input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 65 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa kegiatan usaha perbankan syariah tidak terlepas dari risiko yang dapat mengganggu kelangsungan bank; b. bahwa untuk mengelola risiko tersebut bank wajib menerapkan manajemen risiko secara individu dan secara konsolidasi; c. bahwa karakteristik produk dan jasa perbankan syariah memerlukan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko yang sesuai dengan kegiatan usaha perbankan syariah; d. bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank syariah dalam memitigasi risiko harus mempertimbangkan kesesuaian dengan Prinsip Syariah; e. bahwa pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank harus terintegrasi ke dalam suatu sistem dan proses pengelolaan risiko yang akurat dan komprehensif; f. bahwa sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud - 2 - dalam huruf a sampai dengan huruf f perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. - 3 - 4. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut BUK adalah Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang memiliki Unit Usaha Syariah. 5. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. 6. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank. 7. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati, termasuk Risiko Kredit akibat kegagalan debitur, Risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk. 8. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga pasar, antara lain Risiko berupa perubahan nilai dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan. 9. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank. 10. Risiko Operasional adalah Risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 11. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. 12. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank. - 4 - 13. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. 14. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku serta Prinsip Syariah. 15. Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah Risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan Bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima Bank dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank. 16. Risiko Investasi (Equity Investment Risk) adalah Risiko akibat Bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil baik yang menggunakan metode net revenue sharing maupun yang menggunakan metode profit and loss sharing. 17. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 18. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 19. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 20. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh BUS secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri dari: a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan BUS lebih dari 50% (lima puluh persen); - 5 - b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan BUS 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun BUS memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan BUS lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan yaitu: 1) kepemilikan BUS dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak adalah masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. Entitas lain yang berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan harus dikonsolidasikan. BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif. (2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk BUS dilakukan secara individu maupun konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (3) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk UUS dilakukan terhadap seluruh kegiatan usaha UUS, yang merupakan satu kesatuan dengan penerapan Manajemen Risiko pada BUK. Pasal 3 Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling sedikit mencakup: a. pengawasan aktif Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah; b. kecukupan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, - 6 - dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Pasal 4 Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank. Pasal 5 (1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mencakup: a. Risiko Kredit; b. Risiko Pasar; c. Risiko Likuiditas; d. Risiko Operasional; e. Risiko Hukum; f. g. Risiko Reputasi; Risiko Stratejik; h. Risiko Kepatuhan; i. j. Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk); dan Risiko Investasi (Equity Investment Risk). (2) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk jenis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB III PENGAWASAN AKTIF DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, DAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH Bagian Kesatu Umum Pasal 6 Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. - 7 - Bagian Kedua Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Pasal 7 (1) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bagi Direksi paling sedikit mencakup: a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen Risiko secara tertulis dan komprehensif; b. bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko dan eksposur Risiko yang diambil oleh Bank secara keseluruhan; c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi; d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada seluruh jenjang organisasi; e. memastikan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan Manajemen Risiko; f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah beroperasi secara independen; dan g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan: 1. keakuratan metodologi penilaian Risiko; 2. kecukupan implementasi sistem informasi Manajemen Risiko; dan 3. ketepatan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko. (2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional Bank dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil Risiko Bank. (3) Wewenang dan tanggung jawab Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk UUS dilakukan oleh Direktur UUS. - 8 - Bagian Ketiga Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris Pasal 8 Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bagi Dewan Komisaris paling sedikit mencakup: a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko; dan b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Bagian Keempat Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah Pasal 9 Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bagi Dewan Pengawas Syariah paling sedikit mencakup: a. mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah; dan b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. BAB IV KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO SERTA PENETAPAN LIMIT RISIKO Bagian Kesatu Kebijakan Manajemen Risiko Pasal 10 Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b paling sedikit memuat: a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan transaksi perbankan; - 9 - b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen Risiko; c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko; d. penetapan penilaian peringkat Risiko; e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk (worst case scenario); dan f. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko. Bagian Kedua Prosedur Manajemen Risiko dan Penetapan Limit Risiko Pasal 11 (1) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b wajib disesuaikan dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) terhadap Risiko Bank. (2) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas; b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko secara berkala; dan c. dokumentasi prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko secara memadai. (3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mencakup: a. limit secara keseluruhan; b. limit per jenis Risiko; dan c. limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki eksposur Risiko. - 10 - BAB V PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, DAN PENGENDALIAN RISIKO SERTA SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Umum Pasal 12 (1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terhadap faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material. (2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh: a. sistem informasi manajemen yang tepat waktu; dan b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan, kinerja aktivitas fungsional, dan eksposur Risiko Bank. Bagian Kedua Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko Pasal 13 (1) Dalam rangka melaksanakan proses identifikasi Risiko, Bank wajib melakukan analisis paling sedikit terhadap: a. karakteristik Risiko yang melekat pada Bank; dan b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha Bank. (2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, Bank wajib paling sedikit melakukan: a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur Risiko; dan b. penyempurnaan terhadap sistem pengukuran Risiko dalam hal terdapat perubahan kegiatan usaha Bank, - 11 - produk, transaksi, dan faktor Risiko, yang bersifat material yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan Bank. (3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, Bank wajib paling sedikit melakukan: a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan b. penyempurnaan proses pelaporan dalam hal terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor Risiko, teknologi informasi, dan sistem informasi Manajemen Risiko Bank yang bersifat material. (4) Bank wajib melaksanakan proses pengendalian Risiko untuk mengelola Risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank. (5) Pelaksanaan proses pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus sesuai dengan Prinsip Syariah. Bagian Ketiga Sistem Informasi Manajemen Risiko Pasal 14 (1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, paling sedikit mencakup laporan atau informasi mengenai: a. eksposur Risiko; b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11; dan c. realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko dibandingkan dengan target yang ditetapkan. (2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara rutin kepada Direksi. - 12 - (3) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk UUS dapat menggunakan teknologi sistem informasi yang digunakan dalam sistem informasi Manajemen Risiko BUK. BAB VI SISTEM PENGENDALIAN INTERN Bagian Kesatu Umum Pasal 15 (1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi Bank. (2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern untuk UUS dapat digabung dengan sistem pengendalian intern dari BUK. Pasal 16 (1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling sedikit mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi. (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memastikan: a. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan atau ketentuan intern Bank; b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu; c. d. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi Bank secara menyeluruh. - 13 - - 14 - Bagian Kedua Sistem Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko Pasal 17 (1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d paling sedikit mencakup: a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan usaha Bank; b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko, serta penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11; c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuan kerja operasional terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian; d. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha Bank; e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu; f. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku; g. kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif terhadap prosedur penilaian kegiatan operasional Bank; h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi Manajemen Risiko; i. dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur operasional, cakupan dan temuan audit, serta tanggapan pengurus Bank berdasarkan hasil audit; dan j. verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan terhadap penanganan - 15 - kelemahan-kelemahan Bank yang bersifat material dan tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. (2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh satuan kerja audit intern. BAB VII ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Umum Pasal 18 (1) Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk: a. komite Manajemen Risiko; dan b. satuan kerja Manajemen Risiko. (2) Komite Manajemen Risiko dan satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk UUS dapat dibentuk secara tersendiri atau digabungkan dengan BUK sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha UUS serta Risiko yang melekat pada UUS. Bagian Kedua Komite Manajemen Risiko Pasal 19 (1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a untuk BUS, paling sedikit terdiri dari: a. mayoritas anggota Direksi yang salah satunya adalah direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan; dan b. pejabat eksekutif terkait. - 16 - (2) Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dibentuk secara tersendiri, maka keanggotaan komite Manajemen Risiko UUS paling sedikit terdiri dari: a. Direktur UUS; b. direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan BUK; dan c. pejabat eksekutif terkait. (3) Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) digabung dengan komite Manajemen Risiko BUK maka dalam pembahasan yang terkait dengan Manajemen Risiko UUS, Direktur UUS diikutsertakan sebagai salah satu anggota komite Manajemen Risiko BUK. (4) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang dan bertanggung jawab untuk memberikan rekomendasi kepada Direktur Utama, yang paling sedikit meliputi: a. penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman penerapan Manajemen Risiko; b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Manajemen Risiko; dan c. penetapan hal-hal yang terkait dengan keputusan bisnis yang tidak sesuai dengan prosedur normal. Bagian Ketiga Satuan Kerja Manajemen Risiko Pasal 20 (1) Struktur organisasi satuan kerja Manajemen Risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank serta Risiko yang melekat pada Bank. - 17 - (2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen terhadap satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern. (3) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama atau kepada direktur yang ditugaskan secara khusus. (4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko meliputi: a. pemantauan pelaksanaan strategi Manajemen Risiko yang telah disetujui oleh Direksi; b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko dan/atau per jenis aktivitas fungsional serta melakukan stress testing; c. kaji ulang secara berkala terhadap proses Manajemen Risiko; d. pengkajian usulan aktivitas dan/atau produk baru; e. evaluasi terhadap akurasi model dan validitas data yang digunakan untuk mengukur Risiko, bagi Bank yang menggunakan model untuk keperluan intern (internal model); f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan/atau kepada komite Manajemen Risiko; dan g. menyusun dan menyampaikan laporan profil atau komposisi Risiko secara berkala kepada: 1. Direktur Utama atau direktur yang ditugaskan secara khusus; dan 2. komite Manajemen Risiko. - 18 - Bagian Keempat Hubungan Satuan Kerja Operasional dengan Satuan Kerja Manajemen Risiko Pasal 21 Satuan kerja operasional (risk-taking unit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) wajib menginformasikan eksposur Risiko yang melekat pada satuan kerja yang bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen Risiko secara berkala. BAB VIII PELAPORAN Bagian Kesatu Laporan Profil Risiko Pasal 22 (1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko baik secara individu maupun secara konsolidasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat substansi yang sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada Direktur Utama atau kepada direktur yang ditugaskan secara khusus dan komite Manajemen Risiko. (3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (4) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank menyampaikan laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di luar jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). - 19 - (5) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk posisi bulan Maret dan posisi bulan September berpedoman pada Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (6) Penilaian profil Risiko dalam rangka penyusunan laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. (7) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk posisi bulan Juni dan posisi bulan Desember disampaikan sebagai bagian dari hasil penilaian sendiri (self assessment) atas tingkat kesehatan Bank. Pasal 23 (1) Laporan profil Risiko secara individu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) untuk posisi bulan Maret dan posisi bulan September disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah akhir bulan laporan. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan profil Risiko secara individu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur maka laporan profil Risiko disampaikan pada hari kerja berikutnya. (3) Batas waktu penyampaian laporan profil Risiko secara individu untuk posisi bulan Juni dan posisi bulan Desember mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. (4) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan secara individu apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) namun tidak melebihi 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. (5) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan secara individu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) - 20 - apabila Bank belum menyampaikan laporan melebihi 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3). Pasal 24 (1) Laporan profil Risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) untuk posisi bulan Maret dan posisi bulan September disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan profil Risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur maka laporan profil Risiko disampaikan pada hari kerja berikutnya. (3) Batas waktu penyampaian laporan profil Risiko secara konsolidasi untuk posisi bulan Juni dan posisi bulan Desember mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. (4) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan secara konsolidasi apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) namun tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja sejak batas akhir waktu penyampaian laporan. (5) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) apabila Bank belum menyampaikan laporan melebihi 14 (empat belas) hari kerja sejak batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3). Bagian Kedua Laporan Lain Pasal 25 (1) Bank harus menyampaikan laporan lain kepada Otoritas Jasa Keuangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dalam hal terdapat kondisi yang berpotensi - 21 - menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank. (2) Bank wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan laporan lain yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) Format, tata cara pelaporan, dan pengenaan sanksi atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan bank. Bagian Ketiga Alamat Penyampaian Pasal 26 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 25 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat: a. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Bagian Kesatu Penilaian Penerapan Manajemen Risiko Pasal 27 Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian terhadap penerapan Manajemen Risiko pada Bank. - 22 - Pasal 28 Bank wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penerapan Manajemen Risiko kepada Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Aspek Pengungkapan Kinerja dan Kebijakan Manajemen Risiko Pasal 29 (1) Pengungkapan Manajemen Risiko dalam laporan publikasi tahunan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank wajib disesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup kinerja Manajemen Risiko dan arah kebijakan Manajemen Risiko. (3) Pengungkapan Manajemen Risiko dalam laporan publikasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk UUS digabungkan dalam laporan tahunan BUK. BAB X SANKSI Pasal 30 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan. (2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan. (3) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib - 23 - menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, namun: a. dinilai tidak lengkap secara signifikan; dan/atau b. tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi yang material, sesuai dengan format yang ditentukan, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (5) Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah: a. Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap surat teguran; dan b. Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. Pasal 31 Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 13 ayat (3), Pasal 13 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21, Pasal 28, dan/atau Pasal 29 ayat (1) dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau c. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam uji/penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang berlaku. - 24 - BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi Bank diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 33 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, pengaturan bagi Bank yang sebelumnya mengacu pada ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum menjadi mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 34 (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tentang Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi Bagi Bank Yang Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan Anak dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan ini. (2) Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 dinyatakan tetap berlaku bagi BUS dan UUS sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Ketentuan pada angka 9 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum dinyatakan tidak berlaku. - 25 - Pasal 35 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 298 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 65 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan syariah yang semakin pesat mengakibatkan Risiko kegiatan usaha perbankan syariah semakin kompleks. Menghadapi kondisi tersebut, Bank perlu memperhatikan seluruh Risiko baik yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank, termasuk yang berasal dari Perusahaan Anak dengan menerapkan Manajemen Risiko secara konsolidasi. Bank dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan melalui penerapan Manajemen Risiko yang sesuai dengan Prinsip Syariah. Prinsip-prinsip Manajemen Risiko yang diterapkan pada perbankan syariah di Indonesia diarahkan sejalan dengan aturan baku yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB). Penerapan Manajemen Risiko pada perbankan syariah disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan aturan Manajemen Risiko ini sebagai standar minimal yang harus dipenuhi oleh BUS dan UUS sehingga perbankan syariah dapat mengembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi namun tetap dilakukan secara sehat, istiqomah, dan sesuai dengan Prinsip Syariah. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Termasuk dalam cakupan penerapan Manajemen Risiko adalah penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Kompleksitas usaha antara lain keragaman dalam jenis transaksi, produk atau jasa, dan jaringan usaha. Kemampuan Bank antara lain kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung, dan kemampuan sumber daya manusia. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko konsentrasi pembiayaan, counterparty credit risk, dan settlement risk. Risiko konsentrasi pembiayaan merupakan Risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam kelangsungan usaha Bank. Counterparty credit risk merupakan Risiko yang timbul - 3 - akibat terjadinya kegagalan pihak lawan dalam memenuhi kewajibannya dan timbul dari jenis transaksi yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya transaksi yang dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau nilai pasar. Settlement risk merupakan Risiko yang timbul akibat kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date) yang telah disepakati dari transaksi penjualan dan/atau pembelian instrumen keuangan. Huruf b Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko benchmark suku bunga (benchmark interest rate risk), Risiko nilai tukar, Risiko komoditas, dan Risiko ekuitas. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko komoditas dan Risiko ekuitas wajib diterapkan oleh Bank yang melakukan konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Risiko komoditas adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book dan banking book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas. Risiko ekuitas adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book yang disebabkan oleh perubahan harga saham. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Risiko Hukum timbul antara lain karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna. Huruf f Risiko Reputasi timbul antara lain karena adanya pemberitaan media dan/atau rumor mengenai bank yang bersifat negatif, serta adanya strategi komunikasi bank yang kurang efektif. - 4 - Huruf g Risiko Stratejik timbul antara lain karena bank menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan analisis lingkungan stratejik yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat ketidaksesuaian rencana stratejik (strategic plan) antar level stratejik. Selain itu, Risiko Stratejik juga timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar, dan perubahan kebijakan otoritas terkait. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) timbul antara lain karena adanya perubahan perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank yang disebabkan oleh perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil yang diterima dari Bank. Perubahan ekspektasi bisa disebabkan oleh faktor internal seperti menurunnya nilai aset Bank dan/atau faktor eksternal seperti naiknya return/imbal hasil yang ditawarkan bank lain. Perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil tersebut dapat memicu perpindahan dana nasabah dari Bank kepada bank lain. Huruf j Risiko Investasi (Equity Investment Risk) timbul apabila Bank memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil kepada nasabah dengan Bank ikut menanggung Risiko atas kerugian usaha nasabah yang dibiayai (metode profit and loss sharing). Dalam hal ini, perhitungan bagi hasil tidak hanya didasarkan atas jumlah pendapatan atau penjualan yang diperoleh nasabah namun dihitung dari keuntungan usaha yang dihasilkan nasabah. Apabila usaha nasabah mengalami kebangkrutan maka jumlah pokok pembiayaan yang diberikan Bank kepada nasabah tidak akan diperoleh kembali. Sementara perhitungan bagi hasil juga dapat menggunakan metode net revenue sharing yakni bagi hasil - 5 - dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam kebijakan dan strategi Manajemen Risiko adalah penetapan dan persetujuan limit Risiko baik Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko, maupun per aktivitas fungsional. Kebijakan dan strategi Manajemen Risiko disusun paling sedikit 1 (satu) kali atau lebih dalam 1 (satu) tahun dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha BUS secara signifikan. Huruf b Termasuk tanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko adalah: 1. mengevaluasi dan memberikan arahan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko; dan 2. penyampaian laporan pertanggungjawaban kepada Dewan Komisaris secara triwulanan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pengembangan budaya Manajemen Risiko antara lain meliputi komunikasi yang memadai kepada seluruh jenjang organisasi tentang pentingnya Manajemen Risiko yang efektif. Huruf e Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain melalui program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen Risiko. - 6 - Huruf f Yang dimaksud dengan independen antara lain adanya pemisahan fungsi antara satuan kerja Manajemen Risiko yang melakukan identifikasi, pengukuran, dan pemantauan Risiko dengan satuan kerja yang melakukan dan menyelesaikan transaksi. Huruf g Kaji ulang secara berkala antara lain dimaksudkan untuk mengantisipasi jika terjadi perubahan faktor eksternal dan faktor internal. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “memiliki pemahaman yang memadai” adalah termasuk pemahaman terhadap Prinsip Syariah yang terkait dengan produk, jasa, dan kegiatan operasional Bank lainnya. Ayat (3) Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya, Direktur UUS dapat berkoordinasi dengan direktur lain pada BUK. Pasal 8 Huruf a Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali atau lebih dalam 1 (satu) tahun dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank secara signifikan. Huruf b Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris paling sedikit secara triwulanan. Pasal 9 Huruf a Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. - 7 - Huruf b Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko yang terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah paling sedikit secara triwulanan. Pasal 10 Kebijakan Manajemen Risiko ditetapkan antara lain dengan cara menyusun strategi Manajemen Risiko untuk memastikan bahwa: 1. Bank tetap mempertahankan eksposur Risiko sesuai dengan kebijakan dan prosedur intern Bank dan peraturan perundang-undangan serta ketentuan lain yang berlaku; dan 2. Bank dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan keahlian di bidang Manajemen Risiko sesuai dengan kompleksitas usaha Bank. Penyusunan strategi Manajemen Risiko dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan Bank, organisasi Bank, dan Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor eksternal dan faktor internal. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Toleransi Risiko merupakan potensi kerugian yang dapat diserap oleh permodalan Bank. Huruf d Penetapan penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi Bank untuk mengkategorikan peringkat Risiko Bank. Peringkat Risiko bagi Bank dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat, yaitu: 1. peringkat 1 (Low); 2. peringkat 2 (Low to Moderate); 3. peringkat 3 (Moderate); 4. peringkat 4 (Moderate to High); dan 5. peringkat 5 (High). Huruf e Cukup jelas. - 8 - Huruf f Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) memperhatikan pengalaman yang dimiliki Bank dalam mengelola Risiko. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah paling sedikit 1 (satu) kali atau lebih dalam 1 (satu) tahun, sesuai dengan jenis Risiko, kebutuhan, dan perkembangan Bank. Huruf c Yang dimaksud dengan “dokumentasi yang memadai” adalah dokumentasi yang tertulis, lengkap, dan memudahkan untuk dilakukan jejak audit (audit trail) untuk keperluan pengendalian intern Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko” adalah berbagai parameter yang mempengaruhi eksposur Risiko. Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material” adalah faktor-faktor Risiko baik kuantitatif maupun kualitatif yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi keuangan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Proses identifikasi Risiko antara lain didasarkan pada pengalaman kerugian Bank yang pernah terjadi. - 9 - Ayat (2) Untuk mengukur Risiko, Bank dapat menggunakan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif yang disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan kemampuan Bank. Huruf a Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah paling sedikit secara triwulanan atau lebih sesuai dengan perkembangan usaha Bank dan kondisi eksternal yang langsung mempengaruhi kondisi Bank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan dengan cara pemantauan dan pelaporan Risiko yang bersifat material atau yang berdampak kepada kondisi permodalan Bank, yang antara lain didasarkan atas penilaian potensi Risiko dengan menggunakan historical trend. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Pengendalian Risiko dapat dilakukan antara lain dengan cara lindung nilai, metode mitigasi Risiko, dan penambahan modal untuk menyerap potensi kerugian. Selain itu dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko benchmark suku bunga, Risiko nilai tukar, dan Risiko Likuiditas, Bank paling sedikit menerapkan Assets and Liabilities Management (ALMA). Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup eksposur kuantitatif dan kualitatif, secara keseluruhan (composite) maupun rincian per jenis Risiko dan per jenis aktivitas - 10 - fungsional. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Laporan atau informasi yang disampaikan kepada Direksi dapat ditingkatkan frekuensinya sesuai dengan kebutuhan BUS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, serta dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan. Huruf c Efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional antara lain diperlukan untuk melindungi aset dan sumber daya Bank lainnya dari Risiko terkait. Huruf d Efektivitas budaya Risiko (risk culture) dimaksudkan untuk mengidentifikasi kelemahan dan penyimpangan secara lebih dini dan menilai kembali kewajaran kebijakan dan prosedur yang ada pada Bank secara berkesinambungan. - 11 - Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Komite Manajemen Risiko harus bersifat non struktural. Huruf b Satuan kerja Manajemen Risiko merupakan bagian dari struktur organisasi Bank (bersifat struktural). Ayat (2) Pengaturan ini dimaksudkan agar UUS dapat menentukan struktur organisasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi BUK, termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. Pasal 19 Ayat (1) Keanggotaan Komite Manajemen Risiko dapat berupa keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan Bank. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif terkait” adalah pejabat Bank satu tingkat di bawah Direksi yang memimpin satuan kerja operasional dan satuan kerja Manajemen Risiko. Keanggotaan pejabat eksekutif dalam komite Manajemen Risiko disesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan Bank. Ayat (2) Keanggotaan Komite Manajemen Risiko dapat berupa keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan UUS. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. - 12 - Huruf c Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif terkait” adalah pejabat UUS dan BUK satu tingkat di bawah Direksi yang memimpin satuan kerja operasional dan satuan kerja Manajemen Risiko. Keanggotaan pejabat eksekutif dalam komite Manajemen Risiko disesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan UUS. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam keputusan bisnis yang tidak sesuai dengan prosedur normal antara lain pelampauan ekspansi usaha yang signifikan dibandingkan rencana bisnis Bank dan pengambilan posisi atau eksposur Risiko yang tidak sesuai dengan limit yang telah ditetapkan. Pasal 20 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank dapat menentukan struktur organisasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi Bank, termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “independen” antara lain tercermin dari adanya: 1. pemisahan fungsi atau tugas antara satuan kerja Manajemen Risiko dengan satuan kerja operasional (risk- taking unit) dan satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern; dan 2. proses pengambilan keputusan yang tidak memihak atau menguntungkan satuan kerja operasional tertentu atau mengabaikan satuan kerja operasional lainnya. Yang dimaksud dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) - 13 - antara lain satuan kerja pembiayaan, treasuri, dan pendanaan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “direktur yang ditugaskan secara khusus” adalah direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan atau Direktur Manajemen Risiko. Istilah Direktur Utama dapat dipersamakan dengan Presiden Direktur. Ayat (4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan kemampuan Bank. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Stress testing dilakukan guna mengetahui dampak dari implementasi kebijakan dan strategi Manajemen Risiko terhadap kinerja dan pendapatan masing-masing satuan kerja operasional atau aktivitas fungsional Bank. Huruf c Kaji ulang antara lain dilakukan berdasarkan temuan audit intern dan/atau perkembangan praktek-praktek Manajemen Risiko yang berlaku secara internasional. Huruf d Termasuk dalam pengkajian adalah penilaian kemampuan Bank untuk melakukan aktivitas dan/atau produk baru dan kajian usulan perubahan sistem dan prosedur serta pemenuhan terhadap Prinsip Syariah. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Rekomendasi antara lain memuat rekomendasi yang terkait dengan besaran atau maksimum eksposur Risiko yang wajib dipelihara oleh Bank. Huruf g Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh atas besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh portofolio atau eksposur Bank. Frekuensi penyampaian laporan - 14 - ditingkatkan dalam hal kondisi pasar berubah dengan cepat. Untuk eksposur Risiko yang berubah relatif lama, seperti Risiko Kredit maka penyampaian laporan disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Pasal 21 Frekuensi penyampaian informasi eksposur Risiko disesuaikan dengan karakteristik jenis Risiko. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Laporan profil Risiko disajikan secara komparatif dengan posisi triwulan sebelumnya. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Contoh: Untuk laporan profil Risiko secara individu posisi bulan September 2016, Bank wajib menyampaikan laporan dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 21 Oktober 2016. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas - 15 - Ayat (4) Contoh: Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko secara individu posisi bulan September 2016 pada tanggal 22 Oktober 2016 sampai dengan tanggal 21 November 2016, maka Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan. Ayat (5) Contoh: Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko secara individu posisi bulan September 2016 setelah tanggal 21 November 2016, maka Bank dianggap tidak menyampaikan laporan dimaksud. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Untuk laporan profil Risiko secara konsolidasi posisi bulan September 2016, Bank wajib menyampaikan laporan dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 30 Oktober 2016. Mengingat tanggal 30 Oktober 2016 merupakan hari libur maka laporan profil Risiko disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Oktober 2016. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko secara konsolidasi posisi bulan September 2016 pada tanggal 1 November 2016 sampai dengan tanggal 17 November 2016, maka Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan. Ayat (5) Contoh: Apabila Bank menyampaikan laporan profil Risiko secara konsolidasi posisi bulan September 2016 setelah tanggal 17 November 2016, maka Bank dianggap tidak menyampaikan laporan dimaksud. - 16 - Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan lain yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko antara lain Laporan Proyeksi Arus Kas dan Laporan Profil Maturitas dalam rangka Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. Ayat (3) Ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan bank antara lain ketentuan mengenai Laporan Berkala Bank Umum dan Laporan Kantor Pusat Bank Umum. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Penilaian terhadap penerapan Manajemen Risiko pada Bank termasuk penilaian Risiko yang melekat (inherent risk) dan kecukupan sistem pengendalian Risiko (risk control system). Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kinerja Manajemen Risiko merupakan hasil penerapan Manajemen Risiko untuk periode awal tahun (Januari) sampai dengan akhir tahun (Desember) termasuk profil Risiko, sedangkan arah kebijakan Manajemen Risiko merupakan arah dan strategi Manajemen Risiko periode 1 (satu) tahun ke depan. Ayat (3) Cukup jelas. - 17 - Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja. Ayat (2) Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda pada ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5988
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 65/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 23 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> '5/21/DPNP|SE-BI | angka 9', '13/23/PBI/2011' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2015 TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai akad yang digunakan dalam penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap akad yang digunakan dalam penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal, maka peraturan mengenai Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah Di Pasar Modal yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka perlu - 2 - menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah Di Pasar Modal; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Ijarah adalah perjanjian (akad) antara pihak pemberi sewa atau pemberi jasa (mu’jir) dan pihak penyewa atau pengguna jasa (musta’jir) untuk memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu objek Ijarah yang dapat berupa manfaat barang dan/atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa dan/atau upah (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan objek Ijarah itu sendiri. 2. Istishna adalah perjanjian (akad) antara pihak pemesan atau pembeli (mustashni’) dan pihak pembuat atau penjual (shani’) untuk membuat objek Istishna yang dibeli oleh pihak pemesan atau pembeli (mustashni’) dengan kriteria, persyaratan, dan spesifikasi yang telah disepakati kedua belah pihak. - 3 - 3. Kafalah adalah perjanjian (akad) antara pihak penjamin (kafiil/guarantor) dan pihak yang dijamin (makfuul ‘anhu/ashiil/orang yang berutang) untuk menjamin kewajiban pihak yang dijamin kepada pihak lain (makfuul lahu/orang yang berpiutang). 4. Mudharabah (qiradh) adalah perjanjian (akad) kerjasama antara pihak pemilik modal (shahib al-mal) dan pihak pengelola usaha (mudharib) dengan cara pemilik modal (shahib al-mal) menyerahkan modal dan pengelola usaha (mudharib) mengelola modal tersebut dalam suatu usaha. 5. Musyarakah adalah perjanjian (akad) kerjasama antara dua pihak atau lebih (syarik) dengan cara menyertakan modal baik dalam bentuk uang maupun bentuk aset lainnya untuk melakukan suatu usaha. 6. Wakalah adalah perjanjian (akad) antara pihak pemberi kuasa (muwakkil) dan pihak penerima kuasa (wakil) dengan cara pihak pemberi kuasa (muwakkil) memberikan kuasa kepada pihak penerima kuasa (wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan tertentu. Pasal 2 Para pihak yang melakukan perjanjian (akad) dalam penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal wajib memiliki kecakapan dan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum menurut ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. BAB II IJARAH Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Ijarah Pasal 3 Hak dan kewajiban pihak pemberi sewa atau pemberi jasa (mu’jir) adalah: a. berhak menerima pembayaran harga sewa atau upah (ujrah) sesuai yang disepakati dalam Ijarah; - 4 - b. wajib menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan sesuai yang disepakati dalam Ijarah; c. wajib menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewakan; d. wajib bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewakan yang bukan disebabkan oleh pelanggaran dari penggunaan sesuai yang disepakati dalam Ijarah atau bukan karena kelalaian pihak penyewa; e. wajib menjamin bahwa barang yang disewakan atau jasa yang diberikan dapat digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan yang disepakati dalam Ijarah; dan f. wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak pemberi sewa atau pemberi jasa (mu’jir) menyerahkan hak penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang dan/atau memberikan jasa yang dimilikinya kepada pihak penyewa atau pengguna jasa (musta’jir) (pernyataan ijab). Pasal 4 Hak dan kewajiban pihak penyewa atau pengguna jasa (musta’jir) adalah: a. berhak menerima dan memanfaatkan barang dan/atau jasa sesuai yang disepakati dalam Ijarah; b. wajib membayar harga sewa atau upah (ujrah) sesuai yang disepakati dalam Ijarah; c. wajib menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak material) sesuai yang disepakati dalam Ijarah; d. wajib bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai yang disepakati dalam Ijarah; e. wajib bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewakan yang disebabkan oleh pelanggaran dari penggunaan sesuai yang disepakati dalam Ijarah atau karena kelalaian pihak penyewa; dan f. wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak penyewa atau pengguna jasa menerima hak penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang dan/atau jasa dari pihak - 5 - pemberi sewa atau pemberi jasa (mu’jir) (pernyataan qabul). Bagian Kedua Persyaratan Objek Ijarah Pasal 5 Objek Ijarah dapat berupa manfaat barang dan/atau jasa yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. manfaat barang atau jasa tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan peraturan perundang- undangan; b. manfaat barang atau jasa harus dapat dinilai dengan uang; c. manfaat atas barang atau jasa dapat diserahkan atau diberikan kepada pihak penyewa atau pengguna jasa; d. manfaat barang atau jasa harus ditentukan dengan jelas; dan e. spesifikasi barang atau jasa harus dinyatakan dengan jelas. Bagian Ketiga Persyaratan Penetapan Harga Sewa atau Upah (Ujrah) Pasal 6 Penetapan harga sewa atau upah (ujrah) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. besarnya harga sewa atau upah (ujrah) serta waktu dan cara pembayarannya ditetapkan secara tertulis dalam Ijarah; dan b. alat pembayaran harga sewa atau upah (ujrah) adalah dalam bentuk uang. Bagian Keempat - 6 - Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur Dalam Ijarah Pasal 7 Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, dalam Ijarah dapat disepakati hal sebagai berikut: a. harga sewa atau upah (ujrah) untuk periode waktu tertentu dan peninjauan kembali harga sewa atau upah (ujrah) tersebut yang berlaku untuk periode berikutnya; b. adanya uang muka Ijarah; c. penggantian barang yang mendasari Ijarah; d. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan antar para pihak dalam Ijarah; dan/atau e. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB III ISTISHNA Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Istishna Pasal 8 Hak dan kewajiban pihak pembuat atau penjual (shani’) adalah: a. berhak memperoleh pembayaran dengan jumlah, cara, dan waktu yang telah disepakati dalam Istishna; b. wajib mengetahui spesifikasi objek Istishna secara jelas; c. wajib menyediakan objek Istishna sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dalam Istishna; d. wajib menjamin objek Istishna berfungsi dengan baik dan/atau tidak cacat; dan e. wajib menyerahkan objek Istishna sesuai dengan waktu yang telah disepakati dalam Istishna. Pasal 9 - 7 - Hak dan kewajiban pihak pemesan atau pembeli (mustashni’) adalah: a. berhak menerima objek Istishna sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dalam Istishna; b. berhak menerima objek Istishna sesuai dengan waktu dan tempat yang telah disepakati dalam Istishna; c. berhak memilih (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan Istishna apabila terdapat cacat atau barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan; d. wajib melakukan pembayaran (pokok dan/atau biaya lain) atas objek Istishna sesuai yang telah disepakati dalam Istishna; dan e. wajib mengetahui dan menerangkan spesifikasi objek Istishna secara jelas. Bagian Kedua Persyaratan Objek Istishna Pasal 10 Objek Istishna wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan peraturan perundang-undangan; b. ciri dan spesifikasi harus jelas dan dapat diakui sebagai utang serta wajib dituangkan secara tertulis dalam Istishna; c. mekanisme penyerahan barang baik seluruh maupun sebagian dari pihak pembuat atau penjual (shani’) kepada pihak pemesan atau pembeli (mustashni’) wajib dituangkan secara tertulis dalam Istishna meliputi waktu, tempat dan cara penyerahan; d. penyerahan sebagaimana dimaksud pada huruf c dilakukan kemudian setelah waktu Istishna berdasarkan kesepakatan; e. harga jual objek Istishna ditetapkan secara tertulis dalam Istishna dan dilarang berubah selama masa Istishna; dan - 8 - f. pihak pemesan atau pembeli (mustashni’) dilarang menukar barang kecuali dengan barang sejenis atau sesuai kesepakatan. Bagian Ketiga Pembayaran Objek Istishna Pasal 11 Pembayaran objek Istishna dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pembayaran atas objek Istishna dalam bentuk uang; b. pembayaran atas objek Istishna dapat dilakukan secara tunai dan/atau cicilan sejak Istishna ditandatangani atau dengan cara pembayaran lain sesuai kesepakatan; dan c. pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang atau dalam bentuk piutang yang belum jatuh tempo. Bagian Keempat Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur Dalam Istishna Pasal 12 Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, dalam Istishna dapat disepakati hal sebagai berikut: a. dalam memenuhi kewajibannya kepada pihak pemesan atau pembeli (mustashni’), pihak pembuat atau penjual (shani’) dapat melakukan Istishna lagi dengan pihak lain pada objek Istishna yang sama, dengan ketentuan Istishna pertama tidak bergantung atau mensyaratkan atas pemenuhan hak dan kewajiban Istishna kedua (mu’allaq); b. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan, atau tidak berfungsinya objek Istishna; c. ketentuan mengenai jaminan dan asuransi; d. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; - 9 - e. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan antar para pihak dalam Istishna; dan/atau f. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB IV KAFALAH Bagian Kesatu Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Kafalah Pasal 13 Kewajiban pihak penjamin (kafiil/guarantor) adalah sebagai berikut: a. memiliki harta yang cukup untuk menjamin kewajiban pihak yang dijamin kepada pihak yang dijaminkan (makfuul lahu/orang yang berpiutang); b. memiliki kewenangan penuh untuk menggunakan hartanya sebagai jaminan atas pemenuhan kewajiban pihak yang dijamin kepada pihak yang dijaminkan (makfuul lahu/orang yang berpiutang); dan c. menyatakan secara tertulis bahwa pihak penjamin (kafiil/guarantor) menjamin kewajiban pihak yang dijamin kepada pihak yang dijaminkan (makfuul lahu/orang yang berpiutang) (pernyataan ijab). Pasal 14 Kewajiban pihak yang dijamin (makfuul ‘anhu/ashiil/orang yang berutang) adalah sebagai berikut: a. menyerahkan kewajiban (utang) pihak yang dijamin (makfuul ‘anhu/ashiil/orang yang berutang) kepada pihak penjamin (kafiil/guarantor); dan - 10 - b. menyatakan secara tertulis bahwa pihak yang dijamin (makfuul ‘anhu/ashiil/orang yang berutang) menerima jaminan dari pihak penjamin (kafiil/guarantor) (pernyataan qabul). Bagian Kedua Bentuk Penjaminan Dalam Kafalah Pasal 15 Penjaminan dalam Kafalah dapat berupa jaminan kebendaan dan/atau jaminan umum. Bagian Ketiga Persyaratan Objek Kafalah Pasal 16 Objek Kafalah adalah kewajiban (utang) pihak yang dijamin kepada pihak yang dijaminkan (makfuul lahu/orang yang berpiutang) yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. kewajiban dimaksud dapat berupa kewajiban pembayaran sejumlah uang, penyerahan barang, dan/atau pelaksanaan pekerjaan; b. kewajiban dimaksud harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya; c. kewajiban dimaksud bukan merupakan kewajiban yang timbul dari hal-hal yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan peraturan perundangan- undangan; dan d. harus merupakan utang mengikat yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan. - 11 - Bagian Keempat Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur dalam Kafalah Pasal 17 (1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16, dalam Kafalah dapat disepakati antara lain hal-hal sebagai berikut: a. para pihak dapat menetapkan besarnya imbalan (fee) atas pelaksanaan penjaminan yang dilakukan oleh pihak penjamin (kafiil/guarantor); b. jangka waktu berlakunya penjaminan dalam Kafalah; c. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan antar para pihak dalam Kafalah; dan/atau d. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar Modal. (2) Dalam hal para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menyepakati adanya imbalan (fee), maka Kafalah tersebut bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. BAB V MUDHARABAH Bagian Kesatu Hak Dan Kewajiban Pihak dalam Mudharabah Pasal 18 Hak dan kewajiban pihak pemilik modal (shahib al-mal) adalah sebagai berikut: a. berhak mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh pihak pengelola usaha (mudharib); - 12 - b. berhak menerima bagian keuntungan tertentu yang disepakati dalam Mudharabah; c. berhak meminta jaminan dari pihak pengelola usaha (mudharib) atau pihak ketiga yang dapat digunakan apabila pihak pengelola usaha (mudharib) melakukan pelanggaran atas Mudharabah. d. wajib menyediakan dan menyerahkan seluruh modal yang disepakati; e. wajib menanggung seluruh kerugian usaha yang tidak disebabkan oleh kelalaian, kesengajaan, dan/atau pelanggaran pengelola usaha atas Mudharabah; dan f. wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak pemilik modal (shahib al-mal) menyerahkan modal kepada pihak pengelola usaha (mudharib) untuk dikelola dalam suatu usaha sesuai dengan kesepakatan (pernyataan ijab). Pasal 19 Hak dan kewajiban pihak pengelola usaha (mudharib) adalah: a. berhak mengelola kegiatan usaha untuk tercapainya tujuan Mudharabah tanpa campur tangan pihak penyedia modal; b. berhak menerima bagian keuntungan tertentu sesuai yang disepakati dalam Mudharabah; c. wajib mengelola modal yang telah diterima dari pihak pemilik modal (shahib al-mal) dalam suatu kegiatan usaha sesuai kesepakatan; d. wajib menanggung seluruh kerugian usaha yang disebabkan oleh kelalaian, kesengajaan, dan/atau pelanggaran pihak pengelola usaha (mudharib); dan e. wajib menyatakan secara tertulis bahwa pihak pengelola usaha (mudharib) menerima modal dari pihak pemilik modal (shahib al-mal) dan berjanji untuk mengelola modal tersebut dalam suatu usaha sesuai dengan kesepakatan (pernyataan qabul). - 13 - Bagian Kedua Persyaratan Modal Yang Dikelola dalam Mudharabah Pasal 20 Modal yang dikelola dalam Mudharabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. berupa sejumlah uang dan/atau aset lainnya baik berwujud maupun tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang; b. jika modal yang diberikan dalam bentuk aset selain uang, maka aset tersebut tidak sedang dijaminkan atau tidak dalam status sengketa; c. jika modal yang diberikan dalam bentuk aset selain uang, maka aset tersebut harus dinilai oleh Penilai, namun penentuan nilai aset selain uang tetap berdasarkan kesepakatan para pihak pada waktu Mudharabah; d. tidak berupa piutang atau tagihan di antara pihak dan/atau kepada pihak lain; dan e. dapat diserahkan kepada pihak pengelola usaha (mudharib) baik seluruh atau sebagian pada waktu dan tempat yang telah disepakati. Bagian Ketiga Persyaratan Kegiatan Usaha dalam Mudharabah Pasal 21 Kegiatan usaha yang dapat dijalankan dalam Mudharabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau peraturan perundang-undangan; dan b. tidak dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa yang akan datang yang belum tentu terjadi. - 14 - Bagian Keempat Pembagian Keuntungan dalam Mudharabah Pasal 22 Pembagian keuntungan dalam Mudharabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. keuntungan Mudharabah merupakan selisih lebih dari kekayaan Mudharabah dikurangi dengan modal Mudharabah dan kewajiban kepada pihak lain yang terkait dengan kegiatan Mudharabah; b. keuntungan Mudharabah dibagikan kepada pihak pemilik modal (shahib al-mal) dan pihak pengelola usaha (mudharib) dengan besarnya bagian sesuai rasio/nisbah yang disepakati; dan c. besarnya bagian keuntungan masing-masing pihak wajib dituangkan secara tertulis dalam bentuk rasio/nisbah. Bagian Kelima Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur dalam Mudharabah Pasal 23 Dalam perjanjian (akad) Mudharabah tidak boleh ada ketentuan yang memastikan pemilik modal akan memperoleh keuntungan. Pasal 24 Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23, dalam Mudharabah dapat disepakati hal sebagai berikut: a. pihak pengelola usaha (mudharib) menyediakan biaya operasional sesuai kesepakatan dalam Mudharabah; b. jangka waktu berlakunya Mudharabah; c. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan antar para pihak dalam Mudharabah; dan/atau - 15 - d. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB VI MUSYARAKAH Bagian Kesatu Hak Dan Kewajiban Pihak dalam Musyarakah Pasal 25 (1) Setiap pihak dalam Musyarakah memiliki hak dan kewajiban yang sama, yaitu: a. berhak menerima bagian keuntungan tertentu sesuai dengan rasio/nisbah yang disepakati dalam Musyarakah atau proporsional; b. berhak mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, maka kelebihan dimaksud dapat diberikan kepada satu atau lebih pihak; c. berhak meminta jaminan kepada pihak lain dalam Musyarakah untuk menghindari terjadinya penyimpangan; d. wajib menyediakan modal sesuai dengan tujuan Musyarakah, baik dalam porsi yang sama atau tidak sama dengan pihak lainnya; e. wajib menyediakan tenaga dalam bentuk partisipasi dalam kegiatan usaha Musyarakah; dan f. wajib menanggung kerugian secara proporsional berdasarkan kontribusi modal masing-masing pihak. (2) Dalam hal 1 (satu) atau lebih pihak tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan usaha Musyarakah sebagaimana dimaksud pada huruf e, hal ini wajib disepakati dalam Musyarakah. - 16 - Bagian Kedua Persyaratan Modal dalam Musyarakah Pasal 26 Modal yang disetorkan dalam Musyarakah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. berupa sejumlah uang dan/atau aset lainnya baik berwujud maupun tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang; b. jika modal yang diberikan dalam bentuk aset selain uang, maka aset tersebut harus dinilai oleh Penilai, namun penentuan nilai aset selain uang tetap berdasarkan kesepakatan para pihak pada waktu Musyarakah; c. jika modal yang diberikan dalam bentuk aset selain uang, maka aset tersebut tidak sedang dijaminkan atau tidak dalam status sengketa; dan d. tidak berupa piutang atau tagihan di antara para pihak dan/atau kepada pihak lain. Bagian Ketiga Persyaratan Kegiatan Usaha dan Cara Pengelolaan dalam Musyarakah Pasal 27 a. kegiatan usaha yang dapat dijalankan dalam Musyarakah tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau peraturan perundang-undangan; b. kewajiban pengelolaan aset sesuai dengan Musyarakah; dan c. pihak yang mengelola Musyarakah dilarang mengelola modal di luar yang telah disepakati dalam Musyarakah, kecuali atas dasar kesepakatan. - 17 - Bagian Keempat Pembagian Keuntungan dan Kerugian Pasal 28 Pembagian keuntungan dan kerugian dalam Musyarakah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. keuntungan Musyarakah merupakan selisih lebih dari kekayaan Musyarakah setelah dikurangi dengan modal Musyarakah dan kewajiban kepada pihak lain yang terkait dengan kegiatan Musyarakah; b. untuk kepentingan pembagian keuntungan secara periodik, maka keuntungan Musyarakah dihitung berdasarkan selisih lebih dari kekayaan Musyarakah akhir periode setelah dikurangi dengan modal Musyarakah awal periode dan kewajiban akhir periode kepada pihak lain yang terkait dengan kegiatan Musyarakah; c. seluruh keuntungan Musyarakah harus dibagikan kepada para pihak secara proporsional berdasarkan kontribusi modal atau sesuai nisbah yang disepakati, dan tidak diperkenankan menentukan jumlah nominal keuntungan atau persentase tertentu dari modal bagi satu atau lebih pihak pada awal kesepakatan; d. dalam hal terdapat 1 (satu) atau lebih pihak yang memberikan kontribusi lebih dalam pengelolaan, maka pihak tersebut dapat menerima bagi hasil tambahan sesuai dengan kesepakatan; e. besarnya bagian keuntungan masing-masing pihak wajib dituangkan secara tertulis dalam bentuk rasio/nisbah; dan f. kerugian Musyarakah harus dibagi di antara para pihak secara proporsional berdasarkan kontribusi modal. - 18 - Bagian Kelima Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur dalam Musyarakah Pasal 29 Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28, dalam Musyarakah dapat disepakati hal sebagai berikut: a. biaya operasional dibebankan pada modal bersama; b. jangka waktu berlakunya Musyarakah; c. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan antar para pihak dalam Musyarakah; dan/atau d. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB VII WAKALAH Bagian Kesatu Kewajiban Pihak dalam Wakalah Pasal 30 Kewajiban pihak pemberi kuasa (muwakkil) adalah sebagai berikut: a. memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hal yang dapat dikuasakan; dan b. menyatakan secara tertulis bahwa pihak pemberi kuasa (muwakkil) memberikan kuasa kepada pihak penerima kuasa (wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu (pernyataan ijab). Pasal 31 Kewajiban pihak penerima kuasa (wakil) adalah sebagai berikut: a. memiliki kemampuan untuk melaksanakan perbuatan hukum yang dikuasakan kepadanya; - 19 - b. melaksanakan perbuatan hukum yang dikuasakan kepadanya serta dilarang memberi kuasa kepada pihak lain kecuali atas persetujuan pihak pemberi kuasa (muwakkil); dan c. menyatakan secara tertulis bahwa pihak penerima kuasa (wakil) menerima kuasa dari pihak pemberi kuasa (muwakkil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu (pernyataan qabul). Bagian Kedua Persyaratan Objek Wakalah Pasal 32 Perbuatan hukum sebagai objek Wakalah wajib memenuhi syarat sebagai berikut: a. diketahui dengan jelas jenis perbuatan hukum yang dikuasakan serta cara melaksanakan perbuatan hukum yang dikuasakan tersebut; b. tidak bertentangan dengan syariah Islam; dan c. dapat dikuasakan menurut syariah Islam. Bagian Ketiga Ketentuan Lain Yang Dapat Diatur dalam Wakalah Pasal 33 (1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 dalam Wakalah dapat disepakati hal sebagai berikut: a. para pihak dapat menetapkan besarnya imbalan (fee) atas pelaksanaan perbuatan hukum yang dikuasakan; b. jangka waktu berlakunya pemberian kuasa dalam Wakalah; c. penunjukan pihak lain untuk menyelesaikan perselisihan antar para pihak dalam Wakalah; dan/atau - 20 - d. hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan Prinsip Syariah di Pasar Modal. (2) Dalam hal para pihak menyepakati adanya imbalan (fee) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Wakalah tersebut bersifat mengikat dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. BAB VIII KETENTUAN SANKSI Pasal 34 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan - 21 - sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 35 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 36 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 kepada masyarakat. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasal Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 430/BL/2012 tanggal 1 Agustus 2012 tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah Di Pasar Modal beserta Peraturan Nomor IX.A.14 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 38 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 22 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 404 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2015 TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.14, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP- 430/BL/2012 tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah tanggal 1 Agustus 2012. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Contoh spesifikasi barang atau jasa antara lain identitas barang, kelaikan barang, spesifikasi pelayanan, dan jangka waktu pemanfaatan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. - 3 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Contoh jaminan umum antara lain jaminan perusahaan (corporate guarantee) dan jaminan pribadi (personal guarantee). Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Jaminan dapat berupa jaminan kebendaan dan/atau jaminan umum, seperti jaminan perusahaan (corporate guarantee) dan jaminan pribadi (personal guarantee). - 4 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan Penilai adalah Penilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. - 5 - Pasal 26 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan Penilai adalah Penilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. - 6 - Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5822
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 53/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-430/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'KEP-430/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.14' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan Lembaga Jasa Keuangan yang sehat, melindungi pemangku kepentingan dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, diperlukan pelaksanaan tata kelola di Lembaga Jasa Keuangan; b. bahwa untuk mewujudkan tata kelola tersebut, Lembaga Jasa Keuangan harus dimiliki dan dikelola oleh pihak yang senantiasa memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan; c. bahwa untuk mendukung terwujudnya perizinan prima diperlukan pelayanan perizinan yang lebih cepat, tepat, mudah dan transparan; d. bahwa dengan beralihnya kewenangan pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan diperlukan penyelarasan ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Lembaga Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 3 - 6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi: a. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri; - 4 - b. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; c. Penasihat Investasi adalah perusahaan yang memberi nasihat kepada pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan memperoleh imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal; d. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian; e. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, termasuk yang menjalankan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah; f. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa, termasuk yang melakukan seluruh berdasarkan prinsip syariah dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan pembiayaan perusahaan pembiayaan syariah; pialang kegiatan usahanya sebagaimana dan - 5 - g. Lembaga Penjamin adalah perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan penjaminan ulang, dan perusahaan penjaminan ulang syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan; h. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura termasuk yang melakukan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan modal ventura dan perusahaan modal ventura syariah; i. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian pemerintah termasuk yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan pergadaian. mengenai peraturan usaha 2. Pihak Utama adalah pihak yang memiliki, mengelola, mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada LJK. 3. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki saham atau yang setara dengan saham LJK dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian atas LJK. 4. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau - 6 - yang setara dengan RUPS bagi LJK yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan umum, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, atau perusahaan perseroan daerah, atau badan usaha perseroan komanditer. 5. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi LJK yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan umum, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan daerah, badan usaha perseroan komanditer, atau kantor cabang/kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 6. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi LJK yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi LJK yang berbentuk badan hukum koperasi, usaha bersama, dana pensiun, perusahaan umum, perusahaan daerah, perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan daerah, badan usaha perseroan komanditer, atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 7. Dewan Pengawas Syariah adalah pengawas yang direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia yang ditempatkan di LJK atau unit syariah yang bertugas mengawasi kegiatan usaha perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah. 8. Pengendali Perusahaan Perasuransian adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan Direksi dan Dewan Komisaris, dan/atau mempengaruhi tindakan Direksi, Dewan Komisaris pada Perusahaan Perasuransian. - 7 - 9. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk pada LJK, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. 10. Auditor Internal adalah pejabat pada Perusahaan Perasuransian yang bertanggung jawab untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian, dan proses tata kelola perusahaan yang bekerja secara independen dan sesuai dengan standar praktik yang berlaku. 11. Aktuaris Perusahaan adalah pejabat pada perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang ditunjuk dan bertanggung jawab untuk mengelola dampak keuangan dari risiko yang dihadapi perusahaan yang bekerja secara independen dan sesuai dengan standar praktik yang berlaku. 12. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 2 (1) Calon Pihak Utama wajib memperoleh persetujuan dari OJK sebelum menjalankan tindakan, tugas dan fungsinya sebagai Pihak Utama. (2) Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bagi Bank: 1) PSP; 2) anggota Direksi; dan 3) anggota Dewan Komisaris. b. bagi Perusahaan Efek: 1) PSP; 2) anggota Direksi; dan 3) anggota Dewan Komisaris. - 8 - c. bagi Penasihat Investasi: 1) PSP; 2) anggota Direksi; dan 3) anggota Dewan Komisaris. d. bagi Perusahaan Perasuransian: 1) Pengendali Perusahaan Perasuransian; 2) anggota Direksi; 3) anggota Dewan Komisaris; 4) anggota Dewan Pengawas Syariah; 5) Auditor Internal; dan 6) Aktuaris Perusahaan. e. bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja: 1) anggota Direksi; 2) anggota Dewan Komisaris; dan 3) anggota Dewan Pengawas Syariah. f. bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan: 1) pelaksana tugas pengurus; dan 2) anggota Dewan Pengawas Syariah. g. bagi Perusahaan Pembiayaan, Lembaga Penjamin, PMV, dan Perusahaan Pergadaian: 1) PSP; 2) anggota Direksi; 3) anggota Dewan Komisaris; dan 4) anggota Dewan Pengawas Syariah. (3) Calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang merupakan pemegang saham yang belum memperoleh persetujuan dari OJK, dilarang melakukan tindakan sebagai PSP atau Pengendali Perusahaan Perasuransian walaupun telah memiliki saham LJK. (4) Calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang belum memperoleh persetujuan OJK, dilarang melakukan tindakan, tugas dan fungsi sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Dewan Pengawas Syariah LJK walaupun telah mendapat persetujuan dan diangkat oleh RUPS. - 9 - Pasal 3 Dalam rangka memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, OJK melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon Pihak Utama. BAB II FAKTOR PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 4 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon Pihak Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memenuhi persyaratan: a. integritas dan kelayakan keuangan bagi calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang merupakan pemegang saham; b. integritas dan reputasi keuangan bagi calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang bukan merupakan pemegang saham; c. integritas, reputasi keuangan dan kompetensi bagi selain calon PSP atau calon Pengendali Perusahaan Perasuransian. Pasal 5 Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf b, dan huruf c, meliputi: a. cakap melakukan perbuatan hukum; b. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum dicalonkan; c. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan dan mendukung kebijakan OJK; d. memiliki komitmen terhadap pengembangan LJK yang sehat; dan e. tidak termasuk sebagai pihak yang dilarang untuk menjadi Pihak Utama. - 10 - Pasal 6 Persyaratan reputasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dan huruf c, paling sedikit dibuktikan dengan: a. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; dan b. tidak pernah dinyatakan pailit dan/atau tidak pernah menjadi pemegang saham, Pengendali Perusahaan Perasuransian yang bukan merupakan pemegang saham, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Pasal 7 Persyaratan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, paling sedikit dibuktikan dengan: a. memiliki reputasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; b. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung perkembangan bisnis LJK; dan c. memiliki komitmen untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan apabila LJK menghadapi kesulitan keuangan. Pasal 8 Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, paling sedikit meliputi pengetahuan dan/atau pengalaman yang mendukung pengelolaan LJK. BAB III TATA CARA PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Bagian Kesatu Umum - 11 - Pasal 9 Calon Pihak Utama yang sedang menjalani: a. proses hukum; b. proses penilaian kemampuan dan kepatutan di OJK; dan/atau c. proses penilaian kembali karena terdapat indikasi permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan, dan/atau kompetensi pada suatu LJK, tidak dapat diajukan untuk mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan untuk menjadi Pihak Utama. Pasal 10 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi Pihak Utama diajukan oleh: a. calon pemilik, pendiri atau anggota Direksi LJK dalam hal permohonan izin pendirian LJK; atau b. anggota Direksi LJK, dalam hal LJK telah memperoleh izin usaha; dilengkapi dengan dokumen persyaratan administratif. (2) LJK harus menyampaikan daftar pemenuhan persyaratan administratif kepada OJK yang ditandatangani oleh: a. calon pemilik, pendiri, atau pejabat LJK yang berwenang dalam hal permohonan izin pendirian LJK; atau b. pejabat LJK yang berwenang, dalam hal LJK telah memperoleh izin usaha. (3) Penyampaian permohonan dan/atau dokumen persyaratan administratif dapat dilakukan melalui sarana elektronik dalam hal ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut telah diberlakukan. (4) OJK dapat mengembalikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dokumen persyaratan administratif tidak lengkap. - 12 - (5) LJK dapat mengajukan calon Pihak Utama dalam jumlah tertentu untuk setiap posisi jabatan yang dituju. Pasal 11 (1) Dalam hal seluruh atau mayoritas saham LJK dimiliki oleh pemerintah pusat atau lembaga yang diberikan tugas oleh Undang-Undang untuk menyelamatkan LJK, permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris LJK dimaksud dapat diajukan oleh instansi yang mewakili pemerintah pusat atau lembaga tersebut. (2) Dalam hal calon PSP akan melakukan pembelian saham LJK dalam rangka penyertaan modal sementara oleh lembaga yang diberikan tugas oleh Undang- Undang untuk menyelamatkan LJK, permohonan untuk memperoleh persetujuan menjadi PSP dimaksud dapat diajukan oleh lembaga tersebut. Pasal 12 Dalam hal anggota Direksi LJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan, permohonan diajukan oleh: a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan; b. anggota Dewan Komisaris apabila seluruh anggota Direksi tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan; atau c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS apabila seluruh anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris tidak dapat menjalankan fungsinya atau mempunyai benturan kepentingan. - 13 - Bagian Kedua Tata Cara Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Calon PSP dan Calon Pengendali Perusahaan Perasuransian Pasal 13 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian dilakukan melalui penilaian administratif. (2) Dalam rangka penilaian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian harus melakukan presentasi atau pemaparan paling sedikit mengenai: a. rencana calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian pengembangan LJK yang akan dimiliki dan/atau yang akan dikendalikannya; dan b. strategi calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian dalam hal LJK yang akan dimiliki dan/atau yang akan dikendalikannya mengalami kesulitan keuangan. Pasal 14 Dalam hal calon PSP, atau calon Pengendali Perusahaan Perasuransian adalah pemerintah pusat atau pemerintah daerah, presentasi atau pemaparan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan apabila dianggap perlu. Pasal 15 (1) Dalam hal calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian berbentuk badan hukum, penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum tersebut dilakukan dengan menilai badan hukum yang bersangkutan, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris badan hukum yang terhadap - 14 - bersangkutan, dan pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan merupakan ultimate shareholders. (2) Dalam hal ultimate shareholders merupakan pemerintah negara lain, dan hukum di negara yang bersangkutan tidak memperbolehkan ultimate shareholders tersebut memberikan data dan dokumen, OJK menetapkan ultimate shareholders lain yang secara langsung dikendalikan oleh pemerintah negara lain tersebut berdasarkan dokumen pendukung yang sah sebagai pengganti pemerintah negara lain tersebut. (3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus menyampaikan dokumen persyaratan administratif. (4) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), OJK dapat menetapkan pihak lain yang berdasarkan penilaian OJK melakukan Pengendalian, untuk menyampaikan dokumen persyaratan administratif. (5) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) merupakan satu kesatuan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Tata Cara Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Selain Calon PSP dan Calon Pengendali Perusahaan Perasuransian Pasal 16 Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pihak Utama selain calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian administratif. dilakukan OJK melalui ultimate shareholders penilaian - 15 - Pasal 17 (1) LJK harus terlebih dahulu melakukan penilaian sendiri (self assessment) terhadap calon Pihak Utama selain calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian sebelum diajukan kepada OJK, terkait dengan: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c; dan b. pemenuhan persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (2) Hasil self assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK pada saat pengajuan permohonan. Pasal 18 (1) Dalam rangka penilaian administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, OJK dapat melakukan klarifikasi kepada calon Pihak Utama. (2) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila: a. terdapat informasi negatif mengenai calon Pihak Utama; b. calon Pihak Utama belum mempunyai pengalaman pada LJK di Indonesia yang relevan dengan jabatan yang dituju dan mempertimbangkan posisi jabatan, ukuran, kompleksitas, dan/atau permasalahan LJK tempat yang bersangkutan akan dicalonkan; dan/atau c. calon Pihak Utama pernah ditetapkan tidak disetujui dalam pencalonan sebelumnya. - 16 - Bagian Keempat Penghentian Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Pasal 19 (1) OJK menghentikan penilaian kemampuan dan kepatutan calon Pihak Utama LJK apabila calon tersebut menjalani: a. proses hukum; b. proses penilaian kemampuan dan kepatutan; dan/atau c. proses penilaian kembali karena terdapat indikasi permasalahan integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan, dan/atau kompetensi pada suatu LJK. (2) Penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada LJK. Pasal 20 Calon Pihak Utama yang dihentikan penilaian kemampuan dan kepatutannya oleh OJK, dapat dicalonkan kembali kepada OJK untuk menjadi Pihak Utama apabila yang bersangkutan telah selesai menjalani proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). BAB IV HASIL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 21 (1) OJK menetapkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagai berikut: a. disetujui; atau b. tidak disetujui. (2) Jangka waktu penetapan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah seluruh dokumen permohonan diterima secara lengkap. - 17 - (3) Dalam hal proses penilaian kemampuan dan kepatutan calon Pihak Utama dilakukan pada saat permohonan izin pendirian, penggabungan dan/atau peleburan LJK, OJK memberikan penetapan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan yang mengatur mengenai pemberian izin pendirian, penggabungan, dan/atau peleburan LJK. (4) OJK memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada LJK. (5) Selain memberitahukan kepada LJK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK dapat memberitahukan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kepada pihak lain yang berkepentingan dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK atau diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 22 (1) Bagi calon PSP yang tidak disetujui oleh OJK namun telah memiliki saham LJK: a. yang bersangkutan wajib mengalihkan kepemilikan sahamnya pada LJK yang bersangkutan dan tidak melakukan Pengendalian; dan b. dilakukan pembatasan atas hak pemegang saham pada LJK yang bersangkutan. (2) LJK wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada OJK dengan mengacu kepada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan anggaran dasar terkait perubahan kepemilikan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan. (3) Dalam hal tidak terdapat peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan anggaran dasar terkait perubahan - 18 - kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib melaporkan pengalihan kepemilikan saham paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah RUPS mengesahkan pengalihan kepemilikan saham. Pasal 23 LJK wajib mencantumkan penjelasan mengenai status pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dalam: a. daftar pemegang saham LJK; dan b. laporan yang dipublikasikan LJK. Pasal 24 (1) OJK dapat menetapkan pihak yang tidak diperbolehkan menerima pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1). (2) Dalam hal pengalihan kepemilikan saham dilakukan kepada pihak yang tidak diperbolehkan menerima pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. pengalihan tersebut tidak dianggap sebagai pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 ayat (1); b. LJK dilarang melakukan pencatatan atas pihak yang menerima pengalihan tersebut dalam daftar pemegang saham LJK; dan c. pihak yang menerima pengalihan tidak memperoleh hak-haknya sebagai pemegang saham. Pasal 25 (1) Persetujuan OJK terhadap calon Pihak Utama selain calon PSP, dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian menjadi tidak berlaku apabila dalam jangka waktu tertentu tidak terdapat pengangkatan terhadap calon Pihak Utama yang telah disetujui oleh OJK. - 19 - (2) LJK wajib melaporkan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mengacu kepada peraturan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama yang berlaku pada masing- masing sektor jasa keuangan. (3) Dalam hal tidak terdapat peraturan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib melaporkan pengangkatan Pihak Utama paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah pengangkatan. Pasal 26 (1) Bagi calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, dan/atau calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang tidak disetujui oleh OJK namun telah diangkat sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris, LJK wajib menyelenggarakan RUPS untuk membatalkan pengangkatan yang bersangkutan. (2) LJK wajib melaporkan RUPS pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK dengan mengacu kepada peraturan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama yang berlaku pada masing- masing sektor jasa keuangan. (3) Dalam hal tidak terdapat peraturan yang mengatur mengenai pelaporan perubahan Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LJK wajib melaporkan perubahan Pihak Utama paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah RUPS pembatalan pengangkatan anggota Direksi atau calon anggota Dewan Komisaris. Pasal 27 (1) Calon Pihak Utama selain calon PSP dan calon Pengendali Perusahaan Perasuransian yang tidak disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dapat dicalonkan kembali kepada OJK - 20 - paling cepat 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan Tidak Disetujui dari OJK. (2) Dalam hal calon Pihak Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disetujui karena persyaratan kompetensi maka calon dimaksud dapat diajukan sebelum 6 (enam) bulan pada: a. bidang jabatan yang berbeda pada jabatan yang setingkat atau lebih rendah pada LJK yang sama; b. jabatan di LJK sejenis yang mempunyai ukuran dan kompleksitas yang lebih rendah; atau c. jabatan di LJK yang berbeda. (3) Pengajuan kembali calon Pihak Utama yang tidak disetujui karena persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen pendukung yang membuktikan bahwa calon yang diajukan kembali telah melakukan peningkatan kompetensi. Pasal 28 (1) OJK membatalkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, apabila setelah persetujuan diberikan: a. diketahui bahwa informasi atau dokumen yang disampaikan dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan tidak benar sehingga menjadi tidak memenuhi persyaratan; dan/atau b. terdapat informasi yang diperoleh dari otoritas lain yang mengakibatkan pihak yang telah disetujui menjadi tidak memenuhi persyaratan. (2) PSP yang dibatalkan persetujuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap yang bersangkutan berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 22. (3) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah yang dibatalkan persetujuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), - 21 - terhadap yang bersangkutan berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 26. BAB V PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN DALAM PENYELAMATAN/PENANGANAN DAN PIHAK UTAMA BANK YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SARANA RESOLUSI Pasal 29 OJK menetapkan tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan yang berbeda bagi Pihak Utama pada: a. LJK dalam penyelamatan/penanganan oleh lembaga atau instansi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelamatan/penanganan LJK; dan b. Bank yang digunakan sebagai sarana resolusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 30 (1) Bank wajib melaporkan rencana perubahan struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank termasuk badan hukum pemilik Bank sampai dengan ultimate shareholders kepada OJK paling lambat 1 (satu) bulan sebelum terjadinya perubahan. (2) Dalam hal perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut penilaian OJK menyebabkan perubahan pengendali Bank atau apabila menurut penilaian OJK terdapat pengendali Bank, Bank wajib mengajukan calon PSP untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan oleh OJK. - 22 - (3) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap pengendali Bank yang disebabkan karena adanya perubahan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu kesatuan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap kelompok usaha. (4) OJK berwenang menolak perubahan pengendali Bank, dalam hal berdasarkan penilaian OJK perubahan pengendali Bank dapat menyebabkan atau diindikasikan dapat menghambat pelaksanaan pengawasan Bank. BAB VII SANKSI Pasal 31 (1) LJK dan/atau Pihak Utama yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 ayat (2) huruf b, Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (3), atau Pasal 30 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan; d. pembatasan kegiatan usaha; e. perintah penggantian manajemen; f. pencantuman manajemen dalam daftar pihak yang dilarang untuk menjadi Pihak Utama; g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan; dan/atau h. pencabutan izin usaha. (2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- - 23 - undangan yang berlaku bagi LJK pada masing-masing sektor jasa keuangan. (3) Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengacu kepada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada masing-masing sektor jasa keuangan. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 33 Terhadap penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon Pihak Utama yang sedang dilakukan pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini: a. tata cara penilaian dan hasil penilaian tetap mengacu kepada ketentuan penilaian kemampuan dan kepatutan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan; dan b. konsekuensi hasil penilaian kemampuan dan kepatutan mengacu kepada ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 34 (1) Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini: a. Pihak Utama pada PMV atau Perusahaan Pergadaian yang belum pernah mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan tetap dapat menjadi Pihak Utama; b. anggota Dewan Pengawas Syariah pada Dana Pensiun dan Auditor Internal pada Perusahaan - 24 - Perasuransian yang belum pernah mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan tetap dapat menjabat dan menjalankan tugas dan fungsinya. (2) Pihak Utama selain PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sebelum yang bersangkutan dilakukan perpanjangan jabatan atau peralihan jabatan pada perusahaan yang sama. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 36 Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Pasal 3 ayat (2) huruf a, Pasal 3 ayat (2) huruf b, dan Pasal 18 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.05/2013 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 37 Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 25 - Pasal 38 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. pada tanggal 1 Agustus 2016 bagi LJK selain Perusahaan Pergadaian; b. 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan bagi Perusahaan Pergadaian. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 147 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 7/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM MELAKSANAKAN KEGIATAN STRUCTURED PRODUCT BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 26 Januari 2016 </set_date> <effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date> <replaced_reg> '11/26/PBI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 20 /POJK.04/2016 TENTANG PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa seiring dengan perkembangan Pasar Modal Indonesia, kualitas Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek perlu secara terus menerus ditingkatkan; b. bahwa peningkatan kualitas Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek dapat dilakukan antara lain melalui peningkatan tata kelola yang baik, peningkatan kualitas kepemilikan, pengendalian, dan kepengurusan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain. 2. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual. 3. Pemegang Saham Pengendali adalah Pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki: a. saham paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham yang dikeluarkan oleh satu Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan mempunyai hak suara; atau - 3 - b. saham kurang dari 20% (dua puluh persen) dari saham yang dikeluarkan oleh satu Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek. 4. Perseroan adalah Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. BAB II PERIZINAN DAN PERSYARATAN PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN/ATAU PERANTARA PEDAGANG EFEK Bagian Kesatu Izin Usaha Pasal 2 Perseroan yang melakukan kegiatan usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 3 (1) Izin usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek berlaku juga sebagai izin usaha Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek. (2) Izin usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek yang berlaku juga sebagai izin usaha Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek dapat dibatasi sendiri pelaksanaan kegiatan usahanya oleh Perusahaan Efek pada saat pengajuan izin usaha Penjamin Emisi Efek dengan menyatakan Penjamin Emisi Efek tidak - 4 - melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. (3) Izin usaha Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek tidak berlaku sebagai izin usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek. (4) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dapat menjalankan: a. kegiatan utama, yaitu: 1. penjaminan emisi Efek; dan 2. kegiatan lain yang berkaitan dengan aksi korporasi dari perusahaan yang akan atau telah melakukan Penawaran Umum, seperti pemberian nasihat dalam rangka penerbitan Efek, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan/atau restrukturisasi; serta b. kegiatan lain yang ditetapkan dan/atau disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. (5) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek dapat menjalankan: a. kegiatan utama, yaitu: 1. transaksi Efek untuk kepentingan sendiri dan Pihak lain; dan/atau 2. pemasaran Efek untuk kepentingan Perusahaan Efek lain; serta b. kegiatan lain yang ditetapkan dan/atau disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 4 (1) Perseroan dapat diberikan izin usaha Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana. (2) Ketentuan mengenai Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana. - 5 - Pasal 5 (1) Perseroan yang memperoleh izin usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dilarang melakukan kegiatan usaha selain kegiatan usaha sesuai izin usaha yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5). (2) Perseroan yang memperoleh izin usaha Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek dilarang melakukan kegiatan usaha selain kegiatan usaha sesuai izin usaha yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5). Bagian Kedua Persyaratan Paragraf 1 Persyaratan Anggaran Dasar Pasal 6 (1) Anggaran dasar Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib memuat kegiatan usaha sesuai izin usaha yang dimohonkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Perseroan yang mengajukan izin usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib telah menetapkan kegiatan usaha perusahaan sesuai izin usaha yang dimohonkan dalam anggaran dasar Perseroan dimaksud. Paragraf 2 Persyaratan Identitas Pasal 7 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib memiliki identitas Perseroan yang paling sedikit meliputi nama dan alamat perusahaan. - 6 - (2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib mencantumkan secara jelas kata “Sekuritas” pada penulisan nama perusahaannya. (3) Dalam hal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek menggunakan logo sebagai identitas tambahan, Perusahaan Efek tersebut wajib mencantumkan nama perusahaan yang merupakan bagian dari logo dimaksud. Paragraf 3 Persyaratan Permodalan Pasal 8 (1) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah). (3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang tidak Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Manajer Investasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah). (5) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah dan Manajer Investasi wajib - 7 - memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp55.000.000.000,00 (lima puluh lima miliar rupiah). Pasal 9 Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib memiliki dan memelihara Modal Kerja Bersih Disesuaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan. Paragraf 4 Persyaratan Operasional Pasal 10 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib: a. memiliki struktur organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas dan nama pegawai pada tiap posisi jabatan termasuk keberadaan unit kerja, anggota Direksi, atau pejabat setingkat di bawah Direksi yang menjalankan fungsi yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal sesuai izin usaha yang dimiliki; b. memiliki prosedur dan standar operasi sesuai izin usaha yang dimiliki oleh Perusahaan Efek dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan usaha yang dimiliki tersebut dengan ketentuan paling sedikit memuat: 1. judul prosedur dan standar operasi (pedoman standar operasi); 2. penanggung jawab prosedur dan standar operasi; 3. pihak yang melaksanakan setiap prosedur dan standar operasi; - 8 - 4. diagram alir dan penjelasan dari setiap tahapan prosedur yang dilaksanakan; 5. batasan waktu pelaksanaan dalam setiap prosedur; 6. dokumen yang digunakan; dan 7. hasil dari prosedur yang dilaksanakan; dan c. memiliki izin mempekerjakan tenaga kerja asing dari instansi yang berwenang dalam hal mempekerjakan tenaga kerja asing. (2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek wajib paling sedikit memiliki 1 (satu) orang pegawai yang telah memperoleh izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek. (3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek wajib paling sedikit memiliki 1 (satu) orang pegawai yang telah memperoleh izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek. Pasal 11 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis berkaitan dengan hasil riset agar riset yang dilakukan oleh analis Perusahaan Efek untuk mendukung pengambilan keputusan investasi perusahaan, memberikan setiap informasi, nasihat, dan rekomendasi kepada nasabah, dan/atau disebarluaskan kepada masyarakat, bersifat independen. (2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup alur pelaporan analis Perusahaan Efek dan dasar perhitungan kompensasi bagi analis tersebut yang dapat menghilangkan atau sangat membatasi benturan kepentingan yang ada, yang lazim terjadi, atau yang mungkin timbul. - 9 - Pasal 12 Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek bertanggung jawab penuh secara hukum dan finansial atas segala tindakan yang dilakukan untuk dan atas nama Perusahaan Efek oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Wakil Perusahaan Efek, pegawai, dan pihak lain yang bekerja untuk Perusahaan Efek tersebut. Paragraf 5 Persyaratan Integritas dan Kelayakan Keuangan Pemegang Saham dan Pemegang Saham Pengendali Pasal 13 (1) Pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib memenuhi persyaratan integritas dan kelayakan keuangan. (2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. cakap melakukan perbuatan hukum; b. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang diberikan dari Kepolisian jika kurang dari 6 (enam) bulan; c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di sektor keuangan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali oleh Otoritas Jasa Keuangan; - 10 - d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana khusus dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali oleh Otoritas Jasa Keuangan; e. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali oleh Otoritas Jasa Keuangan; f. memiliki akhlak dan moral yang baik; g. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; dan h. memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung pengembangan operasional Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang sehat dan Pasar Modal Indonesia serta kebijakan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Persyaratan kelayakan keuangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kemampuan keuangan; b. bagi pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali berupa orang perseorangan, tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan c. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet. (4) Dalam hal pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek berupa badan hukum, ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mutatis mutandis berlaku bagi badan hukum, pemegang - 11 - saham dan/atau pengendali, baik langsung maupun tidak langsung dari badan hukum tersebut. (5) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi dari Lembaga yang berwenang atas dokumen yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. Paragraf 6 Persyaratan Integritas dan Kompetensi Anggota Direksi atau Anggota Dewan Komisaris Pasal 14 (1) Anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib memenuhi persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta kompetensi dan keahlian di bidang Pasar Modal. (2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. cakap melakukan perbuatan hukum; b. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang diberikan dari Kepolisian jika kurang dari 6 (enam) bulan; c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di sektor keuangan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan; d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana khusus dalam jangka waktu 20 (dua puluh) - 12 - tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan; e. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam jangka waktu 10 (sepuluh puluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan; f. memiliki akhlak dan moral yang baik; g. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; dan h. memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung pengembangan operasional Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang sehat dan Pasar Modal Indonesia. (3) Persyaratan reputasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tidak pernah dinyatakan pailit; b. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; atau c. tidak pernah menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit. (4) Persyaratan kompetensi dan keahlian di bidang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. bagi anggota Direksi adalah: 1. memiliki pengetahuan di bidang Pasar Modal yang memadai dan relevan dengan jabatannya serta paling rendah berpendidikan akademi setingkat diploma; dan 2. memiliki pengalaman dan keahlian di bidang Pasar Modal dan/atau bidang keuangan paling sedikit 2 (dua) tahun pada jabatan manajerial di - 13 - perusahaan yang bergerak di sektor Pasar Modal dan/atau jasa keuangan; b. bagi anggota Dewan Komisaris adalah: 1. memiliki keahlian di bidang Pasar Modal yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan/atau 2. memiliki pengalaman minimal 2 (dua) tahun pada perusahaan yang bergerak di sektor Pasar Modal dan/atau jasa keuangan. (5) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi dari Lembaga yang berwenang atas dokumen yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. BAB III TATA CARA PERMOHONAN PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK Bagian Kesatu Permohonan Izin Usaha Pasal 15 (1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek diajukan oleh pemohon kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangkap 2 (dua) sesuai dengan surat permohonan atau perubahan Izin Usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang menunjukkan identitas Perseroan yang paling sedikit meliputi nama dan alamat kantor pusat dan operasional perusahaan, serta logo perusahaan (jika ada); - 14 - b. fotokopi akta pendirian Perseroan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan anggaran dasar terakhir yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Perseroan; d. surat kuasa kepada Pihak yang diberi kuasa untuk mengajukan permohonan perizinan untuk dan atas nama perseroan (jika ada); e. daftar nama dan data anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek, meliputi: 1. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan yang paling sedikit mencantumkan riwayat singkat pekerjaan yang meliputi: a) nama jabatan; b) alasan keluar atau mengundurkan diri (jika ada); dan c) uraian singkat atas tugas dan tanggung jawab jabatan; 2. fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir; 3. fotokopi izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek; 4. dokumen yang menunjukkan anggota Direksi memiliki pengalaman dan keahlian di bidang Pasar Modal dan/atau bidang keuangan paling sedikit 2 (dua) tahun pada jabatan manajerial di perusahaan yang bergerak di sektor Pasar Modal dan/atau jasa keuangan; 5. dokumen yang menunjukkan anggota Dewan Komisaris: a) memiliki keahlian di bidang Pasar Modal yang memadai dan relevan dengan - 15 - jabatannya; dan/atau b) memiliki pengalaman minimal 2 (dua) tahun pada perusahaan yang bergerak di sektor Pasar Modal dan/atau jasa keuangan; 6. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; dan 7. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; f. dokumen yang terkait dengan nama, data, dan informasi pemegang saham, meliputi: 1. orang perseorangan meliputi: a) b) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; c) pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; d) fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); e) bukti kemampuan keuangan; f) daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari pihak lain serta tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang dan pembiayaan terorisme pernyataan sumber dana atau setoran modal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan g) komitmen tertulis untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mendukung pengembangan operasional Perusahaan Efek yang sesuai surat - 16 - melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang sehat dan Pasar Modal Indonesia sesuai dengan surat pernyataan integritas bagi saham/calon calon pemegang Pemegang Saham Pengendali/ pemegang saham/Pemegang Saham Pengendali sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; 2. badan hukum, meliputi: a) fotokopi akta pendirian badan hukum Indonesia yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan anggaran dasar terakhir yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang (jika pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum Indonesia); b) fotokopi akta pendirian badan hukum asing yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang di negara asal beserta perubahannya (jika ada) dan dokumen yang dipersyaratkan sesuai dengan peraturan negara asal jika badan hukum yang bersangkutan adalah badan hukum asing berupa badan hukum milik negara atau pemerintah (jika pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum asing); c) fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi badan hukum Indonesia; - 17 - d) keterangan mengenai Pihak yang mengendalikan badan hukum baik langsung maupun tidak langsung yang paling sedikit memuat nama dan bentuk pengendalian; e) laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit; f) daftar nama dan data anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pengurus meliputi: 1) daftar riwayat hidup yang telah ditandatangani; 2) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; dan 3) pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; g) daftar nama dan data pemegang saham: 1) orang perseorangan meliputi: a. daftar riwayat hidup yang telah ditandatangani; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; dan c. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; 2) badan hukum meliputi: a. anggaran dasar terakhir; dan b. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit; h) surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari pihak lain serta tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang dan - 18 - pendanaan terorisme sesuai dengan surat pernyataan sumber dana atau setoran modal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; i) komitmen tertulis untuk mematuhi peraturan perundang-undangan dan mendukung pengembangan operasional Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang sehat dan Pasar Modal Indonesia sesuai dengan surat pernyataan integritas bagi calon pemegang saham/calon Pemegang Saham Pengendali/pemegang saham/Pemegang Saham Pengendali sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan j) jika badan hukum yang bersangkutan adalah badan hukum asing yang bergerak di bidang jasa keuangan, maka wajib dilampiri rekomendasi dari otoritas pengawasan yang berwenang dari negara asal yang paling sedikit menerangkan bahwa: 1) badan hukum asing tersebut mempunyai reputasi baik; dan 2) badan hukum asing tersebut tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang keuangan; g. keterangan mengenai: 1. pemegang saham hingga penerima manfaat yang sebenarnya; - 19 - 2. Pemegang Saham Pengendali Perseroan Terbatas baik langsung maupun tidak langsung yang paling sedikit memuat nama Pihak pengendali dan bentuk pengendalian; 3. perusahaan terelasi; dan 4. anak perusahaan; h. daftar nama pegawai setingkat di bawah Direksi yang tidak memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dan posisinya dalam struktur organisasi perseroan; i. laporan keuangan terakhir yang diperiksa Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan yang jangka waktu antara tanggal laporan keuangan terakhir tersebut dengan tanggal pemberian izin usaha Perusahaan Efek tidak lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari; j. fotokopi perjanjian usaha patungan bagi Perusahaan Efek patungan; k. rekening koran; l. bukti penyetoran modal; m. Modal Kerja Bersih Disesuaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan; n. surat pernyataan dari Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek baik langsung maupun tidak langsung yang menyatakan bahwa yang bersangkutan: 1. cakap melakukan perbuatan hukum; 2. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku - 20 - yang diberikan dari Kepolisian jika kurang dari 6 (enam) bulan; 3. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di sektor keuangan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali Keuangan; oleh Otoritas Jasa 4. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana khusus dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali Keuangan; oleh Otoritas Jasa 5. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali Keuangan; oleh Otoritas Jasa 6. memiliki akhlak dan moral yang baik; 7. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; dan 8. memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung pengembangan operasional Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang sehat dan Pasar Modal Indonesia serta kebijakan Otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan surat pernyataan integritas bagi calon pemegang saham/calon Pemegang Saham Pengendali/pemegang saham/Pemegang Saham Pengendali sebagaimana tercantum dalam Lampiran - 21 - yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; o. surat pernyataan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang menyatakan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut: 1. cakap melakukan perbuatan hukum; 2. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang diberikan dari Kepolisian jika kurang dari 6 (enam) bulan; 3. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di sektor keuangan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan; 4. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana khusus dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan; 5. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sampai dengan ditetapkannya hasil uji kemampuan dan kepatutan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris oleh Otoritas Jasa Keuangan; - 22 - 6. memiliki akhlak dan moral yang baik; 7. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; 8. memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung pengembangan operasional Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang sehat dan Pasar Modal Indonesia; 9. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direktur atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; dan 10. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet, sesuai dengan surat pernyataan integritas bagi calon anggota Direksi/calon Komisaris/anggota Direksi/anggota Dewan Komisaris sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; p. surat pernyataan anggota Direksi yang menyatakan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek bertanggung jawab penuh secara hukum dan finansial atas segala tindakan yang dilakukan atas nama perusahaan, oleh anggota Direksi, Wakil Perusahaan Efek, pegawai, dan Pihak lain yang bekerja untuk perusahaan tersebut sesuai dengan surat pernyataan pertanggungjawaban penuh secara hukum dan finansial sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; q. surat pernyataan: 1. anggota Direksi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak bekerja pada perusahaan anggota Dewan - 23 - atau institusi lain dalam jabatan apapun selama menjabat sebagai anggota Direksi Perusahaan Efek kecuali sebagai anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan 2. anggota Dewan Komisaris yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak bekerja dalam jabatan apapun pada Perusahaan Efek lain, termasuk sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi; sesuai dengan surat pernyataan tidak merangkap jabatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; r. surat pernyataan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang menyatakan bahwa yang bersangkutan mempunyai atau tidak mempunyai hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris dalam Perusahaan Efek yang bersangkutan sesuai dengan surat pernyataan tidak mempunyai hubungan keluarga pada Perusahaan Efek yang bersangkutan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; s. surat pernyataan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang menyatakan bahwa yang bersangkutan mempunyai atau tidak mempunyai hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada Perusahaan Efek lainnya atau Emiten yang tercatat di Bursa Efek sesuai dengan surat pernyataan tidak mempunyai hubungan keluarga pada Perusahaan Efek lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; - 24 - t. surat pernyataan pegawai yang mempunyai izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak bekerja rangkap pada Perusahaan Efek lain sesuai dengan surat pernyataan tidak bekerja rangkap pada Perusahaan Efek lain sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; u. surat pernyataan tidak melakukan kegiatan usaha Perantara Pedagang Efek dalam hal Penjamin Emisi Efek hanya melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan tidak melakukan kegiatan usaha Perantara Pedagang Efek sesuai dengan surat pernyataan tidak melakukan kegiatan Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; v. surat pernyataan dari pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali bahwa sumber dana dalam rangka kepemilikan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari pihak lain serta tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang dan pembiayaan terorisme sesuai dengan surat pernyataan sumber dana atau setoran modal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; w. surat pernyataan pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris dari Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang mendukung kebijakan Otoritas Jasa Keuangan - 25 - sesuai dengan surat pernyataan yang mendukung kebijakan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; x. surat keterangan domisili dari pengelola gedung atau instansi berwenang terkait dengan alamat kantor pusat dan operasional, perjanjian sewa jika tempat usaha bukan milik sendiri, tata letak ruangan kantor, dan foto ruangan perusahaan yang disertai peruntukan ruangan; y. struktur organisasi yang mencantumkan nama pegawai pada tiap posisi jabatan dan uraian tugasnya termasuk keberadaan unit kerja, anggota Direksi, atau pejabat setingkat di bawah Direksi yang menjalankan fungsi yang dipersyaratkan peraturan perundang-undangan sesuai izin usaha yang dimohonkan; z. gambaran tentang rencana operasi dan misi perusahaan dan proyeksi keuangan paling sedikit 5 (lima) tahun ke depan; aa. jawaban atas pertanyaan sesuai dengan format daftar pertanyaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; bb. jawaban atas pertanyaan sesuai dengan format daftar A, B, dan C sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; cc. daftar kantor cabang dan perubahannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai kegiatan Perusahaan Efek di berbagai lokasi (jika ada); dd. prosedur dan standar operasi sesuai izin usaha yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang terkait dengan pelaksanaan - 26 - kegiatan usaha yang dimohonkan paling sedikit memuat: 1. judul prosedur dan standar operasi (pedoman standar operasi); 2. penanggung jawab prosedur dan standar operasi; 3. pihak yang melaksanakan setiap prosedur dan standar operasi; 4. diagram alir dan penjelasan dari setiap tahapan prosedur yang dilaksanakan; 5. batasan waktu pelaksanaan dalam setiap prosedur; 6. dokumen yang digunakan; dan 7. hasil dari prosedur yang dilaksanakan; ee. bukti pembayaran biaya perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek; dan ff. surat pernyataan calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris yang menyatakan bahwa semua dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk pengajuan: 1. permohonan atau perubahan izin usaha; 2. perubahan pemegang saham dan/atau pemegang saham pengendali; dan/atau 3. perubahan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris, adalah benar dan tidak menyesatkan sesuai dengan surat pernyataan kebenaran dokumen dan surat pernyataan kebenaran dokumen dari Perusahaan Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 27 - (2) Dalam hal terdapat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pegawai Perusahaan Efek merupakan tenaga kerja asing, pemohon wajib memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mengatur mengenai tata cara penggunaan tenaga kerja asing. Pasal 16 (1) Bagi Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan menyatakan tidak melakukan kegiatan usaha Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) bermaksud melakukan kegiatan usaha Perantara Pedagang Efek, Perusahaan Efek dimaksud wajib mengajukan permohonan ke Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 yang menunjukkan pemenuhan persyaratan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Laporan keuangan terakhir yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan laporan keuangan yang diperiksa Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dan jangka waktu antara tanggal laporan keuangan terakhir tersebut dengan tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan untuk melakukan kegiatan usaha Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari. Pasal 17 (1) Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek bermaksud mengajukan permohonan untuk memperoleh izin usaha sebagai - 28 - Penjamin Emisi Efek, Perusahaan Efek dimaksud wajib mengajukan permohonan ke Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 yang menunjukkan pemenuhan persyaratan untuk melakukan kegiatan usaha Penjamin Emisi Efek sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 18 (1) Dalam memproses permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka; c. permintaan presentasi mengenai rencana kegiatan usaha perusahaan; d. penilaian kemampuan dan kepatutan atas pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris; e. pemeriksaan di kantor pemohon; dan/atau f. permintaan tambahan dokumen. (2) Dalam hal permohonan pada saat diterima tidak memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan belum memenuhi persyaratan; atau b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (3) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan. (4) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap membatalkan permohonan. - 29 - (5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin usaha Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada pemohon yang mengajukan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, atau Pasal 17 paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi persyaratan. Bagian Kedua Permohonan Kegiatan Lain Pasal 19 Perusahaan Efek yang mempunyai izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang melakukan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf b wajib memastikan kegiatan lain dimaksud dan pelaksanaannya: a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan; dan b. didasarkan pada manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang timbul. Pasal 20 (1) Untuk melakukan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf b, Perusahaan Efek yang mempunyai izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan persetujuan kegiatan lain diajukan oleh Perusahaan Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangkap 2 (dua) sesuai dengan surat permohonan persetujuan kegiatan lain Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, disertai dengan: a. penjelasan rencana pelaksanaan kegiatan lain - 30 - meliputi: 1. jenis, deskripsi, dan aktivitas kegiatan lain; 2. waktu pelaksanaan kegiatan lain; 3. tujuan pelaksanaan kegiatan lain, termasuk target pasar dan target pendapatan dalam 1 (satu) tahun pertama; 4. keterkaitan kegiatan lain dengan strategi bisnis perusahaan; 5. manfaat, biaya, dan risiko bagi perusahaan atas kegiatan lain; 6. manfaat dan risiko bagi nasabah; dan 7. mitigasi risiko atas pelaksanaan kegiatan lain; b. prosedur dan standar operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf dd untuk melaksanakan kegiatan lain; c. dokumen yang memuat identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap risiko yang melekat pada kegiatan lain; d. hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan atas kegiatan lain; e. dokumen atau konsep dokumen dalam rangka transparansi kepada dan/atau dari nasabah yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan lain yang paling sedikit meliputi perjanjian antara Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dengan nasabah dan/atau pihak lain, brosur, selebaran, Prospektus, dan/atau formulir aplikasi; f. dokumen sistem informasi akuntansi termasuk penjelasan singkat mengenai keterkaitan sistem informasi akuntansi tersebut dengan sistem informasi akuntansi Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek secara menyeluruh dan/atau sistem pencatatan administrasi; g. surat pernyataan atau dokumen yang menyatakan kegiatan lain yang akan dilakukan oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai - 31 - Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek tidak bertentangan dan dalam pelaksanaannya akan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau telah memperoleh persetujuan atau izin dari instansi yang berwenang, apabila aktivitas Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dimaksud memerlukan persetujuan dari otoritas tersebut; dan h. kesiapan dan hasil uji coba Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek (jika ada) atas kegiatan lain. Pasal 21 (1) Dalam memproses permohonan persetujuan kegiatan lain Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek, Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka; c. permintaan presentasi mengenai rencana kegiatan lain perusahaan; d. pemeriksaan di kantor pemohon; dan/atau e. permintaan tambahan dokumen (jika diperlukan). (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) pada saat diterima tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan permohonan belum memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen. (3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap telah membatalkan permohonan persetujuan atas kegiatan lain Penjamin - 32 - Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2). (4) Dalam hal permohonan persetujuan atas kegiatan lain Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) tidak memenuhi syarat paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atas permohonan kegiatan lain kepada pemohon yang mengajukan permohonan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi persyaratan. (6) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek harus melaksanakan kegiatan lain yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (7) Dalam hal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek tidak melaksanakan kegiatan lain yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dimaksud menjadi tidak berlaku. (8) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan kegiatan lain yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan terhitung sejak tanggal kegiatan lain tersebut sudah dimanfaatkan oleh nasabah dan/atau pihak lain, - 33 - paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kegiatan lain dimaksud dilaksanakan, yang meliputi: a. jenis dan nama kegiatan lain; b. tanggal mulai pelaksanaan kegiatan lain; dan c. kesesuaian antara kegiatan lain yang dilaksanakan dan persetujuan kegiatan lain yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV KEPEMILIKAN DAN PENGENDALIAN Bagian Kesatu Kepemilikan Pasal 22 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perusahaan Efek dimaksud. (2) Larangan pengeluaran saham untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pengeluaran saham Perusahaan Efek dimaksud dilakukan dalam kedudukannya sebagai Emiten kepada: a. Perusahaan Efek lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perusahaan Efek dimaksud, yang melaksanakan kewajiban pembelian saham dalam penjaminan emisi Efek atas Penawaran Umum Efek bersifat ekuitasnya; dan b. Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perusahaan Efek dimaksud, yang melaksanakan: - 34 - 1. konversi atas obligasi konversi Emiten yang dimilikinya menjadi saham Emiten; 2. kewajiban pembelian saham sebagai pembeli siaga dalam penerbitan Efek bersifat ekuitas; atau 3. melaksanakan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, waran, atau hak lain yang lahir dari saham yang dimilikinya karena huruf a dan huruf b angka 1 dan angka 2. (3) Saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek tidak dilarang dimiliki oleh Perusahaan Efek lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perusahaan Efek dimaksud karena kepemilikan yang timbul dari pembelian saham di pasar sekunder. Pasal 23 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek merupakan Perusahaan Efek nasional, jika seluruh sahamnya dimiliki oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. (2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek merupakan Perusahaan Efek patungan, jika sahamnya dimiliki oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia dan badan hukum asing yang bergerak di bidang keuangan. Pasal 24 (1) Saham Perusahaan Efek patungan yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang bergerak di sektor jasa keuangan selain sekuritas paling banyak 85% (delapan puluh lima persen) dari - 35 - modal disetor. (2) Saham Perusahaan Efek patungan yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang bergerak di bidang sekuritas yang telah memperoleh izin atau di bawah pengawasan regulator Pasar Modal di negara asalnya paling banyak 99% (sembilan puluh sembilan persen) dari modal disetor. Pasal 25 (1) Dalam hal Perusahaan Efek nasional atau patungan yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek melakukan Penawaran Umum sahamnya, saham Perusahaan Efek nasional atau patungan tersebut dapat dimiliki seluruhnya oleh orang perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia, orang perseorangan warga negara asing, atau badan hukum asing. (2) Badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa badan hukum asing yang tidak bergerak di bidang keuangan. Pasal 26 (1) Kepemilikan saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 paling banyak sebesar: a. ekuitas badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas; atau b. setara ekuitas untuk badan hukum yang berbentuk koperasi atau badan hukum lainnya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penyetoran modal: a. dalam pendirian Perusahaan Efek yang melakukan - 36 - kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek; atau b. dalam peningkatan modal disetor Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b tidak berlaku bagi pemegang saham yang bukan Pemegang Saham Pengendali dari Perusahaan Efek yang merupakan Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 27 (1) Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dilarang berasal: a. dari pinjaman atau utang dalam bentuk apapun dari pihak manapun; dan/atau b. dari dan untuk tujuan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku bagi pemegang saham yang bukan Pemegang Saham Pengendali dari Perusahaan Efek yang merupakan Emiten atau Perusahaan Publik. Bagian Kedua Pengendalian Pasal 28 Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang menjadi pemegang saham Bursa Efek dan afiliasinya baik sendiri maupun bersama dilarang mempunyai hubungan dengan Perusahaan Efek lain yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang juga menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama melalui: - 37 - a. kepemilikan, baik langsung maupun tidak langsung, 20% (dua puluh persen) atau lebih saham Perusahaan Efek lain dimaksud yang mempunyai hak suara; atau b. pengendalian di bidang pengelolaan dan/atau kebijakan Perusahaan Efek lain dimaksud, baik langsung maupun tidak langsung. Pasal 29 Pengendalian atas Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b ada apabila memenuhi salah satu kondisi berikut: a. mempunyai hak suara lebih dari 20% (dua puluh persen) baik dengan kepemilikan saham sendiri dan afiliasinya maupun bersama dengan pihak lain; b. mempunyai hak untuk mengatur dan menentukan kebijakan finansial dan operasional Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian; c. mampu menunjuk atau memberhentikan anggota Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek; atau d. mampu menguasai suara mayoritas dalam rapat Direksi. Pasal 30 (1) Setiap perubahan modal disetor Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek kecuali penambahan modal disetor yang timbul karena pembagian saham bonus, wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Persetujuan perubahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa penambahan modal disetor wajib dimohonkan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa - 38 - Keuangan dengan disertai dokumen paling sedikit: a. bukti pendukung yang menunjukkan kemampuan keuangan pemegang saham yang melakukan penambahan setoran modal; b. bukti setoran modal; c. keterangan beserta bukti sumber dana; dan d. rekening koran perusahaan yang menunjukkan penambahan setoran modal; (3) Persetujuan perubahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa pengurangan modal disetor wajib dimohonkan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum diajukan permohonan persetujuan kepada Menteri yang berwenang dengan disertai dokumen paling sedikit: a. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa pengurangan modal disetor tidak mengganggu kegiatan operasional perusahaan; b. hasil audit Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan pengurangan modal disetor tidak mengganggu kegiatan operasional perusahaan; c. keterangan mengenai alasan pengurangan modal; d. bukti persetujuan kreditor atas keputusan Rapat Umum Pemegang Saham mengenai pengurangan modal; dan e. bukti pengumuman hasil Rapat Umum Pemegang Saham tentang pengurangan modal dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan data dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan persetujuan perubahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3). (5) Perubahan modal disetor Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek - 39 - atau Perantara Pedagang Efek yang timbul karena pembagian saham bonus wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 31 (1) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan dan penelitian untuk menilai pemenuhan persyaratan integritas, dan kelayakan keuangan calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, dan/atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan dokumen yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) atau ayat (3). (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) atau ayat (3) pada saat diterima tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan permohonan belum memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen. (3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap telah membatalkan permohonan persetujuan perubahan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) atau ayat (3). (4) Dalam hal permohonan persetujuan atas perubahan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) atau ayat (3) tidak memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang - 40 - menyatakan permohonan ditolak karena tidak memenuhi syarat. (5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan permohonan atas perubahan modal disetor kepada Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) atau ayat (3) paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi persyaratan. (6) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang permohonan perubahan modal disetornya disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib melaporkan perubahan modal disetornya dengan melampirkan: a. perubahan anggaran dasar terkait penambahan modal disetor beserta surat atau bukti penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari Menteri yang berwenang; atau b. perubahan anggaran dasar terkait pengurangan modal disetor beserta surat atau bukti persetujuan perubahan anggaran dasar dari Menteri yang berwenang. (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 tidak berlaku jika Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek telah melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas atau Perusahaan Publik. Bagian Ketiga Perubahan Pemegang Saham atau Pemegang Saham Pengendali Pasal 32 (1) Setiap perubahan pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali dari Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau - 41 - Perantara Pedagang Efek wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek merupakan Emiten atau Perusahaan Publik, kewajiban memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk perubahan Pemegang Saham Pengendali. (3) Permohonan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) diajukan oleh calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, dan/atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui Perusahaan Efek dimaksud. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disertai dokumen terkait calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, dan/atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf n, huruf v, huruf w, huruf aa, dan huruf ff. (5) Jika calon pemegang saham atau pemegang saham Perusahaan Efek yang menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama dengan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dimana yang bersangkutan memohon persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai pemegang saham berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disertai pula surat pernyataan yang menyatakan: a. yang bersangkutan dan afiliasinya tidak memiliki saham 20% (dua puluh persen) atau lebih; dan - 42 - b. yang bersangkutan tidak mempunyai pengendalian baik langsung maupun tidak langsung di bidang pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, pada Perusahaan Efek lain yang menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama dengan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dimana yang bersangkutan memohon persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai pemegang saham berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (6) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan data dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan persetujuan perubahan pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 33 (1) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan dan penelitian untuk menilai calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, dan/atau Pemegang Saham Pengendali memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) pada saat diterima tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan permohonan belum memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen. (3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal surat pemberitahuan sebagaimana - 43 - dimaksud pada ayat (2) dianggap telah membatalkan permohonan persetujuan atas perubahan pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3). (4) Dalam hal permohonan persetujuan atas perubahan pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) tidak memenuhi syarat paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan permohonan atas perubahan pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) setelah calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, dan/atau Pemegang Saham Pengendali memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan persetujuan perubahan pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali secara lengkap. Bagian Keempat Kepemilikan Silang Akibat Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pasal 34 (1) Jika Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha Penjamin Emisi Efek yang merupakan pemegang saham Bursa Efek melakukan penjaminan emisi Efek atas Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dari Emiten berupa Perusahaan Efek yang juga merupakan pemegang saham Bursa Efek yang sama, maka jumlah keseluruhan kepemilikan saham Emiten tersebut baik langsung maupun tidak langsung termasuk kepemilikan karena pelaksanaan penjaminan oleh Perusahaan Efek yang melakukan penjaminan dimaksud, wajib memenuhi - 44 - ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf a. (2) Kepemilikan saham Emiten oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha Penjamin Emisi Efek sebagai pelaksanaan penjaminan emisi Efek dalam Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dari Emiten yang memiliki saham Penjamin Emisi Efek tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib dialihkan kepada pihak lain dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal perolehan. Pasal 35 (1) Jika Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha Penjamin Emisi Efek yang merupakan pemegang saham Bursa Efek bertindak sebagai pembeli siaga atas Efek bersifat ekuitas dari Emiten berupa Perusahaan Efek yang juga merupakan pemegang saham Bursa Efek yang sama, maka kepemilikan saham Emiten tersebut baik langsung maupun tidak langsung oleh Perusahaan Efek yang bertindak sebagai pembeli siaga dimaksud wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf a. (2) Kepemilikan saham Emiten oleh Perusahaan Efek sebagai pelaksanaan pembeli siaga atas Efek bersifat ekuitas dari Emiten yang memiliki saham Perusahaan Efek tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib dialihkan kepada pihak lain dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal perolehan. Pasal 36 (1) Kepemilikan silang bagi Perantara Pedagang Efek yang merupakan Anggota Bursa Efek tidak dilarang sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan sebagai agen stabilisasi dari Emiten yang merupakan Perusahaan Efek Anggota Bursa Efek yang sama dengan mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf a. (2) Dalam hal terjadi kepemilikan silang sebagai akibat pelaksanaan stabilisasi, Perantara Pedagang Efek yang - 45 - bertindak sebagai agen stabilisasi wajib mengalihkan kepemilikan atas saham tersebut kepada pihak lain dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal perolehan. Pasal 37 (1) Ketentuan larangan kepemilikan saham yang dikeluarkan oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek untuk diri sendiri atau peralihan saham yang mengakibatkan kepemilikan silang bagi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika pemilikan saham tersebut diperoleh berdasarkan: a. peralihan karena hukum yang meliputi peralihan hak yang timbul sebagai akibat penggabungan, peleburan, atau pemisahan; b. hibah; atau c. hibah wasiat. (2) Saham yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dialihkan kepada pihak lain dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal perolehan. (3) Saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang dimiliki sendiri sebagai akibat peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki hak suara, tidak diperhitungkan dalam menentukan jumlah kuorum Rapat Umum Pemegang Saham, dan tidak berhak mendapat pembagian dividen. Pasal 38 Saham yang dimiliki Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara - 46 - Pedagang Efek yang mengakibatkan kepemilikan silang, tidak memiliki hak suara, tidak diperhitungkan dalam menentukan jumlah kuorum Rapat Umum Pemegang Saham, dan tidak berhak mendapat pembagian dividen. BAB V ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS Bagian Kesatu Persyaratan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Pasal 39 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang menjadi Anggota Bursa Efek wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi. (2) Seorang diantara anggota Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib ditetapkan sebagai direktur utama Perusahaan Efek dimaksud. (3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris. (4) Dalam hal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek merupakan Emiten atau Perusahaan Publik, persyaratan jumlah anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib memenuhi ketentuan peraturan yang mengatur tentang Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 40 (1) Anggota Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek. - 47 - (2) Dalam hal izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang dimiliki oleh anggota Direksi telah habis masa berlakunya dan belum mendapatkan persetujuan perpanjangan izin dari Otoritas Jasa Keuangan, anggota Direksi dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang sebagai anggota Direksi sampai anggota Direksi mendapatkan persetujuan perpanjangan izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Dalam hal izin orang perseorangan Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek dari anggota Direksi yang merupakan penanggung jawab kegiatan usaha Perusahaan Efek sebagai Perantara Pedagang Efek atau Penjamin Emisi Efek dicabut, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib mengganti anggota Direksi yang menjadi penanggung jawab kegiatan usaha dimaksud dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan. (4) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) anggota Direksi yang memiliki izin Wakil Penjamin Emisi Efek sebagai penanggung jawab atas kegiatan tersebut. (5) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) anggota Direksi yang memiliki izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek sebagai penanggung jawab atas kegiatan tersebut. Pasal 41 (1) Masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek wajib berakhir dengan sendirinya apabila: a. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; b. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan - 48 - dinyatakan pailit; c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan; d. berhalangan tetap; e. meninggal dunia; f. dinyatakan tidak memenuhi persyaratan integritas oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau g. dicabut izin orang perseorangannya sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek yang dimiliki oleh anggota Direksi dibekukan sementara, anggota Direksi dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang sebagai anggota Direksi sampai izin Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek anggota Direksi berlaku kembali. (3) Dalam hal terjadi kekosongan atas seluruh anggota Direksi Perusahaan Efek karena sebab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: a. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dibatasi kegiatan usahanya; dan b. pengurusan Perusahaan Efek dijalankan oleh Dewan Komisaris hingga diangkatnya anggota Direksi yang baru oleh Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 42 (1) Anggota Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dilarang bekerja pada perusahaan atau institusi lain dalam jabatan apapun kecuali sebagai anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. - 49 - (2) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dilarang bekerja dalam jabatan apapun pada Perusahaan Efek lain yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, atau Manajer Investasi. Pasal 43 Anggota Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib berdomisili di Indonesia. Pasal 44 (1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib mengikuti program pendidikan berkelanjutan paling sedikit 1 (satu) kali dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. (2) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris wajib melaporkan keikutsertaan dalam pendidikan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dokumen pendukung paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal sertifikat atau piagam bukti keikutsertaan pendidikan berkelanjutan diterima oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemenuhan persyaratan melampirkan dokumen telah mengikuti pendidikan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris mulai berlaku jika telah terdapat asosiasi atau pihak lain yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan pendidikan khusus di bidang Pasar Modal. - 50 - Bagian Kedua Perubahan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Pasal 45 (1) Setiap perubahan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui Perusahaan Efek dimaksud. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disertai nama calon anggota Direksi dan dokumen terkait dengan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e, huruf o, huruf p, huruf q, huruf r, huruf s, huruf t, huruf aa, huruf ff, dan ayat (2) serta keterangan tentang tugas dan fungsi yang akan menjadi tanggung jawabnya. (4) Penyampaian permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disertai nama calon anggota Dewan Komisaris dan dokumen terkait dengan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e, huruf o, huruf q, huruf r, huruf s, huruf aa, huruf ff, dan ayat (2) serta keterangan tentang tugas dan fungsi yang akan menjadi tanggung jawabnya. (5) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan data dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan perubahan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2). - 51 - Pasal 46 (1) Dalam memberikan surat persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan dan penelitian untuk menilai calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek, memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) pada saat diterima tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) atau ayat (4), paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan permohonan belum memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen. (3) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap telah membatalkan permohonan persetujuan atas perubahan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2). (4) Dalam hal permohonan persetujuan atas perubahan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) tidak memenuhi persyaratan integritas, reputasi keuangan, dan/atau kompetensi dan keahlian di bidang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Otoritas Jasa Keuangan - 52 - memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan permohonan atas perubahan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) setelah calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau anggota Dewan Komisaris memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan persetujuan perubahan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris secara lengkap. BAB VI PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Bagian Kesatu Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Pemegang Saham dan Pemegang Saham Pengendali Pasal 47 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek untuk menilai pemenuhan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1). (2) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada: - 53 - a. saat permohonan izin usaha Perusahaan Efek atau perubahan pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek; atau b. setiap waktu dalam rangka penilaian kembali atas pemenuhan persyaratan pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek. (3) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menilai pemenuhan calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, atau Pemegang Saham Pengendali terhadap persyaratan integritas dan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (4) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penelitian administratif; dan/atau b. klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka. Pasal 48 Dalam hal calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek berbentuk badan hukum, penilaian kemampuan dan kepatutan calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, atau Pemegang Saham Pengendali berbentuk badan hukum tersebut dilakukan terhadap badan hukum yang bersangkutan dan pengurusnya serta pihak yang berdasarkan penelaahan Otoritas Jasa Keuangan merupakan pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali, baik langsung maupun tidak langsung dari badan hukum tersebut. - 54 - Bagian Kedua Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Pasal 49 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek untuk menilai pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1). (2) Penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada: a. saat pengajuan permohonan izin usaha Perusahaan Efek atau perubahan anggota Direksi atau Dewan Komisaris Perusahaan Efek; atau b. setiap waktu dalam rangka penilaian kembali pemenuhan persyaratan anggota Direksi atau Dewan Komisaris Perusahaan Efek. (3) Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penelitian administratif; dan/atau b. klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka. Bagian Ketiga Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Pasal 50 (1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan atas calon pemegang saham, calon Pemegang Saham Pengendali, pemegang saham, dan Pemegang Saham Pengendali dan calon - 55 - anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris, telah atau tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) disampaikan Otoritas Jasa Keuangan kepada Perusahaan Efek dengan ketentuan sebagai berikut: a. hasil penilaian kemampuan dan kepatutan atas pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris dalam permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Efek menjadi satu bagian dari pemberian atau penolakan permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Efek oleh Otoritas Jasa Keuangan; b. hasil penilaian kemampuan dan kepatutan atas calon pemegang saham atau calon Pemegang Saham Pengendali dalam permohonan perubahan pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali dan calon anggota anggota Direksi atau calon anggota Dewan Komisaris dalam permohonan perubahan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris menjadi satu bagian dari jawaban Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan persetujuan perubahan pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali dan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 46 ayat (5); dan c. hasil penilaian kemampuan dan kepatutan atas: 1. pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali yang dilakukan setiap waktu oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penilaian kembali pemenuhan persyaratan pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b; atau 2. anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang dilakukan setiap waktu oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penilaian - 56 - kembali pemenuhan persyaratan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat (2) huruf b, disampaikan Otoritas Jasa Keuangan kepada Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek apabila pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris tidak memenuhi lagi persyaratan pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) atau Pasal 14 ayat (1). (2) Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek hanya dapat mengangkat calon anggota Direksi atau calon anggota Dewan Komisaris yang telah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5). (3) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham belum melaksanakan pengangkatan calon anggota Direksi atau calon anggota Dewan Komisaris menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) menjadi tidak berlaku. (4) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atas perubahan permohonan pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal persetujuan dimaksud batal dengan sendirinya apabila tidak terdapat perubahan pemegang saham atau - 57 - Pemegang Saham Pengendali sebagaimana yang dimohonkan oleh Perusahaan Efek. (5) Perusahaan Efek wajib menyampaikan laporan perubahan pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah terdapat perubahan pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali disertai dengan daftar pemegang saham terakhir; atau b. paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak batalnya permohonan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan daftar pemegang saham terakhir. (6) Perusahaan Efek wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan hasil Rapat Umum Pemegang Saham tentang pengangkatan atau pembatalan pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud ayat (2) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham disertai dengan ringkasan risalah atau risalah Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 51 (1) Calon pemegang saham atau calon Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek dilarang melakukan tindakan hukum sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek. (2) Pihak yang telah menjadi pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali namun kemudian belum atau tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut: a. dilarang melakukan tindakan sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali; - 58 - b. tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; dan c. pihak yang bersangkutan tidak berhak mendapatkan pembayaran deviden. Pasal 52 (1) Calon anggota Direksi atau calon anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dilarang melakukan tindakan hukum sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek. (2) Orang perseorangan yang telah diangkat Rapat Umum Pemegang Saham menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek namun belum dinyatakan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dalam bentuk persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atau dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) oleh Otoritas Jasa Keuangan dilarang melakukan tindakan hukum sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek. (3) Orang perseorangan yang telah diangkat Rapat Umum Pemegang Saham menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dan telah dinyatakan memenuhi persyaratan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris namun kemudian dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dilarang melakukan tindakan hukum sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek. - 59 - Pasal 53 Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 juga berlaku bagi setiap Pihak yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan tidak memenuhi syarat integritas sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali, dimana yang bersangkutan telah menjadi pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris pada Perusahaan Efek yang bersangkutan atau Perusahaan Efek lain. Pasal 54 Calon pemegang saham atau calon Pemegang Saham Pengendali dan calon anggota Direksi atau calon anggota Dewan Komisaris yang tidak memenuhi persyaratan selain persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) atau Pasal 14 ayat (2) dapat mengajukan permohonan kembali paling cepat 6 (enam) bulan setelah tanggal surat pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan yang menerangkan bahwa calon pemegang saham atau calon Pemegang Saham Pengendali dan calon anggota Direksi atau calon anggota Dewan Komisaris tidak memenuhi persyaratan. BAB VII KEWAJIBAN LANJUTAN Pasal 55 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap perubahan berkaitan dengan: a. identitas perseroan, yang paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat dan operasional, atau logo; b. anggaran dasar perseroan; c. Nomor Pokok Wajib Pajak perseroan (NPWP); d. e. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); perjanjian usaha patungan bagi Perusahaan Efek - 60 - yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek patungan; f. keterangan terkait dengan alamat kantor pusat dan operasional yang berubah dan sistem pengendalian internal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek; g. struktur organisasi dan uraian tugas pegawai; h. penerimaan dan/atau pengunduran diri Wakil Perusahaan Efek; i. j. penerimaan dan/atau pengunduran diri pimpinan unit kerja, atau pejabat setingkat di bawah anggota Direksi yang menjalankan fungsi kepatuhan; dan prosedur dan standar operasi perseroan. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi perubahan tersebut. Pasal 56 (1) Dalam hal perubahan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib memastikan persetujuan perubahan anggaran dasar yang terkait dengan perubahan nama perseroan telah diberikan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (2) Pelaksanaan perubahan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a wajib diumumkan dalam: a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional; dan b. situs Perusahaan Efek (jika ada); paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal persetujuan perubahan anggaran dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang. - 61 - (3) Pelaporan perubahan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a wajib disertai dengan: a. alasan perubahan nama; b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang baru; dan d. bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 57 (1) Dalam hal masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris berakhir dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah peristiwa dimaksud diketahui. (2) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris mengundurkan diri atau diberhentikan, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah peristiwa dimaksud diketahui. (3) Otoritas Jasa Keuangan dapat menunda pengunduran diri atau pemberhentian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek. Pasal 58 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara - 62 - Pedagang Efek wajib menjadi anggota asosiasi yang mewadahi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang telah mendapatkan pengakuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas paling sedikit meliputi: a. menyusun kode etik anggota dalam rangka memelihara terciptanya persaingan pasar yang sehat; b. melaksanakan pendidikan berkelanjutan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; dan c. melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan lainnya. (3) Asosiasi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2) setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai asosiasi yang mewadahi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 59 (1) Dalam hal pegawai di unit kerja, anggota Direksi, atau pejabat setingkat di bawah Direksi yang menjalankan fungsi kepatuhan Perusahaan Efek dikenakan sanksi internal, Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek wajib memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pemberian sanksi. (2) Pegawai di unit kerja, anggota Direksi, atau pejabat setingkat di bawah Direksi yang menjalankan fungsi kepatuhan Perusahaan Efek tidak dapat diberhentikan karena melaporkan pelanggaran ketentuan di sektor jasa - 63 - keuangan yang dilakukan oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 60 Dalam hal penyampaian kewajiban dan/atau laporan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini jatuh pada hari libur, kewajiban tersebut wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. BAB VIII PENCABUTAN IZIN USAHA DAN PEMBATALAN PERSETUJUAN KEGIATAN LAIN Bagian Kesatu Pencabutan Izin Usaha Pasal 61 Izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dapat dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan atas hal-hal sebagai berikut: a. Izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dikembalikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal; c. putusan badan peradilan; d. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek bubar; e. kantor Perusahaan Efek tidak ditemukan; dan/atau f. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek tidak melakukan kegiatan utama sebagaimana - 64 - dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a dan ayat (5) huruf a dalam jangka waktu 2 (dua) tahun berturut- turut. Pasal 62 Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang akan mengembalikan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a wajib: a. mengumumkan rencana pengembalian izin usaha beserta mekanisme penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada nasabah paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia berperedaran nasional dan dalam situs web Perusahaan Efek (jika ada); b. mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham; c. menyelesaikan hak dan kewajiban Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada nasabah; dan d. menyelesaikan seluruh kewajiban bersifat finansial Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 63 Pengembalian izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 huruf a wajib diajukan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dokumen, data, dan informasi sebagai berikut: a. keterangan mengenai alasan pengembalian izin usaha; b. keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang menyetujui pengembalian izin usaha tersebut; c. Surat Keputusan tentang Pemberian Izin Usaha Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan yang dikembalikan; d. bukti pengumuman tentang rencana pengembalian izin - 65 - usaha paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional dan situs web Perusahaan Efek (jika ada) yang paling sedikit memuat mekanisme penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada nasabah; dan e. laporan tentang data penyelesaian hak dan kewajiban Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada nasabah beserta dokumen pendukungnya. Pasal 64 Jika Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek merupakan Emiten Efek bersifat ekuitas atau Perusahaan Publik, pelaksanaan pengembalian izin usahanya wajib memperhatikan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait Emiten dan Perusahaan Publik. Bagian Kedua Pembatalan Persetujuan Kegiatan Lain Pasal 65 Persetujuan kegiatan lain Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dapat dibatalkan oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan atas hal-hal sebagai berikut: a. Persetujuan kegiatan lain Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek dikembalikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. pelanggaran terhadap perundang-undangan di sektor Pasar Modal; c. putusan badan peradilan; d. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b dan ayat (5) huruf b sudah tidak lagi - 66 - melakukan kegiatan lain dimaksud dalam jangka waktu 2 (dua) tahun berturut-turut; atau e. izin usaha Perusahaan Efek dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61. Pasal 66 Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang akan mengembalikan persetujuan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf a, wajib: a. mengumumkan rencana pengembalian izin kegiatan lain beserta mekanisme penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek kepada nasabah paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia berperedaran nasional; atau b. mengumumkan rencana pengembalian izin kegiatan lain dalam situs web Perusahaan Efek (jika ada). Pasal 67 Pengembalian persetujuan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf a wajib diajukan oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dokumen, data, dan informasi sebagai berikut; a. keterangan mengenai alasan pengembalian persetujuan kegiatan lain; b. surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan lain; dan c. bukti pengumuman tentang rencana pengembalian persetujuan kegiatan lain paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau situs web Perusahaan Efek (jika ada). - 67 - Pasal 68 Perusahaan Efek yang memiliki lebih dari 1 (satu) izin usaha dan bermaksud mengembalikan salah satu dari izin usaha yang dimilikinya, dapat pengembalian salah satu izin usaha tersebut. Pasal 69 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah sedang dalam proses permohonan pengembalian izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk membekukan sub rekening Efek nasabah Perusahaan Efek dimaksud dengan tembusan kepada Bursa Efek. (2) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meminta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk membekukan sub rekening Efek nasabah wajib memberitahukan kepada seluruh nasabah untuk memindahkan Efek dari rekening Efeknya pada Perusahaan Efek tersebut ke rekening Efeknya di Kustodian lain. (3) Dalam hal nasabah tidak memberikan perintah tertulis pemindahan Efek dari rekening Efeknya pada Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke rekening Efeknya di Kustodian, Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk memindahkan Efek dalam sub rekening Efek nasabah tersebut ke rekening penampungan di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk keperluan penyelesaian Efek nasabah. Pasal 70 (1) Perusahaan Efek yang memiliki izin yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek yang sekaligus sebagai izin usaha Perantara Pedagang Efek, mengajukan permohonan - 68 - dapat mengembalikan izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek tanpa mengembalikan izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang melekat pada izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek tersebut. (2) Izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang melekat pada izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek tersebut tetap dapat dimiliki oleh Perusahaan Efek sepanjang Perusahaan Efek masih memenuhi persyaratan sebagai Perantara Pedagang Efek sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Otoritas Jasa Keuangan akan memberikan izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek kepada Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menggantikan izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek yang sekaligus sebagai izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 71 Jika Perusahaan Efek dicabut izin usahanya dan mengakibatkan Perusahaan Efek dimaksud tidak lagi memiliki izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek, Perusahaan Efek dimaksud dilarang menggunakan nama dan logo perusahaan untuk tujuan dan kegiatan apapun, selain untuk kegiatan yang berkaitan dengan pembubaran perseroan dimaksud. Pasal 72 (1) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik permohonan Izin Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek, permohonan Izin Perusahaan Efek dimaksud dapat diajukan melalui sistem elektronik tersebut. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik permohonan persetujuan perubahan modal disetor, perubahan pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali, perubahan anggota Direksi - 69 - atau anggota Dewan Komisaris, permohonan persetujuan perubahan dimaksud dapat diajukan melalui sistem elektronik tersebut. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 73 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib: a. menyusun dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis berkaitan dengan hasil riset agar riset yang dilakukan oleh analis Perusahaan Efek untuk mendukung pengambilan keputusan investasi perusahaan, memberikan setiap informasi, nasihat, dan rekomendasi kepada nasabah, dan/atau disebarluaskan kepada masyarakat, bersifat independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan b. menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek wajib melakukan penyesuaian identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang sudah melakukan kegiatan lain sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib - 70 - menyesuaikan dengan ketentuan perihal kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dalam waktu 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (4) Larangan sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a berlaku 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (5) Ketentuan pendidikan berkelanjutan sebagaimana dimaksud Pasal 44 berlaku sesuai Peraturan atau Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan terkait Pendidikan Berkelanjutan. BAB X KETENTUAN SANKSI Pasal 74 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pembatalan persetujuan; dan - 71 - pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 75 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 76 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 kepada masyarakat. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 77 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-334/BL/2007 tanggal 28 September 2007 tentang Perizinan Perusahaan Efek beserta Peraturan Nomor V.A.1 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 78 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 72 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 April 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 66 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 3 - PENJELASAN ATAS NOMOR 20 /POJK.04/2016 TENTANG PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK I. UMUM Perusahaan Efek, baik yang memiliki izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek, yang berhadapan langsung dengan pemodal merupakan salah satu pilar dalam pengembangan Pasar Modal dalam aktivitasnya yang berkaitan dengan pasar perdana dan pasar sekunder. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Penjamin Emisi Efek dapat melakukan kegiatan penjaminan emisi Efek dan kegiatan lain yang berkaitan dengan aksi korporasi, yaitu pemberian nasihat dalam rangka penerbitan Efek, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, restrukturisasi serta kegiatan lain sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Sedangkan Perantara Pedagang Efek dapat melakukan transaksi Efek baik untuk kepentingan nasabah maupun kepentingan perusahaan itu sendiri serta kegiatan lain sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator dalam Pasar Modal telah mengeluarkan ketentuan terkait dengan kegiatan-kegiatan Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek tersebut, termasuk bahwa pihak yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek adalah Perseroan Terbatas yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. - 2 - Dalam melakukan kegiatannya, Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek tidak lepas dari resiko yang dapat mengakibatkan kerugian pada Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek, pemodal dan juga dampak ekonomi pada Pasar Modal secara keseluruhan. Hal tersebut menjadi salah satu alasan perlunya peraturan perizinan Perusahaan Efek yang baik dan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek yang mengajukan izin untuk melakukan usaha di Pasar Modal wajib untuk memenuhi beberapa ketentuan atau kriteria yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Peraturan Nomor V.A.1 mengenai Perizinan Perusahaan Efek memuat informasi persyaratan dan tata cara pendaftaran serta kewajiban lanjutan dan pencabutan izin usaha Perusahaan Efek, ketentuan persyaratan pengendali dan pemegang saham serta anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dari Perusahaan Efek yang melakukan perizinan usaha. Dalam perkembangannya, ketentuan dalam peraturan tersebut tidak seluruhnya sesuai dengan tingkat kebutuhan semua jenis usaha Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek. Dengan munculnya peraturan perizinan khusus Manajer Investasi maka perlu pengaturan perizinan khusus Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek. Perizinan Perusahaan Efek yang sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dan mengatur ketentuan kegiatan lain diharapkan dapat membentuk Perusahaan Efek yang efektif dan efisien. Pengaturan terkait pemegang saham seperti kriteria Pemegang Saham Pengendali, persyaratan bagi pemegang saham asing dan kelengkapan dokumen yang lebih merepresentasikan kemampuan keuangan diharapkan menjadi dasar hukum dalam rangka perizinan Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek. Penambahan hal bersifat khusus seperti jumlah minimal anggota Direksi, pendidikan berkelanjutan, larangan bertindak sebelum penilaian kemampuan dan kepatutan, perlindungan fungsi kepatuhan, identitas termasuk nama Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek, serta penghapusan kewajiban IKTA juga poin dalam perizinan dalam meningkatkan kualitas Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek. - 3 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jenis kegiatan lain yang akan ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain kegiatan penjaminan atas Efek yang tidak melalui Penawaran Umum. Jenis kegiatan lain yang disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan yaitu kegiatan yang diajukan oleh Penjamin Emisi Efek secara individual. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jenis kegiatan lain yang akan ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain kegiatan Transaksi Efek atas Efek yang tidak melalui Penawaran Umum. Efek yang tidak melalui Penawaran Umum tersebut merupakan Efek baru yang diperdagangkan dalam kegiatan tersebut belum ada otoritas yang mengatur dan mengawasinya (misalnya: Transaksi Efek atas Medium Term - 4 - Notes atau Promisory Notes yang diterbitkan oleh badan hukum Indonesia). Kriteria kegiatan lain yang disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan yaitu kegiatan yang diajukan oleh Perantara Pedagang Efek secara individual. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Modal Kerja Bersih Disesuaikan adalah Peraturan Nomor V.D.5, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011 tentang Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai fungsi yang dipersyaratkan dimiliki oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan - 5 - sebagai Perantara Pedagang Efek adalah Peraturan Nomor V.D.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-548/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Pengendalian Internal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Huruf b Contoh peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek dalam ketentuan huruf ini dimana Perantara Pedagang Efek wajib memiliki memiliki prosedur dan standar operasi: 1. Peraturan Nomor V.D.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-548/BL/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Pengendalian Internal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek; dan 2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Diagram alir dimaksud biasa disebut dengan flowchart. Tahapan prosedur yang dilaksanakan dimaksud biasa disebut dengan manual. Angka 5 Batasan waktu pelaksanaan dimaksud biasa disebut dengan service level agreement. Angka 6 Cukup jelas. - 6 - Angka 7 Hasil dari prosedur yang dilaksanakan dimaksud biasa disebut dengan output. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pekerjaan analis berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.04/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi dan Peraturan perundang- undang di sektor Pasar Modal mengenai Pengendalian Internal Perusahaan Efek Yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai Perantara Pedagang Efek dilakukan di bawah fungsi riset. Contoh kebijakan mengenai alur pelaporan analis dari Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi baik fungsi riset Perusahaan Efek dilakukan oleh satu unit kerja di bawah salah satu kegiatan usaha Perusahaan Efek atau tidak di bawah salah satu kegiatan usaha Perusahaan Efek namun untuk keperluan seluruh kegiatan usaha Perusahaan Efek tersebut di atas, maka hasil analis dalam fungsi riset yang dihasilkan tidak dilaporkan kepada atau memerlukan persetujuan unit kerja lain yang ada pada Perusahaan Efek yang meminta, membutuhkan, atau mendasarkan pekerjaannya dari hasil analis dalam fungsi riset tersebut atau menggunakan hasil analis dalam fungsi riset tersebut untuk melakukan pekerjaannya mewakili Perusahaan Efek. - 7 - Selanjutnya, kompensasi yang diterima oleh analis Perusahaan Efek tersebut tidak boleh dikaitkan dengan kinerja dari unit kerja lain yang meminta, membutuhkan, atau mendasarkan pekerjaannya dari hasil analis tersebut atau menggunakan hasil analis tersebut untuk melakukan pekerjaannya mewakili Perusahaan Efek, atau besarnya imbalan yang diterima Perusahaan Efek yang didasarkan pada hasil analis. Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk tetapi tidak terbatas pada gaji yang diterima analis dari Perusahaan Efek. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jika pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali adalah Warga Negara Asing, dokumen yang menunjukkan yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dibuktikan antara lain dengan Police Clearance dari negaranya dan negara dimana yang bersangkutan berdomisili jika yang bersangkutan tidak berdomisili di negaranya. Huruf c Yang dimaksud dengan “tindak pidana di sektor keuangan” yaitu tindak pidana di sektor perbankan, sektor Pasar Modal, dan industri keuangan non bank. Huruf d Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus” yaitu tindak pidana selain tindak pidana yang diatur dalam KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) - 8 - tahun atau lebih, antara lain korupsi, narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan. Huruf e Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan” yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan macet” adalah: 1. kredit dan/atau pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem informasi Debitur (SID); dan/atau 2. kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur (SID) namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Bank Indonesia kredit dan/atau pembiayaan tersebut telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. - 9 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Ketentuan ini berlaku selama suatu perseroan memiliki izin usaha Perusahaan Efek sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jika anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris adalah Warga Negara Asing, dokumen yang menunjukkan yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dibuktikan antara lain dengan Police Clearance dari negaranya dan negara dimana yang bersangkutan berdomisili jika yang bersangkutan tidak berdomisili di negaranya. Huruf c Yang dimaksud dengan “tindak pidana di sektor keuangan” yaitu tindak pidana di sektor perbankan, sektor Pasar Modal, dan industri keuangan non bank. Huruf d Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus” yaitu tindak pidana selain tindak pidana yang diatur dalam KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, antara lain korupsi, narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan. Huruf e Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan” yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang - 10 - Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan macet” adalah: 1. kredit dan/atau pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur (SID); dan/atau 2. kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur (SID) namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Bank Indonesia kredit dan/atau pembiayaan tersebut telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Angka 1 Bukti telah memiliki pengetahuan di bidang Pasar Modal berupa memiliki izin wakil Perusahaan Efek. Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 11 - Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Ketentuan ini tidak berlaku bagi komisaris. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Huruf f Angka 1 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Cukup jelas. - 12 - Huruf e) Kemampuan keuangan pemegang saham dapat dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir (bagi orang perseorangan Warga Negara Indonesia), rekening Bank, bukti kepemilikan aset, atau aset lain. Kepemilikan saham di Perseroan Terbatas lain tidak termasuk dalam bukti kemampuan Keuangan. Huruf f) Pencucian uang dimaksud biasa disebut dengan money laundering. Pembiayaan terorisme dimaksud biasa disebut dengan terrorism financing. Huruf g) Cukup jelas. Angka 2 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Cukup jelas. Huruf e) Cukup jelas. Huruf f) Cukup jelas. Huruf g) Cukup jelas. Huruf h) Pencucian uang dimaksud biasa disebut dengan money laundering. Pembiayaan terorisme dimaksud biasa disebut dengan terrorism financing. - 13 - Huruf i) Cukup jelas. Huruf j) Cukup jelas. Huruf g Angka 1 Pemegang saham hingga penerima manfaat yang sebenarnya dimaksud biasa disebut dengan ultimate beneficial owner. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Perusahaan terelasi dimaksud biasa disebut dengan sister company. Angka 4 Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Modal Kerja Bersih Disesuaikan adalah Peraturan Nomor V.D.5, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011 tentang Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan. - 14 - Huruf n Pemegang Saham Pengendali dalam ketentuan ini yaitu orang perseorangan atau ultimate shareholder. Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Jika pemegang saham dan Pemegang Saham Pengendali adalah Warga Negara Asing, dokumen yang menunjukkan yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dibuktikan antara lain dengan Police Clearance dari negaranya dan negara dimana yang bersangkutan berdomisili jika yang bersangkutan tidak berdomisili di negaranya. Angka 3 Yang dimaksud dengan “tindak pidana di sektor keuangan” yaitu tindak pidana di sektor perbankan, sektor Pasar Modal, dan industri keuangan non bank. Angka 4 Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus” yaitu tindak pidana selain tindak pidana yang diatur dalam KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, antara lain korupsi, narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, d ibidang kelautan dan perikanan. Angka 5 Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan” yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. - 15 - Angka 8 Cukup jelas. Huruf o Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Jika anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris adalah Warga Negara Asing, dokumen yang menunjukkan yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dibuktikan antara lain dengan Police Clearance dari negaranya dan negara dimana yang bersangkutan berdomisili jika yang bersangkutan tidak berdomisili di negaranya. Angka 3 Yang dimaksud dengan “tindak pidana di sektor keuangan” yaitu tindak pidana di sektor perbankan, sektor Pasar Modal, dan industri keuangan non bank. Angka 4 Yang dimaksud dengan “tindak pidana khusus” yaitu tindak pidana selain tindak pidana yang diatur dalam KUHP dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, antara lain korupsi, narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan. Angka 5 Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan” yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. - 16 - Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Yang dimaksud dengan “kredit dan/atau pembiayaan macet” adalah: 1. kredit dan/atau pembiayaan macet yang tercantum dalam Sistem Informasi Debitur (SID); dan/atau 2. kredit dan/atau pembiayaan macet yang belum dilaporkan oleh bank dalam Sistem Informasi Debitur (SID) namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Bank Indonesia kredit dan/atau pembiayaan tersebut telah memenuhi kriteria yang tergolong macet sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Efektifnya anggota Direksi dari Perseroan yang mengajukan permohonan izin usaha Perusahaan Efek tidak bekerja pada perusahaan atau institusi lain dalam jabatan apapun selama menjabat sebagai anggota Direksi Perusahaan Efek kecuali sebagai komisaris Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam surat pernyataan anggota Direksi yang dijadikan lampiran permohonan izin usaha dimaksud mulai berlaku sejak Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin usaha Perusahaan Efek. Efektifnya anggota Dewan Komisaris dari Perseroan yang mengajukan permohonan izin usaha Perusahaan Efek tidak bekerja dalam jabatan apapun pada Perusahaan Efek lain, termasuk sebagai anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi dalam surat pernyataan anggota Dewan Komisaris yang dijadikan lampiran permohonan izin usaha dimaksud - 17 - mulai berlaku sejak Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin usaha Perusahaan Efek. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Pencucian uang dimaksud biasa disebut dengan money laundering. Pembiayaan terorisme dimaksud biasa disebut dengan terrorism financing. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Cukup jelas. Huruf y Fungsi kepatuhan harus ada dalam struktur organisasi setiap Perusahaan Efek. Huruf z Cukup jelas. Huruf aa Cukup jelas. Huruf bb Cukup jelas. Huruf cc Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai kegiatan Perusahaan Efek di berbagai lokasi adalah Peraturan Nomor V.D.8, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP- 27/PM/2000 tanggal 30 Juni 2000 tentang Kegiatan Perusahaan Efek Di Berbagai Lokasi. - 18 - Huruf dd Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Pihak yang melaksanakan setiap prosedur dan standar operasi dapat meliputi pihak yang melaksanakan (maker), pemeriksa (checker), pemberi persetujuan (approver) yang disesuaikan dengan ukuran bisnis Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek. Angka 4 Diagram alir dimaksud biasa disebut dengan flowchart. Angka 5 Batasan waktu pelaksanaan dimaksud biasa disebut dengan service level agreement. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Huruf ee Cukup jelas. Huruf ff Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. - 19 - Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka antara lain dilakukan apabila: 1. calon anggota Direksi/calon anggota Dewan Komisaris/anggota Direksi/anggota Dewan Komisaris memiliki data/informasi negatif yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan pendalaman/klarifikasi; 2. calon pemegang saham/calon Pemegang Saham Pengendali/pemegang saham/Pemegang Saham Pengendali memiliki data/informasi negatif yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan yang memerlukan pendalaman/klarifikasi; 3. calon anggota Direksi/calon anggota Dewan Komisaris belum mempunyai pengalaman sebagai Direksi/Komisaris pada Perusahaan Efek Indonesia dengan mempertimbangkan posisi jabatan serta ukuran dan kompleksitas Perusahaan Efek tempat yang bersangkutan akan dicalonkan; atau 4. calon anggota Direksi/calon anggota Dewan Komisaris/anggota Direksi/anggota Dewan Komisaris pernah gagal dalam pencalonan sebelumnya dalam proses klarifikasi terkait aspek kompetensi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. yang memerlukan - 20 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengeluaran saham adalah suatu upaya pengumpulan modal, yang kewajiban penyetoran atas saham seharusnya dibebankan kepada pihak lain. Demi kepastian, pasal ini menentukan bahwa Perusahaan Efek tidak boleh mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri. Larangan tersebut termasuk juga larangan kepemilikan silang (cross ownership) yang terjadi apabila Perusahaan Efek memiliki saham yang dikeluarkan oleh Perusahaan Efek lain dan Perseroan yang bukan Perusahaan Efek yang memiliki saham Perusahaan Efek tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk kepemilikan yang diperoleh melalui pembelian pasar perdana. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Perseroan lain dalam ketentuan ini termasuk pula Perusahaan Efek. - 21 - Ayat (3) Kepemilikan saham Perusahaan Efek yang timbul dari pembelian saham di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini sebagai bagian dari kepemilikan izin usaha sebagai Perusahaan Efek. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pencucian uang dimaksud biasa disebut dengan money laundering. Pembiayaan terorisme dimaksud biasa disebut dengan terrorism financing. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Huruf a Hubungan kepemilikan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam huruf ini terjadi apabila satu Perusahaan Efek memiliki saham Perusahaan Efek lain yang juga menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari saham yang mempunyai hak suara. - 22 - Hubungan kepemilikan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam huruf ini terjadi apabila sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari saham yang mempunyai hak suara yang telah dikeluarkan oleh 2 (dua) Perusahaan Efek atau lebih yang menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama dimiliki oleh Pihak yang sama. Hubungan antara 2 (dua) Perusahaan Efek atau lebih dimaksud merupakan hubungan kepemilikan secara tidak langsung. Huruf b Cukup jelas. Pasal 29 Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Direksi merupakan Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan. Perusahaan Efek dapat melakukan pengendalian terhadap Perusahaan Efek lain melalui penempatan orang dalam Direksi yang dapat menguasai suara mayoritas dalam rapat Direksi. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kemampuan keuangan pemegang saham dapat dibuktikan dengan antara lain Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir (bagi orang- perseorangan Warga Negara Indonesia), rekening Bank, atau bukti kepemilikan aset. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “bukti sumber dana” antara lain rekening koran, laporan keuangan audit paling kurang tiga tahun terakhir, atau bank statement. Huruf d Cukup jelas. - 23 - Ayat (3) Yang dimaksud “Menteri” adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Bukti pengumuman hasil Rapat Umum Pemegang Saham tentang pengurangan modal dilakukan dalam rangka memenuhi Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Saham bonus yang merupakan dividen saham berasal dari kapitalisasi saldo laba. Saham bonus yang bukan merupakan dividen saham berasal dari kapitalisasi agio saham dan/atau unsur ekuitas lainnya. Saldo laba adalah akumulasi hasil usaha periodik setelah memperhitungkan pembagian dividen dan koreksi hasil laba rugi periode lalu. Agio saham adalah selisih lebih setoran pemegang saham di atas nilai nominalnya dalam hal saham dikeluarkan di atas nilai nominalnya. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 24 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud “Menteri” adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “calon pemegang saham” adalah pihak yang akan membeli saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek. Yang dimaksud dengan “calon Pemegang Saham Pengendali” adalah pihak yang akan membeli saham atau menambah kepemilikan saham sehingga akan menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek. Yang dimaksud dengan “pemegang saham” adalah pihak yang sudah membeli saham Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek namun belum mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan “Pemegang Saham Pengendali” adalah pihak yang sudah membeli saham atau menambah kepemilikan saham sehingga memenuhi kriteria Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek namun belum mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk menjadi Pemegang Saham Pengendali. - 25 - Ayat (4) Dokumen terkait pemegang saham dan/atau Pemegang Saham Pengendali pembayaran/pelunasan atas jual beli tersebut. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Bursa Efek yang sama” adalah Bursa Efek dimana baik Perusahaan Efek yang melakukan penjaminan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas Emiten yang berupa Perusahaan Efek dan Emiten yang Penawaran Umum Efeknya dijamin tersebut menjadi pemegang saham. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “agen stabilisasi” merupakan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek yang melakukan kegiatan stabilisasi harga saham dari Emiten yang melakukan Penawaran Umum sesuai dengan Prospektus dan/atau peraturan yang berlaku di bidang Pasar Modal. Ayat (2) Cukup jelas. seperti perikatan jual-beli dan bukti - 26 - Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengalihan saham pada ayat ini hanya dapat dilakukan kepada pihak lain yang tidak dilarang memiliki saham dalam Perusahaan Efek. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud “berhalangan tetap” antara lain sakit permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. - 27 - Huruf g Ketentuan ini hanya berlaku bagi anggota Direksi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud pengurusan Perusahaan Efek dijalankan oleh Dewan Komisaris hanya terbatas untuk kegiatan administrasi sehari-hari tidak untuk melakukan kegiatan penjaminan emisi Efek dan/atau perantara pedagang Efek. Pasal 42 Ayat (1) Larangan bekerja pada perusahaan lain termasuk bekerja sebagai anggota Direksi atau pegawai di perusahaan lain. Yang dimaksud dengan perusahaan lain antara lain termasuk tapi tidak terbatas pada badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun non badan hukum. Yang dimaksud dengan institusi lain antara lain pegawai atau pejabat dari pemerintahan, legislatif, yudikatif, atau jabatan publik lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 28 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “perubahan” adalah perubahan susunan, penggantian, dan/atau pengisian anggota Direksi. Penyampaian permohonan perubahan anggota Direksi disertai “nama calon anggota Direksi” apabila perubahan anggota Direksi dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Direksi dengan orang perseorangan yang tidak berasal dari anggota Direksi Perusahaan Efek yang sedang menjabat pada saat permohonan perubahan anggota Direksi Perusahaan Efek dimaksud ke Otoritas Jasa Keuangan. Penyampaian permohonan perubahan anggota Direksi disertai “nama anggota Direksi” apabila perubahan anggota Direksi dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Direksi tertentu dengan anggota Direksi yang lain yang sedang menjabat pada saat permohonan perubahan anggota Direksi Perusahaan Efek dimaksud diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan namun tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang akan diembannya berbeda dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawab pada jabatan sebelumnya. Keterangan tentang tugas dan fungsi yang akan menjadi tanggung jawab calon anggota Direksi atau anggota Direksi dapat dimuat dalam surat pengantar dokumen dalam rencana pengajuan atau perubahan susunan dan/atau penggantian anggota Direksi. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “perubahan” adalah perubahan susunan, penggantian, dan/atau pengisian anggota Dewan Komisaris. Penyampaian permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris disertai “nama calon anggota Dewan Komisaris” apabila perubahan anggota Dewan Komisaris dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Dewan Komisaris dengan orang perseorangan yang tidak berasal dari anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang sedang menjabat pada saat permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud ke Otoritas Jasa Keuangan. - 29 - Penyampaian permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris disertai “nama anggota Dewan Komisaris” apabila perubahan anggota Dewan Komisaris dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Dewan Komisaris tertentu dengan anggota Dewan Komisaris yang lain yang sedang menjabat pada saat permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan namun tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang akan diembannya berbeda dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawab pada jabatan sebelumnya. Contoh posisi komisaris utama yang kosong diisi oleh komisaris yang sedang menjabat pada saat itu. Keterangan tentang tugas dan fungsi yang akan menjadi tanggung jawab calon anggota Dewan Komisaris atau atau anggota Dewan Komisaris dapat dimuat dalam surat pengantar dokumen dalam rencana pengajuan atau perubahan susunan dan/atau penggantian anggota Dewan Komisaris. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Penelaahan dan penelitian untuk menilai “calon anggota Direksi” apabila perubahan anggota Direksi dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Direksi dengan orang perseorangan yang tidak berasal dari anggota Direksi Perusahaan Efek yang sedang menjabat pada saat permohonan perubahan anggota Direksi Perusahaan Efek dimaksud ke Otoritas Jasa Keuangan. Penelaahan dan penelitian untuk menilai “anggota Direksi” apabila perubahan anggota Direksi dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Direksi tertentu dengan anggota Direksi yang lain yang sedang menjabat pada saat permohonan perubahan anggota Direksi Perusahaan Efek dimaksud diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan namun tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang akan diembannya berbeda dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawab pada jabatan sebelumnya. - 30 - Penelaahan dan penelitian untuk menilai “calon anggota Dewan Komisaris” apabila perubahan anggota Dewan Komisaris dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Dewan Komisaris dengan orang perseorangan yang tidak berasal dari anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek yang sedang menjabat pada saat permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud ke Otoritas Jasa Keuangan. Penelaahan dan penelitian untuk menilai “anggota Dewan Komisaris” apabila perubahan anggota Dewan Komisaris dilakukan dengan cara mengganti atau mengisi anggota Dewan Komisaris tertentu dengan anggota Dewan Komisaris yang lain yang sedang menjabat pada saat permohonan perubahan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan namun tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang akan diembannya berbeda dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawab pada jabatan sebelumnya. Contoh posisi komisaris utama yang kosong diisi oleh komisaris yang sedang menjabat pada saat itu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) mencakup lingkup penelitian administratif atas kebenaran persyaratan dokumen yang disampaikan dan klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka. Tidak dilakukannya penilaian kemampuan dan kepatutan bukan berarti penelitian administratif atas kebenaran persyaratan dokumen tidak dilakukan, namun yang tidak - 31 - dilakukan adalah konfirmasi atas dokumen dan klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka kepada yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka antara lain dilakukan apabila calon pemegang saham/calon Pemegang Saham Pengendali/pemegang saham/Pemegang Saham Pengendali memiliki data/informasi negatif yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan pendalaman/klarifikasi. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) mencakup lingkup penelitian administratif atas kebenaran persyaratan dokumen yang disampaikan dan klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka. Tidak dilakukannya penilaian kemampuan dan kepatutan bukan berarti penelitian administratif atas kebenaran persyaratan dokumen tidak dilakukan, namun yang tidak dilakukan adalah konfirmasi atas dokumen dan klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka kepada yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. yang memerlukan - 32 - Huruf b Klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka antara lain dilakukan apabila: 1. calon anggota Direksi/calon anggota Dewan Komisaris/anggota Direksi/anggota Dewan Komisaris memiliki data/informasi negatif yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan pendalaman/klarifikasi; 2. calon anggota Direksi/calon anggota Dewan Komisaris belum mempunyai pengalaman sebagai Direksi/ Komisaris pada Perusahaan Efek Indonesia dengan mempertimbangkan posisi jabatan serta ukuran dan kompleksitas Perusahaan Efek tempat yang bersangkutan akan dicalonkan; atau 3. calon anggota Direksi/calon anggota Dewan Komisaris/anggota Direksi/anggota Dewan Komisaris pernah gagal dalam pencalonan sebelumnya dalam proses klarifikasi terkait aspek kompetensi. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Efek telah mengangkat anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris meskipun yang bersangkutan belum dinyatakan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek dimaksud harus diangkat kembali dalam Rapat Umum Pemegang Saham setelah Otoritas Jasa Keuangan menyatakan yang bersangkutan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 melalui surat pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (4) Cukup jelas. yang memerlukan - 33 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak yang telah menjadi pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali namun belum memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali” dalam ketentuan ini adalah pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali baik yang baru membeli saham namun belum dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan telah memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Yang dimaksud dengan “pihak yang telah menjadi pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali namun tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali” dalam ketentuan ini adalah pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini oleh Otoritas Jasa Keuangan namun kemudian berdasarkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan kembali oleh Otoritas Jasa Keuangan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 52 Cukup jelas. - 34 - Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan sejak peristiwa di atas diketahui oleh Penjamin Emisi Efek atau Perantara Pedagang Efek, misalnya untuk pengunduran diri berupa surat pengunduran diri dari yang bersangkutan, untuk diberhentikan berupa hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham atau surat Dewan Komisaris (pemberhentian sementara). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Yang dimaksud dengan sanksi internal yang diberikan oleh Perusahaan Efek kepada anggota Direksi yang membawahkan dan/atau melaksanakan fungsi kepatuhan dalam ketentuan ini adalah sanksi selain yang berupa sanksi pemberhentian anggota Direksi yang membawahkan dan/atau melaksanakan fungsi kepatuhan. - 35 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pelanggaran terhadap perundang-undangan di sektor Pasar Modal termasuk antara lain Perusahaan Efek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Penjamin Emisi Efek sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pelanggaran ini termasuk pelanggaran administratif maupun tindak pidana Pasar Modal. Contoh pelanggaran administratif antara lain gagal memenuhi nilai minimum Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang ditetapkan, kantor Penjamin Emsi Efek atau Perantara Pedagang Efek tidak ditemukan, tidak memiliki pegawai, tidak dapat memenuhi kekurangan yang dipersyaratkan sesuai dengan peraturan yang berlaku setelah kesempatan dan jangka waktu yang diberikan terlewati. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Sebab bubarnya Perseroan Terbatas adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. - 36 - Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pelanggaran ini termasuk pelanggaran administratif maupun tindak pidana Pasar Modal. Contoh pelanggaran administratif antara lain gagal memenuhi nilai minimum MKBD yang ditetapkan, kantor PEE atau PPE tidak ditemukan, tidak memiliki pegawai, tidak dapat memenuhi kekurangan yang dipersyaratkan sesuai dengan peraturan yang berlaku setelah kesempatan dan jangka waktu yang diberikan terlewati. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. - 37 - Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5868
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 20/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title> <set_date> 7 April 2016 </set_date> <effective_date> 18 April 2016 </effective_date> <issued_date> 18 April 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-334/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007', 'KEP-334/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor V.A.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung perkembangan usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersifat dinamis, diperlukan pengaturan perizinan usaha dan kelembagaan yang komprehensif, jelas, dan memberikan kepastian hukum; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Pembiayaan; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. BAB I ... - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah. 2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa. 3. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya melakukan pembiayaan syariah. 4. Pembiayaan Syariah adalah penyaluran pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 6. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Perusahaan Pembiayaan yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan Pembiayaan Syariah. 7. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham atau modal Perusahaan sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham atau modal Perusahaan kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan ... - 3 - melakukan pengendalian Perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 8. Direksi: a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 9. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 10. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ Perusahaan yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan Perusahaan agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 11. Modal Disetor: a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; atau b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib. 12. Ekuitas: a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas, adalah penjumlahan dari: 1. Modal Disetor; 2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas: a) agio ... - 4 - a) agio/disagio saham; b) biaya emisi efek ekuitas; dan c) lainnya sesuai dengan prinsip standar akuntansi keuangan; 3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas sepengendali; 4. saldo laba/rugi; 5. laba/rugi tahun berjalan; 6. saham tresuri (treasury stock); dan 7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas: a) perubahan dalam surplus revaluasi; b) selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing; c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan tersedia untuk dijual; d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen keuangan lindung nilai dalam rangka lindung nilai arus kas; dan e) komponen Ekuitas lainnya sesuai prinsip standar akuntansi keuangan. b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi adalah penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah, dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan. 13. Debitur: a. bagi Perusahaan Pembiayaan adalah debitur baik badan usaha atau orang perseorangan yang menerima pembiayaan pengadaan barang dan/atau jasa dari Perusahaan Pembiayaan; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah atau Perusahaan Pembiayaan yang memiliki UUS adalah konsumen baik badan usaha atau orang perseorangan ... - 5 - perseorangan yang menerima pembiayaan dari Perusahaan Pembiayaan Syariah atau Perusahaan Pembiayaan yang memiliki UUS. 14. Kantor Cabang adalah kantor Perusahaan yang memiliki kewenangan untuk: a. memberikan persetujuan pembiayaan kepada calon Debitur; dan b. menandatangani perjanjian atau kontrak pembiayaan dengan Debitur. 15. Kantor Cabang Unit Syariah adalah kantor yang bertanggung jawab secara langsung kepada UUS dan melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah, serta mempunyai kewenangan untuk: a. memberikan persetujuan Pembiayaan Syariah kepada calon Debitur; dan b. menandatangani perjanjian atau kontrak Pembiayaan Syariah dengan Debitur. 16. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) Perusahaan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Perusahaan baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan Ekuitas dari Perusahaan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perusahaan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. 17. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) Perusahaan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perusahaan lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan Ekuitas dari Perusahaan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perusahaan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perusahaan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. 18. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk ... - 6 - untuk mengambil alih saham Perusahaan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perusahaan tersebut. 19. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perusahaan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aset, liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perusahaan atau lebih atau sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perusahaan atau lebih. 20. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. BAB II BENTUK BADAN HUKUM, IZIN USAHA, DAN PERMODALAN Bagian Kesatu Bentuk Badan Hukum Pasal 2 (1) Perusahaan harus didirikan dalam bentuk badan hukum: a. perseroan terbatas; atau b. koperasi. (2) Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sahamnya dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan usaha Indonesia; c. badan hukum Indonesia; d. badan usaha asing atau lembaga asing; e. negara Republik Indonesia; dan/atau f. pemerintah ... - 7 - f. pemerintah daerah. (3) Ketentuan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Perusahaan yang tercatat di bursa efek mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (4) Ketentuan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian. Bagian Kedua Izin Usaha Pasal 3 (1) Perusahaan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin usaha dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK. Pasal 4 (1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen: a. akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, yang paling sedikit harus memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang ... - 8 - 5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS; dan perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada) disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang. b. daftar kepemilikan, berupa: 1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham sampai dengan pemegang saham ultimate shareholder/beneficial owner, bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas; atau 2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi. c. data pemegang saham atau anggota selain PSP: 1. orang perseorangan, dilampiri dengan: a) fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; b) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); c) daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan d) surat pernyataan dari yang bersangkutan yang menyatakan: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; 4) tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) ... - 9 - (DTL) di sektor perbankan; 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 8) tidak pernah menjadi PSP, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir. 2. badan hukum, dilampiri dengan: a) akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahan yang terakhir (jika ada), disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan, atau pencatatan dari instansi berwenang; b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan keuangan terakhir; c) daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham; d) dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 1 huruf a), huruf b), dan huruf ... - 10 - huruf c) bagi direksi atau yang setara dengan itu dari badan hukum yang bersangkutan; dan e) surat pernyataan direksi atau yang setara dengan itu dari badan hukum dimaksud yang menyatakan bahwa: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; 4) tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan; 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun; 6) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 7) tidak pernah menjadi PSP pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir. 3. negara Republik Indonesia, dilampiri dengan Peraturan Pemerintah mengenai penyertaan modal negara Republik Indonesia untuk pendirian Perusahaan. 4. pemerintah daerah, dilampiri dengan Peraturan Daerah mengenai penyertaan modal daerah untuk pendirian Perusahaan. d. risalah ... - 11 - d. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengenai pengangkatan anggota DPS, bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; e. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha; f. laporan posisi keuangan awal/pembukaan perusahaan; g. bukti sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan dan Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha pembiayaan syariah bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan pejabat satu tingkat di bawah Direksi sesuai dengan struktur organisasi pada saat permohonan izin usaha; pengajuan h. bukti kesiapan operasional paling sedikit berupa: 1. daftar aset tetap dan inventaris; 2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; 3. contoh perjanjian pembiayaan; 4. skema Pembiayaan Syariah yang akan dilakukan disertai dengan contoh akad Pembiayaan Syariah untuk setiap kegiatan usaha, bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; dan 5. nomor pokok wajib pajak (NPWP). i. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana ... - 12 - 2. rencana penyaluran pembiayaan dan langkah- langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan laba/rugi komprehensif bulanan serta asumsi yang mendasarinya dimulai sejak Perusahaan melakukan kegiatan operasional. j. fotokopi perjanjian kerja sama antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi Perusahaan yang di dalamnya terdapat penyertaan dari badan usaha asing dan/atau lembaga asing; k. dokumen penggunaan akad yang akan digunakan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha pembiayaan syariah; l. struktur organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja yang menggambarkan paling sedikit fungsi: 1. administrasi dan pembukuan; 2. pemasaran, analisis kelayakan pembiayaan dan penagihan; 3. manajemen risiko, termasuk pengendalian internal; dan 4. penerapan prinsip mengenal nasabah. m. pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah (P4MN); dan n. pedoman tata kelola Perusahaan. (3) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon Direksi, Dewan Komisaris, PSP dan/atau DPS. (4) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan ... - 13 - kemampuan dan kepatutan. Pasal 5 (1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permohonan izin usaha diterima secara lengkap dan benar. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana maksud dalam Pasal 4 ayat (2); b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana maksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf i; c. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP, anggota DPS, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi; dan d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan. (3) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan tidak lengkap, OJK menyampaikan kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan paling lama 20 (dua puluh) hari kalender setelah permohonan diterima. (4) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan alasan penolakan. (5) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan keputusan pemberian izin usaha kepada pemohon. Pasal 6 (1) Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan oleh OJK. (2) Perusahaan ... - 14 - (2) Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri: a. daftar perjanjian kegiatan usaha pembiayaan atau Pembiayaan Syariah yang telah dilakukan; b. fotokopi perjanjian kegiatan usaha pembiayaan atau Pembiayaan Syariah yang telah dilakukan; dan c. fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin menggunakan tenaga kerja asing yang dikeluarkan oleh instansi berwenang bagi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris berkewarganegaraan asing. Pasal 7 (1) Perusahaan harus menggunakan nama perusahaan yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan memuat kata: a. finance, pembiayaan, atau kata yang mencirikan kegiatan pembiayaan, bagi Perusahaan Pembiayaan; atau b. finance, pembiayaan, atau kata yang mencirikan kegiatan pembiayaan syariah disertai dengan kata syariah, bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah. (2) Penggunaan nama perusahaan sebagaimana dimaksud pada ... - 15 - pada ayat (1) bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas harus juga memenuhi peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas. Pasal 8 Nama Perusahaan wajib dicantumkan secara jelas pada gedung kantor Perusahaan. Bagian Ketiga Permodalan Pasal 9 (1) Perusahaan harus memenuhi ketentuan permodalan pada saat pendirian sebagai berikut: a. badan hukum perseroan terbatas, memiliki Modal Disetor paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau b. badan hukum koperasi, memiliki Modal Disetor paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia. Pasal 10 Total kepemilikan asing pada Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas baik secara langsung maupun tidak langsung paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen) dari Modal Disetor. Pasal 11 (1) Perusahaan hanya dapat memperdagangkan sahamnya di bursa efek paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen) dari jumlah saham Perusahaan yang bersangkutan. (2) Paling ... - 16 - (2) Paling rendah 15% (lima belas persen) dari saham Perusahaan yang tidak diperdagangkan di bursa efek, wajib tetap dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh warga negara Indonesia, pemerintah daerah, dan/atau pemerintah pusat. Pasal 12 (1) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan usaha Indonesia yang berbadan hukum, lembaga Indonesia yang berbadan hukum, badan usaha asing, dan/atau lembaga asing, jumlah penyertaan langsung pada Perusahaan ditetapkan paling tinggi sebesar Ekuitas pemegang saham. (2) Jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi pada saat badan usaha atau lembaga yang bersangkutan melakukan: a. penyetoran modal pendirian Perusahaan; b. perubahan pemegang saham Perusahaan; dan/atau c. penambahan Modal Disetor Perusahaan. Pasal 13 (1) Ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, tidak berlaku bagi pemegang saham Perusahaan yang merupakan dana pensiun, Perusahaan Pembiayaan, perusahaan perasuransian, dan/atau perbankan. (2) Bagi pemegang saham yang merupakan dana pensiun, Perusahaan Pembiayaan, perusahaan perasuransian, dan/atau perbankan pada saat melakukan penyertaan langsung pada Perusahaan, jumlah penyertaan langsung yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai investasi dan/atau penyertaan. BAB III ... - 17 - BAB III STRUKTUR ORGANISASI Pasal 14 (1) Perusahaan wajib mempunyai struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas paling sedikit fungsi: a. administrasi dan pembukuan; b. pemasaran, analisis kelayakan pembiayaan dan penagihan; c. manajemen risiko, termasuk pengendalian internal; dan d. penerapan prinsip mengenal nasabah. (2) Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja secara tertulis. BAB IV SUMBER DAYA MANUSIA Bagian Kesatu Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 15 (1) Perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja asing. (2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dipekerjakan sebagai: a. tenaga ahli dengan level jabatan satu tingkat di bawah Direksi; b. penasihat; atau c. konsultan. (3) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya; dan b. memenuhi ketentuan perundang-undangan di bidang ... - 18 - bidang ketenagakerjaan. (4) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyelenggarakan kegiatan alih pengetahuan dari tenaga kerja asing kepada pegawai Perusahaan. (5) Alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus dibuat dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan tahunan kepada pegawai Perusahaan. (6) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih dahulu melaporkan kepada OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum tenaga kerja asing dimaksud dipekerjakan dilampiri dengan: a. daftar riwayat hidup tenaga kerja asing yang dipekerjakan, disertai dengan fotokopi dokumen yang mencerminkan bidang keahliannya; b. rencana program pendidikan dan pelatihan tahunan selama tenaga kerja asing dimaksud dipekerjakan; dan c. rencana penempatan dan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab tenaga kerja asing. (7) Dalam hal tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, Perusahaan wajib melaporkan tenaga kerja asing yang dipekerjakan tersebut kepada OJK dengan melampirkan fotokopi surat izin mempekerjakan tenaga kerja asing dari instansi berwenang paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal pengangkatan. (8) Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b secara tertulis kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun takwim berakhir untuk setiap tahunnya. (9) Dalam ... - 19 - (9) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Bagian Kedua Pengembangan Tenaga Kerja Pasal 16 (1) Perusahaan wajib menyelenggarakan program pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga kerja. (2) Perusahaan wajib menganggarkan dan merealisasikan 2,5% (dua koma lima persen) dari biaya pegawai dan pengurus sumber daya manusia Perusahaan untuk pengembangan dan pelatihan pegawai. (3) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan. (4) Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan program pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun takwim berakhir untuk setiap tahunnya. BAB V KEANGGOTAAN PADA ORGANISASI LAIN Pasal 17 Perusahaan wajib terdaftar menjadi anggota lembaga penyedia informasi perkreditan yang ditetapkan oleh OJK. Pasal 18 Perusahaan wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang menaungi Perusahaan di Indonesia. BAB VI ... - 20 - BAB VI UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Pembentukan UUS Pasal 19 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah wajib membentuk UUS. (2) UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempunyai pembukuan terpisah dari Perusahaan Pembiayaan. Bagian Kedua Modal Kerja UUS Pasal 20 (1) UUS wajib mempunyai modal kerja paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). (2) Modal kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disisihkan dalam bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan Pembiayaan dan ditempatkan pada salah satu bank umum syariah di Indonesia. Bagian Ketiga Perizinan UUS Pasal 21 (1) UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin UUS dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Pembiayaan harus mengajukan permohonan pembukaan UUS kepada OJK dengan menggunakan format 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pengajuan permohonan izin pembukaan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan ... - 21 - dengan: a. perubahan anggaran dasar yang mencantumkan: 1. salah satu maksud dan tujuan perusahaan yaitu melakukan kegiatan usaha pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; dan 2. wewenang dan tanggung jawab DPS, disertai dengan bukti persetujuan dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b. fotokopi bukti setoran modal kerja dalam bentuk deposito berjangka atas nama Perusahaan Pembiayaan pada salah satu bank umum syariah di Indonesia yang dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses perizinan UUS; c. surat keputusan Direksi Perusahaan Pembiayaan yang menyetujui penempatan modal kerja pada UUS disertai dengan besaran jumlah penempatan modal kerjanya; d. data pimpinan UUS, meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 2. daftar riwayat hidup; 3. bukti pengangkatan sebagai pimpinan UUS; 4. surat pernyataan yang menyatakan: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan; b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain; dan 5. bukti keahlian, pelatihan, dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah; e. data DPS, meliputi: 1. bukti lulus penilaian kemampuan dan kepatutan bagi ... - 22 - bagi DPS; 2. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengenai pengangkatan DPS; f. laporan keuangan awal UUS yang terpisah dari kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan; g. dokumen pelaporan penggunaan akad yang digunakan dalam kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha pembiayaan syariah; h. rencana kerja UUS yang akan dibuka yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. target penyaluran Pembiayaan Syariah dan langkah-langkah yang dilakukan mewujudkan target dimaksud; 3. sistem dan prosedur kerja; 4. jumlah dan susunan personalia; dan 5. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak UUS melakukan kegiatan operasional serta proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan. (4) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan sebagian kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, wajib menyampaikan permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini ditetapkan, dilampiri dengan: a. fotokopi bukti setoran modal kerja pada salah satu bank umum syariah di Indonesia yang dilegalisasi oleh bank penerima setoran; b. surat keputusan Direksi mengenai penempatan modal kerja pada UUS; c. surat ... untuk - 23 - c. surat pencatatan perubahan anggaran dasar Perusahaan Pembiayaan dalam rangka pembentukan UUS dari Menteri Keuangan atau OJK; dan d. daftar Kantor Cabang Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, disertai dengan fotokopi izin Kantor Cabang Perusahaan. (5) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan belum memiliki surat pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, maka Perusahaan Pembiayaan harus melampirkan anggaran dasar yang memuat maksud dan tujuan perusahaan untuk melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah dan surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Pasal 22 (1) Dalam memproses permohonan izin pembukaan UUS, OJK melakukan: a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) atau ayat (4); b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf h; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pembiayaan Syariah. (2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan UUS paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan izin pembukaan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) atau ayat (4) diterima secara lengkap dan benar. (3) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan penolakan ... - 24 - penolakan. Pasal 23 (1) UUS wajib melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal izin pembukaan UUS ditetapkan. (2) UUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha UUS. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan pelaksanaan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan Direksi Perusahaan Pembiayaan dengan menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri: a. daftar perjanjian kegiatan usaha Pembiayaan Syariah yang telah dilakukan; dan b. fotokopi perjanjian kegiatan usaha Pembiayaan Syariah yang telah dilakukan. Bagian Keempat Pimpinan UUS Pasal 24 (1) UUS wajib dipimpin oleh seorang pimpinan UUS. (2) Pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi ketentuan: a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan; b. tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada perusahaan ... - 25 - perusahaan yang sama; dan c. mempunyai keahlian dan/atau pengalaman di bidang syariah. Pasal 25 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib melaporkan perubahan pimpinan UUS kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kalender sejak tanggal pengangkatan pimpinan UUS. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan perubahan pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan perubahan pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf d. Bagian Kelima Kantor Cabang Unit Syariah Pasal 26 (1) UUS dapat membuka Kantor Cabang Unit Syariah di dalam atau di luar negeri dengan wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari OJK. (2) UUS yang membuka Kantor Cabang Unit Syariah harus memenuhi persyaratan: a. tingkat kesehatan keuangan syariah dengan kondisi minimum sehat; b. tidak sedang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh OJK; dan c. memiliki sumber daya manusia yang memiliki pengalaman dan/atau pelatihan mengenai keuangan syariah. Pasal 27 ... - 26 - Pasal 27 (1) Untuk memperoleh izin pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Direksi Perusahaan Pembiayaan harus mengajukan permohonan kepada OJK dengan menggunakan format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen: a. data pimpinan Kantor Cabang Unit Syariah, meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; dan 2. daftar riwayat hidup; b. data sumber daya manusia yang memiliki pengalaman dan/atau pelatihan mengenai keuangan syariah; c. data alamat lengkap Kantor Cabang Unit Syariah disertai dengan bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; dan d. rencana kerja Kantor Cabang Unit Syariah yang akan dibuka yang paling sedikit memuat: 1. target pembiayaan dan langkah-langkah untuk mewujudkan target pembiayaan; 2. sistem dan prosedur kerja; 3. struktur organisasi; dan 4. jumlah dan susunan personalia, disertai dengan daftar riwayat hidup. Pasal 28 (1) Dalam rangka memproses permohonan izin pembukaan ... - 27 - pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah, OJK melakukan: a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2); b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pembiayaan Syariah. (2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) diterima secara lengkap dan benar. (3) Penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan penolakan. Pasal 29 (1) UUS wajib melaporkan perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah kepada OJK paling lambat 15 (lima belas) hari kalender terhitung sejak tanggal perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan dengan menggunakan format 6 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri data alamat lengkap Kantor Cabang Unit Syariah disertai dengan bukti ... - 28 - bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor. Pasal 30 (1) UUS yang akan menutup Kantor Cabang Unit Syariah wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada Debitur mengenai: a. rencana penutupan Kantor Cabang Unit Syariah; dan b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban. (2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundangan- undangan dan memperhatikan kepentingan Debitur. Pasal 31 (1) UUS wajib melaporkan penutupan Kantor Cabang Unit Syariah kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender terhitung sejak tanggal penutupan Kantor Cabang Unit Syariah. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan penutupan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan penutupan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan dengan menggunakan format 7 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri: a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a; dan b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b; dan c. bukti ... - 29 - c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban. (4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK mencabut izin pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah. Pasal 32 OJK dapat mencabut izin pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan secara terus menerus, Kantor Cabang Unit Syariah dimaksud terbukti tidak melakukan kegiatan operasional. Pasal 33 (1) UUS dapat membuka kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah di wilayah negara Republik Indonesia. (2) Kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang: a. memberikan persetujuan Pembiayaan Syariah kepada calon Debitur; dan b. menandatangani perjanjian atau kontrak Pembiayaan Syariah dengan Debitur. (3) Kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada dan dikoordinasikan oleh Kantor Cabang Unit Syariah sesuai dengan lingkup wilayah operasional Kantor Cabang Unit Syariah dimaksud. (4) Dalam hal Perusahaan belum mempunyai Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah bertanggung jawab kepada dan dikoordinasikan oleh Kantor Cabang Unit Syariah terdekat atau UUS. (5) Pembukaan kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan secara tertulis kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kalender setelah tanggal pembukaan kantor dimaksud, dengan menyebutkan fungsi kantor dimaksud, alamat lengkap kantor dan identitas pimpinan ... - 30 - pimpinan kantor dilampiri dengan bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor. (6) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan pembukaan kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Pasal 34 (1) Perubahan alamat dan penutupan kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah wajib dilaporkan oleh UUS kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kalender setelah tanggal perubahan alamat dan penutupan kantor. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan perubahan alamat dan penutupan kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Bagian Keenam Penutupan UUS Pasal 35 (1) Perusahaan Pembiayaan dapat menutup UUS dengan wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penutupan UUS kepada OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum penutupan dilakukan. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan rencana penutupan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Perusahaan Pembiayaan yang akan menutup UUS wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada Debitur mengenai: a. rencana penutupan UUS; dan b. prosedur ... - 31 - b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban Debitur. (4) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban kepada Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundangan- undangan dan memperhatikan kepentingan Debitur. Pasal 36 (1) Pelaporan penutupan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) harus diajukan oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan dengan menggunakan format 8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri : a. bukti pemberitahuan rencana penutupan UUS kepada Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a; b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak dan kewajiban kepada Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf b; dan c. bukti penyelesaian keberatan dari Debitur, apabila terdapat keberatan dari Debitur. (2) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin pembukaan UUS. Bagian Ketujuh Pemisahan UUS Pasal 37 (1) Perusahaan Pembiayaan yang berbadan hukum perseroan terbatas wajib memisahkan UUS menjadi Perusahaan Pembiayaan Syariah dengan cara mendirikan badan hukum perseroan terbatas dengan ketentuan: a. apabila nilai aset UUS telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total aset Perusahaan Pembiayaan induknya berdasarkan laporan bulanan terakhir yang disampaikan kepada OJK; atau ... - 32 - atau b. paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan OJK ini. (2) Pemisahan UUS menjadi Perusahaan Pembiayaan Syariah dengan badan hukum perseroan terbatas wajib dilakukan Perusahaan Pembiayaan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal selama proses Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), aset UUS menurun dan tidak lagi mencapai paling rendah 50% (lima puluh persen) dari total aset Perusahaan Pembiayaan induknya, kondisi dimaksud tidak menghilangkan kewajiban Perusahaan Pembiayaan untuk melakukan Pemisahan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (4) Perusahaan Pembiayaan yang memiliki UUS dapat memisahkan UUS sebelum terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 38 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dikecualikan dari ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (2) Modal Disetor Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (4) paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (3) Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (4) wajib meningkatkan Modal Disetor menjadi paling ... - 33 - paling sedikit sebesar ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal izin usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil Pemisahan diberikan. Pasal 39 Pelaksanaan pemisahan UUS wajib dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VII KANTOR CABANG Pasal 40 (1) Perusahaan dapat membuka Kantor Cabang di dalam atau di luar negeri. (2) Untuk dapat membuka Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib terlebih dahulu memperoleh izin pembukaan Kantor Cabang dari OJK. (3) Untuk memperoleh izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan harus mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang kepada OJK. Pasal 41 Perusahaan dapat membuka Kantor Cabang dengan memenuhi persyaratan: a. tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi minimum sehat; dan b. tidak sedang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh OJK. Pasal 42 (1) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) harus diajukan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran ... - 34 - Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen: a. rencana bisnis tahunan Perusahaan yang paling sedikit memuat: 1. alamat lengkap Kantor Cabang yang akan dibuka; 2. sumber pendanaan; 3. target pembiayaan; dan 4. proyeksi keuangan yang terdiri dari arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan kinerja keuangan; b. rencana kerja Kantor Cabang yang akan dibuka yang paling sedikit memuat: 1. target pembiayaan dan langkah-langkah untuk mewujudkan target pembiayaan; 2. sistem dan prosedur kerja; 3. struktur organisasi; 4. proyeksi keuangan bulanan yang terdiri dari arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan kinerja keuangan selama 12 (dua belas) bulan; dan 5. analisis potensi pasar dan persaingan usaha. c. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; d. jumlah dan susunan personalia, disertai dengan daftar riwayat hidup dan nama calon kepala cabang. Pasal 43 (1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1). (2) OJK ... - 35 - (2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) diterima secara lengkap dan benar. (3) Dalam rangka memproses permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2); b. analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2); dan c. verifikasi langsung ke Kantor Cabang yang akan dibuka, apabila diperlukan. (4) Penolakan atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan penolakan. Pasal 44 Kantor cabang Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah kecuali telah memiliki izin sebagai Kantor Cabang Unit Syariah. Pasal 45 (1) Perusahaan yang akan menutup Kantor Cabang wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada Debitur mengenai: a. rencana penutupan Kantor Cabang; dan b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban. (2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan dan memperhatikan kepentingan Debitur. (3) Perusahaan ... - 36 - (3) Perusahaan wajib melaporkan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender terhitung sejak tanggal penutupan Kantor Cabang. (4) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (5) Pelaporan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diajukan oleh Direksi Perusahaan dengan menggunakan format 10 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri: a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban Debitur. (6) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK mencabut izin pembukaan Kantor Cabang terhitung sejak tanggal penutupan. Pasal 46 OJK dapat mencabut izin pembukaan Kantor Cabang apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan secara terus menerus, Kantor Cabang dimaksud terbukti tidak melakukan kegiatan operasional. Pasal 47 (1) Perusahaan dapat membuka kantor selain Kantor Cabang dengan melaporkan kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) ... - 37 - 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal pembukaan. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan pembukaan kantor selain Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan pembukaan kantor selain Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan format 11 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dilengkapi dengan fungsi kantor beserta alamat lengkap. Pasal 48 (1) Kantor selain Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 bertanggung jawab kepada Kantor Cabang sesuai lingkup wilayah operasional Kantor Cabang dimaksud. (2) Dalam hal Perusahaan belum mempunyai Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kantor selain Kantor Cabang bertanggung jawab kepada dan dikoordinasikan oleh Kantor Cabang terdekat atau kantor pusat. (3) Kantor selain Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang: a. memberikan persetujuan pembiayaan kepada calon Debitur; b. menandatangani perjanjian atau kontrak pembiayaan dengan Debitur. Pasal 49 (1) Perusahaan dapat meningkatkan status kantor selain Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. (2) Permohonan persetujuan peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ... - 38 - dengan menyampaikan surat permohonan sesuai format 12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK dilengkapi dengan: a. rencana bisnis tahunan Perusahaan yang paling sedikit memuat: 1. alamat lengkap Kantor Cabang yang akan dibuka; 2. sumber pendanaan; 3. target pembiayaan; dan 4. proyeksi keuangan yang terdiri dari arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan kinerja keuangan; b. rencana kerja Kantor Cabang yang akan dibuka yang paling sedikit memuat: 1. target pembiayaan dan langkah-langkah untuk mewujudkan target pembiayaan; 2. sistem dan prosedur kerja; 3. struktur organisasi; 4. proyeksi keuangan bulanan yang terdiri dari arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan kinerja keuangan selama 12 (dua belas) bulan; 5. analisis potensi pasar dan persaingan usaha; dan c. jumlah dan susunan personalia, disertai dengan daftar riwayat hidup dan nama calon kepala cabang. (3) Rencana kerja Kantor Cabang yang memuat target pembiayaan, proyeksi keuangan, analisis potensi pasar dan persaingan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1, angka 4, dan angka 5 dapat disusun berdasarkan kinerja masa lampau dan prospek usaha dari kantor selain Kantor Cabang dimaksud. Pasal 50 ... - 39 - Pasal 50 Perusahaan dilarang melakukan perubahan alamat Kantor Cabang di luar kabupaten/kota yang menjadi lingkup kewenangan Kantor Cabang sebelumnya. BAB VIII PELAPORAN Bagian Kesatu Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar Pasal 51 (1) Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kalender setelah perubahan disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang. (2) Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kalender setelah perubahan disahkan oleh instansi yang berwenang atau disetujui rapat anggota. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (4) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) meliputi perubahan: a. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perusahaan; b. nama Perusahaan; c. pengurangan modal ditempatkan dan disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; d. status ... - 40 - d. status Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas tertutup menjadi perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya; dan/atau e. penambahan modal ditempatkan dan disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. (5) Dalam hal perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a memerlukan persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan dan Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha pembiayaan syariah, maka Perusahaan wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan dimaksud. (6) Pelaporan perubahan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus menggunakan format 13 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti pengesahan atau persetujuan dari instansi berwenang; dan b. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan, dalam hal terjadi perubahan kegiatan usaha. (7) Pelaporan perubahan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b harus menggunakan format 14 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta ... - 41 - b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan anggaran dasar bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi; dan c. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama baru dari Perusahaan. (8) Pelaporan pengurangan modal ditempatkan dan disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c harus menggunakan format 15 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang. (9) Pelaporan perubahan status Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas tertutup menjadi perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, harus menggunakan format 16 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen perubahan anggaran dasar disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang. (10) Pelaporan penambahan modal ditempatkan dan disetor Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e, harus menggunakan format 17 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. bukti penambahan modal, yaitu: 1. fotokopi bukti setoran modal pada salah satu bank ... - 42 - bank umum atau bank umum syariah di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk uang tunai; atau 2. laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebelum penambahan modal, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk pengalihan pinjaman subordinasi dan/atau saldo laba bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; c. surat pernyataan pemegang saham atau anggota koperasi yang menyatakan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan dalam hal penambahan modal dilakukan dalam bentuk uang tunai sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1; d. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan keuangan terakhir, dalam hal pemegang saham berupa badan usaha, lembaga atau badan hukum koperasi; dan e. rencana bisnis (business plan) dan langkah-langkah Perusahaan dalam penggunaan penambahan Modal Disetor. Bagian Kedua Pelaporan Perubahan Direksi, Dewan Komisaris, Pemegang Saham, dan Dewan Pengawas Syariah Pasal 52 (1) Perusahaan yang melakukan perubahan: a. anggota Direksi b. anggota Dewan Komisaris; dan/atau c. pemegang saham; wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) ... - 43 - belas) hari kalender setelah perubahan disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, harus menggunakan format 18 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. akta risalah rapat anggota bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi; dan b. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. (4) Pelaporan perubahan pemegang saham Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus menggunakan format 19 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti surat pencatatan dari instansi berwenang; b. akta pemindahan hak atas saham, dalam hal terjadi pemindahan hak atas saham; c. data pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, dalam hal terdapat pemegang saham baru; dan d. surat pernyataan pemegang saham yang menyatakan ... - 44 - menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk membeli saham Perusahaan tidak berasal kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan, dalam hal terjadi jual beli saham. (5) Dalam hal Perusahaan memperdagangkan sahamnya di bursa efek, kewajiban pelaporan perubahan pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku apabila: a. terdapat perubahan pemegang saham dari saham yang diperoleh bukan dari perdagangan bursa efek; dan/atau b. terdapat perubahan PSP. Pasal 53 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS wajib melaporkan perubahan susunan dan kedudukan DPS kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender sejak pengangkatan sesuai dengan format 20 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisah dari Peraturan OJK ini. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan perubahan susunan dan kedudukan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a. bukti lulus penilaian kemampuan dan kepatutan bagi DPS; dan b. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengenai pengangkatan anggota DPS. Bagian ... - 45 - Bagian Ketiga Laporan Perubahan Alamat Pasal 54 (1) Perusahaan wajib melaporkan perubahan alamat kantor pusat, Kantor Cabang, atau kantor selain Kantor Cabang secara tertulis kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perubahan. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan perubahan alamat kantor pusat, Kantor Cabang, atau kantor selain Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan perubahan alamat kantor pusat, Kantor Cabang, atau kantor selain Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan format 21 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan bukti kepemilikan atau penguasaan atas gedung kantor yang baru. BAB IX PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN Bagian Kesatu Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Pasal 55 (1) Perusahaan dapat melakukan: a. Penggabungan; b. Peleburan; atau c. Pengambilalihan. (2) Penggabungan ... - 46 - (2) Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan berbentuk badan hukum yang sama. (3) Pengambilalihan terhadap Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 12. Pasal 56 (1) Perusahaan yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) wajib menyampaikan rencana pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Direksi kepada OJK, dengan menggunakan format 22 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan melampirkan: a. rencana akta risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. rencana akta Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan; c. rencana daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, bagi Perusahaan yang akan melakukan Penggabungan atau Peleburan; d. akta pemindahan hak atas saham, dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari pemegang saham, bagi Perusahaan yang akan melakukan Pengambilalihan; e. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit; f. laporan ... - 47 - f. laporan keuangan proforma dari Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan; g. data pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c; h. surat pernyataan pemegang saham yang menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk membeli saham Perusahaan tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan, bagi Perusahaan yang Pengambilalihan; dan i. dokumen yang menyatakan bahwa Perusahaan tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang berwenang. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2); b. analisis kelayakan atas rencana Penggabungan atau Peleburan; c. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP, anggota DPS, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi; dan d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan. Pasal 57 (1) Perusahaan yang menerima Penggabungan wajib melaporkan Penggabungan atau Perusahaan hasil Peleburan wajib melaporkan Peleburan secara tertulis kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender terhitung sejak tanggal diterimanya persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang. (2) Perusahaan ... akan melakukan - 48 - (2) Perusahaan yang diambil alih wajib melaporkan Pengambilalihan secara tertulis kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kalender terhitung sejak tanggal akta Pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laporan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (4) Pelaporan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus menggunakan format 23 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan: a. untuk Penggabungan: 1. akta risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; 2. akta Penggabungan yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; 3. daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b; dan 4. data pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c; b. untuk Peleburan: 1. akta risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; 2. akta Peleburan yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; 3. daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b; dan 4. data pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c. (5) Dalam ... - 49 - (5) Dalam rangka pelaporan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan yang menerima Penggabungan atau hasil Peleburan dapat mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri kepada OJK atas namanya. (6) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus menggunakan format 24 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan: a. izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang dimiliki oleh Perusahaan yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri; dan b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor. (7) Berdasarkan pelaporan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (6), OJK: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 sampai dengan angka 4; b. mencabut izin usaha dan izin pembukaan Kantor Cabang Perusahaan yang menggabungkan diri; dan c. memberikan persetujuan atas permohonan izin pembukaan Kantor Cabang dalam Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Berdasarkan pelaporan Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (6), OJK: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran ... - 50 - kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 1 sampai dengan angka 4; b. mencabut izin usaha dan izin pembukaan Kantor Cabang Perusahaan yang meleburkan diri; c. memberikan persetujuan atau penolakan izin usaha kepada Perusahaan yang merupakan hasil Peleburan; dan d. memberikan persetujuan izin atas permohonan pembukaan Kantor Cabang dalam Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dalam hal OJK memberikan persetujuan atas izin usaha sebagaimana dimaksud pada huruf c. (9) Pemberian persetujuan izin pembukaan Kantor Cabang dalam Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c dilakukan paling lama 40 (empat puluh) hari kalender setelah dokumen pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diterima secara lengkap dan benar. (10) Pemberian persetujuan atau penolakan izin usaha dalam Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c dan pemberian persetujuan izin pembukaan Kantor Cabang dalam Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf d dilakukan paling lama 40 (empat puluh) hari kalender setelah dokumen pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan ayat (6) diterima secara lengkap dan benar. (11) Dalam hal OJK menolak untuk menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara tertulis. (12) Sebelum persetujuan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c diberikan, Perusahaan dilarang menjalankan kegiatan usaha pembiayaan. Bagian ... - 51 - Bagian Kedua Pemisahan Pasal 58 (1) Perusahaan dapat melakukan Pemisahan, dengan cara: a. Pemisahan murni; atau b. Pemisahan tidak murni. (2) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus mengakibatkan seluruh aset, liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perusahaan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan Perusahaan yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum. (3) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus mengakibatkan sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perusahaan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan Perusahaan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada. Pasal 59 (1) Perusahaan dapat melakukan Pemisahan murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a, dengan cara mendirikan Perusahaan baru. (2) Perusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha pembiayaan sebelum memperoleh izin usaha dari OJK. (3) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi Perusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK paling lama 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal akta Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris. (4) OJK ... - 52 - (4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 60 (1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3), harus diajukan dengan menggunakan format 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); b. akta risalah rapat umum pemegang saham yang menyetujui Pemisahan; dan c. akta Pemisahan. (3) Dalam rangka permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perusahaan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dapat mengajukan permohonan penetapan izin pembukaan Kantor Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan yang melakukan Pemisahan murni kepada OJK atas namanya. (4) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus menggunakan format 26 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan: a. izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang dimiliki oleh Perusahaan yang melakukan Pemisahan murni; dan b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor. (5) Berdasarkan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan permohonan izin pembukaan ... - 53 - pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK: a. menetapkan pencabutan izin usaha dan izin pembukaan Kantor Cabang Perusahaan yang melakukan Pemisahan murni; dan b. memberikan persetujuan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal permohonan izin usaha disetujui. Pasal 61 (1) Perusahaan dapat melakukan Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b, dengan cara: a. mendirikan Perusahaan baru; atau b. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan kepada Perusahaan lain yang telah memperoleh izin usaha. (2) Perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Pemisahan dari OJK. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan oleh Direksi Perusahaan yang akan melakukan Pemisahan kepada OJK dengan menggunakan format 27 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. rancangan akta Pemisahan; b. rancangan akta pendirian Perusahaan yang akan menerima aset, liabilitas, dan ekuitas; dan c. proyeksi laporan posisi keuangan Perusahaan yang melakukan Pemisahan. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan ... - 54 - diberikan paling lama 20 (dua puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap dan benar. (5) Perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dapat melakukan kegiatan usaha pembiayaan. Pasal 62 (1) Perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak murni setelah memperoleh persetujuan Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4) wajib melaporkan pelaksanaan Pemisahan secara tertulis kepada OJK paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan Pemisahan diperoleh. (2) Pelaporan pelaksanaan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan format 28 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. akta risalah rapat umum pemegang saham yang menyetujui Pemisahan; b. akta Pemisahan; dan c. perubahan anggaran dasar yang disahkan atau disetujui oleh instansi berwenang, dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar. (3) Dalam hal Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b dilakukan terhadap UUS, berdasarkan pelaporan pelaksanaan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) OJK mencabut izin UUS. Pasal 63 (1) Perusahaan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a dilarang melakukan kegiatan usaha pembiayaan sebelum memperoleh izin usaha dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ... - 55 - pada ayat (1), Direksi Perusahaan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK. (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 64 (1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) harus diajukan dengan menggunakan format 29 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (3) Dalam rangka permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perusahaan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a, dapat mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang yang sebelumnya dimiliki oleh Perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak murni kepada OJK atas namanya. (4) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus menggunakan format 30 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan: a. izin pembukaan Kantor Cabang terdahulu yang dimiliki oleh Perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak murni; dan b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor. (5) Berdasarkan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK memberikan persetujuan izin pembukaan Kantor Cabang ... - 56 - Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal permohonan izin usaha disetujui. Pasal 65 Pemrosesan permohonan izin usaha, pemberian persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha bagi Perusahaan baru hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) huruf a berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Pasal 4. Bagian Ketiga Pemenuhan Ketentuan Lain Pasal 66 (1) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perusahaan yang menerima Penggabungan, hasil Peleburan, Pengambilalihan, dan yang menerima peralihan wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan OJK ini. BAB X KONVERSI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN MENJADI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SYARIAH Pasal 67 (1) Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan konversi menjadi Perusahaan Pembiayaan Syariah dengan terlebih dahulu memperoleh izin dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Pembiayaan harus mengajukan permohonan izin kepada OJK dengan menggunakan format 31 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan: a. izin usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan; b. hasil ... - 57 - b. hasil penilaian kemampuan dan kepatutan untuk Direksi, Komisaris, DPS, dan PSP yang masih berlaku; c. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengenai pengangkatan anggota DPS; d. akta risalah rapat umum pemegang saham yang menyetujui konversi; e. daftar pejabat satu tingkat di bawah Direksi yang paling sedikit mempunyai keahlian dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah, dilampiri dengan bukti menunjukkan keahlian dan/atau pengalaman dimaksud; dan f. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama setelah mendapatkan izin sebagai Perusahaan Pembiayaan Syariah, yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana penyaluran pembiayaan dan langkah- langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan dan laporan laba/rugi komprehensif bulanan serta asumsi yang mendasarinya dimulai sejak Perusahaan melakukan kegiatan operasional. (4) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebelum berlakunya Peraturan OJK ini ditetapkan, wajib menyampaikan permohonan izin sebagai Perusahaan Pembiayaan Syariah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan, dilampiri dengan izin usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan dan daftar Kantor Cabang perusahaan. Pasal 68 ... - 58 - Pasal 68 (1) Dalam memproses permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), OJK melakukan: a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) atau ayat (4); b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) huruf f; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pembiayaan Syariah. (2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah dokumen permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) atau ayat (4) diterima secara lengkap dan benar. (3) Dalam hal OJK menyetujui permohonan izin usaha, OJK mengubah izin Perusahaan Pembiayaan menjadi Perusahaan Pembiayaan Syariah. (4) Dalam hal OJK menolak permohonan izin usaha, penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara tertulis. Pasal 69 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dikecualikan dari: a. ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan b. kewajiban memiliki Ekuitas paling sedikit: 1. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berbentuk ... - 59 - berbentuk badan hukum perseroan terbatas; atau 2. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berbentuk koperasi. (2) Ekuitas Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (3) Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) wajib meningkatkan Ekuitas menjadi paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal izin usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah hasil Pemisahan diberikan. BAB XI PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 70 (1) Pencabutan izin usaha Perusahaan dilakukan oleh OJK. (2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Perusahaan: a. bubar; b. dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini; c. melakukan perubahan kegiatan usaha; atau d. melakukan Penggabungan atau Peleburan. (3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh OJK, Perusahaan wajib melakukan kewajibannya kepada Debitur. (4) Prosedur penyelesaian penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan peraturan ... - 60 - peraturan perundang-undangan dan memperhatikan kepentingan Debitur. Pasal 71 (1) Dalam hal Perusahaan bubar karena keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atau karena sebab lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, likuidator atau penyelesai harus melaporkan pembubaran tersebut kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan atau penetapan Pembubaran. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (3) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan menggunakan format 32 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan harus dilampiri dengan: a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya keputusan atau penetapan pembubaran; dan b. izin usaha. (4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan. Pasal 72 (1) Perusahaan yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak lagi menjadi Perusahaan harus mendapatkan persetujuan dari OJK. (2) Permohonan persetujuan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan format 33 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan harus dilampiri ... - 61 - dilampiri dengan: a. rancangan akta anggaran dasar yang memuat rencana kegiatan usaha yang baru; dan b. rencana penyelesaian hak dan kewajiban yang terkait dengan kegiatan usaha pembiayaan. (3) Perusahaan wajib melaporkan perubahan kegiatan usaha paling lama 15 (lima belas) hari kalender sejak perubahan anggaran dasar disahkan oleh instansi berwenang, dengan menggunakan format 34 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan harus dilampiri dengan: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang. (4) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (5) Dalam hal Perusahan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, OJK dapat mencantumkan Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris ke dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan. (6) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK mencabut izin usaha Perusahaan. Pasal 73 Perusahaan yang telah dicabut izin usahanya dilarang untuk menggunakan kata finance, pembiayaan, kata yang mencirikan kegiatan pembiayaan atau pembiayaan syariah, dalam nama Perusahaan. BAB XII ... - 62 - BAB XII PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN DAN PELAYARAN Pasal 74 Perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan di bidang ketenagalistrikan tidak wajib memenuhi ketentuan mengenai Pasal 10, Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 17. Pasal 75 Perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan di bidang pelayaran tidak wajib memenuhi ketentuan Pasal 10, Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 17. BAB XIII SANKSI Pasal 76 (1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 8, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15 ayat (3), Pasal 15 ayat (4), Pasal 15 ayat (6), Pasal 15 ayat (7), Pasal 15 ayat (8), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 40 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 45 ayat (3), Pasal 48 ayat (3), Pasal 50, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (3), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), Pasal 57 ayat (12), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 63 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67 ayat (4), Pasal 69 ayat (3), Pasal 70 ayat (3), Pasal 70 ayat (4), Pasal 72 ayat (3), dan/atau Pasal 73 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap yaitu berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; dan c. pencabutan ... - 63 - c. pencabutan izin usaha Perusahaan. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. larangan pembukaan jaringan Kantor Cabang dan kantor selain Kantor Cabang; c. penurunan hasil penilaian tingkat risiko; d. pembatalan persetujuan tertentu; dan/atau e. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Dalam hal Perusahaan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sanksi peringatan tersebut dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut- turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Perusahaan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur ... - 64 - libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (9) Perusahaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Perusahaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Perusahaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan yang bersangkutan. (13) OJK dapat mengumumkan sanksi pembatasan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 77 (1) Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (4), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 33 ayat (5), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), Pasal ... - 65 - Pasal 35 ayat (3), Pasal 35 ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (3), dan/atau Pasal 39 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap yaitu berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha UUS; dan c. pencabutan izin usaha UUS. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. larangan pembukaan jaringan Kantor Cabang Unit Syariah dan/atau kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah; c. penurunan hasil penilaian tingkat risiko; d. pembatalan persetujuan tertentu; dan/atau e. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dkenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS dikenakan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sanksi peringatan tersebut dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (6) Dalam ... - 66 - (6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS. (7) Sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (8) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (9) Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS. (11) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha UUS. (12) Dalam ... - 67 - (12) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha UUS yang bersangkutan. (13) OJK dapat mengumumkan sanksi pembatasan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau pencabutan izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 78 Dalam hal Perusahaan mendapatkan sanksi administratif berupa sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a dan Pasal 77 ayat (1) huruf a secara kumulatif sebanyak 5 (lima) kali atau lebih dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, OJK dapat meminta Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk mengikuti penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 79 Perusahaan Pembiayaan yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan maka izin usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan dinyatakan masih berlaku. Pasal 80 Ketentuan mengenai penggunaan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) tidak berlaku bagi Perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan sepanjang Perusahaan tidak melakukan perubahan nama Perusahaan. Pasal 81 ... - 68 - Pasal 81 (1) Ketentuan mengenai batasan kepemilikan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak berlaku bagi Perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan sepanjang Perusahaan tidak melakukan perubahan modal, perubahan komposisi pemegang saham, dan/atau perubahan pemegang saham. (2) Bagi Perusahaan yang melebihi batasan kepemilikan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan dan melakukan perubahan modal, perubahan komposisi pemegang saham, dan/atau perubahan pemegang saham, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dinyatakan berlaku sejak tanggal 31 Desember 2019. Pasal 82 Bagi Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 83 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 84 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Perusahaan Pembiayaan berdasarkan: a. Peraturan 84/PMK.012/2006 Pembiayaan; Menteri Keuangan Nomor Perusahaan tentang b. Peraturan ... - 69 - b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 220/PMK.010/2012; d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia; dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Perusahaan Pembiayaan yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 85 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai perizinan usaha dan kelembagaan bagi Perusahaan tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. administratif Pasal 86 ... - 70 - Pasal 86 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 363 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. T Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 28/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title> <set_date> 19 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK SYARIAH BERUPA SAHAM OLEH EMITEN SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PUBLIK SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri Pasar Modal syariah di Indonesia, diperlukan penyempurnaan peraturan mengenai Penerbitan Efek Syariah dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Syariah Berupa Saham Oleh Emiten Syariah Atau Perusahaan Publik Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK SYARIAH BERUPA SAHAM OLEH EMITEN SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PUBLIK SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Emiten Syariah adalah Emiten yang anggaran dasarnya menyatakan kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 2. Perusahaan Publik Syariah adalah Perusahaan Publik yang anggaran dasarnya menyatakan bahwa kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 3. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. 4. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal. 5. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat ASPM adalah: - 3 - a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah; atau b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah, yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal. 6. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka. Pasal 2 (1) Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah yang melakukan penerbitan Efek Syariah berupa saham wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan peraturan perundang-undangan lain di sektor Pasar Modal. (2) Anggaran dasar Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah yang menerbitkan Efek Syariah berupa saham wajib memuat kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal. (3) Dalam hal kegiatan dan jenis usaha Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lagi memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal, saham Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah dimaksud tidak lagi merupakan Efek Syariah. - 4 - (4) Dalam hal cara pengelolaan usaha Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lagi memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan dapat menyatakan saham Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah dimaksud tidak lagi merupakan Efek Syariah. Pasal 3 (1) Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah. (2) Anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. (3) Anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diangkat oleh RUPS. BAB II PENERBITAN Pasal 4 (1) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek Syariah berupa saham oleh Emiten Syariah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran Umum, serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pernyataan Pendaftaran oleh Perusahaan Publik Syariah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 Prospektus dalam rangka Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran Umum oleh Emiten Syariah sebagaimana - 5 - dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau keterbukaan informasi dalam rangka Pernyataan Pendaftaran oleh Perusahaan Publik Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mengungkapkan informasi tambahan sebagai berikut: a. anggaran dasar yang memuat ketentuan bahwa kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan b. anggota Dewan Pengawas Syariah, beserta tugas dan tanggung jawabnya. Pasal 6 (1) Dewan Pengawas Syariah Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah wajib menyusun laporan hasil pengawasan tahunan kepada pemegang saham atas pemenuhan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal oleh Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah yang diawasi. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Direksi Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. pihak yang dituju; b. tanggal laporan; c. pernyataan mengenai laporan yang disusun telah sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal; d. pernyataan mengenai rentang waktu dan ruang lingkup pengawasan atau kegiatan lain yang telah dilakukan Dewan Pengawas Syariah; e. pernyataan mengenai opini Dewan Pengawas Syariah atas pengawasan atau kegiatan lain yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada huruf d; dan - 6 - f. tanda tangan, nama anggota Dewan Pengawas Syariah, jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah, dan nomor izin ASPM. BAB III PERUBAHAN KEGIATAN DAN JENIS USAHA SERTA CARA PENGELOLAAN USAHA Pasal 7 Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat mengubah anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usahanya tidak lagi berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal jika: a. terdapat usulan dari pemegang saham yang memenuhi syarat sebagai berikut: 1. berasal dari pemegang saham yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka; dan 2. usulan pemegang saham dimaksud disertai dengan: a) penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya perubahan anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha; b) rencana kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha setelah Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah mengubah anggaran dasar; dan c) cara penyelesaian terhadap pemegang saham yang tidak setuju atas perubahan anggaran dasar; b. usulan sebagaimana dimaksud pada huruf a telah disetujui RUPS; dan - 7 - c. kuorum kehadiran dan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaran Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dan wajib dilakukan dengan ketentuan pemegang saham yang mengusulkan perubahan anggaran dasar dan afiliasinya dianggap telah memberikan keputusan yang sama dengan keputusan yang disetujui oleh pemegang saham yang tidak mengusulkan perubahan anggaran dasar. Pasal 8 (1) Emiten atau Perusahaan Publik hanya dapat mengubah anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha dari konvensional menjadi berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal jika: a. terdapat usulan dari pemegang saham yang memenuhi syarat sebagai berikut: 1. berasal dari pemegang saham yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka; dan 2. usulan pemegang saham dimaksud disertai dengan: a) penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya perubahan anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha; b) rencana kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha setelah Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah mengubah anggaran dasar; dan c) cara penyelesaian terhadap pemegang saham yang tidak setuju atas perubahan anggaran dasar; dan - 8 - b. usulan sebagaimana dimaksud pada huruf a telah disetujui RUPS. (2) Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengangkat Dewan Pengawas Syariah pada saat RUPS mengenai perubahan anggaran dasar. Pasal 9 Penyelenggaraan RUPS dengan mata acara perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 wajib dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka. Pasal 10 Pemanggilan RUPS dalam rangka perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pemanggilan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dan informasi tambahan sebagai berikut: a. usulan RUPS untuk mengubah anggaran dasar berasal dari pemegang saham; b. penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya perubahan anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha; c. rencana kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha setelah perubahan anggaran dasar; d. cara penyelesaian terhadap pemegang saham yang tidak setuju atas perubahan anggaran dasar; dan e. penjelasan bahwa perubahan anggaran dasar hanya berlaku efektif setelah memperoleh persetujuan RUPS dan Menteri yang berwenang. Pasal 11 (1) Setiap pemegang saham yang tidak menyetujui perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud - 9 - dalam Pasal 7 dan Pasal 8 berhak meminta kepada Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah atau meminta kepada Emiten atau Perusahaan Publik agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah atau tidak menyetujui tindakan Emiten atau Perusahaan Publik, yang merugikan pemegang saham, dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal sahamnya tidak tercatat di Bursa Efek, harga pelaksanaan pembelian paling sedikit sama dengan harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai independen; b. dalam hal sahamnya tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek namun selama 90 (sembilan puluh) hari tidak diperdagangkan atau dihentikan sementara perdagangannya, harga pelaksanaan pembelian paling sedikit sebesar harga tertinggi dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya; atau c. dalam hal sahamnya tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, harga pelaksanaan pembelian paling sedikit sebesar harga tertinggi dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum pengumuman RUPS perubahan anggaran dasar. (2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah atau Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik, pemegang saham yang mengusulkan perubahan anggaran dasar wajib membeli sendiri atau mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga. - 10 - BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 12 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 13 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 11 - Pasal 14 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15 (1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) selama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dapat digantikan oleh orang perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal sepanjang yang bersangkutan melapor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. (2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah meskipun belum memiliki izin ASPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Ahli Syariah Pasar Modal. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, angka 2 Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 - 12 - tentang Penerbitan Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 268 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK SYARIAH BERUPA SAHAM OLEH EMITEN SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PUBLIK SYARIAH I. UMUM Dalam rangka pengembangan Pasar Modal syariah agar dapat tumbuh stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur pasar yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya regulasi yang jelas dan mudah dipahami serta diterapkan sehingga regulasi tersebut menjadi regulasi yang dapat diterima pasar (market friendly). Selanjutnya, mengingat Efek Syariah memiliki karakteristik yang khusus maka diperlukan pengaturan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing jenis Efeknya. Dinamika perkembangan Pasar Modal syariah menuntut adanya penyempurnaan atas Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah, mengingat peraturan tersebut mengatur penerbitan berbagai jenis Efek Syariah. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan adanya ketentuan khusus yang sesuai untuk setiap jenis Efek Syariah. Hal tersebut sejalan dengan praktik yang berlaku umum (common practice) dan standar internasional. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini merupakan salah satu dari 5 (lima) peraturan yang berasal dari Peraturan Nomor IX.A.13, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Penerbitan Efek Syariah namun khusus mengatur mengenai - 2 - penerbitan Efek Syariah berupa saham sekaligus menyempurnakan ketentuan yang ada di Peraturan Nomor IX.A.13. Adapun beberapa pokok penyempurnaan peraturan penerbitan Efek Syariah berupa saham tersebut antara lain meliputi pengaturan Dewan Pengawas Syariah dan pengaturan perubahan dari Emiten konvensional menjadi Emiten syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” antara lain jasa keuangan, perkebunan, industri dasar, perdagangan, pariwisata, perhubungan, telekomunikasi, media massa, dan teknologi informasi. Yang dimaksud dengan “jenis usaha” antara lain jasa keuangan bank, asuransi, pembiayaan, perdagangan produk farmasi, produk telekomunikasi, dan barang konsumsi. Yang dimaksud dengan “cara pengelolaan usaha” adalah cara Emiten atau Perusahaan Publik menjalankan kegiatan usaha antara lain perolehan dan pengelolaan sumber daya dan aset, proses produksi dan produknya berupa barang atau jasa, serta hubungan hukum dengan pihak ketiga tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran dan Penawaran Umum antara lain sebagai berikut: a. Peraturan Nomor IX.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-44/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Tata Cara Untuk Meminta Perubahan Dan Atau Tambahan Informasi Atas Pernyataan Pendaftaran; b. Peraturan Nomor IX.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-51/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum; c. Peraturan Nomor IX.A.8, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-41/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Prospektus Awal dan Info Memo; d. Peraturan Nomor IX.C.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-42/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum; e. Peraturan Nomor IX.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-43/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum; f. Peraturan Nomor IX.A.6, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-06/PM/2001 tanggal 8 Maret 2001 tentang Pembatasan Atas Saham Yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum; g. Peraturan Nomor IX.A.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-122/BL/2009 tanggal 29 Mei 2009 tentang Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum; h. Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: - 4 - KEP-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran; dan i. Peraturan Nomor IX.A.7, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-691/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Pemesanan dan Penjatahan Efek Dalam Penawaran Umum. Ayat (2) Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran antara lain sebagai berikut: a. Peraturan Nomor IX.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-49/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik; dan b. Peraturan Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “kegiatan lain” yang dilakukan - 5 - Dewan Pengawas Syariah antara lain adalah: 1. memberikan nasihat dan saran kepada Direksi dan Dewan Komisaris perusahaan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aspek syariah; atau 2. melakukan penelaahan secara berkala atas penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap kegiatan usaha perusahaan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “konvensional” adalah tidak dinyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usaha dilaksanakan berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. - 6 - Huruf e Yang dimaksud dengan “Menteri” adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik adalah Peraturan Nomor XI.B.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-105/BL/2010 tanggal 13 April 2010 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 - 7 - Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5757
