
penyelesaian
penyelesaian kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan
peraturan ...
- 60 -
peraturan perundang-undangan dan memperhatikan
kepentingan Debitur.
Pasal 71
(1) Dalam hal Perusahaan bubar karena keputusan rapat
umum pemegang saham atau rapat anggota atau
karena sebab lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, likuidator atau
penyelesai harus melaporkan pembubaran tersebut
kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kalender
terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan atau
penetapan Pembubaran.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian
laporan adalah hari kerja pertama berikutnya.
(3) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dengan menggunakan format 32 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan harus
dilampiri dengan:
a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya
keputusan atau penetapan pembubaran; dan
b. izin usaha.
(4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan.
Pasal 72
(1) Perusahaan yang akan melakukan perubahan kegiatan
usaha sehingga tidak lagi menjadi Perusahaan harus
mendapatkan persetujuan dari OJK.
(2) Permohonan persetujuan perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
menggunakan format 33 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan harus
dilampiri ...
- 61 -
dilampiri dengan:
a. rancangan akta anggaran dasar yang memuat
rencana kegiatan usaha yang baru; dan
b. rencana penyelesaian hak dan kewajiban yang
terkait dengan kegiatan usaha pembiayaan.
(3) Perusahaan wajib melaporkan perubahan kegiatan
usaha paling lama 15 (lima belas) hari kalender sejak
perubahan anggaran dasar disahkan oleh instansi
berwenang, dengan menggunakan format 34
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
OJK ini, dan harus dilampiri dengan:
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota; dan
b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan
oleh instansi berwenang.
(4) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(5) Dalam hal Perusahan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, OJK
dapat mencantumkan Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris ke dalam daftar tidak lulus (DTL) di
sektor jasa keuangan.
(6) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), OJK mencabut izin usaha Perusahaan.
Pasal 73
Perusahaan yang telah dicabut izin usahanya dilarang
untuk menggunakan kata finance, pembiayaan, kata yang
mencirikan kegiatan pembiayaan atau pembiayaan
syariah, dalam nama Perusahaan.
BAB XII ...
- 62 -
BAB XII
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN DAN PELAYARAN
Pasal 74
Perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan
kegiatan di bidang ketenagalistrikan tidak wajib memenuhi
ketentuan mengenai Pasal 10, Pasal 12 ayat (1), dan Pasal
17.
Pasal 75
Perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan
kegiatan di bidang pelayaran tidak wajib memenuhi
ketentuan Pasal 10, Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 17.
BAB XIII
SANKSI
Pasal 76
(1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 6
ayat (2), Pasal 8, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2),
Pasal 14, Pasal 15 ayat (3), Pasal 15 ayat (4), Pasal 15
ayat (6), Pasal 15 ayat (7), Pasal 15 ayat (8), Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 40 ayat (2), Pasal 44, Pasal
45 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 45 ayat (3), Pasal
48 ayat (3), Pasal 50, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat
(2), Pasal 51 ayat (5), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat
(1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (3), Pasal 56 ayat
(1), Pasal 57 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), Pasal 57 ayat
(12), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (2), Pasal 62 ayat
(1), Pasal 63 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67 ayat (4), Pasal
69 ayat (3), Pasal 70 ayat (3), Pasal 70 ayat (4), Pasal
72 ayat (3), dan/atau Pasal 73 Peraturan OJK ini
dikenakan sanksi administratif secara bertahap yaitu
berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; dan
c. pencabutan ...
- 63 -
c. pencabutan izin usaha Perusahaan.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK dapat memberikan sanksi tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. larangan pembukaan jaringan Kantor Cabang dan
kantor selain Kantor Cabang;
c. penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
d. pembatalan persetujuan tertentu; dan/atau
e. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut
telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan
pertama yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal Perusahaan dikenakan sanksi administratif
berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, sanksi peringatan tersebut dapat diberikan
secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-
turut dengan masa berlaku masing-masing paling
lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Perusahaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi
peringatan.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Perusahaan tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur ...
- 64 -
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(9) Perusahaan yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
dilarang melakukan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), Perusahaan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan
kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
(12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), Perusahaan tidak juga memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut izin usaha Perusahaan yang bersangkutan.
(13) OJK dapat mengumumkan sanksi pembatasan
kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, pembekuan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 77
(1) Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS dan
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), Pasal 21
ayat (4), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24
ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29
ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (2),
Pasal 33 ayat (5), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1),
Pasal ...
- 65 -
Pasal 35 ayat (3), Pasal 35 ayat (4), Pasal 37 ayat (1),
Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (3), dan/atau Pasal 39
Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif
secara bertahap yaitu berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha UUS; dan
c. pencabutan izin usaha UUS.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK dapat memberikan sanksi tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. larangan pembukaan jaringan Kantor Cabang Unit
Syariah dan/atau kantor selain Kantor Cabang
Unit Syariah;
c. penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
d. pembatalan persetujuan tertentu; dan/atau
e. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah
diselesaikan, tetap dkenakan sanksi peringatan
pertama yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai
UUS dikenakan sanksi administratif berupa peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sanksi
peringatan tersebut dapat diberikan secara tertulis
paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa
berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan.
(6) Dalam ...
- 66 -
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha UUS.
(7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan
secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada
hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha UUS berlaku hingga hari
kerja pertama berikutnya.
(9) Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang
dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilarang
melakukan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS.
(11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan usaha
pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi
pencabutan izin usaha UUS.
(12) Dalam ...
- 67 -
(12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
izin usaha UUS yang bersangkutan.
(13) OJK dapat mengumumkan sanksi pembatasan
kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, pembekuan kegiatan usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan/atau pencabutan izin usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 78
Dalam hal Perusahaan mendapatkan sanksi administratif
berupa sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 ayat (1) huruf a dan Pasal 77 ayat (1) huruf a
secara kumulatif sebanyak 5 (lima) kali atau lebih dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun, OJK dapat meminta Direksi
dan/atau Dewan Komisaris untuk mengikuti penilaian
kembali kemampuan dan kepatutan.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 79
Perusahaan Pembiayaan yang telah mendapatkan izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan maka izin
usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan dinyatakan masih
berlaku.
Pasal 80
Ketentuan mengenai penggunaan nama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) tidak berlaku bagi
Perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini ditetapkan sepanjang Perusahaan tidak
melakukan perubahan nama Perusahaan.
Pasal 81 ...
- 68 -
Pasal 81
(1) Ketentuan mengenai batasan kepemilikan asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak berlaku
bagi Perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha
sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan sepanjang
Perusahaan tidak melakukan perubahan modal,
perubahan komposisi pemegang saham, dan/atau
perubahan pemegang saham.
(2) Bagi Perusahaan yang melebihi batasan kepemilikan
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sebelum
Peraturan OJK ini ditetapkan dan melakukan
perubahan modal, perubahan komposisi pemegang
saham, dan/atau perubahan pemegang saham,
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dinyatakan berlaku sejak tanggal 31 Desember 2019.
Pasal 82
Bagi Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha
sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal
17, dan Pasal 18 dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak
Peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 83
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK
ini ditetapkan.
Pasal 84
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Perusahaan Pembiayaan berdasarkan:
a. Peraturan
84/PMK.012/2006
Pembiayaan;
Menteri Keuangan Nomor
Perusahaan
tentang
b. Peraturan ...
- 69 -
b. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non
Bank;
c. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan
Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada
Perusahaan Pembiayaan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
220/PMK.010/2012;
d. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan
Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang
Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan
Fidusia;
dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) Perusahaan Pembiayaan yang belum dapat mengatasi
penyebab dikenakannya sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 85
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai perizinan usaha dan
kelembagaan bagi Perusahaan tunduk pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
administratif
Pasal 86 ...
- 70 -
Pasal 86
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 363
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
T
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 28/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title>
<set_date> 19 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 17/POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK SYARIAH BERUPA SAHAM
OLEH EMITEN SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PUBLIK SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri
Pasar Modal syariah di Indonesia, diperlukan penyempurnaan
peraturan mengenai Penerbitan Efek Syariah dengan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penerbitan dan Persyaratan Efek Syariah Berupa Saham Oleh
Emiten Syariah Atau Perusahaan Publik Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK SYARIAH BERUPA
SAHAM OLEH EMITEN SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Emiten Syariah adalah Emiten yang anggaran dasarnya
menyatakan kegiatan dan jenis usaha serta cara
pengelolaan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah di
Pasar Modal.
2. Perusahaan Publik Syariah adalah Perusahaan Publik
yang anggaran dasarnya menyatakan bahwa kegiatan
dan jenis usaha serta cara pengelolaan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
3. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum
Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal
berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya
yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia.
4. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang
bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta
mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal
terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di
Pasar Modal.
5. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat
ASPM adalah:
- 3 -
a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah; atau
b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
syariah,
yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan
pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal.
6. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas
dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka.
Pasal 2
(1) Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah yang
melakukan penerbitan Efek Syariah berupa saham wajib
memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar
Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan
peraturan perundang-undangan lain di sektor Pasar
Modal.
(2) Anggaran dasar Emiten Syariah atau Perusahaan Publik
Syariah yang menerbitkan Efek Syariah berupa saham
wajib memuat kegiatan dan jenis usaha serta cara
pengelolaan usaha Emiten Syariah atau Perusahaan
Publik Syariah dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah di
Pasar Modal.
(3) Dalam hal kegiatan dan jenis usaha Emiten Syariah atau
Perusahaan Publik Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak lagi memenuhi Prinsip Syariah di Pasar
Modal, saham Emiten Syariah atau Perusahaan Publik
Syariah dimaksud tidak lagi merupakan Efek Syariah.
- 4 -
(4) Dalam hal cara pengelolaan usaha Emiten Syariah atau
Perusahaan Publik Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak lagi memenuhi Prinsip Syariah di Pasar
Modal, Otoritas Jasa Keuangan dapat menyatakan saham
Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah
dimaksud tidak lagi merupakan Efek Syariah.
Pasal 3
(1) Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib
memiliki Dewan Pengawas Syariah.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin ASPM dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah
Pasar Modal.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib diangkat oleh RUPS.
BAB II
PENERBITAN
Pasal 4
(1) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Efek Syariah berupa saham oleh Emiten Syariah wajib
mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan
Pendaftaran dan Penawaran Umum, serta Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Pernyataan Pendaftaran oleh Perusahaan Publik Syariah
wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan
Pendaftaran serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 5
Prospektus dalam rangka Pernyataan Pendaftaran dan
Penawaran Umum oleh Emiten Syariah sebagaimana
- 5 -
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau keterbukaan informasi
dalam rangka Pernyataan Pendaftaran oleh Perusahaan Publik
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib
mengungkapkan informasi tambahan sebagai berikut:
a. anggaran dasar yang memuat ketentuan bahwa kegiatan
dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha dilakukan
berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan
b. anggota Dewan Pengawas Syariah, beserta tugas dan
tanggung jawabnya.
Pasal 6
(1) Dewan Pengawas Syariah Emiten Syariah atau
Perusahaan Publik Syariah wajib menyusun laporan hasil
pengawasan tahunan kepada pemegang saham atas
pemenuhan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar
Modal oleh Emiten Syariah atau Perusahaan Publik
Syariah yang diawasi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Direksi Emiten Syariah atau
Perusahaan Publik Syariah.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit memuat:
a. pihak yang dituju;
b. tanggal laporan;
c. pernyataan mengenai laporan yang disusun telah
sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli
Syariah Pasar Modal;
d. pernyataan mengenai rentang waktu dan ruang
lingkup pengawasan atau kegiatan lain yang telah
dilakukan Dewan Pengawas Syariah;
e. pernyataan mengenai opini Dewan Pengawas
Syariah atas pengawasan atau kegiatan lain yang
telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada huruf
d; dan
- 6 -
f.
tanda tangan, nama anggota Dewan Pengawas
Syariah, jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah,
dan nomor izin ASPM.
BAB III
PERUBAHAN KEGIATAN DAN JENIS USAHA SERTA
CARA PENGELOLAAN USAHA
Pasal 7
Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat mengubah anggaran
dasar yang terkait dengan kegiatan dan jenis usaha serta cara
pengelolaan usahanya tidak lagi berdasarkan Prinsip Syariah
di Pasar Modal jika:
a. terdapat usulan dari pemegang saham yang memenuhi
syarat sebagai berikut:
1. berasal dari pemegang saham yang memenuhi
syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Rencana dan
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
Perusahaan Terbuka; dan
2. usulan pemegang saham dimaksud disertai dengan:
a) penjelasan, pertimbangan, dan alasan
dilakukannya perubahan anggaran dasar yang
terkait dengan kegiatan dan jenis usaha serta
cara pengelolaan usaha;
b) rencana kegiatan dan jenis usaha serta cara
pengelolaan usaha setelah Emiten Syariah atau
Perusahaan Publik Syariah mengubah anggaran
dasar; dan
c) cara penyelesaian terhadap pemegang saham
yang tidak setuju atas perubahan anggaran
dasar;
b. usulan sebagaimana dimaksud pada huruf a telah
disetujui RUPS; dan
- 7 -
c. kuorum kehadiran dan keputusan RUPS sebagaimana
dimaksud pada huruf b dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Rencana dan Penyelenggaran Rapat Umum
Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dan wajib
dilakukan dengan ketentuan pemegang saham yang
mengusulkan perubahan anggaran dasar dan afiliasinya
dianggap telah memberikan keputusan yang sama
dengan keputusan yang disetujui oleh pemegang saham
yang tidak mengusulkan perubahan anggaran dasar.
Pasal 8
(1) Emiten atau Perusahaan Publik hanya dapat mengubah
anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan dan jenis
usaha serta cara pengelolaan usaha dari konvensional
menjadi berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal jika:
a. terdapat usulan dari pemegang saham yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. berasal dari pemegang saham yang memenuhi
syarat sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Perseroan Terbatas dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham Perusahaan Terbuka; dan
2. usulan pemegang saham dimaksud disertai
dengan:
a) penjelasan, pertimbangan, dan alasan
dilakukannya perubahan anggaran dasar
yang terkait dengan kegiatan dan jenis
usaha serta cara pengelolaan usaha;
b) rencana kegiatan dan jenis usaha serta
cara pengelolaan usaha setelah Emiten
Syariah atau Perusahaan Publik Syariah
mengubah anggaran dasar; dan
c) cara penyelesaian terhadap pemegang
saham yang tidak setuju atas perubahan
anggaran dasar; dan
- 8 -
b. usulan sebagaimana dimaksud pada huruf a telah
disetujui RUPS.
(2) Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengangkat
Dewan Pengawas Syariah pada saat RUPS mengenai
perubahan anggaran dasar.
Pasal 9
Penyelenggaraan RUPS dengan mata acara perubahan
anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan
Pasal 8 wajib dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka.
Pasal 10
Pemanggilan RUPS dalam rangka perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib memuat
informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
pemanggilan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
Perusahaan Terbuka dan informasi tambahan sebagai berikut:
a. usulan RUPS untuk mengubah anggaran dasar berasal
dari pemegang saham;
b. penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya
perubahan anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan
dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha;
c. rencana kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan
usaha setelah perubahan anggaran dasar;
d. cara penyelesaian terhadap pemegang saham yang tidak
setuju atas perubahan anggaran dasar; dan
e. penjelasan bahwa perubahan anggaran dasar hanya
berlaku efektif setelah memperoleh persetujuan RUPS
dan Menteri yang berwenang.
Pasal 11
(1) Setiap pemegang saham yang tidak menyetujui
perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud
- 9 -
dalam Pasal 7 dan Pasal 8 berhak meminta kepada
Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah atau
meminta kepada Emiten atau Perusahaan Publik agar
sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang
bersangkutan tidak menyetujui tindakan Emiten Syariah
atau Perusahaan Publik Syariah atau tidak menyetujui
tindakan Emiten atau Perusahaan Publik, yang
merugikan pemegang saham, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. dalam hal sahamnya tidak tercatat di Bursa Efek,
harga pelaksanaan pembelian paling sedikit sama
dengan harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai
independen;
b. dalam hal sahamnya tercatat dan diperdagangkan di
Bursa Efek namun selama 90 (sembilan puluh) hari
tidak diperdagangkan atau dihentikan sementara
perdagangannya, harga pelaksanaan pembelian
paling sedikit sebesar harga tertinggi dalam waktu
12 (dua belas) bulan terakhir sebelum hari
perdagangan terakhir atau hari dihentikan
sementara perdagangannya; atau
c. dalam hal sahamnya tercatat dan diperdagangkan di
Bursa Efek, harga pelaksanaan pembelian paling
sedikit sebesar harga tertinggi dalam jangka waktu
90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum
pengumuman RUPS perubahan anggaran dasar.
(2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melebihi batas ketentuan
pembelian kembali saham oleh Emiten Syariah atau
Perusahaan Publik Syariah atau Emiten atau Perusahaan
Publik sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai pembelian kembali saham yang
dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik,
pemegang saham yang mengusulkan perubahan
anggaran dasar wajib membeli sendiri atau
mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.
- 10 -
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 12
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 13
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 11 -
Pasal 14
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
(1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah memiliki
izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
selama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini berlaku dapat digantikan oleh orang
perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal
sepanjang yang bersangkutan melapor kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Ahli Syariah Pasar Modal.
(2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas
Syariah meskipun belum memiliki izin ASPM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) paling
lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai Ahli Syariah Pasar Modal.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, angka 2 Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: Kep-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009
- 12 -
tentang Penerbitan Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 17
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 268
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 17/POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK SYARIAH BERUPA SAHAM
OLEH EMITEN SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PUBLIK SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat
tumbuh stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur
pasar yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya
regulasi yang jelas dan mudah dipahami serta diterapkan sehingga
regulasi tersebut menjadi regulasi yang dapat diterima pasar (market
friendly). Selanjutnya, mengingat Efek Syariah memiliki karakteristik yang
khusus maka diperlukan pengaturan yang sesuai dengan karakteristik
masing-masing jenis Efeknya.
Dinamika perkembangan Pasar Modal syariah menuntut adanya
penyempurnaan atas Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek
Syariah, mengingat peraturan tersebut mengatur penerbitan berbagai
jenis Efek Syariah. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan adanya
ketentuan khusus yang sesuai untuk setiap jenis Efek Syariah. Hal
tersebut sejalan dengan praktik yang berlaku umum (common practice)
dan standar internasional. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
merupakan salah satu dari 5 (lima) peraturan yang berasal dari Peraturan
Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009
tentang Penerbitan Efek Syariah namun khusus mengatur mengenai
- 2 -
penerbitan Efek Syariah berupa saham sekaligus menyempurnakan
ketentuan yang ada di Peraturan Nomor IX.A.13.
Adapun beberapa pokok penyempurnaan peraturan penerbitan Efek
Syariah berupa saham tersebut antara lain meliputi pengaturan Dewan
Pengawas Syariah dan pengaturan perubahan dari Emiten konvensional
menjadi Emiten syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” antara lain jasa
keuangan, perkebunan, industri dasar, perdagangan, pariwisata,
perhubungan, telekomunikasi, media massa, dan teknologi
informasi.
Yang dimaksud dengan “jenis usaha” antara lain jasa keuangan
bank, asuransi, pembiayaan, perdagangan produk farmasi,
produk telekomunikasi, dan barang konsumsi.
Yang dimaksud dengan “cara pengelolaan usaha” adalah cara
Emiten atau Perusahaan Publik menjalankan kegiatan usaha
antara lain perolehan dan pengelolaan sumber daya dan aset,
proses produksi dan produknya berupa barang atau jasa, serta
hubungan hukum dengan pihak ketiga tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran
Umum antara lain sebagai berikut:
a. Peraturan Nomor IX.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-44/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk Meminta
Perubahan Dan Atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan
Pendaftaran;
b. Peraturan Nomor IX.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-51/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum;
c. Peraturan Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal
27 Oktober 2000 tentang Prospektus Awal dan Info Memo;
d. Peraturan Nomor IX.C.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-42/PM/2000 tanggal
27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan
Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran
Umum;
e. Peraturan Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal
27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan
Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum;
f.
Peraturan Nomor IX.A.6, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-06/PM/2001 tanggal
8 Maret 2001 tentang Pembatasan Atas Saham Yang
Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum;
g. Peraturan Nomor IX.A.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-122/BL/2009 tanggal 29 Mei 2009 tentang Tata Cara
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum;
h. Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
- 4 -
KEP-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang
Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran; dan
i.
Peraturan Nomor IX.A.7, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-691/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang
Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum.
Ayat (2)
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran antara lain sebagai
berikut:
a. Peraturan Nomor IX.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-49/PM/1996 tanggal
17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk Dan
Isi Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik; dan
b. Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
KEP-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang
Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan lain” yang dilakukan
- 5 -
Dewan Pengawas Syariah antara lain adalah:
1. memberikan nasihat dan saran kepada Direksi dan
Dewan Komisaris perusahaan yang melakukan
kegiatan di Pasar Modal mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan aspek syariah; atau
2. melakukan penelaahan secara berkala atas penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap kegiatan
usaha perusahaan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “konvensional” adalah tidak dinyatakan
dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan dan jenis usaha serta
cara pengelolaan usaha dilaksanakan berdasarkan Prinsip
Syariah di Pasar Modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Menteri” adalah menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai pembelian kembali saham yang dikeluarkan
oleh Emiten atau Perusahaan Publik adalah Peraturan Nomor
XI.B.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor:
KEP-105/BL/2010 tanggal 13 April 2010 tentang Pembelian
Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau
Perusahaan Publik.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
- 7 -
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5757
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 17/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK SYARIAH BERUPA SAHAM OLEH EMITEN SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PUBLIK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 3 November 2015 </set_date>
<effective_date> 10 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 10 November 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13 angka 2' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 10 /POJK.04/2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 32/POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan bagi
pemegang saham minoritas, khususnya terkait dengan
mekanisme perubahan hak atas saham serta
penunjukkan dan pemberhentian akuntan publik, perlu
dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2014 tentang
Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang
Saham Perusahaan Terbuka;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
32/POJK.04/2014
tentang
Rencana
Nomor
dan
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
Perusahaan Terbuka;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
32/POJK.04/2014
tentang
Rencana
dan
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
Perusahaan Terbuka (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 374, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5644);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 32/POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN
PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
PERUSAHAAN TERBUKA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor
32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan
Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 374, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5644) diubah sebagai berikut:
1. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 29A
Dalam hal Perusahaan Terbuka memiliki lebih dari
1 (satu) klasifikasi saham, RUPS untuk mata acara
- 3 -
perubahan hak atas saham, dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. usulan mata acara perubahan hak atas saham wajib
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12;
b. RUPS hanya dihadiri oleh pemegang saham pada
klasifikasi saham yang terkena dampak atas
perubahan hak atas saham pada klasifikasi saham
tertentu, dengan ketentuan:
1. RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS
paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari
jumlah seluruh saham pada klasifikasi saham
yang terkena dampak atas perubahan hak
tersebut hadir atau diwakili, kecuali Undang-
Undang dan/atau anggaran dasar Perusahaan
Terbuka menentukan jumlah kuorum yang
lebih besar;
2. dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada
angka 1 tidak tercapai, RUPS kedua dapat
diadakan dengan ketentuan RUPS kedua sah
dan berhak mengambil keputusan jika dalam
RUPS paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian
dari jumlah seluruh saham pada klasifikasi
saham yang terkena dampak atas perubahan
hak tersebut hadir atau diwakili, kecuali
anggaran dasar Perusahaan Terbuka
menentukan jumlah kuorum yang lebih besar;
3. keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dan angka 2 adalah sah jika disetujui
oleh lebih dari 3/4 (tiga per empat) bagian dari
saham dengan hak suara yang hadir dalam
RUPS, kecuali Undang-Undang dan/atau
anggaran dasar Perusahaan Terbuka
- 4 -
menentukan bahwa keputusan adalah sah jika
disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih
besar; dan
4. dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua
sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak
tercapai, RUPS ketiga dapat diadakan dengan
ketentuan RUPS ketiga sah dan berhak
mengambil keputusan jika dihadiri oleh
pemegang saham pada klasifikasi saham yang
terkena dampak atas perubahan hak tersebut
dalam kuorum kehadiran dan kuorum
keputusan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan atas permohonan Perusahaan
Terbuka.
Pasal 29B
Dalam hal klasifikasi saham yang terkena dampak atas
perubahan hak atas saham pada klasifikasi saham
tertentu tidak mempunyai hak suara, pemegang saham
pada klasifikasi saham tersebut berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini diberikan hak untuk hadir
dan mengambil keputusan dalam RUPS terkait dengan
perubahan hak atas saham pada klasifikasi saham
tersebut.
2. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
(1) Penunjukan dan pemberhentian akuntan publik
yang akan memberikan jasa audit atas informasi
keuangan historis tahunan wajib diputuskan dalam
RUPS Perusahaan
Terbuka
dengan
mempertimbangkan usulan Dewan Komisaris.
(2) Dalam hal RUPS tidak dapat memutuskan
penunjukan akuntan publik, RUPS dapat
- 5 -
mendelegasikan kewenangan tersebut kepada
Dewan Komisaris, disertai penjelasan mengenai:
a. alasan pendelegasian kewenangan; dan
b. kriteria atau batasan akuntan publik yang
dapat ditunjuk.
Pasal II
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Maret 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Maret 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 47
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 10 /POJK.04/2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 32/POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA
I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan iklim investasi dan perlindungan
terhadap investor minoritas, perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan
mengenai mekanisme perubahan hak atas saham dan penunjukan
akuntan publik yang akan memberikan jasa audit kepada Perusahaan
Terbuka.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyempurnaan
terhadap ketentuan penyelenggaraan RUPS terutama penyelenggaraan
RUPS dalam rangka perubahan hak atas saham dan penunjukan akuntan
publik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 29A
Yang dimaksud dengan “pemegang saham pada klasifikasi
saham yang terkena dampak atas perubahan hak atas saham
pada klasifikasi saham tertentu” adalah:
1. Dalam hal perubahan hak berupa pengurangan hak,
pemegang saham yang terkena dampak adalah pemegang
saham pada klasifikasi saham yang akan dilakukan
- 2 -
pengurangan hak.
2. Dalam hal perubahan hak berupa penambahan hak,
pemegang saham yang terkena dampak adalah pemegang
saham pada klasifikasi saham yang tidak dilakukan
penambahan hak.
Pasal 29B
Cukup jelas.
Pasal 36A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akuntan publik” adalah seseorang
yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai akuntan publik dan terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Pendelegasian kewenangan dilakukan apabila RUPS tidak
memutuskan penunjukan akuntan publik yang diusulkan
oleh Dewan Komisaris.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6031
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 10/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32/POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title>
<set_date> 14 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 14 Maret 2017 </effective_date>
<issued_date> 14 Maret 2017 </issued_date>
<changed_reg> '32/POJK.04/2014' </changed_reg>
<related_reg> '32/POJK.04/2014', '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 35 /POJK.05/2015
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menumbuhkembangkan industri
perusahaan modal ventura agar dapat lebih
berkontribusi terhadap perekonomian nasional, perlu
dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha oleh perusahaan
modal ventura;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan
Usaha Perusahaan Modal Ventura;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL
VENTURA.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Usaha Modal Ventura adalah usaha pembiayaan
melalui penyertaan modal dan/atau pembiayaan
untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
pengembangan usaha pasangan usaha atau debitur.
2. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat
PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
Usaha Modal Ventura, pengelolaan dana ventura,
kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan usaha lain
dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
3. Usaha Modal Ventura Syariah adalah usaha
pembiayaan melalui kegiatan investasi dan/atau
pelayanan jasa yang dilakukan dalam jangka waktu
tertentu dalam rangka pengembangan usaha
pasangan usaha yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip syariah.
4. Perusahaan Modal Ventura Syariah yang selanjutnya
disingkat PMVS adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, pengelolaan
dana ventura, dan kegiatan usaha lain dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan yang seluruhnya
dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.
5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
6. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit kerja dari kantor pusat PMV yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang
melaksanakan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah.
7. Dana Ventura adalah kontrak investasi bersama yang
dibuat antara PMV atau PMVS dan bank kustodian,
- 3 -
dimana PMV atau PMVS diberikan wewenang untuk
mengelola dana dari para investor yang akan
digunakan untuk melakukan kegiatan Usaha Modal
Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah.
8. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan untuk bertindak sebagai Bank Kustodian.
9. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan
pemegang surat berharga yang bersifat utang
termasuk yang dilakukan berdasarkan Prinsip
Syariah.
10. Investor Dana Ventura adalah orang perseorangan
atau lembaga baik dari dalam negeri atau luar negeri
yang melakukan suatu investasi ke dalam Dana
Ventura.
11. Nilai Aset Bersih adalah selisih antara aset dan
liabilitas Dana Ventura.
12. Pasangan Usaha adalah orang perseorangan atau
perusahaan termasuk usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi yang menerima penyertaan modal
dan/atau investasi berdasarkan prinsip bagi hasil dari
PMV, PMVS, atau UUS.
13. Debitur adalah orang perseorangan atau perusahaan
termasuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
yang menerima pembiayaan usaha produktif dari PMV.
14. Divestasi adalah penjualan saham PMV atau PMVS
yang berada pada Pasangan Usaha yang
bersangkutan.
15. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV
atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi PMV atau
PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan
yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer.
- 4 -
16. Pemegang Saham adalah pemegang
saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV
atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan Pemegang Saham
bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer.
17. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum koperasi atau yang
berbentuk badan usaha perseroan komanditer.
18. Dewan Komisaris
adalah
dewan
komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV
atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris
bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer.
19. Modal Disetor:
a. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah modal disetor;
b. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum
koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan
wajib; atau
c. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan usaha
perseroan komanditer adalah setoran modal
pesero perseroan komanditer.
20. Ekuitas:
a. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum
perseroan terbatas, adalah penjumlahan dari:
1. Modal Disetor;
2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas:
- 5 -
a) agio/disagio saham;
b) biaya emisi efek Ekuitas; dan
c) lainnya sesuai dengan prinsip standar
akuntansi keuangan;
3.
selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas
sepengendali;
4. saldo laba/rugi;
5. laba/rugi tahun berjalan;
6. saham tresuri (treasury stock); dan
7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas:
a) perubahan dalam surplus revaluasi;
b)
selisih kurs karena penjabaran laporan
keuangan dalam mata uang asing;
c) keuntungan dan kerugian dari
pengukuran kembali aset keuangan
tersedia untuk dijual;
d) bagian efektif dari keuntungan dan
kerugian instrumen keuangan lindung
nilai dalam rangka lindung nilai arus
kas; dan
e) komponen Ekuitas lainnya sesuai
prinsip standar akuntansi keuangan.
b. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum
koperasi adalah penjumlahan dari simpanan
pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah,
dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan.
c. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan usaha
perseroan komanditer adalah selisih bersih aset
dan liabilitas perseroan komanditer.
d. bagi PMVS berbentuk badan usaha perseroan
komanditer atau UUS adalah selisih antara
jumlah aset dengan penjumlahan antara liabilitas
dan pendanaan bersifat temporer.
21. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
- 6 -
BAB II
USAHA MODAL VENTURA
Bagian kesatu
Kegiatan Usaha PMV
Pasal 2
(1) PMV menyelenggarakan Usaha Modal Ventura yang
meliputi:
a. penyertaan saham (equity participation);
b. penyertaan melalui pembelian obligasi konversi
(quasi equity participation);
c. pembiayaan melalui pembelian surat utang yang
diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap rintisan
awal (start-up) dan/atau pengembangan usaha;
dan/atau
d. pembiayaan usaha produktif.
(2) Dalam melakukan Usaha Modal Ventura sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), PMV dapat mengelola Dana
Ventura.
(3) Selain Usaha Modal Ventura sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), PMV dapat
menyelenggarakan kegiatan usaha lain:
a. kegiatan jasa berbasis fee; dan/atau
b. kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK.
(4) Kegiatan Usaha Modal Ventura sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan
pendampingan kepada Pasangan Usaha dan/atau
Debitur.
Pasal 3
PMV yang akan melakukan kegiatan usaha berbasis
fee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
huruf a wajib melaporkan kepada OJK dengan
- 7 -
melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit
mengenai:
a. produk berbasis imbal jasa (fee) yang akan
dipasarkan;
b. mekanisme kegiatan usaha berbasis imbal jasa (fee);
c. hak dan kewajiban para pihak;
d. perjanjian kerjasama; dan
e.
perizinan dari otoritas yang berwenang (jika ada).
Pasal 4
(1) PMV yang akan melakukan kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b,
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki tingkat kesehatan keuangan minimum
sehat; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK.
(2) PMV yang akan melakukan kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari OJK.
(3) Untuk memperoleh persetujuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), PMV harus mengajukan
permohonan kepada OJK dengan melampirkan
dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai:
a. skema atau mekanisme kegiatan usaha lainnya;
b. analisis prospek usaha; dan
c. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan
digunakan untuk operasional PMV yang memuat
hak dan kewajiban para pihak.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), OJK melakukan analisis atas dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterima secara lengkap.
- 8 -
Bagian Kedua
Kegiatan Usaha PMVS dan UUS
Pasal 5
Penyelenggaraan kegiatan usaha PMVS dan UUS wajib
memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun),
kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah)
serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm,
risywah, dan objek haram.
Pasal 6
(1) PMVS dan UUS menyelenggarakan Usaha Modal
Ventura Syariah yang meliputi:
a. investasi yang terdiri dari:
1. penyertaan saham (equity participation);
2. pembelian sukuk atau obligasi syariah
konversi;
3. pembelian sukuk atau obligasi syariah yang
diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap
rintisan
awal
(start-up)
pengembangan usaha; dan/atau
4. pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil;
b. pelayanan jasa; dan/atau
c. kegiatan usaha lain berdasarkan persetujuan OJK.
(2) Dalam melakukan Usaha Modal Ventura Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMVS atau UUS
dapat mengelola Dana Ventura yang dilakukan
berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) PMVS atau UUS dilarang melakukan pembiayaan jual
beli kecuali kepada Pasangan Usaha yang terlebih
dahulu telah menerima investasi dari PMVS atau UUS.
(4) Kegiatan pelayanan jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b merupakan kegiatan usaha PMVS
atau UUS yang menghasilkan tambahan pendapatan
dalam bentuk imbal jasa (ujrah/fee).
dan/atau
- 9 -
Pasal 7
(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
wajib dilakukan dengan menggunakan akad yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
(2) Penggunaaan akad sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib terlebih dahulu dilaporkan kepada OJK.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan
penggunaaan akad sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 8
(1) PMVS atau UUS yang akan melakukan kegiatan usaha
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki tingkat kesehatan keuangan minimum
sehat; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK.
(2) PMVS atau UUS yang akan melakukan kegiatan usaha
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK.
(3) Untuk memperoleh persetujuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), PMVS atau UUS harus
mengajukan permohonan kepada OJK dengan
melampirkan dokumen yang berisi uraian paling
sedikit mengenai:
a. skema atau mekanisme kegiatan usaha lainnya
yang akan dilakukan disertai dengan uraian akad
yang akan digunakan;
b. analisis prospek usaha; dan
c. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan
digunakan untuk operasional PMVS atau UUS
yang memuat hak dan kewajiban para pihak
sesuai dengan akad yang digunakan.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), OJK melakukan analisis atas dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
- 10 -
(5) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterima secara lengkap.
Bagian Ketiga
Tujuan dan Batasan dalam Penyelenggaraan Usaha
PMV, PMVS, dan/atau UUS
Pasal 9
(1) Kegiatan usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan/atau Pasal 6 ayat (1) ditujukan untuk calon
Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang memiliki
usaha produktif dan/atau memiliki ide-ide untuk
pengembangan usaha produktif.
(2) Kegiatan usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan/atau Pasal 6 ayat (1) bertujuan untuk:
a. pengembangan suatu penemuan baru;
b. pengembangan perusahaan atau usaha orang
perseorangan yang pada tahap awal usahanya
mengalami kesulitan dana;
c. pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan
koperasi;
d. membantu perusahaan atau usaha orang
perseorangan
yang berada pada tahap
pengembangan atau tahap kemunduran usaha;
e. mengambil alih perusahaan atau usaha orang
perseorangan
yang berada pada tahap
pengembangan atau tahap kemunduran usaha;
f. pengembangan proyek penelitian dan rekayasa;
g. pengembangan berbagai penggunaan teknologi
baru dan alih teknologi baik dari dalam maupun
luar negeri; dan/atau
h. membantu pengalihan kepemilikan perusahaan.
- 11 -
Pasal 10
PMV atau PMVS wajib mencantumkan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau
Pasal 6 ayat (1) dalam anggaran dasarnya.
Pasal 11
(1) PMV wajib memiliki penyertaan saham dan/atau
penyertaan melalui pembelian obligasi konversi paling
rendah sebesar 15% (lima belas persen) dari total
kegiatan usaha PMV.
(2) Penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui
pembelian obligasi konversi paling rendah sebesar
15% (lima belas persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dipenuhi dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) tahun setelah izin usaha ditetapkan.
Pasal 12
(1) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib memiliki nilai
investasi, penyertaan, dan/atau nilai piutang yang
berasal dari kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6 ayat (1) huruf
a terhadap total aset PMV, PMVS, dan/atau UUS yang
selanjutnya disebut Investment and Financing to Assets
Ratio (IFAR) paling rendah sebesar 40% (empat puluh
persen).
(2) Bagi PMV, PMVS, dan/atau UUS yang mendapatkan
izin usaha setelah POJK ini diundangkan, pemenuhan
nilai IFAR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung
sejak tanggal izin usaha ditetapkan.
Pasal 13
(1) PMV atau PMVS yang melakukan peningkatan Modal
Disetor dalam rangka pemenuhan gearing ratio
dan/atau perbandingan Ekuitas dengan Modal Disetor
dikecualikan dari pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dalam jangka waktu
- 12 -
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal peningkatan
Modal Disetor dicatat oleh instansi yang berwenang.
(2) Bagi PMV atau PMVS yang melakukan penambahan
Modal Disetor dalam rangka pemenuhan gearing
ratio dan/atau perbandingan Ekuitas dengan Modal
Disetor dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga)
tahun dari penetapan izin usahanya, maka
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) diberikan tambahan waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 14
(1) Nilai penyertaan, pembiayaan, dan kegiatan usaha lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada satu
Pasangan Usaha dan/atau Debitur dibatasi paling
tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
Ekuitas PMV.
(2) Nilai investasi dan kegiatan usaha lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 kepada satu Pasangan Usaha
dibatasi paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari Ekuitas PMVS.
(3) Besarnya total Ekuitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), sesuai dengan laporan keuangan
bulanan posisi terakhir PMV atau PMVS sebelum
dilakukannya kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
Bagian Keempat
Kegiatan Penyertaan Saham
Pasal 15
(1) Penyertaan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 6 ayat (1)
huruf a angka 1 wajib dilakukan oleh PMV, PMVS,
dan/atau UUS dalam bentuk penyertaan modal secara
langsung kepada Pasangan Usaha yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas.
- 13 -
(2) Penyertaan saham sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) oleh PMV atau PMVS yang berbentuk badan usaha
perseroan komanditer dapat dilakukan dengan
menunjuk Direksi sebagai perwakilan PMV atau PMVS
selaku pemilik saham pada Pasangan Usaha.
(3) Penyertaan saham sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan untuk jangka waktu tertentu paling lama
10 (sepuluh) tahun.
(4) Setelah jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berakhir, penyertaan saham dapat
diperpanjang 2 (dua) kali dengan total jangka waktu
perpanjangan seluruhnya paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
(5) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib melakukan Divestasi
sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati
dengan Pasangan Usaha sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
sehingga PMV, PMVS, dan/atau UUS tidak menjadi
pengendali pada Pasangan Usaha.
Pasal 16
Divestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5)
dapat dilakukan melalui:
a. penawaran umum melalui pasar modal;
b. menjual kepada PMV, PMVS, dan/atau investor baru
melalui penawaran terbatas (private placement); atau
c. menjual kembali kepada Pasangan Usaha (buy back).
Bagian Kelima
Kegiatan Penyertaan melalui Pembelian Obligasi Konversi
Pasal 17
(1) Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
dan/atau investasi melalui pembelian sukuk atau
obligasi syariah konversi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2 wajib
- 14 -
dilakukan oleh PMV, PMVS, dan/atau UUS dalam
bentuk pembelian obligasi konversi atau obligasi
syariah konversi yang diterbitkan oleh Pasangan
Usaha yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas.
(2) Pembelian obligasi konversi atau obligasi syariah
konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa pembelian sertifikat obligasi atau sertifikat
obligasi syariah konversi sebagai bukti kepemilikan
obligasi konversi atau obligasi syariah konversi
dan/atau pembelian obligasi konversi atau obligasi
syariah konversi yang dituangkan dalam perjanjian
dengan akta notariil.
(3) Obligasi konversi atau obligasi syariah konversi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikonversi
menjadi penyertaan saham (equity participation) pada
saat jatuh tempo untuk suatu jangka waktu tertentu.
(4) Penyertaan saham yang berasal dari konversi obligasi
atau obligasi syariah merupakan penyertaan saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a
dan/atau Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 1.
(5) Pengkonversian menjadi penyertaan saham (equity
participation) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan berdasarkan perjanjian yang telah
disepakati bersama oleh PMV, PMVS, dan/atau UUS
dengan Pasangan Usaha.
Bagian Keenam
Kegiatan Pembiayaan Usaha Produktif
Pasal 18
Pembiayaan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf d wajib dilakukan oleh PMV dalam
bentuk penyaluran pembiayaan kepada Debitur yang
bertujuan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang
meningkatkan pendapatan bagi Debitur.
- 15 -
Pasal 19
(1) Dalam menjalankan kegiatan pembiayaan usaha
produktif, PMV dapat bekerjasama dengan pihak lain
dalam bentuk:
a. pembiayaan penerusan (channeling); atau
b. pembiayaan bersama (joint financing).
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bank;
b. PMV atau PMVS;
c. perusahaan pembiayaan;
d. lembaga pembiayaan ekspor Indonesia;
e. lembaga keuangan lainnya; dan/atau
f.
orang perseorangan.
(3) Besarnya dana yang digunakan untuk kegiatan
pembiayaan bersama dari orang perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f paling
sedikit sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah).
(4) Pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan
ketentuan:
a.
risiko yang timbul dari kegiatan pembiayaan
penerusan (channeling) menjadi tanggung jawab
pemilik dana; dan
b. penerima dana hanya bertindak sebagai pengelola
dan memperoleh imbal jasa (fee) dari pemilik
dana tersebut.
(5) Dalam pembiayaan bersama (joint financing)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, risiko
yang timbul dari pembiayaan bersama menjadi beban
masing-masing pihak secara proporsional.
(6) Pembagian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan ayat (5) wajib dicantumkan dalam perjanjian
tertulis antara kedua belah pihak.
- 16 -
Pasal 20
(1) PMV wajib melakukan mitigasi risiko atas kegiatan
pembiayaan usaha produktif.
(2) Mitigasi risiko atas pembiayaan usaha produktif yang
dilakukan oleh PMV sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan dengan cara:
a. mengalihkan risiko pembiayaan melalui
mekanisme asuransi kredit atau penjaminan
kredit;
b. mengalihkan risiko atas barang dari objek
jaminan melalui asuransi; dan/atau
c. melakukan pengikatan jaminan atas objek
jaminan.
Pasal 21
(1) PMV yang melakukan pengalihan risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a dan huruf b
wajib menggunakan perusahaan asuransi atau
lembaga penjaminan yang memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan
b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan
kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha
dari OJK.
(2) Jangka waktu pertanggungan asuransi kredit,
penjaminan kredit, dan asuransi atas objek jaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf
a dan huruf b paling singkat sama dengan jangka
waktu pembiayaan usaha produktif.
Bagian ketujuh
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
Pasal 22
Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 4
dilakukan dalam bentuk penyediaan modal kepada
- 17 -
Pasangan Usaha dengan jangka waktu tertentu untuk
kegiatan usaha produktif dengan pembagian keuntungan
sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Pasal 23
(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, PMVS atau
UUS dapat bekerjasama dengan pihak lain dalam
bentuk kerjasama pembiayaan penerusan (channeling)
yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bank;
b. PMVS atau PMV yang memiliki UUS;
c. perusahaan pembiayaan;
d. lembaga pembiayaan ekspor Indonesia;
e. lembaga keuangan lainnya; dan/atau
f.
orang perseorangan.
(3) Kerjasama penerusan (channeling) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan akad
wakalah bil ujrah.
(4) Dalam kerjasama penerusan (channeling) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), PMVS atau UUS dapat
bertindak sebagai:
a. pihak yang menyalurkan (pengelola/wakil)
melalui kegiatan investasi berdasarkan prinsip
bagi hasil; dan/atau
b. pihak penyedia dana/modal/barang yaitu pihak
yang mewakilkan kepada pihak lain.
(5) Dalam hal PMVS dan UUS bertindak sebagai pihak
yang menyalurkan (pengelola/wakil) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a, PMVS atau UUS
hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh
imbalan (ujrah) dari pengelolaan dana tersebut.
(6) Risiko yang timbul dari kerjasama penerusan
(channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
menjadi tanggung jawab pihak penyedia
dana/modal/barang.
- 18 -
(7) Ketentuan pembagian risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) wajib dicantumkan secara jelas dalam
perjanjian tertulis antara kedua belah pihak.
Pasal 24
(1) PMVS dan UUS wajib melakukan mitigasi risiko atas
kegiatan usaha investasi berdasarkan prinsip bagi
hasil.
(2) Mitigasi risiko atas kegiatan usaha investasi
berdasarkan prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:
a. mengalihkan risiko kegiatan usaha investasi
berdasarkan prinsip bagi hasil
mekanisme penjaminan syariah;
melalui
b. mengalihkan risiko atas barang yang menjadi
agunan dari
berdasarkan prinsip bagi hasil
mekanisme asuransi syariah; dan/atau
kegiatan usaha investasi
melalui
c. melakukan pengikatan jaminan atas objek
jaminan.
Pasal 25
Ketentuan mengenai pengalihan risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 berlaku secara mutatis mutandis
terhadap PMVS dan UUS yang melakukan mitigasi risiko
melalui mekanisme syariah.
BAB III
PERJANJIAN KEGIATAN USAHA
Pasal 26
(1) Seluruh perjanjian kegiatan usaha antara PMV, PMVS,
dan/atau UUS dengan Pasangan Usaha dan/atau
Debitur wajib dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian kegiatan usaha antara PMV, PMVS,
dan/atau UUS dengan Pasangan Usaha dan/atau
Debitur wajib memenuhi ketentuan penyusunan
- 19 -
perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK
mengenai perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan.
Pasal 27
Perjanjian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 paling sedikit memuat:
a. jenis kegiatan usaha;
b. nomor dan tanggal perjanjian;
c. identitas para pihak;
d. jumlah penyertaan dan/atau pembiayaan;
e. jangka waktu penyertaan dan/atau pembiayaan;
f.
tingkat pengembalian pembiayaan (jika ada);
g. objek jaminan (jika ada);
h. rincian biaya terkait dengan penyertaan/pembiayaan
yang diberikan yang paling sedikit memuat:
1. biaya survey (jika ada);
2. biaya provisi (jika ada);
3. biaya notaris (jika ada); dan
4. biaya pengikatan jaminan (jika ada);
i.
j.
ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
ketentuan mengenai denda (jika ada); dan
k. mekanisme apabila terjadi perselisihan dan pemilihan
tempat penyelesaian perselisihan.
BAB IV
TINGKAT KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 28
(1) PMV dan PMVS wajib setiap waktu memenuhi
persyaratan tingkat kesehatan keuangan dengan
kondisi minimum sehat.
- 20 -
(2) Pengukuran tingkat kesehatan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kualitas aset produktif; dan
b.
rentabilitas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kesehatan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Kedua
Kualitas Aset Produktif
Pasal 29
(1) Dalam rangka pengukuran tingkat kesehatan
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) huruf a, PMV harus menilai, memantau,
dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk menjaga kualitas penyertaan dan piutang
pembiayaan.
(2) Dalam rangka pengukuran tingkat kesehatan
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2) huruf a, PMVS dan UUS harus menilai, memantau,
dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk menjaga kualitas investasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian
kualitas penyertaan dan piutang pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian
kualitas investasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Ketiga
Cadangan Penyisihan Penghapusan
Aset Produktif
Pasal 30
(1) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib menghitung dan
membentuk cadangan penyisihan penghapusan aset
produktif.
- 21 -
(2) Ketentuan mengenai penghitungan dan pembentukan
cadangan penyisihan penghapusan aset produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Bagian Keempat
Pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
Pasal 31
(1) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib membentuk
cadangan kerugian penurunan nilai sesuai standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
(2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dalam penyusunan laporan keuangan yang telah
diaudit oleh kantor akuntan publik.
Bagian Kelima
Rentabilitas
Pasal 32
(1) Dalam rangka pengukuran tingkat kesehatan
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2) huruf b, PMV atau PMVS harus melakukan
penilaian terhadap faktor rentabilitas.
(2) Rentabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kemampuan PMV atau PMVS dalam
menghasilkan laba.
(3) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap
kinerja aset dan efisiensi operasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian
terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
- 22 -
BAB V
EKUITAS
Pasal 33
(1) PMV yang berbentuk badan usaha:
a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling
sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah);
b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah); atau
c. perseroan komanditer wajib memiliki Ekuitas
paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah).
(2) PMV berbentuk badan hukum perseroan terbatas
yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan dan merupakan
perusahaan swasta nasional serta memiliki Ekuitas
di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, wajib memiliki Ekuitas dengan
tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2020; dan
b. paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2025.
(3) Bagi PMV berbentuk badan hukum perseroan
terbatas yang telah mendapatkan izin usaha
sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan
merupakan perusahaan patungan serta memiliki
Ekuitas
di
bawah
ketentuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, wajib memiliki
Ekuitas paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal
31 Desember 2020.
- 23 -
(4) PMV berbentuk badan hukum koperasi yang telah
mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini
diundangkan dan memiliki Ekuitas di bawah
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai
berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2020; dan
b. paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah) paling lambat tanggal
31 Desember 2025.
Pasal 34
(1) PMVS yang berbentuk badan usaha:
a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling
sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah);
b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); atau
c. perseroan komanditer wajib memiliki Ekuitas
paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
(2) PMV yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas
dan telah melakukan seluruh kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK
ini ditetapkan serta memiliki Ekuitas di bawah
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai
berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2020; dan
b. paling sedikit sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2025.
- 24 -
(3) PMV yang berbentuk badan hukum koperasi dan
telah
melakukan
seluruh
kegiatan
usaha
berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan
OJK ini diundangkan serta memiliki Ekuitas di
bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, wajib memiliki Ekuitas dengan
tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2020; dan
b. paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2025.
(4) UUS wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(5) PMV yang telah melakukan sebagian kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah melalui UUS sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan dan memiliki Ekuitas
UUS di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), wajib memiliki Ekuitas UUS paling sedikit
sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
paling lambat tanggal 31 Desember 2020.
Pasal 35
PMV atau PMVS wajib memiliki rasio Ekuitas terhadap Modal
Disetor paling rendah sebesar 30% (tiga puluh persen).
BAB VI
SUMBER PENDANAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36
(1) Sumber pendanaan PMV, PMVS, dan/atau UUS dapat
berasal dari:
a. Dana Ventura;
- 25 -
b. pinjaman;
c.
sekuritisasi aset sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal;
d. penerbitan medium term notes;
e.
penerbitan obligasi;
f. pinjaman atau pendanaan subordinasi;
g. penerbitan saham;
h. wakaf; dan/atau
i.
hibah.
(2) Pihak yang dapat memberikan
pendanaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemerintah;
b. badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah;
c. perusahaan pembiayaan;
d. lembaga pembiayaan ekspor Indonesia;
e. bank;
f. lembaga keuangan lainnya;
g. lembaga keuangan multilateral;
h. badan usaha lain; dan/atau
i.
orang perseorangan.
(3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
(4) Pinjaman yang berasal dari orang perseorangan wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. dibuat dalam bentuk akta notariil;
b. jangka waktu pinjaman paling kurang 1 (satu)
tahun; dan
c. jumlah pinjaman paling sedikit
sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 37
(1) PMVS atau UUS dapat melakukan kegiatan
pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
- 26 -
(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan dengan ketentuan:
a. menggunakan akad yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah; dan
b. sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedua
Pinjaman atau Pendanaan Subordinasi
Pasal 38
(1) Pinjaman atau pendanaan subordinasi yang diterima
PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (1) huruf f harus memenuhi ketentuan:
a. berjangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun;
b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku
paling akhir dari segala pinjaman yang ada; dan
c. dituangkan dalam bentuk perjanjian akta notariil
antara PMV atau PMVS dengan pemberi
pinjaman.
(2) Dalam melakukan kegiatan pinjaman atau pendanaan
subordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
PMVS wajib memenuhi ketentuan:
a. menggunakan akad yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah; dan
b. sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Gearing Ratio
Pasal 39
(1) PMV atau PMVS wajib memenuhi ketentuan gearing
ratio paling rendah 0 (nol) dan paling tinggi 10
(sepuluh) kali.
(2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman
- 27 -
atau pendanaan dengan penjumlahan Ekuitas dan
pinjaman atau pendanaan subordinasi.
(3) Pinjaman atau pendanaan subordinasi yang dapat
diperhitungkan dalam perhitungan gearing ratio
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling tinggi
50% (lima puluh persen) dari Modal Disetor.
BAB VII
DANA VENTURA
Bagian Kesatu
Persyaratan PMV atau PMVS Sebagai
Pengelola Dana Ventura
Pasal 40
(1) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang akan mengelola
Dana Ventura sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki Ekuitas paling sedikit:
1. bagi PMV yang berbentuk badan hukum
perseroan
terbatas
sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah);
2. bagi PMV yang berbentuk badan hukum
koperasi sebesar Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah);
3. bagi PMV yang berbentuk badan usaha
perseroan
komanditer
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
rupiah);
terbatas
sebesar
miliar
4. bagi PMVS yang berbentuk badan hukum
perseroan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
rupiah);
sebesar
miliar
- 28 -
5. bagi PMVS yang berbentuk badan hukum
koperasi sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah); atau
6. bagi PMVS yang berbentuk badan usaha
perseroan
komanditer
sebesar
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan
7. bagi UUS sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah); dan
b. memiliki sumber daya manusia yang memiliki
pengalaman di bidang pengelolaan investasi.
(2) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang akan mengelola
Dana Ventura sebagaimana dimaksud pada Pasal
2 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), wajib mengajukan
permohonan ke OJK dan harus melampirkan
dokumen yang berisi uraian paling
sedikit
mengenai:
a. akta pendirian PMV atau PMVS;
b. struktur organisasi;
c. rencana perjanjian pembentukan Dana Ventura;
d.
daftar sumber daya manusia yang melakukan
pengelolaan Dana Ventura; dan
e. prosedur operasional standar terkait dengan
pengelolaan Dana Ventura.
(3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
permohonan diterima secara lengkap.
Bagian Kedua
Pembentukan Dana Ventura
Pasal 41
Pembentukan Dana Ventura dilakukan antara PMV
dan/atau PMVS dengan Bank Kustodian berdasarkan
kontrak investasi bersama.
- 29 -
Pasal 42
(1) Jumlah Investor Dana Ventura paling banyak 25 (dua
puluh lima) pihak.
(2) PMV, PMVS, dan/atau UUS harus memenuhi jumlah
nilai dana kelolaan minimum untuk setiap Dana
Ventura yang dibentuk.
(3) Untuk pertama kali sejak Peraturan OJK ini
diundangkan, jumlah nilai dana kelolaan minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setelah mendapatkan persetujuan dari OJK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4), PMV,
PMVS, dan/atau UUS dapat mengumpulkan dana dari
Investor Dana Ventura untuk memenuhi jumlah nilai
dana kelolaan minimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
(5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) berakhir dan PMV, PMVS, dan/atau UUS
memperoleh dana kelolaan paling
sedikit
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah), maka PMV diberikan tambahan waktu untuk
mengumpulkan dana dari Investor Dana Ventura
selama 30 (tiga puluh) hari.
(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) berakhir dan PMV, PMVS,
dan/atau UUS tidak dapat memenuhi jumlah nilai
dana kelolaan minimal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib
mengembalikan dana kelolaan tersebut kepada
Investor Dana Ventura.
(7) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib melakukan
penyertaan sesuai dengan ketentuan mengenai batas
minimum penyertaan pada setiap Dana Ventura yang
dikelola.
- 30 -
(8) Untuk pertama kali sejak Peraturan OJK ini
diundangkan, batas minimum penyertaan pada setiap
Dana Ventura yang dikelola ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen).
(9) Ketentuan mengenai perubahan terhadap jumlah nilai
dana kelolaan minimum untuk setiap Dana Ventura
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan batas
minimum penyertaan pada setiap Dana Ventura yang
dikelola sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur
dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 43
Dana Ventura wajib mencantumkan nama PMV atau PMVS
dan nama yang sesuai dengan tujuan investasi tersebut.
Bagian Ketiga
Perjanjian Pembentukan Dana Ventura
Pasal 44
(1) Perjanjian pembentukan Dana Ventura dibuat dengan
akta notariil.
(2) Perjanjian pembentukan Dana Ventura sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit:
a.
b.
c.
tugas dan tanggung jawab PMV atau PMVS;
tugas dan tanggung jawab Bank Kustodian;
d. hak-hak investor;
e.
tujuan investasi, kebijakan investasi, biaya-biaya,
dan gambaran risiko investasi;
f. penyelesaian perselisihan/sengketa antar para
pihak; dan
g. ketentuan pengakhiran perjanjian.
identitas PMV atau PMVS dengan Bank Kustodian
yang terlibat dalam perjanjian;
- 31 -
Bagian Keempat
Kewajiban, Larangan, dan Tugas
PMV atau PMVS dan Bank Kustodian
Pasal 45
(1) Dalam mengelola Dana Ventura, PMV atau PMVS wajib:
a. memiliki itikad baik dan penuh tanggung jawab
dalam mengelola dana sebaik mungkin untuk
kepentingan investor;
b. menyimpan dan memelihara semua pembukuan
dan catatan penting yang berkaitan dengan
laporan keuangan dan pengelolaan Dana;
c. memisahkan pembukuan dan catatan tersebut
dari pembukuan dan catatan sebagai PMV atau
PMVS yang mengelola Dana Ventura;
d. menyampaikan informasi kepada investor/calon
investor tentang gambaran risiko investasi secara
jelas;
e. melakukan penetapan nilai pasar wajar dari nilai
penyertaan dan/atau pembiayaan kepada
Pasangan Usaha dan/atau Debitur dan
menyampaikannya segera kepada Bank
Kustodian setiap tiga bulan sekali;
f. menetapkan metode penghitungan nilai pasar
wajar dari nilai penyertaan dan/atau pembiayaan
kepada Pasangan Usaha dan/atau Debitur secara
konsisten untuk menghitung dan menetapkan
Nilai Aset Bersih; dan
g. menerapkan prinsip mengenal nasabah sesuai
dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
(2) Dalam melakukan pengelolaan dana, PMV atau PMVS
yang mengelola Dana Ventura dilarang:
a. memiliki afiliasi dengan Bank Kustodian; dan
b. memiliki
portofolio
penyertaan dan/atau
pembiayaan kepada Pasangan Usaha dan/atau
Debitur yang terafiliasi dengan PMV atau PMVS
lebih dari 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aset
- 32 -
Bersih Dana Ventura, kecuali hubungan afiliasi
yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan
modal pemerintah.
Pasal 46
(1) Bank Kustodian memiliki tugas:
a. memberikan jasa penitipan kolektif dan kustodian
sehubungan dengan aset Dana Ventura;
b. melakukan penghitungan Nilai Aset Bersih Dana
Ventura setiap tiga bulan sekali;
c. membayar biaya-biaya yang berkaitan dengan
Dana Ventura atas perintah PMV atau PMVS yang
mengelola Dana Ventura; dan
d. menyimpan dan memelihara catatan secara
terpisah yang menunjukkan semua perubahan
data investor.
(2) Bank Kustodian dilarang memiliki afiliasi dengan PMV
atau PMVS yang mengelola Dana Ventura.
Bagian Kelima
Wali Amanat
Pasal 47
(1) Dalam rangka melakukan pemantauan investasi pada
obligasi konversi dan/atau surat utang, PMV, PMVS,
dan/atau UUS yang mengelola Dana Ventura dapat
menunjuk Wali Amanat yang terdaftar di OJK untuk
mewakili kepentingan Dana Ventura sebagai pemegang
obligasi konversi dan/atau surat utang untuk
mengawasi pelaksanaan perjanjian penerbitan obligasi
konversi dan/atau surat utang oleh Pasangan Usaha.
(2) Wali Amanat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang mempunyai hubungan utang piutang dengan
Pasangan Usaha dalam jumlah lebih dari 25% (dua
puluh lima persen) dari nilai obligasi konversi
dan/atau surat utang Pasangan Usaha.
- 33 -
Bagian Keenam
Penempatan Dana Ventura
Pasal 48
(1) PMV wajib menyalurkan Dana Ventura dalam bentuk
Usaha Modal Ventura sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) kepada Pasangan Usaha dan/atau
Debitur yang tidak tercatat di bursa efek.
(2) PMVS dan/atau UUS wajib menyalurkan Dana
Ventura dalam bentuk Usaha Modal Ventura Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
kepada Pasangan Usaha yang tidak tercatat di bursa
efek.
(3) Penempatan dana milik investor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat
sementara.
(4) Penempatan Dana Ventura pada pembiayaan usaha
produktif bagi PMV ditetapkan paling tinggi 20% (dua
puluh persen) dari Nilai Aset Bersih Dana Ventura.
(5) Penempatan Dana Ventura pada pembiayaan usaha
produktif bagi PMV atau pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil bagi PMVS dan/atau UUS
ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari
Nilai Aset Bersih Dana Ventura.
Bagian Ketujuh
Laporan Dana Ventura
Pasal 49
(1) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang mengelola Dana
Ventura wajib menyampaikan laporan tertulis yang
memperlihatkan posisi keuangan Dana Ventura
kepada OJK dan Investor Dana Ventura setiap tiga
bulan sekali untuk posisi bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS kepada OJK
- 34 -
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
berakhirnya periode tiga bulan tersebut.
Pasal 50
(1) Laporan keuangan tahunan Dana Ventura wajib
diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di OJK.
(2) Laporan keuangan
tahunan Dana Ventura
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS kepada
Investor Dana Ventura dan OJK paling lambat pada
akhir bulan keenam setelah tanggal laporan keuangan
tahunan berakhir.
BAB VIII
USAHA MODAL VENTURA BAGI USAHA MIKRO,
KECIL, MENENGAH, DAN KOPERASI
Pasal 51
PMV atau PMVS wajib memiliki kegiatan Usaha Modal
Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah pada Pasangan
Usaha dan/atau Debitur yang termasuk kategori usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi paling sedikit 5%
(lima persen) dari total kegiatan usaha.
Pasal 52
(1) Bagi PMV atau PMVS yang melakukan kegiatan usaha
pada Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang
termasuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari total
kegiatan usaha, ketentuan mengenai gearing ratio
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dinyatakan
tidak berlaku.
(2) Bagi PMV atau PMVS yang melakukan kegiatan usaha
pada Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang
termasuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari total
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
- 35 -
wajib memenuhi ketentuan gearing ratio paling rendah
0 (nol) dan paling tinggi sebesar 15 (lima belas) kali.
(3) Proporsi kegiatan usaha pada Pasangan Usaha
dan/atau Debitur yang termasuk kategori usaha
mikro, kecil, dan menengah paling sedikit 40%
(empat puluh persen) dari total kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dihitung berdasarkan laporan bulanan per 31
Desember.
(4) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) bagi PMV atau PMVS yang
melakukan kegiatan usaha pada Pasangan Usaha
dan/atau Debitur yang termasuk kategori usaha
mikro, kecil, dan menengah paling sedikit 40% (empat
puluh persen) dari total kegiatan usaha berlaku pada
tanggal 1 Februari untuk jangka waktu 1 (satu) tahun
berikutnya.
BAB IX
LARANGAN
Pasal 53
PMV, PMVS, dan/atau UUS dilarang:
a. menarik dana secara langsung dari masyarakat
berbentuk giro, tabungan dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas
pemenuhan kewajiban pihak lain;
c. menerbitkan surat sanggup bayar (promisorry note),
kecuali sebagai jaminan atas hutang kepada bank
yang menjadi krediturnya;
d. melakukan tindakan yang menyebabkan atau
memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di
bawah pengawasan OJK melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
e. melakukan tindakan yang menyebabkan atau
memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di
- 36 -
bawah pengawasan OJK menghindari peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB X
LAPORAN BERKALA
Pasal 54
(1) PMV, PMVS dan UUS wajib menyampaikan laporan
bulanan kepada OJK.
(2) PMV dan PMVS wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik kepada OJK.
Pasal 55
Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal54 ayat (1) diatur dalam Peraturan
OJK mengenai laporan bulanan.
Pasal 56
(1) PMV atau PMVS wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2)
kepada OJK paling lama 4 (empat) bulan setelah tahun
buku terakhir.
(2) PMV atau PMVS wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
lengkap dalam bentuk hard copy dan soft copy.
(3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disusun berdasarkan standar akuntansi
keuangan yang berlaku di Indonesia.
(4) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mencatumkan perhitungan hal-hal yang diatur
khusus di dalam Peraturan OJK ini.
- 37 -
(5) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disusun dalam mata uang rupiah.
(6) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib berdasarkan tahun takwim.
(7) Dalam hal PMV atau PMVS memperoleh izin usaha
kurang dari 6 (enam) bulan sampai dengan tahun
takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku pada tahun takwim berikutnya.
(8) Apabila batas akhir penyampaian laporan keuangan
tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
BAB XI
SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI
Pasal 57
(1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan usaha
yang sehat, PMV, PMVS, dan/atau UUS harus
mempunyai sistem informasi dan teknologi yang
terintegrasi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku untuk PMV, PMVS, dan/atau UUS yang
mempunyai kantor cabang lebih dari 5 (lima).
BAB XII
PENEGAKAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan
Pasal 58
(1) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
- 38 -
(2), Pasal 15 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 17 ayat (1),
Pasal 18, Pasal 19 ayat (6), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21
ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (3) dan ayat (7), Pasal
24 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 42 ayat (6) dan
ayat (7), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat
(2), dan/atau Pasal 56 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan OJK ini diberikan
surat pemberitahuan untuk memenuhi ketentuan
dimaksud.
(2) PMV atau PMVS wajib melakukan pemenuhan atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat
pemberitahuan.
Bagian Kedua
Rencana Pemenuhan
Pasal 59
(1) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat
(1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), ayat (2) huruf
a, dan ayat (4) huruf a, Pasal 34 ayat (1), ayat (2) huruf
a, ayat (3) huruf a, ayat (4), dan ayat (5), Pasal 35,
Pasal 39 ayat (1), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2),
dan/atau Pasal 51 Peraturan OJK ini diberikan surat
permintaan penyampaian rencana pemenuhan.
(2) PMV atau PMVS wajib menyampaikan rencana
pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
surat permintaan penyampaian rencana pemenuhan.
(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling sedikit memuat rencana yang akan
dilakukan PMV atau PMVS untuk pemenuhan
ketentuan yang disertai jangka waktu tertentu yang
dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
- 39 -
(4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), memuat:
a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas;
b. penambahan Modal Disetor;
c. pembatasan penerimaan pinjaman baru;
d. penerimaan pinjaman subordinasi;
e. pengalihan sebagian atau seluruh aset;
f. pembatasan pembagian laba;
g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan
pelanggaran ketentuan;
h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru;
dan/atau
i. penggabungan badan usaha.
(5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan
Dewan Komisaris.
(6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh RUPS
dalam hal rencana dimaksud memuat rencana
penambahan Modal Disetor atau rencana
penggabungan usaha.
(7) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan
dari OJK.
(8) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup
untuk mengatasi permasalahan, PMV atau PMVS
wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan
tersebut.
(9) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana pemenuhan yang disampaikan oleh PMV atau
PMVS dengan memperhatikan kondisi permasalahan
yang dihadapi oleh PMV atau PMVS paling lama 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya
rencana pemenuhan secara lengkap.
(10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (9), OJK tidak memberikan pernyataan tidak
- 40 -
keberatan atau tanggapan, PMV atau PMVS dapat
melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(11) PMV atau PMVS wajib melaksanakan rencana
pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XIII
SANKSI
Pasal 60
(1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal
6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8 ayat
(2), Pasal 10, Pasal 26 ayat (1), Pasal 33 ayat (2) huruf
b, ayat (3), dan ayat (4) huruf b, Pasal 34 ayat (2)
huruf b dan ayat (3) huruf b, Pasal 36 ayat (4), Pasal
37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), Pasal
43, Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 50, Pasal 53,
Pasal 54, Pasal 58 ayat (2), dan/atau Pasal 59 ayat (2),
ayat (8), dan ayat (11) Peraturan OJK ini dikenakan
sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a diberikan secara tertulis oleh OJK kepada
PMV atau PMVS sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2
(dua) bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV
atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi
peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
PMV atau PMVS tetap tidak memenuhi ketentuan
- 41 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara
tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS yang
bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha
tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat
sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi
pembekuan kegiatan usaha berlaku sampai dengan
hari kerja pertama berikutnya.
(7) PMV atau PMVS yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dilarang melakukan kegiatan usaha kecuali untuk
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1).
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), PMV atau PMVS telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku
dan PMV atau PMVS tetap melakukan kegiatan Usaha
Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah,
OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan
izin usaha.
(10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS tidak juga
memenuhi ketentuan dalam POJK ini, OJK mencabut
izin usaha PMV atau PMVS yang bersangkutan.
(11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
- 42 -
atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada
masyarakat.
Pasal 61
(1) PMV yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8
ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 37 ayat (2), Pasal 40
ayat (2), Pasal 49 ayat (1), Pasal 53, dan/atau Pasal 54
ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan UUS; atau
c. pencabutan izin UUS.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a diberikan secara tertulis oleh OJK kepada
PMV yang mempunyai UUS paling banyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 2
paling lama (dua) bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV
yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
PMV yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara
tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS
dan pembekuan kegiatan UUS tersebut berlaku
selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan
kegiatan UUS diterbitkan.
- 43 -
(6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan
kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi
pembekuan kegiatan UUS berlaku sampai dengan hari
kerja pertama berikutnya.
(7) PMV yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), dilarang melakukan kegiatan UUS
kecuali untuk pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), PMV yang mempunyai UUS telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan UUS.
(9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku
dan PMV yang mempunyai UUS tetap melakukan
kegiatan Usaha Modal VenturaSyariah, OJK dapat
langsung mengenakan sanksi pencabutan izin UUS.
(10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS
tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin UUS yang
bersangkutan.
(11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan
UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau sanksi
pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 62
Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan pencantuman
- 44 -
kegiatan usaha dalam anggaran dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dinyatakan berlaku 2 (dua)
tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
Pasal 63
Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan penyertaan
saham dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi
konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dinyatakan berlaku 5 (lima) tahun setelah Peraturan OJK
ini diundangkan.
Pasal 64
(1) Perjanjian pembiayaan berdasarkan pembagian atas
hasil usaha (profit/revenue sharing) yang sudah
dilakukan sebelum Peraturan OJK ini diundangkan,
tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya
jangka waktu perjanjian pembiayaan.
(2) Perjanjian pembiayaan berdasarkan pembagian atas
hasil usaha (profit/revenue sharing) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diperhitungkan sebagai
komponen perhitungan IFAR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1).
Pasal 65
(1) Penyertaan saham atau penyertaan melalui pembelian
obligasi konversi yang telah dilakukan oleh PMV
sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan melebihi
ketentuan batasan maksimum penyertaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
dikecualikan dalam pemenuhan ketentuan mengenai
batasan maksimum penyertaan saham atau
penyertaan melalui pembelian obligasi konversi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(2) Penyertaan saham atau penyertaan melalui pembelian
obligasi konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
- 45 -
tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya
jangka waktu perjanjian penyertaan.
Pasal 66
Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai
batasan minimal kegiatan usaha pada usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 dinyatakan berlaku 3 (tiga) tahun setelah
Peraturan OJK ini diundangkan.
Pasal 67
Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai
kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal
30 ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1) dinyatakan berlaku 2
(dua) tahun setelah Peraturan OJK ini diundangkan.
Pasal 68
Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai
pemenuhan rasio Ekuitas terhadap Modal Disetor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dinyatakan berlaku
2 (dua) tahun setelah Peraturan OJK ini diundangkan.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 69
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha PMV, PMVS, dan UUS
tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 70
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 46 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 317
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 35/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 30 /POJK.04/2017
TENTANG
PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH
PERUSAHAAN TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh
perusahaan terbuka beralih dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pembelian kembali
saham yang dikeluarkan oleh perusahaan terbuka,
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
pasar modal mengenai pembelian kembali saham yang
dikeluarkan oleh perusahaan terbuka yang diterbitkan
sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu
diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
- 2 -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembelian
Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan
Terbuka;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH
PERUSAHAAN TERBUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum.
2. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah
melakukan penawaran umum efek bersifat ekuitas atau
perusahaan publik.
3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
4. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
- 3 -
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
5. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
direksi atau dewan komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar
Perusahaan Terbuka.
6. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka.
7. Anggota Bursa Efek adalah perantara pedagang Efek
yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan dan mempunyai hak untuk mempergunakan
sistem dan/atau sarana Bursa Efek sesuai dengan
peraturan Bursa Efek.
8.
Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya
menjalankan kegiatan penilaian di pasar modal dan
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
9. Afiliasi adalah:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan
keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur,
atau komisaris dari Pihak tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana
terdapat 1 (satu) atau lebih anggota direksi atau
dewan komisaris yang sama;
d. hubungan antara perusahaan dan pihak, baik
langsung maupun tidak langsung, mengendalikan
atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang
dikendalikan, baik langsung maupun tidak
langsung, oleh pihak yang sama; atau
- 4 -
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham
utama.
Pasal 2
(1) Perusahaan Terbuka dapat membeli kembali sahamnya
sesuai dengan ketentuan Pasal 37 dan Pasal 39 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
(2) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak melanggar ketentuan Pasal 91, Pasal 92,
Pasal 95, dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal sepanjang dilakukan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan
RUPS.
(4) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
rencana dan penyelenggaraan rapat umum pemegang
saham Perusahaan Terbuka.
Pasal 3
Selain pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Perusahaan Terbuka dapat membeli kembali
sahamnya untuk memenuhi ketentuan Pasal 62 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
BAB II
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 4
Perusahaan Terbuka yang melakukan pembelian kembali
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib
mengumumkan informasi tentang pembelian kembali saham
kepada pemegang saham bersamaan dengan pengumuman
- 5 -
RUPS, dengan memenuhi prinsip keterbukaan yang paling
sedikit memuat:
a. perkiraan jadwal, perkiraan biaya pembelian kembali
saham, dan perkiraan jumlah nilai nominal seluruh
saham yang akan dibeli kembali;
b. penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya
pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka;
c. perkiraan menurunnya pendapatan Perusahaan Terbuka
sebagai akibat pelaksanaan pembelian kembali saham
dan dampak atas biaya pembiayaan Perusahaan
Terbuka;
d. proforma laba per saham Perusahaan Terbuka setelah
rencana pembelian kembali saham dilaksanakan, dengan
mempertimbangkan menurunnya pendapatan;
e. pembatasan harga saham untuk pembelian kembali
saham;
f. pembatasan jangka waktu pembelian kembali saham;
g. metode yang akan digunakan untuk membeli kembali
saham; dan
h. analisis dan pembahasan manajemen mengenai
pengaruh pembelian kembali saham terhadap kegiatan
usaha dan pertumbuhan Perusahaan Terbuka di masa
mendatang.
Pasal 5
Dalam hal terdapat perubahan atau penambahan informasi
atas pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
perubahan atau penambahan informasi wajib diumumkan
paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum RUPS.
Pasal 6
Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dan Pasal 5 wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
diumumkan.
- 6 -
Pasal 7
(1) Dalam hal pembelian kembali saham dilakukan dalam
rangka pemenuhan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan kepada
masyarakat dan menyampaikan keterbukaan informasi
kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
a. penjelasan dilakukannya pembelian kembali saham
Perusahaan Terbuka;
b. nama pemegang saham yang sahamnya dapat dibeli
kembali oleh Perusahaan Terbuka;
c. harga saham serta tata cara penentuan harga; dan
d. jangka waktu pelaksanaan pembelian kembali
saham.
(2) Pengumuman dan keterbukaan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan paling lambat
2 (dua) hari setelah selesainya pelaksanaan RUPS dalam
rangka aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas.
BAB III
PELAKSANAAN PEMBELIAN KEMBALI SAHAM
Pasal 8
Pelaksanaan pembelian kembali saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib diselesaikan paling
lama 18 (delapan belas) bulan setelah tanggal RUPS yang
menyetujui pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal 9
Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dapat dilakukan melalui Bursa Efek maupun
di luar Bursa Efek.
- 7 -
Pasal 10
Dalam hal pembelian kembali saham dilakukan melalui Bursa
Efek, pembelian kembali saham wajib memenuhi ketentuan:
a. transaksi beli dilakukan melalui 1 (satu) Anggota Bursa
Efek; dan
b. harga penawaran untuk membeli kembali saham harus
lebih rendah atau sama dengan harga transaksi yang
terjadi sebelumnya.
Pasal 11
Dalam hal pembelian kembali saham dilakukan di luar Bursa
Efek, harga pembelian kembali saham wajib memenuhi
ketentuan:
a. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan
diperdagangkan di Bursa Efek, harga pembelian kembali
saham Perusahaan Terbuka paling tinggi sebesar harga
rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di
Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir
sebelum tanggal pembelian kembali saham oleh
Perusahaan Terbuka;
b. atas saham Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat di
Bursa Efek, harga pembelian kembali saham Perusahaan
Terbuka paling tinggi sebesar harga pasar wajar yang
ditetapkan oleh Penilai; atau
c. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat di Bursa
Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih
sebelum tanggal pembelian kembali saham oleh
Perusahaan Terbuka tidak diperdagangkan di Bursa Efek
atau dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa
Efek, harga pembelian kembali saham Perusahaan
Terbuka paling tinggi sebesar harga pasar wajar yang
ditetapkan oleh Penilai atau paling tinggi sebesar harga
rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di
Bursa Efek dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan
terakhir atau hari dihentikan sementara
perdagangannya, mana yang lebih rendah.
- 8 -
Pasal 12
(1) Perusahaan Terbuka wajib melaporkan hasil pembelian
kembali saham kepada Otoritas Jasa Keuangan secara
berkala setiap 6 (enam) bulan, yaitu pada bulan Juni dan
Desember.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lambat disampaikan pada tanggal 15 bulan
berikutnya dan disusun sesuai dengan format Laporan
Hasil Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 13
Perusahaan Terbuka yang sahamnya dicatatkan pada Bursa
Efek dilarang membeli kembali sahamnya, jika akan
mengakibatkan berkurangnya jumlah saham pada suatu
tingkat tertentu yang mungkin mengurangi secara signifikan
likuiditas saham di Bursa Efek.
BAB IV
PENGALIHAN SAHAM HASIL PEMBELIAN KEMBALI
Pasal 14
Perusahaan Terbuka wajib mengalihkan saham hasil
pembelian kembali.
Pasal 15
Dalam hal masih terdapat saham hasil pembelian kembali
yang dikuasai oleh Perusahaan Terbuka selama jangka waktu
3 (tiga) tahun sejak selesainya pembelian kembali saham,
Perusahaan Terbuka wajib mulai mengalihkan saham hasil
pembelian kembali dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun.
- 9 -
Pasal 16
Dalam hal kewajiban pengalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 tidak dapat dilaksanakan atau
belum dapat diselesaikan oleh Perusahaan Terbuka, dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15,
Perusahaan Terbuka wajib telah selesai mengalihkan saham
dimaksud.
Pasal 17
Saham hasil pembelian kembali dapat dialihkan dengan cara:
a. dijual baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek;
b.
ditarik kembali dengan cara pengurangan modal;
c. pelaksanaan program kepemilikan saham oleh karyawan
dan/atau direksi dan dewan komisaris;
d. pelaksanaan konversi Efek bersifat ekuitas; dan/atau
e. cara lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 18
Pengalihan saham yang dilakukan dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf a wajib memenuhi ketentuan:
a. hanya dapat dilaksanakan setelah 30 (tiga puluh) hari
sejak pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka
dilaksanakan seluruhnya;
b. dapat dilaksanakan tanpa terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan RUPS;
c.
tidak dapat dilaksanakan dalam kurun waktu bersamaan
dengan masa pembelian kembali saham Perusahaan
Terbuka; dan
d. harga pengalihan saham tidak boleh lebih rendah dari
harga rata-rata pembelian kembali saham Perusahaan
Terbuka, serta:
1. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan
diperdagangkan di Bursa Efek, tidak boleh lebih
rendah dari harga penutupan perdagangan harian di
Bursa Efek 1 (satu) hari sebelum tanggal penjualan
saham atau harga rata-rata dari harga penutupan
- 10 -
perdagangan harian di Bursa Efek selama 90
(sembilan puluh) hari terakhir sebelum tanggal
penjualan saham oleh Perusahaan Terbuka, mana
yang lebih tinggi;
2. atas saham Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat
di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga
pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau
3. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat di
Bursa Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari
atau lebih sebelum tanggal penjualan saham oleh
Perusahaan Terbuka tidak diperdagangkan di Bursa
Efek atau dihentikan sementara perdagangannya
oleh Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga
pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai atau harga
rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian
di Bursa Efek dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari
perdagangan terakhir atau hari dihentikan
sementara perdagangannya, mana yang lebih tinggi.
Pasal 19
Dalam hal Perusahaan Terbuka melakukan aksi korporasi
yang mengakibatkan adanya perubahan nilai nominal saham
hasil pembelian kembali, penghitungan harga pembelian
kembali saham disesuaikan dengan mengikuti perbandingan
antara nilai nominal saham pada saat pembelian kembali
dengan nilai nominal saham hasil aksi korporasi dimaksud.
Pasal 20
Dalam hal pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 huruf a, harga penjualan saham wajib
mengikuti ketentuan:
a. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan
diperdagangkan di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah
dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek
1 (satu) hari sebelum tanggal penjualan saham atau
- 11 -
harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan
harian di Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari
terakhir sebelum tanggal penjualan saham oleh
Perusahaan Terbuka, mana yang lebih tinggi;
b. atas saham Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat di
Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga pasar
wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau
c. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat di Bursa
Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih
sebelum tanggal penjualan saham oleh Perusahaan
Terbuka tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau
dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek,
tidak boleh lebih rendah dari harga pasar wajar yang
ditetapkan oleh Penilai atau harga rata-rata dari harga
penutupan perdagangan harian di Bursa Efek dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung
mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari
dihentikan sementara perdagangannya, mana yang lebih
tinggi.
Pasal 21
Dalam hal pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 atau Pasal 16 dilakukan dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, Perusahaan Terbuka dapat
memperpanjang jangka waktu pemenuhan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 16, jika
terjadi kondisi:
a. indeks harga saham gabungan di Bursa Efek turun
melebihi 10% (sepuluh persen) dari indeks harga saham
gabungan 1 (satu) hari bursa sebelumnya, selama 3 (tiga)
hari bursa berturut-turut;
b. Bursa Efek dimana saham Perusahaan Terbuka dicatat
dan diperdagangkan ditutup;
c. perdagangan saham Perusahaan Terbuka tersebut di
Bursa Efek dihentikan; dan/atau
- 12 -
d. bencana alam, perang, huru-hara, kebakaran, dan
pemogokan yang berpengaruh secara signifikan terhadap
kelangsungan usaha Perusahaan Terbuka.
Pasal 22
Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
telah berakhir, Perusahaan Terbuka wajib segera melanjutkan
pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
atau Pasal 16.
Pasal 23
Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan keterbukaan
informasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti
pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
dilaksanakannya penjualan saham hasil pembelian kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a.
Pasal 24
Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk
penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan di
luar Bursa Efek, paling sedikit memuat:
a.
identitas pihak yang akan menerima saham;
b. waktu pelaksanaan penjualan saham;
c. kegiatan usaha pihak yang akan menerima saham,
apabila pihak dimaksud merupakan badan usaha; dan
d.
sifat hubungan Afiliasi dari pihak yang melakukan
transaksi dengan Perusahaan Terbuka (jika ada).
Pasal 25
Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk
penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan di
Bursa Efek, paling sedikit memuat:
a. nama Anggota Bursa Efek yang ditunjuk untuk
melakukan penjualan saham;
b. waktu pelaksanaan penjualan saham; dan
c. jumlah seluruh saham yang akan dijual.
- 13 -
Pasal 26
Dalam hal saham hasil pembelian kembali dijual di Bursa
Efek, penjualan saham hasil pembelian kembali wajib
memenuhi ketentuan:
a. transaksi jual wajib dilaksanakan melalui 1 (satu)
Anggota Bursa Efek;
b. transaksi jual hanya dapat dilakukan setelah 30 (tiga
puluh) menit sejak pembukaan sampai dengan 30 (tiga
puluh) menit sebelum penutupan perdagangan; dan
c. jumlah penjualan kembali saham pada setiap hari adalah
paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah seluruh saham yang telah dibeli kembali oleh
Perusahaan Terbuka.
Pasal 27
Dalam hal saham yang dibeli kembali telah dijual pada harga
yang lebih rendah dari harga pembelian kembali, kerugian
tersebut wajib diungkapkan secara jelas dalam laporan
keuangan Perusahaan Terbuka.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 28
Dalam hal pengalihan saham hasil pembelian kembali
merupakan transaksi Afiliasi dan tidak mengandung benturan
kepentingan, Perusahaan Terbuka hanya wajib memenuhi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 29
Dalam hal pengalihan saham hasil pembelian kembali
merupakan transaksi material, Perusahaan Terbuka hanya
wajib memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 14 -
Pasal 30
Pihak sebagai berikut:
a. anggota dewan komisaris, anggota direksi, pegawai, dan
pemegang saham utama Perusahaan Terbuka;
b. orang perseorangan yang karena kedudukan atau
profesinya atau karena hubungan usahanya dengan
Perusahaan Terbuka memungkinkan orang tersebut
memperoleh informasi orang dalam; atau
c. pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak
lagi menjadi pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
atau huruf b,
dilarang melakukan transaksi atas saham Perusahaan
Terbuka tersebut pada hari yang sama dengan pembelian
kembali saham atau penjualan saham hasil pembelian
kembali yang dilakukan oleh Perusahaan Terbuka melalui
Bursa Efek.
Pasal 31
(1) Dalam hal batas waktu penyampaian keterbukaan
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
dan Pasal 23, atau pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, jatuh pada hari libur, penyampaian
keterbukaan informasi atau pelaporan dimaksud wajib
disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
(2) Dalam hal Perusahaan Terbuka menyampaikan
keterbukaan informasi atau pelaporan melewati batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2),
Pasal 23, dan Pasal 12, penghitungan jumlah hari
keterlambatan atas penyampaian keterbukaan informasi
atau pelaporan dihitung sejak hari pertama setelah batas
akhir waktu penyampaian keterbukaan informasi atau
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2),
Pasal 23, dan Pasal 12.
- 15 -
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 32
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 33
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 16 -
Pasal 34
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-105/PM/2010 tentang Pembelian Kembali Saham
yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik,
beserta Peraturan Nomor XI.B.2 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 17 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 130
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 30 /POJK.04/2017
TENTANG
PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH
PERUSAHAAN TERBUKA
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai pembelian kembali saham yang
dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka yaitu Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-105/PM/2010 tentang Pembelian
Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik,
beserta Peraturan Nomor XI.B.2 yang merupakan lampirannya, menjadi
- 2 -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembelian Kembali Saham
yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “prinsip keterbukaan” adalah pedoman
umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan pihak
lain yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam
waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya
atau Efek-nya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal
terhadap Efek dimaksud dan/atau harga dari Efek tersebut.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam praktiknya “program kepemilikan saham oleh karyawan
dan/atau direksi dan dewan komisaris” dikenal dengan istilah
employee stock option plan, management stock option plan,
employee stock purchase plan, atau management stock purchase
plan.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Transaksi Afiliasi dan benturan kepentingan mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal
yang mengatur mengenai transaksi Afiliasi dan benturan kepentingan
transaksi tertentu.
Pasal 29
Transaksi material mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai transaksi
material dan perubahan kegiatan usaha utama.
- 5 -
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
penundaan pemberian pernyataan efektif untuk pernyataan
pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6077
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN NOMOR 30 /POJK.04/2017
TENTANG
PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH
PERUSAHAAN TERBUKA
- 2 -
LAPORAN HASIL PELAKSANAAN PEMBELIAN KEMBALI SAHAM
PT. .................................
Tanggal ....................... s/d .......................
No.
Tanggal
Transaksi
Jumlah Saham
yang Dibeli
Harga Rata-Rata
Pembelian (Rp.)
Persentase Jumlah Nominal Saham yang
Dibeli dari Seluruh Jumlah Nominal
Saham yang Akan Dibeli Sesuai RUPS
Sisa Biaya Pembelian
Kembali Saham
Jumlah
Jakarta,............................. 20......
Perusahaan Terbuka
Direktur
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 30/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-105/PM/2010|KEPTA-BAPEPAM/2010', 'Kep-105/PM/2010|KEPTA-BAPEPAM/2010 | Lampiran Peraturan Nomor XI.B.2' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN TAHUNAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan
informasi oleh Emiten atau Perusahaan Publik dalam Laporan
Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik, perlu
menyempurnakan peraturan mengenai Laporan Tahunan
Emiten atau Perusahaan Publik dengan menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Tahunan Emiten
atau Perusahaan Publik;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN TAHUNAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Laporan Tahunan adalah laporan pertanggungjawaban
Direksi dan Dewan Komisaris dalam melakukan
pengurusan dan pengawasan terhadap Emiten atau
Perusahan Publik dalam kurun waktu 1 (satu) tahun buku
kepada Rapat Umum Pemegang Saham yang disusun
berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
2. Direksi:
a. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan Komisaris
Emiten atau Perusahaan Publik; dan
b. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk
badan hukum selain perseroan terbatas adalah organ
yang melaksanakan pengurusan badan hukum
tersebut sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai badan hukum
tersebut.
3. Dewan Komisaris:
a. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan
Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik; dan
-3-
b. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk
badan hukum selain perseroan terbatas adalah organ
yang melakukan pengawasan badan hukum tersebut
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan mengenai badan hukum tersebut.
4. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS:
a. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah RUPS
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Rencana dan
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
Perusahaan Terbuka; dan
b. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk
badan hukum selain perseroan terbatas adalah organ
yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan
kepada organ yang melaksanakan fungsi pengurusan
dan fungsi pengawasan, dalam batas yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan dan/atau
anggaran dasar yang mengatur badan hukum
tersebut.
BAB II
PENYUSUNAN, BENTUK, DAN ISI LAPORAN TAHUNAN
Pasal 2
(1) Direksi wajib menyusun Laporan Tahunan.
(2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib ditelaah oleh Dewan Komisaris.
Pasal 3
(1) Laporan Tahunan harus dicetak dan dijilid.
(2) Laporan Tahunan harus dapat diperbanyak dalam bentuk
salinan dokumen cetak dan salinan dokumen elektronik.
-4-
Pasal 4
Laporan Tahunan wajib paling sedikit memuat:
a. ikhtisar data keuangan penting;
b. informasi saham (jika ada);
c. laporan Direksi;
d. laporan Dewan Komisaris;
e. profil Emiten atau Perusahaan Publik;
f. analisis dan pembahasan manajemen;
g. tata kelola Emiten atau Perusahaan Publik;
h. tanggung jawab sosial dan lingkungan Emiten atau
Perusahaan Publik;
i.
j.
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit; dan
surat pernyataan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris tentang tanggung jawab atas Laporan Tahunan.
Pasal 5
(1) Laporan Tahunan wajib disajikan dalam Bahasa Indonesia
dan bahasa asing.
(2) Laporan Tahunan dalam bahasa asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit menggunakan
bahasa Inggris.
(3) Laporan Tahunan yang menggunakan bahasa asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat
informasi yang sama dengan informasi dalam Laporan
Tahunan yang menggunakan Bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran dan/atau
informasi yang disajikan dalam bahasa asing dengan yang
disajikan dalam Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), informasi yang digunakan sebagai acuan
adalah informasi dalam Bahasa Indonesia.
Pasal 6
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
wajib disusun sesuai dengan ketentuan mengenai bentuk
dan isi Laporan Tahunan.
-5-
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan isi Laporan
Tahunan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN TAHUNAN
Pasal 7
(1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan
Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada akhir bulan keempat setelah tahun buku
berakhir.
(2) Dalam hal Laporan Tahunan telah tersedia bagi pemegang
saham sebelum jangka waktu penyampaian Laporan
Tahunan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Laporan Tahunan wajib disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan pada tanggal yang sama dengan
tersedianya Laporan Tahunan bagi pemegang saham.
(3) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik memperoleh
pernyataan efektif untuk pertama kali dalam periode
setelah tahun buku berakhir sampai dengan batas waktu
penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Emiten atau Perusahaan Publik wajib
menyampaikan laporan tahunan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada tanggal pemanggilan RUPS
tahunan (jika ada).
(4) Laporan tahunan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat
tidak mengikuti ketentuan bentuk dan isi Laporan
Tahunan.
Pasal 8
Kewajiban penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 tidak berlaku bagi Emiten yang hanya
menerbitkan Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang telah
menyelesaikan seluruh kewajiban kepada pemegang Efek
-6-
bersifat utang dan/atau Sukuk sebelum berakhirnya batas
waktu penyampaian Laporan Tahunan.
Pasal 9
Bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Efeknya tercatat
pada Bursa Efek di Indonesia dan Bursa Efek di negara lain,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. batas waktu penyampaian Laporan Tahunan wajib sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 7;
b. penyampaian Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan otoritas pasar modal di negara lain
dilakukan pada tanggal yang sama; dan
c. Laporan Tahunan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan otoritas pasar modal di negara lain wajib
memuat informasi yang sama dan paling sedikit
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
Pasal 10
(1) Laporan Tahunan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib
disampaikan dalam bentuk:
a. dokumen cetak paling sedikit 2 (dua) eksemplar,
1 (satu) di antaranya dalam bentuk asli; dan
b. salinan dokumen elektronik.
(2) Laporan Tahunan yang disampaikan dalam bentuk
salinan dokumen elektronik wajib memuat informasi yang
sama dengan informasi dalam Laporan Tahunan yang
disampaikan dalam bentuk dokumen cetak.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan informasi yang disajikan
dalam salinan dokumen elektronik dengan yang disajikan
dalam dokumen cetak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah
informasi dalam Laporan Tahunan yang disampaikan
dalam bentuk dokumen cetak dalam bentuk asli.
-7-
(4) Laporan Tahunan dalam bentuk asli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, wajib ditandatangani
secara langsung oleh seluruh anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris.
(5) Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b wajib disampaikan melalui sistem
pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Dalam hal Laporan Tahunan dalam bentuk dokumen
cetak dan dokumen elektronik disampaikan secara
terpisah, penghitungan ketepatan waktu penyampaian
Laporan Tahunan didasarkan pada Laporan Tahunan
yang lebih dahulu diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Dalam hal penyajian Laporan Tahunan dalam Bahasa
Indonesia dan bahasa asing disajikan dalam buku yang
terpisah, Emiten atau Perusahaan Publik wajib
menyampaikan Laporan Tahunan dimaksud kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 7.
(8) Penyampaian Laporan Tahunan yang disajikan dalam
buku terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal
yang sama.
Pasal 11
Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan
Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
periode penyampaian laporan keuangan tahunan, Emiten atau
Perusahaan Publik dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Otoritas
Jasa Keuangan, sepanjang Laporan Tahunan dalam bentuk asli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a
memuat laporan keuangan tahunan dalam bentuk asli.
-8-
Pasal 12
Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9 jatuh pada
hari libur, Laporan Tahunan wajib disampaikan paling lambat
pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 13
Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan
Laporan Tahunan melewati batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, penghitungan jumlah hari
keterlambatan atas penyampaian Laporan Tahunan dihitung
sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian
Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
BAB IV
KETERSEDIAAN LAPORAN TAHUNAN
Pasal 14
Laporan Tahunan wajib tersedia bagi pemegang saham pada
saat pemanggilan RUPS Tahunan.
Pasal 15
(1) Laporan Tahunan wajib dimuat dalam Situs Web Emiten
atau Perusahaan Publik pada tanggal yang sama dengan
penyampaian Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Laporan Tahunan yang dimuat dalam Situs Web
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tersedia dalam
jangka waktu tertentu sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Situs Web
Emiten atau Perusahaan Publik.
-9-
BAB V
PERTANGGUNGJAWABAN ATAS LAPORAN TAHUNAN
Pasal 16
Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab atas
kebenaran isi Laporan Tahunan.
Pasal 17
(1) Laporan Tahunan wajib ditandatangani oleh seluruh
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang
menjabat pada saat penyampaian Laporan Tahunan.
(2) Dalam hal terdapat anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris tidak menandatangani Laporan
Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang
bersangkutan wajib menyebutkan alasannya secara
tertulis dalam surat tersendiri yang dilekatkan pada
Laporan Tahunan.
(3) Dalam hal terdapat anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris tidak menandatangani Laporan
Tahunan dan tidak memberikan alasan secara tertulis,
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lain
yang menandatangani Laporan Tahunan wajib
menyertakan alasan secara tertulis dalam surat tersendiri
yang dilekatkan pada Laporan Tahunan.
Pasal 18
Tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
dibubuhkan pada surat pernyataan anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris tentang tanggung jawab atas
Laporan Tahunan pada lembaran tersendiri dalam Laporan
Tahunan.
-10-
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 19
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran ketentuan tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
sendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 20
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
-11-
Pasal 21
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor KEP-431/BL/2012 tanggal 1 Agustus 2012
tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau
Perusahaan Publik beserta Peraturan Nomor X.K.6 yang
merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku pada tanggal 1 Januari 2017.
Pasal 23
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku untuk
penyusunan Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik
yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan mulai tahun
2017, kecuali ketentuan Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 10
ayat (6), dan Pasal 13 mulai berlaku untuk Laporan Tahunan
Emiten atau Perusahaan Publik yang disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2016.
Pasal 24
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
-12-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 150
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN TAHUNAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
I. UMUM
Laporan Tahunan tidak hanya menjadi laporan pertanggungjawaban
Direksi dan Dewan Komisaris dalam melakukan pengurusan dan
pengawasan Emiten atau Perusahaan Publik kepada RUPS, namun juga
merupakan salah satu sumber informasi penting bagi investor atau
pemegang saham termasuk investor atau pemegang saham asing dalam
pengambilan keputusan investasi dan sarana pengawasan pemegang
saham terhadap Emiten atau Perusahaan Publik. Selain itu, Laporan
Tahunan juga merupakan salah satu sumber informasi bagi regulator
dalam melakukan pengawasan dalam upaya melindungi kepentingan
investor atau pemegang saham.
Mengingat pentingnya Laporan Tahunan bagi investor atau pemegang
saham dan regulator, kualitas Laporan Tahunan perlu ditingkatkan baik
dari kualitas informasi yang dimuat dalam Laporan Tahunan maupun dari
segi penyajian Laporan Tahunan. Dalam rangka peningkatan kualitas
informasi, perlu dilakukan penyempurnaan mengenai substansi dan
keakuratan informasi yang dimuat dalam Laporan Tahunan. Sementara
itu, dalam rangka peningkatan penyajian Laporan Tahunan, untuk
memberikan kemudahan bagi investor atau pemegang saham asing dalam
mengakses informasi dalam Laporan Tahunan, penyajian Laporan
Tahunan perlu disajikan dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing,
dimana bahasa asing tersebut paling sedikit adalah bahasa Inggris.
-2-
Selain bermanfaat bagi investor atau pemegang saham, dan regulator,
Laporan Tahunan yang berkualitas pada akhirnya dapat menjadi sarana
promosi bagi Emiten atau Perusahaan Publik dalam meningkatkan daya
saing Emiten atau Perusahaan Publik dengan perusahaan-perusahaan di
kawasan regional maupun internasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “salinan dokumen cetak” antara lain
dalam bentuk fotokopi.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Penyajian Laporan Tahunan dalam Bahasa Indonesia dan bahasa
asing dapat disajikan dalam 1 (satu) buku atau dalam buku
terpisah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-3-
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “telah tersedia bagi pemegang saham”
yakni pada saat Laporan Tahunan tersebut telah disediakan oleh
Emiten atau Perusahaan Publik dan dapat diakses oleh
pemegang saham, misalnya di kantor atau Situs Web Emiten atau
Perusahaan Publik.
Ayat (3)
Contoh:
Pernyataan Pendaftaran Emiten X memperoleh pernyataan efektif
pada tanggal 20 Maret 2016 dan tahun buku Emiten X
perusahaan berakhir per 31 Desember 2015.
Emiten X akan menyelenggarakan RUPS Tahunan pada tanggal
16 Juni 2016. Dengan demikian, Emiten X memiliki kewajiban
menyampaikan Laporan Tahunan paling lambat pada tanggal
pemanggilan RUPS Tahunan, yakni 21 hari sebelum pelaksanaan
RUPS (pada tanggal 25 Mei 2016).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-4-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “ditandatangani secara langsung” adalah
penandatanganan yang dilakukan dengan menggunakan alat
tulis, atau secara umum dikenal dengan tanda tangan basah.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “sistem pelaporan elektronik” yakni
Sistem Pelaporan Elektronik Emiten atau Perusahaan Publik
(SPE).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “laporan keuangan tahunan dalam bentuk
asli” adalah laporan keuangan tahunan yang ditandatangani secara
langsung oleh Direktur Utama dan Direktur yang membawahi bidang
akuntansi atau keuangan dan bermeterai cukup sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai tanggung jawab Direksi atas Laporan Keuangan.
Pada saat peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai tanggung jawab Direksi atas Laporan Keuangan yang
berlaku adalah Peraturan Nomor VIII.G.11, lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-40/PM/2003 tanggal
23 Desember 2003 tentang Tanggung Jawab Direksi atas Laporan
Keuangan.
Pasal 12
Cukup jelas.
-5-
Pasal 13
Contoh:
Dalam hal akhir bulan keempat setelah tahun buku berakhir yang
merupakan batas waktu penyampaian Laporan Tahunan jatuh pada
hari Sabtu, maka Emiten atau Perusahaan Publik wajib
menyampaikan Laporan Tahunan dimaksud paling lambat pada
1 (satu) hari kerja berikutnya, yaitu hari Senin. Dalam hal Emiten atau
Perusahaan Publik menyampaikan Laporan Tahunan melewati batas
waktu hari kerja berikutnya tersebut, yaitu hari Senin, misalnya
disampaikan pada hari Rabu, maka penghitungan keterlambatan
penyampaian laporan dihitung sejak hari Selasa. Dengan demikian,
Emiten atau Perusahaan Publik mengalami keterlambatan
penyampaian Laporan Tahunan selama 2 (dua) hari.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan
-6-
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 21
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif dan tindakan tertentu melalui situs web Otoritas Jasa
Keuangan atau laporan tahunan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5911
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 29/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN TAHUNAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title>
<set_date> 29 Juli 2016 </set_date>
<effective_date> 29 Juli 2016 </effective_date>
<issued_date> 29 Juli 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-431/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'KEP-431/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor X.K.6' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 62 /POJK.03/2016
TENTANG
TRANSFORMASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO KONVENSIONAL
MENJADI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
SYARIAH MENJADI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional
menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Keuangan
Mikro Syariah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
- 2 -
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5394);
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 342,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5621), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga
Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 412, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5830);
6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
351, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5629);
7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
3/POJK.03/2016 tentang Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2016
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5839);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
TRANSFORMASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
KONVENSIONAL MENJADI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH MENJADI BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen
yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Lembaga Keuangan Mikro Konvensional yang selanjutnya
disingkat LKMK adalah lembaga keuangan mikro
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang
menyelenggarakan kegiatan usaha secara konvensional.
3. Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang selanjutnya
disingkat LKMS adalah lembaga keuangan mikro
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang
menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
4. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
- 4 -
5. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS yaitu bank syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
6. Prinsip Syariah adalah Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
7. Direksi:
a. bagi BPR dan BPRS yang berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang perseroan terbatas;
b. bagi BPR yang berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
8. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR dan BPRS yang berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR yang berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
9. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat
PSP adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau
kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan, BPR, atau BPRS sebesar
25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah
saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara;
atau
b. memiliki saham perusahaan, BPR, atau BPRS sebesar
kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara
- 5 -
namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian perusahaan, BPR, atau
BPRS baik secara langsung maupun tidak langsung.
10. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS
adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan BPRS agar
sesuai dengan Prinsip Syariah.
11. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan yang selanjutnya
disingkat PKK adalah proses untuk menilai pemenuhan
persyaratan kemampuan dan kepatutan terhadap calon
pihak utama yaitu calon PSP, calon anggota Direksi, dan
calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
12. Transformasi adalah perubahan kegiatan usaha LKMK
menjadi BPR atau LKMS menjadi BPRS.
13. LKMK Transformasi adalah LKMK yang telah memiliki izin
usaha dan mengajukan izin untuk bertransformasi
menjadi BPR.
14. LKMS Transformasi adalah LKMS yang telah memiliki izin
usaha dan mengajukan izin untuk bertransformasi
menjadi BPRS.
15. Modal inti:
a. bagi BPR adalah komponen modal yang terdiri dari
modal inti utama dan modal inti tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti
Minimum Bank Perkreditan Rakyat;
b. bagi BPRS adalah komponen modal sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.
16. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya
disingkat KPMM adalah rasio modal terhadap Aset
Tertimbang Menurut Risiko yang selanjutnya disingkat
ATMR yang wajib disediakan oleh BPR atau BPRS
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban
- 6 -
penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti
minimum Bank Perkreditan Rakyat atau ketentuan
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum dan
pemenuhan modal inti minimum Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah.
17. Lembaga Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat LSP
adalah lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi kompetensi
kerja sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai Sertifikasi Kompetensi Kerja
bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR
dan BPRS.
BAB II
PERSYARATAN TRANSFORMASI
Pasal 2
(1) LKMK wajib bertransformasi menjadi BPR atau LKMS
wajib bertransformasi menjadi BPRS jika:
a. melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah
Kabupaten/Kota tempat kedudukan LKMK atau
tempat kedudukan LKMS; atau
b. LKMK atau LKMS telah memiliki:
1. ekuitas paling sedikit 5 (lima) kali dari
persyaratan modal disetor minimum BPR atau
BPRS sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
2. jumlah dana pihak ketiga dalam bentuk
simpanan yang dihimpun dalam 1 (satu) tahun
terakhir paling sedikit 25 (dua puluh lima) kali
dari persyaratan modal disetor minimum BPR
atau BPRS sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) LKMK atau LKMS yang telah memiliki modal inti sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) dapat
mengajukan permohonan Transformasi atas inisiatif
sendiri.
- 7 -
Pasal 3
Transformasi LKMK menjadi BPR atau LKMS menjadi BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat dilakukan
oleh LKMK atau LKMS yang telah memperoleh izin usaha dan
dengan izin Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 4
(1) Selama proses Transformasi, LKMK atau LKMS dilarang
melakukan perubahan:
a. lokasi kota/kabupaten tempat kedudukan;
b. bentuk badan hukum; dan/atau
c. prinsip kegiatan usaha.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dikecualikan bagi LKMS Transformasi.
Pasal 5
LKMK Transformasi atau LKMS Transformasi harus:
a. menyesuaikan anggaran dasar;
b. menyesuaikan kepemilikan, bentuk badan hukum, dan
PSP;
c. memenuhi ketentuan permodalan;
d. memenuhi ketentuan Direksi dan Dewan Komisaris;
e. memenuhi ketentuan DPS bagi BPRS;
f. menyesuaikan infrastruktur dan sumber daya manusia;
dan
g. memenuhi persyaratan kinerja keuangan.
Bagian Kesatu
Penyesuaian Anggaran Dasar
Pasal 6
Penyesuaian anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a dibuat dalam bentuk rancangan anggaran
dasar yang mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
dan surat edaran Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR atau
mengenai BPRS yang paling sedikit memuat:
- 8 -
a. nama dan tempat kedudukan;
b. kegiatan usaha sebagai BPR atau BPRS;
c. permodalan;
d. kepemilikan;
e. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan serta tata cara
pengangkatan,
penggantian,
pemberhentian,
pengunduran diri anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan anggota DPS (bagi BPRS); dan
f.
ketentuan pengangkatan calon anggota Direksi, calon
anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota DPS (bagi
BPRS) dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Penyesuaian Kepemilikan, Bentuk Badan Hukum, dan PSP
Pasal 7
Penyesuaian kepemilikan, bentuk badan hukum, dan PSP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b mengacu pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan surat edaran Otoritas
Jasa Keuangan mengenai BPR atau mengenai BPRS, antara
lain:
a. BPR atau BPRS hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh:
1. warga negara Indonesia;
2. badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya
warga negara Indonesia; dan/atau
3. pemerintah daerah.
b. Bentuk badan hukum:
1. BPR hasil Transformasi berupa perseroan terbatas
atau koperasi;
2. BPRS hasil Transformasi berupa perseroan terbatas.
c. BPR atau BPRS memiliki paling sedikit 1 (satu) PSP dengan
persentase kepemilikan saham paling sedikit 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan;
d. PSP dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi.
- 9 -
Bagian Ketiga
Pemenuhan Ketentuan Permodalan
Pasal 8
Sumber dana setoran modal LKMK atau LKMS dalam rangka
memenuhi persyaratan Transformasi harus:
a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan
dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain;
dan/atau
b. tidak berasal dari dan untuk pencucian uang.
Pasal 9
(1) LKMK Transformasi atau LKMS Transformasi harus
memiliki:
a. modal inti paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam
milyar rupiah); dan
b.
rasio KPMM paling rendah sebesar 12% (dua belas
persen) dari ATMR.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Otoritas Jasa
Keuangan, LKMK atau LKMS belum memenuhi ketentuan
modal inti dan/atau rasio KPMM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), LKMK atau LKMS harus melakukan
penambahan modal inti melalui setoran tunai yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8.
(3) Hal lain terkait pemenuhan ketentuan permodalan LKMK
Transformasi atau LKMS Transformasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf c diatur sebagai berikut:
a. bagi BPR mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan Modal
Inti BPR dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai kegiatan usaha dan wilayah jaringan
kantor BPR Berdasarkan Modal Inti; dan
- 10 -
b. bagi BPRS mengacu pada ketentuan mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum BPRS,
serta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 10
(1) BPR hasil Transformasi yang memiliki modal inti paling
sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) sampai
dengan kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
milyar rupiah) dapat melakukan kegiatan usaha dan
memiliki jaringan kantor di kabupaten/kota lokasi kantor
pusat BPR dan/atau kabupaten/kota yang berbatasan
langsung dengan kabupaten/kota lokasi kantor pusat BPR
pada provinsi yang sama sebagaimana dimaksud dalam
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kegiatan
Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor BPR Berdasarkan
Modal Inti.
(2) BPR hasil Transformasi yang memiliki modal inti paling
sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah)
dapat melakukan kegiatan usaha dan memiliki jaringan
kantor di provinsi lokasi kantor pusat BPR dan di daerah
kabupaten/kota pada daerah provinsi lain yang
berbatasan langsung dengan daerah provinsi lokasi kantor
pusat BPR hasil transformasi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor BPR
Berdasarkan Modal Inti.
Bagian Keempat
Pemenuhan Ketentuan Direksi dan Dewan Komisaris
Pasal 11
(1) LKMK Transformasi harus memenuhi ketentuan Direksi
dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf d dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai BPR, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Penerapan Tata Kelola bagi BPR,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Sertifikasi
- 11 -
Kompetensi Kerja bagi Anggota Direksi dan Anggota
Dewan Komisaris BPR, dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.
(2) Pemenuhan ketentuan anggota Direksi BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. memiliki integritas, reputasi keuangan dan
kompetensi;
b. memiliki paling sedikit:
1. dua orang anggota Direksi bagi BPR dengan
modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00
(lima puluh milyar rupiah); atau
2.
tiga orang anggota Direksi bagi BPR dengan
modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00
(lima puluh milyar rupiah);
c. memiliki pendidikan formal paling rendah setingkat
diploma tiga (D3);
d. memiliki sertifikat kompetensi kerja yang masih
berlaku yang diterbitkan oleh LSP;
e. memiliki pengetahuan di bidang perbankan yang
memadai dan relevan dengan jabatannya;
f.
memiliki pengalaman dan keahlian di bidang
perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan
nonbank paling singkat selama 2 (dua) tahun; dan
g. memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan
strategis dalam rangka pengembangan BPR yang
sehat.
(3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dilarang memiliki saham sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor pada
bank dan/atau menjadi pemegang saham mayoritas di
lembaga jasa keuangan nonbank.
(4) Pemenuhan ketentuan anggota Dewan Komisaris BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. memiliki integritas, reputasi keuangan, dan
kompetensi;
- 12 -
b. memiliki paling sedikit:
1. dua orang anggota Dewan Komisaris, bagi BPR
dengan modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar
rupiah); atau
2.
tiga orang anggota Dewan Komisaris bagi BPR
dengan modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar
rupiah);
c. memiliki paling sedikit:
1. satu orang Komisaris Independen bagi BPR
dengan modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah)
sampai
dengan
kurang
dari
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh milyar
rupiah);
2. lima puluh persen dari jumlah anggota Dewan
Komisaris merupakan Komisaris Independen
bagi BPR dengan modal inti paling sedikit
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh milyar
rupiah);
d. memiliki:
1. pengetahuan di bidang perbankan yang
memadai dan relevan dengan jabatannya;
dan/atau
2. pengalaman di bidang perbankan dan/atau
lembaga jasa keuangan nonbank; dan
e. memiliki sertifikat kompetensi kerja yang masih
berlaku yang diterbitkan oleh LSP.
Pasal 12
(1) LKMS Transformasi harus memenuhi ketentuan Direksi
dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf d dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai BPRS, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan,
- 13 -
dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi Anggota Direksi dan
Anggota Dewan Komisaris BPRS.
(2) Pemenuhan ketentuan anggota Direksi BPRS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti proses dan
memenuhi persyaratan PKK serta antara lain:
a. memiliki integritas, reputasi keuangan, dan
kompetensi;
b. memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi;
c. paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari anggota
Direksi termasuk Direktur Utama harus memiliki
pengalaman operasional paling singkat:
1. dua tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan
dan/atau pembiayaan di perbankan syariah;
2. dua tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan
dan/atau perkreditan di perbankan
konvensional dan memiliki pengetahuan di
bidang perbankan syariah; atau
3.
tiga tahun sebagai direksi atau setingkat dengan
direksi di LKMS;
d. memiliki pendidikan formal paling rendah setingkat
diploma tiga (D3) atau sarjana muda; dan
e. memiliki sertifikat kompetensi kerja yang diterbitkan
oleh LSP paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal
pengangkatan efektif.
(3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama dilarang memiliki saham sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor pada
BPRS;
(4) Pemenuhan ketentuan anggota Dewan Komisaris BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. memiliki integritas, reputasi keuangan, dan
kompetensi;
b. memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris dan paling banyak sama dengan jumlah
anggota Direksi. Dalam hal jumlah anggota Direksi
- 14 -
lebih dari 2 (dua) orang, jumlah anggota Dewan
Komisaris paling banyak 3 (tiga) orang;
c.
memiliki:
1. pengetahuan di bidang perbankan yang
memadai dan relevan dengan jabatannya;
dan/atau
2. pengalaman di bidang perbankan dan/atau
lembaga jasa keuangan nonbank; dan
d. memiliki sertifikat kompetensi kerja dari LSP paling
lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal pengangkatan
efektif.
Bagian Kelima
Pemenuhan Ketentuan DPS bagi BPRS
Pasal 13
(1) LKMS Transformasi harus memenuhi ketentuan DPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e dengan
mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai BPRS.
(2) Pemenuhan ketentuan DPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) antara lain:
a. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan
reputasi keuangan;
b. memiliki paling sedikit 2 (dua) orang dan paling
banyak 3 (tiga) orang anggota DPS; dan
c. memiliki surat rekomendasi Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Bagian Keenam
Pemenuhan Infrastruktur dan Sumber Daya Manusia
Pasal 14
Pemenuhan infrastruktur dan sumber daya manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f mengacu pada
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR atau
mengenai BPRS memuat antara lain:
- 15 -
a. aset tetap dan inventaris, termasuk gedung kantor, sarana
dan prasarana kantor;
b. teknologi informasi yang memadai;
c. sumber daya manusia;
d. sistem dan prosedur kerja; dan
e. contoh formulir atau warkat yang akan digunakan untuk
operasional BPR atau BPRS.
Bagian Ketujuh
Pemenuhan Persyaratan Kinerja Keuangan
Pasal 15
LKMK Transformasi atau LKMS Transformasi harus memiliki:
a. Non-Performing Loan (NPL) Gross atau Non-Performing
Financing (NPF) Gross paling tinggi 1% (satu persen) bagi
BPR atau BPRS, selama 6 (enam) bulan terakhir;
b. Laba pada tahun berjalan dan laba selama 2 (dua) tahun
sebelumnya;
c. Penyisihan Penghapusan Aset Produktif yang telah
dibentuk paling sedikit sama dengan Penyisihan
Penghapusan Aset Produktif yang wajib dibentuk sesuai
ketentuan mengenai kualitas aset produktif dan
pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif
BPR atau BPRS;
d. Cash Ratio paling sedikit 4,05% (empat koma nol lima
persen) yang memenuhi kriteria:
1. sehat sesuai ketentuan mengenai tingkat kesehatan
BPR bagi LKMK Transformasi; atau
2. peringkat komponan 2 (dua) sesuai ketentuan
mengenai tingkat kesehatan BPRS bagi LKMS
Transformasi.
- 16 -
BAB III
TATA CARA TRANSFORMASI
Bagian Kesatu
Tahapan Perizinan
Pasal 16
(1) Izin perubahan kegiatan usaha LKMK menjadi BPR atau
LKMS menjadi BPRS diberikan dalam bentuk izin usaha
sebagai BPR atau BPRS.
(2) Izin usaha sebagai BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan setelah LKMK Transformasi atau
LKMS Transformasi memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Pemberian izin usaha sebagai BPR atau BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
bersamaan dengan pencabutan izin usaha sebagai LKMK
atau LKMS.
(4) Izin usaha sebagai BPR atau BPRS dan pencabutan izin
usaha sebagai LKMK atau LKMS berlaku efektif sejak
tanggal persetujuan atau pengesahan anggaran dasar oleh
instansi yang berwenang.
Bagian Kedua
Pengajuan Permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan
Pasal 17
LKMK atau LKMS mengajukan permohonan Transformasi
menjadi BPR atau BPRS kepada Dewan Komisioner Otoritas
Jasa Keuangan dengan melampirkan:
a. visi dan misi Transformasi LKMK atau LKMS menjadi BPR
atau BPRS;
b. bukti lunas pembayaran biaya perizinan menjadi BPR atau
BPRS;
c.
rancangan perubahan anggaran dasar;
- 17 -
d. data kepemilikan:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian
besarnya masing-masing kepemilikan saham, bagi
BPR atau BPRS yang berbadan hukum Perseroan
Terbatas;
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan
pokok dan simpanan wajib bagi BPR yang berbadan
hukum koperasi.
e. nama dan identitas dari calon PSP, calon anggota dewan
komisaris, calon anggota direksi, serta calon anggota DPS
untuk BPRS beserta dokumen pendukung sesuai
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga
Jasa Keuangan;
f.
g.
struktur organisasi;
laporan keuangan tahun berjalan posisi terakhir yang
dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum
pengajuan permohonan dan laporan keuangan selama 2
(dua) tahun sebelumnya, dalam 2 (dua) bentuk laporan,
yaitu:
1.
laporan keuangan LKMK atau LKMS sesuai Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penyelenggaraan
Usaha Lembaga Keuangan Mikro; dan
2. laporan keuangan LKMK yang telah dikonversikan
dalam bentuk laporan bulanan BPR atau laporan
keuangan LKMS yang telah dikonversikan dalam
bentuk laporan bulanan BPRS sesuai ketentuan
mengenai laporan bulanan BPR atau BPRS;
h. laporan Modal Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dan Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
i.
laporan kinerja keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15;
j. daftar aset tetap, bukti penguasaan aset tetap, foto gedung
kantor, dan tata letak ruangan;
k. dokumen yang menunjukkan kesiapan sistem teknologi
informasi;
- 18 -
l.
rencana sistem dan prosedur kerja, serta contoh formulir
atau warkat yang akan digunakan;
m. proyeksi laporan keuangan beserta rasio keuangan
tertentu dari BPR atau BPRS hasil Transformasi selama 1
(satu) tahun ke depan; dan
n. laporan keuangan posisi akhir Desember dari lembaga
keuangan lain yang dimiliki oleh calon PSP selama 2 (dua)
tahun terakhir.
Pasal 18
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
perizinan secara elektronik, pengajuan permohonan izin
Transformasi disampaikan dengan mekanisme dan tata cara
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai
sistem perizinan secara elektronik.
Bagian Ketiga
Persetujuan Permohonan Transformasi
Pasal 19
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan Transformasi paling lambat
40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan berikut
dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan antara lain:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen;
b. penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP,
calon anggota Direksi, dan calon anggota Dewan
Komisaris dan/atau wawancara bagi calon anggota
DPS.
c.
penelitian kinerja LKMK Transformasi atau LKMS
Transformasi;
- 19 -
d. penelitian kinerja BPR atau BPRS dan/atau kinerja
lembaga keuangan lain yang dimiliki calon PSP yang
sama terhadap laporan keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan huruf n; dan
e. pemeriksaan, apabila diperlukan.
Pasal 20
(1) LKMK yang telah mendapat izin usaha sebagai BPR dan
telah berlaku efektif wajib mencantumkan secara jelas:
a. bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan
Rakyat” atau disingkat “BPR”, sesuai dengan
anggaran dasar BPR; dan
b. logo BPR pada formulir, warkat, produk, kantor, dan
jaringan kantor BPR.
(2) LKMS yang telah mendapat izin usaha sebagai BPRS dan
telah berlaku efektif wajib mencantumkan secara jelas:
a.
frasa “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR
Syariah” atau disingkat “BPRS” pada penulisan nama
dan logo iB pada kantor BPRS yang bersangkutan;
b. nama dan jenis status kantor pada masing-masing
kantor; dan
c.
logo iB pada formulir, warkat, produk, serta kegiatan
pelayanan kas BPRS.
Pasal 21
(1) LKMK atau LKMS yang telah mendapat izin usaha sebagai
BPR atau BPRS namun belum mendapatkan persetujuan
atau pengesahan perubahan anggaran dasar dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal izin usaha, maka izin usaha sebagai BPR
atau BPRS dan pencabutan izin usaha sebagai LKMK atau
LKMS dinyatakan batal dan tidak berlaku.
(2) LKMK atau LKMS yang telah mendapat izin usaha sebagai
BPR atau BPRS:
a. wajib melakukan kegiatan usaha sebagai BPR atau
BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja; dan
- 20 -
b. dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai LKMK
atau LKMS, kecuali dalam rangka penyelesaian hak
dan kewajiban dari kegiatan usaha sebagai LKMK
atau LKMS,
terhitung sejak izin usaha berlaku efektif.
(3) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib dilaporkan oleh Direksi BPR atau BPRS
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan
usaha.
Pasal 22
(1) Dalam hal permohonan Transformasi ditolak atau izin
usaha sebagai BPR atau BPRS dinyatakan batal dan tidak
berlaku, LKMK atau LKMS dapat mengajukan kembali
permohonan Transformasi paling singkat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak:
a. tanggal surat penolakan; atau
b.
izin usaha sebagai BPR atau BPRS dinyatakan batal
dan tidak berlaku.
(2) Pengajuan kembali permohonan Transformasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti proses
ulang sebagaimana dimaksud dalam BAB III Tata Cara
Transformasi.
Bagian Keempat
Pengumuman Transformasi
Pasal 23
(1) Direksi BPR atau BPRS hasil Transformasi wajib
mengumumkan Transformasi kegiatan usaha LKMK
menjadi BPR atau LKMS menjadi BPRS kepada
masyarakat dalam surat kabar harian lokal dan/atau
pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR atau
BPRS.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
- 21 -
izin usaha sebagai BPR atau BPRS dari Otoritas Jasa
Keuangan berlaku efektif.
(3) Direksi BPR atau BPRS hasil Transformasi wajib
menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan
pengumuman.
BAB IV
PELANGGARAN TERHADAP KEWAJIBAN PELAPORAN
Pasal 24
(1) BPR atau BPRS hasil Transformasi dinyatakan terlambat
menyampaikan:
a. laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3); atau
b. bukti pengumuman Transformasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3),
apabila diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lama
20 (dua puluh) hari kerja setelah batas waktu
penyampaian laporan atau bukti pengumuman.
(2) BPR atau BPRS hasil Transformasi dinyatakan tidak
menyampaikan:
a. laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3); atau
b. bukti pengumuman Transformasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3),
apabila tidak diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah
batas waktu dinyatakan terlambat
dimaksud pada ayat (1).
sebagaimana
BAB V
SANKSI
Pasal 25
BPR atau BPRS hasil Transformasi yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
- 22 -
a. Pasal 20, dikenakan sanksi administratif berupa:
1. teguran tertulis; dan/atau
2. penurunan tingkat kesehatan satu predikat bagi BPR
atau penurunan tingkat kesehatan bagi BPRS;
b. Pasal 21 ayat (2) huruf a dan huruf b, dikenakan sanksi
administratif berupa:
1. teguran tertulis; dan
2. denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari terhitung sejak berakhirnya batas waktu
kewajiban melakukan kegiatan usaha sebagai BPR
atau BPRS dengan jumlah paling banyak sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 26
(1) BPR atau BPRS hasil Transformasi yang melanggar
ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (3) dan/atau bukti pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. denda masing-masing sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah
paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah);
(2) BPR atau BPRS hasil Transformasi yang dinyatakan:
a. tidak menyampaikan laporan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a dikenakan
sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah);
b. tidak menyampaikan bukti pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf
b dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
(3) Dalam hal BPR atau BPRS hasil Transformasi telah
dikenakan sanksi administratif berupa denda karena
dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau bukti
pengumuman, sanksi administratif berupa denda karena
- 23 -
terlambat menyampaikan laporan atau bukti
pengumuman tidak dikenakan.
(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2) tidak menghilangkan kewajiban penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
dan/atau Pasal 23 ayat (3).
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai Transformasi LKMK menjadi
BPR atau LKMS menjadi BPRS diatur dalam surat edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
- 24 -
Pasal 28
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 297
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 62/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> TRANSFORMASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO KONVENSIONAL MENJADI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH MENJADI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011', '21/UU/2008', '1/UU/2013', '12/POJK.05/2014', '61/POJK.05/2015', '20/POJK.03/2014', '3/POJK.03/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 66 /POJK.03/2016
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI
MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan industri Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah yang sehat, kuat, dan
produktif, diperlukan penyesuaian terhadap struktur
permodalan agar sejalan dengan praktik terbaik
perbankan;
b. bahwa penyesuaian struktur permodalan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah dalam menyediakan dana bagi sektor riil
terutama bagi usaha mikro dan kecil;
c. bahwa penguatan kelembagaan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah perlu didukung dengan permodalan yang kuat;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan
jumlah modal dengan karakteristik yang kuat untuk
mendukung penguatan kelembagaan maupun
kemampuan untuk menyerap risiko bagi Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dalam bentuk modal inti
minimum bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah;
-2-
e. bahwa sehubungan dengan huruf a sampai dengan huruf
d di atas diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN
PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya
disingkat KPMM adalah rasio modal terhadap Aset
Tertimbang Menurut Risiko yang wajib disediakan oleh
BPRS.
-3-
3. Aset Tertimbang Menurut Risiko yang selanjutnya
disingkat ATMR adalah jumlah aset dalam neraca yang
diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko yang melekat
pada setiap pos aset sesuai ketentuan.
4. Agunan Yang Diambil Alih yang selanjutnya disingkat
AYDA adalah sebagian atau seluruh agunan yang dibeli
BPRS, baik melalui pelelangan maupun di luar
pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh
pemilik agunan atau berdasarkan pemberian kuasa
untuk menjual dari pemilik agunan dalam hal nasabah
pembiayaan telah digolongkan macet, dengan kewajiban
untuk dicairkan kembali.
5. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
6. Penyisihan Penghapusan Aset Produktif yang selanjutnya
disingkat PPAP adalah cadangan yang harus dibentuk
sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan
penggolongan Kualitas Aset Produktif.
BAB II
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
Pasal 2
BPRS wajib menyediakan modal minimum yang dihitung
dengan menggunakan rasio KPMM paling rendah sebesar 12%
(dua belas persen) dari ATMR sejak 1 Januari 2020.
Pasal 3
(1) Modal terdiri atas:
a. modal inti (tier 1) yang meliputi :
1. modal inti utama;
2. modal inti tambahan; dan
b. modal pelengkap (tier 2).
-4-
(2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar
100% (seratus persen) dari modal inti.
Pasal 4
BPRS wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 8%
(delapan persen) dari ATMR sejak 1 Januari 2020.
Pasal 5
(1) Modal inti utama terdiri atas:
a. modal disetor; dan
b. cadangan tambahan modal, yang terdiri atas:
1. agio yaitu selisih lebih setoran modal yang
diterima BPRS sebagai akibat harga saham
yang melebihi nilai nominalnya;
2. dana setoran modal yaitu dana yang telah
disetor penuh untuk tujuan penambahan modal
namun belum didukung dengan kelengkapan
persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai
modal disetor seperti pelaksanaan RUPS
maupun pengesahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang, dengan memenuhi
persyaratan:
a) ditempatkan dalam bentuk deposito pada
Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha
Syariah di Indonesia dengan cara
mencantumkan atas nama ”Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q.
(nama BPRS)”, dan mencantumkan
keterangan nama penyetor tambahan
modal serta keterangan bahwa
pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari Otoritas
Jasa Keuangan. Bagi hasil yang diperoleh
dari penempatan dana setoran modal
dalam bentuk deposito di Bank Umum
-5-
Syariah atau Unit Usaha Syariah menjadi
pendapatan BPRS;
b) ditempatkan dalam bentuk deposito pada
BPRS yang bersangkutan dengan cara
mencantumkan atas nama “Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q.
(nama pemegang saham penyetor)” dan
mencantumkan keterangan bahwa
pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari Otoritas
Jasa Keuangan;
c) penambahan modal disetor yang
ditempatkan dalam bentuk deposito pada
BPRS yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud pada huruf b) hanya berlaku
bagi BPRS yang tidak dalam status
pengawasan khusus dan penambahan
modal disetor dilakukan oleh pemegang
saham BPRS yang bersangkutan;
d) telah dilakukan pemeriksaan oleh Otoritas
Jasa Keuangan dan dinyatakan telah
memenuhi ketentuan;
e)
f)
tidak diberikan bagi hasil dan/atau dividen
atas dana setoran modal dimaksud;
tidak dapat ditarik kembali oleh pemegang
saham atau calon pemegang saham.
3. modal sumbangan yaitu sumbangan yang
berasal dari pemilik BPRS dan/atau pihak luar
dalam bentuk dana atau aset lainnya termasuk
pengembalian saham pemilik;
4. cadangan umum yaitu cadangan yang dibentuk
dari penyisihan saldo laba atau laba neto
setelah dikurangi pajak untuk tujuan
memperkuat modal dan telah mendapat
persetujuan RUPS;
5. cadangan tujuan yaitu cadangan yang dibentuk
dari penyisihan saldo laba atau laba neto
-6-
setelah dikurangi pajak yang tujuan
penggunaannya telah ditetapkan dan telah
mendapat persetujuan RUPS;
6. laba tahun-tahun lalu yaitu laba tahun-tahun
lalu setelah dikurangi pajak kecuali apabila
diperkenankan untuk dikompensasi dengan
kerugian sesuai ketentuan perpajakan dan
belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS;
dan
7. laba tahun berjalan yaitu laba yang diperoleh
dalam tahun buku berjalan setelah
diperhitungkan
dengan
kekurangan
pembentukan PPAP, yang diperhitungkan
paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen)
setelah taksiran pajak, kecuali apabila
diperkenankan untuk dikompensasi dengan
kerugian sesuai ketentuan perpajakan.
(2) Komponen modal inti tambahan harus memenuhi
persyaratan:
a. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan dan
telah disetor penuh;
b. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal
disetor dalam hal jumlah kerugian BPRS melebihi
laba tahun-tahun lalu dan cadangan-cadangan yang
termasuk modal inti utama, meskipun BPRS belum
dilikuidasi;
c. sumber pendanaan tidak berasal dari BPRS yang
bersangkutan baik secara langsung maupun tidak
langsung;
d. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat
persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh BPRS
di masa mendatang;
e. tidak memiliki hak menerima pembayaran dividen;
f.
telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen
modal;
-7-
g. dapat dikonversi menjadi saham biasa yang
dinyatakan secara jelas dalam dokumen perjanjian
dengan memenuhi persyaratan dan tata cara
penambahan modal disetor sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
BPRS;
h. pembayaran kembali atau pelunasan harus
mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan
dan dengan pembayaran kembali atau pelunasan
tersebut permodalan BPRS tetap sehat serta tidak
mengakibatkan rasio modal tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 4.
(3) Modal inti tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2):
a. memperoleh tingkat imbal hasil paling tinggi sama
dengan tingkat imbal hasil dana pihak ketiga
terendah di BPRS tersebut;
b.
tidak memperoleh imbal hasil apabila BPRS dalam
keadaan rugi atau memiliki laba yang tidak
mencukupi untuk membayar imbal hasil dan
pembayaran tidak diakumulasikan pada tahun-
tahun buku berikutnya.
(4) Modal inti utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa:
a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax);
b. goodwill;
c. disagio;
d. AYDA yang telah melampaui jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak pengambilalihan sebesar nilai yang
tercatat pada neraca BPRS;
e. rugi tahun-tahun lalu; dan
f.
rugi tahun berjalan.
Pasal 6
(1) BPRS wajib menyelesaikan kelengkapan administrasi
dana setoran modal paling lambat 90 (sembilan puluh)
-8-
hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) BPRS yang telah memiliki dana setoran modal pada saat
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib
segera menyelesaikan kelengkapan administrasi dana
setoran modal paling lambat 31 Desember 2020.
(3) Dana setoran modal dicatat sebagai modal disetor setelah
BPRS memenuhi kelengkapan administrasi.
Pasal 7
(1) BPRS dapat menerima modal sumbangan dalam bentuk
aset lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Modal sumbangan dalam bentuk aset lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa
tanah dan bangunan yang dimaksudkan untuk
operasional BPRS dan telah dibalik nama menjadi atas
nama BPRS.
(3) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPRS harus
menggunakan aset berupa tanah dan bangunan untuk
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) terlampaui dan BPRS belum menyampaikan
laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penggunaan aset berupa tanah dan bangunan untuk
kegiatan operasional BPRS, aset dimaksud tidak dapat
lagi diperhitungkan sebagai komponen modal
sumbangan.
(5) Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
diperhitungkan sebagai modal sumbangan pada saat aset
dimaksud dipergunakan dalam operasional BPRS.
(6) BPRS dalam status pengawasan khusus sebagaimana
ketentuan yang mengatur mengenai tindak lanjut
penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan
khusus tidak dapat menerima modal sumbangan dalam
-9-
bentuk aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 8
(1) BPRS dapat melakukan tambahan setoran modal dalam
bentuk aset tetap berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Aset tetap yang digunakan sebagai tambahan setoran
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berupa tanah dan bangunan yang dimaksudkan untuk
operasional BPRS dan telah dibalik nama menjadi atas
nama BPRS.
(3) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPRS harus
menggunakan aset tetap untuk kegiatan operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) BPRS yang telah memiliki modal disetor berupa aset
tetap dan belum digunakan dalam operasional BPRS
pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini harus menggunakan aset dimaksud dalam
operasional BPRS paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) terlampaui dan BPRS belum
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penggunaan aset tetap untuk kegiatan
operasional BPRS, aset tetap tidak dapat lagi
diperhitungkan sebagai komponen modal disetor.
(6) Aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
diperhitungkan sebagai tambahan setoran modal pada
saat aset tetap dipergunakan dalam operasional BPRS.
(7) BPRS dalam status pengawasan khusus sebagaimana
ketentuan yang mengatur mengenai tindak lanjut
penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan
khusus tidak dapat menerima tambahan modal disetor
dalam bentuk aset tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
-10-
Pasal 9
(1) Modal pelengkap terdiri atas:
a. komponen modal yang memenuhi persyaratan:
1. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan
dan telah disetor penuh;
2. mempunyai kedudukan yang sama dengan
modal dalam hal jumlah kerugian BPRS
melebihi laba tahun-tahun lalu dan cadangan-
cadangan yang termasuk modal inti utama,
meskipun BPRS belum dilikuidasi;
3. sumber pendanaan tidak berasal dari BPRS
yang bersangkutan secara langsung maupun
tidak langsung;
4. terdapat perjanjian yang paling sedikit memuat
klausul:
a) mencantumkan pembayaran pokok
dan/atau imbal hasil;
b) tidak memiliki persyaratan percepatan
pembayaran pokok dan/atau imbal hasil;
c) pembayaran pokok dan/atau imbal hasil
ditangguhkan dan diakumulasikan antar
periode apabila pembayaran dimaksud
dapat menyebabkan rasio KPMM tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2;
d) hak tagih dalam hal terjadi likuidasi
berlaku paling akhir;
e) memiliki jangka waktu 5
(lima)
tahun atau lebih dan hanya dapat dilunasi
setelah memperoleh persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.
5. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai
komponen modal pelengkap;
6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus
mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa
-11-
Keuangan dengan syarat setelah pelunasan
tersebut permodalan BPRS tetap sehat;
b. surplus revaluasi aset tetap; dan
c. cadangan umum dari PPAP paling tinggi sebesar
1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari
ATMR.
(2) Komponen modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a paling tinggi sebesar 50% (lima puluh
persen) dari modal inti.
Pasal 10
Perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
yang wajib dihitung oleh BPRS meliputi aset dalam neraca.
Pasal 11
Dalam perhitungan ATMR:
a.
selisih lebih cadangan umum dari PPAP yang wajib
dihitung dari batasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai
faktor pengurang perhitungan ATMR.
b. AYDA yang telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak pengambilalihan tidak diperhitungkan dalam
perhitungan ATMR.
Pasal 12
BPRS dilarang melakukan distribusi laba dalam hal distribusi
dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan BPRS tidak
mencapai rasio modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 4.
BAB III
MODAL INTI MINIMUM
Pasal 13
Modal inti minimum BPRS ditetapkan sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dengan ketentuan:
-12-
1. BPRS dengan modal inti kurang dari Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) wajib memenuhi modal inti minimum
sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2020.
2. BPRS sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib
memenuhi modal
inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat
pada tanggal 31 Desember 2025.
3. BPRS dengan modal inti paling sedikit sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) namun kurang
dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), wajib
memenuhi modal
inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat
pada tanggal 31 Desember 2020.
Pasal 14
BPRS yang belum memenuhi persyaratan modal inti minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak dapat menerima
modal sumbangan dan tambahan modal disetor dalam bentuk
aset tetap.
Pasal 15
(1) BPRS wajib menjaga jumlah modal inti minimum paling
sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)
setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 angka 2 dan angka 3.
(2) BPRS dilarang melakukan distribusi laba dalam hal:
a.
distribusi dimaksud mengakibatkan menurunnya
modal inti menjadi kurang dari Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah); atau
b. BPRS belum memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(3) BPRS dilarang melakukan pembayaran kembali atau
pelunasan komponen modal inti tambahan, apabila
pembayaran kembali atau pelunasan mengakibatkan
menurunnya modal inti minimum BPRS menjadi kurang
dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
-13-
(4) Dalam hal BPRS tidak dapat menjaga modal inti
minimum paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), BPRS wajib meningkatkan modal inti menjadi paling
sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)
dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak:
a. laporan bulanan yang disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan menunjukkan modal inti di bawah
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah); atau
b. tanggal risalah hasil pemeriksaan Otoritas Jasa
Keuangan menunjukkan modal inti di bawah
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 16
BPRS yang mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan dengan modal disetor kurang dari
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) setelah berlakunya
ketentuan ini wajib memenuhi jumlah modal inti minimum
paling lambat 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
LAIN-LAIN
Pasal 17
(1) BPRS yang pada saat mulai berlakunya ketentuan ini
belum memenuhi rasio modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dan/atau jumlah modal inti
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib
menyusun rencana pemenuhan rasio modal dan/atau
modal inti minimum dalam bentuk rencana tindak
dengan persetujuan RUPS.
(2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 6 (enam) bulan setelah berlakunya ketentuan ini.
-14-
Pasal 18
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian rencana tindak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) jatuh pada
hari Sabtu atau hari libur, penyampaian rencana tindak
dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari Sabtu atau
hari libur dimaksud.
BAB V
SANKSI
Pasal 19
BPRS yang tidak memenuhi rasio modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. larangan pembukaan jaringan kantor; dan/atau
d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional
BPRS.
Pasal 20
BPRS yang tidak menyelesaikan kelengkapan administrasi
dana setoran modal dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan
sanksi administratif:
a. dana setoran modal tidak dapat diperhitungkan sebagai
komponen modal inti; dan
b. penundaan pembagian dividen atas seluruh kepemilikan
saham dari pemegang saham yang melakukan setoran
modal;
sampai dengan terpenuhinya kelengkapan administrasi.
Pasal 21
BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 17
dikenakan sanksi administratif:
a. teguran tertulis; dan/atau
-15-
b. penurunan tingkat kesehatan.
Pasal 22
(1) BPRS yang tidak memenuhi jumlah modal inti minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 1 dan
angka 2, dikenakan sanksi administratif:
a. penurunan tingkat kesehatan BPRS;
b. larangan membuka jaringan kantor;
c. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran
Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan
elektronis;
d. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu
kabupaten/kota yang sama dengan lokasi kantor
BPRS; dan
e. pembatasan remunerasi atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu kepada anggota Dewan
Komisaris dan/atau Direksi BPRS, atau imbalan
kepada pihak terkait.
(2) BPRS yang telah memenuhi modal inti minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 1 namun
belum mencapai Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) atau BPRS yang belum memenuhi modal inti
minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 3
pada tanggal 31 Desember 2020 dikenakan sanksi
administratif:
a. larangan membuka jaringan kantor;
b. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran
Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan
elektronis; dan
c. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu
kabupaten yang sama dengan lokasi kantor BPRS.
(3) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 angka 3 sampai dengan
tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
-16-
(4) BPRS yang tidak mampu menjaga modal inti minimum
paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (4),
setelah tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 namun
sebelum batas waktu pemenuhan modal inti minimum
pada tanggal 31 Desember 2025 dikenakan sanksi
administratif:
a. larangan membuka jaringan kantor;
b. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran
Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan
elektronis; dan
c. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu
kabupaten yang sama dengan lokasi kantor BPRS.
(6) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan batas
waktu pemenuhan modal inti minimum melampaui
tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
(1) Komponen dan persyaratan modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat
(3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2020.
(2) BPRS yang memiliki komponen modal pelengkap berupa
modal pinjaman dan investasi subordinasi yang telah ada
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, harus mengajukan permohonan persetujuan kepada
Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan dokumen
-17-
perjanjian yang sesuai persyaratan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) atau Pasal
9 ayat (1) huruf a sebelum 31 Desember 2019 untuk
dapat diakui sebagai komponen modal inti tambahan
atau komponen modal pelengkap.
(3) Larangan distribusi laba sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku pertama kali untuk laba
tahun 2017.
(4) Perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
sejak 1 Januari 2020.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 25
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/22/PBI/2006
tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4648), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku kecuali
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dinyatakan tetap
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.
Pasal 26
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, semua ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/22/PBI/2006 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat
-18-
Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 79, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4648), dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 27
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
-19-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 299
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 66/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '8/22/PBI/2006 | kecuali Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 3 /POJK.05/20172017
TENTANG
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (2),
Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (4), dan Pasal 26 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga
Penjamin;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5835);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA
PENJAMIN.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin kepada Penerima Jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban
finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penjaminan.
4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan,
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan
Syariah dan UUS
- 3 -
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
utama melakukan Penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha utama melakukan Penjaminan Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha melakukan Penjaminan Ulang sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di
luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
atau kontrak jasa kepada Terjamin sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016 tentang Penjaminan.
13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit,
Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan
atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan
- 4 -
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan.
14. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS,
adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit
yang melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan.
15. Tata Kelola Perusahaan yang Baik adalah seperangkat
proses yang diberlakukan dalam Lembaga Penjamin
untuk menentukan keputusan dan pengelolaan
Lembaga Penjamin dengan menggunakan prinsip
antara lain transparansi, akuntabilitas, tanggung
jawab, independensi, dan keadilan.
16. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki
kepentingan terhadap Lembaga Penjamin, baik
langsung maupun tidak langsung, meliputi Terjamin,
anggota/pemegang saham, karyawan, Penerima
Jaminan, penyedia barang dan jasa, dan/atau
pemerintah.
17. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin yang
berbentuk badan hukum perusahaan umum atau
koperasi.
18. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan
Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk
badan hukum perusahaan umum atau koperasi.
19. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ Perusahaan Penjaminan
- 5 -
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan
Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS yang
mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan Penjaminan Syariah dan
Penjaminan Ulang Syariah, agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
20. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi
Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum
perusahaan umum atau koperasi.
21. Komisaris Independen adalah anggota Dewan
Komisaris yang tidak terafiliasi dengan pemegang
saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris
lainnya dan/atau anggota DPS, yaitu tidak memiliki
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan
saham dan/atau hubungan keluarga dengan
pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS atau
hubungan lain yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen.
22. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan
hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan
hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari
mereka dapat mempengaruhi pengelolaan atau
kebijaksanaan dari orang yang lain atau badan hukum
yang lain, atau sebaliknya.
23. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana
terdapat konflik antara kepentingan ekonomis
Lembaga Penjamin dan kepentingan ekonomis pribadi
pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, DPS, dan/atau pegawai Lembaga Penjamin.
- 6 -
BAB II
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Pasal 2
Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik meliputi:
a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan
mengenai Lembaga Penjamin, yang mudah diakses
oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan di bidang penjaminan serta
standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha
yang sehat;
b. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan
pertanggungjawaban organ Lembaga Penjamin
sehingga kinerja penyelenggaraan usaha Lembaga
Penjamin dapat berjalan secara transparan, wajar,
efektif, dan efisien;
c. tanggung jawab, yaitu kesesuaian pengelolaan
Lembaga Penjamin dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan dan nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha yang sehat;
d. independensi, yaitu keadaan Lembaga Penjamin yang
dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas
dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau
tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penjaminan dan nilai etika serta standar,
prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang
sehat; dan
e. keadilan, yaitu kesetaraan dan keseimbangan di dalam
memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang
timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penjaminan, dan nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha yang sehat.
- 7 -
Pasal 3
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik bertujuan
untuk:
a. mengoptimalkan nilai Lembaga Penjamin bagi
Pemangku Kepentingan;
b. meningkatkan pengelolaan Lembaga Penjamin secara
profesional, efektif, dan efisien;
c. meningkatkan kepatuhan organ Lembaga Penjamin
dan jajaran dibawahnya agar dalam membuat
keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada
etika yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, dan kesadaran atas tanggung
jawab sosial Lembaga Penjamin terhadap Pemangku
Kepentingan maupun kelestarian lingkungan;
d. mewujudkan Lembaga Penjamin yang lebih sehat,
dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan
e. meningkatkan kontribusi Lembaga Penjamin dalam
perekonomian nasional.
Pasal 4
(1) Lembaga Penjamin wajib melaksanakan prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, dalam setiap kegiatan usahanya pada
seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
(2) Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit
memuat:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi,
Dewan Komisaris, dan DPS;
b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang
menjalankan fungsi pengendalian internal
Lembaga Penjamin;
c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan
auditor eksternal;
- 8 -
d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem
pengendalian internal dan penerapan tata kelola
teknologi informasi;
e. penerapan kebijakan remunerasi; dan
f.
transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan Lembaga Penjamin.
BAB III
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
Pasal 5
(1) RUPS Lembaga Penjamin wajib diselenggarakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar Lembaga Penjamin yang transparan
dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus berupaya
menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak,
khususnya kepentingan Terjamin, Penerima Jaminan
dan kepentingan pemegang saham minoritas.
(3) Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalah
RUPS yang paling sedikit memuat waktu, agenda,
peserta, pendapat yang berkembang dalam RUPS, dan
keputusan RUPS.
BAB IV
PEMEGANG SAHAM
Pasal 6
Pemegang saham Lembaga Penjamin melalui RUPS harus
memastikan Lembaga Penjamin dijalankan berdasarkan
penyelenggaraan usaha yang sehat.
Pasal 7
(1) Pemegang saham Lembaga Penjamin dilarang
mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin
yang menjadi tanggung jawab Direksi sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar Lembaga Penjamin dan
- 9 -
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali
dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban
selaku RUPS.
(2) Pemegang saham Lembaga Penjamin yang menjabat
sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
atau anggota DPS pada Lembaga Penjamin yang
sama harus mendahulukan kepentingan Lembaga
Penjamin.
BAB V
DIREKSI
Pasal 8
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 2
(dua) orang anggota Direksi.
(2) Paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari
jumlah anggota Direksi Lembaga Penjamin memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan
risiko sesuai dengan bidang usaha Lembaga
Penjamin.
Pasal 9
(1) Seluruh anggota Direksi Lembaga Penjamin yang
seluruh pemegang sahamnya:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. badan hukum Indonesia, yang dimiliki secara
langsung maupun tidak langsung oleh warga
negara Indonesia,
wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Lembaga Penjamin yang didalamnya terdapat
kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak
langsung wajib memiliki paling sedikit 50% (lima
puluh per seratus) anggota Direksi yang merupakan
warga negara Indonesia.
(3) Anggota Direksi Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib berdomisili
di wilayah negara Republik Indonesia.
- 10 -
(4) Bagi anggota Direksi berkewarganegaraan asing wajib
memiliki:
a. surat izin menetap; dan
b. surat izin bekerja,
dari instansi yang berwenang.
(5) Seluruh anggota Direksi Lembaga Penjamin harus
memiliki pengetahuan yang relevan dengan
jabatannya.
Pasal 10
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki anggota Direksi
yang membawahkan fungsi kepatuhan.
(2) Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dirangkap oleh anggota Direksi yang membawahkan
fungsi pemasaran, fungsi bisnis dan operasional, dan
fungsi keuangan, kecuali direktur utama.
Pasal 11
Direksi Lembaga Penjamin wajib memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan
profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan Lembaga
Penjamin, Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan;
c. mendahulukan kepentingan
Lembaga Penjamin,
Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan, daripada
kepentingan pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan Lembaga
Penjamin, Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan; dan
menghindarkan
e. mampu
penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Lembaga Penjamin.
- 11 -
Pasal 12
Direksi Lembaga Penjamin wajib:
a. menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat,
dan cepat serta dapat bertindak secara independen,
tidak
mempunyai
kepentingan
yang
dapat
mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan
tugas secara mandiri dan kritis;
b. mematuhi
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan, anggaran dasar, dan peraturan internal
lain dari Lembaga Penjamin dalam melaksanakan
tugasnya;
c. mengelola Lembaga Penjamin
kewenangan dan tanggung jawabnya;
sesuai dengan
d. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya
kepada RUPS;
e. memastikan agar Lembaga Penjamin memperhatikan
kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan
Terjamin dan/atau Penerima Jaminan;
f. memastikan agar informasi mengenai
Lembaga
Penjamin diberikan kepada Dewan Komisaris dan
DPS secara tepat waktu dan lengkap; dan
g. membantu memenuhi kebutuhan DPS dalam
menggunakan anggota komite, karyawan Lembaga
Penjamin, dan tenaga ahli profesional yang struktur
organisasinya berada dibawah Direksi.
Pasal 13
(1) Direksi Lembaga Penjamin wajib membentuk komite
investasi.
(2) Anggota komite investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. anggota Direksi yang membawahkan fungsi
pengelolaan investasi; dan
b. tenaga ahli penjaminan.
(3) Komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas membantu Direksi dalam merumuskan
- 12 -
kebijakan investasi dan mengawasi pelaksanaan
kebijakan investasi yang telah ditetapkan.
Pasal 14
(1) Anggota Direksi Lembaga Penjamin dilarang
merangkap jabatan pada Lembaga Penjamin atau
badan usaha lain.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila anggota Direksi
merangkap:
a. sebagai Dewan Komisaris pada Lembaga Penjamin
dengan lingkup wilayah operasional yang lebih
kecil dari lingkup wilayah operasional tempat
Direksi yang bersangkutan menjabat;
b. sebagai pengawas pada anak perusahaan yang
dikendalikan; dan/atau
c. sebagai pengurus asosiasi atau lembaga
pendidikan,
sepanjang perangkapan jabatan tersebut tidak
mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan
pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai anggota
Direksi Lembaga Penjamin.
Pasal 15
(1) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Direksi yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Direksi yang berasal dari mantan pegawai atau pejabat
Otoritas Jasa Keuangan apabila yang bersangkutan
berhenti bekerja dari Otoritas Jasa Keuangan kurang
dari 1 (satu) tahun.
- 13 -
Pasal 16
Anggota Direksi Lembaga Penjamin dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas
yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan
d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait
dengan kegiatan operasional
Lembaga Penjamin
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain
yang telah ditetapkan dalam RUPS.
Pasal 17
(1) Direksi Lembaga Penjamin wajib menyelenggarakan
rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan.
(2) Direksi Lembaga Penjamin wajib menghadiri rapat
Direksi paling sedikit 50% (lima puluh per seratus)
dari jumlah rapat Direksi dalam periode 1 (satu)
tahun.
(3) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan
didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan
secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai
alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions)
tersebut.
- 14 -
(5) Anggota Direksi Lembaga Penjamin
yang hadir
maupun yang tidak hadir dalam rapat Direksi berhak
menerima salinan risalah rapat Direksi.
(6) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi
Perusahaan harus dimuat dalam laporan penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
BAB VI
DEWAN KOMISARIS
Pasal 18
Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 2 (dua)
orang anggota Dewan Komisaris.
Pasal 19
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 1
(satu) orang anggota Dewan Komisaris yang
berdomisili di Indonesia.
(2) Bagi anggota Dewan Komisaris berkewarganegaraan
asing yang berdomisili di wilayah negara Republik
Indonesia wajib memiliki:
a. surat izin menetap; dan
b. surat izin bekerja,
dari instansi yang berwenang.
(3) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin
dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota
Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga
Penjamin atau badan usaha lain.
(4) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila:
a. anggota Dewan Komisaris
yang bukan
merupakan Komisaris Independen menjalankan
tugas fungsional dari pemegang saham Lembaga
Penjamin yang berbentuk badan hukum pada
kelompok usahanya; dan/atau
- 15 -
b. anggota Dewan Komisaris menduduki jabatan
pada organisasi atau lembaga nirlaba,
sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai
anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin.
Pasal 20
(1) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang berasal dari pegawai atau
pejabat aktif Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang berasal dari mantan pegawai
atau pejabat Otoritas Jasa Keuangan apabila yang
bersangkutan berhenti bekerja dari Otoritas Jasa
Keuangan kurang dari 6 (enam) bulan.
Pasal 21
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib:
a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat kepada Direksi;
b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan
kepentingan semua pihak;
c. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang
merupakan bagian dari laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik;
d. memantau efektifitas penerapan Tata
Perusahaan yang Baik;
Kelola
e. memberikan persetujuan dalam hal DPS memerlukan
bantuan anggota komite yang struktur organisasinya
berada dibawah Dewan Komisaris; dan
f. memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti
temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja
audit internal Lembaga Penjamin, auditor eksternal,
hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
hasil pengawasan otoritas lain.
- 16 -
Pasal 22
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud
menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat
untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak
lain yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan Lembaga Penjamin tempat anggota
Dewan Komisaris dimaksud menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan
fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan
RUPS; dan
d. mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin
yang menjadi tanggung jawab Direksi.
Pasal 23
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin berhak
memperoleh informasi dari Direksi mengenai Lembaga
Penjamin secara lengkap dan tepat waktu.
Pasal 24
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki Komisaris
Independen dalam hal:
a. memiliki wilayah operasional nasional atau
provinsi; atau
b. terdapat kepemilikan asing.
(2) Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib:
a. berkewarganegaraan Indonesia; dan
b. berdomisili di Indonesia.
- 17 -
Pasal 25
Komisaris Independen Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau
pemegang saham Lembaga Penjamin, dalam Lembaga
Penjamin yang sama;
b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1
(satu) tingkat di bawah Direksi pada Lembaga
Penjamin yang sama atau badan usaha lain yang
memiliki hubungan Afiliasi dengan Lembaga Penjamin
tersebut dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir;
c. memahami peraturan perundang-undangan di bidang
Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang,
dan/atau Penjaminan Ulang Syariah dan peraturan
perundang-undangan lain yang relevan; dan
d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi
keuangan Lembaga Penjamin tempat Komisaris
Independen dimaksud menjabat.
Pasal 26
Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan
fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan
Terjamin, Penerima Jaminan, dan Pemangku Kepentingan
lainnya.
Pasal 27
(1) Komisaris Independen wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kalender sejak ditemukannya:
a. pelanggaran ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang penjaminan; dan/atau
b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Lembaga
Penjamin.
- 18 -
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
Pasal 28
Lembaga Penjamin dilarang memberhentikan Komisaris
Independen karena tindakan Komisaris Independen dalam
melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (1).
Pasal 29
(1) Lembaga Penjamin wajib membentuk komite audit
dalam hal:
a. memiliki wilayah operasional nasional atau
provinsi; atau
b. terdapat kepemilikan asing.
(2) Salah seorang anggota komite audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Komisaris Independen
yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua komite.
(3) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas membantu Dewan Komisaris dalam
memantau dan memastikan efektivitas sistem
pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor
internal dan auditor eksternal dengan melakukan
pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan
pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan
pengendalian internal termasuk proses pelaporan
keuangan.
(4) Selain komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Dewan Komisaris Lembaga Penjamin dapat
membentuk komite lain guna menunjang pelaksanaan
tugas Dewan Komisaris.
Pasal 30
Lembaga Penjamin dengan lingkup kabupaten wajib
memiliki fungsi yang membantu Dewan Komisaris dalam
- 19 -
memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian
internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan
auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan
evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam
rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk
proses pelaporan keuangan.
Pasal 31
(1) Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib
menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
(2) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib
menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit 75%
(tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah rapat
Dewan Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun.
(3) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat
Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan
Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat
(dissenting opinions) tersebut.
(5) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin yang
hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan
Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat
Dewan Komisaris.
(6) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah
diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing
anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
Pasal 32
Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib menjamin
pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta
dapat bertindak secara independen dalam melaksanakan
tugas.
- 20 -
BAB VII
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Pasal 33
(1) Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS wajib memiliki DPS.
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat
oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia dan dituangkan dalam akta
notaris.
Pasal 34
(1) DPS paling sedikit mempunyai tugas dan wewenang
untuk memberikan nasihat dan saran kepada Direksi,
mengawasi aspek syariah kegiatan operasional
Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS dan sebagai wakil
Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS pada Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dimuat dalam anggaran dasar
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan
Penjaminan yang memiliki UUS.
Pasal 35
(1) Anggota DPS dilarang melakukan rangkap jabatan
sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris pada Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan
Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS yang
sama.
- 21 -
(2) Anggota DPS dilarang melakukan rangkap jabatan
sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
atau anggota DPS pada lebih dari 4 (empat) lembaga
keuangan syariah lainnya.
Pasal 36
Anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan
profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah, UUS, dan/atau Pemangku Kepentingan
lainnya;
c. mendahulukan kepentingan Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, UUS,
dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya daripada
kepentingan pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, UUS, dan/atau Pemangku
Kepentingan lainnya; dan
e. mampu
menghindarkan
penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS.
Pasal 37
DPS Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan
yang memiliki UUS wajib menjamin pengambilan
keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat
bertindak secara independen, tidak mempunyai
kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya
untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif.
- 22 -
Pasal 38
(1) DPS wajib melaksanakan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat serta saran kepada Direksi agar
kegiatan
Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau
Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS sesuai
dengan Prinsip Syariah.
(2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat serta saran yang dilakukan DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. kegiatan Penjaminan Syariah dan Penjaminan
Ulang Syariah;
b. akad Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang
Syariah yang dipasarkan oleh Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah, dan UUS; dan
c.
praktik pemasaran Penjaminan Syariah dan
Penjaminan Ulang Syariah yang dilakukan oleh
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS.
(3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat serta saran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), DPS dapat dibantu oleh anggota komite
dan/atau pegawai yang struktur organisasinya berada
di bawah Dewan Komisaris dan/atau Direksi.
Pasal 39
Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi
mengenai Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS secara lengkap dan
tepat waktu.
Pasal 40
(1) DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS secara
berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu)
tahun.
- 23 -
(2) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dituangkan dalam risalah rapat DPS dan
didokumentasikan dengan baik.
(3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat DPS wajib dicantumkan secara
jelas dalam risalah rapat DPS disertai alasan
perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut.
(4) Anggota DPS yang hadir maupun yang tidak hadir
dalam rapat DPS berhak menerima salinan risalah
rapat DPS.
(5) Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing anggota DPS harus
dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik.
Pasal 41
Anggota DPS dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan
Perusahaan
Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah, dan UUS tempat anggota DPS dimaksud
menjabat;
b. memanfaatkan jabatan pada Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan
UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota
DPS dimaksud menjabat; dan
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota
DPS dimaksud menjabat, selain remunerasi dan
fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan
keputusan RUPS.
- 24 -
Pasal 42
(1) Dalam hal DPS menilai terdapat kebijakan atau
tindakan anggota Direksi yang terkait dengan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) yang
tidak sesuai dengan Prinsip Syariah, DPS wajib
meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas
kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Dalam hal Direksi menolak hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS wajib
melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada
Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
penjelasan anggota Direksi diterima oleh DPS.
(3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS meminta
Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap
kebijakan atau tindakan anggota Direksi tersebut agar
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan
terhadap kebijakan atau tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), DPS wajib segera melaporkan
secara lengkap dan komprehensif kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada Direksi
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui
anggota Direksi tidak melakukan upaya perbaikan
dimaksud.
BAB VIII
TRANSPARANSI KEPEMILIKAN SAHAM
Pasal 43
Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota
DPS Lembaga Penjamin wajib mengungkapkan mengenai:
a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima per
seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin tempat
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan
- 25 -
anggota DPS dimaksud menjabat dan/atau pada
badan usaha lain yang berkedudukan di dalam dan
di luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan
anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain,
anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham
Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud
menjabat,
kepada Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud
menjabat dan dicantumkan dalam laporan penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
BAB IX
AUDITOR EKSTERNAL
Pasal 44
(1) Auditor eksternal Lembaga Penjamin wajib ditunjuk
oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang diajukan
oleh Dewan Komisaris berdasarkan usulan komite
audit.
(2) Auditor eksternal Lembaga Penjamin dengan lingkup
usaha kabupaten wajib ditunjuk oleh RUPS dari
calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan
Komisaris.
(3) Auditor eksternal Lembaga Penjamin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disertai:
a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium
atau imbal jasa yang diusulkan untuk auditor
eksternal tersebut; dan
b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani
oleh auditor eksternal, untuk bebas dari
pengaruh Direksi, anggota Dewan Komisaris,
- 26 -
DPS, dan pihak yang berkepentingan di
Lembaga Penjamin
dan kesediaan untuk
memberikan informasi terkait dengan hasil
auditnya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Lembaga Penjamin
bagi
wajib menyediakan semua
catatan akuntansi dan data penunjang yang
diperlukan
auditor
memungkinkan auditor
eksternal
sehingga
eksternal memberikan
pendapatnya tentang kewajaran dan kesesuaian
laporan keuangan
Lembaga Penjamin
standar audit yang berlaku.
BAB X
PRAKTIK DAN KEBIJAKAN REMUNERASI
Pasal 45
(1) Lembaga Penjamin
wajib menerapkan kebijakan
remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, DPS, dan pegawai yang mendorong
perilaku berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent
behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka
panjang Lembaga Penjamin dan perlakuan adil
terhadap Terjamin, Penjamin, Penerima Jaminan
dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya.
(2) Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan paling sedikit:
a.
dengan
kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
Lembaga Penjamin sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. prestasi kerja individual;
c. kewajaran dengan Lembaga Penjamin dan/atau
level jabatan yang setara (peer group); dan
d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka
panjang Lembaga Penjamin.
- 27 -
BAB XI
TATA KELOLA PENJAMINAN, PENJAMINAN SYARIAH,
PENJAMINAN ULANG, DAN PENJAMINAN ULANG SYARIAH
Pasal 46
(1) Lembaga Penjamin wajib menyusun kebijakan dan
rencana Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan
Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah yang
dituangkan dalam rencana bisnis tahunan Lembaga
Penjamin.
(2) Kebijakan dan rencana Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. ditetapkan oleh Direksi; dan
b. disosialisasikan kepada manajemen dan pegawai
di unit kerja terkait.
Pasal 47
Direksi wajib mengambil keputusan Penjaminan,
Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan
Ulang Syariah secara profesional dan mengoptimalkan nilai
tambah kekayaan Lembaga Penjamin dengan tetap
memperhatikan perlindungan terhadap Penerima Jaminan,
Terjamin, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya.
Pasal 48
(1) Lembaga Penjamin wajib memiliki satuan kerja atau
pegawai yang bertanggung jawab:
a. menyelenggarakan fungsi pemasaran, analisis
penjaminan, klaim dan subrogasi, serta
penanganan pengaduan Terjamin;
b. menyusun dan menerapkan standar dan
prosedur operasional Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan/atau
Penjaminan Ulang Syariah; dan
c. menyusun dan menerapkan sistem dan prosedur
pengendalian internal untuk memastikan bahwa
- 28 -
proses pemberian Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan
Ulang Syariah dilakukan sesuai dengan
kebijakan dan strategi Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan
Ulang Syariah serta tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk melakukan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, Lembaga Penjamin wajib memiliki
pegawai yang mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang Penjaminan, Penjaminan
Syariah, Penjaminan Ulang, dan/atau Penjaminan
Ulang Syariah.
BAB XII
TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI
Pasal 49
(1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan tata kelola
teknologi informasi yang efektif.
(2) Tata kelola teknologi informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. struktur organisasi sistem informasi;
b. pedoman penggunaan sistem informasi yang
dilengkapi dengan instruksi atau perintah kerja
untuk setiap
prosedure); dan
c. pedoman manajemen pengamanan data dan
insiden (disaster recovery plan).
BAB XIII
MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 50
(1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan manajemen
risiko dengan mengidentifikasi, menilai, dan
memantau risiko usaha secara efektif.
fungsi (standard operating
- 29 -
(2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan
usaha, ukuran dan kompleksitas usaha, serta
kemampuan Lembaga Penjamin.
Pasal 51
(1) Direksi Lembaga Penjamin wajib menetapkan
pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk
memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan
usaha dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi
bisnis serta anggaran dasar dan aturan internal lain
Lembaga Penjamin, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencakup hal-hal sebagai
berikut:
a. lingkungan pengendalian internal dalam
Lembaga Penjamin yang disiplin dan terstruktur;
b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu
suatu proses untuk mengindentifikasi,
menganalisis, menilai, dan mengelola risiko
usaha;
c.
aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang
dilakukan dalam suatu proses pengendalian
terhadap kegiatan Lembaga Penjamin pada setiap
tingkat dan unit dalam struktur organisasi
Lembaga Penjamin, paling sedikit mengenai
kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi,
penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas
dan keamanan terhadap aset Lembaga Penjamin;
d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu
proses penyajian laporan mengenai kegiatan
operasional, finansial, dan ketaatan atas
peraturan perundang-undangan dibidang usaha
Penjaminan, Penjamin Syariah, Penjamin Ulang,
dan Penjaminan Ulang Syariah;
- 30 -
e.
tata cara monitoring, yaitu proses penilaian
terhadap kualitas sistem pengendalian internal
termasuk fungsi internal audit pada setiap
tingkat dan unit struktur organisasi Lembaga
Penjamin, sehingga dapat dilaksanakan secara
optimal; dan
f. mekanisme pelaporan kepada Direksi dengan
tembusan kepada komite audit, dalam hal terjadi
penyimpangan kualitas sistem pengendalian
internal termasuk fungsi internal audit pada
setiap tingkat dan unit struktur organisasi
Lembaga Penjamin.
BAB XIV
RENCANA BISNIS TAHUNAN
Pasal 52
(1) Lembaga Penjamin wajib menyusun rencana bisnis
tahunan.
(2) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling sedikit meliputi:
a. ringkasan eksekutif;
b. kebijakan dan strategi manajemen;
c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan;
d. penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik;
e.
f.
kinerja keuangan Lembaga Penjamin periode
sebelumnya;
proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang
digunakan;
g. proyeksi rasio-rasio dan tingkat kesehatan
keuangan;
h. rencana pengembangan dan pemasaran
Penjaminan atau Penjaminan Syariah;
i.
j.
rencana pengembangan dan/atau perubahan
jaringan kantor;
rencana permodalan;
k. rencana pendanaan;
- 31 -
l.
rencana pengembangan organisasi dan sumber
daya manusia; dan
m. informasi lainnya.
(3) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan rencana
bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada
tanggal 30 Januari tahun yang bersangkutan.
(4) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan rencana
bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk pertama kali untuk tahun 2017 paling lambat
tanggal 30 Januari 2017.
BAB XV
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 53
(1) Lembaga Penjamin wajib memberikan informasi
kepada Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap, tepat
waktu, dan dengan cara yang efisien.
(2) Lembaga Penjamin wajib memiliki sistem pelaporan
keuangan yang handal dan terpercaya untuk
keperluan pengawasan dan Pemangku Kepentingan
lain.
Pasal 54
(1) Lembaga Penjamin wajib mengungkapkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan mengenai hal-hal penting,
paling sedikit meliputi:
a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor
eksternal;
b. transaksi material dengan pihak terkait;
c. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung
dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan
d. informasi material lain mengenai Lembaga
Penjamin.
- 32 -
(2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimuat dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik.
BAB XVI
ETIKA BISNIS
Pasal 55
(1) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan
Lembaga Penjamin dilarang menawarkan atau
memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak
langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi
penjaminan, dengan melanggar ketentuan perundang-
undangan.
(2) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan
Lembaga Penjamin dilarang menerima sesuatu untuk
kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan
perundang-undangan, baik langsung maupun tidak
langsung, yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan yang terkait dengan transaksi Penjaminan,
Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan
Penjaminan Ulang Syariah.
Pasal 56
Lembaga Penjamin wajib membuat pedoman tentang
perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha, sebagai
panduan bagi organ perusahaan dan seluruh karyawan
Lembaga Penjamin.
BAB XVII
PELAPORAN
Pasal 57
(1) Lembaga Penjamin wajib melakukan penilaian secara
mandiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik secara berkala.
- 33 -
(2) Penilaian secara mandiri (self assessment) atas
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pedoman Tata Kelola Perusahaan yang
Baik.
Pasal 58
(1) Lembaga Penjamin
wajib menyusun laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada
setiap akhir tahun buku.
(2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling
sedikit memuat:
a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang Baik yang paling
sedikit
meliputi
pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan
prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. penilaian secara mandiri (self assessment) atas
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57; dan
c. rencana tindak (action plan) yang meliputi
tindakan korektif
diperlukan dan waktu penyelesaian serta
kendala/hambatan penyelesaiannya,
(corrective action) yang
apabila
masih terdapat kekurangan dalam penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
(3) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.
(4) Apabila tanggal 30 April sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) adalah hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
setelah tanggal 30 April dimaksud.
- 34 -
(5) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama
kali pada periode tahun 2017, yang disampaikan
paling lambat tanggal 30 April 2018.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan,
dan tata cara penyampaian laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam surat edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB XVIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 59
(1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1),
Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4),
Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat
(1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 18,
Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 32, Pasal
33 ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37,
Pasal 38 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (4), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), Pasal
46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50
ayat (1), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), ayat
(3), dan ayat (4), Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), Pasal
55, Pasal 56, Pasal 57 ayat (1), dan Pasal 58 ayat
(1), ayat (3), dan ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
- 35 -
b. denda administratif;
c. pembekuan kegiatan usaha; atau
d. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh
Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin
paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan
masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua)
bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mencabut sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan
usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara
tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada
Lembaga Penjamin
yang
bersangkutan dan
pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama
6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan
kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Apabila
masa
berlaku
sanksi
peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi
peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha
berlaku sampai hari kerja pertama berikutnya.
(7) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjamin telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
- 36 -
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(8) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku dan
Lembaga Penjamin tetap melakukan kegiatan usaha,
Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung mengenakan
sanksi pencabutan izin usaha.
(9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjamin tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha
Lembaga Penjamin yang bersangkutan.
(10) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) atau pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) kepada masyarakat.
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Bagi Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
diundangkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 18, Pasal 24 ayat (1),
dan Pasal 29 ayat (1) dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun
sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai Tata Kelola Perusahaan yang
Baik bagi Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
- 37 -
Pasal 62
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Januari 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 8
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 3/POJK.05/2017 </reg_id>
<reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN </reg_title>
<set_date> 11 Januari 2017 </set_date>
<effective_date> 11 Januari 2017 </effective_date>
<issued_date> 11 Januari 2017 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVIII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 10/POJK.05/2014
TENTANG
PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan sektor jasa keuangan
non-bank yang sehat dan akuntabel, diperlukan sistem
pengawasan yang efektif;
b. bahwa untuk mewujudkan sistem pengawasan yang
efektif diperlukan beberapa prasyarat seperti instrumen
penilaian tingkat risiko bagi lembaga jasa keuangan non-
bank guna menentukan prioritas dan intensitas
pengawasan;
c. bahwa lembaga jasa keuangan non-bank perlu
melakukan penilaian tingkat risiko sebagai bagian dari
manajemen risiko;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penilaian Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia...
- 2 -
Indonesia Nomor 3477);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4954);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3507);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508);
7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN
NON- BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank adalah:
a.perusahaan...
- 3 -
a. perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi,
termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau
sebagian usahanya dengan prinsip syariah,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di bidang usaha
perasuransian;
b. perusahaan pembiayaan, termasuk yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya
dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di bidang
lembaga pembiayaan; dan
c. dana pensiun, termasuk yang menyelenggarakan
seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip
syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di bidang dana pensiun.
2. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN
NON-BANK
Pasal 2
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam
melakukan kegiatan usahanya.
(2) Dalam rangka penerapan
manajemen risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank wajib melakukan penilaian tingkat
risiko sesuai Peraturan OJK ini dan peraturan
pelaksanaannya.
(3) Penilaian...
- 4 -
(3) Penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan paling sedikit sekali dalam setahun
untuk posisi akhir tahun.
(4) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank untuk melakukan penilaian
tingkat risiko sewaktu-waktu.
Pasal 3
(1) Dalam rangka pengawasan, OJK melakukan penilaian
tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
(2) Penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan penilaian
tingkat risiko yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
dan ayat (4).
BAB III
METODE PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA
KEUANGAN NON-BANK
Pasal 4
(1) Penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank merupakan penilaian terhadap probabilitas
kegagalan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk
memenuhi kewajibannya terhadap nasabah dan pihak
lain.
(2) Penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank dilakukan melalui penilaian terhadap:
a. risiko strategi;
b. risiko operasional;
c. risiko aset dan liabilitas;
d. risiko kepengurusan;
e. risiko tata kelola;
f. risiko dukungan dana;
g. risiko asuransi, khusus untuk perusahaan asuransi
dan...
- 5 -
dan perusahaan reasuransi; dan
h. risiko pembiayaan, khusus untuk perusahaan
pembiayaan.
Pasal 5
(1) Penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) menghasilkan nilai risiko
dan tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
(2) Nilai risiko dan tingkat risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikategorikan dengan ketentuan:
a. nilai risiko 0 (nol) sampai dengan 1 (satu) untuk
tingkat risiko Rendah;
b. nilai risiko lebih besar dari 1 (satu) sampai dengan
1,5 (satu koma lima) untuk tingkat risiko Sedang
Rendah;
c. nilai risiko lebih besar dari 1,5 (satu koma lima)
sampai dengan 2 (dua) untuk tingkat risiko Sedang
Tinggi;
d. nilai risiko lebih besar dari 2 (dua) sampai dengan 3
(tiga) untuk tingkat risiko Tinggi; dan
e. nilai risiko lebih besar dari 3 (tiga) sampai dengan 4
(empat) untuk tingkat risiko Sangat Tinggi.
(3) Nilai risiko dan tingkat risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan analisis yang
komprehensif dan terstruktur atas risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dengan memperhatikan
materialitas dan signifikansi setiap jenis risiko.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian tingkat risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran OJK.
BAB IV
PELAPORAN HASIL PENILAIAN TINGKAT RISIKO
LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
Pasal 6
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib menyusun
laporan...
- 6 -
laporan hasil penilaian tingkat risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Direksi, komisaris, atau organ yang melaksanakan
fungsi pengurusan dan pengawasan pada Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank bertanggung jawab atas kebenaran,
kelengkapan isi, dan ketepatan waktu penyampaian
laporan hasil penilaian tingkat risiko.
(3) Laporan hasil penilaian tingkat risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat nilai
risiko dan tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank.
Pasal 7
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
wajib
menyampaikan laporan hasil penilaian tingkat risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada OJK
dengan ketentuan:
a. untuk penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
disampaikan paling lambat tanggal 28 Februari
tahun berikutnya; dan
b. untuk penilaian tingkat risiko sewaktu-waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
disampaikan sesuai batas waktu yang ditetapkan
oleh OJK.
(2) Dalam hal tanggal 28 Februari sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a jatuh pada hari libur, maka
laporan hasil penilaian tingkat risiko wajib disampaikan
pada hari kerja berikutnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara
penyampaian laporan hasil penilaian tingkat risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat
Edaran OJK.
BAB...
- 7 -
BAB V
TINDAK LANJUT PENILAIAN TINGKAT RISIKO
LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
Pasal 8
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib menyusun dan
melaksanakan rencana tindak lanjut atas penilaian
tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) dan ayat (4).
(2) Dalam hal tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
adalah Tinggi atau Sangat Tinggi, Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank wajib menyampaikan rencana
tindak lanjut kepada OJK.
(3) Rencana tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) paling sedikit memuat langkah-langkah
untuk menurunkan tingkat risiko dan jangka waktu
yang diperlukan untuk melaksanakan langkah-langkah
tersebut.
(4) Penyampaian rencana tindak lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat:
a. tanggal 31 Maret tahun berikutnya untuk penilaian
tingkat risiko untuk posisi akhir tahun; dan
b. sesuai tanggal yang ditetapkan OJK untuk penilaian
tingkat risiko atas permintaan OJK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4).
(5) Dalam hal tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf a jatuh pada hari libur, maka
rencana tindak lanjut wajib disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara
penyampaian rencana tindak lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal...
- 8 -
Pasal 9
(1) Dalam rangka tindak lanjut atas penilaian tingkat risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), OJK
berwenang untuk:
a. meminta Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk
melakukan penyesuaian atas rencana tindak lanjut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan
ayat (2);
b. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank dan/atau pihak tertentu;
c. melakukan penunjukan pengelola statuter;
d. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
e. mencabut izin usaha Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank; dan
f. menetapkan pembubaran Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank.
(2) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat
menyampaikan tanggapan atas permintaan OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling
lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya
permintaan OJK oleh Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank.
BAB VI
SANKSI
Pasal 10
(1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 dapat dikenakan
sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. kewajiban...
- 9 -
c. kewajiban bagi direksi atau yang setara pada
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk menjalani
penilaian kemampuan dan kepatutan ulang;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. pembekuan kegiatan usaha; dan
f. pencabutan izin kegiatan usaha.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dapat dikenakan
dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a.
(3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara
bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf
e, atau huruf f.
(4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan
tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku
untuk setiap sektor jasa keuangan.
(5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
(1) Penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) secara efektif dilaksanakan sejak tanggal
1 Januari 2015 yaitu untuk penilaian tingkat risiko
posisi per 31 Desember 2014.
(2) Penyusunan dan pelaksanaan rencana tindak lanjut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) secara
efektif dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2015.
Pasal...
- 10 -
Pasal 12
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Agustus
2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Agustus 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 197
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
td.
Tini Kustini
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 10/POJK.05/2014
TENTANG
PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
I. UMUM
OJK merupakan lembaga independen yang dibentuk dengan tujuan agar
sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen
dan masyarakat. Agar tujuan tersebut tercapai, OJK perlu melakukan
pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan secara efektif.
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank merupakan industri jasa keuangan yang
saat ini dalam fase pertumbuhan. Seiring dengan pertumbuhan Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank yang pesat, kompleksitas dan risiko yang melekat
pada kegiatan usaha Lembaga Keuangan Non-Bank juga semakin tinggi.
Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang dilakukan oleh OJK
harus mampu mengidentifikasi risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
dan mendorong agar Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank mengatasi risiko
yang ada sedini mungkin.
Selain itu, setiap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank perlu menerapkan
manajemen risiko untuk meminimalisir potensi kegagalan penyelenggaraan
usahanya. Sebagai bagian dari penerapan manajemen risiko, Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank perlu memiliki mekanisme pengukuran dan penilaian
tingkat risiko.
Peraturan OJK ini mengatur kewajiban Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
untuk melakukan penilaian tingkat risiko. Agar penilaian tingkat risiko yang
dilakukan oleh setiap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank memiliki bahasa
yang...
- 2 -
yang sama, diperlukan pengaturan mengenai penilaian tingkat risiko
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penilaian tingkat risiko merupakan proses evaluasi terhadap
risiko kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang
diukur dalam bentuk tingkat risiko dan nilai risiko.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “posisi akhir tahun” adalah posisi per 31
Desember.
Ayat (4)
Berdasarkan hasil pengawasan, OJK dapat meminta Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank untuk melakukan penilaian tingkat
risiko pada waktu tertentu selain akhir tahun.
Pasal 3
Ayat (1)
OJK melakukan pengawasan terhadap Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank dengan menggunakan pendekatan berbasis risiko.
Salah satu tahap kegiatan pengawasan berbasis risiko adalah
penilaian tingkat risiko.
Ayat (2)
Dalam melakukan penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank, OJK menggunakan berbagai informasi,
antara lain laporan berkala seperti laporan keuangan dan
penilaian tingkat risiko, laporan non-berkala seperti laporan
perubahan kepengurusan, dan informasi lain seperti informasi
pengaduan.
Pasal...
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
merupakan suatu alat untuk mendeteksi potensi kegagalan
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dalam memenuhi
kewajibannya kepada nasabah atau pihak lain. Bagi perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi, risiko diartikan sebagai
potensi kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya
kepada pemegang polis dan tertanggung. Bagi dana pensiun,
risiko diartikan sebagai potensi kegagalan dana pensiun dalam
memenuhi kewajibannya kepada peserta dan pihak yang berhak
lainnya. Adapun bagi perusahaan pembiayaan, risiko diartikan
sebagai potensi kegagalan perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya kepada kreditur.
Ayat (2)
huruf a
Penilaian
risiko
strategi
dilakukan dengan
mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko
yang dapat muncul sebagai akibat kegagalan penetapan
strategi yang tepat dalam rangka pencapaian sasaran dan
target utama Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
huruf b
Penilaian
risiko
operasional dilakukan dengan
mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko
yang dapat muncul sebagai akibat ketidaklayakan atau
kegagalan proses internal, manusia, sistem teknologi
informasi dan/atau adanya kejadian-kejadian yang berasal
dari luar lingkungan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
huruf c
Penilaian risiko aset dan liabilitas dilakukan dengan
mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko
yang dapat muncul sebagai akibat kegagalan pengelolaan
aset dan liabilitas Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
huruf d
Penilaian
risiko kepengurusan dilakukan dengan
mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko
yang...
- 4 -
yang dapat muncul sebagai akibat kegagalan Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank dalam memelihara komposisi
terbaik pengurusnya, yaitu direksi dan dewan
komisaris,atau yang setara, yang memiliki kompetensi dan
integritas yang tinggi.
huruf e
Penilaian
risiko
tata kelola dilakukan dengan
mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko
yang terjadi karena adanya potensi kegagalan dalam
pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance)
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, ketidaktepatan gaya
manajemen, lingkungan pengendalian, dan perilaku dari
setiap pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung
dengan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
huruf f
Penilaian risiko dukungan dana dilakukan dengan menilai
kecukupan dana/modal yang ada pada Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank, termasuk ketersediaan akses
tambahan dana/modal dalam menghadapi kerugian atau
kebutuhan dana/modal yang tidak terduga.
huruf g
Penilaian risiko asuransi dilakukan dengan
mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko
kegagalan perusahaan asuransi memenuhi kewajiban
kepada pemegang polis sebagai akibat dari
ketidakcukupan proses seleksi risiko (underwriting),
penetapan premi (pricing), penggunaan reasuransi
dan/atau penanganan klaim.
huruf h
Penilaian risiko pembiayaan dilakukan dengan
mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko
yang terjadi akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain
dalam memenuhi kewajiban kepada perusahaan
pembiayaan.
Pasal...
- 5 -
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat
risiko Rendah apabila secara umum sehat dan memiliki
risiko kegagalan yang rendah.
huruf b
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat
risiko Sedang Rendah apabila Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank secara umum sehat, namun terdapat beberapa
permasalahan minor yang dihadapi dan bila dibiarkan
akan meningkatkan risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank.
huruf c
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat
risiko Sedang Tinggi apabila Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank secara umum cukup sehat, namun terdapat
beberapa permasalahan yang cukup signifikan yang
berpotensi menyebabkan Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank berisiko tinggi.
huruf d
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat
risiko Tinggi apabila Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
secara umum kurang sehat dan memiliki risiko kegagalan
yang tinggi.
huruf e
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat
risiko Sangat Tinggi apabila Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank secara umum tidak sehat dan memiliki risiko
kegagalan yang sangat tinggi.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “analisis yang komprehensif” adalah
analisis terhadap seluruh jenis risiko, sedangkan “terstruktur”
berarti mengikuti pedoman penilaian tingkat risiko.
Ayat...
- 6 -
Ayat (4)
Hal-hal yang diatur dalam Surat Edaran OJK antara lain
pedoman penilaian setiap jenis risiko dan pedoman penentuan
nilai dan tingkat risiko.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Permintaan OJK kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
untuk melakukan penyesuaian atas rencana tindak lanjut dapat
disampaikan secara tertulis melalui surat maupun melalui rapat
atau pertemuan dengan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
Batas waktu 15 (lima belas) hari kerja dihitung sejak tanggal
diterimanya surat dari OJK atau sejak tanggal rapat atau
pertemuan dimaksud.
Pasal 10
Penerapan sanksi atas pelanggaran Peraturan OJK ini disesuaikan
dengan jenis dan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5575
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 10/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 27 Agustus 2014 </set_date>
<effective_date> 28 Agustus 2014 </effective_date>
<issued_date> 28 Agustus 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '73/PP/1992', '9/PERPRES/2009', '77/PP/1992', '81/PP/2008', '11/UU/1992', '2/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 12 /POJK.01/2017
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN
PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin berkembangnya kompleksitas
produk dan layanan jasa keuangan termasuk
pemasarannya (multi channel marketing), serta semakin
meningkatnya penggunaan teknologi informasi pada
industri jasa keuangan maka semakin tinggi risiko
Penyedia Jasa Keuangan digunakan sebagai sarana
Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme;
b. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi Penyedia Jasa
Keuangan perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas
penerapan program anti Pencucian Uang dan/atau
pencegahan Pendanaan Terorisme yang didasarkan pada
pendekatan berbasis risiko (risk based approach) sesuai
dengan prinsip-prinsip umum yang berlaku secara
internasional;
c. bahwa perlu adanya harmonisasi dan integrasi
pengaturan mengenai penerapan program anti Pencucian
Uang dan/atau pencegahan Pendanaan Terorisme di
sektor jasa keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme di Sektor Jasa Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5164);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5406);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR JASA
KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK,
adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
- 2 -
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
2. Penyedia Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat PJK
adalah PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar
Modal, dan PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank.
3. PJK di Sektor Perbankan adalah bank umum, termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, bank umum syariah, bank perkreditan rakyat yang
selanjutnya disebut BPR, dan bank pembiayaan rakyat
syariah yang selanjutnya disebut BPRS sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang Perbankan.
4. PJK di Sektor Pasar Modal adalah perusahaan efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek,
perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi,
serta bank umum yang menjalankan fungsi kustodian
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
5. PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank adalah
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga
keuangan (DPLK), perusahaan pembiayaan, perusahan
modal
ventura (PMV), perusahaan pembiayaan
infrastruktur, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia
(LPEI), perusahaan pergadaian, lembaga keuangan mikro
(LKM), dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di
Industri Keuangan Non Bank.
6. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang.
7. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
- 3 -
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pendanaan Terorisme.
8. Calon Nasabah adalah pihak yang akan menggunakan
jasa PJK.
9. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PJK.
10. Walk in Customer yang untuk selanjutnya disingkat WIC
adalah pihak yang menggunakan jasa PJK di Sektor
Perbankan atau PJK di Sektor Pasar Modal namun tidak
memiliki rekening pada PJK di Sektor Perbankan atau PJK
di Sektor Pasar Modal tersebut, tidak termasuk pihak yang
mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah
untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah.
11. Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) yang
selanjutnya disingkat CDD adalah kegiatan berupa
identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan
oleh PJK untuk memastikan transaksi sesuai dengan
profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi Calon
Nasabah, Nasabah, atau WIC.
12. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence) yang
selanjutnya disingkat EDD adalah tindakan CDD lebih
mendalam yang dilakukan PJK terhadap Calon Nasabah,
WIC, atau Nasabah, yang berisiko tinggi termasuk PEP
dan/atau dalam area berisiko tinggi.
13. Nasabah Berisiko Tinggi (High Risk Customers) adalah
Nasabah yang berdasarkan latar belakang, identitas dan
riwayatnya dianggap memiliki risiko tinggi melakukan
kegiatan terkait tindak pidana Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme.
14. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi
keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan
Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana Pendanaan Terorisme.
15. Transaksi Keuangan Tunai adalah transaksi keuangan
tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
- 4 -
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pencucian Uang.
16. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang
selanjutnya disingkat PPATK adalah PPATK sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang.
17. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme yang selanjutnya disingkat APU dan PPT adalah
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
18. Direksi:
a. bagi PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar
Modal, PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank
berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas;
b. bagi BPR, perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi,
perusahaan
pembiayaan, PMV, perusahaan
pembiayaan infrastruktur, perusahaan pergadaian,
LKM atau penyelenggara layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi berbentuk badan
hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perkoperasian;
c. bagi perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, atau perusahaan pialang asuransi berbentuk
badan hukum usaha bersama adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar
perusahaan;
d. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan
komanditer adalah yang setara dengan direksi
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar
perusahaan;
- 5 -
e. bagi DPLK adalah pengurus sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
dana pensiun;
f.
bagi LPEI adalah direktur eksekutif sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai LPEI; dan
g. bagi BPR berbentuk hukum perusahaan umum
daerah, perusahaan perseroan daerah, atau
perusahaan daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pemerintahan daerah.
19. Dewan Komisaris:
a. bagi PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar
Modal, PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank
berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah
dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan
terbatas;
b. bagi BPR, perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi,
perusahaan
pembiayaan, PMV, perusahaan
pembiayaan infrastruktur, perusahaan pergadaian,
LKM, atau penyelenggara layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi berbentuk badan
hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perkoperasian;
c. bagi perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, atau perusahaan pialang asuransi berbentuk
badan hukum usaha bersama adalah dewan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran
dasar perusahaan;
d. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan
komanditer adalah yang setara dengan dewan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran
dasar perusahaan;
- 6 -
e. bagi DPLK adalah dewan pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai dana pensiun;
f.
bagi LPEI adalah dewan direktur sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; dan
g. bagi BPR berbentuk hukum perusahaan umum
daerah, perusahaan perseroan daerah, atau
perusahaan daerah, adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pemerintahan daerah.
20. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) adalah setiap orang
yang:
a. berhak atas dan/atau menerima manfaat tertentu
yang berkaitan dengan rekening Nasabah;
b. merupakan pemilik sebenarnya dari dana dan/atau
efek yang ditempatkan pada PJK (ultimately own
account);
c. mengendalikan transaksi Nasabah;
d. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi;
e. mengendalikan korporasi atau perikatan lainnya
(legal arrangement); dan/atau
f. merupakan pengendali akhir dari transaksi yang
dilakukan melalui badan hukum atau berdasarkan
suatu perjanjian.
21. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kelompok
yang terorganisasi, baik yang merupakan badan hukum
(legal person) maupun bukan badan hukum, antara lain:
perusahaan, yayasan, koperasi, perkumpulan keagamaan,
partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau
organisasi non profit, dan organisasi kemasyarakatan.
22. Rekomendasi Financial Action Task Force yang untuk
selanjutnya disebut Rekomendasi FATF adalah standar
pencegahan dan pemberantasan Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme yang dikeluarkan oleh
FATF.
- 7 -
23. Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries) adalah negara
atau teritori yang potensial digunakan sebagai tempat:
a.
terjadinya atau sarana tindak pidana Pencucian
Uang;
b. dilakukannya tindak pidana asal (predicate crime);
dan/atau
c. dilakukannya aktivitas pendanaan kegiatan
terorisme.
24. Lembaga Negara adalah lembaga yang memiliki
kewenangan di bidang eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
25. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif dari unit
organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas dan
fungsinya, meliputi:
a. kementerian koordinator;
b. kementerian negara;
c. kementerian;
d. Lembaga Negara non kementerian;
e. pemerintah propinsi;
f.
pemerintah kota;
g. pemerintah kabupaten;
h. Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan undang-
undang; dan
i.
lembaga-lembaga negara yang menjalankan fungsi
pemerintahan dengan menggunakan anggaran
pendapatan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan belanja daerah.
26. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed
Person) yang selanjutnya disingkat PEP meliputi:
a. PEP Asing yaitu orang yang diberi kewenangan untuk
melakukan fungsi penting (prominent function) oleh
negara lain (asing), seperti kepala negara atau
pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah
senior, pejabat militer atau pejabat di bidang
penegakan hukum, eksekutif senior pada perusahaan
yang dimiliki oleh negara, pejabat penting dalam
partai politik;
- 8 -
b. PEP Domestik yaitu orang yang diberi kewenangan
untuk melakukan fungsi penting (prominent function)
oleh negara, seperti kepala negara atau
pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah
senior, pejabat militer atau pejabat dibidang
penegakan hukum, eksekutif senior pada perusahaan
yang dimiliki oleh negara, pejabat penting dalam
partai politik; dan
c. Orang yang diberi kewenangan untuk melakukan
fungsi penting (prominent function) oleh organisasi
internasional, seperti senior manajer yang meliputi
antara lain direktur, deputi direktur, dan anggota
dewan atau fungsi yang setara.
27. Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank
(correspondent) dalam menyediakan layanan jasa bagi
bank lainnya (respondent) berdasarkan suatu kesepakatan
tertulis dalam rangka memberikan jasa pembayaran dan
jasa perbankan lainnya.
28. Cross Border Corespondent Banking adalah Correspondent
Banking dimana salah satu kedudukan bank
correspondent atau bank respondent berada di luar
wilayah Negara Republik Indonesia.
29. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri, dan bank umum
syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundangan-undangan di bidang perbankan.
30. Transfer Dana adalah transfer dana sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai transfer dana.
31. Bank Pengirim adalah bank yang mengirimkan perintah
Transfer Dana.
32. Bank Penerus adalah bank yang meneruskan perintah
Transfer Dana dari Bank Pengirim.
33. Bank Penerima adalah bank yang menerima perintah
Transfer Dana.
- 9 -
34. Konglomerasi Keuangan (Financial Group) adalah PJK yang
berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan
kepemilikan dan/atau pengendalian.
BAB II
KEWAJIBAN PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG
DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR
JASA KEUANGAN
Pasal 2
PJK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko
tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana
Pendanaan Terorisme terkait dengan nasabah, negara atau
area geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi
(delivery channels), termasuk kewajiban untuk:
a. mendokumentasikan penilaian risiko;
b. mempertimbangkan seluruh faktor risiko yang relevan
sebelum menetapkan tingkat keseluruhan risiko, serta
tingkat dan jenis mitigasi risiko yang memadai untuk
diterapkan;
c. mengkinikan penilaian risiko secara berkala; dan
d. memiliki mekanisme yang memadai terkait penyediaan
informasi penilaian risiko kepada instansi yang
berwenang.
Pasal 3
(1) PJK wajib memiliki kebijakan, pengawasan, dan prosedur
pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme, yang disetujui oleh Direksi dan
Dewan Komisaris, agar PJK mampu mengelola dan
memitigasi risiko yang telah diidentifikasi.
(2) PJK wajib memantau penerapan kebijakan, pengawasan
dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
meningkatkan penerapannya jika diperlukan.
(3) PJK wajib menetapkan tindakan yang lebih mendalam
untuk mengelola dan memitigasi risiko dalam hal risiko
yang lebih tinggi teridentifikasi.
- 10 -
Pasal 4
PJK wajib menerapkan program APU dan PPT untuk mengelola
dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi berdasarkan
penilaian risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan yang
telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan
OJK ini.
Pasal 5
(1) Program APU dan PPT merupakan bagian dari penerapan
manajemen risiko PJK secara keseluruhan.
(2) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kebijakan dan prosedur;
c. pengendalian intern;
d. sistem informasi manajemen; dan
e. sumber daya manusia dan pelatihan.
BAB III
PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN
KOMISARIS
Bagian Pertama
Pengawasan Aktif Direksi
Pasal 6
Pengawasan aktif Direksi paling kurang meliputi:
a. memastikan PJK memiliki kebijakan dan prosedur
penerapan program APU dan PPT;
b. mengusulkan kebijakan dan prosedur tertulis yang
bersifat strategis mengenai penerapan program APU dan
PPT kepada Dewan Komisaris;
c. memastikan penerapan program APU dan PPT
dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur
tertulis yang telah ditetapkan;
- 11 -
d. membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk
pejabat yang bertanggung jawab terhadap penerapan
program APU dan PPT;
e. melakukan pengawasan atas kepatuhan unit kerja dalam
menerapkan program APU dan PPT;
f. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis
mengenai penerapan program APU dan PPT sejalan
dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan
teknologi di sektor jasa keuangan serta sesuai dengan
perkembangan modus Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme; dan
g. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai
dari satuan kerja terkait dan pegawai baru, telah
mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan penerapan
program APU dan PPT secara berkala.
Bagian Kedua
Pengawasan Aktif Dewan Komisaris
Pasal 7
Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang meliputi:
a. memberikan persetujuan atas kebijakan dan prosedur
penerapan program APU dan PPT yang diusulkan oleh
Direksi;
b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab
Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT; dan
c. memastikan adanya pembahasan terkait Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme dalam rapat Direksi dan
Dewan Komisaris.
- 12 -
Bagian Ketiga
Penanggung Jawab Penerapan Program APU dan PPT
Paragraf 1
Umum
Pasal 8
(1) PJK wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau
menunjuk pejabat sebagai penanggung jawab penerapan
program APU dan PPT, pada kantor pusat dan kantor
cabang.
(2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai
bagian dari struktur organisasi PJK dan bertanggung
jawab kepada Direksi.
(3) Bagi bank umum, BPR, dan PJK di Sektor Pasar Modal,
unit kerja khusus dan/atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
kepada Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan.
(4) Bagi BPRS dan PJK di Sektor Industri Keuangan Non
Bank, penanggung jawab penerapan program APU dan
PPT dapat dilaksanakan oleh salah satu anggota Direksi.
(5) PJK wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau
pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan program
APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memiliki kemampuan yang memadai dan memiliki
kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan
informasi lainnya yang terkait.
(6) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal merupakan
perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau
manajer investasi dalam satu badan usaha, PJK di Sektor
Pasar Modal tersebut dapat hanya memiliki satu
penanggung jawab penerapan program APU dan PPT.
(7) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal merupakan bank
kustodian, penanggung jawab penerapan program APU
dan PPT dapat ditugaskan kepada penanggung jawab bank
- 13 -
kustodian atau dirangkap oleh penanggung jawab
penerapan program APU dan PPT pada bank umum.
(8) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal berupa bank
kustodian yang merupakan kantor cabang bank asing,
penanggung jawab penerapan program APU dan PPT
dilakukan oleh pimpinan kantor cabang bank asing
tersebut.
Paragraf 2
Unit Kerja Khusus
Pasal 9
Dalam hal PJK membentuk unit kerja khusus sebagai
penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. unit kerja khusus paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang
yang bertindak sebagai pimpinan dan 1 (satu) orang yang
bertindak sebagai pelaksana;
b. pimpinan dan pelaksana pada unit kerja khusus tidak
merangkap fungsi lain;
c. pimpinan unit kerja khusus ditetapkan/diangkat oleh
Direksi;
d. unit kerja khusus berada di bawah koordinasi Direksi
secara langsung dalam struktur organisasi PJK; dan
e. unit kerja khusus bersifat independen dari fungsi lain.
Paragraf 3
Penugasan Pejabat
Pasal 10
Dalam hal PJK menugaskan pejabat sebagai penanggung jawab
penerapan program APU dan PPT, pejabat tersebut harus
ditetapkan atau diangkat oleh Direksi dan hanya dapat
merangkap untuk melaksanakan fungsi manajemen risiko
dan/atau fungsi kepatuhan.
- 14 -
Paragraf 4
Tugas dan Wewenang
Pasal 11
Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai
tugas paling kurang meliputi:
a. menganalisis secara berkala penilaian risiko tindak pidana
Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan
Terorisme terkait dengan Nasabahnya, negara atau area
geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi
(delivery channels);
b. menyusun, melakukan pengkinian, dan mengusulkan
kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT
yang telah disusun untuk mengelola dan memitigasi risiko
berdasarkan penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada
huruf a, untuk dimintakan pertimbangan dan persetujuan
Direksi;
c. memastikan adanya sistem yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara
efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan
oleh Nasabah;
d. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur yang disusun
sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah sesuai dengan
perubahan dan perkembangan yang meliputi antara lain
produk, jasa, dan teknologi di sektor jasa keuangan,
kegiatan dan kompleksitas usaha PJK, volume transaksi
PJK, dan modus Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme;
e. memastikan bahwa formulir yang berkaitan dengan
Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan
dalam penerapan program APU dan PPT;
f. memantau rekening Nasabah dan pelaksanaan transaksi
Nasabah;
g. melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan
analisis transaksi Nasabah untuk memastikan ada atau
tidak adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan,
- 15 -
Transaksi Keuangan Tunai dan/atau transaksi keuangan
transfer dana dari dan ke luar negeri;
h. menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi;
i. memastikan pengkinian data dan profil Nasabah serta
data dan profil transaksi Nasabah;
j. memastikan bahwa kegiatan usaha yang berisiko tinggi
terhadap tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak
pidana Pendanaan Terorisme diidentifikasi secara efektif
sesuai dengan kebijakan dan prosedur PJK serta
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK
ini;
k. memastikan adanya mekanisme komunikasi yang baik
dari setiap satuan kerja terkait kepada unit kerja khusus
atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap penerapan
program APU dan PPT dengan menjaga kerahasiaan
informasi dan memperhatikan ketentuan anti tipping-off;
l. melakukan pengawasan terkait penerapan program APU
dan PPT terhadap satuan kerja terkait;
m. memastikan adanya identifikasi area yang berisiko tinggi
yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT
dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan dan sumber informasi yang memadai;
n. menerima, melakukan analisis, dan menyusun laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai yang disampaikan
oleh satuan kerja;
o. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan,
Transaksi Keuangan Tunai, dan/atau transaksi keuangan
transfer dana dari dan ke luar negeri;
p. memastikan seluruh kegiatan dalam rangka penerapan
program APU dan PPT terlaksana dengan baik; dan
q. memantau, menganalisis, dan merekomendasikan
kebutuhan pelatihan tentang penerapan program APU dan
PPT bagi pejabat dan/atau pegawai PJK.
- 16 -
Pasal 12
Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai
wewenang paling kurang meliputi:
a. memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan
yang ada di seluruh unit organisasi PJK;
b. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap
penerapan program APU dan PPT oleh unit kerja terkait;
c. mengusulkan pejabat dan/atau pegawai unit kerja terkait
untuk membantu penerapan program APU dan PPT; dan
d. melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan,
Transaksi Keuangan Tunai, dan/atau transaksi keuangan
transfer dana dari dan ke luar negeri yang dilakukan oleh
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pihak terafiliasi
dengan Direksi atau Dewan Komisaris, secara langsung
kepada PPATK.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 13
(1) PJK wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk
mengelola dan memitigasi risiko Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme yang diidentifikasi sesuai
dengan penilaian risiko.
(2) Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
meliputi:
a.
identifikasi dan verifikasi Nasabah;
b. identifikasi dan verifikasi Beneficial Owner;
c. penutupan hubungan usaha atau penolakan
transaksi;
d. pengelolaan risiko Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme yang berkelanjutan terkait
dengan Nasabah, negara, produk dan jasa serta
jaringan distribusi (delivery channels);
- 17 -
e. pemeliharaan data yang akurat terkait dengan
transaksi, penatausahaan proses CDD, dan
penatausahaan kebijakan dan prosedur;
f. pengkinian dan pemantauan;
g. pelaporan kepada pejabat senior, Direksi dan Dewan
Komisaris terkait pelaksanaan kebijakan dan
prosedur penerapan program APU dan PPT; dan
h. pelaporan kepada PPATK.
(3) Khusus untuk bank umum, cakupan pedoman
pelaksanaan program APU dan PPT sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi pula Cross Border
Correspondent Banking dan Transfer Dana.
(4) PJK wajib menerapkan kebijakan dan prosedur penerapan
program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) secara konsisten dan berkesinambungan.
(5) Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat
persetujuan dari Direksi.
Pasal 14
(1) PJK wajib mengidentifikasi dan melakukan penilaian
risiko tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak
pidana Pendanaan Terorisme yang terkait dengan
pengembangan produk dan praktik usaha baru, termasuk
mekanisme distribusi baru, dan penggunaan teknologi
baru atau pengembangan teknologi untuk produk baru
maupun produk yang telah ada.
(2) PJK wajib melakukan penilaian risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebelum produk, praktik usaha
dan teknologi diluncurkan atau digunakan.
(3) PJK wajib melakukan tindakan yang memadai untuk
mengelola dan memitigasi risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
- 18 -
Pasal 15
PJK wajib melakukan prosedur CDD pada saat:
a. melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah;
b. terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah
dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit
atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah);
c. terdapat transaksi Transfer Dana sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan OJK ini;
d. terdapat indikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme; atau
e. PJK meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh
Calon Nasabah, Nasabah, penerima kuasa, dan/atau
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
Pasal 16
(1) PJK wajib mengelompokkan Calon Nasabah dan Nasabah
berdasarkan tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme.
(2) Pengelompokkan Calon Nasabah dan Nasabah
berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan analisis yang paling
kurang meliputi:
a. identitas Nasabah;
b. lokasi usaha bagi Nasabah perusahaan;
c. profil Nasabah;
d. frekuensi transaksi;
e. kegiatan usaha Nasabah;
f. struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan;
g. produk, jasa, dan jaringan distribusi (delivery
channels) yang digunakan oleh Nasabah; dan
h. informasi lainnya yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat risiko Nasabah.
- 19 -
Pasal 17
(1) Dalam rangka melakukan hubungan usaha dengan Calon
Nasabah, PJK wajib:
a. melakukan identifikasi Calon Nasabah untuk
mengetahui profil Calon Nasabah; dan
b. melakukan verifikasi atas informasi dan dokumen
pendukung Calon Nasabah sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
(2) PJK wajib melakukan verifikasi kebenaran identitas Calon
Nasabah melalui pertemuan langsung (face to face) dengan
Calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha
dalam rangka meyakini kebenaran identitas Calon
Nasabah.
(3) Proses verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digantikan
dengan verifikasi melalui sarana elektronik milik PJK.
(4) Proses verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
verifikasi dilakukan melalui proses dan sarana
elektronik milik PJK dan/atau milik Calon Nasabah;
dan
b.
verifikasi wajib memanfaatkan data kependudukan
yang memenuhi 2 (dua) faktor otentikasi.
Pasal 18
(1) PJK dilarang membuka atau memelihara rekening anonim
atau rekening yang menggunakan nama fiktif.
(2) PJK dilarang membuka hubungan usaha dengan Calon
Nasabah atau memelihara rekening Nasabah apabila:
a. Calon Nasabah atau Nasabah menolak untuk
mematuhi peraturan yang terkait dengan penerapan
program APU dan PPT; atau
b. PJK tidak dapat meyakini kebenaran identitas dan
kelengkapan dokumen Calon Nasabah atau Nasabah.
- 20 -
Bagian Pertama
Identifikasi dan Verifikasi Calon Nasabah dan Nasabah
Pasal 19
PJK wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan Calon
Nasabah atau Nasabah ke dalam kelompok orang perseorangan
(natural person), Korporasi, dan perikatan lainnya (legal
arrangement).
Pasal 20
(1) Identifikasi Calon Nasabah untuk mengetahui profil Calon
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf a, dilakukan melalui permintaan data dan informasi
yang paling kurang meliputi:
a. bagi Calon Nasabah orang perseorangan (natural
person):
1. identitas yang memuat:
a) nama lengkap termasuk nama alias (jika
ada);
b) nomor dokumen identitas;
c) alamat tempat tinggal sesuai dokumen
identitas dan alamat tempat tinggal lain
(jika ada);
d) tempat dan tanggal lahir;
e) kewarganegaraan;
f)
pekerjaan;
g) alamat dan nomor telepon tempat kerja (jika
ada);
h) jenis kelamin; dan
i)
status perkawinan;
2. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), jika
ada;
3. sumber dana;
4. penghasilan rata-rata per tahun; dan
5. maksud dan tujuan hubungan usaha atau
transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah.
- 21 -
b. bagi Calon Nasabah Korporasi:
1. nama;
2. nomor izin dari instansi berwenang;
3. bidang usaha atau kegiatan;
4. alamat kedudukan;
5. tempat dan tanggal pendirian;
6. bentuk badan hukum atau badan usaha;
7. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
apabila Calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner);
8. sumber dana; dan
9. maksud dan tujuan hubungan usaha atau
transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah.
c. bagi Calon Nasabah perikatan lainnya (legal
arrangement):
1. nama;
2. nomor izin dari instansi berwenang (jika ada);
3. alamat kedudukan;
4. bentuk perikatan (legal arrangement);
5. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
apabila Calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner);
6. sumber dana; dan
7. maksud dan tujuan hubungan usaha atau
transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah.
(2) Berkaitan dengan transaksi WIC, sebelum melakukan
transaksi dengan WIC, PJK di Sektor Perbankan dan PJK
di Sektor Pasar Modal wajib meminta:
a. seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bagi WIC orang perseorangan (natural person),
Korporasi, maupun perikatan lainnya (legal
arrangement) yang melakukan transaksi paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam 1
(satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1
(satu) hari kerja;
- 22 -
b. informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a angka 1 huruf a), huruf b), dan huruf c) bagi WIC
orang perseorangan (natural person) yang melakukan
transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) atau nilai yang setara;
c.
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b angka 1 dan angka 4 bagi WIC Korporasi yang
melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) atau nilai yang setara; dan
d.
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c angka 1 dan angka 3 bagi WIC perikatan lainnya
(legal arrangement) yang melakukan transaksi kurang
dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
nilai yang setara.
Pasal 21
Untuk Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) dan
WIC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a,
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf
a angka 1 wajib didukung dengan dokumen identitas Calon
Nasabah dan spesimen tanda tangan.
Pasal 22
(1) Untuk Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan,
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf b wajib didukung dengan dokumen identitas
perusahaan dan:
a. untuk Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan
yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil
ditambah dengan:
1. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak
yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak
untuk dan atas nama perusahaan dalam
melakukan hubungan usaha dengan PJK;
2. kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan
untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
- 23 -
3. surat izin tempat usaha atau dokumen lain yang
dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang;
b. untuk Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan
yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha kecil
selain disertai dokumen sebagaimana dimaksud
dalam huruf a angka 2 dan angka 3, ditambah
dengan:
1. laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha
perusahaan;
2. struktur manajemen perusahaan;
3. struktur kepemilikan perusahaan; dan
4. dokumen identitas anggota Direksi atau
pemegang kuasa dari anggota Direksi yang
berwenang mewakili perusahaan untuk
melakukan hubungan usaha.
(2) Untuk Calon Nasabah Korporasi berupa PJK, dokumen
yang disampaikan paling sedikit meliputi:
a. akta pendirian/anggaran dasar PJK;
b. izin usaha dari instansi yang berwenang; dan
c. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan
atas nama PJK dalam melakukan hubungan usaha
dengan PJK.
Pasal 23
(1) Untuk Calon Nasabah selain Calon Nasabah orang
perseorangan (natural person) dan Korporasi berupa
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal
21 dan Pasal 22, PJK wajib meminta informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b.
(2) PJK wajib meminta dokumen pendukung informasi untuk
Calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang meliputi:
a. untuk Calon Nasabah Korporasi berupa yayasan:
1. izin kegiatan yayasan;
2. deskripsi kegiatan yayasan;
3. struktur dan nama pengurus yayasan; dan
- 24 -
4. dokumen identitas anggota pengurus atau
pemegang kuasa dari anggota pengurus yang
berwenang mewakili yayasan untuk melakukan
hubungan usaha dengan PJK.
b. untuk Calon Nasabah Korporasi selain perusahaan
dan yayasan baik yang merupakan badan hukum,
maupun bukan badan hukum:
1. bukti izin dari instansi yang berwenang;
2. nama Korporasi;
3. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga (AD/ART); dan
4. dokumen identitas pihak yang berwenang
mewakili Korporasi dalam melakukan hubungan
usaha dengan PJK.
c. untuk Calon Nasabah berupa perikatan lainnya (legal
arrangement):
1. bukti
pendaftaran pada instansi yang
berwenang;
2. nama perikatan;
3. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga (AD/ART) (jika ada); dan
4. dokumen identitas pihak yang berwenang
mewakili perikatan lainnya (legal arrangement)
dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK.
Pasal 24
(1) Untuk Calon Nasabah berupa Lembaga Negara, Instansi
Pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan
negara asing, PJK wajib meminta informasi mengenai
nama dan alamat kedudukan lembaga, instansi atau
perwakilan tersebut.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didukung dengan dokumen meliputi:
a. surat penunjukan bagi pihak yang berwenang
mewakili lembaga, instansi atau perwakilan dalam
melakukan hubungan usaha; dan
- 25 -
b. spesimen tanda tangan pihak yang berwenang
mewakili lembaga, instansi atau perwakilan dalam
melakukan hubungan usaha.
Pasal 25
(1) PJK wajib melakukan verifikasi atas informasi dan
dokumen pendukung Calon Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23,
dan Pasal 24, berdasarkan dokumen dan/atau sumber
informasi lainnya yang dapat dipercaya dan independen
serta memastikan bahwa data tersebut adalah data
terkini.
(2) PJK wajib melakukan verifikasi bahwa pihak yang
bertindak untuk dan atas nama Nasabah telah
mendapatkan otorisasi dari Nasabah, dan melakukan
identifikasi dan verifikasi terhadap identitas dari pihak
tersebut.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didasarkan pada risiko Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme yang telah diidentifikasi
berdasarkan penilaian risiko yang dilakukan oleh PJK dan
wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan OJK ini.
(4) PJK dapat melakukan wawancara dengan Calon Nasabah
untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran
dokumen, dalam hal terdapat keraguan atas data,
informasi, dan/atau dokumen pendukung yang diterima.
(5) Dalam hal terdapat keraguan, PJK wajib meminta kepada
Calon Nasabah untuk memberikan lebih dari satu
dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwenang untuk memastikan kebenaran identitas Calon
Nasabah.
(6) PJK wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas Calon
Nasabah dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner),
apabila Calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner), sebelum membuka hubungan usaha
dengan Calon Nasabah atau sebelum melakukan
transaksi dengan WIC.
- 26 -
(7) Dalam hal PJK telah menerapkan prosedur manajemen
risiko, PJK dapat melakukan hubungan usaha atau
transaksi sebelum proses verifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) selesai.
(8) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
wajib diselesaikan sesegera mungkin, setelah terjadinya
hubungan usaha nasabah dengan PJK, dengan
memperhatikan bahwa risiko Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme dapat dikelola secara efektif dan
bahwa proses pertemuan langsung ini tidak mengganggu
kegiatan usaha secara normal.
Pasal 26
PJK wajib memahami profil, maksud dan tujuan hubungan
usaha, dan transaksi yang dilakukan Nasabah dan Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner) melalui identifikasi dan verifikasi.
Bagian Kedua
Identifikasi dan Verifikasi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
Pasal 27
(1) PJK wajib memastikan Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC
yang membuka hubungan usaha atau melakukan
transaksi bertindak untuk diri sendiri atau untuk
kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
(2) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC bertindak
untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner),
PJK wajib melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner).
(3) Dalam hal Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tergolong sebagai
PEP maka prosedur yang diterapkan adalah prosedur
EDD.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan tingkat risiko antara Calon
Nasabah, Nasabah, atau WIC dengan Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner), penerapan CDD dilakukan mengikuti
tingkat risiko yang lebih tinggi.
- 27 -
(5) Kewajiban melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku bagi calon Nasabah, Nasabah atau WIC yang
memiliki tingkat risiko rendah.
Pasal 28
(1) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah atau WIC bukan
merupakan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib
melakukan identifikasi dan verifikasi identitas Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner), antara lain berupa:
a. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon
Nasabah, Nasabah atau WIC orang perseorangan
(natural person) berupa:
1. informasi dan dokumen identitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a dan
Pasal 21;
2. hubungan hukum antara Calon Nasabah,
Nasabah atau WIC dengan Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) yang ditunjukkan dengan
surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa
atau bentuk lainnya;
3. pernyataan dari Calon Nasabah, Nasabah atau
WIC mengenai kebenaran identitas maupun
sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner); dan
4. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner) bahwa yang bersangkutan adalah
pemilik sebenarnya dari dana Calon Nasabah,
Nasabah atau WIC;
b. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon
Nasabah, Nasabah atau WIC Korporasi berupa:
1. informasi dan dokumen identitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan
Pasal 22;
2. hubungan hukum antara Calon Nasabah,
Nasabah atau WIC dengan Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) yang ditunjukkan dengan
- 28 -
surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa
atau bentuk lainnya;
3. dokumen dan/atau informasi identitas orang
perseorangan (natural person), jika ada, yang
menjadi pemilik atau pengendali akhir dari
Korporasi;
4. pernyataan dari Calon Nasabah, Nasabah atau
WIC mengenai kebenaran identitas maupun
sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner); dan
5. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner) bahwa yang bersangkutan adalah
pemilik sebenarnya dari dana Calon Nasabah,
Nasabah, WIC.
c. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon
Nasabah, Nasabah atau WIC perikatan lainnya (legal
arrangement) berbentuk trust, berupa:
1. identitas penitip harta (settlor);
2. identitas penerima dan pengelola harta (trustee);
3. identitas penjamin (protector) (jika ada);
4. identitas penerima manfaat (beneficiary) atau
kelas penerima manfaat (class of beneficiary);
dan
5. orang perseorangan (natural person) yang
mengendalikan trust.
d. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon
Nasabah, Nasabah atau WIC perikatan lainnya (legal
arrangement) dalam bentuk lainnya, berupa identitas
orang perseorangan (natural person) yang mempunyai
posisi yang sama atau setara dengan pihak dalam
trust sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Dalam hal PJK ragu mengenai apakah pihak yang menjadi
pengendali melalui kepemilikan adalah Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, atau dalam hal tidak ada orang perseorangan
yang memiliki pengendalian melalui kepemilikan, PJK
wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas identitas
- 29 -
dari orang perseorangan (jika ada) yang mengendalikan
Korporasi atau legal arrangements melalui bentuk lain.
(3) Dalam hal tidak ada orang perseorangan yang
teridentifikasi sebagai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2),
PJK wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas
identitas dari orang perseorangan yang relevan yang
memegang posisi sebagai direksi atau yang dipersamakan
dengan jabatan tersebut.
(4) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC merupakan
PJK lain di dalam negeri yang bertindak untuk dan atas
nama Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dokumen
mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dapat berupa
pernyataan tertulis dari Calon Nasabah, Nasabah, atau
WIC.
(5) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC merupakan
PJK lain di luar negeri yang menerapkan program APU dan
PPT yang paling kurang setara dengan Peraturan OJK ini
yang mewakili Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), maka
dokumen mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
berupa pernyataan tertulis dari PJK di luar negeri bahwa
identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) telah
dilakukan verifikasi oleh PJK di luar negeri tersebut.
(6) Dalam hal penerapan program APU dan PPT sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), yang dilakukan oleh PJK di luar
negeri tidak setara dengan Peraturan OJK ini, PJK
dimaksud wajib menerapkan program APU dan PPT
berdasarkan Peraturan OJK ini.
(7) Dalam hal PJK meragukan atau tidak dapat meyakini
identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib
menolak untuk melakukan hubungan usaha atau
transaksi dengan Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC.
Pasal 29
Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi
identitas pemilik atau pengendali akhir Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28
- 30 -
ayat (1) huruf b angka 2 tidak berlaku bagi Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) berupa:
a. Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah;
b. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh
negara; atau
c. perusahaan publik atau emiten.
Bagian Ketiga
Identifikasi dan Verifikasi
Calon Nasabah dan Nasabah Berisiko Tinggi
Pasal 30
(1) PJK wajib memiliki sistem manajemen risiko yang
memadai untuk menentukan apakah Calon Nasabah,
Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC
termasuk kriteria berisiko tinggi.
(2) Kriteria berisiko tinggi dari Calon Nasabah, Nasabah,
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilihat dari:
a.
latar belakang atau profil Calon Nasabah, Nasabah
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC
termasuk Nasabah Berisiko Tinggi (High Risk
Customers);
b. produk sektor jasa keuangan yang berisiko tinggi
untuk digunakan sebagai sarana Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme;
c. transaksi dengan pihak yang berasal dari Negara
Berisiko Tinggi (High Risk Countries);
d. transaksi tidak sesuai dengan profil;
e. termasuk dalam kategori PEP;
f.
bidang usaha Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC termasuk
usaha yang berisiko tinggi (High Risk Business);
g. negara atau teritori asal, domisili, atau dilakukannya
transaksi Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner), atau WIC termasuk Negara
Berisiko Tinggi (High Risk Countries);
- 31 -
h. tercantumnya Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC dalam daftar
terduga teroris dan organisasi teroris; atau
i.
transaksi yang dilakukan Calon Nasabah, Nasabah,
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC diduga
terkait dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan,
tindak pidana Pencucian Uang, dan/atau tindak
pidana Pendanaan Terorisme.
Pasal 31
(1) PJK wajib melakukan penilaian untuk menentukan
Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC
adalah PEP.
(2) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner), atau WIC tergolong berisiko tinggi,
termasuk PEP, PJK wajib melakukan EDD.
Pasal 32
(1) Terhadap PEP Asing, selain menerapkan proses CDD
sebagaimana diatur dalam Pasal 20, PJK wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. memiliki sistem manajemen risiko untuk
menentukan apakah Nasabah atau Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) memenuhi kriteria PEP;
b. menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab
atas hubungan usaha dengan Nasabah, Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC tersebut;
c. melakukan EDD secara berkala paling kurang berupa
analisis terhadap informasi mengenai Nasabah atau
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), sumber dana,
dan sumber kekayaan; dan
d. pemantauan yang lebih ketat atas hubungan usaha
antara lain melalui peningkatan jumlah dan frekuensi
pengawasan dan pemilihan pola transaksi.
(2) Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b berwenang untuk:
- 32 -
a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap
Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner), atau WIC yang tergolong berisiko tinggi; dan
b. membuat keputusan untuk meneruskan atau
menghentikan hubungan usaha dengan Calon
Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial
Owner), atau WIC yang tergolong berisiko tinggi.
Pasal 33
Terhadap PEP domestik atau orang yang diberi kewenangan
untuk melakukan fungsi penting (prominent function) dalam
organisasi internasional, selain menerapkan proses CDD
sebagaimana diatur dalam Pasal 20, PJK wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. PJK wajib memiliki sistem manajemen risiko untuk
menentukan apakah Nasabah atau Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) memenuhi kriteria PEP; dan
b. dalam hal terdapat risiko yang lebih tinggi atas hubungan
usaha antara PJK dengan Nasabah atau Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) tersebut, PJK wajib menerapkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d.
Pasal 34
Ketentuan yang berlaku bagi Nasabah, Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner), atau WIC yang berisiko tinggi, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 28
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku pula bagi anggota
keluarga atau pihak yang terkait (close associates) dari PEP.
Pasal 35
Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner),
atau WIC yang memenuhi kriteria berisiko tinggi dibuat dalam
daftar tersendiri.
- 33 -
Pasal 36
Dalam hal PJK melakukan hubungan usaha dengan Nasabah
dan/atau melakukan transaksi yang berasal dari Negara
Berisiko Tinggi (High Risk Countries) yang dipublikasikan oleh
FATF untuk dilakukan langkah pencegahan (countermeasures),
PJK wajib melakukan EDD dengan meminta konfirmasi dan
klarifikasi kepada otoritas terkait.
Bagian Keempat
CDD Terhadap Penerima Manfaat (Beneficiary) dari Asuransi
Jiwa dan Produk Investasi lain Terkait Polis Asuransi
Pasal 37
(1) Selain CDD yang dipersyaratkan bagi Calon Nasabah dan
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana diatur
dalam Pasal 15, PJK wajib melakukan CDD terhadap
penerima manfaat (beneficiary) dari asuransi jiwa dan
produk investasi lain terkait dengan polis asuransi, segera
setelah penerima manfaat (beneficiary) diidentifikasi atau
ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk penerima manfaat (beneficiary) yang telah
diidentifikasi sebagai perorangan atau non
perorangan, PJK wajib meminta nama orang
perseorangan (natural person) atau Korporasi atau
perikatan lainnya (legal arrangement) dari penerima
manfaat (beneficiary) tersebut; atau
b. untuk penerima manfaat (beneficiary) yang telah
ditunjuk berdasarkan karakteristik atau berdasarkan
cara lain, PJK wajib meminta informasi yang
memadai mengenai penerima manfaat (beneficiary)
untuk meyakinkan PJK bahwa informasi tersebut
dapat digunakan untuk membuktikan identitas dari
penerima manfaat (beneficiary) pada saat
pembayaran klaim asuransi.
(2) Seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib dicatat dan dikelola sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan OJK ini.
- 34 -
(3) Verifikasi terhadap identitas penerima manfaat
(beneficiary) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
dilakukan pada saat pembayaran klaim asuransi.
Pasal 38
(1) PJK wajib memasukkan penerima manfaat (beneficiary)
dari polis asuransi jiwa sebagai salah satu faktor risiko
yang relevan dalam memastikan apakah EDD perlu
diterapkan.
(2) Dalam hal PJK menetapkan bahwa penerima manfaat
(beneficiary) termasuk dalam kategori berisiko tinggi atau
PEP, PJK wajib melakukan EDD yang mencakup pula
identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner) dari penerima manfaat
(beneficiary) pada saat pembayaran klaim asuransi.
Pasal 39
Dalam hal penerima manfaat (beneficiary) dan/atau Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner) dari penerima manfaat (beneficiary)
pada saat pembayaran klaim asuransi jiwa adalah PEP, PJK
wajib menginformasikan kepada pejabat senior sebelum
pembayaran klaim asuransi jiwa untuk melakukan
pengawasan lebih lanjut terkait hubungan usaha dengan
pemegang polis dan melaporkannya sebagai Transaksi
Keuangan Mencurigakan.
Bagian Kelima
CDD Sederhana
Pasal 40
(1) PJK dapat menerapkan prosedur CDD sederhana dari
prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 28,
terhadap Calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko
terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria
sebagai berikut:
- 35 -
a. tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran atau
penerimaan gaji;
b. Calon Nasabah berupa emiten atau perusahaan
publik yang tunduk pada ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang kewajiban untuk
mengungkapkan kinerjanya;
c. Calon Nasabah perusahaan yang mayoritas
sahamnya dimiliki oleh pemerintah;
d. Calon Nasabah merupakan Lembaga Negara atau
Instansi Pemerintah;
e. tujuan pembukaan rekening terkait dengan program
pemerintah dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan/atau pengentasan kemiskinan;
dan/atau
f.
Calon Nasabah yang berdasarkan penilaian risiko
terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria
Calon Nasabah dengan profil dan karakteristik
sederhana.
(2) Terhadap Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib meminta
informasi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Calon Nasabah orang perseorangan (natural
person) yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, PJK wajib meminta
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (1) huruf a angka 1 huruf a), huruf b), huruf c),
dan huruf d);
b. bagi Calon Nasabah Korporasi, Lembaga Negara atau
Instansi Pemerintah yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf
b, dan/atau huruf c, PJK wajib meminta informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf
b angka 1 dan angka 4;
c. bagi Calon Nasabah perikatan lainnya (legal
arrangement) yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf
- 36 -
b, dan/atau huruf c, PJK wajib meminta informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf
c angka 1 dan angka 3; dan
d. bagi Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, PJK
wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a angka 1 huruf a),
huruf c), huruf d), dan huruf f).
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
didukung dengan:
a. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, bagi Calon Nasabah orang perseorangan
(natural person) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a;
b. dokumen identitas perusahaan ditambah dengan
spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan
atas nama perusahaan, bagi Calon Nasabah
Korporasi berupa perusahaan yang tergolong usaha
mikro dan usaha kecil yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
c. dokumen identitas perusahaan dan dokumen
identitas anggota Direksi atau pemegang kuasa dari
anggota Direksi yang berwenang mewakili
perusahaan, bagi Calon Nasabah Korporasi berupa
perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan
usaha kecil yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau
huruf c; atau
d. dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen
identitas yang dapat memberikan keyakinan kepada
PJK tentang profil Calon Nasabah tersebut, dan
spesimen tanda tangan, bagi Calon Nasabah yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e.
(4) PJK dapat menerapkan prosedur CDD sederhana
tersendiri sesuai dengan penilaian risiko atas Calon
- 37 -
Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f.
(5) Dalam hal PJK menerapkan prosedur CDD sederhana
tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PJK wajib
memberitahukan hal tersebut kepada OJK dimana
pemberitahuan tersebut meliputi informasi mengenai:
a. kriteria identifikasi Nasabah dan transaksi berisiko
rendah konsisten dengan penilaian risiko yang
dilakukan oleh PJK;
b. persyaratan CDD sederhana mampu mengelola
tingkat ancaman Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme terhadap Calon Nasabah dan
transaksinya yang telah diidentifikasi dengan tingkat
risiko rendah terhadap Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme;
c. persyaratan CDD sederhana tidak mencakup
Nasabah yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan dikategorikan sebagai Nasabah atau
transaksi yang berisiko tinggi; dan
d. waktu dimulainya penerapan prosedur CDD
sederhana.
(6) PJK wajib mengimplementasikan dan bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan prosedur CDD sederhana tersendiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Prosedur CDD sederhana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi
transaksi Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme
atau tingkat risikonya meningkat.
(8) PJK wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang
mendapat perlakuan CDD sederhana.
(9) Dalam hal penggunaan rekening tidak sesuai dengan
tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
maka PJK wajib melakukan prosedur CDD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 21
terhadap Nasabah yang bersangkutan.
- 38 -
Bagian Keenam
Pelaksanaan CDD oleh Pihak Ketiga
Pasal 41
(1) PJK dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan
oleh pihak ketiga terhadap Calon Nasabahnya yang telah
menjadi Nasabah pada pihak ketiga tersebut.
(2) Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib:
a. memahami maksud dan tujuan hubungan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26; dan
b. mengidentifikasi dan memverifikasi Nasabah dan
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29.
(3) Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD yang telah
dilakukan oleh pihak ketiga, tanggung jawab CDD tetap
berada pada PJK tersebut.
(4) Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD pihak ketiga:
a. PJK wajib sesegera mungkin mendapatkan informasi
yang diperlukan terkait dengan prosedur CDD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 28;
b. PJK wajib memiliki kerja sama dengan pihak ketiga
dalam bentuk kesepakatan tertulis;
c. PJK wajib mengambil langkah yang memadai untuk
memastikan bahwa pihak ketiga bersedia memenuhi
permintaan informasi dan salinan dokumen
pendukung segera apabila dibutuhkan oleh PJK
dalam rangka penerapan program APU dan PPT;
d. PJK wajib memastikan bahwa pihak ketiga
merupakan lembaga keuangan dan penyedia barang
dan/atau jasa dan profesi tertentu yang memiliki
prosedur CDD dan tunduk pada pengawasan dari
otoritas berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
e. PJK wajib memperhatikan informasi terkait risiko
negara tempat pihak ketiga tersebut berasal.
- 39 -
(5) Dalam hal pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berkedudukan di Negara Berisiko Tinggi (High Risk
Countries), maka pihak ketiga tersebut wajib memenuhi
kriteria:
a. berada dalam Konglomerasi Keuangan (financial
group) yang sama dengan PJK;
b. Konglomerasi Keuangan (financial group) tersebut
telah menerapkan CDD, penatausahaan dokumen,
dan program APU dan PPT secara efektif sesuai
dengan Rekomendasi FATF; dan
c. Konglomerasi Keuangan (financial group) tersebut
diawasi oleh otoritas yang berwenang.
(6) Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD yang dilakukan
oleh pihak ketiga yang merupakan Konglomerasi
Keuangan (financial group) yang sama maka PJK atau
perusahaan induk harus mempertimbangkan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5) dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Konglomerasi Keuangan (financial group) menerapkan
ketentuan CDD, penatausahaan dokumen, dan
program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK ini;
b. terhadap implementasi atas CDD, penatausahaan
dokumen, dan program APU dan PPT dilakukan
pengawasan Konglomerasi Keuangan (financial group)
oleh otoritas yang berwenang; dan
c. terhadap Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries)
telah dilakukan mitigasi risiko secara memadai oleh
unit APU dan PPT berdasarkan kebijakan program
APU dan PPT di tingkat Konglomerasi Keuangan
(financial group).
- 40 -
Bagian Ketujuh
Penolakan Transaksi dan Penutupan Hubungan Usaha
Pasal 42
(1) PJK wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan
Calon Nasabah dan/atau melaksanakan transaksi dengan
WIC, dalam hal Calon Nasabah atau WIC:
a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal
23, Pasal 24, dan Pasal 28;
b. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan
dokumen palsu;
c. menyampaikan informasi yang diragukan
kebenarannya; dan/atau
d. berbentuk shell bank atau bank umum atau bank
umum syariah yang mengizinkan rekeningnya
digunakan oleh shell bank.
(2) PJK wajib menolak transaksi, membatalkan transaksi,
dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah
dalam hal:
a.
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terpenuhi;
b. memiliki sumber dana transaksi yang diketahui
dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak
pidana; dan/atau
c. Calon Nasabah atau Nasabah terdapat dalam daftar
terduga teroris dan organisasi teroris.
(3) PJK tetap wajib menyelesaikan proses identifikasi dan
verifikasi terhadap identitas Calon Nasabah atau WIC dan
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dalam hal terdapat
penolakan hubungan usaha dengan Calon Nasabah
dan/atau penolakan transaksi dengan WIC berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c.
(4) Dalam hal PJK menduga adanya transaksi keuangan
terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme, dan PJK meyakini bahwa proses
- 41 -
CDD akan melanggar ketentuan anti tipping-off, PJK wajib
tidak melanjutkan prosedur CDD dan wajib melaporkan
Transaksi Keuangan Mencurigakan tersebut kepada
PPATK.
(5) PJK wajib mendokumentasikan Calon Nasabah, Nasabah
atau WIC yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(6) PJK wajib melaporkan Calon Nasabah, Nasabah atau WIC
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila
transaksinya mencurigakan.
(7) Kewajiban PJK untuk menolak, membatalkan dan/atau
menutup hubungan usaha dengan Nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan dalam
perjanjian pembukaan rekening dan diberitahukan
kepada Nasabah.
Pasal 43
(1) Dalam hal dilakukan penutupan hubungan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), PJK wajib
memberitahukan secara tertulis kepada Nasabah
mengenai penutupan hubungan usaha tersebut.
(2) Dalam hal setelah dilakukan pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Nasabah tidak mengambil sisa
dana yang tersimpan di PJK maka penyelesaian terhadap
sisa dana Nasabah yang tersimpan di PJK dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Bagian Kedelapan
Pengkinian dan Pemantauan
Pasal 44
(1) PJK wajib melakukan pemantauan terhadap hubungan
usaha dengan Nasabah dengan cara memantau transaksi
Nasabah untuk memastikan bahwa transaksi yang
dilakukan sejalan dengan pemahaman PJK atas Nasabah,
- 42 -
kegiatan usaha dan profil risiko Nasabah, termasuk
sumber dananya.
(2) PJK wajib melakukan upaya pengkinian data, informasi,
dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan
Pasal 28 dalam hal terdapat perubahan yang diketahui
dari pemantauan PJK terhadap Nasabah atau informasi
lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) PJK wajib mendokumentasikan upaya pengkinian data
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam melakukan pengkinian data sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), PJK wajib:
a. melakukan pemantauan terhadap informasi dan
dokumen Nasabah;
b. menyusun laporan rencana pengkinian data; dan
c. menyusun laporan realisasi pengkinian data.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan
huruf c wajib mendapat persetujuan dari Direksi.
Pasal 45
(1) PJK wajib melakukan analisis terhadap seluruh transaksi
yang tidak sesuai dengan profil Nasabah.
(2) PJK dapat meminta informasi tentang latar belakang dan
tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai
dengan profil Nasabah, dengan memperhatikan ketentuan
anti tipping-off sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
(3) Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) PJK wajib memiliki
sistem yang dapat:
a. mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan
menyediakan laporan secara efektif mengenai profil,
karakteristik dan/atau kebiasaan pola transaksi yang
dilakukan oleh Nasabah; dan
b. menelusuri setiap transaksi, apabila diperlukan,
termasuk penelusuran atas identitas Nasabah,
- 43 -
bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan
denominasi transaksi, serta sumber dana yang
digunakan untuk transaksi.
(4) Dalam hal data dan/atau informasi yang disampaikan
Nasabah tidak memberikan penjelasan yang meyakinkan,
maka PJK wajib melaporkan Transaksi Keuangan
Mencurigakan tersebut kepada PPATK.
(5) PJK wajib melakukan pemantauan yang
berkesinambungan terhadap hubungan usaha/transaksi
dengan:
a. Nasabah yang berasal dari Negara Berisiko Tinggi
(High Risk Countries); dan
b. PJK yang berkedudukan di Negara Berisiko Tinggi
(High Risk Countries).
Pasal 46
(1) PJK wajib memelihara daftar terduga teroris dan
organisasi teroris.
(2) PJK wajib melakukan identifikasi dan memastikan secara
berkala nama Nasabah yang memiliki kesamaan nama dan
informasi lain atas Nasabah dengan nama dan informasi
yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan
organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan
nama yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan
organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
PJK wajib memastikan kesesuaian identitas Nasabah
tersebut dengan informasi lain yang terkait.
(4) Dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan
kesamaan informasi lainnya dengan nama yang tercantum
dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib segera
melakukan pemblokiran secara serta merta dan
melaporkannya sebagai laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
- 44 -
Bagian Kesembilan
Cross Border Correspondent Banking
Pasal 47
(1) Sebelum menyediakan jasa Cross Border Correspondent
Banking, Bank wajib memahami kegiatan usaha Bank
Penerima dan/atau Bank Penerus dengan meminta
informasi mengenai:
a. profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus;
b. reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus
berdasarkan
informasi
dipertanggungjawabkan;
c.
tingkat penerapan program APU dan PPT di negara
tempat kedudukan Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus; dan
d. informasi relevan lain yang diperlukan Bank untuk
mengetahui profil calon Bank Penerima dan/atau
Bank Penerus.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didasarkan pada informasi publik yang memadai yang
dikeluarkan dan ditetapkan oleh otoritas yang berwenang.
(3) Bank wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung
jawab atas hubungan usaha dengan calon Bank Penerima
dan/atau Bank Penerus.
(4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap penerapan
program APU dan PPT pada Bank Penerima dan/atau
Bank Penerus.
(5) Bank wajib memahami tanggung jawab penerapan
program APU dan PPT dari masing-masing pihak yang
terkait dengan kegiatan Cross Border Corespondent
Banking.
Pasal 48
Bank wajib melakukan CDD terhadap Bank Penerima
dan/atau Bank Penerus yang disesuaikan dengan pendekatan
berdasarkan risiko (risk based approach) apabila:
yang
dapat
- 45 -
a. terdapat perubahan profil Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus yang bersifat substansial; dan/atau
b. informasi pada profil Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus yang tersedia belum dilengkapi dengan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1).
Pasal 49
Dalam hal terdapat Nasabah yang mempunyai akses terhadap
payable through account dalam jasa Cross Border Correspondent
Banking, Bank Pengirim wajib memastikan:
a. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus telah
melaksanakan proses CDD dan pemantauan yang
memadai yang paling kurang sama dengan yang diatur
dalam Peraturan OJK ini; dan
b. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus bersedia untuk
menyediakan data identifikasi Nasabah yang terkait
apabila diminta oleh Bank Pengirim.
Pasal 50
Bank Pengirim yang menyediakan jasa Cross Border
Correspondent Banking wajib:
a. mendokumentasikan seluruh transaksi Cross Border
Correspondent Banking;
b. menolak untuk berhubungan dan/atau meneruskan
hubungan Cross Border Correspondent Banking dengan
shell bank; dan
c. memastikan bahwa Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus tidak mengijinkan rekeningnya digunakan oleh
shell bank pada saat mengadakan hubungan usaha terkait
dengan Cross Border Correspondent Banking.
- 46 -
Bagian Kesepuluh
Transfer Dana
Pasal 51
(1) Bagi Bank yang melakukan kegiatan Transfer Dana baik
di dalam wilayah Indonesia maupun secara lintas negara
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Pengirim wajib:
1. memperoleh informasi dan melakukan
identifikasi
serta verifikasi
terhadap
Nasabah/WIC pengirim dan/atau Nasabah/WIC
penerima, paling kurang meliputi:
a) nama Nasabah atau WIC pengirim;
b) nomor rekening Nasabah pengirim;
c) alamat Nasabah atau WIC pengirim;
d) nomor dokumen identitas, nomor
identifikasi, atau tempat dan tanggal lahir
dari Nasabah atau WIC pengirim;
e) sumber dana Nasabah atau WIC pengirim;
f) nama Nasabah atau WIC penerima;
g) nomor rekening Nasabah penerima;
h) alamat WIC penerima;
i) jumlah uang dan jenis mata uang; dan
j)
tanggal transaksi;
2. menyampaikan informasi sebagaimana
dimaksud pada angka 1 kepada Bank Penerima;
dan
3. mendokumentasikan seluruh transaksi Transfer
Dana;
b. Bank Penerus wajib meneruskan pesan dan perintah
Transfer Dana, serta menatausahakan informasi yang
diterima dari Bank Pengirim;
c. Bank Penerima wajib memastikan kelengkapan
informasi Nasabah pengirim dan WIC pengirim
sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1;
(2) Untuk kegiatan Transfer Dana di dalam wilayah Indonesia,
Bank Pengirim wajib menyampaikan secara tertulis
- 47 -
informasi yang dibutuhkan dalam waktu 3 (tiga) hari kerja
berdasarkan permintaan tertulis dari Bank Penerima,
dan/atau dari otoritas yang berwenang apabila Bank
Penerima hanya memperoleh informasi nomor rekening
atau nomor referensi transaksi.
Pasal 52
(1) Dalam hal terdapat beberapa Transfer Dana dari satu
Nasabah atau WIC pengirim yang tergabung dalam satu
dokumen yang ditujukan kepada beberapa Nasabah atau
WIC penerima, dokumen tersebut wajib memuat informasi
mengenai Nasabah atau WIC pengirim dan informasi
mengenai Nasabah atau WIC penerima secara lengkap.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dapat ditelusuri di negara Nasabah atau WIC penerima.
(3) Bank wajib mencantumkan nomor rekening atau nomor
referensi transaksi Nasabah atau WIC pengirim.
Pasal 53
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
dikecualikan terhadap:
a. Transfer Dana yang menggunakan kartu debit, kartu ATM
maupun kartu kredit; atau
b. Transfer Dana yang dilakukan antar PJK dan untuk
kepentingan PJK dimaksud.
Pasal 54
(1) Dalam hal informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat (1) huruf a angka 1 tidak dipenuhi maka Bank
Pengirim wajib menolak untuk melaksanakan Transfer
Dana.
(2) Dalam hal Bank Penerus dan/atau Bank Penerima
menerima perintah transfer dari Bank Pengirim di luar
negeri yang tidak dilengkapi dengan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a
angka 1 maka Bank Penerus dan/atau Bank Penerima
dapat:
- 48 -
a. melaksanakan Transfer Dana;
b. menolak untuk melaksanakan Transfer Dana; atau
c. menunda transaksi Transfer Dana,
disertai dengan tindak lanjut yang memadai.
(3) Dalam menentukan tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Bank Penerus dan/atau Bank Penerima
wajib memiliki kebijakan dan prosedur berbasis risiko.
Pasal 55
Dalam hal terdapat Transfer Dana yang memenuhi kriteria
Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme, Bank
wajib melaporkan Transfer Dana tersebut sebagai laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Bagian Kesebelas
Penatausahaan Dokumen
Pasal 56
(1) PJK wajib menatausahakan:
a. dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC
dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun
sejak:
1. berakhirnya hubungan usaha atau transaksi
dengan Nasabah atau WIC; atau
2. ditemukannya ketidaksesuaian transaksi
dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan
usaha;
b. dokumen Nasabah atau WIC yang terkait dengan
transaksi keuangan dengan jangka waktu
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
mengenai dokumen perusahaan.
(2) Dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling kurang
meliputi:
- 49 -
a.
identitas Nasabah atau WIC termasuk dokumen
pendukungnya;
b. informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis
dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal
perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta
nomor rekening yang terkait dengan transaksi;
c. hasil analisis yang telah dilakukan; dan
d. korespondensi dengan Nasabah atau WIC.
(3) PJK wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai
seluruh proses identifikasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) PJK wajib memberikan data, informasi, dan/atau
dokumen yang ditatausahakan apabila diminta oleh OJK
dan/atau otoritas lain yang berwenang.
BAB V
PENGENDALIAN INTERN
Pasal 57
(1) PJK wajib memiliki sistem pengendalian intern yang
efektif.
(2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif
antara lain dibuktikan dengan:
a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan
internal yang memadai;
b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab
satuan kerja terkait dengan penerapan program APU
dan PPT; dan
c. dilakukannya pemeriksaan secara independen untuk
memastikan efektivitas penerapan program APU dan
PPT.
- 50 -
BAB VI
PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT DI JARINGAN KANTOR
DAN ANAK PERUSAHAAN
Pasal 58
(1) Konglomerasi Keuangan (financial group) wajib
menerapkan program APU dan PPT ke seluruh jaringan
kantor dan anak perusahaan di dalam dan di luar negeri,
serta memantau pelaksanaannya termasuk:
a. kebijakan dan prosedur pertukaran informasi untuk
tujuan CDD dan manajemen risiko terhadap
pencucian uang dan pendanaan terorisme;
b. pengaturan, pada fungsi kepatuhan, fungsi audit,
dan fungsi APU dan PPT pada level grup harus
mendapatkan informasi mengenai nasabah, rekening,
dan transaksi untuk tujuan APU dan PPT dari
seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan; dan
c. dalam melaksanakan pertukaran informasi tersebut,
Konglomerasi Keuangan (financial group) wajib
memiliki ketentuan yang memadai mengenai
keamanan informasi.
(2) Seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di dalam
dan di luar negeri wajib mengimplementasikan kebijakan
dan prosedur program APU dan PPT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor dan anak
perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki peraturan APU dan PPT yang lebih ketat
dari yang diatur dalam Peraturan OJK ini, kantor dan
anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pada ketentuan
yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud.
(4) Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor dan anak
perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
mematuhi Rekomendasi FATF atau sudah mematuhi
namun standar program APU dan PPT yang dimiliki lebih
longgar dari yang diatur dalam Peraturan OJK ini, kantor
dan anak perusahaan dimaksud wajib menerapkan
- 51 -
program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK ini.
(5) Dalam hal penerapan program APU dan PPT sebagaimana
diatur dalam Peraturan OJK ini mengakibatkan
pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan
kantor dan anak perusahaan berada, maka pejabat kantor
PJK di luar negeri tersebut wajib menginformasikan
kepada kantor pusat PJK dan OJK bahwa kantor PJK
dimaksud tidak dapat menerapkan program APU dan PPT
sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini.
BAB VII
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN
Pasal 59
(1) PJK wajib memiliki sistem informasi yang dapat
mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan
menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah.
(2) PJK wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara
terpadu (single customer identification file), paling kurang
meliputi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dan Pasal 24 ayat (1).
(3) PJK wajib memiliki dan memelihara profil WIC
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a.
(4) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) wajib mempertimbangkan faktor
teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh
pelaku Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme.
- 52 -
BAB VIII
SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN
Pasal 60
Untuk mencegah digunakannya PJK sebagai media atau tujuan
Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang
melibatkan pihak intern PJK, PJK wajib melakukan:
a. prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan
karyawan baru (pre employee screening); dan
b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan.
Pasal 61
PJK wajib menyelenggarakan pelatihan yang
berkesinambungan tentang:
a. penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan program APU dan PPT;
b. teknik, metode, dan tipologi Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme; dan
c. kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT
serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah
dan memberantas Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme.
BAB IX
PELAPORAN
Pasal 62
(1) PJK wajib menyampaikan kepada OJK:
a. action plan penerapan program APU dan PPT paling
lambat pada akhir bulan Mei 2017;
b. penyesuaian kebijakan dan prosedur penerapan
program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 paling lambat 6 (enam) bulan sejak
diberlakukannya Peraturan OJK ini;
c. laporan rencana kegiatan pengkinian data
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf
- 53 -
b disampaikan setiap tahun paling lambat akhir
bulan Desember; dan
d. laporan realisasi pengkinian data sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf c
disampaikan setiap tahun paling lambat akhir bulan
Desember.
(2) Dalam hal tanggal pelaporan jatuh pada hari libur,
penyampaian laporan dilakukan pada hari berikutnya.
(3) Dalam hal terdapat perubahan atas action plan, kebijakan
dan prosedur penerapan program APU dan PPT, laporan
rencana kegiatan pengkinian data, yang telah
disampaikan kepada OJK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c, PJK wajib
menyampaikan perubahan tersebut paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak perubahan dilakukan.
(4) Kewajiban PJK untuk menyampaikan laporan kepada OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat
menjadi bagian dari laporan pelaksanaan tugas Direktur
yang membawahkan fungsi kepatuhan.
Pasal 63
(1) PJK wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, laporan Transaksi Keuangan Tunai dan
laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana Pencucian Uang.
(2) Kewajiban PJK untuk melaporkan Transaksi Keuangan
Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga
terkait dengan kegiatan terorisme atau pendanaan
terorisme.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang
dikeluarkan oleh PPATK.
- 54 -
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 64
PJK wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas
yang berwenang dalam rangka memberantas tindak pidana
Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan
Terorisme.
BAB XI
SANKSI
Pasal 65
(1) PJK yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 dikenakan sanksi
administratif berupa denda yaitu kewajiban membayar
sejumlah uang dengan rincian sebagai berikut:
a. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari
keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) bagi PJK
berupa bank umum, perusahaan efek, perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
pialang asuransi, DPLK, perusahaan pembiayaan
infrastruktur, LPEI, perusahaan pergadaian dan
manajer investasi; atau
b. sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per
hari keterlambatan per laporan dan paling banyak
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) bagi PJK
berupa BPR, BPRS, perusahaan pembiayaan, dan
PMV.
(2) LKM dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi
yang terlambat
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dan Pasal 63 dikenakan sanksi administratif
berupa peringatan tertulis.
- 55 -
Pasal 66
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan OJK ini selain pelanggaran atas
keterlambatan penyampaian laporan, dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan atau teguran tertulis;
b. denda dalam bentuk kewajiban membayar sejumlah
uang;
c. penurunan dalam penilaian tingkat kesehatan;
d. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
f.
pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara
sampai rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota koperasi mengangkat pengganti yang tetap
dengan persetujuan OJK; dan/atau
g. pencantuman anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris, pegawai PJK, pemegang saham dalam
daftar orang tercela di sektor jasa keuangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat
dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a.
(3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama
dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
(4) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
publik/masyarakat.
- 56 -
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 67
(1) PJK yang telah memiliki kebijakan dan prosedur
penerapan program APU dan PPT wajib menyesuaikan
kebijakan dan prosedur dimaksud sesuai Peraturan OJK
ini, paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
(2) Bagi LKM dan penyelenggara layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi, ketentuan pada
Peraturan OJK ini dinyatakan berlaku setelah 4 (empat)
tahun terhitung sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan program APU dan
PPT di sektor jasa keuangan diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 69
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan yang
mengatur penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud
dalam:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010
tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan
Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 290,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5385);
- 57 -
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012
tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
290, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5385);
c. Peraturan OJK Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip
Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 353, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5631); dan
d. Peraturan OJK Nomor 39/POJK.05/2015 tentang
Penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme oleh Penyedia Jasa Keuangan di
Sektor Industri Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 320, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5790),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 70
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
- 58 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Maret 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 57
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 12/POJK.01/2017 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 16 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 21 Maret 2017 </effective_date>
<issued_date> 21 Maret 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '22/POJK.04/2014', '39/POJK.05/2015', '14/27/PBI/2012', '12/20/PBI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '9/UU/2013', '8/UU/2010' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 23/POJK.04/2014
TENTANG
PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET
BERBENTUK SURAT PARTISIPASI
DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka menunjang pembiayaan sekunder
perumahan dan menyediakan pilihan produk investasi
bagi investor, perlu menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Pedoman Penerbitan dan
Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat
Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder
Perumahan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
MEMUTUSKAN...
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK
BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI
DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER
PERUMAHAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi
yang selanjutnya disebut EBA-SP adalah Efek
Beragun Aset yang diterbitkan oleh Penerbit yang
portofolionya berupa Kumpulan Piutang dan
merupakan bukti kepemilikan secara proporsional
atas Kumpulan Piutang yang dimiliki bersama oleh
sekumpulan pemegang EBA-SP.
2. EBA-SP Arus Kas Tetap adalah EBA-SP yang
memberikan pemegangnya penghasilan tertentu
seperti kepada pemegang Efek bersifat utang.
3. EBA-SP Arus Kas Tidak Tetap adalah EBA-SP yang
memberikan pemegangnya suatu penghasilan tidak
tertentu seperti kepada pemegang Efek bersifat
ekuitas.
4. Penerbit adalah Pihak yang melakukan penerbitan
EBA-SP dalam rangka Pembiayaan Sekunder
Perumahan.
5. Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah
penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka
menengah dan/atau panjang kepada Kreditur Asal
dengan melakukan:
a. pembelian Kumpulan Piutang Kreditur Asal
dan...
- 3 -
dan menjualnya melalui penerbitan EBA-SP;
atau
b. pembelian Kumpulan Piutang Kreditur Asal
dari hasil penerbitan EBA-SP.
6. Kumpulan Piutang adalah keseluruhan Aset
Keuangan yang telah dibeli oleh Penerbit dari
Kreditur Asal:
a. dan dijual kepada pemegang EBA-SP melalui
penerbitan EBA-SP; atau
b. dari hasil penerbitan EBA-SP.
7. Aset Keuangan adalah piutang yang diperoleh
Kreditur Asal dari pemberian Kredit Pemilikan
Rumah kepada debitur, termasuk agunan/jaminan
beserta hak tanggungan yang melekat padanya.
8. Kreditur Asal (Originator) adalah bank atau
lembaga keuangan lainnya yang mempunyai dan
menjual Aset Keuangannya kepada Penerbit dalam
rangka penerbitan EBA-SP.
9. Kredit Pemilikan Rumah, yang selanjutnya
disingkat KPR adalah fasilitas kredit yang
diterbitkan oleh Kreditur Asal kepada debitur
untuk membeli rumah siap huni.
10. Pernyataan Pendaftaran EBA-SP adalah dokumen
yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan oleh Penerbit dalam rangka Penawaran
Umum EBA-SP.
11. Penawaran Umum EBA-SP adalah kegiatan
penawaran EBA-SP yang dilakukan oleh Penerbit
untuk menjual EBA-SP kepada masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal.
12. Dokumen Keterbukaan EBA-SP adalah setiap
informasi tertulis yang memuat Informasi atau
Fakta...
- 4 -
Fakta Material EBA-SP dalam rangka penerbitan
EBA-SP yang ditawarkan tidak melalui Penawaran
Umum dengan tujuan agar Pihak lain membeli
EBA-SP.
13. Prospektus EBA-SP adalah setiap informasi tertulis
yang memuat Informasi atau Fakta Material
EBA-SP dalam rangka Penawaran Umum EBA-SP
dengan tujuan agar Pihak lain membeli EBA-SP.
14. Informasi atau Fakta Material EBA-SP adalah
informasi atau fakta penting dan relevan mengenai
peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat
mempengaruhi harga EBA-SP dan/atau keputusan
pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain yang
berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut.
15. Dokumen Transaksi EBA-SP adalah Perjanjian
Penerbitan EBA-SP dan perjanjian-perjanjian lain
yang dibuat dalam penerbitan EBA-SP.
16. Perjanjian Penerbitan EBA-SP adalah perjanjian
dalam penerbitan EBA-SP yang dibuat antara
Penerbit, Wali Amanat, dan/atau Bank Kustodian,
yang mencakup perjanjian perwaliamanatan,
penitipan, dan penatausahaan serta penerbitan
EBA-SP.
17. Penyedia Jasa (Servicer) adalah Pihak yang
bertanggung jawab untuk memproses dan
mengawasi pembayaran yang dilakukan debitur,
melakukan tindakan awal seperti peringatan
karena debitur terlambat atau gagal memenuhi
kewajibannya,
melakukan
negosiasi,
menyelesaikan tuntutan terhadap debitur dan jasa
lain yang ditetapkan dalam perjanjian penyediaan
jasa.
18. Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas EBA-SP
adalah sarana yang bertujuan untuk
meningkatkan...
- 5 -
meningkatkan kualitas Kumpulan Piutang dalam
rangka pembayaran kepada pemegang EBA-SP.
19. Akuntan adalah Akuntan yang telah terdaftar
sebagai profesi penunjang Pasar Modal di Otoritas
Jasa Keuangan.
20. Konsultan Hukum adalah Konsultan Hukum yang
telah terdaftar sebagai profesi penunjang Pasar
Modal di Otoritas Jasa Keuangan.
21. Notaris adalah Notaris yang telah terdaftar sebagai
profesi penunjang Pasar Modal di Otoritas Jasa
Keuangan.
22. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Perusahaan
Pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
23. Afiliasi adalah Afiliasi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Pasar Modal.
24. Wali Amanat adalah Pihak yang telah terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wali Amanat dan
mewakili kepentingan pemegang EBA-SP.
25. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah
mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sebagai Bank Kustodian.
BAB II
PERJANJIAN PENERBITAN EBA-SP
Pasal 2
(1) Perjanjian Penerbitan EBA-SP wajib dibuat dalam
akta notariil oleh Notaris.
(2) Perjanjian Penerbitan EBA-SP wajib memuat:
a. identitas masing-masing pihak yang sah
secara hukum serta berhak mewakili dan
bertindak untuk dan atas nama Penerbit,
Wali Amanat, dan Bank Kustodian;
b. hak...
- 6 -
b. hak dan kewajiban dari Penerbit, Wali Amanat,
dan Bank Kustodian;
c. nama dan kewajiban Penyedia Jasa (Servicer)
yang memberikan jasanya atas Kumpulan
Piutang dalam portofolio EBA-SP;
d. nama Perusahaan Pemeringkat Efek, dalam
hal EBA-SP ditawarkan melalui Penawaran
Umum;
e. nama Akuntan yang ditunjuk dalam rangka
penerbitan EBA-SP;
f. nama Konsultan Hukum yang ditunjuk dalam
rangka penerbitan EBA-SP;
g. pendapat hukum dari Konsultan Hukum yang
ditunjuk dalam rangka penerbitan EBA-SP
mengenai peralihan Aset Keuangan, termasuk
agunan/jaminan beserta hak tanggungan yang
melekat padanya yang menjadi Kumpulan
Piutang;
h. Aset Keuangan yang menjadi Kumpulan
Piutang EBA-SP beserta hak yang melekat
pada Aset Keuangan dicatatkan atas nama
Wali Amanat untuk kepentingan pemegang
EBA-SP dan disimpan di Bank Kustodian;
i. ketentuan tentang jangka waktu EBA-SP;
j. ketentuan tentang penggantian Wali Amanat,
Bank Kustodian, Akuntan, Penyedia Jasa,
Perusahaan Pemeringkat Efek, Konsultan
Hukum, Notaris, dan Pihak lain yang
berkaitan dengan penerbitan EBA-SP;
k. imbalan jasa yang akan diterima oleh Pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf j;
l. ketentuan wanprestasi dan sanksinya bagi
para pihak yang wanprestasi;
m. mekanisme...
- 7 -
m. mekanisme perubahan dalam Dokumen
Transaksi EBA-SP yang bersifat material; dan
n. mekanisme penyelesaian sengketa hukum
diantara para pihak.
Pasal 3
Perjanjian penerbitan EBA-SP dapat:
a. memuat ada atau tidaknya kelas-kelas EBA-SP
dengan hak berbeda, dimana pembedaan tersebut
dapat didasarkan pada hal-hal seperti:
1. urutan dan jadwal pembayaran kepada
pemegang EBA-SP;
2. kelas-kelas dari EBA-SP;
3. penetapan pembayaran EBA-SP tertentu yang
berasal dari bunga atau dari arus kas lainnya;
4. penetapan pembayaran atas EBA-SP tertentu
yang berasal dari pinjaman pokok;
5. penetapan pembayaran yang dipercepat untuk
kelas EBA-SP tertentu karena adanya kondisi
tertentu;
6. penetapan pembayaran yang berubah sesuai
dengan perubahan tingkat bunga atau ukuran
lain di pasar;
7. penetapan tingkat jaminan atau prioritas hak
atas Kumpulan Piutang atau arus kas dari
EBA-SP; dan
8. penetapan tanggung jawab terbatas atas
pelunasan EBA-SP kelas tertentu;
b. menetapkan persyaratan bahwa EBA-SP dari kelas
tertentu dapat dialihkan kepada Pihak lain;
c. menetapkan ketentuan tentang pembubaran dan
likuidasi EBA-SP, termasuk pembagian Kumpulan
Piutang kepada beberapa atau semua kelas
pemegang...
- 8 -
pemegang EBA-SP, pada saat atau dalam kondisi
tertentu; dan
d. menetapkan ada atau tidak adanya:
1. asuransi atas Kumpulan Piutang yang
membentuk portofolio EBA-SP atas berbagai
macam risiko, seperti risiko kredit;
2. pemeringkatan atas beberapa atau semua
kelas EBA-SP;
3. jaminan dari Pihak ketiga;
4. Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas;
5. arus kas tertentu yang ditahan dan
diinvestasikan kembali dalam portofolio EBA-
SP; dan
6. tambahan penerbitan EBA-SP yang dapat
dimiliki oleh pemodal selain pemegang EBA-SP
yang diterbitkan sebelumnya.
BAB III
PEDOMAN PENERBITAN EBA-SP
Bagian Kesatu
Penawaran EBA-SP
Pasal 4
EBA-SP dapat ditawarkan melalui Penawaran Umum
atau tidak melalui Penawaran Umum.
Pasal 5
(1) Dalam hal EBA-SP ditawarkan melalui Penawaran
Umum, Penerbit wajib menyampaikan Pernyataan
Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penawaran Umum EBA-SP hanya dapat dilakukan
setelah Pernyataan Pendaftaran EBA-SP menjadi
efektif.
Pasal 6...
- 9 -
Pasal 6
(1) Dalam hal EBA-SP ditawarkan tidak melalui
Penawaran Umum, Penerbit tidak diwajibkan
menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan:
a. Dokumen Keterbukaan EBA-SP;
b. Dokumen Transaksi EBA-SP; dan
c. contoh (speciment) sertifikat EBA-SP,
kepada Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak EBA-SP dialokasikan
kepada pemegang EBA-SP.
Bagian Kedua
Persyaratan Penerbitan EBA-SP
Pasal 7
Pihak yang melakukan penerbitan EBA-SP wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum berbentuk perseroan terbatas yang
melakukan Pembiayaan Sekunder Perumahan;
b. memiliki modal disetor paling sedikit:
1. Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah),
apabila Penerbit membeli Aset Keuangan
Kreditur Asal menggunakan dana sendiri dan
menjualnya ke pemegang EBA-SP melalui
penerbitan EBA-SP; atau
2. Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah), apabila Penerbit membeli Aset
Keuangan dari Kreditur Asal menggunakan
dana dari hasil penerbitan EBA-SP.
c. memiliki paling kurang 2 (dua) orang direktur,
dimana paling kurang 1 (satu) orang direktur
memiliki...
- 10 -
memiliki keahlian dan/atau pengalaman di bidang
sekuritisasi atau memiliki sertifikat kecakapan di
bidang pengelolaan investasi;
d. memiliki pegawai yang mempunyai pengalaman
kerja paling kurang 3 (tiga) tahun di bidang analisa
KPR; dan
e. memiliki tenaga pemasaran yang paling kurang
mempunyai sertifikat kecakapan di bidang Pasar
Modal.
Pasal 8
EBA-SP yang ditawarkan melalui Penawaran Umum
wajib diperingkat oleh Perusahaan Pemeringkat Efek.
Pasal 9
(1) Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan
Piutang EBA-SP harus:
a. diperoleh Penerbit dari Kreditur Asal melalui
jual beli putus/lepas dan dijual Penerbit
kepada pemegang EBA-SP melalui jual beli
putus/lepas secara hukum; atau
b. diperoleh Penerbit
untuk kepentingan
pemegang EBA-SP dari Kreditur Asal melalui
jual beli putus/lepas secara hukum.
(2) Jual beli putus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib didukung pendapat Konsultan
Hukum.
(3) Jual beli putus/lepas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan
jual putus/lepas menurut prinsip akuntansi yang
berlaku umum dan wajib dilakukan secara
konsisten serta didukung dengan pendapat
Akuntan.
(4) Penerbit atau Kreditur Asal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat melakukan pembelian
atas...
- 11 -
atas Aset Keuangan dalam Kumpulan Piutang
EBA-SP paling banyak 10% (sepuluh persen) dari
total nilai Kumpulan Piutang.
(5) Hak pemegang EBA-SP atas Kumpulan Piutang
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
dinyatakan dalam Prospektus atau Dokumen
Keterbukaan EBA-SP dan didukung pendapat
hukum dari Konsultan Hukum yang menyatakan
hak pemegang EBA-SP adalah sebagaimana dimuat
dalam Prospektus atau Dokumen Keterbukaan
EBA-SP.
Pasal 10
Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan Piutang
EBA-SP wajib disimpan di Bank Kustodian dan
dicatatkan atas nama Wali Amanat untuk kepentingan
pemegang EBA-SP.
Pasal 11
Kepentingan pemegang EBA-SP baik di dalam maupun
di luar pengadilan dalam:
a. pembelian Aset Keuangan dari Kreditur Asal
sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (1)
huruf b; dan
b. penunjukan Wali Amanat, Bank Kustodian, dan
Akuntan pertama kali,
sampai dengan dialokasikannya EBA-SP kepada
pemegang EBA-SP diwakili oleh Penerbit.
Pasal 12
Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bank Kustodian
dan Wali Amanat dapat dilaksanakan oleh Bank Umum
yang sama.
Pasal 13
(1) Penerbit dilarang memiliki hubungan Afiliasi
dengan...
- 12 -
dengan Kreditur Asal, Bank Kustodian, dan/atau
Wali Amanat, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi
karena kepemilikan atau penyertaan modal
Pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung.
(2) Kreditur Asal dilarang memiliki hubungan Afiliasi
dengan Bank Kustodian dan/atau Wali Amanat
kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena
kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah,
baik langsung maupun tidak langsung.
Pasal 14
Kreditur Asal dan/atau Penyedia Jasa dilarang
bertindak sebagai Bank Kustodian dan/atau Wali
Amanat untuk EBA-SP yang sama.
Pasal 15
(1) Penerbit wajib memastikan pemodal telah
menerima atau memperoleh kesempatan untuk
membaca Prospektus EBA-SP atau Dokumen
Keterbukaan EBA-SP sebelum atau pada saat
pembelian EBA-SP dilakukan.
(2) Penerimaan atau perolehan kesempatan untuk
membaca Prospektus EBA-SP atau Dokumen
Keterbukaan EBA-SP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan pernyataan pemodal
dalam formulir pembelian EBA-SP.
Pasal 16
(1) Setiap penerbitan EBA-SP wajib diberi nama yang
sama dengan nama Penerbit dan nama Kreditur
Asal, didahului dengan kata-kata “EFEK BERAGUN
ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI” dan
nomor yang diberikan oleh Penerbit.
(2) Dalam hal terdapat lebih dari satu kelas EBA-SP
yang diterbitkan maka masing-masing kelas wajib
ditulis dengan huruf kapital dan ditambah uraian
masing-masing kelas EBA-SP.
Bagian...
- 13 -
Bagian Ketiga
Bukti Kepemilikan EBA-SP
Pasal 17
EBA-SP dapat:
a. dimasukkan dalam penitipan kolektif pada
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau
b. tidak dimasukkan dalam penitipan kolektif pada
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 18
(1) Dalam hal EBA-SP masuk dalam penitipan kolektif
pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Penerbit dan/atau Bank Kustodian wajib
menerbitkan sertifikat EBA-SP atau konfirmasi
tertulis kepada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagai tanda bukti pencatatan dalam
buku daftar pemegang EBA-SP di Penerbit
dan/atau Bank Kustodian.
(2) EBA-SP dalam penitipan kolektif pada Bank
Kustodian atau Perusahaan Efek yang dicatat
dalam rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian dicatat atas nama Bank
Kustodian atau Perusahaan Efek dimaksud untuk
kepentingan pemegang rekening pada Bank
Kustodian atau Perusahaan Efek tersebut.
(3) Apabila EBA-SP dalam penitipan kolektif pada
Bank Kustodian merupakan bagian dari Portofolio
Efek dari suatu kontrak investasi kolektif dan tidak
termasuk dalam penitipan kolektif pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, EBA-SP tersebut
dicatat dalam buku daftar pemegang EBA-SP
Penerbit dan/atau Bank Kustodian atas nama
Bank Kustodian untuk kepentingan pemilik
EBA-SP dari kontrak investasi kolektif tersebut.
(4) Bank...
- 14 -
(4) Bank Kustodian atau Perusahaan Efek wajib
menerbitkan laporan rekening Efek atau konfirmasi
tertulis kepada pemegang rekening sebagai tanda
bukti pencatatan dan kepemilikan dalam rekening
Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3).
(5) Laporan rekening Efek atau konfirmasi tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling kurang
memuat:
a. nama EBA-SP;
b. nama pemilik rekening EBA-SP di Bank
Kustodian atau Perusahaan Efek yang
menyelenggarakan fungsi Kustodian; dan
c. nilai nominal EBA-SP.
Pasal 19
(1) Dalam hal EBA-SP tidak masuk dalam penitipan
kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, Penerbit dan/atau Bank Kustodian
wajib memberikan bukti pemilikan EBA-SP berupa
surat EBA-SP atau surat kolektif EBA-SP kepada
pemegang EBA-SP.
(2) Surat EBA-SP atau surat kolektif EBA-SP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
memuat:
a. nama EBA-SP;
b. nama pemegang atau pemilik EBA-SP, jika
EBA–SP diterbitkan dalam bentuk atas nama;
c. jumlah EBA-SP, jika diterbitkan dalam bentuk
surat kolektif EBA-SP;
d. keterangan singkat mengenai total nilai pokok
EBA-SP, kelas EBA-SP, hak materiil yang
menyangkut kelas EBA-SP, serta jatuh tempo,
dan jadwal pembayaran EBA-SP;
e. nama...
- 15 -
e. nama dan alamat Penerbit;
f. nama Bank Kustodian dan Wali Amanat;
g. nama dan alamat Biro Administrasi Efek (jika
ada); dan
h. tanggal, tempat, dan nama Notaris yang
membuat Perjanjian Penerbitan EBA-SP.
Bagian Keempat
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum EBA-SP
Pasal 20
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran
Umum EBA-SP diajukan oleh Penerbit kepada Otoritas
Jasa Keuangan dengan cara sebagai berikut:
a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
b. Pernyataan Pendaftaran diajukan dalam rangkap
2 (dua);
c. menyertakan dokumen paling kurang:
1. Dokumen Transaksi EBA-SP yang dibuat
dalam akta notariil oleh Notaris;
2. rancangan akhir Prospektus;
3. contoh (speciment) sertifikat EBA-SP;
4. laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi
hukum terkait penerbitan EBA-SP;
5. pendapat Akuntan terkait aspek akuntansi
penerbitan EBA-SP;
6. dokumen yang memuat hasil pemeringkatan
EBA-SP dari Perusahaan Pemeringkat Efek;
7. perjanjian Penjaminan Emisi Efek (jika ada);
8. perjanjian...
- 16 -
8. perjanjian pendahuluan dengan satu atau
beberapa Bursa Efek, jika EBA-SP akan
dicatatkan di Bursa Efek; dan
9. informasi lain sesuai permintaan Otoritas Jasa
Keuangan yang dipandang perlu dalam
penelaahan
Pernyataan
Pendaftaran,
sepanjang dapat diumumkan kepada
masyarakat tanpa merugikan kepentingan
Penerbit atau Pihak lain yang terafiliasi dalam
proses Penawaran Umum.
Pasal 21
(1) Dalam hal Pernyataan Pendaftaran EBA-SP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 telah
lengkap, Otoritas Jasa Keuangan memberikan
surat pemberitahuan kepada Penerbit yang
menyatakan Pernyataan Pendaftaran EBA-SP
dinyatakan efektif.
(2) Dalam hal Pernyataan Pendaftaran EBA-SP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tidak
lengkap, Otoritas Jasa Keuangan memberikan
surat pemberitahuan kepada Penerbit yang
menyatakan Pernyataan Pendaftaran EBA-SP tidak
lengkap.
Pasal 22
(1) Pernyataan Pendaftaran EBA-SP menjadi efektif
pada hari ke-45 (keempat puluh lima) sejak
diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara
lengkap atau pada tanggal yang lebih awal jika
dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta
perubahan dan/atau tambahan informasi dari
Penerbit.
(3) Dalam...
- 17 -
(3) Dalam hal Penerbit menyampaikan perubahan
dan/atau tambahan informasi, Pernyataan
Pendaftaran dianggap telah disampaikan kembali
pada tanggal diterimanya perubahan dan/atau
tambahan informasi tersebut.
(4) Pernyataan Pendaftaran EBA-SP tidak dapat
menjadi efektif sampai saat perubahan dan/atau
informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diterima dan telah memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kelima
Prospektus EBA-SP
Pasal 23
(1) Prospektus EBA-SP wajib memuat semua rincian
Informasi atau Fakta Material mengenai EBA-SP
dan infomasi dan/atau keterangan yang
dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Prospektus dilarang memuat keterangan yang tidak
benar tentang Fakta Material atau tidak memuat
keterangan yang benar tentang Fakta Material yang
diperlukan agar Prospektus tersebut tidak
memberikan gambaran yang menyesatkan.
(3) Prospektus harus dibuat sedemikian rupa sehingga
jelas dan komunikatif.
(4) Penyajian dan penyampaian informasi penting
dalam Prospektus tidak dikaburkan dengan
informasi yang kurang penting yang
mengakibatkan informasi penting tersebut terlepas
dari perhatian pembaca.
(5) Fakta dan pertimbangan-pertimbangan yang paling
penting harus dibuat ringkasannya dan
diungkapkan pada bagian awal Prospektus.
(6) Urutan...
- 18 -
(6) Urutan penyampaian fakta dalam Prospektus
ditentukan berdasarkan relevansi fakta, dan tidak
ditentukan berdasarkan urutan sebagaimana
dinyatakan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
(7) Pengungkapan Informasi atau Fakta Material
dan/atau penggunaan foto, diagram, dan/atau
tabel pada Prospektus dilarang memberikan
gambaran yang menyesatkan.
Pasal 24
Prospektus EBA-SP memuat paling kurang informasi
sebagai berikut:
a. Informasi pada bagian luar kulit Prospektus wajib
memuat atau mengungkapkan:
1. nama lengkap EBA-SP;
2. nama, alamat, nomor telepon dan nomor
faksimili kantor, disertai logo dan kotak pos
(jika ada), dari Penerbit, Bank Kustodian, dan
Wali Amanat;
3. nama Kreditur Asal;
4. tanggal efektif;
5. masa penawaran;
6. tanggal penjatahan;
7. tanggal pengembalian uang pemesanan (jika
ada);
8. tanggal penyerahan bukti kepemilikan
EBA-SP;
9. nama Penyedia Jasa;
10. nama penjamin/penanggung (guarantor) (jika
ada);
11. nama Bursa Efek dan tanggal pencatatan yang
direncanakan, (jika ada);
12. penjelasan...
- 19 -
12. penjelasan singkat mengenai Kumpulan
Piutang;
13. jumlah, harga, dan kelas EBA-SP;
14. keterangan singkat tentang hak-hak pemegang
EBA-SP;
15. nama lengkap dari Penjamin Pelaksana Emisi
Efek dan Penjamin Emisi Efek (jika ada);
16. hasil pemeringkatan EBA-SP dari Perusahaan
Pemeringkat Efek;
17. tempat dan tanggal Prospektus diterbitkan;
18. pernyataan berikut yang dicetak dalam huruf
besar:
OTORITAS JASA KEUANGAN TIDAK
MEMBERIKAN PERNYATAAN MENYETUJUI
ATAU TIDAK MENYETUJUI EFEK INI, TIDAK
JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU
KECUKUPAN ISI PROSPEKTUS INI. SETIAP
PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN
DENGAN HAL-HAL TERSEBUT ADALAH
PERBUATAN MELANGGAR HUKUM;
19. pernyataan Penerbit dan Penjamin Pelaksana
Emisi Efek, jika menggunakan Penjamin
Pelaksana Emisi Efek, yang dicetak dalam
huruf besar dengan bunyi:
PENERBIT DAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI
EFEK BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA
ATAS KEBENARAN SEMUA INFORMASI ATAU
FAKTA MATERIAL SERTA KEJUJURAN
PENDAPAT YANG TERCANTUM DALAM
PROSPEKTUS INI;
20. pernyataan singkat yang dicetak dalam huruf
besar yang langsung dapat menarik perhatian
pembaca, mengenai risiko EBA-SP yang
ditawarkan;
b. daftar isi...
- 20 -
b. daftar isi;
c. keterangan singkat tentang hal-hal terpenting
mengenai EBA-SP disertai referensi bab dalam
Prospektus dimana terdapat penjelasan lebih lanjut
mengenai hal dimaksud;
d. informasi mengenai EBA-SP yang paling kurang
memuat atau mengungkapkan:
1. ada atau tidaknya kelas-kelas EBA-SP dengan
hak berbeda, dimana pembedaan tersebut
dapat didasarkan pada hal-hal seperti:
a) urutan dan jadwal pembayaran kepada
pemegang EBA-SP;
b) EBA-SP Arus Kas Tetap atau EBA-SP
Arus Kas Tidak Tetap;
c) penetapan pembayaran atas kelas
EBA-SP tertentu yang berasal dari bunga
atau dari arus kas lainnya;
d) penetapan pembayaran atas kelas
EBA-SP tertentu yang berasal dari
pinjaman pokok;
e) penetapan pembayaran yang dipercepat
atas kelas EBA-SP tertentu karena
adanya kondisi tertentu;
f)
penetapan pembayaran atas kelas EBA-
SP tertentu sehubungan dengan
perubahan acuan tingkat bunga, seperti
BI rate dan Jakarta Interbank Offered
Rate (JIBOR); dan
g) penetapan tingkat jaminan atas kelas
EBA-SP tertentu atau prioritas hak atas
arus kas dari EBA-SP;
2. ketentuan pengalihan EBA-SP dari kelas
tertentu kepada Pihak lain;
3. ketentuan...
- 21 -
3. ketentuan tentang pelunasan EBA-SP dan
pembagian aset keuangan (jika ada), ke
beberapa atau semua kelas EBA-SP pada saat
jatuh tempo atau dalam kondisi tertentu;
4. ada atau tidak adanya:
a) asuransi atau jaminan atas Kumpulan
Piutang yang membentuk EBA-SP atas
berbagai macam risiko;
b) jaminan atas EBA-SP dari pihak ketiga;
dan
c) Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas
EBA-SP;
5. kriteria pemilihan Kumpulan Piutang;
6. informasi mengenai Kumpulan Piutang yang
menjadi aset dasar EBA-SP, mencakup rata-
rata tertimbang jatuh tempo Kumpulan
Piutang, data tingkat kolektibilitas, dan
kemungkinan pembayaran sebelum jatuh
tempo atas Kumpulan Piutang EBA-SP;
7. ketentuan mengenai penempatan dana hasil
koleksi dari Kumpulan Piutang dan dana
lainnya yang belum dibayarkan kepada
pemegang EBA-SP (jika ada);
8. ketentuan pelaporan ke pemegang EBA-SP;
dan
9. uraian metode penjatahan EBA-SP;
e. informasi mengenai Penerbit, yang paling kurang
memuat atau mengungkapkan keterangan singkat
mengenai Penerbit, pengalaman Penerbit, dan
Pihak yang terafiliasi dengan Penerbit;
f.
informasi mengenai Bank Kustodian dan Wali
Amanat, yang paling kurang memuat atau
mengungkapkan keterangan singkat, pengalaman,
dan...
- 22 -
dan Pihak yang terafiliasi dengan Bank Kustodian
dan Wali Amanat;
g. informasi mengenai Kreditur Asal, yang paling
kurang memuat atau mengungkapkan keterangan
singkat mengenai Kreditur Asal, pengalaman
Kreditur Asal, dan Pihak yang terafiliasi dengan
Kreditur Asal;
h. informasi tentang Aset Keuangan yang dimiliki oleh
Kreditur Asal, disertai dengan data tingkat
kolektibilitas Aset Keuangan;
i.
informasi mengenai Penyedia Jasa, yang paling
kurang memuat atau mengungkapkan keterangan
singkat mengenai Penyedia Jasa, pengalaman
Penyedia Jasa, dan Pihak yang terafiliasi dengan
Penyedia Jasa;
j. perpajakan yang berkaitan dengan EBA-SP
termasuk perpajakan bagi pemodal baik dari dalam
maupun luar negeri;
k. hasil pemeringkatan EBA-SP dari Perusahaan
Pemeringkat Efek;
l.
hasil pemeriksaan dan pendapat dari Konsultan
Hukum, yang paling kurang memuat atau
mengungkapkan:
1. keabsahan perjanjian KPR;
2. Kumpulan Piutang;
3. struktur transaksi sekuritisasi;
4. hubungan afiliasi diantara para pihak;
5. peralihan piutang dan keabsahannya;
6. penyerahan piutang
(cessie) dan
keabsahannya;
7. pemasangan dan pendaftaran hak tanggungan
atas benda jaminan pada instansi berwenang
sesuai...
- 23 -
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan konsekuensi hukum jika tidak
didaftarkan; dan
8. jual beli putus/lepas dan keabsahannya;
m. nama, alamat, dan tanggung jawab Penyedia Jasa,
Perusahaan Pemeringkat Efek, dan Biro
Administrasi Efek (jika ada);
n. faktor risiko antara lain:
1. risiko likuiditas dan risiko pasar EBA-SP;
2. risiko nilai tukar mata uang dan risiko suku
bunga (jika ada);
3. risiko kredit atas Kumpulan Piutang portofolio
EBA-SP;
4. risiko pelunasan dipercepat (prepayment)
Kumpulan Piutang portofolio EBA-SP sebelum
jatuh tempo;
5. risiko operasional dalam pelaksanaan kegiatan
Penerbit, Bank Kustodian dan Wali Amanat,
dan Penyedia Jasa; dan
6. risiko yang berkaitan dengan aspek hukum
antara lain dalam hal terjadi risiko kredit dan
jika pemasangan dan pendaftaran hak
tanggungan atas benda jaminan tidak
dilakukan atau ditunda;
o. hak-hak pemegang EBA-SP, antara lain hak-hak
untuk memperoleh:
1. laporan keuangan atas EBA-SP secara
periodik;
2. informasi mengenai pajak yang dipungut dari
pemegang EBA-SP; dan
3. pembayaran terkait EBA-SP; dan
p. tata cara dan persyaratan pemesanan EBA-SP.
Bagian...
- 24 -
Bagian Keenam
Penerbit, Wali Amanat, Bank Kustodian, Kreditur Asal, dan Penyedia Jasa
Paragraf 1
Penerbit
Pasal 25
(1) Penerbit wajib:
a. mewakili kepentingan pemegang EBA-SP
dalam pembelian Aset Keuangan dari Kreditur
Asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf b dan penunjukan
Wali Amanat, Bank Kustodian, Akuntan,
Konsultan Hukum, Notaris, dan Perusahaan
Pemeringkat Efek (jika ada), dalam penerbitan
EBA-SP sampai dengan EBA-SP dialokasikan
kepada pemegang EBA-SP;
b. menjadi Pihak yang memberikan Sarana
Peningkatan Kredit/Arus Kas EBA-SP;
c. bertindak dengan cermat dan bersikap
profesional terkait dengan kepentingan
pemegang EBA-SP termasuk dalam meneliti
Kreditur Asal, Aset Keuangan yang akan dibeli,
aspek hukum dan perpajakan, dan hal lain
dalam proses strukturisasi EBA-SP;
d. bertanggung jawab atas keterbukaan dan
kebenaran atas Informasi atau Fakta Material
tentang EBA-SP, sebagaimana dinyatakan
dalam Dokumen Keterbukaan EBA-SP atau
dalam Pernyataan Pendaftaran EBA-SP apabila
EBA-SP tersebut ditawarkan melalui
Penawaran Umum;
e. menunjuk Wali Amanat untuk pertama
kalinya, untuk mewakili kepentingan
pemegang EBA-SP sejak EBA-SP dialokasikan
kepada...
- 25 -
kepada pemegang EBA-SP;
f. menunjuk Bank Kustodian untuk pertama
kalinya untuk melakukan penitipan dan
penatausahaan EBA-SP dan Kumpulan
Piutang EBA-SP;
g. menunjuk Akuntan, Konsultan Hukum,
Notaris, dan Perusahaan Pemeringkat Efek
(jika ada), dalam penerbitan EBA SP;
h. dengan persetujuan Wali Amanat menunjuk
Akuntan untuk melakukan audit laporan
keuangan tahunan EBA-SP tahun pertama;
i. memastikan Bank Kustodian dan Wali Amanat
melaksanakan tugas dan kewajibannya terkait
EBA-SP sesuai dengan Perjanjian Penerbitan
EBA-SP;
j. memberikan bantuan kepada Wali Amanat jika
diminta oleh Wali Amanat;
k. mencantumkan ketentuan penggantian Bank
Kustodian dan Wali Amanat di dalam
Perjanjian Penerbitan EBA-SP;
l. melaksanakan keputusan-keputusan yang
diambil oleh rapat umum pemegang EBA-SP;
dan
m. melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Penerbit yang melakukan Penawaran Umum wajib
mematuhi peraturan mengenai pemesanan dan
penjatahan Efek dalam Penawaran Umum.
Pasal 26
Penerbit bertanggung jawab memberikan ganti rugi
kepada pemegang EBA-SP atas kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian yang disebabkan oleh
Penerbit.
Paragraf 2...
- 26 -
Paragraf 2
Wali Amanat
Pasal 27
(1) Wali Amanat mempunyai tugas dan tanggung
jawab mewakili kepentingan pemegang EBA-SP di
dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan
perjanjian perwaliamanatan dan peraturan
perundang-undangan.
(2) Wali Amanat
mengikatkan diri untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak
menandatangani perjanjian perwaliamanatan,
tetapi perwakilan tersebut mulai berlaku efektif
pada saat EBA-SP telah dialokasikan kepada
pemegang EBA-SP.
(3) Wali Amanat melaksanakan tugas sesuai dengan
perjanjian perwaliamanatan dan dokumen lainnya
yang
berkaitan
perwaliamanatan.
(4) Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Amanat
wajib:
a. menjalankan tugas dengan itikad baik, cermat,
dan penuh kehati-hatian sesuai dengan
perjanjian perwaliamanatan dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan;
b. bertindak cepat dan efektif untuk kepentingan
pemegang EBA-SP;
c. memantau pembayaran kepada pemegang
EBA-SP;
d. menunjuk Bank Kustodian pengganti;
e. mengawasi dan memantau Penerbit dan Bank
Kustodian melaksanakan kewajibannya terkait
EBA-SP...
dengan
perjanjian
- 27 -
EBA-SP sesuai dengan Perjanjian Penerbitan
EBA-SP dan perjanjian lainnya dari Dokumen
Transaksi EBA-SP yang terkait;
f. melakukan pencatatan Aset Keuangan yang
membentuk Kumpulan EBA-SP atas namanya
untuk kepentingan pemegang EBA-SP
termasuk melakukan pendaftaran hak
tanggungan atas agunan/jaminan dari Aset
Keuangan pada institusi yang berwenang
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
g. mengambil tindakan yang diperlukan apabila
terjadi perubahan nilai atas Kumpulan Piutang
dan/atau hak yang melekat pada Aset
Keuangan yang membentuk Kumpulan
Piutang EBA-SP;
h. menunjuk Penyedia Jasa, termasuk
penggantinya;
i. menunjuk agen pembayar dan mengawasi
kinerjanya;
j. menunjuk Akuntan untuk melakukan audit
laporan keuangan tahunan EBA-SP setelah
tahun pertama;
k. melakukan penagihan dan penuntutan
pembayaran dari debitur atas kumpulan
tagihan apabila terjadi pemberhentian
Penyedia Jasa sebelum diperoleh
penggantinya;
l. melakukan pengawasan terhadap kinerja
Penyedia Jasa;
m. memberikan petunjuk kepada Penyedia Jasa
jika dianggap perlu atau bila diminta oleh
Penyedia Jasa;
n. menyelenggarakan rapat umum pemegang
EBA-SP...
- 28 -
EBA-SP dan melaksanakan keputusan-
keputusan yang diambil oleh rapat umum
pemegang EBA-SP;
o. melakukan eksekusi atas agunan/jaminan
atau menunjuk Penyedia Jasa untuk
melakukan eksekusi atas agunan/jaminan
untuk kepentingan pemegang EBA-SP;
p. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan
hal-hal yang bertentangan dengan Dokumen
Transaksi EBA-SP; dan
q. memberikan semua keterangan atau informasi
sehubungan dengan pelaksanaan tugas-tugas
perwaliamanatan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 28
(1) Penunjukan Wali Amanat untuk pertama kalinya
dilakukan oleh Penerbit.
(2) Penggantian Wali Amanat dilakukan karena sebab-
sebab sebagai berikut:
a. izin usaha bank sebagai Wali Amanat menjadi
tidak berlaku baik karena dicabut maupun
dikembalikan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. kegiatan usaha Wali Amanat di Pasar Modal
dibekukan;
c. Wali Amanat dibubarkan oleh suatu badan
peradilan atau oleh suatu badan resmi lainnya
atau dianggap telah bubar berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Wali Amanat dinyatakan pailit oleh badan
peradilan yang berwenang atau dibekukan
operasinya dan/atau kegiatan usahanya oleh
pihak yang berwenang;
e. Wali...
- 29 -
e. Wali Amanat tidak dapat melaksanakan
kewajibannya;
f. Wali Amanat melanggar ketentuan perjanjian
perwaliamanatan, perjanjian lain dalam
Dokumen Transaksi EBA-SP, dan/atau
peraturan perundang-undangan di bidang
Pasar Modal;
g. timbulnya hubungan Afiliasi antara
Wali Amanat dengan Penerbit dan/atau
Kreditur Asal setelah penunjukan
Wali Amanat, kecuali hubungan Afiliasi
tersebut terjadi karena kepemilikan atau
penyertaan modal Pemerintah; atau
h. atas keputusan rapat umum pemegang
EBA-SP.
Pasal 29
Wali Amanat wajib bertanggung jawab untuk
memberikan ganti rugi kepada pemegang EBA-SP atas
kerugian karena kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya
sebagaimana diatur dalam perjanjian perwaliamanatan,
Perjanjian Penerbitan EBA-SP, dan perjanjian lain
dalam Dokumen Transaksi EBA-SP dan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 30
Tugas, kewajiban, dan tanggung jawab Wali Amanat
berakhir pada saat:
a. seluruh nilai Kumpulan Piutang telah dibayarkan
kepada pemegang EBA-SP dan seluruh kewajiban
terkait EBA-SP telah dilunasi;
b. tanggal tertentu setelah tanggal umur EBA-SP
sebagaimana disepakati dalam Perjanjian
Penerbitan EBA-SP dan dimuat dalam Dokumen
Keterbukaan EBA-SP atau Prospektus dengan
ketentuan seluruh nilai Kumpulan Piutang telah
dibayarkan...
- 30 -
dibayarkan kepada pemegang EBA-SP dan seluruh
kewajiban terkait EBA-SP telah dilunasi; atau
c. setelah diangkatnya Wali Amanat baru.
Paragraf 3
Bank Kustodian
Pasal 31
(1) Bank Kustodian mempunyai tugas dan tanggung
jawab melakukan penitipan kolektif dan
penyimpanan atas seluruh dokumen berharga
berkaitan dengan EBA-SP sesuai dengan perjanjian
penitipan, perjanjian lain dalam Dokumen
Transaksi EBA-SP, dan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Kustodian wajib:
a. menerima pembayaran dari pemegang EBA-SP
atas pembelian EBA-SP dan:
1. membayar pembelian Kumpulan Piutang
kepada Penerbit; atau
2. membayar pembelian Kumpulan Piutang
yang dilakukan
Penerbit
untuk
kepentingan pemegang EBA-SP kepada
Kreditur Asal;
b. menerima Kumpulan Piutang EBA-SP yang
dibeli:
1. dari Penerbit; atau
2. Penerbit dari Kreditur Asal untuk
kepentingan pemegang EBA-SP;
c. mencatat Kumpulan Piutang sebagaimana
dimaksud pada huruf b atas nama
Wali Amanat yang mewakili kepentingan
pemegang EBA-SP;
d. membuka...
- 31 -
d. membuka rekening koleksi di bank atas nama
Wali Amanat untuk kepentingan pemegang
EBA-SP, yang digunakan untuk penempatan
hasil penagihan atas pokok dan bunga dari
Kumpulan Piutang yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa;
e. menyimpan dana atau hasil koleksi Kumpulan
Piutang dari Penyedia Jasa;
f. mendistribusikan hasil koleksi Kumpulan
Piutang sesuai pemanfaatannya termasuk
kepada para pemegang EBA-SP sebagaimana
tertuang dalam Dokumen Keterbukaan atau
Prospektus EBA-SP;
g. melakukan pembayaran kewajiban yang
terkait dengan EBA-SP;
h. menyiapkan dokumen-dokumen dan
menyusun laporan keuangan dalam rangka
penyusunan laporan keuangan EBA-SP;
i. membuat dan menyimpan daftar pemegang
EBA-SP dan mencatat perpindahan
kepemilikan EBA-SP atau menunjuk Biro
Administrasi Efek untuk melakukan jasa
tersebut;
j. memisahkan Kumpulan Piutang dan harta lain
yang terkait dengan Kumpulan Piutang dari
harta Bank Kustodian dan/atau harta
nasabah lain dari Bank Kustodian tersebut;
k. menginformasikan kepada pemegang EBA-SP
setiap bulan:
1. total nilai pokok EBA-SP;
2. laporan atas Kumpulan Piutang yang
mendukung masing-masing kelas
EBA-SP;
3 rata-rata...
- 32 -
3. rata-rata tertimbang jatuh tempo
Kumpulan Piutang EBA-SP; dan
4. jumlah tunggakan pembayaran atas
Kumpulan Piutang EBA-SP;
5. posisi Sarana Peningkatan Kredit/Arus
Kas EBA-SP;
6. jumlah EBA-SP yang dimiliki oleh
pemegang EBA-SP tersebut;
7. perkiraan pembayaran pada setiap kelas
EBA-SP selama 12 (dua belas) bulan
selanjutnya; dan
8. Informasi atau Fakta Material berkaitan
dengan EBA-SP sebagai dasar untuk
menarik
kesimpulan
kemungkinan perubahan arus kas
dan/atau nilai EBA-SP.
l. menolak secara tertulis atas instruksi Penerbit
yang bertentangan dengan tugas, tanggung
jawab, dan kewajibannya terhadap EBA-SP,
dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan Wali Amanat;
m. menolak secara tertulis atas instruksi
Wali Amanat yang bertentangan dengan tugas,
tanggung jawab, dan kewajibannya terhadap
EBA-SP, dengan tembusan kepada Otoritas
Jasa Keuangan;
n. menyelenggarakan
administrasi dan
pembukuan dalam rangka penitipan dan
penatausahaan terkait EBA-SP;
o. melaksanakan keputusan-keputusan yang
diambil oleh rapat umum pemegang EBA-SP
sesuai dengan tanggung jawabnya; dan
p. melaksanakan tugas lain yang berkaitan
dengan...
adanya
- 33 -
dengan penitipan dan penatausahaan
Kumpulan Piutang EBA-SP sebagaimana
ditentukan dalam perjanjian penitipan,
perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi
EBA-SP, dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
(1) Penunjukan Bank Kustodian untuk pertama
kalinya dilakukan oleh Penerbit.
(2) Penggantian Bank Kustodian dilakukan oleh Wali
Amanat karena sebab-sebab sebagai berikut:
a. izin usaha bank sebagai Bank Kustodian
menjadi tidak berlaku baik karena dicabut
maupun dikembalikan ke Otoritas Jasa
Keuangan;
b. kegiatan usaha Bank Kustodian di Pasar
Modal dibekukan;
c. Bank Kustodian dibubarkan oleh suatu badan
peradilan atau oleh suatu badan resmi lainnya
atau dianggap telah bubar berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Bank Kustodian dinyatakan pailit oleh badan
peradilan yang berwenang atau dibekukan
operasinya dan/atau kegiatan usahanya oleh
pihak yang berwenang;
e. Bank Kustodian tidak dapat melaksanakan
kewajibannya;
f. Bank Kustodian melanggar ketentuan
perjanjian penitipan, perjanjian lain dalam
Dokumen Transaksi EBA-SP, dan/atau
peraturan perundang-undangan di bidang
Pasar Modal;
g. timbulnya hubungan Afiliasi antara Bank
Kustodian dengan Penerbit dan/atau Kreditur
Asal...
- 34 -
Asal setelah penunjukan Bank Kustodian,
kecuali hubungan Afiliasi tersebut terjadi
karena kepemilikan atau penyertaan modal
Pemerintah; atau
h. atas keputusan rapat umum pemegang
EBA-SP.
Pasal 33
Bank Kustodian wajib bertanggung jawab untuk
memberikan ganti rugi kepada pemegang EBA-SP atas
kerugian karena kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya
sebagaimana diatur dalam perjanjian penitipan,
Perjanjian Penerbitan EBA-SP, perjanjian lain dalam
Dokumen Transaksi EBA-SP dan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 34
Tugas, kewajiban, dan tanggung jawab Bank Kustodian
berakhir pada saat:
a. seluruh nilai Kumpulan Piutang telah dibayarkan
kepada pemegang EBA-SP dan seluruh kewajiban
terkait EBA-SP telah dilunasi;
b. tanggal tertentu setelah tanggal umur EBA-SP
sebagaimana disepakati dalam Perjanjian
Penerbitan EBA-SP dan dimuat dalam Dokumen
Keterbukaan EBA-SP atau Prospektus dengan
ketentuan seluruh nilai Kumpulan Piutang telah
dibayarkan kepada Pemegang EBA-SP dan seluruh
kewajiban terkait EBA-SP telah dilunasi; atau
c. setelah diangkatnya Bank Kustodian baru.
Paragraf 4
Kreditur Asal dan Penyedia Jasa
Pasal 35
(1) Dalam rangka penerbitan EBA-SP, Kreditur Asal
harus:
a. menyiapkan...
- 35 -
a. menyiapkan Aset Keuangan yang memenuhi
persyaratan yang ditetapkan Penerbit;
b. menyerahkan dokumen-dokumen KPR untuk
diperiksa oleh Penerbit atau kuasanya;
c. menyiapkan informasi yang akurat mengenai
Kumpulan Piutang atau informasi lain yang
dibutuhkan oleh Penerbit atau kuasanya;
d. menjamin kebenaran atas informasi, data, dan
dokumen yang terkait dengan Aset Keuangan;
dan
e. menyampaikan informasi, data, dan dokumen
kepada Penerbit dalam hal diperlukan.
(2) Kreditur Asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab:
a. atas keabsahan Aset Keuangan yang dijual
dan dokumennya; dan
b. untuk memberikan ganti rugi atas kerugian
akibat karena ketidakabsahan Aset Keuangan
yang dijual dan dokumennya.
Pasal 36
(1) Penyedia Jasa mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk memproses dan mengawasi
kelancaran pembayaran yang dilakukan debitur
sesuai dengan perjanjian penyediaan jasa,
perjanjian dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, dan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia
Jasa wajib:
a. melakukan penagihan atas pokok dan bunga
dari Kumpulan Piutang kepada debitur;
b. melakukan tindakan awal yang diperlukan,
negosiasi...
- 36 -
negosiasi, tuntutan terhadap debitur dan
penagihan apabila debitur terlambat atau
gagal memenuhi kewajibannya;
c. melakukan penempatan hasil penagihan atas
pokok dan bunga dari Kumpulan Piutang ke
dalam rekening koleksi yang ada di Penyedia
Jasa atas nama Wali Amanat untuk
kepentingan pemegang EBA-SP;
d. melakukan penerusan hasil penagihan atas
pokok dan bunga serta denda dari Kumpulan
Piutang kepada Bank Kustodian untuk
kepentingan pemegang EBA-SP;
e. melakukan eksekusi agunan/jaminan yang
melekat pada Kumpulan Piutang sesuai
ketentuan dalam Dokumen Transaksi EBA-SP
sepanjang diberi kuasa oleh Wali Amanat;
f. menyampaikan informasi, data, dan dokumen
kepada Wali Amanat dan/atau Bank
Kustodian dalam hal diperlukan; dan
g. menyimpan semua data dan dokumen terkait
dengan tugasnya.
Pasal 37
(1) Penunjukan Penyedia Jasa dilakukan oleh Wali
Amanat.
(2) Penggantian Penyedia Jasa dilakukan oleh Wali
Amanat karena sebab-sebab sebagai berikut:
a. izin usaha Penyedia Jasa menjadi tidak
berlaku baik karena dicabut maupun
dikembalikan kepada instansi yang
berwenang;
b. kegiatan usaha Penyedia Jasa dibekukan oleh
instansi yang berwenang;
c. Penyedia Jasa dibubarkan oleh suatu badan
peradilan...
- 37 -
peradilan atau oleh suatu badan resmi lainnya
atau dianggap telah bubar berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Penyedia Jasa dinyatakan pailit oleh badan
peradilan yang berwenang atau dibekukan
operasinya dan/atau kegiatan usahanya oleh
pihak yang berwenang;
e. Penyedia Jasa tidak dapat melaksanakan
kewajibannya;
f. Penyedia Jasa melanggar ketentuan perjanjian
penyediaan jasa, perjanjian lain dalam
Dokumen Transaksi EBA-SP, dan/atau
peraturan perundang-undangan; atau
g. atas keputusan rapat umum pemegang
EBA-SP.
Bagian Ketujuh
Rapat Umum Pemegang EBA-SP
Pasal 38
Rapat umum pemegang EBA-SP diselenggarakan oleh
Wali Amanat.
Pasal 39
(1) Rapat umum pemegang EBA-SP dapat
diselenggarakan atas:
a. permintaan pemegang EBA-SP baik sendiri
maupun secara bersama-sama yang mewakili
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah EBA-SP yang beredar (outstanding);
b. permintaan Penerbit;
c. permintaan Wali Amanat; atau
d. perintah Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Wali Amanat dapat menolak permohonan
pemegang EBA-SP atau Penerbit untuk
mengadakan...
- 38 -
mengadakan rapat umum pemegang EBA-SP
dengan memberitahukan secara tertulis alasan
penolakan tersebut kepada pemohon dengan
tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 14 (empat belas) hari setelah diterimanya
surat permohonan.
Pasal 40
Rapat umum pemegang EBA-SP diadakan untuk tujuan
antara lain:
a. mengambil keputusan sehubungan dengan usulan
Penerbit, Wali Amanat, dan/atau pemegang EBA-
SP antara lain mengenai:
1. pemberhentian Wali Amanat; dan/atau
2. pemberhentian Bank Kustodian;
dan menunjuk penggantinya;
b. menyampaikan pemberitahuan terkait adanya
kegagalan atau potensi kegagalan Wali Amanat
dan/atau Bank Kustodian dalam menjalankan
kewajibannya;
c. memberikan pengarahan kepada Wali Amanat,
dan/atau menyetujui suatu kelonggaran waktu
atas suatu kelalaian berdasarkan perjanjian
perwaliamanatan serta akibat-akibatnya, atau
untuk mengambil tindakan lain sehubungan
dengan kelalaian;
d. memberikan kewenangan kepada Wali Amanat
untuk mengambil tindakan lain yang tidak
dikuasakan atau tidak termuat dalam perjanjian
perwaliamanatan sepanjang kewenangan tersebut
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan dan disetujui Otoritas Jasa Keuangan;
dan
e. memberikan persetujuan atas dilakukannya
perubahan...
- 39 -
perubahan ketentuan perjanjian dalam Dokumen
Transaksi EBA-SP yang sifatnya material.
Pasal 41
(1) Biaya penyelenggaraan rapat umum pemegang
EBA-SP yang didasarkan atas permintaan Pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
huruf a, huruf c, dan huruf d menjadi beban
Kumpulan Piutang EBA-SP.
(2) Biaya penyelenggaraan rapat umum pemegang
EBA-SP yang didasarkan atas permintaan Penerbit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
huruf b menjadi beban Penerbit.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 42
(1) Penerbit wajib melaporkan hasil penjualan EBA-SP
yang ditawarkan melalui Penawaran Umum kepada
Otoritas Jasa Keuangan setiap 15 (lima belas) hari
sejak dimulainya masa Penawaran Umum sampai
dengan Penawaran Umum selesai.
(2) Dalam hal hari ke-15 (kelima belas) jatuh pada hari
libur, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
(3) Apabila dalam Penawaran Umum dilakukan
penjatahan EBA-SP, Penerbit wajib melaporkan
penjatahan EBA-SP sebagai bagian dari laporan
hasil Penawaran Umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 43
Penerbit wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan mengumumkan kepada publik atau
masyarakat mengenai Informasi atau Fakta Material
EBA-SP paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak terjadinya
Informasi atau Fakta Material tersebut.
Pasal 44...
- 40 -
Pasal 44
(1) Penerbit dan Bank Kustodian wajib menyampaikan
laporan penggantian Wali Amanat kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah diangkatnya Wali Amanat baru, yang paling
kurang memuat:
a. alasan penggantian; dan
b. Wali Amanat baru.
(2) Wali Amanat yang digantikan wajib menyampaikan
laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
a. Penggantian Wali Amanat paling lambat
5 (lima) hari kerja setelah diangkatnya Wali
Amanat baru; dan
b. Seluruh kewajiban Wali Amanat yang belum
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
terkait penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam perjanjian perwaliamanatan,
perjanjian penerbitan EBA-SP, dan perjanjian
lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
diangkatnya Wali Amanat baru.
Pasal 45
(1) Penerbit dan Wali Amanat wajib menyampaikan
laporan penggantian Bank Kustodian kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari
kerja setelah diangkatnya Bank Kustodian baru,
yang paling kurang memuat:
a. alasan penggantian; dan
b. Bank Kustodian baru.
(2) Bank Kustodian yang digantikan wajib
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan mengenai:
a. Penggantian Bank Kustodian paling lambat
5 (lima)...
- 41 -
5 (lima) hari kerja setelah diangkatnya Bank
Kustodian baru; dan
b. Seluruh kewajiban Bank Kustodian yang
belum disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan terkait penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam perjanjian
perwaliamanatan, perjanjian penerbitan
EBA-SP, dan perjanjian lain dalam Dokumen
Transaksi EBA-SP, paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja setelah diangkatnya Bank Kustodian
baru.
Pasal 46
Dalam hal Wali Amanat dan Bank Kustodian berhenti
pada saat yang sama, penyampaian laporan
penggantian Wali Amanat dan Bank Kustodian kepada
Otoritas Jasa Keuangan wajib dilakukan oleh Penerbit
paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diangkatnya
Wali Amanat dan/atau Bank Kustodian baru.
Pasal 47
Penerbit dan Wali Amanat EBA-SP wajib menyampaikan
rencana perubahan Dokumen Transaksi EBA-SP
kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan
kepada publik melalui satu surat kabar harian
berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional serta
tersedia bagi para pemegang EBA-SP paling lambat
15 (lima belas) hari kerja sebelum perubahan dimaksud
dilakukan.
Pasal 48
Penerbit wajib menyampaikan perubahan ketentuan
perjanjian dalam Dokumen Transaksi yang bersifat
material kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
mengumumkannya ke publik melalui satu surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional
serta tersedia bagi para pemegang EBA-SP paling
lambat...
- 42 -
lambat 2 (dua) hari kerja setelah dilakukannya
perubahan.
Pasal 49
(1) Penerbit dan Bank Kustodian wajib menyampaikan:
a. laporan keuangan tahunan EBA-SP disertai
dengan laporan Akuntan dengan pendapat
yang lazim kepada Wali Amanat dan Otoritas
Jasa Keuangan dan:
1. dalam hal EBA-SP ditawarkan melalui
Penawaran Umum, laporan keuangan
dimaksud wajib pula diumumkan kepada
masyarakat paling lambat akhir bulan
ketiga sejak tanggal laporan keuangan
tahunan EBA-SP; atau
2. dalam hal EBA-SP ditawarkan tidak
melalui Penawaran Umum, laporan
keuangan dimaksud wajib tersedia dan
dapat diakses oleh pemegang EBA-SP;
dan
b. laporan keuangan tengah tahunan kepada
Wali Amanat dan Otoritas Jasa Keuangan dan
diumumkan kepada masyarakat paling
lambat:
1. pada akhir bulan ke-1 (kesatu) setelah
tanggal laporan keuangan tengah
tahunan, jika tidak disertai laporan
Akuntan;
2. pada akhir bulan ke-2 (kedua) setelah
tanggal laporan keuangan tengah
tahunan, jika disertai laporan Akuntan
dalam rangka penelaahan terbatas; dan
3. pada akhir bulan ke-3 (ketiga) setelah
tanggal laporan keuangan tengah
tahunan, jika disertai laporan Akuntan
yang...
- 43 -
yang memberikan pendapat tentang
kewajaran laporan keuangan secara
keseluruhan.
(2) Penerbit dan Bank Kustodian bertanggung jawab
atas kebenaran dan isi laporan keuangan
berdasarkan tugas dan kewajiban masing-masing.
(3) Pengumuman laporan keuangan tahunan dan
laporan keuangan tengah tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dalam
paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. laporan keuangan tahunan dan laporan
keuangan tengah tahunan yang diumumkan
paling sedikit meliputi laporan posisi
keuangan (neraca), laporan laba rugi
komprehensif, laporan arus kas, dan opini dari
Akuntan jika diwajibkan diaudit oleh Akuntan;
b. bentuk dan isi laporan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a wajib sama dengan yang
disajikan dalam laporan keuangan tahunan
yang disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
c. bukti pengumuman
tersebut wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
pengumuman.
Pasal 50
Wali Amanat wajib melaporkan hal-hal yang
bertentangan dengan Dokumen Transaksi EBA-SP
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua)
hari kerja sejak diketahuinya hal tersebut.
Pasal 51
(1) Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan
bulanan...
- 44 -
bulanan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
a. total nilai pokok EBA-SP;
b. laporan atas Kumpulan Piutang yang
mendukung masing-masing kelas EBA-SP;
c. rata-rata tertimbang jatuh tempo Kumpulan
Piutang EBA-SP;
d. jumlah tunggakan pembayaran atas
Kumpulan Piutang EBA-SP;
e. posisi Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas
EBA-SP;
f. jumlah pemegang EBA-SP untuk setiap kelas
EBA-SP;
g. perkiraan pembayaran pada setiap kelas EBA-
SP selama 12 (dua belas) bulan ke depan; dan
h. Informasi atau Fakta Material berkaitan
dengan EBA-SP sebagai dasar untuk menarik
kesimpulan adanya kemungkinan perubahan
arus kas, dan /atau nilai EBA-SP,
paling lambat pada tanggal 12 (dua belas) bulan
berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal 12 (dua belas) bulan berikutnya
jatuh pada hari libur, laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada satu
hari kerja berikutnya.
BAB V
SANKSI
Pasal 52
(1) Penerbit yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2),
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1), Pasal 45
ayat (1), Pasal 46, dan Pasal 47, Pasal 48, dan
Pasal 49 dikenakan sanksi administratif berupa
denda...
- 45 -
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
atas setiap hari keterlambatan penyampaian
laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah
keseluruhan denda paling banyak sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Wali Amanat yang terlambat menyampaikan:
a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (2), Pasal 45 ayat (1), dan Pasal 50; dan
b. rencana perubahan Dokumen Transaksi EBA-SP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,
dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas
setiap hari keterlambatan penyampaian laporan
dan rencana perubahan dimaksud dengan
ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Bank Kustodian yang terlambat menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (1), Pasal 45 ayat (2), dan Pasal 49, dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari
keterlambatan penyampaian laporan dimaksud
dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan
denda paling banyak sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 53
Selain sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52, Otoritas Jasa Keuangan
dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap
pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 54
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan
pengenaan...
- 46 -
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 dan tindakan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 kepada masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis
penerbitan dan pelaporan EBA-SP yang belum diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 56
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Ttd.
Tini Kustini
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 358
- 47 -
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 23/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN </reg_title>
<set_date> 19 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26/POJK.03/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI
BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki
daya saing yang tinggi, konglomerasi keuangan perlu
memiliki kecukupan modal yang memadai;
b. bahwa sejalan dengan kompleksitas usaha dan risiko
konglomerasi keuangan, konglomerasi keuangan perlu
melakukan pengelolaan permodalan yang memadai;
c. bahwa dengan kecukupan modal dan pengelolaan
permodalan konglomerasi keuangan yang memadai
diharapkan dapat mewujudkan stabilitas sistem
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan sehingga
mampu meningkatkan daya saing nasional;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan.
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253;
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pembiayaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 364, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5638);
- 3 -
8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Pembiayaan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 366, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5640);
9. Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor
17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5626);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI
BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
LJK, adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di
sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan.
2. Konglomerasi Keuangan adalah Konglomerasi Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko
terintegrasi bagi konglomerasi keuangan.
- 4 -
3. Entitas Utama adalah Entitas Utama sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan.
4. Perusahaan Anak adalah Perusahaan Anak sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan.
5. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Terintegrasi, yang selanjutnya disebut Rasio KPMM
Terintegrasi, adalah perbandingan antara Total Modal
Aktual Konglomerasi Keuangan (aggregate net equity)
dengan Total Modal Minimum Konglomerasi Keuangan
(aggregate regulatory capital requirement).
6. Manajemen Permodalan Terintegrasi adalah proses yang
berkesinambungan untuk memelihara permodalan pada
tingkat yang memadai dalam rangka mendukung rencana
bisnis Konglomerasi Keuangan maupun mengantisipasi
potensi kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas
Konglomerasi Keuangan.
7. Direksi adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas
adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
- 5 -
2) Perusahaan Daerah adalah Direksi Perusahaan
Daerah yang belum menyesuaikan bentuk badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015;
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah
Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi LJK berbadan hukum Usaha Bersama adalah
Direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran
dasar perusahaan;
e. bagi LJK berstatus sebagai kantor cabang dari
entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah
pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di
bawah pemimpin kantor cabang.
8. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas
adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah Dewan Pengawas atau
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015;
- 6 -
2) Perusahaan Daerah adalah Pengawas bagi
Perusahaan Daerah yang belum menyesuaikan
bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015;
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah
Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi LJK berbadan hukum Usaha Bersama adalah
Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam
anggaran dasar perusahaan;
e. bagi LJK berstatus sebagai kantor cabang dari
entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah
pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi
pengawasan.
Pasal 2
(1) Konglomerasi Keuangan wajib menyediakan modal
minimum terintegrasi paling rendah sebesar 100%
(seratus persen) dari Total Modal Minimum (TMM)
Konglomerasi Keuangan (aggregate regulatory capital
requirement).
(2) Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan
menghitung Rasio KPMM Terintegrasi.
Pasal 3
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan modal
minimum terintegrasi lebih besar dari modal minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dalam hal
Otoritas Jasa Keuangan menilai Konglomerasi Keuangan
menghadapi risiko yang membutuhkan penyediaan
modal lebih besar.
- 7 -
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta anggota
Konglomerasi Keuangan yang berpotensi menimbulkan
permasalahan permodalan Konglomerasi Keuangan
untuk meningkatkan modal dan melakukan hal-hal lain
sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai
terdapat kecenderungan penurunan modal yang
berpotensi menyebabkan modal Konglomerasi Keuangan
berada di bawah kewajiban penyediaan modal minimum
terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) atau Pasal 3 ayat (1).
Pasal 4
LJK anggota Konglomerasi Keuangan dilarang melakukan
tindakan yang dapat mengakibatkan kondisi permodalan
Konglomerasi Keuangan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3
ayat (1).
BAB II
TOTAL MODAL AKTUAL KONGLOMERASI KEUANGAN
(AGGREGATE NET EQUITY)
Pasal 5
(1) Dalam menghitung Rasio KPMM Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Entitas
Utama menghitung Total Modal Aktual (TMA)
Konglomerasi Keuangan dengan cara menjumlahkan nilai
nominal dari modal aktual masing-masing LJK secara
individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak dalam Konglomerasi Keuangan sesuai ketentuan
pada masing-masing sektor keuangan.
(2) TMA Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dikurangi dengan faktor pengurang
modal berupa:
- 8 -
a. penyertaan modal LJK kepada LJK lain dalam
Konglomerasi Keuangan; dan/atau
b. penempatan dana LJK kepada LJK lain dalam
Konglomerasi Keuangan yang diakui sebagai
instrumen modal (regulatory capital) oleh LJK lain
dimaksud,
sepanjang belum diperhitungkan dalam perhitungan
modal atau belum diperhitungkan sebagai faktor
pengurang modal pada masing-masing sektor keuangan.
(3) Dalam hal suatu sektor keuangan memiliki pengaturan
perhitungan permodalan konsolidasi terhadap
Perusahaan Anak, modal aktual yang diperhitungkan
dalam TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(4) Dalam hal pengaturan perhitungan permodalan
konsolidasi tidak memperhitungkan modal suatu
Perusahaan Anak, modal aktual Perusahaan Anak
dimaksud diperhitungkan dalam TMA Konglomerasi
Keuangan.
Pasal 6
Modal aktual masing-masing LJK dalam Konglomerasi
Keuangan secara individu dan/atau secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak yang diperhitungkan dalam TMA
Konglomerasi Keuangan yaitu:
a. bagi bank adalah modal inti aktual dan modal pelengkap
aktual;
b. bagi perusahaan pembiayaan adalah modal yang
disesuaikan aktual;
c. bagi perusahaan asuransi/reasuransi adalah nilai aktual
dari selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan
dengan liabilitas;
d. bagi perusahaan efek adalah Modal Kerja Bersih yang
Disesuaikan (MKBD) aktual.
- 9 -
BAB III
TOTAL MODAL MINIMUM KONGLOMERASI KEUANGAN
(AGGREGATE REGULATORY CAPITAL REQUIREMENT)
Pasal 7
(1) Dalam menghitung Rasio KPMM Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Entitas
Utama menghitung Total Modal Minimum (TMM)
Konglomerasi Keuangan dengan cara menjumlahkan nilai
nominal dari modal minimum masing-masing LJK secara
individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak yang wajib dipenuhi oleh masing-masing LJK dalam
Konglomerasi Keuangan sesuai ketentuan pada masing-
masing sektor keuangan.
(2) Dalam hal suatu sektor keuangan memiliki pengaturan
perhitungan permodalan konsolidasi terhadap
Perusahaan Anak, modal minimum yang diperhitungkan
dalam TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal
minimum secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak
yang wajib dipenuhi sesuai ketentuan pada masing-
masing sektor keuangan.
(3) Dalam hal pengaturan perhitungan permodalan
konsolidasi tidak memperhitungkan modal suatu
Perusahaan Anak, modal minimum Perusahaan Anak
dimaksud diperhitungkan dalam TMM Konglomerasi
Keuangan.
Pasal 8
Modal minimum masing-masing LJK dalam Konglomerasi
Keuangan secara individu dan/atau secara konsolidasi
dengan Perusahaan Anak yang diperhitungkan dalam TMM
Konglomerasi Keuangan yaitu:
a. bagi bank adalah modal minimum sesuai profil risiko;
b. bagi perusahaan pembiayaan adalah modal yang
disesuaikan minimum;
- 10 -
c. bagi perusahaan asuransi/reasuransi adalah nilai
minimum dari selisih antara aset/kekayaan yang
diperkenankan dengan liabilitas;
d. bagi perusahaan efek adalah nilai minimum Modal Kerja
Bersih yang Disesuaikan (MKBD).
BAB IV
MANAJEMEN PERMODALAN TERINTEGRASI
Pasal 9
(1) Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Manajemen
Permodalan Terintegrasi secara komprehensif dan efektif.
(2) Penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
oleh Entitas Utama, Direksi Entitas Utama, dan Dewan
Komisaris Entitas Utama.
Pasal 10
(1) Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas
Utama berwenang dan bertanggung jawab untuk
memastikan penerapan Manajemen Permodalan
Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas usaha
Konglomerasi Keuangan.
(2) Kewenangan dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup paling
sedikit:
a. menyusun kebijakan, strategi, dan prosedur
permodalan secara terintegrasi sesuai dengan
ukuran, karakteristik, kompleksitas usaha, dan
tingkat risiko Konglomerasi Keuangan; dan
b. melaksanakan kebijakan, strategi, dan prosedur
pengelolaan permodalan secara terintegrasi.
(3) Kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris
Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup paling sedikit:
- 11 -
a. mengarahkan, menyetujui, dan mengevaluasi
kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan
permodalan secara terintegrasi; dan
b. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi, dan
prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi
oleh Direksi Entitas Utama.
Pasal 11
Dalam rangka penerapan Manajemen Permodalan
Terintegrasi, Entitas Utama wajib paling sedikit:
a. memiliki kebijakan dan prosedur pengelolaan permodalan
secara terintegrasi;
b. melakukan penilaian kecukupan modal secara
terintegrasi;
c. memantau dan menyampaikan laporan modal secara
terintegrasi;
d. memiliki sistem pengendalian intern yang memadai
terkait dengan permodalan secara terintegrasi; dan
e. melakukan kaji ulang penerapan Manajemen Permodalan
Terintegrasi secara berkala.
Pasal 12
(1) Kebijakan pengelolaan permodalan secara terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a memuat
paling sedikit kebijakan mengenai:
a. tingkat permodalan untuk memenuhi modal
minimum Konglomerasi Keuangan (regulatory
capital);
b. sumber-sumber permodalan baik intern maupun
ekstern Konglomerasi Keuangan;
c. tindakan yang dilakukan Konglomerasi Keuangan:
1. untuk mengantisipasi seluruh risiko yang
ditimbulkan oleh aktivitas Konglomerasi
Keuangan;
2. pada saat modal berada di bawah target yang
ditetapkan; dan
- 12 -
3. untuk memastikan kepatuhan Konglomerasi
Keuangan pada ketentuan yang berlaku
mengenai kewajiban penyediaan
modal
minimum.
(2) Prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a memuat
paling
sedikit
prosedur perencanaan, penilaian
kecukupan, dan pemantauan permodalan Konglomerasi
Keuangan.
Pasal 13
(1) Dalam melakukan penilaian kecukupan modal secara
terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf
b, Entitas Utama wajib mengidentifikasi:
a.
indikasi double atau multiple gearing dalam
Konglomerasi Keuangan;
b. indikasi excessive leverage;
c. hambatan melakukan transfer modal dari satu LJK
kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan; dan
d.
risiko yang signifikan mempengaruhi Konglomerasi
Keuangan.
(2) Penilaian kecukupan modal secara terintegrasi dilakukan
oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi
(SKMRT).
(3) Entitas Utama wajib mendokumentasikan hasil penilaian
kecukupan modal secara terintegrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 14
(1) Dalam melakukan pemantauan dan penyampaian
laporan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 huruf c, Entitas Utama wajib memiliki
sistem informasi yang dapat menghasilkan informasi dan
laporan yang memadai termasuk dampak risiko terhadap
kebutuhan modal Konglomerasi Keuangan.
- 13 -
(2) Pemantauan dan penyampaian laporan modal secara
terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko
Terintegrasi (SKMRT).
(3) Laporan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Direksi Entitas Utama dan Komite
Manajemen Risiko Terintegrasi secara berkala.
Pasal 15
Entitas Utama wajib memiliki sistem pengendalian intern yang
memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d
untuk memastikan keandalan penerapan Manajemen
Permodalan Terintegrasi.
Pasal 16
Kaji ulang penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e dilakukan
Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi (SKAIT).
BAB V
PELAPORAN
Pasal 17
(1) Entitas Utama wajib menyusun Laporan Kecukupan
Permodalan Terintegrasi setiap semester untuk posisi
akhir bulan Juni dan Desember.
(2) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. modal aktual dari masing-masing LJK anggota
Konglomerasi Keuangan;
b. TMA Konglomerasi Keuangan;
c. modal minimum yang wajib dipenuhi oleh masing-
masing LJK anggota Konglomerasi Keuangan;
d. TMM Konglomerasi Keuangan;
e. Rasio KPMM Terintegrasi;
f.
Rincian penyertaan modal antar LJK dalam
Konglomerasi Keuangan; dan
- 14 -
g. Rincian penempatan dana LJK kepada LJK lain
dalam Konglomerasi Keuangan yang diakui sebagai
instrumen modal (regulatory capital) oleh LJK lain
dimaksud.
(3) Entitas Utama wajib menyampaikan Laporan Kecukupan
Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat:
a. tanggal 15 (lima belas) bulan Agustus untuk laporan
posisi akhir bulan Juni;
b. tanggal 15 (lima belas) bulan Februari untuk laporan
posisi akhir bulan Desember.
(4) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari
Sabtu/Minggu/libur, Laporan Kecukupan Permodalan
Terintegrasi disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p.
Departemen Pengawasan atau Kantor Regional atau
Kantor Otoritas Jasa Keuangan yang bertanggung jawab
mengawasi LJK Entitas Utama.
(6) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi dibuat
sesuai dengan format sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 18
Entitas Utama wajib menyampaikan Laporan Kecukupan
Permodalan Terintegrasi sewaktu-waktu dalam hal diminta
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VI
SANKSI
Pasal 19
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal
9, Pasal 11, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat
(1), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) dan/atau Pasal 18 dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
- 15 -
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. perintah penggantian manajemen;
f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela;
dan/atau
g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan.
Pasal 20
Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban
membayar berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 21
Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dan Pasal 20 mengacu pada ketentuan yang berlaku
bagi LJK pada masing-masing sektor keuangan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
Bagi Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK-LJK
sejenis, penerapan ketentuan kewajiban penyediaan modal
minimum terintegrasi mulai berlaku pada saat ketentuan
manajemen risiko terintegrasi dan tata kelola terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan dimaksud mulai diterapkan pada
masing-masing sektor keuangan.
Pasal 23
Kewajiban penyampaian Laporan Kecukupan Permodalan
Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
pertama kali dilakukan untuk laporan posisi akhir bulan
Desember 2015.
- 16 -
Pasal 24
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
mulai berlaku pada:
a. 1 Januari 2019, untuk Entitas Utama yang merupakan
Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. 1 Juli 2019, untuk Entitas Utama bukan bank dan
Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4.
Pasal 25
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
mulai berlaku pada:
a. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama yang merupakan
Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. 1 Juli 2018, untuk Entitas Utama bukan bank dan
Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK
tetap menerapkan ketentuan yang berlaku pada masing-
masing sektor keuangan.
- 17 -
Pasal 27
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 292
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26 /POJK.03/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI
KONGLOMERASI KEUANGAN
I. UMUM
Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
merupakan suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu
mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berkontribusi
secara optimal dalam perekonomian nasional.
Modal merupakan sumber dukungan keuangan dalam pelaksanaan
aktivitas Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan, cushion untuk
menyerap kerugian yang tidak terduga (unexpected losses), dan jaring
pengaman (safety net) dalam kondisi krisis. Kecukupan modal yang
memadai dapat meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan
(stakeholders) sehingga mendukung kondisi dan kestabilan Konglomerasi
Keuangan.
Besaran modal yang harus disediakan oleh suatu Konglomerasi
Keuangan sangat bergantung pada risiko yang dihadapi. Oleh karena itu
dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat dan meningkatkan
kondisi usahanya secara keseluruhan, Konglomerasi Keuangan wajib
memiliki sistem yang memadai untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan risiko yang ditimbulkan dari aktivitas
bisnis Konglomerasi Keuangan serta menyediakan modal yang memadai
untuk mengantisipasi risiko tersebut.
- 2 -
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, diperlukan pengaturan
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan risiko yang membutuhkan penyediaan
modal lebih besar antara lain risiko transaksi intra grup.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hal-hal lain antara lain:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. pembatasan bonus dan insentif lainnya; dan/atau
c. pengaturan atau penundaan pembayaran dividen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Contoh tindakan yang dapat mengakibatkan kondisi permodalan
Konglomerasi Keuangan tidak memenuhi ketentuan antara lain:
1) melakukan pembayaran dividen;
2) memberikan bonus / insentif / tantiem / remunerasi /benefit
lainnya kepada Direksi, Dewan Komisaris, atau pegawai.
- 3 -
Pasal 5
Ayat (1)
Contoh 1:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan
LJK C. TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari
modal aktual LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan
yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan.
Contoh 2:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C.
TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal
aktual LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku
pada masing-masing sektor keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh 1
- 4 -
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan
LJK C. Dalam hal pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur
perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak,
TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual LJK 1 secara
konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C.
Contoh 2:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, LJK C,
dan LJK D. Dalam hal pada LJK 1 terdapat ketentuan yang
mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak, TMA Konglomerasi Keuangan adalah
penjumlahan modal aktual LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK
A, LJK B, dan LJK C ditambah dengan modal aktual LJK D
secara individu.
Ayat (4)
Contoh:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas bank, perusahaan
pembiayaan, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur bank, penyertaan
kepada Perusahaan Anak berupa perusahaan asuransi menjadi
faktor pengurang modal dalam perhitungan modal secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak sehingga modal
perusahaan asuransi tersebut tidak ditambahkan ke modal bank
secara konsolidasi.
- 5 -
Dengan demikian, perhitungan TMA Konglomerasi Keuangan
adalah modal aktual bank secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak berupa perusahaan pembiayaan dan
perusahaan efek ditambah dengan modal aktual perusahaan
asuransi secara individu.
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum, bank umum
syariah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat
syariah.
Yang dimaksud dengan “modal inti dan modal pelengkap” adalah
modal inti dan modal pelengkap setelah memperhitungkan
faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perusahaan pembiayaan” adalah
perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah.
Yang dimaksud dengan “modal yang disesuaikan” adalah modal
yang disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan atau
penyelenggaraan usaha pembiayaan syariah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perusahaan asuransi/reasuransi”
adalah perusahaan asuransi/reasuransi dan perusahaan
asuransi/reasuransi syariah.
Yang dimaksud dengan “aset/kekayaan yang diperkenankan”
adalah aset/kekayaan yang diperkenankan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Yang dimaksud dengan “liabilitas” adalah liabilitas sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “modal kerja bersih yang disesuaikan
(MKBD)” adalah MKBD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai pemeliharaan dan pelaporan MKBD.
- 6 -
Pasal 7
Ayat (1)
Contoh 1:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan
LJK C. TMM Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari
modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1, LJK A, LJK B,
dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing
sektor keuangan sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung
sebagai berikut:
Contoh 2:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C.
TMM Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK A, LJK B, dan LJK C,
sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor
keuangan sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai
berikut:
- 7 -
Ayat (2)
Contoh 1:
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan
LJK C. Pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur
perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Dengan demikian, TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1 secara konsolidasi
dengan LJK A, LJK B, dan LJK C sehingga Rasio KPMM
Terintegrasi dihitung sebagai berikut:
Contoh 2:
- 8 -
Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, LJK C,
dan LJK D. Pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur
perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
Dengan demikian, TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1 secara konsolidasi
dengan LJK A, LJK B, dan LJK C ditambah dengan modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK D secara individu,
sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut:
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “modal minimum Perusahaan Anak”
adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh Perusahaan
Anak sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan.
Contoh :
Konglomerasi Keuangan terdiri atas bank, perusahaan
pembiayaan, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur bank, penyertaan
kepada Perusahaan Anak berupa perusahaan asuransi menjadi
faktor pengurang modal dalam perhitungan modal secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak sehingga modal
perusahaan asuransi tersebut tidak ditambahkan pada modal
bank secara konsolidasi.
- 9 -
Dengan demikian perhitungan TMM Konglomerasi Keuangan
adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh bank secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak berupa perusahaan
pembiayaan dan perusahaan efek ditambah dengan modal
minimum yang wajib dipenuhi oleh perusahaan asuransi secara
individu sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai
berikut:
Pasal 8
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum, bank umum
syariah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat
syariah.
Yang dimaksud dengan “modal minimum sesuai profil risiko”
adalah modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum.
Contoh: Bank A memiliki profil risiko 2 (dua) dan memiliki
kewajiban penyediaan modal mínimum sesuai profil risiko
sebesar 9% (sembilan persen) dari Aset Tertimbang Menurut
Risiko (ATMR). Apabila bank memiliki ATMR sebesar
Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) maka modal minimum
sesuai profil risiko adalah sebesar 9% x Rp1.000.000.000.-
=Rp90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perusahaan pembiayaan” adalah
perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah.
Yang dimaksud dengan “modal yang disesuaikan” adalah modal
yang disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan atau
penyelenggaran usaha pembiayaan syariah.
- 10 -
Contoh: Perusahaan Pembiayaan A memiliki nilai aset yang
disesuaikan sebesar Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
Apabila rasio permodalan mínimum ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen) maka modal yang disesuaikan mínimum
adalah sebesar 10% x Rp2.000.000.000,- = Rp200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perusahaan asuransi/reasuransi”
adalah perusahaan asuransi/reasuransi dan perusahaan
asuransi/reasuransi syariah.
Yang dimaksud dengan “aset/kekayaan yang diperkenankan”
adalah aset/kekayaan yang diperkenankan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Yang dimaksud dengan “liabilitas” adalah liabilitas sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.
Contoh: Perusahaan Asuransi A memiliki modal mínimum
berbasis risiko (MMBR) sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah). Apabila target tingkat solvabilitas ditetapkan sebesar
120% (seratus dua puluh persen) maka nilai mínimum dari
selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan dengan
liabilitas adalah sebesar 120% x Rp1.000.000.000,- =
Rp1.200.000.000,- (satu milyar dua ratus juta rupiah).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “modal kerja bersih yang disesuaikan
(MKBD)” adalah MKBD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai pemeliharaan dan pelaporan MKBD.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Evaluasi kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan
permodalan dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu)
tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kebijakan mengenai sumber permodalan intern perlu
mempertimbangkan hambatan dalam melakukan transfer
modal antar LJK dalam Konglomerasi Keuangan baik
karena kondisi intern maupun ekstern Konglomerasi
Keuangan seperti adanya ketentuan yang berlaku dari
otoritas yang menghambat dilakukannya transfer modal.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “target yang ditetapkan”
adalah target yang ditetapkan oleh Konglomerasi
Keuangan ataupun oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam prosedur perencanaan modal mempertimbangkan antara
lain target permodalan, risiko, strategi, dan rencana bisnis
Konglomerasi Keuangan serta kondisi makroekonomi.
- 12 -
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “double atau multiple gearing”
adalah kondisi adanya penyertaan atau penempatan modal
antar LJK anggota Konglomerasi Keuangan yang
menyebabkan modal Konglomerasi Keuangan dinilai lebih
besar dari yang seharusnya (overstated).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “excessive leverage” adalah kondisi
adanya pinjaman yang berlebihan oleh suatu LJK yang
ditempatkan dalam bentuk modal pada LJK lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “SKMRT” adalah SKMRT sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen
risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “SKMRT” adalah SKMRT sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen
risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Komite Manajemen Risiko Terintegrasi”
adalah Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen
risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan.
- 13 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud “SKAIT” adalah SKAIT sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi dapat diminta secara
sewaktu-waktu antara lain dalam hal Otoritas Jasa Keuangan
memerlukan informasi mengenai kondisi permodalan Konglomerasi
Keuangan terkini dalam rangka pengawasan terintegrasi terhadap
Konglomerasi Keuangan.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang dimaksud dengan “LJK-LJK yang sejenis” adalah LJK-LJK yang
diatur oleh ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko dan
tata kelola yang sama pada masing-masing sektor keuangan.
Contoh:
a. LJK berupa perusahaan asuransi.
b. LJK berupa perusahaan efek.
c. LJK berupa bank perkreditan rakyat.
- 14 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5774
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 6/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2015 </set_date>
<effective_date> 1 April 2015 </effective_date>
<issued_date> 1 April 2015 </issued_date>
<replaced_reg> '14/14/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
laporan bank umum sebagai kustodian beralih dari
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap laporan bank umum
sebagai kustodian, ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal mengenai laporan bank
umum sebagai kustodian yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bank
Umum sebagai Kustodian;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan
Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak
lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
2. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.
3. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan kegiatan usaha sebagai Kustodian.
4. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh
izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
akuntan publik dan telah terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan.
- 3 -
5. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
BAB II
LAPORAN
Pasal 2
Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan kegiatan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak
paling sedikit 2 (dua) rangkap disertai dengan salinan
dokumen elektronik yang meliputi:
a. laporan mengenai aktivitas bulanan yang memuat
rekapitulasi Efek yang tercatat selama periode tersebut;
dan
b. laporan tahunan yang merupakan hasil pemeriksaan
operasional Akuntan Publik.
Pasal 3
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
meliputi jumlah, jenis Efek, frekuensi tercatat, dan
keterangan lain yang diperlukan, yang disusun dengan
menggunakan format Laporan Aktivitas Bank Kustodian
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 12 (dua belas) hari setelah periode laporan
bulanan berakhir.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah periode laporan
tahunan berakhir.
- 4 -
(4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh
pada hari libur, penyampaian laporan wajib disampaikan
pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 4
Dalam hal Akuntan Publik memberikan pendapat bahwa
program yang dijalankan tidak sesuai dengan prosedur yang
cukup aman, Otoritas Jasa Keuangan dapat memanggil
penanggung jawab Bank Kustodian atau melakukan
pemeriksaan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut.
Pasal 5
Dalam hal Bank Kustodian akan membuka cabang jasa
Kustodian, Bank Kustodian wajib melaporkan pembukaan
cabang jasa Kustodian dimaksud kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebelum cabang jasa Kustodian dimaksud
beroperasi.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
- 5 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 7
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 8
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-73/PM/1996 tentang Laporan Bank Umum
sebagai Kustodian, beserta Peraturan Nomor X.G.1 yang
merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 6 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 124
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai laporan Bank Umum sebagai Kustodian
yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
Kep-73/PM/1996 tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian,
beserta Peraturan Nomor X.G.1 yang merupakan lampirannya, menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bank Umum sebagai
Kustodian.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Dalam praktiknya “salinan dokumen elektronik” dikenal dengan
sebutan soft copy.
Salinan dokumen elektronik dapat disampaikan dengan
menggunakan antara lain media digital cakram padat (compact disc),
flashdisk, atau lainnya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
perintah untuk menyampaikan kembali laporan yang telah diperbaiki
sesuai dengan hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6071
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN
- 2 -
LAPORAN AKTIVITAS BANK KUSTODIAN
1. PENYELESAIAN TRANSAKSI BANK KUSTODIAN
Nama Kustodian
Bulan & Tahun
:
:
No
Efek
Frekuensi
.........
.........
PENYELESAIAN TRANSAKSI BELI
Volume
(Juta
Unit)
Nilai
(Miliar
Rupiah)
Status
Investor
(%)
I
A
Konfirmasi
Investor Tepat
Waktu
Frekuensi
PENYELESAIAN TRANSAKSI JUAL
Volume
(Juta
Unit)
Nilai
(Miliar
Rupiah)
Status
Investor
(%)
I
A
Konfirmasi
Investor
Tepat Waktu
.......... , ................20.......
PT ...........
...................
(Nama Lengkap & Jabatan)
- 3 -
2. NILAI ASSET UNDER CUSTODY
Nama Kustodian
Bulan & Tahun
:
:
.........
.........
Dalam Rupiah
SAHAM
OBLIGASI
REKSA DANA
LAINNYA
TOTAL ASSET UNDER CUSTODY
.......... , ................20.......
PT ...........
...................
(Nama Lengkap & Jabatan)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 4/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> DANA INVESTASI MULTI ASET BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title>
<set_date> 24 Februari 2017 </set_date>
<effective_date> 28 Februari 2017 </effective_date>
<issued_date> 28 Februari 2017 </issued_date>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13/POJK.03/2015
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk dan
aktivitas Bank Perkreditan Rakyat, semakin meningkat
pula risiko yang dihadapi Bank Perkreditan Rakyat;
b. bahwa dengan meningkatnya risiko yang dihadapi Bank
Perkreditan Rakyat, semakin meningkat pula kebutuhan
terhadap penerapan manajemen risiko oleh Bank
Perkreditan Rakyat;
c. bahwa penerapan manajemen risiko merupakan salah
satu upaya memperkuat kelembagaan dan meningkatkan
reputasi industri Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan
arah kebijakan pengembangan Bank Perkreditan Rakyat;
d. bahwa penguatan kelembagaan dan peningkatan reputasi
industri Bank Perkreditan Rakyat diharapkan dapat
menciptakan sektor keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing yang
tinggi;
e. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
- 2 -
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Perkreditan Rakyat;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3502);
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4756);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
6. Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor
4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi
Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5685);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI
PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998;
2. Direksi:
a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
dan/atau
2) Perusahaan Daerah (PD) adalah direksi pada
BPR yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
BANK
- 4 -
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
3. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah; dan/atau
2) Perusahaan Daerah (PD) adalah pengawas pada
BPR yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
4. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh
terhadap kebijakan dan operasional BPR, antara lain
pemimpin kantor cabang, kepala divisi, kepala bagian,
kepala satuan kerja audit intern atau pejabat yang
ditunjuk bertanggung jawab mengenai pelaksanaan
fungsi audit intern, manajer dan/atau pejabat lainnya
yang setara.
5. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu
peristiwa tertentu.
- 5 -
6. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan
prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang
timbul dari seluruh kegiatan usaha BPR.
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO
Pasal 2
(1) BPR wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. Pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris.
b. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan limit yaitu:
1) kebijakan Manajemen Risiko;
2) prosedur Manajemen Risiko; dan
3) penetapan limit Risiko.
c. Kecukupan proses dan sistem yaitu:
1) proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian Risiko; dan
2) sistem informasi Manajemen Risiko.
d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pasal 3
(1) Risiko yang harus dikelola dalam penerapan Manajemen
Risiko meliputi:
a. Risiko kredit;
b. Risiko operasional;
c. Risiko kepatuhan;
d. Risiko likuiditas;
e. Risiko reputasi; dan
f.
Risiko stratejik.
(2) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib
- 6 -
menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 untuk seluruh jenis Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan
kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) wajib menerapkan Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit
untuk 4 (empat) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a sampai dengan huruf d.
(4) BPR yang memiliki modal inti kurang dari
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) wajib
menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 paling sedikit untuk 3 (tiga) Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf c.
(5) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun memiliki
total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus
miliar rupiah) dan memenuhi kondisi:
a. memiliki kurang dari 10 (sepuluh) kantor cabang;
dan
b. tidak melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu
Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit,
wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit untuk 4 (empat)
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d.
(6) BPR yang memiliki modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) namun
memiliki total aset paling sedikit Rp300.000.000.000,00
(tiga ratus miliar rupiah) dan memenuhi kondisi:
a. memiliki paling sedikit 10 (sepuluh) kantor cabang;
dan/atau
- 7 -
b. melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu
Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit,
wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 untuk seluruh Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB III
PENGAWASAN DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Pasal 4
Dalam rangka pengawasan penerapan Manajemen Risiko, BPR
wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas
pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) huruf a.
Pasal 5
(1) Kewenangan dan tanggung jawab Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit meliputi:
a. menyusun kebijakan dan pedoman penerapan
Manajemen Risiko secara tertulis;
b. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang
memerlukan persetujuan Direksi;
c. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada
seluruh jenjang organisasi;
d. memastikan peningkatan kompetensi sumber daya
manusia yang terkait dengan Manajemen Risiko;
e. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah
beroperasi secara independen; dan
f.
bertanggung jawab atas:
1) pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko; dan
2) eksposur Risiko yang diambil BPR secara
keseluruhan.
(2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi
harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai
- 8 -
Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional
BPR dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan
sesuai dengan profil Risiko BPR.
Pasal 6
Kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit meliputi:
a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen
Risiko;
b. memastikan penerapan Manajemen Risiko oleh Direksi;
c. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas
pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f angka 1); dan
d. mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi
yang berkaitan dengan transaksi yang memerlukan
persetujuan Dewan Komisaris.
BAB IV
KEBIJAKAN MANAJEMEN RISIKO,
PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO, DAN
PENETAPAN LIMIT RISIKO
Pasal 7
Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 1) paling sedikit meliputi:
a. Penetapan Risiko yang terkait dengan kegiatan usaha,
produk, dan layanan BPR;
b. Penetapan sistem informasi Manajemen Risiko;
c. Penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko;
d. Penetapan penilaian peringkat Risiko;
e. Penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam
kondisi terburuk; dan
f.
Penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan
Manajemen Risiko.
- 9 -
Pasal 8
(1) Prosedur Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 2) paling sedikit
meliputi:
a. jenjang delegasi wewenang dan pertanggungjawaban
yang jelas; dan
b. dokumentasi prosedur dan penetapan limit Risiko
secara memadai.
(2) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 3) meliputi:
a. limit secara keseluruhan;
b. limit per jenis Risiko; dan
c.
limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki
eksposur Risiko.
BAB V
PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN,
DAN PENGENDALIAN RISIKO, SERTA SISTEM
INFORMASI MANAJEMEN RISIKO
Pasal 9
(1) BPR wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c angka 1)
terhadap seluruh faktor Risiko yang bersifat material.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh:
a. sistem informasi manajemen yang memadai; dan
b.
laporan yang akurat dan informatif mengenai
kondisi keuangan BPR, kinerja aktivitas fungsional
dan eksposur Risiko BPR.
Pasal 10
(1) Pelaksanaan proses identifikasi Risiko paling sedikit
dilakukan dengan melakukan analisis terhadap:
- 10 -
a. karakteristik Risiko yang melekat pada BPR; dan
b. Risiko dari kegiatan usaha, produk, dan layanan
BPR.
(2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, BPR
melakukan paling sedikit:
a. evaluasi terhadap kesesuaian asumsi, sumber data,
dan prosedur yang digunakan untuk mengukur
Risiko; dan
b. penyesuaian terhadap proses pengukuran Risiko
apabila terdapat perubahan yang bersifat material
pada kegiatan pelayanan BPR, produk, dan faktor
Risiko.
(3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, BPR
melakukan paling sedikit:
a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan
b. penyesuaian proses pelaporan apabila terdapat
perubahan yang bersifat material pada kegiatan
usaha BPR, produk, faktor Risiko, teknologi
informasi, dan sistem informasi Manajemen Risiko.
(4) Pelaksanaan proses pengendalian Risiko digunakan BPR
untuk mengelola Risiko yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha BPR.
Pasal 11
(1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c angka 2), paling
sedikit meliputi laporan atau informasi mengenai:
a. eksposur Risiko;
b. kepatuhan terhadap kebijakan Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c. kepatuhan terhadap prosedur Manajemen Risiko
dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8; dan
d.
realisasi penerapan Manajemen Risiko dibandingkan
dengan target yang ditetapkan.
- 11 -
(2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem
informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan secara berkala kepada Direksi.
BAB VI
SISTEM PENGENDALIAN INTERN
Pasal 12
BPR wajib melaksanakan sistem pengendalian intern yang
menyeluruh secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan
usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi BPR.
Pasal 13
Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang menyeluruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 paling sedikit harus
mampu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang
terjadi, secara tepat waktu.
Pasal 14
(1) Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
dalam rangka penerapan Manajemen Risiko paling sedikit
meliputi:
a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis
dan tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan
usaha dan jenis layanan BPR;
b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk
pemantauan kepatuhan kebijakan Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk
pemantauan kepatuhan prosedur Manajemen Risiko
dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8;
d. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi
yang jelas;
- 12 -
e. struktur organisasi yang menggambarkan secara
jelas kegiatan usaha BPR;
f.
pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang
akurat dan tepat waktu;
g. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan
BPR terhadap peraturan perundang-undangan;
h. dokumentasi secara lengkap dan memadai; dan
i.
verifikasi dan reviu terhadap sistem pengendalian
intern.
(2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam
penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh satuan kerja audit intern
atau Pejabat Eksekutif yang menangani fungsi audit
intern.
BAB VII
ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO
Pasal 15
Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
(1) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) wajib
membentuk:
a. Komite Manajemen Risiko; dan
b. satuan kerja Manajemen Risiko.
(2) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan
kurang dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar
rupiah) wajib membentuk satuan kerja Manajemen
Risiko.
(3) BPR yang memiliki modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling
sedikit wajib menunjuk satu orang Pejabat Eksekutif
yang bertanggung jawab terhadap penerapan fungsi
Manajemen Risiko.
- 13 -
(4) Dalam hal diperlukan, BPR dengan modal inti kurang
dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah)
dapat membentuk Komite Manajemen Risiko.
Pasal 16
(1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) huruf a dan ayat (4) paling sedikit terdiri
dari:
a. Mayoritas Direksi; dan
b. Pejabat Eksekutif terkait.
(2) Wewenang dan tanggung jawab Komite Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan
rekomendasi kepada Direktur Utama, yang paling sedikit
meliputi:
a. penyusunan kebijakan dan pedoman penerapan
Manajemen Risiko;
b. perbaikan dan/atau penyempurnaan pelaksanaan
Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi
pelaksanaan Manajemen Risiko; dan
c. pertimbangan dan/atau penetapan hal-hal yang
terkait
dengan keputusan operasional yang
menyimpang dari prosedur normal.
Pasal 17
(1) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan ayat (2) serta Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3)
harus independen.
(2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan ayat (2) serta Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3)
bertanggung jawab langsung kepada anggota Direksi yang
membawahkan fungsi Manajemen Risiko.
(3) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen
Risiko atau Pejabat Eksekutif yang ditunjuk bertanggung
jawab menerapkan fungsi Manajemen Risiko meliputi:
- 14 -
a. pemantauan pelaksanaan kebijakan dan pedoman
penerapan Manajemen Risiko yang telah disetujui
oleh Direksi;
b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan, per
jenis Risiko, dan per jenis aktivitas fungsional;
c. pengkajian usulan penerbitan produk dan/atau
pelaksanaan aktivitas baru;
d. penyampaian rekomendasi kepada satuan kerja atau
pegawai yang menangani fungsi operasional dan
Komite Manajemen Risiko, sesuai kewenangan yang
dimiliki; dan
e. penyusunan dan penyampaian laporan profil Risiko
secara berkala kepada anggota Direksi yang
membawahkan fungsi Manajemen Risiko dan Komite
Manajemen Risiko.
BAB VIII
PENGELOLAAN RISIKO PRODUK DAN AKTIVITAS BARU
Pasal 18
(1) Dalam rangka pengelolaan Risiko yang melekat pada
penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru,
BPR wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara
tertulis.
(2) Kriteria penerbitan produk dan/atau pelaksanaan
aktivitas baru BPR adalah penerbitan produk dan/atau
pelaksanaan aktivitas yang:
a.
b.
tidak pernah diterbitkan atau dilaksanakan
sebelumnya oleh BPR; atau
telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya
oleh BPR namun dilakukan pengembangan yang
mengubah atau meningkatkan seluruh Risiko atau
Risiko tertentu BPR.
(3) Kebijakan dan prosedur secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. penetapan Risiko produk dan aktivitas baru;
- 15 -
b.
c.
identifikasi seluruh Risiko yang terkait dengan
produk dan aktivitas baru;
analisis aspek hukum untuk masing-masing produk
dan aktivitas baru;
d. sistem dan prosedur operasional serta kewenangan
dalam pengelolaan produk dan aktivitas baru;
e. sistem informasi akuntansi untuk produk dan
aktivitas baru; dan
f. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan
Risiko terhadap produk dan aktivitas baru.
(4) Penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
BPR wajib menyampaikan informasi secara tertulis mengenai
Risiko yang terkait dengan produk dan aktivitas baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf b
kepada nasabah atau calon nasabah sebelum dilakukannya
transaksi.
BAB IX
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Rencana Tindak (Action Plan) Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 20
(1) Dalam rangka penerapan Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, BPR wajib menyusun dan
menyampaikan laporan rencana tindak kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Laporan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 30 Juni 2016.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR untuk
melakukan penyesuaian terhadap laporan rencana
- 16 -
tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
rencana tindak dinilai belum sepenuhnya memenuhi
persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Batas waktu penyelesaian rencana tindak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan/atau penyelesaian terhadap
rencana tindak yang telah disesuaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) bagi BPR dengan modal inti:
a. paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2018;
atau
b. kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2019.
(5) Batas waktu penyelesaian rencana tindak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus memperhatikan batas
waktu pembentukan Komite Manajemen Risiko, satuan
kerja Manajemen Risiko, dan/atau penunjukan Pejabat
Eksekutif yang bertanggung jawab terhadap penerapan
fungsi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38.
Pasal 21
(1) BPR wajib menyampaikan laporan realisasi rencana
tindak penerapan Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 setiap semester kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan realisasi rencana tindak penerapan Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
paling lambat setiap tanggal 31 Juli untuk laporan
semester pertama dan tanggal 31 Januari tahun
berikutnya untuk laporan semester kedua
(3) Laporan realisasi rencana tindak penerapan Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pertama kali
disampaikan untuk laporan semester pertama tahun
2017.
(4) Dalam hal BPR telah merealisasikan seluruh rencana
tindak penerapan Manajemen Risiko sebagaimana
- 17 -
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) sebelum batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) dan telah
dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, BPR tidak
perlu menyampaikan laporan realisasi rencana tindak
penerapan Manajemen Risiko untuk semester berikutnya.
Bagian Kedua
Laporan Profil Risiko
Pasal 22
(1) BPR wajib menyampaikan laporan profil Risiko setiap
semester kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang disampaikan oleh BPR wajib memuat materi
yang sama dengan laporan profil Risiko yang
disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko atau
Pejabat Eksekutif yang ditunjuk bertanggung jawab
menerapkan fungsi Manajemen Risiko kepada anggota
Direksi yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko
dan kepada Komite Manajemen Risiko.
(3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan paling lambat tanggal 31 Juli untuk
laporan semester pertama dan tanggal 31 Januari tahun
berikutnya untuk laporan semester kedua.
(4) BPR yang memiliki modal inti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) dan BPR yang memiliki modal inti
serta aset dan memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (6) menyampaikan untuk pertama kali
laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. 3 (tiga) Risiko yaitu Risiko kredit, Risiko operasional,
dan Risiko kepatuhan untuk semester kedua tahun
2018; dan
b. 6 (enam) Risiko yaitu Risiko kredit, Risiko
operasional, Risiko likuiditas, Risiko kepatuhan,
- 18 -
Risiko reputasi, dan Risiko stratejik untuk semester
kedua tahun 2020.
(5) BPR yang memiliki modal inti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) dan BPR yang memiliki modal inti
serta aset dan memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (5) menyampaikan untuk pertama kali
laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. 2 (dua) Risiko yaitu Risiko kredit dan Risiko
operasional untuk semester kedua tahun 2019; dan
b. 4 (empat) Risiko yaitu Risiko kredit, Risiko
operasional, Risiko likuiditas, dan Risiko kepatuhan
untuk semester kedua tahun 2021.
(6) BPR yang memiliki modal inti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (4) menyampaikan untuk pertama kali
laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. 1 (satu) Risiko yaitu Risiko kredit untuk semester
kedua tahun 2019; dan
b. 3 (tiga) Risiko yaitu Risiko kredit, Risiko operasional,
dan Risiko kepatuhan untuk semester kedua tahun
2021.
Bagian Ketiga
Laporan Produk dan Aktivitas Baru
Pasal 23
(1) BPR wajib menyampaikan laporan produk dan aktivitas
baru kepada Otoritas Jasa Keuangan, yang terdiri atas:
a. laporan rencana penerbitan produk
pelaksanaan aktivitas baru; dan
b. laporan realisasi penerbitan produk
pelaksanaan aktivitas baru.
dan
(2) Laporan rencana penerbitan produk dan pelaksanaan
aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
dan
- 19 -
kerja sebelum penerbitan produk dan/atau pelaksanaan
aktivitas baru.
(3) Laporan realisasi penerbitan produk dan pelaksanaan
aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja setelah penerbitan produk dan/atau pelaksanaan
aktivitas baru.
(4) Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penerbitan produk dan/atau
pelaksanaan aktivitas baru yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib
dicantumkan dalam rencana bisnis BPR.
(5) Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan rencana
penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas
Jasa Keuangan dapat menetapkan BPR untuk tidak
menerbitkan produk dan/atau melaksanakan aktivitas
baru yang direncanakan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan BPR
untuk menghentikan penerbitan produk dan/atau
pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dalam hal dikemudian hari berdasarkan evaluasi
Otoritas Jasa Keuangan, produk yang diterbitkan
dan/atau aktivitas yang dilaksanakan memenuhi kondisi:
a. tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk dan
aktivitas baru yang dilaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan;
b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan
terhadap kondisi keuangan BPR; dan
c.
tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
- 20 -
Bagian Keempat
Laporan Profil Risiko Lain
Pasal 24
(1) BPR wajib menyampaikan laporan profil Risiko lain
kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terdapat
kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang
signifikan terhadap kondisi keuangan BPR.
(2) Laporan profil Risiko lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah laporan profil Risiko selain yang dimaksud
dalam Pasal 22.
(3) Laporan profil Risiko lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah
diketahuinya kondisi berpotensi menimbulkan kerugian
yang signifikan terhadap kondisi keuangan BPR.
(4) Kewajiban penyampaian laporan profil Risiko lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat
didasarkan atas permintaan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kelima
Batas Waktu Penyampaian Laporan
Pasal 25
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan:
a. laporan rencana tindak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2);
b. laporan realisasi rencana tindak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2);
c.
d.
laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (3);
laporan realisasi penerbitan produk
dan
pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (3); dan
e. laporan profil Risiko lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (3),
apabila BPR menyampaikan laporan kepada Otoritas
Jasa Keuangan melampaui batas akhir waktu
- 21 -
penyampaian laporan sampai dengan 1 (satu) bulan
setelah batas akhir waktu penyampaian laporan.
(2) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas
baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
apabila laporan disampaikan kurang dari 30 (tiga puluh)
hari kerja sebelum penerbitan produk dan/atau
pelaksanaan aktivitas baru.
(3) BPR dinyatakan tidak menyampaikan:
a. laporan rencana tindak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2);
b. laporan realisasi rencana tindak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2);
c.
d.
laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (3);
laporan realisasi penerbitan produk
dan
pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (3); dan
e. laporan profil Risiko lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (3),
apabila BPR belum menyampaikan laporan dimaksud
dalam batas waktu keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan rencana
penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) apabila
laporan disampaikan pada saat atau setelah penerbitan
produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru.
Bagian Keenam
Format dan Tata Cara Penyampaian Laporan
Pasal 26
Format, petunjuk penyusunan,dan tata cara penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), Pasal
21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 24
ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
- 22 -
BAB X
PENILAIAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
Pasal 27
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap
penerapan Manajemen Risiko di BPR.
(2) Selain melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
penyesuaian penilaian penerapan Manajemen Risiko
dengan memperhatikan perkembangan kondisi dan
potensi permasalahan yang dihadapi BPR.
(3) Dalam rangka penilaian penerapan Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR wajib
menyampaikan data dan informasi terkait dengan
penerapan Manajemen Risiko kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Tata cara dan metode penilaian penerapan Manajemen
Risiko diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB XI
PENYESUAIAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
Pasal 28
(1) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami
peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6
(enam) posisi laporan bulanan berturut-turut sampai
dengan tanggal 31 Desember 2018, dan:
a. memiliki
total
aset
paling
sedikit
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah);
atau
b. memiliki
total
aset
kurang
dari
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dan
memenuhi kondisi:
1) memiliki paling sedikit 10 (sepuluh) kantor
cabang; dan/atau
- 23 -
2) melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu
Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit,
wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai pentahapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4).
(2) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami
peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6
(enam) posisi laporan bulanan berturut-turut setelah
tanggal 31 Desember 2018 sampai dengan tanggal
31 Desember 2020, dan:
a. memiliki
total
aset
paling
sedikit
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah);
atau
b. memiliki
total
aset
kurang
dari
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dan
memenuhi kondisi:
1) memiliki paling sedikit 10 (sepuluh) kantor
cabang; dan/atau
2) melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu
Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit,
wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) pertama kali untuk laporan profil
Risiko semester kedua tahun 2020.
(3) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami
peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6
(enam) posisi laporan bulanan berturut-turut setelah
tanggal 31 Desember 2020, dan:
a. memiliki
total
aset
paling
sedikit
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah);
atau
b. memiliki
total
aset
kurang
dari
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dan
memenuhi kondisi:
1) memiliki paling sedikit 10 (sepuluh) kantor
cabang; dan/atau
- 24 -
2) melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu
Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit,
wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) pertama kali pada laporan profil
Risiko semester berikutnya setelah satu tahun BPR
memenuhi modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan
bulanan berturut-turut.
Pasal 29
(1) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami
peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah)
selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut,
wajib memenuhi struktur organisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) paling lambat satu
tahun setelah BPR memenuhi modal inti paling sedikit
Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah)
selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut.
(2) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami
peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan
kurang dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar
rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-
turut, wajib memenuhi struktur organisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) paling lambat satu
tahun setelah BPR memenuhi modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan
kurang dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar
rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-
turut.
Pasal 30
(1) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami
peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan
kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
- 25 -
rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-
turut sampai dengan tanggal 31 Desember 2019, dan
memiliki total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00
(tiga ratus miliar rupiah), wajib melaporkan Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d sesuai pentahapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5).
(2) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami
peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan
kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-
turut setelah tanggal 31 Desember 2019 sampai dengan
tanggal 31 Desember 2021 dan memiliki total aset kurang
dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah),
wajib melaporkan profil Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d
pertama kali untuk laporan profil Risiko semester kedua
tahun 2021.
(3) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami
peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan
kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan
berturut-turut setelah tanggal 31 Desember 2021 dan
memiliki total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00
(tiga ratus miliar rupiah), wajib melaporkan profil Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d pertama kali pada laporan profil
Risiko semester berikutnya setelah satu tahun BPR
memenuhi modal inti paling sedikit Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah) dan kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6
(enam) posisi laporan bulanan berturut-turut.
- 26 -
Pasal 31
(1) BPR yang mengalami peningkatan aset sehingga menjadi
paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar
rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-
turut dan memenuhi kondisi menjadi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) sampai dengan tanggal
31 Desember 2018, wajib melaporkan seluruh Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai
pentahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (4).
(2) BPR yang mengalami peningkatan aset sehingga menjadi
paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar
rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-
turut dan memenuhi kondisi menjadi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) setelah tanggal
31 Desember 2018 sampai dengan tanggal 31 Desember
2020, wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling lambat tanggal
31 Desember 2020.
(3) BPR yang mengalami peningkatan aset sehingga menjadi
paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar
rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-
turut dan memenuhi kondisi menjadi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) setelah tanggal
31 Desember 2020, wajib melaporkan seluruh Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pertama
kali pada laporan profil Risiko semester berikutnya
setelah satu tahun BPR memenuhi total aset paling
sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah)
selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut.
Pasal 32
BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami
penurunan modal inti atau total aset sehingga mengakibatkan
berkurangnya kewajiban penerapan jumlah Risiko dari jumlah
semula, tetap menerapkan jenis Risiko dan kelengkapan
- 27 -
struktur organisasi yang berlaku sebelum terjadinya
penurunan modal inti atau total aset.
BAB XII
SANKSI
Pasal 33
(1) BPR yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan
sanksi kewajiban membayar berupa denda sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari
keterlambatan per laporan dengan denda paling banyak
sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per laporan.
(2) BPR yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) dikenakan
sanksi kewajiban membayar berupa denda sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per laporan.
(3) BPR yang menyampaikan laporan profil Risiko
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) yang
berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan
dinyatakan tidak benar dan/atau tidak lengkap secara
signifikan dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan sanksi kewajiban membayar berupa denda
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4) Selain sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
sanksi kewajiban membayar berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), BPR juga dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. penurunan tingkat kesehatan BPR; dan/atau
b. pencantuman pengurus dalam daftar pihak-pihak
yang memperoleh predikat tidak lulus.
(5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah
BPR diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas
Jasa Keuangan dengan tenggang waktu masing-masing
10 (sepuluh) hari kerja untuk setiap teguran dan BPR
tidak menyampaikan atau tidak memperbaiki laporan
- 28 -
profil Risiko dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja
setelah surat teguran terakhir.
Pasal 34
BPR yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6), Pasal 4, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 15
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal
20 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 38,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
dan/atau:
a. penurunan penilaian tingkat kesehatan; dan/atau
b. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional
BPR.
Pasal 35
BPR yang melanggar penetapan Otoritas Jasa Keuangan
untuk tidak menerbitkan produk dan/atau pelaksanakan
aktivitas baru yang direncanakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (5) atau tidak mematuhi perintah Otoritas
Jasa Keuangan untuk menghentikan penerbitan produk
dan/atau pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (6), dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan:
a. penurunan penilaian tingkat kesehatan;
b. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional
BPR; dan/atau
c. pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak
yang memperoleh predikat tidak lulus.
Pasal 36
(1) BPR yang melanggar ketentuan Pasal 28, Pasal 30, dan
Pasal 31 dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan sanksi kewajiban membayar berupa denda
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Selain sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
sanksi kewajiban membayar berupa denda sebagaimana
- 29 -
dimaksud pada ayat (1), BPR juga dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
b. pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-
pihak yang memperoleh predikat tidak lulus.
(3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
BPR diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas
Jasa Keuangan dengan tenggang waktu masing-masing
10 (sepuluh) hari kerja untuk setiap teguran dan BPR
tidak menyampaikan atau tidak memperbaiki laporan
profil Risiko dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja
setelah surat teguran terakhir.
Pasal 37
(1) Pengenaan sanksi terhadap penyampaian laporan profil
Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4)
mulai diterapkan pada penyampaian laporan posisi 31
Desember 2019.
(2) Pengenaan sanksi terhadap penyampaian laporan profil
Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5)
dan ayat (6) mulai diterapkan pada penyampaian laporan
posisi 31 Desember 2020.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
Pembentukan Komite Manajemen Risiko, satuan kerja
Manajemen Risiko, dan/atau penunjukan satu orang Pejabat
Eksekutif yang bertanggung jawab terhadap penerapan fungsi
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
oleh BPR yang telah memperoleh izin usaha sebelum
ketentuan ini berlaku, dilakukan paling lambat pada tanggal
31 Desember 2017.
- 30 -
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 40
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 272
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13/POJK.03/2015
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT
I. UMUM
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai salah satu jenis bank yang
memberikan jasa intermediasi keuangan terutama kepada usaha mikro
dan kecil serta masyarakat di pedesaan, senantiasa menghadapi Risiko
dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Perkembangan industri
perbankan yang semakin meningkat, kebutuhan masyarakat atas
pelayanan jasa keuangan yang lebih bervariasi, mudah, dan cepat diiringi
dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat mendorong
BPR untuk lebih meningkatkan produk dan pelayanannya yang pada
gilirannya akan meningkatkan Risiko BPR. Peningkatan Risiko ini harus
diimbangi dengan peningkatan pengendalian Risiko. Oleh karena itu, BPR
dituntut untuk menerapkan Manajemen Risiko. Penerapan Manajemen
Risiko ini selain ditujukan bagi BPR juga dalam rangka melindungi
pemangku kepentingan BPR.
Prinsip-prinsip Manajemen Risiko termasuk jenis Risiko yang harus
diterapkan oleh BPR disesuaikan dengan karakteristik kegiatan usaha
BPR dan diselaraskan dengan ketentuan mengenai penerapan Manajemen
Risiko pada bank umum dan perbankan syariah. Prinsip-prinsip
- 2 -
Manajemen Risiko pada dasarnya merupakan standar perbankan untuk
dapat beroperasi secara lebih berhati-hati dalam ruang lingkup
perkembangan kegiatan usaha dan operasional perbankan yang sangat
pesat dewasa ini.
Mempertimbangkan masih terdapatnya kesenjangan pada industri
BPR, penerapan Manajemen Risiko dibedakan sesuai dengan kegiatan
usaha, produk, dan layanan serta kemampuan BPR dalam hal keuangan,
infrastruktur pendukung maupun sumber daya manusia. Otoritas Jasa
Keuangan menetapkan ketentuan ini sebagai standar minimal yang harus
dipenuhi oleh BPR dalam menerapkan Manajemen Risiko.
Dengan ketentuan ini, BPR diharapkan mampu melaksanakan
seluruh aktivitas secara terintegrasi dalam suatu pengelolaan Risiko yang
akurat dan komprehensif.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Risiko kredit adalah Risiko akibat
kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi
kewajiban kepada BPR.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Risiko operasional adalah Risiko
yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan
dan/atau tidak berfungsinya proses intern, kesalahan
sumber daya manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya
masalah ekstern yang mempengaruhi operasional BPR.
- 3 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan Risiko kepatuhan adalah Risiko
akibat BPR tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain
termasuk Risiko akibat kelemahan aspek hukum.
Kelemahan aspek hukum antara lain disebabkan adanya
tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-
undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan
seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan
pengikatan agunan yang tidak sempurna.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Risiko likuiditas adalah Risiko
akibat ketidakmampuan BPR untuk memenuhi kewajiban
yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas
dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat
diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan/atau kondisi
keuangan BPR.
Huruf e
Yang dimaksud dengan Risiko reputasi adalah Risiko akibat
menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan
yang bersumber dari persepsi negatif mengenai BPR.
Huruf f
Yang dimaksud dengan Risiko stratejik adalah Risiko akibat
ketidaktepatan BPR dalam pengambilan dan/atau
pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan BPR
dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Kebijakan Manajemen Risiko memuat antara lain strategi
dan kerangka Risiko yang ditetapkan sesuai dengan tingkat
Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi risiko
(risk tolerance).
Huruf b
Transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi antara lain
transaksi yang telah melampaui kewenangan pejabat BPR
satu tingkat di bawah Direksi, sesuai dengan kebijakan dan
prosedur intern yang berlaku.
Huruf c
Pengembangan budaya Manajemen Risiko antara lain
meliputi penyampaian informasi kepada seluruh pegawai
dan komunikasi yang memadai mengenai prinsip-prinsip
Manajemen Risiko termasuk mengembangkan budaya sadar
Risiko serta pentingnya pengendalian intern yang efektif.
Huruf d
Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain
melalui program pendidikan dan pelatihan secara
berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen Risiko.
Huruf e
Yang dimaksud dengan pengertian independen antara lain
adanya pemisahan fungsi antara satuan kerja atau Pejabat
Eksekutif yang bertanggung jawab menangani fungsi
Manajemen Risiko dengan satuan kerja atau pegawai yang
melaksanakan fungsi operasional BPR.
Yang dimaksud dengan fungsi operasional adalah fungsi
yang terkait dengan penghimpunan dan penyaluran dana.
Huruf f
angka 1)
Termasuk tanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko adalah:
- 5 -
1) mengevaluasi dan memberikan arahan
berdasarkan laporan yang disampaikan oleh
satuan kerja atau Pejabat Eksekutif yang
bertanggung jawab terhadap penerapan fungsi
Manajemen Risiko;
2) menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada Dewan Komisaris paling sedikit setiap
enam bulan sekali atau lebih sering tergantung
adanya perubahan operasional, penerbitan produk
baru dan/atau pelaksanaan aktivitas baru;
3) memastikan dampak risiko yang signifikan telah
ditindaklanjuti;
4) mengkomunikasikan kebijakan Manajemen Risiko
secara efektif kepada seluruh jenjang organisasi
yang relevan agar dipahami secara jelas; dan
5) memastikan satuan kerja atau pegawai yang
menangani fungsi operasional menginformasikan
eksposur Risiko yang melekat pada satuan kerja
yang bersangkutan kepada satuan kerja
Manajemen Risiko paling sedikit setiap enam
bulan sekali atau lebih sering tergantung adanya
perubahan operasional, penerbitan produk baru
dan/atau pelaksanaan aktivitas baru.
angka 2)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan
Komisaris paling sedikit satu kali dalam satu tahun atau
sewaktu-waktu dalam hal terdapat perubahan yang
mempengaruhi kegiatan usaha BPR secara signifikan.
Huruf b
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf c
Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan
kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris
paling sedikit setiap semester.
Huruf d
Transaksi yang memerlukan persetujuan Dewan Komisaris
adalah transaksi yang sesuai peraturan perundang-undangan
memerlukan persetujuan Dewan Komisaris, antara lain
pemberian kredit kepada pihak terkait.
Pasal 7
Penetapan kebijakan Manajemen Risiko mempertimbangkan kondisi
keuangan, struktur dan kompleksitas organisasi, dan Risiko yang
timbul sebagai akibat perubahan faktor intern dan ekstern.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk dalam sistem informasi Manajemen Risiko adalah
alur informasi kepada Direksi BPR dengan memanfaatkan
teknologi informasi maupun hasil pengolahan data dalam
rangka mendukung pengambilan keputusan.
Huruf c
Toleransi Risiko adalah potensi kerugian yang dapat diserap
oleh permodalan BPR.
Huruf d
Penilaian peringkat Risiko adalah dasar bagi BPR untuk
menetapkan peringkat Risiko BPR yang dikategorikan
menjadi 5 (lima) peringkat Risiko, yaitu sangat rendah,
rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Huruf e
Yang dimaksud dengan rencana darurat adalah rencana
pengembangan skenario untuk mengantisipasi terjadinya
gangguan intern termasuk kegagalan sistem serta gangguan
ekstern yang menyebabkan terjadinya kondisi darurat yang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan operasional BPR.
Huruf f
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 8
Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko disesuaikan
dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) terhadap
Risiko BPR.
Tingkat Risiko yang akan diambil memperhatikan pengalaman yang
dimiliki oleh BPR terkait dengan Risiko transaksi bisnis BPR pada
masa lalu.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengertian dokumentasi yang
memadai adalah dokumentasi yang tertulis, lengkap,
akurat, kini, dan utuh sehingga dapat memudahkan untuk
dilakukan jejak audit untuk keperluan pengendalian intern
BPR.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan limit secara keseluruhan adalah
batas Risiko yang dapat ditoleransi oleh BPR atas seluruh
Risiko yang diterapkan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan limit per jenis Risiko adalah batas
Risiko yang dapat ditoleransi oleh BPR untuk setiap jenis
Risiko.
Huruf c
Yang dimaksud dengan limit per aktivitas fungsional
tertentu adalah batas Risiko yang dapat ditoleransi oleh
BPR untuk setiap aktivitas fungsional.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan faktor-faktor Risiko yang bersifat
material adalah faktor-faktor Risiko yang bersifat kuantitatif dan
kualitatif yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi
keuangan BPR.
- 8 -
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan sistem informasi manajemen yang
memadai adalah sistem informasi manajemen yang mampu
menyediakan data dan informasi yang lengkap, akurat, kini,
dan utuh untuk pengambilan keputusan terkait dengan
Manajemen Risiko.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Identifikasi Risiko dilakukan dengan berdasarkan pengalaman
pada masa lalu terkait dengan transaksi yang menyebabkan
kerugian, menurunkan keuntungan atau menyebabkan
permasalahan pada BPR.
Ayat (2)
Huruf a
Evaluasi dilakukan oleh satuan kerja atau pejabat yang
independen dan tidak terkait dengan penyusunan dan/atau
penetapan dalam rangka pengukuran Risiko.
Evaluasi dilakukan sesuai dengan perkembangan usaha,
kondisi intern dan ekstern BPR yang dapat langsung
mempengaruhi kondisi BPR.
Huruf b
Termasuk dalam perubahan yang bersifat material adalah
terdapatnya perubahan produk, kegiatan pelayanan BPR,
struktur organisasi, sistem informasi, dan faktor Risiko
yang bersifat kuantitatif dan kualitatif yang berpengaruh
secara signifikan terhadap kondisi BPR.
Ayat (3)
Huruf a
Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan oleh satuan
kerja atau pejabat independen yang tidak terkait dengan
penyusunan dan/atau penetapan eksposur Risiko dengan
cara pemantauan dan pelaporan Risiko yang signifikan atau
yang berdampak terhadap kondisi permodalan BPR, yang
- 9 -
antara lain dilakukan dengan menggunakan analisis data
historis.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Termasuk dalam proses pengendalian Risiko adalah
penambahan modal untuk menyerap potensi kerugian.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup
eksposur Risiko yang bersifat kuantitatif dan/atau kualitatif
secara keseluruhan, rincian per jenis Risiko dan per jenis
kegiatan fungsional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan secara berkala adalah paling sedikit
setiap semester dan dapat dilakukan lebih sering apabila
terdapat perubahan operasional, penerbitan produk baru
dan/atau pelaksanaan aktivitas baru.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Tujuan sistem pengendalian intern yang menyeluruh untuk
memastikan:
a. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, kebijakan,
dan ketentuan intern BPR;
b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap,
akurat, kini, dan utuh;
- 10 -
c. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan
d.
efektivitas budaya Risiko pada organisasi BPR secara
menyeluruh.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan penetapan jalur pelaporan dan
pemisahan fungsi yang jelas adalah:
1)
jalur pelaporan dari satuan kerja atau pegawai yang
menangani operasional kepada satuan kerja atau
pegawai yang melaksanakan fungsi pengendalian; dan
2) pemisahan fungsi satuan kerja atau pegawai yang
menangani operasional dengan satuan kerja atau
pegawai yang melaksanakan fungsi pengendalian.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan dokumentasi secara lengkap dan
memadai adalah dokumentasi terhadap
prosedur
operasional, cakupan dan temuan audit serta tanggapan
pengurus BPR terhadap hasil audit.
Huruf i
Verifikasi dan reviu terhadap sistem pengendalian intern
termasuk penanganan kelemahan-kelemahan BPR yang
bersifat signifikan serta tindakan pengurus BPR untuk
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Komite Manajemen Risiko merupakan unit yang tidak
bersifat struktural dengan keanggotaan dapat bersifat tetap
atau tidak tetap sesuai dengan kebijakan BPR.
Huruf b
Satuan kerja Manajemen Risiko merupakan satuan kerja
yang bersifat struktural.
Ayat (2)
Satuan kerja Manajemen Risiko dan satuan kerja kepatuhan
dapat dijadikan satu, yaitu satuan kerja yang menangani
Manajemen Risiko dan Kepatuhan.
Ayat (3)
Pejabat Eksekutif yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi
Manajemen Risiko dapat merangkap sebagai Pejabat Eksekutif
yang menangani fungsi kepatuhan.
Ayat (4)
BPR dapat mempertimbangkan untuk membentuk Komite
Manajemen Risiko apabila diperlukan.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan mayoritas Direksi adalah lebih dari
50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota
Direksi.
Anggota Direksi dalam Komite Manajemen Risiko tidak
termasuk direktur utama dan paling sedikit terdiri dari
anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan.
Huruf b
Pejabat Eksekutif terkait adalah pejabat BPR satu tingkat di
bawah Direksi yang memimpin satuan kerja operasional
- 12 -
dan satuan kerja Manajemen Risiko. Keanggotaan Pejabat
Eksekutif dalam Komite Manajemen Risiko disesuaikan
dengan permasalahan dan kebutuhan BPR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan independen adalah satuan kerja
Manajemen Risiko atau Pejabat Eksekutif yang ditunjuk
bertanggung jawab menerapkan fungsi Manajemen Risiko tidak
menangani fungsi penghimpunan dan penyaluran dana serta
tidak melaksanakan fungsi audit intern.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja atau Pejabat
Eksekutif yang menangani fungsi Manajemen Risiko disesuaikan
dengan kompleksitas kegiatan usaha BPR.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengkajian usulan produk dan/atau aktivitas baru
bertujuan untuk menilai kemampuan BPR mengeluarkan
produk dan/atau aktivitas baru termasuk kajian
perubahan sistem dan prosedur karena adanya
pengeluaran produk dan/atau aktivitas baru.
Huruf d
Yang dimaksud dengan satuan kerja operasional adalah
satuan kerja atau pegawai yang menangani kegiatan
pemberian kredit, penghimpunan dana, dan kegiatan
operasional lainnya.
Rekomendasi termasuk besaran atau maksimum eksposur
Risiko yang harus dijaga BPR.
- 13 -
Rekomendasi disampaikan kepada Komite Manajemen
Risiko apabila sesuai ketentuan BPR diwajibkan memiliki
Komite Manajemen Risiko atau BPR yang memiliki Komite
Manajemen Risiko.
Huruf e
Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh atas
besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh
portofolio atau eksposur BPR.
Penyampaian laporan secara berkala disesuaikan dengan
kondisi BPR dan paling sedikit dilakukan setiap semester.
Laporan profil Risiko disampaikan kepada Komite
Manajemen Risiko apabila sesuai ketentuan BPR
diwajibkan memiliki Komite Manajemen Risiko atau BPR
yang memiliki Komite Manajemen Risiko.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kebijakan dan prosedur terkait analisis aspek hukum
termasuk kemampuan pemberian informasi mengenai
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
dan kelemahan aspek hukum yang ditimbulkan produk
dan aktivitas baru.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Kebijakan dan prosedur mengenai sistem informasi
akuntansi termasuk kemampuan sistem memberikan
- 14 -
informasi mengenai tingkat keuntungan atau kerugian
untuk produk dan aktivitas baru.
Huruf f
Masa uji coba dimaksudkan untuk memastikan bahwa
metode pengukuran dan pemantauan Risiko telah teruji
dari aspek kehati-hatian dan aspek lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Semester pertama adalah 1 Januari sampai dengan 30 Juni dan
semester kedua adalah 1 Juli sampai dengan 31 Desember.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Semester pertama adalah 1 Januari sampai dengan 30 Juni dan
semester kedua adalah 1 Juli sampai dengan 31 Desember.
Ayat (2)
Laporan profil Risiko disampaikan oleh satuan kerja Manajemen
Risiko atau Pejabat Eksekutif yang ditunjuk bertanggung jawab
menerapkan fungsi Manajemen Risiko kepada Komite
Manajemen Risiko apabila sesuai ketentuan BPR diwajibkan
memiliki Komite Manajemen Risiko atau BPR yang memiliki
Komite Manajemen Risiko.
- 15 -
Laporan profil Risiko yang disampaikan BPR kepada Otoritas
Jasa Keuangan didasarkan atas data dan informasi yang
lengkap, akurat, kini, dan utuh.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan berpotensi menimbulkan kerugian
yang signifikan terhadap kondisi keuangan BPR, antara lain
memiliki perbedaan eksposur risiko yang signifikan.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kondisi berpotensi menimbulkan
kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan BPR adalah
- 16 -
kondisi yang berpotensi menurunkan keuntungan,
menyebabkan kerugian, atau menurunkan rasio permodalan
BPR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian data dan informasi terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko dilakukan oleh BPR sesuai permintaan
Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh
BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 29
Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh
BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan
Otoritas Jasa Keuangan.
- 17 -
Pasal 30
Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh
BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 31
Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh
BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 32
Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh
BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak yang
memperoleh predikat tidak lulus dilaksanakan melalui proses
uji kemampuan dan kepatutan sesuai peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 18 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak yang
memperoleh predikat tidak lulus dilaksanakan melalui
proses uji kemampuan dan kepatutan sesuai peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai uji kemampuan dan
kepatutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5761
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 13/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 3 November 2015 </set_date>
<effective_date> 12 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 12 November 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '25/UU/1992', '40/UU/2007', '4/POJK.03/2015', '23/UU/2014', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 55 /POJK.05/2017
TENTANG
LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (6) dan
Pasal 60 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Berkala Perusahaan
Perasuransian;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi,
perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang
asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan
perusahaan penilai kerugian asuransi.
2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi
umum dan perusahaan asuransi jiwa.
3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan ulang
terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi,
perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi
lainnya.
4. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa
syariah.
5. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan
prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan
syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya.
6. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar kantor
pusat yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
7. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi
syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan
bertindak untuk dan atas nama pemegang polis,
tertanggung, atau peserta.
- 3 -
8. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau
penempatan reasuransi syariah serta penanganan
penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas
nama Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan
penjaminan syariah, Perusahaan Reasuransi, atau
Perusahaan Reasuransi Syariah yang melakukan
penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.
9. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah
perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa
penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek
asuransi.
10. Laporan Berkala adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan dalam periode tertentu.
11. Laporan Bulanan adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari
sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan.
12. Laporan Triwulanan adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari
sampai dengan akhir triwulan yang bersangkutan.
13. Laporan Semesteran adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari
sampai dengan akhir semester yang bersangkutan.
14. Laporan Tahunan adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari
sampai dengan akhir tahun yang bersangkutan.
- 4 -
15. Laporan Lain adalah laporan yang disusun oleh
Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas
Jasa Keuangan selain Laporan Bulanan, Laporan
Triwulanan, Laporan Semesteran, dan Laporan Tahunan
yang disampaikan dalam periode tertentu.
BAB II
PENYUSUNAN LAPORAN BERKALA
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 2
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menyusun Laporan
Berkala secara lengkap dan tepat waktu sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. Laporan Bulanan;
b. Laporan Triwulanan;
c. Laporan Semesteran;
d. Laporan Tahunan; dan
e. Laporan Lain.
(3) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah terbagi menjadi
jenis laporan sebagai berikut:
a. Laporan Bulanan;
b. Laporan Triwulanan;
c. Laporan Tahunan; dan
d. Laporan Lain.
(4) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi terbagi menjadi jenis laporan sebagai
berikut:
a. Laporan Semesteran; dan
b. Laporan Tahunan.
- 5 -
(5) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi berupa
Laporan Tahunan.
Pasal 3
(1) Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b
bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
adalah Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi.
(2) Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b
bagi Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah adalah
Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana
dimaksud
dalam
Peraturan
Otoritas
Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip
syariah.
(3) Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) huruf c bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan
Perusahaan Pialang Reasuransi adalah Laporan
Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan
usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
Pasal 4
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf d terdiri atas:
a. aspek keuangan; dan
b. aspek manajemen.
Jasa
- 6 -
(2) Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah adalah Laporan
Keuangan Tahunan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan
keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah.
(3) Aspek manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi
Syariah, dan Unit Syariah, terdiri atas:
a. bukti sertifikat atau bukti lain yang menunjukan
bahwa pihak utama telah memenuhi syarat
keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak
utama pada perusahaan perasuransian, dana
pensiun, perusahaan pembiayaan, dan perusahaan
penjaminan;
b. laporan hasil penilaian tingkat risiko posisi akhir
tahun sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat
risiko lembaga jasa keuangan non-bank;
c. rencana tindak lanjut atas penilaian tingkat risiko
posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penilaian tingkat risiko lembaga jasa keuangan non-
bank;
d. laporan hasil penilaian sendiri penerapan
manajemen risiko Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan manajemen risiko bagi lembaga jasa
keuangan non-bank;
- 7 -
e. laporan penerapan strategi anti fraud sebagaimana
dimaksud dalam
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi
syariah;
f.
laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik
bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata kelola
perusahaan yang baik bagi
perasuransian;
perusahaan
g. laporan realisasi rencana bisnis secara tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai rencana korporasi
dan rencana bisnis perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah;
h. laporan data risiko asuransi
dimaksud dalam Peraturan
Otoritas
sebagaimana
Jasa
Keuangan mengenai pemeliharaan dan pelaporan
data risiko asuransi serta penerapan tarif
premi dan kontribusi untuk lini usaha
asuransi harta benda dan asuransi kendaraan
bermotor;
i.
laporan pelaksanaan penempatan reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai retensi sendiri dan
dukungan reasuransi dalam negeri;
j.
laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan
mengenai kesehatan keuangan
k.
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
dengan prinsip syariah; dan
laporan lainnya.
- 8 -
(4) Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi adalah Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang
asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan
perusahaan penilai kerugian asuransi.
(5) Aspek manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b bagi Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan
Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi, terdiri atas:
a. laporan
hasil penilaian sendiri
penerapan
manajemen risiko Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan manajemen risiko bagi lembaga jasa
keuangan non-bank;
b. laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik
bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata
kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan
perasuransian; dan
c. laporan lainnya.
Pasal 5
Laporan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf e bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi
Syariah, terdiri atas:
a. laporan rencana korporasi dan rencana bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai tata kelola perusahaan yang baik
bagi perusahaan perasuransian;
- 9 -
b. laporan program reasuransi/retrosesi otomatis
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai retensi sendiri dan dukungan
reasuransi dalam negeri;
c. laporan pelaksanaan edukasi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan;
d. laporan pengaduan konsumen dan tindak lanjut
pelayanan dan penyelesaian konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai
keuangan;
perlindungan konsumen sektor jasa
e.
laporan penilaian pelaksanaan tata kelola terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi
bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai
entitas utama;
f. Laporan Tahunan pelaksanaan tata kelola terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi
bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai
entitas utama;
g.
laporan profil risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi
konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas
utama;
h. laporan kecukupan permodalan terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal
- 10 -
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi
Syariah sebagai entitas utama;
i.
j.
laporan rencana kegiatan pengkinian data dan laporan
realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa
keuangan; dan
laporan lainnya.
Pasal 6
Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan tata cara
penyampaian Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan
Semesteran, Laporan Tahunan, dan Laporan Lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 diatur dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 7
Direksi atau yang setara dari Perusahaan Perasuransian
bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian Laporan
Berkala.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 8
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan
Laporan Berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan berupa:
a. Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan
Semesteran, dan Laporan Lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf e disampaikan sesuai dengan
ketentuan batas waktu yang diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan atau ketentuan peraturan
- 11 -
perundang-undangan lain yang mewajibkan
penyampaian pelaporan dimaksud; dan
b. Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf d paling lambat tanggal 30
April tahun berikutnya.
(2) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas
akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
BAB IV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 9
(1) Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi
ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau
seluruh kegiatan usaha; dan/atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara bertahap.
(3) Bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah,
dan Unit Syariah, keterlambatan penyampaian Laporan
Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
huruf b dan Laporan Tahunan bagi aspek keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), selain
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikenakan sanksi tambahan berupa denda keterlambatan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan
prinsip syariah.
- 12 -
(4) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi
keterlambatan penyampaian Laporan
Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
dan Laporan Tahunan berupa Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a,
selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa denda
keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan
usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
(5) Bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi keterlambatan
penyampaian Laporan Tahunan berupa Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a
selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa
denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan
usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
(6) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat menambahkan
sanksi tambahan berupa:
a. larangan untuk memasarkan produk asuransi untuk
lini usaha tertentu;
b. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan bagi
pengendali, direksi, atau dewan komisaris, atau yang
setara pada Perusahaan Perasuransian;
c. larangan bagi Perusahaan Perasuransian untuk
menjadi pemegang saham, pengendali, atau yang
setara dengan pemegang saham dan pengendali pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama, pada Perusahaan Perasuransian; dan/atau
- 13 -
d. larangan bagi pemegang saham, pengendali, direksi,
dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang
saham, pengendali, direksi, dan dewan komisaris
pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama Perusahaan Perasuransian untuk menjadi
pemegang saham, pengendali, direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham,
pengendali, direksi, atau dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama,
pada Perusahaan Perasuransian.
Pasal 10
(1) Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan memiliki
kewajiban untuk membayar denda atas keterlambatan
penyampaian Laporan Berkala atau tidak menyampaikan
Laporan Berkala, tetap diwajibkan untuk membayar
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5).
(2) Bagi Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan tidak
menyampaikan Laporan Berkala sebagaimana dimaksud
ayat (1), penghitungan jumlah hari keterlambatan
dihitung setelah batas akhir kewajiban penyampaian
Laporan Berkala sampai dengan 1 (satu) hari sebelum
tanggal pencabutan izin usaha dengan batas maksimal
pengenaan denda sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan
keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah, dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan
usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian
asuransi.
- 14 -
(3) Tata cara penagihan sanksi denda aministratif mengikuti
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata cara
penagihan sanksi administratif berupa denda di sektor
jasa keuangan.
(4) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif
mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif di
bidang perasuransian dan pemblokiran kekayaan
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi
syariah.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor
3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5443), dinyatakan tidak
berlaku bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah;
b. ketentuan mengenai waktu penyampaian bukti sertifikat
atau bukti lain yang menunjukan bahwa pihak utama
telah memenuhi syarat keberlanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 4/POJK.05/2013 tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama pada
Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan
Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 231,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
- 15 -
5474), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan
Perasuransian;
c. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan hasil
penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2014 tentang
Penilaian Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5575), dinyatakan tidak berlaku bagi
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan
Reasuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi
Syariah, dan Unit Syariah;
d. ketentuan mengenai waktu penyampaian rencana tindak
lanjut atas penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor
10/POJK.05/2014 tentang Penilaian Tingkat Risiko
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 197,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5575), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit
Syariah;
e. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan hasil
penilaian
sendiri
penerapan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2015 tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5682), dinyatakan
tidak berlaku bagi Perusahaan Perasuransian;
f.
ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan
penerapan strategi anti fraud sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 ayat (4) huruf a Peraturan Otoritas Jasa
- 16 -
Keuangan
Nomor
Penyelenggaraan
Usaha
69/POJK.05/2016
Perusahaan
tentang
Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi,
dan Perusahaan Reasuransi Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 302, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5992),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
g. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan
penerapan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 306, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5996), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku; dan
h. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan realisasi
rencana bisnis secara tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Romawi VIII angka 2 Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan 15/SEOJK.05/2014 tentang Rencana Korporasi
dan Rencana Bisnis Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi Syariah, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyampaian
laporan, bentuk dan susunan, serta tata cara penyampaian
Laporan Berkala bagi Perusahaan Perasuransian tunduk pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 17 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 174
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 5/POJK.05/2017 </reg_id>
<reg_title> IURAN, MANFAAT PENSIUN, DAN MANFAAT LAIN YANG DISELENGGARAKAN OLEH DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 1 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 6 Maret 2017 </effective_date>
<issued_date> 6 Maret 2017 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26 /POJK.04/2016
TENTANG
PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA
MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan bagian dari
sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara
dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan
cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa bentuk interaksi secara baik tersebut diwujudkan
dengan memberikan dukungan kepada kebijakan negara
yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2016 tentang Pengampunan Pajak;
c. bahwa dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf b
diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang dapat mendukung pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan
Pajak, khususnya dalam penempatan dana repatriasi
pengampunan pajak pada instrumen investasi di Pasar
Modal;
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c, serta dalam rangka
mendorong pelaku industri di bidang Pasar Modal untuk
memanfaatkan peluang arus dana yang berkaitan dengan
pengampunan pajak, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Produk Investasi di
Bidang Pasar Modal Dalam Rangka Mendukung Undang-
Undang tentang Pengampunan Pajak;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PRODUK
INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA
MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN
PAJAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Pemodal adalah Wajib Pajak berupa orang pribadi atau
badan yang berdasarkan Undang-Undang tentang
Pengampunan Pajak telah memperoleh Surat Keterangan
Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak.
2. Manajer Investasi adalah Manajer Investasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.
- 3 -
3. Perantara Pedagang Efek adalah Perantara Pedagang Efek
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Pasar Modal.
Pasal 2
Manajer Investasi yang melakukan pengelolaan investasi atas
dana milik Pemodal wajib mengikuti peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal, kecuali diatur lain dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 3
Penerbit yang melakukan penerbitan Efek Beragun Aset Surat
Partisipasi kepada Pemodal wajib mengikuti Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan
Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam rangka
Pembiayaan Sekunder Perumahan, kecuali diatur lain dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB II
PEMBUKAAN REKENING EFEK
Pasal 4
Dalam pembukaan rekening Efek untuk berinvestasi pada:
a. Reksa Dana;
b. Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah
Secara Individual;
c. Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
d. Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi;
e. Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif; dan
f.
Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek atau di luar
Bursa Efek,
Pemodal wajib menyampaikan dokumen paling sedikit berupa
Surat Keputusan Pengampunan Pajak kepada Penyedia Jasa
Keuangan.
- 4 -
BAB III
PENGELOLAAN DANA PEMODAL OLEH MANAJER INVESTASI
Bagian Kesatu
Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif
Pasal 5
(1) Pada saat pencatatan, Reksa Dana Penyertaan Terbatas
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dapat belum
memiliki perusahaan sasaran.
(2)
Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif wajib melakukan investasi pada
perusahaan sasaran paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif dicatatkan.
Pasal 6
Efek bersifat utang yang menjadi Portofolio Efek Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dapat didukung dengan jaminan kebendaan berupa jaminan
fidusia dan/atau hak tanggungan atau diperingkat oleh
Perusahaan Pemeringkat Efek yang memperoleh izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 7
(1) Dokumen pendukung permohonan pencatatan Reksa
Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang melakukan investasi pada Efek bersifat
ekuitas terdiri dari:
a. perjanjian yang terkait dengan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
b. perjanjian dengan anggota komite investasi yang
berasal dari pihak ketiga (jika ada);
c.
perjanjian dengan pihak ketiga yang mewakili Reksa
Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif sebagai tenaga ahli dan/atau
- 5 -
anggota direksi dan/atau komisaris pada perusahaan
sasaran;
d. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat
hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait
penerbitan:
1. Efek bersifat ekuitas yang menjadi aset dasar
Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif; dan
2. Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif;
e. laporan hasil penilaian yang dibuat oleh penilai yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait kegiatan
sektor riil yang akan didanai atau Efek bersifat
ekuitas;
f.
hasil uji tuntas atas perusahaan sasaran dan
kegiatan sektor riil yang ditandatangani oleh direksi
Manajer Investasi;
g.
ikhtisar keuangan ringkas perusahaan sasaran yang
menerbitkan Efek bersifat ekuitas untuk periode 3
(tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya;
h. info memo perusahaan sasaran;
i. dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
dokumen terkait penerbitan Efek;
j.
k. daftar riwayat hidup pegawai Manajer Investasi yang
terlibat langsung dalam pengelolaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif disertai dengan:
1. fotokopi sertifikat Chartered Financial Analyst
(CFA); atau
2. fotokopi izin orang perseorangan sebagai Wakil
Manajer Investasi dan surat keterangan
pengalaman dalam mengelola Portofolio Efek
Reksa Dana paling sedikit 5 (lima) tahun dari
perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja;
- 6 -
l.
surat pernyataan yang ditandatangani oleh calon
pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit
Penyertaan yang paling kurang menyatakan bahwa
calon pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif telah mengerti
dan memahami struktur investasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif dan risiko yang mungkin terjadi; dan
m. surat pernyataan yang ditandatangani oleh pihak
yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar yang
menyatakan bahwa investasi pada Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif dilakukan oleh pihak yang berwenang atas
nama korporasi, dalam hal calon pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif berbentuk
korporasi.
(2) Kewajiban penyampaian dokumen kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d angka 1, huruf e, huruf f, huruf
g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m dapat dilakukan
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
melakukan investasi pada perusahaan sasaran.
Pasal 8
(1) Dokumen pendukung permohonan pencatatan Reksa
Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang melakukan investasi pada Efek bersifat
utang terdiri dari:
a. perjanjian yang terkait dengan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
b. dokumen jaminan yang dilengkapi dengan akta
jaminan fidusia dan/atau akta pemberian hak
tanggungan atas nama Reksa Dana Penyertaan
- 7 -
Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
apabila dipersyaratkan adanya jaminan (jika
menggunakan jaminan);
c. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat
hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait:
1. penerbitan Efek bersifat utang yang menjadi aset
dasar Reksa Dana Penyertaan Terbatas
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan
2. Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif;
d.
hasil uji tuntas atas perusahaan sasaran dan
kegiatan sektor riil yang ditandatangani oleh direksi
Manajer Investasi;
e.
ikhtisar keuangan ringkas perusahaan sasaran yang
menerbitkan Efek bersifat utang untuk periode 3
(tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya;
f.
laporan hasil penilaian yang dibuat oleh penilai yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait kegiatan
sektor riil yang akan didanai (jika ada);
g. info memo perusahaan sasaran;
h. dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
i. dokumen terkait penerbitan Efek bersifat utang
antara lain perjanjian penerbitan Efek bersifat utang
dan perjanjian lainnya yang terkait;
j.
daftar riwayat hidup pegawai Manajer Investasi yang
terlibat langsung dalam pengelolaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif disertai dengan:
1. fotokopi sertifikat Chartered Financial Analyst
(CFA); atau
2. fotokopi izin orang perseorangan sebagai Wakil
Manajer Investasi dan surat keterangan
pengalaman dalam mengelola Portofolio Efek
Reksa Dana paling kurang 5 (lima) tahun dari
perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja;
- 8 -
k. surat pernyataan yang ditandatangani oleh calon
pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit
Penyertaan yang paling kurang menyatakan calon
pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif telah mengerti
dan memahami struktur investasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif dan risiko yang mungkin terjadi; dan
l.
surat pernyataan yang ditandatangani oleh pihak
yang berwenang sesuai dengan
anggaran
dasar/anggaran rumah tangga yang menyatakan
investasi pada Reksa Dana Penyertaan Terbatas
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dilakukan oleh
pihak yang berwenang atas nama korporasi, dalam
hal calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif berbentuk korporasi.
(2) Kewajiban penyampaian dokumen kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c angka 1, huruf d, huruf e, huruf f, huruf
g, huruf i, huruf k, dan huruf l dapat dilakukan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah Reksa Dana
Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
melakukan investasi pada perusahaan sasaran.
Pasal 9
(1) Manajer Investasi dapat menambah Efek dalam Portofolio
Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif tanpa terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari seluruh pemegang Unit Penyertaan
melalui mekanisme rapat umum pemegang Unit
Penyertaan.
(2) Manajer Investasi wajib memastikan bahwa informasi
penambahan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada pemegang Unit Penyertaan Reksa
- 9 -
Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif.
Pasal 10
Dalam hal Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas
terdiri atas lebih dari 1 (satu) Efek perusahaan sasaran, Efek
tersebut dapat berupa Efek bersifat utang dan Efek bersifat
ekuitas.
Pasal 11
(1) Batas waktu penempatan dana pada deposito bagi Reksa
Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang belum melakukan investasi pada
perusahaan sasaran paling lama 1 (satu) tahun sejak
Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif dicatatkan.
(2) Penempatan dana pada deposito sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di bank umum yang
tidak terafiliasi dengan Manajer Investasi kecuali
hubungan Afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal
pemerintah, dengan ketentuan:
a. penempatan dana pada deposito di satu bank umum
paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan/atau
b. penempatan dana pada deposito di satu bank
persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dapat
lebih dari 10% (sepuluh persen) dari total Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 12
Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif wajib dibubarkan jika belum berinvestasi pada Efek
perusahaan sasaran dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
- 10 -
Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif dicatatkan di Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah
Secara Individual
Pasal 13
Jumlah dana kelolaan awal untuk setiap Pemodal pada
Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara
Individual paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 14
Jumlah dana kelolaan untuk setiap Pemodal dapat mengalami
penurunan menjadi kurang dari Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) sepanjang penurunan dimaksud terjadi karena
pergerakan harga pasar atas Portofolio Efek.
Pasal 15
Investasi Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan
Nasabah Secara Individual pada sertifikat deposito bank
persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dapat lebih dari
25% (dua puluh lima persen).
Bagian Ketiga
Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Pasal 16
(1) Pada saat permohonan Pernyataan Pendaftaran dalam
rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan, Manajer Investasi menyampaikan dokumen
paling sedikit:
a. Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang
dibuat dengan akta notariil oleh Notaris yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan;
- 11 -
b. rancangan akhir Prospektus yang diberi meterai dan
ditandatangani para Pihak; dan
c. contoh sertifikat Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset.
(2) Manajer
Investasi
wajib
memiliki
dan
mengadministrasikan dokumen yang terkait dengan
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Efek Beragun Aset sebagai berikut:
a. pendapat hukum;
b. laporan keuangan Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset yang telah diaudit Akuntan yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan;
c. dokumen yang memuat hasil pemeringkatan dari
Perusahaan Pemeringkat yang telah memperoleh izin
dari Otoritas Jasa Keuangan; dan
d. perjanjian lain yang berkaitan dengan Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
Bagian Keempat
Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif
Pasal 17
(1) Pada saat Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum Dana Investasi Real Estat diajukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan, Manajer Investasi
menyampaikan dokumen paling sedikit:
a. Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif disertai dengan
format digital; dan
b. Prospektus yang diberi meterai dan ditandatangani
para Pihak disertai dengan format digital.
(2) Manajer
Investasi
wajib memiliki dan
mengadministrasikan dokumen yang terkait dengan
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Dana Investasi Real Estat sebagai berikut:
a. perjanjian pengelolaan Real Estat;
- 12 -
b. dokumen penilaian Real Estat;
c. perjanjian agen penjual Unit Penyertaan (jika ada);
d. perjanjian pendahuluan antara Manajer Investasi dan
Bursa Efek, jika Unit Penyertaan dicatatkan di Bursa
Efek;
e.
perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan dalam
penitipan kolektif antara Manajer Investasi dengan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian jika Unit
Penyertaan dicatatkan di Bursa Efek;
f.
pendapat hukum dan laporan uji tuntas dalam segi
hukum;
g. salinan perjanjian sewa menyewa yang terkait dengan
Real Estat;
h. salinan perjanjian jual beli Real Estat;
i.
j.
fotokopi sertifikat hak guna bangunan dan sertifikat
hak atas tanah dan/atau bangunan lainnya; dan
rencana pemasaran dan operasional Dana Investasi
Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
(3) Dalam hal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif menggunakan Special Purpose Company,
Manajer
Investasi
wajib
memiliki dan
mengadministrasikan dokumen yang terkait dengan
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Dana Investasi Real Estat sebagai berikut:
a. akta pendirian dan perubahan anggaran dasar
Special Purpose Company;
b.
c.
izin usaha dari pihak yang berwenang; dan
daftar pihak yang terafiliasi dengan Special Purpose
Company.
- 13 -
BAB IV
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN
UMUM EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT
PARTISIPASI
Pasal 18
(1) Pada saat Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum Efek Beragun Aset berbentuk Surat
Partisipasi diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan,
Penerbit menyampaikan dokumen paling sedikit:
a. dokumen transaksi Efek Beragun Aset berbentuk
Surat Partisipasi yang dibuat dengan akta notariil
oleh Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan;
b. rancangan akhir prospektus; dan
c. contoh sertifikat Efek Beragun Aset berbentuk Surat
Partisipasi.
(2) Penerbit Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi
wajib memiliki dan mengadministrasikan dokumen yang
berkaitan dengan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum Efek Beragun Aset berbentuk Surat
Partisipasi sebagai berikut:
a. laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi hukum
terkait penerbitan Efek Beragun Aset berbentuk
Surat Partisipasi;
b. pendapat Akuntan terkait aspek akuntansi
penerbitan Efek Beragun Aset berbentuk Surat
Partisipasi;
c. dokumen yang memuat hasil pemeringkatan Efek
Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi dari
Perusahaan Pemeringkat Efek yang telah memperoleh
izin dari Otoritas Jasa Keuangan;
d. perjanjian penjaminan emisi efek (jika ada); dan
e.
perjanjian pendahuluan dengan 1 (satu) atau
beberapa Bursa Efek, jika Efek Beragun Aset
berbentuk Surat Partisipasi akan dicatatkan di Bursa
Efek.
- 14 -
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan kriteria
khusus produk investasi yang belum diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini untuk mendukung
Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak.
(2) Kriteria khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 20
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini berlaku juga bagi penerbitan produk
investasi yang menggunakan skema syariah.
Pasal 21
Setelah berakhirnya holding period sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak, Pemodal tetap
dapat meneruskan investasinya pada produk investasi yang
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 22
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
- 15 -
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 23
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 24
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 16 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Juli 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 145
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26 /POJK.04/2016
TENTANG
PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA
MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK
I. UMUM
Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui
untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan
Pajak untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang.
Bahwa Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak tersebut
mengatur tentang investasi dari dana milik Wajib Pajak yang dialihkan ke
dalam wilayah Negara Kesaturan Republik Indonesia dalam bentuk
investasi pada produk atau bentuk investasi yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk investasi pada
produk Pasar Modal.
Bahwa Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak tersebut
mengatur jangka waktu yang terbatas untuk pemberian pengampunan
pajak yaitu sejak Undang-Undang dimaksud mulai berlaku sampai dengan
tanggal 31 Maret 2017 yang terbagi dalam 3 (tiga) tahap.
Bahwa pada dasarnya seluruh instrumen investasi di sektor Pasar
Modal dapat menjadi sarana investasi bagi Pemodal yang telah memperoleh
Surat Keterangan Pengampunan Pajak dari Menteri Keuangan, namun
demikian diperlukan beberapa relaksasi atas pengaturan di bidang Pasar
Modal khususnya dalam investasi di Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan
Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual
(KPD) sehingga dapat menarik minat dari Pemodal dalam melakukan
investasi di Pasar Modal.
- 2 -
Bahwa dalam rangka mendorong pelaku industri di bidang Pasar
Modal untuk memanfaatkan peluang arus dana yang berkaitan dengan
pengampunan pajak, serta mendukung upaya Pemerintah dalam
melakukan pembiayaan pembangunan, khususnya melalui perpajakan,
Otoritas Jasa Keuangan perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan yang didisain khusus untuk mendukung pelaksanaan Undang-
Undang tentang Pengampunan Pajak.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Berdasarkan ketentuan Pasal ini Pemodal tidak diwajibkan
menyampaikan dokumen sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip
Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa Keuangan Di Sektor Pasar
Modal kepada Penyedia Jasa Keuangan.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Uji tuntas dimaksud biasa disebut juga dengan “due
diligence”.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Dokumen terkait penerbitan Efek dimaksud antara lain
perjanjian penerbitan Efek bersifat ekuitas dan perjanjian
lainnya yang terkait.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Uji tuntas dimaksud biasa disebut juga dengan “due
diligence”.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian Informasi penambahan Efek kepada pemegang Unit
Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat dilakukan
oleh Manajer Investasi atau Bank Kustodian.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pendapat hukum dimaksud biasa disebut juga dengan “legal
opinion”.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5906
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 26/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK </reg_title>
<set_date> 20 Juli 2016 </set_date>
<effective_date> 25 Juli 2016 </effective_date>
<issued_date> 25 Juli 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 60 /POJK.04/2015
TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI PEMEGANG SAHAM TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai keterbukaan informasi pemegang saham
tertentu beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap keterbukaan informasi
pemegang saham tertentu, maka peraturan mengenai
Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan
perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, maka perlu diterbitkan
peraturan mengenai Keterbukaan Informasi Pemegang
Saham Tertentu dengan menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI PEMEGANG SAHAM TERTENTU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah
melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau
Perusahaan Publik.
BAB II
PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 2
Direktur atau Dewan Komisaris Perusahaan Terbuka wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas kepemilikan
dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham Perusahaan
Terbuka paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak terjadinya
transaksi.
- 3 -
Pasal 3
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berlaku juga
bagi setiap Pihak yang memiliki 5% (lima persen) atau lebih
saham yang disetor dalam Perusahaan Terbuka.
Pasal 4
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3
paling sedikit meliputi:
a. nama, tempat tinggal, dan kewarganegaraan;
b. jumlah saham yang dibeli atau dijual;
c. harga pembelian dan penjualan per saham;
d. tanggal transaksi; dan
e. tujuan dari transaksi.
Pasal 5
Salinan dari laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 tersedia untuk publik dan dapat digandakan di Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
- 4 -
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 7
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-
82/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Keterbukaan
Informasi Pemegang Saham Tertentu beserta Peraturan Nomor
X.M.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 5 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 411
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 60 /POJK.04/2015
TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI PEMEGANG SAHAM TERTENTU
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar
Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait
sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan
dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk melakukan konversi Peraturan Nomor X.M.1, Lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-82/PM/1996 tentang
Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu tanggal 17 Januari
1996.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5829
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 60/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> KETERBUKAAN INFORMASI PEMEGANG SAHAM TERTENTU </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-82/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'KEP-82/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.M.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 40 /POJK.04/2016
TENTANG
PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk
Reksa Dana Berbentuk Perseroan beralih dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap anggaran dasar
Reksa Dana berbentuk Perseroan, peraturan mengenai
pedoman anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk
Perseroan yang diterbitkan sebelum terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK
PERSEROAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang
kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual
saham, dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut
diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan
di Pasar Modal dan pasar uang.
BAB II
PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK
PERSEROAN
Pasal 2
Anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan paling
kurang memuat hal sebagai berikut:
a. nama dan tempat kedudukan perseroan;
b.
c.
jenis saham yang diterbitkan;
jangka waktu pendirian;
- 3 -
d. maksud dan tujuan perseroan hanya sebagai Reksa Dana
Berbentuk Perseroan;
e. modal disetor paling sedikit 1% (satu persen) dari modal
dasar;
f.
tugas dan wewenang direksi Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
g. kuorum, hak suara dan keputusan;
h. direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib bertindak
sebaik-baiknya untuk kepentingan pemegang saham
Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
i. pembubaran dan likuidasi;
j. keputusan dapat diambil berdasarkan persetujuan
sebagian besar anggota direksi Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
k. dalam hal Manajer Investasi dan/atau anggota direksi
Reksa Dana Berbentuk
Perseroan melakukan
pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal, peraturan pelaksanaannya,
kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan
dan/atau anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk
Perseroan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
membekukan kegiatan usaha Reksa Dana Berbentuk
Perseroan, mengamankan kekayaan, dan menunjuk
Manajer Investasi lain untuk mengelola kekayaan Reksa
Dana Berbentuk Perseroan, atau mencabut izin usaha
Reksa Dana Berbentuk Perseroan dimaksud;
l. anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan
mempunyai kedudukan yang sederajat;
m. pengeluaran saham baru, pembelian kembali
(pelunasan), dan pengalihan saham bagi Reksa Dana
terbuka Berbentuk Perseroan dapat dilakukan tanpa
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham;
n. Reksa Dana Berbentuk Perseroan tidak wajib membuat
dana cadangan; dan
o. dalam hal Reksa Dana Berbentuk Perseroan membentuk
dana cadangan, besarnya dana cadangan wajib mendapat
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
- 4 -
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 3
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 4
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 5 -
Pasal 5
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: Kep-18/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Pedoman Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan
beserta
Peraturan Nomor IV.A.2 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 6 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 269
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 40 /POJK.04/2016
TENTANG
PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk
Perseroan, yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor:
Kep-18/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Anggaran
Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.2
yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Pedoman Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5965
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 40/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-18/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-18/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.2' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 58 /POJK.04/2017
TENTANG
PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU PENGAJUAN AKSI
KORPORASI SECARA ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas layanan
kepada pemangku kepentingan di bidang pasar modal,
Otoritas Jasa Keuangan perlu memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi;
b. bahwa untuk efisiensi dan transparansi perizinan oleh
Otoritas Jasa Keuangan termasuk layanan penyampaian
pernyataan pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi,
perlu diselenggarakan suatu sistem penyampaian
pernyataan pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi
secara elektronik;
c. bahwa untuk memberikan landasan dan kepastian
hukum kepada pemangku kepentingan di bidang pasar
modal dalam penyelenggaraan suatu sistem penerimaan
dokumen secara elektronik, diperlukan pengaturan
terkait penyampaian dokumen secara elektronik;
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau Pengajuan
Aksi Korporasi Secara Elektronik;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU
PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh emiten
dalam rangka penawaran umum atau perusahaan publik.
2. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
3. Emiten adalah Pihak yang melakukan penawaran umum.
4. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
- 3 -
5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
6. Perusahaan Publik adalah Perseroan yang sahamnya
telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus)
pemegang saham dan memiliki modal disetor paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau
suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang
ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah.
7. Pernyataan Penggabungan Usaha adalah dokumen yang
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh
perusahaan terbuka dalam rangka penggabungan usaha.
8. Pernyataan Peleburan Usaha adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh
perusahaan terbuka dalam rangka peleburan usaha.
9. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela adalah dokumen
yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
oleh Pihak yang melakukan penawaran tender sukarela.
10. Penawaran Tender Wajib adalah penawaran untuk
membeli sisa saham perusahaan terbuka yang wajib
dilakukan oleh pengendali baru.
11. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya
disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham
yang memberikan kesempatan pemegang saham yang
bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek
bersifat ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan
menjadi saham atau yang memberikan hak untuk
membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain.
12. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan
dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar Pihak lain
membeli Efek.
- 4 -
BAB II
PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU
PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK DAN
PENYIMPANAN DOKUMEN
Pasal 2
(1) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan
aksi korporasi kepada Otoritas Jasa Keuangan harus
dilakukan secara elektronik melalui sistem perizinan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran
Umum Efek bersifat ekuitas, Penawaran Umum Efek
bersifat utang dan/atau sukuk, dan Penawaran
Umum berkelanjutan Efek bersifat utang dan/atau
sukuk;
b. Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik; dan
c. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan
modal dengan memberikan HMETD.
(3) Pengajuan aksi korporasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Pernyataan Penggabungan Usaha;
b. Pernyataan Peleburan Usaha;
c. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela; dan
d. Penawaran Tender Wajib.
Pasal 3
(1) Pihak yang menyampaikan Pernyataan Pendaftaran atau
mengajukan
aksi korporasi secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib
menyimpan tanda bukti penerimaan penyampaian
Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi
secara elektronik beserta seluruh dokumen yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan
aksi korporasi.
- 5 -
(2) Jangka waktu penyimpanan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan
Undang-Undang mengenai dokumen perusahaan.
(3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menunjukkan dan/atau menyampaikan tanda bukti dan
seluruh dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 4
(1) Seluruh dokumen yang disampaikan secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tersimpan
dalam pangkalan data (database) Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan dokumen yang tersimpan
dalam pangkalan data (database) Otoritas Jasa Keuangan
dengan dokumen yang disimpan oleh Pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dokumen yang
digunakan sebagai acuan adalah dokumen yang
tersimpan dalam pangkalan data (database) Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB III
TATA CARA PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN
ATAU PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Tata Cara Mendapatkan Hak Akses
Pasal 5
(1) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan
aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan hak
akses penggunaan sistem perizinan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Hak akses penggunaan sistem perizinan Otoritas Jasa
Keuangan dapat diperoleh oleh Pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) setelah melakukan
registrasi melalui sistem perizinan Otoritas Jasa
Keuangan.
- 6 -
(3) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
wajib bertanggung jawab atas:
a. penggunaan hak akses yang dimilikinya; dan/atau
b. kebenaran dokumen, data, dan/atau informasi yang
disampaikan melalui sistem perizinan Otoritas Jasa
Keuangan.
Bagian Kedua
Tata Cara Mengunggah Dokumen
Pasal 6
(1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
harus:
a. menyediakan perangkat keras, perangkat lunak, dan
jaringan internet yang memadai dengan spesifikasi
komputer dan aplikasi sesuai dengan petunjuk
operasional untuk menggunakan sistem perizinan
Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. membaca dan mematuhi prosedur dan tata cara
penggunaan sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan
dengan berpedoman pada petunjuk operasional.
(2) Petunjuk operasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dapat diunduh melalui situs web Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 7
(1) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan
aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) serta tambahan informasi dan/atau dokumen
dilakukan dengan mengunggah seluruh dokumen
Pernyataan Pendaftaran atau dokumen pengajuan aksi
korporasi melalui sistem perizinan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan
aksi korporasi serta tambahan informasi dan/atau
dokumen yang diunggah melalui sistem perizinan
- 7 -
Otoritas Jasa Keuangan setelah pukul 17.00 WIB
dianggap diterima Otoritas Jasa Keuangan pada hari
kerja berikutnya.
(3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan tanda bukti
penerimaan secara elektronik setelah Pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) mengunggah:
a. dokumen penyampaian Pernyataan Pendaftaran
atau pengajuan aksi korporasi; atau
b. tambahan informasi dan/atau dokumen
penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau
pengajuan aksi korporasi,
melalui sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Tanda bukti penerimaan secara elektronik diterbitkan
oleh sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan setelah
Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
menyampaikan seluruh dokumen
Pernyataan
Pendaftaran atau dokumen pengajuan aksi korporasi.
Bagian Ketiga
Gangguan Sistem
Pasal 8
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa sistem
perizinan Otoritas Jasa Keuangan mengalami gangguan
sehingga tidak dapat digunakan, penyampaian Pernyataan
Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi dilakukan secara
manual.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 9
Kewajiban penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau
pengajuan aksi korporasi secara elektronik tidak
menghapuskan kewajiban penyampaian Prospektus yang
telah tergabung dengan suplemennya dalam bentuk tercetak
- 8 -
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebanyak 5 (lima) eksemplar,
dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah
selesainya penyerahan Efek kepada pembeli Efek sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal mengenai tata cara pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 10
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap Pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk Pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
- 9 -
Pasal 11
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap Pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 12
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 kepada masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
Bagi Pihak yang akan melakukan Pernyataan Pendaftaran
atau aksi korporasi dan telah menyampaikan dokumen
Pernyataan Pendaftaran atau dokumen aksi korporasi dalam
bentuk naskah tercetak kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
penyampaian dokumen tambahan informasi terkait
Pernyataan Pendaftaran atau aksi korporasi dimaksud
dilakukan melalui penyampaian naskah tercetak.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
(1) Ketentuan penyampaian Pernyataan Pendaftaran kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf a mulai berlaku setelah 6 (enam)
bulan terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini diundangkan.
(2) Pada saat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mulai berlaku, kewajiban penyampaian naskah
tercetak sebagaimana dimaksud pada angka 6 Peraturan
- 10 -
Nomor IX.A.1, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
Kep-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang
Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran
untuk penyampaian Pernyataan Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pihak yang akan
menyampaikan Pernyataan Pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat
menyampaikan Pernyataan Pendaftaran secara
elektronik.
(2) Dalam hal Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran secara
elektronik, Pihak tersebut tidak wajib menyampaikan
dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam bentuk naskah
tercetak.
Pasal 16
(1) Pemberlakuan ketentuan penyampaian Pernyataan
Pendaftaran Perusahaan Publik dan Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan
memberikan HMETD secara elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan huruf c
serta pengajuan aksi korporasi secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pada saat pemberlakuan oleh Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban
penyampaian naskah tercetak sebagaimana dimaksud
dalam:
a. angka 6 Peraturan Nomor IX.A.1, lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
- 11 -
Nomor Kep-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011
tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan
Pendaftaran; dan
b. Pasal 11 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 74/POJK.04/2016 tentang Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Terbuka,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Desember 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
WIMBOH SANTOSO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Desember 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 251
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 58 /POJK.04/2017
TENTANG
PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU PENGAJUAN AKSI
KORPORASI SECARA ELEKTRONIK
I. UMUM
Proses penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, Penawaran Umum Efek bersifat
utang dan/atau sukuk, dan Penawaran Umum berkelanjutan Efek
bersifat utang dan/atau sukuk, Pernyataan Pendaftaran Perusahaan
Publik, dan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal
dengan memberikan HMETD serta pengajuan aksi korporasi yang meliputi
Pernyataan Penggabungan Usaha, Pernyataan Peleburan Usaha,
Pernyataan Penawaran Tender Sukarela, dan Penawaran Tender Wajib
masih dilakukan secara manual dengan menyampaikan dokumen dalam
bentuk naskah tercetak dan salinan elektronik. Proses yang selama ini
berjalan masih dapat ditingkatkan efektifitas dan efisiensinya dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Hal tersebut dapat menjadi dasar untuk memanfaatkan sistem
informasi yang berbasis internet yaitu melalui sistem perizinan Otoritas
Jasa Keuangan. Pihak pendaftar melakukan pengajuan Pernyataan
Pendaftaran atau aksi korporasi secara elektronik dengan cara
mengunggah seluruh dokumen persyaratan pengajuan Pernyataan
Pendaftaran atau aksi korporasi melalui sistem perizinan Otoritas Jasa
-2-
Keuangan dan tidak lagi diwajibkan menyampaikan dokumen dalam
bentuk naskah tercetak dan salinan elektronik.
Dengan penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi
korporasi secara elektronik melalui sistem perizinan Otoritas Jasa
Keuangan, diharapkan dapat mempermudah proses pendaftaran,
meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan, memberikan transparansi
bagi Pihak untuk dapat mengikuti proses pendaftaran yang sedang dalam
proses, dan memberikan akses kepada publik dengan tersedianya
Prospektus secara elektronik.
Dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan tersebut di atas dan
dalam rangka memberikan kemudahan bagi Pihak yang akan
menyampaikan Pernyataan Pendaftaran atau mengajukan aksi korporasi,
maka Otoritas Jasa Keuangan perlu menetapkan peraturan mengenai
penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi
secara elektronik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Dokumen yang wajib disimpan oleh Pihak sebagaimana
dimaksud meliputi antara lain:
a. seluruh dokumen Pernyataan Pendaftaran, dokumen
pengajuan aksi korporasi, serta dokumen pendukungnya;
dan
b. Prospektus yang dipersyaratkan sebagai bagian Pernyataan
Pendaftaran bagi masyarakat atau calon pembeli.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau
pengajuan aksi korporasi” termasuk penyampaian tambahan
informasi dan/atau dokumen yang tidak dapat disampaikan secara
elektronik.
Yang dimaksud dengan “menyampaikan secara manual” yaitu
menyampaikan dokumen Pernyataan Pendaftaran atau dokumen
pengajuan aksi korporasi dalam bentuk dokumen elektronik yang
dilakukan dengan cara antara lain:
1. diserahkan langsung ke kantor Otoritas Jasa Keuangan; atau
2. dikirim melalui surat elektronik.
Tanda bukti penyampaian yang diserahkan langsung ke kantor
Otoritas Jasa Keuangan berupa surat tanda terima dari Otoritas Jasa
Keuangan.
Tanda bukti penyampaian yang dikirim melalui surat elektronik
berupa pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan melalui surat
elektronik.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan memberikan HMETD Perusahaan
Terbuka.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6145
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 58/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK </reg_title>
<set_date> 6 Desember 2017 </set_date>
<effective_date> 8 Desember 2017 </effective_date>
<issued_date> 8 Desember 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '74/POJK.04/2016 | Pasal 11 Ayat (1)', 'Kep-690/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM/2011 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.1 angka 6' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 74 /POJK.04/2016
TENTANG
PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA
PERUSAHAAN TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka menyederhanakan ketentuan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dan
meningkatkan kualitas keterbukaan informasi dalam
rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, perlu
untuk menyempurnakan peraturan mengenai Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten
dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
Perusahaan Terbuka;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA
PERUSAHAAN TERBUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah
melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau
Perusahaan Publik.
2. Penggabungan Usaha adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh 1 (satu) perusahaan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perusahaan lain yang telah
ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan ekuitas dari
perusahaan yang menggabungkan diri beralih karena
hukum kepada perusahaan yang menerima
penggabungan dan selanjutnya status badan hukum
perusahaan yang menggabungkan diri berakhir karena
hukum.
3. Peleburan Usaha adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh 2 (dua) perusahaan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu)
perusahaan baru yang karena hukum memperoleh aset,
liabilitas, dan ekuitas dari perusahaan yang meleburkan
diri dan status badan hukum perusahaan yang
meleburkan diri berakhir karena hukum.
4. Pernyataan Penggabungan Usaha adalah dokumen yang
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh
Perusahaan Terbuka dalam rangka Penggabungan
Usaha.
5. Pernyataan Peleburan Usaha adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh
Perusahaan Terbuka dalam rangka Peleburan Usaha.
- 3 -
6. Rapat Umum Pemegang Saham adalah organ Perusahaan
Terbuka yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada direksi atau dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau
anggaran dasar Perusahaan Terbuka.
7. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak-
Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di
antara mereka.
8. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang laporan
keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan
Perusahaan Terbuka.
9.
Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya
menjalankan kegiatan penilaian di Pasar Modal dan
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
10. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh
izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan mengenai akuntan
publik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
11. Konsultan Hukum adalah ahli hukum yang memberikan
pendapat hukum kepada pihak lain dan terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan.
12. Kegiatan Usaha Utama adalah kegiatan usaha sesuai
dengan yang tercantum dalam anggaran dasar
Perusahaan Terbuka dan telah dijalankan.
13. Pengendali adalah pihak yang memiliki saham lebih dari
50% (lima puluh persen) dari seluruh saham yang disetor
penuh, atau pihak yang mempunyai kemampuan untuk
menentukan, baik langsung maupun tidak langsung,
dengan cara apapun pengelolaan dan/atau
kebijaksanaan Perusahaan Terbuka.
14. Situs Web adalah kumpulan halaman web yang memuat
informasi atau data yang dapat diakses melalui suatu
sistem jaringan internet.
- 4 -
Pasal 2
(1) Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha hanya dapat
dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas yang berkaitan dengan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, sepanjang
tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, tetap berlaku bagi perusahaan.
BAB II
TATA CARA
PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA
Bagian Kesatu
Rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
Pasal 3
(1) Direksi masing-masing perusahaan yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha secara
bersama-sama wajib menyusun rancangan Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha.
(2) Rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh
masing-masing dewan komisaris perusahaan.
Pasal 4
(1) Rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 paling sedikit
memuat informasi:
a. nama, tempat kedudukan, kegiatan usaha, struktur
permodalan dan pemegang saham, serta pengurusan
dan pengawasan masing-masing perusahaan yang
akan melakukan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha;
b. nama dan tempat kedudukan perusahaan hasil
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha;
- 5 -
c. susunan anggota direksi dan anggota dewan
komisaris perusahaan hasil Penggabungan Usaha
atau Peleburan Usaha;
d. jadwal rencana Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha;
e. alasan serta penjelasan dilakukannya Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha dari masing-masing
perusahaan yang akan melakukan Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha;
f.
tata cara konversi saham dari masing-masing
perusahaan yang akan melakukan Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha terhadap saham
perusahaan hasil Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha;
g. rancangan perubahan anggaran dasar perusahaan
hasil Penggabungan Usaha (jika ada) atau rancangan
akta pendirian perusahaan baru hasil Peleburan
Usaha;
h. ikhtisar data keuangan penting yang bersumber dari
laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik dari masing-masing perusahaan yang akan
melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha, dengan ketentuan:
1. dalam hal perusahaan yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
merupakan Perusahaan Terbuka, meliputi
2 (dua) tahun terakhir; atau
2. dalam hal perusahaan yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
bukan merupakan Perusahaan Terbuka,
meliputi 3 (tiga) tahun terakhir.
i. dalam hal terdapat data keuangan periode interim,
pengungkapan disajikan dengan perbandingan
periode interim yang sama dari tahun buku
sebelumnya (tidak harus diaudit), kecuali untuk
laporan posisi keuangan;
- 6 -
j.
informasi keuangan proforma perusahaan hasil
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang
diperiksa oleh Akuntan Publik;
k. ringkasan laporan Penilai mengenai penilaian saham
masing-masing perusahaan yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang
paling sedikit meliputi:
1. identitas pihak;
2. objek penilaian;
3. tujuan penilaian;
4. asumsi-asumsi dan kondisi pembatas;
5. pendekatan penilaian dan metode penilaian; dan
6. kesimpulan nilai;
l.
ringkasan laporan Penilai mengenai pendapat
kewajaran atas Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha;
m. hasil penilaian tenaga ahli mengenai aspek tertentu
dari Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
(jika diperlukan);
n. pendapat Konsultan Hukum mengenai aspek hukum
dari Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha;
o. cara penyelesaian status karyawan perusahaan yang
akan melakukan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha;
p. cara penyelesaian hak dan kewajiban perusahaan
yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha terhadap pihak ketiga;
q. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak
setuju terhadap Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha; dan
r.
penjelasan mengenai manfaat, risiko yang mungkin
timbul akibat Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha beserta mitigasi atas risiko tersebut, dan
rencana bisnis ke depan.
(2) Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
dilakukan oleh Perusahaan Terbuka dengan Perusahaan
Anak yang pada saat penyampaian Pernyataan
- 7 -
Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha
kepada Otoritas Jasa Keuangan:
a. laporan keuangan Perusahaan Anak tersebut telah
dikonsolidasikan
dengan
laporan
keuangan
Perusahaan Terbuka yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik; dan
b. Perusahaan Anak tersebut dimiliki secara langsung
oleh Perusahaan Terbuka sebanyak 100% (seratus
persen),
rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
tidak wajib memuat informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f, huruf j, huruf k, dan huruf l.
Pasal 5
Direksi Perusahaan Terbuka yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib membuat
pernyataan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Rapat Umum
Pemegang Saham bahwa Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha dilakukan dengan memperhatikan kepentingan
perusahaan, masyarakat dan persaingan sehat dalam
melakukan usaha, serta ada jaminan tetap terpenuhinya hak
pemegang saham dan karyawan.
Pasal 6
(1) Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 akan
mengakibatkan perubahan yang material terhadap sifat,
kondisi keuangan, atau hal lain yang mempengaruhi
Perusahaan Terbuka hasil Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha, keseluruhan akibat dari perubahan
tersebut harus dimuat dalam rancangan Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).
(2) Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
mengakibatkan perubahan Kegiatan Usaha Utama
Perusahaan Terbuka,
selain memuat informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), rancangan
- 8 -
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib juga
memuat:
a. ringkasan tentang studi kelayakan perubahan
Kegiatan Usaha Utama, paling sedikit meliputi:
1. maksud dan tujuan;
2. asumsi-asumsi dan kondisi pembatas; dan
3. pendapat atas kelayakan perubahan Kegiatan
Usaha Utama;
b. ketersediaan
c.
tenaga
ahli
berkaitan dengan
perubahan Kegiatan Usaha Utama;
penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya
perubahan Kegiatan Usaha Utama; dan
d. penjelasan tentang pengaruh perubahan Kegiatan
Usaha Utama pada kondisi keuangan Perusahaan
Terbuka.
Pasal 7
Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha akan
mengakibatkan adanya Pengendali baru Perusahaan Terbuka,
selain memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), rancangan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha wajib juga memuat:
a. keterangan mengenai calon Pengendali Perusahaan
Terbuka, paling sedikit meliputi:
1. dalam hal calon Pengendali Perusahaan Terbuka
adalah orang perseorangan, wajib diungkapkan
informasi tentang nama, alamat, dan hubungan
afiliasinya dengan Perusahaan Terbuka (jika ada);
atau
2. dalam hal calon Pengendali Perusahaan Terbuka
adalah pihak lain selain orang perseorangan, wajib
diungkapkan informasi tentang:
a) nama;
b) alamat domisili atau kantor pusat;
c) bidang usaha;
d) status badan hukum;
e) susunan pengurus dan pengawas;
- 9 -
f)
g)
struktur permodalan atau informasi yang setara;
ikhtisar data keuangan;
h) penerima manfaat dari calon Pengendali (jika
ada); dan
i)
sifat hubungan afiliasi dengan Perusahaan
Terbuka (jika ada).
b. informasi singkat mengenai analisis dan pembahasan
manajemen tentang perusahaan yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, yang paling
sedikit memuat:
1.
2.
analisis kinerja keuangan komprehensif yang
mencakup perbandingan kinerja keuangan dalam
2 (dua) tahun terakhir;
likuiditas keuangan;
3. sumber dan jumlah arus kas dari aktivitas operasi,
investasi, dan pendanaan serta pola arus kas
dikaitkan dengan karakteristik dan siklus bisnis
Perusahaan Terbuka;
4. komponen penting dari pendapatan atau beban
lainnya yang dianggap perlu dalam rangka
mengetahui hasil usaha; dan
5. komitmen investasi barang modal yang material.
Bagian Kedua
Keterbukaan Informasi Kepada Masyarakat
Pasal 8
(1) Perusahaan Terbuka yang melakukan Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha wajib mengumumkan
ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha kepada masyarakat paling lambat pada
akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diperolehnya
persetujuan dewan komisaris dan 30 (tiga puluh) hari
sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. informasi bahwa rancangan Penggabungan Usaha
- 10 -
atau Peleburan Usaha tersebut belum mendapatkan
pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan dan
belum memperoleh persetujuan Rapat Umum
Pemegang Saham; dan
b. ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1).
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan paling sedikit melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
berperedaran nasional atau Situs Web Bursa Efek;
dan
b. Situs Web Perusahaan Terbuka.
(4) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud.
Pasal 9
Rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib tersedia
bagi para pemegang saham sejak tanggal pengumuman
ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha.
Bagian Ketiga
Keterbukaan Informasi Kepada Karyawan
Pasal 10
Perusahaan Terbuka yang melakukan Penggabungan Usaha
atau Peleburan Usaha wajib mengumumkan secara tertulis
kepada karyawan dari perusahaan yang melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha bersamaan
dengan pengumuman ringkasan rancangan Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1).
- 11 -
Bagian Keempat
Penyampaian Pernyataan Penggabungan Usaha atau
Pernyataan Peleburan Usaha
Pasal 11
(1) Perusahaan Terbuka wajib menyampaikan Pernyataan
Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha
yang memuat rancangan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha beserta dokumen pendukungnya kepada
Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk:
a. dokumen cetak dalam rangkap 2 (dua), 1 (satu) di
antaranya dalam bentuk asli; dan
b. salinan dokumen elektronik.
(2) Penyampaian Pernyataan Penggabungan Usaha atau
Pernyataan Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada akhir hari
kerja ke-2 (kedua) setelah diperolehnya persetujuan
dewan komisaris.
(3) Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan
Peleburan Usaha yang disampaikan dalam bentuk salinan
dokumen elektronik wajib memuat informasi yang sama
dengan informasi dalam Pernyataan Penggabungan Usaha
atau Pernyataan Peleburan Usaha yang disampaikan
dalam bentuk dokumen cetak.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan informasi yang disajikan
dalam salinan dokumen elektronik dengan yang disajikan
dalam dokumen cetak sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah
informasi dalam Pernyataan Penggabungan Usaha atau
Pernyataan Peleburan Usaha yang disampaikan dalam
bentuk dokumen cetak dalam bentuk asli.
(5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik dari masing-masing perusahaan yang akan
melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha, dengan ketentuan:
- 12 -
1. dalam hal perusahaan yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
merupakan Perusahaan Terbuka, meliputi 2
(dua) tahun terakhir, dengan memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a)
jangka waktu tanggal laporan keuangan
tahunan
terakhir
dan
efektifnya
Pernyataan Penggabungan Usaha atau
Pernyataan Peleburan Usaha tidak lebih
dari 6 (enam) bulan; dan
b) dalam hal jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam huruf a) lebih dari 6
(enam) bulan, laporan keuangan tersebut
harus dilengkapi dengan laporan keuangan
interim yang diaudit Akuntan Publik
dengan ketentuan tanggal
keuangan
interim dengan
efektifnya Pernyataan
Penggabungan
Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha
tidak lebih dari 6 (enam) bulan;
2. dalam hal perusahaan yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
bukan merupakan Perusahaan Terbuka,
meliputi 3 (tiga) tahun terakhir;
b. pendapat mengenai aspek hukum Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha;
c. informasi keuangan proforma perusahaan hasil
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang
diperiksa oleh Akuntan Publik;
d. laporan penilaian saham;
e. laporan pendapat kewajaran atas Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha;
f.
surat pernyataan direksi Perusahaan Terbuka bahwa
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
dilakukan dengan memperhatikan kepentingan
perusahaan, masyarakat dan persaingan sehat
dalam melakukan usaha, serta ada jaminan tetap
laporan
tanggal
- 13 -
terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan;
g. persetujuan dewan komisaris masing-masing
perusahaan mengenai rancangan Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha;
h. rancangan perubahan anggaran dasar perusahaan
hasil Penggabungan Usaha (jika ada) atau rancangan
akta pendirian perusahaan baru hasil Peleburan
Usaha; dan
i.
laporan penilaian tenaga ahli (jika ada).
(6) Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
dilakukan oleh Perusahaan Terbuka dengan Perusahaan
Anak yang pada saat penyampaian Pernyataan
Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha
kepada Otoritas Jasa Keuangan:
a. laporan keuangan Perusahaan Anak tersebut telah
dikonsolidasikan
dengan
laporan
keuangan
Perusahaan Terbuka yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik; dan
b. Perusahaan Anak tersebut dimiliki secara langsung
oleh Perusahaan Terbuka sebanyak 100% (seratus
persen),
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf c, huruf d, dan huruf e tidak wajib
disampaikan.
Pasal 12
Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
dilakukan antar Perusahaan Terbuka, Perusahaan Terbuka:
a. tidak wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan,
apabila laporan keuangan tahunan terakhir yang telah
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan berumur
kurang dari 6 (enam) bulan pada saat Pernyataan
Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha
menjadi efektif; atau
b. wajib menyampaikan laporan keuangan interim yang
telah diaudit Akuntan Publik, apabila laporan keuangan
tahunan terakhir yang telah disampaikan kepada Otoritas
- 14 -
Jasa Keuangan akan berumur lebih dari 6 (enam) bulan
pada saat Pernyataan Penggabungan Usaha atau
Pernyataan Peleburan Usaha menjadi efektif, dengan
ketentuan jangka waktu antara tanggal laporan keuangan
interim
dimaksud
dan
efektifnya
Pernyataan
Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha
tidak lebih dari 6 (enam) bulan.
Pasal 13
(1) Dalam hal Penggabungan Usaha dilakukan antar
Perusahaan
Terbuka,
penyampaian
Pernyataan
Penggabungan Usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan
oleh Perusahaan Terbuka yang menerima Penggabungan
Usaha.
(2) Dalam hal Peleburan Usaha dilakukan antar Perusahaan
Terbuka, penyampaian Pernyataan Peleburan Usaha
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan oleh salah satu
Perusahaan Terbuka yang melakukan Peleburan Usaha.
Bagian Kelima
Permintaan Perubahan dan/atau Tambahan Informasi
Pasal 14
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan
dan/atau tambahan informasi untuk tujuan penelaahan
atau pengungkapan kepada masyarakat.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan meminta perubahan
dan/atau tambahan informasi
atas Pernyataan
Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha
dan dokumen pendukungnya, Pernyataan Penggabungan
Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha tersebut
dianggap telah disampaikan kembali pada tanggal
perubahan dimaksud disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Perusahaan Terbuka harus menyampaikan perubahan
dan/atau tambahan informasi
atas Pernyataan
- 15 -
Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya
permintaan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Perusahaan Terbuka belum dapat
menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi
dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan hal tersebut
dalam Situs Web Perusahaan Terbuka pada hari kerja
pertama sejak lewatnya jangka waktu tersebut.
(5) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak meminta
perubahan dan/atau tambahan informasi dalam jangka
waktu 20 (dua puluh) hari setelah penyampaian
Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan
Peleburan Usaha atau perubahan dan/atau tambahan
informasi terakhir dari Pernyataan Penggabungan Usaha
atau Pernyataan Peleburan Usaha kepada Otoritas Jasa
Keuangan, Pernyataan Penggabungan Usaha atau
Pernyataan Peleburan Usaha dianggap telah disampaikan
secara lengkap dan memenuhi persyaratan serta prosedur
yang ditetapkan.
Pasal 15
(1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan perubahan
dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) paling lambat 2 (dua) hari kerja
sebelum Rapat Umum Pemegang Saham dalam rangka
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan paling sedikit melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
berperedaran nasional atau Situs Web Bursa Efek;
dan
b. Situs Web Perusahaan Terbuka.
- 16 -
Bagian Keenam
Efektifnya Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan
Peleburan Usaha
Pasal 16
Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan
Usaha dapat menjadi efektif dengan memperhatikan ketentuan
sebagai berikut:
a. atas dasar lewatnya waktu, yakni:
1. 20 (dua puluh) hari sejak tanggal Pernyataan
Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan
Usaha diterima Otoritas Jasa Keuangan secara
lengkap; atau
2. 20 (dua puluh) hari sejak tanggal perubahan terakhir
yang disampaikan Perusahaan Terbuka atau yang
diminta Otoritas Jasa Keuangan dipenuhi; atau
b. atas dasar pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada lagi perubahan dan/atau tambahan
informasi lebih lanjut yang diperlukan.
BAB III
PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
DALAM RANGKA PENGGABUNGAN USAHA ATAU
PELEBURAN USAHA
Pasal 17
(1) Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib
memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham
Perusahaan Terbuka.
(2) Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
setelah Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan
Peleburan Usaha menjadi efektif.
Pasal 18
Rencana dan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
Perusahaan Terbuka dalam rangka Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
- 17 -
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
Perusahaan Terbuka.
Pasal 19
Perusahaan Terbuka dapat melakukan pengumuman Rapat
Umum Pemegang Saham dalam rangka Penggabungan Usaha
atau Peleburan Usaha bersamaan dengan pengumuman
ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 20
Dalam hal terdapat benturan kepentingan dalam suatu
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, Rapat Umum
Pemegang Saham wajib memenuhi ketentuan Rapat Umum
Pemegang Saham untuk transaksi yang mengandung benturan
kepentingan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai transaksi afiliasi dan benturan kepentingan
transaksi tertentu.
Pasal 21
Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham tidak menyetujui
rencana Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha,
Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan
Usaha baru dapat diajukan kembali kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling singkat 12 (dua belas) bulan setelah
pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham tersebut.
BAB IV
LAPORAN PELAKSANAAN
PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA
Pasal 22
Perusahaan hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
mengenai hasil pelaksanaan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha, paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah
tanggal efektifnya Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha.
- 18 -
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 23
(1) Perusahaan
Terbuka
yang
akan
melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dapat
mengumumkan keterbukaan informasi mengenai rencana
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebelum
mengumumkan ringkasan rancangan Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1).
(2) Dalam hal Perusahaan Terbuka yang akan melakukan
Penggabungan
Usaha
Usaha
atau
atau
Peleburan
Peleburan
Usaha
mengumumkan keterbukaan informasi mengenai rencana
Penggabungan
Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap informasi
mengenai perkembangan rencana Penggabungan Usaha
atau Peleburan Usaha wajib diumumkan.
(3) Dalam hal informasi mengenai rencana Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha telah diketahui pihak lain
selain orang dalam, Perusahaan Terbuka yang akan
melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
wajib menyampaikan laporan informasi atau fakta
material kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
mengumumkan kepada masyarakat sesuai dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Keterbukaan
atas Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau
Perusahaan Publik.
(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) wajib dilakukan paling sedikit melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
berperedaran nasional atau Situs Web Bursa Efek;
dan
b. Situs Web Perusahaan Terbuka.
- 19 -
Pasal 24
Dalam hal saham Perusahaan Terbuka yang melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha tercatat di Bursa
Efek, Perusahaan Terbuka tersebut wajib mengikuti peraturan
Bursa Efek di mana saham Perusahaan Terbuka tersebut
dicatatkan.
Pasal 25
Penambahan modal dalam rangka Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan
Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 26
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi
administratif berupa peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
tertulis
- 20 -
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 27
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 28
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
Bagi Perusahaan Terbuka yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha oleh Perusahaan
Terbuka dimaksud tetap mengikuti ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Nomor IX.G.1, lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1997
tanggal 26 Desember 1997 tentang Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten, sepanjang
telah menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan:
a. mata acara Rapat Umum Pemegang Saham dalam rangka
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; atau
b. Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan
Peleburan Usaha,
mana yang lebih dahulu.
- 21 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan
Publik atau Emiten, beserta Peraturan Nomor IX.G.1 yang
merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 31
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 307
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 74 /POJK.04/2016
TENTANG
PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA
PERUSAHAAN TERBUKA
I. UMUM
Dalam era pasar global saat ini, persaingan dalam dunia usaha
semakin ketat. Perusahaan-perusahaan saling berlomba mengembangkan
strateginya agar dapat terus berkembang. Salah satu upaya yang
dilakukan antara lain meningkatkan efisiensi kegiatan usaha, menambah
kapasitas produksi, dan meningkatkan sinergi antar business line dalam
kelompok usaha. Peningkatan efisiensi yang diharapkan dapat diperoleh
melalui Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha antara lain berupa
penyederhanaan struktur kepemilikan, organisasi, operasional, dan
produksi. Di Pasar Modal, pelaksanaan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha oleh Perusahaan Terbuka dilakukan dengan tujuan
untuk mengembangkan kegiatan usaha atau business line.
Saat ini, ketentuan mengenai Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha oleh Perusahaan Terbuka telah diatur dalam Peraturan Nomor
IX.G.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor:
Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten. Secara
umum, ketentuan dalam Peraturan Nomor IX.G.1 tersebut sudah cukup
lengkap mengatur persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi serta
keterbukaan informasi yang harus disampaikan kepada masyarakat.
Namun demikian, pengaturan mengenai Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha yang berlaku saat ini masih perlu
- 2 -
disempurnakan. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tujuan
untuk melindungi investor khususnya pemegang saham publik, menjaga
terselenggaranya Pasar Modal secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, dan memberikan kemudahan bagi Perusahaan Terbuka yang
akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dengan
kondisi dan persyaratan tertentu serta meningkatkan kualitas
keterbukaan informasi dalam rancangan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha.
Adapun penyempurnaan terhadap peraturan mengenai
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang berlaku sebelumnya
dilakukan dengan menambahkan ketentuan baru dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, yaitu antara lain:
a. penyederhanaan keterbukaan informasi dalam hal Penggabungan
Usaha atau Peleburan Usaha dilakukan antara perusahaan induk
dengan anak perusahaan yang dimiliki 100% (seratus persen); dan
b. peningkatan kualitas keterbukaan informasi dan perlindungan
kepada pemegang saham, dengan menambahkan keterbukaan
informasi dalam rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha, antara lain terkait:
1.
kegiatan usaha, struktur permodalan dan pemegang saham,
serta pengurusan dan pengawasan;
2.
ringkasan hasil penilaian Penilai atas nilai saham dan pendapat
Penilai atas kewajaran atas Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha;
3. rencana bisnis ke depan pasca Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha;
4. menambahkan tambahan informasi atas calon Pengendali baru;
dan
5.
informasi mengenai analisis dan pembahasan manajemen
tentang perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha
atau Peleburan Usaha.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengubah peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha
Perusahaan Publik atau Emiten, yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau
- 3 -
Emiten, beserta Peraturan Nomor IX.G.1 yang merupakan lampirannya,
dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Terbuka.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persetujuan dewan komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat ini dapat ditandatangani oleh:
a. komisaris utama; atau
b. 1 (satu) atau lebih anggota dewan komisaris yang mewakili
perusahaan sebagaimana diatur dalam anggaran dasar.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “alasan serta penjelasan” adalah
penjelasan antara lain dari sisi pengembangan bisnis
masing-masing perusahaan dan keberlanjutan usaha
Perusahaan Terbuka serta alasan memilih melakukan
- 4 -
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, bukan aksi
korporasi lain.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “tenaga ahli” adalah pihak yang
berkompeten dalam bidang tertentu. Contohnya adalah
tenaga ahli pertambangan yang memberikan penilaian atas
aset perusahaan yang bergerak di bidang usaha
pertambangan.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kepemilikan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud
- 5 -
dalam huruf ini dengan memperhatikan ketentuan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pasal 5
Pernyataan direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dapat
ditandatangani oleh:
a. direktur utama; atau
b. 1 (satu) atau lebih anggota direksi yang mewakili perusahaan
sebagaimana diatur dalam anggaran dasar.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perubahan yang material terhadap sifat
Perusahaan Terbuka hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha” antara lain perubahan Kegiatan Usaha Utama
Perusahaan Terbuka.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “afiliasi” adalah afiliasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal.
Angka 2
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Cukup jelas.
Huruf e)
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
Cukup jelas.
Huruf h)
Dalam praktiknya “penerima manfaat” dimaksud
dikenal juga dengan sebutan beneficial owner.
Huruf i)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha yang diumumkan, dilakukan tanpa mengurangi
substansi dalam rancangan Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bukti pengumuman dalam Situs Web Bursa Efek disampaikan
Perusahaan Terbuka kepada Otoritas Jasa Keuangan berupa
print screen.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dalam bentuk asli” adalah
dokumen cetak yang ditandatangani dengan menggunakan
alat tulis, atau secara umum dikenal dengan tanda tangan
basah.
Huruf b
Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam
huruf ini antara lain dapat disampaikan dengan
menggunakan media digital cakram padat (compact disc),
flashdisk, atau lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kepemilikan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud
dalam huruf ini dengan memperhatikan ketentuan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Penyampaian Pernyataan Penggabungan Usaha oleh Perusahaan
Terbuka yang menerima Penggabungan Usaha tidak
menghilangkan kewajiban pemenuhan ketentuan dari masing-
masing perusahaan yang melakukan Penggabungan Usaha
- 8 -
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Ayat (2)
Penyampaian Pernyataan Peleburan Usaha oleh salah satu
Perusahaan Terbuka yang melakukan Peleburan Usaha tidak
menghilangkan kewajiban pemenuhan ketentuan dari masing-
masing perusahaan yang melakukan Peleburan Usaha
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 14
Ayat (1)
Permintaan perubahan dan/atau tambahan informasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan dimaksudkan agar Perusahaan Terbuka
dapat memenuhi kewajibannya dalam mengungkapkan semua
fakta material tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha yang bersangkutan dan keadaan keuangan serta kegiatan
usaha perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai transaksi afiliasi dan benturan kepentingan
transaksi tertentu yang berlaku adalah Peraturan Nomor IX.E.1,
lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: Kep-412/BL/2009 tanggal 25 November
2009 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi
Tertentu.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang dimaksud dengan “tanggal efektifnya Penggabungan Usaha”
antara lain:
a. tanggal persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
atas perubahan anggaran dasar;
b. tanggal pemberitahuan anggaran dasar perusahaan hasil
Penggabungan Usaha diterima oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia; atau
c. tanggal efektifnya Penggabungan Usaha yang ditentukan dalam
akta penggabungan.
Yang dimaksud dengan “tanggal efektifnya Peleburan Usaha” adalah
tanggal keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas
pengesahan badan hukum perusahaan hasil Peleburan Usaha.
Pasal 23
Ayat (1)
Informasi mengenai rencana Penggabungan Usaha atau
Peleburan Usaha merupakan informasi orang dalam
- 10 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Pasal 96, dan Pasal 97
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
apabila Perusahaan Terbuka yang akan melakukan
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha memutuskan untuk
tidak mengumumkan keterbukaan informasi mengenai rencana
Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “orang dalam” pada ayat ini adalah:
a. anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau pegawai
perusahaan;
b. pemegang saham utama perusahaan;
c. orang perseorangan yang karena kedudukan atau
profesinya atau karena hubungan usahanya dengan
perusahaan memungkinkan orang tersebut memperoleh
informasi orang dalam; atau
d. pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi
menjadi pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, atau huruf c.
Yang dimaksud dengan “pemegang saham utama” sebagaimana
dimaksud dalam huruf b adalah pihak yang, baik secara
langsung maupun tidak langsung, memiliki paling sedikit 20%
(dua puluh persen) hak suara dari seluruh saham yang
mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan
atau jumlah yang lebih kecil dari itu sebagaimana ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Yang dimaksud dengan “kedudukan” sebagaimana dimaksud
dalam huruf c adalah jabatan pada lembaga, institusi, atau
badan pemerintah.
Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” sebagaimana
dimaksud dalam huruf c adalah hubungan kerja atau kemitraan
dalam kegiatan usaha, antara lain hubungan nasabah,
pemasok, kontraktor, pelanggan, dan kreditur.
Yang dimaksud dengan “informasi atau fakta material” adalah
informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa,
- 11 -
kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada
Bursa Efek dan/atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau
pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta
tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa
penundaan pemberian pernyataan efektif untuk Pernyataan
Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha.
Pasal 28
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif dan tindakan tertentu melalui Situs Web Otoritas Jasa
Keuangan atau laporan tahunan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5997
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 74/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-52/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997', 'Kep-52/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor IX.G.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24/POJK.04/2014
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka profesionalisme serta
perlindungan nasabah, Manajer Investasi perlu
meningkatkan kualitas fungsi-fungsi Manajer
Investasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER
INVESTASI.
BAB I...
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan
usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para
nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif
untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan
asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan
sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Wakil Manajer Investasi adalah orang perseorangan
yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Manajer Investasi.
3. Komite Investasi adalah komite yang bertugas
mengarahkan dan mengawasi Tim Pengelola
Investasi dalam menjalankan kebijakan dan strategi
investasi.
4. Tim Pengelola Investasi adalah tim yang bertugas
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
portofolio investasi kolektif untuk kepentingan
sekelompok nasabah.
5. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan
metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko
yang timbul dari kegiatan usaha Manajer Investasi.
BAB II
FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI
Pasal 2
Dalam melakukan kegiatannya, Manajer Investasi wajib
mempunyai dan melaksanakan fungsi-fungsi sebagai
berikut...
- 3 -
berikut:
a. fungsi investasi dan riset;
b. fungsi perdagangan;
c. fungsi penyelesaian transaksi Efek;
d. fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit
internal;
e. fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan
nasabah;
f. fungsi teknologi informasi;
g. fungsi akuntansi dan keuangan; dan
h. fungsi pengembangan sumber daya manusia.
Pasal 3
(1) Manajer Investasi wajib memisahkan pelaksanaan
fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a dari fungsi perdagangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b,
fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan fungsi
manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d.
(2) Koordinator dan pegawai yang melaksanakan salah
satu fungsi dari keempat fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang merangkap sebagai
koordinator dan pegawai pada ketiga fungsi lainnya.
(3) Anggota direksi dilarang bertindak sebagai
koordinator fungsi investasi dan riset sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, fungsi
perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b, dan/atau fungsi penyelesaian transaksi
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c.
(4) Anggota direksi yang bertindak sebagai koordinator
fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit
internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf d...
- 4 -
huruf d dilarang merangkap sebagai koordinator
fungsi lainnya.
Pasal 4
Manajer Investasi wajib memiliki prosedur operasi
standar atas pelaksanaan fungsi-fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan memastikan prosedur
operasi standar dipatuhi dan dilaksanakan oleh
koordinator dan semua pegawai yang melaksanakan
fungsi-fungsi tersebut.
Pasal 5
Dalam hal kegiatan usaha Manajer Investasi dilakukan
dalam satu Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek maka:
a. prosedur operasi standar pelaksanaan fungsi-fungsi
Manajer Investasi wajib terpisah dari prosedur
operasi standar pelaksanaan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek; dan
b. pelaksanaan fungsi riset, fungsi manajemen risiko,
kepatuhan, dan audit internal, fungsi akuntansi
dan keuangan, fungsi teknologi informasi dan/atau
fungsi pengembangan sumber daya manusia pada
kegiatan usaha Manajer Investasi dan Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek
dapat dilaksanakan oleh satu unit kerja yang
melaksanakan fungsi tersebut.
BAB III
PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI
Bagian Kesatu
Fungsi Investasi dan Riset
Pasal 6
Pelaksanaan fungsi investasi dan riset wajib dikoordinir
oleh pegawai yang memiliki izin Wakil Manajer Investasi
dan...
- 5 -
dan pengalaman kerja di bidang pengelolaan investasi
paling kurang 3 (tiga) tahun.
Pasal 7
Dalam melaksanakan fungsi investasi, koordinator
fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 bertanggung jawab:
a. membuat keputusan investasi yang terbaik untuk
kepentingan nasabah;
b. membuat dan memelihara catatan dan/atau kertas
kerja dalam rangka pengambilan keputusan
investasi untuk kepentingan nasabah;
c. melakukan analisa kinerja produk investasi secara
periodik;
d. memastikan kesesuaian antara keputusan investasi
yang diambil dengan:
1. kebijakan dan strategi investasi yang telah
ditetapkan dalam perjanjian pengelolaan
Portofolio Efek untuk para nasabah atau
portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah; dan
2. kebijakan dan strategi investasi yang telah
ditetapkan oleh Komite Investasi;
e. memastikan setiap keputusan investasi yang
diambil dilakukan atas pertimbangan yang rasional
serta didukung oleh hasil riset yang cukup; dan
f. menerapkan prinsip kehati-hatian dan Manajemen
Risiko antara lain dengan:
1. memperhatikan risiko investasi yang mungkin
terjadi serta tindakan yang akan dilakukan jika
risiko investasi tersebut terjadi; dan
2. adanya pembagian kewenangan yang jelas
dalam menentukan jumlah transaksi.
Pasal 8...
- 6 -
Pasal 8
(1) Fungsi investasi dilakukan oleh Tim Pengelola
Investasi yang paling kurang terdiri dari 2 (dua)
orang yang meliputi ketua dan anggota tim.
(2) Ketua dan anggota Tim Pengelola Investasi wajib
memiliki izin Wakil Manajer Investasi dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) Tim Pengelola Investasi dilarang merangkap sebagai
koordinator atau pelaksana fungsi perdagangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b,
fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dan/atau fungsi
manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d.
Pasal 9
(1) Pelaksanaan fungsi investasi didasarkan atas
arahan Komite Investasi.
(2) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang yang
memiliki pengalaman di bidang Pasar Modal
dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun.
(3) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib:
a. menetapkan kebijakan dan strategi investasi;
dan
b. mengawasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan
investasi yang dilakukan oleh Tim Pengelola
Investasi.
(4) Anggota Komite Investasi dilarang:
a. merangkap sebagai koordinator dan pelaksana
fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b, fungsi penyelesaian
transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf c, serta fungsi manajemen risiko,
kepatuhan...
- 7 -
kepatuhan, dan audit internal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf d; dan/atau
b. merangkap menjadi anggota Tim Pengelola
Investasi untuk 1 (satu) produk investasi yang
sama.
Pasal 10
Dalam melaksanakan fungsi riset, koordinator fungsi
investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 bertanggung jawab:
a. melakukan riset dan analisa kondisi makro ekonomi
serta sektor industri;
b. melakukan riset dan analisa tentang Efek dalam
portofolio investasi yang menjadi dan/atau yang
akan dijadikan sebagai portofolio investasi; dan
c. membuat dan mendokumentasikan catatan serta
laporan hasil riset.
Bagian Kedua
Fungsi Perdagangan
Pasal 11
Pelaksanaan fungsi perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. pelaksanaan fungsi perdagangan wajib dikoordinir
oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai
yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dari
Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai
pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau
keuangan paling kurang 2 (dua) tahun;
b. koordinator fungsi perdagangan bertanggung jawab:
1. melakukan transaksi atas Efek yang telah
ditentukan oleh fungsi investasi pada harga dan
waktu terbaik untuk kepentingan nasabah; dan
2. melakukan koordinasi dengan koordinator
fungsi...
- 8 -
fungsi investasi dan riset dalam rangka
pemilihan Perantara Pedagang Efek dengan
mempertimbangkan antara lain biaya yang
dibebankan dan pelayanan yang diberikan oleh
Perantara Pedagang Efek tersebut.
Bagian Ketiga
Fungsi Penyelesaian Transaksi Efek
Pasal 12
Pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek
wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang
merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil
Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan dan
mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal
dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun;
b. koordinator fungsi penyelesaian transaksi Efek
bertanggung jawab:
1. melakukan rekonsiliasi atas data-data transaksi
kepada pihak-pihak terkait seperti Perantara
Pedagang Efek dan Bank Kustodian; dan
2. melakukan pengecekan silang atas data-data
yang ada pada administrasi Efek dalam
portofolio Reksa Dana atau produk yang dikelola
Manajer Investasi.
Bagian Keempat
Fungsi Manajemen Risiko, Kepatuhan, dan Audit Internal
Pasal 13
(1) Pelaksanaan fungsi manajemen risiko, kepatuhan,
dan audit internal wajib dikoordinir oleh seorang
koordinator yang merupakan pimpinan unit kerja,
anggota direksi atau pejabat setingkat di bawah
direksi.
(2) Koordinator...
- 9 -
(2) Koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan,
dan audit internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib:
a. memiliki izin Wakil Manajer Investasi dari
Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai
pengalaman kerja menduduki jabatan manajerial
pada institusi yang bergerak di bidang Pasar
Modal dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga)
tahun;
b. ditetapkan sebagai bagian dari struktur
organisasi Manajer Investasi dan memiliki alur
pertanggungjawaban langsung kepada dewan
komisaris; dan
c. bertindak secara independen dan memiliki akses
yang tidak terbatas terhadap fungsi Manajer
Investasi lainnya terkait dengan tugasnya untuk
memastikan kepatuhan pelaksanaan fungsi-
fungsi Manajer Investasi.
Pasal 14
Dalam melaksanakan fungsi manajemen risiko,
koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan
audit internal bertanggung jawab:
a. menyusun strategi Manajemen Risiko;
b. memperbaharui strategi Manajemen Risiko, jika:
1. terjadi perubahan dan/atau penambahan
kegiatan Manajer Investasi; dan/atau
2. terdapat peraturan baru dan/atau perubahan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau
peraturan lainnya yang terkait;
c. memantau dan menelaah secara berkala
pelaksanaan strategi Manajemen Risiko;
d. memantau posisi risiko secara keseluruhan dan per
jenis risiko; dan
e. menerapkan...
- 10 -
e. menerapkan Manajemen Risiko secara efektif dan
disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas
usaha serta kemampuan Manajer Investasi.
Pasal 15
Penerapan fungsi manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf c wajib dilakukan
berdasarkan strategi Manajemen Risiko yang paling
kurang memuat:
a. pengidentifikasian semua risiko yang mungkin
timbul dalam kegiatan Manajer Investasi;
b. penjelasan mengenai penyebab dari timbulnya
risiko-risiko tersebut;
c. pengidentifikasian kemungkinan terjadinya risiko-
risiko tersebut;
d. penjelasan tentang implikasi atas terjadinya risiko-
risiko tersebut; dan
e. langkah-langkah yang wajib dilakukan apabila
risiko-risiko tersebut terjadi.
Pasal 16
Dalam melaksanakan fungsi kepatuhan, koordinator
fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
bertanggung jawab:
a. memastikan kepatuhan Manajer Investasi terhadap
peraturan perundang-undangan;
b. bertindak sebagai pihak penghubung (liason officer)
dengan Otoritas Jasa Keuangan;
c. menyusun strategi kepatuhan;
d. memperbaharui strategi kepatuhan, jika:
1. terjadi perubahan dan/atau penambahan
kegiatan Manajer Investasi; dan/atau
2. terdapat peraturan baru dan/atau perubahan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau
peraturan lainnya yang terkait;
e. menyebarluaskan...
- 11 -
e. menyebarluaskan dan mensosialisasikan manual
kepatuhan, kebijakan, prosedur, dan informasi lain
terkait kepatuhan kepada para pihak terkait di
lingkungan Manajer Investasi;
f. melakukan
pengawasan
dan memastikan
pelaksanaan rencana kelangsungan usaha (business
continuity plan) sesuai dengan kebijakan yang telah
ditetapkan perusahaan;
g. memastikan pegawai memperoleh pelatihan dan
pendidikan yang terkait dengan kepatuhan;
h. menyusun dan menyampaikan rencana kerja
tahunan fungsi kepatuhan kepada Dewan Komisaris
yang memuat kegiatan dan jadwal pelaksanaan
kegiatan fungsi kepatuhan;
i. menyusun dan menyampaikan laporan tengah
tahunan dan laporan tahunan atas pelaksanaan
fungsi kepatuhan kepada Dewan Komisaris; dan
j. menyampaikan laporan insidental kepada Dewan
Komisaris jika menemukan adanya dugaan
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal yang dilakukan oleh Manajer
Investasi dan/atau nasabahnya paling lambat
2 (dua) hari kerja sejak ditemukannya dugaan
pelanggaran.
Pasal 17
Tugas dan tanggung jawab fungsi kepatuhan wajib
ditetapkan dalam pakta (charter) tertulis yang mengikat
fungsi-fungsi Manajer Investasi.
Pasal 18
Dalam melaksanakan fungsi audit internal, koordinator
fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
bertanggung jawab memastikan pelaksanaan fungsi-
fungsi Manajer Investasi sesuai dengan prosedur dan
kebijakan tertulis/prosedur operasi standar.
Pasal 19...
- 12 -
Pasal 19
Dalam melaksanakan fungsi audit internal, koordinator
fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
wajib:
a. membuat perencanaan, pengendalian, dan
pencatatan semua pelaksanaan kegiatan audit
internal;
b. membuat pencatatan semua temuan, kesimpulan,
dan rekomendasi dari pelaksanaan kegiatan audit
internal; dan
c. menyusun laporan audit internal setelah
pelaksanaan setiap audit internal
disampaikan kepada Dewan Komisaris.
Bagian Kelima
Fungsi Pemasaran dan Penanganan Pengaduan Nasabah
Pasal 20
Pelaksanaan fungsi pemasaran dan penanganan
pengaduan nasabah wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. pelaksanaan fungsi pemasaran dan penanganan
pengaduan nasabah wajib dikoordinir oleh seorang
koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki
izin Wakil Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa
Keuangan serta mempunyai pengalaman kerja di
bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling
kurang 2 (dua) tahun;
b. pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran Efek
Reksa Dana wajib memiliki izin Wakil Perusahaan
Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana;
c. pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran jasa
pengelolaan portofolio investasi kolektif selain Reksa
Dana dan jasa pengelolaan investasi wajib memiliki
izin Wakil Perusahaan Efek;
d. dalam...
untuk
- 13 -
d. dalam hal fungsi pemasaran dan penanganan
pengaduan nasabah tidak dilaksanakan dalam satu
kesatuan fungsi maka:
1. fungsi pemasaran dikoordinir oleh seorang
koordinator yang merupakan pegawai yang
memiliki izin Wakil Perusahan Efek dari Otoritas
Jasa Keuangan serta mempunyai pengalaman
kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan
paling kurang 2 (dua) tahun; dan
2. fungsi penanganan pengaduan nasabah
dikoordinir oleh seorang koordinator yang
merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil
Perusahan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana dari Otoritas Jasa Keuangan serta
mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar
Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua)
tahun.
3. koordinator fungsi pemasaran bertanggung
jawab untuk mengkoordinir:
a) proses pembukaan rekening Reksa Dana,
portofolio investasi kolektif selain Reksa
Dana, dan jasa pengelolaan investasi
nasabah dengan memperhatikan kebijakan
dan prosedur yang ditetapkan dalam rangka
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; dan
b) kegiatan pemasaran produk investasi secara
benar dan profesional dengan menerapkan
ketentuan mengenai profil risiko nasabah
dan ketentuan terkait lainnya.
4. koordinator fungsi penanganan pengaduan
nasabah bertanggung jawab untuk
mengkoordinir:
a) penerimaan dan pengadministrasian
pengaduan nasabah;
b) penanganan dan tindak lanjut pengaduan
nasabah...
- 14 -
nasabah; dan
c) pengadministrasian hasil penanganan dan
tindak lanjut pengaduan nasabah.
Bagian Keenam
Fungsi Teknologi Informasi
Pasal 21
Pelaksanaan fungsi teknologi informasi wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan fungsi teknologi informasi dikoordinir
oleh seorang koordinator yang merupakan anggota
direksi atau pegawai yang mempunyai pengalaman
kerja dalam bidang teknologi informasi paling
kurang 1 (satu) tahun;
b. Koordinator
fungsi
teknologi
informasi
bertanggungjawab untuk:
1. melakukan reviu dan pemeliharaan sistem
teknologi informasi secara berkala untuk
memastikan:
a) sistem
teknologi
mendukung kegiatan operasional Manajer
Investasi agar berjalan dengan baik; dan
b) sistem teknologi informasi yang digunakan
telah sesuai dengan kebutuhan untuk
kegiatan pelaporan secara elektronik kepada
Otoritas Jasa Keuangan agar kegiatan
pelaporan dapat terlaksana sesuai dengan
ketentuan; dan
2. melakukan penyimpanan cadangan data (back-
up) secara periodik.
Bagian Ketujuh
Fungsi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pasal 22
Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya
manusia...
informasi dapat
- 15 -
manusia wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya
manusia dikoordinir oleh seorang koordinator yang
merupakan anggota direksi atau pegawai yang
memiliki pengalaman kerja dalam bidang sumber
daya manusia paling kurang 1 (satu) tahun;
b. koordinator fungsi pengembangan sumber daya
manusia bertanggung jawab:
1. menyusun dan melaksanakan program pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan teknis dan
kepatuhan pegawai terhadap kode etik dan
standar perilaku pegawai;
2. melakukan prosedur penyaringan (screening)
dalam rangka penerimaan pegawai baru sesuai
prosedur operasi standar dan ketentuan yang
berlaku; dan
3. memelihara catatan dan dokumen yang
berkaitan dengan fungsi pengembangan sumber
daya manusia, termasuk namun tidak terbatas
pada dokumen terkait pelatihan dan
administrasi kepegawaian.
Bagian Kedelapan
Fungsi Akuntansi dan Keuangan
Pasal 23
Pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan
dikoordinir oleh seorang koordinator yang
merupakan anggota direksi atau pegawai yang
memiliki pengalaman kerja di bidang akuntansi dan
keuangan paling kurang 1 (satu) tahun;
b. koordinator fungsi akuntansi dan keuangan
bertanggung jawab:
1. merencanakan...
- 16 -
1. merencanakan dan mengelola aktivitas
akuntansi dan keuangan; dan
2. memastikan laporan keuangan tahunan, laporan
keuangan tengah tahunan, laporan kegiatan
bulanan Manajer Investasi, laporan Modal Kerja
Bersih Disesuaikan dan laporan lainnya yang
disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan telah
disusun berdasarkan data yang akurat dan
sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan serta
Standar Akuntansi Keuangan.
BAB IV
PENGALIHAN PELAKSANAAN FUNGSI
Pasal 24
Manajer Investasi dapat mengalihkan pelaksanaan
fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan
sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan
keuangan kepada penyedia jasa yang berbentuk badan
hukum dengan tetap memperhatikan ketentuan yang
terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 25
Dalam hal Manajer Investasi mengalihkan fungsi-fungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Manajer
Investasi bertanggung jawab terhadap perilaku dan
kegiatan yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
menerima pengalihan fungsi-fungsi dari Manajer
Investasi dimaksud.
Pasal 26
Manajer Investasi yang melakukan pengalihan
pelaksanaan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 wajib memastikan bahwa penyedia jasa
yang menerima pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi
tersebut adalah profesional yang mempunyai standar
kapasitas...
- 17 -
kapasitas dan kapabilitas untuk melaksanakan fungsi
serta mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan
perjanjian pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi.
Pasal 27
Manajer Investasi wajib memiliki dan melaksanakan
prosedur operasi standar untuk mengawasi perilaku dan
kegiatan penyedia jasa yang menerima pengalihan
fungsi-fungsi Manajer Investasi.
Pasal 28
Penyerahan pelaksanaan fungsi teknologi informasi,
fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta
fungsi akuntansi dan keuangan hanya dapat dilakukan
kepada penyedia jasa dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Manajer Investasi wajib melaporkan informasi
tentang rencana penyerahan pelaksanaan fungsi
teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber
daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
format laporan rencana penyerahan pelaksanaan
fungsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
b. Sebelum menunjuk penyedia jasa untuk
melaksanakan fungsi teknologi informasi, fungsi
pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi
akuntansi dan keuangan, Manajer Investasi wajib
melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap
penyedia jasa yang mencakup, antara lain:
1. kemampuan penyedia jasa dalam melaksanakan
fungsi-fungsi Manajer Investasi;
2. kemampuan penyedia jasa memenuhi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian;
3. faktor-faktor operasional dan kemampuan
keuangan secara kualitatif dan kuantitatif;
4. faktor...
- 18 -
4. faktor reputasi;
5. cakupan asuransi oleh penyedia jasa (jika ada);
6. adanya potensi benturan kepentingan
khususnya bila penyedia jasa bergerak di bidang
usaha yang sama; dan
7. kemampuan dan kecukupan sumber daya yang
dimiliki penyedia jasa, apabila memiliki
perjanjian penyerahan pelaksanaan fungsi
Manajer Investasi kepada Penyedia jasa
(outsourcing) dengan beberapa Pihak.; dan
c. Manajer Investasi wajib melakukan reviu secara
berkala atas fungsi yang dijalankan oleh penyedia
jasa untuk memastikan fungsi tersebut telah
dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan
prosedur operasi standar pelaksanaan fungsi-fungsi
dimaksud.
d. Manajer Investasi wajib memiliki perjanjian tertulis
dengan penyedia jasa, yang paling kurang
mencakup:
1. nama pihak;
2. ruang lingkup, syarat-syarat, dan kondisi fungsi
Manajer Investasi yang pelaksanaannya
diserahkan kepada penyedia jasa;
3. tanggung jawab Manajer Investasi dan penyedia
jasa serta pengawasan atas pelaksanaan
tanggung jawab tersebut;
4. standar layanan jasa dan mekanisme untuk
memastikan bahwa standar tersebut dapat
dipenuhi setiap saat;
5. kerahasiaan dan keamanan informasi;
6. tanggung jawab terkait dengan keamanan sistem
teknologi informasi;
7. pelaporan penyedia jasa kepada Manajer
Investasi;
8. pertanggungjawaban...
- 19 -
8. pertanggungjawaban dari penyedia jasa kepada
Manajer Investasi atas pelayanan yang tidak
memuaskan atau pelanggaran-pelanggaran
lainnya atas perjanjian;
9. jaminan atas kualitas layanan jasa dan ganti
rugi;
10. kewajiban penyedia jasa, setiap saat jika
diminta, untuk menyediakan setiap catatan,
informasi dan/atau bantuan berkaitan fungsi-
fungsi Manajer Investasi yang dilaksanakannya
kepada Manajer Investasi yang menunjuk
penyedia jasa, auditor Manajer Investasi
dimaksud, dan/atau Otoritas Jasa Keuangan;
11. larangan bagi penyedia jasa untuk menunjuk
pihak ketiga (sub kontrak) dalam menjalankan
kewajibannya;
12. ketentuan-ketentuan tentang keberlangsungan
fungsi Manajer Investasi dalam hal penyedia jasa
mengalami kondisi darurat sehingga tidak dapat
menjalankan fungsinya;
13. pengakhiran perjanjian, yang meliputi antara
lain transfer informasi dan langkah-langkah
pemutusan perjanjian, serta prosedur transisi;
dan
14. mekanisme untuk menyelesaikan perselisihan
yang timbul antara Manajer Investasi dengan
penyedia jasa.
e. Manajer Investasi wajib memastikan penyedia jasa
menjaga kerahasiaan informasi yang diterima dari
Manajer Investasi.
f. Manajer Investasi pada hari kerja berikutnya wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila
penyedia jasa tidak dapat melakukan kewajibannya.
g. Manajer Investasi wajib memastikan Otoritas Jasa
Keuangan…
- 20 -
Keuangan setiap saat dapat mengakses pembukuan,
catatan dan dokumen penyedia jasa berkaitan
dengan penyerahan pelaksanaan fungsi Manajer
Investasi kepada penyedia jasa.
h. Manajer Investasi hanya dapat menunjuk penyedia
jasa yang kegiatan operasionalnya berlokasi di
Indonesia.
BAB V
KEWAJIBAN PELAPORAN
Pasal 29
(1) Manajer Investasi wajib menyampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan laporan sebagai berikut:
a. laporan rencana kerja tahunan fungsi
kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf h sesuai dengan format laporan
rencana kerja tahunan fungsi kepatuhan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling
lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah
berakhirnya bulan Desember;
b. laporan tengah tahunan atas pelaksanaan fungsi
kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 huruf i sesuai dengan format laporan tengah
tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling
lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah
berakhirnya bulan Juni;
c. laporan tahunan atas pelaksanaan fungsi
kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf i sesuai dengan format laporan
tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan.
..
- 21 -
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling
lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah
berakhirnya bulan Desember; dan
d. laporan insidental, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf j sesuai dengan format
laporan insidental sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak diketahuinya peristiwa tersebut.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, dan huruf c jatuh pada hari libur, laporan
tersebut wajib disampaikan paling lambat pada
1 (satu) hari kerja berikutnya.
BAB VI
SANKSI
Pasal 30
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana
di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi administratif
terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)...
- 22 -
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, atau
huruf e.
Pasal 31
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 32
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) dan tindakan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada
masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Manajer Investasi wajib menyesuaikan dan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 6 (enam)
bulan sejak diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis
fungsi...
- 23 -
fungsi-fungsi Manajer Investasi yang belum diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 35
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-480/BL/2009
tanggal 31 Desember 2009 tentang Pedoman
Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi beserta
Peraturan Nomor V.D.11 yang merupakan lampirannya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 359
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 24/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI </reg_title>
<set_date> 19 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-480/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'KEP-480/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor V.D.11' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 21 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK KEPENTINGAN
NASABAH SECARA INDIVIDUAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa pengelolaan portofolio efek untuk kepentingan
nasabah secara individual memegang peranan penting
dalam meningkatkan daya saing industri pasar modal;
b. bahwa untuk lebih memberikan keleluasaan bagi
manajer investasi dalam mengelola portofolio efek untuk
kepentingan nasabah secara individual serta
meningkatkan perlindungan hukum bagi nasabah, perlu
menyempurnakan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai pengelolaan portofolio efek untuk
kepentingan nasabah secara individual;
c. bahwa
berdasarkan
pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah
Secara Individual;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK
KEPENTINGAN NASABAH SECARA INDIVIDUAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah
Secara Individual yang selanjutnya disebut Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual adalah jasa
pengelolaan portofolio efek dan/atau dana yang
dilakukan manajer investasi kepada 1 (satu) nasabah
tertentu dimana berdasarkan perjanjian tentang
pengelolaan portofolio efek dan/atau dana untuk
kepentingan nasabah secara individual, manajer
Iinvestasi diberi wewenang penuh oleh nasabah untuk
melakukan pengelolaan portofolio efek dan/atau dana.
2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
3.
Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh
Pihak.
- 3 -
4. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang
menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak dalam
portofolio investasi kolektif.
5.
Nilai Pasar Wajar dari Efek adalah nilai yang dapat
diperoleh dari transaksi Efek yang dilakukan antar para
pihak yang bebas bukan karena paksaan atau likuidasi.
6. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai
Bank Kustodian.
8. Kustodian Asing adalah kustodian yang terdaftar atau
memiliki izin sebagai kustodian dari regulator asing.
9. Lembaga Penilaian Harga Efek adalah pihak yang telah
memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan
untuk melakukan penilaian harga Efek dalam rangka
menetapkan harga pasar wajar.
10. Manajer Investasi Asing adalah manajer investasi atau
pengelola investasi yang terdaftar atau memiliki izin
untuk melakukan pengelolaan investasi dari regulator
asing.
11. Regulator Asing adalah lembaga atau otoritas yang
berwenang melakukan pengawasan lembaga keuangan
dan/atau pasar modal, dari negara penandatangan
penuh (full signatory) Multilateral Memorandum of
Understanding Concerning Consultation and Cooperation
and the Exchange of Information International Organization
of Securities Commissions.
12. Nasabah adalah pihak yang menginvestasikan Portofolio
Efek dan/atau dananya untuk dikelola oleh Manajer
Investasi dalam bentuk pengelolaan Portofolio Efek untuk
kepentingan yang bersangkutan secara individual.
- 4 -
13. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
BAB II
PEDOMAN PERJANJIAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO
NASABAH SECARA INDIVIDUAL
Pasal 2
(1) Manajer Investasi wajib:
a. membuat perjanjian tertulis Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual dengan setiap Nasabah;
dan
b. memastikan adanya perjanjian penyimpanan
Portofolio Efek dan/atau dana milik Nasabah pada
Bank Kustodian antara Nasabah dengan Bank
Kustodian,
sebelum memberikan jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual.
(2) Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dapat dibuat dalam bentuk akta notariil.
(3) Manajer Investasi wajib memastikan bahwa setiap
Nasabah yang menandatangani perjanjian Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki kewenangan
dan kapasitas untuk menandatangani perjanjian
dimaksud.
Pasal 3
(1) Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual wajib ditandatangani oleh Manajer Investasi
dan Nasabah.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan Bank Kustodian sebagai Pihak yang ikut
menandatangani perjanjian Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual.
- 5 -
Pasal 4
Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual
paling sedikit wajib memuat:
a.
identitas Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan
Nasabah yang terlibat dalam Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual;
b. tugas dan tanggung jawab Manajer Investasi;
c. kewajiban Manajer Investasi untuk menyimpan Portofolio
Efek dan/atau dana Nasabah pada Bank Kustodian;
d. hak Nasabah;
e. tujuan investasi;
f.
g.
kebijakan investasi;
biaya;
h. metode penilaian Efek yang diterapkan;
i.
j.
tanggal ditandatanganinya perjanjian Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual;
jangka waktu perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual;
k. penunjukan lembaga peradilan, Badan Arbitrase Pasar
Modal Indonesia, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya sebagai lembaga untuk menyelesaikan
perselisihan dan sengketa perdata antar para Pihak; dan
l.
ketentuan pengakhiran perjanjian Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individu.
Pasal 5
Tugas dan tanggung jawab Manajer Investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b paling sedikit wajib:
a. mengelola Portofolio Efek dan/atau dana milik Nasabah
sesuai dengan perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual;
b. memastikan pemisahan rekening penyimpanan Portofolio
Efek dan/atau dana untuk setiap Nasabah dengan
rekening Manajer Investasi maupun rekening lainnya;
c. menetapkan Nilai Pasar Wajar atas Efek milik Nasabah;
d. menyelenggarakan pembukuan dan catatan secara
terpisah untuk setiap Nasabah;
- 6 -
e. menyelenggarakan pembukuan dan catatan secara
terpisah antara pembukuan dan catatan atas nama
Nasabah dengan pembukuan dan catatan atas nama
Manajer Investasi; dan
f. memberikan gambaran risiko investasi kepada Nasabah.
Pasal 6
(1) Bank Kustodian tempat penyimpanan Portofolio Efek
dan/atau dana milik Nasabah memiliki tugas dan
tanggung jawab paling sedikit:
a. memastikan rekening kekayaan Nasabah di Bank
Kustodian atas nama Nasabah yang menggunakan
jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual;
b. mencatatkan dan mengadministrasikan kekayaan
Nasabah yang menggunakan jasa Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual;
c. menyimpan dan memelihara catatan milik Nasabah
termasuk semua perubahan dalam Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual yang terpisah
dari catatan Nasabah lain;
d. melakukan penyelesaian transaksi yang berkaitan
dengan Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual; dan
e. melakukan atau menerima pembayaran atas
transaksi Efek milik Nasabah sesuai dengan
perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual.
(2) Tugas dan tanggung jawab lain Bank Kustodian, dapat
berupa:
a. menghitung Nilai Aktiva Bersih Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual sesuai dengan
yang diperjanjikan dalam Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual;
b. melakukan monitoring atas pelaksanaan investasi
oleh Manajer Investasi berdasarkan kebijakan
investasi yang tercantum dalam perjanjian;
- 7 -
c. memberitahukan kepada Manajer Investasi
dan/atau Nasabah setiap adanya perubahan atau
penggantian penanggung jawab dari Bank
Kustodian; dan/atau
d. memberikan data dan/atau informasi yang
berhubungan dengan kewajiban Bank Kustodian
terhadap Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual berdasarkan perjanjian dalam hal diminta
Manajer Investasi dan/atau Nasabah.
Pasal 7
(1) Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual tidak berlaku atau berakhir dalam hal:
a. terpenuhinya persyaratan berakhirnya perjanjian
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual;
dan/atau
b. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam
hal terjadi pelanggaran atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Dalam hal perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual tidak berlaku atau berakhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi
wajib bertanggung jawab atas penyelesaian hak Nasabah
sesuai dengan perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual.
(3) Dalam hal perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual tidak berlaku atau berakhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi
wajib melaporkan hal tersebut kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual tidak berlaku atau berakhir.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling
sedikit memuat:
a. alasan berakhirnya perjanjian Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual; dan
- 8 -
b. penyelesaian hak dan kewajiban masing-masing
pihak sesuai dengan Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual yang disertai dengan dokumen
pendukung.
BAB III
PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH SECARA
INDIVIDUAL
Pasal 8
(1) Jumlah dana kelolaan awal untuk setiap Nasabah pada
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau nilai
yang setara dalam mata uang asing dengan
menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.
(2) Setoran awal Nasabah Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual dapat berupa Portofolio Efek dan/atau
dana.
(3) Dalam hal setoran awal Nasabah berbentuk Efek, nilai
awal investasi Efek pada Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual wajib dinilai dengan metode penilaian
atas Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan nilai paling sedikit
setara Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(4) Jumlah dana kelolaan untuk setiap Nasabah pada
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dapat
mengalami penurunan menjadi kurang dari
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sepanjang
penurunan dimaksud terjadi karena pergerakan harga
pasar atas portofolio Nasabah yang dikelola.
Pasal 9
Nilai dana kelolaan dan/atau Efek pada Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual untuk setiap Nasabah dilarang
dimiliki dan/atau diperjanjikan untuk dimiliki bersama oleh
lebih dari 1 (satu) Pihak.
- 9 -
Pasal 10
Portofolio Efek dan/atau dana Nasabah wajib disimpan dalam
rekening kekayaan Nasabah atas nama masing-masing
Nasabah pada Bank Kustodian.
Pasal 11
(1) Manajer Investasi dilarang memiliki hubungan afiliasi
dengan Bank Kustodian, kecuali hubungan afiliasi
tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan
modal oleh Pemerintah.
(2) Penunjukan Bank Kustodian wajib dilakukan oleh
Nasabah dengan tetap memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
(1) Portofolio investasi dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual hanya dapat berupa:
a. Efek yang diterbitkan di dalam negeri;
b. instrumen pasar uang;
c. instrumen keuangan lain yang memperoleh
penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Efek;
dan/atau
d. Efek yang diterbitkan di luar negeri sepanjang:
1. Efek tersebut telah memperoleh pernyataan
efektif, izin, persetujuan, pendaftaran, atau
pernyataan legalitas dari Regulator Asing
dimana Efek tersebut diterbitkan; dan/atau
2. Efek tersebut diperdagangkan di Bursa Efek di
luar negeri yang informasinya dapat diakses
melalui media massa, baik cetak maupun
elektronik.
(2) Dalam hal Manajer Investasi melakukan Pengelolaan
Portofolio Efek Nasabah Secara Individual pada Efek yang
diterbitkan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, Manajer Investasi dapat mendelegasikan
wewenang Pengelolaan Portofolio Efek Nasabah Secara
- 10 -
Individual kepada Manajer Investasi Asing berdasarkan
perjanjian pendelegasian.
BAB IV
NILAI PASAR WAJAR DALAM PENGELOLAAN PORTOFOLIO
NASABAH SECARA INDIVIDUAL
Pasal 13
Nilai Efek dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual wajib dinilai berdasarkan nilai pasar wajar yang
dihitung dengan metode yang mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang
mengatur mengenai Nilai Pasar Wajar Efek dalam Portofolio
Reksa Dana.
Pasal 14
(1) Dalam hal Manajer Investasi menghitung Nilai Pasar
Wajar atas Efek Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual menggunakan harga pasar wajar yang
diterbitkan oleh Lembaga Penilaian Harga Efek, Manajer
Investasi dapat mengakses harga Efek yang diterbitkan
oleh Lembaga Penilaian Harga Efek tanpa dikenakan
biaya.
(2) Dalam hal Lembaga Penilaian Harga Efek tidak
mengeluarkan harga pasar wajar atas Efek dalam
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual,
Manajer Investasi wajib menghitung Nilai Pasar Wajar
atas Efek tersebut berdasarkan prinsip akuntansi yang
berlaku umum dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab.
Pasal 15
(1) Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Pengelolaan
Portofolio
Nasabah
Secara
Individual
yang
diperdagangkan dalam denominasi mata uang yang
berbeda dengan denominasi mata uang Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual tersebut wajib
- 11 -
dihitung dengan menggunakan kurs tengah Bank
Indonesia.
(2) Dalam hal denominasi mata uang Efek dalam portofolio
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tidak
terdapat dalam mata uang yang dipublikasikan oleh
Bank Indonesia, Manajer Investasi wajib menggunakan
kurs tengah yang ditetapkan oleh lembaga independen
yang disepakati oleh Manajer Investasi dan Nasabah
secara konsisten.
Pasal 16
Penentuan Nilai Pasar Wajar surat utang yang menjadi
Portofolio Efek dapat menggunakan metode harga perolehan
yang diamortisasi, sepanjang surat utang dalam Portofolio
Efek tersebut tidak dialihkan sampai dengan tanggal jatuh
tempo.
BAB V
KEWAJIBAN MANAJER INVESTASI DAN BANK KUSTODIAN
DALAM PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH SECARA
INDIVIDUAL
Pasal 17
(1) Manajer Investasi dan Bank Kustodian wajib dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas sebaik mungkin untuk kepentingan Nasabah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian
tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Manajer Investasi dan/atau Bank
Kustodian wajib bertanggung jawab atas segala kerugian
yang timbul karena tindakannya masing-masing.
- 12 -
Pasal 18
Manajer Investasi wajib menyampaikan informasi kepada
Nasabah tentang gambaran risiko investasi sebelum
ditandatanganinya perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual.
Pasal 19
Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual
dan/atau perubahannya wajib disampaikan oleh Manajer
Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya
perjanjian oleh para Pihak.
Pasal 20
Bank Kustodian wajib menyediakan dan menyampaikan
laporan periodik mengenai portofolio Nasabah kepada
Nasabah dalam hal dinyatakan dalam perjanjian Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual.
BAB VI
PENAWARAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH
SECARA INDIVIDUAL
Pasal 21
(1) Manajer Investasi dapat menggunakan jasa Pihak lain
untuk menawarkan jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual kepada calon Nasabah.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagai perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin
emisi Efek dan/atau perantara pedagang Efek; atau
b. agen penjual Efek reksa dana.
- 13 -
Pasal 22
(1) Kewenangan Pihak lain dalam melakukan penawaran
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 terbatas hanya
pada meneruskan informasi Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual dari Manajer Investasi kepada
Nasabah atau menyediakan akses kepada Manajer
Investasi.
(2) Dalam hal Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual ditawarkan menggunakan jasa Pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi
wajib membuat:
a. kebijakan dan prosedur tertulis terkait penawaran
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual
menggunakan jasa Pihak lain; dan
b. perjanjian tertulis antara Manajer Investasi dengan
Pihak lain, yang paling sedikit memuat:
1. hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-
masing Pihak;
2. biaya;
3. penyelesaian dalam hal terjadi perselisihan; dan
4. penyelesaian pengaduan Nasabah.
Pasal 23
Perjanjian tertulis antara Manajer Investasi dengan Pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya
perjanjian oleh para Pihak.
Pasal 24
(1) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dilarang bertindak sebagai Pihak yang melakukan jasa
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual.
- 14 -
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya
dapat mereferensikan jasa Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual dengan menyampaikan
informasi atau meneruskan selebaran, brosur, dan/atau
hal sejenis yang memuat informasi dan/atau penjelasan
dari Manajer Investasi atas Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual kepada Nasabah, baik secara
tatap muka maupun melalui surat dan media elektronik.
(3) Dalam hal Nasabah bermaksud mengadakan perjanjian
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual, Pihak
lain wajib mengarahkan Nasabah tersebut kepada
Manajer Investasi.
BAB VII
PENDELEGASIAN JASA PENGELOLAAN PORTOFOLIO
NASABAH SECARA INDIVIDUAL OLEH MANAJER INVESTASI
ASING
Pasal 25
(1) Manajer Investasi dapat menerima pendelegasian jasa
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dari
Manajer Investasi Asing untuk kepentingan Nasabah
Manajer Investasi Asing.
(2) Dalam hal Manajer Investasi menerima pendelegasian
dari Manajer Investasi Asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Manajer Investasi wajib:
a. membuat perjanjian pendelegasian antara Manajer
Investasi Asing dengan Manajer Investasi yang
paling sedikit memuat:
1. pernyataan bahwa Manajer Investasi Asing
memiliki kewenangan atau kuasa untuk
mendelegasikan Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual atas nama nasabah asing
kepada Manajer Investasi;
2. identitas masing-masing pihak;
3. tugas dan tanggung jawab masing-masing
pihak;
- 15 -
4. hak dan kewajiban masing-masing pihak;
5. informasi tentang jenis dan jumlah Portofolio
Efek dan/atau dana awal yang didelegasikan
kepada Manajer Investasi;
6. pemenuhan ketentuan mengenai prinsip
mengenal nasabah oleh masing-masing pihak;
7. tujuan investasi;
8. kebijakan investasi;
9. biaya;
10. metode penilaian Efek yang diterapkan;
11. tanggal
ditandatanganinya
perjanjian
pendelegasian Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual;
12. ketentuan
pengakhiran
perjanjian
pendelegasian Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual;
13. pilihan hukum dalam hal terjadi sengketa; dan
14. jangka waktu perjanjian pendelegasian
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual; dan
b. memastikan bahwa Manajer Investasi Asing memiliki
kewenangan atau kuasa untuk melakukan
pendelegasian jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual kepada Manajer Investasi.
Pasal 26
Manajer Investasi wajib menyampaikan perjanjian
pendelegasian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
huruf a dan setiap perubahannya kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
ditandatanganinya perjanjian oleh para Pihak.
- 16 -
Pasal 27
(1) Penunjukan Bank Kustodian dalam rangka pelaksanaan
perjanjian pendelegasian jasa Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual dari Manajer Investasi Asing
untuk kepentingan Nasabah Manajer Investasi Asing
wajib dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
(2) Perjanjian penunjukan Bank Kustodian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib memuat hak,
kewajiban, dan tanggung jawab Bank Kustodian.
(3) Portofolio Efek dan/atau dana milik nasabah asing yang
dikelola oleh Manajer Investasi berdasarkan
pendelegasian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual wajib disimpan di Bank Kustodian secara
terpisah untuk masing-masing perjanjian pendelegasian.
BAB VIII
LARANGAN DALAM PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH
SECARA INDIVIDUAL
Pasal 28
Dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual,
Manajer Investasi dilarang:
a. mengubah atau membarui perjanjian Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual tanpa persetujuan
tertulis dari Nasabah;
b. berinvestasi pada Efek lain yang tidak diperjanjikan
sebelumnya dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual;
c. menjanjikan kepada Nasabah bahwa:
1. akan terdapat keuntungan pada tingkat tertentu;
dan/atau
2. kerugian tidak akan melampaui tingkat yang telah
ditentukan; dan
d. melakukan tindakan lain di luar kewenangan Manajer
Investasi dalam perjanjian Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual.
- 17 -
Pasal 29
Manajer Investasi dilarang meminjam atau meminjamkan
Portofolio Efek dan/atau dana milik Nasabah yang
dikelolanya.
BAB IX
KETENTUAN SANKSI
Pasal 30
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
- 18 -
Pasal 31
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 32
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 kepada masyarakat.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-112/BL/2010 tentang
Pedoman Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan
Nasabah Secara Individual beserta Peraturan Nomor V.G.6
yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 34
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 19 -
Agar
setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 121
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 21 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK KEPENTINGAN
NASABAH SECARA INDIVIDUAL
I. UMUM
Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah Secara
Individual untuk selanjutnya disebut Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual merupakan jasa pengelolaan yang dilakukan oleh
Manajer Investasi kepada satu Nasabah yang didasarkan atas kontrak
perjanjian pengelolaan dana yang dibuat antara Manajer Investasi,
Nasabah, dan Bank Kustodian. Jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual ini telah berkembang dan memberikan kontribusi cukup
besar di sektor pasar modal, khususnya di bidang pengelolaan investasi.
Seiring dengan pertumbuhan perekonomian dan perkembangan
pasar saat ini, beberapa ketentuan yang termuat dalam Peraturan Nomor
V.G.6, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-112/BL/2010 tentang Pedoman
Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah Secara
Individual dirasa sudah tidak relevan dengan kebutuhan pasar sehingga
diperlukan upaya penyempurnaan terhadap peraturan terkait pedoman
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tersebut.
Cukup besarnya potensi investor yang hendak menginvestasikan
dananya melalui jasa pengelolaan Portofolio Efek merupakan salah satu
pertimbangan utama dilakukannya penyempurnaan dengan melakukan
revisi terhadap Peraturan Nomor V.G.6 tersebut. Penyempurnaan ini juga
ditujukan untuk meningkatan perlindungan terhadap investor yang
- 2 -
menginvestasikan dananya melalui jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah
Secara Individual melalui pengaturan terkait pedoman Pengelolaan
Portofolio Nasabah Secara Individual, perjanjian Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual, tugas dan tanggung jawab Manajer Investasi,
tugas dan tanggung jawab Bank Kustodian, dan berakhirnya perjanjian
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. Secara khusus,
ketentuan ini juga memuat hal minimum yang wajib terdapat dalam
perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual yang
seluruhnya ditujukan untuk meningkatkan perlindungan investor pada
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual.
Di sisi lain, guna memberikan keleluasaan bagi Manajer Investasi
dan Nasabah atas aset dasar Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara
Individual dalam revisi Peraturan Nomor V.G.6 ini membuka
kemungkinan dimasukannya Dana Investasi Real Estat (DIRE) dan Efek
Beragun Aset (EBA) sebagai aset dasar Portofolio Efek Nasabah Secara
Individual. Dengan dimungkinkannya penambahan aset dasar dalam
Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual diharapkan Manajer
Investasi mempunyai alternatif investasi lebih banyak, sehingga Nasabah
memperoleh nilai tambah dalam berinvestasi pada Pengelolaan Portofolio
Nasabah Secara Individual.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Kepemilikan bersama dalam kepesertaan produk asuransi unit link,
dana pensiun, dan kepemilikan bersama lainnya yang sejenis sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak termasuk
dalam kriteria dimiliki dan/atau diperjanjikan untuk dimiliki
bersama yang dilarang dalam pasal ini.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk di dalamnya exchange traded fund (ETF).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “instrumen pasar uang” adalah
instrumen pasar uang dalam negeri yang mempunyai jatuh
tempo kurang dari 1 (satu) tahun, meliputi sertifikat Bank
Indonesia, surat berharga pasar uang, surat pengakuan
utang, dan sertifikat deposito, baik dalam mata uang rupiah
atau mata uang asing.
Huruf c
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf d
Efek yang diterbitkan di luar negeri termasuk di dalamnya
collective investment scheme dan unit trust.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan di sektor
pasar modal yang mengatur mengenai Nilai Pasar Wajar Efek dalam
Portofolio Reksa Dana“ yang berlaku pada saat Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini diundangkan adalah Peraturan Nomor IV.C.2,
lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-367/BL/2012 tentang Nilai Pasar
Wajar dari Efek dalam Portofolio Reksa Dana.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam praktiknya “selebaran” dimaksud biasa disebut dengan
leaflet.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6068
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 21/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH SECARA INDIVIDUAL </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-112/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'Kep-112/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor V.G.6' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 34 /POJK.05/2015
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN
PERUSAHAAN MODAL VENTURA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional dan mendukung perkembangan
usaha perusahaan modal ventura, diperlukan
penyempurnaan pengaturan perizinan usaha dan
kelembagaan yang komprehensif, jelas, dan
memberikan kepastian hukum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusahaan Modal Ventura;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN
MODAL VENTURA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Usaha Modal Ventura adalah usaha pembiayaan
melalui penyertaan modal dan/atau pembiayaan
untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
pengembangan usaha pasangan usaha atau debitur.
2. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat
PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
Usaha Modal Ventura, pengelolaan dana ventura,
kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan lain dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
3. Usaha Modal Ventura Syariah adalah usaha
pembiayaan melalui kegiatan investasi dan/atau
pelayanan jasa yang dilakukan dalam jangka waktu
tertentu dalam rangka pengembangan usaha
pasangan usaha yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip syariah.
4. Perusahaan Modal Ventura Syariah yang selanjutnya
disingkat PMVS adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, pengelolaan
dana ventura, dan kegiatan usaha lain dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan yang seluruhnya
dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.
5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
- 3 -
6. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit kerja dari kantor pusat PMV yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang
melaksanakan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah.
7. Pasangan Usaha adalah orang perseorangan atau
perusahaan termasuk usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi yang menerima penyertaan modal
dan/atau investasi berdasarkan prinsip bagi hasil dari
PMV, PMVS, atau UUS.
8. Debitur adalah orang perseorangan atau perusahaan
termasuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
yang menerima pembiayaan usaha produktif dari PMV.
9. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV
atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi PMV atau
PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan
yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer.
10. Pemegang Saham adalah pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV
atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan Pemegang Saham
bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer.
11. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya
disingkat PSP adalah orang perseorangan, badan
hukum, dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham atau modal PMV atau PMVS
sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham atau modal PMV atau PMVS
kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari
- 4 -
jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai
hak suara namun yang bersangkutan dapat
dibuktikan telah melakukan pengendalian PMV
atau PMVS, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
12. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum koperasi atau yang
berbentuk badan usaha perseroan komanditer.
13. Dewan Komisaris adalah
dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV
atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris
bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer.
14. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ PMV atau PMVS yang
mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan kegiatan usaha agar sesuai dengan
Prinsip Syariah.
15. Modal Disetor:
a. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah modal disetor;
b. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum
koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan
wajib; atau
c. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan usaha
perseroan komanditer adalah modal dari para
pesero perseroan komanditer.
- 5 -
16. Ekuitas:
a. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum
perseroan terbatas, adalah penjumlahan dari:
1. Modal Disetor;
2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas:
a) agio/disagio saham;
b) biaya emisi efek Ekuitas; dan
c) lainnya sesuai dengan prinsip standar
akuntansi keuangan;
3.
selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas
sepengendali;
4. saldo laba/rugi;
5. laba/rugi tahun berjalan;
6. saham tresuri (treasury stock); dan
7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas:
a) perubahan dalam surplus revaluasi;
b)
selisih kurs karena penjabaran laporan
keuangan dalam mata uang asing;
c) keuntungan dan kerugian dari
pengukuran kembali aset keuangan
tersedia untuk dijual;
d) bagian efektif dari keuntungan dan
kerugian instrumen keuangan lindung
nilai dalam rangka lindung nilai arus
kas; dan
e) komponen Ekuitas lainnya sesuai
prinsip standar akuntansi keuangan.
b. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum
koperasi adalah penjumlahan dari simpanan
pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah,
dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan.
c. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan
komanditer adalah selisih antara jumlah aset
dengan liabilitas PMV.
d. bagi PMVS berbentuk badan usaha perseroan
komanditer atau UUS adalah selisih antara
- 6 -
jumlah aset dengan penjumlahan antara liabilitas
dan pendanaan bersifat temporer.
17. Kantor Cabang adalah kantor dari PMV atau PMVS
yang memiliki kewenangan untuk menyetujui
perjanjian kegiatan usaha yang dilakukan PMV atau
PMVS kepada Pasangan Usaha dan/atau Debitur.
18. Kantor Cabang Unit Syariah adalah kantor yang
bertanggung jawab secara langsung kepada UUS dan
mempunyai kewenangan untuk menyetujui perjanjian
kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah kepada
Pasangan Usaha.
19. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh 2 (dua) atau lebih PMV atau PMVS untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) PMV
atau PMVS baru yang karena hukum memperoleh
aset, liabilitas, dan Ekuitas dari PMV atau PMVS yang
meleburkan diri dan status badan hukum PMV atau
PMVS yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
20. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih PMV atau PMVS
untuk menggabungkan diri dengan PMV atau PMVS
lain yang telah ada yang mengakibatkan aset,
liabilitas, dan Ekuitas dari PMV atau PMVS yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada
PMV atau PMVS yang menerima Penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum PMV atau PMVS
yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
21. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih saham PMV atau
PMVS yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
atas PMV atau PMVS tersebut.
22. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh PMV atau PMVS untuk memisahkan usaha yang
mengakibatkan seluruh aset, liabilitas, dan Ekuitas
PMV atau PMVS beralih karena hukum kepada 2 (dua)
atau lebih PMV atau PMVS atau sebagian aset,
- 7 -
liabilitas, dan Ekuitas PMV atau PMVS beralih karena
hukum kepada 1 (satu) atau lebih PMV atau PMVS.
23. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB I
BENTUK BADAN USAHA, IZIN USAHA,
DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Usaha
Pasal 2
(1) PMV dan PMVS harus didirikan dalam bentuk badan
usaha:
a. perseroan terbatas;
b. koperasi; atau
c. perseroan komanditer.
(2) PMV dan PMVS yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, sahamnya dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia;
c. badan usaha asing atau lembaga asing;
d. negara Republik Indonesia; dan/atau
e. pemerintah daerah.
(3) Ketentuan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk PMV dan PMVS yang tercatat di
bursa efek mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
(4) Ketentuan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b untuk PMV dan PMVS yang berbentuk
badan hukum koperasi mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang
perkoperasian.
- 8 -
(5) PMV dan PMVS yang berbentuk badan usaha
perseroan komanditer paling banyak didirikan oleh 25
(dua puluh lima) pesero.
Bagian Kedua
Izin Usaha
Pasal 3
(1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha PMV
atau PMVS wajib mendapatkan izin usaha dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan
izin usaha kepada OJK.
Pasal 4
(1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada
OJK dengan menggunakan format 1 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen:
a. akta pendirian badan usaha yang telah disahkan
oleh atau didaftarkan pada instansi yang
berwenang, yang paling sedikit harus memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa
jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau
DPS;
dan perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada)
disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan,
surat penerimaan pemberitahuan, dan/atau
pendaftaran dari instansi berwenang;
- 9 -
b. daftar kepemilikan, berupa:
1. daftar Pemegang Saham berikut rincian
besarnya masing-masing kepemilikan saham
yang disertai dengan
pendukungnya yang menunjukkan
persentase kepemilikan baik secara langsung
maupun tidak langsung dan daftar
perusahaan lain yang dimiliki oleh Pemegang
Saham, bagi PMV atau PMVS berbentuk
badan hukum perseroan terbatas;
2. daftar anggota berikut jumlah simpanan
pokok dan simpanan wajib, bagi PMV atau
PMVS berbentuk badan hukum koperasi;
atau
3. daftar pesero berikut jumlah modal yang
disetorkan, bagi PMV atau PMVS berbentuk
badan usaha perseroan komanditer;
c. data anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan anggota DPS (jika ada) meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
3. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas
foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6
cm;
4. surat pernyataan dari yang bersangkutan
yang menyatakan bahwa:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
b) tidak tercatat dalam daftar tidak lulus
(DTL) di sektor jasa keuangan;
c)
tidak
pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
dokumen
- 10 -
d) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan keputusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e)
tidak pernah dinyatakan pailit atau
bersalah yang menyebabkan suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
f)
tidak pernah menjadi Pemegang Saham,
Direksi, Dewan Komisaris, atau DPS
pada perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5 (lima)
tahun terakhir; dan
5. surat keterangan atau bukti tertulis
berpengalaman di bidang PMV, PMVS,
dan/atau lembaga keuangan lainnya selama
2 (dua) tahun bagi salah satu Direksi;
d. data Pemegang Saham atau anggota:
1. orang perseorangan, dilampiri dengan:
a)
fotokopi tanda pengenal berupa kartu
tanda penduduk (KTP) atau paspor yang
masih berlaku;
b) fotokopi nomor pokok wajib pajak
(NPWP);
c)
fotokopi surat pemberitahuan (SPT)
tahunan pajak untuk 1 (satu) tahun
terakhir;
d) daftar riwayat hidup dengan dilengkapi
pas foto berwarna yang terbaru
berukuran 4 x 6 cm; dan
- 11 -
e) surat pernyataan
dari yang
bersangkutan yang menyatakan:
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
dan untuk kegiatan pencucian
uang (money laundering) dan
kejahatan keuangan;
3) tidak tercatat dalam daftar kredit
macet;
4) tidak tercatat dalam daftar tidak
lulus (DTL) di sektor jasa
keuangan;
5) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
6) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak
pidana
kejahatan berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dinyatakan pailit atau
bersalah yang menyebabkan suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir; dan
8) tidak pernah menjadi PSP, Direksi,
Dewan Komisaris, atau DPS pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
- 12 -
2. badan hukum Indonesia, badan usaha asing
atau lembaga asing, dilampiri dengan:
a) akta pendirian termasuk anggaran
dasar berikut perubahan yang terakhir
(jika ada),
pengesahan,
disertai dengan bukti
persetujuan, atau
pencatatan dari instansi berwenang;
b) laporan keuangan yang telah diaudit
oleh akuntan publik yang dilengkapi
laporan keuangan non konsolidasi dan
laporan keuangan bulan terakhir;
c)
daftar Pemegang Saham berikut rincian
besarnya masing-masing kepemilikan
saham;
d) konfirmasi dari otoritas pengawas di
negara asal pihak asing, dalam hal
terdapat penyertaan langsung oleh
pihak asing yang berbentuk lembaga
keuangan;
e) dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c angka 1, angka 2, dan
angka 3 bagi direksi atau yang setara
dengan itu dari pemegang saham yang
bersangkutan; dan
f)
surat pernyataan direksi atau yang
setara dengan itu dari pemegang saham
dimaksud yang menyatakan bahwa:
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
dan untuk kegiatan pencucian
uang (money laundering);
3) tidak tercatat dalam daftar kredit
macet;
4) tidak tercatat dalam daftar tidak
lulus (DTL) di sektor jasa
keuangan;
- 13 -
5) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
6) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak
kejahatan berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dinyatakan pailit atau
bersalah yang menyebabkan suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir; dan
8) tidak pernah menjadi PSP pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
3. negara Republik Indonesia, dilampiri dengan
Peraturan Pemerintah mengenai penyertaan
modal negara Republik Indonesia untuk
pendirian PMV atau PMVS; dan/atau
4. pemerintah daerah, dilampiri dengan
Peraturan Daerah mengenai penyertaan
modal daerah untuk pendirian PMV atau
PMVS;
e.
risalah RUPS mengenai pengangkatan anggota
DPS beserta rekomendasi tertulis dari Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI), bagi PMVS;
f.
fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dan
fotokopi bukti penempatan Modal Disetor dalam
pidana
- 14 -
bentuk deposito berjangka atas nama PMV atau
PMVS pada salah satu bank umum atau bank
umum syariah di Indonesia yang telah dilegalisasi
oleh bank penerima setoran dan masih berlaku
selama dalam proses pengajuan izin usaha;
g. bukti kesiapan operasional paling sedikit berupa:
1. daftar aset tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
kantor;
3. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan
digunakan untuk operasional PMV atau
PMVS yang memuat hak dan kewajiban para
pihak; dan
4. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
h. rencana kerja untuk 5 (lima) tahun pertama yang
paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
2. rencana kegiatan usaha PMV atau PMVS dan
langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan,
dan laporan laba/rugi komprehensif bulanan
serta asumsi yang mendasarinya dimulai
sejak PMV atau PMVS melakukan kegiatan
operasional;
i.
fotokopi perjanjian kerja sama antara pihak asing
dan pihak Indonesia bagi PMV atau PMVS yang di
dalamnya terdapat penyertaan dari badan usaha
asing dan/atau lembaga asing;
j.
struktur organisasi yang dilengkapi dengan
susunan personalia, uraian tugas, wewenang,
tanggung jawab, dan prosedur kerja;
k. pedoman pelaksanaan penerapan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme;
- 15 -
l. pedoman tata kelola perusahaan yang baik bagi
PMV atau PMVS; dan
m. bukti pelunasan pembayaran biaya perizinan
dalam rangka pemberian izin usaha.
Pasal 5
(1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha
diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK melakukan:
a.
penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana maksud dalam Pasal 4 ayat (2);
b.
analisis kelayakan atas rencana kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf h;
c.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Usaha Modal
Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah;
d. pemeriksaan setoran modal; dan
e.
penelitian dari kinerja keuangan terhadap
lembaga keuangan lain yang berada pada
kepemilikan PSP yang sama.
(3) Penolakan
atas
permohonan
izin
usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan alasan penolakan.
(4) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK
menetapkan keputusan pemberian izin usaha kepada
pemohon.
Pasal 6
(1) PMV atau PMVS yang telah mendapat izin usaha dari
OJK wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 6
(enam) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha
ditetapkan oleh OJK.
- 16 -
(2) PMV atau PMVS wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha.
(3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan:
a. fotokopi perjanjian kegiatan Usaha Modal
Ventura/Usaha Modal Ventura Syariah yang telah
dilakukan; dan
b. fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin
menggunakan tenaga kerja asing yang
dikeluarkan oleh instansi berwenang bagi anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris
berkewarganegaraan asing.
Pasal 7
(1) PMV harus menggunakan nama PMV yang dimulai
dengan bentuk badan usaha dan memuat kata
ventura.
(2) PMVS harus menggunakan nama PMVS yang dimulai
dengan bentuk badan usaha dan memuat kata
ventura syariah.
(3) Penggunaan nama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bagi PMV atau ayat (2) bagi PMVS berbentuk badan
hukum perseroan terbatas harus juga memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
perseroan terbatas.
Pasal 8
Nama PMV atau PMVS wajib dicantumkan secara jelas
pada gedung kantor PMV atau PMVS.
- 17 -
Bagian Ketiga
Permodalan
Pasal 9
(1) PMV harus memenuhi ketentuan permodalan pada
saat pendirian sebagai berikut:
a. badan hukum perseroan terbatas, memiliki Modal
Disetor paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah);
b. badan hukum koperasi, memiliki Modal Disetor
paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah); atau
c. badan usaha perseroan komanditer, memiliki
Modal Disetor paling sedikit Rp25.000.000.000,00
(dua lima puluh miliar rupiah).
(2) PMVS harus memenuhi ketentuan permodalan pada
saat pendirian sebagai berikut:
a. badan hukum perseroan terbatas, memiliki Modal
Disetor paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah);
b. badan hukum koperasi, memiliki Modal Disetor
paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah); atau
c. badan usaha perseroan komanditer, memiliki
Modal Disetor paling sedikit Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(3) Permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk
deposito berjangka atas nama PMV pada salah satu
bank umum atau bank umum syariah di Indonesia.
(4) Permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk
deposito berjangka atas nama PMVS pada salah satu
bank umum syariah di Indonesia.
- 18 -
Pasal 10
Total kepemilikan asing pada PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas baik secara
langsung maupun tidak langsung paling tinggi 85%
(delapan puluh lima persen) dari Modal Disetor.
Pasal 11
(1) PMV atau PMVS hanya dapat memperdagangkan
sahamnya di bursa efek paling tinggi 85% (delapan
puluh lima persen) dari Modal Disetor PMV atau PMVS
yang bersangkutan.
(2) Bagi PMV atau PMVS yang memperdagangkan
sahamnya di bursa efek, paling rendah 15% (lima
belas persen) dari total Modal Disetor PMV atau PMVS,
wajib tetap dimiliki baik secara langsung maupun
tidak langsung oleh warga negara Indonesia,
pemerintah pusat, dan/atau pemerintah daerah.
Pasal 12
(1) Bagi Pemegang Saham yang berbentuk badan hukum
Indonesia, badan usaha asing, dan/atau lembaga
asing, jumlah penyertaan langsung pada PMV atau
PMVS ditetapkan paling tinggi sebesar ekuitas
Pemegang Saham.
(2) Jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dipenuhi pada saat badan usaha
atau lembaga yang bersangkutan melakukan:
a. penyetoran modal pendirian PMV atau PMVS;
b. perubahan Pemegang Saham PMV atau PMVS;
dan/atau
c. penambahan Modal Disetor PMV atau PMVS.
Pasal 13
(1) Ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), tidak berlaku bagi
Pemegang Saham PMV atau PMVS yang merupakan
- 19 -
dana pensiun, perusahaan pembiayaan, perusahaan
perasuransian, PMV atau PMVS, dan/atau perbankan.
(2) Bagi Pemegang Saham yang merupakan dana pensiun,
perusahaan pembiayaan, perusahaan perasuransian,
PMV atau PMVS, dan/atau perbankan pada saat
melakukan penyertaan langsung pada PMV atau
PMVS, jumlah penyertaan langsung yang dilakukan
harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai investasi
dan/atau penyertaan.
BAB III
STRUKTUR ORGANISASI
Pasal 14
(1) PMV dan PMVS wajib mempunyai struktur organisasi
yang menggambarkan secara jelas paling sedikit fungsi:
a. administrasi dan pembukuan;
b.
analisis kelayakan Usaha Modal Ventura atau
Usaha Modal Ventura Syariah;
c. manajemen risiko dan pengendalian internal;
d. pengelolaan keuangan termasuk pengelolaan
portofolio investasi; dan
e. penerapan pelaksanaan program anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
(2) Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilengkapi dengan susunan personalia,
uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
prosedur kerja secara tertulis.
BAB IV
SUMBER DAYA MANUSIA
Bagian Kesatu
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 15
(1) PMV dan PMVS dapat menggunakan tenaga kerja
asing.
- 20 -
(2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk dipekerjakan sebagai:
a. tenaga ahli dengan level jabatan satu tingkat di
bawah Direksi;
b. penasihat; atau
c. konsultan.
(3) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memenuhi persyaratan:
a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas
yang akan menjadi tanggung jawabnya; dan
b. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan.
(4) PMV dan PMVS yang mempekerjakan tenaga kerja
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
menyelenggarakan kegiatan alih pengetahuan dari
tenaga kerja asing kepada pegawai PMV atau PMVS.
(5) Alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), harus dibuat dalam bentuk program pendidikan
dan pelatihan tahunan kepada pegawai PMV atau
PMVS.
(6) PMV dan PMVS yang mempekerjakan tenaga kerja
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
terlebih dahulu melaporkan kepada OJK paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sebelum tenaga kerja asing
dimaksud dipekerjakan sesuai dengan format 3
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dilampiri dengan dokumen:
a. daftar riwayat hidup tenaga kerja asing yang
dipekerjakan, disertai dengan fotokopi dokumen
yang mencerminkan bidang keahliannya;
b. rencana program pendidikan dan pelatihan
tahunan selama tenaga kerja asing dimaksud
dipekerjakan; dan
c. rencana penempatan dan bidang tugas yang
menjadi tanggung jawab tenaga kerja asing.
- 21 -
Bagian Kedua
Pengembangan Tenaga Kerja
Pasal 16
(1) PMV dan PMVS wajib menyelenggarakan program
pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga
kerja.
(2) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
dilakukan dalam bentuk program pendidikan dan
pelatihan.
BAB V
KEANGGOTAAN PADA ASOSIASI
Pasal 17
(1) PMV dan PMVS wajib terdaftar sebagai anggota
asosiasi yang menaungi PMV dan PMVS di Indonesia
yang mendapatkan pengakuan dari OJK.
(2) Pelaksanaan kegiatan asosiasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaporkan kepada OJK paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
BAB VI
UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Pembentukan UUS
Pasal 18
(1) PMV yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah wajib membentuk UUS.
(2) UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mempunyai pembukuan terpisah dari PMV.
- 22 -
Bagian Kedua
Modal Kerja UUS
Pasal 19
(1) UUS harus mempunyai modal kerja pada saat
pembentukannya paling sedikit Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2) Modal kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disisihkan dalam bentuk deposito berjangka
atas nama PMV dan ditempatkan pada salah satu
bank umum syariah di Indonesia.
Bagian Ketiga
Perizinan UUS
Pasal 20
(1) UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
wajib terlebih dahulu memperoleh izin UUS dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi PMV harus mengajukan
permohonan pembentukan UUS kepada OJK dengan
menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Pengajuan permohonan izin pembentukan UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri
dengan dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang mencantumkan:
1. salah satu maksud dan tujuan PMV yaitu
melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura
Syariah; dan
2. wewenang dan tanggung jawab DPS,
disertai dengan bukti persetujuan dan/atau surat
penerimaan pemberitahuan dari instansi
berwenang;
b. fotokopi bukti setoran modal kerja dalam bentuk
deposito berjangka atas nama PMV pada salah
- 23 -
satu bank umum syariah di Indonesia yang telah
dilegalisasi oleh bank penerima setoran dan
masih berlaku selama dalam proses perizinan
UUS;
c. surat keputusan Direksi PMV yang menyetujui
penempatan modal kerja pada UUS disertai
dengan besaran jumlah penempatan modal
kerjanya;
d. data DPS berupa:
1. risalah RUPS mengenai pengangkatan DPS;
2. rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI);
3. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
4. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
5. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan
pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm; dan
6. surat pernyataan yang menyatakan tidak
tercatat dalam daftar kredit macet;
e. data pimpinan UUS, meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
3. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan
pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm;
4. bukti pengangkatan sebagai pimpinan UUS;
5. bukti keahlian,
pelatihan, dan/atau
pengalaman di bidang keuangan syariah;
dan
6. surat pernyataan yang menyatakan:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
dan
b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain
pada PMV yang sama, kecuali pimpinan
UUS adalah Direksi;
- 24 -
f.
laporan keuangan awal UUS yang terpisah dari
kegiatan usaha PMV;
g. dokumen pelaporan penggunaan akad yang
digunakan dalam kegiatan Usaha Modal Ventura
Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan
OJK mengenai penyelenggaraan usaha
Perusahaan Modal Ventura; dan
h. rencana kerja UUS yang akan dibuka yang paling
sedikit memuat:
1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
2. target kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah
dan langkah-langkah
yang
dilakukan untuk mewujudkan target
dimaksud;
3. sistem dan prosedur kerja;
4. jumlah dan susunan personalia; dan
5. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua
belas) bulan yang dimulai sejak UUS
melakukan kegiatan operasional serta
proyeksi laporan posisi keuangan dan
laporan kinerja keuangan.
(4) Bagi PMV yang telah melakukan sebagian kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan
OJK ini diundangkan, wajib menyampaikan
permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan
OJK ini diundangkan, dilampiri dengan dokumen:
a. surat keputusan Direksi mengenai penempatan
modal kerja pada UUS;
b. surat pencatatan perubahan anggaran dasar PMV
dalam rangka pembentukan UUS dari Menteri
Keuangan atau OJK;
c.
daftar Kantor Cabang PMV yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
disertai dengan fotokopi surat pencatatan
pelaporan dari Menteri Keuangan atau OJK; dan
- 25 -
d. dokumen pendukung data pimpinan UUS,
meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
3. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan
pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm;
4. bukti pengangkatan sebagai pimpinan UUS;
5. bukti
keahlian,
pelatihan, dan/atau
pengalaman di bidang keuangan syariah;
dan
6. surat pernyataan yang menyatakan:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
dan
b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain
pada PMV yang sama, kecuali pimpinan
UUS adalah Direksi.
(5) PMV yang mengajukan permohonan izin UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan belum
memiliki surat pencatatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf b, maka PMV harus melampirkan
dokumen pengganti berupa:
a. Anggaran dasar yang memuat maksud dan
tujuan perusahaan untuk melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah disertai bukti
persetujuan
dan/atau
surat
penerimaan
pemberitahuan dari instansi berwenang; dan
b. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Pasal 21
(1) Dalam memproses permohonan izin pembentukan
UUS, OJK melakukan:
a.
analisis dan penelitian atas kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3) atau ayat (4);
- 26 -
b.
analisis kelayakan atas rencana kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3)
huruf h; dan
c.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Usaha Modal
Ventura Syariah.
(2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin pembentukan UUS paling lama 30
(tigapuluh) hari kerja setelah permohonan izin
pembentukan UUS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (3) atau ayat (4) diterima secara lengkap.
(3) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan
penolakan.
Pasal 22
(1) UUS wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 6
(enam) bulan terhitung sejak tanggal izin
pembentukan UUS ditetapkan.
(2) UUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
kegiatan usaha kepada OJK paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha
UUS.
(3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan Direksi PMV dengan
menggunakan format 5 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri
dokumen:
a.
b.
fotokopi perjanjian kegiatan Usaha Modal Ventura
Syariah yang telah dilakukan.
daftar perjanjian kegiatan Usaha Modal Ventura
Syariah yang telah dilakukan; dan
- 27 -
Bagian Keempat
Pimpinan UUS
Pasal 23
(1) UUS wajib dipimpin oleh seorang pimpinan UUS.
(2) Pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memenuhi ketentuan:
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
b. tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada PMV
yang sama, kecuali pimpinan UUS adalah Direksi;
dan
c. mempunyai keahlian dan/atau pengalaman di
bidang jasa keuangan syariah.
Pasal 24
(1) PMV yang mempunyai UUS wajib melaporkan
perubahan pimpinan UUS kepada OJK paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak tanggal pengangkatan
pimpinan UUS.
(2) Pelaporan perubahan pimpinan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(3) huruf e.
Bagian Kelima
Kantor Cabang Unit Syariah
Pasal 25
(1) PMV yang mempunyai UUS wajib melaporkan
pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah kepada OJK
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah.
(2) Pelaporan pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
oleh Direksi kepada OJK sesuai dengan format 6
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
- 28 -
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan disertai informasi:
a. data alamat lengkap Kantor Cabang Unit Syariah;
dan
b. nama pimpinan Kantor Cabang Unit Syariah serta
jumlah karyawan.
Pasal 26
(1) PMV yang mempunyai UUS wajib melaporkan
perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah kepada
OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal perubahan alamat Kantor Cabang Unit
Syariah.
(2) Pelaporan perubahan alamat Kantor Cabang Unit
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diajukan oleh Direksi PMV dengan menggunakan
format 7 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
Pasal 27
(1) PMV yang mempunyai UUS wajib melaporkan
penutupan Kantor Cabang Unit Syariah kepada OJK
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal penutupan Kantor Cabang Unit Syariah.
(2) Laporan penutupan Kantor Cabang Unit Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan
oleh Direksi PMV disertai dengan alasan penutupan
dengan menggunakan format 8 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan
disertai:
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor
Cabang Unit Syariah; dan
b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban pihak
terkait.
- 29 -
Pasal 28
(1) PMV yang mempunyai UUS dapat membuka kantor
selain Kantor Cabang Unit Syariah dengan wajib
terlebih dahulu melaporkan kepada OJK paling lama
10 (sepuluh) hari kerja tanggal pembukaan kantor
selain Kantor Cabang Unit Syariah.
(2) Pelaporan pembukaan kantor selain Kantor Cabang
Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 9 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan disertai
informasi alamat lengkap kantor selain Kantor Cabang
Unit Syariah.
(3) Kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah dilarang
memberikan persetujuan perjanjian Usaha Modal
Ventura Syariah kepada Pasangan Usaha, kecuali
memberikan kegiatan usaha pelayanan jasa.
(4) Perubahan alamat dan/atau penutupan kantor selain
Kantor Cabang Unit Syariah wajib dilaporkan oleh
Direksi kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal perubahan alamat dan/atau
penutupan kantor.