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 17/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK SYARIAH BERUPA SAHAM OLEH EMITEN SYARIAH ATAU PERUSAHAAN PUBLIK SYARIAH </reg_title> <set_date> 3 November 2015 </set_date> <effective_date> 10 November 2015 </effective_date> <issued_date> 10 November 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13 angka 2' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10 /POJK.04/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32/POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan bagi pemegang saham minoritas, khususnya terkait dengan mekanisme perubahan hak atas saham serta penunjukkan dan pemberhentian akuntan publik, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 32/POJK.04/2014 tentang Rencana Nomor dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 374, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5644); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32/POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 374, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5644) diubah sebagai berikut: 1. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29A Dalam hal Perusahaan Terbuka memiliki lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, RUPS untuk mata acara - 3 - perubahan hak atas saham, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. usulan mata acara perubahan hak atas saham wajib mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; b. RUPS hanya dihadiri oleh pemegang saham pada klasifikasi saham yang terkena dampak atas perubahan hak atas saham pada klasifikasi saham tertentu, dengan ketentuan: 1. RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham pada klasifikasi saham yang terkena dampak atas perubahan hak tersebut hadir atau diwakili, kecuali Undang- Undang dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka menentukan jumlah kuorum yang lebih besar; 2. dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak tercapai, RUPS kedua dapat diadakan dengan ketentuan RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh saham pada klasifikasi saham yang terkena dampak atas perubahan hak tersebut hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar Perusahaan Terbuka menentukan jumlah kuorum yang lebih besar; 3. keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 3/4 (tiga per empat) bagian dari saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS, kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka - 4 - menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar; dan 4. dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak tercapai, RUPS ketiga dapat diadakan dengan ketentuan RUPS ketiga sah dan berhak mengambil keputusan jika dihadiri oleh pemegang saham pada klasifikasi saham yang terkena dampak atas perubahan hak tersebut dalam kuorum kehadiran dan kuorum keputusan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan Perusahaan Terbuka. Pasal 29B Dalam hal klasifikasi saham yang terkena dampak atas perubahan hak atas saham pada klasifikasi saham tertentu tidak mempunyai hak suara, pemegang saham pada klasifikasi saham tersebut berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diberikan hak untuk hadir dan mengambil keputusan dalam RUPS terkait dengan perubahan hak atas saham pada klasifikasi saham tersebut. 2. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A (1) Penunjukan dan pemberhentian akuntan publik yang akan memberikan jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan wajib diputuskan dalam RUPS Perusahaan Terbuka dengan mempertimbangkan usulan Dewan Komisaris. (2) Dalam hal RUPS tidak dapat memutuskan penunjukan akuntan publik, RUPS dapat - 5 - mendelegasikan kewenangan tersebut kepada Dewan Komisaris, disertai penjelasan mengenai: a. alasan pendelegasian kewenangan; dan b. kriteria atau batasan akuntan publik yang dapat ditunjuk. Pasal II Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 47 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10 /POJK.04/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32/POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA I. UMUM Dalam rangka meningkatkan iklim investasi dan perlindungan terhadap investor minoritas, perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai mekanisme perubahan hak atas saham dan penunjukan akuntan publik yang akan memberikan jasa audit kepada Perusahaan Terbuka. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyempurnaan terhadap ketentuan penyelenggaraan RUPS terutama penyelenggaraan RUPS dalam rangka perubahan hak atas saham dan penunjukan akuntan publik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 29A Yang dimaksud dengan “pemegang saham pada klasifikasi saham yang terkena dampak atas perubahan hak atas saham pada klasifikasi saham tertentu” adalah: 1. Dalam hal perubahan hak berupa pengurangan hak, pemegang saham yang terkena dampak adalah pemegang saham pada klasifikasi saham yang akan dilakukan - 2 - pengurangan hak. 2. Dalam hal perubahan hak berupa penambahan hak, pemegang saham yang terkena dampak adalah pemegang saham pada klasifikasi saham yang tidak dilakukan penambahan hak. Pasal 29B Cukup jelas. Pasal 36A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “akuntan publik” adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai akuntan publik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Pendelegasian kewenangan dilakukan apabila RUPS tidak memutuskan penunjukan akuntan publik yang diusulkan oleh Dewan Komisaris. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6031
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 10/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32/POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title> <set_date> 14 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 14 Maret 2017 </effective_date> <issued_date> 14 Maret 2017 </issued_date> <changed_reg> '32/POJK.04/2014' </changed_reg> <related_reg> '32/POJK.04/2014', '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /POJK.05/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menumbuhkembangkan industri perusahaan modal ventura agar dapat lebih berkontribusi terhadap perekonomian nasional, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha oleh perusahaan modal ventura; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Modal Ventura; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha Modal Ventura adalah usaha pembiayaan melalui penyertaan modal dan/atau pembiayaan untuk jangka waktu tertentu dalam rangka pengembangan usaha pasangan usaha atau debitur. 2. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura, pengelolaan dana ventura, kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan usaha lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. 3. Usaha Modal Ventura Syariah adalah usaha pembiayaan melalui kegiatan investasi dan/atau pelayanan jasa yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka pengembangan usaha pasangan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. 4. Perusahaan Modal Ventura Syariah yang selanjutnya disingkat PMVS adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, pengelolaan dana ventura, dan kegiatan usaha lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan yang seluruhnya dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. 5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 6. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat PMV yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah. 7. Dana Ventura adalah kontrak investasi bersama yang dibuat antara PMV atau PMVS dan bank kustodian, - 3 - dimana PMV atau PMVS diberikan wewenang untuk mengelola dana dari para investor yang akan digunakan untuk melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah. 8. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk bertindak sebagai Bank Kustodian. 9. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga yang bersifat utang termasuk yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. 10. Investor Dana Ventura adalah orang perseorangan atau lembaga baik dari dalam negeri atau luar negeri yang melakukan suatu investasi ke dalam Dana Ventura. 11. Nilai Aset Bersih adalah selisih antara aset dan liabilitas Dana Ventura. 12. Pasangan Usaha adalah orang perseorangan atau perusahaan termasuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang menerima penyertaan modal dan/atau investasi berdasarkan prinsip bagi hasil dari PMV, PMVS, atau UUS. 13. Debitur adalah orang perseorangan atau perusahaan termasuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang menerima pembiayaan usaha produktif dari PMV. 14. Divestasi adalah penjualan saham PMV atau PMVS yang berada pada Pasangan Usaha yang bersangkutan. 15. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. - 4 - 16. Pemegang Saham adalah pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Pemegang Saham bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 17. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 18. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 19. Modal Disetor: a. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; b. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib; atau c. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah setoran modal pesero perseroan komanditer. 20. Ekuitas: a. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum perseroan terbatas, adalah penjumlahan dari: 1. Modal Disetor; 2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas: - 5 - a) agio/disagio saham; b) biaya emisi efek Ekuitas; dan c) lainnya sesuai dengan prinsip standar akuntansi keuangan; 3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas sepengendali; 4. saldo laba/rugi; 5. laba/rugi tahun berjalan; 6. saham tresuri (treasury stock); dan 7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas: a) perubahan dalam surplus revaluasi; b) selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing; c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan tersedia untuk dijual; d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen keuangan lindung nilai dalam rangka lindung nilai arus kas; dan e) komponen Ekuitas lainnya sesuai prinsip standar akuntansi keuangan. b. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum koperasi adalah penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah, dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan. c. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah selisih bersih aset dan liabilitas perseroan komanditer. d. bagi PMVS berbentuk badan usaha perseroan komanditer atau UUS adalah selisih antara jumlah aset dengan penjumlahan antara liabilitas dan pendanaan bersifat temporer. 21. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. - 6 - BAB II USAHA MODAL VENTURA Bagian kesatu Kegiatan Usaha PMV Pasal 2 (1) PMV menyelenggarakan Usaha Modal Ventura yang meliputi: a. penyertaan saham (equity participation); b. penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity participation); c. pembiayaan melalui pembelian surat utang yang diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap rintisan awal (start-up) dan/atau pengembangan usaha; dan/atau d. pembiayaan usaha produktif. (2) Dalam melakukan Usaha Modal Ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMV dapat mengelola Dana Ventura. (3) Selain Usaha Modal Ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), PMV dapat menyelenggarakan kegiatan usaha lain: a. kegiatan jasa berbasis fee; dan/atau b. kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK. (4) Kegiatan Usaha Modal Ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan pendampingan kepada Pasangan Usaha dan/atau Debitur. Pasal 3 PMV yang akan melakukan kegiatan usaha berbasis fee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a wajib melaporkan kepada OJK dengan - 7 - melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. produk berbasis imbal jasa (fee) yang akan dipasarkan; b. mekanisme kegiatan usaha berbasis imbal jasa (fee); c. hak dan kewajiban para pihak; d. perjanjian kerjasama; dan e. perizinan dari otoritas yang berwenang (jika ada). Pasal 4 (1) PMV yang akan melakukan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki tingkat kesehatan keuangan minimum sehat; dan b. tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK. (2) PMV yang akan melakukan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. (3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV harus mengajukan permohonan kepada OJK dengan melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. skema atau mekanisme kegiatan usaha lainnya; b. analisis prospek usaha; dan c. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan digunakan untuk operasional PMV yang memuat hak dan kewajiban para pihak. (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap. - 8 - Bagian Kedua Kegiatan Usaha PMVS dan UUS Pasal 5 Penyelenggaraan kegiatan usaha PMVS dan UUS wajib memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm, risywah, dan objek haram. Pasal 6 (1) PMVS dan UUS menyelenggarakan Usaha Modal Ventura Syariah yang meliputi: a. investasi yang terdiri dari: 1. penyertaan saham (equity participation); 2. pembelian sukuk atau obligasi syariah konversi; 3. pembelian sukuk atau obligasi syariah yang diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap rintisan awal (start-up) pengembangan usaha; dan/atau 4. pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil; b. pelayanan jasa; dan/atau c. kegiatan usaha lain berdasarkan persetujuan OJK. (2) Dalam melakukan Usaha Modal Ventura Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMVS atau UUS dapat mengelola Dana Ventura yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. (3) PMVS atau UUS dilarang melakukan pembiayaan jual beli kecuali kepada Pasangan Usaha yang terlebih dahulu telah menerima investasi dari PMVS atau UUS. (4) Kegiatan pelayanan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan usaha PMVS atau UUS yang menghasilkan tambahan pendapatan dalam bentuk imbal jasa (ujrah/fee). dan/atau - 9 - Pasal 7 (1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib dilakukan dengan menggunakan akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. (2) Penggunaaan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu dilaporkan kepada OJK. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan penggunaaan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 8 (1) PMVS atau UUS yang akan melakukan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki tingkat kesehatan keuangan minimum sehat; dan b. tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK. (2) PMVS atau UUS yang akan melakukan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. (3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMVS atau UUS harus mengajukan permohonan kepada OJK dengan melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. skema atau mekanisme kegiatan usaha lainnya yang akan dilakukan disertai dengan uraian akad yang akan digunakan; b. analisis prospek usaha; dan c. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan digunakan untuk operasional PMVS atau UUS yang memuat hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan akad yang digunakan. (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3). - 10 - (5) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap. Bagian Ketiga Tujuan dan Batasan dalam Penyelenggaraan Usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS Pasal 9 (1) Kegiatan usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6 ayat (1) ditujukan untuk calon Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang memiliki usaha produktif dan/atau memiliki ide-ide untuk pengembangan usaha produktif. (2) Kegiatan usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6 ayat (1) bertujuan untuk: a. pengembangan suatu penemuan baru; b. pengembangan perusahaan atau usaha orang perseorangan yang pada tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana; c. pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi; d. membantu perusahaan atau usaha orang perseorangan yang berada pada tahap pengembangan atau tahap kemunduran usaha; e. mengambil alih perusahaan atau usaha orang perseorangan yang berada pada tahap pengembangan atau tahap kemunduran usaha; f. pengembangan proyek penelitian dan rekayasa; g. pengembangan berbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknologi baik dari dalam maupun luar negeri; dan/atau h. membantu pengalihan kepemilikan perusahaan. - 11 - Pasal 10 PMV atau PMVS wajib mencantumkan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6 ayat (1) dalam anggaran dasarnya. Pasal 11 (1) PMV wajib memiliki penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi paling rendah sebesar 15% (lima belas persen) dari total kegiatan usaha PMV. (2) Penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi paling rendah sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah izin usaha ditetapkan. Pasal 12 (1) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib memiliki nilai investasi, penyertaan, dan/atau nilai piutang yang berasal dari kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 6 ayat (1) huruf a terhadap total aset PMV, PMVS, dan/atau UUS yang selanjutnya disebut Investment and Financing to Assets Ratio (IFAR) paling rendah sebesar 40% (empat puluh persen). (2) Bagi PMV, PMVS, dan/atau UUS yang mendapatkan izin usaha setelah POJK ini diundangkan, pemenuhan nilai IFAR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan. Pasal 13 (1) PMV atau PMVS yang melakukan peningkatan Modal Disetor dalam rangka pemenuhan gearing ratio dan/atau perbandingan Ekuitas dengan Modal Disetor dikecualikan dari pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dalam jangka waktu - 12 - paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal peningkatan Modal Disetor dicatat oleh instansi yang berwenang. (2) Bagi PMV atau PMVS yang melakukan penambahan Modal Disetor dalam rangka pemenuhan gearing ratio dan/atau perbandingan Ekuitas dengan Modal Disetor dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) tahun dari penetapan izin usahanya, maka pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) diberikan tambahan waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 14 (1) Nilai penyertaan, pembiayaan, dan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada satu Pasangan Usaha dan/atau Debitur dibatasi paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Ekuitas PMV. (2) Nilai investasi dan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada satu Pasangan Usaha dibatasi paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Ekuitas PMVS. (3) Besarnya total Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), sesuai dengan laporan keuangan bulanan posisi terakhir PMV atau PMVS sebelum dilakukannya kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Bagian Keempat Kegiatan Penyertaan Saham Pasal 15 (1) Penyertaan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 1 wajib dilakukan oleh PMV, PMVS, dan/atau UUS dalam bentuk penyertaan modal secara langsung kepada Pasangan Usaha yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. - 13 - (2) Penyertaan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh PMV atau PMVS yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer dapat dilakukan dengan menunjuk Direksi sebagai perwakilan PMV atau PMVS selaku pemilik saham pada Pasangan Usaha. (3) Penyertaan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka waktu tertentu paling lama 10 (sepuluh) tahun. (4) Setelah jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, penyertaan saham dapat diperpanjang 2 (dua) kali dengan total jangka waktu perpanjangan seluruhnya paling lama 10 (sepuluh) tahun. (5) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib melakukan Divestasi sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati dengan Pasangan Usaha sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) sehingga PMV, PMVS, dan/atau UUS tidak menjadi pengendali pada Pasangan Usaha. Pasal 16 Divestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) dapat dilakukan melalui: a. penawaran umum melalui pasar modal; b. menjual kepada PMV, PMVS, dan/atau investor baru melalui penawaran terbatas (private placement); atau c. menjual kembali kepada Pasangan Usaha (buy back). Bagian Kelima Kegiatan Penyertaan melalui Pembelian Obligasi Konversi Pasal 17 (1) Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan/atau investasi melalui pembelian sukuk atau obligasi syariah konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2 wajib - 14 - dilakukan oleh PMV, PMVS, dan/atau UUS dalam bentuk pembelian obligasi konversi atau obligasi syariah konversi yang diterbitkan oleh Pasangan Usaha yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. (2) Pembelian obligasi konversi atau obligasi syariah konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pembelian sertifikat obligasi atau sertifikat obligasi syariah konversi sebagai bukti kepemilikan obligasi konversi atau obligasi syariah konversi dan/atau pembelian obligasi konversi atau obligasi syariah konversi yang dituangkan dalam perjanjian dengan akta notariil. (3) Obligasi konversi atau obligasi syariah konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikonversi menjadi penyertaan saham (equity participation) pada saat jatuh tempo untuk suatu jangka waktu tertentu. (4) Penyertaan saham yang berasal dari konversi obligasi atau obligasi syariah merupakan penyertaan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 1. (5) Pengkonversian menjadi penyertaan saham (equity participation) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama oleh PMV, PMVS, dan/atau UUS dengan Pasangan Usaha. Bagian Keenam Kegiatan Pembiayaan Usaha Produktif Pasal 18 Pembiayaan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d wajib dilakukan oleh PMV dalam bentuk penyaluran pembiayaan kepada Debitur yang bertujuan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang meningkatkan pendapatan bagi Debitur. - 15 - Pasal 19 (1) Dalam menjalankan kegiatan pembiayaan usaha produktif, PMV dapat bekerjasama dengan pihak lain dalam bentuk: a. pembiayaan penerusan (channeling); atau b. pembiayaan bersama (joint financing). (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bank; b. PMV atau PMVS; c. perusahaan pembiayaan; d. lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; e. lembaga keuangan lainnya; dan/atau f. orang perseorangan. (3) Besarnya dana yang digunakan untuk kegiatan pembiayaan bersama dari orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f paling sedikit sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (4) Pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan: a. risiko yang timbul dari kegiatan pembiayaan penerusan (channeling) menjadi tanggung jawab pemilik dana; dan b. penerima dana hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh imbal jasa (fee) dari pemilik dana tersebut. (5) Dalam pembiayaan bersama (joint financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, risiko yang timbul dari pembiayaan bersama menjadi beban masing-masing pihak secara proporsional. (6) Pembagian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib dicantumkan dalam perjanjian tertulis antara kedua belah pihak. - 16 - Pasal 20 (1) PMV wajib melakukan mitigasi risiko atas kegiatan pembiayaan usaha produktif. (2) Mitigasi risiko atas pembiayaan usaha produktif yang dilakukan oleh PMV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. mengalihkan risiko pembiayaan melalui mekanisme asuransi kredit atau penjaminan kredit; b. mengalihkan risiko atas barang dari objek jaminan melalui asuransi; dan/atau c. melakukan pengikatan jaminan atas objek jaminan. Pasal 21 (1) PMV yang melakukan pengalihan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib menggunakan perusahaan asuransi atau lembaga penjaminan yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha dari OJK. (2) Jangka waktu pertanggungan asuransi kredit, penjaminan kredit, dan asuransi atas objek jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a dan huruf b paling singkat sama dengan jangka waktu pembiayaan usaha produktif. Bagian ketujuh Pembiayaan berdasarkan Prinsip Bagi Hasil Pasal 22 Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 4 dilakukan dalam bentuk penyediaan modal kepada - 17 - Pasangan Usaha dengan jangka waktu tertentu untuk kegiatan usaha produktif dengan pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Pasal 23 (1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, PMVS atau UUS dapat bekerjasama dengan pihak lain dalam bentuk kerjasama pembiayaan penerusan (channeling) yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bank; b. PMVS atau PMV yang memiliki UUS; c. perusahaan pembiayaan; d. lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; e. lembaga keuangan lainnya; dan/atau f. orang perseorangan. (3) Kerjasama penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan akad wakalah bil ujrah. (4) Dalam kerjasama penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMVS atau UUS dapat bertindak sebagai: a. pihak yang menyalurkan (pengelola/wakil) melalui kegiatan investasi berdasarkan prinsip bagi hasil; dan/atau b. pihak penyedia dana/modal/barang yaitu pihak yang mewakilkan kepada pihak lain. (5) Dalam hal PMVS dan UUS bertindak sebagai pihak yang menyalurkan (pengelola/wakil) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, PMVS atau UUS hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh imbalan (ujrah) dari pengelolaan dana tersebut. (6) Risiko yang timbul dari kerjasama penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi tanggung jawab pihak penyedia dana/modal/barang. - 18 - (7) Ketentuan pembagian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib dicantumkan secara jelas dalam perjanjian tertulis antara kedua belah pihak. Pasal 24 (1) PMVS dan UUS wajib melakukan mitigasi risiko atas kegiatan usaha investasi berdasarkan prinsip bagi hasil. (2) Mitigasi risiko atas kegiatan usaha investasi berdasarkan prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. mengalihkan risiko kegiatan usaha investasi berdasarkan prinsip bagi hasil mekanisme penjaminan syariah; melalui b. mengalihkan risiko atas barang yang menjadi agunan dari berdasarkan prinsip bagi hasil mekanisme asuransi syariah; dan/atau kegiatan usaha investasi melalui c. melakukan pengikatan jaminan atas objek jaminan. Pasal 25 Ketentuan mengenai pengalihan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 berlaku secara mutatis mutandis terhadap PMVS dan UUS yang melakukan mitigasi risiko melalui mekanisme syariah. BAB III PERJANJIAN KEGIATAN USAHA Pasal 26 (1) Seluruh perjanjian kegiatan usaha antara PMV, PMVS, dan/atau UUS dengan Pasangan Usaha dan/atau Debitur wajib dibuat secara tertulis. (2) Perjanjian kegiatan usaha antara PMV, PMVS, dan/atau UUS dengan Pasangan Usaha dan/atau Debitur wajib memenuhi ketentuan penyusunan - 19 - perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pasal 27 Perjanjian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 paling sedikit memuat: a. jenis kegiatan usaha; b. nomor dan tanggal perjanjian; c. identitas para pihak; d. jumlah penyertaan dan/atau pembiayaan; e. jangka waktu penyertaan dan/atau pembiayaan; f. tingkat pengembalian pembiayaan (jika ada); g. objek jaminan (jika ada); h. rincian biaya terkait dengan penyertaan/pembiayaan yang diberikan yang paling sedikit memuat: 1. biaya survey (jika ada); 2. biaya provisi (jika ada); 3. biaya notaris (jika ada); dan 4. biaya pengikatan jaminan (jika ada); i. j. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak; ketentuan mengenai denda (jika ada); dan k. mekanisme apabila terjadi perselisihan dan pemilihan tempat penyelesaian perselisihan. BAB IV TINGKAT KESEHATAN Bagian Kesatu Umum Pasal 28 (1) PMV dan PMVS wajib setiap waktu memenuhi persyaratan tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi minimum sehat. - 20 - (2) Pengukuran tingkat kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kualitas aset produktif; dan b. rentabilitas. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kedua Kualitas Aset Produktif Pasal 29 (1) Dalam rangka pengukuran tingkat kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a, PMV harus menilai, memantau, dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kualitas penyertaan dan piutang pembiayaan. (2) Dalam rangka pengukuran tingkat kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a, PMVS dan UUS harus menilai, memantau, dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kualitas investasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian kualitas penyertaan dan piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian kualitas investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketiga Cadangan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Pasal 30 (1) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib menghitung dan membentuk cadangan penyisihan penghapusan aset produktif. - 21 - (2) Ketentuan mengenai penghitungan dan pembentukan cadangan penyisihan penghapusan aset produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Keempat Pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Pasal 31 (1) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib membentuk cadangan kerugian penurunan nilai sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. (2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam penyusunan laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik. Bagian Kelima Rentabilitas Pasal 32 (1) Dalam rangka pengukuran tingkat kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b, PMV atau PMVS harus melakukan penilaian terhadap faktor rentabilitas. (2) Rentabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kemampuan PMV atau PMVS dalam menghasilkan laba. (3) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap kinerja aset dan efisiensi operasional. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 22 - BAB V EKUITAS Pasal 33 (1) PMV yang berbentuk badan usaha: a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); atau c. perseroan komanditer wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). (2) PMV berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan merupakan perusahaan swasta nasional serta memiliki Ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2020; dan b. paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2025. (3) Bagi PMV berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan merupakan perusahaan patungan serta memiliki Ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, wajib memiliki Ekuitas paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2020. - 23 - (4) PMV berbentuk badan hukum koperasi yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan memiliki Ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2020; dan b. paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2025. Pasal 34 (1) PMVS yang berbentuk badan usaha: a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah); b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); atau c. perseroan komanditer wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) PMV yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan telah melakukan seluruh kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan serta memiliki Ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2020; dan b. paling sedikit sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2025. - 24 - (3) PMV yang berbentuk badan hukum koperasi dan telah melakukan seluruh kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini diundangkan serta memiliki Ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2020; dan b. paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2025. (4) UUS wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (5) PMV yang telah melakukan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah melalui UUS sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan memiliki Ekuitas UUS di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib memiliki Ekuitas UUS paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2020. Pasal 35 PMV atau PMVS wajib memiliki rasio Ekuitas terhadap Modal Disetor paling rendah sebesar 30% (tiga puluh persen). BAB VI SUMBER PENDANAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 36 (1) Sumber pendanaan PMV, PMVS, dan/atau UUS dapat berasal dari: a. Dana Ventura; - 25 - b. pinjaman; c. sekuritisasi aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; d. penerbitan medium term notes; e. penerbitan obligasi; f. pinjaman atau pendanaan subordinasi; g. penerbitan saham; h. wakaf; dan/atau i. hibah. (2) Pihak yang dapat memberikan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemerintah; b. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; c. perusahaan pembiayaan; d. lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; e. bank; f. lembaga keuangan lainnya; g. lembaga keuangan multilateral; h. badan usaha lain; dan/atau i. orang perseorangan. (3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. (4) Pinjaman yang berasal dari orang perseorangan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dibuat dalam bentuk akta notariil; b. jangka waktu pinjaman paling kurang 1 (satu) tahun; dan c. jumlah pinjaman paling sedikit sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 37 (1) PMVS atau UUS dapat melakukan kegiatan pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36. - 26 - (2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan ketentuan: a. menggunakan akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan b. sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Kedua Pinjaman atau Pendanaan Subordinasi Pasal 38 (1) Pinjaman atau pendanaan subordinasi yang diterima PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf f harus memenuhi ketentuan: a. berjangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun; b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada; dan c. dituangkan dalam bentuk perjanjian akta notariil antara PMV atau PMVS dengan pemberi pinjaman. (2) Dalam melakukan kegiatan pinjaman atau pendanaan subordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMVS wajib memenuhi ketentuan: a. menggunakan akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan b. sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Gearing Ratio Pasal 39 (1) PMV atau PMVS wajib memenuhi ketentuan gearing ratio paling rendah 0 (nol) dan paling tinggi 10 (sepuluh) kali. (2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman - 27 - atau pendanaan dengan penjumlahan Ekuitas dan pinjaman atau pendanaan subordinasi. (3) Pinjaman atau pendanaan subordinasi yang dapat diperhitungkan dalam perhitungan gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Modal Disetor. BAB VII DANA VENTURA Bagian Kesatu Persyaratan PMV atau PMVS Sebagai Pengelola Dana Ventura Pasal 40 (1) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang akan mengelola Dana Ventura sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki Ekuitas paling sedikit: 1. bagi PMV yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah); 2. bagi PMV yang berbentuk badan hukum koperasi sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); 3. bagi PMV yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer Rp10.000.000.000,00 (sepuluh rupiah); terbatas sebesar miliar 4. bagi PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh rupiah); sebesar miliar - 28 - 5. bagi PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau 6. bagi PMVS yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan 7. bagi UUS sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan b. memiliki sumber daya manusia yang memiliki pengalaman di bidang pengelolaan investasi. (2) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang akan mengelola Dana Ventura sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2), wajib mengajukan permohonan ke OJK dan harus melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. akta pendirian PMV atau PMVS; b. struktur organisasi; c. rencana perjanjian pembentukan Dana Ventura; d. daftar sumber daya manusia yang melakukan pengelolaan Dana Ventura; dan e. prosedur operasional standar terkait dengan pengelolaan Dana Ventura. (3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. Bagian Kedua Pembentukan Dana Ventura Pasal 41 Pembentukan Dana Ventura dilakukan antara PMV dan/atau PMVS dengan Bank Kustodian berdasarkan kontrak investasi bersama. - 29 - Pasal 42 (1) Jumlah Investor Dana Ventura paling banyak 25 (dua puluh lima) pihak. (2) PMV, PMVS, dan/atau UUS harus memenuhi jumlah nilai dana kelolaan minimum untuk setiap Dana Ventura yang dibentuk. (3) Untuk pertama kali sejak Peraturan OJK ini diundangkan, jumlah nilai dana kelolaan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setelah mendapatkan persetujuan dari OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4), PMV, PMVS, dan/atau UUS dapat mengumpulkan dana dari Investor Dana Ventura untuk memenuhi jumlah nilai dana kelolaan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. (5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan PMV, PMVS, dan/atau UUS memperoleh dana kelolaan paling sedikit Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), maka PMV diberikan tambahan waktu untuk mengumpulkan dana dari Investor Dana Ventura selama 30 (tiga puluh) hari. (6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berakhir dan PMV, PMVS, dan/atau UUS tidak dapat memenuhi jumlah nilai dana kelolaan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib mengembalikan dana kelolaan tersebut kepada Investor Dana Ventura. (7) PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib melakukan penyertaan sesuai dengan ketentuan mengenai batas minimum penyertaan pada setiap Dana Ventura yang dikelola. - 30 - (8) Untuk pertama kali sejak Peraturan OJK ini diundangkan, batas minimum penyertaan pada setiap Dana Ventura yang dikelola ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). (9) Ketentuan mengenai perubahan terhadap jumlah nilai dana kelolaan minimum untuk setiap Dana Ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan batas minimum penyertaan pada setiap Dana Ventura yang dikelola sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 43 Dana Ventura wajib mencantumkan nama PMV atau PMVS dan nama yang sesuai dengan tujuan investasi tersebut. Bagian Ketiga Perjanjian Pembentukan Dana Ventura Pasal 44 (1) Perjanjian pembentukan Dana Ventura dibuat dengan akta notariil. (2) Perjanjian pembentukan Dana Ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit: a. b. c. tugas dan tanggung jawab PMV atau PMVS; tugas dan tanggung jawab Bank Kustodian; d. hak-hak investor; e. tujuan investasi, kebijakan investasi, biaya-biaya, dan gambaran risiko investasi; f. penyelesaian perselisihan/sengketa antar para pihak; dan g. ketentuan pengakhiran perjanjian. identitas PMV atau PMVS dengan Bank Kustodian yang terlibat dalam perjanjian; - 31 - Bagian Keempat Kewajiban, Larangan, dan Tugas PMV atau PMVS dan Bank Kustodian Pasal 45 (1) Dalam mengelola Dana Ventura, PMV atau PMVS wajib: a. memiliki itikad baik dan penuh tanggung jawab dalam mengelola dana sebaik mungkin untuk kepentingan investor; b. menyimpan dan memelihara semua pembukuan dan catatan penting yang berkaitan dengan laporan keuangan dan pengelolaan Dana; c. memisahkan pembukuan dan catatan tersebut dari pembukuan dan catatan sebagai PMV atau PMVS yang mengelola Dana Ventura; d. menyampaikan informasi kepada investor/calon investor tentang gambaran risiko investasi secara jelas; e. melakukan penetapan nilai pasar wajar dari nilai penyertaan dan/atau pembiayaan kepada Pasangan Usaha dan/atau Debitur dan menyampaikannya segera kepada Bank Kustodian setiap tiga bulan sekali; f. menetapkan metode penghitungan nilai pasar wajar dari nilai penyertaan dan/atau pembiayaan kepada Pasangan Usaha dan/atau Debitur secara konsisten untuk menghitung dan menetapkan Nilai Aset Bersih; dan g. menerapkan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. (2) Dalam melakukan pengelolaan dana, PMV atau PMVS yang mengelola Dana Ventura dilarang: a. memiliki afiliasi dengan Bank Kustodian; dan b. memiliki portofolio penyertaan dan/atau pembiayaan kepada Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang terafiliasi dengan PMV atau PMVS lebih dari 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aset - 32 - Bersih Dana Ventura, kecuali hubungan afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal pemerintah. Pasal 46 (1) Bank Kustodian memiliki tugas: a. memberikan jasa penitipan kolektif dan kustodian sehubungan dengan aset Dana Ventura; b. melakukan penghitungan Nilai Aset Bersih Dana Ventura setiap tiga bulan sekali; c. membayar biaya-biaya yang berkaitan dengan Dana Ventura atas perintah PMV atau PMVS yang mengelola Dana Ventura; dan d. menyimpan dan memelihara catatan secara terpisah yang menunjukkan semua perubahan data investor. (2) Bank Kustodian dilarang memiliki afiliasi dengan PMV atau PMVS yang mengelola Dana Ventura. Bagian Kelima Wali Amanat Pasal 47 (1) Dalam rangka melakukan pemantauan investasi pada obligasi konversi dan/atau surat utang, PMV, PMVS, dan/atau UUS yang mengelola Dana Ventura dapat menunjuk Wali Amanat yang terdaftar di OJK untuk mewakili kepentingan Dana Ventura sebagai pemegang obligasi konversi dan/atau surat utang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian penerbitan obligasi konversi dan/atau surat utang oleh Pasangan Usaha. (2) Wali Amanat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mempunyai hubungan utang piutang dengan Pasangan Usaha dalam jumlah lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari nilai obligasi konversi dan/atau surat utang Pasangan Usaha. - 33 - Bagian Keenam Penempatan Dana Ventura Pasal 48 (1) PMV wajib menyalurkan Dana Ventura dalam bentuk Usaha Modal Ventura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang tidak tercatat di bursa efek. (2) PMVS dan/atau UUS wajib menyalurkan Dana Ventura dalam bentuk Usaha Modal Ventura Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a kepada Pasangan Usaha yang tidak tercatat di bursa efek. (3) Penempatan dana milik investor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat sementara. (4) Penempatan Dana Ventura pada pembiayaan usaha produktif bagi PMV ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aset Bersih Dana Ventura. (5) Penempatan Dana Ventura pada pembiayaan usaha produktif bagi PMV atau pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil bagi PMVS dan/atau UUS ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aset Bersih Dana Ventura. Bagian Ketujuh Laporan Dana Ventura Pasal 49 (1) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang mengelola Dana Ventura wajib menyampaikan laporan tertulis yang memperlihatkan posisi keuangan Dana Ventura kepada OJK dan Investor Dana Ventura setiap tiga bulan sekali untuk posisi bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS kepada OJK - 34 - paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya periode tiga bulan tersebut. Pasal 50 (1) Laporan keuangan tahunan Dana Ventura wajib diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di OJK. (2) Laporan keuangan tahunan Dana Ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS kepada Investor Dana Ventura dan OJK paling lambat pada akhir bulan keenam setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir. BAB VIII USAHA MODAL VENTURA BAGI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH, DAN KOPERASI Pasal 51 PMV atau PMVS wajib memiliki kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah pada Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang termasuk kategori usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi paling sedikit 5% (lima persen) dari total kegiatan usaha. Pasal 52 (1) Bagi PMV atau PMVS yang melakukan kegiatan usaha pada Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang termasuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari total kegiatan usaha, ketentuan mengenai gearing ratio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dinyatakan tidak berlaku. (2) Bagi PMV atau PMVS yang melakukan kegiatan usaha pada Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang termasuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari total kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), - 35 - wajib memenuhi ketentuan gearing ratio paling rendah 0 (nol) dan paling tinggi sebesar 15 (lima belas) kali. (3) Proporsi kegiatan usaha pada Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang termasuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari total kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dihitung berdasarkan laporan bulanan per 31 Desember. (4) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bagi PMV atau PMVS yang melakukan kegiatan usaha pada Pasangan Usaha dan/atau Debitur yang termasuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari total kegiatan usaha berlaku pada tanggal 1 Februari untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya. BAB IX LARANGAN Pasal 53 PMV, PMVS, dan/atau UUS dilarang: a. menarik dana secara langsung dari masyarakat berbentuk giro, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; c. menerbitkan surat sanggup bayar (promisorry note), kecuali sebagai jaminan atas hutang kepada bank yang menjadi krediturnya; d. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah pengawasan OJK melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau e. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di - 36 - bawah pengawasan OJK menghindari peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB X LAPORAN BERKALA Pasal 54 (1) PMV, PMVS dan UUS wajib menyampaikan laporan bulanan kepada OJK. (2) PMV dan PMVS wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada OJK. Pasal 55 Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal54 ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK mengenai laporan bulanan. Pasal 56 (1) PMV atau PMVS wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) kepada OJK paling lama 4 (empat) bulan setelah tahun buku terakhir. (2) PMV atau PMVS wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara lengkap dalam bentuk hard copy dan soft copy. (3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. (4) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencatumkan perhitungan hal-hal yang diatur khusus di dalam Peraturan OJK ini. - 37 - (5) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dalam mata uang rupiah. (6) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berdasarkan tahun takwim. (7) Dalam hal PMV atau PMVS memperoleh izin usaha kurang dari 6 (enam) bulan sampai dengan tahun takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya. (8) Apabila batas akhir penyampaian laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. BAB XI SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI Pasal 57 (1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan usaha yang sehat, PMV, PMVS, dan/atau UUS harus mempunyai sistem informasi dan teknologi yang terintegrasi. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk PMV, PMVS, dan/atau UUS yang mempunyai kantor cabang lebih dari 5 (lima). BAB XII PENEGAKAN KEPATUHAN Bagian Kesatu Pemberitahuan Pasal 58 (1) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat - 38 - (2), Pasal 15 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18, Pasal 19 ayat (6), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (3) dan ayat (7), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 42 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 56 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan OJK ini diberikan surat pemberitahuan untuk memenuhi ketentuan dimaksud. (2) PMV atau PMVS wajib melakukan pemenuhan atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan. Bagian Kedua Rencana Pemenuhan Pasal 59 (1) PMV, PMVS, dan/atau UUS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), ayat (2) huruf a, dan ayat (4) huruf a, Pasal 34 ayat (1), ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a, ayat (4), dan ayat (5), Pasal 35, Pasal 39 ayat (1), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 51 Peraturan OJK ini diberikan surat permintaan penyampaian rencana pemenuhan. (2) PMV atau PMVS wajib menyampaikan rencana pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat permintaan penyampaian rencana pemenuhan. (3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan PMV atau PMVS untuk pemenuhan ketentuan yang disertai jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 39 - (4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat: a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas; b. penambahan Modal Disetor; c. pembatasan penerimaan pinjaman baru; d. penerimaan pinjaman subordinasi; e. pengalihan sebagian atau seluruh aset; f. pembatasan pembagian laba; g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan pelanggaran ketentuan; h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru; dan/atau i. penggabungan badan usaha. (5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan Dewan Komisaris. (6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh RUPS dalam hal rencana dimaksud memuat rencana penambahan Modal Disetor atau rencana penggabungan usaha. (7) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari OJK. (8) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, PMV atau PMVS wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut. (9) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan oleh PMV atau PMVS dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh PMV atau PMVS paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara lengkap. (10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9), OJK tidak memberikan pernyataan tidak - 40 - keberatan atau tanggapan, PMV atau PMVS dapat melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (11) PMV atau PMVS wajib melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XIII SANKSI Pasal 60 (1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 10, Pasal 26 ayat (1), Pasal 33 ayat (2) huruf b, ayat (3), dan ayat (4) huruf b, Pasal 34 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, Pasal 36 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), Pasal 43, Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 50, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 58 ayat (2), dan/atau Pasal 59 ayat (2), ayat (8), dan ayat (11) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV atau PMVS tetap tidak memenuhi ketentuan - 41 - sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS yang bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. (6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku sampai dengan hari kerja pertama berikutnya. (7) PMV atau PMVS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilarang melakukan kegiatan usaha kecuali untuk pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku dan PMV atau PMVS tetap melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS tidak juga memenuhi ketentuan dalam POJK ini, OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS yang bersangkutan. (11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) - 42 - atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat. Pasal 61 (1) PMV yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 37 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), Pasal 49 ayat (1), Pasal 53, dan/atau Pasal 54 ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan UUS; atau c. pencabutan izin UUS. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 2 paling lama (dua) bulan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS. (5) Sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS dan pembekuan kegiatan UUS tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan UUS diterbitkan. - 43 - (6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan UUS berlaku sampai dengan hari kerja pertama berikutnya. (7) PMV yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilarang melakukan kegiatan UUS kecuali untuk pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan UUS. (9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku dan PMV yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan Usaha Modal VenturaSyariah, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin UUS. (10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin UUS yang bersangkutan. (11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 62 Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan pencantuman - 44 - kegiatan usaha dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 63 Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan berlaku 5 (lima) tahun setelah Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 64 (1) Perjanjian pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing) yang sudah dilakukan sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan. (2) Perjanjian pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperhitungkan sebagai komponen perhitungan IFAR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). Pasal 65 (1) Penyertaan saham atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi yang telah dilakukan oleh PMV sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan melebihi ketentuan batasan maksimum penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dikecualikan dalam pemenuhan ketentuan mengenai batasan maksimum penyertaan saham atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (2) Penyertaan saham atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), - 45 - tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian penyertaan. Pasal 66 Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai batasan minimal kegiatan usaha pada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dinyatakan berlaku 3 (tiga) tahun setelah Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 67 Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1) dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun setelah Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 68 Bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai pemenuhan rasio Ekuitas terhadap Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun setelah Peraturan OJK ini diundangkan. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 69 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha PMV, PMVS, dan UUS tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 70 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 46 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 317 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 35/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title> <set_date> 21 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 30 /POJK.04/2017 TENTANG PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh perusahaan terbuka beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh perusahaan terbuka, ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh perusahaan terbuka yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan - 2 - Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH PERUSAHAAN TERBUKA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum. 2. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan penawaran umum efek bersifat ekuitas atau perusahaan publik. 3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 4. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam - 3 - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 5. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka. 6. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 7. Anggota Bursa Efek adalah perantara pedagang Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan/atau sarana Bursa Efek sesuai dengan peraturan Bursa Efek. 8. Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan penilaian di pasar modal dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 9. Afiliasi adalah: a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; b. hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari Pihak tersebut; c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat 1 (satu) atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama; d. hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut; e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh pihak yang sama; atau - 4 - f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama. Pasal 2 (1) Perusahaan Terbuka dapat membeli kembali sahamnya sesuai dengan ketentuan Pasal 37 dan Pasal 39 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. (2) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melanggar ketentuan Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95, dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan RUPS. (4) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai rencana dan penyelenggaraan rapat umum pemegang saham Perusahaan Terbuka. Pasal 3 Selain pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Perusahaan Terbuka dapat membeli kembali sahamnya untuk memenuhi ketentuan Pasal 62 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. BAB II KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 4 Perusahaan Terbuka yang melakukan pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib mengumumkan informasi tentang pembelian kembali saham kepada pemegang saham bersamaan dengan pengumuman - 5 - RUPS, dengan memenuhi prinsip keterbukaan yang paling sedikit memuat: a. perkiraan jadwal, perkiraan biaya pembelian kembali saham, dan perkiraan jumlah nilai nominal seluruh saham yang akan dibeli kembali; b. penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka; c. perkiraan menurunnya pendapatan Perusahaan Terbuka sebagai akibat pelaksanaan pembelian kembali saham dan dampak atas biaya pembiayaan Perusahaan Terbuka; d. proforma laba per saham Perusahaan Terbuka setelah rencana pembelian kembali saham dilaksanakan, dengan mempertimbangkan menurunnya pendapatan; e. pembatasan harga saham untuk pembelian kembali saham; f. pembatasan jangka waktu pembelian kembali saham; g. metode yang akan digunakan untuk membeli kembali saham; dan h. analisis dan pembahasan manajemen mengenai pengaruh pembelian kembali saham terhadap kegiatan usaha dan pertumbuhan Perusahaan Terbuka di masa mendatang. Pasal 5 Dalam hal terdapat perubahan atau penambahan informasi atas pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, perubahan atau penambahan informasi wajib diumumkan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum RUPS. Pasal 6 Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diumumkan. - 6 - Pasal 7 (1) Dalam hal pembelian kembali saham dilakukan dalam rangka pemenuhan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan kepada masyarakat dan menyampaikan keterbukaan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai: a. penjelasan dilakukannya pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka; b. nama pemegang saham yang sahamnya dapat dibeli kembali oleh Perusahaan Terbuka; c. harga saham serta tata cara penentuan harga; dan d. jangka waktu pelaksanaan pembelian kembali saham. (2) Pengumuman dan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan paling lambat 2 (dua) hari setelah selesainya pelaksanaan RUPS dalam rangka aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. BAB III PELAKSANAAN PEMBELIAN KEMBALI SAHAM Pasal 8 Pelaksanaan pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib diselesaikan paling lama 18 (delapan belas) bulan setelah tanggal RUPS yang menyetujui pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Pasal 9 Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dilakukan melalui Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek. - 7 - Pasal 10 Dalam hal pembelian kembali saham dilakukan melalui Bursa Efek, pembelian kembali saham wajib memenuhi ketentuan: a. transaksi beli dilakukan melalui 1 (satu) Anggota Bursa Efek; dan b. harga penawaran untuk membeli kembali saham harus lebih rendah atau sama dengan harga transaksi yang terjadi sebelumnya. Pasal 11 Dalam hal pembelian kembali saham dilakukan di luar Bursa Efek, harga pembelian kembali saham wajib memenuhi ketentuan: a. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, harga pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka paling tinggi sebesar harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum tanggal pembelian kembali saham oleh Perusahaan Terbuka; b. atas saham Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat di Bursa Efek, harga pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka paling tinggi sebesar harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau c. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat di Bursa Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum tanggal pembelian kembali saham oleh Perusahaan Terbuka tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek, harga pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka paling tinggi sebesar harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai atau paling tinggi sebesar harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya, mana yang lebih rendah. - 8 - Pasal 12 (1) Perusahaan Terbuka wajib melaporkan hasil pembelian kembali saham kepada Otoritas Jasa Keuangan secara berkala setiap 6 (enam) bulan, yaitu pada bulan Juni dan Desember. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat disampaikan pada tanggal 15 bulan berikutnya dan disusun sesuai dengan format Laporan Hasil Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 13 Perusahaan Terbuka yang sahamnya dicatatkan pada Bursa Efek dilarang membeli kembali sahamnya, jika akan mengakibatkan berkurangnya jumlah saham pada suatu tingkat tertentu yang mungkin mengurangi secara signifikan likuiditas saham di Bursa Efek. BAB IV PENGALIHAN SAHAM HASIL PEMBELIAN KEMBALI Pasal 14 Perusahaan Terbuka wajib mengalihkan saham hasil pembelian kembali. Pasal 15 Dalam hal masih terdapat saham hasil pembelian kembali yang dikuasai oleh Perusahaan Terbuka selama jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak selesainya pembelian kembali saham, Perusahaan Terbuka wajib mulai mengalihkan saham hasil pembelian kembali dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. - 9 - Pasal 16 Dalam hal kewajiban pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 tidak dapat dilaksanakan atau belum dapat diselesaikan oleh Perusahaan Terbuka, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Perusahaan Terbuka wajib telah selesai mengalihkan saham dimaksud. Pasal 17 Saham hasil pembelian kembali dapat dialihkan dengan cara: a. dijual baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek; b. ditarik kembali dengan cara pengurangan modal; c. pelaksanaan program kepemilikan saham oleh karyawan dan/atau direksi dan dewan komisaris; d. pelaksanaan konversi Efek bersifat ekuitas; dan/atau e. cara lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 18 Pengalihan saham yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a wajib memenuhi ketentuan: a. hanya dapat dilaksanakan setelah 30 (tiga puluh) hari sejak pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka dilaksanakan seluruhnya; b. dapat dilaksanakan tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS; c. tidak dapat dilaksanakan dalam kurun waktu bersamaan dengan masa pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka; dan d. harga pengalihan saham tidak boleh lebih rendah dari harga rata-rata pembelian kembali saham Perusahaan Terbuka, serta: 1. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek 1 (satu) hari sebelum tanggal penjualan saham atau harga rata-rata dari harga penutupan - 10 - perdagangan harian di Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum tanggal penjualan saham oleh Perusahaan Terbuka, mana yang lebih tinggi; 2. atas saham Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau 3. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat di Bursa Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum tanggal penjualan saham oleh Perusahaan Terbuka tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai atau harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya, mana yang lebih tinggi. Pasal 19 Dalam hal Perusahaan Terbuka melakukan aksi korporasi yang mengakibatkan adanya perubahan nilai nominal saham hasil pembelian kembali, penghitungan harga pembelian kembali saham disesuaikan dengan mengikuti perbandingan antara nilai nominal saham pada saat pembelian kembali dengan nilai nominal saham hasil aksi korporasi dimaksud. Pasal 20 Dalam hal pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, harga penjualan saham wajib mengikuti ketentuan: a. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek 1 (satu) hari sebelum tanggal penjualan saham atau - 11 - harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum tanggal penjualan saham oleh Perusahaan Terbuka, mana yang lebih tinggi; b. atas saham Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat di Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai; atau c. atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat di Bursa Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum tanggal penjualan saham oleh Perusahaan Terbuka tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek, tidak boleh lebih rendah dari harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Penilai atau harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di Bursa Efek dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya, mana yang lebih tinggi. Pasal 21 Dalam hal pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 16 dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, Perusahaan Terbuka dapat memperpanjang jangka waktu pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 16, jika terjadi kondisi: a. indeks harga saham gabungan di Bursa Efek turun melebihi 10% (sepuluh persen) dari indeks harga saham gabungan 1 (satu) hari bursa sebelumnya, selama 3 (tiga) hari bursa berturut-turut; b. Bursa Efek dimana saham Perusahaan Terbuka dicatat dan diperdagangkan ditutup; c. perdagangan saham Perusahaan Terbuka tersebut di Bursa Efek dihentikan; dan/atau - 12 - d. bencana alam, perang, huru-hara, kebakaran, dan pemogokan yang berpengaruh secara signifikan terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Terbuka. Pasal 22 Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 telah berakhir, Perusahaan Terbuka wajib segera melanjutkan pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 16. Pasal 23 Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan keterbukaan informasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakannya penjualan saham hasil pembelian kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a. Pasal 24 Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan di luar Bursa Efek, paling sedikit memuat: a. identitas pihak yang akan menerima saham; b. waktu pelaksanaan penjualan saham; c. kegiatan usaha pihak yang akan menerima saham, apabila pihak dimaksud merupakan badan usaha; dan d. sifat hubungan Afiliasi dari pihak yang melakukan transaksi dengan Perusahaan Terbuka (jika ada). Pasal 25 Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan di Bursa Efek, paling sedikit memuat: a. nama Anggota Bursa Efek yang ditunjuk untuk melakukan penjualan saham; b. waktu pelaksanaan penjualan saham; dan c. jumlah seluruh saham yang akan dijual. - 13 - Pasal 26 Dalam hal saham hasil pembelian kembali dijual di Bursa Efek, penjualan saham hasil pembelian kembali wajib memenuhi ketentuan: a. transaksi jual wajib dilaksanakan melalui 1 (satu) Anggota Bursa Efek; b. transaksi jual hanya dapat dilakukan setelah 30 (tiga puluh) menit sejak pembukaan sampai dengan 30 (tiga puluh) menit sebelum penutupan perdagangan; dan c. jumlah penjualan kembali saham pada setiap hari adalah paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh saham yang telah dibeli kembali oleh Perusahaan Terbuka. Pasal 27 Dalam hal saham yang dibeli kembali telah dijual pada harga yang lebih rendah dari harga pembelian kembali, kerugian tersebut wajib diungkapkan secara jelas dalam laporan keuangan Perusahaan Terbuka. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 28 Dalam hal pengalihan saham hasil pembelian kembali merupakan transaksi Afiliasi dan tidak mengandung benturan kepentingan, Perusahaan Terbuka hanya wajib memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 29 Dalam hal pengalihan saham hasil pembelian kembali merupakan transaksi material, Perusahaan Terbuka hanya wajib memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 14 - Pasal 30 Pihak sebagai berikut: a. anggota dewan komisaris, anggota direksi, pegawai, dan pemegang saham utama Perusahaan Terbuka; b. orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan Perusahaan Terbuka memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau c. pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b, dilarang melakukan transaksi atas saham Perusahaan Terbuka tersebut pada hari yang sama dengan pembelian kembali saham atau penjualan saham hasil pembelian kembali yang dilakukan oleh Perusahaan Terbuka melalui Bursa Efek. Pasal 31 (1) Dalam hal batas waktu penyampaian keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 23, atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, jatuh pada hari libur, penyampaian keterbukaan informasi atau pelaporan dimaksud wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. (2) Dalam hal Perusahaan Terbuka menyampaikan keterbukaan informasi atau pelaporan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 23, dan Pasal 12, penghitungan jumlah hari keterlambatan atas penyampaian keterbukaan informasi atau pelaporan dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian keterbukaan informasi atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 23, dan Pasal 12. - 15 - BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 32 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 33 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 16 - Pasal 34 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-105/PM/2010 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik, beserta Peraturan Nomor XI.B.2 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 17 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 130 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 30 /POJK.04/2017 TENTANG PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH PERUSAHAAN TERBUKA I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-105/PM/2010 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik, beserta Peraturan Nomor XI.B.2 yang merupakan lampirannya, menjadi - 2 - Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Yang dimaksud dengan “prinsip keterbukaan” adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan pihak lain yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya atau Efek-nya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan/atau harga dari Efek tersebut. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. - 3 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam praktiknya “program kepemilikan saham oleh karyawan dan/atau direksi dan dewan komisaris” dikenal dengan istilah employee stock option plan, management stock option plan, employee stock purchase plan, atau management stock purchase plan. Huruf d Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. - 4 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Transaksi Afiliasi dan benturan kepentingan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai transaksi Afiliasi dan benturan kepentingan transaksi tertentu. Pasal 29 Transaksi material mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai transaksi material dan perubahan kegiatan usaha utama. - 5 - Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa penundaan pemberian pernyataan efektif untuk pernyataan pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6077 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 30 /POJK.04/2017 TENTANG PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH PERUSAHAAN TERBUKA - 2 - LAPORAN HASIL PELAKSANAAN PEMBELIAN KEMBALI SAHAM PT. ................................. Tanggal ....................... s/d ....................... No. Tanggal Transaksi Jumlah Saham yang Dibeli Harga Rata-Rata Pembelian (Rp.) Persentase Jumlah Nominal Saham yang Dibeli dari Seluruh Jumlah Nominal Saham yang Akan Dibeli Sesuai RUPS Sisa Biaya Pembelian Kembali Saham Jumlah Jakarta,............................. 20...... Perusahaan Terbuka Direktur Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 30/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PEMBELIAN KEMBALI SAHAM YANG DIKELUARKAN OLEH PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-105/PM/2010|KEPTA-BAPEPAM/2010', 'Kep-105/PM/2010|KEPTA-BAPEPAM/2010 | Lampiran Peraturan Nomor XI.B.2' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN TAHUNAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan informasi oleh Emiten atau Perusahaan Publik dalam Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN TAHUNAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Laporan Tahunan adalah laporan pertanggungjawaban Direksi dan Dewan Komisaris dalam melakukan pengurusan dan pengawasan terhadap Emiten atau Perusahan Publik dalam kurun waktu 1 (satu) tahun buku kepada Rapat Umum Pemegang Saham yang disusun berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Direksi: a. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik; dan b. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk badan hukum selain perseroan terbatas adalah organ yang melaksanakan pengurusan badan hukum tersebut sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai badan hukum tersebut. 3. Dewan Komisaris: a. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik; dan -3- b. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk badan hukum selain perseroan terbatas adalah organ yang melakukan pengawasan badan hukum tersebut sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan mengenai badan hukum tersebut. 4. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS: a. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka; dan b. bagi Emiten atau Perusahaan Publik berbentuk badan hukum selain perseroan terbatas adalah organ yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada organ yang melaksanakan fungsi pengurusan dan fungsi pengawasan, dalam batas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau anggaran dasar yang mengatur badan hukum tersebut. BAB II PENYUSUNAN, BENTUK, DAN ISI LAPORAN TAHUNAN Pasal 2 (1) Direksi wajib menyusun Laporan Tahunan. (2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditelaah oleh Dewan Komisaris. Pasal 3 (1) Laporan Tahunan harus dicetak dan dijilid. (2) Laporan Tahunan harus dapat diperbanyak dalam bentuk salinan dokumen cetak dan salinan dokumen elektronik. -4- Pasal 4 Laporan Tahunan wajib paling sedikit memuat: a. ikhtisar data keuangan penting; b. informasi saham (jika ada); c. laporan Direksi; d. laporan Dewan Komisaris; e. profil Emiten atau Perusahaan Publik; f. analisis dan pembahasan manajemen; g. tata kelola Emiten atau Perusahaan Publik; h. tanggung jawab sosial dan lingkungan Emiten atau Perusahaan Publik; i. j. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit; dan surat pernyataan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris tentang tanggung jawab atas Laporan Tahunan. Pasal 5 (1) Laporan Tahunan wajib disajikan dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing. (2) Laporan Tahunan dalam bahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit menggunakan bahasa Inggris. (3) Laporan Tahunan yang menggunakan bahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat informasi yang sama dengan informasi dalam Laporan Tahunan yang menggunakan Bahasa Indonesia. (4) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran dan/atau informasi yang disajikan dalam bahasa asing dengan yang disajikan dalam Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah informasi dalam Bahasa Indonesia. Pasal 6 (1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disusun sesuai dengan ketentuan mengenai bentuk dan isi Laporan Tahunan. -5- (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan isi Laporan Tahunan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN TAHUNAN Pasal 7 (1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada akhir bulan keempat setelah tahun buku berakhir. (2) Dalam hal Laporan Tahunan telah tersedia bagi pemegang saham sebelum jangka waktu penyampaian Laporan Tahunan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Laporan Tahunan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal yang sama dengan tersedianya Laporan Tahunan bagi pemegang saham. (3) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik memperoleh pernyataan efektif untuk pertama kali dalam periode setelah tahun buku berakhir sampai dengan batas waktu penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal pemanggilan RUPS tahunan (jika ada). (4) Laporan tahunan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat tidak mengikuti ketentuan bentuk dan isi Laporan Tahunan. Pasal 8 Kewajiban penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak berlaku bagi Emiten yang hanya menerbitkan Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang telah menyelesaikan seluruh kewajiban kepada pemegang Efek -6- bersifat utang dan/atau Sukuk sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian Laporan Tahunan. Pasal 9 Bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Efeknya tercatat pada Bursa Efek di Indonesia dan Bursa Efek di negara lain, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. batas waktu penyampaian Laporan Tahunan wajib sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7; b. penyampaian Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan otoritas pasar modal di negara lain dilakukan pada tanggal yang sama; dan c. Laporan Tahunan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan otoritas pasar modal di negara lain wajib memuat informasi yang sama dan paling sedikit memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 10 (1) Laporan Tahunan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib disampaikan dalam bentuk: a. dokumen cetak paling sedikit 2 (dua) eksemplar, 1 (satu) di antaranya dalam bentuk asli; dan b. salinan dokumen elektronik. (2) Laporan Tahunan yang disampaikan dalam bentuk salinan dokumen elektronik wajib memuat informasi yang sama dengan informasi dalam Laporan Tahunan yang disampaikan dalam bentuk dokumen cetak. (3) Dalam hal terdapat perbedaan informasi yang disajikan dalam salinan dokumen elektronik dengan yang disajikan dalam dokumen cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah informasi dalam Laporan Tahunan yang disampaikan dalam bentuk dokumen cetak dalam bentuk asli. -7- (4) Laporan Tahunan dalam bentuk asli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, wajib ditandatangani secara langsung oleh seluruh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. (5) Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan melalui sistem pelaporan elektronik Otoritas Jasa Keuangan. (6) Dalam hal Laporan Tahunan dalam bentuk dokumen cetak dan dokumen elektronik disampaikan secara terpisah, penghitungan ketepatan waktu penyampaian Laporan Tahunan didasarkan pada Laporan Tahunan yang lebih dahulu diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan. (7) Dalam hal penyajian Laporan Tahunan dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing disajikan dalam buku yang terpisah, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan Laporan Tahunan dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7. (8) Penyampaian Laporan Tahunan yang disajikan dalam buku terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal yang sama. Pasal 11 Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam periode penyampaian laporan keuangan tahunan, Emiten atau Perusahaan Publik dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan, sepanjang Laporan Tahunan dalam bentuk asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a memuat laporan keuangan tahunan dalam bentuk asli. -8- Pasal 12 Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9 jatuh pada hari libur, Laporan Tahunan wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 13 Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan Laporan Tahunan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, penghitungan jumlah hari keterlambatan atas penyampaian Laporan Tahunan dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. BAB IV KETERSEDIAAN LAPORAN TAHUNAN Pasal 14 Laporan Tahunan wajib tersedia bagi pemegang saham pada saat pemanggilan RUPS Tahunan. Pasal 15 (1) Laporan Tahunan wajib dimuat dalam Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik pada tanggal yang sama dengan penyampaian Laporan Tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan Tahunan yang dimuat dalam Situs Web sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tersedia dalam jangka waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik. -9- BAB V PERTANGGUNGJAWABAN ATAS LAPORAN TAHUNAN Pasal 16 Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab atas kebenaran isi Laporan Tahunan. Pasal 17 (1) Laporan Tahunan wajib ditandatangani oleh seluruh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang menjabat pada saat penyampaian Laporan Tahunan. (2) Dalam hal terdapat anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris tidak menandatangani Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bersangkutan wajib menyebutkan alasannya secara tertulis dalam surat tersendiri yang dilekatkan pada Laporan Tahunan. (3) Dalam hal terdapat anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris tidak menandatangani Laporan Tahunan dan tidak memberikan alasan secara tertulis, anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lain yang menandatangani Laporan Tahunan wajib menyertakan alasan secara tertulis dalam surat tersendiri yang dilekatkan pada Laporan Tahunan. Pasal 18 Tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibubuhkan pada surat pernyataan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris tentang tanggung jawab atas Laporan Tahunan pada lembaran tersendiri dalam Laporan Tahunan. -10- BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 19 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran ketentuan tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara sendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 20 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. -11- Pasal 21 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-431/BL/2012 tanggal 1 Agustus 2012 tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik beserta Peraturan Nomor X.K.6 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 1 Januari 2017. Pasal 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku untuk penyusunan Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan mulai tahun 2017, kecuali ketentuan Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 10 ayat (6), dan Pasal 13 mulai berlaku untuk Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2016. Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -12- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 150 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN TAHUNAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK I. UMUM Laporan Tahunan tidak hanya menjadi laporan pertanggungjawaban Direksi dan Dewan Komisaris dalam melakukan pengurusan dan pengawasan Emiten atau Perusahaan Publik kepada RUPS, namun juga merupakan salah satu sumber informasi penting bagi investor atau pemegang saham termasuk investor atau pemegang saham asing dalam pengambilan keputusan investasi dan sarana pengawasan pemegang saham terhadap Emiten atau Perusahaan Publik. Selain itu, Laporan Tahunan juga merupakan salah satu sumber informasi bagi regulator dalam melakukan pengawasan dalam upaya melindungi kepentingan investor atau pemegang saham. Mengingat pentingnya Laporan Tahunan bagi investor atau pemegang saham dan regulator, kualitas Laporan Tahunan perlu ditingkatkan baik dari kualitas informasi yang dimuat dalam Laporan Tahunan maupun dari segi penyajian Laporan Tahunan. Dalam rangka peningkatan kualitas informasi, perlu dilakukan penyempurnaan mengenai substansi dan keakuratan informasi yang dimuat dalam Laporan Tahunan. Sementara itu, dalam rangka peningkatan penyajian Laporan Tahunan, untuk memberikan kemudahan bagi investor atau pemegang saham asing dalam mengakses informasi dalam Laporan Tahunan, penyajian Laporan Tahunan perlu disajikan dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dimana bahasa asing tersebut paling sedikit adalah bahasa Inggris. -2- Selain bermanfaat bagi investor atau pemegang saham, dan regulator, Laporan Tahunan yang berkualitas pada akhirnya dapat menjadi sarana promosi bagi Emiten atau Perusahaan Publik dalam meningkatkan daya saing Emiten atau Perusahaan Publik dengan perusahaan-perusahaan di kawasan regional maupun internasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “salinan dokumen cetak” antara lain dalam bentuk fotokopi. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Penyajian Laporan Tahunan dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing dapat disajikan dalam 1 (satu) buku atau dalam buku terpisah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. -3- Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “telah tersedia bagi pemegang saham” yakni pada saat Laporan Tahunan tersebut telah disediakan oleh Emiten atau Perusahaan Publik dan dapat diakses oleh pemegang saham, misalnya di kantor atau Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik. Ayat (3) Contoh: Pernyataan Pendaftaran Emiten X memperoleh pernyataan efektif pada tanggal 20 Maret 2016 dan tahun buku Emiten X perusahaan berakhir per 31 Desember 2015. Emiten X akan menyelenggarakan RUPS Tahunan pada tanggal 16 Juni 2016. Dengan demikian, Emiten X memiliki kewajiban menyampaikan Laporan Tahunan paling lambat pada tanggal pemanggilan RUPS Tahunan, yakni 21 hari sebelum pelaksanaan RUPS (pada tanggal 25 Mei 2016). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. -4- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “ditandatangani secara langsung” adalah penandatanganan yang dilakukan dengan menggunakan alat tulis, atau secara umum dikenal dengan tanda tangan basah. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “sistem pelaporan elektronik” yakni Sistem Pelaporan Elektronik Emiten atau Perusahaan Publik (SPE). Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 11 Yang dimaksud dengan “laporan keuangan tahunan dalam bentuk asli” adalah laporan keuangan tahunan yang ditandatangani secara langsung oleh Direktur Utama dan Direktur yang membawahi bidang akuntansi atau keuangan dan bermeterai cukup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai tanggung jawab Direksi atas Laporan Keuangan. Pada saat peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai tanggung jawab Direksi atas Laporan Keuangan yang berlaku adalah Peraturan Nomor VIII.G.11, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-40/PM/2003 tanggal 23 Desember 2003 tentang Tanggung Jawab Direksi atas Laporan Keuangan. Pasal 12 Cukup jelas. -5- Pasal 13 Contoh: Dalam hal akhir bulan keempat setelah tahun buku berakhir yang merupakan batas waktu penyampaian Laporan Tahunan jatuh pada hari Sabtu, maka Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan Laporan Tahunan dimaksud paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya, yaitu hari Senin. Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan Laporan Tahunan melewati batas waktu hari kerja berikutnya tersebut, yaitu hari Senin, misalnya disampaikan pada hari Rabu, maka penghitungan keterlambatan penyampaian laporan dihitung sejak hari Selasa. Dengan demikian, Emiten atau Perusahaan Publik mengalami keterlambatan penyampaian Laporan Tahunan selama 2 (dua) hari. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan -6- b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 21 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif dan tindakan tertentu melalui situs web Otoritas Jasa Keuangan atau laporan tahunan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5911
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 29/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> LAPORAN TAHUNAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title> <set_date> 29 Juli 2016 </set_date> <effective_date> 29 Juli 2016 </effective_date> <issued_date> 29 Juli 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-431/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'KEP-431/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor X.K.6' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 62 /POJK.03/2016 TENTANG TRANSFORMASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO KONVENSIONAL MENJADI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH MENJADI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik - 2 - Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); 5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 342, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5621), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.05/2015 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 412, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5830); 6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5629); 7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.03/2016 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2016 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5839); - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TRANSFORMASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO KONVENSIONAL MENJADI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH MENJADI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Lembaga Keuangan Mikro Konvensional yang selanjutnya disingkat LKMK adalah lembaga keuangan mikro sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang menyelenggarakan kegiatan usaha secara konvensional. 3. Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang selanjutnya disingkat LKMS adalah lembaga keuangan mikro sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 4. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. - 4 - 5. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS yaitu bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 6. Prinsip Syariah adalah Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 7. Direksi: a. bagi BPR dan BPRS yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas; b. bagi BPR yang berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 8. Dewan Komisaris: a. bagi BPR dan BPRS yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR yang berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 9. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan, BPR, atau BPRS sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan, BPR, atau BPRS sebesar kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara - 5 - namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan, BPR, atau BPRS baik secara langsung maupun tidak langsung. 10. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan BPRS agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 11. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan yang selanjutnya disingkat PKK adalah proses untuk menilai pemenuhan persyaratan kemampuan dan kepatutan terhadap calon pihak utama yaitu calon PSP, calon anggota Direksi, dan calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Transformasi adalah perubahan kegiatan usaha LKMK menjadi BPR atau LKMS menjadi BPRS. 13. LKMK Transformasi adalah LKMK yang telah memiliki izin usaha dan mengajukan izin untuk bertransformasi menjadi BPR. 14. LKMS Transformasi adalah LKMS yang telah memiliki izin usaha dan mengajukan izin untuk bertransformasi menjadi BPRS. 15. Modal inti: a. bagi BPR adalah komponen modal yang terdiri dari modal inti utama dan modal inti tambahan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat; b. bagi BPRS adalah komponen modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 16. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disingkat KPMM adalah rasio modal terhadap Aset Tertimbang Menurut Risiko yang selanjutnya disingkat ATMR yang wajib disediakan oleh BPR atau BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban - 6 - penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum Bank Perkreditan Rakyat atau ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 17. Lembaga Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat LSP adalah lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS. BAB II PERSYARATAN TRANSFORMASI Pasal 2 (1) LKMK wajib bertransformasi menjadi BPR atau LKMS wajib bertransformasi menjadi BPRS jika: a. melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota tempat kedudukan LKMK atau tempat kedudukan LKMS; atau b. LKMK atau LKMS telah memiliki: 1. ekuitas paling sedikit 5 (lima) kali dari persyaratan modal disetor minimum BPR atau BPRS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 2. jumlah dana pihak ketiga dalam bentuk simpanan yang dihimpun dalam 1 (satu) tahun terakhir paling sedikit 25 (dua puluh lima) kali dari persyaratan modal disetor minimum BPR atau BPRS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) LKMK atau LKMS yang telah memiliki modal inti sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) dapat mengajukan permohonan Transformasi atas inisiatif sendiri. - 7 - Pasal 3 Transformasi LKMK menjadi BPR atau LKMS menjadi BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat dilakukan oleh LKMK atau LKMS yang telah memperoleh izin usaha dan dengan izin Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 4 (1) Selama proses Transformasi, LKMK atau LKMS dilarang melakukan perubahan: a. lokasi kota/kabupaten tempat kedudukan; b. bentuk badan hukum; dan/atau c. prinsip kegiatan usaha. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan bagi LKMS Transformasi. Pasal 5 LKMK Transformasi atau LKMS Transformasi harus: a. menyesuaikan anggaran dasar; b. menyesuaikan kepemilikan, bentuk badan hukum, dan PSP; c. memenuhi ketentuan permodalan; d. memenuhi ketentuan Direksi dan Dewan Komisaris; e. memenuhi ketentuan DPS bagi BPRS; f. menyesuaikan infrastruktur dan sumber daya manusia; dan g. memenuhi persyaratan kinerja keuangan. Bagian Kesatu Penyesuaian Anggaran Dasar Pasal 6 Penyesuaian anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dibuat dalam bentuk rancangan anggaran dasar yang mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan surat edaran Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR atau mengenai BPRS yang paling sedikit memuat: - 8 - a. nama dan tempat kedudukan; b. kegiatan usaha sebagai BPR atau BPRS; c. permodalan; d. kepemilikan; e. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan serta tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian, pengunduran diri anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS (bagi BPRS); dan f. ketentuan pengangkatan calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota DPS (bagi BPRS) dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Penyesuaian Kepemilikan, Bentuk Badan Hukum, dan PSP Pasal 7 Penyesuaian kepemilikan, bentuk badan hukum, dan PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan surat edaran Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR atau mengenai BPRS, antara lain: a. BPR atau BPRS hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh: 1. warga negara Indonesia; 2. badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; dan/atau 3. pemerintah daerah. b. Bentuk badan hukum: 1. BPR hasil Transformasi berupa perseroan terbatas atau koperasi; 2. BPRS hasil Transformasi berupa perseroan terbatas. c. BPR atau BPRS memiliki paling sedikit 1 (satu) PSP dengan persentase kepemilikan saham paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan; d. PSP dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi. - 9 - Bagian Ketiga Pemenuhan Ketentuan Permodalan Pasal 8 Sumber dana setoran modal LKMK atau LKMS dalam rangka memenuhi persyaratan Transformasi harus: a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau b. tidak berasal dari dan untuk pencucian uang. Pasal 9 (1) LKMK Transformasi atau LKMS Transformasi harus memiliki: a. modal inti paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah); dan b. rasio KPMM paling rendah sebesar 12% (dua belas persen) dari ATMR. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Otoritas Jasa Keuangan, LKMK atau LKMS belum memenuhi ketentuan modal inti dan/atau rasio KPMM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LKMK atau LKMS harus melakukan penambahan modal inti melalui setoran tunai yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (3) Hal lain terkait pemenuhan ketentuan permodalan LKMK Transformasi atau LKMS Transformasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c diatur sebagai berikut: a. bagi BPR mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai KPMM dan pemenuhan Modal Inti BPR dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kegiatan usaha dan wilayah jaringan kantor BPR Berdasarkan Modal Inti; dan - 10 - b. bagi BPRS mengacu pada ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum BPRS, serta peraturan pelaksanaannya. Pasal 10 (1) BPR hasil Transformasi yang memiliki modal inti paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) sampai dengan kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah) dapat melakukan kegiatan usaha dan memiliki jaringan kantor di kabupaten/kota lokasi kantor pusat BPR dan/atau kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota lokasi kantor pusat BPR pada provinsi yang sama sebagaimana dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor BPR Berdasarkan Modal Inti. (2) BPR hasil Transformasi yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah) dapat melakukan kegiatan usaha dan memiliki jaringan kantor di provinsi lokasi kantor pusat BPR dan di daerah kabupaten/kota pada daerah provinsi lain yang berbatasan langsung dengan daerah provinsi lokasi kantor pusat BPR hasil transformasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor BPR Berdasarkan Modal Inti. Bagian Keempat Pemenuhan Ketentuan Direksi dan Dewan Komisaris Pasal 11 (1) LKMK Transformasi harus memenuhi ketentuan Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Tata Kelola bagi BPR, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Sertifikasi - 11 - Kompetensi Kerja bagi Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris BPR, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan. (2) Pemenuhan ketentuan anggota Direksi BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. memiliki integritas, reputasi keuangan dan kompetensi; b. memiliki paling sedikit: 1. dua orang anggota Direksi bagi BPR dengan modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah); atau 2. tiga orang anggota Direksi bagi BPR dengan modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah); c. memiliki pendidikan formal paling rendah setingkat diploma tiga (D3); d. memiliki sertifikat kompetensi kerja yang masih berlaku yang diterbitkan oleh LSP; e. memiliki pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; f. memiliki pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan nonbank paling singkat selama 2 (dua) tahun; dan g. memiliki kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan BPR yang sehat. (3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor pada bank dan/atau menjadi pemegang saham mayoritas di lembaga jasa keuangan nonbank. (4) Pemenuhan ketentuan anggota Dewan Komisaris BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. memiliki integritas, reputasi keuangan, dan kompetensi; - 12 - b. memiliki paling sedikit: 1. dua orang anggota Dewan Komisaris, bagi BPR dengan modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah); atau 2. tiga orang anggota Dewan Komisaris bagi BPR dengan modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah); c. memiliki paling sedikit: 1. satu orang Komisaris Independen bagi BPR dengan modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah) sampai dengan kurang dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh milyar rupiah); 2. lima puluh persen dari jumlah anggota Dewan Komisaris merupakan Komisaris Independen bagi BPR dengan modal inti paling sedikit Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh milyar rupiah); d. memiliki: 1. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan/atau 2. pengalaman di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan nonbank; dan e. memiliki sertifikat kompetensi kerja yang masih berlaku yang diterbitkan oleh LSP. Pasal 12 (1) LKMS Transformasi harus memenuhi ketentuan Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPRS, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan, - 13 - dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris BPRS. (2) Pemenuhan ketentuan anggota Direksi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti proses dan memenuhi persyaratan PKK serta antara lain: a. memiliki integritas, reputasi keuangan, dan kompetensi; b. memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi; c. paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari anggota Direksi termasuk Direktur Utama harus memiliki pengalaman operasional paling singkat: 1. dua tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau pembiayaan di perbankan syariah; 2. dua tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau perkreditan di perbankan konvensional dan memiliki pengetahuan di bidang perbankan syariah; atau 3. tiga tahun sebagai direksi atau setingkat dengan direksi di LKMS; d. memiliki pendidikan formal paling rendah setingkat diploma tiga (D3) atau sarjana muda; dan e. memiliki sertifikat kompetensi kerja yang diterbitkan oleh LSP paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal pengangkatan efektif. (3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor pada BPRS; (4) Pemenuhan ketentuan anggota Dewan Komisaris BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. memiliki integritas, reputasi keuangan, dan kompetensi; b. memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Dalam hal jumlah anggota Direksi - 14 - lebih dari 2 (dua) orang, jumlah anggota Dewan Komisaris paling banyak 3 (tiga) orang; c. memiliki: 1. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan/atau 2. pengalaman di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan nonbank; dan d. memiliki sertifikat kompetensi kerja dari LSP paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal pengangkatan efektif. Bagian Kelima Pemenuhan Ketentuan DPS bagi BPRS Pasal 13 (1) LKMS Transformasi harus memenuhi ketentuan DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPRS. (2) Pemenuhan ketentuan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan; b. memiliki paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 3 (tiga) orang anggota DPS; dan c. memiliki surat rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Bagian Keenam Pemenuhan Infrastruktur dan Sumber Daya Manusia Pasal 14 Pemenuhan infrastruktur dan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f mengacu pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPR atau mengenai BPRS memuat antara lain: - 15 - a. aset tetap dan inventaris, termasuk gedung kantor, sarana dan prasarana kantor; b. teknologi informasi yang memadai; c. sumber daya manusia; d. sistem dan prosedur kerja; dan e. contoh formulir atau warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR atau BPRS. Bagian Ketujuh Pemenuhan Persyaratan Kinerja Keuangan Pasal 15 LKMK Transformasi atau LKMS Transformasi harus memiliki: a. Non-Performing Loan (NPL) Gross atau Non-Performing Financing (NPF) Gross paling tinggi 1% (satu persen) bagi BPR atau BPRS, selama 6 (enam) bulan terakhir; b. Laba pada tahun berjalan dan laba selama 2 (dua) tahun sebelumnya; c. Penyisihan Penghapusan Aset Produktif yang telah dibentuk paling sedikit sama dengan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif yang wajib dibentuk sesuai ketentuan mengenai kualitas aset produktif dan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif BPR atau BPRS; d. Cash Ratio paling sedikit 4,05% (empat koma nol lima persen) yang memenuhi kriteria: 1. sehat sesuai ketentuan mengenai tingkat kesehatan BPR bagi LKMK Transformasi; atau 2. peringkat komponan 2 (dua) sesuai ketentuan mengenai tingkat kesehatan BPRS bagi LKMS Transformasi. - 16 - BAB III TATA CARA TRANSFORMASI Bagian Kesatu Tahapan Perizinan Pasal 16 (1) Izin perubahan kegiatan usaha LKMK menjadi BPR atau LKMS menjadi BPRS diberikan dalam bentuk izin usaha sebagai BPR atau BPRS. (2) Izin usaha sebagai BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah LKMK Transformasi atau LKMS Transformasi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Pemberian izin usaha sebagai BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersamaan dengan pencabutan izin usaha sebagai LKMK atau LKMS. (4) Izin usaha sebagai BPR atau BPRS dan pencabutan izin usaha sebagai LKMK atau LKMS berlaku efektif sejak tanggal persetujuan atau pengesahan anggaran dasar oleh instansi yang berwenang. Bagian Kedua Pengajuan Permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan Pasal 17 LKMK atau LKMS mengajukan permohonan Transformasi menjadi BPR atau BPRS kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan: a. visi dan misi Transformasi LKMK atau LKMS menjadi BPR atau BPRS; b. bukti lunas pembayaran biaya perizinan menjadi BPR atau BPRS; c. rancangan perubahan anggaran dasar; - 17 - d. data kepemilikan: 1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham, bagi BPR atau BPRS yang berbadan hukum Perseroan Terbatas; 2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib bagi BPR yang berbadan hukum koperasi. e. nama dan identitas dari calon PSP, calon anggota dewan komisaris, calon anggota direksi, serta calon anggota DPS untuk BPRS beserta dokumen pendukung sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan; f. g. struktur organisasi; laporan keuangan tahun berjalan posisi terakhir yang dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum pengajuan permohonan dan laporan keuangan selama 2 (dua) tahun sebelumnya, dalam 2 (dua) bentuk laporan, yaitu: 1. laporan keuangan LKMK atau LKMS sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro; dan 2. laporan keuangan LKMK yang telah dikonversikan dalam bentuk laporan bulanan BPR atau laporan keuangan LKMS yang telah dikonversikan dalam bentuk laporan bulanan BPRS sesuai ketentuan mengenai laporan bulanan BPR atau BPRS; h. laporan Modal Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; i. laporan kinerja keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; j. daftar aset tetap, bukti penguasaan aset tetap, foto gedung kantor, dan tata letak ruangan; k. dokumen yang menunjukkan kesiapan sistem teknologi informasi; - 18 - l. rencana sistem dan prosedur kerja, serta contoh formulir atau warkat yang akan digunakan; m. proyeksi laporan keuangan beserta rasio keuangan tertentu dari BPR atau BPRS hasil Transformasi selama 1 (satu) tahun ke depan; dan n. laporan keuangan posisi akhir Desember dari lembaga keuangan lain yang dimiliki oleh calon PSP selama 2 (dua) tahun terakhir. Pasal 18 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem perizinan secara elektronik, pengajuan permohonan izin Transformasi disampaikan dengan mekanisme dan tata cara sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai sistem perizinan secara elektronik. Bagian Ketiga Persetujuan Permohonan Transformasi Pasal 19 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan Transformasi paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan antara lain: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon PSP, calon anggota Direksi, dan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau wawancara bagi calon anggota DPS. c. penelitian kinerja LKMK Transformasi atau LKMS Transformasi; - 19 - d. penelitian kinerja BPR atau BPRS dan/atau kinerja lembaga keuangan lain yang dimiliki calon PSP yang sama terhadap laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan huruf n; dan e. pemeriksaan, apabila diperlukan. Pasal 20 (1) LKMK yang telah mendapat izin usaha sebagai BPR dan telah berlaku efektif wajib mencantumkan secara jelas: a. bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau disingkat “BPR”, sesuai dengan anggaran dasar BPR; dan b. logo BPR pada formulir, warkat, produk, kantor, dan jaringan kantor BPR. (2) LKMS yang telah mendapat izin usaha sebagai BPRS dan telah berlaku efektif wajib mencantumkan secara jelas: a. frasa “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau disingkat “BPRS” pada penulisan nama dan logo iB pada kantor BPRS yang bersangkutan; b. nama dan jenis status kantor pada masing-masing kantor; dan c. logo iB pada formulir, warkat, produk, serta kegiatan pelayanan kas BPRS. Pasal 21 (1) LKMK atau LKMS yang telah mendapat izin usaha sebagai BPR atau BPRS namun belum mendapatkan persetujuan atau pengesahan perubahan anggaran dasar dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal izin usaha, maka izin usaha sebagai BPR atau BPRS dan pencabutan izin usaha sebagai LKMK atau LKMS dinyatakan batal dan tidak berlaku. (2) LKMK atau LKMS yang telah mendapat izin usaha sebagai BPR atau BPRS: a. wajib melakukan kegiatan usaha sebagai BPR atau BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja; dan - 20 - b. dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai LKMK atau LKMS, kecuali dalam rangka penyelesaian hak dan kewajiban dari kegiatan usaha sebagai LKMK atau LKMS, terhitung sejak izin usaha berlaku efektif. (3) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan oleh Direksi BPR atau BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. Pasal 22 (1) Dalam hal permohonan Transformasi ditolak atau izin usaha sebagai BPR atau BPRS dinyatakan batal dan tidak berlaku, LKMK atau LKMS dapat mengajukan kembali permohonan Transformasi paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak: a. tanggal surat penolakan; atau b. izin usaha sebagai BPR atau BPRS dinyatakan batal dan tidak berlaku. (2) Pengajuan kembali permohonan Transformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti proses ulang sebagaimana dimaksud dalam BAB III Tata Cara Transformasi. Bagian Keempat Pengumuman Transformasi Pasal 23 (1) Direksi BPR atau BPRS hasil Transformasi wajib mengumumkan Transformasi kegiatan usaha LKMK menjadi BPR atau LKMS menjadi BPRS kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal dan/atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR atau BPRS. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah - 21 - izin usaha sebagai BPR atau BPRS dari Otoritas Jasa Keuangan berlaku efektif. (3) Direksi BPR atau BPRS hasil Transformasi wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan pengumuman. BAB IV PELANGGARAN TERHADAP KEWAJIBAN PELAPORAN Pasal 24 (1) BPR atau BPRS hasil Transformasi dinyatakan terlambat menyampaikan: a. laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3); atau b. bukti pengumuman Transformasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), apabila diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan atau bukti pengumuman. (2) BPR atau BPRS hasil Transformasi dinyatakan tidak menyampaikan: a. laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3); atau b. bukti pengumuman Transformasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), apabila tidak diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu dinyatakan terlambat dimaksud pada ayat (1). sebagaimana BAB V SANKSI Pasal 25 BPR atau BPRS hasil Transformasi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam: - 22 - a. Pasal 20, dikenakan sanksi administratif berupa: 1. teguran tertulis; dan/atau 2. penurunan tingkat kesehatan satu predikat bagi BPR atau penurunan tingkat kesehatan bagi BPRS; b. Pasal 21 ayat (2) huruf a dan huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa: 1. teguran tertulis; dan 2. denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari terhitung sejak berakhirnya batas waktu kewajiban melakukan kegiatan usaha sebagai BPR atau BPRS dengan jumlah paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 26 (1) BPR atau BPRS hasil Transformasi yang melanggar ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dan/atau bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan b. denda masing-masing sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah); (2) BPR atau BPRS hasil Transformasi yang dinyatakan: a. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); b. tidak menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (3) Dalam hal BPR atau BPRS hasil Transformasi telah dikenakan sanksi administratif berupa denda karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau bukti pengumuman, sanksi administratif berupa denda karena - 23 - terlambat menyampaikan laporan atau bukti pengumuman tidak dikenakan. (4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghilangkan kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dan/atau Pasal 23 ayat (3). BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Ketentuan lebih lanjut mengenai Transformasi LKMK menjadi BPR atau LKMS menjadi BPRS diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. - 24 - Pasal 28 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 297 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 62/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> TRANSFORMASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO KONVENSIONAL MENJADI BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH MENJADI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 21 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011', '21/UU/2008', '1/UU/2013', '12/POJK.05/2014', '61/POJK.05/2015', '20/POJK.03/2014', '3/POJK.03/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 66 /POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan industri Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang sehat, kuat, dan produktif, diperlukan penyesuaian terhadap struktur permodalan agar sejalan dengan praktik terbaik perbankan; b. bahwa penyesuaian struktur permodalan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam menyediakan dana bagi sektor riil terutama bagi usaha mikro dan kecil; c. bahwa penguatan kelembagaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah perlu didukung dengan permodalan yang kuat; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan jumlah modal dengan karakteristik yang kuat untuk mendukung penguatan kelembagaan maupun kemampuan untuk menyerap risiko bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam bentuk modal inti minimum bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; -2- e. bahwa sehubungan dengan huruf a sampai dengan huruf d di atas diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disingkat KPMM adalah rasio modal terhadap Aset Tertimbang Menurut Risiko yang wajib disediakan oleh BPRS. -3- 3. Aset Tertimbang Menurut Risiko yang selanjutnya disingkat ATMR adalah jumlah aset dalam neraca yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko yang melekat pada setiap pos aset sesuai ketentuan. 4. Agunan Yang Diambil Alih yang selanjutnya disingkat AYDA adalah sebagian atau seluruh agunan yang dibeli BPRS, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan dalam hal nasabah pembiayaan telah digolongkan macet, dengan kewajiban untuk dicairkan kembali. 5. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 6. Penyisihan Penghapusan Aset Produktif yang selanjutnya disingkat PPAP adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan Kualitas Aset Produktif. BAB II KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM Pasal 2 BPRS wajib menyediakan modal minimum yang dihitung dengan menggunakan rasio KPMM paling rendah sebesar 12% (dua belas persen) dari ATMR sejak 1 Januari 2020. Pasal 3 (1) Modal terdiri atas: a. modal inti (tier 1) yang meliputi : 1. modal inti utama; 2. modal inti tambahan; dan b. modal pelengkap (tier 2). -4- (2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti. Pasal 4 BPRS wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 8% (delapan persen) dari ATMR sejak 1 Januari 2020. Pasal 5 (1) Modal inti utama terdiri atas: a. modal disetor; dan b. cadangan tambahan modal, yang terdiri atas: 1. agio yaitu selisih lebih setoran modal yang diterima BPRS sebagai akibat harga saham yang melebihi nilai nominalnya; 2. dana setoran modal yaitu dana yang telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan RUPS maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang, dengan memenuhi persyaratan: a) ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah di Indonesia dengan cara mencantumkan atas nama ”Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama BPRS)”, dan mencantumkan keterangan nama penyetor tambahan modal serta keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Bagi hasil yang diperoleh dari penempatan dana setoran modal dalam bentuk deposito di Bank Umum -5- Syariah atau Unit Usaha Syariah menjadi pendapatan BPRS; b) ditempatkan dalam bentuk deposito pada BPRS yang bersangkutan dengan cara mencantumkan atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama pemegang saham penyetor)” dan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan; c) penambahan modal disetor yang ditempatkan dalam bentuk deposito pada BPRS yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada huruf b) hanya berlaku bagi BPRS yang tidak dalam status pengawasan khusus dan penambahan modal disetor dilakukan oleh pemegang saham BPRS yang bersangkutan; d) telah dilakukan pemeriksaan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan dinyatakan telah memenuhi ketentuan; e) f) tidak diberikan bagi hasil dan/atau dividen atas dana setoran modal dimaksud; tidak dapat ditarik kembali oleh pemegang saham atau calon pemegang saham. 3. modal sumbangan yaitu sumbangan yang berasal dari pemilik BPRS dan/atau pihak luar dalam bentuk dana atau aset lainnya termasuk pengembalian saham pemilik; 4. cadangan umum yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba atau laba neto setelah dikurangi pajak untuk tujuan memperkuat modal dan telah mendapat persetujuan RUPS; 5. cadangan tujuan yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba atau laba neto -6- setelah dikurangi pajak yang tujuan penggunaannya telah ditetapkan dan telah mendapat persetujuan RUPS; 6. laba tahun-tahun lalu yaitu laba tahun-tahun lalu setelah dikurangi pajak kecuali apabila diperkenankan untuk dikompensasi dengan kerugian sesuai ketentuan perpajakan dan belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS; dan 7. laba tahun berjalan yaitu laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah diperhitungkan dengan kekurangan pembentukan PPAP, yang diperhitungkan paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) setelah taksiran pajak, kecuali apabila diperkenankan untuk dikompensasi dengan kerugian sesuai ketentuan perpajakan. (2) Komponen modal inti tambahan harus memenuhi persyaratan: a. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan dan telah disetor penuh; b. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal disetor dalam hal jumlah kerugian BPRS melebihi laba tahun-tahun lalu dan cadangan-cadangan yang termasuk modal inti utama, meskipun BPRS belum dilikuidasi; c. sumber pendanaan tidak berasal dari BPRS yang bersangkutan baik secara langsung maupun tidak langsung; d. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh BPRS di masa mendatang; e. tidak memiliki hak menerima pembayaran dividen; f. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal; -7- g. dapat dikonversi menjadi saham biasa yang dinyatakan secara jelas dalam dokumen perjanjian dengan memenuhi persyaratan dan tata cara penambahan modal disetor sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPRS; h. pembayaran kembali atau pelunasan harus mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan dan dengan pembayaran kembali atau pelunasan tersebut permodalan BPRS tetap sehat serta tidak mengakibatkan rasio modal tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4. (3) Modal inti tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2): a. memperoleh tingkat imbal hasil paling tinggi sama dengan tingkat imbal hasil dana pihak ketiga terendah di BPRS tersebut; b. tidak memperoleh imbal hasil apabila BPRS dalam keadaan rugi atau memiliki laba yang tidak mencukupi untuk membayar imbal hasil dan pembayaran tidak diakumulasikan pada tahun- tahun buku berikutnya. (4) Modal inti utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa: a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax); b. goodwill; c. disagio; d. AYDA yang telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pengambilalihan sebesar nilai yang tercatat pada neraca BPRS; e. rugi tahun-tahun lalu; dan f. rugi tahun berjalan. Pasal 6 (1) BPRS wajib menyelesaikan kelengkapan administrasi dana setoran modal paling lambat 90 (sembilan puluh) -8- hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) BPRS yang telah memiliki dana setoran modal pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib segera menyelesaikan kelengkapan administrasi dana setoran modal paling lambat 31 Desember 2020. (3) Dana setoran modal dicatat sebagai modal disetor setelah BPRS memenuhi kelengkapan administrasi. Pasal 7 (1) BPRS dapat menerima modal sumbangan dalam bentuk aset lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Modal sumbangan dalam bentuk aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa tanah dan bangunan yang dimaksudkan untuk operasional BPRS dan telah dibalik nama menjadi atas nama BPRS. (3) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPRS harus menggunakan aset berupa tanah dan bangunan untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui dan BPRS belum menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penggunaan aset berupa tanah dan bangunan untuk kegiatan operasional BPRS, aset dimaksud tidak dapat lagi diperhitungkan sebagai komponen modal sumbangan. (5) Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperhitungkan sebagai modal sumbangan pada saat aset dimaksud dipergunakan dalam operasional BPRS. (6) BPRS dalam status pengawasan khusus sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai tindak lanjut penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan khusus tidak dapat menerima modal sumbangan dalam -9- bentuk aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 (1) BPRS dapat melakukan tambahan setoran modal dalam bentuk aset tetap berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Aset tetap yang digunakan sebagai tambahan setoran modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa tanah dan bangunan yang dimaksudkan untuk operasional BPRS dan telah dibalik nama menjadi atas nama BPRS. (3) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPRS harus menggunakan aset tetap untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) BPRS yang telah memiliki modal disetor berupa aset tetap dan belum digunakan dalam operasional BPRS pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini harus menggunakan aset dimaksud dalam operasional BPRS paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) terlampaui dan BPRS belum menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penggunaan aset tetap untuk kegiatan operasional BPRS, aset tetap tidak dapat lagi diperhitungkan sebagai komponen modal disetor. (6) Aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperhitungkan sebagai tambahan setoran modal pada saat aset tetap dipergunakan dalam operasional BPRS. (7) BPRS dalam status pengawasan khusus sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai tindak lanjut penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan khusus tidak dapat menerima tambahan modal disetor dalam bentuk aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1). -10- Pasal 9 (1) Modal pelengkap terdiri atas: a. komponen modal yang memenuhi persyaratan: 1. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan dan telah disetor penuh; 2. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah kerugian BPRS melebihi laba tahun-tahun lalu dan cadangan- cadangan yang termasuk modal inti utama, meskipun BPRS belum dilikuidasi; 3. sumber pendanaan tidak berasal dari BPRS yang bersangkutan secara langsung maupun tidak langsung; 4. terdapat perjanjian yang paling sedikit memuat klausul: a) mencantumkan pembayaran pokok dan/atau imbal hasil; b) tidak memiliki persyaratan percepatan pembayaran pokok dan/atau imbal hasil; c) pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode apabila pembayaran dimaksud dapat menyebabkan rasio KPMM tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; d) hak tagih dalam hal terjadi likuidasi berlaku paling akhir; e) memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. 5. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap; 6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa -11- Keuangan dengan syarat setelah pelunasan tersebut permodalan BPRS tetap sehat; b. surplus revaluasi aset tetap; dan c. cadangan umum dari PPAP paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR. (2) Komponen modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal inti. Pasal 10 Perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang wajib dihitung oleh BPRS meliputi aset dalam neraca. Pasal 11 Dalam perhitungan ATMR: a. selisih lebih cadangan umum dari PPAP yang wajib dihitung dari batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR. b. AYDA yang telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pengambilalihan tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR. Pasal 12 BPRS dilarang melakukan distribusi laba dalam hal distribusi dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan BPRS tidak mencapai rasio modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4. BAB III MODAL INTI MINIMUM Pasal 13 Modal inti minimum BPRS ditetapkan sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dengan ketentuan: -12- 1. BPRS dengan modal inti kurang dari Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2020. 2. BPRS sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2025. 3. BPRS dengan modal inti paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) namun kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2020. Pasal 14 BPRS yang belum memenuhi persyaratan modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak dapat menerima modal sumbangan dan tambahan modal disetor dalam bentuk aset tetap. Pasal 15 (1) BPRS wajib menjaga jumlah modal inti minimum paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 2 dan angka 3. (2) BPRS dilarang melakukan distribusi laba dalam hal: a. distribusi dimaksud mengakibatkan menurunnya modal inti menjadi kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah); atau b. BPRS belum memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) BPRS dilarang melakukan pembayaran kembali atau pelunasan komponen modal inti tambahan, apabila pembayaran kembali atau pelunasan mengakibatkan menurunnya modal inti minimum BPRS menjadi kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). -13- (4) Dalam hal BPRS tidak dapat menjaga modal inti minimum paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPRS wajib meningkatkan modal inti menjadi paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak: a. laporan bulanan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan modal inti di bawah Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah); atau b. tanggal risalah hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan modal inti di bawah Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 16 BPRS yang mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dengan modal disetor kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) setelah berlakunya ketentuan ini wajib memenuhi jumlah modal inti minimum paling lambat 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV LAIN-LAIN Pasal 17 (1) BPRS yang pada saat mulai berlakunya ketentuan ini belum memenuhi rasio modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dan/atau jumlah modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib menyusun rencana pemenuhan rasio modal dan/atau modal inti minimum dalam bentuk rencana tindak dengan persetujuan RUPS. (2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah berlakunya ketentuan ini. -14- Pasal 18 Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, penyampaian rencana tindak dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari Sabtu atau hari libur dimaksud. BAB V SANKSI Pasal 19 BPRS yang tidak memenuhi rasio modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. larangan pembukaan jaringan kantor; dan/atau d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPRS. Pasal 20 BPRS yang tidak menyelesaikan kelengkapan administrasi dana setoran modal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administratif: a. dana setoran modal tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen modal inti; dan b. penundaan pembagian dividen atas seluruh kepemilikan saham dari pemegang saham yang melakukan setoran modal; sampai dengan terpenuhinya kelengkapan administrasi. Pasal 21 BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 17 dikenakan sanksi administratif: a. teguran tertulis; dan/atau -15- b. penurunan tingkat kesehatan. Pasal 22 (1) BPRS yang tidak memenuhi jumlah modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 1 dan angka 2, dikenakan sanksi administratif: a. penurunan tingkat kesehatan BPRS; b. larangan membuka jaringan kantor; c. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan elektronis; d. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu kabupaten/kota yang sama dengan lokasi kantor BPRS; dan e. pembatasan remunerasi atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu kepada anggota Dewan Komisaris dan/atau Direksi BPRS, atau imbalan kepada pihak terkait. (2) BPRS yang telah memenuhi modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 1 namun belum mencapai Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau BPRS yang belum memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 3 pada tanggal 31 Desember 2020 dikenakan sanksi administratif: a. larangan membuka jaringan kantor; b. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan elektronis; dan c. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu kabupaten yang sama dengan lokasi kantor BPRS. (3) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 3 sampai dengan tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). -16- (4) BPRS yang tidak mampu menjaga modal inti minimum paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (4), setelah tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 namun sebelum batas waktu pemenuhan modal inti minimum pada tanggal 31 Desember 2025 dikenakan sanksi administratif: a. larangan membuka jaringan kantor; b. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan elektronis; dan c. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu kabupaten yang sama dengan lokasi kantor BPRS. (6) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan batas waktu pemenuhan modal inti minimum melampaui tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 23 (1) Komponen dan persyaratan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2020. (2) BPRS yang memiliki komponen modal pelengkap berupa modal pinjaman dan investasi subordinasi yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan dokumen -17- perjanjian yang sesuai persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) atau Pasal 9 ayat (1) huruf a sebelum 31 Desember 2019 untuk dapat diakui sebagai komponen modal inti tambahan atau komponen modal pelengkap. (3) Larangan distribusi laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pertama kali untuk laba tahun 2017. (4) Perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2020. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 25 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/22/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4648), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku kecuali Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019. Pasal 26 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, semua ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/22/PBI/2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat -18- Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4648), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 27 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -19- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 299 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 66/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 23 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> '8/22/PBI/2006 | kecuali Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 3 /POJK.05/20172017 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (4), dan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga Penjamin; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 2. Penjaminan Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan penjaminan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 4. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 5. Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 6. Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan Syariah dan UUS - 3 - sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 7. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 8. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha utama melakukan Penjaminan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 9. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 10. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 11. Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 12. Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 13. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan - 4 - Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 14. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari Perusahaan Penjaminan yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. 15. Tata Kelola Perusahaan yang Baik adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam Lembaga Penjamin untuk menentukan keputusan dan pengelolaan Lembaga Penjamin dengan menggunakan prinsip antara lain transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan. 16. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap Lembaga Penjamin, baik langsung maupun tidak langsung, meliputi Terjamin, anggota/pemegang saham, karyawan, Penerima Jaminan, penyedia barang dan jasa, dan/atau pemerintah. 17. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. 18. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. 19. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ Perusahaan Penjaminan - 5 - Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah, agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 20. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum perusahaan umum atau koperasi. 21. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS, yaitu tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. 22. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijaksanaan dari orang yang lain atau badan hukum yang lain, atau sebaliknya. 23. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis Lembaga Penjamin dan kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, DPS, dan/atau pegawai Lembaga Penjamin. - 6 - BAB II PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK Pasal 2 Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik meliputi: a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan mengenai Lembaga Penjamin, yang mudah diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan di bidang penjaminan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; b. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ Lembaga Penjamin sehingga kinerja penyelenggaraan usaha Lembaga Penjamin dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan efisien; c. tanggung jawab, yaitu kesesuaian pengelolaan Lembaga Penjamin dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; d. independensi, yaitu keadaan Lembaga Penjamin yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat; dan e. keadilan, yaitu kesetaraan dan keseimbangan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan, dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat. - 7 - Pasal 3 Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik bertujuan untuk: a. mengoptimalkan nilai Lembaga Penjamin bagi Pemangku Kepentingan; b. meningkatkan pengelolaan Lembaga Penjamin secara profesional, efektif, dan efisien; c. meningkatkan kepatuhan organ Lembaga Penjamin dan jajaran dibawahnya agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada etika yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan kesadaran atas tanggung jawab sosial Lembaga Penjamin terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian lingkungan; d. mewujudkan Lembaga Penjamin yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan e. meningkatkan kontribusi Lembaga Penjamin dalam perekonomian nasional. Pasal 4 (1) Lembaga Penjamin wajib melaksanakan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. (2) Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit memuat: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS; b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang menjalankan fungsi pengendalian internal Lembaga Penjamin; c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal; - 8 - d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal dan penerapan tata kelola teknologi informasi; e. penerapan kebijakan remunerasi; dan f. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Lembaga Penjamin. BAB III RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM Pasal 5 (1) RUPS Lembaga Penjamin wajib diselenggarakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar Lembaga Penjamin yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. (2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus berupaya menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan Terjamin, Penerima Jaminan dan kepentingan pemegang saham minoritas. (3) Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalah RUPS yang paling sedikit memuat waktu, agenda, peserta, pendapat yang berkembang dalam RUPS, dan keputusan RUPS. BAB IV PEMEGANG SAHAM Pasal 6 Pemegang saham Lembaga Penjamin melalui RUPS harus memastikan Lembaga Penjamin dijalankan berdasarkan penyelenggaraan usaha yang sehat. Pasal 7 (1) Pemegang saham Lembaga Penjamin dilarang mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin yang menjadi tanggung jawab Direksi sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Lembaga Penjamin dan - 9 - ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban selaku RUPS. (2) Pemegang saham Lembaga Penjamin yang menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada Lembaga Penjamin yang sama harus mendahulukan kepentingan Lembaga Penjamin. BAB V DIREKSI Pasal 8 (1) Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi. (2) Paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah anggota Direksi Lembaga Penjamin memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan risiko sesuai dengan bidang usaha Lembaga Penjamin. Pasal 9 (1) Seluruh anggota Direksi Lembaga Penjamin yang seluruh pemegang sahamnya: a. warga negara Indonesia; dan/atau b. badan hukum Indonesia, yang dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh warga negara Indonesia, wajib berkewarganegaraan Indonesia. (2) Lembaga Penjamin yang didalamnya terdapat kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung wajib memiliki paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) anggota Direksi yang merupakan warga negara Indonesia. (3) Anggota Direksi Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia. - 10 - (4) Bagi anggota Direksi berkewarganegaraan asing wajib memiliki: a. surat izin menetap; dan b. surat izin bekerja, dari instansi yang berwenang. (5) Seluruh anggota Direksi Lembaga Penjamin harus memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatannya. Pasal 10 (1) Lembaga Penjamin wajib memiliki anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. (2) Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dirangkap oleh anggota Direksi yang membawahkan fungsi pemasaran, fungsi bisnis dan operasional, dan fungsi keuangan, kecuali direktur utama. Pasal 11 Direksi Lembaga Penjamin wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan profesional; b. mampu bertindak untuk kepentingan Lembaga Penjamin, Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan; c. mendahulukan kepentingan Lembaga Penjamin, Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan, daripada kepentingan pribadi; d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Lembaga Penjamin, Terjamin, dan/atau Penerima Jaminan; dan menghindarkan e. mampu penyalahgunaan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Lembaga Penjamin. - 11 - Pasal 12 Direksi Lembaga Penjamin wajib: a. menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis; b. mematuhi ketentuan peraturan perundang- undangan, anggaran dasar, dan peraturan internal lain dari Lembaga Penjamin dalam melaksanakan tugasnya; c. mengelola Lembaga Penjamin kewenangan dan tanggung jawabnya; sesuai dengan d. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada RUPS; e. memastikan agar Lembaga Penjamin memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan Terjamin dan/atau Penerima Jaminan; f. memastikan agar informasi mengenai Lembaga Penjamin diberikan kepada Dewan Komisaris dan DPS secara tepat waktu dan lengkap; dan g. membantu memenuhi kebutuhan DPS dalam menggunakan anggota komite, karyawan Lembaga Penjamin, dan tenaga ahli profesional yang struktur organisasinya berada dibawah Direksi. Pasal 13 (1) Direksi Lembaga Penjamin wajib membentuk komite investasi. (2) Anggota komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas: a. anggota Direksi yang membawahkan fungsi pengelolaan investasi; dan b. tenaga ahli penjaminan. (3) Komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Direksi dalam merumuskan - 12 - kebijakan investasi dan mengawasi pelaksanaan kebijakan investasi yang telah ditetapkan. Pasal 14 (1) Anggota Direksi Lembaga Penjamin dilarang merangkap jabatan pada Lembaga Penjamin atau badan usaha lain. (2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila anggota Direksi merangkap: a. sebagai Dewan Komisaris pada Lembaga Penjamin dengan lingkup wilayah operasional yang lebih kecil dari lingkup wilayah operasional tempat Direksi yang bersangkutan menjabat; b. sebagai pengawas pada anak perusahaan yang dikendalikan; dan/atau c. sebagai pengurus asosiasi atau lembaga pendidikan, sepanjang perangkapan jabatan tersebut tidak mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai anggota Direksi Lembaga Penjamin. Pasal 15 (1) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota Direksi yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif Otoritas Jasa Keuangan. (2) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota Direksi yang berasal dari mantan pegawai atau pejabat Otoritas Jasa Keuangan apabila yang bersangkutan berhenti bekerja dari Otoritas Jasa Keuangan kurang dari 1 (satu) tahun. - 13 - Pasal 16 Anggota Direksi Lembaga Penjamin dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait dengan kegiatan operasional Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain yang telah ditetapkan dalam RUPS. Pasal 17 (1) Direksi Lembaga Penjamin wajib menyelenggarakan rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. (2) Direksi Lembaga Penjamin wajib menghadiri rapat Direksi paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah rapat Direksi dalam periode 1 (satu) tahun. (3) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan didokumentasikan dengan baik. (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. - 14 - (5) Anggota Direksi Lembaga Penjamin yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Direksi berhak menerima salinan risalah rapat Direksi. (6) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi Perusahaan harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. BAB VI DEWAN KOMISARIS Pasal 18 Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. Pasal 19 (1) Lembaga Penjamin wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris yang berdomisili di Indonesia. (2) Bagi anggota Dewan Komisaris berkewarganegaraan asing yang berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia wajib memiliki: a. surat izin menetap; dan b. surat izin bekerja, dari instansi yang berwenang. (3) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga Penjamin atau badan usaha lain. (4) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila: a. anggota Dewan Komisaris yang bukan merupakan Komisaris Independen menjalankan tugas fungsional dari pemegang saham Lembaga Penjamin yang berbentuk badan hukum pada kelompok usahanya; dan/atau - 15 - b. anggota Dewan Komisaris menduduki jabatan pada organisasi atau lembaga nirlaba, sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin. Pasal 20 (1) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif Otoritas Jasa Keuangan. (2) Lembaga Penjamin dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang berasal dari mantan pegawai atau pejabat Otoritas Jasa Keuangan apabila yang bersangkutan berhenti bekerja dari Otoritas Jasa Keuangan kurang dari 6 (enam) bulan. Pasal 21 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib: a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi; b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak; c. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang merupakan bagian dari laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik; d. memantau efektifitas penerapan Tata Perusahaan yang Baik; Kelola e. memberikan persetujuan dalam hal DPS memerlukan bantuan anggota komite yang struktur organisasinya berada dibawah Dewan Komisaris; dan f. memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit internal Lembaga Penjamin, auditor eksternal, hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain. - 16 - Pasal 22 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Lembaga Penjamin tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan d. mencampuri kegiatan operasional Lembaga Penjamin yang menjadi tanggung jawab Direksi. Pasal 23 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai Lembaga Penjamin secara lengkap dan tepat waktu. Pasal 24 (1) Lembaga Penjamin wajib memiliki Komisaris Independen dalam hal: a. memiliki wilayah operasional nasional atau provinsi; atau b. terdapat kepemilikan asing. (2) Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. berkewarganegaraan Indonesia; dan b. berdomisili di Indonesia. - 17 - Pasal 25 Komisaris Independen Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau pemegang saham Lembaga Penjamin, dalam Lembaga Penjamin yang sama; b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Lembaga Penjamin yang sama atau badan usaha lain yang memiliki hubungan Afiliasi dengan Lembaga Penjamin tersebut dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir; c. memahami peraturan perundang-undangan di bidang Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan/atau Penjaminan Ulang Syariah dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan; dan d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi keuangan Lembaga Penjamin tempat Komisaris Independen dimaksud menjabat. Pasal 26 Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan Terjamin, Penerima Jaminan, dan Pemangku Kepentingan lainnya. Pasal 27 (1) Komisaris Independen wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya: a. pelanggaran ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penjaminan; dan/atau b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Lembaga Penjamin. - 18 - (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Pasal 28 Lembaga Penjamin dilarang memberhentikan Komisaris Independen karena tindakan Komisaris Independen dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (1). Pasal 29 (1) Lembaga Penjamin wajib membentuk komite audit dalam hal: a. memiliki wilayah operasional nasional atau provinsi; atau b. terdapat kepemilikan asing. (2) Salah seorang anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Komisaris Independen yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua komite. (3) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. (4) Selain komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Komisaris Lembaga Penjamin dapat membentuk komite lain guna menunjang pelaksanaan tugas Dewan Komisaris. Pasal 30 Lembaga Penjamin dengan lingkup kabupaten wajib memiliki fungsi yang membantu Dewan Komisaris dalam - 19 - memantau dan memastikan efektivitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. Pasal 31 (1) Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. (2) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah rapat Dewan Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun. (3) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik. (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (5) Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penjamin yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat Dewan Komisaris. (6) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. Pasal 32 Dewan Komisaris Lembaga Penjamin wajib menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas. - 20 - BAB VII DEWAN PENGAWAS SYARIAH Pasal 33 (1) Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS wajib memiliki DPS. (2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan dituangkan dalam akta notaris. Pasal 34 (1) DPS paling sedikit mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan nasihat dan saran kepada Direksi, mengawasi aspek syariah kegiatan operasional Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS dan sebagai wakil Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS pada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimuat dalam anggaran dasar Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS. Pasal 35 (1) Anggota DPS dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS yang sama. - 21 - (2) Anggota DPS dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada lebih dari 4 (empat) lembaga keuangan syariah lainnya. Pasal 36 Anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur, dan profesional; b. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, UUS, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; c. mendahulukan kepentingan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, UUS, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya daripada kepentingan pribadi; d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, UUS, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; dan e. mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS. Pasal 37 DPS Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS wajib menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif. - 22 - Pasal 38 (1) DPS wajib melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat serta saran kepada Direksi agar kegiatan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, atau Perusahaan Penjaminan yang memiliki UUS sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian nasihat serta saran yang dilakukan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. kegiatan Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah; b. akad Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah yang dipasarkan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS; dan c. praktik pemasaran Penjaminan Syariah dan Penjaminan Ulang Syariah yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS. (3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat serta saran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPS dapat dibantu oleh anggota komite dan/atau pegawai yang struktur organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris dan/atau Direksi. Pasal 39 Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS secara lengkap dan tepat waktu. Pasal 40 (1) DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS secara berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun. - 23 - (2) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat DPS dan didokumentasikan dengan baik. (3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat DPS wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat DPS disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (4) Anggota DPS yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat DPS berhak menerima salinan risalah rapat DPS. (5) Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota DPS harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. Pasal 41 Anggota DPS dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatan pada Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat; dan c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah, dan UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. - 24 - Pasal 42 (1) Dalam hal DPS menilai terdapat kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang terkait dengan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah, DPS wajib meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Dalam hal Direksi menolak hasil penilaian DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Otoritas Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak penjelasan anggota Direksi diterima oleh DPS. (3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS meminta Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan anggota Direksi tersebut agar sesuai dengan Prinsip Syariah. (4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPS wajib segera melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Otoritas Jasa Keuangan dan ditembuskan kepada Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui anggota Direksi tidak melakukan upaya perbaikan dimaksud. BAB VIII TRANSPARANSI KEPEMILIKAN SAHAM Pasal 43 Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS Lembaga Penjamin wajib mengungkapkan mengenai: a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan - 25 - anggota DPS dimaksud menjabat dan/atau pada badan usaha lain yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; dan b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris lain, anggota DPS lain, dan/atau pemegang saham Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud menjabat, kepada Lembaga Penjamin tempat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS dimaksud menjabat dan dicantumkan dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. BAB IX AUDITOR EKSTERNAL Pasal 44 (1) Auditor eksternal Lembaga Penjamin wajib ditunjuk oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris berdasarkan usulan komite audit. (2) Auditor eksternal Lembaga Penjamin dengan lingkup usaha kabupaten wajib ditunjuk oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris. (3) Auditor eksternal Lembaga Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. (4) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disertai: a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium atau imbal jasa yang diusulkan untuk auditor eksternal tersebut; dan b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani oleh auditor eksternal, untuk bebas dari pengaruh Direksi, anggota Dewan Komisaris, - 26 - DPS, dan pihak yang berkepentingan di Lembaga Penjamin dan kesediaan untuk memberikan informasi terkait dengan hasil auditnya kepada Otoritas Jasa Keuangan. (5) Lembaga Penjamin bagi wajib menyediakan semua catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan auditor memungkinkan auditor eksternal sehingga eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran dan kesesuaian laporan keuangan Lembaga Penjamin standar audit yang berlaku. BAB X PRAKTIK DAN KEBIJAKAN REMUNERASI Pasal 45 (1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan kebijakan remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai yang mendorong perilaku berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka panjang Lembaga Penjamin dan perlakuan adil terhadap Terjamin, Penjamin, Penerima Jaminan dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya. (2) Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan paling sedikit: a. dengan kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban Lembaga Penjamin sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; b. prestasi kerja individual; c. kewajaran dengan Lembaga Penjamin dan/atau level jabatan yang setara (peer group); dan d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang Lembaga Penjamin. - 27 - BAB XI TATA KELOLA PENJAMINAN, PENJAMINAN SYARIAH, PENJAMINAN ULANG, DAN PENJAMINAN ULANG SYARIAH Pasal 46 (1) Lembaga Penjamin wajib menyusun kebijakan dan rencana Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah yang dituangkan dalam rencana bisnis tahunan Lembaga Penjamin. (2) Kebijakan dan rencana Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. ditetapkan oleh Direksi; dan b. disosialisasikan kepada manajemen dan pegawai di unit kerja terkait. Pasal 47 Direksi wajib mengambil keputusan Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah secara profesional dan mengoptimalkan nilai tambah kekayaan Lembaga Penjamin dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap Penerima Jaminan, Terjamin, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya. Pasal 48 (1) Lembaga Penjamin wajib memiliki satuan kerja atau pegawai yang bertanggung jawab: a. menyelenggarakan fungsi pemasaran, analisis penjaminan, klaim dan subrogasi, serta penanganan pengaduan Terjamin; b. menyusun dan menerapkan standar dan prosedur operasional Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan/atau Penjaminan Ulang Syariah; dan c. menyusun dan menerapkan sistem dan prosedur pengendalian internal untuk memastikan bahwa - 28 - proses pemberian Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah dilakukan sesuai dengan kebijakan dan strategi Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah serta tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Untuk melakukan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Lembaga Penjamin wajib memiliki pegawai yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan/atau Penjaminan Ulang Syariah. BAB XII TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI Pasal 49 (1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan tata kelola teknologi informasi yang efektif. (2) Tata kelola teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. struktur organisasi sistem informasi; b. pedoman penggunaan sistem informasi yang dilengkapi dengan instruksi atau perintah kerja untuk setiap prosedure); dan c. pedoman manajemen pengamanan data dan insiden (disaster recovery plan). BAB XIII MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 50 (1) Lembaga Penjamin wajib menerapkan manajemen risiko dengan mengidentifikasi, menilai, dan memantau risiko usaha secara efektif. fungsi (standard operating - 29 - (2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha, serta kemampuan Lembaga Penjamin. Pasal 51 (1) Direksi Lembaga Penjamin wajib menetapkan pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan usaha dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi bisnis serta anggaran dasar dan aturan internal lain Lembaga Penjamin, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut: a. lingkungan pengendalian internal dalam Lembaga Penjamin yang disiplin dan terstruktur; b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu suatu proses untuk mengindentifikasi, menganalisis, menilai, dan mengelola risiko usaha; c. aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan Lembaga Penjamin pada setiap tingkat dan unit dalam struktur organisasi Lembaga Penjamin, paling sedikit mengenai kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas dan keamanan terhadap aset Lembaga Penjamin; d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses penyajian laporan mengenai kegiatan operasional, finansial, dan ketaatan atas peraturan perundang-undangan dibidang usaha Penjaminan, Penjamin Syariah, Penjamin Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah; - 30 - e. tata cara monitoring, yaitu proses penilaian terhadap kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi Lembaga Penjamin, sehingga dapat dilaksanakan secara optimal; dan f. mekanisme pelaporan kepada Direksi dengan tembusan kepada komite audit, dalam hal terjadi penyimpangan kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi Lembaga Penjamin. BAB XIV RENCANA BISNIS TAHUNAN Pasal 52 (1) Lembaga Penjamin wajib menyusun rencana bisnis tahunan. (2) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi: a. ringkasan eksekutif; b. kebijakan dan strategi manajemen; c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan; d. penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik; e. f. kinerja keuangan Lembaga Penjamin periode sebelumnya; proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan; g. proyeksi rasio-rasio dan tingkat kesehatan keuangan; h. rencana pengembangan dan pemasaran Penjaminan atau Penjaminan Syariah; i. j. rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; rencana permodalan; k. rencana pendanaan; - 31 - l. rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia; dan m. informasi lainnya. (3) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 30 Januari tahun yang bersangkutan. (4) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali untuk tahun 2017 paling lambat tanggal 30 Januari 2017. BAB XV KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 53 (1) Lembaga Penjamin wajib memberikan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap, tepat waktu, dan dengan cara yang efisien. (2) Lembaga Penjamin wajib memiliki sistem pelaporan keuangan yang handal dan terpercaya untuk keperluan pengawasan dan Pemangku Kepentingan lain. Pasal 54 (1) Lembaga Penjamin wajib mengungkapkan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai hal-hal penting, paling sedikit meliputi: a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal; b. transaksi material dengan pihak terkait; c. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan d. informasi material lain mengenai Lembaga Penjamin. - 32 - (2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. BAB XVI ETIKA BISNIS Pasal 55 (1) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan Lembaga Penjamin dilarang menawarkan atau memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi penjaminan, dengan melanggar ketentuan perundang- undangan. (2) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan Lembaga Penjamin dilarang menerima sesuatu untuk kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan perundang-undangan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi Penjaminan, Penjaminan Syariah, Penjaminan Ulang, dan Penjaminan Ulang Syariah. Pasal 56 Lembaga Penjamin wajib membuat pedoman tentang perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha, sebagai panduan bagi organ perusahaan dan seluruh karyawan Lembaga Penjamin. BAB XVII PELAPORAN Pasal 57 (1) Lembaga Penjamin wajib melakukan penilaian secara mandiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik secara berkala. - 33 - (2) Penilaian secara mandiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik. Pasal 58 (1) Lembaga Penjamin wajib menyusun laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada setiap akhir tahun buku. (2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat: a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik yang paling sedikit meliputi pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. penilaian secara mandiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57; dan c. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan korektif diperlukan dan waktu penyelesaian serta kendala/hambatan penyelesaiannya, (corrective action) yang apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik. (3) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (4) Apabila tanggal 30 April sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah tanggal 30 April dimaksud. - 34 - (5) Lembaga Penjamin wajib menyampaikan laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali pada periode tahun 2017, yang disampaikan paling lambat tanggal 30 April 2018. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyampaian laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB XVIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 59 (1) Lembaga Penjamin yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 32, Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 ayat (1), dan Pasal 58 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; - 35 - b. denda administratif; c. pembekuan kegiatan usaha; atau d. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Lembaga Penjamin tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin yang bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. (6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku sampai hari kerja pertama berikutnya. (7) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjamin telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada - 36 - ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (8) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih berlaku dan Lembaga Penjamin tetap melakukan kegiatan usaha, Otoritas Jasa Keuangan dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjamin tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Lembaga Penjamin yang bersangkutan. (10) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) kepada masyarakat. BAB XIX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 60 Bagi Lembaga Penjamin yang telah memperoleh izin usaha sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 18, Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (1) dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. BAB XX KETENTUAN PENUTUP Pasal 61 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 37 - Pasal 62 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 8 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 3/POJK.05/2017 </reg_id> <reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI LEMBAGA PENJAMIN </reg_title> <set_date> 11 Januari 2017 </set_date> <effective_date> 11 Januari 2017 </effective_date> <issued_date> 11 Januari 2017 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XVIII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10/POJK.05/2014 TENTANG PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan sektor jasa keuangan non-bank yang sehat dan akuntabel, diperlukan sistem pengawasan yang efektif; b. bahwa untuk mewujudkan sistem pengawasan yang efektif diperlukan beberapa prasyarat seperti instrumen penilaian tingkat risiko bagi lembaga jasa keuangan non- bank guna menentukan prioritas dan intensitas pengawasan; c. bahwa lembaga jasa keuangan non-bank perlu melakukan penilaian tingkat risiko sebagai bagian dari manajemen risiko; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penilaian Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia... - 2 - Indonesia Nomor 3477); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); 7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON- BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank adalah: a.perusahaan... - 3 - a. perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian; b. perusahaan pembiayaan, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lembaga pembiayaan; dan c. dana pensiun, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun. 2. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK Pasal 2 (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam melakukan kegiatan usahanya. (2) Dalam rangka penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib melakukan penilaian tingkat risiko sesuai Peraturan OJK ini dan peraturan pelaksanaannya. (3) Penilaian... - 4 - (3) Penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling sedikit sekali dalam setahun untuk posisi akhir tahun. (4) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk melakukan penilaian tingkat risiko sewaktu-waktu. Pasal 3 (1) Dalam rangka pengawasan, OJK melakukan penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. (2) Penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan penilaian tingkat risiko yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4). BAB III METODE PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK Pasal 4 (1) Penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank merupakan penilaian terhadap probabilitas kegagalan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk memenuhi kewajibannya terhadap nasabah dan pihak lain. (2) Penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank dilakukan melalui penilaian terhadap: a. risiko strategi; b. risiko operasional; c. risiko aset dan liabilitas; d. risiko kepengurusan; e. risiko tata kelola; f. risiko dukungan dana; g. risiko asuransi, khusus untuk perusahaan asuransi dan... - 5 - dan perusahaan reasuransi; dan h. risiko pembiayaan, khusus untuk perusahaan pembiayaan. Pasal 5 (1) Penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) menghasilkan nilai risiko dan tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. (2) Nilai risiko dan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan dengan ketentuan: a. nilai risiko 0 (nol) sampai dengan 1 (satu) untuk tingkat risiko Rendah; b. nilai risiko lebih besar dari 1 (satu) sampai dengan 1,5 (satu koma lima) untuk tingkat risiko Sedang Rendah; c. nilai risiko lebih besar dari 1,5 (satu koma lima) sampai dengan 2 (dua) untuk tingkat risiko Sedang Tinggi; d. nilai risiko lebih besar dari 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) untuk tingkat risiko Tinggi; dan e. nilai risiko lebih besar dari 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) untuk tingkat risiko Sangat Tinggi. (3) Nilai risiko dan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan analisis yang komprehensif dan terstruktur atas risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dengan memperhatikan materialitas dan signifikansi setiap jenis risiko. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran OJK. BAB IV PELAPORAN HASIL PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK Pasal 6 (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib menyusun laporan... - 6 - laporan hasil penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4). (2) Direksi, komisaris, atau organ yang melaksanakan fungsi pengurusan dan pengawasan pada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank bertanggung jawab atas kebenaran, kelengkapan isi, dan ketepatan waktu penyampaian laporan hasil penilaian tingkat risiko. (3) Laporan hasil penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat nilai risiko dan tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank. Pasal 7 (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib menyampaikan laporan hasil penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada OJK dengan ketentuan: a. untuk penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) disampaikan paling lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya; dan b. untuk penilaian tingkat risiko sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) disampaikan sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh OJK. (2) Dalam hal tanggal 28 Februari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a jatuh pada hari libur, maka laporan hasil penilaian tingkat risiko wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara penyampaian laporan hasil penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB... - 7 - BAB V TINDAK LANJUT PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK Pasal 8 (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib menyusun dan melaksanakan rencana tindak lanjut atas penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (4). (2) Dalam hal tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) adalah Tinggi atau Sangat Tinggi, Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank wajib menyampaikan rencana tindak lanjut kepada OJK. (3) Rencana tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat langkah-langkah untuk menurunkan tingkat risiko dan jangka waktu yang diperlukan untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut. (4) Penyampaian rencana tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat: a. tanggal 31 Maret tahun berikutnya untuk penilaian tingkat risiko untuk posisi akhir tahun; dan b. sesuai tanggal yang ditetapkan OJK untuk penilaian tingkat risiko atas permintaan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4). (5) Dalam hal tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a jatuh pada hari libur, maka rencana tindak lanjut wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan tata cara penyampaian rencana tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal... - 8 - Pasal 9 (1) Dalam rangka tindak lanjut atas penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), OJK berwenang untuk: a. meminta Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk melakukan penyesuaian atas rencana tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2); b. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan/atau pihak tertentu; c. melakukan penunjukan pengelola statuter; d. menetapkan penggunaan pengelola statuter; e. mencabut izin usaha Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank; dan f. menetapkan pembubaran Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. (2) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dapat menyampaikan tanggapan atas permintaan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan OJK oleh Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank. BAB VI SANKSI Pasal 10 (1) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 dapat dikenakan sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. kewajiban... - 9 - c. kewajiban bagi direksi atau yang setara pada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang; d. pembatasan kegiatan usaha; e. pembekuan kegiatan usaha; dan f. pencabutan izin kegiatan usaha. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f. (4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan. (5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 (1) Penilaian tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) secara efektif dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2015 yaitu untuk penilaian tingkat risiko posisi per 31 Desember 2014. (2) Penyusunan dan pelaksanaan rencana tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) secara efektif dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2015. Pasal... - 10 - Pasal 12 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 197 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. td. Tini Kustini PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 10/POJK.05/2014 TENTANG PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK I. UMUM OJK merupakan lembaga independen yang dibentuk dengan tujuan agar sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Agar tujuan tersebut tercapai, OJK perlu melakukan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan secara efektif. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank merupakan industri jasa keuangan yang saat ini dalam fase pertumbuhan. Seiring dengan pertumbuhan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang pesat, kompleksitas dan risiko yang melekat pada kegiatan usaha Lembaga Keuangan Non-Bank juga semakin tinggi. Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang dilakukan oleh OJK harus mampu mengidentifikasi risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dan mendorong agar Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank mengatasi risiko yang ada sedini mungkin. Selain itu, setiap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank perlu menerapkan manajemen risiko untuk meminimalisir potensi kegagalan penyelenggaraan usahanya. Sebagai bagian dari penerapan manajemen risiko, Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank perlu memiliki mekanisme pengukuran dan penilaian tingkat risiko. Peraturan OJK ini mengatur kewajiban Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk melakukan penilaian tingkat risiko. Agar penilaian tingkat risiko yang dilakukan oleh setiap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank memiliki bahasa yang... - 2 - yang sama, diperlukan pengaturan mengenai penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penilaian tingkat risiko merupakan proses evaluasi terhadap risiko kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang diukur dalam bentuk tingkat risiko dan nilai risiko. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “posisi akhir tahun” adalah posisi per 31 Desember. Ayat (4) Berdasarkan hasil pengawasan, OJK dapat meminta Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk melakukan penilaian tingkat risiko pada waktu tertentu selain akhir tahun. Pasal 3 Ayat (1) OJK melakukan pengawasan terhadap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dengan menggunakan pendekatan berbasis risiko. Salah satu tahap kegiatan pengawasan berbasis risiko adalah penilaian tingkat risiko. Ayat (2) Dalam melakukan penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, OJK menggunakan berbagai informasi, antara lain laporan berkala seperti laporan keuangan dan penilaian tingkat risiko, laporan non-berkala seperti laporan perubahan kepengurusan, dan informasi lain seperti informasi pengaduan. Pasal... - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Penilaian tingkat risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank merupakan suatu alat untuk mendeteksi potensi kegagalan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dalam memenuhi kewajibannya kepada nasabah atau pihak lain. Bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, risiko diartikan sebagai potensi kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis dan tertanggung. Bagi dana pensiun, risiko diartikan sebagai potensi kegagalan dana pensiun dalam memenuhi kewajibannya kepada peserta dan pihak yang berhak lainnya. Adapun bagi perusahaan pembiayaan, risiko diartikan sebagai potensi kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Ayat (2) huruf a Penilaian risiko strategi dilakukan dengan mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko yang dapat muncul sebagai akibat kegagalan penetapan strategi yang tepat dalam rangka pencapaian sasaran dan target utama Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. huruf b Penilaian risiko operasional dilakukan dengan mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko yang dapat muncul sebagai akibat ketidaklayakan atau kegagalan proses internal, manusia, sistem teknologi informasi dan/atau adanya kejadian-kejadian yang berasal dari luar lingkungan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. huruf c Penilaian risiko aset dan liabilitas dilakukan dengan mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko yang dapat muncul sebagai akibat kegagalan pengelolaan aset dan liabilitas Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. huruf d Penilaian risiko kepengurusan dilakukan dengan mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko yang... - 4 - yang dapat muncul sebagai akibat kegagalan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dalam memelihara komposisi terbaik pengurusnya, yaitu direksi dan dewan komisaris,atau yang setara, yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi. huruf e Penilaian risiko tata kelola dilakukan dengan mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko yang terjadi karena adanya potensi kegagalan dalam pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance) Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, ketidaktepatan gaya manajemen, lingkungan pengendalian, dan perilaku dari setiap pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dengan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. huruf f Penilaian risiko dukungan dana dilakukan dengan menilai kecukupan dana/modal yang ada pada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, termasuk ketersediaan akses tambahan dana/modal dalam menghadapi kerugian atau kebutuhan dana/modal yang tidak terduga. huruf g Penilaian risiko asuransi dilakukan dengan mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko kegagalan perusahaan asuransi memenuhi kewajiban kepada pemegang polis sebagai akibat dari ketidakcukupan proses seleksi risiko (underwriting), penetapan premi (pricing), penggunaan reasuransi dan/atau penanganan klaim. huruf h Penilaian risiko pembiayaan dilakukan dengan mengidentifikasi, menilai, dan menentukan tingkat risiko yang terjadi akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada perusahaan pembiayaan. Pasal... - 5 - Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) huruf a Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat risiko Rendah apabila secara umum sehat dan memiliki risiko kegagalan yang rendah. huruf b Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat risiko Sedang Rendah apabila Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank secara umum sehat, namun terdapat beberapa permasalahan minor yang dihadapi dan bila dibiarkan akan meningkatkan risiko Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank. huruf c Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat risiko Sedang Tinggi apabila Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank secara umum cukup sehat, namun terdapat beberapa permasalahan yang cukup signifikan yang berpotensi menyebabkan Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank berisiko tinggi. huruf d Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat risiko Tinggi apabila Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank secara umum kurang sehat dan memiliki risiko kegagalan yang tinggi. huruf e Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berada pada tingkat risiko Sangat Tinggi apabila Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank secara umum tidak sehat dan memiliki risiko kegagalan yang sangat tinggi. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “analisis yang komprehensif” adalah analisis terhadap seluruh jenis risiko, sedangkan “terstruktur” berarti mengikuti pedoman penilaian tingkat risiko. Ayat... - 6 - Ayat (4) Hal-hal yang diatur dalam Surat Edaran OJK antara lain pedoman penilaian setiap jenis risiko dan pedoman penentuan nilai dan tingkat risiko. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Permintaan OJK kepada Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank untuk melakukan penyesuaian atas rencana tindak lanjut dapat disampaikan secara tertulis melalui surat maupun melalui rapat atau pertemuan dengan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. Batas waktu 15 (lima belas) hari kerja dihitung sejak tanggal diterimanya surat dari OJK atau sejak tanggal rapat atau pertemuan dimaksud. Pasal 10 Penerapan sanksi atas pelanggaran Peraturan OJK ini disesuaikan dengan jenis dan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5575
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 10/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN TINGKAT RISIKO LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 27 Agustus 2014 </set_date> <effective_date> 28 Agustus 2014 </effective_date> <issued_date> 28 Agustus 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '73/PP/1992', '9/PERPRES/2009', '77/PP/1992', '81/PP/2008', '11/UU/1992', '2/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 /POJK.01/2017 TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin berkembangnya kompleksitas produk dan layanan jasa keuangan termasuk pemasarannya (multi channel marketing), serta semakin meningkatnya penggunaan teknologi informasi pada industri jasa keuangan maka semakin tinggi risiko Penyedia Jasa Keuangan digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; b. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi Penyedia Jasa Keuangan perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas penerapan program anti Pencucian Uang dan/atau pencegahan Pendanaan Terorisme yang didasarkan pada pendekatan berbasis risiko (risk based approach) sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional; c. bahwa perlu adanya harmonisasi dan integrasi pengaturan mengenai penerapan program anti Pencucian Uang dan/atau pencegahan Pendanaan Terorisme di sektor jasa keuangan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud - 2 - dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 2. Penyedia Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat PJK adalah PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar Modal, dan PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank. 3. PJK di Sektor Perbankan adalah bank umum, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, bank umum syariah, bank perkreditan rakyat yang selanjutnya disebut BPR, dan bank pembiayaan rakyat syariah yang selanjutnya disebut BPRS sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perbankan. 4. PJK di Sektor Pasar Modal adalah perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi, serta bank umum yang menjalankan fungsi kustodian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. 5. PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan (DPLK), perusahaan pembiayaan, perusahan modal ventura (PMV), perusahaan pembiayaan infrastruktur, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia (LPEI), perusahaan pergadaian, lembaga keuangan mikro (LKM), dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Industri Keuangan Non Bank. 6. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. 7. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang - 3 - mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pendanaan Terorisme. 8. Calon Nasabah adalah pihak yang akan menggunakan jasa PJK. 9. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PJK. 10. Walk in Customer yang untuk selanjutnya disingkat WIC adalah pihak yang menggunakan jasa PJK di Sektor Perbankan atau PJK di Sektor Pasar Modal namun tidak memiliki rekening pada PJK di Sektor Perbankan atau PJK di Sektor Pasar Modal tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah. 11. Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) yang selanjutnya disingkat CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan oleh PJK untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC. 12. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence) yang selanjutnya disingkat EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan PJK terhadap Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah, yang berisiko tinggi termasuk PEP dan/atau dalam area berisiko tinggi. 13. Nasabah Berisiko Tinggi (High Risk Customers) adalah Nasabah yang berdasarkan latar belakang, identitas dan riwayatnya dianggap memiliki risiko tinggi melakukan kegiatan terkait tindak pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. 14. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pendanaan Terorisme. 15. Transaksi Keuangan Tunai adalah transaksi keuangan tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang - 4 - mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. 16. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah PPATK sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. 17. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang selanjutnya disingkat APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. 18. Direksi: a. bagi PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar Modal, PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas; b. bagi BPR, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pembiayaan, PMV, perusahaan pembiayaan infrastruktur, perusahaan pergadaian, LKM atau penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perkoperasian; c. bagi perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau perusahaan pialang asuransi berbentuk badan hukum usaha bersama adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; d. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah yang setara dengan direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; - 5 - e. bagi DPLK adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai dana pensiun; f. bagi LPEI adalah direktur eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai LPEI; dan g. bagi BPR berbentuk hukum perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan daerah, atau perusahaan daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. 19. Dewan Komisaris: a. bagi PJK di Sektor Perbankan, PJK di Sektor Pasar Modal, PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas; b. bagi BPR, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pembiayaan, PMV, perusahaan pembiayaan infrastruktur, perusahaan pergadaian, LKM, atau penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perkoperasian; c. bagi perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau perusahaan pialang asuransi berbentuk badan hukum usaha bersama adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; d. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah yang setara dengan dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; - 6 - e. bagi DPLK adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai dana pensiun; f. bagi LPEI adalah dewan direktur sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; dan g. bagi BPR berbentuk hukum perusahaan umum daerah, perusahaan perseroan daerah, atau perusahaan daerah, adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. 20. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) adalah setiap orang yang: a. berhak atas dan/atau menerima manfaat tertentu yang berkaitan dengan rekening Nasabah; b. merupakan pemilik sebenarnya dari dana dan/atau efek yang ditempatkan pada PJK (ultimately own account); c. mengendalikan transaksi Nasabah; d. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi; e. mengendalikan korporasi atau perikatan lainnya (legal arrangement); dan/atau f. merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian. 21. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kelompok yang terorganisasi, baik yang merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum, antara lain: perusahaan, yayasan, koperasi, perkumpulan keagamaan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non profit, dan organisasi kemasyarakatan. 22. Rekomendasi Financial Action Task Force yang untuk selanjutnya disebut Rekomendasi FATF adalah standar pencegahan dan pemberantasan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang dikeluarkan oleh FATF. - 7 - 23. Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries) adalah negara atau teritori yang potensial digunakan sebagai tempat: a. terjadinya atau sarana tindak pidana Pencucian Uang; b. dilakukannya tindak pidana asal (predicate crime); dan/atau c. dilakukannya aktivitas pendanaan kegiatan terorisme. 24. Lembaga Negara adalah lembaga yang memiliki kewenangan di bidang eksekutif, yudikatif, atau legislatif. 25. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif dari unit organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas dan fungsinya, meliputi: a. kementerian koordinator; b. kementerian negara; c. kementerian; d. Lembaga Negara non kementerian; e. pemerintah propinsi; f. pemerintah kota; g. pemerintah kabupaten; h. Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan undang- undang; dan i. lembaga-lembaga negara yang menjalankan fungsi pemerintahan dengan menggunakan anggaran pendapatan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah. 26. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Person) yang selanjutnya disingkat PEP meliputi: a. PEP Asing yaitu orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara lain (asing), seperti kepala negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah senior, pejabat militer atau pejabat di bidang penegakan hukum, eksekutif senior pada perusahaan yang dimiliki oleh negara, pejabat penting dalam partai politik; - 8 - b. PEP Domestik yaitu orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara, seperti kepala negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah senior, pejabat militer atau pejabat dibidang penegakan hukum, eksekutif senior pada perusahaan yang dimiliki oleh negara, pejabat penting dalam partai politik; dan c. Orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh organisasi internasional, seperti senior manajer yang meliputi antara lain direktur, deputi direktur, dan anggota dewan atau fungsi yang setara. 27. Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank (correspondent) dalam menyediakan layanan jasa bagi bank lainnya (respondent) berdasarkan suatu kesepakatan tertulis dalam rangka memberikan jasa pembayaran dan jasa perbankan lainnya. 28. Cross Border Corespondent Banking adalah Correspondent Banking dimana salah satu kedudukan bank correspondent atau bank respondent berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia. 29. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan bank umum syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perbankan. 30. Transfer Dana adalah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. 31. Bank Pengirim adalah bank yang mengirimkan perintah Transfer Dana. 32. Bank Penerus adalah bank yang meneruskan perintah Transfer Dana dari Bank Pengirim. 33. Bank Penerima adalah bank yang menerima perintah Transfer Dana. - 9 - 34. Konglomerasi Keuangan (Financial Group) adalah PJK yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian. BAB II KEWAJIBAN PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR JASA KEUANGAN Pasal 2 PJK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme terkait dengan nasabah, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi (delivery channels), termasuk kewajiban untuk: a. mendokumentasikan penilaian risiko; b. mempertimbangkan seluruh faktor risiko yang relevan sebelum menetapkan tingkat keseluruhan risiko, serta tingkat dan jenis mitigasi risiko yang memadai untuk diterapkan; c. mengkinikan penilaian risiko secara berkala; dan d. memiliki mekanisme yang memadai terkait penyediaan informasi penilaian risiko kepada instansi yang berwenang. Pasal 3 (1) PJK wajib memiliki kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, yang disetujui oleh Direksi dan Dewan Komisaris, agar PJK mampu mengelola dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi. (2) PJK wajib memantau penerapan kebijakan, pengawasan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan meningkatkan penerapannya jika diperlukan. (3) PJK wajib menetapkan tindakan yang lebih mendalam untuk mengelola dan memitigasi risiko dalam hal risiko yang lebih tinggi teridentifikasi. - 10 - Pasal 4 PJK wajib menerapkan program APU dan PPT untuk mengelola dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi berdasarkan penilaian risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan yang telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan OJK ini. Pasal 5 (1) Program APU dan PPT merupakan bagian dari penerapan manajemen risiko PJK secara keseluruhan. (2) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kebijakan dan prosedur; c. pengendalian intern; d. sistem informasi manajemen; dan e. sumber daya manusia dan pelatihan. BAB III PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Bagian Pertama Pengawasan Aktif Direksi Pasal 6 Pengawasan aktif Direksi paling kurang meliputi: a. memastikan PJK memiliki kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT; b. mengusulkan kebijakan dan prosedur tertulis yang bersifat strategis mengenai penerapan program APU dan PPT kepada Dewan Komisaris; c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan; - 11 - d. membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT; e. melakukan pengawasan atas kepatuhan unit kerja dalam menerapkan program APU dan PPT; f. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penerapan program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi di sektor jasa keuangan serta sesuai dengan perkembangan modus Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; dan g. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari satuan kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan penerapan program APU dan PPT secara berkala. Bagian Kedua Pengawasan Aktif Dewan Komisaris Pasal 7 Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang meliputi: a. memberikan persetujuan atas kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT yang diusulkan oleh Direksi; b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT; dan c. memastikan adanya pembahasan terkait Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme dalam rapat Direksi dan Dewan Komisaris. - 12 - Bagian Ketiga Penanggung Jawab Penerapan Program APU dan PPT Paragraf 1 Umum Pasal 8 (1) PJK wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat sebagai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, pada kantor pusat dan kantor cabang. (2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi PJK dan bertanggung jawab kepada Direksi. (3) Bagi bank umum, BPR, dan PJK di Sektor Pasar Modal, unit kerja khusus dan/atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan. (4) Bagi BPRS dan PJK di Sektor Industri Keuangan Non Bank, penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dapat dilaksanakan oleh salah satu anggota Direksi. (5) PJK wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kemampuan yang memadai dan memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait. (6) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal merupakan perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi dalam satu badan usaha, PJK di Sektor Pasar Modal tersebut dapat hanya memiliki satu penanggung jawab penerapan program APU dan PPT. (7) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal merupakan bank kustodian, penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dapat ditugaskan kepada penanggung jawab bank - 13 - kustodian atau dirangkap oleh penanggung jawab penerapan program APU dan PPT pada bank umum. (8) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal berupa bank kustodian yang merupakan kantor cabang bank asing, penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dilakukan oleh pimpinan kantor cabang bank asing tersebut. Paragraf 2 Unit Kerja Khusus Pasal 9 Dalam hal PJK membentuk unit kerja khusus sebagai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. unit kerja khusus paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pimpinan dan 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pelaksana; b. pimpinan dan pelaksana pada unit kerja khusus tidak merangkap fungsi lain; c. pimpinan unit kerja khusus ditetapkan/diangkat oleh Direksi; d. unit kerja khusus berada di bawah koordinasi Direksi secara langsung dalam struktur organisasi PJK; dan e. unit kerja khusus bersifat independen dari fungsi lain. Paragraf 3 Penugasan Pejabat Pasal 10 Dalam hal PJK menugaskan pejabat sebagai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, pejabat tersebut harus ditetapkan atau diangkat oleh Direksi dan hanya dapat merangkap untuk melaksanakan fungsi manajemen risiko dan/atau fungsi kepatuhan. - 14 - Paragraf 4 Tugas dan Wewenang Pasal 11 Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas paling kurang meliputi: a. menganalisis secara berkala penilaian risiko tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme terkait dengan Nasabahnya, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi (delivery channels); b. menyusun, melakukan pengkinian, dan mengusulkan kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT yang telah disusun untuk mengelola dan memitigasi risiko berdasarkan penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada huruf a, untuk dimintakan pertimbangan dan persetujuan Direksi; c. memastikan adanya sistem yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah; d. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur yang disusun sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang meliputi antara lain produk, jasa, dan teknologi di sektor jasa keuangan, kegiatan dan kompleksitas usaha PJK, volume transaksi PJK, dan modus Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; e. memastikan bahwa formulir yang berkaitan dengan Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan dalam penerapan program APU dan PPT; f. memantau rekening Nasabah dan pelaksanaan transaksi Nasabah; g. melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan analisis transaksi Nasabah untuk memastikan ada atau tidak adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan, - 15 - Transaksi Keuangan Tunai dan/atau transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri; h. menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi; i. memastikan pengkinian data dan profil Nasabah serta data dan profil transaksi Nasabah; j. memastikan bahwa kegiatan usaha yang berisiko tinggi terhadap tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme diidentifikasi secara efektif sesuai dengan kebijakan dan prosedur PJK serta ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini; k. memastikan adanya mekanisme komunikasi yang baik dari setiap satuan kerja terkait kepada unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT dengan menjaga kerahasiaan informasi dan memperhatikan ketentuan anti tipping-off; l. melakukan pengawasan terkait penerapan program APU dan PPT terhadap satuan kerja terkait; m. memastikan adanya identifikasi area yang berisiko tinggi yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan dan sumber informasi yang memadai; n. menerima, melakukan analisis, dan menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang disampaikan oleh satuan kerja; o. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, Transaksi Keuangan Tunai, dan/atau transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri; p. memastikan seluruh kegiatan dalam rangka penerapan program APU dan PPT terlaksana dengan baik; dan q. memantau, menganalisis, dan merekomendasikan kebutuhan pelatihan tentang penerapan program APU dan PPT bagi pejabat dan/atau pegawai PJK. - 16 - Pasal 12 Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai wewenang paling kurang meliputi: a. memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di seluruh unit organisasi PJK; b. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap penerapan program APU dan PPT oleh unit kerja terkait; c. mengusulkan pejabat dan/atau pegawai unit kerja terkait untuk membantu penerapan program APU dan PPT; dan d. melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan, Transaksi Keuangan Tunai, dan/atau transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri yang dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pihak terafiliasi dengan Direksi atau Dewan Komisaris, secara langsung kepada PPATK. BAB IV KEBIJAKAN DAN PROSEDUR Pasal 13 (1) PJK wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola dan memitigasi risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang diidentifikasi sesuai dengan penilaian risiko. (2) Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi: a. identifikasi dan verifikasi Nasabah; b. identifikasi dan verifikasi Beneficial Owner; c. penutupan hubungan usaha atau penolakan transaksi; d. pengelolaan risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang berkelanjutan terkait dengan Nasabah, negara, produk dan jasa serta jaringan distribusi (delivery channels); - 17 - e. pemeliharaan data yang akurat terkait dengan transaksi, penatausahaan proses CDD, dan penatausahaan kebijakan dan prosedur; f. pengkinian dan pemantauan; g. pelaporan kepada pejabat senior, Direksi dan Dewan Komisaris terkait pelaksanaan kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT; dan h. pelaporan kepada PPATK. (3) Khusus untuk bank umum, cakupan pedoman pelaksanaan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pula Cross Border Correspondent Banking dan Transfer Dana. (4) PJK wajib menerapkan kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara konsisten dan berkesinambungan. (5) Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat persetujuan dari Direksi. Pasal 14 (1) PJK wajib mengidentifikasi dan melakukan penilaian risiko tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme yang terkait dengan pengembangan produk dan praktik usaha baru, termasuk mekanisme distribusi baru, dan penggunaan teknologi baru atau pengembangan teknologi untuk produk baru maupun produk yang telah ada. (2) PJK wajib melakukan penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum produk, praktik usaha dan teknologi diluncurkan atau digunakan. (3) PJK wajib melakukan tindakan yang memadai untuk mengelola dan memitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 18 - Pasal 15 PJK wajib melakukan prosedur CDD pada saat: a. melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah; b. terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. terdapat transaksi Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini; d. terdapat indikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; atau e. PJK meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh Calon Nasabah, Nasabah, penerima kuasa, dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). Pasal 16 (1) PJK wajib mengelompokkan Calon Nasabah dan Nasabah berdasarkan tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. (2) Pengelompokkan Calon Nasabah dan Nasabah berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan analisis yang paling kurang meliputi: a. identitas Nasabah; b. lokasi usaha bagi Nasabah perusahaan; c. profil Nasabah; d. frekuensi transaksi; e. kegiatan usaha Nasabah; f. struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan; g. produk, jasa, dan jaringan distribusi (delivery channels) yang digunakan oleh Nasabah; dan h. informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat risiko Nasabah. - 19 - Pasal 17 (1) Dalam rangka melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah, PJK wajib: a. melakukan identifikasi Calon Nasabah untuk mengetahui profil Calon Nasabah; dan b. melakukan verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung Calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) PJK wajib melakukan verifikasi kebenaran identitas Calon Nasabah melalui pertemuan langsung (face to face) dengan Calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas Calon Nasabah. (3) Proses verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digantikan dengan verifikasi melalui sarana elektronik milik PJK. (4) Proses verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. verifikasi dilakukan melalui proses dan sarana elektronik milik PJK dan/atau milik Calon Nasabah; dan b. verifikasi wajib memanfaatkan data kependudukan yang memenuhi 2 (dua) faktor otentikasi. Pasal 18 (1) PJK dilarang membuka atau memelihara rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif. (2) PJK dilarang membuka hubungan usaha dengan Calon Nasabah atau memelihara rekening Nasabah apabila: a. Calon Nasabah atau Nasabah menolak untuk mematuhi peraturan yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT; atau b. PJK tidak dapat meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen Calon Nasabah atau Nasabah. - 20 - Bagian Pertama Identifikasi dan Verifikasi Calon Nasabah dan Nasabah Pasal 19 PJK wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan Calon Nasabah atau Nasabah ke dalam kelompok orang perseorangan (natural person), Korporasi, dan perikatan lainnya (legal arrangement). Pasal 20 (1) Identifikasi Calon Nasabah untuk mengetahui profil Calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, dilakukan melalui permintaan data dan informasi yang paling kurang meliputi: a. bagi Calon Nasabah orang perseorangan (natural person): 1. identitas yang memuat: a) nama lengkap termasuk nama alias (jika ada); b) nomor dokumen identitas; c) alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat tempat tinggal lain (jika ada); d) tempat dan tanggal lahir; e) kewarganegaraan; f) pekerjaan; g) alamat dan nomor telepon tempat kerja (jika ada); h) jenis kelamin; dan i) status perkawinan; 2. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), jika ada; 3. sumber dana; 4. penghasilan rata-rata per tahun; dan 5. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah. - 21 - b. bagi Calon Nasabah Korporasi: 1. nama; 2. nomor izin dari instansi berwenang; 3. bidang usaha atau kegiatan; 4. alamat kedudukan; 5. tempat dan tanggal pendirian; 6. bentuk badan hukum atau badan usaha; 7. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) apabila Calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); 8. sumber dana; dan 9. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah. c. bagi Calon Nasabah perikatan lainnya (legal arrangement): 1. nama; 2. nomor izin dari instansi berwenang (jika ada); 3. alamat kedudukan; 4. bentuk perikatan (legal arrangement); 5. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) apabila Calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); 6. sumber dana; dan 7. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan Calon Nasabah. (2) Berkaitan dengan transaksi WIC, sebelum melakukan transaksi dengan WIC, PJK di Sektor Perbankan dan PJK di Sektor Pasar Modal wajib meminta: a. seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi WIC orang perseorangan (natural person), Korporasi, maupun perikatan lainnya (legal arrangement) yang melakukan transaksi paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; - 22 - b. informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 huruf a), huruf b), dan huruf c) bagi WIC orang perseorangan (natural person) yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara; c. informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 4 bagi WIC Korporasi yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara; dan d. informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 dan angka 3 bagi WIC perikatan lainnya (legal arrangement) yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara. Pasal 21 Untuk Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) dan WIC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a, informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a angka 1 wajib didukung dengan dokumen identitas Calon Nasabah dan spesimen tanda tangan. Pasal 22 (1) Untuk Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan, informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b wajib didukung dengan dokumen identitas perusahaan dan: a. untuk Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil ditambah dengan: 1. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK; 2. kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan - 23 - 3. surat izin tempat usaha atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang; b. untuk Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha kecil selain disertai dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 dan angka 3, ditambah dengan: 1. laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan; 2. struktur manajemen perusahaan; 3. struktur kepemilikan perusahaan; dan 4. dokumen identitas anggota Direksi atau pemegang kuasa dari anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk melakukan hubungan usaha. (2) Untuk Calon Nasabah Korporasi berupa PJK, dokumen yang disampaikan paling sedikit meliputi: a. akta pendirian/anggaran dasar PJK; b. izin usaha dari instansi yang berwenang; dan c. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama PJK dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK. Pasal 23 (1) Untuk Calon Nasabah selain Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) dan Korporasi berupa perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b. (2) PJK wajib meminta dokumen pendukung informasi untuk Calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi: a. untuk Calon Nasabah Korporasi berupa yayasan: 1. izin kegiatan yayasan; 2. deskripsi kegiatan yayasan; 3. struktur dan nama pengurus yayasan; dan - 24 - 4. dokumen identitas anggota pengurus atau pemegang kuasa dari anggota pengurus yang berwenang mewakili yayasan untuk melakukan hubungan usaha dengan PJK. b. untuk Calon Nasabah Korporasi selain perusahaan dan yayasan baik yang merupakan badan hukum, maupun bukan badan hukum: 1. bukti izin dari instansi yang berwenang; 2. nama Korporasi; 3. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART); dan 4. dokumen identitas pihak yang berwenang mewakili Korporasi dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK. c. untuk Calon Nasabah berupa perikatan lainnya (legal arrangement): 1. bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang; 2. nama perikatan; 3. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) (jika ada); dan 4. dokumen identitas pihak yang berwenang mewakili perikatan lainnya (legal arrangement) dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK. Pasal 24 (1) Untuk Calon Nasabah berupa Lembaga Negara, Instansi Pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing, PJK wajib meminta informasi mengenai nama dan alamat kedudukan lembaga, instansi atau perwakilan tersebut. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung dengan dokumen meliputi: a. surat penunjukan bagi pihak yang berwenang mewakili lembaga, instansi atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha; dan - 25 - b. spesimen tanda tangan pihak yang berwenang mewakili lembaga, instansi atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha. Pasal 25 (1) PJK wajib melakukan verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung Calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, berdasarkan dokumen dan/atau sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya dan independen serta memastikan bahwa data tersebut adalah data terkini. (2) PJK wajib melakukan verifikasi bahwa pihak yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah telah mendapatkan otorisasi dari Nasabah, dan melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap identitas dari pihak tersebut. (3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang telah diidentifikasi berdasarkan penilaian risiko yang dilakukan oleh PJK dan wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan OJK ini. (4) PJK dapat melakukan wawancara dengan Calon Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen, dalam hal terdapat keraguan atas data, informasi, dan/atau dokumen pendukung yang diterima. (5) Dalam hal terdapat keraguan, PJK wajib meminta kepada Calon Nasabah untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang untuk memastikan kebenaran identitas Calon Nasabah. (6) PJK wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas Calon Nasabah dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), apabila Calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), sebelum membuka hubungan usaha dengan Calon Nasabah atau sebelum melakukan transaksi dengan WIC. - 26 - (7) Dalam hal PJK telah menerapkan prosedur manajemen risiko, PJK dapat melakukan hubungan usaha atau transaksi sebelum proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) selesai. (8) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib diselesaikan sesegera mungkin, setelah terjadinya hubungan usaha nasabah dengan PJK, dengan memperhatikan bahwa risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dapat dikelola secara efektif dan bahwa proses pertemuan langsung ini tidak mengganggu kegiatan usaha secara normal. Pasal 26 PJK wajib memahami profil, maksud dan tujuan hubungan usaha, dan transaksi yang dilakukan Nasabah dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) melalui identifikasi dan verifikasi. Bagian Kedua Identifikasi dan Verifikasi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) Pasal 27 (1) PJK wajib memastikan Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC yang membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi bertindak untuk diri sendiri atau untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (2) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC bertindak untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (3) Dalam hal Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tergolong sebagai PEP maka prosedur yang diterapkan adalah prosedur EDD. (4) Dalam hal terdapat perbedaan tingkat risiko antara Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), penerapan CDD dilakukan mengikuti tingkat risiko yang lebih tinggi. - 27 - (5) Kewajiban melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi calon Nasabah, Nasabah atau WIC yang memiliki tingkat risiko rendah. Pasal 28 (1) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah atau WIC bukan merupakan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib melakukan identifikasi dan verifikasi identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), antara lain berupa: a. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC orang perseorangan (natural person) berupa: 1. informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 21; 2. hubungan hukum antara Calon Nasabah, Nasabah atau WIC dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk lainnya; 3. pernyataan dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan 4. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) bahwa yang bersangkutan adalah pemilik sebenarnya dari dana Calon Nasabah, Nasabah atau WIC; b. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC Korporasi berupa: 1. informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan Pasal 22; 2. hubungan hukum antara Calon Nasabah, Nasabah atau WIC dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang ditunjukkan dengan - 28 - surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk lainnya; 3. dokumen dan/atau informasi identitas orang perseorangan (natural person), jika ada, yang menjadi pemilik atau pengendali akhir dari Korporasi; 4. pernyataan dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan 5. pernyataan dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) bahwa yang bersangkutan adalah pemilik sebenarnya dari dana Calon Nasabah, Nasabah, WIC. c. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC perikatan lainnya (legal arrangement) berbentuk trust, berupa: 1. identitas penitip harta (settlor); 2. identitas penerima dan pengelola harta (trustee); 3. identitas penjamin (protector) (jika ada); 4. identitas penerima manfaat (beneficiary) atau kelas penerima manfaat (class of beneficiary); dan 5. orang perseorangan (natural person) yang mengendalikan trust. d. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari Calon Nasabah, Nasabah atau WIC perikatan lainnya (legal arrangement) dalam bentuk lainnya, berupa identitas orang perseorangan (natural person) yang mempunyai posisi yang sama atau setara dengan pihak dalam trust sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Dalam hal PJK ragu mengenai apakah pihak yang menjadi pengendali melalui kepemilikan adalah Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau dalam hal tidak ada orang perseorangan yang memiliki pengendalian melalui kepemilikan, PJK wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas identitas - 29 - dari orang perseorangan (jika ada) yang mengendalikan Korporasi atau legal arrangements melalui bentuk lain. (3) Dalam hal tidak ada orang perseorangan yang teridentifikasi sebagai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2), PJK wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas identitas dari orang perseorangan yang relevan yang memegang posisi sebagai direksi atau yang dipersamakan dengan jabatan tersebut. (4) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC merupakan PJK lain di dalam negeri yang bertindak untuk dan atas nama Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dokumen mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dapat berupa pernyataan tertulis dari Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC. (5) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC merupakan PJK lain di luar negeri yang menerapkan program APU dan PPT yang paling kurang setara dengan Peraturan OJK ini yang mewakili Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), maka dokumen mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) berupa pernyataan tertulis dari PJK di luar negeri bahwa identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) telah dilakukan verifikasi oleh PJK di luar negeri tersebut. (6) Dalam hal penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang dilakukan oleh PJK di luar negeri tidak setara dengan Peraturan OJK ini, PJK dimaksud wajib menerapkan program APU dan PPT berdasarkan Peraturan OJK ini. (7) Dalam hal PJK meragukan atau tidak dapat meyakini identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan Calon Nasabah, Nasabah, atau WIC. Pasal 29 Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 - 30 - ayat (1) huruf b angka 2 tidak berlaku bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) berupa: a. Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah; b. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara; atau c. perusahaan publik atau emiten. Bagian Ketiga Identifikasi dan Verifikasi Calon Nasabah dan Nasabah Berisiko Tinggi Pasal 30 (1) PJK wajib memiliki sistem manajemen risiko yang memadai untuk menentukan apakah Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC termasuk kriteria berisiko tinggi. (2) Kriteria berisiko tinggi dari Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilihat dari: a. latar belakang atau profil Calon Nasabah, Nasabah Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC termasuk Nasabah Berisiko Tinggi (High Risk Customers); b. produk sektor jasa keuangan yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; c. transaksi dengan pihak yang berasal dari Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries); d. transaksi tidak sesuai dengan profil; e. termasuk dalam kategori PEP; f. bidang usaha Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC termasuk usaha yang berisiko tinggi (High Risk Business); g. negara atau teritori asal, domisili, atau dilakukannya transaksi Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC termasuk Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries); - 31 - h. tercantumnya Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris; atau i. transaksi yang dilakukan Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC diduga terkait dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan, tindak pidana Pencucian Uang, dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme. Pasal 31 (1) PJK wajib melakukan penilaian untuk menentukan Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC adalah PEP. (2) Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC tergolong berisiko tinggi, termasuk PEP, PJK wajib melakukan EDD. Pasal 32 (1) Terhadap PEP Asing, selain menerapkan proses CDD sebagaimana diatur dalam Pasal 20, PJK wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki sistem manajemen risiko untuk menentukan apakah Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) memenuhi kriteria PEP; b. menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC tersebut; c. melakukan EDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), sumber dana, dan sumber kekayaan; dan d. pemantauan yang lebih ketat atas hubungan usaha antara lain melalui peningkatan jumlah dan frekuensi pengawasan dan pemilihan pola transaksi. (2) Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berwenang untuk: - 32 - a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC yang tergolong berisiko tinggi; dan b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan usaha dengan Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC yang tergolong berisiko tinggi. Pasal 33 Terhadap PEP domestik atau orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) dalam organisasi internasional, selain menerapkan proses CDD sebagaimana diatur dalam Pasal 20, PJK wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. PJK wajib memiliki sistem manajemen risiko untuk menentukan apakah Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) memenuhi kriteria PEP; dan b. dalam hal terdapat risiko yang lebih tinggi atas hubungan usaha antara PJK dengan Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) tersebut, PJK wajib menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Pasal 34 Ketentuan yang berlaku bagi Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC yang berisiko tinggi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku pula bagi anggota keluarga atau pihak yang terkait (close associates) dari PEP. Pasal 35 Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC yang memenuhi kriteria berisiko tinggi dibuat dalam daftar tersendiri. - 33 - Pasal 36 Dalam hal PJK melakukan hubungan usaha dengan Nasabah dan/atau melakukan transaksi yang berasal dari Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries) yang dipublikasikan oleh FATF untuk dilakukan langkah pencegahan (countermeasures), PJK wajib melakukan EDD dengan meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada otoritas terkait. Bagian Keempat CDD Terhadap Penerima Manfaat (Beneficiary) dari Asuransi Jiwa dan Produk Investasi lain Terkait Polis Asuransi Pasal 37 (1) Selain CDD yang dipersyaratkan bagi Calon Nasabah dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana diatur dalam Pasal 15, PJK wajib melakukan CDD terhadap penerima manfaat (beneficiary) dari asuransi jiwa dan produk investasi lain terkait dengan polis asuransi, segera setelah penerima manfaat (beneficiary) diidentifikasi atau ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk penerima manfaat (beneficiary) yang telah diidentifikasi sebagai perorangan atau non perorangan, PJK wajib meminta nama orang perseorangan (natural person) atau Korporasi atau perikatan lainnya (legal arrangement) dari penerima manfaat (beneficiary) tersebut; atau b. untuk penerima manfaat (beneficiary) yang telah ditunjuk berdasarkan karakteristik atau berdasarkan cara lain, PJK wajib meminta informasi yang memadai mengenai penerima manfaat (beneficiary) untuk meyakinkan PJK bahwa informasi tersebut dapat digunakan untuk membuktikan identitas dari penerima manfaat (beneficiary) pada saat pembayaran klaim asuransi. (2) Seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dicatat dan dikelola sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK ini. - 34 - (3) Verifikasi terhadap identitas penerima manfaat (beneficiary) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan pada saat pembayaran klaim asuransi. Pasal 38 (1) PJK wajib memasukkan penerima manfaat (beneficiary) dari polis asuransi jiwa sebagai salah satu faktor risiko yang relevan dalam memastikan apakah EDD perlu diterapkan. (2) Dalam hal PJK menetapkan bahwa penerima manfaat (beneficiary) termasuk dalam kategori berisiko tinggi atau PEP, PJK wajib melakukan EDD yang mencakup pula identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari penerima manfaat (beneficiary) pada saat pembayaran klaim asuransi. Pasal 39 Dalam hal penerima manfaat (beneficiary) dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari penerima manfaat (beneficiary) pada saat pembayaran klaim asuransi jiwa adalah PEP, PJK wajib menginformasikan kepada pejabat senior sebelum pembayaran klaim asuransi jiwa untuk melakukan pengawasan lebih lanjut terkait hubungan usaha dengan pemegang polis dan melaporkannya sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan. Bagian Kelima CDD Sederhana Pasal 40 (1) PJK dapat menerapkan prosedur CDD sederhana dari prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 28, terhadap Calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria sebagai berikut: - 35 - a. tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran atau penerimaan gaji; b. Calon Nasabah berupa emiten atau perusahaan publik yang tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang kewajiban untuk mengungkapkan kinerjanya; c. Calon Nasabah perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pemerintah; d. Calon Nasabah merupakan Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah; e. tujuan pembukaan rekening terkait dengan program pemerintah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan/atau pengentasan kemiskinan; dan/atau f. Calon Nasabah yang berdasarkan penilaian risiko terjadinya Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria Calon Nasabah dengan profil dan karakteristik sederhana. (2) Terhadap Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib meminta informasi dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a angka 1 huruf a), huruf b), huruf c), dan huruf d); b. bagi Calon Nasabah Korporasi, Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 4; c. bagi Calon Nasabah perikatan lainnya (legal arrangement) yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf - 36 - b, dan/atau huruf c, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c angka 1 dan angka 3; dan d. bagi Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a angka 1 huruf a), huruf c), huruf d), dan huruf f). (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didukung dengan: a. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, bagi Calon Nasabah orang perseorangan (natural person) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. dokumen identitas perusahaan ditambah dengan spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan, bagi Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; c. dokumen identitas perusahaan dan dokumen identitas anggota Direksi atau pemegang kuasa dari anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan, bagi Calon Nasabah Korporasi berupa perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha kecil yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c; atau d. dokumen lainnya sebagai pengganti dokumen identitas yang dapat memberikan keyakinan kepada PJK tentang profil Calon Nasabah tersebut, dan spesimen tanda tangan, bagi Calon Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e. (4) PJK dapat menerapkan prosedur CDD sederhana tersendiri sesuai dengan penilaian risiko atas Calon - 37 - Nasabah yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f. (5) Dalam hal PJK menerapkan prosedur CDD sederhana tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PJK wajib memberitahukan hal tersebut kepada OJK dimana pemberitahuan tersebut meliputi informasi mengenai: a. kriteria identifikasi Nasabah dan transaksi berisiko rendah konsisten dengan penilaian risiko yang dilakukan oleh PJK; b. persyaratan CDD sederhana mampu mengelola tingkat ancaman Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme terhadap Calon Nasabah dan transaksinya yang telah diidentifikasi dengan tingkat risiko rendah terhadap Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; c. persyaratan CDD sederhana tidak mencakup Nasabah yang berdasarkan peraturan perundang- undangan dikategorikan sebagai Nasabah atau transaksi yang berisiko tinggi; dan d. waktu dimulainya penerapan prosedur CDD sederhana. (6) PJK wajib mengimplementasikan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan prosedur CDD sederhana tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (7) Prosedur CDD sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme atau tingkat risikonya meningkat. (8) PJK wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang mendapat perlakuan CDD sederhana. (9) Dalam hal penggunaan rekening tidak sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka PJK wajib melakukan prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 terhadap Nasabah yang bersangkutan. - 38 - Bagian Keenam Pelaksanaan CDD oleh Pihak Ketiga Pasal 41 (1) PJK dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap Calon Nasabahnya yang telah menjadi Nasabah pada pihak ketiga tersebut. (2) Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib: a. memahami maksud dan tujuan hubungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26; dan b. mengidentifikasi dan memverifikasi Nasabah dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29. (3) Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga, tanggung jawab CDD tetap berada pada PJK tersebut. (4) Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD pihak ketiga: a. PJK wajib sesegera mungkin mendapatkan informasi yang diperlukan terkait dengan prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 28; b. PJK wajib memiliki kerja sama dengan pihak ketiga dalam bentuk kesepakatan tertulis; c. PJK wajib mengambil langkah yang memadai untuk memastikan bahwa pihak ketiga bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen pendukung segera apabila dibutuhkan oleh PJK dalam rangka penerapan program APU dan PPT; d. PJK wajib memastikan bahwa pihak ketiga merupakan lembaga keuangan dan penyedia barang dan/atau jasa dan profesi tertentu yang memiliki prosedur CDD dan tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. PJK wajib memperhatikan informasi terkait risiko negara tempat pihak ketiga tersebut berasal. - 39 - (5) Dalam hal pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berkedudukan di Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries), maka pihak ketiga tersebut wajib memenuhi kriteria: a. berada dalam Konglomerasi Keuangan (financial group) yang sama dengan PJK; b. Konglomerasi Keuangan (financial group) tersebut telah menerapkan CDD, penatausahaan dokumen, dan program APU dan PPT secara efektif sesuai dengan Rekomendasi FATF; dan c. Konglomerasi Keuangan (financial group) tersebut diawasi oleh otoritas yang berwenang. (6) Dalam hal PJK menggunakan hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga yang merupakan Konglomerasi Keuangan (financial group) yang sama maka PJK atau perusahaan induk harus mempertimbangkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Konglomerasi Keuangan (financial group) menerapkan ketentuan CDD, penatausahaan dokumen, dan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini; b. terhadap implementasi atas CDD, penatausahaan dokumen, dan program APU dan PPT dilakukan pengawasan Konglomerasi Keuangan (financial group) oleh otoritas yang berwenang; dan c. terhadap Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries) telah dilakukan mitigasi risiko secara memadai oleh unit APU dan PPT berdasarkan kebijakan program APU dan PPT di tingkat Konglomerasi Keuangan (financial group). - 40 - Bagian Ketujuh Penolakan Transaksi dan Penutupan Hubungan Usaha Pasal 42 (1) PJK wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan Calon Nasabah dan/atau melaksanakan transaksi dengan WIC, dalam hal Calon Nasabah atau WIC: a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 28; b. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu; c. menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya; dan/atau d. berbentuk shell bank atau bank umum atau bank umum syariah yang mengizinkan rekeningnya digunakan oleh shell bank. (2) PJK wajib menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah dalam hal: a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi; b. memiliki sumber dana transaksi yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana; dan/atau c. Calon Nasabah atau Nasabah terdapat dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris. (3) PJK tetap wajib menyelesaikan proses identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Calon Nasabah atau WIC dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dalam hal terdapat penolakan hubungan usaha dengan Calon Nasabah dan/atau penolakan transaksi dengan WIC berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c. (4) Dalam hal PJK menduga adanya transaksi keuangan terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, dan PJK meyakini bahwa proses - 41 - CDD akan melanggar ketentuan anti tipping-off, PJK wajib tidak melanjutkan prosedur CDD dan wajib melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan tersebut kepada PPATK. (5) PJK wajib mendokumentasikan Calon Nasabah, Nasabah atau WIC yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (6) PJK wajib melaporkan Calon Nasabah, Nasabah atau WIC sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila transaksinya mencurigakan. (7) Kewajiban PJK untuk menolak, membatalkan dan/atau menutup hubungan usaha dengan Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembukaan rekening dan diberitahukan kepada Nasabah. Pasal 43 (1) Dalam hal dilakukan penutupan hubungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), PJK wajib memberitahukan secara tertulis kepada Nasabah mengenai penutupan hubungan usaha tersebut. (2) Dalam hal setelah dilakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Nasabah tidak mengambil sisa dana yang tersimpan di PJK maka penyelesaian terhadap sisa dana Nasabah yang tersimpan di PJK dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedelapan Pengkinian dan Pemantauan Pasal 44 (1) PJK wajib melakukan pemantauan terhadap hubungan usaha dengan Nasabah dengan cara memantau transaksi Nasabah untuk memastikan bahwa transaksi yang dilakukan sejalan dengan pemahaman PJK atas Nasabah, - 42 - kegiatan usaha dan profil risiko Nasabah, termasuk sumber dananya. (2) PJK wajib melakukan upaya pengkinian data, informasi, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 28 dalam hal terdapat perubahan yang diketahui dari pemantauan PJK terhadap Nasabah atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) PJK wajib mendokumentasikan upaya pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam melakukan pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PJK wajib: a. melakukan pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah; b. menyusun laporan rencana pengkinian data; dan c. menyusun laporan realisasi pengkinian data. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c wajib mendapat persetujuan dari Direksi. Pasal 45 (1) PJK wajib melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah. (2) PJK dapat meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah, dengan memperhatikan ketentuan anti tipping-off sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. (3) Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) PJK wajib memiliki sistem yang dapat: a. mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai profil, karakteristik dan/atau kebiasaan pola transaksi yang dilakukan oleh Nasabah; dan b. menelusuri setiap transaksi, apabila diperlukan, termasuk penelusuran atas identitas Nasabah, - 43 - bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi, serta sumber dana yang digunakan untuk transaksi. (4) Dalam hal data dan/atau informasi yang disampaikan Nasabah tidak memberikan penjelasan yang meyakinkan, maka PJK wajib melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan tersebut kepada PPATK. (5) PJK wajib melakukan pemantauan yang berkesinambungan terhadap hubungan usaha/transaksi dengan: a. Nasabah yang berasal dari Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries); dan b. PJK yang berkedudukan di Negara Berisiko Tinggi (High Risk Countries). Pasal 46 (1) PJK wajib memelihara daftar terduga teroris dan organisasi teroris. (2) PJK wajib melakukan identifikasi dan memastikan secara berkala nama Nasabah yang memiliki kesamaan nama dan informasi lain atas Nasabah dengan nama dan informasi yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib memastikan kesesuaian identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain yang terkait. (4) Dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan kesamaan informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib segera melakukan pemblokiran secara serta merta dan melaporkannya sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. - 44 - Bagian Kesembilan Cross Border Correspondent Banking Pasal 47 (1) Sebelum menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking, Bank wajib memahami kegiatan usaha Bank Penerima dan/atau Bank Penerus dengan meminta informasi mengenai: a. profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; b. reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus berdasarkan informasi dipertanggungjawabkan; c. tingkat penerapan program APU dan PPT di negara tempat kedudukan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; dan d. informasi relevan lain yang diperlukan Bank untuk mengetahui profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada informasi publik yang memadai yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. (3) Bank wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus. (4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap penerapan program APU dan PPT pada Bank Penerima dan/atau Bank Penerus. (5) Bank wajib memahami tanggung jawab penerapan program APU dan PPT dari masing-masing pihak yang terkait dengan kegiatan Cross Border Corespondent Banking. Pasal 48 Bank wajib melakukan CDD terhadap Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang disesuaikan dengan pendekatan berdasarkan risiko (risk based approach) apabila: yang dapat - 45 - a. terdapat perubahan profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang bersifat substansial; dan/atau b. informasi pada profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang tersedia belum dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1). Pasal 49 Dalam hal terdapat Nasabah yang mempunyai akses terhadap payable through account dalam jasa Cross Border Correspondent Banking, Bank Pengirim wajib memastikan: a. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus telah melaksanakan proses CDD dan pemantauan yang memadai yang paling kurang sama dengan yang diatur dalam Peraturan OJK ini; dan b. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus bersedia untuk menyediakan data identifikasi Nasabah yang terkait apabila diminta oleh Bank Pengirim. Pasal 50 Bank Pengirim yang menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking wajib: a. mendokumentasikan seluruh transaksi Cross Border Correspondent Banking; b. menolak untuk berhubungan dan/atau meneruskan hubungan Cross Border Correspondent Banking dengan shell bank; dan c. memastikan bahwa Bank Penerima dan/atau Bank Penerus tidak mengijinkan rekeningnya digunakan oleh shell bank pada saat mengadakan hubungan usaha terkait dengan Cross Border Correspondent Banking. - 46 - Bagian Kesepuluh Transfer Dana Pasal 51 (1) Bagi Bank yang melakukan kegiatan Transfer Dana baik di dalam wilayah Indonesia maupun secara lintas negara berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Bank Pengirim wajib: 1. memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi terhadap Nasabah/WIC pengirim dan/atau Nasabah/WIC penerima, paling kurang meliputi: a) nama Nasabah atau WIC pengirim; b) nomor rekening Nasabah pengirim; c) alamat Nasabah atau WIC pengirim; d) nomor dokumen identitas, nomor identifikasi, atau tempat dan tanggal lahir dari Nasabah atau WIC pengirim; e) sumber dana Nasabah atau WIC pengirim; f) nama Nasabah atau WIC penerima; g) nomor rekening Nasabah penerima; h) alamat WIC penerima; i) jumlah uang dan jenis mata uang; dan j) tanggal transaksi; 2. menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 kepada Bank Penerima; dan 3. mendokumentasikan seluruh transaksi Transfer Dana; b. Bank Penerus wajib meneruskan pesan dan perintah Transfer Dana, serta menatausahakan informasi yang diterima dari Bank Pengirim; c. Bank Penerima wajib memastikan kelengkapan informasi Nasabah pengirim dan WIC pengirim sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1; (2) Untuk kegiatan Transfer Dana di dalam wilayah Indonesia, Bank Pengirim wajib menyampaikan secara tertulis - 47 - informasi yang dibutuhkan dalam waktu 3 (tiga) hari kerja berdasarkan permintaan tertulis dari Bank Penerima, dan/atau dari otoritas yang berwenang apabila Bank Penerima hanya memperoleh informasi nomor rekening atau nomor referensi transaksi. Pasal 52 (1) Dalam hal terdapat beberapa Transfer Dana dari satu Nasabah atau WIC pengirim yang tergabung dalam satu dokumen yang ditujukan kepada beberapa Nasabah atau WIC penerima, dokumen tersebut wajib memuat informasi mengenai Nasabah atau WIC pengirim dan informasi mengenai Nasabah atau WIC penerima secara lengkap. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dapat ditelusuri di negara Nasabah atau WIC penerima. (3) Bank wajib mencantumkan nomor rekening atau nomor referensi transaksi Nasabah atau WIC pengirim. Pasal 53 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikecualikan terhadap: a. Transfer Dana yang menggunakan kartu debit, kartu ATM maupun kartu kredit; atau b. Transfer Dana yang dilakukan antar PJK dan untuk kepentingan PJK dimaksud. Pasal 54 (1) Dalam hal informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1 tidak dipenuhi maka Bank Pengirim wajib menolak untuk melaksanakan Transfer Dana. (2) Dalam hal Bank Penerus dan/atau Bank Penerima menerima perintah transfer dari Bank Pengirim di luar negeri yang tidak dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a angka 1 maka Bank Penerus dan/atau Bank Penerima dapat: - 48 - a. melaksanakan Transfer Dana; b. menolak untuk melaksanakan Transfer Dana; atau c. menunda transaksi Transfer Dana, disertai dengan tindak lanjut yang memadai. (3) Dalam menentukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Penerus dan/atau Bank Penerima wajib memiliki kebijakan dan prosedur berbasis risiko. Pasal 55 Dalam hal terdapat Transfer Dana yang memenuhi kriteria Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme, Bank wajib melaporkan Transfer Dana tersebut sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK. Bagian Kesebelas Penatausahaan Dokumen Pasal 56 (1) PJK wajib menatausahakan: a. dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak: 1. berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah atau WIC; atau 2. ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha; b. dokumen Nasabah atau WIC yang terkait dengan transaksi keuangan dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai dokumen perusahaan. (2) Dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi: - 49 - a. identitas Nasabah atau WIC termasuk dokumen pendukungnya; b. informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi; c. hasil analisis yang telah dilakukan; dan d. korespondensi dengan Nasabah atau WIC. (3) PJK wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai seluruh proses identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) PJK wajib memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang ditatausahakan apabila diminta oleh OJK dan/atau otoritas lain yang berwenang. BAB V PENGENDALIAN INTERN Pasal 57 (1) PJK wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif. (2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan dengan: a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal yang memadai; b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan penerapan program APU dan PPT; dan c. dilakukannya pemeriksaan secara independen untuk memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT. - 50 - BAB VI PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT DI JARINGAN KANTOR DAN ANAK PERUSAHAAN Pasal 58 (1) Konglomerasi Keuangan (financial group) wajib menerapkan program APU dan PPT ke seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di dalam dan di luar negeri, serta memantau pelaksanaannya termasuk: a. kebijakan dan prosedur pertukaran informasi untuk tujuan CDD dan manajemen risiko terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme; b. pengaturan, pada fungsi kepatuhan, fungsi audit, dan fungsi APU dan PPT pada level grup harus mendapatkan informasi mengenai nasabah, rekening, dan transaksi untuk tujuan APU dan PPT dari seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan; dan c. dalam melaksanakan pertukaran informasi tersebut, Konglomerasi Keuangan (financial group) wajib memiliki ketentuan yang memadai mengenai keamanan informasi. (2) Seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di dalam dan di luar negeri wajib mengimplementasikan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor dan anak perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki peraturan APU dan PPT yang lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan OJK ini, kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud. (4) Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor dan anak perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mematuhi Rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar program APU dan PPT yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan OJK ini, kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib menerapkan - 51 - program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini. (5) Dalam hal penerapan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan kantor dan anak perusahaan berada, maka pejabat kantor PJK di luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat PJK dan OJK bahwa kantor PJK dimaksud tidak dapat menerapkan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini. BAB VII SISTEM INFORMASI MANAJEMEN Pasal 59 (1) PJK wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah. (2) PJK wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara terpadu (single customer identification file), paling kurang meliputi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 24 ayat (1). (3) PJK wajib memiliki dan memelihara profil WIC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a. (4) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) wajib mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh pelaku Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme. - 52 - BAB VIII SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN Pasal 60 Untuk mencegah digunakannya PJK sebagai media atau tujuan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang melibatkan pihak intern PJK, PJK wajib melakukan: a. prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan karyawan baru (pre employee screening); dan b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan. Pasal 61 PJK wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan tentang: a. penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program APU dan PPT; b. teknik, metode, dan tipologi Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; dan c. kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan memberantas Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. BAB IX PELAPORAN Pasal 62 (1) PJK wajib menyampaikan kepada OJK: a. action plan penerapan program APU dan PPT paling lambat pada akhir bulan Mei 2017; b. penyesuaian kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan OJK ini; c. laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf - 53 - b disampaikan setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember; dan d. laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) huruf c disampaikan setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember. (2) Dalam hal tanggal pelaporan jatuh pada hari libur, penyampaian laporan dilakukan pada hari berikutnya. (3) Dalam hal terdapat perubahan atas action plan, kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT, laporan rencana kegiatan pengkinian data, yang telah disampaikan kepada OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c, PJK wajib menyampaikan perubahan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan dilakukan. (4) Kewajiban PJK untuk menyampaikan laporan kepada OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat menjadi bagian dari laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan. Pasal 63 (1) PJK wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan Transaksi Keuangan Tunai dan laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. (2) Kewajiban PJK untuk melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau pendanaan terorisme. (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK. - 54 - BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 64 PJK wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas yang berwenang dalam rangka memberantas tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme. BAB XI SANKSI Pasal 65 (1) PJK yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu kewajiban membayar sejumlah uang dengan rincian sebagai berikut: a. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) bagi PJK berupa bank umum, perusahaan efek, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, DPLK, perusahaan pembiayaan infrastruktur, LPEI, perusahaan pergadaian dan manajer investasi; atau b. sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dan paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) bagi PJK berupa BPR, BPRS, perusahaan pembiayaan, dan PMV. (2) LKM dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. - 55 - Pasal 66 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini selain pelanggaran atas keterlambatan penyampaian laporan, dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan atau teguran tertulis; b. denda dalam bentuk kewajiban membayar sejumlah uang; c. penurunan dalam penilaian tingkat kesehatan; d. pembatasan kegiatan usaha tertentu; e. pembekuan kegiatan usaha tertentu; f. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK; dan/atau g. pencantuman anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, pegawai PJK, pemegang saham dalam daftar orang tercela di sektor jasa keuangan. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. (4) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada publik/masyarakat. - 56 - BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 67 (1) PJK yang telah memiliki kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur dimaksud sesuai Peraturan OJK ini, paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (2) Bagi LKM dan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, ketentuan pada Peraturan OJK ini dinyatakan berlaku setelah 4 (empat) tahun terhitung sejak Peraturan OJK ini diundangkan. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 68 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan program APU dan PPT di sektor jasa keuangan diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 69 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 290, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5385); - 57 - b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 290, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5385); c. Peraturan OJK Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 353, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5631); dan d. Peraturan OJK Nomor 39/POJK.05/2015 tentang Penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Industri Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 320, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5790), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 70 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 58 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Maret 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Maret 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 57 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 12/POJK.01/2017 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 16 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 21 Maret 2017 </effective_date> <issued_date> 21 Maret 2017 </issued_date> <replaced_reg> '22/POJK.04/2014', '39/POJK.05/2015', '14/27/PBI/2012', '12/20/PBI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '9/UU/2013', '8/UU/2010' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka menunjang pembiayaan sekunder perumahan dan menyediakan pilihan produk investasi bagi investor, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN... - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi yang selanjutnya disebut EBA-SP adalah Efek Beragun Aset yang diterbitkan oleh Penerbit yang portofolionya berupa Kumpulan Piutang dan merupakan bukti kepemilikan secara proporsional atas Kumpulan Piutang yang dimiliki bersama oleh sekumpulan pemegang EBA-SP. 2. EBA-SP Arus Kas Tetap adalah EBA-SP yang memberikan pemegangnya penghasilan tertentu seperti kepada pemegang Efek bersifat utang. 3. EBA-SP Arus Kas Tidak Tetap adalah EBA-SP yang memberikan pemegangnya suatu penghasilan tidak tertentu seperti kepada pemegang Efek bersifat ekuitas. 4. Penerbit adalah Pihak yang melakukan penerbitan EBA-SP dalam rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan. 5. Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditur Asal dengan melakukan: a. pembelian Kumpulan Piutang Kreditur Asal dan... - 3 - dan menjualnya melalui penerbitan EBA-SP; atau b. pembelian Kumpulan Piutang Kreditur Asal dari hasil penerbitan EBA-SP. 6. Kumpulan Piutang adalah keseluruhan Aset Keuangan yang telah dibeli oleh Penerbit dari Kreditur Asal: a. dan dijual kepada pemegang EBA-SP melalui penerbitan EBA-SP; atau b. dari hasil penerbitan EBA-SP. 7. Aset Keuangan adalah piutang yang diperoleh Kreditur Asal dari pemberian Kredit Pemilikan Rumah kepada debitur, termasuk agunan/jaminan beserta hak tanggungan yang melekat padanya. 8. Kreditur Asal (Originator) adalah bank atau lembaga keuangan lainnya yang mempunyai dan menjual Aset Keuangannya kepada Penerbit dalam rangka penerbitan EBA-SP. 9. Kredit Pemilikan Rumah, yang selanjutnya disingkat KPR adalah fasilitas kredit yang diterbitkan oleh Kreditur Asal kepada debitur untuk membeli rumah siap huni. 10. Pernyataan Pendaftaran EBA-SP adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Penerbit dalam rangka Penawaran Umum EBA-SP. 11. Penawaran Umum EBA-SP adalah kegiatan penawaran EBA-SP yang dilakukan oleh Penerbit untuk menjual EBA-SP kepada masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. 12. Dokumen Keterbukaan EBA-SP adalah setiap informasi tertulis yang memuat Informasi atau Fakta... - 4 - Fakta Material EBA-SP dalam rangka penerbitan EBA-SP yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum dengan tujuan agar Pihak lain membeli EBA-SP. 13. Prospektus EBA-SP adalah setiap informasi tertulis yang memuat Informasi atau Fakta Material EBA-SP dalam rangka Penawaran Umum EBA-SP dengan tujuan agar Pihak lain membeli EBA-SP. 14. Informasi atau Fakta Material EBA-SP adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga EBA-SP dan/atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. 15. Dokumen Transaksi EBA-SP adalah Perjanjian Penerbitan EBA-SP dan perjanjian-perjanjian lain yang dibuat dalam penerbitan EBA-SP. 16. Perjanjian Penerbitan EBA-SP adalah perjanjian dalam penerbitan EBA-SP yang dibuat antara Penerbit, Wali Amanat, dan/atau Bank Kustodian, yang mencakup perjanjian perwaliamanatan, penitipan, dan penatausahaan serta penerbitan EBA-SP. 17. Penyedia Jasa (Servicer) adalah Pihak yang bertanggung jawab untuk memproses dan mengawasi pembayaran yang dilakukan debitur, melakukan tindakan awal seperti peringatan karena debitur terlambat atau gagal memenuhi kewajibannya, melakukan negosiasi, menyelesaikan tuntutan terhadap debitur dan jasa lain yang ditetapkan dalam perjanjian penyediaan jasa. 18. Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas EBA-SP adalah sarana yang bertujuan untuk meningkatkan... - 5 - meningkatkan kualitas Kumpulan Piutang dalam rangka pembayaran kepada pemegang EBA-SP. 19. Akuntan adalah Akuntan yang telah terdaftar sebagai profesi penunjang Pasar Modal di Otoritas Jasa Keuangan. 20. Konsultan Hukum adalah Konsultan Hukum yang telah terdaftar sebagai profesi penunjang Pasar Modal di Otoritas Jasa Keuangan. 21. Notaris adalah Notaris yang telah terdaftar sebagai profesi penunjang Pasar Modal di Otoritas Jasa Keuangan. 22. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Perusahaan Pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. 23. Afiliasi adalah Afiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pasar Modal. 24. Wali Amanat adalah Pihak yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wali Amanat dan mewakili kepentingan pemegang EBA-SP. 25. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Bank Kustodian. BAB II PERJANJIAN PENERBITAN EBA-SP Pasal 2 (1) Perjanjian Penerbitan EBA-SP wajib dibuat dalam akta notariil oleh Notaris. (2) Perjanjian Penerbitan EBA-SP wajib memuat: a. identitas masing-masing pihak yang sah secara hukum serta berhak mewakili dan bertindak untuk dan atas nama Penerbit, Wali Amanat, dan Bank Kustodian; b. hak... - 6 - b. hak dan kewajiban dari Penerbit, Wali Amanat, dan Bank Kustodian; c. nama dan kewajiban Penyedia Jasa (Servicer) yang memberikan jasanya atas Kumpulan Piutang dalam portofolio EBA-SP; d. nama Perusahaan Pemeringkat Efek, dalam hal EBA-SP ditawarkan melalui Penawaran Umum; e. nama Akuntan yang ditunjuk dalam rangka penerbitan EBA-SP; f. nama Konsultan Hukum yang ditunjuk dalam rangka penerbitan EBA-SP; g. pendapat hukum dari Konsultan Hukum yang ditunjuk dalam rangka penerbitan EBA-SP mengenai peralihan Aset Keuangan, termasuk agunan/jaminan beserta hak tanggungan yang melekat padanya yang menjadi Kumpulan Piutang; h. Aset Keuangan yang menjadi Kumpulan Piutang EBA-SP beserta hak yang melekat pada Aset Keuangan dicatatkan atas nama Wali Amanat untuk kepentingan pemegang EBA-SP dan disimpan di Bank Kustodian; i. ketentuan tentang jangka waktu EBA-SP; j. ketentuan tentang penggantian Wali Amanat, Bank Kustodian, Akuntan, Penyedia Jasa, Perusahaan Pemeringkat Efek, Konsultan Hukum, Notaris, dan Pihak lain yang berkaitan dengan penerbitan EBA-SP; k. imbalan jasa yang akan diterima oleh Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf j; l. ketentuan wanprestasi dan sanksinya bagi para pihak yang wanprestasi; m. mekanisme... - 7 - m. mekanisme perubahan dalam Dokumen Transaksi EBA-SP yang bersifat material; dan n. mekanisme penyelesaian sengketa hukum diantara para pihak. Pasal 3 Perjanjian penerbitan EBA-SP dapat: a. memuat ada atau tidaknya kelas-kelas EBA-SP dengan hak berbeda, dimana pembedaan tersebut dapat didasarkan pada hal-hal seperti: 1. urutan dan jadwal pembayaran kepada pemegang EBA-SP; 2. kelas-kelas dari EBA-SP; 3. penetapan pembayaran EBA-SP tertentu yang berasal dari bunga atau dari arus kas lainnya; 4. penetapan pembayaran atas EBA-SP tertentu yang berasal dari pinjaman pokok; 5. penetapan pembayaran yang dipercepat untuk kelas EBA-SP tertentu karena adanya kondisi tertentu; 6. penetapan pembayaran yang berubah sesuai dengan perubahan tingkat bunga atau ukuran lain di pasar; 7. penetapan tingkat jaminan atau prioritas hak atas Kumpulan Piutang atau arus kas dari EBA-SP; dan 8. penetapan tanggung jawab terbatas atas pelunasan EBA-SP kelas tertentu; b. menetapkan persyaratan bahwa EBA-SP dari kelas tertentu dapat dialihkan kepada Pihak lain; c. menetapkan ketentuan tentang pembubaran dan likuidasi EBA-SP, termasuk pembagian Kumpulan Piutang kepada beberapa atau semua kelas pemegang... - 8 - pemegang EBA-SP, pada saat atau dalam kondisi tertentu; dan d. menetapkan ada atau tidak adanya: 1. asuransi atas Kumpulan Piutang yang membentuk portofolio EBA-SP atas berbagai macam risiko, seperti risiko kredit; 2. pemeringkatan atas beberapa atau semua kelas EBA-SP; 3. jaminan dari Pihak ketiga; 4. Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas; 5. arus kas tertentu yang ditahan dan diinvestasikan kembali dalam portofolio EBA- SP; dan 6. tambahan penerbitan EBA-SP yang dapat dimiliki oleh pemodal selain pemegang EBA-SP yang diterbitkan sebelumnya. BAB III PEDOMAN PENERBITAN EBA-SP Bagian Kesatu Penawaran EBA-SP Pasal 4 EBA-SP dapat ditawarkan melalui Penawaran Umum atau tidak melalui Penawaran Umum. Pasal 5 (1) Dalam hal EBA-SP ditawarkan melalui Penawaran Umum, Penerbit wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penawaran Umum EBA-SP hanya dapat dilakukan setelah Pernyataan Pendaftaran EBA-SP menjadi efektif. Pasal 6... - 9 - Pasal 6 (1) Dalam hal EBA-SP ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum, Penerbit tidak diwajibkan menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan: a. Dokumen Keterbukaan EBA-SP; b. Dokumen Transaksi EBA-SP; dan c. contoh (speciment) sertifikat EBA-SP, kepada Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak EBA-SP dialokasikan kepada pemegang EBA-SP. Bagian Kedua Persyaratan Penerbitan EBA-SP Pasal 7 Pihak yang melakukan penerbitan EBA-SP wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. badan hukum berbentuk perseroan terbatas yang melakukan Pembiayaan Sekunder Perumahan; b. memiliki modal disetor paling sedikit: 1. Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), apabila Penerbit membeli Aset Keuangan Kreditur Asal menggunakan dana sendiri dan menjualnya ke pemegang EBA-SP melalui penerbitan EBA-SP; atau 2. Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah), apabila Penerbit membeli Aset Keuangan dari Kreditur Asal menggunakan dana dari hasil penerbitan EBA-SP. c. memiliki paling kurang 2 (dua) orang direktur, dimana paling kurang 1 (satu) orang direktur memiliki... - 10 - memiliki keahlian dan/atau pengalaman di bidang sekuritisasi atau memiliki sertifikat kecakapan di bidang pengelolaan investasi; d. memiliki pegawai yang mempunyai pengalaman kerja paling kurang 3 (tiga) tahun di bidang analisa KPR; dan e. memiliki tenaga pemasaran yang paling kurang mempunyai sertifikat kecakapan di bidang Pasar Modal. Pasal 8 EBA-SP yang ditawarkan melalui Penawaran Umum wajib diperingkat oleh Perusahaan Pemeringkat Efek. Pasal 9 (1) Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan Piutang EBA-SP harus: a. diperoleh Penerbit dari Kreditur Asal melalui jual beli putus/lepas dan dijual Penerbit kepada pemegang EBA-SP melalui jual beli putus/lepas secara hukum; atau b. diperoleh Penerbit untuk kepentingan pemegang EBA-SP dari Kreditur Asal melalui jual beli putus/lepas secara hukum. (2) Jual beli putus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung pendapat Konsultan Hukum. (3) Jual beli putus/lepas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan jual putus/lepas menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum dan wajib dilakukan secara konsisten serta didukung dengan pendapat Akuntan. (4) Penerbit atau Kreditur Asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan pembelian atas... - 11 - atas Aset Keuangan dalam Kumpulan Piutang EBA-SP paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total nilai Kumpulan Piutang. (5) Hak pemegang EBA-SP atas Kumpulan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dinyatakan dalam Prospektus atau Dokumen Keterbukaan EBA-SP dan didukung pendapat hukum dari Konsultan Hukum yang menyatakan hak pemegang EBA-SP adalah sebagaimana dimuat dalam Prospektus atau Dokumen Keterbukaan EBA-SP. Pasal 10 Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan Piutang EBA-SP wajib disimpan di Bank Kustodian dan dicatatkan atas nama Wali Amanat untuk kepentingan pemegang EBA-SP. Pasal 11 Kepentingan pemegang EBA-SP baik di dalam maupun di luar pengadilan dalam: a. pembelian Aset Keuangan dari Kreditur Asal sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) huruf b; dan b. penunjukan Wali Amanat, Bank Kustodian, dan Akuntan pertama kali, sampai dengan dialokasikannya EBA-SP kepada pemegang EBA-SP diwakili oleh Penerbit. Pasal 12 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bank Kustodian dan Wali Amanat dapat dilaksanakan oleh Bank Umum yang sama. Pasal 13 (1) Penerbit dilarang memiliki hubungan Afiliasi dengan... - 12 - dengan Kreditur Asal, Bank Kustodian, dan/atau Wali Amanat, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. (2) Kreditur Asal dilarang memiliki hubungan Afiliasi dengan Bank Kustodian dan/atau Wali Amanat kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. Pasal 14 Kreditur Asal dan/atau Penyedia Jasa dilarang bertindak sebagai Bank Kustodian dan/atau Wali Amanat untuk EBA-SP yang sama. Pasal 15 (1) Penerbit wajib memastikan pemodal telah menerima atau memperoleh kesempatan untuk membaca Prospektus EBA-SP atau Dokumen Keterbukaan EBA-SP sebelum atau pada saat pembelian EBA-SP dilakukan. (2) Penerimaan atau perolehan kesempatan untuk membaca Prospektus EBA-SP atau Dokumen Keterbukaan EBA-SP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan pernyataan pemodal dalam formulir pembelian EBA-SP. Pasal 16 (1) Setiap penerbitan EBA-SP wajib diberi nama yang sama dengan nama Penerbit dan nama Kreditur Asal, didahului dengan kata-kata “EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI” dan nomor yang diberikan oleh Penerbit. (2) Dalam hal terdapat lebih dari satu kelas EBA-SP yang diterbitkan maka masing-masing kelas wajib ditulis dengan huruf kapital dan ditambah uraian masing-masing kelas EBA-SP. Bagian... - 13 - Bagian Ketiga Bukti Kepemilikan EBA-SP Pasal 17 EBA-SP dapat: a. dimasukkan dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau b. tidak dimasukkan dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 18 (1) Dalam hal EBA-SP masuk dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Penerbit dan/atau Bank Kustodian wajib menerbitkan sertifikat EBA-SP atau konfirmasi tertulis kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagai tanda bukti pencatatan dalam buku daftar pemegang EBA-SP di Penerbit dan/atau Bank Kustodian. (2) EBA-SP dalam penitipan kolektif pada Bank Kustodian atau Perusahaan Efek yang dicatat dalam rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dicatat atas nama Bank Kustodian atau Perusahaan Efek dimaksud untuk kepentingan pemegang rekening pada Bank Kustodian atau Perusahaan Efek tersebut. (3) Apabila EBA-SP dalam penitipan kolektif pada Bank Kustodian merupakan bagian dari Portofolio Efek dari suatu kontrak investasi kolektif dan tidak termasuk dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, EBA-SP tersebut dicatat dalam buku daftar pemegang EBA-SP Penerbit dan/atau Bank Kustodian atas nama Bank Kustodian untuk kepentingan pemilik EBA-SP dari kontrak investasi kolektif tersebut. (4) Bank... - 14 - (4) Bank Kustodian atau Perusahaan Efek wajib menerbitkan laporan rekening Efek atau konfirmasi tertulis kepada pemegang rekening sebagai tanda bukti pencatatan dan kepemilikan dalam rekening Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). (5) Laporan rekening Efek atau konfirmasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling kurang memuat: a. nama EBA-SP; b. nama pemilik rekening EBA-SP di Bank Kustodian atau Perusahaan Efek yang menyelenggarakan fungsi Kustodian; dan c. nilai nominal EBA-SP. Pasal 19 (1) Dalam hal EBA-SP tidak masuk dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Penerbit dan/atau Bank Kustodian wajib memberikan bukti pemilikan EBA-SP berupa surat EBA-SP atau surat kolektif EBA-SP kepada pemegang EBA-SP. (2) Surat EBA-SP atau surat kolektif EBA-SP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. nama EBA-SP; b. nama pemegang atau pemilik EBA-SP, jika EBA–SP diterbitkan dalam bentuk atas nama; c. jumlah EBA-SP, jika diterbitkan dalam bentuk surat kolektif EBA-SP; d. keterangan singkat mengenai total nilai pokok EBA-SP, kelas EBA-SP, hak materiil yang menyangkut kelas EBA-SP, serta jatuh tempo, dan jadwal pembayaran EBA-SP; e. nama... - 15 - e. nama dan alamat Penerbit; f. nama Bank Kustodian dan Wali Amanat; g. nama dan alamat Biro Administrasi Efek (jika ada); dan h. tanggal, tempat, dan nama Notaris yang membuat Perjanjian Penerbitan EBA-SP. Bagian Keempat Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum EBA-SP Pasal 20 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum EBA-SP diajukan oleh Penerbit kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan cara sebagai berikut: a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. Pernyataan Pendaftaran diajukan dalam rangkap 2 (dua); c. menyertakan dokumen paling kurang: 1. Dokumen Transaksi EBA-SP yang dibuat dalam akta notariil oleh Notaris; 2. rancangan akhir Prospektus; 3. contoh (speciment) sertifikat EBA-SP; 4. laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi hukum terkait penerbitan EBA-SP; 5. pendapat Akuntan terkait aspek akuntansi penerbitan EBA-SP; 6. dokumen yang memuat hasil pemeringkatan EBA-SP dari Perusahaan Pemeringkat Efek; 7. perjanjian Penjaminan Emisi Efek (jika ada); 8. perjanjian... - 16 - 8. perjanjian pendahuluan dengan satu atau beberapa Bursa Efek, jika EBA-SP akan dicatatkan di Bursa Efek; dan 9. informasi lain sesuai permintaan Otoritas Jasa Keuangan yang dipandang perlu dalam penelaahan Pernyataan Pendaftaran, sepanjang dapat diumumkan kepada masyarakat tanpa merugikan kepentingan Penerbit atau Pihak lain yang terafiliasi dalam proses Penawaran Umum. Pasal 21 (1) Dalam hal Pernyataan Pendaftaran EBA-SP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 telah lengkap, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada Penerbit yang menyatakan Pernyataan Pendaftaran EBA-SP dinyatakan efektif. (2) Dalam hal Pernyataan Pendaftaran EBA-SP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tidak lengkap, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada Penerbit yang menyatakan Pernyataan Pendaftaran EBA-SP tidak lengkap. Pasal 22 (1) Pernyataan Pendaftaran EBA-SP menjadi efektif pada hari ke-45 (keempat puluh lima) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap atau pada tanggal yang lebih awal jika dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi dari Penerbit. (3) Dalam... - 17 - (3) Dalam hal Penerbit menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi, Pernyataan Pendaftaran dianggap telah disampaikan kembali pada tanggal diterimanya perubahan dan/atau tambahan informasi tersebut. (4) Pernyataan Pendaftaran EBA-SP tidak dapat menjadi efektif sampai saat perubahan dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima dan telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kelima Prospektus EBA-SP Pasal 23 (1) Prospektus EBA-SP wajib memuat semua rincian Informasi atau Fakta Material mengenai EBA-SP dan infomasi dan/atau keterangan yang dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Prospektus dilarang memuat keterangan yang tidak benar tentang Fakta Material atau tidak memuat keterangan yang benar tentang Fakta Material yang diperlukan agar Prospektus tersebut tidak memberikan gambaran yang menyesatkan. (3) Prospektus harus dibuat sedemikian rupa sehingga jelas dan komunikatif. (4) Penyajian dan penyampaian informasi penting dalam Prospektus tidak dikaburkan dengan informasi yang kurang penting yang mengakibatkan informasi penting tersebut terlepas dari perhatian pembaca. (5) Fakta dan pertimbangan-pertimbangan yang paling penting harus dibuat ringkasannya dan diungkapkan pada bagian awal Prospektus. (6) Urutan... - 18 - (6) Urutan penyampaian fakta dalam Prospektus ditentukan berdasarkan relevansi fakta, dan tidak ditentukan berdasarkan urutan sebagaimana dinyatakan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (7) Pengungkapan Informasi atau Fakta Material dan/atau penggunaan foto, diagram, dan/atau tabel pada Prospektus dilarang memberikan gambaran yang menyesatkan. Pasal 24 Prospektus EBA-SP memuat paling kurang informasi sebagai berikut: a. Informasi pada bagian luar kulit Prospektus wajib memuat atau mengungkapkan: 1. nama lengkap EBA-SP; 2. nama, alamat, nomor telepon dan nomor faksimili kantor, disertai logo dan kotak pos (jika ada), dari Penerbit, Bank Kustodian, dan Wali Amanat; 3. nama Kreditur Asal; 4. tanggal efektif; 5. masa penawaran; 6. tanggal penjatahan; 7. tanggal pengembalian uang pemesanan (jika ada); 8. tanggal penyerahan bukti kepemilikan EBA-SP; 9. nama Penyedia Jasa; 10. nama penjamin/penanggung (guarantor) (jika ada); 11. nama Bursa Efek dan tanggal pencatatan yang direncanakan, (jika ada); 12. penjelasan... - 19 - 12. penjelasan singkat mengenai Kumpulan Piutang; 13. jumlah, harga, dan kelas EBA-SP; 14. keterangan singkat tentang hak-hak pemegang EBA-SP; 15. nama lengkap dari Penjamin Pelaksana Emisi Efek dan Penjamin Emisi Efek (jika ada); 16. hasil pemeringkatan EBA-SP dari Perusahaan Pemeringkat Efek; 17. tempat dan tanggal Prospektus diterbitkan; 18. pernyataan berikut yang dicetak dalam huruf besar: OTORITAS JASA KEUANGAN TIDAK MEMBERIKAN PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI EFEK INI, TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU KECUKUPAN ISI PROSPEKTUS INI. SETIAP PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL-HAL TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR HUKUM; 19. pernyataan Penerbit dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek, jika menggunakan Penjamin Pelaksana Emisi Efek, yang dicetak dalam huruf besar dengan bunyi: PENERBIT DAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN SEMUA INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL SERTA KEJUJURAN PENDAPAT YANG TERCANTUM DALAM PROSPEKTUS INI; 20. pernyataan singkat yang dicetak dalam huruf besar yang langsung dapat menarik perhatian pembaca, mengenai risiko EBA-SP yang ditawarkan; b. daftar isi... - 20 - b. daftar isi; c. keterangan singkat tentang hal-hal terpenting mengenai EBA-SP disertai referensi bab dalam Prospektus dimana terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai hal dimaksud; d. informasi mengenai EBA-SP yang paling kurang memuat atau mengungkapkan: 1. ada atau tidaknya kelas-kelas EBA-SP dengan hak berbeda, dimana pembedaan tersebut dapat didasarkan pada hal-hal seperti: a) urutan dan jadwal pembayaran kepada pemegang EBA-SP; b) EBA-SP Arus Kas Tetap atau EBA-SP Arus Kas Tidak Tetap; c) penetapan pembayaran atas kelas EBA-SP tertentu yang berasal dari bunga atau dari arus kas lainnya; d) penetapan pembayaran atas kelas EBA-SP tertentu yang berasal dari pinjaman pokok; e) penetapan pembayaran yang dipercepat atas kelas EBA-SP tertentu karena adanya kondisi tertentu; f) penetapan pembayaran atas kelas EBA- SP tertentu sehubungan dengan perubahan acuan tingkat bunga, seperti BI rate dan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR); dan g) penetapan tingkat jaminan atas kelas EBA-SP tertentu atau prioritas hak atas arus kas dari EBA-SP; 2. ketentuan pengalihan EBA-SP dari kelas tertentu kepada Pihak lain; 3. ketentuan... - 21 - 3. ketentuan tentang pelunasan EBA-SP dan pembagian aset keuangan (jika ada), ke beberapa atau semua kelas EBA-SP pada saat jatuh tempo atau dalam kondisi tertentu; 4. ada atau tidak adanya: a) asuransi atau jaminan atas Kumpulan Piutang yang membentuk EBA-SP atas berbagai macam risiko; b) jaminan atas EBA-SP dari pihak ketiga; dan c) Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas EBA-SP; 5. kriteria pemilihan Kumpulan Piutang; 6. informasi mengenai Kumpulan Piutang yang menjadi aset dasar EBA-SP, mencakup rata- rata tertimbang jatuh tempo Kumpulan Piutang, data tingkat kolektibilitas, dan kemungkinan pembayaran sebelum jatuh tempo atas Kumpulan Piutang EBA-SP; 7. ketentuan mengenai penempatan dana hasil koleksi dari Kumpulan Piutang dan dana lainnya yang belum dibayarkan kepada pemegang EBA-SP (jika ada); 8. ketentuan pelaporan ke pemegang EBA-SP; dan 9. uraian metode penjatahan EBA-SP; e. informasi mengenai Penerbit, yang paling kurang memuat atau mengungkapkan keterangan singkat mengenai Penerbit, pengalaman Penerbit, dan Pihak yang terafiliasi dengan Penerbit; f. informasi mengenai Bank Kustodian dan Wali Amanat, yang paling kurang memuat atau mengungkapkan keterangan singkat, pengalaman, dan... - 22 - dan Pihak yang terafiliasi dengan Bank Kustodian dan Wali Amanat; g. informasi mengenai Kreditur Asal, yang paling kurang memuat atau mengungkapkan keterangan singkat mengenai Kreditur Asal, pengalaman Kreditur Asal, dan Pihak yang terafiliasi dengan Kreditur Asal; h. informasi tentang Aset Keuangan yang dimiliki oleh Kreditur Asal, disertai dengan data tingkat kolektibilitas Aset Keuangan; i. informasi mengenai Penyedia Jasa, yang paling kurang memuat atau mengungkapkan keterangan singkat mengenai Penyedia Jasa, pengalaman Penyedia Jasa, dan Pihak yang terafiliasi dengan Penyedia Jasa; j. perpajakan yang berkaitan dengan EBA-SP termasuk perpajakan bagi pemodal baik dari dalam maupun luar negeri; k. hasil pemeringkatan EBA-SP dari Perusahaan Pemeringkat Efek; l. hasil pemeriksaan dan pendapat dari Konsultan Hukum, yang paling kurang memuat atau mengungkapkan: 1. keabsahan perjanjian KPR; 2. Kumpulan Piutang; 3. struktur transaksi sekuritisasi; 4. hubungan afiliasi diantara para pihak; 5. peralihan piutang dan keabsahannya; 6. penyerahan piutang (cessie) dan keabsahannya; 7. pemasangan dan pendaftaran hak tanggungan atas benda jaminan pada instansi berwenang sesuai... - 23 - sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan konsekuensi hukum jika tidak didaftarkan; dan 8. jual beli putus/lepas dan keabsahannya; m. nama, alamat, dan tanggung jawab Penyedia Jasa, Perusahaan Pemeringkat Efek, dan Biro Administrasi Efek (jika ada); n. faktor risiko antara lain: 1. risiko likuiditas dan risiko pasar EBA-SP; 2. risiko nilai tukar mata uang dan risiko suku bunga (jika ada); 3. risiko kredit atas Kumpulan Piutang portofolio EBA-SP; 4. risiko pelunasan dipercepat (prepayment) Kumpulan Piutang portofolio EBA-SP sebelum jatuh tempo; 5. risiko operasional dalam pelaksanaan kegiatan Penerbit, Bank Kustodian dan Wali Amanat, dan Penyedia Jasa; dan 6. risiko yang berkaitan dengan aspek hukum antara lain dalam hal terjadi risiko kredit dan jika pemasangan dan pendaftaran hak tanggungan atas benda jaminan tidak dilakukan atau ditunda; o. hak-hak pemegang EBA-SP, antara lain hak-hak untuk memperoleh: 1. laporan keuangan atas EBA-SP secara periodik; 2. informasi mengenai pajak yang dipungut dari pemegang EBA-SP; dan 3. pembayaran terkait EBA-SP; dan p. tata cara dan persyaratan pemesanan EBA-SP. Bagian... - 24 - Bagian Keenam Penerbit, Wali Amanat, Bank Kustodian, Kreditur Asal, dan Penyedia Jasa Paragraf 1 Penerbit Pasal 25 (1) Penerbit wajib: a. mewakili kepentingan pemegang EBA-SP dalam pembelian Aset Keuangan dari Kreditur Asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan penunjukan Wali Amanat, Bank Kustodian, Akuntan, Konsultan Hukum, Notaris, dan Perusahaan Pemeringkat Efek (jika ada), dalam penerbitan EBA-SP sampai dengan EBA-SP dialokasikan kepada pemegang EBA-SP; b. menjadi Pihak yang memberikan Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas EBA-SP; c. bertindak dengan cermat dan bersikap profesional terkait dengan kepentingan pemegang EBA-SP termasuk dalam meneliti Kreditur Asal, Aset Keuangan yang akan dibeli, aspek hukum dan perpajakan, dan hal lain dalam proses strukturisasi EBA-SP; d. bertanggung jawab atas keterbukaan dan kebenaran atas Informasi atau Fakta Material tentang EBA-SP, sebagaimana dinyatakan dalam Dokumen Keterbukaan EBA-SP atau dalam Pernyataan Pendaftaran EBA-SP apabila EBA-SP tersebut ditawarkan melalui Penawaran Umum; e. menunjuk Wali Amanat untuk pertama kalinya, untuk mewakili kepentingan pemegang EBA-SP sejak EBA-SP dialokasikan kepada... - 25 - kepada pemegang EBA-SP; f. menunjuk Bank Kustodian untuk pertama kalinya untuk melakukan penitipan dan penatausahaan EBA-SP dan Kumpulan Piutang EBA-SP; g. menunjuk Akuntan, Konsultan Hukum, Notaris, dan Perusahaan Pemeringkat Efek (jika ada), dalam penerbitan EBA SP; h. dengan persetujuan Wali Amanat menunjuk Akuntan untuk melakukan audit laporan keuangan tahunan EBA-SP tahun pertama; i. memastikan Bank Kustodian dan Wali Amanat melaksanakan tugas dan kewajibannya terkait EBA-SP sesuai dengan Perjanjian Penerbitan EBA-SP; j. memberikan bantuan kepada Wali Amanat jika diminta oleh Wali Amanat; k. mencantumkan ketentuan penggantian Bank Kustodian dan Wali Amanat di dalam Perjanjian Penerbitan EBA-SP; l. melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil oleh rapat umum pemegang EBA-SP; dan m. melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Penerbit yang melakukan Penawaran Umum wajib mematuhi peraturan mengenai pemesanan dan penjatahan Efek dalam Penawaran Umum. Pasal 26 Penerbit bertanggung jawab memberikan ganti rugi kepada pemegang EBA-SP atas kerugian akibat kesalahan atau kelalaian yang disebabkan oleh Penerbit. Paragraf 2... - 26 - Paragraf 2 Wali Amanat Pasal 27 (1) Wali Amanat mempunyai tugas dan tanggung jawab mewakili kepentingan pemegang EBA-SP di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wali Amanat mengikatkan diri untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak menandatangani perjanjian perwaliamanatan, tetapi perwakilan tersebut mulai berlaku efektif pada saat EBA-SP telah dialokasikan kepada pemegang EBA-SP. (3) Wali Amanat melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan dan dokumen lainnya yang berkaitan perwaliamanatan. (4) Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Amanat wajib: a. menjalankan tugas dengan itikad baik, cermat, dan penuh kehati-hatian sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan; b. bertindak cepat dan efektif untuk kepentingan pemegang EBA-SP; c. memantau pembayaran kepada pemegang EBA-SP; d. menunjuk Bank Kustodian pengganti; e. mengawasi dan memantau Penerbit dan Bank Kustodian melaksanakan kewajibannya terkait EBA-SP... dengan perjanjian - 27 - EBA-SP sesuai dengan Perjanjian Penerbitan EBA-SP dan perjanjian lainnya dari Dokumen Transaksi EBA-SP yang terkait; f. melakukan pencatatan Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan EBA-SP atas namanya untuk kepentingan pemegang EBA-SP termasuk melakukan pendaftaran hak tanggungan atas agunan/jaminan dari Aset Keuangan pada institusi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang- undangan; g. mengambil tindakan yang diperlukan apabila terjadi perubahan nilai atas Kumpulan Piutang dan/atau hak yang melekat pada Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan Piutang EBA-SP; h. menunjuk Penyedia Jasa, termasuk penggantinya; i. menunjuk agen pembayar dan mengawasi kinerjanya; j. menunjuk Akuntan untuk melakukan audit laporan keuangan tahunan EBA-SP setelah tahun pertama; k. melakukan penagihan dan penuntutan pembayaran dari debitur atas kumpulan tagihan apabila terjadi pemberhentian Penyedia Jasa sebelum diperoleh penggantinya; l. melakukan pengawasan terhadap kinerja Penyedia Jasa; m. memberikan petunjuk kepada Penyedia Jasa jika dianggap perlu atau bila diminta oleh Penyedia Jasa; n. menyelenggarakan rapat umum pemegang EBA-SP... - 28 - EBA-SP dan melaksanakan keputusan- keputusan yang diambil oleh rapat umum pemegang EBA-SP; o. melakukan eksekusi atas agunan/jaminan atau menunjuk Penyedia Jasa untuk melakukan eksekusi atas agunan/jaminan untuk kepentingan pemegang EBA-SP; p. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan hal-hal yang bertentangan dengan Dokumen Transaksi EBA-SP; dan q. memberikan semua keterangan atau informasi sehubungan dengan pelaksanaan tugas-tugas perwaliamanatan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 28 (1) Penunjukan Wali Amanat untuk pertama kalinya dilakukan oleh Penerbit. (2) Penggantian Wali Amanat dilakukan karena sebab- sebab sebagai berikut: a. izin usaha bank sebagai Wali Amanat menjadi tidak berlaku baik karena dicabut maupun dikembalikan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. kegiatan usaha Wali Amanat di Pasar Modal dibekukan; c. Wali Amanat dibubarkan oleh suatu badan peradilan atau oleh suatu badan resmi lainnya atau dianggap telah bubar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. Wali Amanat dinyatakan pailit oleh badan peradilan yang berwenang atau dibekukan operasinya dan/atau kegiatan usahanya oleh pihak yang berwenang; e. Wali... - 29 - e. Wali Amanat tidak dapat melaksanakan kewajibannya; f. Wali Amanat melanggar ketentuan perjanjian perwaliamanatan, perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; g. timbulnya hubungan Afiliasi antara Wali Amanat dengan Penerbit dan/atau Kreditur Asal setelah penunjukan Wali Amanat, kecuali hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah; atau h. atas keputusan rapat umum pemegang EBA-SP. Pasal 29 Wali Amanat wajib bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada pemegang EBA-SP atas kerugian karena kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya sebagaimana diatur dalam perjanjian perwaliamanatan, Perjanjian Penerbitan EBA-SP, dan perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP dan peraturan perundang-undangan. Pasal 30 Tugas, kewajiban, dan tanggung jawab Wali Amanat berakhir pada saat: a. seluruh nilai Kumpulan Piutang telah dibayarkan kepada pemegang EBA-SP dan seluruh kewajiban terkait EBA-SP telah dilunasi; b. tanggal tertentu setelah tanggal umur EBA-SP sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Penerbitan EBA-SP dan dimuat dalam Dokumen Keterbukaan EBA-SP atau Prospektus dengan ketentuan seluruh nilai Kumpulan Piutang telah dibayarkan... - 30 - dibayarkan kepada pemegang EBA-SP dan seluruh kewajiban terkait EBA-SP telah dilunasi; atau c. setelah diangkatnya Wali Amanat baru. Paragraf 3 Bank Kustodian Pasal 31 (1) Bank Kustodian mempunyai tugas dan tanggung jawab melakukan penitipan kolektif dan penyimpanan atas seluruh dokumen berharga berkaitan dengan EBA-SP sesuai dengan perjanjian penitipan, perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, dan peraturan perundang- undangan. (2) Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Kustodian wajib: a. menerima pembayaran dari pemegang EBA-SP atas pembelian EBA-SP dan: 1. membayar pembelian Kumpulan Piutang kepada Penerbit; atau 2. membayar pembelian Kumpulan Piutang yang dilakukan Penerbit untuk kepentingan pemegang EBA-SP kepada Kreditur Asal; b. menerima Kumpulan Piutang EBA-SP yang dibeli: 1. dari Penerbit; atau 2. Penerbit dari Kreditur Asal untuk kepentingan pemegang EBA-SP; c. mencatat Kumpulan Piutang sebagaimana dimaksud pada huruf b atas nama Wali Amanat yang mewakili kepentingan pemegang EBA-SP; d. membuka... - 31 - d. membuka rekening koleksi di bank atas nama Wali Amanat untuk kepentingan pemegang EBA-SP, yang digunakan untuk penempatan hasil penagihan atas pokok dan bunga dari Kumpulan Piutang yang dilakukan oleh Penyedia Jasa; e. menyimpan dana atau hasil koleksi Kumpulan Piutang dari Penyedia Jasa; f. mendistribusikan hasil koleksi Kumpulan Piutang sesuai pemanfaatannya termasuk kepada para pemegang EBA-SP sebagaimana tertuang dalam Dokumen Keterbukaan atau Prospektus EBA-SP; g. melakukan pembayaran kewajiban yang terkait dengan EBA-SP; h. menyiapkan dokumen-dokumen dan menyusun laporan keuangan dalam rangka penyusunan laporan keuangan EBA-SP; i. membuat dan menyimpan daftar pemegang EBA-SP dan mencatat perpindahan kepemilikan EBA-SP atau menunjuk Biro Administrasi Efek untuk melakukan jasa tersebut; j. memisahkan Kumpulan Piutang dan harta lain yang terkait dengan Kumpulan Piutang dari harta Bank Kustodian dan/atau harta nasabah lain dari Bank Kustodian tersebut; k. menginformasikan kepada pemegang EBA-SP setiap bulan: 1. total nilai pokok EBA-SP; 2. laporan atas Kumpulan Piutang yang mendukung masing-masing kelas EBA-SP; 3 rata-rata... - 32 - 3. rata-rata tertimbang jatuh tempo Kumpulan Piutang EBA-SP; dan 4. jumlah tunggakan pembayaran atas Kumpulan Piutang EBA-SP; 5. posisi Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas EBA-SP; 6. jumlah EBA-SP yang dimiliki oleh pemegang EBA-SP tersebut; 7. perkiraan pembayaran pada setiap kelas EBA-SP selama 12 (dua belas) bulan selanjutnya; dan 8. Informasi atau Fakta Material berkaitan dengan EBA-SP sebagai dasar untuk menarik kesimpulan kemungkinan perubahan arus kas dan/atau nilai EBA-SP. l. menolak secara tertulis atas instruksi Penerbit yang bertentangan dengan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya terhadap EBA-SP, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Wali Amanat; m. menolak secara tertulis atas instruksi Wali Amanat yang bertentangan dengan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya terhadap EBA-SP, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; n. menyelenggarakan administrasi dan pembukuan dalam rangka penitipan dan penatausahaan terkait EBA-SP; o. melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil oleh rapat umum pemegang EBA-SP sesuai dengan tanggung jawabnya; dan p. melaksanakan tugas lain yang berkaitan dengan... adanya - 33 - dengan penitipan dan penatausahaan Kumpulan Piutang EBA-SP sebagaimana ditentukan dalam perjanjian penitipan, perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, dan peraturan perundang-undangan. Pasal 32 (1) Penunjukan Bank Kustodian untuk pertama kalinya dilakukan oleh Penerbit. (2) Penggantian Bank Kustodian dilakukan oleh Wali Amanat karena sebab-sebab sebagai berikut: a. izin usaha bank sebagai Bank Kustodian menjadi tidak berlaku baik karena dicabut maupun dikembalikan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. kegiatan usaha Bank Kustodian di Pasar Modal dibekukan; c. Bank Kustodian dibubarkan oleh suatu badan peradilan atau oleh suatu badan resmi lainnya atau dianggap telah bubar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. Bank Kustodian dinyatakan pailit oleh badan peradilan yang berwenang atau dibekukan operasinya dan/atau kegiatan usahanya oleh pihak yang berwenang; e. Bank Kustodian tidak dapat melaksanakan kewajibannya; f. Bank Kustodian melanggar ketentuan perjanjian penitipan, perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; g. timbulnya hubungan Afiliasi antara Bank Kustodian dengan Penerbit dan/atau Kreditur Asal... - 34 - Asal setelah penunjukan Bank Kustodian, kecuali hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah; atau h. atas keputusan rapat umum pemegang EBA-SP. Pasal 33 Bank Kustodian wajib bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada pemegang EBA-SP atas kerugian karena kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya sebagaimana diatur dalam perjanjian penitipan, Perjanjian Penerbitan EBA-SP, perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP dan peraturan perundang- undangan. Pasal 34 Tugas, kewajiban, dan tanggung jawab Bank Kustodian berakhir pada saat: a. seluruh nilai Kumpulan Piutang telah dibayarkan kepada pemegang EBA-SP dan seluruh kewajiban terkait EBA-SP telah dilunasi; b. tanggal tertentu setelah tanggal umur EBA-SP sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Penerbitan EBA-SP dan dimuat dalam Dokumen Keterbukaan EBA-SP atau Prospektus dengan ketentuan seluruh nilai Kumpulan Piutang telah dibayarkan kepada Pemegang EBA-SP dan seluruh kewajiban terkait EBA-SP telah dilunasi; atau c. setelah diangkatnya Bank Kustodian baru. Paragraf 4 Kreditur Asal dan Penyedia Jasa Pasal 35 (1) Dalam rangka penerbitan EBA-SP, Kreditur Asal harus: a. menyiapkan... - 35 - a. menyiapkan Aset Keuangan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan Penerbit; b. menyerahkan dokumen-dokumen KPR untuk diperiksa oleh Penerbit atau kuasanya; c. menyiapkan informasi yang akurat mengenai Kumpulan Piutang atau informasi lain yang dibutuhkan oleh Penerbit atau kuasanya; d. menjamin kebenaran atas informasi, data, dan dokumen yang terkait dengan Aset Keuangan; dan e. menyampaikan informasi, data, dan dokumen kepada Penerbit dalam hal diperlukan. (2) Kreditur Asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab: a. atas keabsahan Aset Keuangan yang dijual dan dokumennya; dan b. untuk memberikan ganti rugi atas kerugian akibat karena ketidakabsahan Aset Keuangan yang dijual dan dokumennya. Pasal 36 (1) Penyedia Jasa mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memproses dan mengawasi kelancaran pembayaran yang dilakukan debitur sesuai dengan perjanjian penyediaan jasa, perjanjian dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, dan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa wajib: a. melakukan penagihan atas pokok dan bunga dari Kumpulan Piutang kepada debitur; b. melakukan tindakan awal yang diperlukan, negosiasi... - 36 - negosiasi, tuntutan terhadap debitur dan penagihan apabila debitur terlambat atau gagal memenuhi kewajibannya; c. melakukan penempatan hasil penagihan atas pokok dan bunga dari Kumpulan Piutang ke dalam rekening koleksi yang ada di Penyedia Jasa atas nama Wali Amanat untuk kepentingan pemegang EBA-SP; d. melakukan penerusan hasil penagihan atas pokok dan bunga serta denda dari Kumpulan Piutang kepada Bank Kustodian untuk kepentingan pemegang EBA-SP; e. melakukan eksekusi agunan/jaminan yang melekat pada Kumpulan Piutang sesuai ketentuan dalam Dokumen Transaksi EBA-SP sepanjang diberi kuasa oleh Wali Amanat; f. menyampaikan informasi, data, dan dokumen kepada Wali Amanat dan/atau Bank Kustodian dalam hal diperlukan; dan g. menyimpan semua data dan dokumen terkait dengan tugasnya. Pasal 37 (1) Penunjukan Penyedia Jasa dilakukan oleh Wali Amanat. (2) Penggantian Penyedia Jasa dilakukan oleh Wali Amanat karena sebab-sebab sebagai berikut: a. izin usaha Penyedia Jasa menjadi tidak berlaku baik karena dicabut maupun dikembalikan kepada instansi yang berwenang; b. kegiatan usaha Penyedia Jasa dibekukan oleh instansi yang berwenang; c. Penyedia Jasa dibubarkan oleh suatu badan peradilan... - 37 - peradilan atau oleh suatu badan resmi lainnya atau dianggap telah bubar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. Penyedia Jasa dinyatakan pailit oleh badan peradilan yang berwenang atau dibekukan operasinya dan/atau kegiatan usahanya oleh pihak yang berwenang; e. Penyedia Jasa tidak dapat melaksanakan kewajibannya; f. Penyedia Jasa melanggar ketentuan perjanjian penyediaan jasa, perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, dan/atau peraturan perundang-undangan; atau g. atas keputusan rapat umum pemegang EBA-SP. Bagian Ketujuh Rapat Umum Pemegang EBA-SP Pasal 38 Rapat umum pemegang EBA-SP diselenggarakan oleh Wali Amanat. Pasal 39 (1) Rapat umum pemegang EBA-SP dapat diselenggarakan atas: a. permintaan pemegang EBA-SP baik sendiri maupun secara bersama-sama yang mewakili paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah EBA-SP yang beredar (outstanding); b. permintaan Penerbit; c. permintaan Wali Amanat; atau d. perintah Otoritas Jasa Keuangan. (2) Wali Amanat dapat menolak permohonan pemegang EBA-SP atau Penerbit untuk mengadakan... - 38 - mengadakan rapat umum pemegang EBA-SP dengan memberitahukan secara tertulis alasan penolakan tersebut kepada pemohon dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah diterimanya surat permohonan. Pasal 40 Rapat umum pemegang EBA-SP diadakan untuk tujuan antara lain: a. mengambil keputusan sehubungan dengan usulan Penerbit, Wali Amanat, dan/atau pemegang EBA- SP antara lain mengenai: 1. pemberhentian Wali Amanat; dan/atau 2. pemberhentian Bank Kustodian; dan menunjuk penggantinya; b. menyampaikan pemberitahuan terkait adanya kegagalan atau potensi kegagalan Wali Amanat dan/atau Bank Kustodian dalam menjalankan kewajibannya; c. memberikan pengarahan kepada Wali Amanat, dan/atau menyetujui suatu kelonggaran waktu atas suatu kelalaian berdasarkan perjanjian perwaliamanatan serta akibat-akibatnya, atau untuk mengambil tindakan lain sehubungan dengan kelalaian; d. memberikan kewenangan kepada Wali Amanat untuk mengambil tindakan lain yang tidak dikuasakan atau tidak termuat dalam perjanjian perwaliamanatan sepanjang kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan dan disetujui Otoritas Jasa Keuangan; dan e. memberikan persetujuan atas dilakukannya perubahan... - 39 - perubahan ketentuan perjanjian dalam Dokumen Transaksi EBA-SP yang sifatnya material. Pasal 41 (1) Biaya penyelenggaraan rapat umum pemegang EBA-SP yang didasarkan atas permintaan Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d menjadi beban Kumpulan Piutang EBA-SP. (2) Biaya penyelenggaraan rapat umum pemegang EBA-SP yang didasarkan atas permintaan Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b menjadi beban Penerbit. BAB IV PELAPORAN Pasal 42 (1) Penerbit wajib melaporkan hasil penjualan EBA-SP yang ditawarkan melalui Penawaran Umum kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap 15 (lima belas) hari sejak dimulainya masa Penawaran Umum sampai dengan Penawaran Umum selesai. (2) Dalam hal hari ke-15 (kelima belas) jatuh pada hari libur, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. (3) Apabila dalam Penawaran Umum dilakukan penjatahan EBA-SP, Penerbit wajib melaporkan penjatahan EBA-SP sebagai bagian dari laporan hasil Penawaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 43 Penerbit wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan kepada publik atau masyarakat mengenai Informasi atau Fakta Material EBA-SP paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak terjadinya Informasi atau Fakta Material tersebut. Pasal 44... - 40 - Pasal 44 (1) Penerbit dan Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan penggantian Wali Amanat kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diangkatnya Wali Amanat baru, yang paling kurang memuat: a. alasan penggantian; dan b. Wali Amanat baru. (2) Wali Amanat yang digantikan wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai: a. Penggantian Wali Amanat paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diangkatnya Wali Amanat baru; dan b. Seluruh kewajiban Wali Amanat yang belum disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam perjanjian perwaliamanatan, perjanjian penerbitan EBA-SP, dan perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diangkatnya Wali Amanat baru. Pasal 45 (1) Penerbit dan Wali Amanat wajib menyampaikan laporan penggantian Bank Kustodian kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diangkatnya Bank Kustodian baru, yang paling kurang memuat: a. alasan penggantian; dan b. Bank Kustodian baru. (2) Bank Kustodian yang digantikan wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai: a. Penggantian Bank Kustodian paling lambat 5 (lima)... - 41 - 5 (lima) hari kerja setelah diangkatnya Bank Kustodian baru; dan b. Seluruh kewajiban Bank Kustodian yang belum disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam perjanjian perwaliamanatan, perjanjian penerbitan EBA-SP, dan perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diangkatnya Bank Kustodian baru. Pasal 46 Dalam hal Wali Amanat dan Bank Kustodian berhenti pada saat yang sama, penyampaian laporan penggantian Wali Amanat dan Bank Kustodian kepada Otoritas Jasa Keuangan wajib dilakukan oleh Penerbit paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diangkatnya Wali Amanat dan/atau Bank Kustodian baru. Pasal 47 Penerbit dan Wali Amanat EBA-SP wajib menyampaikan rencana perubahan Dokumen Transaksi EBA-SP kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan kepada publik melalui satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional serta tersedia bagi para pemegang EBA-SP paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum perubahan dimaksud dilakukan. Pasal 48 Penerbit wajib menyampaikan perubahan ketentuan perjanjian dalam Dokumen Transaksi yang bersifat material kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkannya ke publik melalui satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional serta tersedia bagi para pemegang EBA-SP paling lambat... - 42 - lambat 2 (dua) hari kerja setelah dilakukannya perubahan. Pasal 49 (1) Penerbit dan Bank Kustodian wajib menyampaikan: a. laporan keuangan tahunan EBA-SP disertai dengan laporan Akuntan dengan pendapat yang lazim kepada Wali Amanat dan Otoritas Jasa Keuangan dan: 1. dalam hal EBA-SP ditawarkan melalui Penawaran Umum, laporan keuangan dimaksud wajib pula diumumkan kepada masyarakat paling lambat akhir bulan ketiga sejak tanggal laporan keuangan tahunan EBA-SP; atau 2. dalam hal EBA-SP ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum, laporan keuangan dimaksud wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang EBA-SP; dan b. laporan keuangan tengah tahunan kepada Wali Amanat dan Otoritas Jasa Keuangan dan diumumkan kepada masyarakat paling lambat: 1. pada akhir bulan ke-1 (kesatu) setelah tanggal laporan keuangan tengah tahunan, jika tidak disertai laporan Akuntan; 2. pada akhir bulan ke-2 (kedua) setelah tanggal laporan keuangan tengah tahunan, jika disertai laporan Akuntan dalam rangka penelaahan terbatas; dan 3. pada akhir bulan ke-3 (ketiga) setelah tanggal laporan keuangan tengah tahunan, jika disertai laporan Akuntan yang... - 43 - yang memberikan pendapat tentang kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. (2) Penerbit dan Bank Kustodian bertanggung jawab atas kebenaran dan isi laporan keuangan berdasarkan tugas dan kewajiban masing-masing. (3) Pengumuman laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan tengah tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, dengan ketentuan sebagai berikut: a. laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan tengah tahunan yang diumumkan paling sedikit meliputi laporan posisi keuangan (neraca), laporan laba rugi komprehensif, laporan arus kas, dan opini dari Akuntan jika diwajibkan diaudit oleh Akuntan; b. bentuk dan isi laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib sama dengan yang disajikan dalam laporan keuangan tahunan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan c. bukti pengumuman tersebut wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengumuman. Pasal 50 Wali Amanat wajib melaporkan hal-hal yang bertentangan dengan Dokumen Transaksi EBA-SP kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak diketahuinya hal tersebut. Pasal 51 (1) Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan bulanan... - 44 - bulanan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai: a. total nilai pokok EBA-SP; b. laporan atas Kumpulan Piutang yang mendukung masing-masing kelas EBA-SP; c. rata-rata tertimbang jatuh tempo Kumpulan Piutang EBA-SP; d. jumlah tunggakan pembayaran atas Kumpulan Piutang EBA-SP; e. posisi Sarana Peningkatan Kredit/Arus Kas EBA-SP; f. jumlah pemegang EBA-SP untuk setiap kelas EBA-SP; g. perkiraan pembayaran pada setiap kelas EBA- SP selama 12 (dua belas) bulan ke depan; dan h. Informasi atau Fakta Material berkaitan dengan EBA-SP sebagai dasar untuk menarik kesimpulan adanya kemungkinan perubahan arus kas, dan /atau nilai EBA-SP, paling lambat pada tanggal 12 (dua belas) bulan berikutnya. (2) Dalam hal tanggal 12 (dua belas) bulan berikutnya jatuh pada hari libur, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada satu hari kerja berikutnya. BAB V SANKSI Pasal 52 (1) Penerbit yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46, dan Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49 dikenakan sanksi administratif berupa denda... - 45 - denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Wali Amanat yang terlambat menyampaikan: a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), dan Pasal 50; dan b. rencana perubahan Dokumen Transaksi EBA-SP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dan rencana perubahan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Bank Kustodian yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), dan Pasal 49, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 53 Selain sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 54 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan... - 46 - pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 kepada masyarakat. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis penerbitan dan pelaporan EBA-SP yang belum diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 56 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Ttd. Tini Kustini LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 358 - 47 -