(5) Pelaporan perubahan alamat kantor selain Kantor
Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 10 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan disertai
informasi alamat lengkap kantor selain Kantor Cabang
Unit Syariah.
Bagian Keenam
Penutupan UUS
Pasal 29
(1) PMV dapat menutup UUS dengan wajib terlebih
dahulu melaporkan rencana penutupan UUS kepada
- 30 -
OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
penutupan dilakukan.
(2) PMV yang akan menutup UUS wajib terlebih dahulu
memberitahukan kepada Pasangan Usaha mengenai:
a. rencana penutupan UUS; dan
b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban
Pasangan Usaha dan pemberi dana yang
berkepentingan.
(3) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban kepada
Pasangan Usaha dan pemberi dana yang
berkepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b wajib dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundangan-undangan dan memperhatikan
kepentingan Pasangan Usaha dan pemberi dana yang
berkepentingan.
Pasal 30
(1) Pelaporan rencana penutupan UUS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) harus diajukan oleh
Direksi PMV disertai dengan alasan penutupan dengan
menggunakan format 11 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri
dokumen:
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan UUS
kepada Pasangan Usaha dan pemberi dana yang
berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (2) huruf a;
b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak
dan kewajiban kepada Pasangan Usaha dan
pemberi dana yang berkepentingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b; dan
c. bukti penyelesaian keberatan dari Pasangan
Usaha dan pemberi dana yang berkepentingan,
apabila terdapat keberatan dari Pasangan Usaha
dan pemberi dana yang berkepentingan.
- 31 -
(2) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut izin pembentukan UUS.
Bagian Ketujuh
Pemisahan UUS
Pasal 31
(1) PMV yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas
wajib memisahkan UUS menjadi PMVS dengan cara
mendirikan badan hukum perseroan terbatas apabila
nilai aset UUS telah mencapai paling sedikit 50% (lima
puluh persen) dari total aset PMV induknya
berdasarkan laporan bulanan terakhir yang
disampaikan kepada OJK.
(2) Pemisahan UUS menjadi PMVS dengan cara
mendirikan badan hukum perseroan terbatas wajib
dilakukan PMV dalam jangka waktu paling lama 12
(dua belas) bulan sejak terpenuhinya kondisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal selama proses Pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), aset UUS menurun dan tidak
lagi mencapai paling rendah 50% (lima puluh persen)
dari total aset PMV induknya, kondisi dimaksud tidak
menghilangkan kewajiban PMV untuk melakukan
Pemisahan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) PMV yang memiliki UUS dapat memisahkan UUS
sebelum terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 32
(1) PMVS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1) harus memenuhi ketentuan Modal
Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
pada saat pendiriannya.
- 32 -
(2) Pemenuhan Modal Disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan secara tunai dan penuh
dalam bentuk deposito berjangka atas nama PMVS
pada salah satu bank umum syariah di Indonesia atau
dalam bentuk lain yang diperkenankan berdasarkan
peraturan-perundang-undangan dan sesuai standar
akuntansi.
(3) Bukti pemenuhan Modal Disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dilampirkan pada saat
mengajukan permohonan izin usaha.
(4) Pelaksanaan pemisahan UUS wajib dilakukan
berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK ini dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
KANTOR CABANG
Pasal 33
(1) PMV atau PMVS dapat membuka Kantor Cabang di
seluruh wilayah Republik Indonesia.
(2) PMV atau PMVS wajib melaporkan pembukaan Kantor
Cabang kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal pembukaan Kantor Cabang.
(3) Pelaporan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Direksi
kepada OJK sesuai dengan format 12 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan
disertai informasi:
a. data alamat lengkap Kantor Cabang; dan
b. nama pimpinan Kantor Cabang serta jumlah
karyawan.
Pasal 34
(1) Penutupan Kantor Cabang PMV atau PMVS wajib
dilaporkan ke OJK.
- 33 -
(2) Laporan penutupan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Direksi
PMV atau PMVS disertai dengan alasan penutupan
dengan menggunakan format 13 dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah penutupan Kantor Cabang dilaksanakan
dengan disertai:
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor
Cabang; dan
b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban pihak
terkait.
BAB VIII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 35
(1) PMV atau PMVS berbentuk badan hukum perseroan
terbatas yang melakukan perubahan anggaran dasar
tertentu wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15
(lima belas) hari kerja setelah perubahan disetujui
atau dicatat oleh instansi yang berwenang.
(2) PMV atau PMVS berbentuk badan hukum koperasi
yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu
wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima
belas) hari kerja setelah perubahan disahkan oleh
instansi yang berwenang atau disetujui RUPS.
(3) PMV atau PMVS berbentuk badan usaha perseroan
komanditer yang melakukan perubahan anggaran
dasar tertentu wajib melaporkan kepada OJK paling
lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal akta
perubahan anggaran dasar yang dibuat di hadapan
notaris.
- 34 -
(4) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) meliputi
perubahan:
a. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PMV
atau PMVS;
b. nama PMV atau PMVS;
c. perubahan badan usaha perseroan komanditer
menjadi badan hukum perseroan terbatas;
d. pengurangan Modal Disetor bagi PMVatau PMVS;
e. status PMV atau PMVS yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas tertutup menjadi
perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya;
dan/atau
f. penambahan Modal Disetor bagi PMV atau PMVS.
(5) Dalam hal perubahan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a memerlukan
persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha
perusahaan modal ventura, maka PMV atau PMVS
wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan
dimaksud.
(6) Pelaporan perubahan maksud dan tujuan serta
kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal
Ventura Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a harus disampaikan oleh Direksi PMV atau
PMVS dengan menggunakan format 14 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dengan dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran
dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk
badan hukum koperasi;
- 35 -
c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS
yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer; dan
d. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan
digunakan, dalam hal terjadi perubahan kegiatan
usaha.
(7) Pelaporan perubahan nama PMV atau PMVS
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b harus
disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan
menggunakan format 15 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan
dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran
dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk
badan hukum koperasi;
c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS
yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer; dan
d. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama PMV
atau PMVS yang baru.
(8) Pelaporan perubahan badan usaha perseroan
komanditer menjadi badan hukum perseroan terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c harus
disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan
menggunakan format 16 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan
dokumen:
a. anggaran pendirian perseroan terbatas yang
disertai dengan bukti persetujuan dari instansi
berwenang; dan
- 36 -
b. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama PMV
atau PMVS yang baru.
(9) Pelaporan pengurangan Modal Disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf d harus disampaikan
oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan
format 17 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran
dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk
badan hukum koperasi; dan
c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS
yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer.
(10) Pelaporan perubahan status PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas tertutup
menjadi perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e, harus
disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan
menggunakan format 18 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan
dokumen perubahan anggaran dasar disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang.
(11) Penambahan Modal Disetor bagi PMV atau PMVS
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f hanya
dapat dilakukan dalam bentuk:
a. setoran tunai;
b. konversi pinjaman menjadi setoran modal;
c. konversi laba ditahan menjadi setoran modal;
dan/atau
d. dividen saham.
- 37 -
(12) Pelaporan penambahan Modal Disetor PMV atau PMVS
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f harus
disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan
menggunakan format 19 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan
dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran
dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk
badan hukum koperasi;
c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS
yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer;
d. bukti penambahan Modal Disetor, yaitu:
1. fotokopi bukti setoran pelunasan Modal
Disetor dari Pemegang Saham dan fotokopi
bukti penempatan Modal Disetor atas nama
PMV atau PMVS pada salah satu bank
umum atau bank umum syariah di Indonesia
dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran,
dalam hal penambahan Modal Disetor
dilakukan dalam bentuk setoran tunai; atau
2. laporan keuangan PMV atau PMVS yang
telah diaudit oleh akuntan publik sebelum
penambahan modal, dalam hal penambahan
Modal Disetor dilakukan dalam
bentukkonversi pinjaman dan/atau laba
ditahan bagi PMV atau PMVS;
e. surat pernyataan Pemegang Saham, anggota
koperasi, atau pesero yang menyatakan bahwa
setoran modal tidak berasal dari pinjaman,
kegiatan pencucian uang (money laundering), dan
kejahatan keuangan dalam hal penambahan
- 38 -
modal dilakukan dalam bentuk setoran tunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (11) huruf a;
f.
laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik yang dilengkapi laporan
keuangan non konsolidasi dan laporan keuangan
bulan terakhir dalam hal Pemegang Saham
berupa badan hukum Indonesia, badan usaha
asing atau lembaga asing;
g.
fotokopi surat pemberitahuan (SPT) tahunan
pajak untuk 1 (satu) tahun terakhir dalam hal
Pemegang Saham PMV atau PMVS adalah orang
perseorangan; dan
h. rencana bisnis (business plan) dan langkah-
langkah PMV atau PMVS dalam penggunaan
penambahan Modal Disetor.
Bagian Kedua
Pelaporan Perubahan Anggota Direksi, Anggota Dewan
Komisaris, Pemegang Saham, dan Anggota DPS
Pasal 36
(1) PMV atau PMVS yang melakukan perubahan:
a. anggota Direksi
b. anggota Dewan Komisaris; dan/atau
c. Pemegang Saham,
wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima
belas) hari kerja setelah perubahan disetujui atau
dicatat oleh instansi yang berwenang.
(2) Pelaporan perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b, harus disampaikan
oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan
format 20 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
- 39 -
PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran
dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk
badan hukum koperasi; atau
c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS
yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer.
(3) Pelaporan perubahan Pemegang Saham PMV atau
PMVS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS
dengan menggunakan format 21 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dengan dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran
dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk
badan hukum koperasi;
c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS
yang berbentuk badan usaha perseroan
komanditer;
d. akta pemindahan hak atas saham, dalam hal
terjadi pemindahan hak atas saham;
e. data Pemegang Saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dan huruf d, dalam
hal terdapat Pemegang Saham baru; dan
f.
surat pernyataan Pemegang Saham yang
menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk
membeli saham PMV atau PMVS tidak berasal
dari kegiatan pencucian uang (money laundering)
dan kejahatan keuangan, dalam hal terjadi jual
beli saham.
- 40 -
(4) Dalam hal PMV atau PMVS memperdagangkan
sahamnya di bursa efek, kewajiban pelaporan
perubahan Pemegang Saham sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c berlaku apabila:
a. terdapat perubahan Pemegang Saham dari saham
yang diperoleh bukan dari perdagangan bursa
efek; dan/atau
b. terdapat perubahan PSP.
Pasal 37
(1) PMVS dan UUS wajib melaporkan perubahan susunan
DPS kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja
sejak pengangkatan sesuai dengan format 22
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisah dari Peraturan
OJK ini.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan
risalah RUPS
mengenai
pengangkatan anggota DPS disertai dengan surat
rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Bagian Ketiga
Laporan Kegiatan Usaha Baru
Pasal 38
(1) PMV atau PMVS wajib melaporkan setiap kegiatan
usaha baru yang akan dilaksanakannya kepada OJK.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan
menggunakan format 23 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri
dengan dokumen:
a. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama
mengenai kegiatan usaha baru yang akan
dilakukan, yang paling sedikit memuat:
- 41 -
1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
2. rencana kegiatan usaha PMV atau PMVS dan
langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan,
dan laporan laba/rugi komprehensif bulanan
serta asumsi yang mendasarinya dimulai
sejak PMV atau PMVS melakukan kegiatan
usaha baru.
b. struktur organisasi yang dilengkapi dengan
susunan personalia, uraian tugas, wewenang,
tanggung jawab, dan prosedur kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf j, terkait
dengan kegiatan usaha baru yang akan
dilakukan.
c. contoh formulir terkait kegiatan usaha baru yang
akan dilakukan, termasuk perjanjian pengelolaan
dana, penyertaan, dan pembiayaan yang akan
digunakan untuk operasional PMV atau PMVS.
(3) PMV atau PMVS dapat melakukan kegiatan usaha
baru dengan memenuhi persyaratan:
a. tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi
minimum sehat; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha oleh OJK.
Bagian Keempat
Laporan Perubahan Alamat
Pasal 39
(1) PMV atau PMVS wajib melaporkan perubahan alamat
kantor pusat dan/atau Kantor Cabang secara tertulis
kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal perubahan.
(2) Pelaporan perubahan alamat kantor pusat dan/atau
Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 42 -
harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS
dengan
menggunakanformat
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
BAB IX
PENGGABUNGAN, PELEBURAN,
PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN
Bagian Kesatu
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Pasal 40
(1) PMV atau PMVS dapat melakukan:
a. Penggabungan;
b. Peleburan; atau
c. Pengambilalihan.
(2) Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat
dilakukan oleh PMV atau PMVS berbentuk badan
hukum yang sama.
(3) Penggabungan atau Peleburan hanya dapat dilakukan
antara PMV dengan PMV lainnya atau antara PMVS
dengan PMVS lainnya.
(4) Pengambilalihan
terhadap PMV atau PMVS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan
Pasal 13.
Pasal 41
(1) PMV atau PMVS yang akan melakukan Penggabungan,
Peleburan, atau
Pengambilalihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) wajib
menyampaikan rencana Penggabungan, Peleburan,
atau Pengambilalihan kepada OJK untuk
mendapatkan persetujuan.
24 sebagaimana
- 43 -
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS
dengan menggunakan format 25 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dengan dokumen:
a. rencana akta risalah RUPS;
b. rencana akta Penggabungan, Peleburan, atau
Pengambilalihan;
c. rencana
daftar kepemilikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, bagi
PMV atau PMVS yang akan melakukan
Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan;
d. rencana akta pemindahan hak atas saham, dalam
hal Pengambilalihan saham dilakukan secara
langsung dari Pemegang Saham, bagi PMV atau
PMVS yang akan melakukan Pengambilalihan;
e. laporan keuangan terakhir PMV atau PMVS yang
telah diaudit;
f.
laporan keuangan proforma dari PMV atau PMVS
hasil Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan;
g. data Pemegang Saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d;
h. surat pernyataan Pemegang Saham yang
menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk
membeli saham PMV atau PMVS tidak berasal
dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money
laundering), dan kejahatan keuangan, bagi PMV
atau PMVS
yang akan melakukan
Pengambilalihan;
i.
rencana bisnis (business plan) dan langkah-
langkah PMV, atau PMVS setelah dilakukan
Penggabungan, Peleburan atau Pengambilalihan;
dan
j. dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 4
ayat (2) huruf c, huruf e, huruf f, huruf g, huruf
atau
- 44 -
h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m,
bagi PMV atau PMVS baru hasil Peleburan.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), OJK melakukan:
a.
penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b.
c.
analisis kelayakan atas rencana Penggabungan,
Peleburan, atau Pengambilalihan; dan
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Usaha Modal
Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 42
(1) PMV atau PMVS yang telah mendapatkan persetujuan
Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan dari
OJK harus melaksanakan Penggabungan, Peleburan,
atau Pengambilalihan tersebut paling lama 60 (enam
puluh) harikerja terhitung sejak tanggal surat
persetujuan OJK.
(2) Dalam hal realisasi rencana Penggabungan, Peleburan,
atau Pengambilalihan tidak sesuai dengan jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
surat persetujuan OJK menjadi tidak berlaku.
(3) PMV atau PMVS yang menerima Penggabungan wajib
melaporkan Penggabungan secara tertulis kepada OJK
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya persetujuan atau pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang.
(4) PMV atau PMVS hasil Peleburan wajib melaporkan
Peleburan secara tertulis kepada OJK paling lama 10
(sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
- 45 -
diterimanya persetujuan atau pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang.
(5) PMV atau PMVS yang diambil alih wajib melaporkan
Pengambilalihan secara tertulis kepada OJK paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
akta Pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris.
(6) Pelaporan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), harus
disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan
menggunakan format 26 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan
dokumen:
a. untuk Penggabungan:
1. akta perubahan anggaran dasar PMV atau
PMVS yang menerima Penggabungan yang
telah disetujui atau dicatat oleh instansi
yang berwenang;
2. akta Penggabungan yang telah disetujui atau
dicatat oleh instansi yang berwenang;
3. daftar rincian Kantor Cabang beserta alamat
lengkap; dan
4. dokumen yang menyatakan bahwa PMV atau
PMVS yang menggabungkan diri tidak
mempunyai utang pajak dari instansi yang
berwenang.
b. untuk Peleburan:
1. akta risalah RUPS;
2. akta Peleburan yang telah disetujui atau
dicatat oleh instansi yang berwenang;
3. akta Pendirian PMV atau PMVS hasil
peleburan yang telah disetujui atau dicatat
oleh instansi yang berwenang;
4. daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b;
5. daftar rincian Kantor Cabang beserta alamat
lengkap; dan
- 46 -
6. dokumen yang menyatakan bahwa PMV atau
PMVS yang meleburkan diri
tidak
mempunyai utang pajak dari instansi yang
berwenang.
(7) Pelaporan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), harus disampaikan oleh Direksi PMV
atau PMVS dengan menggunakan format 27
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen:
a. akta perubahan anggaran dasar yang telah
disetujui atau dicatat oleh instansi yang
berwenang; dan
b. akta Pengambilalihan.
(8) Berdasarkan pelaporan Penggabungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf a, OJK:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) huruf a angka 1 sampai dengan angka 4;
b. mencabut izin usaha PMV atau PMVS yang
menggabungkan diri.
(9) Berdasarkan pelaporan Peleburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf b, OJK:
a. melakukan penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) huruf b angka 1 sampai dengan angka 6;
b. mencabut izin usaha PMV atau PMVS yang
meleburkan diri;
c. memberikan persetujuan atau penolakan izin
usaha kepada PMV atau PMVS yang merupakan
hasil Peleburan;
(10) Pemberian persetujuan atau penolakan izin usaha
dalam Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
huruf c dilakukan paling lama 30 hari kerja setelah
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf
b diterima lengkap.
- 47 -
(11) Dalam hal OJK menolak untuk menetapkan izin
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat(9) huruf c
penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara
tertulis.
(12) Sebelum persetujuan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) huruf c diberikan, PMV atau
PMVS dilarang menjalankan kegiatan Usaha Modal
Ventura.
Bagian Kedua
Pemisahan
Pasal 43
(1) PMV atau PMVS dapat melakukan Pemisahan, dengan
cara:
a. Pemisahan murni; atau
b. Pemisahan tidak murni.
(2) Terhadap Pemisahan murni sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berlaku:
a. seluruh aset, liabilitas, dan Ekuitas PMV atau
PMVS beralih karena hukum kepada 2 (dua) atau
lebih PMV atau PMVS lain yang menerima
peralihan; dan
b. PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan
tersebut berakhir karena hukum.
(3) Terhadap Pemisahan tidak murni sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku:
a. sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas PMV atau
PMVS beralih karena hukum kepada 1 (satu) atau
lebih PMV atau PMVS lain yang menerima
peralihan; dan
b. PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan
tersebut tetap ada.
(4) PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan murni
atau tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan
Pemisahan dari OJK.
- 48 -
(5) Permohonan untuk memperoleh persetujuan
Pemisahan murni atau tidak murni sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus diajukan oleh Direksi
PMV atau PMVS yang akan melakukan Pemisahan
kepada OJK dengan menggunakan format 28
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen:
a. rancangan akta Pemisahan;
b. rancangan akta pendirian PMV atau PMVS yang
akan menerima aset, liabilitas, dan Ekuitas; dan
c. proyeksi laporan posisi keuangan PMV atau
PMVS yang melakukan Pemisahan.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan
Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(7) PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan tidak
murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tetap dapat melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura
atau Usaha Modal Ventura Syariah.
Pasal 44
(1) PMV atau PMVS dapat melakukan Pemisahan murni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf
a, dengan cara mendirikan PMV atau PMVS baru.
(2) PMV atau PMVS baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang melakukan kegiatan Usaha Modal
Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah sebelum
memperoleh izin usaha dari OJK.
(3) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Direksi PMV atau PMVS baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal akta Pemisahan yang dibuat di hadapan
notaris, dengan menggunakan format 29 sebagaimana
- 49 -
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud
pada Pasal 4 ayat (2).
(4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha
diterima secara lengkap.
Pasal 45
PMV atau PMVS dapat melakukan Pemisahan tidak murni
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b,
dengan cara:
a. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas
PMV atau PMVS dengan mendirikan PMV atau PMVS
baru; atau
b. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas
PMV atau PMVS kepada PMV atau PMVS lain yang
telah memperoleh izin usaha.
Pasal 46
(1) PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan tidak
murni setelah memperoleh persetujuan Pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) wajib
melaporkan pelaksanaan Pemisahan secara tertulis
kepada OJK paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak tanggal persetujuan Pemisahan diperoleh.
(2) Pelaporan pelaksanaan Pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan format 30
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen:
a. akta risalah RUPS yang menyetujui Pemisahan;
b. akta Pemisahan; dan
- 50 -
c. perubahan anggaran dasar yang disahkan atau
disetujui oleh instansi berwenang, dalam hal
terjadi perubahan anggaran dasar.
(3) Dalam hal Pemisahan tidak murni sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b dilakukan
terhadap UUS, berdasarkan pelaporan pelaksanaan
Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) OJK
mencabut izin UUS.
Pasal 47
(1) PMV atau PMVS baru sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf a dilarang melakukan kegiatan Usaha
Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah
sebelum memperoleh izin usaha dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi PMV atau PMVS baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a harus
mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK.
(3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Pasal 48
(1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (2) harus diajukan dengan menggunakan
format 31 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) kecuali dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) huruf f.
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf f digantikan dengan dokumen lainnya
dengan ketentuan dokumen dimaksud menunjukkan
pemenuhan ketentuan permodalan PMV atau PMVS.
- 51 -
Pasal 49
Pemrosesan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (2)
serta pemberian persetujuan atau penolakan permohonan
izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
dan Pasal 47 ayat (3) bagi PMV atau PMVS baru hasil
Pemisahan berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam
Pasal 5.
Bagian Ketiga
Pemenuhan Ketentuan Lain
Pasal 50
(1) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan
Pemisahan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) PMV atau PMVS yang menerima Penggabungan, hasil
Peleburan, Pengambilalihan, dan yang menerima
peralihan wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan
OJK ini.
BAB X
KONVERSI PMV MENJADI PMVS
Pasal 51
(1) PMV dapat melakukan konversi menjadi PMVS dengan
terlebih dahulu memperoleh izin dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha dalam rangka konversi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi PMV
harus mengajukan permohonan izin kepada OJK
dengan menggunakan format 32 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Pengajuan permohonan izin usaha dalam rangka
konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dilampiri dengan dokumen:
a. izin usaha sebagai PMV;
- 52 -
b. risalah RUPS mengenai pengangkatan anggota
DPS;
c. akta risalah RUPS yang menyetujui konversi;
d. daftar pejabat satu tingkat di bawah Direksi yang
paling sedikit mempunyai keahlian dan/atau
pengalaman di bidang keuangan syariah,
dilampiri dengan bukti menunjukkan keahlian
dan/atau pengalaman dimaksud; dan
e. rencana kerja terkait kegiatan Usaha Modal
Ventura Syariah untuk 1 (satu) tahun pertama
setelah mendapatkan izin usaha sebagai PMVS,
yang paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi;
2. rencana kegiatan Usaha Modal Ventura
Syariah dan
dilakukan untuk mewujudkan rencana
dimaksud; dan
3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan,
dan laporan laba/rugi komprehensif bulanan
serta asumsi yang mendasarinya dimulai
sejak PMVS melakukan kegiatan operasional.
(4) Bagi PMV yang telah melakukan seluruh kegiatan
usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebelum
berlakunya Peraturan OJK ini diundangkan, Direksi
PMV wajib menyampaikan permohonan izin usaha
sebagai PMVS dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan
dengan menggunakan format 33 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(5) Permohonan izin sebagai PMVS sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) harus dilampiri dengan dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang menyatakan
maksud dan
tujuan
perusahaan
menyelenggarakan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah disertai dengan bukti pengesahan,
langkah-langkah yang
- 53 -
persetujuan, dan/atau surat penerimaan
pemberitahuan dari instansi berwenang;
b. izin usaha sebagai PMV;
c. Surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI); dan
d. daftar Kantor Cabang PMV (jika ada).
Pasal 52
(1) Dalam memproses permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dan
ayat (4), OJK melakukan:
a.
analisis dan penelitian atas kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (3) atau ayat (5);
b. studi kelayakan peluang pasar dan potensi
ekonomi atas rencana kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf e angka
1; dan
c.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Usaha Modal
Ventura Syariah.
(2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja setelah dokumen permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) atau
ayat (5) diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal OJK menyetujui permohonan izin usaha,
OJK mengubah izin usaha PMV menjadi PMVS.
(4) Dalam hal OJK menolak permohonan izin usaha,
penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara
tertulis.
BAB XI
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 53
(1) Pencabutan izin usaha PMV atau PMVS dilakukan
oleh OJK.
- 54 -
(2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal PMV atau PMVS:
a. bubar karena pailit atau penetapan pengadilan;
b. bubar karena keputusan RUPS atau menurut
anggaran dasar jangka waktunya berakhir; atau
c. melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga
tidak lagi menjadi PMV atau PMVS.
(3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh OJK,
PMV atau PMVS yang akan dicabut izin usahanya
karena bubar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b atau melakukan perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib
melakukan penyelesaian kewajibannya kepada seluruh
Pasangan Usaha, Debitur, investor dana ventura,
kreditur, dan/atau pemberi dana yang berkepentingan.
penyelesaian kewajiban sebagaimana
(4) Prosedur
dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
memperhatikan kepentingan dari Pasangan Usaha,
Debitur, investor dana ventura, kreditur, dan/atau
pemberi dana yang berkepentingan.
Pasal 54
(1) Dalam hal PMV atau PMVS bubar karena pailit atau
penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf a, likuidator atau penyelesai
harus melaporkan pembubaran tersebut kepada OJK
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal ditetapkannya keputusan atau penetapan
pembubaran.
(2) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dengan menggunakan format 34 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan
harus dilampiri dengan:
a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya
keputusan atau penetapan pembubaran; dan
- 55 -
b. izin usaha sebagai PMV atau PMVS.
(3) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS.
Pasal 55
(1) PMV atau PMVS yang akan melakukan pembubaran
karena keputusan RUPS atau menurut anggaran
dasar jangka waktunya berakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b atau akan
melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak
lagi menjadi PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c, harus mendapatkan
persetujuan dari OJK.
(2) Permohonan persetujuan pembubaran karena
keputusan RUPS atau menurut anggaran dasar jangka
waktunya berakhir atau perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS kepada OJK
dengan menggunakan format 35 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan
harus dilampiri dengan dokumen:
a. rancangan akta pembubaran atau rancangan
akta perubahan anggaran dasar yang memuat
rencana kegiatan usaha yang baru; dan
b. rencana penyelesaian hak dan kewajiban
Pasangan Usaha, Debitur, investor dana ventura,
kreditur, dan/atau pemberi dana yang
berkepentingan.
(3) PMV atau PMVS yang telah memperoleh persetujuan
pembubaran dari OJK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib melaporkan perubahan kegiatan usaha
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
ditetapkannya akta pembubaran atau
sejak
perubahan anggaran dasar disahkan oleh instansi
berwenang, dengan menggunakan format 36
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
- 56 -
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dan harus dilampiri dengan
dokumen:
a.
risalah RUPS;
b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan
oleh instansi berwenang; dan
c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban Pasangan
Usaha, Debitur, investor dana ventura, kreditur,
dan/atau pemberi danayang berkepentingan.
(4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS.
Pasal 56
PMV atau PMVS yang telah dicabut izin usahanya dilarang
untuk menggunakan kata ventura atau ventura syariah
dalam nama perusahaan.
BAB XII
PENEGAKAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan
Pasal 57
(1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal
15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1),
Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (4), Pasal
25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (4), Pasal 35
ayat (5), Pasal 40 ayat (4), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42
ayat (12), Pasal 43 ayat (4), Pasal 44 ayat (2), Pasal 47
ayat (1), Pasal 50, Pasal 51 ayat (4), dan/atau Pasal 53
ayat (3) dan ayat (4) Peraturan OJK ini diberikan surat
pemberitahuan
untuk memenuhi ketentuan
dimaksud.
- 57 -
(2) PMV atau PMVS wajib melakukan pemenuhan atas
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 1 (satu) bulan sejak
pemberitahuan.
tanggal
Bagian Kedua
Rencana Pemenuhan
Pasal 58
(1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal
14, dan/atau Pasal 31 ayat (2) Peraturan OJK ini
diberikan surat permintaan penyampaian rencana
pemenuhan.
(2) PMV atau PMVS wajib menyampaikan rencana
pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
surat permintaan penyampaian rencana pemenuhan.
(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling sedikit memuat rencana yang akan
dilakukan PMV atau PMVS untuk pemenuhan
ketentuan yang disertai jangka waktu tertentu yang
dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), memuat:
a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas;
b. penambahan Modal Disetor;
c. pembatasan penerimaan pinjaman baru;
d. penerimaan pinjaman subordinasi;
e. pengalihan sebagian atau seluruh aset;
f. pembatasan pembagian laba;
g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan
pelanggaran ketentuan;
h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru;
dan/atau
i. penggabungan badan usaha.
surat
- 58 -
(5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan
Dewan Komisaris.
(6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh RUPS
dalam hal rencana dimaksud memuat rencana
penambahan Modal Disetor atau rencana
penggabungan usaha.
(7) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan
dari OJK.
(8) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup
untuk mengatasi permasalahan, PMV atau PMVS
wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan
tersebut.
(9) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana pemenuhan yang disampaikan oleh PMV atau
PMVS dengan memperhatikan kondisi permasalahan
yang dihadapi oleh PMV atau PMVS paling lama 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya
rencana pemenuhan secara lengkap.
(10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (9), OJK tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, PMV atau PMVS dapat
melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(11) PMV atau PMVS wajib melaksanakan rencana
pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XIII
SANKSI
Pasal 59
(1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat
(2), Pasal 8, Pasal 12 ayat (2), Pasal 15 ayat (6), Pasal
- 59 -
24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (3)
dan ayat (4), Pasal 29 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal
34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1),
Pasal 39 ayat (1), Pasal 42 ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5), Pasal 46 ayat (1), Pasal 55 ayat (3), Pasal 56, Pasal
57 ayat (2), Pasal 58 ayat (2), Pasal 58 ayat (8),
dan/atau Pasal 58 ayat (11) Peraturan OJK ini
dikenakan sanksi administratif secara bertahap
berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a diberikan secara tertulis oleh OJK kepada
PMV atau PMVS sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2
(dua) bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV
atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi
peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
PMV atau PMVS tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara
tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS yang
bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha
tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat
sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
- 60 -
berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi
pembekuan kegiatan usaha berlaku sampai dengan
hari kerja pertama berikutnya.
(7) PMV atau PMVS yang dikenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
dilarang melakukan kegiatan usaha kecuali untuk
pemenuhan ketentuan nilai investasi, penyertaan,
dan/atau nilai piutang terhadap total aset (Investment
and Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana
diatur dalam Peraturan OJK mengenai
penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura.
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), PMV atau PMVS telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan PMV atau PMVS tetap melakukan
kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal
Ventura Syariah, OJK dapat langsung mengenakan
sanksi pencabutan izin usaha.
(10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS
yang bersangkutan.
(11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada
masyarakat.
Pasal 60
(1) PMV yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), dan/atau Pasal
- 61 -
23 ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan UUS; atau
c. pencabutan izin UUS.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh OJK kepada
PMV yang mempunyai UUS paling banyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing
paling lama 2 (dua) bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV
yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
PMV yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara
tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS
dan pembekuan kegiatan UUS tersebut berlaku
selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan
kegiatan UUS diterbitkan.
(6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan
kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi
pembekuan kegiatan UUS berlaku sampai dengan hari
kerja pertama berikutnya.
(7) PMV yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan UUS
kecuali untuk pemenuhan ketentuan nilai investasi,
penyertaan, dan/atau nilai piutang terhadap total aset
- 62 -
(Investment and Financing to Assets Ratio) minimum
sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai
penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura.
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan
UUS.
(9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan UUS masih
berlaku dan PMV yang mempunyai UUS tetap
melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah,
OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan
izin UUS.
(10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS
tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin UUS yang
bersangkutan.
(11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan
kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada
masyarakat.
Pasal 61
PMV atau PMVS yang menyampaikan pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 15
ayat (6), Pasal 22 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat
(1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1)
dan ayat (4), Pasal 29 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34
ayat (1), Pasal 35 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 36
ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39 ayat
(1), Pasal 42 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 46 ayat
(1), dan/atau Pasal 55 ayat (3) Peraturan OJK ini namun
- 63 -
telah lewat dari jangka waktu pelaporan, dikenakan sanksi
administratif peringatan dan berakhir dengan sendirinya.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 62
PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan maka izin usaha sebagai
PMV dinyatakan masih berlaku.
Pasal 63
Ketentuan mengenai penggunaan nama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) tidak berlaku bagi PMV
yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan
OJK ini diundangkan sepanjang PMV tidak melakukan
perubahan nama.
Pasal 64
(1) Ketentuan mengenai batasan kepemilikan asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak berlaku
bagi PMV yang telah
mendapatkan izin usaha
sebelum Peraturan OJK ini diundangkan sepanjang
PMV tidak melakukan perubahan modal, perubahan
komposisi Pemegang Saham, dan/atau perubahan
Pemegang Saham.
(2) Bagi PMV yang melebihi batasan kepemilikan asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan dan melakukan
perubahan modal, perubahan komposisi Pemegang
Saham, dan/atau perubahan Pemegang Saham,
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dinyatakan berlaku sejak tanggal 31 Desember 2020.
Pasal 65
PMV yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan
OJK ini diundangkan dan telah memperdagangkan
- 64 -
sahamnya di bursa, tidak wajib memenuhi ketentuan
dalam Pasal 11.
Pasal 66
Bagi PMV yang telah memperoleh izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai
struktur organisasi sebagaimana dimaksud Pasal 14,
ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, ketentuan
mengenai pengembangan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, dan ketentuan mengenai
keanggotaan pada asosiasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan
OJK ini diundangkan.
Pasal 67
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap PMV berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor
18/PMK.010/2012
Perusahaan Modal Ventura dinyatakan tetap sah dan
berlaku.
(2) PMV yang belum dapat mengatasi penyebab
dikenakannya sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan
sesuai dengan Peraturan OJK ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 68
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai perizinan usaha dan kelembagaan bagi PMV,
PMVS, dan UUS tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 69
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
tentang
- 65 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 316
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 34/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 20 /POJK.04/2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR
23/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN
EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI
DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan likuiditas pasar EBA-SP
diperlukan langkah strategis untuk mengoptimalkan
peran Penerbit sebagai penggerak pasar EBA-SP
di Indonesia;
b. bahwa untuk mengoptimalkan peran Penerbit tersebut,
perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman
Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk
Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder
Perumahan agar dapat disesuaikan dengan kondisi pasar
dan perekonomian saat ini;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan
atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan
Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi
Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan
Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi
Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 358, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5632);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 23/POJK.04/2014
TENTANG PEDOMAN
PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET
BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA
PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN.
Pasal I
Ketentuan Pasal 9 dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan
Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi
Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 358,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5632)
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan Piutang
EBA-SP harus:
- 3 -
a. diperoleh Penerbit dari Kreditur Asal melalui jual beli
putus/lepas dan dijual Penerbit kepada pemegang
EBA-SP melalui jual beli putus/lepas secara hukum;
atau
b. diperoleh Penerbit untuk kepentingan pemegang
EBA-SP dari Kreditur Asal melalui jual beli
putus/lepas secara hukum.
(2) Jual
beli putus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib didukung pendapat Konsultan Hukum.
(3) Jual beli putus/lepas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan jual
putus/lepas menurut prinsip akuntansi yang berlaku
umum dan wajib dilakukan secara konsisten serta
didukung dengan pendapat Akuntan.
(4) Kreditur Asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat melakukan pembelian atas EBA-SP paling banyak
10% (sepuluh persen) dari total nilai Kumpulan Piutang.
(4a) Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
hanya dapat melakukan pembelian atas EBA-SP pada
saat penawaran perdana paling banyak 10% (sepuluh
persen) dari total nilai Kumpulan Piutang.
(4b) Dalam hal penawaran perdana EBA-SP tidak seluruhnya
terserap oleh pasar, Penerbit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat melakukan pembelian atas
EBA-SP melebihi 10% (sepuluh persen) dari total nilai
Kumpulan Piutang.
(5) Hak pemegang EBA-SP atas Kumpulan Piutang wajib
dinyatakan dalam Prospektus EBA-SP atau Dokumen
Keterbukaan EBA-SP dan didukung pendapat hukum
dari Konsultan Hukum yang menyatakan hak pemegang
EBA-SP adalah sebagaimana dimuat dalam Prospektus
EBA-SP atau Dokumen Keterbukaan EBA-SP.
Pasal II
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 4 -
Agar
setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 120
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 20 /POJK.04/2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR
23/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN
EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI
DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
I. UMUM
Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) adalah efek
beragun aset yang diterbitkan oleh Penerbit yang portofolionya berupa
Kumpulan Piutang dan merupakan bukti kepemilikan secara proporsional
atas Kumpulan Piutang yang dimiliki bersama oleh sekumpulan
pemegang EBA-SP.
Dalam sekuritisasi ini dimana aset keuangan Kreditur Asal dijual
kepada masyarakat melalui penerbitan EBA-SP, aset keuangan Kreditur
Asal yang semula tidak dapat segera digunakan atau ditransformasi
menjadi aset likuid sehingga Kreditur Asal dapat segera kembali
melakukan pembiayaan perumahan kepada masyarakat. Penerbitan
EBA-SP diharapkan tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan
industri pembiayaan sekunder perumahan di tanah air, tetapi juga
diyakini mampu memberikan manfaat lain berupa semakin bertambahnya
instrumen keuangan yang menjadi alternatif investasi bagi pemodal dan
masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan likuiditas EBA-SP serta
mengoptimalkan peran Penerbit dalam melaksanakan tugasnya selaku
penjaga likuiditas EBA-SP dalam pembiayaan sekunder perumahan,
diperlukan perubahan salah satu ketentuan dalam Peraturan Otoritas
- 2 -
Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan
Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam
Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6067
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 20/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<changed_reg> '23/POJK.04/2014' </changed_reg>
<related_reg> '23/POJK.04/2014', '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 52 /POJK.04/2016
TENTANG
PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk dengan pengaturan
mengenai prosedur penangguhan Penawaran Umum
beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap prosedur
penangguhan Penawaran Umum, peraturan mengenai
prosedur penangguhan Penawaran Umum yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prosedur
Penangguhan Penawaran Umum;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
2. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten
dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan
Publik.
BAB II
PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM
Pasal 2
Otoritas Jasa Keuangan dapat menangguhkan Penawaran
Umum setelah menyampaikan pemberitahuan kepada Emiten
dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek, jika diperoleh
kesimpulan bahwa:
a. Pernyataan Pendaftaran, Prospektus, atau dokumen
- 3 -
lainnya yang disampaikan sebagai bagian dari proses
pendaftaran Efek, mencakup informasi dan/atau fakta
material yang:
1. palsu, menyesatkan, atau mengabaikan fakta
material yang diperlukan pada saat itu dan sesuai
dengan keadaan waktu pernyataan tersebut dibuat;
atau
2. menjadi tidak benar,
menyesatkan,
atau
mengabaikan fakta material karena terjadinya
perubahan keadaan dan keterangan tambahan yang
diperlukan untuk memperbaiki keadaan tersebut
tidak disampaikan kepada masyarakat;
b. Emiten atau Pihak lain yang terafiliasi dengan Emiten
dalam Penawaran Umum, telah melanggar Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan
peraturan pelaksanaannya; atau
c. setiap Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak
menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi
yang diminta Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 3
Keputusan penangguhan Penawaran Umum dikeluarkan oleh
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal.
Pasal 4
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal dapat mencabut
penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila
yang menjadi dasar ketetapan penangguhan telah
diselesaikan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 5
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
- 4 -
Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 6
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 kepada masyarakat.
- 5 -
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: Kep-45/PM.1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Prosedur Penangguhan Penawaran Umum, beserta Peraturan
Nomor IX.A.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 281
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 52 /POJK.04/2016
TENTANG
PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Prosedur Penangguhan Penawaran Umum yaitu
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-45/PM/1996
tanggal 17 Januari 1996 tentang Prosedur Penangguhan Penawaran
Umum, beserta Peraturan Nomor IX.A.4 yang merupakan lampirannya,
menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prosedur
Penangguhan Penawaran Umum.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran
Umum; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5977
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 52/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-45/PM.1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-45/PM.1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.4' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 58 /POJK.04/2015
TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat
Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap pemeliharaan
dokumen oleh Perusahaan Pemeringkat Efek, maka
peraturan mengenai Pemeliharaan Dokumen oleh
Perusahaan Pemeringkat Efek yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh
Perusahaan Pemeringkat Efek;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH PERUSAHAAN
PEMERINGKAT EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi
berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan
pemeringkatan dan memberikan peringkat.
2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu
oleh suatu Pihak:
a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau
b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak
yang diperingkat (instrument rating).
- 3 -
BAB II
PEMELIHARAAN DOKUMEN
Pasal 2
Setiap Perusahaan Pemeringkat Efek yang mendapat izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib
mengadministrasikan, menyimpan, dan memelihara dokumen
yang meliputi catatan, pembukuan, data dan informasi atau
keterangan yang dibuat atau diterima berkaitan dengan
kegiatan operasionalnya paling sedikit dalam salah satu
bentuk dokumen tercetak (hardcopy) atau dokumen elektronik
(softcopy).
Pasal 3
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit
terdiri dari:
a. dokumen yang berkaitan dengan tata cara dan prosedur
perizinan Perusahaan Pemeringkat Efek;
b. dokumen yang berkaitan dengan setiap hasil Peringkat
yang dikeluarkan, yang memuat informasi tentang:
1.
2.
identitas setiap analis yang terlibat di dalam
penetapan hasil Peringkat;
identitas anggota Komite Pemeringkat yang terlibat
dalam proses penetapan hasil Peringkat sebelum
hasil Peringkat tersebut dikeluarkan;
3. penjelasan atas hasil Peringkat tersebut dikeluarkan
berdasarkan permintaan pihak yang diperingkat
atau tidak berdasarkan permintaan pihak yang
diperingkat; dan
4. tanggal setiap kegiatan yang berkaitan dengan hasil
Peringkat yang ditetapkan;
c. dokumen tentang pelaksanaan setiap tahap prosedur
pemeringkatan, termasuk catatan internal, informasi
non-publik dan kertas kerja yang digunakan sebagai
dasar untuk penetapan Peringkat;
- 4 -
d. dokumen tentang komunikasi tertulis eksternal dan
internal, termasuk komunikasi elektronik, yang diterima
dan dikirim oleh Perusahaan Pemeringkat Efek dan
pegawainya berkaitan dengan inisiasi, penetapan,
pemantauan, perubahan dan pencabutan hasil Peringkat;
e. dokumen yang memuat informasi tentang jenis jasa dan
produk yang ditawarkan;
f. dokumen pemasaran yang dipublikasikan atau dibagikan
kepada publik;
g. dokumen keuangan yang meliputi:
1. laporan keuangan tahunan;
2. catatan pendukung dalam penyusunan laporan
keuangan;
3. catatan yang menunjukkan jumlah pendapatan yang
diterima dari Pihak yang menggunakan jasa
Perusahaan Pemeringkat Efek untuk mengeluarkan
Peringkat atau memantau Peringkat, termasuk
informasi antara lain:
a) identitas dan alamat setiap pihak tersebut; dan
b) hasil Peringkat yang ditetapkan atau dikaji
ulang untuk pihak tersebut;
4. catatan yang menunjukkan jumlah pendapatan yang
diterima dari setiap pihak yang meminta
pemeringkatan dan atau laporan Peringkat beserta
identitas dan alamat pemesan; dan
h. laporan kepatuhan (compliance officer reports).
Pasal 4
Pengadministrasian, penyimpanan dan pemeliharaan
dokumen dalam bentuk dokumen tercetak (hardcopy) atau
dokumen elektronik (softcopy) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 3 wajib memenuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
- 5 -
Pasal 5
Seluruh dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam
peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib tersedia setiap
saat untuk kepentingan pembinaan dan pengawasan Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dibidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
- 6 -
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 7
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 8
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-154/BL/2009 tanggal 22 Juni
2009 tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Perusahaan
Pemeringkat Efek beserta Peraturan X.F.5 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 7 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 409
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 58 /POJK.04/2015
TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK
terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan
Nomor X.F.5, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-
154/BL/2009 tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Perusahaan
Pemeringkat Efek, tanggal 22 Juni 2009.
- 2 -
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Dokumen terkait tata cara dan prosedur perizinan Perusahaan
Pemeringkat Efek sebagaimana diatur dalam POJK terkait dengan
perizinan Perusahaan Pemeringkat Efek.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5827
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 58/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-154/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-154/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Peraturan X.F.5' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
- 1 -
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 57 /POJK.04/2017
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN
KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA
PEDAGANG EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa seiring dengan perkembangan pasar modal
Indonesia dan untuk meningkatkan perlindungan
terhadap kepentingan nasabah, perlu dilakukan
peningkatan kualitas perusahaan efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek dan
perantara pedagang efek antara lain dengan
meningkatkan kinerja perusahaan efek, meningkatkan
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan, dan meningkatkan transparansi atas praktik
tata kelola perusahaan serta nilai etika yang berlaku
umum, melalui peningkatan tata kelola perusahaan yang
baik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa
Keuangan tentang
Penerapan
- 2 -
Tata Kelola Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan
Usaha Sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara
Pedagang Efek;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN EFEK YANG
MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI
EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang
Efek, dan/atau Manajer Investasi.
2. Tata Kelola Perusahaan Efek yang Baik yang selanjutnya
disebut Tata Kelola adalah tata kelola Perusahaan Efek
yang menerapkan prinsip keterbukaan (transparency),
akuntabilitas
(responsibility), independensi
kewajaran (fairness).
(accountability), pertanggungjawaban
(independency), dan
3. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Efek yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
- 3 -
Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar
Perusahaan Efek.
4. Direksi adalah organ Perusahaan Efek yang berwenang
dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perusahaan Efek untuk kepentingan Perusahaan Efek,
sesuai dengan maksud dan tujuan Perusahaan Efek serta
mewakili Perusahaan Efek, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
5. Dewan Komisaris adalah organ Perusahaan Efek yang
bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau
khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi
nasihat kepada Direksi.
6. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris
yang berasal dari luar Perusahaan Efek dan memenuhi
persyaratan sebagai Komisaris Independen sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
7. Pemegang Saham Pengendali adalah pihak yang secara
langsung atau tidak langsung memiliki:
a. saham paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
saham yang dikeluarkan oleh satu Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan
mempunyai hak suara; atau
b. saham kurang dari 20% (dua puluh persen) dari
saham yang dikeluarkan oleh satu Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan
mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan
telah melakukan pengendalian baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek.
8. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang
menggambarkan rencana kegiatan usaha Perusahaan
Efek dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, termasuk
- 4 -
rencana untuk meningkatkan kinerja usaha, serta
strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai
dengan target dan waktu yang ditetapkan, dengan tetap
memperhatikan pemenuhan ketentuan kehati-hatian dan
penerapan manajemen risiko.
9. Situs Web adalah kumpulan halaman web yang memuat
informasi atau data yang dapat diakses melalui suatu
sistem jaringan internet.
10. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh
izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
akuntan publik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
11. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
12. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat
kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran
Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa
kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.
13. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan
kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri
atau Pihak lain.
14. Wakil Penjamin Emisi Efek adalah orang perseorangan
yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek.
15. Wakil Perantara Pedagang Efek adalah orang
perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek.
16. Anggota Bursa Efek adalah Perantara Pedagang Efek
yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan dan mempunyai hak untuk mempergunakan
sistem dan atau sarana Bursa Efek sesuai dengan
peraturan Bursa Efek.
- 5 -
17. Afiliasi adalah:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan
keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur,
atau komisaris dari Pihak tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana
terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan
komisaris yang sama;
d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik
langsung maupun tidak langsung, mengendalikan
atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang
dikendalikan, baik langsung maupun tidak
langsung, oleh Pihak yang sama; atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham
utama.
Pasal 2
(1) Perusahaan Efek yang wajib memenuhi ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini adalah Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang
merupakan Anggota Bursa Efek.
(2) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menerapkan Tata Kelola dalam setiap kegiatan
usaha pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
(3) Penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling sedikit diwujudkan dalam bentuk sebagai
berikut:
a. komitmen pemegang saham dan RUPS;
b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi;
c. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan
Komisaris;
d. larangan Direksi dan Dewan Komisaris;
e. remunerasi Direksi dan Dewan Komisaris;
f.
etika bisnis;
- 6 -
g. pengendalian internal;
h. Rencana Bisnis;
i.
j. Situs Web; dan
k. pelaporan.
BAB II
KOMITMEN PEMEGANG SAHAM DAN RUPS
Bagian Kesatu
Komitmen Pemegang Saham
Pasal 3
(1) Pemegang saham Perusahaan Efek wajib memenuhi
persyaratan integritas dan kelayakan keuangan.
(2) Pemenuhan persyaratan integritas dan kelayakan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui penilaian kemampuan dan kepatutan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Persyaratan integritas dan kelayakan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan
Perantara Pedagang Efek dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Pasal 4
(1) Pemegang saham dilarang melakukan intervensi dalam
pelaksanaan kegiatan usaha dan/atau operasional
Perusahaan Efek.
(2) Pemegang saham yang menjabat sebagai anggota Direksi
atau anggota Dewan Komisaris wajib mendahulukan
kepentingan Perusahaan Efek tersebut.
kebijakan sistem pelaporan pelanggaran dan
kebijakan sistem pengaduan nasabah;
- 7 -
Bagian Kedua
RUPS
Pasal 5
(1) Perusahaan Efek wajib menyelenggarakan RUPS sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar Perusahaan Efek.
(2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib didahului pemanggilan RUPS.
(3) Pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak
memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal
RUPS.
(4) Pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit memuat informasi:
a. tanggal dan waktu penyelenggaraan RUPS;
b. tempat penyelenggaraan RUPS;
c. mata acara rapat; dan
d. informasi yang menyatakan bahan terkait mata
acara rapat tersedia bagi pemegang saham sejak
tanggal dilakukannya pemanggilan RUPS sampai
dengan RUPS diselenggarakan.
(5) Pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan surat tercatat, surat elektronik, Situs
Web, dan/atau dengan iklan dalam surat kabar.
(6) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan ayat (5) dapat tidak dilakukan sepanjang seluruh
pemegang saham dengan hak suara hadir dalam RUPS
dan keputusan RUPS tersebut tetap sah jika disetujui
dengan suara bulat.
Pasal 6
(1) Perusahaan Efek wajib menyediakan bahan mata acara
rapat bagi pemegang saham.
- 8 -
(2) Bahan mata acara rapat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disediakan dalam bentuk salinan dokumen fisik
dan/atau salinan dokumen elektronik.
(3) Salinan dokumen fisik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberikan secara cuma-cuma di kantor Perusahaan
Efek jika diminta secara tertulis oleh pemegang saham.
Pasal 7
Pengambilan keputusan RUPS wajib:
a. mendukung pengembangan operasional Perusahaan Efek
yang sehat dan pasar modal Indonesia; dan
b. mendahulukan kepentingan nasabah.
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 wajib dituangkan dalam risalah RUPS dan
didokumentasikan dengan baik.
(2) Perusahaan Efek wajib menyampaikan ringkasan risalah
RUPS dan bukti pemanggilan RUPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
tanggal penyelenggaraan RUPS.
(3) Ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), wajib memuat informasi paling sedikit:
a. tanggal RUPS, tempat pelaksanaan RUPS, waktu
pelaksanaan RUPS, dan mata acara RUPS;
b. anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang
hadir pada saat RUPS;
c. jumlah saham dengan hak suara yang sah yang
hadir pada saat RUPS dan persentasenya dari
jumlah seluruh saham yang mempunyai hak suara
yang sah;
d. mekanisme pengambilan keputusan RUPS;
e.
hasil pemungutan suara yang meliputi jumlah suara
setuju, tidak setuju, dan abstain (tidak memberikan
suara) untuk setiap mata acara rapat, jika
- 9 -
pengambilan keputusan dilakukan dengan
pemungutan suara; dan
f. keputusan RUPS.
Pasal 9
(1) Pemegang saham dapat mengambil keputusan yang
mengikat di luar RUPS dengan syarat seluruh pemegang
saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis
dengan menandatangani usul yang bersangkutan.
(2) Pengambilan keputusan yang mengikat di luar RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Keputusan yang mengikat di luar RUPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan Perusahaan
Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7
(tujuh) hari kerja setelah seluruh pemegang saham
menandatangani keputusan di luar RUPS tersebut.
BAB III
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 10
Penentuan jumlah dan komposisi anggota Direksi harus
memperhatikan:
a. ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara
Pedagang Efek;
b. kondisi Perusahaan Efek;
c. keberagaman pengetahuan, pengalaman dan/atau
keahlian yang dibutuhkan; dan
d. efektivitas dalam pengambilan keputusan.
- 10 -
Pasal 11
(1) Setiap anggota Direksi wajib memenuhi persyaratan
integritas, reputasi keuangan, serta kompetensi dan
keahlian di bidang pasar modal.
(2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui penilaian kemampuan dan
kepatutan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta
kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan
Perantara Pedagang Efek dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
(4) Dalam hal anggota Direksi tidak lagi memenuhi
persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta
kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Direksi
dilarang melakukan tindakan hukum sebagai anggota
Direksi.
Pasal 12
(1) Direksi bertugas menjalankan dan bertanggung jawab
atas pengurusan Perusahaan Efek untuk kepentingan
Perusahaan Efek sesuai dengan maksud dan tujuan yang
ditetapkan dalam anggaran dasar.
(2) Tugas dan tanggung jawab atas pengurusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
kewenangan Direksi yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar.
(3) Setiap anggota Direksi wajib melaksanakan pengurusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan itikad baik,
kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab.
- 11 -
(4) Direksi wajib memastikan penerapan Tata Kelola
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(5) Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan
tanggung jawabnya, Direksi dapat membentuk komite
dan/atau unit pendukung Direksi.
(6) Direksi wajib memastikan bahwa komite dan/atau unit
pendukung Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
menjalankan tugasnya secara efektif.
Pasal 13
Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat,
relevan, dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris.
Pasal 14
Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi
dari fungsi manajemen risiko, fungsi kepatuhan dan audit
internal, hasil pengawasan Dewan Komisaris, dan hasil
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 15
Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan
melalui rapat Direksi.
Pasal 16
(1) Direksi wajib mengadakan rapat Direksi paling sedikit
1 (satu) kali setiap 2 (dua) bulan.
(2) Rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilangsungkan jika dihadiri mayoritas dari seluruh
anggota Direksi.
(3) Setiap anggota Direksi wajib menghadiri paling sedikit
75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan
rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
selama 1 (satu) tahun.
(4) Keputusan rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diambil:
- 12 -
a. berdasarkan musyawarah mufakat; atau
b. berdasarkan suara terbanyak, dalam hal
musyawarah mufakat tidak tercapai.
(5) Hasil rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
termasuk adanya perbedaan pendapat serta alasannya
wajib dituangkan dalam risalah rapat dan ditandatangani
oleh pimpinan rapat serta didokumentasikan dengan
baik.
Pasal 17
(1) Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman untuk membantu pelaksanaan tugas,
anggota Direksi wajib mengikuti program pendidikan
berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek.
(2) Selain mengikuti program pendidikan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi dapat
mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan lainnya.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pasal 18
(1) Penentuan jumlah dan komposisi anggota Dewan
Komisaris harus memperhatikan:
a. ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai perizinan Perusahaan Efek
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek dan Perantara Pedagang Efek;
b. kondisi Perusahaan Efek;
c. keberagaman pengetahuan, pengalaman, dan/atau
keahlian yang dibutuhkan; dan
d.
efektivitas dalam pengawasan dan pemberian
nasihat kepada Direksi.
yang
- 13 -
(2) Jumlah anggota Dewan Komisaris tidak melebihi jumlah
anggota Direksi.
Pasal 19
(1) Perusahaan Efek wajib memiliki Komisaris Independen.
(2) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri lebih dari 2 (dua)
orang, persentase jumlah Komisaris Independen wajib
paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
seluruh anggota Dewan Komisaris.
Pasal 20
(1) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib memenuhi
persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta
kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal.
(2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui penilaian kemampuan dan
kepatutan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta
kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan
Perantara Pedagang Efek dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
(4) Dalam hal anggota Dewan Komisaris tidak lagi memenuhi
persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta
kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Dewan
Komisaris dilarang melakukan tindakan hukum sebagai
anggota Dewan Komisaris.
Pasal 21
(1) Dewan Komisaris bertugas dan bertanggung jawab atas
pengawasan terhadap kebijakan pengurusan, jalannya
- 14 -
pengurusan Perusahaan Efek pada umumnya, dan
pemberian nasihat kepada Direksi.
(2) Dalam hal Dewan Komisaris ikut mengambil keputusan
mengenai hal yang ditetapkan dalam anggaran dasar
atau ketentuan peraturan perundang-undangan,
pengambilan keputusan tersebut dilakukan dalam
fungsinya sebagai pengawas dan pemberi nasihat kepada
Direksi.
(3) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas
terselenggaranya penerapan Tata Kelola sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(4) Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugasnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara independen.
Pasal 22
Komisaris Independen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bukan merupakan orang yang bekerja atau mempunyai
wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan,
memimpin, mengendalikan, atau mengawasi kegiatan
Perusahaan Efek tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan
terakhir, kecuali untuk pengangkatan kembali sebagai
Komisaris Independen Perusahaan Efek pada periode
berikutnya;
b. tidak mempunyai saham, baik langsung maupun tidak
langsung pada Perusahaan Efek;
c.
tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Perusahaan
Efek, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi
dan/atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek;
dan
d. tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung
maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan
usaha Perusahaan Efek.
Pasal 23
(1) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
- 15 -
Dewan Komisaris wajib melaksanakan fungsi audit
melalui Komisaris Independen.
(2) Fungsi audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan penelaahan atas:
a. informasi keuangan yang akan dikeluarkan
Perusahaan Efek kepada publik dan/atau pihak
otoritas;
b. independensi, ruang lingkup penugasan, dan biaya
sebagai dasar pada penunjukan Akuntan Publik;
c. rencana dan pelaksanaan audit oleh Akuntan
Publik; dan
d. pelaksanaan fungsi manajemen risiko dan fungsi
kepatuhan dan audit internal Perusahaan Efek.
(3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Dewan Komisaris dapat membentuk komite
audit yang diketuai oleh Komisaris Independen.
Pasal 24
Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi
menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari fungsi
manajemen risiko, fungsi kepatuhan dan audit internal, hasil
pengawasan Dewan Komisaris, dan hasil pengawasan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 25
(1) Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan
tanggung jawabnya, selain dapat membentuk komite
audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3)
Dewan Komisaris dapat membentuk komite lainnya.
(2) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pasal 23
ayat (3) menjalankan tugasnya secara efektif.
Pasal 26
(1) Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan jika mengetahui indikasi pelanggaran
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
- 16 -
keuangan yang dapat membahayakan kelangsungan
kegiatan usaha Perusahaan Efek, yang dilakukan oleh
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau
pegawai Perusahaan Efek paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sejak diketahui indikasi pelanggaran.
(2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan rapat Dewan
Komisaris dengan mengundang Direksi untuk membahas
terkait indikasi pelanggaran ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
(1) Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling sedikit
1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
(2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilangsungkan jika dihadiri mayoritas dari
seluruh anggota Dewan Komisaris.
(3) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib menghadiri paling
sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah
keseluruhan rapat Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selama 1 (satu) tahun.
(4) Keputusan rapat Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diambil:
a. berdasarkan musyawarah mufakat; atau
b. berdasarkan suara terbanyak, dalam hal
musyawarah mufakat tidak tercapai.
(5) Hasil rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
termasuk adanya perbedaan pendapat serta alasannya
wajib dituangkan dalam risalah rapat dan ditandatangani
oleh pimpinan rapat serta didokumentasikan dengan
baik.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (5) tidak berlaku untuk Perusahaan Efek
yang hanya memiliki 1 (satu) orang anggota Dewan
Komisaris.
- 17 -
Pasal 28
(1) Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman untuk membantu pelaksanaan tugasnya,
anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek wajib
mengikuti program pendidikan berkelanjutan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek
dan Perantara Pedagang Efek.
(2) Selain mengikuti program pendidikan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Dewan
Komisaris dapat mengikuti pendidikan dan/atau
pelatihan lainnya.
Bagian Ketiga
Larangan Direksi dan Dewan Komisaris
Pasal 29
Anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dilarang:
a.
b.
menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan
pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain; dan
mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi
dari kegiatan Perusahaan Efek baik secara langsung
maupun tidak langsung selain penghasilan yang sah.
BAB IV
REMUNERASI DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Pasal 30
(1) Struktur remunerasi bagi anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris dapat berupa:
a.
gaji;
b. honorarium;
c. insentif; dan/atau
d. tunjangan yang bersifat tetap dan/atau variabel.
(2) Remunerasi bagi anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris harus memperhatikan:
- 18 -
a. remunerasi yang berlaku pada industri dan skala
usaha Perusahaan Efek;
b. tugas, tanggung jawab, dan wewenang anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris dikaitkan
dengan risiko dan pencapaian tujuan dan kinerja
Perusahaan Efek baik dalam jangka pendek ataupun
dalam jangka panjang;
c.
target kinerja atau kinerja masing-masing anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; dan
d. keseimbangan tunjangan antara yang bersifat tetap
dan bersifat variabel.
BAB V
ETIKA BISNIS
Bagian Kesatu
Perilaku Perusahaan Efek Dalam Menjalankan
Kegiatan Usaha
Pasal 31
Perusahaan Efek wajib:
a. menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan etika bisnis
yang baik, sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal
yang mengatur mengenai perilaku Perusahaan Efek
dalam menjalankan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau sebagai Perantara Pedagang
Efek; dan/atau
b. menerapkan prinsip mengenal nasabah sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan.
- 19 -
Bagian Kedua
Kode Etik Perusahaan Efek dan Pedoman Direksi atau
Dewan Komisaris
Pasal 32
(1) Perusahaan Efek wajib memiliki kode etik yang berlaku
bagi seluruh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan karyawan/pegawai, serta pendukung organ yang
dimiliki Perusahaan Efek.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
oleh Direksi dan Dewan Komisaris, paling sedikit
memuat:
a.
nilai perusahaan;
b. prinsip pelaksanaan tugas
Direksi, Dewan
Komisaris, karyawan/pegawai, dan/atau pendukung
organ yang dimiliki Perusahaan Efek yang dilakukan
dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan
kehati-hatian;
c. kebijakan Perusahaan Efek terkait benturan
kepentingan;
d. penanganan pelanggaran kode etik; dan
e.
akuntabilitas pengenaan sanksi pelanggaran kode
etik.
(3) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disosialisasikan kepada seluruh karyawan/pegawai
Perusahaan Efek.
(4) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan/
pegawai, dan/atau pendukung organ yang dimiliki
Perusahaan Efek wajib melaporkan dugaan pelanggaran
kode etik melalui sistem pelaporan pelanggaran terkait
dengan adanya dugaan pelanggaran terhadap kode etik.
Pasal 33
(1) Perusahaan Efek wajib memiliki pedoman yang mengikat
setiap anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris.
- 20 -
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
oleh Direksi dan Dewan Komisaris, paling sedikit
memuat:
a. landasan hukum;
b. deskripsi tugas, tanggung jawab, dan wewenang;
c. kebijakan rapat, termasuk kebijakan kehadiran dan
tata cara pengambilan keputusan dalam rapat, dan
penyusunan risalah rapat; dan
d. pelaporan dan pertanggungjawaban.
BAB VI
PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 34
Perusahaan Efek wajib melaksanakan pengendalian internal
Perusahaan Efek.
Pasal 35
(1) Dalam melaksanakan pengendalian internal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, Perusahaan Efek wajib
membentuk fungsi:
a. manajemen risiko; dan
b. kepatuhan dan audit internal.
(2) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah
wajib membentuk dan memenuhi pelaksanaan fungsi:
a. pemasaran;
b. pembukuan;
c. kustodian;
d. teknologi informasi; dan
e.
riset (jika diperlukan),
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar modal yang
- 21 -
mengatur mengenai pengendalian internal Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek.
Pasal 36
(1) Pegawai yang melaksanakan masing-masing fungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilarang
merangkap untuk melaksanakan fungsi lainnya kecuali
diatur lain dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara
independen.
Pasal 37
(1) Pelaksanaan fungsi manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a paling sedikit
mencakup:
a. penyusunan kebijakan manajemen risiko;
b. pengujian, evaluasi, dan rekomendasi perbaikan
yang objektif atas pelaksanaan sistem manajemen
risiko, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun atau dalam frekuensi yang lebih sering dalam
hal terdapat perubahan faktor yang mempengaruhi
kegiatan usaha Perusahaan Efek secara signifikan;
dan
c. pemantauan, identifikasi, pengukuran, dan tindak
lanjut terkait hal yang berhubungan dengan
manajemen risiko yang memerlukan perhatian
Direksi.
(2) Kebijakan manajemen risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, paling sedikit memuat:
a.
b. prinsip kehati-hatian;
c. penyediaan modal yang mencukupi;
strategi dan kerangka manajemen risiko yang
komprehensif;
- 22 -
d. pemenuhan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
e. sistem deteksi dini;
f.
identifikasi dan diversifikasi risiko;
g. pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko;
h. limit risiko yang diambil dan toleransi risiko
terhadap kecukupan permodalan;
mitigasi risiko; dan
i.
j. keterbukaan dan budaya sadar risiko.
(3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai
Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah, selain
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib memenuhi pelaksanaan fungsi manajemen
risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar modal yang
mengatur mengenai pengendalian internal Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek.
Pasal 38
(1) Pelaksanaan fungsi kepatuhan dan audit internal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b
paling sedikit mencakup:
a. penyusunan kebijakan kepatuhan dan kebijakan
audit internal;
b. pengujian, evaluasi, dan rekomendasi atas
kesesuaian kebijakan, ketentuan, sistem maupun
prosedur yang dimiliki Perusahaan Efek dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau dalam
frekuensi yang lebih sering dalam hal terdapat
perubahan faktor yang mempengaruhi kegiatan
usaha Perusahaan Efek secara signifikan;
c. penyusunan dan pelaksanaan program audit yang
memadai terhadap keseluruhan unit kerja yang
- 23 -
pelaksanaannya mempertimbangkan tingkat risiko
pada masing-masing unit kerja; dan
d. pemantauan, identifikasi, pengukuran, dan tindak
lanjut terkait hal yang berhubungan dengan
kepatuhan dan audit internal yang memerlukan
perhatian Direksi.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai
Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah, selain
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib memenuhi pelaksanaan fungsi kepatuhan
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar modal yang
mengatur mengenai pengendalian internal Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek.
Pasal 39
(1) Pelaksana fungsi manajemen risiko dan fungsi kepatuhan
dan audit internal bertanggung jawab kepada Direksi.
(2) Laporan pelaksanaan fungsi manajemen risiko dan fungsi
kepatuhan dan audit internal disampaikan kepada
Direksi dan ditembuskan kepada Dewan Komisaris.
BAB VII
RENCANA BISNIS
Pasal 40
Perusahaan Efek wajib memiliki Rencana Bisnis yang realistis,
terukur, dan berkesinambungan.
Pasal 41
(1) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan
Komisaris atau RUPS sebagaimana ditentukan dalam
anggaran dasar.
- 24 -
(2) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
paling sedikit memuat:
a. penetapan sasaran Perusahaan Efek yang harus
dicapai dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;
b. strategi pencapaian sasaran Perusahaan Efek; dan
c. proyeksi keuangan 1 (satu) tahun ke depan.
(3) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
disusun dengan memperhatikan:
a. rencana strategis Perusahaan Efek;
b. faktor internal dan eksternal yang dapat
mempengaruhi kelangsungan kegiatan usaha
Perusahaan Efek;
c. prinsip kehati-hatian; dan
d. penerapan manajemen risiko.
Pasal 42
(1) Direksi bertanggung jawab atas pelaksanaan Rencana
Bisnis dan sosialisasi Rencana Bisnis kepada seluruh
karyawan/pegawai Perusahaan Efek.
(2) Dewan Komisaris bertanggung jawab melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis.
Pasal 43
(1) Perusahaan Efek wajib menyampaikan Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 kepada Otoritas
Jasa Keuangan setiap 1 (satu) tahun sekali.
(2) Perusahaan Efek wajib menyampaikan realisasi atas
Rencana Bisnis tahun sebelumnya kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Perusahaan Efek
untuk melakukan penyesuaian dalam hal Rencana Bisnis
yang disampaikan dinilai belum sepenuhnya memenuhi
ketentuan terkait dengan kegiatan Perusahaan Efek.
(4) Perusahaan Efek wajib menyampaikan penyesuaian
terhadap Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15
- 25 -
(lima belas) hari kerja setelah tanggal surat dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(5) Perusahaan Efek hanya dapat melakukan perubahan
terhadap Rencana Bisnis sebanyak 1 (satu) kali, paling
lambat pada hari kerja terakhir di bulan Juni tahun
berjalan, kecuali ditentukan lain atas permintaan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Perubahan terhadap Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sebelum pelaksanaan Rencana Bisnis
dimaksud.
BAB VIII
KEBIJAKAN SISTEM PELAPORAN PELANGGARAN DAN
KEBIJAKAN SISTEM PENGADUAN NASABAH
Pasal 44
(1) Perusahaan Efek wajib memiliki kebijakan sistem
pelaporan pelanggaran.
(2) Kebijakan sistem pelaporan pelanggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. sistematika proses pelaporan pelanggaran;
b. jenis pelanggaran yang dapat dilaporkan;
c. cara penyampaian laporan pelanggaran;
d. perlindungan dan jaminan kerahasiaan pelapor;
e. penanganan pelaporan pelanggaran;
f.
g.
hasil penanganan dan tindak lanjut laporan
pelanggaran; dan
h. evaluasi secara berkala oleh Direksi dan Dewan
Komisaris terhadap kebijakan sistem pelaporan
pelanggaran.
pihak yang mengelola penanganan laporan
pelanggaran;
- 26 -
Pasal 45
(1) Perusahaan Efek wajib memiliki kebijakan penanganan
pengaduan nasabah.
(2) Kebijakan penanganan pengaduan nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. sistematika proses pengaduan;
b. jangka waktu penanganan pengaduan;
c. penanganan pengaduan;
d. unit kerja atau pihak yang mengelola penanganan
pengaduan;
e. hasil penanganan dan tindak lanjut pengaduan; dan
f.
pengaduan nasabah.
(3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai
Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan rekening Efek nasabah, selain
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), wajib memenuhi kebijakan penanganan pengaduan
nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar modal yang
mengatur mengenai pengendalian internal Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek.
BAB IX
SITUS WEB
Pasal 46
(1) Perusahaan Efek wajib memiliki Situs Web.
(2) Situs Web sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mencerminkan identitas Perusahaan Efek dan
memperhatikan ketentuan
undangan.
evaluasi secara berkala oleh Direksi dan Dewan
Komisaris
terhadap kebijakan penanganan
peraturan perundang-
- 27 -
Pasal 47
Informasi yang wajib dimuat dalam Situs Web Perusahaan
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 paling sedikit
meliputi:
a. informasi umum;
b. informasi bagi nasabah; dan
c. informasi Tata Kelola.
Pasal 48
(1) Informasi umum sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 47 huruf a, paling sedikit memuat:
a. nama, alamat dan kontak kantor pusat, alamat dan
kontak kantor selain kantor pusat, dan agen
Perusahaan Efek (jika ada) yang dapat dihubungi;
b. riwayat singkat Perusahaan Efek;
c. struktur organisasi Perusahaan Efek;
d.
profil Direksi, Dewan Komisaris, komite dan/atau
unit pendukung (jika ada);
e. informasi mengenai Direksi dan pegawai yang
memiliki izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek
dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; dan
f. nomor izin usaha Perusahaan Efek.
(2) Informasi bagi nasabah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 huruf b, paling sedikit memuat:
a. laporan keuangan berkala;
b. keputusan RUPS; dan
c. layanan pengaduan nasabah dan pelaporan
pelanggaran.
(3) Informasi Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 huruf c, paling sedikit memuat:
a. pedoman kerja Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kode etik;
c. fungsi dan kebijakan manajemen risiko; dan
d. fungsi dan kebijakan kepatuhan dan audit internal.
- 28 -
BAB X
PELAPORAN
Pasal 49
(1) Perusahaan Efek wajib menyampaikan laporan berkala
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
a. laporan keuangan berkala;
b. laporan kegiatan; dan
c. laporan Akuntan Publik atas modal kerja bersih
disesuaikan tahunan.
(2) Ketentuan penyampaian laporan berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal
yang mengatur mengenai kewajiban penyampaian
laporan berkala oleh Perusahaan Efek.
Pasal 50
(1) Perusahaan Efek wajib menyusun laporan penerapan
Tata Kelola setiap tahun untuk posisi akhir bulan
Desember.
(2) Laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), paling sedikit meliputi:
a.
transparansi;
1. pengungkapan bentuk penerapan Tata Kelola
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
huruf a sampai dengan huruf g, huruf i, huruf j,
dan huruf k;
2. kepemilikan saham anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris serta hubungan
keuangan dan/atau hubungan keluarga
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
dengan anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris lain, dan/atau pemegang
saham Perusahaan Efek;
3.
total remunerasi dan fasilitas lain yang diterima
Direksi dan Dewan Komisaris;
- 29 -
4. penyimpangan internal yang terjadi dan upaya
penyelesaian oleh Perusahaan Efek;
5.
jenis, jumlah, dan upaya penyelesaian
permasalahan hukum baik hukum perdata
maupun hukum pidana dan telah diajukan
melalui proses hukum (jika ada); dan
6. benturan kepentingan dan/atau transaksi
dengan pihak Afiliasi;
b. hasil penilaian sendiri atas penerapan Tata Kelola;
dan/atau
c.
rencana tindak bagi Perusahaan Efek yang
memperoleh peringkat komposit 4 atau 5.
(3) Laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disajikan secara komparatif dengan tahun
sebelumnya.
(4) Perusahaan Efek wajib menyampaikan laporan
penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap 1 (satu) tahun
sekali.
(5) Laporan penerapan Tata Kelola pada ayat (4) wajib
disampaikan Perusahaan Efek paling lambat setiap
tanggal 15 bulan kedua pada tahun berikutnya.
(6) Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) jatuh pada hari libur, laporan penerapan Tata Kelola
disampaikan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(7) Dalam hal Perusahaan Efek menyampaikan laporan
penerapan Tata Kelola melewati batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penghitungan
jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan
dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6).
(8) Penyampaian laporan penerapan Tata Kelola untuk
pertama kali, tidak disajikan secara komparatif dengan
tahun sebelumnya.
- 30 -
Pasal 51
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Perusahaan Efek
untuk melakukan revisi terhadap laporan penerapan Tata
Kelola apabila berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan, laporan dimaksud tidak sesuai
dengan kondisi Perusahaan Efek yang sebenarnya.
(2) Revisi laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas)
hari kerja sejak diterimanya surat pemberitahuan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 52
(1) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada hari kerja terakhir di bulan
November.
(2) Laporan realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (2) wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 15
Februari.
(3) Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) jatuh pada hari libur, laporan realisasi Rencana Bisnis
disampaikan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(4) Dalam hal Perusahaan Efek menyampaikan laporan
realisasi Rencana Bisnis melewati batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan
jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan
realisasi Rencana Bisnis dihitung sejak hari pertama
setelah batas akhir waktu penyampaian laporan realisasi
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Laporan realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), disajikan secara komparatif dengan
Rencana Bisnis yang telah disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
- 31 -
Pasal 53
(1) Rencana Bisnis, laporan realisasi Rencana Bisnis, dan
Laporan penerapan Tata Kelola wajib disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen
cetak dan dokumen elektronik.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem pelaporan elektronik, pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan melalui sistem
pelaporan elektronik tersebut.
(3) Dalam hal pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah disampaikan melalui sistem pelaporan
elektronik, Otoritas Jasa Keuangan tidak mewajibkan lagi
penyampaian pelaporan dalam bentuk dokumen cetak.
Pasal 54
(1) Perusahaan Efek wajib melakukan penilaian sendiri atas
penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (2) huruf b.
(2) Hasil penilaian sendiri penerapan Tata Kelola
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian
tidak terpisahkan dari laporan penerapan Tata Kelola
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan penerapan Tata
Kelola diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 56
Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 55,
Perusahaan Efek wajib memenuhi ketentuan pelaporan
lainnya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor pasar modal.
- 32 -
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 57
(1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap penerapan
Tata Kelola, Otoritas Jasa Keuangan melakukan
penilaian atau evaluasi terhadap hasil penilaian sendiri
penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (1).
(2) Berdasarkan hasil penilaian atau evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
meminta Perusahaan Efek untuk menyampaikan rencana
tindak yang memuat langkah perbaikan yang wajib
dilaksanakan oleh Perusahaan Efek dengan target waktu
tertentu.
(3) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat
meminta Perusahaan Efek untuk melakukan
penyesuaian rencana tindak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan evaluasi
terhadap penyesuaian rencana tindak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan melakukan pemeriksaan
khusus terhadap hasil perbaikan penerapan Tata Kelola
yang telah dilakukan oleh Perusahaan Efek.
BAB XII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 58
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
- 33 -
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 59
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 60
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 kepada masyarakat.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 61
(1) Perusahaan Efek wajib menyesuaikan dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dalam
- 34 -
waktu 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku.
(2) Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini mulai diterapkan 2 (dua)
tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku.
Pasal 62
(1) Perusahaan Efek wajib menyampaikan Rencana Bisnis
pertama kali untuk rencana kegiatan tahun 2018.
(2) Rencana Bisnis pertama kali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada hari kerja terakhir di bulan
November 2017.
Pasal 63
(1) Perusahaan Efek wajib menyampaikan laporan
penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (1) untuk pertama kali pada periode tahun
2018.
(2) Laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada tanggal 15 Februari 2019.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 64
(1) Ketentuan peraturan perundang-undangan lain terkait
kewajiban Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara
Pedagang Efek tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Dalam hal terdapat ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya yang mengatur ketentuan mengenai
pedoman tata kelola bagi Perusahaan Efek yang
- 35 -
merupakan Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau
Perusahaan Efek yang termasuk dalam konglomerasi
keuangan, yang berbeda dengan ketentuan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, berlaku ketentuan
yang mengatur lebih ketat.
Pasal 65
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 September 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
WIMBOH SANTOSO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 September 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 211
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi Direktur Direktorat Hukum 1
selaku Plh. Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Wiwit Puspasari
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 57 /POJK.04/2017
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN
KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA
PEDAGANG EFEK
I. UMUM
Seiring dengan berkembangnya perekonomian nasional, industri
pasar modal di Indonesia menjadi salah satu industri yang memiliki
perkembangan yang cukup cepat. Perusahaan Efek sebagai salah satu
pelaku di industri pasar modal memiliki peran dalam mendorong
perkembangan perdagangan, pelayanan, dan produk investasi pasar
modal. Dengan demikian, implementasi Tata Kelola Perusahaan Efek
dapat dijadikan salah satu cara bagi Perusahaan Efek untuk membantu
perusahaan dalam meningkatkan kinerja dan memberikan manfaat jangka
panjang, sekaligus meningkatkan daya saing untuk perusahaan.
Tata Kelola Perusahaan Efek, dalam hal ini Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara
Pedagang Efek, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Perusahaan
Efek agar memiliki acuan yang digunakan dalam penerapan Tata Kelola
yang baik. Penerapan Tata Kelola bagi Perusahaan Efek, pada dasarnya
telah diatur dalam beberapa peraturan di bidang pasar modal maupun
- 2 -
di sektor jasa keuangan. Namun demikian, dalam rangka meningkatkan
penerapan Tata Kelola Perusahaan Efek dan mempertimbangkan
perkembangan penerapan Tata Kelola perusahaan, baik di industri pasar
modal, industri jasa keuangan secara lebih luas, dan Tata Kelola
perusahaan dalam konglomerasi keuangan, diperlukan pengaturan
mengenai penerapan Tata Kelola Perusahaan Efek yang lebih rinci.
Peraturan tersebut mencakup ketentuan Tata Kelola Perusahaan Efek
yang telah diatur dalam beberapa peraturan yang ada dan praktik
keteladanan Tata Kelola perusahaan yang dibutuhkan, yang dapat
diimplementasikan bagi Perusahaan Efek khususnya dalam hal ini
Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (5)
Pada praktiknya, surat elektronik dimaksud biasa disebut
dengan electronic mail (e-mail).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh bahan mata acara rapat antara lain laporan keuangan
tahunan dalam RUPS tahunan.
Ayat (2)
Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat
ini dapat disampaikan dengan menggunakan antara lain media
digital cakram padat (compact disc), flashdisk, atau lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Risalah RUPS dimaksud dibuat dan ditandatangani oleh
pimpinan rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang
saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS.
Tanda tangan sebagaimana dimaksud tidak disyaratkan apabila
risalah RUPS dibuat dalam bentuk akta berita acara RUPS yang
dibuat oleh notaris.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Pada praktiknya, pengambilan keputusan di luar RUPS
dimaksud biasa disebut dengan usul keputusan yang diedarkan
- 4 -
(circular resolution).
Yang dimaksud dengan “keputusan yang mengikat” adalah
keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan keputusan RUPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kondisi Perusahaan Efek” antara lain
disesuaikan dengan kebutuhan, ukuran dan kompleksitas
usaha, dan kemampuan Perusahaan Efek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud “komite dan/atau unit pendukung Direksi”
antara lain komite manajemen risiko atau komite sumber daya
manusia.
- 5 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “kebijakan strategis” adalah kebijakan
Perusahaan Efek yang dapat mempengaruhi keuangan Perusahaan
Efek secara signifikan dan/atau memiliki dampak yang
berkesinambungan terhadap anggaran, sumber daya manusia,
struktur organisasi, nasabah, dan/atau pihak ketiga.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kehadiran anggota Direksi dalam rapat”
adalah kehadiran fisik atau melalui media elektronik, seperti
telekonferensi atau video konferensi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dapat diperoleh antara
lain melalui pelatihan, sosialisasi, atau seminar yang
diselenggarakan pihak yang berkompeten.
- 6 -
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kondisi Perusahaan Efek” antara
lain disesuaikan dengan kebutuhan, ukuran dan
kompleksitas usaha, dan kemampuan Perusahaan Efek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Sebagai contoh jika Perusahaan Efek hanya memiliki 1 (satu)
anggota Dewan Komisaris, maka anggota Dewan Komisaris
dimaksud merupakan Komisaris Independen.
Jika Perusahaan Efek memiliki 2 (dua) anggota Dewan
Komisaris, maka salah 1 (satu) anggota Dewan Komisaris
dimaksud merupakan Komisaris Independen.
Ayat (2)
Sebagai contoh jika Perusahaan Efek memiliki 4 (empat) anggota
Dewan Komisaris, maka paling sedikit 2 (dua) anggota Dewan
Komisaris dimaksud merupakan Komisaris Independen.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 7 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pengawasan penerapan Tata Kelola”
antara lain dilakukan melalui:
a. pengawasan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi
atas penerapan Tata Kelola;
b. pemberian nasihat kepada Direksi atas penerapan Tata
Kelola; dan
c. mengevaluasi kebijakan perusahaan terkait Tata Kelola,
seperti evaluasi atas pedoman kerja Direksi dan Dewan
Komisaris.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Fungsi audit yang diatur dalam ketentuan ini merupakan fungsi
audit yang dimiliki oleh Dewan Komisaris.
Ayat (2)
Hasil penelaahan fungsi audit yang dilaksanakan oleh Komisaris
Independen menjadi rekomendasi untuk Dewan Komisaris.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “komite lainnya” antara lain komite Tata
Kelola, komite manajemen risiko, dan/atau komite nominasi dan
remunerasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud “kehadiran anggota Dewan Komisaris dalam
rapat” adalah kehadiran fisik atau melalui media elektronik,
seperti telekonferensi atau video konferensi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dapat diperoleh antara
lain melalui pelatihan, sosialisasi, atau seminar yang
diselenggarakan pihak yang berkompeten.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penghasilan yang sah” yaitu remunerasi
yang ditetapkan dalam RUPS.
- 9 -
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tunjangan” yaitu termasuk fasilitas
yang diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris untuk
menunjang pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “benturan kepentingan” adalah
perbedaan kepentingan ekonomis antara Perusahaan Efek
dengan kepentingan ekonomis pribadi Pemegang Saham
Pengendali, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
karyawan/pegawai, dan/atau pihak terkait dengan
Perusahaan Efek.
Kebijakan benturan kepentingan antara lain:
1. definisi benturan kepentingan;
2.
identifikasi hal yang merupakan benturan
kepentingan, antara lain jenis transaksi benturan
- 10 -
kepentingan Perusahaan Efek dengan pribadi
Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, karyawan/pegawai, dan/atau pihak
terkait dengan Perusahaan Efek;
3. penanganan, mitigasi, dan/atau pengelolaan benturan
kepentingan, antara lain:
a) sikap profesional Direksi, Dewan Komisaris,
karyawan/ pegawai, dan/atau komite/fungsi yang
dimiliki Perusahaan Efek apabila terdapat
benturan kepentingan dengan Perusahaan Efek,
misalnya larangan melakukan transaksi terlebih
dahulu atas suatu Efek tertentu atas dasar
adanya informasi nasabah yang akan melakukan
transaksi dalam volume besar atas Efek yang
diperkirakan mempengaruhi harga pasar dengan
tujuan untuk meraih keuntungan atau
mengurangi kerugian;
b) prosedur atau mekanisme pengambilan
keputusan dalam hal terjadi benturan
kepentingan dan pelaporan/pengungkapan secara
tertulis apabila memiliki atau berpotensi memiliki
benturan kepentingan, misalnya larangan bagi
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris untuk memberikan suara dalam rapat
jika memiliki benturan kepentingan; dan
4. administrasi dan dokumentasi benturan kepentingan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “sistem pelaporan pelanggaran” adalah
sebuah kebijakan pelaporan pelanggaran yang memenuhi
- 11 -
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 33
Ayat (1)
Pedoman dapat menjadi bagian dari kode etik atau terpisah dari
kode etik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Fungsi kepatuhan dan audit internal dapat dilaksanakan
secara terpisah sesuai dengan kebutuhan Perusahaan Efek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Pada praktiknya, kebijakan manajemen risiko dimaksud
dikenal sebagai pedoman manajemen risiko.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 12 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pada praktiknya, sistem deteksi dini dimaksud biasa
disebut dengan early warning system.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Pada praktiknya, limit risiko yang diambil dimaksud biasa
disebut dengan risk appetite dan toleransi risiko biasa
disebut dengan risk tolerance.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyusunan dan pelaksanaan program audit yang memadai
antara lain memenuhi independensi, objektivitas, dan tidak
membatasi cakupan dan ruang lingkup internal audit.
- 13 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Faktor internal dapat berupa kekuatan dan kelemahan
Perusahaan Efek, sedangkan faktor eksternal dapat berupa
peluang dan tantangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 14 -
Ayat (3)
Ketentuan terkait dengan kegiatan Perusahaan Efek antara lain
Peraturan yang berkaitan dengan perizinan, pengendalian
internal, dan permodalan Perusahaan Efek.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pihak yang mengelola penanganan laporan pelanggaran
dapat dilakukan oleh pihak yang melakukan fungsi
kepatuhan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 45
Ayat (1)
Kebijakan penanganan pengaduan nasabah disusun dengan
mengacu pada ketentuan penanganan pengaduan konsumen
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
Ayat (2)
Kebijakan penanganan pengaduan nasabah paling sedikit
mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Identitas Perusahaan Efek paling sedikit mencakup nama
Perusahaan Efek, jenis kegiatan usaha yang dilakukan oleh
Perusahaan Efek, dan layanan yang diberikan oleh Perusahaan
Efek.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Riwayat singkat Perusahaan Efek antara lain meliputi
sejarah pendirian, visi dan misi, dan jenis kegiatan usaha
menurut anggaran dasar terakhir.
Huruf c
Struktur organisasi disajikan dalam bentuk bagan paling
sedikit sampai dengan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi dan
- 16 -
Dewan Komisaris, termasuk komite (jika ada), disertai
dengan nama dan jabatan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pada praktiknya, penilaian sendiri dimaksud biasa disebut
dengan self assessment.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “peringkat komposit” adalah
peringkat akhir hasil penilaian sendiri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
- 17 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud “dokumen elektronik” antara lain penyampaian
laporan penerapan Tata Kelola melalui surat elektronik (email).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Yang dimaksud ketentuan pelaporan lainnya, antara lain pelaporan
terkait:
a. pembukaan kegiatan yang dilakukan di lokasi lain selain kantor
pusat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur
mengenai kegiatan Perusahaan Efek di berbagai lokasi;
b. pengaduan nasabah dan tindak lanjut pelayanan dan
penyelesaian pengaduan nasabah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perlindungan
konsumen sektor jasa keuangan; dan
- 18 -
c. perubahan nama sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan
Perantara Pedagang Efek.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6126
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 57/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title>
<set_date> 14 September 2017 </set_date>
<effective_date> 26 September 2017 </effective_date>
<issued_date> 26 September 2017 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 9 /POJK.03/2016
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PIHAK LAIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin berkembangnya dunia usaha
dan ketatnya tingkat persaingan, kegiatan usaha bank
menjadi semakin kompleks dan beragam;
b.
bahwa agar dapat lebih fokus pada pekerjaan
pokoknya dalam rangka melaksanakan fungsi
intermediasi dan sejalan dengan perundang-
undangan, bank dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain;
c.
bahwa penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada pihak lain berpotensi meningkatkan risiko bagi
bank;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
dipandang perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank
Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG
MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN
PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1.
Bank adalah bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvesional sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, serta bank umum
syariah dan unit usaha syariah sebagaimana
- 3 -
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2.
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
kepada Pihak Lain, yang selanjutnya disebut Alih
Daya, adalah penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau melalui
perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja.
3.
Perusahaan Penyedia Jasa adalah perusahaan yang
melaksanakan sebagian pekerjaan yang diserahkan
Bank melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
dan/atau melalui perjanjian penyediaan jasa tenaga
kerja.
4.
a.
Direksi:
bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b.
1)
bagi Bank berbentuk badan hukum:
Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015;
2)
Perusahaan Daerah adalah direksi pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
- 4 -
d.
bagi Bank yang berstatus sebagai kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri adalah pemimpin kantor cabang dan
pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor
cabang.
5.
a.
Dewan Komisaris:
bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
b.
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
bagi Bank berbentuk badan hukum:
1)
Per
usahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2)
Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
3)
Perusahaan Daerah adalah pengawas
pada Bank yang belum berubah bentuk
menjadi Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sesuai
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9
Tahun 2015;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d.
bagi Bank yang berstatus sebagai kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar
- 5 -
negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungsi pengawasan.
Pasal 2
(1)
(2)
Bank dapat melakukan Alih Daya kepada
Perusahaan Penyedia Jasa.
Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko.
BAB II
ALIH DAYA
Pasal 3
(1)
2
a.
b.
(2)
Alih Daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
ayat (1) dilakukan Bank melalui perjanjian:
pemborongan pekerjaan; dan/atau
penyediaan jasa tenaga kerja.
Bank wajib memastikan bahwa pelaksanaan
pekerjaan yang dialihdayakan sesuai dengan
perjanjian yang dibuat dan peraturan perundang-
undangan.
(3)
Bank tetap bertanggung jawab atas pekerjaan
yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia
Jasa.
Pasal 4
(1)
Dalam rangka Alih Daya, kegiatan Bank
dikategorikan sebagai:
a.
b.
(2)
kegiatan usaha; dan
kegiatan pendukung usaha.
Dalam setiap kegiatan usaha dan kegiatan
pendukung usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas serangkaian pekerjaan pokok dan
pekerjaan penunjang.
(3)
Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas
pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank
- 6 -
dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank.
Pasal 5
(1)
Pekerjaan penunjang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) paling sedikit memenuhi
kriteria:
a.
b.
berisiko rendah;
tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi
yang tinggi di bidang perbankan; dan
c.
tidak terkait
langsung dengan proses
pengambilan keputusan yang mempengaruhi
operasional Bank.
(2)
Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dijabarkan dalam kebijakan Bank mengenai
Alih Daya.
(3)
Bank dilarang melakukan Alih Daya yang
mengakibatkan beralihnya tanggung jawab atau risiko
dari obyek pekerjaan yang dialihdayakan kepada
Perusahaan Penyedia Jasa.
Pasal 6
Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan
Perusahaan Penyedia Jasa yang memenuhi persyaratan
paling sedikit:
a.
b.
berbadan hukum Indonesia;
memiliki izin usaha yang masih berlaku dari
instansi berwenang sesuai bidang usahanya;
c.
d.
memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang
baik serta pengalaman yang cukup;
mendukung pelaksanaan
dialihdayakan; dan
e.
memiliki
dibutuhkan dalam Alih Daya.
memiliki sumber daya manusia yang
pekerjaan yang
sarana dan prasarana yang
- 7 -
BAB III
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN
RISIKO
Bagian Kesatu
Pemilihan Perusahaan Penyedia Jasa
Pasal 7
Untuk memastikan pemenuhan persyaratan dalam rangka
pemilihan Perusahaan Penyedia Jasa, Bank wajib:
a.
dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b; dan
b.
melakukan analisis dan penilaian terhadap
aspek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c,
huruf d, dan huruf e, yaitu mengenai:
1.
2.
3.
meneliti dokumen sebagaimana dimaksud
kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta
pengalaman yang cukup;
sumber daya manusia yang mendukung
pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan; dan
sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam
Alih Daya.
Pasal 8
Hasil penelitian, analisis, dan penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 wajib disusun secara tertulis dan
didokumentasikan dengan baik.
Pasal 9
(1)
Bank wajib memantau dan mengevaluasi
pemenuhan persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa
secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi
perubahan kinerja dan/atau reputasi Perusahaan
Penyedia Jasa.
(2)
Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disusun secara tertulis
dan didokumentasikan dengan baik.
- 8 -
Bagian Kedua
Perjanjian Alih Daya
Pasal 10
(1)
Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib
membuat perjanjian dengan Perusahaan Penyedia
Jasa secara tertulis.
(2)
Perjanjian Alih Daya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a.
b.
c.
d.
e.
ruang lingkup pekerjaan;
jangka waktu perjanjian;
nilai kontrak;
struktur biaya dan mekanisme pembayaran;
hak, kewajiban, dan tanggung jawab Bank
maupun Perusahaan Penyedia Jasa, antara lain:
1. kewenangan Bank untuk melakukan evaluasi
dan pemeriksaan terhadap Perusahaan
Penyedia Jasa terkait dengan pelaksanaan
perjanjian Alih Daya;
2. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa
termasuk tenaga kerja yang digunakan
dalam Alih Daya untuk menjaga kerahasiaan
dan pengamanan informasi Bank dan/atau
nasabah Bank;
3. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa untuk
menyampaikan laporan dan informasi
kepada Bank secara tertulis dan berkala;
4. kewajiban masing-masing pihak untuk
mematuhi
ketentuan dan peraturan
perundang-undangan;
5. kewajiban para pihak untuk melindungi hak
dan kepentingan nasabah Bank terkait
dengan pekerjaan yang dialihdayakan;
6. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa
memiliki contingency plan; dan
7. kesediaan Perusahaan Penyedia Jasa untuk
- 9 -
memberikan akses pemeriksaan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas
lain yang berwenang bersama-sama dengan
Bank dalam hal diperlukan;
f.
g.
ukuran dan standar pelaksanaan pekerjaan;
kriteria atau kondisi pengakhiran perjanjian
sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian
(early termination);
h.
i.
sanksi dan penalti; dan
penyelesaian perselisihan.
Bagian Ketiga
Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 11
(1)
Bank wajib menerapkan manajemen risiko
secara efektif dalam melakukan Alih Daya sesuai
skala, karakteristik, dan kompleksitas pekerjaan yang
dialihdayakan.
(2)
Penerapan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a.
pengawasan aktif
Komisaris;
b.
c.
kecukupan kebijakan dan prosedur;
kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko serta
sistem informasi manajemen risiko; dan
d.
sistem pengendalian intern.
Pasal 12
Pengawasan aktif Direksi paling sedikit mencakup:
a.
Alih Daya;
b.
c.
d.
menetapkan prosedur Alih Daya;
menyetujui rencana Bank untuk melaksanakan
Alih Daya;
memantau, mengevaluasi, dan bertanggung
menyusun dan menyempurnakan kebijakan
Direksi dan Dewan
- 10 -
jawab atas penerapan manajemen risiko atas Alih
Daya; dan
e.
memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Alih
Daya secara keseluruhan.
Pasal 13
Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling sedikit
mencakup:
a.
menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Alih
Daya termasuk penyempurnaan atas kebijakan Alih
Daya; dan
b.
mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas
penerapan manajemen risiko atas Alih Daya.
Pasal 14
(1)
(2)
Bank wajib memiliki dan menerapkan
kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Alih Daya.
Kebijakan dan prosedur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a.
b.
c.
d.
tujuan Alih Daya;
kriteria pekerjaan yang dialihdayakan;
cakupan analisis;
kebijakan mitigasi risiko dalam pelaksanaan
Alih Daya;
e.
f.
g.
h.
kriteria Perusahaan Penyedia Jasa;
cakupan minimum perjanjian Alih Daya;
prosedur standar dalam melakukan Alih Daya;
dan
penetapan unit atau fungsi khusus yang
melaksanakan proses Alih Daya serta kejelasan
tugas dan tanggung jawab.
(3)
Kebijakan dan prosedur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dikaji ulang secara
berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
- 11 -
Pasal 15
(1)
Bank wajib melakukan identifikasi,
pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap
seluruh risiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan
Alih Daya.
(2)
Pelaksanaan identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh sistem
informasi manajemen yang tepat waktu serta dapat
memberikan laporan yang akurat dan informatif
mengenai risiko pada pelaksanaan Alih Daya.
Pasal 16
(1)
(2)
Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian
intern yang efektif atas Alih Daya.
Sistem pengendalian intern yang efektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
meliputi:
a.
b.
pengawasan terhadap proses Alih Daya; dan
pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan
oleh Perusahaan Penyedia Jasa.
(3)
Pengawasan terhadap proses Alih Daya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib
dilakukan oleh pihak yang independen terhadap pihak
yang melakukan proses Alih Daya.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 17
(1)
Bank wajib menyampaikan laporan mengenai
Alih Daya kepada Otoritas Jasa Keuangan secara
lengkap, benar, dan tepat waktu.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup:
a.
b.
rencana Alih Daya; dan
Alih Daya yang bermasalah.
- 12 -
(3)
Laporan rencana Alih Daya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat informasi
paling sedikit mengenai:
a.
b.
c.
d.
jenis pekerjaan yang dialihdayakan;
gambaran umum dan cakupan pekerjaan;
jenis perjanjian Alih Daya;
perkiraan jumlah tenaga kerja Alih Daya yang
dibutuhkan;
e.
f.
g.
(4)
jangka waktu perjanjian;
tujuan Alih Daya; dan
analisis perkiraan biaya dan manfaat serta
risiko dan mitigasinya.
Laporan
Alih Daya yang bermasalah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b memuat
informasi paling sedikit mengenai:
a.
b.
c.
d.
jenis pekerjaan yang dialihdayakan;
nama Perusahan Penyedia Jasa;
gambaran permasalahan yang terjadi; dan
(5)
langkah-langkah yang dilakukan oleh Bank
untuk mengatasi Alih Daya yang bermasalah.
Laporan rencana Alih Daya sebagaimana
(6)
dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan
setiap tahun paling lambat pada tanggal 31 Desember.
Bank hanya dapat melakukan penambahan
(7)
dan/atau perubahan rencana pekerjaan yang
dialihdayakan yang sudah dilaporkan kepada Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
paling banyak 1 (satu) kali dan wajib menyampaikan
Laporan Perubahan Rencana Alih Daya dimaksud
paling lambat pada tanggal 30 Juni tahun berjalan.
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
(8)
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu atau hari libur,
laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Laporan
Alih Daya yang bermasalah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib
disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
- 13 -
diketahuinya permasalahan oleh Bank.
Pasal 18
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan ayat (6) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan alamat sebagai berikut:
a.
Departemen Pengawasan Bank terkait,
b.
Departemen Perbankan Syariah, atau Kantor Regional
1 Jabodetabek, Banten, Lampung dan Kalimantan,
bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang
berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten; atau
Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau
Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi Bank
yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta
Provinsi Banten.
BAB V
SANKSI
Pasal 19
(1)
Bank yang menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan/atau Pasal 17
ayat (6) melampaui batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (5), Pasal 17 ayat (6) atau Pasal 17 ayat
(8) dikenakan:
a.
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja
keterlambatan apabila terlambat 1 (satu) hari
kerja sampai dengan 10 (sepuluh) hari kerja;
b.
sanksi
administratif berupa denda
sebagaimana pada huruf a ditambah dengan
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah)
- 14 -
per hari kerja keterlambatan berikutnya apabila
terlambat 11 (sebelas) hari kerja sampai dengan
20 (dua puluh) hari kerja;
c.
sanksi
administratif berupa denda
sebagaimana pada huruf a dan huruf b ditambah
dengan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per hari
kerja keterlambatan berikutnya, dengan jumlah
sanksi keterlambatan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) apabila
terlambat 21 (dua puluh satu) hari kerja atau
lebih.
(2)
Bank yang diketahui oleh Otoritas Jasa
Keuangan telah melakukan Alih Daya tetapi belum
menyampaikan laporan rencana Alih Daya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf a dan/atau penambahan atau perubahan
rencana Alih Daya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (6), dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp125.000.000,00 (seratus dua
puluh lima juta rupiah).
Pasal 20
Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (2), Pasal 4
ayat (3), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1),
Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (3), atau Pasal 17
ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dikenakan sanksi
administratif antara lain berupa:
a.
b.
c.
teguran tertulis;
penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
pembekuan kegiatan usaha tertentu.
- 15 -
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
(1)
Bank yang sebelum tanggal 9 Desember 2011
telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan yang
diperbolehkan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini namun Perusahaan Penyedia Jasa
dan/atau cakupan perjanjian Alih Daya belum
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan/atau Pasal 10 ayat (2), dapat melanjutkan
pelaksanaan Alih Daya sampai dengan berakhirnya
perjanjian.
(2)
Dalam hal Bank melakukan perpanjangan
terhadap perjanjian Alih Daya sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1), Bank wajib:
a.
melakukan penelitian, analisis, dan penilaian
atas pemenuhan persyaratan Perusahaan
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6; dan/atau
b.
menyesuaikan perjanjian sesuai Pasal 10 ayat
(2).
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 22
(1)
Alih Daya yang dilakukan oleh Bank selain
tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
juga tunduk pada ketentuan lainnya yang terkait
dengan Alih Daya.
(2)
Persyaratan badan hukum bagi Perusahaan
Penyedia Jasa yang memberikan jasa untuk
penyelenggarakan teknologi informasi tetap mengacu
pada ketentuan mengenai penerapan manajemen
risiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh
Bank.
- 16 -
Pasal 23
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menghentikan Alih
Daya yang dilakukan Bank dalam hal menurut penilaian
Otoritas Jasa Keuangan Alih Daya berpotensi
membahayakan
kelangsungan
usaha
Ba
- 17 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 25
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku,
Peraturan
Bank
Nomor 13/25/PBI/2011 tanggal 9 Desember 2011
tentang Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang
Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Pihak Lain (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5263), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 13/25/PBI/2011 tanggal 9 Desember 2011
tentang Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang
Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan Kepada Pihak Lain dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Indonesia
- 18 -
Pasal 26
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Januari 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 21
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 9 /POJK.03/2016
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PIHAK LAIN
I. UMUM
Semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat
persaingan mendorong semakin kompleks dan beragamnya kegiatan
usaha Bank. Hal ini menyebabkan Bank dituntut untuk berkonsentrasi
pada pekerjaan pokoknya dan melaksanakan fungsinya sebagai
lembaga intermediasi.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank untuk lebih
berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya adalah dengan menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan penunjang kepada pihak lain sehingga
sumber daya Bank dapat dikerahkan pada pekerjaan-pekerjaan pokok.
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain ini juga
sejalan dengan peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
pihak lain berpotensi meningkatkan risiko yang dihadapi Bank
sehingga penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut harus
dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko yang memadai. Disamping itu, kejelasan atas tanggung jawab
Bank terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut
dan aspek perlindungan nasabah menjadi hal yang sangat penting
untuk diperhatikan.
- 2 -
Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko
dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain
yang diiringi dengan terlindunginya kepentingan nasabah diharapkan
dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem
keuangan secara keseluruhan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Termasuk dalam Alih Daya oleh Bank adalah Alih Daya yang
dilakukan oleh unit usaha syariah pada bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan ini tidak mengatur mengenai pemborongan
pekerjaan yang hasil akhirnya berupa barang atau yang
pada umumnya dikenal sebagai pengadaan barang,
misalnya pengadaan slip setoran, buku tabungan,
inventaris kantor, pembangunan gedung kantor, dan
Automated Teller Machine (ATM).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan Alih Daya tidak menghilangkan tanggung jawab
Bank atas akibat dari tindakan yang dilakukan oleh
Perusahaan Penyedia Jasa dalam melaksanakan pekerjaan
- 3 -
yang dialihkan, termasuk apabila terdapat tindakan yang
merugikan nasabah Bank.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta Pasal 19 dan
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Termasuk kegiatan usaha antara
lain adalah penghimpunan dana dari masyarakat
(funding), pemberian kredit atau pembiayaan (lending
atau financing), serta membeli, menjual atau menjamin
atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kegiatan pendukung usaha”
adalah kegiatan lain yang dilakukan Bank di luar
kegiatan usaha Bank. Termasuk kegiatan pendukung
usaha antara lain adalah kegiatan yang terkait dengan
sumber daya manusia, manajemen risiko, kepatuhan,
internal audit, akunting dan keuangan, teknologi
informasi, logistik, dan pengamanan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pekerjaan pokok” adalah pekerjaan
yang harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan
pendukung usaha Bank sehingga apabila pekerjaan tersebut
tidak ada maka kegiatan dimaksud akan sangat terganggu
atau tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
Yang dimaksud dengan “alur” adalah serangkaian pekerjaan
dari awal sampai akhir dari suatu kegiatan usaha atau
kegiatan pendukung usaha, misalnya alur pemberian kredit
atau pembiayaan mencakup pekerjaan pemasaran, analisis
kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, dan
- 4 -
penagihan kredit atau pembiayaan.
Contoh pekerjaan pokok dalam alur kegiatan usaha Bank
misalnya alur kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan
antara lain pekerjaan account officer dan analis kredit atau
pembiayaan, pada alur kegiatan penghimpunan dana antara
lain pekerjaan customer service, customer relation, dan teller.
Contoh pekerjaan pokok dalam alur kegiatan pendukung
usaha Bank, misalnya alur kegiatan manajemen risiko antara
lain pekerjaan analisis risiko, pada alur pengembangan
organisasi dan pengelolaan sumber daya manusia antara lain
pekerjaaan perencanaan dan pengembangan organisasi serta
perencanaan sumber daya manusia, pada alur kegiatan
pengelolaan teknologi informasi antara lain pekerjaan
perencanaan dan pengembangan teknologi informasi, dan
pada alur kegiatan pengendalian internal antara lain
pekerjaan audit internal.
Yang dimaksud dengan “pekerjaan penunjang” adalah
pekerjaan yang tidak harus ada dalam alur kegiatan usaha
atau alur kegiatan pendukung usaha Bank sehingga dalam
hal pekerjaan tersebut tidak ada, kegiatan dimaksud masih
dapat terlaksana tanpa gangguan yang berarti.
Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank,
misalnya alur kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan
antara lain pekerjaan call center, pemasaran (telemarketing,
direct sales atau sales representative) dan penagihan, contoh
pada alur kegiatan perkasan misalnya pekerjaan jasa
pengelolaan kas Bank.
Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan pendukung
usaha, misalnya pekerjaan yang dilakukan oleh sekretaris,
agendaris, resepsionis, petugas kebersihan, petugas
keamanan, pramubakti, kurir, data entry, dan pengemudi.
Ayat (3)
Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank
dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank sebagaimana
dimaksud dalam Penjelasan ayat (2).
- 5 -
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pekerjaan berisiko rendah”
adalah pekerjaan yang apabila terjadi kegagalan tidak
akan mengganggu aktivitas operasional Bank secara
signifikan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kualifikasi kompetensi di bidang
perbankan antara lain mencakup pendidikan formal dan
pengetahuan atau pengalaman di bidang perbankan.
Huruf c
Proses pengambilan keputusan mencakup proses
analisis dan proses
judgement dalam rangka
pengambilan keputusan.
“Keputusan yang mempengaruhi operasional Bank”
adalah keputusan yang dapat meningkatkan risiko
secara signifikan dan/atau mengganggu berjalannya
operasional Bank apabila tidak dilakukan dengan benar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sebagai contoh, dalam Alih Daya penagihan kredit atau
pembiayaan melalui perjanjian pemborongan, Bank tidak
diperbolehkan mengalihkan risiko kredit atau pembiayaan
yang ditimbulkan oleh tidak tertagihnya kredit atau
pembiayaan dengan menggunakan cara seperti mekanisme
penjualan tagihan kredit atau pembiayaan melalui skim anjak
piutang.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Penelitian dokumen dilakukan terhadap informasi dan
kondisi terkini Perusahaan Penyedia Jasa. Dalam hal
- 6 -
diperlukan dapat dilakukan konfirmasi atau klarifikasi
kepada instansi yang berwenang.
Huruf b
Analisis dan penilaian dilakukan untuk meyakini bahwa
Perusahaan Penyedia Jasa telah memenuhi seluruh kriteria
yang ditetapkan dan mampu melakukan Alih Daya.
Analisis dan penilaian menggunakan informasi dan kondisi
terkini Perusahaan Penyedia Jasa.
Kedalaman dan intensitas analisis dan penilaian disesuaikan
dengan skala dan kompleksitas pekerjaan yang
dialihdayakan.
Angka 1
Penilaian terhadap kinerja keuangan bertujuan untuk
memastikan bahwa Perusahaan Penyedia Jasa memiliki
kemampuan keuangan yang dapat mendukung
kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai perjanjian
yang telah disepakati, yang antara lain mencakup
penilaian terhadap modal, likuiditas, dan profitabilitas
Perusahaan Penyedia Jasa.
Penilaian terhadap reputasi termasuk penilaian terhadap
rekam jeja (track record) Perusahaan Penyedia Jasa
bertujuan untuk menilai kepatuhan Perusahaan
Penyedia Jasa terhadap ketentuan dan/atau peraturan
perundang-undangan, yang antara lain mencakup:
a. permasalahan hukum yang pernah atau sedang
dihadapi yang dapat berdampak negatif;
b. kepatuhan terhadap ketentuan dan/atau peraturan
perundang-undangan; dan/atau
c. kepatuhan terhadap perjanjian Alih Daya dengan
Bank lain atau pemberi kerja sebelumnya.
Penilaian terhadap pengalaman Perusahaan Penyedia
Jasa bertujuan untuk memastikan bahwa Perusahaan
Penyedia Jasa memiliki pengalaman yang memadai
untuk melaksanakan pekerjaaan yang dialihkan, antara
lain mencakup:
a. pengalaman perusahaan dalam menangani
pekerjaan yang dialihdayakan; dan/atau
- 7 -
b. pengalaman manajemen perusahaan dalam
menangani pekerjaan yang dialihdayakan.
Angka 2
Penilaian terhadap sumber daya manusia bertujuan
untuk memastikan pemenuhan kecukupan kuantitas
dan kualitas atau keahlian sumber daya manusia.
Angka 3
Penilaian terhadap sarana dan prasarana bertujuan
untuk memastikan kecukupan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan dalam Alih Daya, termasuk pemenuhan
kecukupan kuantitas dan kualitas serta spesifikasi
khusus yang dibutuhkan dalam Alih Daya.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam struktur biaya adalah biaya-biaya
selain nilai kontrak yang terkait dengan pelaksanaan
pekerjaan.
Dalam mekanisme pembayaran diatur mengenai pihak
yang harus membayar biaya tersebut dan tata cara
pembayarannya.
- 8 -
Huruf e
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Kewajiban menjaga kerahasiaan dan pengamanan
informasi nasabah mengacu pada ketentuan dan
peraturan perundang-undangan antara lain
mengenai rahasia Bank, ketentuan yang mengatur
mengenai transparansi informasi produk Bank dan
penggunaan data pribadi nasabah, serta ketentuan
yang mengatur mengenai perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan.
Angka 3
Cakupan dan frekuensi laporan sesuai dengan
kesepakatan para pihak.
Angka 4
Ketentuan dan peraturan perundang-undangan
antara lain di bidang ketenagakerjaan dan
perbankan.
Angka 5
Perlindungan hak dan kepentingan nasabah
mengacu pada ketentuan dan peraturan perundang-
undangan antara lain mengenai perlindungan
konsumen serta ketentuan mengenai transparansi
informasi produk Bank dan penggunaan data
pribadi nasabah.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “contingency plan” adalah
upaya-upaya yang harus dilakukan oleh
Perusahaan Penyedia Jasa untuk mengatasi
keadaan memaksa atau gangguan yang signifikan
dalam pelaksanaan pekerjaan, antara lain yang
disebabkan oleh bencana alam, demonstrasi,
pemogokan tenaga kerja, gangguan sistem,
dan/atau perselisihan.
- 9 -
Angka 7
Pemeriksaan Perusahaan Penyedia Jasa oleh
otoritas lain dilakukan sesuai wewenangnya
berdasarkan pada ketentuan yang terkait dengan
alih daya yang dilakukan oleh Bank.
Huruf f
Ukuran pelaksanaan pekerjaan meliputi ukuran atas
kuantitas dan/atau kualitas pekerjaan.
Standar pelaksanaan pekerjaan merupakan prosedur
yang paling sedikit harus dipenuhi dalam proses
pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan. Standar
dimaksud dapat pula mengacu pada prosedur operasi
standar yang dimiliki oleh Bank.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko berpedoman
pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko bagi Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 10 -
Ayat (2)
Huruf a
Tujuan Alih Daya mencakup penjabaran atas hasil yang
ingin dicapai melalui pelaksanaan Alih Daya, sesuai
strategi dan tujuan bisnis Bank secara keseluruhan.
Huruf b
Kriteria pekerjaan yang dapat dialihdayakan paling
sedikit mengacu pada kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Huruf c
Cakupan analisis mencakup aspek-aspek antara lain
risiko, biaya, dan manfaat yang ditimbulkan oleh Alih
Daya.
Dalam analisis manfaat dan biaya perlu memperhatikan
pula pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan pengawasan
oleh Bank atas Alih Daya tersebut.
Huruf d
Kebijakan mitigasi risiko mencakup jenis pekerjaan yang
harus dilakukan upaya mitigasi risiko serta upaya-upaya
mitigasi yang dapat dilakukan atas pekerjaan tersebut.
Huruf e
Kriteria Perusahaan Penyedia Jasa paling sedikit
mengacu pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Huruf f
Cakupan minimum perjanjian Alih Daya paling sedikit
mengacu pada cakupan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Huruf g
Prosedur standar dalam melakukan Alih Daya antara
lain mencakup prosedur pemilihan dan penetapan
Perusahaan Penyedia Jasa, pengikatan perjanjian, dan
pengawasan pelaksanaan Alih Daya.
- 11 -
Huruf h
Unit atau fungsi khusus tersebut dapat berdiri sendiri
atau merupakan bagian dari unit yang mengalihdayakan
pekerjaannya.
Ayat (3)
Frekuensi pengkajian ulang dilakukan sesuai kebutuhan
Bank dan perkembangan aktivitas Bank, terutama untuk
memastikan kesesuaian dengan strategi dan tujuan bisnis
Bank secara keseluruhan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Proses Alih Daya merupakan serangkaian proses yang
harus dilakukan dalam rangka penunjukan dan
penggunaan Perusahaan Penyedia Jasa dalam Alih Daya.
Huruf b
Pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan
merupakan pengawasan atas pemenuhan perjanjian Alih
Daya termasuk pemenuhan ukuran dan standar yang
ditetapkan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pihak independen” adalah:
a. unit kerja atau fungsi khusus dalam Bank yang tidak
terkait dengan proses Alih Daya, dapat berdiri sendiri
atau dapat merupakan bagian dari unit atau fungsi
khusus yang berdiri sendiri sebagaimana dimaksud
dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (2) huruf h; atau
b. bagian dari unit kerja atau fungsi khusus dalam Bank
yang melakukan pengawasan secara independen, antara
lain internal audit, manajemen risiko atau kepatuhan.
- 12 -
Pasal 17
Ayat (1)
Laporan mencakup laporan Bank secara gabungan untuk
seluruh kantor Bank. Laporan disampaikan oleh Bank yang
telah melakukan maupun yang merencanakan melakukan
Alih Daya.
Ayat (2)
Huruf a
Laporan rencana Alih Daya memuat rencana Alih Daya
atas pekerjaan yang belum pernah dialihdayakan.
Tidak termasuk dalam pekerjaan yang belum pernah
dialihdayakan adalah perpanjangan perjanjian Alih Daya.
Huruf b
Alih Daya dianggap bermasalah dalam hal terjadi
permasalahan baik pada pelaksanaan Alih Daya maupun
pada Perusahaan Penyedia Jasa yang berpotensi
meningkatkan risiko Bank secara signifikan dan/atau
akan mengganggu kelangsungan pelaksanaan pekerjaan
yang dialihdayakan, terlepas dari mengakibatkan atau
tidak mengakibatkan penghentian perjanjian dan/atau
penggantian Perusahaan Penyedia Jasa.
Contoh permasalahan:
Pelanggaran ketentuan dan peraturan perundang-
undangan, pelanggaran perjanjian, gugatan, pengaduan
nasabah, perselisihan intern pada Perusahaan Penyedia
Jasa baik antar manajemen maupun antara manajemen
dengan karyawan.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Gambaran umum dan cakupan pekerjaan menguraikan
secara singkat pekerjaan yang dialihdayakan dan lokasi
kantor tempat pekerjaan yang dialihdayakan.
Huruf c
- 13 -
Perjanjian Alih Daya yang dibuat berupa perjanjian
pemborongan dan/atau penyediaan jasa tenaga kerja.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Gambaran permasalahan menguraikan secara singkat
permasalahan yang terjadi, potensi risiko yang
ditimbulkan, lokasi, waktu terjadinya permasalahan, dan
waktu diketahuinya permasalahan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Laporan yang disampaikan mencakup rencana Alih Daya
yang akan dilakukan selama 1 (satu) tahun yang akan
datang.
Ayat (6)
Laporan Perubahan Rencana Alih Daya paling sedikit memuat
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
serta uraian singkat latar belakang dan tujuan penambahan
dan/atau perubahan rencana Alih Daya.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur nasional
yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau hari libur
lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 18
- 14 -
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5845
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 9/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN </reg_title>
<set_date> 26 Januari 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '13/25/PBI/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 60 /POJK.04/2016
TENTANG
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan tata kelola Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang baik dan berdaya saing
global, serta meningkatkan kompetensi dan integritas Direksi
dan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, perlu menyempurnakan peraturan mengenai
Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DIREKSI
DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Direksi adalah organ Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian untuk kepentingan Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, sesuai dengan maksud dan tujuan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta mewakili
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, baik di dalam
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.
2. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran
dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
3. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak
yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi
Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
4. Komite Remunerasi adalah komite ad hoc yang dibentuk
oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris
dalam membantu melaksanakan fungsi dan tugas Dewan
Komisaris untuk mengkaji dan mengusulkan gaji dan
manfaat lain bagi anggota Direksi, serta honorarium
termasuk metode penentuannya, bagi anggota Dewan
Komisaris.
5. Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan adalah
komite ad hoc yang dibentuk oleh Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan untuk
- 3 -
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
6. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya
disingkat RUPS, adalah organ Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam
batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau
anggaran dasar.
BAB II
DIREKSI LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
Bagian Kesatu
Keanggotaan Direksi
Pasal 2
(1) Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
(2) Satu di antara anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian wajib ditetapkan sebagai direktur
utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan
tugas utama paling sedikit:
a. mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat
Direksi tidak dapat mengambil keputusan; dan
b. melakukan koordinasi kegiatan di Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, kegiatan hubungan
masyarakat, kegiatan hukum dan peraturan, dan
kegiatan pemeriksaan internal.
(3) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
selain direktur utama wajib ditetapkan sebagai anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
paling sedikit bertanggung jawab terhadap 1 (satu) atau
lebih kegiatan sebagai berikut:
a. penyelesaian;
b. jasa kustodian;
c. riset dan pengembangan;
- 4 -
d. teknologi informasi;
e. hukum; dan
f. keuangan dan sumber daya manusia serta
administrasi umum.
Pasal 3
(1) Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 121 (seratus dua puluh satu) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
(2) Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
serta mengajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 116 (seratus enam belas) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
(3) Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Dewan
Komisaris dapat membentuk komite dengan atau tanpa
melibatkan pihak lain, dengan berpedoman pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Perizinan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dan struktur organisasi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
(4) Dalam menentukan jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, Dewan Komisaris wajib
memperhatikan kegiatan yang menjadi tanggung jawab
masing-masing jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3).
(5) Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris belum
- 5 -
mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan
langsung jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah
kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 106
(seratus enam) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(7) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan belum
menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, berlaku
jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian periode sebelumnya.
Pasal 4
Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan
kebutuhan operasional Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dalam Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
sedang menjabat.
Bagian Kedua
Persyaratan Anggota Direksi dan Susunan Direksi
Pasal 5
Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
integritas meliputi:
1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan
cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik;
3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang
- 6 -
dinyatakan bersalah atau turut bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum
dicalonkan;
5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit
Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka
waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan
diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari
6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku
yang diberikan dari kepolisian jika kurang dari 6
(enam) bulan;
6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material
atas ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan; dan
7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar
Modal Indonesia; dan
b. kompetensi meliputi:
1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan
pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal
termasuk perkembangan Pasar Modal internasional;
2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik
dan prinsip pengelolaan risiko; dan
3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang
cukup.
Pasal 6
Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf b angka 3, anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. paling sedikit seorang anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai
pengalaman dalam posisi manajerial pada bidang
pengelolaan risiko dan/atau pengelolaan investasi pada
- 7 -
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan atau
posisi manajerial yang membawahi jasa kustodian paling
rendah 1 (satu) tingkat di bawah anggota Direksi pada
Bank Kustodian, paling singkat 5 (lima) tahun;
b. anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
lainnya wajib berpengalaman pada:
1.
posisi anggota Direksi pada perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan paling singkat
5 (lima) tahun;
2.
posisi manajerial pada bidang teknologi informasi
paling singkat 3 (tiga) tahun dan memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai sistem informasi
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan;
3.
posisi manajerial paling sedikit 1 (satu) tingkat di
bawah anggota Direksi atau jabatan yang setara
pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau
organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling
singkat 3 (tiga) tahun; dan/atau
4. mempunyai pengalaman sebagai profesional di
bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang
berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal,
paling singkat 5 (lima) tahun; dan
c.
jangka waktu atau masa pengalaman anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b dihitung sampai
dengan tanggal pelaksanaan RUPS pengangkatan
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 7
Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
yang diajukan sebagai direktur utama Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, wajib mempunyai jiwa kepemimpinan yang
kuat.
- 8 -
Bagian Ketiga
Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Direksi
Pasal 8
(1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan oleh
pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah
dikeluarkan dan mempunyai hak suara.
anggota
(2) Dalam pencalonan
Direksi
Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, pemegang saham atau
kelompok pemegang saham yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-
sama bertanggung jawab untuk:
a. mencari dan menyeleksi calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. meneliti bahwa setiap calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut
mempunyai keahlian, pengalaman, dan tanggung
jawab untuk setiap jabatan dan kegiatan yang
menjadi tugas jabatannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7; dan
c. merekomendasikan gaji serta manfaat lain bagi
setiap calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian dengan mempertimbangkan
usulan Komite Remunerasi (jika ada).
(3) Calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan oleh pemegang saham atau kelompok
pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam 1 (satu) kesatuan paket calon Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dengan memenuhi
ketentuan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7.
- 9 -
(4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk
mengisi jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah
calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
Pasal 9
(1) Dalam pengajuan calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa
Keuangan, pemegang saham atau kelompok pemegang
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen
sebagai berikut:
a. riwayat hidup calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
c.
fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang
menunjukkan keahlian dari calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (jika ada);
d. surat pernyataan dari setiap Pihak yang diajukan
sebagai calon
anggota
Direksi
Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang memuat paling
sedikit:
1. menyatakan bahwa yang bersangkutan telah
memenuhi ketentuan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 7;
2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan
Afiliasi calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dengan calon
anggota Direksi lain dari Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Perusahaan Efek, dan Bank Kustodian yang
merupakan partisipan atau pengguna jasa
- 10 -
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam
paket yang diajukan;
3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses
penilaian kemampuan dan kepatutan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan
bersedia dipilih menjadi calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh
Otoritas Jasa Keuangan untuk jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
dan ayat (3), yang berbeda dengan jabatan yang
diajukan oleh pemegang saham atau kelompok
pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1);
4. bersedia untuk diangkat menjadi anggota
Direksi
Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian oleh RUPS yang bertanggung
jawab untuk kegiatan yang menjadi tugasnya
dan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dengan
anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi
lain dari Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dalam rangka pelaksanaan
kegiatan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang teratur, wajar, dan efisien;
5. menyatakan tidak melakukan perangkapan
jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan
komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau
institusi lain, apabila yang bersangkutan
terpilih sebagai anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
6. menyatakan bahwa calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
setelah menjadi anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian tidak akan
menggunakan aset Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian atau melakukan transaksi dan
memberi manfaat dalam bentuk apapun kepada
- 11 -
Afiliasi dari calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, anggota Direksi
lain dari Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, Afiliasi dari anggota Direksi lain
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
anggota Dewan
Komisaris
Penyimpanan dan Penyelesaian, dan/atau
Afiliasi dari anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
7. menyatakan paling sedikit:
a) kesediaan untuk tidak memiliki saham
atau sebagai pengendali baik langsung
atau tidak langsung Perusahaan Efek
selama menjabat sebagai anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
paling lambat 6 (enam) bulan sejak RUPS
pengangkatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan dalam
jangka waktu tersebut yang bersangkutan
bersedia untuk tidak memiliki hak suara
dalam RUPS;
b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik
langsung atau tidak langsung Emiten atau
Perusahaan Publik; dan/atau
c) kesediaan untuk tidak mentransaksikan
saham Emiten atau Perusahaan Publik
yang dimilikinya sampai dengan 6 (enam)
bulan setelah masa jabatannya berakhir;
e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga)
lembar;
Lembaga
- 12 -
h. surat keterangan mengenai proses mencari,
menyeleksi dan meneliti calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dari
pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
termasuk rekomendasi mengenai gaji dan manfaat
lain apabila calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian diangkat menjadi
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, yang menyatakan bahwa proses
tersebut telah dilakukan secara profesional dan
tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan
karena hubungan Afiliasi, melainkan hanya untuk
kepentingan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian khususnya dan Pasar Modal pada
umumnya; dan
i.
rencana strategis calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang sejalan dengan
visi dan misi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
(2) Pengajuan nama calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian oleh pemegang saham
atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 56 (lima puluh enam) hari
sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
Bagian Keempat
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Direksi
Pasal 10
(1) Setiap calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang diajukan wajib menjalani penilaian
- 13 -
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
(2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima)
orang, yaitu Deputi Komisioner sebagai ketua merangkap
anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat
direktur sebagai anggota.
(3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan
wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
(4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling
sedikit melalui penelitian administratif dan wawancara,
dan/atau permintaan presentasi yang paling sedikit
meliputi rencana strategis pengembangan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian ke depan.
(5) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan atas setiap calon
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
secara individual sesuai dengan jabatan yang diusulkan.
(6) Dalam hal diperlukan, Komite Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan dapat melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan terhadap calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) untuk jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang lain.
(7) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, Komite Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan dapat dibantu oleh narasumber dengan
keahlian tertentu yang berasal dari luar Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 11
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk
menentukan dan menilai bahwa calon anggota Direksi
- 14 -
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai
dengan Pasal 7 serta merupakan calon terbaik untuk
menduduki setiap jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
untuk setiap jabatan wajib memperhatikan komposisi
calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 12
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan proses
pencalonan atas calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian apabila calon tersebut menjalani proses
hukum.
Pasal 13
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk
setiap jabatan dengan memperhatikan hasil penilaian
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
Pasal 14
Berdasarkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan posisi
jabatan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang berbeda dengan posisi jabatan yang diajukan
oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 15
(1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang terpilih dari hasil
- 15 -
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) untuk 1 (satu) atau lebih
jabatan anggota Direksi, Otoritas Jasa Keuangan
menyampaikan kepada setiap pemegang saham atau
kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) untuk mengajukan calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain untuk posisi
jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam proses penilaian kemampuan dan
kepatutan, paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah
permohonan memenuhi syarat dan diterima secara lengkap
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat mengajukan
kembali calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian lain untuk posisi jabatan yang calonnya
belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum RUPS
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (1).
(3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan
dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 16
(1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) sudah lengkap dan calon anggota Direksi
telah memenuhi persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan
menyampaikan daftar calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian terpilih untuk setiap
jabatan anggota Direksi beserta fotokopi dokumen calon
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
kepada Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
- 16 -
paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS pengangkatan
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
menyampaikan kepada semua pemegang saham, daftar
calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian beserta
fotokopi dokumen lengkap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu)
hari kerja setelah diterimanya daftar calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Daftar calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian beserta
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib tersedia dan
dapat diakses oleh pemegang saham dan publik.
Bagian Kelima
RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Direksi
Pasal 17
(1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan
RUPS pengangkatan
anggota
Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan
RUPS, dengan memuat paling
sedikit rencana
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
(2) Pemanggilan RUPS Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian untuk mengangkat anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum RUPS dimaksud, dengan
tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal
RUPS, dengan memuat paling
sedikit rencana
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
fotokopi dokumen lengkap
- 17 -
Pasal 18
(1) Pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon
anggota Direksi yang dipilih oleh Otoritas Jasa Keuangan
sesuai dengan jabatannya masing-masing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
(2) Prosedur pengangkatan calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan calon
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
untuk mengisi jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk
menambah calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
(3) RUPS untuk mengangkat anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dipimpin oleh
komisaris utama atau salah satu anggota Dewan Komisaris
dalam hal komisaris utama berhalangan.
Pasal 19
(1) Pada saat RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, calon anggota Direksi
yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib
menjelaskan rencana strategis kepada pemegang saham.
(2) Penjelasan dapat juga disampaikan dalam forum lainnya
sebelum RUPS yang memungkinkan pemegang saham
melakukan interaksi dengan calon anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 20
RUPS menyetujui dan menetapkan gaji dan manfaat lain bagi
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang
saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
- 18 -
Bagian Keenam
Larangan Anggota Direksi
Pasal 21
(1) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dilarang mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota
Direksi lain dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dan/atau
anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dilarang memiliki saham atau sebagai pengendali baik
langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek.
(3) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian memiliki saham atau sebagai pengendali baik
langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek, saham
tersebut wajib dialihkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak
RUPS pengangkatan
anggota
Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, dan dalam jangka waktu
tersebut yang bersangkutan dilarang menggunakan hak
suara dalam RUPS Perusahaan Efek dimaksud.
(4) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dilarang mengendalikan baik langsung atau tidak langsung
Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau dilarang
mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik.
(5) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian diangkat oleh RUPS telah memiliki saham
Emiten atau Perusahaan Publik, saham tersebut tidak
dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan
setelah masa jabatannya berakhir.
(6) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dilarang melakukan perangkapan jabatan sebagai anggota
direksi, anggota dewan komisaris, atau pegawai pada
perusahaan atau institusi lain dalam jabatan apapun.
- 19 -
Bagian Ketujuh
Jabatan Anggota Direksi
Pasal 22
(1) Masa jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS
pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sampai dengan penutupan RUPS tahun
ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. apabila
seorang
jabatan
anggota
anggota
Penyimpanan dan Penyelesaian diangkat untuk
mengisi
Direksi Lembaga
Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau
untuk menambah calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, masa jabatan
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian tersebut berlaku selama sisa masa
jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang sedang menjabat;
b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian adalah jika yang bersangkutan menjabat
selama paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari masa
jabatan Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian; dan
c. keseluruhan masa jabatan anggota Direksi pada
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling
banyak 3 (tiga) kali masa jabatan.
(2) Berakhirnya masa jabatan Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian wajib diatur berbeda dengan berakhirnya
masa jabatan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
- 20 -
Pasal 23
(1) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian
tidak lagi memenuhi
persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 7, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian tersebut wajib diganti dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang
bersangkutan dinyatakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan tidak lagi memenuhi syarat;
b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) wajib segera mengajukan calon
pengganti Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 dan Pasal 9; dan
c. calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian pengganti tersebut wajib memenuhi
Pasal 5 sampai dengan Pasal 7.
(2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian tersebut wajib diisi dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak jabatan anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dimaksud lowong; dan
b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga
Penyimpanan
dan
Penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib
segera mengajukan calon anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang akan mengisi
jabatan lowong kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9.
- 21 -
(3) Dalam hal terjadi:
a.
jabatan direktur utama Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian lowong, salah satu anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
ditunjuk berdasarkan keputusan Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang bertindak
sebagai pejabat sementara untuk melaksanakan
tugas dan wewenang direktur utama yang lowong
tersebut sampai dengan diangkatnya pengganti,
setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris;
b.
jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian selain direktur utama lowong, tugas dan
wewenang anggota Direksi tersebut berdasarkan
keputusan rapat Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib dialihkan kepada anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lain
sampai dengan diangkatnya pengganti setelah
mendapat persetujuan Dewan Komisaris; dan
c. penunjukan sementara direktur utama Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian atau pengalihan tugas
dan wewenang anggota
Direksi
Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dilaporkan oleh
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua)
hari setelah penunjukan atau pengalihan.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
yang lowong sebagaimana ditentukan pada ayat (2) tidak
wajib diisi setelah mempertimbangkan perkembangan
kegiatan dan operasional Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
(5) Batas waktu penggantian dan/atau pengisian anggota
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 22 -
(6) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau dalam
hal adanya pengunduran diri anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja
sejak diketahui atau diterimanya surat pengunduran diri
oleh Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(7) Dalam pengisian jabatan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong dan/atau
diperlukannya tambahan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. pengisian dan/atau penambahan anggota Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
5 sampai dengan Pasal 9;
b. calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang akan diajukan wajib bersedia
bekerja sama dengan anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang ada; dan
c. penambahan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian yang baru wajib memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan
pelaksanaannya
wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 9.
Pasal 24
Masa jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian berakhir dengan sendirinya apabila:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau
turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
- 23 -
d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana;
e. berhalangan tetap;
f.
meninggal dunia; dan/atau
g. masa jabatan berakhir.
Pasal 25
(1) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa
Keuangan apabila:
a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan;
c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan;
d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau
gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.
e.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberhentikan
sementara dan/atau terjadi kekosongan atas seluruh
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa
Keuangan dapat menunjuk dan menetapkan Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
untuk melaksanakan fungsi Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian hingga diangkatnya
anggota Direksi yang baru oleh RUPS.
(3) Dalam hal tidak terdapat anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang dapat
melaksanakan fungsi Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
berdasarkan usulan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar
Modal, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dapat
menunjuk dan menetapkan pihak lain sebagai
manajemen sementara Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
- 24 -
Pasal 26
(1) Pembagian tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) dan ayat (3) wajib ditetapkan dalam struktur
organisasi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan
uraian jabatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Penetapan dan/atau perubahan struktur organisasi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sampai 1 (satu)
tingkat di bawah anggota Direksi wajib mendapat
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 27
Dalam hal Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
menganggap anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang bertanggung jawab dan menjalankan tugas
atas beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan pada saat yang
bersangkutan diangkat, tidak dapat melaksanakan sebagian
tugasnya, berdasarkan keputusan rapat Direksi, sebagian
tugasnya dapat dialihkan kepada anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian lain yang dianggap mampu
untuk menjalankan tugas setelah mendapatkan persetujuan
Dewan Komisaris dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 28
Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
tidak lagi menjabat sebagai anggota Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian karena sebab apapun, tidak
berhak menerima gaji dan manfaat lainnya dari Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian kecuali hak atas uang
kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh
RUPS dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa
penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah gaji dari
sisa masa jabatan.
- 25 -
BAB III
DEWAN KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN
Bagian Kesatu
Keanggotaan Dewan Komisaris
Pasal 29
(1) Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai
paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris.
(2) Satu di antara anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian wajib ditetapkan sebagai
komisaris utama.
Pasal 30
(1) Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum
RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah
kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 50 (lima
puluh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(3) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan belum
menetapkan jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, berlaku jumlah
kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian periode sebelumnya.
(4) Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan
kebutuhan operasional Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah
anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
- 26 -
Penyelesaian
dalam Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat.
Bagian Kedua
Persyaratan Anggota Dewan Komisaris dan
Susunan Dewan Komisaris
Pasal 31
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
integritas meliputi:
1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan
cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik;
3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang
dinyatakan
bersalah
atau
turut
bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum
dicalonkan;
5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit
Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka
waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan
diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6
(enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang
diberikan dari kepolisian
6 (enam) bulan;
jika kurang dari
6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material
atas ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan; dan
7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar
Modal Indonesia; dan
- 27 -
b. kompetensi meliputi:
1. mempunyai pemahaman terhadap
peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan
pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal;
2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik
dan prinsip pengelolaan risiko; dan
3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang
cukup.
Pasal 32
(1) Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 huruf b angka 3, anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. berpengalaman pada posisi anggota direksi pada
Perusahaan Efek paling singkat 2 (dua) tahun;
b. berpengalaman pada posisi anggota direksi pada Bank
Kustodian atau Biro Administrasi Efek paling sedikit 2
(dua) tahun;
c. berpengalaman pada posisi manajerial pada institusi
Pasar Modal paling sedikit 5 (lima) tahun atau pernah
menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa
keuangan;
d. berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi
yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur
pelaksanaan kegiatannya paling sedikit 2 (dua) tahun;
atau
e. merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi,
atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam
bidang Pasar Modal paling sedikit 5 (lima) tahun.
(2) Komposisi Dewan Komisaris diatur sebagai berikut:
a. dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri
dari 5 (lima) orang atau kurang, maka komposisi
anggota Dewan Komisaris wajib mempunyai asal usul
dan/atau pengalaman yang berbeda; dan
- 28 -
b. dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri
dari 6 (enam) orang atau lebih, maka paling sedikit
komposisi anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam huruf a tetap wajib dipenuhi.
(3) Dua atau lebih anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang berasal dari
perusahaan yang sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih
perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun
tidak langsung oleh Pihak yang sama.
(4) Jangka waktu atau masa pengalaman calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sampai
dengan tanggal pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota
Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan
Penyelesaian.
dan
Bagian Ketiga
Tata Cara Pencalonan Dan Pengajuan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 33
(1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dilakukan
oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan
mempunyai hak suara.
(2) Dalam pencalonan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, pemegang saham atau
kelompok pemegang saham yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-sama
bertanggung jawab untuk:
a. mencari dan menyeleksi calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30;
- 29 -
b. meneliti tingkat keahlian, pengalaman, dan tanggung
jawab sebagai anggota Dewan Komisaris sesuai
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
c. merekomendasikan honorarium bagi setiap calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dengan mempertimbangkan usulan
Komite Remunerasi (jika ada).
(3) Calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian wajib diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang
saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu)
kesatuan paket calon Dewan Komisaris.
(4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk
mengisi jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk
menambah calon anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 34
(1) Dalam pengajuan calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas
Jasa Keuangan, pemegang saham atau kelompok
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) wajib melampirkan dalam rangkap
2 (dua), dokumen sebagai berikut:
a. riwayat hidup calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
c.
fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang
menunjukkan tingkat keahlian dari calon anggota
Dewan Komisaris (jika ada);
d. surat pernyataan dari setiap pihak yang diajukan
sebagai calon anggota Dewan Komisaris yang memuat
paling sedikit:
- 30 -
1. menyatakan bahwa calon anggota Dewan
Komisaris
telah
memenuhi
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal
32;
2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan
Afiliasi calon anggota Dewan Komisaris dengan
Perusahaan Efek dan Bank Kustodian yang
merupakan partisipan/pengguna jasa Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses penilaian
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan; dan
4. bersedia untuk dipilih menjadi anggota Dewan
Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dan untuk bekerja sama sebaik-
baiknya dengan anggota Dewan Komisaris lain
dan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dalam rangka pelaksanaan
kegiatan
Lembaga
Penyimpanan
Penyelesaian yang teratur, wajar, dan efisien.
e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga)
lembar; dan
h. surat keterangan mengenai proses mencari,
menyeleksi dan meneliti calon anggota Dewan
Komisaris dari pemegang saham atau kelompok
pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian termasuk rekomendasi mengenai
honorarium apabila calon anggota Dewan Komisaris
diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris, yang
menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan
secara profesional dan tidak ada kepentingan lain
dan
- 31 -
termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi,
selain hanya untuk kepentingan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian khususnya dan Pasar
Modal pada umumnya.
(2) Pengajuan nama calon anggota Dewan Komisaris oleh
pemegang saham atau kelompok pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan
ayat (3) beserta dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi syarat dan
diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 35 (tiga puluh lima hari) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
Bagian Keempat
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Calon Anggota Dewan
Komisaris
Pasal 35
(1) Setiap calon anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan wajib
menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan yang
dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan.
(2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima)
orang,
yaitu Deputi Komisioner sebagai ketua merangkap
anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat
dengan direktur sebagai anggota.
(3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan
wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
(4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
paling sedikit melalui penelitian administratif dan
wawancara, dan/atau permintaan presentasi.
- 32 -
(5) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, Komite Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan dapat dibantu oleh narasumber dengan
keahlian tertentu yang berasal dari luar Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 36
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk
menilai bahwa calon anggota Dewan Komisaris memenuhi
persyaratan integritas dan kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32.
(2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian wajib memperhatikan komposisi calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
Pasal 37
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan proses
pencalonan atas calon anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian apabila calon tersebut
menjalani proses hukum.
Pasal 38
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dengan memperhatikan hasil
penilaian
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
Pasal 39
(1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang terpilih dari
hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), untuk 1 (satu) atau lebih
- 33 -
jabatan anggota Dewan Komisaris, Otoritas Jasa Keuangan
menyampaikan kepada setiap pemegang saham atau
kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) untuk mengajukan calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain
untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh
Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penilaian
kemampuan dan kepatutan, paling lambat 14 (empat belas)
hari setelah permohonan memenuhi syarat dan diterima
secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemegang saham atau kelompok pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat
mengajukan kembali calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain untuk posisi
jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota
Dewan Komisaris, dengan memenuhi ketentuan dalam
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1).
(3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan
dan kepatutan terhadap calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 40
(1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 34
ayat (1) sudah lengkap dan telah memenuhi persyaratan,
Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan daftar calon
anggota Dewan Komisaris terpilih beserta fotokopi
dokumen calon anggota Dewan Komisaris kepada Direksi
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar
calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan
- 34 -
dan Penyelesaian beserta fotokopi dokumen lengkap paling
lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon
anggota Dewan Komisaris dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Daftar calon anggota Dewan Komisaris beserta fotokopi
dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang
saham dan publik.
Bagian Kelima
RUPS Dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 41
(1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan
RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan
RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
RUPS dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal
pemanggilan dan tanggal RUPS, dengan memuat paling
sedikit rencana pengangkatan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 42
(1) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan oleh RUPS
berdasarkan calon anggota Dewan Komisaris yang dipilih
oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1).
(2) Prosedur pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan
calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan
- 35 -
dan Penyelesaian untuk mengisi jabatan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
lowong atau untuk menambah calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(3) RUPS untuk mengangkat anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dipimpin
oleh direktur utama atau salah satu anggota Direksi dalam
hal direktur utama berhalangan.
Bagian Keenam
Jabatan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 43
Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan
Penyelesaian adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS
pengangkatan
anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan Penyelesaian sampai dengan penutupan RUPS
tahun ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
apabila seorang anggota Dewan Komisaris diangkat
karena menggantikan jabatan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan Penyelesaian yang lowong
dan/atau ada tambahan anggota Dewan Komisaris baru,
masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan Penyelesaian tersebut berlaku selama sisa
masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan Penyelesaian yang sedang menjabat;
b.
penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang
anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian adalah jika yang bersangkutan menjabat
selama paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan
Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian; dan
c.
keseluruhan masa jabatan anggota Dewan Komisaris
pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3
(tiga) kali masa jabatan.
- 36 -
Pasal 44
(1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan
Pasal 32, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian tersebut wajib diganti dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang
bersangkutan dinyatakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan tidak lagi memenuhi syarat;
b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) wajib segera mengajukan calon
pengganti anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan prosedur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34; dan
c. calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian pengganti tersebut
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 dan Pasal 32.
(2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong,
Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
5 (lima) hari kerja sejak diketahui oleh Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
(3) Dalam pengisian jabatan anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk
menggantikan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong dan/atau
diperlukannya tambahan anggota Dewan Komisaris baru,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. penggantian atau penambahan anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 31 sampai dengan Pasal 34;
- 37 -
b. calon
anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian yang akan diajukan
wajib bersedia bekerja sama dengan dan tidak
memperoleh keberatan dari anggota Dewan Komisaris
yang ada; dan
c. penambahan anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian baru wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 dan pelaksanaannya wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
sampai dengan Pasal 35.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan
anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang lowong sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak wajib diisi setelah mempertimbangkan
perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
(5) Batas waktu penggantian anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan lain oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 45
Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian berakhir dengan sendirinya apabila:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut
bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan
pailit;
d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana;
e. berhalangan tetap;
f. meninggal dunia; dan/atau
g. masa jabatan berakhir.
- 38 -
Pasal 46
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas
Jasa Keuangan apabila:
a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan;
c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau
e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.
Pasal 47
Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
wajib mengadakan rapat paling sedikit 1 (satu) bulan sekali yang
dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu anggota Dewan
Komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan.
Pasal 48
Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk komite audit
dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. ketua komite audit dan ketua Komite Remunerasi adalah
salah seorang anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
b. komite audit bertugas untuk memberikan pendapat
profesional yang independen kepada Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terhadap laporan
atau hal yang disampaikan oleh Direksi kepada Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta
mengidentifikasikan hal yang memerlukan perhatian
Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian; dan
c. anggota komite audit wajib memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan.
- 39 -
Pasal 49
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau
direkomendasikan oleh pemegang saham atau kelompok
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(2) huruf c dengan mempertimbangkan usulan Komite
Remunerasi (jika
pengangkatan anggota Dewan Komisaris
Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 50
Honorarium bagi anggota Dewan Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 wajib mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh
RUPS.
Pasal 51
Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang tidak lagi menjabat sebagai anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian karena
sebab apapun, tidak berhak menerima honorarium dari
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, kecuali hak atas uang
kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh
RUPS dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa
penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah
honorarium dari sisa masa jabatan.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 52
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
ada), sebelum pelaksanaan RUPS
Lembaga
- 40 -
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri
atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 53
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Dalam hal terdapat pengajuan pengisian jabatan anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian untuk mengganti seluruhnya, mengisi jabatan
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang lowong atau
tidak memenuhi syarat, menambah anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris sebelum berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, tata cara pengajuan anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris tersebut mengikuti
- 41 -
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris
yang berlaku pada saat pengajuan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku:
1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor Kep-14/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009
tentang Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
beserta Peraturan Nomor III.C.3 yang merupakan lampirannya;
dan
2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-108/BL/2008 tanggal 10
April 2008 tentang Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, beserta Peraturan Nomor III.C.8 yang
merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 56
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 42 -
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 314
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 60 /POJK.04/2016
TENTANG
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN
I. UMUM
Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menetapkan kewenangan pengaturan
dan pengawasan kegiatan di bidang jasa keuangan termasuk Pasar Modal
beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berkepentingan untuk
menjaga agar Pasar Modal tetap terselenggara secara teratur, wajar,
transparan dan efisien.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap ketentuan yang berlaku bagi setiap Pihak yang menyelenggarakan
kegiatan di bidang Pasar Modal salah satunya adalah Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian yang didirikan untuk menyelenggarakan kegiatan
Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain.
Dalam rangka meningkatkan tata kelola Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang baik dan berdaya saing global, diperlukan Direksi dan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki
kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan
sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
- 2 -
Pengaturan mengenai Direktur Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian saat ini telah diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.C.3 tentang Direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-14/BL/2009
tanggal 30 Januari 2009 (Peraturan Nomor III.C.3 tentang Direktur Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian), sedangkan pengaturan mengenai
Komisaris Lembaga Penyimpanan Penyelesaian diatur dalam Peraturan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.C.8 tentang
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-
108/BL/2008 tanggal 10 April 2008 (Peraturan Nomor III.C.8 tentang
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian).
Memperhatikan hal tersebut perlu untuk dilakukan perubahan dan
penggabungan terhadap Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor III.C.3 tentang Direktur Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian dan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor III.C.8 tentang Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Direksi Dan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keputusan yang bersifat final” adalah
keputusan yang ditetapkan direktur utama Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan
pendapat antara anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sehingga rapat Direksi Lembaga Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian tidak dapat mengambil
- 3 -
keputusan, maka keputusan akan ditentukan oleh direktur
utama. Keputusan yang ditetapkan oleh direktur utama adalah
salah satu dari dua atau lebih pendapat yang disampaikan dalam
rapat Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Perizinan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang berlaku adalah Peraturan Nomor III.C.1,
lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
Kep-12/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Perizinan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
- 4 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah :
1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di
bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal
dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank
yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh)
tahun terakhir sebelum dicalonkan;
2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan
ancaman hukuman pidana
1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi;
narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan;
cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap;
terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang
kelautan dan perikanan yang terbukti dilakukan dalam
waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan;
dan
3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun
atau lebih yang terbukti dilakukan dalam waktu 10
(sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Penilaian terhadap kriteria pada angka ini dilakukan paling
sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa
Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa
yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang keuangan atau tindak pidana khusus
dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan atau pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan.
penjara
- 5 -
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Dalam hal calon Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
terdiri dari 4 (empat) orang dan setelah komposisi Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian memenuhi persyaratan
pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, maka
calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
lainnya tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 huruf a.
Huruf b
Dalam hal calon Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
terdiri dari 5 (lima) orang dan setelah komposisi Direksi Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian memenuhi persyaratan
pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, maka
calon anggota Direksi lainnya tetap wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf b.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Rekomendasi gaji dan manfaat lain bagi calon Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian ditentukan berdasarkan
kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-
masing jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya
berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing-masing calon
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan proses hukum pada ayat ini adalah proses
penyidikan atau peradilan (termasuk banding dan kasasi) dalam
perkara tindak pidana yang meliputi:
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang
Perbankan, di bidang Pasar Modal dan di bidang Industri
Keuangan Non Bank;
- 7 -
2.
tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit:
korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan; kepabeanan;
cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme;
pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di
bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan
3.
tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah :
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di
bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan
tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank;
2.
tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan
ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih,
paling
sedikit:
korupsi;
narkotika/psikotropika;
penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang;
perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di
bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang
lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan
3.
tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan
ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” paling sedikit sakit
permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas
pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah :
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di
bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal
dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non
Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua
puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan;
2.
tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu)
tahun atau
lebih,
paling
sedikit:
korupsi;
- 10 -
narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan;
cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap;
terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di
bidang kelautan dan perikanan yang terbukti dilakukan
dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan; dan
3.
tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu)
tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam waktu
10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Penilaian terhadap kriteria pada angka ini dilakukan paling
sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa
Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa
yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang keuangan dan tindak pidana khusus
dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan atau pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan.
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon
anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Rekomendasi honorarium bagi calon anggota Dewan
Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib
ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada
umumnya untuk masing-masing anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sesuai dengan
tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian, dan
pengalaman masing-masing calon anggota Dewan Komisaris
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah:
1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di
bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan
tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank;
2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan
ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih,
paling
sedikit:
korupsi;
narkotika/psikotropika;
penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang;
perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di
- 13 -
bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang
lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan
3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan
ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
Huruf e
Yang dimaksud “berhalangan tetap” paling sedikit sakit permanen
yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaan
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 54
Pada saat peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Direksi dan Dewan Komisaris yang berlaku adalah:
1. Peraturan Nomor III.C.3, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
Kep-14/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009 tentang Direktur
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
2. Peraturan Nomor III.C.8, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-
108/BL/2008 tanggal 10 April 2008 tentang Komisaris Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6002
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 60/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title>
<set_date> 20 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-108/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'Kep-14/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-108/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.3', 'Kep-14/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.8' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 50 /POJK.04/2016
TENTANG
PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai penyelenggara dana perlindungan pemodal
beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap penyelenggara
dana perlindungan pemodal, peraturan mengenai
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Aset Pemodal adalah Efek dan harta lain yang berkaitan
dengan Efek, dan/atau dana milik Pemodal yang
dititipkan pada Kustodian.
2. Dana Perlindungan Pemodal adalah kumpulan dana yang
dibentuk untuk melindungi Pemodal dari hilangnya Aset
Pemodal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal.
3. Pemodal adalah nasabah dari Perantara Pedagang Efek
yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan
Bank Kustodian.
4. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan
Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-
hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
5. Direksi adalah organ penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal yang berwenang dan bertanggung jawab penuh
- 3 -
atas pengurusan penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal untuk kepentingan penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal, sesuai dengan maksud dan
tujuan penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal serta
mewakili penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal,
baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
6. Dewan Komisaris adalah organ penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai
dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada
Direksi.
BAB II
PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
Bagian Kesatu
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
Pasal 2
Pihak yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal adalah perseroan
terbatas yang telah mendapatkan izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 3
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal bertanggung
jawab atas penyelenggaraan dan pengelolaan Dana
Perlindungan Pemodal sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal.
Pasal 4
Dalam menyelenggarakan dan mengelola Dana Perlindungan
Pemodal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib:
a. memisahkan penyimpanan, pencatatan, dan pembukuan
antara harta kekayaan Penyelenggara Dana Perlindungan
- 4 -
Pemodal dengan harta kekayaan Dana Perlindungan
Pemodal;
b. menyimpan Efek dalam rangka investasi Dana
Perlindungan Pemodal pada Bank Kustodian
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal;
c. menempatkan uang tunai dari Dana Perlindungan
Pemodal pada rekening bank dan/atau tempat
penyimpanan yang terpisah dari rekening operasional
dan/atau tempat penyimpanan uang tunai Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal;
d. membuat dan menyampaikan laporan yang mencakup
kegiatan dan posisi keuangan bulanan, laporan
keuangan tengah tahunan, dan laporan keuangan
tahunan Dana Perlindungan Pemodal kepada Otoritas
Jasa Keuangan; dan
e. menyediakan tempat penyimpanan yang aman atas harta
kekayaan Dana Perlindungan Pemodal.
Pasal 5
Harta kekayaan Dana Perlindungan Pemodal bukan
merupakan harta kekayaan Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal.
Pasal 6
Dalam menyelenggarakan dan mengelola Dana Perlindungan
Pemodal
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal berwenang untuk:
a. mewakili Dana Perlindungan Pemodal baik di dalam
maupun di luar pengadilan;
b. melakukan investasi atas Dana Perlindungan Pemodal
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal, dengan
tujuan meningkatkan nilai Dana Perlindungan Pemodal
secara optimal dengan mempertimbangkan hasil dan
risiko investasi;
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
- 5 -
c. memungut iuran dari anggota Dana Perlindungan
Pemodal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan
Pemodal;
d. mewakili Dana Perlindungan Pemodal untuk
melaksanakan upaya pengembalian atau penggantian
dana dari Dana Perlindungan Pemodal yang telah
dibayarkan kepada Pemodal, dari Kustodian yang
menyebabkan Aset Pemodal dimaksud hilang;
e. menerima dan memasukkan ke dalam harta kekayaan
Dana Perlindungan Pemodal atas:
1. dana yang diperoleh Dana Perlindungan Pemodal
dari Kustodian sebagai pengganti dari Pemodal
sebagai pelaksanaan hak subrogasi;
2. hasil investasi; dan/atau
3. dana dan/atau aset dari sumber lain yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
f. membayar biaya sehubungan dengan pelaksanaan
kegiatan Dana Perlindungan Pemodal;
g. menetapkan persyaratan, prosedur atau petunjuk teknis
mengenai keanggotaan, penanganan ganti rugi, dan
kebijakan investasi Dana Perlindungan Pemodal, dan hal
lain yang berkaitan dengan tugas Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal, dengan ketentuan persyaratan,
prosedur atau petunjuk teknis dimaksud termasuk
perubahannya mulai berlaku setelah mendapatkan
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan;
h. mengusulkan kepada Otoritas Jasa Keuangan jumlah
maksimal klaim untuk setiap Pemodal dan/atau
keseluruhan Pemodal dalam 1 (satu) Kustodian dengan
mempertimbangkan rekomendasi komite klaim;
i. melakukan pemeriksaan, verifikasi, dan membuat analisa
dalam rangka pengambilan keputusan menerima atau
menolak pembayaran klaim Pemodal;
j. menunjuk pihak ketiga untuk membantu proses
pemeriksaan dan verifikasi klaim Pemodal;
- 6 -
k. meminta Kustodian dan Pemodal untuk memberikan
kuasa dalam rangka mendapatkan informasi dan
dokumen yang diperlukan dalam rangka verifikasi klaim
Pemodal, dengan tetap memperhatikan ketentuan
kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan;
l. melakukan pembayaran dan tindakan lainnya
sehubungan dengan klaim Pemodal yang telah
dinyatakan sah untuk dibayarkan; dan
m. memberikan masukan kepada Otoritas Jasa Keuangan
mengenai tahapan perlindungan, keanggotaan, dan
cakupan perlindungan berdasarkan kemampuan Dana
Perlindungan Pemodal dengan memperhatikan
kemampuan dan kebutuhan Dana Perlindungan
Pemodal.
Bagian Kedua
Permodalan dan Pemegang Saham
Pasal 7
(1) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib
memiliki modal dasar paling sedikit sebesar
Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar Rupiah) dan
modal ditempatkan dan disetor paling
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar Rupiah).
sedikit
(2) Dalam rangka memperkuat permodalan Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal, Otoritas Jasa Keuangan:
a. dapat meminta pemegang saham Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal untuk meningkatkan
permodalan Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal dengan mempertimbangkan kebutuhan
operasional atau kondisi kegiatan dari Dana
Perlindungan Pemodal; dan/atau
b. dapat memberikan persetujuan kepada badan
hukum di bidang keuangan atau lembaga lainnya
yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan
- 7 -
penyertaan modal sebagai pemegang saham dalam
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal.
(3) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dilarang
dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh
orang perseorangan yang:
a. pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
di bidang Pasar Modal dan jasa keuangan baik di
Indonesia maupun di luar Indonesia; dan
b. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik.
(4) Pada saat pendirian, Pihak yang dapat menjadi pemegang
saham Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
adalah Bursa Efek, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, dan Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(5) Pemegang saham Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal dilarang mempunyai hubungan dengan
pemegang saham lainnya dari Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal yang sama melalui:
a. kepemilikan langsung maupun tidak langsung
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham
yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal, kecuali kepemilikan oleh
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
b. perangkapan jabatan sebagai Dewan Komisaris atau
anggota Direksi oleh anggota Dewan Komisaris atau
anggota Direksi dari pemegang saham, atau yang
setara dengan jabatan tersebut; dan/atau
c. pengendalian di bidang pengelolaan dan/atau
kebijakan perusahaan, baik langsung maupun tidak
langsung oleh Pihak yang sama.
- 8 -
Bagian Ketiga
Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 8
(1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib
memenuhi persyaratan integritas sebagai berikut:
a. orang perseorangan Warga Negara Indonesia;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
c. memiliki akhlak dan moral yang baik;
d. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pihak
yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah
menyebabkan suatu badan hukum dinyatakan
pailit;
e.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana di bidang Pasar Modal dan/atau jasa
keuangan baik di Indonesia maupun di luar
Indonesia;
f.
tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang
Pasar Modal pada khususnya dan di bidang
keuangan pada umumnya;
g.
tidak pernah melakukan pelanggaran yang material
atas ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal;
h. mempunyai komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan; dan
i. mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Dana Perlindungan Pemodal pada khususnya dan
Pasar Modal pada umumnya.
(2) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib
memenuhi persyaratan kompetensi dan keahlian sebagai
berikut:
a. bagi anggota Direksi:
1. memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang
Pasar Modal dan/atau jasa keuangan yang
memadai dan relevan dengan jabatannya,
- 9 -
dengan ketentuan berpendidikan paling rendah
setingkat sarjana strata 1;
2. memiliki pengalaman di bidang Pasar Modal
dan jasa keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun
pada jabatan manajerial;
3. memiliki pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan di Pasar Modal dan
bidang jasa keuangan dan wawasan yang luas
tentang industri Pasar Modal dan jasa
keuangan; dan
4. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang
baik dan prinsip-prinsip pengelolaan risiko.
b. bagi anggota Dewan Komisaris:
1. memiliki pengetahuan yang memadai di bidang
Pasar Modal dan/atau jasa keuangan atau
memiliki pengalaman minimal 3 (tiga) tahun
pada badan atau perusahaan yang bergerak di
bidang Pasar Modal dan/atau jasa keuangan;
2. memiliki pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan di Pasar Modal dan
bidang jasa keuangan dan wawasan yang luas
tentang industri Pasar Modal dan jasa
keuangan; dan
3. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang
baik dan prinsip-prinsip pengelolaan risiko.
Pasal 9
Jumlah anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang anggota
Direksi, dan satu diantaranya adalah direktur utama.
Pasal 10
Jumlah anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang
anggota Dewan Komisaris dan satu diantaranya adalah
komisaris utama.
- 10 -
Pasal 11
Setiap calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal yang akan
diajukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham tentang
pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris,
wajib terlebih dahulu menjalani penilaian kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 12
Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Otoritas Jasa
Keuangan dapat membentuk komite.
Pasal 13
Penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi
dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dilakukan paling sedikit melalui penelitian administratif,
klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka (jika diperlukan),
dan/atau permintaan presentasi yang meliputi namun tidak
terbatas atas rencana strategis pengembangan Dana
Perlindungan Pemodal.
Pasal 14
Masa jabatan masing-masing anggota Direksi adalah 3 (tiga)
tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.
Pasal 15
Masa jabatan masing-masing anggota Dewan Komisaris
adalah 3 (tiga) tahun dan hanya dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
- 11 -
Pasal 16
Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal dilarang mempunyai hubungan
Afiliasi dengan pengurus Kustodian.
Pasal 17
Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal dilarang memiliki saham
dan/atau sebagai pengendali baik langsung maupun tidak
langsung pada Kustodian.
Pasal 18
Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal dilarang mengendalikan baik
langsung maupun tidak langsung Emiten dan/atau
Perusahaan Publik dan/atau dilarang melakukan transaksi
saham Emiten atau Perusahaan Publik.
Pasal 19
Apabila pada saat anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham telah memiliki
saham Emiten atau Perusahaan Publik, saham tersebut tidak
dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah
masa jabatannya berakhir.
Pasal 20
Anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
dilarang merangkap dalam jabatan apapun pada perusahaan
lain.
Pasal 21
Anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
wajib berdomisili di Indonesia.
- 12 -
Pasal 22
Salah satu dari anggota Direksi dan/atau pejabat 1 (satu)
tingkat di bawah anggota Direksi Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal wajib memiliki latar belakang
pendidikan di bidang hukum.
Pasal 23
Masa jabatan anggota Direksi Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal berakhir dengan sendirinya apabila
anggota Direksi tersebut:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dinyatakan pailit atau pernah menjadi anggota Dewan
Komisaris atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah
atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
d. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan;
e. berhalangan tetap;
f. meninggal dunia; dan/atau
g. masa jabatan berakhir.
Pasal 24
Anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa
Keuangan apabila anggota Direksi tersebut:
a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada
khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya;
c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Pasar Modal;
d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Dana Perlindungan Pemodal; dan/atau
e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.
- 13 -
Bagian Keempat
Tata Cara Perizinan Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal
Pasal 25
Permohonan pengajuan izin usaha Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan format surat Permohonan Izin Usaha
sebagai Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 26
Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 disertai dengan dokumen sebagai berikut:
a. keterangan detail mengenai pemohon, nama, alamat,
nomor telepon, dan faksimili;
b. fotokopi akta pendirian yang disahkan oleh instansi yang
berwenang dan anggaran dasar yang telah disetujui oleh
instansi yang berwenang;
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. daftar nama dan data anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris, meliputi:
1. daftar riwayat hidup yang telah ditandatangani;
2. fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir dan/atau
sertifikat keahlian di bidang Pasar Modal;
3. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang
masih berlaku;
4. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua)
lembar; dan
5. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. daftar nama dan data pemegang saham, meliputi:
1. fotokopi akta pendirian yang disahkan oleh instansi
yang berwenang dan anggaran dasar yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang;
- 14 -
2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak bagi badan
hukum Indonesia;
3. keterangan mengenai Pihak yang mengendalikan
pemegang saham baik langsung maupun tidak
langsung yang meliputi nama dan bentuk
pengendalian;
4. laporan keuangan terakhir;
5. daftar nama dan data anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan/atau pengurus meliputi:
a) daftar riwayat hidup;
b)
fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor
yang berlaku; dan
c)
pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm
dengan latar belakang berwarna merah
sebanyak 2 (dua) lembar;
6. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit oleh
Akuntan;
7. fotokopi rekening koran;
8. bukti penyetoran yang sah dari modal disetor;
9. surat pernyataan anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi yang menyatakan terpenuhinya
persyaratan sebagai berikut:
a) cakap melakukan perbuatan hukum;
b) memiliki akhlak dan moral yang baik;
c)
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit;
d) tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang Pasar Modal dan/atau
jasa keuangan baik di Indonesia maupun di
luar Indonesia;
e)
tidak pernah melakukan perbuatan tercela di
bidang Pasar Modal pada khususnya dan di
bidang keuangan pada umumnya;
- 15 -
f)
tidak pernah melakukan pelanggaran yang
material atas ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal;
g) mempunyai komitmen untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan; dan
h) mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Dana Perlindungan Pemodal pada khususnya
dan Pasar Modal pada umumnya;
10. surat pernyataan anggota Direksi bahwa yang
bersangkutan tidak merangkap dalam jabatan
apapun pada perusahaan lain;
11. surat pernyataan anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan mempunyai atau tidak mempunyai
hubungan Afiliasi dengan anggota dewan komisaris
dan/atau anggota direksi di Kustodian;
12. keterangan tempat usaha dan foto ruangan kantor;
13. gambaran tentang rencana operasi dan misi; dan
14. struktur organisasi dan uraian tugas pegawai.
Pasal 27
Dalam rangka memproses permohonan izin usaha
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, Otoritas Jasa
Keuangan dapat melakukan klarifikasi lebih lanjut melalui
tatap muka (jika diperlukan), meminta presentasi, melakukan
pemeriksaan setempat, dan/atau meminta tambahan
dokumen.
Pasal 28
Dalam hal permohonan yang diajukan tidak memenuhi
persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonannya tidak lengkap; atau
b. permohonannya ditolak.
- 16 -
Pasal 29
Dalam hal permohonan yang diajukan telah memenuhi
persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat izin
usaha Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal kepada
pemohon.
Bagian Kelima
Operasional dan Pengendalian Internal
Pasal 30
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menjaga dan
memelihara kerahasiaan data dan sistem sehubungan dengan
Pemodal yang menyampaikan klaim, dengan tingkat
keamanan sistem yang memadai.
Pasal 31
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menyimpan
seluruh catatan tentang seluruh hal terkait dengan
pelaksanaan tugas dan wewenangnya termasuk seluruh
transaksi, kesepakatan, catatan akuntansi, dan berkas kerja
internal audit, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 32
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menyusun
laporan posisi keuangan Dana Perlindungan Pemodal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dengan
menggunakan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Pasal 33
(1) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib
memiliki paling sedikit fungsi sebagai berikut:
a. fungsi investasi;
b. fungsi pembukuan dan keuangan; dan
c.
fungsi pengawasan internal dan kepatuhan.
(2) Fungsi investasi dilaksanakan dengan ketentuan meliputi
paling sedikit sebagai berikut:
- 17 -
a. menyusun dan melaksanakan rencana investasi atas
Dana Perlindungan Pemodal sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan
Pemodal;
b. mengawasi perkembangan investasi atas jumlah
yang tidak akan digunakan segera dari Dana
Perlindungan Pemodal; dan
c. melakukan penyetoran hasil investasi Dana
Perlindungan Pemodal ke dalam Dana Perlindungan
Pemodal;
(3) Fungsi pembukuan dan keuangan dilaksanakan dengan
ketentuan paling sedikit meliputi sebagai berikut:
a. membuat dan menyelenggarakan pencatatan dan
pembukuan atas seluruh transaksi Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum;
b. membuat dan menyelenggarakan pencatatan dan
pembukuan atas seluruh transaksi dan kegiatan
sehubungan dengan Dana Perlindungan Pemodal
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum dan terpisah dari pencatatan dan
pembukuan Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal;
c. memastikan bahwa pencatatan dan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
tersebut terselenggara dan tersimpan dengan baik
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
d. menyusun laporan keuangan Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum dengan ketentuan
catatan atas laporan keuangan paling sedikit wajib
memuat hal sebagai berikut:
1. pengeluaran biaya yang berkaitan dengan Pihak
terafiliasi dengan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris
Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal;
- 18 -
2. pengeluaran biaya yang berkaitan dengan Pihak
terafiliasi dengan Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal; dan
3. pengeluaran biaya berupa gaji, manfaat lain,
dan fasilitas yang diberikan kepada anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal;
e. melakukan kegiatan perbendaharaan,
yakni
menerima dana dan memungut iuran Dana
Perlindungan Pemodal dan mengeluarkan biaya yang
terkait dengan Dana Perlindungan Pemodal;
f. menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan
dengan berpedoman pada prinsip efisiensi Pasar
Modal dalam bentuk rencana kerja dan anggaran
tahunan yang sistematis, akurat, dan tepat waktu;
dan
g. apabila terdapat keraguan atau perbedaan dalam
pencatatan yang dilakukan oleh Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal dengan pihak lain atas
transaksi yang dilakukan sehubungan dengan Dana
Perlindungan Pemodal, Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal wajib mengadakan
rekonsiliasi dengan pihak terkait tersebut untuk
memastikan akurasi pembukuan.
(4) Fungsi pengawasan internal dan kepatuhan
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. memastikan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, serta prosedur operasi
standar dan kode etik Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal yang berlaku;
b. memproses setiap pengaduan Pemodal dan
masyarakat yang terkait dengan pelaksanaan
tanggung jawab Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal; dan
c. memastikan bahwa pegawai pengawasan internal
dan kepatuhan memiliki akses ke pembukuan setiap
waktu.
- 19 -
Bagian Keenam
Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan
Pasal 34
Rencana kerja dan anggaran tahunan Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal wajib terlebih dahulu mendapat
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlaku.
Pasal 35
(1) Rencana kerja dan anggaran tahunan Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal wajib disusun paling singkat
untuk 1 (satu) tahun buku yang dimulai pada tanggal
1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun
berikutnya dan memuat paling sedikit:
a.
rencana kerja yang menguraikan paling sedikit
kegiatan operasional dan kegiatan khusus yang
direncanakan akan dilakukan oleh Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal;
b. anggaran pendapatan yang bersumber dari:
1. setoran modal para pemegang saham;
2. jasa pengelolaan Dana Perlindungan Pemodal
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan
Pemodal; dan
3. sumber pendapatan lain yang disetujui oleh
Otoritas Jasa Keuangan;
c. anggaran pengeluaran biaya yang disusun
berdasarkan fungsi sesuai struktur organisasi
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal;
d.
rencana pengeluaran biaya berupa gaji, manfaat
lain, dan fasilitas dari anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris; dan
e. keterangan mengenai kontrak yang nilainya
material, dan kontrak antara Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal dengan:
- 20 -
1. Pihak yang terafiliasi dengan anggota Direksi
dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal; dan
2. Pihak yang terafiliasi dengan Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal.
(2) Anggaran tahunan wajib disajikan secara perbandingan
dengan anggaran tahun sebelumnya.
(3) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib
menyampaikan laporan realisasi anggaran kepada
Otoritas Jasa Keuangan melalui anggota Dewan
Komisaris, dengan ketentuan bahwa laporan tersebut
disampaikan secara kumulatif triwulanan dan diterima
oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-
12 (dua belas) setelah berakhirnya triwulan yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) jatuh pada hari libur, laporan dimaksud wajib
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Bagian Ketujuh
Laporan Dana Perlindungan Pemodal
Pasal 36
(1) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib
menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan:
a.
laporan kegiatan dan posisi keuangan bulanan Dana
Perlindungan Pemodal paling lambat pada tanggal
15 pada bulan berikutnya;
b. laporan keuangan tengah tahunan Dana
Perlindungan Pemodal paling lambat pada akhir
bulan pertama setelah tanggal laporan keuangan
tengah tahunan; dan
c. laporan keuangan tahunan Dana Perlindungan
Pemodal yang diaudit oleh Akuntan dengan
pendapat yang lazim paling lambat pada akhir bulan
ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan.
- 21 -
(2) Dalam hal batas waktu tanggal pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, laporan
wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 37
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib melaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap perubahan berkaitan
dengan:
a. keterangan detail mengenai Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal, yang meliputi nama, alamat,
nomor telepon, dan faksimili Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal;
b. anggaran dasar Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal;
c. struktur organisasi dan uraian tugas pegawai sampai
dengan 1 (satu) level di bawah anggota Direksi
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal;
d. prosedur dan standar operasi Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal;
e. status hubungan Afiliasi antara anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal dengan anggota dewan komisaris
dan/atau anggota direksi lain dari Kustodian; dan
f.
laporan perubahan material yang mempengaruhi operasi
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal,
paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah kejadian.
Pasal 38
(1) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan hal sebagai
berikut:
a. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
dan laporan kegiatan tahunan yang ditandatangani
oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, paling
lambat akhir bulan ke-3 (tiga) setelah tanggal
- 22 -
laporan keuangan tahunan Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal;
b. pengunduran diri anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris paling lambat 2 (dua) hari kerja
sejak tanggal diterimanya surat pengunduran diri
yang bersangkutan;
c.
hasil Rapat Umum Pemegang Saham Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal paling lambat 2 (dua)
hari kerja sejak tanggal penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham tersebut, dengan
ketentuan akta notarial Rapat Umum Pemegang
Saham Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
tersebut wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
akta tersebut diterima oleh Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal; dan
d. informasi dan data yang digunakan dalam proses
penanganan klaim sampai dengan pembayaran
klaim beserta dokumen terkait, setiap saat apabila
diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menunda pengunduran
diri anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, jika
pengunduran diri tersebut dapat mempengaruhi kinerja
dan operasional Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal.
Pasal 39
Rencana perubahan pemegang saham Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal wajib diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan untuk mendapat persetujuan.
- 23 -
Pasal 40
Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
rencana perubahan pemegang saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengadakan
klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka (jika diperlukan),
meminta presentasi, melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan atas calon pemegang saham, dan/atau meminta
tambahan dokumen.
Pasal 41
Rencana perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal,
termasuk pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi
dan anggota Dewan Komisaris, wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapat persetujuan.
Bagian Kedelapan
Penanganan Klaim
Pasal 42
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal melakukan
kegiatan penanganan klaim Pemodal yang kehilangan Aset
Pemodal setelah Otoritas Jasa Keuangan menyatakan terdapat
kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana
Perlindungan Pemodal.
Pasal 43
Dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah
menerima penetapan dari
Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, anggota Direksi
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib:
a. mengumumkan kepada masyarakat baik melalui surat
kabar maupun media lainnya termasuk situs web
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal apabila telah
terjadi peristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
- 24 -
tentang Dana Perlindungan Pemodal dan mengundang
Pemodal terkait agar menyampaikan klaim kepada
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dalam waktu
tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
pengumuman dilakukan;
b. mengusulkan pembentukan komite klaim kepada
Otoritas Jasa Keuangan; dan
c. membentuk tim verifikasi klaim.
Pasal 44
(1) Komite klaim beranggotakan paling sedikit 7 (tujuh)
orang yang terdiri dari:
a. paling sedikit 2 (dua) orang pejabat Otoritas Jasa
Keuangan;
b. paling sedikit 3 (tiga) orang perwakilan Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
c.
paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; dan
d. paling sedikit 1 (satu) orang profesional di bidang
Pasar Modal dan/atau perwakilan lembaga
perlindungan konsumen.
(2) Susunan anggota komite klaim wajib mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Komite klaim memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
a. mengawasi dan memberikan pedoman mengenai
pemeriksaan dan proses verifikasi klaim Pemodal
yang dilakukan oleh tim verifikasi yang dibentuk
untuk menangani suatu klaim Pemodal oleh anggota
Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal;
b. memberikan rekomendasi kepada anggota Direksi
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
mengenai diterima atau ditolaknya klaim atas
kehilangan Aset Pemodal yang diajukan Pemodal
terhadap Dana Perlindungan Pemodal serta jumlah
pembayaran dalam hal klaim diterima; dan
- 25 -
c. memberikan usulan kepada anggota Direksi
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal atas
proporsi jumlah maksimal klaim yang disetujui
untuk setiap Pemodal dan untuk setiap Kustodian
dalam hal aset Dana Perlindungan Pemodal tidak
mencukupi.
(4) Penanganan klaim Pemodal dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Pemodal menyampaikan permohonan secara tertulis
kepada Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
dengan menggunakan formulir tertentu yang
ditetapkan oleh Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal dan melampirkan dokumen, data, informasi
maupun bukti lainnya sebagaimana disyaratkan
dalam formulir tersebut;
b. penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a disertai dengan pernyataan secara
tertulis untuk mengalihkan seluruh hak tagih
Pemodal terhadap Kustodian sebesar nilai Aset
Pemodal yang hilang yang diganti Dana
Perlindungan Pemodal kepada Dana Perlindungan
Pemodal;
c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dapat disertai dengan pemberian kuasa kepada
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal untuk
mewakili Pemodal dalam rangka meminta
penggantian kerugian atas hilangnya Aset Pemodal
yang tidak diberi ganti rugi oleh Dana Perlindungan
Pemodal;
d. penggantian kerugian atas hilangnya Aset Pemodal
yang diperoleh Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal dari pelaksanaan kuasa sebagaimana
dimaksud dalam huruf c setelah dikurangi biaya
yang telah dikeluarkan wajib dikembalikan kepada
Pemodal;
e. Pemodal memberikan kuasa kepada Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal untuk mendapatkan
- 26 -
informasi terkait Pemodal dari Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, dan/atau Pihak lain;
f.
tim verifikasi melakukan pemeriksaan dan verifikasi
atas klaim pemodal berdasarkan dokumen, data,
dan bukti lainnya yang disampaikan pemodal dan
dokumen/data lain yang diperoleh dari Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, Kustodian,
dan/atau pihak lain;
g. dalam waktu tidak lebih dari 2 (dua) bulan atau
waktu lainnya yang ditentukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan dari batas waktu permohonan klaim
disampaikan dan diterima oleh Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal, tim verifikasi klaim
melaporkan hasil pemeriksaan dan verifikasinya
kepada komite klaim;
h. laporan tim verifikasi kepada komite klaim
sebagaimana dimaksud dalam huruf g paling sedikit
memuat informasi mengenai Pemodal, nilai Aset
Pemodal yang hilang yang dialami setiap Pemodal,
dan total nilai Aset Pemodal yang hilang pada
1 (satu) Kustodian;
i. komite klaim melakukan penelaahan atas hasil
laporan pemeriksaan dan verifikasi yang dilakukan
oleh tim verifikasi klaim dan menyusun rekomendasi
kepada Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal berupa diterima atau ditolaknya klaim yang
diajukan oleh Pemodal, jumlah ganti rugi untuk
setiap Pemodal maupun jumlah total ganti rugi pada
1 (satu) Kustodian; dan
j.
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
melakukan pembayaran ganti rugi kepada Pemodal
melalui rekening yang disebutkan oleh Pemodal
dalam formulir permohonan.
- 27 -
Pasal 45
Dalam hal klaim yang diajukan Pemodal atas Dana
Perlindungan Pemodal tidak diterima oleh Penyelenggara Dana
Perlindungan Pemodal, Pemodal berhak mengajukan
keberatan atas keputusan Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan prosedur
sebagai berikut:
a. Pemodal menyampaikan permohonan dengan mengisi
formulir yang ditentukan dalam petunjuk teknis dan
pedoman penanganan dan pembayaran klaim yang
diterbitkan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
dengan melampirkan dokumen, data, informasi, dan
bukti lainnya sebagaimana disyaratkan dalam formulir
tersebut;
b. permohonan disampaikan dalam jangka waktu tidak
lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat
pemberitahuan
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; dan
c. dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menetapkan bahwa
klaim dapat diganti rugi oleh Dana Perlindungan
Pemodal, Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
wajib dalam waktu tidak lebih lama dari 5 (lima) hari
kerja sejak diterimanya penetapan dari Otoritas Jasa
Keuangan melakukan pembayaran kepada Pemodal
tersebut sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 46
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib
menyampaikan laporan hasil pelaksanaan penanganan klaim
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan ketentuan laporan
dimaksud memuat paling sedikit informasi tentang jumlah
nasabah yang diberikan ganti rugi, total nilai ganti rugi, sisa
Dana Perlindungan Pemodal, dan rencana pelaksanaan hak
subrogasi.
tidak diterimanya klaim oleh
- 28 -
Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Hak Subrogasi Dana Perlindungan Pemodal
Pasal 47
(1) Hak subrogasi Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Dana Perlindungan Pemodal diwakili oleh Penyelenggara
Dana Perlindungan Pemodal.
(2) Dalam menjalankan tugas mewakili Dana Perlindungan
Pemodal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib
melakukan upaya pengembalian dana dari Dana
Perlindungan Pemodal yang telah dibayarkan kepada
Pemodal.
(3) Hasil pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) setelah dikurangi biaya yang telah dikeluarkan
wajib disetor oleh Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal ke dalam Dana Perlindungan Pemodal.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 48
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
- 29 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 49
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 50
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-716/BL/2012 tanggal
28 Desember 2012 tentang Penyelenggara Dana Perlindungan
Pemodal, beserta Peraturan Nomor VI.A.5 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 30 -
Pasal 52
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 279
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 50 /POJK.04/2016
TENTANG
PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal
yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: Kep-716/BL/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang
Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal beserta Peraturan Nomor
VI.A.5 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Prinsip tata kelola perusahaan yang baik dimaksud
biasa disebut juga dengan good corporate governance,
- 3 -
sedangkan prinsip-prinsip pengelolaan risiko dimaksud
biasa disebut juga dengan risk management.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Prinsip tata kelola perusahaan yang baik dimaksud
biasa disebut juga dengan good corporate governance,
sedangkan prinsip-prinsip pengelolaan risiko dimaksud
biasa disebut juga dengan risk management.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5975
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 50/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-716/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK//2012', 'Kep-716/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK//2012 | Lampiran Peraturan Nomor VI.A.5' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
1
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /POJK.04/2017
TENTANG
PELAPORAN TRANSAKSI EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk meningkatkan integritas pasar, memperbaiki
kualitas pembentukan harga di pasar, dan memperkuat fungsi
pengawasan transaksi atas efek bersifat utang dan sukuk,
perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Pelaporan Transaksi Efek;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4236);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4852);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
-2-
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PELAPORAN TRANSAKSI EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif atas
Efek.
2. Transaksi Efek adalah setiap aktivitas atau kontrak
dalam rangka memperoleh, melepaskan, atau
menggunakan Efek yang mengakibatkan terjadinya
pengalihan kepemilikan atau tidak mengakibatkan
terjadinya pengalihan kepemilikan.
3. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
4. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana
untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak-
Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di
antara mereka.
5. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa
surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan
masa berlakunya.
6. Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk
Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan
-3-
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap aset Surat Berharga Syariah Negara,
baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
7. Surat Berharga Negara adalah Surat Utang Negara dan
Surat Berharga Syariah Negara.
8. Penerima Laporan Transaksi Efek yang selanjutnya
disingkat PLTE adalah Pihak yang ditunjuk oleh Otoritas
Jasa Keuangan untuk menyediakan sistem dan/atau
sarana dan menerima pelaporan Transaksi Efek.
9. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan
kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri
atau Pihak lain.
10. Partisipan adalah Perantara Pedagang Efek, bank, atau
Pihak lain yang disetujui Otoritas Jasa Keuangan, yang
menggunakan sistem dan/atau sarana pelaporan
Transaksi Efek dan terdaftar pada PLTE.
11. Transaksi Repurchase Agreement adalah kontrak jual
atau beli Efek dengan janji beli atau jual kembali pada
waktu dan harga yang telah ditetapkan.
12. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
13. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain,
kecuali untuk hal yang secara tegas diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.
14. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan
Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak
lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
-4-
15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak
yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi
bank Kustodian, perusahaan efek, dan Pihak lain.
16. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh
anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek,
pinjam-meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek
atau harga Efek.
17. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang
menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan
penyelesaian Transaksi Bursa.
18. Sukuk adalah Efek syariah berupa sertifikat atau
bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili
bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi
(syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya.
19. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu adalah hak yang
melekat pada saham yang memberikan kesempatan
pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli
saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya baik yang
dapat dikonversikan menjadi saham atau yang
memberikan hak untuk membeli saham, sebelum
ditawarkan kepada Pihak lain.
Pasal 2
Setiap Pihak dapat melakukan Transaksi Efek di pasar
sekunder, baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek.
BAB II
PELAPORAN TRANSAKSI EFEK
Bagian Kesatu
Transaksi Efek yang Wajib Dilaporkan
Pasal 3
(1) Transaksi Efek yang wajib dilaporkan berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini adalah transaksi
atas:
-5-
a. Efek bersifat utang dan Sukuk yang telah dijual
melalui penawaran umum;
obligasi konversi
b.
yang diterbitkan
untuk
penambahan modal dengan atau tanpa Hak
Memesan Efek Terlebih Dahulu;
c. Surat Berharga Negara; dan
d. Efek lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan untuk dilaporkan.
(2) Kewajiban pelaporan Transaksi Efek sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), hanya berlaku terhadap Efek
yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
Pasal 4
Transaksi Efek yang wajib dilaporkan berdasarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini meliputi jenis transaksi sebagai
berikut:
a. jual beli putus;
b. hibah atau hibah wasiat;
c. hadiah, sumbangan, gratifikasi, dan sejenisnya;
d. pewarisan;
e. tukar-menukar;
f.
pengalihan karena penetapan pengadilan;
g. pengalihan
karena penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, atau pemisahan;
h. pinjam-meminjam;
i. Transaksi Repurchase Agreement;
j. pemindahbukuan Efek yang dilakukan oleh Pihak dengan
identitas yang sama;
k. pembelian kembali;
l.
peralihan Efek dalam rangka penciptaan dan pembelian
kembali (pelunasan) unit penyertaan reksa dana yang
diperdagangkan di Bursa Efek;
m. konversi menjadi Efek lain;
n. penjaminan Efek selain dalam rangka penjaminan
penyelesaian Transaksi Bursa yang ditempatkan pada
Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
-6-
o.
jenis transaksi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Bagian Kedua
Mekanisme Pelaporan Transaksi Efek
Pasal 5
Laporan atas Transaksi Efek wajib disampaikan secara
elektronik dengan menggunakan sistem dan/atau sarana
yang disediakan oleh PLTE.
Pasal 6
Hal yang wajib dilaporkan dalam sistem dan/atau sarana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi:
a. nama dan seri Efek;
b. nomor tunggal identitas pemodal dan nama Pihak
penjual/pemilik awal/pemilik rekening serah;
c. nomor tunggal identitas pemodal dan nama Pihak
pembeli/pemilik akhir/pemilik rekening terima;
d.
jenis rekening Efek (rekening sendiri atau rekening
nasabah);
e. harga transaksi;
f.
imbal hasil;
g. volume transaksi;
h. nilai transaksi;
i.
j.
k. jenis transaksi;
l.
waktu transaksi (tanggal, jam, dan menit);
waktu pelaporan atau waktu instruksi kepada Partisipan;
tanggal penyelesaian transaksi;
m. status kepemilikan;
n. nama Kustodian jual dan Kustodian beli;
o. nama Perantara Pedagang Efek (jika ada);
p. identitas Partisipan;
q. Nomor Pokok Wajib Pajak (jika ada);
r.
tingkat harga dan jangka waktu transaksi khusus untuk
transaksi pinjam-meminjam; dan
-7-
s.
jenis Transaksi Repurchase Agreement, tanggal kontrak,
mata uang kontrak, tingkat harga, jangka waktu
transaksi, marjin awal atau haircut Efek, dan status
sebagai prinsipal/agen khusus untuk Transaksi
Repurchase Agreement.
Pasal 7
Setiap Pihak yang melakukan Transaksi Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 wajib menyampaikan laporan atas
setiap Transaksi Efek yang dilakukannya kepada Otoritas
Jasa Keuangan melalui PLTE, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di Bursa Efek,
pelaporan atas Transaksi Efek tersebut dilakukan oleh:
1. Bursa Efek untuk kepentingan Pihak yang
melakukan Transaksi Efek dimaksud; dan
2. Partisipan yang melakukan Transaksi Efek,
Partisipan yang menyelesaikan Transaksi Efek, atau
Partisipan yang ditunjuk oleh Pihak yang melakukan
Transaksi Efek dimaksud atas informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang belum
dilaporkan oleh Bursa Efek;
b. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di penyelenggara
pasar lainnya, pelaporan atas Transaksi Efek tersebut
dilakukan oleh:
1. penyelenggara pasar lainnya untuk kepentingan
Pihak yang melakukan Transaksi Efek dimaksud;
dan
2. Partisipan yang merupakan anggota penyelenggara
pasar lainnya, yang melakukan Transaksi Efek baik
untuk kepentingannya sendiri ataupun kepentingan
Pihak lain atas informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 yang belum dilaporkan oleh
penyelenggara pasar lainnya;
c. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek
dan/atau penyelenggara pasar lainnya, dan Transaksi
Efek tersebut dilakukan oleh atau melalui Partisipan,
-8-
pelaporan atas Transaksi Efek tersebut dilakukan oleh
Partisipan;
d. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek
dan/atau penyelenggara pasar lainnya, dan Transaksi
Efek tersebut dilakukan tidak melalui Partisipan dan
penyelesaiannya dilakukan melalui Partisipan,
pelaporannya dilakukan oleh Partisipan yang
menyelesaikan Transaksi Efek;
e. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek
dan/atau penyelenggara pasar lainnya, dan Transaksi
Efek serta penyelesaiannya dilakukan tidak melalui
Partisipan, pelaporan atas Transaksi Efek tersebut
dilakukan melalui Partisipan yang wajib ditunjuk oleh
Pihak yang melakukan Transaksi Efek;
f. dalam hal Transaksi Efek dilakukan dengan Pemerintah
atau Bank Indonesia di luar Bursa Efek dan/atau
penyelenggara pasar lainnya, pelaporan atas Transaksi
Efek tersebut wajib dilakukan oleh lawan transaksi
Pemerintah atau Bank Indonesia, melalui Partisipan
sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam
huruf c, huruf d, dan huruf e; dan
g. dalam hal Transaksi Efek adalah konversi menjadi Efek
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf m,
pelaporan atas Transaksi Efek tersebut wajib dilakukan
oleh Pihak yang melakukan konversi menjadi Efek lain
tersebut melalui Partisipan sesuai dengan mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam huruf c, huruf d, dan
huruf e.
Pasal 8
(1) Waktu penyampaian laporan atas Transaksi Efek wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal pelaporan Transaksi Efek dilakukan
melalui Bursa Efek dan/atau penyelenggara pasar
lainnya dan Partisipan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b, pelaporan
Transaksi Efek dilakukan sebagai berikut:
-9-
1. Bursa Efek atau penyelenggara pasar lainnya
wajib melaporkan data perdagangan atas setiap
transaksi dimaksud seketika setelah transaksi
terjadi sesuai dengan data Transaksi Bursa
atau data transaksi pada penyelenggara pasar
lainnya; dan
2. Partisipan wajib melaporkan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang
belum dilaporkan melalui Bursa Efek atau
penyelenggara pasar lainnya paling lambat pada
hari yang sama dengan Transaksi Efek
dilakukan;
b. dalam hal pelaporan Transaksi Efek dilakukan oleh
atau melalui Partisipan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf c sampai dengan huruf g,
Partisipan wajib melaporkan setiap Transaksi Efek
sesegera mungkin paling lambat 30 (tiga puluh)
menit dengan ketentuan:
1. setelah Transaksi Efek terjadi, jika Transaksi
Efek dilakukan oleh atau melalui Partisipan;
atau
2.
jika Transaksi Efek tidak dilakukan melalui
Partisipan:
a) setelah instruksi penyelesaian diterima
oleh Partisipan dalam hal penyelesaian
Transaksi Efek dilakukan melalui
Partisipan; atau
b) setelah Partisipan menerima laporan
Transaksi Efek dalam hal penyelesaian
Transaksi Efek dilakukan tidak melalui
Partisipan;
c. pelaporan nama Kustodian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf n wajib disampaikan dengan
ketentuan paling lambat:
1. pada akhir hari Transaksi Efek, jika Transaksi
Efek dilakukan melalui Partisipan; atau
-10-
2. pada akhir hari diterimanya pelaporan atau
instruksi penyelesaian Transaksi Efek oleh
Partisipan, jika Transaksi Efek tidak dilakukan
melalui Partisipan; dan
d. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa
Efek dan/atau penyelenggara pasar lainnya atas
obligasi yang telah jatuh tempo dengan ketentuan:
1. tidak
lagi tercatat dan tidak dapat
diperdagangkan di Bursa Efek atau
penyelenggara pasar lainnya;
2. masih dalam proses restrukturisasi; dan/atau
3. masih dalam proses sengketa, baik di
pengadilan maupun di luar pengadilan,
namun masih diperdagangkan di pasar sekunder,
Partisipan wajib melaporkan Transaksi Efek
dimaksud melalui mekanisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c sampai dengan
huruf g paling lambat pada hari yang sama dengan
Transaksi Efek dilakukan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan kondisi
lainnya yang berbeda dari pengaturan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d.
Pasal 9
Batas waktu pelaporan Transaksi Efek ditetapkan oleh PLTE
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Transaksi Efek terjadi, dilaporkan, atau
diinstruksikan penyelesaiannya kepada Partisipan
sebelum waktu pelaporan, batas waktu pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b
dihitung sejak waktu pelaporan dibuka pada hari yang
sama dengan Transaksi Efek terjadi atau Transaksi Efek
dilaporkan kepada Partisipan;
b. dalam hal Transaksi Efek terjadi, dilaporkan, atau
diinstruksikan penyelesaiannya kepada Partisipan
kurang dari 30 (tiga puluh) menit sebelum penutupan
waktu pelaporan, batas waktu pelaporan sebagaimana
-11-
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dihitung sejak
Transaksi Efek terjadi, dilaporkan, atau diinstruksikan
penyelesaiannya kepada Partisipan pada jam pelaporan
hari yang sama ditambah dengan sisa waktu pelaporan
pada waktu pelaporan hari berikutnya; dan
c. dalam hal Transaksi Efek terjadi, dilaporkan, atau
diinstruksikan penyelesaiannya kepada Partisipan
setelah waktu pelaporan, batas waktu pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b
dihitung sejak waktu pelaporan dibuka pada hari kerja
selanjutnya sejak Transaksi Efek terjadi atau Transaksi
Efek dilaporkan kepada Partisipan.
Pasal 10
Penyampaian laporan Transaksi Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 tidak dikenakan biaya.
Bagian Ketiga
Koreksi atau Pembatalan atas Pelaporan Transaksi Efek
Pasal 11
Partisipan dapat melakukan koreksi atas pelaporan Transaksi
Efek sebelum atau setelah pelaksanaan penyelesaian, dalam
hal terdapat kesalahan data pelaporan Transaksi Efek,
perubahan data Transaksi Efek yang dilaporkan, atau terjadi
kondisi tertentu.
Pasal 12
Partisipan dapat melakukan pembatalan atas pelaporan
Transaksi Efek pada saat sebelum pelaksanaan penyelesaian,
dalam hal terdapat kesalahan data pelaporan Transaksi Efek,
perubahan data Transaksi Efek yang dilaporkan, atau terjadi
kondisi tertentu.
Pasal 13
(1) Koreksi atau pembatalan atas pelaporan Transaksi Efek
dikenakan biaya.
-12-
(2) Mekanisme dan biaya koreksi atau pembatalan atas
pelaporan Transaksi Efek diatur oleh PLTE.
Bagian Keempat
Kewajiban PLTE dan Partisipan
Pasal 14
(1) PLTE wajib memberikan bukti atas pelaporan Transaksi
Efek kepada Partisipan sesegera mungkin setelah
pelaporan tersebut diterima oleh PLTE.
(2) Partisipan wajib memberikan bukti atas pelaporan
Transaksi Efek kepada Pihak yang melaporkan sesegera
mungkin setelah Partisipan menerima bukti pelaporan
Transaksi Efek dari PLTE.
Pasal 15
(1) PLTE wajib menyediakan data transaksi yang dapat
diakses publik seketika setelah transaksi dilaporkan
tanpa memungut biaya.
(2) Data transaksi yang wajib tersedia untuk publik paling
sedikit memuat informasi:
a. nama dan seri Efek;
b. harga transaksi;
c. imbal hasil;
d. volume transaksi;
e.
f.
nilai transaksi;
jenis transaksi;
g. tanggal penyelesaian transaksi; dan
h. tingkat harga dan jangka waktu transaksi khusus
untuk Transaksi Repurchase Agreement dan pinjam-
meminjam.
(3) Data transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf d dikecualikan dari data transaksi yang
wajib tersedia dan dapat diakses oleh publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
-13-
Pasal 16
(1) PLTE dapat memberikan layanan tambahan dengan atau
tanpa mengenakan biaya.
(2) Dalam hal PLTE memberikan layanan tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), layanan tambahan
tersebut wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 17
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, PLTE wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. menetapkan tata cara pendaftaran Partisipan, prosedur
dan tata cara pelaporan, jam pelaporan, biaya yang
dikenakan kepada Partisipan, sanksi berkaitan dengan
penggunaan sistem, dan menyediakan sistem pelaporan
elektronik yang dapat diakses oleh Partisipan, dengan
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan;
b. menyediakan sistem teknologi informasi kepada Otoritas
Jasa Keuangan yang memungkinkan Otoritas Jasa
Keuangan mengawasi pelaporan Transaksi Efek setiap
saat;
c. menjamin kerahasiaan data Transaksi Efek yang
dilaporkan oleh Partisipan kepada PLTE, kecuali data
yang wajib disediakan kepada publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15; dan
d. menerapkan tata cara pelaporan Transaksi Efek dalam
kondisi tertentu sesuai dengan rencana kelangsungan
usaha yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 18
Partisipan wajib memuat dalam kontrak antara Partisipan dan
nasabahnya mengenai ketentuan kewajiban nasabah untuk
menyampaikan laporan Transaksi Efek di luar Bursa Efek
setelah terjadinya transaksi tersebut.
-14-
BAB III
PENGAWASAN TRANSAKSI EFEK
Pasal 19
Untuk pelaksanaan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa
Keuangan terhadap Transaksi Efek, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian wajib:
a. menyampaikan setiap data penyelesaian Transaksi Efek
kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui PLTE dengan
menggunakan sistem pelaporan elektronik; dan
b. mewajibkan Kustodian untuk memasukkan nomor
referensi pelaporan yang dihasilkan PLTE, nama dan seri
Efek, harga transaksi, serta volume transaksi pada
instruksi penyelesaian yang disampaikan kepada
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 20
Untuk pengawasan pelaporan transaksi Surat Berharga
Negara, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank
Indonesia selaku central registry untuk:
a. menyampaikan setiap data penyelesaian transaksi Surat
Berharga Negara kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui
PLTE dengan menggunakan sistem pelaporan elektronik;
dan
b. mewajibkan sub registry, bank, dan Pihak lain yang
menjadi anggota central registry untuk memasukkan
nomor referensi pelaporan yang dihasilkan PLTE, nama
dan seri Efek, harga transaksi, serta volume transaksi
pada instruksi penyelesaian yang disampaikan kepada
central registry.
Pasal 21
Penggunaan nomor referensi pelaporan yang dihasilkan PLTE,
nama dan seri Efek, harga transaksi, serta volume transaksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 serta
informasi lain terkait penyelesaian Transaksi Efek diatur oleh
PLTE.
-15-
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 22
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 23
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
-16-
Pasal 24
(1) Dalam hal
Partisipan terlambat atau tidak
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Partisipan dapat dikenakan sanksi administratif
berupa denda sesuai dengan akumulasi waktu
keterlambatan atas semua transaksi yang dilakukan
dalam 1 (satu) bulan.
(2) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan atas:
a. keterlambatan pelaporan Transaksi Efek yang
disebabkan oleh Partisipan jual atau Partisipan beli;
b. keterlambatan melengkapi informasi nama
Kustodian oleh Partisipan jual atau Partisipan beli;
dan/atau
c. keterlambatan melengkapi informasi lain yang belum
dilaporkan melalui Bursa Efek atau penyelenggara
pasar lainnya.
(3) Besarnya sanksi denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) atas
setiap jam keterlambatan pelaporan per laporan atau
paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per
hari per laporan, dengan ketentuan bahwa jumlah
keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) per laporan.
(4) Pengenaan denda dapat dikecualikan dalam hal kondisi
tertentu atau hal lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
PLTE wajib menyesuaikan sistem yang digunakan untuk
menerima laporan Transaksi Efek termasuk memfasilitasi
sistem penyampaian laporan Transaksi Efek dari Partisipan
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku.
-17-
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-123/BL/2009 tentang
Pelaporan Transaksi Efek beserta Peraturan Nomor X.M.3
yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 27
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
-18-
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 122
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /POJK.04/2017
TENTANG
PELAPORAN TRANSAKSI EFEK
I. UMUM
Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menetapkan kewenangan
pengaturan dan pengawasan kegiatan di bidang jasa keuangan termasuk
pasar modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan
berkepentingan untuk menciptakan pasar modal yang teratur, wajar,
transparan, dan efisien untuk meneruskan tugas dan fungsi Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang telah ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas yang melakukan pengaturan dan
pengawasan di bidang pasar modal juga melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan perdagangan Surat Utang Negara dan
Surat Berharga Syariah Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditetapkan ketentuan yang
harus dipenuhi oleh setiap Pihak yang melakukan Transaksi Efek atas
Efek bersifat utang dan Sukuk di pasar sekunder. Hal ini mengingat
Transaksi Efek dimaksud lebih banyak dilakukan di luar Bursa Efek atau
secara over the counter. Untuk meningkatkan integritas pasar,
memperbaiki kualitas pembentukan harga di pasar dan memperkuat
- 1 -
fungsi pengawasan Transaksi Efek bersifat utang dan Sukuk, para Pihak
tersebut diwajibkan untuk menyampaikan laporan atas Transaksi Efek
yang dilakukannya melalui sistem dan/atau sarana penerimaan
pelaporan Transaksi Efek yang diselenggarakan oleh PLTE.
Pengaturan mengenai pelaporan Transaksi Efek saat ini telah diatur
dalam Peraturan Nomor X.M.3, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-123/BL/2009
tentang Pelaporan Transaksi Efek (Peraturan Nomor X.M.3 tentang
Pelaporan Transaksi Efek).
Memperhatikan hal tersebut di atas, diperlukan penyempurnaan
pengaturan pelaporan Transaksi Efek yang mencakup keseluruhan
Transaksi Efek atas Efek bersifat utang dan Sukuk, baik di Bursa Efek
maupun di luar Bursa Efek dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Pelaporan Transaksi Efek yang merupakan perubahan
dari Peraturan Nomor X.M.3 tentang Pelaporan Transaksi Efek.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Transaksi di luar Bursa Efek dapat dilakukan melalui negosiasi antar
Pihak secara langsung atau melalui sistem penyelenggara
perdagangan lainnya selain Bursa Efek.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Efek bersifat utang dan Sukuk yang telah dijual
melalui penawaran umum antara lain obligasi korporasi,
Sukuk korporasi, kontrak investasi kolektif Efek beragun
aset.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 2 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Efek yang dapat diperdagangkan di
pasar sekunder” adalah Efek yang masuk dalam kategori
tradeable berdasarkan prospektus atau dokumen keterbukaan
informasi penerbitan Efek dimaksud.
Pasal 4
Huruf a
Jual beli putus (outright) merupakan Transaksi Efek yang diikuti
dengan adanya perpindahan kepemilikan Efek, termasuk
transaksi jual beli putus yang dilakukan pada hari yang sama
dengan hari penjatahan sebelum dilakukannya pencatatan
(when issued).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah setiap pemberian
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Tukar-menukar merupakan penukaran Efek bersifat utang atau
Sukuk melalui:
1. pembelian kembali (buy back) terlebih dahulu oleh emiten
atau Pemerintah, kemudian dilakukan penjualan Efek
bersifat utang atau Sukuk penggantinya oleh emiten atau
Pemerintah (debt switching); atau
2. pembelian kembali (buy back) terlebih dahulu oleh emiten
atau Pemerintah, kemudian dilakukan penjualan Efek
- 3 -
bersifat utang atau Sukuk yang sama oleh emiten atau
Pemerintah (re-issued).
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Dalam praktiknya istilah “pembelian kembali” dimaksud biasa
disebut juga dengan sebutan buy back.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam praktiknya istilah “nomor tunggal identitas pemodal”
dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan single investor
identification.
Huruf c
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam hal transaksi yang dilakukan adalah Transaksi
Repurchase Agreement, harga transaksi sama dengan harga
pembelian.
Huruf f
Imbal hasil yang dilaporkan adalah tingkat imbal hasil yang
akan diperoleh pemodal sampai jatuh tempo atau biasa disebut
dengan yield to maturity.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Status kepemilikan merupakan informasi kepemilikan oleh lokal
atau asing.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Identitas Partisipan merupakan kode Partisipan PLTE.
Huruf q
Nomor Pokok Wajib Pajak merupakan Nomor Pokok Wajib Pajak
dari pihak yang bertransaksi.
Huruf r
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf s
Khusus untuk Transaksi Repurchase Agreement, terdapat
penambahan informasi yaitu jenis Transaksi Repurchase
Agreement, tanggal kontrak, mata uang kontrak, tingkat harga,
jangka waktu transaksi, marjin awal atau haircut Efek, dan
status sebagai prinsipal/agen.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh penyelenggara pasar lainnya antara lain penyelenggara
perdagangan Surat Utang Negara di luar Bursa Efek yang telah
mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “data perdagangan” antara
lain:
1. nama dan seri Efek;
2. harga transaksi;
3.
volume transaksi;
4. tanggal transaksi; dan
5. tanggal settlement.
- 6 -
Dalam kondisi tertentu, penyampaian data
perdagangan atas Transaksi Efek yang dilaksanakan di
Bursa Efek atau penyelenggara pasar lainnya dapat
terjadi penundaan beberapa menit setelah transaksi
terjadi (real time).
Angka 2
Yang dimaksud dengan “pada hari yang sama” adalah
hari pelaksanaan Transaksi Efek sampai dengan akhir
hari diterimanya pelaporan.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sebagai contoh:
Transaksi Efek dilakukan oleh Partisipan pada hari Senin
tanggal 20 Juni 2016 pukul 16.55 WIB, jam pelaporan PLTE dan
operasional PLTE mulai pukul 09.30 - 17.00 WIB, batas waktu
pelaporan Transaksi Efek bagi Partisipan yaitu pada hari Selasa
tanggal 21 Juni 2016 pukul 09.55 WIB jam pelaporan PLTE.
Huruf c
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Kesalahan data pelaporan Transaksi Efek sebelum pelaksanaan
penyelesaian mencakup koreksi atas data pelaporan, pembatalan
salah satu pelaporan akibat duplikasi pelaporan Transaksi Efek, dan
pembatalan Transaksi Efek.
Kesalahan data pelaporan Transaksi Efek setelah pelaksanaan
penyelesaian mencakup koreksi atas data pelaporan dan duplikasi
pelaporan Transaksi Efek.
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu peristiwa dan/atau
keadaan yang terjadi di luar kehendak dan/atau kemampuan PLTE
dan/atau Partisipan yang mengakibatkan proses pelaporan melalui
sistem PLTE tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pasal 12
Kesalahan data pelaporan Transaksi Efek sebelum pelaksanaan
penyelesaian mencakup koreksi atas data pelaporan, pembatalan
salah satu pelaporan akibat duplikasi pelaporan Transaksi Efek, dan
pembatalan Transaksi Efek.
Kesalahan data pelaporan Transaksi Efek setelah pelaksanaan
penyelesaian mencakup koreksi atas data pelaporan dan duplikasi
pelaporan Transaksi Efek.
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu peristiwa dan/atau
keadaan yang terjadi di luar kehendak dan/atau kemampuan PLTE
dan/atau Partisipan yang mengakibatkan proses pelaporan melalui
sistem PLTE tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu peristiwa
dan/atau keadaan yang terjadi di luar kehendak dan/atau
kemampuan PLTE dan/atau Partisipan yang mengakibatkan
proses pelaporan melalui sistem PLTE tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Kustodian” adalah perusahaan efek
yang menjalankan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek dan bank Kustodian.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Partisipan jual” yaitu Partisipan yang
melakukan pelaporan transaksi jual.
Yang dimaksud dengan “Partisipan beli” yaitu Partisipan yang
melakukan konfirmasi pelaporan transaksi beli.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6069
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 22/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PELAPORAN TRANSAKSI EFEK </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-123/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-123/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor X.M.3' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', '19/UU/2008', '24/UU/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 20 /POJK.04/2015
TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri
Pasar Modal Syariah di Indonesia, perlu menyempurnakan
peraturan mengenai Penerbitan Efek Beragun Aset Syariah
dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerbitan Dan Persyaratan Efek Beragun Aset
Syariah;
Mengingat : 1.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK BERAGUN ASET
SYARIAH.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1.
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah
adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank
Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset
Syariah dimana Manajer Investasi diberi wewenang
untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank
Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan
Penitipan Kolektif, yang pelaksanaannya tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
2.
Efek Beragun Aset Syariah yang diterbitkan Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah yang
selanjutnya disebut Efek Beragun Aset Syariah adalah
Efek Beragun Aset yang:
a.
portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa
piutang, pembiayaan atau aset keuangan
lainnya;
b.
c.
akad; dan
cara pengelolaannya,
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
3.
Efek Beragun Aset Syariah Berbentuk Surat Partisipasi
yang selanjutnya disingkat EBAS-SP adalah Efek
Beragun Aset Syariah yang diterbitkan oleh Penerbit
yang akad dan portofolionya berupa Kumpulan Piutang
atau pembiayaan pemilikan rumah yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal
serta
merupakan bukti kepemilikan secara
proporsional yang dimiliki bersama oleh sekumpulan
pemegang EBAS-SP.
4.
Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum
Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal
berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis
- 3 -
Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar
Modal dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
lainnya yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah
Nasional - Majelis Ulama Indonesia.
5. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang
bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran
serta mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar
Modal terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan
Syariah di Pasar Modal.
6.
Tim Ahli Syariah adalah tim yang bertanggung jawab
terhadap kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di Pasar Modal yang diterbitkan atau
dikeluarkan perusahaan.
7.
Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis
antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Pasal 2
Setiap Pihak yang melakukan penerbitan Efek Beragun Aset
Syariah dan EBAS-SP wajib mematuhi ketentuan Prinsip
Syariah di Pasar Modal sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di
Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal.
Pasal 3
(1) Efek Beragun Aset memenuhi Prinsip Syariah di Pasar
Modal apabila akad, cara pengelolaan, dan
portofolionya tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal.
- 4 -
(2) Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi
memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal apabila akad
dan portofolionya yang berupa Kumpulan Piutang atau
pembiayaan pemilikan rumah tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
BAB II
PENERBITAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH
Pasal 4
Pihak yang melakukan penerbitan Efek Beragun Aset Syariah
wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum
pengajuan Pernyataan Pendaftaran, peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) dan peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset
terkait lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 5
(1) Manajer Investasi yang mengelola Efek Beragun Aset
Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang
ditunjuk oleh Direksi.
(2) Penerbitan Efek Beragun Aset Syariah wajib
mendapatkan pernyataan kesesuaian syariah yang
diterbitkan oleh Dewan Pengawas Syariah dari Manajer
Investasi atau Tim Ahli Syariah.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki
izin Ahli Syariah Pasar Modal dari Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan
- 5 -
Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar
Modal.
(4) Dewan Pengawas Syariah dari Manajer Investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab terhadap pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar
Modal atas Efek Beragun Aset Syariah yang diterbitkan
oleh Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset
Syariah.
(5) Biaya yang timbul terkait pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
beban Manajer Investasi.
Pasal 6
(1) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) wajib menyusun laporan hasil
pengawasan tahunan atas pemenuhan kepatuhan
terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas Efek
Beragun Aset Syariah yang diawasi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan oleh Dewan Pengawas Syariah kepada
Manajer Investasi yang mengelola Efek Beragun Aset
Syariah.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit memuat:
a. pihak yang dituju;
b. tanggal laporan;
c. pernyataan mengenai laporan yang disusun telah
sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
d. pernyataan mengenai rentang waktu dan ruang
lingkup pengawasan yang telah dilakukan Dewan
Pengawas Syariah;
e.
opini Dewan Pengawas Syariah atas pengawasan
yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada
huruf d; dan
- 6 -
f.
tanda tangan, nama anggota Dewan Pengawas
Syariah, jabatan anggota Dewan Pengawas
Syariah, dan nomor izin Ahli Syariah Pasar Modal.
(4) Laporan kegiatan pengawasan syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Manajer
Investasi pengelola Efek Beragun Aset Syariah kepada
Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat pada akhir
bulan ketiga.
(5) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari
libur, laporan tersebut wajib disampaikan paling lambat
pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 7
(1) Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah
wajib memuat ketentuan paling sedikit:
a. kata “Syariah” pada nama Efek Beragun Aset yang
diterbitkan;
b. pernyataan bahwa:
1. Manajer Investasi dan Bank Kustodian
merupakan wakil (wakiliin) yang bertindak
untuk kepentingan para pemegang Efek
Beragun Aset Syariah sebagai pihak yang
diwakili (muwakil) dimana Manajer Investasi
diberi wewenang untuk mengelola portofolio
investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi
wewenang untuk melaksanakan Penitipan
Kolektif;
2. aset yang menjadi portofolio Efek Beragun
Aset Syariah tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan
c.
informasi mengenai:
1. mekanisme pembersihan portofolio yang
menjadi dasar Efek Beragun Aset Syariah dari
unsur-unsur yang bertentangan dengan
Prinsip Syariah di Pasar Modal;
- 7 -
2. pengelolaan dana yang menjadi kekayaan
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset
Syariah dilarang bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal;
3. Akad Syariah dan skema transaksi syariah
yang digunakan dalam penerbitan Efek
Beragun Aset Syariah;
4. ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh
para Pihak;
5. besarnya nisbah pembayaran bagi hasil,
marjin, atau imbal jasa; dan
6. rencana jadwal dan tata cara pembagian
dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau
imbal jasa.
(2) Ketentuan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib pula dicantumkan sebagai informasi tambahan
dalam Prospektus disertai dengan informasi mengenai:
a. Dewan Pengawas Syariah dari Manajer Investasi;
b. anggota direksi atau pejabat penanggung jawab
atas pelaksanaan kegiatan Kustodian pada Bank
Kustodian yang memahami kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal; dan
c.
hasil pemeringkatan Efek Beragun Aset Syariah,
jika ditawarkan melalui Penawaran Umum.
Pasal 8
(1) Dalam hal tindakan Manajer Investasi dan Bank
Kustodian mengakibatkan kekayaan Efek Beragun Aset
Syariah terdapat unsur kekayaan yang bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, maka Otoritas
Jasa Keuangan berwenang:
a. melarang Manajer Investasi dan Bank Kustodian
untuk mengalihkan kekayaan Efek Beragun Aset
selain dalam rangka pembersihan kekayaan Efek
Beragun Aset dari unsur-unsur yang bertentangan
- 8 -
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal;
b. mewajibkan Manajer Investasi dan Bank Kustodian
secara tanggung renteng untuk membeli portofolio
Efek Beragun Aset dengan harga perolehan atau
membersihkan dana Efek Beragun Aset yang
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal dalam waktu yang ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan;
c. mewajibkan Manajer Investasi atas nama Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah
menjual atau mengalihkan unsur kekayaan
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset
Syariah dari unsur kekayaan yang bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, dengan
ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar
Wajar terakhir pada saat masih memenuhi Prinsip
Syariah di Pasar Modal dipisahkan dari
perhitungan Nilai Aktiva Bersih Kontrak Investasi
Kolektif Efek Beragun Aset Syariah dan
diperlakukan sebagai dana sosial; dan/atau
d. mewajibkan Manajer Investasi untuk
mengumumkan kepada publik larangan dan/atau
kewajiban yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan
huruf c sesegera mungkin paling lambat akhir hari
kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya surat
Otoritas Jasa Keuangan, dalam 2 (dua) surat kabar
harian berbahasa Indonesia dan berperedaran
nasional atas biaya Manajer Investasi dan Bank
Kustodian.
(2) Bank Kustodian wajib menyampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan serta pemegang Efek Beragun Aset
Syariah informasi tentang perolehan selisih lebih harga
jual dari Nilai Pasar Wajar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dan informasi tentang penggunaannya
sebagai dana sosial paling lambat pada hari ke-12
(kedua belas) setiap bulan (jika ada).
- 9 -
(3) Dalam hal hari ke-12 (kedua belas) jatuh pada hari
libur, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari
kerja berikutnya.
Pasal 9
(1) Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, maka Otoritas Jasa Keuangan
berwenang untuk mengganti Manajer Investasi, Bank
Kustodian, atau memerintahkan pembubaran Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah tersebut.
(2) Dalam hal Manajer Investasi dan Bank Kustodian tidak
membubarkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan berwenang membubarkan
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah
tersebut.
BAB III
PENERBITAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH BERBENTUK
SURAT PARTISIPASI
Pasal 10
Pihak yang melakukan penerbitan EBAS-SP wajib mengikuti
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk
Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder
Perumahan, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 11
(1) Penerbitan EBAS-SP wajib mendapatkan pernyataan
kesesuaian syariah yang diterbitkan oleh:
a. Dewan Pengawas Syariah, dalam hal Penerbit
memiliki Dewan Pengawas Syariah; atau
b. Tim Ahli Syariah dalam hal Penerbit tidak memiliki
- 10 -
Dewan Pengawas Syariah.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
izin Ahli Syariah Pasar Modal dari Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar
Modal.
(3) Dalam hal Penerbit EBAS-SP tidak memiliki Dewan
Pengawas Syariah, direktur Penerbit atau penanggung
jawab kegiatan yang diberi mandat oleh Direksi yang
memiliki pengetahuan yang memadai dan/atau
pengalaman di bidang keuangan syariah bertanggung
jawab terhadap pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar
Modal atas EBAS-SP yang diterbitkan oleh Penerbit.
(4) Biaya yang timbul terkait Dewan Pengawas Syariah
atau Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi beban Penerbit.
Pasal 12
(1) Prospektus EBAS-SP wajib mengikuti Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Penerbitan
dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat
Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder
Perumahan, kecuali diatur lain dan diatur khusus
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Prospektus EBAS-SP paling sedikit memuat informasi
sebagai berikut:
a.
Portofolio berupa Kumpulan Piutang atau
pembiayaan pemilikan rumah yang menjadi dasar
EBAS-SP tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal;
b. Adanya jaminan dari Penerbit EBAS-SP yang
menyatakan bahwa selama periode EBAS-SP
Kumpulan Piutang atau pembiayaan pemilikan
rumah yang menjadi dasar EBAS-SP tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal;
- 11 -
c. Pejabat penanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan Wali Amanat dan Bank Kustodian EBAS-
SP memahami kegiatan-kegiatan yang
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal, jika Wali Amanat dan Bank Kustodian dari
EBAS-SP tidak mempunyai Dewan Pengawas
Syariah;
d. Akad Syariah dan skema transaksi syariah yang
digunakan dalam penerbitan EBAS-SP;
e. ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para
Pihak;
f.
besarnya nisbah pembayaran bagi hasil, marjin,
atau imbal jasa;
g. rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau
pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa;
dan
h.
hasil pemeringkatan EBAS-SP, jika ditawarkan
melalui Penawaran Umum.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 13
Ketentuan mengenai
kewajiban
laporan bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Laporan Bulanan Kontrak Investasi
Kolektif Efek Beragun Aset mutatis mutandis berlaku bagi
Manajer Investasi dari Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset Syariah.
Pasal 14
Ketentuan mengenai kewajiban pelaporan hasil penjualan
Efek Beragun Aset yang ditawarkan melalui Penawaran
Umum, laporan kepada setiap pemegang Efek Beragun Aset
setiap bulan, laporan keuangan tahunan, dan laporan
penggantian Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
- 12 -
mengatur mengenai fungsi Manajer Investasi berkaitan
dengan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) mutatis
mutandis berlaku bagi Manajer Investasi dari Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah.
Pasal 15
Ketentuan mengenai kewajiban melaporkan jika Manajer
Investasi melakukan kegiatan yang dapat merugikan
pemegang Efek Beragun Aset sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur
mengenai fungsi Bank Kustodian berkaitan
dengan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) mutatis
mutandis berlaku bagi Bank Kustodian dari Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah.
Pasal 16
Ketentuan mengenai kewajiban pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset
Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan
Sekunder Perumahan mutatis mutandis berlaku bagi EBAS-
SP.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 17
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
- 13 -
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g.
Pasal 18
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 19
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 kepada masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
(1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim
Ahli Syariah memiliki izin Ahli Syariah Pasar Modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan
Pasal 11 ayat (2) selama 2 (dua) tahun sejak Peraturan
- 14 -
Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dapat digantikan
oleh orang perseorangan yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah
Pasar Modal sepanjang yang bersangkutan melapor
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam)
bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal.
(2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas
Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah meskipun belum
memiliki izin Ahli Syariah Pasar Modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (2)
paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar
Modal.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tentang
Penerbitan Efek Syariah tanggal 30 Juni 2009 beserta
Peraturan Nomor IX.A.13 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 22
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 15 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 271
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 20/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH </reg_title>
<set_date> 3 November 2015 </set_date>
<effective_date> 10 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 10 November 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR: 3/POJK.05/2013
TENTANG
LAPORAN BULANAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan sistem pengaturan
dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan non-bank,
diperlukan data dan informasi mengenai kondisi keuangan
dan kegiatan usaha lembaga jasa keuangan non-bank yang
lebih komprehensif, berkualitas dan cepat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bulanan Lembaga
Jasa Keuangan Non-Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3477);
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4957;
4. Undang...
- 2 -
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5253);
5. Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Pembiayaan Sekunder Perumahan, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2008;
6. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga
Penjaminan;
7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN
BULANAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, yang selanjutnya
disingkat LJKNB, adalah lembaga yang melaksanakan
kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, yang
meliputi:
a. Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi
Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi, termasuk yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya
dengan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai usaha perasuransian;
b. Perusahaan...
- 3 -
b. Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan program
asuransi sosial sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai usaha perasuransian;
c. Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai dana pensiun;
d. Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura,
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur termasuk yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
lembaga pembiayaan;
e. Pergadaian, Lembaga Penjaminan, Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia, Perusahaan Pembiayaan Sekunder
Perumahan, dan Lembaga yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,
meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun,
dan kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian,
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta
lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi
oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Laporan Bulanan LJKNB, selanjutnya disingkat Laporan
Bulanan, adalah laporan keuangan yang disusun oleh
LJKNB untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang
meliputi periode tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang
bersangkutan dan disajikan serta disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai format dan tata cara yang
ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
3. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK,
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2012 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
4. Penyampaian...
- 4 -
4. Penyampaian Laporan Bulanan Secara Offline adalah
penyampaian Laporan Bulanan secara fisik oleh LJKNB
dalam bentuk rekaman data yang disimpan dalam compact
disc atau media perekaman data elektronik lainnya kepada
OJK.
BAB II
PENYUSUNAN LAPORAN BULANAN
Pasal 2
(1) LJKNB wajib menyusun Laporan Bulanan secara benar,
lengkap dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan OJK ini.
(2) Direksi, komisaris, atau organ yang melaksanakan fungsi
pengurusan dan pengawasan dari LJKNB bertanggung
jawab atas kebenaran, kelengkapan isi serta ketepatan
waktu penyampaian Laporan Bulanan.
(3) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. laporan posisi keuangan;
b. laporan laba rugi komprehensif;
c. laporan perhitungan hasil usaha;
d. laporan arus kas;
e. laporan analisis kesesuaian aset dan liabilitas; dan
f. laporan lain sesuai karakteristik masing-masing LJKNB.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
tidak berlaku bagi Dana Pensiun.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
hanya berlaku bagi Dana Pensiun.
(6) Bentuk dan susunan Laporan Bulanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran OJK.
BAB III...
- 5 -
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN
Pasal 3
(1) LJKNB wajib menyampaikan Laporan Bulanan kepada OJK
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
(2) Dalam hal tanggal 10 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(3) Dalam hal tanggal penyampaian Laporan Bulanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) jatuh
pada hari libur nasional atau libur bersama, maka OJK
berwenang menetapkan tanggal jatuh tempo penyampaian
Laporan Bulanan.
Pasal 4
(1) Penyampaian Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan secara online melalui
sistem jaringan komunikasi data OJK.
(2) Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia,
LJKNB wajib menyampaikan Laporan Bulanan secara
online melalui alamat email yang ditetapkan oleh OJK.
(3) Alamat email LJKNB yang digunakan untuk penyampaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan
secara tertulis kepada OJK.
(4) LJKNB menunjuk anggota direksi atau pejabat yang setara
pada LJKNB yang bertanggung jawab atas penyusunan dan
penyajian Laporan Bulanan.
(5) Anggota direksi atau pejabat sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) menunjuk petugas untuk menyusun, memverifikasi
dan menyampaikan Laporan Bulanan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
Laporan Bulanan akan diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran OJK.
Pasal 5...
- 6 -
Pasal 5
(1) Dalam hal terjadi gangguan teknis pada saat batas waktu
penyampaian Laporan Bulanan sehingga:
a. LJKNB tidak dapat menyampaikan Laporan Bulanan
secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat
(1); dan/atau
b. OJK tidak dapat menerima Laporan Bulanan secara
online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1),
maka LJKNB wajib menyampaikan Laporan Bulanan
Secara Offline paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(2) Dalam hal LJKNB mengalami gangguan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), LJKNB wajib segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada OJK
pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan teknis.
(3) Dalam hal OJK mengalami gangguan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mengumumkan secara
tertulis kepada LJKNB pada hari yang sama setelah
terjadinya gangguan teknis.
BAB IV
SANKSI
Pasal 6
(1) OJK mengenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis kepada LJKNB yang melakukan pelanggaran
berupa:
a. belum menyampaikan Laporan Bulanan;
b. telah menyampaikan Laporan Bulanan tetapi terlambat;
atau
c. menyampaikan Laporan Bulanan tetapi tidak benar
dan/atau tidak lengkap.
(2) Sanksi...
- 7 -
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis dikenakan
paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut, yaitu:
a. teguran tertulis pertama;
b. teguran tertulis kedua; dan
c. teguran tertulis ketiga.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan
jika:
a. LJKNB belum menyampaikan Laporan Bulanan;
b. LJKNB terlambat menyampaikan Laporan Bulanan; atau
c. diketahui Laporan Bulanan tidak benar dan/atau tidak
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(4) Sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua dan
ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c ditetapkan jika setelah ditetapkannya teguran
tertulis pertama atau kedua, LJKNB:
a. belum menyampaikan Laporan Bulanan; atau
b. belum menyampaikan perbaikan atas Laporan Bulanan
yang oleh OJK dinyatakan tidak benar dan/atau tidak
lengkap.
(5) Dalam hal LJKNB telah dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c dan belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b
atau dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya
teguran tertulis ketiga kembali terbukti melakukan satu
atau lebih pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK dapat:
a. menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis
tanpa memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4);
b. mewajibkan anggota direksi atau pejabat yang setara
pada LJKNB dimaksud untuk menjalani penilaian
kemampuan dan kepatutan ulang; atau
c. menginformasikan...
- 8 -
c. menginformasikan kepada Pemerintah mengenai
pengenaan sanksi teguran tertulis dimaksud, dalam hal
LJKNB secara khusus dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau dibentuk oleh Pemerintah.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
(1) LJKNB berupa Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian
usahanya dengan prinsip syariah wajib menyampaikan
Laporan Bulanan untuk periode laporan bulan September
2013 sampai dengan periode Laporan bulan Agustus 2014
paling lambat akhir bulan berikutnya.
(2) LJKNB berupa Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi tidak diwajibkan menyampaikan Laporan
Bulanan untuk periode bulan September 2013, Desember
2013, Maret 2014 dan Juni 2014.
(3) LJKNB berupa PT ASKES (Persero) wajib menyampaikan
Laporan Bulanan untuk periode tahun 2013 yaitu hanya
untuk bulan Oktober 2013 dan November 2013 paling
lambat akhir bulan berikutnya.
(4) LJKNB berupa PT ASABRI (Persero), PT Jasa Raharja
(Persero), dan PT Taspen (Persero), wajib menyampaikan
Laporan Bulanan untuk periode laporan bulan September
2013 sampai dengan periode laporan bulan Agustus 2014
paling lambat akhir bulan berikutnya.
(5) LJKNB berupa PT ASABRI (Persero), PT Jasa Raharja
(Persero) dan PT Taspen (Persero) tidak diwajibkan
menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode bulan
September 2013, Desember 2013, Maret 2014 dan Juni
2014.
(6) LJKNB...
- 9 -
(6) LJKNB berupa Perusahaan Pembiayaan, Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia, Perusahaan Pembiayaan
Sekunder Perumahan dan Perusahaan Penjaminan Kredit,
wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode
laporan bulan September 2013 sampai dengan periode
Laporan bulan Agustus 2014 paling lambat tanggal
15 bulan berikutnya.
(7) LJKNB berupa PT Jamsostek (Persero) hanya wajib
menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode tahun
2013 yaitu bulan Oktober 2013 dan November 2013 paling
lambat akhir bulan berikutnya.
(8) LJKNB berupa Perusahaan Modal Ventura, Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur, PT Pegadaian dan Dana Pensiun
wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode
laporan bulan September 2013 sampai dengan periode
laporan bulan Agustus 2014 paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya.
(9) Dalam hal jangka waktu terakhir penyampaian Laporan
Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),
ayat (4), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8) jatuh pada hari libur,
maka Laporan Bulanan wajib disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
Pasal 8
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku Dana Pensiun tidak
wajib menyampaikan daftar investasi bulanan kepada OJK.
Pasal 9
(1) Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, penyusunan
dan penyampaian Laporan Bulanan LKJNB tunduk pada
Peraturan OJK ini dan peraturan pelaksanannya.
(2) Jangka waktu kewajiban penyampaian Laporan Bulanan
untuk periode laporan bulan September 2014 dan periode
laporan bulan berikutnya tunduk pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
BAB VI...
- 10 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Ketentuan pelaksanaan Peraturan OJK ini diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 11
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai laporan LJKNB, dinyatakan tetap berlaku selama
tidak bertentangan dengan Peraturan OJK ini.
Pasal 12
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 September 2013
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 September 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 150
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA DIVISI BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 3/POJK.05/2013 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BULANAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 12 September 2013 </set_date>
<effective_date> 12 September 2013 </effective_date>
<issued_date> 12 September 2013 </issued_date>
<related_reg> '2/UU/1992', '11/UU/1992', '2/UU/2009', '21/UU/2011', '19/PERPRES/2005', '1/PERPRES/2008', '2/PERPRES/2008', '9/PERPRES/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 14 /POJK.03/2017
TENTANG
RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) BAGI BANK SISTEMIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (4),
Pasal 19 ayat (4), dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan
Krisis Sistem Keuangan, perlu menetapkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi
Bank Sistemik;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
- 2 -
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5872);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) BAGI BANK SISTEMIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, dan bank umum syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, tidak termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
2. Bank Sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset,
modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas
transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan
sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya
sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa
- 3 -
keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika
Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
3. Rencana Aksi (Recovery Plan) adalah rencana untuk
mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi
di Bank Sistemik.
4. Opsi Pemulihan (Recovery Options) adalah pilihan
tindakan yang ditetapkan akan dilakukan Bank Sistemik
untuk merespon tekanan keuangan (financial stress) yang
dialami
memulihkan maupun memperbaiki kondisi keuangan
serta kelangsungan usaha Bank Sistemik (viability).
5. Direksi adalah:
a. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
c. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
6. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
oleh Bank Sistemik dalam mencegah,
- 4 -
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
d. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
7. Pemegang Saham Pengendali bagi Bank Sistemik yang
selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang
perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank Sistemik
sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari
jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai
hak suara; atau
b. memiliki saham perusahaan atau Bank Sistemik
kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai
hak suara namun yang bersangkutan dapat
dibuktikan telah melakukan pengendalian
perusahaan atau Bank Sistemik, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
8. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya
disingkat RUPS, adalah:
a. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah RUPS sebagaimana
- 5 -
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Perusahaan Umum Daerah adalah kepala daerah
selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Perusahaan Perseroan Daerah adalah rapat umum
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
d. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum
Koperasi adalah rapat anggota sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian.
9. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 2
Bank Sistemik wajib menyusun dan menyampaikan Rencana
Aksi (Recovery Plan) kepada OJK.
- 6 -
Pasal 3
(1) Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 wajib memperoleh persetujuan pemegang
saham dalam RUPS.
(2) Dalam hal Rencana Aksi (Recovery Plan) disampaikan
kepada OJK belum memperoleh persetujuan pemegang
saham dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Sistemik wajib meminta persetujuan Rencana
Aksi (Recovery Plan) pada RUPS berikutnya.
Pasal 4
Penyampaian Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada OJK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib ditandatangani
oleh direktur utama, komisaris utama, dan PSP.
Pasal 5
Direksi wajib:
a. menyusun Rencana Aksi (Recovery Plan) secara realistis
dan komprehensif;
b. menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada
pemegang saham pada RUPS untuk memperoleh
persetujuan;
c. mengkomunikasikan Rencana Aksi (Recovery Plan)
kepada seluruh jenjang atau tingkatan organisasi Bank
Sistemik;
d. melakukan evaluasi dan pengujian (stress testing)
Rencana Aksi (Recovery Plan) secara berkala; dan
e. mengimplementasikan Rencana Aksi (Recovery Plan)
secara efektif dan tepat waktu.
Pasal 6
(1) Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 wajib memperoleh persetujuan dari Dewan
Komisaris.
- 7 -
(2) Dewan Komisaris wajib melakukan:
a. pengawasan terhadap implementasi Rencana Aksi
(Recovery Plan); dan
b. evaluasi terhadap implementasi Rencana Aksi
(Recovery Plan).
BAB II
PEDOMAN RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN)
Pasal 7
(1) Bank Sistemik harus memiliki pedoman Rencana Aksi
(Recovery Plan) yang paling sedikit memuat:
a. pihak yang berperan dan bertanggung jawab dalam:
1. menyusun Rencana Aksi (Recovery Plan);
2. menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan);
dan
3. mengkomunikasikan Rencana Aksi (Recovery
Plan) kepada seluruh jenjang atau tingkatan
organisasi Bank Sistemik;
b. pihak yang berperan dan bertanggung jawab dalam
melakukan evaluasi dan pengujian (stress testing)
Rencana Aksi (Recovery Plan); dan
c. pihak yang berperan dan bertanggung jawab dalam
implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan).
(2) Untuk mendukung implementasi Rencana Aksi (Recovery
Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
pedoman Rencana Aksi (Recovery Plan) juga memuat
paling sedikit:
a. prosedur untuk memastikan implementasi Rencana
Aksi (Recovery Plan) tepat waktu; dan
b. prosedur pengambilan keputusan dan prosedur
eskalasi dalam pengambilan keputusan.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Sistemik dapat membentuk
grup manajemen krisis untuk mengimplementasikan
Rencana Aksi (Recovery Plan).
- 8 -
(4) Grup manajemen krisis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilengkapi dengan pedoman yang paling sedikit
memuat prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 8
Pedoman Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 disusun dengan memperhatikan
prinsip tata kelola pada Bank.
Pasal 9
Bank Sistemik wajib mengembangkan sistem informasi
manajemen yang andal untuk mendukung evaluasi dan
pengujian (stress testing) Rencana Aksi (Recovery Plan), serta
implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan).
BAB III
CAKUPAN RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN)
Pasal 10
Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 paling sedikit memuat:
a. ringkasan eksekutif;
b. gambaran umum Bank Sistemik;
c. Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan
d. pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan).
Bagian Kesatu
Ringkasan Eksekutif
Pasal 11
Ringkasan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a paling sedikit meliputi ringkasan mengenai:
a. gambaran umum Bank Sistemik;
b. Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan
c. pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan).
- 9 -
Bagian Kedua
Gambaran Umum Bank Sistemik
Pasal 12
Gambaran umum Bank Sistemik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b paling sedikit meliputi:
a. kondisi Bank Sistemik;
b.
c. struktur kelompok usaha Bank Sistemik;
d. keterkaitan usaha Bank Sistemik; dan
e.
lini bisnis, jaringan kantor, dan perusahaan anak Bank
Sistemik yang material;
analisis skenario dampak perubahan kondisi Bank
Sistemik.
Pasal 13
Kondisi Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf a menguraikan paling sedikit mengenai:
a. kepemilikan;
b. aspek bisnis dan kinerja;
c. rencana bisnis;
d. strategi pengelolaan risiko;
e. jaringan kantor; dan
f. perusahaan anak.
Pasal 14
(1) Lini bisnis, jaringan kantor, dan perusahaan anak Bank
Sistemik yang material sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf b menguraikan mengenai lini bisnis,
jaringan kantor, dan perusahaan anak Bank Sistemik
yang memiliki kriteria paling sedikit:
a. berkontribusi dalam aktivitas pencapaian laba,
penghimpunan dana, penyaluran dana, termasuk
terhadap kinerja keuangan Bank Sistemik secara
signifikan;
b. menanggung risiko besar dalam skenario terburuk
yang dapat membahayakan kelangsungan usaha
- 10 -
Bank Sistemik secara individu dan secara
konsolidasi;
c.
tidak dapat dibubarkan atau ditutup tanpa memicu
risiko yang besar terhadap Bank Sistemik;
d. berperan penting bagi stabilitas keuangan Bank
Sistemik; dan/atau
e. melakukan aktivitas operasional dan aktivitas
pengelolaan risiko yang mendukung langsung
pelaksanaan fungsi bisnis, termasuk keterkaitan
operasional terhadap suatu fungsi dengan fungsi
lain dalam Bank Sistemik.
(2) Bank Sistemik harus mengungkapkan kriteria material
dari lini bisnis, jaringan kantor, dan perusahaan anak
Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 15
Struktur kelompok usaha Bank Sistemik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf c menguraikan struktur
usaha yang terkait dengan Bank Sistemik, termasuk badan
hukum pemilik Bank Sistemik sampai dengan ultimate
shareholders dan perusahaan terelasi (sister company).
Pasal 16
(1) Keterkaitan usaha Bank Sistemik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf d meliputi keterkaitan usaha yang
material baik secara intra-grup maupun secara eksternal.
(2) Keterkaitan usaha Bank Sistemik yang material secara
intra-grup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit menguraikan hubungan keuangan, penyertaan
modal, dan kesepakatan dukungan keuangan intra-grup.
(3) Keterkaitan usaha Bank Sistemik yang material secara
eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit menguraikan mengenai eksposur, kewajiban,
produk dan/atau jasa, yang signifikan kepada mitra
bisnis utama.
- 11 -
(4) Bank Sistemik harus mengungkapkan kriteria material
dari keterkaitan usaha Bank Sistemik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17
Analisis skenario dampak perubahan kondisi Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e meliputi
analisis skenario terhadap kondisi stress yang terjadi pada
Bank Sistemik:
a. secara individu (idiosyncratic); dan
b. secara eksternal yang terjadi di pasar keuangan secara
keseluruhan yang dapat bersifat domestik maupun
internasional (market-wide shock),
terhadap kondisi permodalan, likuiditas, rentabilitas, dan
kualitas aset.
Bagian Ketiga
Opsi Pemulihan (Recovery Options)
Pasal 18
(1) Bank Sistemik wajib menyusun dan menetapkan Opsi
Pemulihan (Recovery Options) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf c secara rinci disertai tahapan
pelaksanaan secara realistis.
(2) Penetapan Opsi Pemulihan
(Recovery Options)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:
a. indikator yang digunakan dalam Rencana Aksi
(Recovery Plan); dan
b.
trigger level dari setiap indikator yang digunakan
dalam Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, untuk mengaktivasi
implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan).
Pasal 19
(1) Dalam penyusunan dan penetapan Opsi Pemulihan
(Recovery Options) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1), Bank Sistemik wajib menetapkan indikator
- 12 -
yang digunakan dalam Rencana Aksi (Recovery Plan)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a,
yang meliputi:
a. permodalan;
b.
c.
likuiditas;
rentabilitas; dan
d. kualitas aset.
(2) Indikator permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a.
rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM); dan
b. rasio modal inti utama (Common Equity Tier 1/
CET 1).
(3) Indikator likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b paling sedikit terdiri atas:
a.
rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah;
b. rasio kecukupan likuiditas (Liquidity Coverage
Ratio/LCR); dan
c.
rasio pendanaan stabil bersih (Net Stable Funding
Ratio/NSFR).
(4) Indikator rentabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c paling sedikit terdiri atas:
a.
b.
c.
rasio Return on Asset (ROA);
rasio Return on Equity (ROE); dan
rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan
Operasional (BOPO).
(5) Indikator kualitas aset sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d paling sedikit terdiri atas:
a.
b. rasio NPL net atau rasio NPF net.
(6) Dalam hal belum terdapat indikator likuiditas lain selain
rasio GWM dalam rupiah, indikator likuiditas bagi Bank
Sistemik yang merupakan bank umum syariah paling
sedikit adalah rasio GWM dalam rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a.
rasio Non Performing Loan (NPL) gross atau rasio
Non Performing Financing (NPF) gross; dan
- 13 -
Pasal 20
(1) Selain indikator yang digunakan dalam Rencana Aksi
(Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
Bank Sistemik dapat menetapkan indikator lain yang
bersifat kualitatif, yang menurut penilaian Bank Sistemik
dapat menimbulkan permasalahan terhadap kondisi
keuangan Bank Sistemik secara signifikan.
(2) Bank Sistemik menetapkan Opsi Pemulihan (Recovery
Options) terhadap indikator lain yang bersifat kualitatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 21
(1) Bank Sistemik menetapkan trigger level dari setiap
indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
huruf b, untuk melaksanakan Opsi Pemulihan (Recovery
Options).
(2) Dalam hal terdapat ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai indikator permodalan, likuiditas,
rentabilitas dan/atau kualitas aset, Bank Sistemik wajib
menetapkan trigger level paling sedikit sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Trigger level yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi penerapan Rencana Aksi (Recovery
Plan) untuk tujuan:
a. pencegahan sehingga Bank Sistemik tetap dapat
menjaga ukuran atau rasio yang sama atau lebih
baik dari ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. pemulihan sehingga Bank Sistemik tidak lagi
melanggar ukuran atau rasio dari indikator sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
c. perbaikan dari kondisi yang membahayakan
kelangsungan usaha Bank Sistemik.
- 14 -
Pasal 22
(1) Bank Sistemik dalam menyusun dan menetapkan Opsi
Pemulihan (Recovery Options) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) wajib disertai:
a. urutan pilihan pelaksanaan Opsi Pemulihan
(Recovery Options), dalam hal terjadi kondisi yang
mengharuskan Bank Sistemik melaksanakan Opsi
Pemulihan (Recovery Options);
b.
c.
d.
analisis atau penilaian kelayakan dari setiap Opsi
Pemulihan (Recovery Options);
analisis atau penilaian terhadap dampak dari setiap
Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan
analisis atau penilaian terhadap jangka waktu yang
diharapkan untuk pelaksanaan dan efektivitas dari
setiap Opsi Pemulihan (Recovery Options).
(2) Analisis atau penilaian kelayakan dari setiap Opsi
Pemulihan (Recovery Options) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, paling sedikit meliputi:
a. penilaian risiko yang terkait dengan Opsi Pemulihan
(Recovery Options), yang didasarkan atas
pengalaman dalam menerapkan Opsi Pemulihan
(Recovery Options) atau ukuran lain yang relevan;
b.
analisis mengenai hambatan yang material dalam
penerapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) secara
tepat waktu dan penjelasan cara mengatasi
hambatan; dan
c.
penilaian kecukupan dukungan operasional pada
setiap Opsi Pemulihan (Recovery Options).
Pasal 23
(1) Dalam penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options)
untuk permasalahan permodalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, Bank Sistemik wajib
menetapkan Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa:
a. penambahan modal Bank Sistemik dan mengubah
jenis utang atau investasi tertentu menjadi modal
- 15 -
Bank Sistemik, yang menjadi kewajiban PSP
dan/atau ultimate shareholders; dan/atau
b. penambahan modal Bank Sistemik dan mengubah
jenis utang atau investasi tertentu menjadi modal
Bank Sistemik, yang mengikutsertakan pihak lain.
(2) Kewajiban penambahan modal oleh PSP dan/atau
ultimate shareholders sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dapat dilakukan melalui:
a. setoran modal;
b. menunda pembagian dividen;
c. pembagian dividen saham (stock dividend); dan/atau
d. memperhitungkan akumulasi kerugian menjadi
beban pemegang saham sesuai dengan urutan
tanggung jawab pemegang saham berdasarkan jenis
saham yang dimiliki; dan
(3) Kewajiban dalam mengubah jenis utang atau investasi
tertentu menjadi modal oleh PSP dan/atau ultimate
shareholders sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan dengan cara:
a.
konversi instrumen utang atau investasi yang
memiliki karakteristik modal milik pemegang saham
menjadi saham biasa; dan/atau
b. write-down bagi instrumen utang atau investasi yang
memiliki karakteristik modal milik pemegang saham.
(4) Kewajiban penambahan modal yang mengikutsertakan
pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dapat dilakukan melalui:
a. penerbitan saham melalui penawaran umum (right
issue); dan/atau
b. penerbitan saham tidak melalui penawaran umum
(private placement); dan
(5) Kewajiban dalam mengubah jenis utang atau investasi
tertentu menjadi modal yang mengikutsertakan pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
dilakukan dengan cara:
- 16 -
a. konversi instrumen utang atau investasi yang
memiliki karakteristik modal milik pihak lain
menjadi saham biasa; dan/atau
b. write-down bagi instrumen utang atau investasi yang
memiliki karakteristik modal milik pihak lain.
(6) Bank Sistemik wajib terlebih dahulu melaksanakan Opsi
Pemulihan (Recovery Options) berupa peningkatan modal
yang menjadi kewajiban PSP dan/atau ultimate
shareholders sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 24
(1) Dalam rangka penerapan Opsi Pemulihan (Recovery
Options) berupa kewajiban dalam mengubah jenis utang
atau investasi tertentu menjadi modal Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat
(5), Bank Sistemik wajib memiliki instrumen utang atau
investasi yang memiliki karakteristik modal.
(2) Penetapan jumlah instrumen utang atau investasi yang
memiliki karakteristik modal yang wajib dimiliki oleh
Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memperhatikan:
a. ketahanan permodalan Bank Sistemik berdasarkan
analisis skenario dampak perubahan dari kondisi
Bank Sistemik secara individu (idiosyncratic) dan
kondisi Bank Sistemik secara eksternal yang terjadi
di pasar keuangan secara keseluruhan yang dapat
bersifat domestik maupun internasional (market-
wide shock); dan
b. dampak penerbitan instrumen utang atau investasi
yang memiliki karakteristik modal terhadap
rentabilitas.
Pasal 25
Dalam penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) untuk
permasalahan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam
- 17 -
Pasal 19 ayat (1) huruf b, Bank Sistemik dapat menetapkan
Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa:
a. kepemilikan credit line di pasar uang;
b. pengajuan pinjaman likuiditas jangka pendek atau
pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan
prinsip syariah kepada Bank Indonesia; dan/atau
c. Opsi Pemulihan (Recovery Options) lain.
Pasal 26
Dalam penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) untuk
permasalahan rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) huruf c, Bank Sistemik dapat menetapkan
Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa:
a. peningkatan aktivitas penagihan;
b. program efisiensi biaya;
c. penjualan aset tetap; dan/atau
d. Opsi Pemulihan (Recovery Options) lain.
Pasal 27
Dalam penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) untuk
permasalahan kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) huruf d, Bank Sistemik dapat menetapkan
Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa:
a. restrukturisasi kredit;
b. hapus buku aset produktif; dan/atau
c. Opsi Pemulihan (Recovery Options) lain.
Bagian Keempat
Pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan)
Pasal 28
(1) Pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d
disampaikan kepada:
a. pihak internal; dan
b. pihak eksternal;
- 18 -
(2) Pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada
pihak internal dan pihak eksternal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat gambaran umum
mengenai:
a. tindakan yang akan dilakukan oleh Bank Sistemik
untuk mengatasi permasalahan keuangan yang
akan terjadi di Bank Sistemik; dan
b. mekanisme pengelolaan terhadap potensi reaksi
pasar yang negatif dalam hal Rencana Aksi (Recovery
Plan) diimplementasikan.
BAB IV
IMPLEMENTASI, EVALUASI DAN PENGUJIAN
(STRESS TESTING), SERTA PENGKINIAN RENCANA AKSI
(RECOVERY PLAN)
Pasal 29
Bank Sistemik wajib mengimplementasikan Rencana Aksi
(Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada
saat trigger level yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) terpenuhi.
Pasal 30
(1) Direksi wajib melakukan evaluasi dan pengujian (stress
testing) Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 secara berkala untuk menilai
kelayakan Rencana Aksi (Recovery Plan).
(2) Evaluasi dan pengujian (stress testing) Rencana Aksi
(Recovery Plan) secara berkala sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun atau berdasarkan kondisi tertentu
yang akan berpengaruh signifikan kepada Bank Sistemik.
(3) Penetapan kondisi tertentu yang akan berpengaruh
signifikan kepada Bank Sistemik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan atas penilaian Bank
Sistemik atau atas penilaian OJK.
- 19 -
(4) Hasil evaluasi dan pengujian (stress testing) Rencana Aksi
(Recovery Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan oleh Direksi kepada Dewan Komisaris.
Pasal 31
(1) Bank Sistemik wajib melakukan pengkinian Rencana
Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun.
(2) Pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang memuat perubahan:
a.
trigger level;
b. Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan/atau
c. pemenuhan kecukupan dan kelayakan instrumen
utang atau investasi yang memiliki karakteristik
modal yang dimiliki oleh Bank Sistemik,
wajib memperoleh persetujuan pemegang saham dalam
RUPS.
(3) Dalam hal pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada OJK belum memperoleh persetujuan dalam
RUPS, Bank Sistemik wajib meminta persetujuan
Rencana Aksi (Recovery Plan) pada RUPS berikutnya.
BAB V
PENYAMPAIAN RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN)
Pasal 32
Bagi Bank yang telah ditetapkan sebagai Bank Sistemik
sebelum Peraturan OJK ini berlaku, wajib menyampaikan
Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 kepada OJK untuk pertama kali paling lambat tanggal
29 Desember 2017.
Pasal 33
Bagi Bank yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik pada saat
atau setelah berlakunya Peraturan OJK ini, wajib menyusun
- 20 -
dan menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada OJK
paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sebagai Bank
Sistemik.
Pasal 34
(1) Bank Sistemik wajib menyampaikan pengkinian Rencana
Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 kepada OJK paling lama:
a. akhir bulan November bagi pengkinian Rencana Aksi
(Recovery Plan) secara berkala; dan/atau
b. 1 (satu) bulan setelah evaluasi dan pengujian (stress
testing) Rencana Aksi (Recovery Plan) berdasarkan
kondisi tertentu yang akan berpengaruh signifikan
bagi Bank Sistemik.
(2) Penyampaian pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
hasil evaluasi dan pengujian (stress testing) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 disertai dengan:
a. kelayakan trigger level;
b. kelayakan Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan
c. pemenuhan kecukupan dan kelayakan instrumen
utang atau investasi yang memiliki karakteristik
modal yang dimiliki oleh Bank Sistemik.
(3) Penyampaian pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib
ditandatangani oleh direktur utama dan komisaris
utama.
(4) Dalam hal pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan)
meliputi perubahan:
a.
trigger level;
b. Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan/atau
c. pemenuhan kecukupan dan kelayakan instrumen
utang atau investasi yang memiliki karakteristik
modal,
penyampaian pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain wajib
- 21 -
ditandatangani oleh direktur utama dan komisaris utama
juga ditandatangani oleh PSP.
Pasal 35
(1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
kelengkapan Rencana Aksi (Recovery Plan) yang
disampaikan oleh Bank Sistemik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1).
(2) Dalam hal berdasarkan penilaian oleh OJK, Rencana Aksi
(Recovery Plan) yang disampaikan oleh Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, Bank
Sistemik wajib melakukan perbaikan Rencana Aksi
(Recovery Plan) dan menyampaikan kepada OJK paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak perintah perbaikan
Rencana Aksi (Recovery Plan).
Pasal 36
Dalam hal batas waktu penyampaian Rencana Aksi (Recovery
Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal
34 ayat (1), dan/atau Pasal 35 ayat (2) jatuh pada hari libur,
penyampaian Rencana Aksi (Recovery Plan) paling lambat
pada hari kerja berikutnya.
BAB VI
PEMENUHAN KEWAJIBAN INSTRUMEN UTANG ATAU
INVESTASI YANG MEMILIKI KARAKTERISTIK MODAL
Pasal 37
(1) Pemenuhan kewajiban memiliki instrumen utang atau
investasi yang memiliki karakteristik modal untuk Bank
yang telah ditetapkan
sebagai Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, wajib dipenuhi
oleh Bank Sistemik paling lambat tanggal 31 Desember
2018.
(2) Pemenuhan kewajiban memiliki instrumen utang atau
investasi yang memiliki karakteristik modal untuk Bank
yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik sebagaimana
- 22 -
dimaksud dalam Pasal 33, wajib dipenuhi oleh Bank
Sistemik paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak
Rencana Aksi (Recovery Plan) diterima secara lengkap
oleh OJK.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 38
Dalam hal Bank Sistemik telah melaksanakan Rencana Aksi
(Recovery Plan) namun kondisi Bank Sistemik tidak
menunjukkan perbaikan, OJK dapat menetapkan tindakan
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 39
Bank Sistemik yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6 ayat (1),
Pasal 9, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 ayat (2),
Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (6), Pasal 24,
Pasal 29, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1),
Pasal 34 ayat (3), Pasal 34 ayat (4), Pasal 35 ayat (2), dan/atau
Pasal 37 dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, berupa:
a. teguran tertulis;
b. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha;
c. larangan pembukaan jaringan kantor;
d. penurunan tingkat kesehatan Bank Sistemik;
- 23 -
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
f. pencantuman anggota Direksi, Dewan Komisaris, pejabat
eksekutif, dan/atau pemegang saham Bank Sistemik
dalam daftar pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus
dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test).
Pasal 40
(1) Bank Sistemik yang terlambat memenuhi kewajiban
penyampaian Rencana Aksi (Recovery Plan) untuk
pertama kali, pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan),
dan/atau perbaikan Rencana Aksi (Recovery Plan)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33,
Pasal 34 ayat (1), dan/atau Pasal 35 ayat (2), dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan
atau paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapus
kewajiban Bank Sistemik untuk menyampaikan Rencana
Aksi (Recovery Plan), pengkinian Rencana Aksi (Recovery
Plan), atau perbaikan Rencana Aksi (Recovery Plan)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33,
Pasal 34 ayat (1), dan/atau Pasal 35 ayat (2).
Pasal 41
Bank Sistemik yang terlambat memenuhi kewajiban memiliki
instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik
modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dikenakan
sanksi administratif berupa:
1. penurunan terhadap penilaian faktor tata kelola dalam
tingkat kesehatan Bank; dan
2. pengumuman mengenai ketidakpatuhan Bank Sistemik
dalam pemenuhan kewajiban kepemilikan instrumen
- 24 -
utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal,
dalam situs OJK.
Pasal 42
Direksi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 30 ayat (1) atau Dewan
Komisaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. pencantuman anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris dalam daftar pihak yang mendapat predikat
Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test).
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
- 25 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 64
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 14 /POJK.03/2017
TENTANG
RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) BAGI BANK SISTEMIK
I. UMUM
Stabilitas dalam sistem keuangan merupakan kondisi yang selalu
diupayakan untuk dicapai dan dipertahankan dalam rangka mendukung
perekonomian nasional menuju kepada kesejahteraan masyarakat
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan stabilitas sistem
keuangan yang kokoh guna menghadapi ancaman krisis keuangan yang
disebabkan tekanan terhadap kondisi keuangan baik dari dalam negeri
maupun luar negeri, telah ditetapkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan (UU PPKSK).
Salah satu upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem
keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU PPKSK adalah dengan
melakukan pencegahan dan penanganan terhadap permasalahan Bank
Sistemik (Systemically Important Bank) yang merupakan bagian penting
dari sistem keuangan. Oleh karena itu Bank Sistemik harus dapat
menetapkan rencana yang akan dilakukan apabila Bank Sistemik
mengalami kondisi tekanan keuangan (financial stress) yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha. Rencana tersebut dituangkan
dalam bentuk Rencana Aksi (Recovery Plan).
- 2 -
Rencana Aksi (Recovery Plan) yang disusun Bank Sistemik akan
memuat berbagai skenario yang bertujuan untuk mencegah, memulihkan,
dan/atau memperbaiki kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha
Bank Sistemik.
Rencana Aksi (Recovery Plan) Bank yang ditetapkan sebagai Bank
Sistemik, ditekankan pada penanganan permasalahan Bank Sistemik
yang diutamakan menggunakan sumber daya Bank Sistemik itu sendiri
dan pendekatan bisnis tanpa menggunakan anggaran negara. Oleh karena
itu Rencana Aksi (Recovery Plan) yang di dalamnya memuat berbagai
skenario penanganan permasalahan Bank Sistemik merupakan komitmen
Bank Sistemik, pemegang saham pengendali dan/atau pihak lain.
Dalam penerapan, meskipun Bank Sistemik telah menetapkan dan
mengimplementasikan Rencana Aksi (Recovery Plan), dalam hal langkah
perbaikan yang dilakukan oleh Bank Sistemik dinilai OJK tidak
mencukupi, OJK dapat memberikan tambahan tindakan pengawasan lain.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Kewajiban Rencana Aksi (Recovery Plan) memperoleh
persetujuan RUPS mengingat dalam Rencana Aksi (Recovery
Plan) memuat peranan pemegang saham khususnya PSP untuk
memperbaiki kondisi keuangan melalui penambahan modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Persetujuan dari Dewan Komisaris atas Rencana Aksi (Recovery
Plan) diberikan sebelum persetujuan pemegang saham dalam
RUPS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak yang berperan dan
bertanggung jawab dalam implementasi Rencana Aksi
(Recovery Plan)”, antara lain adalah pihak internal dan
pihak terkait lain, termasuk satuan kerja terkait, sesuai
dengan fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab yang
ditetapkan oleh Bank Sistemik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Grup manajemen krisis (crisis management group) dapat
berbentuk satuan kerja khusus atau gugus tugas (task force)
yang terdiri dari pihak internal, dan pihak yang mempunyai
kompetensi mengatasi permasalahan keuangan Bank Sistemik
jika diperlukan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk kriteria perusahaan anak adalah grup usaha dari
perusahaan anak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “ultimate shareholders” mengacu pada
ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Yang dimaksud dengan “perusahaan terelasi (sister company)”
mengacu pada Peraturan OJK mengenai penerapan manajemen risiko
terintegrasi bagi konglomerasi keuangan.
- 5 -
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kesepakatan dukungan keuangan intra-grup antara lain
termasuk jaminan, pinjaman, dan komitmen yang diberikan
atau diperoleh Bank Sistemik dari grup usahanya.
Ayat (3)
Mitra bisnis (counterparties) antara lain nasabah, pemasok,
rekanan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “trigger level” adalah tingkatan
dimana Opsi Pemulihan (Recovery Options) mulai
dilaksanakan.
Pasal 19
Ayat (1)
Indikator Rencana Aksi (Recovery Plan) yang ditetapkan oleh
Bank Sistemik harus mampu mewakili dan mengidentifikasi
kerentanan utama (key vulnerabilities) terkait permasalahan
keuangan yang dihadapi oleh Bank Sistemik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 6 -
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rasio kecukupan likuiditas (LCR)”
mengacu pada Peraturan OJK mengenai kewajiban
pemenuhan rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage
ratio) bagi bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rasio pendanaan stabil bersih
(NSFR)” adalah perbandingan antara pendanaan stabil yang
tersedia (available stable funding) dengan pendanaan stabil
yang diperlukan (required stable funding).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Indikator lain yang bersifat kualitatif antara lain:
a. permintaan percepatan pelunasan kewajiban Bank Sistemik
oleh mitra bisnis (counterparties);
b. keputusan pengadilan yang berpengaruh negatif bagi Bank
Sistemik;
c. pemberitaan atau publikasi negatif terhadap Bank Sistemik;
dan/atau
d. penurunan reputasi Bank Sistemik secara signifikan.
Ayat (2)
Opsi Pemulihan (Recovery Options) terhadap indikator kualitatif
bertujuan agar permasalahan yang terjadi pada Bank Sistemik
tidak mengarah dan/atau menyebabkan memburuknya kondisi
keuangan Bank Sistemik.
- 7 -
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat
digunakan untuk menetapkan trigger level antara lain ketentuan
mengenai KPMM, CET 1, penetapan status dan tindak lanjut
pengawasan bank umum, LCR, dan/atau NSFR.
Ayat (3)
Huruf a
Sebagai contoh pencegahan sehingga Bank Sistemik tetap
dapat menjaga ukuran atau rasio yang sama atau lebih baik
dari ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
indikator permodalan, yaitu rasio KPMM, Bank Sistemik
menetapkan trigger level agar tidak melanggar ketentuan
tambahan modal sebagai penyangga (buffer) berupa
ketentuan permodalan terkait dengan Capital Conservation
Buffer, Countercyclical Buffer, dan Capital Surcharge untuk
Bank Sistemik.
Huruf b
Sebagai contoh pemulihan sehingga Bank Sistemik tidak
lagi melanggar ukuran atau rasio dari indikator sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
indikator permodalan, yaitu rasio KPMM, Bank Sistemik
menetapkan trigger level agar tidak melanggar rasio KPMM
yaitu rasio KPMM di bawah profil risiko meskipun masih di
atas 8% (delapan persen).
Huruf c
Sebagai contoh perbaikan dari kondisi yang membahayakan
kelangsungan usaha Bank Sistemik untuk indikator
permodalan, yaitu rasio KPMM, Bank Sistemik menetapkan
trigger level agar tidak melanggar rasio KPMM kurang
dari 8% (delapan persen).
- 8 -
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Urutan pilihan pelaksanaan Opsi Pemulihan (Recovery
Options) bertujuan agar Bank Sistemik dapat melakukan
tindakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan
keuangan yang dihadapi, dalam hal ini terkait tindakan
untuk pencegahan, pemulihan atau perbaikan dari kondisi
yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Analisis atau penilaian dilakukan dengan mengidentifikasi:
1. pihak internal dan pihak eksternal yang mungkin akan
terpengaruh oleh Opsi Pemulihan (Recovery Options);
dan/atau
2. pihak internal dan pihak eksternal yang terlibat dalam
pelaksanaan Opsi Pemulihan (Recovery Options).
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penilaian kecukupan dukungan operasional misalnya
sistem teknologi informasi dan sumber daya manusia.
Penilaian kecukupan dukungan operasional ini meliputi
juga analisis operasional internal Bank Sistemik, akses
Bank Sistemik dan perusahaan anak yang dicakup dalam
Rencana Aksi (Recovery Plan) pada infrastruktur pasar,
misalnya kliring, fasilitas settlement, dan sistem
pembayaran.
- 9 -
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan investasi tertentu adalah jenis
instrumen investasi yang memiliki karakteristik modal yang
hanya terdapat pada bank umum syariah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan investasi tertentu adalah jenis
instrumen investasi yang memiliki karakteristik modal yang
hanya terdapat pada bank umum syariah.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain PSP
dan/atau ultimate shareholders.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jenis instrumen investasi yang memiliki karakteristik modal
hanya terdapat pada bank umum syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Jenis instrumen investasi yang memiliki karakteristik modal
hanya terdapat pada bank umum syariah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Huruf a
Dalam hal ini yang dimaksud dengan “credit line” merupakan
fasilitas yang dapat diterima oleh Bank Sistemik dari pihak lain
yang dapat digunakan untuk mengantisipasi dan/atau
menutupi kebutuhan likuiditas Bank Sistemik dalam hal
diperlukan.
Huruf b
Cukup jelas.
- 10 -
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak internal” antara lain seluruh
unit kerja dan seluruh pegawai, terutama yang akan terlibat
dalam implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak eksternal” antara lain
investor, mitra bisnis (counterparties), dan pihak lain yang
berkepentingan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan) bertujuan untuk
mencegah, memulihkan, atau memperbaiki kondisi yang
membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “evaluasi dan pengujian (stress testing)”
adalah penilaian kondisi Bank Sistemik pada saat pelaksanaan
evaluasi dibandingkan dengan Rencana Aksi (Recovery Plan)
yang sudah ditetapkan, serta penilaian kelayakan atas Rencana
Aksi (Recovery Plan) untuk mengantisipasi berbagai kondisi
(skenario) stress secara individu (idiosyncratic) dan secara
eksternal yang terjadi di pasar keuangan secara keseluruhan
yang dapat bersifat domestik maupun internasional
(market-wide shock).