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 23/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN </reg_title> <set_date> 19 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing yang tinggi, konglomerasi keuangan perlu memiliki kecukupan modal yang memadai; b. bahwa sejalan dengan kompleksitas usaha dan risiko konglomerasi keuangan, konglomerasi keuangan perlu melakukan pengelolaan permodalan yang memadai; c. bahwa dengan kecukupan modal dan pengelolaan permodalan konglomerasi keuangan yang memadai diharapkan dapat mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253; 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 364, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5638); - 3 - 8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 366, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5640); 9. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17/POJK.03/2014 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5626); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat LJK, adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Konglomerasi Keuangan adalah Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. - 4 - 3. Entitas Utama adalah Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. 4. Perusahaan Anak adalah Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. 5. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi, yang selanjutnya disebut Rasio KPMM Terintegrasi, adalah perbandingan antara Total Modal Aktual Konglomerasi Keuangan (aggregate net equity) dengan Total Modal Minimum Konglomerasi Keuangan (aggregate regulatory capital requirement). 6. Manajemen Permodalan Terintegrasi adalah proses yang berkesinambungan untuk memelihara permodalan pada tingkat yang memadai dalam rangka mendukung rencana bisnis Konglomerasi Keuangan maupun mengantisipasi potensi kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas Konglomerasi Keuangan. 7. Direksi adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; - 5 - 2) Perusahaan Daerah adalah Direksi Perusahaan Daerah yang belum menyesuaikan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi LJK berbadan hukum Usaha Bersama adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 8. Dewan Komisaris adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah Dewan Pengawas atau Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; - 6 - 2) Perusahaan Daerah adalah Pengawas bagi Perusahaan Daerah yang belum menyesuaikan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi LJK berbadan hukum Usaha Bersama adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Pasal 2 (1) Konglomerasi Keuangan wajib menyediakan modal minimum terintegrasi paling rendah sebesar 100% (seratus persen) dari Total Modal Minimum (TMM) Konglomerasi Keuangan (aggregate regulatory capital requirement). (2) Penyediaan Modal Minimum Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan menghitung Rasio KPMM Terintegrasi. Pasal 3 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan modal minimum terintegrasi lebih besar dari modal minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai Konglomerasi Keuangan menghadapi risiko yang membutuhkan penyediaan modal lebih besar. - 7 - (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta anggota Konglomerasi Keuangan yang berpotensi menimbulkan permasalahan permodalan Konglomerasi Keuangan untuk meningkatkan modal dan melakukan hal-hal lain sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan. (3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai terdapat kecenderungan penurunan modal yang berpotensi menyebabkan modal Konglomerasi Keuangan berada di bawah kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ayat (1). Pasal 4 LJK anggota Konglomerasi Keuangan dilarang melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kondisi permodalan Konglomerasi Keuangan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ayat (1). BAB II TOTAL MODAL AKTUAL KONGLOMERASI KEUANGAN (AGGREGATE NET EQUITY) Pasal 5 (1) Dalam menghitung Rasio KPMM Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Entitas Utama menghitung Total Modal Aktual (TMA) Konglomerasi Keuangan dengan cara menjumlahkan nilai nominal dari modal aktual masing-masing LJK secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak dalam Konglomerasi Keuangan sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan. (2) TMA Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikurangi dengan faktor pengurang modal berupa: - 8 - a. penyertaan modal LJK kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau b. penempatan dana LJK kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan yang diakui sebagai instrumen modal (regulatory capital) oleh LJK lain dimaksud, sepanjang belum diperhitungkan dalam perhitungan modal atau belum diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal pada masing-masing sektor keuangan. (3) Dalam hal suatu sektor keuangan memiliki pengaturan perhitungan permodalan konsolidasi terhadap Perusahaan Anak, modal aktual yang diperhitungkan dalam TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (4) Dalam hal pengaturan perhitungan permodalan konsolidasi tidak memperhitungkan modal suatu Perusahaan Anak, modal aktual Perusahaan Anak dimaksud diperhitungkan dalam TMA Konglomerasi Keuangan. Pasal 6 Modal aktual masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak yang diperhitungkan dalam TMA Konglomerasi Keuangan yaitu: a. bagi bank adalah modal inti aktual dan modal pelengkap aktual; b. bagi perusahaan pembiayaan adalah modal yang disesuaikan aktual; c. bagi perusahaan asuransi/reasuransi adalah nilai aktual dari selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan dengan liabilitas; d. bagi perusahaan efek adalah Modal Kerja Bersih yang Disesuaikan (MKBD) aktual. - 9 - BAB III TOTAL MODAL MINIMUM KONGLOMERASI KEUANGAN (AGGREGATE REGULATORY CAPITAL REQUIREMENT) Pasal 7 (1) Dalam menghitung Rasio KPMM Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Entitas Utama menghitung Total Modal Minimum (TMM) Konglomerasi Keuangan dengan cara menjumlahkan nilai nominal dari modal minimum masing-masing LJK secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak yang wajib dipenuhi oleh masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan sesuai ketentuan pada masing- masing sektor keuangan. (2) Dalam hal suatu sektor keuangan memiliki pengaturan perhitungan permodalan konsolidasi terhadap Perusahaan Anak, modal minimum yang diperhitungkan dalam TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal minimum secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak yang wajib dipenuhi sesuai ketentuan pada masing- masing sektor keuangan. (3) Dalam hal pengaturan perhitungan permodalan konsolidasi tidak memperhitungkan modal suatu Perusahaan Anak, modal minimum Perusahaan Anak dimaksud diperhitungkan dalam TMM Konglomerasi Keuangan. Pasal 8 Modal minimum masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan secara individu dan/atau secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak yang diperhitungkan dalam TMM Konglomerasi Keuangan yaitu: a. bagi bank adalah modal minimum sesuai profil risiko; b. bagi perusahaan pembiayaan adalah modal yang disesuaikan minimum; - 10 - c. bagi perusahaan asuransi/reasuransi adalah nilai minimum dari selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan dengan liabilitas; d. bagi perusahaan efek adalah nilai minimum Modal Kerja Bersih yang Disesuaikan (MKBD). BAB IV MANAJEMEN PERMODALAN TERINTEGRASI Pasal 9 (1) Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Manajemen Permodalan Terintegrasi secara komprehensif dan efektif. (2) Penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Entitas Utama, Direksi Entitas Utama, dan Dewan Komisaris Entitas Utama. Pasal 10 (1) Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama berwenang dan bertanggung jawab untuk memastikan penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas usaha Konglomerasi Keuangan. (2) Kewenangan dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup paling sedikit: a. menyusun kebijakan, strategi, dan prosedur permodalan secara terintegrasi sesuai dengan ukuran, karakteristik, kompleksitas usaha, dan tingkat risiko Konglomerasi Keuangan; dan b. melaksanakan kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi. (3) Kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup paling sedikit: - 11 - a. mengarahkan, menyetujui, dan mengevaluasi kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi; dan b. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi oleh Direksi Entitas Utama. Pasal 11 Dalam rangka penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi, Entitas Utama wajib paling sedikit: a. memiliki kebijakan dan prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi; b. melakukan penilaian kecukupan modal secara terintegrasi; c. memantau dan menyampaikan laporan modal secara terintegrasi; d. memiliki sistem pengendalian intern yang memadai terkait dengan permodalan secara terintegrasi; dan e. melakukan kaji ulang penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi secara berkala. Pasal 12 (1) Kebijakan pengelolaan permodalan secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a memuat paling sedikit kebijakan mengenai: a. tingkat permodalan untuk memenuhi modal minimum Konglomerasi Keuangan (regulatory capital); b. sumber-sumber permodalan baik intern maupun ekstern Konglomerasi Keuangan; c. tindakan yang dilakukan Konglomerasi Keuangan: 1. untuk mengantisipasi seluruh risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas Konglomerasi Keuangan; 2. pada saat modal berada di bawah target yang ditetapkan; dan - 12 - 3. untuk memastikan kepatuhan Konglomerasi Keuangan pada ketentuan yang berlaku mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. (2) Prosedur pengelolaan permodalan secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a memuat paling sedikit prosedur perencanaan, penilaian kecukupan, dan pemantauan permodalan Konglomerasi Keuangan. Pasal 13 (1) Dalam melakukan penilaian kecukupan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, Entitas Utama wajib mengidentifikasi: a. indikasi double atau multiple gearing dalam Konglomerasi Keuangan; b. indikasi excessive leverage; c. hambatan melakukan transfer modal dari satu LJK kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan; dan d. risiko yang signifikan mempengaruhi Konglomerasi Keuangan. (2) Penilaian kecukupan modal secara terintegrasi dilakukan oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi (SKMRT). (3) Entitas Utama wajib mendokumentasikan hasil penilaian kecukupan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 14 (1) Dalam melakukan pemantauan dan penyampaian laporan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, Entitas Utama wajib memiliki sistem informasi yang dapat menghasilkan informasi dan laporan yang memadai termasuk dampak risiko terhadap kebutuhan modal Konglomerasi Keuangan. - 13 - (2) Pemantauan dan penyampaian laporan modal secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko Terintegrasi (SKMRT). (3) Laporan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Direksi Entitas Utama dan Komite Manajemen Risiko Terintegrasi secara berkala. Pasal 15 Entitas Utama wajib memiliki sistem pengendalian intern yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d untuk memastikan keandalan penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi. Pasal 16 Kaji ulang penerapan Manajemen Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e dilakukan Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi (SKAIT). BAB V PELAPORAN Pasal 17 (1) Entitas Utama wajib menyusun Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (2) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. modal aktual dari masing-masing LJK anggota Konglomerasi Keuangan; b. TMA Konglomerasi Keuangan; c. modal minimum yang wajib dipenuhi oleh masing- masing LJK anggota Konglomerasi Keuangan; d. TMM Konglomerasi Keuangan; e. Rasio KPMM Terintegrasi; f. Rincian penyertaan modal antar LJK dalam Konglomerasi Keuangan; dan - 14 - g. Rincian penempatan dana LJK kepada LJK lain dalam Konglomerasi Keuangan yang diakui sebagai instrumen modal (regulatory capital) oleh LJK lain dimaksud. (3) Entitas Utama wajib menyampaikan Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat: a. tanggal 15 (lima belas) bulan Agustus untuk laporan posisi akhir bulan Juni; b. tanggal 15 (lima belas) bulan Februari untuk laporan posisi akhir bulan Desember. (4) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/libur, Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi disampaikan pada hari kerja berikutnya. (5) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Departemen Pengawasan atau Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan yang bertanggung jawab mengawasi LJK Entitas Utama. (6) Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi dibuat sesuai dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 18 Entitas Utama wajib menyampaikan Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi sewaktu-waktu dalam hal diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB VI SANKSI Pasal 19 Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) dan/atau Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; - 15 - b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan; d. pembatasan kegiatan usaha; e. perintah penggantian manajemen; f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; dan/atau g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan. Pasal 20 Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban membayar berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 21 Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada masing-masing sektor keuangan. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 Bagi Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK-LJK sejenis, penerapan ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi mulai berlaku pada saat ketentuan manajemen risiko terintegrasi dan tata kelola terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan dimaksud mulai diterapkan pada masing-masing sektor keuangan. Pasal 23 Kewajiban penyampaian Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) pertama kali dilakukan untuk laporan posisi akhir bulan Desember 2015. - 16 - Pasal 24 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 mulai berlaku pada: a. 1 Januari 2019, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. 1 Juli 2019, untuk Entitas Utama bukan bank dan Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4. Pasal 25 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 mulai berlaku pada: a. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. 1 Juli 2018, untuk Entitas Utama bukan bank dan Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK tetap menerapkan ketentuan yang berlaku pada masing- masing sektor keuangan. - 17 - Pasal 27 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 11 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 292 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN I. UMUM Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan merupakan suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berkontribusi secara optimal dalam perekonomian nasional. Modal merupakan sumber dukungan keuangan dalam pelaksanaan aktivitas Konglomerasi Keuangan secara keseluruhan, cushion untuk menyerap kerugian yang tidak terduga (unexpected losses), dan jaring pengaman (safety net) dalam kondisi krisis. Kecukupan modal yang memadai dapat meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga mendukung kondisi dan kestabilan Konglomerasi Keuangan. Besaran modal yang harus disediakan oleh suatu Konglomerasi Keuangan sangat bergantung pada risiko yang dihadapi. Oleh karena itu dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat dan meningkatkan kondisi usahanya secara keseluruhan, Konglomerasi Keuangan wajib memiliki sistem yang memadai untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang ditimbulkan dari aktivitas bisnis Konglomerasi Keuangan serta menyediakan modal yang memadai untuk mengantisipasi risiko tersebut. - 2 - Sehubungan dengan hal-hal tersebut, diperlukan pengaturan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi bagi konglomerasi keuangan dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan risiko yang membutuhkan penyediaan modal lebih besar antara lain risiko transaksi intra grup. Ayat (2) Yang dimaksud dengan hal-hal lain antara lain: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. pembatasan bonus dan insentif lainnya; dan/atau c. pengaturan atau penundaan pembayaran dividen. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Contoh tindakan yang dapat mengakibatkan kondisi permodalan Konglomerasi Keuangan tidak memenuhi ketentuan antara lain: 1) melakukan pembayaran dividen; 2) memberikan bonus / insentif / tantiem / remunerasi /benefit lainnya kepada Direksi, Dewan Komisaris, atau pegawai. - 3 - Pasal 5 Ayat (1) Contoh 1: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C. TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal aktual LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan. Contoh 2: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C. TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal aktual LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh 1 - 4 - Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C. Dalam hal pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C. Contoh 2: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, LJK C, dan LJK D. Dalam hal pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, TMA Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan modal aktual LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C ditambah dengan modal aktual LJK D secara individu. Ayat (4) Contoh: Konglomerasi Keuangan terdiri atas bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi. Berdasarkan ketentuan yang mengatur bank, penyertaan kepada Perusahaan Anak berupa perusahaan asuransi menjadi faktor pengurang modal dalam perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak sehingga modal perusahaan asuransi tersebut tidak ditambahkan ke modal bank secara konsolidasi. - 5 - Dengan demikian, perhitungan TMA Konglomerasi Keuangan adalah modal aktual bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak berupa perusahaan pembiayaan dan perusahaan efek ditambah dengan modal aktual perusahaan asuransi secara individu. Pasal 6 Huruf a Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum, bank umum syariah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat syariah. Yang dimaksud dengan “modal inti dan modal pelengkap” adalah modal inti dan modal pelengkap setelah memperhitungkan faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Huruf b Yang dimaksud dengan “perusahaan pembiayaan” adalah perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah. Yang dimaksud dengan “modal yang disesuaikan” adalah modal yang disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan atau penyelenggaraan usaha pembiayaan syariah. Huruf c Yang dimaksud dengan “perusahaan asuransi/reasuransi” adalah perusahaan asuransi/reasuransi dan perusahaan asuransi/reasuransi syariah. Yang dimaksud dengan “aset/kekayaan yang diperkenankan” adalah aset/kekayaan yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Yang dimaksud dengan “liabilitas” adalah liabilitas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Huruf d Yang dimaksud dengan “modal kerja bersih yang disesuaikan (MKBD)” adalah MKBD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pemeliharaan dan pelaporan MKBD. - 6 - Pasal 7 Ayat (1) Contoh 1: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C. TMM Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: Contoh 2: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C. TMM Konglomerasi Keuangan adalah penjumlahan dari modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK A, LJK B, dan LJK C, sesuai ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor keuangan sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: - 7 - Ayat (2) Contoh 1: Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, dan LJK C. Pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Dengan demikian, TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: Contoh 2: - 8 - Konglomerasi Keuangan terdiri atas LJK 1, LJK A, LJK B, LJK C, dan LJK D. Pada LJK 1 terdapat ketentuan yang mengatur perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. Dengan demikian, TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK 1 secara konsolidasi dengan LJK A, LJK B, dan LJK C ditambah dengan modal minimum yang wajib dipenuhi oleh LJK D secara individu, sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: Ayat (3) Yang dimaksud dengan “modal minimum Perusahaan Anak” adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh Perusahaan Anak sesuai ketentuan pada masing-masing sektor keuangan. Contoh : Konglomerasi Keuangan terdiri atas bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan efek, dan perusahaan asuransi. Berdasarkan ketentuan yang mengatur bank, penyertaan kepada Perusahaan Anak berupa perusahaan asuransi menjadi faktor pengurang modal dalam perhitungan modal secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak sehingga modal perusahaan asuransi tersebut tidak ditambahkan pada modal bank secara konsolidasi. - 9 - Dengan demikian perhitungan TMM Konglomerasi Keuangan adalah modal minimum yang wajib dipenuhi oleh bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak berupa perusahaan pembiayaan dan perusahaan efek ditambah dengan modal minimum yang wajib dipenuhi oleh perusahaan asuransi secara individu sehingga Rasio KPMM Terintegrasi dihitung sebagai berikut: Pasal 8 Huruf a Yang dimaksud dengan “bank” adalah bank umum, bank umum syariah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat syariah. Yang dimaksud dengan “modal minimum sesuai profil risiko” adalah modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. Contoh: Bank A memiliki profil risiko 2 (dua) dan memiliki kewajiban penyediaan modal mínimum sesuai profil risiko sebesar 9% (sembilan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Apabila bank memiliki ATMR sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) maka modal minimum sesuai profil risiko adalah sebesar 9% x Rp1.000.000.000.- =Rp90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah). Huruf b Yang dimaksud dengan “perusahaan pembiayaan” adalah perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah. Yang dimaksud dengan “modal yang disesuaikan” adalah modal yang disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan atau penyelenggaran usaha pembiayaan syariah. - 10 - Contoh: Perusahaan Pembiayaan A memiliki nilai aset yang disesuaikan sebesar Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Apabila rasio permodalan mínimum ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) maka modal yang disesuaikan mínimum adalah sebesar 10% x Rp2.000.000.000,- = Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Huruf c Yang dimaksud dengan “perusahaan asuransi/reasuransi” adalah perusahaan asuransi/reasuransi dan perusahaan asuransi/reasuransi syariah. Yang dimaksud dengan “aset/kekayaan yang diperkenankan” adalah aset/kekayaan yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Yang dimaksud dengan “liabilitas” adalah liabilitas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Contoh: Perusahaan Asuransi A memiliki modal mínimum berbasis risiko (MMBR) sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Apabila target tingkat solvabilitas ditetapkan sebesar 120% (seratus dua puluh persen) maka nilai mínimum dari selisih antara aset/kekayaan yang diperkenankan dengan liabilitas adalah sebesar 120% x Rp1.000.000.000,- = Rp1.200.000.000,- (satu milyar dua ratus juta rupiah). Huruf d Yang dimaksud dengan “modal kerja bersih yang disesuaikan (MKBD)” adalah MKBD sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pemeliharaan dan pelaporan MKBD. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. - 11 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Evaluasi kebijakan, strategi, dan prosedur pengelolaan permodalan dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Huruf b Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kebijakan mengenai sumber permodalan intern perlu mempertimbangkan hambatan dalam melakukan transfer modal antar LJK dalam Konglomerasi Keuangan baik karena kondisi intern maupun ekstern Konglomerasi Keuangan seperti adanya ketentuan yang berlaku dari otoritas yang menghambat dilakukannya transfer modal. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “target yang ditetapkan” adalah target yang ditetapkan oleh Konglomerasi Keuangan ataupun oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 3 Cukup jelas. Ayat (2) Dalam prosedur perencanaan modal mempertimbangkan antara lain target permodalan, risiko, strategi, dan rencana bisnis Konglomerasi Keuangan serta kondisi makroekonomi. - 12 - Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “double atau multiple gearing” adalah kondisi adanya penyertaan atau penempatan modal antar LJK anggota Konglomerasi Keuangan yang menyebabkan modal Konglomerasi Keuangan dinilai lebih besar dari yang seharusnya (overstated). Huruf b Yang dimaksud dengan “excessive leverage” adalah kondisi adanya pinjaman yang berlebihan oleh suatu LJK yang ditempatkan dalam bentuk modal pada LJK lain. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “SKMRT” adalah SKMRT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “SKMRT” adalah SKMRT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Komite Manajemen Risiko Terintegrasi” adalah Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. - 13 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Yang dimaksud “SKAIT” adalah SKAIT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Laporan Kecukupan Permodalan Terintegrasi dapat diminta secara sewaktu-waktu antara lain dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memerlukan informasi mengenai kondisi permodalan Konglomerasi Keuangan terkini dalam rangka pengawasan terintegrasi terhadap Konglomerasi Keuangan. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Yang dimaksud dengan “LJK-LJK yang sejenis” adalah LJK-LJK yang diatur oleh ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko dan tata kelola yang sama pada masing-masing sektor keuangan. Contoh: a. LJK berupa perusahaan asuransi. b. LJK berupa perusahaan efek. c. LJK berupa bank perkreditan rakyat. - 14 - Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5774
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 6/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK </reg_title> <set_date> 31 Maret 2015 </set_date> <effective_date> 1 April 2015 </effective_date> <issued_date> 1 April 2015 </issued_date> <replaced_reg> '14/14/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai laporan bank umum sebagai kustodian beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan bank umum sebagai kustodian, ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal mengenai laporan bank umum sebagai kustodian yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 2. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 3. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Kustodian. 4. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akuntan publik dan telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. - 3 - 5. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. BAB II LAPORAN Pasal 2 Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak paling sedikit 2 (dua) rangkap disertai dengan salinan dokumen elektronik yang meliputi: a. laporan mengenai aktivitas bulanan yang memuat rekapitulasi Efek yang tercatat selama periode tersebut; dan b. laporan tahunan yang merupakan hasil pemeriksaan operasional Akuntan Publik. Pasal 3 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi jumlah, jenis Efek, frekuensi tercatat, dan keterangan lain yang diperlukan, yang disusun dengan menggunakan format Laporan Aktivitas Bank Kustodian sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 12 (dua belas) hari setelah periode laporan bulanan berakhir. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah periode laporan tahunan berakhir. - 4 - (4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari libur, penyampaian laporan wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 4 Dalam hal Akuntan Publik memberikan pendapat bahwa program yang dijalankan tidak sesuai dengan prosedur yang cukup aman, Otoritas Jasa Keuangan dapat memanggil penanggung jawab Bank Kustodian atau melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut. Pasal 5 Dalam hal Bank Kustodian akan membuka cabang jasa Kustodian, Bank Kustodian wajib melaporkan pembukaan cabang jasa Kustodian dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum cabang jasa Kustodian dimaksud beroperasi. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 6 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. - 5 - (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 7 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 8 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-73/PM/1996 tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian, beserta Peraturan Nomor X.G.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 124 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai laporan Bank Umum sebagai Kustodian yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-73/PM/1996 tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian, beserta Peraturan Nomor X.G.1 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bank Umum sebagai Kustodian. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Dalam praktiknya “salinan dokumen elektronik” dikenal dengan sebutan soft copy. Salinan dokumen elektronik dapat disampaikan dengan menggunakan antara lain media digital cakram padat (compact disc), flashdisk, atau lainnya. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa perintah untuk menyampaikan kembali laporan yang telah diperbaiki sesuai dengan hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. - 3 - Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6071 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN - 2 - LAPORAN AKTIVITAS BANK KUSTODIAN 1. PENYELESAIAN TRANSAKSI BANK KUSTODIAN Nama Kustodian Bulan & Tahun : : No Efek Frekuensi ......... ......... PENYELESAIAN TRANSAKSI BELI Volume (Juta Unit) Nilai (Miliar Rupiah) Status Investor (%) I A Konfirmasi Investor Tepat Waktu Frekuensi PENYELESAIAN TRANSAKSI JUAL Volume (Juta Unit) Nilai (Miliar Rupiah) Status Investor (%) I A Konfirmasi Investor Tepat Waktu .......... , ................20....... PT ........... ................... (Nama Lengkap & Jabatan) - 3 - 2. NILAI ASSET UNDER CUSTODY Nama Kustodian Bulan & Tahun : : ......... ......... Dalam Rupiah SAHAM OBLIGASI REKSA DANA LAINNYA TOTAL ASSET UNDER CUSTODY .......... , ................20....... PT ........... ................... (Nama Lengkap & Jabatan) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 4/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> DANA INVESTASI MULTI ASET BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title> <set_date> 24 Februari 2017 </set_date> <effective_date> 28 Februari 2017 </effective_date> <issued_date> 28 Februari 2017 </issued_date> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk dan aktivitas Bank Perkreditan Rakyat, semakin meningkat pula risiko yang dihadapi Bank Perkreditan Rakyat; b. bahwa dengan meningkatnya risiko yang dihadapi Bank Perkreditan Rakyat, semakin meningkat pula kebutuhan terhadap penerapan manajemen risiko oleh Bank Perkreditan Rakyat; c. bahwa penerapan manajemen risiko merupakan salah satu upaya memperkuat kelembagaan dan meningkatkan reputasi industri Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan arah kebijakan pengembangan Bank Perkreditan Rakyat; d. bahwa penguatan kelembagaan dan peningkatan reputasi industri Bank Perkreditan Rakyat diharapkan dapat menciptakan sektor keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing yang tinggi; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan - 2 - tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Perkreditan Rakyat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502); 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5685); - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI PERKREDITAN RAKYAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998; 2. Direksi: a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan/atau 2) Perusahaan Daerah (PD) adalah direksi pada BPR yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. BANK - 4 - c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 3. Dewan Komisaris: a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan/atau 2) Perusahaan Daerah (PD) adalah pengawas pada BPR yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 4. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional BPR, antara lain pemimpin kantor cabang, kepala divisi, kepala bagian, kepala satuan kerja audit intern atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab mengenai pelaksanaan fungsi audit intern, manajer dan/atau pejabat lainnya yang setara. 5. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. - 5 - 6. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha BPR. BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO Pasal 2 (1) BPR wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. Pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris. b. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan limit yaitu: 1) kebijakan Manajemen Risiko; 2) prosedur Manajemen Risiko; dan 3) penetapan limit Risiko. c. Kecukupan proses dan sistem yaitu: 1) proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko; dan 2) sistem informasi Manajemen Risiko. d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Pasal 3 (1) Risiko yang harus dikelola dalam penerapan Manajemen Risiko meliputi: a. Risiko kredit; b. Risiko operasional; c. Risiko kepatuhan; d. Risiko likuiditas; e. Risiko reputasi; dan f. Risiko stratejik. (2) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib - 6 - menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk seluruh jenis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit untuk 4 (empat) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d. (4) BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit untuk 3 (tiga) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c. (5) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun memiliki total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dan memenuhi kondisi: a. memiliki kurang dari 10 (sepuluh) kantor cabang; dan b. tidak melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit, wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit untuk 4 (empat) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d. (6) BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) namun memiliki total aset paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dan memenuhi kondisi: a. memiliki paling sedikit 10 (sepuluh) kantor cabang; dan/atau - 7 - b. melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit, wajib menerapkan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk seluruh Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB III PENGAWASAN DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Pasal 4 Dalam rangka pengawasan penerapan Manajemen Risiko, BPR wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a. Pasal 5 (1) Kewenangan dan tanggung jawab Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit meliputi: a. menyusun kebijakan dan pedoman penerapan Manajemen Risiko secara tertulis; b. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi; c. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada seluruh jenjang organisasi; d. memastikan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan Manajemen Risiko; e. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah beroperasi secara independen; dan f. bertanggung jawab atas: 1) pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko; dan 2) eksposur Risiko yang diambil BPR secara keseluruhan. (2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai - 8 - Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional BPR dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil Risiko BPR. Pasal 6 Kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit meliputi: a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko; b. memastikan penerapan Manajemen Risiko oleh Direksi; c. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f angka 1); dan d. mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi yang berkaitan dengan transaksi yang memerlukan persetujuan Dewan Komisaris. BAB IV KEBIJAKAN MANAJEMEN RISIKO, PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO, DAN PENETAPAN LIMIT RISIKO Pasal 7 Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 1) paling sedikit meliputi: a. Penetapan Risiko yang terkait dengan kegiatan usaha, produk, dan layanan BPR; b. Penetapan sistem informasi Manajemen Risiko; c. Penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko; d. Penetapan penilaian peringkat Risiko; e. Penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk; dan f. Penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko. - 9 - Pasal 8 (1) Prosedur Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 2) paling sedikit meliputi: a. jenjang delegasi wewenang dan pertanggungjawaban yang jelas; dan b. dokumentasi prosedur dan penetapan limit Risiko secara memadai. (2) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 3) meliputi: a. limit secara keseluruhan; b. limit per jenis Risiko; dan c. limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki eksposur Risiko. BAB V PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, DAN PENGENDALIAN RISIKO, SERTA SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO Pasal 9 (1) BPR wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c angka 1) terhadap seluruh faktor Risiko yang bersifat material. (2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh: a. sistem informasi manajemen yang memadai; dan b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan BPR, kinerja aktivitas fungsional dan eksposur Risiko BPR. Pasal 10 (1) Pelaksanaan proses identifikasi Risiko paling sedikit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap: - 10 - a. karakteristik Risiko yang melekat pada BPR; dan b. Risiko dari kegiatan usaha, produk, dan layanan BPR. (2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, BPR melakukan paling sedikit: a. evaluasi terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur Risiko; dan b. penyesuaian terhadap proses pengukuran Risiko apabila terdapat perubahan yang bersifat material pada kegiatan pelayanan BPR, produk, dan faktor Risiko. (3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, BPR melakukan paling sedikit: a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan b. penyesuaian proses pelaporan apabila terdapat perubahan yang bersifat material pada kegiatan usaha BPR, produk, faktor Risiko, teknologi informasi, dan sistem informasi Manajemen Risiko. (4) Pelaksanaan proses pengendalian Risiko digunakan BPR untuk mengelola Risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BPR. Pasal 11 (1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c angka 2), paling sedikit meliputi laporan atau informasi mengenai: a. eksposur Risiko; b. kepatuhan terhadap kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; c. kepatuhan terhadap prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan d. realisasi penerapan Manajemen Risiko dibandingkan dengan target yang ditetapkan. - 11 - (2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara berkala kepada Direksi. BAB VI SISTEM PENGENDALIAN INTERN Pasal 12 BPR wajib melaksanakan sistem pengendalian intern yang menyeluruh secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi BPR. Pasal 13 Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang menyeluruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 paling sedikit harus mampu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi, secara tepat waktu. Pasal 14 (1) Sistem pengendalian intern yang menyeluruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dalam rangka penerapan Manajemen Risiko paling sedikit meliputi: a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan usaha dan jenis layanan BPR; b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; c. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; d. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas; - 12 - e. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha BPR; f. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu; g. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan BPR terhadap peraturan perundang-undangan; h. dokumentasi secara lengkap dan memadai; dan i. verifikasi dan reviu terhadap sistem pengendalian intern. (2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh satuan kerja audit intern atau Pejabat Eksekutif yang menangani fungsi audit intern. BAB VII ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO Pasal 15 Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2: (1) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) wajib membentuk: a. Komite Manajemen Risiko; dan b. satuan kerja Manajemen Risiko. (2) BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan kurang dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) wajib membentuk satuan kerja Manajemen Risiko. (3) BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling sedikit wajib menunjuk satu orang Pejabat Eksekutif yang bertanggung jawab terhadap penerapan fungsi Manajemen Risiko. - 13 - (4) Dalam hal diperlukan, BPR dengan modal inti kurang dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) dapat membentuk Komite Manajemen Risiko. Pasal 16 (1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dan ayat (4) paling sedikit terdiri dari: a. Mayoritas Direksi; dan b. Pejabat Eksekutif terkait. (2) Wewenang dan tanggung jawab Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan rekomendasi kepada Direktur Utama, yang paling sedikit meliputi: a. penyusunan kebijakan dan pedoman penerapan Manajemen Risiko; b. perbaikan dan/atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Manajemen Risiko; dan c. pertimbangan dan/atau penetapan hal-hal yang terkait dengan keputusan operasional yang menyimpang dari prosedur normal. Pasal 17 (1) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan ayat (2) serta Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) harus independen. (2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan ayat (2) serta Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) bertanggung jawab langsung kepada anggota Direksi yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko. (3) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko atau Pejabat Eksekutif yang ditunjuk bertanggung jawab menerapkan fungsi Manajemen Risiko meliputi: - 14 - a. pemantauan pelaksanaan kebijakan dan pedoman penerapan Manajemen Risiko yang telah disetujui oleh Direksi; b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan, per jenis Risiko, dan per jenis aktivitas fungsional; c. pengkajian usulan penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru; d. penyampaian rekomendasi kepada satuan kerja atau pegawai yang menangani fungsi operasional dan Komite Manajemen Risiko, sesuai kewenangan yang dimiliki; dan e. penyusunan dan penyampaian laporan profil Risiko secara berkala kepada anggota Direksi yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko. BAB VIII PENGELOLAAN RISIKO PRODUK DAN AKTIVITAS BARU Pasal 18 (1) Dalam rangka pengelolaan Risiko yang melekat pada penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru, BPR wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis. (2) Kriteria penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru BPR adalah penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas yang: a. b. tidak pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh BPR; atau telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh BPR namun dilakukan pengembangan yang mengubah atau meningkatkan seluruh Risiko atau Risiko tertentu BPR. (3) Kebijakan dan prosedur secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. penetapan Risiko produk dan aktivitas baru; - 15 - b. c. identifikasi seluruh Risiko yang terkait dengan produk dan aktivitas baru; analisis aspek hukum untuk masing-masing produk dan aktivitas baru; d. sistem dan prosedur operasional serta kewenangan dalam pengelolaan produk dan aktivitas baru; e. sistem informasi akuntansi untuk produk dan aktivitas baru; dan f. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko terhadap produk dan aktivitas baru. (4) Penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 19 BPR wajib menyampaikan informasi secara tertulis mengenai Risiko yang terkait dengan produk dan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf b kepada nasabah atau calon nasabah sebelum dilakukannya transaksi. BAB IX PELAPORAN Bagian Kesatu Rencana Tindak (Action Plan) Penerapan Manajemen Risiko Pasal 20 (1) Dalam rangka penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BPR wajib menyusun dan menyampaikan laporan rencana tindak kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 30 Juni 2016. (3) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR untuk melakukan penyesuaian terhadap laporan rencana - 16 - tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila rencana tindak dinilai belum sepenuhnya memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan. (4) Batas waktu penyelesaian rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau penyelesaian terhadap rencana tindak yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi BPR dengan modal inti: a. paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2018; atau b. kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2019. (5) Batas waktu penyelesaian rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memperhatikan batas waktu pembentukan Komite Manajemen Risiko, satuan kerja Manajemen Risiko, dan/atau penunjukan Pejabat Eksekutif yang bertanggung jawab terhadap penerapan fungsi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38. Pasal 21 (1) BPR wajib menyampaikan laporan realisasi rencana tindak penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 setiap semester kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan realisasi rencana tindak penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat setiap tanggal 31 Juli untuk laporan semester pertama dan tanggal 31 Januari tahun berikutnya untuk laporan semester kedua (3) Laporan realisasi rencana tindak penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pertama kali disampaikan untuk laporan semester pertama tahun 2017. (4) Dalam hal BPR telah merealisasikan seluruh rencana tindak penerapan Manajemen Risiko sebagaimana - 17 - dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) dan telah dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, BPR tidak perlu menyampaikan laporan realisasi rencana tindak penerapan Manajemen Risiko untuk semester berikutnya. Bagian Kedua Laporan Profil Risiko Pasal 22 (1) BPR wajib menyampaikan laporan profil Risiko setiap semester kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh BPR wajib memuat materi yang sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko atau Pejabat Eksekutif yang ditunjuk bertanggung jawab menerapkan fungsi Manajemen Risiko kepada anggota Direksi yang membawahkan fungsi Manajemen Risiko dan kepada Komite Manajemen Risiko. (3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 31 Juli untuk laporan semester pertama dan tanggal 31 Januari tahun berikutnya untuk laporan semester kedua. (4) BPR yang memiliki modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan BPR yang memiliki modal inti serta aset dan memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) menyampaikan untuk pertama kali laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. 3 (tiga) Risiko yaitu Risiko kredit, Risiko operasional, dan Risiko kepatuhan untuk semester kedua tahun 2018; dan b. 6 (enam) Risiko yaitu Risiko kredit, Risiko operasional, Risiko likuiditas, Risiko kepatuhan, - 18 - Risiko reputasi, dan Risiko stratejik untuk semester kedua tahun 2020. (5) BPR yang memiliki modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan BPR yang memiliki modal inti serta aset dan memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) menyampaikan untuk pertama kali laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. 2 (dua) Risiko yaitu Risiko kredit dan Risiko operasional untuk semester kedua tahun 2019; dan b. 4 (empat) Risiko yaitu Risiko kredit, Risiko operasional, Risiko likuiditas, dan Risiko kepatuhan untuk semester kedua tahun 2021. (6) BPR yang memiliki modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) menyampaikan untuk pertama kali laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. 1 (satu) Risiko yaitu Risiko kredit untuk semester kedua tahun 2019; dan b. 3 (tiga) Risiko yaitu Risiko kredit, Risiko operasional, dan Risiko kepatuhan untuk semester kedua tahun 2021. Bagian Ketiga Laporan Produk dan Aktivitas Baru Pasal 23 (1) BPR wajib menyampaikan laporan produk dan aktivitas baru kepada Otoritas Jasa Keuangan, yang terdiri atas: a. laporan rencana penerbitan produk pelaksanaan aktivitas baru; dan b. laporan realisasi penerbitan produk pelaksanaan aktivitas baru. dan (2) Laporan rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari dan - 19 - kerja sebelum penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru. (3) Laporan realisasi penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru. (4) Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis BPR. (5) Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan BPR untuk tidak menerbitkan produk dan/atau melaksanakan aktivitas baru yang direncanakan. (6) Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan BPR untuk menghentikan penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal dikemudian hari berdasarkan evaluasi Otoritas Jasa Keuangan, produk yang diterbitkan dan/atau aktivitas yang dilaksanakan memenuhi kondisi: a. tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk dan aktivitas baru yang dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan BPR; dan c. tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan. - 20 - Bagian Keempat Laporan Profil Risiko Lain Pasal 24 (1) BPR wajib menyampaikan laporan profil Risiko lain kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terdapat kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan BPR. (2) Laporan profil Risiko lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah laporan profil Risiko selain yang dimaksud dalam Pasal 22. (3) Laporan profil Risiko lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah diketahuinya kondisi berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan BPR. (4) Kewajiban penyampaian laporan profil Risiko lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat didasarkan atas permintaan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kelima Batas Waktu Penyampaian Laporan Pasal 25 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan: a. laporan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2); b. laporan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2); c. d. laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3); laporan realisasi penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3); dan e. laporan profil Risiko lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), apabila BPR menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan melampaui batas akhir waktu - 21 - penyampaian laporan sampai dengan 1 (satu) bulan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan. (2) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) apabila laporan disampaikan kurang dari 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru. (3) BPR dinyatakan tidak menyampaikan: a. laporan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2); b. laporan realisasi rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2); c. d. laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3); laporan realisasi penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3); dan e. laporan profil Risiko lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), apabila BPR belum menyampaikan laporan dimaksud dalam batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) apabila laporan disampaikan pada saat atau setelah penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru. Bagian Keenam Format dan Tata Cara Penyampaian Laporan Pasal 26 Format, petunjuk penyusunan,dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 24 ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. - 22 - BAB X PENILAIAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO Pasal 27 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap penerapan Manajemen Risiko di BPR. (2) Selain melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penyesuaian penilaian penerapan Manajemen Risiko dengan memperhatikan perkembangan kondisi dan potensi permasalahan yang dihadapi BPR. (3) Dalam rangka penilaian penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR wajib menyampaikan data dan informasi terkait dengan penerapan Manajemen Risiko kepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Tata cara dan metode penilaian penerapan Manajemen Risiko diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB XI PENYESUAIAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO Pasal 28 (1) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut sampai dengan tanggal 31 Desember 2018, dan: a. memiliki total aset paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah); atau b. memiliki total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dan memenuhi kondisi: 1) memiliki paling sedikit 10 (sepuluh) kantor cabang; dan/atau - 23 - 2) melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit, wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai pentahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4). (2) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut setelah tanggal 31 Desember 2018 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, dan: a. memiliki total aset paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah); atau b. memiliki total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dan memenuhi kondisi: 1) memiliki paling sedikit 10 (sepuluh) kantor cabang; dan/atau 2) melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit, wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pertama kali untuk laporan profil Risiko semester kedua tahun 2020. (3) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut setelah tanggal 31 Desember 2020, dan: a. memiliki total aset paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah); atau b. memiliki total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dan memenuhi kondisi: 1) memiliki paling sedikit 10 (sepuluh) kantor cabang; dan/atau - 24 - 2) melakukan kegiatan sebagai penerbit kartu Anjungan Tunai Mandiri atau kartu debit, wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pertama kali pada laporan profil Risiko semester berikutnya setelah satu tahun BPR memenuhi modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut. Pasal 29 (1) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut, wajib memenuhi struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) paling lambat satu tahun setelah BPR memenuhi modal inti paling sedikit Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut. (2) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan kurang dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut- turut, wajib memenuhi struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) paling lambat satu tahun setelah BPR memenuhi modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan kurang dari Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut- turut. Pasal 30 (1) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar - 25 - rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut- turut sampai dengan tanggal 31 Desember 2019, dan memiliki total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah), wajib melaporkan Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d sesuai pentahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5). (2) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut- turut setelah tanggal 31 Desember 2019 sampai dengan tanggal 31 Desember 2021 dan memiliki total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah), wajib melaporkan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d pertama kali untuk laporan profil Risiko semester kedua tahun 2021. (3) BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami peningkatan modal inti sehingga menjadi paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut setelah tanggal 31 Desember 2021 dan memiliki total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah), wajib melaporkan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d pertama kali pada laporan profil Risiko semester berikutnya setelah satu tahun BPR memenuhi modal inti paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut. - 26 - Pasal 31 (1) BPR yang mengalami peningkatan aset sehingga menjadi paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut- turut dan memenuhi kondisi menjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) sampai dengan tanggal 31 Desember 2018, wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai pentahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4). (2) BPR yang mengalami peningkatan aset sehingga menjadi paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut- turut dan memenuhi kondisi menjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) setelah tanggal 31 Desember 2018 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling lambat tanggal 31 Desember 2020. (3) BPR yang mengalami peningkatan aset sehingga menjadi paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut- turut dan memenuhi kondisi menjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) setelah tanggal 31 Desember 2020, wajib melaporkan seluruh Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pertama kali pada laporan profil Risiko semester berikutnya setelah satu tahun BPR memenuhi total aset paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) selama 6 (enam) posisi laporan bulanan berturut-turut. Pasal 32 BPR yang berdasarkan laporan bulanan mengalami penurunan modal inti atau total aset sehingga mengakibatkan berkurangnya kewajiban penerapan jumlah Risiko dari jumlah semula, tetap menerapkan jenis Risiko dan kelengkapan - 27 - struktur organisasi yang berlaku sebelum terjadinya penurunan modal inti atau total aset. BAB XII SANKSI Pasal 33 (1) BPR yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan dengan denda paling banyak sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per laporan. (2) BPR yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per laporan. (3) BPR yang menyampaikan laporan profil Risiko sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) yang berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan dinyatakan tidak benar dan/atau tidak lengkap secara signifikan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (4) Selain sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BPR juga dikenakan sanksi administratif berupa: a. penurunan tingkat kesehatan BPR; dan/atau b. pencantuman pengurus dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus. (5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah BPR diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja untuk setiap teguran dan BPR tidak menyampaikan atau tidak memperbaiki laporan - 28 - profil Risiko dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. Pasal 34 BPR yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 4, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 38, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau: a. penurunan penilaian tingkat kesehatan; dan/atau b. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR. Pasal 35 BPR yang melanggar penetapan Otoritas Jasa Keuangan untuk tidak menerbitkan produk dan/atau pelaksanakan aktivitas baru yang direncanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5) atau tidak mematuhi perintah Otoritas Jasa Keuangan untuk menghentikan penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan: a. penurunan penilaian tingkat kesehatan; b. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR; dan/atau c. pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus. Pasal 36 (1) BPR yang melanggar ketentuan Pasal 28, Pasal 30, dan Pasal 31 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Selain sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebagaimana - 29 - dimaksud pada ayat (1), BPR juga dikenakan sanksi administratif berupa: a. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau b. pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak- pihak yang memperoleh predikat tidak lulus. (3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah BPR diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja untuk setiap teguran dan BPR tidak menyampaikan atau tidak memperbaiki laporan profil Risiko dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. Pasal 37 (1) Pengenaan sanksi terhadap penyampaian laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) mulai diterapkan pada penyampaian laporan posisi 31 Desember 2019. (2) Pengenaan sanksi terhadap penyampaian laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) dan ayat (6) mulai diterapkan pada penyampaian laporan posisi 31 Desember 2020. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 38 Pembentukan Komite Manajemen Risiko, satuan kerja Manajemen Risiko, dan/atau penunjukan satu orang Pejabat Eksekutif yang bertanggung jawab terhadap penerapan fungsi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 oleh BPR yang telah memperoleh izin usaha sebelum ketentuan ini berlaku, dilakukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017. - 30 - BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 40 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 12 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 272 - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT I. UMUM Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai salah satu jenis bank yang memberikan jasa intermediasi keuangan terutama kepada usaha mikro dan kecil serta masyarakat di pedesaan, senantiasa menghadapi Risiko dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Perkembangan industri perbankan yang semakin meningkat, kebutuhan masyarakat atas pelayanan jasa keuangan yang lebih bervariasi, mudah, dan cepat diiringi dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat mendorong BPR untuk lebih meningkatkan produk dan pelayanannya yang pada gilirannya akan meningkatkan Risiko BPR. Peningkatan Risiko ini harus diimbangi dengan peningkatan pengendalian Risiko. Oleh karena itu, BPR dituntut untuk menerapkan Manajemen Risiko. Penerapan Manajemen Risiko ini selain ditujukan bagi BPR juga dalam rangka melindungi pemangku kepentingan BPR. Prinsip-prinsip Manajemen Risiko termasuk jenis Risiko yang harus diterapkan oleh BPR disesuaikan dengan karakteristik kegiatan usaha BPR dan diselaraskan dengan ketentuan mengenai penerapan Manajemen Risiko pada bank umum dan perbankan syariah. Prinsip-prinsip - 2 - Manajemen Risiko pada dasarnya merupakan standar perbankan untuk dapat beroperasi secara lebih berhati-hati dalam ruang lingkup perkembangan kegiatan usaha dan operasional perbankan yang sangat pesat dewasa ini. Mempertimbangkan masih terdapatnya kesenjangan pada industri BPR, penerapan Manajemen Risiko dibedakan sesuai dengan kegiatan usaha, produk, dan layanan serta kemampuan BPR dalam hal keuangan, infrastruktur pendukung maupun sumber daya manusia. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan ketentuan ini sebagai standar minimal yang harus dipenuhi oleh BPR dalam menerapkan Manajemen Risiko. Dengan ketentuan ini, BPR diharapkan mampu melaksanakan seluruh aktivitas secara terintegrasi dalam suatu pengelolaan Risiko yang akurat dan komprehensif. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan Risiko kredit adalah Risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada BPR. Huruf b Yang dimaksud dengan Risiko operasional adalah Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses intern, kesalahan sumber daya manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya masalah ekstern yang mempengaruhi operasional BPR. - 3 - Huruf c Yang dimaksud dengan Risiko kepatuhan adalah Risiko akibat BPR tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain termasuk Risiko akibat kelemahan aspek hukum. Kelemahan aspek hukum antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang- undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. Huruf d Yang dimaksud dengan Risiko likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan BPR untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan/atau kondisi keuangan BPR. Huruf e Yang dimaksud dengan Risiko reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan yang bersumber dari persepsi negatif mengenai BPR. Huruf f Yang dimaksud dengan Risiko stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan BPR dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan BPR dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. - 4 - Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Kebijakan Manajemen Risiko memuat antara lain strategi dan kerangka Risiko yang ditetapkan sesuai dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi risiko (risk tolerance). Huruf b Transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi antara lain transaksi yang telah melampaui kewenangan pejabat BPR satu tingkat di bawah Direksi, sesuai dengan kebijakan dan prosedur intern yang berlaku. Huruf c Pengembangan budaya Manajemen Risiko antara lain meliputi penyampaian informasi kepada seluruh pegawai dan komunikasi yang memadai mengenai prinsip-prinsip Manajemen Risiko termasuk mengembangkan budaya sadar Risiko serta pentingnya pengendalian intern yang efektif. Huruf d Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain melalui program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen Risiko. Huruf e Yang dimaksud dengan pengertian independen antara lain adanya pemisahan fungsi antara satuan kerja atau Pejabat Eksekutif yang bertanggung jawab menangani fungsi Manajemen Risiko dengan satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi operasional BPR. Yang dimaksud dengan fungsi operasional adalah fungsi yang terkait dengan penghimpunan dan penyaluran dana. Huruf f angka 1) Termasuk tanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko adalah: - 5 - 1) mengevaluasi dan memberikan arahan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh satuan kerja atau Pejabat Eksekutif yang bertanggung jawab terhadap penerapan fungsi Manajemen Risiko; 2) menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Dewan Komisaris paling sedikit setiap enam bulan sekali atau lebih sering tergantung adanya perubahan operasional, penerbitan produk baru dan/atau pelaksanaan aktivitas baru; 3) memastikan dampak risiko yang signifikan telah ditindaklanjuti; 4) mengkomunikasikan kebijakan Manajemen Risiko secara efektif kepada seluruh jenjang organisasi yang relevan agar dipahami secara jelas; dan 5) memastikan satuan kerja atau pegawai yang menangani fungsi operasional menginformasikan eksposur Risiko yang melekat pada satuan kerja yang bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen Risiko paling sedikit setiap enam bulan sekali atau lebih sering tergantung adanya perubahan operasional, penerbitan produk baru dan/atau pelaksanaan aktivitas baru. angka 2) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris paling sedikit satu kali dalam satu tahun atau sewaktu-waktu dalam hal terdapat perubahan yang mempengaruhi kegiatan usaha BPR secara signifikan. Huruf b Cukup jelas. - 6 - Huruf c Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris paling sedikit setiap semester. Huruf d Transaksi yang memerlukan persetujuan Dewan Komisaris adalah transaksi yang sesuai peraturan perundang-undangan memerlukan persetujuan Dewan Komisaris, antara lain pemberian kredit kepada pihak terkait. Pasal 7 Penetapan kebijakan Manajemen Risiko mempertimbangkan kondisi keuangan, struktur dan kompleksitas organisasi, dan Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor intern dan ekstern. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Termasuk dalam sistem informasi Manajemen Risiko adalah alur informasi kepada Direksi BPR dengan memanfaatkan teknologi informasi maupun hasil pengolahan data dalam rangka mendukung pengambilan keputusan. Huruf c Toleransi Risiko adalah potensi kerugian yang dapat diserap oleh permodalan BPR. Huruf d Penilaian peringkat Risiko adalah dasar bagi BPR untuk menetapkan peringkat Risiko BPR yang dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat Risiko, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Huruf e Yang dimaksud dengan rencana darurat adalah rencana pengembangan skenario untuk mengantisipasi terjadinya gangguan intern termasuk kegagalan sistem serta gangguan ekstern yang menyebabkan terjadinya kondisi darurat yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan operasional BPR. Huruf f Cukup jelas. - 7 - Pasal 8 Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko disesuaikan dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) terhadap Risiko BPR. Tingkat Risiko yang akan diambil memperhatikan pengalaman yang dimiliki oleh BPR terkait dengan Risiko transaksi bisnis BPR pada masa lalu. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan pengertian dokumentasi yang memadai adalah dokumentasi yang tertulis, lengkap, akurat, kini, dan utuh sehingga dapat memudahkan untuk dilakukan jejak audit untuk keperluan pengendalian intern BPR. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan limit secara keseluruhan adalah batas Risiko yang dapat ditoleransi oleh BPR atas seluruh Risiko yang diterapkan. Huruf b Yang dimaksud dengan limit per jenis Risiko adalah batas Risiko yang dapat ditoleransi oleh BPR untuk setiap jenis Risiko. Huruf c Yang dimaksud dengan limit per aktivitas fungsional tertentu adalah batas Risiko yang dapat ditoleransi oleh BPR untuk setiap aktivitas fungsional. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan faktor-faktor Risiko yang bersifat material adalah faktor-faktor Risiko yang bersifat kuantitatif dan kualitatif yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi keuangan BPR. - 8 - Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan sistem informasi manajemen yang memadai adalah sistem informasi manajemen yang mampu menyediakan data dan informasi yang lengkap, akurat, kini, dan utuh untuk pengambilan keputusan terkait dengan Manajemen Risiko. Huruf b Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Identifikasi Risiko dilakukan dengan berdasarkan pengalaman pada masa lalu terkait dengan transaksi yang menyebabkan kerugian, menurunkan keuntungan atau menyebabkan permasalahan pada BPR. Ayat (2) Huruf a Evaluasi dilakukan oleh satuan kerja atau pejabat yang independen dan tidak terkait dengan penyusunan dan/atau penetapan dalam rangka pengukuran Risiko. Evaluasi dilakukan sesuai dengan perkembangan usaha, kondisi intern dan ekstern BPR yang dapat langsung mempengaruhi kondisi BPR. Huruf b Termasuk dalam perubahan yang bersifat material adalah terdapatnya perubahan produk, kegiatan pelayanan BPR, struktur organisasi, sistem informasi, dan faktor Risiko yang bersifat kuantitatif dan kualitatif yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi BPR. Ayat (3) Huruf a Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan oleh satuan kerja atau pejabat independen yang tidak terkait dengan penyusunan dan/atau penetapan eksposur Risiko dengan cara pemantauan dan pelaporan Risiko yang signifikan atau yang berdampak terhadap kondisi permodalan BPR, yang - 9 - antara lain dilakukan dengan menggunakan analisis data historis. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Termasuk dalam proses pengendalian Risiko adalah penambahan modal untuk menyerap potensi kerugian. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup eksposur Risiko yang bersifat kuantitatif dan/atau kualitatif secara keseluruhan, rincian per jenis Risiko dan per jenis kegiatan fungsional. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan secara berkala adalah paling sedikit setiap semester dan dapat dilakukan lebih sering apabila terdapat perubahan operasional, penerbitan produk baru dan/atau pelaksanaan aktivitas baru. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Tujuan sistem pengendalian intern yang menyeluruh untuk memastikan: a. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan ketentuan intern BPR; b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, kini, dan utuh; - 10 - c. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan d. efektivitas budaya Risiko pada organisasi BPR secara menyeluruh. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas adalah: 1) jalur pelaporan dari satuan kerja atau pegawai yang menangani operasional kepada satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi pengendalian; dan 2) pemisahan fungsi satuan kerja atau pegawai yang menangani operasional dengan satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi pengendalian. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan dokumentasi secara lengkap dan memadai adalah dokumentasi terhadap prosedur operasional, cakupan dan temuan audit serta tanggapan pengurus BPR terhadap hasil audit. Huruf i Verifikasi dan reviu terhadap sistem pengendalian intern termasuk penanganan kelemahan-kelemahan BPR yang bersifat signifikan serta tindakan pengurus BPR untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. - 11 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Komite Manajemen Risiko merupakan unit yang tidak bersifat struktural dengan keanggotaan dapat bersifat tetap atau tidak tetap sesuai dengan kebijakan BPR. Huruf b Satuan kerja Manajemen Risiko merupakan satuan kerja yang bersifat struktural. Ayat (2) Satuan kerja Manajemen Risiko dan satuan kerja kepatuhan dapat dijadikan satu, yaitu satuan kerja yang menangani Manajemen Risiko dan Kepatuhan. Ayat (3) Pejabat Eksekutif yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi Manajemen Risiko dapat merangkap sebagai Pejabat Eksekutif yang menangani fungsi kepatuhan. Ayat (4) BPR dapat mempertimbangkan untuk membentuk Komite Manajemen Risiko apabila diperlukan. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan mayoritas Direksi adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi. Anggota Direksi dalam Komite Manajemen Risiko tidak termasuk direktur utama dan paling sedikit terdiri dari anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. Huruf b Pejabat Eksekutif terkait adalah pejabat BPR satu tingkat di bawah Direksi yang memimpin satuan kerja operasional - 12 - dan satuan kerja Manajemen Risiko. Keanggotaan Pejabat Eksekutif dalam Komite Manajemen Risiko disesuaikan dengan permasalahan dan kebutuhan BPR. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan independen adalah satuan kerja Manajemen Risiko atau Pejabat Eksekutif yang ditunjuk bertanggung jawab menerapkan fungsi Manajemen Risiko tidak menangani fungsi penghimpunan dan penyaluran dana serta tidak melaksanakan fungsi audit intern. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja atau Pejabat Eksekutif yang menangani fungsi Manajemen Risiko disesuaikan dengan kompleksitas kegiatan usaha BPR. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengkajian usulan produk dan/atau aktivitas baru bertujuan untuk menilai kemampuan BPR mengeluarkan produk dan/atau aktivitas baru termasuk kajian perubahan sistem dan prosedur karena adanya pengeluaran produk dan/atau aktivitas baru. Huruf d Yang dimaksud dengan satuan kerja operasional adalah satuan kerja atau pegawai yang menangani kegiatan pemberian kredit, penghimpunan dana, dan kegiatan operasional lainnya. Rekomendasi termasuk besaran atau maksimum eksposur Risiko yang harus dijaga BPR. - 13 - Rekomendasi disampaikan kepada Komite Manajemen Risiko apabila sesuai ketentuan BPR diwajibkan memiliki Komite Manajemen Risiko atau BPR yang memiliki Komite Manajemen Risiko. Huruf e Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh atas besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh portofolio atau eksposur BPR. Penyampaian laporan secara berkala disesuaikan dengan kondisi BPR dan paling sedikit dilakukan setiap semester. Laporan profil Risiko disampaikan kepada Komite Manajemen Risiko apabila sesuai ketentuan BPR diwajibkan memiliki Komite Manajemen Risiko atau BPR yang memiliki Komite Manajemen Risiko. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kebijakan dan prosedur terkait analisis aspek hukum termasuk kemampuan pemberian informasi mengenai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan kelemahan aspek hukum yang ditimbulkan produk dan aktivitas baru. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Kebijakan dan prosedur mengenai sistem informasi akuntansi termasuk kemampuan sistem memberikan - 14 - informasi mengenai tingkat keuntungan atau kerugian untuk produk dan aktivitas baru. Huruf f Masa uji coba dimaksudkan untuk memastikan bahwa metode pengukuran dan pemantauan Risiko telah teruji dari aspek kehati-hatian dan aspek lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Semester pertama adalah 1 Januari sampai dengan 30 Juni dan semester kedua adalah 1 Juli sampai dengan 31 Desember. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Semester pertama adalah 1 Januari sampai dengan 30 Juni dan semester kedua adalah 1 Juli sampai dengan 31 Desember. Ayat (2) Laporan profil Risiko disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko atau Pejabat Eksekutif yang ditunjuk bertanggung jawab menerapkan fungsi Manajemen Risiko kepada Komite Manajemen Risiko apabila sesuai ketentuan BPR diwajibkan memiliki Komite Manajemen Risiko atau BPR yang memiliki Komite Manajemen Risiko. - 15 - Laporan profil Risiko yang disampaikan BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan didasarkan atas data dan informasi yang lengkap, akurat, kini, dan utuh. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan BPR, antara lain memiliki perbedaan eksposur risiko yang signifikan. Huruf c Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kondisi berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan BPR adalah - 16 - kondisi yang berpotensi menurunkan keuntungan, menyebabkan kerugian, atau menurunkan rasio permodalan BPR. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyampaian data dan informasi terkait dengan penerapan Manajemen Risiko dilakukan oleh BPR sesuai permintaan Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 29 Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. - 17 - Pasal 30 Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 31 Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 32 Laporan bulanan adalah laporan bulanan yang disampaikan oleh BPR termasuk laporan bulanan setelah koreksi hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dilaksanakan melalui proses uji kemampuan dan kepatutan sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. - 18 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pencantuman pengurus BPR dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dilaksanakan melalui proses uji kemampuan dan kepatutan sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5761
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 13/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 3 November 2015 </set_date> <effective_date> 12 November 2015 </effective_date> <issued_date> 12 November 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '25/UU/1992', '40/UU/2007', '4/POJK.03/2015', '23/UU/2014', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 55 /POJK.05/2017 TENTANG LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (6) dan Pasal 60 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Berkala Perusahaan Perasuransian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. 2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa. 3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya. 4. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah. 5. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya. 6. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar kantor pusat yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah. 7. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta. - 3 - 8. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah. 9. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek asuransi. 10. Laporan Berkala adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan dalam periode tertentu. 11. Laporan Bulanan adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. 12. Laporan Triwulanan adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari sampai dengan akhir triwulan yang bersangkutan. 13. Laporan Semesteran adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari sampai dengan akhir semester yang bersangkutan. 14. Laporan Tahunan adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 Januari sampai dengan akhir tahun yang bersangkutan. - 4 - 15. Laporan Lain adalah laporan yang disusun oleh Perusahaan Perasuransian untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan selain Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan Semesteran, dan Laporan Tahunan yang disampaikan dalam periode tertentu. BAB II PENYUSUNAN LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN Pasal 2 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menyusun Laporan Berkala secara lengkap dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Laporan Bulanan; b. Laporan Triwulanan; c. Laporan Semesteran; d. Laporan Tahunan; dan e. Laporan Lain. (3) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah terbagi menjadi jenis laporan sebagai berikut: a. Laporan Bulanan; b. Laporan Triwulanan; c. Laporan Tahunan; dan d. Laporan Lain. (4) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi terbagi menjadi jenis laporan sebagai berikut: a. Laporan Semesteran; dan b. Laporan Tahunan. - 5 - (5) Laporan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi berupa Laporan Tahunan. Pasal 3 (1) Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. (2) Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b bagi Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah adalah Laporan Bulanan dan Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. (3) Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi adalah Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. Pasal 4 (1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d terdiri atas: a. aspek keuangan; dan b. aspek manajemen. Jasa - 6 - (2) Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah adalah Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. (3) Aspek manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah, terdiri atas: a. bukti sertifikat atau bukti lain yang menunjukan bahwa pihak utama telah memenuhi syarat keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama pada perusahaan perasuransian, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, dan perusahaan penjaminan; b. laporan hasil penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat risiko lembaga jasa keuangan non-bank; c. rencana tindak lanjut atas penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian tingkat risiko lembaga jasa keuangan non- bank; d. laporan hasil penilaian sendiri penerapan manajemen risiko Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko bagi lembaga jasa keuangan non-bank; - 7 - e. laporan penerapan strategi anti fraud sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah; f. laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata kelola perusahaan yang baik bagi perasuransian; perusahaan g. laporan realisasi rencana bisnis secara tahunan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai rencana korporasi dan rencana bisnis perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah; h. laporan data risiko asuransi dimaksud dalam Peraturan Otoritas sebagaimana Jasa Keuangan mengenai pemeliharaan dan pelaporan data risiko asuransi serta penerapan tarif premi dan kontribusi untuk lini usaha asuransi harta benda dan asuransi kendaraan bermotor; i. laporan pelaksanaan penempatan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai retensi sendiri dan dukungan reasuransi dalam negeri; j. laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan k. perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah; dan laporan lainnya. - 8 - (4) Aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. (5) Aspek manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, terdiri atas: a. laporan hasil penilaian sendiri penerapan manajemen risiko Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko bagi lembaga jasa keuangan non-bank; b. laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian; dan c. laporan lainnya. Pasal 5 Laporan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, terdiri atas: a. laporan rencana korporasi dan rencana bisnis sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian; - 9 - b. laporan program reasuransi/retrosesi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai retensi sendiri dan dukungan reasuransi dalam negeri; c. laporan pelaksanaan edukasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan; d. laporan pengaduan konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan penyelesaian konsumen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai keuangan; perlindungan konsumen sektor jasa e. laporan penilaian pelaksanaan tata kelola terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas utama; f. Laporan Tahunan pelaksanaan tata kelola terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan tata kelola terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas utama; g. laporan profil risiko terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas utama; h. laporan kecukupan permodalan terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum terintegrasi bagi konglomerasi keuangan, dalam hal - 10 - Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagai entitas utama; i. j. laporan rencana kegiatan pengkinian data dan laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan; dan laporan lainnya. Pasal 6 Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyampaian Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan Semesteran, Laporan Tahunan, dan Laporan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 Direksi atau yang setara dari Perusahaan Perasuransian bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian Laporan Berkala. BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA PERUSAHAAN PERASURANSIAN Pasal 8 (1) Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan Laporan Berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan berupa: a. Laporan Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan Semesteran, dan Laporan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e disampaikan sesuai dengan ketentuan batas waktu yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau ketentuan peraturan - 11 - perundang-undangan lain yang mewajibkan penyampaian pelaporan dimaksud; dan b. Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. BAB IV SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 9 (1) Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap. (3) Bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah, keterlambatan penyampaian Laporan Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan Laporan Tahunan bagi aspek keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. - 12 - (4) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi keterlambatan penyampaian Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Laporan Tahunan berupa Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a, selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. (5) Bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi keterlambatan penyampaian Laporan Tahunan berupa Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi tambahan berupa denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. (6) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat menambahkan sanksi tambahan berupa: a. larangan untuk memasarkan produk asuransi untuk lini usaha tertentu; b. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan bagi pengendali, direksi, atau dewan komisaris, atau yang setara pada Perusahaan Perasuransian; c. larangan bagi Perusahaan Perasuransian untuk menjadi pemegang saham, pengendali, atau yang setara dengan pemegang saham dan pengendali pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, pada Perusahaan Perasuransian; dan/atau - 13 - d. larangan bagi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama Perusahaan Perasuransian untuk menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali, direksi, atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, pada Perusahaan Perasuransian. Pasal 10 (1) Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan memiliki kewajiban untuk membayar denda atas keterlambatan penyampaian Laporan Berkala atau tidak menyampaikan Laporan Berkala, tetap diwajibkan untuk membayar denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). (2) Bagi Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan tidak menyampaikan Laporan Berkala sebagaimana dimaksud ayat (1), penghitungan jumlah hari keterlambatan dihitung setelah batas akhir kewajiban penyampaian Laporan Berkala sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pencabutan izin usaha dengan batas maksimal pengenaan denda sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. - 14 - (3) Tata cara penagihan sanksi denda aministratif mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai tata cara penagihan sanksi administratif berupa denda di sektor jasa keuangan. (4) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang perasuransian dan pemblokiran kekayaan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5443), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah; b. ketentuan mengenai waktu penyampaian bukti sertifikat atau bukti lain yang menunjukan bahwa pihak utama telah memenuhi syarat keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.05/2013 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama pada Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 231, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor - 15 - 5474), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Perasuransian; c. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan hasil penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2014 tentang Penilaian Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan Non- Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5575), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah; d. ketentuan mengenai waktu penyampaian rencana tindak lanjut atas penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2014 tentang Penilaian Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5575), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Unit Syariah; e. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan hasil penilaian sendiri penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5682), dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Perasuransian; f. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan penerapan strategi anti fraud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) huruf a Peraturan Otoritas Jasa - 16 - Keuangan Nomor Penyelenggaraan Usaha 69/POJK.05/2016 Perusahaan tentang Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5992), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; g. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 306, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5996), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan h. ketentuan mengenai waktu penyampaian laporan realisasi rencana bisnis secara tahunan sebagaimana dimaksud dalam Romawi VIII angka 2 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan 15/SEOJK.05/2014 tentang Rencana Korporasi dan Rencana Bisnis Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyampaian laporan, bentuk dan susunan, serta tata cara penyampaian Laporan Berkala bagi Perusahaan Perasuransian tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 17 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 174 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 5/POJK.05/2017 </reg_id> <reg_title> IURAN, MANFAAT PENSIUN, DAN MANFAAT LAIN YANG DISELENGGARAKAN OLEH DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 1 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 6 Maret 2017 </effective_date> <issued_date> 6 Maret 2017 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26 /POJK.04/2016 TENTANG PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa bentuk interaksi secara baik tersebut diwujudkan dengan memberikan dukungan kepada kebijakan negara yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak; c. bahwa dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf b diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang- undangan yang dapat mendukung pelaksanaan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, khususnya dalam penempatan dana repatriasi pengampunan pajak pada instrumen investasi di Pasar Modal; - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, serta dalam rangka mendorong pelaku industri di bidang Pasar Modal untuk memanfaatkan peluang arus dana yang berkaitan dengan pengampunan pajak, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Produk Investasi di Bidang Pasar Modal Dalam Rangka Mendukung Undang- Undang tentang Pengampunan Pajak; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemodal adalah Wajib Pajak berupa orang pribadi atau badan yang berdasarkan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak telah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak. 2. Manajer Investasi adalah Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. - 3 - 3. Perantara Pedagang Efek adalah Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. Pasal 2 Manajer Investasi yang melakukan pengelolaan investasi atas dana milik Pemodal wajib mengikuti peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal, kecuali diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 3 Penerbit yang melakukan penerbitan Efek Beragun Aset Surat Partisipasi kepada Pemodal wajib mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan, kecuali diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB II PEMBUKAAN REKENING EFEK Pasal 4 Dalam pembukaan rekening Efek untuk berinvestasi pada: a. Reksa Dana; b. Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual; c. Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; d. Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi; e. Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan f. Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek atau di luar Bursa Efek, Pemodal wajib menyampaikan dokumen paling sedikit berupa Surat Keputusan Pengampunan Pajak kepada Penyedia Jasa Keuangan. - 4 - BAB III PENGELOLAAN DANA PEMODAL OLEH MANAJER INVESTASI Bagian Kesatu Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 5 (1) Pada saat pencatatan, Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dapat belum memiliki perusahaan sasaran. (2) Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib melakukan investasi pada perusahaan sasaran paling lambat 1 (satu) tahun sejak Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dicatatkan. Pasal 6 Efek bersifat utang yang menjadi Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dapat didukung dengan jaminan kebendaan berupa jaminan fidusia dan/atau hak tanggungan atau diperingkat oleh Perusahaan Pemeringkat Efek yang memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 (1) Dokumen pendukung permohonan pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas terdiri dari: a. perjanjian yang terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; b. perjanjian dengan anggota komite investasi yang berasal dari pihak ketiga (jika ada); c. perjanjian dengan pihak ketiga yang mewakili Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagai tenaga ahli dan/atau - 5 - anggota direksi dan/atau komisaris pada perusahaan sasaran; d. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait penerbitan: 1. Efek bersifat ekuitas yang menjadi aset dasar Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan 2. Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; e. laporan hasil penilaian yang dibuat oleh penilai yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait kegiatan sektor riil yang akan didanai atau Efek bersifat ekuitas; f. hasil uji tuntas atas perusahaan sasaran dan kegiatan sektor riil yang ditandatangani oleh direksi Manajer Investasi; g. ikhtisar keuangan ringkas perusahaan sasaran yang menerbitkan Efek bersifat ekuitas untuk periode 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya; h. info memo perusahaan sasaran; i. dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dokumen terkait penerbitan Efek; j. k. daftar riwayat hidup pegawai Manajer Investasi yang terlibat langsung dalam pengelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif disertai dengan: 1. fotokopi sertifikat Chartered Financial Analyst (CFA); atau 2. fotokopi izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dan surat keterangan pengalaman dalam mengelola Portofolio Efek Reksa Dana paling sedikit 5 (lima) tahun dari perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja; - 6 - l. surat pernyataan yang ditandatangani oleh calon pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit Penyertaan yang paling kurang menyatakan bahwa calon pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif telah mengerti dan memahami struktur investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan risiko yang mungkin terjadi; dan m. surat pernyataan yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar yang menyatakan bahwa investasi pada Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dilakukan oleh pihak yang berwenang atas nama korporasi, dalam hal calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif berbentuk korporasi. (2) Kewajiban penyampaian dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d angka 1, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m dapat dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif melakukan investasi pada perusahaan sasaran. Pasal 8 (1) Dokumen pendukung permohonan pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang melakukan investasi pada Efek bersifat utang terdiri dari: a. perjanjian yang terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; b. dokumen jaminan yang dilengkapi dengan akta jaminan fidusia dan/atau akta pemberian hak tanggungan atas nama Reksa Dana Penyertaan - 7 - Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif apabila dipersyaratkan adanya jaminan (jika menggunakan jaminan); c. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat hukum yang dibuat oleh konsultan hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait: 1. penerbitan Efek bersifat utang yang menjadi aset dasar Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan 2. Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; d. hasil uji tuntas atas perusahaan sasaran dan kegiatan sektor riil yang ditandatangani oleh direksi Manajer Investasi; e. ikhtisar keuangan ringkas perusahaan sasaran yang menerbitkan Efek bersifat utang untuk periode 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya; f. laporan hasil penilaian yang dibuat oleh penilai yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait kegiatan sektor riil yang akan didanai (jika ada); g. info memo perusahaan sasaran; h. dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; i. dokumen terkait penerbitan Efek bersifat utang antara lain perjanjian penerbitan Efek bersifat utang dan perjanjian lainnya yang terkait; j. daftar riwayat hidup pegawai Manajer Investasi yang terlibat langsung dalam pengelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif disertai dengan: 1. fotokopi sertifikat Chartered Financial Analyst (CFA); atau 2. fotokopi izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dan surat keterangan pengalaman dalam mengelola Portofolio Efek Reksa Dana paling kurang 5 (lima) tahun dari perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja; - 8 - k. surat pernyataan yang ditandatangani oleh calon pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit Penyertaan yang paling kurang menyatakan calon pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif telah mengerti dan memahami struktur investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan risiko yang mungkin terjadi; dan l. surat pernyataan yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga yang menyatakan investasi pada Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dilakukan oleh pihak yang berwenang atas nama korporasi, dalam hal calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif berbentuk korporasi. (2) Kewajiban penyampaian dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c angka 1, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf i, huruf k, dan huruf l dapat dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif melakukan investasi pada perusahaan sasaran. Pasal 9 (1) Manajer Investasi dapat menambah Efek dalam Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari seluruh pemegang Unit Penyertaan melalui mekanisme rapat umum pemegang Unit Penyertaan. (2) Manajer Investasi wajib memastikan bahwa informasi penambahan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemegang Unit Penyertaan Reksa - 9 - Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 10 Dalam hal Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas terdiri atas lebih dari 1 (satu) Efek perusahaan sasaran, Efek tersebut dapat berupa Efek bersifat utang dan Efek bersifat ekuitas. Pasal 11 (1) Batas waktu penempatan dana pada deposito bagi Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang belum melakukan investasi pada perusahaan sasaran paling lama 1 (satu) tahun sejak Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dicatatkan. (2) Penempatan dana pada deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di bank umum yang tidak terafiliasi dengan Manajer Investasi kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah, dengan ketentuan: a. penempatan dana pada deposito di satu bank umum paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan/atau b. penempatan dana pada deposito di satu bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dapat lebih dari 10% (sepuluh persen) dari total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 12 Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib dibubarkan jika belum berinvestasi pada Efek perusahaan sasaran dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak - 10 - Reksa Dana Penyertaan Terbatas Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dicatatkan di Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual Pasal 13 Jumlah dana kelolaan awal untuk setiap Pemodal pada Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 14 Jumlah dana kelolaan untuk setiap Pemodal dapat mengalami penurunan menjadi kurang dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sepanjang penurunan dimaksud terjadi karena pergerakan harga pasar atas Portofolio Efek. Pasal 15 Investasi Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual pada sertifikat deposito bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dapat lebih dari 25% (dua puluh lima persen). Bagian Ketiga Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 16 (1) Pada saat permohonan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan, Manajer Investasi menyampaikan dokumen paling sedikit: a. Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang dibuat dengan akta notariil oleh Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; - 11 - b. rancangan akhir Prospektus yang diberi meterai dan ditandatangani para Pihak; dan c. contoh sertifikat Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset. (2) Manajer Investasi wajib memiliki dan mengadministrasikan dokumen yang terkait dengan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset sebagai berikut: a. pendapat hukum; b. laporan keuangan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang telah diaudit Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; c. dokumen yang memuat hasil pemeringkatan dari Perusahaan Pemeringkat yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan; dan d. perjanjian lain yang berkaitan dengan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset. Bagian Keempat Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 17 (1) Pada saat Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Dana Investasi Real Estat diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan, Manajer Investasi menyampaikan dokumen paling sedikit: a. Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif disertai dengan format digital; dan b. Prospektus yang diberi meterai dan ditandatangani para Pihak disertai dengan format digital. (2) Manajer Investasi wajib memiliki dan mengadministrasikan dokumen yang terkait dengan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Dana Investasi Real Estat sebagai berikut: a. perjanjian pengelolaan Real Estat; - 12 - b. dokumen penilaian Real Estat; c. perjanjian agen penjual Unit Penyertaan (jika ada); d. perjanjian pendahuluan antara Manajer Investasi dan Bursa Efek, jika Unit Penyertaan dicatatkan di Bursa Efek; e. perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan dalam penitipan kolektif antara Manajer Investasi dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian jika Unit Penyertaan dicatatkan di Bursa Efek; f. pendapat hukum dan laporan uji tuntas dalam segi hukum; g. salinan perjanjian sewa menyewa yang terkait dengan Real Estat; h. salinan perjanjian jual beli Real Estat; i. j. fotokopi sertifikat hak guna bangunan dan sertifikat hak atas tanah dan/atau bangunan lainnya; dan rencana pemasaran dan operasional Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. (3) Dalam hal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif menggunakan Special Purpose Company, Manajer Investasi wajib memiliki dan mengadministrasikan dokumen yang terkait dengan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Dana Investasi Real Estat sebagai berikut: a. akta pendirian dan perubahan anggaran dasar Special Purpose Company; b. c. izin usaha dari pihak yang berwenang; dan daftar pihak yang terafiliasi dengan Special Purpose Company. - 13 - BAB IV PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI Pasal 18 (1) Pada saat Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan, Penerbit menyampaikan dokumen paling sedikit: a. dokumen transaksi Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi yang dibuat dengan akta notariil oleh Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; b. rancangan akhir prospektus; dan c. contoh sertifikat Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi. (2) Penerbit Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi wajib memiliki dan mengadministrasikan dokumen yang berkaitan dengan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi sebagai berikut: a. laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi hukum terkait penerbitan Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi; b. pendapat Akuntan terkait aspek akuntansi penerbitan Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi; c. dokumen yang memuat hasil pemeringkatan Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi dari Perusahaan Pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan; d. perjanjian penjaminan emisi efek (jika ada); dan e. perjanjian pendahuluan dengan 1 (satu) atau beberapa Bursa Efek, jika Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi akan dicatatkan di Bursa Efek. - 14 - BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 19 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan kriteria khusus produk investasi yang belum diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini untuk mendukung Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak. (2) Kriteria khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 20 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku juga bagi penerbitan produk investasi yang menggunakan skema syariah. Pasal 21 Setelah berakhirnya holding period sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak, Pemodal tetap dapat meneruskan investasinya pada produk investasi yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 22 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; - 15 - e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 23 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 24 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 16 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Juli 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 145 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26 /POJK.04/2016 TENTANG PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK I. UMUM Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang. Bahwa Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak tersebut mengatur tentang investasi dari dana milik Wajib Pajak yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesaturan Republik Indonesia dalam bentuk investasi pada produk atau bentuk investasi yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk investasi pada produk Pasar Modal. Bahwa Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak tersebut mengatur jangka waktu yang terbatas untuk pemberian pengampunan pajak yaitu sejak Undang-Undang dimaksud mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017 yang terbagi dalam 3 (tiga) tahap. Bahwa pada dasarnya seluruh instrumen investasi di sektor Pasar Modal dapat menjadi sarana investasi bagi Pemodal yang telah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak dari Menteri Keuangan, namun demikian diperlukan beberapa relaksasi atas pengaturan di bidang Pasar Modal khususnya dalam investasi di Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual (KPD) sehingga dapat menarik minat dari Pemodal dalam melakukan investasi di Pasar Modal. - 2 - Bahwa dalam rangka mendorong pelaku industri di bidang Pasar Modal untuk memanfaatkan peluang arus dana yang berkaitan dengan pengampunan pajak, serta mendukung upaya Pemerintah dalam melakukan pembiayaan pembangunan, khususnya melalui perpajakan, Otoritas Jasa Keuangan perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang didisain khusus untuk mendukung pelaksanaan Undang- Undang tentang Pengampunan Pajak. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Berdasarkan ketentuan Pasal ini Pemodal tidak diwajibkan menyampaikan dokumen sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.04/2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa Keuangan Di Sektor Pasar Modal kepada Penyedia Jasa Keuangan. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. - 3 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Uji tuntas dimaksud biasa disebut juga dengan “due diligence”. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Dokumen terkait penerbitan Efek dimaksud antara lain perjanjian penerbitan Efek bersifat ekuitas dan perjanjian lainnya yang terkait. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. - 4 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Uji tuntas dimaksud biasa disebut juga dengan “due diligence”. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberian Informasi penambahan Efek kepada pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat dilakukan oleh Manajer Investasi atau Bank Kustodian. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. - 5 - Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pendapat hukum dimaksud biasa disebut juga dengan “legal opinion”. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. - 6 - Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5906
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 26/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK </reg_title> <set_date> 20 Juli 2016 </set_date> <effective_date> 25 Juli 2016 </effective_date> <issued_date> 25 Juli 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 60 /POJK.04/2015 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PEMEGANG SAHAM TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai keterbukaan informasi pemegang saham tertentu beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap keterbukaan informasi pemegang saham tertentu, maka peraturan mengenai Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka perlu diterbitkan peraturan mengenai Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PEMEGANG SAHAM TERTENTU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. BAB II PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 2 Direktur atau Dewan Komisaris Perusahaan Terbuka wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham Perusahaan Terbuka paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak terjadinya transaksi. - 3 - Pasal 3 Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berlaku juga bagi setiap Pihak yang memiliki 5% (lima persen) atau lebih saham yang disetor dalam Perusahaan Terbuka. Pasal 4 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 paling sedikit meliputi: a. nama, tempat tinggal, dan kewarganegaraan; b. jumlah saham yang dibeli atau dijual; c. harga pembelian dan penjualan per saham; d. tanggal transaksi; dan e. tujuan dari transaksi. Pasal 5 Salinan dari laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tersedia untuk publik dan dapat digandakan di Otoritas Jasa Keuangan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 6 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; - 4 - f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 7 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP- 82/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu beserta Peraturan Nomor X.M.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 411 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 60 /POJK.04/2015 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PEMEGANG SAHAM TERTENTU I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk melakukan konversi Peraturan Nomor X.M.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-82/PM/1996 tentang Keterbukaan Informasi Pemegang Saham Tertentu tanggal 17 Januari 1996. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5829
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 60/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> KETERBUKAAN INFORMASI PEMEGANG SAHAM TERTENTU </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-82/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'KEP-82/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.M.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 40 /POJK.04/2016 TENTANG PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Reksa Dana Berbentuk Perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap anggaran dasar Reksa Dana berbentuk Perseroan, peraturan mengenai pedoman anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual saham, dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan di Pasar Modal dan pasar uang. BAB II PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Pasal 2 Anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan paling kurang memuat hal sebagai berikut: a. nama dan tempat kedudukan perseroan; b. c. jenis saham yang diterbitkan; jangka waktu pendirian; - 3 - d. maksud dan tujuan perseroan hanya sebagai Reksa Dana Berbentuk Perseroan; e. modal disetor paling sedikit 1% (satu persen) dari modal dasar; f. tugas dan wewenang direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan; g. kuorum, hak suara dan keputusan; h. direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib bertindak sebaik-baiknya untuk kepentingan pemegang saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan; i. pembubaran dan likuidasi; j. keputusan dapat diambil berdasarkan persetujuan sebagian besar anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan; k. dalam hal Manajer Investasi dan/atau anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, peraturan pelaksanaannya, kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan dan/atau anggaran dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang membekukan kegiatan usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan, mengamankan kekayaan, dan menunjuk Manajer Investasi lain untuk mengelola kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, atau mencabut izin usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan dimaksud; l. anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan mempunyai kedudukan yang sederajat; m. pengeluaran saham baru, pembelian kembali (pelunasan), dan pengalihan saham bagi Reksa Dana terbuka Berbentuk Perseroan dapat dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham; n. Reksa Dana Berbentuk Perseroan tidak wajib membuat dana cadangan; dan o. dalam hal Reksa Dana Berbentuk Perseroan membentuk dana cadangan, besarnya dana cadangan wajib mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. - 4 - BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 3 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 4 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 5 - Pasal 5 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 6 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-18/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan beserta Peraturan Nomor IV.A.2 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 269 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 40 /POJK.04/2016 TENTANG PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan, yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-18/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.2 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5965
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 40/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN ANGGARAN DASAR REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-18/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-18/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.2' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 58 /POJK.04/2017 TENTANG PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas layanan kepada pemangku kepentingan di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan perlu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi; b. bahwa untuk efisiensi dan transparansi perizinan oleh Otoritas Jasa Keuangan termasuk layanan penyampaian pernyataan pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi, perlu diselenggarakan suatu sistem penyampaian pernyataan pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi secara elektronik; c. bahwa untuk memberikan landasan dan kepastian hukum kepada pemangku kepentingan di bidang pasar modal dalam penyelenggaraan suatu sistem penerimaan dokumen secara elektronik, diperlukan pengaturan terkait penyampaian dokumen secara elektronik; - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau Pengajuan Aksi Korporasi Secara Elektronik; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh emiten dalam rangka penawaran umum atau perusahaan publik. 2. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. 3. Emiten adalah Pihak yang melakukan penawaran umum. 4. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. - 3 - 5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 6. Perusahaan Publik adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. 7. Pernyataan Penggabungan Usaha adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh perusahaan terbuka dalam rangka penggabungan usaha. 8. Pernyataan Peleburan Usaha adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh perusahaan terbuka dalam rangka peleburan usaha. 9. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Pihak yang melakukan penawaran tender sukarela. 10. Penawaran Tender Wajib adalah penawaran untuk membeli sisa saham perusahaan terbuka yang wajib dilakukan oleh pengendali baru. 11. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain. 12. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar Pihak lain membeli Efek. - 4 - BAB II PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK DAN PENYIMPANAN DOKUMEN Pasal 2 (1) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi kepada Otoritas Jasa Keuangan harus dilakukan secara elektronik melalui sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, Penawaran Umum Efek bersifat utang dan/atau sukuk, dan Penawaran Umum berkelanjutan Efek bersifat utang dan/atau sukuk; b. Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik; dan c. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD. (3) Pengajuan aksi korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pernyataan Penggabungan Usaha; b. Pernyataan Peleburan Usaha; c. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela; dan d. Penawaran Tender Wajib. Pasal 3 (1) Pihak yang menyampaikan Pernyataan Pendaftaran atau mengajukan aksi korporasi secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyimpan tanda bukti penerimaan penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi secara elektronik beserta seluruh dokumen yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi. - 5 - (2) Jangka waktu penyimpanan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan Undang-Undang mengenai dokumen perusahaan. (3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menunjukkan dan/atau menyampaikan tanda bukti dan seluruh dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 4 (1) Seluruh dokumen yang disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tersimpan dalam pangkalan data (database) Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal terdapat perbedaan dokumen yang tersimpan dalam pangkalan data (database) Otoritas Jasa Keuangan dengan dokumen yang disimpan oleh Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dokumen yang digunakan sebagai acuan adalah dokumen yang tersimpan dalam pangkalan data (database) Otoritas Jasa Keuangan. BAB III TATA CARA PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK Bagian Kesatu Tata Cara Mendapatkan Hak Akses Pasal 5 (1) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan hak akses penggunaan sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Hak akses penggunaan sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan dapat diperoleh oleh Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) setelah melakukan registrasi melalui sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan. - 6 - (3) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib bertanggung jawab atas: a. penggunaan hak akses yang dimilikinya; dan/atau b. kebenaran dokumen, data, dan/atau informasi yang disampaikan melalui sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Tata Cara Mengunggah Dokumen Pasal 6 (1) Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus: a. menyediakan perangkat keras, perangkat lunak, dan jaringan internet yang memadai dengan spesifikasi komputer dan aplikasi sesuai dengan petunjuk operasional untuk menggunakan sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan; dan b. membaca dan mematuhi prosedur dan tata cara penggunaan sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan dengan berpedoman pada petunjuk operasional. (2) Petunjuk operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diunduh melalui situs web Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 (1) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) serta tambahan informasi dan/atau dokumen dilakukan dengan mengunggah seluruh dokumen Pernyataan Pendaftaran atau dokumen pengajuan aksi korporasi melalui sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi serta tambahan informasi dan/atau dokumen yang diunggah melalui sistem perizinan - 7 - Otoritas Jasa Keuangan setelah pukul 17.00 WIB dianggap diterima Otoritas Jasa Keuangan pada hari kerja berikutnya. (3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan tanda bukti penerimaan secara elektronik setelah Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) mengunggah: a. dokumen penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi; atau b. tambahan informasi dan/atau dokumen penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi, melalui sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan. (4) Tanda bukti penerimaan secara elektronik diterbitkan oleh sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan setelah Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) menyampaikan seluruh dokumen Pernyataan Pendaftaran atau dokumen pengajuan aksi korporasi. Bagian Ketiga Gangguan Sistem Pasal 8 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan mengalami gangguan sehingga tidak dapat digunakan, penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi dilakukan secara manual. BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 9 Kewajiban penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi secara elektronik tidak menghapuskan kewajiban penyampaian Prospektus yang telah tergabung dengan suplemennya dalam bentuk tercetak - 8 - kepada Otoritas Jasa Keuangan sebanyak 5 (lima) eksemplar, dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah selesainya penyerahan Efek kepada pembeli Efek sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai tata cara pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 10 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap Pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. - 9 - Pasal 11 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap Pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 12 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 kepada masyarakat. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 Bagi Pihak yang akan melakukan Pernyataan Pendaftaran atau aksi korporasi dan telah menyampaikan dokumen Pernyataan Pendaftaran atau dokumen aksi korporasi dalam bentuk naskah tercetak kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, penyampaian dokumen tambahan informasi terkait Pernyataan Pendaftaran atau aksi korporasi dimaksud dilakukan melalui penyampaian naskah tercetak. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 (1) Ketentuan penyampaian Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. (2) Pada saat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku, kewajiban penyampaian naskah tercetak sebagaimana dimaksud pada angka 6 Peraturan - 10 - Nomor IX.A.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran untuk penyampaian Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pihak yang akan menyampaikan Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat menyampaikan Pernyataan Pendaftaran secara elektronik. (2) Dalam hal Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran secara elektronik, Pihak tersebut tidak wajib menyampaikan dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam bentuk naskah tercetak. Pasal 16 (1) Pemberlakuan ketentuan penyampaian Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik dan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan huruf c serta pengajuan aksi korporasi secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pada saat pemberlakuan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban penyampaian naskah tercetak sebagaimana dimaksud dalam: a. angka 6 Peraturan Nomor IX.A.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal - 11 - Nomor Kep-690/BL/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran; dan b. Pasal 11 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 74/POJK.04/2016 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Terbuka, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Desember 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd WIMBOH SANTOSO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Desember 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 251 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 58 /POJK.04/2017 TENTANG PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK I. UMUM Proses penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas, Penawaran Umum Efek bersifat utang dan/atau sukuk, dan Penawaran Umum berkelanjutan Efek bersifat utang dan/atau sukuk, Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik, dan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD serta pengajuan aksi korporasi yang meliputi Pernyataan Penggabungan Usaha, Pernyataan Peleburan Usaha, Pernyataan Penawaran Tender Sukarela, dan Penawaran Tender Wajib masih dilakukan secara manual dengan menyampaikan dokumen dalam bentuk naskah tercetak dan salinan elektronik. Proses yang selama ini berjalan masih dapat ditingkatkan efektifitas dan efisiensinya dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Hal tersebut dapat menjadi dasar untuk memanfaatkan sistem informasi yang berbasis internet yaitu melalui sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan. Pihak pendaftar melakukan pengajuan Pernyataan Pendaftaran atau aksi korporasi secara elektronik dengan cara mengunggah seluruh dokumen persyaratan pengajuan Pernyataan Pendaftaran atau aksi korporasi melalui sistem perizinan Otoritas Jasa -2- Keuangan dan tidak lagi diwajibkan menyampaikan dokumen dalam bentuk naskah tercetak dan salinan elektronik. Dengan penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi secara elektronik melalui sistem perizinan Otoritas Jasa Keuangan, diharapkan dapat mempermudah proses pendaftaran, meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan, memberikan transparansi bagi Pihak untuk dapat mengikuti proses pendaftaran yang sedang dalam proses, dan memberikan akses kepada publik dengan tersedianya Prospektus secara elektronik. Dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan tersebut di atas dan dalam rangka memberikan kemudahan bagi Pihak yang akan menyampaikan Pernyataan Pendaftaran atau mengajukan aksi korporasi, maka Otoritas Jasa Keuangan perlu menetapkan peraturan mengenai penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi secara elektronik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Dokumen yang wajib disimpan oleh Pihak sebagaimana dimaksud meliputi antara lain: a. seluruh dokumen Pernyataan Pendaftaran, dokumen pengajuan aksi korporasi, serta dokumen pendukungnya; dan b. Prospektus yang dipersyaratkan sebagai bagian Pernyataan Pendaftaran bagi masyarakat atau calon pembeli. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 3 - Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Yang dimaksud dengan “penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau pengajuan aksi korporasi” termasuk penyampaian tambahan informasi dan/atau dokumen yang tidak dapat disampaikan secara elektronik. Yang dimaksud dengan “menyampaikan secara manual” yaitu menyampaikan dokumen Pernyataan Pendaftaran atau dokumen pengajuan aksi korporasi dalam bentuk dokumen elektronik yang dilakukan dengan cara antara lain: 1. diserahkan langsung ke kantor Otoritas Jasa Keuangan; atau 2. dikirim melalui surat elektronik. Tanda bukti penyampaian yang diserahkan langsung ke kantor Otoritas Jasa Keuangan berupa surat tanda terima dari Otoritas Jasa Keuangan. Tanda bukti penyampaian yang dikirim melalui surat elektronik berupa pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan melalui surat elektronik. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. - 4 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD Perusahaan Terbuka. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6145
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 58/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN ATAU PENGAJUAN AKSI KORPORASI SECARA ELEKTRONIK </reg_title> <set_date> 6 Desember 2017 </set_date> <effective_date> 8 Desember 2017 </effective_date> <issued_date> 8 Desember 2017 </issued_date> <replaced_reg> '74/POJK.04/2016 | Pasal 11 Ayat (1)', 'Kep-690/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM/2011 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.1 angka 6' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 74 /POJK.04/2016 TENTANG PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka menyederhanakan ketentuan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dan meningkatkan kualitas keterbukaan informasi dalam rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, perlu untuk menyempurnakan peraturan mengenai Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Terbuka; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA PERUSAHAAN TERBUKA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. 2. Penggabungan Usaha adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) perusahaan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perusahaan lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan ekuitas dari perusahaan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perusahaan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perusahaan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. 3. Peleburan Usaha adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) perusahaan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) perusahaan baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan ekuitas dari perusahaan yang meleburkan diri dan status badan hukum perusahaan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. 4. Pernyataan Penggabungan Usaha adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Perusahaan Terbuka dalam rangka Penggabungan Usaha. 5. Pernyataan Peleburan Usaha adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Perusahaan Terbuka dalam rangka Peleburan Usaha. - 3 - 6. Rapat Umum Pemegang Saham adalah organ Perusahaan Terbuka yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka. 7. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak- Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 8. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Perusahaan Terbuka. 9. Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan penilaian di Pasar Modal dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 10. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akuntan publik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 11. Konsultan Hukum adalah ahli hukum yang memberikan pendapat hukum kepada pihak lain dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 12. Kegiatan Usaha Utama adalah kegiatan usaha sesuai dengan yang tercantum dalam anggaran dasar Perusahaan Terbuka dan telah dijalankan. 13. Pengendali adalah pihak yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham yang disetor penuh, atau pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijaksanaan Perusahaan Terbuka. 14. Situs Web adalah kumpulan halaman web yang memuat informasi atau data yang dapat diakses melalui suatu sistem jaringan internet. - 4 - Pasal 2 (1) Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha hanya dapat dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berkaitan dengan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, tetap berlaku bagi perusahaan. BAB II TATA CARA PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA Bagian Kesatu Rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Pasal 3 (1) Direksi masing-masing perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha secara bersama-sama wajib menyusun rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha. (2) Rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh masing-masing dewan komisaris perusahaan. Pasal 4 (1) Rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 paling sedikit memuat informasi: a. nama, tempat kedudukan, kegiatan usaha, struktur permodalan dan pemegang saham, serta pengurusan dan pengawasan masing-masing perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; b. nama dan tempat kedudukan perusahaan hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; - 5 - c. susunan anggota direksi dan anggota dewan komisaris perusahaan hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; d. jadwal rencana Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; e. alasan serta penjelasan dilakukannya Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dari masing-masing perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; f. tata cara konversi saham dari masing-masing perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha terhadap saham perusahaan hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; g. rancangan perubahan anggaran dasar perusahaan hasil Penggabungan Usaha (jika ada) atau rancangan akta pendirian perusahaan baru hasil Peleburan Usaha; h. ikhtisar data keuangan penting yang bersumber dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dari masing-masing perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, dengan ketentuan: 1. dalam hal perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha merupakan Perusahaan Terbuka, meliputi 2 (dua) tahun terakhir; atau 2. dalam hal perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha bukan merupakan Perusahaan Terbuka, meliputi 3 (tiga) tahun terakhir. i. dalam hal terdapat data keuangan periode interim, pengungkapan disajikan dengan perbandingan periode interim yang sama dari tahun buku sebelumnya (tidak harus diaudit), kecuali untuk laporan posisi keuangan; - 6 - j. informasi keuangan proforma perusahaan hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang diperiksa oleh Akuntan Publik; k. ringkasan laporan Penilai mengenai penilaian saham masing-masing perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang paling sedikit meliputi: 1. identitas pihak; 2. objek penilaian; 3. tujuan penilaian; 4. asumsi-asumsi dan kondisi pembatas; 5. pendekatan penilaian dan metode penilaian; dan 6. kesimpulan nilai; l. ringkasan laporan Penilai mengenai pendapat kewajaran atas Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; m. hasil penilaian tenaga ahli mengenai aspek tertentu dari Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha (jika diperlukan); n. pendapat Konsultan Hukum mengenai aspek hukum dari Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; o. cara penyelesaian status karyawan perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; p. cara penyelesaian hak dan kewajiban perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha terhadap pihak ketiga; q. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; dan r. penjelasan mengenai manfaat, risiko yang mungkin timbul akibat Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha beserta mitigasi atas risiko tersebut, dan rencana bisnis ke depan. (2) Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dilakukan oleh Perusahaan Terbuka dengan Perusahaan Anak yang pada saat penyampaian Pernyataan - 7 - Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. laporan keuangan Perusahaan Anak tersebut telah dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Perusahaan Terbuka yang telah diaudit oleh Akuntan Publik; dan b. Perusahaan Anak tersebut dimiliki secara langsung oleh Perusahaan Terbuka sebanyak 100% (seratus persen), rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha tidak wajib memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, huruf j, huruf k, dan huruf l. Pasal 5 Direksi Perusahaan Terbuka yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib membuat pernyataan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Rapat Umum Pemegang Saham bahwa Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dilakukan dengan memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha, serta ada jaminan tetap terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan. Pasal 6 (1) Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 akan mengakibatkan perubahan yang material terhadap sifat, kondisi keuangan, atau hal lain yang mempengaruhi Perusahaan Terbuka hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, keseluruhan akibat dari perubahan tersebut harus dimuat dalam rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (2) Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha mengakibatkan perubahan Kegiatan Usaha Utama Perusahaan Terbuka, selain memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), rancangan - 8 - Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib juga memuat: a. ringkasan tentang studi kelayakan perubahan Kegiatan Usaha Utama, paling sedikit meliputi: 1. maksud dan tujuan; 2. asumsi-asumsi dan kondisi pembatas; dan 3. pendapat atas kelayakan perubahan Kegiatan Usaha Utama; b. ketersediaan c. tenaga ahli berkaitan dengan perubahan Kegiatan Usaha Utama; penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya perubahan Kegiatan Usaha Utama; dan d. penjelasan tentang pengaruh perubahan Kegiatan Usaha Utama pada kondisi keuangan Perusahaan Terbuka. Pasal 7 Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha akan mengakibatkan adanya Pengendali baru Perusahaan Terbuka, selain memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib juga memuat: a. keterangan mengenai calon Pengendali Perusahaan Terbuka, paling sedikit meliputi: 1. dalam hal calon Pengendali Perusahaan Terbuka adalah orang perseorangan, wajib diungkapkan informasi tentang nama, alamat, dan hubungan afiliasinya dengan Perusahaan Terbuka (jika ada); atau 2. dalam hal calon Pengendali Perusahaan Terbuka adalah pihak lain selain orang perseorangan, wajib diungkapkan informasi tentang: a) nama; b) alamat domisili atau kantor pusat; c) bidang usaha; d) status badan hukum; e) susunan pengurus dan pengawas; - 9 - f) g) struktur permodalan atau informasi yang setara; ikhtisar data keuangan; h) penerima manfaat dari calon Pengendali (jika ada); dan i) sifat hubungan afiliasi dengan Perusahaan Terbuka (jika ada). b. informasi singkat mengenai analisis dan pembahasan manajemen tentang perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, yang paling sedikit memuat: 1. 2. analisis kinerja keuangan komprehensif yang mencakup perbandingan kinerja keuangan dalam 2 (dua) tahun terakhir; likuiditas keuangan; 3. sumber dan jumlah arus kas dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan serta pola arus kas dikaitkan dengan karakteristik dan siklus bisnis Perusahaan Terbuka; 4. komponen penting dari pendapatan atau beban lainnya yang dianggap perlu dalam rangka mengetahui hasil usaha; dan 5. komitmen investasi barang modal yang material. Bagian Kedua Keterbukaan Informasi Kepada Masyarakat Pasal 8 (1) Perusahaan Terbuka yang melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib mengumumkan ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha kepada masyarakat paling lambat pada akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diperolehnya persetujuan dewan komisaris dan 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. informasi bahwa rancangan Penggabungan Usaha - 10 - atau Peleburan Usaha tersebut belum mendapatkan pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan dan belum memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham; dan b. ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau Situs Web Bursa Efek; dan b. Situs Web Perusahaan Terbuka. (4) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud. Pasal 9 Rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib tersedia bagi para pemegang saham sejak tanggal pengumuman ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha. Bagian Ketiga Keterbukaan Informasi Kepada Karyawan Pasal 10 Perusahaan Terbuka yang melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perusahaan yang melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha bersamaan dengan pengumuman ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). - 11 - Bagian Keempat Penyampaian Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha Pasal 11 (1) Perusahaan Terbuka wajib menyampaikan Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha yang memuat rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha beserta dokumen pendukungnya kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk: a. dokumen cetak dalam rangkap 2 (dua), 1 (satu) di antaranya dalam bentuk asli; dan b. salinan dokumen elektronik. (2) Penyampaian Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat pada akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diperolehnya persetujuan dewan komisaris. (3) Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha yang disampaikan dalam bentuk salinan dokumen elektronik wajib memuat informasi yang sama dengan informasi dalam Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha yang disampaikan dalam bentuk dokumen cetak. (4) Dalam hal terdapat perbedaan informasi yang disajikan dalam salinan dokumen elektronik dengan yang disajikan dalam dokumen cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah informasi dalam Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha yang disampaikan dalam bentuk dokumen cetak dalam bentuk asli. (5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dari masing-masing perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, dengan ketentuan: - 12 - 1. dalam hal perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha merupakan Perusahaan Terbuka, meliputi 2 (dua) tahun terakhir, dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) jangka waktu tanggal laporan keuangan tahunan terakhir dan efektifnya Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha tidak lebih dari 6 (enam) bulan; dan b) dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a) lebih dari 6 (enam) bulan, laporan keuangan tersebut harus dilengkapi dengan laporan keuangan interim yang diaudit Akuntan Publik dengan ketentuan tanggal keuangan interim dengan efektifnya Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha tidak lebih dari 6 (enam) bulan; 2. dalam hal perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha bukan merupakan Perusahaan Terbuka, meliputi 3 (tiga) tahun terakhir; b. pendapat mengenai aspek hukum Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; c. informasi keuangan proforma perusahaan hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang diperiksa oleh Akuntan Publik; d. laporan penilaian saham; e. laporan pendapat kewajaran atas Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; f. surat pernyataan direksi Perusahaan Terbuka bahwa Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dilakukan dengan memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha, serta ada jaminan tetap laporan tanggal - 13 - terpenuhinya hak pemegang saham dan karyawan; g. persetujuan dewan komisaris masing-masing perusahaan mengenai rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; h. rancangan perubahan anggaran dasar perusahaan hasil Penggabungan Usaha (jika ada) atau rancangan akta pendirian perusahaan baru hasil Peleburan Usaha; dan i. laporan penilaian tenaga ahli (jika ada). (6) Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dilakukan oleh Perusahaan Terbuka dengan Perusahaan Anak yang pada saat penyampaian Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. laporan keuangan Perusahaan Anak tersebut telah dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Perusahaan Terbuka yang telah diaudit oleh Akuntan Publik; dan b. Perusahaan Anak tersebut dimiliki secara langsung oleh Perusahaan Terbuka sebanyak 100% (seratus persen), dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, huruf d, dan huruf e tidak wajib disampaikan. Pasal 12 Dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dilakukan antar Perusahaan Terbuka, Perusahaan Terbuka: a. tidak wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan, apabila laporan keuangan tahunan terakhir yang telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan berumur kurang dari 6 (enam) bulan pada saat Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha menjadi efektif; atau b. wajib menyampaikan laporan keuangan interim yang telah diaudit Akuntan Publik, apabila laporan keuangan tahunan terakhir yang telah disampaikan kepada Otoritas - 14 - Jasa Keuangan akan berumur lebih dari 6 (enam) bulan pada saat Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha menjadi efektif, dengan ketentuan jangka waktu antara tanggal laporan keuangan interim dimaksud dan efektifnya Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha tidak lebih dari 6 (enam) bulan. Pasal 13 (1) Dalam hal Penggabungan Usaha dilakukan antar Perusahaan Terbuka, penyampaian Pernyataan Penggabungan Usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan oleh Perusahaan Terbuka yang menerima Penggabungan Usaha. (2) Dalam hal Peleburan Usaha dilakukan antar Perusahaan Terbuka, penyampaian Pernyataan Peleburan Usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan oleh salah satu Perusahaan Terbuka yang melakukan Peleburan Usaha. Bagian Kelima Permintaan Perubahan dan/atau Tambahan Informasi Pasal 14 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi untuk tujuan penelaahan atau pengungkapan kepada masyarakat. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan meminta perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha dan dokumen pendukungnya, Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha tersebut dianggap telah disampaikan kembali pada tanggal perubahan dimaksud disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Perusahaan Terbuka harus menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan - 15 - Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal Perusahaan Terbuka belum dapat menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan hal tersebut dalam Situs Web Perusahaan Terbuka pada hari kerja pertama sejak lewatnya jangka waktu tersebut. (5) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak meminta perubahan dan/atau tambahan informasi dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah penyampaian Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha atau perubahan dan/atau tambahan informasi terakhir dari Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan, Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha dianggap telah disampaikan secara lengkap dan memenuhi persyaratan serta prosedur yang ditetapkan. Pasal 15 (1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum Rapat Umum Pemegang Saham dalam rangka Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau Situs Web Bursa Efek; dan b. Situs Web Perusahaan Terbuka. - 16 - Bagian Keenam Efektifnya Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha Pasal 16 Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha dapat menjadi efektif dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: a. atas dasar lewatnya waktu, yakni: 1. 20 (dua puluh) hari sejak tanggal Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha diterima Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap; atau 2. 20 (dua puluh) hari sejak tanggal perubahan terakhir yang disampaikan Perusahaan Terbuka atau yang diminta Otoritas Jasa Keuangan dipenuhi; atau b. atas dasar pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada lagi perubahan dan/atau tambahan informasi lebih lanjut yang diperlukan. BAB III PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM DALAM RANGKA PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA Pasal 17 (1) Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka. (2) Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha menjadi efektif. Pasal 18 Rencana dan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dalam rangka Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib memenuhi ketentuan sebagaimana - 17 - dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka. Pasal 19 Perusahaan Terbuka dapat melakukan pengumuman Rapat Umum Pemegang Saham dalam rangka Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha bersamaan dengan pengumuman ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Pasal 20 Dalam hal terdapat benturan kepentingan dalam suatu Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, Rapat Umum Pemegang Saham wajib memenuhi ketentuan Rapat Umum Pemegang Saham untuk transaksi yang mengandung benturan kepentingan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai transaksi afiliasi dan benturan kepentingan transaksi tertentu. Pasal 21 Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham tidak menyetujui rencana Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha baru dapat diajukan kembali kepada Otoritas Jasa Keuangan paling singkat 12 (dua belas) bulan setelah pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham tersebut. BAB IV LAPORAN PELAKSANAAN PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA Pasal 22 Perusahaan hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai hasil pelaksanaan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal efektifnya Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha. - 18 - BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 23 (1) Perusahaan Terbuka yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dapat mengumumkan keterbukaan informasi mengenai rencana Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebelum mengumumkan ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). (2) Dalam hal Perusahaan Terbuka yang akan melakukan Penggabungan Usaha Usaha atau atau Peleburan Peleburan Usaha mengumumkan keterbukaan informasi mengenai rencana Penggabungan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap informasi mengenai perkembangan rencana Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib diumumkan. (3) Dalam hal informasi mengenai rencana Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha telah diketahui pihak lain selain orang dalam, Perusahaan Terbuka yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha wajib menyampaikan laporan informasi atau fakta material kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan kepada masyarakat sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Keterbukaan atas Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik. (4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan paling sedikit melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau Situs Web Bursa Efek; dan b. Situs Web Perusahaan Terbuka. - 19 - Pasal 24 Dalam hal saham Perusahaan Terbuka yang melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha tercatat di Bursa Efek, Perusahaan Terbuka tersebut wajib mengikuti peraturan Bursa Efek di mana saham Perusahaan Terbuka tersebut dicatatkan. Pasal 25 Penambahan modal dalam rangka Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 26 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. tertulis - 20 - (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 27 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 28 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 Bagi Perusahaan Terbuka yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha oleh Perusahaan Terbuka dimaksud tetap mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.G.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten, sepanjang telah menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. mata acara Rapat Umum Pemegang Saham dalam rangka Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; atau b. Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha, mana yang lebih dahulu. - 21 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten, beserta Peraturan Nomor IX.G.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 31 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 307 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 74 /POJK.04/2016 TENTANG PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA PERUSAHAAN TERBUKA I. UMUM Dalam era pasar global saat ini, persaingan dalam dunia usaha semakin ketat. Perusahaan-perusahaan saling berlomba mengembangkan strateginya agar dapat terus berkembang. Salah satu upaya yang dilakukan antara lain meningkatkan efisiensi kegiatan usaha, menambah kapasitas produksi, dan meningkatkan sinergi antar business line dalam kelompok usaha. Peningkatan efisiensi yang diharapkan dapat diperoleh melalui Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha antara lain berupa penyederhanaan struktur kepemilikan, organisasi, operasional, dan produksi. Di Pasar Modal, pelaksanaan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha oleh Perusahaan Terbuka dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan kegiatan usaha atau business line. Saat ini, ketentuan mengenai Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha oleh Perusahaan Terbuka telah diatur dalam Peraturan Nomor IX.G.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten. Secara umum, ketentuan dalam Peraturan Nomor IX.G.1 tersebut sudah cukup lengkap mengatur persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi serta keterbukaan informasi yang harus disampaikan kepada masyarakat. Namun demikian, pengaturan mengenai Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang berlaku saat ini masih perlu - 2 - disempurnakan. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melindungi investor khususnya pemegang saham publik, menjaga terselenggaranya Pasar Modal secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, dan memberikan kemudahan bagi Perusahaan Terbuka yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dengan kondisi dan persyaratan tertentu serta meningkatkan kualitas keterbukaan informasi dalam rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha. Adapun penyempurnaan terhadap peraturan mengenai Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang berlaku sebelumnya dilakukan dengan menambahkan ketentuan baru dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yaitu antara lain: a. penyederhanaan keterbukaan informasi dalam hal Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dilakukan antara perusahaan induk dengan anak perusahaan yang dimiliki 100% (seratus persen); dan b. peningkatan kualitas keterbukaan informasi dan perlindungan kepada pemegang saham, dengan menambahkan keterbukaan informasi dalam rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, antara lain terkait: 1. kegiatan usaha, struktur permodalan dan pemegang saham, serta pengurusan dan pengawasan; 2. ringkasan hasil penilaian Penilai atas nilai saham dan pendapat Penilai atas kewajaran atas Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; 3. rencana bisnis ke depan pasca Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha; 4. menambahkan tambahan informasi atas calon Pengendali baru; dan 5. informasi mengenai analisis dan pembahasan manajemen tentang perusahaan yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengubah peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten, yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau - 3 - Emiten, beserta Peraturan Nomor IX.G.1 yang merupakan lampirannya, dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Terbuka. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persetujuan dewan komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat ditandatangani oleh: a. komisaris utama; atau b. 1 (satu) atau lebih anggota dewan komisaris yang mewakili perusahaan sebagaimana diatur dalam anggaran dasar. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “alasan serta penjelasan” adalah penjelasan antara lain dari sisi pengembangan bisnis masing-masing perusahaan dan keberlanjutan usaha Perusahaan Terbuka serta alasan memilih melakukan - 4 - Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha, bukan aksi korporasi lain. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Yang dimaksud dengan “tenaga ahli” adalah pihak yang berkompeten dalam bidang tertentu. Contohnya adalah tenaga ahli pertambangan yang memberikan penilaian atas aset perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kepemilikan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud - 5 - dalam huruf ini dengan memperhatikan ketentuan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 5 Pernyataan direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dapat ditandatangani oleh: a. direktur utama; atau b. 1 (satu) atau lebih anggota direksi yang mewakili perusahaan sebagaimana diatur dalam anggaran dasar. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perubahan yang material terhadap sifat Perusahaan Terbuka hasil Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha” antara lain perubahan Kegiatan Usaha Utama Perusahaan Terbuka. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan “afiliasi” adalah afiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Angka 2 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Cukup jelas. Huruf e) Cukup jelas. - 6 - Huruf f) Cukup jelas. Huruf g) Cukup jelas. Huruf h) Dalam praktiknya “penerima manfaat” dimaksud dikenal juga dengan sebutan beneficial owner. Huruf i) Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ringkasan rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang diumumkan, dilakukan tanpa mengurangi substansi dalam rancangan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bukti pengumuman dalam Situs Web Bursa Efek disampaikan Perusahaan Terbuka kepada Otoritas Jasa Keuangan berupa print screen. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. - 7 - Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “dalam bentuk asli” adalah dokumen cetak yang ditandatangani dengan menggunakan alat tulis, atau secara umum dikenal dengan tanda tangan basah. Huruf b Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain dapat disampaikan dengan menggunakan media digital cakram padat (compact disc), flashdisk, atau lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kepemilikan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam huruf ini dengan memperhatikan ketentuan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Penyampaian Pernyataan Penggabungan Usaha oleh Perusahaan Terbuka yang menerima Penggabungan Usaha tidak menghilangkan kewajiban pemenuhan ketentuan dari masing- masing perusahaan yang melakukan Penggabungan Usaha - 8 - sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Ayat (2) Penyampaian Pernyataan Peleburan Usaha oleh salah satu Perusahaan Terbuka yang melakukan Peleburan Usaha tidak menghilangkan kewajiban pemenuhan ketentuan dari masing- masing perusahaan yang melakukan Peleburan Usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 14 Ayat (1) Permintaan perubahan dan/atau tambahan informasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dimaksudkan agar Perusahaan Terbuka dapat memenuhi kewajibannya dalam mengungkapkan semua fakta material tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha yang bersangkutan dan keadaan keuangan serta kegiatan usaha perusahaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. - 9 - Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai transaksi afiliasi dan benturan kepentingan transaksi tertentu yang berlaku adalah Peraturan Nomor IX.E.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-412/BL/2009 tanggal 25 November 2009 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Yang dimaksud dengan “tanggal efektifnya Penggabungan Usaha” antara lain: a. tanggal persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas perubahan anggaran dasar; b. tanggal pemberitahuan anggaran dasar perusahaan hasil Penggabungan Usaha diterima oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; atau c. tanggal efektifnya Penggabungan Usaha yang ditentukan dalam akta penggabungan. Yang dimaksud dengan “tanggal efektifnya Peleburan Usaha” adalah tanggal keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas pengesahan badan hukum perusahaan hasil Peleburan Usaha. Pasal 23 Ayat (1) Informasi mengenai rencana Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha merupakan informasi orang dalam - 10 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, Pasal 96, dan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal apabila Perusahaan Terbuka yang akan melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha memutuskan untuk tidak mengumumkan keterbukaan informasi mengenai rencana Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “orang dalam” pada ayat ini adalah: a. anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau pegawai perusahaan; b. pemegang saham utama perusahaan; c. orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan perusahaan memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau d. pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c. Yang dimaksud dengan “pemegang saham utama” sebagaimana dimaksud dalam huruf b adalah pihak yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki paling sedikit 20% (dua puluh persen) hak suara dari seluruh saham yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan atau jumlah yang lebih kecil dari itu sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan “kedudukan” sebagaimana dimaksud dalam huruf c adalah jabatan pada lembaga, institusi, atau badan pemerintah. Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” sebagaimana dimaksud dalam huruf c adalah hubungan kerja atau kemitraan dalam kegiatan usaha, antara lain hubungan nasabah, pemasok, kontraktor, pelanggan, dan kreditur. Yang dimaksud dengan “informasi atau fakta material” adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, - 11 - kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek dan/atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa penundaan pemberian pernyataan efektif untuk Pernyataan Penggabungan Usaha atau Pernyataan Peleburan Usaha. Pasal 28 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif dan tindakan tertentu melalui Situs Web Otoritas Jasa Keuangan atau laporan tahunan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5997
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 74/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PENGGABUNGAN USAHA ATAU PELEBURAN USAHA PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title> <set_date> 23 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-52/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997', 'Kep-52/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor IX.G.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka profesionalisme serta perlindungan nasabah, Manajer Investasi perlu meningkatkan kualitas fungsi-fungsi Manajer Investasi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI. BAB I... - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Wakil Manajer Investasi adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi. 3. Komite Investasi adalah komite yang bertugas mengarahkan dan mengawasi Tim Pengelola Investasi dalam menjalankan kebijakan dan strategi investasi. 4. Tim Pengelola Investasi adalah tim yang bertugas mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau portofolio investasi kolektif untuk kepentingan sekelompok nasabah. 5. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Manajer Investasi. BAB II FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI Pasal 2 Dalam melakukan kegiatannya, Manajer Investasi wajib mempunyai dan melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut... - 3 - berikut: a. fungsi investasi dan riset; b. fungsi perdagangan; c. fungsi penyelesaian transaksi Efek; d. fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal; e. fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan nasabah; f. fungsi teknologi informasi; g. fungsi akuntansi dan keuangan; dan h. fungsi pengembangan sumber daya manusia. Pasal 3 (1) Manajer Investasi wajib memisahkan pelaksanaan fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dari fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d. (2) Koordinator dan pegawai yang melaksanakan salah satu fungsi dari keempat fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang merangkap sebagai koordinator dan pegawai pada ketiga fungsi lainnya. (3) Anggota direksi dilarang bertindak sebagai koordinator fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dan/atau fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c. (4) Anggota direksi yang bertindak sebagai koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d... - 4 - huruf d dilarang merangkap sebagai koordinator fungsi lainnya. Pasal 4 Manajer Investasi wajib memiliki prosedur operasi standar atas pelaksanaan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan memastikan prosedur operasi standar dipatuhi dan dilaksanakan oleh koordinator dan semua pegawai yang melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Pasal 5 Dalam hal kegiatan usaha Manajer Investasi dilakukan dalam satu Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek maka: a. prosedur operasi standar pelaksanaan fungsi-fungsi Manajer Investasi wajib terpisah dari prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek; dan b. pelaksanaan fungsi riset, fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal, fungsi akuntansi dan keuangan, fungsi teknologi informasi dan/atau fungsi pengembangan sumber daya manusia pada kegiatan usaha Manajer Investasi dan Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dapat dilaksanakan oleh satu unit kerja yang melaksanakan fungsi tersebut. BAB III PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI Bagian Kesatu Fungsi Investasi dan Riset Pasal 6 Pelaksanaan fungsi investasi dan riset wajib dikoordinir oleh pegawai yang memiliki izin Wakil Manajer Investasi dan... - 5 - dan pengalaman kerja di bidang pengelolaan investasi paling kurang 3 (tiga) tahun. Pasal 7 Dalam melaksanakan fungsi investasi, koordinator fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bertanggung jawab: a. membuat keputusan investasi yang terbaik untuk kepentingan nasabah; b. membuat dan memelihara catatan dan/atau kertas kerja dalam rangka pengambilan keputusan investasi untuk kepentingan nasabah; c. melakukan analisa kinerja produk investasi secara periodik; d. memastikan kesesuaian antara keputusan investasi yang diambil dengan: 1. kebijakan dan strategi investasi yang telah ditetapkan dalam perjanjian pengelolaan Portofolio Efek untuk para nasabah atau portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah; dan 2. kebijakan dan strategi investasi yang telah ditetapkan oleh Komite Investasi; e. memastikan setiap keputusan investasi yang diambil dilakukan atas pertimbangan yang rasional serta didukung oleh hasil riset yang cukup; dan f. menerapkan prinsip kehati-hatian dan Manajemen Risiko antara lain dengan: 1. memperhatikan risiko investasi yang mungkin terjadi serta tindakan yang akan dilakukan jika risiko investasi tersebut terjadi; dan 2. adanya pembagian kewenangan yang jelas dalam menentukan jumlah transaksi. Pasal 8... - 6 - Pasal 8 (1) Fungsi investasi dilakukan oleh Tim Pengelola Investasi yang paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang yang meliputi ketua dan anggota tim. (2) Ketua dan anggota Tim Pengelola Investasi wajib memiliki izin Wakil Manajer Investasi dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Tim Pengelola Investasi dilarang merangkap sebagai koordinator atau pelaksana fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dan/atau fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d. Pasal 9 (1) Pelaksanaan fungsi investasi didasarkan atas arahan Komite Investasi. (2) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang yang memiliki pengalaman di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun. (3) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. menetapkan kebijakan dan strategi investasi; dan b. mengawasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan investasi yang dilakukan oleh Tim Pengelola Investasi. (4) Anggota Komite Investasi dilarang: a. merangkap sebagai koordinator dan pelaksana fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, serta fungsi manajemen risiko, kepatuhan... - 7 - kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d; dan/atau b. merangkap menjadi anggota Tim Pengelola Investasi untuk 1 (satu) produk investasi yang sama. Pasal 10 Dalam melaksanakan fungsi riset, koordinator fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bertanggung jawab: a. melakukan riset dan analisa kondisi makro ekonomi serta sektor industri; b. melakukan riset dan analisa tentang Efek dalam portofolio investasi yang menjadi dan/atau yang akan dijadikan sebagai portofolio investasi; dan c. membuat dan mendokumentasikan catatan serta laporan hasil riset. Bagian Kedua Fungsi Perdagangan Pasal 11 Pelaksanaan fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi perdagangan wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; b. koordinator fungsi perdagangan bertanggung jawab: 1. melakukan transaksi atas Efek yang telah ditentukan oleh fungsi investasi pada harga dan waktu terbaik untuk kepentingan nasabah; dan 2. melakukan koordinasi dengan koordinator fungsi... - 8 - fungsi investasi dan riset dalam rangka pemilihan Perantara Pedagang Efek dengan mempertimbangkan antara lain biaya yang dibebankan dan pelayanan yang diberikan oleh Perantara Pedagang Efek tersebut. Bagian Ketiga Fungsi Penyelesaian Transaksi Efek Pasal 12 Pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; b. koordinator fungsi penyelesaian transaksi Efek bertanggung jawab: 1. melakukan rekonsiliasi atas data-data transaksi kepada pihak-pihak terkait seperti Perantara Pedagang Efek dan Bank Kustodian; dan 2. melakukan pengecekan silang atas data-data yang ada pada administrasi Efek dalam portofolio Reksa Dana atau produk yang dikelola Manajer Investasi. Bagian Keempat Fungsi Manajemen Risiko, Kepatuhan, dan Audit Internal Pasal 13 (1) Pelaksanaan fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pimpinan unit kerja, anggota direksi atau pejabat setingkat di bawah direksi. (2) Koordinator... - 9 - (2) Koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. memiliki izin Wakil Manajer Investasi dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai pengalaman kerja menduduki jabatan manajerial pada institusi yang bergerak di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun; b. ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi Manajer Investasi dan memiliki alur pertanggungjawaban langsung kepada dewan komisaris; dan c. bertindak secara independen dan memiliki akses yang tidak terbatas terhadap fungsi Manajer Investasi lainnya terkait dengan tugasnya untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan fungsi- fungsi Manajer Investasi. Pasal 14 Dalam melaksanakan fungsi manajemen risiko, koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal bertanggung jawab: a. menyusun strategi Manajemen Risiko; b. memperbaharui strategi Manajemen Risiko, jika: 1. terjadi perubahan dan/atau penambahan kegiatan Manajer Investasi; dan/atau 2. terdapat peraturan baru dan/atau perubahan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau peraturan lainnya yang terkait; c. memantau dan menelaah secara berkala pelaksanaan strategi Manajemen Risiko; d. memantau posisi risiko secara keseluruhan dan per jenis risiko; dan e. menerapkan... - 10 - e. menerapkan Manajemen Risiko secara efektif dan disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Manajer Investasi. Pasal 15 Penerapan fungsi manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c wajib dilakukan berdasarkan strategi Manajemen Risiko yang paling kurang memuat: a. pengidentifikasian semua risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan Manajer Investasi; b. penjelasan mengenai penyebab dari timbulnya risiko-risiko tersebut; c. pengidentifikasian kemungkinan terjadinya risiko- risiko tersebut; d. penjelasan tentang implikasi atas terjadinya risiko- risiko tersebut; dan e. langkah-langkah yang wajib dilakukan apabila risiko-risiko tersebut terjadi. Pasal 16 Dalam melaksanakan fungsi kepatuhan, koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal bertanggung jawab: a. memastikan kepatuhan Manajer Investasi terhadap peraturan perundang-undangan; b. bertindak sebagai pihak penghubung (liason officer) dengan Otoritas Jasa Keuangan; c. menyusun strategi kepatuhan; d. memperbaharui strategi kepatuhan, jika: 1. terjadi perubahan dan/atau penambahan kegiatan Manajer Investasi; dan/atau 2. terdapat peraturan baru dan/atau perubahan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau peraturan lainnya yang terkait; e. menyebarluaskan... - 11 - e. menyebarluaskan dan mensosialisasikan manual kepatuhan, kebijakan, prosedur, dan informasi lain terkait kepatuhan kepada para pihak terkait di lingkungan Manajer Investasi; f. melakukan pengawasan dan memastikan pelaksanaan rencana kelangsungan usaha (business continuity plan) sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan perusahaan; g. memastikan pegawai memperoleh pelatihan dan pendidikan yang terkait dengan kepatuhan; h. menyusun dan menyampaikan rencana kerja tahunan fungsi kepatuhan kepada Dewan Komisaris yang memuat kegiatan dan jadwal pelaksanaan kegiatan fungsi kepatuhan; i. menyusun dan menyampaikan laporan tengah tahunan dan laporan tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan kepada Dewan Komisaris; dan j. menyampaikan laporan insidental kepada Dewan Komisaris jika menemukan adanya dugaan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang dilakukan oleh Manajer Investasi dan/atau nasabahnya paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak ditemukannya dugaan pelanggaran. Pasal 17 Tugas dan tanggung jawab fungsi kepatuhan wajib ditetapkan dalam pakta (charter) tertulis yang mengikat fungsi-fungsi Manajer Investasi. Pasal 18 Dalam melaksanakan fungsi audit internal, koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal bertanggung jawab memastikan pelaksanaan fungsi- fungsi Manajer Investasi sesuai dengan prosedur dan kebijakan tertulis/prosedur operasi standar. Pasal 19... - 12 - Pasal 19 Dalam melaksanakan fungsi audit internal, koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal wajib: a. membuat perencanaan, pengendalian, dan pencatatan semua pelaksanaan kegiatan audit internal; b. membuat pencatatan semua temuan, kesimpulan, dan rekomendasi dari pelaksanaan kegiatan audit internal; dan c. menyusun laporan audit internal setelah pelaksanaan setiap audit internal disampaikan kepada Dewan Komisaris. Bagian Kelima Fungsi Pemasaran dan Penanganan Pengaduan Nasabah Pasal 20 Pelaksanaan fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan nasabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan nasabah wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan serta mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; b. pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran Efek Reksa Dana wajib memiliki izin Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; c. pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran jasa pengelolaan portofolio investasi kolektif selain Reksa Dana dan jasa pengelolaan investasi wajib memiliki izin Wakil Perusahaan Efek; d. dalam... untuk - 13 - d. dalam hal fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan nasabah tidak dilaksanakan dalam satu kesatuan fungsi maka: 1. fungsi pemasaran dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan serta mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; dan 2. fungsi penanganan pengaduan nasabah dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana dari Otoritas Jasa Keuangan serta mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun. 3. koordinator fungsi pemasaran bertanggung jawab untuk mengkoordinir: a) proses pembukaan rekening Reksa Dana, portofolio investasi kolektif selain Reksa Dana, dan jasa pengelolaan investasi nasabah dengan memperhatikan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan dalam rangka penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; dan b) kegiatan pemasaran produk investasi secara benar dan profesional dengan menerapkan ketentuan mengenai profil risiko nasabah dan ketentuan terkait lainnya. 4. koordinator fungsi penanganan pengaduan nasabah bertanggung jawab untuk mengkoordinir: a) penerimaan dan pengadministrasian pengaduan nasabah; b) penanganan dan tindak lanjut pengaduan nasabah... - 14 - nasabah; dan c) pengadministrasian hasil penanganan dan tindak lanjut pengaduan nasabah. Bagian Keenam Fungsi Teknologi Informasi Pasal 21 Pelaksanaan fungsi teknologi informasi wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Pelaksanaan fungsi teknologi informasi dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan anggota direksi atau pegawai yang mempunyai pengalaman kerja dalam bidang teknologi informasi paling kurang 1 (satu) tahun; b. Koordinator fungsi teknologi informasi bertanggungjawab untuk: 1. melakukan reviu dan pemeliharaan sistem teknologi informasi secara berkala untuk memastikan: a) sistem teknologi mendukung kegiatan operasional Manajer Investasi agar berjalan dengan baik; dan b) sistem teknologi informasi yang digunakan telah sesuai dengan kebutuhan untuk kegiatan pelaporan secara elektronik kepada Otoritas Jasa Keuangan agar kegiatan pelaporan dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan; dan 2. melakukan penyimpanan cadangan data (back- up) secara periodik. Bagian Ketujuh Fungsi Pengembangan Sumber Daya Manusia Pasal 22 Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia... informasi dapat - 15 - manusia wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan anggota direksi atau pegawai yang memiliki pengalaman kerja dalam bidang sumber daya manusia paling kurang 1 (satu) tahun; b. koordinator fungsi pengembangan sumber daya manusia bertanggung jawab: 1. menyusun dan melaksanakan program pelatihan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan kepatuhan pegawai terhadap kode etik dan standar perilaku pegawai; 2. melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru sesuai prosedur operasi standar dan ketentuan yang berlaku; dan 3. memelihara catatan dan dokumen yang berkaitan dengan fungsi pengembangan sumber daya manusia, termasuk namun tidak terbatas pada dokumen terkait pelatihan dan administrasi kepegawaian. Bagian Kedelapan Fungsi Akuntansi dan Keuangan Pasal 23 Pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan anggota direksi atau pegawai yang memiliki pengalaman kerja di bidang akuntansi dan keuangan paling kurang 1 (satu) tahun; b. koordinator fungsi akuntansi dan keuangan bertanggung jawab: 1. merencanakan... - 16 - 1. merencanakan dan mengelola aktivitas akuntansi dan keuangan; dan 2. memastikan laporan keuangan tahunan, laporan keuangan tengah tahunan, laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi, laporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan dan laporan lainnya yang disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan telah disusun berdasarkan data yang akurat dan sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan serta Standar Akuntansi Keuangan. BAB IV PENGALIHAN PELAKSANAAN FUNGSI Pasal 24 Manajer Investasi dapat mengalihkan pelaksanaan fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan kepada penyedia jasa yang berbentuk badan hukum dengan tetap memperhatikan ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 25 Dalam hal Manajer Investasi mengalihkan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Manajer Investasi bertanggung jawab terhadap perilaku dan kegiatan yang dilakukan oleh penyedia jasa yang menerima pengalihan fungsi-fungsi dari Manajer Investasi dimaksud. Pasal 26 Manajer Investasi yang melakukan pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib memastikan bahwa penyedia jasa yang menerima pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut adalah profesional yang mempunyai standar kapasitas... - 17 - kapasitas dan kapabilitas untuk melaksanakan fungsi serta mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi. Pasal 27 Manajer Investasi wajib memiliki dan melaksanakan prosedur operasi standar untuk mengawasi perilaku dan kegiatan penyedia jasa yang menerima pengalihan fungsi-fungsi Manajer Investasi. Pasal 28 Penyerahan pelaksanaan fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan hanya dapat dilakukan kepada penyedia jasa dengan ketentuan sebagai berikut: a. Manajer Investasi wajib melaporkan informasi tentang rencana penyerahan pelaksanaan fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format laporan rencana penyerahan pelaksanaan fungsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. b. Sebelum menunjuk penyedia jasa untuk melaksanakan fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan, Manajer Investasi wajib melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap penyedia jasa yang mencakup, antara lain: 1. kemampuan penyedia jasa dalam melaksanakan fungsi-fungsi Manajer Investasi; 2. kemampuan penyedia jasa memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian; 3. faktor-faktor operasional dan kemampuan keuangan secara kualitatif dan kuantitatif; 4. faktor... - 18 - 4. faktor reputasi; 5. cakupan asuransi oleh penyedia jasa (jika ada); 6. adanya potensi benturan kepentingan khususnya bila penyedia jasa bergerak di bidang usaha yang sama; dan 7. kemampuan dan kecukupan sumber daya yang dimiliki penyedia jasa, apabila memiliki perjanjian penyerahan pelaksanaan fungsi Manajer Investasi kepada Penyedia jasa (outsourcing) dengan beberapa Pihak.; dan c. Manajer Investasi wajib melakukan reviu secara berkala atas fungsi yang dijalankan oleh penyedia jasa untuk memastikan fungsi tersebut telah dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur operasi standar pelaksanaan fungsi-fungsi dimaksud. d. Manajer Investasi wajib memiliki perjanjian tertulis dengan penyedia jasa, yang paling kurang mencakup: 1. nama pihak; 2. ruang lingkup, syarat-syarat, dan kondisi fungsi Manajer Investasi yang pelaksanaannya diserahkan kepada penyedia jasa; 3. tanggung jawab Manajer Investasi dan penyedia jasa serta pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab tersebut; 4. standar layanan jasa dan mekanisme untuk memastikan bahwa standar tersebut dapat dipenuhi setiap saat; 5. kerahasiaan dan keamanan informasi; 6. tanggung jawab terkait dengan keamanan sistem teknologi informasi; 7. pelaporan penyedia jasa kepada Manajer Investasi; 8. pertanggungjawaban... - 19 - 8. pertanggungjawaban dari penyedia jasa kepada Manajer Investasi atas pelayanan yang tidak memuaskan atau pelanggaran-pelanggaran lainnya atas perjanjian; 9. jaminan atas kualitas layanan jasa dan ganti rugi; 10. kewajiban penyedia jasa, setiap saat jika diminta, untuk menyediakan setiap catatan, informasi dan/atau bantuan berkaitan fungsi- fungsi Manajer Investasi yang dilaksanakannya kepada Manajer Investasi yang menunjuk penyedia jasa, auditor Manajer Investasi dimaksud, dan/atau Otoritas Jasa Keuangan; 11. larangan bagi penyedia jasa untuk menunjuk pihak ketiga (sub kontrak) dalam menjalankan kewajibannya; 12. ketentuan-ketentuan tentang keberlangsungan fungsi Manajer Investasi dalam hal penyedia jasa mengalami kondisi darurat sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya; 13. pengakhiran perjanjian, yang meliputi antara lain transfer informasi dan langkah-langkah pemutusan perjanjian, serta prosedur transisi; dan 14. mekanisme untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul antara Manajer Investasi dengan penyedia jasa. e. Manajer Investasi wajib memastikan penyedia jasa menjaga kerahasiaan informasi yang diterima dari Manajer Investasi. f. Manajer Investasi pada hari kerja berikutnya wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila penyedia jasa tidak dapat melakukan kewajibannya. g. Manajer Investasi wajib memastikan Otoritas Jasa Keuangan… - 20 - Keuangan setiap saat dapat mengakses pembukuan, catatan dan dokumen penyedia jasa berkaitan dengan penyerahan pelaksanaan fungsi Manajer Investasi kepada penyedia jasa. h. Manajer Investasi hanya dapat menunjuk penyedia jasa yang kegiatan operasionalnya berlokasi di Indonesia. BAB V KEWAJIBAN PELAPORAN Pasal 29 (1) Manajer Investasi wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan laporan sebagai berikut: a. laporan rencana kerja tahunan fungsi kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf h sesuai dengan format laporan rencana kerja tahunan fungsi kepatuhan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah berakhirnya bulan Desember; b. laporan tengah tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf i sesuai dengan format laporan tengah tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah berakhirnya bulan Juni; c. laporan tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf i sesuai dengan format laporan tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan. .. - 21 - merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah berakhirnya bulan Desember; dan d. laporan insidental, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf j sesuai dengan format laporan insidental sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahuinya peristiwa tersebut. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c jatuh pada hari libur, laporan tersebut wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. BAB VI SANKSI Pasal 30 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)... - 22 - ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, atau huruf e. Pasal 31 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 32 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 Manajer Investasi wajib menyesuaikan dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis fungsi... - 23 - fungsi-fungsi Manajer Investasi yang belum diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 35 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-480/BL/2009 tanggal 31 Desember 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi beserta Peraturan Nomor V.D.11 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 359 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 24/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI </reg_title> <set_date> 19 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-480/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'KEP-480/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor V.D.11' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 21 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH SECARA INDIVIDUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan portofolio efek untuk kepentingan nasabah secara individual memegang peranan penting dalam meningkatkan daya saing industri pasar modal; b. bahwa untuk lebih memberikan keleluasaan bagi manajer investasi dalam mengelola portofolio efek untuk kepentingan nasabah secara individual serta meningkatkan perlindungan hukum bagi nasabah, perlu menyempurnakan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pengelolaan portofolio efek untuk kepentingan nasabah secara individual; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH SECARA INDIVIDUAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual yang selanjutnya disebut Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual adalah jasa pengelolaan portofolio efek dan/atau dana yang dilakukan manajer investasi kepada 1 (satu) nasabah tertentu dimana berdasarkan perjanjian tentang pengelolaan portofolio efek dan/atau dana untuk kepentingan nasabah secara individual, manajer Iinvestasi diberi wewenang penuh oleh nasabah untuk melakukan pengelolaan portofolio efek dan/atau dana. 2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 3. Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh Pihak. - 3 - 4. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak dalam portofolio investasi kolektif. 5. Nilai Pasar Wajar dari Efek adalah nilai yang dapat diperoleh dari transaksi Efek yang dilakukan antar para pihak yang bebas bukan karena paksaan atau likuidasi. 6. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 7. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Bank Kustodian. 8. Kustodian Asing adalah kustodian yang terdaftar atau memiliki izin sebagai kustodian dari regulator asing. 9. Lembaga Penilaian Harga Efek adalah pihak yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penilaian harga Efek dalam rangka menetapkan harga pasar wajar. 10. Manajer Investasi Asing adalah manajer investasi atau pengelola investasi yang terdaftar atau memiliki izin untuk melakukan pengelolaan investasi dari regulator asing. 11. Regulator Asing adalah lembaga atau otoritas yang berwenang melakukan pengawasan lembaga keuangan dan/atau pasar modal, dari negara penandatangan penuh (full signatory) Multilateral Memorandum of Understanding Concerning Consultation and Cooperation and the Exchange of Information International Organization of Securities Commissions. 12. Nasabah adalah pihak yang menginvestasikan Portofolio Efek dan/atau dananya untuk dikelola oleh Manajer Investasi dalam bentuk pengelolaan Portofolio Efek untuk kepentingan yang bersangkutan secara individual. - 4 - 13. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. BAB II PEDOMAN PERJANJIAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH SECARA INDIVIDUAL Pasal 2 (1) Manajer Investasi wajib: a. membuat perjanjian tertulis Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dengan setiap Nasabah; dan b. memastikan adanya perjanjian penyimpanan Portofolio Efek dan/atau dana milik Nasabah pada Bank Kustodian antara Nasabah dengan Bank Kustodian, sebelum memberikan jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. (2) Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dibuat dalam bentuk akta notariil. (3) Manajer Investasi wajib memastikan bahwa setiap Nasabah yang menandatangani perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki kewenangan dan kapasitas untuk menandatangani perjanjian dimaksud. Pasal 3 (1) Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual wajib ditandatangani oleh Manajer Investasi dan Nasabah. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Bank Kustodian sebagai Pihak yang ikut menandatangani perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. - 5 - Pasal 4 Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual paling sedikit wajib memuat: a. identitas Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan Nasabah yang terlibat dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; b. tugas dan tanggung jawab Manajer Investasi; c. kewajiban Manajer Investasi untuk menyimpan Portofolio Efek dan/atau dana Nasabah pada Bank Kustodian; d. hak Nasabah; e. tujuan investasi; f. g. kebijakan investasi; biaya; h. metode penilaian Efek yang diterapkan; i. j. tanggal ditandatanganinya perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; jangka waktu perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; k. penunjukan lembaga peradilan, Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sebagai lembaga untuk menyelesaikan perselisihan dan sengketa perdata antar para Pihak; dan l. ketentuan pengakhiran perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individu. Pasal 5 Tugas dan tanggung jawab Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b paling sedikit wajib: a. mengelola Portofolio Efek dan/atau dana milik Nasabah sesuai dengan perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; b. memastikan pemisahan rekening penyimpanan Portofolio Efek dan/atau dana untuk setiap Nasabah dengan rekening Manajer Investasi maupun rekening lainnya; c. menetapkan Nilai Pasar Wajar atas Efek milik Nasabah; d. menyelenggarakan pembukuan dan catatan secara terpisah untuk setiap Nasabah; - 6 - e. menyelenggarakan pembukuan dan catatan secara terpisah antara pembukuan dan catatan atas nama Nasabah dengan pembukuan dan catatan atas nama Manajer Investasi; dan f. memberikan gambaran risiko investasi kepada Nasabah. Pasal 6 (1) Bank Kustodian tempat penyimpanan Portofolio Efek dan/atau dana milik Nasabah memiliki tugas dan tanggung jawab paling sedikit: a. memastikan rekening kekayaan Nasabah di Bank Kustodian atas nama Nasabah yang menggunakan jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; b. mencatatkan dan mengadministrasikan kekayaan Nasabah yang menggunakan jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; c. menyimpan dan memelihara catatan milik Nasabah termasuk semua perubahan dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual yang terpisah dari catatan Nasabah lain; d. melakukan penyelesaian transaksi yang berkaitan dengan Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; dan e. melakukan atau menerima pembayaran atas transaksi Efek milik Nasabah sesuai dengan perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. (2) Tugas dan tanggung jawab lain Bank Kustodian, dapat berupa: a. menghitung Nilai Aktiva Bersih Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual sesuai dengan yang diperjanjikan dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; b. melakukan monitoring atas pelaksanaan investasi oleh Manajer Investasi berdasarkan kebijakan investasi yang tercantum dalam perjanjian; - 7 - c. memberitahukan kepada Manajer Investasi dan/atau Nasabah setiap adanya perubahan atau penggantian penanggung jawab dari Bank Kustodian; dan/atau d. memberikan data dan/atau informasi yang berhubungan dengan kewajiban Bank Kustodian terhadap Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual berdasarkan perjanjian dalam hal diminta Manajer Investasi dan/atau Nasabah. Pasal 7 (1) Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tidak berlaku atau berakhir dalam hal: a. terpenuhinya persyaratan berakhirnya perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; dan/atau b. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terjadi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (2) Dalam hal perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tidak berlaku atau berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi wajib bertanggung jawab atas penyelesaian hak Nasabah sesuai dengan perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. (3) Dalam hal perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tidak berlaku atau berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tidak berlaku atau berakhir. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat: a. alasan berakhirnya perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; dan - 8 - b. penyelesaian hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual yang disertai dengan dokumen pendukung. BAB III PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH SECARA INDIVIDUAL Pasal 8 (1) Jumlah dana kelolaan awal untuk setiap Nasabah pada Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau nilai yang setara dalam mata uang asing dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia. (2) Setoran awal Nasabah Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dapat berupa Portofolio Efek dan/atau dana. (3) Dalam hal setoran awal Nasabah berbentuk Efek, nilai awal investasi Efek pada Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual wajib dinilai dengan metode penilaian atas Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan nilai paling sedikit setara Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (4) Jumlah dana kelolaan untuk setiap Nasabah pada Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dapat mengalami penurunan menjadi kurang dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sepanjang penurunan dimaksud terjadi karena pergerakan harga pasar atas portofolio Nasabah yang dikelola. Pasal 9 Nilai dana kelolaan dan/atau Efek pada Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual untuk setiap Nasabah dilarang dimiliki dan/atau diperjanjikan untuk dimiliki bersama oleh lebih dari 1 (satu) Pihak. - 9 - Pasal 10 Portofolio Efek dan/atau dana Nasabah wajib disimpan dalam rekening kekayaan Nasabah atas nama masing-masing Nasabah pada Bank Kustodian. Pasal 11 (1) Manajer Investasi dilarang memiliki hubungan afiliasi dengan Bank Kustodian, kecuali hubungan afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal oleh Pemerintah. (2) Penunjukan Bank Kustodian wajib dilakukan oleh Nasabah dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 12 (1) Portofolio investasi dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual hanya dapat berupa: a. Efek yang diterbitkan di dalam negeri; b. instrumen pasar uang; c. instrumen keuangan lain yang memperoleh penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Efek; dan/atau d. Efek yang diterbitkan di luar negeri sepanjang: 1. Efek tersebut telah memperoleh pernyataan efektif, izin, persetujuan, pendaftaran, atau pernyataan legalitas dari Regulator Asing dimana Efek tersebut diterbitkan; dan/atau 2. Efek tersebut diperdagangkan di Bursa Efek di luar negeri yang informasinya dapat diakses melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. (2) Dalam hal Manajer Investasi melakukan Pengelolaan Portofolio Efek Nasabah Secara Individual pada Efek yang diterbitkan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Manajer Investasi dapat mendelegasikan wewenang Pengelolaan Portofolio Efek Nasabah Secara - 10 - Individual kepada Manajer Investasi Asing berdasarkan perjanjian pendelegasian. BAB IV NILAI PASAR WAJAR DALAM PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH SECARA INDIVIDUAL Pasal 13 Nilai Efek dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual wajib dinilai berdasarkan nilai pasar wajar yang dihitung dengan metode yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai Nilai Pasar Wajar Efek dalam Portofolio Reksa Dana. Pasal 14 (1) Dalam hal Manajer Investasi menghitung Nilai Pasar Wajar atas Efek Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual menggunakan harga pasar wajar yang diterbitkan oleh Lembaga Penilaian Harga Efek, Manajer Investasi dapat mengakses harga Efek yang diterbitkan oleh Lembaga Penilaian Harga Efek tanpa dikenakan biaya. (2) Dalam hal Lembaga Penilaian Harga Efek tidak mengeluarkan harga pasar wajar atas Efek dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual, Manajer Investasi wajib menghitung Nilai Pasar Wajar atas Efek tersebut berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Pasal 15 (1) Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual yang diperdagangkan dalam denominasi mata uang yang berbeda dengan denominasi mata uang Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tersebut wajib - 11 - dihitung dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia. (2) Dalam hal denominasi mata uang Efek dalam portofolio Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tidak terdapat dalam mata uang yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia, Manajer Investasi wajib menggunakan kurs tengah yang ditetapkan oleh lembaga independen yang disepakati oleh Manajer Investasi dan Nasabah secara konsisten. Pasal 16 Penentuan Nilai Pasar Wajar surat utang yang menjadi Portofolio Efek dapat menggunakan metode harga perolehan yang diamortisasi, sepanjang surat utang dalam Portofolio Efek tersebut tidak dialihkan sampai dengan tanggal jatuh tempo. BAB V KEWAJIBAN MANAJER INVESTASI DAN BANK KUSTODIAN DALAM PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH SECARA INDIVIDUAL Pasal 17 (1) Manajer Investasi dan Bank Kustodian wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas sebaik mungkin untuk kepentingan Nasabah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya masing-masing. - 12 - Pasal 18 Manajer Investasi wajib menyampaikan informasi kepada Nasabah tentang gambaran risiko investasi sebelum ditandatanganinya perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. Pasal 19 Perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dan/atau perubahannya wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian oleh para Pihak. Pasal 20 Bank Kustodian wajib menyediakan dan menyampaikan laporan periodik mengenai portofolio Nasabah kepada Nasabah dalam hal dinyatakan dalam perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. BAB VI PENAWARAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH SECARA INDIVIDUAL Pasal 21 (1) Manajer Investasi dapat menggunakan jasa Pihak lain untuk menawarkan jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual kepada calon Nasabah. (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi Efek dan/atau perantara pedagang Efek; atau b. agen penjual Efek reksa dana. - 13 - Pasal 22 (1) Kewenangan Pihak lain dalam melakukan penawaran Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 terbatas hanya pada meneruskan informasi Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dari Manajer Investasi kepada Nasabah atau menyediakan akses kepada Manajer Investasi. (2) Dalam hal Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual ditawarkan menggunakan jasa Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi wajib membuat: a. kebijakan dan prosedur tertulis terkait penawaran Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual menggunakan jasa Pihak lain; dan b. perjanjian tertulis antara Manajer Investasi dengan Pihak lain, yang paling sedikit memuat: 1. hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing- masing Pihak; 2. biaya; 3. penyelesaian dalam hal terjadi perselisihan; dan 4. penyelesaian pengaduan Nasabah. Pasal 23 Perjanjian tertulis antara Manajer Investasi dengan Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian oleh para Pihak. Pasal 24 (1) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilarang bertindak sebagai Pihak yang melakukan jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. - 14 - (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat mereferensikan jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dengan menyampaikan informasi atau meneruskan selebaran, brosur, dan/atau hal sejenis yang memuat informasi dan/atau penjelasan dari Manajer Investasi atas Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual kepada Nasabah, baik secara tatap muka maupun melalui surat dan media elektronik. (3) Dalam hal Nasabah bermaksud mengadakan perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual, Pihak lain wajib mengarahkan Nasabah tersebut kepada Manajer Investasi. BAB VII PENDELEGASIAN JASA PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH SECARA INDIVIDUAL OLEH MANAJER INVESTASI ASING Pasal 25 (1) Manajer Investasi dapat menerima pendelegasian jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dari Manajer Investasi Asing untuk kepentingan Nasabah Manajer Investasi Asing. (2) Dalam hal Manajer Investasi menerima pendelegasian dari Manajer Investasi Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi wajib: a. membuat perjanjian pendelegasian antara Manajer Investasi Asing dengan Manajer Investasi yang paling sedikit memuat: 1. pernyataan bahwa Manajer Investasi Asing memiliki kewenangan atau kuasa untuk mendelegasikan Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual atas nama nasabah asing kepada Manajer Investasi; 2. identitas masing-masing pihak; 3. tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak; - 15 - 4. hak dan kewajiban masing-masing pihak; 5. informasi tentang jenis dan jumlah Portofolio Efek dan/atau dana awal yang didelegasikan kepada Manajer Investasi; 6. pemenuhan ketentuan mengenai prinsip mengenal nasabah oleh masing-masing pihak; 7. tujuan investasi; 8. kebijakan investasi; 9. biaya; 10. metode penilaian Efek yang diterapkan; 11. tanggal ditandatanganinya perjanjian pendelegasian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; 12. ketentuan pengakhiran perjanjian pendelegasian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; 13. pilihan hukum dalam hal terjadi sengketa; dan 14. jangka waktu perjanjian pendelegasian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; dan b. memastikan bahwa Manajer Investasi Asing memiliki kewenangan atau kuasa untuk melakukan pendelegasian jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual kepada Manajer Investasi. Pasal 26 Manajer Investasi wajib menyampaikan perjanjian pendelegasian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a dan setiap perubahannya kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian oleh para Pihak. - 16 - Pasal 27 (1) Penunjukan Bank Kustodian dalam rangka pelaksanaan perjanjian pendelegasian jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dari Manajer Investasi Asing untuk kepentingan Nasabah Manajer Investasi Asing wajib dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. (2) Perjanjian penunjukan Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib memuat hak, kewajiban, dan tanggung jawab Bank Kustodian. (3) Portofolio Efek dan/atau dana milik nasabah asing yang dikelola oleh Manajer Investasi berdasarkan pendelegasian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual wajib disimpan di Bank Kustodian secara terpisah untuk masing-masing perjanjian pendelegasian. BAB VIII LARANGAN DALAM PENGELOLAAN PORTOFOLIO NASABAH SECARA INDIVIDUAL Pasal 28 Dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual, Manajer Investasi dilarang: a. mengubah atau membarui perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tanpa persetujuan tertulis dari Nasabah; b. berinvestasi pada Efek lain yang tidak diperjanjikan sebelumnya dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual; c. menjanjikan kepada Nasabah bahwa: 1. akan terdapat keuntungan pada tingkat tertentu; dan/atau 2. kerugian tidak akan melampaui tingkat yang telah ditentukan; dan d. melakukan tindakan lain di luar kewenangan Manajer Investasi dalam perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. - 17 - Pasal 29 Manajer Investasi dilarang meminjam atau meminjamkan Portofolio Efek dan/atau dana milik Nasabah yang dikelolanya. BAB IX KETENTUAN SANKSI Pasal 30 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. - 18 - Pasal 31 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 32 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada masyarakat. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-112/BL/2010 tentang Pedoman Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual beserta Peraturan Nomor V.G.6 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 19 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 121 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 21 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH SECARA INDIVIDUAL I. UMUM Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual untuk selanjutnya disebut Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual merupakan jasa pengelolaan yang dilakukan oleh Manajer Investasi kepada satu Nasabah yang didasarkan atas kontrak perjanjian pengelolaan dana yang dibuat antara Manajer Investasi, Nasabah, dan Bank Kustodian. Jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual ini telah berkembang dan memberikan kontribusi cukup besar di sektor pasar modal, khususnya di bidang pengelolaan investasi. Seiring dengan pertumbuhan perekonomian dan perkembangan pasar saat ini, beberapa ketentuan yang termuat dalam Peraturan Nomor V.G.6, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-112/BL/2010 tentang Pedoman Pengelolaan Portofolio Efek untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual dirasa sudah tidak relevan dengan kebutuhan pasar sehingga diperlukan upaya penyempurnaan terhadap peraturan terkait pedoman Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual tersebut. Cukup besarnya potensi investor yang hendak menginvestasikan dananya melalui jasa pengelolaan Portofolio Efek merupakan salah satu pertimbangan utama dilakukannya penyempurnaan dengan melakukan revisi terhadap Peraturan Nomor V.G.6 tersebut. Penyempurnaan ini juga ditujukan untuk meningkatan perlindungan terhadap investor yang - 2 - menginvestasikan dananya melalui jasa Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual melalui pengaturan terkait pedoman Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual, perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual, tugas dan tanggung jawab Manajer Investasi, tugas dan tanggung jawab Bank Kustodian, dan berakhirnya perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. Secara khusus, ketentuan ini juga memuat hal minimum yang wajib terdapat dalam perjanjian Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual yang seluruhnya ditujukan untuk meningkatkan perlindungan investor pada Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. Di sisi lain, guna memberikan keleluasaan bagi Manajer Investasi dan Nasabah atas aset dasar Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual dalam revisi Peraturan Nomor V.G.6 ini membuka kemungkinan dimasukannya Dana Investasi Real Estat (DIRE) dan Efek Beragun Aset (EBA) sebagai aset dasar Portofolio Efek Nasabah Secara Individual. Dengan dimungkinkannya penambahan aset dasar dalam Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual diharapkan Manajer Investasi mempunyai alternatif investasi lebih banyak, sehingga Nasabah memperoleh nilai tambah dalam berinvestasi pada Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. - 3 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Kepemilikan bersama dalam kepesertaan produk asuransi unit link, dana pensiun, dan kepemilikan bersama lainnya yang sejenis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak termasuk dalam kriteria dimiliki dan/atau diperjanjikan untuk dimiliki bersama yang dilarang dalam pasal ini. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Termasuk di dalamnya exchange traded fund (ETF). Huruf b Yang dimaksud dengan “instrumen pasar uang” adalah instrumen pasar uang dalam negeri yang mempunyai jatuh tempo kurang dari 1 (satu) tahun, meliputi sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang, surat pengakuan utang, dan sertifikat deposito, baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing. Huruf c Cukup jelas. - 4 - Huruf d Efek yang diterbitkan di luar negeri termasuk di dalamnya collective investment scheme dan unit trust. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai Nilai Pasar Wajar Efek dalam Portofolio Reksa Dana“ yang berlaku pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan adalah Peraturan Nomor IV.C.2, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-367/BL/2012 tentang Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam Portofolio Reksa Dana. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas. - 5 - Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam praktiknya “selebaran” dimaksud biasa disebut dengan leaflet. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. - 6 - Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6068
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 21/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH SECARA INDIVIDUAL </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-112/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'Kep-112/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor V.G.6' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /POJK.05/2015 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung perkembangan usaha perusahaan modal ventura, diperlukan penyempurnaan pengaturan perizinan usaha dan kelembagaan yang komprehensif, jelas, dan memberikan kepastian hukum; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Modal Ventura; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha Modal Ventura adalah usaha pembiayaan melalui penyertaan modal dan/atau pembiayaan untuk jangka waktu tertentu dalam rangka pengembangan usaha pasangan usaha atau debitur. 2. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura, pengelolaan dana ventura, kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. 3. Usaha Modal Ventura Syariah adalah usaha pembiayaan melalui kegiatan investasi dan/atau pelayanan jasa yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka pengembangan usaha pasangan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. 4. Perusahaan Modal Ventura Syariah yang selanjutnya disingkat PMVS adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, pengelolaan dana ventura, dan kegiatan usaha lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan yang seluruhnya dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. 5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. - 3 - 6. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat PMV yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah. 7. Pasangan Usaha adalah orang perseorangan atau perusahaan termasuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang menerima penyertaan modal dan/atau investasi berdasarkan prinsip bagi hasil dari PMV, PMVS, atau UUS. 8. Debitur adalah orang perseorangan atau perusahaan termasuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi yang menerima pembiayaan usaha produktif dari PMV. 9. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 10. Pemegang Saham adalah pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Pemegang Saham bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi dan yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 11. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham atau modal PMV atau PMVS sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham atau modal PMV atau PMVS kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari - 4 - jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian PMV atau PMVS, baik secara langsung maupun tidak langsung. 12. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 13. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 14. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ PMV atau PMVS yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 15. Modal Disetor: a. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; b. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib; atau c. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah modal dari para pesero perseroan komanditer. - 5 - 16. Ekuitas: a. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum perseroan terbatas, adalah penjumlahan dari: 1. Modal Disetor; 2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas: a) agio/disagio saham; b) biaya emisi efek Ekuitas; dan c) lainnya sesuai dengan prinsip standar akuntansi keuangan; 3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas sepengendali; 4. saldo laba/rugi; 5. laba/rugi tahun berjalan; 6. saham tresuri (treasury stock); dan 7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas: a) perubahan dalam surplus revaluasi; b) selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing; c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan tersedia untuk dijual; d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen keuangan lindung nilai dalam rangka lindung nilai arus kas; dan e) komponen Ekuitas lainnya sesuai prinsip standar akuntansi keuangan. b. bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum koperasi adalah penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah, dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan. c. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah selisih antara jumlah aset dengan liabilitas PMV. d. bagi PMVS berbentuk badan usaha perseroan komanditer atau UUS adalah selisih antara - 6 - jumlah aset dengan penjumlahan antara liabilitas dan pendanaan bersifat temporer. 17. Kantor Cabang adalah kantor dari PMV atau PMVS yang memiliki kewenangan untuk menyetujui perjanjian kegiatan usaha yang dilakukan PMV atau PMVS kepada Pasangan Usaha dan/atau Debitur. 18. Kantor Cabang Unit Syariah adalah kantor yang bertanggung jawab secara langsung kepada UUS dan mempunyai kewenangan untuk menyetujui perjanjian kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah kepada Pasangan Usaha. 19. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih PMV atau PMVS untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) PMV atau PMVS baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan Ekuitas dari PMV atau PMVS yang meleburkan diri dan status badan hukum PMV atau PMVS yang meleburkan diri berakhir karena hukum. 20. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih PMV atau PMVS untuk menggabungkan diri dengan PMV atau PMVS lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan Ekuitas dari PMV atau PMVS yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada PMV atau PMVS yang menerima Penggabungan dan selanjutnya status badan hukum PMV atau PMVS yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. 21. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham PMV atau PMVS yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas PMV atau PMVS tersebut. 22. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh PMV atau PMVS untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aset, liabilitas, dan Ekuitas PMV atau PMVS beralih karena hukum kepada 2 (dua) atau lebih PMV atau PMVS atau sebagian aset, - 7 - liabilitas, dan Ekuitas PMV atau PMVS beralih karena hukum kepada 1 (satu) atau lebih PMV atau PMVS. 23. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB I BENTUK BADAN USAHA, IZIN USAHA, DAN PERMODALAN Bagian Kesatu Bentuk Badan Usaha Pasal 2 (1) PMV dan PMVS harus didirikan dalam bentuk badan usaha: a. perseroan terbatas; b. koperasi; atau c. perseroan komanditer. (2) PMV dan PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sahamnya dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; c. badan usaha asing atau lembaga asing; d. negara Republik Indonesia; dan/atau e. pemerintah daerah. (3) Ketentuan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk PMV dan PMVS yang tercatat di bursa efek mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. (4) Ketentuan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk PMV dan PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian. - 8 - (5) PMV dan PMVS yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer paling banyak didirikan oleh 25 (dua puluh lima) pesero. Bagian Kedua Izin Usaha Pasal 3 (1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha PMV atau PMVS wajib mendapatkan izin usaha dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK. Pasal 4 (1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen: a. akta pendirian badan usaha yang telah disahkan oleh atau didaftarkan pada instansi yang berwenang, yang paling sedikit harus memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS; dan perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada) disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan, surat penerimaan pemberitahuan, dan/atau pendaftaran dari instansi berwenang; - 9 - b. daftar kepemilikan, berupa: 1. daftar Pemegang Saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham yang disertai dengan pendukungnya yang menunjukkan persentase kepemilikan baik secara langsung maupun tidak langsung dan daftar perusahaan lain yang dimiliki oleh Pemegang Saham, bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum perseroan terbatas; 2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, bagi PMV atau PMVS berbentuk badan hukum koperasi; atau 3. daftar pesero berikut jumlah modal yang disetorkan, bagi PMV atau PMVS berbentuk badan usaha perseroan komanditer; c. data anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS (jika ada) meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); 3. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; 4. surat pernyataan dari yang bersangkutan yang menyatakan bahwa: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; b) tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; c) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir; dokumen - 10 - d) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e) tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan f) tidak pernah menjadi Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, atau DPS pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 5. surat keterangan atau bukti tertulis berpengalaman di bidang PMV, PMVS, dan/atau lembaga keuangan lainnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu Direksi; d. data Pemegang Saham atau anggota: 1. orang perseorangan, dilampiri dengan: a) fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; b) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); c) fotokopi surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak untuk 1 (satu) tahun terakhir; d) daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan - 11 - e) surat pernyataan dari yang bersangkutan yang menyatakan: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari dan untuk kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; 4) tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 8) tidak pernah menjadi PSP, Direksi, Dewan Komisaris, atau DPS pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; - 12 - 2. badan hukum Indonesia, badan usaha asing atau lembaga asing, dilampiri dengan: a) akta pendirian termasuk anggaran dasar berikut perubahan yang terakhir (jika ada), pengesahan, disertai dengan bukti persetujuan, atau pencatatan dari instansi berwenang; b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik yang dilengkapi laporan keuangan non konsolidasi dan laporan keuangan bulan terakhir; c) daftar Pemegang Saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham; d) konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing yang berbentuk lembaga keuangan; e) dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 1, angka 2, dan angka 3 bagi direksi atau yang setara dengan itu dari pemegang saham yang bersangkutan; dan f) surat pernyataan direksi atau yang setara dengan itu dari pemegang saham dimaksud yang menyatakan bahwa: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari dan untuk kegiatan pencucian uang (money laundering); 3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; 4) tidak tercatat dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; - 13 - 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 8) tidak pernah menjadi PSP pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 3. negara Republik Indonesia, dilampiri dengan Peraturan Pemerintah mengenai penyertaan modal negara Republik Indonesia untuk pendirian PMV atau PMVS; dan/atau 4. pemerintah daerah, dilampiri dengan Peraturan Daerah mengenai penyertaan modal daerah untuk pendirian PMV atau PMVS; e. risalah RUPS mengenai pengangkatan anggota DPS beserta rekomendasi tertulis dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN- MUI), bagi PMVS; f. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dan fotokopi bukti penempatan Modal Disetor dalam pidana - 14 - bentuk deposito berjangka atas nama PMV atau PMVS pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia yang telah dilegalisasi oleh bank penerima setoran dan masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha; g. bukti kesiapan operasional paling sedikit berupa: 1. daftar aset tetap dan inventaris; 2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; 3. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan digunakan untuk operasional PMV atau PMVS yang memuat hak dan kewajiban para pihak; dan 4. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); h. rencana kerja untuk 5 (lima) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana kegiatan usaha PMV atau PMVS dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan laba/rugi komprehensif bulanan serta asumsi yang mendasarinya dimulai sejak PMV atau PMVS melakukan kegiatan operasional; i. fotokopi perjanjian kerja sama antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi PMV atau PMVS yang di dalamnya terdapat penyertaan dari badan usaha asing dan/atau lembaga asing; j. struktur organisasi yang dilengkapi dengan susunan personalia, uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja; k. pedoman pelaksanaan penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; - 15 - l. pedoman tata kelola perusahaan yang baik bagi PMV atau PMVS; dan m. bukti pelunasan pembayaran biaya perizinan dalam rangka pemberian izin usaha. Pasal 5 (1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana maksud dalam Pasal 4 ayat (2); b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf h; c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah; d. pemeriksaan setoran modal; dan e. penelitian dari kinerja keuangan terhadap lembaga keuangan lain yang berada pada kepemilikan PSP yang sama. (3) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan alasan penolakan. (4) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan keputusan pemberian izin usaha kepada pemohon. Pasal 6 (1) PMV atau PMVS yang telah mendapat izin usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan oleh OJK. - 16 - (2) PMV atau PMVS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha. (3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan: a. fotokopi perjanjian kegiatan Usaha Modal Ventura/Usaha Modal Ventura Syariah yang telah dilakukan; dan b. fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin menggunakan tenaga kerja asing yang dikeluarkan oleh instansi berwenang bagi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris berkewarganegaraan asing. Pasal 7 (1) PMV harus menggunakan nama PMV yang dimulai dengan bentuk badan usaha dan memuat kata ventura. (2) PMVS harus menggunakan nama PMVS yang dimulai dengan bentuk badan usaha dan memuat kata ventura syariah. (3) Penggunaan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi PMV atau ayat (2) bagi PMVS berbentuk badan hukum perseroan terbatas harus juga memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas. Pasal 8 Nama PMV atau PMVS wajib dicantumkan secara jelas pada gedung kantor PMV atau PMVS. - 17 - Bagian Ketiga Permodalan Pasal 9 (1) PMV harus memenuhi ketentuan permodalan pada saat pendirian sebagai berikut: a. badan hukum perseroan terbatas, memiliki Modal Disetor paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); b. badan hukum koperasi, memiliki Modal Disetor paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); atau c. badan usaha perseroan komanditer, memiliki Modal Disetor paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua lima puluh miliar rupiah). (2) PMVS harus memenuhi ketentuan permodalan pada saat pendirian sebagai berikut: a. badan hukum perseroan terbatas, memiliki Modal Disetor paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah); b. badan hukum koperasi, memiliki Modal Disetor paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); atau c. badan usaha perseroan komanditer, memiliki Modal Disetor paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (3) Permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka atas nama PMV pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia. (4) Permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka atas nama PMVS pada salah satu bank umum syariah di Indonesia. - 18 - Pasal 10 Total kepemilikan asing pada PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas baik secara langsung maupun tidak langsung paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen) dari Modal Disetor. Pasal 11 (1) PMV atau PMVS hanya dapat memperdagangkan sahamnya di bursa efek paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen) dari Modal Disetor PMV atau PMVS yang bersangkutan. (2) Bagi PMV atau PMVS yang memperdagangkan sahamnya di bursa efek, paling rendah 15% (lima belas persen) dari total Modal Disetor PMV atau PMVS, wajib tetap dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh warga negara Indonesia, pemerintah pusat, dan/atau pemerintah daerah. Pasal 12 (1) Bagi Pemegang Saham yang berbentuk badan hukum Indonesia, badan usaha asing, dan/atau lembaga asing, jumlah penyertaan langsung pada PMV atau PMVS ditetapkan paling tinggi sebesar ekuitas Pemegang Saham. (2) Jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi pada saat badan usaha atau lembaga yang bersangkutan melakukan: a. penyetoran modal pendirian PMV atau PMVS; b. perubahan Pemegang Saham PMV atau PMVS; dan/atau c. penambahan Modal Disetor PMV atau PMVS. Pasal 13 (1) Ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), tidak berlaku bagi Pemegang Saham PMV atau PMVS yang merupakan - 19 - dana pensiun, perusahaan pembiayaan, perusahaan perasuransian, PMV atau PMVS, dan/atau perbankan. (2) Bagi Pemegang Saham yang merupakan dana pensiun, perusahaan pembiayaan, perusahaan perasuransian, PMV atau PMVS, dan/atau perbankan pada saat melakukan penyertaan langsung pada PMV atau PMVS, jumlah penyertaan langsung yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai investasi dan/atau penyertaan. BAB III STRUKTUR ORGANISASI Pasal 14 (1) PMV dan PMVS wajib mempunyai struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas paling sedikit fungsi: a. administrasi dan pembukuan; b. analisis kelayakan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah; c. manajemen risiko dan pengendalian internal; d. pengelolaan keuangan termasuk pengelolaan portofolio investasi; dan e. penerapan pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. (2) Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan susunan personalia, uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja secara tertulis. BAB IV SUMBER DAYA MANUSIA Bagian Kesatu Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 15 (1) PMV dan PMVS dapat menggunakan tenaga kerja asing. - 20 - (2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dipekerjakan sebagai: a. tenaga ahli dengan level jabatan satu tingkat di bawah Direksi; b. penasihat; atau c. konsultan. (3) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya; dan b. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan. (4) PMV dan PMVS yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyelenggarakan kegiatan alih pengetahuan dari tenaga kerja asing kepada pegawai PMV atau PMVS. (5) Alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus dibuat dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan tahunan kepada pegawai PMV atau PMVS. (6) PMV dan PMVS yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih dahulu melaporkan kepada OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum tenaga kerja asing dimaksud dipekerjakan sesuai dengan format 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dilampiri dengan dokumen: a. daftar riwayat hidup tenaga kerja asing yang dipekerjakan, disertai dengan fotokopi dokumen yang mencerminkan bidang keahliannya; b. rencana program pendidikan dan pelatihan tahunan selama tenaga kerja asing dimaksud dipekerjakan; dan c. rencana penempatan dan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab tenaga kerja asing. - 21 - Bagian Kedua Pengembangan Tenaga Kerja Pasal 16 (1) PMV dan PMVS wajib menyelenggarakan program pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga kerja. (2) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan. BAB V KEANGGOTAAN PADA ASOSIASI Pasal 17 (1) PMV dan PMVS wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang menaungi PMV dan PMVS di Indonesia yang mendapatkan pengakuan dari OJK. (2) Pelaksanaan kegiatan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada OJK paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. BAB VI UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Pembentukan UUS Pasal 18 (1) PMV yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk UUS. (2) UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempunyai pembukuan terpisah dari PMV. - 22 - Bagian Kedua Modal Kerja UUS Pasal 19 (1) UUS harus mempunyai modal kerja pada saat pembentukannya paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Modal kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disisihkan dalam bentuk deposito berjangka atas nama PMV dan ditempatkan pada salah satu bank umum syariah di Indonesia. Bagian Ketiga Perizinan UUS Pasal 20 (1) UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin UUS dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi PMV harus mengajukan permohonan pembentukan UUS kepada OJK dengan menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pengajuan permohonan izin pembentukan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang mencantumkan: 1. salah satu maksud dan tujuan PMV yaitu melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah; dan 2. wewenang dan tanggung jawab DPS, disertai dengan bukti persetujuan dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b. fotokopi bukti setoran modal kerja dalam bentuk deposito berjangka atas nama PMV pada salah - 23 - satu bank umum syariah di Indonesia yang telah dilegalisasi oleh bank penerima setoran dan masih berlaku selama dalam proses perizinan UUS; c. surat keputusan Direksi PMV yang menyetujui penempatan modal kerja pada UUS disertai dengan besaran jumlah penempatan modal kerjanya; d. data DPS berupa: 1. risalah RUPS mengenai pengangkatan DPS; 2. rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI); 3. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 4. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); 5. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm; dan 6. surat pernyataan yang menyatakan tidak tercatat dalam daftar kredit macet; e. data pimpinan UUS, meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); 3. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm; 4. bukti pengangkatan sebagai pimpinan UUS; 5. bukti keahlian, pelatihan, dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah; dan 6. surat pernyataan yang menyatakan: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; dan b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada PMV yang sama, kecuali pimpinan UUS adalah Direksi; - 24 - f. laporan keuangan awal UUS yang terpisah dari kegiatan usaha PMV; g. dokumen pelaporan penggunaan akad yang digunakan dalam kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Modal Ventura; dan h. rencana kerja UUS yang akan dibuka yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. target kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan target dimaksud; 3. sistem dan prosedur kerja; 4. jumlah dan susunan personalia; dan 5. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak UUS melakukan kegiatan operasional serta proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan. (4) Bagi PMV yang telah melakukan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, wajib menyampaikan permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini diundangkan, dilampiri dengan dokumen: a. surat keputusan Direksi mengenai penempatan modal kerja pada UUS; b. surat pencatatan perubahan anggaran dasar PMV dalam rangka pembentukan UUS dari Menteri Keuangan atau OJK; c. daftar Kantor Cabang PMV yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, disertai dengan fotokopi surat pencatatan pelaporan dari Menteri Keuangan atau OJK; dan - 25 - d. dokumen pendukung data pimpinan UUS, meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 2. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); 3. daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm; 4. bukti pengangkatan sebagai pimpinan UUS; 5. bukti keahlian, pelatihan, dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah; dan 6. surat pernyataan yang menyatakan: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet; dan b) tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada PMV yang sama, kecuali pimpinan UUS adalah Direksi. (5) PMV yang mengajukan permohonan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan belum memiliki surat pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, maka PMV harus melampirkan dokumen pengganti berupa: a. Anggaran dasar yang memuat maksud dan tujuan perusahaan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah disertai bukti persetujuan dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; dan b. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Pasal 21 (1) Dalam memproses permohonan izin pembentukan UUS, OJK melakukan: a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) atau ayat (4); - 26 - b. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf h; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Usaha Modal Ventura Syariah. (2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembentukan UUS paling lama 30 (tigapuluh) hari kerja setelah permohonan izin pembentukan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) atau ayat (4) diterima secara lengkap. (3) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan penolakan. Pasal 22 (1) UUS wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal izin pembentukan UUS ditetapkan. (2) UUS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha UUS. (3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan Direksi PMV dengan menggunakan format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. b. fotokopi perjanjian kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah yang telah dilakukan. daftar perjanjian kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah yang telah dilakukan; dan - 27 - Bagian Keempat Pimpinan UUS Pasal 23 (1) UUS wajib dipimpin oleh seorang pimpinan UUS. (2) Pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi ketentuan: a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet; b. tidak rangkap jabatan pada fungsi lain pada PMV yang sama, kecuali pimpinan UUS adalah Direksi; dan c. mempunyai keahlian dan/atau pengalaman di bidang jasa keuangan syariah. Pasal 24 (1) PMV yang mempunyai UUS wajib melaporkan perubahan pimpinan UUS kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal pengangkatan pimpinan UUS. (2) Pelaporan perubahan pimpinan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf e. Bagian Kelima Kantor Cabang Unit Syariah Pasal 25 (1) PMV yang mempunyai UUS wajib melaporkan pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah. (2) Pelaporan pembukaan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direksi kepada OJK sesuai dengan format 6 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang - 28 - merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan disertai informasi: a. data alamat lengkap Kantor Cabang Unit Syariah; dan b. nama pimpinan Kantor Cabang Unit Syariah serta jumlah karyawan. Pasal 26 (1) PMV yang mempunyai UUS wajib melaporkan perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah. (2) Pelaporan perubahan alamat Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh Direksi PMV dengan menggunakan format 7 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. Pasal 27 (1) PMV yang mempunyai UUS wajib melaporkan penutupan Kantor Cabang Unit Syariah kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penutupan Kantor Cabang Unit Syariah. (2) Laporan penutupan Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Direksi PMV disertai dengan alasan penutupan dengan menggunakan format 8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan disertai: a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor Cabang Unit Syariah; dan b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban pihak terkait. - 29 - Pasal 28 (1) PMV yang mempunyai UUS dapat membuka kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah dengan wajib terlebih dahulu melaporkan kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja tanggal pembukaan kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah. (2) Pelaporan pembukaan kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan disertai informasi alamat lengkap kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah. (3) Kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah dilarang memberikan persetujuan perjanjian Usaha Modal Ventura Syariah kepada Pasangan Usaha, kecuali memberikan kegiatan usaha pelayanan jasa. (4) Perubahan alamat dan/atau penutupan kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Direksi kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal perubahan alamat dan/atau penutupan kantor. (5) Pelaporan perubahan alamat kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 10 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan disertai informasi alamat lengkap kantor selain Kantor Cabang Unit Syariah. Bagian Keenam Penutupan UUS Pasal 29 (1) PMV dapat menutup UUS dengan wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penutupan UUS kepada - 30 - OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum penutupan dilakukan. (2) PMV yang akan menutup UUS wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada Pasangan Usaha mengenai: a. rencana penutupan UUS; dan b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban Pasangan Usaha dan pemberi dana yang berkepentingan. (3) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban kepada Pasangan Usaha dan pemberi dana yang berkepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan dan memperhatikan kepentingan Pasangan Usaha dan pemberi dana yang berkepentingan. Pasal 30 (1) Pelaporan rencana penutupan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) harus diajukan oleh Direksi PMV disertai dengan alasan penutupan dengan menggunakan format 11 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri dokumen: a. bukti pemberitahuan rencana penutupan UUS kepada Pasangan Usaha dan pemberi dana yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a; b. bukti pemberitahuan prosedur penyelesaian hak dan kewajiban kepada Pasangan Usaha dan pemberi dana yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b; dan c. bukti penyelesaian keberatan dari Pasangan Usaha dan pemberi dana yang berkepentingan, apabila terdapat keberatan dari Pasangan Usaha dan pemberi dana yang berkepentingan. - 31 - (2) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin pembentukan UUS. Bagian Ketujuh Pemisahan UUS Pasal 31 (1) PMV yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas wajib memisahkan UUS menjadi PMVS dengan cara mendirikan badan hukum perseroan terbatas apabila nilai aset UUS telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total aset PMV induknya berdasarkan laporan bulanan terakhir yang disampaikan kepada OJK. (2) Pemisahan UUS menjadi PMVS dengan cara mendirikan badan hukum perseroan terbatas wajib dilakukan PMV dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal selama proses Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), aset UUS menurun dan tidak lagi mencapai paling rendah 50% (lima puluh persen) dari total aset PMV induknya, kondisi dimaksud tidak menghilangkan kewajiban PMV untuk melakukan Pemisahan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) PMV yang memiliki UUS dapat memisahkan UUS sebelum terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 32 (1) PMVS hasil Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) harus memenuhi ketentuan Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) pada saat pendiriannya. - 32 - (2) Pemenuhan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka atas nama PMVS pada salah satu bank umum syariah di Indonesia atau dalam bentuk lain yang diperkenankan berdasarkan peraturan-perundang-undangan dan sesuai standar akuntansi. (3) Bukti pemenuhan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampirkan pada saat mengajukan permohonan izin usaha. (4) Pelaksanaan pemisahan UUS wajib dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VII KANTOR CABANG Pasal 33 (1) PMV atau PMVS dapat membuka Kantor Cabang di seluruh wilayah Republik Indonesia. (2) PMV atau PMVS wajib melaporkan pembukaan Kantor Cabang kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pembukaan Kantor Cabang. (3) Pelaporan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Direksi kepada OJK sesuai dengan format 12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan disertai informasi: a. data alamat lengkap Kantor Cabang; dan b. nama pimpinan Kantor Cabang serta jumlah karyawan. Pasal 34 (1) Penutupan Kantor Cabang PMV atau PMVS wajib dilaporkan ke OJK. - 33 - (2) Laporan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS disertai dengan alasan penutupan dengan menggunakan format 13 dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah penutupan Kantor Cabang dilaksanakan dengan disertai: a. bukti pemberitahuan rencana penutupan Kantor Cabang; dan b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban pihak terkait. BAB VIII PELAPORAN Bagian Kesatu Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar Pasal 35 (1) PMV atau PMVS berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah perubahan disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang. (2) PMV atau PMVS berbentuk badan hukum koperasi yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah perubahan disahkan oleh instansi yang berwenang atau disetujui RUPS. (3) PMV atau PMVS berbentuk badan usaha perseroan komanditer yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal akta perubahan anggaran dasar yang dibuat di hadapan notaris. - 34 - (4) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) meliputi perubahan: a. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PMV atau PMVS; b. nama PMV atau PMVS; c. perubahan badan usaha perseroan komanditer menjadi badan hukum perseroan terbatas; d. pengurangan Modal Disetor bagi PMVatau PMVS; e. status PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas tertutup menjadi perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya; dan/atau f. penambahan Modal Disetor bagi PMV atau PMVS. (5) Dalam hal perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a memerlukan persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura, maka PMV atau PMVS wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan dimaksud. (6) Pelaporan perubahan maksud dan tujuan serta kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 14 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi; - 35 - c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer; dan d. contoh perjanjian kegiatan usaha yang akan digunakan, dalam hal terjadi perubahan kegiatan usaha. (7) Pelaporan perubahan nama PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 15 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi; c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer; dan d. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama PMV atau PMVS yang baru. (8) Pelaporan perubahan badan usaha perseroan komanditer menjadi badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 16 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. anggaran pendirian perseroan terbatas yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang; dan - 36 - b. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama PMV atau PMVS yang baru. (9) Pelaporan pengurangan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 17 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi; dan c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. (10) Pelaporan perubahan status PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas tertutup menjadi perseroan terbatas terbuka atau sebaliknya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e, harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 18 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen perubahan anggaran dasar disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang. (11) Penambahan Modal Disetor bagi PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f hanya dapat dilakukan dalam bentuk: a. setoran tunai; b. konversi pinjaman menjadi setoran modal; c. konversi laba ditahan menjadi setoran modal; dan/atau d. dividen saham. - 37 - (12) Pelaporan penambahan Modal Disetor PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 19 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi; c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer; d. bukti penambahan Modal Disetor, yaitu: 1. fotokopi bukti setoran pelunasan Modal Disetor dari Pemegang Saham dan fotokopi bukti penempatan Modal Disetor atas nama PMV atau PMVS pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk setoran tunai; atau 2. laporan keuangan PMV atau PMVS yang telah diaudit oleh akuntan publik sebelum penambahan modal, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentukkonversi pinjaman dan/atau laba ditahan bagi PMV atau PMVS; e. surat pernyataan Pemegang Saham, anggota koperasi, atau pesero yang menyatakan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money laundering), dan kejahatan keuangan dalam hal penambahan - 38 - modal dilakukan dalam bentuk setoran tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (11) huruf a; f. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik yang dilengkapi laporan keuangan non konsolidasi dan laporan keuangan bulan terakhir dalam hal Pemegang Saham berupa badan hukum Indonesia, badan usaha asing atau lembaga asing; g. fotokopi surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak untuk 1 (satu) tahun terakhir dalam hal Pemegang Saham PMV atau PMVS adalah orang perseorangan; dan h. rencana bisnis (business plan) dan langkah- langkah PMV atau PMVS dalam penggunaan penambahan Modal Disetor. Bagian Kedua Pelaporan Perubahan Anggota Direksi, Anggota Dewan Komisaris, Pemegang Saham, dan Anggota DPS Pasal 36 (1) PMV atau PMVS yang melakukan perubahan: a. anggota Direksi b. anggota Dewan Komisaris; dan/atau c. Pemegang Saham, wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah perubahan disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang. (2) Pelaporan perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 20 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi - 39 - PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi; atau c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. (3) Pelaporan perubahan Pemegang Saham PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 21 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah RUPS dan/atau perubahan anggaran dasar bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi; c. perubahan anggaran dasar, bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer; d. akta pemindahan hak atas saham, dalam hal terjadi pemindahan hak atas saham; e. data Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dan huruf d, dalam hal terdapat Pemegang Saham baru; dan f. surat pernyataan Pemegang Saham yang menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk membeli saham PMV atau PMVS tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan, dalam hal terjadi jual beli saham. - 40 - (4) Dalam hal PMV atau PMVS memperdagangkan sahamnya di bursa efek, kewajiban pelaporan perubahan Pemegang Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku apabila: a. terdapat perubahan Pemegang Saham dari saham yang diperoleh bukan dari perdagangan bursa efek; dan/atau b. terdapat perubahan PSP. Pasal 37 (1) PMVS dan UUS wajib melaporkan perubahan susunan DPS kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak pengangkatan sesuai dengan format 22 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisah dari Peraturan OJK ini. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan risalah RUPS mengenai pengangkatan anggota DPS disertai dengan surat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Bagian Ketiga Laporan Kegiatan Usaha Baru Pasal 38 (1) PMV atau PMVS wajib melaporkan setiap kegiatan usaha baru yang akan dilaksanakannya kepada OJK. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 23 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri dengan dokumen: a. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama mengenai kegiatan usaha baru yang akan dilakukan, yang paling sedikit memuat: - 41 - 1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana kegiatan usaha PMV atau PMVS dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan laba/rugi komprehensif bulanan serta asumsi yang mendasarinya dimulai sejak PMV atau PMVS melakukan kegiatan usaha baru. b. struktur organisasi yang dilengkapi dengan susunan personalia, uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf j, terkait dengan kegiatan usaha baru yang akan dilakukan. c. contoh formulir terkait kegiatan usaha baru yang akan dilakukan, termasuk perjanjian pengelolaan dana, penyertaan, dan pembiayaan yang akan digunakan untuk operasional PMV atau PMVS. (3) PMV atau PMVS dapat melakukan kegiatan usaha baru dengan memenuhi persyaratan: a. tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi minimum sehat; dan b. tidak sedang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh OJK. Bagian Keempat Laporan Perubahan Alamat Pasal 39 (1) PMV atau PMVS wajib melaporkan perubahan alamat kantor pusat dan/atau Kantor Cabang secara tertulis kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perubahan. (2) Pelaporan perubahan alamat kantor pusat dan/atau Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 42 - harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakanformat tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. BAB IX PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN Bagian Kesatu Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Pasal 40 (1) PMV atau PMVS dapat melakukan: a. Penggabungan; b. Peleburan; atau c. Pengambilalihan. (2) Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat dilakukan oleh PMV atau PMVS berbentuk badan hukum yang sama. (3) Penggabungan atau Peleburan hanya dapat dilakukan antara PMV dengan PMV lainnya atau antara PMVS dengan PMVS lainnya. (4) Pengambilalihan terhadap PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13. Pasal 41 (1) PMV atau PMVS yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) wajib menyampaikan rencana Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan. 24 sebagaimana - 43 - (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. rencana akta risalah RUPS; b. rencana akta Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan; c. rencana daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, bagi PMV atau PMVS yang akan melakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan; d. rencana akta pemindahan hak atas saham, dalam hal Pengambilalihan saham dilakukan secara langsung dari Pemegang Saham, bagi PMV atau PMVS yang akan melakukan Pengambilalihan; e. laporan keuangan terakhir PMV atau PMVS yang telah diaudit; f. laporan keuangan proforma dari PMV atau PMVS hasil Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan; g. data Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d; h. surat pernyataan Pemegang Saham yang menyatakan bahwa uang yang digunakan untuk membeli saham PMV atau PMVS tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money laundering), dan kejahatan keuangan, bagi PMV atau PMVS yang akan melakukan Pengambilalihan; i. rencana bisnis (business plan) dan langkah- langkah PMV, atau PMVS setelah dilakukan Penggabungan, Peleburan atau Pengambilalihan; dan j. dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) huruf c, huruf e, huruf f, huruf g, huruf atau - 44 - h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m, bagi PMV atau PMVS baru hasil Peleburan. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2); b. c. analisis kelayakan atas rencana Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan; dan analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 42 (1) PMV atau PMVS yang telah mendapatkan persetujuan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan dari OJK harus melaksanakan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan tersebut paling lama 60 (enam puluh) harikerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan OJK. (2) Dalam hal realisasi rencana Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan tidak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka surat persetujuan OJK menjadi tidak berlaku. (3) PMV atau PMVS yang menerima Penggabungan wajib melaporkan Penggabungan secara tertulis kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang. (4) PMV atau PMVS hasil Peleburan wajib melaporkan Peleburan secara tertulis kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal - 45 - diterimanya persetujuan atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang. (5) PMV atau PMVS yang diambil alih wajib melaporkan Pengambilalihan secara tertulis kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal akta Pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris. (6) Pelaporan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 26 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. untuk Penggabungan: 1. akta perubahan anggaran dasar PMV atau PMVS yang menerima Penggabungan yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; 2. akta Penggabungan yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; 3. daftar rincian Kantor Cabang beserta alamat lengkap; dan 4. dokumen yang menyatakan bahwa PMV atau PMVS yang menggabungkan diri tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang berwenang. b. untuk Peleburan: 1. akta risalah RUPS; 2. akta Peleburan yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; 3. akta Pendirian PMV atau PMVS hasil peleburan yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; 4. daftar kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b; 5. daftar rincian Kantor Cabang beserta alamat lengkap; dan - 46 - 6. dokumen yang menyatakan bahwa PMV atau PMVS yang meleburkan diri tidak mempunyai utang pajak dari instansi yang berwenang. (7) Pelaporan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS dengan menggunakan format 27 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; dan b. akta Pengambilalihan. (8) Berdasarkan pelaporan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a, OJK: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a angka 1 sampai dengan angka 4; b. mencabut izin usaha PMV atau PMVS yang menggabungkan diri. (9) Berdasarkan pelaporan Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, OJK: a. melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b angka 1 sampai dengan angka 6; b. mencabut izin usaha PMV atau PMVS yang meleburkan diri; c. memberikan persetujuan atau penolakan izin usaha kepada PMV atau PMVS yang merupakan hasil Peleburan; (10) Pemberian persetujuan atau penolakan izin usaha dalam Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf c dilakukan paling lama 30 hari kerja setelah pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b diterima lengkap. - 47 - (11) Dalam hal OJK menolak untuk menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat(9) huruf c penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara tertulis. (12) Sebelum persetujuan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf c diberikan, PMV atau PMVS dilarang menjalankan kegiatan Usaha Modal Ventura. Bagian Kedua Pemisahan Pasal 43 (1) PMV atau PMVS dapat melakukan Pemisahan, dengan cara: a. Pemisahan murni; atau b. Pemisahan tidak murni. (2) Terhadap Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku: a. seluruh aset, liabilitas, dan Ekuitas PMV atau PMVS beralih karena hukum kepada 2 (dua) atau lebih PMV atau PMVS lain yang menerima peralihan; dan b. PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum. (3) Terhadap Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku: a. sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas PMV atau PMVS beralih karena hukum kepada 1 (satu) atau lebih PMV atau PMVS lain yang menerima peralihan; dan b. PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada. (4) PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan murni atau tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Pemisahan dari OJK. - 48 - (5) Permohonan untuk memperoleh persetujuan Pemisahan murni atau tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus diajukan oleh Direksi PMV atau PMVS yang akan melakukan Pemisahan kepada OJK dengan menggunakan format 28 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. rancangan akta Pemisahan; b. rancangan akta pendirian PMV atau PMVS yang akan menerima aset, liabilitas, dan Ekuitas; dan c. proyeksi laporan posisi keuangan PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (7) PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap dapat melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah. Pasal 44 (1) PMV atau PMVS dapat melakukan Pemisahan murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a, dengan cara mendirikan PMV atau PMVS baru. (2) PMV atau PMVS baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah sebelum memperoleh izin usaha dari OJK. (3) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi PMV atau PMVS baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal akta Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris, dengan menggunakan format 29 sebagaimana - 49 - tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2). (4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima secara lengkap. Pasal 45 PMV atau PMVS dapat melakukan Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b, dengan cara: a. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas PMV atau PMVS dengan mendirikan PMV atau PMVS baru; atau b. mengalihkan sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas PMV atau PMVS kepada PMV atau PMVS lain yang telah memperoleh izin usaha. Pasal 46 (1) PMV atau PMVS yang melakukan Pemisahan tidak murni setelah memperoleh persetujuan Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) wajib melaporkan pelaksanaan Pemisahan secara tertulis kepada OJK paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan Pemisahan diperoleh. (2) Pelaporan pelaksanaan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan format 30 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan dokumen: a. akta risalah RUPS yang menyetujui Pemisahan; b. akta Pemisahan; dan - 50 - c. perubahan anggaran dasar yang disahkan atau disetujui oleh instansi berwenang, dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar. (3) Dalam hal Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b dilakukan terhadap UUS, berdasarkan pelaporan pelaksanaan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) OJK mencabut izin UUS. Pasal 47 (1) PMV atau PMVS baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a dilarang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah sebelum memperoleh izin usaha dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi PMV atau PMVS baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK. (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 48 (1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) harus diajukan dengan menggunakan format 31 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) kecuali dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f. (3) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f digantikan dengan dokumen lainnya dengan ketentuan dokumen dimaksud menunjukkan pemenuhan ketentuan permodalan PMV atau PMVS. - 51 - Pasal 49 Pemrosesan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (2) serta pemberian persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 47 ayat (3) bagi PMV atau PMVS baru hasil Pemisahan berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Pasal 5. Bagian Ketiga Pemenuhan Ketentuan Lain Pasal 50 (1) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) PMV atau PMVS yang menerima Penggabungan, hasil Peleburan, Pengambilalihan, dan yang menerima peralihan wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan OJK ini. BAB X KONVERSI PMV MENJADI PMVS Pasal 51 (1) PMV dapat melakukan konversi menjadi PMVS dengan terlebih dahulu memperoleh izin dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin usaha dalam rangka konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi PMV harus mengajukan permohonan izin kepada OJK dengan menggunakan format 32 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pengajuan permohonan izin usaha dalam rangka konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan dokumen: a. izin usaha sebagai PMV; - 52 - b. risalah RUPS mengenai pengangkatan anggota DPS; c. akta risalah RUPS yang menyetujui konversi; d. daftar pejabat satu tingkat di bawah Direksi yang paling sedikit mempunyai keahlian dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah, dilampiri dengan bukti menunjukkan keahlian dan/atau pengalaman dimaksud; dan e. rencana kerja terkait kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah untuk 1 (satu) tahun pertama setelah mendapatkan izin usaha sebagai PMVS, yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah dan dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi arus kas, laporan posisi keuangan, dan laporan laba/rugi komprehensif bulanan serta asumsi yang mendasarinya dimulai sejak PMVS melakukan kegiatan operasional. (4) Bagi PMV yang telah melakukan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebelum berlakunya Peraturan OJK ini diundangkan, Direksi PMV wajib menyampaikan permohonan izin usaha sebagai PMVS dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan dengan menggunakan format 33 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (5) Permohonan izin sebagai PMVS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilampiri dengan dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang menyatakan maksud dan tujuan perusahaan menyelenggarakan usaha berdasarkan Prinsip Syariah disertai dengan bukti pengesahan, langkah-langkah yang - 53 - persetujuan, dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b. izin usaha sebagai PMV; c. Surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI); dan d. daftar Kantor Cabang PMV (jika ada). Pasal 52 (1) Dalam memproses permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dan ayat (4), OJK melakukan: a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) atau ayat (5); b. studi kelayakan peluang pasar dan potensi ekonomi atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf e angka 1; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Usaha Modal Ventura Syariah. (2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dokumen permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) atau ayat (5) diterima secara lengkap. (3) Dalam hal OJK menyetujui permohonan izin usaha, OJK mengubah izin usaha PMV menjadi PMVS. (4) Dalam hal OJK menolak permohonan izin usaha, penolakan tersebut disertai dengan penjelasan secara tertulis. BAB XI PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 53 (1) Pencabutan izin usaha PMV atau PMVS dilakukan oleh OJK. - 54 - (2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal PMV atau PMVS: a. bubar karena pailit atau penetapan pengadilan; b. bubar karena keputusan RUPS atau menurut anggaran dasar jangka waktunya berakhir; atau c. melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak lagi menjadi PMV atau PMVS. (3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh OJK, PMV atau PMVS yang akan dicabut izin usahanya karena bubar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau melakukan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib melakukan penyelesaian kewajibannya kepada seluruh Pasangan Usaha, Debitur, investor dana ventura, kreditur, dan/atau pemberi dana yang berkepentingan. penyelesaian kewajiban sebagaimana (4) Prosedur dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memperhatikan kepentingan dari Pasangan Usaha, Debitur, investor dana ventura, kreditur, dan/atau pemberi dana yang berkepentingan. Pasal 54 (1) Dalam hal PMV atau PMVS bubar karena pailit atau penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a, likuidator atau penyelesai harus melaporkan pembubaran tersebut kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan atau penetapan pembubaran. (2) Pelaporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan menggunakan format 34 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan harus dilampiri dengan: a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya keputusan atau penetapan pembubaran; dan - 55 - b. izin usaha sebagai PMV atau PMVS. (3) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS. Pasal 55 (1) PMV atau PMVS yang akan melakukan pembubaran karena keputusan RUPS atau menurut anggaran dasar jangka waktunya berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b atau akan melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak lagi menjadi PMV atau PMVS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c, harus mendapatkan persetujuan dari OJK. (2) Permohonan persetujuan pembubaran karena keputusan RUPS atau menurut anggaran dasar jangka waktunya berakhir atau perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi PMV atau PMVS kepada OJK dengan menggunakan format 35 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan harus dilampiri dengan dokumen: a. rancangan akta pembubaran atau rancangan akta perubahan anggaran dasar yang memuat rencana kegiatan usaha yang baru; dan b. rencana penyelesaian hak dan kewajiban Pasangan Usaha, Debitur, investor dana ventura, kreditur, dan/atau pemberi dana yang berkepentingan. (3) PMV atau PMVS yang telah memperoleh persetujuan pembubaran dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan perubahan kegiatan usaha paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal ditetapkannya akta pembubaran atau sejak perubahan anggaran dasar disahkan oleh instansi berwenang, dengan menggunakan format 36 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang - 56 - merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan harus dilampiri dengan dokumen: a. risalah RUPS; b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; dan c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban Pasangan Usaha, Debitur, investor dana ventura, kreditur, dan/atau pemberi danayang berkepentingan. (4) Berdasarkan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS. Pasal 56 PMV atau PMVS yang telah dicabut izin usahanya dilarang untuk menggunakan kata ventura atau ventura syariah dalam nama perusahaan. BAB XII PENEGAKAN KEPATUHAN Bagian Kesatu Pemberitahuan Pasal 57 (1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (4), Pasal 35 ayat (5), Pasal 40 ayat (4), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (12), Pasal 43 ayat (4), Pasal 44 ayat (2), Pasal 47 ayat (1), Pasal 50, Pasal 51 ayat (4), dan/atau Pasal 53 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan OJK ini diberikan surat pemberitahuan untuk memenuhi ketentuan dimaksud. - 57 - (2) PMV atau PMVS wajib melakukan pemenuhan atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sejak pemberitahuan. tanggal Bagian Kedua Rencana Pemenuhan Pasal 58 (1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 14, dan/atau Pasal 31 ayat (2) Peraturan OJK ini diberikan surat permintaan penyampaian rencana pemenuhan. (2) PMV atau PMVS wajib menyampaikan rencana pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat permintaan penyampaian rencana pemenuhan. (3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan PMV atau PMVS untuk pemenuhan ketentuan yang disertai jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat: a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas; b. penambahan Modal Disetor; c. pembatasan penerimaan pinjaman baru; d. penerimaan pinjaman subordinasi; e. pengalihan sebagian atau seluruh aset; f. pembatasan pembagian laba; g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan pelanggaran ketentuan; h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru; dan/atau i. penggabungan badan usaha. surat - 58 - (5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan Dewan Komisaris. (6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh RUPS dalam hal rencana dimaksud memuat rencana penambahan Modal Disetor atau rencana penggabungan usaha. (7) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari OJK. (8) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, PMV atau PMVS wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut. (9) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan oleh PMV atau PMVS dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh PMV atau PMVS paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara lengkap. (10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9), OJK tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, PMV atau PMVS dapat melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (11) PMV atau PMVS wajib melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XIII SANKSI Pasal 59 (1) PMV atau PMVS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), Pasal 8, Pasal 12 ayat (2), Pasal 15 ayat (6), Pasal - 59 - 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 42 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 46 ayat (1), Pasal 55 ayat (3), Pasal 56, Pasal 57 ayat (2), Pasal 58 ayat (2), Pasal 58 ayat (8), dan/atau Pasal 58 ayat (11) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV atau PMVS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS yang bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. (6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) - 60 - berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku sampai dengan hari kerja pertama berikutnya. (7) PMV atau PMVS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan usaha kecuali untuk pemenuhan ketentuan nilai investasi, penyertaan, dan/atau nilai piutang terhadap total aset (Investment and Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura. (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan PMV atau PMVS tetap melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS yang bersangkutan. (11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat. Pasal 60 (1) PMV yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), dan/atau Pasal - 61 - 23 ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan UUS; atau c. pencabutan izin UUS. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS. (5) Sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS dan pembekuan kegiatan UUS tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan UUS diterbitkan. (6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan UUS berlaku sampai dengan hari kerja pertama berikutnya. (7) PMV yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan UUS kecuali untuk pemenuhan ketentuan nilai investasi, penyertaan, dan/atau nilai piutang terhadap total aset - 62 - (Investment and Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura. (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan UUS. (9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan UUS masih berlaku dan PMV yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin UUS. (10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin UUS yang bersangkutan. (11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat. Pasal 61 PMV atau PMVS yang menyampaikan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 15 ayat (6), Pasal 22 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 42 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 46 ayat (1), dan/atau Pasal 55 ayat (3) Peraturan OJK ini namun - 63 - telah lewat dari jangka waktu pelaporan, dikenakan sanksi administratif peringatan dan berakhir dengan sendirinya. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 62 PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan maka izin usaha sebagai PMV dinyatakan masih berlaku. Pasal 63 Ketentuan mengenai penggunaan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) tidak berlaku bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan sepanjang PMV tidak melakukan perubahan nama. Pasal 64 (1) Ketentuan mengenai batasan kepemilikan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak berlaku bagi PMV yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan sepanjang PMV tidak melakukan perubahan modal, perubahan komposisi Pemegang Saham, dan/atau perubahan Pemegang Saham. (2) Bagi PMV yang melebihi batasan kepemilikan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan melakukan perubahan modal, perubahan komposisi Pemegang Saham, dan/atau perubahan Pemegang Saham, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dinyatakan berlaku sejak tanggal 31 Desember 2020. Pasal 65 PMV yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan telah memperdagangkan - 64 - sahamnya di bursa, tidak wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 11. Pasal 66 Bagi PMV yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai struktur organisasi sebagaimana dimaksud Pasal 14, ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, ketentuan mengenai pengembangan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dan ketentuan mengenai keanggotaan pada asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 67 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap PMV berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012 Perusahaan Modal Ventura dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) PMV yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 68 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai perizinan usaha dan kelembagaan bagi PMV, PMVS, dan UUS tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 69 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. tentang - 65 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 316 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 34/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title> <set_date> 21 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 20 /POJK.04/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan likuiditas pasar EBA-SP diperlukan langkah strategis untuk mengoptimalkan peran Penerbit sebagai penggerak pasar EBA-SP di Indonesia; b. bahwa untuk mengoptimalkan peran Penerbit tersebut, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan agar dapat disesuaikan dengan kondisi pasar dan perekonomian saat ini; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 358, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5632); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN. Pasal I Ketentuan Pasal 9 dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 358, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5632) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan Piutang EBA-SP harus: - 3 - a. diperoleh Penerbit dari Kreditur Asal melalui jual beli putus/lepas dan dijual Penerbit kepada pemegang EBA-SP melalui jual beli putus/lepas secara hukum; atau b. diperoleh Penerbit untuk kepentingan pemegang EBA-SP dari Kreditur Asal melalui jual beli putus/lepas secara hukum. (2) Jual beli putus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung pendapat Konsultan Hukum. (3) Jual beli putus/lepas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan jual putus/lepas menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum dan wajib dilakukan secara konsisten serta didukung dengan pendapat Akuntan. (4) Kreditur Asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan pembelian atas EBA-SP paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total nilai Kumpulan Piutang. (4a) Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat melakukan pembelian atas EBA-SP pada saat penawaran perdana paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total nilai Kumpulan Piutang. (4b) Dalam hal penawaran perdana EBA-SP tidak seluruhnya terserap oleh pasar, Penerbit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat melakukan pembelian atas EBA-SP melebihi 10% (sepuluh persen) dari total nilai Kumpulan Piutang. (5) Hak pemegang EBA-SP atas Kumpulan Piutang wajib dinyatakan dalam Prospektus EBA-SP atau Dokumen Keterbukaan EBA-SP dan didukung pendapat hukum dari Konsultan Hukum yang menyatakan hak pemegang EBA-SP adalah sebagaimana dimuat dalam Prospektus EBA-SP atau Dokumen Keterbukaan EBA-SP. Pasal II Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 4 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 120 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 20 /POJK.04/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN I. UMUM Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) adalah efek beragun aset yang diterbitkan oleh Penerbit yang portofolionya berupa Kumpulan Piutang dan merupakan bukti kepemilikan secara proporsional atas Kumpulan Piutang yang dimiliki bersama oleh sekumpulan pemegang EBA-SP. Dalam sekuritisasi ini dimana aset keuangan Kreditur Asal dijual kepada masyarakat melalui penerbitan EBA-SP, aset keuangan Kreditur Asal yang semula tidak dapat segera digunakan atau ditransformasi menjadi aset likuid sehingga Kreditur Asal dapat segera kembali melakukan pembiayaan perumahan kepada masyarakat. Penerbitan EBA-SP diharapkan tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan industri pembiayaan sekunder perumahan di tanah air, tetapi juga diyakini mampu memberikan manfaat lain berupa semakin bertambahnya instrumen keuangan yang menjadi alternatif investasi bagi pemodal dan masyarakat. Dalam rangka meningkatkan likuiditas EBA-SP serta mengoptimalkan peran Penerbit dalam melaksanakan tugasnya selaku penjaga likuiditas EBA-SP dalam pembiayaan sekunder perumahan, diperlukan perubahan salah satu ketentuan dalam Peraturan Otoritas - 2 - Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan Dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6067