- 11 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu yang akan berpengaruh
signifikan kepada Bank Sistemik” adalah perubahan kondisi
Bank Sistemik secara individu (idiosyncratic) dan secara
eksternal yang terjadi di pasar keuangan secara keseluruhan
yang dapat bersifat domestik maupun internasional (market-
wide shock) yang berpotensi membahayakan kelangsungan
usaha Bank Sistemik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kecukupan dan kelayakan
instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik
modal” adalah ketersediaan baik berdasarkan jumlah
maupun jangka waktu instrumen utang atau investasi
dimaksud untuk menghadapi kondisi tekanan keuangan
(financial stress).
- 12 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Yang dimaksud dengan “penyampaian Rencana Aksi (Recovery Plan)”
adalah penyampaian pertama kali, penyampaian pengkinian dan
penyampaian perbaikan.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6038
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 14/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) BAGI BANK SISTEMIK </reg_title>
<set_date> 4 April 2017 </set_date>
<effective_date> 7 April 2017 </effective_date>
<issued_date> 7 April 2017 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '9/UU/2016', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /POJK.04/2016
TENTANG
SEGMENTASI PERIZINAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan industri terhadap
Wakil Perantara Pedagang Efek untuk satu atau lebih fungsi
pada Perusahaan Efek yang melaksanakan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek khususnya pada fungsi
pemasaran, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Segmentasi Perizinan Wakil Perantara
Pedagang Efek;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil Penjamin
Emisi Efek Dan Wakil Perantara Pedagang Efek
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 362, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 5636);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
SEGMENTASI PERIZINAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG
EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Wakil Perantara Pedagang Efek adalah orang
perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek.
2. Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran adalah orang
perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek, yang khusus
melakukan fungsi pemasaran.
3. Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas
adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili
kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Perantara Pedagang Efek, yang khusus
melakukan fungsi pemasaran secara terbatas.
4.
Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara
Pedagang Efek, yang selanjutnya disebut Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek adalah izin yang diberikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan
untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek
- 3 -
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek.
5.
Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran, yang selanjutnya disebut Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran adalah izin
yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada
orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek, yang khusus
melakukan fungsi pemasaran.
6.
Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran Terbatas, yang selanjutnya
disebut Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran
Terbatas adalah izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa
Keuangan kepada orang perseorangan yang bertindak
mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek, yang
khusus melakukan fungsi pemasaran secara terbatas.
BAB II
SEGMENTASI IZIN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK
BERDASARKAN FUNGSI PERUSAHAAN EFEK
Pasal 2
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan izin Wakil
Perantara Pedagang Efek khusus untuk 1 (satu) atau lebih
segmentasi fungsi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Perantara Pedagang Efek.
Pasal 3
Segmentasi izin Wakil Perantara Pedagang Efek khusus untuk
fungsi pemasaran dilakukan berdasarkan persyaratan dan
prosedur yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
- 4 -
Pasal 4
Segmentasi izin Wakil Perantara Pedagang Efek khusus untuk
fungsi pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
terdiri dari:
a.
b.
Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran; dan
Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas.
Pasal 5
Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 tidak dapat digunakan sebagai
pemenuhan persyaratan kompetensi direktur Perusahaan
Efek sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Perizinan Perusahan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara
Pedagang Efek.
BAB III
RUANG LINGKUP IZIN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK
PEMASARAN DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK
PEMASARAN TERBATAS
Pasal 6
(1) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Wakil
Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas hanya
dapat bertindak mewakili Perusahaan Efek dalam
melaksanakan fungsi pemasaran jika yang bersangkutan
bekerja pada Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Perantara Pedagang Efek.
(2) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mewakili Perusahaan Efek untuk:
a. melakukan penawaran kepada calon investor atau
masyarakat untuk menjadi nasabah Perusahaan
Efek;
b. menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah;
c. membuat kontrak pembukaan rekening Efek reguler
dengan nasabah;
- 5 -
d. membuat kontrak pembukaan rekening Efek
pembiayaan dengan nasabah untuk nasabah yang
menerima fasilitas pembiayaan;
e. membuat kontrak pembukaan rekening Efek lainnya
dengan nasabah;
f. menerima pesanan dan/atau instruksi untuk
kepentingan nasabah; dan
g. melakukan komunikasi dengan nasabah termasuk
memberitahukan kepada nasabah setelah
mendapatkan pemberitahuan dari fungsi teknologi
informasi dalam hal sistem komunikasi daring
mengalami kelambatan atau tidak berfungsi.
(3) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mewakili
Perusahaan Efek untuk:
a. melakukan penawaran kepada calon investor atau
masyarakat untuk menjadi Nasabah Perusahaan
Efek;
b. menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah;
c. membuat kontrak pembukaan rekening Efek reguler
dengan nasabah;
d. membuat kontrak pembukaan rekening Efek
pembiayaan dengan nasabah untuk nasabah yang
menerima fasilitas pembiayaan; dan
e. membuat kontrak pembukaan rekening Efek lainnya
dengan nasabah.
Pasal 7
(1) Orang perseorangan yang memiliki Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran dan orang perseorangan yang
memiliki Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran
Terbatas yang tidak bekerja pada Perusahaan Efek dapat
bekerja pada Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan
atau bertindak sebagai Agen Perantara Pedagang Efek
orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen
Perantara Pedagang Efek.
- 6 -
(2) Kewenangan orang perseorangan yang memiliki Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan orang
perseorangan yang memiliki Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran Terbatas yang melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terbatas
pada kewenangan yang dimiliki oleh Agen Perantara
Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen Perantara
Pedagang Efek.
Pasal 8
(1) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran hanya dapat
menjadi penanggung jawab atas fungsi pemasaran
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek di lokasi lain selain
kantor pusat.
(2) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas
dilarang menjadi penanggung jawab atas fungsi
pemasaran Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Perantara Pedagang Efek.
BAB IV
PERIZINAN DAN PERSYARATAN WAKIL PERANTARA
PEDAGANG EFEK PEMASARAN DAN WAKIL PERANTARA
PEDAGANG EFEK PEMASARAN TERBATAS
Pasal 9
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Wakil
Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Persyaratan integritas yang meliputi:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. cakap melakukan perbuatan hukum;
3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di
bidang jasa keuangan;
4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin,
pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan
- 7 -
pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3
(tiga) tahun terakhir; dan
5. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan;
b. Persyaratan kompetensi yang meliputi:
1. berpendidikan paling rendah pendidikan menengah;
2. memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai di
bidang Pasar Modal, dibuktikan dengan memiliki
sertifikat keahlian:
a) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil
Perantara Pedagang Efek atau Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran, bagi Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran; dan
b) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil
Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran atau Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran Terbatas, bagi Wakil
Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas,
yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dan diterbitkan
oleh lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar
Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar
Keahlian;
c. bekerja pada lembaga jasa keuangan di Indonesia, bagi
warga negara asing; dan
d. tidak bekerja pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan Efek,
Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan, dan/atau
lembaga jasa keuangan lainnya.
Pasal 10
Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf b angka 2 dapat digunakan untuk pengajuan
permohonan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran
dan Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas
sepanjang berumur tidak lebih dari 2 (dua) tahun terhitung
sejak tanggal diterbitkan sampai dengan saat pengajuan izin.
Pasal 11
Pengaturan mengenai tata cara permohonan izin, masa
berlaku dan perpanjangan izin, kewajiban dan larangan,
- 8 -
Komite Standar Keahlian dan asosiasi, pelaporan, serta
pengembalian izin, bagi Wakil Perantara Pedagang Efek
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil
Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek
berlaku bagi Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas,
sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 12
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama
dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
- 9 -
Pasal 13
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 14
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 kepada masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 10 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 April 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 75
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /POJK.04/2016
TENTANG
SEGMENTASI PERIZINAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK
I. UMUM
Dalam rangka mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai fungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Berkenaan
dengan fungsinya dalam pengaturan dan pengawasan, Otoritas Jasa
Keuangan selalu mengikuti perkembangan kecenderungan Pasar Modal
dunia dalam era globalisasi yang perkembangannya kian menjadi tanpa
batas. Salah satu pengaturan yang menjadi perhatian Otoritas Jasa
Keuangan yaitu terkait peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia di bidang Pasar Modal yang perlu untuk ditingkatkan, terutama
Wakil Perantara Pedagang Efek yang menjadi ujung tombak pemasaran
Perusahaan Efek.
Menyadari pentingnya peranan Wakil Perantara Pedagang Efek,
Otoritas Jasa Keuangan telah menyempurnakan pengaturan terkait Wakil
Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek dengan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/
2014 tentang Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara
Pedagang Efek sebagai langkah awal peningkatan kualitas pemegang Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek.
- 2 -
Kurangnya kuantitas sumber daya manusia yang memiliki izin
sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek, khususnya untuk menjalankan
fungsi pemasaran menjadi salah satu kendala yang dihadapi Perusahaan
Efek dalam mengembangkan usahanya, yang mengakibatkan kegiatan
Perusahaan Efek di berbagai lokasi dan keagenan tidak berjalan dengan
baik. Luasnya cakupan wilayah (aspek geografis) yang harus dijangkau
oleh Perusahaan Efek juga menjadi penghalang dalam langkah
pendalaman pasar khususnya untuk memperluas basis investor Pasar
Modal. Oleh karena itu, pengembangan Wakil Perantara Pedagang Efek
tidak boleh berhenti pada peningkatan kualitas saja, melainkan juga
peningkatan kuantitas untuk memenuhi kebutuhan industri Pasar Modal
melalui skema segmentasi perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek yang
khusus melaksanakan fungsi pemasaran.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis mengingat bahwa Izin
Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Izin Wakil Perantara
Pedagang Efek Pemasaran Terbatas tidak setara dengan Izin Wakil
Perantara Pedagang Efek.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pada praktiknya sistem komunikasi daring biasa disebut
sebagai on line.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk
lain yang sederajat.
- 4 -
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5875
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 22/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> SEGMENTASI PERIZINAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title>
<set_date> 22 April 2016 </set_date>
<effective_date> 27 April 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 April 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', '27/POJK.04/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 49 /POJK.04/2015
TENTANG
REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT
PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang
Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek beralih
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan atas Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya
Diperdagangkan di Bursa Efek perlu mengganti Peraturan
mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di
Bursa Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya
Diperdagangkan di Bursa Efek;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG REKSA
DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG
UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Dealer Partisipan adalah Anggota Bursa Efek yang
menandatangani perjanjian dengan Manajer Investasi
pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di
Bursa Efek untuk melakukan penjualan atau pembelian
Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud.
2. Sponsor adalah Pihak yang menandatangani perjanjian
dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
- 3 -
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek untuk
melakukan penyertaan dalam bentuk uang dan/atau Efek
dalam rangka penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek.
BAB II
KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF REKSA DANA BERBENTUK
KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT
PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK
Pasal 2
Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di
Bursa Efek wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Kontrak
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan memuat
ketentuan sebagai berikut:
a. Penitipan Kolektif atas Unit Penyertaan;
b. prosedur penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek, paling
sedikit meliputi:
1.
jenis Efek yang menjadi dasar pembentukan Reksa
Dana dimaksud; dan
2. jumlah minimal Unit Penyertaan yang akan
dicatatkan di Bursa Efek.
c.
tata cara penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada
Manajer Investasi dan bahwa penjualan kembali dimaksud
hanya diperbolehkan bagi Sponsor dan Dealer Partisipan;
d. pembelian kembali (pelunasan) oleh Manajer Investasi dari
Sponsor dan Dealer Partisipan per hari bursa paling
banyak 10% (sepuluh persen) dari total Unit Penyertaan
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang
beredar;
- 4 -
e. kebijakan investasi wajib mengacu pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengumuman
Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka atau
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana
Terproteksi, Reksa Dana dengan Penjaminan, dan Reksa
Dana Indeks, dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. komposisi portofolio Efek yang membentuk Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek harus
terdiri dari Efek yang likuid; dan
2. tingkat likuiditas Efek yang menjadi portofolio Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib
ditentukan bersama antara Manajer Investasi dengan
Bank Kustodian;
f. nama Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif akan dicatatkan;
g. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di
Bursa Efek dan melaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan Nilai Aktiva Bersih setiap hari setelah
penutupan perdagangan Bursa Efek sebagai indikasi
harga Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang dicatatkan di Bursa Efek;
h. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di
Bursa Efek komposisi portofolio setiap hari setelah
penutupan perdagangan di Bursa Efek;
i.
kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di
Bursa Efek jumlah Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek yang beredar setiap ada
perubahan; dan
j. mekanisme rapat umum pemegang Unit Penyertaan Reksa
Dana yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa
Efek (jika ada).
- 5 -
BAB III
DEALER PARTISIPAN DAN SPONSOR
Pasal 3
Manajer Investasi wajib membuat kontrak dengan Dealer
Partisipan dalam rangka mewujudkan likuiditas pasar Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek.
Pasal 4
Dealer Partisipan wajib mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan perdagangan yang likuid atas Unit Penyertaan
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek.
Pasal 5
Dalam rangka menciptakan likuiditas pasar, Dealer Partisipan
diperkenankan untuk membeli dan menjual Unit Penyertaan
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek dengan
ketentuan:
a. Dealer Partisipan wajib secara berkala atau terus menerus
menyampaikan penawaran jual atau penawaran beli Unit
Penyertaan dimaksud pada sistem perdagangan yang
disediakan oleh Bursa Efek; dan
b. Dealer Partisipan mampu dan bersedia merealisasi
transaksi dalam jumlah sesuai dengan komitmen
sebagaimana tertuang dalam Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 6
Dalam hal terdapat perubahan jumlah Dealer Partisipan,
Manajer Investasi wajib mengumumkannya di Bursa Efek.
Pasal 7
Manajer Investasi wajib membuat kontrak dengan Sponsor jika
dalam penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
- 6 -
diperdagangkan di Bursa Efek melibatkan Sponsor, yang paling
sedikit memuat:
a. jumlah minimum setoran Efek atau uang oleh Sponsor
yang akan dibelikan Efek yang membentuk portofolio Efek
Reksa Dana dimaksud; dan
b. jangka waktu kesanggupan Sponsor untuk tidak
melakukan penjualan kembali.
Pasal 8
Penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Manajer Investasi
hanya dapat dilakukan oleh Sponsor dan Dealer Partisipasi
dengan ketentuan:
a.
jika pembayarannya dengan Efek dari portofolio Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek, maka:
1. dasar penghitungan nilai Efek tersebut adalah nilai
pasar wajar; dan
2. apabila Efek dimaksud tidak ada, maka
pembayarannya dilakukan dengan uang tunai,
dengan ketentuan nilainya dihitung berdasarkan
Nilai Aktiva Bersih.
b.
jika pembayarannya dilakukan dengan uang tunai, maka
nilainya dihitung berdasarkan Nilai Aktiva Bersih.
c. Manajer Investasi wajib mengumumkan permohonan
penjualan kembali oleh Dealer Partisipan dan Sponsor di
Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan
pada hari yang sama dengan permohonan penjualan
kembali dimaksud.
BAB IV
RAPAT UMUM PEMEGANG UNIT PENYERTAAN
Pasal 9
Dalam hal Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek memuat
- 7 -
ketentuan mengenai rapat umum pemegang Unit Penyertaan,
maka ketentuan rapat umum pemegang Unit Penyertaan paling
sedikit memuat:
a. Rapat umum pemegang Unit Penyertaan dapat
diselenggarakan atas usulan 1 (satu) Pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana dimaksud atau lebih yang
bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) bagian
dari jumlah seluruh Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang beredar;
b. Pemberitahuan,
Pemanggilan, dan Waktu
Penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit Penyertaan:
1. pemberitahuan rapat umum pemegang Unit
Penyertaan dilakukan paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum pemanggilan dan pemanggilan
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum rapat umum pemegang Unit Penyertaan
melalui paling sedikit 1 (satu) surat kabar berbahasa
Indonesia yang berperedaran Nasional;
2. panggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan
wajib mencantumkan tempat, waktu
penyelenggaraan, prosedur serta agenda rapat;
3. dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan
pertama gagal diselenggarakan atau gagal mengambil
keputusan, maka diselenggarakan rapat umum
pemegang Unit Penyertaan kedua;
4. panggilan untuk rapat umum pemegang Unit
Penyertaan kedua dilakukan paling lambat 7 (tujuh)
hari sebelum rapat umum pemegang Unit Penyertaan
kedua dilakukan dengan menyebutkan telah
diselenggarakannya rapat umum pemegang Unit
Penyertaan pertama tetapi tidak mencapai kuorum
atau tidak dapat mengambil keputusan; dan
5. Rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua
diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan
paling lambat 21 (dua puluh satu) hari dari rapat
umum pemegang Unit Penyertaan pertama; dan
- 8 -
c. kuorum kehadiran dan keputusan rapat umum pemegang
Unit Penyertaan.
Pasal 10
Sebelum pemberitahuan rencana rapat umum pemegang Unit
Penyertaan di surat kabar dilaksanakan, Manajer Investasi
wajib menyampaikan terlebih dahulu agenda rapat tersebut
secara jelas dan rinci ke Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
7 (tujuh) hari sebelum pemberitahuan.
Pasal 11
Dalam hal agenda rapat umum pemegang Unit Penyertaan
adalah penggantian Manajer Investasi atau Bank Kustodian,
maka Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang diperdagangkan di Bursa Efek yang
dimiliki oleh Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan/atau
Pihak terafiliasinya tidak mempunyai hak suara.
Pasal 12
Manajer Investasi wajib:
a. menyampaikan hasil rapat umum pemegang Unit
Penyertaan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah rapat
umum pemegang Unit Penyertaan tersebut
diselenggarakan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. mengumumkan hasil rapat umum pemegang Unit
Penyertaan kepada masyarakat melalui paling sedikit 1
(satu) surat kabar berbahasa Indonesia yang berperedaran
nasional dan Bursa Efek.
Pasal 13
Informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9
huruf b angka 1 dan angka 2 serta Pasal 12 wajib pula
diumumkan melalui media yang dapat diakses oleh
masyarakat, yaitu paling sedikit:
a. website Manajer Investasi; dan
b. website atau media penyebaran informasi elektronik yang
disediakan oleh Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa
- 9 -
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
diperdagangkan.
BAB V
PENAWARAN UMUM UNIT PENYERTAAN REKSA DANA
BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT
PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK
Pasal 14
Untuk dapat melakukan Penawaran Umum Unit Penyertaan
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek:
a. Manajer Investasi wajib menyampaikan Pernyataan
Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
memenuhi ketentuan:
1. peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai Pernyataan
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
2. menyampaikan dokumen perjanjian pendahuluan
pencatatan antara Manajer Investasi dengan Bursa
Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek akan diperdagangkan;
dan
3. menyampaikan dokumen perjanjian antara Manajer
Investasi dengan Sponsor dan antara Manajer
Investasi dengan Dealer Partisipan.
b. Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek sebagaimana dimaksud
dalam huruf a telah menjadi efektif.
Pasal 15
Prospektus Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
- 10 -
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana serta memuat:
a. informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. pokok-pokok perjanjian antara Manajer Investasi dengan
Dealer Partisipan dan nama-nama Dealer Partisipan; dan
c. pokok-pokok perjanjian antara Manajer Investasi dengan
Sponsor dan nama-nama Sponsor (jika ada perjanjian
dimaksud).
BAB VI
PENCATATAN AWAL UNIT PENYERTAAN REKSA DANA
BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT
PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK
Pasal 16
Pencatatan awal Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek wajib dilaksanakan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak efektifnya Pernyataan
Pendaftaran.
Pasal 17
Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa
Efek yang diterbitkan setelah pencatatan awal wajib dicatatkan
paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak diterbitkannya Unit
Penyertaan dimaksud.
BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 18
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
- 11 -
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri
atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 19
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 20
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 kepada masyarakat.
- 12 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa keuangan ini mulai berlaku
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-
133/BL/2006 tanggal 4 Desember 2006 tentang Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya
Diperdagangkan di Bursa Efek, beserta Peraturan Nomor IV.B.3
yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 22
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 400
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 49 /POJK.04/2015
TENTANG
REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT
PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar
Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait
sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan
dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang
Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek, yaitu Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
133/BL/2006 tanggal 4 Desember 2006 tentang Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di
Bursa Efek, beserta Peraturan Nomor IV.B.3 sebagai lampirannya menjadi
- 2 -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang berlaku adalah Peraturan Nomor IV.B.2, lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor KEP-553/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010
tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
- 3 -
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Angka 1
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang berlaku adalah Peraturan
Nomor IX.C.5, lampiran Keputusan Ketua BadanPengawas
Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-430
/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Pernyataan
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Angka 2
Cukup Jelas.
Angka 3
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Pasal 15
- 4 -
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Pedoman Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam
RangkaPenawaran Umum Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan
Nomor IX.C.6, lampiran Keputusan Ketua BadanPengawas Pasar
ModalNomor: KEP-22/PM/2004 tanggal 28 Mei 2004 tentang Pedoman
Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa
Dana.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5818
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 49/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-133/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM/2006', 'KEP-133/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM/2006 | Lampiran Peraturan Nomor IV.B.3' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18/POJK.03/2014
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor jasa keuangan
yang tumbuh sccara berkelanjutan dan stabil serta
memiliki daya saing yang tinggi, perlu penerapan tata kelola
yang baik di sektor jasa keuangan;
b. bahwa adanya Lembaga Jasa Keuangan yang memiliki
hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian di berbagai
sektor jasa keuangan telah meningkatkan kompleksitas
transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan dalam
konglomerasi keuangan, sehingga diperlukan penerapan
tata kelola terintegrasi;
c. bahwa mengingat dalam konglomerasi keuangan terdiri dari
lembaga jasa keuangan dari berbagai industri keuangan,
maka diperlukan peningkatan kualitas tata kelola yang baik
dalam suatu konglomerasi keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Tata
Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia
End of Page 1
- 2 -
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN
TATA KELOLA
KONGLOMERASI KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut LJK adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam satu grup atau
kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian.
3. Entitas …
TERINTEGRASI BAGI
- 3 -
3. Entitas Utama adalah LJK induk dari Konglomerasi Keuangan atau LJK yang
ditunjuk oleh pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan.
4. Tata Kelola adalah suatu tata kelola dalam LJK yang menerapkan prinsip-
prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau
profesional (professional), dan kewajaran (fairness).
5. Tata Kelola Terintegrasi adalah suatu tata kelola yang menerapkan prinsip-
prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau
profesional (professional), dan kewajaran (fairness) secara terintegrasi dalam
Konglomerasi Keuangan.
6. Direksi adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan
Daerah;
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian;
d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan;
e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang
berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat
satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
7. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan
Daerah;
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian;
d. bagi …
(accountability),
(accountability),
- 4 -
d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan;
e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang
berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungsi pengawasan.
Pasal 2
Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Tata Kelola Terintegrasi secara
komprehensif dan efektif sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 3
(1) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memiliki
struktur yang terdiri dari Entitas Utama dan:
a. perusahaan anak; dan/atau
b. perusahaan terelasi beserta perusahaan anaknya.
(2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis
LJK sebagai berikut:
a. bank;
b. perusahaan asuransi dan reasuransi;
c. perusahaan efek; dan/atau
d. perusahaan pembiayaan.
Pasal 4
(1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah
badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh
LJK secara langsung maupun tidak langsung baik di dalam maupun di luar
negeri yang melakukan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan.
(2) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Perusahaan subsidiari yaitu perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari
50% (lima puluh perseratus);
b. Perusahaan partisipasi yaitu perusahaan yang dimiliki LJK sebesar 50%
(lima puluh perseratus) atau kurang, namun LJK memiliki pengendalian
terhadap perusahaan;
c. Perusahaan …
- 5 -
c. Perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari 20% (dua puluh perseratus)
sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi
persyaratan, yaitu:
1. kepemilikan LJK dan para pihak lainnya pada perusahaan anak
adalah masing-masing sama besar; dan
2. masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama
terhadap perusahaan anak yang didasarkan pada perjanjian, dan
dibuktikan dengan adanya kesepakatan atau komitmen secara
tertulis dari para pemilik untuk memberikan dukungan baik finansial
maupun non finansial sesuai kepemilikannya masing-masing.
d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku
wajib dikonsolidasikan.
Pasal 5
Perusahaan terelasi (sister company) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) adalah beberapa LJK yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara
hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh pemegang saham pengendali
yang sama.
Pasal 6
(1) LJK wajib mengidentifikasi keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian
dengan LJK lain dalam menentukan Konglomerasi Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Konglomerasi Keuangan wajib memiliki Entitas Utama.
(3) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan terdiri dari LJK induk dan LJK
anak, Entitas Utama adalah LJK induk.
(4) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan wajib
menunjuk Entitas Utama.
(5) Dalam hal Konglomerasi Keuangan dimiliki oleh lebih dari satu pihak
dengan porsi kepemilikan yang sama, penunjukan Entitas Utama
berdasarkan kesepakatan di antara pihak dengan porsi kepemilikan yang
sama.
(6) Pihak …
- 6 -
(6) Pihak yang ditunjuk sebagai Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) adalah LJK yang memiliki total aset terbesar dan/atau
memiliki kualitas penerapan manajemen risiko yang baik.
(7) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Entitas Utama untuk
melakukan penyesuaian terhadap:
a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau
b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama.
Pasal 7
Entitas Utama wajib menerapkan Tata Kelola Terintegrasi.
Pasal 8
Penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling
sedikit mencakup:
a. persyaratan Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama;
b. tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris
Entitas Utama;
c. tugas dan tanggung jawab Komite Tata Kelola Terintegrasi;
d. tugas dan tanggung jawab satuan kerja kepatuhan terintegrasi;
e. tugas dan tanggung jawab satuan kerja audit intern terintegrasi;
f. penerapan manajemen risiko terintegrasi; dan
g. penyusunan dan pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi.
BAB II
DIREKSI ENTITAS UTAMA, DEWAN KOMISARIS ENTITAS UTAMA, DAN DEWAN
PENGAWAS SYARIAH ENTITAS UTAMA
Pasal 9
Calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon Dewan Komisaris Entitas Utama
harus memiliki pengetahuan mengenai Entitas Utama dan pengetahuan
mengenai LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 10
(1) Direksi Entitas Utama wajib memastikan penerapan Tata Kelola Terintegrasi
dalam Konglomerasi Keuangan.
(2) Tugas …
- 7 -
(2) Tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dalam rangka memastikan
penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling sedikit:
a. menyusun Pedoman Tata Kelola Terintegrasi;
b. mengarahkan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Pedoman Tata
Kelola Terintegrasi; dan
c. menindaklanjuti arahan atau nasihat Dewan Komisaris Entitas Utama
dalam rangka penyempurnaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi.
Pasal 11
Direksi Entitas Utama wajib memastikan bahwa temuan audit dan rekomendasi
dari satuan kerja audit intern terintegrasi, auditor eksternal, hasil pengawasan
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain telah
ditindaklanjuti oleh LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 12
(1) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib melakukan pengawasan atas
penerapan Tata Kelola Terintegrasi.
(2) Tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris Entitas Utama dalam rangka
melakukan pengawasan atas penerapan Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:
a. mengawasi penerapan Tata Kelola pada masing-masing LJK agar sesuai
dengan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi;
b. mengawasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas
Utama, serta memberikan arahan atau nasihat kepada Direksi Entitas
Utama atas pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; dan
c. mengevaluasi Pedoman Tata Kelola Terintegrasi dan mengarahkan dalam
rangka penyempurnaan.
Pasal 13
(1) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib menyelenggarakan rapat secara
berkala paling sedikit 1 (satu) kali setiap semester.
(2) Rapat …
- 8 -
(2) Rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dapat dilaksanakan melalui video
conference.
(3) Hasil rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dituangkan dalam risalah rapat
dan didokumentasikan secara baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Dewan
Komisaris Entitas Utama dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat
beserta alasan perbedaan pendapat.
Pasal 14
(1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugasnya, Dewan
Komisaris Entitas Utama wajib membentuk Komite Tata Kelola Terintegrasi.
(2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki Komite Tata Kelola, fungsi Komite
Tata Kelola Terintegrasi dapat dilakukan oleh Komite Tata Kelola yang telah
ada dengan menyesuaikan keanggotaan, fungsi dan tanggung jawab.
Pasal 15
Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan/atau Dewan
Komisaris Entitas Utama tidak diperhitungkan sebagai rangkap jabatan.
Pasal 16
Dalam hal Entitas Utama melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, Dewan Pengawas Syariah pada Entitas Utama harus memastikan
penerapan Tata Kelola Terintegrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah.
BAB III
KOMITE TATA KELOLA TERINTEGRASI
Pasal 17
(1) Komite Tata Kelola Terintegrasi paling sedikit terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen yang menjadi Ketua pada salah satu
komite pada Entitas Utama, sebagai ketua merangkap anggota;
b. Komisaris Independen yang mewakili dan ditunjuk dari LJK dalam
Konglomerasi Keuangan, sebagai anggota;
c. seorang …
- 9 -
c. seorang pihak independen, sebagai anggota; dan
d. anggota Dewan Pengawas Syariah dari LJK dalam Konglomerasi
Keuangan, sebagai anggota.
(2) Jumlah dan komposisi Komisaris Independen yang menjadi anggota Komite
Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan tugas Komite Tata Kelola Terintegrasi dengan
memperhatikan paling sedikit keterwakilan masing-masing sektor jasa
keuangan.
(3) Keanggotaan Komisaris Independen pada Komite Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa keanggotaan
tetap atau tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan.
Pasal 18
Keanggotaan Komisaris Independen, pihak independen, dan anggota Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) pada Komite
Tata Kelola Terintegrasi dalam Konglomerasi Keuangan tidak diperhitungkan
sebagai rangkap jabatan.
Pasal 19
Komite Tata Kelola Terintegrasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling
sedikit:
a. mengevaluasi pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi paling sedikit melalui
penilaian kecukupan pengendalian intern dan pelaksanaan fungsi kepatuhan
secara terintegrasi; dan
b. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris Entitas Utama untuk
penyempurnaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi.
Pasal 20
(1) Komite Tata Kelola Terintegrasi harus melaksanakan rapat paling sedikit 1
(satu) kali setiap semester.
(2) Rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dapat dilaksanakan melalui video
conference.
(3) Hasil rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dituangkan dalam risalah rapat
dan didokumentasikan secara baik.
(4) Perbedaan …
- 10 -
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Komite
Tata Kelola Terintegrasi dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat
beserta alasan perbedaan pendapat.
BAB IV
SATUAN KERJA KEPATUHAN TERINTEGRASI DAN AUDIT INTERN
TERINTEGRASI
Pasal 21
(1) Entitas Utama wajib memiliki Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi yang
independen.
(2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja kepatuhan,
pelaksanaan tugas kepatuhan terintegrasi dapat dilakukan oleh satuan kerja
kepatuhan yang telah ada.
Pasal 22
Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi mempunyai tugas paling sedikit memantau
dan mengevaluasi pelaksanaan fungsi kepatuhan pada masing-masing LJK
dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 23
(1) Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi menyusun dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kepada Direktur Kepatuhan Entitas
Utama atau Direktur yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan
terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
(2) Direktur Kepatuhan Entitas Utama atau Direktur yang ditunjuk oleh
Direktur Utama Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab kepatuhan terintegrasi kepada Direksi Entitas Utama dan Dewan
Komisaris Entitas Utama.
Pasal 24
(1) Entitas Utama wajib memiliki Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi yang
independen.
(2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja audit intern,
pelaksanaan tugas audit intern terintegrasi dapat dilakukan oleh satuan
kerja audit intern yang telah ada.
Pasal …
- 11 -
Pasal 25
Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi mempunyai tugas paling sedikit
memantau pelaksanaan audit intern pada masing-masing LJK dalam
Konglomerasi Keuangan.
Pasal 26
Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi menyampaikan laporan audit intern
terintegrasi kepada Direktur yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan
terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan dan Dewan Komisaris Entitas
Utama serta Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan Entitas Utama.
BAB V
MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI
Pasal 27
Entitas Utama wajib menerapkan manajemen risiko terintegrasi secara
komprehensif dan efektif dengan berpedoman pada ketentuan mengenai
penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan.
BAB VI
PEDOMAN TATA KELOLA TERINTEGRASI
Pasal 28
(1) Pedoman Tata Kelola Terintegrasi yang disusun oleh Direksi Entitas Utama
dan disetujui oleh Dewan Komisaris Entitas Utama paling sedikit mencakup:
a. kerangka Tata Kelola Terintegrasi bagi Entitas Utama; dan
b. kerangka Tata Kelola bagi LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
(2) Penyusunan kerangka Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b mengacu pada peraturan ini dan ketentuan tata kelola yang berlaku
bagi masing-masing LJK.
(3) Direksi Entitas Utama menyampaikan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi
kepada Direksi LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 29
Kerangka Tata Kelola Terintegrasi bagi Entitas Utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a memuat paling sedikit:
a. persyaratan …
- 12 -
a. persyaratan Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama;
b. tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris
Entitas Utama;
c. tugas dan tanggung jawab Komite Tata Kelola Terintegrasi;
d. tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi;
e. tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi; dan
f. penerapan manajemen risiko terintegrasi.
Pasal 30
(1) Kerangka Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf
b memuat paling sedikit:
a. persyaratan calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris;
b. persyaratan calon anggota Dewan Pengawas Syariah;
c. struktur Direksi dan Dewan Komisaris;
d. struktur Dewan Pengawas Syariah;
e. independensi tindakan Dewan Komisaris;
f. pelaksanaan fungsi pengurusan LJK oleh Direksi;
g. pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris;
h. pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah;
i. pelaksanaan fungsi kepatuhan, fungsi audit intern, dan pelaksanaan
audit ekstern;
j. pelaksanaan fungsi manajemen risiko;
k. kebijakan remunerasi; dan
l. pengelolaan benturan kepentingan.
(2) Persyaratan, struktur dan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf d, dan huruf h
dicantumkan dalam kerangka Tata Kelola Terintegrasi apabila Konglomerasi
Keuangan memiliki LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasar prinsip
Syariah.
Pasal 31
Persyaratan calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, serta calon Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b paling
sedikit memuat persyaratan integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan.
Pasal …
- 13 -
Pasal 32
Struktur Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) huruf c, paling sedikit memuat:
a. jumlah minimal dan maksimal anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
b. rangkap jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; dan
c. jumlah dan komposisi Komisaris Independen.
Pasal 33
Struktur Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) huruf d paling sedikit memuat:
a. jumlah minimal dan maksimal anggota Dewan Pengawas Syariah; dan
b. rangkap jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah.
Pasal 34
Independensi tindakan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) huruf e paling sedikit memuat kriteria tindakan Dewan Komisaris yang
dinyatakan independen.
Pasal 35
Pelaksanaan fungsi pengurusan LJK oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1) huruf f paling sedikit memuat tugas dan tanggung jawab sebagai
berikut:
a. melaksanakan prinsip-prinsip Tata Kelola;
b. menindaklanjuti hasil audit oleh pihak intern dan ekstern;
c. menyusun tata tertib kerja; dan
d. menyelenggarakan rapat Direksi yang paling sedikit mencakup tata cara
pengambilan keputusan dan dokumentasi rapat.
Pasal 36
Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) huruf g paling sedikit memuat tugas dan tanggung jawab
Dewan Komisaris sebagai berikut:
a. melakukan pengawasan terhadap penerapan tata kelola, tugas dan tanggung
jawab Direksi dan tindak lanjut hasil audit dari pihak intern dan ekstern;
b. membentuk …
- 14 -
b. membentuk komite atau menunjuk pihak untuk melaksanakan fungsi yang
mendukung tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris paling sedikit
komite atau fungsi pemantauan audit, dan komite atau fungsi pemantauan
kepatuhan;
c. menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris yang paling sedikit mencakup
frekuensi, kehadiran dan tata cara pengambilan keputusan; dan
d. menyusun tata tertib kerja Dewan Komisaris.
Pasal 37
Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf h memuat paling sedikit tugas dan
tanggung jawab sebagai berikut:
a. memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan LJK
agar sesuai dengan Prinsip Syariah; dan
b. menyusun tata tertib kerja Dewan Pengawas Syariah.
Pasal 38
Pelaksanaan fungsi kepatuhan, fungsi audit intern, dan pelaksanaan audit
ekstern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf i paling sedikit
memuat:
a. pembentukan fungsi kepatuhan dan fungsi audit intern yang independen;
b. pelaksanaan fungsi audit intern paling sedikit melaksanakan audit intern
LJK; dan
c. pelaksanaan fungsi audit ekstern oleh pihak eksternal terhadap laporan
keuangan LJK.
Pasal 39
Pelaksanaan fungsi manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) huruf j memuat paling sedikit kebijakan manajemen risiko secara
komprehensif dan efektif dengan berpedoman pada ketentuan mengenai
manajemen risiko yang berlaku bagi masing-masing LJK.
Pasal …
- 15 -
Pasal 40
Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf k
memuat paling sedikit kebijakan remunerasi dengan memperhatikan profil risiko
dan dalam rangka terwujudnya budaya kerja yang hati-hati.
Pasal 41
Pengelolaan benturan kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) huruf l paling sedikit memuat kebijakan:
a. untuk melakukan identifikasi, mitigasi, dan pengelolaan atas benturan
kepentingan termasuk yang berasal dari transaksi dengan pihak afiliasi dan
transaksi intra group;
b. larangan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris mengambil
tindakan yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan LJK; dan
c. kewajiban mengungkapkan apabila terjadi benturan kepentingan dalam
setiap pengambilan keputusan.
BAB VII
TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN YANG
ENTITAS UTAMANYA BERUPA KANTOR CABANG DARI ENTITAS
DI LUAR NEGERI
Pasal 42
Konglomerasi Keuangan yang Entitas Utamanya berupa Kantor Cabang dari
entitas di luar negeri wajib memenuhi ketentuan mengenai Tata Kelola
Terintegrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 43
Pelaksanaan fungsi Dewan Komisaris, dan pembentukan Komite Tata Kelola
Terintegrasi disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada Entitas
Utama yang bersangkutan.
BAB …
- 16 -
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 44
(1) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan mengenai LJK yang menjadi
Entitas Utama dan LJK yang menjadi anggota Konglomerasi Keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dalam hal terdapat:
a. Konglomerasi Keuangan baru disertai penunjukkan Entitas Utama;
b. perubahan Entitas Utama;
c. perubahan anggota Konglomerasi Keuangan; dan/atau
d. pembubaran Konglomerasi Keuangan.
(3) Laporan disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak
terjadinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dilaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang lain, laporan tersebut dianggap telah memenuhi kewajiban
pelaporan.
(5) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penyesuaian terhadap:
a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau
b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama,
dalam hal diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (7).
Pasal 45
(1) Entitas Utama wajib menyusun laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola
Terintegrasi secara berkala.
(2) Penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat.
(3) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disusun setiap
semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember.
(4) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata
Kelola Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Laporan …
- 17 -
(5) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan paling
lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan
laporan yang bersangkutan.
(6) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/libur,
laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan pada
hari kerja berikutnya.
Pasal 46
(1) Entitas Utama wajib menyusun laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola
Terintegrasi.
(2) Laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) bulan sejak tahun buku
berakhir.
(3) Entitas Utama wajib mempublikasikan laporan tahunan pelaksanaan Tata
Kelola Terintegrasi dalam home page Entitas Utama paling lambat 5 (lima)
bulan sejak tahun buku berakhir.
(4) Laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dapat menjadi bagian
tersendiri dalam laporan tahunan Konglomerasi Keuangan atau diajukan
secara terpisah dari laporan tahunan Konglomerasi Keuangan.
Pasal 47
(1) Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan penilaian
pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas
Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5).
(2) Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan Tahunan
Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas
Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).
Pasal 48
Bagi Entitas Utama berupa Bank yang telah menyampaikan laporan penilaian
pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah
memenuhi kewajiban penyampaian laporan penilaian Tata Kelola Konsolidasi
secara …
- 18 -
secara berkala sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pelaksanaan
good corporate governance bagi bank umum.
Pasal 49
Bagi Entitas Utama berupa Bank yang telah menyampaikan Laporan Tahunan
Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah
memenuhi kewajiban penyampaian Laporan Pelaksanaan good corporate
governance sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pelaksanaan good
corporate governance bagi bank umum.
BAB IX
LAIN-LAIN
Pasal 50
Hubungan antar LJK yang dimiliki dan dikendalikan langsung oleh Pemerintah
Pusat Republik Indonesia dikecualikan dari pengertian Konglomerasi Keuangan.
Pasal 51
(1) Dalam hal Konglomerasi Keuangan berada dalam satu sektor jasa keuangan
yang sama dan telah terdapat ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Tata Kelola (good corporate governance) bagi sektor jasa keuangan,
penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Tata Kelola
(good corporate governance) yang berlaku bagi sektor jasa keuangan.
(2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memiliki Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
b. membentuk Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi, Satuan Kerja Audit
Intern Terintegrasi, dan Komite Tata Kelola Terintegrasi;
c. menyusun Pedoman Tata Kelola Terintegrasi;
d. menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45;
e. menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
Pasal …
- 19 -
Pasal 52
Entitas Utama wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan
penerapan Tata Kelola Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
BAB X
S A N K S I
Pasal 53
Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 6 ayat
(2), Pasal 42, dan Pasal 51 ayat (2); Entitas Utama yang melanggar ketentuan
dalam Pasal 7, Pasal 21 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27, Pasal 44 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (5), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (3),
dan Pasal 52; LJK yang melanggar ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1); pemegang
saham pengendali Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 6 ayat (4); Direksi Entitas Utama yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10
ayat (1) dan Pasal 11, dan Dewan Komisaris Entitas Utama yang melanggar
ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (1), dapat
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. perintah penggantian manajemen;
f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; dan/atau
g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan.
Pasal 54
Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan:
a. laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5); dan/atau
b. laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2),
dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal …
- 20 -
Pasal 55
Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan
Pasal 54 mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada setiap sektor jasa
keuangan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 56
Laporan mengenai LJK yang menjadi Entitas Utama dan LJK yang menjadi
anggota Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1)
disampaikan pertama kali paling lambat 31 Maret 2015.
Pasal 57
Kewajiban penyampaian laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) pertama kali dilakukan untuk
posisi laporan sebagai berikut:
a. Juni 2015, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan
Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. Desember 2015, untuk Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank.
Pasal 58
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 mulai berlaku sejak:
a. 1 Januari 2017, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama berupa bank non Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal …
Pasal 60
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK tetap menerapkan
ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan.
Pasal 61
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditctapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
KEUKNGAN
Tini Kustini
End of Page 21
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18/POJK.03/2014
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN
I. UMUM
Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil
menjadi suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu mendukung
pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berperan secara optimal dalam
perekonomian nasional.
Industri keuangan merupakan salah satu industri yang memiliki
kompleksitas operasional dan tingkat persaingan yang tinggi, sehingga
menyebabkan industri keuangan terekspos risiko yang tinggi dan harus
beroperasi secara berhati-hati serta efisien.
Seiring dengan perkembangan globalisasi, teknologi informasi, dan inovasi
produk serta aktivitas Lembaga Jasa Keuangan (LJK) telah menciptakan sistem
keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing-masing
sektor keuangan baik dalam produk dan kelembagaan, maupun kepemilikan.
Menghadapi kondisi tersebut, LJK perlu menerapkan tata kelola yang baik pada
LJK dan Konglomerasi Keuangan.
Dalam rangka penerapan tata kelola terintegrasi yang baik, Konglomerasi
Keuangan perlu memiliki Pedoman Tata Kelola Terintegrasi dengan mengacu
pada peraturan yang konservatif guna menjadi panduan bagi LJK dalam
Konglomerasi Keuangan untuk menerapkan tata kelola, sehingga dapat
mendorong peningkatan kualitas penerapan tata kelola terintegrasi. Dengan
penerapan tata kelola terintegrasi, akan mendorong Konglomerasi Keuangan
memiliki tata kelola yang lebih prudent sesuai dengan prinsip-prinsip
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban
(responsibility), independensi (independency) atau profesional (professional), dan
kewajaran (fairness). Selain itu, penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan diharapkan dapat mendorong stabilitas sistem keuangan
yang tumbuh secara berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan daya saing
nasional …
- 2 -
nasional.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Penerapan
Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah perseorangan
atau perusahaan/badan, baik secara sendiri maupun bersama-
sama dan baik secara langsung maupun tidak langsung yang
memiliki 50% (lima puluh perseratus) atau kurang saham yang
memiliki hak suara pada suatu perusahaan atau badan lain
tetapi:
1. terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain sehingga
memiliki hak suara lebih dari 50% (lima puluh perseratus);
2. mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan
keuangan dan operasional perusahaan/badan lain
berdasarkan anggaran dasar/perjanjian;
3. mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau mengganti
sebagian besar Direksi dan Dewan Komisaris atau organ
lainnya yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan
lain melalui Direksi dan Dewan Komisaris atau organ
lainnya …
- 3 -
lainnya tersebut; dan/atau
4. mampu menguasai suara mayoritas pada rapat Direksi dan
Dewan Komisaris atau organ lainnya yang setara dan
mengendalikan perusahaan/badan melalui Direksi dan
Dewan Komisaris atau organ lainnya tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sebagai contoh: LJK A adalah LJK induk dari LJK anak yang terdiri
dari LJK B dan LJK C secara langsung, serta LJK D dan LJK E secara
tidak langsung. Dengan demikian, Entitas Utama dari Konglomerasi
Keuangan adalah LJK A. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di
bawah ini.
LJK A
LJK B
LJK C
LJK D
LJK E
Ayat (4)
Termasuk pemegang saham pengendali pada ayat ini adalah:
1. perorangan/perusahaan non keuangan; atau
2. perorangan/ perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.
Sebagai …
- 4 -
Sebagai contoh: “Non LJK 1” adalah pemegang saham pengendali
dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK
C. “Non LJK 1” wajib menunjuk Entitas Utama dalam rangka
penerapan Tata Kelola Terintegrasi. Untuk jelasnya, sebagaimana
bagan di bawah ini.
Non LJK 1
LJK A
LJK B
LJK C
Contoh berikutnya: “Non LJK 2” adalah pemegang saham pengendali
dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, LJK C,
LJK D, dan LJK E. “Non LJK 2” wajib menunjuk Entitas Utama dalam
rangka penerapan Tata Kelola Terintegrasi. Untuk jelasnya,
sebagaimana bagan di bawah ini.
Non LJK 2
LJK A
Non LJK 1
LJK B
LJK C
LJK D
LJK E
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat …
- 5 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon anggota Dewan Komisaris
tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan uji kemampuan dan kepatutan bagi masing-masing sektor jasa
keuangan.
Persyaratan pengetahuan bagi calon anggota Direksi Entitas Utama dan
calon anggota Dewan Komisaris Entitas Utama mengenai LJK dalam
Konglomerasi Keuangan diperlukan karena adanya peningkatan tugas dan
tanggung jawab dalam pengelolaan Konglomerasi Keuangan.
Yang dimaksud dengan “pengetahuan” antara lain pemahaman kegiatan
bisnis utama dan risiko utama dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “otoritas lain” termasuk namun tidak terbatas
pada:
a. Bank Indonesia;
b. Otoritas pengawasan terhadap Kantor Pusat LJK dalam hal LJK
merupakan kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar
negeri.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Termasuk dalam penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris Entitas
Utama adalah penjadwalan waktu pelaksanaan rapat.
Ayat …
- 6 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Rangkap jabatan tidak diperhitungkan karena merupakan ex-officio yaitu
jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan
kewenangannya pada lembaga lain.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pihak independen dapat berasal dari pihak independen anggota
Komite pada Entitas Utama.
Huruf d
Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah dalam Komite Tata
Kelola Terintegrasi hanya apabila terdapat LJK yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasar prinsip Syariah.
Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah yang menjadi
anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan
kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan tugas dari Komite Tata Kelola
Terintegrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat …
- 7 -
Ayat (3)
Mengingat jumlah dan komposisi Komisaris Independen yang menjadi
anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan
kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan efektivitas
pelaksanaan tugas dari Komite Tata Kelola Terintegrasi, maka dalam
hal diperlukan Entitas Utama dapat menambah keanggotaan tidak
tetap Komisaris Independen dari LJK yang belum menjadi anggota
Komite Tata Kelola Terintegrasi.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Dalam melakukan evaluasi, Komite Tata Kelola Terintegrasi
memperoleh informasi berupa hasil evaluasi atas pelaksanaan audit
intern dan fungsi kepatuhan masing-masing LJK dari anggota
Dewan Komisaris masing-masing LJK yang menjadi anggota pada
Komite Tata Kelola Terintegrasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Termasuk dalam penyelenggaraan rapat Komite Tata Kelola
Terintegrasi adalah penjadwalan waktu pelaksanaan rapat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan
satuan kerja yang melaksanakan fungsi kepatuhan terintegrasi
dengan …
- 8 -
dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas
Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Penunjukan Direktur untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap
LJK dalam Konglomerasi Keuangan dilakukan sesuai dengan
anggaran dasar LJK sebagai Entitas Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan
satuan kerja yang melaksanakan fungsi audit intern terintegrasi
dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas
Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Dalam melaksanakan tugasnya Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi
dapat melakukan audit pada LJK baik secara individual, audit bersama,
atau berdasarkan laporan dari Satuan Kerja Audit Intern LJK.
Pasal 26
Penunjukan Direktur untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK
dalam Konglomerasi Keuangan dilakukan sesuai dengan anggaran dasar
LJK sebagai Entitas Utama.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal …
- 9 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “independen” adalah tidak memiliki
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham baik
langsung maupun tidak langsung, dan/atau hubungan keluarga
sampai dengan derajat kedua baik vertikal maupun horizontal
dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris
lainnya, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah atau hubungan
lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi yang mendukung
tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris merupakan organ
Dewan Komisaris di luar struktur organisasi LJK.
Huruf …
- 10 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Laporan disertai dengan dokumen penunjukan Entitas Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi didasarkan atas hasil
penilaian …
- 11 -
penilaian sendiri (self assessment).
Ayat (2)
Peringkat terbaik dari 5 (lima) kategori peringkat Tata Kelola
Terintegrasi adalah peringkat 1 (satu).
Ayat (3)
Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disajikan
secara komparatif dengan posisi semester sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dapat digunakan
oleh Entitas Utama untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan secara
konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penilaian
tingkat kesehatan bank umum.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Sektor jasa keuangan terdiri dari sektor perbankan, sektor pasar
modal, dan sektor industri keuangan non bank.
Contoh:
Dalam hal Konglomerasi keuangan seluruhnya terdiri dari beberapa
perusahaan asuransi, maka penerapan Tata Kelola Terintegrasi
mengacu …
- 12 -
mengacu pada ketentuan mengenai Tata Kelola (good corporate
governance) untuk perusahaan asuransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Data dan informasi dari Entitas Utama digunakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam rangka melakukan evaluasi dan penilaian terhadap
penerapan Tata Kelola Terintegrasi yang dilakukan oleh Konglomerasi
Keuangan.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5627
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 8/POJK.03/2014 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 11 Juni 2014 </set_date>
<effective_date> 13 Juni 2014 </effective_date>
<issued_date> 13 Juni 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '9/1/PBI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 57 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK UMUM
YANG MELAKUKAN LAYANAN NASABAH PRIMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkatnya persaingan
usaha bank, diperlukan peningkatan penyediaan
layanan perbankan kepada suatu segmen nasabah
dengan keistimewaan tertentu;
b. bahwa dalam praktik penyediaan layanan perbankan
kepada suatu segmen nasabah dengan keistimewaan
tertentu terdapat potensi meningkatnya profil risiko
industri perbankan;
c. bahwa dengan terdapatnya potensi peningkatan risiko,
perlu diupayakan oleh industri perbankan untuk
memitigasi risiko yang diakibatkan oleh praktik
penyediaan layanan perbankan kepada suatu segmen
nasabah dengan keistimewaan tertentu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank
Umum yang Melakukan Layanan Nasabah Prima;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK UMUM
YANG MELAKUKAN LAYANAN NASABAH PRIMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri, dan bank umum syariah serta unit
usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor_21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
- 3 -
2. Nasabah Prima adalah perseorangan yang memenuhi
kriteria atau persyaratan tertentu yang ditetapkan
Bank untuk dapat memperoleh layanan atau
menggunakan fasilitas Bank dengan keistimewaan
tertentu dibandingkan dengan nasabah lain pada
umumnya.
3. Layanan Nasabah Prima yang selanjutnya disebut LNP
adalah bagian dari kegiatan usaha Bank dalam
menyediakan layanan terkait produk dan/atau
aktivitas dengan keistimewaan tertentu bagi Nasabah
Prima.
BAB II
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM MELAKUKAN
LAYANAN NASABAH PRIMA
Pasal 2
(1) Bank yang akan melakukan LNP yang memenuhi
kriteria sebagai aktivitas baru, wajib memperoleh
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Bank yang melakukan LNP wajib memiliki kebijakan
tertulis sebagai acuan.
(3) Kebijakan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disusun oleh direksi dan disetujui oleh dewan
komisaris.
(4) Kebijakan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit meliputi:
a. persyaratan Nasabah Prima;
b. ruang lingkup produk dan/atau aktivitas Bank;
c. cakupan keistimewaan LNP; dan
d. nama layanan (brand name) dan pengelompokan
Nasabah Prima.
(5) Bank dalam menetapkan pengelompokan Nasabah
Prima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d,
harus secara jelas membedakan keistimewaan layanan
untuk setiap kelompok Nasabah Prima.
- 4 -
Pasal 3
(1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara
umum dalam pelaksanaan LNP.
(2) Bank wajib menerapkan manajemen risiko pada aspek:
a. pendukung keistimewaan layanan; dan
b. transparansi, edukasi, dan perlindungan nasabah.
(3) Penerapan manajemen risiko pada aspek pendukung
keistimewaan layanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a paling sedikit mencakup:
a. ketersediaan sumber daya manusia yang memadai
sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas
LNP;
b. prosedur tertulis kegiatan LNP yang mengacu
pada ketentuan yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko dan ketentuan yang
mengatur mengenai Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT);
c. kesesuaian spesifikasi, karakteristik, dan risiko
dari produk dan/atau aktivitas yang ditawarkan
dengan karakteristik dan profil Nasabah Prima;
dan
d. ketersediaan teknologi informasi yang memadai.
(4) Penerapan manajemen risiko pada aspek transparansi,
edukasi, dan perlindungan nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit
mencakup:
a. spesifikasi LNP;
b. kesepakatan tertulis antara Bank dengan Nasabah
Prima;
c. mekanisme untuk memastikan kewenangan
pelaku transaksi; dan
d. penyampaian informasi kepada Nasabah Prima
mengenai posisi atau eksposur masing-masing
Nasabah Prima secara berkala.
- 5 -
Pasal 4
Bank wajib menatausahakan data, dokumen atau warkat
terkait transaksi keuangan dan aktivitas Nasabah Prima
dalam LNP.
BAB III
PERSETUJUAN DAN PELAPORAN
Pasal 5
(1) Bank yang akan melakukan LNP yang memenuhi
kriteria sebagai aktivitas baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) wajib:
a. bagi bank umum konvensional, menyampaikan
laporan rencana penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru yang mengacu pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum;
atau
b. bagi bank umum syariah, mengajukan
permohonan persetujuan penerbitan produk
dan/atau pelaksanaan aktivitas baru yang
mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai Produk dan Aktivitas Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
(2) Bank yang melakukan LNP yang memenuhi kriteria
sebagai aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) wajib:
a. bagi bank umum konvensional, menyampaikan
laporan realisasi penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru yang mengacu pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum;
atau
b. bagi bank umum syariah, menyampaikan laporan
realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas baru yang mengacu pada Peraturan
- 6 -
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Produk dan
Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
BAB IV
SANKSI
Pasal 6
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kegiatan Usaha dan
Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1),
Pasal_3 ayat (2), Pasal 4, dan/atau Pasal 5 dikenakan
sanksi administratif, berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank,
dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-
pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam
catatan administrasi Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan; dan/atau
e. pemberhentian pengurus Bank.
Pasal 7
Bank yang melanggar ketentuan yang terkait dengan
transparansi, edukasi, dan perlindungan nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana
diatur dalam Peraturan mengenai Transparansi Informasi
Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah serta
- 7 -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Pasal 8
Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Bank yang melanggar kewajiban
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 5 ayat (2) diatur:
a. bagi bank umum konvensional dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum; atau
b. bagi bank umum syariah dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Produk dan Aktivitas Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 9
Penyusunan kebijakan LNP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dan penerapan manajemen risiko dalam
kegiatan LNP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 paling
sedikit mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen
Risiko pada Bank Umum yang Melakukan LNP, yang
merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/29/DPNP
tanggal 9 Desember 2011 perihal Penerapan Manajemen
- 8 -
Risiko Pada Bank Umum Yang Melakukan Layanan
Nasabah Prima dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 288
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 57 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK UMUM
YANG MELAKUKAN LAYANAN NASABAH PRIMA
I. UMUM
Dengan semakin meningkatnya persaingan usaha di industri
perbankan, mendorong Bank untuk mengembangkan inovasi layanan
dalam menyediakan produk dan/atau aktivitas yang disesuaikan
dengan kebutuhan nasabah, khususnya suatu segmen nasabah
tertentu yang menginginkan Bank dapat memberikan layanan
perbankan secara lebih personal dan mendapatkan tambahan layanan
keistimewaan tertentu.
Selama ini upaya Bank untuk memenuhi kebutuhan nasabah
segmen tertentu berpotensi meningkatkan profil risiko perbankan,
khususnya risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, telah diatur secara bank wide antara
lain mengenai penerapan manajemen risiko, APU dan PPT, transparansi
informasi produk Bank, serta penggunaan data pribadi nasabah sebagai
acuan standar minimal bagi Bank dalam memberikan layanan kepada
nasabahnya.
Mengingat terdapat potensi risiko sebagaimana dikemukakan
di atas maka atas layanan tersebut dipandang perlu untuk memitigasi
risiko antara lain dengan cara merumuskan suatu standar minimal
sebagai pedoman penyusunan kebijakan dan penerapan manajemen
risiko pada aspek tertentu.
- 2 -
Standar minimal dimaksud antara lain didasarkan pada ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko, dan memperhatikan pengaturan mengenai APU dan
PPT, transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi
nasabah, serta perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
Melalui penerapan manajemen risiko, Bank diharapkan dapat
mengukur risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi dalam
praktik penyediaan layanan perbankan dengan keistimewaan tertentu
kepada suatu segmen nasabah tertentu.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Bank yang akan melakukan LNP yang memenuhi kriteria
sebagai aktivitas baru mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan
jaringan kantor berdasarkan modal inti bank dan/atau
produk dan aktivitas bank umum syariah dan unit usaha
syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Persyaratan Nasabah Prima berupa kriteria atau
persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh nasabah
untuk dapat diperlakukan sebagai Nasabah Prima.
Huruf b
Dalam menetapkan ruang lingkup produk dan/atau
aktivitas yang ditawarkan dalam LNP, Bank
memperhatikan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan
- 3 -
ketentuan lain yang mengatur mengenai produk
dan/atau aktivitas Bank.
Huruf c
Cakupan keistimewaan LNP meliputi layanan keuangan
dan/atau non keuangan.
Penetapan cakupan keistimewaan LNP memperhatikan
kepatuhan terhadap ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
dan ketentuan lain yang terkait.
Huruf d
Dalam melakukan LNP, Bank menetapkan nama layanan
(brand name) tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Penerapan manajemen risiko secara umum mengacu pada
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan
yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi
bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai dari
sisi kualitas dan sisi kuantitas, dengan memperhatikan
paling sedikit:
1. penetapan persyaratan dan kualifikasi untuk
jabatan tertentu dalam melakukan LNP;
2. penetapan wewenang dan tanggung jawab yang
jelas;
3. penerapan prinsip know your employee;
4. sistem remunerasi yang jelas dan transparan;
- 4 -
5. kebijakan pengendalian risiko yang terkait dengan
manajemen sumber daya manusia antara lain
rekrutmen, promosi, rotasi, mutasi, dan cuti; dan/atau
6. kebijakan evaluasi secara berkala.
Huruf b
Prosedur tertulis kegiatan LNP mencakup setiap produk
dan/atau aktivitas yang ditawarkan kepada Nasabah
Prima.
Penetapan prosedur khusus pada LNP harus memenuhi
ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen
risiko terutama pada aspek pengendalian intern dan
ketentuan yang mengatur mengenai APU dan PPT.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Teknologi informasi yang memadai antara lain dapat
menghasilkan laporan yang akurat dan komprehensif
dalam melakukan LNP baik untuk kepentingan Bank
maupun Nasabah Prima serta memastikan keamanan
data dan informasi yang ada.
Ayat (4)
Huruf a
Spesifikasi LNP antara lain mencakup:
1. nama LNP;
2. masing-masing kelompok Nasabah Prima dalam LNP
dan kriterianya beserta cakupan keistimewaan
layanan yang diberikan; dan
3. karakteristik, termasuk risiko dari produk dan/atau
aktivitas yang ditawarkan kepada Nasabah Prima.
Huruf b
Kesepakatan tertulis paling sedikit memuat hak dan
kewajiban masing-masing pihak, serta tata cara
penyelesaian apabila terjadi perselisihan.
- 5 -
Huruf c
Mekanisme dimaksud bertujuan untuk memastikan
bahwa transaksi dilakukan oleh Nasabah Prima atau
kuasa yang mewakili Nasabah Prima sesuai kesepakatan
tertulis dengan Nasabah Prima.
Huruf d
Penyampaian informasi kepada Nasabah Prima mengenai
posisi atau eksposur masing-masing Nasabah Prima
didasarkan pada kesepakatan tertulis dengan Nasabah
Prima.
Pasal 4
Data yang wajib ditatausahakan paling sedikit meliputi:
1. jumlah nasabah;
2. volume produk yang dijual;
3. kantor yang memberikan layanan; dan
4. informasi terkait lainnya yang selalu dikinikan secara berkala.
Penatausahaan dilakukan antara lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai dokumen
perusahaan, ketentuan yang mengatur mengenai APU dan PPT,
serta kebijakan dan prosedur intern Bank.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5982
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 57/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK UMUM YANG MELAKUKAN LAYANAN NASABAH PRIMA </reg_title>
<set_date> 7 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 9 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 9 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '13/29/DPNP|SE-BI/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 58 /POJK.04/2016
TENTANG
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
BURSA EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan tata kelola Bursa Efek
yang baik dan berdaya saing global, serta meningkatkan
kompetensi dan integritas Direksi dan Dewan Komisaris Bursa
Efek, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Direksi dan
Dewan Komisaris Bursa Efek dengan menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan Komisaris
Bursa Efek;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DIREKSI
DAN DEWAN KOMISARIS BURSA EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Direksi adalah organ Bursa Efek yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Bursa Efek
untuk kepentingan Bursa Efek, sesuai dengan maksud
dan tujuan Bursa Efek serta mewakili Bursa Efek, baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
2. Dewan Komisaris adalah organ Bursa Efek yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus
sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi.
3. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak-
Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di
antara mereka.
4. Anggota Bursa Efek adalah Perantara Pedagang Efek
yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan dan mempunyai hak untuk mempergunakan
sistem dan/atau sarana Bursa Efek sesuai dengan
peraturan Bursa Efek.
5. Komite Remunerasi adalah komite ad hoc yang dibentuk
oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris
dalam membantu melaksanakan fungsi dan tugas Dewan
Komisaris untuk mengkaji dan mengusulkan gaji dan
manfaat lain bagi anggota Direksi, serta honorarium
- 3 -
termasuk metode penentuannya, bagi anggota Dewan
Komisaris.
6. Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan adalah
komite ad hoc yang dibentuk oleh Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bursa
Efek.
7. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya
disingkat RUPS, adalah organ Bursa Efek yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran
dasar.
BAB II
DIREKSI BURSA EFEK
Bagian Kesatu
Keanggotaan Direksi
Pasal 2
(1) Bursa Efek wajib mempunyai paling sedikit 3 (tiga) orang
anggota Direksi.
(2) Satu di antara anggota Direksi Bursa Efek wajib
ditetapkan sebagai direktur utama Bursa Efek dengan
tugas utama paling sedikit:
a. mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat
Direksi tidak dapat mengambil keputusan; dan
b. melakukan koordinasi kegiatan di Bursa Efek,
kegiatan hubungan masyarakat, kegiatan hukum
dan peraturan, dan kegiatan pemeriksaan internal.
(3) Anggota Direksi Bursa Efek selain direktur utama wajib
ditetapkan sebagai anggota Direksi Bursa Efek yang
paling sedikit bertanggung jawab terhadap 1 (satu) atau
lebih kegiatan sebagai berikut:
- 4 -
a. pencatatan, yang paling sedikit bertanggung jawab
atas:
1. pembuatan
peraturan pencatatan dan
penghapusan pencatatan Efek;
2. perilaku Emiten yang tercatat di Bursa Efek dan
Biro Administrasi Efek;
3. koordinasi dan pengawasan aksi korporasi
Emiten yang tercatat di Bursa Efek; dan
4. pengelolaan pelatihan dan pendidikan pada
Emiten yang tercatat di Bursa Efek dan Biro
Administrasi Efek;
b. keanggotaan Bursa Efek dan partisipan, yang paling
sedikit bertanggung jawab atas:
1. pembuatan peraturan mengenai persyaratan
keanggotaan Bursa Efek dan partisipan;
2. kewajiban pelaporan Anggota Bursa Efek dan
partisipan;
3. pengawasan Anggota Bursa Efek dan partisipan;
dan
4. pengelolaan pelatihan dan pendidikan Anggota
Bursa Efek dan partisipan;
c. perdagangan, yang paling sedikit bertanggung jawab
atas:
1. pembuatan peraturan perdagangan, kliring dan
penyelesaian Transaksi Bursa; dan
penyelenggaraan
2. kelancaran
perdagangan di Bursa Efek;
d. pengawasan perdagangan, yang paling sedikit
bertanggung jawab atas:
1. penyusunan
parameter
perdagangan; dan
2. pelaksanaan pengawasan perdagangan secara
efektif;
e. pemeriksaan Anggota Bursa Efek dan partisipan,
yang bertanggung jawab atas:
1. penyusunan pedoman pemeriksaan Anggota
Bursa Efek dan partisipan; dan
pengawasan
kegiatan
- 5 -
2. pelaksanaan pemeriksaan dan pemantauan
pemeriksaan Anggota Bursa Efek dan partisipan
secara efektif;
f.
riset dan pengembangan usaha, yang paling sedikit
bertanggung jawab atas:
1. pelaksanaan kegiatan riset dan pengembangan
pencatatan, keanggotaan
perdagangan dan pengawasan perdagangan; dan
2. pengembangan usaha Bursa Efek;
g. sistem teknologi informasi, yang paling sedikit
bertanggung jawab melaksanakan penyediaan dan
pengelolaan sistem teknologi dan informasi
pencatatan, keanggotaan Bursa Efek, perdagangan,
serta pengawasan perdagangan; dan
h. keuangan dan sumber daya manusia, yang paling
sedikit bertanggung jawab atas:
1. kegiatan perencanaan keuangan;
2. pengendalian anggaran tahunan;
3. administrasi dan pengembangan sumber daya
manusia; dan
4. administrasi umum.
Pasal 3
(1) Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan jadwal dan
agenda RUPS dalam rangka pengangkatan anggota
Direksi Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 121 (seratus dua puluh satu) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek.
(2) Dewan Komisaris Bursa Efek menelaah jumlah
kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Bursa Efek serta
mengajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 116 (seratus enam belas) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek.
(3) Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota
Direksi Bursa Efek, Dewan Komisaris dapat membentuk
komite dengan atau tanpa melibatkan pihak lain, dengan
berpedoman pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
Bursa Efek,
- 6 -
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Perizinan Bursa Efek, dan
struktur organisasi Bursa Efek.
(4) Dalam menentukan jabatan anggota Direksi Bursa Efek,
Dewan Komisaris wajib memperhatikan kegiatan yang
menjadi tanggung jawab masing-masing jabatan anggota
Direksi Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) dan ayat (3).
(5) Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris belum
mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota
Direksi Bursa Efek, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
menetapkan langsung jumlah kebutuhan dan jabatan
anggota Direksi Bursa Efek.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah
kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Bursa Efek paling
lambat 106 (seratus enam) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek.
(7) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan belum
menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota
Direksi Bursa Efek, berlaku jumlah kebutuhan dan
jabatan anggota Direksi Bursa Efek periode sebelumnya.
Pasal 4
Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan
kebutuhan operasional Bursa Efek, Otoritas Jasa Keuangan
dapat menambah anggota Direksi Bursa Efek dalam Direksi
Bursa Efek yang sedang menjabat.
Bagian Kedua
Persyaratan Anggota Direksi dan Susunan Direksi
Pasal 5
Anggota Direksi Bursa Efek wajib memenuhi persyaratan:
a. integritas meliputi:
- 7 -
1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan
cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik;
3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang
dinyatakan bersalah atau turut bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum
dicalonkan;
5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit
Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka
waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan
diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari
6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku
yang diberikan dari kepolisian jika kurang dari 6
(enam) bulan;
6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material
atas ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan; dan
7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Bursa Efek dan Pasar Modal Indonesia; dan
b. kompetensi meliputi:
1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan
pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal
termasuk perkembangan Pasar Modal internasional;
2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik
dan prinsip pengelolaan risiko; dan
3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang
cukup.
Pasal 6
Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf b angka 3, anggota Direksi Bursa Efek wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- 8 -
a. dalam hal Direksi Bursa Efek terdiri dari 3 (tiga) atau 4
(empat) orang:
1. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek
wajib mempunyai pengalaman dalam posisi anggota
direksi pada perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan paling singkat 5 (lima) tahun, dengan
ketentuan
paling singkat 3 (tiga) tahun
berpengalaman pada posisi anggota direksi di
Perusahaan Efek;
2. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek
wajib berpengalaman pada posisi manajerial paling
rendah 1 (satu) tingkat di bawah direktur atau
jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar
Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan
kegiatannya, paling singkat 5 (lima) tahun; dan
3. khusus bagi anggota Direksi Bursa Efek yang
bertanggung jawab di bidang teknologi informasi,
wajib berpengalaman dalam posisi manajerial pada
bidang teknologi informasi paling singkat 5 (lima)
tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai sistem informasi perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan.
b. dalam hal Direksi Bursa Efek terdiri dari 5 (lima) orang
atau lebih:
1. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek
wajib mempunyai pengalaman dalam posisi anggota
direksi pada perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan paling singkat 5 (lima) tahun, dengan
ketentuan
paling singkat 3 (tiga) tahun
berpengalaman pada posisi anggota direksi di
Perusahaan Efek;
2. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek
wajib berpengalaman pada posisi manajerial paling
rendah 1 (satu) tingkat di bawah direktur atau
jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar
- 9 -
Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan
kegiatannya, paling singkat 5 (lima) tahun;
3. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek
wajib mempunyai pengalaman dalam posisi
manajerial pada bidang pengelolaan risiko dan/atau
pengelolaan investasi pada perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan, atau mempunyai
pengalaman sebagai profesional di bidang hukum,
akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara
aktif dalam bidang Pasar Modal, paling singkat 5
(lima) tahun; dan
4. khusus bagi anggota Direksi Bursa Efek yang
bertanggung jawab di bidang teknologi informasi,
wajib berpengalaman dalam posisi manajerial pada
bidang teknologi informasi paling singkat 5 (lima)
tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai sistem informasi perusahaan yang
bergerak di bidang keuangan; dan
c. Jangka waktu atau masa pengalaman anggota Direksi
Bursa Efek dalam posisi manajerial, anggota direksi, atau
direktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b dihitung sampai dengan tanggal pelaksanaan
RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek.
Pasal 7
Anggota Direksi Bursa Efek yang diajukan sebagai direktur
utama Bursa Efek, wajib mempunyai jiwa kepemimpinan yang
kuat.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Direksi
Pasal 8
(1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Direksi Bursa
Efek dilakukan oleh kelompok Anggota Bursa Efek
- 10 -
dengan paling sedikit terdiri dari 10 (sepuluh) Anggota
Bursa Efek, dengan persyaratan sebagai berikut:
a. 10 (sepuluh) atau lebih Anggota Bursa Efek tersebut
telah melakukan transaksi Efek secara bersama-
sama paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total
frekuensi dan nilai perdagangan Efek di Bursa Efek
selama 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum
pengajuan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. setiap Anggota Bursa Efek hanya dapat menjadi
anggota pada 1 (satu) kelompok Anggota Bursa Efek.
(2) Dalam pencalonan anggota Direksi Bursa Efek, kelompok
Anggota Bursa Efek yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-
sama bertanggung jawab untuk:
a. mencari dan menyeleksi calon anggota Direksi Bursa
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. meneliti bahwa setiap calon anggota Direksi Bursa
Efek tersebut mempunyai keahlian, pengalaman dan
tanggung jawab untuk setiap jabatan dan kegiatan
yang menjadi tugas jabatannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, dan Pasal 6; dan
c. merekomendasikan gaji serta manfaat lain bagi
setiap calon anggota Direksi Bursa Efek dengan
mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika
ada).
(3) Calon anggota Direksi Bursa Efek wajib diajukan kepada
Otoritas Jasa Keuangan oleh kelompok Anggota Bursa
Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu)
kesatuan paket calon Direksi Bursa Efek dengan
memenuhi ketentuan jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7.
(4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota
Direksi Bursa Efek untuk mengisi jabatan anggota
Direksi Bursa Efek yang lowong atau untuk menambah
calon anggota Direksi Bursa Efek.
- 11 -
Pasal 9
(1) Dalam pengajuan calon anggota Direksi Bursa Efek
kepada Otoritas Jasa Keuangan, kelompok Anggota
Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua), dokumen
sebagai berikut:
a. riwayat hidup calon anggota Direksi Bursa Efek;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota
Direksi Bursa Efek;
c.
fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang
menunjukkan keahlian dari calon anggota Direksi
Bursa Efek (jika ada);
d. surat pernyataan dari setiap Pihak yang diajukan
sebagai calon anggota Direksi Bursa Efek yang
memuat paling sedikit:
1. menyatakan bahwa yang bersangkutan telah
memenuhi ketentuan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 7;
2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan
Afiliasi calon anggota Direksi Bursa Efek
dengan calon anggota Direksi lain dari Bursa
Efek, anggota Dewan Komisaris Bursa Efek,
Anggota Bursa Efek, Emiten, atau Perusahaan
Publik yang Efek-nya tercatat di Bursa Efek
dalam paket yang diajukan;
3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses
penilaian kemampuan dan kepatutan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan
bersedia dipilih menjadi calon anggota Direksi
Bursa Efek oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) dan ayat (3), yang berbeda dengan
jabatan yang diajukan oleh kelompok Anggota
Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1);
- 12 -
4. bersedia untuk diangkat menjadi anggota
Direksi Bursa Efek oleh RUPS yang
bertanggung jawab untuk kegiatan yang
menjadi tugasnya dan untuk bekerja sama
sebaik-baiknya dengan
anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi lain dari Bursa
Efek dalam rangka pelaksanaan kegiatan Bursa
Efek yang teratur, wajar, dan efisien;
5. menyatakan tidak melakukan perangkapan
jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan
komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau
institusi lain, apabila yang bersangkutan
terpilih sebagai anggota Direksi Bursa Efek;
6. menyatakan bahwa calon anggota Direksi Bursa
Efek setelah menjadi anggota Direksi Bursa
Efek tidak akan menggunakan aset Bursa Efek
atau melakukan transaksi dan memberi
manfaat dalam bentuk apapun kepada Afiliasi
dari calon anggota Direksi Bursa Efek, anggota
Direksi lain dari Bursa Efek, Afiliasi dari
anggota Direksi lain Bursa Efek, anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek, dan/atau Afiliasi dari
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek; dan
7. menyatakan paling sedikit:
a) kesediaan untuk tidak memiliki saham
atau sebagai pengendali baik langsung
atau tidak langsung Perusahaan Efek
selama menjabat sebagai anggota Direksi
Bursa Efek paling lambat 6 (enam) bulan
sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi
Bursa Efek dan dalam jangka waktu
tersebut, yang bersangkutan bersedia
untuk tidak memiliki hak suara dalam
RUPS;
b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik
langsung atau tidak langsung Emiten atau
Perusahaan Publik; dan/ atau
- 13 -
c) kesediaan untuk tidak mentransaksikan
saham Emiten atau Perusahaan Publik
yang dimilikinya sampai dengan 6 (enam)
bulan setelah masa jabatannya berakhir;
e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga)
lembar;
h. surat keterangan mengenai proses mencari,
menyeleksi, dan meneliti calon anggota Direksi
Bursa Efek dari kelompok Anggota Bursa Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
termasuk rekomendasi mengenai gaji dan manfaat
lain apabila calon anggota Direksi Bursa Efek
diangkat menjadi anggota Direksi Bursa Efek, yang
menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan
secara profesional dan tidak terdapat kepentingan
lain termasuk kepentingan karena hubungan
Afiliasi, melainkan hanya untuk kepentingan Bursa
Efek khususnya dan Pasar Modal pada umumnya;
dan
i.
rencana strategis calon anggota Direksi Bursa Efek
yang sejalan dengan visi dan misi Bursa Efek.
(2) Pengajuan nama calon anggota Direksi Bursa Efek oleh
kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 56 (lima puluh
enam) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi
Bursa Efek.
- 14 -
Bagian Keempat
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Direksi
Pasal 10
(1) Setiap calon anggota Direksi Bursa Efek yang diajukan
wajib menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan
yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan.
(2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima)
orang, yaitu Deputi Komisioner sebagai ketua merangkap
anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat
direktur sebagai anggota.
(3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan
wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
(4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota
Direksi Bursa Efek paling sedikit melalui penelitian
administratif dan wawancara, dan/atau permintaan
presentasi yang paling sedikit meliputi rencana strategis
pengembangan Bursa Efek ke depan.
(5) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan atas setiap calon
anggota Direksi Bursa Efek secara individual sesuai
dengan jabatan yang diusulkan.
(6) Dalam hal diperlukan, Komite Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan dapat melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan terhadap calon anggota Direksi Bursa Efek
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk jabatan
anggota Direksi Bursa Efek yang lain.
(7) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
calon anggota Direksi Bursa Efek, Komite Penilaian
Kemampuan Dan Kepatutan dapat dibantu oleh
narasumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari
luar Otoritas Jasa Keuangan.
- 15 -
Pasal 11
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk
menentukan dan menilai bahwa calon anggota Direksi
Bursa Efek memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7 serta
merupakan calon terbaik untuk menduduki setiap
jabatan anggota Direksi Bursa Efek.
(2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Direksi Bursa Efek untuk setiap jabatan wajib
memperhatikan komposisi calon anggota Direksi Bursa
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 12
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan
proses pencalonan atas calon anggota Direksi Bursa Efek
apabila calon tersebut menjalani proses hukum.
Pasal 13
Dewan Komisioner menetapkan calon anggota Direksi Bursa
Efek untuk setiap jabatan dengan memperhatikan hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh
Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
Pasal 14
Berdasarkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan posisi
jabatan calon anggota Direksi yang berbeda dengan posisi
jabatan yang diajukan oleh kelompok Anggota Bursa Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 15
(1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Direksi Bursa
Efek yang terpilih dari hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(4) untuk 1 (satu) atau lebih jabatan anggota Direksi,
- 16 -
Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada setiap
kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) untuk mengajukan calon anggota
Direksi Bursa Efek lain untuk posisi jabatan yang
calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan
dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan,
paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah
permohonan memenuhi syarat dan diterima secara
lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dapat mengajukan kembali calon
anggota Direksi Bursa Efek lain untuk posisi jabatan
yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas
hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa
Efek, dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (1).
(3) Otoritas
Jasa Keuangan melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota
Direksi Bursa Efek lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 16
(1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) sudah lengkap dan telah memenuhi
persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan
daftar calon anggota Direksi Bursa Efek terpilih untuk
setiap jabatan anggota Direksi beserta fotokopi dokumen
calon anggota Direksi Bursa Efek kepada Direksi Bursa
Efek paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS
pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek.
(2) Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan kepada semua
pemegang saham, daftar calon anggota Direksi Bursa
Efek beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) hari kerja
- 17 -
setelah diterimanya daftar calon anggota Direksi Bursa
Efek dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Daftar calon anggota Direksi Bursa Efek beserta fotokopi
dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang
saham dan publik.
Bagian Kelima
RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Direksi
Pasal 17
(1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan
RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum
dilakukannya pemanggilan RUPS, dengan memuat paling
sedikit rencana pengangkatan anggota Direksi Bursa
Efek.
(2) Pemanggilan RUPS Bursa Efek untuk mengangkat
anggota Direksi Bursa Efek dilakukan paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum RUPS dimaksud, dengan
tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal
RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana
pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek.
Pasal 18
(1) Pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek dilakukan oleh
RUPS berdasarkan calon anggota Direksi yang dipilih
oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan jabatannya
masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1).
(2) Prosedur pengangkatan calon anggota Direksi Bursa Efek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk
pengangkatan calon anggota Direksi Bursa Efek untuk
mengisi jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang lowong
atau untuk menambah calon anggota Direksi Bursa Efek.
- 18 -
(3) RUPS untuk mengangkat anggota Direksi Bursa Efek
wajib dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu
anggota Dewan Komisaris dalam hal komisaris utama
berhalangan.
Pasal 19
(1) Pada saat RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa
Efek, calon anggota Direksi Bursa Efek yang telah
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib
menjelaskan rencana strategis kepada pemegang saham.
(2) Penjelasan dapat juga disampaikan dalam forum lainnya
sebelum RUPS yang memungkinkan pemegang saham
melakukan interaksi dengan calon anggota Direksi Bursa
Efek.
Pasal 20
RUPS menyetujui dan menetapkan gaji dan manfaat lain bagi
anggota Direksi Bursa Efek yang diajukan oleh kelompok
Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1).
Bagian Keenam
Larangan Anggota Direksi
Pasal 21
(1) Anggota Direksi Bursa Efek dilarang mempunyai
hubungan Afiliasi dengan anggota Direksi lain dari Bursa
Efek dan/atau anggota Dewan Komisaris Bursa Efek.
(2) Anggota Direksi Bursa Efek dilarang memiliki saham
atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak
langsung Perusahaan Efek.
(3) Dalam hal anggota Direksi Bursa Efek memiliki saham
atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak
langsung Perusahaan Efek, saham tersebut wajib
dialihkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak RUPS
pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek, dan dalam
- 19 -
jangka waktu tersebut yang bersangkutan dilarang
menggunakan hak suara dalam RUPS Perusahaan Efek
dimaksud.
(4) Anggota Direksi Bursa Efek dilarang mengendalikan baik
langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan
Publik dan/atau dilarang mentransaksikan saham
Emiten atau Perusahaan Publik.
(5) Dalam hal anggota Direksi Bursa Efek diangkat oleh
RUPS telah memiliki saham Emiten atau Perusahaan
Publik, saham tersebut tidak dapat ditransaksikan
sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya
berakhir.
(6) Anggota Direksi Bursa Efek dilarang melakukan
perangkapan jabatan sebagai anggota direksi, anggota
dewan komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau
institusi lain dalam jabatan apapun.
Bagian Ketujuh
Jabatan Anggota Direksi
Pasal 22
(1) Masa jabatan anggota Direksi Bursa Efek adalah 3 (tiga)
tahun terhitung sejak RUPS pengangkatan anggota
Direksi Bursa Efek sampai dengan penutupan RUPS
tahun ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. apabila seorang anggota Direksi Bursa Efek diangkat
untuk mengisi jabatan anggota Direksi Bursa Efek
yang lowong atau untuk menambah calon anggota
Direksi Bursa Efek, masa jabatan anggota Direksi
Bursa Efek tersebut berlaku selama sisa masa
jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang sedang
menjabat;
b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi
seorang anggota Direksi Bursa Efek adalah jika yang
bersangkutan menjabat selama paling sedikit 2/3
- 20 -
(dua per tiga) dari masa jabatan Direksi Bursa Efek;
dan
c. keseluruhan masa jabatan anggota Direksi pada
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling
banyak 3 (tiga) kali masa jabatan.
(2) Berakhirnya masa jabatan Direksi Bursa Efek wajib
diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan Dewan
Komisaris Bursa Efek.
Pasal 23
(1) Dalam hal anggota Direksi Bursa Efek tidak lagi
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 sampai dengan Pasal 7, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a.
anggota Direksi Bursa Efek tersebut wajib diganti
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak yang bersangkutan dinyatakan oleh Otoritas
Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi syarat;
b.
kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti
anggota Direksi Bursa Efek kepada Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan prosedur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9; dan
c.
calon anggota Direksi Bursa Efek pengganti
tersebut wajib memenuhi Pasal 5 sampai dengan
Pasal 7.
(2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Bursa Efek
yang lowong, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. jabatan anggota Direksi Bursa Efek tersebut wajib
diisi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak jabatan anggota Direksi Bursa Efek
dimaksud lowong; dan
b. kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) wajib segera mengajukan calon anggota
- 21 -
Direksi Bursa Efek yang akan mengisi jabatan
lowong kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9.
(3) Dalam hal terjadi:
a.
jabatan direktur utama Bursa Efek lowong, salah
satu anggota Direksi Bursa Efek wajib ditunjuk
berdasarkan keputusan Direksi Bursa Efek yang
bertindak sebagai pejabat sementara untuk
melaksanakan tugas dan wewenang direktur utama
yang lowong tersebut sampai dengan diangkatnya
pengganti, setelah mendapat persetujuan Dewan
Komisaris;
b.
jabatan anggota Direksi Bursa Efek selain direktur
utama lowong, tugas dan wewenang anggota Direksi
tersebut berdasarkan keputusan rapat Direksi Bursa
Efek wajib dialihkan kepada anggota Direksi Bursa
Efek yang lain sampai dengan diangkatnya
pengganti, setelah mendapat persetujuan Dewan
Komisaris; dan
c. penunjukan sementara direktur utama Bursa Efek
atau pengalihan tugas dan wewenang anggota
Direksi Bursa Efek wajib dilaporkan oleh Direksi
Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 2 (dua) hari setelah penunjukan atau
pengalihan.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan
anggota Direksi Bursa Efek yang lowong sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diisi setelah
mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan
operasional Bursa Efek.
(5) Batas waktu penggantian dan/atau pengisian anggota
Direksi Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat ditentukan lain oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
- 22 -
(6) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Bursa Efek
yang lowong atau dalam hal adanya pengunduran diri
anggota Direksi Bursa Efek, Direksi Bursa Efek wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui atau
diterimanya surat pengunduran diri oleh Direksi Bursa
Efek.
(7) Dalam pengisian jabatan anggota Direksi Bursa Efek
yang lowong dan/atau diperlukannya tambahan anggota
Direksi Bursa Efek berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pengisian atau penambahan anggota Direksi Bursa
Efek wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9;
b. calon anggota Direksi Bursa Efek yang akan
diajukan wajib bersedia bekerja sama dengan
anggota Direksi Bursa Efek yang ada; dan
c. penambahan anggota Direksi Bursa Efek yang baru
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, dan pelaksanaannya wajib
memenuhi ketentuan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 9.
Pasal 24
Masa jabatan anggota Direksi Bursa Efek berakhir dengan
sendirinya apabila:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau
turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana;
e. berhalangan tetap;
f. meninggal dunia; dan/atau
g. masa jabatan berakhir.
- 23 -
Pasal 25
(1) Anggota Direksi Bursa Efek dapat diberhentikan dari
jabatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila:
a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa
keuangan;
c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan;
d. tidak mempunyai komitmen terhadap
pengembangan Bursa Efek; dan/atau
e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberhentikan
sementara dan/atau terjadi kekosongan atas seluruh
anggota Direksi Bursa Efek, Kepala Eksekutif Pengawas
Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan dapat menunjuk
dan menetapkan Dewan Komisaris Bursa Efek untuk
melaksanakan fungsi Direksi Bursa Efek hingga
diangkatnya anggota Direksi yang baru oleh RUPS.
(3) Dalam hal tidak terdapat anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek yang dapat melaksanakan fungsi Direksi
Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
berdasarkan usulan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar
Modal, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dapat
menunjuk dan menetapkan pihak lain sebagai
manajemen sementara Bursa Efek.
Pasal 26
(1) Pembagian tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) dan ayat (3) wajib ditetapkan dalam struktur
organisasi Bursa Efek dan uraian jabatan Bursa Efek.
(2) Penetapan dan/atau perubahan struktur organisasi
Bursa Efek sampai 1 (satu) tingkat di bawah
anggota Direksi wajib mendapat persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.
- 24 -
Pasal 27
Dalam hal Direksi Bursa Efek menganggap anggota Direksi
Bursa Efek yang bertanggung jawab dan menjalankan tugas
atas beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan pada saat
yang bersangkutan diangkat, tidak dapat melaksanakan
sebagian tugasnya, berdasarkan keputusan rapat Direksi,
sebagian tugasnya dapat dialihkan kepada anggota Direksi
Bursa Efek lain yang dianggap mampu untuk menjalankan
tugas setelah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris,
dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 28
Anggota Direksi Bursa Efek yang tidak lagi menjabat sebagai
anggota Direksi Bursa Efek karena sebab apapun, tidak
berhak menerima gaji dan manfaat lainnya dari Bursa Efek
kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan
sepanjang disetujui oleh RUPS dengan ketentuan jumlah
kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih
besar dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan.
BAB III
DEWAN KOMISARIS BURSA EFEK
Bagian Kesatu
Keanggotaan Dewan Komisaris
Pasal 29
(1) Bursa Efek wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang
anggota Dewan Komisaris.
(2) Satu di antara anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
wajib ditetapkan sebagai komisaris utama.
Pasal 30
(1) Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan jadwal dan
agenda RUPS dalam rangka pengangkatan anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum
- 25 -
RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa
Efek.
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah
kebutuhan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek paling
lambat 50 (lima puluh) hari sebelum RUPS pengangkatan
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek.
(3) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan belum
menetapkan jumlah kebutuhan anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek, berlaku jumlah kebutuhan
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek periode
sebelumnya.
(4) Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan
kebutuhan operasional Bursa Efek, Otoritas Jasa
Keuangan dapat menambah anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek dalam Dewan Komisaris Bursa Efek yang
sedang menjabat.
Bagian Kedua
Persyaratan Anggota Dewan Komisaris dan Susunan Dewan
Komisaris
Pasal 31
Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
integritas meliputi:
1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan
cakap melakukan perbuatan hukum;
2. memiliki akhlak dan moral yang baik;
3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang
dinyatakan bersalah atau turut bersalah
menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum
dicalonkan;
- 26 -
5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit
Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka
waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan
diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari
6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku
yang diberikan dari kepolisian jika kurang dari 6
(enam) bulan;
6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material
atas ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan; dan
7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Bursa Efek dan Pasar Modal Indonesia; dan
b. kompetensi meliputi:
1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan
pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal;
2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik
dan prinsip pengelolaan risiko; dan
3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang
cukup.
Pasal 32
(1) Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 huruf b angka 3, anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri dari 3
(tiga) atau 4 (empat) orang:
1. paling sedikit seorang anggota Dewan Komisaris
merupakan anggota direksi Anggota Bursa Efek
dan telah menjabat paling singkat 2 (dua)
tahun;
2. seorang anggota Dewan Komisaris merupakan
anggota direksi pada Emiten atau Perusahaan
Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek
Emiten atau Perusahaan Publik tersebut
- 27 -
dicatatkan dan telah menjabat paling singkat 2
(dua) tahun; dan
3. seorang anggota Dewan Komisaris wajib:
a) berpengalaman pada posisi manajerial
pada institusi pengawas Pasar Modal
paling singkat 5 (lima) tahun atau pernah
menjadi pimpinan pada institusi pengawas
jasa keuangan;
b) berpengalaman pada posisi direktur pada
organisasi yang diberi kewenangan oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal untuk mengatur
pelaksanaan kegiatannya paling singkat 2
(dua) tahun; atau
c) merupakan profesional di bidang hukum,
akuntansi, atau keuangan yang berpraktik
secara aktif dalam bidang Pasar Modal
paling singkat 5 (lima) tahun; atau
b. dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri dari 5
(lima) orang:
1. 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris
merupakan anggota direksi Anggota Bursa Efek
dan telah menjabat paling singkat 2 (dua)
tahun;
2. seorang anggota Dewan Komisaris merupakan
anggota direksi pada Emiten atau Perusahaan
Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek
Emiten atau Perusahaan Publik tersebut
dicatatkan dan telah menjabat paling singkat 2
(dua) tahun;
3. seorang anggota Dewan Komisaris wajib
berpengalaman pada:
a) posisi manajerial pada institusi pengawas
Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun
atau pernah menjadi pimpinan pada
institusi pengawas jasa keuangan; atau
- 28 -
b) posisi anggota direksi pada organisasi yang
diberi kewenangan oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya
paling singkat 2 (dua) tahun; dan
4. seorang anggota Dewan Komisaris merupakan
profesional di bidang hukum, akuntansi, atau
keuangan yang berpraktik secara aktif dalam
bidang Pasar Modal paling singkat 5 (lima)
tahun; atau
c. dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri lebih dari
5 (lima) orang:
1. paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris merupakan anggota direksi Anggota
Bursa Efek dan telah menjabat paling singkat 2
(dua) tahun;
2. paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris merupakan anggota direksi pada
Emiten atau Perusahaan Publik yang tercatat di
Bursa Efek dimana Efek Emiten atau
Perusahaan Publik tersebut dicatatkan dan
telah menjabat paling singkat 2 (dua) tahun;
dan
3. paling sedikit seorang anggota Dewan Komisaris
wajib berpengalaman pada:
a) posisi manajerial pada institusi pengawas
Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun
atau pernah menjadi pimpinan pada
institusi pengawas jasa keuangan; atau
b) posisi direktur pada organisasi yang diberi
kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk
mengatur pelaksanaan kegiatannya paling
singkat 2 (dua) tahun; dan
c) paling sedikit seorang anggota Dewan
Komisaris merupakan profesional di bidang
hukum, akuntansi, atau keuangan yang
- 29 -
berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar
Modal paling singkat 5 (lima) tahun.
(2) Dua atau lebih anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
dilarang berasal dari perusahaan yang sama atau berasal
dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan
baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang
sama.
(3) Jangka waktu atau masa pengalaman calon anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek dalam posisi manajerial,
anggota direksi, atau direktur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung sampai dengan tanggal
pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Dewan
Komisaris
Pasal 33
(1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek dilakukan oleh kelompok Anggota
Bursa Efek dengan paling sedikit terdiri dari 10 (sepuluh)
Anggota Bursa Efek, dengan persyaratan sebagai berikut:
a. 10 (sepuluh) atau lebih Anggota Bursa Efek tersebut
telah melakukan transaksi Efek secara bersama-
sama paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total
frekuensi dan nilai perdagangan Efek di Bursa Efek
selama 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum
pengajuan kepada Otoritas jasa Keuangan; dan
b. setiap Anggota Bursa Efek hanya dapat menjadi
anggota pada 1 (satu) kelompok Anggota Bursa Efek.
(2) Dalam pencalonan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek,
kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
bersama-sama bertanggung jawab untuk:
a. mencari dan menyeleksi calon anggota Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
- 30 -
b. meneliti tingkat keahlian, pengalaman dan tanggung
jawab sebagai anggota Dewan Komisaris sesuai
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
c. merekomendasikan honorarium bagi setiap calon
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dengan
mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika
ada).
(3) Calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek wajib
diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh kelompok
Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam 1 (satu) kesatuan paket calon anggota Dewan
Komisaris.
(4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek untuk mengisi jabatan
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang lowong atau
untuk menambah calon anggota Dewan Komisaris Bursa
Efek.
Pasal 34
(1) Dalam pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Bursa
Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan, kelompok Anggota
Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen
sebagai berikut:
a. riwayat hidup calon anggota Dewan Komisaris Bursa
Efek;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek;
c.
fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang
menunjukkan tingkat keahlian dari calon anggota
Dewan Komisaris (jika ada);
d. surat pernyataan dari setiap pihak yang diajukan
sebagai calon anggota Dewan Komisaris yang
memuat paling sedikit:
1. menyatakan bahwa calon anggota Dewan
Komisaris
telah memenuhi ketentuan
- 31 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan
Pasal 32;
2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan
Afiliasi calon anggota Dewan Komisaris dengan
Anggota Bursa Efek, Emiten atau Perusahaan
Publik yang Efek-nya tercatat di Bursa Efek;
3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses
penilaian kemampuan dan kepatutan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
4. bersedia untuk dipilih menjadi anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek dan untuk bekerja sama
sebaik-baiknya dengan
anggota Dewan
Komisaris lain dan anggota Direksi Bursa Efek
dalam rangka pelaksanaan kegiatan Bursa Efek
yang teratur, wajar dan efisien;
e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
f.
jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga)
lembar; dan
h. surat keterangan mengenai proses mencari,
menyeleksi dan meneliti calon anggota Dewan
Komisaris dari kelompok Anggota Bursa Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1),
termasuk rekomendasi mengenai honorarium
apabila calon anggota Dewan Komisaris diangkat
menjadi
anggota Dewan Komisaris, yang
menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan
secara profesional dan tidak ada kepentingan lain
termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi,
selain hanya untuk untuk kepentingan Bursa Efek
khususnya dan Pasar Modal pada umumnya.
- 32 -
(2) Pengajuan nama calon anggota Dewan Komisaris oleh
kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 35 (tiga puluh lima
hari) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek.
Bagian Keempat
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Dewan
Komisaris
Pasal 35
(1) Setiap calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang
diajukan wajib menjalani penilaian kemampuan dan
kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian
Kemampuan Dan Kepatutan.
(2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima)
orang yang terdiri dari Deputi Komisioner sebagai ketua
merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah
setingkat dengan direktur sebagai anggota.
(3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan
wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
(4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek paling sedikit melalui
penelitian administratif dan wawancara, dan/atau
permintaan presentasi.
(5) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan
calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, Komite
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat dibantu oleh
narasumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari
luar Otoritas Jasa Keuangan.
- 33 -
Pasal 36
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk
menilai bahwa calon anggota Dewan Komisaris
memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32.
(2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
memperhatikan komposisi calon anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32.
Pasal 37
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan
proses pencalonan atas calon anggota Dewan Komisaris Bursa
Efek apabila calon tersebut menjalani proses hukum.
Pasal 38
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dengan memperhatikan
hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan
oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan.
Pasal 39
(1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek yang terpilih dari hasil penilaian kemampuan
dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (4), untuk 1 (satu) atau lebih jabatan anggota Dewan
Komisaris, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan
kepada setiap kelompok Anggota Bursa Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk
mengajukan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih
oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penilaian
kemampuan dan kepatutan, paling lambat 14 (empat
belas) hari setelah permohonan memenuhi syarat dan
diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
wajib
- 34 -
(2) Kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) dapat mengajukan kembali calon
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek lain untuk posisi
jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas
hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek, dengan memenuhi ketentuan
dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1).
(3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 40
(1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud Pasal
34 ayat (1) sudah lengkap dan telah memenuhi
persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan
daftar calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek terpilih
beserta fotokopi dokumen calon anggota Dewan
Komisaris kepada Direksi Bursa Efek paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek.
(2) Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan kepada semua
pemegang saham daftar calon anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek beserta fotokopi dokumen lengkap paling
lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar
calon anggota Dewan Komisaris dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Daftar calon anggota Dewan Komisaris beserta fotokopi
dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham
dan publik.
- 35 -
Bagian Kelima
RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 41
(1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan
RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa
Efek dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum dilakukannya pemanggilan RUPS, dengan
memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek.
(2) Pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek dilakukan paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum RUPS dimaksud, dengan tidak
memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal
RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek.
Pasal 42
(1) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon anggota Dewan
Komisaris yang dipilih oleh Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).
(2) Prosedur pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula untuk pengangkatan calon anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek untuk mengisi jabatan anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek yang lowong atau untuk
menambah calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek.
(3) RUPS untuk mengangkat anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek wajib dipimpin oleh direktur utama atau
salah satu anggota Direksi dalam hal direktur utama
berhalangan.
- 36 -
Bagian Keenam
Jabatan Anggota Dewan Komisaris
Pasal 43
Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek adalah 3
(tiga) tahun terhitung sejak RUPS pengangkatan anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek sampai dengan penutupan RUPS
tahun ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk
1 (satu) kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. apabila seorang anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
diangkat karena mengisi jabatan anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek yang lowong dan/atau ada
tambahan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek baru,
masa jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
tersebut berlaku selama sisa masa jabatan anggota
Dewan Komisaris Bursa Efek yang sedang menjabat;
b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek adalah jika yang
bersangkutan menjabat selama paling sedikit 2/3 (dua
per tiga) dari masa jabatan Dewan Komisaris Bursa Efek;
dan
c. keseluruhan masa jabatan anggota Dewan Komisaris
pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3
(tiga) kali masa jabatan.
Pasal 44
(1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris Bursa Efek tidak
lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 dan Pasal 32, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. anggota Dewan Komisaris Bursa Efek tersebut wajib
diganti dalam jangka waktu paling lambat
3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan dinyatakan
oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi
syarat;
- 37 -
b. kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal
34; dan
c. calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
pengganti tersebut wajib memenuhi ketentuan Pasal
31 dan Pasal 32.
(2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek yang lowong, Direksi Bursa Efek wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui oleh Direksi
Bursa Efek.
(3) Dalam pengisian jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa
Efek untuk menggantikan anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek yang lowong dan/atau diperlukannya
tambahan anggota Dewan Komisaris baru, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. penggantian atau penambahan anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 sampai dengan
Pasal 34;
b. calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang
akan diajukan wajib bersedia bekerja sama dengan
dan tidak memperoleh keberatan dari anggota
Dewan Komisaris yang ada; dan
c. Penambahan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
baru wajib memperhatikan ketentuan Pasal 31 dan
pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan Pasal
32 sampai dengan Pasal 35.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang lowong
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diisi
setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan
operasional Bursa Efek.
- 38 -
(5) Batas waktu penggantian anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 45
Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek berakhir
dengan sendirinya apabila:
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;
b.
tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris
atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau
turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan
dinyatakan pailit;
d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana;
e. berhalangan tetap;
f. meninggal dunia; dan/atau
g. masa jabatan berakhir.
Pasal 46
Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dapat diberhentikan
dari jabatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila:
a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan;
c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan;
d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan
Bursa Efek; dan/atau
e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas.
Pasal 47
Dewan Komisaris Bursa Efek wajib mengadakan rapat paling
sedikit 1 (satu) bulan sekali yang dipimpin oleh komisaris
utama atau salah satu anggota Dewan Komisaris dalam hal
komisaris utama berhalangan.
- 39 -
Pasal 48
Dewan Komisaris Bursa Efek dalam melaksanakan tugasnya
dapat membentuk komite audit dan Komite Remunerasi,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. ketua komite audit dan ketua Komite Remunerasi adalah
salah seorang anggota Dewan Komisaris Bursa Efek;
b. komite audit bertugas untuk memberikan pendapat
profesional yang independen kepada Dewan Komisaris
Bursa Efek terhadap laporan atau hal yang disampaikan
oleh Direksi kepada Dewan Komisaris Bursa Efek serta
mengidentifikasikan hal yang memerlukan perhatian
Dewan Komisaris Bursa Efek; dan
c. anggota komite audit wajib memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau
keuangan.
Pasal 49
Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek diberi honorarium yang
jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan oleh kelompok
Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) huruf c dengan mempertimbangkan usulan Komite
Remunerasi (jika ada), sebelum pelaksanaan RUPS
pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek.
Pasal 50
Honorarium bagi anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib mendapat
persetujuan dan ditetapkan oleh RUPS.
Pasal 51
Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang tidak lagi
menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris Bursa Efek
karena sebab apapun, tidak berhak menerima honorarium
dari Bursa Efek, kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa
penghargaan sepanjang disetujui oleh RUPS dengan
ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan
dimaksud tidak lebih besar dari jumlah honorarium dari sisa
masa jabatan.
- 40 -
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 52
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 53
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 41 -
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Dalam hal terdapat pengajuan pengisian jabatan anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek untuk
mengganti seluruhnya, mengisi jabatan anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris yang lowong atau tidak memenuhi
syarat, menambah anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek sebelum berlakunya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, tata cara pengajuan anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris Bursa Efek mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris yang
berlaku pada saat pengajuan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: Kep-54/BL/2012 tanggal 24
Februari 2012 tentang Direktur Bursa Efek, beserta
Peraturan Nomor III.A.3 yang merupakan lampirannya;
dan
2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: Kep-106/BL/2008 tanggal 10
April 2008 tentang Komisaris Bursa Efek, beserta
Peraturan Nomor III.A.12 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 56
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 42 -
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 312
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 58 /POJK.04/2016
TENTANG
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS BURSA EFEK
I. UMUM
Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menetapkan kewenangan
pengaturan dan pengawasan kegiatan di bidang jasa keuangan termasuk
Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan
berkepentingan untuk menjaga agar Pasar Modal tetap terselenggara
secara teratur, wajar, transparan, dan efisien.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap ketentuan yang berlaku bagi setiap Pihak yang
menyelenggarakan kegiatan di bidang Pasar Modal salah satunya adalah
Bursa Efek yang didirikan untuk menyelenggarakan dan menyediakan
sistem dan/atau sarana perdagangan Efek.
Dalam rangka meningkatkan tata kelola Bursa Efek yang baik dan
berdaya saing global, diperlukan Direksi dan Komisaris Bursa Efek yang
memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi
persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pengaturan mengenai anggota Direksi Bursa Efek saat ini diatur
dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor III.A.3 tentang Direktur Bursa Efek, lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-
54/BL/2012 tanggal 24 Februari 2012 (Peraturan Nomor III.A.3 tentang
- 2 -
Direktur Bursa Efek), sedangkan pengaturan mengenai anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.A.12 tentang Komisaris Bursa
Efek, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-106/BL/2008 tanggal 10 April 2008
(Peraturan Nomor III.A.12 tentang Komisaris Bursa Efek).
Memperhatikan hal tersebut, perlu untuk dilakukan perubahan dan
penggabungan terhadap Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor III.A.3 tentang Direktur Bursa Efek dan
Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
III.A.12 tentang Komisaris Bursa Efek dengan menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi Dan Dewan Komisaris Bursa
Efek.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “keputusan yang bersifat final”
adalah keputusan yang ditetapkan direktur utama Bursa
Efek dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara
anggota Direksi Bursa Efek sehingga rapat Direksi Bursa
Efek tidak dapat mengambil keputusan, maka keputusan
akan ditentukan oleh direktur utama. Keputusan yang
ditetapkan oleh direktur utama adalah salah satu dari dua
atau lebih pendapat yang disampaikan dalam rapat Direksi
Bursa Efek.
Huruf b
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1
Pada praktiknya “penghapusan pencatatan” dimaksud
biasa disebut dengan delisting.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Perizinan Bursa Efek yang berlaku adalah
Peraturan Nomor III.A.1, lampiran Keputusan Ketua Badan
- 4 -
Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-02/PM/1996 tanggal 17
Januari 1996 tentang Perizinan Bursa Efek.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah:
1.
tindak pidana di Bidang Keuangan, yaitu tindak
pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang
Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri
Keuangan Non Bank yang terbukti dilakukan dalam
waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan;
2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu)
tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/
psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai;
perdagangan orang; perdagangan senjata gelap;
terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di
- 5 -
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di
bidang kelautan dan perikanan yang terbukti
dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan;
3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1
(satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam
waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan.
Penilaian terhadap kriteria pada angka ini dilakukan paling
sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa
Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum,
bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang keuangan atau tindak
pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu 10
(sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon
anggota Direksi Bursa Efek diterima secara lengkap oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Dalam hal calon Direksi Bursa Efek terdiri dari 4 (empat) orang
dan setelah komposisi direksi Bursa Efek memenuhi persyaratan
pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,
- 6 -
maka calon anggota Direksi Bursa Efek lainnya tetap wajib
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a.
Huruf b
Dalam hal calon Direksi Bursa Efek terdiri dari 5 (lima) orang
dan setelah komposisi Direksi Bursa Efek memenuhi
persyaratan pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b, calon anggota Direksi lainnya tetap wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir merupakan 12
(dua belas) bulan terakhir sampai dengan 1 (satu) bulan
sebelum pengajuan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Rekomendasi gaji dan manfaat lain bagi calon anggota
Direksi Bursa Efek ditentukan berdasarkan kelayakan yang
berlaku pada umumnya untuk masing-masing jabatan
anggota Direksi Bursa Efek sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya berdasarkan keahlian dan pengalaman
masing-masing calon anggota Direksi Bursa Efek.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 7 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan proses hukum pada ayat ini adalah proses
penyidikan atau peradilan (termasuk banding dan kasasi) dalam
perkara tindak pidana yang meliputi:
1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang
Perbankan, di bidang Pasar Modal dan di bidang Industri
Keuangan Non Bank.
2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling
sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan;
kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata
gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang
kelautan dan perikanan;
3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pembuktian pailit didasarkan pada keputusan pengadilan niaga.
Huruf d
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah:
- 9 -
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di
bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan
tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank;
2.
tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling
sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan;
kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata
gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang
kelautan dan perikanan; dan
3.
tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” paling sedikit sakit
permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas
pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah:
1.
tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana
di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar
Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan
Non Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20
(dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan;
2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu)
tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/
psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai;
perdagangan orang; perdagangan senjata gelap;
terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di
bidang kelautan dan perikanan yang terbukti
dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan;
3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1
(satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam
waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum
dicalonkan.
- 11 -
Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan paling
sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa
Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum,
bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang keuangan dan tindak
pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir
sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu 10
(sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah
terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon
anggota Direksi Bursa Efek diterima secara lengkap oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir merupakan 12
(dua belas) bulan terakhir sampai dengan 1 (satu) bulan
sebelum pengajuan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 12 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Rekomendasi honorarium bagi calon anggota Dewan
Komisaris Bursa Efek wajib ditentukan berdasarkan
kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-
masing anggota Dewan Komisaris Bursa Efek sesuai dengan
tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian dan
pengalaman masing-masing calon anggota Dewan Komisaris
Bursa Efek.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah:
1. tindak pidana di Bidang Keuangan, yaitu tindak pidana di
bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal,
dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank;
2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan
ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau
lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika;
penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang;
perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di
bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang
lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan
3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun
atau.
- 14 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” paling sedikit sakit
permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas
pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Pada saat peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
- 15 -
mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris yang berlaku
adalah:
1. Peraturan Nomor III.A.3, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-
54/BL/2012 tanggal 24 Februari 2012 tentang Direktur Bursa
Efek; dan
2. Peraturan Nomor III.A.12, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-
106/BL/2012 tanggal 10 April 2008 tentang Komisaris Bursa
Efek.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6000
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 58/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS BURSA EFEK </reg_title>
<set_date> 20 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-106/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'Kep-54/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-106/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor III.A.3', 'Kep-54/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor III.A.12' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 34 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL
MINIMUM BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang
sehat, mampu berkembang dan bersaing secara nasional
maupun internasional
serta
sejalan dengan
perkembangan standar internasional, perlu melakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bank umum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5872);
4. Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 25, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5848);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5848) diubah sebagai berikut:
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Bank Sistemik adalah bank sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan.
3. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
- 4 -
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat
satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
4. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
- 5 -
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pihak yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungsi pengawasan.
5. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau
perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh
Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik
di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan
kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas:
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company)
yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan
Bank lebih dari 50% (lima puluh persen);
b. perusahaan partisipasi (participation company)
adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan
Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau
kurang, namun Bank memiliki pengendalian
terhadap perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih
dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50%
(lima puluh persen) yang memenuhi
persyaratan:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya
pada Perusahaan Anak masing-masing
sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan
pengendalian secara bersama terhadap
Perusahaan Anak;
d.
entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi
keuangan harus dikonsolidasikan, namun tidak
termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan
yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi
kredit.
- 6 -
6. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi
bagi Konglomerasi Keuangan.
7. Capital Equivalency Maintained Assets yang
selanjutnya disingkat CEMA adalah alokasi dana
usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset
keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu.
8.
Internal Capital Adequacy Assessment Process yang
selanjutnya disingkat ICAAP adalah proses yang
dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan
modal sesuai profil risiko Bank dan penetapan
strategi untuk memelihara tingkat permodalan.
9. Supervisory Review and Evaluation Process yang
selanjutnya disingkat SREP adalah proses kaji ulang
yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas
hasil ICAAP Bank.
10. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal
yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila
terjadi kerugian pada periode krisis.
11. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang
berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk
mengantisipasi kerugian apabila
terjadi
pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan
sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem
keuangan.
12. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik adalah
tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi
dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan
dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank
Sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank
dalam menyerap kerugian.
13. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur
dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban
kepada Bank.
- 7 -
14. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan
rekening administratif termasuk transaksi derivatif,
akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi
pasar, termasuk risiko perubahan harga option.
Operasional
15. Risiko
ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses
internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
16. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen
keuangan dalam neraca dan rekening administratif
termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank
dengan tujuan untuk:
a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan
dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara
keseluruhan, baik dari transaksi untuk
kepentingan sendiri (proprietary positions), atas
permintaan nasabah maupun kegiatan
perantaraan (brokering), dan dalam rangka
pembentukan pasar (market making), yang
meliputi:
1)
posisi yang dimiliki untuk dijual kembali
dalam jangka pendek;
2)
posisi yang dimiliki untuk tujuan
memperoleh keuntungan jangka pendek
secara aktual dan/atau potensi dari
pergerakan harga (price movement); atau
3)
posisi yang dimiliki untuk tujuan
mempertahankan keuntungan arbitrase
(locking in arbitrage profits); dan
b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading
Book.
17. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak
termasuk dalam Trading Book.
adalah risiko akibat
- 8 -
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai
profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai
penyangga (buffer) sesuai kriteria yang diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. Capital Conservation Buffer;
b. Countercyclical Buffer; dan/atau
c. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik.
(3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur:
a. Capital Conservation Buffer
sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR;
b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran
sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5%
(dua koma lima persen) dari ATMR;
c. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik
ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu
persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima
persen) dari ATMR.
(4) Besarnya persentase
Countercyclical Buffer
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
berdasarkan penetapan otoritas yang berwenang.
(5) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya
persentase Capital Surcharge untuk Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(6) Dalam menetapkan besar Capital Surcharge untuk
Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan
otoritas yang berwenang.
ditetapkan
- 9 -
(7) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan
persentase Capital Surcharge untuk Bank Sistemik
yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf c.
(8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dipenuhi dengan komponen modal inti
utama (Common Equity Tier 1).
(9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) diperhitungkan setelah komponen
modal inti utama (Common Equity Tier 1) dialokasikan
untuk memenuhi kewajiban penyediaan:
a. modal inti utama minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3);
b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2); dan
c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan
Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 wajib membentuk
Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a.
(2) Seluruh Bank wajib membentuk Countercyclical
Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf b.
(3) Bank yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik wajib
membentuk Capital Surcharge untuk Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf c.
- 10 -
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
(2) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan
otoritas yang berwenang dalam menetapkan Bank
Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
5. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1) Bank wajib membentuk tambahan modal berupa
Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a secara bertahap mulai
tanggal 1 Januari 2016.
(2) Bank wajib memenuhi pembentukan Capital
Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) secara bertahap:
a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh
lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari
2016;
b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima
persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2017;
c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh
puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal
1 Januari 2018; dan
d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR
mulai tanggal 1 Januari 2019.
(3) Bank wajib membentuk tambahan modal berupa
Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai tanggal 1 Januari 2016.
(4) Bank wajib membentuk Capital Surcharge bagi Bank
Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) huruf c mulai tanggal 1 Januari 2016.
- 11 -
(5) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan
Capital Surcharge untuk Bank Sistemik diatur dalam
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan
otoritas yang berwenang dalam menetapkan metode
perhitungan dan tata cara pembentukan Capital
Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
(1) Modal bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri terdiri atas:
a. dana usaha;
b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah
dikeluarkan
pengaruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
c. laba tahun berjalan setelah dikeluarkan
pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2);
d. cadangan umum;
e. saldo surplus revaluasi aset tetap;
f. pendapatan komprehensif lainnya berupa
potensi keuntungan yang berasal dari
peningkatan nilai wajar aset keuangan yang
diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk
dijual;
g. cadangan umum Penyisihan Penghapusan Aset
(PPA) atas aset produktif dengan perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf c; dan
h. lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
faktor-faktor
- 12 -
(2) Modal bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-faktor
yang menjadi pengurang modal sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, Pasal 17, dan
Pasal 22.
(3) Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dalam hal:
a. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana
usaha) lebih besar dari dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha), yang
diperhitungkan adalah dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha);
b. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana
usaha) lebih kecil dari dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha), yang
diperhitungkan adalah dana usaha yang
sebenarnya (actual dana usaha); atau
c.
posisi dana usaha yang sebenarnya negatif,
menjadi faktor pengurang komponen modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
7. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 1 wajib memenuhi
persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. bersifat subordinasi terhadap komponen modal lain;
c. bersifat permanen;
d. tidak dapat dibayar kembali oleh Bank, kecuali
memenuhi kriteria pembelian kembali saham
(treasury stock) atau pada saat likuidasi;
- 13 -
e.
f.
g.
tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi
sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi;
perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan
tidak dapat diakumulasikan antar periode;
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak;
h. tidak terdapat kesepakatan yang dapat meningkatkan
senioritas instrumen secara legal atau ekonomis;
i.
memiliki karakteristik pembayaran dividen atau
imbal hasil:
1. hanya dapat dilakukan jika Bank telah
memenuhi seluruh kewajiban legal dan
kontraktual serta melakukan pembayaran atas
imbal hasil instrumen modal lainnya;
2. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun
berjalan;
3. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait
dengan nilai yang dibayarkan atas instrumen
modal; dan
4. tidak memiliki fitur preferensi;
j. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit
baik secara langsung atau tidak langsung; dan
k. diklasifikasikan sebagai ekuitas berdasarkan standar
akuntansi keuangan.
8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
Bank yang melakukan pembelian kembali saham (treasury
stock) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d
yang telah diakui sebagai komponen modal disetor, wajib
memenuhi persyaratan:
a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan;
b. untuk tujuan tertentu;
c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
- 14 -
d. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan; dan
e.
tidak menyebabkan penurunan modal di bawah
persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7.
9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf a angka 2 terdiri atas:
a. faktor penambah, yaitu:
1. Pendapatan komprehensif lainnya berupa:
a)
selisih lebih penjabaran laporan
keuangan;
b) potensi keuntungan yang berasal dari
peningkatan nilai wajar aset keuangan
yang dikategorikan sebagai kelompok
tersedia untuk dijual; dan
c) saldo surplus revaluasi aset tetap;
2. cadangan tambahan modal lainnya (other
disclosed reserves) berupa:
a) agio yang berasal dari penerbitan
instrumen yang tergolong sebagai
modal inti utama (Common Equity
Tier 1);
b) cadangan umum;
c) laba tahun-tahun lalu;
d) laba tahun berjalan;
e) dana setoran modal, yang memenuhi
persyaratan:
1) telah disetor penuh untuk tujuan
penambahan modal namun belum
didukung dengan kelengkapan
- 15 -
1) persyaratan untuk dapat
digolongkan sebagai modal disetor
seperti pelaksanaan rapat umum
pemegang saham maupun
pengesahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang;
2) ditempatkan pada rekening
khusus (escrow account) yang
tidak diberikan imbal hasil;
3) tidak boleh ditarik kembali oleh
pemegang saham atau calon
pemegang saham dan tersedia
untuk menyerap kerugian; dan
4) penggunaan dana harus dengan
persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan; dan
f)
lainnya berdasarkan persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan;
b. faktor pengurang, yaitu:
1. pendapatan komprehensif lainnya berupa:
a)
selisih kurang penjabaran laporan
keuangan; dan
b) potensi kerugian yang berasal dari
penurunan nilai wajar aset keuangan
yang dikategorikan sebagai kelompok
tersedia untuk dijual;
2. cadangan tambahan modal lainnya (other
disclosed reserves) berupa:
a)
disagio yang berasal dari penerbitan
instrumen yang tergolong sebagai
modal inti utama (Common Equity
Tier 1);
b) rugi tahun-tahun lalu;
c) rugi tahun berjalan;
- 16 -
d)
selisih kurang antara PPA atas aset
produktif dan Cadangan Kerugian
Penurunan Nilai (CKPN) atas aset
produktif;
e)
selisih kurang antara jumlah
penyesuaian terhadap hasil valuasi
dari instrumen keuangan dalam
Trading Book dan jumlah penyesuaian
berdasarkan standar akuntansi
keuangan;
f) PPA non-produktif; dan
g) lainnya berdasarkan persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu
dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 2 huruf c) dan huruf d)
harus dikeluarkan dari pengaruh faktor:
a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas
kewajiban keuangan; dan/atau
b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi
sekuritisasi (gain on sale).
10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b wajib
memenuhi persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat
persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh
Bank di masa mendatang;
c. pembelian kembali atau pembayaran pokok
instrumen harus mendapat persetujuan
pengawas;
d. tidak memiliki fitur step-up;
- 17 -
e. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham
biasa atau dilakukan write down dalam hal Bank
berpotensi terganggu kelangsungan usahanya
(point of non-viability) yang dinyatakan secara
jelas dalam dokumentasi penerbitan atau
perjanjian;
f.
bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang
secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan atau perjanjian;
g. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan
baik jumlah maupun waktu dan tidak dapat
diakumulasikan antar periode serta bank
memiliki kewenangan penuh (full access) untuk
membatalkan pembayaran imbal hasil pada saat
timbul kewajiban pembayaran imbal hasil;
h. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak;
i.
tidak terdapat kesepakatan yang dapat
meningkatkan senioritas instrumen secara legal
atau ekonomi;
j.
tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau
imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit;
k. dalam hal disertai dengan fitur opsi beli (call
option), harus memenuhi persyaratan:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima)
tahun setelah instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan
bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan
3. Bank tidak memberikan ekspektasi akan
membeli kembali, atau melakukan aktivitas
lain yang dapat memberikan ekspektasi
tersebut;
l.
tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau
Perusahaan Anak;
- 18 -
m. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank
penerbit baik secara langsung maupun tidak
langsung;
n. tidak memiliki fitur yang menghambat proses
penambahan modal pada masa mendatang;
o. dalam kondisi tertentu apabila dibutuhkan
tambahan modal melalui penerbitan instrumen
oleh entitas lain yang berada diluar cakupan
konsolidasi maka dana hasil penerbitan harus
segera diserahkan kepada Bank; dan
p. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai
komponen modal.
(2) Bank hanya dapat melakukan eksekusi opsi beli (call
option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k
sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan;
b. kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang
baik;
c.
setelah eksekusi opsi beli (call option),
permodalan Bank tetap berada di atas
persyaratan minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; dan
d. digantikan dengan instrumen modal yang
mempunyai kualitas sama atau lebih baik.
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 1 diperhitungkan
dengan faktor pengurang berupa:
a. pajak tangguhan (deferred tax);
b. goodwill;
c. seluruh aset tidak berwujud lainnya;
- 19 -
d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi:
1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak
kecuali penyertaan modal sementara Bank
kepada Perusahaan Anak dalam rangka
restrukturisasi kredit;
2. penyertaan kepada perusahaan atau badan
hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari
20% (dua puluh persen) sampai dengan
50% (lima puluh persen) namun Bank tidak
memiliki Pengendalian; dan
3. penyertaan kepada perusahaan asuransi;
e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan
tingkat rasio solvabilitas minimum (Risk Based
Capital atau RBC minimum) pada perusahaan
asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh
Bank;
f.
g.
eksposur sekuritisasi; dan
faktor pengurang modal inti utama lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf
e, dan huruf g tidak diperhitungkan dalam ATMR
untuk Risiko Kredit.
12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib memenuhi
persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih
dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
- 20 -
c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham
biasa atau dilakukan write down dalam hal Bank
berpotensi terganggu kelangsungan usahanya
(point of non-viability), yang dinyatakan secara
jelas dalam dokumentasi penerbitan atau
perjanjian;
d.
bersifat subordinasi yang dinyatakan dalam
dokumentasi penerbitan atau perjanjian;
e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil
ditangguhkan dan diakumulasikan antar
periode (cummulative) apabila pembayaran dapat
menyebabkan rasio KPMM secara individu atau
secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
dan Pasal 7;
f.
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak;
g. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau
imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit;
h. tidak memiliki fitur step-up;
i.
apabila disertai dengan fitur opsi beli (call
option), harus memenuhi persyaratan:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima)
tahun setelah instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan
bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan
3. Bank tidak memberikan ekspektasi akan
membeli kembali atau melakukan aktivitas
lain yang dapat memberikan ekspektasi
akan membeli kembali;
j.
tidak memiliki persyaratan percepatan
pembayaran bunga atau pokok yang dinyatakan
dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian;
k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau
Perusahaan Anak;
- 21 -
l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank
penerbit baik secara langsung maupun tidak
langsung;
m. dalam kondisi tertentu apabila dibutuhkan
tambahan modal melalui penerbitan instrumen
oleh entitas lain yang berada diluar cakupan
konsolidasi maka dana hasil penerbitan harus
segera diserahkan kepada Bank; dan
n. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai
komponen modal.
(2) Bank hanya dapat melakukan eksekusi opsi beli (call
option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i
sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan;
b. kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang
baik; dan
c.
setelah eksekusi opsi beli (call option),
permodalan Bank tetap berada di atas
persyaratan minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7 atau
digantikan dengan instrumen modal yang
mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang
berbeda sepanjang tidak melebihi batasan
modal pelengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18.
(3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal
pelengkap adalah jumlah modal pelengkap dikurangi
amortisasi yang dihitung dengan menggunakan
metode garis lurus.
(4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan untuk sisa jangka waktu instrumen 5
(lima) tahun terakhir.
- 22 -
(5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), jangka
waktu sampai Bank dapat mengeksekusi opsi beli
(call option) merupakan sisa jangka waktu instrumen.
13. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1) Modal pelengkap meliputi:
a. instrumen modal dalam bentuk saham atau
dalam bentuk lainnya yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19;
b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan
instrumen modal yang tergolong sebagai modal
pelengkap; dan
c. cadangan umum PPA atas aset produktif yang
wajib dihitung dengan jumlah paling tinggi
sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima
persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit.
(2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dihitung
dari batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor
pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit.
14. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan
Pasal 10 ayat (2) mencakup:
a. pembelian kembali instrumen modal yang telah
diakui sebagai komponen permodalan Bank;
b. penempatan dana pada instrumen utang Bank
lain yang diakui sebagai komponen modal oleh
Bank lain (Bank penerbit); dan
- 23 -
c. kepemilikan silang yang diperoleh berdasarkan
peralihan karena hukum, hibah, atau hibah
wasiat sebagaimana
dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas
sepanjang belum dialihkan kepada pihak lain.
(2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c tidak
diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit.
15. Ketentuan dalam Pasal 41 tetap, dengan perubahan
penjelasan Pasal 41 ayat (1) menjadi sebagaimana
ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 24 -
Pasal II
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 September 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 188
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 34 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL
MINIMUM BANK UMUM
I. UMUM
Sejalan dengan standar internasional “Global Regulatory Framework
for More Resilient Banks and Banking System” yang lebih dikenal dengan
Basel III, Bank dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas
modal Bank sehingga Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyesuaian terhadap
ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum Bank Umum antara lain
dengan melakukan penyesuaian terhadap persyaratan instrumen modal
dan komponen modal Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
- 2 -
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Pembentukan tambahan modal selain modal minimum
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berfungsi sebagai
penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan
ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem
keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang”
adalah Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang”
adalah Bank Indonesia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) untuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dipenuhi dari bagian dana
usaha yang ditempatkan dalam CEMA.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti Bank.
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang”
adalah Bank Indonesia.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang”
adalah Bank Indonesia.
Angka 6
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana usaha” adalah
penempatan yang berasal dari kantor pusat bank
pada kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri setelah dikurangi dengan
- 4 -
penempatan yang berasal dari kantor cabang bank
yang berkedudukan di luar negeri pada:
1. kantor pusat;
2. kantor-kantor bank yang bersangkutan di luar
negeri; dan
3. kantor lainnya seperti perusahaan terelasi
dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
yang telah dinyatakan sebagai dana usaha
(declared dana usaha) dan harus selalu tercatat
setiap waktu di Indonesia selama kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
beroperasi di Indonesia.
Dana usaha tidak termasuk komponen dalam
rekening antar kantor yang bukan merupakan
dana bersih seperti kewajiban bunga dan
kewajiban lainnya serta tagihan bunga dan tagihan
lainnya.
Yang dimaksud dengan penempatan mencakup
penempatan pada seluruh aset keuangan sesuai
standar akuntansi keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laba ditahan” adalah saldo
laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh
kantor pusatnya diputuskan untuk ditahan di
kantor cabangnya di Indonesia.
Yang dimaksud dengan “laba tahun lalu” adalah
seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah
dikurangi pajak dan belum ditetapkan
penggunaannya oleh kantor pusat.
Dalam hal bank mempunyai saldo rugi
tahun-tahun lalu seluruh kerugian menjadi faktor
pengurang modal.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan”
adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku
berjalan setelah dikurangi taksiran pajak.
- 5 -
Dalam hal pada tahun buku berjalan bank
mengalami kerugian, seluruh kerugian menjadi
faktor pengurang modal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba
setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan
kantor pusatnya sebagai cadangan umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi
aset tetap” adalah selisih penilaian kembali aset
tetap milik bank.
Pengakuan surplus revaluasi aset tetap mengacu
pada standar akuntansi keuangan mengenai aset
tetap.
Huruf f
Pengertian aset keuangan yang diklasifikasikan
dalam kelompok tersedia untuk dijual mengacu
pada standar akuntansi keuangan mengenai
instrumen keuangan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan jumlah dana usaha yang dinyatakan
mengacu kepada ketentuan mengenai pinjaman luar
negeri.
Angka 7
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf b
Instrumen modal inti utama bersifat subordinasi
terhadap antara lain pemegang instrumen yang
memenuhi kriteria modal inti tambahan, modal
pelengkap, deposan, dan kreditur.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian fitur bersifat permanen
antara lain tidak terdapat ekspektasi bahwa penerbit
akan membeli kembali, atau aktivitas lain yang dapat
memberikan ekspektasi tersebut.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin
oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi
maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi
dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak,
misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan
dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Angka 1
Termasuk kewajiban legal dan kontraktual adalah
kewajiban legal dan kontraktual yang jatuh tempo
pada saat pembayaran dividen atau imbal hasil
akan dilakukan.
Yang dimaksud dengan “kewajiban legal” adalah
kewajiban yang timbul karena perbuatan dan/atau
peristiwa hukum tertentu.
Yang dimaksud dengan “instrumen modal lainnya”
adalah instrumen modal inti tambahan dan
instrumen modal pelengkap.
- 7 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali
saham yang telah diakui sebagai komponen modal
disetor yaitu sebagai persediaan saham dalam rangka
program employee stock option atau management stock
option atau menghindari upaya take over.
Huruf c
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku antara lain Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
peraturan perundang-undangan lainnya di bidang
pasar modal.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 8 -
Angka 9
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Yang dimaksud dengan “selisih lebih
penjabaran laporan keuangan” adalah
selisih kurs yang timbul dari penjabaran
laporan keuangan kantor cabang Bank
dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri
sebagaimana diatur dalam standar
akuntansi keuangan.
Huruf b)
Pengertian aset keuangan yang
dikategorikan sebagai kelompok tersedia
untuk dijual mengacu pada standar
akuntansi keuangan mengenai
instrumen keuangan.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “saldo surplus
revaluasi aset tetap” adalah selisih
penilaian kembali aset tetap milik Bank.
Pengakuan saldo surplus revaluasi aset
tetap mengikuti standar akuntansi
keuangan mengenai aset tetap.
Angka 2
Huruf a)
Yang dimaksud dengan “agio” adalah
selisih lebih setoran modal yang diterima
oleh Bank pada saat penerbitan saham
karena harga pasar saham lebih tinggi
dari nilai nominal.
Huruf b)
Yang dimaksud dengan “cadangan
umum” adalah cadangan yang dibentuk
dari penyisihan saldo laba setelah
- 9 -
dikurangi pajak, dan mendapat
persetujuan rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota sebagai
cadangan umum.
Huruf c)
Laba tahun-tahun lalu setelah
diperhitungkan pajak mencakup:
1) laba tahun lalu yaitu seluruh laba
bersih tahun-tahun yang lalu
setelah dikurangi pajak dan belum
ditetapkan penggunaannya oleh
rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota; dan
2) laba ditahan (retained earnings)
yaitu saldo laba bersih setelah
dikurangi pajak yang oleh rapat
umum pemegang saham atau rapat
anggota diputuskan untuk tidak
dibagikan.
Huruf d)
Yang dimaksud dengan “laba tahun
berjalan” adalah laba yang diperoleh
dalam tahun buku berjalan setelah
dikurangi taksiran pajak dan
pembayaran dividen.
Huruf e)
Dalam hal berdasarkan penelitian
Otoritas Jasa Keuangan, calon pemegang
saham Bank atau dana setoran modal
diketahui tidak memenuhi syarat sebagai
pemegang saham atau sebagai modal,
dana tersebut tidak dapat diakui sebagai
komponen modal.
Huruf f)
Cukup jelas.
- 10 -
Huruf b
Angka 1
Huruf a)
Yang dimaksud dengan “selisih kurang
penjabaran laporan keuangan” adalah
selisih kurs yang timbul dari penjabaran
laporan keuangan kantor cabang Bank
dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri
sebagaimana diatur dalam standar
akuntansi keuangan mengenai
penjabaran laporan keuangan dalam
mata uang asing.
Huruf b)
Pengertian aset keuangan yang
dikategorikan sebagai kelompok tersedia
untuk dijual mengacu pada standar
akuntansi keuangan mengenai
instrumen keuangan.
Angka 2
Huruf a)
Yang dimaksud dengan “disagio” adalah
selisih kurang setoran modal yang
diterima oleh Bank pada saat penerbitan
saham karena harga pasar saham lebih
rendah dari nilai nominal.
Huruf b)
Yang dimaksud dengan “rugi tahun-
tahun lalu” adalah seluruh rugi yang
dibukukan Bank pada tahun-tahun lalu.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “rugi tahun
berjalan” adalah seluruh rugi yang
dibukukan Bank dalam tahun buku
berjalan.
- 11 -
Huruf d)
Yang dimaksud dengan “selisih kurang
antara PPA atas aset produktif dan
cadangan kerugian penurunan nilai aset
keuangan atas aset produktif” adalah
selisih kurang antara total PPA (cadangan
umum dan cadangan khusus atas
seluruh aset produktif) yang wajib
dibentuk sesuai ketentuan mengenai
penilaian kualitas aset Bank dengan total
cadangan kerugian penurunan nilai aset
keuangan (impairment) atas seluruh aset
produktif (secara individu dan secara
kolektif) sesuai standar akuntansi
keuangan.
Huruf e)
Selisih kurang ini timbul karena jumlah
penyesuaian terhadap hasil valuasi (mark
to market) dari instrumen keuangan
dalam
Trading Book
yang
mempertimbangkan berbagai faktor
tertentu antara lain karena posisi yang
kurang likuid melebihi jumlah
penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai
standar akuntansi keuangan mengenai
pengukuran instrumen keuangan,
khususnya instrumen keuangan yang
diukur berdasarkan nilai wajar.
Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan
Indonesia, penyesuaian terhadap hasil
valuasi instrumen keuangan akan
langsung mengurangi atau menambah
nilai tercatat instrumen keuangan.
- 12 -
Huruf f)
Yang dimaksud dengan “PPA
non-produktif” adalah cadangan yang
wajib dibentuk untuk aset non-produktif
sesuai ketentuan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas aset Bank.
Huruf g)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk
mengukur kewajiban keuangan pada nilai wajar
melalui laba rugi (fair value option) sesuai standar
akuntansi keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keuntungan atas
penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain
on sale)” adalah keuntungan yang diperoleh Bank
sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan
aset dalam transaksi sekuritisasi yang bersumber
dari kapitalisasi pendapatan masa mendatang
(expected future margin) atau kapitalisasi
pendapatan dari penyediaan jasa (servicing
income).
Angka 10
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam rangka memperoleh persetujuan pengawas,
Bank tidak dapat mengasumsikan atau
menciptakan ekspektasi pasar bahwa persetujuan
pengawas akan diberikan.
- 13 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur
yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga
atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi
pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf e
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk
menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi
terganggu kelangsungan usahanya (point of
non-viability) dan memerintahkan Bank untuk
mengkonversi instrumen modal inti tambahan
menjadi saham biasa atau melakukan write down.
Dampak dilakukan write down antara lain
pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai
kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau
pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran
imbal hasil.
Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat
klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal
inti tambahan dapat dikonversi menjadi saham
biasa atau dilakukan write down apabila terdapat
perintah dari Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf f
Instrumen modal inti tambahan bersifat
subordinasi terhadap antara lain deposan,
kreditur, dan pemegang instrumen yang memenuhi
kriteria modal pelengkap.
Huruf g
Dalam hal imbal hasil tidak dibayarkan maka tidak
menyebabkan adanya pembatasan pembayaran
dividen atau kupon, untuk instrumen lain, kecuali
untuk saham biasa (common stock).
- 14 -
Huruf h
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun
dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu
proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak
lain tetapi dilakukan melalui Bank
atau
Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam
rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau
Perusahaan Anak.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil
yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat
dividen atau imbal hasil yang ditetapkan
berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit
Bank penerbit.
Huruf k
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Contoh memberikan ekspektasi adalah
mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu
yang memungkinkan opsi beli (call option)
dapat dilakukan, kecuali apabila kriteria atau
kondisi tersebut adalah sebagaimana
tercantum pada Pasal ini.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
- 15 -
Huruf n
Fitur yang menghambat proses penambahan modal
di masa mendatang yaitu antara lain persyaratan
yang mewajibkan Bank untuk memberikan
kompensasi kepada investor apabila Bank
menerbitkan instrumen modal baru dengan harga
yang lebih rendah.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kondisi rentabilitas Bank
dalam keadaan yang baik” adalah apabila eksekusi
opsi beli (call option) tersebut tidak mengganggu
kelangsungan rentabilitas Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih
baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit
memenuhi persyaratan sebagai komponen modal
inti tambahan.
Angka 11
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100%
(seratus persen) baik atas perhitungan pajak
tangguhan pada tahun-tahun lalu maupun pada
tahun berjalan.
- 16 -
Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul
sebagai akibat penerapan standar akuntansi
keuangan mengenai akuntansi pajak penghasilan.
Dalam perhitungan KPMM secara individu, pajak
tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih lebih
dari aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban
pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan yang
dikurangkan dari aset pajak tangguhan tidak
termasuk kewajiban pajak tangguhan yang terkait
dengan goodwill dan aset tidak berwujud lainnya.
Dalam hal terjadi selisih kurang, perhitungan
pajak tangguhan yang akan dikeluarkan adalah
nihil.
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset
pajak tangguhan satu perusahaan tidak boleh
saling hapus dengan kewajiban pajak tangguhan
perusahaan lain dalam kelompok usaha Bank.
Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam
perhitungan KPMM secara konsolidasi harus
dihitung dan dikeluarkan secara terpisah untuk
masing-masing entitas.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan
dari perhitungan modal inti utama, aset pajak
tangguhan tidak diperhitungkan dalam
perhitungan ATMR.
Huruf b
Pengertian goodwill mengacu pada standar
akuntansi keuangan.
Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang
baik dalam perhitungan modal minimum Bank
secara individu maupun secara konsolidasi.
Goodwill yang dikurangkan dari modal inti utama
mencakup goodwill baik yang berasal dari
penyertaan modal Bank kepada entitas yang
dikonsolidasikan maupun yang tidak
dikonsolidasikan, contohnya perusahaan asuransi.
- 17 -
Goodwill yang dikurangkan dari modal inti utama
adalah sebesar nilai tercatat goodwill dikurangi
kewajiban pajak tangguhan yang terkait dengan
goodwill.
Huruf c
Pengertian aset tidak berwujud lainnya mengacu
kepada standar akuntansi keuangan mengenai
aset tidak berwujud.
Seluruh aset tidak berwujud lainnya
diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal
inti utama.
Contoh aset tidak berwujud lainnya antara lain
copyright, hak paten, dan hak milik intelektual
(intellectual property right) lainnya termasuk
aplikasi piranti lunak (software) yang
dikembangkan oleh Bank.
Aset tidak berwujud lainnya yang dikurangkan dari
modal inti utama adalah sebesar nilai tercatat aset
tidak berwujud dikurangi kewajiban pajak
tangguhan yang terkait dengan aset tidak
berwujud.
Huruf d
Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai
buku yang tercatat pada laporan posisi keuangan
(neraca).
Huruf e
Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan
sebagai faktor pengurang hanya dalam
perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi.
Kekurangan modal (shortfall) perusahaan asuransi
dari RBC minimum diperhitungkan apabila
perusahaan dimaksud tidak dapat memenuhi RBC
minimum sampai dengan jangka waktu yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 18 -
Huruf f
Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai
pengurang modal atau diperhitungkan sebagai
ATMR mengacu pada ketentuan mengenai
sekuritisasi aset.
Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi”
adalah kredit pendukung (credit enhancement),
fasilitas likuiditas (liquidity support), dan efek
beragun aset (asset backed securities).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk
menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi
terganggu kelangsungan usahanya (point of
non-viability) dan memerintahkan Bank untuk
mengkonversi instrumen modal pelengkap menjadi
saham biasa atau melakukan write down.
Dampak dilakukan write down antara lain
pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai
kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau
pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran
imbal hasil.
- 19 -
Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat
klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal
pelengkap dapat dikonversi menjadi saham biasa
atau dilakukan write down apabila terdapat
perintah dari Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf d
Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi
terhadap antara lain deposan dan kreditur.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Termasuk dalam pengertian diproteksi maupun
dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu
proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak
lain tetapi dilakukan melalui Bank atau
Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam
rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau
Perusahaan Anak.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil
yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat
dividen atau imbal hasil yang ditetapkan
berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit
Bank penerbit.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur
yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga
atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi
pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf i
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
- 20 -
Angka 3
Contoh memberikan ekspektasi adalah
mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu
yang memungkinkan opsi beli (call option)
dapat dilakukan, kecuali apabila kriteria atau
kondisi
tercantum pada Pasal ini.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kondisi rentabilitas Bank
dalam keadaan yang baik” adalah apabila eksekusi
opsi beli (call option) tersebut tidak mengganggu
kelangsungan rentabilitas Bank.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau
lebih baik” adalah instrumen modal yang
paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai
komponen modal pelengkap.
Angka 2
Batasan modal pelengkap diperhitungkan
dengan memperhatikan seluruh instrumen
modal pelengkap yang tersedia.
tersebut adalah sebagaimana
- 21 -
Contoh “jumlah yang berbeda”:
Modal pelengkap yang dieksekusi adalah
Rp500 juta namun pada saat penggantian,
modal inti Bank mengalami perubahan
sehingga batasan modal pelengkap menjadi
paling tinggi sebesar Rp400 juta.
Dengan kondisi ini, Bank dapat menggantikan
modal pelengkap sebesar Rp400 juta.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “metode garis lurus” adalah
perhitungan amortisasi secara prorata.
Ayat (4)
Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal
yang telah memperhitungkan pengurangan dari
cadangan pelunasan (sinking fund).
Ayat (5)
Contoh ilustrasi pelaksanaan amortisasi:
a. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang
memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan
memiliki opsi beli pada akhir tahun kelima. Dalam
kondisi ini, Bank mulai menghitung amortisasi
sejak tahun pertama.
Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak
mengeksekusi opsi beli (call option), mulai awal
tahun keenam obligasi subordinasi dapat
diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM
dengan memperhatikan batasan yang
dipersyaratkan, termasuk kewajiban untuk
memperhitungkan amortisasi.
b. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang
memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan
memiliki opsi beli (call option) setelah lewat tahun
kelima. Dalam kondisi ini, sisa jangka waktu
instrumen pada awal penerbitan adalah 5 (lima)
tahun. Amortisasi mulai diperhitungkan oleh Bank
sejak tahun pertama.
- 22 -
Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh
tempo, Bank tidak dapat memperhitungkan
kembali obligasi subordinasi sebagai modal
pelengkap meskipun Bank belum mengeksekusi
opsi beli (call option).
Angka 13
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Contoh instrumen modal dalam bentuk saham
atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi
persyaratan adalah:
1. saham preferen (yang memberikan hak
kepada pemegangnya untuk menerima
dividen lebih dahulu dari pemegang saham
klasifikasi lain) secara kumulatif (cumulative
preference share);
2. instrumen utang yang memiliki karakteristik
modal, bersifat subordinasi, bersifat kumulatif
dan memenuhi seluruh persyaratan untuk
dapat diperhitungkan sebagai komponen
modal pelengkap (cumulative subordinated
debt); dan
3. instrumen utang yang memiliki karakteristik
seperti modal yang secara otomatis tanpa
persyaratan dapat dikonversi menjadi saham
setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan (mandatory convertible bond).
Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan
pada saat penerbitan yang besarnya sejalan
dengan kondisi pasar.
- 23 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan instrumen modal pelengkap karena
harga pasar instrumen modal lebih tinggi dari nilai
nominal.
Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih
kurang setoran modal yang diterima oleh Bank
pada saat penerbitan instrumen modal pelengkap
karena harga pasar instrumen modal lebih rendah
dari nilai nominal.
Huruf c
Pembentukan cadangan umum PPA atas aset
produktif yang wajib dibentuk mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset Bank.
Contoh:
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang
wajib dibentuk sebesar Rp15 juta dan ATMR Bank
untuk Risiko Kredit sebesar Rp1 miliar.
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang
dapat diperhitungkan sebagai komponen modal
pelengkap paling tinggi 1,25% dari Rp1 miliar yaitu
sebesar Rp12,5 juta.
Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum
sebesar Rp2,5 juta yang tidak dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal
pelengkap.
Ayat (2)
Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif
sesuai contoh pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu
sebesar Rp2,5 juta menjadi faktor pengurang
perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit.
- 24 -
Angka 14
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Pembelian kembali instrumen modal inti utama,
modal inti tambahan atau modal pelengkap yang
telah diakui sebagai komponen permodalan Bank
menjadi faktor pengurang masing-masing
komponen modal yang bersangkutan.
Contoh 1:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen
modal yang harus dikurangkan dari modal inti
utama adalah antara lain pembelian kembali
instrumen modal yang telah diterbitkan Bank,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Contoh 2:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen
modal yang harus dikurangkan dari modal inti
tambahan antara lain eksekusi opsi beli (call
option).
Huruf b
Penempatan dana pada instrumen utang yang
telah diakui sebagai komponen modal Bank lain
menjadi faktor pengurang modal bagi Bank yang
melakukan penempatan dana pada komponen
modal yang memiliki kualitas sama dan/atau lebih
baik.
Contoh 1:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap
sebesar Rp100 miliar.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang
diterbitkan Bank B yang merupakan komponen
modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar.
Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli
Bank A dari Bank B yaitu:
Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar
- 25 -
Rp80 miliar tersebut di atas selanjutnya diakui
sebagai modal pelengkap dengan memperhatikan
batasan modal pelengkap yang diperkenankan.
Contoh 2:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap
sebesar Rp10 miliar dan modal inti utama sebesar
Rp100 miliar.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang
diterbitkan Bank B yang merupakan komponen
modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar.
Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli
Bank A dari Bank B yaitu:
Rp10 miliar - Rp20 miliar = (Rp10 miliar)
Rp10 miliar tersebut di atas selanjutnya akan
dikurangkan terhadap modal inti utama Bank A.
Contoh 3:
Bank A hanya memiliki komponen modal inti
utama sebesar Rp100 miliar dan tidak memiliki
komponen modal lainnya.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang
diterbitkan Bank B yang merupakan komponen
modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar.
Dalam kondisi ini, modal inti utama Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli
Bank A dari Bank B yaitu:
Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar.
Huruf c
Pengaturan mengenai kepemilikan silang mengacu
pada Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas.
Kepemilikan silang menjadi faktor pengurang
modal pada komponen modal yang memiliki
kualitas sama dan/atau lebih baik bagi Bank yang
melakukan penempatan dana.
- 26 -
Kepemilikan silang yang telah menjadi faktor
pengurang modal tidak lagi diperhitungkan baik
dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit
maupun faktor pengurang modal lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 41
Ayat (1)
Termasuk posisi yang kurang likuid adalah portofolio
yang terkonsentrasi dan berpotensi tidak memiliki pasar
yang aktif dan memadai.
Yang dimaksud dengan memiliki “pasar yang aktif dan
memadai” adalah aset harus memiliki pasar repo atau
jual putus (outright sale) yang aktif sepanjang waktu,
yang antara lain ditunjukkan dengan:
1. terdapat bukti historis mengenai keluasan pasar
(market breadth) dan kedalaman pasar (market
depth) antara lain:
a. rendahnya spread antara bid dan ask price;
b. tingginya volume perdagangan;
c. banyak dan beragamnya jumlah peserta
pasar; dan/atau
2. terdapat infrastruktur pasar yang handal.
Faktor-faktor tertentu mencakup antara lain rata-rata
dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas
dari rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid
atau ask spreads), serta ketersediaan kuotasi pasar.
Ayat (2)
Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen
keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca) dan
tidak mempengaruhi laporan laba rugi.
- 27 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5929
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 4/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 26 Januari 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '13/1/PBI/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18/POJK.03/2014
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor jasa keuangan
yang tumbuh sccara berkelanjutan dan stabil serta
memiliki daya saing yang tinggi, perlu penerapan tata kelola
yang baik di sektor jasa keuangan;
b. bahwa adanya Lembaga Jasa Keuangan yang memiliki
hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian di berbagai
sektor jasa keuangan telah meningkatkan kompleksitas
transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan dalam
konglomerasi keuangan, sehingga diperlukan penerapan
tata kelola terintegrasi;
c. bahwa mengingat dalam konglomerasi keuangan terdiri dari
lembaga jasa keuangan dari berbagai industri keuangan,
maka diperlukan peningkatan kualitas tata kelola yang baik
dalam suatu konglomerasi keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Tata
Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia
End of Page 1
- 2 -
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5618);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN
TATA KELOLA
KONGLOMERASI KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut LJK adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam satu grup atau
kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian.
3. Entitas …
TERINTEGRASI BAGI
- 3 -
3. Entitas Utama adalah LJK induk dari Konglomerasi Keuangan atau LJK yang
ditunjuk oleh pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan.
4. Tata Kelola adalah suatu tata kelola dalam LJK yang menerapkan prinsip-
prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau
profesional (professional), dan kewajaran (fairness).
5. Tata Kelola Terintegrasi adalah suatu tata kelola yang menerapkan prinsip-
prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau
profesional (professional), dan kewajaran (fairness) secara terintegrasi dalam
Konglomerasi Keuangan.
6. Direksi adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan
Daerah;
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian;
d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan;
e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang
berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat
satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
7. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas;
b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan
Daerah;
c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian;
d. bagi …
(accountability),
(accountability),
- 4 -
d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan;
e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang
berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungsi pengawasan.
Pasal 2
Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Tata Kelola Terintegrasi secara
komprehensif dan efektif sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 3
(1) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memiliki
struktur yang terdiri dari Entitas Utama dan:
a. perusahaan anak; dan/atau
b. perusahaan terelasi beserta perusahaan anaknya.
(2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis
LJK sebagai berikut:
a. bank;
b. perusahaan asuransi dan reasuransi;
c. perusahaan efek; dan/atau
d. perusahaan pembiayaan.
Pasal 4
(1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah
badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh
LJK secara langsung maupun tidak langsung baik di dalam maupun di luar
negeri yang melakukan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan.
(2) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Perusahaan subsidiari yaitu perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari
50% (lima puluh perseratus);
b. Perusahaan partisipasi yaitu perusahaan yang dimiliki LJK sebesar 50%
(lima puluh perseratus) atau kurang, namun LJK memiliki pengendalian
terhadap perusahaan;
c. Perusahaan …
- 5 -
c. Perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari 20% (dua puluh perseratus)
sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi
persyaratan, yaitu:
1. kepemilikan LJK dan para pihak lainnya pada perusahaan anak
adalah masing-masing sama besar; dan
2. masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama
terhadap perusahaan anak yang didasarkan pada perjanjian, dan
dibuktikan dengan adanya kesepakatan atau komitmen secara
tertulis dari para pemilik untuk memberikan dukungan baik finansial
maupun non finansial sesuai kepemilikannya masing-masing.
d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku
wajib dikonsolidasikan.
Pasal 5
Perusahaan terelasi (sister company) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) adalah beberapa LJK yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara
hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh pemegang saham pengendali
yang sama.
Pasal 6
(1) LJK wajib mengidentifikasi keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian
dengan LJK lain dalam menentukan Konglomerasi Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Konglomerasi Keuangan wajib memiliki Entitas Utama.
(3) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan terdiri dari LJK induk dan LJK
anak, Entitas Utama adalah LJK induk.
(4) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan wajib
menunjuk Entitas Utama.
(5) Dalam hal Konglomerasi Keuangan dimiliki oleh lebih dari satu pihak
dengan porsi kepemilikan yang sama, penunjukan Entitas Utama
berdasarkan kesepakatan di antara pihak dengan porsi kepemilikan yang
sama.
(6) Pihak …
- 6 -
(6) Pihak yang ditunjuk sebagai Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) adalah LJK yang memiliki total aset terbesar dan/atau
memiliki kualitas penerapan manajemen risiko yang baik.
(7) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Entitas Utama untuk
melakukan penyesuaian terhadap:
a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau
b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama.
Pasal 7
Entitas Utama wajib menerapkan Tata Kelola Terintegrasi.
Pasal 8
Penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling
sedikit mencakup:
a. persyaratan Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama;
b. tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris
Entitas Utama;
c. tugas dan tanggung jawab Komite Tata Kelola Terintegrasi;
d. tugas dan tanggung jawab satuan kerja kepatuhan terintegrasi;
e. tugas dan tanggung jawab satuan kerja audit intern terintegrasi;
f. penerapan manajemen risiko terintegrasi; dan
g. penyusunan dan pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi.
BAB II
DIREKSI ENTITAS UTAMA, DEWAN KOMISARIS ENTITAS UTAMA, DAN DEWAN
PENGAWAS SYARIAH ENTITAS UTAMA
Pasal 9
Calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon Dewan Komisaris Entitas Utama
harus memiliki pengetahuan mengenai Entitas Utama dan pengetahuan
mengenai LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 10
(1) Direksi Entitas Utama wajib memastikan penerapan Tata Kelola Terintegrasi
dalam Konglomerasi Keuangan.
(2) Tugas …
- 7 -
(2) Tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dalam rangka memastikan
penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling sedikit:
a. menyusun Pedoman Tata Kelola Terintegrasi;
b. mengarahkan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Pedoman Tata
Kelola Terintegrasi; dan
c. menindaklanjuti arahan atau nasihat Dewan Komisaris Entitas Utama
dalam rangka penyempurnaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi.
Pasal 11
Direksi Entitas Utama wajib memastikan bahwa temuan audit dan rekomendasi
dari satuan kerja audit intern terintegrasi, auditor eksternal, hasil pengawasan
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain telah
ditindaklanjuti oleh LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 12
(1) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib melakukan pengawasan atas
penerapan Tata Kelola Terintegrasi.
(2) Tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris Entitas Utama dalam rangka
melakukan pengawasan atas penerapan Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:
a. mengawasi penerapan Tata Kelola pada masing-masing LJK agar sesuai
dengan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi;
b. mengawasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas
Utama, serta memberikan arahan atau nasihat kepada Direksi Entitas
Utama atas pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; dan
c. mengevaluasi Pedoman Tata Kelola Terintegrasi dan mengarahkan dalam
rangka penyempurnaan.
Pasal 13
(1) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib menyelenggarakan rapat secara
berkala paling sedikit 1 (satu) kali setiap semester.
(2) Rapat …
- 8 -
(2) Rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dapat dilaksanakan melalui video
conference.
(3) Hasil rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dituangkan dalam risalah rapat
dan didokumentasikan secara baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Dewan
Komisaris Entitas Utama dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat
beserta alasan perbedaan pendapat.
Pasal 14
(1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugasnya, Dewan
Komisaris Entitas Utama wajib membentuk Komite Tata Kelola Terintegrasi.
(2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki Komite Tata Kelola, fungsi Komite
Tata Kelola Terintegrasi dapat dilakukan oleh Komite Tata Kelola yang telah
ada dengan menyesuaikan keanggotaan, fungsi dan tanggung jawab.
Pasal 15
Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan/atau Dewan
Komisaris Entitas Utama tidak diperhitungkan sebagai rangkap jabatan.
Pasal 16
Dalam hal Entitas Utama melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, Dewan Pengawas Syariah pada Entitas Utama harus memastikan
penerapan Tata Kelola Terintegrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah.
BAB III
KOMITE TATA KELOLA TERINTEGRASI
Pasal 17
(1) Komite Tata Kelola Terintegrasi paling sedikit terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen yang menjadi Ketua pada salah satu
komite pada Entitas Utama, sebagai ketua merangkap anggota;
b. Komisaris Independen yang mewakili dan ditunjuk dari LJK dalam
Konglomerasi Keuangan, sebagai anggota;
c. seorang …
- 9 -
c. seorang pihak independen, sebagai anggota; dan
d. anggota Dewan Pengawas Syariah dari LJK dalam Konglomerasi
Keuangan, sebagai anggota.
(2) Jumlah dan komposisi Komisaris Independen yang menjadi anggota Komite
Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan tugas Komite Tata Kelola Terintegrasi dengan
memperhatikan paling sedikit keterwakilan masing-masing sektor jasa
keuangan.
(3) Keanggotaan Komisaris Independen pada Komite Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa keanggotaan
tetap atau tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan.
Pasal 18
Keanggotaan Komisaris Independen, pihak independen, dan anggota Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) pada Komite
Tata Kelola Terintegrasi dalam Konglomerasi Keuangan tidak diperhitungkan
sebagai rangkap jabatan.
Pasal 19
Komite Tata Kelola Terintegrasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling
sedikit:
a. mengevaluasi pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi paling sedikit melalui
penilaian kecukupan pengendalian intern dan pelaksanaan fungsi kepatuhan
secara terintegrasi; dan
b. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris Entitas Utama untuk
penyempurnaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi.
Pasal 20
(1) Komite Tata Kelola Terintegrasi harus melaksanakan rapat paling sedikit 1
(satu) kali setiap semester.
(2) Rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dapat dilaksanakan melalui video
conference.
(3) Hasil rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dituangkan dalam risalah rapat
dan didokumentasikan secara baik.
(4) Perbedaan …
- 10 -
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Komite
Tata Kelola Terintegrasi dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat
beserta alasan perbedaan pendapat.
BAB IV
SATUAN KERJA KEPATUHAN TERINTEGRASI DAN AUDIT INTERN
TERINTEGRASI
Pasal 21
(1) Entitas Utama wajib memiliki Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi yang
independen.
(2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja kepatuhan,
pelaksanaan tugas kepatuhan terintegrasi dapat dilakukan oleh satuan kerja
kepatuhan yang telah ada.
Pasal 22
Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi mempunyai tugas paling sedikit memantau
dan mengevaluasi pelaksanaan fungsi kepatuhan pada masing-masing LJK
dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 23
(1) Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi menyusun dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kepada Direktur Kepatuhan Entitas
Utama atau Direktur yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan
terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
(2) Direktur Kepatuhan Entitas Utama atau Direktur yang ditunjuk oleh
Direktur Utama Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab kepatuhan terintegrasi kepada Direksi Entitas Utama dan Dewan
Komisaris Entitas Utama.
Pasal 24
(1) Entitas Utama wajib memiliki Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi yang
independen.
(2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja audit intern,
pelaksanaan tugas audit intern terintegrasi dapat dilakukan oleh satuan
kerja audit intern yang telah ada.
Pasal …
- 11 -
Pasal 25
Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi mempunyai tugas paling sedikit
memantau pelaksanaan audit intern pada masing-masing LJK dalam
Konglomerasi Keuangan.
Pasal 26
Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi menyampaikan laporan audit intern
terintegrasi kepada Direktur yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan
terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan dan Dewan Komisaris Entitas
Utama serta Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan Entitas Utama.
BAB V
MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI
Pasal 27
Entitas Utama wajib menerapkan manajemen risiko terintegrasi secara
komprehensif dan efektif dengan berpedoman pada ketentuan mengenai
penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan.
BAB VI
PEDOMAN TATA KELOLA TERINTEGRASI
Pasal 28
(1) Pedoman Tata Kelola Terintegrasi yang disusun oleh Direksi Entitas Utama
dan disetujui oleh Dewan Komisaris Entitas Utama paling sedikit mencakup:
a. kerangka Tata Kelola Terintegrasi bagi Entitas Utama; dan
b. kerangka Tata Kelola bagi LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
(2) Penyusunan kerangka Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b mengacu pada peraturan ini dan ketentuan tata kelola yang berlaku
bagi masing-masing LJK.
(3) Direksi Entitas Utama menyampaikan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi
kepada Direksi LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 29
Kerangka Tata Kelola Terintegrasi bagi Entitas Utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a memuat paling sedikit:
a. persyaratan …
- 12 -
a. persyaratan Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama;
b. tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris
Entitas Utama;
c. tugas dan tanggung jawab Komite Tata Kelola Terintegrasi;
d. tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi;
e. tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi; dan
f. penerapan manajemen risiko terintegrasi.
Pasal 30
(1) Kerangka Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf
b memuat paling sedikit:
a. persyaratan calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris;
b. persyaratan calon anggota Dewan Pengawas Syariah;
c. struktur Direksi dan Dewan Komisaris;
d. struktur Dewan Pengawas Syariah;
e. independensi tindakan Dewan Komisaris;
f. pelaksanaan fungsi pengurusan LJK oleh Direksi;
g. pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris;
h. pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah;
i. pelaksanaan fungsi kepatuhan, fungsi audit intern, dan pelaksanaan
audit ekstern;
j. pelaksanaan fungsi manajemen risiko;
k. kebijakan remunerasi; dan
l. pengelolaan benturan kepentingan.
(2) Persyaratan, struktur dan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf d, dan huruf h
dicantumkan dalam kerangka Tata Kelola Terintegrasi apabila Konglomerasi
Keuangan memiliki LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasar prinsip
Syariah.
Pasal 31
Persyaratan calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, serta calon Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b paling
sedikit memuat persyaratan integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan.
Pasal …
- 13 -
Pasal 32
Struktur Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) huruf c, paling sedikit memuat:
a. jumlah minimal dan maksimal anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
b. rangkap jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; dan
c. jumlah dan komposisi Komisaris Independen.
Pasal 33
Struktur Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) huruf d paling sedikit memuat:
a. jumlah minimal dan maksimal anggota Dewan Pengawas Syariah; dan
b. rangkap jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah.
Pasal 34
Independensi tindakan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) huruf e paling sedikit memuat kriteria tindakan Dewan Komisaris yang
dinyatakan independen.
Pasal 35
Pelaksanaan fungsi pengurusan LJK oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1) huruf f paling sedikit memuat tugas dan tanggung jawab sebagai
berikut:
a. melaksanakan prinsip-prinsip Tata Kelola;
b. menindaklanjuti hasil audit oleh pihak intern dan ekstern;
c. menyusun tata tertib kerja; dan
d. menyelenggarakan rapat Direksi yang paling sedikit mencakup tata cara
pengambilan keputusan dan dokumentasi rapat.
Pasal 36
Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) huruf g paling sedikit memuat tugas dan tanggung jawab
Dewan Komisaris sebagai berikut:
a. melakukan pengawasan terhadap penerapan tata kelola, tugas dan tanggung
jawab Direksi dan tindak lanjut hasil audit dari pihak intern dan ekstern;
b. membentuk …
- 14 -
b. membentuk komite atau menunjuk pihak untuk melaksanakan fungsi yang
mendukung tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris paling sedikit
komite atau fungsi pemantauan audit, dan komite atau fungsi pemantauan
kepatuhan;
c. menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris yang paling sedikit mencakup
frekuensi, kehadiran dan tata cara pengambilan keputusan; dan
d. menyusun tata tertib kerja Dewan Komisaris.
Pasal 37
Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf h memuat paling sedikit tugas dan
tanggung jawab sebagai berikut:
a. memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan LJK
agar sesuai dengan Prinsip Syariah; dan
b. menyusun tata tertib kerja Dewan Pengawas Syariah.
Pasal 38
Pelaksanaan fungsi kepatuhan, fungsi audit intern, dan pelaksanaan audit
ekstern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf i paling sedikit
memuat:
a. pembentukan fungsi kepatuhan dan fungsi audit intern yang independen;
b. pelaksanaan fungsi audit intern paling sedikit melaksanakan audit intern
LJK; dan
c. pelaksanaan fungsi audit ekstern oleh pihak eksternal terhadap laporan
keuangan LJK.
Pasal 39
Pelaksanaan fungsi manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) huruf j memuat paling sedikit kebijakan manajemen risiko secara
komprehensif dan efektif dengan berpedoman pada ketentuan mengenai
manajemen risiko yang berlaku bagi masing-masing LJK.
Pasal …
- 15 -
Pasal 40
Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf k
memuat paling sedikit kebijakan remunerasi dengan memperhatikan profil risiko
dan dalam rangka terwujudnya budaya kerja yang hati-hati.
Pasal 41
Pengelolaan benturan kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) huruf l paling sedikit memuat kebijakan:
a. untuk melakukan identifikasi, mitigasi, dan pengelolaan atas benturan
kepentingan termasuk yang berasal dari transaksi dengan pihak afiliasi dan
transaksi intra group;
b. larangan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris mengambil
tindakan yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan LJK; dan
c. kewajiban mengungkapkan apabila terjadi benturan kepentingan dalam
setiap pengambilan keputusan.
BAB VII
TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN YANG
ENTITAS UTAMANYA BERUPA KANTOR CABANG DARI ENTITAS
DI LUAR NEGERI
Pasal 42
Konglomerasi Keuangan yang Entitas Utamanya berupa Kantor Cabang dari
entitas di luar negeri wajib memenuhi ketentuan mengenai Tata Kelola
Terintegrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 43
Pelaksanaan fungsi Dewan Komisaris, dan pembentukan Komite Tata Kelola
Terintegrasi disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada Entitas
Utama yang bersangkutan.
BAB …
- 16 -
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 44
(1) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan mengenai LJK yang menjadi
Entitas Utama dan LJK yang menjadi anggota Konglomerasi Keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dalam hal terdapat:
a. Konglomerasi Keuangan baru disertai penunjukkan Entitas Utama;
b. perubahan Entitas Utama;
c. perubahan anggota Konglomerasi Keuangan; dan/atau
d. pembubaran Konglomerasi Keuangan.
(3) Laporan disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak
terjadinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dilaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang lain, laporan tersebut dianggap telah memenuhi kewajiban
pelaporan.
(5) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penyesuaian terhadap:
a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau
b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama,
dalam hal diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (7).
Pasal 45
(1) Entitas Utama wajib menyusun laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola
Terintegrasi secara berkala.
(2) Penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat.
(3) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disusun setiap
semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember.
(4) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata
Kelola Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Laporan …
- 17 -
(5) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan paling
lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan
laporan yang bersangkutan.
(6) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/libur,
laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan pada
hari kerja berikutnya.
Pasal 46
(1) Entitas Utama wajib menyusun laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola
Terintegrasi.
(2) Laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) bulan sejak tahun buku
berakhir.
(3) Entitas Utama wajib mempublikasikan laporan tahunan pelaksanaan Tata
Kelola Terintegrasi dalam home page Entitas Utama paling lambat 5 (lima)
bulan sejak tahun buku berakhir.
(4) Laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dapat menjadi bagian
tersendiri dalam laporan tahunan Konglomerasi Keuangan atau diajukan
secara terpisah dari laporan tahunan Konglomerasi Keuangan.
Pasal 47
(1) Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan penilaian
pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas
Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5).
(2) Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan Tahunan
Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas
Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).
Pasal 48
Bagi Entitas Utama berupa Bank yang telah menyampaikan laporan penilaian
pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah
memenuhi kewajiban penyampaian laporan penilaian Tata Kelola Konsolidasi
secara …
- 18 -
secara berkala sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pelaksanaan
good corporate governance bagi bank umum.
Pasal 49
Bagi Entitas Utama berupa Bank yang telah menyampaikan Laporan Tahunan
Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah
memenuhi kewajiban penyampaian Laporan Pelaksanaan good corporate
governance sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pelaksanaan good
corporate governance bagi bank umum.
BAB IX
LAIN-LAIN
Pasal 50
Hubungan antar LJK yang dimiliki dan dikendalikan langsung oleh Pemerintah
Pusat Republik Indonesia dikecualikan dari pengertian Konglomerasi Keuangan.
Pasal 51
(1) Dalam hal Konglomerasi Keuangan berada dalam satu sektor jasa keuangan
yang sama dan telah terdapat ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Tata Kelola (good corporate governance) bagi sektor jasa keuangan,
penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Tata Kelola
(good corporate governance) yang berlaku bagi sektor jasa keuangan.
(2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memiliki Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
b. membentuk Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi, Satuan Kerja Audit
Intern Terintegrasi, dan Komite Tata Kelola Terintegrasi;
c. menyusun Pedoman Tata Kelola Terintegrasi;
d. menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45;
e. menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
Pasal …
- 19 -
Pasal 52
Entitas Utama wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan
penerapan Tata Kelola Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
BAB X
S A N K S I
Pasal 53
Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 6 ayat
(2), Pasal 42, dan Pasal 51 ayat (2); Entitas Utama yang melanggar ketentuan
dalam Pasal 7, Pasal 21 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27, Pasal 44 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (5), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (3),
dan Pasal 52; LJK yang melanggar ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1); pemegang
saham pengendali Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 6 ayat (4); Direksi Entitas Utama yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10
ayat (1) dan Pasal 11, dan Dewan Komisaris Entitas Utama yang melanggar
ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (1), dapat
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. perintah penggantian manajemen;
f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; dan/atau
g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan.
Pasal 54
Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan:
a. laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5); dan/atau
b. laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2),
dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal …
- 20 -
Pasal 55
Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan
Pasal 54 mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada setiap sektor jasa
keuangan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 56
Laporan mengenai LJK yang menjadi Entitas Utama dan LJK yang menjadi
anggota Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1)
disampaikan pertama kali paling lambat 31 Maret 2015.
Pasal 57
Kewajiban penyampaian laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) pertama kali dilakukan untuk
posisi laporan sebagai berikut:
a. Juni 2015, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan
Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. Desember 2015, untuk Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank.
Pasal 58
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 mulai berlaku sejak:
a. 1 Januari 2017, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
b. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama berupa bank non Bank Umum
Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal …
Pasal 60
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK tetap menerapkan
ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan.
Pasal 61
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditctapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
KEUKNGAN
Tini Kustini
End of Page 21
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18/POJK.03/2014
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN
I. UMUM
Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil
menjadi suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu mendukung
pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berperan secara optimal dalam
perekonomian nasional.
Industri keuangan merupakan salah satu industri yang memiliki
kompleksitas operasional dan tingkat persaingan yang tinggi, sehingga
menyebabkan industri keuangan terekspos risiko yang tinggi dan harus
beroperasi secara berhati-hati serta efisien.
Seiring dengan perkembangan globalisasi, teknologi informasi, dan inovasi
produk serta aktivitas Lembaga Jasa Keuangan (LJK) telah menciptakan sistem
keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing-masing
sektor keuangan baik dalam produk dan kelembagaan, maupun kepemilikan.
Menghadapi kondisi tersebut, LJK perlu menerapkan tata kelola yang baik pada
LJK dan Konglomerasi Keuangan.
Dalam rangka penerapan tata kelola terintegrasi yang baik, Konglomerasi
Keuangan perlu memiliki Pedoman Tata Kelola Terintegrasi dengan mengacu
pada peraturan yang konservatif guna menjadi panduan bagi LJK dalam
Konglomerasi Keuangan untuk menerapkan tata kelola, sehingga dapat
mendorong peningkatan kualitas penerapan tata kelola terintegrasi. Dengan
penerapan tata kelola terintegrasi, akan mendorong Konglomerasi Keuangan
memiliki tata kelola yang lebih prudent sesuai dengan prinsip-prinsip
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban
(responsibility), independensi (independency) atau profesional (professional), dan
kewajaran (fairness). Selain itu, penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi
Konglomerasi Keuangan diharapkan dapat mendorong stabilitas sistem keuangan
yang tumbuh secara berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan daya saing
nasional …
- 2 -
nasional.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Penerapan
Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah perseorangan
atau perusahaan/badan, baik secara sendiri maupun bersama-
sama dan baik secara langsung maupun tidak langsung yang
memiliki 50% (lima puluh perseratus) atau kurang saham yang
memiliki hak suara pada suatu perusahaan atau badan lain
tetapi:
1. terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain sehingga
memiliki hak suara lebih dari 50% (lima puluh perseratus);
2. mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan
keuangan dan operasional perusahaan/badan lain
berdasarkan anggaran dasar/perjanjian;
3. mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau mengganti
sebagian besar Direksi dan Dewan Komisaris atau organ
lainnya yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan
lain melalui Direksi dan Dewan Komisaris atau organ
lainnya …
- 3 -
lainnya tersebut; dan/atau
4. mampu menguasai suara mayoritas pada rapat Direksi dan
Dewan Komisaris atau organ lainnya yang setara dan
mengendalikan perusahaan/badan melalui Direksi dan
Dewan Komisaris atau organ lainnya tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sebagai contoh: LJK A adalah LJK induk dari LJK anak yang terdiri
dari LJK B dan LJK C secara langsung, serta LJK D dan LJK E secara
tidak langsung. Dengan demikian, Entitas Utama dari Konglomerasi
Keuangan adalah LJK A. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di
bawah ini.
LJK A
LJK B
LJK C
LJK D
LJK E
Ayat (4)
Termasuk pemegang saham pengendali pada ayat ini adalah:
1. perorangan/perusahaan non keuangan; atau
2. perorangan/ perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.
Sebagai …
- 4 -
Sebagai contoh: “Non LJK 1” adalah pemegang saham pengendali
dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK
C. “Non LJK 1” wajib menunjuk Entitas Utama dalam rangka
penerapan Tata Kelola Terintegrasi. Untuk jelasnya, sebagaimana
bagan di bawah ini.
Non LJK 1
LJK A
LJK B
LJK C
Contoh berikutnya: “Non LJK 2” adalah pemegang saham pengendali
dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, LJK C,
LJK D, dan LJK E. “Non LJK 2” wajib menunjuk Entitas Utama dalam
rangka penerapan Tata Kelola Terintegrasi. Untuk jelasnya,
sebagaimana bagan di bawah ini.
Non LJK 2
LJK A
Non LJK 1
LJK B
LJK C
LJK D
LJK E
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat …
- 5 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon anggota Dewan Komisaris
tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan uji kemampuan dan kepatutan bagi masing-masing sektor jasa
keuangan.
Persyaratan pengetahuan bagi calon anggota Direksi Entitas Utama dan
calon anggota Dewan Komisaris Entitas Utama mengenai LJK dalam
Konglomerasi Keuangan diperlukan karena adanya peningkatan tugas dan
tanggung jawab dalam pengelolaan Konglomerasi Keuangan.
Yang dimaksud dengan “pengetahuan” antara lain pemahaman kegiatan
bisnis utama dan risiko utama dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “otoritas lain” termasuk namun tidak terbatas
pada:
a. Bank Indonesia;
b. Otoritas pengawasan terhadap Kantor Pusat LJK dalam hal LJK
merupakan kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar
negeri.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Termasuk dalam penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris Entitas
Utama adalah penjadwalan waktu pelaksanaan rapat.
Ayat …
- 6 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Rangkap jabatan tidak diperhitungkan karena merupakan ex-officio yaitu
jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan
kewenangannya pada lembaga lain.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pihak independen dapat berasal dari pihak independen anggota
Komite pada Entitas Utama.
Huruf d
Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah dalam Komite Tata
Kelola Terintegrasi hanya apabila terdapat LJK yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasar prinsip Syariah.
Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah yang menjadi
anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan
kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan tugas dari Komite Tata Kelola
Terintegrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat …
- 7 -
Ayat (3)
Mengingat jumlah dan komposisi Komisaris Independen yang menjadi
anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan
kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan efektivitas
pelaksanaan tugas dari Komite Tata Kelola Terintegrasi, maka dalam
hal diperlukan Entitas Utama dapat menambah keanggotaan tidak
tetap Komisaris Independen dari LJK yang belum menjadi anggota
Komite Tata Kelola Terintegrasi.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Dalam melakukan evaluasi, Komite Tata Kelola Terintegrasi
memperoleh informasi berupa hasil evaluasi atas pelaksanaan audit
intern dan fungsi kepatuhan masing-masing LJK dari anggota
Dewan Komisaris masing-masing LJK yang menjadi anggota pada
Komite Tata Kelola Terintegrasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Termasuk dalam penyelenggaraan rapat Komite Tata Kelola
Terintegrasi adalah penjadwalan waktu pelaksanaan rapat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan
satuan kerja yang melaksanakan fungsi kepatuhan terintegrasi
dengan …
- 8 -
dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas
Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Penunjukan Direktur untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap
LJK dalam Konglomerasi Keuangan dilakukan sesuai dengan
anggaran dasar LJK sebagai Entitas Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan
satuan kerja yang melaksanakan fungsi audit intern terintegrasi
dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas
Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Dalam melaksanakan tugasnya Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi
dapat melakukan audit pada LJK baik secara individual, audit bersama,
atau berdasarkan laporan dari Satuan Kerja Audit Intern LJK.
Pasal 26
Penunjukan Direktur untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK
dalam Konglomerasi Keuangan dilakukan sesuai dengan anggaran dasar
LJK sebagai Entitas Utama.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal …
- 9 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “independen” adalah tidak memiliki
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham baik
langsung maupun tidak langsung, dan/atau hubungan keluarga
sampai dengan derajat kedua baik vertikal maupun horizontal
dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris
lainnya, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah atau hubungan
lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independen.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi yang mendukung
tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris merupakan organ
Dewan Komisaris di luar struktur organisasi LJK.
Huruf …
- 10 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Laporan disertai dengan dokumen penunjukan Entitas Utama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi didasarkan atas hasil
penilaian …
- 11 -
penilaian sendiri (self assessment).
Ayat (2)
Peringkat terbaik dari 5 (lima) kategori peringkat Tata Kelola
Terintegrasi adalah peringkat 1 (satu).
Ayat (3)
Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disajikan
secara komparatif dengan posisi semester sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dapat digunakan
oleh Entitas Utama untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan secara
konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penilaian
tingkat kesehatan bank umum.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Sektor jasa keuangan terdiri dari sektor perbankan, sektor pasar
modal, dan sektor industri keuangan non bank.
Contoh:
Dalam hal Konglomerasi keuangan seluruhnya terdiri dari beberapa
perusahaan asuransi, maka penerapan Tata Kelola Terintegrasi
mengacu …
- 12 -
mengacu pada ketentuan mengenai Tata Kelola (good corporate
governance) untuk perusahaan asuransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Data dan informasi dari Entitas Utama digunakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam rangka melakukan evaluasi dan penilaian terhadap
penerapan Tata Kelola Terintegrasi yang dilakukan oleh Konglomerasi
Keuangan.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5627
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 18/POJK.03/2014 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 18 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 48 /POJK.04/2015
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA
DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk
pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks beralih dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas
Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan atas pengelolaan Reksa Dana
Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa
Dana Indeks perlu mengganti Peraturan mengenai
pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang diterbitkan
sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
- 2 -
Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI,
REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA
INDEKS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks adalah Reksa Dana selain
dari yang disebutkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana Terbuka.
BAB II
PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA
DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS
Pasal 2
Ketentuan mengenai:
a. Larangan bagi Manajer Investasi Reksa Dana melakukan
tindakan yang menyebabkan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan:
- 3 -
1. membeli Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek
luar negeri yang informasinya dapat diakses melalui
media massa atau fasilitas internet yang tersedia
lebih dari 15% (lima belas persen) dari Nilai Aktiva
Bersih;
2. membeli Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan oleh
perusahaan yang telah mencatatkan Efeknya pada
Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen)
dari modal disetor perusahaan dimaksud;
3. membeli Efek yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat, termasuk
pemilikan surat berharga yang dikeluarkan oleh
bank-bank tetapi tidak termasuk Sertifikat Bank
Indonesia dan obligasi yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
4. menjual saham Reksa Dana terbuka kepada setiap
pemodal lebih dari 2% (dua persen) dari modal yang
dikeluarkan, kecuali bagi Manajer Investasi Reksa
Dana terbuka yang bersangkutan; dan
5. membeli Efek Beragun Aset lebih dari 10% (sepuluh
persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana dengan
ketentuan bahwa setiap jenis Efek Beragun Aset tidak
lebih dari 5% (lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
b. Larangan bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan
melakukan:
1. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek
luar negeri yang informasinya dapat diakses melalui
media massa atau fasilitas internet yang tersedia
lebih dari 15% (lima belas persen) dari Nilai Aktiva
Bersih;
2. pembelian Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh
perusahaan yang telah mencatatkan Efeknya pada
- 4 -
Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen)
dari modal disetor perusahaan dimaksud;
3. pembelian Efek yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat, dengan
ketentuan pembatasan tersebut termasuk pemilikan
surat berharga yang dikeluarkan oleh bank-bank
tetapi tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia dan
obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia;
4. penjualan saham Reksa Dana terbuka kepada setiap
pemodal lebih dari 2% (dua persen) dari modal yang
dikeluarkan, kecuali bagi Manajer Investasi Reksa
Dana terbuka yang bersangkutan;
5. pembelian Efek Beragun Aset lebih dari 10% (sepuluh
persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana dengan
ketentuan bahwa setiap jenis Efek Beragun Aset tidak
lebih dari 5% (lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
c. Kewajiban Manajer Investasi menentukan komposisi
Portofolio Efek dari Reksa Dana dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. paling sedikit 85% (delapan puluh lima persen) dari
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada:
a)
portofolio Efek yang diterbitkan, ditawarkan,
dan/atau diperdagangkan di Indonesia
berdasarkan peraturan perundang-undangan di
Indonesia; dan/atau
b) Efek bersifat utang yang diperdagangkan di luar
negeri, namun diterbitkan oleh:
1) Pemerintah Republik Indonesia;
2) badan hukum Indonesia yang merupakan
Emiten dan/atau Perusahaan Publik
- 5 -
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal;
3) badan hukum asing yang sebagian besar
atau seluruh sahamnya secara langsung
maupun tidak langsung dimiliki oleh
Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud pada angka 2), dan
badan hukum asing tersebut khusus
didirikan untuk menghimpun dana dari
luar negeri bagi kepentingan Emiten atau
Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau
4) badan hukum asing yang sebagian besar
atau seluruh sahamnya secara langsung
maupun tidak langsung dimiliki Badan
Usaha Milik Negara;
2. paling banyak 15% (lima belas persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek
yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang
informasinya dapat diakses dari Indonesia melalui
media massa atau fasilitas internet,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif; dan
d. Larangan bagi Manajer Investasi melakukan tindakan
yang dapat menyebabkan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif:
1. memiliki Efek yang diterbitkan oleh satu perusahaan
berbadan hukum Indonesia atau berbadan hukum
asing yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri
lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor
perusahaan dimaksud atau lebih dari 10% (sepuluh
persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada
setiap saat;
2. memiliki Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh
perusahaan yang telah mencatatkan Efeknya pada
- 6 -
Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen)
dari modal disetor perusahaan dimaksud;
3. memiliki Efek yang diterbitkan oleh satu Pihak lebih
dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana pada setiap saat, termasuk surat
berharga yang diterbitkan oleh bank, namun tidak
berlaku bagi:
a)
Sertifikat Bank Indonesia;
b) Efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia; dan/atau
c) Efek yang diterbitkan oleh lembaga keuangan
internasional dimana Pemerintah Republik
Indonesia menjadi salah satu anggotanya; dan
4. memiliki Efek Beragun Aset lebih dari 10% (sepuluh
persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, dengan
ketentuan bahwa masing-masing Efek Beragun Aset
tidak lebih dari 5% (lima persen) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif,
tidak berlaku bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana
Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks.
Pasal 3
Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana
Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif.
- 7 -
Pasal 4
Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana
Terproteksi dan Reksa Dana Dengan Penjaminan, bersifat
terbatas, baik dalam masa penawaran maupun jumlah saham
atau Unit Penyertaan yang ditawarkan, sedangkan Reksa Dana
Indeks dapat bersifat terus menerus atau terbatas baik dalam
masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan
yang ditawarkan.
Pasal 5
Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan
Reksa Dana Indeks wajib mencantumkan nama yang
mencerminkan jenis Reksa Dana tersebut.
Bagian Kesatu
Reksa Dana Terproteksi
Pasal 6
Manajer Investasi yang bermaksud menerbitkan Reksa Dana
Terproteksi wajib:
a. memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus
yang paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Mekanisme proteksi yang paling sedikit memuat:
a) jumlah investasi yang terproteksi yang paling
sedikit sama dengan jumlah investasi awal;
b) jangka waktu proteksi;
c) persentase investasi pada Efek bersifat utang
yang digunakan sebagai basis proteksi;
d) pelunasan lebih awal sebelum jangka waktu
proteksi, jika ada;
e) ruang lingkup dan persyaratan bagi berlakunya
proteksi;
f)
hal-hal yang membuat pemegang saham atau
Unit Penyertaan kehilangan hak atas proteksi;
dan
g)
risiko yang ditanggung oleh pemegang saham
atau Unit Penyertaan.
- 8 -
2. Kebijakan investasi, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) Manajer Investasi wajib:
1) menjelaskan persentase dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Terproteksi yang akan
diinvestasikan pada Efek bersifat utang,
instrumen pasar uang dan Efek lain;
2) membentuk Portofolio Efek sebagai basis
proteksi dengan melakukan investasi pada
Efek bersifat utang, termasuk Efek Beragun
Aset Arus Kas Tetap yang masuk dalam
kategori layak investasi (investment grade),
sehingga nilai Efek bersifat utang pada saat
jatuh tempo paling sedikit dapat menutupi
jumlah nilai yang diproteksi;
3) menentukan komposisi Portofolio Efek
Reksa Dana Terproteksi dengan ketentuan
sebagai berikut:
(a) paling sedikit 70% (tujuh puluh
persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa
Dana diinvestasikan pada:
i.
portofolio Efek yang diterbitkan,
ditawarkan,
dan/atau
diperdagangkan di Indonesia
berdasarkan
perundang-undangan
Indonesia; dan/atau
peraturan
di
ii. Efek bersifat utang yang
diperdagangkan di luar negeri,
namun diterbitkan oleh:
i)
Pemerintah
Indonesia;
Republik
ii) badan hukum Indonesia
yang merupakan Emiten
dan/atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud
dalam
Undang-undang
- 9 -
Nomor 8 tahun 1995 tentang
Pasar Modal;
iii) badan hukum asing yang
sebagian besar atau seluruh
sahamnya secara langsung
maupun tidak langsung
dimiliki oleh Emiten atau
Perusahaan
Publik
sebagaimana dimaksud pada
butir ii), dan badan hukum
asing
didirikan
menghimpun dana dari luar
negeri bagi kepentingan
Emiten atau Perusahaan
Publik dimaksud; dan/atau
iv) badan hukum asing yang
sebagian besar atau seluruh
sahamnya secara langsung
maupun tidak langsung
dimiliki Badan Usaha Milik
Negara;
(b) paling banyak 30% (tiga puluh persen)
dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana
diinvestasikan pada Efek yang
diperdagangkan di Bursa Efek luar
negeri yang informasinya dapat
diakses dari Indonesia melalui media
massa atau fasilitas internet;
4) menjelaskan kriteria pemilihan Efek dan/
atau instrumen pasar uang.
b) Manajer Investasi dilarang:
1) melakukan tindakan yang mengakibatkan
Reksa Dana memiliki Efek yang diterbitkan
oleh pihak terafiliasinya sebagai basis
proteksi, kecuali hubungan Afiliasi tersebut
tersebut khusus
untuk
- 10 -
terjadi karena kepemilikan atau penyertaan
modal pemerintah, dengan ketentuan
pelaksanaan ketentuan tersebut
wajib
memperhatikan ketentuan larangan bagi
Reksa Dana membeli Efek yang diterbitkan
oleh pihak yang terafiliasi baik dengan
Manajer Investasi maupun pemegang Unit
Penyertaan lebih dari 20% (dua puluh
persen) dari Nilai Aktiva Bersih, kecuali
hubungan afiliasi yang terjadi karena
penyertaan modal pemerintah;
2) mengubah Portofolio Efek sebagaimana
dimaksud pada huruf a angka 2 huruf a)
angka 2), kecuali dalam rangka pemenuhan
penjualan kembali dari pemegan g saham
atau Unit Penyertaan atau penurunan
peringkat Efek;
c) Kebijakan investasi sebagaimana dimaksud
pada huruf a angka 2 huruf a) angka 2) tidak
berlaku sepanjang Manajer Investasi melakukan
investasi pada Surat Berharga Negara;
d) Manajer Investasi dapat melakukan investasi
pada Efek derivatif tanpa harus terlebih dahulu
memiliki Efek yang menjadi aset dasar
(underlying) dari derivatif tersebut dengan
memperhatikan ketentuan bahwa investasi
dalam Efek bersifat utang tetap menjadi basis
nilai proteksi;
e) Dalam hal Manajer Investasi melakukan
investasi pada Efek yang merupakan turunan
dari Efek (derivatif) maka Manajer Investasi wajib
menambahkan keterbukaan informasi atas
investasi pada Efek tersebut, paling sedikit
mengenai:
1) jenis Efek derivatif;
2) jatuh tempo (jika ada);
3) Efek yang mendasari (underlying asset);
- 11 -
4) harga perolehan atas Efek derivatif tersebut
(premi);
5) Pihak yang memiliki kewajiban pemenuhan
manfaat atas Efek derivatif (counterparty);
6) penghitungan nilai kas saat jatuh tempo;
dan
7) risiko Efek derivatif.
3. Jangka waktu Penawaran Umum saham atau Unit
Penyertaan.
4. Jumlah minimum dan maksimum saham atau Unit
Penyertaan yang ditawarkan.
5. Reksa Dana Terproteksi wajib mengumumkan dan
melaporkan Nilai Aktiva Bersih paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan.
b. memberikan gambaran dalam Prospektus dan/atau
dokumen keterbukaan mengenai kinerja Reksa Dana
Terproteksi atau indikasi hasil yang akan diterima oleh
pemegang saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana
Terproteksi di masa datang, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. menjelaskan secara lengkap kalkulasi kinerja atau
indikasi hasil kinerja tersebut termasuk semua
kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat terjadi;
2. menjelaskan asumsi yang menjadi latar belakang
kalkulasi dan kemungkinan tersebut; dan
3. menjelaskan risiko yang ditanggung oleh pemegang
saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Terproteksi
sehubungan dengan asumsi dan kalkulasi kinerja
dan indikasi hasil kinerja yang paling sedikit memuat:
a) risiko pasar;
b) risiko tingkat suku bunga;
c)
risiko kredit;
d) risiko nilai tukar mata uang;
e)
risiko industri yang mencerminkan sebagian
besar Portofolio Efek yang menjadi basis
proteksi; dan
- 12 -
f)
risiko likuiditas bagi pemegang saham atau Unit
Penyertaan Reksa Dana Terproteksi.
Pasal 7
Dokumen keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebagai bagian dari dokumen Pernyataan Pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana
Berbentuk Perseroan atau peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Bagian Kedua
Reksa Dana Dengan Penjaminan
Pasal 8
Manajer Investasi yang bermaksud menerbitkan Reksa Dana
Dengan Penjaminan wajib:
a. Menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan salinan
Kontrak Penjaminan yang dibuat secara notariil antara
Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan pihak yang
memberikan penjaminan (penjamin/guarantor) yang
paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
1. jumlah investasi yang dijamin, paling sedikit sama
dengan jumlah investasi awal;
2. jangka waktu penjaminan;
3. pelunasan lebih awal sebelum jangka waktu
penjaminan (jika ada);
4. ruang lingkup dan persyaratan bagi berlakunya
penjaminan;
5. hal-hal yang membuat Reksa Dana kehilangan hak
atas penjaminan;
6. syarat-syarat dan pihak-pihak yang dapat
menghentikan penjaminan;
- 13 -
7.
risiko yang ditanggung oleh Reksa Dana;
8. keadaan darurat; dan
9. hal-hal yang dimuat dalam perjanjian ini tidak boleh
mengakibatkan atau menghilangkan tanggung jawab
para pihak sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Menunjuk lembaga yang dapat melakukan kegiatan
penjaminan dan mempunyai izin usaha dari instansi yang
berwenang sebagai penjamin/guarantor.
c. Memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus
yang paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
1. penjelasan mengenai penjaminan sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
2. penjelasan mengenai penjamin/guarantor, yang
paling sedikit memuat:
a) izin usaha; dan
b) profil ringkas tentang penjamin/guarantor.
3. Kebijakan investasi, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) Manajer Investasi wajib:
1) melakukan investasi pada Efek bersifat
utang termasuk Efek Beragun Aset Arus
Kas Tetap yang masuk dalam kategori layak
investasi (investment grade) paling sedikit
80% (delapan puluh persen) dari Nilai
Aktiva Bersih;
2) menentukan komposisi Portofolio Efek
Reksa Dana dengan ketentuan sebagai
berikut:
(a) Paling sedikit 70% (tujuh puluh
persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa
Dana diinvestasikan pada:
i.
portofolio Efek yang diterbitkan,
ditawarkan,
dan/atau
diperdagangkan di Indonesia
berdasarkan
perundang-undangan
Indonesia; dan/atau
peraturan
di
- 14 -
ii. Efek
bersifat utang
yang
diperdagangkan di luar negeri,
namun diterbitkan oleh:
i)
Pemerintah
Indonesia;
Republik
ii) badan hukum Indonesia
yang merupakan Emiten
dan/atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud
dalam
Nomor 8 tahun 1995 tentang
Pasar Modal;
iii) badan hukum asing yang
sebagian besar atau seluruh
sahamnya secara langsung
maupun tidak langsung
dimiliki oleh Emiten atau
Perusahaan
Publik
sebagaimana dimaksud pada
butir ii), dan badan hukum
asing tersebut khusus
didirikan
menghimpun dana dari luar
negeri bagi kepentingan
Emiten atau Perusahaan
Publik dimaksud; dan/atau
iv) badan hukum asing yang
sebagian besar atau seluruh
sahamnya secara langsung
maupun tidak langsung
dimiliki Badan Usaha Milik
Negara.
(b) Paling banyak 30% (tiga puluh persen)
dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana
diinvestasikan pada Efek yang
diperdagangkan di Bursa Efek luar
negeri yang informasinya dapat
Undang-undang
untuk
- 15 -
diakses dari Indonesia melalui media
massa atau fasilitas internet.
3) menjelaskan persentase dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana Dengan Penjaminan
yang akan diinvestasikan pada Efek dan
instrumen pasar uang; dan
4) menjelaskan kriteria pemilihan Efek
dan/atau instrumen pasar uang.
b) Manajer Investasi dilarang mengubah portofolio
Efek sebagaimana dimaksud pada ketentuan
huruf a) angka 1), kecuali dalam rangka
pemenuhan penjualan kembali dari pemegang
saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana
Dengan Penjaminan atau penurunan peringkat
Efek;
c) Manajer Investasi dapat melakukan investasi
pada Efek derivatif tanpa harus terlebih dahulu
memiliki Efek yang menjadi aset dasar
(underlying) dari derivatif tersebut;
d) Dalam hal Manajer Investasi melakukan
investasi pada Efek yang merupakan turunan
dari Efek (derivatif) maka Manajer Investasi wajib
menambahkan keterbukaan informasi mengenai
investasi pada Efek tersebut, yaitu:
1) jenis Efek derivatif;
2) jatuh tempo (jika ada);
3) Efek yang mendasari (underlying asset);
4) harga perolehan atas Efek derivatif tersebut
(premi);
5) Pihak yang memiliki kewajiban pemenuhan
manfaat atas Efek derivatif (counterparty);
6) penghitungan nilai kas saat jatuh tempo;
7) risiko Efek derivatif; dan
8) informasi lain yang relevan mengenai
investasi pada Efek tersebut.
4. Jangka waktu Penawaran Umum saham atau Unit
Penyertaan.
- 16 -
5. Jumlah minimum dan maksimum saham atau Unit
Penyertaan Reksa Dana Dengan Penjaminan yang
ditawarkan.
6. Reksa Dana Dengan Penjaminan
wajib
mengumumkan dan melaporkan Nilai Aktiva Bersih
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
d. Memberikan gambaran dalam Prospektus dan/atau
dokumen keterbukaan mengenai kinerja Reksa Dana
Dengan Penjaminan tersebut ataupun indikasi hasil yang
akan diterima oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan
di masa datang, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. menjelaskan secara lengkap kalkulasi kinerja atau
indikasi hasil tersebut termasuk semua
kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat terjadi;
2. menjelaskan asumsi yang menjadi latar belakang
kalkulasi dan kemungkinan tersebut; dan
3. menjelaskan risiko yang ditanggung oleh pemegang
saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Dengan
Penjaminan sehubungan dengan asumsi dan
kalkulasi kinerja dan indikasi hasil tersebut yang
paling sedikit memuat:
a)
b)
risiko pasar;
risiko derivatif;
c) risiko tingkat suku bunga;
d) risiko kredit;
e) risiko nilai tukar mata uang;
f)
g)
risiko industri yang mencerminkan sebagian
besar Portofolio Efek; dan
risiko likuiditas bagi pemegang saham atau
pemegang Unit Penyertaan.
Pasal 9
Dokumen keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf d wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebagai bagian dari dokumen Pernyataan Pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan
- 17 -
Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Bagian Kedua
Reksa Dana Dengan Penjaminan
Pasal 10
Manajer Investasi yang bermaksud menerbitkan Reksa Dana
Indeks wajib:
a. memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus
mengenai ketentuan investasi sebagai berikut:
1.
paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana tersebut wajib
diinvestasikan pada Efek yang merupakan bagian
dari kumpulan Efek yang ada dalam indeks tersebut;
2.
investasi pada Efek yang ada dalam indeks
sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib
berjumlah paling sedikit 80% (delapan puluh persen)
dari keseluruhan Efek yang ada dalam indeks
tersebut;
3. pembobotan atas masing-masing Efek dalam Reksa
Dana Indeks tersebut paling sedikit 80% (delapan
puluh persen) dan paling banyak 120% (seratus dua
puluh persen) dari pembobotan atas masing-masing
Efek dalam indeks yang menjadi acuan; dan
4.
tingkat penyimpangan (tracking error) dari kinerja
Reksa Dana Indeks terhadap kinerja indeks yang
menjadi acuan.
b. menginformasikan bahwa indeks Efek tersebut tersedia di
media massa atau dapat diakses melalui fasilitas internet.
Pasal 11
Reksa Dana Indeks wajib melaporkan Nilai Aktiva Bersih sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Laporan Reksa Dana.
Pasal 12
- 18 -
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menolak indeks Efek yang
akan dijadikan tujuan investasi tersebut dengan
menyampaikan alasan penolakan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 13
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 14
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
- 19 -
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 15
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-262/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011
tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa
Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks beserta
Peraturan Nomor IV.C.4 yang merupakan lampirannya, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 399
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 48 /POJK.04/2015
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA
DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar
Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang
selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa
Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yaitu Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-
262/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa
Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana
Indeks beserta Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
- 2 -
Keuangan Nomor IV.C.4 sebagai lampirannya menjadi Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi,
Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan yang berlaku adalah Peraturan Nomor IV.A.3, lampiran
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-
13/PM/2002 tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
Huruf b
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan yang berlaku adalah Peraturan Nomor
IV.A.4, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor KEP-14/PM/2002 tanggal 14 Agustus 2002 tentang
Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
Huruf c
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang berlaku adalah Peraturan Nomor
IV.B.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-552/BL/2010 tanggal 30
Desember 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
- 3 -
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang berlaku adalah Peraturan
Nomor IX.C.4, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-52/PM/1996 tanggal 17
Januari 1996 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang berlaku adalah
Peraturan Nomor IX.C.5, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-430/BL/2007
tanggal 19 Desember 2007 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Laporan Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan Nomor
X.D.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor KEP-430/PM/2004 tanggal 09 Februari 2004 tentang Laporan
Reksa Dana.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 399
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 48/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-262/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011', 'KEP-262/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.4' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 70 /POJK.05/2016
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG
ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI,
DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (4),
Pasal 24 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasal 29 ayat (5), dan
Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG
ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN
PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa
konsultasi
dan/atau
keperantaraan
penyelesaian
klaimnya
dalam
penutupan asuransi atau asuransi syariah serta
penanganan
dengan
bertindak untuk dan atas nama pemegang polis,
tertanggung, atau peserta sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.
2. Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa
konsultasi
dan/atau
keperantaraan
dalam
penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi
syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya
dengan bertindak untuk dan atas nama perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
penjaminan,
perusahaan
penjaminan
syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah yang melakukan penempatan reasuransi
atau reasuransi syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.
3. Usaha Penilai Kerugian Asuransi adalah usaha jasa
penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek
asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang
Perasuransian.
- 3 -
4. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi.
5. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi.
6. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah
perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Penilai
Kerugian Asuransi.
7. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi
umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
8. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi
jiwa syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014
Perasuransian.
9. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang
terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan
Asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan
reasuransi lainnya.
10. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan
yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko
berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang
dihadapi
oleh Perusahaan Asuransi
perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan
reasuransi syariah lainnya.
11. Pialang Asuransi adalah orang yang bekerja pada
Perusahaan Pialang Asuransi dan memenuhi
persyaratan untuk memberi rekomendasi atau
mewakili pemegang polis, tertanggung, atau peserta
dalam melakukan penutupan asuransi
atau
asuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
tentang
Syariah,
- 4 -
12. Pialang Reasuransi adalah orang yang bekerja pada
Perusahaan Pialang Reasuransi dan memenuhi
persyaratan untuk memberi rekomendasi atau
mewakili
Asuransi
Perusahaan
Syariah,
perusahaan
Asuransi,
perusahaan
penjaminan
syariah,
Perusahaan
Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah
dalam melakukan penutupan reasuransi atau
reasuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
13. Tenaga Ahli adalah orang perseorangan yang
memiliki kualifikasi dan/atau keahlian tertentu dan
ditunjuk sebagai tenaga ahli pada Perusahaan
Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi,
atau Perusahaan Penilai
Kerugian
tempatnya bekerja.
14. Reasuradur
Perusahaan
adalah
Reasuransi
Perusahaan
Syariah,
Reasuransi,
perusahaan
asuransi umum, atau perusahaan asuransi umum
syariah yang menerima pertanggungan ulang
termasuk retrosesi.
15. Perusahaan Ceding adalah:
a. perusahaan asuransi umum yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada
Reasuransi atau perusahaan asuransi umum
lain;
b. perusahaan asuransi umum syariah yang
mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi, perusahaan
asuransi umum syariah lain atau unit syariah
pada perusahaan asuransi umum;
c.
unit syariah pada perusahaan asuransi umum
yang mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi, perusahaan
Asuransi
Perusahaan
penjaminan,
Perusahaan
- 5 -
asuransi umum syariah atau unit syariah pada
perusahaan asuransi umum lain;
d. perusahaan asuransi jiwa yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi;
e. perusahaan asuransi jiwa syariah yang
mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi;
f.
unit syariah pada perusahaan asuransi jiwa yang
mengalihkan sebagian risikonya kepada
Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah
pada Perusahaan Reasuransi;
g. perusahaan penjaminan yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi; atau
h. perusahaan penjaminan syariah atau unit syariah
pada perusahaan penjaminan yang mengalihkan
sebagian risikonya kepada Perusahaan
Reasuransi Syariah atau unit syariah pada
Perusahaan Reasuransi.
16. Pemberi Tugas adalah pihak yang memberikan
tugas penilaian kerugian dan/atau jasa konsultasi
atas objek asuransi kepada Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi.
17. Objek Asuransi adalah jiwa dan raga, kesehatan
manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa,
serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang,
rusak,
rugi,
dan/atau
berkurang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
18. Polis Asuransi adalah akta perjanjian asuransi atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan akta
perjanjian asuransi, serta dokumen lain yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan perjanjian asuransi, yang dibuat secara
tertulis dan memuat perjanjian antara Perusahaan
nilainya
- 6 -
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, dan
pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
19. Rekening Premi adalah rekening Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi pada
bank umum konvensional atau bank umum syariah
yang digunakan untuk menampung:
a. premi atau kontribusi yang diterima dari
pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding; atau
b. klaim yang diterima dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi,
Syariah.
atau
Perusahaan
Reasuransi
20. Rekening Operasional adalah rekening Perusahaan
Pialang
Asuransi
atau
Perusahaan
Pialang
Reasuransi pada bank umum konvensional atau
bank umum syariah yang khusus digunakan untuk
kegiatan operasional.
21. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen yang
mempunyai
pengaturan,
fungsi,
tugas,
pengawasan,
dan
pemeriksaan,
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB II
RUANG LINGKUP USAHA PIALANG ASURANSI, PIALANG
REASURANSI, DAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI
Pasal 2
(1) Perusahaan
Pialang
Asuransi hanya
menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi.
(3) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi.
dapat
wewenang
dan
- 7 -
Pasal 3
(1) Perusahaan
Pialang
Asuransi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) bertindak untuk
dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau
peserta.
(2) Perusahaan
Pialang
Reasuransi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertindak untuk
dan atas nama Perusahaan Ceding.
BAB III
STANDAR PERILAKU USAHA
Bagian Kesatu
Premi atau Kontribusi
Pasal 4
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dapat menerima
pembayaran premi atau kontribusi dari pemegang
polis, tertanggung, atau peserta.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi dapat menerima
pembayaran premi atau kontribusi dari Perusahaan
Ceding.
Pasal 5
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib menyerahkan
premi atau kontribusi yang diterima dari pemegang
polis, tertanggung, atau peserta kepada Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak premi atau
kontribusi diterima atau sesuai jangka waktu
pembayaran premi atau kontribusi yang ditetapkan
dalam Polis Asuransi yang bersangkutan, mana yang
lebih singkat.
(2) Dalam hal
Perusahaan Pialang Asuransi belum
menyerahkan pembayaran premi atau kontribusi
kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah setelah berakhirnya jangka waktu
- 8 -
(3) Dalam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan
Pialang Asuransi wajib bertanggung jawab atas
pembayaran klaim atau manfaat yang timbul.
Pialang
hal
Perusahaan
menyerahkan premi atau
setelah
Asuransi
kontribusi kepada
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah
jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir dan tidak ada
pembatalan
dari Perusahaan Asuransi
atau
Perusahaan Asuransi Syariah dalam jangka waktu 3
(tiga) hari kerja, tanggung jawab pembayaran klaim
atau manfaat yang timbul beralih dari Perusahaan
Pialang Asuransi kepada Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah sejak premi atau
kontribusi diterima oleh Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah.
Pasal 6
(1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyerahkan
premi atau kontribusi yang diterima dari Perusahaan
Ceding kepada Reasuradur paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak premi atau kontribusi
diterima
atau sesuai jangka waktu pembayaran
premi atau kontribusi yang ditetapkan dalam
perjanjian reasuransi yang bersangkutan, mana yang
lebih singkat.
(2) Dalam hal Perusahaan Pialang Reasuransi belum
menyerahkan pembayaran premi atau kontribusi
kepada Reasuradur setelah berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan Pialang Reasuransi wajib bertanggung
jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang
timbul.
(3) Dalam hal
Perusahaan
menyerahkan premi
setelah
atau
Pialang
Reasuransi
kontribusi kepada
Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi
Syariah
jangka waktu sebagaimana
- 9 -
dimaksud pada ayat (1) berakhir dan tidak ada
pembatalan dari Perusahaan Reasuransi atau
Perusahaan Reasuransi Syariah dalam jangka waktu
3 (tiga) hari kerja, tanggung jawab pembayaran
klaim atau manfaat yang timbul
beralih dari
Perusahaan Pialang Reasuransi kepada Perusahaan
Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah
sejak
premi atau kontribusi
diterima
oleh
Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi
Syariah.
Pasal 7
(1) Tanggung jawab pembayaran klaim atau manfaat
yang timbul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) wajib dilakukan oleh
Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan
Pialang Reasuransi sesuai jangka waktu pembayaran
klaim atau manfaat yang ditetapkan dalam Polis
Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak nilai
pembayaran klaim atau manfaat disetujui pemegang
polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding,
mana yang lebih singkat.
(2) Penentuan nilai pembayaran klaim atau manfaat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan berdasarkan:
a.
hasil
penilaian
atau
Perusahaan
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi,
Syariah; atau
Reasuransi
b.
hasil penilaian Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi.
(3) Dalam hal penentuan nilai pembayaran klaim atau
manfaat dilakukan berdasarkan hasil penilaian
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, biaya yang timbul
- 10 -
dibebankan kepada Perusahaan Pialang Asuransi
atau Perusahaan Pialang Reasuransi.
Pasal 8
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dalam melakukan
pembayaran premi atau
kontribusi
kepada
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah wajib menyertakan rincian pembayaran
masing-masing Polis Asuransi paling lama 15 (lima
belas) hari kerja sejak pembayaran premi atau
kontribusi kepada Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi dalam melakukan
pembayaran premi atau kontribusi
kepada
Reasuradur wajib menyertakan rincian pembayaran
masing-masing perjanjian reasuransi paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak pembayaran premi atau
kontribusi kepada Reasuradur.
(3) Dalam hal pembayaran premi atau kontribusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
penutupan reasuransi berbentuk treaty reinsurance,
Perusahaan Pialang Reasuransi dalam melakukan
pembayaran premi atau kontribusi
kepada
Reasuradur wajib didasarkan pada statement of
account dan/atau dokumen lain yang diatur dalam
perjanjian reasuransi.
Bagian Kedua
Penanganan Klaim
Pasal 9
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib membantu
pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam
rangka memenuhi persyaratan pengajuan klaim
kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah.
- 11 -
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib membantu
Perusahaan Ceding dalam rangka memenuhi
persyaratan pengajuan klaim kepada Reasuradur.
Pasal 10
(1) Dalam rangka membantu pemegang
polis,
tertanggung, atau peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1), Perusahaan Pialang Asuransi
wajib melakukan langkah-langkah paling sedikit
sebagai berikut:
a. memberikan pemberitahuan awal
kepada
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah mengenai informasi pengajuan klaim
atau manfaat dari pemegang polis, tertanggung,
atau peserta paling lama 1 (satu) hari kerja
setelah diterimanya informasi pengajuan klaim
dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta;
b. memberikan tanggapan atas pemberitahuan
klaim atau manfaat dari pemegang polis,
tertanggung,
atau
peserta
dengan
menginformasikan dokumen pendukung yang
dibutuhkan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta dalam proses pengajuan klaim atau
manfaat paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
pemberitahuan klaim atau manfaat diterima;
dan
c. menyampaikan
dokumen
pendukung
sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah paling lama 1 (satu) hari kerja sejak
seluruh dokumen pendukung diterima.
(2) Dalam rangka membantu Perusahaan Ceding
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2),
Perusahaan Pialang Reasuransi wajib melakukan
langkah-langkah paling sedikit sebagai berikut:
a. memberikan pemberitahuan
awal
kepada
Reasuradur mengenai informasi pengajuan
- 12 -
klaim atau manfaat dari Perusahaan Ceding
paling lama 1 (satu) hari kerja setelah
diterimanya informasi pengajuan klaim dari
Perusahaan Ceding;
b. memberikan tanggapan atas pemberitahuan
klaim
dari
Perusahaan Ceding dengan
menginformasikan dokumen pendukung yang
dibutuhkan Perusahaan Ceding dalam proses
pengajuan klaim atau manfaat paling lama 3
(tiga) hari kerja sejak pemberitahuan klaim atau
manfaat diterima; dan
c. menyampaikan
dokumen
pendukung
sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada
Reasuradur paling lama 1 (satu) hari kerja
sejak seluruh dokumen pendukung diterima.
Pasal 11
(1) Perusahaan Pialang Asuransi harus membantu
pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan
status klaim atau manfaat dari Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi Syariah.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi harus membantu
Perusahaan Ceding untuk mendapatkan informasi
mengenai perkembangan status klaim atau manfaat
dari Reasuradur.
Pasal 12
(1) Perusahaan
Pialang
Asuransi
wajib
(2) Perusahaan
menginformasikan besar nilai klaim atau manfaat
yang disetujui oleh Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah kepada pemegang
polis, tertanggung, atau peserta.
Pialang
Reasuransi
wajib
menginformasikan besar nilai klaim atau manfaat
yang disetujui oleh Reasuradur kepada Perusahaan
Ceding.
- 13 -
Pasal 13
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dilarang memberikan
janji atau pernyataan yang menyatakan bahwa klaim
atau manfaat akan dibayar oleh Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi dilarang memberikan
janji atau pernyataan yang menyatakan bahwa klaim
atau manfaat akan dibayar oleh Reasuradur.
Bagian Ketiga
Keahlian di Bidang Perasuransian
Pasal 14
(1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
dalam melaksanakan kegiatan usahanya wajib
memiliki Tenaga Ahli yang sesuai dengan bidang usaha
dan kompetensinya.
(2) Ketentuan mengenai Tenaga Ahli diatur dalam
peraturan OJK mengenai perizinan usaha dan
kelembagaan
Perusahaan
Pialang
Asuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi.
Pasal 15
(1) Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib
memenuhi tugas paling sedikit sebagai berikut:
a. membuat dan menerapkan proses kerja Pialang
Asuransi yang baik, termasuk proses
penyelesaian klaim;
b. menganalisis dan memperbaiki proses kerja
Pialang Asuransi agar tetap sesuai dengan
perkembangan industri asuransi;
c. memberikan informasi terkini mengenai
perkembangan industri asuransi dan peraturan di
bidang perasuransian kepada Pialang Asuransi;
- 14 -
d. memberikan arahan kepada Pialang Asuransi
dalam memberikan masukan atau nasihat
mengenai kebutuhan asuransi untuk calon
pemegang polis, tertanggung, atau peserta;
e. memperhatikan dan memberikan arahan bagi
Pialang Asuransi dalam bernegosiasi atau
menyusun program asuransi;
f. melakukan peninjauan atas kredibilitas
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah dari berbagai aspek termasuk aspek
finansial dan kemampuan/kapasitas dalam
menerima risiko tertentu; dan
g. memberikan arahan kepada Pialang Asuransi
dalam hal negosiasi proses klaim.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang
Asuransi wajib berpedoman pada kode etik dan
standar perilaku yang disusun oleh asosiasi profesi di
Indonesia.
Pasal 16
Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib
bertanggung jawab dalam:
a. membina Pialang Asuransi agar bertindak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
b. memastikan kebenaran dan kecukupan data untuk
menyusun profil risiko tertanggung atau peserta;
c. menjaga kerahasiaan data calon pemegang polis,
tertanggung, atau peserta sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
d. menyampaikan data dan informasi yang akurat
kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah untuk melakukan seleksi risiko; dan
e. mengetahui lebih banyak informasi mengenai
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
- 15 -
Syariah dan kredibilitasnya sesuai dengan aturan yang
berlaku.
Pasal 17
Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) memiliki
wewenang untuk:
a. menandatangani persetujuan dokumen penawaran
asuransi atau asuransi syariah (quotation slip/proposal
slip) yang ditujukan ke calon tertanggung atau
peserta;
b. menandatangani persetujuan dokumen penempatan
asuransi atau asuransi syariah (placing slip/closing
slip) yang ditujukan ke penanggung;
c. mengingatkan Pialang Asuransi untuk:
1) melakukan penagihan premi atau kontribusi
kepada tertanggung atau peserta; atau
2) melakukan proses pembayaran kepada
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah; dan
d. memberikan arahan kepada Pialang Asuransi dalam
memberikan masukan atau nasihat mengenai
kebutuhan pihak lain seperti pengacara dan/atau
forensik kepada pemegang polis, tertanggung, peserta,
Perusahaan Asuransi, atau Perusahaan Asuransi
Syariah.
Pasal 18
(1) Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib
memenuhi tugas paling sedikit sebagai berikut:
a. membuat dan menerapkan proses kerja Pialang
Reasuransi yang baik, termasuk proses
penyelesaian klaim;
b. menganalisis dan memperbaiki proses kerja
Pialang Reasuransi agar tetap sesuai dengan
perkembangan industri asuransi;
- 16 -
c. memberikan informasi terkini mengenai
perkembangan industri asuransi dan peraturan di
bidang perasuransian kepada Pialang Reasuransi;
d. memberikan arahan kepada Pialang Reasuransi
dalam memberikan masukan atau nasihat
mengenai kebutuhan reasuransi untuk calon
Perusahaan Ceding;
e. memperhatikan dan memberikan arahan bagi
Pialang Reasuransi dalam bernegosiasi atau
menyusun program reasuransi;
f. melakukan peninjauan atas kredibilitas
Reasuradur dari berbagai aspek termasuk aspek
finansial dan kemampuan/kapasitas dalam
menerima risiko tertentu; dan
g. memberikan arahan kepada Pialang Reasuransi
dalam hal negosiasi proses klaim.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang
Reasuransi wajib berpedoman pada kode etik dan
standar perilaku yang disusun oleh asosiasi profesi
di Indonesia.
Pasal 19
Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib
bertanggung jawab dalam:
a. membina Pialang Reasuransi agar bertindak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
b. memastikan kebenaran dan kecukupan data untuk
menyusun profil risiko Perusahaan Ceding;
c. menjaga kerahasiaan data calon Perusahaan Ceding
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. menyampaikan data dan informasi yang akurat
kepada Reasuradur untuk melakukan seleksi risiko;
dan
- 17 -
e. mengetahui lebih banyak informasi mengenai
Reasuradur dan kredibilitasnya sesuai dengan aturan
yang berlaku.
Pasal 20
Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) memiliki
wewenang untuk:
a. menandatangani persetujuan dokumen penawaran
reasuransi atau reasuransi syariah (quotation
slip/proposal slip) yang ditujukan ke calon Perusahaan
Ceding;
b. menandatangani persetujuan dokumen penempatan
reasuransi
atau reasuransi syariah
slip/closing slip) yang ditujukan ke Reasuradur;
c. mengingatkan Pialang Reasuransi terkait dengan
penagihan premi atau kontribusi kepada Perusahaan
Ceding dan melakukan proses pembayaran kepada
Reasuradur; dan
d. memberikan arahan kepada Pialang Reasuransi dalam
memberikan masukan atau nasihat mengenai
kebutuhan pihak lain seperti pengacara dan/atau
forensik kepada Perusahaan Ceding atau Reasuradur.
Pasal 21
(1) Tenaga Ahli pada Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(1) wajib memenuhi tugas paling sedikit sebagai
berikut:
a. mengkoordinasikan pengumpulan data dan
informasi untuk menilai ganti rugi asuransi;
b. mengevaluasi rancangan laporan penilaian ganti
rugi asuransi; dan
c. memverifikasi laporan penilaian ganti rugi
asuransi.
(placing
- 18 -
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Tenaga Ahli pada Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi wajib berpedoman pada kode etik
dan standar perilaku yang disusun oleh asosiasi
profesi di Indonesia.
Pasal 22
Tenaga Ahli pada Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib
bertanggung jawab dalam:
a. memastikan kejelasan, kelengkapan dan keakuratan
laporan penilaian ganti rugi asuransi berdasarkan
data dan informasi yang sudah diperoleh; dan
b. memastikan laporan penilaian ganti rugi asuransi
disusun berdasarkan pedoman profesi yang berlaku.
Pasal 23
Tenaga Ahli pada Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) memiliki
wewenang:
a. menyimpulkan tanggung jawab Polis Asuransi atas
kerugian asuransi;
b. menyimpulkan nilai ganti rugi asuransi;
c. menandatangani laporan penilaian ganti rugi asuransi;
d. memberikan saran dalam melakukan manajemen
terhadap risiko objek asuransi; dan
e. memberikan saran
yang
kepada pemegang polis,
tertanggung, atau peserta mengenai langkah-
langkah
dapat
meminimalisasi kerugian.
Pasal 24
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dalam melaksanakan
kegiatan usahanya wajib memiliki Pialang Asuransi
yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
cukup serta memiliki reputasi yang baik.
dilakukan
untuk
- 19 -
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi dalam melaksanakan
kegiatan usahanya wajib memiliki Pialang Reasuransi
yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
cukup serta memiliki reputasi yang baik.
(3) Pialang Asuransi dan Pialang Reasuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan
Pialang Asuransi dan Pialang Reasuransi yang
terdaftar OJK.
(4) Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memenuhi tugas paling sedikit sebagai
berikut:
a. menjelaskan kepada calon pemegang polis,
tertanggung, atau peserta mengenai:
1. kebutuhan asuransi atau asuransi syariah;
2. syarat dan kondisi penutupan asuransi atau
asuransi syariah; dan
3. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah yang dapat menutup
pertanggungan asuransi atau asuransi
syariah yang dibutuhkan;
b. membantu calon pemegang polis, tertanggung atau
peserta dalam proses penanganan klaim.
(5) Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib memenuhi tugas paling sedikit sebagai
berikut:
a. menjelaskan kepada Perusahaan
Ceding
mengenai:
1. kebutuhan reasuransi atau reasuransi
syariah;
2. syarat dan kondisi penutupan reasuransi
atau reasuransi syariah; dan
3. Reasuradur yang dapat menutup
pertanggungan reasuransi atau reasuransi
syariah yang dibutuhkan;
b. membantu Perusahaan Ceding dalam proses
penanganan klaim.
- 20 -
Bagian Keempat
Penanganan Keluhan atau Pengaduan
Pasal 25
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi wajib menangani setiap keluhan
atau pengaduan yang diajukan oleh pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
setelah
tanggal
pengaduan.
(2) Dalam hal terdapat kondisi tertentu, Perusahaan
Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi
dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan paling lama
20 (dua puluh) hari kerja berikutnya.
(3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah:
a. kantor Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi yang menerima
keluhan atau pengaduan tidak sama dengan
kantor Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi tempat terjadinya
permasalahan yang dikeluhkan atau diadukan
dan terdapat kendala komunikasi di antara kedua
kantor Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi tersebut;
b. keluhan atau pengaduan dari pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding
yang memerlukan penelitian khusus terhadap
dokumen Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi; dan/atau
c. terdapat hal lain di luar kendali Perusahaan
Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang
Reasuransi seperti adanya keterlibatan pihak
ketiga di luar Perusahaan Pialang Asuransi atau
Perusahaan Pialang Reasuransi dalam transaksi
penerimaan
keluhan
atau
- 21 -
keuangan yang dilakukan oleh pemegang polis,
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding.
(4) Perpanjangan jangka waktu penanganan keluhan
atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib diberitahukan secara tertulis kepada
pemegang polis,
tertanggung,
peserta,
atau
Perusahaan Ceding yang mengajukan keluhan
pengaduan sebelum jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir.
Pasal 26
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi wajib memiliki dan melaksanakan
mekanisme penanganan keluhan atau pengaduan
dari pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang
Reasuransi
wajib
memberitahukan
mekanisme penanganan keluhan atau pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
pemegang polis,
Perusahaan Ceding.
tertanggung,
peserta,
atau
(3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi wajib mengadministrasikan dan
mendokumentasikan secara elektronik penanganan
keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Bagian Kelima
Imbalan Jasa
Pasal 27
(1) Perusahaan Pialang Asuransi berhak mendapatkan
imbalan jasa keperantaraan dari pemegang polis,
tertanggung,
atau
keperantaraannya.
peserta
atas
jasa
- 22 -
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi berhak mendapatkan
imbalan jasa keperantaraan dari Perusahaan Ceding
atas jasa keperantaraannya.
(3) Selain mendapatkan imbalan jasa keperantaraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi dapat juga memperoleh imbalan
jasa konsultasi dan imbalan jasa penanganan
penyelesaian klaim.
(4) Imbalan jasa penanganan penyelesaian klaim
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan
kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding secara wajar.
(5) Imbalan jasa keperantaraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dibayarkan langsung
oleh pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding, atau menjadi bagian dari premi
atau kontribusi.
(6) Dalam hal imbalan jasa keperantaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan
bagian dari premi atau kontribusi, Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi dapat
menjelaskan imbalan jasa keperantaraan yang
diperolehnya kepada pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding mengenai imbalan
jasa keperantaraan tersebut.
Pasal 28
(1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi berhak
mendapatkan imbalan jasa penilaian klaim atas Objek
Asuransi dari Pemberi Tugas.
(2) Selain mendapatkan imbalan jasa penilaian klaim atas
Objek Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dapat juga
memperoleh imbalan jasa konsultasi atas Objek
Asuransi yang akan ditutup
asuransinya.
pertanggungan
- 23 -
(3) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib memuat
imbalan jasa penilaian klaim atas Objek Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam perjanjian
kerja sama secara tertulis.
(4) Perjanjian kerja sama secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib memuat paling sedikit:
a. hak dan kewajiban Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi dan Pemberi Tugas; dan
b. jangka waktu pembayaran imbalan jasa penilaian
klaim dan/atau imbalan jasa konsultasi terkait
dengan kerugian yang terjadi atas Objek
Asuransi.
(5) Setiap pelaksanaan jasa penilaian klaim atas Objek
Asuransi oleh Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
harus didasari penugasan tertulis dari Pemberi Tugas.
Bagian Keenam
Rekening Premi dan Rekening Operasional
Pasal 29
Dalam hal Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi menerima premi atau kontribusi dari
pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan
Ceding, Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi wajib memisahkan Rekening Premi
dengan Rekening Operasional.
Pasal 30
(1) Premi atau kontribusi yang diterima Perusahaan
Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi
dari pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding, wajib disetorkan ke dalam
Rekening Premi.
(2) Rekening Premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat digunakan untuk:
a. pemindahbukuan untuk pembayaran premi atau
kontribusi yang menjadi hak Perusahaan
- 24 -
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau
Reasuradur;
b. pemindahbukuan imbalan jasa yang menjadi hak
Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi ke Rekening Operasional;
c. pemindahbukuan
untuk
pembayaran
pengembalian atas pembayaran premi atau
kontribusi pemegang polis, tertanggung, peserta,
atau Perusahaan Ceding yang disebabkan adanya
penyesuaian pembayaran;
d. pemindahbukuan bunga rekening;
e. pemindahbukuan untuk penerimaan klaim atau
manfaat dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Reasuradur; dan/atau
f. pemindahbukuan untuk pembayaran klaim atau
manfaat kepada pemegang polis, tertanggung,
peserta, atau Perusahaan Ceding.
(3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi dilarang menggunakan dana di Rekening
Premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. memberi
dana
talangan
dalam
rangka
pembayaran premi atau kontribusi kepada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Reasuradur atas premi atau
kontribusi yang belum dibayarkan oleh pemegang
polis atau calon pemegang polis, tertanggung atau
calon tertanggung, peserta atau calon peserta,
atau Perusahaan Ceding atau calon Perusahaan
Ceding;
b. memberi dana talangan dalam rangka
pembayaran klaim atau manfaat kepada
pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding; dan/atau
c. kegiatan operasional Perusahaan Pialang
Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi,
termasuk biaya untuk mendapatkan bisnis.
- 25 -
Pasal 31
Rekening Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 digunakan untuk menerima pemindahbukuan imbalan
jasa yang menjadi hak Perusahaan Pialang Asuransi dan
Perusahaan Pialang Reasuransi serta untuk kegiatan
operasional Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi.
Bagian Ketujuh
Objek Asuransi
Pasal 32
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib memberikan
keterangan yang jelas tentang Objek Asuransi yang
dipertanggungkan kepada Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memberikan
keterangan yang jelas tentang Objek Asuransi yang
dipertanggungkan kepada Reasuradur.
Pasal 33
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib menjelaskan
secara benar mengenai ketentuan isi Polis Asuransi,
termasuk mengenai hak dan kewajiban kepada:
a. pemegang polis atau calon pemegang polis;
b. tertanggung atau calon tertanggung; atau
c. peserta atau calon peserta.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menjelaskan
secara benar mengenai ketentuan isi perjanjian
reasuransi, termasuk mengenai hak dan kewajiban
kepada Perusahaan Ceding atau calon Perusahaan
Ceding.
Pasal 34
Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyampaikan
dokumen bukti penempatan reasuransi atau reasuransi
syariah kepada Perusahaan Ceding.
- 26 -
Pasal 35
(1) Dalam rangka memberikan kebebasan kepada calon
pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk
memilih Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi wajib
mengupayakan pilihan lebih dari 1 (satu) Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang
dapat menutup Objek Asuransi, kecuali hanya ada 1
(satu) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah yang bersedia atau memiliki kemampuan
untuk mengelola risiko atas Objek Asuransi.
(2) Dalam rangka memberikan kebebasan kepada
Perusahaan Ceding untuk memilih Reasuradur,
Perusahaan Pialang Reasuransi wajib mengupayakan
pilihan lebih dari 1 (satu) Reasuradur yang dapat
menutup Objek Asuransi, kecuali hanya ada 1 (satu)
Reasuradur yang bersedia atau memiliki kemampuan
untuk mengelola risiko atas Objek Asuransi.
(3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi bertindak independen dalam
merekomendasikan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, atau Reasuradur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Bagian Kedelapan
Kegiatan Usaha
Pasal 36
(1) Perusahaan
Pialang
Asuransi
hanya
dapat
menempatkan penutupan asuransi atau penutupan
asuransi syariah pada Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah yang:
a. memiliki izin usaha dari OJK; dan
b. memenuhi
ketentuan
keuangan yang berlaku.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi Syariah di Indonesia yang memiliki izin
tingkat
kesehatan
- 27 -
usaha dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, baik secara sendiri maupun bersama tidak
bersedia atau tidak memiliki kemampuan untuk
menahan atau mengelola risiko asuransi atau risiko
asuransi syariah
dari Objek Asuransi yang
bersangkutan, Perusahaan Pialang Asuransi hanya
dapat menempatkan penutupan asuransi atau
asuransi syariah pada Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah di luar negeri yang:
a. memiliki izin usaha dari otoritas perasuransian
di luar negeri; dan
b. memiliki peringkat paling rendah BBB atau yang
setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui
secara internasional.
(3) Dalam hal peringkat Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
diterbitkan oleh lebih
dari satu perusahaan
pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah
peringkat yang paling rendah.
(4) Ketentuan mengenai tingkat kesehatan keuangan
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
mengikuti ketentuan dalam peraturan OJK mengenai
kesehatan
perusahaan
keuangan
asuransi
perusahaan
syariah,
asuransi,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
Pasal 37
(1) Perusahaan Pialang Reasuransi hanya dapat
menempatkan penutupan reasuransi atau reasuransi
syariah pada Reasuradur yang:
a. memiliki izin usaha dari OJK; dan
b. memenuhi
ketentuan
keuangan yang berlaku.
(2) Dalam hal Reasuradur yang memiliki izin usaha dari
OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tingkat
kesehatan
- 28 -
tidak dapat atau tidak bersedia memberikan
dukungan reasuransi atau reasuransi syariah,
Perusahaan Pialang Reasuransi atas permintaan
Perusahaan Ceding hanya dapat melakukan
penempatan reasuransi atau reasuransi syariah pada
Reasuradur di luar negeri yang:
a. memiliki izin usaha dari otoritas perasuransian
di luar negeri; dan
b. memiliki peringkat paling rendah BBB atau yang
setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui
secara internasional.
(3) Dalam hal peringkat Reasuradur di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
diterbitkan oleh lebih
dari satu perusahaan
pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah
peringkat yang paling rendah.
(4) Ketentuan mengenai tingkat kesehatan keuangan
Reasuradur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b mengikuti ketentuan dalam peraturan OJK
mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi,
perusahaan
asuransi
syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(5) Ketentuan mengenai penempatan reasuransi atau
reasuransi syariah mengikuti ketentuan dalam
peraturan OJK mengenai retensi sendiri dan
dukungan reasuransi dalam negeri.
Pasal 38
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menempatkan
penutupan asuransi atau penutupan asuransi
syariah pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah yang merupakan afiliasi dari
Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Asuransi
yang bersangkutan.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi merupakan afiliasi
dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah apabila Perusahaan Pialang
- 29 -
Asuransi memiliki hubungan sedemikian rupa
sehingga dapat mempengaruhi pengelolaan atau
kebijakan dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah, atau sebaliknya.
(3) Dapat mempengaruhi sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2)
adalah adanya pengendalian
dari
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Perusahaan Pialang Asuransi, dalam hal:
a. salah satu pihak memiliki satu atau lebih
direktur atau pejabat setingkat di bawah
direktur atau komisaris, yang juga menjabat
sebagai direktur, pejabat setingkat di bawah
direktur, atau komisaris pada pihak lain;
b. salah satu pihak memiliki satu atau lebih
direktur, komisaris atau pemegang saham
pengendali, yang memiliki hubungan keluarga
karena perkawinan atau keturunan sampai
derajat kedua, baik secara horisontal maupun
vertikal yang menjabat
sebagai
direktur,
komisaris, atau pemegang saham pengendali
pada pihak lain;
c. salah satu pihak memiliki 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih saham pihak lain;
d. salah satu pihak merupakan pemegang saham
terbesar dari pihak lain;
e. para pihak dikendalikan oleh pengendali yang
sama; dan/atau
f.
salah satu pihak mempunyai hak suara pada
pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh
persen) berdasarkan suatu perjanjian.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a sampai dengan huruf f tidak berlaku dalam
hal pengendalian dilakukan oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
- 30 -
(5) Ketentuan mengenai afiliasi bagi Perusahaan Pialang
Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) mutatis mutandis berlaku
bagi Perusahaan Pialang Reasuransi.
Perusahaan Pialang
Pasal 39
Asuransi
dilarang mengatur
penempatan reasuransi atau reasuransi syariah dengan
mensyaratkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah untuk melakukan penempatan reasuransi
atau reasuransi syariah melalui Perusahaan Pialang
Reasuransi atau langsung ke Reasuradur tertentu.
Pasal 40
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dapat menawarkan jasa
konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan
asuransi atau asuransi syariah dan/atau penanganan
penyelesaian klaim secara digital atau elektronik.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi dapat menawarkan
jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam
penempatan reasuransi atau reasuransi syariah
dan/atau penanganan penyelesaian klaim secara
digital atau elektronik.
Pasal 41
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
dilarang memberikan pinjaman atau menempatkan
kekayaan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada pemegang saham dan afiliasinya.
Pasal 42
Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi dilarang menerbitkan dokumen penutupan
sementara, Polis Asuransi atau perjanjian reasuransi,
dan/atau dokumen penutupan sementara reasuransi.
- 31 -
Pasal 43
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib menyampaikan
laporan hasil akhir penilaian kerugian asuransi kepada
pemegang polis, tertanggung, atau peserta apabila terdapat
permintaan dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta
dalam hal:
a. klaim atau manfaat ditolak oleh Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi Syariah; atau
b. tidak terdapat kesepakatan mengenai jumlah kerugian.
Pasal 44
Dalam kontrak penunjukan penilaian kerugian asuransi
antara Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dengan
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
dilarang memuat klausula yang membatasi Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi untuk memberikan laporan hasil
akhir penilaian kerugian asuransi kepada pemegang polis,
tertanggung, atau peserta.
Pasal 45
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib membantu
pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam
proses penyelesaian perselisihan asuransi atau
asuransi syariah melalui pengadilan atau di luar
pengadilan.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib membantu
Perusahaan Ceding dalam proses penyelesaian
perselisihan reasuransi atau reasuransi syariah
melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
Pasal 46
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi wajib menjalankan kegiatan Usaha Pialang
Asuransi atau Usaha Pialang Reasuransi secara terus
menerus sejak diperolehnya izin usaha.
- 32 -
(2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi dinilai tidak menjalankan kegiatan Usaha
Pialang Asuransi atau Usaha Pialang Reasuransi secara
terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan memenuhi
kriteria:
a. tidak menjalankan kegiatan Usaha Pialang
Asuransi atau Usaha Pialang Reasuransi;
dan/atau
b. tidak melakukan transaksi usaha.
Pasal 47
(1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
wajib
menjalankan kegiatan Usaha Penilai Kerugian Asuransi
secara terus menerus sejak diperolehnya izin usaha.
(2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dinilai tidak
menjalankan kegiatan Usaha Penilai Kerugian Asuransi
secara terus menerus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
memenuhi kriteria:
a. tidak melaksanakan Usaha Penilai Kerugian
Asuransi; dan/atau
b. tidak melakukan transaksi usaha.
Pasal 48
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
wajib mencantumkan nomor izin usaha pada surat
dan/atau dokumen resmi Perusahaan.
Bagian Kesembilan
Kerahasiaan Data
Pasal 49
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi dilarang dengan cara apapun, memberikan
data dan/atau informasi mengenai pemegang polis,
- 33 -
tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding kepada
pihak ketiga.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dalam hal:
a. pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding memberikan persetujuan
tertulis; dan/atau
b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 50
Dalam hal Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi memperoleh data dan/atau informasi
pribadi seseorang dan/atau korporasi dari pihak lain, dan
Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi akan menggunakan data dan/atau informasi
tersebut untuk melaksanakan kegiatannya, Perusahaan
Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib
memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud
telah memperoleh persetujuan tertulis dari seseorang
dan/atau korporasi tersebut untuk memberikan data
dan/atau informasi pribadi dimaksud kepada pihak
manapun, termasuk Perusahaan Pialang Asuransi dan
Perusahaan Pialang Reasuransi.
Pasal 51
Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas
pengungkapan data dan/atau informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a dilakukan secara
tertulis oleh pemegang polis, tertanggung, peserta, atau
Perusahaan Ceding.
BAB IV
KERJA SAMA DENGAN PIHAK LAIN
Pasal 52
(1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian
- 34 -
Asuransi dapat melakukan kerja sama dengan
pihak lain dalam rangka perolehan bisnis atau
melaksanakan
sebagian
penyelenggaraan usahanya.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi ketentuan:
a. tidak menghambat kegiatan operasional dan non-
operasional Perusahaan Pialang
Asuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi ; dan
b. dituangkan dalam perjanjian tertulis.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b paling sedikit memuat:
a.
b.
jangka waktu perjanjian;
tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak
dalam pelaksanaan tugas; dan
c. kewajiban alih teknologi dan pengetahuan dalam
hal perjanjian kerja sama dilakukan dengan pihak
asing.
(4) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
yang melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memastikan bahwa pihak lain
memenuhi ketentuan:
a. memiliki izin usaha dari instansi yang berwenang;
b. tidak memiliki benturan kepentingan dengan
pemegang polis, tertanggung, peserta, Perusahaan
Ceding, dan/atau penanggung; dan
c. memiliki kemampuan dan pengalaman yang
mendukung pelaksanaan tugas.
Pasal 53
(1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
wajib memastikan bahwa kerja sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) telah sesuai dengan
fungsi
dalam
- 35 -
perjanjian yang dibuat dan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1), Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi wajib memiliki dan
menerapkan standar seleksi dan akuntabilitas.
Pasal 54
(1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
yang melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam
rangka melaksanakan sebagian fungsi dalam
penyelenggaraan usahanya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (1) dilakukan kepada penyedia jasa
dengan perjanjian alih daya.
(2) Perjanjian alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui perjanjian:
a. pemborongan pekerjaan; dan/atau
b. penyediaan jasa tenaga kerja.
(3) Perjanjian alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib memuat ketentuan yang mengatur paling
sedikit mengenai jenis, nilai, dan jangka waktu
pengalihan fungsi penyelenggaraan usaha.
Pasal 55
(1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
dilarang melakukan alih daya dalam rangka kegiatan
utama Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
wajib melakukan pengendalian atas sebagian fungsi
penyelenggaraan usaha yang dialihkan kepada pihak
lain yang levelnya sama dengan pengendalian yang
- 36 -
dilakukan di internal Perusahaan Pialang Asuransi dan
Perusahaan Pialang Reasuransi.
(3) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
tetap bertanggung jawab atas fungsi yang dialihkan
kepada perusahaan penyedia jasa.
BAB V
EKUITAS MINIMUM
Pasal 56
(1) Perusahaan Pialang Asuransi setiap saat wajib memiliki
ekuitas
paling
sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Perusahaan Pialang Asuransi yang telah mendapatkan
izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan
memiliki ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki ekuitas dengan
tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu
miliar tiga ratus juta rupiah) paling lambat tanggal
30 Juni 2017;
b. paling sedikit sebesar Rp1.600.000.000,00 (satu
miliar enam ratus juta rupiah) paling lambat
tanggal 30 Juni 2018; dan
c.
paling sedikit sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2019.
Pasal 57
(1) Perusahaan Pialang Reasuransi setiap saat wajib
memiliki
ekuitas
(2) Perusahaan
paling
sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pialang
Reasuransi
yang
sebesar
telah
mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini
diundangkan dan memiliki ekuitas di bawah ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki
ekuitas dengan tahapan sebagai berikut:
sebesar
- 37 -
a. paling sedikit sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah) paling lambat tanggal
30 Juni 2017;
b. paling sedikit sebesar Rp2.200.000.000,00 (dua
miliar dua ratus juta rupiah) paling lambat tanggal
30 Juni 2018; dan
c.
paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2019.
Pasal 58
(1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi setiap saat wajib
memiliki
ekuitas
paling
sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi yang telah
mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini
diundangkan dan memiliki ekuitas di bawah ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki
ekuitas dengan tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2017;
b. paling sedikit sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2018;
dan
c.
paling sedikit sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni
2019.
BAB VI
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan Perusahaan Pialang Asuransi
dan Perusahaan Pialang Reasuransi
Pasal 59
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi wajib menyampaikan kepada OJK:
sebesar
- 38 -
a. laporan semesteran;
b.
laporan tahunan; dan
c. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik.
(2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
menyampaikan kepada OJK:
a.
laporan tahunan; dan
b. laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik.
(3) Laporan semesteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a yang merupakan laporan yang berakhir pada
tanggal 30 Juni dan 31 Desember, wajib disampaikan
paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya semester
yang bersangkutan.
(4) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan ayat (2) huruf a dan laporan keuangan yang
telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf b yang
merupakan laporan yang berakhir pada tanggal 31
Desember, wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal 30 April tahun berikutnya.
Bagian Kedua
Standarisasi Pelaporan
Pasal 60
(1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi wajib menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dan ayat
(2) huruf b dalam bentuk hard copy.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi wajib menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a, huruf b,
dan ayat (2) huruf a dalam bentuk soft copy.
wajib
- 39 -
(3) Apabila
batas
akhir
penyampaian
laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) dan
ayat (4) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
(4) Dalam
hal
Perusahaan
Pialang
Asuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi memperoleh izin usaha
kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim
berakhir,
kewajiban
penyampaian
laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya.
(5) OJK setiap saat dapat meminta laporan atau
informasi selain laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(6) Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan tata cara
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran
OJK.
Pasal 61
(1) Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(1) huruf c dan ayat (2) huruf b wajib disusun
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
berlaku di Indonesia.
(2) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus merupakan akuntan publik yang terdaftar
di OJK.
Pasal 62
Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
huruf c dan ayat (2) huruf b wajib disusun dalam mata
uang rupiah.
- 40 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 63
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal
5 ayat (1), ayat (2), Pasal 6 ayat (1), ayat (2), Pasal 7
ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2),
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 24 ayat (1),
ayat (2), Pasal 25 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 26, Pasal
28 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 39, Pasal 41, Pasal
42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 ayat (1),
Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50,
Pasal 52 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 53 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 54 ayat (3), Pasal 55 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 61 ayat (1), dan Pasal 62
Peraturan OJK ini dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian
atau seluruh kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara bertahap.
(3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi
tambahan berupa larangan menjadi pemegang
saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau
yang setara dengan pemegang saham, pengendali,
direksi, dan dewan komisaris, atau menduduki
jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara
dengan jabatan eksekutif di bawah direksi, pada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi
Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
- 41 -
Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi.
Pasal 64
(1) OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin
usaha
tanpa
didahului
pengenaan
sanksi
administratif yang lain terhadap pelanggaran
ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 42, Pasal 46
ayat (1), dan Pasal 47 ayat (1) Peraturan OJK ini.
(2) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi yang telah melanggar ketentuan
dalam Pasal 7 ayat (1) dan dicabut izin usahanya
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
tetap
bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajiban
pertanggungjawaban atas pembayaran klaim atau
manfaat yang timbul dari kerugian yang terjadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
Pasal 65
Dalam hal Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan dalam Pasal 42 Peraturan OJK ini sebanyak 3
(tiga) kali, OJK mengenakan sanksi administratif berupa
pencabutan izin usaha.
Pasal 66
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 15, Pasal
16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 24
ayat (4) dan ayat (5) Peraturan OJK ini dapat dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan
b. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang
Asuransi dan Pialang Reasuransi.
Pasal 67
(1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, atau Perusahaan Penilai Kerugian
- 42 -
Asuransi yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (5) serta Pasal
59 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan OJK ini dikenai
sanksi administratif tambahan berupa denda
administratif.
(2) Besarnya denda administratif untuk pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (5)
adalah sebagai berikut:
a. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap
penutupan asuransi atau asuransi syariah.
b. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap
penutupan reasuransi atau reasuransi syariah.
(3) Besarnya denda administratif untuk pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4)
adalah sebagai berikut:
a. Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk
setiap jenis laporan dan untuk setiap hari
keterlambatan.
b. paling banyak Rp180.000.000,00
(seratus
delapan puluh juta rupiah) untuk setiap
laporan yang terlambat disampaikan.
Pasal 68
Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam
peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara
pengenaan sanksi administratif.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi yang telah memperoleh izin usaha
sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan
mengenai pemisahan Rekening Premi dengan Rekening
Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
- 43 -
harus dipenuhi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
Pasal 70
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
yang telah melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam
rangka perolehan bisnis atau melaksanakan sebagian
fungsi dalam penyelenggaraan usahanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) sebelum Peraturan OJK
ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya perjanjian.
Pasal 71
Dalam hal peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara
pengenaan sanksi administratif belum diundangkan maka
ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan
sanksi administratif tunduk pada Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 72
Pada saat Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Pialang
Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 73
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 44 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 303
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 70/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 31 /POJK.05/2016
TENTANG
USAHA PERGADAIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan inklusi keuangan
bagi masyarakat menengah ke bawah dan usaha
mikro, kecil, dan menengah, perlu memperluas
layanan jasa keuangan melalui penyelenggaraan
usaha pergadaian;
b. bahwa dalam rangka penyelenggaraan usaha
pergadaian yang memberikan kemudahan akses
terhadap pinjaman, khususnya bagi masyarakat
menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan
menengah, perlu adanya landasan hukum bagi
Otoritas Jasa Keuangan dalam mengawasi usaha
pergadaian di Indonesia;
c. bahwa landasan hukum untuk pengawasan usaha
pergadaian diperlukan untuk menciptakan usaha
pergadaian yang sehat, memberikan kepastian hukum
bagi pelaku usaha pergadaian, dan perlindungan
kepada konsumen;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
- 2 -
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Usaha Pergadaian;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
USAHA PERGADAIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Usaha Pergadaian adalah segala usaha menyangkut
pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak,
jasa titipan, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya,
termasuk yang diselenggarakan berdasarkan prinsip
syariah.
2. Perusahaan
Pergadaian adalah perusahaan
pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian
pemerintah yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
3. Perusahaan Pergadaian Swasta adalah badan hukum
yang melakukan Usaha Pergadaian.
4. Perusahaan Pergadaian Pemerintah adalah PT
Pegadaian (Persero) sebagaimana dimaksud dalam
Staatsblad Tahun 1928 Nomor 81 tentang Pandhuis
Regleement dan Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan
Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
- 3 -
5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
6. Direksi:
a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
7. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah dewan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
8. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ Perusahaan Pergadaian
yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan
terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
9. Modal Disetor:
a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah modal
disetor sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk
badan hukum koperasi adalah simpanan pokok
- 4 -
dan simpanan wajib sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
10. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh Perusahaan
Pergadaian atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh nasabah atau oleh
kuasanya, sebagai jaminan atas pinjamannya, dan
yang memberi wewenang kepada Perusahaan
Pergadaian untuk mengambil pelunasan pinjaman
dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur
lain, dengan pengecualian biaya untuk melelang atau
menjual barang tersebut dan biaya untuk
menyelamatkan barang tersebut yang dikeluarkan
setelah barang itu diserahkan sebagai gadai, biaya-
biaya mana harus didahulukan.
11. Uang Pinjaman adalah uang yang dipinjamkan oleh
Perusahaan Pergadaian kepada nasabah.
12. Barang Jaminan adalah setiap barang bergerak yang
dijadikan jaminan oleh nasabah kepada Perusahaan
Pergadaian.
13. Penaksir adalah orang yang memiliki sertifikat
keahlian untuk melakukan penaksiran atas nilai
Barang Jaminan dalam transaksi Gadai.
14. Surat Bukti Gadai adalah surat tanda bukti perjanjian
pinjam meminjam uang dengan jaminan yang
ditandatangani oleh Perusahaan Pergadaian dan
nasabah.
15. Nasabah adalah orang perseorangan atau badan
usaha yang menerima Uang Pinjaman dengan jaminan
berupa Barang Jaminan dan/atau memanfaatkan
layanan lainnya yang tersedia di Perusahaan
Pergadaian.
16. Lelang adalah penjualan Barang Jaminan yang
terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara
tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau
menurun untuk mencapai harga tertinggi yang
didahului pengumuman lelang.
- 5 -
17. Uang Kelebihan adalah selisih lebih dari hasil
penjualan Barang Jaminan dikurangi dengan jumlah
Uang Pinjaman, bunga/jasa simpan, biaya untuk
melelang, dan biaya menyelamatkan barang tersebut.
18. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mencari,
mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data
dan/atau keterangan, serta untuk menilai dan
memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan
usaha pada Perusahaan Pergadaian.
19. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan.
20. Hari adalah hari kerja.
21. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN,
DAN PERMODALAN
Pasal 2
(1) Bentuk badan hukum Perusahaan Pergadaian adalah:
a. perseroan terbatas; atau
b. koperasi.
(2) Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh:
a. negara Republik Indonesia;
b. pemerintah daerah;
c. warga negara Indonesia; dan/atau
d. badan hukum Indonesia.
(3) Ketentuan kepemilikan untuk Perusahaan Pergadaian
yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b mengikuti ketentuan
- 6 -
peraturan perundang-undangan di bidang
perkoperasian.
Pasal 3
Perusahaan Pergadaian dilarang dimiliki baik secara
langsung maupun tidak langsung oleh warga negara asing
dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya
dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha asing,
kecuali kepemilikan langsung maupun tidak langsung
tersebut dilakukan melalui bursa efek.
Pasal 4
(1) Modal Disetor Perusahaan Pergadaian ditetapkan
berdasarkan lingkup wilayah usaha yaitu
kabupaten/kota atau provinsi.
(2) Jumlah Modal Disetor Perusahaan Pergadaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling sedikit:
a. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk
lingkup wilayah usaha kabupaten/kota; atau
b. Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah), untuk lingkup wilayah usaha provinsi.
(3) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus disetor secara tunai dan penuh atas nama
Perusahaan Pergadaian pada salah satu bank umum
atau bank umum syariah di Indonesia.
BAB III
PENDAFTARAN DAN PERIZINAN USAHA
Bagian Kesatu
Pendaftaran
Pasal 5
(1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah melakukan
kegiatan Usaha Pergadaian sebelum Peraturan OJK ini
- 7 -
diundangkan,
dapat mengajukan permohonan
pendaftaran kepada OJK.
(2) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang akan mengajukan
permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan dari ketentuan bentuk badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
ketentuan lingkup wilayah usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dan ketentuan
permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2).
(3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan kepada OJK paling lama 2 (dua)
tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
(4) Permohonan pendaftaran oleh pelaku Usaha
Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Kepala Eksekutif Pengawas
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,
dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
(5) Bagi pelaku Usaha Pergadaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang mengajukan permohonan
pendaftaran
harus menggunakan format
1
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dan dilampiri dengan:
a. akta pendirian badan usaha termasuk anggaran
dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah
disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang
atau diberitahukan kepada instansi yang
berwenang dan/atau surat bukti usaha dari
instansi yang berwenang;
b. bukti identitas diri dan daftar riwayat hidup yang
dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru
berukuran 4x6 cm dari:
1. pemilik kecuali koperasi;
2. anggota Direksi; dan
3. anggota Dewan Komisaris;
- 8 -
c. surat keterangan domisili perusahaan dari
instansi yang berwenang;
d. bukti telah melakukan kegiatan usaha; dan
e.
foto unit layanan (outlet) berukuran 4R/5R.
(6) OJK memberikan persetujuan atas permohonan
pendaftaran paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak
diterimanya dokumen permohonan pendaftaran secara
lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam
Peraturan OJK ini.
(7) OJK menetapkan pendaftaran pelaku Usaha
Pergadaian berupa tanda bukti terdaftar.
(8) Tanda bukti terdaftar sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) harus dicantumkan pada setiap kantor atau
unit layanan (outlet).
Pasal 6
(1) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar, dapat
membuka unit layanan (outlet).
(2) Pembukaan unit layanan (outlet) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK
melalui laporan berkala.
Pasal 7
(1) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar wajib
menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga)
bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31
Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember
kepada OJK paling sedikit berupa:
a.
profil pelaku Usaha Pergadaian;
b. laporan keuangan; dan
c. laporan operasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan
tata cara penyampaian laporan berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
OJK.
- 9 -
Pasal 8
(1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7), wajib
mengajukan permohonan izin usaha sebagai
Perusahaan
Pergadaian dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
(2) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar, pada
saat mengajukan izin usaha harus memenuhi
ketentuan dalam Peraturan OJK ini.
(3) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar dan
berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, pada saat
mengajukan izin usaha dikecualikan dari ketentuan
Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2).
(4) Ketentuan permodalan bagi pelaku Usaha Pergadaian
yang telah terdaftar dan berbentuk perseroan terbatas
atau koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pada saat mengajukan izin usaha harus memenuhi
Ekuitas sebesar:
a. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk
lingkup wilayah usaha kabupaten/kota; atau
b. Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah), untuk lingkup wilayah usaha provinsi.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah berakhir dan pelaku Usaha Pergadaian
yang
telah
terdaftar
belum menyampaikan
permohonan izin usaha, pendaftaran dinyatakan batal
dan tidak berlaku.
Bagian Kedua
Perizinan Usaha Perusahaan Pergadaian
Pasal 9
(1) Perusahaan Pergadaian melakukan kegiatan usaha
setelah memperoleh izin usaha dari OJK.
- 10 -
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan
Pergadaian dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Direksi Perusahaan Pergadaian harus mengajukan
permohonan izin usaha kepada OJK dengan
menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri
dokumen berupa:
a. akta pendirian perseroan terbatas atau koperasi
yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang, yang paling sedikit harus memuat:
1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup
wilayah usaha;
2. kegiatan
Pergadaian;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan
Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS,
dan perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada)
disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan,
dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari
instansi berwenang;
b. data anggota Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau DPS meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
yang masih berlaku;
3. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas
foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6
cm; dan
4. surat pernyataan bermeterai dari masing-
masing anggota Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau DPS yang menyatakan:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet
di sektor jasa keuangan;
usaha
sebagai
Perusahaan
- 11 -
b) tidak tercantum dalam daftar tidak
lulus (DTL) di sektor jasa keuangan;
pernah
c)
tidak
dihukum
karena
d) tidak
melakukan tindak pidana di bidang jasa
keuangan dan/atau perekonomian
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
pernah
dihukum
karena
melakukan tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e)
tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan
bersalah menyebabkan
suatu badan usaha dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
f)
tidak pernah menjadi pemegang saham,
direksi, dewan komisaris, atau dewan
pengawas syariah pada perusahaan jasa
keuangan yang dicabut izin usahanya
karena melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
c. data pemegang saham atau anggota pendiri:
1. dalam hal pemegang saham atau anggota
pendiri adalah warga negara Indonesia,
dokumen yang dilampirkan berupa:
a)
fotokopi surat pemberitahuan pajak
terhutang (SPT) untuk 1 (satu) tahun
terakhir;
b) dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b angka 1, angka 2, dan
angka 3; dan
c) surat pernyataan bermeterai dari yang
bersangkutan yang menyatakan bahwa:
- 12 -
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
dan
untuk
tindak
pencucian uang (money laundering)
dan kejahatan keuangan;
3) tidak tercatat dalam daftar kredit
macet di sektor jasa keuangan;
4) tidak tercantum dalam daftar tidak
lulus (DTL)
keuangan;
di
sektor
5) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
jasa
keuangan
perekonomian
dan/atau
berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
6) tidak pernah dihukum karena
melakukan
tindak
pidana
kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu badan usaha dinyatakan
pailit
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir; dan
8)
tidak pernah menjadi pemegang
saham, direksi, dewan komisaris,
atau dewan pengawas syariah pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
jasa
pidana
- 13 -
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
2. dalam hal pemegang saham atau anggota
pendiri adalah badan hukum Indonesia,
dokumen yang dilampirkan berupa:
a) akta pendirian termasuk anggaran
dasar berikut perubahan yang terakhir
(jika ada) yang telah disahkan/disetujui
oleh instansi yang berwenang atau
diberitahukan kepada instansi yang
berwenang;
b) laporan keuangan tahunan dan laporan
keuangan bulanan terakhir;
c) dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b angka 1, angka 2, dan
angka 3 bagi direksi; dan
d) surat pernyataan bermeterai dari
direksi yang menyatakan bahwa:
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
dan
untuk
tindak
pencucian uang (money laundering)
dan kejahatan keuangan;
3) tidak terdapat kepemilikan asing
baik secara langsung maupun
tidak langsung;
4) tidak tercatat dalam daftar kredit
macet di sektor jasa keuangan;
5) tidak tercantum dalam daftar tidak
lulus (DTL) di sektor jasa keuangan;
6) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
jasa
keuangan
perekonomian
dan/atau
berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
pidana
- 14 -
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dihukum karena
melakukan
tindak
pidana
kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
8) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu badan usaha dinyatakan
pailit
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir; dan
9) tidak pernah menjadi pemegang
saham, direksi, dewan komisaris,
atau dewan pengawas syariah pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
3. dalam hal pemegang saham adalah negara
Republik
Indonesia,
dokumen
yang
dilampirkan berupa Peraturan Pemerintah
mengenai penyertaan modal negara Republik
Indonesia untuk pendirian Perusahaan
Pergadaian; dan/atau
4. dalam hal pemegang saham adalah
pemerintah
daerah,
dokumen
dilampirkan berupa Peraturan Daerah
mengenai penyertaan modal daerah untuk
pendirian Perusahaan Pergadaian;
d. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor, berupa:
1.
slip setoran dari pemegang saham atau
anggota pendiri ke rekening tabungan atau
giro atas nama Perusahaan Pergadaian; dan
yang
- 15 -
2. rekening koran Perusahaan Pergadaian
periode mulai dari tanggal penyetoran modal
sampai dengan tanggal surat permohonan
izin usaha;
e. struktur organisasi yang memuat susunan
personalia yang paling sedikit memiliki fungsi
pemutus
pinjaman,
f.
Penaksir,
Nasabah, dan administrasi;
rencana kerja untuk 1 (satu) tahun pertama yang
paling sedikit memuat:
1. gambaran mengenai kegiatan usaha yang
akan dilakukan;
2. target dan langkah-langkah yang dilakukan
untuk mewujudkan target dimaksud; dan
3. proyeksi laporan keuangan untuk 1 (satu)
tahun ke depan;
g. bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
1. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung
dan ruangan kantor atau unit layanan
(outlet), berupa fotokopi sertipikat hak milik,
hak guna bangunan, atau hak pakai atas
nama Perusahaan Pergadaian,
atau
perjanjian sewa gedung/ruangan disertai
foto tampak luar gedung dan foto dalam
ruangan serta tata letak (lay-out) ruangan;
2. daftar inventaris dan peralatan kantor; dan
3. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir
yang akan digunakan;
h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas
nama Perusahaan Pergadaian;
i.
j.
bukti setor pelunasan biaya perizinan;
bukti sertifikat Penaksir yang diterbitkan oleh
lembaga sertifikasi profesi atau pihak lain yang
ditunjuk OJK sebagai lembaga penerbit sertifikasi
Penaksir;
k. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah
Nasional
Majelis Ulama Indonesia,
bagi
pelayanan
- 16 -
Perusahaan
Pergadaian
yang
akan
menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah; dan
l. pedoman penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
(3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak
permohonan izin usaha dan dokumen diterima secara
lengkap serta sesuai dengan persyaratan dalam
Peraturan OJK ini.
(4) OJK menyampaikan pernyataan lengkap atau
permintaan kelengkapan dokumen kepada pemohon
paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah permohonan
diterima.
(5) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan
tidak lengkap, pemohon harus menyampaikan
kekurangan dokumen tersebut paling lama 10
(sepuluh) Hari sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) telah berakhir dan pemohon tidak
menyampaikan kelengkapan dokumen, permohonan
izin usaha dinyatakan batal.
(7) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disertai dengan alasan
penolakan.
(8) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK
menetapkan keputusan pemberian izin usaha sesuai
lingkup wilayah usaha sebagai:
a. perusahaan pergadaian,
bagi
Perusahaan
Pergadaian yang menjalankan kegiatan usaha
secara konvensional; atau
b. perusahaan pergadaian syariah, bagi Perusahaan
Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
- 17 -
(9) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara
permohonan izin usaha Perusahaan Pergadaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 10
Nama Perusahaan Pergadaian harus dicantumkan secara
jelas dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 1 yang dimulai dengan
bentuk badan hukum dan memuat kata:
a. Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai, bagi
Perusahaan Pergadaian yang menjalankan kegiatan
usaha secara konvensional; atau
b. Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai
diikuti dengan kata syariah, bagi Perusahaan
Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 11
(1) Perusahaan Pergadaian yang telah memperoleh izin
usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha
paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal izin
usaha ditetapkan.
(2) Perusahaan Pergadaian wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada OJK paling lama 15 (lima belas)
Hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha.
(3) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dengan
menggunakan format 3 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri
fotokopi Surat Bukti Gadai.
Pasal 12
(1) Perusahaan Pergadaian dilarang membuka atau
memindahkan alamat unit layanan (outlet) di luar
- 18 -
wilayah usaha yang ditetapkan dalam keputusan
pemberian izin usaha dari OJK.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
pembukaan atau pemindahan alamat unit layanan
(outlet) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Surat Edaran OJK.
BAB IV
PENYELENGGARAAN USAHA
Pasal 13
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian meliputi:
a. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan
berdasarkan hukum Gadai;
b. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan
berdasarkan fidusia;
c. pelayanan jasa
dan/atau
titipan barang berharga;
d. pelayanan jasa taksiran.
(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pergadaian
dapat melakukan kegiatan usaha lainnya, yaitu:
a. kegiatan lain yang tidak
komisi
terkait Usaha
Pergadaian yang memberikan pendapatan
berdasarkan
(fee based income)
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang jasa keuangan;
dan/atau
b. kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK.
(3) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat dilakukan secara konvensional
atau berdasarkan Prinsip Syariah.
(4) Pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib
menggunakan akad dengan ketentuan:
- 19 -
a. memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan
(tawazun), kemaslahatan
universalisme (alamiyah);
b. tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm,
risywah, dan objek haram; dan
c.
tidak bertentangan dengan ketentuan hukum
Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan
kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha lain
dengan persetujuan OJK sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b diatur dalam Surat Edaran
OJK.
Pasal 14
(1) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan
kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf b, harus tidak sedang
dikenakan sanksi oleh OJK.
(2) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan
kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib mengajukan permohonan kepada OJK
dan harus melampirkan dokumen yang berisi uraian
paling sedikit mengenai:
a. kegiatan usaha yang akan dilakukan; dan
b. hak dan kewajiban para pihak.
(3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan mengeluarkan surat
persetujuan atau penolakan paling lama 20 (dua
puluh) Hari setelah permohonan diterima secara
lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam
Peraturan OJK ini.
Pasal 15
Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan
usaha penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan
berdasarkan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
(maslahah), dan
- 20 -
13 ayat (1) huruf b wajib melakukan mitigasi risiko, yang
dapat dilakukan dengan:
a. mengalihkan risiko usaha melalui mekanisme
asuransi kredit atau penjaminan kredit;
b. mengalihkan risiko atas barang yang menjadi agunan
melalui mekanisme asuransi; dan/atau
c. melakukan pendaftaran jaminan fidusia atas barang
yang menjadi jaminan dari kegiatan usaha.
Pasal 16
Perusahaan
Pergadaian
wajib
mencantumkan
keterangan/informasi secara jelas di setiap kantor atau
unit layanan (outlet) hal sebagai berikut:
a. nama dan/atau logo Perusahaan Pergadaian;
b. nomor dan tanggal izin usaha dan pernyataan bahwa
Perusahaan Pergadaian diawasi oleh OJK;
hari dan jam operasional; dan
c.
d. tingkat bunga pinjaman atau imbal jasa/imbal hasil
bagi Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, dan
biaya administrasi.
Pasal 17
(1) Perusahaan Pergadaian wajib menetapkan Barang
Jaminan yang dapat diterima sebagai jaminan.
(2) Penetapan Barang Jaminan yang dapat diterima
sebagai jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilakukan sesuai dengan kriteria Barang
Jaminan.
(3) Ketentuan mengenai kriteria Barang Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 18
Perusahaan Pergadaian yang menyalurkan Uang Pinjaman
berdasarkan hukum Gadai dilarang untuk:
a. menggunakan Barang Jaminan;
- 21 -
b. menyimpan Barang Jaminan di tempat Nasabah;
c. memiliki Barang Jaminan; dan/atau
d. menggadaikan kembali Barang Jaminan kepada
pihak lain.