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 20/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PENERBITAN DAN PELAPORAN EFEK BERAGUN ASET BERBENTUK SURAT PARTISIPASI DALAM RANGKA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <changed_reg> '23/POJK.04/2014' </changed_reg> <related_reg> '23/POJK.04/2014', '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 52 /POJK.04/2016 TENTANG PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk dengan pengaturan mengenai prosedur penangguhan Penawaran Umum beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap prosedur penangguhan Penawaran Umum, peraturan mengenai prosedur penangguhan Penawaran Umum yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prosedur Penangguhan Penawaran Umum; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 2. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik. BAB II PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM Pasal 2 Otoritas Jasa Keuangan dapat menangguhkan Penawaran Umum setelah menyampaikan pemberitahuan kepada Emiten dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek, jika diperoleh kesimpulan bahwa: a. Pernyataan Pendaftaran, Prospektus, atau dokumen - 3 - lainnya yang disampaikan sebagai bagian dari proses pendaftaran Efek, mencakup informasi dan/atau fakta material yang: 1. palsu, menyesatkan, atau mengabaikan fakta material yang diperlukan pada saat itu dan sesuai dengan keadaan waktu pernyataan tersebut dibuat; atau 2. menjadi tidak benar, menyesatkan, atau mengabaikan fakta material karena terjadinya perubahan keadaan dan keterangan tambahan yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan tersebut tidak disampaikan kepada masyarakat; b. Emiten atau Pihak lain yang terafiliasi dengan Emiten dalam Penawaran Umum, telah melanggar Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya; atau c. setiap Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi yang diminta Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 3 Keputusan penangguhan Penawaran Umum dikeluarkan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal. Pasal 4 Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal dapat mencabut penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila yang menjadi dasar ketetapan penangguhan telah diselesaikan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 5 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas - 4 - Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 6 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada masyarakat. - 5 - BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-45/PM.1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Prosedur Penangguhan Penawaran Umum, beserta Peraturan Nomor IX.A.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 281 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 52 /POJK.04/2016 TENTANG PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Prosedur Penangguhan Penawaran Umum yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-45/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Prosedur Penangguhan Penawaran Umum, beserta Peraturan Nomor IX.A.4 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prosedur Penangguhan Penawaran Umum. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5977
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 52/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PROSEDUR PENANGGUHAN PENAWARAN UMUM </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-45/PM.1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-45/PM.1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.4' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 58 /POJK.04/2015 TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pemeliharaan dokumen oleh Perusahaan Pemeringkat Efek, maka peraturan mengenai Pemeliharaan Dokumen oleh Perusahaan Pemeringkat Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Perusahaan Pemeringkat Efek; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan pemeringkatan dan memberikan peringkat. 2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu oleh suatu Pihak: a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak yang diperingkat (instrument rating). - 3 - BAB II PEMELIHARAAN DOKUMEN Pasal 2 Setiap Perusahaan Pemeringkat Efek yang mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib mengadministrasikan, menyimpan, dan memelihara dokumen yang meliputi catatan, pembukuan, data dan informasi atau keterangan yang dibuat atau diterima berkaitan dengan kegiatan operasionalnya paling sedikit dalam salah satu bentuk dokumen tercetak (hardcopy) atau dokumen elektronik (softcopy). Pasal 3 Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit terdiri dari: a. dokumen yang berkaitan dengan tata cara dan prosedur perizinan Perusahaan Pemeringkat Efek; b. dokumen yang berkaitan dengan setiap hasil Peringkat yang dikeluarkan, yang memuat informasi tentang: 1. 2. identitas setiap analis yang terlibat di dalam penetapan hasil Peringkat; identitas anggota Komite Pemeringkat yang terlibat dalam proses penetapan hasil Peringkat sebelum hasil Peringkat tersebut dikeluarkan; 3. penjelasan atas hasil Peringkat tersebut dikeluarkan berdasarkan permintaan pihak yang diperingkat atau tidak berdasarkan permintaan pihak yang diperingkat; dan 4. tanggal setiap kegiatan yang berkaitan dengan hasil Peringkat yang ditetapkan; c. dokumen tentang pelaksanaan setiap tahap prosedur pemeringkatan, termasuk catatan internal, informasi non-publik dan kertas kerja yang digunakan sebagai dasar untuk penetapan Peringkat; - 4 - d. dokumen tentang komunikasi tertulis eksternal dan internal, termasuk komunikasi elektronik, yang diterima dan dikirim oleh Perusahaan Pemeringkat Efek dan pegawainya berkaitan dengan inisiasi, penetapan, pemantauan, perubahan dan pencabutan hasil Peringkat; e. dokumen yang memuat informasi tentang jenis jasa dan produk yang ditawarkan; f. dokumen pemasaran yang dipublikasikan atau dibagikan kepada publik; g. dokumen keuangan yang meliputi: 1. laporan keuangan tahunan; 2. catatan pendukung dalam penyusunan laporan keuangan; 3. catatan yang menunjukkan jumlah pendapatan yang diterima dari Pihak yang menggunakan jasa Perusahaan Pemeringkat Efek untuk mengeluarkan Peringkat atau memantau Peringkat, termasuk informasi antara lain: a) identitas dan alamat setiap pihak tersebut; dan b) hasil Peringkat yang ditetapkan atau dikaji ulang untuk pihak tersebut; 4. catatan yang menunjukkan jumlah pendapatan yang diterima dari setiap pihak yang meminta pemeringkatan dan atau laporan Peringkat beserta identitas dan alamat pemesan; dan h. laporan kepatuhan (compliance officer reports). Pasal 4 Pengadministrasian, penyimpanan dan pemeliharaan dokumen dalam bentuk dokumen tercetak (hardcopy) atau dokumen elektronik (softcopy) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 wajib memenuhi peraturan perundang- undangan yang berlaku. - 5 - Pasal 5 Seluruh dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib tersedia setiap saat untuk kepentingan pembinaan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 6 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dibidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan - 6 - sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 7 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 8 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-154/BL/2009 tanggal 22 Juni 2009 tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Perusahaan Pemeringkat Efek beserta Peraturan X.F.5 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 7 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 409 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 58 /POJK.04/2015 TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan Nomor X.F.5, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep- 154/BL/2009 tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Perusahaan Pemeringkat Efek, tanggal 22 Juni 2009. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Dokumen terkait tata cara dan prosedur perizinan Perusahaan Pemeringkat Efek sebagaimana diatur dalam POJK terkait dengan perizinan Perusahaan Pemeringkat Efek. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5827
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 58/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-154/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-154/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Peraturan X.F.5' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
- 1 - SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 57 /POJK.04/2017 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa seiring dengan perkembangan pasar modal Indonesia dan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah, perlu dilakukan peningkatan kualitas perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek dan perantara pedagang efek antara lain dengan meningkatkan kinerja perusahaan efek, meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan, dan meningkatkan transparansi atas praktik tata kelola perusahaan serta nilai etika yang berlaku umum, melalui peningkatan tata kelola perusahaan yang baik; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan - 2 - Tata Kelola Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi. 2. Tata Kelola Perusahaan Efek yang Baik yang selanjutnya disebut Tata Kelola adalah tata kelola Perusahaan Efek yang menerapkan prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (responsibility), independensi kewajaran (fairness). (accountability), pertanggungjawaban (independency), dan 3. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Efek yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada - 3 - Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar Perusahaan Efek. 4. Direksi adalah organ Perusahaan Efek yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perusahaan Efek untuk kepentingan Perusahaan Efek, sesuai dengan maksud dan tujuan Perusahaan Efek serta mewakili Perusahaan Efek, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 5. Dewan Komisaris adalah organ Perusahaan Efek yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 6. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang berasal dari luar Perusahaan Efek dan memenuhi persyaratan sebagai Komisaris Independen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 7. Pemegang Saham Pengendali adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung memiliki: a. saham paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham yang dikeluarkan oleh satu Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan mempunyai hak suara; atau b. saham kurang dari 20% (dua puluh persen) dari saham yang dikeluarkan oleh satu Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek. 8. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana kegiatan usaha Perusahaan Efek dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, termasuk - 4 - rencana untuk meningkatkan kinerja usaha, serta strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan, dengan tetap memperhatikan pemenuhan ketentuan kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko. 9. Situs Web adalah kumpulan halaman web yang memuat informasi atau data yang dapat diakses melalui suatu sistem jaringan internet. 10. Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akuntan publik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. 11. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 12. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual. 13. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain. 14. Wakil Penjamin Emisi Efek adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek. 15. Wakil Perantara Pedagang Efek adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. 16. Anggota Bursa Efek adalah Perantara Pedagang Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan atau sarana Bursa Efek sesuai dengan peraturan Bursa Efek. - 5 - 17. Afiliasi adalah: a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari Pihak tersebut; c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama; d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut; e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama; atau f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama. Pasal 2 (1) Perusahaan Efek yang wajib memenuhi ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini adalah Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang merupakan Anggota Bursa Efek. (2) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerapkan Tata Kelola dalam setiap kegiatan usaha pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. (3) Penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut: a. komitmen pemegang saham dan RUPS; b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi; c. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris; d. larangan Direksi dan Dewan Komisaris; e. remunerasi Direksi dan Dewan Komisaris; f. etika bisnis; - 6 - g. pengendalian internal; h. Rencana Bisnis; i. j. Situs Web; dan k. pelaporan. BAB II KOMITMEN PEMEGANG SAHAM DAN RUPS Bagian Kesatu Komitmen Pemegang Saham Pasal 3 (1) Pemegang saham Perusahaan Efek wajib memenuhi persyaratan integritas dan kelayakan keuangan. (2) Pemenuhan persyaratan integritas dan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Persyaratan integritas dan kelayakan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Pasal 4 (1) Pemegang saham dilarang melakukan intervensi dalam pelaksanaan kegiatan usaha dan/atau operasional Perusahaan Efek. (2) Pemegang saham yang menjabat sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris wajib mendahulukan kepentingan Perusahaan Efek tersebut. kebijakan sistem pelaporan pelanggaran dan kebijakan sistem pengaduan nasabah; - 7 - Bagian Kedua RUPS Pasal 5 (1) Perusahaan Efek wajib menyelenggarakan RUPS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar Perusahaan Efek. (2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didahului pemanggilan RUPS. (3) Pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. (4) Pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat informasi: a. tanggal dan waktu penyelenggaraan RUPS; b. tempat penyelenggaraan RUPS; c. mata acara rapat; dan d. informasi yang menyatakan bahan terkait mata acara rapat tersedia bagi pemegang saham sejak tanggal dilakukannya pemanggilan RUPS sampai dengan RUPS diselenggarakan. (5) Pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan surat tercatat, surat elektronik, Situs Web, dan/atau dengan iklan dalam surat kabar. (6) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) dapat tidak dilakukan sepanjang seluruh pemegang saham dengan hak suara hadir dalam RUPS dan keputusan RUPS tersebut tetap sah jika disetujui dengan suara bulat. Pasal 6 (1) Perusahaan Efek wajib menyediakan bahan mata acara rapat bagi pemegang saham. - 8 - (2) Bahan mata acara rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dalam bentuk salinan dokumen fisik dan/atau salinan dokumen elektronik. (3) Salinan dokumen fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan secara cuma-cuma di kantor Perusahaan Efek jika diminta secara tertulis oleh pemegang saham. Pasal 7 Pengambilan keputusan RUPS wajib: a. mendukung pengembangan operasional Perusahaan Efek yang sehat dan pasar modal Indonesia; dan b. mendahulukan kepentingan nasabah. Pasal 8 (1) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dituangkan dalam risalah RUPS dan didokumentasikan dengan baik. (2) Perusahaan Efek wajib menyampaikan ringkasan risalah RUPS dan bukti pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan RUPS. (3) Ringkasan risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memuat informasi paling sedikit: a. tanggal RUPS, tempat pelaksanaan RUPS, waktu pelaksanaan RUPS, dan mata acara RUPS; b. anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang hadir pada saat RUPS; c. jumlah saham dengan hak suara yang sah yang hadir pada saat RUPS dan persentasenya dari jumlah seluruh saham yang mempunyai hak suara yang sah; d. mekanisme pengambilan keputusan RUPS; e. hasil pemungutan suara yang meliputi jumlah suara setuju, tidak setuju, dan abstain (tidak memberikan suara) untuk setiap mata acara rapat, jika - 9 - pengambilan keputusan dilakukan dengan pemungutan suara; dan f. keputusan RUPS. Pasal 9 (1) Pemegang saham dapat mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat seluruh pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan. (2) Pengambilan keputusan yang mengikat di luar RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Keputusan yang mengikat di luar RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan Perusahaan Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah seluruh pemegang saham menandatangani keputusan di luar RUPS tersebut. BAB III DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Bagian Kesatu Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Direksi Pasal 10 Penentuan jumlah dan komposisi anggota Direksi harus memperhatikan: a. ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek; b. kondisi Perusahaan Efek; c. keberagaman pengetahuan, pengalaman dan/atau keahlian yang dibutuhkan; dan d. efektivitas dalam pengambilan keputusan. - 10 - Pasal 11 (1) Setiap anggota Direksi wajib memenuhi persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal. (2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. (4) Dalam hal anggota Direksi tidak lagi memenuhi persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Direksi dilarang melakukan tindakan hukum sebagai anggota Direksi. Pasal 12 (1) Direksi bertugas menjalankan dan bertanggung jawab atas pengurusan Perusahaan Efek untuk kepentingan Perusahaan Efek sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan dalam anggaran dasar. (2) Tugas dan tanggung jawab atas pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kewenangan Direksi yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar. (3) Setiap anggota Direksi wajib melaksanakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab. - 11 - (4) Direksi wajib memastikan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (5) Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Direksi dapat membentuk komite dan/atau unit pendukung Direksi. (6) Direksi wajib memastikan bahwa komite dan/atau unit pendukung Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menjalankan tugasnya secara efektif. Pasal 13 Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan, dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris. Pasal 14 Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari fungsi manajemen risiko, fungsi kepatuhan dan audit internal, hasil pengawasan Dewan Komisaris, dan hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 15 Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui rapat Direksi. Pasal 16 (1) Direksi wajib mengadakan rapat Direksi paling sedikit 1 (satu) kali setiap 2 (dua) bulan. (2) Rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan jika dihadiri mayoritas dari seluruh anggota Direksi. (3) Setiap anggota Direksi wajib menghadiri paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 1 (satu) tahun. (4) Keputusan rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil: - 12 - a. berdasarkan musyawarah mufakat; atau b. berdasarkan suara terbanyak, dalam hal musyawarah mufakat tidak tercapai. (5) Hasil rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk adanya perbedaan pendapat serta alasannya wajib dituangkan dalam risalah rapat dan ditandatangani oleh pimpinan rapat serta didokumentasikan dengan baik. Pasal 17 (1) Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pemahaman untuk membantu pelaksanaan tugas, anggota Direksi wajib mengikuti program pendidikan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek. (2) Selain mengikuti program pendidikan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi dapat mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan lainnya. Bagian Kedua Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris Pasal 18 (1) Penentuan jumlah dan komposisi anggota Dewan Komisaris harus memperhatikan: a. ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek; b. kondisi Perusahaan Efek; c. keberagaman pengetahuan, pengalaman, dan/atau keahlian yang dibutuhkan; dan d. efektivitas dalam pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi. yang - 13 - (2) Jumlah anggota Dewan Komisaris tidak melebihi jumlah anggota Direksi. Pasal 19 (1) Perusahaan Efek wajib memiliki Komisaris Independen. (2) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri lebih dari 2 (dua) orang, persentase jumlah Komisaris Independen wajib paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh anggota Dewan Komisaris. Pasal 20 (1) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal. (2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. (4) Dalam hal anggota Dewan Komisaris tidak lagi memenuhi persyaratan integritas, reputasi keuangan, serta kompetensi dan keahlian di bidang pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Dewan Komisaris dilarang melakukan tindakan hukum sebagai anggota Dewan Komisaris. Pasal 21 (1) Dewan Komisaris bertugas dan bertanggung jawab atas pengawasan terhadap kebijakan pengurusan, jalannya - 14 - pengurusan Perusahaan Efek pada umumnya, dan pemberian nasihat kepada Direksi. (2) Dalam hal Dewan Komisaris ikut mengambil keputusan mengenai hal yang ditetapkan dalam anggaran dasar atau ketentuan peraturan perundang-undangan, pengambilan keputusan tersebut dilakukan dalam fungsinya sebagai pengawas dan pemberi nasihat kepada Direksi. (3) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (4) Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara independen. Pasal 22 Komisaris Independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. bukan merupakan orang yang bekerja atau mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, mengendalikan, atau mengawasi kegiatan Perusahaan Efek tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir, kecuali untuk pengangkatan kembali sebagai Komisaris Independen Perusahaan Efek pada periode berikutnya; b. tidak mempunyai saham, baik langsung maupun tidak langsung pada Perusahaan Efek; c. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Efek, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Efek; dan d. tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perusahaan Efek. Pasal 23 (1) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, - 15 - Dewan Komisaris wajib melaksanakan fungsi audit melalui Komisaris Independen. (2) Fungsi audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penelaahan atas: a. informasi keuangan yang akan dikeluarkan Perusahaan Efek kepada publik dan/atau pihak otoritas; b. independensi, ruang lingkup penugasan, dan biaya sebagai dasar pada penunjukan Akuntan Publik; c. rencana dan pelaksanaan audit oleh Akuntan Publik; dan d. pelaksanaan fungsi manajemen risiko dan fungsi kepatuhan dan audit internal Perusahaan Efek. (3) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dapat membentuk komite audit yang diketuai oleh Komisaris Independen. Pasal 24 Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari fungsi manajemen risiko, fungsi kepatuhan dan audit internal, hasil pengawasan Dewan Komisaris, dan hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 25 (1) Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, selain dapat membentuk komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) Dewan Komisaris dapat membentuk komite lainnya. (2) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pasal 23 ayat (3) menjalankan tugasnya secara efektif. Pasal 26 (1) Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan jika mengetahui indikasi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa - 16 - keuangan yang dapat membahayakan kelangsungan kegiatan usaha Perusahaan Efek, yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pegawai Perusahaan Efek paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak diketahui indikasi pelanggaran. (2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan rapat Dewan Komisaris dengan mengundang Direksi untuk membahas terkait indikasi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 27 (1) Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. (2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan jika dihadiri mayoritas dari seluruh anggota Dewan Komisaris. (3) Setiap anggota Dewan Komisaris wajib menghadiri paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 1 (satu) tahun. (4) Keputusan rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil: a. berdasarkan musyawarah mufakat; atau b. berdasarkan suara terbanyak, dalam hal musyawarah mufakat tidak tercapai. (5) Hasil rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk adanya perbedaan pendapat serta alasannya wajib dituangkan dalam risalah rapat dan ditandatangani oleh pimpinan rapat serta didokumentasikan dengan baik. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) tidak berlaku untuk Perusahaan Efek yang hanya memiliki 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris. - 17 - Pasal 28 (1) Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pemahaman untuk membantu pelaksanaan tugasnya, anggota Dewan Komisaris Perusahaan Efek wajib mengikuti program pendidikan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek. (2) Selain mengikuti program pendidikan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Dewan Komisaris dapat mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan lainnya. Bagian Ketiga Larangan Direksi dan Dewan Komisaris Pasal 29 Anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dilarang: a. b. menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain; dan mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari kegiatan Perusahaan Efek baik secara langsung maupun tidak langsung selain penghasilan yang sah. BAB IV REMUNERASI DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Pasal 30 (1) Struktur remunerasi bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dapat berupa: a. gaji; b. honorarium; c. insentif; dan/atau d. tunjangan yang bersifat tetap dan/atau variabel. (2) Remunerasi bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris harus memperhatikan: - 18 - a. remunerasi yang berlaku pada industri dan skala usaha Perusahaan Efek; b. tugas, tanggung jawab, dan wewenang anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dikaitkan dengan risiko dan pencapaian tujuan dan kinerja Perusahaan Efek baik dalam jangka pendek ataupun dalam jangka panjang; c. target kinerja atau kinerja masing-masing anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; dan d. keseimbangan tunjangan antara yang bersifat tetap dan bersifat variabel. BAB V ETIKA BISNIS Bagian Kesatu Perilaku Perusahaan Efek Dalam Menjalankan Kegiatan Usaha Pasal 31 Perusahaan Efek wajib: a. menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan etika bisnis yang baik, sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai perilaku Perusahaan Efek dalam menjalankan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau sebagai Perantara Pedagang Efek; dan/atau b. menerapkan prinsip mengenal nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan. - 19 - Bagian Kedua Kode Etik Perusahaan Efek dan Pedoman Direksi atau Dewan Komisaris Pasal 32 (1) Perusahaan Efek wajib memiliki kode etik yang berlaku bagi seluruh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan karyawan/pegawai, serta pendukung organ yang dimiliki Perusahaan Efek. (2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Direksi dan Dewan Komisaris, paling sedikit memuat: a. nilai perusahaan; b. prinsip pelaksanaan tugas Direksi, Dewan Komisaris, karyawan/pegawai, dan/atau pendukung organ yang dimiliki Perusahaan Efek yang dilakukan dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan kehati-hatian; c. kebijakan Perusahaan Efek terkait benturan kepentingan; d. penanganan pelanggaran kode etik; dan e. akuntabilitas pengenaan sanksi pelanggaran kode etik. (3) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disosialisasikan kepada seluruh karyawan/pegawai Perusahaan Efek. (4) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan/ pegawai, dan/atau pendukung organ yang dimiliki Perusahaan Efek wajib melaporkan dugaan pelanggaran kode etik melalui sistem pelaporan pelanggaran terkait dengan adanya dugaan pelanggaran terhadap kode etik. Pasal 33 (1) Perusahaan Efek wajib memiliki pedoman yang mengikat setiap anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. - 20 - (2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Direksi dan Dewan Komisaris, paling sedikit memuat: a. landasan hukum; b. deskripsi tugas, tanggung jawab, dan wewenang; c. kebijakan rapat, termasuk kebijakan kehadiran dan tata cara pengambilan keputusan dalam rapat, dan penyusunan risalah rapat; dan d. pelaporan dan pertanggungjawaban. BAB VI PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 34 Perusahaan Efek wajib melaksanakan pengendalian internal Perusahaan Efek. Pasal 35 (1) Dalam melaksanakan pengendalian internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Perusahaan Efek wajib membentuk fungsi: a. manajemen risiko; dan b. kepatuhan dan audit internal. (2) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah wajib membentuk dan memenuhi pelaksanaan fungsi: a. pemasaran; b. pembukuan; c. kustodian; d. teknologi informasi; dan e. riset (jika diperlukan), sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang - 21 - mengatur mengenai pengendalian internal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Pasal 36 (1) Pegawai yang melaksanakan masing-masing fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilarang merangkap untuk melaksanakan fungsi lainnya kecuali diatur lain dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara independen. Pasal 37 (1) Pelaksanaan fungsi manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a paling sedikit mencakup: a. penyusunan kebijakan manajemen risiko; b. pengujian, evaluasi, dan rekomendasi perbaikan yang objektif atas pelaksanaan sistem manajemen risiko, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau dalam frekuensi yang lebih sering dalam hal terdapat perubahan faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Perusahaan Efek secara signifikan; dan c. pemantauan, identifikasi, pengukuran, dan tindak lanjut terkait hal yang berhubungan dengan manajemen risiko yang memerlukan perhatian Direksi. (2) Kebijakan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling sedikit memuat: a. b. prinsip kehati-hatian; c. penyediaan modal yang mencukupi; strategi dan kerangka manajemen risiko yang komprehensif; - 22 - d. pemenuhan ketentuan peraturan perundang- undangan; e. sistem deteksi dini; f. identifikasi dan diversifikasi risiko; g. pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko; h. limit risiko yang diambil dan toleransi risiko terhadap kecukupan permodalan; mitigasi risiko; dan i. j. keterbukaan dan budaya sadar risiko. (3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi pelaksanaan fungsi manajemen risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pengendalian internal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Pasal 38 (1) Pelaksanaan fungsi kepatuhan dan audit internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b paling sedikit mencakup: a. penyusunan kebijakan kepatuhan dan kebijakan audit internal; b. pengujian, evaluasi, dan rekomendasi atas kesesuaian kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki Perusahaan Efek dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau dalam frekuensi yang lebih sering dalam hal terdapat perubahan faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Perusahaan Efek secara signifikan; c. penyusunan dan pelaksanaan program audit yang memadai terhadap keseluruhan unit kerja yang - 23 - pelaksanaannya mempertimbangkan tingkat risiko pada masing-masing unit kerja; dan d. pemantauan, identifikasi, pengukuran, dan tindak lanjut terkait hal yang berhubungan dengan kepatuhan dan audit internal yang memerlukan perhatian Direksi. (2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pengendalian internal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Pasal 39 (1) Pelaksana fungsi manajemen risiko dan fungsi kepatuhan dan audit internal bertanggung jawab kepada Direksi. (2) Laporan pelaksanaan fungsi manajemen risiko dan fungsi kepatuhan dan audit internal disampaikan kepada Direksi dan ditembuskan kepada Dewan Komisaris. BAB VII RENCANA BISNIS Pasal 40 Perusahaan Efek wajib memiliki Rencana Bisnis yang realistis, terukur, dan berkesinambungan. Pasal 41 (1) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan Komisaris atau RUPS sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. - 24 - (2) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 paling sedikit memuat: a. penetapan sasaran Perusahaan Efek yang harus dicapai dalam jangka waktu 1 (satu) tahun; b. strategi pencapaian sasaran Perusahaan Efek; dan c. proyeksi keuangan 1 (satu) tahun ke depan. (3) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 disusun dengan memperhatikan: a. rencana strategis Perusahaan Efek; b. faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi kelangsungan kegiatan usaha Perusahaan Efek; c. prinsip kehati-hatian; dan d. penerapan manajemen risiko. Pasal 42 (1) Direksi bertanggung jawab atas pelaksanaan Rencana Bisnis dan sosialisasi Rencana Bisnis kepada seluruh karyawan/pegawai Perusahaan Efek. (2) Dewan Komisaris bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis. Pasal 43 (1) Perusahaan Efek wajib menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap 1 (satu) tahun sekali. (2) Perusahaan Efek wajib menyampaikan realisasi atas Rencana Bisnis tahun sebelumnya kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Perusahaan Efek untuk melakukan penyesuaian dalam hal Rencana Bisnis yang disampaikan dinilai belum sepenuhnya memenuhi ketentuan terkait dengan kegiatan Perusahaan Efek. (4) Perusahaan Efek wajib menyampaikan penyesuaian terhadap Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 - 25 - (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat dari Otoritas Jasa Keuangan. (5) Perusahaan Efek hanya dapat melakukan perubahan terhadap Rencana Bisnis sebanyak 1 (satu) kali, paling lambat pada hari kerja terakhir di bulan Juni tahun berjalan, kecuali ditentukan lain atas permintaan dari Otoritas Jasa Keuangan. (6) Perubahan terhadap Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (5), wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan Rencana Bisnis dimaksud. BAB VIII KEBIJAKAN SISTEM PELAPORAN PELANGGARAN DAN KEBIJAKAN SISTEM PENGADUAN NASABAH Pasal 44 (1) Perusahaan Efek wajib memiliki kebijakan sistem pelaporan pelanggaran. (2) Kebijakan sistem pelaporan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat: a. sistematika proses pelaporan pelanggaran; b. jenis pelanggaran yang dapat dilaporkan; c. cara penyampaian laporan pelanggaran; d. perlindungan dan jaminan kerahasiaan pelapor; e. penanganan pelaporan pelanggaran; f. g. hasil penanganan dan tindak lanjut laporan pelanggaran; dan h. evaluasi secara berkala oleh Direksi dan Dewan Komisaris terhadap kebijakan sistem pelaporan pelanggaran. pihak yang mengelola penanganan laporan pelanggaran; - 26 - Pasal 45 (1) Perusahaan Efek wajib memiliki kebijakan penanganan pengaduan nasabah. (2) Kebijakan penanganan pengaduan nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat: a. sistematika proses pengaduan; b. jangka waktu penanganan pengaduan; c. penanganan pengaduan; d. unit kerja atau pihak yang mengelola penanganan pengaduan; e. hasil penanganan dan tindak lanjut pengaduan; dan f. pengaduan nasabah. (3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memenuhi kebijakan penanganan pengaduan nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pengendalian internal Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. BAB IX SITUS WEB Pasal 46 (1) Perusahaan Efek wajib memiliki Situs Web. (2) Situs Web sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencerminkan identitas Perusahaan Efek dan memperhatikan ketentuan undangan. evaluasi secara berkala oleh Direksi dan Dewan Komisaris terhadap kebijakan penanganan peraturan perundang- - 27 - Pasal 47 Informasi yang wajib dimuat dalam Situs Web Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 paling sedikit meliputi: a. informasi umum; b. informasi bagi nasabah; dan c. informasi Tata Kelola. Pasal 48 (1) Informasi umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 47 huruf a, paling sedikit memuat: a. nama, alamat dan kontak kantor pusat, alamat dan kontak kantor selain kantor pusat, dan agen Perusahaan Efek (jika ada) yang dapat dihubungi; b. riwayat singkat Perusahaan Efek; c. struktur organisasi Perusahaan Efek; d. profil Direksi, Dewan Komisaris, komite dan/atau unit pendukung (jika ada); e. informasi mengenai Direksi dan pegawai yang memiliki izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek dan/atau Wakil Perantara Pedagang Efek; dan f. nomor izin usaha Perusahaan Efek. (2) Informasi bagi nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b, paling sedikit memuat: a. laporan keuangan berkala; b. keputusan RUPS; dan c. layanan pengaduan nasabah dan pelaporan pelanggaran. (3) Informasi Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf c, paling sedikit memuat: a. pedoman kerja Direksi dan Dewan Komisaris; b. kode etik; c. fungsi dan kebijakan manajemen risiko; dan d. fungsi dan kebijakan kepatuhan dan audit internal. - 28 - BAB X PELAPORAN Pasal 49 (1) Perusahaan Efek wajib menyampaikan laporan berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: a. laporan keuangan berkala; b. laporan kegiatan; dan c. laporan Akuntan Publik atas modal kerja bersih disesuaikan tahunan. (2) Ketentuan penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai kewajiban penyampaian laporan berkala oleh Perusahaan Efek. Pasal 50 (1) Perusahaan Efek wajib menyusun laporan penerapan Tata Kelola setiap tahun untuk posisi akhir bulan Desember. (2) Laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi: a. transparansi; 1. pengungkapan bentuk penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf g, huruf i, huruf j, dan huruf k; 2. kepemilikan saham anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris serta hubungan keuangan dan/atau hubungan keluarga anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dengan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lain, dan/atau pemegang saham Perusahaan Efek; 3. total remunerasi dan fasilitas lain yang diterima Direksi dan Dewan Komisaris; - 29 - 4. penyimpangan internal yang terjadi dan upaya penyelesaian oleh Perusahaan Efek; 5. jenis, jumlah, dan upaya penyelesaian permasalahan hukum baik hukum perdata maupun hukum pidana dan telah diajukan melalui proses hukum (jika ada); dan 6. benturan kepentingan dan/atau transaksi dengan pihak Afiliasi; b. hasil penilaian sendiri atas penerapan Tata Kelola; dan/atau c. rencana tindak bagi Perusahaan Efek yang memperoleh peringkat komposit 4 atau 5. (3) Laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan secara komparatif dengan tahun sebelumnya. (4) Perusahaan Efek wajib menyampaikan laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap 1 (satu) tahun sekali. (5) Laporan penerapan Tata Kelola pada ayat (4) wajib disampaikan Perusahaan Efek paling lambat setiap tanggal 15 bulan kedua pada tahun berikutnya. (6) Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari libur, laporan penerapan Tata Kelola disampaikan paling lambat pada hari kerja berikutnya. (7) Dalam hal Perusahaan Efek menyampaikan laporan penerapan Tata Kelola melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penghitungan jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Penyampaian laporan penerapan Tata Kelola untuk pertama kali, tidak disajikan secara komparatif dengan tahun sebelumnya. - 30 - Pasal 51 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Perusahaan Efek untuk melakukan revisi terhadap laporan penerapan Tata Kelola apabila berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, laporan dimaksud tidak sesuai dengan kondisi Perusahaan Efek yang sebenarnya. (2) Revisi laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 52 (1) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja terakhir di bulan November. (2) Laporan realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 15 Februari. (3) Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, laporan realisasi Rencana Bisnis disampaikan paling lambat pada hari kerja berikutnya. (4) Dalam hal Perusahaan Efek menyampaikan laporan realisasi Rencana Bisnis melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan realisasi Rencana Bisnis dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian laporan realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Laporan realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disajikan secara komparatif dengan Rencana Bisnis yang telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. - 31 - Pasal 53 (1) Rencana Bisnis, laporan realisasi Rencana Bisnis, dan Laporan penerapan Tata Kelola wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak dan dokumen elektronik. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem pelaporan elektronik, pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan melalui sistem pelaporan elektronik tersebut. (3) Dalam hal pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah disampaikan melalui sistem pelaporan elektronik, Otoritas Jasa Keuangan tidak mewajibkan lagi penyampaian pelaporan dalam bentuk dokumen cetak. Pasal 54 (1) Perusahaan Efek wajib melakukan penilaian sendiri atas penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b. (2) Hasil penilaian sendiri penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan penerapan Tata Kelola diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 56 Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 55, Perusahaan Efek wajib memenuhi ketentuan pelaporan lainnya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal. - 32 - BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 57 (1) Dalam rangka melakukan penilaian terhadap penerapan Tata Kelola, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian atau evaluasi terhadap hasil penilaian sendiri penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1). (2) Berdasarkan hasil penilaian atau evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Perusahaan Efek untuk menyampaikan rencana tindak yang memuat langkah perbaikan yang wajib dilaksanakan oleh Perusahaan Efek dengan target waktu tertentu. (3) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Perusahaan Efek untuk melakukan penyesuaian rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan evaluasi terhadap penyesuaian rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan melakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil perbaikan penerapan Tata Kelola yang telah dilakukan oleh Perusahaan Efek. BAB XII KETENTUAN SANKSI Pasal 58 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; - 33 - b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 59 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 60 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 kepada masyarakat. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 61 (1) Perusahaan Efek wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dalam - 34 - waktu 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku. (2) Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai diterapkan 2 (dua) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku. Pasal 62 (1) Perusahaan Efek wajib menyampaikan Rencana Bisnis pertama kali untuk rencana kegiatan tahun 2018. (2) Rencana Bisnis pertama kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja terakhir di bulan November 2017. Pasal 63 (1) Perusahaan Efek wajib menyampaikan laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) untuk pertama kali pada periode tahun 2018. (2) Laporan penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 15 Februari 2019. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 64 (1) Ketentuan peraturan perundang-undangan lain terkait kewajiban Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal terdapat ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya yang mengatur ketentuan mengenai pedoman tata kelola bagi Perusahaan Efek yang - 35 - merupakan Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau Perusahaan Efek yang termasuk dalam konglomerasi keuangan, yang berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, berlaku ketentuan yang mengatur lebih ketat. Pasal 65 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 September 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd WIMBOH SANTOSO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 September 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 211 Salinan ini sesuai dengan aslinya Deputi Direktur Direktorat Hukum 1 selaku Plh. Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Wiwit Puspasari - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 57 /POJK.04/2017 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK I. UMUM Seiring dengan berkembangnya perekonomian nasional, industri pasar modal di Indonesia menjadi salah satu industri yang memiliki perkembangan yang cukup cepat. Perusahaan Efek sebagai salah satu pelaku di industri pasar modal memiliki peran dalam mendorong perkembangan perdagangan, pelayanan, dan produk investasi pasar modal. Dengan demikian, implementasi Tata Kelola Perusahaan Efek dapat dijadikan salah satu cara bagi Perusahaan Efek untuk membantu perusahaan dalam meningkatkan kinerja dan memberikan manfaat jangka panjang, sekaligus meningkatkan daya saing untuk perusahaan. Tata Kelola Perusahaan Efek, dalam hal ini Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Perusahaan Efek agar memiliki acuan yang digunakan dalam penerapan Tata Kelola yang baik. Penerapan Tata Kelola bagi Perusahaan Efek, pada dasarnya telah diatur dalam beberapa peraturan di bidang pasar modal maupun - 2 - di sektor jasa keuangan. Namun demikian, dalam rangka meningkatkan penerapan Tata Kelola Perusahaan Efek dan mempertimbangkan perkembangan penerapan Tata Kelola perusahaan, baik di industri pasar modal, industri jasa keuangan secara lebih luas, dan Tata Kelola perusahaan dalam konglomerasi keuangan, diperlukan pengaturan mengenai penerapan Tata Kelola Perusahaan Efek yang lebih rinci. Peraturan tersebut mencakup ketentuan Tata Kelola Perusahaan Efek yang telah diatur dalam beberapa peraturan yang ada dan praktik keteladanan Tata Kelola perusahaan yang dibutuhkan, yang dapat diimplementasikan bagi Perusahaan Efek khususnya dalam hal ini Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 3 - Ayat (5) Pada praktiknya, surat elektronik dimaksud biasa disebut dengan electronic mail (e-mail). Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Contoh bahan mata acara rapat antara lain laporan keuangan tahunan dalam RUPS tahunan. Ayat (2) Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat disampaikan dengan menggunakan antara lain media digital cakram padat (compact disc), flashdisk, atau lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Risalah RUPS dimaksud dibuat dan ditandatangani oleh pimpinan rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Tanda tangan sebagaimana dimaksud tidak disyaratkan apabila risalah RUPS dibuat dalam bentuk akta berita acara RUPS yang dibuat oleh notaris. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Pada praktiknya, pengambilan keputusan di luar RUPS dimaksud biasa disebut dengan usul keputusan yang diedarkan - 4 - (circular resolution). Yang dimaksud dengan “keputusan yang mengikat” adalah keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan RUPS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kondisi Perusahaan Efek” antara lain disesuaikan dengan kebutuhan, ukuran dan kompleksitas usaha, dan kemampuan Perusahaan Efek. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud “komite dan/atau unit pendukung Direksi” antara lain komite manajemen risiko atau komite sumber daya manusia. - 5 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan “kebijakan strategis” adalah kebijakan Perusahaan Efek yang dapat mempengaruhi keuangan Perusahaan Efek secara signifikan dan/atau memiliki dampak yang berkesinambungan terhadap anggaran, sumber daya manusia, struktur organisasi, nasabah, dan/atau pihak ketiga. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kehadiran anggota Direksi dalam rapat” adalah kehadiran fisik atau melalui media elektronik, seperti telekonferensi atau video konferensi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dapat diperoleh antara lain melalui pelatihan, sosialisasi, atau seminar yang diselenggarakan pihak yang berkompeten. - 6 - Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kondisi Perusahaan Efek” antara lain disesuaikan dengan kebutuhan, ukuran dan kompleksitas usaha, dan kemampuan Perusahaan Efek. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Sebagai contoh jika Perusahaan Efek hanya memiliki 1 (satu) anggota Dewan Komisaris, maka anggota Dewan Komisaris dimaksud merupakan Komisaris Independen. Jika Perusahaan Efek memiliki 2 (dua) anggota Dewan Komisaris, maka salah 1 (satu) anggota Dewan Komisaris dimaksud merupakan Komisaris Independen. Ayat (2) Sebagai contoh jika Perusahaan Efek memiliki 4 (empat) anggota Dewan Komisaris, maka paling sedikit 2 (dua) anggota Dewan Komisaris dimaksud merupakan Komisaris Independen. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 7 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengawasan penerapan Tata Kelola” antara lain dilakukan melalui: a. pengawasan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi atas penerapan Tata Kelola; b. pemberian nasihat kepada Direksi atas penerapan Tata Kelola; dan c. mengevaluasi kebijakan perusahaan terkait Tata Kelola, seperti evaluasi atas pedoman kerja Direksi dan Dewan Komisaris. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Fungsi audit yang diatur dalam ketentuan ini merupakan fungsi audit yang dimiliki oleh Dewan Komisaris. Ayat (2) Hasil penelaahan fungsi audit yang dilaksanakan oleh Komisaris Independen menjadi rekomendasi untuk Dewan Komisaris. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “komite lainnya” antara lain komite Tata Kelola, komite manajemen risiko, dan/atau komite nominasi dan remunerasi. Ayat (2) Cukup jelas. - 8 - Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud “kehadiran anggota Dewan Komisaris dalam rapat” adalah kehadiran fisik atau melalui media elektronik, seperti telekonferensi atau video konferensi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pendidikan dan/atau pelatihan lainnya dapat diperoleh antara lain melalui pelatihan, sosialisasi, atau seminar yang diselenggarakan pihak yang berkompeten. Pasal 29 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penghasilan yang sah” yaitu remunerasi yang ditetapkan dalam RUPS. - 9 - Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “tunjangan” yaitu termasuk fasilitas yang diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris untuk menunjang pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “benturan kepentingan” adalah perbedaan kepentingan ekonomis antara Perusahaan Efek dengan kepentingan ekonomis pribadi Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan/pegawai, dan/atau pihak terkait dengan Perusahaan Efek. Kebijakan benturan kepentingan antara lain: 1. definisi benturan kepentingan; 2. identifikasi hal yang merupakan benturan kepentingan, antara lain jenis transaksi benturan - 10 - kepentingan Perusahaan Efek dengan pribadi Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, karyawan/pegawai, dan/atau pihak terkait dengan Perusahaan Efek; 3. penanganan, mitigasi, dan/atau pengelolaan benturan kepentingan, antara lain: a) sikap profesional Direksi, Dewan Komisaris, karyawan/ pegawai, dan/atau komite/fungsi yang dimiliki Perusahaan Efek apabila terdapat benturan kepentingan dengan Perusahaan Efek, misalnya larangan melakukan transaksi terlebih dahulu atas suatu Efek tertentu atas dasar adanya informasi nasabah yang akan melakukan transaksi dalam volume besar atas Efek yang diperkirakan mempengaruhi harga pasar dengan tujuan untuk meraih keuntungan atau mengurangi kerugian; b) prosedur atau mekanisme pengambilan keputusan dalam hal terjadi benturan kepentingan dan pelaporan/pengungkapan secara tertulis apabila memiliki atau berpotensi memiliki benturan kepentingan, misalnya larangan bagi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk memberikan suara dalam rapat jika memiliki benturan kepentingan; dan 4. administrasi dan dokumentasi benturan kepentingan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “sistem pelaporan pelanggaran” adalah sebuah kebijakan pelaporan pelanggaran yang memenuhi - 11 - ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 33 Ayat (1) Pedoman dapat menjadi bagian dari kode etik atau terpisah dari kode etik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Fungsi kepatuhan dan audit internal dapat dilaksanakan secara terpisah sesuai dengan kebutuhan Perusahaan Efek. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Pada praktiknya, kebijakan manajemen risiko dimaksud dikenal sebagai pedoman manajemen risiko. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 12 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pada praktiknya, sistem deteksi dini dimaksud biasa disebut dengan early warning system. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Pada praktiknya, limit risiko yang diambil dimaksud biasa disebut dengan risk appetite dan toleransi risiko biasa disebut dengan risk tolerance. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penyusunan dan pelaksanaan program audit yang memadai antara lain memenuhi independensi, objektivitas, dan tidak membatasi cakupan dan ruang lingkup internal audit. - 13 - Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Faktor internal dapat berupa kekuatan dan kelemahan Perusahaan Efek, sedangkan faktor eksternal dapat berupa peluang dan tantangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 14 - Ayat (3) Ketentuan terkait dengan kegiatan Perusahaan Efek antara lain Peraturan yang berkaitan dengan perizinan, pengendalian internal, dan permodalan Perusahaan Efek. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Pihak yang mengelola penanganan laporan pelanggaran dapat dilakukan oleh pihak yang melakukan fungsi kepatuhan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. - 15 - Pasal 45 Ayat (1) Kebijakan penanganan pengaduan nasabah disusun dengan mengacu pada ketentuan penanganan pengaduan konsumen sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Ayat (2) Kebijakan penanganan pengaduan nasabah paling sedikit mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Identitas Perusahaan Efek paling sedikit mencakup nama Perusahaan Efek, jenis kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perusahaan Efek, dan layanan yang diberikan oleh Perusahaan Efek. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Riwayat singkat Perusahaan Efek antara lain meliputi sejarah pendirian, visi dan misi, dan jenis kegiatan usaha menurut anggaran dasar terakhir. Huruf c Struktur organisasi disajikan dalam bentuk bagan paling sedikit sampai dengan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi dan - 16 - Dewan Komisaris, termasuk komite (jika ada), disertai dengan nama dan jabatan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pada praktiknya, penilaian sendiri dimaksud biasa disebut dengan self assessment. Huruf c Yang dimaksud dengan “peringkat komposit” adalah peringkat akhir hasil penilaian sendiri. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. - 17 - Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Yang dimaksud “dokumen elektronik” antara lain penyampaian laporan penerapan Tata Kelola melalui surat elektronik (email). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Yang dimaksud ketentuan pelaporan lainnya, antara lain pelaporan terkait: a. pembukaan kegiatan yang dilakukan di lokasi lain selain kantor pusat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai kegiatan Perusahaan Efek di berbagai lokasi; b. pengaduan nasabah dan tindak lanjut pelayanan dan penyelesaian pengaduan nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan; dan - 18 - c. perubahan nama sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek. Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6126
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 57/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title> <set_date> 14 September 2017 </set_date> <effective_date> 26 September 2017 </effective_date> <issued_date> 26 September 2017 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 9 /POJK.03/2016 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan, kegiatan usaha bank menjadi semakin kompleks dan beragam; b. bahwa agar dapat lebih fokus pada pekerjaan pokoknya dalam rangka melaksanakan fungsi intermediasi dan sejalan dengan perundang- undangan, bank dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain; c. bahwa penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain berpotensi meningkatkan risiko bagi bank; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dipandang perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvesional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, serta bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana - 3 - dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain, yang selanjutnya disebut Alih Daya, adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau melalui perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja. 3. Perusahaan Penyedia Jasa adalah perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan yang diserahkan Bank melalui perjanjian pemborongan pekerjaan dan/atau melalui perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja. 4. a. Direksi: bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. 1) bagi Bank berbentuk badan hukum: Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; - 4 - d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 5. a. Dewan Komisaris: bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan b. Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Per usahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar - 5 - negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Pasal 2 (1) (2) Bank dapat melakukan Alih Daya kepada Perusahaan Penyedia Jasa. Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. BAB II ALIH DAYA Pasal 3 (1) 2 a. b. (2) Alih Daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat (1) dilakukan Bank melalui perjanjian: pemborongan pekerjaan; dan/atau penyediaan jasa tenaga kerja. Bank wajib memastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan sesuai dengan perjanjian yang dibuat dan peraturan perundang- undangan. (3) Bank tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa. Pasal 4 (1) Dalam rangka Alih Daya, kegiatan Bank dikategorikan sebagai: a. b. (2) kegiatan usaha; dan kegiatan pendukung usaha. Dalam setiap kegiatan usaha dan kegiatan pendukung usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang. (3) Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank - 6 - dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank. Pasal 5 (1) Pekerjaan penunjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) paling sedikit memenuhi kriteria: a. b. berisiko rendah; tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi yang tinggi di bidang perbankan; dan c. tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional Bank. (2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijabarkan dalam kebijakan Bank mengenai Alih Daya. (3) Bank dilarang melakukan Alih Daya yang mengakibatkan beralihnya tanggung jawab atau risiko dari obyek pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa. Pasal 6 Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan Perusahaan Penyedia Jasa yang memenuhi persyaratan paling sedikit: a. b. berbadan hukum Indonesia; memiliki izin usaha yang masih berlaku dari instansi berwenang sesuai bidang usahanya; c. d. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman yang cukup; mendukung pelaksanaan dialihdayakan; dan e. memiliki dibutuhkan dalam Alih Daya. memiliki sumber daya manusia yang pekerjaan yang sarana dan prasarana yang - 7 - BAB III PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Pemilihan Perusahaan Penyedia Jasa Pasal 7 Untuk memastikan pemenuhan persyaratan dalam rangka pemilihan Perusahaan Penyedia Jasa, Bank wajib: a. dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b; dan b. melakukan analisis dan penilaian terhadap aspek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, huruf d, dan huruf e, yaitu mengenai: 1. 2. 3. meneliti dokumen sebagaimana dimaksud kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman yang cukup; sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan; dan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya. Pasal 8 Hasil penelitian, analisis, dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib disusun secara tertulis dan didokumentasikan dengan baik. Pasal 9 (1) Bank wajib memantau dan mengevaluasi pemenuhan persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi perubahan kinerja dan/atau reputasi Perusahaan Penyedia Jasa. (2) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun secara tertulis dan didokumentasikan dengan baik. - 8 - Bagian Kedua Perjanjian Alih Daya Pasal 10 (1) Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib membuat perjanjian dengan Perusahaan Penyedia Jasa secara tertulis. (2) Perjanjian Alih Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. b. c. d. e. ruang lingkup pekerjaan; jangka waktu perjanjian; nilai kontrak; struktur biaya dan mekanisme pembayaran; hak, kewajiban, dan tanggung jawab Bank maupun Perusahaan Penyedia Jasa, antara lain: 1. kewenangan Bank untuk melakukan evaluasi dan pemeriksaan terhadap Perusahaan Penyedia Jasa terkait dengan pelaksanaan perjanjian Alih Daya; 2. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa termasuk tenaga kerja yang digunakan dalam Alih Daya untuk menjaga kerahasiaan dan pengamanan informasi Bank dan/atau nasabah Bank; 3. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa untuk menyampaikan laporan dan informasi kepada Bank secara tertulis dan berkala; 4. kewajiban masing-masing pihak untuk mematuhi ketentuan dan peraturan perundang-undangan; 5. kewajiban para pihak untuk melindungi hak dan kepentingan nasabah Bank terkait dengan pekerjaan yang dialihdayakan; 6. kewajiban Perusahaan Penyedia Jasa memiliki contingency plan; dan 7. kesediaan Perusahaan Penyedia Jasa untuk - 9 - memberikan akses pemeriksaan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas lain yang berwenang bersama-sama dengan Bank dalam hal diperlukan; f. g. ukuran dan standar pelaksanaan pekerjaan; kriteria atau kondisi pengakhiran perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian (early termination); h. i. sanksi dan penalti; dan penyelesaian perselisihan. Bagian Ketiga Penerapan Manajemen Risiko Pasal 11 (1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dalam melakukan Alih Daya sesuai skala, karakteristik, dan kompleksitas pekerjaan yang dialihdayakan. (2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. pengawasan aktif Komisaris; b. c. kecukupan kebijakan dan prosedur; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern. Pasal 12 Pengawasan aktif Direksi paling sedikit mencakup: a. Alih Daya; b. c. d. menetapkan prosedur Alih Daya; menyetujui rencana Bank untuk melaksanakan Alih Daya; memantau, mengevaluasi, dan bertanggung menyusun dan menyempurnakan kebijakan Direksi dan Dewan - 10 - jawab atas penerapan manajemen risiko atas Alih Daya; dan e. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Alih Daya secara keseluruhan. Pasal 13 Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling sedikit mencakup: a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Alih Daya termasuk penyempurnaan atas kebijakan Alih Daya; dan b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas penerapan manajemen risiko atas Alih Daya. Pasal 14 (1) (2) Bank wajib memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Alih Daya. Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. b. c. d. tujuan Alih Daya; kriteria pekerjaan yang dialihdayakan; cakupan analisis; kebijakan mitigasi risiko dalam pelaksanaan Alih Daya; e. f. g. h. kriteria Perusahaan Penyedia Jasa; cakupan minimum perjanjian Alih Daya; prosedur standar dalam melakukan Alih Daya; dan penetapan unit atau fungsi khusus yang melaksanakan proses Alih Daya serta kejelasan tugas dan tanggung jawab. (3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikaji ulang secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. - 11 - Pasal 15 (1) Bank wajib melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap seluruh risiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan Alih Daya. (2) Pelaksanaan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh sistem informasi manajemen yang tepat waktu serta dapat memberikan laporan yang akurat dan informatif mengenai risiko pada pelaksanaan Alih Daya. Pasal 16 (1) (2) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern yang efektif atas Alih Daya. Sistem pengendalian intern yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi: a. b. pengawasan terhadap proses Alih Daya; dan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh Perusahaan Penyedia Jasa. (3) Pengawasan terhadap proses Alih Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib dilakukan oleh pihak yang independen terhadap pihak yang melakukan proses Alih Daya. BAB IV PELAPORAN Pasal 17 (1) Bank wajib menyampaikan laporan mengenai Alih Daya kepada Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap, benar, dan tepat waktu. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. b. rencana Alih Daya; dan Alih Daya yang bermasalah. - 12 - (3) Laporan rencana Alih Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat informasi paling sedikit mengenai: a. b. c. d. jenis pekerjaan yang dialihdayakan; gambaran umum dan cakupan pekerjaan; jenis perjanjian Alih Daya; perkiraan jumlah tenaga kerja Alih Daya yang dibutuhkan; e. f. g. (4) jangka waktu perjanjian; tujuan Alih Daya; dan analisis perkiraan biaya dan manfaat serta risiko dan mitigasinya. Laporan Alih Daya yang bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b memuat informasi paling sedikit mengenai: a. b. c. d. jenis pekerjaan yang dialihdayakan; nama Perusahan Penyedia Jasa; gambaran permasalahan yang terjadi; dan (5) langkah-langkah yang dilakukan oleh Bank untuk mengatasi Alih Daya yang bermasalah. Laporan rencana Alih Daya sebagaimana (6) dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan setiap tahun paling lambat pada tanggal 31 Desember. Bank hanya dapat melakukan penambahan (7) dan/atau perubahan rencana pekerjaan yang dialihdayakan yang sudah dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling banyak 1 (satu) kali dan wajib menyampaikan Laporan Perubahan Rencana Alih Daya dimaksud paling lambat pada tanggal 30 Juni tahun berjalan. Dalam hal batas waktu penyampaian laporan (8) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu atau hari libur, laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. Laporan Alih Daya yang bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah - 13 - diketahuinya permasalahan oleh Bank. Pasal 18 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan ayat (6) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat sebagai berikut: a. Departemen Pengawasan Bank terkait, b. Departemen Perbankan Syariah, atau Kantor Regional 1 Jabodetabek, Banten, Lampung dan Kalimantan, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten; atau Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten. BAB V SANKSI Pasal 19 (1) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan/atau Pasal 17 ayat (6) melampaui batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5), Pasal 17 ayat (6) atau Pasal 17 ayat (8) dikenakan: a. sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan apabila terlambat 1 (satu) hari kerja sampai dengan 10 (sepuluh) hari kerja; b. sanksi administratif berupa denda sebagaimana pada huruf a ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) - 14 - per hari kerja keterlambatan berikutnya apabila terlambat 11 (sebelas) hari kerja sampai dengan 20 (dua puluh) hari kerja; c. sanksi administratif berupa denda sebagaimana pada huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per hari kerja keterlambatan berikutnya, dengan jumlah sanksi keterlambatan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) apabila terlambat 21 (dua puluh satu) hari kerja atau lebih. (2) Bank yang diketahui oleh Otoritas Jasa Keuangan telah melakukan Alih Daya tetapi belum menyampaikan laporan rencana Alih Daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan/atau penambahan atau perubahan rencana Alih Daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah). Pasal 20 Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (3), atau Pasal 17 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. b. c. teguran tertulis; penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu. - 15 - BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 21 (1) Bank yang sebelum tanggal 9 Desember 2011 telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini namun Perusahaan Penyedia Jasa dan/atau cakupan perjanjian Alih Daya belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau Pasal 10 ayat (2), dapat melanjutkan pelaksanaan Alih Daya sampai dengan berakhirnya perjanjian. (2) Dalam hal Bank melakukan perpanjangan terhadap perjanjian Alih Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib: a. melakukan penelitian, analisis, dan penilaian atas pemenuhan persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; dan/atau b. menyesuaikan perjanjian sesuai Pasal 10 ayat (2). BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 22 (1) Alih Daya yang dilakukan oleh Bank selain tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini juga tunduk pada ketentuan lainnya yang terkait dengan Alih Daya. (2) Persyaratan badan hukum bagi Perusahaan Penyedia Jasa yang memberikan jasa untuk penyelenggarakan teknologi informasi tetap mengacu pada ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh Bank. - 16 - Pasal 23 Otoritas Jasa Keuangan berwenang menghentikan Alih Daya yang dilakukan Bank dalam hal menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan Alih Daya berpotensi membahayakan kelangsungan usaha Ba - 17 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 25 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Nomor 13/25/PBI/2011 tanggal 9 Desember 2011 tentang Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5263), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/25/PBI/2011 tanggal 9 Desember 2011 tentang Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Indonesia - 18 - Pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 26 Januari 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 21 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 9 /POJK.03/2016 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN I. UMUM Semakin berkembangnya dunia usaha dan ketatnya tingkat persaingan mendorong semakin kompleks dan beragamnya kegiatan usaha Bank. Hal ini menyebabkan Bank dituntut untuk berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank untuk lebih berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya adalah dengan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan penunjang kepada pihak lain sehingga sumber daya Bank dapat dikerahkan pada pekerjaan-pekerjaan pokok. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain ini juga sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain berpotensi meningkatkan risiko yang dihadapi Bank sehingga penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut harus dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai. Disamping itu, kejelasan atas tanggung jawab Bank terhadap pekerjaan yang diserahkan kepada pihak lain tersebut dan aspek perlindungan nasabah menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. - 2 - Penguatan penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain yang diiringi dengan terlindunginya kepentingan nasabah diharapkan dapat menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara keseluruhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Termasuk dalam Alih Daya oleh Bank adalah Alih Daya yang dilakukan oleh unit usaha syariah pada bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Ketentuan ini tidak mengatur mengenai pemborongan pekerjaan yang hasil akhirnya berupa barang atau yang pada umumnya dikenal sebagai pengadaan barang, misalnya pengadaan slip setoran, buku tabungan, inventaris kantor, pembangunan gedung kantor, dan Automated Teller Machine (ATM). Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pelaksanaan Alih Daya tidak menghilangkan tanggung jawab Bank atas akibat dari tindakan yang dilakukan oleh Perusahaan Penyedia Jasa dalam melaksanakan pekerjaan - 3 - yang dialihkan, termasuk apabila terdapat tindakan yang merugikan nasabah Bank. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, serta Pasal 19 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Termasuk kegiatan usaha antara lain adalah penghimpunan dana dari masyarakat (funding), pemberian kredit atau pembiayaan (lending atau financing), serta membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya. Huruf b Yang dimaksud dengan “kegiatan pendukung usaha” adalah kegiatan lain yang dilakukan Bank di luar kegiatan usaha Bank. Termasuk kegiatan pendukung usaha antara lain adalah kegiatan yang terkait dengan sumber daya manusia, manajemen risiko, kepatuhan, internal audit, akunting dan keuangan, teknologi informasi, logistik, dan pengamanan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pekerjaan pokok” adalah pekerjaan yang harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha Bank sehingga apabila pekerjaan tersebut tidak ada maka kegiatan dimaksud akan sangat terganggu atau tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan “alur” adalah serangkaian pekerjaan dari awal sampai akhir dari suatu kegiatan usaha atau kegiatan pendukung usaha, misalnya alur pemberian kredit atau pembiayaan mencakup pekerjaan pemasaran, analisis kelayakan, persetujuan, pencairan, pemantauan, dan - 4 - penagihan kredit atau pembiayaan. Contoh pekerjaan pokok dalam alur kegiatan usaha Bank misalnya alur kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan antara lain pekerjaan account officer dan analis kredit atau pembiayaan, pada alur kegiatan penghimpunan dana antara lain pekerjaan customer service, customer relation, dan teller. Contoh pekerjaan pokok dalam alur kegiatan pendukung usaha Bank, misalnya alur kegiatan manajemen risiko antara lain pekerjaan analisis risiko, pada alur pengembangan organisasi dan pengelolaan sumber daya manusia antara lain pekerjaaan perencanaan dan pengembangan organisasi serta perencanaan sumber daya manusia, pada alur kegiatan pengelolaan teknologi informasi antara lain pekerjaan perencanaan dan pengembangan teknologi informasi, dan pada alur kegiatan pengendalian internal antara lain pekerjaan audit internal. Yang dimaksud dengan “pekerjaan penunjang” adalah pekerjaan yang tidak harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha Bank sehingga dalam hal pekerjaan tersebut tidak ada, kegiatan dimaksud masih dapat terlaksana tanpa gangguan yang berarti. Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank, misalnya alur kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan antara lain pekerjaan call center, pemasaran (telemarketing, direct sales atau sales representative) dan penagihan, contoh pada alur kegiatan perkasan misalnya pekerjaan jasa pengelolaan kas Bank. Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan pendukung usaha, misalnya pekerjaan yang dilakukan oleh sekretaris, agendaris, resepsionis, petugas kebersihan, petugas keamanan, pramubakti, kurir, data entry, dan pengemudi. Ayat (3) Contoh pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan ayat (2). - 5 - Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pekerjaan berisiko rendah” adalah pekerjaan yang apabila terjadi kegagalan tidak akan mengganggu aktivitas operasional Bank secara signifikan. Huruf b Yang dimaksud dengan kualifikasi kompetensi di bidang perbankan antara lain mencakup pendidikan formal dan pengetahuan atau pengalaman di bidang perbankan. Huruf c Proses pengambilan keputusan mencakup proses analisis dan proses judgement dalam rangka pengambilan keputusan. “Keputusan yang mempengaruhi operasional Bank” adalah keputusan yang dapat meningkatkan risiko secara signifikan dan/atau mengganggu berjalannya operasional Bank apabila tidak dilakukan dengan benar. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sebagai contoh, dalam Alih Daya penagihan kredit atau pembiayaan melalui perjanjian pemborongan, Bank tidak diperbolehkan mengalihkan risiko kredit atau pembiayaan yang ditimbulkan oleh tidak tertagihnya kredit atau pembiayaan dengan menggunakan cara seperti mekanisme penjualan tagihan kredit atau pembiayaan melalui skim anjak piutang. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Penelitian dokumen dilakukan terhadap informasi dan kondisi terkini Perusahaan Penyedia Jasa. Dalam hal - 6 - diperlukan dapat dilakukan konfirmasi atau klarifikasi kepada instansi yang berwenang. Huruf b Analisis dan penilaian dilakukan untuk meyakini bahwa Perusahaan Penyedia Jasa telah memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan dan mampu melakukan Alih Daya. Analisis dan penilaian menggunakan informasi dan kondisi terkini Perusahaan Penyedia Jasa. Kedalaman dan intensitas analisis dan penilaian disesuaikan dengan skala dan kompleksitas pekerjaan yang dialihdayakan. Angka 1 Penilaian terhadap kinerja keuangan bertujuan untuk memastikan bahwa Perusahaan Penyedia Jasa memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai perjanjian yang telah disepakati, yang antara lain mencakup penilaian terhadap modal, likuiditas, dan profitabilitas Perusahaan Penyedia Jasa. Penilaian terhadap reputasi termasuk penilaian terhadap rekam jeja (track record) Perusahaan Penyedia Jasa bertujuan untuk menilai kepatuhan Perusahaan Penyedia Jasa terhadap ketentuan dan/atau peraturan perundang-undangan, yang antara lain mencakup: a. permasalahan hukum yang pernah atau sedang dihadapi yang dapat berdampak negatif; b. kepatuhan terhadap ketentuan dan/atau peraturan perundang-undangan; dan/atau c. kepatuhan terhadap perjanjian Alih Daya dengan Bank lain atau pemberi kerja sebelumnya. Penilaian terhadap pengalaman Perusahaan Penyedia Jasa bertujuan untuk memastikan bahwa Perusahaan Penyedia Jasa memiliki pengalaman yang memadai untuk melaksanakan pekerjaaan yang dialihkan, antara lain mencakup: a. pengalaman perusahaan dalam menangani pekerjaan yang dialihdayakan; dan/atau - 7 - b. pengalaman manajemen perusahaan dalam menangani pekerjaan yang dialihdayakan. Angka 2 Penilaian terhadap sumber daya manusia bertujuan untuk memastikan pemenuhan kecukupan kuantitas dan kualitas atau keahlian sumber daya manusia. Angka 3 Penilaian terhadap sarana dan prasarana bertujuan untuk memastikan kecukupan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya, termasuk pemenuhan kecukupan kuantitas dan kualitas serta spesifikasi khusus yang dibutuhkan dalam Alih Daya. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk dalam struktur biaya adalah biaya-biaya selain nilai kontrak yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan. Dalam mekanisme pembayaran diatur mengenai pihak yang harus membayar biaya tersebut dan tata cara pembayarannya. - 8 - Huruf e Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Kewajiban menjaga kerahasiaan dan pengamanan informasi nasabah mengacu pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan antara lain mengenai rahasia Bank, ketentuan yang mengatur mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah, serta ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Angka 3 Cakupan dan frekuensi laporan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Angka 4 Ketentuan dan peraturan perundang-undangan antara lain di bidang ketenagakerjaan dan perbankan. Angka 5 Perlindungan hak dan kepentingan nasabah mengacu pada ketentuan dan peraturan perundang- undangan antara lain mengenai perlindungan konsumen serta ketentuan mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah. Angka 6 Yang dimaksud dengan “contingency plan” adalah upaya-upaya yang harus dilakukan oleh Perusahaan Penyedia Jasa untuk mengatasi keadaan memaksa atau gangguan yang signifikan dalam pelaksanaan pekerjaan, antara lain yang disebabkan oleh bencana alam, demonstrasi, pemogokan tenaga kerja, gangguan sistem, dan/atau perselisihan. - 9 - Angka 7 Pemeriksaan Perusahaan Penyedia Jasa oleh otoritas lain dilakukan sesuai wewenangnya berdasarkan pada ketentuan yang terkait dengan alih daya yang dilakukan oleh Bank. Huruf f Ukuran pelaksanaan pekerjaan meliputi ukuran atas kuantitas dan/atau kualitas pekerjaan. Standar pelaksanaan pekerjaan merupakan prosedur yang paling sedikit harus dipenuhi dalam proses pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan. Standar dimaksud dapat pula mengacu pada prosedur operasi standar yang dimiliki oleh Bank. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. - 10 - Ayat (2) Huruf a Tujuan Alih Daya mencakup penjabaran atas hasil yang ingin dicapai melalui pelaksanaan Alih Daya, sesuai strategi dan tujuan bisnis Bank secara keseluruhan. Huruf b Kriteria pekerjaan yang dapat dialihdayakan paling sedikit mengacu pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Huruf c Cakupan analisis mencakup aspek-aspek antara lain risiko, biaya, dan manfaat yang ditimbulkan oleh Alih Daya. Dalam analisis manfaat dan biaya perlu memperhatikan pula pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan pengawasan oleh Bank atas Alih Daya tersebut. Huruf d Kebijakan mitigasi risiko mencakup jenis pekerjaan yang harus dilakukan upaya mitigasi risiko serta upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan atas pekerjaan tersebut. Huruf e Kriteria Perusahaan Penyedia Jasa paling sedikit mengacu pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Huruf f Cakupan minimum perjanjian Alih Daya paling sedikit mengacu pada cakupan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Huruf g Prosedur standar dalam melakukan Alih Daya antara lain mencakup prosedur pemilihan dan penetapan Perusahaan Penyedia Jasa, pengikatan perjanjian, dan pengawasan pelaksanaan Alih Daya. - 11 - Huruf h Unit atau fungsi khusus tersebut dapat berdiri sendiri atau merupakan bagian dari unit yang mengalihdayakan pekerjaannya. Ayat (3) Frekuensi pengkajian ulang dilakukan sesuai kebutuhan Bank dan perkembangan aktivitas Bank, terutama untuk memastikan kesesuaian dengan strategi dan tujuan bisnis Bank secara keseluruhan. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Proses Alih Daya merupakan serangkaian proses yang harus dilakukan dalam rangka penunjukan dan penggunaan Perusahaan Penyedia Jasa dalam Alih Daya. Huruf b Pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan merupakan pengawasan atas pemenuhan perjanjian Alih Daya termasuk pemenuhan ukuran dan standar yang ditetapkan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pihak independen” adalah: a. unit kerja atau fungsi khusus dalam Bank yang tidak terkait dengan proses Alih Daya, dapat berdiri sendiri atau dapat merupakan bagian dari unit atau fungsi khusus yang berdiri sendiri sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (2) huruf h; atau b. bagian dari unit kerja atau fungsi khusus dalam Bank yang melakukan pengawasan secara independen, antara lain internal audit, manajemen risiko atau kepatuhan. - 12 - Pasal 17 Ayat (1) Laporan mencakup laporan Bank secara gabungan untuk seluruh kantor Bank. Laporan disampaikan oleh Bank yang telah melakukan maupun yang merencanakan melakukan Alih Daya. Ayat (2) Huruf a Laporan rencana Alih Daya memuat rencana Alih Daya atas pekerjaan yang belum pernah dialihdayakan. Tidak termasuk dalam pekerjaan yang belum pernah dialihdayakan adalah perpanjangan perjanjian Alih Daya. Huruf b Alih Daya dianggap bermasalah dalam hal terjadi permasalahan baik pada pelaksanaan Alih Daya maupun pada Perusahaan Penyedia Jasa yang berpotensi meningkatkan risiko Bank secara signifikan dan/atau akan mengganggu kelangsungan pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan, terlepas dari mengakibatkan atau tidak mengakibatkan penghentian perjanjian dan/atau penggantian Perusahaan Penyedia Jasa. Contoh permasalahan: Pelanggaran ketentuan dan peraturan perundang- undangan, pelanggaran perjanjian, gugatan, pengaduan nasabah, perselisihan intern pada Perusahaan Penyedia Jasa baik antar manajemen maupun antara manajemen dengan karyawan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Gambaran umum dan cakupan pekerjaan menguraikan secara singkat pekerjaan yang dialihdayakan dan lokasi kantor tempat pekerjaan yang dialihdayakan. Huruf c - 13 - Perjanjian Alih Daya yang dibuat berupa perjanjian pemborongan dan/atau penyediaan jasa tenaga kerja. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Gambaran permasalahan menguraikan secara singkat permasalahan yang terjadi, potensi risiko yang ditimbulkan, lokasi, waktu terjadinya permasalahan, dan waktu diketahuinya permasalahan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Laporan yang disampaikan mencakup rencana Alih Daya yang akan dilakukan selama 1 (satu) tahun yang akan datang. Ayat (6) Laporan Perubahan Rencana Alih Daya paling sedikit memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) serta uraian singkat latar belakang dan tujuan penambahan dan/atau perubahan rencana Alih Daya. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau hari libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 18 - 14 - Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5845
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 9/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN BAGI BANK UMUM YANG MELAKUKAN PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PIHAK LAIN </reg_title> <set_date> 26 Januari 2016 </set_date> <effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date> <replaced_reg> '13/25/PBI/2011' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 60 /POJK.04/2016 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan tata kelola Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang baik dan berdaya saing global, serta meningkatkan kompetensi dan integritas Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Direksi adalah organ Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk kepentingan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, sesuai dengan maksud dan tujuan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta mewakili Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 2. Dewan Komisaris adalah organ Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 3. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. 4. Komite Remunerasi adalah komite ad hoc yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan fungsi dan tugas Dewan Komisaris untuk mengkaji dan mengusulkan gaji dan manfaat lain bagi anggota Direksi, serta honorarium termasuk metode penentuannya, bagi anggota Dewan Komisaris. 5. Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan adalah komite ad hoc yang dibentuk oleh Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan untuk - 3 - melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 6. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disingkat RUPS, adalah organ Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar. BAB II DIREKSI LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN Bagian Kesatu Keanggotaan Direksi Pasal 2 (1) Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi. (2) Satu di antara anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib ditetapkan sebagai direktur utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan tugas utama paling sedikit: a. mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat Direksi tidak dapat mengambil keputusan; dan b. melakukan koordinasi kegiatan di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, kegiatan hubungan masyarakat, kegiatan hukum dan peraturan, dan kegiatan pemeriksaan internal. (3) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian selain direktur utama wajib ditetapkan sebagai anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang paling sedikit bertanggung jawab terhadap 1 (satu) atau lebih kegiatan sebagai berikut: a. penyelesaian; b. jasa kustodian; c. riset dan pengembangan; - 4 - d. teknologi informasi; e. hukum; dan f. keuangan dan sumber daya manusia serta administrasi umum. Pasal 3 (1) Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 121 (seratus dua puluh satu) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta mengajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 116 (seratus enam belas) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (3) Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Dewan Komisaris dapat membentuk komite dengan atau tanpa melibatkan pihak lain, dengan berpedoman pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Perizinan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan struktur organisasi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (4) Dalam menentukan jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Dewan Komisaris wajib memperhatikan kegiatan yang menjadi tanggung jawab masing-masing jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3). (5) Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris belum - 5 - mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan langsung jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 106 (seratus enam) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (7) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan belum menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, berlaku jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian periode sebelumnya. Pasal 4 Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat. Bagian Kedua Persyaratan Anggota Direksi dan Susunan Direksi Pasal 5 Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. integritas meliputi: 1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2. memiliki akhlak dan moral yang baik; 3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang - 6 - dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum dicalonkan; 5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang diberikan dari kepolisian jika kurang dari 6 (enam) bulan; 6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan 7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia; dan b. kompetensi meliputi: 1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal termasuk perkembangan Pasar Modal internasional; 2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip pengelolaan risiko; dan 3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang cukup. Pasal 6 Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b angka 3, anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. paling sedikit seorang anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai pengalaman dalam posisi manajerial pada bidang pengelolaan risiko dan/atau pengelolaan investasi pada - 7 - perusahaan yang bergerak di bidang keuangan atau posisi manajerial yang membawahi jasa kustodian paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah anggota Direksi pada Bank Kustodian, paling singkat 5 (lima) tahun; b. anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lainnya wajib berpengalaman pada: 1. posisi anggota Direksi pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan paling singkat 5 (lima) tahun; 2. posisi manajerial pada bidang teknologi informasi paling singkat 3 (tiga) tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem informasi perusahaan yang bergerak di bidang keuangan; 3. posisi manajerial paling sedikit 1 (satu) tingkat di bawah anggota Direksi atau jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling singkat 3 (tiga) tahun; dan/atau 4. mempunyai pengalaman sebagai profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal, paling singkat 5 (lima) tahun; dan c. jangka waktu atau masa pengalaman anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dihitung sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 7 Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan sebagai direktur utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, wajib mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. - 8 - Bagian Ketiga Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Direksi Pasal 8 (1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara. anggota (2) Dalam pencalonan Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama- sama bertanggung jawab untuk: a. mencari dan menyeleksi calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. meneliti bahwa setiap calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut mempunyai keahlian, pengalaman, dan tanggung jawab untuk setiap jabatan dan kegiatan yang menjadi tugas jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7; dan c. merekomendasikan gaji serta manfaat lain bagi setiap calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika ada). (3) Calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam 1 (satu) kesatuan paket calon Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan memenuhi ketentuan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7. - 9 - (4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengisi jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 9 (1) Dalam pengajuan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan, pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen sebagai berikut: a. riwayat hidup calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; c. fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan keahlian dari calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (jika ada); d. surat pernyataan dari setiap Pihak yang diajukan sebagai calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memuat paling sedikit: 1. menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 7; 2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan calon anggota Direksi lain dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, dan Bank Kustodian yang merupakan partisipan atau pengguna jasa - 10 - Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam paket yang diajukan; 3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan bersedia dipilih menjadi calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), yang berbeda dengan jabatan yang diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); 4. bersedia untuk diangkat menjadi anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh RUPS yang bertanggung jawab untuk kegiatan yang menjadi tugasnya dan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dengan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi lain dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang teratur, wajar, dan efisien; 5. menyatakan tidak melakukan perangkapan jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau institusi lain, apabila yang bersangkutan terpilih sebagai anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 6. menyatakan bahwa calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian setelah menjadi anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tidak akan menggunakan aset Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau melakukan transaksi dan memberi manfaat dalam bentuk apapun kepada - 11 - Afiliasi dari calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, anggota Direksi lain dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Afiliasi dari anggota Direksi lain Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, anggota Dewan Komisaris Penyimpanan dan Penyelesaian, dan/atau Afiliasi dari anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan 7. menyatakan paling sedikit: a) kesediaan untuk tidak memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek selama menjabat sebagai anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 6 (enam) bulan sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan dalam jangka waktu tersebut yang bersangkutan bersedia untuk tidak memiliki hak suara dalam RUPS; b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik; dan/atau c) kesediaan untuk tidak mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik yang dimilikinya sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir; e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian; f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga) lembar; Lembaga - 12 - h. surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dari pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), termasuk rekomendasi mengenai gaji dan manfaat lain apabila calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diangkat menjadi anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, melainkan hanya untuk kepentingan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian khususnya dan Pasar Modal pada umumnya; dan i. rencana strategis calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sejalan dengan visi dan misi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Pengajuan nama calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 56 (lima puluh enam) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Bagian Keempat Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Direksi Pasal 10 (1) Setiap calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan wajib menjalani penilaian - 13 - kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu Deputi Komisioner sebagai ketua merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat direktur sebagai anggota. (3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling sedikit melalui penelitian administratif dan wawancara, dan/atau permintaan presentasi yang paling sedikit meliputi rencana strategis pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian ke depan. (5) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan atas setiap calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian secara individual sesuai dengan jabatan yang diusulkan. (6) Dalam hal diperlukan, Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lain. (7) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat dibantu oleh narasumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menentukan dan menilai bahwa calon anggota Direksi - 14 - Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7 serta merupakan calon terbaik untuk menduduki setiap jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk setiap jabatan wajib memperhatikan komposisi calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 12 Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan proses pencalonan atas calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian apabila calon tersebut menjalani proses hukum. Pasal 13 Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk setiap jabatan dengan memperhatikan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. Pasal 14 Berdasarkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan posisi jabatan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang berbeda dengan posisi jabatan yang diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Pasal 15 (1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang terpilih dari hasil - 15 - penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) untuk 1 (satu) atau lebih jabatan anggota Direksi, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada setiap pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk mengajukan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan, paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah permohonan memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat mengajukan kembali calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (1). (3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 16 (1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sudah lengkap dan calon anggota Direksi telah memenuhi persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan daftar calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terpilih untuk setiap jabatan anggota Direksi beserta fotokopi dokumen calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian - 16 - paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham, daftar calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Daftar calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. Bagian Kelima RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Direksi Pasal 17 (1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Pemanggilan RUPS Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengangkat anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. fotokopi dokumen lengkap - 17 - Pasal 18 (1) Pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon anggota Direksi yang dipilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan jabatannya masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (2) Prosedur pengangkatan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengisi jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (3) RUPS untuk mengangkat anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu anggota Dewan Komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. Pasal 19 (1) Pada saat RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, calon anggota Direksi yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib menjelaskan rencana strategis kepada pemegang saham. (2) Penjelasan dapat juga disampaikan dalam forum lainnya sebelum RUPS yang memungkinkan pemegang saham melakukan interaksi dengan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 20 RUPS menyetujui dan menetapkan gaji dan manfaat lain bagi anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). - 18 - Bagian Keenam Larangan Anggota Direksi Pasal 21 (1) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota Direksi lain dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan/atau anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek. (3) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek, saham tersebut wajib dialihkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan dalam jangka waktu tersebut yang bersangkutan dilarang menggunakan hak suara dalam RUPS Perusahaan Efek dimaksud. (4) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau dilarang mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik. (5) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diangkat oleh RUPS telah memiliki saham Emiten atau Perusahaan Publik, saham tersebut tidak dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir. (6) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang melakukan perangkapan jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau institusi lain dalam jabatan apapun. - 19 - Bagian Ketujuh Jabatan Anggota Direksi Pasal 22 (1) Masa jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sampai dengan penutupan RUPS tahun ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan, dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila seorang jabatan anggota anggota Penyimpanan dan Penyelesaian diangkat untuk mengisi Direksi Lembaga Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, masa jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut berlaku selama sisa masa jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat; b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah jika yang bersangkutan menjabat selama paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan c. keseluruhan masa jabatan anggota Direksi pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. (2) Berakhirnya masa jabatan Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. - 20 - Pasal 23 (1) Dalam hal anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi syarat; b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9; dan c. calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pengganti tersebut wajib memenuhi Pasal 5 sampai dengan Pasal 7. (2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut wajib diisi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dimaksud lowong; dan b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib segera mengajukan calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang akan mengisi jabatan lowong kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9. - 21 - (3) Dalam hal terjadi: a. jabatan direktur utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lowong, salah satu anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib ditunjuk berdasarkan keputusan Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang bertindak sebagai pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan wewenang direktur utama yang lowong tersebut sampai dengan diangkatnya pengganti, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris; b. jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian selain direktur utama lowong, tugas dan wewenang anggota Direksi tersebut berdasarkan keputusan rapat Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dialihkan kepada anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lain sampai dengan diangkatnya pengganti setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris; dan c. penunjukan sementara direktur utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau pengalihan tugas dan wewenang anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dilaporkan oleh Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari setelah penunjukan atau pengalihan. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong sebagaimana ditentukan pada ayat (2) tidak wajib diisi setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (5) Batas waktu penggantian dan/atau pengisian anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 22 - (6) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau dalam hal adanya pengunduran diri anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui atau diterimanya surat pengunduran diri oleh Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (7) Dalam pengisian jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong dan/atau diperlukannya tambahan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. pengisian dan/atau penambahan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9; b. calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang akan diajukan wajib bersedia bekerja sama dengan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang ada; dan c. penambahan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang baru wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9. Pasal 24 Masa jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian berakhir dengan sendirinya apabila: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; - 23 - d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana; e. berhalangan tetap; f. meninggal dunia; dan/atau g. masa jabatan berakhir. Pasal 25 (1) Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan; c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau gagal atau tidak cakap menjalankan tugas. e. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberhentikan sementara dan/atau terjadi kekosongan atas seluruh anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan dapat menunjuk dan menetapkan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk melaksanakan fungsi Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hingga diangkatnya anggota Direksi yang baru oleh RUPS. (3) Dalam hal tidak terdapat anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang dapat melaksanakan fungsi Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berdasarkan usulan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dapat menunjuk dan menetapkan pihak lain sebagai manajemen sementara Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. - 24 - Pasal 26 (1) Pembagian tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) wajib ditetapkan dalam struktur organisasi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan uraian jabatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Penetapan dan/atau perubahan struktur organisasi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sampai 1 (satu) tingkat di bawah anggota Direksi wajib mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 27 Dalam hal Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian menganggap anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang bertanggung jawab dan menjalankan tugas atas beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan pada saat yang bersangkutan diangkat, tidak dapat melaksanakan sebagian tugasnya, berdasarkan keputusan rapat Direksi, sebagian tugasnya dapat dialihkan kepada anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain yang dianggap mampu untuk menjalankan tugas setelah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris dan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 28 Anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang tidak lagi menjabat sebagai anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian karena sebab apapun, tidak berhak menerima gaji dan manfaat lainnya dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh RUPS dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan. - 25 - BAB III DEWAN KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN Bagian Kesatu Keanggotaan Dewan Komisaris Pasal 29 (1) Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. (2) Satu di antara anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib ditetapkan sebagai komisaris utama. Pasal 30 (1) Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 50 (lima puluh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (3) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan belum menetapkan jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, berlaku jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian periode sebelumnya. (4) Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan - 26 - Penyelesaian dalam Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat. Bagian Kedua Persyaratan Anggota Dewan Komisaris dan Susunan Dewan Komisaris Pasal 31 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. integritas meliputi: 1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2. memiliki akhlak dan moral yang baik; 3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum dicalonkan; 5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang diberikan dari kepolisian 6 (enam) bulan; jika kurang dari 6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan 7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia; dan - 27 - b. kompetensi meliputi: 1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal; 2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip pengelolaan risiko; dan 3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang cukup. Pasal 32 (1) Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b angka 3, anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. berpengalaman pada posisi anggota direksi pada Perusahaan Efek paling singkat 2 (dua) tahun; b. berpengalaman pada posisi anggota direksi pada Bank Kustodian atau Biro Administrasi Efek paling sedikit 2 (dua) tahun; c. berpengalaman pada posisi manajerial pada institusi Pasar Modal paling sedikit 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; d. berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling sedikit 2 (dua) tahun; atau e. merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling sedikit 5 (lima) tahun. (2) Komposisi Dewan Komisaris diatur sebagai berikut: a. dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari 5 (lima) orang atau kurang, maka komposisi anggota Dewan Komisaris wajib mempunyai asal usul dan/atau pengalaman yang berbeda; dan - 28 - b. dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari 6 (enam) orang atau lebih, maka paling sedikit komposisi anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam huruf a tetap wajib dipenuhi. (3) Dua atau lebih anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang berasal dari perusahaan yang sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama. (4) Jangka waktu atau masa pengalaman calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan Penyelesaian. dan Bagian Ketiga Tata Cara Pencalonan Dan Pengajuan Anggota Dewan Komisaris Pasal 33 (1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dilakukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara. (2) Dalam pencalonan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-sama bertanggung jawab untuk: a. mencari dan menyeleksi calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; - 29 - b. meneliti tingkat keahlian, pengalaman, dan tanggung jawab sebagai anggota Dewan Komisaris sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan c. merekomendasikan honorarium bagi setiap calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika ada). (3) Calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu) kesatuan paket calon Dewan Komisaris. (4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengisi jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 34 (1) Dalam pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan, pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua), dokumen sebagai berikut: a. riwayat hidup calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; c. fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan tingkat keahlian dari calon anggota Dewan Komisaris (jika ada); d. surat pernyataan dari setiap pihak yang diajukan sebagai calon anggota Dewan Komisaris yang memuat paling sedikit: - 30 - 1. menyatakan bahwa calon anggota Dewan Komisaris telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32; 2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon anggota Dewan Komisaris dengan Perusahaan Efek dan Bank Kustodian yang merupakan partisipan/pengguna jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan 4. bersedia untuk dipilih menjadi anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan untuk bekerja sama sebaik- baiknya dengan anggota Dewan Komisaris lain dan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga Penyimpanan Penyelesaian yang teratur, wajar, dan efisien. e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian; f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga) lembar; dan h. surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon anggota Dewan Komisaris dari pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian termasuk rekomendasi mengenai honorarium apabila calon anggota Dewan Komisaris diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan lain dan - 31 - termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, selain hanya untuk kepentingan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian khususnya dan Pasar Modal pada umumnya. (2) Pengajuan nama calon anggota Dewan Komisaris oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 35 (tiga puluh lima hari) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Bagian Keempat Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Calon Anggota Dewan Komisaris Pasal 35 (1) Setiap calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan wajib menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu Deputi Komisioner sebagai ketua merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat dengan direktur sebagai anggota. (3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling sedikit melalui penelitian administratif dan wawancara, dan/atau permintaan presentasi. - 32 - (5) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat dibantu oleh narasumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 36 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon anggota Dewan Komisaris memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32. (2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memperhatikan komposisi calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32. Pasal 37 Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan proses pencalonan atas calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian apabila calon tersebut menjalani proses hukum. Pasal 38 Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan memperhatikan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. Pasal 39 (1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang terpilih dari hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), untuk 1 (satu) atau lebih - 33 - jabatan anggota Dewan Komisaris, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada setiap pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk mengajukan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan, paling lambat 14 (empat belas) hari setelah permohonan memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat mengajukan kembali calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris, dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1). (3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 40 (1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) sudah lengkap dan telah memenuhi persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan daftar calon anggota Dewan Komisaris terpilih beserta fotokopi dokumen calon anggota Dewan Komisaris kepada Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan - 34 - dan Penyelesaian beserta fotokopi dokumen lengkap paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon anggota Dewan Komisaris dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Daftar calon anggota Dewan Komisaris beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. Bagian Kelima RUPS Dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Pasal 41 (1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (2) Pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 42 (1) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon anggota Dewan Komisaris yang dipilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1). (2) Prosedur pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan - 35 - dan Penyelesaian untuk mengisi jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (3) RUPS untuk mengangkat anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dipimpin oleh direktur utama atau salah satu anggota Direksi dalam hal direktur utama berhalangan. Bagian Keenam Jabatan Anggota Dewan Komisaris Pasal 43 Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan Penyelesaian adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan Penyelesaian sampai dengan penutupan RUPS tahun ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila seorang anggota Dewan Komisaris diangkat karena menggantikan jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan Penyelesaian yang lowong dan/atau ada tambahan anggota Dewan Komisaris baru, masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan Penyelesaian tersebut berlaku selama sisa masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan Penyelesaian yang sedang menjabat; b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah jika yang bersangkutan menjabat selama paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan c. keseluruhan masa jabatan anggota Dewan Komisaris pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. - 36 - Pasal 44 (1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi syarat; b. pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34; dan c. calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pengganti tersebut wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32. (2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong, Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui oleh Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (3) Dalam pengisian jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk menggantikan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong dan/atau diperlukannya tambahan anggota Dewan Komisaris baru, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. penggantian atau penambahan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 34; - 37 - b. calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang akan diajukan wajib bersedia bekerja sama dengan dan tidak memperoleh keberatan dari anggota Dewan Komisaris yang ada; dan c. penambahan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian baru wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 35. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diisi setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (5) Batas waktu penggantian anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 45 Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian berakhir dengan sendirinya apabila: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana; e. berhalangan tetap; f. meninggal dunia; dan/atau g. masa jabatan berakhir. - 38 - Pasal 46 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan; c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas. Pasal 47 Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mengadakan rapat paling sedikit 1 (satu) bulan sekali yang dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu anggota Dewan Komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. Pasal 48 Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk komite audit dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a. ketua komite audit dan ketua Komite Remunerasi adalah salah seorang anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; b. komite audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang independen kepada Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terhadap laporan atau hal yang disampaikan oleh Direksi kepada Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta mengidentifikasikan hal yang memerlukan perhatian Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan c. anggota komite audit wajib memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan. - 39 - Pasal 49 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika pengangkatan anggota Dewan Komisaris Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 50 Honorarium bagi anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh RUPS. Pasal 51 Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang tidak lagi menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian karena sebab apapun, tidak berhak menerima honorarium dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh RUPS dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah honorarium dari sisa masa jabatan. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 52 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: ada), sebelum pelaksanaan RUPS Lembaga - 40 - a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 53 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 54 Dalam hal terdapat pengajuan pengisian jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengganti seluruhnya, mengisi jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang lowong atau tidak memenuhi syarat, menambah anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, tata cara pengajuan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris tersebut mengikuti - 41 - ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris yang berlaku pada saat pengajuan. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 55 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-14/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009 tentang Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, beserta Peraturan Nomor III.C.3 yang merupakan lampirannya; dan 2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-108/BL/2008 tanggal 10 April 2008 tentang Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, beserta Peraturan Nomor III.C.8 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 56 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 42 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 314 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 60 /POJK.04/2016 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN I. UMUM Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menetapkan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan di bidang jasa keuangan termasuk Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berkepentingan untuk menjaga agar Pasar Modal tetap terselenggara secara teratur, wajar, transparan dan efisien. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan yang berlaku bagi setiap Pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Pasar Modal salah satunya adalah Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang didirikan untuk menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak lain. Dalam rangka meningkatkan tata kelola Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang baik dan berdaya saing global, diperlukan Direksi dan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. - 2 - Pengaturan mengenai Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian saat ini telah diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.C.3 tentang Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-14/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009 (Peraturan Nomor III.C.3 tentang Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian), sedangkan pengaturan mengenai Komisaris Lembaga Penyimpanan Penyelesaian diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.C.8 tentang Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep- 108/BL/2008 tanggal 10 April 2008 (Peraturan Nomor III.C.8 tentang Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian). Memperhatikan hal tersebut perlu untuk dilakukan perubahan dan penggabungan terhadap Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.C.3 tentang Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.C.8 tentang Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi Dan Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keputusan yang bersifat final” adalah keputusan yang ditetapkan direktur utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sehingga rapat Direksi Lembaga Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tidak dapat mengambil - 3 - keputusan, maka keputusan akan ditentukan oleh direktur utama. Keputusan yang ditetapkan oleh direktur utama adalah salah satu dari dua atau lebih pendapat yang disampaikan dalam rapat Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Perizinan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang berlaku adalah Peraturan Nomor III.C.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-12/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Perizinan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. - 4 - Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah : 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Penilaian terhadap kriteria pada angka ini dilakukan paling sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan atau tindak pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. penjara - 5 - Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Dalam hal calon Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terdiri dari 4 (empat) orang dan setelah komposisi Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memenuhi persyaratan pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, maka calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lainnya tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a. Huruf b Dalam hal calon Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terdiri dari 5 (lima) orang dan setelah komposisi Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memenuhi persyaratan pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, maka calon anggota Direksi lainnya tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf b. Huruf c Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. - 6 - Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Rekomendasi gaji dan manfaat lain bagi calon Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing- masing jabatan anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing-masing calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan proses hukum pada ayat ini adalah proses penyidikan atau peradilan (termasuk banding dan kasasi) dalam perkara tindak pidana yang meliputi: 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, di bidang Pasar Modal dan di bidang Industri Keuangan Non Bank; - 7 - 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. - 8 - Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah : 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Huruf e Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” paling sedikit sakit permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. - 9 - Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah : 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; - 10 - narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Penilaian terhadap kriteria pada angka ini dilakukan paling sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan dan tindak pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon anggota Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. - 11 - Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Rekomendasi honorarium bagi calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-masing anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing-masing calon anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. - 12 - Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah: 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di - 13 - bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Huruf e Yang dimaksud “berhalangan tetap” paling sedikit sakit permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. - 14 - Pasal 54 Pada saat peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris yang berlaku adalah: 1. Peraturan Nomor III.C.3, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-14/BL/2009 tanggal 30 Januari 2009 tentang Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan 2. Peraturan Nomor III.C.8, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep- 108/BL/2008 tanggal 10 April 2008 tentang Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6002