Pasal 19
(1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki paling sedikit
1 (satu) orang Penaksir untuk melakukan penaksiran
atas Barang Jaminan pada setiap unit pelayanan
(outlet).
(2) Dalam melakukan penaksiran, Penaksir wajib
dilengkapi pedoman tertulis yang ditetapkan oleh
Perusahaan Pergadaian.
(3) Penaksir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
lulus sertifikasi penaksiran Barang Jaminan.
Pasal 20
(1) Perusahaan Pergadaian wajib memberikan nilai
taksiran atas setiap Barang Jaminan kepada
Nasabah.
(2) Dalam rangka memenuhi kualitas penaksiran Barang
Jaminan, Perusahaan Pergadaian wajib:
a. menyediakan alat penaksir; dan
b. menetapkan daftar harga pasar Barang Jaminan
yang wajar.
Pasal 21
(1) Perusahaan Pergadaian wajib memenuhi nilai
minimum perbandingan antara Uang Pinjaman dan
nilai taksiran Barang Jaminan dalam memberikan
Uang Pinjaman kepada Nasabah, kecuali apabila
Nasabah menyatakan secara tertulis menghendaki
Uang Pinjaman yang lebih rendah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai minimum
perbandingan antara Uang Pinjaman dan nilai
taksiran Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
- 22 -
Pasal 22
(1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki tempat
penyimpanan Barang Jaminan berdasarkan hukum
Gadai dan barang titipan yang memenuhi
persyaratan keamanan dan keselamatan.
(2) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki pedoman
tertulis dalam menjaga keamanan dan keselamatan
Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan
barang titipan.
(3) Perusahaan Pergadaian wajib mengasuransikan
Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan
barang titipan dalam rangka memitigasi risiko.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tempat
penyimpanan Barang Jaminan berdasarkan hukum
Gadai dan barang titipan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 23
(1) Perusahaan Pergadaian wajib menyerahkan Surat
Bukti Gadai kepada Nasabah pada saat menerima
Barang Jaminan.
(2) Surat Bukti Gadai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disusun dengan memenuhi ketentuan
perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK
mengenai perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan.
(3) Perusahaan Pergadaian wajib menyimpan paling
sedikit 1 (satu) salinan Surat Bukti Gadai untuk
setiap transaksi.
Pasal 24
(1) Jangka waktu pinjaman kepada Nasabah dengan
jaminan berdasarkan hukum Gadai paling lama 4
(empat) bulan.
(2) Dalam hal Uang Pinjaman dengan jaminan
berdasarkan hukum Gadai belum dilunasi sampai
- 23 -
dengan tanggal jatuh tempo, Perusahaan Pergadaian
dapat melelang Barang Jaminan.
(3) Sebelum pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), berdasarkan kesepakatan antara
Perusahaan Pergadaian dengan Nasabah, Barang
Jaminan dapat dijual dengan cara:
a. Nasabah menjual sendiri Barang Jaminannya;
atau
b. Nasabah memberikan kuasa kepada Perusahaan
Pergadaian
untuk
Jaminannya.
(4) Dalam hal Perusahaan Pergadaian bersepakat
dengan Nasabah untuk melakukan cara penjualan
sebagaimana dimaksud pada ayat
menjualkan
Barang
(3), maka
penjualan dimaksud dilaksanakan paling lama 20
(dua puluh) Hari setelah tanggal jatuh tempo.
(5) Kesepakatan antara Perusahaan Pergadaian dengan
Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
dimuat dalam Surat Bukti Gadai.
(6) Penjualan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b dilakukan apabila nilai
penjualan dapat memenuhi kewajiban Nasabah
terhadap Perusahaan Pergadaian.
(7) Barang Jaminan yang dijual oleh Nasabah sebelum
tanggal Lelang, dilarang dibeli secara langsung
maupun tidak langsung oleh Perusahaan Pergadaian
atau pegawainya.
(8) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki pedoman
tertulis untuk melakukan penjualan Barang Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 25
(1) Dalam hal Nasabah telah melunasi Uang Pinjaman
beserta bunga pinjaman atau imbal jasa/imbal hasil
bagi Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
Perusahaan Pergadaian wajib mengembalikan Barang
- 24 -
Jaminan kepada Nasabah dalam kondisi fisik yang
sama seperti saat penyerahan Barang Jaminan.
(2) Dalam hal Barang Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hilang atau rusak, Perusahaan
Pergadaian wajib menggantinya dengan:
a. uang atau barang yang nilainya sama atau
setara dengan nilai Barang Jaminan pada saat
Barang Jaminan tersebut hilang atau rusak,
untuk Barang Jaminan berupa perhiasan; atau
b. uang atau barang yang nilainya sama atau
setara dengan nilai Barang Jaminan pada saat
Barang Jaminan tersebut dijaminkan, untuk
Barang Jaminan selain perhiasan.
Pasal 26
Syarat dan tata cara penjualan Barang Jaminan
berdasarkan hukum Gadai dengan cara Lelang
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 27
(1) Perusahaan Pergadaian wajib mengembalikan Uang
Kelebihan dari hasil penjualan Barang Jaminan
dengan cara Lelang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 atau berdasarkan kuasa menjual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3)
huruf b kepada Nasabah.
(2) Perusahaan Pergadaian wajib mencatat secara
terpisah Uang Kelebihan dari hasil penjualan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih
pengembalian
Uang
lanjut mengenai tata cara
Kelebihan
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
OJK.
sebagaimana
- 25 -
Pasal 28
(1) Perusahaan
Pergadaian
wajib
memiliki dan
melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan dan
penyelesaian sengketa bagi Nasabah.
(2) Mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam Surat Bukti Gadai.
(3) Ketentuan mengenai penanganan pengaduan dan
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1)
berpedoman pada Peraturan OJK mengenai
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan dan
Peraturan OJK mengenai lembaga alternatif
penyelesaian
sengketa
pelaksanaannya.
Pasal 29
(1) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) wajib
mengangkat paling sedikit 1 (satu) orang DPS.
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota setelah memperoleh rekomendasi Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(3) Bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan
hukum koperasi, pengangkatan DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat pula dilakukan setelah
memperoleh sertifikasi pelatihan DPS dari Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diangkat oleh 1 (satu) atau beberapa Perusahaan
Pergadaian secara bersama-sama.
(5) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada
Direksi agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip
Syariah.
beserta
peraturan
- 26 -
(6) Tugas
pengawasan dan pemberian nasihat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit
dilakukan terhadap:
a. kegiatan operasional Perusahaan Pergadaian;
b. pedoman operasional dan produk yang dipasarkan;
dan
c. pengembangan, pengkajian, dan rekomendasi
kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian yang
antara lain mencakup produk, operasional, dan
pemasaran.
Pasal 30
(1) Perusahaan Pergadaian dapat menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dengan
wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK.
(2) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
wajib:
a. mempunyai pembukuan terpisah untuk kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah dari kegiatan
usaha konvensional; dan
b. menunjuk pegawai yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 31
(1) Untuk memperoleh persetujuan menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Direksi
Perusahaan
Pergadaian
harus
mengajukan
permohonan persetujuan kepada OJK dengan
menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri
dokumen:
- 27 -
a. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia atau bukti
sertifikasi pelatihan DPS dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia;
b. daftar riwayat hidup pegawai yang bertanggung
jawab atas kegiatan usaha yang dilakukan
berdasarkan Prinsip Syariah, dilengkapi dengan
pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm;
dan
c. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir
berdasarkan Prinsip
digunakan.
Syariah yang akan
(2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak
permohonan persetujuan dan dokumen diterima secara
lengkap serta sesuai dengan persyaratan dalam
Peraturan OJK ini.
(3) OJK menyampaikan pernyataan lengkap atau
permintaan kelengkapan dokumen kepada pemohon
paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah permohonan
diterima.
(4) Dalam hal permohonan persetujuan menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
yang disampaikan tidak lengkap, pemohon harus
menyampaikan kekurangan dokumen tersebut paling
lama 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) telah berakhir dan pemohon tidak
menyampaikan kelengkapan dokumen, permohonan
persetujuan dinyatakan batal.
(6) Penolakan atas permohonan persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan
penolakan.
(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disetujui, OJK menetapkan surat persetujuan
- 28 -
penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah.
BAB V
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Perubahan Modal Disetor, Perubahan Alamat Kantor Pusat,
dan Perubahan Nama Perusahaan Pergadaian
Pasal 32
(1) Perusahaan Pergadaian wajib melaporkan perubahan
Modal Disetor secara tertulis kepada OJK paling lama
15 (lima belas) Hari setelah diterbitkannya persetujuan
atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi
yang berwenang, atau disetujui oleh rapat anggota.
(2) Pelaporan perubahan Modal Disetor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi
Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 5
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas;
b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan
anggaran dasar bagi Perusahaan Pergadaian yang
berbentuk badan hukum koperasi; dan
c. surat pernyataan bahwa setoran modal tidak
berasal dari pinjaman dan/atau tindak pidana
pencucian uang.
Pasal 33
(1) Perusahaan Pergadaian wajib melaporkan perubahan
alamat kantor pusat secara tertulis kepada OJK paling
- 29 -
lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal
pemindahan.
(2) Pelaporan
perubahan
alamat
kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat
pusat
(1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian
dengan menggunakan format 6 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan
dilampiri dokumen:
a. bukti penguasaan gedung atas kantor pusat yang
baru; dan
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang
telah mencantumkan alamat kantor pusat yang
baru.
Pasal 34
(1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan perubahan
nama wajib melaporkan perubahan nama paling lama
15 (lima belas) Hari setelah diterbitkannya persetujuan
dari instansi berwenang, atau disetujui oleh rapat
anggota.
(2) Laporan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan
Pergadaian
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan
bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi
Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas;
b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan
anggaran dasar bagi Perusahaan Pergadaian yang
berbentuk badan hukum koperasi; dan
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama
Perusahaan Pergadaian yang baru.
dengan menggunakan format 7
- 30 -
Bagian Kedua
Pelaporan Perusahaan Pergadaian
Pasal 35
(1) Perusahaan Pergadaian wajib menyampaikan laporan
secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk periode
yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30
September, dan 31 Desember kepada OJK.
(2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1),
menyampaikan
Perusahaan
laporan
diperlukan oleh OJK.
(3) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha yang
dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah dalam
laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada OJK paling lambat pada akhir
bulan berikutnya.
(5) Apabila
batas
akhir
penyampaian
laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari
kerja pertama berikutnya.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Perusahaan Pergadaian berupa:
a.
b.
c.
profil Perusahaan Pergadaian;
laporan keuangan; dan
laporan operasional.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan,
dan tata cara penyampaian laporan berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pergadaian
sewaktu-waktu
wajib
bila
- 31 -
BAB VI
PENGGABUNGAN, PELEBURAN,
PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN
Pasal 36
(1) Perusahaan
Pergadaian
yang
melakukan
penggabungan atau peleburan wajib menyampaikan
laporan penggabungan atau peleburan kepada OJK
paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak
tanggal diterimanya persetujuan atau pengesahan
perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang.
(2) Laporan penggabungan atau peleburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan
format 8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dengan
dokumen:
a.
risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota;
b. akta hasil penggabungan atau peleburan yang
telah disetujui atau disahkan oleh instansi yang
berwenang;
c. akta pendirian atas Perusahan Pergadaian hasil
peleburan yang telah disahkan oleh instansi
berwenang; dan
d. data
pemegang
saham
atau
anggota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf c, dalam hal terdapat pemegang saham
baru atau anggota baru.
(3) Berdasarkan laporan penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), OJK
menetapkan:
a. pencabutan izin usaha Perusahaan Pergadaian
yang menggabungkan diri atau yang melakukan
peleburan; dan/atau
- 32 -
b. pemberian izin usaha kepada Perusahaan
Pergadaian hasil peleburan.
(4) Sebelum pemberian izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan,
Perusahaan Pergadaian hasil peleburan dilarang
menjalankan kegiatan usaha.
Pasal 37
(1) Perusahaan Pergadaian yang diambil alih wajib
menyampaikan laporan pengambilalihan kepada OJK
paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal akta
pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris.
(2) Laporan pengambilalihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi
Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format
9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a.
risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota;
b. akta pengambilalihan; dan
c. data pemegang saham atau anggota pendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf c.
Pasal 38
(1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan
wajib menyampaikan laporan pemisahan kepada OJK
paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak
tanggal akta pemisahan yang dibuat di hadapan
notaris.
(2) Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan cara:
a. pemisahan murni; atau
b. pemisahan tidak murni.
(3) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a mengakibatkan seluruh aset dan liabilitas
- 33 -
Perusahaan Pergadaian beralih karena hukum
kepada 2 (dua) Perusahaan Pergadaian lain atau
lebih yang menerima peralihan dan Perusahaan
Pergadaian yang melakukan pemisahan tersebut
berakhir karena hukum.
(4) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b mengakibatkan sebagian aset dan
liabilitas Perusahaan Pergadaian beralih karena
hukum kepada 1 (satu) Perusahaan Pergadaian lain
atau lebih yang menerima peralihan dan Perusahaan
Pergadaian yang melakukan pemisahan tersebut
tetap ada.
(5) Laporan pemisahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan
Pergadaian dengan menggunakan format 10
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dengan
dokumen:
a.
b. akta pemisahan.
(6) Berdasarkan
laporan pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), OJK mencabut izin usaha
Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan
murni sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 39
Perusahaan Pergadaian yang melakukan penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan wajib
memenuhi ketentuan dalam peraturan OJK ini dan
peraturan
penggabungan,
pemisahan.
perundang-undangan
peleburan,
lain
pengambilalihan,
risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota; dan
mengenai
dan
- 34 -
BAB VII
ASOSIASI PERUSAHAAN PERGADAIAN
Pasal 40
(1) Dalam hal telah terbentuk asosiasi yang menaungi
Perusahaan Pergadaian di Indonesia, Perusahaan
Pergadaian wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Perusahaan Pergadaian yang telah
mendapatkan izin usaha sebelum terbentuknya
asosiasi, paling lama 3 (tiga) bulan sejak
asosiasi terbentuk;
b. bagi Perusahaan Pergadaian yang mendapatkan
izin usaha setelah asosiasi terbentuk, paling
lama 3 (tiga) bulan sejak mendapatkan izin
usaha.
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat persetujuan dari OJK.
(3) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas paling sedikit:
a. mengkoordinasikan penyusunan standar praktik
dan kode etik Perusahaan Pergadaian; dan
b. mengadakan pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan.
(4) Pelaksanaan tugas asosiasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaporkan kepada OJK.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN
Bagian Kesatu
Pengawasan Perusahaan Pergadaian
Pasal 41
(1) Pengawasan terhadap
dilakukan oleh OJK.
Perusahaan
Pergadaian
- 35 -
(2) Pengawasan terhadap
Perusahaan
Pergadaian
dilakukan berdasarkan Peraturan OJK ini dan
peraturan pelaksanaannya.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Perusahaan Pergadaian
Pasal 42
(1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), OJK
berwenang
melakukan
Perusahaan Pergadaian.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh tim Pemeriksa yang dapat terdiri dari:
a. pegawai OJK yang ditugaskan untuk melakukan
Pemeriksaan;
b. pihak lain yang ditunjuk oleh OJK; atau
c. gabungan antara pegawai OJK dan pihak lain
yang ditunjuk oleh OJK.
Pasal 43
Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap setiap Perusahaan
Pergadaian dilakukan:
a. secara berkala sesuai dengan rencana Pemeriksaan
tahunan yang ditetapkan oleh OJK; dan/atau
b. setiap waktu bila diperlukan.
Pasal 44
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan surat
perintah Pemeriksaan dan surat pemberitahuan
Pemeriksaan.
(2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu disampaikan
surat
pemberitahuan
Perusahaan Pergadaian.
Pemeriksaan
kepada
Pemeriksaan
terhadap
- 36 -
(3) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memuat informasi sebagai
berikut:
a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan;
b. nama Pemeriksa;
c. tujuan Pemeriksaan;
d. jangka waktu Pemeriksaan;
e. dokumen yang diperlukan untuk Pemeriksaan;
dan
f.
batas waktu penyampaian dokumen kepada
Pemeriksa.
(4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 3
(tiga) Hari sebelum tanggal pelaksanaan kegiatan
Pemeriksaan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan
apabila
pemberitahuan
Pemeriksaan
penyampaian
diduga
surat
akan
mempersulit atau menghambat proses Pemeriksaan
atau akan memungkinkan dilakukannya tindakan
untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau
menyembunyikan
atau
menghilangkan
data,
keterangan, atau laporan, yang diperlukan dalam
pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan.
Pasal 45
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. persiapan Pemeriksaan;
b. pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan; dan
c. pelaporan hasil Pemeriksaan.
(2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan hasil analisis
laporan berkala dan data lain yang mendukung.
(3) Pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
cara Pemeriksaan di Perusahaan Pergadaian,
- 37 -
Pemeriksaan di kantor OJK, atau Pemeriksaaan di
tempat lain yang ditentukan oleh OJK.
Pasal 46
(1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan, Pemeriksa
menunjukkan surat perintah Pemeriksaan dan tanda
pengenal Pemeriksa.
(2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan Pergadaian yang akan diperiksa dapat
menolak dilakukannya Pemeriksaan.
(3) Pemeriksa wajib merahasiakan data, dokumen,
dan/atau keterangan yang diperoleh selama
Pemeriksaan terhadap pihak yang tidak berhak,
kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau
diwajibkan oleh undang-undang.
(4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara
Pemeriksaan diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 47
(1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), Perusahaan
Pergadaian yang diperiksa dilarang menolak dan/atau
menghambat kelancaran proses Pemeriksaan.
(2) Dalam pelaksanaan
Pemeriksaan, Perusahaan
Pergadaian yang diperiksa wajib untuk:
a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau
meminjamkan buku, berkas, catatan, disposisi,
memorandum, dokumen, data
termasuk salinannya;
elektronik,
b. memberikan keterangan dan penjelasan yang
berkaitan dengan aspek yang diperiksa baik lisan
maupun tertulis;
c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk
memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan
yang dipandang perlu;
- 38 -
d. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk
meneliti keberadaan dan penggunaan sarana fisik
yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa;
dan/atau
e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor
independen untuk memberikan data, dokumen,
dan/atau keterangan kepada Pemeriksa terkait
dengan Pemeriksaan.
(3) Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dinyatakan
menghambat kelancaran proses Pemeriksaan apabila
tidak
melaksanakan
kewajiban
dimaksud pada ayat (2) atau meminjamkan buku,
memberikan catatan, dokumen, atau keterangan yang
tidak benar.
Pasal 48
(1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b berakhir,
Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan.
(2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan
b. laporan hasil Pemeriksaan final.
(3) Pemeriksa menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan
sementara kepada Perusahaan Pergadaian paling
lama 30 (tiga puluh) Hari setelah berakhirnya
pelaksanaan Pemeriksaan.
(4) Dalam hal hasil Pemeriksaan terdapat rekomendasi
OJK yang harus dilakukan oleh Perusahaan
Pergadaian, maka Perusahaan Pergadaian wajib
melakukan rekomendasi tersebut.
(5) Perusahaan Pergadaian wajib melakukan langkah-
langkah tindak lanjut sesuai rekomendasi yang
terdapat
dalam
(6) Perusahaan
pelaksanaan
laporan
hasil
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pergadaian
wajib
langkah-langkah
Pemeriksaan
tindak
melaporkan
lanjut
sebagaimana
- 39 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada OJK
paling sedikit setiap bulan atau sesuai laporan hasil
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Kewajiban melakukan rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berakhir dalam hal OJK
menilai bahwa Perusahaan Pergadaian
melakukan rekomendasi tersebut.
(8) Penilaian OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
disampaikan kepada Perusahaan Pergadaian melalui
surat.
(9) Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dapat
mengajukan
tanggapan
atas
laporan
hasil
Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh)
Hari setelah tanggal ditetapkannya laporan hasil
Pemeriksaan sementara.
(10) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) Perusahaan Pergadaian tidak
memberikan
tanggapan
atas
Pemeriksaan sementara secara
laporan
hasil
tertulis, OJK
menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara
menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling
lambat 15 (lima belas) Hari setelah jangka waktu
sebagaimana dimaksud ayat (9) berakhir.
(11) Dalam hal Perusahaan Pergadaian menyampaikan
tanggapan yang tidak memuat sanggahan atas
laporan hasil Pemeriksaan sementara yang telah
disampaikan sehingga tidak diperlukan adanya
pembahasan, OJK menetapkan laporan hasil
Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil
Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari
setelah diterimanya tanggapan dari Perusahaan
Pergadaian yang diperiksa.
(12) Dalam hal Perusahaan Pergadaian menyampaikan
tanggapan yang memuat sanggahan atas laporan
hasil Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan
dan diperlukan adanya pembahasan atas laporan
telah
- 40 -
hasil Pemeriksaan sementara, maka OJK dapat
mengundang
Perusahaan
Pergadaian
yang
bersangkutan guna melakukan pembahasan atas
tanggapan yang disampaikan.
(13) Proses pembahasan atas tanggapan laporan hasil
Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (12) paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak
diterimanya surat tanggapan.
(14) Berdasarkan
hasil
pembahasan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (13), OJK menetapkan laporan
hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil
Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari
setelah selesainya pembahasan bersama Perusahaan
Pergadaian yang diperiksa.
(15) Laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b bersifat rahasia.
(16) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan hasil
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Ketiga
Kerja Sama Dengan Pihak Tertentu
Pasal 49
(1) OJK dapat bekerja sama dengan pihak tertentu untuk
dan atas nama OJK melaksanakan sebagian fungsi
pengawasan Perusahaan Pergadaian.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan kesepakatan antara OJK
dengan pihak tertentu yang menerima kerja sama.
(3) Pihak tertentu yang melakukan kerja sama harus
melaporkan rencana dan pelaksanaan sebagian tugas
pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada OJK.
(4) Ketentuan mengenai kerja sama OJK dengan pihak
tertentu untuk melaksanakan sebagian fungsi
pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana
- 41 -
dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan rencana serta
pelaksanaan pengawasan Perusahaan Pergadaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran OJK.
BAB IX
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 50
(1) Pencabutan izin usaha Perusahaan Pergadaian
dilakukan oleh OJK.
(2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal Perusahaan Pergadaian:
a. bubar karena pailit;
b. bubar karena keputusan rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota, atau menurut
anggaran dasar jangka waktunya berakhir;
c. bubar karena penggabungan, peleburan, atau
pemisahan;
d. melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga
tidak lagi menjadi Perusahaan Pergadaian; atau
e. dikenakan
sanksi
pencabutan izin usaha.
(3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh OJK,
Perusahaan Pergadaian wajib melakukan penyelesaian
kewajibannya kepada Nasabah.
penyelesaian
(4) Prosedur
dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan memperhatikan
kepentingan Nasabah.
Pasal 51
(1) Perusahaan Pergadaian yang dinyatakan pailit wajib
menyampaikan laporan kepada OJK paling lama 20
(dua puluh) Hari sejak ditetapkannya putusan pailit.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian
administratif
berupa
kewajiban sebagaimana
- 42 -
dengan menggunakan format 11 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan
dilampiri dokumen:
a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya
putusan pailit atau penetapan pembubaran; dan
izin usaha sebagai Perusahaan
b. fotokopi
Pergadaian.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), OJK mencabut izin usaha Perusahaan
Pergadaian.
Pasal 52
(1) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan
pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf b atau melakukan perubahan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2)
huruf d, wajib mendapatkan persetujuan dari OJK.
pembubaran
(2) Permohonan
persetujuan
atau
perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi
Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format
12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a. rancangan akta pembubaran atau rancangan
akta perubahan anggaran dasar yang memuat
rencana kegiatan usaha yang baru; dan
b. rencana penyelesaian hak dan kewajiban.
(3) Perusahaan Pergadaian yang telah memperoleh
persetujuan pembubaran atau perubahan kegiatan
usaha dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib melaporkan pembubaran atau perubahan
kegiatan usaha paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak
tanggal ditetapkannya akta pembubaran atau sejak
perubahan anggaran dasar disahkan oleh instansi
berwenang, dengan menggunakan format 13
- 43 -
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen:
a.
risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota;
b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan
oleh instansi berwenang; dan
c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban.
Pasal 53
Perusahaan Pergadaian yang telah dicabut izin usahanya
dilarang untuk menggunakan kata Gadai atau kata yang
mencirikan kegiatan Gadai dalam nama perusahaan.
Pasal 54
OJK dapat mengumumkan pelaku usaha yang telah
terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK.
BAB X
PERUSAHAAN PERGADAIAN PEMERINTAH
Pasal 55
(1) Perusahaan Pergadaian Pemerintah dinyatakan telah
memperoleh izin usaha dari OJK berdasarkan
Peraturan OJK ini.
(2) Permodalan Perusahaan Pergadaian Pemerintah
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Perusahaan Pergadaian Pemerintah dikecualikan dari
ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 19 ayat (3)
Peraturan OJK ini.
Pasal 56
(1) Untuk memperoleh persetujuan menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1),
- 44 -
Perusahaan Pergadaian Pemerintah wajib membentuk
unit usaha syariah.
(2) Unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan unit kerja dari kantor pusat
Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 57
(1) Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang mempunyai
unit usaha syariah wajib memenuhi ketentuan:
a. mempunyai modal kerja yang disisihkan untuk
kegiatan unit usaha syariah;
b. mempunyai pimpinan unit usaha syariah yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
c. mempunyai pembukuan terpisahkan untuk unit
usaha syariah.
(2) Pimpinan unit usaha syariah Perusahaan Pergadaian
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib memenuhi ketentuan:
a. diangkat oleh Direksi Perusahaan Pergadaian
Pemerintah; dan
b. tidak melakukan rangkap jabatan pada fungsi
lain selain pada fungsi yang bertujuan untuk
mendukung pelaksanaan
kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 58
Untuk membentuk unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Direksi Perusahaan
Pergadaian Pemerintah harus mengajukan permohonan
izin unit usaha syariah kepada OJK dengan dilampiri:
a. anggaran dasar Perusahaan Pergadaian Pemerintah
yang memuat maksud dan tujuan melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
- 45 -
b. surat keputusan dari rapat umum pemegang saham
atau Direksi, yang membuktikan adanya modal kerja
yang disisihkan untuk unit usaha syariah;
c. dokumen DPS, meliputi:
1. keputusan rapat umum pemegang saham
mengenai pengangkatan DPS; dan
2. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia;
d. dokumen pimpinan unit usaha syariah meliputi:
1. surat keputusan Direksi Perusahaan Pergadaian
Pemerintah mengenai pengangkatan pimpinan
unit usaha syariah;
2. surat pernyataan dari pimpinan unit usaha
syariah dan diketahui oleh Direksi Perusahaan
Pergadaian Pemerintah yang menyatakan bahwa
pimpinan unit usaha syariah tidak rangkap
jabatan pada fungsi lain selain pada fungsi yang
bertujuan untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan
3. daftar riwayat hidup pimpinan unit usaha
syariah, dilengkapi dengan pas foto berwarna
yang terbaru berukuran 4x6 cm; dan
e. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir
berdasarkan Prinsip Syariah yang akan digunakan.
Pasal 59
(1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1) bagi Perusahaan Pergadaian Pemerintah
berupa laporan unit usaha syariah dalam hal
Perusahaan Pergadaian Pemerintah telah memiliki izin
pembukaan unit usaha syariah.
(2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1), Perusahaan Pergadaian Pemerintah
wajib menyampaikan kepada OJK:
a. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
oleh akuntan publik paling lambat 4 (empat)
bulan setelah tahun buku berakhir; dan
- 46 -
b. laporan bulanan sesuai peraturan perundang-
undangan.
BAB XI
SANKSI
Pasal 60
(1) Perusahaan Pergadaian yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 3, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12
ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15,
Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18, Pasal
19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 24
ayat (7) dan ayat (8), Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1),
Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37
ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39, Pasal 40 ayat (1),
Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6), Pasal 50 ayat (3) dan ayat (4), Pasal
51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 56
ayat (1), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 59
ayat (2) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha;
c. pembatalan
persetujuan penyelenggaraan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah;
d. pencabutan izin unit usaha syariah bagi
Perusahaan Pergadaian Pemerintah; dan/atau
e. pencabutan izin usaha.
- 47 -
(2) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan jangka waktu paling lama masing-masing 40
(empat puluh) Hari.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Perusahaan Pergadaian telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan
Perusahaan Pergadaian tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(6) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Perusahaan Pergadaian telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Perusahaan Pergadaian tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK melakukan:
a. pembatalan
persetujuan penyelenggaraan
sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah;
b. pencabutan izin unit usaha syariah bagi
Perusahaan Pergadaian Pemerintah; atau
c. pencabutan izin usaha.
Pasal 61
(1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar di
OJK dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
- 48 -
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1)
Peraturan OJK ini dikenakan sanksi berupa
peringatan paling banyak 2 (dua) kali berturut-turut
dengan jangka waktu paling lama masing-masing 1
(satu) bulan.
(2) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaku Usaha Pergadaian telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi peringatan.
(3) Dalam hal masa berlaku peringatan kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dan
pelaku Usaha Pergadaian tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
membatalkan pendaftaran.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 62
Perusahaan Pergadaian Pemerintah harus menyesuaikan
kegiatan usahanya sebagaimana diatur dalam Pasal 13
ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Peraturan OJK ini diundangkan.
Pasal 63
Kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang
telah mendapat persetujuan OJK sebelum Peraturan OJK
ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 64
Permohonan izin pembukaan unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 harus diajukan
oleh Perusahaan Pergadaian Pemerintah kepada OJK
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
- 49 -
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 152
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 1/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 11 Januari 2016 </set_date>
<effective_date> 12 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 12 Januari 2016 </issued_date>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011', '11/UU/1992', '24/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 5' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 21 /POJK.04/2015
TENTANG
PENERAPAN PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan penerapan tata
kelola perusahaan yang baik bagi Perusahaan Terbuka
yang penerapannya belum diwajibkan dalam peraturan,
diperlukan pedoman penerapan praktik tata kelola yang
mengacu pada praktik internasional yang patut
diteladani yang belum diwajibkan tersebut;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi atas
praktik tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana
dimaksud pada huruf a, Perusahaan Terbuka perlu
melakukan keterbukaan atas penerapannya dalam
praktik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan
Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN
TERBUKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
(1) Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka, yang
selanjutnya disebut Pedoman Tata Kelola, adalah
pedoman tata kelola perusahaan bagi Perusahaan
Terbuka yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
guna mendorong penerapan praktik tata kelola sesuai
dengan praktik internasional yang patut diteladani.
(2) Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat aspek, prinsip, dan rekomendasi tata kelola
perusahaan yang baik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman Tata Kelola
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 2
(1) Perusahaan Terbuka wajib menerapkan Pedoman Tata
Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1).
- 3 -
(2) Dalam hal Perusahaan Terbuka tidak menerapkan
Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Perusahaan Terbuka wajib menjelaskan alasan tidak
diterapkannya Pedoman Tata Kelola tersebut.
BAB II
PENGUNGKAPAN
Pasal 3
Perusahaan Terbuka wajib mengungkapkan informasi
mengenai penerapan atas rekomendasi dalam Pedoman Tata
Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada laporan
tahunan Perusahaan Terbuka.
Pasal 4
Pengungkapan penerapan Pedoman Tata Kelola sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, paling sedikit memuat:
a. pernyataan
mengenai telah dilaksanakannya
rekomendasi dalam Pedoman Tata Kelola sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2); dan/atau
b. penjelasan atas belum dilaksanakannya rekomendasi
dalam Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2), yang paling sedikit memuat:
1. alasan belum diterapkannya; dan
2. alternatif pelaksanaannya (jika ada).
- 4 -
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 5
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi
administratif terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis; dan
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
Pasal 6
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 kepada masyarakat.
- 5 -
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan lainnya
yang mengatur ketentuan mengenai pedoman tata kelola bagi
Perusahaan Terbuka yang berbeda dengan ketentuan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, berlaku ketentuan
yang mengatur lebih ketat.
Pasal 9
Kewajiban mengungkapkan informasi mengenai penerapan atas
rekomendasi dalam Pedoman Tata Kelola dalam laporan tahunan
Perusahaan Terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
mulai berlaku untuk laporan tahunan Perusahaan Terbuka
dengan periode yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2016.
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada saat
diundangkan.
Agar
setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 November 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 276
ttd
Sudarmaji
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 21 /POJK.04/2015
TENTANG
PENERAPAN PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN TERBUKA
I. UMUM
Dalam rangka mendorong Perusahaan Terbuka untuk menerapkan
tata kelola perusahaan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan telah mengatur
tata kelola perusahaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang wajib dilaksanakan. Namun demikian, tata kelola
perusahaan yang telah diatur tersebut belum mencakup semua aspek tata
kelola perusahaan, karena tidak semua aspek tata kelola dapat diterapkan
sama untuk seluruh Perusahaan Terbuka sementara kegiatan usahanya
di sektor, jenis industri, ukuran berbeda serta kompleksitas
perusahaannya pun berbeda. Memperhatikan hal tersebut, maka dalam
Peraturan ini diatur penerapan Pedoman Tata Kelola perusahaan yang
belum atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang terkait dengan tata kelola perusahaan yang baik,
namun sudah seharusnya atau selayaknya diterapkan oleh Perusahaan
Terbuka dalam bentuk Pedoman Tata Kelola yang pelaksanaannya
dilakukan melalui pendekatan “Terapkan atau Jelaskan” (Comply or
Explain). Pengaturan tata kelola perusahaan dengan pendekatan tersebut
diharapkan dapat
mendorong
Perusahaan Terbuka
untuk
menginternalisasikan praktik-praktik tata kelola perusahaan yang baik.
Peningkatan penerapan tata kelola perusahaan oleh Perusahaan Terbuka
juga sangat diperlukan dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) 2015, sehingga tingkat tata kelola Perusahaan Terbuka setidaknya
- 2 -
dapat disejajarkan dengan tata kelola perusahaan di negara ASEAN
lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. Penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan
b. Penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5765
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 21/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title>
<set_date> 16 November 2015 </set_date>
<effective_date> 17 November 2015 </effective_date>
<issued_date> 17 November 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 45 /POJK.04/2016
TENTANG
PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI PERUSAHAAN EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk pengaturan mengenai
pengawasan terhadap wakil dan pegawai Perusahaan
Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian terkait pengaturan mengenai pengawasan
terhadap wakil dan pegawai Perusahaan Efek, peraturan
mengenai pengawasan terhadap wakil dan pegawai
Perusahaan Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengawasan
terhadap Wakil dan Pegawai Perusahaan Efek;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI
PERUSAHAAN EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara
Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi.
BAB II
PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI
PERUSAHAAN EFEK
Pasal 2
(1) Perusahaan Efek bertanggung jawab atas perilaku Wakil
Perusahaan Efek dan pegawai Perusahaan Efek.
(2) Setiap Perusahaan Efek wajib melakukan pengawasan
secara terus menerus terhadap semua Pihak yang
bekerja atau menjadi Wakil Perusahaan Efek tersebut.
Pasal 3
Direksi Perusahaan Efek wajib melakukan pengawasan atau
menunjuk wakil untuk melakukan pengawasan terhadap
- 3 -
Wakil Perusahaan Efek yang tidak menjadi anggota direksi
Perusahaan Efek dan semua pegawai Perusahaan Efek.
BAB III
SISTEM PENGAWASAN PERUSAHAAN EFEK
Pasal 4
Setiap Perusahaan Efek wajib mempunyai sistem pengawasan
atas kegiatan para Wakil Perusahaan Efek dan setiap
pegawainya untuk menjamin dipatuhinya semua ketentuan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
Pasal 5
Sistem pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
paling sedikit memuat hal sebagai berikut:
a. prosedur pengawasan yang dibuat secara tertulis antara
lain memuat:
1. wewenang dan tanggung jawab setiap Wakil
Perusahaan Efek dan pegawai Perusahaan Efek;
2. pembukaan atau penutupan rekening nasabah;
3. penanganan atas pengaduan nasabah;
4. pemeriksaan atas rekening nasabah; dan
5. pemeriksaan atas surat menyurat, pesanan dan
transaksi serta penyelesaiannya atas nama nasabah;
dan
b. mekanisme pengawasan yang pelaksanaannya dilakukan
oleh 1 (satu) atau lebih pengawas untuk:
1. secara berkala mengawasi dan meninjau kegiatan
Wakil Perusahaan Efek dan pegawai Perusahaan
Efek; dan
2. secara berkala memeriksa setiap unit kerja
Perusahaan Efek untuk memastikan bahwa
prosedur sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dijalankan.
- 4 -
Pasal 6
Pembukaan atau penutupan rekening nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a angka 2, harus memperoleh
persetujuan tertulis dari pengawas.
Pasal 7
Pemeriksaan atas rekening nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a angka 4, harus sering dilakukan untuk
mencegah ketidakberesan atau penyalahgunaan.
Pasal 8
Pemeriksaan atas surat menyurat, pesanan, dan transaksi
nasabah oleh Wakil Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a angka 5, harus dilakukan secara terus
menerus untuk mencegah ketidakberesan atau
penyalahgunaan oleh Wakil Perusahaan Efek dan pegawai
Perusahaan Efek, seperti transaksi untuk kepentingan sendiri.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 9
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
- 5 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama
dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 10
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 11
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-27/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Pengawasan Terhadap Wakil dan Pegawai Perusahaan Efek,
beserta Peraturan Nomor V.D.1 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 6 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
Oktober
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
Ok
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 274
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 45 /POJK.04/2016
TENTANG
PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI PERUSAHAAN EFEK
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan
penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait
sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal
menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud
dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor
Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Pengawasan terhadap Wakil dan Pegawai
Perusahaan Efek yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: KEP-27/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pengawasan
terhadap Wakil dan Pegawai Perusahaan Efek beserta Peraturan Nomor
V.D.1 yang merupakan lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa
- 2 -
Keuangan tentang Pengawasan terhadap Wakil dan Pegawai Perusahaan
Efek.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Wakil Perusahaan Efek terdiri atas Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil
Perantara Pedagang Efek, dan Wakil Manajer Investasi.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5970
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 45/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI PERUSAHAAN EFEK </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-27/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-27/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | lampiran Peraturan Nomor V.D.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 24/POJK.04/2014
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka profesionalisme serta
perlindungan nasabah, Manajer Investasi perlu
meningkatkan kualitas fungsi-fungsi Manajer
Investasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER
INVESTASI.
BAB I...
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan
usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para
nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif
untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan
asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan
sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Wakil Manajer Investasi adalah orang perseorangan
yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Manajer Investasi.
3. Komite Investasi adalah komite yang bertugas
mengarahkan dan mengawasi Tim Pengelola
Investasi dalam menjalankan kebijakan dan strategi
investasi.
4. Tim Pengelola Investasi adalah tim yang bertugas
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
portofolio investasi kolektif untuk kepentingan
sekelompok nasabah.
5. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan
metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko
yang timbul dari kegiatan usaha Manajer Investasi.
BAB II
FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI
Pasal 2
Dalam melakukan kegiatannya, Manajer Investasi wajib
mempunyai dan melaksanakan fungsi-fungsi sebagai
berikut...
- 3 -
berikut:
a. fungsi investasi dan riset;
b. fungsi perdagangan;
c. fungsi penyelesaian transaksi Efek;
d. fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit
internal;
e. fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan
nasabah;
f. fungsi teknologi informasi;
g. fungsi akuntansi dan keuangan; dan
h. fungsi pengembangan sumber daya manusia.
Pasal 3
(1) Manajer Investasi wajib memisahkan pelaksanaan
fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a dari fungsi perdagangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b,
fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan fungsi
manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d.
(2) Koordinator dan pegawai yang melaksanakan salah
satu fungsi dari keempat fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang merangkap sebagai
koordinator dan pegawai pada ketiga fungsi lainnya.
(3) Anggota direksi dilarang bertindak sebagai
koordinator fungsi investasi dan riset sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, fungsi
perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b, dan/atau fungsi penyelesaian transaksi
Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c.
(4) Anggota direksi yang bertindak sebagai koordinator
fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit
internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf d...
- 4 -
huruf d dilarang merangkap sebagai koordinator
fungsi lainnya.
Pasal 4
Manajer Investasi wajib memiliki prosedur operasi
standar atas pelaksanaan fungsi-fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan memastikan prosedur
operasi standar dipatuhi dan dilaksanakan oleh
koordinator dan semua pegawai yang melaksanakan
fungsi-fungsi tersebut.
Pasal 5
Dalam hal kegiatan usaha Manajer Investasi dilakukan
dalam satu Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek maka:
a. prosedur operasi standar pelaksanaan fungsi-fungsi
Manajer Investasi wajib terpisah dari prosedur
operasi standar pelaksanaan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek; dan
b. pelaksanaan fungsi riset, fungsi manajemen risiko,
kepatuhan, dan audit internal, fungsi akuntansi
dan keuangan, fungsi teknologi informasi dan/atau
fungsi pengembangan sumber daya manusia pada
kegiatan usaha Manajer Investasi dan Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek
dapat dilaksanakan oleh satu unit kerja yang
melaksanakan fungsi tersebut.
BAB III
PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI
Bagian Kesatu
Fungsi Investasi dan Riset
Pasal 6
Pelaksanaan fungsi investasi dan riset wajib dikoordinir
oleh pegawai yang memiliki izin Wakil Manajer Investasi
dan...
- 5 -
dan pengalaman kerja di bidang pengelolaan investasi
paling kurang 3 (tiga) tahun.
Pasal 7
Dalam melaksanakan fungsi investasi, koordinator
fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 bertanggung jawab:
a. membuat keputusan investasi yang terbaik untuk
kepentingan nasabah;
b. membuat dan memelihara catatan dan/atau kertas
kerja dalam rangka pengambilan keputusan
investasi untuk kepentingan nasabah;
c. melakukan analisa kinerja produk investasi secara
periodik;
d. memastikan kesesuaian antara keputusan investasi
yang diambil dengan:
1. kebijakan dan strategi investasi yang telah
ditetapkan dalam perjanjian pengelolaan
Portofolio Efek untuk para nasabah atau
portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah; dan
2. kebijakan dan strategi investasi yang telah
ditetapkan oleh Komite Investasi;
e. memastikan setiap keputusan investasi yang
diambil dilakukan atas pertimbangan yang rasional
serta didukung oleh hasil riset yang cukup; dan
f. menerapkan prinsip kehati-hatian dan Manajemen
Risiko antara lain dengan:
1. memperhatikan risiko investasi yang mungkin
terjadi serta tindakan yang akan dilakukan jika
risiko investasi tersebut terjadi; dan
2. adanya pembagian kewenangan yang jelas
dalam menentukan jumlah transaksi.
Pasal 8...
- 6 -
Pasal 8
(1) Fungsi investasi dilakukan oleh Tim Pengelola
Investasi yang paling kurang terdiri dari 2 (dua)
orang yang meliputi ketua dan anggota tim.
(2) Ketua dan anggota Tim Pengelola Investasi wajib
memiliki izin Wakil Manajer Investasi dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) Tim Pengelola Investasi dilarang merangkap sebagai
koordinator atau pelaksana fungsi perdagangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b,
fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dan/atau fungsi
manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d.
Pasal 9
(1) Pelaksanaan fungsi investasi didasarkan atas
arahan Komite Investasi.
(2) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang yang
memiliki pengalaman di bidang Pasar Modal
dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun.
(3) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib:
a. menetapkan kebijakan dan strategi investasi;
dan
b. mengawasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan
investasi yang dilakukan oleh Tim Pengelola
Investasi.
(4) Anggota Komite Investasi dilarang:
a. merangkap sebagai koordinator dan pelaksana
fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b, fungsi penyelesaian
transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf c, serta fungsi manajemen risiko,
kepatuhan...
- 7 -
kepatuhan, dan audit internal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf d; dan/atau
b. merangkap menjadi anggota Tim Pengelola
Investasi untuk 1 (satu) produk investasi yang
sama.
Pasal 10
Dalam melaksanakan fungsi riset, koordinator fungsi
investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 bertanggung jawab:
a. melakukan riset dan analisa kondisi makro ekonomi
serta sektor industri;
b. melakukan riset dan analisa tentang Efek dalam
portofolio investasi yang menjadi dan/atau yang
akan dijadikan sebagai portofolio investasi; dan
c. membuat dan mendokumentasikan catatan serta
laporan hasil riset.
Bagian Kedua
Fungsi Perdagangan
Pasal 11
Pelaksanaan fungsi perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. pelaksanaan fungsi perdagangan wajib dikoordinir
oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai
yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dari
Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai
pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau
keuangan paling kurang 2 (dua) tahun;
b. koordinator fungsi perdagangan bertanggung jawab:
1. melakukan transaksi atas Efek yang telah
ditentukan oleh fungsi investasi pada harga dan
waktu terbaik untuk kepentingan nasabah; dan
2. melakukan koordinasi dengan koordinator
fungsi...
- 8 -
fungsi investasi dan riset dalam rangka
pemilihan Perantara Pedagang Efek dengan
mempertimbangkan antara lain biaya yang
dibebankan dan pelayanan yang diberikan oleh
Perantara Pedagang Efek tersebut.
Bagian Ketiga
Fungsi Penyelesaian Transaksi Efek
Pasal 12
Pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek
wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang
merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil
Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan dan
mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal
dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun;
b. koordinator fungsi penyelesaian transaksi Efek
bertanggung jawab:
1. melakukan rekonsiliasi atas data-data transaksi
kepada pihak-pihak terkait seperti Perantara
Pedagang Efek dan Bank Kustodian; dan
2. melakukan pengecekan silang atas data-data
yang ada pada administrasi Efek dalam
portofolio Reksa Dana atau produk yang dikelola
Manajer Investasi.
Bagian Keempat
Fungsi Manajemen Risiko, Kepatuhan, dan Audit Internal
Pasal 13
(1) Pelaksanaan fungsi manajemen risiko, kepatuhan,
dan audit internal wajib dikoordinir oleh seorang
koordinator yang merupakan pimpinan unit kerja,
anggota direksi atau pejabat setingkat di bawah
direksi.
(2) Koordinator...
- 9 -
(2) Koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan,
dan audit internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib:
a. memiliki izin Wakil Manajer Investasi dari
Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai
pengalaman kerja menduduki jabatan manajerial
pada institusi yang bergerak di bidang Pasar
Modal dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga)
tahun;
b. ditetapkan sebagai bagian dari struktur
organisasi Manajer Investasi dan memiliki alur
pertanggungjawaban langsung kepada dewan
komisaris; dan
c. bertindak secara independen dan memiliki akses
yang tidak terbatas terhadap fungsi Manajer
Investasi lainnya terkait dengan tugasnya untuk
memastikan kepatuhan pelaksanaan fungsi-
fungsi Manajer Investasi.
Pasal 14
Dalam melaksanakan fungsi manajemen risiko,
koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan
audit internal bertanggung jawab:
a. menyusun strategi Manajemen Risiko;
b. memperbaharui strategi Manajemen Risiko, jika:
1. terjadi perubahan dan/atau penambahan
kegiatan Manajer Investasi; dan/atau
2. terdapat peraturan baru dan/atau perubahan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau
peraturan lainnya yang terkait;
c. memantau dan menelaah secara berkala
pelaksanaan strategi Manajemen Risiko;
d. memantau posisi risiko secara keseluruhan dan per
jenis risiko; dan
e. menerapkan...
- 10 -
e. menerapkan Manajemen Risiko secara efektif dan
disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas
usaha serta kemampuan Manajer Investasi.
Pasal 15
Penerapan fungsi manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf c wajib dilakukan
berdasarkan strategi Manajemen Risiko yang paling
kurang memuat:
a. pengidentifikasian semua risiko yang mungkin
timbul dalam kegiatan Manajer Investasi;
b. penjelasan mengenai penyebab dari timbulnya
risiko-risiko tersebut;
c. pengidentifikasian kemungkinan terjadinya risiko-
risiko tersebut;
d. penjelasan tentang implikasi atas terjadinya risiko-
risiko tersebut; dan
e. langkah-langkah yang wajib dilakukan apabila
risiko-risiko tersebut terjadi.
Pasal 16
Dalam melaksanakan fungsi kepatuhan, koordinator
fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
bertanggung jawab:
a. memastikan kepatuhan Manajer Investasi terhadap
peraturan perundang-undangan;
b. bertindak sebagai pihak penghubung (liason officer)
dengan Otoritas Jasa Keuangan;
c. menyusun strategi kepatuhan;
d. memperbaharui strategi kepatuhan, jika:
1. terjadi perubahan dan/atau penambahan
kegiatan Manajer Investasi; dan/atau
2. terdapat peraturan baru dan/atau perubahan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau
peraturan lainnya yang terkait;
e. menyebarluaskan...
- 11 -
e. menyebarluaskan dan mensosialisasikan manual
kepatuhan, kebijakan, prosedur, dan informasi lain
terkait kepatuhan kepada para pihak terkait di
lingkungan Manajer Investasi;
f. melakukan
pengawasan
dan memastikan
pelaksanaan rencana kelangsungan usaha (business
continuity plan) sesuai dengan kebijakan yang telah
ditetapkan perusahaan;
g. memastikan pegawai memperoleh pelatihan dan
pendidikan yang terkait dengan kepatuhan;
h. menyusun dan menyampaikan rencana kerja
tahunan fungsi kepatuhan kepada Dewan Komisaris
yang memuat kegiatan dan jadwal pelaksanaan
kegiatan fungsi kepatuhan;
i. menyusun dan menyampaikan laporan tengah
tahunan dan laporan tahunan atas pelaksanaan
fungsi kepatuhan kepada Dewan Komisaris; dan
j. menyampaikan laporan insidental kepada Dewan
Komisaris jika menemukan adanya dugaan
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal yang dilakukan oleh Manajer
Investasi dan/atau nasabahnya paling lambat
2 (dua) hari kerja sejak ditemukannya dugaan
pelanggaran.
Pasal 17
Tugas dan tanggung jawab fungsi kepatuhan wajib
ditetapkan dalam pakta (charter) tertulis yang mengikat
fungsi-fungsi Manajer Investasi.
Pasal 18
Dalam melaksanakan fungsi audit internal, koordinator
fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
bertanggung jawab memastikan pelaksanaan fungsi-
fungsi Manajer Investasi sesuai dengan prosedur dan
kebijakan tertulis/prosedur operasi standar.
Pasal 19...
- 12 -
Pasal 19
Dalam melaksanakan fungsi audit internal, koordinator
fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal
wajib:
a. membuat perencanaan, pengendalian, dan
pencatatan semua pelaksanaan kegiatan audit
internal;
b. membuat pencatatan semua temuan, kesimpulan,
dan rekomendasi dari pelaksanaan kegiatan audit
internal; dan
c. menyusun laporan audit internal setelah
pelaksanaan setiap audit internal
disampaikan kepada Dewan Komisaris.
Bagian Kelima
Fungsi Pemasaran dan Penanganan Pengaduan Nasabah
Pasal 20
Pelaksanaan fungsi pemasaran dan penanganan
pengaduan nasabah wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. pelaksanaan fungsi pemasaran dan penanganan
pengaduan nasabah wajib dikoordinir oleh seorang
koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki
izin Wakil Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa
Keuangan serta mempunyai pengalaman kerja di
bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling
kurang 2 (dua) tahun;
b. pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran Efek
Reksa Dana wajib memiliki izin Wakil Perusahaan
Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana;
c. pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran jasa
pengelolaan portofolio investasi kolektif selain Reksa
Dana dan jasa pengelolaan investasi wajib memiliki
izin Wakil Perusahaan Efek;
d. dalam...
untuk
- 13 -
d. dalam hal fungsi pemasaran dan penanganan
pengaduan nasabah tidak dilaksanakan dalam satu
kesatuan fungsi maka:
1. fungsi pemasaran dikoordinir oleh seorang
koordinator yang merupakan pegawai yang
memiliki izin Wakil Perusahan Efek dari Otoritas
Jasa Keuangan serta mempunyai pengalaman
kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan
paling kurang 2 (dua) tahun; dan
2. fungsi penanganan pengaduan nasabah
dikoordinir oleh seorang koordinator yang
merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil
Perusahan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana dari Otoritas Jasa Keuangan serta
mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar
Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua)
tahun.
3. koordinator fungsi pemasaran bertanggung
jawab untuk mengkoordinir:
a) proses pembukaan rekening Reksa Dana,
portofolio investasi kolektif selain Reksa
Dana, dan jasa pengelolaan investasi
nasabah dengan memperhatikan kebijakan
dan prosedur yang ditetapkan dalam rangka
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; dan
b) kegiatan pemasaran produk investasi secara
benar dan profesional dengan menerapkan
ketentuan mengenai profil risiko nasabah
dan ketentuan terkait lainnya.
4. koordinator fungsi penanganan pengaduan
nasabah bertanggung jawab untuk
mengkoordinir:
a) penerimaan dan pengadministrasian
pengaduan nasabah;
b) penanganan dan tindak lanjut pengaduan
nasabah...
- 14 -
nasabah; dan
c) pengadministrasian hasil penanganan dan
tindak lanjut pengaduan nasabah.
Bagian Keenam
Fungsi Teknologi Informasi
Pasal 21
Pelaksanaan fungsi teknologi informasi wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan fungsi teknologi informasi dikoordinir
oleh seorang koordinator yang merupakan anggota
direksi atau pegawai yang mempunyai pengalaman
kerja dalam bidang teknologi informasi paling
kurang 1 (satu) tahun;
b. Koordinator
fungsi
teknologi
informasi
bertanggungjawab untuk:
1. melakukan reviu dan pemeliharaan sistem
teknologi informasi secara berkala untuk
memastikan:
a) sistem
teknologi
mendukung kegiatan operasional Manajer
Investasi agar berjalan dengan baik; dan
b) sistem teknologi informasi yang digunakan
telah sesuai dengan kebutuhan untuk
kegiatan pelaporan secara elektronik kepada
Otoritas Jasa Keuangan agar kegiatan
pelaporan dapat terlaksana sesuai dengan
ketentuan; dan
2. melakukan penyimpanan cadangan data (back-
up) secara periodik.
Bagian Ketujuh
Fungsi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pasal 22
Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya
manusia...
informasi dapat
- 15 -
manusia wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya
manusia dikoordinir oleh seorang koordinator yang
merupakan anggota direksi atau pegawai yang
memiliki pengalaman kerja dalam bidang sumber
daya manusia paling kurang 1 (satu) tahun;
b. koordinator fungsi pengembangan sumber daya
manusia bertanggung jawab:
1. menyusun dan melaksanakan program pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan teknis dan
kepatuhan pegawai terhadap kode etik dan
standar perilaku pegawai;
2. melakukan prosedur penyaringan (screening)
dalam rangka penerimaan pegawai baru sesuai
prosedur operasi standar dan ketentuan yang
berlaku; dan
3. memelihara catatan dan dokumen yang
berkaitan dengan fungsi pengembangan sumber
daya manusia, termasuk namun tidak terbatas
pada dokumen terkait pelatihan dan
administrasi kepegawaian.
Bagian Kedelapan
Fungsi Akuntansi dan Keuangan
Pasal 23
Pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan
dikoordinir oleh seorang koordinator yang
merupakan anggota direksi atau pegawai yang
memiliki pengalaman kerja di bidang akuntansi dan
keuangan paling kurang 1 (satu) tahun;
b. koordinator fungsi akuntansi dan keuangan
bertanggung jawab:
1. merencanakan...
- 16 -
1. merencanakan dan mengelola aktivitas
akuntansi dan keuangan; dan
2. memastikan laporan keuangan tahunan, laporan
keuangan tengah tahunan, laporan kegiatan
bulanan Manajer Investasi, laporan Modal Kerja
Bersih Disesuaikan dan laporan lainnya yang
disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan telah
disusun berdasarkan data yang akurat dan
sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan serta
Standar Akuntansi Keuangan.
BAB IV
PENGALIHAN PELAKSANAAN FUNGSI
Pasal 24
Manajer Investasi dapat mengalihkan pelaksanaan
fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan
sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan
keuangan kepada penyedia jasa yang berbentuk badan
hukum dengan tetap memperhatikan ketentuan yang
terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 25
Dalam hal Manajer Investasi mengalihkan fungsi-fungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Manajer
Investasi bertanggung jawab terhadap perilaku dan
kegiatan yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
menerima pengalihan fungsi-fungsi dari Manajer
Investasi dimaksud.
Pasal 26
Manajer Investasi yang melakukan pengalihan
pelaksanaan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 wajib memastikan bahwa penyedia jasa
yang menerima pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi
tersebut adalah profesional yang mempunyai standar
kapasitas...
- 17 -
kapasitas dan kapabilitas untuk melaksanakan fungsi
serta mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan
perjanjian pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi.
Pasal 27
Manajer Investasi wajib memiliki dan melaksanakan
prosedur operasi standar untuk mengawasi perilaku dan
kegiatan penyedia jasa yang menerima pengalihan
fungsi-fungsi Manajer Investasi.
Pasal 28
Penyerahan pelaksanaan fungsi teknologi informasi,
fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta
fungsi akuntansi dan keuangan hanya dapat dilakukan
kepada penyedia jasa dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Manajer Investasi wajib melaporkan informasi
tentang rencana penyerahan pelaksanaan fungsi
teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber
daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
format laporan rencana penyerahan pelaksanaan
fungsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
b. Sebelum menunjuk penyedia jasa untuk
melaksanakan fungsi teknologi informasi, fungsi
pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi
akuntansi dan keuangan, Manajer Investasi wajib
melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap
penyedia jasa yang mencakup, antara lain:
1. kemampuan penyedia jasa dalam melaksanakan
fungsi-fungsi Manajer Investasi;
2. kemampuan penyedia jasa memenuhi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian;
3. faktor-faktor operasional dan kemampuan
keuangan secara kualitatif dan kuantitatif;
4. faktor...
- 18 -
4. faktor reputasi;
5. cakupan asuransi oleh penyedia jasa (jika ada);
6. adanya potensi benturan kepentingan
khususnya bila penyedia jasa bergerak di bidang
usaha yang sama; dan
7. kemampuan dan kecukupan sumber daya yang
dimiliki penyedia jasa, apabila memiliki
perjanjian penyerahan pelaksanaan fungsi
Manajer Investasi kepada Penyedia jasa
(outsourcing) dengan beberapa Pihak.; dan
c. Manajer Investasi wajib melakukan reviu secara
berkala atas fungsi yang dijalankan oleh penyedia
jasa untuk memastikan fungsi tersebut telah
dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan
prosedur operasi standar pelaksanaan fungsi-fungsi
dimaksud.
d. Manajer Investasi wajib memiliki perjanjian tertulis
dengan penyedia jasa, yang paling kurang
mencakup:
1. nama pihak;
2. ruang lingkup, syarat-syarat, dan kondisi fungsi
Manajer Investasi yang pelaksanaannya
diserahkan kepada penyedia jasa;
3. tanggung jawab Manajer Investasi dan penyedia
jasa serta pengawasan atas pelaksanaan
tanggung jawab tersebut;
4. standar layanan jasa dan mekanisme untuk
memastikan bahwa standar tersebut dapat
dipenuhi setiap saat;
5. kerahasiaan dan keamanan informasi;
6. tanggung jawab terkait dengan keamanan sistem
teknologi informasi;
7. pelaporan penyedia jasa kepada Manajer
Investasi;
8. pertanggungjawaban...
- 19 -
8. pertanggungjawaban dari penyedia jasa kepada
Manajer Investasi atas pelayanan yang tidak
memuaskan atau pelanggaran-pelanggaran
lainnya atas perjanjian;
9. jaminan atas kualitas layanan jasa dan ganti
rugi;
10. kewajiban penyedia jasa, setiap saat jika
diminta, untuk menyediakan setiap catatan,
informasi dan/atau bantuan berkaitan fungsi-
fungsi Manajer Investasi yang dilaksanakannya
kepada Manajer Investasi yang menunjuk
penyedia jasa, auditor Manajer Investasi
dimaksud, dan/atau Otoritas Jasa Keuangan;
11. larangan bagi penyedia jasa untuk menunjuk
pihak ketiga (sub kontrak) dalam menjalankan
kewajibannya;
12. ketentuan-ketentuan tentang keberlangsungan
fungsi Manajer Investasi dalam hal penyedia jasa
mengalami kondisi darurat sehingga tidak dapat
menjalankan fungsinya;
13. pengakhiran perjanjian, yang meliputi antara
lain transfer informasi dan langkah-langkah
pemutusan perjanjian, serta prosedur transisi;
dan
14. mekanisme untuk menyelesaikan perselisihan
yang timbul antara Manajer Investasi dengan
penyedia jasa.
e. Manajer Investasi wajib memastikan penyedia jasa
menjaga kerahasiaan informasi yang diterima dari
Manajer Investasi.
f. Manajer Investasi pada hari kerja berikutnya wajib
melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila
penyedia jasa tidak dapat melakukan kewajibannya.
g. Manajer Investasi wajib memastikan Otoritas Jasa
Keuangan…
- 20 -
Keuangan setiap saat dapat mengakses pembukuan,
catatan dan dokumen penyedia jasa berkaitan
dengan penyerahan pelaksanaan fungsi Manajer
Investasi kepada penyedia jasa.
h. Manajer Investasi hanya dapat menunjuk penyedia
jasa yang kegiatan operasionalnya berlokasi di
Indonesia.
BAB V
KEWAJIBAN PELAPORAN
Pasal 29
(1) Manajer Investasi wajib menyampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan laporan sebagai berikut:
a. laporan rencana kerja tahunan fungsi
kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf h sesuai dengan format laporan
rencana kerja tahunan fungsi kepatuhan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling
lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah
berakhirnya bulan Desember;
b. laporan tengah tahunan atas pelaksanaan fungsi
kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 huruf i sesuai dengan format laporan tengah
tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling
lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah
berakhirnya bulan Juni;
c. laporan tahunan atas pelaksanaan fungsi
kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huruf i sesuai dengan format laporan
tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan.
..
- 21 -
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling
lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah
berakhirnya bulan Desember; dan
d. laporan insidental, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf j sesuai dengan format
laporan insidental sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak diketahuinya peristiwa tersebut.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, dan huruf c jatuh pada hari libur, laporan
tersebut wajib disampaikan paling lambat pada
1 (satu) hari kerja berikutnya.
BAB VI
SANKSI
Pasal 30
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana
di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi administratif
terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)...
- 22 -
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, atau
huruf e.
Pasal 31
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 32
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) dan tindakan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada
masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Manajer Investasi wajib menyesuaikan dan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 6 (enam)
bulan sejak diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis
fungsi...
- 23 -
fungsi-fungsi Manajer Investasi yang belum diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 35
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-480/BL/2009
tanggal 31 Desember 2009 tentang Pedoman
Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi beserta
Peraturan Nomor V.D.11 yang merupakan lampirannya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 359
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 4/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PENAGIHAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DI SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 1 April 2014 </set_date>
<effective_date> 1 April 2014 </effective_date>
<issued_date> 1 April 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-21/PM/1999|KEPTA-BAPEPAM/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '11/PP/2014' </related_reg>
<penalty_list> '4/POJK.04/2014' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 46 /POJK.03/2017
TENTANG
PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank semakin
meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi
informasi, globalisasi, dan integrasi pasar keuangan;
b. bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank memberikan
dampak yang sangat besar terhadap eksposur risiko yang
dihadapi oleh bank sehingga diperlukan upaya untuk
memitigasi risiko kegiatan usaha bank;
c. bahwa untuk memitigasi risiko kegiatan usaha bank
diperlukan berbagai upaya baik yang bersifat preventif
(ex-ante) maupun kuratif (ex-post);
d. bahwa upaya yang bersifat preventif (ex-ante) dapat
ditempuh dengan mematuhi berbagai kaidah perbankan
yang berlaku untuk mengurangi atau memperkecil risiko
kegiatan usaha bank;
e. bahwa untuk mewujudkan hal sebagaimana dimaksud
dalam huruf d diperlukan peningkatan peran dan fungsi
kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan yang ada pada
bank sehingga potensi risiko kegiatan usaha bank dapat
diantisipasi lebih dini;
- 2 -
f. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan
disektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali pelaksanaan
fungsi kepatuhan bank umum;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Direksi adalah:
a.
bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank
yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
- 4 -
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri adalah pimpinan kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri yaitu
pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di
bawah pemimpin kantor cabang.
3. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
- 5 -
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungsi pengawasan.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
5. Budaya Kepatuhan adalah nilai, perilaku, dan tindakan
yang mendukung terciptanya kepatuhan terhadap
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan, termasuk Prinsip
Syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah.
6. Fungsi Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau
langkah-langkah yang bersifat preventif (ex-ante) untuk
memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan
prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank
telah sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan,
termasuk Prinsip Syariah bagi bank umum syariah dan
unit usaha syariah, serta memastikan kepatuhan Bank
terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas pengawas lain
yang berwenang.
- 6 -
7. Risiko Kepatuhan adalah risiko yang timbul akibat Bank
tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan termasuk Prinsip
Syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Pasal 2
(1) Direksi wajib menumbuhkan dan mewujudkan
terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan
organisasi dan kegiatan usaha Bank.
(2) Direksi wajib memastikan terlaksananya Fungsi
Kepatuhan Bank.
(3) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan Fungsi Kepatuhan.
BAB II
FUNGSI KEPATUHAN BANK
Pasal 3
Fungsi Kepatuhan Bank meliputi tindakan untuk:
a. mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada
semua tingkatan organisasi dan kegiatan usaha Bank;
b. mengelola Risiko Kepatuhan yang dihadapi oleh Bank;
c. memastikan agar kebijakan, ketentuan, sistem, dan
prosedur serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank
telah sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan,
termasuk Prinsip Syariah bagi bank umum syariah dan
unit usaha syariah; dan
d. memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang
dibuat oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
Pasal 4
(1) Bank wajib memiliki direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan dan membentuk satuan kerja kepatuhan.
(2) Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dilaksanakan oleh satuan kerja kepatuhan.
- 7 -
Pasal 5
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan satuan
kerja kepatuhan pada bank umum syariah dan/atau bank
umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah wajib
berkoordinasi dengan dewan pengawas syariah terkait
pelaksanaan Fungsi Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah.
Pasal 6
(1) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif
terhadap Fungsi Kepatuhan, dengan:
a. mengevaluasi pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank
paling sedikit 2 (dua) kali dalam satu tahun; dan
b. memberikan saran untuk meningkatkan kualitas
pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank.
(2) Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Fungsi
Kepatuhan, Dewan Komisaris menyampaikan saran
untuk peningkatan kualitas pelaksanaan Fungsi
Kepatuhan kepada direktur utama dengan tembusan
kepada direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
BAB III
DIREKTUR YANG MEMBAWAHKAN FUNGSI KEPATUHAN
Bagian Pertama
Independensi dan Kriteria
Pasal 7
(1) Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib
memenuhi persyaratan independensi.
(2) Direktur utama dan/atau wakil direktur utama dilarang
merangkap jabatan sebagai direktur yang membawahkan
Fungsi Kepatuhan.
(3) Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dilarang
membawahkan fungsi:
a. bisnis dan operasional;
b. manajemen risiko yang melakukan pengambilan
keputusan pada kegiatan usaha Bank;
- 8 -
c. tresuri (treasury);
d. keuangan dan akuntansi;
e. logistik dan pengadaan barang atau jasa;
f. teknologi informasi; dan/atau
g. audit intern.
Pasal 8
Calon direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib
memiliki integritas dan pengetahuan yang memadai mengenai
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengangkatan, Pemberhentian, dan/atau Pengunduran Diri
Direktur yang Membawahkan Fungsi Kepatuhan
Pasal 9
(1) Pengangkatan, pemberhentian, dan/atau pengunduran
diri direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai bank umum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai bank umum
syariah.
(2) Dalam hal direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan berhalangan sementara sehingga tidak dapat
menjalankan tugas jabatannya selama lebih dari 7 (tujuh)
hari kerja berturut-turut, pelaksanaan tugas yang
bersangkutan wajib digantikan sementara oleh direktur
lain sampai dengan direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan dapat menjalankan tugas jabatannya
kembali.
(3) Dalam hal direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau
habis masa jabatannya, Bank wajib segera mengangkat
pengganti direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan, paling lama 6 (enam) bulan setelah direktur
- 9 -
yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan
tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya.
(4) Selama dalam proses penggantian direktur yang
membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank wajib menunjuk atau
menugaskan salah satu direktur lainnya untuk
sementara melaksanakan tugas direktur yang
membawahkan Fungsi Kepatuhan.
(5) Direktur yang melaksanakan tugas sementara sebagai
direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, baik
karena berhalangan sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) maupun berhalangan tetap,
mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus memenuhi
ketentuan mengenai rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan larangan
membawahkan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3).
(6) Dalam hal direktur lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) tidak ada, jabatan direktur yang membawahkan
Fungsi Kepatuhan dapat dirangkap sementara oleh
direktur lain yang membawahkan fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(7) Penggantian sementara jabatan direktur yang
membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) wajib dilaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Tugas dan Tanggung Jawab Direktur yang Membawahkan
Fungsi Kepatuhan
Pasal 10
(1) Tugas dan tanggung jawab direktur yang membawahkan
Fungsi Kepatuhan, wajib paling sedikit:
a. merumuskan strategi guna mendorong terciptanya
Budaya Kepatuhan Bank;
- 10 -
b. mengusulkan kebijakan kepatuhan atau prinsip-
prinsip kepatuhan yang akan ditetapkan oleh
Direksi;
c. menetapkan sistem dan prosedur kepatuhan yang
digunakan untuk menyusun ketentuan dan
pedoman internal Bank;
d. memastikan bahwa seluruh kebijakan, ketentuan,
sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang
dilakukan Bank telah sesuai dengan ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, termasuk Prinsip Syariah
bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah;
e. meminimalkan Risiko Kepatuhan Bank;
f.
melakukan tindakan pencegahan agar kebijakan
dan/atau keputusan yang diambil Direksi Bank atau
pimpinan kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri tidak menyimpang dari
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
g. melakukan tugas lain yang terkait dengan Fungsi
Kepatuhan.
(2) Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menghilangkan hak dan kewajiban direktur
yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagai anggota
Direksi Bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
mengenai Perseroan Terbatas, dalam hal diperlukan
keputusan terhadap perbuatan tertentu dari seluruh
anggota Direksi Bank.
Pasal 11
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib
melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada direktur
utama dengan tembusan kepada Dewan Komisaris, paling
sedikit secara triwulanan.
- 11 -
BAB IV
SATUAN KERJA KEPATUHAN
Bagian Pertama
Independensi dan Kriteria
Pasal 12
(1) Satuan kerja kepatuhan wajib independen.
(2) Pejabat dan staf di satuan kerja kepatuhan dilarang
ditempatkan pada posisi menghadapi benturan
kepentingan (conflict of interest) dalam melaksanakan
tanggung jawab Fungsi Kepatuhan.
(3) Satuan kerja kepatuhan pada bank umum konvensional
yang memiliki unit usaha syariah wajib didukung oleh
sumber daya manusia yang mempunyai pengetahuan
dan/atau pemahaman tentang operasional perbankan
syariah.
Pasal 13
Kepala satuan kerja kepatuhan wajib memenuhi kriteria
paling sedikit:
a. memenuhi persyaratan independensi;
b. menguasai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. tidak melaksanakan tugas lain di luar Fungsi Kepatuhan;
dan
d. memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan dan
mengembangkan Budaya Kepatuhan.
Pasal 14
Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala
satuan kerja kepatuhan wajib dilaporkan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
- 12 -
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab Satuan Kerja Kepatuhan
Pasal 15
Dalam melaksanakan Fungsi Kepatuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, tugas dan tanggung jawab satuan
kerja kepatuhan wajib paling sedikit:
a. membuat langkah untuk mendukung terciptanya Budaya
Kepatuhan pada seluruh kegiatan usaha Bank pada
setiap jenjang organisasi;
b. melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian terhadap Risiko Kepatuhan dengan
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi
bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi
bank umum syariah dan unit usaha syariah;
c.
menilai dan mengevaluasi efektivitas, kecukupan, dan
kesesuaian kebijakan, ketentuan, sistem maupun
prosedur yang dimiliki oleh Bank dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. melakukan kaji ulang dan/atau merekomendasikan
pengkinian dan penyempurnaan kebijakan, ketentuan,
sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh Bank agar
sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk
Prinsip Syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha
syariah;
e. melakukan upaya untuk memastikan bahwa kebijakan,
ketentuan, sistem dan prosedur, serta kegiatan usaha
Bank telah sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
f. melakukan tugas lain yang terkait dengan Fungsi
Kepatuhan.
- 13 -
BAB V
PELAPORAN
Pasal 16
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
tentang pelaksanaan tugasnya, meliputi:
a. rencana kerja kepatuhan yang dimuat dalam Rencana
Bisnis Bank;
b. laporan kepatuhan; dan
c. laporan khusus mengenai kebijakan dan/atau keputusan
Direksi yang menurut direktur yang membawahkan
Fungsi Kepatuhan telah menyimpang dari ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan, sebagai bagian dari tugas direktur
yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f.
Pasal 17
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b,
wajib ditandatangani oleh direktur yang membawahkan
Fungsi Kepatuhan, dan disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan secara semesteran dan diterima Otoritas
Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah periode
pelaporan berakhir dengan tembusan kepada Dewan
Komisaris dan direktur utama.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, laporan
kepatuhan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(3) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan
kepatuhan apabila laporan diterima Otoritas Jasa
Keuangan melampaui batas akhir waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi
belum melampaui 1 (satu) bulan setelah batas akhir
waktu penyampaian laporan.
- 14 -
(4) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan kepatuhan
apabila laporan tersebut belum diterima Otoritas Jasa
Keuangan setelah batas akhir waktu keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama
7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui oleh direktur yang
membawahkan Fungsi Kepatuhan mengenai adanya
penyimpangan.
BAB VI
ALAMAT PENYAMPAIAN PELAPORAN
Pasal 18
(1) Laporan pengangkatan, pemberhentian, atau
penggantian kepala satuan kerja kepatuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 disampaikan secara daring
(online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem
pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, Bank
menyampaikan laporan secara daring (online) dengan
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7)
dan Pasal 16, disampaikan secara luring (offline) kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau
Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang
berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau
b.
Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau
Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai
dengan wilayah tempat kedudukan kantor pusat
Bank.
- 15 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 19
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6 ayat (1),
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 9
ayat (4), Pasal 9 ayat (7), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan/atau Pasal 17 ayat
(1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan
peringkat faktor tata kelola dalam penilaian tingkat
kesehatan;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pemberhentian anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Anggota Tahunan
(RAT) koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
e. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
pegawai, dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar
pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Pasal 20
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu
keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp100.000.000,00
juta rupiah) per hari
- 16 -
(seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011
tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5187), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 22
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 17 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 152
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 46 /POJK.03/2017
TENTANG
PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM
I. UMUM
Kegiatan usaha Bank terus mengalami perubahan dan peningkatan
sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi, dan
integrasi pasar keuangan sehingga kompleksitas kegiatannya semakin
tinggi. Kompleksitas kegiatan usaha Bank yang semakin meningkat
tersebut mengakibatkan tantangan dan eksposur risiko yang dihadapi
juga semakin besar.
Melihat perkembangan tantangan dan risiko usaha Bank yang
semakin besar, diperlukan berbagai macam upaya untuk memitigasi
risiko tersebut. Upaya-upaya tersebut dapat bersifat preventif (ex-ante)
maupun kuratif (ex-post). Upaya yang bersifat preventif (ex-ante) sangat
diperlukan untuk mengurangi atau memperkecil potensi risiko kegiatan
usaha Bank yang diperkirakan akan terjadi. Oleh karena itu diperlukan
adanya peningkatan peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja
kepatuhan dalam pengelolaan Risiko Kepatuhan.
Pengelolaan Risiko Kepatuhan yang baik dan tepat waktu diharapkan
dapat meminimalisasi dampak risiko sedini mungkin. Dengan demikian
peran dan Fungsi Kepatuhan maupun satuan kerja kepatuhan ke depan
tidak hanya melihat suatu kejadian yang bersifat preventif (ex-ante)
melainkan juga harus mampu mengelola Risiko Kepatuhan agar sejalan
dengan penerapan manajemen risiko yang telah berjalan di Bank secara
keseluruhan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Khusus bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, pelaksanaan pengawasan terhadap Fungsi
Kepatuhan disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku
pada bank yang bersangkutan.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tindakan mengelola Risiko Kepatuhan dilaksanakan dengan
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank
umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak
memiliki hubungan keuangan, hubungan kepengurusan,
hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga sampai
derajat kedua dengan anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali atau
hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan
yang bersangkutan untuk bertindak independen sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penerapan tata kelola bagi bank umum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “fungsi bisnis” atau “fungsi
operasional” antara lain meliputi kegiatan penghimpunan
dana dan/atau penyaluran dana serta kegiatan keagenan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 8
Penilaian kriteria calon direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan serta ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai pemanfaatan
tenaga kerja asing dan program alih pengetahuan di sektor
perbankan.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berhalangan sementara” antara lain
cuti, sakit, dan/atau dinas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” antara lain
kehilangan kewarganegaraan Indonesia, meninggal dunia,
mengalami cacat fisik, mengalami cacat mental, dan/atau
kondisi lain yang tidak memungkinkan yang bersangkutan
untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kebijakan kepatuhan” adalah
prinsip yang dipergunakan untuk menyusun sistem,
- 5 -
prosedur, dan pedoman internal dalam rangka harmonisasi
antara kepentingan komersial Bank dengan ketaatan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Termasuk sebagai tindakan pencegahan antara lain
memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion)
dalam hal terdapat kebijakan dan/atau keputusan yang
menyimpang dari ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanggung
jawab direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan
dalam melakukan tindakan pencegahan terbatas pada
kewenangan direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “tugas lain yang terkait dengan
Fungsi Kepatuhan” antara lain adalah memantau dan
menjaga kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat
oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan maupun otoritas
pengawas lain yang berwenang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perbuatan tertentu” adalah perbuatan
yang terkait dengan aksi korporasi (corporate actions) antara lain
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, penambahan modal
dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (right
issue) dan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO).
Pasal 11
Bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
laporan disampaikan kepada pemimpin kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri dengan tembusan kepada pihak
yang berwenang mengawasi kantor cabang dari bank yang
- 6 -
berkedudukan di luar negeri, sesuai dengan struktur organisasi
bank.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “satuan kerja kepatuhan wajib
independen” adalah satuan kerja kepatuhan harus dibentuk
secara tersendiri dan bebas dari pengaruh satuan kerja lainnya,
serta mempunyai akses langsung kepada direktur yang
membawahkan Fungsi Kepatuhan.
Satuan kerja kepatuhan dibentuk di kantor pusat Bank namun
melaksanakan Fungsi Kepatuhan di seluruh jaringan kantor
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak
memiliki hubungan keuangan, hubungan kepengurusan,
hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga sampai
derajat kedua dengan anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali atau
hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan
yang bersangkutan untuk bertindak independen sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penerapan tata kelola bagi bank umum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 7 -
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 14
Laporan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala
satuan kerja kepatuhan mengacu pada ketentuan pelaporan bagi
pejabat eksekutif sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai bank umum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai bank umum syariah.
Pasal 15
Huruf a
Langkah-langkah untuk mendukung terciptanya Budaya
Kepatuhan antara lain pembuatan sistem, program, kerangka
pikir (frame work), compliance charter, kode etik kepatuhan
(compliance code of conduct), atau kebijakan kepatuhan
(compliance policy).
Huruf b
Dalam rangka melakukan proses pengelolaan Risiko Kepatuhan,
satuan kerja kepatuhan berkoordinasi dengan satuan kerja
manajemen risiko.
Huruf c
Terkait dengan tugas dan tanggung jawab ini, satuan kerja
kepatuhan dapat melakukan antara lain:
1. menilai rancangan kebijakan, ketentuan, sistem maupun
prosedur baru; dan
2. berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan kebijakan,
ketentuan, sistem maupun prosedur berdasarkan informasi
yang diperoleh.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “tugas lain yang terkait dengan Fungsi
Kepatuhan” antara lain:
- 8 -
1. memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang
dibuat oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
otoritas pengawas lain yang berwenang;
2. melakukan sosialisasi kepada seluruh pegawai Bank
mengenai hal-hal yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan
terutama mengenai ketentuan yang berlaku; dan/atau
3. bertindak sebagai narahubung (contact person) untuk
permasalahan kepatuhan Bank bagi pihak internal maupun
eksternal.
Pasal 16
Huruf a
Laporan rencana kerja kepatuhan paling sedikit terdiri atas:
a. rencana evaluasi pedoman internal; dan
b. rencana kegiatan untuk mendorong dan/atau memelihara
Budaya Kepatuhan, termasuk rencana sosialisasi
ketentuan.
Tata cara penyampaian rencana kerja kepatuhan yang dimuat
dalam Rencana Bisnis Bank dilaksanakan dengan mengacu
pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai rencana bisnis bank umum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai rencana bisnis bank umum
syariah dan unit usaha syariah.
Huruf b
Laporan kepatuhan paling sedikit terdiri atas:
a. pelaksanaan tugas Fungsi Kepatuhan;
b. Risiko Kepatuhan yang dihadapi;
c. potensi Risiko Kepatuhan yang diperkirakan dihadapi ke
depan; dan
d. mitigasi Risiko Kepatuhan yang telah dilaksanakan.
Laporan kepatuhan disajikan secara komparatif dalam 2 (dua)
periode laporan.
Huruf c
Laporan khusus direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan mengenai kebijakan dan/atau keputusan Direksi
yang menyimpang dari ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
- 9 -
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan paling
sedikit meliputi:
a. nama Direksi beserta bidang tugasnya;
b. tanggal pengambilan kebijakan atau keputusan kegiatan;
c. aktivitas penyimpangan yang dilakukan;
d. ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dilanggar; dan
e. dampak yang ditimbulkan untuk jangka pendek dan jangka
menengah baik secara finansial, gangguan terhadap
kelangsungan usaha, maupun penurunan reputasi Bank.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”hari libur” adalah hari libur nasional
yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau hari libur lokal
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Ayat (3)
Contoh:
Laporan kepatuhan periode bulan Januari sampai dengan bulan
Juni 2017, batas akhir waktu penyampaian laporan kepatuhan
adalah tanggal 31 Juli 2017.
Laporan kepatuhan tersebut dinyatakan terlambat disampaikan
apabila diterima Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 1 sampai
dengan tanggal 31 Agustus 2017.
Ayat (4)
Laporan kepatuhan dinyatakan tidak disampaikan apabila
sampai dengan tanggal 31 Agustus 2017 laporan kepatuhan
tidak diterima Otoritas Jasa Keuangan atau diterima Otoritas
Jasa Keuangan setelah tanggal 31 Agustus 2017.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengenaan sanksi administratif berupa denda tersebut tidak
menghapus kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6095
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 46/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '13/2/PBI/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 33 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
pedoman pengelolaan reksa dana berbentuk perseroan
beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pedoman pengelolaan
reksa dana berbentuk perseroan, ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai
pedoman pengelolaan reksa dana berbentuk perseroan
yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK
PERSEROAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang
kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual
saham dan selanjutnya dana dari penjualan saham
tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis efek yang
diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang.
2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
3.
Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh
pihak.
4. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang
menunjukkan bagian kepentingan setiap pihak dalam
portofolio investasi kolektif.
- 3 -
5. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan kegiatan usaha sebagai kustodian.
7. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha
bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
8. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
9. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten
dalam rangka Penawaran Umum atau perusahaan
publik.
10. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka.
11. Afiliasi adalah:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan
keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur,
atau komisaris dari Pihak tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana
terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan
komisaris yang sama;
d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik
langsung maupun tidak langsung, mengendalikan
atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;
- 4 -
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang
dikendalikan, baik langsung maupun tidak
langsung, oleh Pihak yang sama; atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham
utama.
BAB II
PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN
Pasal 2
Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah memperoleh izin
usaha wajib memenuhi ketentuan:
a. menugaskan Manajer Investasi yang telah memperoleh
izin usaha untuk mengelola investasi Reksa Dana
Berbentuk Perseroan dan melaksanakan kegiatan lainnya
yang diperlukan serta menunjang fungsinya sebagai
Manajer Investasi berdasarkan suatu
pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
kontrak
b. dalam hal Manajer Investasi menghentikan kegiatannya
atas pengelolaan suatu Reksa Dana Berbentuk Perseroan
dan tidak ada rencana yang dibuat untuk pengalihan
atas kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan atau pembuatan kontrak Reksa Dana
Berbentuk Perseroan baru, Reksa Dana Berbentuk
Perseroan wajib dibubarkan;
c. kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan
wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari
sebagian besar anggota direksi Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
d. semua pengalihan dari kontrak pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan wajib didasarkan pada persetujuan
sebagian besar anggota direksi;
e.
jabatan anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan
tidak diberikan kepada:
1. orang yang pernah dinyatakan pailit atau menjadi
anggota direksi atau anggota dewan komisaris yang
- 5 -
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit; dan
2. orang yang pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana di bidang pasar modal pada
khususnya atau di bidang keuangan pada
umumnya;
f.
setiap rencana pemutusan kontrak pengelolaan Reksa
Dana Berbentuk Perseroan wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan sebagian besar anggota direksi
dan pemutusan tersebut diberitahukan kepada para
pemegang saham dan Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 60 (enam puluh) hari atau dalam jangka waktu
yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum
pemutusan kontrak dimaksud; dan
g. Manajer Investasi wajib menyampaikan kepada direksi
semua laporan, catatan, dan informasi material dan
relevan lainnya, serta memberikan informasi lain yang
berhubungan dengan pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan yang diminta oleh direksi untuk menilai
kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
Pasal 3
Setiap perubahan kebijakan dasar yang dimuat dalam kontrak
pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau
penunjukan dan perubahan akuntan wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan sebagian besar anggota direksi, dan
perubahan tersebut diberitahukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan serta pemegang saham paling lambat 60 (enam
puluh) hari sebelum berlakunya perubahan tersebut.
Pasal 4
Otoritas Jasa Keuangan dapat menolak perubahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam jangka waktu 45
(empat puluh lima) hari sejak pemberitahuan tersebut
diterima.
- 6 -
Pasal 5
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak keberatan atas
perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
perubahan dimaksud dengan sendirinya berlaku pada hari
ke-61 (enam puluh satu) sejak tanggal diterimanya
pemberitahuan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 6
Direksi wajib mempertimbangkan dengan teliti, baik terhadap
calon profesi dan lembaga penunjang yang terkait dan
persyaratan kontrak yang diajukan sebelum menyetujui,
memperpanjang, atau menyetujui pengalihan dari setiap
kontrak untuk kepentingan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
Pasal 7
Direksi wajib:
a. melaksanakan pengawasan terus-menerus secara cermat
dan teliti terhadap Reksa Dana Berbentuk Perseroan,
termasuk pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan
oleh profesi dan lembaga penunjang terkait; dan
b. meminta kepada profesi dan lembaga penunjang yang
terkait semua dokumen, catatan, dan keterangan lain
yang diperlukan untuk menilai kinerja profesi dan
lembaga penunjang yang terkait tersebut.
Pasal 8
Direksi dalam mempertimbangkan penunjukan Manajer
Investasi paling sedikit wajib memperhatikan hal sebagai
berikut:
a. kemampuan Manajer Investasi;
b. biaya Manajer Investasi;
c.
d. setiap manfaat selain biaya pengelolaan yang dibayarkan
berdasarkan kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
jasa yang diberikan oleh Manajer Investasi selain jasa
pengelolaan; dan
- 7 -
Perseroan, yang diperoleh Manajer Investasi atau pihak
Afiliasi-nya.
Pasal 9
Semua kontrak serta perubahannya wajib dibuat secara
notariil.
Pasal 10
Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah memperoleh izin
usaha dan yang telah dinyatakan efektif hanya dapat
melakukan pembelian dan penjualan atas:
a. Efek yang telah dijual dalam Penawaran Umum dan/atau
dicatatkan di Bursa Efek baik di dalam maupun di luar
negeri;
b. instrumen pasar uang yang mempunyai jatuh tempo
kurang dari 1 (satu) tahun, meliputi:
1. sertifikat Bank Indonesia;
2. surat berharga pasar uang;
3. surat pengakuan utang;
4.
5.
sertifikat deposito baik dalam rupiah maupun dalam
mata uang asing; dan
obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia; dan
c. surat berharga komersial yang jatuh temponya di bawah
3 (tiga) tahun dan telah diperingkat oleh perusahaan
pemeringkat Efek.
Pasal 11
Dalam hal Pernyataan Pendaftaran saham Reksa Dana
Berbentuk Perseroan yang bersifat tertutup telah dinyatakan
efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan, saham Reksa Dana
Berbentuk Perseroan tersebut dapat dicatatkan di Bursa Efek.
Pasal 12
Manajer Investasi wajib memelihara semua catatan penting
yang berkaitan dengan laporan keuangan dan pengelolaan
- 8 -
Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagaimana ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
Dalam hal Reksa Dana Berbentuk Perseroan melakukan
Penawaran Umum berikutnya, Reksa Dana Berbentuk
Perseroan wajib:
a. mengumumkan secara harian nilai aktiva bersih dari
sahamnya selama masa Penawaran Umum; dan
b. menawarkan sahamnya pada harga yang sama atau lebih
besar dari nilai aktiva bersih per saham.
Pasal 14
Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib menghitung nilai
aktiva bersih per saham setiap hari bursa bagi Reksa Dana
Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka dan seminggu
sekali bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat
tertutup.
Pasal 15
Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan dilarang
melakukan tindakan yang dapat menyebabkan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan:
a. membeli Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar
negeri yang informasinya tidak dapat diakses melalui
media massa atau fasilitas internet yang tersedia;
b. membeli Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar
negeri yang informasinya dapat diakses melalui media
massa atau fasilitas internet yang tersedia lebih dari 15%
(lima belas persen) dari nilai aktiva bersih;
c. membeli Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh
perusahaan yang telah mencatatkan Efek-nya pada
Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen) dari
modal disetor perusahaan dimaksud;
d. membeli Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan
lebih dari 10% (sepuluh persen) dari nilai aktiva bersih
Reksa Dana Berbentuk Perseroan pada setiap saat,
- 9 -
dengan ketentuan pembatasan ini termasuk pemilikan
surat berharga yang dikeluarkan oleh bank tetapi tidak
termasuk sertifikat Bank Indonesia dan obligasi yang
diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia;
e. menjual saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang
bersifat terbuka kepada setiap pemodal lebih dari 2%
(dua persen) dari modal yang dikeluarkan, kecuali bagi
Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang
bersifat terbuka yang bersangkutan;
f. membeli Efek beragun aset lebih dari 10% (sepuluh
persen) dari nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk
Perseroan dengan ketentuan bahwa setiap jenis Efek
beragun aset tidak lebih dari 5% (lima persen) dari nilai
aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
g. membeli Efek yang tidak melalui Penawaran Umum
dan/atau tidak dicatatkan di Bursa Efek, kecuali Efek
pasar uang, obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia;
h. membeli Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi
baik dengan Manajer Investasi maupun pemegang Unit
Penyertaan lebih dari 20% (dua puluh persen) dari nilai
aktiva bersih, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi
karena penyertaan modal pemerintah;
i.
j.
terlibat dalam kegiatan selain dari investasi, investasi
kembali, atau perdagangan Efek;
terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki;
k. terlibat dalam membeli Efek secara margin;
l.
melakukan emisi obligasi atau sekuritas kredit;
m. terlibat dalam berbagai bentuk pinjaman, kecuali
pinjaman jangka pendek yang berkaitan dengan
penyelesaian transaksi dan pinjaman tersebut tidak lebih
dari 10% (sepuluh persen) dari nilai portofolio Reksa
Dana Berbentuk Perseroan pada saat pembelian;
n. membeli Efek yang sedang ditawarkan dalam Penawaran
Umum dimana Manajer Investasi bertindak sebagai
penjamin emisi dari Efek dimaksud;
- 10 -
o.
terlibat dalam transaksi bersama atau kontrak bagi hasil
dengan Manajer Investasi atau pihak Afiliasi-nya;
p. membayar dividen selain berasal dari laba;
q. membeli Efek beragun aset dimana Manajer Investasi-nya
sama dengan Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk
Perseroan dan/atau terafiliasi dengan kreditur awal Efek
beragun aset tersebut; atau
r. membeli Efek beragun aset yang tidak tercatat pada
Bursa Efek di Indonesia.
Pasal 16
Setelah memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan,
Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang
bersifat terbuka dapat menginstruksikan kepada Bank
Kustodian dan agen penjual untuk melakukan penundaan
pembelian kembali (pelunasan) apabila terjadi hal sebagai
berikut:
a. Bursa Efek di mana sebagian besar Portofolio Efek Reksa
Dana Berbentuk Perseroan diperdagangkan ditutup;
b. perdagangan Efek atas sebagian besar Portofolio Efek
Reksa Dana Berbentuk Perseroan di Bursa dihentikan;
c. keadaan darurat; atau
d. terdapat hal lain yang ditetapkan dalam kontrak
pengelolaan investasi setelah mendapat persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 17
Manajer Investasi atau pihak Afiliasi-nya dapat membeli atau
menjual saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang
bersifat tertutup yang dikelola oleh Manajer Investasi tersebut,
apabila nilai aktiva bersih dihitung, dinilai, dan diumumkan
setiap hari.
Pasal 18
Penjualan atau pembelian kembali saham (pelunasan) Reksa
Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka dapat
- 11 -
dilakukan melalui Bank Kustodian atau agen penjual yang
ditunjuk oleh Manajer Investasi.
Pasal 19
Manajer Investasi dilarang terafiliasi dengan Bank Kustodian.
Pasal 20
Pembayaran atas saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan
yang bersifat terbuka yang dijual kembali oleh pemodal
dilakukan sesegera mungkin, tidak lebih dari 7 (tujuh) hari
kerja sejak diminta penjualan kembali oleh pemegang saham.
Pasal 21
Nilai aktiva bersih awal untuk setiap saham dari Reksa Dana
Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka wajib ditetapkan
sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah).
Pasal 22
Laporan keuangan tahunan Reksa Dana Berbentuk Perseroan
wajib diperiksa oleh akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan serta disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
oleh Manajer Investasi paling lambat pada akhir bulan ketiga
setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir.
Pasal 23
Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib menerbitkan
pembaruan prospektus yang disertai laporan keuangan
tahunan terakhir serta disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan oleh Manajer Investasi paling lambat pada akhir
bulan ke-3 (ketiga) setelah tanggal laporan keuangan tahunan
berakhir.
Pasal 24
Dalam hal Reksa Dana Berbentuk Perseroan dibubarkan,
biaya konsultan hukum, akuntan, dan beban lain kepada
Pihak ketiga menjadi tanggung jawab dan wajib dibayar
Manajer Investasi kepada pihak yang bersangkutan.
- 12 -
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 25
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 26
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 13 -
Pasal 27
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-13/PM/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa
Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.3
yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 29
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 14 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 133
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 33 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Nomor Kep-13/PM/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.3 yang merupakan
lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Dalam praktiknya “penjualan atas Efek yang belum dimiliki”
dimaksud dikenal juga dengan sebutan short sale.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6080
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 33/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-13/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002', 'KEP-13/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.3' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 32 /POJK.04/2015
TENTANG
SALINAN
PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN
HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan Perusahaan
Terbuka dalam penambahan modal dengan memberikan Hak
Memesan Efek Terlebih Dahulu dan meningkatkan kualitas
keterbukaan informasi kepada masyarakat, perlu
menyempurnakan peraturan mengenai pelaksanaan
penambahan modal Perusahaan Terbuka yang memberikan
Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu kepada pemegang saham
dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka dengan
Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN
MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya
disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham
yang memberikan kesempatan pemegang saham yang
bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan
menjadi saham atau yang memberikan hak untuk
membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain.
2. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah
melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau
Perusahaan Publik.
3. Pembeli Siaga adalah Pihak yang akan membeli baik
sebagian maupun seluruh sisa saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh
pemegang HMETD.
4. Waran adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek
untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada
harga tertentu setelah 6 (enam) bulan sejak Efek
dimaksud diterbitkan.
5. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas
dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka.
-3-
Pasal 2
Jika Perusahaan Terbuka bermaksud melakukan
penambahan modal melalui penerbitan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversi menjadi
saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham,
Perusahaan Terbuka tersebut wajib memberikan HMETD
kepada setiap pemegang saham sesuai dengan rasio tertentu
terhadap persentase kepemilikan sahamnya.
Pasal 3
Kewajiban memberikan HMETD dalam penerbitan saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku jika Perusahaan
Terbuka mengeluarkan saham berupa:
a. Saham Bonus yang merupakan Dividen Saham sebagai
hasil dari Saldo Laba yang dikapitalisasi menjadi modal;
dan/atau
b. Saham Bonus yang bukan merupakan Dividen Saham
sebagai hasil dari agio saham atau unsur ekuitas lainnya
yang dikapitalisasi menjadi modal.
Pasal 4
HMETD merupakan hak yang dapat dialihkan dan dibuktikan
dengan:
a. catatan pemilikan dalam daftar pemegang saham
Perusahaan Terbuka atau Biro Administrasi Efek;
b.
sertifikat HMETD yang dikeluarkan oleh Perusahaan
Terbuka untuk pemegang saham yang terdaftar pada
tanggal tertentu;
c. kupon HMETD yang dapat dilepas dari surat saham; atau
d. konfirmasi atau laporan rekening Efek yang diterbitkan
oleh Kustodian.
-4-
Pasal 5
(1) Penambahan modal dengan memberikan HMETD yang
dilakukan oleh Perusahaan Terbuka yang mempunyai
lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham dilakukan dengan
ketentuan:
a. jika penerbitan saham dilakukan dalam setiap
klasifikasi saham secara proporsional, pemegang
saham wajib diberi HMETD sesuai dengan rasio
tertentu terhadap persentase kepemilikan sahamnya
dalam masing-masing klasifikasi saham; atau
b. jika penerbitan saham:
1. dilakukan hanya pada 1 (satu) klasifikasi
saham;
2. dilakukan pada semua klasifikasi saham
namun tidak proporsional; atau
3. dilakukan melalui Penawaran Umum atas Efek
Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat
dikonversi menjadi saham atau yang
memberikan hak untuk membeli saham,
pemegang saham wajib diberi HMETD sesuai dengan
persentase pemilikan sahamnya dalam Perusahaan
Terbuka.
(2) Penambahan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disetujui oleh pemegang saham yang mewakili
sebagian besar saham dalam setiap klasifikasi saham.
Pasal 6
Dalam hal penambahan modal disertai dengan penerbitan
Waran, jumlah Waran yang akan diterbitkan dan Waran yang
telah beredar tidak boleh melebihi 35% (tiga puluh lima
persen) dari jumlah saham yang telah ditempatkan dan
disetor penuh pada saat Pernyataan Pendaftaran disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
-5-
Pasal 7
Perusahaan Terbuka dilarang melakukan penyesuaian jumlah
Waran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kecuali dalam
hal terjadi pemecahan saham atau penggabungan saham.
BAB II
PERSYARATAN PENAMBAHAN MODAL
Pasal 8
(1) Dalam melakukan penambahan modal dengan
memberikan HMETD, Perusahaan Terbuka wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah memperoleh persetujuan RUPS;
b. telah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dan
dokumen pendukungnya kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
c. Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada huruf b sudah menjadi efektif.
(2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dan
anggaran dasar Perusahaan Terbuka.
(3) Jangka waktu antara tanggal persetujuan RUPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai
dengan efektifnya Pernyataan Pendaftaran tidak lebih
dari 12 (dua belas) bulan.
Pasal 9
(1) Dalam hal penyetoran atas saham dilakukan dalam
bentuk lain selain uang, penyetoran dengan bentuk lain
selain uang dimaksud wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a.
terkait langsung dengan rencana penggunaan dana;
dan
-6-
b. menggunakan Penilai untuk menentukan nilai wajar
dari bentuk lain selain uang yang digunakan sebagai
penyetoran dan kewajaran transaksi penyetoran atas
saham dalam bentuk lain selain uang;
(2) Jangka waktu antara tanggal penilaian dan tanggal
penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6
(enam) bulan.
Pasal 10
Dalam hal penyetoran atas saham berupa hak tagih kepada
Perusahaan Terbuka yang dikompensasikan sebagai setoran
saham, hak tagih tersebut harus sudah dimuat dalam laporan
keuangan terakhir Perusahaan Terbuka yang telah diaudit
oleh Akuntan.
Pasal 11
Penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan penyetoran atas
saham berupa hak tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 wajib memenuhi peraturan perundang-undangan lain yang
mengatur mengenai penyetoran atas saham dalam bentuk lain
selain uang dan kompensasi hak tagih sebagai setoran saham.
BAB III
PENGGUNAAN DANA
Pasal 12
Jika Perusahaan Terbuka bermaksud melakukan
penambahan modal yang penggunaan dananya digunakan
untuk melakukan transaksi dengan nilai tertentu yang telah
ditetapkan, dalam penambahan modal dimaksud wajib
terdapat Pembeli Siaga yang menjamin untuk membeli sisa
saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya paling rendah
pada harga penawaran atas saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya, yang tidak dilaksanakan oleh pemegang
HMETD.
-7-
Pasal 13
Dalam hal sebagian atau seluruh dana hasil penambahan
modal dengan memberikan HMETD digunakan untuk
Transaksi Afiliasi dan/atau Transaksi yang mengandung
Benturan Kepentingan, Perusahaan Terbuka wajib memenuhi
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
peraturan perundangan-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Transaksi Afiliasi dan Benturan
Kepentingan Transaksi Tertentu.
Pasal 14
(1) Dalam hal sebagian atau seluruh dana hasil penambahan
modal dengan memberikan HMETD digunakan untuk
Transaksi Material, Perusahaan Terbuka wajib memenuhi
ketentuan peraturan perundangan-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Transaksi Material
dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama.
(2) Dalam hal sebagian atau seluruh dana hasil penambahan
modal dengan memberikan HMETD digunakan untuk
Transaksi Material yang memerlukan persetujuan RUPS
dan pada saat RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) huruf a belum memenuhi ketentuan peraturan
perundangan-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Transaksi Material dan Perubahan
Kegiatan Usaha Utama, meskipun keterbukaan informasi
dalam rangka Transaksi Material tersebut telah
diungkapkan secara lengkap dalam Prospektus yang
digunakan dalam Penawaran Umum untuk penambahan
modal dengan memberikan HMETD dimaksud,
Perusahaan Terbuka wajib melaksanakan RUPS untuk
memperoleh persetujuan atas Transaksi Material
tersebut.
-8-
BAB IV
KETERBUKAAN INFORMASI DALAM RAPAT UMUM
PEMEGANG SAHAM
Pasal 15
(1) Perusahaan Terbuka yang melakukan penambahan
modal dengan memberikan HMETD kepada pemegang
saham wajib mengumumkan informasi mengenai rencana
penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada
pemegang saham paling lambat bersamaan dengan
pengumuman RUPS dengan memenuhi Prinsip
Keterbukaan yang paling sedikit memuat:
a. jumlah maksimal rencana pengeluaran saham
dengan memberikan HMETD termasuk Efek yang
menyertainya;
b. perkiraan periode pelaksanaan penambahan modal
apabila sudah dapat ditentukan;
c.
analisis mengenai pengaruh penambahan modal
terhadap kondisi keuangan dan pemegang saham;
d. perkiraan secara garis besar penggunaan dana; dan
e. informasi mengenai penyetoran saham dalam
bentuk lain selain uang termasuk informasi
mengenai hasil penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b (jika ada).
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan paling sedikit melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia
yang berperedaran nasional atau Situs Web Bursa
Efek; dan
b. Situs Web Perusahaan Terbuka.
(3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
pengumuman dimaksud.
-9-
Pasal 16
Dalam hal terdapat perubahan atas hal-hal yang telah
diputuskan oleh RUPS dalam rangka penambahan modal
dengan memberikan HMETD, Perusahaan Terbuka wajib
mengadakan RUPS kembali untuk menyetujui perubahan
tersebut sebelum Perusahaan Terbuka menyampaikan
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal
dengan memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan.
BAB V
PERNYATAAN PENDAFTARAN
Pasal 17
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal
dengan memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan
wajib mengikuti peraturan perundangan-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum
Pengajuan Pernyataan Pendaftaran.
Pasal 18
Dalam rangka penyampaian Pernyataan Pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Perusahaan Terbuka
harus menyampaikan dokumen paling sedikit terdiri dari:
a. surat pengantar dalam bentuk dan isi sesuai dengan
format surat pengantar Pernyataan Pendaftaran
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
b. Prospektus; dan
c. dokumen lain sebagai bagian dari Pernyataan
Pendaftaran tersebut.
Pasal 19
Dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c
paling sedikit meliputi:
a. surat pernyataan dari Pembeli Siaga yang menyatakan
-10-
Pembeli Siaga memiliki dana yang cukup dan sanggup
untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian
pembelian sisa Efek, jika terdapat Pembeli Siaga;
b. surat pernyataan dari pemegang saham utama
Perusahaan Terbuka yang menyatakan pemegang saham
utama memiliki dana yang cukup dan sanggup untuk
melaksanakan HMETD yang dimilikinya, jika pemegang
saham utama berkomitmen untuk mengambil saham
yang diterbitkan Perusahaan Terbuka melalui
pelaksanaan HMETD yang akan diperolehnya
berdasarkan proporsi kepemilikan saham pemegang
saham utama dimaksud;
c. surat pernyataan dari pemegang saham utama yang
menyatakan pemegang saham utama akan mengalihkan
HMETD yang akan diperolehnya berdasarkan proporsi
kepemilikan saham pemegang saham utama kepada
pihak lain, jika terdapat pemegang saham utama yang
akan mengalihkan HMETD yang dimilikinya dimaksud;
d. surat pernyataan dari pihak yang akan memperoleh
pengalihan HMETD dari pemegang saham utama
sebagaimana dimaksud pada huruf c yang menyatakan
pihak dimaksud memiliki dana yang cukup untuk
melaksanakan HMETD yang diperoleh dari pemegang
saham utama, jika pihak dimaksud berkomitmen untuk
mengambil saham yang diterbitkan Perusahaan Terbuka
melalui pelaksanaan HMETD yang diperolehnya dari
pemegang saham utama tersebut;
e. bukti kecukupan dana dari masing-masing pihak untuk
mendukung masing-masing surat pernyataannya
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf
d;
f. rencana jadwal penambahan modal dengan memberikan
HMETD;
g. perjanjian mengenai pembelian sisa Efek (jika ada);
h. dalam rangka penerbitan HMETD untuk Efek bersifat
utang yang dapat atau wajib dikonversi:
-11-
1. kontrak Perwaliamanatan;
2. perjanjian penanggungan (jika ada); dan
3.
i.
hasil pemeringkatan Efek, kecuali untuk Efek
bersifat utang yang wajib dikonversi menjadi saham;
laporan keuangan interim yang telah diaudit Akuntan
dengan ketentuan:
1.
jika laporan keuangan tahunan terakhir yang telah
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan akan
berumur lebih dari 6 (enam) bulan pada saat
Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif; dan
2. jangka waktu antara tanggal laporan keuangan
interim yang diaudit Akuntan dan efektifnya
Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 6 (enam)
bulan;
j. Comfort Letter sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangan-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Pedoman Penyusunan Comfort Letter;
k. surat pernyataan manajemen di bidang akuntansi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Pedoman Penyusunan Surat Pernyataan
Manajemen Dalam Bidang Akuntansi;
l. dokumen pendukung tentang prakiraan dan/atau
proyeksi keuangan beserta laporan Akuntan atas
proyeksi keuangan, jika diungkapkan dalam Prospektus;
m. laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi hukum yang
berkaitan dengan aspek hukum dari penambahan modal
dengan memberikan HMETD termasuk penggunaan
dananya;
n. surat pencabutan pembatasan yang dapat merugikan
kepentingan pemegang saham publik dari kreditur;
o. pernyataan dari Perusahaan Terbuka dalam bentuk dan
isi sesuai dengan format surat Pernyataan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
-12-
p. pernyataan Profesi Penunjang Pasar Modal dalam bentuk
dan isi sesuai dengan format surat Pernyataan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
q. dokumen lain yang harus disampaikan dalam hal
penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang adalah:
1. laporan Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf b;
2. laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi hukum
atas objek penyetoran; dan
3. laporan keuangan perusahaan lain yang diaudit
yang menjadi objek penyetoran untuk jangka waktu
2 (dua) tahun terakhir atau sejak berdirinya, dalam
hal objek penyetoran adalah saham perusahaan lain;
dan
r.
informasi lain sesuai dengan permintaan Otoritas Jasa
Keuangan yang dipandang perlu dalam penelaahan
Pernyataan Pendaftaran, sepanjang dapat diumumkan
kepada masyarakat tanpa merugikan kepentingan
Perusahaan Terbuka.
Pasal 20
Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi dan/atau
dokumen lain yang tidak merupakan bagian dari Pernyataan
Pendaftaran dan tidak dimaksudkan untuk diumumkan
kepada masyarakat karena dapat merugikan kepentingan
Perusahaan Terbuka atau Pihak terafiliasi Perusahaan
Terbuka yang meliputi:
a. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak dari anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham utama;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk dari anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham utama
perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia atau
dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
-13-
atau yang setara serta fotokopi identitas pengurus, jika
pemegang saham utama adalah non orang perseorangan;
c.
fotokopi paspor atau tanda bukti lain dari anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham
utama perseorangan yang merupakan Warga Negara
Asing atau dokumen anggaran dasar atau anggaran
rumah tangga atau yang setara serta fotokopi identitas
pengurus, jika pemegang saham utama adalah non orang
perseorangan;
d. surat pernyataan dari pihak yang membantu
penyusunan Prospektus:
1. surat pernyataan persetujuan pencantuman nama
pihak tersebut di Prospektus; dan/atau
2. surat pencabutan dalam hal pihak tersebut
mencabut persetujuannya;
e. surat pernyataan bermeterai cukup dari anggota Direksi
dan anggota Dewan Komisaris tentang keterlibatan atau
tidaknya dalam perkara hukum;
f.
keterangan lain yang mendukung kecukupan dan
ketelitian dari pengungkapan yang diwajibkan dalam
rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD
(jika ada); dan/atau
g. dokumen lain yang dibutuhkan yang tidak merupakan
bagian dari Pernyataan Pendaftaran dan tidak
dimaksudkan untuk diumumkan kepada masyarakat
karena dapat merugikan kepentingan Perusahaan
Terbuka atau Pihak terafiliasi Perusahaan Terbuka.
Pasal 21
(1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan informasi
bersamaan dengan penyampaian Pernyataan
Pendaftaran, paling sedikit memuat:
a. nama lengkap Perusahaan Terbuka, alamat kantor
pusat, telepon, Situs Web, faksimili, kotak pos (jika
ada), dan surat elektronik;
-14-
b. uraian mengenai Efek yang diterbitkan dalam
pelaksanaan HMETD;
c. tanggal dan hasil keputusan RUPS yang menyetujui
penambahan modal dengan memberikan HMETD;
d. tanggal pencatatan pemegang saham yang berhak
atas HMETD pada daftar pemegang saham atau
nomor kupon untuk menentukan HMETD;
e. tanggal terakhir dari pelaksanaan HMETD dan
informasi bahwa HMETD yang tidak dilaksanakan
pada tanggal tersebut tidak berlaku lagi, dan tanggal
terakhir pembayaran saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya dalam pelaksanaan HMETD;
f. periode perdagangan HMETD;
g. harga saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya
pada saat pelaksanaan oleh pemegang HMETD
dengan membayar saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya dimaksud atau indikasi harga
dan/atau metode penentuan harga saham dan/atau
Efek Bersifat Ekuitas lainnya pada saat pelaksanaan
HMETD dengan membayar saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya dimaksud, dalam hal harga
pelaksanaan belum dapat ditentukan;
h. rasio HMETD atas saham atau indikasi rasio
HMETD atas saham dalam hal rasio belum dapat
ditentukan;
i.
j.
uraian mengenai perlakuan HMETD dalam bentuk
pecahan;
rasio Waran dengan saham yang akan diterbitkan
atau indikasi rasio Waran dengan saham yang akan
diterbitkan, dalam hal rasio Waran belum dapat
ditentukan;
k. tata cara pemesanan saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya
yang diterbitkan dalam
l.
penambahan modal dengan memberikan HMETD;
uraian mengenai tata cara pengalihan HMETD;
-15-
m. uraian mengenai perlakuan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam
penambahan modal dengan memberikan HMETD
yang tidak diambil oleh yang berhak;
n. tata cara penerbitan dan penyampaian bukti HMETD
serta saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya;
o. nama Bursa Efek tempat dicatatkan dan
diperdagangkannya HMETD dan saham yang
mendasarinya (jika ada);
p. keterangan tentang rencana Perusahaan Terbuka
untuk mengeluarkan saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya dalam waktu 12 (dua belas) bulan
setelah tanggal efektif (jika ada);
q. pernyataan yang menyatakan pemegang saham
utama akan melaksanakan atau tidak
melaksanakan HMETD yang dimiliki dan informasi
nama pihak yang akan menerima pengalihan
HMETD (jika ada);
r. keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon
Pengendali Perusahaan Terbuka (jika ada) paling
sedikit meliputi:
1. nama Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali
Perusahaan Terbuka;
2. alamat domisili atau kantor pusat Pembeli
Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan
Terbuka;
3. bidang usaha (jika ada);
4. status badan hukum (jika ada);
5. susunan pengurus dan pengawas (jika ada);
6. struktur permodalan atau informasi yang
setara;
7. penerima manfaat dari calon Pengendali baru
(jika ada);
8. sumber dana yang digunakan oleh Pembeli
Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan
Terbuka;
-16-
9.
sifat hubungan Afiliasi dengan Perusahaan
Terbuka (jika ada);
10. keterangan mengenai porsi yang akan diambil
oleh Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali
Perusahaan Terbuka;
11. uraian tentang persyaratan penting dari
perjanjian pembelian sisa Efek atau
persetujuan untuk membeli Efek oleh Pembeli
Siaga; dan
12. uraian tentang persetujuan dari pihak yang
berwenang (jika ada).
s. dampak dilusi bagi pemegang saham dari penerbitan
saham baru;
t.
rencana penggunaan dana hasil penambahan modal
dengan memberikan HMETD;
u. ringkasan
manajemen;
v. informasi tentang tempat Prospektus dapat
diperoleh; dan
w. uraian mengenai penyetoran atas saham dalam
bentuk lain selain uang paling sedikit:
1. keterangan tentang objek penyetoran;
2.
hasil penilaian atas nilai wajar objek penyetoran
dan kewajaran transaksi penyetoran;
3. nama pihak yang melakukan penyetoran; dan
4. nilai setoran modal.
(2) Dalam rangka penerbitan HMETD untuk Efek bersifat
utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham,
selain informasi sebagaimana dimaksud ayat (1),
Perusahaan Terbuka harus menambahkan informasi
paling sedikit meliputi sebagai berikut:
a. hak para pemegang Efek bersifat utang yang dapat
atau wajib dikonversi menjadi saham;
b.
sifat Efek bersifat utang yang dapat atau wajib
dikonversi menjadi saham;
analisis dan pembahasan oleh
-17-
c.
sifat Efek bersifat utang yang dapat atau wajib
dikonversi menjadi saham yang memungkinkan
pelunasan lebih dini atas pilihan Perusahaan
Terbuka atau pemegang Efek dimaksud;
d. harga dan tingkat suku bunga dari Efek bersifat
utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi
saham, dengan ketentuan:
1. dalam hal suku bunga ditetapkan
mengambang, harus diuraikan cara penentuan
tingkat suku bunga yang mengambang
tersebut; dan
2. dalam hal harga pelaksanaan dan tingkat suku
bunga dari Efek bersifat utang yang dapat atau
wajib dikonversi menjadi saham belum dapat
ditentukan, harus diungkapkan indikasi harga
pelaksanaan dan tingkat suku bunga, dan/atau
metode penentuan harga pelaksanaan dan
tingkat suku bunga.
e.
hasil pemeringkatan Efek bersifat utang yang dapat
dikonversi menjadi saham dan nama Pemeringkat
Efek;
f. jadwal pelunasan atau cicilan termasuk jumlahnya;
g. jadwal pembayaran bunga;
h. jadwal konversi Efek bersifat utang menjadi saham;
i.
ketentuan tentang dana pelunasan (jika ada);
j. mata uang yang menjadi denominasi utang dan
mata uang lain yang menjadi alternatif (jika ada)
digunakan dalam penerbitan Efek utang yang dapat
atau wajib dikonversi menjadi saham dimaksud (jika
ada); dan
k. nama, alamat kantor pusat, dan uraian mengenai
pihak-pihak yang bertindak sebagai Wali Amanat
dan Penanggung (jika ada).
-18-
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan paling sedikit melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia
yang berperedaran nasional atau Situs Web Bursa
Efek; dan
b. Situs Web Perusahaan Terbuka.
BAB VI
PERMINTAAN PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN
INFORMASI
Pasal 22
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan
dan/atau tambahan informasi untuk tujuan penelaahan
atau pengungkapan kepada masyarakat.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan meminta perubahan
dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan
Pendaftaran dan dokumen pendukungnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pernyataan Pendaftaran
dianggap disampaikan kembali pada tanggal perubahan
dimaksud disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Perusahaan Terbuka harus menyampaikan perubahan
dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan
Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) dalam waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya
permintaan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Pernyataan Pendaftaran menjadi batal apabila dalam
waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
diterimanya permintaan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud ayat (3), Perusahaan Terbuka
tidak memberikan tanggapan.
(5) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak meminta
perubahan dan tambahan informasi dalam jangka waktu
45 (empat puluh lima) hari setelah penyampaian
Pernyataan Pendaftaran atau perubahan dan tambahan
informasi terakhir dari Pernyataan Pendaftaran kepada
-19-
Otoritas Jasa Keuangan, Pernyataan Pendaftaran
dianggap telah disampaikan secara lengkap dan
memenuhi persyaratan serta prosedur yang ditetapkan.
Pasal 23
(1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan perubahan
dan/atau penambahan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
penambahan modal dengan memberikan HMETD.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan paling sedikit melalui:
a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia
yang berperedaran nasional atau Situs Web Bursa
Efek; dan
b. Situs Web Perusahaan Terbuka.
BAB VII
EFEKTIFNYA PERNYATAAN PENDAFTARAN
Pasal 24
Pernyataan Pendaftaran dapat menjadi efektif dengan
memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a. atas dasar lewatnya waktu, yakni:
1. 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal Pernyataan
Pendaftaran diterima Otoritas Jasa Keuangan secara
lengkap; atau
2. 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal perubahan
terakhir yang disampaikan Perusahaan Terbuka
atau yang diminta Otoritas Jasa Keuangan dipenuhi;
atau
b. atas dasar pernyataan efektif dari Otoritas Jasa
Keuangan bahwa tidak ada lagi perubahan dan/atau
tambahan informasi lebih lanjut yang diperlukan.
-20-
Pasal 25
Sebelum Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif, seluruh
informasi mengenai penerbitan HMETD wajib telah
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap
termasuk kepastian harga pelaksanaan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya.
BAB VIII
PENCATATAN, PERDAGANGAN, DAN DISTRIBUSI HMETD
Pasal 26
Dalam hal saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya
yang mendasari HMETD tercatat di Bursa Efek, Perusahaan
Terbuka wajib mencatatkan HMETD tersebut di Bursa Efek
yang sama.
Pasal 27
Bursa Efek wajib secara otomatis mencatatkan HMETD yang
berhubungan dengan Efek yang tercatat tanpa biaya
pencatatan tambahan.
Pasal 28
Dalam hal Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan dari
pelaksanaan HMETD berbeda dari Efek Bersifat Ekuitas yang
mendasari atas mana HMETD melekat dan berbeda dari Efek
Bersifat Ekuitas lain dari Perusahaan Terbuka tersebut yang
telah tercatat di Bursa Efek, Efek Bersifat Ekuitas tersebut
tidak wajib dicatatkan di Bursa Efek.
Pasal 29
HMETD yang tercatat di Bursa Efek dapat juga
diperdagangkan di luar Bursa Efek.
Pasal 30
Pemegang saham Perusahaan Terbuka yang berhak atas
HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf
-21-
d adalah pemegang saham yang tercatat pada daftar
pemegang saham 8 (delapan) hari kerja setelah efektifnya
Pernyataan Pendaftaran.
Pasal 31
Bukti HMETD wajib tersedia dan didistribusikan paling
lambat 1 (satu) hari kerja setelah tanggal daftar pemegang
saham yang berhak atas HMETD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30.
Pasal 32
Perusahaan Terbuka wajib menyediakan Prospektus yang
dipersyaratkan sebagai bagian dari Pernyataan Pendaftaran
bagi pemegang saham paling lambat pada saat distribusi
HMETD.
Pasal 33
Dalam hal pemegang saham mempunyai HMETD dalam
bentuk pecahan, hak atas pecahan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya dalam penambahan modal dengan
memberikan HMETD tersebut wajib dijual oleh Perusahaan
Terbuka dan hasil penjualannya dimasukkan ke dalam
rekening Perusahaan Terbuka.
Pasal 34
Perdagangan HMETD dimulai setelah berakhirnya distribusi
HMETD dan berlangsung selama paling singkat 5 (lima) hari
kerja dan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
distribusi HMETD berakhir.
Pasal 35
Sertifikat HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b atau kupon HMETD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf c wajib tersedia sebelum dimulai dan selama
periode perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34.
-22-
Pasal 36
(1) HMETD dapat dilaksanakan selama periode perdagangan.
(2) Saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya hasil
pelaksanaan HMETD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib sudah diterbitkan dan tersedia paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah HMETD dilaksanakan.
Pasal 37
(1) Dalam hal terjadi pelaksanaan HMETD, Perusahaan
Terbuka wajib memberikan tanda terima sebagai bukti
bahwa hak telah dilaksanakan.
(2) Tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menunjukkan apakah pemegang HMETD atau pemegang
saham bermaksud memesan tambahan saham dan/atau
Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang berasal dari HMETD
yang tidak dilaksanakan.
(3) Perusahaan Terbuka wajib menyimpan tembusan dari
tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
memuat jumlah tambahan saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya yang dipesan.
BAB IX
PENJATAHAN TAMBAHAN SAHAM DAN/ATAU
EFEK BERSIFAT EKUITAS LAINNYA
Pasal 38
(1) Perusahaan Terbuka wajib mengadakan alokasi saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak
dipesan pada harga pemesanan yang sama kepada
semua pemegang saham yang menyatakan berminat
untuk membeli tambahan saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya pada periode pelaksanaan HMETD
dimaksud.
(2) Dalam hal jumlah permintaan atas saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak dipesan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melebihi saham dan/atau Efek
-23-
Bersifat Ekuitas lainnya yang tersedia, Efek dimaksud
akan dijatahkan secara proporsional berdasarkan atas
jumlah HMETD yang dilaksanakan oleh masing-masing
pemegang saham yang meminta penambahan saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya berdasarkan
harga pemesanan.
Pasal 39
(1) Para pemesan tambahan saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya wajib menyerahkan pembayaran penuh
kepada Perusahaan Terbuka untuk tambahan saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) paling lambat 2 (dua)
hari kerja setelah berakhirnya perdagangan HMETD.
(2) Penjatahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(2) ditetapkan dalam 1 (satu) hari kerja setelah
berakhirnya pembayaran pesanan tambahan saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya.
(3) Perusahaan Terbuka wajib mengembalikan uang untuk
bagian pemesanan tambahan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak terpenuhi paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penjatahan.
BAB X
LAPORAN PELAKSANAAN HMETD DAN DOKUMENTASI
Pasal 40
Perusahaan Terbuka wajib menunjuk Akuntan untuk
melakukan pemeriksaan khusus mengenai pelaksanaan
HMETD.
Pasal 41
(1) Laporan hasil pemeriksaan mengenai kewajaran
pelaksanaan HMETD wajib disampaikan oleh Perusahaan
Terbuka kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penjatahan berakhir.
-24-
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, laporan hasil pemeriksaan mengenai kewajaran
pelaksanaan HMETD wajib disampaikan paling lambat
pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 42
Perusahaan Terbuka wajib menyampaikan Prospektus dalam
bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebanyak 5 (lima) eksemplar beserta salinan elektroniknya
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah distribusi
HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 43
Setelah penjatahan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39 ayat (2) selesai dilaksanakan, semua dokumen yang
berhubungan dengan pelaksanaan HMETD termasuk
tembusan tanda terima pemesanan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya dan pembayaran pemesanannya
wajib disimpan oleh Perusahaan Terbuka untuk jangka waktu
paling singkat 5 (lima) tahun.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 44
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan,
Bursa Efek wajib mencatat Efek yang sama dengan Efek
yang tercatat dan yang timbul dari:
a. pelaksanaan HMETD, Waran atau Efek yang dapat
dikonversikan menjadi saham;
b. penerbitan saham yang berasal dari kapitalisasi
Saldo Laba dan/atau modal disetor lainnya seperti
Dividen Saham atau Saham Bonus; atau
c. pemecahan saham.
-25-
(2) Biaya pencatatan atas Efek yang timbul sebagai akibat
adanya pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib didasarkan pada perhitungan yang sama
dengan Efek sejenis yang berlaku.
BAB XII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 45
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
-26-
Pasal 46
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 47
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 kepada masyarakat.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
Bagi Perusahaan Terbuka yang akan melakukan penambahan
modal dengan memberikan HMETD dan telah menyampaikan
mata acara rapat mengenai penambahan modal dengan
memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
penambahan modal dengan memberikan HMETD oleh
Perusahaan Terbuka dimaksud tetap mengikuti Peraturan
Nomor IX.D.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor: KEP-26/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003
tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor:
KEP-26/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Hak
-27-
Memesan Efek Terlebih Dahulu beserta Peraturan Nomor
IX.D.1 yang merupakan lampirannya; dan
2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
KEP-08/PM/2000 tanggal 13 Maret 2000 tentang
Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Pernyataan
Pendaftaran Dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan
Efek Terlebih Dahulu beserta Peraturan Nomor IX.D.2
yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 50
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, kewajiban penyertaan dokumen hasil pemeringkatan
Efek dalam Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran
Umum untuk penambahan modal dengan memberikan
HMETD dan kewajiban pemeringkatan atas Efek Bersifat
Utang yang jatuh temponya lebih dari 1 (satu) tahun yang
wajib dikonversi menjadi saham yang diterbitkan Emiten
melalui Penawaran Umum sebagaimana diatur dalam
Peraturan Nomor IX.C.11, Lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
712/BL/2012 tanggal 26 Desember 2012 tentang
Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 51
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
-28-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 307
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 32/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU </reg_title>
<set_date> 16 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 22 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-26/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003', 'Kep-08/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'Kep-712/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.11' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 37 /POJK.03/2016
TENTANG
RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengarahkan kegiatan operasional
Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah sesuai dengan visi dan misinya, Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah perlu menetapkan sasaran strategis dan nilai-
nilai perusahaan yang dijabarkan lebih lanjut dalam
rencana bisnis;
b. bahwa rencana bisnis perlu disusun secara matang dan
realistis dengan memperhatikan faktor ekstern dan intern
yang dapat memengaruhi kelangsungan usaha Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah, prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang
sehat, serta bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah perlu
mempertimbangkan prinsip syariah;
c. bahwa rencana bisnis merupakan salah satu acuan bagi
pengawas Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dalam menyusun rencana
pengawasan yang optimal dan efektif;
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Rencana Bisnis Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/17/PBI/2007
tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4787);
5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5629);
6. Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan
Nomor
4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola bagi
Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik
- 3 -
Indonesia Tahun 2015 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5685);
7. Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor
5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank
Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5686);
8. Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan
Nomor
9. Peraturan
13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko
bagi Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 272, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5761);
Otoritas Jasa Keuangan
3/POJK.03/2016 tentang Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5839);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR
yaitu Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu-lintas pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Nomor
- 4 -
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS yaitu Bank Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
3. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang
menggambarkan rencana pengembangan dan kegiatan
usaha BPR atau BPRS dalam jangka waktu tertentu serta
strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai
target dan waktu yang ditetapkan.
4. Laporan Realisasi Rencana Bisnis adalah laporan yang
disusun oleh Direksi BPR atau BPRS mengenai realisasi
Rencana Bisnis sampai dengan periode tertentu.
5. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis adalah laporan
yang disusun oleh Dewan Komisaris BPR atau BPRS
mengenai hasil pengawasan yang bersangkutan terhadap
pelaksanaan Rencana Bisnis sampai dengan periode
tertentu.
6. Direksi:
a. bagi BPR atau BPRS berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR yang
belum berubah bentuk badan hukum menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
- 5 -
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
7. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR atau BPRS berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR
yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015.
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Pasal 2
(1) BPR dan BPRS wajib menyusun Rencana Bisnis secara
realistis setiap tahun.
- 6 -
(2) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan
Komisaris.
(3) Rencana Bisnis yang disusun oleh BPR dan BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana
jangka pendek, jangka menengah, dan/atau rencana
strategis jangka panjang.
(4) Rencana strategis jangka panjang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disusun dan ditetapkan setiap 5 (lima)
tahun.
(5) Cakupan materi yang tercantum dalam rencana strategis
jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat diubah dalam periode 5 (lima) tahun tersebut
sesuai kebutuhan BPR dan BPRS.
Pasal 3
(1) BPR dan BPRS harus menyusun Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dengan
memperhatikan:
a.
faktor ekstern dan intern yang dapat memengaruhi
kelangsungan usaha BPR dan BPRS;
b. prinsip kehati-hatian; dan
c. asas perbankan yang sehat.
(2) Selain memperhatikan faktor-faktor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPRS harus menyusun Rencana
Bisnis dengan memperhatikan prinsip syariah.
Pasal 4
(1) Direksi wajib melaksanakan Rencana Bisnis secara
efektif.
(2) Direksi wajib mengomunikasikan Rencana Bisnis kepada:
a. pemegang saham BPR atau BPRS; dan
b. seluruh jenjang organisasi pada BPR atau BPRS.
Pasal 5
Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan Rencana Bisnis.
- 7 -
BAB II
CAKUPAN RENCANA BISNIS
Pasal 6
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling
sedikit meliputi:
a. ringkasan eksekutif;
b. strategi bisnis dan kebijakan;
c. proyeksi laporan keuangan;
d. target rasio-rasio dan pos-pos keuangan;
e. rencana penghimpunan dana;
f. rencana penyaluran dana;
g. rencana permodalan;
h. rencana pengembangan organisasi, teknologi informasi
dan Sumber Daya Manusia (SDM);
i.
j.
rencana pelaksanaan kegiatan usaha baru atau rencana
penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru;
rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan
kantor; dan
k. informasi lainnya.
Pasal 7
(1) Ringkasan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf a paling sedikit meliputi:
a. rencana dan langkah-langkah strategis yang akan
ditempuh oleh BPR atau BPRS;
b. indikator keuangan utama; dan
c. target jangka pendek dan jangka menengah.
(2) Rencana dan langkah-langkah strategis yang akan
ditempuh oleh BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dijelaskan dalam jangka pendek
untuk periode 1 (satu) tahun, jangka menengah untuk
periode 3 (tiga) tahun, dan rencana strategis jangka
panjang untuk periode 5 (lima) tahun.
(3) Indikator keuangan utama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi kinerja BPR atau
BPRS dan proyeksi dari faktor permodalan, kualitas aset,
- 8 -
rentabilitas, dan likuiditas sesuai dengan penilaian
tingkat kesehatan BPR atau BPRS.
(4) Indikator keuangan utama sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti
kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) paling sedikit meliputi kinerja BPR atau BPRS:
a.
posisi aktual akhir bulan Oktober tahun
penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan
Rencana Bisnis BPR atau BPRS; dan
c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan
secara semesteran,
dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan
likuiditas sesuai dengan penilaian tingkat kesehatan BPR
atau BPRS.
(5) Indikator keuangan utama sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti
paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) paling sedikit meliputi kinerja BPR atau BPRS:
a.
posisi
aktual
akhir bulan Oktober tahun
penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan
Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan
secara semesteran; dan
d. proyeksi akhir tahun kedua dan ketiga yang
disajikan secara tahunan,
dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan
likuiditas sesuai dengan penilaian tingkat kesehatan BPR
atau BPRS.
(6) Target jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c adalah target kegiatan usaha BPR atau BPRS
selama 1 (satu) tahun ke depan, paling sedikit meliputi
penurunan Non Performing Loan (NPL) atau Non
Performing Financing (NPF), peningkatan fungsi
intermediasi, dan peningkatan efisiensi.
- 9 -
(7) Target jangka menengah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c bagi BPR atau BPRS adalah target
kegiatan usaha selama 3 (tiga) tahun ke depan, paling
sedikit meliputi upaya penguatan permodalan, serta
penerapan tata kelola dan manajemen risiko BPR yang
mengacu pada ketentuan mengenai tata kelola dan
manajemen risiko bagi BPR atau BPRS.
(8) Dalam hal belum terdapat ketentuan khusus yang
mengatur mengenai penerapan tata kelola BPRS dan
manajemen risiko BPRS, target penerapan tata kelola dan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
mengacu pada ketentuan mengenai sistem penilaian
tingkat kesehatan BPRS.
Pasal 8
(1) Strategi bisnis dan kebijakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf b paling sedikit meliputi:
a. visi dan misi BPR atau BPRS;
b. arah kebijakan BPR atau BPRS;
c. kebijakan tata kelola dan manajemen risiko BPR
atau BPRS;
d. analisis posisi BPR atau BPRS dalam persaingan
usaha berdasarkan aset dan/atau lokasi;
e.
strategi penyaluran kredit atau pembiayaan
berdasarkan jenis usaha; dan
f. strategi pengembangan bisnis.
(2) Dalam hal belum terdapat ketentuan khusus yang
mengatur mengenai kebijakan tata kelola BPRS dan
manajemen risiko BPRS, kebijakan tata kelola dan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c mengacu pada ketentuan mengenai sistem
penilaian tingkat kesehatan BPRS.
- 10 -
Pasal 9
(1) Proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf c paling sedikit meliputi:
a. neraca; dan
b. laba rugi.
(2) BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib
menyampaikan proyeksi laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk:
a.
posisi aktual akhir bulan Oktober tahun
penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan
Rencana Bisnis BPR atau BPRS; dan
c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan
secara semesteran.
(3) BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib
menyampaikan proyeksi laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk:
a.
posisi aktual akhir bulan Oktober tahun
penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan
Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan
secara semesteran; dan
d. proyeksi akhir tahun kedua dan ketiga yang
disajikan secara tahunan.
Pasal 10
(1) Target rasio-rasio dan pos-pos keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf d paling sedikit meliputi:
a. target rasio keuangan pokok; dan
b.
target rasio pos-pos tertentu lainnya.
(2) BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib
menyampaikan target rasio keuangan pokok dan target
- 11 -
pos-pos tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk:
a.
b.
c.
posisi aktual akhir bulan Oktober tahun
penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
target akhir bulan Desember tahun penyusunan
Rencana Bisnis BPR atau BPRS; dan
target 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara
semesteran.
(3) BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib
menyampaikan target rasio keuangan pokok dan target
pos-pos tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk:
a.
b.
c.
d.
posisi aktual akhir bulan Oktober tahun
penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
target akhir bulan Desember tahun penyusunan
Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
target 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara
semesteran; dan
target akhir tahun kedua dan ketiga yang disajikan
secara tahunan.
Pasal 11
Rencana penghimpunan dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf e paling sedikit meliputi:
a. rencana penghimpunan dana pihak ketiga; dan
b. rencana pendanaan lainnya.
Pasal 12
Rencana penyaluran dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf f paling sedikit meliputi:
a. rencana penyaluran dana kepada pihak terkait;
b. rencana penempatan pada bank lain;
c. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan kepada bank
lain;
d. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan kepada
debitur inti;
- 12 -
e. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan
sektor ekonomi yang menjadi prioritas dalam penyaluran
kredit atau pembiayaan;
f. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan
jenis penggunaan;
g. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan
jenis usaha; dan
h. rencana penyaluran pembiayaan berdasarkan akad bagi
BPRS.
Pasal 13
(1) Rencana permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf g paling sedikit meliputi:
a. rencana pemenuhan rasio Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM) dan rasio modal inti;
b. rencana pemenuhan modal inti minimum; dan
c. rencana penambahan modal.
(2) BPR atau BPRS yang belum memenuhi kewajiban
pemenuhan modal inti minimum sebagaimana diatur
dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR atau
BPRS, wajib menyampaikan rencana pemenuhan modal
inti minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b untuk:
a.
posisi aktual akhir bulan Oktober tahun
penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
b. rencana akhir bulan Desember tahun penyusunan
Rencana Bisnis BPR atau BPRS;
c. rencana 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan
secara semesteran; dan
d. rencana akhir tahun kedua, ketiga, keempat, dan
kelima yang disajikan secara tahunan.
- 13 -
Pasal 14
Rencana pengembangan organisasi, teknologi informasi, dan
SDM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf h paling
sedikit meliputi:
a. rencana pengembangan organisasi;
b. rencana pengembangan dan pengadaan teknologi
informasi yang bersifat mendasar;
c. rencana pengembangan SDM termasuk pemenuhan SDM;
dan
d. rencana pemanfaatan tenaga kerja alih daya.
Pasal 15
(1) Rencana pelaksanaan kegiatan usaha baru untuk BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i paling
sedikit meliputi:
a.
rencana pelaksanaan kegiatan usaha yang
memerlukan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
dan
b. rencana pelaksanaan kegiatan usaha yang harus
dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas
baru untuk BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf i paling sedikit meliputi:
a. rencana penerbitan produk baru; dan
b.
rencana pelaksanaan aktivitas baru.
Pasal 16
Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf j paling sedikit
meliputi:
a. rencana pemindahan alamat kantor pusat;
b. rencana pembukaan, pemindahan alamat dan/atau
penutupan kantor cabang dan/atau kantor kas;
c. rencana pelaksanaan kegiatan pelayanan kas dan
rencana penutupan kegiatan pelayanan kas berupa kas
keliling, payment point, dan perangkat perbankan
elektronis; dan
- 14 -
d. rencana pemindahan payment point dan lokasi perangkat
Automated Teller Machine dan/atau Automated Deposit
Machine.
Pasal 17
Informasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf
k paling sedikit meliputi informasi yang diperkirakan
memengaruhi kegiatan usaha BPR atau BPRS, namun belum
disebutkan dalam cakupan Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf a sampai dengan huruf j.
BAB III
PENYAMPAIAN, PERUBAHAN, DAN PELAPORAN RENCANA
BISNIS
Pasal 18
(1) BPR dan BPRS wajib menyampaikan Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 15 Desember
sebelum tahun Rencana Bisnis dimulai.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR dan BPRS
untuk melakukan presentasi atau memberikan
penjelasan yang menyeluruh mengenai Rencana Bisnis
yang disampaikan oleh BPR dan BPRS.
Pasal 19
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta BPR dan
BPRS untuk melakukan penyesuaian terhadap Rencana
Bisnis yang disampaikan oleh BPR dan BPRS, apabila:
a. Rencana Bisnis dinilai belum memenuhi cakupan
Rencana Bisnis sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan/atau
b.
proyeksi, target atau rencana yang disampaikan
dalam Rencana Bisnis dinilai tidak realistis.
(2) BPR dan BPRS wajib menyampaikan penyesuaian
terhadap Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30
- 15 -
(tiga puluh) hari setelah tanggal surat Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 20
(1) BPR dan BPRS hanya dapat melakukan perubahan
terhadap Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, apabila:
a.
terdapat faktor ekstern dan intern yang secara
signifikan memengaruhi operasional BPR atau
BPRS; dan/atau
b.
terdapat faktor yang secara signifikan memengaruhi
kinerja BPR atau BPRS, berdasarkan pertimbangan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR dan BPRS
untuk melakukan presentasi atau memberikan
penjelasan yang menyeluruh mengenai perubahan
Rencana Bisnis.
(3) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali, dan
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada akhir bulan Juni tahun berjalan.
(4) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) hanya dapat dilaksanakan paling cepat 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal penyampaian perubahan
Rencana Bisnis.
Pasal 21
(1) BPR dan BPRS wajib menyampaikan Laporan Realisasi
Rencana Bisnis secara semesteran.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 1 (satu) bulan setelah semester dimaksud
berakhir.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pencapaian Rencana Bisnis yaitu perbandingan
antara rencana dengan realisasi;
- 16 -
b. penjelasan mengenai penyebab dan kendala
terjadinya perbedaan antara rencana dengan
realisasi Rencana Bisnis; dan
c. upaya tindak lanjut yang telah dan akan dilakukan
untuk memperbaiki pencapaian realisasi Rencana
Bisnis.
Pasal 22
(1) BPR dan BPRS wajib menyampaikan Laporan
Pengawasan Rencana Bisnis secara semesteran.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 2 (dua) bulan setelah semester dimaksud
berakhir.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit meliputi penilaian Dewan Komisaris mengenai:
a.
b.
c.
pelaksanaan Rencana Bisnis baik secara kuantitatif
maupun kualitatif;
faktor-faktor yang memengaruhi kinerja BPR atau
BPRS;
penerapan tata kelola dan manajemen risiko BPR
atau BPRS; dan
d. upaya memperbaiki kinerja BPR atau BPRS.
(4) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur
mengenai penerapan tata kelola BPRS dan manajemen
risiko BPRS, laporan penilaian Dewan Komisaris
mengenai penerapan tata kelola dan manajemen risiko
BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
mengacu pada ketentuan mengenai penilaian tingkat
kesehatan BPRS.
Pasal 23
(1) Penyampaian, penyesuaian, dan perubahan Rencana
Bisnis, serta Laporan Realisasi Rencana Bisnis,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), 19 ayat
(1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1) disampaikan
- 17 -
oleh BPR dan BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan
secara online.
(2) Kewajiban penyampaian Rencana Bisnis dan Realisasi
Rencana Bisnis secara online sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikecualikan dalam hal:
a. BPR pelapor berkedudukan di daerah yang belum
tersedia fasilitas komunikasi, sehingga tidak
memungkinkan untuk menyampaikan Rencana
Bisnis dan Realisasi Rencana Bisnis secara online;
b. BPR pelapor baru beroperasi dengan batas waktu
paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan
operasional;
c. BPR pelapor mengalami gangguan teknis; atau
d. terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database
atau jaringan komunikasi di Otoritas Jasa Keuangan.
(3) BPR pelapor memperoleh pengecualian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c
setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis terlebih
dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan
alasan dan dokumen Rencana Bisnis, penyesuaian
Rencana Bisnis, perubahan Rencana Bisnis, dan Laporan
Realisasi Rencana Bisnis.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan belum menyediakan
sistem secara online, penyampaian, penyesuaian, dan
perubahan Rencana Bisnis, serta Laporan Realisasi
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara offline.
(5) Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) disampaikan oleh
Dewan Komisaris BPR dan BPRS secara offline.
Pasal 24
(1) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) apabila BPR dan BPRS menyampaikan Rencana
Bisnis melewati batas waktu penyampaian sampai
- 18 -
dengan 30 (tiga puluh) hari setelah akhir batas waktu
penyampaian Rencana Bisnis.
(2) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan
penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (2) apabila BPR dan BPRS
menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis melewati
batas waktu penyampaian sampai dengan 20 (dua puluh)
hari setelah akhir batas waktu penyampaian penyesuaian
Rencana Bisnis.
(3) BPR dan BPRS dinyatakan tidak menyampaikan Rencana
Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
atau penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) apabila sampai dengan
berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), BPR dan BPRS
belum menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaian
Rencana Bisnis.
(4) BPR dan BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan
Rencana Bisnis atau penyesuaiannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tetap wajib menyampaikan
Rencana Bisnis atau penyesuaian Rencana Bisnis kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 25
(1) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) apabila BPR dan BPRS
menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis
melewati batas waktu penyampaian sampai dengan paling
lama 30 (tiga puluh) hari setelah akhir batas waktu
penyampaian Laporan Realisasi Rencana Bisnis.
(2) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) apabila BPR dan BPRS
menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis
melewati batas waktu penyampaian sampai dengan paling
- 19 -
lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah akhir batas waktu
penyampaian Laporan Pengawasan Rencana Bisnis.
(3) BPR dan BPRS dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) atau Laporan Pengawasan Rencana
Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1),
apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu
penyampaian BPR dan BPRS dinyatakan terlambat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), BPR
dan BPRS belum menyampaikan Laporan Realisasi
Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rancana
Bisnis.
(4) BPR dan BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan
Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan/atau Laporan
Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tetap wajib menyampaikan laporan tersebut
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 26
Dalam hal batas akhir penyampaian Laporan Pengawasan
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(2) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur, Laporan
Pengawasan Rencana Bisnis dapat disampaikan pada hari
kerja berikutnya.
Pasal 27
(1) Penyampaian surat dan laporan secara offline
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), Pasal 23
ayat (4), dan Pasal 23 ayat (5) dengan alamat:
a. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan, bagi BPR
dan BPRS yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan; atau
b. Kantor Otoritas Jasa Keuangan, bagi BPR dan BPRS
yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Otoritas Jasa Keuangan.
- 20 -
(2) Khusus untuk BPRS, alamat penyampaian surat dan
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
efektif setelah Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan
surat pemberitahuan resmi kepada BPRS.
(3) Sebelum surat pemberitahuan resmi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPRS, BPRS
menyampaikan surat dan laporan secara offline
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), Pasal 23
ayat (4), dan Pasal 23 ayat (5) dengan alamat:
a. Departemen Perbankan Syariah, bagi BPRS yang
berkantor pusat di wilayah Provinsi DKI Jakarta,
Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, dan
Kabupaten/Kota Bekasi, serta Provinsi Banten; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi BPRS yang
berkantor pusat di luar wilayah Provinsi DKI
Jakarta, Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, dan
Kabupaten/Kota Bekasi, serta Provinsi Banten.
BAB IV
SANKSI
Pasal 28
(1) BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Rencana
Bisnis atau penyesuaiannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) atau ayat (2), atau Laporan
Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1), masing-masing dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan denda:
a.
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari
keterlambatan dan paling banyak sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) bagi BPR atau
BPRS yang memiliki modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
atau
b.
sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per
hari keterlambatan dan paling banyak sebesar
- 21 -
Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) bagi BPR
atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan
Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2), dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan denda:
a. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari
kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) bagi BPR atau
BPRS yang memiliki modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau
b. sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per hari
kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar
Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) bagi BPR atau
BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(3) BPR dan BPRS yang tidak menyampaikan Rencana
Bisnis atau penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) atau Laporan Realisasi
Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) masing-
masing dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan denda:
a. sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) bagi BPR
atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau
b. sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) bagi
BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(4) BPR dan BPRS yang menyampaikan penyesuaian
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2), namun:
a.
b.
dinilai tidak lengkap; dan/atau
tidak dilampiri dokumen dan informasi sesuai
dengan cakupan yang ditetapkan dalam Peraturan
- 22 -
Otoritas Jasa Keuangan ini dan/atau ketentuan
pelaksanaan terkait lainnya,
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) bagi BPR atau BPRS
yang memiliki modal inti kurang dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) atau
sebesar Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) bagi BPR
atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(5) BPR dan BPRS dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) setelah:
a. BPR dan BPRS diberikan 2 (dua) kali surat teguran
oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu
paling lama 14 (empat belas) hari untuk setiap surat
teguran; dan
b. BPR dan BPRS tidak memperbaiki penyesuaian
Rencana Bisnis dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
setelah surat teguran kedua.
Pasal 29
BPR dan BPRS yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4, Pasal
5, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 13 ayat (2), Pasal 24 ayat (4), dan/atau Pasal 25 ayat (4)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan BPR dan BPRS; dan/atau
c. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha BPR
dan BPRS.
Pasal 30
Sanksi atas :
a. keterlambatan penyampaian Rencana Bisnis dan Laporan
Pengawasan Rencana Bisnis BPR dan BPRS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau Pasal 28 ayat (2);
dan
- 23 -
b. tidak disampaikannya Rencana Bisnis dan Laporan
Pengawasan Rencana Bisnis BPR dan BPRS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3),
berlaku efektif sejak bulan Desember 2017.
Pasal 31
Pengenaan sanksi secara penuh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 dan Pasal 29 mulai berlaku untuk Rencana
Bisnis tahun 2019.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
(1) BPR dan BPRS untuk pertama kali menyampaikan
Rencana Bisnis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada tanggal 15 Desember 2017 untuk Rencana
Bisnis tahun 2018.
(2) BPR dan BPRS untuk pertama kali menyampaikan
Laporan Realisasi Rencana Bisnis kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir
bulan Juni 2018.
(3) BPR dan BPRS untuk pertama kali menyampaikan
Laporan Pengawasan Rencana Bisnis kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan setelah akhir
bulan Juni 2018.
Pasal 33
Sanksi atas keterlambatan penyampaian atau tidak
disampaikannya Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/60/KEP/DIR
tanggal 9 Juli 1998 tentang Rencana Kerja dan Laporan
Pelaksanaan Rencana Kerja Bank Pekreditan Rakyat untuk
posisi akhir bulan Desember 2017 mengacu pada sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 24 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 35
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/60/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Rencana Kerja
dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja Bank Perkreditan
Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku mulai tanggal 1
Maret 2018.
- 25 -
Pasal 36
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 258
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 37/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 25 November 2016 </set_date>
<effective_date> 30 November 2016 </effective_date>
<issued_date> 30 November 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '31/60/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011', '9/17/PBI/2007', '20/POJK.03/2014', '4/POJK.03/2015', '5/POJK.03/2015', '13/POJK.03/2015', '3/POJK.03/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 3 /POJK.03/2016
TENTANG
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan
ekonomi nasional secara berkesinambungan dan
dapat melayani berbagai lapisan masyarakat akan jasa
perbankan diperlukan industri perbankan yang kuat
dan berdaya saing;
b. bahwa dalam rangka memperkuat perbankan dan
meningkatkan daya saing khususnya bagi perbankan
syariah, perlu berbagai upaya yang harus dilakukan
antara lain melalui penguatan permodalan, penataan
kepemilikan, peningkatan kualitas pengurus, dan
peningkatan layanan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan ketentuan mengenai Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
-2-
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253).
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
2. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan/atau
secara konvensional yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
3. Kantor Cabang adalah kantor BPRS yang
bertanggungjawab kepada kantor pusat BPRS yang
bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas
sesuai dengan lokasi Kantor Cabang tersebut
melakukan usahanya.
4. Kantor Kas adalah kantor BPRS yang kegiatan
usahanya melakukan pelayanan kas dalam rangka
membantu kantor induknya.
-3-
5. Kegiatan Pelayanan Kas adalah kegiatan Kas Keliling,
Payment Point, dan kegiatan layanan dengan
menggunakan kartu Automated Teller Machine (ATM)
dan/atau kartu debet, atau pelayanan kas lainnya
yang dapat dipersamakan dengan itu.
6. Kas Keliling adalah kegiatan pelayanan kas secara
berpindah-pindah dengan menggunakan alat
transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak
permanen, antara lain kas mobil, kas terapung atau
counter bank tidak permanen.
7. Payment Point adalah kegiatan dalam bentuk
penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara
BPRS dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu,
seperti untuk penerimaan pembayaran tagihan
telepon, tagihan listrik dan/atau penerimaan setoran
dari pihaork ketiga.
8. Automated Teller Machine (ATM) adalah kegiatan kas
atau non kas yang dilakukan secara elektronis untuk
memudahkan nasabah antara lain dalam rangka
menarik atau menyetor secara tunai atau melakukan
pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar
bank dan/atau memperoleh informasi mengenai
saldo/mutasi rekening nasabah.
9. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya
disingkat PPE adalah kegiatan pelayanan kas atau non
kas dalam rangka melayani masyarakat yang
dilakukan dengan menggunakan sarana mesin
elektronis namun tidak termasuk penyediaan
instrumen giral, yang berlokasi baik di dalam maupun
di luar kantor BPRS, yang dapat melakukan pelayanan
penarikan atau penyetoran secara tunai, pembayaran
melalui pemindahbukuan, pemindahan dana antar
bank, dan/atau informasi saldo atau mutasi rekening
nasabah, baik menggunakan jaringan dan/atau mesin
milik BPRS sendiri maupun melalui kerja sama BPRS
dengan pihak lain, antara lain Automated Teller
Machine (ATM) termasuk dalam hal ini adalah
-4-
Automated Deposit Machine (ADM) dan Electronic Data
Capture (EDC).
10. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan syariah berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia.
11. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
12. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
13. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat
dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan
BPRS agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
14. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung
jawab langsung kepada direksi atau mempunyai
pengaruh terhadap kebijakan dan operasional BPRS,
antara lain pemimpin kantor cabang, kepala divisi,
kepala bagian, manajer dan/atau pejabat lainnya yang
setara.
15. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya
disingkat PSP adalah badan hukum, orang
perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham BPRS sebesar 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan memperoleh hak suara; atau
b. memiliki saham BPRS kurang dari 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara, tetapi
yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian BPRS baik secara
langsung maupun tidak langsung.
16. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana
Sertifikasi Kompetensi Kerja yang mendapatkan lisensi
dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
-5-
17. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat dengan RUPS adalah RUPS sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
18. Daftar Tidak Lulus yang selanjutnya disingkat DTL
adalah daftar yang ditatausahakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan yang memuat pihak-pihak yang mendapat
predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan
kepatutan.
Pasal 2
BPRS harus berbadan hukum Perseroan Terbatas.
Pasal 3
BPRS harus memiliki anggaran dasar yang selain
memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan juga harus memuat
ketentuan:
a. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan
anggota DPS diangkat oleh RUPS;
b. pengangkatan anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan anggota DPS berlaku efektif setelah
mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
c.
tugas, wewenang, tanggung jawab dan hal-hal lain
yang terkait dengan persyaratan Direksi, Dewan
Komisaris dan DPS harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
d. RUPS BPRS menetapkan remunerasi anggota Direksi
dan Dewan Komisaris, laporan pertanggungjawaban
tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik,
dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
e. RUPS harus dipimpin oleh Komisaris Utama dan
dalam hal Komisaris Utama berhalangan, RUPS
dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris lainnya.
-6-
BAB II
PENDIRIAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
Pasal 4
BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan
usaha setelah memperoleh izin Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 5
(1) BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara
Indonesia;
b. pemerintah daerah; atau
c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b.
(2) Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan sebagai calon
PSP BPRS, badan hukum dimaksud harus telah
beroperasi paling singkat selama 2 (dua) tahun pada
saat pengajuan permohonan persetujuan prinsip.
Pasal 6
(1) Modal disetor untuk mendirikan BPRS paling sedikit:
a. Rp12.000.000.000,00 (dua belas milyar rupiah),
bagi BPRS yang didirikan di zona 1;
b. Rp7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah), bagi
BPRS yang didirikan di zona 2;
c. Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), bagi
BPRS yang didirikan di zona 3; dan
d. Rp3.500.000.000,00 (tiga milyar lima ratus juta
rupiah), bagi BPRS yang didirikan di zona 4.
(2) Dengan pertimbangan tertentu, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang menetapkan jumlah modal
disetor BPRS lebih tinggi daripada jumlah modal
disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
-7-
Pasal 7
(1) Modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) harus ditempatkan dalam bentuk deposito di
Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah di
Indonesia atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan q.q. (nama calon PSP BPRS)” dengan
keterangan untuk pendirian BPRS yang bersangkutan
dan pencairannya hanya dapat dilakukan setelah
mendapatkan persetujuan dari
Keuangan.
Otoritas Jasa
(2) Penempatan modal disetor dalam bentuk deposito
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara bertahap:
a. paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari modal
disetor sebelum
pengajuan permohonan
persetujuan prinsip pendirian BPRS; dan
b. kekurangan dari modal disetor, disetorkan
sebelum pengajuan permohonan izin usaha
pendirian BPRS.
BAB III
PERIZINAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
Pasal 8
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diberikan dalam
2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pendirian BPRS; dan
b. izin usaha, yaitu izin untuk melakukan kegiatan usaha
BPRS setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a selesai dilakukan.
Bagian Kesatu
Persetujuan Prinsip
Pasal 9
Permohonan persetujuan prinsip pendirian BPRS
-8-
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a diajukan
paling sedikit oleh satu calon PSP BPRS kepada Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan antara
lain:
a. rancangan akta pendirian badan hukum Perseroan
Terbatas (PT), termasuk rancangan anggaran dasar;
b. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya
masing-masing kepemilikan saham;
c.
daftar calon anggota Direksi, calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota DPS disertai dengan
dokumen yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan;
d. rencana struktur organisasi dan jumlah personalia;
e.
analisis potensi dan kelayakan pendirian BPRS;
f. rencana sistem dan prosedur kerja;
g. rencana bisnis;
h. bukti setoran modal paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari modal disetor minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6;
i.
surat pernyataan dari calon pemegang saham BPRS,
bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud pada
huruf h:
1.
tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank
dan/atau pihak lain; dan/atau
2.
tidak berasal dari dan untuk pencucian uang
(money laundering).
Dalam hal calon pemegang saham BPRS adalah
Pemerintah Daerah, surat pernyataan dapat digantikan
oleh Surat Keputusan Kepala Daerah;
j. daftar BPRS dan/atau lembaga keuangan lain yang
dimiliki oleh calon PSP BPRS, disertai dengan laporan
keuangan setiap BPRS atau lembaga keuangan lain
yang dimiliki oleh calon PSP BPRS; dan
k. bukti lunas pembayaran biaya perizinan dalam rangka
pendirian BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan.
-9-
Pasal 10
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak
permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan
diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a.
penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen;
b.
penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan
pendirian BPRS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf e;
c.
analisis yang mencakup antara lain tingkat
kejenuhan jumlah BPRS serta pemerataan
pembangunan ekonomi nasional;
d.
e.
penilaian terhadap komitmen calon pemilik BPRS
dalam pendirian BPRS;
uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon
PSP, calon anggota Direksi, calon anggota Dewan
Komisaris, dan wawancara terhadap calon
anggota DPS;
f.
g.
pemeriksaan setoran modal; dan
penelitian terhadap kinerja keuangan BPRS
dan/atau lembaga keuangan lain yang berada
dalam kepemilikan PSP yang sama.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pihak yang mengajukan permohonan pendirian BPRS
harus melakukan presentasi dan memberikan
penjelasan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai
analisis potensi dan kelayakan pendirian BPRS,
rencana sistem dan prosedur kerja, dan rencana bisnis
(business plan).
Pasal 11
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
-10-
Pasal 10 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip
diberikan dan tidak dapat diperpanjang.
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
melakukan kegiatan usaha sebelum mendapat izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terlampaui dan calon pemilik BPRS tidak
mengajukan permohonan izin usaha kepada Otoritas
Jasa Keuangan, persetujuan prinsip yang telah
diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Kedua
Izin Usaha
Pasal 12
Pihak yang telah mendapatkan persetujuan prinsip
mengajukan izin usaha BPRS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf b, kepada Dewan Komisioner Otoritas
Jasa Keuangan dengan melampirkan, antara lain:
a. akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT),
yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang;
b.
daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf b, dalam hal terjadi perubahan
pemegang saham;
c.
daftar calon anggota Direksi, calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota DPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dalam hal terjadi
perubahan calon anggota Direksi, calon anggota
Dewan Komisaris dan/atau calon anggota DPS;
d. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6; dan
e. bukti kesiapan operasional, mencakup paling sedikit:
1. struktur
personalia;
organisasi termasuk susunan
-11-
2. sistem dan prosedur kerja;
3. daftar aset tetap dan inventaris;
4.
bukti penguasaan gedung kantor berupa bukti
kepemilikan
gedung kantor yang didukung dengan bukti
kepemilikan dari pihak yang menyewakan;
5. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
6. contoh formulir atau warkat yang akan
digunakan untuk operasional BPRS; dan
7. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pasal 13
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan izin usaha paling lambat
40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan berikut
dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a.
b.
c.
atau perjanjian sewa-menyewa
penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen;
analisis terhadap kesiapan operasional pendirian
BPRS;
uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon
PSP, calon anggota Direksi, calon anggota Dewan
Komisaris, dan wawancara terhadap calon
anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf b dan huruf c dalam hal terdapat
penggantian atas calon yang diajukan
sebelumnya;
d. pemeriksaan setoran modal; dan
e. penelitian terhadap kinerja keuangan BPRS
dan/atau lembaga keuangan lain yang berada
dalam kepemilikan PSP yang sama.
-12-
Pasal 14
(1) BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan wajib melaksanakan kegiatan usaha
paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal izin usaha.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi
BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
pelaksanaan kegiatan usaha.
(3) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terlampaui dan BPRS tidak melakukan kegiatan
usaha maka izin usaha BPRS yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan wajib mencantumkan secara jelas frasa “Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau
“BPRS” pada penulisan namanya dan logo iB pada kantor
BPRS yang bersangkutan.
BAB IV
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL
Bagian Kesatu
Kepemilikan
Pasal 16
(1) Kepemilikan BPRS oleh badan hukum Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib
memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. bagi badan hukum Perseroan Terbatas,
Perusahaan Daerah, atau Koperasi paling banyak
sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang
bersangkutan dan tidak melebihi jumlah yang
diperkenankan bagi badan hukum tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
-13-
yang berlaku; dan
b. bagi badan hukum yayasan atau badan hukum
lainnya paling banyak sebesar jumlah yang
diperkenankan bagi badan hukum tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Perhitungan kepemilikan dilakukan pada awal
pendirian BPRS dan pada saat dilakukan penambahan
modal disetor oleh badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal badan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki saham BPRS paling sedikit 25% (dua
puluh lima persen), BPRS wajib menyampaikan
laporan keuangan tahunan yang disusun oleh badan
hukum tersebut sesuai peraturan perundang-
undangan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat akhir bulan Juni tahun berikutnya.
Pasal 17
Sumber dana untuk kepemilikan BPRS dilarang:
a. berasal dari pinjaman dan/atau fasilitas pembiayaan
dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain;
dan/atau
b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money
laundering).
Pasal 18
(1) Pemegang saham BPRS dilarang menarik kembali
modal yang telah disetor.
(2) Dalam hal pemegang saham bermaksud
mengundurkan diri sebagai pemegang saham BPRS,
pemegang saham dimaksud wajib mengalihkan
kepemilikan sahamnya kepada pihak lain sesuai
dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 19
(1) Pihak yang dapat menjadi pemilik BPRS harus
memenuhi persyaratan, paling sedikit:
-14-
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perbankan syariah dan peraturan perundang-
undangan;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan BPRS yang sehat dan tangguh
(sustainable);
d. tidak termasuk dalam DTL;
e. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan
macet;
f. memiliki komitmen untuk tidak melakukan
dan/atau mengulang perbuatan dan/atau
tindakan yang termasuk dalam cakupan uji
kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan BPRS;
g. tidak menjadi pengendali, anggota Direksi, atau
anggota Dewan Komisaris dari badan hukum yang
mempunyai kredit macet dan/atau pembiayaan
macet; dan
h. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau
anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan
pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir
sebelum dicalonkan.
(2) Pihak-pihak yang dapat menjadi PSP harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
persyaratan kelayakan keuangan sesuai dengan
ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan
BPRS.
(3) Dalam hal pemilik BPRS berbentuk badan hukum,
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku bagi pemilik, anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan/atau pengurus dari badan hukum
dimaksud.
-15-
(4) Persyaratan bagi pemilik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak berlaku dalam hal pemilik BPRS
berbentuk badan hukum berupa Koperasi dan
Yayasan.
Pasal 20
Setiap BPRS wajib memiliki paling sedikit 1 (satu)
pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham
paling sedikit 25% (dua puluh lima persen).
Bagian Kedua
Perubahan Kepemilikan
Pasal 21
(1) Perubahan kepemilikan BPRS yang mengakibatkan
perubahan dan/atau terjadinya PSP baru, wajib
memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perubahan kepemilikan BPRS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tunduk pada tata cara perubahan
kepemilikan BPRS yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi.
(3) Perubahan kepemilikan BPRS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai akibat adanya pewarisan tidak
diperlakukan sebagai akuisisi namun tetap wajib
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Perubahan kepemilikan BPRS yang tidak
mengakibatkan perubahan PSP dan/atau terjadinya
PSP baru wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja setelah perubahan.
Bagian Ketiga
Perubahan Modal
Pasal 22
Direksi BPRS wajib melaporkan perubahan modal dasar
-16-
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja sejak BPRS menerima persetujuan perubahan
anggaran dasar dari instansi berwenang, dengan dilampiri:
a. akta perubahan anggaran dasar sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
b. bukti persetujuan perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud pada huruf a dari instansi
yang berwenang.
Pasal 23
BPRS wajib mengadministrasikan dengan tertib daftar
pemegang saham dan perubahannya.
Pasal 24
(1) Dalam rangka penambahan modal disetor, pemegang
saham dan/atau calon pemegang saham harus
mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemegang saham dan/atau calon pemegang saham
menyampaikan permohonan persetujuan penambahan
modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri:
a. bukti setoran modal; dan
b. dokumen pendukung.
(3) Penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus ditempatkan dalam bentuk
deposito pada Bank Umum Syariah dan/atau Unit
Usaha Syariah di Indonesia atau pada BPRS yang
bersangkutan, kecuali penambahan modal disetor
yang bersumber dari dividen BPRS yang bersangkutan
dapat ditempatkan dalam bentuk lain.
(4) Penambahan modal disetor yang ditempatkan dalam
bentuk deposito pada BPRS yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya berlaku:
a.
bagi BPRS yang tidak dalam status pengawasan
khusus; dan
b. dilakukan oleh pemegang saham BPRS yang
bersangkutan.
-17-
(5) Tata cara penambahan modal disetor:
a. dalam bentuk deposito pada Bank Umum Syariah
dan/atau Unit Usaha Syariah di Indonesia
dengan cara mencantumkan atas nama ”Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama
BPRS)”, dan mencantumkan keterangan nama
penyetor tambahan modal serta keterangan
bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan; dan/atau
b. dalam bentuk deposito pada BPRS yang
bersangkutan dengan cara mencantumkan atas
nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
q.q. (nama pemegang saham penyetor)” dan
mencantumkan keterangan bahwa pencairannya
hanya dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan penambahan modal
disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
(7) Penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) harus disetujui oleh RUPS paling lambat
60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(8) Apabila jangka waktu yang ditentukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) terlampaui, persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) dinyatakan tidak berlaku.
(9) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan penambahan
modal disetor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan modal
disetor disetujui dalam RUPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), dengan dilampiri:
a. bukti penyetoran;
-18-
b. risalah RUPS;
c. surat pernyataan dari pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf i;
dan
d. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya
masing-masing kepemilikan saham.
(10) BPRS wajib melaporkan perubahan modal disetor
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal surat penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar atau pengesahan dari
instansi yang berwenang, dengan dilampiri:
a. akta perubahan anggaran dasar sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dan
b. bukti
penerimaan pemberitahuan
pengesahan
atau
perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud pada huruf a dari
instansi yang berwenang.
BAB V
DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS
SYARIAH DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Kesatu
Direksi dan Dewan Komisaris
Pasal 25
(1) Anggota Direksi dan Dewan Komisaris harus
memenuhi persyaratan integritas, kompetensi dan
reputasi keuangan.
(2) Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan
persyaratan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris mengacu pada ketentuan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Pasal 26
-19-
(1) Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan
kepengurusan BPRS.
(2) Direksi wajib melakukan pengelolaan BPRS sesuai
dengan kewenangan dan tanggung jawabnya
sebagaimana diatur dalam anggaran dasar BPRS dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
perbankan syariah.
(3) Pengelolaan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus memenuhi prinsip kehati-hatian dan Prinsip
Syariah.
Pasal 27
(1) Jumlah anggota Direksi BPRS paling sedikit 2 (dua)
orang.
(2) Direksi dipimpin oleh Presiden Direktur atau Direktur
Utama.
(3) Paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari anggota
Direksi termasuk Direktur Utama harus
berpengalaman operasional paling singkat:
a. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang
pendanaan dan/atau pembiayaan di perbankan
syariah;
b. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang
pendanaan dan/atau perkreditan di perbankan
konvensional dan memiliki pengetahuan di bidang
perbankan syariah; atau
c. 3 (tiga) tahun sebagai direksi atau setingkat
dengan direksi di lembaga keuangan mikro
syariah.
(4) Anggota Direksi berpendidikan formal paling rendah
setingkat Diploma III atau Sarjana Muda.
(5) Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kompetensi
kerja dari Lembaga Sertifikasi Profesi paling lambat 2
(dua) tahun sejak tanggal pengangkatan efektif.
(6) Direktur Utama dan anggota Direksi lainnya wajib
bertindak independen dalam menjalankan tugasnya.
(7) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri maupun
-20-
bersama-sama dilarang memiliki saham sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor
BPRS.
Pasal 28
(1) Seluruh anggota Direksi wajib berdomisili di dekat
tempat kedudukan kantor pusat BPRS.
(2) Mayoritas Anggota Direksi dilarang memiliki hubungan
semenda atau hubungan keluarga sampai dengan
derajat kedua dengan:
a. anggota Direksi lainnya; dan/atau
b. anggota Dewan Komisaris.
(3) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS atau Pejabat Eksekutif pada lembaga keuangan,
badan usaha atau lembaga lain, kecuali sebagai
pengurus organisasi/lembaga non profit sepanjang
tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai Direksi
BPRS.
(4) Anggota Direksi BPRS yang merangkap jabatan sebagai
pengurus organisasi/lembaga non profit sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum
yang mengakibatkan pengalihan tugas, wewenang dan
tanggung jawab kepada pihak lain.
Pasal 29
(1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta
memberikan nasihat kepada Direksi.
(2) Pengawasan dan nasihat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga Direksi
dapat mengembangkan dan memitigasi risiko atas
kegiatan bisnisnya.
(3) Dewan Komisaris wajib mendorong Direksi BPRS
untuk memenuhi prinsip kehati-hatian dan Prinsip
Syariah.
-21-
Pasal 30
(1) Jumlah anggota Dewan Komisaris paling sedikit 2
(dua) orang dan paling banyak sama dengan jumlah
anggota Direksi.
(2) Dalam hal jumlah anggota Direksi lebih dari 2 (dua)
orang, maka jumlah anggota Dewan Komisaris paling
banyak 3 (tiga) orang.
(3) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit 1 (satu) orang
wajib berdomisili di dekat tempat kedudukan BPRS.
(4) Dewan Komisaris dipimpin oleh Presiden Komisaris
atau Komisaris Utama.
(5) Anggota Dewan Komisaris harus memiliki:
a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai
dan relevan dengan jabatannya;dan/atau
b. pengalaman di bidang perbankan dan/atau
lembaga jasa keuangan non bank.
(6) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memiliki sertifikat
kompetensi kerja dari Lembaga Sertifikasi Profesi
paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal
pengangkatan efektif.
(7) Dewan Komisaris wajib melakukan rapat Dewan
Komisaris secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 3 (tiga) bulan.
(8) Dewan Komisaris wajib mempresentasikan hasil
pengawasan terhadap BPRS apabila diminta Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 31
(1) Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkap
jabatan paling banyak pada 2 (dua) perusahaan lain
sebagai berikut :
a. anggota Dewan Komisaris BPR/BPRS lain; atau
b. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi,
dan/atau
Pejabat
Eksekutif
lembaga/perusahaan lain non bank; atau
pada
-22-
c. kombinasi huruf a dan b.
(2) Anggota Dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan
sebagai anggota Direksi pada BPRS lain, Bank
Perkreditan Rakyat dan/atau Bank Umum.
Pasal 32
(1) Anggota Dewan Komisaris dilarang memiliki hubungan
keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan sesama anggota Dewan Komisaris; dan/atau
(2) Mayoritas anggota Dewan Komisaris dilarang memiliki
hubungan keluarga atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan anggota Direksi.
Pasal 33
Anggota Dewan Komisaris dilarang memberikan kuasa
umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan
wewenang tanpa batas.
Pasal 34
Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan/atau Pejabat Eksekutif
dilarang mengambil keputusan.
Pasal 35
(1) Calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan
Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas
Jasa Keuangan sebelum menjalankan tugas dan fungsi
dalam jabatannya.
(2) BPRS mengajukan permohonan untuk memperoleh
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan
dokumen pendukung.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan uji
kemampuan dan kepatutan.
(4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
pengajuan calon anggota Direksi dan/atau calon
-23-
anggota Dewan Komisaris paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang
dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(5) Pengangkatan calon anggota Direksi dan/atau calon
anggota Dewan Komisaris harus dilakukan oleh RUPS
paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja
terhitung sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(6) Dalam hal pengangkatan calon anggota Direksi
dan/atau calon Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS
melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), persetujuan yang telah diberikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan dan penetapan hasil uji
kemampuan dan kepatutan batal dan dinyatakan
tidak berlaku.
(7) Pengangkatan calon anggota Direksi dan/atau calon
Dewan Komisaris berlaku efektif setelah mendapat
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(8) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris wajib dilaporkan oleh BPRS kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal rapat umum pemegang saham.
Pasal 36
(1) BPRS wajib menyampaikan rencana pemberhentian
atau pengunduran diri anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris kepada Otoritas Jasa
Keuangan disertai dengan alasan pemberhentian atau
pengunduran diri.
(2) Pemberhentian atau pengunduran diri anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif setelah
mendapat penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pemberhentian atau pengunduran diri anggota anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
-24-
sejak pemberhentian atau pengunduran diri berlaku
efektif.
(4) Dalam hal anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
meninggal dunia, BPRS wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris meninggal dunia disertai
dengan surat keterangan kematian dari instansi yang
berwenang.
Pasal 37
(1) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris diberhentikan oleh RUPS sehingga
mengakibatkan tidak terpenuhinya
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
dan/atau Pasal 30 ayat (1), BPRS wajib melakukan
penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari
kerja sejak tanggal anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris
keputusan RUPS.
(2) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris
mengundurkan diri
mengakibatkan tidak terpenuhinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
dan/atau Pasal 30 ayat (1), BPRS wajib melakukan
penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari
kerja sejak tanggal pengunduran diri berlaku efektif.
(3) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris meninggal dunia sehingga mengakibatkan
tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 30 ayat (1),
BPRS wajib melakukan penggantian anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lambat 120
(seratus dua puluh) hari kerja sejak dinyatakan
meninggal sesuai dengan surat keterangan kematian
sehingga
ketentuan
diberhentikan berdasarkan
-25-
dari instansi yang berwenang.
(4) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris melanggar ketentuan yang menyebabkan
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
harus mengundurkan diri atau diberhentikan sehingga
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 30 ayat (1),
BPRS wajib melakukan penggantian anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lambat 120
(seratus dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat
pemberitahuan atau keputusan Otoritas Jasa
Keuangan.
(5) BPRS wajib menyelenggarakan RUPS untuk
melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris karena masa jabatannya
berakhir paling lambat pada tanggal berakhirnya masa
jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris tersebut.
Pasal 38
(1) Pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris oleh RUPS harus dilakukan
paling lambat pada tanggal berakhirnya masa jabatan
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris.
(2) BPRS wajib menyampaikan laporan pengangkatan
kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal RUPS.
(3) Penyampaian laporan pengangkatan kembali
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan
dokumen:
a.
risalah RUPS yang menyetujui pengangkatan
kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris; dan
b. bukti persetujuan perubahan anggaran dasar
dan/atau penerimaan pelaporan atas
-26-
pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris.
(4) Dalam hal:
a. BPRS tidak dapat menyelenggarakan RUPS dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1); atau
b. RUPS dilaksanakan namun tidak menyetujui
untuk mengangkat kembali anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris,
masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris dimaksud berakhir.
(5) Anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
yang telah berakhir masa jabatannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan dicalonkan kembali
sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris, calon dimaksud harus memperoleh
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan dengan
berpedoman pada tata cara pengajuan calon anggota
Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 39
(1) BPRS wajib membentuk DPS yang berkedudukan di
kantor pusat BPRS.
(2) Jumlah anggota DPS paling sedikit 2 (dua) orang dan
paling banyak 3 (tiga) orang.
(3) DPS dipimpin oleh seorang ketua yang berasal dari
salah satu anggota DPS.
(4) Anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai
anggota DPS paling banyak pada 4 (empat) lembaga
keuangan syariah lain.
Pasal 40
-27-
Anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Integritas, yang paling sedikit mencakup:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perbankan syariah dan peraturan perundang-
undangan;
3. memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan operasional BPRS yang sehat;
4. tidak termasuk dalam DTL sebagaimana diatur
dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai uji kemampuan dan kepatutan bagi
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
b. Kompetensi, yang paling sedikit memiliki pengetahuan
dan pengalaman di bidang syariah mu’amalah dan
pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan
secara umum; dan
c. Reputasi keuangan, yang paling sedikit mencakup:
1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet;
2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
pemegang saham, anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit,
dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum
dicalonkan.
Pasal 41
(1) DPS bertugas dan bertanggungjawab memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi
penerapan Prinsip Syariah dalam penghimpunan dana,
pembiayaan dan kegiatan jasa BPRS lainnya.
(2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi antara
lain:
a. mengawasi proses pengembangan produk baru
BPRS;
b. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional
-28-
untuk produk baru BPRS yang belum ada
fatwanya;
c. melakukan tinjauan (review) secara berkala
terhadap mekanisme penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa BPRS; dan
d. meminta data dan informasi terkait dengan aspek
syariah dari satuan kerja di BPRS dalam rangka
pelaksanan tugasnya.
(3) Tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai pedoman pelaksanaan tugas DPS
yang berlaku.
Pasal 42
(1) Anggota DPS diangkat oleh RUPS.
(2) Pengangkatan anggota DPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat rekomendasi
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia.
(3) Pengangkatan anggota DPS berlaku efektif setelah
mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberikan paling sedikit berdasarkan:
a. hasil penilaian terhadap komitmen calon anggota
DPS dalam pengawasan BPRS dan ketersediaan
waktu; dan
b. hasil wawancara terhadap calon anggota DPS.
Pasal 43
(1) BPRS wajib menyampaikan rencana pemberhentian
dan/atau pengunduran diri anggota DPS kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota
DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah mendapat penegasan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota
DPS diputuskan oleh RUPS dan/atau mekanisme
-29-
lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar.
Bagian Ketiga
Pejabat Eksekutif
Pasal 44
(1) Pengangkatan, penggantian atau pemberhentian
Pejabat Eksekutif BPRS wajib dilaporkan oleh Direksi
BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
pengangkatan, penggantian atau pemberhentian
efektif.
(2) Apabila menurut penilaian dan penelitian Otoritas
Jasa Keuangan, Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam DTL, daftar
kredit macet atau terdapat informasi lain yang
menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas dan
kompetensi, maka pengangkatan Pejabat Eksekutif
tersebut wajib dibatalkan paling lambat 20 (dua puluh)
hari kerja sejak tanggal surat penegasan dari Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB VI
KEGIATAN USAHA
Pasal 45
Dalam melaksanakan kegiatan usaha BPRS wajib
menerapkan Prinsip Syariah dan prinsip kehati-hatian.
BAB VII
PEMBUKAAN KANTOR BPRS
Pasal 46
(1) BPRS hanya dapat melakukan pembukaan Kantor
Cabang dalam wilayah provinsi yang sama dengan
kantor pusat BPRS.
-30-
(2) BPRS hanya dapat melakukan pembukaan Kantor
Kas dalam wilayah kabupaten/kota yang sama
dengan kantor induknya dan/atau dalam wilayah
kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan
kabupaten/kota lokasi kantor induknya dalam 1
(satu) wilayah provinsi yang sama.
(3) Kegiatan Kas Keliling dan Payment Point hanya dapat
dilakukan dalam wilayah kabupaten/kota yang sama
dengan kantor induk dari Kas Keliling dan Payment
Point.
(4) Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta,
Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten/Kota
Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan
Kabupaten/Kota Bekasi diperlakukan sebagai satu
wilayah provinsi untuk keperluan perizinan
pembukaan Kantor Cabang.
(5) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang
menyebabkan Kantor Kas, Kantor Cabang dan kantor
pusat BPRS berada di wilayah provinsi yang berbeda,
BPRS dapat tetap beroperasi di wilayah tersebut.
Bagian Kesatu
Kantor Cabang
Pasal 47
(1) BPRS wajib memperoleh izin Otoritas Jasa Keuangan
untuk melakukan pembukaan Kantor Cabang.
(2) Pengajuan permohonan pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. telah tercantum dalam rencana kerja tahunan
BPRS;
b. memenuhi kelengkapan organisasi dan
infrastruktur antara lain meliputi teknologi
sistem informasi yang memadai dan gedung;
c. memiliki rasio Non Performing Financing (NPF)
gross paling tinggi 7% (tujuh persen) selama 6
-31-
(enam) bulan terakhir;
d. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun
terakhir;
e. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat
komposit minimal 2 (dua) selama 2 (dua) periode
penilaian terakhir;
f.
memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) paling sedikit 12% (dua belas
persen) selama 6 (enam) bulan terakhir;
g. tidak terdapat pelampauan dan/atau
pelanggaran Batas Maksimum Penyaluran Dana
(BMPD); dan
h. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait
dengan BPRS.
Pasal 48
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan pembukaan Kantor
Cabang paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak
permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan
diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka pemberian persetujuan atau penolakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan antara lain:
a.
penelitian atas pemenuhan persyaratan serta
kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. penilaian terhadap kesiapan operasional Kantor
Cabang;
c.
penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan
pembukaan kantor cabang yang disampaikan
oleh BPRS; dan
d. penilaian atas kinerja keuangan BPRS.
Pasal 49
(1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang wajib
dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal izin diterbitkan.
-32-
(2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi
BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pembukaan.
(3) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terlampaui dan BPRS tidak melaksanakan
pembukaan Kantor Cabang maka izin pembukaan
Kantor Cabang yang telah diberikan dinyatakan tidak
berlaku.
Bagian Kedua
Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas
Pasal 50
Rencana pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan
Kas harus dicantumkan dalam rencana kerja tahunan
BPRS.
Pasal 51
(1) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan pembukaan
Kantor Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
pembukaan.
(2) Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. menerima setoran dalam rangka pembukaan
rekening tabungan atau deposito;
b. menerima angsuran pembiayaan;
c. menerima setoran tabungan nasabah;
d. melayani penarikan tabungan bagi nasabah
sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh
kantor induknya;
e. menerima titipan dana dalam rangka pelayanan
jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran
tagihan listrik, telepon, air dan lainnya;
f. menerima permohonan pembiayaan; dan
g. melakukan pencairan pembiayaan setelah proses
-33-
analisis dan persetujuan pembiayaan oleh kantor
induknya.
Pasal 52
(1) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan Kas
Keliling dan Payment Point kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
tanggal pelaksanaan kegiatan.
(2) Kegiatan Kas Keliling sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), yaitu:
a. menerima angsuran pembiayaan;
b. menerima setoran tabungan nasabah;
c. melayani penarikan tabungan bagi nasabah
sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh
kantor induknya; dan
d. menerima titipan dana dalam rangka pelayanan
jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran
tagihan listrik, telepon, air, dan lainnya.
(3) Kegiatan Payment Point sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan pelayanan transaksi yang
dilakukan berdasarkan perjanjian kerjasama dengan
pihak ketiga, yaitu:
a. menerima angsuran pembiayaan;
b. menerima setoran tabungan nasabah;
c. melayani penarikan tabungan bagi nasabah
sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh
kantor induknya;
d. menerima titipan dana dalam rangka pelayanan
jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran
tagihan listrik, telepon, air, dan lainnya; dan/atau
e. pembayaran gaji pegawai/karyawan.
Pasal 53
BPRS wajib menggabungkan laporan keuangan Kantor Kas,
kegiatan Kas Keliling dan Payment Point dengan laporan
keuangan kantor pusat atau Kantor Cabang yang menjadi
kantor induknya pada hari yang sama.
-34-
BAB VIII
KEGIATAN LAYANAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU
AUTOMATED TELLER MACHINE DAN/ATAU KARTU DEBET
Pasal 54
(1) Dalam hal BPRS merencanakan melakukan kegiatan
layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau
kartu debet, BPRS wajib mengajukan permohonan izin
sebagai penerbit kartu ATM dan/atau kartu debet
kepada Bank Indonesia setelah mendapat persetujuan
dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPRS mengajukan
permohonan persetujuan kegiatan layanan dengan
menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan persyaratan
sebagai berikut:
a. rencana kegiatan layanan dengan menggunakan
kartu ATM dan/atau kartu debet telah tercantum
dalam rencana kerja tahunan BPRS;
b. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat
komposit minimal 2 (dua) selama 2 (dua) periode
penilaian terakhir;
c.
tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun
terakhir;
d. memiliki teknologi sistem informasi yang
memadai; dan
e.
tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait
dengan BPRS.
(3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan untuk melakukan
kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM
dan/atau kartu debet sebagaimana dimaksud pada
angka 1 paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan
diterima secara lengkap.
(4) Kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM
-35-
dan/atau kartu debet yang diselenggarakan dengan
menggunakan PPE yang dikelola sendiri oleh BPRS
hanya dapat dilakukan dalam wilayah provinsi yang
sama dengan provinsi tempat kedudukan kantor pusat
BPRS.
(5) BPRS wajib melaporkan penggunaan PPE dan setiap
penambahan PPE yang dikelola sendiri oleh BPRS
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM
dan/atau kartu debet dapat dilakukan sampai keluar
wilayah provinsi tempat kedudukan kantor induk
BPRS melalui kerjasama dengan:
a. jaringan bersama ATM; dan/atau
b. bank umum.
(7) BPRS wajib menyampaikan laporan kegiatan layanan
dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu
debet sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
pelaksanaan kegiatan.
Pasal 55
BPRS dilarang melakukan kegiatan sebagai acquirer.
Pasal 56
BPRS wajib menggabungkan laporan keuangan kegiatan
layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu
debet dengan laporan keuangan kantor pusat atau Kantor
Cabang yang menjadi kantor induknya pada hari yang
sama.
BAB IX
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
Bagian Kesatu
Kantor Pusat dan Kantor Cabang
-36-
Pasal 57
(1) BPRS wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan pemindahan alamat
kantor pusat.
(2) Pemindahan alamat kantor pusat dapat dilakukan di
seluruh wilayah Indonesia.
(3) BPRS yang melakukan pemindahan alamat kantor
pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke zona
yang memiliki persyaratan modal disetor pendirian
BPRS yang lebih tinggi dari zona kantor pusat BPRS
semula, harus memenuhi persyaratan modal disetor
pendirian BPRS di zona kantor pusat BPRS yang baru.
(4) Pemberian persetujuan pemindahan alamat kantor
pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pemindahan alamat kantor
pusat; dan
b. persetujuan pemindahan alamat kantor pusat,
yaitu persetujuan untuk melakukan pemindahan
alamat kantor pusat.
(5) Dalam hal pemindahan alamat kantor pusat dilakukan
dalam wilayah kabupaten/kota yang sama dengan
lokasi kantor pusat sebelumnya, pemberian
persetujuan pemindahan alamat kantor pusat
dilakukan dalam 1 (satu) tahap.
(6) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diajukan
oleh BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
sedikit disertai dengan:
a. alasan pemindahan alamat kantor pusat dan
rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan
dan kewajiban;
b.
c.
analisis potensi dan kelayakan pemindahan
alamat kantor pusat; dan
risalah RUPS mengenai persetujuan pemindahan
alamat kantor.
-37-
(7) BPRS harus melakukan penyelesaian atau pengalihan
tagihan dan kewajiban dalam waktu paling lama 120
(seratus dua puluh) hari kerja setelah BPRS
memperoleh persetujuan prinsip.
(8) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) terlampaui dan BPRS tidak mengajukan
permohonan persetujuan pemindahan alamat kantor
pusat, persetujuan prinsip yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
(9) Permohonan untuk memperoleh persetujuan
pemindahan alamat kantor pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b diajukan oleh BPRS
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling sedikit disertai
dengan:
a. kesiapan operasional kantor pusat dan Kantor
Cabang;
b. akta perubahan anggaran dasar yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang;
c.
bukti penyelesaian atau pengalihan tagihan dan
kewajiban.
(10) Pemindahan kantor pusat dilakukan setelah
penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban
BPRS di tempat kedudukan semula.
(11) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan persetujuan pemindahan
alamat kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja
sejak permohonan berikut dokumen yang
dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(12) Dalam hal pemindahan alamat kantor pusat ke
wilayah provinsi yang berbeda, BPRS harus:
a. menutup dan memindahkan Kantor Cabang BPRS
ke dalam wilayah provinsi yang sama dengan
kantor pusat BPRS yang baru; atau
b. menutup Kantor Cabang BPRS.
(13) Mekanisme penutupan dan pemindahan Kantor
Cabang BPRS ke dalam wilayah provinsi yang sama
-38-
dengan kantor pusat BPRS sebagaimana dimaksud
pada ayat (12) harus memenuhi ketentuan penutupan
dan pembukaan Kantor Cabang.
Pasal 58
(1) BPRS wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan pemindahan alamat
Kantor Cabang.
(2) Pemindahan alamat Kantor Cabang hanya dapat
dilakukan dalam wilayah provinsi yang sama dengan
kantor pusat.
(3) Persetujuan atas permohonan pemindahan alamat
Kantor Cabang diberikan berdasarkan pertimbangan,
antara lain:
a. alasan pemindahan Kantor Cabang;
b. kesiapan operasional Kantor Cabang;
c. hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama
dan studi kelayakan usaha pada lokasi kantor
yang baru;
d. jarak lokasi kantor lama dengan yang baru;
e. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan
f.
infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang
baru.
(4) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan pemindahan alamat
Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan
diterima secara lengkap.
(5) Khusus untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok,
Kabupaten atau Kota Tangerang, Kota Tangerang
Selatan, Kabupaten atau Kota Bekasi diperlakukan
sebagai 1 (satu) wilayah provinsi untuk keperluan
pemindahan alamat Kantor Cabang.
-39-
Pasal 59
(1) BPRS wajib mengumumkan pemindahan alamat
kantor pusat dan/atau Kantor Cabang dalam surat
kabar harian lokal dan/atau pada papan
pengumuman pada kantor BPRS yang bersangkutan
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(2) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan pemindahan
alamat kantor pusat dan/atau Kantor Cabang kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemindahan
alamat.
(3) Apabila dalam jangka waktu 40 (empat puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan,
BPRS tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor,
maka persetujuan pemindahan alamat kantor pusat
dan/atau Kantor Cabang yang telah diterbitkan akan
ditinjau kembali.
Bagian Kedua
Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas
Pasal 60
(1) Pemindahan alamat Kantor Kas dan Kegiatan
Pelayanan Kas hanya dapat dilakukan di wilayah
Kabupaten/Kota yang sama dengan kedudukan kantor
BPRS yang menjadi induknya dan/atau dalam wilayah
kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan
kabupaten/kota lokasi kantor induknya dalam 1 (satu)
wilayah provinsi yang sama.
(2) Pemindahan alamat Kantor Kas dan Kegiatan
Pelayanan Kas harus mempertimbangkan kepentingan
nasabah.
Pasal 61
(1) BPRS wajib mengumumkan pemindahan alamat
Kantor Kas kepada nasabah dan masyarakat paling
-40-
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal
pelaksanaan.
(2) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan pemindahan
alamat Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan.
BAB X
PENUTUPAN KANTOR
Bagian Kesatu
Kantor Cabang
Pasal 62
BPRS wajib mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan penutupan Kantor Cabang.
Pasal 63
(1) Pemberian persetujuan penutupan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan
dalam 2 (dua) tahap, yaitu:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan penutupan Kantor
Cabang; dan
b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan
untuk melakukan penutupan Kantor Cabang.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan
oleh BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai
dengan dokumen berupa penjelasan mengenai
langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka
penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang
kepada nasabah dan pihak lainnya.
(3) Permohonan untuk memperoleh
persetujuan
penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b diajukan oleh BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan
setelah penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang
-41-
kepada nasabah dan pihak lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) telah dilakukan.
(4) Seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah
dan pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diselesaikan dalam waktu paling lama 120 (seratus
dua puluh) hari kerja setelah BPRS memperoleh
persetujuan prinsip, didukung dengan dokumen
penyelesaian kewajiban.
(5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) terlampaui dan BPRS tidak mengajukan
permohonan persetujuan penutupan Kantor Cabang
maka persetujuan prinsip yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
(6) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
pemeriksaan kepada BPRS terkait dengan
penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang yang
akan ditutup.
(7) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan persetujuan penutupan
Kantor Cabang paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap dan seluruh kewajiban telah diselesaikan.
(8) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan persetujuan penutupan
Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
berdasarkan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen; dan
b. pemeriksaan terhadap penyelesaian kewajiban
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(9) Penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diumumkan oleh BPRS dalam surat
kabar harian lokal dan/atau pada papan
pengumuman di seluruh kantor BPRS yang
bersangkutan, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal persetujuan prinsip dari Otoritas Jasa
Keuangan diberikan.
-42-
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 64
(1) BPRS wajib melakukan penutupan Kantor Cabang
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
persetujuan penutupan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) BPRS wajib mengumumkan penutupan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam surat
kabar harian lokal dan/atau pada papan
pengumuman di seluruh kantor BPRS yang
bersangkutan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal persetujuan penutupan dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan penutupan
Kantor Cabang kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
pelaksanaan penutupan, disertai dengan bukti
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kedua
Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas
Pasal 65
BPRS wajib menyampaikan laporan rencana penutupan
Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas kepada Otoritas
Jasa Keuangan disertai dengan alasan penutupan paling
lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan.
Pasal 66
BPRS wajib melaporkan pelaksanaan penutupan Kantor
Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
tanggal penutupan.
-43-
BAB XI
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN NAMA
Bagian Kesatu
Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 67
BPRS wajib melaporkan setiap perubahan anggaran dasar
BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak BPRS
menerima persetujuan atau penerimaan pemberitahuan
perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang
dengan melampirkan dokumen pendukung.
Bagian Kedua
Perubahan Nama
Pasal 68
(1) Perubahan nama BPRS wajib dilakukan dengan
memenuhi peraturan perundang-undangan.
(2) BPRS yang telah memperoleh persetujuan perubahan
anggaran dasar terkait penggunaan nama baru dari
instansi berwenang wajib mengajukan permohonan
mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang
dimiliki BPRS dengan nama yang baru.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan oleh BPRS paling lambat 20 (dua puluh) hari
kerja setelah perubahan nama mendapat persetujuan
dari instansi berwenang disertai dengan:
a. alasan perubahan nama;
b. akta perubahan anggaran dasar; dan
c. bukti persetujuan atas perubahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang.
(4) Dalam hal permohonan perubahan nama BPRS karena
adanya perubahan kepemilikan, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan persetujuan setelah BPRS
menyelesaikan seluruh proses perubahan kepemilikan
dengan mengacu pada ketentuan perubahan
-44-
kepemilikan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
(5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan
penetapan penggunaan izin usaha BPRS dengan nama
baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama
20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen permohonan
diterima secara lengkap.
Pasal 69
(1) BPRS wajib mengumumkan perubahan nama kepada
masyarakat dalam surat kabar harian lokal dan/atau
pada papan pengumuman kantor BPRS yang
bersangkutan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) BPRS wajib menyampaikan bukti pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
sejak tanggal pengumuman.
BAB XII
PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN
PEMEGANG SAHAM
Pasal 70
Pemegang saham BPRS dapat mengajukan permohonan
pencabutan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan
sepanjang BPRS tidak dalam status pengawasan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai tindak
lanjut penanganan terhadap BPRS dalam status
pengawasan khusus.
Pasal 71
Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha
BPRS atas permintaan pemegang saham BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 apabila BPRS telah
menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabah dan
kreditur lainnya.
-45-
Pasal 72
Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham
BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan
dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip pencabutan izin usaha;
b. persetujuan pencabutan izin usaha.
Bagian Kesatu
Persetujuan Prinsip Pencabutan Izin Usaha
Pasal 73
BPRS mengajukan permohonan persetujuan prinsip
pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 huruf a kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan dengan melampirkan:
a. risalah RUPS mengenai persetujuan atas rencana
pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang
saham BPRS;
b. alasan pencabutan izin usaha atas permintaan
pemegang saham BPRS;
c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban BPRS kepada
nasabah, kreditur, karyawan, dan pihak-pihak
lainnya;
d. laporan keuangan terakhir; dan
e. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya
kepada negara.
Pasal 74
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian
terhadap permohonan
persetujuan prinsip
pencabutan izin usaha yang diajukan oleh BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73.
(2) BPRS yang telah memperoleh persetujuan prinsip
pencabutan izin usaha BPRS berdasarkan hasil
penelitian terhadap permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib untuk:
-46-
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha BPRS;
b. mengumumkan rencana pembubaran badan
hukum BPRS dan rencana penyelesaian
kewajiban BPRS dalam surat kabar harian lokal
dan/atau pada papan pengumuman di seluruh
kantor BPRS yang bersangkutan paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat
persetujuan prinsip pencabutan izin usaha BPRS;
c. menyelesaikan seluruh kewajiban BPRS dalam
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat persetujuan prinsip pencabutan izin
usaha BPRS; dan
d. menunjuk kantor akuntan publik untuk
menyusun neraca akhir termasuk melakukan
verifikasi untuk memastikan penyelesaian
seluruh kewajiban BPRS.
(3) Dalam hal BPRS tidak dapat menyelesaikan seluruh
kewajiban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c, BPRS harus menyampaikan
rencana tindak lanjut penyelesaian kewajiban BPRS
dan melakukan langkah-langkah sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Persetujuan Pencabutan Izin Usaha
Pasal 75
BPRS mengajukan permohonan pencabutan izin usaha
BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan setelah seluruh
kewajiban BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
ayat (2) diselesaikan, dilampiri dengan dokumen yang
paling sedikit mencakup:
a. laporan pelaksanaan penghentian kegiatan usaha
BPRS;
b. laporan dan bukti pelaksanaan pengumuman;
c. laporan dan bukti pelaksanaan penyelesaian
kewajiban BPRS;
-47-
d. neraca akhir BPRS; dan
e. surat pernyataan dari pemegang saham BPRS.
Pasal 76
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian
terhadap dokumen permohonan pencabutan izin
usaha yang diajukan oleh BPRS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75.
(2) Berdasarkan hasil penelitian terhadap dokumen
permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan
menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Izin Usaha
BPRS dan memerintahkan BPRS untuk melakukan
pembubaran badan hukum dan mengumumkan
berakhirnya atau bubarnya badan hukum sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 77
Status badan hukum BPRS berakhir sejak tanggal
pengumuman berakhirnya badan hukum BPRS dalam
Berita Negara Republik Indonesia sesuai peraturan
perundang-undangan.
Pasal 78
Sejak berakhirnya status badan hukum BPRS sebagaimana
dimaksud dalam pasal 77, apabila dikemudian hari muncul
kewajiban yang belum diselesaikan, pemegang saham
BPRS bertanggung jawab atas segala kewajiban BPRS.
BAB XIII
KANTOR BPRS TIDAK BEROPERASI
PADA HARI KERJA
Pasal 79
(1) BPRS dapat melakukan penutupan sementara kantor
BPRS di luar hari libur resmi dengan alasan tertentu.
(2) Penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud
-48-
pada ayat (1) dilakukan paling banyak 5 (lima) hari
kerja dalam kurun waktu 1 (satu) tahun takwim.
(3) BPRS menyampaikan laporan rencana penutupan
sementara kantor BPRS di luar hari libur resmi kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari
kerja sebelum pelaksanaan penutupan sementara.
(4) BPRS wajib mengumumkan tanggal penutupan kantor
sementara kepada masyarakat dalam surat kabar
harian lokal dan/atau pada papan pengumuman di
seluruh kantor BPRS yang bersangkutan paling lambat
5 (lima) hari kerja sebelum tanggal penutupan.
(5) BPRS wajib menyampaikan bukti pengumuman
penutupan kantor sementara kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak
tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
(6) BPRS wajib menyampaikan laporan pembukaan
kembali kantor paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak
tanggal pembukaan.
BAB XIV
KANTOR BPRS BEROPERASI DI LUAR HARI KERJA
OPERASIONAL
Pasal 80
(1) BPRS dapat melakukan kegiatan operasional di luar
hari kerja operasional dan pada hari libur nasional.
(2) Kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan untuk seluruh dan/atau
sebagian kantor BPRS.
(3) BPRS wajib menyampaikan laporan rencana BPRS
untuk melakukan kegiatan operasional di luar hari
kerja operasional dan pada hari libur nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan kegiatan
operasional.
-49-
BAB XV
PENCANTUMAN STATUS DAN LOGO PADA KANTOR BPRS
Pasal 81
(1) BPRS wajib mencantumkan secara jelas nama dan
jenis status kantor pada masing-masing kantornya.
(2) BPRS wajib mencantumkan logo iB pada formulir,
warkat, produk dan kantor serta Kegiatan Pelayanan
Kas BPRS.
BAB XVI
SANKSI
Pasal 82
(1) BPRS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 5,
Pasal 11 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16
ayat (1), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 23, Pasal 25, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27
ayat (1) ayat (5) ayat (6) dan ayat (7), Pasal 28 ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (5), Pasal 29 ayat (3), Pasal
30 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (6), ayat (7), dan ayat
(8), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35
ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37, Pasal 39 ayat (1)
dan ayat (2) , Pasal 40, Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat
(2), Pasal 45, Pasal 47 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal
53, Pasal 54 ayat (1) ayat (4) dan ayat (5), Pasal 55,
Pasal 56, Pasal 57 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60
ayat (1), Pasal 62, Pasal 64 ayat (1), Pasal 68 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 74 ayat (2), Pasal 79 ayat (2) dan
ayat (4), dan Pasal 81 dikenakan sanksi administratif
sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pemberhentian pengurus dan selanjutnya
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara
-50-
sampai RUPS mengangkat pengganti yang tetap
dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
e. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan
pemegang saham dalam daftar orang tercela di
bidang perbankan; dan/atau
f. pencabutan izin usaha.
(2) BPRS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 14
ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22,
Pasal 24 ayat (9) dan ayat (10), Pasal 35 ayat (8), Pasal
36 ayat (3) ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 44 ayat (1),
Pasal 49 ayat (2), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1),
Pasal 54 ayat (7), Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
61, Pasal 63 ayat (9), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 69, Pasal 79 ayat
(5) dan ayat (6), dan Pasal 80 ayat (3) dikenakan sanksi
administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
a. teguran tertulis dan denda uang sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
kelambatan untuk setiap laporan dan/atau
pengumuman atau paling banyak sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap
laporan dan/atau pengumuman;
b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak
sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
apabila BPRS tidak menyampaikan laporan
dan/atau melaksanakan pengumuman.
(3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan
dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b apabila BPRS belum menyampaikan
laporan dan/atau melaksanakan pengumuman setelah
20 (dua dua puluh) hari kerja sejak batas akhir
penyampaian laporan dan/atau melaksanakan
pengumuman.
(4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda uang
karena tidak menyampaikan laporan dan/atau
melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud
-51-
pada ayat (2) huruf b tidak menghapus kewajiban
BPRS untuk menyampaikan laporan dan/atau
melaksanakan pengumuman.
(5) Setiap pihak yang tidak mentaati ketentuan dalam
Pasal 4 dan Pasal 11 ayat (2), dapat dikenakan sanksi
pidana sesuai dengan Pasal 59 Undang-undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 83
BPRS yang melanggar ketentuan kewajiban memiliki 1
(satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan
saham paling sedikit 25% (dua puluh lima persen)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenakan sanksi
berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan BPRS satu predikat;
c. penundaan hak menerima dividen bagi pemegang
saham;
d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional
BPRS; dan/atau
e. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan
Pedagang Valuta Asing (PVA).
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 84
(1) Persetujuan prinsip pendirian BPRS yang telah
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
dinyatakan tetap berlaku.
(2) Pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan izin usaha pendirian BPRS yang disertai
dokumen yang lengkap dengan mengacu pada
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat
-52-
Syariah sampai dengan tanggal 31 Desember 2016.
(3) Permohonan persetujuan prinsip pendirian BPRS yang
telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, namun belum memperoleh persetujuan
atau penolakan, wajib memenuhi ketentuan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(4) Permohonan pembukaan Kantor Kas dan permohonan
Kegiatan Pelayanan Kas dengan menggunakan PPE
antara lain berupa ATM, ADM, dan EDC, pemindahan
alamat kantor dan lokasi perangkat ATM dan/atau
ADM, penggunaan izin usaha BPRS dengan nama baru
serta penutupan kantor yang telah diajukan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, namun belum
mendapat persetujuan atau penolakan, wajib
memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 85
BPRS yang belum memiliki paling sedikit 1 (satu) pemegang
saham dengan persentase kepemillikan saham paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) sejak Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus
menyesuaikan kepemilikan saham berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 20 paling lambat pada tanggal 31 Desember
2020.
Pasal 86
(1) BPRS yang telah mengajukan permohonan izin usaha
pendirian BPRS sebelum berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dan memperoleh izin
usaha setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, namun belum memiliki 1 (satu)
pemegang saham dengan persentase kepemilikan
saham paling sedikit 25% (dua puluh lima persen),
harus menyusun rencana pemenuhan kewajiban
-53-
tersebut yang dituangkan dalam bentuk rencana
tindak (action plan) dengan persetujuan RUPS.
(2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal
izin usaha BPRS.
Pasal 87
Anggota Direksi yang secara sendiri-sendiri dan/atau
bersama-sama memiliki saham BPRS paling sedikit 25%
(dua puluh lima persen) pada saat Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku, harus melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan dalam Pasal 27 ayat (7)
paling lambat pada tanggal 31 Desember 2020.
Pasal 88
Dalam hal BPRS memiliki anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris yang merangkap jabatan dan/atau
memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan
derajat kedua pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini mulai berlaku, BPRS harus menyesuaikan komposisi
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 31 ayat (2), dan Pasal 32 paling lambat pada tanggal
31 Desember 2018.
Pasal 89
BPRS yang memiliki jumlah anggota Dewan Komisaris
melebihi jumlah anggota Direksi atau lebih dari 3 (tiga)
orang pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
mulai berlaku, harus menyesuaikan jumlah anggota Dewan
Komisaris sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1)
dan ayat (2) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017.
Pasal 90
Anggota Dewan Komisaris yang belum memiliki Sertifikat
Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
-54-
ayat (6) pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
mulai berlaku, harus memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja
paling lambat pada tanggal 31 Desember 2018.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 91
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 92
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tanggal 1 Juli
2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 101 DPbS,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5027 DPbS), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 93
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku,
Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/23/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 101 DPbS, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5027 DPbS)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 94
Ketentuan yang mengatur mengenai pencabutan izin usaha
atas permintaan pemegang saham sebagaimana diatur
dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang
-55-
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 95
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Jan 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 15
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 3/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 21 Jan 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '32/54/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999', '11/23/PBI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 61 /POJK.05/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 12/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA
DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperlancar proses perizinan,
harmonisasi
kebijakan,
dan mendorong
pengembangan lembaga keuangan mikro, perlu
melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan
mengenai perizinan usaha dan kelembagaan lembaga
keuangan mikro;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan
atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang
Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan
dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan
Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5616);
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 342,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5621);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA
KEUANGAN NOMOR 12/POJK.05/2014 TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA
KEUANGAN MIKRO.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan
Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
342, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5621) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 5 diubah,
sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
- 3 -
Pasal 5
(1) LKM dapat melakukan
kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan Prinsip
Syariah.
(2) Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM
harus memiliki izin usaha dari OJK.
(3) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2),
Direksi LKM
mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK
sesuai dengan format dalam Lampiran I yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri
dengan:
a. akta pendirian badan hukum termasuk
anggaran dasar berikut perubahannya (jika
ada) yang telah disahkan/disetujui oleh
instansi yang berwenang atau diberitahukan
kepada instansi yang berwenang, yang paling
sedikit memuat:
1) nama dan tempat kedudukan;
2) kegiatan usaha sebagai LKM secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip
Syariah;
3) permodalan;
4) kepemilikan; dan
5) wewenang, tanggung jawab, masa
jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan
DPS;
b. data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
meliputi:
1) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu
Tanda Penduduk (KTP) yang masih
berlaku;
2) daftar riwayat hidup;
- 4 -
3) surat pernyataan bermeterai dari
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS bagi
LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit
macet di sektor jasa keuangan;
b) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian
berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum
tetap;
c)
tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak
pidana
kejahatan berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
d) tidak pernah dinyatakan pailit atau
menyebabkan suatu badan usaha
dinyatakan pailit berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e)
f)
tidak merangkap jabatan sebagai
Direksi pada LKM lain bagi Direksi;
tidak merangkap jabatan sebagai
Dewan Komisaris lebih dari 2 (dua)
LKM lain bagi Direksi; dan
g)
tidak merangkap jabatan sebagai
Dewan Komisaris lebih dari 3 (tiga)
LKM lain bagi Dewan Komisaris;
4) surat keterangan atau bukti tertulis
memiliki pengalaman operasional di
bidang lembaga keuangan mikro atau
lembaga jasa keuangan lainnya paling
- 5 -
singkat 1 (satu) tahun bagi salah satu
Direksi; dan
5) surat keterangan atau bukti tertulis
memiliki pengalaman operasional di
bidang lembaga keuangan mikro yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah atau lembaga jasa
keuangan syariah lainnya paling singkat
1 (satu) tahun bagi salah satu Direksi,
bagi LKM yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
c. data pemegang saham atau anggota:
1) dalam hal pemegang saham atau
anggota adalah perorangan, dokumen
yang dilampirkan adalah fotokopi tanda
pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk
(KTP) yang masih berlaku dan surat
pernyataan bermeterai bahwa setoran
modal:
a) tidak berasal dari pinjaman; dan
b) tidak berasal dari dan untuk tindak
pidana pencucian uang;
2) dalam hal LKM berbentuk koperasi,
ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c angka 1) hanya berlaku
bagi anggota pendiri;
3) dalam hal pemegang saham adalah
badan usaha milik desa/kelurahan
dan/atau koperasi, dokumen yang
dilampirkan adalah:
a) akta pendirian termasuk anggaran
dasar berikut perubahannya (jika
ada) yang telah disahkan/disetujui
oleh instansi yang berwenang atau
diberitahukan kepada instansi
yang berwenang, atau bukti
- 6 -
pendirian badan usaha milik
desa/kelurahan;
b) laporan keuangan yang telah
diaudit oleh akuntan publik atau
laporan keuangan terakhir atau
pembukuan keuangan terakhir;
c)
fotokopi tanda pengenal berupa
Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang
masih berlaku bagi Direksi atau
pengurus badan usaha milik
desa/kelurahan dan/atau koperasi;
dan
d) surat pernyataan bermeterai bahwa
setoran modal:
i.
ii.
tidak berasal dari pinjaman;
dan
tidak berasal dari dan untuk
tindak pidana pencucian uang;
4) dalam hal pemegang saham adalah
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
dokumen yang dilampirkan adalah
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
terkait penyertaan modal pada LKM;
d. surat rekomendasi pengangkatan DPS dari
DSN MUI atau sertifikasi pelatihan DPS dari
DSN MUI bagi LKM yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
e. struktur organisasi dan kepengurusan yang
paling kurang memiliki fungsi pemutus
kredit, penagihan, dan administrasi;
f.
sistem dan prosedur kerja LKM, paling
kurang meliputi:
1) pemberian Pinjaman atau Pembiayaan;
2) penerimaan Simpanan;
3) penagihan kepada pihak peminjam atau
pihak yang menerima Pembiayaan;
- 7 -
4) prosedur penyelesaian piutang macet;
dan
5) prosedur penutupan Simpanan;
g. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama
yang paling kurang memuat:
1) rencana kegiatan usaha LKM dan
langkah-langkah kegiatan yang akan
dilakukan dalam mewujudkan rencana
dimaksud;
2) proyeksi laporan posisi keuangan dan
laporan kinerja keuangan tahunan yang
dimulai sejak LKM melakukan kegiatan
operasional; dan
3) proyeksi laporan posisi keuangan dan
laporan kinerja keuangan sebagaimana
dimaksud pada angka 2) mengacu pada
ketentuan mengenai laporan keuangan
LKM;
h. bukti pemenuhan modal disetor atau
simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah
dilakukan secara tunai dalam bentuk
fotokopi deposito berjangka yang masih
berlaku atas nama salah satu Direksi pada
salah satu bank di Indonesia atau salah satu
bank syariah atau unit usaha syariah di
Indonesia bagi LKM yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
disertai dengan surat pernyataan dari
Direksi: dan
i.
bukti kesiapan operasional berupa:
1) daftar aset tetap (jika ada) dan
inventaris; dan
2) bukti kepemilikan atau penguasaan
kantor.
(4) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf g tidak berlaku bagi LKM dengan
cakupan wilayah usaha desa/kelurahan.
- 8 -
2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu)
pasal, yaitu Pasal 5A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Dalam hal LKM mengajukan permohonan izin
usaha dengan setoran modal secara nontunai,
permohonan izin usaha disampaikan sesuai
dengan format dalam Lampiran IA yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri:
a. akta pendirian badan hukum termasuk
anggaran dasar berikut perubahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) huruf a;
b. proyeksi laporan posisi keuangan dan
laporan kinerja keuangan tahunan yang
dimulai sejak LKM melakukan kegiatan
operasional untuk 2 (dua) tahun pertama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) huruf g angka 2);
c. laporan keuangan tahunan yang paling
sedikit terdiri dari laporan posisi keuangan
dan laporan kinerja keuangan selama 2 (dua)
tahun terakhir;
d. laporan posisi keuangan penutupan dan
laporan posisi keuangan pembukaan dari
LKM;
e.
daftar Pinjaman/Pembiayaan LKM selama 2
(dua) tahun terakhir sesuai dengan format
dalam Lampiran IB yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK
ini; dan
f.
data Direksi, Dewan Komisaris, DPS,
pemegang saham atau anggota, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan
- 9 -
huruf c kecuali surat pernyataan mengenai
setoran modal.
(2) Pemenuhan setoran modal secara nontunai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan ekuitas pada laporan posisi
keuangan pembukaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d.
(3) Proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan
kinerja
keuangan
tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, tidak berlaku
bagi LKM dengan cakupan wilayah usaha
desa/kelurahan.
(4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen; dan
b.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang LKM.
(5) OJK memberikan persetujuan atas permohonan
izin usaha dalam jangka waktu paling lama 40
(empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima secara lengkap dan benar.
(6) Dalam hal permohonan izin usaha sebagai LKM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan tidak lengkap namun perhitungan
ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
telah memenuhi ketentuan jumlah modal disetor
atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah
LKM sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK
ini, paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah
permohonan diterima, OJK memberikan
persetujuan izin usaha bersyarat.
(7) Pihak yang telah mendapatkan persetujuan izin
usaha bersyarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), harus menyampaikan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
- 10 -
2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan
izin usaha bersyarat ditetapkan dan tidak dapat
diperpanjang.
(8) Dalam hal pihak yang telah mendapatkan
persetujuan izin usaha bersyarat telah
menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara lengkap dan benar, OJK
memberikan persetujuan atas permohonan izin
usaha dalam jangka waktu paling lama 40 (empat
puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha
diterima secara lengkap dan benar.
(9) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) telah berakhir dan pihak yang telah
mendapatkan persetujuan izin usaha bersyarat
belum menyampaikan dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara lengkap dan
benar, persetujuan izin usaha bersyarat
dinyatakan batal dan tidak berlaku.
3. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 6 diubah,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dalam jangka
waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja
sejak permohonan izin usaha diterima secara
lengkap dan benar.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan permohonan izin usaha, OJK
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b.
c.
analisis kelayakan atas rencana kerja; dan
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang LKM.
- 11 -
(3) Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang
disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak benar,
OJK menyampaikan surat pemberitahuan yang
memuat syarat-syarat yang belum terpenuhi
kepada pemohon, paling lambat 20 (dua puluh)
hari kerja setelah permohonan diterima.
(4) Penolakan atas permohonan izin usaha disertai
dengan alasan penolakan.
(5) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK
menetapkan izin usaha sebagai LKM kepada
pemohon.
4. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 8
Nama LKM harus dicantumkan secara jelas dalam
anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) huruf a angka 1 yang dimulai dengan bentuk
badan hukum diikuti dengan frasa:
a. “Lembaga Keuangan Mikro” dan nama LKM bagi
LKM yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional;
b. “Lembaga Keuangan Mikro Syariah” dan nama
LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah.
5. Ketentuan dalam Pasal 9 tetap dengan perubahan
Penjelasan Pasal 9 menjadi sebagaimana ditetapkan
dalam penjelasan pasal demi pasal dalam Peraturan
OJK ini.
- 12 -
6. Ketentuan ayat (2) Pasal 12 diubah, sehingga Pasal 12
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk
DPS.
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dalam rapat umum pemegang saham
atau rapat anggota berdasarkan rekomendasi
DSN MUI atau sertifikasi pelatihan DPS dari DSN
MUI.
(3) Pembentukan DPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan oleh beberapa LKM.
(4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat kepada Direksi agar kegiatan usahanya
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(5) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
dalam bentuk:
a. memastikan dan mengawasi kesesuaian
kegiatan operasional LKM terhadap fatwa
yang telah ditetapkan oleh DSN MUI;
b. menilai aspek Syariah terhadap pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan
LKM; dan
c. mengkaji produk dan jasa baru yang belum
ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada
DSN MUI.
(6) Ketentuan mengenai persyaratan Direksi dan
Dewan Komisaris LKM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 kecuali huruf e dan huruf f,
mutatis mutandis berlaku bagi DPS.
- 13 -
7. Ketentuan ayat (1) Pasal 14 diubah, sehingga Pasal
14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Direksi wajib melaporkan perubahan nama LKM
kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja setelah diperolehnya surat persetujuan
perubahan nama dari instansi berwenang atau
bukti pelaporan perubahan nama kepada
instansi berwenang, dengan menggunakan
format dalam Lampiran VI yang merupakan
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan
dokumen:
a.
risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat
anggota
perubahan nama LKM;
b. bukti perubahan anggaran dasar atas
perubahan nama yang telah disetujui
oleh instansi yang berwenang bagi LKM
yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau bukti pelaporan kepada
instansi yang berwenang bagi LKM
yang berbentuk badan hukum koperasi;
dan
c. bukti pengumuman perubahan nama
melalui surat kabar harian lokal atau
papan pengumuman di kantor LKM yang
mudah diketahui oleh masyarakat.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK mencatat perubahan nama
LKM dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya
laporan secara lengkap dan benar.
koperasi mengenai
- 14 -
8. Nama Bab VIII diubah, sehingga Bab VIII berbunyi
sebagai berikut:
BAB VIII
PERUBAHAN CAKUPAN WILAYAH USAHA
9. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu)
pasal, yaitu Pasal 24A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24A
(1) LKM dapat melakukan peningkatan cakupan
wilayah usaha.
(2) LKM yang melakukan peningkatan cakupan
wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib memenuhi persyaratan modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
(3) LKM yang akan melakukan peningkatan cakupan
wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib menyampaikan laporan rencana
peningkatan cakupan wilayah usaha kepada OJK
dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja sejak tanggal rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan sesuai dengan format dalam
Lampiran XVI yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan dilampiri
dengan risalah rapat umum pemegang saham
atau rapat anggota mengenai peningkatan
cakupan wilayah usaha LKM.
10. Ketentuan ayat (1) Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
(1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam
Pasal 2 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 3, Pasal 4,
- 15 -
Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 17 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal
22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (1),
Pasal 24A ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 26 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan OJK ini,
dikenakan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diberikan secara tertulis paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa
berlaku masing-masing 40 (empat puluh) hari
kerja.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), LKM telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK atau
pemerintah kabupaten/kota setempat atau pihak
lain yang ditunjuk oleh OJK mencabut sanksi
peringatan tertulis.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir
dan LKM tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
meminta pemegang saham atau rapat anggota
untuk mengganti Direksi LKM dalam jangka
waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak
pemberitahuan dari OJK.
(5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) berakhir dan rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota tidak mengganti
Direksi LKM dimaksud, OJK memberhentikan
Direksi LKM dan selanjutnya menunjuk serta
mengangkat pengganti sementara sampai rapat
umum pemegang saham atau rapat anggota
mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan OJK.
- 16 -
11. Ketentuan Pasal 29 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 30 diubah dan di antara Pasal 30 dan
Pasal 31 disisipkan 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 30A dan
Pasal 30B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
LKM yang telah memperoleh izin usaha melalui
pengukuhan berdasarkan Peraturan OJK Nomor
12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro dan LKM yang
memperoleh izin usaha dengan setoran modal
nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A ayat
(1), harus memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3),
Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan OJK
Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha
dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro dan LKM
paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
Peraturan OJK ini berlaku.
Pasal 30A
Dalam hal permohonan izin usaha LKM yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah disampaikan dalam jangka waktu paling lama
2 (dua) tahun sejak POJK ini diundangkan,
rekomendasi pengangkatan anggota DPS dari DSN
MUI atau sertifikasi pelatihan DPS dari DSN MUI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf d
dan Pasal 12 ayat (2) disampaikan paling lambat 2
(dua) tahun sejak izin usaha LKM ditetapkan.
Pasal 30B
Permohonan izin usaha melalui pengukuhan yang
telah diterima oleh OJK sebelum Peraturan OJK ini
diundangkan, tetap diakui dan diselesaikan
berdasarkan Peraturan OJK ini.
- 17 -
Pasal II
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 412
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 61/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<changed_reg> '12/POJK.05/2014' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014', '12/POJK.05/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 10 Pasal 27' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27 /POJK.03/2015
TENTANG
KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN
DENGAN PENGELOLAAN (TRUST)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa saat ini terjadi perlambatan pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang berpotensi mengganggu
stabilitas sistem keuangan;
b. bahwa untuk merespons melambatnya pertumbuhan
ekonomi, diperlukan kebijakan untuk mendukung
stimulus pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
peran serta perbankan dalam mengelola dana yang
dimiliki oleh pelaku ekonomi khususnya yang berbentuk
valuta asing;
c. bahwa pengelolaan dana valuta asing dapat dilakukan
melalui kegiatan usaha bank berupa penitipan dengan
pengelolaan (trust) yang dapat mendukung peningkatan
daya saing perbankan di dalam negeri dan meningkatkan
pasokan valuta asing yang berkesinambungan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan dengan
Pengelolaan (Trust);
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN
PENGELOLAAN (TRUST).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
- 3 -
Syariah.
2. Kegiatan usaha Bank berupa penitipan dengan
pengelolaan, yang selanjutnya disebut Trust, adalah
kegiatan penitipan dengan pengelolaan atas harta milik
penitip harta trust berdasarkan perjanjian tertulis antara
Bank sebagai penerima dan pengelola harta trust dengan
penitip harta trust untuk kepentingan penerima manfaat.
3. Penerima dan Pengelola Harta Trust, yang selanjutnya
disebut Trustee, adalah Bank yang melakukan kegiatan
Trust sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
4. Penitip Harta Trust, yang selanjutnya disebut Settlor,
adalah pihak yang memiliki dan menitipkan hartanya
untuk dikelola oleh Trustee.
5. Penerima Manfaat, yang selanjutnya disebut Beneficiary,
adalah pihak yang menerima manfaat dari kegiatan Trust.
Pasal 2
Bank dalam melakukan kegiatan Trust wajib berpedoman
pada ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 3
Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib mematuhi
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme.
Pasal 4
Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memenuhi
prinsip-prinsip:
a. kegiatan Trust dilakukan oleh unit kerja yang terpisah
dari unit kegiatan Bank lainnya;
b. harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee
terbatas pada aset keuangan;
c. harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee
dicatat dan dilaporkan terpisah dari harta Bank;
d. dalam hal Bank yang melakukan kegiatan Trust
- 4 -
dilikuidasi, semua harta Trust tidak dimasukkan dalam
harta pailit (boedel pailit) dan dikembalikan kepada
Settlor atau dialihkan kepada trustee pengganti yang
ditunjuk Settlor;
e. kegiatan Trust dituangkan dalam perjanjian tertulis
antara Trustee dengan Settlor;
f. Trustee menjaga kerahasiaan data dan keterangan terkait
kegiatan Trust sebagaimana diatur dalam perjanjian
Trust, kecuali untuk kepentingan pelaporan kepada
Otoritas Jasa Keuangan; dan
g. Bank yang melakukan kegiatan Trust mematuhi
ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
BAB II
KEGIATAN TRUST
Pasal 5
(1) Dalam kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Trustee dapat bertindak untuk dan atas nama
Settlor sesuai perjanjian Trust sebagai:
a. agen pembayar (paying agent);
b. agen investasi dana secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah; dan/atau
c. agen peminjaman secara konvensional (borrowing
agent) dan/atau agen pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah.
(2) Kegiatan Trust sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan berdasarkan instruksi tertulis dari
Settlor sebagaimana termuat dalam perjanjian Trust.
Pasal 6
Kegiatan Trustee sebagai agen pembayar (paying agent)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a,
mencakup:
a. membuka dan menutup rekening untuk dan atas nama
Settlor;
- 5 -
b. menerima dan menyimpan dana ke dalam rekening
Settlor;
c. melakukan pembayaran dari rekening Settlor kepada
Beneficiary dan/atau pihak lain;
d. mencatat,
mendokumentasikan,
dan
mengadministrasikan dokumen terkait dengan rekening
Settlor; dan/atau
e. melakukan kegiatan lain dalam rangka menjalankan
fungsi sebagai agen pembayar (paying agent).
Pasal 7
(1) Kegiatan Trustee sebagai agen investasi dana secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b
dilaksanakan berdasarkan instruksi tertulis yang jelas
dan rinci dari Settlor, yang disesuaikan dengan jenis
kegiatan dan/atau instrumen yang digunakan.
(2) Dalam hal Settlor menginstruksikan Trustee untuk
melakukan kegiatan investasi dana selain kegiatan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan, investasi dana harus dilakukan oleh manajer
investasi.
(3) Dalam hal investasi dana dilakukan oleh manajer
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Trustee
bertindak sebagai:
a. agen pembayar (paying agent); atau
b. agen pembayar (paying agent) dan agen yang
menghubungkan manajer investasi dengan Settlor.
(4) Trustee tidak bertanggung jawab atas kerugian dari
investasi dana sepanjang investasi dana telah sesuai
instruksi Settlor dalam perjanjian Trust.
Pasal 8
Kegiatan Trustee sebagai agen peminjaman secara
konvensional (borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf c mencakup:
- 6 -
a. memperoleh pinjaman secara konvensional atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang
dibuktikan dengan perjanjian kredit atau perjanjian
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;
b. melakukan transaksi lindung nilai (hedging) atau
tahawwuth berdasarkan prinsip syariah;
c. mencadangkan dana untuk membayar pinjaman atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
mekanisme yang ditetapkan Settlor; dan/atau
sesuai
d. melakukan kegiatan lainnya yang terkait dengan
peminjaman atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah.
Pasal 9
Dalam kegiatan Trust, Trustee dilarang:
a. memanfaatkan harta Trust untuk kepentingan sendiri;
dan/atau
b. melakukan kegiatan diluar yang telah diatur dalam
perjanjian Trust, baik atas inisiatif sendiri maupun
berdasarkan perintah tertulis dari Settlor.
Pasal 10
Dalam melaksanakan kegiatan Trust, Trustee memperoleh fee
atau ujroh sesuai perjanjian Trust.
BAB III
PENCATATAN KEGIATAN TRUST
Pasal 11
(1) Trustee wajib membuat pencatatan kegiatan Trust yang
terpisah dari pembukuan Bank.
(2) Pencatatan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit meliputi pencatatan mengenai
transaksi dan posisi harta Trust.
(3) Tata cara pencatatan kegiatan Trust mengacu pada
standar akuntasi keuangan yang berlaku.
- 7 -
Pasal 12
(1) Trustee wajib menggunakan rekening pada bank di dalam
negeri untuk seluruh kegiatan Trust.
(2) Trustee wajib melakukan pencatatan mutasi rekening
secara terpisah untuk masing-masing Settlor dan
Beneficiary.
Pasal 13
(1) Kegiatan Trust wajib diaudit oleh auditor intern dan
auditor ekstern paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
(2) Bank wajib memastikan kegiatan Trust merupakan
bagian dari objek audit umum terhadap Bank.
BAB IV
PARA PIHAK DALAM KEGIATAN TRUST
Pasal 14
Para pihak dalam kegiatan Trust adalah:
a. Bank sebagai Trustee;
b. Settlor; dan
c. Beneficiary.
Pasal 15
(1) Bank, selain kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, dapat melakukan kegiatan
Trust dengan memenuhi persyaratan:
a. berbadan hukum Indonesia;
b. merupakan bank devisa dengan modal inti paling
sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah);
c. memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal
minimum sesuai profil risiko selama 6 (enam) bulan
terakhir berturut-turut;
d. memiliki tingkat kesehatan Bank paling rendah
Peringkat Komposit 2 pada periode penilaian
terakhir;
- 8 -
e. mencantumkan rencana kegiatan Trust dalam
Rencana Bisnis Bank; dan
f.
memiliki kapasitas untuk melakukan kegiatan Trust
berdasarkan hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Selama melakukan kegiatan Trust, Bank, selain kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan:
a. memiliki modal inti paling sedikit sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah);
b. memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal
minimum sesuai profil risiko; dan
c. memiliki tingkat kesehatan Bank paling rendah
Peringkat Komposit 2.
Pasal 16
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri dapat melakukan kegiatan Trust, dengan
persyaratan:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c sampai dengan
huruf f; dan
b. memenuhi Capital Equivalency Maintained Asset
(CEMA) minimum dengan perhitungan sesuai
ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
(2) Selama melakukan kegiatan Trust, kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi
persyaratan:
a. memenuhi Capital Equivalency Maintained Asset
(CEMA) minimum dengan perhitungan sesuai
ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah);
b. memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal
minimum sesuai profil risiko; dan
c. memiliki tingkat kesehatan Bank paling rendah
Peringkat Komposit 2.
- 9 -
Pasal 17
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2) atau Pasal 16 ayat (2) tidak terpenuhi, Bank:
a. dilarang membuat perjanjian Trust baru;
b. wajib menyelesaikan pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau
Pasal 16 ayat (2) paling lama 6 (enam) bulan sejak
pelanggaran persyaratan terjadi; dan
c. wajib mengembalikan harta Trust kepada Settlor atau
mengalihkan harta Trust kepada trustee pengganti yang
ditunjuk oleh Settlor sesuai perjanjian Trust, apabila
Trustee tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada huruf b.
Pasal 18
Penilaian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f paling
sedikit mencakup:
a. manajemen risiko Bank yang memadai khususnya untuk
sistem operasi dan prosedur yang didukung oleh
teknologi informasi yang memadai untuk seluruh
kegiatan Trust yang diperkenankan;
b. Bank tidak sedang dikenakan tindakan pengawasan
Bank; dan
c. kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan pada saat
Bank menyampaikan permohonan untuk melakukan
kegiatan Trust.
Pasal 19
(1) Bank wajib memiliki kebijakan sumber daya manusia
yang mengelola unit kerja Trustee.
(2) Dalam menetapkan kebijakan sumber daya manusia
pada unit kerja Trustee, Bank tetap berpedoman pada
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank yang
melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada pihak lain.
- 10 -
(3) Komposisi jumlah sumber daya manusia unit kerja
Trustee paling sedikit 50% (lima puluh persen)
merupakan pegawai Bank dan berkewarganegaraan
Indonesia.
(4) Mayoritas pimpinan unit kerja Trustee dan pejabat satu
tingkat di bawah pimpinan unit kerja Trustee merupakan
pegawai Bank dan berkewarganegaraan Indonesia.
(5) Kualifikasi jabatan pimpinan unit kerja Trustee dan
pejabat satu tingkat di bawah pimpinan unit kerja
Trustee paling sedikit meliputi kompetensi di bidang
keuangan dan memiliki integritas.
Pasal 20
(1) Settlor wajib memenuhi kriteria:
a. nasabah korporasi; dan
b. bukan merupakan pihak terafiliasi dengan Bank.
(2) Settlor dapat bertindak sebagai Beneficiary.
BAB V
PERJANJIAN TRUST
Pasal 21
(1) Penunjukan Bank sebagai Trustee dan penunjukan
Beneficiary harus disampaikan secara tertulis oleh Settlor
kepada Bank.
(2) Bank yang ditunjuk sebagai Trustee sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus membuat pernyataan
tertulis atas kesanggupannya sebagai Trustee.
(3) Penunjukan Bank sebagai Trustee dan penunjukan
Beneficiary sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta
hak dan kewajiban antara Bank dengan Settlor dan
Beneficiary wajib dituangkan dalam perjanjian Trust
secara tertulis.
Pasal 22
(1) Perjanjian Trust wajib disusun dalam Bahasa Indonesia.
(2) Perjanjian Trust sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 11 -
dapat dialihbahasakan dalam bahasa lain sesuai dengan
kepentingan para pihak.
(3) Dalam hal perjanjian Trust dialihbahasakan dalam
bahasa lain, harus memuat informasi yang sama dengan
perjanjian Trust yang disusun dalam Bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran antara
perjanjian Trust yang dialihbahasakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan perjanjian Trust
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian yang
berlaku adalah perjanjian Trust yang disusun dalam
bahasa Indonesia.
Pasal 23
Perjanjian Trust paling sedikit mencakup:
a. penunjukan Bank sebagai Trustee;
b. penunjukan Beneficiary;
c. hak dan kewajiban para pihak, yaitu Trustee, Settlor, dan
Beneficiary;
d. kewajiban Trustee untuk menjaga kerahasiaan data dan
transaksi Settlor dan Beneficiary, kecuali untuk
kepentingan pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan;
e. harta Trust tidak termasuk dalam harta pailit dan wajib
dikembalikan kepada Settlor;
f.
pencatatan harta Trust dilakukan secara terpisah dari
harta Bank;
g. pembebasan
Trustee dari tanggung jawab
(indemnification) terhadap kerugian, kecuali karena
kelalaian (negligence) dan pelanggaran (willful misconduct)
yang dilakukan Trustee;
h. mekanisme penghentian perjanjian Trust;
i. penunjukan trustee pengganti;
j.
penyelesaian sengketa;
k. pilihan hukum (choice of law);
l.
yurisdiksi pengadilan apabila penyelesaian sengketa
ditempuh melalui jalur hukum;
m. klausul yang menyatakan bahwa kegiatan yang
diperjanjikan dalam perjanjian Trust adalah kegiatan
- 12 -
Trust sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini;
n. klausul bahwa perubahan terhadap isi perjanjian hanya
dapat dilakukan secara tertulis dan disepakati oleh para
pihak;
o. tidak bertujuan untuk pencucian uang dan/atau
terorisme sebagaimana dimaksud dalam ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme;
p. tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
BAB VI
PERSETUJUAN PRINSIP DAN SURAT PENEGASAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 24
(1) Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memperoleh
izin Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip; dan
b. surat penegasan.
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip
Pasal 25
Bank dapat mengajukan permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a
setelah Bank memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 atau Pasal 16.
- 13 -
Pasal 26
(1) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a, diajukan oleh Bank
secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilampiri dengan dokumen berupa:
a. informasi umum mengenai kegiatan Trust;
b. analisis manfaat dan biaya bagi Bank;
c. standar prosedur pelaksanaan, organisasi, dan
kewenangan untuk melaksanakan kegiatan Trust;
d. rencana kebijakan dan prosedur terkait dengan
penerapan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme;
e.
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian terhadap risiko yang melekat pada
kegiatan Trust;
f.
hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan
atas kegiatan Trust; dan
g. sistem informasi akuntansi dan sistem teknologi
informasi.
(3) Persetujuan atau penolakan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank paling
lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara
lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Surat Penegasan
Pasal 27
(1) Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a
mengajukan permohonan untuk memperoleh surat
penegasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(2) huruf b secara tertulis kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
- 14 -
(2) Permohonan secara tertulis kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dengan melampirkan:
a. struktur organisasi, pembagian kewenangan serta
tanggung jawab pejabat yang menangani kegiatan
Trust termasuk daftar penanggung jawab dan tenaga
ahli di bidang Trust;
b. daftar pegawai dan pembagian kerja serta komposisi
pegawai lokal dan tenaga kerja asing, baik pada level
manajemen maupun operasional; dan
c.
penilaian tingkat risiko kegiatan Trust dan profil
risiko calon Settlor.
(3) Persetujuan atau penolakan pemberian surat penegasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank paling
lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara
lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 28
(1) Surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2) huruf b hanya berlaku untuk satu kantor.
(2) Dalam hal Bank akan melakukan kegiatan Trust di
kantor lainnya, Bank wajib memperoleh surat penegasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b
dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Tata cara pengajuan permohonan surat penegasan untuk
kegiatan Trust di kantor lainnya mengacu pada ketentuan
dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
Pasal 29
(1) Dalam hal Bank yang melakukan kegiatan Trust
melakukan merger atau konsolidasi, Bank hasil merger
atau konsolidasi wajib memenuhi persyaratan sebagai
Trustee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau
Pasal 16.
- 15 -
(2) Dalam hal Bank hasil merger atau konsolidasi tidak
dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 atau Pasal 16, Bank sebagai Trustee:
a. dilarang membuat perjanjian Trust baru;
b. wajib menyelesaikan pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)
atau Pasal 16 ayat (2) paling lama 6 (enam) bulan
sejak hasil merger atau konsolidasi dinyatakan
efektif; dan
c. wajib mengembalikan harta Trust kepada Settlor
atau mengalihkan harta Trust kepada trustee
pengganti yang ditunjuk oleh Settlor sesuai dengan
perjanjian Trust, apabila Trustee tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf b.
BAB VII
MANAJEMEN RISIKO KEGIATAN TRUST
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 30
(1) Dalam melakukan kegiatan Trust, Bank wajib
menerapkan manajemen risiko dengan berpedoman pada
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum.
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris serta
Dewan Pengawas Syariah;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem
informasi manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern.
- 16 -
Bagian Kedua
Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris
serta Dewan Pengawas Syariah
Pasal 31
Pengawasan aktif Direksi paling sedikit mencakup:
a. penetapan Rencana Bisnis Bank untuk kegiatan Trust;
b. penetapan kebijakan dan prosedur Bank untuk kegiatan
Trust; dan
c. pemantauan dan pengevaluasian kegiatan Trust.
Pasal 32
Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling sedikit mencakup:
a. persetujuan Dewan Komisaris atas Rencana Bisnis Bank
untuk melakukan kegiatan Trust; dan
b. evaluasi pelaksanaan Rencana Bisnis Bank terkait
kegiatan Trust.
Pasal 33
Pengawasan aktif Dewan Pengawas Syariah paling sedikit
mencakup:
a. memastikan kegiatan Trust sesuai prinsip syariah; dan
b. memastikan prosedur Bank untuk kegiatan Trust sesuai
prinsip syariah.
Bagian Ketiga
Kecukupan Kebijakan dan Prosedur
Pasal 34
(1) Bank wajib memiliki dan mengimplementasikan
kebijakan serta prosedur yang komprehensif dan efektif
untuk kegiatan Trust.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. kebijakan penilaian tingkat risiko kegiatan Trust;
b. kebijakan sumber daya manusia untuk kegiatan
Trust;
- 17 -
c. prosedur pelaksanaan kegiatan Trust yang
mencakup:
1. penunjukan Bank sebagai Trustee;
2. penilaian profil risiko Settlor yang paling sedikit
meliputi tujuan dan profil keuangan Settlor;
3. pernyataan kesanggupan Bank sebagai Trustee;
4. penyusunan perjanjian Trust;
5. pelaksanaan kegiatan Trust yang berpedoman
pada perjanjian Trust;
d. prosedur penyelesaian sengketa; dan
e. prosedur untuk melakukan identifikasi, pengukuran,
pemantauan, pengendalian risiko, dan sistem
informasi untuk kegiatan Trust.
Bagian Keempat
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, Pengendalian,
dan Sistem Informasi Manajemen Risiko
Pasal 35
(1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian atas risiko untuk
Kegiatan Trust.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh sistem
informasi manajemen yang tepat waktu, informatif, dan
akurat.
Bagian Kelima
Sistem Pengendalian Intern
Pasal 36
Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif.
- 18 -
BAB VIII
TRANSPARANSI INFORMASI
Pasal 37
(1) Bank wajib menerapkan transparansi informasi dalam
melakukan kegiatan Trust dengan berpedoman pada
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai transparansi informasi produk yang
disesuaikan dengan karakteristik kegiatan Trust.
(2) Dalam menerapkan transparansi informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Bank wajib mengungkapkan
informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan.
Pasal 38
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2)
paling sedikit mencakup:
a.
jenis-jenis transaksi yang dapat dilakukan oleh Bank
sebagai Trustee;
b. tanggung jawab Bank terhadap risiko dan kerugian; dan
c. fee atau ujroh dari kegiatan Trust.
Pasal 39
Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memberikan
laporan tertulis secara berkala kepada Settlor mengenai
kinerja Trustee dalam pengelolaan harta Trust.
BAB IX
LAPORAN
Pasal 40
(1) Bank yang melakukan kegiatan Trust
wajib
menyampaikan laporan kegiatan Trust kepada Otoritas
Jasa Keuangan secara bulanan untuk kegiatan Trust
yang dilakukan oleh setiap kantor Bank.
(2) Bank bertanggung jawab atas kelengkapan dan
kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 19 -
Pasal 41
Laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 mencakup informasi paling sedikit mengenai:
a. sumber daya manusia unit kerja Trustee;
b. perjanjian Trust dan Settlor;
c. kegiatan Trust; dan
d. posisi aset dan kewajiban Trust.
Pasal 42
Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
meminta informasi lain terkait kegiatan Trust.
Pasal 43
(1) Laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 disampaikan pertama kali pada akhir bulan
sejak kantor Bank memperoleh surat penegasan dari
Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan
Trust.
(2) Dalam hal tidak terdapat kegiatan Trust selama periode
pelaporan, Bank tetap wajib menyampaikan laporan
dengan keterangan nihil.
Pasal 44
(1) Laporan kegiatan Trust disampaikan melalui surat yang
ditandatangani oleh pimpinan unit kerja Trustee dan
diketahui oleh pejabat yang membawahi unit kerja
Trustee.
(2) Pengisian format laporan kegiatan Trust sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 mengacu pada Lampiran II
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 45
Laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan laporan.
- 20 -
Pasal 46
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, apabila Bank
menyampaikan laporan kegiatan Trust setelah batas akhir
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai
dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
laporan.
(2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, apabila Bank
belum menyampaikan laporan kegiatan Trust dalam
kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
BAB X
SANKSI
Pasal 47
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5
ayat (2), Pasal 9, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 19
ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (3), Pasal 22
ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29,
Pasal 30 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 37, Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 43 ayat (2),
dan Pasal 45 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. larangan kegiatan Trust; dan/atau
d. pencabutan persetujuan prinsip untuk melakukan
kegiatan Trust.
(2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf b, dan Pasal 29 ayat (2)
huruf b dikenakan sanksi pencabutan persetujuan
prinsip untuk melakukan kegiatan Trust.
- 21 -
Pasal 48
(1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 dikenakan sanksi kewajiban
membayar berupa denda bagi:
a. Bank yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)
dikenakan sanksi kewajiban membayar berupa
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari kerja keterlambatan; dan/atau
b. Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2)
dikenakan sanksi kewajiban membayar berupa
denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara menyetor ke Rekening Otoritas Jasa Keuangan di
bank umum.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 49
Bank yang dicabut izin usahanya atas permintaan Bank (self
liquidation) atau yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas
Jasa Keuangan, Bank atau Tim Likuidasi harus:
a. mengembalikan harta Trust kepada Settlor; atau
b. mengalihkan harta Trust kepada trustee pengganti,
sesuai dengan perjanjian Trust.
Pasal 50
Bank menyampaikan:
a. permohonan persetujuan prinsip dan permohonan surat
penegasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan
Pasal 27;
- 22 -
b.
laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40,
kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui:
1) Departemen Pengawasan Bank terkait, Departemen
Perbankan Syariah atau Kantor Regional 1 Jabodetabek,
Banten, Lampung, dan Kalimantan, bagi Bank yang
berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
(Jabodetabek) serta Provinsi Banten; atau
2) Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta Provinsi
Banten.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/17/PBI/2012
tanggal 23 November 2012 tentang Kegiatan Usaha Bank
berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust); dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/10/DPNP
tanggal 28 Maret 2013 perihal Laporan Kegiatan
Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang
Disampaikan kepada Bank Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 23 -
Pasal 52
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 293
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27 /POJK.03/2015
TENTANG
KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN
DENGAN PENGELOLAAN (TRUST)
I. UMUM
Sehubungan dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi
yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan maka diperlukan
adanya kebijakan untuk menstimulus pertumbuhan perekonomian
nasional. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang dapat mendorong
pelaku ekonomi dalam mengelola dana khususnya yang berbentuk valuta
asing yang dimilikinya dengan menggunakan jasa dan keahlian
perbankan di dalam negeri. Kebijakan tersebut juga ditujukan untuk
mendorong pendalaman pasar keuangan domestik.
Sejalan dengan hal tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan
peran serta perbankan antara lain melalui kebijakan terkait dengan
pengelolaan dana yang dimiliki oleh pelaku ekonomi khususnya yang
berbentuk valuta asing.
Kebijakan pengelolaan dana valuta asing dapat dilakukan melalui
kegiatan usaha Bank berupa penitipan dengan pengelolaan (Trust) yang
ditujukan untuk mendukung peningkatan daya saing perbankan di dalam
negeri dan meningkatkan pasokan valuta asing yang berkesinambungan.
Sehubungan dengan pertimbangan di atas, diperlukan kebijakan
mengenai Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan
(Trust) dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan mematuhi ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme antara lain
Trustee harus melakukan:
a. Customer Due Dilligence;
b. Enhanced Due Dilligence; dan/atau
c. pelaporan transaksi keuangan mencurigakan,
untuk memastikan harta Trust tidak berasal dari kejahatan dan/atau
tidak bertujuan untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “aset keuangan” adalah aset berupa
dana, tagihan dan/atau surat berharga.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam kegiatan Trust
mengikuti bankruptcy remote.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “agen pembayar (paying agent)”
adalah kegiatan menerima dan melakukan pemindahan
uang dan/atau dana, serta mencatat arus kas masuk dan
keluar untuk dan atas nama Settlor.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “agen investasi dana secara
konvensional dan/atau investasi dana berdasarkan prinsip
syariah” adalah kegiatan menempatkan, mengkonversi,
melakukan lindung
nilai
(hedging),
mengadministrasikan penempatan dana untuk dan atas
nama Settlor.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “agen peminjaman secara
konvensional (borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah” adalah kegiatan perantara
dalam rangka mendapatkan sumber-sumber pendanaan
antara lain dalam bentuk pinjaman atau pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Instruksi tertulis yang jelas dan rinci memuat antara lain:
a. jenis mata uang;
b. jenis/instrumen penempatan;
c. jangka waktu;
d. jumlah nominal;
e. counterparty;
f. counterparty limit;
g. penjamin; dan/atau
h. peringkat instrumen investasi.
dan
- 4 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan antara
lain Undang-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang
tentang Perbankan Syariah, dan Undang-Undang tentang Pasar
Modal.
Yang dimaksud dengan “manajer investasi” adalah pihak yang
kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk para
nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk
sekelompok nasabah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Pasar Modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Bagi Bank Umum Syariah yang melakukan kegiatan Trust, hanya
dapat bertindak sebagai agen pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Bagi Bank Umum Syariah yang melakukan kegiatan Trust, fee atau
ujroh disesuaikan dengan akad yang digunakan.
Pasal 11
Ayat (1)
Pencatatan kegiatan Trust yang terpisah dari pembukuan Bank
dilakukan termasuk untuk rincian masing-masing kegiatan
Trust.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 12
Ayat (1)
Penggunaan rekening pada bank di dalam negeri antara lain
untuk menerima seluruh pendapatan, membayarkan seluruh
kewajiban Settlor, dan/atau pemindahan dana dari rekening
Settlor kepada Beneficiary.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “auditor ekstern” adalah kantor akuntan
publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Peringkat Komposit 2” adalah
sebagaimana dalam ketentuan yang mengatur mengenai
penilaian tingkat kesehatan Bank Umum.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 6 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Peringkat Komposit 2” adalah
sebagaimana dalam ketentuan yang mengatur mengenai
penilaian tingkat kesehatan Bank Umum.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tindakan pengawasan Bank antara lain
adalah Cease and Desist Order (CDO).
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kebijakan sumber daya manusia yang
mengelola unit kerja Trustee antara lain berupa penentuan
persyaratan dan kualifikasi sumber daya manusia untuk
kegiatan Trust.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pegawai Bank” adalah pegawai tetap
Bank.
Ayat (5)
Integritas antara lain memiliki akhlak dan moral yang baik, yang
- 7 -
ditunjukkan dengan sikap memenuhi ketentuan yang berlaku,
termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana asal yang disebutkan dalam Undang-Undang
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak terafiliasi” adalah pihak
terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Perbankan
Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 8 -
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Penunjukan trustee pengganti dengan trustee lain dilakukan
antara lain dalam hal Bank dicabut izin usahanya oleh Otoritas
Jasa Keuangan atau penutupan Bank atas kemauan sendiri (self
liquidation) atau dicabut persetujuan prinsipnya untuk
melakukan kegiatan Trust.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini
bertujuan untuk menilai kelengkapan dokumen dan
kesiapan Bank dalam melakukan kegiatan Trust.
Huruf b
Surat penegasan yang diberikan oleh Otoritas Jasa
Keuangan bersifat administratif yang didasarkan pada
analisis terhadap kelengkapan data, informasi, dan
- 9 -
dokumen yang disampaikan oleh Bank untuk menilai
kesiapan operasional dalam melakukan kegiatan Trust.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Informasi umum mengenai kegiatan Trust antara lain
meliputi rencana waktu pelaksanaan dan target pasar.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyampaian daftar pegawai disertai dengan dokumen
antara lain:
- 10 -
1. daftar riwayat hidup;
2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk;
3. fotokopi bukti kewarganegaraan bagi Warga Negara
Asing; dan
4. fotokopi Izin Kerja Tenaga Asing bagi Warga Negara
Asing.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Huruf a
Persetujuan Dewan Komisaris dapat tercermin dalam Rencana
Bisnis Bank yang telah ditandatangani Komisaris.
Huruf b
Evaluasi atas pelaksanaan Rencana Bisnis Bank terkait kegiatan
Trust antara lain dituangkan dalam risalah rapat Dewan
Komisaris atau laporan pengawasan Rencana Bisnis Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai Rencana Bisnis Bank.
Pasal 33
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain
dibuktikan dengan:
a. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja
untuk kegiatan Trust;
b. dilakukannya pemeriksaan oleh satuan kerja audit intern.
Penetapan batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja
terkait dengan kegiatan Trust dituangkan dalam kebijakan dan
prosedur.
Pasal 37
Ayat (1)
Transparansi informasi bertujuan agar Settlor dan/atau
Beneficiary memperoleh informasi yang memadai mengenai
kegiatan Trust.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Frekuensi laporan tertulis secara berkala yang disampaikan Bank
kepada Settlor diatur dalam perjanjian Trust.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Huruf a
Informasi umum mengenai sumber daya manusia unit kerja
- 12 -
Trustee antara lain memuat:
1) Jumlah pimpinan unit kerja Trustee;
Informasi mengenai pimpinan unit kerja Trustee
disampaikan berikut informasi status pegawai, yang berupa
pegawai tetap atau tidak tetap dan Warga Negara Indonesia
atau tenaga kerja asing.
2) Jumlah pejabat satu tingkat di bawah pimpinan unit kerja
Trustee;
Informasi mengenai pejabat satu tingkat dibawah pimpinan
unit kerja Trustee disampaikan berikut informasi status
pegawai, yang berupa pegawai tetap atau tidak tetap dan
Warga Negara Indonesia atau tenaga kerja asing.
3) Jumlah sumber daya manusia lainnya;
Informasi mengenai sumber daya manusia lainnya
disampaikan berikut informasi status pegawai, yang berupa
pegawai tetap atau tidak tetap dan Warga Negara Indonesia
atau tenaga kerja asing; dan
4) Nama pemimpin unit kerja Trustee serta nama penanggung
jawab penyusun laporan kegiatan Trust berikut nomor
telepon, nomor faksimili, dan alamat surat elektronik
masing-masing pihak dimaksud.
Informasi pada angka 1) dan 2) disampaikan untuk unit kerja
Trustee pada setiap kantor Bank:
1) setelah Bank menerima surat penegasan dari Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan kegiatan Trust yang
disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan
kegiatan Trust bulanan yang pertama kali disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan
2) dalam hal terdapat perubahan sumber daya manusia.
Format penyampaian informasi umum mengenai sumber daya
manusia unit kerja Trustee mengacu pada Formulir 1-Sumber
Daya Manusia dalam Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Huruf b
Informasi umum mengenai perjanjian Trust antara lain meliputi
nomor, tanggal penandatanganan dan tanggal berakhirnya
perjanjian, jenis kegiatan Trust, sandi sektor ekonomi, dan sandi
- 13 -
perjanjian Trust.
Pengelompokan sandi sektor ekonomi dilakukan sesuai
ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan bank
umum.
Informasi umum mengenai Settlor antara lain meliputi nama,
nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan sandi negara.
Sandi negara meliputi sandi negara residensial yang mengacu
pada negara residen dan sandi negara nasionalitas yang
mengacu pada pemegang saham utama.
Pengelompokan sandi negara dilakukan sesuai ketentuan yang
mengatur mengenai laporan bulanan bank umum.
Informasi umum mengenai perjanjian Trust dan Settlor
disampaikan:
1) setelah Bank menerima surat penegasan dari Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan kegiatan Trust yang
disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan
kegiatan Trust bulanan yang pertama kali disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan
2) dalam hal terdapat perubahan perjanjian antara Trust dan
Settlor.
Informasi disampaikan Bank untuk unit kerja Trustee pada
setiap kantor Bank.
Format penyampaian informasi umum mengenai perjanjian Trust
dan Settlor mengacu pada Formulir 2-Daftar Perjanjian antara
Trust dan Settlor dalam Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Huruf c
Informasi umum mengenai kegiatan Trust memuat rincian
kegiatan Trust, yaitu:
1) Penerimaan dana, yang terdiri atas:
a)
setoran dana;
b) hasil penjualan atau devisa hasil ekspor;
c) pokok investasi;
d)
imbal hasil investasi;
e) utang atau pembiayaan yang diterima; dan
f)
lain-lain.
- 14 -
2) Pengeluaran dana, yang terdiri atas:
a) pembayaran pajak;
b) pembayaran pada supplier atau vendor;
c) pembayaran pada Beneficiary, yang terdiri atas:
(1) pemerintah;
(2) Settlor sebagai Beneficiary; dan
(3) lainnya.
d)
Investasi, yang terdiri atas:
(1) investasi yang dilakukan oleh Trustee; dan
(2) investasi yang dilakukan melalui manajer
investasi.
e) Pembayaran utang atau pembiayaan yang diterima,
yang terdiri atas:
(1) pokok utang atau pembiayaan yang diterima; dan
(2) bunga utang atau imbal hasil pembiayaan yang
diterima.
f)
g)
fee atau ujroh kepada Trustee; dan
lain-lain.
3) Selisih antara penerimaan dan pengeluaran.
Pencatatan nilai nominal kegiatan Trust disajikan dalam valuta
asal dan nilai konversi dalam Rupiah. Tata cara pencatatan
kegiatan Trust mengacu pada Standar Akuntansi yang berlaku.
Format Penyampaian Informasi umum mengenai kegiatan Trust
memuat rincian kegiatan Trust dibuat untuk setiap perjanjian
Trust dengan mengacu pada Formulir 3–Rincian Kegiatan Trust
dalam Lampiran I dan seluruh perjanjian Trust dengan mengacu
pada Formulir 4–Rekapitulasi Kegiatan Trust dalam Lampiran I
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Huruf d
Informasi umum mengenai posisi aset dan kewajiban Trust
antara lain memuat:
1)
Informasi posisi aset Trust terdiri atas:
a)
b)
giro;
investasi yang dilakukan oleh Trustee, yang terdiri
atas:
(1) tabungan;
(2) deposito;
- 15 -
(3) Sertifikat Bank Indonesia/Sertifikat Bank
Indonesia Syariah;
(4) Surat Berharga Negara/Surat Berharga Syariah
Negara; dan
(5) lain-lain,
c)
Investasi yang dilakukan melalui Manajer Investasi,
yang terdiri atas:
(1) saham;
(2) obligasi atau sukuk korporasi;
(3) reksadana atau reksadana syariah;
(4) Efek Beragun Aset;
(5) Medium Term Notes; dan
(6) lain-lain.
d) aset keuangan lainnya.
2)
Informasi posisi kewajiban Trust terdiri atas:
a) kewajiban kepada Settlor;
b) dana usaha; dan
c) kewajiban lainnya.
Pencatatan nilai nominal posisi aset dan kewajiban Trust
disajikan dalam valuta asal dan nilai konversi dalam
Rupiah. Tata cara pencatatan posisi aset dan kewajiban
Trust mengacu pada Standar Akuntansi yang berlaku.
Format penyampaian informasi umum mengenai posisi aset
dan kewajiban Trust mengacu pada Formulir 5–Posisi Aset
dan Kewajiban Trust dalam Lampiran I Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Laporan kegiatan Trust disampaikan dengan melampirkan:
a. hardcopy laporan kegiatan Trust; dan
- 16 -
b. softcopy laporan kegiatan Trust dalam format spreadsheet
dengan menggunakan compact disc, flash disk, atau media
perekaman data elektronik lainnya,
yang dimasukkan dalam amplop tertutup dan disegel.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari libur maka laporan
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5775
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 27/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) </reg_title>
<set_date> 4 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 11 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 11 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> '14/17/PBI/2012', '15/10/DPNP|SE-BI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 7/POJK.05/2014
TENTANG
PEMERIKSAAN LEMBAGA PENJAMINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. Bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan terhadap Lembaga
Penjaminan,perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
Lembaga Penjaminan guna meningkatkan kepatuhan
terhadap ketentuan yang berlaku di bidang Lembaga
Penjaminan;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a di atas, perlu menetapkan
Peraturan
Otoritas
Mengingat
:
Jasa
Keuangan
Pemeriksaan Lembaga Penjaminan;
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Lembaga Penjaminan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMERIKSAAN LEMBAGA PENJAMINAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas
pemenuhan kewajiban finansial Terjamin.
2. Penjaminan…
tentang
-2-
2. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang
telah menjamin pemenuhan kewajiban finansial
Terjamin.
3. Lembaga Penjaminan adalah Perusahaan Penjaminan,
Perusahaan Penjaminan
Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah.
4. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang
bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha
melakukan Penjaminan.
5. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha melakukan Penjaminan berdasarkan Prinsip
Syariah.
6. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha melakukan Penjaminan Ulang.
7. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang
berdasarkan Prinsip Syariah.
8. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah
dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
9. Pemeriksaan
adalah
rangkaian
kegiatan
mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi
data dan informasi mengenai kegiatan usaha Lembaga
Penjaminan, yang bertujuan untuk memperoleh
keyakinan atas kebenaran laporan berkala, kepatuhan
terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang Lembaga Penjaminan serta
memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya.
10. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
11. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang
digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk
melakukan Pemeriksaan.
12. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang
disampaikan…
Syariah, Perusahaan
-3-
disampaikan kepada Lembaga Penjaminan yang akan
diperiksa.
13. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain
yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
PEMERIKSAAN
Pasal 2
(1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan,
Otoritas Jasa Keuangan melakukan Pemeriksaan
terhadap Lembaga Penjaminan.
(2) Pemeriksaan bertujuan untuk:
a. Memperoleh keyakinan mengenai kondisi Lembaga
Penjaminan yang sebenarnya;
b. Meneliti kesesuaian kondisi Lembaga Penjaminan
dengan peraturan perundang-undangan serta
standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan
usaha Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang
sehat; dan
c. Memastikan bahwa Lembaga Penjaminan telah
melakukan upaya untuk dapat memenuhi
kewajiban kepada Penerima Jaminan.
Pasal 3
(1) Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap setiap Lembaga
Penjaminan dilakukan:
a. secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun; atau
b. setiap waktu bila diperlukan.
(2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pemeriksaan atas substansi laporan
berkala dan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang lembaga penjaminan.
(3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b merupakan Pemeriksaan yang
bersifat khusus dan dilakukan apabila:
a. berdasarkan hasil analisis atas laporan berkala
Lembaga Penjaminan,
patut diduga bahwa
penyelenggaraan...
-4-
penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga
Penjaminan dimaksud menyimpang dari peraturan
perundang-undangan di bidang Lembaga
Penjaminan yang dapat menimbulkan risiko atas
kepentingan Penerima Jaminan dan/atau Terjamin
dalam kegiatan Penjaminan atau Penjaminan
Ulang;
b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang
didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh
Otoritas Jasa Keuangan, patut diduga bahwa
penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga
Penjaminan dimaksud menyimpang dari peraturan
perundang-undangan di bidang Lembaga
Penjaminan yang dapat menimbulkan risiko atas
kepentingan para Penerima Jaminan; atau
c. terdapat alasan khusus yang mendasari perlunya
dilakukan Pemeriksaan, antara lain:
1. verifikasi kegiatan operasional Lembaga
Penjaminan;
2. penggabungan;
3. peleburan;
4. pengambilalihan; dan/atau
5. pengalihan portofolio Penjaminan atau
Penjaminan Ulang.
(4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimuat dalam rencana pemeriksaan tahunan yang
ditetapkan oleh OtoritasJasaKeuangan.
Pasal 4
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan Surat
Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan.
(2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu disampaikan
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada Lembaga
Penjaminan.
(3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 3
(tiga) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan kegiatan
Pemeriksaan.
(4) Ketentuan ayat (2) dikecualikan apabila diduga bahwa
penyampaian Surat PemberitahuanPemeriksaan dapat
menyebabkan tindakan mengaburkan keadaan
yang...
-5-
yang sebenarnya atau tindakan menyembunyikan
data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam
pelaksanaan Pemeriksaan.
Pasal 5
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dilaksanakan berdasarkan Pedoman Pemeriksaan yang
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Komisioner
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 6
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. persiapan Pemeriksaan;
b. pelaksanaan Pemeriksaan; dan
c. pelaporan hasil Pemeriksaan.
(2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan hasil analisis
laporan berkala dan data lain yang mendukung.
(3) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara
Pemeriksaan di kantor Lembaga Penjaminan atau
Pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan atau
Pemeriksaan di tempat lain yang ditentukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Untuk mendukung pelaksanaan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat
dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait
dengan Lembaga Penjaminan yang bersangkutan.
(5) Pelaporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c harus disusun berdasarkan data
atau keterangan yang diperoleh selama proses
pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam
kertas kerja Pemeriksaan.
Pasal 7
(1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan, Pemeriksa wajib
menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan dan tanda
pengenal Pemeriksa.
(2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan
dalam ayat (1)LembagaPenjaminan yang akan
diperiksa wajib menolak dilakukannyaPemeriksaan.
(3) Dalam hal Pemeriksa telah menunjukan Surat
Pemberitahuan...
-6-
Pemberitahuan Pemeriksaan, Surat Perintah
Pemeriksaan beserta tanda pengenal Pemeriksa,
Pemeriksa berhak:
a. memeriksa dan/atau meminjam buku-buku,
catatan-catatan, dan dokumen-dokumen
pendukungnya termasuk keluaran (output) dari
pengolahan data atau media komputer dan
perangkat elektronik pengolah data lainnya;
b. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis
dari LembagaPenjaminan yang diperiksa;
c. memasuki tempat atau ruangan yang diduga
merupakan tempat menyimpan dokumen, uang,
atau barang yang dapat memberikan petunjuk
tentang keadaan LembagaPenjaminan yang
diperiksa; dan
d. mendapatkan keterangan dan/atau data yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan Lembaga Penjaminan yang
diperiksa.
(4) Pemeriksa wajib merahasiakan data dan/atau
keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan
terhadap pihak yang tidak berhak, kecuali dalam
rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya
berdasarkan keputusan Otoritas Jasa Keuangan atau
diwajibkan oleh Undang-Undang.
Pasal 8
(1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), LembagaPenjaminan
yang diperiksa dilarang menolak dan/atau
menghambat kelancaran proses Pemeriksaan.
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan,
Lembaga
Penjaminan yang diperiksa berkewajiban untuk:
a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau
meminjamkan buku, catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen yang diperlukan untuk
kelancaran Pemeriksaan selamaPemeriksaan;
b. memberikan keterangan yang diperlukan secara
tertulis dan/atau lisan;
c. memberi akses kepada Pemeriksa untuk memasuki
tempat atau ruangan yang dipandang perlu; dan
d. memberikan keterangan dan/atau data yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan LembagaPenjaminan yang
diperiksa.
(3) Lembaga…
-7-
(3) Lembaga Penjaminan
dianggap menghambat
kelancaran proses Pemeriksaan apabila tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan/atau melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun buku,
catatan, dokumen atau keterangan yang diberikan
tidak benar atau menyesatkan.
(4) Dalam hal
Lembaga Penjaminan dianggap
menghambat kelancaran proses Pemeriksaan, maka
akan dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan.
(5) Tanpa mengurangi ketentuan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan, dalam
hal Lembaga Penjaminan menolak dan/atau
menghambat dilakukannya pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka Pemeriksa menetapkan
Berita Acara Penolakan Pemeriksaan dengan atau
tanpa ditandatangani oleh Direksi Lembaga
Penjaminan.
(6) Direksi Lembaga Penjaminan yang menolak dan/atau
menghambat dilakukannya Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud ayat (1) diwajibkan untuk mengikuti
penilaian kemampuan dan kepatutan.
Pasal 9
(1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b berakhir,
Pemeriksa wajib menyusun laporan hasil
Pemeriksaan.
(2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan
b. laporan hasil Pemeriksaan final.
(3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditandatangani Pemeriksa dan
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 10
(1) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan laporan hasil
Pemeriksaan sementara kepada Direksi Lembaga
Penjaminan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
berakhirnya pelaksanaan Pemeriksaan.
(2) Lembaga Penjaminan
mengajukan
yang
tanggapan
atas
diperiksa dapat
laporan hasil
Pemeriksaan…
-8-
Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah tanggal ditetapkannya
laporan hasil Pemeriksaan sementara.
(3) Dalam hal setelah lewat jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Lembaga Penjaminan tidak
memberikan tanggapan atas laporan hasil
Pemeriksaan sementara secara tertulis, Otoritas Jasa
Keuangan menetapkan laporan hasil Pemeriksaan
sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final
paling lambat 15 (lima belas) hari setelah jangka
waktu sebagaimana dimaksud ayat (2) berakhir.
(4) Dalam hal Lembaga Penjaminan menyampaikan
tanggapan yang tidak memuat sanggahan atas laporan
hasil Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan
sehingga tidak diperlukan adanya pembahasan,
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan laporan hasil
Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil
Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) hari
setelah diterimanya tanggapan dari Lembaga
Penjaminan yang diperiksa.
(5) Dalam hal Lembaga Penjaminan menyampaikan
tanggapan yang memuat sanggahan atas laporan hasil
Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan dan
diperlukan adanya pembahasan atas laporan hasil
Pemeriksaan sementara, maka Otoritas Jasa
Keuangan mengundang Lembaga Penjaminan yang
bersangkutan guna melakukan pembahasan atas
tanggapan yang disampaikan.
(6) Proses Pembahasan atas tanggapan laporan hasil
Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
diterimanya surat tanggapan.
(7) Berdasarkan
hasil pembahasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara
menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat
15 (lima belas) hari setelah selesainya pembahasan
bersama Lembaga Penjaminan yang diperiksa.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai pemeriksaaan Lembaga
Penjaminan…
-9-
Penjaminan tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 12
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
Ttd
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 74
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 7/POJK.05/2014
TENTANG
PEMERIKSAAN LEMBAGA PENJAMINAN
I. UMUM
Lembaga Penjaminan adalah sebagai salah satu lembaga keuangan non
bank yang diharapkan mampu untuk menjembatani akses UMKM pada
fasilitas pembiayaan perbankan, sehingga diharapkan dengan tumbuhnya
sektor UMKM dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk itu diperlukan pengelolaan kegiatan usaha yang efektif dan efisien
yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan guna mewujudkan tujuan
dimaksud. Untuk memastikan adanya efektivitas dalam pengelolaan
kegiatan usaha Lembaga Penjaminan termasuk kepatuhan terhadap
ketentuan yang berlaku, perlu dilakukan pengawasan yang bersifat on site
supervision dalam bentuk pemeriksaan langsung.
Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 November 2011, maka tugas
pengawasan atas Lembaga Penjaminan beralih kepada Otoritas Jasa
Keuangan sejak tanggal 31 Desember 2012, tentunya dibutuhkan landasan
hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan fungsi dan
kewenangannya dalam mengawasi Lembaga Penjaminandalam bentuk
pemeriksaan langsung.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeriksaan
Lembaga Penjaminan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Bagi…
-2-
Bagi Perusahaan Penjaminanatau Perusahaan PenjaminanUlang yang
memiliki Unit Usaha Syariah, makapemeriksaansecaraberkala paling
kurangmeliputi 1 (satu) kali pada Perusahaan Penjaminanatau
Perusahaan Penjaminan ulang selaku entitas induk, serta paling kurang
1 (satu) kali pada Unit Usaha Syariah yang dimiliki dalam 1 (satu)
tahun.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah meliputi pihak kreditur
selaku Penerima Jaminan, agen penjamin, nasabah debitur selaku
Terjamin dan/atau pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan
penempatan investasi dari Lembaga Penjaminan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9…
-3-
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Jangka waktu paling lama 15 (limabelas) hari sudah termasuk waktu
yang diperlukan untuk memperoleh hasil pembahasan antara Otoritas
Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjaminan yang diperiksa.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5529
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 7/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PEMERIKSAAN LEMBAGA PENJAMINAN </reg_title>
<set_date> 7 April 2014 </set_date>
<effective_date> 8 April 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 April 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '2/PERPRES/2008' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 68 /POJK.05/2016
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN
PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI,
DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (4),
Pasal 10 ayat (4), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal
40 ayat (6), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 88 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN
PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG
REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN
ASURANSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan pialang asuransi,
perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan
penilai kerugian asuransi.
2. Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi
dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi
atau asuransi syariah serta penanganan penyelesaian
klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama
pemegang polis, tertanggung, atau peserta
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
3. Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa
konsultasi dan/atau keperantaraan dalam
penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi
syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya
dengan bertindak untuk dan atas nama perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
penjaminan, perusahaan penjaminan syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau
reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
4. Usaha Penilai Kerugian Asuransi adalah usaha jasa
penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek
- 3 -
asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
5. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi.
6. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan
yang menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi.
7. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah
perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Penilai
Kerugian Asuransi.
8. Pialang Asuransi adalah orang yang bekerja pada
Perusahaan Pialang Asuransi dan memenuhi
persyaratan untuk memberi rekomendasi atau
mewakili pemegang polis, tertanggung, atau peserta
dalam melakukan penutupan asuransi atau asuransi
syariah dan/atau penyelesaian klaim sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian.
9. Pialang Reasuransi adalah orang yang bekerja pada
Perusahaan Pialang Reasuransi dan memenuhi
persyaratan untuk memberi rekomendasi atau
mewakili perusahaan asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan
penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah dalam melakukan
penutupan reasuransi atau reasuransi syariah
dan/atau penyelesaian klaim sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
10. Modal Disetor:
a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah modal disetor; atau
b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum
koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan
wajib.
11. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang tidak
berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud
- 4 -
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
12. Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau
tidak langsung mempunyai kemampuan untuk
menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang
setara dengan direksi atau dewan komisaris pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama dan/atau mempengaruhi tindakan direksi,
dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi
atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
13. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi.
14. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas atau yang setara
dengan Direksi bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum koperasi.
15. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris
bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum
koperasi.
16. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana
kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi
dari lembaga negara yang berwenang memberikan
- 5 -
lisensi terhadap lembaga sertifikasi profesi di
Indonesia.
17. Tenaga Ahli adalah orang perseorangan yang memiliki
kualifikasi dan/atau keahlian tertentu dan ditunjuk
sebagai Tenaga Ahli pada Perusahaan tempatnya
bekerja.
18. Asosiasi adalah asosiasi dari Perusahaan Pialang
Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi,
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, atau profesi
keahlian di lingkup usaha Perusahaan.
19. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah lembaga yang independen yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN,
NAMA PERUSAHAAN, DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum
Pasal 2
Bentuk badan hukum Perusahaan adalah:
a. perseroan terbatas; atau
b. koperasi.
Bagian Kedua
Kepemilikan
Pasal 3
(1) Perusahaan hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang secara langsung atau tidak
- 6 -
langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara
Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
bersama-sama dengan warga negara asing atau
badan hukum asing yang harus merupakan
Perusahaan yang memiliki usaha sejenis atau
perusahaan induk yang salah satu anak
perusahaannya bergerak di bidang usaha
perasuransian yang sejenis.
(2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dapat menjadi pemilik Perusahaan hanya
melalui transaksi di bursa efek.
(3) Kriteria badan hukum asing dan kepemilikan badan
hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b serta kepemilikan warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
Perusahaan berpedoman kepada
Peraturan
Pemerintah mengenai kepemilikan asing pada
perusahaan perasuransian.
Pasal 4
(1) Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada
saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang Perasuransian dan belum
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a wajib menyesuaikan ketentuan
tersebut dengan cara:
a. mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada
warga negara Indonesia; atau
b. melakukan perubahan kepemilikan melalui
mekanisme penawaran umum (initial public
offering),
paling lama 5 (lima) tahun sejak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
- 7 -
(2) Perubahan kepemilikan melalui mekanisme penawaran
umum (initial public offering) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dalam hal
Perusahaan telah melakukan upaya pengalihan
kepemilikan sahamnya kepada warga negara Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Dalam rangka pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib menyusun
rencana tindak yang paling sedikit memuat cara
penyesuaian, tahapan pelaksanaan, dan jangka
waktu.
(4) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib mendapatkan persetujuan RUPS.
(5) Rencana tindak yang telah mendapatkan persetujuan
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
(6) OJK memberikan persetujuan atau permintaan
perbaikan atas rencana tindak sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak tanggal diterimanya rencana tindak.
(7) Perusahaan dapat melakukan perubahan terhadap
rencana tindak yang telah memperoleh persetujuan
dari OJK paling banyak 3 (tiga) kali.
(8) Ketentuan mengenai rencana tindak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6),
berlaku mutatis mutandis terhadap perubahan
rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat
(7).
(9) Perusahaan wajib menyampaikan pelaksanaan rencana
tindak yang telah mendapatkan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada OJK
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak realisasi
rencana tindak atau sesuai dengan tahapan rencana
tindak.
- 8 -
Bagian Ketiga
Nama Perusahaan
Pasal 5
(1) Perusahaan harus menggunakan nama Perusahaan
yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan
memuat kata:
a. Pialang Asuransi, insurance broker, atau kata yang
mencirikan kegiatan Pialang Asuransi bagi
Perusahaan Pialang Asuransi;
b. Pialang Reasuransi, reinsurance broker, atau kata
yang mencirikan kegiatan Pialang Reasuransi bagi
Perusahaan Pialang Reasuransi; atau
c.
penilai kerugian asuransi, adjuster, atau kata
yang mencirikan kegiatan penilai kerugian
asuransi bagi Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi.
(2) Penggunaan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Perusahaan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas harus memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai perseroan
terbatas.
(3) Nama Perusahaan wajib dicantumkan secara jelas
pada gedung kantor, iklan, dan kop surat Perusahaan.
(4) OJK berwenang meminta Perusahaan untuk mengubah
nama Perusahaan apabila nama Perusahaan tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Bagian Keempat
Permodalan
Pasal 6
(1) Perusahaan Pialang Asuransi harus memiliki Modal
Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
- 9 -
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi harus memiliki Modal
Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi harus memiliki
Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit
sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) wajib disetor secara tunai dan
penuh dalam bentuk deposito berjangka dan/atau
rekening giro
atas nama Perusahaan Pialang
Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, atau
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi pada salah
satu bank umum, bank umum syariah, atau unit
usaha syariah dari bank umum di Indonesia.
Pasal 7
(1) Pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan
hukum asing harus memiliki rating paling rendah A
atau yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui
secara internasional.
(2) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum
asing dan merupakan perusahaan induk yang salah
satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha
perasuransian yang sejenis, pemenuhan ketentuan
rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dipenuhi oleh rating dari salah satu anak
perusahaannya yang bergerak di bidang usaha
perasuransian yang sejenis.
(3) Bagi pemegang saham Perusahaan yang berbentuk
badan hukum Indonesia, jumlah penyertaan langsung
pada Perusahaan ditetapkan paling tinggi sebesar
ekuitas pemegang saham.
(4) Ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi pemegang
saham Perusahaan yang merupakan lembaga jasa
keuangan yang berada dalam pengawasan OJK.
- 10 -
(5) Bagi lembaga jasa keuangan yang berada dalam
pengawasan OJK, jumlah penyertaan langsung pada
Perusahaan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai investasi dan/atau penyertaan.
(6) Jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) wajib dipenuhi pada saat badan hukum
yang bersangkutan melakukan:
a. penyetoran modal pendirian Perusahaan;
b. perubahan pemegang saham Perusahaan;
dan/atau
c. penambahan Modal Disetor Perusahaan.
BAB III
PERIZINAN USAHA
Bagian Kesatu
Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha
Pasal 8
(1) Setiap Pihak yang menyelenggarakan Usaha Pialang
Asuransi, Usaha Pialang Reasuransi, atau Usaha
Penilai Kerugian Asuransi wajib terlebih dahulu
mendapat izin usaha dari OJK.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan
izin usaha kepada OJK.
Pasal 9
(1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada
OJK dengan menggunakan format 1 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
- 11 -
(2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen:
a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah
disahkan oleh instansi yang berwenang, yang
paling sedikit harus memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa
jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris,
dan fotokopi akta perubahan anggaran dasar (jika
ada) disertai dengan fotokopi bukti persetujuan
dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan
dari instansi yang berwenang;
b. susunan organisasi yang dilengkapi dengan
uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
prosedur kerja;
c.
fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam
bentuk setoran tunai dan fotokopi bukti
penempatan Modal Disetor minimum dalam
bentuk deposito berjangka dan/atau rekening
giro pada salah satu bank umum, bank umum
syariah, atau unit usaha syariah dari bank
umum dan dilegalisasi oleh bank penerima
setoran yang masih berlaku selama dalam proses
pengajuan izin usaha;
d. daftar kepemilikan, berupa:
1. daftar pemegang saham berikut rincian
besarnya
masing-masing
kepemilikan
saham dan seluruh struktur kelompok
usaha yang terkait Perusahaan dan
badan hukum pemilik Perusahaan sampai
dengan pemilik terakhir, bagi Perusahaan
berbentuk
badan hukum perseroan
terbatas; atau
- 12 -
2. daftar anggota berikut jumlah simpanan
pokok dan simpanan wajib, bagi Perusahaan
berbentuk badan hukum koperasi;
e. data pemegang saham atau anggota selain
Pengendali:
1. orang perseorangan, dilampiri dengan:
a)
fotokopi tanda pengenal berupa kartu
tanda penduduk (KTP) atau paspor yang
masih berlaku;
b) fotokopi nomor pokok wajib pajak
(NPWP);
c)
fotokopi surat pemberitahuan (SPT)
pajak 2 (dua) tahun terakhir dan
dokumen lain yang menunjukkan
kemampuan keuangan serta sumber
dana calon pemegang saham orang
perseorangan;
d) daftar riwayat hidup dengan dilengkapi
pas foto berwarna yang terbaru
berukuran 4 x 6 cm; dan
e) surat pernyataan
dari yang
bersangkutan yang menyatakan:
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
kegiatan pencucian uang (money
laundering) dan kejahatan
keuangan;
3) tidak memiliki kredit dan/atau
pembiayaan macet;
4) tidak termasuk sebagai Pihak yang
dilarang untuk menjadi pemegang
saham atau Pihak yang mengelola,
mengawasi, dan/atau mempunyai
pengaruh yang signifikan pada
lembaga jasa keuangan;
- 13 -
5) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian
berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
6) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana
kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
7) tidak pernah dinyatakan pailit atau
bersalah yang menyebabkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir; dan
8) tidak pernah menjadi pemegang
saham pengendali, anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris,
Pengendali, atau anggota DPS pada
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir;
2. badan hukum, dilampiri dengan:
a)
fotokopi akta pendirian badan hukum
termasuk anggaran dasar berikut
perubahannya (jika ada),
disertai
dengan fotokopi bukti pengesahan,
fotokopi bukti persetujuan, dan/atau
fotokopi
bukti surat penerimaan
pemberitahuan dari instansi berwenang;
- 14 -
b) laporan keuangan yang telah diaudit
oleh akuntan publik yang dilengkapi
laporan keuangan non-konsolidasi dan
laporan keuangan bulan terakhir;
c) dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e angka 1 huruf a), huruf
b), dan huruf d), bagi direksi atau yang
setara dengan direksi dari badan
hukum yang bersangkutan; dan
d) surat pernyataan direksi atau yang
setara dengan direksi dari badan
hukum yang bersangkutan yang
menyatakan bahwa:
1) setoran modal tidak berasal dari
pinjaman;
2) setoran modal tidak berasal dari
kegiatan pencucian uang (money
laundering)
keuangan;
dan kejahatan
3) tidak memiliki kredit dan/atau
pembiayaan macet;
4) tidak termasuk sebagai Pihak yang
dilarang untuk menjadi pemegang
saham atau Pihak yang mengelola,
mengawasi, dan/atau mempunyai
pengaruh yang signifikan pada
lembaga jasa keuangan;
5) tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana di bidang
usaha jasa keuangan dan/atau
perekonomian
putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
6) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan
bersalah yang
menyebabkan suatu perusahaan
berdasarkan
- 15 -
dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan
7) tidak pernah menjadi pemegang
saham pengendali
perusahaan jasa keuangan yang
dicabut izin usahanya karena
melakukan pelanggaran dalam 5
(lima) tahun terakhir; dan
e)
hasil rating dari lembaga pemeringkat
yang diakui secara internasional, bagi
pemegang saham yang berbentuk badan
hukum asing;
3. negara Republik Indonesia, dilampiri dengan
fotokopi peraturan pemerintah mengenai
penyertaan modal negara Republik Indonesia
untuk pendirian Perusahaan;
4. pemerintah daerah, dilampiri dengan
fotokopi
peraturan daerah
penyertaan modal daerah untuk pendirian
Perusahaan;
f.
daftar Pengendali beserta keterangan mengenai
bentuk pengendaliannya;
g. bukti mempekerjakan Tenaga Ahli;
h. rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama yang
paling sedikit memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan
potensi ekonomi serta lini usaha yang akan
dimasuki dan target pasarnya;
2. langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi arus kas, neraca, perhitungan
laba/rugi semesteran dan tingkat kesehatan
Perusahaan serta asumsi yang
mendasarinya, dimulai sejak Perusahaan
melakukan kegiatan operasional;
mengenai
pada
- 16 -
i.
j.
fotokopi pedoman manajemen risiko Perusahaan;
fotokopi perikatan dengan pihak lain (jika ada)
dan kebijakan pengalihan sebagian fungsi dalam
penyelenggaraan usaha;
k. sistem administrasi dan infrastruktur
pengelolaan data yang mendukung penyiapan
dan penyampaian laporan kepada OJK;
l.
konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal
Pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan
langsung dari Pihak asing;
m. bukti pelunasan biaya perizinan; dan
n. dokumen lain dalam rangka mendukung
pertumbuhan usaha yang sehat, meliputi:
1. fotokopi
awal/pembukaan Perusahaan;
2. bukti kesiapan operasional;
3. bukti memiliki polis indemnitas profesi yang
masih berlaku dengan uang pertanggungan
paling sedikit sebesar Modal Disetor;
4. rencana bidang kepegawaian termasuk
rencana pengembangan sumber daya
manusia paling singkat untuk 3 (tiga) tahun
pertama;
5. fotokopi pedoman pelaksanaan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme;
6. fotokopi pedoman tata kelola Perusahaan
yang baik;
7. fotokopi pedoman tata kelola investasi;
8. fotokopi
perjanjian kerjasama antara
pemegang saham yang berbentuk badan
hukum asing dengan pemegang saham
Indonesia, bagi Perusahaan yang di
dalamnya terdapat penyertaan dari badan
hukum asing yang dibuat dalam bahasa
Indonesia dan paling sedikit memuat:
laporan posisi keuangan
- 17 -
a) komposisi permodalan dan rincian
kewenangan, yang paling sedikit
memuat ketentuan mengenai hak
suara, pembagian keuntungan dan
kerugian, dan penunjukan anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Perusahaan
Pialang
Asuransi,
Perusahaan Pialang Rasuransi, atau
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi;
dan
b) kewajiban pemegang saham berbentuk
badan hukum asing untuk menyusun
dan melaksanakan program pendidikan
dan pelatihan sesuai bidang
keahliannya.
(3) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan
penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak
utama Perusahaan.
(4) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama Perusahaan dan
permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Bagian Kedua
Persetujuan atau Penolakan Permohonan Izin Usaha
Pasal 10
(1) OJK memberikan persetujuan, permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dalam jangka waktu
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan izin usaha diterima.
- 18 -
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2);
b. verifikasi setoran modal;
c. analisis kelayakan atas rencana kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf h;
d. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon pihak utama; dan
e. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.
(3) OJK dapat melakukan peninjauan ke kantor
Perusahaan untuk memastikan kesiapan operasional
Perusahaan.
(4) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20
(dua puluh) hari sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(5) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan
permohonan izin usaha.
(7) Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK menetapkan
keputusan pemberian izin usaha kepada pemohon.
(8) Dalam hal OJK menolak permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan
- 19 -
harus dilakukan secara tertulis dengan disertai
alasannya.
Pasal 11
(1) Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari OJK
wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan
oleh OJK.
(2) Perusahaan
wajib
menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha.
(3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh
Direksi
Perusahaan
kepada OJK
dengan
menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan:
a. bukti penempatan asuransi bagi Perusahaan
Pialang Asuransi, bukti penempatan reasuransi
bagi Perusahaan Pialang Reasuransi, atau bukti
surat perintah kerja bagi Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi; dan
b. fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin
menggunakan tenaga kerja asing yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, bagi
anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris yang berkewarganegaraan asing.
BAB IV
PENGENDALI
Pasal 12
(1) Pihak yang dikategorikan sebagai Pengendali
merupakan:
a. pemegang saham; atau
- 20 -
b. bukan pemegang saham.
(2) Pengendali yang merupakan pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
memenuhi kriteria persyaratan integritas dan
kelayakan keuangan sebagaimana diatur dalam
peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
(3) Pengendali yang bukan merupakan pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
memenuhi kriteria persyaratan integritas dan reputasi
keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi
pihak utama lembaga jasa keuangan.
BAB V
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 13
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi wajib memiliki susunan organisasi yang
menggambarkan secara jelas paling sedikit fungsi:
a. pelayanan;
b. teknis kepialangan; dan
c. administrasi, keuangan, dan audit internal.
(2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib memiliki
susunan organisasi yang menggambarkan secara jelas
paling sedikit fungsi:
a. pelayanan;
b. teknis penilaian kerugian asuransi; dan
c. administrasi, keuangan, dan audit internal.
(3) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atau ayat (2) wajib dilengkapi dengan uraian tugas,
wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja secara
tertulis, yang ditetapkan oleh Direksi.
(4) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) harus mencerminkan adanya
pengendalian internal yang baik.
- 21 -
(5) Perusahaan wajib memiliki pegawai yang bertanggung
jawab atas masing-masing fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).
(6) Pengelolaan Perusahaan wajib didukung paling sedikit
dengan sistem pengolahan data yang dapat
menghasilkan informasi yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam pengambilan
keputusan.
BAB VI
SUMBER DAYA MANUSIA
Bagian Kesatu
Sertifikasi
Pasal 14
(1) Anggota Direksi Perusahaan Pialang Asuransi dan
Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memiliki
sertifikat kepialangan dengan level paling rendah 1
(satu) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari
Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian.
(2) Anggota Direksi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
wajib memiliki sertifikat ahli penilai kerugian asuransi
dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah
kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di
bidang perasuransian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi bagi
anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Kedua
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 15
(1) Perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja asing.
- 22 -
(2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk dipekerjakan sebagai:
a. Tenaga Ahli dengan level jabatan 1 (satu) tingkat
di bawah Direksi; atau
b. konsultan.
(3) Perusahaan hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja
asing yang menangani fungsi:
a. teknis kepialangan, bagi Perusahaan Pialang
Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi;
b. teknis penilaian kerugian asuransi, bagi
Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi;
c. pemasaran; dan/atau
d. sistem informasi.
(4) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing
sebagai Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. tenaga kerja asing dipekerjakan dengan jangka
waktu paling lama 5 (lima) tahun; dan
b. tenaga kerja asing didampingi oleh tenaga kerja
Indonesia dalam rangka alih pengetahuan,
keahlian, dan teknologi.
(5) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing
sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. tenaga kerja asing hanya dipekerjakan untuk
melaksanakan proyek atau program tertentu yang
berkaitan dengan kegiatan operasional di bidang
perasuransian;
b. jangka waktu untuk proyek atau program
sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling
lama 5 (lima) tahun; dan
c. tenaga kerja asing didampingi oleh tenaga kerja
Indonesia dalam rangka alih pengetahuan,
keahlian, dan teknologi.
- 23 -
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memenuhi persyaratan:
a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas
yang akan menjadi tanggung jawabnya;
b. tenaga asing tersebut menduduki jabatan yang
belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia;
dan
c. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan.
(7) OJK berwenang untuk meminta Perusahaan
memberhentikan tenaga kerja asing yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6).
Pasal 16
(1) Perusahaan yang akan mempekerjakan tenaga kerja
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1),
wajib terlebih dahulu melaporkan kepada OJK paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sebelum tenaga kerja
asing dimaksud dipekerjakan.
(2) Pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
sesuai dengan format 3 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri:
a.
daftar riwayat hidup tenaga kerja asing yang
dipekerjakan, disertai dengan fotokopi dokumen
yang mencerminkan bidang keahliannya;
b. rencana program pendidikan dan pelatihan
tahunan selama tenaga kerja asing dimaksud
dipekerjakan; dan
c. rencana penempatan dan bidang tugas yang
menjadi tanggung jawab tenaga kerja asing.
- 24 -
Pasal 17
(1) Perusahaan wajib melaporkan pengangkatan atau
pemberhentian tenaga kerja asing kepada OJK paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah diangkat atau
diberhentikan.
(2) Pelaporan pengangkatan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan melampirkan:
a. fotokopi bukti pengangkatan tenaga kerja asing;
b. fotokopi surat izin menetap;
c.
d. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP).
(3) Pelaporan pemberhentian tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan disertai alasan pemberhentian.
Pasal 18
(1) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), wajib
menyelenggarakan kegiatan alih pengetahuan dari
tenaga kerja asing kepada pegawai Perusahaan.
(2) Alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), harus dibuat dalam bentuk program pendidikan
dan pelatihan tahunan kepada pegawai Perusahaan.
Bagian Ketiga
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pasal 19
(1) Perusahaan
wajib
menyelenggarakan program
pengembangan kemampuan dan pengetahuan bagi
pegawainya.
fotokopi surat izin menggunakan tenaga kerja
asing; dan
- 25 -
(2) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan
dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan.
BAB VII
PIALANG ASURANSI DAN PIALANG REASURANSI
Bagian Kesatu
Pialang Asuransi
Pasal 20
Perusahaan Pialang Asuransi wajib mempekerjakan Pialang
Asuransi secara penuh waktu.
Pasal 21
(1) Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat kepialangan dengan level
paling rendah 2 (dua) tingkat di bawah kualifikasi
tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi atau
sertifikat kepialangan dari luar negeri setelah
terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari
Lembaga Sertifikasi Profesi;
b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis
kepialangan dan/atau teknis asuransi paling
singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. menjadi anggota Asosiasi Pialang Asuransi di
Indonesia.
(2) Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditempatkan pada unit yang bertanggung jawab
terhadap fungsi teknis kepialangan.
Pasal 22
(1) Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 wajib terdaftar di OJK.
(2) Untuk terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direksi Perusahaan Pialang Asuransi harus
mendaftarkan kepada OJK sesuai dengan format 4
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
- 26 -
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan melampirkan dokumen:
a. fotokopi sertifikat kepialangan bagi Pialang
Asuransi dengan level paling rendah 2 (dua)
tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari
Lembaga Sertifikasi Profesi atau sertifikat
kepialangan dari luar negeri setelah terlebih
dahulu memperoleh pengakuan dari Lembaga
Sertifikasi Profesi;
b. bukti pengalaman kerja di bidang teknis
kepialangan dan/atau teknis asuransi paling
singkat 3 (tiga) tahun;
c. bukti keanggotaan pada anggota Asosiasi Pialang
Asuransi di Indonesia;
d. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku;
e. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
f.
daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto
berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan
g. surat pernyataan dari yang bersangkutan yang
menyatakan:
1. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang usaha jasa
keuangan dan/atau perekonomian
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
2. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir; dan
3. tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah
yang
menyebabkan
suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
- 27 -
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir.
Pasal 23
(1) OJK memberikan
persetujuan, permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2) dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan
pendaftaran diterima.
(2) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(3) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam rangka memproses permohonan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan
penelitian atas kelengkapan dokumen permohonan.
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan
permohonan pendaftaran.
(6) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK menerbitkan
surat tanda terdaftar kepada pemohon.
(7) Dalam hal OJK menolak permohonan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan
harus dilakukan secara tertulis dengan disertai
alasannya.
- 28 -
Pasal 24
Surat tanda terdaftar Pialang Asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6) dapat dibatalkan dalam
hal Pialang Asuransi:
a. tidak lagi menjadi anggota Asosiasi Pialang Asuransi;
b. dinyatakan melanggar kode etik dan standar praktik
oleh Asosiasi Pialang Asuransi yang bersangkutan;
c. dicabut gelar profesinya oleh Asosiasi yang
mengeluarkan gelar tersebut; atau
d. melakukan perbuatan tercela di bidang usaha jasa
keuangan.
Pasal 25
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib melaporkan
pengangkatan dan/atau pemberhentian Pialang
Asuransi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima
belas) hari kerja sejak tanggal pengangkatan dan/atau
pemberhentian.
(2) Pelaporan pengangkatan Pialang Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi kepada OJK sesuai dengan
format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan melampirkan dokumen
berupa surat tanda terdaftar Pialang Asuransi yang
dipekerjakan.
(3) Pelaporan pemberhentian
Pialang Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 6 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
- 29 -
Bagian Kedua
Pialang Reasuransi
Pasal 26
Perusahaan Pialang Reasuransi wajib mempekerjakan
Pialang Reasuransi secara penuh waktu.
Pasal 27
(1) Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memiliki sertifikat kepialangan dengan level
paling rendah 2 (dua) tingkat di bawah kualifikasi
tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi atau
sertifikat dari luar negeri setelah terlebih dahulu
memperoleh pengakuan dari Lembaga Sertifikasi
Profesi;
b. memiliki pengalaman kerja di bidang pengelolaan
risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia.
(2) Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditempatkan pada unit yang bertanggung jawab
terhadap fungsi teknis kepialangan.
Pasal 28
(1) Pialang Resuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 wajib terdaftar di OJK.
(2) Untuk terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direksi Perusahaan Pialang Reasuransi harus
mendaftarkan kepada OJK sesuai dengan format 7
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan melampirkan dokumen:
a. fotokopi sertifikat kepialangan bagi Pialang
Reasuransi dengan level paling rendah 2 (dua)
tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari
Lembaga Sertifikasi Profesi atau sertifikat dari
- 30 -
luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh
pengakuan dari Lembaga Sertifikasi Profesi;
b. bukti pengalaman kerja di bidang teknis
kepialangan dan/atau teknis asuransi paling
singkat 3 (tiga) tahun;
c. bukti keanggotaan pada anggota Asosiasi Pialang
Reasuransi di Indonesia;
d. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda
penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku;
e. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP);
f.
daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto
berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan
g. surat pernyataan dari yang bersangkutan yang
menyatakan:
1. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang usaha jasa
keuangan dan/atau perekonomian
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir;
2. tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir; dan
3. tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah
yang
menyebabkan
suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5
(lima) tahun terakhir.
Pasal 29
(1) OJK memberikan persetujuan, permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) dalam jangka waktu paling
- 31 -
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan
pendaftaran diterima.
(2) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(3) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Dalam rangka memproses permohonan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan
penelitian atas kelengkapan dokumen permohonan.
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan
permohonan pendaftaran.
(6) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK menerbitkan
surat tanda terdaftar kepada pemohon.
(7) Dalam hal OJK menolak permohonan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan
harus dilakukan secara tertulis dengan disertai
alasannya.
Pasal 30
Surat tanda terdaftar Pialang Reasuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6) dapat dibatalkan dalam
hal Pialang Reasuransi:
a. tidak lagi menjadi anggota Asosiasi Pialang
Reasuransi;
b. dinyatakan melanggar kode etik dan standar praktik
oleh Asosiasi Pialang Reasuransi yang bersangkutan;
- 32 -
c. dicabut gelar profesinya oleh Asosiasi yang
mengeluarkan gelar tersebut; atau
d. melakukan perbuatan tercela di bidang usaha
perasuransian.
Pasal 31
(1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib melaporkan
pengangkatan dan/atau pemberhentian Pialang
Reasuransi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima
belas) hari kerja sejak tanggal pengangkatan atau
pemberhentian.
(2) Pelaporan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK
sesuai dengan format 8 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan
melampirkan dokumen berupa surat tanda terdaftar
Pialang Reasuransi yang dipekerjakan.
(3) Pelaporan pemberhentian
Pialang Reasuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan
menggunakan format 9 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
BAB VIII
TENAGA AHLI
Bagian Kesatu
Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Asuransi
Pasal 32
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib mempekerjakan
paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli Perusahaan
Pialang Asuransi secara penuh waktu.
- 33 -
(2) Tenaga Ahli
Perusahaan
Pialang Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki sertifikat ahli pialang asuransi dengan
level tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di
bidang perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis
kepialangan dan/atau teknis asuransi paling
singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia.
Pasal 33
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib menyesuaikan
Tenaga Ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan
volume dan kompleksitas usaha Perusahaan.
(2) Tenaga Ahli
Perusahaan
Pialang Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki sertifikat ahli Pialang Asuransi dengan
level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah
kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi
Profesi di bidang perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis
kepialangan dan/atau teknis asuransi paling
singkat 3 (tiga) tahun; dan
(3) Tenaga
c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia.
Ahli
Perusahaan
Pialang Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan
pada unit yang bertanggung jawab terhadap fungsi
teknis kepialangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah
Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
- 34 -
Pasal 34
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib melaporkan
pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli
Perusahaan Pialang Asuransi paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak tanggal pengangkatan
dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli Perusahaan
Pialang Asuransi.
(2) Pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi kepada OJK sesuai dengan format 10
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(3) Pelaporan pemberhentian Tenaga Ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 11
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
Bagian Kedua
Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi
Pasal 35
(1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib mempekerjakan
paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli Perusahaan
Pialang Reasuransi secara penuh waktu.
(2) Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki sertifikat ahli Pialang Reasuransi dengan
kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi
Profesi di bidang perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja di bidang pengelolaan
risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia.
- 35 -
Pasal 36
(1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyesuaikan
Tenaga Ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan
volume dan kompleksitas usaha Perusahaan.
(2) Tenaga Ahli Perusahaan Pialang
Reasuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki sertifikat ahli Pialang Reasuransi dengan
kualifikasi paling rendah 1 (satu) tingkat di
bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga
Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis
kepialangan dan/atau teknis asuransi paling
singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia.
(3) Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan
pada unit yang bertanggung jawab terhadap fungsi
teknis kepialangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah
Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 37
(1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib melaporkan
pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli
Perusahaan Pialang Reasuransi dalam jangka waktu
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli
Perusahaan Pialang Reasuransi.
(2) Pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi kepada OJK sesuai dengan format 12
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
- 36 -
(3) Pelaporan pemberhentian Tenaga Ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 13
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
Bagian Ketiga
Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
Pasal 38
(1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib
mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga
Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi secara
penuh waktu.
(2) Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki sertifikat ahli penilai kerugian asuransi
dengan kualifikasi tertinggi dari Lembaga
Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja di bidang penilaian
kerugian paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia.
Pasal 39
(1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
wajib
menyesuaikan Tenaga Ahli dalam jumlah yang cukup
sesuai dengan volume dan kompleksitas usaha
Perusahaan.
(2) Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki sertifikat ahli penilai kerugian asuransi
dengan kualifikasi paling rendah 1 (satu) tingkat
di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga
Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian;
- 37 -
b. memiliki pengalaman kerja di bidang penilaian
kerugian paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia.
(3) Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan
pada unit yang bertanggung jawab terhadap fungsi
teknis penilai kerugian.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah
Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 40
(1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
wajib
melaporkan pengangkatan dan/atau pemberhentian
Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak tanggal pengangkatan dan/atau
pemberhentian Tenaga Ahli Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi.
(2) Pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi kepada OJK sesuai dengan format 14
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
(3) Pelaporan pemberhentian Tenaga Ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 15
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini.
- 38 -
BAB IX
KANTOR DI LUAR KANTOR PUSAT
Pasal 41
(1) Perusahaan dapat membuka kantor di luar kantor
pusat di dalam atau di luar negeri.
(2) Perusahaan bertanggung jawab sepenuhnya atas
setiap kantor yang dimiliki atau dikelolanya, atau yang
pemilik atau pengelolanya diberi izin menggunakan
nama Perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 42
(1) Perusahaan wajib melaporkan setiap pembukaan
dan/atau penutupan kantor di luar kantor pusat
kepada OJK.
(2) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan
oleh Direksi Perusahaan paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja setelah kantor tersebut beroperasi dengan
menggunakan format 16 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri:
a. nama kantor dan fungsi kantor;
b. alamat kantor yang didukung oleh surat
keterangan dari pihak yang relevan yang paling
sedikit menyatakan nama Perusahaan;
c. nama pimpinan kantor dilengkapi dengan daftar
riwayat hidup; dan
d. tugas dan kewenangan pimpinan kantor.
Pasal 43
(1) Perusahaan yang akan menutup kantor di luar kantor
pusat wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada
pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengenai:
a. rencana penutupan kantor di luar kantor pusat;
dan
- 39 -
b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban.
(2) Prosedur
penyelesaian hak dan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan
memperhatikan kepentingan
tertanggung, atau peserta.
pemegang polis,
Pasal 44
(1) Perusahaan wajib melaporkan penutupan kantor di
luar kantor pusat secara tertulis oleh Direksi
Perusahaan kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal penutupan kantor di luar
kantor pusat.
(2) Pelaporan penutupan kantor di luar kantor pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan menggunakan format 17 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dengan dilampiri:
a. bukti pemberitahuan rencana penutupan kantor
di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a; dan
b. bukti pengalihan pelayanan kantor di luar kantor
pusat di tutup ke kantor pusat atau kantor di
luar kantor pusat terdekat.
BAB X
KEANGGOTAAN PADA ASOSIASI
Pasal 45
(1) Setiap Perusahaan wajib menjadi anggota salah satu
Asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya.
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat persetujuan tertulis dari OJK.
- 40 -
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2),
Asosiasi
harus
menyampaikan permohonan tertulis kepada OJK yang
dilampiri dokumen:
a. fotokopi anggaran dasar atau anggaran rumah
tangga; dan
b. struktur kepengurusan.
BAB XI
PERUBAHAN KEPEMILIKAN
Pasal 46
(1) Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK.
(2) Dalam hal perubahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakibatkan oleh adanya
penambahan Modal Disetor maka penambahan modal
dimaksud hanya dapat dilakukan dalam bentuk:
a. setoran tunai;
b. pengalihan saldo laba;
c. pengalihan pinjaman; dan/atau
d. dividen saham.
(3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), calon pemegang saham
melalui Direksi Perusahaan harus mengajukan
permohonan persetujuan kepada OJK dengan
menggunakan format 18 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri
dengan:
a. rencana daftar kepemilikan;
b. data calon pemegang saham atau anggota selain
Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2) huruf e, apabila terdapat pemegang
saham baru;
c. rancangan akta risalah RUPS;
d. rancangan akta pemindahan hak atas saham;
- 41 -
e.
fotokopi surat pemberitahuan pajak (SPT) 2 (dua)
tahun terakhir dan dokumen lain yang
menunjukkan kemampuan keuangan serta
sumber dana pemegang saham orang
perseorangan;
f.
fotokopi laporan keuangan Perusahaan yang telah
diaudit oleh akuntan publik sebelum
penambahan Modal Disetor, dalam hal
perubahan kepemilikan diakibatkan oleh
penambahan Modal Disetor dan akan dilakukan
dalam bentuk pengalihan saldo laba, pengalihan
pinjaman, dan/atau dividen saham; dan
g.
fotokopi perjanjian kerjasama antara pemegang
saham yang berbentuk badan hukum asing
dengan pemegang saham Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf n angka 8
bagi pelaporan perubahan kepemilikan yang
terdapat pemegang saham baru berbentuk badan
hukum asing.
(4) OJK memberikan persetujuan, permintaan
kelengkapan dokumen, atau penolakan atas
permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak permohonan persetujuan
diterima.
(5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) OJK
melakukan:
a.
b.
c.
penelitian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
analisis kelayakan rencana perubahan
kepemilikan;
penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon Pengendali, dalam hal perubahan
kepemilikan
menyebabkan
Pengendali; dan
perubahan
- 42 -
d.
analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.
(6) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 20
(dua puluh) hari sejak tanggal surat permintaan
kelengkapan dokumen dari OJK.
(7) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6), OJK
memberikan persetujuan atau penolakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
(8) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK belum
menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan
dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan
permohonan persetujuan.
(9) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK
menetapkan keputusan pemberian persetujuan
kepada pemohon.
(10) Dalam hal OJK menolak permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penolakan
harus dilakukan secara tertulis dengan disertai
alasannya.
Pasal 47
(1) Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan
perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1) kepada OJK paling lama 15 (lima
belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya bukti
persetujuan, dan/atau bukti surat penerimaan
pemberitahuan dari instansi yang berwenang.
(2) Pelaporan perubahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh
Direksi Perusahaan kepada OJK dengan
menggunakan format 19 sebagaimana tercantum
- 43 -
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan:
a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang
disertai bukti persetujuan dan/atau bukti surat
penerimaan pemberitahuan dari instansi yang
berwenang;
b. fotokopi akta pemindahan hak atas saham dalam
hal terjadi pemindahan hak atas saham;
c. bukti penambahan modal berupa fotokopi bukti
pelunasan Modal Disetor dalam bentuk setoran
tunai dan fotokopi bukti penempatan Modal
Disetor pada salah satu bank umum atau bank
umum syariah yang dilegalisasi oleh bank
penerima setoran dalam hal perubahan
kepemilikan mengakibatkan penambahan Modal
Disetor;
d. fotokopi peraturan pemerintah mengenai
penyertaan modal negara Republik Indonesia,
dalam hal perubahan kepemilikan karena
penambahan Modal Disetor dari pemegang saham
pemerintah pusat; dan/atau
e.
fotokopi peraturan daerah mengenai penyertaan
modal daerah dalam hal perubahan kepemilikan
karena penambahan Modal Disetor dari
pemegang saham pemerintah daerah.
BAB XII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 48
(1) Perusahaan wajib melaporkan kepada OJK perubahan
anggaran dasar meliputi:
a. perubahan nama Perusahaan;
b. perubahan tempat kedudukan kantor pusat
Perusahaan;
- 44 -
c. pengurangan Modal Disetor bagi Perusahaan
yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas;
d. penambahan Modal Disetor bagi Perusahaan
yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas; dan/atau
e. perubahan status Perusahaan yang tertutup
menjadi terbuka atau sebaliknya,
paling lama 15 (lima belas) hari kerja
tanggal
sejak
persetujuan atau surat penerimaan
pemberitahuan, atau pengesahan dari instansi yang
berwenang.
(2) Pelaporan perubahan nama Perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a harus disampaikan
oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan
menggunakan format 20 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri
dokumen:
a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang
disertai dengan persetujuan dari instansi
berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas; dan
b. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas
nama baru dari Perusahaan.
(3) Pelaporan perubahan tempat kedudukan kantor pusat
Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan
kepada OJK dengan menggunakan format 21
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen:
a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang
disertai dengan bukti persetujuan dari instansi
berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas; dan
- 45 -
b. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas
tempat kedudukan baru dari Perusahaan.
(4) Pengurangan Modal Disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dapat dilaksanakan oleh
Perusahaan dengan tetap memperhatikan pemenuhan
ketentuan Modal Disetor minimum dan/atau
pemenuhan ketentuan ekuitas minimum Perusahaan.
pengurangan Modal
(5) Pelaporan
Disetor
bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada
OJK dengan menggunakan format 22 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan
dilampiri dokumen fotokopi akta perubahan anggaran
dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari
instansi yang berwenang.
(6) Penambahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d hanya dapat dilakukan dalam
bentuk:
a. setoran tunai;
b. pengalihan saldo laba;
c. pengalihan pinjaman; dan/atau
d. dividen saham.
(7) Pelaporan penambahan Modal Disetor Perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan menggunakan format 23 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dilampiri dokumen:
a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang
disertai dengan bukti surat penerimaan
pemberitahuan dari instansi berwenang bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas;
- 46 -
b. bukti penambahan Modal Disetor, yaitu:
1. fotokopi bukti setoran modal pada salah
satu bank umum atau bank umum syariah
di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank
penerima setoran, dalam hal penambahan
Modal Disetor dilakukan dalam bentuk uang
tunai; atau
2. laporan keuangan Perusahaan yang telah
diaudit oleh akuntan publik sebelum
penambahan modal, dalam hal penambahan
Modal Disetor dilakukan dalam bentuk
pengalihan pinjaman dan/atau saldo laba
bagi Perusahaan yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas;
c.
fotokopi surat pernyataan pemegang saham atau
anggota koperasi yang menyatakan bahwa
setoran modal tidak berasal dari pinjaman,
kegiatan pencucian uang (money laundering) dan
kejahatan keuangan dalam hal penambahan
modal dilakukan dalam bentuk uang tunai
sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1;
d. fotokopi surat pemberitahuan pajak (SPT) 2 (dua)
tahun terakhir dan dokumen lain yang
menunjukkan kemampuan keuangan serta
sumber dana calon pemegang saham orang
perseorangan; dan
e. laporan keuangan pemegang saham yang telah
diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan
keuangan terakhir, dalam hal pemegang saham
berbentuk badan hukum.
(8) Pelaporan perubahan status Perusahaan yang
tertutup menjadi
terbuka atau sebaliknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan menggunakan format 24 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
- 47 -
dilampiri dokumen fotokopi akta perubahan anggaran
dasar disertai dengan bukti persetujuan dari instansi
berwenang.
Bagian Kedua
Pelaporan Perubahan Anggota Direksi dan/atau
Anggota Dewan Komisaris
Pasal 49
(1) Perusahaan yang melakukan perubahan:
a. anggota Direksi; dan/atau
b. anggota Dewan Komisaris,
wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pencatatan
perubahan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris dalam daftar perseroan, atau disetujui rapat
anggota.
(2) Pelaporan perubahan anggota Direksi dan/atau
anggota Dewan Komisaris Perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh
Direksi Perusahaan
kepada OJK
dengan
menggunakan format 25 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri
dokumen:
a. fotokopi akta risalah rapat anggota bagi
Perusahaan yang berbentuk badan hukum
koperasi; atau
b. akta risalah RUPS bagi Perusahaan yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas.
Bagian Ketiga
Pelaporan Perubahan Alamat
Pasal 50
(1) Perusahaan wajib melaporkan perubahan alamat
kantor pusat dan/atau kantor di luar kantor pusat
- 48 -
kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja kerja
terhitung sejak tanggal perubahan.
(2) Pelaporan perubahan alamat kantor pusat dan/atau
kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi
Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format
26 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, dengan disertai data mengenai
alamat kantor yang didukung oleh surat keterangan
dari pihak yang relevan yang paling sedikit
menyatakan nama Perusahaan.
BAB XIII
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 51
(1) Pencabutan izin usaha Perusahaan dilakukan oleh
OJK.
(2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal Perusahaan:
a. dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan OJK ini;
b. pailit; atau
c. menghentikan kegiatan usaha.
Pasal 52
(1) Perusahaan yang dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b wajib
menyampaikan laporan kepada OJK paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak putusan pernyataan pailit
oleh pengadilan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK
dengan menggunakan format 27 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
- 49 -
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini,
dengan dilampiri:
a. fotokopi dokumen yang menjadi dasar
ditetapkannya putusan pailit; dan
b.
asli salinan keputusan mengenai pemberian izin
usaha Perusahaan atau apabila asli salinan
keputusan hilang harus dilampiri dengan fotokopi
salinan keputusan mengenai pemberian izin
usaha yang telah dilegalisasi dan surat
pernyataan Direksi bahwa asli salinan keputusan
hilang.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK melakukan pencabutan izin usaha.
Pasal 53
(1) Perusahaan yang akan menghentikan kegiatan
usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(2) huruf c wajib terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari OJK.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan harus
menyampaikan permohonan persetujuan rencana
penghentian kegiatan usaha kepada OJK yang
memuat paling sedikit hal-hal sebagai berikut:
a. alasan penghentian kegiatan usaha;
b. uraian mengenai kondisi Perusahaan, termasuk
data mengenai jumlah polis yang masih berlaku
(in-force), jumlah pemegang polis, tertanggung,
atau peserta, jumlah kewajiban Perusahaan
kepada pemegang polis, tertanggung, atau
peserta dan kewajiban lainnya;
c. rencana penyelesaian kewajiban Perusahaan
kepada seluruh kreditor; dan
d. rencana pembubaran atau rencana lainnya
setelah Perusahaan menyelesaikan kewajiban
kepada seluruh kreditor dan izin usaha
Perusahaan telah dicabut oleh OJK.
- 50 -
(3) Permohonan persetujuan rencana penghentian
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus disampaikan dengan menggunakan format 28
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dilampiri dengan dokumen sebagai
berikut:
a.
asli salinan keputusan mengenai pemberian izin
usaha Perusahaan atau apabila asli salinan
keputusan hilang harus dilampiri dengan
fotokopi salinan keputusan mengenai pemberian
izin usaha yang telah dilegalisasi dan surat
pernyataan Direksi bahwa asli Salinan keputusan
hilang;
b. fotokopi keputusan RUPS mengenai persetujuan
atas rencana penghentian kegiatan usaha
Perusahaan;
c. laporan keuangan terakhir Perusahaan;
d. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya
kepada negara; dan
e. bukti penyelesaian pungutan OJK dan denda
administratif terutang.
Pasal 54
(1) OJK melakukan penelitian terhadap permohonan
persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha
yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2).
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan
persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha
secara lengkap, OJK memberikan persetujuan atau
penolakan rencana penghentian kegiatan usaha.
- 51 -
(3) Dalam hal OJK memberikan persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Perusahaan wajib untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha
Perusahaan;
b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan
usaha dan rencana penyelesaian kewajiban
Perusahaan dalam surat kabar selama 3 (tiga)
hari berturut-turut paling lama 10 (sepuluh) hari
sejak tanggal surat persetujuan rencana
penghentian kegiatan usaha;
c. menyelesaikan seluruh kewajiban Perusahaan
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan
sejak tanggal surat persetujuan rencana
penghentian kegiatan usaha; dan
d. menunjuk akuntan publik untuk menyusun
neraca akhir termasuk melakukan verifikasi
untuk memastikan penyelesaian seluruh
kewajiban Perusahaan.
(4) Prosedur penyelesaian
seluruh
kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c wajib
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 55
Setelah seluruh kewajiban Perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) diselesaikan, Direksi
wajib menyampaikan laporan kepada OJK yang paling
sedikit memuat:
a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) huruf
a;
b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (3) huruf b;
c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) huruf
c;
- 52 -
d. neraca akhir Perusahaan yang telah diaudit oleh
auditor independen; dan
e. surat pernyataan dari pemegang saham atau yang
setara dengan pemegang saham pada badan hukum
berbentuk koperasi yang menyatakan bahwa seluruh
kewajiban Perusahaan telah diselesaikan dan apabila
terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung
jawab pemegang saham atau yang setara dengan
pemegang saham pada badan hukum berbentuk
koperasi.
Pasal 56
(1) OJK melakukan penelitian terhadap laporan yang
disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak diterimanya laporan secara
lengkap, OJK menerbitkan keputusan tentang
pencabutan izin usaha Perusahaan.
(3) Perusahaan yang dicabut izin usahanya wajib
menghentikan kegiatan usahanya.
Pasal 57
Sejak tanggal pencabutan izin usaha Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), apabila di
kemudian hari muncul kewajiban Perusahaan yang belum
diselesaikan, pemegang saham atau yang setara dengan
pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi
bertanggung jawab atas kewajiban dimaksud.
BAB XIV
SANKSI
Pasal 58
(1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), 4 ayat
- 53 -
(1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (9), Pasal 5 ayat
(3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7 ayat (6), Pasal 8 ayat (1),
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 14 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 15 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18
ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22 ayat (1), Pasal 25
ayat (1), Pasal 26, Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (1),
Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1),
Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1),
Pasal 38 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1),
Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 43, Pasal 44 ayat
(1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (6), Pasal
49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), Pasal
53 ayat (1), Pasal 54 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 55,
dan Pasal 56 ayat (3) Peraturan OJK ini dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian
atau seluruh kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara bertahap.
(3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi
tambahan berupa larangan menjadi pemegang saham,
Pengendali, Direksi, Dewan Komisaris, atau yang
setara dengan pemegang saham, Pengendali, Direksi,
dan Dewan Komisaris, atau menduduki jabatan
eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan
jabatan eksekutif di bawah direksi, pada Perusahaan
Perasuransian.
(4) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur
dalam Peraturan OJK mengenai prosedur dan tata
cara pengenaan sanksi administratif.
- 54 -
BAB XV
LAIN-LAIN
Pasal 59
(1) Dalam hal OJK telah menyediakan sistem pelayanan
secara elektronik (e-licensing), maka permohonan
perizinan, persetujuan, atau pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3),
Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
22 ayat (2), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28
ayat (2), Pasal 31 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 34 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 40
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (2), Pasal 44 ayat
(2), Pasal 46 ayat (3), Pasal 47 ayat (2), Pasal 48 ayat
(2), ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 49
ayat (2), Pasal 50 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal
53 ayat (2) disampaikan kepada OJK secara online
melalui sistem jaringan komunikasi data OJK.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan secara
elektronik (e-licensing) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
OJK.
Pasal 60
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus tercatat di OJK.
(2) Untuk dapat tercatat di OJK, Lembaga Sertifikasi
Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyampaikan permohonan kepada OJK dengan
dilampiri:
a. bukti lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi dari
Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau instansi
lain yang ditunjuk berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. fotokopi akta anggaran dasar Lembaga Sertifikasi
Profesi.
- 55 -
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 61
Perusahaan yang mengajukan permohonan izin usaha
kepada OJK sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan
belum menyampaikan dokumen permohonan izin usaha
secara lengkap, maka berlaku ketentuan dalam Peraturan
OJK ini.
Pasal 62
Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada saat
Peraturan OJK ini diundangkan, dikecualikan dari
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
sepanjang
tidak
Perusahaan.
Pasal 63
Perusahaan yang telah memperoleh
sebelum Peraturan OJK ini
izin usaha
diundangkan dan
belum memenuhi ketentuan mengenai Tenaga Ahli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1),
Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 38 ayat (1), harus
menyesuaikan dengan ketentuan
tersebut
paling
lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
Pasal 64
Sertifikat yang telah diperoleh dari Asosiasi atau lembaga,
baik di dalam maupun luar negeri, yang telah
melaksanakan sertifikasi di bidang Perasuransian sebelum
Peraturan OJK ini diundangkan, dinyatakan tetap sah dan
berlaku.
melakukan
perubahan
nama
- 56 -
Pasal 65
Asosiasi atau lembaga yang telah melaksanakan
sertifikasi
di bidang
Perasuransian
pada
saat
Peraturan OJK ini diundangkan wajib memenuhi
ketentuan sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi paling
lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini
diundangkan.
Pasal 66
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Perusahaan berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Republik
Indonesia Nomor
425/KMK.06/2003 tentang Perizinan dan
Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan
Penunjang Usaha Asuransi, dinyatakan tetap sah dan
berlaku.
(2) Perusahaan
penyebab
yang
belum
dikenakannya
dapat
sanksi
mengatasi
administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK
ini.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai perizinan usaha dan kelembagaan bagi
Perusahaan tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 68
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 57 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 301
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 68/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date>
<related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
|
- 1 -
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 38 /POJK.03/2017
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG
MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa kelangsungan usaha bank dipengaruhi oleh
eksposur risiko yang timbul baik secara langsung dari
kegiatan usaha bank maupun secara tidak langsung dari
kegiatan usaha perusahaan anak;
b. bahwa untuk mengelola eksposur risiko tersebut bank
wajib menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi;
c. bahwa dalam menerapkan manajemen risiko secara
konsolidasi, bank harus mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari
kegiatan usaha bank dan perusahaan anak;
d. bahwa dalam menerapkan manajemen risiko secara
konsolidasi bank harus memastikan prinsip kehati-
hatian yang diterapkan pada kegiatan usaha bank
diterapkan pula pada perusahaan anak;
e. bahwa penerapan manajemen risiko secara konsolidasi
bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap
perusahaan anak merupakan salah satu prinsip dari
standar internasional;
- 2 -
f. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali penerapan
manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang
melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak;
berdasarkan pertimbangan
g. bahwa
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi bagi
Bank yang Melakukan Pengendalian Terhadap
Perusahaan Anak;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI
BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP
PERUSAHAAN ANAK.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Pengendalian adalah
orang perseorangan
atau
perusahaan atau badan, baik secara sendiri maupun
bersama-sama baik langsung maupun tidak langsung
yang memiliki saham 50% (lima puluh persen), atau
kurang dari 50% (lima puluh persen) yang memiliki hak
suara pada suatu perusahaan atau badan lain tetapi:
a. terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain,
sehingga memiliki hak suara lebih dari 50% (lima
puluh persen);
b. mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan
keuangan dan operasional perusahaan atau badan
lain berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian;
c. mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau
mengganti sebagian besar direksi dan dewan
komisaris atau organ lain yang setara dan
mengendalikan perusahaan atau badan lain melalui
direksi dan dewan komisaris atau organ lain;
dan/atau
d. mampu menguasai suara mayoritas pada rapat
direksi dan dewan komisaris atau organ lain yang
setara dan mengendalikan perusahaan atau badan
melalui direksi dan dewan komisaris atau organ lain.
- 4 -
3. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan
yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara
langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun
di luar negeri, yang memenuhi kriteria sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
4. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya
disingkat KPMM adalah KPMM sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank
umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum syariah.
5. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya
disingkat BMPK adalah BMPK sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai batas maksimum pemberian kredit bank
umum.
Pasal 2
(1) Bank yang memiliki dan/atau melakukan Pengendalian
terhadap Perusahaan Anak wajib melakukan penerapan
manajemen risiko secara konsolidasi.
(2) Penerapan manajemen risiko secara konsolidasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
Perusahaan Anak yang dimiliki dan/atau dikendalikan
oleh Bank karena adanya penyertaan modal sementara
dalam rangka restrukturisasi kredit atau restrukturisasi
pembiayaan.
Pasal 3
Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha
di bidang keuangan, yang terdiri atas:
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu
Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari
50% (lima puluh persen);
- 5 -
b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah
Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima
puluh persen) atau kurang namun Bank memiliki
Pengendalian terhadap perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20%
(dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh
persen) yang memenuhi persyaratan:
1. kepemilikan Bank dan para pihak lain pada
Perusahaan Anak masing-masing sama besar; dan
2. masing-masing pemilik melakukan Pengendalian
secara bersama terhadap Perusahaan Anak; dan
d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi
keuangan diwajibkan untuk dikonsolidasikan.
BAB II
SISTEM INFORMASI DAN PELAPORAN
Pasal 4
(1) Bank wajib memiliki sistem yang dapat mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko usaha
dari Bank dan Perusahaan Anak agar dapat menerapkan
manajemen risiko secara konsolidasi dengan efektif.
(2) Sistem yang wajib dimiliki oleh Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi:
a. sistem informasi akuntansi; dan
b. sistem informasi manajemen risiko.
BAB III
PENILAIAN KUALITAS ASET
Pasal 5
Untuk kepentingan penyusunan laporan keuangan
konsolidasi dan perhitungan KPMM, Bank wajib melakukan
penilaian kualitas aset dan membentuk penyisihan
penghapusan aset untuk seluruh aset Perusahaan Anak
paling sedikit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum dan
- 6 -
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha
syariah.
BAB IV
PERHITUNGAN BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT
Pasal 6
(1) Bank wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit
bank umum baik untuk penyediaan dana Bank secara
individu maupun untuk penyediaan dana Bank dan
Perusahaan Anak secara konsolidasi.
(2) Dalam perhitungan BMPK untuk penyediaan dana Bank
dan Perusahaan Anak secara konsolidasi:
a. penyediaan dana dari Perusahaan Anak kepada
debitur Bank wajib diperhitungkan sebagai satu
kesatuan dengan penyediaan dana Bank; dan
b. komponen modal menggunakan modal secara
konsolidasi.
Pasal 7
Penyertaan pada Perusahaan Anak oleh Bank yang
melakukan penerapan manajemen risiko secara konsolidasi,
tidak diperhitungkan sebagai penyediaan dana dalam
perhitungan BMPK.
BAB V
PENGELOLAAN PERUSAHAAN ANAK
Pasal 8
(1) Bank wajib memastikan pengurus yang mengelola
Perusahaan Anak memiliki integritas yang baik.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk pengurus yang mengelola Perusahaan
Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c.
- 7 -
(3) Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyampaikan
daftar calon pengurus yang mengelola Perusahaan Anak
yang diusulkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
pelaksanaan RUPS.
BAB VI
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN
DAN PROFIL RISIKO BANK
Pasal 9
(1) Bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan baik
secara individu maupun secara konsolidasi.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan karakteristik usaha
Perusahaan Anak dengan Bank, komponen tertentu
dalam penilaian tingkat kesehatan Bank dapat
disesuaikan untuk penilaian tingkat kesehatan secara
konsolidasi.
Pasal 10
(1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan laporan profil
risiko baik secara individu maupun secara konsolidasi.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan karakteristik usaha
Perusahaan Anak dengan Bank, parameter pengukuran
risiko tertentu dalam penyusunan profil risiko Bank
dapat disesuaikan untuk penyusunan profil risiko secara
konsolidasi.
- 8 -
BAB VII
PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT
PENGAWASAN BANK
Pasal 11
Ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum
diterapkan bagi Bank secara individu dan bagi Bank secara
konsolidasi.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 12
(1) Bank wajib menyampaikan laporan keuangan
Perusahaan Anak secara daring (online) sesuai dengan
format dan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem
pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, Bank
menyampaikan laporan secara daring (online) melalui
sistem Laporan Bulanan Bank Umum, Laporan Stabilitas
Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah, Laporan Berkala Bank
Umum, atau Laporan Berkala Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah dengan mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal penyampaian laporan secara daring (online)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) belum
dapat dilakukan, Bank wajib menyampaikan laporan
secara luring (offline) setiap triwulanan untuk periode
bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan
Desember yang meliputi:
a.
laporan penilaian kualitas aset secara konsolidasi;
- 9 -
b.
laporan perhitungan Batas Maksimum Penyaluran
Dana (BMPD) secara konsolidasi bagi bank umum
syariah; dan
c.
laporan profil risiko secara konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10.
(4) Laporan penilaian kualitas aset secara konsolidasi dan
laporan perhitungan BMPD secara konsolidasi bagi Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dan huruf b disampaikan paling lambat pada
tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya bulan
laporan yang bersangkutan.
(5) Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, hari
Minggu, atau hari libur, laporan disampaikan pada hari
kerja sebelumnya.
(6) Laporan profil risiko secara konsolidasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c disampaikan paling lama
30 (tiga puluh) hari setelah akhir bulan laporan.
(7) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) bagi bank umum syariah
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi
bank umum syariah dan unit usaha syariah.
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau
Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang
berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai dengan
wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank.
- 10 -
Pasal 13
(1) Dalam hal Bank memiliki dan/atau mengendalikan
Perusahaan Anak yang melakukan kegiatan usaha
asuransi:
a. penerapan manajemen risiko secara konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dilakukan melalui penilaian dan penyampaian
laporan penerapan manajemen risiko pada
perusahaan asuransi secara tersendiri; dan
b. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12,
tidak diterapkan.
(2) Laporan penilaian terhadap penerapan manajemen risiko
pada perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a wajib disampaikan secara triwulanan
untuk periode bulan Maret, bulan Juni, bulan
September, dan bulan Desember, paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah akhir bulan laporan.
(3) Penyampaian laporan penilaian terhadap penerapan
manajemen risiko pada
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada
ketentuan dalam Pasal 12 ayat (8).
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 14
(1) Peningkatan penyertaan karena akumulasi laba
Perusahaan Anak oleh Bank yang melakukan penerapan
manajemen risiko secara konsolidasi, tidak
diperhitungkan dalam batasan portofolio penyertaan
Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diterapkan dalam hal Bank memiliki dan/atau
mengendalikan Perusahaan Anak yang melakukan
kegiatan usaha asuransi.
perusahaan asuransi
- 11 -
BAB X
SANKSI
Pasal 15
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (3), Pasal 8 ayat (4),
Pasal 9 ayat (1), dan/atau Pasal 10 ayat (1) dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan terkait dan dapat dikenakan sanksi
administratif, berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
c. pencantuman anggota direksi, anggota dewan
komisaris, dan/atau pemegang saham Bank dalam
daftar pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus
dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan
(fit and proper test).
(2) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (3), dan
Pasal 13 ayat (2) setelah batas akhir waktu penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), Pasal 12
ayat (6), dan Pasal 13 ayat (2) sampai dengan 14 (empat
belas) hari kerja, dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
kerja keterlambatan untuk masing-masing laporan.
(3) Bank yang belum menyampaikan laporan atau
menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(4) Bank yang belum menyampaikan laporan setelah batas
akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tetap diwajibkan menyampaikan
- 12 -
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan
Pasal 13 ayat (2).
(5) Dalam hal Bank dikenakan sanksi administratif berupa
denda karena dinyatakan belum menyampaikan laporan
atau menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sanksi
administratif berupa denda karena terlambat
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak diberlakukan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip kehati-hatian dan
laporan dalam rangka penerapan manajemen risiko secara
konsolidasi bagi Bank yang melakukan pengendalian terhadap
perusahaan anak diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 17
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006
tentang Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi bagi
Bank yang Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4602), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 18
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 13 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 144
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 38 /POJK.03/2017
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG
MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK
I. UMUM
Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang melekat dalam
setiap kegiatan usaha. Risiko-risiko yang melekat tersebut dapat berasal
dari kegiatan usaha Bank itu sendiri maupun dari perusahaan yang
terkait dengan Bank.
Sementara itu perkembangan transaksi keuangan dalam era
globalisasi menyebabkan semakin terintegrasinya produk dan jasa
keuangan yang dilakukan oleh Bank. Produk dan jasa keuangan yang
semakin terintegrasi menyebabkan eksposur risiko yang harus dihadapi
Bank menjadi semakin kompleks dan meningkat.
Menghadapi kondisi tersebut, Bank perlu memperhatikan seluruh
risiko yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank. Risiko yang
harus diperhatikan mencakup seluruh risiko yang secara langsung
maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank,
baik yang berasal dari Perusahaan Anak maupun dari kelompok usaha.
Sebagai langkah awal untuk mengukur risiko secara lebih
menyeluruh, Bank diminta untuk menerapkan manajemen risiko secara
konsolidasi pada Perusahaan Anak yang dikendalikan. Penerapan
manajemen risiko pada Perusahaan Anak juga dimaksudkan untuk
meningkatkan daya saing perbankan Indonesia di dunia internasional,
- 2 -
mengingat hal ini merupakan salah satu pemenuhan tingkat kepatuhan
Bank terhadap standar internasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penerapan manajemen risiko secara konsolidasi dilakukan
dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank
umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum
syariah dan unit usaha syariah, yang meliputi:
a. pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta
penetapan limit risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen
risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, bagi bank umum syariah termasuk
pengawasan aktif dewan pengawas syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Termasuk dalam kegiatan usaha di bidang keuangan antara lain jasa
perbankan, sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
asuransi, perusahaan pembiayaan,
penyelesaian dan penyimpanan.
Huruf a
Cukup jelas.
serta lembaga kliring
- 3 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
angka 1
Cukup jelas.
angka 2
Yang dimaksud dengan “Pengendalian secara bersama”
adalah Pengendalian bersama oleh para pemilik atas
Perusahaan Anak yang didasarkan pada perjanjian
kontraktual.
Pengendalian bersama harus dibuktikan dengan adanya
kesepakatan atau komitmen secara tertulis dari para
pemilik untuk memberikan dukungan baik finansial
maupun non-finansial sesuai kepemilikan masing-masing.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Sistem informasi akuntansi antara lain meliputi sistem
yang dapat menghasilkan laporan keuangan, perhitungan
KPMM, penilaian kualitas aset dan pembentukan
penyisihan penghapusan aset, perhitungan BMPK yang
menghitung seluruh eksposur Bank dan eksposur
Perusahaan Anak secara konsolidasi serta penilaian tingkat
kesehatan secara konsolidasi.
Penyusunan laporan keuangan konsolidasi mengacu pada
standar akuntansi keuangan.
Huruf b
Sistem informasi manajemen risiko mengacu pada
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum
dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum
syariah dan unit usaha syariah.
- 4 -
Pasal 5
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar laporan keuangan
konsolidasi dan perhitungan KPMM dapat dilakukan secara lebih
tepat, sesuai dengan risiko yang telah dapat diperkirakan (expected
risk).
Pasal 6
Ayat (1)
Persentase BMPK untuk Bank secara individu sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum, juga
diberlakukan secara konsolidasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Integritas yang baik antara lain dibuktikan dengan pengurus
Perusahaan Anak tidak berasal dari pihak-pihak yang terdapat
dalam Daftar Tidak Lulus Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
Daftar Kredit Macet.
Yang dimaksud dengan “pengurus yang mengelola Perusahaan
Anak” adalah direksi dan dewan komisaris bagi badan hukum
perseroan terbatas atau jabatan lain yang setara pada badan
hukum lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 9
Ayat (1)
Penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi mengacu pada
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan Otoritas
Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian tingkat
kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Penyusunan laporan profil risiko secara konsolidasi mengacu
pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit
usaha syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Kriteria yang digunakan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank
umum antara lain rasio KPMM dan rasio kredit bermasalah atau
rasio pembiayaan bermasalah yang dihitung secara konsolidasi.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Asuransi memiliki karakteristik risiko yang sangat berbeda
dengan Bank sehingga tidak diterapkan penilaian manajemen
risiko secara konsolidasi terutama untuk hal-hal yang bersifat
kuantitatif.
- 6 -
Huruf a
Penilaian penerapan manajemen risiko perusahaan
asuransi mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi
lembaga jasa keuangan non-bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Batasan portofolio penyertaan Bank mengacu pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai prinsip kehati-hatian dalam
kegiatan penyertaan modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6087
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 38/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '8/6/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29/POJK.05/2014
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mendukung perkembangan
perusahaan pembiayaan yang dinamis dan mewujudkan
industri perusahaan pembiayaan yang tangguh,
kontributif, inklusif, serta berkontribusi untuk menjaga
sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan, perlu
dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha oleh Perusahaan
Pembiayaan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Pembiayaan;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.
BAB I ...
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan
barang dan/atau jasa.
2. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan untuk
pengadaan barang-barang modal beserta jasa yang
diperlukan untuk aktivitas
usaha/investasi,
rehabilitasi, modernisasi, ekspansi atau relokasi tempat
usaha/investasi yang diberikan kepada debitur dalam
jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun.
3. Pembiayaan Modal Kerja adalah pembiayaan untuk
memenuhi kebutuhan pengeluaran-pengeluaran yang
habis dalam satu siklus aktivitas usaha debitur dan
merupakan pembiayaan dengan jangka waktu paling
lama 2 (dua) tahun.
4. Pembiayaan Multiguna adalah pembiayaan untuk
pengadaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh
debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk
keperluan usaha (aktivitas produktif) dalam jangka
waktu yang diperjanjikan.
5. Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang oleh
Perusahaan Pembiayaan untuk digunakan debitur
selama jangka waktu tertentu, yang mengalihkan secara
substansial manfaat dan risiko atas barang yang
dibiayai.
6. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback) adalah
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penjualan suatu
barang oleh debitur kepada Perusahaan Pembiayaan
yang ...
- 3 -
yang disertai dengan menyewa-pembiayaankan kembali
barang tersebut kepada debitur yang sama.
7. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan
dalam bentuk pembelian piutang usaha suatu
perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
8. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual
Piutang (Factoring With Recourse) adalah transaksi Anjak
Piutang usaha dimana penjual piutang menanggung
risiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang
yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan.
9. Anjak Piutang Tanpa Pemberian Jaminan Dari Penjual
Piutang (Factoring Without Recourse) adalah transaksi
Anjak Piutang usaha dimana Perusahaan Pembiayaan
menanggung risiko tidak tertagihnya seluruh piutang
yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan.
10. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran adalah
kegiatan pembiayaan dalam bentuk pengadaan barang
dan/atau jasa yang dibeli oleh debitur dari penyedia
barang atau jasa dengan pembayaran secara angsuran.
11. Pembiayaan Proyek adalah pembiayaan yang diberikan
dalam rangka pelaksanaan sebuah proyek yang
memerlukan pengadaan beberapa jenis barang modal
dan/atau jasa yang terkait dengan pelaksanaan
pengadaan proyek tersebut.
12. Pembiayaan Infrastruktur adalah pembiayaan dalam
bentuk pengadaan barang dan/atau jasa untuk
pembangunan infrastruktur.
13. Fasilitas Modal Usaha adalah Pembiayaan Modal Kerja
yang dibayarkan langsung oleh Perusahaan Pembiayaan
kepada penyedia barang dan/atau jasa.
14. Debitur adalah badan usaha atau orang perseorangan
yang menerima pembiayaan pengadaan barang
dan/atau jasa dari Perusahaan Pembiayaan.
15. Tingkat ...
- 4 -
15. Tingkat Kesehatan Keuangan adalah hasil penilaian
kondisi Perusahaan Pembiayaan terhadap risiko
permodalan, likuiditas, aset, operasional dan kinerja
Perusahaan Pembiayaan.
16. Modal Disetor:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas adalah modal disetor;
atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan
hukum koperasi adalah simpanan pokok dan
simpanan wajib.
17. Ekuitas:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas adalah penjumlahan dari:
1. Modal Disetor;
2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas:
a) agio/disagio saham;
b) biaya emisi efek Ekuitas; dan
c) lainnya sesuai dengan prinsip standar
akuntansi keuangan;
3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas
sepengendali;
4. saldo laba/rugi;
5. laba/rugi tahun berjalan;
6. saham tresuri (treasury stock); dan
7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas:
a) perubahan dalam surplus revaluasi;
b) selisih kurs karena penjabaran laporan
keuangan dalam mata uang asing;
c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran
kembali aset keuangan tersedia untuk dijual;
d) bagian ...
- 5 -
d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian
instrumen keuangan lindung nilai dalam
rangka lindung nilai arus kas; dan
e) komponen ekuitas lainnya sesuai prinsip
standar akuntansi keuangan.
b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum koperasi harus sebesar penjumlahan dari
simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan,
hibah, dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan.
18. Direksi:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perseroan terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai
perkoperasian.
19. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perseroan terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan
hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai
perkoperasian.
20. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan yang
selanjutnya disebut dengan BMPP adalah batasan
tertentu dalam penyaluran pembiayaan yang
diperkenankan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
21. Pengendali ...
- 6 -
21. Pengendali:
a. bagi badan hukum perseroan terbatas, adalah badan
hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok
usaha yang:
1. memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau
2. memiliki saham kurang dari 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun
yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian perusahaan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
b. bagi badan usaha lainnya adalah pihak yang secara
langsung ataupun tidak langsung mempunyai
kemampuan untuk menentukan pengurus,
pengawas atau yang setara dan/atau mempengaruhi
tindakan pengurus, pengawas atau yang setara.
22. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB II
KEGIATAN USAHA
Bagian Kesatu
Jenis Kegiatan Usaha dan Cara Pembiayaan
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:
a. Pembiayaan Investasi;
b. Pembiayaan Modal Kerja;
c. Pembiayaan Multiguna; dan/atau
d. kegiatan ...
- 7 -
d. kegiatan usaha pembiayaan lain berdasarkan
persetujuan OJK.
(2) Selain kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan
sewa operasi (operating lease) dan/atau kegiatan
berbasis fee sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan-undangan di sektor jasa
keuangan.
Pasal 3
Kegiatan Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan/atau Pembiayaan Modal
Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
ditujukan untuk Debitur berbentuk badan usaha atau
orang perseorangan:
a. yang memiliki usaha produktif; dan/atau
b. yang memiliki ide-ide untuk pengembangan usaha
produktif.
Pasal 4
(1) Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a wajib dilakukan dengan cara:
a. Sewa Pembiayaan (Finance Lease);
b. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback);
c. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari
Penjual Piutang (Factoring With Recourse);
d. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran;
e. Pembiayaan Proyek;
f. Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau
g. pembiayaan lain setelah
mendapatkan persetujuan dari OJK.
(2) Pembiayaan Modal Kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b wajib dilakukan dengan cara:
a. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback);
b. Anjak ...
terlebih dahulu
- 8 -
b. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari
Penjual Piutang (Factoring With Recourse);
c. Anjak Piutang Tanpa Pemberian Jaminan Dari
Penjual Piutang (Factoring Without Recourse);
d. Fasilitas Modal Usaha; dan/atau
e. pembiayaan lain setelah
terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari OJK.
(3) Pembiayaan Multiguna sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf c wajib dilakukan dengan cara:
a. Sewa Pembiayaan (Finance Lease);
b. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran;
dan/atau
c. pembiayaan lain setelah
terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari OJK.
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan
usaha pembiayaan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf d dan cara pembiayaan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g,
ayat (2) huruf e, dan ayat (3) huruf c, harus memiliki
Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum
sehat dan tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK.
(2) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan
usaha pembiayaan lain dan cara pembiayaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengajukan
permohonan kepada OJK dan harus melampirkan
dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai:
a. produk yang akan dipasarkan;
b. analisis prospek usaha;
c. mekanisme atau cara pembiayaan yang akan
dilakukan;
d. hak dan kewajiban para pihak; dan
e. contoh ...
- 9 -
e. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan.
(3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan kelayakan usaha
pembiayaan lain yang diajukan.
(4) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah
permohonan diterima secara lengkap dan benar.
Pasal 6
(1) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan
berbasis fee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) wajib melaporkan kepada OJK dengan melampirkan
paling sedikit mengenai:
a. produk berbasis fee yang akan dipasarkan;
b. mekanisme;
c. hak dan kewajiban para pihak;
d. perjanjian kerjasama; dan
e. perizinan dari otoritas yang berwenang (jika ada).
(2) Dalam hal OJK telah menerima laporan secara lengkap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengeluarkan surat pencatatan kegiatan berbasis fee
dalam administrasi OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender setelah laporan diterima.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), OJK tidak mengeluarkan surat
pencatatan, Perusahaan Pembiayaan dapat
melaksanakan kegiatan berbasis fee sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7
Perusahaan Pembiayaan wajib secara jelas mencantumkan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dalam anggaran dasarnya.
Bagian ...
- 10 -
Bagian Kedua
Sewa Pembiayaan (Finance Lease)
Pasal 8
(1) Sewa Pembiayaan (Finance Lease) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dalam rangka
penyediaan barang oleh Perusahaan Pembiayaan untuk
digunakan oleh Debitur selama jangka waktu tertentu,
yang mengalihkan secara substansial manfaat dan
risiko atas barang yang dibiayai.
(2) Dalam hal perjanjian Sewa Pembiayaan (Finance Lease)
masih berlaku, kepemilikan atas barang objek transaksi
Sewa Pembiayaan (Finance Lease) berada pada
Perusahaan Pembiayaan.
(3) Perusahaan Pembiayaan wajib memastikan dalam
perjanjian pembiayaan bahwa Debitur dilarang
menyewa-pembiayaankan kembali barang yang disewa-
pembiayaankan kepada pihak lain.
Pasal 9
Selama masa Sewa Pembiayaan (Finance Lease),
Perusahaan Pembiayaan wajib menempelkan plakat atau
etiket pada barang yang disewa-pembiayaankan dengan
mencantumkan nama dan alamat Perusahaan Pembiayaan
serta pernyataan bahwa barang dimaksud terikat dalam
perjanjian Sewa Pembiayaan (Finance Lease).
Bagian Ketiga
Anjak Piutang
Pasal 10
(1) Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan transaksi
Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual
Piutang (Factoring With Recourse) dengan Perusahaan
Pembiayaan lainnya sebagai Debitur.
(2) Piutang ...
- 11 -
(2) Piutang usaha yang dapat dialihkan dalam Anjak
Piutang adalah piutang usaha dengan jangka waktu
jatuh tempo paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Bagian Keempat
Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran
Pasal 11
Dalam hal Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran
untuk pengadaan barang, kepemilikan objek pembiayaan
dalam perjanjian beralih dari penyedia barang kepada
Debitur
Bagian Kelima
Pembiayaan Proyek
Pasal 12
Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan Proyek
dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau lebih cara
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
Bagian Keenam
Pembiayaan Infrastruktur
Pasal 13
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan
Infrastruktur wajib memenuhi persyaratan, sebagai
berikut:
a. memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan dengan
kondisi minimum sehat;
b. memiliki
Ekuitas
lebih
besar
dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan
c. memiliki standar operasi dan prosedur terkait
Pembiayaan Infrastruktur.
(2) Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan
Infrastruktur dapat dilakukan dengan menggunakan
satu ...
- 12 -
satu atau lebih cara pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c, dan huruf d.
Bagian Ketujuh
Fasilitas Modal Usaha
Pasal 14
Fasilitas Modal Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2) huruf d wajib dilakukan dengan cara memberikan
pembiayaan berdasarkan bukti tagihan pembelian barang
atau penggunaan jasa yang diterima Debitur dari penyedia
barang atau jasa.
BAB III
PERJANJIAN PEMBIAYAAN
Pasal 15
(1) Seluruh perjanjian pembiayaan antara Perusahaan
Pembiayaan dengan Debitur wajib dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian pembiayaan antara Perusahaan Pembiayaan
dengan Debitur wajib memenuhi ketentuan penyusunan
perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK
mengenai perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan.
Pasal 16
(1) Perjanjian pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 wajib paling sedikit memuat:
a. jenis kegiatan usaha dan cara pembiayaan;
b. nomor dan tanggal perjanjian;
c. identitas para pihak;
d. barang atau jasa pembiayaan;
e. nilai barang atau jasa pembiayaan;
f. jumlah piutang dan nilai angsuran pembiayaan;
g. jangka waktu dan tingkat suku bunga pembiayaan;
h. objek jaminan (jika ada);
i. rincian ...
- 13 -
i. rincian biaya-biaya terkait dengan pembiayaan yang
diberikan yang paling sedikit memuat:
1. biaya survey;
2. biaya asuransi/penjaminan/fidusia;
3. biaya provisi; dan
4. biaya notaris;
j. klausul pembebanan fidusia secara jelas, apabila
terdapat pembebanan jaminan fidusia dalam
kegiatan pembiayaan;
k. mekanisme apabila terjadi perselisihan dan
pemilihan tempat penyelesaian perselisihan;
l. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
dan
m. ketentuan mengenai denda.
(2) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan
pembiayaan untuk pengadaan kendaraan bermotor
dengan cara Pembelian Dengan Pembayaran Secara
Angsuran, perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan
nilai uang muka.
(3) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan
pembiayaan dengan cara Sewa Pembiayaan (Finance
Lease), perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan
nilai simpanan jaminan (security deposit).
BAB IV
UANG MUKA PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
Pasal 17
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan
dengan cara Pembelian Dengan Pembayaran Secara
Angsuran untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan
ketentuan uang muka (down payment) kepada Debitur
sebagai berikut:
a. bagi ...
- 14 -
a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling
rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual
kendaraan yang bersangkutan;
b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
digunakan untuk Pembiayaan Investasi (tujuan
produktif), paling rendah 20% (dua puluh persen)
dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau
c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
digunakan untuk Pembiayaan Multiguna (tujuan
non-produktif), paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari harga jual kendaraan yang
bersangkutan.
(2) Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
digunakan untuk tujuan produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria
paling kurang sebagai berikut:
a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang
yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak
berwenang untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu; atau
b. diajukan oleh orang perseorangan atau badan
hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak
berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha
yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai besaran uang muka (down
payment) kepada Debitur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur
dengan Surat Edaran OJK.
BAB V
MITIGASI RISIKO PEMBIAYAAN
Pasal 18
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan mitigasi
risiko pembiayaan.
(2) Mitigasi ...
- 15 -
(2) Mitigasi risiko pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:
a. mengalihkan risiko pembiayaan melalui mekanisme
asuransi kredit atau penjaminan kredit;
b. mengalihkan risiko atas barang yang dibiayai atau
barang yang menjadi agunan dari kegiatan
Pembiayaan melalui mekanisme asuransi; dan/atau
c. melakukan pembebanan jaminan fidusia atas barang
yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari
kegiatan pembiayaan.
Pasal 19
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pengalihan
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
huruf a wajib menggunakan perusahaan asuransi atau
lembaga penjaminan yang memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan
b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan
usaha atau pembekuan kegiatan usaha dari OJK.
(2) Jangka waktu pertanggungan asuransi kredit atau
penjaminan kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (2) huruf a paling singkat sama dengan jangka
waktu pembiayaan.
Pasal 20
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pengalihan
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
huruf b wajib menggunakan perusahaan asuransi yang
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan
b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan
usaha dari OJK.
(2) Jangka ...
- 16 -
(2) Jangka waktu pertanggungan asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b paling singkat
sama dengan jangka waktu pembiayaan.
Pasal 21
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan
dengan pembebanan jaminan fidusia,
wajib
mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada kantor
pendaftaran fidusia, sesuai undang-undang yang
mengatur mengenai jaminan fidusia.
(2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan
Pembiayaan yang melakukan pembiayaan dengan
pembebanan jaminan fidusia yang pembiayaannya
berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau
pembiayaan bersama (joint financing).
Pasal 22
Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan
fidusia pada kantor pendaftaran fidusia paling lambat 1
(satu) bulan terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan.
Pasal 23
Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan eksekusi
benda jaminan apabila kantor pendaftaran fidusia belum
menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan
menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.
Pasal 24
Eksekusi benda jaminan fidusia oleh Perusahaan
Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan
sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai
jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam
perjanjian pembiayaan.
BAB VI ...
- 17 -
BAB VI
TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib setiap waktu memenuhi
persyaratan Tingkat Kesehatan Keuangan dengan
kondisi minimum sehat.
(2) Pengukuran rasio Tingkat Kesehatan Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rasio permodalan;
b. kualitas piutang pembiayaan;
c. rentabilitas; dan
d. likuiditas.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengukuran Tingkat
Kesehatan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Kedua
Rasio Permodalan
Pasal 26
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi rasio
permodalan paling sedikit sebesar 10% (sepuluh
persen).
(2) Rasio permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara modal yang
disesuaikan dengan aset yang disesuaikan.
(3) Ketentuan mengenai besaran rasio permodalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau
kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran
OJK.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perhitungan
perbandingan antara modal yang disesuaikan dengan
aset ...
- 18 -
aset yang disesuaikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Ketiga
Kualitas Piutang Pembiayaan
Paragraf 1
Penilaian Kualitas Piutang Pembiayaan
Pasal 27
Perusahaan Pembiayaan wajib menilai, memantau dan
melakukan langkah-langkah yang diperlukan terhadap
piutang pembiayaan agar kualitas piutang pembiayaan
senantiasa baik.
Pasal 28
(1) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ditetapkan menjadi:
a. lancar;
b. dalam perhatian khusus;
c. kurang lancar;
d. diragukan; atau
e. macet
(2) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan faktor
ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.
(3) Penilaian piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikategorikan sebagai berikut:
a. lancar apabila tidak terdapat keterlambatan atau
terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau
bunga sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender;
b. dalam perhatian khusus apabila terdapat
keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga
yang telah melampaui 30 (tiga puluh) hari kalender
sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender;
c. kurang ...
- 19 -
c. kurang lancar apabila terdapat keterlambatan
pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sampai
dengan 120 (seratus dua puluh) hari kalender;
d. diragukan apabila terdapat keterlambatan
pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 120 (seratus dua puluh) hari kalender
sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari
kalender; atau
e. macet apabila terdapat keterlambatan pembayaran
pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180
(seratus delapan puluh) hari kalender.
Pasal 29
(1) Selain faktor ketepatan pembayaran pokok dan/atau
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2),
penilaian kualitas piutang pembiayaan untuk
Pembiayaan Investasi dan Pembiayaan Modal Kerja
dengan nilai pembiayaan pada saat penandatanganan
perjanjian sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) atau lebih, dapat juga ditetapkan dengan
mempertimbangkan faktor:
a. kemampuan membayar Debitur;
b. kinerja keuangan (financial performance) Debitur;
dan
c. prospek usaha Debitur.
(2) Penilaian terhadap kemampuan membayar Debitur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut:
a. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan
Debitur;
b. kelengkapan dokumentasi pembiayaan;
c. kepatuhan terhadap perjanjian pembiayaan;
d. kesesuaian ...
- 20 -
d. kesesuaian penggunaan dana; dan
e. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
(3) Penilaian terhadap kinerja keuangan (financial
performance) Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
(4) Penilaian terhadap prospek usaha Debitur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi penilaian
terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi Debitur dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan Debitur dalam rangka
memelihara lingkungan hidup.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan antara penilaian kualitas
piutang pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan
dengan OJK, kualitas piutang pembiayaan yang berlaku
adalah yang ditetapkan oleh OJK.
(6) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan penyesuaian
kualitas piutang pembiayaan dengan penilaian kualitas
piutang pembiayaan yang ditetapkan oleh OJK
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam laporan-
laporan yang disampaikan kepada OJK.
(7) Pedoman penilaian kualitas piutang pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK.
Paragraf 2 ...
- 21 -
Paragraf 2
Kualitas Piutang Pembiayaan untuk Debitur Dengan Lebih
Dari Satu Perjanjian Pembiayaan
Pasal 30
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menetapkan kualitas
piutang pembiayaan yang sama terhadap 1 (satu)
Debitur dengan lebih dari 1 (satu) pembiayaan.
(2) Perusahaan Pembiayaan dapat menetapkan kualitas
piutang pembiayaan yang berbeda untuk lebih dari 1
(satu) pembiayaan yang dimiliki 1 (satu) Debitur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. piutang pembiayaan yang memiliki kualitas paling
rendah telah dihapus buku; dan/atau
b. nilai
piutang pembiayaan sampai dengan
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas dalam piutang
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kualitas piutang pembiayaan yang wajib digunakan
adalah kualitas piutang pembiayaan yang paling
rendah.
Paragraf 3
Piutang Pembiayaan Bermasalah
Pasal 31
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menjaga kualitas piutang
pembiayaan.
(2) Piutang pembiayaan yang dikategorikan sebagai piutang
pembiayaan bermasalah (non performing financing)
terdiri atas piutang pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet.
(3) Nilai piutang pembiayaan dengan kategori kualitas
piutang pembiayaan bermasalah (non performing
financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah
dikurangi cadangan penyisihan penghapusan piutang
pembiayaan ...
- 22 -
pembiayaan wajib paling tinggi sebesar 5% (lima persen)
dari total piutang pembiayaan.
(4) Ketentuan mengenai besaran rasio piutang pembiayaan
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat
ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat
Edaran OJK.
Paragraf 4
Cadangan Penyisihan Penghapusan
Piutang Pembiayaan
Pasal 32
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menghitung cadangan
penyisihan penghapusan piutang pembiayaan.
(2) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan piutang
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling rendah sebesar:
a. 1% (satu persen) dari saldo piutang pembiayaan yang
memiliki kualitas lancar setelah dikurangi agunan;
b. 5% (lima persen) dari saldo piutang pembiayaan yang
memiliki kualitas dalam perhatian khusus setelah
dikurangi agunan;
c. 15% (lima belas persen) dari saldo piutang
pembiayaan yang memiliki kualitas kurang lancar
setelah dikurangi agunan;
d. 50% (lima puluh persen) dari saldo piutang
pembiayaan yang memiliki kualitas diragukan
setelah dikurangi agunan;
e. 100% (seratus persen) dari saldo piutang pembiayaan
yang memiliki kualitas macet setelah dikurangi
agunan.
(3) Perusahaan Pembiayaan wajib membentuk cadangan
penyisihan penghapusan piutang pembiayaan paling
rendah sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam laporan bulanan.
(4) Nilai ...
- 23 -
(4) Nilai agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
dapat diperhitungkan sebagai pengurang saldo piutang
pembiayaan ditetapkan paling tinggi senilai saldo
piutangnya.
(5) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan piutang
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan Perusahaan Pembiayaan dalam rangka
perhitungan rasio permodalan, gearing ratio, rasio
Ekuitas terhadap Modal Disetor, BMPP, rasio piutang
pembiayaan bermasalah, dan perbandingan piutang
pembiayaan dengan total aset.
(6) Ketentuan mengenai jenis, tata cara perhitungan, dan
pengembalian agunan, serta tata cara perhitungan
cadangan diatur dalam Surat Edaran OJK.
Paragraf 5
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Piutang Pembiayaan
Pasal 33
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib membentuk cadangan
kerugian penurunan nilai piutang pembiayaan sesuai
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
(2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai
piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dalam penyusunan laporan keuangan
yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik.
Bagian Keempat
Rentabilitas
Pasal 34
(1) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(2) huruf c merupakan kemampuan Perusahaan
Pembiayaan dalam menghasilkan laba.
(2) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap
kinerja aset dan efisiensi operasional.
(3) Ketentuan ...
- 24 -
(3) Ketentuan mengenai tata cara penilaian terhadap faktor
rentabilitas diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Kelima
Likuiditas
Pasal 35
(1) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d merupakan
penilaian terhadap tingkat ketersesuaian antara aset
lancar dan liabilitas lancar.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penilaian likuiditas diatur
dalam Surat Edaran OJK.
BAB VII
RASIO PIUTANG PEMBIAYAAN TERHADAP TOTAL ASET
Pasal 36
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki rasio piutang
pembiayaan neto terhadap total aset (financing to asset
ratio) paling rendah 40% (empat puluh persen).
(2) Piutang pembiayaan neto sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diperoleh dari pengurangan piutang
pembiayaan bruto dengan pendapatan yang belum
diakui dan cadangan penyisihan penghapusan piutang
pembiayaan.
(3) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak memperoleh
izin usaha.
(4) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan yang melakukan
peningkatan Modal Disetor dalam rangka pemenuhan
rasio permodalan, gearing ratio, dan perbandingan
Ekuitas dengan Modal Disetor, Perusahaan Pembiayaan
dikecualikan dari pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama
1 (satu) ...
- 25 -
1 (satu) tahun sejak tanggal peningkatan Modal Disetor
dicatat oleh instansi yang berwenang.
BAB VIII
EKUITAS
Pasal 37
(1) Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan hukum:
a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling
sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); atau
b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Perusahaan Pembiayaan berbadan hukum perseroan
terbatas yang telah mendapatkan izin usaha sebelum
Peraturan OJK ini ditetapkan dan memiliki Ekuitas di
bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai
berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat
puluh miliar) paling lambat 31 Desember 2016; dan
b. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar) paling lambat tanggal 31 Desember
2019.
(3) Perusahaan Pembiayaan berbadan hukum koperasi
yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan
OJK ini ditetapkan dan memiliki Ekuitas di bawah
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga
puluh miliar) paling lambat tanggal 31 Desember
2016; dan
b. paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar) paling lambat tanggal 31 Desember
2019.
Pasal 38 ...
- 26 -
Pasal 38
Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki rasio Ekuitas
terhadap Modal Disetor paling rendah sebesar 50% (lima
puluh persen).
BAB IX
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN PEMBIAYAAN
Pasal 39
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
BMPP kepada seluruh pihak terkait paling tinggi 50%
(lima puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan
Pembiayaan.
(2) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. orang perseorangan atau badan usaha yang
merupakan Pengendali Perusahaan Pembiayaan;
b. badan usaha dimana Perusahaan Pembiayaan
bertindak sebagai Pengendali;
c. orang perseorangan atau badan usaha yang
bertindak sebagai Pengendali dari badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. badan usaha yang pengendaliannya dilakukan oleh:
1. orang perseorangan dan/atau badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2. orang perseorangan dan/atau badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf c;
e. Dewan Komisaris atau Direksi Perusahaan
Pembiayaan;
f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua, baik horisontal maupun
vertikal:
1. dari ...
- 27 -
1. dari orang perseorangan yang merupakan
Pengendali Perusahaan Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
2. dari Dewan Komisaris atau Direksi pada
Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud
pada huruf e.
g. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf
c, dan/atau huruf d;
h. badan usaha yang dewan komisaris atau direksi
merupakan:
1. Dewan Komisaris atau Direksi pada Perusahaan
Pembiayaan;
2. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan/atau huruf d;
i. badan usaha dimana:
1. Dewan Komisaris atau Direksi Perusahaan
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf e
bertindak sebagai Pengendali;
2. dewan komisaris atau direksi dari pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan/atau huruf d, bertindak sebagai
Pengendali; dan
j. badan usaha yang memiliki ketergantungan
keuangan (financial interdependence) dengan
Perusahaan Pembiayaan dan/atau pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,
dan/atau huruf i.
(3) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki dan menata-
usahakan daftar rincian pihak terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 40 ...
- 28 -
Pasal 40
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
BMPP kepada 1 (satu) Debitur yang bukan merupakan
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (2) ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen)
dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan.
(2) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
BMPP kepada 1 (satu) kelompok Debitur yang bukan
merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (2) ditetapkan paling tinggi 50% (lima
puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan.
(3) Debitur digolongkan sebagai anggota suatu kelompok
Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila
Debitur mempunyai hubungan pengendalian dengan
Debitur lain baik melalui hubungan kepemilikan,
kepengurusan, dan/atau keuangan, yang meliputi:
a. Debitur merupakan Pengendali Debitur lain;
b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan Pengendali dari
beberapa Debitur (common ownership);
c. Debitur memiliki ketergantungan keuangan (financial
interdependence) dengan Debitur lain;
d. Debitur menerbitkan jaminan (guarantee) untuk
mengambil alih dan/atau melunasi sebagian atau
seluruh kewajiban Debitur lain dalam hal Debitur
lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya
(wanprestasi) kepada Perusahaan Pembiayaan;
dan/atau
e. dewan komisaris dan/atau direksi Debitur menjadi
dewan komisaris dan/atau direksi pada Debitur lain.
Pasal 41
Ketentuan BMPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (2) dikecualikan
bagi pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa
dalam rangka program pemerintah.
BAB X ...
- 29 -
BAB X
KERJA SAMA PEMBIAYAAN
Pasal 42
(1) Dalam menjalankan usahanya, Perusahaan Pembiayaan
dapat bekerjasama dengan pihak lain melalui
pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan
bersama (joint financing) dan dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bank;
b. perusahaan pembiayaan sekunder perumahan;
c. lembaga keuangan mikro; dan/atau
d. Perusahaan Pembiayaan.
(3) Dalam pembiayaan
penerusan (channeling)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), risiko yang timbul
dari kegiatan ini berada pada pihak yang memiliki dana.
(4) Dalam pembiayaan penerusan (channeling), pihak yang
menerima dana hanya bertindak sebagai pengelola dan
memperoleh imbalan atau fee dari pengelolaan dana
tersebut.
(5) Dalam pembiayaan bersama (joint financing)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber dana
untuk pembiayaan ini harus berasal dari Perusahaan
Pembiayaan dan pihak lain.
(6) Risiko yang timbul dari pembiayaan bersama (joint
financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi
beban masing-masing pihak secara proporsional sesuai
dengan besaran dana yang dikeluarkan.
BAB XI ...
- 30 -
BAB XI
PENDANAAN
Pasal 43
Sumber pendanaan Perusahaan Pembiayaan dapat berasal
dari:
a. pinjaman dari bank, industri keuangan non bank,
dan/atau badan usaha lain;
b. penerbitan obligasi;
c. penerbitan medium term notes;
d. pinjaman subordinasi;
e. penambahan Modal Disetor termasuk melalui
penawaran umum saham; dan/atau
f. sekuritisasi aset.
Pasal 44
Jumlah pinjaman dari badan usaha lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, wajib memenuhi
ketentuan paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) untuk setiap kreditur dengan jangka waktu
pengembalian paling singkat 1 (satu) tahun.
Pasal 45
Pinjaman subordinasi yang diterima Perusahaan
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf
d harus memenuhi ketentuan:
a. paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun;
b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling
akhir dari segala pinjaman yang ada; dan
c. dituangkan dalam bentuk perjanjian akta notariil antara
Perusahaan Pembiayaan dengan pemberi pinjaman.
Pasal 46
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
gearing ratio paling tinggi 10 (sepuluh) kali.
(2) Gearing ratio ...
- 31 -
(2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman
dengan selisih penjumlahan Ekuitas dan pinjaman
subordinasi dengan penyertaan.
(3) Pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan
sebagai pembagi dalam perhitungan gearing ratio
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling tinggi 50%
(lima puluh persen) dari Modal Disetor.
(4) Ketentuan mengenai besaran gearing ratio sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan
perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 47
(1) Perusahaan Pembiayaan yang menerima pinjaman
dalam valuta asing wajib melakukan lindung nilai secara
penuh (full hedge).
(2) Lindung nilai secara penuh (full hedge) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan untuk pokok
pinjaman, suku bunga pinjaman, dan/atau jangka
waktu pembayaran.
Pasal 48
Perusahaan Pembiayaan yang akan menerima pinjaman
dalam valuta asing wajib memenuhi Tingkat Kesehatan
Keuangan dengan kondisi minimum sehat.
BAB XII
PENYERTAAN
Pasal 49
(1) Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan
penyertaan modal secara langsung pada:
a. perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia;
dan
b. perusahaan yang terkait dengan kegiatan
Perusahaan Pembiayaan.
(2) Jumlah ...
- 32 -
(2) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Ekuitas
Perusahaan Pembiayaan.
(3) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan
Pembiayaan kepada entitas dalam 1 (satu) grup paling
tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Ekuitas
Perusahaan Pembiayaan.
(4) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan
jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) pada saat melakukan
penyertaan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dikecualikan bagi Perusahaan Pembiayaan yang
melakukan pemisahan dalam rangka pendirian
Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan
usahanya dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
BAB XIII
SERTIFIKASI
Pasal 50
(1) Pegawai Perusahaan Pembiayaan yang menduduki
posisi manajerial mulai dari tingkat kepala kantor
cabang sampai dengan satu tingkat dibawah Direksi,
wajib memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang
pembiayaan dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi
dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan
disertai dengan alasan penunjukan.
(2) Direksi Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki
sertifikat keahlian di bidang pembiayaan dari lembaga
yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan
pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan
penunjukan.
(3) Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan wajib
memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang pembiayaan
dari ...
- 33 -
dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan
menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai
dengan alasan penunjukan.
(4) Direksi dan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi
yang membawahkan fungsi manajemen risiko wajib
memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko
dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan
menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai
dengan alasan penunjukan.
(5) Pegawai dan/atau tenaga alih daya Perusahaan
Pembiayaan yang menangani bidang penagihan wajib
memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari
lembaga yang ditunjuk asosiasi dengan menyampaikan
pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan
penunjukan.
BAB XIV
LARANGAN
Pasal 51
Perusahaan Pembiayaan dilarang:
a. menghimpun dana secara langsung dari masyarakat
berbentuk giro, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
b. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas
pemenuhan kewajiban pihak lain;
c. menerbitkan surat sanggup bayar (promisorry note),
kecuali sebagai jaminan atas utang kepada bank yang
menjadi krediturnya;
d. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa
lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah
pengawasan OJK melanggar peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan/atau
e. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa
lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah
pengawasan ...
- 34 -
pengawasan OJK menghindari peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Perusahaan
Pembiayaan dilarang melakukan pembiayaan secara
dana tunai kepada Debitur.
(2) Dalam menyalurkan pembiayaan,
Perusahaan
Pembiayaan dilarang melakukan pembelian barang dari
Debitur atau calon Debitur kecuali melalui cara Jual dan
Sewa-Balik (Sale and Leaseback).
Pasal 53
Perusahaan Pembiayaan dalam melakukan kegiatan
usahanya dilarang menggunakan informasi yang tidak
benar yang dapat merugikan kepentingan Debitur, kreditur,
dan pemangku kepentingan termasuk OJK.
BAB XV
PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA
Pasal 54
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan
berkala kepada OJK, yaitu:
a. laporan bulanan; dan
b. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik.
(2) Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK
mengenai laporan bulanan.
Pasal 55
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
huruf b kepada OJK paling lambat 4 (empat) bulan
setelah tahun buku terakhir.
(2) Perusahaan ...
- 35 -
(2) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
secara lengkap dan benar dalam bentuk hard copy dan
soft copy.
(3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) wajib
disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
berlaku di Indonesia.
(4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (1) wajib mencantumkan
perhitungan hal-hal yang diatur khusus di dalam
Peraturan OJK ini.
(5) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
ayat (1) wajib disusun dalam mata uang rupiah.
(6) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
berdasarkan tahun takwim.
(7) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus terdaftar di OJK.
(8) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan memperoleh izin
usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim
berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku pada tahun takwim berikutnya.
Pasal 56
Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan
tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan
adalah hari kerja pertama berikutnya.
Pasal 57...
- 36 -
Pasal 57
(1) Perusahaan Pembiayaan wajib mengumumkan laporan
posisi keuangan dan laporan laba rugi komprehensif
singkat paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun
buku berakhir paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar
harian di Indonesia yang memiliki peredaran nasional.
(2) Perusahaan Pembiayaan wajib melaporkan pelaksanaan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara tertulis kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh)
hari kalender setelah pelaksanaan pengumuman,
dilampiri dengan bukti pengumuman.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
BAB XVI
SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI
Pasal 58
(1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan usaha yang
sehat, Perusahaan Pembiayaan wajib mempunyai sistem
informasi dan teknologi yang terintegrasi.
(2) Kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat
(1) berlaku untuk Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai kantor cabang lebih dari 5 (lima).
BAB XVII
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DI BIDANG
KETENAGALISTRIKAN DAN PELAYARAN
Pasal 59
(1) Perusahaan Pembiayaan yang didirikan khusus untuk
melakukan kegiatan pembiayaan di bidang
ketenagalistrikan dapat melakukan kegiatan usaha
selain ...
- 37 -
selain kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal
2 Peraturan OJK ini.
(2) Kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dilakukan dalam rangka mendukung
pemenuhan kebutuhan ketenagalistrikan nasional.
(3) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak wajib memenuhi ketentuan mengenai
Pasal 26 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 46 ayat (1).
Pasal 60
Perusahaan Pembiayaan yang didirikan khusus untuk
melakukan kegiatan di bidang pelayaran tidak wajib
memenuhi ketentuan Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3).
BAB XVIII
PENEGAKAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan
Pasal 61
(1) Perusahaan Pembiayaan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), Pasal 9, Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1),
Pasal 20 ayat (1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 47, Pasal 54
ayat (1) huruf b, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal
55 ayat (3), Pasal 55 ayat (4), Pasal 55 ayat (5), Pasal 55
ayat (6), Pasal 57 ayat (1), dan/atau Pasal 57 ayat (2),
Peraturan OJK ini diberikan surat pemberitahuan.
(2) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan pemenuhan
atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat
pemberitahuan.
Bagian ...
- 38 -
Bagian Kedua
Rencana Pemenuhan
Pasal 62
(1) Perusahaan Pembiayaan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 29 ayat (6), Pasal
30 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31
ayat (3), Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (3), Pasal 33 ayat
(1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), Pasal 37 ayat (1),
Pasal 37 ayat (2) huruf a, Pasal 37 ayat (3) huruf a, Pasal
38, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2),
Pasal 46 ayat (1), Pasal 50, dan/atau Pasal 58 ayat (1)
Peraturan OJK ini wajib menyampaikan rencana
pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penetapan terjadinya pelanggaran oleh OJK.
(2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan
Perusahaan Pembiayaan untuk pemenuhan ketentuan
yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang
dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), memuat antara lain:
a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas;
b. penambahan Modal Disetor;
c. pembatasan penerimaan pinjaman baru;
d. penerimaan pinjaman subordinasi;
e. pengalihan sebagian atau seluruh aset;
f. pembatasan pembagian laba;
g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan
pelanggaran ketentuan;
h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru;
dan/atau
i. penggabungan ...
- 39 -
i. penggabungan badan usaha.
(4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan
Dewan Komisaris.
(5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum
pemegang saham dalam hal rencana dimaksud memuat
rencana penambahan Modal Disetor atau rencana
penggabungan usaha.
(6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari
OJK.
(7) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup untuk
mengatasi permasalahan, Perusahaan Pembiayaan
wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan
tersebut.
(8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana pemenuhan yang disampaikan oleh Perusahaan
Pembiayaan dengan memperhatikan kondisi
permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan
Pembiayaan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung
sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara
lengkap.
(9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), OJK tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, Perusahaan Pembiayaan
dapat melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(10) Perusahaan Pembiayaan wajib melaksanakan rencana
pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XIX ...
- 40 -
BAB XIX
SANKSI
Pasal 63
(1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (2), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dikenakan
sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin usaha.
(2) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut
telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan
pertama yang berakhir dengan sendirinya.
(3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK
mencabut sanksi peringatan.
(5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), berakhir dan Perusahaan
Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK
mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(7) Dalam ...
- 41 -
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(8) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dilarang melakukan kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sanksi waktu pembekuan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan
kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
(11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan
Pembiayaan yang bersangkutan.
(12) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 64
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7),
atau ayat (10) Peraturan OJK ini dapat dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan ...
- 42 -
b. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
dapat memberikan sanksi tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
c. pembatalan persetujuan; dan/atau
d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut
telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan
pertama yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1), ayat (7) atau
ayat (10), OJK mencabut sanksi peringatan.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Perusahaan
Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 62 ayat (1),
ayat (7), atau ayat (10), OJK mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(7) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) atau ayat (3) dan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7),
atau ayat (10) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Perusahaan Pembiayaan dimaksud dikenakan sanksi
pencabutan ...
- 43 -
pencabutan izin usaha tanpa didahului sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6).
(8) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(10) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan usaha.
(11) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(12) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan
kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
(13) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau, ayat (10), OJK mencabut
izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.
(14) OJK dapat mengumumkan sanksi pembatasan kegiatan
usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi
pencabutan ...
- 44 -
pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 65
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (2),
Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 37 ayat (2) huruf b,
Pasal 37 ayat (3) huruf b, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49
ayat (4), Pasal 51, Pasal 52, dan/atau Pasal 53 Peraturan
OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap
berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin usaha.
(2) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut
telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan
pertama yang berakhir dengan sendirinya.
(3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut
sanksi peringatan.
(5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berakhir dan Perusahaan
Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan
sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(6) Sanksi ...
- 45 -
(6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(8) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan
kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
(11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan
yang bersangkutan.
(12) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat.
Pasal 66
(1) OJK dapat mengenakan sanksi pembekuan kegiatan
usaha tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan
apabila ...
- 46 -
apabila Perusahaan Pembiayaan
pelanggaran atas Pasal 51 huruf a.
melakukan
(2) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara
tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Dalam hal masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan
usaha berakhir pada hari libur, sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(4) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilarang melakukan kegiatan usaha.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(6) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan
kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha.
(7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan
yang bersangkutan.
(8) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi
pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) atau ayat (7) kepada masyarakat.
Pasal 67 ...
- 47 -
Pasal 67
Dalam hal Perusahaan Pembiayaan mendapatkan sanksi
administratif berupa sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a, Pasal 64 ayat (1)
huruf a, dan/atau Pasal 65 ayat (1) huruf a secara kumulatif
sebanyak 5 (lima) kali atau lebih dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun, OJK dapat meminta Direksi dan/atau Dewan
Komisaris untuk mengikuti penilaian kembali kemampuan
dan kepatutan.
BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68
(1) Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, dapat
melaksanakan kegiatan usahanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c, serta Pasal 2 ayat (2).
(2) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh
izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan,
ketentuan mengenai pencantuman kegiatan usaha
dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7, dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak
Peraturan OJK ini ditetapkan.
(3) Perjanjian pembiayaan yang telah dilakukan oleh
Perusahaan Pembiayaan sebelum Peraturan OJK ini
ditetapkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya perjanjian pembiayaan tersebut.
Pasal 69
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26 ayat (1),
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 34, dan Pasal 35 dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun
sejak Peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 70 ...
- 48 -
Pasal 70
(1) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh
izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan,
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 40 ayat
(2), berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini
ditetapkan.
(2) Penyaluran pembiayaan yang diberikan sebelum
ketentuan BMPP berlaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tetap dapat dilanjutkan sampai dengan
berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan
tersebut dan tidak diperhitungkan sebagai dasar
perhitungan BMPP.
Pasal 71
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 tidak
berlaku bagi pinjaman dalam valuta asing yang diterima
oleh Perusahaan Pembiayaan sebelum Peraturan OJK ini
ditetapkan.
Pasal 72
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dinyatakan berlaku
3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 73
Perjanjian pembiayaan berupa penyediaan dana secara
tunai yang telah dilakukan sebelum Peraturan OJK ini
ditetapkan, tetap dapat dilanjutkan sampai dengan
berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan tersebut.
Pasal 74
Ketentuan dan mekanisme pelaporan bulanan Perusahaan
Pembiayaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum
terdapat peraturan yang mengatur mengenai ketentuan
pelaporan bulanan sesuai dengan kegiatan usaha dalam
Peraturan OJK ini.
Pasal 75 ...
- 49 -
Pasal 75
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin
usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dinyatakan berlaku
2 (dua) tahun sejak peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 76
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Perusahaan Pembiayaan berdasarkan:
a. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
b. Peraturan
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan;
Menteri Keuangan Nomor
30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non
Bank;
c. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan
Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada
Perusahaan Pembiayaan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
220/PMK.010/2012;
d. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor
130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan
Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang
Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan
Fidusia,
dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) Perusahaan Pembiayaan yang belum dapat mengatasi
penyebab dikenakannya sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini.
administratif
BAB XXI ...
- 50 -
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 77
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Pembiayaan
tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 78
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 364
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 9/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 15 Juli 2014 </set_date>
<effective_date> 21 Juli 2014 </effective_date>
<issued_date> 21 Juli 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '11/UU/1992', '76/PP/1992', '77/PP/1992' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13 /POJK.05/2016
TENTANG
TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN
PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengesahan pembentukan dana
pensiun pemberi kerja dan pengesahan atas
perubahan peraturan dana pensiun dari dana pensiun
pemberi kerja perlu diatur bentuk dan susunan
formulir permohonan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara
Permohonan Pengesahan Pembentukan Dana Pensiun
Pemberi Kerja dan Pengesahan atas Perubahan
Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi
Kerja;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
- 2 -
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3507);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PENGESAHAN
ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah dana pensiun
yang dibentuk oleh orang atau badan yang
mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk
menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti
atau program pensiun iuran pasti, bagi kepentingan
sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta,
dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi
kerja.
2. Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi
ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan
program pensiun.
3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 2
Pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan perubahan
atas Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi
Kerja wajib mendapat pengesahan OJK.
- 3 -
Pasal 3
Untuk mendapat pengesahan pembentukan Dana Pensiun
Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
pendiri mengajukan permohonan kepada OJK sesuai
dengan contoh formulir A sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan OJK ini.
Pasal 4
Untuk mendapat pengesahan atas perubahan Peraturan
Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pendiri mengajukan
permohonan kepada OJK sesuai dengan contoh formulir B
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
Pasal 5
(1) Peraturan Dana Pensiun yang dilampirkan dalam
rangka permohonan pengesahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 disampaikan
dalam rangkap 2 (dua).
(2) Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) setelah disahkan oleh OJK, satu diantaranya
dikembalikan kepada pendiri dan yang lainnya
disimpan di OJK.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan di antara kedua
Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka yang dianggap benar adalah Peraturan
Dana Pensiun yang disimpan di OJK.
Pasal 6
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai tata cara permohonan pengesahan pembentukan
Dana Pensiun Pemberi Kerja dan pengesahan atas perubahan
Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja
tunduk pada Peraturan OJK ini.
- 4 -
Pasal 7
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Februari 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 38
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 13/POJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA </reg_title>
<set_date> 23 Februari 2016 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2016 </effective_date>
<issued_date> 1 Maret 2016 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 57 /POJK.04/2015
TENTANG
LAPORAN PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat
Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan
Perusahaan Pemeringkat Efek, maka peraturan mengenai
Laporan Perusahaan Pemeringkat Efek yang diterbitkan
sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu
diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan
Perusahaan Pemeringkat Efek;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi
berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan
pemeringkatan dan memberikan peringkat.
2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu
oleh suatu Pihak:
a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau
b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak
yang diperingkat (instrument rating).
BAB II
PELAPORAN
Pasal 2
(1) Perusahaan Pemeringkat Efek yang mendapat izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan
- 3 -
laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebanyak satu
eksemplar sebagai berikut:
a. perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah
perubahan, dengan melampirkan dokumen:
1. data anggota Direksi, Dewan Komisaris, pejabat
satu tingkat di bawah Direksi dan analis baik
yang memiliki maupun yang tidak memiliki
pengalaman dalam bidang keuangan dan
pemeringkatan Efek atau keahlian di bidang
pemeringkatan Efek, meliputi:
a) daftar nama;
b) daftar riwayat hidup yang telah
ditandatangani;
c)
fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir
yang telah dilegalisasi;
d) fotokopi sertifikat keahlian di bidang
pemeringkatan Efek (jika ada);
e)
f)
fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau
paspor yang masih berlaku;
pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm
dengan latar belakang berwarna merah
sebanyak 2 (dua) lembar;
g)
fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) bagi anggota Direksi, Dewan
Komisaris, pejabat satu tingkat di bawah
Direksi dan analis yang diwajibkan
mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak
berdasarkan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan;
2. surat pernyataan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris yang menyatakan
terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:
a) cakap melakukan perbuatan hukum;
b) mempunyai akhlak dan moral yang baik;
- 4 -
c) tidak pernah dinyatakan pailit;
d) tidak pernah menjadi pengurus atau
pengawas perusahaan yang berdasarkan
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
atau organ lain yang setara dengan Rapat
Umum Pemegang Saham, dinyatakan
bertanggung jawab atas kepailitan
perusahaan;
e)
f)
tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan;
tidak pernah melakukan perbuatan tercela
di bidang Pasar Modal pada khususnya
dan di bidang keuangan pada umumnya;
g)
tidak pernah melakukan pelanggaran yang
material atas ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar
Modal;
h) tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan
sesama anggota Direksi, dengan sesama
anggota Dewan Komisaris, dan/atau
antara anggota Direksi dengan anggota
Dewan Komisaris;
i) mempunyai komitmen untuk mematuhi
peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
j) mempunyai komitmen
terhadap
pengembangan industri pemeringkatan
pada khususnya dan Pasar Modal pada
umumnya;
3. surat pernyataan masing-masing anggota
Direksi yang menyatakan tidak bekerja rangkap
dalam jabatan apapun pada perusahaan lain;
dan
4. surat pernyataan masing-masing anggota
Dewan Komisaris yang menyatakan tidak
- 5 -
bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada
perusahaan lain yang melakukan kegiatan
usaha sebagai pemeringkat Efek;
b. perubahan terkait dengan analis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Perizinan Perusahaan Pemeringkat Efek paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah perubahan,
dengan melampirkan surat pernyataan dari analis
yang menyatakan bahwa analis tidak bekerja
rangkap dalam jabatan apapun pada perusahaan
lain dan berdomisili di Indonesia;
c. perubahan struktur organisasi, prosedur dan
standar operasi, dan/atau prosedur dan metodologi
pemeringkatan paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah perubahan, dengan melampirkan dokumen
perubahan dimaksud;
d. perubahan berkaitan dengan:
1. alamat usaha;
2. identitas Perusahaan Pemeringkat Efek, yang
meliputi antara lain nama dan logo;
3. anggaran dasar;
4.
Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)
dan Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA); atau
5. Daftar Khusus terkait dengan pemegang saham
perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas,
paling lama 14 (empat belas) hari setelah perubahan
tersebut, dengan melampirkan dokumen perubahan
dimaksud;
e. agenda Rapat Umum Pemegang Saham ke Otoritas
Jasa Keuangan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang
Saham yang terkait dengan perubahan anggaran
dasar yang mencakup maksud dan tujuan atau
- 6 -
kegiatan usaha, permodalan, anggota Direksi dan
Komisaris, dan perubahan pemegang saham;
f.
hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang
sebagaimana dimaksud dalam huruf e, paling lama
7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan
Rapat Umum Pemegang Saham;
g. laporan keuangan tahunan yang disertai laporan
Akuntan paling lambat pada akhir bulan ketiga
setelah tanggal laporan keuangan tahunan; dan
h. laporan kegiatan operasional secara berkala setiap
tiga bulan (Maret, Juni, September, dan Desember)
paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian kewajiban laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d, g dan h jatuh pada hari libur,
maka laporan dimaksud disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
Pasal 3
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g dan h,
wajib disertai dengan format digital.
Pasal 4
Perusahaan Pemeringkat Efek wajib menyediakan akses yang
memungkinkan Otoritas Jasa Keuangan setiap saat dan
secara mudah mendapatkan data dan informasi yang terkait
dengan penetapan suatu Peringkat, antara lain meliputi:
a. data pendukung penyusunan laporan hasil Peringkat;
b. nama setiap analis yang terlibat di dalam proses
pemeringkatan;
c. nama dan jabatan setiap Pihak yang terlibat dalam
proses penetapan hasil Peringkat;
d. nama dan jabatan setiap Pihak yang menyetujui
Peringkat sebelum Peringkat tersebut ditetapkan; dan
- 7 -
e. prosedur, metodologi dan asumsi yang digunakan dalam
penetapan suatu Peringkat.
Pasal 5
Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf g wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. memuat paling sedikit:
1. laporan posisi keuangan;
2. laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif
lain;
3. laporan perubahan ekuitas;
4. laporan arus kas; dan
5. catatan atas laporan keuangan.
b. disajikan dalam bahasa Indonesia;
c.
disajikan secara perbandingan dengan periode yang sama
tahun sebelumnya; dan
d. disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku
umum dan ketentuan akuntansi di bidang Pasar Modal
yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 6
Laporan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf h wajib memuat informasi yang
mencakup paling sedikit:
a. untuk Peringkat yang dikeluarkan berdasarkan
permintaan suatu Pihak, meliputi:
1.
identitas Pihak yang meminta pemeringkatan;
2. nama Pihak yang diperingkat dan/atau nama dan
nilai total Efek yang diperingkat;
3.
hasil peringkat dan interpretasi atau makna dari
hasil Peringkat; dan
4. jangka waktu berlakunya perjanjian pemeringkatan.
b. keterangan untuk Peringkat yang dikeluarkan tidak
berdasarkan permintaan suatu Pihak meliputi:
- 8 -
1. nama Pihak yang diperingkat dan/atau nama dan
nilai total Efek yang diperingkat;
2.
hasil peringkat dan interpretasi atau makna dari
hasil Peringkat; dan
3. sumber data dan informasi untuk melakukan
pemeringkatan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 7
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
- 9 -
Pasal 8
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 9
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-153/BL/2009 tanggal 22 Juni
2009 tentang Laporan Perusahaan Pemeringkat Efek, beserta
Peraturan Nomor X.F.4 yang merupakan lampirannya, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 10 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 408
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 57 /POJK.04/2015
TENTANG
LAPORAN PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK
terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan
Nomor X.F.4, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-
153/BL/2009 tentang Laporan Perusahaan Pemeringkat Efek, tanggal 22
Juni 2009.
- 2 -
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Surat pernyataan anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris yang menyatakan terpenuhinya persyaratan serta
surat pernyataan masing-masing anggota Direksi dan/atau
Dewan Komisaris yang menyatakan tidak berkerja rangkap
jabatan sesuai dengan format sebagaimana tercantum
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
perizinan Perusahaan pemeringkat Efek.
Huruf b
Surat pernyataan analis yang menyatakan bahwa analis
tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada
perusahaan lain dan berdomisili di Indonesia sesuai dengan
format sebagaimana tercantum dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan
pemeringkat Efek.
Huruf c
cukup jelas
Huruf d
cukup jelas
Huruf e
cukup jelas
Huruf f
cukup jelas
Huruf g
Akuntan adalah Akuntan yang telah memperoleh izin dari
Menteri dan terdaftar di OJK sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
- 3 -
Huruf h
cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5826
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 57/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-153/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-153/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor X.F.4' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26/POJK.04/2014
TENTANG
PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa salah satu tujuan pendirian Lembaga Kliring
dan Penjaminan adalah untuk melaksanakan
Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa yang
teratur, wajar, dan efisien sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang
Pasar Modal;
b. bahwa penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa
merupakan salah satu kegiatan pengelolaan risiko di
bidang Pasar Modal yang memerlukan adanya
pengaturan yang jelas dan menjamin kepastian
hukum;
c. bahwa pengaturan mengenai
Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa dan pengaturan
mengenai Dana Jaminan perlu disesuaikan dengan
perkembangan praktik penjaminan dan penyelesaian
transaksi di Bursa Efek;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995...
-2-
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN
Menetapkan
: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa adalah
kewajiban Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk
seketika dan langsung mengambil alih tanggung jawab
Anggota Kliring yang gagal memenuhi kewajibannya
berkaitan dengan penyelesaian Transaksi Bursa dan
untuk menyelesaikan transaksi tersebut pada waktu
dan cara yang sama sebagaimana diwajibkan kepada
Anggota Kliring yang bersangkutan.
2. Dana Jaminan adalah kumpulan dana dan/atau Efek
yang diadministrasikan dan dikelola oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan yang digunakan untuk
melakukan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa
oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan.
3. Cadangan Jaminan adalah akumulasi dana yang
berasal dari penyisihan laba bersih Lembaga Kliring
dan Penjaminan dalam bentuk kas atau setara kas
yang digunakan untuk melakukan Penjaminan
Penyelesaian...
-3-
Penyelesaian Transaksi Bursa oleh Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
4. Kliring adalah proses penentuan hak dan kewajiban
yang timbul dari Transaksi Bursa.
5. Netting adalah kegiatan Kliring yang menimbulkan hak
dan kewajiban bagi setiap Anggota Kliring untuk
menyerahkan atau menerima sejumlah saldo Efek
tertentu untuk setiap jenis Efek yang ditransaksikan
dan untuk menerima atau membayar sejumlah saldo
dana untuk seluruh atau setiap jenis Efek yang
ditransaksikan.
6. Anggota Kliring adalah Anggota Bursa Efek atau pihak
lain, yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan
layanan jasa Kliring dan Penjaminan Penyelesaian
Transaksi Bursa berdasarkan peraturan Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
7. Agunan adalah dana, Efek, dan/atau instrumen
keuangan lainnya milik Anggota Kliring sebagai
jaminan yang dapat digunakan oleh Lembaga Kliring
dan Penjaminan untuk menyelesaikan Transaksi Bursa
dan/atau untuk menyelesaikan kewajiban Anggota
Kliring kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan.
8. Rekening Jaminan adalah Rekening Efek Anggota
Kliring pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
untuk menempatkan Agunan berbentuk Efek dan/atau
dana yang dapat digunakan oleh Lembaga Kliring dan
Penjaminan untuk menyelesaikan Transaksi Bursa
dan/atau untuk menyelesaikan kewajiban Anggota
Kliring tersebut kepada Lembaga Kliring dan
Penjaminan.
9. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh
Anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek,
pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai
Efek...
-4-
Efek atau harga Efek.
10. Transaksi Dipisahkan adalah Transaksi Bursa yang
dipisahkan dari Penjaminan Penyelesaian Transaksi
Bursa berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau
atas perintah Otoritas Jasa Keuangan.
11. Efek Tidak Dijamin adalah Efek yang ditetapkan oleh
Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan
berdasarkan persyaratan tertentu yang penyelesaian
transaksinya tidak dijamin.
12. Jaringan Kredit adalah Anggota Kliring baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama yang diwajibkan untuk
menutup kewajiban Lembaga Kliring dan Penjaminan
berkaitan dengan Penjaminan Penyelesaian Transaksi
Bursa.
13. Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko
adalah komite yang diangkat dan diberhentikan oleh
Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk memberi
masukan kebijakan kredit dan pengendalian risiko
guna mendukung pelaksanaan Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa.
BAB II
KEWAJIBAN PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA
Pasal 2
Bursa Efek wajib mengatur setiap jenis Transaksi Bursa
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan terkait Transaksi Efek serta Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 3
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melaksanakan
Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa sesuai dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan Bursa
Efek, dan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Pasal 4...
-5-
Pasal 4
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib bertanggung jawab
atas kerugian yang dialami setiap pihak sebagai akibat
keterlambatan Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam
penyelesaian Transaksi Bursa yang dijaminnya.
Pasal 5
(1) Direktur dan/atau komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan dapat diminta pertanggungjawaban secara
pribadi baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
atas segala kerugian yang diderita oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan atau pihak lain.
(2) Tanggung jawab direktur dan/atau komisaris Lembaga
Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) timbul karena kelalaian atau pelanggaran
peraturan yang dilakukan direktur dan/atau
komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
mengakibatkan Lembaga Kliring dan Penjaminan gagal
memenuhi kewajiban Penjaminan Penyelesaian
Transaksi Bursa.
Pasal 6
(1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memastikan
bahwa semua pesanan Transaksi Bursa Anggota
Kliring sebelum dilaksanakan mempunyai Agunan
yang cukup dan dikendalikan oleh Lembaga Kliring
dan Penjaminan.
(2) Kewajiban Lembaga Kliring dan Penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Efek yang tidak dapat dijual dengan cepat atau
yang dihentikan sementara dari perdagangannya di
Bursa Efek tidak dapat digunakan sebagai Agunan
pada Rekening Jaminan kecuali untuk menjamin
penyelesaian penjualan Efek itu sendiri;
b. Lembaga...
-6-
b. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
mensyaratkan Anggota Kliring menyetor Agunan
tambahan pada Rekening Jaminan apabila nilai
pasar Agunan tersebut jatuh di bawah batas nilai
Agunan yang ditetapkan oleh Komite Kebijakan
Kredit dan Pengendalian Risiko dan Lembaga
Kliring dan Penjaminan berhak menolak pesanan
Transaksi Bursa Anggota Kliring sampai Agunan
tambahan tersebut dipenuhi; dan
c. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menolak
pesanan baru Transaksi Bursa Anggota Kliring
yang mempunyai saldo debit pada Agunan sampai
saldo Agunannya positif atau yang gagal memenuhi
kewajiban penyelesaian Transaksi Bursa kepada
Lembaga Kliring dan Penjaminan sampai kewajiban
tersebut dipenuhi.
Pasal 7
(1) Dalam rangka menjalankan fungsi Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa, Lembaga Kliring dan
Penjaminan membentuk Cadangan Jaminan.
(2) Pembentukan Cadangan Jaminan oleh Lembaga Kliring
dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan penggunaannya dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. besarnya penyisihan dari laba bersih Lembaga
Kliring dan Penjaminan tahun berjalan, yang
dialokasikan ke Cadangan Jaminan ditentukan
oleh Rapat Umum Pemegang Saham; dan
b. penggunaan Cadangan Jaminan tidak memerlukan
persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham.
Pasal 8
(1) Bursa Efek wajib membuat kontrak dengan Lembaga
Kliring dan Penjaminan mengenai Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa.
(2) Kontrak...
-7-
(2) Kontrak antara Bursa Efek dengan Lembaga Kliring
dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat ketentuan sebagai berikut:
a. Lembaga Kliring dan Penjaminan berwenang
menentukan Anggota Kliring yang dapat
melakukan Transaksi Bursa dan Anggota Kliring
yang dilarang melakukan Transaksi Bursa
berdasarkan hasil analisis risiko penjaminan;
b. Bursa Efek wajib memastikan bahwa Lembaga
Kliring dan Penjaminan memiliki fasilitas untuk
menganalisis tingkat risiko Anggota Kliring dan
berhak menyetujui atau menolak setiap pesanan
sebelum pesanan tersebut dapat dilaksanakan di
Bursa Efek;
c. Lembaga Kliring dan Penjaminan berhak untuk
mengetahui informasi berkaitan dengan Rekening
Jaminan setiap Anggota Kliring dan wajib memiliki
fasilitas untuk menerima informasi dimaksud
setiap saat serta wajib menetapkan persyaratan
Agunan yang wajib dipenuhi setiap Anggota Kliring;
d. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
mensyaratkan setiap Anggota Kliring untuk
menyerahkan saham Bursa Efek yang dimilikinya
sebagai Agunan;
e. Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat
mensyaratkan setiap Anggota Kliring untuk
memastikan pemegang saham mayoritas dan/atau
pemegang saham utama Anggota Kliring
menyerahkan sebagian atau seluruh saham
Anggota Kliring yang dimilikinya sebagai Agunan;
f. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
mensyaratkan setiap Anggota Kliring untuk
menerima tanggung jawab Jaringan Kredit sesuai
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
g. Bursa...
-8-
g. Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib menetapkan persyaratan dan tata cara
penetapan Efek Tidak Dijamin berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
h. Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib menetapkan persyaratan dan tata cara
penetapan Transaksi Dipisahkan berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
i. Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib menetapkan parameter penghentian
sementara perdagangan atas Efek tertentu
dan/atau Anggota Kliring tertentu dalam rangka
melaksanakan pengelolaan risiko penjaminan; dan
j. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
menetapkan parameter kondisi Anggota Kliring
yang dinyatakan gagal memenuhi kewajiban
penyelesaian Transaksi Bursa dan tindakan yang
diambil oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan
dalam rangka penanganan kegagalan Anggota
Kliring tersebut.
Pasal 9
(1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib membuat
kontrak dengan setiap Anggota Kliring mengenai
Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa.
(2) Kontrak antara Lembaga Kliring dan Penjaminan
dengan setiap Anggota Kliring sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat ketentuan sebagai
berikut:
a. Lembaga Kliring dan Penjaminan hanya
bertanggung
jawab melakukan Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa kepada Anggota
Kliring;
b. Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa oleh
Lembaga Kliring dan Penjaminan didasarkan pada
hasil...
-9-
hasil Kliring yang dilakukan secara Netting setiap
Anggota Kliring yang ditetapkan oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan;
c. kondisi Anggota Kliring yang dinyatakan gagal
memenuhi kewajiban penyelesaian Transaksi
Bursa dan tindakan yang diambil oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan dalam rangka penanganan
kegagalan Anggota Kliring;
d. kewajiban Anggota Kliring untuk membayar
kontribusi Dana Jaminan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
e. kewajiban Anggota Kliring untuk menerima
tanggung jawab Jaringan Kredit sesuai dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan.
BAB III
DANA JAMINAN
Pasal 10
(1) Anggota Kliring wajib membayar sejumlah uang
sebagai kontribusi untuk Dana Jaminan yang tidak
dapat ditarik kembali guna menjamin kelancaran dan
keamanan penyelesaian Transaksi Bursa.
(2) Kewajiban Anggota Kliring sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. kontribusi Dana Jaminan berasal dari kontribusi
awal Anggota Kliring baru dan kontribusi yang
didasarkan pada nilai transaksi setiap Anggota
Kliring;
b. penetapan besaran nilai kontribusi awal Anggota
Kliring baru termasuk tata cara pemungutannya,
ditetapkan dalam peraturan Lembaga Kliring dan
Penjaminan;
c. kontribusi...
-10-
c. kontribusi yang didasarkan pada nilai transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a dibayar
paling lambat pada hari penyelesaian Transaksi
Bursa melalui Lembaga Kliring dan Penjaminan;
dan
d. penetapan besaran nilai
kontribusi yang
didasarkan pada nilai transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf a diatur dengan Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 11
(1) Dana Jaminan hanya dapat digunakan oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan dalam rangka Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa.
(2) Penggunaan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. jika sumber keuangan berupa Cadangan Jaminan
dan kredit bank telah digunakan tetapi tidak
mencukupi untuk menyelesaikan kewajiban
Anggota Kliring yang gagal memenuhi kewajiban
penyelesaian Transaksi Bursa; dan
b. sebagai jaminan untuk memperoleh kredit bank
yang hanya ditujukan untuk Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa.
(3) Dana Jaminan yang digunakan untuk memperoleh
kredit bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b wajib terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian
Risiko.
(4) Setiap penggunaan Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan Lembaga
Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya
setelah penggunaan Dana Jaminan.
Pasal 12...
-11-
Pasal 12
Penggunaan Dana Jaminan untuk menyelesaikan
Transaksi Bursa wajib dibayar kembali oleh Anggota Kliring
yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa dimaksud.
Pasal 13
Dana Jaminan bukan merupakan milik pihak tertentu dan
tidak didistribusikan kepada siapapun untuk keperluan
apapun kecuali untuk tujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2).
Pasal 14
(1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mengelola Dana
Jaminan.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan berpendapat
Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak sanggup untuk
mengelola Dana Jaminan dan tidak dapat melanjutkan
fungsinya atau tidak ada pihak lain yang mampu
menjalankan fungsi dan tanggung jawab Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Dana Jaminan wajib
diserahkan Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada
Otoritas Jasa Keuangan untuk Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa.
Pasal 15
(1) Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat mengenakan
biaya atas jasa pengelolaan investasi Dana Jaminan
paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari
pendapatan bersih Dana Jaminan setelah pajak.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan batasan
lain yang lebih kecil atas biaya jasa pengelolaan Dana
Jaminan dengan memperhatikan kondisi keuangan
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Pasal 16
(1) Dana Jaminan hanya dapat diinvestasikan dalam
deposito bank dan/atau Surat Berharga Negara.
(2) Investasi...
-12-
(2) Investasi Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. komposisi dan batasan nilai investasi sesuai
dengan penetapan Komite Kebijakan Kredit dan
Pengendalian Risiko; dan
b. Surat Berharga Negara tersebut dapat dijadikan
dasar atau jaminan dalam transaksi jual Efek
dengan janji beli kembali (repurchase agreement)
dan/atau transaksi pinjam meminjam Efek dengan
Pemerintah dan Bank Indonesia.
Pasal 17
Dalam mengelola Dana Jaminan, Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. memisahkan penyimpanan, pencatatan, dan
pembukuan antara aset Lembaga Kliring dan
Penjaminan dengan aset Dana Jaminan;
b. menyediakan tempat penyimpanan yang aman atas
aset Dana Jaminan;
c. Dana Jaminan yang diinvestasikan dalam deposito
bank wajib ditempatkan pada bank yang disetujui oleh
Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko; dan
d. Dana Jaminan yang diinvestasikan dalam Surat
Berharga Negara wajib disimpan di Rekening Efek pada
Kustodian yang disetujui oleh Komite Kebijakan Kredit
dan Pengendalian Risiko.
Pasal 18
Hasil investasi Dana Jaminan wajib ditambahkan ke dalam
Dana Jaminan setelah dikurangi biaya atas jasa
pengelolaan investasi
Penjaminan.
oleh Lembaga Kliring dan
Pasal 19
(1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan
laporan...
-13-
laporan keuangan Dana Jaminan secara bulanan dan
tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. laporan disusun dan disampaikan secara terpisah
dari laporan keuangan Lembaga Kliring dan
Penjaminan;
b. laporan disajikan dengan menggunakan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku;
c. laporan ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu)
anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan;
d. laporan bulanan disampaikan paling lambat hari
ke-15 (kelima belas) pada bulan berikutnya dengan
tembusan kepada Komite Kebijakan Kredit dan
Pengendalian Risiko dan Dewan Komisaris
Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
e. laporan keuangan tahunan disampaikan paling
lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal tahun
buku berakhir dan diaudit oleh akuntan yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Biaya yang berkaitan dengan jasa akuntansi dan audit
laporan keuangan tahunan Dana Jaminan dibebankan
pada Dana Jaminan dan besarnya biaya dimaksud
wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu oleh
Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Komite
Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko.
(4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan
huruf e jatuh pada hari libur, maka penyampaian
laporan tersebut disampaikan pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
BAB IV...
-14-
BAB IV
PROSEDUR PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA
Pasal 20
Anggota Kliring dinyatakan gagal memenuhi kewajibannya
berkaitan dengan penyelesaian Transaksi Bursa apabila
Anggota Kliring tidak dapat memenuhi sebagian atau
seluruh kewajibannya untuk menyelesaikan Transaksi
Bursa sesuai dengan waktu dan cara yang telah diatur
dalam peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Pasal 21
(1) Dalam hal terjadi kegagalan Anggota Kliring
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Lembaga
Kliring dan Penjaminan wajib melaksanakan fungsi
Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa.
(2) Fungsi Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan sumber keuangan dan urutan sebagai berikut:
a. Cadangan Jaminan;
b. Kredit bank, jika sudah ada kontrak antara
Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan bank;
c. Dana Jaminan;
d. sumber keuangan dari anggota Jaringan Kredit
yang lain, apabila seluruh sumber keuangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan
huruf c telah digunakan tetapi tidak mencukupi,
dengan pembagian sebagai berikut:
1. 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah yang
dibutuhkan untuk membayar kewajiban
Lembaga Kliring dan Penjaminan dibagi sama
rata di antara anggota Jaringan Kredit yang
tersisa;
2. 80% (delapan puluh per seratus) dari jumlah
yang dibutuhkan untuk membayar kewajiban
Lembaga...
-15-
Lembaga Kliring dan Penjaminan dibagi di
antara anggota Jaringan Kredit yang tersisa
secara proporsional berdasarkan nilai Kliring
masing-masing anggota Jaringan Kredit
dimaksud selama 6 (enam) bulan terakhir; dan
3. jumlah yang tidak dibayar dalam 30 (tiga
puluh) hari oleh anggota Jaringan Kredit
tertentu, dibagi kembali di antara anggota
Jaringan Kredit yang tersisa sesuai dengan
ketentuan angka 1 dan angka 2.
Pasal 22
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan hukum
tertentu terhadap Anggota Jaringan Kredit yang tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (2) huruf d angka 3 dengan memperhatikan usulan
dari Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Pasal 23
(1) Setiap penggunaan sumber keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib dibayar
kembali dari sumber keuangan Anggota Kliring yang
gagal menyelesaikan Transaksi Bursa.
(2) Pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Lembaga Kliring dan Penjaminan melakukan
proses permintaan setoran dana dan/atau
menggunakan sumber keuangan Anggota Kliring
yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa yang
berada di bawah penguasaan Lembaga Kliring dan
Penjaminan paling lambat 2 (dua) hari Bursa
setelah penggunaan sumber keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2);
b. Lembaga Kliring dan Penjaminan melakukan
proses penjualan Efek dalam Rekening Jaminan
Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan
Transaksi...
-16-
Transaksi Bursa paling lambat 10 (sepuluh) hari
Bursa setelah penggunaan sumber keuangan;
c. Lembaga Kliring dan Penjaminan melakukan
permintaan pencabutan keanggotaan Bursa Efek
Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan
Transaksi Bursa diikuti dengan penjualan saham
Bursa Efek dan/atau penjualan saham Anggota
Kliring yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa
yang dimiliki pemegang saham mayoritas paling
lambat 60 (enam puluh) hari Bursa setelah
penggunaan sumber keuangan; dan
d. Lembaga Kliring dan Penjaminan melakukan
proses pengajuan permohonan pailit terhadap
Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan
Transaksi Bursa kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari Bursa
setelah penggunaan sumber keuangan diikuti
dengan likuidasi dan/atau penjualan aset Anggota
Kliring.
(3) Pengembalian sumber keuangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan
urutan prioritas sebagai berikut:
a. Dana Jaminan;
b. Jaringan Kredit;
c. Kredit bank; dan
d. Cadangan Jaminan.
(4) Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat melakukan
proses permintaan setoran dana dan/atau likuidasi
sumber keuangan lain milik Anggota Kliring yang gagal
menyelesaikan Transaksi Bursa
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, pada hari
yang sama dengan penggunaan sumber keuangan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 21 ayat (2).
Pasal 24...
sebagaimana
-17-
Pasal 24
Dalam hal sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) belum mencukupi untuk membayar
kembali penggunaan Dana Jaminan yang digunakan untuk
menyelesaikan kegagalan Anggota Kliring dalam
penyelesaian Transaksi Bursa, kekurangan pengembalian
Dana Jaminan dilakukan dengan menggunakan sumber
keuangan anggota Jaringan Kredit yang lain dengan
mekanisme pembagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (2) huruf d, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah penggunaan Dana Jaminan.
BAB V
TRANSAKSI BURSA YANG DIKECUALIKAN
Pasal 25
(1) Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat
menetapkan Efek Tidak Dijamin.
(2) Efek Tidak Dijamin wajib diumumkan kepada publik
dan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh
Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan
paling lambat 2 (dua) hari Bursa sebelum Efek Tidak
Dijamin berlaku.
(3) Penetapan Efek Tidak Dijamin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. persyaratan dan tata cara penetapan Efek Tidak
Dijamin wajib ditetapkan dalam peraturan Bursa
Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan;
b. dalam menetapkan persyaratan Efek Tidak Dijamin
sebagaimana dimaksud pada huruf a, Bursa Efek
dan Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
mempertimbangkan paling kurang:
1. komposisi kepemilikan Efek termasuk porsi
kepemilikan publik dan konsentrasi
kepemilikan Efek;
2. pola...
-18-
2. pola, volume, dan frekuensi transaksi Efek; dan
3. fluktuasi harga Efek.
c. tata cara penetapan Efek Tidak Dijamin
sebagaimana dimaksud pada huruf a antara lain
memuat periode data dan informasi yang
digunakan, periode reviu, serta tata cara
pengumuman Efek Tidak Dijamin.
(4) Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak melakukan
Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa terhadap
Transaksi Bursa atas Efek Tidak Dijamin.
Pasal 26
(1) Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat
menetapkan Transaksi Dipisahkan.
(2) Penetapan Transaksi Dipisahkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan atau berdasarkan perintah
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Transaksi Dipisahkan wajib diumumkan kepada publik
dan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh
Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan
paling lambat 2 (dua) hari Bursa setelah penetapan
Transaksi Dipisahkan.
(4) Penetapan Transaksi Dipisahkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Transaksi Dipisahkan dapat ditetapkan dalam hal
terdapat antara lain indikasi transaksi yang tidak
wajar, berisiko tinggi, dan/atau membahayakan
integritas pasar;
b. persyaratan dan tata cara penetapan Transaksi
Dipisahkan wajib ditetapkan dalam peraturan
Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan;
c. dalam menetapkan persyaratan Transaksi
Dipisahkan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
Bursa...
-19-
Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan
wajib mempertimbangkan paling kurang:
1. kondisi Anggota Kliring yang transaksinya
dapat diberlakukan sebagai
Dipisahkan, termasuk tetapi tidak terbatas
pada besaran nilai transaksi yang berpotensi
tidak dapat diselesaikan dan pola transaksi
Anggota Kliring yang bersangkutan; dan
2. kondisi Efek termasuk tetapi tidak terbatas
pada pola, volume, dan frekuensi transaksi
Efek, serta fluktuasi harga Efek.
d. tata cara penetapan Transaksi Dipisahkan
sebagaimana dimaksud pada huruf b antara lain
memuat periode data dan informasi yang
digunakan, periode reviu, serta pengumuman
penetapan Transaksi Dipisahkan.
(5) Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat menunda
Penyelesaian Transaksi Bursa dan/atau tidak
melakukan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa
terhadap Transaksi Dipisahkan setelah mendapatkan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atau berdasarkan
perintah Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VI
KOMITE KEBIJAKAN KREDIT DAN PENGENDALIAN RISIKO
Pasal 27
(1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa, Lembaga Kliring dan
Penjaminan wajib membentuk Komite Kebijakan Kredit
dan Pengendalian Risiko.
(2) Pembentukan Komite Kebijakan Kredit dan
Pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. keanggotaan Komite Kebijakan Kredit dan
Pengendalian Risiko wajib terdiri dari 5 (lima)
direktur...
Transaksi
-20-
direktur dari Anggota Kliring yang tidak saling
terafiliasi; dan
b. keanggotaan Komite Kebijakan Kredit dan
Pengendalian Risiko ditetapkan oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan berdasarkan calon yang
diajukan oleh para Anggota Kliring.
(3) Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko
mempunyai tugas dan kewajiban antara lain:
a. merekomendasikan kebijakan pengelolaan risiko
Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa kepada
Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan
Penjaminan;
b. memantau kebijakan pengelolaan risiko
Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa;
c. merekomendasikan
persentase
laba bersih
Lembaga Kliring dan Penjaminan yang wajib
disisihkan untuk membentuk Cadangan Jaminan
kepada Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang
saham Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
d. menetapkan kebijakan penggunaan dan investasi
Dana Jaminan.
(4) Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko wajib
mengadakan rapat paling kurang sekali dalam 2 (dua)
bulan atau setiap saat jika terjadi kondisi tertentu
yang memerlukan keputusan dan/atau rekomendasi
Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko.
(5) Setiap rapat Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian
Risiko wajib dibuat minuta atau risalah rapat yang
ditandatangani oleh paling sedikit 3 (tiga) anggota
komite dan disimpan.
Pasal 28
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan
kepada Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko
data dan informasi yang berkaitan dengan tugas dan
kewajiban...
-21-
kewajiban Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian
Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3)
sesuai dengan cara yang ditetapkan Komite Kebijakan
Kredit dan Pengendalian Risiko.
Pasal 29
Persyaratan dan tata cara pemilihan anggota Komite
Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko dan tata cara
pengambilan keputusan dan/atau rekomendasi Komite
Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko ditetapkan lebih
lanjut dalam peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan.
BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 30
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap
pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk
pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu
c. pembatasan kegiatan usaha
d. pembekuan kegiatan usaha
e. pencabutan izin usaha
f. pembatalan persetujuan, dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi...
-22-
(3) Sanksi administratif denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f atau huruf g.
Pasal 31
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 32
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 kepada masyarakat.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib
telah menetapkan peraturan dan sarana terkait dengan
Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa paling lambat
pada tanggal 31 Desember 2015.
Pasal 34
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku sejak tanggal
diundangkan, kecuali ketentuan dalam Pasal 25 dan Pasal
26 berlaku sejak tanggal 1 Januari 2016.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Keputusan...
-23-
a. Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/2004
tanggal 9 Desember 2004 tentang Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa, beserta Peraturan
Nomor III.B.6 yang merupakan lampirannya; dan
b. Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-47/PM/2004
tanggal 9 Desember 2004 tentang Dana Jaminan,
beserta Peraturan Nomor III.B.7 yang merupakan
lampirannya;
dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, kecuali ketentuan
angka 3 huruf a Peraturan Nomor III.B.7 Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-47/PM/2004
tanggal 9 Desember 2004 tentang Dana Jaminan masih
tetap berlaku sampai dengan diterbitkannya Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2) huruf d.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 361
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 26/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA </reg_title>
<set_date> 19 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-46/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004', 'Kep-47/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004', 'Kep-46/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.6', 'Kep-47/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.7 kecuali ketentuan angka 3 huruf a masih tetap berlaku sampai dengan diterbitkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d.' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 34 /POJK.04/2017
TENTANG
REKSA DANA TARGET WAKTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk memberikan alternatif investasi bagi
investor, perlu meningkatkan keberagaman produk
investasi;
b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan investor akan
produk investasi yang sesuai dengan siklus perencanaan
keuangan investor, perlu diciptakan produk investasi
yang kebijakan investasinya dapat berubah sesuai
dengan siklus perencanaan keuangan investor;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana
Target Waktu;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG REKSA
DANA TARGET WAKTU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk
menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk
selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh
Manajer Investasi.
2. Reksa Dana Target Waktu adalah Reksa Dana yang
memiliki jangka waktu tertentu dan kebijakan investasi
yang menyesuaikan dengan jangka waktu tersebut.
3. Target Waktu adalah tahun dimana kebijakan investasi
Reksa Dana Target Waktu memiliki tingkat risiko paling
rendah dan tidak lagi berubah.
4. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang
menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak dalam
portofolio investasi kolektif.
5. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan
dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar Pihak lain
membeli Efek.
6. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 3 -
7. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
8.
Nilai Aktiva Bersih adalah nilai pasar yang wajar dari
suatu Efek dan kekayaan lain dari Reksa Dana dikurangi
seluruh kewajibannya.
Pasal 2
(1) Reksa Dana Target Waktu memiliki
jangka waktu
tertentu sampai dengan Target Waktu yang ditetapkan.
(2) Kebijakan investasi Reksa Dana Target Waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyesuaikan
dengan jangka waktu sampai dengan Target Waktu yang
ditetapkan.
(3) Kontrak investasi kolektif Reksa Dana Target Waktu
wajib memuat klausula yang menjelaskan bahwa Reksa
Dana Target Waktu dapat berakhir secara otomatis pada
saat mencapai Target Waktu yang ditetapkan atau terus
dikelola oleh Manajer Investasi berdasarkan kebijakan
investasi terakhir.
Pasal 3
Ketentuan mengenai kebijakan investasi Reksa Dana Pasar
Uang, Reksa Dana Pendapatan Tetap, Reksa Dana Saham,
dan Reksa Dana Campuran sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Pedoman
Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka
tidak berlaku bagi Reksa Dana Target Waktu.
Pasal 4
(1) Ketentuan mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana,
pedoman kontrak investasi kolektif Reksa Dana,
pedoman bentuk dan isi prospektus dalam rangka
penawaran umum Reksa Dana, pernyataan pendaftaran
dalam rangka penawaran umum, dan pelaporan Reksa
- 4 -
Dana berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal yang mengatur
mengenai Reksa Dana berbentuk kontrak investasi
kolektif berlaku bagi Reksa Dana Target Waktu
berbentuk kontrak investasi kolektif, kecuali diatur lain
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Ketentuan mengenai pedoman pengelolaan, pedoman
kontrak pengelolaan, pedoman anggaran dasar, pedoman
bentuk dan isi prospektus dalam rangka penawaran
umum Reksa Dana, pedoman kontrak penyimpanan
kekayaan, dan tata cara permohonan izin usaha Reksa
Dana berbentuk perseroan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
pasar modal yang mengatur mengenai Reksa Dana
berbentuk perseroan berlaku bagi Reksa Dana Target
Waktu berbentuk perseroan, kecuali diatur lain dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 5
Dalam hal Reksa Dana Target Waktu merupakan Reksa Dana
yang portofolio investasinya sebagian besar berupa Efek luar
negeri, komposisi portofolio investasi Reksa Dana Target
Waktu atas Efek luar negeri mengacu pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan mengenai Reksa Dana Syariah.
Pasal 6
Nama Reksa Dana Target Waktu wajib mencantumkan angka
tahun yang ditetapkan sebagai Target Waktu.
Pasal 7
Penawaran umum Unit Penyertaan Reksa Dana Target Waktu
dapat bersifat terus-menerus atau terbatas baik dalam masa
penawaran maupun jumlah Unit Penyertaan Reksa Dana yang
ditawarkan.
- 5 -
BAB II
PEDOMAN PENGELOLAAN
REKSA DANA TARGET WAKTU
Pasal 8
Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Target Waktu wajib:
a. menyusun jadwal perubahan kebijakan investasi untuk
periode sejak Reksa Dana Target Waktu diterbitkan
sampai dengan Target Waktu yang ditetapkan dan
mencantumkannya dalam:
1. kontrak investasi kolektif bagi Reksa Dana
berbentuk kontrak investasi kolektif;
2. kontrak pengelolaan bagi Reksa Dana berbentuk
perseroan; dan
3. Prospektus Reksa Dana Target Waktu; dan
b. melakukan pengelolaan investasi Reksa Dana Target
Waktu sesuai dengan jadwal perubahan kebijakan
investasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 9
(1) Jadwal perubahan kebijakan investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dapat dibuat dalam
bentuk grafik dan/atau tabel yang dilengkapi dengan
narasi atau keterangan penjelasan.
(2) Grafik dan/atau tabel sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib menggambarkan persentase alokasi investasi
yang direncanakan pada setiap jenis Efek untuk setiap
bagian periode sejak Reksa Dana diterbitkan sampai
dengan Target Waktu yang ditetapkan.
(3) Persentase alokasi investasi yang direncanakan pada
setiap jenis Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat ditetapkan dalam bentuk angka absolut atau
berupa rentang angka dengan ketentuan bahwa selisih
antara angka tertinggi dan angka terendah tidak boleh
lebih besar dari 20% (dua puluh persen).
(4) Bagian periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun.
- 6 -
Pasal 10
Dalam hal Manajer Investasi menetapkan persentase alokasi
investasi yang direncanakan pada setiap jenis Efek untuk
setiap bagian periode dalam bentuk angka absolut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Manajer
Investasi dalam melakukan pengelolaan Reksa Dana Target
Waktu dapat melakukan investasi pada setiap jenis Efek
dimaksud dengan persentase alokasi yang lebih besar atau
lebih kecil dari persentase alokasi yang telah ditetapkan
dengan ketentuan bahwa selisih antara persentase alokasi
yang terjadi dengan persentase alokasi yang telah ditetapkan
tidak boleh lebih besar dari 10% (sepuluh persen) pada setiap
saat.
BAB III
PROSPEKTUS REKSA DANA TARGET WAKTU
Pasal 11
(1) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Target Waktu
wajib mencantumkan keterangan tambahan dalam
Prospektus Reksa Dana Target Waktu yang paling sedikit
memuat hal sebagai berikut:
a. keterangan mengenai sifat dan fitur Reksa Dana
Target Waktu, termasuk penjelasan mengenai
kebijakan investasi yang berubah sesuai dengan
jadwal perubahan kebijakan investasi yang telah
ditetapkan;
b. keterangan bahwa Reksa Dana Target Waktu:
1. tidak memberikan jaminan tercapainya imbal
hasil;
2. dapat mengalami kerugian; dan/atau
3. dapat kehilangan imbal hasil ataupun pokok
investasi walaupun investasi telah mendekati,
pada, atau setelah Target Waktu;
c. keterangan yang menyatakan bahwa tahun yang
ditetapkan sebagai Target Waktu bagi Reksa Dana
Target Waktu merupakan tahun acuan bagi investor,
- 7 -
yang umumnya menggambarkan perkiraan waktu
bagi investor untuk pensiun, menarik investasinya,
atau tidak lagi menambah investasinya;
d.
ilustrasi dalam bentuk grafik dan/atau tabel
mengenai jadwal perubahan kebijakan investasi dan
dilengkapi dengan narasi atau keterangan yang
menjelaskan ilustrasi tersebut; dan
e. keterangan yang menjelaskan risiko yang ditanggung
oleh pemegang saham atau pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Target Waktu sehubungan
dengan kebijakan investasi yang ditetapkan.
(2) Selain keterangan tambahan dalam Prospektus Reksa
Dana Target Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam hal Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Target
Waktu menetapkan akan terus mengelola Reksa Dana
Target Waktu walaupun Reksa Dana Target Waktu telah
mencapai Target Waktu yang ditetapkan, Manajer
Investasi wajib mencantumkan keterangan tambahan
dalam Prospektus Reksa Dana Target Waktu yang
menjelaskan bahwa Reksa Dana Target Waktu dapat
berakhir secara otomatis pada saat mencapai Target
Waktu yang ditetapkan atau terus dikelola oleh Manajer
Investasi berdasarkan kebijakan investasi akhir yang
telah diungkapkan.
Pasal 12
Ketentuan mengenai Reksa Dana Target Waktu sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
berlaku secara mutatis mutandis bagi penerbitan produk
Reksa Dana Target Waktu yang akad, cara pengelolaan, dan
portofolionya sesuai dengan prinsip syariah.
- 8 -
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 13
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 14
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 9 -
Pasal 15
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 135
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 34 /POJK.04/2017
TENTANG
REKSA DANA TARGET WAKTU
I. UMUM
Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun
dana dari masyarakat pemodal guna selanjutnya diinvestasikan dalam
portofolio Efek oleh Manajer Investasi. Perkembangan Reksa Dana di
Indonesia yang cukup signifikan telah menyebabkan permintaan atas
produk Reksa Dana semakin tinggi, yang dibarengi dengan harapan
bahwa Reksa Dana tidak hanya memberikan keuntungan yang relatif
tinggi dan aman, tapi juga kemampuan untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan pemodal yang spesifik ataupun berubah seiring waktu.
Reksa Dana Target Waktu diharapkan mampu untuk memenuhi
kebutuhan khusus ini, dengan menawarkan sebuah produk investasi
yang tidak terpaku dengan mayoritas jenis Efek dalam portofolionya,
melainkan mengacu kepada sebuah tanggal tertentu di masa yang akan
datang, atau sebuah waktu tujuan investasi jangka panjang tertentu.
Reksa Dana Target Waktu dapat mengubah komposisi portofolio
Efek-nya dari yang mengandung sebagian besar Efek bersifat ekuitas
berisiko tinggi perlahan menjadi cenderung konservatif dan berinvestasi
sebagian besar pada Efek bersifat utang atau instrumen pasar uang
seiring bertambahnya usia Reksa Dana Target Waktu tersebut mendekati
tanggal acuan. Jenis Reksa Dana ini sangat sesuai bagi pemodal yang
menggunakan Reksa Dana sebagai sarana investasi untuk pemenuhan
kebutuhan tertentu di masa yang akan datang, misalnya pernikahan,
biaya sekolah anak, dan perencanaan pensiun.
- 2 -
Pengembangan jenis Reksa Dana ini diharapkan akan dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat pemodal Indonesia, serta mendorong
pertumbuhan pasar modal Indonesia yang aman dan berkelanjutan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan di
sektor pasar modal yang mengatur mengenai Reksa Dana
berbentuk kontrak investasi kolektif” yang berlaku pada saat
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan antara lain:
1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
23/POJK.04/2016 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5886);
2. Peraturan Nomor X.D.1, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-06/PM/2004 tentang
Laporan Reksa Dana; dan
3. Peraturan Nomor IX.C.6, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-22/PM/2004 tentang
Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan di
sektor pasar modal yang mengatur mengenai pedoman
pengelolaan Reksa Dana berbentuk perseroan” yang berlaku
- 3 -
pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan
antara lain:
1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
39/POJK.04/2016 tentang Tata Cara Permohonan Izin
Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 268, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5694);
2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
40/POJK.04/2016 tentang Pedoman Anggaran Dasar Reksa
Dana Berbentuk Perseroan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 269, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5965);
3. Peraturan Nomor IV.A.3, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-13/PM/2002 tentang
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
4. Peraturan Nomor IV.A.4, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-14/PM/2002 tentang
Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
5. Peraturan Nomor IV.A.5, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-21/PM/1996 tentang
Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan; dan
6. Peraturan Nomor IX.C.6, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-22/PM/2004 tentang
Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka
Penawaran Umum Reksa Dana.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Contoh dari nama Reksa Dana Target Waktu antara lain “Reksa Dana
Gatotkaca Asset Management 2045”, “Reksa Dana XYZ Investasi
2055”, “Reksa Dana ABC 2060”, atau “Reksa Dana ABC Syariah
Global 2030”.
- 4 -
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Dalam praktiknya “jadwal perubahan kebijakan investasi Reksa Dana
Target Waktu” dimaksud dikenal juga dengan sebutan glide path.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “persentase alokasi investasi” adalah
persentase dari Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana yang
dialokasikan pada setiap jenis Efek.
Ayat (3)
Contoh persentase alokasi investasi yang ditetapkan dalam
bentuk angka absolut:
Reksa Dana Gatotkaca Asset Management 2045 pada jadwal
perubahan kebijakan investasi telah ditetapkan:
Jenis Investasi
Efek bersifat ekuitas
Efek bersifat utang
instrumen pasar uang
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Contoh persentase alokasi berupa angka absolut Reksa Dana Target
Waktu yang dalam pengelolaannya memiliki selisih antara persentase
alokasi yang terjadi dengan persentase alokasi yang telah ditetapkan
tidak lebih besar dari 10% (sepuluh persen), misalnya:
Reksa Dana Gatotkaca Asset Management 2045 pada jadwal
perubahan kebijakan investasi telah ditetapkan:
Persentase
2016-2021
70%
20%
10%
Persentase
2022-2027
65%
25%
10%
Dst. s.d
2045...
- 5 -
Jenis Investasi
Efek bersifat ekuitas
Efek bersifat utang
instrumen pasar uang
Persentase
2016-2021
70%
20%
10%
Persentase
2022-2027
65%
25%
10%
Dst. s.d
2045...
Maka dalam pengelolaannya di tahun 2016-2021, Reksa Dana
Gatotkaca Asset Management 2045 dapat memiliki investasi pada
masing-masing Efek dan instrumen dimaksud kurang 10% dari batas
bawah yang ditetapkan, yaitu sampai dengan 60% atau lebih 10%
dari batas atas yang ditetapkan, yaitu sampai dengan 80%.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6082
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 34/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> REKSA DANA TARGET WAKTU </reg_title>
<set_date> 3 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 3 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 3 Juli 2017 </issued_date>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
REPUBLIK INDONESIA
OOTORITAS JASA KEUANGAN
ReREPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 12 /POJK.03/2015
TENTANG
KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS
PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang: a. bahwa saat ini terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang dapat memengaruhi kinerja dan kondisi
industri perbankan termasuk perbankan syariah sehingga
berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan;
b. bahwa untuk merespons kondisi melambatnya pertumbuhan
perekonomian,
diperlukan
kebijakan yang bersifat
countercyclical dan bersifat sementara untuk mendorong
optimalisasi fungsi intermediasi perbankan syariah dan
pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian dan prinsip syariah;
c. bahwa sejalan dengan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b, diperlukan kebijakan untuk mendukung program
pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
pertumbuhan ekonomi terutama yang berpihak kepada usaha
mikro, kecil, dan menengah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ketentuan
Kehati-Hatian...
- 2 -
e. Kehati-Hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS
PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Unit Usaha Syariah adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa termasuk
sewa menyewa jasa, transaksi jual beli, dan transaksi pinjam meminjam
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujrah, tanpa imbalan, bagi hasil, atau margin.
5. Risiko...
- 3 -
5. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam
memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
6. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam
rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya.
7. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank Umum Syariah dalam
bentuk saham pada bank syariah dan perusahaan di bidang keuangan
lainnya yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk
penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible
bonds) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank Umum Syariah
memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di
bidang keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
8. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah
UMKM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro,
kecil, dan menengah.
Pasal 2
(1) Dalam menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan
ekonomi, Bank tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Bank Umum Syariah
dilakukan terhadap:
a. perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Kredit
dengan menggunakan pendekatan standar bagi:
1. Pembiayaan beragun rumah tinggal; dan
2. Pembiayaan kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan
atau asuransi Pembiayaan berstatus Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD);
b. penilaian dan penetapan kualitas aset bagi:
1. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya dalam jumlah kecil; dan
2. Pembiayaan yang direstrukturisasi;
c. Penyertaan Modal.
(3) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Unit Usaha Syariah
dilakukan terhadap penilaian dan penetapan kualitas aset bagi:
a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya dalam jumlah kecil; dan
b. Pembiayaan yang direstrukturisasi.
BAB II...
- 4 -
BAB II
PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) UNTUK RISIKO
KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR
BAGI BANK UMUM SYARIAH
Bagian Kesatu
Bobot Risiko Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal
Pasal 3
Bobot risiko Pembiayaan beragun rumah tinggal ditetapkan sebagai berikut:
a. paling rendah 35% (tiga puluh lima perseratus) untuk Pembiayaan konsumsi
dalam rangka kepemilikan rumah tinggal atau apartemen atau Pembiayaan
konsumsi yang dijamin dengan agunan berupa rumah tinggal atau apartemen
yang memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut:
1. diberikan kepada nasabah perorangan;
2. agunan diikat dengan hak tanggungan atau fidusia sehingga memberikan
kedudukan yang diutamakan (hak preferensi) kepada Bank Umum Syariah;
dan
3. Bank Umum Syariah memiliki sistem dan prosedur yang memadai untuk
menilai dan memantau nilai agunan secara berkala;
b. paling rendah 20% (dua puluh perseratus) untuk Pembiayaan konsumsi
dalam rangka kepemilikan rumah tinggal yang merupakan program
Pemerintah Indonesia yang memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut:
1. dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
2. dijamin 100% (seratus perseratus) oleh lembaga penjaminan atau asuransi
Pembiayaan berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memenuhi
persyaratan pengakuan garansi dalam teknik mitigasi Risiko Kredit.
Pasal 4
Persyaratan pengakuan garansi dalam teknik mitigasi Risiko Kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 2 adalah sebagai berikut:
a. Bank Umum Syariah memiliki hak tagih langsung kepada pihak pemberi
jaminan tanpa harus melakukan tindakan hukum terlebih dahulu terhadap
nasabah dalam hal terjadi cedera janji (wanprestasi);
b. Tagihan atau transaksi rekening administratif yang diberikan garansi
dinyatakan secara spesifik dan jelas dalam perjanjian garansi;
c. Perjanjian...
- 5 -
c. Perjanjian garansi bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat
dibatalkan (irrevocable);
d. Garansi dicairkan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
sejak eksposur telah jatuh tempo lebih dari 90 (sembilan puluh) hari, baik
atas pembayaran pokok dan/atau pembayaran margin/bagi hasil/ujrah; dan
e. Garansi yang diterbitkan oleh pihak pemberi jaminan telah diakui sebagai
kewajiban dalam pembukuan pihak pemberi jaminan.
Bagian Kedua
Bobot Risiko Pembiayaan kepada UMKM yang Dijamin oleh Lembaga Penjaminan
atau Asuransi Pembiayaan Berstatus BUMD
Pasal 5
(1) Bobot risiko Pembiayaan kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga
penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMD ditetapkan sebesar
50% (lima puluh perseratus) sepanjang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
(2) Persyaratan lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas
Jasa Keuangan setara BBB-; atau
b. mendapatkan rekomendasi dalam bentuk tertulis dari Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan program penjaminan.
(3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pengakuan penjaminan atau asuransi Pembiayaan, skema penjaminan atau
asuransi Pembiayaan, dan lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan
berstatus BUMD, tetap memenuhi persyaratan:
a. pengakuan garansi dalam teknik mitigasi Risiko Kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4;
b. skema penjaminan atau asuransi Pembiayaan; dan
c. lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus bukan BUMN.
Pasal 6
(1) Persyaratan skema penjaminan atau asuransi Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b sebagai berikut:
a. pangsa...
- 6 -
a. pangsa penjaminan Pembiayaan oleh lembaga penjaminan atau asuransi
Pembiayaan paling kurang sebesar 70% (tujuh puluh perseratus) dari
Pembiayaan yang diberikan oleh Bank Umum Syariah;
b. Bank Umum Syariah mengajukan klaim kepada lembaga penjaminan atau
asuransi Pembiayaan paling lama 1 (satu) bulan sejak terjadi tunggakan
pokok, margin/bagi hasil/ujrah, dan/atau tagihan lainnya yang
menjadikan kualitas Pembiayaan paling baik dinilai “Diragukan” sesuai
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang berlaku walaupun Pembiayaan
belum jatuh tempo;
c. pembayaran penjaminan atau asuransi Pembiayaan paling lama 15 (lima
belas) hari kerja setelah klaim diajukan oleh Bank Umum Syariah dan
dokumen diterima secara lengkap oleh lembaga penjaminan atau asuransi
Pembiayaan;
d. jangka waktu penjaminan atau asuransi Pembiayaan paling kurang sama
dengan jangka waktu Pembiayaan; dan
e. penjaminan atau asuransi Pembiayaan bersifat tanpa syarat
(unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable).
(2) Persyaratan lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus bukan
BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c sebagai berikut:
a. pendirian lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan sesuai
peraturan yang berlaku mengenai lembaga penjaminan atau asuransi
Pembiayaan;
b. didukung oleh dana penjaminan (modal) dengan gearing ratio mengacu
pada ketentuan yang berlaku, paling tinggi 10 (sepuluh) kali;
c. mematuhi ketentuan mengenai lembaga penjaminan atau asuransi
Pembiayaan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
d. bukan merupakan pihak terkait Bank Umum Syariah kecuali keterkaitan
tersebut karena hubungan kepemilikan dengan pemerintah daerah.
(3) Persyaratan skema penjaminan atau asuransi Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam perjanjian antara Bank Umum
Syariah dengan lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan.
Pasal 7
(1) Bobot risiko Pembiayaan kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga
penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMD yang:
a. memiliki...
- 7 -
a. memiliki peringkat lebih tinggi dari BBB-; dan
b. pengakuan penjaminan atau asuransi Pembiayaan, skema penjaminan
atau asuransi Pembiayaan, dan lembaga penjaminan atau asuransi
Pembiayaan berstatus BUMD memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3),
didasarkan pada peringkat lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan
berstatus BUMD sesuai kategori portofolio tagihan kepada entitas sektor
publik.
(2) Bobot risiko tagihan kepada entitas sektor publik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai berikut:
a. sebesar 50% (lima puluh perseratus) untuk peringkat yang setara BBB+
sampai dengan BBB-;
b. sebesar 50% (lima puluh perseratus) untuk peringkat yang setara A+
sampai dengan A-; atau
c. sebesar 20% (dua puluh perseratus) untuk peringkat yang setara AAA
sampai dengan AA-.
(3) Ilustrasi peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan notasi
peringkat yang dikeluarkan lembaga pemeringkat Standard and Poor’s.
BAB III
PENILAIAN DAN PENETAPAN KUALITAS ASET
BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
Bagian Kesatu
Pembiayaan dan Penyediaan Dana Lainnya dalam Jumlah Kecil
Pasal 8
(1) Penetapan kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya dapat hanya
didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/ujrah, untuk:
a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap
Bank kepada 1 (satu) nasabah atau 1 (satu) proyek dengan jumlah kurang
dari atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
b. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap
Bank kepada nasabah UMKM dengan jumlah:
1. Lebih...
- 8 -
1. Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan Kualitas Penerapan
Manajemen Risiko (KPMR) untuk Risiko Kredit sangat memadai;
b) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
paling rendah sesuai ketentuan yang berlaku; dan
c) memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah
3 (PK-3).
2. Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki predikat penilaian kecukupan KPMR untuk Risiko Kredit
memadai;
b) memiliki rasio KPMM paling rendah sesuai ketentuan yang berlaku;
dan
c) memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah
3 (PK-3).
(2) Penetapan kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi Unit Usaha Syariah berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. predikat penilaian KPMR untuk Risiko Kredit mengacu pada predikat
penilaian kecukupan KPMR Unit Usaha Syariah; dan
b. Peringkat Komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM mengacu pada
Peringkat Komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM bank induknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan
untuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1
(satu) nasabah UMKM dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) yang merupakan:
a. Pembiayaan yang direstrukturisasi; dan/atau
b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank.
Bagian...
- 9 -
Bagian Kedua
Penetapan Kualitas Pembiayaan yang Direstrukturisasi
Pasal 9
(1) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai
berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. tetap atau tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang
Lancar.
(2) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Lancar, apabila tidak terdapat
tunggakan selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau
margin/bagi hasil/ujrah secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian
Restrukturisasi Pembiayaan.
(3) Dalam hal nasabah tidak memenuhi kriteria dan/atau persyaratan dalam
perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan, penilaian kualitas Pembiayaan
ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku yang didasarkan atas:
a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah untuk
Pembiayaan
yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
b. prospek usaha, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan
membayar untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih
dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(4) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan paling singkat 3 (tiga)
bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan.
Pasal 10
Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (3) huruf a ditetapkan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9.
Pasal...
- 10 -
Pasal 11
(1) Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu
pembayaran pokok, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. tetap atau tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang
Lancar;
(2) Kualitas Pembiayaan selama masa pemberian tenggang waktu pembayaran
pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran
margin/bagi hasil/ujrah selama 3 (tiga) kali periode pembayaran berturut-
turut sesuai perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan; atau
b. sesuai kualitas Pembiayaan yang lebih buruk antara kualitas Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau kualitas Pembiayaan yang
sebenarnya, apabila terdapat tunggakan pembayaran margin/bagi
hasil/ujrah atau tidak memenuhi kriteria dan/atau persyaratan dalam
perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan.
(3) Kualitas Pembiayaan setelah masa pemberian tenggang waktu pembayaran
pokok didasarkan atas:
a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah untuk
Pembiayaan
yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
b. prospek usaha, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan
membayar untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih
dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
BAB IV
PENYERTAAN MODAL BAGI BANK UMUM SYARIAH
Pasal 12
(1) Penyertaan Modal dalam rangka:
a. pendirian perusahaan yang akan mengambil alih aset Pembiayaan
bermasalah dari Bank Umum Syariah yang melakukan penyertaan
dengan kepemilikan Bank Umum Syariah paling tinggi 20% (dua puluh
perseratus) dari modal perusahaan dan Bank Umum Syariah tidak
menjadi pengendali; atau
b. tambahan...
- 11 -
b. tambahan penyertaan untuk penyelamatan perusahaan anak berupa
bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
dapat dilakukan apabila Bank Umum Syariah memiliki Peringkat Komposit
tingkat kesehatan Bank Umum Syariah terakhir sebelum melakukan
penyertaan paling rendah 3 (PK-3) dan mempunyai prospek peningkatan
Peringkat Komposit menjadi lebih baik.
(2) Persyaratan lain dalam rangka Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan Penyertaan Modal.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
Permohonan persetujuan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 yang diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum ketentuan ini berlaku,
disesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 14
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku:
a. Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi dan masih dalam periode 3 (tiga)
kali kewajiban pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah setelah
penandatanganan perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan; atau
b. Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi dan masih dalam masa
pemberian tenggang waktu pembayaran pokok setelah penandatanganan
perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan,
ditetapkan sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB...
- 12 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/11/PBI/2013 tentang Prinsip Kehati-
Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5466);
b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2014 tentang
Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 347, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5625);
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November 2005
perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bagi Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/10/DPbS tanggal
7 Maret 2006,
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 16
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku sampai dengan 2 (dua) tahun sejak
tanggal diundangkan.
Pasal 17
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar...
- 13 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Agustus 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Agustus 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 198
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 12/POJK.03/2015
TENTANG
KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN
NASIONAL BAGI BANK UMUM SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka menstimulus pertumbuhan perekonomian nasional,
diperlukan upaya untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan
termasuk perbankan syariah melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat
countercyclical antara lain terkait dengan ketentuan mengenai perhitungan
Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan menggunakan
pendekatan standar, penilaian kualitas aset, dan prinsip kehati-hatian
dalam melakukan Penyertaan Modal.
Kebijakan countercyclical dimaksud ditujukan untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan, mendorong fungsi intermediasi dalam rangka
meningkatkan potensi ekspansi Pembiayaan Bank yang dilakukan secara
terukur dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip
syariah serta mencegah terjadinya moral hazard.
Kebijakan countercyclical ini bersifat sementara (temporary policy)
sehingga seiring dengan membaiknya kinerja dan kondisi keuangan Bank
dan pertumbuhan ekonomi, kebijakan dimaksud perlu disesuaikan kembali.
Kebijakan countercyclical
ini difokuskan untuk mendorong
pertumbuhan Pembiayaan kepada UMKM dan Pembiayaan beragun rumah
tinggal serta meningkatkan kinerja dan kondisi Bank. Selain itu, kebijakan
ini sejalan dengan program pemerintah dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi khususnya dalam program
Pembiayaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta
penyaluran Pembiayaan kepada UMKM.
Sehubungan dengan pertimbangan di atas, diperlukan kebijakan
berupa Ketentuan Kehati-Hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian
Nasional Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam suatu
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
II. PASAL...
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud rumah tinggal atau apartemen adalah rumah tapak
atau rumah susun namun tidak termasuk rumah toko dan rumah
kantor.
Huruf b
Yang dimaksud Pemerintah Indonesia adalah Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pemerintahan daerah.
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan cedera janji (wanprestasi) adalah kegagalan
atau kelalaian nasabah untuk membayar kewajiban keuangan dan
memenuhi kewajiban lainnya kepada Bank Umum Syariah; misalnya,
kegagalan nasabah membayar pokok dan margin/bagi hasil/ujrah pada
saat yang ditentukan (default).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat...
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kriteria lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan yang
berstatus BUMD yang mendapatkan rekomendasi dari Otoritas
Jasa Keuangan antara lain memiliki kinerja keuangan yang baik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penentuan pihak terkait Bank Umum Syariah didasarkan pada
hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan hubungan
keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku
mengenai batas maksimum pemberian kredit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud entitas sektor publik adalah Badan Usaha Milik Negara,
pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) di Indonesia dan
badan-badan atau lembaga-lembaga Pemerintah Republik Indonesia
yang tidak memenuhi kriteria sebagai Pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia adalah Pemerintah Pusat Republik Indonesia,
Bank Indonesia, dan badan-badan dan lembaga-lembaga pemerintah
lainnya...
- 4 -
lainnya yang seluruh pendanaan operasionalnya berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pemerintah Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lainnya” adalah penerbitan
jaminan dan/atau pembukaan letter of credit.
Termasuk sebagai “Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya” adalah
semua jenis Pembiayaan atau penyediaan dana lainnya yang diberikan
kepada semua golongan nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) nasabah terbesar adalah
50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank Umum Syariah secara
individu.
Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) nasabah terbesar Unit
Usaha Syariah adalah 50 (lima puluh) nasabah terbesar dari Unit
Usaha Syariah, tidak termasuk dari bank induknya.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf...
- 5 -
Huruf b
Faktor penilaian prospek usaha, kinerja (performance) nasabah,
dan kemampuan membayar mengacu pada ketentuan mengenai
penilaian kualitas aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kualitas Pembiayaan yang sebenarnya”
adalah penilaian kualitas Pembiayaan yang didasarkan atas:
a. Ketepatan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah
untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
b. Prospek usaha, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan
membayar untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan
jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal ...
- 6 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5735
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 12/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 21 Agustus 2015 </set_date>
<effective_date> 24 Agustus 2015 </effective_date>
<issued_date> 24 Agustus 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 30/POJK.05/2014
TENTANG
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa salah satu upaya untuk memperkuat industri
Perusahaan Pembiayaan adalah dengan meningkatkan
kualitas pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik
bagi Perusahaan Pembiayaan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik Bagi Perusahaan Pembiayaan;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA
KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN.
BAB I ...
-2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan adalah perusahaan pembiayaan dan
perusahaan pembiayaan syariah.
2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan
barang dan/atau jasa.
3. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan
Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya melakukan
pembiayaan syariah.
4. Pembiayaan Syariah adalah penyaluran pembiayaan
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
6. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit kerja dari kantor pusat Perusahaan
Pembiayaan yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor yang melaksanakan Pembiayaan Syariah.
7. Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan yang
selanjutnya disebut Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
adalah struktur dan proses yang digunakan dan
diterapkan organ Perusahaan untuk meningkatkan
pencapaian sasaran hasil usaha dan mengoptimalkan
nilai perusahaan bagi seluruh pemangku kepentingan
secara akuntabel dan berlandaskan peraturan
perundang-undangan serta nilai-nilai etika.
8. Organ Perusahaan adalah rapat umum pemegang saham,
direksi, dan dewan komisaris bagi Perusahaan yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau rapat
anggota ...
-3 -
anggota, pengurus, dan pengawas bagi Perusahaan yang
berbentuk badan hukum koperasi.
9. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki
kepentingan terhadap Perusahaan, baik langsung
maupun tidak langsung, antara lain debitur,
anggota/pemegang saham, karyawan, kreditur, penyedia
barang dan jasa, dan/atau pemerintah.
10. Debitur:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan adalah debitur baik
badan usaha atau orang perseorangan yang
menerima pembiayaan pengadaan barang dan/atau
jasa dari Perusahaan Pembiayaan; atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah atau
Perusahaan Pembiayaan yang memiliki UUS adalah
konsumen baik badan usaha atau orang
perseorangan yang menerima pembiayaan dari
Perusahaan Pembiayaan Syariah atau Perusahaan
Pembiayaan yang memiliki UUS.
11. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
perseroan terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas atau yang setara
dengan RUPS bagi Perusahaan yang berbentuk badan
hukum koperasi.
12. Direksi:
a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan
terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas;
atau
b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai perkoperasian.
13. Dewan ...
-4 -
13. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan
terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud
dalam undang-undang mengenai
perseroan terbatas; atau
b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai perkoperasian.
14. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS
adalah bagian dari organ Perusahaan yang mempunyai
tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan
kegiatan Perusahaan agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
15. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris
yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau
anggota DPS, yaitu tidak memiliki hubungan keuangan,
kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan
keluarga dengan pemegang saham, anggota Direksi,
Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS atau
hubungan lain yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen.
16. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan
hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum
lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka
dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijaksanaan
dari orang yang lain atau badan hukum yang lain, atau
sebaliknya, dengan memanfaatkan adanya kebersamaan
kepemilikan saham atau kebersamaan pengelolaan
perusahaan.
17. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana terdapat
konflik antara kepentingan ekonomis Perusahaan dan
kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham, anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau DPS, serta
pegawai Perusahaan.
18. Otoritas ...
-5 -
18. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB II
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Pasal 2
(1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Perusahaan wajib
melaksanakan prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh
tingkatan atau jenjang organisasi.
(2) Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang
relevan mengenai Perusahaan, yang mudah diakses
oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang pembiayaan serta
standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha
pembiayaan yang sehat;
b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi
dan pelaksanaan pertanggungjawaban Organ
Perusahaan sehingga kinerja Perusahaan dapat
berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan efisien;
c. pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian
pengelolaan Perusahaan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang pembiayaan dan
nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha pembiayaan yang sehat;
d. kemandirian
(independency), yaitu keadaan
Perusahaan yang dikelola secara mandiri dan
profesional serta bebas dari Benturan Kepentingan
dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang
tidak ...
-6 -
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di bidang pembiayaan dan nilai-nilai etika serta
standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha
pembiayaan yang sehat; dan
e. kesetaraan dan kewajaran
(fairness), yaitu
kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam
memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang
timbul berdasarkan perjanjian, peraturan perundang-
undangan, dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip,
dan praktik penyelenggaraan usaha pembiayaan yang
sehat.
(3) Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bertujuan
untuk:
a. mengoptimalkan nilai Perusahaan bagi Pemangku
Kepentingan, khususnya Debitur, kreditur, dan/atau
Pemangku Kepentingan lainnya;
b. meningkatkan pengelolaan Perusahaan secara
profesional, efektif, dan efisien;
c. meningkatkan kepatuhan Organ Perusahaan dan DPS
serta jajaran di bawahnya agar dalam membuat
keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada
etika yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, dan kesadaran atas tanggung
jawab sosial Perusahaan terhadap Pemangku
Kepentingan maupun kelestarian lingkungan;
d. mewujudkan Perusahaan yang lebih sehat, dapat
diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan
e. meningkatkan
kontribusi Perusahaan dalam
perekonomian nasional.
(4) Pelaksanaan prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit
menguraikan hal-hal sebagai berikut:
a. tata ...
-7 -
a. tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kelengkapan dan tata cara pelaksanaan tugas komite-
komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi
pengendalian intern;
c. kebijakan dan prosedur penerapan fungsi kepatuhan,
audit intern, dan audit ekstern;
d. kebijakan dan prosedur penerapan manajemen risiko,
termasuk sistem pengendalian intern;
e. kebijakan remunerasi;
f. kebijakan transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan; dan
g. tata cara penyusunan rencana jangka panjang serta
rencana kerja dan anggaran tahunan.
(5) Dalam melakukan kegiatan usaha, Perusahaan wajib
menyelenggarakan kegiatan usahanya secara sehat dan
mematuhi semua peraturan perundang-undangan
industri jasa keuangan yang berada dalam pengawasan
OJK.
(6) Perusahaan wajib memiliki standar operasi dan prosedur
yang memadai untuk seluruh aktivitas bisnis
Perusahaan yang ditetapkan oleh Direksi.
BAB III
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
Pasal 3
(1) RUPS Perusahaan wajib diselenggarakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar Perusahaan yang transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
(2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus menjaga
kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan
Debitur, kreditur, dan kepentingan pemegang saham
minoritas.
BAB IV ...
-8 -
BAB IV
PEMEGANG SAHAM
Pasal 4
(1) Setiap pihak yang menjadi pemegang saham pengendali
Perusahaan wajib memenuhi ketentuan penilaian
kemampuan dan kepatutan.
(2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan
dan kepatutan.
Pasal 5
Pemegang saham Perusahaan melalui RUPS harus
memastikan Perusahaan dijalankan berdasarkan praktik
usaha pembiayaan yang sehat.
Pasal 6
Pemegang saham harus memiliki komitmen terhadap
pengembangan operasional Perusahaan.
Pasal 7
(1) Pemegang saham Perusahaan dilarang mencampuri
kegiatan operasional Perusahaan yang menjadi tanggung
jawab Direksi sesuai dengan ketentuan anggaran dasar
Perusahaan dan peraturan perundang-undangan,
kecuali dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban
selaku RUPS.
(2) Pemegang saham Perusahaan yang menjabat sebagai
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau
anggota DPS pada Perusahaan yang sama harus
mendahulukan kepentingan Perusahaan.
BAB V ...
-9 -
BAB V
DIREKSI
Pasal 8
(1) Perusahaan
yang memiliki aset lebih dari
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib
memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Direksi.
(2) Perusahaan yang memiliki aset sampai dengan
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib
memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
(3) Seluruh anggota Direksi dari Perusahaan yang seluruh
pemegang sahamnya:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. badan hukum Indonesia, yang dimiliki secara
langsung maupun tidak langsung oleh warga negara
Indonesia,
wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(4) Perusahaan yang di dalamnya terdapat kepemilikan
asing baik secara langsung maupun tidak langsung
wajib memiliki paling sedikit 50% (lima puluh persen)
anggota Direksi yang merupakan warga negara
Indonesia.
(5) Anggota Direksi Perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib berdomisili di wilayah
negara Republik Indonesia.
(6) Bagi anggota Direksi berkewarganegaraan asing wajib
memiliki:
a. surat izin menetap; dan
b. surat izin bekerja dari instansi berwenang.
(7) Seluruh anggota Direksi Perusahaan harus memiliki
pengetahuan yang relevan dengan jabatannya.
Pasal 9 ...
-10 -
Pasal 9
(1) Anggota Direksi Perusahaan dilarang melakukan
rangkap jabatan sebagai Direksi pada perusahaan lain
kecuali sebagai anggota Dewan Komisaris paling banyak
pada 3 (tiga) Perusahaan lain.
(2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) apabila anggota Direksi yang bertanggung
jawab terhadap pengawasan atas penyertaan pada anak
perusahaan yang memiliki usaha di bidang pembiayaan,
menjalankan tugas fungsional menjadi anggota Dewan
Komisaris pada anak perusahaan yang dikendalikan oleh
Perusahaan, sepanjang perangkapan jabatan tersebut
tidak mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan
pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai anggota
Direksi Perusahaan.
Pasal 10
(1) Setiap anggota Direksi Perusahaan wajib lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan.
(2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan
dan kepatutan.
Pasal 11
Anggota Direksi Perusahaan wajib memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur dan
profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan
dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya;
c. mendahulukan kepentingan Perusahaan dan/atau
Pemangku Kepentingan lainnya dari pada kepentingan
pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan
dan ...
-11 -
dan Debitur, kreditur, dan/atau Pemangku Kepentingan
lainnya; dan
e. mampu
menghindarkan
penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Perusahaan.
Pasal 12
Direksi Perusahaan wajib:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan, anggaran
dasar, dan peraturan internal lain dari Perusahaan dalam
melaksanakan tugasnya;
b. mengelola Perusahaan sesuai dengan kewenangan dan
tanggung jawabnya;
c. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya
kepada RUPS;
d. memastikan agar Perusahaan memperhatikan
kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan
Debitur, kreditur, dan/atau Pemangku Kepentingan
lainnya;
e. memastikan agar informasi mengenai Perusahaan
diberikan kepada Dewan Komisaris dan DPS secara tepat
waktu dan lengkap; dan
f. membantu dan menyediakan fasilitas dan/atau sumber
daya untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang
Organ Perusahaan dan DPS.
Pasal 13
(1) Perusahaan wajib memiliki anggota Direksi yang
membawahkan fungsi kepatuhan.
(2) Fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah
untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem,
dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh
Perusahaan telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan serta memastikan kepatuhan Perusahaan
terhadap ...
-12 -
terhadap komitmen yang dibuat oleh Perusahaan kepada
OJK dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
(3) Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dirangkap oleh anggota Direksi yang membawahkan
fungsi pembiayaan, fungsi pemasaran dan fungsi
keuangan, kecuali direktur utama.
Pasal 14
(1) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja atau pegawai
yang melaksanakan fungsi kepatuhan.
(2) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertugas membantu Direksi dalam memastikan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang usaha pembiayaan dan peraturan perundang-
undangan lainnya.
(3) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab kepada anggota Direksi yang
membawahkan fungsi kepatuhan.
Pasal 15
Anggota Direksi Perusahaan dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan tempat
anggota Direksi dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang
dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari
Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud menjabat
selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan
berdasarkan keputusan RUPS; dan
d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait
dengan kegiatan operasional Perusahaan tempat anggota
Direksi ...
-13 -
Direksi dimaksud menjabat selain yang telah ditetapkan
dalam RUPS.
Pasal 16
(1) Direksi Perusahaan wajib menyelenggarakan rapat
Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam
1 (satu) bulan.
(2) Direksi Perusahaan wajib menghadiri rapat Direksi
paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah rapat
Direksi dalam periode 1 (satu) tahun.
(3) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan
didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan
secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai alasan
perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut.
(5) Anggota Direksi Perusahaan yang hadir maupun yang
tidak hadir dalam rapat Direksi berhak menerima
salinan risalah rapat Direksi.
(6) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi
Perusahaan harus dimuat dalam laporan penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 17
Direksi Perusahaan harus menjamin pengambilan
keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat
bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan
yang dapat mengganggu kemampuannya untuk
melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif.
BAB VI ...
-14 -
BAB VI
DEWAN KOMISARIS
Pasal 18
(1) Perusahaan yang memiliki aset lebih dari
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib
memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris.
(2) Perusahaan wajib mempunyai paling sedikit 1 (satu)
orang anggota Dewan Komisaris yang berdomisili di
wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Bagi anggota Dewan Komisaris berkewarganegaraan
asing yang berdomisili di wilayah negara Republik
Indonesia wajib memiliki:
a. surat izin menetap; dan
b. surat izin bekerja,
dari instansi berwenang.
(4) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan dilarang
melakukan rangkap jabatan sebagai anggota Dewan
Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Perusahaan lain.
(5) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) apabila:
a. anggota Dewan Komisaris non independen
menjalankan tugas fungsional dari pemegang saham
Perusahaan yang berbentuk badan hukum pada
kelompok usahanya; dan/atau
b. anggota Dewan Komisaris menduduki jabatan pada
organisasi atau lembaga nirlaba,
sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota
Dewan Komisaris Perusahaan.
Pasal 19
(1) Setiap anggota Dewan Komisaris Perusahaan wajib lulus
penilaian kemampuan dan kepatutan.
(2) Ketentuan ...
-15 -
(2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan
dan kepatutan.
Pasal 20
Dewan Komisaris Perusahaan wajib:
a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat
kepada Direksi;
b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan
kepentingan semua pihak;
c. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang
merupakan bagian dari laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik;
d. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik;
e. memberikan persetujuan dalam hal DPS memerlukan
bantuan anggota komite yang struktur organisasinya
berada di bawah Dewan Komisaris; dan
f. memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti
temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit
intern Perusahaan, auditor eksternal, hasil pengawasan
OJK dan/atau hasil pengawasan otoritas lain.
Pasal 21
Anggota Dewan Komisaris Perusahaan dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan tempat
anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan tempat
anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Perusahaan ...
-16 -
Perusahaan tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud
menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari
Perusahaan tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud
menjabat, selain remunerasi dan fasilitas yang
ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan
d. mencampuri kegiatan operasional Perusahaan
yang menjadi tanggung jawab Direksi.
Pasal 22
Anggota Dewan Komisaris Perusahaan berhak memperoleh
informasi dari Direksi mengenai Perusahaan secara lengkap
dan tepat waktu.
Pasal 23
Perusahaan yang memiliki aset lebih dari
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib
memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Komisaris Independen.
Pasal 24
Komisaris Independen Perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau
pemegang saham Perusahaan, dalam Perusahaan yang
sama;
b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1
(satu) tingkat di bawah Direksi pada Perusahaan yang
sama atau perusahaan lain yang memiliki hubungan
afiliasi dengan Perusahaan tersebut dalam kurun waktu
2 (dua) tahun terakhir;
c. memahami peraturan perundang-undangan di bidang
pembiayaan dan peraturan perundang-undangan lain
yang relevan;
d. memiliki ...
-17 -
d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi
keuangan Perusahaan tempat Komisaris Independen
dimaksud menjabat;
e. memiliki kewarganegaraan Indonesia; dan
f. berdomisili di Indonesia.
Pasal 25
Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan
fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan
Debitur, kreditur, dan Pemangku Kepentingan lainnya.
Pasal 26
(1) Komisaris Independen wajib melaporkan kepada OJK
paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak
ditemukannya:
a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
pembiayaan; dan/atau
b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Perusahaan.
(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja
pertama berikutnya.
Pasal 27
Perusahaan dilarang memberhentikan Komisaris
Independen karena tindakan Komisaris Independen dalam
melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 dan Pasal 26 ayat (1).
Pasal 28
(1) Perusahaan yang memiliki total aset lebih dari
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib
membentuk komite audit.
(2) Salah seorang anggota komite audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Komisaris Independen
yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua komite.
(3) Komite ...
-18 -
(3) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau
dan memastikan efektifitas sistem pengendalian internal
dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor
eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi
atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka
menilai kecukupan pengendalian internal termasuk
proses pelaporan keuangan.
(4) Selain komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Dewan Komisaris Perusahaan dapat membentuk
komite lain guna menunjang pelaksanaan tugas Dewan
Komisaris.
Pasal 29
Perusahaan yang memiliki total aset sampai dengan
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib
memiliki fungsi yang membantu Dewan Komisaris dalam
memantau dan memastikan efektifitas sistem pengendalian
internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor
eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas
perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai
kecukupan pengendalian internal termasuk proses
pelaporan keuangan.
Pasal 30
(1) Dewan Komisaris Perusahaan wajib menyelenggarakan
rapat Dewan Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam
3 (tiga) bulan.
(2) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan wajib menghadiri
rapat Dewan Komisaris paling sedikit 75% (tujuh puluh
lima persen) dari jumlah rapat Dewan Komisaris dalam
periode 1 (satu) tahun.
(3) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat
Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik.
(4) Perbedaan ...
-19 -
(4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan
Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat tersebut.
(5) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan yang hadir
maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan Komisaris
berhak menerima salinan risalah rapat Dewan
Komisaris.
(6) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah
diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing
anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 31
Dewan Komisaris Perusahaan wajib menjamin pengambilan
keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat
bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas.
BAB VII
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Pasal 32
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS wajib
memiliki DPS.
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1
(satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh
RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia.
(3) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dalam RUPS dan dituangkan dalam akta notaris.
Pasal 33
(1) DPS paling sedikit mempunyai tugas dan wewenang
untuk memberikan nasihat dan saran kepada Direksi,
mengawasi aspek syariah kegiatan operasional
Perusahaan Pembiayaan Syariah atau UUS dan sebagai
wakil ...
-20 -
wakil Perusahaan Pembiayaan Syariah atau UUS pada
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dimuat dalam anggaran dasar Perusahaan.
Pasal 34
(1) Setiap anggota DPS Perusahaan Pembiayaan Syariah
dan UUS wajib lulus penilaian kemampuan dan
kepatutan.
(2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan
dan kepatutan.
Pasal 35
(1) DPS dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai
anggota Direksi atau Dewan Komisaris pada Perusahaan
Pembiayaan yang sama.
(2) DPS dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota
DPS pada lebih dari 4 (empat) lembaga keuangan syariah
lainnya.
Pasal 36
DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur dan
profesional;
b. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan
Pembiayaan Syariah, UUS dan/atau Pemangku
Kepentingan lainnya;
c. mendahulukan kepentingan Perusahaan Pembiayaan
Syariah, UUS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya
dari pada kepentingan pribadi;
d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian
independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan
Pembiayaan ...
-21 -
Pembiayaan Syariah, UUS dan/atau Pemangku
Kepentingan lainnya; dan
e. mampu
menghindarkan
penyalahgunaan
kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan
kerugian bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
UUS.
Pasal 37
DPS, Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS wajib
menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan
cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak
mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu
kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri
dan objektif.
Pasal 38
(1) DPS wajib melaksanakan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat serta saran kepada Direksi agar
kegiatan Perusahaan Pembiayaan Syariah atau UUS
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian nasihat
dan saran yang dilakukan DPS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. kegiatan Pembiayaan Syariah;
b. akad Pembiayaan Syariah yang dipasarkan oleh
Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS; dan
c. praktik pemasaran Pembiayaan Syariah yang
dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
UUS.
(3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat serta saran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), DPS dapat dibantu oleh anggota komite dan/atau
pegawai yang struktur organisasinya berada di bawah
Dewan Komisaris dan/atau Direksi.
Pasal 39 ...
-22 -
Pasal 39
Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi
mengenai Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS secara
lengkap dan tepat waktu.
Pasal 40
(1) DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS secara berkala
paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dituangkan dalam risalah rapat DPS dan
didokumentasikan dengan baik.
(3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam keputusan rapat DPS wajib dicantumkan secara
jelas dalam risalah rapat DPS disertai alasan perbedaan
pendapat tersebut.
(4) Anggota DPS yang hadir maupun yang tidak hadir dalam
rapat DPS berhak menerima salinan risalah rapat Dewan
Pengawas Syariah.
(5) Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing anggota DPS harus
dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik.
Pasal 41
Anggota DPS dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan
Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Syariah dan UUS tempat anggota Dewan Pengawas
Syariah dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada DPS dan UUS tempat
anggota DPS dimaksud menjabat untuk kepentingan
pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat
merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan
Pembiayaan Syariah dan UUS tempat anggota DPS
dimaksud menjabat; dan
c. mengambil ...
-23 -
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari
Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS tempat
anggota DPS dimaksud menjabat, selain remunerasi dan
fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan
RUPS.
Pasal 42
(1) Dalam hal DPS menilai terdapat kebijakan atau tindakan
anggota Direksi yang terkait dengan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) yang
tidak sesuai dengan Prinsip Syariah, DPS wajib meminta
penjelasan kepada anggota Direksi atas kebijakan atau
tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan
Prinsip Syariah.
(2) Dalam hal Direksi menolak hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS wajib
melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada
OJK dan ditembuskan kepada Direksi paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak penjelasan anggota Direksi
diterima oleh DPS.
(3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS meminta
Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan
atau tindakan anggota Direksi tersebut agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
(4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan
terhadap kebijakan atau tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), DPS wajib segera melaporkan
secara lengkap dan komprehensif kepada OJK dan
ditembuskan kepada Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak diketahui anggota Direksi tidak melakukan
upaya perbaikan dimaksud.
BAB VIII ...
-24 -
BAB VIII
TRANSPARANSI KEPEMILIKAN SAHAM
Pasal 43
Anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan wajib
mengungkapkan mengenai:
a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 50% (lima puluh
persen) atau lebih pada Perusahaan tempat anggota
Direksi dimaksud menjabat dan/atau pada perusahaan
lain yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan
anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota
DPS, dan/atau pemegang saham Perusahaan tempat
anggota Direksi dimaksud menjabat,
kepada Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud
menjabat dan dicantumkan dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik.
BAB IX
AUDITOR EKSTERNAL
Pasal 44
(1) Auditor eksternal Perusahaan wajib ditunjuk oleh RUPS
dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan
Komisaris berdasarkan usulan komite audit (jika ada).
(2) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disertai:
a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium atau
imbal jasa yang diusulkan untuk auditor eksternal
tersebut; dan
b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani oleh
auditor eksternal, untuk bebas dari pengaruh
Direksi, Dewan Komisaris, DPS dan pihak yang
berkepentingan di Perusahaan dan kesediaan untuk
memberikan informasi terkait dengan hasil auditnya
kepada OJK.
(3) Perusahaan ...
-25 -
(3) Perusahaan wajib menyediakan semua catatan
akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi
auditor eksternal sehingga memungkinkan auditor
eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran
dan kesesuaian laporan keuangan Perusahaan dengan
standar audit yang berlaku.
BAB X
PRAKTIK DAN KEBIJAKAN REMUNERASI
Pasal 45
(1) Perusahaan wajib menerapkan kebijakan remunerasi
bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, DPS,
dan pegawai yang mendorong perilaku berdasarkan
prinsip kehati-hatian (prudent behaviour) yang sejalan
dengan kepentingan jangka panjang Perusahaan dan
perlakuan adil terhadap Debitur, kreditur, dan/atau
Pemangku Kepentingan lainnya.
(2) Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperhatikan paling sedikit:
a. kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban
Perusahaan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. prestasi kerja individual;
c. kewajaran dengan Perusahaan dan/atau level
jabatan yang setara (peer group); dan
d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang
Perusahaan.
BAB XI
TATA KELOLA PEMBIAYAAN
Pasal 46
(1) Perusahaan wajib menyusun kebijakan dan rencana
pembiayaan yang dituangkan dalam rencana bisnis
tahunan Perusahaan.
(2) Kebijakan dan rencana pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. ditetapkan ...
-26 -
a. ditetapkan oleh Direksi; dan
b. disosialisasikan kepada manajemen dan pegawai di
unit kerja terkait.
Pasal 47
Direksi wajib mengambil keputusan pembiayaan secara
profesional dan mengoptimalkan nilai tambah kekayaan
Perusahaan dengan tetap memperhatikan perlindungan
terhadap Debitur dan kepentingan bagi Pemangku
Kepentingan lainnya.
Pasal 48
(1) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja atau pegawai
yang bertanggung jawab:
a. menyelenggarakan fungsi pemasaran, penerapan
prinsip mengenal nasabah, analisis pembiayaan,
pemantauan kualitas piutang
penagihan, penanganan pengaduan Debitur;
b. menyusun dan menerapkan standar dan prosedur
operasional pembiayaan; dan
c. menyusun dan menerapkan sistem dan prosedur
pengendalian internal untuk memastikan bahwa
proses pemberian pembiayaan dilakukan sesuai
dengan kebijakan dan strategi pembiayaan, serta
tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk melakukan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Perusahaan wajib memiliki pegawai yang
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
pembiayaan.
Pasal 49
(1) Perusahaan dapat melakukan kerjasama dengan pihak
lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada Debitur.
(2) Perusahaan harus menuangkan kerjasama dengan
pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
bentuk perjanjian tertulis bermaterai.
(3) Kerjasama ...
pembiayaan,
-27 -
(3) Kerjasama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pihak lain tersebut berbentuk badan hukum;
b. pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi
berwenang; dan
c. pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia
yang telah memperoleh sertifikasi profesi di bidang
penagihan dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi
perusahaan pembiayaan Indonesia.
(4) Perusahaan bertanggung jawab penuh atas segala
dampak yang ditimbulkan dari kerjasama dengan pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Perusahaan wajib melakukan evaluasi secara berkala
atas kerjasama dengan pihak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
BAB XII
MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 50
(1) Perusahaan wajib menerapkan manajemen risiko
dengan mengidentifikasi, menilai, dan memantau risiko
usaha secara efektif.
(2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha,
ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan
Perusahaan.
Pasal 51
(1) Direksi Perusahaan wajib menetapkan pengendalian
internal yang efektif dan efisien untuk memberikan
keyakinan yang memadai bahwa kegiatan usaha
dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi bisnis
serta anggaran dasar dan aturan internal lain
Perusahaan, dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengendalian ...
-28 -
(2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. lingkungan pengendalian internal dalam Perusahaan
yang disiplin dan terstruktur;
b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu suatu
proses untuk mengidentifikasi, menganalisis,
menilai, dan mengelola risiko usaha;
c. aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang
dilakukan dalam suatu proses pengendalian
terhadap kegiatan Perusahaan pada setiap tingkat
dan unit dalam struktur organisasi Perusahaan,
antara lain mengenai kewenangan, otorisasi,
verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas prestasi kerja,
pembagian tugas dan keamanan terhadap aset
perusahaan;
d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses
penyajian laporan mengenai kegiatan operasional,
finansial, dan ketaatan atas peraturan perundang-
undangan di bidang usaha pembiayaan;
e. tata cara monitoring, yaitu proses penilaian terhadap
kualitas sistem pengendalian internal termasuk
fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit
struktur organisasi Perusahaan, sehingga dapat
dilaksanakan secara optimal; dan
f. mekanisme pelaporan kepada Direksi dengan
tembusan kepada komite audit, dalam hal terjadi
penyimpangan kualitas sistem pengendalian internal
termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat
dan unit struktur organisasi Perusahaan.
BAB XIII
RENCANA BISNIS TAHUNAN
Pasal 52
(1) Perusahaan wajib menyusun rencana bisnis tahunan.
(2) Rencana ...
-29 -
(2) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling sedikit meliputi:
a. ringkasan eksekutif;
b. kebijakan dan strategi manajemen;
c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan;
d. penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik;
e. kinerja keuangan Perusahaan periode sebelumnya;
f. proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang
digunakan;
g. proyeksi rasio-rasio dan tingkat kesehatan
keuangan;
h. rencana pengembangan dan pemasaran
pembiayaan;
i. rencana pengembangan dan/atau perubahan
jaringan kantor;
j. rencana permodalan;
k. rencana pendanaan;
l. rencana pengembangan organisasi dan sumber daya
manusia; dan
m. informasi lainnya.
(3) Perusahaan wajib menyampaikan rencana bisnis
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
OJK paling lambat pada tanggal 30 Januari tahun
berikutnya.
(4) Perusahaan wajib menyampaikan rencana bisnis
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
pertama kali paling lambat tanggal 30 Januari 2016.
BAB XIV
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 53
(1) Kebijakan dan strategi komunikasi Perusahaan harus
memungkinkan informasi yang dibutuhkan diberikan
kepada ...
-30 -
kepada OJK secara lengkap, tepat waktu, dan dengan
cara yang efisien.
(2) Perusahaan wajib memiliki sistem pelaporan keuangan
yang diandalkan untuk keperluan pengawasan dan
Pemangku Kepentingan lain.
Pasal 54
(1) Perusahaan wajib mengungkapkan kepada OJK
mengenai hal-hal penting, paling sedikit meliputi:
a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor
eksternal;
b. transaksi material dengan pihak terkait;
c. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung
dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan
d. informasi material lain mengenai Perusahaan.
(2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimuat dalam laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik.
BAB XV
ETIKA BISNIS
Pasal 55
(1) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan
Perusahaan dilarang menawarkan atau memberikan
sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung kepada
pihak lain, untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan yang terkait dengan transaksi pembiayaan,
dengan melanggar ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan
Perusahaan dilarang menerima sesuatu untuk
kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, baik langsung
maupun tidak langsung, dari siapapun, yang dapat
mempengaruhi ...
-31 -
mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait
dengan transaksi pembiayaan.
Pasal 56
Perusahaan wajib membuat pedoman tentang perilaku etis,
yang memuat nilai etika berusaha, sebagai panduan bagi
Organ Perusahaan dan seluruh karyawan Perusahaan.
BAB XVI
PELAPORAN
Pasal 57
(1) Perusahaan wajib melakukan penilaian sendiri (self
assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik secara berkala.
(2) Penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 58
(1) Perusahaan wajib menyusun laporan penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik pada setiap akhir tahun
buku.
(2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
memuat:
a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik yang paling
sedikit
meliputi
pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan prinsip
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
b. penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57; dan
c. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan
korektif (corrective action) yang diperlukan dan waktu
penyelesaian ...
-32 -
penyelesaian
serta
kendala/hambatan
penyelesaiannya, apabila masih terdapat
kekurangan dalam penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan
laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
diatur dalam Surat Edaran OJK.
(4) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.
(5) Dalam hal tanggal 30 April sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) adalah hari libur, maka batas akhir penyampaian
laporan adalah hari kerja pertama setelah tanggal 30
April dimaksud.
(6) Perusahaan wajib menyampaikan laporan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk pertama kali pada periode tahun 2016,
yang disampaikan paling lambat tanggal 30 April 2017.
BAB XVII
SANKSI
Pasal 59
(1) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (4), Pasal
2 ayat (5), Pasal 2 ayat (6), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat
(1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2),
Pasal 8 ayat (3), Pasal 8 ayat (4), Pasal 8 ayat (5), Pasal 8
ayat (6), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal
16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 16
ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat
(3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal
21, Pasal 23, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat
(1), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal
30 ayat (3), Pasal 30 ayat (4), Pasal 31, Pasal 32 ayat (1),
Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 37,
Pasal ...
-33 -
Pasal 38 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2),
Pasal 40 ayat (3), Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), Pasal 42
ayat (2), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45
ayat (1), Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (3),
Pasal 49 ayat (5), Pasal 50 ayat (1), Pasal 51 ayat (1),
Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (3), Pasal 52 ayat (4),
Pasal 53 ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55, Pasal 56,
Pasal 57 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 58 ayat (4),
dan/atau Pasal 58 ayat (6), Peraturan OJK ini,
dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a. peringatan; dan/atau
b. pelaksanaan penilaian kembali kemampuan dan
kepatutan.
(2) Sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku
paling lama masing-masing 2 (dua) bulan, yaitu:
a. peringatan pertama;
b. peringatan kedua; dan
c. peringatan ketiga.
(3) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut
telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan
pertama yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Perusahaan tidak juga memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi, Dewan
Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali
dikenakan penilaian kembali kemampuan dan
kepatutan.
Pasal 60
Dalam hal Perusahaan mendapatkan sanksi administratif
berupa peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat ...
-34 -
ayat (1) huruf a secara kumulatif sebanyak 5 (lima) kali atau
lebih dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, OJK dapat meminta
Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau pemegang saham
pengendali untuk mengikuti penilaian kembali kemampuan
dan kepatutan.
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 61
Bagi Direksi Perusahaan yang telah melakukan rangkap
jabatan sebagai direksi pada perusahaan lain sebelum
Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dinyatakan berlaku 3 (tiga)
tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 62
Bagi Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum
berlakunya Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan Pasal
23, Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 58 ayat (1) dinyatakan
berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 63
Bagi Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum
berlakunya Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan dalam
Peraturan ini dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak
Peraturan OJK ini ditetapkan kecuali terhadap ketentuan
Pasal 9 ayat (1), Pasal 23, Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 58 ayat
(1).
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 64
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai Tata Kelola Yang Baik Bagi Perusahaan tunduk
pada Peraturan OJK ini.
Pasal 65 ...
-35 -
Pasal 65
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 365
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 30/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title>
<set_date> 19 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVII' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /POJK.04/2015
TENTANG
PENAWARAN TENDER SUKARELA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai penawaran tender sukarela beralih dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas
Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terkait penawaran tender sukarela,
maka peraturan mengenai Penawaran Tender Sukarela
yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, maka perlu diterbitkan
peraturan mengenai Penawaran Tender Sukarela dengan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENAWARAN TENDER SUKARELA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Efek Bersifat Ekuitas adalah saham atau Efek yang dapat
ditukar dengan saham atau Efek yang mengandung hak
untuk memperoleh saham.
2. Media Massa adalah surat kabar, majalah, film, televisi,
radio, dan media elektronik lainnya, atau surat, brosur,
dan barang cetak lain yang dibagikan kepada lebih dari
100 (seratus) Pihak.
3. Penawaran Tender Sukarela adalah penawaran yang
dilakukan secara sukarela oleh Pihak untuk memperoleh
Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan oleh Perusahaan
Sasaran dengan cara pembelian atau pertukaran dengan
Efek lainnya melalui Media Massa.
4. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela adalah dokumen
yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela.
5. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan
Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan
- 3 -
Publik.
6. Perusahaan Sasaran adalah Perusahaan Terbuka yang
Efek Bersifat Ekuitasnya merupakan obyek dari
Penawaran Tender Sukarela.
Pasal 2
Transaksi dalam rangka Penawaran Tender Sukarela dapat
dilakukan baik di dalam maupun di luar Bursa Efek.
BAB II
PERNYATAAN PENAWARAN TENDER SUKARELA
Pasal 3
Pihak yang akan melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib
menyampaikan Pernyataan Penawaran Tender Sukarela
kepada Otoritas Jasa Keuangan, serta ditembuskan kepada:
a. Bursa Efek dimana Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi
obyek Penawaran Tender Sukarela dicatatkan;
b. Perusahaan Sasaran; dan
c. Pihak lain yang telah menyampaikan pengumuman
Penawaran Tender Sukarela atas Efek Bersifat Ekuitas
dari Perusahaan Sasaran yang sama yang masa
penawarannya belum berakhir.
Pasal 4
Pernyataan Penawaran Tender Sukarela sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 wajib memuat hal-hal sebagai berikut:
a. nama dan alamat Perusahaan Sasaran;
b. uraian lengkap mengenai Efek Bersifat Ekuitas yang
menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela yang paling
sedikit memuat informasi tentang:
1) harga Penawaran Tender Sukarela;
2) waktu pelaksanaan Penawaran Tender Sukarela; dan
3) tata cara Penawaran Tender Sukarela;
c. persyaratan serta kondisi khusus dari Penawaran Tender
Sukarela;
- 4 -
d. nama Bursa Efek dimana Efek Bersifat Ekuitas yang
menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela
diperdagangkan;
e.
hasil penghitungan harga Efek Bersifat Ekuitas;
f. nama, alamat, dan kewarganegaraan dari Pihak yang
melakukan Penawaran Tender Sukarela dan Afiliasinya
sehubungan dengan Penawaran Tender Sukarela, dan
keterangan apakah Pihak tersebut:
1) pernah dinyatakan pailit;
2) pernah menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan dinyatakan pailit;
3) pernah dihukum karena melakukan kejahatan di
bidang keuangan; atau
4) pernah diperintahkan oleh pengadilan atau lembaga
yang berwenang untuk menghentikan kegiatan
usahanya yang berhubungan dengan Efek;
g. penjelasan tentang hubungan, kontrak, dan transaksi
material dengan Perusahaan Sasaran atau Afiliasinya
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir yang dilakukan
oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela,
paling sedikit meliputi:
1) kontrak penjualan atau pembelian;
2) hubungan keagenan; dan
3) hubungan kepengurusan;
h. pernyataan Pihak yang melakukan Penawaran Tender
Sukarela tentang tersedianya dana yang cukup untuk
menyelesaikan Penawaran Tender Sukarela yang
didukung dengan pendapat dari Akuntan, bank, atau
Perusahaan Efek;
i.
pernyataan tentang tujuan Penawaran Tender Sukarela
dan setiap rencana atas Perusahaan Sasaran setelah
Penawaran Tender Sukarela selesai dilaksanakan.
j.
penjelasan tentang jumlah dan persentase Efek
Perusahaan Sasaran yang dimiliki baik langsung maupun
tidak langsung oleh Pihak yang melakukan Penawaran
Tender Sukarela termasuk opsi untuk membeli atau hak
- 5 -
untuk memperoleh dividen atau manfaat lain serta kuasa
untuk menggunakan hak suara dalam Rapat Umum
Pemegang Saham Perusahaan Sasaran;
k. daftar nama dan alamat Pihak yang diberi imbalan oleh
Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela untuk
membuat pembelaan atau rekomendasi sehubungan
dengan penawaran tersebut (jika ada);
l.
penjelasan tentang persetujuan atau persyaratan yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang wajib dipenuhi sehubungan dengan
Penawaran Tender Sukarela (jika ada); dan
m. informasi tambahan yang diperlukan agar pernyataan
dalam Penawaran Tender Sukarela tidak menyesatkan.
Pasal 5
(1) Seluruh informasi yang dimuat dalam Pernyataan
Penawaran Tender Sukarela sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 wajib diumumkan dalam paling sedikit 2
(dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah satu
diantaranya berperedaran nasional, pada tanggal yang
bersamaan dengan penyampaian Pernyataan Penawaran
Tender Sukarela kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Disamping kewajiban mengumumkan dalam surat kabar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 juga dapat
diumumkan dalam Media Massa yang lain.
Pasal 6
Penawaran Tender Sukarela tidak dapat dibatalkan setelah
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1),
kecuali memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 7
Pernyataan Penawaran Tender Sukarela dapat menjadi efektif
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. atas dasar lewatnya waktu, yakni:
1) 15 (lima belas) hari sejak tanggal Pernyataan
- 6 -
Penawaran Tender Sukarela diterima Otoritas Jasa
Keuangan secara lengkap, yaitu telah memenuhi
seluruh kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini; atau
2) 15 (lima belas) hari sejak tanggal perubahan terakhir
yang disampaikan Pihak yang melakukan Penawaran
Tender Sukarela atau yang diminta Otoritas Jasa
Keuangan dipenuhi; atau
b. atas dasar pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada lagi perubahan dan/atau tambahan
informasi lebih lanjut yang diperlukan.
Pasal 8
Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib
mengumumkan perbaikan dan/atau tambahan atas
Pernyataan Penawaran Tender Sukarela paling lambat 1 (satu)
hari kerja setelah efektifnya Pernyataan Penawaran Tender
Sukarela (jika ada).
BAB III
PERNYATAAN PERUSAHAAN SASARAN DAN PIHAK LAINNYA
SEHUBUNGAN DENGAN PENAWARAN TENDER SUKARELA
Pasal 9
Perusahaan Sasaran, Afiliasi dari Perusahaan Sasaran, Pihak
yang melakukan Penawaran Tender Sukarela atas Efek Bersifat
Ekuitas yang sama pada waktu yang bersamaan, atau Pihak
yang mengungkapkan informasi atau pendapat terhadap suatu
Penawaran Tender Sukarela, dapat membuat pernyataan
tertulis untuk mendukung atau keberatan atas Penawaran
Tender Sukarela tersebut.
Pasal 10
Dalam hal anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris dari
Perusahaan Sasaran mengetahui atau mempunyai alasan yang
cukup bahwa informasi yang dimuat dalam Pernyataan
Penawaran Tender Sukarela tidak benar atau menyesatkan,
- 7 -
Perusahaan Sasaran yang bersangkutan wajib membuat
pernyataan tertulis.
Pasal 11
Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
Pasal 10 wajib diumumkan dalam paling sedikit 2 (dua) surat
kabar harian berbahasa Indonesia, salah 1 (satu) diantaranya
berperedaran nasional, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum berakhirnya masa Penawaran Tender Sukarela.
Pasal 12
Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
Pasal 10 wajib:
a. menunjukkan dengan jelas hal-hal yang merupakan
dukungan atau keberatan dan/atau bantahan serta
alasan-alasannya;
b. mencantumkan dalam pernyataannya tersebut, nama,
alamat, dan hubungan dengan Pihak yang melakukan
Penawaran Tender Sukarela; dan
c. mengungkapkan secara jelas kepemilikan atas Efek
Bersifat Ekuitas oleh Pihak yang bersangkutan yang
menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela atau
perubahan kepentingan atas Efek Bersifat Ekuitas yang
akan terjadi karena adanya Penawaran Tender Sukarela.
BAB IV
HARGA EFEK BERSIFAT EKUITAS YANG MENJADI OBYEK
PENAWARAN TENDER SUKARELA
Pasal 13
Untuk objek Penawaran Tender Sukarela berupa saham
dan/atau waran, harga Penawaran Tender Sukarela atas
saham dan/atau waran kecuali ditentukan lain oleh Otoritas
Jasa Keuangan, harus lebih tinggi dari harga berikut:
a. harga Penawaran Tender Sukarela tertinggi yang diajukan
sebelumnya oleh Pihak yang sama dalam jangka waktu
- 8 -
180 (seratus delapan puluh) hari sebelum pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
b. harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di
Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir
sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), dalam hal Penawaran Tender Sukarela
dilakukan atas saham dan/atau waran Perusahaan
Sasaran yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek;
c. harga rata-rata dari harga tertinggi pada perdagangan
harian di Bursa Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan
terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan
terakhir atas saham dimaksud, dalam hal saham
dan/atau waran Perusahaan Sasaran tidak
diperdagangkan di Bursa Efek dalam jangka waktu 90
(sembilan puluh) hari terakhir sebelum pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); atau
d. harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai, dalam hal
Penawaran Tender Sukarela dilakukan atas saham
dan/atau waran Perusahaan Sasaran yang tidak tercatat
di Bursa Efek.
Pasal 14
Dalam hal objek Penawaran Tender Sukarela berupa surat
utang yang dapat ditukar dengan saham, harga Penawaran
Tender Sukarela harus lebih tinggi dari harga Efek dimaksud
yang telah ditetapkan pada saat penerbitan.
Pasal 15
Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat
melakukan perubahan harga Penawaran Tender Sukarela,
sepanjang perubahan harga tersebut tidak lebih rendah dari
harga yang telah diumumkan.
Pasal 16
Perubahan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
hanya dapat dilakukan sebelum efektifnya Pernyataan
- 9 -
Penawaran Tender Sukarela.
BAB V
PELAKSANAAN PENAWARAN TENDER SUKARELA
Pasal 17
(1) Masa Penawaran Tender Sukarela wajib dimulai paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah Pernyataan Penawaran
Tender Sukarela menjadi efektif.
(2) Masa Penawaran Tender Sukarela adalah paling singkat 30
(tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama
menjadi 90 (sembilan puluh) hari, kecuali disetujui lain
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 18
Transaksi Penawaran Tender Sukarela wajib diselesaikan
paling lambat dalam waktu 12 (dua belas) hari setelah masa
penawaran berakhir dengan penyerahan uang atau penyerahan
Efek sebagai penukarnya.
Pasal 19
Dalam hal persyaratan atau kondisi khusus yang ditetapkan
dalam Penawaran Tender Sukarela tidak dipenuhi, Efek yang
ditawarkan wajib dikembalikan dalam waktu paling lambat 12
(dua belas) hari setelah masa Penawaran Tender berakhir.
Pasal 20
Dalam hal Penawaran Tender Sukarela dibatalkan, Efek yang
ditawarkan wajib dikembalikan dalam waktu paling lambat 12
(dua belas) hari setelah pembatalan.
Pasal 21
Dalam hal Penawaran Tender Sukarela dilaksanakan melalui
penukaran Efek Perusahaan Sasaran dengan Efek lain, Pihak
yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib
memberikan pilihan untuk menerima Efek lain tersebut atau
uang dalam jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
- 10 -
atau Pasal 14.
Pasal 22
(1) Dengan memperhatikan batasan masa Penawaran Tender
Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
setiap masa perpanjangan Penawaran Tender Sukarela
wajib dilaksanakan paling singkat 15 (lima belas) hari dan
diumumkan dalam waktu 2 (dua) hari sebelum masa
perpanjangan dimulai.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dimuat dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa
Indonesia, salah satu di antaranya berperedaran nasional
dan mencantumkan jumlah penawaran Efek yang sudah
diterima sampai dengan masa perpanjangan dimulai.
Pasal 23
Dalam hal jumlah Efek Bersifat Ekuitas yang ditawarkan untuk
dijual atau ditukar melebihi jumlah Efek Bersifat Ekuitas yang
ditetapkan dalam Penawaran Tender Sukarela, Pihak yang
melaksanakan Penawaran Tender Sukarela wajib melakukan
penjatahan secara proporsional sebanding dengan partisipasi
setiap Pihak yang melakukan penjualan atau penukaran dalam
Penawaran Tender Sukarela tersebut dengan memperhatikan
satuan perdagangan yang berlaku di Bursa Efek tanpa
pecahan.
Pasal 24
Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib
menunjuk Akuntan untuk melakukan pemeriksaan khusus
mengenai kewajaran pelaksanaan penjatahan dan wajib
menyampaikan laporannya kepada Otoritas Jasa Keuangan
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
penjatahan berakhir.
Pasal 25
Pihak yang akan menjual Efek Bersifat Ekuitas sehubungan
dengan Penawaran Tender Sukarela wajib menyerahkan Efek
- 11 -
tersebut kepada Kustodian yang ditunjuk oleh Pihak yang
melakukan Penawaran Tender Sukarela dan dapat menarik
kembali Efek tersebut setiap saat sebelum Penawaran Tender
Sukarela berakhir.
Pasal 26
(1) Dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam
Pasal 17 ayat (2), perubahan persyaratan Penawaran
Tender Sukarela hanya dapat dilakukan paling lambat 15
(lima belas) hari sebelum Penawaran Tender Sukarela
berakhir.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa
Indonesia, salah satu diantaranya berperedaran nasional
dan disampaikan kepada pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 pada waktu yang bersamaan dengan
pengumuman tersebut.
Pasal 27
Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dilarang
membeli atau menjual Efek Bersifat Ekuitas yang sedang
ditawarkan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sebelum
penerbitan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 sampai dengan masa Penawaran Tender Sukarela berakhir.
Pasal 28
(1) Formulir Penawaran Tender Sukarela hanya dapat
dibagikan setelah Pernyataan Penawaran Tender Sukarela
efektif.
(2) Formulir Penawaran Tender Sukarela sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memuat pernyataan bahwa
Pihak yang menawarkan Efek Bersifat Ekuitas telah
menerima dan membaca Pernyataan Penawaran Tender
Sukarela.
Pasal 29
Dalam masa Penawaran Tender Sukarela, Pihak yang
- 12 -
melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat melakukan
pengumuman ulang atas Pernyataan Penawaran Tender
Sukarela yang diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 30
Perusahaan Sasaran dilarang melakukan transaksi yang
semata-mata dilaksanakan dengan tujuan menghalangi
perubahan pengendalian Perusahaan Sasaran dimaksud
sebagai akibat pelaksanaan Penawaran Tender Sukarela dalam
jangka waktu sejak pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 sampai dengan masa Penawaran Tender
Sukarela berakhir.
Pasal 31
Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dan
Afiliasinya wajib merahasiakan rencana Penawaran Tender
Sukarela sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.
Pasal 32
Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dilarang
menetapkan pembatasan dan persyaratan yang berbeda
berdasarkan penggolongan atau kedudukan Pihak yang
menjadi pemegang Efek Bersifat Ekuitas, kecuali apabila
terdapat perbedaan hak atau manfaat yang melekat pada Efek
Bersifat Ekuitas dimaksud.
Pasal 33
Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat
membuat rencana mengenai kelangsungan atau perubahan
manajemen perusahaan dan karyawan setelah Penawaran
Tender Sukarela, sepanjang hal tersebut tidak merupakan
persyaratan Penawaran Tender Sukarela, dan diungkapkan
seluruhnya dalam Pernyataan Penawaran Tender Sukarela.
BAB VI
PELAPORAN HASIL PENAWARAN TENDER SUKARELA
- 13 -
Pasal 34
Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib
melaporkan hasil dari Penawaran Tender Sukarela tersebut
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja sejak tanggal penyelesaian Penawaran Tender Sukarela
berakhir.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 35
Bukti iklan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 26 ayat
(2) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah iklan tersebut dimuat di surat
kabar.
BAB VIII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 36
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 14 -
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, d, e, f, atau g.
Pasal 37
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 38
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 kepada masyarakat.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor: KEP-263/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011
tentang Penawaran Tender Sukarela beserta Peraturan Nomor
IX.F.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 40
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 15 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 405
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /POJK.04/2015
TENTANG
PENAWARAN TENDER SUKARELA
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar
Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait
sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan
dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan
Nomor IX.F.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: Kep-263/BL/2011 tentang Penawaran Tender Sukarela tanggal 31
Mei 2003.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “Transaksi di luar Bursa Efek” adalah
transaksi yang dilaksanakan antara pembeli dan penjual secara
langsung.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Akuntan adalah Akuntan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Pasar Modal.
Huruf i
Contoh tujuan dan rencana atas Perusahaan Sasaran setelah
Penawaran Tender Sukarela selesai dilaksanakan antara lain
rencana untuk mengubah struktur modal, kebijakan dividen,
atau mengubah manajemen.
- 3 -
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Akuntan adalah Akuntan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Pasar Modal.
Pasal 25
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5823
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 54/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PENAWARAN TENDER SUKARELA </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-263/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011', 'KEP-263/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 | Lampiran Peraturan IX.F.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALSINAN SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 33 /POJK.04/2015
TENTANG
BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAMBAHAN MODAL
PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK
TERLEBIH DAHULU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk meningkatkan kualitas keterbukaan informasi
dalam Prospektus dalam rangka penambahan modal
Perusahaan Terbuka dengan memberikan Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu, perlu menyempurnakan peraturan mengenai
Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka
Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu dengan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penambahan Modal
Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
- 2 -
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA
PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN
MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya
disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham
yang memberikan kesempatan pemegang saham yang
bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan
menjadi saham atau yang memberikan hak untuk
membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain.
2. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah
melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau
Perusahaan Publik.
3. Kelompok Usaha Perusahaan Terbuka adalah
Perusahaan Terbuka dan semua perusahaan yang
laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan
keuangan Perusahaan Terbuka.
4. Pembeli Siaga adalah Pihak yang akan membeli baik
sebagian maupun seluruh sisa saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh
pemegang HMETD.
5. Waran adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu
Perusahaan Terbuka yang memberi hak kepada
pemegang Efek untuk memesan saham dari Perusahaan
- 3 -
Terbuka tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam)
bulan atau lebih sejak Efek dimaksud diterbitkan.
6. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang laporan
keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan
Perusahaan Terbuka.
Pasal 2
(1) Prospektus dalam rangka penambahan modal dengan
memberikan HMETD wajib memuat rincian Informasi
atau Fakta Material mengenai HMETD dan informasi
dan/atau keterangan yang dapat mempengaruhi
keputusan pemodal, yang diketahui atau layak diketahui
oleh Perusahaan Terbuka.
(2) Prospektus dilarang memuat keterangan yang tidak
benar tentang Fakta Material atau tidak memuat
keterangan yang benar tentang Fakta Material yang
diperlukan agar Prospektus tersebut tidak memberikan
gambaran yang menyesatkan.
(3) Prospektus harus dibuat sedemikian rupa sehingga jelas
dan komunikatif.
(4) Penyajian dan penyampaian informasi penting dalam
Prospektus tidak dikaburkan dengan informasi yang
kurang penting yang mengakibatkan informasi penting
tersebut terlepas dari perhatian pembaca.
(5) Fakta dan pertimbangan-pertimbangan yang paling
penting harus dibuat ringkasannya dan diungkapkan
pada bagian awal Prospektus.
(6) Pengungkapan Informasi atau Fakta Material dan/atau
penggunaan foto, diagram, dan/atau tabel dalam
Prospektus dilarang memberikan gambaran yang
menyesatkan.
(7) Pengungkapan atas Informasi atau Fakta Material dalam
Prospektus harus dilakukan secara jelas dengan
penekanan yang sesuai dengan bidang usaha atau sektor
industrinya sehingga Prospektus tidak menyesatkan.
- 4 -
Pasal 3
Dalam menyusun Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Perusahaan Terbuka dapat melakukan penyesuaian atas
pengungkapan Informasi atau Fakta Material tidak terbatas hanya
pada Informasi atau Fakta Material yang telah diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 4
Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Perusahaan
Terbuka pada waktu Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif,
Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal atau Pihak lain
yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas
persetujuannya dimuat dalam Prospektus, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, wajib bertanggung jawab bahwa
Prospektus telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2).
Pasal 5
(1) Perusahaan Terbuka harus mengungkapkan seluruh
bagian yang terdapat dalam Prospektus dan menyusun
Prospektus sesuai urutan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Pengungkapan seluruh bagian yang terdapat dalam
Prospektus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan, jika pengungkapan tersebut tidak relevan
atau tidak dapat diterapkan oleh Perusahaan Terbuka.
BAB II
BENTUK PROSPEKTUS
Pasal 6
Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus
paling sedikit memuat bagian-bagian sebagai berikut:
a.
Informasi pada bagian kulit muka Prospektus;
b. Daftar isi;
c. Ringkasan Prospektus;
d. Penawaran Umum;
- 5 -
e. Penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran
Umum;
f.
g.
Pernyataan utang;
Ikhtisar data keuangan penting;
h. Analisis dan pembahasan oleh manajemen;
i.
Faktor risiko;
j.
Kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan;
k. Keterangan tentang Perusahaan Terbuka, kegiatan
usaha, serta kecenderungan dan prospek usaha;
Ekuitas;
l.
m. Kebijakan dividen;
n. Perpajakan;
o. Keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon
Pengendali Perusahaan Terbuka (jika ada);
p. Keterangan tentang Perwaliamanatan, dalam hal
penerbitan HMETD untuk Efek bersifat utang yang dapat
atau wajib dikonversi menjadi saham;
q. Keterangan tentang penanggung, dalam hal penerbitan
HMETD untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib
dikonversi menjadi saham;
r. Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal serta profesi
lain;
s. Tata cara pemesanan saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya; dan
t. Penyebarluasan Prospektus dan formulir pemesanan
pembelian saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas
lainnya.
BAB III
ISI PROSPEKTUS
Bagian Pertama
Informasi Pada Bagian Kulit Muka Prospektus
Pasal 7
Informasi pada bagian luar kulit muka Prospektus harus
paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
- 6 -
a. tanggal Rapat Umum Pemegang Saham;
b. tanggal efektif Pernyataan Pendaftaran dari Otoritas Jasa
Keuangan;
c. tanggal daftar pemegang saham yang berhak memperoleh
HMETD;
d. tanggal distribusi sertifikat HMETD;
e. tanggal terakhir pelaksanaan HMETD dan tanggal
terakhir pembayaran saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya dalam pelaksanaan HMETD;
f. periode perdagangan HMETD;
g. tanggal pembayaran pemesanan tambahan saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya;
h. tanggal penjatahan pemesanan tambahan saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya;
i.
tanggal pengembalian uang pemesanan pembelian
tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas
lainnya;
j.
tanggal pembayaran penuh oleh Pembeli Siaga (jika ada);
k. nama lengkap Perusahaan Terbuka, alamat, logo (jika
ada), nomor telepon/faksimili, surat elektronik, Situs
Web, dan kotak pos (jika ada) termasuk pabrik dan
kantor perwakilan (jika ada), serta kegiatan usaha utama
dari Perusahaan Terbuka;
l.
uraian mengenai Efek yang diterbitkan dalam
pelaksanaan HMETD paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
1. rasio HMETD atas saham;
2. jumlah dan nilai nominal saham baru dalam
Penawaran Umum untuk penambahan modal
dengan memberikan HMETD;
3. harga saham baru dalam pelaksanaan HMETD;
4.
total nilai Penawaran Umum; dan
5.
hasil pemeringkatan Efek bersifat utang yang dapat
dikonversi menjadi saham dan nama Pemeringkat
Efek jika penambahan modal dengan memberikan
HMETD dilakukan melalui pembelian Efek bersifat
utang yang dapat dikonversi menjadi saham;
- 7 -
m. bentuk dan jumlah objek penyetoran dalam hal
penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang;
n. informasi bahwa HMETD yang tidak dilaksanakan pada
tanggal terakhir pelaksanaan HMETD tidak berlaku lagi;
o. uraian mengenai perlakuan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam
penambahan modal dengan memberikan HMETD yang
tidak diambil oleh yang berhak;
p. uraian mengenai perlakuan HMETD dalam bentuk
pecahan;
q. nama Bursa Efek tempat dicatatkan dan
diperdagangkannya HMETD dan saham atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya yang mendasarinya (jika ada);
r. pernyataan berikut dalam huruf kapital yang langsung
dapat menarik perhatian pembaca:
“OTORITAS JASA KEUANGAN TIDAK MEMBERIKAN
PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI
EFEK INI, TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN
ATAU KECUKUPAN ISI PROSPEKTUS INI. SETIAP
PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL–
HAL TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR
HUKUM”
“PROSPEKTUS INI PENTING DAN PERLU MENDAPAT
PERHATIAN SEGERA. APABILA TERDAPAT KERAGUAN
PADA TINDAKAN YANG AKAN DIAMBIL, SEBAIKNYA
BERKONSULTASI DENGAN PIHAK YANG KOMPETEN”;
s. pernyataan dalam huruf kapital bahwa Perusahaan
Terbuka bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran
semua informasi dan kejujuran pendapat yang
diungkapkan dalam Prospektus sebagai berikut:
“EMITEN BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS
KEBENARAN SEMUA INFORMASI, FAKTA, DATA, ATAU
LAPORAN DAN KEJUJURAN PENDAPAT YANG
TERCANTUM DALAM PROSPEKTUS INI”;
t. pernyataan singkat dalam huruf kapital yang langsung
dapat menarik perhatian pembaca mengenai risiko utama
yang dihadapi Perusahaan Terbuka;
- 8 -
u. pernyataan singkat dalam huruf kapital yang langsung
dapat menarik perhatian pembaca tentang dampak dilusi
dari penerbitan saham baru;
v. pernyataan yang menyatakan pemegang saham utama
akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD
yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan
menerima pengalihan HMETD (jika ada);
w. nama lengkap Pihak yang bertindak sebagai Pembeli
Siaga/calon Pengendali (jika ada); dan
x. tempat dan tanggal Prospektus diterbitkan.
Pasal 8
Informasi pada bagian dalam kulit muka Prospektus harus
paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
a. keterangan bahwa Pernyataan Pendaftaran telah
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal;
b. pernyataan bahwa semua Lembaga dan Profesi
Penunjang Pasar Modal yang disebut dalam Prospektus
bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan
sesuai dengan fungsi dan kedudukan mereka sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal, dan kode etik, norma, serta standar
profesi masing-masing;
c. pernyataan bahwa sehubungan dengan Penawaran
Umum, setiap Pihak terafiliasi dilarang untuk
memberikan keterangan atau pernyataan mengenai data
yang tidak diungkapkan dalam Prospektus, tanpa
persetujuan tertulis dari Perusahaan Terbuka; dan
d. dalam hal Prospektus mencantumkan nama pihak yang
membantu Perusahaan Terbuka dalam penyusunan
Prospektus, pihak dimaksud harus membuat pernyataan
bahwa telah memberikan persetujuan tertulis mengenai
pencantuman nama pihak tersebut dalam Prospektus
dan tidak mencabut persetujuan tersebut.
- 9 -
Bagian Kedua
Daftar Isi
Pasal 9
Daftar isi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b harus
meliputi uraian mengenai bagian dan halaman.
Bagian Ketiga
Ringkasan Prospektus
Pasal 10
Dalam bagian ringkasan Prospektus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf c harus paling sedikit memuat atau
mengungkapkan informasi penting sebagai berikut:
a. keterangan tentang HMETD dan Efek lain yang
menyertainya (jika ada);
b. rencana penggunaan dana hasil Penawaran Umum;
c. data keuangan penting;
d. risiko usaha; dan
e. kebijakan dividen.
Bagian Keempat
Penawaran Umum
Pasal 11
Dalam bagian Penawaran Umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf d harus paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a. uraian mengenai Rapat Umum Pemegang Saham yang
menyetujui penambahan modal dengan memberikan
HMETD;
b. keterangan tentang HMETD yang paling sedikit memuat
atau mengungkapkan:
1. uraian mengenai Efek yang diterbitkan dari
pelaksanaan HMETD paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
- 10 -
a) tanggal daftar pemegang saham yang berhak
memperoleh HMETD;
b) jumlah, jenis, dan nilai nominal saham baru
dalam Penawaran Umum untuk penambahan
modal dengan memberikan HMETD;
c) rasio HMETD atas saham;
d) harga saham baru dalam pelaksanaan HMETD;
dan
e)
total nilai Penawaran Umum.
2. uraian mengenai tata cara pengalihan HMETD;
3. uraian mengenai perlakuan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam
penambahan modal dengan memberikan HMETD
yang tidak diambil oleh yang berhak;
4. uraian mengenai HMETD dalam bentuk pecahan;
5. tata cara penerbitan dan penyampaian bukti HMETD
serta saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya;
6.
kriteria penerima dan pemegang HMETD yang
berhak;
7. perdagangan HMETD;
8. bentuk sertifikat HMETD (jika ada);
9. pemecahan sertifikat bukti HMETD (jika ada); dan
10. nilai teoretis HMETD.
c. uraian mengenai penyetoran atas saham dalam bentuk
lain selain uang (jika ada) yang paling sedikit memuat
atau mengungkapkan:
1. keterangan tentang objek penyetoran;
2. ringkasan hasil penilaian dari Penilai paling sedikit
memuat atau mengungkapkan:
a) identitas Pihak;
b) Objek Penilaian;
c) tujuan penilaian;
d) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas;
e) Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian;
f)
kesimpulan nilai; dan
g) pendapat kewajaran atas transaksi penyetoran.
- 11 -
d. dalam hal terdapat Waran yang menyertai penambahan
modal dengan memberikan HMETD, Perusahaan Terbuka
harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
1. rasio Waran dengan saham yang akan diterbitkan;
2. tanggal dimulai dan tanggal diakhirinya pelaksanaan
Waran;
3. harga saham baru dalam pelaksanaan Waran;
4. nilai terakhir, jika Waran tidak dilaksanakan;
5. informasi tentang Waran yang bersifat tetap atau
yang tergantung pada suatu kondisi (jika ada);
6. perubahan rasio Waran sebagai akibat pemecahan
nilai nominal saham atau penggabungan nilai
nominal saham; dan
7. faktor-faktor
yang diperkirakan
dapat
mempengaruhi likuiditas Waran termasuk perkiraan
jumlah pemegang Waran, likuiditas saham yang
mendasarinya, serta rencana pencatatan di Bursa
Efek (jika ada);
e. hak pemegang saham yaitu hak atas dividen, HMETD,
dan hak-hak lain termasuk batasan dan/atau kualifikasi
atas hak tersebut (jika ada) dan pengaruhnya terhadap
hak-hak pemegang saham;
f. dalam hal saham dan/atau Efek bersifat Ekuitas lainnya
yang akan diterbitkan dalam pelaksanaan HMETD,
Waran, atau konversi Efek utang yang dapat atau wajib
dikonversi menjadi saham tidak mempunyai sifat yang
sama dengan saham yang telah ada, uraian mengenai
saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dimaksud
dengan penjelasan perbedaan sifat dan alasan perbedaan
tersebut harus diungkapkan;
g. dalam hal saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya
yang akan diterbitkan memiliki sifat yang sama dengan
saham yang dicatatkan di Bursa Efek, paling sedikit
memuat atau mengungkapkan:
1.
historis kinerja saham di Bursa Efek yang berisi
harga tertinggi, harga terendah, dan total volume
perdagangan, setiap bulan dalam periode 12 (dua
- 12 -
belas) bulan terakhir sebelum Pernyataan
Pendaftaran disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
2. informasi mengenai penghentian perdagangan
saham Perusahaan Terbuka yang terjadi dalam 3
(tiga) tahun terakhir, atau sejak dicatatkan jika
dicatatkan kurang dari 3 (tiga) tahun di Bursa Efek
(jika ada).
h. pernyataan yang menyatakan pemegang saham utama
akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD
yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan
menerima pengalihan HMETD (jika ada);
i. pengungkapan dalam bentuk tabel struktur modal saham
pada waktu Prospektus diterbitkan harus paling sedikit
memuat atau mengungkapkan:
1. modal dasar, modal ditempatkan, dan disetor penuh
yang meliputi jumlah saham, nilai nominal, dan
jumlah nilai nominal atau jumlah dan nilai saham
dalam hal saham tanpa nilai nominal;
2. rincian kepemilikan saham oleh pemegang saham
yang memiliki 5% (lima persen) atau lebih, anggota
Direksi, dan anggota Dewan Komisaris yang meliputi
jumlah saham, jumlah nilai nominal dan persentase
atau jumlah, nilai saham dan persentase dalam hal
saham tanpa nilai nominal; dan
3. saham dalam simpanan (portepel), yang mencakup
jumlah saham dan nilai nominal atau jumlah dan
nilai saham dalam hal saham tanpa nilai nominal;
j.
keterangan tentang rencana Perusahaan Terbuka untuk
mengeluarkan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas
lainnya dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal
efektif (jika ada);
k. keterangan tentang jumlah dan persentase saham yang
akan dicatatkan pada Bursa Efek serta pembatasan-
pembatasan atas pencatatan saham (jika ada);
- 13 -
l.
keterangan mengenai jumlah, nilai perolehan, dan nilai
nominal saham Perusahaan Terbuka yang dimiliki oleh
Perusahaan Terbuka sendiri (jika ada); dan
m. pengungkapan persetujuan yang diterima dari pihak-
pihak yang berwenang atas rencana penerbitan HMETD
(jika ada).
Pasal 12
Dalam rangka penerbitan HMETD untuk Efek bersifat utang
yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham, Perusahaan
Terbuka harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
a. hak para pemegang Efek bersifat utang yang dapat atau
wajib dikonversi menjadi saham;
b.
c.
sifat Efek bersifat utang yang dapat dikonversikan
menjadi saham;
sifat Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi
menjadi saham yang memungkinkan pelunasan lebih
dini atas pilihan Perusahaan Terbuka atau pemegang
Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi
menjadi saham;
d. harga dan tingkat suku bunga dari Efek bersifat utang
yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham;
e. jadwal pelunasan atau cicilan termasuk jumlahnya;
f. jadwal pembayaran bunga;
g. jadwal konversi Efek bersifat utang menjadi saham;
h. hasil pemeringkatan Efek bersifat utang yang dapat
dikonversi menjadi saham dan nama Perusahaan
Pemeringkat Efek;
i.
ketentuan tentang dana pelunasan (jika ada);
j. mata uang yang menjadi denominasi utang dan mata
uang lain yang menjadi alternatif (jika ada) digunakan
dalam penerbitan Efek bersifat utang yang dapat atau
wajib dikonversi menjadi saham dimaksud (jika ada);
k. ringkasan tentang setiap tuntutan atas aset dari
Perusahaan Terbuka yang dijadikan agunan untuk Efek
bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi
saham yang ditawarkan;
- 14 -
l.
pernyataan tentang dicatatkan atau tidaknya Efek
bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi
saham di Bursa Efek; dan
m. jumlah dan persentase Efek bersifat utang yang dapat
atau wajib dikonversi menjadi saham, dalam hal Efek
bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi
saham sebagaimana dimaksud pada huruf l dicatatkan di
Bursa Efek.
Bagian Kelima
Penggunaan Dana yang Diperoleh dari Hasil Penawaran
Umum Dalam Rangka Penambahan Modal Perusahaan
Terbuka Dengan Memberikan HMETD
Pasal 13
Dalam bagian penggunaan dana yang diperoleh dari hasil
Penawaran Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf e harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
a. keterangan tentang penggunaan dana yang diperoleh dari
hasil Penawaran Umum setelah dikurangi dengan biaya-
biaya dibuat secara rinci seperti pengembangan sarana
yang ada, diversifikasi, penambahan modal kerja dan
sebagainya dengan ketentuan:
1. dalam hal penggunaan dana untuk tujuan
pembayaran utang baik seluruhnya atau sebagian,
informasi yang harus diungkapkan meliputi
keterangan mengenai kreditur, sifat hubungan
Afiliasi dengan kreditur (jika ada), nilai pinjaman
atau jumlah utang saat ini jika dibayar sebagian,
tingkat bunga, jatuh tempo, penggunaan pinjaman
dari utang yang akan dilunasi, riwayat utang,
prosedur dan persyaratan pelunasan atau
pembayaran, saldo utang jika dibayar sebagian dan
pelunasan lebih awal (jika ada);
2. dalam hal penggunaan dana untuk tujuan
pembelian saham atau akuisisi atau penyertaan
dalam perusahaan lain, informasi yang harus
- 15 -
diungkapkan meliputi uraian singkat mengenai
alasan dan pertimbangan dilakukannya pembelian
saham atau akuisisi atau penyertaan dalam
perusahaan lain, nama pihak penjual, kegiatan
usaha dari perusahaan lain yang sahamnya akan
dibeli dan status dari pembelian saham atau akuisisi
atau penyertaan dalam perusahaan lain tersebut,
serta sifat hubungan Afiliasi (jika ada);
3. dalam hal penggunaan dana untuk tujuan
memperoleh aset secara langsung atau tidak
langsung di luar Kegiatan Usaha Utama Perusahaan
Terbuka, informasi yang harus diungkapkan
meliputi alasan dan pertimbangan dilakukannya
pembelian aset, jumlah dana yang digunakan, dan
jenis aset, nama pihak penjual serta sifat hubungan
Afiliasi-nya dengan Perusahaan Terbuka (jika ada);
dan/atau
4. dalam hal penggunaan dana untuk tujuan
pemberian pinjaman kepada Perusahaan Anak,
informasi yang harus diungkapkan meliputi nama
Perusahaan Anak dan tujuan penggunaan dana oleh
Perusahaan Anak.
b. keterangan mengenai sumber dana lain yang akan
digunakan untuk membiayai suatu kegiatan apabila dana
hasil Penawaran Umum tidak mencukupi.
c. dalam hal Penawaran Umum untuk penambahan modal
dengan memberikan HMETD tidak terdapat Pembeli
Siaga atau Pembeli Siaga hanya berkomitmen untuk
mengambil sebagian sisa saham dan/atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh pemegang saham
atau pemegang HMETD, paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
1. urutan prioritas penggunaan dana apabila dana
yang diperoleh tidak mencukupi untuk mendanai
seluruh rencana penggunaan dana; dan
- 16 -
2.
risiko dan rencana manajemen dalam hal dana yang
diperoleh dari Penawaran Umum tidak sesuai
rencana.
d.
informasi tentang perkiraan rincian biaya yang
dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka dalam rangka
Penawaran Umum baik dalam bentuk persentase tertentu
atau nilai absolut dalam denominasi mata uang
dibandingkan dengan total nilai Penawaran Umum, yang
paling sedikit meliputi:
1. biaya jasa Profesi Penunjang Pasar Modal;
2. biaya jasa Lembaga Penunjang Pasar Modal;
3. biaya jasa konsultasi keuangan; dan
4. biaya lain-lain.
e. uraian tentang sisa penggunaan dana hasil Penawaran
Umum sebelumnya secara terperinci dan alasan belum
terealisasinya sisa penggunaan dana tersebut (jika ada).
Pasal 14
(1) Dalam hal terdapat Pihak yang melakukan penyetoran
modal dalam bentuk selain uang yang dapat
mengakibatkan Pihak tersebut menjadi Pengendali baru
Perusahaan Terbuka dan meningkatkan ekuitas
Perusahaan Terbuka sebesar 100% (seratus persen) atau
lebih, Prospektus harus paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a. dalam hal setoran modal berbentuk saham
perusahaan lain, informasi yang harus dimuat atau
diungkapkan paling sedikit:
1) laporan keuangan perusahaan lain tersebut;
2) informasi keuangan proforma yang diperiksa
Akuntan;
3) informasi tentang faktor risiko;
4) keterangan tentang perusahaan lain tersebut;
5) kegiatan dan prospek usaha, dan
6) pendapat dari segi hukum perusahaan lain
tersebut; dan/atau
- 17 -
b. dalam hal setoran modal berbentuk aset, informasi
yang harus diungkapkan berupa keterangan
mengenai aset tersebut serta risiko dan prospek
usaha atas penggunaan aset tersebut.
(2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bagian tersendiri pada Prospektus.
Bagian Keenam
Pernyataan Utang
Pasal 15
Dalam bagian pernyataan utang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf f harus paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a. pernyataan mengenai posisi seluruh liabilitas pada
tanggal laporan keuangan terakhir;
b. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit yang
menjadi sumber data termasuk nama Kantor Akuntan
Publik yang mengaudit disertai opini yang diberikan;
c. penjelasan rincian masing-masing liabilitas sesuai
dengan liabilitas di laporan posisi keuangan;
d. komitmen dan kontijensi sesuai laporan keuangan
terakhir;
e.
liabilitas yang telah jatuh tempo tetapi belum dapat
dilunasi (jika ada) dan disertai penyebab atau alasannya;
f. pinjaman yang diterima oleh Perusahaan Terbuka
dan/atau Perusahaan Anak, dan/atau pinjaman yang
diterima untuk kepentingan Perusahaan Terbuka
dan/atau Perusahaan Anak yang material, yang
mencakup jumlah pinjaman untuk tanggal terkini yang
dapat ditentukan, tingkat bunga, sifat dari pinjaman,
jenis jaminan yang diberikan, pemenuhan terhadap
ketentuan terkait liabilitas atas pinjaman dan transaksi
yang menyebabkan terjadinya liabilitas; dan
g. pernyataan manajemen.
- 18 -
Pasal 16
Pengungkapan pernyataan manajemen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf g sebagai berikut:
a. seluruh liabilitas Perusahaan Terbuka per tanggal
laporan keuangan terakhir telah diungkapkan di
Prospektus;
b. ada atau tidak adanya fakta material yang
mengakibatkan perubahan signifikan pada:
1. liabilitas dan/atau perikatan setelah tanggal laporan
keuangan terakhir sampai dengan tanggal laporan
Akuntan; dan
2.
liabilitas dan/atau perikatan setelah tanggal laporan
Akuntan sampai dengan tanggal efektifnya
Pernyataan Pendaftaran,
dalam uraian secara rinci mengenai fakta material dan
perubahan signifikan yang terjadi pada liabilitas
dimaksud;
c. kesanggupan manajemen untuk menyelesaikan seluruh
liabilitas Perusahaan Terbuka sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
d. ada atau tidak adanya pelanggaran atas persyaratan
dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh Perusahaan
Terbuka atau Perusahaan Anak dalam Kelompok Usaha
Perusahaan Terbuka yang berdampak material terhadap
kelangsungan usaha Perusahaan Terbuka, beserta
penjelasan mengenai persyaratan dalam perjanjian kredit
yang dilanggar, dan tindakan yang telah atau akan
diambil oleh Perusahaan Terbuka atau Perusahaan Anak
dalam Kelompok Usaha Perusahaan Terbuka termasuk
perkembangan terakhir dari negosiasi dalam rangka
restrukturisasi kredit (jika ada);
e. ada atau tidak adanya keadaan lalai atas pembayaran
pokok dan/atau bunga pinjaman setelah tanggal laporan
keuangan terakhir sampai dengan tanggal efektifnya
Pernyataan Pendaftaran, termasuk perkembangan
terakhir dari negosiasi dalam rangka restrukturisasi
utang (jika ada); dan
- 19 -
f.
tidak terdapat pembatasan yang merugikan hak-hak
pemegang saham publik.
Bagian Ketujuh
Ikhtisar Data Keuangan Penting
Pasal 17
(1) Dalam bagian ikhtisar data keuangan penting
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf g harus
paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
a. keterangan bahwa laporan keuangan Perusahaan
Terbuka merupakan sumber data;
b. keterangan mengenai audit laporan keuangan yang
telah dilakukan yang meliputi informasi Akuntan,
Kantor Akuntan Publik, dan opini yang diberikan
oleh Akuntan;
c. data keuangan 2 (dua) tahun terakhir ditambah
interim (jika ada) yang meliputi laporan posisi
keuangan, laporan laba rugi dan penghasilan
komprehensif lainnya, serta laporan arus kas;
d. dalam hal terdapat data keuangan periode interim,
pengungkapan disajikan dengan perbandingan
periode interim yang sama dari tahun buku
sebelumnya (tidak harus diaudit), kecuali untuk
laporan posisi keuangan;
e. bentuk dan isi laporan sebagaimana pada huruf c
harus sama dengan yang disajikan dalam laporan
keuangan; dan
f.
rasio keuangan paling sedikit:
1. rasio laba (rugi) terhadap total aset;
2. rasio laba (rugi) terhadap ekuitas;
3. rasio laba (rugi) terhadap pendapatan;
4. rasio lancar;
5. rasio liabilitas terhadap ekuitas;
6. rasio liabilitas terhadap total aset; dan
- 20 -
7. informasi dan rasio keuangan lainnya yang
relevan dengan perusahaan dan jenis
industrinya.
(2) Ikhtisar data keuangan penting yang disajikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus konsisten
dengan laporan keuangan Perusahaan Terbuka termasuk
nama pos yang digunakan.
Bagian Kedelapan
Analisis dan Pembahasan oleh Manajemen
Pasal 18
Dalam bagian analisis dan pembahasan oleh manajemen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf h, Perusahaan
Terbuka harus memberikan uraian singkat yang membahas
dan menganalisis laporan keuangan dan informasi atau fakta
lain yang tercantum dalam Prospektus.
Pasal 19
Bahasan dan analisis serta informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 harus paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a.
analisis kinerja keuangan komprehensif yang mencakup
perbandingan kinerja keuangan dalam 2 (dua) tahun
buku terakhir, penjelasan tentang penyebab adanya
perubahan dan dampak perubahan tersebut, paling
sedikit mencakup mengenai:
1. aset lancar, aset tidak lancar, dan total aset;
2.
liabilitas jangka pendek, liabilitas jangka panjang,
dan total liabilitas;
3. ekuitas; dan
4. pendapatan, beban, laba (rugi), pendapatan
komprehensif lain, dan total laba (rugi)
komprehensif.
b. bahasan mengenai operasi per segmen operasi (jika ada)
dikaitkan dengan kondisi keuangan Perusahaan Terbuka
secara keseluruhan, yang paling sedikit mencakup:
- 21 -
1. produksi;
2. penjualan atau pendapatan usaha;
3. kontribusi terhadap penjualan atau pendapatan dan
laba usaha Perusahaan Terbuka;
4. profitabilitas; dan
5. peningkatan atau penurunan kapasitas produksi;
c. bahasan mengenai likuiditas Perusahaan Terbuka yang
paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
1. sumber internal dan eksternal dari likuiditas;
2. sumber likuiditas yang material yang belum
digunakan;
3. kecenderungan yang diketahui, permintaan,
perikatan atau komitmen, kejadian, dan/atau
ketidakpastian yang mungkin mengakibatkan
terjadinya peningkatan atau penurunan yang
material terhadap likuiditas Perusahaan Terbuka;
dan
4. pernyataan Perusahaan Terbuka mengenai
kecukupan modal kerja atau jika modal kerja tidak
mencukupi, langkah yang akan dilakukan
Perusahaan Terbuka untuk mendapatkan modal
kerja tambahan yang diperlukan;
d. bahasan mengenai sumber dan jumlah arus kas dari
aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan serta pola
arus kas dikaitkan dengan karakteristik dan siklus bisnis
Perusahaan Terbuka;
e. bahasan mengenai pembatasan yang ada terhadap
kemampuan Perusahaan Anak untuk mengalihkan dana
kepada Perusahaan Terbuka dan dampak dari adanya
pembatasan tersebut terhadap kemampuan Perusahaan
Terbuka dalam memenuhi kewajiban pembayaran tunai;
f. bahasan mengenai komitmen investasi barang modal
yang material yang dilakukan, dengan penjelasan
tentang:
1. pihak yang terkait dalam perjanjian;
2. nilai keseluruhan, mata uang, dan bagian yang telah
direalisasi;
- 22 -
3. sanksi;
4. tujuan dari investasi barang modal;
5. distribusi investasi secara geografis;
6. sumber dana yang digunakan;
7. mata uang yang menjadi denominasi dalam hal
sumber dana berasal dari pinjaman;
8.
tindakan yang akan dilakukan Perusahaan Terbuka
untuk melindungi risiko dari fluktuasi kurs mata
uang asing yang terkait (jika ada);
9. prakiraan periode dimulai dan selesainya proses
pembangunan dalam rangka investasi barang modal;
dan
10. peningkatan kapasitas produksi atau jasa yang
diharapkan dari investasi barang modal;
g. bahasan mengenai risiko fluktuasi kurs mata uang asing
atau suku bunga acuan pinjaman dan pengaruhnya
terhadap hasil usaha atau keadaan keuangan
Perusahaan Terbuka pada masa yang akan datang yang
disertai keterangan mengenai semua pinjaman dan
perikatan atau komitmen tanpa proteksi yang dinyatakan
dalam mata uang asing, atau pinjaman yang suku
bunganya tidak ditentukan terlebih dahulu;
h. bahasan mengenai kejadian atau transaksi yang tidak
normal dan jarang terjadi atau perubahan penting dalam
ekonomi yang dapat mempengaruhi jumlah pendapatan
dan profitabilitas yang dilaporkan dalam laporan
keuangan yang telah diaudit Akuntan yang dicantumkan
dalam Prospektus, dengan penekanan pada laporan
keuangan terakhir;
i. bahasan mengenai komponen penting dari pendapatan
atau beban lainnya yang dianggap perlu oleh Perusahaan
Terbuka dalam rangka mengetahui hasil usaha
Perusahaan Terbuka;
j. bahasan dalam hal laporan keuangan yang
mengungkapkan peningkatan yang material dari
penjualan atau pendapatan bersih, yang meliputi
pembahasan tentang sejauh mana kenaikan tersebut
- 23 -
dapat dikaitkan dengan kenaikan harga, volume atau
jumlah barang atau jasa yang dijual, atau adanya produk
atau jasa baru, disertai uraian mengenai penyebab
kenaikan harga atau volume tersebut;
k. bahasan mengenai dampak perubahan harga terhadap
penjualan dan pendapatan bersih Perusahaan Terbuka
serta laba operasi Perusahaan Terbuka selama 2 (dua)
tahun terakhir atau selama Perusahaan Terbuka
menjalankan usaha jika berdirinya kurang dari 2 (dua)
tahun, serta dampak inflasi dan perubahan kurs valuta
asing, jika material;
l. bahasan terkait perubahan kebijakan akuntansi dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir atau sejak
berdirinya bagi perusahaan yang berdiri kurang dari 2
(dua) tahun buku meliputi:
1. ringkasan dari perubahan kebijakan akuntansi yang
material;
2. alasan perubahan kebijakan akuntansi; dan
3. dampak kuantitatif dari perubahan tersebut
terhadap kinerja keuangan Perusahaan Terbuka;
m. bahasan mengenai kebijakan pemerintah dan institusi
lainnya dalam bidang fiskal, moneter, ekonomi publik,
dan politik yang berdampak langsung maupun tidak
langsung terhadap kegiatan usaha dan investasi
Perusahaan Terbuka dan Perusahaan Anak yang
tercermin di laporan keuangan;
n. bahasan mengenai jumlah pinjaman yang masih terutang
pada tanggal laporan keuangan terakhir, kebutuhan
pinjaman musiman, analisis jatuh tempo pinjaman,
fasilitas pinjaman dari perbankan, pembatasan
penggunaan pinjaman dan jaminan (jika ada) dengan
ketentuan dalam hal pinjaman berasal dari luar negeri
bahasan atas hal ini harus diungkapkan secara terpisah
dengan jumlah mata uang asingnya; dan
o. bahasan mengenai investasi barang modal yang
dikeluarkan dalam rangka pemenuhan persyaratan
regulasi dan isu lingkungan hidup (jika ada).
- 24 -
Pasal 20
Dalam hal proyeksi keuangan diungkapkan dalam bagian
analisis dan pembahasan oleh manajemen, pengungkapan
tersebut harus disertai bahasan tentang prakiraan dan/atau
proyeksi penjualan atau pendapatan usaha, laba bersih dan
kondisi keuangan secara keseluruhan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. proyeksi keuangan harus dipersiapkan dengan seksama,
obyektif, dan berdasarkan asumsi yang wajar dan layak
dipercaya;
b. proyeksi keuangan harus disertai dengan penjelasan
mengenai sejauh mana proyeksi penjualan atau
pendapatan usaha didasarkan pada kontrak atau
pesanan yang pasti, alasan bahwa proyeksi tersebut
dapat dicapai, dan dampak dari perubahan kondisi bisnis
dan operasi atas proyeksi tersebut;
c. kewajaran penyusunan proyeksi keuangan harus
diperiksa oleh Akuntan, dan hasil pemeriksaan Akuntan
harus diungkapkan dalam pembahasan manajemen; dan
d. Perusahaan Terbuka wajib bertanggung jawab atas
kelayakan prakiraan dan/atau proyeksi keuangan
tersebut.
Bagian Kesembilan
Faktor Risiko
Pasal 21
Dalam bagian Faktor Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf i harus paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a.
risiko utama yang mempunyai pengaruh signifikan
terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Terbuka;
b.
risiko usaha yang bersifat material baik secara langsung
maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi hasil
usaha dan kondisi keuangan Perusahaan Terbuka, yang
timbul karena paling sedikit meliputi:
- 25 -
1. persaingan;
2. investasi atau aksi korporasi;
3. kegagalan Perusahaan Terbuka memenuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
industrinya;
4. perubahan teknologi;
5. kelangkaan sumber daya; dan
6. pasokan bahan baku.
c.
risiko umum yang timbul karena paling sedikit meliputi:
1. kondisi perekonomian secara makro dan global;
2. perubahan kurs valuta asing;
3. kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang
berlaku terkait bidang usaha Perusahaan Terbuka;
4. tuntutan atau gugatan hukum;
5. kebijakan pemerintah; dan
6. ketentuan negara lain atau peraturan internasional;
dan
d. pernyataan bahwa faktor risiko disusun berdasarkan
bobot risiko yang dihadapi Perusahaan Terbuka.
Pasal 22
(1) Faktor risiko usaha dan risiko umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 harus disusun berdasarkan
bobot risiko.
(2) Pengungkapan faktor risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan secara rinci disertai uraian
tentang dampak masing-masing risiko terhadap kinerja
Perusahaan Terbuka.
Bagian Kesepuluh
Kejadian Penting setelah Tanggal Laporan Akuntan
Pasal 23
Dalam bagian kejadian penting setelah tanggal laporan
Akuntan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf j harus
paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
- 26 -
a.
informasi tentang semua kejadian penting yang terjadi
setelah tanggal laporan Akuntan sampai dengan tanggal
efektifnya Pernyataan Pendaftaran; dan
b. pernyataan manajemen mengenai tidak terdapatnya
kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan sampai
dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dalam
hal tidak terdapat kejadian penting.
Bagian Kesebelas
Keterangan tentang Perusahaan Terbuka, Kegiatan Usaha,
serta Kecenderungan dan Prospek Usaha
Pasal 24
Dalam bagian keterangan tentang Perusahaan Terbuka,
kegiatan usaha, serta kecenderungan dan prospek usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf k harus paling
sedikit memuat atau mengungkapkan:
a. keterangan tentang Perusahaan Terbuka, paling sedikit:
1. permodalan dan pemegang saham, paling sedikit:
a) kepemilikan saham dan struktur permodalan
terakhir;
b)
posisi Perusahaan Terbuka dan Perusahaan
Anak dalam Kelompok Usaha Perusahaan
Terbuka yang dibuat dalam bentuk diagram
disertai presentase kepemilikannya; dan
c) keterangan tentang Pengendali, baik langsung
maupun tidak langsung, sampai kepada pemilik
individu, dan/atau pemegang saham utama
yang disajikan dalam bentuk skema atau
diagram.
2. pengurus dan pengawasan yang meliputi nama dan
daftar riwayat hidup anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris Perusahaan Terbuka serta
Sekretaris Perusahaan, Komite Audit dan/atau
komite lainnya (jika ada);
3. keterangan ringkas tentang Perusahaan Anak yang
material serta kegiatannya, paling sedikit:
- 27 -
a) nama;
b) kegiatan usaha;
c) tahun dimulainya investasi oleh Perusahaan
Terbuka di Perusahaan Anak;
d) status operasional; dan
e) perizinan terkait dengan kegiatan usaha.
4. perkara yang dihadapi Perusahaan Terbuka,
Perusahaan Anak, anggota Direksi, dan anggota
Dewan Komisaris Perusahaan Terbuka yang
mempunyai dampak material terhadap
kelangsungan usaha, kegiatan usaha dan/atau
operasional Perusahaan Terbuka (jika ada); dan
5. perjanjian penting;
b. kegiatan usaha Perusahaan Terbuka serta
kecenderungan dan prospek usaha yang paling sedikit
memuat atau mengungkapkan:
1. uraian singkat mengenai kegiatan usaha utama
Perusahaan Terbuka atau Kelompok Usaha
Perusahaan Terbuka (jika Perusahaan Terbuka
merupakan entitas induk);
2. setiap kecenderungan yang signifikan dalam
produksi, penjualan, persediaan, beban, dan harga
penjualan sejak tahun buku terakhir yang
mempengaruhi kegiatan usaha dan prospek
keuangan Perusahaan Terbuka;
3. setiap kecenderungan, ketidakpastian, permintaan,
komitmen, atau peristiwa yang dapat diketahui yang
dapat mempengaruhi secara signifikan penjualan
bersih atau pendapatan usaha, pendapatan dari
operasi berjalan, profitabilitas, likuiditas atau
sumber modal, atau peristiwa yang akan
menyebabkan informasi keuangan yang dilaporkan
tidak dapat dijadikan indikasi atas hasil operasi atau
kondisi keuangan masa datang;
4. dalam hal tidak ada kecenderungan, ketidakpastian,
permintaan, komitmen, atau peristiwa sebagaimana
- 28 -
dimaksud pada angka 3, Perusahaan Terbuka harus
memberikan pernyataan mengenai hal tersebut;
5. masa berlaku dari hak paten, hak merek, lisensi,
waralaba, dan konsesi yang dimiliki dan/atau
dikuasai Perusahaan Terbuka dan/atau Perusahaan
Anak serta pentingnya hal tersebut bagi Perusahaan
Terbuka;
6. besarnya ketergantungan terhadap pemasok
tertentu;
7. besarnya ketergantungan terhadap satu dan/atau
sekelompok pelanggan;
8. besarnya ketergantungan terhadap kontrak dengan
pemerintah;
9. sifat musiman dari kegiatan usaha (jika ada);
10. keadaan persaingan dalam industri dan kedudukan
Perusahaan Terbuka dalam persaingan tersebut (jika
ada sumber data yang layak dipercaya); dan
11. uraian tentang prospek usaha Perusahaan Terbuka
dikaitkan dengan industri, perekonomian secara
umum, dan pasar domestik atau internasional, yang
dapat disertai data pendukung kuantitatif jika ada
sumber data yang layak dipercaya.
Bagian Kedua Belas
Ekuitas
Pasal 25
(1) Dalam bagian keterangan tentang Ekuitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf l harus paling sedikit
memuat atau mengungkapkan:
a.
tabel ekuitas yang memuat rincian ekuitas per
tanggal laporan keuangan seluruh periode yang
disajikan dalam laporan keuangan;
b. perubahan struktur permodalan yang terjadi setelah
tanggal laporan keuangan terakhir sampai dengan
tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran;
- 29 -
c. rencana Penawaran Umum saham atau Efek Bersifat
Ekuitas lainnya untuk penambahan modal dengan
memberikan HMETD yang meliputi jenis dan jumlah
saham atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang
ditawarkan, nilai nominal per saham, dan harga
penawaran per saham atau Efek Bersifat Ekuitas
lainnya;
d. tabel proforma ekuitas pada tanggal laporan
keuangan terakhir dengan asumsi bahwa perubahan
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan
Penawaran Umum saham atau Efek Bersifat Ekuitas
lainnya untuk penambahan modal dengan
memberikan HMETD sebagaimana dimaksud pada
huruf c telah terjadi pada tanggal laporan keuangan
terakhir; dan
e.
tabel proforma sebagaimana dimaksud dalam huruf
d yang menggambarkan posisi ekuitas pada tanggal
laporan keuangan dengan asumsi bahwa seluruh
Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi
menjadi saham telah ditukarkan ke dalam saham,
dalam hal Efek dalam Penawaran Umum berupa
Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi
menjadi saham.
(2) Pengungkapan tentang ekuitas sebagaimana dimaksud
ayat (1) huruf a harus berdasarkan laporan keuangan
yang diaudit Akuntan.
Bagian Ketiga Belas
Kebijakan Dividen
Pasal 26
Dalam bagian kebijakan dividen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf m harus memuat atau mengungkapkan
informasi mengenai kebijakan dividen serta riwayat
pembayaran dividen.
- 30 -
Bagian Keempat Belas
Perpajakan
Pasal 27
Dalam bagian perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf n harus memuat atau mengungkapkan informasi
mengenai pajak yang berlaku baik bagi pemodal maupun
Perusahaan Terbuka dan fasilitas khusus perpajakan yang
diperoleh.
Bagian Kelima Belas
Keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau Calon
Pengendali Perusahaan Terbuka
Pasal 28
Pengungkapan Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali
Perusahaan Terbuka pada Prospektus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf o hanya dilakukan jika terdapat Pembeli
Siaga dan/atau Calon Pengendali Perusahaan Terbuka dan
dengan ketentuan pengungkapan dalam bagian keterangan
mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali
Perusahaan Terbuka harus paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a. nama Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali
Perusahaan Terbuka;
b. alamat domisili atau kantor pusat Pembeli Siaga
dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka;
c. bidang usaha (jika ada);
d. status badan hukum (jika ada);
e. susunan pengurus dan pengawas (jika ada);
f.
struktur permodalan atau informasi yang setara;
g. penerima manfaat dari calon Pengendali baru (jika ada);
h. sumber dana yang digunakan oleh Pembeli Siaga
dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka;
i.
sifat hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Terbuka (jika
ada);
- 31 -
j.
keterangan mengenai porsi yang akan diambil oleh
Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan
Terbuka;
k. uraian tentang persyaratan penting dari perjanjian
pembelian sisa Efek atau persetujuan untuk membeli
Efek oleh Pembeli Siaga; dan
l.
uraian tentang persetujuan dari pihak yang berwenang
(jika ada).
Bagian Keenam Belas
Keterangan tentang Perwaliamanatan
Pasal 29
Dalam bagian keterangan tentang perwaliamanatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf p harus paling
sedikit memuat atau mengungkapkan:
a. informasi mengenai Wali Amanat yang meliputi nama,
alamat kantor pusat dan uraian mengenai pihak yang
bertindak sebagai Wali Amanat (jika ada); dan
b. ringkasan pokok kontrak perwaliamanatan, serta tingkat
senioritas dari utang dibandingkan dengan utang
Perusahaan Terbuka yang masih ada dan utang lainnya
yang mungkin diperoleh Perusahaan Terbuka pada masa
yang akan datang, utang pokok dan bunga saat jatuh
tempo, jaminan (jika ada), agen pembayaran, serta tugas
dan fungsi Wali Amanat.
Bagian Ketujuh Belas
Keterangan tentang Penanggungan
Pasal 30
Dalam bagian
keterangan
tentang penanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf q harus paling
sedikit memuat atau mengungkapkan:
a. informasi mengenai penanggung yang meliputi nama,
alamat kantor pusat dan uraian mengenai pihak yang
bertindak sebagai penanggung (jika ada); dan
- 32 -
b. ringkasan pokok perjanjian penanggungan (jika ada).
Bagian Kedelapan Belas
Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal serta Profesi Lain
Pasal 31
(1) Dalam bagian Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar
Modal serta profesi lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf r, harus paling sedikit memuat atau
mengungkapkan:
a. nama, alamat, dan uraian mengenai tugas dan
tanggung jawab Notaris, Konsultan Hukum,
Akuntan, Penilai, dan profesi lain yang berperan
serta dalam Penawaran Umum; dan
b.
kualifikasi profesional, untuk profesi selain yang
terdaftar di Pasar Modal (jika ada).
(2) Dalam bagian Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar
Modal serta profesi lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf r, Perusahaan Terbuka harus menyatakan
tidak adanya hubungan Afiliasi antara Perusahaan
Terbuka dengan Wali Amanat, jika Perusahaan Terbuka
melakukan penambahan modal dengan memberikan
HMETD dengan menerbitkan Efek bersifat utang yang
dapat atau wajib dikonversi menjadi saham.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam hal hubungan Afiliasi antara Perusahaan
Terbuka dengan Wali Amanat terjadi karena kepemilikan
atau penyertaan modal Pemerintah.
Bagian Kesembilan Belas
Tata Cara Pemesanan Saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas
Pasal 32
Dalam bagian tata cara pemesanan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf
s harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
- 33 -
a. informasi bahwa pihak yang berhak memesan saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang diterbitkan
dalam penambahan modal dengan memberikan HMETD
adalah pemegang HMETD;
b. distribusi HMETD;
c. tata cara pelaksanaan HMETD;
d. pemesanan pembelian tambahan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya;
e. penjatahan pemesanan tambahan saham dan/atau Efek
Bersifat Ekuitas lainnya;
f.
persyaratan pembayaran baik untuk pembelian saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya sebagai
pelaksanaan HMETD maupun pembelian tambahan
saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya serta
batas waktu pembayaran;
g. bukti tanda terima pemesanan pembelian saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya;
h. kriteria pembatalan pemesanan;
i. pengembalian uang pemesanan yang mencakup:
1. tingkat bunga yang akan digunakan sebagai dasar
perhitungan ganti rugi atas keterlambatan
pengembalian uang pemesanan pembelian saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya, dengan
menyebutkan persentase tingkat bunga, atau
pengukur lainnya; dan
2.
tata cara yang akan digunakan dalam melakukan
pengembalian uang pemesanan pembelian saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dan ganti
rugi yang paling sedikit mengenai:
a) jenis alat pembayaran; dan
b) cara pembayaran.
- 34 -
Bagian Kedua Puluh
Penyebarluasan Prospektus dan Formulir Pemesanan
Pembelian Saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya
Pasal 33
Dalam bagian penyebarluasan Prospektus dan formulir
pemesanan pembelian saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf t harus
paling sedikit memuat atau mengungkapkan:
a. penjelasan tentang nama, alamat, dan nomor telepon
Perusahaan Terbuka dan Biro Administrasi Efek, jika
menggunakan Biro Administrasi Efek;
b. penjelasan tentang metode dan batas waktu penyebaran
Prospektus;
c. tempat dimana Prospektus, sertifikat atau kupon
HMETD jika saham yang mendasari HMETD berbentuk
warkat, dan formulir pemesanan pembelian saham
dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya atau dokumen
lainnya yang berkaitan dengan Penawaran Umum atau
salinannya yang disebutkan dalam Prospektus dapat
diperoleh; dan
d. tempat dan nama pihak yang berwenang untuk
memberikan informasi tambahan.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 34
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
- 35 -
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 35
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 36
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 kepada masyarakat.
- 36 -
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
Bagi Perusahaan Terbuka yang akan melakukan penambahan
modal dengan memberikan HMETD dan telah menyampaikan
mata acara rapat mengenai penambahan modal dengan
memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
penambahan modal dengan memberikan HMETD oleh
Perusahaan Terbuka dimaksud tetap mengikuti Peraturan
Nomor IX.D.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor: KEP-09/PM/2000 tanggal 13 Maret 2000
tentang Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam
Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: KEP-09/PM/2000 tanggal 13 Maret 2000 tentang
Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka
Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu beserta
Peraturan Nomor IX.D.3 yang merupakan lampirannya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 37 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2015
2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 308
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 33/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU </reg_title>
<set_date> 16 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 22 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-09/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'KEP-09/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000 | Lampiran Peraturan Nomor IX.D.3' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2014
TENTANG
PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PUNGUTAN OLEH
OTORITAS JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK,
adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
2. Pungutan . . .
- 2 -
2. Pungutan adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
3. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan
yang selanjutnya disebut Pihak adalah Lembaga Jasa
Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan yang
melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
4. Sektor Jasa Keuangan adalah sektor Perbankan, Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
BAB II
PENGENAAN DAN KEWAJIBAN MEMBAYAR PUNGUTAN
Pasal 2
(1) OJK mengenakan Pungutan kepada Pihak.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
membayar Pungutan yang dikenakan OJK.
BAB III
PENGGUNAAN, JENIS, DAN BESARAN PUNGUTAN
Pasal 3
(1) Pungutan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
digunakan untuk membiayai kegiatan operasional,
administratif, pengadaan aset, serta kegiatan pendukung
lainnya.
(2) Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan
digunakan untuk membiayai kegiatan OJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada tahun anggaran berikutnya.
(3) Dalam hal Pungutan yang diterima OJK pada tahun
berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi
kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya,
kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara.
(4) Dalam . . .
- 3 -
(4) Dalam melakukan penyetoran ke Kas Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK berkoordinasi
dengan Menteri Keuangan.
Pasal 4
Perhitungan Pungutan yang diterima OJK pada tahun
berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
dilakukan berdasarkan jumlah kas yang diterima OJK.
Pasal 5
(1) Jenis Pungutan yang berlaku pada OJK meliputi:
a.
b.
biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran,
pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi
korporasi; dan
biaya tahunan dalam rangka pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian.
(2) Jenis, satuan, dan besaran Pungutan OJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 6
Bagi Pihak yang melakukan lebih dari satu kegiatan usaha
yang diatur dan diawasi oleh OJK, Pihak dimaksud wajib
membayar biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b pada besaran Pungutan tertinggi
diantara besaran Pungutan dari setiap kegiatan usaha.
BAB IV . . .
- 4 -
BAB IV
PELAPORAN DAN AKUNTABILITAS
Pasal 7
Akuntabilitas pelaksanaan dan penggunaan Pungutan
dilakukan OJK melalui laporan keuangan dan laporan
kegiatan OJK.
BAB V
PEMBAYARAN PUNGUTAN
Pasal 8
(1) Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan
pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf a wajib dibayar oleh Pihak sebelum pengajuan
perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan.
(2) Biaya penelaahan atas rencana aksi korporasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
wajib dibayar oleh Pihak sebelum penyampaian rencana
aksi korporasi.
Pasal 9
(1) Biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf b, besaran tarifnya ditetapkan dalam:
a.
b.
c.
persentase tertentu yang mengacu pada laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit;
nominal tertentu yang mengacu pada laporan
keuangan tahunan yang telah diaudit; atau
nominal tertentu yang tidak mengacu pada
laporan keuangan.
(2) Biaya . . .
- 5 -
(2) Biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b wajib dibayar dalam 4 (empat) tahap
paling lambat tanggal 15 (lima belas) setiap bulan April,
Juli, Oktober dan tanggal 31 Desember pada tahun
berjalan.
(3) Biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c wajib dibayar paling lambat setiap tanggal 15
Juni pada tahun berjalan.
(4) Dalam hal tanggal 15 April, 15 Juli, atau 15 Oktober
merupakan hari libur, kewajiban pembayaran biaya
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b wajib dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(5) Dalam hal tanggal 31 Desember merupakan hari libur,
kewajiban pembayaran biaya tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib
dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelumnya.
(6) Dalam hal tanggal 15 Juni merupakan hari libur,
kewajiban pembayaran biaya tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
Pasal 10
Besarnya biaya tahunan yang wajib dibayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan huruf b
dihitung secara mandiri dengan mengacu pada laporan
keuangan tahunan tahun sebelumnya yang telah diaudit dan
memenuhi ketentuan:
a. Pembayaran Tahap I paling lambat tanggal 15 April tahun
berjalan sebesar 25% (dua puluh lima persen);
b. Pembayaran Tahap II paling lambat tanggal 15 Juli tahun
berjalan sebesar 25% (dua puluh lima persen);
c. Pembayaran Tahap III paling lambat tanggal 15 Oktober
tahun berjalan sebesar 25% (dua puluh lima persen); dan
d. Pembayaran Tahap IV paling lambat tanggal 31 Desember
tahun berjalan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
Pasal 11 . . .
- 6 -
Pasal 11
(1) Keseluruhan biaya tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dihitung kembali berdasarkan laporan
keuangan tahunan tahun bersangkutan yang telah
diaudit.
(2) Dalam hal terdapat selisih negatif antara biaya tahunan
yang dihitung berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10
dikurangi biaya tahunan yang dihitung berdasarkan
ketentuan pada ayat (1), selisih negatif tersebut
ditambahkan pada kewajiban biaya tahunan untuk tahun
diketahuinya selisih tersebut.
(3) Dalam hal terdapat selisih positif antara biaya tahunan
yang dihitung berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10
dikurangi biaya tahunan yang dihitung berdasarkan
ketentuan pada ayat (1), selisih positif tersebut
dikurangkan dari kewajiban biaya tahunan untuk tahun
diketahuinya selisih tersebut.
(4) Selisih negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
selisih positif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditambahkan atau dikurangkan pada pembayaran tahap
terdekat setelah diketahuinya selisih tersebut.
Pasal 12
(1) OJK dapat melakukan verifikasi atas perhitungan secara
mandiri biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 dan Pasal 11.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
atas kewajiban biaya tahunan paling lama 10 (sepuluh)
tahun sebelum pelaksanaan verifikasi.
(3) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan biaya
tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan
Pasal 11 dengan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), hasil perhitungan biaya tahunan yang
berlaku adalah hasil verifikasi yang dilakukan oleh OJK.
(4) Pihak . . .
- 7 -
(4) Pihak yang melakukan perhitungan biaya tahunan secara
mandiri dapat meminta klarifikasi kepada OJK atas hasil
verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal terdapat selisih negatif antara biaya tahunan
berdasarkan verifikasi OJK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikurangi biaya tahunan berdasarkan
perhitungan secara mandiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dan Pasal 11, selisih negatif tersebut
ditambahkan sebagai kewajiban biaya tahunan pada
tahun ditetapkan hasil verifikasi.
(6) Dalam hal terdapat selisih positif antara biaya tahunan
berdasarkan verifikasi OJK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikurangi biaya tahunan berdasarkan
perhitungan secara mandiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dan Pasal 11, selisih positif tersebut
dikurangkan dari kewajiban biaya tahunan pada tahun
ditetapkan hasil verifikasi.
(7) Selisih negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau
selisih positif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditambahkan atau dikurangkan pada tahap pembayaran
terdekat setelah ditetapkannya selisih berdasarkan hasil
verifikasi.
(8) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
OJK.
Pasal 13
Dalam hal laporan keuangan tahun sebelumnya yang telah
diaudit tidak tersedia, besarnya biaya tahunan yang wajib
dibayar pada setiap tahap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 mengacu pada laporan keuangan tahunan terakhir
yang telah diaudit.
Pasal 14 . . .
- 8 -
Pasal 14
(1) Dalam hal ketentuan Peraturan Perundang-undangan di
Sektor Jasa Keuangan tidak mewajibkan adanya laporan
keuangan tahunan yang diaudit, perhitungan besarnya
biaya tahunan yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 mengacu pada
laporan keuangan tahunan yang tidak diaudit yang
disampaikan kepada OJK.
(2) Dalam hal ketentuan Peraturan Perundang-undangan
di Sektor Jasa Keuangan tidak mewajibkan adanya
laporan keuangan, perhitungan besarnya biaya tahunan
yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, Pasal 11, dan Pasal 12 mengacu pada buku, catatan,
dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara
aplikasi online yang mencerminkan capaian kinerja,
volume usaha, atau ukuran lain yang menjadi dasar
penghitungan Pungutan.
(3) Buku, catatan, dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara aplikasi online sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada OJK
dalam hal OJK melakukan verifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 15
Tata cara pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan OJK.
Pasal 16
Dalam hal Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
tidak dibayar sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan dan
dikategorikan macet oleh OJK, OJK menyerahkan penagihan
atas Pungutan kepada Panitia Urusan Piutang Negara sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
BAB VI . . .
- 9 -
BAB VI
PENYESUAIAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN PUNGUTAN
Pasal 17
(1) Dalam hal Pihak sedang mengalami kesulitan keuangan
dan dalam upaya penyehatan dan/atau dalam
pemberesan, OJK dapat mengenakan Pungutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sampai
dengan 0% (nol persen) dari besaran Pungutan
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.
(2) Dalam hal sebagian besar atau seluruh Pihak:
a.
b.
tidak mampu mempertahankan tingkat
kesehatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; dan/atau
mengalami kesulitan keuangan sehingga
berpotensi terjadinya kegagalan untuk memenuhi
kewajiban kepada konsumennya atau dapat
membahayakan kelangsungan usahanya,
OJK dapat mengenakan Pungutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sampai dengan 0% (nol
persen) dari besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) Dalam hal OJK akan atau sedang mengembangkan
industri, jenis layanan, atau produk keuangan tertentu,
baik secara nasional ataupun di daerah tertentu, OJK
dapat mengenakan Pungutan paling rendah sebesar 25%
(dua puluh lima persen) dari besaran Pungutan
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.
(4) Penetapan besaran Pungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan OJK setelah
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
(5) Tata cara pengenaan Pungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan OJK.
Pasal 18 . . .
- 10 -
Pasal 18
Dalam hal sebelum berakhirnya tahun berjalan penerimaan
OJK yang berasal dari Pungutan lebih besar dari rencana
kerja dan anggaran OJK tahun berikutnya yang telah
disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, OJK
mengenakan biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b sebesar 0% (nol persen) pada sisa
tahun berjalan.
Pasal 19
(1) OJK dapat mengenakan Pungutan sampai dengan 0%
(nol persen) dari besaran Pungutan sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini terhadap
Lembaga Jasa Keuangan yang secara khusus dibentuk
Undang-Undang atau dibentuk oleh Pemerintah.
(2) Pengenaan Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan OJK setelah berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 20
(1) Pihak yang tidak melakukan atau terlambat melakukan
pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif
berupa denda oleh OJK sebesar 2% (dua persen) per
bulan dari jumlah Pungutan yang wajib dibayar dan
paling banyak 48% (empat puluh delapan persen) dari
jumlah Pungutan yang wajib dibayar dengan ketentuan
bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
(2) Selain . . .
- 11 -
(2) Selain sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK dapat menetapkan sanksi
administratif tambahan atau tindakan tertentu kepada
Pihak yang tidak melakukan atau terlambat melakukan
pembayaran sesuai dengan jenis sanksi atau tindakan
tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan
Perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 21
Besaran Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) untuk tahun 2014 adalah 2/3 (dua pertiga) dari
besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 22
Pendapatan yang berasal dari:
a. pengelolaan, penyimpanan, atau penggunaan Pungutan;
dan
b. sanksi administratif berupa denda atas pelanggaran
peraturan perundang-undangan di Sektor Jasa
Keuangan,
merupakan bagian dari penerimaan Pungutan OJK.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
(1) Sanksi administratif berupa denda yang dikenakan oleh
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
kepada pelaku kegiatan di sektor pasar modal dan
lembaga . . .
- 12 -
lembaga keuangan bukan bank yang belum dibayar dan
upaya penagihannya dilakukan oleh OJK merupakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Keuangan.
(2) Biaya Tahunan oleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang dipungut berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal untuk tahun
2013 merupakan bagian dari penerimaan Pungutan OJK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Sanksi administratif berupa denda yang dikenakan oleh
OJK kepada Pihak atas pelanggaran peraturan
perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini merupakan bagian
dari penerimaan Pungutan OJK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 huruf b.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Pungutan
kepada Pihak dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 25
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 13 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Februari 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Februari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 33
PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2014
TENTANG
PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
I. UMUM
Otoritas Jasa Keuangan yang merupakan otoritas tunggal (unified
supervisory model) di Sektor Jasa Keuangan di Indonesia, yang dibentuk
melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (UU OJK) mempunyai tujuan agar keseluruhan kegiatan Sektor
Jasa Keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat. Sedangkan fungsi OJK adalah
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam Sektor Jasa Keuangan.
Untuk mendukung operasionalisasi OJK sehingga mampu melaksanakan
tugas dan fungsinya secara independen dan profesional, dengan
berlandaskan pada prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi
independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan
kewajaran (fairness), perlu adanya pembiayaan yang memadai dengan
standar yang wajar yang lazim digunakan oleh Sektor Jasa Keuangan atau
regulator Sektor Jasa Keuangan sejenis, baik domestik maupun
internasional.
Pembiayaan OJK selain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara juga berasal dari Pungutan dari Pihak. Sebagai pelaksanaan dari
amanat Pasal 37 ayat (6) UU OJK, maka perlu ditetapkan Peraturan
Pemerintah ini yang mengatur mengenai Pungutan OJK kepada Pihak, yang
antara lain mencakup tata cara penetapan, penggunaan, jenis, besaran,
waktu penagihan dan pembayaran Pungutan, dan sanksi denda. Penetapan
besaran Pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan
kemampuan Pihak serta kebutuhan pendanaan OJK.
Meskipun . . .
- 2 -
Meskipun secara kelembagaan OJK merupakan lembaga di luar
pemerintah, namun OJK harus merupakan bagian dari sistem
penyelenggaraan urusan pemerintahan. Oleh karena itu, Peraturan
Pemerintah ini menegaskan peran Panitia Urusan Piutang Negara dalam
penagihan atas Pungutan OJK yang dikategorikan macet berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah ini merupakan bagian dari Peraturan Perundang-
undangan di Sektor Jasa Keuangan. Dengan demikian, pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor
Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya mendasarkan
pada realisasi penggunaan anggaran OJK sampai dengan akhir
tahun anggaran berikutnya.
Sebagai contoh:
Pada 31 Desember 2016 Pungutan yang telah diterima OJK pada
tahun berjalan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember
2016) diketahui sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun
rupiah). Pada saat itu, Rencana Kerja dan Anggaran OJK tahun
2017 yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah
sebesar . . .
- 3 -
sebesar Rp2.400.000.000.000,00 (dua triliun empat ratus miliar
rupiah). Selanjutnya, per 31 Desember 2017 diketahui realisasi
anggaran OJK tahun anggaran 2017 adalah sebesar
Rp2.200.000.000.000,00 (dua triliun dua ratus miliar rupiah).
Dengan demikian, Pungutan yang diterima OJK pada tahun
berjalan 2016 sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun
rupiah) melebihi realisasi kebutuhan OJK tahun anggaran 2017
sebesar Rp2.200.000.000.000,00 (dua triliun dua ratus miliar
rupiah) yaitu sebesar Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar
rupiah). Atas kelebihan Pungutan sebesar Rp800.000.000.000,00
(delapan ratus miliar rupiah) dimaksud, OJK harus menyetor
kelebihan ke Kas Negara. Penyetoran tersebut dilaksanakan
setelah realisasi anggaran tahun 2017 diketahui.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Sebagai contoh perhitungan Pungutan yang diterima oleh OJK pada
tahun berjalan berdasarkan jumlah kas yang diterima oleh OJK:
Jumlah tagihan yang berasal dari Pungutan OJK tahun 2016 adalah
sebesar Rp3.500.000.000.000,00 (tiga triliun lima ratus miliar rupiah),
sementara jumlah kas yang diterima OJK dari Pungutan pada tahun
2016 adalah sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah).
Dengan demikian, Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan
(tahun 2016) adalah sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun
rupiah). Jumlah sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah)
ini akan digunakan untuk membiayai kegiatan OJK pada tahun
anggaran berikutnya (tahun 2017), dan digunakan sebagai dasar
perhitungan kelebihan yang akan disetor ke Kas Negara sebagaimana
contoh pada penjelasan Pasal 3 ayat (3).
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perizinan” mencakup antara lain
izin usaha Bank Umum, izin usaha Bursa Efek, izin usaha
Lembaga Kliring dan Penjaminan, izin usaha Lembaga
Penyimpanan . . .
- 4 -
Penyimpanan dan Penyelesaian, izin usaha Perusahaan
Perasuransian, dan izin usaha Perusahaan Efek.
Yang dimaksud dengan “persetujuan” mencakup antara lain
persetujuan Bank Umum sebagai Bank Kustodian.
Yang dimaksud dengan “pendaftaran” mencakup:
a. Pernyataan pendaftaran dalam rangka:
1) Penawaran umum efek bersifat ekuitas;
2) Penawaran umum efek bersifat utang;
3) Penawaran umum sukuk;
4) Perusahaan Publik;
5) Penawaran umum dalam rangka penambahan modal
dengan hak memesan efek terlebih dahulu
(penawaran umum terbatas/right issue);
6) Penawaran umum dalam rangka penambahan modal
tanpa hak memesan efek terlebih dahulu;
7) Penawaran umum efek yang dapat dikonversi
menjadi saham; dan
8) Penawaran umum efek bersifat ekuitas oleh
pemegang saham.
b. Pendaftaran profesi penunjang, antara lain notaris,
konsultan hukum, akuntan, dan penilai.
Yang dimaksud dengan “pengesahan” mencakup antara
lain pengesahan Dana Pensiun.
Yang dimaksud dengan “penelaahan atas rencana aksi
korporasi” mencakup:
1) Penambahan modal tanpa hak memesan efek
terlebih dahulu tanpa melalui penawaran umum
tidak dalam rangka memperbaiki posisi keuangan;
2) Penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka;
3) Perubahan perusahaan terbuka menjadi perusahaan
tertutup secara sukarela (voluntary going private);
dan
4) Pengambilalihan perusahaan terbuka.
Huruf b . . .
- 5 -
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Contoh, PT Bank ABC Tbk., pada tahun 2016 memiliki aset sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Sebagai Bank, PT Bank
ABC Tbk. dimaksud juga:
- merupakan Emiten karena melakukan Penawaran Umum saham
sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah);
- melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Kustodian, dan
membukukan pendapatan usaha sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah);
- melakukan kegiatan usaha sebagai Wali Amanat, dan membukukan
pendapatan usaha sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
- melakukan kegiatan usaha sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana
dengan pendapatan dari fee keagenan sebesar Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah);
Dalam menetapkan besarnya biaya tahunan 2016, PT Bank ABC Tbk.
melakukan perhitungan sebagai berikut:
- biaya tahunan sebagai Bank Umum:
0,045% X Rp5.000.000.000.000,00=Rp2.250.000.000,00
- biaya tahunan sebagai Emiten:
0,03% X 2.000.000.000.000,00=Rp600.000.000,00 (paling banyak
Rp150.000.000,00)
- biaya tahunan sebagai Bank Kustodian:
1,2% X 1.000.000.000,00=Rp12.000.000,00
- biaya tahunan sebagai Wali Amanat:
1,2% X 2.000.000.000,00=Rp24.000.000,00
- biaya tahunan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana:
1,2% X 3.000.000.000,00=Rp36.000.000,00
Berdasarkan ketentuan Pasal ini, PT Bank ABC Tbk. hanya diwajibkan
membayar Pungutan dengan besaran tertinggi, yaitu
Rp2.250.000.000,00 (dua miliar dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 7 . . .
- 6 -
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Dalam permohonan pengajuan perizinan, persetujuan,
pendaftaran, dan pengesahan kepada OJK, disertakan tanda bukti
pembayaran Pungutan yang telah dilakukan oleh Pihak.
Ayat (2)
Dalam permohonan penyampaian rencana aksi korporasi kepada
OJK, disertakan tanda bukti pembayaran Pungutan yang telah
dilakukan oleh Pihak.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan tanggal pembayaran Pungutan dalam empat tahap
dilakukan agar dapat meringankan Pihak untuk melakukan
kewajiban pembayaran Pungutan.
Selain itu, hal tersebut juga ditujukan untuk memberikan waktu
yang cukup kepada OJK untuk menyusun rencana kerja dan
anggaran tahunan yang akan disampaikan ke Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia untuk memperoleh persetujuan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 10 . . .
- 7 -
Pasal 10
Sebagai contoh:
Pada tahun 2016 diketahui bahwa laporan keuangan tahunan tahun
2015 yang telah diaudit menunjukkan bahwa pendapatan usaha Bursa
Efek adalah Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Berdasarkan informasi tersebut, besarnya biaya tahunan yang wajib
dibayar adalah 15% x Rp100.000.000.000,00 = Rp15.000.000.000,00.
Kewajiban pembayaran biaya tahunan setiap tahap oleh Bursa Efek
pada tahun 2016 secara mandiri adalah sebagai berikut:
a. pembayaran tahap I tanggal 15 April 2016 adalah 25% X
Rp15.000.000.000,00 = Rp3.750.000.000,00;
b. pembayaran tahap II tanggal 15 Juli 2016 adalah 25% X
Rp15.000.000.000,00 = Rp3.750.000.000,00;
c. pembayaran tahap III tanggal 15 Oktober 2016 adalah 25% X
Rp15.000.000.000,00 = Rp3.750.000.000,00;
d. pembayaran tahap IV tanggal 31 Desember 2016 adalah 25% X
Rp15.000.000.000,00 = Rp3.750.000.000,00;
Pasal 11
Ayat (1)
Sebagai contoh penghitungan kembali keseluruhan biaya tahunan
berdasarkan laporan keuangan tahunan tahun bersangkutan
yang telah diaudit dengan tetap merujuk contoh penjelasan Pasal
10, adalah sebagai berikut:
Diketahui laporan keuangan tahunan tahun 2016 yang telah
diaudit (yang diterbitkan pada 31 Maret 2017) menunjukkan
pendapatan usaha Bursa Efek adalah Rp110.000.000.000,00
(seratus sepuluh miliar rupiah). Keseluruhan kewajiban biaya
tahunan Bursa Efek tahun 2016 dihitung kembali didasarkan
pada pendapatan usaha Bursa Efek dalam laporan keuangan
tahunan tahun 2016 yang telah diaudit tersebut sehingga biaya
tahunannya menjadi 15% x Rp110.000.000.000,00 =
Rp16.500.000.000,00 (enam belas miliar lima ratus juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh penghitungan selisih negatif:
Merujuk contoh pada penjelasan ayat (1) dan Pasal 10, maka
terdapat selisih negatif pembayaran biaya tahunan yang
dilakukan oleh Bursa Efek dengan perhitungan sebagai berikut:
a. Total . . .
- 8 -
a. Total pembayaran yang telah dilaksanakan sebagaimana
contoh dalam Penjelasan Pasal 10 adalah
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);
b. Keseluruhan biaya tahunan yang dihitung kembali
berdasarkan laporan keuangan tahunan tahun 2016 yang
telah di audit adalah 15% X Rp110.000.000.000,00 =
Rp16.500.000.000,00;
c. Perhitungan antara yang telah dibayar pada huruf a dikurang
dengan kewajiban keseluruhan biaya tahunan yang dihitung
kembali pada huruf b yaitu Rp15.000.000.000,00–
Rp16.500.000.000,00 = –Rp1.500.000.000,00. Jumlah
sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah) merupakan selisih negatif;
d. Selisih negatif sebagaimana huruf c ditambahkan pada
kewajiban biaya tahunan tahun 2017.
Ayat (3)
Contoh penghitungan selisih positif:
Merujuk contoh pada penjelasan Pasal 10, diketahui laporan
keuangan tahunan tahun 2016 yang telah diaudit (yang
diterbitkan pada 31 Maret 2017) menunjukkan pendapatan usaha
Bursa Efek adalah Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar
rupiah), kewajiban pembayaran biaya tahunan oleh Bursa Efek
adalah sebagai berikut:
a. Total pembayaran yang telah dilaksanakan sebagaimana
contoh dalam Penjelasan Pasal 10 adalah
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);
b. Keseluruhan biaya tahunan yang dihitung kembali
berdasarkan laporan keuangan tahunan Tahun 2016 yang
telah di audit adalah 15% X Rp80.000.000.000,00 =
Rp12.000.000.000,00;
c. Perhitungan antara yang telah dibayar pada huruf a dikurang
dengan kewajiban keseluruhan biaya tahunan yang dihitung
kembali pada huruf b yaitu Rp15.000.000.000,00–
Rp12.000.000.000,00 = Rp3.000.000.000,00. Jumlah sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) merupakan selisih
positif;
d. Selisih positif sebagaimana perhitungan huruf c dikurangkan
dari kewajiban biaya tahunan untuk tahun 2017.
Ayat (4) . . .
- 9 -
Ayat (4)
Pembayaran selisih negatif oleh Bursa Efek sebagaimana contoh
dalam penjelasan ayat (2) adalah sebagai berikut:
a. Hasil penghitungan kembali biaya tahunan untuk tahun
2016 berdasarkan laporan keuangan tahun 2016 yang telah
diaudit (yang diterbitkan 31 Maret 2017) diketahui terdapat
selisih negatif sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).
b. Kewajiban pembayaran tahap I tahun 2017 tanggal 15 April
2017 berdasarkan laporan keuangan tahun 2016 yang telah
diaudit adalah 25% dari kewajiban biaya tahunan tahun 2017
(15% x Rp110.000.000.000,00 = Rp16.500.000.000,00) yaitu
sebesar Rp4.125.000.000,00 (empat miliar seratus dua puluh
lima juta rupiah);
c. Pembayaran selisih negatif sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah) pada huruf a dibayarkan pada
pembayaran Tahap I tanggal 15 April 2017 sehingga secara
keseluruhan
menjadi
Rp4.125.000.000,00
Rp1.500.000.000,00 = Rp5.625.000.000,00.
Pembayaran selisih positif sebagaimana contoh ayat (3) adalah
sebagai berikut:
a. Hasil penghitungan kembali biaya tahunan untuk tahun
2016 berdasarkan laporan keuangan tahun 2016 yang telah
diaudit (yang diterbitkan 31 Maret 2017) diketahui terdapat
selisih positif sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
b. Kewajiban pembayaran tahap I tahun 2017 tanggal 15 April
2017 berdasarkan laporan keuangan tahun 2016 yang telah
diaudit adalah 25% dari kewajiban biaya tahunan tahun 2017
(15% x Rp80.000.000.000,00 = Rp12.000.000.000,00) yaitu
sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah);
c. Perhitungan selisih positif sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) pada huruf a dilakukan pada pembayaran
Tahap I tanggal 15 April 2017 oleh Bursa Efek sehingga
secara keseluruhan pembayaran Bursa Efek pada Tahap I ini
menjadi Rp3.000.000.000,00 - Rp3.000.000.000,00= Rp0,00
(nol rupiah).
Pasal 12 . . .
+
- 10 -
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
OJK memberikan penjelasan atas permintaan klarifikasi dari
Pihak yang melakukan perhitungan biaya tahunan secara mandiri
terhadap hasil verifikasi yang dilakukan oleh OJK.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “dikategorikan macet” adalah apabila Pihak
yang diwajibkan melakukan pembayaran Pungutan tidak memenuhi
ketentuan mengenai tata cara pembayaran yang ditetapkan dalam
Peraturan OJK.
Pasal 17 . . .
- 11 -
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemberesan” adalah pemberesan yang
dilakukan oleh likuidator atau kurator.
Penurunan besaran pada ayat ini dimaksudkan untuk
mengurangi kemungkinan semakin memburuknya kondisi
keuangan dan/atau membantu proses penyehatan keuangan
Pihak.
Ayat (2)
Ukuran tingkat kesehatan antara lain capital adequacy ratio
untuk perbankan, modal kerja bersih disesuaikan untuk
Perusahaan Efek, dan risk based capital untuk perusahaan
asuransi dan reasuransi.
Ayat (3)
Pengembangan dilakukan OJK dengan mempertimbangkan
industri, jenis layanan, atau produk keuangan yang antara lain
mempunyai trend pertumbuhan lambat, dan baru dikembangkan.
Yang dimaksud dengan “daerah tertentu” adalah daerah tertentu
di wilayah Republik Indonesia yang berdasarkan penetapan OJK
secara khusus perlu dikembangkan.
Contoh, OJK sedang berupaya untuk mendorong perkembangan
layanan perasuransian di wilayah Indonesia bagian timur.
Berdasarkan hal tersebut, OJK dapat menetapkan besaran
Pungutan yang lebih rendah kepada perusahaan asuransi yang
akan melakukan kegiatan di wilayah Republik Indonesia bagian
timur.
Ayat (4)
Koordinasi dengan Menteri Keuangan diperlukan antara lain agar
tercipta keselarasan antara program Pemerintah dan OJK, dalam
penanganan permasalahan perekonomian dan pembangunan
nasional, termasuk pembangunan di daerah tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Dalam hal OJK sepenuhnya telah dibiayai dari Pungutan dan misalnya
pada tanggal 16 Oktober 2015 Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia memberikan persetujuan atas rencana kerja dan anggaran
OJK untuk tahun 2016, serta pada tanggal tersebut jumlah kas yang
diterima . . .
- 12 -
diterima OJK dari Pungutan lebih besar dari rencana kerja dan
anggaran OJK untuk tahun 2016, OJK mengenakan biaya tahunan
dengan tarif sebesar 0% (nol persen) untuk pembayaran tahap IV
tahun 2015 dan bagi Pihak yang telah melakukan pembayaran biaya
tahunan untuk satu tahun penuh maka kelebihan pembayaran akan
diperhitungkan untuk pembayaran tahun berikutnya.
Pasal 19
Ayat (1)
Lembaga Jasa Keuangan dibentuk untuk melaksanakan program
Pemerintah, yaitu Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Penjaminan Infrastruktur
Indonesia, Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, dan lembaga jasa keuangan
sejenis yang dibentuk kemudian berdasarkan Undang-Undang
atau dibentuk oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bulan” adalah 30 (tiga puluh) hari.
Sebagai contoh, laporan keuangan tahunan tahun 2015 yang
telah diaudit menunjukkan bahwa pendapatan usaha Bursa Efek
adalah Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), sehingga
kewajiban pembayaran Pungutan Tahap I Bursa Efek pada
tanggal 15 April 2016 adalah Rp3.750.000.000,00 (tiga miliar
tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Bursa Efek baru membayar Pungutan Tahap I pada tanggal 19
Mei 2016 (terlambat selama 34 hari yaitu sejak tanggal 16 April
2016 sampai dengan 19 Mei 2016), sehingga Bursa Efek
dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar denda sebesar 4%
X Rp3.750.000.000,00 = Rp150.000.000,00.
Dengan demikian, meskipun Bursa Efek baru terlambat
membayar Pungutan selama 34 hari sebagaimana contoh pada
penjelasan ayat (2), Bursa Efek dianggap telah terlambat selama 2
(dua) bulan dan dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar
denda sebanyak 4% (empat persen).
Ayat (2) . . . Ayat (2) . . .
- 13 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jenis sanksi administratif sebagaimana
diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor
Jasa Keuangan”antara lain berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan;
d. pembatasan kegiatan usaha;
e. perintah penggantian manajemen;
f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela;
g. pembatalan persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan;
h. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau
i. pencabutan izin usaha.
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu sebagaimana diatur
dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor Jasa
Keuangan”antara lain berupa penundaan pemberian pernyataan
efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penawaran umum,
penggabungan usaha, peleburan usaha, dan pernyataan tidak ada
tanggapan lebih lanjut atas dokumen penambahan modal dengan
Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang dimaksud dengan “pendapatan yang berasal dari pengelolaan”
adalah pendapatan yang diperoleh melalui deposito pada bank Badan
Usaha Milik Negara, serta surat berharga yang diterbitkan dan/atau
dijamin oleh bank sentral Republik Indonesia atau Negara Republik
Indonesia.
Yang dimaksud dengan “pendapatan yang berasal dari penyimpanan”
antara lain jasa giro dan bunga.
Yang dimaksud dengan “pendapatan yang berasal dari penggunaan”
antara lain denda wanprestasi terkait pengadaan barang dan jasa.
Pasal 23 . . .
- 14 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5504
LAMPIRAN:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2014
TENTANG
PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
JENIS DAN BESARAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
JENIS PUNGUTAN
SATUAN
I. Pungutan yang Terkait Dengan Pengajuan
Perizinan, Persetujuan, Pendaftaran, dan
Pengesahan kepada OJK:
A. Biaya Perizinan, Persetujuan, Pendaftaran,
dan Pengesahan Lembaga:
1. Perizinan Usaha untuk:
a. Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian,
Perdagangan Surat Utang Negara di
luar Bursa Efek, Bank Umum,
Asuransi Jiwa, Asuransi Umum,
Reasuransi dan Manajer Investasi;
b. Perusahaan Pemeringkat Efek,
Penjamin Emisi Efek, Bank
Perkreditan Rakyat, Bank Pembiayaan
Rakyat
Syariah, Perusahaan
Pembiayaan, dan Perusahaan Modal
Ventura, serta Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya;
c. Perantara Pedagang Efek yang
mengadministrasikan Rekening Efek
Nasabah;
per perusahaan
Rp30.000.000,00
per perusahaan
Rp50.000.000,00
per perusahaan
Penyelenggara
Rp100.000.000,00
BESARAN
d. Perantara . . .
- 2 -
JENIS PUNGUTAN
SATUAN
d. Perantara Pedagang Efek yang tidak
mengadministrasikan Rekening Efek
Nasabah, Penasihat Investasi, Biro
Administrasi Efek, dan Lembaga
Penilai Harga Efek.
2. Persetujuan untuk Pihak Penerbit Daftar
Efek Syariah, Bank Kustodian; Lembaga
Penunjang Perbankan yaitu Lembaga
Pemeringkat;
3. Perizinan Lembaga Penunjang IKNB yaitu
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi, Perusahaan Konsultan
Aktuaria, dan Perusahaan Agen Asuransi;
4. Pendaftaran untuk:
a. Wali Amanat;
b. Agen Penjual Efek Reksa Dana.
5. Pengesahan untuk Dana Pensiun Lembaga
Keuangan dan Dana Pensiun Pemberi
Kerja.
per perusahaan
BESARAN
Rp5.000.000,00
per perusahaan
Rp5.000.000,00
per perusahaan
Rp5.000.000,00
per perusahaan
per perusahaan
per lembaga
Rp5.000.000,00
Rp30.000.000,00
Rp50.000.000,00
B. Biaya Perizinan dan Pendaftaran Orang
Perseorangan:
1. Perizinan untuk:
a. Wakil Manajer Investasi dan Penasihat
Investasi;
b. Wakil Penjamin Emisi Efek;
c. Wakil Perantara Pedagang Efek dan
Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana.
per orang
per orang
per orang
Rp1.000.000,00
Rp500.000,00
Rp500.000,00
2. Pendaftaran . . .
- 3 -
JENIS PUNGUTAN
SATUAN
2. Pendaftaran untuk:
a. Profesi Penunjang Perbankan yaitu
Akuntan dan Penilai;
b. Profesi Penunjang Pasar Modal yaitu
Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai,
dan Notaris;
c. Profesi Penunjang IKNB yaitu Akuntan,
Konsultan Hukum, Penilai, dan
Konsultan Aktuaria.
C. Biaya Pendaftaran:
1. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum:
a. Efek Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat
Utang, dalam rangka penambahan
modal dengan Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu (Penawaran Umum
Terbatas/Right
Issue), untuk
Penambahan Modal tanpa Hak
Memesan Efek Terlebih Dahulu, Efek
yang dapat dikonversi menjadi saham,
dan oleh Pemegang Saham;
b. Sukuk.
nilai emisi
0,05%
paling banyak
Rp150.000.000,00
2. Pernyataan Pendaftaran Perusahaan
Publik;
3. Pernyataan Pendaftaran untuk Penawaran
Tender Sukarela;
per pernyataan
pendaftaran
per penawaran
Rp10.000.000,00
Rp25.000.000,00
nilai emisi
0,05%
paling banyak
Rp750.000.000,00
per orang
BESARAN
Rp5.000.000,00
D. Biaya . . .
- 4 -
JENIS PUNGUTAN
SATUAN
D. Biaya Penelaahan Rencana Aksi Korporasi:
1. Penambahan Modal tanpa Hak Memesan
Efek Terlebih Dahulu tanpa Melalui
Penawaran Umum tidak untuk
memperbaiki posisi keuangan;
2. Penggabungan
atau Peleburan
Perusahaan Terbuka;
nilai emisi
0,025%
paling banyak
Rp500.000.000,00
aset berdasarkan
laporan
keuangan
proforma
penggabungan
atau peleburan
perusahaan
terbuka
3. Perubahan Perusahaan Terbuka menjadi
Perusahaan Tertutup secara Sukarela
(voluntary going private);
4. Pengambilalihan Perusahaan Terbuka.
per perubahan
per pengambil-
alihan
II. Biaya Tahunan untuk Pengaturan, Pengawasan,
Pemeriksaan dan Penelitian
1. Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Penyelenggara Perdagangan Surat Utang
Negara di luar Bursa Efek;
2. Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah, Asuransi Jiwa,
Asuransi Umum, Reasuransi, Dana Pensiun
Lembaga Keuangan, Dana Pensiun Pemberi
Kerja, Perusahaan Pembiayaan, dan
Perusahaan Modal Ventura, serta Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya;
pendapatan
usaha
15%
Rp1.000.000.000,00
Rp25.000.000,00
0,05%
paling banyak
Rp250.000.000,00
BESARAN
aset
0,045%
paling sedikit
Rp10.000.000,00
3. Manajer . . .
- 5 -
JENIS PUNGUTAN
SATUAN
3. Manajer Investasi;
dana kelolaan
BESARAN
0,045%
paling sedikit
4. Penasihat Investasi;
pendapatan dari
imbalan jasa
nasihat investasi
5. Agen Penjual Efek Reksa Dana;
pendapatan dari
fee keagenan
6. Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang
Efek;
7. Emiten;
pendapatan
usaha
nilai emisi efek
(outstanding)
Rp10.000.000,00
1,2%
paling sedikit
Rp10.000.000,00
1,2%
paling sedikit
Rp10.000.000,00
1,2%
paling sedikit
Rp10.000.000,00
0,03%
paling sedikit
Rp15.000.000,00
paling banyak
8. Perusahaan Publik;
9. Perusahaan Pemeringkat Efek;
10. Lembaga Penunjang:
a. Lembaga Penunjang Perbankan yaitu
Lembaga Pemeringkat;
b. Lembaga Penunjang Pasar Modal yaitu
Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian,
dan Wali Amanat;
c. Lembaga Penunjang IKNB yaitu
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi, Perusahaan Agen
Asuransi;
d. Lembaga Penilai Harga Efek.
per perusahaan
pendapatan
usaha
pendapatan
usaha
Rp150.000.000,00
Rp15.000.000,00
1,2%
paling sedikit
Rp5.000.000,00
1,2%
paling sedikit
Rp5.000.000,00
11. Kantor . . .
- 6 -
JENIS PUNGUTAN
SATUAN
11. Kantor Akuntan Publik, Kantor Jasa Penilai
Publik, Kantor Konsultan Hukum, Kantor
Notaris, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria,
sepanjang kantor dimaksud memiliki izin,
persetujuan, pengesahan, atau pendaftaran
dari OJK;
12. Profesi:
a. Profesi Penunjang Perbankan yaitu
Akuntan dan Penilai;
b. Profesi Penunjang Pasar Modal yaitu
Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, dan
Notaris.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
nilai kontrak dari
kegiatan di
sektor jasa
keuangan
BESARAN
1,2%
per orang
Rp5.000.000,00
| <reg_id> 11/PP/2014 </reg_id>
<reg_title> PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 12 Februari 2014 </set_date>
<effective_date> 12 Februari 2014 </effective_date>
<issued_date> 12 Februari 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa peranan usaha perasuransian di Indonesia dalam menunjang pembangunan nasional
perlu diarahkan agar dalam kegiatan usahanya, Perusahaan Perasuransian di Indonesia
dapat tumbuh dan berkembang dengan tidak mengabaikan prinsip usaha yang sehat dan
bertanggungjawab;
b. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur penyelenggaraan usaha
perasuransian di dalam suatu Peraturan Pemerintah.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang.Undang Dasar 1945;
2. Kitab Undang.undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) sebagaimana telah
beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang.undang Nomor 4 Tahun 1971 tentang
Perubahan dan Penambahan atas ketentuan Pasal 54 Kitab Undang.undang Hukum Dagang
(Lembaran Negara. Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2959);
3. Undang.undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3467);
4. Undang.undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3502);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA
PERASURANSIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan:
1. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Asuransi Jiwa.
2. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan
Perusahaan Konsultan Aktuaria.
3. Retensi Sendiri adalah bagian dari
jumlah uang pertanggungan untuk setiap risiko yang
menjadi tanggungan sendiri tanpa dukungan reasuransi.
4. Pengurus adalah direksi untuk perseroan terbatas atau persero, atau yang setara dengan itu
untuk koperasi dan usaha bersama.
5. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
PENUTUPAN OBYEK ASURANSI
Pasal 2
Obyek asuransi di
Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi yang
mendapat izin usaha dari Menteri, kecuali dalam hal:
a. tidak ada Perusahaan Asuransi di
bersama.sama, yang memiliki
bersangkutan; atau
kemampuan menahan risiko asuransi
Indonesia, baik secara sendiri.sendiri maupun
dari obyek yang
b. tidak ada Perusahaan Asuransi yang bersedia melakukan penutupan asuransi atas obyek
yang bersangkutan; atau
c. pemilik obyek asuransi yang bersangkutan bukan warga negara Indonesia atau bukan badan
hukum Indonesia.
BAB III
PERIZINAN USAHA PERASURANSIAN
Bagian Pertama
Persyaratan Umum Perusahaan Perasuransian
Pasal 3
(1) Perusahaan Perasuransian dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa:
1. maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan salah satu jenis
usaha perasuransian;
2. perusahaan tidak memberikan pinjaman kepada pemegang saham.
b. Susunan organisasi
perusahaan sekurang.kurangnya meliputi
berikut:
1. Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan
risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan;
2. Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi
pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan;
3. Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan
Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang
diselenggarakannya.
c. Memenuhi ketentuan permodalan
perundang.undangan yang berlaku.
sebagaimana
ditetapkan
dalam
peraturan
d. Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang memadai
untuk mengelola kegiatan usahanya.
fungsi.fungsi sebagai
e. Melaksanakan pengelolaan perusahaan
sebagaimana
Pemerintah ini, yang sekurang.kurangnya didukung dengan:
1. Sistem pengembangan sumber daya manusia;
2. Sistem administrasi,
3. Sistem pengelolaan data.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai huruf d dan huruf e ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 4
(1) Perusahaan Perasuransian yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia dan atau badan
hukum Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga negara Indonesia, seluruh
anggota dewan komisaris dan Pengurus harus warga negara Indonesia.
(2) Anggota dewan komisaris dan anggota direksi Perusahaan Perasuransian yang di dalamnya
terdapat penyertaan langsung pihak asing harus warga negara Indonesia dan warga negara
asing, atau seluruhnya warga negara Indonesia.
Pasal 5
(1) Anggota dewan komisaris dan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak pernah
melakukan tindakan tercela di
bidang perasuransian dan atau dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di bidang perasuransian dan perekonomian, serta memiliki akhlak
dan moral yang baik.
(2) Sekurang.kurangnya separo dari jumlah anggota Pengurus harus mcmiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang pengelolaan risiko.
(3) Pengurus tidak diperkenankan merangkap jabatan pada perusahaan lain, kecuali untuk
jabatan komisaris.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 6
(1) Modal disetor bagi perusahaan yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia dan atau
badan hukum Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga negara Indonesia,
untuk masing. masing Perusahaan Perasuransian sekurang-kurangnya sebagai berikut:
a. Rp. 3.000.000.000,. (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Kerugian;
b. Rp. 2.000.000.000,. (dua milyar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Jiwa;
c. Rp. 10.000.000.000,. (sepuluh milyar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi;
d. Rp. 500.000.000,. (lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi,
e. Rp. 500.000.000,. (lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Pialang Reasuransi.
(2) Dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor untuk masing-
masing Perusahaan Perasuransian sekurang-kurangnya sebagai berikut:
a. Rp. 15.000.000.000,. (lima belas milyar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Kerugian;
b. Rp. 4.500.000.000,. (empat milyar lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Jiwa;
c. Rp. 30.000.000.000,. (tiga puluh milyar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi;
d. Rp. 3.000.000.000,. (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi;
e. Rp. 3.000.000.000. (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Reasuransi.
(3) Pada saat pendirian perusahaan, penyertaan langsung pihak asing dalam Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling banyak 80% (delapan puluh per
seratus).
ditetapkan
dalam Peraturan
(4) Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memiliki perjanjian
antar pemegang saham yang memuat kesepakatan mengenai
kepemilikan saham pihak Indonesia.
rencana
Pasal 7
(1) Pada awal pendirian, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus menempatkan
sekurang.kurangnya 20% (dua puluh per seratus) dari modal disetor yang dipersyaratkan,
dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum di In.
donesia yang bukan Afiliasi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang
bersangkutan.
(2) Deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan jaminan terakhir dalam rangka
melindungi kepentingan pemegang polis.
(3) Penempatan deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus atas nama Menteri untuk
kepentingan perusahaan yang bersangkutan.
(4) Deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disesuaikan dengan perkembangan
volume usaha yang besarnya ditetapkan oleh Menteri dengan ketentuan besarnya deposito
dimaksud tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada awal pendirian.
(5) Deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dicairkan atas persetujuan Menteri
berdasarkan:
a. batas permintaan liquidator dalam hal perusahaan dilikuidasi; atau
b. atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dalam hal izin usahanya dicabut atas
permintaan perusahaan yang bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah
diselesaikan.
Pasal 8
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus menyelenggarakan:
a. Pengembangan sumber daya manusia yang dapat menunjang pengelolaan perusahaan
secara profesional, pengembangan perusahaan secara sehat, adanya kemampuan dalam
mengikuti perkembangan teknologi, serta penyelenggaraan jasa asuransi secara tertib
dan bcrtanggung jawab;
b. Administrasi keuangan yang dapat menunjang ketertiban pengelolaan kcuangan dan
pelaksanaan pengendalian intern perusahaan;
c. Pengelolaan data yang dapat menunjang pelaksanaan fungsi
pengelolaan risiko,
pemasaran, penyelesaian klaim dan pelayanan kepada pemegang polis, serta
memungkinkan tersedianya data yang relevan, akurat, dan tepat waktu, untuk
pemeriksaan dan pengawasan perusahaan maupun untuk
pengembangan perusahaan.
analisis
(2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi harus menyelenggarakan
hal.hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b.
(3) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultan Aktuaria
menyelenggarakan hal.hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
harus
dalam rangka
peningkatan
Bagian Kedua
Perizinan Perusahaan Perasuransian
Pasal 9
(1) Pemberian izin bagi Perusahaan Perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
a. persetujuan prinsip;
b. izin usaha.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak berlaku bagi agen asuransi
dan konsultan aktuaria.
(3) Permohonan persetujuan prinsip bagi Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, diajukan kepada Menteri dengan melampirkan:
a. Anggaran dasar perusahaan yang dibuat di hadapan notaris;
b. Rencana susunan organisasi perusahaan;
c. Rencana penggunaan tenaga ahli oleh perusahaan;
d. Rencana kerja perusahaan dalam garis besar;
e. Rancangan perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan
langsung oleh pihak asing;
f. Program asuransi yang akan dipasarkan dan rencana reasuransinya, khusus bagi
Perusahaan Asuransi;
g. Bukti penempatan deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a berlaku untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun.
(5) Permohonan izin usaha Perusahaan Perasuransian disampaikan kepada Menteri dengan
melampirkan:
a. Anggaran dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari
berwenang;
instansi yang
b. Susunan organisasi perusahaan;
c. Bukti pemenuhan penyetoran modal disetor;
d. Surat pengangkatan tenaga ahli yang dipekerjakan oleh perusahaan;
e. Program kerja perusahaan serta rincian persiapan yang telah dilakukan;
f. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh
pihak asing;
g. Contoh polis, perhitungan premi, dan perjanjian reasuransi dari program asuransi yang
akan dipasarkan, bagi Perusahaan Asuransi;
h. Perjanjian retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi;
i. Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni, bagi Perusahaan Agen
Asuransi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (3) dan ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
Izin usaha Perusahaan Perasuransian dapat dicabut apabila, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan, Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan
tidak menjalankan kegiatan usahanya.
BAB IV
KESEHATAN KEUANGAN
Pasal 11
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib menjaga tingkat
solvabilitas.
(2) Tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah selisih antara kekayaan
yang diperkenankan dengan jumlah kewajiban dan modal disetor yang dipersyaratkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
besarnya tingkat solvabilitas dan kekayaan
diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 12
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dan menerapkan Retensi
Sendiri, yang besarnya didasarkan pada kemampuan keuangan dan tingkat risiko yang
dihadapi.
(2) Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi harus menjaga perimbangan
yang sehat.antara jumlah premi neto dengan jumlah premi bruto, dan perimbangan antara
jumlah premi neto dengan modal sendiri.
(3) Perusahaan Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan program asuransi kecelakaan diri dan
program asuransi kesehatan harus menjaga perimbangan yang sehat antara jumlah premi
neto dengan jumlah premi bruto yang berasal dari program termaksud, dan perimbangan
antara jumlah premi neto yang berasal dari program termaksud dengan modal sendiri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 13
(1) Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib dilakukan pada jenis
investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki tingkat likuiditas yang sesuai dengan
kewajiban yang harus dipenuhi.
(2) Menteri menetapkan jenis.jenis investasi yang tidak boleh dilakukan oleh Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Pasal 14
(1) Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus membentuk cadangan teknis
asuransi sesuai dengan jenis asuransi yang diselenggarakan, yaitu:
a. Cadangan teknis asuransi kerugian, terdiri dari cadangan atas premi yang belum
merupakan pendapatan, dan cadangan klaim.
b. Cadangan teknis asuransi jiwa, terdiri dari cadangan premi, cadangan premi anuitas,
cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan dan cadangan klaim.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 15
(1) Setiap penutupan asuransi yang jumlah uang pertanggungannya melebihi Retensi Sendiri
harus memperoleh dukungan reasuransi.
yang
(2) Penempatan reasuransi ke luar negeri, baik yang dilakukan langsung oleh Perusahaan
Asuransi maupun yang dilakukan melalui Perusahaan Pialang Reasuransi, hanya dapat
dilakukan pada penanggung ulang yang oleh Perusahaan Asurarsi yang bersangkutan dapat
dibuktikan telah memenuhi persyaratan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) berlaku pula dalam hal penempatan
retroseri ke luar negeri oleh Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi.
(4) Jumlah premi penutupan langsung Perusahaan Asuransi harus lebih besar dari jumlah premi
penutupan tidak langsung.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 16
(1) Setiap perjanjian reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak merupakan perjanjian yang
menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulangnya.
(2) Dalam perjanjian reasuransi harus dinyatakan bahwa dalam hal Perusahaan Asuransi
dilikuidasi, hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi yang timbul dalam transaksi reasuransi
sampai dengan saat Perusahaan Asuransi dilikuidasi diselesaikan oleh likuidator.
BAB V
PEYELENGGARAAN USAHA
Pasal 17
Dalam setiap pemasaran program asuransi harus diungkapkan informal yang relevan, tidak ada
yang bertentangan dengan persyaratan yang dicantumkan dalam polis, dan tidak menyesatkan.
Pasal 18
(1) Perusahaan Asuransi harus terlebih dahulu melaporkan kepada Menteri setiap program
asuransi baru yang akan dipasarkan.
(2) Perusahaan Asuransi dilarang memasarkan program asuransi baru yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan
kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata.kata, atau kalimat yang dapat
menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban
penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.
(2) Dalam polis atau dokumen yang merupakan kesatuan dengannya, harus dimuat rincian
mengenai bagian premi yang diteruskan kepada Perusahaan Asuransi dan bagian premi yang
dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 20
(1) Premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan
secara diskriminatif.
(2) Tingkat premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinilai tidak mencukupi, apabila:
a. sedemikian rendah sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan
dalam polis asuransi yang bersangkutan;
b. penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan membahayakan tingkat solvabilitas
perusahaan;
c. penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan dapat merusak iklim kompetisi yang
sehat.
(3) Tingkat premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinilai berlebihan apabila sedemikian
tinggi sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam polis
asuransi yang bersangkutan.
(4) Penerapan tingkat premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinilai bersifat diskriminatif
apabila tertanggung dengan luas penutupan yang sama serta dengan jenis dan tingkat risiko
yang sama dikenakan tingkat premi yang berbeda.
Pasal 21
(1) Penetapan tingkat premi asuransi harus didasarkan pada perhitungan analisis risiko yang
sehat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 22
(1) Premi asuransi dapat dibayarkan langsung oleh tertanggung kepada Perusahaan Asuransi,
atau melalui Perusahaan Pialang Asuransi untuk kepentingan tertanggung.
(2) Dalam hal premi asuransi dibayarkan melalui Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Asuransi wajib menyerahkan premi tersebut kepada Perusahaan Asuransi sebelum
berakhimya tenggang waktu pembayaran premi yang ditetapkan dalam polis asuransi yang
bersangkutan.
(3) Dalam hal
penyerahan
premi
oleh Perusahaan Pialang Asuransi
dilakukan
setelah
berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Perusahaan Pialang
Asuransi yang bersangkutan wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul
dari kerugian yang terjadi dalam jangka waktu antara habisnya tenggang waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan diserahkannya premi kepada Perusahaan Asuransi.
Pasal 23
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat
memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran
klaim.
(2) Tertanggung dalam molakukan pengurusan penyelesaian klaim dapat menunjuk pihak lain,
termasuk Perusahaan Pialang Asuransi yang dipergunakan jasanya oleh tertanggung dalam
penutupan asuransi yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24
(1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib memberikan keterangan yang sejelas.jelasnya kepada
penanggung tentang obyek asuransi yang dipertanggungkan, dan wajib menjelaskan secara
benar kepada tertanggung tentang ketentuan isi polis, termasuk mengenai hak dan kewajiban
tertanggung.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menerbitkan dokumen penutupan sementara dan atau
polis asuransi.
(3) Perusahaan Pialang Asuransi harus menjaga perimbangan yang schat antara jumlah premi
yang belum disetor kepada Perusahaan Asuransi dan jumlah modal sendiri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 25
(1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memberikan keterangan yang sejelas.jelasnya kepada
penanggung ulang tentang obyek asuransi yang diasuransikan, serta kepada penanggung
tentang hak dan kewajibannya.
(2) Perusahaan Pialang Reasuransi yang menerima pembayaran premi dari penanggung wajib
menyetorkannya kepada penanggung ulang sesuai dengan tenggang waktu pembayaran
premi sebagaimana yang tertera dalam perjanjian reasuransi.
Pasal 26
(1) Setiap penilai kerugian asuransi
dalam menjalankan usahanya harus mempergunakan
keahlian berdasarkan norma profesi yang berlaku.
(2) Setiap konsultan aktuaria dalam menjalankan kegiatan usahanya harus mempergunakan
keahlian berdasarkan norma profesi yang berlaku.
(3) Menteri dapat memberikan arahan bagi penilai kerugian asuransi dan konsultan aktuaria
dalam menyusun norma profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 27
(1) Setiap Agen Asuransi hanya dapat menjadi agen dari 1 (satu) Perusahaan Asuransi.
(2) Agen Asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang
diageni.
(3) Semua tindakan Agen Asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung
jawab Perusahaan Asuransi yang diageni.
(4) Agen Asuransi dalam menjalankan kegiatannya harus memberikan keterangan yang benar
dan jelas kepada calon tertanggung tentang program asuransi yang dipasarkan dan ketentuan
isi polis, termasuk mengenai hak dan kewajiban calon tertanggung.
Pasal 28
(1) Perusahaan Perasuransian dapat menggunakan tenaga asing sebagai tenaga ahli, penaschat
atau konsultan yang penggunaannya :
a. hanya untuk melaksanakan proyek atau program tertentu yang berkaitan dengan kegiatan
operasional di bidang perasuransian; dan
b. jangka waktu untuk proyek atau program sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling
lama 5 (lima) tahun.
(2) Perusahaan Perasuransian yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat menggunakan tenaga asing sebagai
tenaga eksekutif di luar Pengurus dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. tenaga asing tersebut menduduki jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja warga
negara Indonesia;
b. mempunyai program Indonesianisasi yang jelas melalui pendidikan dan latihan.
(3) Disamping persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penggunaan
tenaga kerja asing serta tatacara penggunaannya mengikuti peraturan perundang.undangan
di bidang ketenagakerjaaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Setiap pembukaan kantor cabang Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yang
dalam kegiatannya memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak penutupan asuransi
dan atau menandatangani polis dan atau menetapkan untuk membayar atau menolak klaim,
harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Menteri.
(2) Untuk memperoleh izin pembukaan kantor sebagaimana dimaksud
Perusahaan Asuransi
solvabilitas.
(3) Kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memiliki tenaga ahli, sistem administrasi
dan sistem pengolahan data yang memadai.
(4) Setiap pembukaan kantor Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi selain kantor
cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus terlebih dahulu dilaporkan kepada
Menteri.
(5) Setiap pembukaan kantor cabang Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dalam bentuk atau
dengan nama apapun harus terlebih dahulu dilaporkan kepada Mcnteri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 30
(1) Izin pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dapat
dicabut, apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal izin pembukaan
kantor cabang ditetapkan, kantor cabang yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan
usahanya.
(2) Setiap penutupan kantor cabang Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 wajib dilaporkan kepada Menteri.
Pasal 31
(1) Setiap perubahan terhadap ketentuan persyaratan yang telah dipenuhi dalam rangka
pemberian izin usaha, harus terlebih dahulu dilaporkan kepada Menteri.
(2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memenuhi ketentuan
Peraturan Pemerintah ini
dilakukannya perbaikan terhadap perubahan dimaksud agar tetap memenuhi ketentuan yang
berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
beserta peraturan pelaksanaanya, Menteri memerintahkan
dalam ayat
(1),
atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi ketentuan tingkat
BAB VI
PENYELENGGARAAN PROGRAM ASURANSI SOSIAL
Pasal 32
(1) Program Asuransi Sosial merupakan program asuransi yang diselenggarakan secara wajib
berdasarkan suatu Undang.undang.
(2) Program Asuransi Sosial sebagaimana dimaksud dalam
ayat
(1) hanya dapat
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk khusus untuk itu.
Pasal 33
Perusahaan Asuransi
yang
menyelenggarakan
Program
Asuransi
menyelenggarakan program asuransi lain selain Program Asuransi Sosial.
Pasal 34
Perusahaan Asuransi
yang menyelenggarakan Program Asuransi
Sosial
dalam
menyelenggarakan usahanya wajib memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah ini beserta
peraturan pelaksanaannya.
Pasal 35
(1) Perusahaan Asuransi yang telah menyelenggarakan Program Asuransi Sosial pada saat
ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, diwajibkan untuk menyesuaikan kegiatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
serta jangka waktunya ditetapkan oleh Menteri.
BAB VII
MERGER DAN KONSOLIDASI
Pasal 36
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang akan melakukan merger atau
konsolidasi harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Menteri.
(2) Merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan antara:
a. Perusahaan Asuransi Kerugian dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau dengan
Perusahaan Reasuransi, untuk membentuk Perusahaan Asuransi Kerugian;
b. Perusahaan Reasuransi dengan Perusahaan Reasuransi
Asuransi Kerugian, untuk membentuk Perusahaan Reasuransi; atau
c. Perusahaan Asuransi
Jiwa dengan Perusahaan Asuransi
Perusahaan Asuransi Jiwa.
(3) Untuk memperoleh persetujuan merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), harus dipenuhi ketentuan:
a. Merger atau konsolidasi tersebut tidak mengurangi hak tertanggung;
b. Kondisi keuangan perusahaan hasil merger atau konsolidasi harus tetap memenuhi
ketentuan mengenai tingkat solvabilitas.
Jiwa,
untuk membentuk
Sosial
dilarang
atau dengan Perusahaan
(4) Tatacara permohonan persetujuan untuk melakukan merger atau konsolidasi ditetapkan oleh
Menteri.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 37
Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini
dan
peraturan
pelaksanaannya
tentang perizinan
usaha,
kesehatan
keuangan,
penyelenggaraan usaha, penyampaian laporan, pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi,
atau tentang pemeriksaan langsung, dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan
usaha, dan sanksi pencabutan izin usaha.
Pasal 38
(1) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, maka terhadap:
a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan
keuangan tahunan dan laporan operational tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca
dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda
administratip Rp. 1.000.000,. (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
b. Perusahaan Pialang Asuransi
atau Perusahaan Pialang Reasuransi
yang
tidak
menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operational tahunan sesuai
dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratip Rp. 500.000,. (lima
ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 39
(1) Pengenaan denda administratip berakhir pada saat pembayaran
denda
ke Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara yang diikuti dengan penyampaian laporan keuangan
tahunan dan atau laporan operasional
tahunan dan atau pengumuman neraca dan
perhitungan laba rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selambat.lambatnya dalam 2
(dua) hari kerja.
(2) Dalam hal
laporan keuangan tahunan dan atau laporan operasional
tahunan
telah
disampaikan dan atau neraca dan perhitungan laba rugi telah diumumkan tetapi perusahaan
yang bersangkutan belum membayar denda administratip, denda tersebut dinyatakah sebagai
hutang kepada negara yang harus dicantumkan dalam neraca pcrusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 40
Perusahaan Perasuransian yang telah dikenakan denda selama 90 (sembilan puluh) hari
keterlambatan tetapi belum juga menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,
dengan tidak membebaskan kewajiban membayar denda yang telah dikenakan untuk jangka 90
(sembilan puluh) hari termaksud, dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha.
Pasal 41
(1) Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
(2) Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan paling
banyak 3 (tiga) kali berturut.turut dengan jangka waktu paling lama masing.masing 1 (satu)
bulan.
(3) Dalam hal perusahaan telah dikenakan sanksi peringatan terakhir, dan dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari setelah peringatan dimaksud perusahaan tetap tidak memenuhi kewajiban
yang dipersyaratkan, perusahaan yang bersangkutan dikenakan sanksi pembatasan kegiatan
usaha.
Pasal 42
(1) Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) berlaku
sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Dalam hal Menteri menilai diperlukan adanya suatu rencana kerja dalam rangka mengatasi
penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha pada saat penetapan pembatasan kegiatan
usaha Menteri dapat memerintahkan penyusunan rencana kerja yang harus disampaikan
kepada Menteri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
(3) Dalam hal Perusahaan Perasuransian dapat mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan
kegiatan usaha dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat
mencabut sanksi pembatasan kegiatan usaha.
(4) Dalam hal Perusahaan Perasuransian tidak dapat mengatasi
penyebab dari
sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau
dari pelaksanaan rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam jangka waktu
sampai berakhirnya sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpulkan bahwa
perusahaan tidak mampu atau tidak bersedia mengatasi penyebab dari sanksi termaksud,
Menteri mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 43
(1) Menteri dapat mencabut izin usaha Perusahaan Pialang Asuransi yang diwajibkan membayar
klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
(2) Tanpa mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42, pencabutan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan tahapan pelaksanaan sebagai
berikut:
a. Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya
kewajiban pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
usaha
sanksi pembatasan
Perusahaan Pialang Asuransi tidak memenuhi kewajiban pembayaran klaim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat
kegiatan
(3)
(3)
dalam jangka waktu 1 (satu)
ditetapkannya sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c. Pengenaan sanksi pencabutan izin usaha dilakukan oleh Menteri apabila Perusahaan
Pialang Asuransi tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran klaim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat
dalam jangka waktu 1 (satu)
(3) Dalam hal
bulan setelah
ditetapkannya sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
terdapat Perusahaan Pialang Asuransi
yang diwajibkan membayar klaim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) untuk kedua kalinya, maka pelanggaran yang
dilakukan oleh Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan dianggap sebagai kelanjutan
dari pelanggaran sebelumnya dan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bulan setelah
dilakukan
oleh Menteri
apabila
b. Pengenaan
(1), Menteri
dilakukan dengan mengikuti kelanjutan tahapan pelaksanaan pengenaan sanksi yang pernah
dilakukan tanpa harus mengulangi dari tahap pemberian peringatan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44
(1) Bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha pada saat Peraturan
Pemerintah ini
ditetapkan, izin usahanya dinyatakan telap berlaku, dan
(2) Perusahaan Pialang Asuransi
menyesuaikan diri dengan kctentuan.ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
peraturan pelaksanaannya.
diwajibkan
serta
yang telah mendapat izin usaha pada saat Peraturan
Pcmerintah ini ditetapkan, wajib memperbarui izin usahanya sebagai Perusahaan Pialang
Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi.
(3) Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 45
Peraturan pelaksanaan Kcputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1988 tentang Usaha Di Bidang
Asuransi Kerugian serta ketentuan lainnya masih berlaku sampai dengan diberlakukannya
peraturan perundang. undangan yang menggantikannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1988
tentang Usaha Di Bidang Asuransi Kerugian dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 47
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
MOERDIONO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG
PENYELEGGARAAN USAHA PERASURANSIAN
UMUM
Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Pembangunan Nasional atas dasar kekuatan
sendiri, diperlukan upaya menata lembaga-lembaga keuangan agar mampu melaksanakan
fungsinya menyediakan jasa keuangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia usaha, serta
dapat benar-benar memperoleh kepercayaan dari masyarakat atas ketangguhan dan
keandalannya, sehingga semakin mampu berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,
memperluas pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya termasuk memperluas kesempatan
berusaha dan lapangan kerja.
Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian, maka telah terdapat salah satu perangkat hukum bagi industri perasuransian yang
merupakan salah satu unsur lembaga keuangan, yang diharapkan dapat berperan dalam
menanggulangi risiko yang dihadapi anggota masyarakat dan sekaligus merupakan salah satu
lembaga penghimpun dana masyarakat.
Dalam memperkuat pelaksanaan fungsi Perusahaan Perasuransian, perlu diberikan kesempatan
yang luas kepada pihak-pihak yang ingin berusaha di bidang perasuransian, sekaligus dengan
penegasan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha tersebut
dilakukan secara sehat dan
bertanggung jawab, dan tidak mengabaikan kepentingan masyarakat pada umumnya atau
tertanggung khususnya.
Untuk itu, dalam melaksanakan kegiatan usahanya Perusahaan Perasuransian perlu tetap
mempertahankan ketaatannya pada syarat- syarat penyelenggaraan usaha, termasuk mengenai
tingkat kesehatan usaha, sebagaimana yang dipersyaratkan di dalam Peraturan Pemerintah ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Pada dasarnya, setiap obyek asuransi di Indonesia harus diasuransikan pada Perusahaan
Asuransi di Indonesia. Namun demikian, apabila tidak ada satu pun Perusahaan Asuransi
yang mampu atau bersedia melakukan penutupan asuransi
atas obyek yang
bersangkutan, penutupannya dimungkinkan dilakukan oleh Perusahaan Asuransi di luar
negeri.
Pasal 3
Ayat
(1)
Dalam anggaran dasar harus dinyatakan secara tegas jenis usaha perasuransian yang
akan dijalankan.
Contoh peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku dalam huruf c,
adalah
Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian beserta peraturan
pelaksanaannya serta Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
Ayat
Pasal 4
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan modal disetor dalam Peraturan Pemerintah ini adalah modal
disetor perseroan terbatas, atau simpanan pokok dan simpanan wajib koperasi, atau dana
awal usaha bersama.
Ketentuan permodalan tidak dikenakan pada Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria karena dalam kegiatan
perusahaan-perusahaan dimaksud yang lebih dominan adalah unsur profesionalisme.
Dengan demikian, unsur permodalan diharapkan dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan
kebutuhan perusahaan yang bersangkutan dalam menjalankan kegiatan usahanya tanpa
perlu adanya pengaturan.
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Apabila terjadi perubahan pemegang saham, maka pemegang saham baru wajib tunduk
dan mengikatkan diri pada perjanjian kerjasama yang telah dibuat oleh para pemegang
saham pendiri, yang antara lain memuat tentang peningkatan kepemilikan saham pihak
Indonesia.
Peningkatan kepemilikan saham pihak Indonesia tersebut dapat ditempuh antara lain
melalui penjualan saham dari pihak asing kepada pihak Indonesia, peningkatan
penyertaan modal pihak Indonesia, dan atau penjualan saham melalui bursa efek di
Indonesia.
Pasal 7
Ayat
(1)
Cukup jelas
(2)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Bunga atau hasil deposito yang ditempatkan atas nama Menteri untuk kepentingan
perusahaan adalah menjadi hak perusahaan yang bersangkutan.
Ayat
(4)
Cukup jelas
Ayat
(5)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat
(1)
Pengembangan sumber daya manusia yang dimaksudkan dalam Ayat
(2)
(3)
(4)
(1) huruf a
termasuk pula peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi para Agen Asuransi yang
melakukan kegiatan pemasaran untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi yang diageni.
Ayat
Cukup jelas
Ayat
Cukup jelas
Ayat
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Sebelum berakhirnya jangka waktu 1 (satu) tahun, Perusahaan Perasuransian dapat
mempersiapkan diri dan mengajukan izin usaha.
Ayat
(5)
Yang dimaksud dengan retrosesi
penutupan reasuransi.
Ayat
(6)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
dalam huruf h adalah pertanggungan ulang atas
Ayat
Pasal 12
Ayat
(3)
Cukup jelas
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Yang dimaksud dengan premi bruto dalam ayat ini adalah premi penutupan langsung
ditambah premi penutupan tidak langsung, setelah masing-masing dikurangi komisi.
Sedangkan premi neto adalah premi bruto dikurangi premi reasuransi dibayar, setelah
premi reasuransi dibayar tersebut dikurangi komisinya.
Contoh perhitungan :
Seandainya perusahaan menerima premi penutupan langsung Rp. 1.000,- dengan komisi
dibayar 20%. Dari penutupan langsung tersebut direasuransikan 50%-nya. Untuk itu
perusahaan menerima komisi
reasuransi sebesar 25% dari
premi
reasuransi yang
dibayarnya. Di samping itu perusahaan menerima pula premi penutupan tidak langsung
Rp. 300,-. dengan komisi reasuransi dibayar sebesar 25% pula. Maka premi bruto dan
premi neto sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah sebagai berikut :
PENUTUPAN LANGSUNG :
a. Premi diterima= Rp. 1.000,-
b. Komisi keperantaraan Dibayar (20% x a)= Rp. 200,-
PENUTUPAN REASURANSI :
c. Premi reasuransi dibayar (50% x a) = Rp. 500,-
d. Komisi reasuransi diterima (25% x c) = Rp.
125,-
PENUTUPAN TIDAK LANGSUNG :
e. Premi diterima = Rp. 300,-
f. Komisi dibayar (25% x e)= Rp. 75,-
PREMI BRUTO =
(Premi penutupan lsg - Komisi penutupan lsg) +
(Premi Penutupan tdk lsg – Komisi penutupan tdk lsg)
= [a - b] + [e – f)
= [Rp 1.000,- - Rp 200,-] + [Rp 300,- Rp 75,-]
= Rp 1.025,-
PREMI NETO =
PREMI BRUTO - (Premi Reasuransi dibyr - Komisi Reasuransi ditrm)
= Rp 1.025;48,- - [Rp 5OO- - Rp 125,-]
= Rp 650,-
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat
(1)
Dana yang diinvestasikan oleh Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi
sebagian besar berasal dari masyarakat dan berkaitan dengan kewajiban perusahaan
yang bersangkutan kepada para tertanggung. Oleh sebab itu, pengelolaan investasi harus
dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek yuridis, tingkat risiko, tingkat keuntungan,
dan tingkat likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk itu,
Menteri menetapkan jenis-jenis investasi yang dapat dilakukan, misalnya deposito, serta
saham dan obligasi yang diperjual belikan di bursa efek di Indonesia.
Ayat
Pasal 14
Ayat
(2)
Cukup jelas
(1)
Cadangan teknis menggambarkan kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi, yang timbul dalam rangka transaksi asuransi. Dengan ketentuan Pasal
ini.
Perusahaan Asuransi Kerugian harus membentuk cadangan teknis, yaitu:
- cadangan atas premi
reserve), yaitu bagian premi dari pertanggungan yang masih berjalan,
- cadangan klaim.
- Perusahaan Asuransi Jiwa, dengan mempertimbangkan jenis program asuransi yang
dipasarkan, harus membentuk cadangan teknis, yaitu:
- cadangan premi,
- cadangan premi anuitas,
- cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan,
- cadangan klaim.
Perusahaan Reasuransi, dengan mempertimbangkan jenis asuransi
reasuransinya, harus membentuk cadangan teknis, yaitu:
- cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan,
- cadangan premi,
- cadangan klaim.
Ayat
(2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat. (2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Ayat
(5)
Cukup jelas
yang belum merupakan pendapatan (unearned premium
yang ditutup
Pasal 16
Ayat
(1)
Ketentuan dalam ayat ini melarang perjanjian reasuransi yang memungkinkan pihak
penanggung ulang memperoleh penerimaan yang sudah dipastikan tidak kurang dari
jumlah tertentu, terlepas dari besarnya klaim yang dicakup dalam perjanjian reasuransi
dimaksud.
Ayat
(2)
Cukup jelas
Pasal 17
Yang dimaksud dengan pemasaran program asuransi adalah setiap kegiatan yang secara
langsung atau tidak langsung dilakukan untuk menarik calon tertanggung,
kegiatan promosi, iklan, brosur, dan prospektus.
termasuk
Pasal 18
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat
(1)
Termasuk dalam pembayaran premi
(2)
(3)
asuransi
Perusahaan Asuransi adalah setiap pembayaran baik
langsung dari tertanggung kepada
dilakukan langsung kepada
Perusahaan Asuransi maupun pembayaran melalui badan perantara yang ditunjuk oleh
Perusahaan Asuransi, misalnya Agen Asuransi, bank, dan sebagainya.
Ayat
Cukup jelas
Ayat
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Ayat
(5)
Cukup jelas
Ayat
(6)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat
(1)
Dalam ketentuan ini
(2)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat
(1)
cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Pasal 37
Sanksi pembatasan kegiatan usaha dapat dilakukan antara lain dalam bentuk :
a. Larangan melakukan penutupan pertanggungan baru bagi Perusahaan Asuransi;
b. Larangan melakukan penutupan pertanggungan ulang yang baru bagi Perusahaan
Reasuransi;
c. Larangan melakukan jasa keperantaraan bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan
Perusahaan Pialang Reasuransi;
d. Larangan melakukan jasa konsultasi aktuaria bagi Perusahaan Konsultan Aktuaria;
e. Larangan melakukan jasa penilaian kerugian bagi Perusahaan Penilai Kerugian
Asuransi;
f. Larangan melakukan jasa pemasaran bagi Agen Asuransi.
Pasal 38
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
dikandung pengertian bahwa Program Asuransi Sosial
tersebut
didasarkan pada undang-undang tersendiri dan penyelenggaraannya bersifat wajib.
Ayat
Pasal 39
Ayat
(1)
Dalam hal laporan disampaikan melalui usaha jasa pengiriman, batas waktu 2 (dua) hari
kerja dihitung sejak tanggal pembayaran denda sampai dengan tanggal pengiriman
melalui usaha jasa pengiriman.
Untuk pemenuhan pengumuman neraca dan laporan laba rugi pada surat kabar harian,
batas waktu 2 (dua) hari kerja dihitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemuatan
pengumuman neraca dan laporan laba rugi dimaksud pada surat kabar harian.
Ayat
(2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat
(4)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat
(1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat
(3)
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
| <reg_id> 73/PP/1992 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 30 Oktober 1992 </set_date>
<effective_date> 30 Oktober 1992 </effective_date>
<issued_date> 30 Oktober 1992 </issued_date>
<replaced_reg> '40/KEPPRES/1988' </replaced_reg>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '2/UU/1992', '25/UU/1992', '23/STBLD/1847', '4/UU/1971' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PP. No. : 46 Tahun 1995
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 1995
TENTANG
TATA CARA PEMERIKSAAN DI BIDANG PASAR MODAL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, Bapepam
berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap setiap
Pihak yang melakukan pelanggaran atau terlibat dalam pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diatur mengenai
tata cara pemeriksaan di bidang Pasar Modal dengan Peraturan
Pemerintah;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN
DI BIDANG PASAR MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Bapepam yang diangkat oleh
Ketua Bapepam sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 100 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
2. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, dan mengolah data
dan atau keterangan lain yang dilakukan oleh Pemeriksa untuk membuktikan ada atau
tidak adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
II- 1
PP. No. : 46 Tahun 1995
BAB II
TUJUAN PEMERIKSAAN
Pasal 2
(1) Tujuan pemeriksaan adalah membuktikan ada atau tidak adanya pelanggaran atas
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan dalam hal :
a. adanya laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari Pihak tentang adanya
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
b. tidak dipenuhinya kewajiban yang harus dilakukan oleh Pihak-Pihak yang memperoleh
perizinan, persetujuan atau pendaftaran dari Bapepam atau Pihak lain yang
dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam; atau
c. terdapat petunjuk tentang terjadinya pelanggaran atas peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal.
BAB III
NORMA PEMERIKSAAN
Pasal 3
Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada norma pemeriksaan yang menyangkut
Pemeriksa, pelaksanaan pemeriksaan, dan Pihak yang diperiksa.
Pasal 4
Norma pemeriksaan yang menyangkut Pemeriksa adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksa harus memiliki Tanda Pengenal Pemeriksa serta dilengkapi dengan Surat
Perintah Pemeriksaan dari Ketua Bapepam pada waktu melakukan pemeriksaan;
b. Pemeriksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan
kepada Pihak yang diperiksa;
c. Pemeriksa memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah
Pemeriksaan kepada Pihak yang diperiksa;
d. Pemeriksa menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Pihak yang akan
diperiksa;
e. Pemeriksa wajib membuat laporan hasil pemeriksaan; dan
f. Pemeriksa dilarang memberitahukan kepada Pihak lain yang tidak berhak segala
sesuatu yang diketahui atau yang diberitahukan kepadanya oleh Pihak yang diperiksa
dalam rangka pemeriksaan.
Pasal 5
Norma pemeriksaan yang menyangkut pelaksanaan pemeriksaan adalah sebagai berikut :
II- 2
PP. No. : 46 Tahun 1995
a. pemeriksaan hanya dapat dilakukan oleh lebih dari satu orang Pemeriksa;
b. pemeriksaan dilaksanakan di kantor Pemeriksa, di kantor atau di pabrik atau di tempat
usaha atau di tempat tinggal atau di tempat lain yang diduga ada kaitannya dengan
pelanggaran yang terjadi;
c. pemeriksaan dilaksanakan pada jam dan hari kerja dan dapat dilanjutkan di luar jam
kerja dan hari kerja, jika dipandang perlu;
d. Hasil pemeriksaan diwujudkan dalam laporan pemeriksaan; dan
e. Hasil pemeriksaan yang disetujui Pihak yang diperiksa, dibuatkan surat pernyataan
tentang persetujuannya dan ditandatangani oleh yang bersangkutan.
Pasal 6
Norma pemeriksaan yang menyangkut Pihak yang diperiksa adalah sebagai berikut :
a. Pihak yang diperiksa berhak meminta kepada Pemeriksa untuk memperlihatkan Surat
Perintah Pemeriksaan dan Tanda Pengenal Pemeriksa;
b. Pihak yang diperiksa berhak meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan penjelasan
tentang maksud dan tujuan pemeriksaan; dan
c. Pihak yang diperiksa menandatangani surat pernyataan persetujuan tentang hasil
pemeriksaan.
Pasal 7
Pelaksanaan pemeriksaan terhadap Pihak yang diperiksa didasarkan pada pedoman pemeriksaan
yang meliputi pedoman umum pemeriksaan, pedoman pelaksanaan pemeriksaan, dan pedoman
laporan pemeriksaan.
Pasal 8
Pedoman umum pemeriksaan mengatur hal-hal sebagai berikut :
a. pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa yang telah mendapat pendidikan teknis yang
cukup dan dapat menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memiliki
ketrampilan sebagai Pemeriksa;
b. Pemeriksa harus bekerja dengan jujur, wajar, bertanggung jawab, penuh pengabdian
serta wajib menghindarkan diri dari tindakan yang merugikan kebebasan bertindak
selayaknya sebagai Pemeriksa yang baik; dan
c. laporan pemeriksaan harus dibuat oleh Pemeriksa secara cermat dan seksama serta
memberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Pasal 9
Pedoman pelaksanaan pemeriksaan mengatur hal-hal sebagai berikut :
a. pelaksanaan pemeriksaan harus dilakukan dengan persiapan sebaik-baiknya, juga
dengan memperhatikan tujuan pemeriksaan, serta harus ada pengawasan dan bimbingan
yang seksama terhadap Pemeriksa;
II- 3
PP. No. : 46 Tahun 1995
b. ruang lingkup pemeriksaan ditentukan berdasarkan tingkatan petunjuk yang diperoleh
yang harus dikembangkan dengan bukti yang kuat dan berkaitan melalui pencocokan,
pengamatan, tanya jawab, dan data-data; dan
c. kesimpulan harus didasarkan pada bukti yang berkaitan dengan lingkup pemeriksaan
dan berlandaskan pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar
Modal.
Pasal 10
Pedoman laporan pemeriksaan mengatur hal-hal sebagai berikut :
a. dalam menyusun laporan pemeriksaan, Pemeriksa wajib memperhatikan:
1) sifat dari pelanggaran;
2) bukti atau petunjuk adanya pelanggaran;
3) pengaruh atau akibat dari pelanggaran;
4) ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang dilanggar;
dan
5) hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan;
b. laporan pemeriksaan disusun secara jelas, terinci, dan ringkas serta memuat ruang
lingkup yang sesuai dengan tujuan pemeriksaan.
c. uraian dan kesimpulan didukung oleh alasan dan bukti yang cukup tentang ada atau
tidak adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan ditetapkan oleh Bapepam.
BAB IV
TATA CARA PEMERIKSAAN
Pasal 12
(1) Pemeriksaan dimulai setelah memperoleh penetapan Ketua Bapepam.
(2) Penetapan Ketua Bapepam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikeluarkan, setelah
disusun program pemeriksaan yang sekurang-kurangnya memuat :
a. tujuan pemeriksaan;
b. ruang lingkup pemeriksaan; dan
c. saat dimulainya pemeriksaan.
(3) Dalam melakukan pemeriksaan, Pemeriksa dapat :
a. meminta keterangan, konfirmasi, dan atau bukti yang diperlukan dari Pihak yang
diperiksa dan atau Pihak lain yang diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan;
b. memerintahkan Pihak yang diperiksa untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan
tertentu;
c. memeriksa catatan, pembukuan, dan atau dokumen pendukung lainnya;
II- 4
PP. No. : 46 Tahun 1995
d. meminjam atau membuat salinan atas catatan pembukuan, dan atau dokumen lainnya
sepanjang diperlukan;
e. memasuki tempat atau ruangan tertentu yang diduga merupakan tempat menyimpan
catatan, pembukuan, dan atau dokumen lainnya; dan
f. memerintahkan Pihak yang diperiksa untuk mengamankan catatan, pembukuan, dan
atau dokumen lainnya yang berada dalam tempat atau ruangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf e, untuk kepentingan pemeriksaan.
(4) Atas peminjaman catatan, pembukuan dan dokumen lainnya sebagaimana dimaksud
ayat (2) huruf d diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara jelas dan
terinci jenis serta jumlahnya.
Pasal 13
(1) Apabila pada saat dilakukan pemeriksaan, Pihak yang diperiksa atau wakil atau kuasanya
tidak ada di tempat, maka pemeriksaan tetap dapat dilangsungkan sepanjang ada Pihak
yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili Pihak
yang diperiksa, terbatas untuk hal yang boleh dilakukannya, dan selanjutnya pemeriksaan
ditunda untuk diulang pada kesempatan yang berikutnya.
(2) Sebagai upaya pengamanan, maka sebelum pemeriksaan ditunda, Pemeriksa dapat
memerintahkan Pihak yang diperiksa untuk melakukan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (3) huruf f.
(3) Apabila pada saat dilanjutkannya pemeriksaan kembali setelah dilakukan penundaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pihak yang diperiksa atau wakil atau kuasanya
tidak juga ada di tempat, maka pemeriksaan tetap dilaksanakan dengan terlebih dahulu
meminta pegawai Pihak yang diperiksa untuk membantu kelancaran pemeriksaan.
(4) Dalam hal Pihak yang diperiksa atau wakil atau kuasanya berada di tempat, tetapi menolak
atau menghambat pelaksanaan pemeriksaan, maka yang bersangkutan wajib
menandatangani Surat Pernyataan Menolak atau Menghambat Pemeriksaan.
(5) Dalam hal pegawai Pihak yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) menolak
untuk membantu atau menghambat kelancaran pemeriksaan, maka yang bersangkutan
wajib menandatangani Surat Pernyataan Menolak Membantu atau Menghambat Kelancaran
Pemeriksaan.
(6) Dalam hal terjadi penolakan untuk menandatangani sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) dan ayat (5), Pemeriksa membuat Berita Acara tentang penolakan tersebut yang
ditandatangani oleh Pemeriksa.
(7) Surat Pernyataan Menolak atau Menghambat Pemeriksaan, Surat Pernyataan Menolak
Membantu atau Menghambat Kelancaran Pemeriksaan atau Berita Acara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) dapat dijadikan dasar untuk dilakukan
penyidikan.
II- 5
PP. No. : 46 Tahun 1995
Pasal 14
(1) Pemeriksa membuat laporan pemeriksaan untuk digunakan sebagai dasar untuk
membuktikan ada atau tidak adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan
di bidang Pasar Modal.
(2) Laporan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada
Ketua Bapepam.
(1) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana
di bidang Pasar Modal, pemeriksaan tetap dilanjutkan dan Pemeriksa wajib membuat
laporan kepada Ketua Bapepam mengenai ditemukannya bukti permulaan tindak pidana
tersebut.
(2) Berdasarkan bukti permulaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Bapepam
dapat menetapkan dimulainya penyidikan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur oleh
Bapepam.
Pasal 17
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal.30 Desember 1995
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995 NOMOR 87
II- 6
Penjelasan PP. No. : 46/1995
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 1995
TENTANG
TATA CARA PEMERIKSAAN DI BIDANG PASAR MODAL
UMUM
Agar kegiatan di bidang Pasar Modal dapat dilaksanakan secara teratur, wajar, dan efisien, serta
agar masyarakat pemodal dapat terlindungi dari praktik yang merugikan dan tidak sejalan dengan
ketentuan perundang-undangan di bidang Pasar Modal, Bapepam mempunyai kewenangan untuk
melakukan pemeriksaan terhadap setiap Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
Untuk menjamin agar pemeriksaan tersebut dapat terlaksana dengan lancar dan tertib dengan
memperhatikan hak-hak dan kewajiban dari Pihak yang diperiksa, perlu diatur dengan Peraturan
Pemerintah tentang tata cara pemeriksaan sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 100 ayat (3)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
II- 7
Penjelasan PP. No. : 46/ 1995
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “norma pemeriksaan” dalam Pasal ini adalah ketentuan-ketentuan
yang mengatur hal-hal yang berkaitan antara Pemeriksa dengan Pihak yang diperiksa dalam
rangka pelaksanaan pemeriksaan.
Norma pemeriksaan wajib dipatuhi baik oleh Pemeriksa maupun oleh Pihak yang diperiksa,
agar pemeriksaan dapat terlaksana dengan lancar dan tertib.
Pasal 4
Huruf a
Tanda Pengenal Pemeriksa dalam Pasal ini diperlukan agar pemeriksaan dilakukan
hanya oleh Pemeriksa yang berwenang. Surat Perintah Pemeriksaan diperlukan agar
pemeriksaan hanya ditujukan terhadap Pihak yang diperiksa yang namanya tercantum
dalam Surat Perintah Pemeriksaan.
Sebelum pemeriksaan dimulai, Pemeriksa wajib memperlihatkan Tanda Pengenal
Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Pihak yang akan diperiksa.
Dalam hal Pemeriksa tidak memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah
Pemeriksaan, atau apabila identitas Pemeriksa yang tercantum dalam Tanda Pengenal
Pemeriksa tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Surat Perintah Pemeriksaan,
Pihak yang akan diperiksa berhak untuk menolak pemeriksaan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Ketentuan ini tidak membatasi kewenangan Bapepam untuk mengumumkan hasil
pemeriksaan.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
II- 8
Penjelasan PP. No. : 46/ 1995
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “pedoman pemeriksaan” dalam Pasal ini adalah suatu kaidah yang
memuat batasan-batasan yang harus dipenuhi Pemeriksa mengenai sifat, ruang lingkup,
dan isi laporan pemeriksaan.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
II- 9
Penjelasan PP. No. : 46/ 1995
Pasal 10
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Cukup jelas
Angka 3)
Cukup jelas
Angka 4)
Cukup jelas
Angka 5)
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
II- 10
Penjelasan PP. No. : 46/ 1995
Huruf d
Yang dimaksud dengan “membuat salinan” dalam huruf ini adalah termasuk pula
menggandakan dengan cara memfotocopy.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Untuk mencegah agar pembukuan, catatan dan atau dokumen lainnya yang berhubungan
dengan kegiatan Pihak yang diperiksa tidak dirusak, dimusnahkan, diganti, dipalsu,
dipindahtangankan dan sebagainya, maka sebelum Pemeriksa meninggalkan tempat
atau ruangan Pihak yang diperiksa, Pemeriksa dapat memerintahkan Pihak yang diperiksa
untuk melakukan pengamanan terhadap dokumen-dokumen tersebut untuk kepentingan
proses pemeriksaan.
Ketentuan ini dapat juga diberlakukan terhadap wakil, atau kuasa, atau Pihak yang dapat
dan mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili Pihak yang diperiksa.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
II- 11
Penjelasan PP. No. : 46/1995
Pasal 14
Ayat (1)
Laporan pemeriksaan memuat antara lain tujuan pemeriksaan, temuan yang diperoleh
dan kesimpulan hasil pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3618
II- 12
| <reg_id> 46/PP/1995 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PEMERIKSAAN DI BIDANG PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 30 Desember 1995 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 1996 </effective_date>
<issued_date> 30 Desember 1995 </issued_date>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '8/UU/1995' </related_reg>
|
PP No. 149 Th. 2000
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 149 TAHUN 2000
TENTANG
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA
UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI TUA
ATAU JAMINAN HARI TUA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Tebusan Pensiun dan; Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari
Tua;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI
TUA ATAU JAMINAN HARI TUA.
Pasal 1
Atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berupa uang
pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus
oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dipotong
Pajak Penghasilan yang bersifat final oleh pihak-pihak yang membayarkan.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dipotong Pajak Penghasilan
sebagai berikut:
a. Penghasilan bruto di atas Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebesar 5% (lima persen).
Page 1 of 2
PP No. 149 Th. 2000
b. Penghasilan bruto di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebesar 10% (sepuluh persen)
c. Penghasilan bruto di atas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebesar 15% (lima belas persen)
d. Penghasilan bruto di atas Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebesar 25% (dua
puluh lima persen)
(2) Dikecualikan dari pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila penghasilan
bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 jumlahnya Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) atau kurang.
Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 4
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan yang bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 266
Page 2 of 2
| <reg_id> 149/PP/2000 </reg_id>
<reg_title> PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2000 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2001 </effective_date>
<issued_date> 23 Desember 2000 </issued_date>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '6/UU/1983', '16/UU/2000', '7/UU/1983', '17/UU/2000' </related_reg>
|
PP. No. : 12 Tahun 2004
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1995
TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja Perusahaan Efek
melalui peningkatan permodalan Perusahaan Efek dan untuk menjamin
hak-hak kepemilikan Perusahaan Efek pada Bursa Efek, maka perlu
dilakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di
Bidang Pasar Modal;
Mengingat
: 1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang- Undang Dasar
1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan Keempat Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentangPenyelenggaraan
Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL.
II- 1
PP. No. : 12 Tahun 2004
Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 8 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal, sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 8
(1) Perusahaan Efek yang telah menjadi pemegang saham Bursa Efek tetapi kemudian tidak
lagi memenuhi syarat untuk menjadi Anggota Bursa Efek atau tidak lagi menjadi Anggota
Bursa Efek, wajib mengalihkan saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada Perusahaan
Efek lain yang memenuhi persyaratan sebagai Anggota Bursa Efek atau mengajukan
permintaan penjualan saham dimaksud kepada Bursa Efek, dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak saat Perusahaan Efek tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Anggota Bursa Efek atau tidak lagi menjadi Anggota Bursa Efek.
(2) Dalam hal kepemilikan saham belum beralih dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau Perusahaan Efek mengajukan permintaan penjualan saham kepada
Bursa Efek, Bursa Efek melelang saham dimaksud pada tingkat harga terbaik atau membeli
kembali saham tersebut pada harga nominal.
(3) Pelelangan atau pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan terhitung sejak lewatnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau sejak Bursa Efek menerima pengajuan
permintaan penjualan.
(4) Dalam hal Bursa Efek memutuskan untuk melelang saham sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), namun dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) saham dimaksud tidak terjual, maka Bursa Efek membeli saham tersebut pada harga
nominal.”
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
II- 2
PP. No. : 12 Tahun 2004
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Maret 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 27
II- 3
Penjelasan PP. No. : 12 Tahun 2004
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1995
TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN
DI BIDANG PASAR MODAL,
U M U M
Dalam rangka menciptakan Pasar Modal yang wajar, teratur dan efisien serta mampu bersaing
dalam era perdagangan bebas, diperlukan upaya untuk meningkatkan kinerja Perusahaan Efek
antara lain kualitas pelayanan, kualitas sumber daya manusia, ketaatan terhadap peraturan dan
kualitas sistem back office. Peningkatan kinerja Perusahaan Efek ini dapat dilakukan dengan
memperkuat kondisi keuangan dan kemampuan operasional Perusahaan Efek melalui peningkatan
permodalan Perusahaan Efek.
Peningkatan permodalan Perusahaan Efek dimaksud sejalan dengan General Principles International
Organization of Securities Commission (IOSCO), yang menyatakan bahwa harus ada peningkatan
secara terus menerus tentang persyaratan untuk menjadi perusahaan efek yang memperhatikan
prinsip kehati-hatian, seperti struktur permodalan awal dan pemeliharaannya sehubungan dengan
perkembangan potensi risiko yang ditanggung oleh Perusahaan Efek.
Dengan adanya peningkatan permodalan bagi Perusahaan Efek, maka untuk melindungi kepentingan
Perusahaan Efek yang saat ini telah memiliki saham Bursa Efek, maka jangka waktu pengalihan
saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada pihak lain perlu diperpanjang.
PASAL DEMI PASAL
PASAL I
Pasal 8
Cukup jelas.
PASAL II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4372
II-4
| <reg_id> 12/PP/2004 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 2 Maret 2004 </set_date>
<effective_date> 2 Maret 2004 </effective_date>
<issued_date> 2 Maret 2004 </issued_date>
<changed_reg> '45/PP/1995' </changed_reg>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33', '45/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
|
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 81 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN
1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa mencermati perkembangan industri perasuransian
nasional dan dalam rangka mengantisipasi krisis ekonomi
global yang melanda dunia pada saat ini, perlu dilakukan
penyesuaian terhadap ketentuan pentahapan pemenuhan
modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indoncsia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lerabaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Republik Indonesia Nomor 4856);
MEMUTUSKAN: ...
End of Page 1
REPUBLIK INDONESIA
2-
MEMUTUSKAN
Nlemeapian : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUDAA
ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN.
Pasal l
Ketentuan Pasal 6B Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran
aaNegara Republik Indonesia Nomor 3506
sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan
Pemerintah
a. Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3861);
b. Nomor 39 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4856);
diubah schingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6B
(1) Perusahaan Asuransi harus memiliki modal sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan
tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat
puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2010,
b. paling sedikit sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh
puluh miliar rupials) paling lambat tanggal 31 Desember
2012;
. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2014.
(2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki modal sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan
tahapan sebagai berikut
a. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupish) paling lambat tanggal 31 Desember 2010;,
b. paling sedikit ...
End of Page 2
PRESIDEN
- 3-
b. paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus
lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2012;
c. paling sedikit sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiahl paling lambat tanggal 31 Desember 2014.
Pasal II
pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah yang
dimiliki Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang telah ada dinyatakan berlaku sebagai izin untuk Unit
Syariah.
2. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, untuk
telah memiliki izin usaha berlaku ketentuan
a. modal dalam perhitungan dana jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), sampai dengan
tanggal 31 Desember 2010, adalah modal disetor
Pemerintah tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian yang mendasari pendirian Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi terscbut.
b. dalam hal memiliki Unit Syariah, modal dalam
dalam Pasal 7 ayat (1), sampai dengan tanggal 31
Desember 2010, adalah modal disctor minimum yang
dipersjaratkan dalam Peraturan Pemerintoht
pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi tersebut ditambah modal kerja minimum
Unit Syariah sestai dengan pentahapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6E.
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), setelah batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
lewat, adalah modal sendiri minimum sesuai dengan
dimalssud dalam Pasal 6B ditambah modal kerja
minimum Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam
End of Page 3
REPUBLIK INDONESIA
-4
Agar setiap orang mengctahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSTA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 212
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidanig Perekonomian dan Industri,
End of Page 4
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 81 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN
1. UMUM
Industri asuransi yang sehat, dapat diandalkan, dan kompetitif sangat
asuransi seperti itu perlu dilakukan penyempurnaan strulctur
permodalan dan tata kelola (govermance) dari para pelaku usaha
perasuransian. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai landasan
hukum untuk penyempurnaan tersebut.
Penyempurnaan ketentuan mengenai struktur permodalan dilakukan
pendirian baru Perusahaan Perasuransian dan keharusan menyesuaikan
modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin
usaha sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. Hal ini
dan kondisi ketiangan yang kuat dalam memberikan jasa perlindungan
dan/atau pelayanan kepada masyarakat dan mampu berkompetisi secara
sehat baik di tingkat nasionel, regional, maupun global.
Mencermati perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian
nasional dan dalam rangka mengantisipasi krisis ekonomi global yang
ketentuan mengenai jangka waktu pentahapan pemenuhan modal sendiri
bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal 6B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBUIK INDONESIA NOMOR 4954
End of Page 5
| <reg_id> 81/PP/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 31 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 31 Desember 2008 </effective_date>
<issued_date> 31 Desember 2008 </issued_date>
<changed_reg> '73/PP/1992' </changed_reg>
<extension_of> '63/PP/1999', '39/PP/2008' </extension_of>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '39/PP/2008', '73/PP/1992', '2/UU/1992' </related_reg>
|
PP. No. : 45 Tahun 1995
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 45 TAHUN 1995
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka mewujudkan kegiatan Pasar Modal yang teratur,
wajar, dan efisien, diperlukan adanya persyaratan yang wajib dipenuhi
oleh Pihak-Pihak yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal dan
ketentuan mengenai sanksi administratif bagi Pihak-Pihak tertentu
yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan
di bidang Pasar Modal;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
mengatur mengenai persyaratan dan tata cara perizinan, persetujuan,
dan pendaftaran untuk melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal
serta sanksi administratif dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat
: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3608);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN
DI BIDANG PASAR MODAL.
BAB I
BURSA EFEK
Pasal 1
Bursa Efek dapat menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam.
Pasal 2
Modal disetor Bursa Efek sekurang-kurangnya berjumlah Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima
ratus juta rupiah).
Pasal 3
(1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Bursa Efek diajukan kepada Bapepam disertai
dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut :
a. akta pendirian Perseroan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman;
II- 1
PP. No. : 45 Tahun 1995
b. daftar Perusahaan Efek yang menjadi pemegang saham Bursa Efek;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak Perseroan;
d. pertimbangan ekonomi yang mendasari pendirian Bursa Efek termasuk uraian tentang keadaan
pasar yang akan dilayaninya;
e. proyeksi keuangan 3 (tiga) tahun;
f.
rencana kegiatan 3 (tiga) tahun termasuk susunan organisasi, fasilitas komunikasi, dan program -
program latihan yang akan diadakan;
g. daftar calon direktur dan komisaris termasuk pejabat satu tingkat di bawah direksi;
h. daftar Pihak yang merencanakan untuk mencatatkan Efek di Bursa Efek;
i. rancangan peraturan mengenai keanggotaan, pencatatan, perdagangan, kesepadanan Efek, kliring
dan penyelesaian Transaksi Bursa, termasuk mengenai penetapan biaya dan iuran berkenaan
dengan jasa yang diberikan;
j. neraca pembukaan Perseroan yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam; dan
k. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin usaha
Bursa Efek yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang
bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
Pasal 4
Bapepam mempertimbangkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dengan memperhatikan:
a. integritas dan keahlian calon anggota direksi dan komisaris;
b. tingkat kelayakan dari rencana yang telah disusun; dan
c.
prospek terbentuknya suatu pasar yang teratur, wajar, dan efisien.
Pasal 5
(1) Yang dapat menjadi pemegang saham Bursa Efek adalah Perusahaan Efek yang telah memperoleh
izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek.
(2) Pada waktu pendirian, Bursa Efek wajib memiliki sekurang - kurangnya 50 (lima puluh) pemegang
saham.
(3) Bursa Efek wajib menerima permohonan Perusahaan Efek untuk menjadi pemegang saham Bursa
Efek sepanjang pemegang saham yang menjadi Anggota Bursa Efek tersebut belum mencapai 200
(dua ratus).
(1) Yang dapat menjadi Anggota Bursa Efek adalah pemegang saham Bursa Efek yang memenuhi
syarat sebagai Anggota Bursa Efek.
II- 2
PP. No. : 45 Tahun 1995
(2) Bursa Efek wajib menerima permohonan pemegang saham yang memenuhi syarat sebagai
Anggota Bursa Efek untuk menjadi Anggota Bursa Efek sepanjang jumlah Anggota Bursa
Efek belum mencapai 200 (dua ratus).
Pasal 7
(1) Pemindahan hak atas saham Bursa Efek hanya dapat dilakukan kepada Perusahaan Efek
yang telah mempunyai izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek dan memenuhi syarat
menjadi Anggota Bursa Efek tersebut.
(2) Pemindahan saham Bursa Efek hanya dapat dilakukan setelah adanya pernyataan Bursa
Efek bahwa Perusahaan Efek yang akan menerima peralihan saham Bursa Efek tersebut telah
memenuhi syarat menjadi Anggota Bursa Efek.
Pasal 8
(1) Perusahaan Efek yang telah menjadi pemegang saham Bursa Efek tetapi kemudian tidak
memenuhi syarat untuk menjadi Anggota Bursa Efek wajib mengalihkan saham Bursa Efek
yang dimilikinya kepada Perusahaan Efek lain yang memenuhi persyaratan sebagai Anggota
Bursa Efek selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
saham Bursa Efek tersebut dimiliki oleh Perusahaan Efek dimaksud.
(2) Perusahaan Efek yang tidak lagi menjadi Anggota Bursa Efek wajib mengalihkan saham
Bursa Efek yang dimilikinya kepada Perusahaan Efek lain yang memenuhi persyaratan sebagai
Anggota Bursa Efek selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat
Perusahaan Efek tersebut tidak lagi menjadi Anggota Bursa Efek.
(3) Dalam hal Perusahaan Efek tidak mengalihkan saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada
Perusahaan Efek lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), maka Bursa Efek
melelang saham Bursa Efek dimaksud pada tingkat harga terbaik dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak dilampauinya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2).
(4) Dalam hal saham Bursa Efek tidak dapat dialihkan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), maka Perusahaan Efek yang memiliki saham Bursa Efek wajib menjual saham
tersebut kepada Bursa Efek dan Bursa Efek wajib membeli saham tersebut pada harga
nominal.
Pasal 9
(1) Jumlah anggota direksi dan komisaris Bursa Efek masing-masing sebanyak-banyaknya 7
(tujuh) orang.
(2) Anggota direksi dilarang mempunyai jabatan rangkap sebagai anggota direksi, komisaris
atau pegawai pada perusahaan lain.
(3) Anggota direksi dan komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat
diangkat kembali.
II- 3
PP. No. : 45 Tahun 1995
Pasal 10
(1) Saham Bursa Efek adalah saham atas nama yang mempunyai nilai nominal dan hak suara
yang sama.
(2) Setiap pemegang saham Bursa Efek hanya dapat memiliki 1 (satu) saham.
(3) Perusahaan Efek pemegang saham Bursa Efek yang tidak memenuhi syarat menjadi Anggota
Bursa Efek atau tidak lagi menjadi Anggota Bursa Efek, tidak dapat menggunakan hak
suara atas saham yang dimilikinya.
(4) Bursa Efek dilarang membagikan dividen kepada pemegang saham.
Pasal 11
Perusahaan Efek yang menjadi pemegang saham Bursa Efek dilarang mempunyai hubungan
dengan Perusahaan Efek lain yang juga menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama
melalui :
a. kepemilikan, baik langsung maupun tidak langsung, sekurang-kurangnya 20% (dua puluh
perseratus) dari saham yang mempunyai hak suara;
b. perangkapan jabatan sebagai anggota direksi atau komisaris; atau
c. pengendalian di bidang pengelolaan dan atau kebijaksanaan perusahaan, baik langsung
maupun tidak langsung.
Pasal 12
Pemegang saham Bursa Efek wajib menyerahkan surat saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada
Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagai jaminan atas transaksi Efek yang dilakukannya.
Pasal 13
(1) Anggaran dasar atau peraturan Bursa Efek atau perubahannya wajib diajukan kepada
Bapepam untuk memperoleh persetujuan.
(2) Dalam hal anggaran dasar atau peraturan Bursa Efek atau perubahannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditolak, Bapepam memberikan alasan atas penolakan tersebut.
(3) Dalam rangka terciptanya Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien, Bapepam dapat
memerintahkan Bursa Efek untuk mengubah anggaran dasar atau peraturan Bursa Efek.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Bursa Efek berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam.
II- 4
PP. No. : 45 Tahun 1995
BAB II
LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN
PENYELESAIAN
Pasal 15
Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat menjalankan
usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam.
Pasal 16
Modal disetor Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
sekurang-kurangnya berjumlah Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 17
(1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan
keterangan sebagai berikut :
a. akta pendirian Perseroan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak Perseroan;
c.
proyeksi keuangan 3 (tiga) tahun;
d.
rencana kegiatan 3 (tiga) tahun termasuk susunan organisasi, fasilitas komunikasi,
dan program-program latihan yang akan diadakan;
e. daftar calon direktur dan komisaris termasuk pejabat satu tingkat di bawah direksi;
f.
Bursa Efek yang akan mengendalikan dan atau menggunakan jasa Lembaga Kliring
dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
g. rancangan peraturan mengenai kegiatan kliring dan penjaminan penyelesaian
Transaksi Bursa, termasuk ketentuan mengenai biaya pemakaian jasa yang ditetapkan
oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan;
h. rancangan peraturan mengenai jasa Kustodian sentral dan jasa penyelesaian
transaksi Efek, termasuk ketentuan mengenai biaya pemakaian jasa yang ditetapkan
oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan
i. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan
izin usaha Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir
yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
Pasal 18
Bapepam mempertimbangkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan
memperhatikan :
II- 5
PP. No. : 45 Tahun 1995
a. integritas dan keahlian calon anggota direksi dan komisaris;
b. tingkat kelayakan dari rencana yang telah disusun;
c. prospek terbentuknya suatu pasar yang teratur, wajar, dan efisien; dan
d. sistem kliring, penjaminan, penyelesaian, serta jasa Kustodian yang aman dan efisien.
Pasal 19
(1) Jumlah anggota direksi dan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian masing-masing sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang.
(2) Anggota direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dilarang mempunyai jabatan rangkap sebagai anggota direksi, komisaris,
atau pegawai pada perusahaan lain.
(3) Anggota direksi dan komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat
diangkat kembali.
Pasal 20
(1) Saham Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
adalah saham atas nama yang mempunyai nilai nominal dan hak suara yang sama.
(2) Saham Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
hanya dapat dimiliki oleh Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank
Kustodian, atau Pihak lain atas persetujuan Bapepam.
(3) Mayoritas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan, harus dimiliki oleh Bursa Efek.
(4) Pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian hanya dapat dilakukan kepada Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro
Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Pihak lain yang telah memperoleh persetujuan dari
Bapepam.
(5) Pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh Bursa Efek kepada
pihak yang bukan Bursa Efek hanya dapat dilakukan sepanjang Bursa Efek tetap memiliki
mayoritas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(6) Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang
membagikan dividen kepada pemegang saham.
Pasal 21
(1) Anggaran dasar atau peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian atau perubahannya wajib diajukan kepada Bapepam untuk memperoleh
persetujuan.
(2) Dalam hal anggaran dasar atau peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian atau perubahannya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditolak, Bapepam memberikan alasan atas penolakan tersebut.
(3) Dalam rangka terciptanya Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien, Bapepam dapat
memerintahkan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan
II- 6
PP. No. : 45 Tahun 1995
Penyelesaian untuk mengubah anggaran dasar atau peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan
atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Lembaga Kliring dan
Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini, ditetapkan oleh Bapepam.
BAB III
REKSA DANA
Pasal 23
Reksa Dana berbentuk Perseroan menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam.
Pasal 24
(1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai
berikut :
a. akta pendirian Perseroan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman;
b. nama dan alamat pendiri Reksa Dana;
c. nama dan alamat anggota direksi Reksa Dana;
d. nama dan alamat Manajer Investasi dan Bank Kustodian;
e. kontrak pengelolaan Reksa Dana;
f. kontrak mengenai jasa Kustodian atas kekayaan Reksa Dana;
g. penunjukan Profesi Penunjang Pasar Modal; dan
h. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan
izin usaha Reksa Dana yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan
formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
Pasal 25
Maksud dan tujuan Reksa Dana berbentuk Perseroan hanya untuk menyelenggarakan kegiatan
usaha Reksa Dana.
Pasal 26
Pengeluaran saham baru, pembelian kembali, dan pengalihan saham bagi Reksa Dana terbuka
berbentuk Perseroan dapat dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham.
II- 7
PP. No. : 45 Tahun 1995
Pasal 27
Reksa Dana berbentuk Perseroan wajib dibubarkan dalam hal izin usaha Reksa Dana tersebut
dicabut oleh Bapepam.
Pasal 28
Dalam hal Manajer Investasi dan atau direktur Reksa Dana berbentuk Perseroan melakukan
pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, peraturan
pelaksanaannya, kontrak pengelolaan Reksa Dana dan atau anggaran dasar Reksa Dana,
Bapepam berwenang membekukan kegiatan usaha Reksa Dana, mengamankan kekayaan, dan
menunjuk Manajer Investasi lain untuk mengelola kekayaan Reksa Dana, atau mencabut izin
usaha Reksa Dana dimaksud.
Pasal 29
Dalam hal Manajer Investasi untuk Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif melakukan
pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, peraturan
pelaksanaannya, dan atau kontrak investasi kolektif, Bapepam berwenang membekukan kegiatan
usaha Reksa Dana, mengamankan kekayaan, dan menunjuk Manajer Investasi lain untuk mengelola
kekayaan Reksa Dana, atau membubarkan Reksa Dana dimaksud.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Reksa Dana berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam.
BAB IV
PERUSAHAAN EFEK
Pasal 31
Perusahaan Efek dapat menjalankan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang
Efek dan atau Manajer Investasi setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam.
Pasal 32
(1) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat berbentuk :
a. Perusahaan Efek nasional, yang seluruh sahamnya dimiliki oleh orang perseorangan
warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia;
b. Perusahaan Efek patungan, yang sahamnya dimiliki oleh orang perseorangan warga
negara Indonesia, badan hukum Indonesia dan atau badan hukum asing yang bergerak
di bidang keuangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal Perusahaan Efek
melakukan Penawaran Umum.
II- 8
PP. No. : 45 Tahun 1995
(3) Ketentuan mengenai kepemilikan saham Perusahaan Efek oleh orang perseorangan warga
negara asing dan atau badan hukum asing ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
Pasal 33
(1) Perusahaan Efek wajib memenuhi persyaratan permodalan sebagai berikut:
a. Modal Perusahaan Efek nasional ditetapkan sebagai berikut :
1) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi
Efek dan Perantara Pedagang Efek memiliki modal disetor sekurang-kurangnya
sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja
Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah);
2) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang
Efek memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya
sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
3) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi
memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya
sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
4) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi
Efek, Perantara Pedagang Efek dan Manajer Investasi memiliki modal disetor
sekurang-kurangnya sebesar Rp10.500.000.000,00 (sepuluh milyar lima ratus
juta rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya
sebesar Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah); dan
5) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang
Efek dan Manajer Investasi memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih
Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
b. Modal Perusahaan Efek patungan ditetapkan sebagai berikut :
1) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi
Efek dan Perantara Pedagang Efek memiliki modal disetor sekurang-kurangnya
sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja
Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah);
2) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang
Efek memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-
kurangnya sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
3) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi
memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya
sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
II- 9
PP. No. : 45 Tahun 1995
4) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi
Efek, Perantara Pedagang Efek dan Manajer Investasi memiliki modal disetor
sekurang- kurangnya sebesar Rp11.000.000.000,00 (sebelas milyar rupiah) dan
memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah); dan
5) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara
Pedagang Efek dan Manajer Investasi memiliki modal disetor sekurang-kurangnya
sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih
Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(2) Menteri Keuangan dapat menetapkan besarnya modal disetor yang harus dipenuhi oleh
Perusahaan Efek, yang berbeda dengan besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Bapepam dapat menetapkan besarnya Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang harus
dipenuhi oleh Perusahaan Efek, yang berbeda dengan besarnya Modal Kerja Bersih
Disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 34
(1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Efek diajukan kepada
Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut :
a. akta pendirian Perseroan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak Perseroan;
c. daftar nama direktur dan tenaga ahli yang memiliki izin orang perseorangan sebagai
Wakil Perusahaan Efek dari Bapepam; dan
d. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan
izin usaha Perusahaan Efek yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir
yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
Pasal 35
(1) Perusahaan Efek dilarang untuk dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung,oleh
orang perseorangan yang :
a. pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak
pidana di bidang keuangan; dan
b. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik.
(2) Direktur, komisaris, atau Wakil Perusahaan Efek wajib memenuhi persyaratan sekurang-
kurangnya sebagai berikut :
a. orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum;
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direktur atau komisaris yang dinyatakan
bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit;
II- 10
PP. No. : 45 Tahun 1995
c. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana di bidang keuangan;
d. memiliki akhlak dan moral yang baik; dan
e. memiliki keahlian di bidang Pasar modal.
Pasal 36
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek wajib sekurang-
kurangnya memiliki seorang direktur dan seorang pegawai yang masing-masing telah
memperoleh izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek wajib sekurang-
kurangnya memiliki seorang direktur dan seorang pegawai yang masing-masing telah
memperoleh izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek atau Wakil
Penjamin Emisi Efek.
(3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Manajer Investasi wajib sekurang-
kurangnya memiliki seorang direktur dan seorang pegawai yang masing-masing telah
memperoleh izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Perusahaan Efek berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam.
BAB V
WAKIL PERUSAHAAN EFEK
Pasal 38
(1) Izin orang perseorangan sebagai :
a. Wakil Penjamin Emisi Efek hanya diberikan kepada orang perseorangan yang memiliki
keahlian di bidang penjaminan emisi dan keperantara-pedagangan Efek;
b. Wakil Perantara Pedagang Efek hanya diberikan kepada orang perseorangan yang
memiliki keahlian di bidang keperantara-pedagangan Efek; dan
c. Wakil Manajer Investasi hanya diberikan kepada orang perseorangan yang memiliki
keahlian di bidang analisa Efek dan pengelolaan Portofolio Efek.
(2) Persyaratan mengenai keahlian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
oleh Bapepam.
Pasal 39
(1) Permohonan untuk memperoleh izin sebagai Wakil Perusahaan Efek diajukan kepada Bapepam
disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut :
a. sertifikat pendidikan formal;
II- 11
PP. No. : 45 Tahun 1995
b. sertifikat keahlian atau keterangan pengalaman kerja; dan
c. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin
sebagai Wakil Perusahaan Efek yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang
bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Wakil Perusahaan Efek berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam.
BAB VI
PENASIHAT INVESTASI
Pasal 41
(1) Pihak yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Penasihat Investasi adalah orang
perseorangan atau perusahaan yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam.
(2) Orang perseorangan yang menjadi Penasihat Investasi atau orang perseorangan yang menjadi
direktur, komisaris
atau
mengendalikan,
baik
langsung maupun tidak
langsung, Penasihat
Investasi yang berbentuk perusahaan wajib memenuhi persyaratan sekurang - kurangnya
sebagai berikut :
a. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak
pidana di bidang keuangan;
b. memiliki akhlak dan moral yang baik; dan
c. memiliki keahlian di bidang Pasar modal.
Pasal 42
Penasihat Investasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 41 wajib sekurang-kurangnya memiliki
seorang tenaga ahli yang memiliki izin sebagai Wakil Manajer Investasi.
Pasal 43
Penasihat Investasi yang melakukan kegiatan sebagai pemeringkat Efek, wajib memenuhi persyaratan
sebagai beriku t :
a. berbentuk Perseroan;
b. mempunyai modal disetor Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan
c. memiliki sekurang-kurangnya seorang direktur yang mempunyai pengetahuan di bidang
pemeringkat Efek.
II- 12
PP. No. : 45 Tahun 1995
Pasal 44
(1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha sebagai Penasihat Investasi diajukan kepada
Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut :
a. izin sebagai Wakil Manajer Investasi;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
c. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan
izin usaha PenasihatInvestasi yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir
yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Penasihat Investasi
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam.
BAB VII
BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN
Pasal 46
Bank Umum dapat menjalankan usaha sebagai Kustodian di bidang Pasar Modal setelah mendapat
persetujuan dari Bapepam.
Pasal 47
(1) Permohonan untuk mendapat persetujuan sebagai Kustodian diajukan kepada Bapepam
disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut: :
a. anggaran dasar;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. izin usaha sebagai Bank Umum;
d. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar
di Bapepam;
e. buku pedoman operasional tentang kegiatan Kustodian yang akan dilakukan serta
uraian mengenai fasilitas fisik yang akan digunakan oleh bank tersebut;
f.
rekomendasi dari Bank Indonesia; dan
g. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan
persetujuan Bank Umum sebagai Kustodian yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan
formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
II- 13
PP. No. : 45 Tahun 1995
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Kustodian berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam.
BAB VIII
BIRO ADMINISTRASI EFEK
Pasal 49
Biro Administrasi Efek dapat menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam.
Pasal 50
Modal disetor Biro Administrasi Efek sekurang-kurangnya Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 51
(1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Biro Administrasi Efek diajukan kepada Bapepam
disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut :
a. akta pendirian yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak Perseroan;
c. buku pedoman operasional tentang kegiatan yang akan dilakukan serta uraian mengenai
fasilitas fisik yang akan digunakan; dan
d. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin
usaha Biro Administrasi Efek yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir
yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Biro Administrasi Efek
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam.
BAB IX
WALI AMANAT
Pasal 53
(1) Kegiatan usaha sebagai Wali Amanat dapat dilakukan oleh Bank Umum.
(2) Wali Amanat dapat menjalankan usaha di bidang Pasar Modal setelah terdaftar di Bapepam.
II- 14
PP. No. : 45 Tahun 1995
Pasal 54
(1) Permohonan untuk terdaftar sebagai Wali Amanat diajukan kepada Bapepam disertai dengan
dokumen dan keterangan sebagai berikut :
a. anggaran dasar;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. izin usaha sebagai Bank Umum;
d. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di
Bapepam;
e. rekomendasi dari Bank Indonesia; dan
f. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan
pendaftaran Wali Amanat yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir
yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Wali Amanat berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam.
BAB X
PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL
Pasal 56
(1) Kegiatan Profesi Penunjang Pasar Modal dapat dilakukan oleh :
a. Akuntan;
b. Konsultan Hukum;
c. Penilai; dan
d. Notaris.
(2) Profesi Penunjang Pasar Modal hanya dapat menjalankan usaha di bidang Pasar Modal
setelah terdaftar di Bapepam.
Pasal 57
(1) Permohonan untuk terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal diajukan kepada
Bapepam, dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam.
(2) Pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana di bidang keuangan;
II- 15
PP. No. : 45 Tahun 1995
b. memiliki akhlak dan moral yang baik; dan
c. memiliki keahlian di bidang Pasar modal.
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Profesi
Penunjang Pasar Modal berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam.
BAB XI
TATA CARA PEMBERIAN ATAU PENOLAKAN IZIN, PERSETUJUAN, DAN PENDAFTARAN
Pasal 59
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan setiap Pihak untuk memperoleh izin,
persetujuan, atau pendaftaran dari Bapepam wajib diberikan selambat-lambatnya 45
(empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima secara lengkap oleh Bapepam.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam dapat meminta
perubahan dan atau tambahan informasi untuk melengkapi permohonan izin,
persetujuan, atau pendaftaran.
(3) Dalam hal perubahan dan atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) telah disampaikan kepada Bapepam, permohonan izin, persetujuan, atau pendaftaran
dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan dan atau tambahan informasi tersebut
oleh Bapepam.
Pasal 60
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan peraturan Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib diberikan
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap
oleh Bapepam.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam dapat meminta
untuk mengubah materi perubahan peraturan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan atau meminta
tambahan informasi yang berhubungan dengan perubahan peraturan dimaksud.
(3) Dalam hal perubahan dan atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) telah disampaikan kepada Bapepam, permohonan perubahan peraturan Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau tambahan informasi tersebut oleh
Bapepam.
II- 16
PP. No. : 45 Tahun 1995
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 61
Emiten, Perusahaan Publik, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, Reksa Dana, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Wakil Penjamin Emisi Efek,
Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Manajer Investasi, Biro Administrasi Efek, Kustodian, Wali
Amanat, Profesi Penunjang Pasar Modal, dan Pihak lain yang telah memperoleh izin, persetujuan,
atau pendaftaran dari Bapepam, serta direktur, komisaris, dan setiap Pihak yang memiliki sekurang-
kurangnya 5% (lima perseratus) saham Emiten atau Perusahaan Publik, yang melakukan pelanggaran
atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dikenakan sanksi administratif
berupa :
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f.
pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
Pasal 62
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf
f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a.
(2) Sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 63
Setiap Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85, Pasal 86, dan Pasal 87 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang terlambat menyampaikan laporan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bapepam, dikenakan sanksi administratif sebagai berikut :
a. Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian dikenakan sanksi denda Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atas setiap
hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah
keseluruhan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
b. Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Wali Amanat dikenakan sanksi denda
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan
dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
II- 17
PP. No. : 45 Tahun 1995
c. Perusahaan Efek dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap
hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah
keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
d. Penasihat Investasi dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas
setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa
jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
e. Emiten yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif, dikenakan sanksi denda
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan
dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
f. Perusahaan Publik yang terlambat menyampaikan Pernyataan Pendaftarannya, dikenakan
sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan
penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
g. Direktur atau komisaris Emiten atau Perusahaan Publik, atau setiap Pihak yang memiliki
sekurang- kurangnya 5% (lima perseratus) saham Emiten atau Perusahaan Publik,
dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari
keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah
keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
h. Pihak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, dan huruf g yang telah memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari
Bapepam dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari
keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah
keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 64
(1) Sanksi denda, selain sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, dapat
dikenakan pada Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bagi orang perseorangan dan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi Pihak yang bukan orang
perseorangan, yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang
Pasar Modal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh Bapepam.
Pasal 65
(1) Sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64 dikenakan untuk
setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat diumumkan
dalam media massa oleh Bapepam.
II- 18
PP. No. : 45 Tahun 1995
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
(1) Perusahaan Efek Nasional yang telah memperoleh izin usaha sebagai Penjamin Emisi
Efek sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, wajib memenuhi persyaratan modal
disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a angka 1) dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
(2) Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 67
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1990 tentang
Pasar Modal dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 68
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995 NOMOR 86
II- 19
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 45 TAHUN 1995
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL
UMUM
Dalam rangka menciptakan Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien, perlu ditetapkan berbagai
persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap Pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang
Pasar Modal.
Persyaratan dimaksud berlaku dalam rangka perizinan, persetujuan, atau pendaftaran Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Reksa Dana,
Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Wakil Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Kustodian,
Wali Amanat, dan Profesi Penunjang Pasar Modal.
Di samping persyaratan yang perlu dipenuhi dalam rangka perizinan, persetujuan, atau pendaftaran
dimaksud, maka perlu pula diatur persyaratan penyampaian laporan yang berlaku bagi setiap
Pihak yang memperoleh izin, persetujuan atau pendaftaran dari Bapepam, termasuk Emiten,
Perusahaan Publik, dan direktur atau komisaris atau setiap Pihak yang memiliki sekurang-
kurangnya 5% (lima perseratus) saham Emiten atau Perusahaan Publik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan dimaksud, ditetapkan oleh Bapepam.
Selanjutnya, dalam rangka penegakan berbagai peraturan di bidang Pasar Modal, perlu pula
diatur ketentuan tentang pengenaan sanksi administratif.
Dengan mengingat ragam serta jenis pelanggaran yang ada dalam kegiatan Pasar Modal, maka
pada dasarnya Peraturan Pemerintah ini menyerahkan lebih lanjut mengenai pengaturan sanksi
administratif kepada Bapepam dalam batas-batas yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
ini.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan sebagai penjabaran lebih lanjut Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
huruf a
II- 20
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Cukup jelas
huruf e
Yang dimaksud dengan proyeksi keuangan adalah kemampuan Bursa Efek untuk
menghasilkan arus kas dalam kegiatan usahanya di masa yang akan datang.
huruf f
Cukup jelas
huruf g
Cukup jelas
huruf h
Cukup jelas
huruf i
Cukup jelas
huruf j
Cukup jelas
huruf k
Dokumen dan keterangan pendukung tersebut semata-mata untuk melengkapi dokumen
dan keterangan yang telah disebutkan dalam huruf a sampai dengan huruf j, dan bukan
merupakan persyaratan baru. Hal yang sama juga berlaku untuk ketentuan yang sama
dengan ketentuan ini dalam rangka persyaratan permohonan izin usaha, persetujuan
dan atau pendaftaran kegiatan usaha di bidang Pasar Modal yang lain sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
II- 21
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
huruf c
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kesempatan untuk ikut serta dalam pelelangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
hanya terbuka bagi Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek dari Bapepam dan memenuhi syarat sebagai Anggota Bursa Efek,
sepanjang Perusahaan Efek tersebut belum menjadi pemegang saham Bursa Efek
dimaksud.
Ayat (4)
Cukup jelas
II- 22
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Pasal 9
Ayat (1)
Penentuan jumlah anggota direksi dan komisaris didasarkan pada kebutuhan
penyelenggaraan kegiatan Bursa Efek.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari atau mencegah terjadinya pengendalian
Bursa Efek oleh satu Perusahaan Efek.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Bursa Efek semata-mata berfungsi untuk menyelenggarakan dan menyediakan sistem
dan atau sarana perdagangan Efek, sehingga Anggota Bursa Efek dapat melakukan
penawaran jual dan beli Efek secara teratur, wajar, dan efisien. Atas dasar itu pendapatan
Bursa Efek yang pada dasarnya diperoleh dari pungutan berupa iuran anggota, biaya
transaksi, dan biaya pencatatan Efek terutama dipergunakan untuk mencapai pelaksanaan
fungsi tersebut.
Pasal 11
huruf a
Hubungan kepemilikan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam huruf ini terjadi
apabila satu Perusahaan Efek memiliki saham Perusahaan Efek lain yang juga menjadi
pemegang saham Bursa Efek yang sama sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus)
dari saham yang mempunyai hak suara.
Hubungan kepemilikan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam huruf ini
terjadi apabila sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari saham yang
mempunyai hak suara yang telah dikeluarkan oleh 2 (dua) Perusahaan Efek atau lebih
yang menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama dimiliki oleh Pihak yang sama.
Hubungan antara 2 (dua) Perusahaan Efek atau lebih dimaksud merupakan hubungan
kepemilikan secara tidak langsung.
II- 23
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
huruf b
Perangkapan sebagai anggota direksi atau komisaris dalam huruf ini terjadi apabila
direktur atau komisaris suatu Perusahaan Efek juga menduduki jabatan sebagai direktur
dan atau komisaris Perusahaan Efek lain pada saat yang bersamaan.
huruf c
Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain pengendalian yang
dilakukan oleh Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, atas 2 (dua) Perusahaan
Efek atau lebih yang menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama.
Pasal 12
Saham Bursa Efek yang dimiliki oleh Perusahaan Efek merupakan jaminan atas transaksi
Efek yang dilakukan oleh Perusahaan Efek yang bersangkutan. Untuk itu, maka surat saham
Bursa Efek tersebut wajib diserahkan kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Dengan penyerahan surat saham Bursa Efek tersebut, Lembaga Kliring dan Penjaminan
diberi kuasa berdasarkan Peraturan Pemerintah ini untuk menjual saham Bursa Efek tersebut
bagi pemenuhan kewajiban yang timbul sehubungan transaksi Efek yang dilakukannya.
Pasal 13
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ini anggaran dasar Bursa Efek atau perubahannya diajukan
terlebih dahulu kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan sebelum diajukan
kepada Menteri Kehakiman.
Ayat (2)
Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini antara lain dilakukan apabila anggaran
dasar atau peraturan Bursa Efek atau perubahannya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal atau dapat menghambat terciptanya Pasar
Modal yang teratur, wajar, dan efisien.
Ayat (3)
Peraturan Bursa Efek yang dianggap menghambat bagi terciptanya Pasar Modal yang
teratur, wajar, dan efisien antara lain peraturan Bursa Efek yang melarang dilakukannya
pencatatan Efek pada Bursa Efek lain.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
II- 24
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Pasal 17
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan proyeksi keuangan adalah kemampuan Lembaga Kliring
dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk menghasilkan
arus kas dalam kegiatan usahanya di masa yang akan datang.
huruf d
Cukup jelas
huruf e
Cukup jelas
huruf f
Cukup jelas
huruf g
Cukup jelas
huruf h
Cukup jelas
huruf i
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Cukup jelas
II- 25
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Pasal 19
Ayat (1)
Penentuan jumlah anggota direksi dan komisaris didasarkan pada kebutuhan
penyelenggaraan kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “mayoritas” dalam ketentuan ini adalah kepemilikan saham lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari modal yang ditempatkan dan disetor.
Ayat (6)
Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian semata-
mata berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan kliring, penjaminan, penyelesaian
Transaksi Bursa, dan Kustodian sentral secara aman, teratur, wajar dan efisien. Atas
dasar itu pendapatan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian terutama dipergunakan untuk membiayai pelaksanaan fungsi tersebut.
Pasal 21
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ini anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan atau
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau perubahannya diajukan terlebih dahulu
kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan sebelum diajukan kepada Menteri
Kehakiman.
II- 26
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Ayat (2)
Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini antara lain dilakukan apabila anggaran
dasar atau peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian atau perubahannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal atau dapat menghambat terciptanya pasar modal yang teratur,
wajar, dan efisien.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Cukup jelas
huruf e
Cukup jelas
huruf f
Cukup jelas
huruf g
Cukup jelas
huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
II- 27
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
huruf a
angka 1)
Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) atau disebut pula net adjusted working
capital adalah jumlah kas dan bank, Portofolio Efek, dan aktiva lain Perusahaan
Efek dikurangi dengan seluruh utang Perusahaan Efek, sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bapepam.
II- 28
PP. No. : 45 Tahun 1995
angka 2)
Cukup jelas
angka 3)
Cukup jelas
angka 4)
Cukup jelas
angka 5)
Cukup jelas
huruf b
angka 1)
Cukup jelas
angka 2)
Cukup jelas
angka 3)
Cukup jelas
angka 4)
Cukup jelas
angka 5)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Cukup jelas
II- 29
PP. No. : 45 Tahun 1995
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat 1)
huruf a
Tindak pidana di bidang keuangan antara lain tindak pidana di bidang perbankan,
atau Pasar Modal, atau perpajakan.
huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Cukup jelas
huruf e
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Orang perseorangan yang telah memiliki izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek
dapat melakukan kegiatan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
II- 30
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Pasal 38
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
II- 31
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
huruf c
Cukup jelas
Pasal 42
Dalam hal Penasihat Investasi adalah orang perseorangan dan yang bersangkutan telah
memperoleh izin sebagai Wakil Manajer Investasi, maka orang perseorangan tersebut tidak
wajib menunjuk Wakil Manajer Investasi lain.
Pasal 43
Kegiatan pemeringkat Efek adalah kegiatan membuat penilaian mengenai kualitas atas
suatu Efek dalam bentuk kode yang dibakukan.
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
II- 32
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Pasal 47
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Cukup jelas
huruf e
Cukup jelas
huruf f
Cukup jelas
huruf g
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
II- 33
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Cukup jelas
huruf e
Cukup jelas
huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
II- 34
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal Pihak yang melakukan kegiatan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal bukan
merupakan orang perseorangan, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
berlaku pula bagi pengurus, pengawas, dan Pihak yang melakukan pengendalian, baik
langsung maupun tidak langsung, atas Profesi Penunjang Pasar Modal.
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Persyaratan mengenai keahlian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, dapat
berupa sertifikat pendidikan di bidang Pasar Modal.
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
II- 35
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 63
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Pengenaan sanksi denda kepada Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam huruf
ini termasuk pula pengenaan sanksi denda kepada Manajer Investasi.
huruf d
Cukup jelas
huruf e
Cukup jelas
huruf f
Cukup jelas
huruf g
Cukup jelas
huruf h
Cukup jelas
II- 36
Penjelasan PP. No. : 45/ 1995
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengenaan sanksi denda yang dimaksud dalam ketentuan ini misalnya terhadap tidak
dipenuhinya persyaratan Modal Kerja Bersih Disesuaikan oleh Perusahaan Efek.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3617
II- 37
| <reg_id> 45/PP/1995 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL </reg_title>
<set_date> 30 Desember 1995 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 1996 </effective_date>
<issued_date> 30 Desember 1995 </issued_date>
<replaced_reg> '53/KEPPRES/1990' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa peraturan pelaksanaan di bidang usaha perasuransian perlu
disesuaikan dengan perkembangan kegiatan industri asuransi pada
khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk
mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3467);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN
1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA
PERASURANSIAN.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6
seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 6
1. Persyaratan modal disetor bagi pendirian baru Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang-
kurangnya sebagai berikut :
a. Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi
Perusahaan Asuransi;
b. Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah),
bagi Perusahaan Reasuransi.
(2) Pada saat pendirian perusahaan, kepemilikan saham
pihak asing melalui penyertaan langsung dalam Perusahaan
Perasuransian paling banyak 80% (delapan puluh per
seratus).
(3) Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan
Perasuransian harus dilaporkan kepada Menteri."
2. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2
tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut :
a. Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. Susunan Organisasi dan Kepengurusan perusahaan
yang menggambarkan pemisahan fungsi dan uraian
tugas;
c. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan
bidang usahanya;
d. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal
terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing;
e. Spesifikasi program asuransi yang akan dipasarkan
beserta program reasuransinya, bagi Perusahaan
Asuransi; dan
f. Program retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi.
(2) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan
Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-
undang Nomor 2 tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah
sebagai berikut :
a. Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan
bidang usahanya;
c. Polis Asuransi Indemnitas Profesi; dan
d. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal
terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing.
(3) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan
Penilai Kerugian, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Agen
Asuransi yang berbentuk badan hukum, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2
Tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut :
a. Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan
bidang usahanya;
c. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal
terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing; dan
d. Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi
yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi.
(4) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan
Konsultan Aktuaria, dan Agen Asuransi perorangan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-
undang Nomor 2 tahun 1992, sekurang-kurangnya harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan
bidang usahanya; dan
b. Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi
yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara permohonan izin usaha diatur dengan Keputusan
Menteri."
3. Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 9 dan Pasal 10 yaitu
Pasal 9A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9A
(1) Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi
Perusahaan Perasuransian diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2) Setiap penolakan terhadap permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan
disertai alasan penolakannya."
4. Menambah satu BAB dan pasal baru diantara Pasal 10 dan Pasal 11
yaitu BAB IIIA Pasal 10A, yang berbunyi sebagai berikut:
BAB IIIA
KEPEMILIKAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 10A
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dimungkinkan untuk melakukan perubahan kepemilikan
melampaui batas kepemilikan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 6 ayat (2) dengan ketentuan jumlah modal yang telah
disetor oleh pihak Indonesia harus tetap dipertahankan."
5. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) diubah serta menambah
ayat baru yaitu ayat (4), sehingga Pasal 11 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11
1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
setiap saat wajib menjaga tingkat solvabilitas.
2. Tingkat solvabilitas merupakan selisih antara jumlah
kekayaan yang diperkenankan dan kewajiban.
3. Selisih antara jumlah kekayaan yang diperkenankan
dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) sekurang-kurangnya harus sebesar dana yang
cukup untuk menutup risiko kerugian yang mungkin
timbul sebagai akibat dari terjadinya deviasi dalam
pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai kekayaan yang
diperkenan-kan, kewajiban, dan risiko kerugian yang
mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya deviasi
dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri."
6. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 15
(1) Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
wajib menetapkan batas retensi sendiri sesuai dengan
kemampuan keuangan perusahaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai retensi sendiri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri."
7. Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 15 dan Pasal 16 yaitu
Pasal 15A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 15A
(1) Setiap Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi
dalam bentuk perjanjian reasuransi otomatis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri."
8. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 16
(1) Dalam hal dukungan reasuransi diperoleh dari perusahaan asuransi atau
perusahaan reasuransi luar negeri, maka perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi luar negeri tersebut harus memiliki peringkat yang
baik dari lembaga pemeringkat independen yang diakui secara internasional.
(2) Setiap perjanjian reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak
merupakan perjanjian yang menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung
ulangnya.
(3) Dalam perjanjian reasuransi harus dinyatakan bahwa dalam hal
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilikuidasi, hak dan
kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang timbul
dalam transaksi reasuransi tetap mengikat sampai dengan saat salah satu
atau kedua perusahaan tersebut dilikuidasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi dari luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri."
9. Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 16 dan Pasal 17 yaitu
Pasal 16A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 16A
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat
melakukan upaya bersama untuk menutup suatu jenis risiko
khusus."
10. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 18
(1) Perusahaan Asuransi yang akan memasarkan program
asuransi baru harus terlebih dahulu memberitahukan
rencana tersebut kepada Menteri.
(2) Pemberitahuan mengenai rencana memasarkan program
asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dilengkapi dengan spesifikasi program asuransi yang akan
dipasarkan berikut program reasuransinya serta bukti-bukti
pendukungnya.
(3) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
pemberitahuan diterima secara lengkap Menteri tidak
memberikan tanggapan, Perusahaan Asuransi dapat
memasarkan program asuransi dimaksud.
(4) Program asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitahuan rencana
memasarkan program asuransi baru sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri."
11. Ketentuan Pasal 38 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 38 ayat (1)
seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 38
1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
tidak menyampaikan laporan keuangan dan atau laporan
operasional tahunan, sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan."
12. Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga Pasal 41 seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 41
1. Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri
segera setelah diketahui adanya pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
2. Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) untuk setiap jenis
pelanggaran dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan jangka waktu paling lama
masing-masing 1 (satu) bulan.
3. Dalam hal Menteri menilai bahwa jenis pelanggaran
yang dilakukan tidak mungkin dapat diatasi dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), Menteri dapat menetapkan berlakunya jangka
waktu yang lebih lama dari 1 (satu) bulan dengan
ketentuan jangka waktu dimaksud paling lama 6
(enam) bulan.
4. Dalam hal perusahaan telah dikenakan sanksi
peringatan terakhir, dan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
setelah peringatan diberikan, perusahaan tetap tidak
memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan,
perusahaan yang bersangkutan dikenakan sanksi
pembatasan kegiatan usaha."
13. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 42 ayat (1)
seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 42
(1) Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (4) berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk
jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan."
Pasal II
Bagi permohonan izin usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi yang telah diajukan dan yang telah
memperoleh izin prinsip sebelum Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan, persyaratan permodalan tetap diberlakukan
berdasarkan persyaratan yang berlaku pada saat izin prinsip
ditetapkan.
Pasal III
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juli 1999
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF
HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juli 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
M U L A D I
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 118
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN
UMUM
Dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan
perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat dan dalam
menghadapi era globalisasi, perlu ditingkatkan peran industri asuransi yang
semakin kompetitif dengan cara mewujudkan terciptanya industri asuransi
yang kuat baik dari segi permodalan maupun kondisi kesehatan
keuangannya.
Dengan menetapkan jumlah modal disetor yang cukup besar dalam
Peraturan Pemerintah ini, diharapkan agar pendirian Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi dapat mewujudkan industri asuransi yang
memiliki permodalan dan kondisi keuangan yang kuat sehingga mampu
melakukan usaha yang kompetitif.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi yang telah mendapat izin usaha sebelum Peraturan Pemerintah
ini tidak diwajibkan menyesuaikan jumlah modal setor, akan tetapi didorong
untuk memperkuat permodalannya melalui ketentuan kesehatan keuangan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan modal disetor dalam Peraturan Pemerintah ini
adalah modal disetor perseroan terbatas, atau simpanan pokok dan
simpanan wajib koperasi, atau dana awal usaha bersama.
Ketentuan permodalan tidak dikenakan pada Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi,
Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Perusahaan Agen Asuransi, karena
dalam kegiatan usaha perusahaan tersebut lebih dituntut unsur
profesionalisme. Dengan demikian, unsur permodalan dapat dipenuhi sendiri
sesuai dengan kebutuhan perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Polis Asuransi Indemnitas Profesi yang dimaksudkan dalam ayat (2) huruf c
adalah polis asuransi tanggungjawab hukum yang lazim disebut dengan polis
Professional Indemnity.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan yang diatur dengan Keputusan Menteri meliputi antara lain alamat
perusahaan, NPWP, riwayat hidup pengurus dan atau direksi, dan besarnya
uang pertanggungan untuk polis asuransi indemnitas profesi.
Angka 3
Pasal 9A
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 10A
Pada prinsipnya modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia pada Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan pihak
asing tidak boleh berkurang jumlahnya. Namun demikian prosentase kepemilikan
pihak Indonesia dapat berkurang dalam hal perusahaan dimaksud membutuhkan
penambahan modal, namun penambahan modal tersebut menyebabkan pihak
Indonesia tidak mampu mempertahankan prosentase kepemilikannya.
Ketentuan yang memungkinkan prosentase kepemilikan pihak asing melampaui
batas 80% ini hanya berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing yang prosentase
kepemilikan pihak asing sudah mencapai 80%.
Angka 5
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam Keputusan Menteri diatur antara lain meliputi batas tingkat
solvabilitas, jenis dan penilaian serta pembatasan kekayaan yang
diperkenankan, dan perhitungan kewajiban yang meliputi kewajiban kepada
tertanggung dan kewajiban kepada pihak lain.
Angka 6
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam Keputusan Menteri diatur batas minimum dan batas maksimum
retensi sendiri.
Angka 7
Pasal 15A
Ayat (1)
Perjanjian reasuransi otomatis (treaty reinsurance) merupakan salah satu
bentuk perjanjian reasuransi yang lazim dilakukan dalam usaha asuransi.
Dalam perjanjian tersebut perusahaan asuransi wajib mereasuransikan
setiap penutupan yang nilai dan lingkup penutupannya sesuai dengan yang
telah diperjanjikan kepada penanggung ulang (Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi) dan penanggung ulang dimaksud wajib menerima
penempatan reasuransi tersebut.
Dukungan reasuransi otomatis tersebut sedapat mungkin diperoleh dari
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi di dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 8
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam Keputusan Menteri diatur mengenai kriteria penanggung ulang luar
negeri yang baik.
Angka 9
Pasal 16A
Salah satu prinsip usaha asuransi adalah adanya kerjasama dalam penyebaran risiko
yang dapat dilakukan melalui mekanisme reasuransi dan koasuransi. Disamping
kedua mekanisme tersebut, untuk memenuhi permintaan pasar terhadap suatu risiko
khusus yang apabila penutupannya dilakukan oleh perusahaan asuransi secara
sendiri-sendiri tidak layak usaha (feasible) namun penutupan atas risiko tersebut
menjadi layak usaha jika dilakukan secara bersama, maka atas kesepakatan
sebagian besar Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi penutupan risiko
khusus tersebut dilakukan oleh satu perusahaan asuransi.
Angka 10
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dalam Keputusan Menteri diatur mengenai kriteria program asuransi baru serta tata
cara pemberitahuan rencana memasarkan program asuransi baru.
Angka 11
Pasal 38
Ayat (1)
Pengenaan denda untuk setiap hari keterlambatan dalam ketentuan ini
dihitung berdasarkan hari kerja pada kantor pusat Departemen Keuangan.
Dalam hal tanggal batas waktu penyampaian laporan jatuh pada hari libur,
maka batas waktu yang berlaku adalah hari kerja pertama setelah libur
dimaksud.
Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dikenakan
terhadap keterlambatan penyampaian laporan keuangan dan atau laporan
operasional.
Contoh :
a. Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan operasional tetapi telah
menyampaikan laporan keuangan, atau sebaliknya, dikenakan denda
sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari.
b. Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan keuangan dan laporan
operasional dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari.
Angka 12
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
Pasal III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3861
| <reg_id> 63/PP/1999 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 2 Juli 1999 </set_date>
<effective_date> 2 Juli 1999 </effective_date>
<issued_date> 2 Juli 1999 </issued_date>
<changed_reg> '73/PP/1992' </changed_reg>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '73/PP/1992', '2/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 13 Pasal 42 ayat (1)', 'Pasal I Angka 12 Pasal 41', 'Pasal I Angka 11 Pasal 38' </penalty_list>
|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN
1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi
perkembangan yang terjadi dalam industri
perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian
terhadap ketentuan penyelenggaraan usaha
perasuransian;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3861);
MEMUTUSKAN: ...
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73
TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA
PERASURANSIAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3861), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Penunjang
Usaha Asuransi.
2. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi
Kerugian dan Perusahaan Asuransi Jiwa.
3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap
risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi.
4. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang
Reasuransi, Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan
Aktuaria.
5. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
dan/atau kantor pemasaran yang menjalankan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
6. Retensi ...
- 3 -
6. Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang
pertanggungan untuk setiap risiko yang menjadi
tanggungan sendiri tanpa dukungan reasuransi.
7. Pengurus adalah direksi untuk perseroan terbatas atau
persero atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan
usaha bersama.
8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
2. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 2A dan Pasal 2B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
(1) Perusahaan Asuransi hanya dapat menyelenggarakan
usaha di bidang asuransi kerugian atau asuransi jiwa.
(2) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menyelenggarakan seluruh usahanya
berdasarkan prinsip syariah.
(3) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menyelenggarakan sebagian usahanya
berdasarkan prinsip syariah dengan membentuk Unit
Syariah.
Pasal 2B
(1) Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan
usaha pertanggungan ulang untuk risiko yang dihadapi
perusahaan asuransi kerugian dan/atau perusahaan
asuransi jiwa.
(2) Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menyelenggarakan seluruh usahanya
berdasarkan prinsip syariah.
(3) Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menyelenggarakan sebagian usahanya
berdasarkan prinsip syariah dengan membentuk Unit
Syariah.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Perusahaan Perasuransian dalam melaksanakan kegiatan
usahanya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. dalam ...
- 4 -
a. dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa maksud dan
tujuan pendirian perusahaan hanya untuk
menjalankan satu jenis usaha perasuransian;
b. permodalan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. susunan organisasi perusahaan paling sedikit meliputi
fungsi:
1. bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, fungsi
pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan;
2. bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan
keuangan dan fungsi pelayanan;
3. bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan
Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang
jasa yang diselenggarakannya.
d. mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang
usahanya dalam jumlah yang cukup untuk mengelola
kegiatan usahanya;
e. untuk Perusahaan Asuransi, memiliki komisaris
independen yang:
1. tugas pokoknya adalah untuk menyuarakan
kepentingan pemegang polis;
2. bukan merupakan afiliasi dari pemegang saham,
direksi, atau komisaris; dan
3. menjabat sebagai komisaris independen paling
banyak pada 2 (dua) Perusahaan Asuransi.
f. untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau
sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah,
memiliki dewan pengawas syariah; dan
g. melaksanakan pengelolaan Perusahaan Perasuransian
berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi
perusahaan, tenaga ahli, komisaris independen, dewan
pengawas syariah, dan prinsip tata kelola perusahaan
yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
4. Ketentuan ...
- 5 -
4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang
Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi adalah
sebagai berikut:
a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi
Perusahaan Asuransi;
b. Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi
Perusahaan Reasuransi;
c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi
Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi.
(2) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang
menyelenggarakan seluruh kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut:
a. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), bagi
Perusahaan Asuransi;
b. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi
Perusahaan Reasuransi.
(3) Modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dan setiap penambahannya harus dalam bentuk
tunai.
(4) Pada saat pendirian perusahaan, kepemilikan saham
pihak asing melalui penyertaan langsung dalam
Perusahaan Perasuransian paling banyak 80% (delapan
puluh persen).
5. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 7 (tujuh) pasal,
yakni Pasal 6A, Pasal 6B, Pasal 6C, Pasal 6D, Pasal 6E, Pasal
6F, dan Pasal 6G sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A
(1) Perusahaan Perasuransian harus memiliki modal sendiri
paling sedikit sebesar modal disetor minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat
(2).
(2).Modal ...
- 6 -
(2) Modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
penjumlahan dari modal disetor, agio saham, saldo laba,
cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau
penurunan nilai surat berharga, dan selisih penilaian
aktiva tetap.
Pasal 6B
(1) Perusahaan Asuransi harus memiliki modal sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan
tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat
puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2008;
b. paling sedikit sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh
puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2009;
c. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2010.
(2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki modal sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan
tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2008;
b. paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus
lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2009;
c. paling sedikit sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua
ratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2010.
Pasal 6C
(1) Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan seluruh
usahanya berdasarkan prinsip syariah harus memiliki
modal sendiri paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2008.
(2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang
Reasuransi harus memiliki modal sendiri paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) paling lambat
tanggal 31 Desember 2008.
Pasal 6D ...
- 7 -
Pasal 6D
Modal kerja minimum Unit Syariah dari Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut:
a. sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) bagi Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi;
b. sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
bagi Unit Syariah dari Perusahaan Reasuransi.
Pasal 6E
(1) Perusahaan Asuransi yang memiliki Unit Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf a, harus
menyesuaikan modal kerja dari Unit Syariah dimaksud
dengan tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008;
b. paling sedikit sebesar Rp12.500.000.000,00 (dua belas
miliar lima ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2009;
c. paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2010.
(2) Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf b, harus
menyesuaikan modal kerja dari Unit Syariah dimaksud
dengan tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit sebesar Rp12.500.000.000,00 (dua belas
miliar lima ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2008;
b. paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2009;
c. paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31
Desember 2010.
Pasal 6F
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang
memiliki Unit Syariah harus memenuhi modal sendiri
dalam jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf a dan huruf b ditambah modal kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf a dan
huruf b.
(2). Perusahaan ...
- 8 -
(2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang
memiliki Unit Syariah dapat membuka kantor cabang
dan/atau kantor pemasaran syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan, syarat,
dan tata cara pendirian kantor cabang dan/atau kantor
pemasaran syariah diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 6G
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan
Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang
Reasuransi yang belum memenuhi ketentuan permodalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B, Pasal 6C, dan
Pasal 6E harus menyampaikan rencana kerja untuk
memenuhi ketentuan pentahapan permodalan paling
lambat tanggal 30 September tahun berjalan.
(2) Rencana kerja yang disampaikan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi,
dan Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus selesai dilaksanakan paling lambat
tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
(3) Menteri mengevaluasi rencana kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi,
dan Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak
menyampaikan rencana kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan tetap memperhatikan tahapan
pengenaan sanksi.
(5) Dalam hal Menteri menyimpulkan bahwa Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang
Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi tidak
memenuhi rencana kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3), Menteri mencabut izin usaha
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang
Reasuransi yang bersangkutan dengan tetap
memperhatikan tahapan pengenaan sanksi.
6.Ketentuan ...
- 9 -
6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus
memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya 20% (dua
puluh persen) dari modal disetor minimum yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan ayat (2) atau 20% (dua puluh persen) dari
modal sendiri minimum yang dipersyaratkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1).
(2) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi
kepentingan pemegang polis.
(3) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat ditempatkan dalam bentuk:
a. deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis
pada bank umum di Indonesia yang bukan afiliasi dari
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang bersangkutan; dan/atau
b. surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan
oleh Pemerintah.
(4) Besar dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) harus disesuaikan dengan perkembangan
volume usaha yang besarnya ditetapkan oleh Menteri.
(5) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dapat dicairkan atau dijual hanya atas
persetujuan Menteri atau pejabat yang mendapat
pendelegasian untuk itu berdasarkan permintaan:
a. likuidator dalam hal perusahaan dilikuidasi;
b. perusahaan yang bersangkutan dalam hal izin
usahanya dicabut atas permintaan perusahaan yang
bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah
diselesaikan;
c. perusahaan yang bersangkutan dalam hal jumlah dana
jaminan yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan
telah melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3); atau
d.perusahaan ...
- 10 -
d. perusahaan yang bersangkutan dalam hal akan
melakukan pemindahan atau penggantian dana
jaminan, setelah terlebih dahulu menempatkan dana
jaminan dalam jumlah yang sekurang-kurangnya sama
dengan jumlah dana jaminan yang akan dipindahkan
atau diganti.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah dan tata cara
penempatan dana jaminan diatur dengan Peraturan
Menteri.
7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
(1) Perusahaan Perasuransian harus menjalankan kegiatan
usaha perasuransian secara terus menerus sejak
diperolehnya izin usaha.
(2) Perusahaan Perasuransian dinilai tidak menjalankan
kegiatan usaha perasuransian secara terus menerus
apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tidak
memenuhi kriteria yang ditetapkan.
(3) Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian
apabila perusahaan tidak menjalankan kegiatan usaha
perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) memperhatikan tahapan pengenaan sanksi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tidak
menjalankan kegiatan usaha secara terus menerus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
8. Ketentuan Pasal 10A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10A
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dimungkinkan untuk melakukan perubahan kepemilikan
melampaui batas kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (4) dengan ketentuan jumlah modal yang telah
disetor oleh pihak Indonesia harus tetap dipertahankan.
9.Di antara ...
- 11 -
9. Di antara Pasal 10A dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 10B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10B
(1) Setiap rencana perubahan kepemilikan Perusahaan
Perasuransian harus memperoleh persetujuan Menteri.
(2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan perubahan kepemilikan yang
mengakibatkan terdapatnya penyertaan langsung oleh
pihak asing di dalam Perusahaan Perasuransian tersebut,
maka pihak asing tersebut harus merupakan Perusahaan
Perasuransian yang memiliki usaha sejenis atau
perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya
bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis.
(3) Ketentuan mengenai Perusahaan Perasuransian yang
memiliki usaha sejenis dan kepemilikan perusahaan
induk atas anak perusahaan yang bergerak di bidang
usaha perasuransian yang sejenis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus tetap dipenuhi selama pihak asing
tersebut memiliki penyertaan pada Perusahaan
Perasuransian.
(4) Perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian
melalui transaksi di bursa efek dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang
tidak menyebabkan perubahan pengendalian pada
Perusahaan Perasuransian tersebut.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
persyaratan perubahan kepemilikan Perusahaan
Perasuransian diatur dengan Peraturan Menteri.
10. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi mengalami permasalahan kondisi keuangan,
Menteri dapat memerintahkan Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan untuk
melakukan pengalihan portofolio pertanggungan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria permasalahan
kondisi keuangan dan tata cara pengalihan portofolio
pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
11.Di antara ...
- 12 -
11. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
(1) Perusahaan Perasuransian dilarang memberikan
pinjaman kepada atau menempatkan kekayaan pada
pemegang saham dan afiliasinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal pinjaman atau penempatan kekayaan
tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11.
(3) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dilarang melakukan segala bentuk pengalihan modal
disetor kepada pemegang saham atau pihak lainnya.
12. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1) Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37, terhadap:
a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan,
laporan auditor independen, atau laporan operasional
tahunan, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan,
dikenakan denda administratif sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan
untuk setiap laporan tersebut;
b. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang tidak
menyampaikan laporan keuangan tahunan, laporan
auditor independen, atau laporan operasional tahunan,
sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan,
dikenakan denda administratif sebesar Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan untuk setiap laporan tersebut.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling banyak:
a. Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah)
untuk setiap laporan yang terlambat disampaikan oleh
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi;
b. Rp180.000.000,00 ...
- 13 -
b. Rp180.000.000,00 (seratus delapan puluh juta rupiah)
untuk setiap laporan yang terlambat disampaikan oleh
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan,
penagihan, dan pembayaran denda administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
13. Ketentuan Pasal 40 dihapus.
Pasal II
(1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, izin
pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah yang
dimiliki Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
yang telah ada dinyatakan berlaku sebagai izin untuk Unit
Syariah.
(2) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, untuk
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah
memiliki izin usaha:
a. modal dalam perhitungan dana jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), sampai dengan tanggal
31 Desember 2008, adalah modal disetor minimum yang
dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang mendasari
pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi tersebut.
b. modal dalam perhitungan dana jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), setelah batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam huruf a lewat, adalah modal
sendiri minimum sesuai dengan pentahapan pemenuhan
permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B dan Pasal 6E.
(3) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar ...
- 14 -
Ditetapkan di Jakarta
19 Mei 2008
Diundangkan di Jakarta
19 Mei 2008
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN
1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN
I. UMUM
Industri asuransi yang sehat, dapat diandalkan, dan kompetitif sangat
diperlukan dalam perekonomian nasional. Untuk mewujudkan industri
asuransi seperti itu perlu dilakukan penyempurnaan struktur
permodalan dan tata kelola (governance) dari para pelaku usaha
perasuransian. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai landasan
hukum untuk penyempurnaan tersebut. Selain itu, Peraturan
Pemerintah ini diharapkan memberi landasan hukum yang lebih kuat
untuk penyelenggaraan usaha perasuransian berdasarkan prinsip
syariah. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuh dan
berkembangnya usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah yang
makin dirasakan kebutuhannya oleh masyarakat.
Penyempurnaan ketentuan mengenai struktur permodalan dilakukan
dengan menetapkan jumlah modal disetor yang cukup besar bagi
pendirian baru Perusahaan Perasuransian dan keharusan menyesuaikan
modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin
usaha sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. Hal ini
dimaksudkan agar pelaku usaha perasuransian memiliki permodalan
dan kondisi keuangan yang kuat dalam memberikan jasa perlindungan
dan/atau pelayanan kepada masyarakat dan mampu berkompetisi secara
sehat baik di tingkat nasional, regional, maupun global.
Selain penguatan dalam hal struktur permodalan, perlu pula dilakukan
penguatan dari segi tata kelola (governance). Perusahaan perasuransian
dalam menjalankan kegiatan usahanya diharuskan untuk menerapkan
prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga mengenai penyelenggaraan
kegiatan usaha asuransi dan reasuransi berdasarkan prinsip syariah
antara lain berkaitan dengan permodalan, struktur organisasi, dan
pengawasannya.
II.PASAL ...
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2A
Cukup jelas.
Pasal 2B
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Dalam anggaran dasar harus dinyatakan secara
tegas bahwa perusahaan akan menjalankan
kegiatan usaha sebagai Perusahaan Asuransi Jiwa,
Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan
Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi, Perusahaan Konsultan Aktuaria,
atau Perusahaan Agen Asuransi.
Untuk Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau
sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah, di
dalam anggaran dasarnya harus juga dinyatakan
secara tegas bahwa perusahaan menjalankan usaha
asuransi atau reasuransi berdasarkan prinsip
syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud fungsi pelayanan dalam ketentuan
ini mencakup pula penanganan keluhan atau
pengaduan masyarakat, khususnya nasabah.
Huruf d
Kecukupan jumlah tenaga ahli yang dipekerjakan
ditentukan oleh beberapa faktor seperti jumlah
cabang, jenis produk yang dipasarkan, dan/atau
volume usaha.
Huruf e ...
- 3 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance) mencakup prinsip
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 6A
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kesetaraan dalam hal kekuatan permodalan bagi
Perusahaan Perasuransian baik yang baru maupun
yang telah ada pada saat Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6B
Cukup jelas.
Pasal 6C
Cukup jelas.
Pasal 6D
Cukup jelas.
Pasal 6E
Cukup jelas.
Pasal 6F ...
- 4 -
Pasal 6F
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kesetaraan dalam hal kekuatan permodalan bagi
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
baik yang memiliki Unit Syariah maupun yang tidak.
Ayat (2)
Kantor cabang dan/atau kantor pemasaran syariah
menjadi pelaksana kegiatan pemasaran produk
asuransi berdasarkan prinsip syariah dan pelayanan
nasabah terkait dengan produk asuransi berdasarkan
prinsip syariah.
Ayat (3)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
mencakup:
1. hubungan kelembagaan antara Unit Syariah dengan
kantor cabang atau kantor pemasaran baik yang
konvensional maupun yang berdasarkan prinsip
syariah;
2. persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka
pembukaan kantor cabang atau kantor pemasaran
syariah;
3. tata cara pemasaran produk asuransi berdasarkan
prinsip syariah melalui kantor cabang atau kantor
pemasaran konvensional; dan
4. tata cara pelimpahan wewenang dari pimpinan Unit
Syariah kepada pimpinan kantor cabang syariah.
Pasal 6G
Ayat (1)
Untuk mengetahui sudah atau belum dipenuhinya
ketentuan permodalan oleh perusahaan tersebut dapat
dilihat dari laporan berkala yang disampaikan kepada
Menteri. Dalam hal terdapat keraguan mengenai
pemenuhan ketentuan permodalan tersebut,
perusahaan menyampaikan laporan auditor
independen yang disusun khusus untuk membuktikan
hal tersebut.
Ayat (2)
Batas waktu tersebut berlaku bagi Perusahaan
Perasuransian yang menyampaikan rencana kerja yang
jelas dan rasional berdasarkan hasil evaluasi Menteri.
Ayat (3) ...
- 5 -
Ayat (3)
Evaluasi dilakukan untuk memastikan rencana kerja
yang akan dijadikan pedoman Perusahaan
Perasuransian dalam memenuhi ketentuan modal
sendiri minimum, jelas dan rasional.
Ayat (4)
Perusahaan yang belum memenuhi persyaratan modal
sendiri minimum dan tidak menyampaikan rencana
kerja, dinilai tidak bersedia berkomitmen untuk
memenuhi persyaratan tersebut.
Ayat (5)
Perusahaan yang tidak dapat memenuhi rencana
kerjanya dinilai tidak memiliki komitmen dan/atau
kemampuan yang cukup untuk mewujudkan
perusahaan yang sehat, dapat diandalkan, dan
kompetitif.
Angka 6
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dana jaminan yang dapat dicairkan adalah deposito
berjangka, sedangkan dana jaminan yang dapat dijual
adalah surat utang atau surat berharga lain yang
diterbitkan oleh Pemerintah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 8 ...
- 6 -
Angka 8
Pasal 10A
Pada prinsipnya modal yang telah disetor oleh pihak
Indonesia pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan pihak
asing tidak boleh berkurang jumlahnya. Namun demikian
persentase kepemilikan pihak Indonesia dapat berkurang
dalam hal perusahaan dimaksud membutuhkan
penambahan modal dan penambahan modal tersebut
menyebabkan pihak Indonesia tidak mampu
mempertahankan persentase kepemilikannya.
Ketentuan yang memungkinkan persentase kepemilikan
pihak asing melampaui batas 80% (delapan puluh persen)
ini hanya berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi yang didalamnya terdapat
penyertaan langsung pihak asing yang persentase
kepemilikan asing sudah mencapai 80% (delapan puluh
persen).
Angka 9
Pasal 10B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
mencakup:
1. tata cara dan persyaratan untuk memperoleh
persetujuan perubahan kepemilikan;
2. kriteria untuk usaha perasuransian yang sejenis;
3. kriteria untuk perusahaan induk (holding company);
dan
4. kriteria pengendalian dan pemegang saham
pengendali.
Angka 10 ...
- 7 -
Angka 10
Pasal 11A
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 13A
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4856
| <reg_id> 39/PP/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 19 Mei 2008 </set_date>
<effective_date> 19 Mei 2008 </effective_date>
<issued_date> 19 Mei 2008 </issued_date>
<changed_reg> '73/PP/1992' </changed_reg>
<extension_of> '63/PP/1999' </extension_of>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '73/PP/1992', '2/UU/1992', '63/PP/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 12 Pasal 38' </penalty_list>
|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2002
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG
DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI
BURSA EFEK
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dan
diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek dan
untuk lebih mendorong berkembangnya aktivitas pasar modal di Indonesia, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang
Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek sebagai pengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Obligasi
yang Diperdagangkan di Bursa Efek;
Mengingat
1.
2. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Ketiga Undang-undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3985);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN
DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN
PERDAGANGANNYA DI BURSA EFEK.
Pasal 1
Yang dimaksud dengan obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di
bursa efek adalah obligasi korporasi dan obligasi pemerintah atau surat utang negara berjangka
lebih dari 1 (satu) tahun yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek
Indonesia.
Pasal 2
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak berupa bunga dan diskonto obligasi
yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek dikenakan pemotongan
Pajak Penghasilan yang bersifat final, kecuali bagi Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
Pasal 3
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
a. Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebesar:
1) 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT);
2) 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri;
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan (holdig period) obligasi.
b. Atas diskonto obligasi dengan kupon sebesar:
1) 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT);
2) 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri;
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk
bunga berjalan (accrued interest).
c. Atas diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) sebesar:
1) 20% (dua puluh persen), Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT);
2) 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri;
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.
Pasal 4
Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh:
a. Penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, atas bunga
dan diskonto yang diterima pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo
bunga/obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang obligasi tanpa bunga pada saat jatuh
tempo obligasi;
b. Perusahaan efek (broker) atau bank, selaku pedagang perantara maupun selaku pembeli, atas
bunga dan diskonto yang diterima penjual obligasi pada saat transaksi.
Pasal 5
Atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak:
a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Reksana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), selama 5 (lima)
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha;
tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 6
Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya termasuk penghasilan
bunga dan diskonto obligasi tersebut dalam 1 (satu) tahun pajak tidak melebihi jumlah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), tidak bersifat final.
Pasal 7
Tata cara pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang
diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 139 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 254, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4056), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Maret 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Maret 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
BAMBANG KESOWO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2002
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG
DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI
BURSA EFEK
UMUM
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000, atas penghasilan tertentu termasuk penghasilan dari transaksi sekuritas di bursa efek
pengenaan pajaknya diatur secara khusus dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan khusus
tersebut bertujuan
untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dan sekaligus
meningkatkan efektivitas pengenaan pajaknya. Perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek dipandang masih belum efektif
dan efisien. Oleh karena itu guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengenaan pajaknya
serta untuk mendorong berkembangnya perdagangan obligasi melalui pasar modal di Indonesia,
maka perlu diatur kembali perlakuan Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang
diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek. Sedangkan terhadap bunga
dan diskonto obligasi yang diperdagangkan di luar bursa dan tidak dilaporkan perdagangannya ke
bursa tetap dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23/26 dan pada akhir tahun pajak
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum atas jumlah seluruh Penghasilan Kena
Pajak yang diterima/diperoleh selama tahun pajak, melalui perhitungan dalam SPT Tahunan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Perlakuan Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan di bursa
dan/atau dilaporkan perdagangannya ke bursa berlaku baik untuk obligasi tanpa kupon (zero
coupon bond) maupun obligasi dengan kupon (interest bearing bond). Demikian pula tidak ada
perbedaan perlakuan pajak antara obligasi korporasi yang diterbitkan oleh badan usaha swasta
(corporate bond) dengan obligasi yang diterbitkan baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah (government bond).
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4175.
| <reg_id> 6/PP/2002 </reg_id>
<reg_title> PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI BURSA EFEK </reg_title>
<set_date> 23 Maret 2002 </set_date>
<effective_date> 1 Mei 2002 </effective_date>
<issued_date> 23 Maret 2002 </issued_date>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 Ayat (2)', '16/UU/2000', '6/UU/1983', '17/UU/2000', '7/UU/1983' </related_reg>
|
No. 11/11/DASP
Jakarta, 13 April 2009
S U R A T E D A R A N
Perihal : Uang Elektronik (Electronic Money)
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12./PBI/2009 tanggal 13 April 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic
Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5001), dan dalam rangka mendukung
kelancaran dan efektivitas penyelenggaraan Uang Elektronik, perlu diatur lebih
lanjut ketentuan mengenai penyelenggaraan Uang Elektronik dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
I.
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI
PRINSIPAL
A. Pihak yang Dapat Bertindak sebagai Prinsipal
Kegiatan sebagai Prinsipal dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga
Selain Bank.
B. Permohonan Izin sebagai Prinsipal
Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Permohonan izin
untuk melakukan kegiatan sebagai Prinsipal disampaikan kepada Bank
Indonesia secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dan paling kurang
harus memuat informasi sebagai berikut:
1.
2.
jenis kegiatan Uang Elektronik yang akan diselenggarakan;
rencana waktu dimulainya kegiatan; dan
3. nama jaringan yang akan digunakan.
C. Persyaratan Dokumen sebagai Prinsipal yang Berupa Bank
Untuk Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B
dilampiri dokumen sebagai berikut:
1. fotokopi …
2
1.
fotokopi Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun berjalan yang di
dalamnya tercantum rencana kegiatan Bank sebagai Prinsipal;
2. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement)
antara calon Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain,
yang ditandatangani oleh pengurus dan paling kurang memuat:
a.
persyaratan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang
akan menggunakan jaringan Prinsipal;
b. prosedur kegiatan operasional (operating procedure) bagi
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang akan
bekerjasama dengan Prinsipal; dan
c.
rencana pelaksanaan kerjasama dengan Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan/atau pihak lain;
3. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan
kegiatan sebagai Prinsipal yang akan dilakukan, paling kurang
memuat uraian mengenai:
a.
b.
c.
potensi pasar yang ada;
analisis persaingan usaha;
rencana kerjasama dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak
lain, termasuk jumlah dan namanya;
d.
e.
rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan
prakiraan target pendapatan yang akan dicapai;
4. bukti kesiapan perangkat hukum, yang meliputi:
a.
konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis
antara calon Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang:
1) kesepakatan …
3
1) kesepakatan mengenai penggunaan jaringan Prinsipal
dalam penyelenggaraan Uang Elektronik;
2) hak dan kewajiban masing-masing pihak;
3)
4)
rencana pelaksanaan kerjasama;
jangka waktu kerjasama; dan
5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa
yang mungkin terjadi antara para pihak;
b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti
pengaturan hak dan kewajiban Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan/atau pihak lain; dan
c.
prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul
antara Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak
lain;
5.
fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan
proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang
paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem
dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G;
6. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan
kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang
efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang
timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat
mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik; dan
7.
fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah atas rencana
kegiatan sebagai calon Prinsipal, khusus untuk Bank yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
D. Persyaratan Dokumen sebagai Prinsipal yang Berupa Lembaga Selain
Bank
Untuk Lembaga Selain Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada …
4
pada huruf B dilampiri dokumen sebagai berikut:
1. profil perusahaan (company profile) yang antara lain memuat
rencana kegiatan sebagai Prinsipal;
2.
fotokopi akta pendirian perseroan terbatas termasuk perubahannya,
jika ada, yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang dan harus
dilegalisasi oleh pihak atau pejabat yang berwenang;
3. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement)
antara calon Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain,
yang diketahui oleh pengurus dan paling kurang memuat:
a.
persyaratan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang
akan menggunakan jaringan Prinsipal;
b. prosedur kegiatan operasional (operating procedure) bagi
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang akan
bekerjasama dengan Prinsipal; dan
c.
rencana pelaksanaan kerjasama dengan Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan/atau pihak lain;
4. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan
kegiatan sebagai Prinsipal yang akan dilakukan, paling kurang
memuat uraian mengenai:
a.
b.
c.
potensi pasar yang ada;
analisis persaingan usaha;
rencana kerjasama dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,dan/atau pihak
lain, termasuk jumlah dan namanya;
d.
rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan
e. prakiraan …
5
e.
prakiraan target pendapatan yang akan dicapai;
5. bukti kesiapan perangkat hukum, yang meliputi:
a.
konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis
antara calon Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang:
1) kesepakatan mengenai penggunaan jaringan Prinsipal
dalam penerbitan Uang Elektronik;
2) hak dan kewajiban masing-masing pihak;
3)
4)
rencana pelaksanaan kerjasama;
jangka waktu kerjasama; dan
5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa
yang mungkin terjadi antara para pihak;
b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti
pengaturan hak dan kewajiban Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan/atau pihak lain; dan
c.
prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul
antara Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak
lain;
6.
fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan
proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang
paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem
dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G;
7. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan
kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang
efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang
timbul …
6
timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat
mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik;
8.
fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah, khusus untuk
Lembaga Selain Bank yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah; dan
9.
rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank,
jika Lembaga Selain Bank tersebut memiliki otoritas pengawas.
Rekomendasi tersebut paling kurang meliputi keterangan tentang
kepatuhan Lembaga Selain Bank terhadap ketentuan yang berlaku
termasuk informasi dapat atau tidaknya Lembaga Selain Bank
melakukan kegiatan sebagai Prinsipal dan informasi lain tentang
permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lembaga Selain Bank
tersebut.
II.
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI
PENERBIT
A. Pihak yang Dapat Bertindak Sebagai Penerbit
Kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga
Selain Bank.
B. Permohonan Izin sebagai Penerbit
Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai
Penerbit wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Permohonan izin
untuk melakukan kegiatan sebagai Penerbit disampaikan kepada Bank
Indonesia secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dan paling kurang
harus memuat informasi sebagai berikut:
1. jenis kegiatan Uang Elektronik yang akan diselenggarakan;
2. rencana waktu dimulainya kegiatan; dan
3. nama produk yang akan digunakan.
C. Persyaratan Dokumen sebagai Penerbit yang Berupa Bank
Untuk Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B
dilampiri dokumen sebagai berikut:
1. fotokopi …
7
1.
fotokopi RBB tahun berjalan yang di dalamnya tercantum rencana
kegiatan Bank sebagai Penerbit;
2. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement)
antara calon Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer dan/atau pihak
lain, yang diketahui oleh pengurus dan paling kurang memuat:
a. prosedur kegiatan operasional (operating procedure) bagi
Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang akan
bekerjasama dengan Penerbit; dan
b.
rencana pelaksanaan kerjasama dengan Prinsipal, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan/atau pihak lain;
3. profil Uang Elektronik, paling kurang memuat informasi mengenai:
a.
spesifikasi teknis yang paling kurang memuat informasi
mengenai media penyimpan data elektronis dan fitur
keamanan (security features);
b. mekanisme pengelolaan Uang Elektronik yang paling kurang
memuat informasi mengenai penerbitan, Pengisian Ulang,
penarikan tunai sisa Nilai Uang Elektronik dalam rangka
mengakhiri penggunaan Uang Elektronik (redeem),
penagihan oleh Pedagang, penyelenggaraan kliring, dan
penyelenggaraan penyelesaian akhir jika ada; dan
c. mekanisme pengelolaan Dana Float;
4. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan
kegiatan sebagai Penerbit yang akan dilakukan, paling kurang
memuat uraian mengenai:
a.
b.
c.
d.
potensi pasar yang ada;
segmen pasar yang akan dituju dan analisis persaingan usaha;
target jumlah Pemegang dan Dana Float yang akan dikelola;
rencana kerjasama dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan/atau pihak
lain, termasuk jumlah dan namanya;
e. rencana …
8
e.
f.
rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan
prakiraan target pendapatan yang akan dicapai;
5. bukti kesiapan perangkat hukum, yang meliputi:
a.
konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis
antara calon Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang:
1) kesepakatan antara Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian
Akhir dan/atau pihak lain mengenai penyelenggaraan
kegiatan Uang Elektronik;
2) hak dan kewajiban masing-masing pihak;
3)
4)
rencana pelaksanaan kerjasama;
jangka waktu kerjasama; dan
5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa
yang mungkin terjadi antara para pihak;
Dalam hal calon Penerbit adalah kantor cabang Bank asing,
dan perjanjian yang dilakukan dengan Prinsipal merupakan
Global Agreement antara kantor pusat Bank tersebut dengan
Prinsipal, maka kantor cabang Bank asing dimaksud cukup
menyampaikan fotokopi Global Agreement.
b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti
pengaturan hak dan kewajiban Penerbit, Prinsipal, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
Pemegang, dan/atau pihak lain; dan
c.
prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul
antara Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pemegang,
dan/atau pihak lain;
6. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi:
a.
rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya
manusia; dan
b. rencana …
9
b.
rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat
informasi mengenai:
1)
lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan
operasional; dan
2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware,
software, dan jaringan yang akan digunakan;
c.
uraian kesiapan struktur organisasi pendukung dan bentuk
pengawasan yang melekat (built in control) yang akan
diterapkan; dan
d. kebijakan dan prosedur yang menjelaskan kesiapan
infrastruktur teknologi informasi yang digunakan dalam
penyelenggaraan Uang Elektronik;
7. bukti kesiapan manajemen risiko likuiditas, antara lain meliputi:
a. mekanisme pemenuhan kewajiban Penerbit; dan
b. mekanisme dalam hal Penerbit mengalami gagal bayar
(failure to settle);
8.
fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan
proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang
paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem
dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G,
termasuk sistem keamanan atau jaringan Penerbit yang digunakan
oleh pihak lain seperti untuk fasilitas Pengisian Ulang, redeem atau
Tarik Tunai dalam rangka kegiatan pengiriman uang;
9. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan
kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang
efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang
timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat
mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik;
10. hasil analisis dan identifikasi risiko produk Uang Elektronik antara
lain risiko operasional, hukum, dan reputasi;
11. uraian …
10
11. uraian sistem informasi akuntansi yang akan diterapkan untuk
Uang Elektronik yang diterbitkan; dan
12. fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah atas rencana
kegiatan sebagai calon Penerbit, khusus untuk Bank yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
D. Persyaratan Dokumen sebagai Penerbit yang Berupa Lembaga Selain
Bank
Untuk Lembaga Selain Bank yang telah mengelola atau merencanakan
mengelola Dana Float sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
atau lebih, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. direksi dan/atau dewan komisaris tidak termasuk dalam daftar
kredit macet; dan
2. direksi dan/atau dewan komisaris tidak pernah dinyatakan pailit
atau menjadi anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum mengajukan
permohonan.
3. menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a.
b.
profil perusahaan (company profile) yang antara lain memuat
rencana kegiatan sebagai Penerbit;
fotokopi akta pendirian perseroan terbatas termasuk
perubahannya, jika ada, yang telah disahkan oleh pihak yang
berwenang dan harus dilegalisasi oleh pihak atau pejabat
yang berwenang;
c.
konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement)
antara calon Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan/atau pihak lain, yang diketahui oleh pengurus dan paling
kurang memuat:
1) prosedur …
11
1) prosedur kegiatan operasional (operating procedure)
bagi Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring,
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain
yang akan bekerjasama dengan Penerbit; dan
2)
d.
rencana pelaksanaan kerjasama dengan Prinsipal,
Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain;
susunan daftar direksi dan/atau dewan komisaris, yang terdiri
dari nama, jabatan, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP);
e.
profil Uang Elektronik, paling kurang memuat informasi
mengenai:
1)
spesifikasi teknis yang paling kurang memuat informasi
mengenai media penyimpan data elektronis dan fitur
keamanan (security features);
2) mekanisme pengelolaan Uang Elektronik yang paling
kurang memuat informasi mengenai penerbitan,
Pengisian Ulang, redeem, penagihan oleh Pedagang,
penyelenggaraan kliring, dan penyelenggaraan
penyelesaian akhir, jika ada; dan
3) mekanisme pengelolaan Dana Float;
f.
hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas
penyelenggaraan kegiatan sebagai Penerbit yang akan
dilakukan, paling kurang memuat uraian mengenai:
1) potensi pasar yang ada;
2)
segmen pasar yang akan dituju dan analisis persaingan
usaha;
3)
4)
target jumlah Pemegang dan Dana Float yang akan
dikelola;
rencana kerjasama dengan Prinsipal, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian
Akhir, dan/atau pihak lain, termasuk jumlah dan
namanya;
5) rencana …
12
5)
rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan
6) prakiraan target pendapatan yang akan dicapai;
g. bukti kesiapan perangkat hukum, yang meliputi:
1) konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian
tertulis antara calon Penerbit dengan Prinsipal,
Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, yang antara
lain memuat klausul tentang:
a) kesepakatan antara Penerbit dengan Prinsipal,
Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir dan/atau pihak lain mengenai
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik;
b) hak dan kewajiban masing-masing pihak;
c)
d)
rencana pelaksanaan kerjasama;
jangka waktu kerjasama; dan
e) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas
sengketa yang mungkin terjadi antara para pihak;
dan
2) konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak,
seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit,
Prinsipal,
Acquirer, Penyelenggara Kliring,
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pemegang, dan/atau
pihak lain; dan
3) prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang
timbul antara Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian
Akhir, Pemegang, dan/atau pihak lain;
h. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi:
1)
2)
rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya
manusia;
rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang
memuat informasi mengenai:
a) lokasi …
13
a)
lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk
kegiatan operasional, dan
b) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware,
software, dan jaringan yang akan digunakan;
3) uraian kesiapan struktur organisasi pendukung dan
bentuk pengawasan yang melekat (built in control) yang
akan diterapkan; dan
4) kebijakan dan prosedur yang menjelaskan kesiapan
infrastruktur teknologi informasi yang digunakan dalam
penyelenggaraan Uang Elektronik;
i.
bukti kesiapan manajemen risiko likuiditas, antara lain
meliputi:
1) mekanisme pemenuhan kewajiban Penerbit; dan
2) mekanisme dalam hal Penerbit mengalami gagal bayar
(failure to settle);
j.
fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan
proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik
yang paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan
sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir
VII.G, termasuk sistem keamanan atau jaringan Penerbit yang
digunakan oleh pihak lain seperti untuk redeem atau Tarik
Tunai dalam rangka kegiatan pengiriman uang;
k. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery
plan) dan kesinambungan kegiatan usaha (business continuity
plan) yang efektif dalam mengatasi dan meminimalkan
permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak
diperkirakan, yang dapat mengganggu kelancaran operasional
sistem Uang Elektronik;
l.
fotokopi rekening simpanan yang menunjukkan besarnya
Dana Float pada saat mengajukan permohonan;
m. hasil …
14
m. hasil analisis dan identifikasi risiko produk Uang Elektronik
antara lain risiko operasional, hukum, dan reputasi;
n. uraian sistem informasi akuntansi yang akan diterapkan untuk
Uang Elektronik yang diterbitkan;
o.
fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah, khusus
untuk Lembaga Selain Bank yang menjalankan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah; dan
p.
rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain
Bank, jika Lembaga Selain Bank tersebut memiliki otoritas
pengawas. Rekomendasi tersebut paling kurang meliputi
keterangan tentang kepatuhan Lembaga Selain Bank terhadap
ketentuan yang berlaku termasuk informasi dapat atau
tidaknya Lembaga Selain Bank melakukan kegiatan sebagai
Penerbit dan informasi lain tentang permasalahan-
permasalahan yang dihadapi Lembaga Selain Bank tersebut.
III. PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI
ACQUIRER
A. Pihak yang Dapat Bertindak sebagai Acquirer
Kegiatan sebagai Acquirer dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga
Selain Bank.
B. Permohonan Izin sebagai Acquirer
Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai
Acquirer wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Permohonan izin
untuk melakukan kegiatan sebagai Acquirer disampaikan kepada Bank
Indonesia secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dan paling kurang
harus memuat informasi sebagai berikut:
1.
rencana waktu dimulainya kegiatan;
2. nama dan jumlah Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring,
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang
bekerjasama; dan
3. nama dan jumlah Pedagang yang akan bekerjasama.
C. Persyaratan Dokumen sebagai Acquirer yang Berupa Bank
Untuk …
15
Untuk Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B
dilampiri dokumen sebagai berikut:
1.
fotokopi RBB tahun berjalan yang di dalamnya tercantum rencana
kegiatan Bank sebagai Acquirer;
2. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement)
antara calon Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang dan/atau
pihak lain, yang diketahui oleh pengurus dan paling kurang
memuat:
a.
pokok-pokok perjanjian tertulis dan pengaturan hak dan
kewajiban antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
Pedagang dan/atau pihak lain yang akan bekerjasama dengan
Acquirer; dan
b.
rencana pelaksanaan kerjasama dengan Prinsipal, Penerbit,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
Pedagang, dan/atau pihak lain;
3. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan
kegiatan sebagai Acquirer yang akan dilakukan, paling kurang
memuat uraian mengenai:
a.
b.
c.
potensi pasar yang ada;
segmen pasar yang akan dituju dan analisis persaingan usaha;
d.
e.
rencana kerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang,
dan/atau pihak lain, termasuk jumlah dan namanya;
rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan
prakiraan target pendapatan yang akan dicapai;
4. bukti kesiapan perangkat hukum, antara lain berupa:
a.
konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis
antara calon Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
Pedagang …
16
Pedagang dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat
klausul tentang:
1) kesepakatan antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian
Akhir, Pedagang, dan/atau pihak lain mengenai
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik;
2) hak dan kewajiban masing-masing pihak;
3)
4)
rencana pelaksanaan kerjasama;
jangka waktu kerjasama; dan
5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa
yang mungkin terjadi antara para pihak;
b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti
pengaturan hak dan kewajiban Acquirer, Prinsipal, Penerbit,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
Pedagang, dan/atau pihak lain; dan
c.
prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul
antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang,
dan/atau pihak lain;
5. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi:
a.
b.
rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya
manusia; dan
rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat
informasi mengenai:
1)
lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan
operasional; dan
2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware,
software, dan jaringan yang akan digunakan;
6. bukti kesiapan manajemen risiko likuiditas, antara lain meliputi:
a. mekanisme pemenuhan kewajiban Acquirer; dan
b. mekanisme dalam hal Acquirer mengalami gagal bayar
failure …
17
(failure to settle);
7.
fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan
proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang
paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem
dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G,
termasuk sistem keamanan atau jaringan Acquirer yang digunakan
oleh Pedagang;
8. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan
kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang
efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang
timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat
mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik; dan
9.
fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah atas kegiatan
Uang Elektronik yang akan dilakukan, khusus untuk Bank yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
D. Persyaratan Dokumen sebagai Acquirer yang Berupa Lembaga Selain
Bank
Untuk Lembaga Selain Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada huruf B dilampiri dokumen sebagai berikut:
1. profil perusahaan (company profile) yang antara lain memuat
rencana kegiatan sebagai Acquirer;
2.
fotokopi akta pendirian perseroan terbatas termasuk perubahannya,
jika ada, yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang dan harus
dilegalisasi oleh pihak atau pejabat yang berwenang;
3. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement)
antara calon Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang dan/atau
pihak lain, yang antara lain berisi:
a.
pokok-pokok perjanjian tertulis dan pengaturan hak dan
kewajiban antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
Pedagang, dan/atau pihak lain yang bekerjasama dengan
Acquirer …
18
Acquirer; dan
b.
rencana pelaksanaan kerjasama dengan Prinsipal, Penerbit,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
Pedagang dan/atau pihak lain;
4. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan
kegiatan sebagai Acquirer yang akan dilakukan, paling kurang
memuat uraian mengenai:
a.
b.
c.
potensi pasar yang ada;
segmen pasar yang akan dituju dan analisis persaingan usaha;
d.
e.
rencana kerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang
dan/atau pihak lain, termasuk jumlah dan namanya;
rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan
prakiraan target pendapatan yang akan dicapai;
5. bukti kesiapan perangkat hukum, antara lain berupa:
a.
konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis
antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang,
dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang:
1) kesepakatan antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian
Akhir, Pedagang dan/atau pihak lain;
2) hak dan kewajiban masing-masing pihak;
3)
4)
rencana pelaksanaan kerjasama;
jangka waktu kerjasama; dan
5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa
yang mungkin terjadi antara para pihak;
b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti
pengaturan hak dan kewajiban Acquirer, Prinsipal, Penerbit,
Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dan …
19
dan Pemegang; dan
c.
prosedur mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul
antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara
Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang,
dan/atau pihak lain;
6. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi:
a.
b.
rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya
manusia; dan
rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat
informasi mengenai:
1)
lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan
operasional; dan
2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware,
software, dan jaringan yang akan digunakan;
7. bukti kesiapan manajemen risiko likuiditas, antara lain meliputi:
a. mekanisme pemenuhan kewajiban Acquirer; dan
b. mekanisme dalam hal Acquirer mengalami gagal bayar
(failure to settle);
8.
fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan
proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang
paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem
dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G,
termasuk sistem keamanan atau jaringan Acquirer yang digunakan
oleh Pedagang;
9. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan
kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang
efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang
timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat
mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik;
10. fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah, khusus untuk
Lembaga Selain Bank yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan …
20
berdasarkan prinsip syariah; dan
11. rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank,
jika Lembaga Selain Bank tersebut memiliki otoritas pengawas.
Rekomendasi tersebut paling kurang meliputi keterangan tentang
kepatuhan Lembaga Selain Bank terhadap ketentuan yang berlaku
termasuk informasi dapat atau tidaknya Lembaga Selain Bank
melakukan kegiatan sebagai Acquirer dan informasi lain tentang
permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lembaga Selain Bank
tersebut.
IV. PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI
PENYELENGGARA KLIRING DAN/ATAU PENYELENGGARA
PENYELESAIAN AKHIR
A. Permohonan Izin Sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir
Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib
menyampaikan permohonan izin kepada Bank Indonesia secara tertulis
dalam Bahasa Indonesia, dan paling kurang memuat informasi sebagai
berikut:
1.
rencana waktu dimulainya kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
2. nama dan jumlah Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau pihak lain
yang akan bekerjasama; dan
3. nama atau merek dagang yang akan digunakan.
B. Persyaratan Dokumen sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang Berupa Bank
Untuk Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf A
dilampiri dokumen sebagai berikut:
1.
fotokopi RBB tahun berjalan yang di dalamnya tercantum rencana
kegiatan Bank sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara …
21
Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
2. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement)
antara Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau pihak lain,
yang diketahui oleh pengurus dan paling kurang memuat:
a.
persyaratan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau pihak lain
yang akan menggunakan jasa Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
b. pokok-pokok perjanjian tertulis dan pengaturan hak dan
kewajiban antara Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak lain yang bekerja sama
dengan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir;
c. manajemen risiko dalam penyelenggaraan kliring dan/atau
penyelenggaraan penyelesaian akhir;
d. mekanisme kliring dan/atau penyelesaian akhir;
e.
prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa antara
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak
lain;
3. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi:
a.
b.
rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya
manusia; dan
rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat
informasi mengenai:
1)
lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan
kliring dan/atau penyelesaian akhir; dan
2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware,
software, dan jaringan yang akan digunakan;
4.
fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen …
22
independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan
proven technology dalam penyelenggaraan kliring yang paling
kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau
jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G;
5. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan
kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang
efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang
timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat
mengganggu kelancaran operasional penyelenggaraan kliring
dan/atau penyelenggaraan penyelesaian akhir; dan
6.
fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah atas kegiatan
penyelenggaraan kliring dan/atau penyelenggaraan penyelesaian
akhir yang akan dilakukan, khusus untuk Bank yang menjalankan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
C. Persyaratan Dokumen sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang Berupa Lembaga Selain Bank
Untuk Lembaga Selain Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada huruf B dilampiri dokumen sebagai berikut:
1. profil perusahaan (company profile) yang antara lain memuat
rencana kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
2.
fotokopi akta pendirian perseroan terbatas termasuk perubahannya,
jika ada, yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang dan harus
dilegalisasi oleh pihak atau pejabat yang berwenang;
3. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement)
antara Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak lain,
dan paling kurang memuat:
a.
persyaratan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau pihak lain
yang akan menggunakan jasa Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir;
b. pokok …
23
b. pokok-pokok perjanjian tertulis dan pengaturan hak dan
kewajiban antara Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak lain yang bekerja sama
dengan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir;
c. manajemen risiko dalam penyelenggaraan kliring dan/atau
penyelenggaraan penyelesaian akhir;
d. mekanisme kliring dan/atau penyelesaian akhir;
e.
prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa antara
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak
lain;
4. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi:
a.
b.
rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya
manusia; dan
rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat
informasi mengenai:
1)
lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan
kliring dan/atau penyelesaian akhir; dan
2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware,
software, dan jaringan yang akan digunakan;
5.
fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan
proven technology dalam penyelenggaraan kliring yang paling
kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau
jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G;
6. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan
kesinambungan usaha (business continuity plan) yang efektif
dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul
dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat mengganggu
kelancaran operasional penyelenggaraan kliring dan/atau
penyelenggaraan …
24
penyelenggaraan penyelesaian akhir; dan
7.
rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank,
jika Lembaga Selain Bank tersebut memiliki otoritas pengawas.
Rekomendasi tersebut paling kurang meliputi keterangan tentang
kepatuhan Lembaga Selain Bank terhadap ketentuan yang berlaku
termasuk informasi dapat atau tidaknya Lembaga Selain Bank
melakukan kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan informasi lain tentang
permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lembaga Selain Bank
tersebut.
V.
PEMROSESAN PERIZINAN SEBAGAI PRINSIPAL, PENERBIT,
ACQUIRER,
PENYELENGGARA KLIRING DAN/ATAU
PENYELENGGARA PENYELESAIAN AKHIR
1. Bank Indonesia memberikan izin atau penolakan secara tertulis dalam
jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung
sejak surat permohonan beserta dokumen yang dipersyaratkan diterima
oleh Bank Indonesia.
2. Dalam rangka memberikan izin atau penolakan secara tertulis
sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a.
pemeriksaan administratif terhadap kelengkapan, kebenaran dan
kesesuaian dokumen yang diajukan oleh Bank atau Lembaga Selain
Bank;
b.
pemeriksaan (on site visit) ke Bank atau Lembaga Selain Bank yang
bersangkutan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dan
kesesuaian dokumen yang diajukan serta untuk memastikan
kesiapan operasional, jika diperlukan; dan/atau
c.
dalam hal pemohon berupa Bank, Bank Indonesia meminta
rekomendasi kepada otoritas pengawas Bank, paling kurang
meliputi kondisi keuangan, tingkat kesehatan, kesiapan operasional
dan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk
informasi jika terdapat permasalahan-permasalahan yang dihadapi
Bank …
25
Bank tersebut.
3. Berdasarkan hasil pemeriksaan administratif dokumen, hasil pemeriksaan
(on site visit) dan/atau rekomendasi otoritas pengawas Bank sebagaimana
dimaksud pada angka 2, Bank Indonesia melakukan:
a.
pemberian izin, jika:
1) hasil pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud pada
butir 2.a menunjukkan bahwa dokumen yang diajukan pemohon
telah lengkap, benar dan sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh
Bank Indonesia;
2) hasil pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud pada
butir 2.b menunjukkan kebenaran dan kesesuaian dokumen yang
diajukan serta kesiapan operasional; dan
3) otoritas pengawas Bank atau Lembaga Selain Bank
merekomendasikan Bank atau Lembaga Selain Bank untuk
memperoleh izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir.
b.
penolakan, jika:
1) hasil pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud pada
butir 2.a menunjukkan bahwa dokumen yang diajukan pemohon
tidak lengkap, tidak benar dan/atau tidak sesuai dengan yang
dipersyaratkan oleh Bank Indonesia;
2) hasil pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud pada
butir 2.b menunjukkan adanya ketidakbenaran atau
ketidaksesuaian dokumen yang diajukan dan/atau ketidaksiapan
operasional; dan/atau
3) otoritas pengawas Bank atau Lembaga Selain Bank tidak
merekomendasikan Bank atau Lembaga Selain Bank untuk
memperoleh izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir …
26
Akhir.
4. Jika terdapat hal-hal yang harus ditindaklanjuti, maka jangka waktu
pemberian izin sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat diperpanjang.
Perpanjangan jangka waktu pemberian izin tersebut diberitahukan secara
tertulis oleh Bank Indonesia kepada pemohon.
VI. PEMBERITAHUAN TANGGAL EFEKTIF DIMULAINYA KEGIATAN
SEBAGAI PRINSIPAL, PENERBIT, ACQUIRER, PENYELENGGARA
KLIRING DAN/ATAU PENYELENGGARA PENYELESAIAN AKHIR
1. Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, wajib melakukan kegiatannya paling
lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal
pemberian izin dari Bank Indonesia.
2. Apabila dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari kalender
sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank atau Lembaga Selain Bank
telah melakukan kegiatannya sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, maka
Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut wajib memberitahukan secara
tertulis kepada Bank Indonesia mengenai tanggal efektif dimulainya
kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Bank atau Lembaga Selain
Bank dinyatakan telah dapat melaksanakan kegiatannya secara efektif
sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir jika jaringan atau sistemnya telah
dapat dioperasikan dan produknya telah dapat digunakan oleh masyarakat
luas sebagai Uang Elektronik.
3. Apabila Bank atau Lembaga Selain Bank tidak dapat melaksanakan
kegiatannya dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari
kalender sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank atau Lembaga
Selain Bank tersebut wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Indonesia …
27
Indonesia disertai dengan bukti-bukti pendukung yang memperkuat
penjelasan mengenai alasan dan kendala-kendala yang menyebabkan
belum dapat dilaksanakannya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir.
4. Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal efektif
dimulainya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Sedangkan
pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 3, disampaikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka
waktu 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud
pada angka 1.
VII. PENYELENGGARAAN UANG ELEKTRONIK
A.
Jenis Uang Elektronik Berdasarkan Pencatatan Identitas Pemegang
Berdasarkan tercatat tidaknya data identitas Pemegang Uang Elektronik,
Penerbit dapat mengeluarkan jenis Uang Elektronik yang terdaftar dan
tercatat data identitas Pemegang (registered) dan jenis yang tidak
terdaftar dan tidak tercatat data identitas Pemegang (unregistered).
Pencatatan data identitas Pemegang paling kurang memuat nama,
alamat, tanggal lahir dan data lainnya sebagaimana yang tercantum pada
bukti identitas Pemegang. Perolehan data identitas Pemegang dilakukan
oleh Penerbit dengan menyediakan suatu sarana atau formulir aplikasi
yang harus diisi oleh calon Pemegang disertai dengan fotokopi bukti
identitas calon Pemegang. Keharusan pengisian data identitas Pemegang
tersebut diperuntukkan bagi Pemegang yang baru pertama kali
mengajukan sebagai Pemegang dan Penerbit sama sekali belum
mempunyai data yang lengkap, benar dan akurat tentang identitas
Pemegang (Customer Information File).
B. Batas …
28
B. Batas Paling Banyak Nilai Uang Elektronik
1. Batas Nilai Uang Elektronik untuk jenis registered dan unregistered
diatur sebagai berikut:
a. Batas Nilai Uang Elektronik untuk jenis unregistered paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
b. Batas Nilai Uang Elektronik untuk jenis registered paling
banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Batas nilai transaksi untuk kedua jenis Uang Elektronik
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dalam 1 (satu) bulan untuk
setiap Uang Elektronik secara keseluruhan paling banyak
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), yang meliputi transaksi
pembayaran, transfer dana, dan fasilitas transaksi lainnya yang
disediakan oleh Penerbit.
C. Mekanisme Pencairan Uang Hasil Transaksi bagi Pedagang
Hasil transaksi Pedagang dengan Pemegang hanya dapat ditarik oleh
Pedagang melalui rekening Pedagang yang tercatat pada Bank.
Rekening yang tercatat pada Bank milik Pedagang digunakan sebagai
sarana untuk menampung pembayaran dari Penerbit atau Acquirer
setelah dilakukannya transaksi antara Pemegang dan Pedagang.
D. Agen Penerbit dalam Pengisian Ulang dan Tarik Tunai Nilai Uang
Elektronik
Penerbit dapat bekerjasama dengan Pedagang atau pihak lain sebagai
agen dalam memberikan fasilitas Pengisian Ulang dan Tarik Tunai Nilai
Uang Elektronik. Dalam hal agen Penerbit tersebut memberikan jasa
layanan kepada Pemegang untuk Tarik Tunai dalam rangka transfer dana
maka agen Penerbit tersebut wajib memperoleh izin sebagai
penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
E. Penerbitan Uang Elektronik dengan Jenis atau Nama yang Berbeda
dan/atau Penambahan Fasilitas Baru
1. Penerbit yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia dan akan
menerbitkan Uang Elektronik dengan jenis atau nama yang berbeda
dengan …
29
dengan yang telah diterbitkan sebelumnya tidak memerlukan izin
namun harus dilaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
Contoh:
a. Penerbit A telah memperoleh izin dan menerbitkan Uang
Elektronik dengan media chip. Dalam perkembangannya,
Penerbit A tersebut akan menerbitkan Uang Elektronik jenis
baru dengan menggunakan media server. Dalam hal ini
penerbitan Uang Elektronik dengan menggunakan media
server tidak memerlukan izin baru, namun cukup melaporkan
rencana penerbitan tersebut kepada Bank Indonesia.
b. Penerbit B telah memperoleh izin dan menerbitkan Uang
Elektronik bekerjasama dengan salah satu Prinsipal. Dalam
perkembangannya, Penerbit B tersebut akan menerbitkan
Uang Elektronik bekerjasama dengan Prinsipal yang berbeda.
Dalam hal ini penerbitan Uang Elektronik yang bekerjasama
dengan Prinsipal yang berbeda tidak memerlukan izin baru,
namun cukup melaporkan rencana penerbitan dan kerjasama
tersebut kepada Bank Indonesia.
c. Penerbit C berupa Bank yang telah memperoleh izin dan
menerbitkan Uang Elektronik akan menambah fitur layanan
Uang Elektronik untuk kepentingan transfer dana, maka
Penerbit C cukup melaporkan rencana penambahan fitur
tersebut kepada Bank Indonesia. Ketentuan tersebut tidak
berlaku bagi Penerbit berupa Lembaga Selain Bank karena
penambahan fitur transfer dana pada Uang Elektronik oleh
Lembaga Selain Bank wajib memperoleh izin sebagai
penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
2. Hal-hal yang dilaporkan antara lain meliputi:
a.
b.
latar belakang penerbitan Uang Elektronik jenis baru;
laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen internal atau eksternal, jika menggunakan sistem
yang …
30
yang berbeda dengan sistem yang digunakan dalam
penerbitan Uang Elektronik yang telah memperoleh izin
sebelumnya;
c.
profil Uang Elektronik, antara lain memuat informasi
mengenai:
1) merek (brand name) yang digunakan;
2)
spesifikasi teknis yang paling kurang memuat informasi
mengenai media penyimpan data elektronis dan fitur
keamanan (security features); dan
3) mekanisme pengelolaan Uang Elektronik yang paling
kurang memuat informasi mengenai penerbitan,
Pengisian Ulang, redeem, dan penagihan oleh
Pedagang;
d. pihak-pihak yang bekerja sama dalam penerbitan Uang
Elektronik jenis baru, jika ada; dan
e.
tanggal efektif penerbitan Uang Elektronik jenis baru.
F. Fasilitas Transfer Dana
1. Penerbit yang menyediakan fasilitas transfer dana antar Pemegang
wajib:
a. menyediakan sistem yang dapat mencatat transaksi
perpindahan dana dari pengirim dan penerima sehingga
Penerbit mengetahui informasi tersebut secara on-line dan
real time;
b. menatausahakan data identitas Pemegang, yang antara lain
meliputi nama, nomor identitas, dan alamat; dan
c.
tunduk pada ketentuan yang mengatur mengenai prinsip
Know Your Customer (KYC), tindak pidana pencucian uang,
dan ketentuan terkait lainnya. Khusus untuk Lembaga Selain
Bank, selain tunduk pada ketentuan tersebut tunduk pula pada
ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha
pengiriman uang dan/atau ketentuan mengenai transfer dana.
2. Fasilitas …
31
2. Fasilitas Tarik Tunai hanya dapat diberikan untuk Uang Elektronik
yang memiliki fasilitas transfer dana.
3.
Jika Penerbit bekerjasama dengan pihak lain yang merupakan
Lembaga Selain Bank untuk bertindak sebagai agen pengirim
dan/atau agen penerima transfer (termasuk pihak yang melayani
fasilitas Tarik Tunai), maka pihak lain tersebut wajib pula
memperoleh izin sebagai penyelenggara kegiatan usaha pengiriman
uang atau transfer dana terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
G. Penerapan Manajemen Risiko Operasional dan Peningkatan Keamanan
Teknologi
1. Dalam rangka penerapan manajemen risiko operasional, Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara
Penyelesaian Akhir wajib meningkatkan keamanan teknologi Uang
Elektronik untuk mengurangi
tingkat kejahatan dan
penyalahgunaan Uang Elektronik, serta sekaligus untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Uang Elektronik
sebagai alat pembayaran.
2. Peningkatan keamanan sebagaimana dimaksud pada angka 1,
dilakukan terhadap seluruh infrastruktur teknologi yang terkait
dengan penyelenggaraan Uang Elektronik, yang meliputi
pengamanan pada media penyimpan Uang Elektronik dan
pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk
memproses transaksi Uang Elektronik.
3. Dalam peningkatan keamanan sebagaimana dimaksud pada angka
2, antara lain dilakukan dengan penggunaan proven technology
yang paling kurang mencakup pemenuhan aspek-aspek sebagai
berikut:
a. Adanya sistem keamanan teknologi yang paling kurang
memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) kerahasiaan data (confidentiality);
2)
integritas sistem dan data (integrity);
3) otentikasi …
32
3) otentikasi sistem dan data (authentication);
4) pencegahan terjadinya penyangkalan transaksi yang
telah dilakukan (non-repudiation); dan
5) ketersediaan sistem (availability),
yang dilakukan secara efektif dan efisien dengan
memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku;
b. Adanya sistem dan prosedur untuk melakukan audit trail;
c. Adanya kebijakan dan prosedur internal untuk sistem dan
Sumber Daya Manusia (SDM); dan
d. Adanya Business Continuity Plan (BCP) yang dapat
menjamin kelangsungan penyelenggaraan Uang Elektronik.
BCP tersebut meliputi tindakan preventif maupun
contingency plan (termasuk penyediaan sarana back-up) jika
terjadi kondisi darurat atau gangguan yang mengakibatkan
sistem utama penyelenggaraan Uang Elektronik tidak dapat
digunakan.
H. Penempatan Dana Float
1. Dalam hal Penerbit berupa Lembaga Selain Bank, maka Dana
Float yang dikelola wajib ditempatkan pada Bank Umum dalam
bentuk rekening simpanan berupa tabungan, giro, dan/atau
deposito.
2. Dana Float yang ditempatkan pada Bank Umum sebagaimana
dimaksud pada angka 1 sebesar 100% dari Dana Float yang
diperoleh dari hasil penjualan Uang Elektronik yang masih
merupakan kewajiban Penerbit kepada Pemegang dan Pedagang.
3. Besarnya komposisi Dana Float dalam bentuk tabungan, giro,
dan/atau deposito diserahkan sepenuhnya kepada Penerbit.
Penerbit hanya dapat memanfaatkan Dana Float tersebut untuk
kepentingan pemenuhan kewajiban kepada Pemegang dan
Pedagang. Dana Float tidak dapat digunakan untuk membiayai
kegiatan di luar kewajiban kepada Pemegang dan Pedagang
tersebut seperti untuk pembiayaan operasional Penerbit.
4. Pemenuhan …
33
4. Pemenuhan kewajiban kepada Pemegang dan Pedagang harus
dilakukan oleh Penerbit dengan tepat waktu.
5. Penatausahaan Dana Float milik Penerbit yang berasal dari Bank
dilakukan dengan pencatatan pada sisi kewajiban segera atau rupa-
rupa pasiva. Jika Penerbit yang berasal dari Bank tersebut
melakukan penempatan Dana Float maka harus dilakukan pada
investasi yang aman dan likuid.
I. Transparansi Produk
1. Transparansi produk antara lain dilakukan oleh Penerbit dengan
memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang atas Uang
Elektronik yang diterbitkannya. Informasi tersebut wajib
disampaikan dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas
dan mudah dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang mudah
dibaca oleh Pemegang.
2.
Informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1, paling
kurang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
informasi bahwa Uang Elektronik bukan merupakan
simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perbankan sehingga Nilai Uang Elektronik tidak
dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS);
b. prosedur dan tata cara penggunaan Uang Elektronik, fasilitas
yang melekat pada Uang Elektronik, seperti Pengisian Ulang,
transfer dana, Tarik Tunai, dan redeem, serta risiko yang
mungkin timbul dari penggunaan Uang Elektronik;
c.
hak dan kewajiban Pemegang, paling kurang meliputi:
1) hal-hal penting yang harus diperhatikan Pemegang
dalam penggunaan Uang Elektronik seperti masa
berlaku media Uang Elektronik, jika ada, dan hak serta
kewajiban Pemegang atas berakhirnya masa berlaku
media Uang Elektronik tersebut;
2) hak dan kewajiban Pemegang jika terjadi hal-hal yang
mengakibatkan kerugian bagi Pemegang dan/atau
Penerbit …
34
Penerbit, baik yang disebabkan oleh kegagalan sistem
atau sebab lainnya; dan
3)
d.
jenis dan besarnya biaya yang dikenakan;
tata cara pengajuan pengaduan yang berkaitan dengan
penggunaan Uang Elektronik dan perkiraan lamanya waktu
penanganan pengaduan tersebut; dan
e.
tata cara dan konsekuensi penggunaan produk termasuk tata
cara pengembalian seluruh Nilai Uang Elektronik yang
tersisa pada Uang Elektronik pada saat Pemegang mengakhiri
penggunaan Uang Elektronik (redeem).
J. Kerjasama Acquirer dengan Pedagang atau Pihak Lain
1. Dalam hal Acquirer melakukan kerjasama dengan Pedagang,
Acquirer tersebut harus memastikan bahwa:
a.
bidang usaha Pedagang tidak termasuk bidang usaha yang
dilarang oleh undang-undang;
b.
dalam perjanjian kerjasama antara Acquirer dengan Pedagang
memuat klausula yang harus dicantumkan paling kurang
meliputi:
1)
2)
hak dan kewajiban Acquirer dan Pedagang;
larangan kepada Pedagang untuk mengenakan biaya
tambahan (surcharge) kepada Pemegang; dan/atau
3)
kewajiban kepada Pedagang untuk menjaga
kerahasiaan data/informasi mengenai transaksi dan
Pemegang;
c.
d.
Pedagang mematuhi perjanjian kerjasama dengan Acquirer
sebagaimana dimaksud pada huruf b; dan
Pedagang memahami tata cara dan mekanisme transaksi
dengan menggunakan Uang Elektronik. Dalam hal ini
Acquirer berkewajiban untuk memberikan edukasi dan
pembinaan secara berkala kepada Pedagang termasuk jika
terdapat jenis atau nama yang berbeda dan/atau penambahan
fasilitas baru Uang Elektronik.
2. Dalam …
35
2. Dalam hal Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain,
seperti perusahaan personalisasi atau perusahaan penyedia jasa
teknologi dalam penyelenggaraan Uang Elektronik, maka:
a.
pengoperasian sistem harus dilakukan oleh perusahaan
penyedia jasa teknologi dalam penyelenggaraan Uang
Elektronik yang mempunyai jaminan keamanan atas
keseluruhan proses transaksi Uang Elektronik. Jaminan
keamanan tersebut dibuktikan dengan:
1) adanya hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen internal atau eksternal; dan
2) adanya hasil sertifikasi yang dilakukan oleh Prinsipal, jika
Acquirer menjadi anggota Prinsipal.
b. Acquirer harus memastikan bahwa perusahaan penyedia jasa
teknologi dalam penyelenggaraan Uang Elektronik dapat
menjaga kerahasiaan data, baik data Pemegang maupun data
transaksi.
3. Acquirer yang merupakan Bank jika dalam melakukan kegiatan
Uang Elektronik akan bekerjasama atau menggunakan pihak lain
untuk memproses transaksi Uang Elektronik, wajib pula
memperhatikan dan memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kerjasama Bank dengan pihak lain, antara lain
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko
dalam penggunaan teknologi informasi oleh Bank Umum.
VIII. MASA BERLAKU MEDIA UANG ELEKTRONIK
Penerbit dapat menetapkan masa berlaku media Uang Elektronik antara lain
dengan pertimbangan adanya batas usia teknis dari media Uang Elektronik
yang digunakan. Sebagai contoh, untuk Uang Elektronik yang menggunakan
chip sebagai media elektronik yang ditanam pada kartu, Penerbit dapat
menetapkan masa berlaku kartu tersebut untuk jangka waktu tertentu.
Dengan berakhirnya masa berlaku media Uang Elektronik, Nilai Uang
Elektronik yang masih tersisa dalam media tersebut tidak serta merta menjadi
hapus …
36
hapus. Dengan demikian Pemegang masih memiliki hak tagih atas sisa Nilai
Uang Elektronik yang terdapat dalam media tersebut sampai dengan jangka
waktu sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
sepanjang masih terdapat sisa Nilai Uang Elektronik pada media tersebut.
Pemenuhan hak tagih atas sisa Nilai Uang Elektronik tersebut dapat dilakukan
dengan berbagai cara antara lain dengan memindahkan sisa Nilai Uang
Elektronik tersebut ke dalam media yang baru.
Pemenuhan hak tagih atas Nilai Uang Elektronik dapat dikurangi dengan
biaya administrasi yang dikenakan oleh Penerbit kepada Pemegang.
IX. PENGAWASAN DAN LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN
UANG ELEKTRONIK
A. Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Uang Elektronik
1. Tujuan Pengawasan
Pengawasan bertujuan untuk memastikan penyelenggaraan kegiatan
Uang Elektronik dilakukan secara efisien, cepat, aman dan andal
dengan memperhatikan prinsip perlindungan nasabah.
2. Obyek Pengawasan
Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap kegiatan
penyelenggaraan Uang Elektronik yang dilakukan oleh:
a. Prinsipal;
b. Penerbit;
c. Acquirer;
d. Penyelenggara Kliring; dan
e. Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
3. Fokus Pengawasan
Pengawasan terhadap penyelenggaraan Uang Elektronik difokuskan
pada:
a. penerapan aspek manajemen risiko;
b. kepatuhan …
37
b. kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk
kebenaran dan ketepatan penyampaian informasi dan laporan;
dan
c. penerapan aspek perlindungan nasabah.
4. Metode Pengawasan
a. Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan Uang
Elektronik dilakukan Bank Indonesia melalui:
1) penelitian, analisis dan evaluasi, antara lain yang
didasarkan atas laporan berkala, laporan insidentil, data
dan/atau informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia
dari pihak lain, dan diskusi dengan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada angka 2.
2) pemeriksaan (on site visit) terhadap pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada angka 2 untuk mencocokan
kebenaran data dengan fakta di lapangan, serta melihat
sarana fisik, sistem, aplikasi pendukung dan database.
Dalam hal diperlukan, pemeriksaan (on site visit) dapat
juga dilakukan terhadap pihak-pihak yang bekerjasama
dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2.
3) pertemuan konsultasi (consultative meeting) dengan
pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2 untuk
mendapatkan informasi penyelenggaraan dan
menyampaikan saran.
4) pembinaan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud
pada angka 2 termasuk untuk melakukan perubahan.
b. Dalam rangka pengawasan, pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada angka 2 wajib memberikan:
1) keterangan …
38
1) keterangan dan/atau data yang terkait dengan
penyelenggaraan Uang Elektronik, baik dalam bentuk
hard copy maupun soft copy; dan
2) kesempatan melakukan pemeriksaan (on site visit) untuk
melihat penyelenggaraan Uang Elektronik, sarana fisik,
sistem, aplikasi pendukung dan database.
c. Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas
nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan (on site visit)
terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2.
B. Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Uang Elektronik
1. Laporan Berkala
a. Laporan berkala merupakan laporan yang wajib disampaikan
secara lengkap, benar, akurat dan tepat waktu oleh pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada butir A.2 sesuai dengan periode
masing-masing laporan. Laporan berkala terdiri atas laporan
bulanan, laporan triwulanan, dan laporan tahunan.
b. Jenis Laporan Berkala
Laporan berkala yang wajib disampaikan oleh pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada butir A.2 meliputi:
1) Prinsipal
a) Laporan Tahunan yang paling kurang meliputi
informasi mengenai:
(1)
rencana kerja dan target 1 (satu) tahun ke depan
termasuk rencana pengembangan produk dan
kerjasama dengan pihak lain;
(2)
realisasi rencana kerja tahun sebelumnya;
(3) anggota yang tergabung dalam jaringan
Prinsipal; dan
(4)
jenis dan besarnya biaya yang dikenakan kepada
anggota.
b) Laporan …
39
b) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang
dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali
dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain
meliputi:
(1) keamanan jaringan;
(2) keamanan data;
(3) keamanan aplikasi dan sistem;
(4) kontrol terhadap akses sistem dan data;
(5) monitoring dan pengujian berkala terhadap
jaringan; dan
(6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi
informasi.
2) Penerbit
a) Laporan Bulanan Fraud;
b) Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian
Pengaduan Nasabah; dan
c) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang
dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali
dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain
meliputi:
(1) keamanan jaringan;
(2) keamanan data;
(3) keamanan aplikasi dan sistem;
(4) kontrol terhadap akses sistem dan data;
(5) monitoring dan pengujian berkala terhadap
jaringan; dan
(6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi
informasi.
3) Acquirer
a) Laporan Bulanan penyelenggaraan kegiatan Uang
Elektronik sebagai Acquirer; dan
b) Laporan …
40
b) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang
dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali
dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain
meliputi:
(1) keamanan jaringan;
(2) keamanan data;
(3) keamanan aplikasi dan sistem;
(4) kontrol terhadap akses sistem dan data;
(5) monitoring dan pengujian berkala terhadap
jaringan; dan
(6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi
informasi.
4) Penyelenggara Kliring
a) Laporan Triwulanan Penyelenggaraan Kegiatan
Kliring.
b) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang
dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali
dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain
meliputi:
(1) keamanan jaringan;
(2) keamanan data;
(3) keamanan aplikasi dan sistem;
(4) kontrol terhadap akses sistem dan data;
(5) monitoring dan pengujian berkala terhadap
jaringan; dan
(6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi
informasi.
5) Penyelenggara Penyelesaian Akhir
a) Laporan Triwulanan Penyelenggaraan Kegiatan
Penyelesaian Akhir; dan
b) Laporan …
41
b) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang
dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali
dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain
meliputi:
(1) keamanan jaringan;
(2) keamanan data;
(3) keamanan aplikasi dan sistem;
(4) kontrol terhadap akses sistem dan data;
(5) monitoring dan pengujian berkala terhadap
jaringan; dan
(6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi
informasi.
2. Laporan Insidentil
a. Laporan insidentil merupakan laporan tertulis yang wajib
disampaikan secara benar oleh pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada butir A.2 kepada Bank Indonesia baik atas
permintaan Bank Indonesia maupun atas inisiatif sendiri pihak-
pihak tersebut. Laporan insidentil dapat dilakukan dengan
penyampaian dokumen sesuai dengan permintaan Bank
Indonesia.
b. Jenis Laporan Insidentil
1) Laporan Rencana Kerjasama dengan Pihak Lain
a) Prinsipal, Penerbit atau Acquirer yang akan
melakukan kerjasama dengan pihak lain wajib
menyampaikan laporan secara terulis kepada Bank
Indonesia, paling kurang memuat:
(1) data/informasi/profil perusahaan pihak lain yang
akan bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit atau
Acquirer;
(2) dasar …
42
(2) dasar pertimbangan dilakukannya kerjasama;
(3) tanggal efektif rencana dilaksanakannya
kerjasama; dan
(4) jangka waktu rencana pelaksanaan kerjasama;
b) Laporan tertulis rencana kerjasama Prinsipal, Penerbit
atau Acquirer dengan pihak lain sebagaimana
dimaksud pada huruf a), harus dilengkapi dengan
dokumen berupa:
(1) fotokopi konsep perjanjian kerjasama antara
Prinsipal, Penerbit atau Acquirer dengan pihak
lain;
(2) hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen, jika pihak lain yang bekerjasama
dengan Prinsipal atau Penerbit, merupakan
perusahaan penyedia jasa teknologi dan/atau
pihak lain yang menyediakan sarana pemrosesan
transaksi Uang Elektronik;
(3) hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen, jika pihak lain yang bekerjasama
dengan Acquirer merupakan pihak yang
menyediakan sarana pemrosesan transaksi Uang
Elektronik;
(4) fotokopi sertifikat dari Prinsipal terhadap pihak
lain yang bekerjasama dengan Penerbit atau
Acquirer, jika Penerbit atau Acquirer menjadi
anggota Prinsipal;
(5) surat pernyataan kesanggupan pihak lain yang
bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit atau
Acquirer untuk menjaga kerahasiaan data;
(6) fotokopi …
43
(6) fotokopi konsep perjanjian kerjasama yang
dilakukan oleh pihak lain dengan pihak ketiga,
jika ada.
2) Laporan Jenis atau Nama yang Berbeda dan/atau
Penambahan Fasilitas Baru pada Uang Elektronik
a) Penerbit yang akan menerbitkan Uang Elektronik
dengan jenis atau nama yang berbeda dan/atau
penambahan fasilitas baru harus melaporkan secara
tertulis dengan dilampiri dokumen paling kurang:
(1) rencana bisnis; dan
(2) penjelasan karakteristik jenis atau nama yang
berbeda dan/atau penambahan fasilitas baru.
b) Rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada butir
a)(1), antara lain meliputi informasi mengenai target
pendapatan yang akan dicapai dari produk dengan
Jenis atau Nama yang Berbeda dan/atau Penambahan
Fasilitas Baru tersebut.
c) Penjelasan karakteristik produk dengan Jenis atau
Nama yang Berbeda dan/atau Penambahan Fasilitas
Baru sebagaimana dimaksud pada butir a)(2), meliputi
penjelasan alur transaksi, upaya peningkatan
keamanan sistem, dan perbedaan produk dengan Jenis
atau Nama yang Berbeda dan/atau Penambahan
Fasilitas Baru dengan produk sebelumnya.
3) Laporan Insiden (incident report)
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib
menyampaikan laporan insiden (incident report) yakni
laporan atas terjadinya gangguan pada sistem dan upaya
yang telah dilakukan untuk menanggulanginya seperti:
a) adanya kegagalan network dalam memproses transaksi
Uang Elektronik; dan
b) fraud yang terjadi.
4) Laporan …
44
4) Laporan Perubahan Data/Informasi
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus
melaporkan secara tertulis jika terdapat perubahan data
atau informasi atas dokumen-dokumen yang disampaikan
pada saat mengajukan permohonan persetujuan kepada
Bank Indonesia, seperti perubahan nama, alamat kantor,
perubahan pengurus (Direksi dan/atau Dewan Komisaris),
perubahan dokumen pokok-pokok hubungan bisnis,
perubahan pengaturan hak dan kewajiban para pihak,
perubahan perjanjian kerjasama dan perubahan para pihak
yang bekerjasama, perubahan prosedur penyelesaian
sengketa.
3. Laporan tahunan Prinsipal sebagaimana dimaksud pada butir
1.b.1)a) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia secara tertulis
dengan hardcopy paling lambat diterima Bank Indonesia pada
tanggal 15 Februari tahun berikutnya. Apabila tanggal 15 Februari
jatuh pada hari libur maka laporan harus sudah diterima pada hari
kerja berikutnya.
Contoh: Laporan untuk periode bulan Januari sampai dengan
Desember 2009 disampaikan paling lambat tanggal 15 Februari
2010.
4. Penyampaian Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi
sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.1)b), 1.b.2)c), 1.b.3),
1.b.4)b), dan butir 1.b.5)b) harus sudah diterima oleh Bank
Indonesia paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak Laporan
Hasil Audit Teknologi Informasi diterbitkan.
5. Laporan Rencana Kerjasama dengan Pihak Lain sebagaimana
dimaksud pada butir 2.b.1), wajib dilaporkan secara tertulis oleh
Prinsipal, Penerbit atau Acquirer kepada Bank Indonesia paling
lambat …
45
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum perjanjian kerjasama
ditandatangani.
6. Apabila Penerbit atau Acquirer telah menandatangani perjanjian
kerjasama sebagaimana dimaksud pada angka 5, Prinsipal, Penerbit
atau Acquirer wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank
Indonesia mengenai realisasi/pelaksanaan kerjasama dengan pihak
lain tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
ditandatanganinya perjanjian kerjasama.
7. Laporan Jenis atau Nama yang Berbeda dan Penambahan Fasilitas
Baru sebagaimana dimaksud pada butir 2.b.2) harus dilaporkan
secara tertulis oleh Penerbit kepada Bank Indonesia paling lambat
45 (empat puluh lima) hari kerja sebelum produk dengan jenis atau
nama yang berbeda dan penambahan fasilitas baru tersebut
diterbitkan.
8. Laporan Insiden (incident report) sebagaimana dimaksud pada
butir 2.b.3) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia sesegera
mungkin setelah kejadian kepada Tim PwSP DASP melalui telepon
atau faksimili yang diikuti pelaporan tertulis paling lambat 3 (tiga)
hari kerja setelah kejadian.
9. Laporan Perubahan Data/Informasi sebagaimana dimaksud pada
butir 2.b.4) harus disampaikan secara tertulis oleh Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir kepada Bank Indonesia paling lambat 20 (dua
puluh) hari kerja sejak dilakukannya perubahan.
10. Untuk kepentingan pengawasan terkait dengan penyelenggaraan
kegaiatan Uang Elektronik, Bank Indonesia berwenang meminta
data, informasi, dan/atau laporan di luar laporan-laporan
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2.
11. Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.2)a),
butir 1.b.2)b), butir 1.b.3)a), butir 1.b.4)a), dan butir 1.b.5)a) dan
sanksi kewajiban membayar berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia…
46
Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat Bank
Umum dan ketentuan mengenai laporan penyelenggaraan kegiatan
alat pembayaran menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat
dan Lembaga Selain Bank.
C. Tata Cara Pengenaan Sanksi Denda
1. Pengenaan sanksi denda terhadap Bank terkait penyelenggaraan
kegiatan Uang Elektronik, dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia.
2. Pengenaan sanksi denda terhadap Lembaga Selain Bank terkait
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan cara menyampaikan surat pengenaan sanksi
denda kepada Lembaga Selain Bank tersebut yang antara lain
berisi informasi jumlah sanksi denda dan tata cara pembayarannya
kepada Bank Indonesia.
X.
PENGEMBANGAN DAN PENYEDIAAN SISTEM UANG ELEKTRONIK
YANG DAPAT SALING DIKONEKSIKAN (INTEROPERABILITY)
DENGAN SISTEM UANG ELEKTRONIK LAINNYA.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi, kelancaran dan memberikan manfaat
yang lebih luas kepada Pemegang dalam bertransaksi diperlukan upaya untuk
mengembangkan sistem yang dapat saling dikoneksikan dalam memproses
transaksi antara Prinsipal, Penerbit dengan Acquirer yang satu dengan
Prinsipal, Penerbit dan Acquirer yang lain.
Secara teknis hal tersebut dapat dilakukan oleh Prinsipal dengan menetapkan
aturan main dan suatu kriteria atau standar sehingga setiap Penerbit yang
menggunakan jaringan dari Prinsipal tersebut dapat memberikan fasilitas
kepada para Pemegang untuk menggunakan akses peralatan yang
menggunakan tanda atau logo dari Prinsipal yang bersangkutan. Kemudahan
tersebut disamping dapat memberikan manfaat bagi Pemegang juga
memberikan penghematan proses transaksi yang dilakukan oleh pihak
Acquirer sehingga dapat dihindari investasi yang tidak perlu diantara para
Acquirer …
47
Acquirer. Dalam jangka panjang penghematan biaya transaksi diharapkan
dapat menstimulasi pertumbuhan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
Penyederhanaan sistem atau aplikasi dapat dilakukan oleh pihak Prinsipal,
Penerbit dan Acquirer dengan melakukan pengembangan sistem yang dari
awalnya telah dirancang agar sistem yang dikembangkan dapat saling
membaca dengan sistem yang dikembangkan oleh pihak lain.
Langkah penyederhanaan sistem oleh para pihak dapat dilakukan melalui
kesepakatan yang dilakukan sendiri oleh industri. Untuk mendukung
pelaksanaannya Bank Indonesia dapat mewajibkan para pihak untuk
mengikuti dan menyesuaikan sistemnya yang kriteria dan persyaratannya telah
menjadi kesepakatan industri.
XI. PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN DAN
MENYAMPAIKAN LAPORAN DALAM RANGKA PERALIHAN
PERIZINAN MELALUI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PEMISAHAN
ATAU PENGAMBILALIHAN
A. Penggabungan
1. Dalam hal Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan
kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia akan melakukan
penggabungan dengan Bank yang telah/belum memperoleh izin
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia,
maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
jika Bank hasil penggabungan adalah Bank yang telah
memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik
dari Bank Indonesia, maka Bank hasil penggabungan tersebut
harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia
mengenai rencana melanjutkan kegiatan Uang Elektronik.
b.
jika Bank hasil penggabungan adalah Bank yang belum
memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik
dari Bank Indonesia, maka Bank hasil penggabungan tersebut
wajib…
48
wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia terlebih dahulu
untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik.
2. Dalam hal Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia
akan melakukan penggabungan dengan Lembaga Selain Bank yang
telah/belum memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang
Elektronik dari Bank Indonesia, maka berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a.
jika Lembaga Selain Bank hasil penggabungan adalah
Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank
Indonesia, maka Lembaga Selain Bank hasil penggabungan
tersebut harus melaporkan secara tertulis kepada Bank
Indonesia mengenai rencana melanjutkan kegiatan Uang
Elektronik.
b.
jika Lembaga Selain Bank hasil penggabungan adalah
Lembaga Selain Bank yang belum memperoleh izin
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank
Indonesia, maka Lembaga Selain Bank hasil penggabungan
tersebut wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia terlebih
dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik.
B. Peleburan
1. Dalam hal Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan
kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia akan melakukan
peleburan dengan Bank yang telah atau belum memperoleh izin
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia,
Bank hasil peleburan wajib memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang
Elektronik.
2. Dalam hal Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin
penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia
akan …
49
akan melakukan peleburan dengan Lembaga Selain Bank yang
telah atau belum memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang
Elektronik dari Bank Indonesia, Lembaga Selain Bank hasil
peleburan wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia
terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik.
C. Pemisahan
1. Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh
izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank
Indonesia akan melakukan pemisahan murni, maka Bank atau
Lembaga Selain Bank hasil pemisahan murni wajib memperoleh
izin dari Bank Indonesia terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan
kegiatan Uang Elektronik.
2. Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh
izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank
Indonesia akan melakukan pemisahan tidak murni (spin off),
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank
Indonesia tetap melekat pada Bank atau Lembaga Selain Bank
yang melakukan pemisahan tidak murni (spin off). Oleh
karena itu Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan
pemisahan tidak murni (spin off) harus melaporkan secara
tertulis kepada Bank Indonesia mengenai rencana melanjutkan
kegiatan Uang Elektronik.
b. Bank atau Lembaga Selain Bank hasil pemisahan tidak murni
(spin off) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia terlebih
dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik.
D. Pengambilalihan
1. Dalam hal terjadi pengambilalihan terhadap Bank atau Lembaga
Selain Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan
Uang Elektronik dari Bank Indonesia, maka Bank atau Lembaga
Selain …
50
Selain Bank yang akan diambilalih harus melaporkan rencana
pengambilalihan tersebut kepada Bank Indonesia.
2. Laporan rencana pengambilalihan tersebut harus dilengkapi dengan
informasi yang paling kurang meliputi latar belakang
pengambilalihan, pihak yang akan melakukan pengambilalihan,
target waktu pelaksanaan pengambilalihan, susunan pemilik
dan/atau Pemegang saham pengendali setelah dilakukannya
pengambilalihan, serta rencana bisnis setelah dilakukannya
pengambilalihan khususnya yang terkait denan penyelenggaraan
kegaiatan Uang Elektronik seperti rencana perubahan nama,
perubahan struktur organisasi, atau perubahan sistem yang
digunakan.
E. Laporan sebagaimana dimaksud pada butir A.1.a., butir A.2.a., butir
C.2.a, dan butir D.1. harus disampaikan kepada Bank Indonesia, dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Laporan harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian
permohonan izin rencana penggabungan, pemisahan, atau
pengambilalihan kepada Bank Indonesia atau otoritas pengawas
Lembaga Selain Bank yang berwenang.
2. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1, harus dilampiri
dengan dokumen antara lain berupa rencana bisnis setelah
penggabungan, pemisahan, atau pengambilalihan, termasuk
rencana penggunaan sistem dan pengembangan sistem, kesiapan
infrastruktur, dan laporan hasil audit teknologi informasi dari
auditor independen dalam hal terjadi pengembangan dan/atau
penggabungan sistem yang ada.
F. Permohonan perizinan sebagaimana dimaksud pada butir A.1.b., butir
A.2.b., butir B.1., butir B.2., butir C.1., dan butir C.2.b, harus
disampaikan kepada Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Permohonan persetujuan wajib disampaikan bersamaan dengan
penyampaian permohonan izin rencana penggabungan, peleburan,
atau …
51
atau pemisahan kepada Bank Indonesia atau otoritas pengawas
Lembaga Selain Bank yang berwenang.
2. Permohonan perizinan sebagaimana dimaksud pada angka 1, harus
dilampiri dengan dokumen yang antara lain berupa:
a.
laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit
oleh kantor akuntan publik yang independen, untuk Lembaga
Selain Bank;
b.
rencana bisnis setelah penggabungan, peleburan, atau
pemisahan, termasuk rencana penggunaan sistem dan
pengembangan sistem;
c.
d.
laporan kesiapan infrastruktur;
laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor
independen dalam hal terjadi pengembangan dan/atau
penggabungan sistem yang telah ada;
e. komposisi kepemilikan saham setelah penggabungan,
peleburan, atau pemisahan untuk Lembaga Selain Bank; dan
f.
rekomendasi otoritas pengawas Lembaga Selain Bank, khusus
untuk Lembaga Selain Bank.
G. Pemrosesan permohonan perizinan untuk dapat melanjutkan kegiatan
Uang Elektronik sehubungan dengan penggabungan, peleburan, atau
pemisahan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan secara
tertulis dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima)
hari kerja terhitung sejak dokumen yang dipersyaratkan diterima
secara lengkap oleh Bank Indonesia.
2. Dalam rangka memberikan izin atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai
berikut:
a. pemeriksaan …
52
a. pemeriksaan administratif terhadap kelengkapan dan
kesesuaian dokumen yang diajukan oleh Bank atau Lembaga
Selain Bank;
b. pemeriksaan (on site visit) ke Bank atau Lembaga Selain
Bank yang bersangkutan untuk melakukan verifikasi atas
kebenaran dokumen yang diajukan dan untuk memastikan
kesiapan operasional, jika diperlukan; dan
c. dalam hal pemohon berupa Bank, Bank Indonesia meminta
rekomendasi kepada otoritas pengawas Bank, paling kurang
meliputi kondisi keuangan, tingkat kesehatan, kesiapan
operasional dan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang
berlaku, termasuk informasi terdapat permasalahan-
permasalahan yang dihadapi Bank tersebut.
3. Dalam hal pemeriksaan administratif dokumen sebagaimana
dimaksud pada butir 2.a dan pemeriksaan (on site visit)
sebagaimana dimaksud pada butir 2.b telah dilakukan, dan dengan
mempertimbangkan rekomendasi otoritas pengawas Bank atau
Lembaga Selain Bank, Bank Indonesia melakukan:
a. pemberian izin, jika:
1) berdasarkan hasil pemeriksaan administratif
sebagaimana dimaksud pada butir 2.a menunjukkan
bahwa dokumen yang diajukan telah lengkap dan telah
sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia;
2) berdasarkan hasil pemeriksaan (on site visit)
sebagaimana dimaksud pada butir 2.b, jika ada
menunjukkan kebenaran dokumen yang diajukan dan
kesiapan operasional; dan
3) otoritas pengawas Bank atau Lembaga Selain Bank
merekomendasikan pelaksanaan rencana kegiatan Bank
atau Lembaga Selain Bank untuk melanjutkan kegiatan
Uang Elektronik.
b. penolakan …
53
b. penolakan, jika:
1) berdasarkan hasil pemeriksaan administratif
sebagaimana dimaksud pada butir 2.a menunjukkan
adanya satu atau lebih dokumen yang tidak lengkap
dan/atau tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh
Bank Indonesia;
2) berdasarkan hasil pemeriksaan (on site visit)
sebagaimana dimaksud pada butir 2.b, jika ada
menunjukkan adanya ketidakbenaran dokumen yang
diajukan dan/atau ketidaksiapan operasional; dan/atau
3) otoritas pengawas Bank atau Lembaga Selain Bank tidak
merekomendasikan Bank atau Lembaga Selain Bank
untuk melanjutkan kegiatan Uang Elektronik.
XII. PERUBAHAN DIREKSI DAN/ATAU DEWAN KOMISARIS
Dalam hal terdapat rencana perubahan direksi dan/atau dewan komisaris dari
Penerbit yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia maka rencana
perubahan tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.
Bank Indonesia dapat meminta untuk mengganti direksi dan/atau dewan
komisaris jika nama calon direksi dan/atau dewan komisaris tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir II.D.1 dan butir II.D.2 .
XIII. LAIN-LAIN
A. Hal-hal yang bersifat teknis dan mikro dalam penyelenggaraan kegiatan
Uang Elektronik selain yang telah diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia ini, dapat diatur dan disepakati sendiri oleh industri Uang
Elektronik (Self Regulation Organization - SRO). Pengaturan yang
dilakukan oleh industri Uang Elektronik tersebut sebagai pelengkap dan
tidak diperkenankan bertentangan dengan ketentuan Bank Indonesia.
Dalam hal SRO telah menyepakati dan menetapkan suatu ketentuan,
maka setiap anggota yang tergabung atau pihak yang terkait dengan SRO
harus mematuhi dan mengikuti ketentuan yang telah disepakati.
B. Penyampaian …
54
B. Penyampaian permohonan izin penyelenggaraan Uang Elektronik,
penyampaian laporan, informasi lainnya, dan/atau surat menyurat
disampaikan oleh kantor pusat Bank atau Lembaga Selain Bank kepada:
Bank Indonesia cq. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Gedung D Lantai 2, Kompleks Perkantoran Bank Indonesia
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta – 10350
XIV. PERALIHAN
A. Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum diberlakukannya Peraturan
Bank Indonesia ini dan belum memperoleh izin atau penegasan dari Bank
Indonesia, wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Pengajuan
permohonan izin wajib disampaikan oleh Bank atau Lembaga Selain
Bank paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender terhitung sejak
tanggal diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini. Persyaratan
dan tata cara memperoleh izin dari Bank Indonesia mengacu pada Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
B. Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum diberlakukannya Peraturan
Bank Indonesia ini dan telah memperoleh izin atau penegasan dari Bank
Indonesia, wajib melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dan
melengkapi persyaratan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer,
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir paling
lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal
diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini.
C. Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian …
55
Penyelesaian Akhir di wilayah Republik Indonesia sebelum
diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini dan belum berbadan
hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas maka wajib telah
berbadan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas paling
lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal diberlakukannya Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
D. Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit
sebelum diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini wajib
memenuhi ketentuan mengenai penempatan Dana Float sebagaimana
dimaksud pada butir VII.H paling lambat dalam jangka waktu 60 (enam
puluh) hari kalender sejak tanggal diberlakukannya Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
XV. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 13 April 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SWD. MURNIASTUTI
DIREKTUR AKUNTING
DAN SISTEM PEMBAYARAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 11/11/DASP|SE-BI/2009 </reg_id>
<reg_title> Uang Elektronik (Electronic Money) </reg_title>
<set_date> 13 April 2009 </set_date>
<effective_date> 13 April 2009 </effective_date>
<related_reg> '11/12./PBI/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi IX Huruf C' </penalty_list>
|
No. 13/ 1 /DInt
Jakarta, 20 Januari 2011
SURAT EDARAN
Perihal : Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/24/PBI/2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 156, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5181) perlu untuk mengatur kembali ketentuan pelaksanaan
mengenai kewajiban pelaporan utang luar negeri, sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
A. Tujuan
Pelaporan Utang Luar Negeri (ULN) dimaksudkan untuk memperoleh
informasi mengenai ULN dalam rangka penyusunan Statistik ULN
Indonesia dan Statistik Neraca Pembayaran dalam upaya mendukung
keberhasilan pengelolaan cadangan devisa dan perumusan kebijakan
moneter.
B. Pelapor
1. Berdasarkan jenis usaha, Pelapor terdiri dari :
a. Lembaga Keuangan:
1) Bank;
2) Lembaga Keuangan Non Bank.
b. Non Lembaga Keuangan.
2. Berdasarkan kepemilikan usaha, Pelapor terdiri dari :
a. Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Badan Usaha Milik Swasta;
d. Koperasi;
e. Perorangan;
f. Yayasan;
g. Lainnya.
3. Dalam ...
3. Dalam hal Pelapor ULN adalah badan usaha, pelaporan dilakukan oleh
kantor pusat badan usaha yang bersangkutan.
4. Dalam hal Pelapor ULN adalah perorangan, pelaporan dilakukan oleh
perorangan yang bersangkutan.
5. Dalam hal Pelapor ULN mempunyai kantor cabang luar negeri, utang
kantor cabang luar negeri tersebut wajib dilaporkan oleh kantor pusat
Pelapor ULN.
6. Pelapor ULN harus menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk
menyusun, memverifikasi dan menyampaikan Laporan ULN. Contoh
surat penunjukan sebagaimana dimaksud pada Lampiran 10.
7. Pelapor ULN sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 4 dapat
memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan pelaporan ULN.
Contoh surat kuasa sebagaimana dimaksud pada Lampiran 11 atau
Lampiran 12.
II. RUANG LINGKUP LAPORAN
A. Ruang Lingkup ULN yang Wajib Dilaporkan
1. ULN yang wajib dilaporkan meliputi :
a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement);
b. ULN berdasarkan Surat Utang (Debt Securities);
c. ULN berdasarkan Utang Dagang (Trade Credits); dan/atau
d. ULN berdasarkan Utang Lainnya (Other Loans).
dalam valuta rupiah dan/atau valuta asing.
2. Surat Utang (Debt Securities) sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.
meliputi antara lain Letter of Credit (LC) impor yang diakseptasi oleh
Bank (Bankers’ Acceptance), Obligasi, Commercial Papers (CP),
Promissory Notes (PN), Medium Term Notes (MTN) dan Floating Rate
Notes (FRN).
3. Utang Lainnya (Other Loans) sebagaimana dimaksud pada butir 1.d
antara lain berupa pembayaran klaim asuransi dan deviden yang sudah
ditetapkan namun belum dibayar.
4. ULN Lembaga Keuangan dan Non Lembaga Keuangan wajib dilaporkan
seluruhnya tanpa batasan minimum.
5. ULN ...
5. ULN Perorangan yang wajib dilaporkan meliputi :
a. setiap ULN dengan nominal paling sedikit USD 200.000,00 (dua ratus
ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain
dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen utang ditandatangani
atau diterbitkan; dan/atau
b. beberapa ULN yang apabila dijumlahkan telah mencapai USD
200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen
dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen
utang ditandatangani atau diterbitkan.
B. Jenis Laporan
Laporan ULN terdiri dari :
1. Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya, meliputi :
a. Profil Pelapor
Setiap Pelapor yang baru pertama kali melaporkan ULN harus
menyampaikan data profil Pelapor.
Apabila terjadi perubahan data profil Pelapor maka perubahan tersebut
harus disampaikan kepada Bank Indonesia. Cakupan informasi yang
harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir Profil Pelapor
(Lampiran 1).
b. Profil ULN
1) Atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada formulir PK01 (Lampiran 2).
2) Atas dasar Surat Utang (Debt Securities)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada formulir SU01 (Lampiran 3).
3) Atas dasar Utang Dagang (Trade Credits)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada formulir UD01 (Lampiran 4).
4) Atas dasar Utang Lainnya (Other Loans)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada formulir UL01 (Lampiran 5).
2. Laporan ...
2. Laporan Data Realisasi ULN
a. Atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada Formulir PK02 (Lampiran 6).
b. Atas dasar Surat Utang (Debt Securities)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada Formulir SU02 (Lampiran 7).
c. Atas dasar Utang Dagang (Trade Credits)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada Formulir UD02 (Lampiran 8).
d. Atas dasar Utang Lainnya (Other Loans)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada Formulir UL02 (Lampiran 9).
III. PENYAMPAIAN LAPORAN
A. Jangka Waktu Penyampaian Laporan ULN
1. Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya
a. Laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement),
penerbitan Surat Utang (Debt Securities), pengakuan utang atas Utang
Dagang (Trade Credits), dan/atau pengakuan utang atas Utang
Lainnya (Other Loans). Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh
pada hari Sabtu atau hari libur, maka Laporan ULN disampaikan pada
hari kerja berikutnya.
Contoh: Laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement), yang ditandatangani pada tanggal 1 Juli 2011 wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 10
Agustus 2011.
b. Dalam hal penarikan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) telah dilakukan sebelum tanggal penandatanganan
Perjanjian Kredit (Loan Agreement), maka untuk kepentingan
pelaporan ...
pelaporan ULN, penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) dianggap telah dilakukan pada tanggal penarikan ULN
dan laporan data pokok ULN wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah tanggal
penarikan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement)
tersebut. Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu
atau hari libur, maka Laporan ULN disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
Contoh: Laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 2011 tetapi
penarikannya dilakukan pada tanggal 15 Juli 2011 maka laporan data
pokok ULN tersebut wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lama pada tanggal 10 Agustus 2011.
2. Laporan Data Realisasi ULN
Laporan data realisasi ULN wajib disampaikan secara bulanan kepada
Bank Indonesia dengan waktu penyampaian dari tanggal 1 sampai
dengan tanggal 10 pada bulan berikutnya. Apabila tanggal batas waktu
tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka laporan disampaikan
pada hari kerja berikutnya.
Contoh: Laporan data realisasi ULN selama bulan Juli 2011, wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 10
Agustus 2011.
3. Koreksi Laporan ULN
a. Koreksi Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya
Koreksi atas laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 20 bulan
penyampaian laporan. Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada
hari Sabtu atau hari libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
Contoh : Koreksi data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juni 2011 wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 20 Juli
2011.
b. Koreksi …
b. Koreksi Laporan Data Realisasi ULN
Koreksi atas laporan data realisasi ULN wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lama tanggal 20 bulan penyampaian laporan.
Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari
libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Contoh : Koreksi laporan data realisasi ULN selama bulan Juli 2011,
wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal
22 Agustus 2011.
4. Tidak Menyampaikan Laporan ULN
Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan ULN apabila sampai
dengan 6 (enam) bulan terhitung sejak batas akhir penyampaian Laporan
ULN sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 Pelapor tidak
menyampaikan Laporan ULN.
5. Keterlambatan Penyampaian Laporan ULN
a. Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Pokok ULN dan/atau
Perubahannya
Laporan data pokok ULN dan atau perubahannya pada bulan yang
bersangkutan dianggap terlambat, apabila laporan disampaikan kepada
Bank Indonesia melebihi tanggal 10 bulan berikutnya sebagaimana
dimaksud pada angka 1.
Contoh : Laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juli 2011 dianggap
terlambat apabila disampaikan kepada Bank Indonesia setelah tanggal
10 Agustus 2011.
b. Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Realisasi ULN
Laporan data realisasi ULN bulan yang bersangkutan dianggap
terlambat, apabila disampaikan kepada Bank Indonesia melebihi
tanggal 10 bulan berikutnya, sebagaimana dimaksud pada angka 2.
Contoh : Laporan data realisasi ULN selama bulan Juli 2011,
dianggap terlambat apabila disampaikan kepada Bank Indonesia
setelah tanggal 10 Agustus 2011.
c. Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Data Pokok ULN
Laporan …
Laporan koreksi data pokok ULN dianggap terlambat, apabila
disampaikan kepada Bank Indonesia melebihi tanggal 20 bulan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 3.a.
Contoh : Koreksi laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian
Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juni
2011 dianggap terlambat apabila disampaikan kepada Bank Indonesia
setelah tanggal 20 Juli 2011.
d. Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Data Realisasi ULN
Koreksi laporan data realisasi ULN dianggap terlambat, apabila
disampaikan kepada Bank Indonesia melebihi tanggal 20 bulan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 3.b.
Contoh : Koreksi laporan data realisasi ULN selama bulan Juni 2011,
dianggap terlambat apabila disampaikan kepada Bank Indonesia
setelah tanggal 20 Juli 2011.
6. Batas Waktu Penyampaian Pelaporan Menggunakan Media Off Line
a. Tanggal penerimaan laporan dengan menggunakan media off line
berupa disket/compact disc, media penyimpanan lainnya, atau hard
copy oleh Bank Indonesia adalah sesuai dengan tanggal penerimaan di
Bank Indonesia. Untuk pengiriman dengan pos, tanggal penerimaan
laporan adalah tanggal stempel pos.
b. Laporan ULN dengan media off line berupa disket/compact disc,
media penyimpanan lainnya, atau hard copy harus sudah diterima di
Bank Indonesia dengan batas waktu paling lama pukul 16.15 WIB.
B. Media Penyampaian Laporan
Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia menggunakan media on line
(web technology) atau media off line berupa lampiran e-mail, disket/
compact disc, media penyimpanan lainnya, atau hard copy melalui kurir
atau jasa ekspedisi dengan alamat :
1. Media on line (web technology) :
a. Untuk pendaftaran Pelapor baru secara online melalui
https://www.bi.go.id/siulweb/
b. Untuk pelaporan Laporan ULN menggunakan aplikasi SIUL yang
diberikan oleh Bank Indonesia.
2. Media …
2. Media off line :
a. Disket/ compact disc, media penyimpanan lainnya atau hard copy :
Bagian Penatausahaan dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri Bank
Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.5 Jalan MH. Thamrin
No.2 Jakarta.
b. E-mail : aplnsiul@bi.go.id
C. Prosedur Penyusunan dan Penyampaian Laporan ULN
Prosedur dan penyusunan penyampaian Laporan ULN tercantum dalam
Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaporan Utang Luar Negeri sebagaimana
tercantum dalam Lampiran 13.
IV. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
A. Sanksi Administratif Berupa Denda
1. Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan ULN kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada butir III.A.4, dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Contoh:
a. Perusahaan “A” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juli 2011 sebesar
ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Laporan
ULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 10
Agustus 2011. Perusahaan “A” sampai dengan 6 bulan sejak batas
akhir penyampaian laporan yaitu tanggal 10 Februari 2012 tidak
menyampaikan laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) tersebut kepada Bank Indonesia, maka Perusahaan
“A” dikenakan sanksi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
b. Perusahaan “B” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit Loan
Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 4 Juli 2011 sebesar
ekuivalen Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Penarikan
dilakukan pada tanggal 12 Juli 2011. Laporan ULN wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 10 Agustus 2011.
Laporan data pokok ULN disampaikan pada tanggal 9 Agustus 2011,
sedangkan sampai dengan tanggal 10 Februari 2012 laporan data
realisasi ...
realisasi ULN tidak disampaikan kepada Bank Indonesia. Terkait
dengan kasus ini, maka perusahaan “B” dianggap tidak
menyampaikan laporan data realisasi ULN sehingga dikenakan sanksi
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
2. Keterlambatan Penyampaian Laporan ULN dikenakan sanksi
administratif berupa denda dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pelapor yang terlambat menyampaikan laporan data pokok ULN
dan/atau perubahannya, dan/atau laporan data realisasi ULN
sebagaimana dimaksud pada butir III.A.5.a dan III.A.5.b, dikenakan
sanksi administratif berupa denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
untuk setiap 1 (satu) Hari keterlambatan untuk setiap Pelapor.
b. Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi laporan data pokok
ULN dan/atau perubahannya, dan/atau koreksi laporan data realisasi
ULN sebagaimana dimaksud pada butir III.A.5.c dan III.A.5.d,
dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) untuk setiap 1 (satu) Hari keterlambatan untuk setiap
Pelapor.
c. Jumlah keseluruhan denda sebagaimana dimaksud pada butir a dan b
paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk
setiap Pelapor atas keterlambatan Laporan ULN dan/atau koreksi
Laporan ULN yang disampaikan pada periode yang sama.
Contoh :
1) Keterlambatan Penyampaian Laporan ULN dan Batas Maksimal
Pengenaan Denda
Sampai dengan posisi akhir bulan September 2011, Perusahaan “C”
memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement),
Surat Utang (Debt Securities) dan Utang Dagang (Trade Credits).
ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tersebut
masing-masing ditandatangani pada tanggal 1, 5 dan 7 September
2011. Laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) dan laporan data realisasi ULN periode laporan bulan
September 2011 disampaikan pada tanggal 30 Desember 2011.
Pada ...
Pada tanggal tersebut perusahan “C” juga menyampaikan koreksi
data realisasi pembayaran bunga ULN atas dasar Surat Utang (Debt
Securities) periode laporan bulan September 2011. Laporan data
pokok ULN dan laporan data realisasi ULN periode laporan bulan
September 2011 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia pada
tanggal 10 Oktober 2011, sedangkan laporan koreksi data realisasi
ULN periode laporan bulan September 2011 wajib disampaikan
pada tanggal 20 Oktober 2011. Terkait dengan kasus ini, maka
perusahaan “C” seharusnya dikenakan sanksi denda sebagai
berikut:
- Sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan data pokok
ULN: 59 (lima puluh sembilan) hari x Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) = Rp5.900.000,00 (lima juta sembilan ratus ribu
rupiah).
- Sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan data realisasi
ULN: 59 (lima puluh sembilan) hari x Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) = Rp5.900.000,00 (lima juta sembilan ratus ribu
rupiah).
- Sanksi denda keterlambatan penyampaian koreksi laporan data
realisasi ULN: 52 (lima puluh dua) hari x Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) = Rp5.200.000,00 (lima juta dua ratus ribu rupiah).
Total sanksi denda perusahaan “C” sebesar Rp17.000.000,000
(tujuh belas juta rupiah).
Berhubung batas maksimal pengenaan sanksi denda atas
keterlambatan penyampaian Laporan ULN adalah sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), maka Perusahaan “C”
terkena sanksi denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
2) Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Pokok ULN dan/atau
Perubahannya
a) Perusahaan “D” memiliki 3 (tiga) ULN atas dasar Perjanjian
Kredit (Loan Agreement) yang masing-masing ditandatangani
pada tanggal 4, 6 dan 8 Juli 2011. Batas waktu penyampaian
laporan ...
laporan data pokok ULN untuk ketiga Perjanjian Kredit (Loan
Agreement) tersebut seharusnya 10 Agustus 2011, namun baru
disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 12 Agustus
2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “D”
dikenakan sanksi sebesar:
2 (dua) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp
200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
b) Perusahaan “E” memiliki 1 (satu) ULN atas dasar Perjanjian
Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 2
November 2011. Batas waktu penyampaian Laporan ULN
tersebut seharusnya 10 Desember 2011, namun karena ULN
ditarik pada tanggal 17 Oktober 2011 maka batas waktu
penyampaian Laporan ULN paling lama menjadi tanggal 10
November 2011. Perusahaan “E” baru menyampaikan Laporan
ULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 19 Desember 2011.
Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “E” dikenakan
sanksi sebesar:
27 (dua puluh tujuh) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) =
Rp2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah).
c) Perusahaan “F” memiliki 3 (tiga) jenis ULN atas dasar Surat
Utang (Debt Securities) yang diterbitkan pada tanggal 12 Juli
2011, Utang Dagang (Trade Credits) yang diakui sebagai ULN
pada tanggal 20 Juli 2011, dan Utang Lainnya (Other Loans)
yang diakui sebagai ULN pada tanggal 27 Juli 2011. Batas
waktu penyampaian laporan data pokok ULN untuk ketiga jenis
ULN tersebut seharusnya pada tanggal 10 Agustus 2011, namun
baru disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 22
Agustus 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan
“F” dikenakan sanksi sebesar:
7 (tujuh) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp
700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).
d) Perusahaan “G” memiliki 1 (satu) ULN atas dasar Perjanjian
Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 15
Juni 2011. Batas waktu penyampaian Laporan data pokok ULN
tersebut
...
tersebut seharusnya pada tanggal 10 Juli 2011, namun karena
tanggal tersebut jatuh pada hari libur, maka batas waktu
penyampaian laporan data pokok ULN menjadi tanggal 11 Juli
2011. Perusahaan “G” baru menyampaikan laporan data pokok
ULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 14 Juli 2011. Terkait
keterlambatan di atas maka Perusahaan “G” dikenakan sanksi
sebesar:
3 (tiga) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp
300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
e) Perusahaan “H” memiliki 1 (satu) ULN atas dasar Perjanjian
Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 15
Juni 2011. Batas waktu penyampaian laporan data pokok ULN
tersebut seharusnya pada tanggal 10 Juli 2011, namun karena
tanggal tersebut jatuh pada hari libur, maka batas penyampaian
laporan ULN menjadi tanggal 11 Juli 2011. Perusahaan “H”
baru menyampaikan laporan data pokok ULN kepada Bank
Indonesia pada tanggal 30 Desember 2011. Terkait
keterlambatan di atas maka Perusahaan “H” seharusnya
dikenakan sanksi sebesar:
121 (seratus dua puluh satu) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) = Rp12.100.000,00 (dua belas juta seratus ribu rupiah).
Namun berhubung batas maksimal pengenaan sanksi denda atas
keterlambatan penyampaian Laporan ULN adalah sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), maka Perusahaan “H”
terkena sanksi denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
3) Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Realisasi ULN
a) Perusahaan “I” menyampaikan laporan data realisasi ULN
selama bulan Juli 2011 pada tanggal 16 Agustus 2011. Batas
waktu penyampaian laporan data realisasi ULN untuk bulan Juli
seharusnya pada tanggal 10 Agustus 2011. Terkait keterlambatan
di atas maka Perusahaan “I” dikenakan sanksi sebesar:
4 (empat)
...
4 (empat) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp
400.000,00 (empat ratus ribu rupiah).
b) Perusahaan “J” menyampaikan laporan data realisasi ULN
selama bulan Agustus 2011 pada tanggal 14 September 2011.
Batas waktu penyampaian laporan data realisasi ULN tersebut
seharusnya pada tanggal 10 September 2011, namun karena
tanggal tersebut jatuh pada hari libur, maka batas penyampaian
laporan ULN menjadi tanggal 12 September 2011. Terkait
keterlambatan di atas maka Perusahaan “J” dikenakan sanksi
sebesar:
2 (dua) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp
200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
c) Perusahaan “K” menyampaikan laporan data realisasi ULN
selama bulan Juni 2011 pada tanggal 20 Desember 2011. Batas
waktu penyampaian laporan data realisasi ULN tersebut
seharusnya pada tanggal 10 Juli 2011, namun karena tanggal
tersebut jatuh pada hari libur, maka batas penyampaian laporan
ULN menjadi tanggal 11 Juli 2011. Terkait keterlambatan di atas
maka Perusahaan “K” seharusnya dikenakan sanksi sebesar:
113 (seratus tiga belas) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
= Rp11.300.000,00 (sebelas juta tiga ratus ribu rupiah).
Berhubung batas maksimal pengenaan sanksi denda atas
keterlambatan penyampaian Laporan ULN adalah sebesar
Rp10.000.000,00, (sepuluh juta rupiah) maka Perusahaan “K”
terkena sanksi denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
4) Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Data Pokok ULN
dan Koreksi Laporan Data Realisasi ULN
a) Perusahaan “L” menyampaikan koreksi laporan data pokok ULN
atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang
ditandatangani pada tanggal 1 Juni 2011, pada tanggal 25 Juli
2011. Batas waktu penyampaian koreksi laporan data pokok
ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tersebut
seharusnya ...
seharusnya pada tanggal 20 Juli 2011. Terkait keterlambatan di
atas maka Perusahaan “L” dikenakan sanksi sebesar:
3 (tiga) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp
300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
b) Perusahaan “M” menyampaikan koreksi laporan data realisasi
ULN untuk periode Juni 2011, pada tanggal 27 Juli 2011. Batas
waktu penyampaian koreksi laporan data realisasi ULN untuk
tersebut seharusnya pada tanggal 20 Juli 2011. Terkait
keterlambatan di atas maka Perusahaan “M” dikenakan sanksi
sebesar:
5 (lima) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
c) Pada tanggal 29 Juli 2011, Perusahaan “N” menyampaikan
koreksi laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit
(Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 15 Juni
2011. Selain itu pada tanggal tersebut perusahaan “N” juga
menyampaikan koreksi laporan data realisasi ULN periode bulan
Juni 2011. Batas waktu penyampaian koreksi laporan data pokok
dan data realisasi ULN tersebut pada tanggal 20 Juli 2011.
Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “N” dikenakan
sanksi sebesar:
7 (tujuh) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp
700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).
B. Pembayaran Sanksi Administratif Berupa Denda
1. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
pada huruf A disetorkan ke Rekening Kas Negara No. 501.000.000 yang
ada di Bank Indonesia.
2. Pelaksanaan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dilakukan setelah adanya surat pemberitahuan
dari Bank Indonesia dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara yang
antara lain berisi tentang penetapan besarnya denda yang harus dibayar
dan tata cara penyetorannya.
3. Bukti
...
3. Bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda harus disampaikan
kepada Bank Indonesia.
V. LAIN-LAIN
Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 13 merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
VI. PENUTUP
Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka:
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/19/DInt tanggal 22 Juli 2010
perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 20 Januari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
NELSON TAMPUBOLON
DIREKTUR INTERNASIONAL
DInt
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 13/1/DInt|SE-BI/2011 </reg_id>
<reg_title> Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri </reg_title>
<set_date> 20 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> 20 Januari 2011 </effective_date>
<replaced_reg> '12/19/DInt|SE-BI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '12/24/PBI/2010' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi IV' </penalty_list>
|
No.10/29/DPM
Jakarta, 2 September 2008
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DAN
LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK
DI INDONESIA
Perihal : Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan
Pengawasan Sub-Registry
Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/2/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Bank Indonesia - Scripless
Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809), Bank
Indonesia melaksanakan kegiatan Penatausahaan Surat Berharga. Kegiatan
Penatausahaan Surat Berharga tersebut mencakup pencatatan kepemilikan, kliring
dan setelmen serta pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai
pokok/nominal Surat Berharga. Pelaksanaan Penatausahaan Surat Berharga
dilakukan secara two-tier system, yang terdiri dari Central Registry yaitu Bank
Indonesia dan Sub-Registry yaitu Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan
kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia. Central
Registry melakukan penatausahaan Rekening Surat Berharga untuk Bank, Sub-
Registry dan pihak lain pemilik Rekening Surat Berharga di Bank Indonesia–
Scripless Securities Settlement System yang disetujui oleh Bank Indonesia.
Sedangkan Sub-Registry melakukan penatausahaan Rekening Surat Berharga
untuk kepentingan nasabah. Pencatatan Surat Berharga pada Rekening Surat
Berharga Sub-Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account).
Sedangkan …
2
Sedangkan pencatatan Surat Berharga secara individual nasabah dilakukan oleh
Sub-Registry dengan menggunakan sistem yang dimiliki Sub-Registry.
Dalam rangka terselenggaranya sistem Penatausahaan Surat Berharga yang
aman, akurat dan terpercaya maka Bank Indonesia sebagai Central Registry
memandang perlu untuk mengatur kembali tata cara permohonan, pelaporan dan
pengawasan Sub-Registry.
I. Ketentuan Umum
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan:
1. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta
lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima
deviden, bunga dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan
mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal yang berlaku.
2. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) untuk menjalankan usaha sebagai Kustodian.
3. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disebut
sebagai LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian
sentral bagi Bank Kustodian, perusahaan efek dan pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal
yang berlaku.
4. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai
penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer
investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar
Modal yang berlaku.
5. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia, pemerintah dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan
dalam Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System.
6. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia
termasuk …
3
termasuk penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara
elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan
sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
7. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang mencakup
pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran kupon
(bunga) atau imbalan dan nilai pokok nominal Surat Berharga.
8. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah
pihak pengelola BI-SSSS yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi
Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya serta Penatausahaan
Surat Berharga.
9. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah pengguna BI-
SSSS yang memenuhi persyaratan dan/atau disetujui oleh Bank
Indonesia untuk melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia
dan/atau Penatausahaan Surat Berharga.
10. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi
Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan Peserta yang
memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS.
11. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan
Kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank
Indonesia melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk
kepentingan nasabah.
12. Pengurus Sub-Registry adalah Direksi dan Dewan Komisaris dari Bank
dan lembaga yang melakukan kegiatan Sub-Registry
13. Pengelola Sub-Registry adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan operasional Sub-Registry.
II. Persyaratan …
4
II. Persyaratan Sub-Registry
Pihak yang dapat disetujui sebagai Sub-Registry adalah Bank, LPP
dan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan Kustodian, yang memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. berkedudukan di wilayah hukum Indonesia;
2. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan;
3. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bapepam-LK;
4. telah mempunyai pengalaman paling kurang 3 (tiga) tahun dalam
kegiatan pencatatan Surat Berharga dan/atau paling kurang 3 (tiga) tahun
dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga sejak memperoleh izin
usaha dari Bapepam-LK;
5. memenuhi persyaratan permodalan sebagai berikut :
a. bagi Bank, yang selanjutnya disebut Bank Kustodian harus memenuhi
persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang
selanjutnya disebut KPMM berdasarkan ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku;
b. bagi LPP dan Perusahaan Efek yang selanjutnya disebut lembaga
Kustodian bukan Bank, harus memiliki modal disetor paling sedikit
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar Rupiah).
6. memiliki sistem pencatatan surat berharga yang terintegrasi dengan dan
antar kantor cabang yang dimiliki di dalam negeri;
7. memiliki sistem pencatatan surat berharga tanpa warkat (scripless)
secara book-entry yang aman, akurat, dan terpercaya yang paling kurang
dapat menatausahakan transaksi outright, repo, dan pengagunan;
8. Pengurus Sub-Registry dan Pengelola Sub-Registry tidak termasuk dalam
Daftar Kredit Macet dan/atau dalam Daftar Tidak Lulus Fit and Proper
Test;
9. memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani kegiatan Kustodian
dengan manajemen dan staf yang profesional di bidang pencatatan dan/
atau penyimpanan Surat Berharga;
10. Surat …
5
10. Surat Berharga yang dicatat dan/atau disimpan paling sedikit telah
mencapai nilai nominal rata-rata bulanan Rp1.000.000.000.000,00 (satu
triliun Rupiah) dalam 6 (enam) bulan terakhir, terdiri dari Surat Berharga
yang dapat diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal.
III. Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Persetujuan sebagai Sub-Registry
1. Kustodian yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
butir II dapat mengajukan surat permohonan sebagaimana contoh pada
Lampiran 1, kepada :
Bank Indonesia - Direktorat Pengelolaan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 11
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350.
2. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 harus dilengkapi
dengan dokumen sebagai berikut :
a. fotokopi surat persetujuan sebagai Bank Kustodian atau izin usaha
sebagai Kustodian untuk lembaga Kustodian bukan Bank dari
Bapepam-LK;
b. fotokopi Anggaran Dasar Perusahaan dan perubahannya;
c. fotokopi akta notaris yang memuat susunan pengurus perusahaan
terakhir;
d. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir untuk Bank Kustodian,
atau jumlah modal disetor untuk lembaga Kustodian bukan Bank;
e. keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha pencatatan dan/atau
penyimpanan surat berharga yang terintegrasi dengan dan antar
kantor cabang yang dimiliki di dalam negeri;
f. fotokopi bukti hasil pemeriksaan oleh auditor independen mengenai
keamanan sistem pencatatan surat berharga secara scripless;
g. riwayat pekerjaan atau keahlian dari Pengurus dan/atau Pengelola di
bidang Kustodian;
h. data …
6
h. data mengenai jumlah dan nilai nominal transaksi pencatatan dan/atau
penyimpanan surat berharga dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan
i. laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik.
3. Dalam hal persyaratan dokumen sudah dilengkapi, Bank Indonesia dapat
melakukan peninjauan langsung ke tempat kedudukan calon Sub-
Registry dalam rangka meneliti kebenaran persyaratan sesuai dengan
dokumen yang disampaikan pemohon.
4. Bank Indonesia memberitahukan persetujuan atau penolakan untuk
menjadi Sub-Registry kepada pemohon paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah persyaratan dokumen diterima lengkap oleh Bank
Indonesia.
5. Dalam hal dokumen tidak lengkap, Bank Indonesia memberitahukan
kepada pemohon secara tertulis untuk melengkapi dokumen yang belum
disampaikan.
6. Dalam hal pemohon telah disetujui menjadi Sub-Registry, yang
bersangkutan harus menjadi Peserta sesuai ketentuan BI-SSSS yang
berlaku.
7. Dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah permohonan
disetujui, Sub-Registry belum menjadi Peserta maka persetujuan sebagai
Sub-Registry dibatalkan dan apabila yang bersangkutan bermaksud untuk
menjadi Sub-Registry, harus mengajukan permohonan kembali beserta
kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan untuk menjadi Sub-Registry.
IV. Penatausahaan Surat Berharga oleh Sub-Registry
Dalam rangka Penatausahaan Surat Berharga, Sub-Registry wajib
melakukan tugas Sub-Registry, melaporkan kegiatan usahanya, dan tetap
memenuhi persyaratan sebagai Sub-Registry, dengan ketentuan sebagai
berikut :
A. Pelaksanaan …
7
A. Pelaksanaan Tugas Sub-Registry
1. Melaksanakan setelmen transaksi Surat Berharga untuk dan atas
nama nasabah;
2. Mencatat kepemilikan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga
atas nama nasabah secara terpisah dari aset Sub-Registry;
3. Memelihara Rekening Surat Berharga selain untuk dan atas nama
diri sendiri, Pengurus Sub-Registry, dan Pengelola Sub-Registry;
4. Menyampaikan bukti pencatatan Surat Berharga kepada nasabah
yang antara lain berisi saldo akhir Rekening Surat Berharga yang
memuat masing-masing seri Surat Berharga dan perubahan
pencatatan kepemilikan Surat Berharga, termasuk pencatatan Surat
Berharga yang ditransaksikan secara repo dan diagunkan kepada
pihak lain;
5. Menyampaikan bukti pencatatan agunan bagi pihak penerima
agunan;
6. Melakukan pencatatan Surat Berharga pada saat penerbitan atas
nama nasabah;
7. Melakukan pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai
pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada
nasabah pemilik Surat Berharga sesuai pencatatan pada sistem
internal Sub-Registry;
8. Melakukan pemotongan dan administrasi pajak atas diskonto,
capital gain dan kupon (bunga) atau imbalan Surat Berharga atas
permintaan nasabah sesuai peraturan pajak yang berlaku;
9. Dalam hal terjadi pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) final atas
diskonto, capital gain dan kupon (bunga) atau imbalan Surat
Berharga, Sub-Registry mengambil bukti pemungutan PPh final
dimaksud ke Bank Indonesia - Central Registry cq. Bagian
Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter (Bagian PTPM);
10. Menjamin …
8
10. Menjamin kebenaran pencatatan dan laporan kepemilikan Surat
Berharga atas nama seluruh nasabah sesuai dengan saldo
keseluruhan pada Rekening Surat Berharga (omnibus account) di
Central Registry;
11. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan Surat
Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah.
12. Memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga
rata-rata bulanan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima
ratus miliar Rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.
13. Menjaga agar posisi KPMM bagi Bank Kustodian atau modal disetor
bagi lembaga Kustodian bukan Bank tidak kurang dari posisi
KPMM atau modal disetor sesuai ketentuan yang berlaku selama 3
(tiga) bulan berturut-turut.
B. Kewajiban Pelaporan
1. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan-laporan kepada Bank
Indonesia - Central Registry, sebagai berikut :
a) Laporan Harian mengenai informasi setelmen transaksi Surat
Berharga yang memuat perubahan pencatatan kepemilikan Surat
Berharga antar nasabah individual dalam Sub-Registry yang
sama.
b) Laporan Bulanan Posisi Kepemilikan Surat Berharga atas nama
nasabah individual Sub-Registry sebagaimana contoh Lampiran
2.
c) Laporan Tahunan berupa laporan rencana bisnis (bussiness plan)
Sub-Registry pada tahun berikutnya, yang memuat antara lain
target volume Penatausahaan Surat Berharga, rencana program
peningkatan pelayanan, dan rencana pengembangan sistem
penatausahaan internal;
d) Laporan perubahan Pengurus Sub-Registry dan/atau Pengelola
Sub-Registry;
e) Laporan …
9
e) Laporan perubahan status dan/atau tipe nasabah pemilik Surat
Berharga;
f) Laporan hasil pemeriksaan auditor independen mengenai
keamanan sistem pencatatatan Surat Berharga secara scripless;
g) laporan hasil audit (berupa fotokopi) dari otoritas pengawas
Kustodian mengenai keamanan sistem pencatatan Surat
Berharga secara scripless, dalam hal tidak terdapat pemeriksaan
oleh auditor independen selama periode tahun yang
bersangkutan; dan
h) Laporan lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia.
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam butir 1
ditujukan kepada :
Bank Indonesia – Central Registry
Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lantai 11
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Laporan Harian sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a)
disampaikan melalui BI-SSSS dan/atau sarana lainnya pada hari
yang sama dengan tanggal perubahan pencatatan kepemilikan
individual dalam sistem pencatatan Sub-Registry;
Tata cara penyampaian Laporan Harian mengacu pada Pedoman
Penyampaian Laporan Sub-Registry melalui BI-SSSS
sebagaimana Lampiran 3.
b) Laporan Bulanan disampaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah akhir bulan melalui sarana surat elektronis (e-mail)
dengan alamat Sub_Reg_BI-SSSS@bi.go.id.
c) Laporan Tahunan yang merupakan laporan rencana bisnis
(bussiness plan) Sub-Registry pada tahun berikutnya
disampaikan …
10
disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhir tahun
kalender.
d) Laporan Perubahan Pengurus Sub-Registry dan/atau Pengelola
Sub-Registry disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
setelah terjadi perubahan.
e) Laporan hasil pemeriksaan auditor independen mengenai
keamanan sistem pencatatatan Surat Berharga secara scripless
disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan.
f) Fotokopi laporan hasil audit dari otoritas pengawas Kustodian
mengenai keamanan sistem pencatatan Surat Berharga secara
scripless disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal
laporan.
g) Laporan perubahan status dan/atau tipe nasabah disampaikan
paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah terjadi perubahan.
h) Laporan lainnya disampaikan sesuai jangka waktu yang akan
ditetapkan dalam surat pemberitahuan Bank Indonesia.
C. Pemenuhan Persyaratan sebagai Sub-Registry
Sub-Registry wajib menjaga pemenuhan persyaratan sebagai Sub-
Registry sebagaimana dimaksud dalam butir II, kecuali butir II.4 dan
butir II.10.
V. Pengawasan Sub-Registry
1. Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan terhadap Sub-
Registry dengan ruang lingkup pengawasan sebagai berikut :
a. pengawasan terhadap pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
dalam butir IV.A ;
b. pengawasan terhadap kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam butir IV.B;
c. pengawasan terhadap kewajiban menjaga pemenuhan persyaratan
sebagai Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C.
2. Metode …
11
2. Metode pengawasan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dapat
dilakukan dengan cara:
a. pengawasan tidak langsung melalui laporan yang disampaikan
kepada Bank Indonesia; dan
b. pengawasan langsung dengan melakukan pemeriksaan terhadap Sub-
Registry.
3. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam butir 2.b dilakukan sewaktu-
waktu apabila diperlukan.
4. Dalam rangka pengawasan terhadap Sub-Registry, Bank Indonesia dapat
berkoordinasi dengan otoritas pengawas Kustodian.
5. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan, Sub-Registry wajib memberikan
informasi yang lengkap dan benar sesuai permintaan Bank Indonesia.
6. Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan terdapat hasil temuan yang
wajib ditindaklanjuti oleh Sub-Registry, Bank Indonesia menyampaikan
hasil temuan dimaksud melalui surat dan/atau melalui sarana lainnya.
7. Berdasarkan hasil pengawasan, Sub-Registry wajib melakukan tindak
lanjut terhadap hasil temuan sebagai berikut :
a. Sub-Registry yang belum memenuhi kewajiban dan/atau melakukan
kesalahan dalam melaksanakan tugas dan/atau pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A dan butir IV.B, wajib :
1) memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang benar atau
melakukan koreksi kesalahan dengan data yang benar terhadap
Laporan Harian sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.a),
paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan
hasil temuan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
butir 6; dan/atau
2) memenuhi kewajiban pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
dalam butir IV.A.1 sampai dengan butir IV.A.11, atau
memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang benar
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.b) sampai dengan
butir …
12
butir IV.B.1.h), paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia; dan/atau
3) melakukan koreksi kesalahan atas laporan dengan data yang
benar terhadap Laporan Bulanan, laporan perubahan status
dan/atau tipe nasabah, dan laporan lainnya sesuai permintaan
Bank Indonesia, paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal
pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia.
b. Sub-Registry yang tidak memenuhi persyaratan pemenuhan jumlah
minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan
paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah)
dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebagaimana dimaksud dalam
butir IV.A.12 dan pemenuhan persyaratan sebagai Sub-Registry
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C terkait dengan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam butir II.6 sampai dengan butir II.9,
wajib membuat rencana tindakan (action plan) dalam rangka
memenuhi persyaratan dimaksud, dengan ketentuan sebagai berikut :
1) rencana tindakan disampaikan kepada Bank Indonesia-Central
Registry paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
surat pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia.
2) rencana tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) wajib
dipenuhi sesuai dengan batas waktu pemenuhan yang diusulkan
Sub-Registry paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat
penyampaian rencana tindakan Sub-Registry, termasuk apabila
terdapat perubahan.
VI. Sanksi Terhadap Sub-Registry
A. Teguran tertulis
Dalam hal Sub-Registry tidak melakukan kewajiban tindak lanjut
hasil temuan sebagaimana batas waktu dimaksud dalam butir V.7 maka
pengenaan sanksi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
1. teguran …
13
1. teguran tertulis pertama;
2. teguran tertulis kedua, dilakukan 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
teguran tertulis pertama dalam hal Sub-Registry tidak memenuhi
kewajibannya;
3. teguran tertulis ketiga, dilakukan 6 (enam) hari kerja sejak tanggal
teguran tertulis kedua dalam hal Sub-Registry tidak memenuhi
kewajibannya.
B. Pencabutan Persetujuan Sebagai Sub-Registry
1. Persetujuan Bank Kustodian dan lembaga Kustodian bukan Bank
sebagai Sub-Registry dapat dicabut oleh Bank Indonesia apabila :
a. Izin usaha sebagai Kustodian dicabut oleh Bapepam-LK.
b. Posisi KPMM Bank Kustodian atau modal disetor lembaga
Kustodian bukan Bank kurang dari persyaratan yang ditentukan
sesuai ketentuan yang berlaku selama 3 (tiga) bulan berturut-
turut;
c. Sub-Registry tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam
jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah teguran tertulis ketiga;
d. terdapat keputusan atau surat permintaan dari otoritas pengawas
terkait untuk mencabut persetujuan Bank Kustodian dan
lembaga Kustodian bukan Bank sebagai Sub-Registry;
e.
terdapat putusan pailit dari pengadilan niaga yang telah
berkekuatan hukum tetap atas lembaga Kustodian bukan Bank;
f. status Sub-Registry sebagai Peserta dicabut oleh Penyelenggara;
g. terdapat permohonan tertulis dari Sub-Registry sepanjang Sub-
Registry telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang terkait
dengan Penatausahaan Surat Berharga kepada nasabah, dengan
menggunakan contoh surat sebagaimana Lampiran 4.
2. Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan mengenai
pencabutan sebagai Sub-Registry kepada Sub-Registry.
3. Sub-Registry …
14
3. Sub-Registry yang dicabut persetujuannya sebagai Sub-Registry
sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a sampai dengan butir 1.f,
harus menyelesaikan pencatatan perpindahan kepemilikan Surat
Berharga individual nasabah kepada Sub-Registry lainnya yang
ditunjuk oleh nasabah paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah
tanggal pemberitahuan pencabutan sebagai Sub-Registry.
4. Bank Indonesia mengumumkan pencabutan persetujuan Sub-
Registry melalui sarana BI-SSSS dan/atau sarana informasi lainnya.
VII. Ketentuan Penutup
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 7/55/DPM tanggal 6 Desember 2005 perihal Tata Cara Penunjukan
dan Pengawasan Sub-Registry dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 2 September
2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/29/DPM|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry </reg_title>
<set_date> 2 September 2008 </set_date>
<effective_date> 2 September 2008 </effective_date>
<replaced_reg> '7/55/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '10/2/PBI/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
|
No. 11/2/DSM
Jakarta, 22 Januari 2009
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Laporan Bulanan Bank Umum
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 4950) tentang Laporan Bulanan Bank
Umum, perlu ditetapkan ketentuan pelaksanaan mengenai Laporan Bulanan Bank
Umum sebagai berikut.
I. UMUM
1. Laporan Bulanan Bank Umum, yang selanjutnya disebut Laporan,
disampaikan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh informasi mengenai
kondisi keuangan dan kegiatan usaha Bank baik secara individual maupun
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, guna mendukung pengambilan
kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan
perbankan.
2. Dalam hal Bank telah mampu menyusun dan mengirimkan Laporan per
Kantor dari seluruh atau sebagian Kantor Cabangnya secara terpusat atau
sentralisasi, Laporan dimaksud dapat disusun dan dikirim oleh kantor pusat
Bank…
Bank atau kantor Bank yang bertindak sebagai koordinator, dengan terlebih
dahulu menyampaikan surat permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik
Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H.
Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
3. Dalam hal Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki
lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang dapat menyampaikan koreksi Laporan
per Kantor sampai dengan tanggal 13 bulan berikutnya dan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan per Kantor sampai dengan tanggal 19 bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan, dengan
terlebih dahulu menyampaikan permohonan tertulis, yang dilengkapi dengan
data berupa jumlah Kantor Cabang yang dimiliki, jumlah Kantor Cabang
yang sudah online, jumlah Kantor Cabang yang belum online dan sebab-
sebab belum online, serta rencana perbaikan sistem di masa yang akan datang
kepada Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Menara
Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
II. FORMAT LAPORAN DAN TATA CARA PELAPORAN
Format Laporan dan tata cara pelaporan diatur dalam Pedoman Penyusunan
Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) 2008 yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran ini.
III. PETUGAS DAN PENANGGUNG JAWAB LAPORAN
Nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan
menyampaikan Laporan harus selalu dikinikan. Pengkinian dilakukan dengan
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktorat Statistik
Ekonomi…
Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara
Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
IV. PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
1. Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia yang
dilakukan secara online melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau
melalui saluran telepon khusus ke Remote Access Server (RAS) Bank
Indonesia, diatur dalam Petunjuk Teknis Penyusunan Laporan Bulanan Bank
Umum (LBU) 2008 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran ini.
2. Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia
secara offline dilakukan dengan menggunakan disket atau media perekaman
data elektronik lainnya disertai hasil cetak komputer (hard copy), dalam hal :
a. Bank Pelapor berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas
komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan
Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online;
b. Bank Pelapor baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan
setelah melakukan kegiatan operasional;
c. Bank Pelapor mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan, namun Bank Pelapor harus menyampaikan
pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia, mengenai sebab-sebab
terjadinya gangguan teknis tersebut. Dalam hal gangguan teknis tersebut
disebabkan oleh tidak berfungsinya sarana yang disediakan oleh instansi
tertentu, harus disertai keterangan tertulis dari pejabat instansi dimaksud;
dan/atau
d. Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan karena gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem
atau…
atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia. Bank Indonesia akan
memberitahukan kepada Bank Pelapor mengenai terjadinya gangguan
tersebut secara tertulis atau dengan menggunakan sarana lain.
3. Tata cara dalam penyampaian Laporan:
a. Bank Pelapor yang telah memiliki sandi Bank Pelapor menyampaikan
Laporan dengan menggunakan sandi tersebut.
b. Bank Pelapor yang baru dibuka mengajukan surat permohonan untuk
memperoleh sandi Bank Pelapor dengan melampirkan izin pembukaan
kantor Bank dari Bank Indonesia. Permohonan diajukan sebelum Bank
melakukan kegiatan operasional.
c. Kantor pusat Bank Pelapor mengajukan surat permohonan untuk
memperoleh sandi Perusahaan Anak.
d. Bank Pelapor mengajukan surat permohonan untuk memperoleh user ID
dan password Remote Access Server (RAS).
e. Bank Pelapor mengajukan surat permohonan untuk memperoleh dan/atau
mengubah user ID dan password aplikasi, dengan melampirkan nama
petugas dan penanggung jawab Laporan.
4. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (3) disampaikan
kepada Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim
Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin Prawiranegara,
Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
5. Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (3) Bank
Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik
Moneter, Keuangan, dan Fiskal akan memberitahukan secara tertulis kepada
Bank Pelapor pemohon mengenai sandi Bank Pelapor, sandi Perusahaan
Anak, user ID dan password Remote Access Server (RAS), dan user ID dan
password aplikasi.
V. PEMBEBANAN…
V. PEMBEBANAN SANKSI
Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki rekening giro di Bank Indonesia
setempat, maka pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008
tentang Laporan Bulanan Bank Umum, dilakukan dengan cara mendebet
rekening giro kantor pusat Bank di Bank Indonesia.
VI. PENYAMPAIAN PERTANYAAN
1. Pertanyaan yang berkaitan dengan teknis dan cara pelaporan, program data
entry, serta materi Laporan disampaikan kepada Direktorat Statistik
Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal,
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta
10350.
2. Pertanyaan yang berkaitan dengan materi Laporan disampaikan kepada
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan atau Direktorat Pengawasan
Bank terkait, Menara Radius Prawiro, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta
10350.
3. Pertanyaan yang berkaitan dengan aplikasi dan otomasi Laporan
disampaikan kepada Help Desk Teknologi Informasi Bank Indonesia,
Jl.M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp. 021-3818000 (Hunting),
email address: helpdesk@bi.go.id; atau
4. Bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Bank
Indonesia, pertanyaan yang berkaitan dengan teknis dan cara pelaporan,
program data entry, serta materi Laporan, disampaikan kepada Kantor Bank
Indonesia setempat.
VII. PERALIHAN…
VII. PERALIHAN
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 2/19/DSM tanggal 3 Oktober 2000 perihal Laporan Bulanan Bank
Umum masih tetap berlaku bagi Bank Pelapor untuk penyampaian Laporan
sampai dengan data bulan April 2009.
VIII. PENUTUP
Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 2/19/DSM tanggal 3 Oktober 2000 perihal Laporan Bulanan Bank
Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak pelaporan data bulan Mei
2009.
Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Januari 2009 dan berlaku surut
sejak tanggal 24 Desember 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HARTADI A. SARWONO
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 11/2/DSM|SE-BI/2009 </reg_id>
<reg_title> Laporan Bulanan Bank Umum </reg_title>
<set_date> 22 Januari 2009 </set_date>
<effective_date> pada tanggal 22 Januari 2009 dan berlaku surut sejak tanggal 24 Desember 2008 </effective_date>
<replaced_reg> '2/19/DSM|SE-BI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '10/40/PBI/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
|
No. 17/19/DPUM
Jakarta, 8 Juli 2015
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal:
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013
perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank
Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5378)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/12/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5713), dan untuk meningkatkan pemberian Kredit atau
Pembiayaan UMKM maka perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal
Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis
dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sebagai
berikut:
1. Ketentuan…
2
1. Ketentuan butir I.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
I. UMUM
C. Dalam rangka pencapaian pangsa Kredit atau Pembiayaan
UMKM oleh Bank Umum, diperlukan ketentuan pelaksanaan
yang mengatur mengenai tata cara penghitungan dan
pemantauan atas pencapaian pangsa Kredit atau Pembiayaan
UMKM, pelaksanaan pola kerja sama yang ditetapkan, kriteria
dan prosedur penyediaan Bantuan Teknis, pemberian insentif
dan pengenaan disinsentif, tata cara publikasi atas
pencapaian pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM,
kriteria dan tata cara pemberian penghargaan (award) kepada
Bank Umum, pemantauan terhadap kegiatan pelatihan yang
diselenggarakan oleh Bank Umum Syariah, serta tata cara
penyampaian laporan pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank Umum.
2. Ketentuan angka II diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
II. RENCANA PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UMKM
Bank Umum menyusun rencana pemberian Kredit atau
Pembiayaan UMKM dengan memperhatikan tahapan pencapaian
rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau
Pembiayaan, yaitu:
1. tahun 2015, paling rendah 5% (lima persen);
2. tahun 2016, paling rendah 10% (sepuluh persen);
3. tahun 2017, paling rendah 15% (lima belas persen); dan
4. sejak tahun 2018, paling rendah 20% (dua puluh persen).
3. Ketentuan angka III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
III. PENCAPAIAN RASIO DAN KUALITAS KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
UMKM
A. Bank Indonesia melakukan perhitungan pencapaian rasio
Kredit atau Pembiayaan UMKM dan rasio Non Performing
Loan/Non Performing Financing (NPL/NPF) secara gabungan
untuk…
3
untuk seluruh kantor Bank Umum di dalam negeri posisi
akhir bulan Desember tahun bersangkutan yang bersumber
dari Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas
Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah, serta laporan Kredit atau
Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing yang
diterima secara offline dalam hal pelaporan online belum
tersedia.
B. Perhitungan pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM
sebagaimana dimaksud dalam huruf A dilakukan dengan
formula sebagai berikut:
Total Kredit atau Pembiayaan UMKM
Total Kredit atau Pembiayaan
x 100%
C. Dalam melakukan perhitungan pencapaian rasio pemberian
Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud dalam
huruf B, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Total Kredit atau Pembiayaan UMKM adalah jumlah baki
debet Kredit atau Pembiayaan UMKM dalam Rupiah dan
valuta asing, yaitu:
a. Untuk Bank Umum selain kantor cabang bank yang
berkedudukan di luar negeri dan Bank Campuran,
berasal dari pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM
kepada pelaku usaha yang memenuhi kriteria UMKM
yang dilakukan secara:
1) langsung; dan/atau
2) tidak langsung yaitu melalui kerja sama dengan
pihak tertentu menggunakan pola executing, pola
channeling, atau pembiayaan bersama (sindikasi).
b. Untuk kantor cabang bank yang berkedudukan di luar
negeri dan Bank Campuran, berasal dari:
1) pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM kepada
pelaku usaha yang memenuhi kriteria UMKM yang
dilakukan secara:
a)
langsung; dan/atau
b) tidak…
4
b) tidak langsung melalui kerja sama dengan
pihak tertentu menggunakan pola executing;
dan/atau
2) pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk produk
ekspor non migas.
Informasi mengenai Bank Umum yang memenuhi
kriteria sebagai Bank Campuran diperoleh dari otoritas
pengawas bank pada setiap awal tahun berdasarkan
permintaan Bank Indonesia.
c. Pedoman rincian komponen Kredit atau Pembiayaan
UMKM dan/atau ekspor non migas yang
diperhitungkan sebagai Kredit atau Pembiayaan UMKM
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b mengacu
pada Lampiran 1.a dan Lampiran 1.b yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
2. Total Kredit atau Pembiayaan adalah jumlah baki debet
Kredit atau Pembiayaan dalam Rupiah dan valuta asing.
D. Non Performing Loan/Non Performing Financing (NPL/NPF)
total Kredit atau Pembiayaan adalah penjumlahan Kredit atau
Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet yang disalurkan Bank Umum. Perhitungan rasio
NPL/NPF total Kredit atau Pembiayaan dilakukan dengan
membandingkan total NPL/NPF terhadap total Kredit atau
Pembiayaan Bank Umum.
E. NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM adalah penjumlahan
Kredit atau Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet yang disalurkan Bank Umum kepada
pelaku usaha yang memenuhi kriteria UMKM. Perhitungan
rasio NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM dilakukan
dengan membandingkan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan
UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan UMKM Bank
Umum.
Yang dimaksud dengan NPL/NPF adalah NPL/NPF yang
dihitung secara gross.
Rasio…
5
Rasio NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM dihitung
dengan rumus:
NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM
Total Kredit atau Pembiayaan UMKM
x100%
4. Di antara angka V dan angka VI disisipkan 1 angka yaitu angka VA
yang berbunyi sebagai berikut:
VA.INSENTIF DAN DISINSENTIF DALAM RANGKA MENDORONG
PENYALURAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UMKM
Dalam rangka lebih meningkatkan penyaluran Kredit atau
Pembiayaan kepada UMKM, Bank Indonesia memberikan insentif
dan mengenakan disinsentif kepada Bank Umum yang memenuhi
kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu berupa:
A. Pencapaian Rasio Kredit UMKM Digunakan dalam
Perhitungan Giro Wajib Minimum Loan to Funding Ratio (GWM
LFR)
1. Bank Umum konvensional yang memenuhi rasio Kredit
UMKM lebih cepat dari target waktu tahapan pencapaian
rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam angka II
dapat memperoleh kelonggaran batas atas LFR target.
2. Bank Umum konvensional yang tidak memenuhi rasio
Kredit UMKM atau memiliki rasio NPL total Kredit
dan/atau rasio NPL Kredit UMKM lebih dari atau sama
dengan 5% (lima persen), dikenakan pengurangan jasa
giro.
3. Kelonggaran batas atas LFR target dan pengurangan jasa
giro sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai giro
wajib minimum dalam Rupiah dan valuta asing bagi Bank
Umum konvensional.
B. Insentif terkait Penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM
Bank Indonesia dapat memberikan insentif kepada Bank
Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM
dalam bentuk sebagai berikut:
a. Pelatihan…
6
a. Pelatihan untuk Pejabat Kredit/Account Officer Bank
Umum
1) Pelatihan kepada pejabat kredit/account officer Bank
Umum dilakukan untuk meningkatkan kapasitas Bank
Umum dalam penyaluran Kredit atau Pembiayaan
UMKM.
2) Mekanisme Pelaksanaan
a) Bank Indonesia menginformasikan rencana
penyelenggaraan pelatihan kepada pejabat
kredit/account officer Bank Umum melalui surat
atau media lainnya kepada Bank Umum yang
menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM.
b) Berdasarkan informasi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a), Bank Umum mengajukan rencana
keikutsertaan dalam pelatihan termasuk
menyampaikan nama pejabat kredit/account officer
yang menjadi peserta pelatihan.
c) Pendaftaran untuk mengikuti pelatihan ditujukan
kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
setempat bagi Kantor Pusat Bank Umum maupun
Kantor Cabang Bank Umum yang beroperasi di
wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
d) Bank Indonesia menetapkan calon peserta, jadwal,
lokasi, dan topik pelatihan.
3) Bank Indonesia melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap hasil pelatihan. Dalam rangka monitoring
dan evaluasi tersebut, Bank Indonesia meminta Bank
Umum untuk menyampaikan laporan perkembangan
Kredit atau Pembiayaan UMKM yang disalurkan oleh
pejabat kredit/account officer yang mengikuti
pelatihan. Monitoring dilakukan selama 1 (satu) tahun
setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
Bank Indonesia.
4) Laporan perkembangan Kredit atau Pembiayaan
UMKM antara lain memuat jumlah debitur, jumlah dan
kualitas…
7
kualitas Kredit atau Pembiayaan UMKM yang
disalurkan. Laporan tersebut disampaikan secara
triwulanan dan diterima Bank Indonesia paling lambat
pada akhir triwulan yang bersangkutan dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 6 yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
5) Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4) di atas
disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia
melalui Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat
bagi Kantor Pusat Bank Umum dan Kantor Cabang
Bank Umum yang beroperasi di wilayah kerja Kantor
Perwakilan Bank Indonesia.
b. Pelatihan kepada Pendamping/Pembina Usaha Mikro dan
Usaha Kecil (UMK)
1) Bank Indonesia memberikan pelatihan kepada
pendamping/pembina UMK guna meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan UMK atau UMK debitur
Bank Umum dalam menyusun laporan keuangan.
2) Pelatihan diberikan kepada pendamping/pembina
UMK dari lembaga/instansi yang memiliki kerjasama
dengan Bank Indonesia.
3) Pelatihan dilakukan dalam bentuk Training of Trainer
(ToT) kepada pendamping/pembina UMK yang antara
lain berasal dari perguruan tinggi, kementerian teknis
atau dinas pada pemerintah daerah, lembaga penyedia
jasa, dan perusahaan yang memiliki binaan UMK.
4) Mekanisme Pelaksanaan
a) Lembaga/instansi yang memiliki pendamping/
pembina UMK dapat mengajukan secara tertulis
usulan kerja sama kepada:
i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi
kementerian/lembaga/instansi di tingkat pusat;
atau
ii. Kantor…
8
ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi
pemerintah daerah/dinas/universitas/lembaga
pendamping/pembina UMK yang beroperasi di
wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
b) Atas dasar kerjasama yang disepakati, Bank
Indonesia bersama lembaga/instansi menyusun
rencana kegiatan penyelenggaraan pelatihan.
c) Lembaga/instansi yang telah mengikuti ToT harus
memberikan pelatihan kepada UMK atau UMK
debitur Bank Umum dan/atau menghubungkan
UMK dengan Bank Umum.
d) Bank Indonesia melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam huruf c). Dalam rangka monitoring dan
evaluasi tersebut, lembaga/instansi menyampaikan
laporan pelatihan kepada UMK atau UMK debitur
Bank Umum dan/atau hasil kegiatan
menghubungkan UMK dengan Bank Umum kepada
Bank Indonesia. Monitoring dilakukan selama 6
(enam) bulan setelah mengikuti pelatihan yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
e) Laporan pelatihan kepada UMK antara lain
memuat pencapaian jumlah UMK yang telah dilatih
oleh peserta ToT. Laporan disampaikan secara
triwulanan dan diterima Bank Indonesia paling
lambat pada akhir triwulan yang bersangkutan
dengan menggunakan format Lampiran 7 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
f) Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf e)
disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia
melalui:
i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi
kementerian…
9
kementerian/lembaga/instansi di tingkat pusat;
atau
ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi
bagi pemerintah daerah/dinas/universitas/
lembaga pendamping/pembina UMK yang
beroperasi di wilayah kerja Kantor Perwakilan
Bank Indonesia.
c. Fasilitasi Pemanfaatan Pemeringkatan Kredit (Credit
Rating) untuk Usaha Kecil dan Usaha Menengah (UKM)
1) Dalam rangka mengurangi permasalahan asymmetric
information dan meningkatkan penyaluran Kredit atau
Pembiayaan UMKM oleh perbankan, Bank Indonesia
memfasilitasi Bank Umum agar dapat memanfaatkan
jasa pemeringkatan Kredit UKM oleh lembaga
pemeringkat yang telah mendapat izin dari otoritas
yang berwenang.
2) Dalam melaksanakan fasilitasi pemeringkatan Kredit
UKM, Bank Indonesia berkoordinasi dengan otoritas
pengawas bank.
3) Pelaksanaan pemeringkatan Kredit UKM didasarkan
pada kerja sama yang dilakukan antara lembaga
pemeringkat dengan Bank Umum.
4) Mekanisme Pelaksanaan
a) Bank Indonesia memfasilitasi pertemuan antara
lembaga pemeringkat dengan Bank Umum.
b) Bank Umum dapat mengajukan permintaan
fasilitasi pemeringkatan Kredit UKM kepada Bank
Indonesia secara tertulis yang ditujukan kepada:
i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank
Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat
bagi Kantor Cabang Bank Umum maupun
Bank…
10
Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
c) Bank melaporkan kepada Bank Indonesia hasil
pemeringkatan Kredit UKM yang meliputi:
i. jumlah UKM yang telah diperingkat; dan
ii. jumlah UKM dan nominal Kredit yang
disetujui,
dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran 8 yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
d) Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf c)
disampaikan secara tertulis kepada:
i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank
Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat
bagi Kantor Cabang Bank Umum maupun
Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
d. Publikasi dan Pemberian Penghargaan (Award) kepada
Bank Umum
1) Publikasi Bank Umum
a) Bank Indonesia memublikasikan Bank Umum
yang telah menyalurkan Kredit atau Pembiayaan
UMKM sesuai target yang ditetapkan dengan
kualitas Kredit atau Pembiayaan terjaga.
b) Kriteria Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam huruf a) adalah sebagai berikut:
(1) memenuhi rasio Kredit atau Pembiayaan
UMKM sesuai tahapan yang ditentukan;
(2) memiliki…
11
(2) memiliki rasio NPL/NPF total Kredit atau
Pembiayaan kurang dari 5% (lima persen);
dan
(3) memiliki rasio NPL/NPF Kredit atau
Pembiayaan UMKM kurang dari 5% (lima
persen).
c) Publikasi dilakukan 1 (satu) kali setiap tahun
untuk pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan
UMKM posisi akhir tahun sebelumnya.
d) Publikasi dilakukan melalui website Bank
Indonesia dan media cetak atau elektronik yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
2) Pemberian Penghargaan (Award)
a) Bank Indonesia memberikan penghargaan kepada
Bank Umum yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
(1) memiliki pencapaian rasio Kredit atau
Pembiayaan UMKM sesuai dengan tahapan
yang ditetapkan;
(2) memiliki rasio NPL/NPF total Kredit atau
Pembiayaan kurang dari 5% (lima persen);
(3) memiliki rasio NPL/NPF Kredit atau
Pembiayaan UMKM kurang dari 5% (lima
persen); dan
(4) memenuhi tema dan kriteria yang ditetapkan.
b) Mekanisme Pelaksanaan
(1) Pemberian penghargaan dilakukan setiap
tahun kepada Bank Umum yang memenuhi
kriteria dan tema yang ditetapkan.
(2) Bank Umum yang terpilih mendapat
penghargaan dan publikasi eksklusif.
(3) Publikasi pemberian penghargaan kepada
Bank Umum dilakukan melalui website Bank
Indonesia dan media cetak atau elektronik
yang ditunjuk Bank Indonesia.
c) Tata…
12
c) Tata cara penilaian dalam rangka pemberian
penghargaan diatur sebagaimana angka VII.
5. Ketentuan angka VII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
VII. TATA CARA PENILAIAN DALAM RANGKA PEMBERIAN
PENGHARGAAN
A. Dalam proses penilaian, Bank Indonesia dapat membentuk
tim penilai, atau bekerjasama dengan pihak ketiga sebagai
pendukung penilaian.
B. Dalam hal proses penilaian dilakukan oleh tim penilai yang
dibentuk Bank Indonesia maka tim penilai paling kurang
terdiri dari:
1. Bank Indonesia;
2. Kementerian terkait;
3. Pakar/pengamat UMKM atau akademisi; dan
4. Pihak eksternal terkait.
C. Dalam hal proses penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia maka tim penilai terdiri dari
Bank Indonesia dan pihak ketiga sebagai pendukung
penilaian yang paling kurang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1. Merupakan badan hukum atau lembaga yang resmi;
2. Memiliki kompetensi di bidang UMKM; dan
3. Memiliki reputasi yang baik.
D. Proses penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf C
dilakukan sebagai berikut:
1. Penetapan tema dan periode penilaian oleh Bank
Indonesia;
2. Pengumuman tema dan periode penilaian oleh Bank
Indonesia;
3. Pembentukan tim penilai atau penunjukan pihak ketiga
sebagai pendukung penilaian;
4. Proses penilaian oleh Bank Indonesia atau tim penilai;
dan
5. Penetapan…
13
5. Penetapan dan pengumuman pemenang oleh Bank
Indonesia.
6. Ketentuan angka VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
VIII. PELATIHAN KEPADA PELAKU UMKM OLEH BANK UMUM
SYARIAH
A. Bank Umum Syariah yang tidak mencapai realisasi
Pembiayaan UMKM sesuai rasio yang ditetapkan wajib
menyelenggarakan pelatihan kepada pelaku UMKM.
Kewajiban tersebut mulai berlaku untuk pencapaian rasio
pemberian Pembiayaan UMKM tahun 2015.
B. Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam huruf A ditujukan
kepada pelaku UMKM yang tidak sedang dan/atau belum
pernah mendapat Pembiayaan UMKM. Data pelaku UMKM
bersumber dari data antara lain yang dimiliki Bank
Indonesia, Bank Umum, Kementerian dan/atau dinas pada
pemerintah daerah terkait.
C. Jumlah dana yang dialokasikan dalam rangka pelatihan
sebagaimana dimaksud dalam huruf A paling sedikit 2%
(dua persen) dari selisih antara kewajiban pencapaian rasio
Pembiayaan UMKM dengan realisasi pencapaian rasio
Pembiayaan UMKM pada setiap akhir tahun berjalan,
dengan jumlah paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Contoh 1:
- Pada tahun 2015, total Pembiayaan yang diberikan
Bank A sebesar Rp500 miliar;
- Bank A wajib memberikan Pembiayaan UMKM sebesar
5% dari total Pembiayaannya yaitu 5% x Rp500 miliar =
Rp25 miliar;
-
realisasi pencapaian Pembiayaan UMKM pada akhir
Desember 2015 sebesar Rp20 miliar;
- selisih antara rasio Pembiayaan yang wajib dipenuhi
dengan realisasi pencapaian pada akhir tahun =
Rp25 miliar – Rp20 miliar = Rp5 miliar;
- 2%…
14
- 2% dari selisih antara rasio Pembiayaan yang wajib
dipenuhi dengan realisasi pencapaian pada akhir tahun
= 2% x Rp5 miliar = Rp100juta.
Dengan demikian, Bank A wajib menyelenggarakan
pelatihan dengan dana pelatihan sebesar Rp100juta.
Contoh 2:
- Pada tahun 2015, total Pembiayaan yang diberikan
Bank B sebesar Rp20 triliun;
- Bank B wajib memberikan Pembiayaan UMKM sebesar
5% dari total Pembiayaan yaitu 5% x Rp20 triliun =
Rp1 triliun;
- realisasi pencapaian Pembiayaan UMKM pada akhir
Desember 2015 sebesar Rp400 miliar;
- selisih antara rasio Pembiayaan yang wajib dipenuhi
dengan realisasi pencapaian pada akhir tahun =
Rp1 triliun – Rp400 milyar = Rp600 miliar;
- 2% dari selisih antara rasio Pembiayaan yang wajib
dipenuhi dengan realisasi pencapaian pada akhir tahun
= 2% x Rp600 miliar = Rp12 miliar.
Dengan demikian, Bank B wajib menyelenggarakan
pelatihan dengan dana pelatihan sebesar Rp10 miliar.
D. Pelatihan kepada UMKM dilakukan dan dilaporkan kepada
Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 30 September
tahun berikutnya dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini. Dalam hal 30 September jatuh
pada hari libur maka pelaporan kepada Bank Indonesia
disampaikan pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya.
E. Topik pelatihan yang dapat diselenggarakan oleh Bank
Umum Syariah antara lain mengenai aspek keuangan,
aspek pemasaran, aspek produksi, aspek kelembagaan,
untuk meningkatkan jumlah pelaku UMKM yang dapat
memperoleh Kredit atau Pembiayaan UMKM dari Bank
Umum.
F. Metode…
15
F. Metode pelatihan dapat dilaksanakan dalam bentuk
klasikal, magang, studi banding, promosi, atau
pendampingan.
G. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf D disampaikan
secara tertulis kepada:
i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No.
2 Jakarta 10350, bagi Bank Umum yang berkantor pusat
di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Bank
Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Perwakilan Bank Indonesia dengan tembusan kepada
Departemen Pengembangan UMKM.
7. Ketentuan angka IX diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
IX. PENYAMPAIAN LAPORAN
A. Bank Umum menyampaikan laporan realisasi pemberian
Kredit atau Pembiayaan UMKM secara online setiap
bulannya melalui Laporan Bulanan Bank Umum atau
Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai laporan
bulanan Bank Umum atau laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
B. Bank Umum menyampaikan laporan realisasi pemberian
Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola
executing secara offline sampai dengan tersedianya sistem
pelaporan secara online sebagaimana dimaksud dalam
huruf A. Yang dimaksud dengan penyampaian laporan
secara offline adalah penyampaian laporan melalui sarana
elektronik berupa email.
C. Pelaporan secara offline sebagaimana dimaksud pada huruf
B dilakukan setiap triwulan untuk posisi Maret, Juni,
September, dan Desember dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang
merupakan…
16
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
D. Laporan offline sebagaimana dimaksud dalam huruf B
diterima Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja setelah berakhirnya triwulan bersangkutan.
E. Bank Umum dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui
kerja sama pola executing secara offline apabila laporan
diterima Bank Indonesia setelah batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf
D sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah
batas waktu tersebut.
F. Bank Umum dinyatakan tidak menyampaikan laporan
apabila laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan
UMKM melalui kerja sama pola executing belum diterima
Bank Indonesia sampai dengan berakhirnya batas waktu
keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam huruf E.
G. Bank Umum dapat melakukan koreksi atas laporan
realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui
kerja sama pola executing yang telah disampaikan secara
offline kepada Bank Indonesia.
H. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf B
disampaikan melalui secured email kepada:
1. Departemen Pengembangan UMKM, dengan alamat
email gwm_umkm_kp@bi.go.id, bagi Bank Umum yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia; atau
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat dengan
alamat email sebagaimana tercantum dalam Lampiran
9, dengan tembusan ke alamat
gwm_umkm_kp@bi.go.id, bagi Bank Umum yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan
Bank Indonesia.
Dalam…
email
17
Dalam hal penyampaian laporan melalui email dimaksud
tidak dapat dilakukan, Bank Umum menyampaikan laporan
dalam bentuk hardcopy dan softcopy (compact disc/USB)
kepada:
1. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Umum yang berkantor
pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
atau
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank
Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Perwakilan Bank Indonesia, dengan tembusan kepada
Departemen Pengembangan UMKM.
I. Dalam setiap penyampaian laporan, Bank menyampaikan 2
(dua) email, meliputi 1 (satu) email berisi file laporan dalam
format excel baik .xls maupun .xlsx yang dienkripsi dan 1
(satu) email berisi password untuk membuka file laporan.
J. Penyampaian email berisi password sebagaimana dimaksud
dalam huruf I dapat dilakukan setelah pengiriman file
laporan.
K. Penyampaian laporan pemberian kredit atau pembiayaan
kepada UMKM secara offline melalui email menggunakan
subjek email yang disamakan dengan nama file yaitu:
UMKM_<sandi_bank>_<tahunbulan>.
Contoh:
Penyampaian pemberian kredit atau pembiayaan kepada
UMKM secara offline posisi Juni 2015 menggunakan subjek
email: UMKM_xxx_201506.
L. Bank Umum menyampaikan data nama petugas,
penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim
laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM
melalui kerjasama pola executing.
M. Penyampaian data nama petugas, penanggung jawab
laporan dan alamat email pengirim laporan sebagaimana
dimaksud pada huruf L kepada Bank Indonesia paling
lambat tanggal 15 Juli 2015.
N. Informasi…
18
N.
Informasi data nama petugas, penanggung jawab laporan
dan alamat email pengirim laporan sebagaimana dimaksud
dalam huruf M disampaikan Bank Umum secara tertulis
yang dialamatkan kepada:
1. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Umum yang berkantor
pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
atau
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank
Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Perwakilan Bank Indonesia, dengan tembusan kepada
Departemen Pengembangan UMKM.
O. Bank Umum melakukan pengkinian data nama petugas,
penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim
laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf L setiap
terjadi perubahan.
P. Laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM
melalui kerja sama pola executing yang disampaikan secara
offline digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan
NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagai berikut:
1. posisi akhir bulan Maret digunakan untuk perhitungan
pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan
UMKM bulan Mei, Juni, dan Juli.
2. posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan
pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan
UMKM bulan Agustus, September, dan Oktober.
3. posisi akhir bulan September digunakan untuk
perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau
Pembiayaan UMKM bulan November, Desember, dan
Januari.
4. posisi akhir bulan Desember digunakan untuk
perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau
Pembiayaan UMKM bulan Februari, Maret, dan April.
Q. Bank…
19
Q. Bank Umum yang tidak melakukan pemberian Kredit atau
Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing tetap
diwajibkan untuk menyampaikan laporan realisasi
pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja
sama pola executing, dengan keterangan nihil.
R. Untuk pertama kali Bank Umum menyampaikan laporan
realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui
kerja sama pola executing secara offline kepada Bank
Indonesia untuk posisi Juni 2015 dengan menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
S. Periode pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf R
paling lambat diterima Bank Indonesia pada tanggal 31 Juli
2015 pukul 16.00 waktu setempat.
T. Dalam hal laporan diterima Bank Indonesia melewati batas
waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
huruf S, maka laporan tersebut diperlakukan sebagai
laporan yang diterima Bank Indonesia pada hari kerja
berikutnya.
U. Bank Umum dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam huruf T, apabila laporan
diterima Bank Indonesia pada tanggal 3 Agustus 2015.
V. Bank Umum dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam huruf R, apabila laporan
belum diterima Bank Indonesia sampai dengan berakhirnya
batas waktu keterlambatan penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam huruf U.
W. Penyampaian laporan periode berikutnya, berlaku
ketentuan sebagaimana huruf D, E, dan F di atas.
X. Kewajiban penyampaian laporan realisasi pemberian Kredit
atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing
secara offline berakhir setelah adanya surat pemberitahuan
dari Bank Indonesia.
8. Ketentuan…
20
8. Ketentuan angka X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
X. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
A. Dalam hal Bank Umum dikenakan sanksi teguran tertulis
dan/atau kewajiban membayar maka informasi mengenai
pengenaan sanksi tersebut disampaikan kepada Bank Umum
yang bersangkutan dengan tembusan kepada otoritas
pengawas bank.
B. Dalam hal Bank Indonesia menerima laporan secara offline dari
Bank Umum melampaui batas waktu keterlambatan maka
Bank Umum dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan tidak menyampaikan laporan. Pengenaan sanksi
kewajiban membayar tersebut tidak diakumulasikan dengan
sanksi kewajiban membayar karena keterlambatan pelaporan.
Contoh:
Untuk penyampaian laporan secara offline untuk posisi
September 2015, maka Bank Indonesia harus menerima
laporan tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja pertama
bulan Oktober 2015 yaitu tanggal 15 Oktober 2015.
- Dalam hal laporan diterima Bank Indonesia pada hari kerja
ke-15 yaitu tanggal 22 Oktober 2015, maka sanksi
kewajiban membayar yang dikenakan kepada Bank adalah
sebesar 5 x Rp1.000.000,00 = Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah) karena Bank tersebut dinyatakan terlambat
menyampaikan laporan selama 5 (lima) hari kerja.
- Dalam hal laporan tersebut diterima Bank Indonesia pada
hari kerja ke-16 yaitu tanggal 23 Oktober 2015 maka sanksi
kewajiban membayar yang dikenakan kepada Bank adalah
sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) karena
Bank tersebut dinyatakan tidak menyampaikan laporan.
C. Pengenaan sanksi kewajiban membayar oleh Bank Umum
dilakukan dengan cara pendebetan rekening giro Bank Umum
yang ada di Bank Indonesia.
9. Lampiran…
21
9. Lampiran 1.b diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum
dalam Lampiran 1.b yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
10. Lampiran 2 diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
11. Lampiran 4 dihapus.
12. Lampiran 5 diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 5 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
13. Menambah Lampiran tentang Laporan Perkembangan Kredit atau
Pembiayaan UMKM yang Disalurkan oleh Pejabat Kredit/Account
Officer Pasca Pelatihan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 6
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
14. Menambah Lampiran tentang Laporan Pelatihan kepada UMK atau
UMK Debitur Bank Umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran 7
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
15. Menambah Lampiran tentang Laporan Pelaksanaan Pemeringkatan
Kredit UKM sebagaimana tercantum dalam Lampiran 8 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
16. Menambah Lampiran tentang Daftar Alamat Email Penyampaian
Laporan Realisasi Pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui
Kerja Sama Pola Executing sebagaimana tercantum dalam Lampiran 9
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3
Agustus 2015.
Agar…
22
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
YUNITA RESMI SARI
KEPALA DEPARTEMEN PENGEMBANGAN UMKM
DPUM
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 17/19/DPUM|SE-BI/2015 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah </reg_title>
<set_date> 8 Juli 2015 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2015 </effective_date>
<changed_reg> '15/35/DPAU|SE-BI/2013' </changed_reg>
<related_reg> '17/12/PBI/2015', '14/22/PBI/2012', '15/35/DPAU|SE-BI/2013' </related_reg>
<penalty_list> 'Angka 8 Romawi X' </penalty_list>
|
No. 2 /28/ DSM
Jakarta, 21 Desember 2000
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal: Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Bank
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.1/9/PBI/1999 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa dan Lembaga Keuangan Non Bank dan
dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pelaporan kegiatan LLD oleh
bank, maka peraturan pelaksanaan dan petunjuk teknis pelaporan kegiatan LLD
oleh bank perlu diatur kembali sebagai berikut:
I. UMUM
A. Tujuan pelaporan
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) oleh bank dimaksudkan
untuk memperoleh keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas
devisa secara lengkap, akurat dan tepat waktu yang diperlukan terutama
untuk penyusunan Statistik Neraca Pembayaran dan Posisi Investasi
Internasional Indonesia.
B. Bank pelapor
B.1. Bank pelapor adalah seluruh bank umum di Indonesia yang
melakukan Kegiatan LLD baik untuk kepentingan bank maupun
nasabah, dan atau memiliki aset/kewajiban finansial luar negeri
(AFLN/KFLN). Penjelasan mengenai Kegiatan LLD dan
AFLN/KFLN dapat dilihat pada petunjuk teknis terlampir.
B.2. Bagi….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
---------------------------------------------------------------
B.2. Bagi bank yang dalam periode laporan tertentu tidak melakukan
Kegiatan LLD dan atau tidak memiliki AFLN/KFLN sebagaimana
dimaksud pada butir B.1. wajib menyampaikan laporan nihil.
B.3. Bagi bank yang pada saat ketentuan ini diberlakukan tidak
melakukan Kegiatan LLD dan atau tidak memiliki AFLN/KFLN
sebagaimana dimaksud pada butir B.1. tidak wajib menyampaikan
laporan LLD, namun bank dimaksud wajib menyampaikan surat
pemberitahuan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh pada
petunjuk teknis terlampir. Apabila dikemudian hari bank tersebut
melakukan Kegiatan LLD, maka wajib menyampaikan laporan
sebagaimana butir B.1.
II. JENIS DAN FORMAT LAPORAN
A. Jenis laporan
Laporan Kegiatan LLD terdiri dari Laporan Transaksi dan Laporan Posisi.
1. Laporan Transaksi
Laporan Transaksi adalah laporan mengenai transaksi bank dan atau
nasabah yang mempengaruhi AFLN/KFLN bank pelapor. Laporan
Transaksi mencakup informasi antara lain mengenai pelaku transaksi
(status dan kategori pelaku transaksi serta hubungan keuangan antar
pelaku transaksi) dan tujuan transaksi.
2. Laporan Posisi
Laporan Posisi adalah laporan mengenai posisi dan mutasi dari setiap
rekening AFLN/KFLN bank pelapor.
Laporan Posisi mencakup
informasi antara lain negara debitur/kreditur dan jenis valuta dari
setiap rekening AFLN/KFLN bank pelapor.
B. Format….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
B. Format laporan
Laporan Transaksi dan Laporan Posisi disusun berdasarkan spesifikasi
format laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Masing-masing
laporan terdiri dari beberapa baris (record) dan setiap record terdiri dari
beberapa rincian baris (field) yang dinyatakan dalam bentuk sandi-sandi
dengan format ASCII (American Standard Code for Information
Interchange).
Penjelasan lebih lanjut mengenai jenis dan format laporan terdapat pada
petunjuk teknis terlampir.
III. PENYAMPAIAN PELAPORAN
A. Periode Laporan
Periode Laporan (PL) adalah bulanan, yaitu dari tanggal 1 (satu) sampai
dengan akhir bulan.
B. Masa Penyampaian Laporan
Masa Penyampaian Laporan (MPL) adalah selama satu bulan setelah
berakhirnya PL, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk laporan yang disampaikan secara on-line, batas akhir MPL
adalah akhir bulan MPL pukul 24.00 WIB, termasuk hari Sabtu dan
hari libur.
Contoh-1:
MPL Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Januari 2001 adalah
tanggal 1 sampai dengan 28 Februari 2001 (hari Rabu) pukul 24.00
WIB.
---------------------------------------------------------------
Contoh….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
Contoh-2:
MPL Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Februari 2001 adalah
tanggal 1 sampai dengan 31 Maret 2001 (hari Sabtu) pukul 24.00 WIB.
2. Untuk laporan yang disampaikan secara off-line, batas akhir MPL
adalah pada akhir bulan MPL pukul 16.00 WIB. Apabila akhir bulan
MPL jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka penyampaian laporan
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
Contoh:
MPL Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Februari 2001 adalah
tanggal 1 sampai dengan tanggal 30 Maret 2001 (hari Jum’at) pukul
16.00 WIB.
3. Apabila penyampaian laporan dilakukan setelah batas akhir MPL
sebagaimana disebutkan pada butir 1 dan 2 sampai dengan akhir bulan
berikutnya setelah MPL, maka bank pelapor dinyatakan terlambat
menyampaikan laporan.
Contoh:
Laporan Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Januari
2001
diterima Bank Indonesia pada tanggal 2 Maret 2001, maka bank pelapor
dinyatakan terlambat menyampaikan laporan.
4. Dalam hal terjadi kendala teknis dalam penyampaian laporan Kegiatan
LLD, bank pelapor dapat menghubungi Bank Indonesia selama hari
kerja sampai dengan pukul 16.00 WIB.
C. Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan
Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan (MKPL) adalah selama satu
bulan setelah berakhirnya MPL, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Penyampaian….
---------------------------------------------------------------
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
---------------------------------------------------------------
1. Penyampaian laporan hanya dapat dilakukan secara off-line.
2. Batas akhir MKPL adalah pada akhir bulan MKPL pukul 16.00 WIB.
Apabila akhir bulan MKPL jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka
penyampaian laporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
Contoh:
MKPL Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Januari 2001 adalah
selama bulan Maret 2001 dengan batas akhir MKPL pada tanggal 30
Maret 2001 (hari Jum’at) pukul 16.00 WIB.
3. Bank pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila sampai
dengan batas akhir MKPL laporan Kegiatan LLD belum diterima oleh
Bank Indonesia.
Contoh:
Sampai dengan tanggal 30 Maret 2001 (hari Jum’at) pukul 16.00 WIB,
Bank Indonesia belum menerima laporan Kegiatan LLD bank pelapor
untuk periode laporan bulan Januari 2001.
D. Cara penyampaian laporan
Laporan Kegiatan LLD disampaikan kepada Bank Indonesia oleh kantor
pusat bagi bank pelapor yang berkantor pusat di dalam negeri dan oleh
kantor cabang koordinator bagi bank pelapor yang berkantor pusat di luar
negeri, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Bagi bank pelapor yang berkedudukan di wilayah Jakarta, Bogor,
Tangerang dan Bekasi (Jabotabek), laporan disampaikan secara on-line
melalui jaringan khusus (ekstranet BI) kepada Kantor Pusat Bank
Indonesia (KPBI). Apabila terdapat kendala dalam penyampaian
laporan secara on-line tersebut, maka laporan disampaikan kepada
Bagian Statistik Neraca Pembayaran, Bank Indonesia, Gedung B
lantai….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
---------------------------------------------------------------
lantai 14, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta secara off-line dengan
menggunakan disket dan disertai dengan alasan-alasan secara tertulis.
2. Bagi bank pelapor yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek,
laporan dapat disampaikan secara off-line kepada Kantor Bank
Indonesia (KBI) setempat atau secara on-line kepada KPBI. Bank
pelapor yang saat ini menyampaikan laporan secara off-line dan akan
menyampaikan laporan secara on-line, terlebih dahulu harus
mengajukan permohonan secara tertulis untuk mendapatkan username
dan password kepada KBI setempat dengan tembusan kepada Bagian
Statistik Neraca Pembayaran, Bank Indonesia, Gedung B lantai 14, Jl.
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta.
3. Laporan Kegiatan LLD yang disampaikan oleh bank pelapor baik
secara on-line maupun off-line dinyatakan telah diterima Bank
Indonesia apabila status laporan tersebut telah memenuhi persyaratan
kuantitas dan kualitas (yang ditandai dengan ‘UJI KUALITAS OK’
dalam sistem komputer Bank Indonesia) sebagaimana dijelaskan dalam
petunjuk teknis terlampir.
4. Tanggal penerimaan laporan yang telah memenuhi persyaratan
kuantitas dan kualitas pada butir 3 adalah tanggal penerimaan file
laporan (yang ditandai dengan ‘FILE OK’ dalam sistem komputer Bank
Indonesia).
5. Apabila bank pelapor menyampaikan laporan koreksi dalam MPL
untuk mengganti laporan Kegiatan LLD yang dinyatakan telah diterima
sebagaimana dimaksud pada butir 3, maka status laporan yang berlaku
adalah sesuai dengan status laporan (koreksi) yang terakhir
disampaikan oleh bank pelapor kepada Bank Indonesia.
Contoh….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
Contoh:
Bank pelapor telah menyampaikan laporan Kegiatan LLD untuk
periode laporan bulan Januari 2001 pada tanggal 10 Februari 2001 dan
telah memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas. Pada tanggal 15
Februari bank pelapor menyampaikan laporan koreksi atas laporan yang
disampaikan pada tanggal 10 Februari 2001 dan telah memenuhi
persyaratan kuantitas dan kualitas. Selanjutnya apabila pada tanggal 28
Februari 2001 (akhir bulan MPL) bank pelapor melakukan koreksi
kembali dan sampai dengan pukul 24.00 WIB masih belum memenuhi
persyaratan kuantitas dan kualitas, maka status laporan yang berlaku
adalah status laporan yang disampaikan tanggal 28 Februari 2001.
Dalam hal ini bank pelapor dinyatakan belum menyampaikan
laporan.
Penjelasan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan secara on-line dan
off-line terdapat pada petunjuk teknis terlampir.
IV. LAPORAN KOREKSI
Dalam hal laporan yang telah diterima oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada butir III.D.3. masih tidak lengkap dan atau tidak benar, maka
bank pelapor harus menyampaikan laporan koreksi. Laporan dinyatakan tidak
lengkap apabila terdapat field yang masih mengandung sandi sementara
(sandi-sandi dummy yang mengandung karakter ‘Y’). Laporan dinyatakan
tidak benar apabila terdapat field yang masih mengandung kesalahan atau
tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, termasuk Kegiatan LLD yang
seharusnya dilaporkan akan tetapi tidak disampaikan oleh bank pelapor
kepada Bank Indonesia.
---------------------------------------------------------------
Penyampaian….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
---------------------------------------------------------------
Penyampaian laporan koreksi dapat dilakukan selama MPL maupun setelah
MPL. Laporan koreksi yang disampaikan selama MPL merupakan pengganti
atas laporan yang telah disampaikan sebelumnya. Laporan koreksi yang
disampaikan setelah MPL merupakan laporan pengganti atas laporan yang
tidak lengkap dan atau tidak benar yang disampaikan dalam MPL. Laporan
koreksi setelah MPL hanya dapat dilakukan secara off-line dan bank pelapor
wajib melampirkan daftar field yang dikoreksi sesuai format terlampir.
V. PROSEDUR PEROLEHAN INFORMASI
Dalam rangka mendukung kelancaran penyampaian laporan Kegiatan LLD
kepada Bank Indonesia, ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bank wajib meminta keterangan dan data kepada nasabah yang melakukan
Kegiatan LLD melalui bank.
2. Dalam hal suatu Kegiatan LLD melibatkan lebih dari satu bank di dalam
negeri, maka untuk mendukung kelancaran pelaporan ditetapkan sebagai
berikut:
a. Bank dapat meminta informasi yang diperlukan untuk pelaporan
Kegiatan LLD kepada bank lain.
b. Permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada butir a wajib
memperhatikan batas waktu MPL.
c. Untuk keperluan komunikasi antar bank dalam rangka permintaan/
pemberian informasi, setiap bank harus menunjuk petugas bank
(contact person) yang bertanggung jawab terhadap kelancaran arus
komunikasi antar bank beserta alamat yang dapat dihubungi (e-mail
address, nomor telepon dan atau nomor faksimili). Nama-nama dan
alamat petugas bank tersebut harus disampaikan kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya akhir bulan Januari 2001. Apabila
terdapat….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
---------------------------------------------------------------
terdapat perubahan nama-nama dan alamat petugas bank, maka bank
pelapor segera memberitahukan kepada Bank Indonesia.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pelaporan Kegiatan LLD yang
melibatkan lebih dari satu bank di dalam negeri terdapat pada petunjuk
teknis terlampir.
VI. SANKSI
A. Laporan yang tidak lengkap dan atau tidak benar
Bagi bank pelapor yang menyampaikan laporan tidak lengkap dan atau
tidak benar sebagaimana dimaksud
pada
butir IV dikenakan sanksi
berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap
field dengan maksimum denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) per laporan
Apabila laporan yang tidak benar ditemukan
berdasarkan pemeriksaan oleh Bank Indonesia, maka bank pelapor
dikenakan denda sebesar Rp100.000 (seratus ribu rupiah) untuk setiap
field.
Contoh-1:
Dari seluruh record transaksi dalam laporan bulan Januari 2001 terdapat 1
record yang menggunakan sandi dummy untuk field status (Y1) dan field
kategori penerima (Y1) serta 2 record yang menggunakan sandi dummy
untuk field tujuan transaksi (1YYY/2YYY).
Berdasarkan contoh tersebut, maka bank pelapor dikenakan denda sebesar
Rp200.000,00 (4 field x Rp50.000,00).
Contoh-2:
Dari seluruh record dalam Laporan Posisi AFLN/KFLN bulan Januari
2001 terdapat 1 record posisi AFLN yang menggunakan sandi dummy
untuk….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
---------------------------------------------------------------
untuk field negara debitur (Y1) dan 2 record posisi KFLN yang
menggunakan sandi dummy untuk field negara kreditur (Y1).
Berdasarkan contoh tersebut, maka bank pelapor dikenakan denda sebesar
Rp150.000,00 (3 field x Rp50.000,00).
Contoh-3:
Dari seluruh record transaksi dalam laporan bulan Januari 2001 terdapat 2
field yang tidak benar dalam 1 record, yaitu nilai pengiriman dana yang
seharusnya sebesar JPY120.000.000,00 dilaporkan JPY120.000,00 dan
status penerima yang seharusnya Singapura dilaporkan Malaysia.
Berdasarkan contoh tersebut, maka bank pelapor dikenakan denda sebesar
Rp100.000,00 (2 field x Rp50.000,00)
Contoh-4:
Dalam Laporan Posisi AFLN/KFLN bulan Januari 2001 terdapat 2 field
yang tidak benar dalam 2 record, yaitu deposito senilai 100 juta rupiah
yang seharusnya milik perusahaan di Singapura dilaporkan milik
perusahaan di Indonesia dan pinjaman sebesar 1 juta USD yang diterima
oleh bank pelapor dari Jepang dilaporkan diterima dari Amerika
Serikat.
Berdasarkan contoh tersebut, maka bank pelapor dikenakan denda sebesar
Rp100.000,00 (2 field x Rp50.000,00)
B. Terlambat menyampaikan laporan
Bagi bank pelapor yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada butir III.B.3. dikenakan denda sebesar Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. Jumlah hari
keterlambatan dihitung sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal diterimanya
laporan oleh Bank Indonesia dalam bulan MKPL.
Contoh….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
Contoh-1:
Laporan Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Januari 2001
diterima oleh Bank Indonesia tanggal 1 Maret 2001, maka bank
dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama 1 hari keterlambatan
dan dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (1 x
Rp5.000.000,00).
Contoh-2:
Laporan Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Februari 2001
diterima oleh Bank Indonesia tanggal 2 April 2001 (hari Senin), maka
bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama dua hari yaitu
dari tanggal 1 sampai dengan 2 April 2001 dan dikenakan sanksi denda
sebesar Rp10.000.000,00 (2 x Rp5.000.000,00).
C. Tidak menyampaikan laporan
Bagi bank pelapor yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud
pada
butir III.C.3. dikenakan denda sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Apabila bank pelapor tidak
menyampaikan laporan selama 6 periode berturut-turut atau paling lama 6
bulan dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha, dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku. Sebelum sanksi tersebut
dikenakan bank pelapor akan diberikan peringatan secara tertulis oleh
Bank Indonesia.
D. Pembebanan denda
Pembebanan denda sebagaimana tersebut di atas dilakukan dengan cara
mendebet rekening giro bank pelapor di Bank Indonesia untuk untung kas
negara nomor 501.000.000 yang terdapat pada Bank Indonesia setempat,
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Bank….
---------------------------------------------------------------
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
---------------------------------------------------------------
1. Bank Indonesia akan menyampaikan surat pemberitahuan denda
kepada bank pelapor.
2. Bank pelapor dapat mengajukan tanggapan atas surat pemberitahuan
denda sebagaimana dimaksud pada butir 1. Tanggapan dimaksud
disampaikan secara tertulis dan harus telah diterima oleh Bank
Indonesia paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal surat
pemberitahuan denda.
3. Pembebanan denda dilakukan setelah adanya surat penetapan denda
dari Bank Indonesia.
VII. PENUTUP
A. Pelaksanaan kewajiban pelaporan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku
sejak tanggal 1 Maret 2001 untuk periode laporan bulan Februari 2001.
Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank
Indonesia nomor 1/9/DSM tanggal 28 Desember 1999 perihal Pelaporan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank dan Surat Edaran Bank Indonesia
nomor 2/15/DSM tanggal 30 Juni 2000 perihal perubahan Surat Edaran
Bank Indonesia nomor 1/9/DSM dinyatakan tidak berlaku lagi.
B. Bagi bank pelapor yang memerlukan penjelasan lebih lanjut sehubungan
dengan pelaksanaan pelaporan ini dapat menghubungi Bagian Statistik
Neraca Pembayaran, Bank Indonesia:
- Telp
- Fax
- E-mail
: (021) 381-7040 dan 381-7041
: (021) 386-6063
: lld@bi.go.id
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 1 Maret 2001.
Agar….
Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000
---------------------------------------------------------------
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Miranda S. Goeltom
Deputi Gubernur
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 2/28/DSM|SE-BI/2000 </reg_id>
<reg_title> Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Bank </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2000 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '2/15/DSM|SE-BI/2000', '1/9/DSM|SE-BI/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '1/9/PBI/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
|
No.10/ 41 /DPM
Jakarta, 27 November 2008
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
Perihal : Perubahan Nama Rekening Pemerintah Nomor 500.000003
dan Nomor 502.000001
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/2/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Bank Indonesia Scripless
Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008
Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809) dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tanggal 21 Agustus 2008
tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4888), serta adanya perubahan nama rekening
Pemerintah untuk nomor 500.000003 yang semula “Menteri Keuangan cq.
Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk Pengelolaan SUN” menjadi “Menteri
Keuangan Penerimaan Penerbitan Surat Berharga Negara” dan untuk nomor
502.000001 yang semula “BUN untuk Pengelolaan Obligasi dalam rangka
Rekapitalisasi Perbankan” menjadi “Menteri Keuangan Pengeluaran untuk Surat
Berharga Negara”, perlu dilakukan pengaturan kembali penyebutan nama
rekening Pemerintah tersebut di atas sebagai berikut:
Semua penyebutan rekening 500.000003 “Menteri Keuangan cq. Direktur
Jenderal Perbendaharaan untuk Pengelolaan SUN” dan rekening 502.000001
“BUN untuk Pengelolaan Obligasi dalam rangka Rekapitalisasi Perbankan” yang
diatur dalam:
a. Surat …
2
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/4/DPM tanggal 16 Maret 2007
perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara Di Pasar Perdana Dan
Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah diubah dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 10/18/DPM tanggal 15 April 2008; dan
b. Pedoman Penyelenggaraan Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement
System yang merupakan lampiran dari Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
10/21/DPM tanggal 23 Mei 2008 perihal Penyelenggaraan Bank Indonesia –
Scripless Securities Settlement System;
diubah menjadi rekening 500.000003 “Menteri Keuangan Penerimaan Penerbitan
Surat Berharga Negara” dan rekening 502.000001 “Menteri Keuangan
Pengeluaran untuk Surat Berharga Negara”.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal diterbitkan
dan berlaku surut sejak tanggal 4 Agustus 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/41/DPM|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Nama Rekening Pemerintah Nomor 500.000003 dan Nomor 502.000001 </reg_title>
<set_date> 27 November 2008 </set_date>
<effective_date> pada tanggal 27 November 2008 dan berlaku surut sejak tanggal 4 Agustus 2008. </effective_date>
<related_reg> '10/13/PBI/2008', '10/2/PBI/2008' </related_reg>
|
No. 11/ 20 /DPM
Jakarta, 4 Agustus 2009
SURAT EDARAN
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/21/DPM
Tanggal 1 Juli 2005 perihal Tata Cara Penyimpanan Sekuritas,
Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia.
Sehubungan dengan pembukaan Kantor Bank Indonesia (KBI) baru,
dipandang perlu untuk mengubah Lampiran 1 dalam Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 7/21/DPM tanggal 1 Juli 2005 perihal Tata Cara Penyimpanan Sekuritas,
Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia dengan
menambahkan 2 (dua) KBI baru yaitu KBI Pematangsiantar dan KBI Tegal
sebagaimana Lampiran 1 yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 4 Agustus 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDAR
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 11/20/DPM|SE-BI/2009 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/21/DPM Tanggal 1 Juli 2005 perihal Tata Cara Penyimpanan Sekuritas, Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia. </reg_title>
<set_date> 4 Agustus 2009 </set_date>
<effective_date> 4 Agustus 2009 </effective_date>
<changed_reg> '7/21/DPM|SE-BI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '7/21/DPM|SE-BI/2005' </related_reg>
|
No.18/13/DPM
Jakarta, 24 Mei 2016
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DEVISA
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal
Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia.
_______________________________________________________
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 237,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5480)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 18/8/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi
Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5881), yang selanjutnya disebut PBI, dan dalam rangka
memperkuat cadangan devisa serta memperluas jenis valuta asing yang
digunakan dalam transaksi swap lindung nilai kepada Bank Indonesia,
perlu dilakukan perubahan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap
Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/19/DPM tanggal 28 November
2014 sebagai berikut:
1. Ketentuan …
2
1. Ketentuan huruf A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
A. DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI
KEPADA BANK INDONESIA
1. Dokumen underlying milik Bank dalam Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) PBI, diatur sebagai
berikut:
a. Dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar
Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit maka
dokumen underlying berupa perjanjian kredit (loan
agreement) antara Bank dengan kreditur Bank.
b. Dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar
Negeri Bank dalam bentuk penerbitan surat utang
maka dokumen underlying antara lain berupa laporan
penjualan surat utang yang dikeluarkan oleh global
custody.
c. Dalam hal Underlying Transaksi berupa dana usaha
yang dinyatakan (declared dana usaha) maka dokumen
underlying diatur sebagai berikut:
1) Untuk dana usaha yang dinyatakan (declared
dana usaha) yang tidak mengalami perubahan
maka dokumen underlying berupa surat dana
usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) dari
kantor pusat Bank atau dari Bank kepada otoritas
yang berwenang.
2) Untuk dana usaha yang dinyatakan (declared
dana usaha) yang mengalami perubahan maka
dokumen underlying berupa surat persetujuan
otoritas yang berwenang atas perubahan dana
usaha yang dinyatakan (declared dana usaha)
yang disampaikan kantor pusat Bank atau Bank.
2. Dokumen underlying milik nasabah dalam Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) PBI, berupa dokumen
transaksi …
3
transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah dalam
bentuk deal ticket atau kontrak swap.
3. Dokumen Underlying Transaksi swap jual antara Bank
dengan nasabah diatur sebagai berikut:
a. Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri
dalam bentuk perjanjian kredit, maka dokumen
underlying transaksi berupa perjanjian kredit (loan
agreement) antara nasabah dengan kreditur nasabah.
b. Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri
dalam bentuk penerbitan surat utang, maka dokumen
underlying transaksi antara lain berupa laporan
penjualan surat utang yang dikeluarkan oleh global
custody.
c. Underlying Transaksi berupa Investasi Langsung, maka
dokumen underlying transaksi antara lain berupa
dokumen terkait dengan realisasi investasi.
d. Underlying Transaksi berupa Devisa Hasil Ekspor
(DHE), maka dokumen underlying transaksi antara lain
berupa Authenticated SWIFT message (MT910) yang
berisi informasi penerimaan DHE.
berupa
e. Underlying Transaksi
investasi pada
infrastruktur pembangunan sarana umum dan/atau
produksi, maka dokumen underlying transaksi berupa
dokumen kegiatan investasi yang diatur sebagai
berikut:
1) dalam hal pemilik proyek infrastruktur adalah
pemerintah, maka dokumen kegiatan investasi
antara lain berupa dokumen persetujuan proyek
dari instansi yang berwenang;
2) dalam hal pemilik proyek infrastruktur adalah
lembaga nonpemerintah, maka dokumen kegiatan
investasi antara lain berupa dokumen persetujuan
proyek dari lembaga pemilik proyek.
f. Underlying Transaksi berupa investasi pada surat
berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia …
4
Indonesia, maka dokumen underlying transaksi antara
lain berupa rencana dan bukti realisasi investasi pada
Surat Berharga Negara.
4. Dalam hal suatu Underlying Transaksi memiliki 1 (satu) jenis
valuta asing, Underlying Transaksi dimaksud hanya berlaku
untuk 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dan 1 (satu) Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
5. Dalam hal suatu Underlying Transaksi memiliki lebih dari 1
(satu) jenis valuta asing, Bank dapat menggunakan
Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari:
a. 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai; dan
b. 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia,
yang dinyatakan dalam masing-masing valuta asing.
Contoh:
Pada bulan September 20XX Bank A menandatangani 1
(satu) perjanjian pinjaman dari luar negeri dalam valuta
asing. Jumlah Pinjaman Luar Negeri yang diterima oleh
Bank A sebesar USD500,000,000.00 (lima ratus juta dolar
Amerika Serikat) dan JPY150,000,000.00 (seratus lima
puluh juta yen Jepang). Atas Pinjaman Luar Negeri tersebut
Bank A dapat mengajukan 2 (dua) Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia, yaitu 1 (satu) transaksi dalam
Dolar Amerika Serikat dan 1 (satu) transaksi dalam Yen
Jepang. Bank A melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia dengan nilai nominal masing-
masing sebesar USD500,000,000.00 (lima ratus juta dolar
Amerika Serikat) dengan tenor 12 (dua belas) bulan dan
JPY150,000,000.00 (seratus lima puluh juta yen Jepang)
dengan tenor 12 (dua belas) bulan. Untuk Transaksi Swap
Lindung Nilai tersebut Bank A menyampaikan 2 (dua)
Kontrak Lindung Nilai, yaitu 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai
dalam Dolar Amerika Serikat dan 1 (satu) Kontrak Lindung
Nilai dalam Yen Jepang.
6. Bank …
5
6. Bank bertanggung jawab atas penatausahaan kelengkapan
dokumen asli Underlying Transaksi dan dokumen fotokopi
Underlying Transaksi swap jual antara Bank dengan
nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 PBI.
7. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 6 diterima
oleh Bank dari nasabah paling lambat 1 (satu) bulan
setelah tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia.
2. Ketentuan huruf B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
B. PELAKSANAAN TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA
BANK INDONESIA
1. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dilakukan melalui Transaksi Swap Beli Bank kepada Bank
Indonesia dalam valuta asing terhadap Rupiah, dalam
rangka Lindung Nilai yang dilakukan antara Bank dengan
Bank Indonesia.
2. Jenis valuta asing dalam Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia adalah sesuai dengan jenis valuta
asing yang diumumkan oleh Bank Indonesia paling lambat
sebelum window time transaksi dibuka.
3. Untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dalam Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah, kurs spot
yang digunakan adalah kurs Jakarta Interbank Spot Dollar
Rate (JISDOR) pada tanggal transaksi.
4. Untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat terhadap
Rupiah, kurs spot yang digunakan adalah kurs tengah
transaksi Bank Indonesia valuta asing terhadap Rupiah
pada tanggal transaksi.
5. Kurs …
6
5. Kurs tengah transaksi Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam angka 4 dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
6. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengumuman dan Pelaksanaan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
1) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dilakukan pada setiap hari kerja.
2) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dapat memiliki jangka waktu 3 (tiga)
bulan, 6 (enam) bulan, atau 12 (dua belas) bulan,
yang dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal
valuta (tanggal setelmen) sampai dengan tanggal
jatuh waktu.
3) Bank Indonesia mengumumkan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling
lambat sebelum window time transaksi dibuka
melalui Sistem Laporan Harian Bank Umum
(Sistem LHBU) dan/atau sarana informasi lain
yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
4) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam
angka 3) paling kurang meliputi:
a) jangka waktu swap;
b) premi swap;
c) tanggal transaksi;
d) window time transaksi;
e)
f)
tanggal valuta (tanggal setelmen);
kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi
Bank Indonesia;
g) jenis valuta asing;
h) jumlah minimum penawaran dan kelipatan
penawaran; dan
i) sarana …
7
i)
sarana pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan
sarana pengajuan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia.
5) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia mulai pukul 14.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, atau waktu
lain yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
b. Pengajuan Kontrak Lindung Nilai
1) Pengajuan Kontrak Lindung Nilai dilakukan oleh
Bank bersamaan dengan pengajuan Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
melalui sarana komunikasi yang ditentukan oleh
Bank Indonesia.
2) Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud
dalam angka 1) berlaku efektif pada tanggal valuta
(tanggal setelmen).
3) Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud
dalam angka 1) meliputi informasi:
a) nama Bank;
b) jangka waktu Kontrak Lindung Nilai;
c) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
dalam butir A.1 dan/atau butir A.3;
d) jenis valuta asing; dan
e)
nilai nominal underlying yang dicantumkan
dalam Kontrak Lindung Nilai.
Contoh Kontrak Lindung Nilai untuk transaksi
swap atas underlying milik Bank adalah sebagai
berikut:
Nama Bank
Jangka Waktu
Underlying
Jenis Valuta Asing
Nilai Nominal
: Bank A
: 2 tahun
: Kontrak Pinjaman Luar
Negeri Bank
: Dolar Amerika Serikat
: USD500 juta
Contoh …
8
Contoh Kontrak Lindung Nilai untuk transaksi
swap atas underlying milik nasabah Bank adalah
sebagai berikut:
Nama Bank
Jangka Waktu
Underlying
: Bank A
: 2 tahun
: Kontrak transaksi swap
Bank A dengan PT X
atas Pinjaman Luar
Negeri PT X
Jenis Valuta Asing : Dolar Amerika Serikat
Nilai Nominal
: USD500 juta
Contoh nilai nominal dan underlying transaksi
yang dinyatakan dalam Kontrak Lindung Nilai
tercantum dalam Lampiran I Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari
2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
4) Bank bertanggung jawab atas kebenaran data
Kontrak Lindung Nilai yang disampaikan kepada
Bank Indonesia.
c. Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia
1) Bank mengajukan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia secara langsung tanpa
melalui lembaga perantara.
2) Pengajuan transaksi sebagaimana dimaksud
dalam angka 1) dilakukan melalui sarana
komunikasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
3) Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia memuat informasi paling kurang
sebagai berikut:
a) nama Bank;
b) jenis valuta asing;
c) identitas dokumen Underlying Transaksi;
d) jangka …
9
d) jangka waktu dan nominal Underlying
Transaksi yang tercantum pada Kontrak
Lindung Nilai;
e) tanggal transaksi;
f)
tanggal valuta;
g) jangka waktu Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia;
h) tanggal jatuh waktu;
i)
nilai nominal;
j) nomor rekening valuta asing Bank di bank
koresponden; dan
k) nomor rekening giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia.
4) Setiap pengajuan Kontrak Lindung Nilai
sebagaimana dimaksud dalam huruf b disertai
juga dengan informasi yang berisi pernyataan
Bank bahwa seluruh persyaratan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia telah
dipenuhi.
5) Dalam hal Bank melakukan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan
Underlying Transaksi berupa dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha) tanpa informasi
jangka waktu atas dana usaha yang dinyatakan
(declared dana usaha) maka pernyataan
sebagaimana dimaksud dalam angka 4)
ditambahkan informasi terkait jangka waktu dana
usaha yang dinyatakan (declared dana usaha).
6) Contoh pernyataan Bank mengenai pemenuhan
persyaratan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
angka 4) dan angka 5) tercantum dalam Lampiran
II Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
16/19/DPM tanggal 28 November 2014 perihal
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor …
10
Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014
perihal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia.
7) Setelah diterimanya pengajuan Kontrak Lindung
Nilai sebagaimana dimaksud dalam butir b.3) dan
pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
angka 3), Bank Indonesia akan memberikan
nomor referensi kepada Bank untuk setiap
Kontrak Lindung Nilai.
8)
Nilai nominal minimum pengajuan Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan
kelipatannya diumumkan oleh Bank Indonesia
melalui Sistem Laporan Harian Bank Umum
(Sistem LHBU) atau sarana informasi lain yang
ditentukan oleh Bank Indonesia, dengan nilai
nominal pengajuan paling banyak sebesar nilai
Underlying Transaksi.
9) Dalam hal terjadi koreksi atas pengajuan
transaksi, Bank hanya dapat mengajukan 1 (satu)
kali koreksi untuk setiap Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia yang diajukan dalam
window time Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
10) Dalam hal dilakukan koreksi atas nilai nominal
sebagaimana dimaksud dalam angka 9), nilai
nominal dimaksud harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam angka 8).
11) Bank bertanggung jawab atas kebenaran data
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
12) Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia yang telah disampaikan kepada
Bank Indonesia tidak dapat dibatalkan oleh Bank.
13) Kontrak …
11
13) Kontrak Lindung Nilai berakhir apabila Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia telah
berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan oleh
Bank.
14) Bank Indonesia dapat menolak pengajuan
Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
d. Konfirmasi atas Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia
Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan
konfirmasi atas pengajuan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia yang dilakukan oleh Bank
melalui sarana komunikasi yang ditentukan oleh Bank
Indonesia yang meliputi:
1) jenis valuta asing;
2) nominal transaksi;
3) jangka waktu transaksi;
4) tanggal valuta dan tanggal jatuh waktu;
5) kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank
Indonesia;
6) kurs forward;
7) premi swap;
8) nomor rekening valuta asing Bank di bank
koresponden; dan
9) nomor rekening giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia.
e. Setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia
1) Setelmen first leg
a) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg
paling lama 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia, dengan mengkredit rekening giro
Rupiah Bank sebesar nilai setelmen first leg.
b) Nilai …
12
b)
Nilai setelmen first leg dihitung sebesar nilai
nominal valuta asing yang diajukan dikalikan
dengan kurs spot JISDOR dalam hal valuta
asing yang digunakan adalah Dolar Amerika
Serikat atau kurs tengah transaksi Bank
Indonesia dalam hal valuta asing yang
digunakan adalah selain Dolar Amerika
Serikat.
c) Bank wajib menyelesaikan transfer dana
valuta asing ke rekening Bank Indonesia di
bank koresponden pada tanggal valuta
(tanggal setelmen), sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) PBI.
d) Dalam hal pada tanggal setelmen first leg,
Bank tidak melakukan transfer dana valuta
asing sebesar nilai transaksi yang diajukan,
maka Bank wajib menyelesaikan transfer
dana valuta asing sebesar nilai transaksi
yang diajukan pada hari kerja berikutnya.
e) Atas keterlambatan penyelesaian kewajiban
setelmen sebagaimana dimaksud dalam
huruf d), Bank dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (4)
huruf a dan huruf b PBI.
2) Setelmen second leg
a) Pada tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia jatuh waktu (second
leg), Bank Indonesia melakukan transfer
dana valuta asing ke rekening Bank di bank
koresponden sebesar nilai nominal valuta
asing pada setelmen first leg.
b) Bank Indonesia mendebet rekening giro
Rupiah Bank sebesar nilai nominal valuta
asing pada setelmen first leg dikalikan kurs
setelmen second leg.
c) Kurs …
13
c) Kurs setelmen second leg adalah kurs spot
saat tanggal transaksi ditambah premi swap
yang dibayarkan Bank kepada Bank
Indonesia.
d) Bank wajib menyediakan dana Rupiah pada
tanggal valuta (tanggal setelmen second leg)
di rekening giro Rupiah Bank pada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3) PBI.
e) Dalam hal pada tanggal setelmen second leg,
Bank tidak memiliki dana Rupiah yang
cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen
sebagaimana dimaksud dalam huruf d),
maka Bank wajib menyediakan dana Rupiah
yang cukup untuk memenuhi kewajiban
setelmen pada hari kerja berikutnya.
f) Pembayaran nominal Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam huruf d)
dilakukan melalui pendebetan rekening giro
Rupiah Bank di Bank Indonesia.
g) Atas keterlambatan penyelesaian kewajiban
setelmen sebagaimana dimaksud dalam
huruf e), Bank dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (4)
huruf a dan huruf b PBI.
3) Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, tanggal
setelmen first leg sebagaimana dimaksud dalam
angka 1) dan/atau tanggal setelmen second leg
sebagaimana dimaksud dalam angka 2),
ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah,
pelaksanaan setelmen dilakukan pada hari kerja
berikutnya tanpa memperhitungkan pengurangan
dan …
14
dan/atau penambahan premi untuk hari libur
dimaksud.
3. Ketentuan butir C.16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
16. Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan konfirmasi
atas pengajuan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia melalui sarana komunikasi yang
ditentukan oleh Bank Indonesia yang paling kurang meliputi:
a. jenis valuta asing;
b. nominal transaksi;
c. jangka waktu transaksi;
d. tanggal valuta dan tanggal jatuh waktu;
e. kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia;
f. kurs forward;
g. premi swap;
h. nilai nominal netting baik dalam valuta asing maupun dalam
Rupiah, jika penyelesaian dilakukan secara netting;
i. nomor rekening Bank di bank koresponden; dan
j. nomor rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia.
4. Ketentuan butir C.18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
18. Setelmen netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap
perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam butir 17.a
dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Nilai setelmen netting untuk nominal Rupiah dihitung sebagai
berikut:
b. Dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
menghasilkan selisih negatif, maka Bank Indonesia akan
mengkredit rekening giro Rupiah Bank sebesar hasil
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c. Dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
menghasilkan selisih positif, maka Bank Indonesia akan
akan …
15
mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar hasil
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal yang
sama sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan Lampiran
IV Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/19/DPM tanggal 28
November 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
5. Ketentuan butir C.19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
19. Setelmen netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada
setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam butir 17.b
dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Nilai setelmen netting untuk valuta asing dihitung sebagai
berikut:
b. Bank Indonesia melakukan transfer dana valuta asing ke
rekening Bank di bank koresponden sebesar nilai setelmen
netting sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c. Nilai setelmen netting untuk Rupiah dihitung sebagai berikut:
d. Dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c
menghasilkan selisih positif maka Bank Indonesia akan
mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar hasil
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
e. Dalam hal perhitungan sebagimana dimaksud dalam huruf c
menghasilkan selisih negatif maka Bank Indonesia akan
mengkredit rekening giro Rupiah Bank sebesar hasil
perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal yang
lebih kecil pada setiap perpanjangan sebagaimana tercantum
Contoh …
16
dalam Lampiran V dan Lampiran VI Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 16/19/DPM tanggal 28 November 2014 perihal
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM
tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
6. Ketentuan huruf E diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal Bank dikenakan sanksi atas pelanggaran Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan/atau pelanggaran atas
kewajiban setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Peraturan Bank
Indonesia tentang Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia, mekanisme pengenaan sanksi diatur sebagai berikut:
1. Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa teguran tertulis
dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
2. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan Pasal 15 ayat (4) huruf b
PBI dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah atau
rekening giro valuta asing Bank yang ada di Bank Indonesia.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 Mei
2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
DODDY ZULVERDI
KEPALA DEPARTEMEN
PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 18/13/DPM|SE-BI/2016 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia. </reg_title>
<set_date> 24 Mei 2016 </set_date>
<effective_date> 24 Mei 2016 </effective_date>
<changed_reg> '16/2/DPM|SE-BI/2014' </changed_reg>
<extension_of> '16/19/DPM|SE-BI/2014' </extension_of>
<related_reg> '16/19/DPM|SE-BI/2014', '18/8/PBI/2016', '16/2/DPM|SE-BI/2014', '15/17/PBI/2013' </related_reg>
<penalty_list> 'Angka 6' </penalty_list>
|
No. 14 /
24 /DSM
Jakarta, 7 September 2012
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA LEMBAGA BUKAN BANK
DI INDONESIA
Perihal: Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan
Bank
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/15/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
Lembaga Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5222) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/4/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5320) maka dalam rangka meningkatkan
kualitas data dan informasi yang disampaikan oleh Lembaga Bukan
Bank perlu diatur kembali Surat Edaran Bank Indonesia Perihal
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank sebagai
berikut:
I. UMUM
Pelaporan kegiatan lalu lintas devisa oleh Lembaga Bukan Bank
(LBB) dimaksudkan untuk memperoleh keterangan dan data
mengenai kegiatan lalu lintas devisa secara benar dan tepat waktu
yang diperlukan untuk penyusunan Statistik Neraca Pembayaran
Indonesia …
2
Indonesia, Statistik Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan
statistik lainnya.
II. PENGERTIAN
1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut LLD adalah
perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan
bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban
finansial luar negeri antar penduduk.
2. Kegiatan Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut Kegiatan
LLD adalah kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan
kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk
termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri
antar penduduk.
3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut AFLN
adalah aktiva penduduk terhadap bukan penduduk baik dalam
valuta asing maupun rupiah, antara lain dalam bentuk kas
dalam valuta asing, simpanan pada bukan penduduk, piutang
dagang atau usaha dengan bukan penduduk, kepemilikan surat
berharga yang diterbitkan oleh bukan penduduk, dan
penyertaan modal pada bukan penduduk.
4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut KFLN
adalah pasiva penduduk terhadap bukan penduduk baik dalam
valuta asing maupun rupiah, antara lain dalam bentuk
simpanan milik bukan penduduk, utang dagang atau usaha
dengan bukan penduduk, kepemilikan bukan penduduk pada
surat berharga yang diterbitkan penduduk, pinjaman dari
bukan penduduk, dan ekuitas dari bukan penduduk.
5. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya
yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan
staf …
3
staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Lembaga Bukan Bank yang selanjutnya disebut LBB adalah
lembaga selain bank yang berstatus Penduduk, yang meliputi:
a. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN
adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan tentang Badan Usaha Milik Negara
yang berlaku.
b. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD
adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan tentang perusahaan dan lembaga
keuangan daerah yang berlaku.
c. Badan Usaha Milik Swasta yang selanjutnya disebut BUMS
adalah badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian
BUMN dan BUMD yang berkedudukan di Indonesia, baik
yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak
berbentuk badan hukum.
d. Badan lainnya yang bukan merupakan badan usaha baik
berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan
hukum, antara lain Yayasan, Lembaga Swadaya Masyarakat,
dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah
atau masyarakat.
7. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LBB yang
menjalankan kegiatan usaha sebagai perantara keuangan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
8. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan LLD
adalah laporan atas kegiatan yang menimbulkan perpindahan
aset dan kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan
Penduduk …
4
Penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial
luar negeri antar Penduduk.
9. Pelapor adalah LBB yang memenuhi kriteria sebagai pelapor
dan melakukan Kegiatan LLD.
10. Periode Laporan yang selanjutnya disebut PL adalah periode
data tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan
yang akan dilaporkan pada bulan berikutnya.
11. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang selanjutnya disebut
BWPL adalah tanggal dan jam paling lama disampaikannya
Laporan LLD.
12. Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan yang selanjutnya
disebut BWPKL adalah tanggal dan jam paling lama
disampaikannya koreksi Laporan LLD.
13. Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan yang selanjutnya
disebut MKPL adalah periode waktu Pelapor dinyatakan
terlambat menyampaikan Laporan LLD.
14. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia setempat sesuai
dengan kedudukan LBB Pelapor.
15. Jam Kerja adalah jam kerja Bank Indonesia setempat sesuai
dengan kedudukan LBB Pelapor.
III. PELAPOR
1. Pelapor meliputi LBB yang memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
a. BUMN;
b. BUMD yang memiliki utang luar negeri;
c. Lembaga Keuangan Non Bank;
d. Perusahaan Publik;
e. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak
dan gas;
f. Perusahaan …
5
f. Perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor
barang;
g. Perusahaan yang bergerak di sektor jasa;
h. Perusahaan penanaman modal asing;
i. BUMS yang memiliki utang luar negeri;
j. Badan Lainnya yang memiliki utang luar negeri; atau
k. Pelapor di luar huruf a sampai dengan huruf j yang memiliki
total aset atau omset penjualan bruto selama 1 (satu) tahun,
jumlah yang lebih dahulu dicapai, paling sedikit
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
2. Utang luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 1
meliputi utang luar negeri sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan
utang luar negeri.
3. Total aset atau omset sebagaimana dimaksud pada butir 1.k
didasarkan pada laporan keuangan terakhir yang telah diaudit.
4. Dalam hal laporan keuangan terakhir yang telah diaudit
sebagaimana dimaksud pada angka 3 belum tersedia, maka
yang digunakan adalah laporan keuangan terakhir yang belum
diaudit.
5. Pelapor wajib melaporkan Kegiatan LLD sebagaimana tercatat
pada laporan keuangan dan pembukuan seperti neraca dan
laba rugi serta off balance sheet Pelapor.
6. Pelapor sebagaimana dimaksud pada butir 1.k yang mengalami
penurunan total aset atau omset penjualan bruto 1 (satu) tahun
sehingga menjadi kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah), tetap wajib menyampaikan Laporan LLD
sepanjang masih melakukan Kegiatan LLD sebagaimana
dimaksud dalam butir II.2.
7. LBB yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada
angka 1 namun tidak melakukan Kegiatan LLD, harus
menyampaikan …
6
menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Melakukan Kegiatan
LLD bermeterai cukup sebagaimana format pada Lampiran 1
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini disertai laporan keuangan
Perusahaan.
8. LBB yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada
butir 1.k harus menyampaikan Surat Pernyataan Tidak
Memenuhi Batasan Aset atau Omset bermeterai cukup
sebagaimana format pada Lampiran 2 yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini
disertai laporan keuangan Perusahaan.
IV. LAPORAN LLD, KOREKSI LAPORAN LLD, DAN FORMAT
PELAPORAN LLD
1. JENIS LAPORAN LLD
Laporan LLD yang wajib disampaikan oleh Pelapor kepada
Bank Indonesia terdiri dari:
a. Laporan transaksi perdagangan barang, jasa dan
transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan
Penduduk.
Laporan meliputi seluruh transaksi penjualan dan/atau
pembelian barang dan/atau jasa dengan bukan
Penduduk, perolehan dan/atau pemberian hibah
dari/kepada bukan Penduduk, serta transaksi lainnya
dengan bukan Penduduk, sebagaimana tercatat pada
laporan keuangan dan pembukuan Pelapor.
b. Laporan posisi dan perubahan AFLN.
Laporan meliputi posisi dan penambahan atau
pengurangan dari seluruh aktiva yang merupakan klaim
terhadap bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada
laporan keuangan dan pembukuan Pelapor yang meliputi:
1) Rekening …
7
1) Rekening giro di bank luar negeri;
2) Piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk;
3) Surat berharga yang diterbitkan oleh bukan
Penduduk yang tidak disimpan pada kustodian dalam
negeri, termasuk surat berharga yang diterbitkan oleh
bukan Penduduk yang dimiliki oleh Pelapor yang
menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian;
4) Penyertaan pada bukan Penduduk, antara lain
penyertaan modal, tagihan dividen, dan laba ditahan;
5) Tanah dan bangunan di luar negeri;
6) Aset lainnya pada bukan Penduduk antara lain kas
dalam valuta asing, simpanan lainnya, pinjaman yang
diberikan, pembayaran di muka, dan tagihan lainnya;
7) Tagihan derivatif pada bukan Penduduk.
Termasuk di dalam pelaporan posisi dan perubahan AFLN
adalah kegiatan yang mengakibatkan nilai AFLN menjadi
negatif.
c. Laporan posisi dan perubahan ekuitas luar negeri dan
kewajiban lain yang terkait.
Laporan meliputi posisi dan penambahan atau
pengurangan ekuitas luar negeri dan kewajiban terkait
antara lain modal disetor dari bukan Penduduk,
kewajiban dividen kepada bukan Penduduk, dan laba
ditahan dari bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada
laporan keuangan dan pembukuan Pelapor.
d. Laporan posisi dan perubahan kewajiban derivatif luar
negeri.
Laporan meliputi posisi dan penambahan atau
pengurangan kewajiban derivatif kepada bukan
Penduduk …
8
Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan
dan pembukuan Pelapor.
e. Laporan posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri.
Laporan meliputi posisi yang menjadi tagihan dan/atau
kewajiban komitmen dan/atau kontinjensi kepada bukan
Penduduk yang tercatat pada off-balance sheet Pelapor
antara lain posisi pembelian dan/atau penjualan spot dan
derivatif yang masih berjalan, garansi yang diterima
dan/atau diberikan, dan fasilitas pinjaman dari dan/atau
kepada bukan Penduduk yang belum ditarik.
f. Laporan posisi surat berharga milik Nasabah kustodian.
Laporan meliputi posisi surat berharga Penduduk yang
dimiliki bukan Penduduk dan/atau surat berharga bukan
Penduduk yang dimiliki Penduduk yang tercatat pada
Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai
kustodian, beserta hasil investasi yang diakui pada PL
seperti bunga dan dividen.
2. KOREKSI LAPORAN LLD
a. Dalam hal terdapat kesalahan Laporan LLD yang telah
disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia, Pelapor
harus menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan LLD
yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia.
b. Koreksi terhadap Laporan LLD disampaikan secara lengkap
untuk setiap jenis laporan yang dikoreksi.
Contoh penyampaian koreksi secara lengkap:
Perusahaan pembiayaan telah menyampaikan laporan
penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat)
baris (record), namun terdapat kesalahan pengisian sandi
negara investee (anak perusahaan) pada baris ke-2
laporan. Berdasarkan hal tersebut, perusahaan
pembiayaan …
9
pembiayaan wajib menyampaikan kembali laporan
penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat)
baris (record) dengan sandi negara investee yang telah
dikoreksi pada baris ke-2 laporan.
c. Koreksi Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada huruf b
yang terakhir diterima oleh Bank Indonesia merupakan
laporan pengganti atas laporan yang diterima sebelumnya.
3. FORMAT PELAPORAN LLD
a. Format laporan diatur dalam Pedoman Pelaporan Kegiatan
LLD LBB sebagaimana Lampiran 3 yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
b. Masing-masing laporan terdiri dari satu atau beberapa
baris (record) dan masing-masing baris memuat kolom
(field) keterangan dan data yang harus dilaporkan seperti
sandi transaksi dan sandi mitra transaksi.
Contoh:
Laporan transaksi perdagangan barang, jasa dan
transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk
memiliki 6 (enam) kolom (field) yaitu kolom tujuan
transaksi, negara mitra, hubungan keuangan, jenis valuta,
nilai transaksi, dan nomor referensi. Apabila dalam 1 (satu)
PL Pelapor melakukan transaksi ekspor sebanyak 3 (tiga)
kali, maka Pelapor dapat menyampaikan laporan transaksi
perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara
Penduduk dan bukan Penduduk dalam 3 (tiga) baris
(record).
V. Penyampaian …
10
V. PENYAMPAIAN LAPORAN LLD DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN
LLD
1. TATA CARA PELAPORAN
a. Tata cara pelaporan mengacu pada Petunjuk Teknis Aplikasi
LLD LBB sebagaimana terdapat dalam website pelaporan
LLD di Bank Indonesia.
b. Pelapor menyampaikan seluruh Kegiatan LLD yang
dilakukan selama PL.
c. Apabila dalam suatu PL tertentu Pelapor tidak melakukan
Kegiatan LLD, Pelapor harus menyampaikan laporan dengan
isi nihil dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam
Petunjuk Teknis Aplikasi LLD LBB yang terdapat dalam
website pelaporan LLD di Bank Indonesia.
d. Apabila Pelapor tidak lagi melakukan Kegiatan LLD, Pelapor
harus menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Lagi
Melakukan Kegiatan LLD sebagaimana format dalam
Lampiran 4 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Bank Indonesia ini disertai laporan
keuangan Pelapor.
e. Dalam hal Pelapor sebagaimana dimaksud pada huruf d
melakukan Kegiatan LLD kembali, Pelapor wajib
menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada
angka IV.
f. Bagi Pelapor yang memiliki 1 (satu) atau lebih kantor
cabang, Laporan LLD merupakan gabungan dari kantor
pusat dan seluruh kantor cabang di Indonesia.
Contoh pelaporan bagi perusahaan yang memiliki banyak
cabang:
Perusahaan perkebunan karet PT. X yang berkantor pusat di
Medan memiliki 2 (dua) kantor cabang yaitu di Pekanbaru
dan …
11
dan Bandar Lampung. PT. X menyampaikan 1 (satu)
Laporan LLD yang merupakan gabungan dari Kegiatan LLD
yang dilakukan kantor pusat Medan, kantor cabang
Pekanbaru, dan kantor cabang Bandar Lampung.
g. Bagi Pelapor yang tergabung dalam 1 (satu) grup
perusahaan, Laporan LLD disampaikan oleh Pelapor secara
terpisah dari laporan LLD induk perusahaan.
Contoh perusahaan berbentuk grup:
Perusahaan pertambangan PT. Y merupakan holding
company yang memiliki 3 (tiga) anak perusahaan yakni PT.
A, PT. B, dan PT. C. Laporan LLD disampaikan secara
terpisah oleh induk perusahaan dan masing-masing anak
perusahaan.
2. MEDIA PENYAMPAIAN LAPORAN
a. Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan
kepada Bank Indonesia secara
Indonesia
dengan
online dengan
menggunakan media internet pada website pelaporan LLD
di Bank
alamat
https://www.bi.go.id/lkpbuv2. Dalam hal terdapat
perubahan alamat penyampaian Laporan LLD dan/atau
koreksi Laporan LLD, Bank Indonesia akan
menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui
surat atau media lainnya.
b. Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD
dan/atau koreksi Laporan LLD terjadi gangguan teknis di
Bank Indonesia yang mengakibatkan Pelapor tidak dapat
menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD
secara online, maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan
LLD disampaikan secara offline pada Hari Kerja berikutnya
menggunakan attachment e-mail, compact disk (CD), flash
disk …
12
disk, dan/atau media perekaman data elektronik lainnya
dengan alamat sebagaimana dimaksud pada angka VIII.
c. Apabila pada Hari Kerja berikutnya gangguan teknis
sebagaimana dimaksud pada huruf b telah dapat diatasi,
maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD
disampaikan secara online.
d. Laporan LLD secara online dinyatakan diterima oleh Bank
Indonesia apabila seluruh laporan lolos verifikasi yang
dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank
Indonesia.
e. Laporan LLD secara offline dinyatakan diterima oleh Bank
Indonesia apabila softcopy seluruh laporan berhasil di-
upload dan lolos verifikasi yang dibuktikan dengan adanya
tanda terima dari sistem Bank Indonesia.
Contoh penyampaian laporan offline:
PT. A memiliki 3 (tiga) form laporan yang harus dilaporkan
kepada Bank Indonesia. Pada hari Senin tanggal 15 Oktober
2012 terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia sehingga PT.
A menyampaikan ketiga form laporan tersebut secara offline
pada hari Selasa tanggal 16 Oktober 2012 dengan
mengirimkan softcopy laporan melalui
e-mail. Setelah
mengirimkan e-mail PT. A segera melakukan konfirmasi
melalui telepon kepada petugas LLD di Bank Indonesia
untuk memastikan bahwa e-mail yang berisi softcopy
laporan telah diterima oleh Bank Indonesia. Selanjutnya PT.
A melakukan konfirmasi melalui telepon atau e-mail kepada
petugas LLD di Bank Indonesia atau pengecekan pada
website pelaporan LLD pada saat gangguan teknis telah
diatasi untuk memastikan ketiga form tersebut telah
berhasil di-upload dan lolos verifikasi serta
memperoleh/mencetak tanda terima.
3. PERIODE …
13
3. PERIODE LAPORAN (PL)
a. Laporan LLD disampaikan secara berkala setiap bulan.
b. Data yang disampaikan dalam PL mencakup data transaksi
LLD yang dilakukan sejak tanggal 1 sampai dengan akhir
bulan dan data posisi LLD akhir bulan.
4. BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN (BWPL) DAN/ATAU
KOREKSI LAPORAN (BWPKL)
a. Laporan LLD disampaikan sebagai berikut:
1) Laporan LLD secara online wajib disampaikan paling
lama tanggal 15 pukul 24.00 WIB setelah berakhirnya
PL.
2) Apabila hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara
online jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan
cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
BWPL tidak berubah.
Contoh penyampaian laporan secara online di Provinsi
Papua Barat:
Laporan LLD PL Agustus 2012 disampaikan paling
lama hari Sabtu tanggal 15 September 2012 pukul
24.00 WIB atau hari Minggu tanggal 16 September
2012 pukul 02.00 WIT.
3) Apabila terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada
hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara online,
Laporan LLD disampaikan pada hari kerja berikutnya
secara:
(1) online jika gangguan teknis telah dapat diatasi;
atau
(2) offline dalam Jam Kerja kantor Bank Indonesia
setempat jika gangguan teknis belum dapat
diatasi …
14
diatasi.
Contoh penyampaian laporan secara offline di Provinsi
Nusa Tenggara Barat:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari
Sabtu tanggal 15 September 2012. Laporan LLD wajib
disampaikan paling lama pada hari Senin tanggal 17
September 2012 secara online. Apabila gangguan
teknis masih berlangsung pada tanggal 17 September
2012, pelaporan wajib dilakukan secara offline dalam
Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat.
b. Koreksi terhadap Laporan LLD disampaikan sebagai
berikut:
1) Koreksi terhadap Laporan LLD secara online harus
disampaikan paling lama tanggal 20 pukul 24.00 WIB
setelah berakhirnya PL.
Contoh penyampaian koreksi:
Perusahaan Sekuritas melaporkan kepemilikan
deposito pada bank di Singapura untuk PL Oktober
2012 pada tanggal 12 November 2012. Berdasarkan
konfirmasi Bank Indonesia, selain memiliki deposito,
perusahaan juga memiliki simpanan (pooling account)
pada grup perusahaan di Hong Kong yang belum
dilaporkan. Sehubungan dengan hal tersebut, pada
tanggal 14 November 2012 perusahaan
menyampaikan koreksi laporan aset lainnya pada
bukan Penduduk. Selanjutnya karena terdapat
kesalahan pada pengisian jangka waktu simpanan
(pooling account), pada tanggal 19 November 2012
perusahaan mengirimkan kembali koreksi laporan
tersebut.
2) Apabila hari terakhir penyampaian koreksi Laporan
LLD …
15
LLD secara online jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari
libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, BWPKL tidak berubah.
Contoh penyampaian koreksi laporan secara online di
Provinsi Kalimantan Timur:
Koreksi Laporan LLD PL September 2012 disampaikan
paling lama hari Sabtu tanggal 20 Oktober 2012
pukul 24.00 WIB atau hari Minggu tanggal 21 Oktober
2012 pukul 01.00 WITA.
3) Apabila terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia
pada hari terakhir penyampaian koreksi Laporan LLD
secara online, koreksi Laporan LLD disampaikan pada
hari kerja berikutnya secara:
(1) online jika gangguan teknis telah dapat diatasi;
atau
(2) offline dalam Jam Kerja kantor Bank Indonesia
setempat jika gangguan teknis belum dapat
diatasi.
Contoh penyampaian koreksi laporan secara offline di
Provinsi Sulawesi Barat:
Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari
Sabtu tanggal 20 Oktober 2012. Laporan LLD wajib
disampaikan paling lama pada hari Senin tanggal 22
Oktober 2012 secara online. Apabila gangguan teknis
masih berlangsung pada tanggal 22 Oktober 2012,
pelaporan wajib dilakukan secara offline dalam Jam
Kerja kantor Bank Indonesia setempat.
5. MASA …
16
5. MASA KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN LAPORAN (MKPL)
a. MKPL adalah masa setelah berakhirnya BWPL sebagaimana
dimaksud pada butir 4.a sampai dengan akhir bulan pukul
24.00 WIB.
b. Apabila batas akhir MKPL jatuh pada hari Sabtu, Minggu,
hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, maka batas akhir MKPL tidak berubah.
Contoh Batas akhir MKPL di Provinsi Lampung:
Batas akhir MKPL untuk Laporan LLD PL Agustus 2012
adalah hari Minggu tanggal 30 September 2012 pukul 24.00
WIB.
c. Apabila pada batas akhir MKPL terjadi gangguan teknis di
Bank Indonesia, maka batas akhir MKPL:
1) Tidak berubah, jika gangguan teknis dapat diatasi
sebelum pukul 24.00 WIB.
2) Berubah menjadi pada Hari Kerja berikutnya, jika
gangguan teknis belum dapat diatasi sampai dengan
pukul 24.00 WIB.
Contoh:
Laporan LLD perusahaan di Provinsi Sumatera Utara.
Gangguan teknis terjadi pada hari Jum’at tanggal 31
Agustus 2012 sampai dengan pukul 24.00 WIB, maka
MKPL untuk PL Juli 2012 berakhir pada hari Senin
tanggal 3 September 2012 .
d. Dalam hal batas akhir MKPL berubah menjadi pada Hari
Kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada butir c.2
maka penyampaian Laporan LLD dilakukan secara offline
dalam Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat.
Contoh …
17
Contoh:
Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam contoh butir c.2 maka
penyampaian Laporan LLD PL Juli 2012 dilakukan secara
offline hari Senin tanggal 3 September 2012 dalam Jam
Kerja kantor Bank Indonesia setempat.
6. TIDAK MENYAMPAIKAN LAPORAN LLD
a. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
apabila sampai dengan batas akhir MKPL sebagaimana
dimaksud pada angka 5, Bank Indonesia belum menerima
Laporan LLD dari Pelapor.
b. Pelapor sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap harus
menyampaikan Laporan LLD secara offline.
7. PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
a. Bank Indonesia dapat melakukan penelitian terhadap
kebenaran Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD
Pelapor.
b. Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat
dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.
c. Bank Indonesia dapat menyampaikan surat permintaan
informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain.
d. Pelapor harus menyampaikan informasi, bukti pembukuan,
catatan, dan dokumen lain yang diperlukan sebagaimana
dimaksud pada huruf c paling lama 14 (empat belas) Hari
Kerja sejak tanggal diterimanya surat permintaan.
e. Dalam hal Pelapor tidak menindaklanjuti surat permintaan
dengan penyampaian bukti-bukti sesuai jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada huruf d, maka Laporan LLD
yang …
18
yang disampaikan Pelapor kepada Bank Indonesia
dinyatakan tidak benar.
8. PERUBAHAN ALAMAT PELAPOR LLD
a. Dalam hal Pelapor pindah alamat dari wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia (KPBI) ke wilayah kerja Kantor
Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) atau sebaliknya,
Pelapor harus terlebih dahulu menyampaikan surat
pemberitahuan ke KPBI dengan tembusan kepada KPwBI
yang akan dituju atau ke KPwBI dengan tembusan kepada
KPBI.
b. Dalam hal Pelapor pindah alamat dari satu wilayah kerja
KPwBI ke wilayah kerja KPwBI lainnya, Pelapor harus
terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan ke
KPwBI yang sebelumnya menerima Laporan LLD dari
Pelapor dengan tembusan kepada KPBI dan KPwBI yang
akan dituju.
c. Dalam hal Pelapor pindah alamat namun tetap dalam
wilayah kerja KPBI atau KPwBI, Pelapor harus terlebih
dahulu menyampaikan surat pemberitahuan ke KPBI atau
KPwBI setempat.
VI. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. LAPORAN TIDAK BENAR
a. Pelapor yang menyampaikan Laporan LLD tidak benar
dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak
benar dengan denda paling banyak sebesar
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
b. Yang dimaksud dengan setiap baris (record) yang tidak benar
sebagaimana dimaksud pada huruf a pada laporan rekening
giro …
19
giro di bank luar negeri dan laporan transaksi perdagangan
barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan
bukan Penduduk adalah jika pada baris (record) transaksi
yang bersangkutan terdapat satu atau lebih kolom (field)
yang diisi secara tidak lengkap dan/atau tidak akurat.
Contoh laporan rekening giro di bank luar negeri:
Perusahaan Y di Indonesia membayar pembelian barang
melalui rekening gironya pada bank di Singapura (SG)
sebesar USD150.000 (seratus lima puluh ribu Dolar US)
kepada perusahaan afiliasi-pemegang saham non SPV di
India (IN). Rekening giro perusahaan menggunakan valuta
USD dengan saldo awal rekening giro pada bulan tersebut
adalah USD2.000.000 (dua juta Dolar US) dan mutasi
selama bulan tersebut hanya pembayaran pembelian barang
tersebut di atas.
Perusahaan Y menyampaikan Laporan LLD sebagai berikut:
1) Saldo laporan rekening giro di luar negeri berupa negara
domisili (SG), jenis valuta (USD), saldo awal (2.000.000)
dan saldo akhir (1.985.000).
Sandi
Jns Neg
No
Rek OA Val Domisili Aw Ak
1 21111 USD SG
Sandi
Sandi
No
Rek LN
Trans
Tgl
Neg
Trans
Keu
2000000 1985000
2) Transaksi laporan rekening giro di luar negeri, berupa
Hub
Neg
Penerima /
Pembayar
1 21111 101100T 20120710 ID 12 ID
15000
Nilai
sandi jenis transaksi impor (101100T), sandi negara mitra
transaksi (ID), sandi hubungan keuangan (12), dan nilai
transaksi (15.000).
Saldo Saldo
Berdasarkan …
20
Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian
yaitu:
1) Saldo akhir pada laporan rekening giro yang diisi
1.985.000 seharusnya 1.850.000.
Sandi
Jns Neg
No
Rek OA Val Domisili Aw Ak
1 21111 USD
SG
2000000 1850000
2) Transaksi pada laporan rekening giro:
a) Sandi jenis transaksi impor yang diisi 101100T
seharusnya 201200T.
b) Nilai transaksi yang diisi 15.000 seharusnya 150.000.
c) Negara mitra transaksi yang diisi ID seharusnya IN.
Neg
No
Sandi Rek
LN
Sandi
Trans
Tgl Trans
Neg
1 21111 201200T 20120710 IN
Hub
Keu
12
Penerima /
Pembayar
Nilai
IN 150000
Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu)
baris (record). Perusahaan Y dikenai sanksi berupa denda
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk 1 (satu)
kesalahan tersebut.
Contoh laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan
transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk:
Dalam rangka impor, perusahaan C di Indonesia
menggunakan sarana transportasi laut milik Australia
dengan biaya senilai AUD100.000 (seratus ribu Dolar
Australia).
Perusahaan C menyampaikan laporan transaksi
perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara
Penduduk dan Bukan Penduduk meliputi sandi jenis
transaksi (102501T- Jasa penunjang transportasi laut),
sandi …
Saldo Saldo
21
sandi negara mitra transaksi (AU), sandi hubungan
keuangan (41), jenis valuta (USD), dan nilai transaksi
(100.000).
No
Jns
Trans
Neg
Hub
Keu
Jns
Val
Nilai No Ref
1 102501T AU 41 USD 100000 1
Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian
yaitu:
a) sandi jenis transaksi yang diisi 102501T (Jasa penunjang
transportasi laut) seharusnya 202201T (Jasa transportasi
barang dalam rangka ekspor dan impor menggunakan
transportasi laut),
b) jenis valuta yang diisi USD seharusnya AUD.
Jns
No
Trans
Neg
Hub
Keu
1 202201T AU 41
Jns
Val
AUD 100000 1
Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1
(satu) baris (record) dan dikenai sanksi berupa denda
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk
kesalahan tersebut.
c. Yang dimaksud dengan setiap baris (record) yang tidak benar
sebagaimana dimaksud pada huruf a pada laporan selain
laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah jika
pada baris (record) posisi yang bersangkutan terdapat satu
atau lebih kolom (field) yang diisi secara tidak lengkap
dan/atau tidak akurat.
Contoh laporan piutang dagang atau usaha kepada bukan
Penduduk:
Perusahaan D di Indonesia melakukan ekspor dengan
jangka waktu pembayaran 16 bulan kepada perusahaan
satu …
Nilai No Ref
22
satu grup di Thailand senilai USD100.000 (seratus ribu
Dolar US). Kegiatan tersebut menyebabkan posisi piutang
berjangka waktu 16 bulan kepada buyer tersebut menjadi
USD925.000 (sembilan ratus dua puluh lima ribu Dolar US).
Perusahaan D menyampaikan Laporan LLD sebagai berikut:
1) Posisi piutang dagang atau usaha dengan jangka waktu
“12” (jangka pendek), negara mitra “TH” (Thailand), sektor
institusi “9500” (perusahaan), hubungan keuangan “31”
(grup), jenis valuta “USD” (US Dollar), dan nilai posisi
akhir “900.000”.
No Jk Wkt Neg
1
Sekt
Inst
Hub
Keu
Jns Val No Doc
12 TH 9500 31 USD
Saldo
Awal
Saldo
Akhir
825000 900000
2) Transaksi piutang dagang atau usaha kepada bukan
penduduk dengan nilai debit “75.000”.
No Jk Wkt Neg
Sekt
Inst
Hub
Keu
Jns Val
1 12 TH 9500 31 USD
No
Doc
Sandi
Trans
Cara
byr
140001A RLN
Bank
DN
- 21111 20120831 75000
Nilai
Bank
LN
Tgl Trans
Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian
yaitu:
1) Jangka waktu piutang dagang atau usaha kepada bukan
penduduk yang diisi “12” (jangka pendek) seharusnya
“11” (jangka panjang), serta nilai posisi saldo akhir yang
diisi “900.000” seharusnya “925.000”.
No Jk Wkt Neg
1
Sekt
Inst
Hub
Keu
Jns Val No Doc
11 TH 9500 31 USD
Saldo
Awal
Saldo
Akhir
825000 925000
2) Nilai debit transaksi piutang dagang atau usaha kepada
bukan penduduk yang diisi “75.000” seharusnya
“100.000”.
23
No Jk Wkt Neg
Sekt
Inst
Hub
Keu
Jns Val
1 11 TH 9500 31 USD
No
Doc
Sandi
Trans
Cara
byr
140001A RLN
Bank
DN
- 21111 20120831100000
Nilai
Bank
LN
Tgl Trans
Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu)
baris (record) dan dikenai sanksi berupa denda sebesar
Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk kesalahan
tersebut.
2. TERLAMBAT MENYAMPAIKAN LAPORAN LLD
a. Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan LLD dikenai
sanksi berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan denda
paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
b. Jumlah hari keterlambatan dihitung mulai dari hari setelah
berakhirnya BWPL sampai dengan tanggal diterimanya
Laporan LLD oleh Bank Indonesia dalam MKPL sebagaimana
dimaksud pada butir V.5.
Contoh keterlambatan laporan online:
PT. B menyampaikan laporan kepemilikan tanah dan
bangunan di luar negeri untuk PL Agustus 2012 yang
diterima Bank Indonesia pada tanggal 29 September 2012.
PT. B dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama
14 (empat belas) hari dan dikenai sanksi berupa denda
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
c. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia dan
Pelapor menyampaikan Laporan LLD secara offline, Laporan
LLD yang disampaikan pada akhir BWPL setelah Jam Kerja
kantor Bank Indonesia setempat dianggap mengalami
keterlambatan selama 1 (satu) hari.
Contoh …
24
Contoh keterlambatan laporan offline di Provinsi Sulawesi
Utara:
Terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari Senin
tanggal 15 Oktober 2012 yang belum dapat diatasi sampai
dengan hari Selasa tanggal 16 Oktober 2012. PT. C
menyampaikan laporan transaksi perdagangan barang dan
jasa serta transaksi lainnya antara penduduk dengan bukan
penduduk untuk PL September 2012 secara offline melalui
CD yang diterima Bank Indonesia pada tanggal 16 Oktober
2012 pukul 19.00 WITA. Pelapor dinyatakan terlambat
menyampaikan laporan selama 1 (satu) hari karena laporan
diterima setelah Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat
berakhir sehingga dikenai sanksi berupa denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
3. TIDAK MENYAMPAIKAN LAPORAN LLD
a. Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan LLD sampai
dengan berakhirnya MKPL sebagaimana dimaksud pada
butir V.5 dikenai sanksi berupa denda sebesar
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Contoh tidak menyampaikan laporan di Provinsi Kalimantan
Selatan:
Laporan rekening giro di bank luar negeri untuk PL Agustus
2012 belum diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal
30 September 2012 maka Pelapor dikenai sanksi berupa
denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
b. Sanksi yang berlaku pada huruf a tidak menghilangkan
kewajiban Pelapor untuk menyampaikan Laporan LLD.
c. Bagi Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan LLD selama
6 (enam) PL berturut-turut, selain dikenai denda
sebagaimana dimaksud pada huruf a, Pelapor juga dikenai
surat …
25
surat teguran dari Bank Indonesia dengan tembusan kepada
instansi yang terkait.
4. PENGENAAN SANKSI DENDA
a. Pengenaan sanksi bagi Pelapor sebagaimana dimaksud pada
angka 1, angka 2, dan angka 3 dilakukan dengan surat
penetapan sanksi denda secara tertulis dari Bank Indonesia
dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara.
b. Surat penetapan sanksi denda sebagaimana dimaksud pada
huruf a didahului dengan surat pemberitahuan sanksi
denda.
c. Surat penetapan sanksi secara tertulis dari Bank Indonesia
antara lain mencantumkan jenis pelanggaran dan besarnya
denda yang harus dibayar.
5. PEMBAYARAN SANKSI DENDA
a. Pembayaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada
angka 1, angka 2, dan angka 3 disetorkan ke rekening Kas
Negara yang terdapat pada Bank Indonesia.
b. Pelapor harus memberikan tembusan bukti pembayaran
sanksi denda sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada
Bank Indonesia paling lama:
1) Untuk Laporan Tidak Benar, yaitu akhir bulan
berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima oleh
Pelapor.
Contoh:
Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia dan sesuai
pengakuan Pelapor, terdapat 5 baris (record) dalam
Laporan LLD PL Agustus 2012 yang tidak benar. Atas
ketidakbenaran tersebut, Bank Indonesia menyampaikan
surat penetapan sanksi denda yang diterima Pelapor pada
tanggal 25 Oktober 2012. Untuk itu, Pelapor harus
menyetor …
26
menyetor sanksi denda ketidakbenaran laporan ke
rekening Kas Negara yang terdapat pada Bank Indonesia
dan menyampaikan tembusan bukti penyetoran denda
tersebut ke Bank Indonesia paling lama tanggal 30
November 2012.
2) Untuk Laporan Terlambat, yaitu akhir bulan berikutnya
setelah surat penetapan sanksi diterima oleh Pelapor.
Contoh:
Perusahaan terlambat menyampaikan Laporan LLD
untuk PL September 2012 yaitu pada tanggal 17 Oktober
2012. Atas keterlambatan tersebut, Bank Indonesia
menyampaikan surat penetapan sanksi denda
keterlambatan Laporan LLD yang diterima Pelapor pada
tanggal 5 November 2012. Pelapor harus menyetor sanksi
denda keterlambatan ke rekening Kas Negara yang
terdapat pada Bank Indonesia dan menyampaikan
tembusan bukti penyetoran denda tersebut ke Bank
Indonesia paling lama tanggal 31 Desember 2012.
3) Untuk Tidak Menyampaikan Laporan, yaitu pada akhir
bulan berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima
oleh Pelapor.
Contoh:
Perusahaan belum menyampaikan Laporan LLD untuk PL
Oktober 2012 sampai dengan tanggal 30 November 2012.
Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan sanksi
denda tidak menyampaikan Laporan LLD yang diterima
Pelapor pada tanggal 27 Desember 2012. Selanjutnya
Pelapor harus menyetor sanksi denda dimaksud ke
rekening Kas Negara yang terdapat pada Bank Indonesia
dan menyampaikan tembusan bukti penyetoran denda
tersebut ke Bank Indonesia paling lama tanggal 31
Januari 2013.
c. Apabila …
27
c. Apabila Bank Indonesia belum menerima tembusan bukti
pembayaran sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada huruf b maka Bank Indonesia
menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kantor Kas
Negara dengan tembusan kepada Pelapor.
VII. PENYAMPAIAN LAPORAN DALAM KEADAAN MEMAKSA
(FORCE MAJEURE)
1. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
selama 1 (satu) periode penyampaian laporan atau lebih,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD.
Contoh:
Pada bulan Agustus 2012 wilayah tempat kedudukan Pelapor
mengalami banjir besar yang mengakibatkan perusahaan tidak
dapat menyusun Laporan LLD sejak tanggal 7 sampai dengan
tanggal 21 Agustus 2012 (15 hari). Dalam hal ini, Pelapor
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD
untuk PL Juli 2012.
2. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
kurang dari 1 (satu) periode penyampaian laporan,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD
dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam butir V.4.
Contoh:
Pada tanggal 9 sampai dengan 13 November 2012 terjadi aksi
demo seluruh karyawan perusahaan yang mengakibatkan
perusahaan tidak dapat beroperasi dan menyusun Laporan
LLD sejak tanggal 9 sampai dengan tanggal 16 November 2012
(8 hari). Akibat terjadinya demo tersebut, Pelapor dapat
menyampaikan Laporan LLD untuk PL Oktober 2012
sepanjang datanya tersedia pada Pelapor setelah BWPL dan
tidak dikenai denda.
3. Pelapor …
28
3. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai
keadaan memaksa (force majeure) yang dialami.
4. Penjelasan secara tertulis paling kurang memuat:
a.
jenis keadaan memaksa (force majeure) dengan
melampirkan surat keterangan yang dibenarkan oleh
penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat;
b. dampak terhadap Pelaporan LLD; dan
c. perkiraan lamanya keadaan memaksa (force majeure).
5. Pelapor dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai keadaan memaksa (force majeure) melalui kantor
pusat Pelapor, kantor cabang Pelapor, atau pihak lain yang
ditunjuk Pelapor.
6. Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa
(force majeure) yang terjadi selama satu periode penyampaian
laporan atau lebih, harus disampaikan untuk setiap periode
sampai dengan berakhirnya keadaan memaksa (force majeure).
Contoh:
Daerah tempat kedudukan Pelapor mengalami gempa bumi
dan tidak dapat beroperasi selama beberapa bulan. Atas
kondisi tersebut, kantor cabang Pelapor di daerah lain
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
keadaan memaksa (force majeure) kepada kantor Bank
Indonesia. Surat Pemberitahuan tersebut harus disampaikan
setiap bulan selama Pelapor belum dapat menyampaikan
Laporan LLD.
7. Pelapor …
29
7. Pelapor sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2
wajib menyampaikan Laporan LLD setelah Pelapor kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
8. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
sebagaimana dimaksud pada angka 2 wajib menyampaikan
Laporan LLD sampai dengan batas akhir MKPL.
Contoh:
Pada tanggal 13 Juli 2013 kantor Pelapor mengalami
kebakaran dan baru dapat beroperasi secara normal pada
tanggal 15 Juli 2013 sehingga mengakibatkan Pelapor tidak
dapat menyampaikan Laporan LLD secara tepat waktu. Pelapor
dapat menyampaikan Laporan LLD untuk PL Juni 2013
sampai dengan batas akhir MKPL pada tanggal 31 Juli 2013
tanpa dikenakan sanksi administratif berupa denda
keterlambatan. Apabila sampai dengan batas akhir MKPL
pelapor tidak menyampaikan Laporan LLD, maka akan dikenai
sanksi tidak menyampaikan Laporan LLD.
VII. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN LLD DAN/ATAU KOREKSI
LAPORAN LLD SECARA OFFLINE, PERTANYAAN, SURAT, DAN
INFORMASI LAINNYA
Penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara
offline, surat, pertanyaan, dan informasi lainnya berkaitan
dengan pelaporan diatur sebagai berikut:
1. Bagi Pelapor yang berkedudukan:
a. di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan Karawang
ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter
Grup Neraca Pembayaran
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16
Jl. …
30
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350
b. di luar wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan
Karawang, ditujukan kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia setempat sebagaimana terdapat dalam Pedoman
Pelaporan Kegiatan LLD sebagaimana Lampiran 4.
2. Help Desk LLD:
Telepon : 021-3817040, 021-3817041, 021-3817469,
021-3817606, 021-3817607, 021-3501969,
021-2310108 atau 021-2310408 atau 021-
2310847 ext. 5354/5351/5334/5337/
5365/4678,
0-800-1501969 (bebas pulsa),
Faksimili : 021-3501974, 021-3800134,
Email
: lldperusahaan@bi.go.id
VIII. PENUTUP
1. Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada angka VI mulai berlaku untuk
data PL bulan Juli 2012 yang disampaikan pada bulan
Agustus 2012.
2. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran
Bank Indonesia No. 13/21/DSM tanggal 15 Agustus 2011
perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga
Bukan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7
September 2012 dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012.
Agar …
31
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HARTADI A. SARWONO
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 14/24/DSM|SE-BI/2012 </reg_id>
<reg_title> Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank </reg_title>
<set_date> 7 September 2012 </set_date>
<effective_date> 7 September 2012 dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012 </effective_date>
<replaced_reg> '13/21/DSM|SE-BI/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '14/4/PBI/2012', '13/15/PBI/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
|
No.6/ 23 /DPNP
Jakarta, 31 Mei 2004
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN
USAHA SECARA KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal: Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal
12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 38, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4382) Bank wajib melakukan penilaian Tingkat
Kesehatan Bank secara triwulanan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu
diatur ketentuan pelaksanaan penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dalam
suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok-pokok ketentuan sebagai
berikut:
I. UMUM
1. Dengan semakin meningkatnya kompleksitas usaha dan profil risiko,
Bank perlu mengidentifikasi permasalahan yang mungkin timbul dari
operasional Bank. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi Bank
tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan
strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank
Indonesia antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan
implementasi strategi pengawasan Bank oleh Bank Indonesia.
2. Tingkat …
2. Tingkat Kesehatan Bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas
berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu
Bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas aset, manajemen,
rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar. Penilaian
terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif
dan atau kualitatif setelah mempertimbangkan unsur judgement yang
didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian
serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan
dan perekonomian nasional.
II. FAKTOR PENILAIAN
1. Penilaian tingkat kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor-
faktor CAMELS yang terdiri dari:
a. Permodalan (Capital)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan
antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
1) kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku;
2) komposisi permodalan;
3) trend ke depan/proyeksi KPMM;
4) aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan
modal Bank;
5) kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal
yang berasal dari keuntungan (laba ditahan);
6) rencana permodalan Bank untuk mendukung
usaha;
7) akses kepada sumber permodalan; dan
8) kinerja …
pertumbuhan
8) kinerja keuangan pemegang
permodalan Bank.
saham untuk meningkatkan
b. Kualitas Aset (Asset Quality)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas aset
antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
1) aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan total
aktiva produktif;
2) debitur inti kredit di luar pihak terkait dibandingkan dengan total
kredit;
3) perkembangan aktiva produktif bermasalah/non performing
asset dibandingkan dengan aktiva produktif;
4) tingkat kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva
produktif (PPAP);
5) kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva produktif;
6) sistem kaji ulang (review) internal terhadap aktiva produktif;
7) dokumentasi aktiva produktif; dan
8) kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah.
c. Manajemen (Management)
Penilaian terhadap faktor manajemen antara lain dilakukan melalui
penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
1) manajemen umum;
2) penerapan sistem manajemen risiko; dan
3) kepatuhan Bank
terhadap ketentuan yang
berlaku serta
komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya.
d. Rentabilitas (Earnings)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas
antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
1) return …
1) return on assets (ROA);
2) return on equity (ROE);
3) net interest margin (NIM);
4) Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan
Operasional (BOPO);
5) perkembangan laba operasional;
6) komposisi portofolio aktiva produktif dan diversifikasi
pendapatan;
7) penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan
biaya; dan
8) prospek laba operasional.
e. Likuiditas (Liquidity)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas
antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
1) aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan dengan pasiva
likuid kurang dari 1 bulan;
2) 1-month maturity mismatch ratio;
3) Loan to Deposit Ratio (LDR);
4) proyeksi cash flow 3 bulan mendatang;
5) ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti;
6) kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities
management/ALMA);
7) kemampuan Bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang,
pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan lainnya; dan
8) stabilitas dana pihak ketiga (DPK).
f. Sensitivitas…
f. Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas
terhadap risiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian
terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
1) modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi
suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat
fluktuasi (adverse movement) suku bunga;
2) modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi
nilai tukar dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat
fluktuasi (adverse movement) nilai tukar; dan
3) kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar.
III. TATA CARA PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
1. Formula dan indikator pendukung dalam rangka penilaian setiap
komponen sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II berpedoman
kepada Matriks Perhitungan/Analisis Komponen setiap faktor
sebagaimana diuraikan pada Lampiran 1a, Lampiran 1b, Lampiran
1c, Lampiran 1d, Lampiran 1e, dan Lampiran 1f Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
2. Berdasarkan formula dan indikator pendukung
setiap komponen
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan proses analisis untuk
menetapkan peringkat setiap komponen dengan berpedoman kepada
Matriks Kriteria Penetapan Peringkat Komponen sebagaimana
diuraikan pada Lampiran 2a, Lampiran 2b, Lampiran 2c, Lampiran
2d, Lampiran 2e, dan Lampiran 2f Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Dalam proses ini juga dilakukan analisis terhadap berbagai indikator
pendukung dan atau pembanding yang relevan.
3. Selanjutnya …
3. Selanjutnya dilakukan proses analisis untuk menetapkan peringkat
setiap faktor penilaian dengan berpedoman kepada Matriks Kriteria
Penetapan Peringkat Faktor sebagaimana diuraikan pada Lampiran 3a,
Lampiran 3b, Lampiran 3c, Lampiran 3d, Lampiran 3e, dan
Lampiran 3f Surat Edaran Bank Indonesia ini. Proses penetapan
peringkat
setiap faktor penilaian dilaksanakan setelah
mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas
dan signifikansi dari setiap komponen.
4. Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap faktor penilaian
sebagaimana dimaksud pada angka 3, dilakukan proses analisis untuk
menetapkan peringkat komposit Bank dengan berpedoman kepada
Matriks Kriteria Penetapan Peringkat Komposit sebagaimana diuraikan
pada Lampiran 4a Surat Edaran Bank Indonesia ini. Proses penetapan
peringkat komposit Bank dilaksanakan setelah mempertimbangkan
unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari
setiap faktor.
5. Untuk memproses penetapan peringkat sebagaimana dimaksud pada
angka 2, angka 3, dan angka 4, Bank menggunakan kertas kerja
sebagaimana diuraikan pada Lampiran 5a, Lampiran 5b, Lampiran
5c, Lampiran 5d, Lampiran 5e, dan Lampiran 5f Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
6. Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum, Bank wajib melakukan penilaian Tingkat
Kesehatan Bank secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni,
September dan Desember. Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta
hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank tersebut secara berkala atau
sewaktu-waktu untuk posisi penilaian tersebut terutama untuk menguji
ketepatan dan kecukupan hasil analisis Bank. Penilaian Tingkat
Kesehatan …
Kesehatan Bank dimaksud diselesaikan selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan setelah posisi penilaian atau dalam jangka waktu yang ditetapkan
oleh pengawas Bank terkait. Laporan hasil penilaian Tingkat Kesehatan
Bank
tersebut berpedoman kepada format
laporan sebagaimana
diuraikan pada Lampiran 6 Surat Edaran Bank Indonesia ini.
IV. TATA CARA PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN KANTOR
CABANG BANK ASING
1. Sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum, penilaian Tingkat Kesehatan kantor cabang
bank asing didasarkan pada faktor kualitas aset dan faktor manajemen
(Risk Management, Operational Control, Compliance, Asset Quality
/ROCA), sehingga proses penetapan peringkat setiap komponen dan
faktor berpedoman kepada Lampiran 1b, Lampiran 1c, Lampiran
2b, Lampiran 2c, Lampiran 3b, dan Lampiran 3c Surat Edaran Bank
Indonesia ini. Proses penetapan peringkat setiap faktor penilaian
dilaksanakan setelah mempertimbangkan unsur judgement sebagaimana
dimaksud pada angka romawi III.3.
2. Proses penetapan peringkat komposit kantor cabang bank asing,
dilaksanakan dengan berpedoman kepada Pasal 13 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum atau Lampiran 4b Surat
Edaran Bank Indonesia ini setelah mempertimbangkan judgement
sebagaimana dimaksud dalam angka romawi III.4.
3. Untuk …
3. Untuk memproses penetapan peringkat sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dan angka 2, kantor cabang bank asing menggunakan kertas
kerja sebagaimana diuraikan pada Lampiran 5b dan Lampiran 5c
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
V. ACTION PLAN
1. Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau pemegang
saham untuk menyampaikan action plan yang memuat langkah-langkah
perbaikan dengan target waktu selama periode tertentu yang wajib
dilaksanakan oleh Bank apabila hasil penilaian tingkat kesehatan Bank
menunjukkan bahwa satu atau lebih faktor penilaian memiliki peringkat
4 (empat) dan atau peringkat 5 (lima).
2. Action plan sebagaimana dimaksud pada angka 1 antara lain meliputi:
a. penambahan modal (fresh money) dari pemegang saham Bank dan
atau pihak lainnya apabila Bank mengalami permasalahan faktor
permodalan seperti kecenderungan menurunnya KPMM sehingga
diperkirakan akan dibawah ketentuan yang berlaku;
b. penanganan kredit bermasalah secara intensif dan efektif apabila
Bank mengalami permasalahan faktor kualitas aset seperti
meningkatnya jumlah kredit bermasalah sehingga diperkirakan
berpengaruh secara signifikan kepada faktor lain;
c. peningkatan fungsi audit intern, penyempurnaan pemisahan tugas,
dan peningkatan efektivitas tindakan korektif berdasarkan temuan
audit apabila Bank mengalami permasalahan manajemen seperti
lemahnya penerapan pengendalian intern (internal control);
d. peningkatan efisiensi Bank apabila Bank mengalami permasalahan
rentabilitas sehingga perolehan laba menurun dan mempengaruhi
faktor lain secara signifikan;
e. peningkatan …
e. peningkatan akses kepada pasar uang, pasar modal, atau sumber-
sumber pendanaan lainnya apabila Bank mengalami permasalahan
likuiditas seperti menurunnya kecukupan likuiditas (liquidity
shortage) sehingga diperkirakan akan mempengaruhi cash flow
jangka pendek;
f. penambahan modal (fresh money) dari pemegang saham Bank dan
atau pihak lainnya atau penataan kembali portofolio Bank apabila
Bank mengalami permasalahan sensitivitas terhadap risiko pasar
seperti meningkatnya eksposur risiko suku bunga pada portofolio
banking book (interest rate risk in banking book) dan kemampuan
modal untuk menyerap potensi kerugian tersebut cenderung
menurun.
3. Bank Indonesia secara berkala atau sewaktu-waktu memantau hasil
perbaikan berdasarkan laporan pelaksanaan action plan yang
disampaikan oleh Bank. Apabila diperlukan dilakukan pemeriksaan
khusus terhadap hasil perbaikan yang telah dilakukan oleh Bank untuk
memastikan kebenaran laporan yang disampaikan oleh Bank tersebut.
VI. LAIN-LAIN
1. Sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum maka sebelum penerapan efektif sistem penilaian Tingkat
Kesehatan Bank sejak posisi bulan Desember 2004, Bank wajib
melaksanakan uji coba penilaian tersebut untuk posisi bulan Juni dan
September 2004. Uji coba tersebut hendaknya dilakukan Bank
selambat-lambatnya sebelum posisi penilaian Tingkat Kesehatan
triwulan berikutnya. Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta hasil
uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank diantara dua periode hasil
uji coba tersebut untuk memastikan persiapan penerapan yang efektif
pada…
pada Bank.
2. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/2/UPPB tanggal 30 April
1997 perihal Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum,
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/23/UPPB tanggal 19 Maret
1998 perihal Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dinyatakan tidak berlaku
bagi Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional sejak penilaian Tingkat Kesehatan Bank untuk posisi
akhir bulan Desember 2004;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/15/UPPB tanggal 27
Februari 1998 tentang Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian Yang
Menyangkut Kewajiban Antar Bank, Pengambilalihan Tagihan,
Suku Bunga Simpanan dan Penyediaan Dana, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
c. Dalam rangka penerapan ketentuan yang memerlukan persyaratan
Tingkat Kesehatan Bank maka predikat Tingkat Kesehatan Bank
disesuaikan dengan ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia
ini sebagai berikut:
1) untuk predikat Tingkat Kesehatan “Sehat” dipersamakan dengan
Peringkat Komposit 1 (PK-1) atau Peringkat Komposit 2 (PK-2);
2) untuk predikat Tingkat Kesehatan “Cukup Sehat” dipersamakan
dengan Peringkat Komposit 3 (PK-3);
3) untuk predikat Tingkat Kesehatan “Kurang Sehat” dipersamakan
dengan Peringkat Komposit 4 (PK-4);
4) untuk predikat Tingkat Kesehatan “Tidak Sehat” dipersamakan
dengan Peringkat Komposit 5 (PK-5).
3. Lampiran …
3. Lampiran-lampiran tersebut di atas merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak
tanggal 31 Mei 2004.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
Ttd.
MAMAN H. SOMANTRI
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 6/23/DPNP|SE-BI/2004 </reg_id>
<reg_title> Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. </reg_title>
<set_date> 31 Mei 2004 </set_date>
<effective_date> 31 Mei 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '30/11/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '30/23/UPPB|SE-BI/1998', '30/15/UPPB|SE-BI/1998', '30/2/UPPB|SE-BI/1997' </replaced_reg>
<related_reg> '6/10/PBI/2004' </related_reg>
|
No. 9/31/DPNP
Jakarta, 12 Desember 2007
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal : Pedoman Penggunaan Model Internal dalam Perhitungan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan
Memperhitungkan Risiko Pasar
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/13/PBI/2007 tanggal
1 November 2007 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4773) antara lain diatur bahwa Bank dapat menggunakan Model Internal
dalam perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) dengan
memperhitungkan Risiko Pasar.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diatur ketentuan pelaksanaan
dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia, dengan pokok-pokok ketentuan
sebagai berikut:
I. PENGGUNAAN …
I. PENGGUNAAN MODEL INTERNAL DALAM PERHITUNGAN KPMM
DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR
1. Bank dapat menggunakan Model Internal dalam perhitungan KPMM
dengan memperhitungkan Risiko Pasar setelah memenuhi persyaratan
tertentu.
2. Bank yang merupakan kantor cabang atau perusahaan anak dari bank
yang berkedudukan di luar negeri dapat menggunakan Model Internal
yang telah digunakan oleh kantor pusat atau bank induk (parent bank)
dalam perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar
sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
3. Persyaratan tertentu yang wajib dipenuhi dalam penggunaan Model
Internal meliputi persyaratan umum, persyaratan kualitatif, dan
persyaratan kuantitatif sebagaimana diatur dalam Lampiran 1 Surat
Edaran Bank Indonesia ini. Khusus untuk persyaratan yang terkait
dengan pelaksanaan stress testing, skenario yang digunakan untuk
proses stress testing dimaksud diatur dalam Lampiran 2 Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
4. Model Internal yang digunakan Bank harus mencakup faktor-faktor
Risiko Pasar yang memadai untuk mengukur:
a. Risiko Suku Bunga dan/atau Risiko Ekuitas yang terkandung
dalam posisi Trading Book; dan/atau
b. Risiko Nilai Tukar dan/atau Risiko Komoditas yang terkandung
dalam posisi Trading Book dan/atau Banking Book.
5. Bank …
5. Bank yang memiliki Model Internal dan memenuhi persyaratan
tertentu dapat menggunakan Model Internal dalam perhitungan
KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar setelah memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia.
II. PROSES PERSETUJUAN PENGGUNAAN MODEL INTERNAL OLEH
BANK INDONESIA
1. Sebelum menggunakan Model Internal, Bank wajib mengajukan
permohonan untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
Pengajuan permohonan dilakukan dengan menyampaikan surat
permohonan kepada Bank Indonesia disertai informasi dan dokumen
tertentu.
2. Dalam rangka memberikan persetujuan penggunaan Model Internal
untuk perhitungan KPMM, Bank Indonesia melakukan pengkajian
untuk memastikan bahwa Model Internal telah memadai dan
memenuhi seluruh persyaratan.
3. Dalam rangka melakukan pengkajian dan memberikan persetujuan atas
penggunaan Model Internal, Bank Indonesia dapat meminta informasi
atau dokumen tambahan kepada Bank.
4.
Jangka waktu proses persetujuan terhadap penggunaan Model Internal
oleh Bank Indonesia tergantung pada kondisi Bank serta permasalahan
yang dihadapi selama proses pengkajian.
5. Dalam hal Bank melakukan modifikasi terhadap penggunaan Model
Internal yang telah disetujui oleh Bank Indonesia, Bank wajib meminta
persetujuan kembali kepada Bank Indonesia dengan mengajukan
permohonan yang dilengkapi informasi dan dokumen tertentu.
6. Proses …
6. Proses persetujuan penggunaan Model Internal dan modifikasinya,
serta rincian informasi dan dokumen tertentu berpedoman pada
ketentuan dalam Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini.
III. PELAPORAN
1. Penyampaian laporan yang terkait dengan Model Internal dilakukan
secara bulanan dan triwulanan.
2. Laporan bulanan dan laporan triwulanan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 3 Surat Edaran Bank Indonesia ini.
3. Laporan bulanan untuk pertama kali wajib disampaikan paling lambat
untuk posisi akhir bulan berikutnya setelah Bank menggunakan secara
efektif Model Internal yang telah disetujui oleh Bank Indonesia.
4. Laporan triwulanan untuk pertama kali wajib disampaikan untuk posisi
akhir triwulan setelah Bank menggunakan secara efektif Model
Internal yang telah disetujui oleh Bank Indonesia.
IV. LAIN-LAIN
Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3 Surat Edaran Bank Indonesia ini
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
V. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku
sejak tanggal 12 Desember 2007
Agar …
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DIREKTUR DIREKTORAT
PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 9/31/DPNP|SE-BI/2007 </reg_id>
<reg_title> Pedoman Penggunaan Model Internal dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar </reg_title>
<set_date> 12 Desember 2007 </set_date>
<effective_date> 12 Desember 2007 </effective_date>
<related_reg> '9/13/PBI/2007' </related_reg>
|
No.4/22/DPM
Jakarta, 17 Desember 2002
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH
DAN VALUTA ASING DI INDONESIA
Perihal
: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
27/16/UPG tanggal 10 Mei 1994 perihal Pusat Informasi
Pasar Uang
------------------------------------------------------------------------
Menunjuk Surat Edaran Bank Indonesia No.27/16/UPG tanggal 10 Mei
1994 perihal Pusat Informasi Pasar Uang, dengan ini diberitahukan mengenai
perubahan biaya komunikasi bagi Anggota Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU)
yaitu dari sebesar Rp.1.175.000,- (Satu juta seratus tujuh puluh lima ribu rupiah)
per saluran per bulan menjadi sebesar Rp.1.980.000,- (Satu juta sembilan ratus
delapan puluh ribu rupiah) per saluran per bulan. Dengan perubahan tersebut,
maka biaya PIPU menjadi sebesar Rp.2.838.804,- (Dua juta delapan ratus tiga
puluh delapan ribu delapan ratus empat rupiah) setiap bulan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka butir V angka 4 Surat Edaran
dimaksud berubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“4.
Ketentuan mengenai biaya diatur sebagai berikut :
a. Biaya Sistem dikenakan sebesar Rp.858.804,- (Delapan ratus lima
puluh delapan ribu delapan ratus empat rupiah) setiap bulan.
b. Biaya Komunikasi dikenakan sebesar Rp.1.980.000,- (Satu juta
sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah) setiap bulan.”
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 2 Januari 2003.
Agar …
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
Ttd
TARMIDEN SITORUS
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 4/22/DPM|SE-BI/2002 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/16/UPG tanggal 10 Mei 1994 perihal Pusat Informasi Pasar Uang </reg_title>
<set_date> 17 Desember 2002 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2003 </effective_date>
<changed_reg> '27/16/UPG|SE-BI/1994' </changed_reg>
<related_reg> '27/16/UPG|SE-BI/1994' </related_reg>
|
No. 14/19/DASP
Jakarta, 26 Juni 2012
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
11/15/DASP tanggal 18 Juni 2009 perihal
Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/5/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5119), dan dalam rangka lebih mendukung kelancaran sistem
pembayaran dan meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) di Wilayah Kliring yang
diselenggarakan oleh pihak selain Bank Indonesia, perlu dilakukan
penyesuaian mengenai bantuan keuangan yang diberikan kepada
Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia (PKL Selain BI).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan perubahan
atas angka IV Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/15/DASP
tanggal 18 Juni 2009 perihal Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia
sebagai berikut:
IV. BANTUAN …
2
IV. BANTUAN KEUANGAN
A. Nominaldan Kriteria Bantuan Keuangan
1. Bank Indonesia memberikanbantuan keuangan kepada
kantor Bank yang telah disetujui menjadi PKL Selain BI
setiap bulan, terhitung sejak kantor Bank tersebut efektif
melakukan kegiatan sebagai PKL Selain BI.
2. Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1
diberikan kepada PKL Selain BI sesuai kriteria pada
lampiran 6a yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
3. Nilai nominal bantuan keuangan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
Keputusan Kepala Departemen Akunting dan Sistem
Pembayaran Bank Indonesia.
4. Salinan Keputusan Kepala Departemen Akunting dan
Sistem Pembayaran Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada angka 3 disampaikan kepada kantor
pusat Bank yang menjadi PKL Selain BI.
B. Mekanisme Pemberian Bantuan Keuangan
1. Pemberian bantuan keuangan sebagaimana dimaksud
pada butir A.2 disampaikan oleh Bank Indonesia paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja setiap awal bulan berikutnya.
2. Bantuan Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1
disampaikan kepada kantor pusat Bank yang kantornya
menjadi PKL Selain BI dengan cara mengkredit rekening
giro Bank tersebut yang ada di Bank Indonesia.
3. Kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud pada angka 2
melakukan pendistribusian bantuan keuangan kepada
masing-masing kantornya yang menjadi PKL Selain BI.
4. Dalam melakukan pendistribusian bantuan keuangan
sebagaimana dimaksud pada angka 3, kantor pusat Bank
dapat …
3
dapat menetapkan besaran nominal bantuan keuangan
bagi masing-masing kantornya yang menjadi PKL Selain
BI.
C. Penetapan IuranPeserta
1. Apabila bantuan keuangan yang diberikan oleh Bank
Indonesia tidak dapat menutupi seluruh biaya
operasional PKL Selain BI dalam penyelenggaraan SKNBI,
PKL Selain BI dapat menetapkan iuran kepada Peserta.
2. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada angka 1,
ditetapkan berdasarkan selisih biaya operasional yang
dikeluarkan oleh PKL Selain BI dengan jumlah bantuan
keuangan yang diberikan oleh Bank Indonesia.
3. Biaya operasionalyang dapat dibebankan kepada seluruh
kantor Bank Peserta sebagaimana dimaksud pada angka
2adalah biaya operasional terkait penyelenggaraan SKNBI
yang terdiri atas:
a. biaya investasiterkait antara lain, perangkat
Komputer Penyelenggara Kliring (KPK) Utama, KPK
Back-up, dan printer;
b. biaya overhead antara lain, biaya tenaga kerja, biaya
listrik, biaya telepon dan jaringan komunikasi data,
pembelian alat tulis kantor, sewa atau penyusutan
gedung; dan
c. biaya pemeliharaan perangkat KPK Utama dan KPK
Back-up.
4. Besarnya iuran dan perhitungan biaya operasional yang
menjadi dasar penetapan iuran wajib disampaikan
kepadadan disetujui oleh seluruh Peserta di Wilayah
Kliring.
PKL Selain BI yang menetapkan iuran kepada
seluruhPeserta, wajibmenyampaikan laporan triwulanan
mengenai …
4
mengenai penggunaan bantuan keuangan dan iuran
Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI kepada seluruh
Peserta paling lambat akhir bulan berikutnya dengan
format laporan sebagaimana dicontohkan dalam lampiran
6b yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
D. Bantuan Keuangan Bagi PKL Selain BI Yang Baru
Khusus untuk kantor Bank yang baru ditetapkan sebagai PKL
Selain BI, pemberian bantuan keuangan dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Dalam hal kantor Bank bertindak sebagai PKL Selain BI
di Wilayah Kliring yang baru dibentuk, maka:
a. bantuan keuangan diberikan sebesar 100% (seratus
persen) dari nilai nominal sebagaimana dimaksud
pada butir A.3 selama masa 3 (tiga) bulan pertama
penyelenggaraan SKNBI;
b. masa 3 (tiga) bulan pertama penyelenggaraan SKNBI
sebagaimana dimaksud pada huruf a diatur sebagai
berikut:
1) apabila tanggal efektif kegiatan penyelenggaraan
sebagai PKL Selain BI ditetapkan tanggal 15
atau tanggal sebelumnya,maka masa 3 (tiga)
bulan pertama dihitung sejak bulan yang
bersangkutan; atau
2) apabila tanggal efektif kegiatan penyelenggaraan
sebagai PKL Selain BI ditetapkan setelah tanggal
15, maka masa 3 (tiga) bulan pertama dihitung
sejak bulan berikutnya;
c. bantuan keuangan diberikan sesuai kriteria
sebagaimana dimaksud pada butir A.2 sejak
berakhirnya masa 3 (tiga) bulan pertama
sebagaimana …
5
sebagaimana dimaksud pada huruf b.
2. Dalam hal kantor Bank bertindak sebagai PKL Selain BI
yang menerima pengalihan dari PKL Selain BI di Wilayah
Kliring yang telah dibentuk, maka:
a. bantuan keuangan diberikan sesuai dengan kriteria
sebagaimana dimaksud pada butir A.2;
b. apabila tanggal efektif pengalihan kegiatan
penyelenggaraan sebagai PKL Selain BI ditetapkan:
1)
tanggal 15 atau tanggal sebelumnya, maka
bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a untuk bulan yang bersangkutan
diberikan kepada PKL Selain BI yang menerima
pengalihan;
2) setelah tanggal 15, maka bantuan keuangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk
bulan yang bersangkutan diberikan kepada PKL
Selain BI yang mengalihkan.
3.
Ilustrasi pemberian bantuan keuangan kepada PKL Selain
BI yang baru adalah sebagaimana dalam lampiran 6c
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
E. Penyampaian Laporan
1. Kantor pusat Bank wajibmenyampaikan laporan bulanan
mengenai:
a. pendistribusian dan besarnya nilai nominal bantuan
keuangan sebagaimana dimaksud pada butir IV.B.3;
dan
b. besarnya iuran yang ditetapkan oleh masing-masing
kantor yang menjadi PKL Selain BI,
paling lambat akhir bulan berikutnya.
2. Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada angka 1
disampaikan …
6
disampaikan kepada Bank Indonesia - Departemen
Akunting dan Sistem Pembayaran c.q. Divisi
Penyelenggaraan Setelmen dengan menggunakan format
laporan sebagaimana lampiran 6d yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
PKL Selain BI yang telah menetapkan iuran kepada Peserta
sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini wajib
menyesuaikan penetapan iuran sesuai ketentuan penetapan iuran
Peserta sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2
Juli 2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BOEDI ARMANTO
KEPALA DEPARTEMEN AKUNTING
DAN SISTEM PEMBAYARAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 14/19/DASP|SE-BI/2012 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/15/DASP tanggal 18 Juni 2009 perihal Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia </reg_title>
<set_date> 26 Juni 2012 </set_date>
<effective_date> 2 Juli 2012 </effective_date>
<changed_reg> '11/15/DASP|SE-BI/2009' </changed_reg>
<related_reg> '7/18/PBI/2005', '11/15/DASP|SE-BI/2009', '12/5/PBI/2010' </related_reg>
|
No.7/ 10 /DPNP
Jakarta, 31 Maret 2005
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal :
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta
Laporan tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya atau diubahnya beberapa
ketentuan Bank Indonesia antara lain Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/3/DPNP tanggal
31 Januari 2005 perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 7/8/DPNP tanggal 31 Maret 2005 perihal
Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/18/DSM tanggal 16 September 2003
perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/19/DSM
tanggal 3 Oktober 2000 perihal Laporan Bulanan Bank Umum, maka
perlu dilakukan perubahan terhadap Lampiran Surat
Edaran Bank Indonesia
Nomor …
Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan tertentu yang
disampaikan kepada Bank Indonesia, sebagai berikut:
1. Lampiran 1, Lampiran 1a, Lampiran 2, Lampiran 2a, Lampiran 5,
Lampiran 5a, Lampiran 6, Lampiran 6a, Lampiran 7, Lampiran 8,
Lampiran 9, Lampiran
10, Lampiran 11, Lampiran 12, Lampiran 13,
Lampiran 13a, Lampiran 13b dan Lampiran 14 Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan
tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia diubah, sehingga
seluruh lampiran Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 3/30/DPNP
tanggal 14 Desember 2001 menjadi sebagaimana terlampir.
2. Lampiran-lampiran sebagaimana dimaksud di atas merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
3. Bagi
Bank Umum Konvensional yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, selain menyajikan Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan sesuai ketentuan ini juga menyajikan informasi
segmen usaha syariah berupa Neraca dan Perhitungan Laba Rugi
secara tersendiri. Pos-pos yang disajikan disesuaikan dengan transaksi
yang dilakukan oleh Unit Usaha Syariah. Informasi tersebut hendaknya
ditandatangani oleh Dewan Pengawas Syariah dan Pimpinan Unit Usaha
Syariah.
4.
Lain-lain
a. Bagi Bank Umum yang melakukan pembelian kredit dari BPPN, tetap
wajib mencantumkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
Peraturan …
Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/7/PBI/2002 tanggal 27 September
2003 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Rangka Pembelian Kredit
oleh Bank dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
b. Sesuai pasal 26 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/22/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank, dalam hal Bank merupakan bagian dari
kelompok usaha, selain menyajikan laporan keuangan Bank
secara individual serta Laporan keuangan konsolidasi Bank
yang merupakan hasil konsolidasi dari laporan keuangan Bank
dan Perusahaan Anak, untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember,
Bank diwajibkan pula menyajikan:
1) Laporan keuangan perusahaan induk di bidang keuangan; atau
2) Laporan keuangan perusahaan induk apabila tidak terdapat
laporan keuangan perusahaan induk di bidang keuangan.
Laporan yang wajib disajikan meliputi Neraca, Laporan Laba Rugi,
Laporan Perubahan Ekuitas serta Daftar Komitmen dan Kontinjensi.
Penyajian disesuaikan dengan transaksi yang dilakukan oleh
perusahaan induk.
5. Bank wajib menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan
Publikasi dengan menggunakan lampiran sebagaimana dimaksud
dalam Surat Edaran ini mulai Laporan posisi bulan Maret 2005.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
31 Maret 2005.
Agar …
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MAMAN H. SOMANTRI
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 7/10/DPNP|SE-BI/2005 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2005 </set_date>
<effective_date> 31 Maret 2005 </effective_date>
<changed_reg> '3/30/DPNP|SE-BI/2001' </changed_reg>
<related_reg> '7/8/DPNP|SE-BI/2005', '5/18/DSM|SE-BI/2003', '7/3/DPNP|SE-BI/2005', '2/19/DSM|SE-BI/2000', '7/2/PBI/2005', '3/30/DPNP|SE-BI/2001' </related_reg>
|
No.11/ 16 /DPNP
Jakarta, 6 Juli 2009
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas
Sehubungan dengan pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029) dan
perlunya pengelolaan Risiko Likuiditas baik dalam kondisi normal maupun
kondisi krisis, dipandang perlu untuk mengatur pelaksanaan penerapan
Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas dalam suatu Surat Edaran Bank
Indonesia dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut:
I. UMUM
A. Salah satu Risiko yang dihadapi Bank dalam kegiatan usahanya adalah
Risiko Likuiditas. Risiko Likuiditas merupakan Risiko akibat
ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo
dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas
tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi
keuangan Bank.
B. Ketidakmampuan . . .
B. Ketidakmampuan memperoleh sumber pendanaan arus kas sehingga
menimbulkan Risiko Likuiditas dapat disebabkan:
1. ketidakmampuan menghasilkan arus kas yang berasal dari aset
produktif maupun yang berasal dari penjualan aset termasuk aset
likuid; dan/atau
2. ketidakmampuan menghasilkan arus kas yang berasal dari
penghimpunan dana, transaksi antar Bank, dan pinjaman yang
diterima.
C. Ketidakmampuan Bank memperoleh pendanaan untuk memenuhi
kewajiban yang jatuh tempo akan menurunkan tingkat kepercayaan
masyarakat sehingga semakin meningkatkan Risiko Likuiditas, dan
selanjutnya dapat mempengaruhi aspek-aspek keuangan lainnya yang
dapat mengancam kelangsungan usaha Bank.
D. Mengingat permasalahan likuiditas sebagaimana dimaksud pada huruf
C dapat memberikan dampak yang signifikan, maka Bank wajib
menerapkan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas secara efektif
baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak.
E. Tujuan utama dari penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko
Likuiditas adalah untuk memastikan kecukupan dana secara harian
baik pada saat kondisi normal maupun kondisi krisis dalam
pemenuhan kewajiban secara tepat waktu dari berbagai sumber dana
yang tersedia, termasuk memastikan ketersediaan aset likuid
berkualitas tinggi.
F. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas secara efektif
paling kurang mencakup:
1. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
2. kecukupan . . .
2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen
Risiko;
3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko;
sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
4.
G. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas harus
terintegrasi dengan penerapan Manajemen Risiko secara keseluruhan
sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank umum.
H. Dalam penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas, Bank
perlu melakukan evaluasi profil Risiko Likuiditas yang dihadapi
dikaitkan dengan kecukupan modal.
I. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas perlu
diterapkan pula dalam penetapan harga internal (internal pricing) dan
pengukuran kinerja masing-masing unit bisnis sehingga insentif
masing-masing unit bisnis dapat ditetapkan sejalan dengan eksposur
Risiko Likuiditasnya.
J. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas yang efektif
dapat meminimalkan Risiko Likuiditas yang terjadi pada satu Bank
dan juga meningkatkan stabilitas sistem perbankan secara
keseluruhan.
II. PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
A. Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi
1. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan aktif, Dewan Komisaris
dan Direksi harus memahami Risiko Likuiditas dan menyadari
pentingnya penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko
Likuiditas.
2. Dewan . . .
2. Dewan Komisaris dan Direksi bertanggung jawab atas efektifitas
penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas.
3. Dewan Komisaris paling kurang berwenang dan bertanggung
jawab terhadap hal-hal berikut:
a. melakukan persetujuan dan evaluasi berkala mengenai
kebijakan dan strategi yang terkait dengan Manajemen
Risiko untuk Risiko Likuiditas termasuk rencana
pendanaan darurat (Contingency Funding Plan). Evaluasi
berkala dilakukan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun atau dalam frekuensi yang lebih tinggi dalam hal
terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi
kegiatan usaha Bank secara signifikan;
b. melakukan evaluasi untuk memastikan bahwa Direksi telah
menerapkan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas
sesuai dengan kebijakan dan strategi Bank.
4. Direksi paling kurang berwenang dan bertanggung jawab
terhadap hal-hal berikut:
a. menyusun kebijakan, strategi, dan prosedur yang
komprehensif terkait penerapan Manajemen Risiko untuk
Risiko Likuiditas dengan mempertimbangkan toleransi
Risiko dan memperhatikan dampaknya terhadap
permodalan;
b. menjabarkan dan mengkomunikasikan kebijakan, strategi,
dan prosedur Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas
kepada seluruh satuan kerja terkait;
c. memastikan dan mengevaluasi penerapan Manajemen
Risiko untuk Risiko Likuiditas;
d. mengevaluasi
. . .
d. mengevaluasi kebijakan, strategi, dan prosedur terkait
penerapan Manajemen Risiko secara berkala;
e. melakukan evaluasi terhadap kondisi likuiditas Bank paling
kurang 1 (satu) bulan sekali;
f. melakukan evaluasi segera terhadap kondisi likuiditas dan
profil Risiko Bank apabila terjadi perubahan yang
signifikan antara lain atas kondisi-kondisi berikut:
1) peningkatan biaya penghimpunan dana;
2) peningkatan konsentrasi aset atau kewajiban;
3) peningkatan liquidity gap;
4) keterbatasan alternatif sumber pendanaan;
5) pelampauan yang material terhadap limit;
6) penurunan signifikan pada portofolio aset likuid
berkualitas tinggi; dan/atau
7) perubahan kondisi pasar yang dapat menyebabkan
permasalahan di masa datang;
g. melakukan penyesuaian kebijakan dan strategi Manajemen
Risiko untuk Risiko Likuiditas yang diperlukan
berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
huruf e dan f;
h. menyampaikan laporan kepada Dewan Komisaris yang
paling kurang mencakup:
1) hasil evaluasi secara berkala terhadap kondisi
likuiditas sebagaimana dimaksud pada huruf e;
2) hasil evaluasi terhadap kondisi likuiditas sebagaimana
dimaksud pada huruf f; dan
3) penyesuaian kebijakan dan strategi sebagaimana
dimaksud pada huruf g.
B. Kebijakan . . .
B. Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit
1. Dalam menetapkan kebijakan mengenai Manajemen Risiko
untuk Risiko Likuiditas, termasuk penetapan strategi dan limit
Manajemen Risiko, Bank wajib menyesuaikan kebijakan
tersebut dengan visi, misi, strategi bisnis, tingkat Risiko yang
akan diambil (risk appetite), kecukupan permodalan,
kemampuan sumber daya manusia, dan kapasitas pendanaan
Bank secara keseluruhan.
2. Kebijakan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan prosedur
Manajemen Risiko harus dikomunikasikan kepada seluruh
satuan kerja Bank yang aktivitasnya berdampak pada likuiditas,
agar dapat diterapkan dalam melakukan kegiatan operasional.
3. Kebijakan dan prosedur tersebut paling kurang meliputi hal-hal
sebagai berikut:
a. kewenangan dan tanggung jawab manajemen likuiditas,
antara lain alur yang jelas mengenai kewenangan, tanggung
jawab, dan pelaporan terkait dengan Manajemen Risiko
untuk Risiko Likuiditas termasuk menugaskan dan
memberikan kewenangan kepada satuan kerja tertentu
untuk menentukan pasar, instrumen, serta transaksi dengan
pihak lawan yang memenuhi kriteria (eligible
counterparty);
b. komposisi aset dan kewajiban;
c. diversifikasi dan kestabilan sumber pendanaan;
d. penetapan jenis dan alokasi aset yang diklasifikasikan
sebagai aset likuid berkualitas tinggi;
e. manajemen likuiditas pada berbagai jenis valuta, berbagai
wilayah, dan lini bisnis;
f. manajemen . . .
f. manajemen likuiditas harian termasuk intrahari;
g. manajemen likuiditas intragroup (kelompok usaha);
h. penetapan indikator yang merupakan indikator peringatan
dini (early warning indicator) untuk Risiko Likuiditas;
penetapan limit;
penerapan stress testing;
sistem informasi Manajemen Risiko dan sistem lain yang
secara memadai diperlukan untuk identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko Likuiditas termasuk
pelaporan likuiditas;
rencana pendanaan darurat (contingency funding plan),
antara lain yang menjelaskan mengenai pendekatan dan
strategi dalam menghadapi kondisi krisis yang berdampak
pada likuiditas.
i.
j.
k.
l.
4. Kebijakan manajemen likuiditas intragroup antara lain meliputi
pengaturan atas likuiditas intragroup, termasuk penentuan
pendekatan yang digunakan (sentralisasi atau desentralisasi),
ketergantungan likuiditas intragroup, mekanisme, jenis, dan
limit penyediaan dana intragroup (misalnya pemberian
committed dan uncommitted line).
Termasuk sebagai intragroup adalah perusahaan-perusahaan lain
yang berada dalam satu kelompok usaha dengan Bank baik Bank
sebagai perusahaan induk, perusahaan anak, maupun Bank
sebagai perusahaan dalam kelompok usaha.
5. Penetapan indikator peringatan dini sebagaimana dimaksud pada
angka 3 huruf h antara lain bertujuan untuk mengidentifikasi
dan sebagai dasar menentukan tindak lanjut untuk memitigasi
eksposur Risiko Likuiditas.
6. Indikator . . .
6.
7.
Indikator peringatan dini meliputi indikator internal dan
indikator eksternal.
Indikator internal antara lain meliputi kualitas aset yang
memburuk, peningkatan konsentrasi pada beberapa aset dan
sumber pendanaan tertentu, peningkatan currency mismatches,
pengulangan terjadinya pelampauan limit, peningkatan biaya
dana secara keseluruhan, dan/atau posisi arus kas yang semakin
buruk sebagai akibat maturity mismatch yang besar terutama
pada skala waktu jangka pendek.
Indikator eksternal antara lain meliputi informasi publik yang
negatif terhadap Bank, penurunan hasil peringkat oleh lembaga
pemeringkat, penurunan harga saham Bank secara terus
menerus, penurunan fasilitas credit line yang diberikan oleh
bank koresponden, peningkatan penarikan deposito sebelum
jatuh tempo, dan/atau keterbatasan akses untuk memperoleh
pendanaan jangka panjang.
8. Penetapan limit sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf i
harus diimplementasikan secara konsisten guna mengendalikan
eksposur dan konsentrasi Risiko Likuiditas.
9. Limit yang ditetapkan harus konsisten dan relevan dengan bisnis
Bank, kompleksitas aktivitas, toleransi Risiko, karakteristik
produk, valuta, pasar di mana Bank tersebut aktif melakukan
transaksi, data historis, tingkat profitabilitas, dan modal yang
tersedia.
10. Limit dimaksud juga harus sesuai dengan rencana pendanaan
darurat (contingency funding plan) untuk memastikan bahwa
rencana pendanaan darurat tersebut diterapkan secara efektif.
11. Penetapan . . .
11. Penetapan limit dapat meliputi antara lain limit mismatch arus
kas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang termasuk
arus kas yang berasal dari posisi rekening administratif, limit
konsentrasi pada aset dan kewajiban, pinjaman overnight, dan
rasio-rasio likuiditas lainnya.
12. Penetapan limit tidak hanya digunakan untuk mengelola
likuiditas harian pada kondisi normal namun juga harus meliputi
limit agar Bank dapat terus beroperasi pada periode krisis baik
krisis pasar secara umum maupun krisis yang spesifik bagi Bank
atau kombinasi keduanya.
13. Kebijakan, prosedur, dan proses penetapan limit harus
didokumentasikan secara tertulis dan lengkap sehingga
memudahkan untuk dilakukan jejak audit (audit trail).
14. Kebijakan dan prosedur serta limit harus dievaluasi dan
dikinikan secara berkala atau sewaktu-waktu dalam hal terjadi
perubahan kondisi yang signifikan.
C. Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian
Risiko serta Sistem Informasi Manajemen Risiko
1.
Identifikasi
a. Bank wajib melakukan identifikasi Risiko Likuiditas, baik
eksposur Risiko saat ini maupun yang akan timbul di masa
datang. Identifikasi Risiko Likuiditas merupakan proses
yang berkelanjutan dan harus dilakukan secara berkala.
b. Dalam rangka melakukan identifikasi Risiko Likuiditas,
Bank harus melakukan analisis terhadap seluruh sumber
Risiko Likuiditas.
Sumber . . .
Sumber Risiko Likuiditas meliputi:
1) Produk dan aktivitas perbankan yang dapat
mempengaruhi sumber dan penggunaan dana baik
pada posisi aset dan kewajiban maupun rekening
administratif; dan
2) Risiko-Risiko lain yang dapat meningkatkan Risiko
Likuiditas, misalnya Risiko Kredit, Risiko Pasar dan
Risiko Operasional.
c. Analisis terhadap seluruh sumber Risiko Likuiditas
dilakukan untuk mengetahui jumlah dan tren kebutuhan
likuiditas, serta sumber pendanaan yang tersedia untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
2. Pengukuran
a. Bank wajib memiliki alat pengukuran yang dapat
mengkuantifikasi Risiko Likuiditas secara tepat waktu dan
komprehensif.
b. Alat pengukuran tersebut paling kurang meliputi:
1) Proyeksi arus kas, yaitu proyeksi seluruh arus kas
masuk dan arus kas keluar termasuk kebutuhan
pendanaan untuk memenuhi komitmen dan
kontinjensi pada transaksi rekening administratif;
2) Rasio likuiditas, yaitu rasio keuangan yang
menggambarkan indikator likuiditas dan/atau
mengukur kemampuan Bank untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek;
3) Profil maturitas, yaitu pemetaan posisi aset,
kewajiban, dan rekening administratif ke dalam skala
waktu . . .
waktu tertentu (maturity buckets) berdasarkan sisa
jangka waktu sampai dengan jatuh tempo (remaining
maturity); dan
4) Stress testing, yaitu pengujian yang dilakukan dengan
menggunakan skenario tertentu terhadap posisi
likuiditas Bank dalam kondisi krisis.
c. Pendekatan pada setiap alat pengukuran Risiko Likuiditas
yang digunakan Bank, harus disesuaikan dengan
kompleksitas aktivitas bisnis dan profil Risiko Bank.
Dalam hal Bank melakukan kegiatan usaha yang lebih
kompleks, maka Bank harus menggunakan pendekatan
pengukuran yang bersifat simulasi dan lebih dinamis yang
didasarkan pada berbagai asumsi. Bank dapat dikatakan
melakukan kegiatan usaha yang kompleks jika Bank antara
lain melakukan transaksi treasuri secara aktif termasuk
transaksi derivatif, memiliki atau menawarkan produk
terstruktur (structured product).
d. Pengukuran Risiko Likuiditas Bank harus
didokumentasikan dan dievaluasi secara berkala atau
sewaktu-waktu apabila diperlukan, untuk memastikan
kewajaran, akurasi, dan integritas data.
e. Pengukuran dengan menggunakan proyeksi arus kas
sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Proyeksi arus kas menyajikan arus kas yang berasal
dari aset, kewajiban, dan rekening adminisitratif serta
kegiatan usaha lainnya dan dipetakan ke dalam skala
waktu . . .
waktu berdasarkan asumsi yang digunakan. Asumsi
juga digunakan untuk menghitung arus kas dari posisi
likuiditas yang memiliki jatuh tempo secara
kontraktual.
2) Proyeksi arus kas harus disusun paling kurang setiap
bulan dengan periode proyeksi sesuai kebutuhan Bank
dengan memperhatikan struktur aset, kewajiban, dan
rekening administratif, yang paling kurang meliputi
periode 1 (satu) bulan. Pembagian periode proyeksi
arus kas ke dalam skala waktu disesuaikan dengan
Laporan Profil Maturitas.
3) Cakupan pos aset, kewajiban, dan rekening
administratif dalam proyeksi arus kas disesuaikan
dengan struktur aset, kewajiban, dan rekening
administratif masing-masing Bank. Dalam hal Bank
memiliki posisi likuiditas dalam valuta asing, maka
Bank harus menyusun proyeksi arus kas dalam valuta
asing.
4) Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam
menentukan asumsi antara lain karakteristik produk,
perilaku pihak lawan (counterparty) dan/atau
nasabah, dan kondisi pasar serta pengalaman historis.
5) Penetapan asumsi harus dilakukan secara realistis,
yang antara lain terkait dengan hal-hal berikut:
a) perpanjangan jangka waktu aset dan kewajiban;
b) persetujuan kredit baru dan perolehan dana
nasabah;
c) perilaku . . .
c) perilaku aset dan kewajiban (asset and liability
behaviour) yang tidak memiliki jatuh tempo,
misalnya pola transaksi giro atau tabungan yang
tidak memiliki jatuh tempo;
d) perilaku aset (asset behaviour) yang memiliki
fitur tertentu seperti opsi pelunasan dini
(prepayment option);
e) pembelian dan/atau penjualan aset termasuk aset
likuid;
f)
perkiraan penarikan dan penerimaan dari
rekening administratif, antara lain komitmen
kredit, L/C, dan bank garansi;
g)
akses pada sumber-sumber pendanaan, antara
lain pinjaman antar Bank, pendanaan antar
perusahaan dalam kelompok usaha Bank
(intragroup), dan fasilitas pinjaman siaga
(standby facility);
h)
asumsi lainnya yang relevan, antara lain diskon
(haircut) pada penjualan aset.
6) Asumsi yang digunakan dalam penyusunan proyeksi
arus kas harus disetujui oleh pihak yang memiliki
kewenangan sesuai kebijakan internal Bank,
didokumentasikan, dan dievaluasi secara berkala atau
sewaktu-waktu apabila diperlukan. Evaluasi
dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain
perubahan kondisi pasar, faktor persaingan antar
Bank, dan perubahan perilaku pihak lawan dan/atau
nasabah Bank.
f. Pengukuran . . .
f. Pengukuran dengan menggunakan rasio likuiditas
sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Penetapan rasio likuiditas yang digunakan untuk
mengukur Risiko Likuiditas harus disesuaikan dengan
strategi bisnis, toleransi Risiko, dan kinerja masa lalu.
2) Untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi
aktual likuiditas Bank, hasil pengukuran dengan
menggunakan rasio perlu dianalisis dengan
memperhatikan informasi kualitatif yang relevan.
Informasi kualitatif antara lain informasi mengenai
kemungkinan terjadi peningkatan penarikan deposito
sebelum jatuh tempo, penurunan fasilitas kredit, dan
perubahan volume transaksi.
g. Pengukuran dengan menggunakan profil maturitas
sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 3) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Profil maturitas menyajikan pos-pos aset, kewajiban,
dan rekening administratif yang dipetakan ke dalam
skala waktu berdasarkan sisa waktu sampai dengan
jatuh tempo sesuai kontrak dan/atau berdasarkan
asumsi khususnya untuk pos neraca dan rekening
administratif yang tidak memiliki jatuh tempo
kontraktual (non maturity items). Penyusunan profil
maturitas bertujuan untuk mengidentifikasi terjadinya
gap likuiditas dalam skala waktu tertentu.
2) Profil
. . .
2) Profil maturitas harus disusun paling kurang setiap
bulan baik dalam rupiah maupun valuta asing.
Apabila Bank memiliki posisi likuiditas dalam
berbagai valuta asing dengan jumlah yang signifikan,
dalam hal diperlukan untuk keperluan internal, Bank
dapat menyusun profil maturitas dalam masing-
masing valuta asing dimaksud.
3) Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam
menentukan asumsi untuk mengestimasi pos neraca
dan rekening administratif yang tidak memiliki jatuh
tempo kontraktual antara lain karakteristik produk,
perilaku pihak lawan dan/atau nasabah, dan kondisi
pasar serta pengalaman historis.
4) Asumsi yang digunakan dalam penyusunan profil
maturitas harus disetujui oleh pihak yang memiliki
kewenangan sesuai kebijakan internal Bank,
didokumentasikan, dan dievaluasi secara berkala atau
sewaktu-waktu apabila diperlukan. Evaluasi
dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain
perubahan kondisi pasar, faktor persaingan antar
Bank, dan perubahan perilaku pihak lawan dan/atau
nasabah Bank.
h. Pengukuran dengan menggunakan stress test sebagaimana
dimaksud pada huruf b angka 4) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Stress test harus dapat menggambarkan kemampuan
Bank untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dalam
kondisi krisis, yang didasarkan pada berbagai
skenario.
2) Penetapan . . .
2) Penetapan cakupan dan frekuensi stress test harus
sesuai dengan skala dan kompleksitas usaha, serta
eksposur Risiko Likuiditas Bank, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a) Stress test harus dilakukan dengan
menggunakan skenario stress secara spesifik
pada Bank (bank-specific stress scenario)
maupun stress pada pasar (general market stress
scenario) dengan mempertimbangkan berbagai
faktor yang antara lain meliputi berbagai jenis
peristiwa yang telah atau berpotensi
menyebabkan kondisi krisis likuiditas, durasi
peristiwa tersebut, dan kedalaman (severity)
permasalahan yang ditimbulkan peristiwa
tersebut.
b) Dalam menetapkan skenario untuk stress test,
Bank menggunakan skenario yang bersifat
historis (historical scenario) dan/atau hipotesis
(hyphotetical
scenario)
dengan
mempertimbangkan aktivitas bisnis dan
kerentanan Bank.
c) Stress test juga dapat dilakukan dengan
menggunakan skenario:
(1) krisis yang melanda suatu negara tertentu
(country-specific crisis) yang dapat
berdampak pada Bank, antara lain karena
Bank memiliki jaringan operasi yang
signifikan di negara tersebut; atau
(2) krisis . . .
(2) krisis yang terjadi atas suatu instrumen
keuangan atau produk tertentu yang dapat
berdampak pada Bank yang memiliki
eksposur pada suatu instrumen keuangan
atau produk tertentu, misalnya produk
terstruktur (structured product).
d) Stress test harus memperhitungkan implikasi
skenario pada berbagai jangka waktu yang
berbeda, termasuk secara harian.
e) Stress test dengan menggunakan skenario stress
secara spesifik pada Bank (bank-specific stress
scenario) paling kurang dilakukan 1 (satu) kali
dalam 3 (tiga) bulan, atau dalam rentang waktu
yang lebih pendek jika Bank mengalami potensi
peningkatan Risiko Likuiditas yang signifikan
dan/atau atas permintaan Bank Indonesia.
f) Stress test dengan menggunakan skenario stress
pada pasar (general market stress scenario)
paling kurang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun, atau dalam rentang waktu yang
lebih pendek jika Bank menganggap bahwa
kondisi krisis yang terjadi dapat menyebabkan
Bank terekspos pada Risiko Likuiditas yang
tidak dapat ditolerir dan/atau atas permintaan
Bank Indonesia.
3) Skenario stress secara spesifik pada Bank (bank-
specific stress scenario), yang dapat digunakan antara
lain:
a) penurunan . . .
a) penurunan peringkat Bank oleh lembaga
pemeringkat;
b) penarikan dana besar-besaran;
c) peningkatan kredit bermasalah;
d) hambatan dalam memperoleh pendanaan dengan
atau tanpa jaminan (secured atau unsecured);
e) keterbatasan dalam melakukan transaksi
pertukaran (konversi) valuta tertentu;
f)
gangguan/kegagalan sistem yang mendukung
operasional Bank.
4) Skenario stress pada pasar (general market stress
scenario) yang dapat digunakan antara lain:
a) perubahan indikator ekonomi, misalnya tingkat
inflasi, perubahan suku bunga, dan/atau
depresiasi/apresiasi valuta;
b) perubahan kondisi pasar, baik lokal maupun
global, misalnya mengeringnya likuiditas pasar,
penurunan harga saham, dan/atau pelebaran
rentang antara kuotasi beli dan jual (bid and ask
spread).
5) Dalam melakukan stress test, Bank harus
mempertimbangkan faktor-faktor berikut:
a) kemungkinan perubahan perilaku pihak lawan
dan/atau nasabah yang dapat mempengaruhi
arus kas;
b) kemungkinan perubahan perilaku dari pelaku
pasar lainnya sebagai respon dari kondisi krisis
di pasar.
6) Berdasarkan . . .
6) Berdasarkan jenis skenario sebagaimana dimaksud
pada angka 2) huruf a) dan kedalaman permasalahan
dalam skenario serta faktor-faktor sebagaimana
dimaksud pada angka 5), Bank harus
mengembangkan asumsi-asumsi stress test secara
konservatif dan mempertimbangkan kesesuaian dari
asumsi-asumsi tersebut, yang antara lain meliputi:
a)
likuiditas pasar dari aset Bank dan tingkat
diskon (haircut) yang mempengaruhi penurunan
nilai aset likuid;
b) penurunan sumber pendanaan baik dari sisi
jumlah maupun jenis;
c)
jumlah pendanaan dari pasar dengan atau tanpa
agunan (secured atau unsecured);
d) penambahan margin call dan/atau agunan;
e)
f)
jumlah klaim kontijensi dan penarikan fasilitas
komitmen oleh pihak lawan dan/atau nasabah;
kebutuhan likuiditas yang terkait dengan
produk/transaksi yang kompleks;
g) besarnya tingkat penurunan peringkat Bank;
h)
i)
jumlah pendanaan intragroup;
ketersediaan jaminan untuk memperoleh fasilitas
likuiditas dari pihak lain;
j)
pertumbuhan neraca di masa yang akan datang.
7) Dalam . . .
7) Dalam mengidentifikasi dan menganalisis
faktor-faktor yang dapat berdampak secara signifikan
terhadap posisi likuiditas, Bank dapat melakukan
analisis sensitivitas atas hasil stress test untuk
asumsi-asumsi tertentu sehingga dapat diperoleh
informasi tambahan mengenai tingkat kerentanan
Bank terhadap faktor-faktor tertentu.
8) Bank harus mendokumentasikan seluruh skenario,
asumsi, dan hasil stress test, serta melakukan evaluasi
untuk memastikan kesesuaian dengan kondisi Bank,
dengan memperhatikan antara lain hal-hal berikut:
a) perubahan jenis, skala, dan kompleksitas usaha
Bank;
b) perubahan kondisi pasar;
c) pengalaman Bank dalam kondisi krisis.
9) Dalam melakukan stress test untuk Risiko Likuiditas,
Bank harus mempertimbangkan hasil penilaian yang
dilakukan terhadap jenis Risiko lainnya (antara lain
Risiko Pasar, Risiko Kredit, Risiko Reputasi) dan
menganalisis kemungkinan interaksi dengan berbagai
jenis Risiko tersebut.
10) Terhadap hasil
stress test, Bank harus
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a) menyesuaikan kebijakan dan strategi
Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas,
serta posisi likuiditas sejalan dengan hasil stress
test;
b) mengembangkan . . .
b) mengembangkan atau menyempurnakan rencana
pendanaan darurat (contingency funding plan)
yang efektif dengan berdasarkan hasil stress test;
c) menggunakan hasil stress test secara eksplisit
dalam penetapan limit.
11) Hasil stress test dan tindak lanjut atas stress test
tersebut harus dilaporkan kepada dan dievaluasi oleh
Direksi.
3. Pemantauan
a. Bank harus memantau posisi likuiditas dan Risiko
Likuiditas antara lain melalui hasil pengukuran Risiko
Likuiditas termasuk kepatuhan terhadap limit yang
ditetapkan.
b. Pemantauan sebagaimana dimaksud pada huruf a harus
memperhatikan indikator peringatan dini
mengetahui potensi peningkatan Risiko Likuiditas.
c. Pemantauan harus dilakukan oleh pegawai atau unit yang
tidak terkait dengan pegawai atau unit yang menangani
pendanaan.
d. Hasil pemantauan digunakan sebagai dasar penentuan
tindak lanjut bagi Bank untuk memitigasi eksposur Risiko
Likuiditas dan melakukan penyesuaian yang diperlukan
secara tepat waktu terhadap strategi manajemen likuiditas
Bank.
e. Hasil pemantauan disajikan dalam laporan berkala yang
disampaikan kepada pihak yang berkepentingan
sebagaimana diatur dalam kebijakan internal Bank.
4. Pengendalian . . .
untuk
4. Pengendalian
Pengendalian Risiko Likuiditas dilakukan melalui strategi
pendanaan, pengelolaan posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas
harian, pengelolaan posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas
intragroup, pengelolaan aset likuid berkualitas tinggi, dan
rencana pendanaan darurat.
a. Strategi Pendanaan
1) Strategi pendanaan mencakup strategi diversifikasi
sumber dan jangka waktu pendanaan yang dikaitkan
dengan karakteristik dan rencana bisnis Bank.
2) Diversifikasi dilakukan berdasarkan counterparty,
dana dengan atau tanpa jaminan (secured dan
unsecured), jenis instrumen, jenis valuta, dan lokasi
geografis pasar sumber pendanaan.
3) Bank harus mengidentifikasi dan memantau faktor-
faktor utama yang mempengaruhi kemampuannya
untuk memperoleh dana, termasuk mengidentifikasi
dan memantau alternatif sumber pendanaan yang
dapat memperkuat kapasitasnya untuk bertahan pada
kondisi krisis. Alternatif sumber pendanaan tersebut,
antara lain:
a) penerbitan instrumen hutang jangka pendek dan
jangka panjang;
b)
transfer intragroup;
c) penambahan modal baru;
d) penjualan perusahaan anak/bisnis tertentu;
e)
sekuritisasi aset;
f) repo . . .
f)
repo aset likuid atau penjualan aset;
g) penarikan fasilitas siaga (standby facility);
h)
fasilitas likuiditas lainnya.
4) Bank harus melakukan evaluasi terhadap strategi
pendanaan secara berkala dengan memperhatikan
perubahan internal maupun eksternal.
5) Untuk memastikan Manajemen Risiko untuk Risiko
Likuiditas yang efektif, Bank harus memelihara akses
pasar, termasuk sumber likuiditas pada masing-
masing valuta asing bagi Bank yang aktif melakukan
transaksi pada berbagai valuta asing.
6) Pemeliharaan akses pasar sebagaimana dimaksud
pada angka 5) dapat meliputi:
a) memperluas pasar untuk penjualan aset atau
meningkatkan jumlah fasilitas siaga dengan atau
tanpa agunan (secured atau unsecured);
b) berpartisipasi aktif pada pasar yang relevan
dengan strategi pendanaan Bank;
c) memelihara hubungan yang baik dengan
penyedia dana sehingga dapat melakukan
diversifikasi sumber dana dengan baik.
7) Bank harus memiliki analisis mengenai dampak
gangguan pasar pada kondisi krisis, dan
mempertimbangkannya dalam strategi pendanaan.
b. Pengelolaan Posisi Likuiditas dan Risiko Likuiditas Harian
1) Pengelolaan secara aktif atas posisi likuiditas dan
Risiko Likuiditas harian bertujuan untuk memenuhi
kewajiban . . .
kewajiban setiap saat sepanjang hari (intrahari) secara
tepat waktu baik pada kondisi normal maupun kondisi
krisis dengan memprioritaskan kewajiban yang
kritikal.
2) Dalam memenuhi tujuan tersebut, Bank harus
menganalisis perubahan posisi likuiditas yang terjadi
akibat pembayaran dan/atau penerimaan dana
sepanjang hari.
3) Dalam mengelola posisi likuiditas dan Risiko
Likuiditas harian, Bank paling kurang harus memiliki
kemampuan untuk melakukan hal-hal berikut:
a) mengestimasi arus kas masuk dan keluar pada
setiap waktu sepanjang hari dan memprediksi
kebutuhan pendanaan yang mungkin terjadi
pada setiap waktu sepanjang hari. Dalam
melakukan estimasi tersebut, Bank harus:
(1) memahami mekanisme sistem pembayaran
dan sistem setelmen;
(2) mengidentifikasi pihak lawan utama
termasuk bank koresponden dan kustodian
yang terkait dengan sumber arus kas masuk
atau keluar;
(3) mengidentifikasi waktu dan kondisi
dimana arus kas dan/atau kebutuhan
pendanaan meningkat; dan
(4) memahami bisnis yang mendasari arus kas
dan/atau kebutuhan pendanaaan dari setiap
unit bisnis maupun nasabah utama Bank.
b) memantau . . .
b) memantau posisi likuiditas intrahari sehingga
dapat membantu Bank mengalokasikan
likuiditas secara efisien di antara kebutuhan
Bank dan kebutuhan nasabah Bank.
c) mengupayakan pendanaan intrahari yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan intrahari.
d) melakukan pengelolaan aset berkualitas tinggi
yang dapat dijadikan agunan untuk memperoleh
dana intrahari.
4) Dalam mengelola posisi likuiditas dan Risiko
Likuiditas harian, Bank harus menyusun proyeksi arus
kas setiap hari baik dalam rupiah maupun valuta asing
yang paling kurang mencakup proyeksi untuk jangka
waktu satu minggu yang akan datang dan disajikan
secara harian. Penyusunan proyeksi arus kas tersebut
disusun oleh unit yang melakukan kegiatan treasury.
c. Pengelolaan Posisi Likuiditas dan Risiko Likuiditas
Intragroup
1) Dalam pengelolaan posisi likuiditas dan Risiko
Likuiditas intragroup, Bank harus memperhitungkan
dan menganalisis:
a) kebutuhan pendanaan perusahaan dalam
kelompok usaha Bank yang dapat
mempengaruhi kondisi likuiditas Bank; dan
b) kendala/hambatan untuk mengakses likuiditas
intragroup.
2) Dalam . . .
2) Dalam hal Bank menyediakan dukungan likuiditas
kepada perusahaan dalam kelompok usaha Bank,
misalnya dalam bentuk garansi atau fasilitas pinjaman
yang dapat ditarik sewaktu-waktu jika diperlukan,
Bank harus memastikan bahwa dukungan likuiditas
tersebut diperhitungkan dalam pengukuran Risiko
Likuiditas.
d. Pengelolaan Aset Likuid Berkualitas Tinggi
1) Bank harus memiliki aset likuid berkualitas tinggi
dengan jumlah yang cukup dan komposisi yang
disesuaikan dengan karakterisitik bisnis dan profil
Risiko Likuiditas.
2) Bank harus mengelola aset sebagaimana dimaksud
pada angka 1) untuk memenuhi kebutuhan likuiditas
intrahari, jangka pendek, dan jangka panjang.
3) Bank harus melakukan evaluasi terhadap seluruh
posisi aset sebagaimana dimaksud pada angka 1),
termasuk aset yang telah diikat sebagai agunan dan
aset yang tersedia untuk dijadikan agunan.
4) Bank harus memantau aset dan komposisi aset
sebagaimana dimaksud pada angka 1), termasuk
ketersediaan pasar aktif dan kemudahan
penjualan/pengagunan serta waktu yang dibutuhkan
untuk proses pengagunan.
5) Bank harus memiliki prosedur operasional untuk
mengagunkan atau menyerahkan agunan kepada
pihak lawan, bank koresponden, bank kustodian,
dan/atau Bank Indonesia.
6) Dalam . . .
6) Dalam hal Bank telah mengagunkan aset likuid
berkualitas tinggi yang dimiliki, Bank harus
memantau level agunan yang telah diagunkan dan
memahami prosedur dan waktu yang dibutuhkan
untuk memperoleh kembali agunan tersebut.
7) Bank harus mempertimbangkan potensi gangguan
pada operasional dan likuiditas yang dapat
meningkatkan kebutuhan tambahan agunan.
8) Bank yang melakukan transaksi derivatif harus
mempertimbangkan potensi kebutuhan deposit/
collateral tambahan sebagai dampak perubahan posisi
pasar atau perubahan pada credit rating atau posisi
keuangan Bank.
e. Rencana Pendanaan Darurat / Contingency Funding Plan
(CFP)
1) Bank harus memiliki rencana pendanaan darurat /
contingency funding plan (CFP) untuk menangani
permasalahan likuiditas dalam berbagai kondisi krisis.
2) Rencana pendanaan darurat harus disesuaikan dengan
tingkat profil Risiko, hasil stress test, kompleksitas
usaha, cakupan bisnis dan struktur organisasi, serta
peran Bank dalam sistem keuangan.
3) Rencana pendanaan darurat meliputi kebijakan,
strategi, prosedur, dan rencana tindak (action plan)
untuk memastikan kemampuan Bank memperoleh
sumber pendanaan yang diperlukan secara tepat
waktu dan dengan biaya yang wajar.
4) Rencana . . .
4) Rencana pendanaan darurat sebagaimana dimaksud
pada angka 3) paling kurang mencakup:
a) penetapan indikator dan/atau peristiwa yang
digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya
kondisi krisis;
b) mekanisme pemantauan dan pelaporan internal
Bank mengenai
indikator sebagaimana
dimaksud pada huruf a) secara berkala;
c)
strategi dalam menghadapi berbagai kondisi
krisis dan prosedur pengambilan keputusan
untuk melakukan tindakan atas perubahan
perilaku dan pola arus kas yang menyebabkan
defisit arus kas;
d)
strategi untuk memperoleh dukungan pendanaan
(back-up liquidity) dalam kondisi krisis dengan
mempertimbangkan biaya serta dampaknya
terhadap modal serta berbagai aspek penting
lainnya yang antara lain mencakup:
(1) sumber pendanaan utama, jumlah yang
tersedia atau dapat diperoleh, dan waktu
yang diperlukan untuk memperoleh dana
tersebut;
(2) kemungkinan ketersediaan
back-up
liquidity dan prakondisi penggunaan dana
tersebut;
(3) alternatif . . .
(3) alternatif pendanaan lainnya pada saat
back-up liquidity yang dimiliki tidak dapat
digunakan.
(4) dampak kondisi krisis di pasar pada
kemampuan Bank untuk menjual,
mengagunkan, dan/atau melakukan
sekuritisasi aset;
(5) kemampuan Bank untuk memperoleh
fasilitas likuiditas lainnya;
e) koordinasi manajerial (line of command) yang
paling kurang mencakup:
(1) penetapan pihak yang berwenang dan
bertanggung jawab untuk melakukan
identifikasi terjadinya kondisi krisis;
(2) pembentukan tim khusus (contingency
crisis team) dan/atau penunjukan pihak
yang bertanggung jawab sebagai
koordinator dan pelaksana dalam
pelaksanaan rencana pendanaan darurat;
(3) penetapan dan pembagian wewenang dan
tanggung jawab yang jelas dalam
pelaksanaan rencana pendanaan darurat
sehingga setiap anggota memahami
perannya dalam kondisi krisis; dan
(4) penetapan . . .
(4) penetapan strategi dan prosedur
komunikasi baik kepada pihak internal
yang meliputi komunikasi antar satuan
kerja, maupun eksternal Bank termasuk
pihak media dan nasabah dalam hal
terdapat pemberitaan atau publikasi
negatif;
f)
prosedur pelaporan internal untuk memastikan
ketersediaan berbagai informasi yang diperlukan
secara tepat waktu dalam rangka pengambilan
keputusan oleh manajemen; dan
g) prosedur untuk menetapkan prioritas hubungan
dengan nasabah termasuk debitur, kreditur, dan
pihak-pihak lawan dalam transaksi rekening
administratif untuk mengatasi permasalahan
likuiditas dalam kondisi krisis;
5) Rencana pendanaan darurat harus didokumentasikan,
dievaluasi, dikinikan, dan diuji secara berkala untuk
memastikan tingkat keandalan;
6) Pengujian rencana pendanaan darurat dilakukan untuk
mengetahui tingkat kemampuan Bank memperoleh
dana dari pihak lawan yang ada atau dari pasar,
dengan berbagai skenario.
Pengujian rencana pendanaan darurat dapat dilakukan
dengan berbagai pendekatan antara lain:
a) menguji
. . .
a) menguji kemampuan Bank untuk memperoleh
likuiditas dalam jumlah yang memadai, tepat
waktu dan dengan biaya yang wajar antara lain
melalui penggunaan credit line secara berkala,
menjual aset keuangan dan/atau melakukan
transaksi repo atas aset keuangan tertentu,
memperoleh pinjaman tanpa agunan dan/atau
jaminan, dan memperoleh pinjaman yang bukan
overnight.
b) melakukan simulasi terhadap efektivitas jalur
komunikasi, baik dilingkup internal maupun
eksternal;
c) menguji kemampuan untuk memperoleh
informasi yang diperlukan manajemen secara
tepat waktu.
5. Sistem Informasi Manajemen Risiko
a. Bank harus memiliki sistem informasi Manajemen Risiko
yang memadai dan andal untuk mendukung pelaksanaan
proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian, serta pelaporan Risiko Likuiditas dalam
kondisi normal dan kondisi krisis secara lengkap, akurat,
kini, dan utuh.
b. Sistem informasi Manajemen Risiko harus dapat
menyediakan informasi terkini dan tepat waktu mengenai
Risiko Likuiditas kepada Dewan Komisaris, Direksi, dan
satuan kerja yang terkait dalam penerapan Manajemen
Risiko untuk Risiko Likuiditas.
Sistem . . .
Sistem informasi Manajemen Risiko harus dapat
menyediakan informasi paling kurang mengenai:
1)
arus kas dan profil maturitas dari aset, kewajiban, dan
rekening administratif;
2) kepatuhan terhadap kebijakan, strategi, dan prosedur
Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas termasuk
limit dan rasio likuditas;
3)
4)
laporan profil Risiko dan trend likuiditas untuk
kepentingan manajemen secara tepat waktu; dan
informasi yang dapat digunakan untuk keperluan
stress testing.
c. Sistem informasi Manajemen Risiko dan informasi yang
dihasilkan dapat disesuaikan dengan karakteristik, kegiatan
usaha, dan kompleksitas bisnis Bank.
d.
Informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi
Manajemen Risiko meliputi antara lain:
1) posisi dan valuasi portofolio aset likuid berkualitas
tinggi;
2) konsentrasi sumber pendanaan;
3)
aset dan kewajiban serta tagihan dan kewajiban off
balance sheet, yang bersifat tidak stabil (volatile);
4) proyeksi arus kas dan profil maturitas;
5)
analisa arus kas dan ketersediaan akses pendanaan;
6) kepatuhan terhadap strategi dan limit yang telah
ditetapkan;
7) kemampuan untuk meminjam atau melakukan
penjualan aset pada berbagai pasar;
8) kapasitas . . .
8) kapasitas penyedia standby facilities untuk memenuhi
komitmen;
9) dampak dari penurunan kualitas aset, gangguan
operasional, atau gangguan di pasar terhadap arus kas
di masa datang dan kepercayaan pasar.
e. Sistem informasi Manajemen Risiko harus mendukung
pelaksanaan pelaporan kepada Bank Indonesia.
D. Sistem Pengendalian Intern
1. Bank harus memiliki sistem pengendalian intern yang memadai
untuk memastikan integritas, efektifitas, dan kewajaran dari
proses Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas.
2. Bank harus melakukan evaluasi atas penerapan Manajemen
Risiko untuk Risiko Likuiditas. Evaluasi dimaksud meliputi:
a. kepatuhan pada kebijakan dan prosedur pengelolaan
likuiditas;
b. kecukupan sistem dan prosedur untuk melakukan
identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian
Risiko Likuiditas;
c.
efektivitas proses pelaksanaan identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko Likuiditas secara
berkala;
d.
integritas laporan sistem informasi Manajemen Risiko.
3. Kelemahan dan permasalahan yang teridentifikasi dalam
evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 harus dilaporkan
kepada pihak yang bertanggung jawab dan ditindaklanjuti.
4. Bank harus memastikan bahwa pihak yang melakukan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada angka 2 adalah pihak intern yang
independen dan memiliki kompetensi yang memadai.
III. PEDOMAN . . .
III. PEDOMAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
A. Pedoman penerapan Manajeman Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal
19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009, yang terkait dengan penerapan Manajemen
Risiko untuk Risiko Likuiditas dan telah dimiliki Bank,
wajib disesuaikan dengan pengaturan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
B. Penyesuaian pedoman sebagaimana dimaksud pada huruf A wajib
dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan setelah berlakunya Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
IV. PELAPORAN
A. Dalam rangka pemantauan likuiditas, Bank wajib menyampaikan
kepada Bank Indonesia:
1. Laporan Proyeksi Arus Kas dalam rangka pengelolaan posisi
likuiditas dan Risiko Likuiditas harian sebagaimana dimaksud
pada butir II.C.4.b.4); dan
2. Laporan Profil Maturitas,
baik dalam rupiah maupun valuta asing.
B. Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana dimaksud pada huruf A
angka 1 mencakup data proyeksi arus kas selama 1 (satu) minggu
berikutnya yang dipetakan secara harian. Laporan tersebut
disampaikan secara mingguan yaitu setiap hari Jumat sesuai dengan
format internal Bank.
Contoh . . .
Contoh: Bank wajib menyampaikan Laporan Proyeksi Arus Kas pada
hari Jumat tanggal 3 Juli 2009 yang mencakup proyeksi arus kas hari
Senin tanggal 6 Juli 2009 sampai dengan hari Jumat tanggal 10 Juli
2009.
Dalam hal hari Jumat jatuh pada hari libur, maka laporan disampaikan
pada hari kerja sebelumnya.
C. Format Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana dimaksud pada huruf
B mencakup paling kurang pos-pos neraca dan pos-pos rekening
administratif yang memiliki transaksi yang signifikan sesuai dengan
karakteristik, kegiatan usaha, dan kompleksitas Bank serta harus
dilakukan secara konsisten. Bank Indonesia dapat meminta Bank
untuk menyesuaikan format Laporan Proyeksi Arus Kas yang
disampaikan kepada Bank Indonesia.
Dalam hal Bank mengubah format Laporan Proyeksi Arus Kas yang
disampaikan kepada Bank Indonesia, Bank wajib menginformasikan
alasan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia.
D. Laporan Profil Maturitas sebagaimana dimaksud pada huruf A angka
2 disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan dengan cakupan
dan format sesuai Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Laporan tersebut disampaikan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank Umum.
E. Laporan Proyeksi Arus Kas dan Laporan Profil Maturitas disampaikan
kepada Bank Indonesia secara on-line yaitu:
1. Laporan Proyeksi Arus Kas melalui Laporan Kantor Pusat Bank
Umum (LKPBU);
2. Laporan Profil Maturitas melalui Laporan Berkala Bank Umum
(LBBU).
F. Selama . . .
F. Selama Laporan Proyeksi Arus Kas belum dapat disampaikan secara
on-line melalui LKPBU, laporan tersebut wajib disampaikan secara
off-line oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai
berikut:
1. Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta
10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia; atau
2. Kantor Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
G. Selama format Laporan Profil Maturitas dalam LBBU belum sesuai
dengan format pada Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini,
Bank tetap wajib menyampaikan Laporan Profil Maturitas sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan
Berkala Bank Umum yang berlaku.
H. Selain penyampaian laporan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud
pada huruf A, Bank Indonesia dalam kondisi tertentu dapat
mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan yang terkait dengan
penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas diluar waktu
yang ditetapkan dan/atau laporan lain selain yang wajib disampaikan
secara berkala. Contoh laporan lain selain yang wajib disampaikan
secara berkala adalah laporan proyeksi arus kas dalam rangka
pengukuran Risiko sebagaimana dimaksud pada butir II.C.2.b.1) dan
laporan stress testing sebagaimana dimaksud pada butir II.C.2.b.4).
V. SANKSI
. . .
V. SANKSI
A. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia
ini dikenakan sanksi sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009.
B. Pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada butir IV, selain dikenakan sanksi sesuai
huruf A, juga dikenakan sanksi sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum dan Laporan
Berkala Bank Umum yang berlaku.
VI. KETENTUAN PERALIHAN
Ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No. 31/179/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 perihal Pemantauan
Likuiditas Bank Umum yang mengatur mengenai Pedoman Likuiditas
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
VII. KETENTUAN PENUTUP
A. Kewajiban penyampaian Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana
dimaksud pada butir IV.A.1 mulai berlaku pada tanggal
30 Oktober 2009.
B. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka:
1. Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/18/UPPB tanggal
31 Desember 1998 perihal Pemantauan Likuiditas Bank Umum;
dan
2. angka . . .
angka III.3 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia
No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 perihal Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DIREKTUR PENELITIAN DAN
PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 11/16/DPNP|SE-BI/2009 </reg_id>
<reg_title> Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas </reg_title>
<set_date> 6 Juli 2009 </set_date>
<effective_date> 6 Juli 2009 </effective_date>
<replaced_reg> '31/18/UPPB|SE-BI/1998', '5/21/DPNP|SE-BI/2003 | Lampiran angka III.3' </replaced_reg>
<related_reg> '5/8/PBI/2003', '11/25/PBI/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
|
No. 8/ 28 /DPBPR
Jakarta, 12 Desember 2006
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT
DI INDONESIA
Perihal : Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan
Rakyat
----------------------------------------------------------------------------
Dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/18/PBI/2006
tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4644), yang
selanjutnya disebut PBI, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat, dalam Surat Edaran
sebagai berikut:
I. UMUM
1. Modal merupakan salah satu faktor yang penting bagi Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) dalam rangka pengembangan usaha dan menampung
kemungkinan risiko kerugian.
2. Kewajiban penyediaan modal minimum bagi BPR, yang selanjutnya
disebut KPMM, ditentukan berdasarkan risiko yang terkandung dalam
aktiva neraca. Secara teknis, KPMM diukur berdasarkan persentase
tertentu terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).
3. Penilaian …
2
3. Penilaian pemenuhan KPMM, didasarkan pada perhitungan secara
kuantitatif dan penilaian faktor-faktor lain seperti kualitas aktiva
produktif baik oleh BPR yang bersangkutan maupun oleh Bank
Indonesia.
II. PERMODALAN
1. Sesuai dengan Pasal 2 PBI, BPR diwajibkan untuk menyediakan modal
minimum sebesar 8% (delapan perseratus) dari ATMR.
2. Modal sebagaimana dimaksud pada angka 1 terdiri dari modal inti dan
modal pelengkap.
3. Dana setoran modal sebagai bagian dari modal inti disetorkan oleh
pemilik/calon pemilik kepada BPR untuk tujuan penambahan modal
yang selanjutnya oleh BPR ditempatkan dalam bentuk deposito pada
Bank Umum di Indonesia, atas nama ”Dewan Gubernur Bank Indonesia
q.q. BPR yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan
”Pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan
tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia”.
4. Aktiva tetap yang dapat digunakan sebagai setoran modal adalah tanah
dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha BPR dan tidak
dimaksudkan untuk dijual.
III. PERHITUNGAN AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RISIKO
(ATMR)
1. Dalam menghitung ATMR, pos-pos aktiva diberikan bobot risiko yang
besarnya didasarkan pada risiko yang terkandung pada aktiva itu sendiri
atau risiko yang didasarkan pada jenis aktiva, golongan debitur,
penjamin, atau sifat barang jaminan.
2. Dengan …
3
2. Dengan memperhatikan prinsip sebagaimana dimaksud pada angka 1
maka rincian bobot risiko adalah sebagai berikut:
0%:
a. Kas.
b. Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
c.
Kredit dengan agunan berupa SBI, tabungan dan deposito
yang diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan
surat kuasa pencairan, emas dan logam mulia, sebesar nilai
terendah antara agunan dan baki debet.
d. Kredit kepada Pemerintah Pusat.
20%: a. Giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan
serta tagihan lainnya kepada bank lain.
b.
Kredit kepada atau yang dijamin oleh bank lain atau
Pemerintah Daerah.
40%: Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dijamin oleh hak
tanggungan pertama dengan tujuan untuk dihuni.
50%: a. Kredit kepada atau yang dijamin oleh Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD).
Yang dimaksud dengan BUMN sebagai penjamin adalah
lembaga penjamin kredit milik Pemerintah Pusat.
Yang dimaksud dengan BUMD sebagai penjamin adalah
BUMD yang melakukan usaha sebagai perusahaan
penjamin dan melakukan perjanjian kerjasama penjaminan
kredit dengan lembaga penjamin kredit milik Pemerintah
Pusat.
b. Kredit kepada Pegawai/Pensiunan, yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) Pegawai …
4
1) Pegawai/Pensiunan yang menerima kredit adalah:
a) pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/POLRI,
pegawai
BUMN/BUMD;
b) pensiunan PNS, pensiunan anggota TNI/POLRI,
pensiunan pegawai lembaga negara atau pensiunan
pegawai BUMN/BUMD;
2) Pegawai/Pensiunan dijamin dengan asuransi jiwa dari
perusahaan asuransi yang memiliki kriteria sebagai
berikut:
a) memiliki izin usaha dari instansi yang berwenang;
b) laporan keuangan terakhir telah diaudit oleh
akuntan publik dan memenuhi ketentuan tingkat
solvabilitas minimum sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku; dan
c) tidak merupakan pihak terkait dengan BPR;
3) Pembayaran angsuran/pelunasan kredit bersumber dari
gaji/pensiun berdasarkan Surat Kuasa Memotong
Gaji/Pensiun kepada BPR. Dalam hal pembayaran
gaji/pensiun dilakukan melalui Bank lain atau BUMN
lain, maka BPR harus memiliki perjanjian kerjasama
dengan Bank lain atau BUMN lain pembayar
gaji/pensiun untuk melakukan pemotongan
gaji/pensiun dalam rangka pembayaran
angsuran/pelunasan kredit; dan
lembaga negara atau pegawai
4) BPR …
5
4) BPR menyimpan asli surat pengangkatan pegawai atau
surat keputusan pensiun atau Kartu Registrasi Induk
Pensiun (KARIP) dan polis pertanggungan asuransi
jiwa debitur.
85%: Kredit kepada usaha mikro dan kecil.
Kredit kepada usaha mikro adalah kredit dengan plafon
sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Kredit kepada usaha kecil adalah kredit dengan plafon di atas
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
100%: a. Kredit kepada atau yang dijamin oleh perorangan, koperasi
atau kelompok dan perusahaan lainnya.
b. Aktiva tetap dan inventaris (nilai buku).
c. Aktiva lainnya selain tersebut di atas.
3. Aktiva produktif dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan atau Macet
dalam perhitungan ATMR dinilai sebesar nilai buku yaitu setelah
dikurangi dengan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Khusus dari aktiva produktif dengan kualitas Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet.
Penilaian kualitas aktiva produktif (KAP) dan PPAP mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai KAP dan PPAP
BPR.
Format perhitungan ATMR adalah sebagaimana Lampiran 1.
IV. TATA …
6
IV. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN MODAL MINIMUM
Perhitungan kebutuhan modal minimum Bank Perkreditan Rakyat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada ATMR yang dihitung
dengan cara mengalikan nilai nominal pos-pos aktiva dengan bobot
risiko masing-masing. Perhitungan ATMR bagi aktiva produktif
dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan atau Macet dilakukan
dengan cara mengalikan nilai buku sebagaimana dimaksud pada angka
III.3 dengan bobot risiko masing-masing.
2. Menjumlahkan ATMR dari masing-masing pos aktiva.
3. Menjumlahkan modal inti dan modal pelengkap untuk mengetahui
jumlah modal BPR.
4. Menghitung modal minimum dengan cara mengalikan jumlah ATMR
dengan 8% (delapan perseratus).
5. Menghitung kekurangan modal dengan cara membandingkan jumlah
modal minimum pada angka 4 dengan jumlah modal pada angka 3.
6. Menghitung KPMM dengan cara membandingkan jumlah modal BPR
pada angka 3 dengan ATMR pada angka 2.
Format perhitungan kebutuhan modal minimum BPR adalah sebagaimana
Lampiran 2.
V. ADMINISTRASI KPMM
Mengingat bahwa modal merupakan faktor yang penting bagi BPR dalam
rangka pengembangan usaha yang sehat dan dapat menampung risiko
kerugian, maka pengurus BPR harus:
1. Melaksanakan …
7
1. Melaksanakan ekspansi usaha dalam batas-batas yang dapat ditampung
oleh permodalan BPR yang bersangkutan.
2. Selalu memantau kondisi permodalan BPR dengan cara menghitung
sendiri kecukupan permodalan sesuai dengan ketentuan tersebut di atas,
sekurang-kurangnya untuk periode bulanan dengan menggunakan data
laporan bulanan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan format sebagaimana contoh pada lampiran Surat Edaran
ini.
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Nomor
26/2/BPPP tanggal 29 Mei 1993 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
bagi Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal .12..Desember 2006.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SITI CH. FADJRIJAH
DEPUTI GUBERNUR
DPBPR
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/28/DPBPR tanggal 12 Desember 2006
Lampiran 1
PERHITUNGAN AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RESIKO (ATMR)
K O M P O N E N
ATMR
I. AKTIVA NERACA
1.1.
Kas
1.2.
1.3.
Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Kredit dengan agunan berupa SBI,
tabungan dan deposito yang diblokir pada
BPR yang bersangkutan disertai dengan
surat kuasa pencairan, emas dan logam
mulia, sebesar nilai terendah antara agunan
dan baki debet
1.4.
1.5.
1.6.
1.7.
1.8.
1.9.
Kredit kepada Pemerintah Pusat
Giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan serta tagihan lainnya
kepada bank lain.
Kredit kepada atau yang dijamin oleh bank
lain atau Pemerintah Daerah
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang
dijamin oleh hak tanggungan pertama
dengan tujuan untuk dihuni
Kredit kepada atau yang dijamin oleh
BUMN/BUMD
Kredit kepada Pegawai/Pensiunan
1.10. Kredit kepada Usaha Mikro dan Kecil
1.11.
Kredit kepada atau yang dijamin oleh:
a. Perorangan
b. Koperasi
c. Kelompok dan perusahaan lainnya
1.12. Aktiva tetap dan inventaris (nilai buku)
1.13. Aktiva lainnya selain tersebut di atas
II. JUMLAH ATMR
Keterangan
*) Diisi dengan jumlah nominal setelah dikurangi PPAP khusus yang wajib dibentuk oleh
BPR (khusus untuk aktiva produktif dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan
Macet).
**) Diisi dengan jumlah nominal setelah dikurangi PPAP khusus yang wajib dibentuk oleh
BPR (khusus untuk aktiva produktif dengan kualitas Kurang Lancar, dan Macet),
kecuali Giro.
*)
**)
*)
*)
*)
*)
*)
*)
*)
*)
0
0
0
NOMINAL
BOBOT
RISIKO
%
ATMR
0
20
20
40
50
50
85
100
100
100
100
100
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/28/DPBPR tanggal 12 Desember 2006
Lampiran 2
PERHITUNGAN KEBUTUHAN MODAL MINIMUM
KETERANGAN
JUMLAH
SETIAP
KOMPONEN
MODAL
I. MODAL INTI
1.1. Modal disetor
1.2. Agio
1.3. Disagio -/-
1.4. Modal sumbangan
1.5. Dana setoran modal
1.6. Cadangan umum
1.7. Cadangan tujuan
1.8. Laba ditahan
1.9. Laba tahun-tahun lalu
1.10 Rugi tahun-tahun lalu -/-
1.11 Laba tahun berjalan setelah dikurangi
kekurangan PPAP (max 50% setelah
dikurangi taksiran hutang PPh)
1.12 Rugi tahun berjalan -/-
1.13 Sub total
1.14 Goodwill -/-
1.15 Jumlah Modal Inti
II. MODAL PELENGKAP
2.1. Cadangan revaluasi aktiva tetap
2.2. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
Umum (maksimum 1,25% dari ATMR)
2.3 Modal Pinjaman
2.4 Pinjaman Subordinasi (maksimum 50% dari
modal inti)
2.5
Jumlah Modal Pelengkap (maksimum 100%
dari modal inti)
III. JUMLAH MODAL (1.15 + 2.5)
MODAL MINIMUM (8% x ATMR)
JUMLAH KEKURANGAN MODAL
JUMLAH MODAL
RASIO KPMM (CAR) = -------------------------
ATMR
JUMLAH
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 8/28/DPBPR|SE-BI/2006 </reg_id>
<reg_title> Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat </reg_title>
<set_date> 12 Desember 2006 </set_date>
<effective_date> 12 Desember 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '26/2/BPPP|SE-BI/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '8/18/PBI/2006' </related_reg>
|
No. 10/ 46 /DInt
Jakarta, 22 Desember 2008
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA PERUSAHAAN BUKAN BANK DI INDONESIA
Perihal : Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/7/PBI/2008 tanggal 19 Februari 2008 tentang Pinjaman Luar Negeri
Perusahaan Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
4821), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank
Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
A. DEFINISI
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan :
1. Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank yang untuk
selanjutnya disebut PLN Perusahaan adalah semua bentuk pinjaman
perusahaan dari bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah,
surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh perusahaan,
dan kewajiban lain kepada bukan penduduk dalam valuta asing
maupun rupiah, termasuk juga yang dilakukan berdasarkan prinsip
syariah.
2. Prinsip …
2. Prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran
Islam yang penetapannya dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia.
3. Perusahaan Bukan Bank yang selanjutnya disebut Perusahaan adalah:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
c. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang meliputi:
1) Perusahaan Publik,
2) Emiten,
3) Perusahaan Penanaman Modal Asing,
4) BUMS lainnya dengan aset atau penjualan bruto selama 1
(satu) tahun paling sedikit Rp.100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
4. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah
badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku.
5. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD adalah
badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan tentang Badan Usaha Milik Daerah yang berlaku.
6. Perusahaan Publik adalah perseroan dengan jumlah pemegang saham
dan modal disetor tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan tentang Pasar Modal yang berlaku.
7. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Pasar Modal
yang berlaku.
8. Perusahaan …
8. Perusahaan Penanaman Modal Asing adalah perusahaan yang
sahamnya dimiliki oleh Bukan Penduduk paling rendah 10% (sepuluh
per seratus).
9. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang
tidak berdomisili di Indonesia atau tidak berencana berdomisili di
Indonesia.
10. Kreditur atau Penyedia Dana adalah orang, badan hukum atau badan
lainnya yang memberi pinjaman atau menyediakan dana atau yang
dapat dipersamakan dengan itu, kepada perusahaan untuk jangka
waktu tertentu dengan terms and conditions yang telah disepakati.
11. PLN Perusahaan Jangka Pendek adalah PLN Perusahaan dengan
jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, baik langsung dari
kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak
lain yang merupakan afiliasi maupun non afiliasi.
12. PLN Perusahaan Jangka Panjang adalah PLN Perusahaan dengan
jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, baik langsung dari kreditur
atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang
merupakan afiliasi maupun non afiliasi.
13. Pihak Lain Afiliasi adalah Pihak Lain yang memiliki hubungan
kepemilikan modal atau saham pada Perusahaan paling rendah
sebesar 10% (sepuluh per seratus) atau termasuk dalam satu grup.
14. Pihak Lain Non Afiliasi adalah Pihak Lain yang tidak memiliki
hubungan kepemilikan modal atau saham atau memiliki hubungan
kepemilikan modal atau saham lebih rendah dari 10% (sepuluh per
seratus) pada Perusahaan atau tidak termasuk dalam satu grup.
15. Tahun adalah tahun kalender yang dimulai dari bulan Januari sampai
dengan bulan Desember.
B. RUANG …
B. RUANG LINGKUP
Jenis PLN Perusahaan meliputi :
1. Pinjaman dalam Rupiah maupun valuta asing yang dilakukan
berdasarkan perjanjian pinjaman (Loan Agreement) dengan Bukan
Penduduk.
Perjanjian pinjaman dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan
perjanjian pinjaman dengan penduduk tidak termasuk dalam ruang
lingkup PLN Perusahaan.
2. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan
internasional melalui penawaran umum.
3. Surat utang dalam rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan
melalui private placement kepada Bukan Penduduk.
4. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan
dalam negeri melalui penawaran umum.
5. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan melalui private
placement kepada penduduk.
6. Kewajiban lainnya kepada Bukan Penduduk baik dalam valuta asing
maupun rupiah selain Pinjaman Luar Negeri Perusahaan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5.
Yang dimaksud kewajiban lainnya meliputi antara lain sub ordinated
loan dan sejenisnya yang dicatat sebagai bagian dari komponen
modal.
Kewajiban dalam bentuk utang dagang dan sewa tidak termasuk
dalam ruang lingkup PLN Perusahaan.
Bentuk kewajiban dan surat utang sebagaimana dimaksud pada angka 1
sampai dengan angka 6 yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah
termasuk dalam jenis PLN Perusahaan.
Surat utang sebagaimana dimaksud pada angka 2, 3, 4, dan 5
diperhitungkan sebagai PLN Perusahaan pada saat diterbitkan.
C. PRINSIP …
C. PRINSIP UMUM
1. Perusahaan melakukan PLN Perusahaan Jangka Panjang maupun
Jangka Pendek sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Prinsip kehati-hatian
a. Penerapan Fungsi Manajemen Risiko
1) Perusahaan yang akan melakukan PLN Perusahaan Jangka
Pendek maupun Jangka Panjang, harus menerapkan fungsi
manajemen risiko yang meliputi pengelolaan atas:
a) Risiko Pasar
Risiko Pasar adalah risiko nilai tukar dan risiko tingkat
bunga.
Contoh upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan
antara lain dengan :
(1) memperhitungkan dampak pergerakan nilai tukar dan
suku bunga terhadap perubahan nilai pinjaman dan
kemampuan membayar kembali; dan/atau
(2) melakukan lindung nilai (hedging).
b) Risiko Kredit
Risiko Kredit adalah risiko ketidakmampuan membayar
kembali seluruh atau sebagian kewajiban secara tepat
waktu.
Jenis Risiko Kredit antara lain ketidakmampuan
membayar seluruh atau sebagian kewajiban antara lain
pokok, bunga, denda dan/atau biaya terkait lainnya.
Contoh upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan
antara lain dengan menyesuaikan jangka waktu pinjaman
dengan periode penggunaannya.
c). Risiko …
c) Risiko Likuiditas
Risiko Likuiditas adalah risiko ketidaktersediaan dana
yang diperlukan untuk melunasi kewajiban pada saat jatuh
tempo dan membiayai kegiatan usaha.
Contoh upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan
antara lain :
(1) mengelola cash flow;
(2) mempersiapkan contigency plan dan sumber
pembiayaan pinjaman; dan
(3) mempertimbangkan reputasi kreditur atau penyedia
dana dalam hal dilakukan counter pembiayaan dari
kreditur lain
2) Dalam rangka menerapkan fungsi manajemen risiko,
Perusahaan dapat memperhatikan indikator-indikator yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam melakukan PLN
Perusahaan yaitu :
a) Indikator micro adalah indikator yang digunakan dalam
rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
pengelolaan PLN Perusahaan, yang diterbitkan dalam
bentuk tabel indikator yaitu Financial Ratio Indicators by
Economic Sectors, yaitu indikator rasio keuangan per
sektor ekonomi seperti:
(1) Pertanian;
(2) Pertambangan;
(3) Industri Dasar dan Kimia;
(4) Aneka Industri;
(5) Barang Konsumsi;
(6) Properti dan Real Estate;
(7) Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi;
(8) Keuangan …
(8) Keuangan Non Bank;
(9) Perdagangan, Jasa dan Investasi
yang diformulasikan dalam bentuk rata-rata atau kisaran
indeks rasio keuangan baik jangka panjang maupun jangka
pendek, dengan contoh sebagaimana lampiran h.
b) Indikator macro adalah indikator yang digunakan dalam
rangka menerapkan prinsip kehati-hatian atas exposure
PLN Perusahaan dalam skala makro (nasional) khususnya
dari perspektif moneter yang diformulasikan dalam bentuk
debt indicator ratio, yang meliputi antara lain :
(1) Private external debt to total external debt
(2) Debt to Gross Domestic Product
dengan contoh table sebagaimana lampiran i.
3) Indikator micro dan macro sebagaimana dimaksud dalam
angka 2) akan dipublikasikan oleh Bank Indonesia antara lain
melalui email dan/atau website Bank Indonesia – Investor
Relation Unit.
b. Penilaian rating (peringkat)
Penilaian peringkat adalah penilaian peringkat kredit perusahaan
(corporate rating) yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat
nasional dan/atau internasional kepada Perusahaan yang
menggambarkan kemampuan dan kemauan Perusahaan untuk
membayar kewajiban finansialnya sesuai dengan terms &
conditions yang dipersyaratkan.
Perusahaan yang berencana melakukan PLN Perusahaan Jangka
Panjang harus memiliki penilaian peringkat dari lembaga
pemeringkat nasional dan/atau internasional.
Lembaga …
Lembaga pemeringkat yang dapat digunakan adalah seluruh
lembaga pemeringkat baik yang terdapat di dalam negeri ataupun
luar negeri tanpa kriteria tertentu.
Keharusan untuk memiliki penilaian peringkat sebagaimana
dimaksud di atas tidak berlaku untuk :
1) BUMS yang memperoleh PLN Perusahaan secara langsung
dari perusahaan induk (pemegang saham).
Perusahaan induk (pemegang saham) adalah perusahaan induk
sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang Pelaporan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Perusahaan Bukan
Lembaga Keuangan yang berlaku, tidak termasuk :
a) Perusahaan yang memiliki PLN Perusahaan dari
perusahaan lain di luar negeri namun termasuk dalam
satu grup perusahaan (sister company).
b) Perusahaan yang menerbitkan surat utang di pasar
keuangan melalui Special Purpose Vehicle (SPV).
2) BUMN dan BUMD dengan aset atau penjualan bruto selama 1
(satu) tahun kurang dari Rp.100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
3. Kewajiban Pelaporan
a. Perusahaan wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia
secara benar dan lengkap, yaitu :
1) Perusahaan yang berencana memperoleh PLN Perusahaan
Jangka Panjang, meliputi :
a) Rasio Keuangan;
b) Laporan Keuangan;
c) Penilaian peringkat;
d) Laporan Rencana PLN Perusahaan untuk 1 (satu) tahun;dan
e) Hasil analisis manajemen risiko perusahaan.
2) Perusahaan …
2) Perusahaan yang memiliki posisi PLN Perusahaan Jangka
Pendek dan/atau PLN Perusahaan Jangka Panjang, meliputi :
a) Rasio keuangan;
b) Laporan keuangan
Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam angka
1) huruf b) dan angka 2) huruf b) adalah laporan keuangan yang
telah diaudit maka harus mencantumkan nama auditor.
Dalam hal laporan keuangan dimaksud belum diaudit maka harus
diberi penjelasan bahwa laporan tersebut belum diaudit, atau
dalam hal sedang diaudit, maka mencantumkan nama auditor
yang sedang melakukan pemeriksaan.
b. BUMS lainnya yang mengalami penurunan total aset atau
penjualan bruto sehingga menjadi kurang dari
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), tetap wajib
menyampaikan laporan rasio keuangan dan laporan keuangan
sepanjang masih memiliki outstanding PLN Perusahaan.
c. BUMS lainnya yang pada saat merencanakan PLN Perusahaan :
1) memiliki total aset atau penjualan bruto kurang dari
Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), namun
mengalami peningkatan total aset atau penjualan bruto
menjadi Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau
lebih atas dasar posisi laporan keuangan terakhir, dan/atau
2) berubah status menjadi BUMN, BUMD, BUMS Perusahaan
Publik, BUMS Emiten atau BUMS Perusahaan Penanaman
Modal Asing
wajib menyampaikan laporan rasio keuangan dan laporan
keuangan sepanjang masih memiliki outstanding PLN
Perusahaan.
II. LAPORAN …
II. LAPORAN
A. Jenis Laporan
Laporan PLN Perusahaan meliputi :
1. Rasio Keuangan Perusahaan, memuat keterangan dan data mengenai :
a. Jenis Rasio, meliputi :
1) Rasio Likuiditas terdiri dari :
a) Current Ratio, rasio yang menunjukkan kemampuan aset
lancar yang dimiliki Perusahaan dalam menyelesaikan
kewajiban jangka pendek.
b) Quick Ratio, rasio yang menunjukkan kemampuan aset
paling lancar yang dimiliki Perusahaan dalam
menyelesaikan kewajiban jangka pendek.
2) Rasio Solvabilitas terdiri dari :
a) Debt to Equity Ratio, rasio yang menunjukkan struktur
permodalan Perusahaan, jika dibandingkan dengan
kewajibannya.
b) Long Term Debt to Equity Ratio, rasio yang menunjukkan
struktur permodalan Perusahaan, jika dibandingkan
dengan kewajibannya jangka panjangnya.
3) Rasio Profitabilitas, terdiri dari :
a) Net Profit Margin, rasio yang menunjukkan kontribusi
penjualan terhadap laba bersih yang dihasilkan.
b) Return on Equity, rasio yang menunjukkan tingkat
pengembalian (return) yang dihasilkan manajemen atas
modal yang ditanam oleh pemegang saham.
c) Return on Asset, rasio yang menunjukkan tingkat
keuntungan (earning) yang dihasilkan manajemen atas
total aset yang dimiliki.
2. Laporan …
2. Laporan Keuangan Perusahaan, memuat keterangan dan data
mengenai :
a. Neraca yang disajikan pada akhir tahun sebelumnya dan akhir
semester pertama tahun yang bersangkutan sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku umum, dengan melampirkan rincian pos-
pos aset dan kewajiban dengan denominasi Rupiah atau valuta
asing.
b. Laporan Rugi Laba yang disajikan akhir tahun sebelumnya dan
akhir semester pertama tahun yang bersangkutan sesuai dengan
standar akuntansi yang berlaku umum, dengan melampirkan
rincian pos-pos pendapatan dan beban dengan denominasi Rupiah
atau valuta asing.
3. Peringkat, memuat keterangan dan data mengenai :
a. Lembaga pemeringkat domestik atau internasional.
b. Nilai peringkat sebelumnya, yaitu nilai peringkat yang diberikan
oleh Lembaga pemeringkat pada tahun sebelumnya, terdiri dari :
1) Nilai yang diberikan oleh Lembaga pemeringkat kepada
Perusahaan (dalam notches).
2) Tanggal pengumuman nilai peringkat.
c. Nilai peringkat terakhir, yaitu nilai peringkat terakhir yang
diberikan oleh Lembaga pemeringkat kepada Perusahaan, terdiri
dari :
1) Nilai yang diberikan oleh Lembaga pemeringkat kepada
Perusahaan (dalam notches).
2) Tanggal pengumuman nilai peringkat.
d. Outlook (prospek), perkiraan ke depan peringkat perusahaan,
terdiri dari :
1) Nilai yang diberikan oleh Lembaga pemeringkat kepada
Perusahaan yaitu positif, stable (stabil) atau negatif ;dan
2). Tanggal …
2) Tanggal pengumuman nilai outlook
Dalam hal Perusahaan belum memiliki Peringkat harus memberikan
alasan yang memadai.
4. Laporan Rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang untuk 1 (satu)
tahun yang akan datang, memuat keterangan dan data mengenai :
a. Nominal, yaitu rencana perolehan jumlah PLN Perusahaan;
b. Tujuan penggunaan, yaitu tujuan penggunaan pinjaman oleh
Perusahaan antara lain untuk ekspansi usaha, modal kerja dan
refinancing;
c. Kreditur/Penyedia Dana, yaitu pemberi PLN Perusahaan dapat
berupa Lembaga Keuangan Bank atau Bukan Bank, Lembaga
Keuangan Bukan Bank maupun Pasar Keuangan;
d. Jenis PLN Perusahaan, dapat berupa :
1) Perjanjian pinjaman (loan Agreement) dengan cara bilateral
atau sindikasi baik dalam Rupiah maupun valuta asing dengan
bukan penduduk ;
2) Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar
keuangan dalam negeri maupun luar negeri melalui
penawaran umum atau private placement kepada penduduk
atau bukan penduduk; atau
3) Kewajiban lainnya, meliputi antara lain subordinated loan dan
sejenisnya yang dicatat sebagai bagian dari komponen modal.
e. Waktu masuk pasar, yaitu tanggal, bulan dan tahun :
1) Pada saat penandatanganan untuk jenis pinjaman Loan
Agreement;
2) Pada saat diterbitkan untuk surat utang;
f. Jangka waktu, yaitu :
1) Jangka …
1) Jangka waktu untuk perjanjian pinjaman adalah lamanya
pinjaman dari mulai berlaku sampai dengan berakhirnya
pinjaman sebagaimana tercantum dalam Loan Agreement.
2) Jangka waktu untuk surat utang adalah sejak penawaran
umum sampai dengan jatuh tempo;
g. Jenis mata uang, yaitu denominasi PLN Perusahaan dapat berupa
Rupiah, USD maupun valuta asing lainnya;
h. Lokasi penerbitan, yaitu tempat penerbitan untuk PLN
Perusahaan yang berbentuk surat utang;
i. Sumber pembayaran, yaitu sumber untuk pembayaran PLN
Perusahaan, dapat berupa valuta asing hasil ekspor, valuta asing
hasil penjualan dalam negeri, instrumen utang valuta asing dalam
negeri (refinancing), instrumen utang valuta asing luar negeri
(refinancing), pembelian valuta asing dari pasar uang;
j. Suku bunga indikatif, yaitu perkiraan suku bunga PLN
Perusahaan pada saat rencana masuk pasar, misalkan 5% sampai
dengan 7% p.a atau Libor + 200 bps;dan
k. Lainnya, adalah hal-hal lain yang belum tercakup dalam huruf a
sampai dengan j, contoh antara lain informasi PLN Jangka
Pendek.
5. Hasil analisis manajemen risiko perusahaan, memuat keterangan dan
data mengenai :
a. Risiko Pasar;
b. Risiko Kredit;dan
c. Risiko Likuiditas.
6. Laporan perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang, dalam
hal terdapat perubahan rencana nominal dan tujuan penggunaan PLN
Perusahaan Jangka Panjang dengan mengemukakan perubahan dan
alasan terjadinya perubahan tersebut;dan
7. Laporan …
7. Laporan perubahan hasil analisis manajemen risiko Perusahaan,
dengan mengemukakan perubahan dan alasan terjadinya perubahan.
B. Format Laporan
Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 sampai dengan A.7
disusun sesuai dengan format laporan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran a, b, c, d, e, f, dan g
C. Tatacara Penyampaian Laporan
1. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 sampai
dengan A.7 dilakukan sebagai berikut :
a. Bagi Perusahaan pelapor yang kantor pusatnya berkedudukan di
Indonesia, laporan tersebut disampaikan oleh kantor pusat dan
merupakan gabungan dari perolehan PLN Perusahaan yang
dilakukan oleh kantor pusat dan kantor lainnya yang
berkedudukan di Indonesia.
b. Bagi Perusahaan pelapor yang kantor pusatnya berkedudukan di
Luar Indonesia, laporan tersebut dapat disampaikan oleh
koordinator kantor Perusahaan pelapor atau masing-masing
kantor Perusahaan Pelapor yang berkedudukan di Indonesia.
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 sampai
dengan A.7 dapat dilakukan:
a. dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy atau media lainnya
kepada :
Bank Indonesia
Direktorat Internasional c.q.
Bagian Penatausahaan Dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri
(PPLN)
Menara Sjafrudin Prawiranegara, Lantai 5 Jl. M.H. Thamrin No.2,
Jakarta 10350.
Nomor Faksimili : (021) 2311936, (021) 3502002
Email …
Email : APLNSIUL@bi.go.id
b. Mekanisme penyampaian laporan dengan menggunakan media
lainnya akan diberitahukan kemudian oleh Bank Indonesia.
3. Batas waktu penyampaian laporan kepada Bank Indonesia adalah
sebagai berikut :
a. Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1 dan II.A.2
termasuk revisinya disampaikan per semester, paling lambat
tanggal 10 April dan 10 September atau hari kerja berikutnya
apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur.
b. Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.3, II.A.4 dan
II.A.5 termasuk revisinya disampaikan paling lambat tanggal 10
Maret pada tahun yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya
apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur.
c. Laporan perubahan rencana sebagaimana dimaksud dalam butir
II.A.6 dan II.A.7 disampaikan paling lambat tanggal 1 Juli tahun
yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal
tersebut jatuh pada hari libur.
4. Perusahaan dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir II.A.1 sampai dengan II.A.7 dalam hal laporan
tidak diterima oleh Bank Indonesia 30 hari kalender setelah batas
waktu yang ditetapkan dan/atau laporan diterima oleh Bank
Indonesia dalam batas jangka waktu yang ditetapkan namun tidak
lengkap sebagaimana diatur dalam butir I.C.3.a.
5. Direksi …
5. Direksi Perusahaan bertanggung jawab atas kebenaran laporan yang
disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
butir II.A.1 sampai dengan II.A.7.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ......................
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
22 Desember 2008
NELSON TAMPUBOLON
DIREKTUR INTERNASIONAL
DInt
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/46/DInt|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank </reg_title>
<set_date> 22 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 22 Desember 2008 </effective_date>
<related_reg> '10/7/PBI/2008' </related_reg>
|
No. 13/ 23 /DPNP
Jakarta, 25 Oktober 2011
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/DPNP perihal Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4292), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5029), Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor …
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5184), dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tentang Penerapan Manajemen
Risiko secara Konsolidasi bagi Bank yang Melakukan Pengendalian terhadap
Perusahaan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4602), serta dalam
rangka meningkatkan efektivitas penerapan dan harmonisasi dengan ketentuan-
ketentuan tersebut di atas, maka perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran
Nomor 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 perihal Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum, sebagai berikut:
1. Ketentuan angka 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
3. Penyempurnaan pedoman penerapan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud pada angka 2 dilakukan paling lambat tanggal 30 November
2011 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak diselesaikannya penyempurnaan pedoman tersebut.
2. Ketentuan angka 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
4. Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, paling
kurang memuat:
a. Penerapan Manajemen Risiko Secara Umum, yang mencakup
mengenai pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; kecukupan
proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian
Risiko, serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan sistem
pengendalian intern yang menyeluruh.
b. Penerapan Manajemen Risiko untuk Masing-Masing Risiko, yang
mencakup penerapan Manajemen Risiko untuk masing-masing Risiko
yang meliputi 8 (delapan) Risiko yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar,
Risiko …
Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko
Stratejik, Risiko Kepatuhan, dan Risiko Reputasi.
c. Penilaian Profil Risiko, yang mencakup penilaian terhadap Risiko
inheren dan penilaian terhadap kualitas penerapan Manajemen Risiko
yang mencerminkan sistem pengendalian Risiko (risk control system),
baik untuk Bank secara individual maupun untuk Bank secara
konsolidasi. Penilaian tersebut dilakukan terhadap 8 (delapan) Risiko
yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko
Operasional, Risiko Hukum, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, dan
Risiko Reputasi. Dalam melakukan penilaian profil Risiko, Bank
wajib mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum.
3. Lampiran 1, Lampiran 5, Lampiran 6, dan Lampiran 7 diubah sehingga
menjadi Lampiran 1, Lampiran 5, Lampiran 6, dan Lampiran 7, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
4. Ketentuan dalam angka 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
9. Pelaporan
Dalam rangka penerapan Manajemen Risiko, Bank wajib menyampaikan
laporan sebagai berikut:
a. Laporan Profil Risiko
1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko baik secara
individual maupun secara konsolidasi kepada Bank Indonesia
secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September, dan
Desember, yang disajikan secara komparatif dengan posisi
triwulan …
triwulan sebelumnya paling lama 15 (lima belas) hari kerja
setelah akhir bulan laporan.
2) Format dan isi laporan profil Risiko berpedoman pada Lampiran
5 dan Lampiran 6 Surat Edaran Bank Indonesia ini.
3) Laporan profil Risiko yang disampaikan oleh Bank kepada Bank
Indonesia wajib memuat substansi yang sama dengan laporan
profil Risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen
Risiko kepada Direktur Utama dan Komite Manajemen Risiko.
Mekanisme penilaian profil Risiko, penetapan tingkat Risiko dan
penetapan peringkat profil Risiko mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank
Umum.
b. Laporan Produk dan Aktivitas Baru
Cakupan, format, dan cara penyampaian mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan produk atau
aktivitas baru.
c. Laporan lain dalam hal terdapat kondisi yang berpotensi
menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan
Bank. Dalam hal ini, kondisi Bank tersebut antara lain dapat berupa:
1) Bank telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam status Bank
dalam pengawasan intensif atau Bank dalam pengawasan
khusus;
2) Bank memiliki eksposur Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas
yang sangat signifikan; dan/atau
3) kondisi eksternal (pasar) mengalami fluktuasi yang sangat tajam
dan cenderung tidak mampu dikendalikan oleh Bank.
Laporan …
Laporan ini bersifat insidentil yang disampaikan kepada Bank
Indonesia berdasarkan kondisi terkini Bank yang memiliki eksposur
tertentu dan hasil penilaian Bank Indonesia terhadap Bank tersebut.
d. Laporan lain terkait penerapan Manajemen Risiko, antara lain laporan
Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas
1) Dalam rangka pemantauan likuiditas, Bank wajib menyampaikan
laporan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas kepada Bank
Indonesia, yang terdiri dari:
a) Laporan Proyeksi Arus Kas dalam rangka pengelolaan posisi
likuiditas dan Risiko Likuiditas harian sebagaimana dimaksud
dalam butir II. C. 3. c. 4). c). (2) Pedoman Standar Penerapan
Manajemen Risiko yang merupakan Lampiran 1 Surat Edaran
Bank Indonesia ini; dan
b) Laporan Profil Maturitas dalam rangka mengukur Risiko
Likuiditas sebagaimana dimaksud dalam butir II. C. 3. c. 2).
d). (2) Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko yang
merupakan Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini,
baik dalam rupiah maupun valuta asing.
2) Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana dimaksud dalam butir
1). a) mencakup data proyeksi arus kas selama 1 (satu) minggu
berikutnya yang dipetakan secara harian. Laporan tersebut
disampaikan secara mingguan yaitu setiap hari Jumat sesuai
dengan format internal Bank.
Contoh: Bank wajib menyampaikan Laporan Proyeksi Arus Kas
pada hari Jumat tanggal 7 Oktober 2011 yang mencakup proyeksi
arus …
arus kas hari Senin tanggal 10 Oktober 2011 sampai dengan hari
Jumat tanggal 14 Oktober 2011.
Dalam hal hari Jumat jatuh pada hari libur, maka laporan
disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
3) Format Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana dimaksud pada
angka 2) mencakup paling kurang pos-pos neraca dan pos-pos
rekening administratif yang memiliki transaksi yang signifikan
sesuai dengan karakteristik, kegiatan usaha, dan kompleksitas
Bank serta harus dilakukan secara konsisten. Bank Indonesia
dapat meminta Bank untuk menyesuaikan format Laporan
Proyeksi Arus Kas yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
Dalam hal Bank mengubah format Laporan Proyeksi Arus Kas
yang disampaikan kepada Bank Indonesia, Bank wajib
menginformasikan alasan perubahan tersebut kepada Bank
Indonesia.
4) Laporan Profil Maturitas sebagaimana dimaksud dalam butir 1).b)
disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan dengan
cakupan dan format sesuai Lampiran 7 Surat Edaran Bank
Indonesia ini. Tata cara penyampaian laporan Profil Maturitas
kepada Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala Bank Umum.
5) Selama format Laporan Profil Maturitas dalam laporan Berkala
Bank Umum (LBBU) belum sesuai dengan format pada Lampiran
7 Surat Edaran Bank Indonesia ini, Bank tetap wajib
menyampaikan Laporan Profil Maturitas sesuai dengan format
dalam …
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan berkala Bank Umum yang berlaku.
6) Laporan Proyeksi Arus Kas dan Laporan Profil Maturitas
disampaikan kepada Bank Indonesia secara on-line yaitu:
a) Laporan Proyeksi Arus Kas melalui Laporan Kantor Pusat
Bank Umum (LKPBU);
b) Laporan Profil Maturitas melalui LBBU.
7) Selama Laporan Proyeksi Arus Kas belum dapat disampaikan
secara on-line melalui LKPBU, laporan tersebut wajib
disampaikan secara offline oleh Bank kepada Bank Indonesia
dengan alamat sebagai berikut:
a) Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
b) Kantor Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
8) Selain penyampaian laporan yang diwajibkan sebagaimana
dimaksud pada angka 1), Bank Indonesia dalam kondisi tertentu
dapat mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan yang
terkait dengan penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko
Likuiditas diluar waktu yang ditetapkan dan/atau laporan lain
selain yang wajib disampaikan secara berkala. Contoh laporan
lain selain yang wajib disampaikan secara berkala adalah laporan
proyeksi arus kas dalam rangka pengukuran Risiko sebagaimana
dimaksud …
dimaksud dalam butir II. C. 3. c. 2). d). (3) Pedoman Standar
Penerapan Manajemen Risiko dan laporan stress testing
sebagaimana dimaksud dalam butir II. C. 3. c. 2). d). (4) Pedoman
Standar Penerapan Manajemen Risiko yang merupakan
Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini.
e. Laporan lain terkait dengan penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas tertentu, antara lain laporan pelaksanaan aktivitas berkaitan
dengan reksadana, laporan pelaksanaan kerjasama pemasaran dengan
perusahaan asuransi (bancassurance). Cakupan, format, dan cara
penyampaian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
5. Ketentuan Penutup
1.
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/16/DPNP tanggal 6 Juli 2009
tentang Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas dan
ketentuan pelaksanaan lainnya yang terkait dengan Penerapan
Manajemen Risiko yang bertentangan dengan pengaturan dalam Surat
Edaran ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum
Konvensional, kecuali untuk ketentuan mengenai pelaporan
sebagaimana dimaksud pada angka IV dalam Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 11/16/DPNP tanggal 6 Juli 2009 tentang Penerapan
Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas.
2. Ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka IV
dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/16/DPNP tanggal
6 Juli 2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko
Likuiditas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 31
Desember 2011 bagi Bank Umum Konvensional.
3. Ketentuan
…
3. Ketentuan mengenai Lampiran 1, Lampiran 5, Lampiran 6, dan
Lampiran 7 sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan ketentuan
pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dalam Surat Edaran
Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2011.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 25 Oktober
2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MULIAMAN D. HADAD
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 13/23/DPNP|SE-BI/2011 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. </reg_title>
<set_date> 25 Oktober 2011 </set_date>
<effective_date> 25 Oktober 2011 </effective_date>
<changed_reg> '5/21/DPNP|SE-BI/2003' </changed_reg>
<replaced_reg> '11/16/DPNP|SE-BI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '5/8/PBI/2003', '11/25/PBI/2009', '13/1/PBI/2011', '8/6/PBI/2006', '5/21/DPNP|SE-BI/2003' </related_reg>
|