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 60/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title> <set_date> 20 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-108/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'Kep-14/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-108/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.3', 'Kep-14/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.8' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 50 /POJK.04/2016 TENTANG PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai penyelenggara dana perlindungan pemodal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap penyelenggara dana perlindungan pemodal, peraturan mengenai Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Aset Pemodal adalah Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek, dan/atau dana milik Pemodal yang dititipkan pada Kustodian. 2. Dana Perlindungan Pemodal adalah kumpulan dana yang dibentuk untuk melindungi Pemodal dari hilangnya Aset Pemodal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal. 3. Pemodal adalah nasabah dari Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening Efek nasabah dan Bank Kustodian. 4. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak- hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 5. Direksi adalah organ penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal yang berwenang dan bertanggung jawab penuh - 3 - atas pengurusan penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal untuk kepentingan penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, sesuai dengan maksud dan tujuan penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal serta mewakili penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 6. Dewan Komisaris adalah organ penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. BAB II PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL Bagian Kesatu Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal Pasal 2 Pihak yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal adalah perseroan terbatas yang telah mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 3 Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan pengelolaan Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 4 Dalam menyelenggarakan dan mengelola Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib: a. memisahkan penyimpanan, pencatatan, dan pembukuan antara harta kekayaan Penyelenggara Dana Perlindungan - 4 - Pemodal dengan harta kekayaan Dana Perlindungan Pemodal; b. menyimpan Efek dalam rangka investasi Dana Perlindungan Pemodal pada Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal; c. menempatkan uang tunai dari Dana Perlindungan Pemodal pada rekening bank dan/atau tempat penyimpanan yang terpisah dari rekening operasional dan/atau tempat penyimpanan uang tunai Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; d. membuat dan menyampaikan laporan yang mencakup kegiatan dan posisi keuangan bulanan, laporan keuangan tengah tahunan, dan laporan keuangan tahunan Dana Perlindungan Pemodal kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan e. menyediakan tempat penyimpanan yang aman atas harta kekayaan Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 5 Harta kekayaan Dana Perlindungan Pemodal bukan merupakan harta kekayaan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 6 Dalam menyelenggarakan dan mengelola Dana Perlindungan Pemodal Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal berwenang untuk: a. mewakili Dana Perlindungan Pemodal baik di dalam maupun di luar pengadilan; b. melakukan investasi atas Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal, dengan tujuan meningkatkan nilai Dana Perlindungan Pemodal secara optimal dengan mempertimbangkan hasil dan risiko investasi; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, - 5 - c. memungut iuran dari anggota Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal; d. mewakili Dana Perlindungan Pemodal untuk melaksanakan upaya pengembalian atau penggantian dana dari Dana Perlindungan Pemodal yang telah dibayarkan kepada Pemodal, dari Kustodian yang menyebabkan Aset Pemodal dimaksud hilang; e. menerima dan memasukkan ke dalam harta kekayaan Dana Perlindungan Pemodal atas: 1. dana yang diperoleh Dana Perlindungan Pemodal dari Kustodian sebagai pengganti dari Pemodal sebagai pelaksanaan hak subrogasi; 2. hasil investasi; dan/atau 3. dana dan/atau aset dari sumber lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; f. membayar biaya sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan Dana Perlindungan Pemodal; g. menetapkan persyaratan, prosedur atau petunjuk teknis mengenai keanggotaan, penanganan ganti rugi, dan kebijakan investasi Dana Perlindungan Pemodal, dan hal lain yang berkaitan dengan tugas Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, dengan ketentuan persyaratan, prosedur atau petunjuk teknis dimaksud termasuk perubahannya mulai berlaku setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan; h. mengusulkan kepada Otoritas Jasa Keuangan jumlah maksimal klaim untuk setiap Pemodal dan/atau keseluruhan Pemodal dalam 1 (satu) Kustodian dengan mempertimbangkan rekomendasi komite klaim; i. melakukan pemeriksaan, verifikasi, dan membuat analisa dalam rangka pengambilan keputusan menerima atau menolak pembayaran klaim Pemodal; j. menunjuk pihak ketiga untuk membantu proses pemeriksaan dan verifikasi klaim Pemodal; - 6 - k. meminta Kustodian dan Pemodal untuk memberikan kuasa dalam rangka mendapatkan informasi dan dokumen yang diperlukan dalam rangka verifikasi klaim Pemodal, dengan tetap memperhatikan ketentuan kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan; l. melakukan pembayaran dan tindakan lainnya sehubungan dengan klaim Pemodal yang telah dinyatakan sah untuk dibayarkan; dan m. memberikan masukan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai tahapan perlindungan, keanggotaan, dan cakupan perlindungan berdasarkan kemampuan Dana Perlindungan Pemodal dengan memperhatikan kemampuan dan kebutuhan Dana Perlindungan Pemodal. Bagian Kedua Permodalan dan Pemegang Saham Pasal 7 (1) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib memiliki modal dasar paling sedikit sebesar Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar Rupiah) dan modal ditempatkan dan disetor paling Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar Rupiah). sedikit (2) Dalam rangka memperkuat permodalan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, Otoritas Jasa Keuangan: a. dapat meminta pemegang saham Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal untuk meningkatkan permodalan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dengan mempertimbangkan kebutuhan operasional atau kondisi kegiatan dari Dana Perlindungan Pemodal; dan/atau b. dapat memberikan persetujuan kepada badan hukum di bidang keuangan atau lembaga lainnya yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan - 7 - penyertaan modal sebagai pemegang saham dalam Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. (3) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dilarang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh orang perseorangan yang: a. pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang Pasar Modal dan jasa keuangan baik di Indonesia maupun di luar Indonesia; dan b. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik. (4) Pada saat pendirian, Pihak yang dapat menjadi pemegang saham Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal adalah Bursa Efek, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Lembaga Kliring dan Penjaminan. (5) Pemegang saham Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dilarang mempunyai hubungan dengan pemegang saham lainnya dari Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal yang sama melalui: a. kepemilikan langsung maupun tidak langsung paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari saham yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, kecuali kepemilikan oleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; b. perangkapan jabatan sebagai Dewan Komisaris atau anggota Direksi oleh anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi dari pemegang saham, atau yang setara dengan jabatan tersebut; dan/atau c. pengendalian di bidang pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama. - 8 - Bagian Ketiga Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Pasal 8 (1) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib memenuhi persyaratan integritas sebagai berikut: a. orang perseorangan Warga Negara Indonesia; b. cakap melakukan perbuatan hukum; c. memiliki akhlak dan moral yang baik; d. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pihak yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu badan hukum dinyatakan pailit; e. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang Pasar Modal dan/atau jasa keuangan baik di Indonesia maupun di luar Indonesia; f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya; g. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; h. mempunyai komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; dan i. mempunyai komitmen terhadap pengembangan Dana Perlindungan Pemodal pada khususnya dan Pasar Modal pada umumnya. (2) Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib memenuhi persyaratan kompetensi dan keahlian sebagai berikut: a. bagi anggota Direksi: 1. memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Pasar Modal dan/atau jasa keuangan yang memadai dan relevan dengan jabatannya, - 9 - dengan ketentuan berpendidikan paling rendah setingkat sarjana strata 1; 2. memiliki pengalaman di bidang Pasar Modal dan jasa keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun pada jabatan manajerial; 3. memiliki pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di Pasar Modal dan bidang jasa keuangan dan wawasan yang luas tentang industri Pasar Modal dan jasa keuangan; dan 4. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-prinsip pengelolaan risiko. b. bagi anggota Dewan Komisaris: 1. memiliki pengetahuan yang memadai di bidang Pasar Modal dan/atau jasa keuangan atau memiliki pengalaman minimal 3 (tiga) tahun pada badan atau perusahaan yang bergerak di bidang Pasar Modal dan/atau jasa keuangan; 2. memiliki pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di Pasar Modal dan bidang jasa keuangan dan wawasan yang luas tentang industri Pasar Modal dan jasa keuangan; dan 3. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-prinsip pengelolaan risiko. Pasal 9 Jumlah anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang anggota Direksi, dan satu diantaranya adalah direktur utama. Pasal 10 Jumlah anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris dan satu diantaranya adalah komisaris utama. - 10 - Pasal 11 Setiap calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal yang akan diajukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham tentang pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, wajib terlebih dahulu menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 12 Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Otoritas Jasa Keuangan dapat membentuk komite. Pasal 13 Penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan paling sedikit melalui penelitian administratif, klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka (jika diperlukan), dan/atau permintaan presentasi yang meliputi namun tidak terbatas atas rencana strategis pengembangan Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 14 Masa jabatan masing-masing anggota Direksi adalah 3 (tiga) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pasal 15 Masa jabatan masing-masing anggota Dewan Komisaris adalah 3 (tiga) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. - 11 - Pasal 16 Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dilarang mempunyai hubungan Afiliasi dengan pengurus Kustodian. Pasal 17 Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dilarang memiliki saham dan/atau sebagai pengendali baik langsung maupun tidak langsung pada Kustodian. Pasal 18 Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dilarang mengendalikan baik langsung maupun tidak langsung Emiten dan/atau Perusahaan Publik dan/atau dilarang melakukan transaksi saham Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 19 Apabila pada saat anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham telah memiliki saham Emiten atau Perusahaan Publik, saham tersebut tidak dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir. Pasal 20 Anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dilarang merangkap dalam jabatan apapun pada perusahaan lain. Pasal 21 Anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib berdomisili di Indonesia. - 12 - Pasal 22 Salah satu dari anggota Direksi dan/atau pejabat 1 (satu) tingkat di bawah anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib memiliki latar belakang pendidikan di bidang hukum. Pasal 23 Masa jabatan anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal berakhir dengan sendirinya apabila anggota Direksi tersebut: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. dinyatakan pailit atau pernah menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; d. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; e. berhalangan tetap; f. meninggal dunia; dan/atau g. masa jabatan berakhir. Pasal 24 Anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila anggota Direksi tersebut: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; b. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya; c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Dana Perlindungan Pemodal; dan/atau e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas. - 13 - Bagian Keempat Tata Cara Perizinan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal Pasal 25 Permohonan pengajuan izin usaha Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format surat Permohonan Izin Usaha sebagai Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 26 Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 disertai dengan dokumen sebagai berikut: a. keterangan detail mengenai pemohon, nama, alamat, nomor telepon, dan faksimili; b. fotokopi akta pendirian yang disahkan oleh instansi yang berwenang dan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang; c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; d. daftar nama dan data anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, meliputi: 1. daftar riwayat hidup yang telah ditandatangani; 2. fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir dan/atau sertifikat keahlian di bidang Pasar Modal; 3. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih berlaku; 4. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; dan 5. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; e. daftar nama dan data pemegang saham, meliputi: 1. fotokopi akta pendirian yang disahkan oleh instansi yang berwenang dan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang; - 14 - 2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak bagi badan hukum Indonesia; 3. keterangan mengenai Pihak yang mengendalikan pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung yang meliputi nama dan bentuk pengendalian; 4. laporan keuangan terakhir; 5. daftar nama dan data anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pengurus meliputi: a) daftar riwayat hidup; b) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang berlaku; dan c) pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; 6. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan; 7. fotokopi rekening koran; 8. bukti penyetoran yang sah dari modal disetor; 9. surat pernyataan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi yang menyatakan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut: a) cakap melakukan perbuatan hukum; b) memiliki akhlak dan moral yang baik; c) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; d) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang Pasar Modal dan/atau jasa keuangan baik di Indonesia maupun di luar Indonesia; e) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya; - 15 - f) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal; g) mempunyai komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; dan h) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Dana Perlindungan Pemodal pada khususnya dan Pasar Modal pada umumnya; 10. surat pernyataan anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak merangkap dalam jabatan apapun pada perusahaan lain; 11. surat pernyataan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan mempunyai atau tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi di Kustodian; 12. keterangan tempat usaha dan foto ruangan kantor; 13. gambaran tentang rencana operasi dan misi; dan 14. struktur organisasi dan uraian tugas pegawai. Pasal 27 Dalam rangka memproses permohonan izin usaha Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka (jika diperlukan), meminta presentasi, melakukan pemeriksaan setempat, dan/atau meminta tambahan dokumen. Pasal 28 Dalam hal permohonan yang diajukan tidak memenuhi persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonannya tidak lengkap; atau b. permohonannya ditolak. - 16 - Pasal 29 Dalam hal permohonan yang diajukan telah memenuhi persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat izin usaha Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal kepada pemohon. Bagian Kelima Operasional dan Pengendalian Internal Pasal 30 Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menjaga dan memelihara kerahasiaan data dan sistem sehubungan dengan Pemodal yang menyampaikan klaim, dengan tingkat keamanan sistem yang memadai. Pasal 31 Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menyimpan seluruh catatan tentang seluruh hal terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya termasuk seluruh transaksi, kesepakatan, catatan akuntansi, dan berkas kerja internal audit, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 32 Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menyusun laporan posisi keuangan Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dengan menggunakan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Pasal 33 (1) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib memiliki paling sedikit fungsi sebagai berikut: a. fungsi investasi; b. fungsi pembukuan dan keuangan; dan c. fungsi pengawasan internal dan kepatuhan. (2) Fungsi investasi dilaksanakan dengan ketentuan meliputi paling sedikit sebagai berikut: - 17 - a. menyusun dan melaksanakan rencana investasi atas Dana Perlindungan Pemodal sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal; b. mengawasi perkembangan investasi atas jumlah yang tidak akan digunakan segera dari Dana Perlindungan Pemodal; dan c. melakukan penyetoran hasil investasi Dana Perlindungan Pemodal ke dalam Dana Perlindungan Pemodal; (3) Fungsi pembukuan dan keuangan dilaksanakan dengan ketentuan paling sedikit meliputi sebagai berikut: a. membuat dan menyelenggarakan pencatatan dan pembukuan atas seluruh transaksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum; b. membuat dan menyelenggarakan pencatatan dan pembukuan atas seluruh transaksi dan kegiatan sehubungan dengan Dana Perlindungan Pemodal sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan terpisah dari pencatatan dan pembukuan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; c. memastikan bahwa pencatatan dan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b tersebut terselenggara dan tersimpan dengan baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; d. menyusun laporan keuangan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan ketentuan catatan atas laporan keuangan paling sedikit wajib memuat hal sebagai berikut: 1. pengeluaran biaya yang berkaitan dengan Pihak terafiliasi dengan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; - 18 - 2. pengeluaran biaya yang berkaitan dengan Pihak terafiliasi dengan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; dan 3. pengeluaran biaya berupa gaji, manfaat lain, dan fasilitas yang diberikan kepada anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; e. melakukan kegiatan perbendaharaan, yakni menerima dana dan memungut iuran Dana Perlindungan Pemodal dan mengeluarkan biaya yang terkait dengan Dana Perlindungan Pemodal; f. menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan dengan berpedoman pada prinsip efisiensi Pasar Modal dalam bentuk rencana kerja dan anggaran tahunan yang sistematis, akurat, dan tepat waktu; dan g. apabila terdapat keraguan atau perbedaan dalam pencatatan yang dilakukan oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dengan pihak lain atas transaksi yang dilakukan sehubungan dengan Dana Perlindungan Pemodal, Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib mengadakan rekonsiliasi dengan pihak terkait tersebut untuk memastikan akurasi pembukuan. (4) Fungsi pengawasan internal dan kepatuhan dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta prosedur operasi standar dan kode etik Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal yang berlaku; b. memproses setiap pengaduan Pemodal dan masyarakat yang terkait dengan pelaksanaan tanggung jawab Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; dan c. memastikan bahwa pegawai pengawasan internal dan kepatuhan memiliki akses ke pembukuan setiap waktu. - 19 - Bagian Keenam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan Pasal 34 Rencana kerja dan anggaran tahunan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlaku. Pasal 35 (1) Rencana kerja dan anggaran tahunan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib disusun paling singkat untuk 1 (satu) tahun buku yang dimulai pada tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berikutnya dan memuat paling sedikit: a. rencana kerja yang menguraikan paling sedikit kegiatan operasional dan kegiatan khusus yang direncanakan akan dilakukan oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; b. anggaran pendapatan yang bersumber dari: 1. setoran modal para pemegang saham; 2. jasa pengelolaan Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal; dan 3. sumber pendapatan lain yang disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan; c. anggaran pengeluaran biaya yang disusun berdasarkan fungsi sesuai struktur organisasi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; d. rencana pengeluaran biaya berupa gaji, manfaat lain, dan fasilitas dari anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; dan e. keterangan mengenai kontrak yang nilainya material, dan kontrak antara Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dengan: - 20 - 1. Pihak yang terafiliasi dengan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; dan 2. Pihak yang terafiliasi dengan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. (2) Anggaran tahunan wajib disajikan secara perbandingan dengan anggaran tahun sebelumnya. (3) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menyampaikan laporan realisasi anggaran kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui anggota Dewan Komisaris, dengan ketentuan bahwa laporan tersebut disampaikan secara kumulatif triwulanan dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke- 12 (dua belas) setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. (4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, laporan dimaksud wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. Bagian Ketujuh Laporan Dana Perlindungan Pemodal Pasal 36 (1) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. laporan kegiatan dan posisi keuangan bulanan Dana Perlindungan Pemodal paling lambat pada tanggal 15 pada bulan berikutnya; b. laporan keuangan tengah tahunan Dana Perlindungan Pemodal paling lambat pada akhir bulan pertama setelah tanggal laporan keuangan tengah tahunan; dan c. laporan keuangan tahunan Dana Perlindungan Pemodal yang diaudit oleh Akuntan dengan pendapat yang lazim paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan. - 21 - (2) Dalam hal batas waktu tanggal pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, laporan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 37 Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap perubahan berkaitan dengan: a. keterangan detail mengenai Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, yang meliputi nama, alamat, nomor telepon, dan faksimili Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; b. anggaran dasar Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; c. struktur organisasi dan uraian tugas pegawai sampai dengan 1 (satu) level di bawah anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; d. prosedur dan standar operasi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; e. status hubungan Afiliasi antara anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dengan anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi lain dari Kustodian; dan f. laporan perubahan material yang mempengaruhi operasi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah kejadian. Pasal 38 (1) Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan hal sebagai berikut: a. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dan laporan kegiatan tahunan yang ditandatangani oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, paling lambat akhir bulan ke-3 (tiga) setelah tanggal - 22 - laporan keuangan tahunan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; b. pengunduran diri anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat pengunduran diri yang bersangkutan; c. hasil Rapat Umum Pemegang Saham Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak tanggal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham tersebut, dengan ketentuan akta notarial Rapat Umum Pemegang Saham Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal tersebut wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah akta tersebut diterima oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; dan d. informasi dan data yang digunakan dalam proses penanganan klaim sampai dengan pembayaran klaim beserta dokumen terkait, setiap saat apabila diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menunda pengunduran diri anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, jika pengunduran diri tersebut dapat mempengaruhi kinerja dan operasional Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 39 Rencana perubahan pemegang saham Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapat persetujuan. - 23 - Pasal 40 Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana perubahan pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengadakan klarifikasi lebih lanjut melalui tatap muka (jika diperlukan), meminta presentasi, melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan atas calon pemegang saham, dan/atau meminta tambahan dokumen. Pasal 41 Rencana perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, termasuk pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapat persetujuan. Bagian Kedelapan Penanganan Klaim Pasal 42 Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal melakukan kegiatan penanganan klaim Pemodal yang kehilangan Aset Pemodal setelah Otoritas Jasa Keuangan menyatakan terdapat kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal. Pasal 43 Dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah menerima penetapan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib: a. mengumumkan kepada masyarakat baik melalui surat kabar maupun media lainnya termasuk situs web Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal apabila telah terjadi peristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan - 24 - tentang Dana Perlindungan Pemodal dan mengundang Pemodal terkait agar menyampaikan klaim kepada Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dalam waktu tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pengumuman dilakukan; b. mengusulkan pembentukan komite klaim kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan c. membentuk tim verifikasi klaim. Pasal 44 (1) Komite klaim beranggotakan paling sedikit 7 (tujuh) orang yang terdiri dari: a. paling sedikit 2 (dua) orang pejabat Otoritas Jasa Keuangan; b. paling sedikit 3 (tiga) orang perwakilan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; c. paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; dan d. paling sedikit 1 (satu) orang profesional di bidang Pasar Modal dan/atau perwakilan lembaga perlindungan konsumen. (2) Susunan anggota komite klaim wajib mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Komite klaim memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: a. mengawasi dan memberikan pedoman mengenai pemeriksaan dan proses verifikasi klaim Pemodal yang dilakukan oleh tim verifikasi yang dibentuk untuk menangani suatu klaim Pemodal oleh anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; b. memberikan rekomendasi kepada anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal mengenai diterima atau ditolaknya klaim atas kehilangan Aset Pemodal yang diajukan Pemodal terhadap Dana Perlindungan Pemodal serta jumlah pembayaran dalam hal klaim diterima; dan - 25 - c. memberikan usulan kepada anggota Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal atas proporsi jumlah maksimal klaim yang disetujui untuk setiap Pemodal dan untuk setiap Kustodian dalam hal aset Dana Perlindungan Pemodal tidak mencukupi. (4) Penanganan klaim Pemodal dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pemodal menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dengan menggunakan formulir tertentu yang ditetapkan oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dan melampirkan dokumen, data, informasi maupun bukti lainnya sebagaimana disyaratkan dalam formulir tersebut; b. penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dengan pernyataan secara tertulis untuk mengalihkan seluruh hak tagih Pemodal terhadap Kustodian sebesar nilai Aset Pemodal yang hilang yang diganti Dana Perlindungan Pemodal kepada Dana Perlindungan Pemodal; c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat disertai dengan pemberian kuasa kepada Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal untuk mewakili Pemodal dalam rangka meminta penggantian kerugian atas hilangnya Aset Pemodal yang tidak diberi ganti rugi oleh Dana Perlindungan Pemodal; d. penggantian kerugian atas hilangnya Aset Pemodal yang diperoleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dari pelaksanaan kuasa sebagaimana dimaksud dalam huruf c setelah dikurangi biaya yang telah dikeluarkan wajib dikembalikan kepada Pemodal; e. Pemodal memberikan kuasa kepada Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal untuk mendapatkan - 26 - informasi terkait Pemodal dari Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan/atau Pihak lain; f. tim verifikasi melakukan pemeriksaan dan verifikasi atas klaim pemodal berdasarkan dokumen, data, dan bukti lainnya yang disampaikan pemodal dan dokumen/data lain yang diperoleh dari Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Kustodian, dan/atau pihak lain; g. dalam waktu tidak lebih dari 2 (dua) bulan atau waktu lainnya yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dari batas waktu permohonan klaim disampaikan dan diterima oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, tim verifikasi klaim melaporkan hasil pemeriksaan dan verifikasinya kepada komite klaim; h. laporan tim verifikasi kepada komite klaim sebagaimana dimaksud dalam huruf g paling sedikit memuat informasi mengenai Pemodal, nilai Aset Pemodal yang hilang yang dialami setiap Pemodal, dan total nilai Aset Pemodal yang hilang pada 1 (satu) Kustodian; i. komite klaim melakukan penelaahan atas hasil laporan pemeriksaan dan verifikasi yang dilakukan oleh tim verifikasi klaim dan menyusun rekomendasi kepada Direksi Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal berupa diterima atau ditolaknya klaim yang diajukan oleh Pemodal, jumlah ganti rugi untuk setiap Pemodal maupun jumlah total ganti rugi pada 1 (satu) Kustodian; dan j. Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal melakukan pembayaran ganti rugi kepada Pemodal melalui rekening yang disebutkan oleh Pemodal dalam formulir permohonan. - 27 - Pasal 45 Dalam hal klaim yang diajukan Pemodal atas Dana Perlindungan Pemodal tidak diterima oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, Pemodal berhak mengajukan keberatan atas keputusan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan prosedur sebagai berikut: a. Pemodal menyampaikan permohonan dengan mengisi formulir yang ditentukan dalam petunjuk teknis dan pedoman penanganan dan pembayaran klaim yang diterbitkan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal dengan melampirkan dokumen, data, informasi, dan bukti lainnya sebagaimana disyaratkan dalam formulir tersebut; b. permohonan disampaikan dalam jangka waktu tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal; dan c. dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menetapkan bahwa klaim dapat diganti rugi oleh Dana Perlindungan Pemodal, Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib dalam waktu tidak lebih lama dari 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya penetapan dari Otoritas Jasa Keuangan melakukan pembayaran kepada Pemodal tersebut sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 46 Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib menyampaikan laporan hasil pelaksanaan penanganan klaim kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan ketentuan laporan dimaksud memuat paling sedikit informasi tentang jumlah nasabah yang diberikan ganti rugi, total nilai ganti rugi, sisa Dana Perlindungan Pemodal, dan rencana pelaksanaan hak subrogasi. tidak diterimanya klaim oleh - 28 - Bagian Kesembilan Pelaksanaan Hak Subrogasi Dana Perlindungan Pemodal Pasal 47 (1) Hak subrogasi Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Dana Perlindungan Pemodal diwakili oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. (2) Dalam menjalankan tugas mewakili Dana Perlindungan Pemodal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal wajib melakukan upaya pengembalian dana dari Dana Perlindungan Pemodal yang telah dibayarkan kepada Pemodal. (3) Hasil pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah dikurangi biaya yang telah dikeluarkan wajib disetor oleh Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal ke dalam Dana Perlindungan Pemodal. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 48 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. - 29 - (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 49 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 50 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 51 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-716/BL/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal, beserta Peraturan Nomor VI.A.5 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 30 - Pasal 52 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 279 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 50 /POJK.04/2016 TENTANG PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-716/BL/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal beserta Peraturan Nomor VI.A.5 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggara Dana Perlindungan Pemodal. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Prinsip tata kelola perusahaan yang baik dimaksud biasa disebut juga dengan good corporate governance, - 3 - sedangkan prinsip-prinsip pengelolaan risiko dimaksud biasa disebut juga dengan risk management. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Prinsip tata kelola perusahaan yang baik dimaksud biasa disebut juga dengan good corporate governance, sedangkan prinsip-prinsip pengelolaan risiko dimaksud biasa disebut juga dengan risk management. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. - 4 - Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. - 5 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. - 6 - Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5975
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 50/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARA DANA PERLINDUNGAN PEMODAL </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-716/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK//2012', 'Kep-716/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK//2012 | Lampiran Peraturan Nomor VI.A.5' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
1 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /POJK.04/2017 TENTANG PELAPORAN TRANSAKSI EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk meningkatkan integritas pasar, memperbaiki kualitas pembentukan harga di pasar, dan memperkuat fungsi pengawasan transaksi atas efek bersifat utang dan sukuk, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pelaporan Transaksi Efek; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia -2- Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PELAPORAN TRANSAKSI EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif atas Efek. 2. Transaksi Efek adalah setiap aktivitas atau kontrak dalam rangka memperoleh, melepaskan, atau menggunakan Efek yang mengakibatkan terjadinya pengalihan kepemilikan atau tidak mengakibatkan terjadinya pengalihan kepemilikan. 3. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. 4. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak- Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 5. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. 6. Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan -3- berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset Surat Berharga Syariah Negara, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 7. Surat Berharga Negara adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 8. Penerima Laporan Transaksi Efek yang selanjutnya disingkat PLTE adalah Pihak yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menyediakan sistem dan/atau sarana dan menerima pelaporan Transaksi Efek. 9. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain. 10. Partisipan adalah Perantara Pedagang Efek, bank, atau Pihak lain yang disetujui Otoritas Jasa Keuangan, yang menggunakan sistem dan/atau sarana pelaporan Transaksi Efek dan terdaftar pada PLTE. 11. Transaksi Repurchase Agreement adalah kontrak jual atau beli Efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. 12. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat Republik Indonesia. 13. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang. 14. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. -4- 15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah Pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi bank Kustodian, perusahaan efek, dan Pihak lain. 16. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek, pinjam-meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek atau harga Efek. 17. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa. 18. Sukuk adalah Efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya. 19. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain. Pasal 2 Setiap Pihak dapat melakukan Transaksi Efek di pasar sekunder, baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek. BAB II PELAPORAN TRANSAKSI EFEK Bagian Kesatu Transaksi Efek yang Wajib Dilaporkan Pasal 3 (1) Transaksi Efek yang wajib dilaporkan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini adalah transaksi atas: -5- a. Efek bersifat utang dan Sukuk yang telah dijual melalui penawaran umum; obligasi konversi b. yang diterbitkan untuk penambahan modal dengan atau tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu; c. Surat Berharga Negara; dan d. Efek lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk dilaporkan. (2) Kewajiban pelaporan Transaksi Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya berlaku terhadap Efek yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Pasal 4 Transaksi Efek yang wajib dilaporkan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini meliputi jenis transaksi sebagai berikut: a. jual beli putus; b. hibah atau hibah wasiat; c. hadiah, sumbangan, gratifikasi, dan sejenisnya; d. pewarisan; e. tukar-menukar; f. pengalihan karena penetapan pengadilan; g. pengalihan karena penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan; h. pinjam-meminjam; i. Transaksi Repurchase Agreement; j. pemindahbukuan Efek yang dilakukan oleh Pihak dengan identitas yang sama; k. pembelian kembali; l. peralihan Efek dalam rangka penciptaan dan pembelian kembali (pelunasan) unit penyertaan reksa dana yang diperdagangkan di Bursa Efek; m. konversi menjadi Efek lain; n. penjaminan Efek selain dalam rangka penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa yang ditempatkan pada Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan -6- o. jenis transaksi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Mekanisme Pelaporan Transaksi Efek Pasal 5 Laporan atas Transaksi Efek wajib disampaikan secara elektronik dengan menggunakan sistem dan/atau sarana yang disediakan oleh PLTE. Pasal 6 Hal yang wajib dilaporkan dalam sistem dan/atau sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi: a. nama dan seri Efek; b. nomor tunggal identitas pemodal dan nama Pihak penjual/pemilik awal/pemilik rekening serah; c. nomor tunggal identitas pemodal dan nama Pihak pembeli/pemilik akhir/pemilik rekening terima; d. jenis rekening Efek (rekening sendiri atau rekening nasabah); e. harga transaksi; f. imbal hasil; g. volume transaksi; h. nilai transaksi; i. j. k. jenis transaksi; l. waktu transaksi (tanggal, jam, dan menit); waktu pelaporan atau waktu instruksi kepada Partisipan; tanggal penyelesaian transaksi; m. status kepemilikan; n. nama Kustodian jual dan Kustodian beli; o. nama Perantara Pedagang Efek (jika ada); p. identitas Partisipan; q. Nomor Pokok Wajib Pajak (jika ada); r. tingkat harga dan jangka waktu transaksi khusus untuk transaksi pinjam-meminjam; dan -7- s. jenis Transaksi Repurchase Agreement, tanggal kontrak, mata uang kontrak, tingkat harga, jangka waktu transaksi, marjin awal atau haircut Efek, dan status sebagai prinsipal/agen khusus untuk Transaksi Repurchase Agreement. Pasal 7 Setiap Pihak yang melakukan Transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib menyampaikan laporan atas setiap Transaksi Efek yang dilakukannya kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui PLTE, dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di Bursa Efek, pelaporan atas Transaksi Efek tersebut dilakukan oleh: 1. Bursa Efek untuk kepentingan Pihak yang melakukan Transaksi Efek dimaksud; dan 2. Partisipan yang melakukan Transaksi Efek, Partisipan yang menyelesaikan Transaksi Efek, atau Partisipan yang ditunjuk oleh Pihak yang melakukan Transaksi Efek dimaksud atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang belum dilaporkan oleh Bursa Efek; b. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di penyelenggara pasar lainnya, pelaporan atas Transaksi Efek tersebut dilakukan oleh: 1. penyelenggara pasar lainnya untuk kepentingan Pihak yang melakukan Transaksi Efek dimaksud; dan 2. Partisipan yang merupakan anggota penyelenggara pasar lainnya, yang melakukan Transaksi Efek baik untuk kepentingannya sendiri ataupun kepentingan Pihak lain atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang belum dilaporkan oleh penyelenggara pasar lainnya; c. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek dan/atau penyelenggara pasar lainnya, dan Transaksi Efek tersebut dilakukan oleh atau melalui Partisipan, -8- pelaporan atas Transaksi Efek tersebut dilakukan oleh Partisipan; d. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek dan/atau penyelenggara pasar lainnya, dan Transaksi Efek tersebut dilakukan tidak melalui Partisipan dan penyelesaiannya dilakukan melalui Partisipan, pelaporannya dilakukan oleh Partisipan yang menyelesaikan Transaksi Efek; e. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek dan/atau penyelenggara pasar lainnya, dan Transaksi Efek serta penyelesaiannya dilakukan tidak melalui Partisipan, pelaporan atas Transaksi Efek tersebut dilakukan melalui Partisipan yang wajib ditunjuk oleh Pihak yang melakukan Transaksi Efek; f. dalam hal Transaksi Efek dilakukan dengan Pemerintah atau Bank Indonesia di luar Bursa Efek dan/atau penyelenggara pasar lainnya, pelaporan atas Transaksi Efek tersebut wajib dilakukan oleh lawan transaksi Pemerintah atau Bank Indonesia, melalui Partisipan sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam huruf c, huruf d, dan huruf e; dan g. dalam hal Transaksi Efek adalah konversi menjadi Efek lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf m, pelaporan atas Transaksi Efek tersebut wajib dilakukan oleh Pihak yang melakukan konversi menjadi Efek lain tersebut melalui Partisipan sesuai dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam huruf c, huruf d, dan huruf e. Pasal 8 (1) Waktu penyampaian laporan atas Transaksi Efek wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal pelaporan Transaksi Efek dilakukan melalui Bursa Efek dan/atau penyelenggara pasar lainnya dan Partisipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b, pelaporan Transaksi Efek dilakukan sebagai berikut: -9- 1. Bursa Efek atau penyelenggara pasar lainnya wajib melaporkan data perdagangan atas setiap transaksi dimaksud seketika setelah transaksi terjadi sesuai dengan data Transaksi Bursa atau data transaksi pada penyelenggara pasar lainnya; dan 2. Partisipan wajib melaporkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang belum dilaporkan melalui Bursa Efek atau penyelenggara pasar lainnya paling lambat pada hari yang sama dengan Transaksi Efek dilakukan; b. dalam hal pelaporan Transaksi Efek dilakukan oleh atau melalui Partisipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c sampai dengan huruf g, Partisipan wajib melaporkan setiap Transaksi Efek sesegera mungkin paling lambat 30 (tiga puluh) menit dengan ketentuan: 1. setelah Transaksi Efek terjadi, jika Transaksi Efek dilakukan oleh atau melalui Partisipan; atau 2. jika Transaksi Efek tidak dilakukan melalui Partisipan: a) setelah instruksi penyelesaian diterima oleh Partisipan dalam hal penyelesaian Transaksi Efek dilakukan melalui Partisipan; atau b) setelah Partisipan menerima laporan Transaksi Efek dalam hal penyelesaian Transaksi Efek dilakukan tidak melalui Partisipan; c. pelaporan nama Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf n wajib disampaikan dengan ketentuan paling lambat: 1. pada akhir hari Transaksi Efek, jika Transaksi Efek dilakukan melalui Partisipan; atau -10- 2. pada akhir hari diterimanya pelaporan atau instruksi penyelesaian Transaksi Efek oleh Partisipan, jika Transaksi Efek tidak dilakukan melalui Partisipan; dan d. dalam hal Transaksi Efek dilakukan di luar Bursa Efek dan/atau penyelenggara pasar lainnya atas obligasi yang telah jatuh tempo dengan ketentuan: 1. tidak lagi tercatat dan tidak dapat diperdagangkan di Bursa Efek atau penyelenggara pasar lainnya; 2. masih dalam proses restrukturisasi; dan/atau 3. masih dalam proses sengketa, baik di pengadilan maupun di luar pengadilan, namun masih diperdagangkan di pasar sekunder, Partisipan wajib melaporkan Transaksi Efek dimaksud melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c sampai dengan huruf g paling lambat pada hari yang sama dengan Transaksi Efek dilakukan. (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan kondisi lainnya yang berbeda dari pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. Pasal 9 Batas waktu pelaporan Transaksi Efek ditetapkan oleh PLTE dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal Transaksi Efek terjadi, dilaporkan, atau diinstruksikan penyelesaiannya kepada Partisipan sebelum waktu pelaporan, batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dihitung sejak waktu pelaporan dibuka pada hari yang sama dengan Transaksi Efek terjadi atau Transaksi Efek dilaporkan kepada Partisipan; b. dalam hal Transaksi Efek terjadi, dilaporkan, atau diinstruksikan penyelesaiannya kepada Partisipan kurang dari 30 (tiga puluh) menit sebelum penutupan waktu pelaporan, batas waktu pelaporan sebagaimana -11- dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dihitung sejak Transaksi Efek terjadi, dilaporkan, atau diinstruksikan penyelesaiannya kepada Partisipan pada jam pelaporan hari yang sama ditambah dengan sisa waktu pelaporan pada waktu pelaporan hari berikutnya; dan c. dalam hal Transaksi Efek terjadi, dilaporkan, atau diinstruksikan penyelesaiannya kepada Partisipan setelah waktu pelaporan, batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dihitung sejak waktu pelaporan dibuka pada hari kerja selanjutnya sejak Transaksi Efek terjadi atau Transaksi Efek dilaporkan kepada Partisipan. Pasal 10 Penyampaian laporan Transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tidak dikenakan biaya. Bagian Ketiga Koreksi atau Pembatalan atas Pelaporan Transaksi Efek Pasal 11 Partisipan dapat melakukan koreksi atas pelaporan Transaksi Efek sebelum atau setelah pelaksanaan penyelesaian, dalam hal terdapat kesalahan data pelaporan Transaksi Efek, perubahan data Transaksi Efek yang dilaporkan, atau terjadi kondisi tertentu. Pasal 12 Partisipan dapat melakukan pembatalan atas pelaporan Transaksi Efek pada saat sebelum pelaksanaan penyelesaian, dalam hal terdapat kesalahan data pelaporan Transaksi Efek, perubahan data Transaksi Efek yang dilaporkan, atau terjadi kondisi tertentu. Pasal 13 (1) Koreksi atau pembatalan atas pelaporan Transaksi Efek dikenakan biaya. -12- (2) Mekanisme dan biaya koreksi atau pembatalan atas pelaporan Transaksi Efek diatur oleh PLTE. Bagian Keempat Kewajiban PLTE dan Partisipan Pasal 14 (1) PLTE wajib memberikan bukti atas pelaporan Transaksi Efek kepada Partisipan sesegera mungkin setelah pelaporan tersebut diterima oleh PLTE. (2) Partisipan wajib memberikan bukti atas pelaporan Transaksi Efek kepada Pihak yang melaporkan sesegera mungkin setelah Partisipan menerima bukti pelaporan Transaksi Efek dari PLTE. Pasal 15 (1) PLTE wajib menyediakan data transaksi yang dapat diakses publik seketika setelah transaksi dilaporkan tanpa memungut biaya. (2) Data transaksi yang wajib tersedia untuk publik paling sedikit memuat informasi: a. nama dan seri Efek; b. harga transaksi; c. imbal hasil; d. volume transaksi; e. f. nilai transaksi; jenis transaksi; g. tanggal penyelesaian transaksi; dan h. tingkat harga dan jangka waktu transaksi khusus untuk Transaksi Repurchase Agreement dan pinjam- meminjam. (3) Data transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d dikecualikan dari data transaksi yang wajib tersedia dan dapat diakses oleh publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). -13- Pasal 16 (1) PLTE dapat memberikan layanan tambahan dengan atau tanpa mengenakan biaya. (2) Dalam hal PLTE memberikan layanan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), layanan tambahan tersebut wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 17 Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, PLTE wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menetapkan tata cara pendaftaran Partisipan, prosedur dan tata cara pelaporan, jam pelaporan, biaya yang dikenakan kepada Partisipan, sanksi berkaitan dengan penggunaan sistem, dan menyediakan sistem pelaporan elektronik yang dapat diakses oleh Partisipan, dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. menyediakan sistem teknologi informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan yang memungkinkan Otoritas Jasa Keuangan mengawasi pelaporan Transaksi Efek setiap saat; c. menjamin kerahasiaan data Transaksi Efek yang dilaporkan oleh Partisipan kepada PLTE, kecuali data yang wajib disediakan kepada publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; dan d. menerapkan tata cara pelaporan Transaksi Efek dalam kondisi tertentu sesuai dengan rencana kelangsungan usaha yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 18 Partisipan wajib memuat dalam kontrak antara Partisipan dan nasabahnya mengenai ketentuan kewajiban nasabah untuk menyampaikan laporan Transaksi Efek di luar Bursa Efek setelah terjadinya transaksi tersebut. -14- BAB III PENGAWASAN TRANSAKSI EFEK Pasal 19 Untuk pelaksanaan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Transaksi Efek, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib: a. menyampaikan setiap data penyelesaian Transaksi Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui PLTE dengan menggunakan sistem pelaporan elektronik; dan b. mewajibkan Kustodian untuk memasukkan nomor referensi pelaporan yang dihasilkan PLTE, nama dan seri Efek, harga transaksi, serta volume transaksi pada instruksi penyelesaian yang disampaikan kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 20 Untuk pengawasan pelaporan transaksi Surat Berharga Negara, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank Indonesia selaku central registry untuk: a. menyampaikan setiap data penyelesaian transaksi Surat Berharga Negara kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui PLTE dengan menggunakan sistem pelaporan elektronik; dan b. mewajibkan sub registry, bank, dan Pihak lain yang menjadi anggota central registry untuk memasukkan nomor referensi pelaporan yang dihasilkan PLTE, nama dan seri Efek, harga transaksi, serta volume transaksi pada instruksi penyelesaian yang disampaikan kepada central registry. Pasal 21 Penggunaan nomor referensi pelaporan yang dihasilkan PLTE, nama dan seri Efek, harga transaksi, serta volume transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20 serta informasi lain terkait penyelesaian Transaksi Efek diatur oleh PLTE. -15- BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 22 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 23 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. -16- Pasal 24 (1) Dalam hal Partisipan terlambat atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Partisipan dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sesuai dengan akumulasi waktu keterlambatan atas semua transaksi yang dilakukan dalam 1 (satu) bulan. (2) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan atas: a. keterlambatan pelaporan Transaksi Efek yang disebabkan oleh Partisipan jual atau Partisipan beli; b. keterlambatan melengkapi informasi nama Kustodian oleh Partisipan jual atau Partisipan beli; dan/atau c. keterlambatan melengkapi informasi lain yang belum dilaporkan melalui Bursa Efek atau penyelenggara pasar lainnya. (3) Besarnya sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) atas setiap jam keterlambatan pelaporan per laporan atau paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari per laporan, dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per laporan. (4) Pengenaan denda dapat dikecualikan dalam hal kondisi tertentu atau hal lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 PLTE wajib menyesuaikan sistem yang digunakan untuk menerima laporan Transaksi Efek termasuk memfasilitasi sistem penyampaian laporan Transaksi Efek dari Partisipan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku. -17- BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-123/BL/2009 tentang Pelaporan Transaksi Efek beserta Peraturan Nomor X.M.3 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -18- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 122 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /POJK.04/2017 TENTANG PELAPORAN TRANSAKSI EFEK I. UMUM Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menetapkan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan di bidang jasa keuangan termasuk pasar modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berkepentingan untuk menciptakan pasar modal yang teratur, wajar, transparan, dan efisien untuk meneruskan tugas dan fungsi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas yang melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal juga melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditetapkan ketentuan yang harus dipenuhi oleh setiap Pihak yang melakukan Transaksi Efek atas Efek bersifat utang dan Sukuk di pasar sekunder. Hal ini mengingat Transaksi Efek dimaksud lebih banyak dilakukan di luar Bursa Efek atau secara over the counter. Untuk meningkatkan integritas pasar, memperbaiki kualitas pembentukan harga di pasar dan memperkuat - 1 - fungsi pengawasan Transaksi Efek bersifat utang dan Sukuk, para Pihak tersebut diwajibkan untuk menyampaikan laporan atas Transaksi Efek yang dilakukannya melalui sistem dan/atau sarana penerimaan pelaporan Transaksi Efek yang diselenggarakan oleh PLTE. Pengaturan mengenai pelaporan Transaksi Efek saat ini telah diatur dalam Peraturan Nomor X.M.3, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-123/BL/2009 tentang Pelaporan Transaksi Efek (Peraturan Nomor X.M.3 tentang Pelaporan Transaksi Efek). Memperhatikan hal tersebut di atas, diperlukan penyempurnaan pengaturan pelaporan Transaksi Efek yang mencakup keseluruhan Transaksi Efek atas Efek bersifat utang dan Sukuk, baik di Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pelaporan Transaksi Efek yang merupakan perubahan dari Peraturan Nomor X.M.3 tentang Pelaporan Transaksi Efek. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Transaksi di luar Bursa Efek dapat dilakukan melalui negosiasi antar Pihak secara langsung atau melalui sistem penyelenggara perdagangan lainnya selain Bursa Efek. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Contoh Efek bersifat utang dan Sukuk yang telah dijual melalui penawaran umum antara lain obligasi korporasi, Sukuk korporasi, kontrak investasi kolektif Efek beragun aset. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 2 - Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Efek yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder” adalah Efek yang masuk dalam kategori tradeable berdasarkan prospektus atau dokumen keterbukaan informasi penerbitan Efek dimaksud. Pasal 4 Huruf a Jual beli putus (outright) merupakan Transaksi Efek yang diikuti dengan adanya perpindahan kepemilikan Efek, termasuk transaksi jual beli putus yang dilakukan pada hari yang sama dengan hari penjatahan sebelum dilakukannya pencatatan (when issued). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah setiap pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Tukar-menukar merupakan penukaran Efek bersifat utang atau Sukuk melalui: 1. pembelian kembali (buy back) terlebih dahulu oleh emiten atau Pemerintah, kemudian dilakukan penjualan Efek bersifat utang atau Sukuk penggantinya oleh emiten atau Pemerintah (debt switching); atau 2. pembelian kembali (buy back) terlebih dahulu oleh emiten atau Pemerintah, kemudian dilakukan penjualan Efek - 3 - bersifat utang atau Sukuk yang sama oleh emiten atau Pemerintah (re-issued). Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Dalam praktiknya istilah “pembelian kembali” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan buy back. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam praktiknya istilah “nomor tunggal identitas pemodal” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan single investor identification. Huruf c Cukup jelas. - 4 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Dalam hal transaksi yang dilakukan adalah Transaksi Repurchase Agreement, harga transaksi sama dengan harga pembelian. Huruf f Imbal hasil yang dilaporkan adalah tingkat imbal hasil yang akan diperoleh pemodal sampai jatuh tempo atau biasa disebut dengan yield to maturity. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Status kepemilikan merupakan informasi kepemilikan oleh lokal atau asing. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Identitas Partisipan merupakan kode Partisipan PLTE. Huruf q Nomor Pokok Wajib Pajak merupakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari pihak yang bertransaksi. Huruf r Cukup jelas. - 5 - Huruf s Khusus untuk Transaksi Repurchase Agreement, terdapat penambahan informasi yaitu jenis Transaksi Repurchase Agreement, tanggal kontrak, mata uang kontrak, tingkat harga, jangka waktu transaksi, marjin awal atau haircut Efek, dan status sebagai prinsipal/agen. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh penyelenggara pasar lainnya antara lain penyelenggara perdagangan Surat Utang Negara di luar Bursa Efek yang telah mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan “data perdagangan” antara lain: 1. nama dan seri Efek; 2. harga transaksi; 3. volume transaksi; 4. tanggal transaksi; dan 5. tanggal settlement. - 6 - Dalam kondisi tertentu, penyampaian data perdagangan atas Transaksi Efek yang dilaksanakan di Bursa Efek atau penyelenggara pasar lainnya dapat terjadi penundaan beberapa menit setelah transaksi terjadi (real time). Angka 2 Yang dimaksud dengan “pada hari yang sama” adalah hari pelaksanaan Transaksi Efek sampai dengan akhir hari diterimanya pelaporan. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Sebagai contoh: Transaksi Efek dilakukan oleh Partisipan pada hari Senin tanggal 20 Juni 2016 pukul 16.55 WIB, jam pelaporan PLTE dan operasional PLTE mulai pukul 09.30 - 17.00 WIB, batas waktu pelaporan Transaksi Efek bagi Partisipan yaitu pada hari Selasa tanggal 21 Juni 2016 pukul 09.55 WIB jam pelaporan PLTE. Huruf c Cukup jelas. - 7 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Kesalahan data pelaporan Transaksi Efek sebelum pelaksanaan penyelesaian mencakup koreksi atas data pelaporan, pembatalan salah satu pelaporan akibat duplikasi pelaporan Transaksi Efek, dan pembatalan Transaksi Efek. Kesalahan data pelaporan Transaksi Efek setelah pelaksanaan penyelesaian mencakup koreksi atas data pelaporan dan duplikasi pelaporan Transaksi Efek. Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu peristiwa dan/atau keadaan yang terjadi di luar kehendak dan/atau kemampuan PLTE dan/atau Partisipan yang mengakibatkan proses pelaporan melalui sistem PLTE tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pasal 12 Kesalahan data pelaporan Transaksi Efek sebelum pelaksanaan penyelesaian mencakup koreksi atas data pelaporan, pembatalan salah satu pelaporan akibat duplikasi pelaporan Transaksi Efek, dan pembatalan Transaksi Efek. Kesalahan data pelaporan Transaksi Efek setelah pelaksanaan penyelesaian mencakup koreksi atas data pelaporan dan duplikasi pelaporan Transaksi Efek. Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu peristiwa dan/atau keadaan yang terjadi di luar kehendak dan/atau kemampuan PLTE dan/atau Partisipan yang mengakibatkan proses pelaporan melalui sistem PLTE tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. - 8 - Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu peristiwa dan/atau keadaan yang terjadi di luar kehendak dan/atau kemampuan PLTE dan/atau Partisipan yang mengakibatkan proses pelaporan melalui sistem PLTE tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “Kustodian” adalah perusahaan efek yang menjalankan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek dan bank Kustodian. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. - 9 - Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Partisipan jual” yaitu Partisipan yang melakukan pelaporan transaksi jual. Yang dimaksud dengan “Partisipan beli” yaitu Partisipan yang melakukan konfirmasi pelaporan transaksi beli. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6069
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 22/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PELAPORAN TRANSAKSI EFEK </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-123/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-123/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor X.M.3' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', '19/UU/2008', '24/UU/2002' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 20 /POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong perkembangan industri Pasar Modal Syariah di Indonesia, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Penerbitan Efek Beragun Aset Syariah dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerbitan Dan Persyaratan Efek Beragun Aset Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset Syariah dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif, yang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 2. Efek Beragun Aset Syariah yang diterbitkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah yang selanjutnya disebut Efek Beragun Aset Syariah adalah Efek Beragun Aset yang: a. portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa piutang, pembiayaan atau aset keuangan lainnya; b. c. akad; dan cara pengelolaannya, tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 3. Efek Beragun Aset Syariah Berbentuk Surat Partisipasi yang selanjutnya disingkat EBAS-SP adalah Efek Beragun Aset Syariah yang diterbitkan oleh Penerbit yang akad dan portofolionya berupa Kumpulan Piutang atau pembiayaan pemilikan rumah yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal serta merupakan bukti kepemilikan secara proporsional yang dimiliki bersama oleh sekumpulan pemegang EBAS-SP. 4. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum Islam dalam Kegiatan Syariah di Pasar Modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis - 3 - Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. 5. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap Pihak yang melakukan Kegiatan Syariah di Pasar Modal. 6. Tim Ahli Syariah adalah tim yang bertanggung jawab terhadap kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di Pasar Modal yang diterbitkan atau dikeluarkan perusahaan. 7. Akad Syariah adalah perjanjian atau kontrak tertulis antara para pihak yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Pasal 2 Setiap Pihak yang melakukan penerbitan Efek Beragun Aset Syariah dan EBAS-SP wajib mematuhi ketentuan Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal. Pasal 3 (1) Efek Beragun Aset memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal apabila akad, cara pengelolaan, dan portofolionya tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal. - 4 - (2) Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal apabila akad dan portofolionya yang berupa Kumpulan Piutang atau pembiayaan pemilikan rumah tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB II PENERBITAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH Pasal 4 Pihak yang melakukan penerbitan Efek Beragun Aset Syariah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai ketentuan umum pengajuan Pernyataan Pendaftaran, peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) dan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset terkait lainnya, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 (1) Manajer Investasi yang mengelola Efek Beragun Aset Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang ditunjuk oleh Direksi. (2) Penerbitan Efek Beragun Aset Syariah wajib mendapatkan pernyataan kesesuaian syariah yang diterbitkan oleh Dewan Pengawas Syariah dari Manajer Investasi atau Tim Ahli Syariah. (3) Anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki izin Ahli Syariah Pasar Modal dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan - 5 - Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. (4) Dewan Pengawas Syariah dari Manajer Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab terhadap pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal atas Efek Beragun Aset Syariah yang diterbitkan oleh Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah. (5) Biaya yang timbul terkait pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi beban Manajer Investasi. Pasal 6 (1) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib menyusun laporan hasil pengawasan tahunan atas pemenuhan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas Efek Beragun Aset Syariah yang diawasi. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Dewan Pengawas Syariah kepada Manajer Investasi yang mengelola Efek Beragun Aset Syariah. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. pihak yang dituju; b. tanggal laporan; c. pernyataan mengenai laporan yang disusun telah sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; d. pernyataan mengenai rentang waktu dan ruang lingkup pengawasan yang telah dilakukan Dewan Pengawas Syariah; e. opini Dewan Pengawas Syariah atas pengawasan yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada huruf d; dan - 6 - f. tanda tangan, nama anggota Dewan Pengawas Syariah, jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah, dan nomor izin Ahli Syariah Pasar Modal. (4) Laporan kegiatan pengawasan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Manajer Investasi pengelola Efek Beragun Aset Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan, paling lambat pada akhir bulan ketiga. (5) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari libur, laporan tersebut wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 7 (1) Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah wajib memuat ketentuan paling sedikit: a. kata “Syariah” pada nama Efek Beragun Aset yang diterbitkan; b. pernyataan bahwa: 1. Manajer Investasi dan Bank Kustodian merupakan wakil (wakiliin) yang bertindak untuk kepentingan para pemegang Efek Beragun Aset Syariah sebagai pihak yang diwakili (muwakil) dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif; 2. aset yang menjadi portofolio Efek Beragun Aset Syariah tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan c. informasi mengenai: 1. mekanisme pembersihan portofolio yang menjadi dasar Efek Beragun Aset Syariah dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; - 7 - 2. pengelolaan dana yang menjadi kekayaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah dilarang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; 3. Akad Syariah dan skema transaksi syariah yang digunakan dalam penerbitan Efek Beragun Aset Syariah; 4. ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak; 5. besarnya nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa; dan 6. rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa. (2) Ketentuan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib pula dicantumkan sebagai informasi tambahan dalam Prospektus disertai dengan informasi mengenai: a. Dewan Pengawas Syariah dari Manajer Investasi; b. anggota direksi atau pejabat penanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan Kustodian pada Bank Kustodian yang memahami kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; dan c. hasil pemeringkatan Efek Beragun Aset Syariah, jika ditawarkan melalui Penawaran Umum. Pasal 8 (1) Dalam hal tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian mengakibatkan kekayaan Efek Beragun Aset Syariah terdapat unsur kekayaan yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, maka Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. melarang Manajer Investasi dan Bank Kustodian untuk mengalihkan kekayaan Efek Beragun Aset selain dalam rangka pembersihan kekayaan Efek Beragun Aset dari unsur-unsur yang bertentangan - 8 - dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; b. mewajibkan Manajer Investasi dan Bank Kustodian secara tanggung renteng untuk membeli portofolio Efek Beragun Aset dengan harga perolehan atau membersihkan dana Efek Beragun Aset yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; c. mewajibkan Manajer Investasi atas nama Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah menjual atau mengalihkan unsur kekayaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah dari unsur kekayaan yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar terakhir pada saat masih memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal dipisahkan dari perhitungan Nilai Aktiva Bersih Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah dan diperlakukan sebagai dana sosial; dan/atau d. mewajibkan Manajer Investasi untuk mengumumkan kepada publik larangan dan/atau kewajiban yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c sesegera mungkin paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya surat Otoritas Jasa Keuangan, dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia dan berperedaran nasional atas biaya Manajer Investasi dan Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan serta pemegang Efek Beragun Aset Syariah informasi tentang perolehan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan informasi tentang penggunaannya sebagai dana sosial paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setiap bulan (jika ada). - 9 - (3) Dalam hal hari ke-12 (kedua belas) jatuh pada hari libur, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 9 (1) Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, maka Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk mengganti Manajer Investasi, Bank Kustodian, atau memerintahkan pembubaran Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah tersebut. (2) Dalam hal Manajer Investasi dan Bank Kustodian tidak membubarkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang membubarkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah tersebut. BAB III PENERBITAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH BERBENTUK SURAT PARTISIPASI Pasal 10 Pihak yang melakukan penerbitan EBAS-SP wajib mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 11 (1) Penerbitan EBAS-SP wajib mendapatkan pernyataan kesesuaian syariah yang diterbitkan oleh: a. Dewan Pengawas Syariah, dalam hal Penerbit memiliki Dewan Pengawas Syariah; atau b. Tim Ahli Syariah dalam hal Penerbit tidak memiliki - 10 - Dewan Pengawas Syariah. (2) Anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin Ahli Syariah Pasar Modal dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. (3) Dalam hal Penerbit EBAS-SP tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah, direktur Penerbit atau penanggung jawab kegiatan yang diberi mandat oleh Direksi yang memiliki pengetahuan yang memadai dan/atau pengalaman di bidang keuangan syariah bertanggung jawab terhadap pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal atas EBAS-SP yang diterbitkan oleh Penerbit. (4) Biaya yang timbul terkait Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Penerbit. Pasal 12 (1) Prospektus EBAS-SP wajib mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan, kecuali diatur lain dan diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Prospektus EBAS-SP paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. Portofolio berupa Kumpulan Piutang atau pembiayaan pemilikan rumah yang menjadi dasar EBAS-SP tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; b. Adanya jaminan dari Penerbit EBAS-SP yang menyatakan bahwa selama periode EBAS-SP Kumpulan Piutang atau pembiayaan pemilikan rumah yang menjadi dasar EBAS-SP tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; - 11 - c. Pejabat penanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan Wali Amanat dan Bank Kustodian EBAS- SP memahami kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, jika Wali Amanat dan Bank Kustodian dari EBAS-SP tidak mempunyai Dewan Pengawas Syariah; d. Akad Syariah dan skema transaksi syariah yang digunakan dalam penerbitan EBAS-SP; e. ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak; f. besarnya nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa; g. rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa; dan h. hasil pemeringkatan EBAS-SP, jika ditawarkan melalui Penawaran Umum. BAB IV PELAPORAN Pasal 13 Ketentuan mengenai kewajiban laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset mutatis mutandis berlaku bagi Manajer Investasi dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah. Pasal 14 Ketentuan mengenai kewajiban pelaporan hasil penjualan Efek Beragun Aset yang ditawarkan melalui Penawaran Umum, laporan kepada setiap pemegang Efek Beragun Aset setiap bulan, laporan keuangan tahunan, dan laporan penggantian Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang - 12 - mengatur mengenai fungsi Manajer Investasi berkaitan dengan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) mutatis mutandis berlaku bagi Manajer Investasi dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah. Pasal 15 Ketentuan mengenai kewajiban melaporkan jika Manajer Investasi melakukan kegiatan yang dapat merugikan pemegang Efek Beragun Aset sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai fungsi Bank Kustodian berkaitan dengan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) mutatis mutandis berlaku bagi Bank Kustodian dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah. Pasal 16 Ketentuan mengenai kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan mutatis mutandis berlaku bagi EBAS- SP. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 17 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; - 13 - d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 18 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 19 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 kepada masyarakat. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 20 (1) Kewajiban anggota Dewan Pengawas Syariah dan Tim Ahli Syariah memiliki izin Ahli Syariah Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (2) selama 2 (dua) tahun sejak Peraturan - 14 - Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku dapat digantikan oleh orang perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal sepanjang yang bersangkutan melapor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. (2) Orang perseorangan yang telah menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah atau anggota Tim Ahli Syariah meskipun belum memiliki izin Ahli Syariah Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (2) paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ahli Syariah Pasar Modal. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-181/BL/2009 tentang Penerbitan Efek Syariah tanggal 30 Juni 2009 beserta Peraturan Nomor IX.A.13 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 15 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 271 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 20/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN DAN PERSYARATAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH </reg_title> <set_date> 3 November 2015 </set_date> <effective_date> 10 November 2015 </effective_date> <issued_date> 10 November 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.13' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 3/POJK.05/2013 TENTANG LAPORAN BULANAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan non-bank, diperlukan data dan informasi mengenai kondisi keuangan dan kegiatan usaha lembaga jasa keuangan non-bank yang lebih komprehensif, berkualitas dan cepat; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dipandang perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957; 4. Undang... - 2 - 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 5. Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2008; 6. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan; 7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BULANAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, yang selanjutnya disingkat LJKNB, adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, yang meliputi: a. Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian; b. Perusahaan... - 3 - b. Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan program asuransi sosial sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai usaha perasuransian; c. Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam undang- undang mengenai dana pensiun; d. Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan; e. Pergadaian, Lembaga Penjaminan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan, dan Lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2. Laporan Bulanan LJKNB, selanjutnya disingkat Laporan Bulanan, adalah laporan keuangan yang disusun oleh LJKNB untuk kepentingan Otoritas Jasa Keuangan, yang meliputi periode tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan dan disajikan serta disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai format dan tata cara yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 3. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 4. Penyampaian... - 4 - 4. Penyampaian Laporan Bulanan Secara Offline adalah penyampaian Laporan Bulanan secara fisik oleh LJKNB dalam bentuk rekaman data yang disimpan dalam compact disc atau media perekaman data elektronik lainnya kepada OJK. BAB II PENYUSUNAN LAPORAN BULANAN Pasal 2 (1) LJKNB wajib menyusun Laporan Bulanan secara benar, lengkap dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK ini. (2) Direksi, komisaris, atau organ yang melaksanakan fungsi pengurusan dan pengawasan dari LJKNB bertanggung jawab atas kebenaran, kelengkapan isi serta ketepatan waktu penyampaian Laporan Bulanan. (3) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. laporan posisi keuangan; b. laporan laba rugi komprehensif; c. laporan perhitungan hasil usaha; d. laporan arus kas; e. laporan analisis kesesuaian aset dan liabilitas; dan f. laporan lain sesuai karakteristik masing-masing LJKNB. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tidak berlaku bagi Dana Pensiun. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c hanya berlaku bagi Dana Pensiun. (6) Bentuk dan susunan Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. BAB III... - 5 - BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN Pasal 3 (1) LJKNB wajib menyampaikan Laporan Bulanan kepada OJK paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. (2) Dalam hal tanggal 10 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. (3) Dalam hal tanggal penyampaian Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) jatuh pada hari libur nasional atau libur bersama, maka OJK berwenang menetapkan tanggal jatuh tempo penyampaian Laporan Bulanan. Pasal 4 (1) Penyampaian Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan secara online melalui sistem jaringan komunikasi data OJK. (2) Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, LJKNB wajib menyampaikan Laporan Bulanan secara online melalui alamat email yang ditetapkan oleh OJK. (3) Alamat email LJKNB yang digunakan untuk penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan secara tertulis kepada OJK. (4) LJKNB menunjuk anggota direksi atau pejabat yang setara pada LJKNB yang bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian Laporan Bulanan. (5) Anggota direksi atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menunjuk petugas untuk menyusun, memverifikasi dan menyampaikan Laporan Bulanan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian Laporan Bulanan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. Pasal 5... - 6 - Pasal 5 (1) Dalam hal terjadi gangguan teknis pada saat batas waktu penyampaian Laporan Bulanan sehingga: a. LJKNB tidak dapat menyampaikan Laporan Bulanan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1); dan/atau b. OJK tidak dapat menerima Laporan Bulanan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), maka LJKNB wajib menyampaikan Laporan Bulanan Secara Offline paling lambat pada hari kerja berikutnya. (2) Dalam hal LJKNB mengalami gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LJKNB wajib segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada OJK pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan teknis. (3) Dalam hal OJK mengalami gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengumumkan secara tertulis kepada LJKNB pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan teknis. BAB IV SANKSI Pasal 6 (1) OJK mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada LJKNB yang melakukan pelanggaran berupa: a. belum menyampaikan Laporan Bulanan; b. telah menyampaikan Laporan Bulanan tetapi terlambat; atau c. menyampaikan Laporan Bulanan tetapi tidak benar dan/atau tidak lengkap. (2) Sanksi... - 7 - (2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut, yaitu: a. teguran tertulis pertama; b. teguran tertulis kedua; dan c. teguran tertulis ketiga. (3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan jika: a. LJKNB belum menyampaikan Laporan Bulanan; b. LJKNB terlambat menyampaikan Laporan Bulanan; atau c. diketahui Laporan Bulanan tidak benar dan/atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (4) Sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua dan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c ditetapkan jika setelah ditetapkannya teguran tertulis pertama atau kedua, LJKNB: a. belum menyampaikan Laporan Bulanan; atau b. belum menyampaikan perbaikan atas Laporan Bulanan yang oleh OJK dinyatakan tidak benar dan/atau tidak lengkap. (5) Dalam hal LJKNB telah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b atau dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya teguran tertulis ketiga kembali terbukti melakukan satu atau lebih pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat: a. menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis tanpa memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); b. mewajibkan anggota direksi atau pejabat yang setara pada LJKNB dimaksud untuk menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang; atau c. menginformasikan... - 8 - c. menginformasikan kepada Pemerintah mengenai pengenaan sanksi teguran tertulis dimaksud, dalam hal LJKNB secara khusus dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan atau dibentuk oleh Pemerintah. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 7 (1) LJKNB berupa Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode laporan bulan September 2013 sampai dengan periode Laporan bulan Agustus 2014 paling lambat akhir bulan berikutnya. (2) LJKNB berupa Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi tidak diwajibkan menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode bulan September 2013, Desember 2013, Maret 2014 dan Juni 2014. (3) LJKNB berupa PT ASKES (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode tahun 2013 yaitu hanya untuk bulan Oktober 2013 dan November 2013 paling lambat akhir bulan berikutnya. (4) LJKNB berupa PT ASABRI (Persero), PT Jasa Raharja (Persero), dan PT Taspen (Persero), wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode laporan bulan September 2013 sampai dengan periode laporan bulan Agustus 2014 paling lambat akhir bulan berikutnya. (5) LJKNB berupa PT ASABRI (Persero), PT Jasa Raharja (Persero) dan PT Taspen (Persero) tidak diwajibkan menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode bulan September 2013, Desember 2013, Maret 2014 dan Juni 2014. (6) LJKNB... - 9 - (6) LJKNB berupa Perusahaan Pembiayaan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan dan Perusahaan Penjaminan Kredit, wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode laporan bulan September 2013 sampai dengan periode Laporan bulan Agustus 2014 paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. (7) LJKNB berupa PT Jamsostek (Persero) hanya wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode tahun 2013 yaitu bulan Oktober 2013 dan November 2013 paling lambat akhir bulan berikutnya. (8) LJKNB berupa Perusahaan Modal Ventura, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, PT Pegadaian dan Dana Pensiun wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk periode laporan bulan September 2013 sampai dengan periode laporan bulan Agustus 2014 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. (9) Dalam hal jangka waktu terakhir penyampaian Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8) jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 8 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku Dana Pensiun tidak wajib menyampaikan daftar investasi bulanan kepada OJK. Pasal 9 (1) Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, penyusunan dan penyampaian Laporan Bulanan LKJNB tunduk pada Peraturan OJK ini dan peraturan pelaksanannya. (2) Jangka waktu kewajiban penyampaian Laporan Bulanan untuk periode laporan bulan September 2014 dan periode laporan bulan berikutnya tunduk pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. BAB VI... - 10 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Ketentuan pelaksanaan Peraturan OJK ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. Pasal 11 Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai laporan LJKNB, dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Peraturan OJK ini. Pasal 12 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 September 2013 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 September 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 150 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA DIVISI BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 3/POJK.05/2013 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BULANAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 12 September 2013 </set_date> <effective_date> 12 September 2013 </effective_date> <issued_date> 12 September 2013 </issued_date> <related_reg> '2/UU/1992', '11/UU/1992', '2/UU/2009', '21/UU/2011', '19/PERPRES/2005', '1/PERPRES/2008', '2/PERPRES/2008', '9/PERPRES/2009' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.03/2017 TENTANG RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) BAGI BANK SISTEMIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (4), dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi Bank Sistemik; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik - 2 - Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) BAGI BANK SISTEMIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tidak termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa - 3 - keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. 3. Rencana Aksi (Recovery Plan) adalah rencana untuk mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di Bank Sistemik. 4. Opsi Pemulihan (Recovery Options) adalah pilihan tindakan yang ditetapkan akan dilakukan Bank Sistemik untuk merespon tekanan keuangan (financial stress) yang dialami memulihkan maupun memperbaiki kondisi keuangan serta kelangsungan usaha Bank Sistemik (viability). 5. Direksi adalah: a. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 6. Dewan Komisaris adalah: a. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang oleh Bank Sistemik dalam mencegah, - 4 - Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; d. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 7. Pemegang Saham Pengendali bagi Bank Sistemik yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank Sistemik sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan atau Bank Sistemik kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank Sistemik, baik secara langsung maupun tidak langsung. 8. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disingkat RUPS, adalah: a. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah RUPS sebagaimana - 5 - dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Perusahaan Umum Daerah adalah kepala daerah selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Perusahaan Perseroan Daerah adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; d. bagi Bank Sistemik berbentuk badan hukum Koperasi adalah rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 9. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 2 Bank Sistemik wajib menyusun dan menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada OJK. - 6 - Pasal 3 (1) Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib memperoleh persetujuan pemegang saham dalam RUPS. (2) Dalam hal Rencana Aksi (Recovery Plan) disampaikan kepada OJK belum memperoleh persetujuan pemegang saham dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Sistemik wajib meminta persetujuan Rencana Aksi (Recovery Plan) pada RUPS berikutnya. Pasal 4 Penyampaian Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib ditandatangani oleh direktur utama, komisaris utama, dan PSP. Pasal 5 Direksi wajib: a. menyusun Rencana Aksi (Recovery Plan) secara realistis dan komprehensif; b. menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada pemegang saham pada RUPS untuk memperoleh persetujuan; c. mengkomunikasikan Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada seluruh jenjang atau tingkatan organisasi Bank Sistemik; d. melakukan evaluasi dan pengujian (stress testing) Rencana Aksi (Recovery Plan) secara berkala; dan e. mengimplementasikan Rencana Aksi (Recovery Plan) secara efektif dan tepat waktu. Pasal 6 (1) Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib memperoleh persetujuan dari Dewan Komisaris. - 7 - (2) Dewan Komisaris wajib melakukan: a. pengawasan terhadap implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan); dan b. evaluasi terhadap implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan). BAB II PEDOMAN RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) Pasal 7 (1) Bank Sistemik harus memiliki pedoman Rencana Aksi (Recovery Plan) yang paling sedikit memuat: a. pihak yang berperan dan bertanggung jawab dalam: 1. menyusun Rencana Aksi (Recovery Plan); 2. menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan); dan 3. mengkomunikasikan Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada seluruh jenjang atau tingkatan organisasi Bank Sistemik; b. pihak yang berperan dan bertanggung jawab dalam melakukan evaluasi dan pengujian (stress testing) Rencana Aksi (Recovery Plan); dan c. pihak yang berperan dan bertanggung jawab dalam implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan). (2) Untuk mendukung implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pedoman Rencana Aksi (Recovery Plan) juga memuat paling sedikit: a. prosedur untuk memastikan implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan) tepat waktu; dan b. prosedur pengambilan keputusan dan prosedur eskalasi dalam pengambilan keputusan. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Sistemik dapat membentuk grup manajemen krisis untuk mengimplementasikan Rencana Aksi (Recovery Plan). - 8 - (4) Grup manajemen krisis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan pedoman yang paling sedikit memuat prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 8 Pedoman Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 disusun dengan memperhatikan prinsip tata kelola pada Bank. Pasal 9 Bank Sistemik wajib mengembangkan sistem informasi manajemen yang andal untuk mendukung evaluasi dan pengujian (stress testing) Rencana Aksi (Recovery Plan), serta implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan). BAB III CAKUPAN RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) Pasal 10 Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit memuat: a. ringkasan eksekutif; b. gambaran umum Bank Sistemik; c. Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan d. pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan). Bagian Kesatu Ringkasan Eksekutif Pasal 11 Ringkasan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a paling sedikit meliputi ringkasan mengenai: a. gambaran umum Bank Sistemik; b. Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan c. pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan). - 9 - Bagian Kedua Gambaran Umum Bank Sistemik Pasal 12 Gambaran umum Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b paling sedikit meliputi: a. kondisi Bank Sistemik; b. c. struktur kelompok usaha Bank Sistemik; d. keterkaitan usaha Bank Sistemik; dan e. lini bisnis, jaringan kantor, dan perusahaan anak Bank Sistemik yang material; analisis skenario dampak perubahan kondisi Bank Sistemik. Pasal 13 Kondisi Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a menguraikan paling sedikit mengenai: a. kepemilikan; b. aspek bisnis dan kinerja; c. rencana bisnis; d. strategi pengelolaan risiko; e. jaringan kantor; dan f. perusahaan anak. Pasal 14 (1) Lini bisnis, jaringan kantor, dan perusahaan anak Bank Sistemik yang material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b menguraikan mengenai lini bisnis, jaringan kantor, dan perusahaan anak Bank Sistemik yang memiliki kriteria paling sedikit: a. berkontribusi dalam aktivitas pencapaian laba, penghimpunan dana, penyaluran dana, termasuk terhadap kinerja keuangan Bank Sistemik secara signifikan; b. menanggung risiko besar dalam skenario terburuk yang dapat membahayakan kelangsungan usaha - 10 - Bank Sistemik secara individu dan secara konsolidasi; c. tidak dapat dibubarkan atau ditutup tanpa memicu risiko yang besar terhadap Bank Sistemik; d. berperan penting bagi stabilitas keuangan Bank Sistemik; dan/atau e. melakukan aktivitas operasional dan aktivitas pengelolaan risiko yang mendukung langsung pelaksanaan fungsi bisnis, termasuk keterkaitan operasional terhadap suatu fungsi dengan fungsi lain dalam Bank Sistemik. (2) Bank Sistemik harus mengungkapkan kriteria material dari lini bisnis, jaringan kantor, dan perusahaan anak Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 15 Struktur kelompok usaha Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c menguraikan struktur usaha yang terkait dengan Bank Sistemik, termasuk badan hukum pemilik Bank Sistemik sampai dengan ultimate shareholders dan perusahaan terelasi (sister company). Pasal 16 (1) Keterkaitan usaha Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d meliputi keterkaitan usaha yang material baik secara intra-grup maupun secara eksternal. (2) Keterkaitan usaha Bank Sistemik yang material secara intra-grup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit menguraikan hubungan keuangan, penyertaan modal, dan kesepakatan dukungan keuangan intra-grup. (3) Keterkaitan usaha Bank Sistemik yang material secara eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit menguraikan mengenai eksposur, kewajiban, produk dan/atau jasa, yang signifikan kepada mitra bisnis utama. - 11 - (4) Bank Sistemik harus mengungkapkan kriteria material dari keterkaitan usaha Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 17 Analisis skenario dampak perubahan kondisi Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e meliputi analisis skenario terhadap kondisi stress yang terjadi pada Bank Sistemik: a. secara individu (idiosyncratic); dan b. secara eksternal yang terjadi di pasar keuangan secara keseluruhan yang dapat bersifat domestik maupun internasional (market-wide shock), terhadap kondisi permodalan, likuiditas, rentabilitas, dan kualitas aset. Bagian Ketiga Opsi Pemulihan (Recovery Options) Pasal 18 (1) Bank Sistemik wajib menyusun dan menetapkan Opsi Pemulihan (Recovery Options) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c secara rinci disertai tahapan pelaksanaan secara realistis. (2) Penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas: a. indikator yang digunakan dalam Rencana Aksi (Recovery Plan); dan b. trigger level dari setiap indikator yang digunakan dalam Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam huruf a, untuk mengaktivasi implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan). Pasal 19 (1) Dalam penyusunan dan penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Bank Sistemik wajib menetapkan indikator - 12 - yang digunakan dalam Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, yang meliputi: a. permodalan; b. c. likuiditas; rentabilitas; dan d. kualitas aset. (2) Indikator permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas: a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM); dan b. rasio modal inti utama (Common Equity Tier 1/ CET 1). (3) Indikator likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas: a. rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah; b. rasio kecukupan likuiditas (Liquidity Coverage Ratio/LCR); dan c. rasio pendanaan stabil bersih (Net Stable Funding Ratio/NSFR). (4) Indikator rentabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit terdiri atas: a. b. c. rasio Return on Asset (ROA); rasio Return on Equity (ROE); dan rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). (5) Indikator kualitas aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit terdiri atas: a. b. rasio NPL net atau rasio NPF net. (6) Dalam hal belum terdapat indikator likuiditas lain selain rasio GWM dalam rupiah, indikator likuiditas bagi Bank Sistemik yang merupakan bank umum syariah paling sedikit adalah rasio GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. rasio Non Performing Loan (NPL) gross atau rasio Non Performing Financing (NPF) gross; dan - 13 - Pasal 20 (1) Selain indikator yang digunakan dalam Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Bank Sistemik dapat menetapkan indikator lain yang bersifat kualitatif, yang menurut penilaian Bank Sistemik dapat menimbulkan permasalahan terhadap kondisi keuangan Bank Sistemik secara signifikan. (2) Bank Sistemik menetapkan Opsi Pemulihan (Recovery Options) terhadap indikator lain yang bersifat kualitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 21 (1) Bank Sistemik menetapkan trigger level dari setiap indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b, untuk melaksanakan Opsi Pemulihan (Recovery Options). (2) Dalam hal terdapat ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai indikator permodalan, likuiditas, rentabilitas dan/atau kualitas aset, Bank Sistemik wajib menetapkan trigger level paling sedikit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Trigger level yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerapan Rencana Aksi (Recovery Plan) untuk tujuan: a. pencegahan sehingga Bank Sistemik tetap dapat menjaga ukuran atau rasio yang sama atau lebih baik dari ketentuan peraturan perundang- undangan; b. pemulihan sehingga Bank Sistemik tidak lagi melanggar ukuran atau rasio dari indikator sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. perbaikan dari kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik. - 14 - Pasal 22 (1) Bank Sistemik dalam menyusun dan menetapkan Opsi Pemulihan (Recovery Options) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) wajib disertai: a. urutan pilihan pelaksanaan Opsi Pemulihan (Recovery Options), dalam hal terjadi kondisi yang mengharuskan Bank Sistemik melaksanakan Opsi Pemulihan (Recovery Options); b. c. d. analisis atau penilaian kelayakan dari setiap Opsi Pemulihan (Recovery Options); analisis atau penilaian terhadap dampak dari setiap Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan analisis atau penilaian terhadap jangka waktu yang diharapkan untuk pelaksanaan dan efektivitas dari setiap Opsi Pemulihan (Recovery Options). (2) Analisis atau penilaian kelayakan dari setiap Opsi Pemulihan (Recovery Options) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit meliputi: a. penilaian risiko yang terkait dengan Opsi Pemulihan (Recovery Options), yang didasarkan atas pengalaman dalam menerapkan Opsi Pemulihan (Recovery Options) atau ukuran lain yang relevan; b. analisis mengenai hambatan yang material dalam penerapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) secara tepat waktu dan penjelasan cara mengatasi hambatan; dan c. penilaian kecukupan dukungan operasional pada setiap Opsi Pemulihan (Recovery Options). Pasal 23 (1) Dalam penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) untuk permasalahan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, Bank Sistemik wajib menetapkan Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa: a. penambahan modal Bank Sistemik dan mengubah jenis utang atau investasi tertentu menjadi modal - 15 - Bank Sistemik, yang menjadi kewajiban PSP dan/atau ultimate shareholders; dan/atau b. penambahan modal Bank Sistemik dan mengubah jenis utang atau investasi tertentu menjadi modal Bank Sistemik, yang mengikutsertakan pihak lain. (2) Kewajiban penambahan modal oleh PSP dan/atau ultimate shareholders sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui: a. setoran modal; b. menunda pembagian dividen; c. pembagian dividen saham (stock dividend); dan/atau d. memperhitungkan akumulasi kerugian menjadi beban pemegang saham sesuai dengan urutan tanggung jawab pemegang saham berdasarkan jenis saham yang dimiliki; dan (3) Kewajiban dalam mengubah jenis utang atau investasi tertentu menjadi modal oleh PSP dan/atau ultimate shareholders sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara: a. konversi instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal milik pemegang saham menjadi saham biasa; dan/atau b. write-down bagi instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal milik pemegang saham. (4) Kewajiban penambahan modal yang mengikutsertakan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan melalui: a. penerbitan saham melalui penawaran umum (right issue); dan/atau b. penerbitan saham tidak melalui penawaran umum (private placement); dan (5) Kewajiban dalam mengubah jenis utang atau investasi tertentu menjadi modal yang mengikutsertakan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan cara: - 16 - a. konversi instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal milik pihak lain menjadi saham biasa; dan/atau b. write-down bagi instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal milik pihak lain. (6) Bank Sistemik wajib terlebih dahulu melaksanakan Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa peningkatan modal yang menjadi kewajiban PSP dan/atau ultimate shareholders sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) dan ayat (3). Pasal 24 (1) Dalam rangka penerapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa kewajiban dalam mengubah jenis utang atau investasi tertentu menjadi modal Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (5), Bank Sistemik wajib memiliki instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal. (2) Penetapan jumlah instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal yang wajib dimiliki oleh Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memperhatikan: a. ketahanan permodalan Bank Sistemik berdasarkan analisis skenario dampak perubahan dari kondisi Bank Sistemik secara individu (idiosyncratic) dan kondisi Bank Sistemik secara eksternal yang terjadi di pasar keuangan secara keseluruhan yang dapat bersifat domestik maupun internasional (market- wide shock); dan b. dampak penerbitan instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal terhadap rentabilitas. Pasal 25 Dalam penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) untuk permasalahan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam - 17 - Pasal 19 ayat (1) huruf b, Bank Sistemik dapat menetapkan Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa: a. kepemilikan credit line di pasar uang; b. pengajuan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Indonesia; dan/atau c. Opsi Pemulihan (Recovery Options) lain. Pasal 26 Dalam penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) untuk permasalahan rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c, Bank Sistemik dapat menetapkan Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa: a. peningkatan aktivitas penagihan; b. program efisiensi biaya; c. penjualan aset tetap; dan/atau d. Opsi Pemulihan (Recovery Options) lain. Pasal 27 Dalam penetapan Opsi Pemulihan (Recovery Options) untuk permasalahan kualitas aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf d, Bank Sistemik dapat menetapkan Opsi Pemulihan (Recovery Options) berupa: a. restrukturisasi kredit; b. hapus buku aset produktif; dan/atau c. Opsi Pemulihan (Recovery Options) lain. Bagian Keempat Pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan) Pasal 28 (1) Pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d disampaikan kepada: a. pihak internal; dan b. pihak eksternal; - 18 - (2) Pengungkapan Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada pihak internal dan pihak eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat gambaran umum mengenai: a. tindakan yang akan dilakukan oleh Bank Sistemik untuk mengatasi permasalahan keuangan yang akan terjadi di Bank Sistemik; dan b. mekanisme pengelolaan terhadap potensi reaksi pasar yang negatif dalam hal Rencana Aksi (Recovery Plan) diimplementasikan. BAB IV IMPLEMENTASI, EVALUASI DAN PENGUJIAN (STRESS TESTING), SERTA PENGKINIAN RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) Pasal 29 Bank Sistemik wajib mengimplementasikan Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada saat trigger level yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) terpenuhi. Pasal 30 (1) Direksi wajib melakukan evaluasi dan pengujian (stress testing) Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 secara berkala untuk menilai kelayakan Rencana Aksi (Recovery Plan). (2) Evaluasi dan pengujian (stress testing) Rencana Aksi (Recovery Plan) secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau berdasarkan kondisi tertentu yang akan berpengaruh signifikan kepada Bank Sistemik. (3) Penetapan kondisi tertentu yang akan berpengaruh signifikan kepada Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan atas penilaian Bank Sistemik atau atas penilaian OJK. - 19 - (4) Hasil evaluasi dan pengujian (stress testing) Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Direksi kepada Dewan Komisaris. Pasal 31 (1) Bank Sistemik wajib melakukan pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat perubahan: a. trigger level; b. Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan/atau c. pemenuhan kecukupan dan kelayakan instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal yang dimiliki oleh Bank Sistemik, wajib memperoleh persetujuan pemegang saham dalam RUPS. (3) Dalam hal pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada OJK belum memperoleh persetujuan dalam RUPS, Bank Sistemik wajib meminta persetujuan Rencana Aksi (Recovery Plan) pada RUPS berikutnya. BAB V PENYAMPAIAN RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) Pasal 32 Bagi Bank yang telah ditetapkan sebagai Bank Sistemik sebelum Peraturan OJK ini berlaku, wajib menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada OJK untuk pertama kali paling lambat tanggal 29 Desember 2017. Pasal 33 Bagi Bank yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik pada saat atau setelah berlakunya Peraturan OJK ini, wajib menyusun - 20 - dan menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan) kepada OJK paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sebagai Bank Sistemik. Pasal 34 (1) Bank Sistemik wajib menyampaikan pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada OJK paling lama: a. akhir bulan November bagi pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) secara berkala; dan/atau b. 1 (satu) bulan setelah evaluasi dan pengujian (stress testing) Rencana Aksi (Recovery Plan) berdasarkan kondisi tertentu yang akan berpengaruh signifikan bagi Bank Sistemik. (2) Penyampaian pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan hasil evaluasi dan pengujian (stress testing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 disertai dengan: a. kelayakan trigger level; b. kelayakan Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan c. pemenuhan kecukupan dan kelayakan instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal yang dimiliki oleh Bank Sistemik. (3) Penyampaian pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani oleh direktur utama dan komisaris utama. (4) Dalam hal pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) meliputi perubahan: a. trigger level; b. Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan/atau c. pemenuhan kecukupan dan kelayakan instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal, penyampaian pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain wajib - 21 - ditandatangani oleh direktur utama dan komisaris utama juga ditandatangani oleh PSP. Pasal 35 (1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas kelengkapan Rencana Aksi (Recovery Plan) yang disampaikan oleh Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan penilaian oleh OJK, Rencana Aksi (Recovery Plan) yang disampaikan oleh Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, Bank Sistemik wajib melakukan perbaikan Rencana Aksi (Recovery Plan) dan menyampaikan kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak perintah perbaikan Rencana Aksi (Recovery Plan). Pasal 36 Dalam hal batas waktu penyampaian Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), dan/atau Pasal 35 ayat (2) jatuh pada hari libur, penyampaian Rencana Aksi (Recovery Plan) paling lambat pada hari kerja berikutnya. BAB VI PEMENUHAN KEWAJIBAN INSTRUMEN UTANG ATAU INVESTASI YANG MEMILIKI KARAKTERISTIK MODAL Pasal 37 (1) Pemenuhan kewajiban memiliki instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal untuk Bank yang telah ditetapkan sebagai Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, wajib dipenuhi oleh Bank Sistemik paling lambat tanggal 31 Desember 2018. (2) Pemenuhan kewajiban memiliki instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal untuk Bank yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik sebagaimana - 22 - dimaksud dalam Pasal 33, wajib dipenuhi oleh Bank Sistemik paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Rencana Aksi (Recovery Plan) diterima secara lengkap oleh OJK. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 38 Dalam hal Bank Sistemik telah melaksanakan Rencana Aksi (Recovery Plan) namun kondisi Bank Sistemik tidak menunjukkan perbaikan, OJK dapat menetapkan tindakan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB VIII SANKSI Pasal 39 Bank Sistemik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 9, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (6), Pasal 24, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (3), Pasal 34 ayat (4), Pasal 35 ayat (2), dan/atau Pasal 37 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis; b. larangan melakukan ekspansi kegiatan usaha; c. larangan pembukaan jaringan kantor; d. penurunan tingkat kesehatan Bank Sistemik; - 23 - e. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau f. pencantuman anggota Direksi, Dewan Komisaris, pejabat eksekutif, dan/atau pemegang saham Bank Sistemik dalam daftar pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 40 (1) Bank Sistemik yang terlambat memenuhi kewajiban penyampaian Rencana Aksi (Recovery Plan) untuk pertama kali, pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan), dan/atau perbaikan Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), dan/atau Pasal 35 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan atau paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapus kewajiban Bank Sistemik untuk menyampaikan Rencana Aksi (Recovery Plan), pengkinian Rencana Aksi (Recovery Plan), atau perbaikan Rencana Aksi (Recovery Plan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), dan/atau Pasal 35 ayat (2). Pasal 41 Bank Sistemik yang terlambat memenuhi kewajiban memiliki instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dikenakan sanksi administratif berupa: 1. penurunan terhadap penilaian faktor tata kelola dalam tingkat kesehatan Bank; dan 2. pengumuman mengenai ketidakpatuhan Bank Sistemik dalam pemenuhan kewajiban kepemilikan instrumen - 24 - utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal, dalam situs OJK. Pasal 42 Direksi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 30 ayat (1) atau Dewan Komisaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. pencantuman anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris dalam daftar pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 25 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 64 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 14 /POJK.03/2017 TENTANG RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) BAGI BANK SISTEMIK I. UMUM Stabilitas dalam sistem keuangan merupakan kondisi yang selalu diupayakan untuk dicapai dan dipertahankan dalam rangka mendukung perekonomian nasional menuju kepada kesejahteraan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kokoh guna menghadapi ancaman krisis keuangan yang disebabkan tekanan terhadap kondisi keuangan baik dari dalam negeri maupun luar negeri, telah ditetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Salah satu upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU PPKSK adalah dengan melakukan pencegahan dan penanganan terhadap permasalahan Bank Sistemik (Systemically Important Bank) yang merupakan bagian penting dari sistem keuangan. Oleh karena itu Bank Sistemik harus dapat menetapkan rencana yang akan dilakukan apabila Bank Sistemik mengalami kondisi tekanan keuangan (financial stress) yang dapat membahayakan kelangsungan usaha. Rencana tersebut dituangkan dalam bentuk Rencana Aksi (Recovery Plan). - 2 - Rencana Aksi (Recovery Plan) yang disusun Bank Sistemik akan memuat berbagai skenario yang bertujuan untuk mencegah, memulihkan, dan/atau memperbaiki kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik. Rencana Aksi (Recovery Plan) Bank yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik, ditekankan pada penanganan permasalahan Bank Sistemik yang diutamakan menggunakan sumber daya Bank Sistemik itu sendiri dan pendekatan bisnis tanpa menggunakan anggaran negara. Oleh karena itu Rencana Aksi (Recovery Plan) yang di dalamnya memuat berbagai skenario penanganan permasalahan Bank Sistemik merupakan komitmen Bank Sistemik, pemegang saham pengendali dan/atau pihak lain. Dalam penerapan, meskipun Bank Sistemik telah menetapkan dan mengimplementasikan Rencana Aksi (Recovery Plan), dalam hal langkah perbaikan yang dilakukan oleh Bank Sistemik dinilai OJK tidak mencukupi, OJK dapat memberikan tambahan tindakan pengawasan lain. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Kewajiban Rencana Aksi (Recovery Plan) memperoleh persetujuan RUPS mengingat dalam Rencana Aksi (Recovery Plan) memuat peranan pemegang saham khususnya PSP untuk memperbaiki kondisi keuangan melalui penambahan modal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. - 3 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Persetujuan dari Dewan Komisaris atas Rencana Aksi (Recovery Plan) diberikan sebelum persetujuan pemegang saham dalam RUPS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “pihak yang berperan dan bertanggung jawab dalam implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan)”, antara lain adalah pihak internal dan pihak terkait lain, termasuk satuan kerja terkait, sesuai dengan fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab yang ditetapkan oleh Bank Sistemik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Grup manajemen krisis (crisis management group) dapat berbentuk satuan kerja khusus atau gugus tugas (task force) yang terdiri dari pihak internal, dan pihak yang mempunyai kompetensi mengatasi permasalahan keuangan Bank Sistemik jika diperlukan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. - 4 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Termasuk kriteria perusahaan anak adalah grup usaha dari perusahaan anak. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan “ultimate shareholders” mengacu pada ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Yang dimaksud dengan “perusahaan terelasi (sister company)” mengacu pada Peraturan OJK mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. - 5 - Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kesepakatan dukungan keuangan intra-grup antara lain termasuk jaminan, pinjaman, dan komitmen yang diberikan atau diperoleh Bank Sistemik dari grup usahanya. Ayat (3) Mitra bisnis (counterparties) antara lain nasabah, pemasok, rekanan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “trigger level” adalah tingkatan dimana Opsi Pemulihan (Recovery Options) mulai dilaksanakan. Pasal 19 Ayat (1) Indikator Rencana Aksi (Recovery Plan) yang ditetapkan oleh Bank Sistemik harus mampu mewakili dan mengidentifikasi kerentanan utama (key vulnerabilities) terkait permasalahan keuangan yang dihadapi oleh Bank Sistemik. Ayat (2) Cukup jelas. - 6 - Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “rasio kecukupan likuiditas (LCR)” mengacu pada Peraturan OJK mengenai kewajiban pemenuhan rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio) bagi bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “rasio pendanaan stabil bersih (NSFR)” adalah perbandingan antara pendanaan stabil yang tersedia (available stable funding) dengan pendanaan stabil yang diperlukan (required stable funding). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Indikator lain yang bersifat kualitatif antara lain: a. permintaan percepatan pelunasan kewajiban Bank Sistemik oleh mitra bisnis (counterparties); b. keputusan pengadilan yang berpengaruh negatif bagi Bank Sistemik; c. pemberitaan atau publikasi negatif terhadap Bank Sistemik; dan/atau d. penurunan reputasi Bank Sistemik secara signifikan. Ayat (2) Opsi Pemulihan (Recovery Options) terhadap indikator kualitatif bertujuan agar permasalahan yang terjadi pada Bank Sistemik tidak mengarah dan/atau menyebabkan memburuknya kondisi keuangan Bank Sistemik. - 7 - Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk menetapkan trigger level antara lain ketentuan mengenai KPMM, CET 1, penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum, LCR, dan/atau NSFR. Ayat (3) Huruf a Sebagai contoh pencegahan sehingga Bank Sistemik tetap dapat menjaga ukuran atau rasio yang sama atau lebih baik dari ketentuan peraturan perundang-undangan untuk indikator permodalan, yaitu rasio KPMM, Bank Sistemik menetapkan trigger level agar tidak melanggar ketentuan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) berupa ketentuan permodalan terkait dengan Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer, dan Capital Surcharge untuk Bank Sistemik. Huruf b Sebagai contoh pemulihan sehingga Bank Sistemik tidak lagi melanggar ukuran atau rasio dari indikator sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk indikator permodalan, yaitu rasio KPMM, Bank Sistemik menetapkan trigger level agar tidak melanggar rasio KPMM yaitu rasio KPMM di bawah profil risiko meskipun masih di atas 8% (delapan persen). Huruf c Sebagai contoh perbaikan dari kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik untuk indikator permodalan, yaitu rasio KPMM, Bank Sistemik menetapkan trigger level agar tidak melanggar rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen). - 8 - Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Urutan pilihan pelaksanaan Opsi Pemulihan (Recovery Options) bertujuan agar Bank Sistemik dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan keuangan yang dihadapi, dalam hal ini terkait tindakan untuk pencegahan, pemulihan atau perbaikan dari kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Analisis atau penilaian dilakukan dengan mengidentifikasi: 1. pihak internal dan pihak eksternal yang mungkin akan terpengaruh oleh Opsi Pemulihan (Recovery Options); dan/atau 2. pihak internal dan pihak eksternal yang terlibat dalam pelaksanaan Opsi Pemulihan (Recovery Options). Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penilaian kecukupan dukungan operasional misalnya sistem teknologi informasi dan sumber daya manusia. Penilaian kecukupan dukungan operasional ini meliputi juga analisis operasional internal Bank Sistemik, akses Bank Sistemik dan perusahaan anak yang dicakup dalam Rencana Aksi (Recovery Plan) pada infrastruktur pasar, misalnya kliring, fasilitas settlement, dan sistem pembayaran. - 9 - Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan investasi tertentu adalah jenis instrumen investasi yang memiliki karakteristik modal yang hanya terdapat pada bank umum syariah. Huruf b Yang dimaksud dengan investasi tertentu adalah jenis instrumen investasi yang memiliki karakteristik modal yang hanya terdapat pada bank umum syariah. Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain PSP dan/atau ultimate shareholders. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Jenis instrumen investasi yang memiliki karakteristik modal hanya terdapat pada bank umum syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Jenis instrumen investasi yang memiliki karakteristik modal hanya terdapat pada bank umum syariah. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Huruf a Dalam hal ini yang dimaksud dengan “credit line” merupakan fasilitas yang dapat diterima oleh Bank Sistemik dari pihak lain yang dapat digunakan untuk mengantisipasi dan/atau menutupi kebutuhan likuiditas Bank Sistemik dalam hal diperlukan. Huruf b Cukup jelas. - 10 - Huruf c Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak internal” antara lain seluruh unit kerja dan seluruh pegawai, terutama yang akan terlibat dalam implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan). Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak eksternal” antara lain investor, mitra bisnis (counterparties), dan pihak lain yang berkepentingan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Implementasi Rencana Aksi (Recovery Plan) bertujuan untuk mencegah, memulihkan, atau memperbaiki kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “evaluasi dan pengujian (stress testing)” adalah penilaian kondisi Bank Sistemik pada saat pelaksanaan evaluasi dibandingkan dengan Rencana Aksi (Recovery Plan) yang sudah ditetapkan, serta penilaian kelayakan atas Rencana Aksi (Recovery Plan) untuk mengantisipasi berbagai kondisi (skenario) stress secara individu (idiosyncratic) dan secara eksternal yang terjadi di pasar keuangan secara keseluruhan yang dapat bersifat domestik maupun internasional (market-wide shock). - 11 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu yang akan berpengaruh signifikan kepada Bank Sistemik” adalah perubahan kondisi Bank Sistemik secara individu (idiosyncratic) dan secara eksternal yang terjadi di pasar keuangan secara keseluruhan yang dapat bersifat domestik maupun internasional (market- wide shock) yang berpotensi membahayakan kelangsungan usaha Bank Sistemik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kecukupan dan kelayakan instrumen utang atau investasi yang memiliki karakteristik modal” adalah ketersediaan baik berdasarkan jumlah maupun jangka waktu instrumen utang atau investasi dimaksud untuk menghadapi kondisi tekanan keuangan (financial stress). - 12 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Yang dimaksud dengan “penyampaian Rencana Aksi (Recovery Plan)” adalah penyampaian pertama kali, penyampaian pengkinian dan penyampaian perbaikan. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6038
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 14/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> RENCANA AKSI (RECOVERY PLAN) BAGI BANK SISTEMIK </reg_title> <set_date> 4 April 2017 </set_date> <effective_date> 7 April 2017 </effective_date> <issued_date> 7 April 2017 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '9/UU/2016', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /POJK.04/2016 TENTANG SEGMENTASI PERIZINAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan industri terhadap Wakil Perantara Pedagang Efek untuk satu atau lebih fungsi pada Perusahaan Efek yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek khususnya pada fungsi pemasaran, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Segmentasi Perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek Dan Wakil Perantara Pedagang Efek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 362, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5636); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG SEGMENTASI PERIZINAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Wakil Perantara Pedagang Efek adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. 2. Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek, yang khusus melakukan fungsi pemasaran. 3. Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek, yang khusus melakukan fungsi pemasaran secara terbatas. 4. Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek, yang selanjutnya disebut Izin Wakil Perantara Pedagang Efek adalah izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan untuk bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek - 3 - yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. 5. Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, yang selanjutnya disebut Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran adalah izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek, yang khusus melakukan fungsi pemasaran. 6. Izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas, yang selanjutnya disebut Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas adalah izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek, yang khusus melakukan fungsi pemasaran secara terbatas. BAB II SEGMENTASI IZIN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK BERDASARKAN FUNGSI PERUSAHAAN EFEK Pasal 2 Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan izin Wakil Perantara Pedagang Efek khusus untuk 1 (satu) atau lebih segmentasi fungsi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Pasal 3 Segmentasi izin Wakil Perantara Pedagang Efek khusus untuk fungsi pemasaran dilakukan berdasarkan persyaratan dan prosedur yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 4 - Pasal 4 Segmentasi izin Wakil Perantara Pedagang Efek khusus untuk fungsi pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri dari: a. b. Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran; dan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. Pasal 5 Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak dapat digunakan sebagai pemenuhan persyaratan kompetensi direktur Perusahaan Efek sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Perusahan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek. BAB III RUANG LINGKUP IZIN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK PEMASARAN DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK PEMASARAN TERBATAS Pasal 6 (1) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas hanya dapat bertindak mewakili Perusahaan Efek dalam melaksanakan fungsi pemasaran jika yang bersangkutan bekerja pada Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. (2) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mewakili Perusahaan Efek untuk: a. melakukan penawaran kepada calon investor atau masyarakat untuk menjadi nasabah Perusahaan Efek; b. menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah; c. membuat kontrak pembukaan rekening Efek reguler dengan nasabah; - 5 - d. membuat kontrak pembukaan rekening Efek pembiayaan dengan nasabah untuk nasabah yang menerima fasilitas pembiayaan; e. membuat kontrak pembukaan rekening Efek lainnya dengan nasabah; f. menerima pesanan dan/atau instruksi untuk kepentingan nasabah; dan g. melakukan komunikasi dengan nasabah termasuk memberitahukan kepada nasabah setelah mendapatkan pemberitahuan dari fungsi teknologi informasi dalam hal sistem komunikasi daring mengalami kelambatan atau tidak berfungsi. (3) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mewakili Perusahaan Efek untuk: a. melakukan penawaran kepada calon investor atau masyarakat untuk menjadi Nasabah Perusahaan Efek; b. menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah; c. membuat kontrak pembukaan rekening Efek reguler dengan nasabah; d. membuat kontrak pembukaan rekening Efek pembiayaan dengan nasabah untuk nasabah yang menerima fasilitas pembiayaan; dan e. membuat kontrak pembukaan rekening Efek lainnya dengan nasabah. Pasal 7 (1) Orang perseorangan yang memiliki Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan orang perseorangan yang memiliki Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas yang tidak bekerja pada Perusahaan Efek dapat bekerja pada Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan atau bertindak sebagai Agen Perantara Pedagang Efek orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen Perantara Pedagang Efek. - 6 - (2) Kewenangan orang perseorangan yang memiliki Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan orang perseorangan yang memiliki Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terbatas pada kewenangan yang dimiliki oleh Agen Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen Perantara Pedagang Efek. Pasal 8 (1) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran hanya dapat menjadi penanggung jawab atas fungsi pemasaran Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek di lokasi lain selain kantor pusat. (2) Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas dilarang menjadi penanggung jawab atas fungsi pemasaran Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. BAB IV PERIZINAN DAN PERSYARATAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK PEMASARAN DAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK PEMASARAN TERBATAS Pasal 9 Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Persyaratan integritas yang meliputi: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. cakap melakukan perbuatan hukum; 3. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan; 4. tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin, pembatalan persetujuan, dan/atau pembatalan - 7 - pendaftaran oleh Otoritas Jasa Keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir; dan 5. memiliki komitmen yang tinggi untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; b. Persyaratan kompetensi yang meliputi: 1. berpendidikan paling rendah pendidikan menengah; 2. memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai di bidang Pasar Modal, dibuktikan dengan memiliki sertifikat keahlian: a) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek atau Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, bagi Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran; dan b) sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran atau Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas, bagi Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas, yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dan diterbitkan oleh lembaga pendidikan khusus di bidang Pasar Modal berdasarkan rekomendasi dari Komite Standar Keahlian; c. bekerja pada lembaga jasa keuangan di Indonesia, bagi warga negara asing; dan d. tidak bekerja pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan Efek, Agen Perantara Pedagang Efek kelembagaan, dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya. Pasal 10 Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b angka 2 dapat digunakan untuk pengajuan permohonan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas sepanjang berumur tidak lebih dari 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan sampai dengan saat pengajuan izin. Pasal 11 Pengaturan mengenai tata cara permohonan izin, masa berlaku dan perpanjangan izin, kewajiban dan larangan, - 8 - Komite Standar Keahlian dan asosiasi, pelaporan, serta pengembalian izin, bagi Wakil Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/2014 tentang Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek berlaku bagi Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas, sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 12 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. - 9 - Pasal 13 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 14 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada masyarakat. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 10 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 April 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 75 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /POJK.04/2016 TENTANG SEGMENTASI PERIZINAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK I. UMUM Dalam rangka mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Berkenaan dengan fungsinya dalam pengaturan dan pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan selalu mengikuti perkembangan kecenderungan Pasar Modal dunia dalam era globalisasi yang perkembangannya kian menjadi tanpa batas. Salah satu pengaturan yang menjadi perhatian Otoritas Jasa Keuangan yaitu terkait peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang Pasar Modal yang perlu untuk ditingkatkan, terutama Wakil Perantara Pedagang Efek yang menjadi ujung tombak pemasaran Perusahaan Efek. Menyadari pentingnya peranan Wakil Perantara Pedagang Efek, Otoritas Jasa Keuangan telah menyempurnakan pengaturan terkait Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27/POJK.04/ 2014 tentang Perizinan Wakil Penjamin Emisi Efek dan Wakil Perantara Pedagang Efek sebagai langkah awal peningkatan kualitas pemegang Izin Wakil Perantara Pedagang Efek. - 2 - Kurangnya kuantitas sumber daya manusia yang memiliki izin sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek, khususnya untuk menjalankan fungsi pemasaran menjadi salah satu kendala yang dihadapi Perusahaan Efek dalam mengembangkan usahanya, yang mengakibatkan kegiatan Perusahaan Efek di berbagai lokasi dan keagenan tidak berjalan dengan baik. Luasnya cakupan wilayah (aspek geografis) yang harus dijangkau oleh Perusahaan Efek juga menjadi penghalang dalam langkah pendalaman pasar khususnya untuk memperluas basis investor Pasar Modal. Oleh karena itu, pengembangan Wakil Perantara Pedagang Efek tidak boleh berhenti pada peningkatan kualitas saja, melainkan juga peningkatan kuantitas untuk memenuhi kebutuhan industri Pasar Modal melalui skema segmentasi perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek yang khusus melaksanakan fungsi pemasaran. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis mengingat bahwa Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas tidak setara dengan Izin Wakil Perantara Pedagang Efek. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. - 3 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Pada praktiknya sistem komunikasi daring biasa disebut sebagai on line. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. - 4 - Angka 2 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5875
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 22/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> SEGMENTASI PERIZINAN WAKIL PERANTARA PEDAGANG EFEK </reg_title> <set_date> 22 April 2016 </set_date> <effective_date> 27 April 2016 </effective_date> <issued_date> 27 April 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', '27/POJK.04/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.04/2015 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka sejak tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan atas Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek perlu mengganti Peraturan mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Dealer Partisipan adalah Anggota Bursa Efek yang menandatangani perjanjian dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek untuk melakukan penjualan atau pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud. 2. Sponsor adalah Pihak yang menandatangani perjanjian dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit - 3 - Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek untuk melakukan penyertaan dalam bentuk uang dan/atau Efek dalam rangka penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek. BAB II KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK Pasal 2 Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan memuat ketentuan sebagai berikut: a. Penitipan Kolektif atas Unit Penyertaan; b. prosedur penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek, paling sedikit meliputi: 1. jenis Efek yang menjadi dasar pembentukan Reksa Dana dimaksud; dan 2. jumlah minimal Unit Penyertaan yang akan dicatatkan di Bursa Efek. c. tata cara penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Manajer Investasi dan bahwa penjualan kembali dimaksud hanya diperbolehkan bagi Sponsor dan Dealer Partisipan; d. pembelian kembali (pelunasan) oleh Manajer Investasi dari Sponsor dan Dealer Partisipan per hari bursa paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang beredar; - 4 - e. kebijakan investasi wajib mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks, dan memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. komposisi portofolio Efek yang membentuk Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek harus terdiri dari Efek yang likuid; dan 2. tingkat likuiditas Efek yang menjadi portofolio Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib ditentukan bersama antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian; f. nama Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif akan dicatatkan; g. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di Bursa Efek dan melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan Nilai Aktiva Bersih setiap hari setelah penutupan perdagangan Bursa Efek sebagai indikasi harga Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dicatatkan di Bursa Efek; h. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di Bursa Efek komposisi portofolio setiap hari setelah penutupan perdagangan di Bursa Efek; i. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di Bursa Efek jumlah Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang beredar setiap ada perubahan; dan j. mekanisme rapat umum pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek (jika ada). - 5 - BAB III DEALER PARTISIPAN DAN SPONSOR Pasal 3 Manajer Investasi wajib membuat kontrak dengan Dealer Partisipan dalam rangka mewujudkan likuiditas pasar Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek. Pasal 4 Dealer Partisipan wajib mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perdagangan yang likuid atas Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek. Pasal 5 Dalam rangka menciptakan likuiditas pasar, Dealer Partisipan diperkenankan untuk membeli dan menjual Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek dengan ketentuan: a. Dealer Partisipan wajib secara berkala atau terus menerus menyampaikan penawaran jual atau penawaran beli Unit Penyertaan dimaksud pada sistem perdagangan yang disediakan oleh Bursa Efek; dan b. Dealer Partisipan mampu dan bersedia merealisasi transaksi dalam jumlah sesuai dengan komitmen sebagaimana tertuang dalam Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 6 Dalam hal terdapat perubahan jumlah Dealer Partisipan, Manajer Investasi wajib mengumumkannya di Bursa Efek. Pasal 7 Manajer Investasi wajib membuat kontrak dengan Sponsor jika dalam penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya - 6 - diperdagangkan di Bursa Efek melibatkan Sponsor, yang paling sedikit memuat: a. jumlah minimum setoran Efek atau uang oleh Sponsor yang akan dibelikan Efek yang membentuk portofolio Efek Reksa Dana dimaksud; dan b. jangka waktu kesanggupan Sponsor untuk tidak melakukan penjualan kembali. Pasal 8 Penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Manajer Investasi hanya dapat dilakukan oleh Sponsor dan Dealer Partisipasi dengan ketentuan: a. jika pembayarannya dengan Efek dari portofolio Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek, maka: 1. dasar penghitungan nilai Efek tersebut adalah nilai pasar wajar; dan 2. apabila Efek dimaksud tidak ada, maka pembayarannya dilakukan dengan uang tunai, dengan ketentuan nilainya dihitung berdasarkan Nilai Aktiva Bersih. b. jika pembayarannya dilakukan dengan uang tunai, maka nilainya dihitung berdasarkan Nilai Aktiva Bersih. c. Manajer Investasi wajib mengumumkan permohonan penjualan kembali oleh Dealer Partisipan dan Sponsor di Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan pada hari yang sama dengan permohonan penjualan kembali dimaksud. BAB IV RAPAT UMUM PEMEGANG UNIT PENYERTAAN Pasal 9 Dalam hal Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek memuat - 7 - ketentuan mengenai rapat umum pemegang Unit Penyertaan, maka ketentuan rapat umum pemegang Unit Penyertaan paling sedikit memuat: a. Rapat umum pemegang Unit Penyertaan dapat diselenggarakan atas usulan 1 (satu) Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang beredar; b. Pemberitahuan, Pemanggilan, dan Waktu Penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit Penyertaan: 1. pemberitahuan rapat umum pemegang Unit Penyertaan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan dan pemanggilan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum rapat umum pemegang Unit Penyertaan melalui paling sedikit 1 (satu) surat kabar berbahasa Indonesia yang berperedaran Nasional; 2. panggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan wajib mencantumkan tempat, waktu penyelenggaraan, prosedur serta agenda rapat; 3. dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan pertama gagal diselenggarakan atau gagal mengambil keputusan, maka diselenggarakan rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua; 4. panggilan untuk rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua dilakukan dengan menyebutkan telah diselenggarakannya rapat umum pemegang Unit Penyertaan pertama tetapi tidak mencapai kuorum atau tidak dapat mengambil keputusan; dan 5. Rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari dari rapat umum pemegang Unit Penyertaan pertama; dan - 8 - c. kuorum kehadiran dan keputusan rapat umum pemegang Unit Penyertaan. Pasal 10 Sebelum pemberitahuan rencana rapat umum pemegang Unit Penyertaan di surat kabar dilaksanakan, Manajer Investasi wajib menyampaikan terlebih dahulu agenda rapat tersebut secara jelas dan rinci ke Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum pemberitahuan. Pasal 11 Dalam hal agenda rapat umum pemegang Unit Penyertaan adalah penggantian Manajer Investasi atau Bank Kustodian, maka Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang diperdagangkan di Bursa Efek yang dimiliki oleh Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan/atau Pihak terafiliasinya tidak mempunyai hak suara. Pasal 12 Manajer Investasi wajib: a. menyampaikan hasil rapat umum pemegang Unit Penyertaan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah rapat umum pemegang Unit Penyertaan tersebut diselenggarakan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. mengumumkan hasil rapat umum pemegang Unit Penyertaan kepada masyarakat melalui paling sedikit 1 (satu) surat kabar berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional dan Bursa Efek. Pasal 13 Informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 huruf b angka 1 dan angka 2 serta Pasal 12 wajib pula diumumkan melalui media yang dapat diakses oleh masyarakat, yaitu paling sedikit: a. website Manajer Investasi; dan b. website atau media penyebaran informasi elektronik yang disediakan oleh Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa - 9 - Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan. BAB V PENAWARAN UMUM UNIT PENYERTAAN REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK Pasal 14 Untuk dapat melakukan Penawaran Umum Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek: a. Manajer Investasi wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan memenuhi ketentuan: 1. peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; 2. menyampaikan dokumen perjanjian pendahuluan pencatatan antara Manajer Investasi dengan Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek akan diperdagangkan; dan 3. menyampaikan dokumen perjanjian antara Manajer Investasi dengan Sponsor dan antara Manajer Investasi dengan Dealer Partisipan. b. Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah menjadi efektif. Pasal 15 Prospektus Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan - 10 - perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana serta memuat: a. informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. pokok-pokok perjanjian antara Manajer Investasi dengan Dealer Partisipan dan nama-nama Dealer Partisipan; dan c. pokok-pokok perjanjian antara Manajer Investasi dengan Sponsor dan nama-nama Sponsor (jika ada perjanjian dimaksud). BAB VI PENCATATAN AWAL UNIT PENYERTAAN REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK Pasal 16 Pencatatan awal Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib dilaksanakan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran. Pasal 17 Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang diterbitkan setelah pencatatan awal wajib dicatatkan paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak diterbitkannya Unit Penyertaan dimaksud. BAB VII KETENTUAN SANKSI Pasal 18 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan - 11 - Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 19 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 20 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 kepada masyarakat. - 12 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa keuangan ini mulai berlaku Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP- 133/BL/2006 tanggal 4 Desember 2006 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek, beserta Peraturan Nomor IV.B.3 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 400 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.04/2015 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek, yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 133/BL/2006 tanggal 4 Desember 2006 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek, beserta Peraturan Nomor IV.B.3 sebagai lampirannya menjadi - 2 - Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang berlaku adalah Peraturan Nomor IV.B.2, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-553/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 - 3 - Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Angka 1 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang berlaku adalah Peraturan Nomor IX.C.5, lampiran Keputusan Ketua BadanPengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-430 /BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Angka 2 Cukup Jelas. Angka 3 Cukup Jelas. Huruf b Cukup Jelas. Pasal 15 - 4 - Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam RangkaPenawaran Umum Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan Nomor IX.C.6, lampiran Keputusan Ketua BadanPengawas Pasar ModalNomor: KEP-22/PM/2004 tanggal 28 Mei 2004 tentang Pedoman Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5818
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 49/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-133/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM/2006', 'KEP-133/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM/2006 | Lampiran Peraturan Nomor IV.B.3' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor jasa keuangan yang tumbuh sccara berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing yang tinggi, perlu penerapan tata kelola yang baik di sektor jasa keuangan; b. bahwa adanya Lembaga Jasa Keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian di berbagai sektor jasa keuangan telah meningkatkan kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan dalam konglomerasi keuangan, sehingga diperlukan penerapan tata kelola terintegrasi; c. bahwa mengingat dalam konglomerasi keuangan terdiri dari lembaga jasa keuangan dari berbagai industri keuangan, maka diperlukan peningkatan kualitas tata kelola yang baik dalam suatu konglomerasi keuangan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia End of Page 1 - 2 - Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA KONGLOMERASI KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 2. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian. 3. Entitas … TERINTEGRASI BAGI - 3 - 3. Entitas Utama adalah LJK induk dari Konglomerasi Keuangan atau LJK yang ditunjuk oleh pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan. 4. Tata Kelola adalah suatu tata kelola dalam LJK yang menerapkan prinsip- prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau profesional (professional), dan kewajaran (fairness). 5. Tata Kelola Terintegrasi adalah suatu tata kelola yang menerapkan prinsip- prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau profesional (professional), dan kewajaran (fairness) secara terintegrasi dalam Konglomerasi Keuangan. 6. Direksi adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian; d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 7. Dewan Komisaris adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian; d. bagi … (accountability), (accountability), - 4 - d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Pasal 2 Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Tata Kelola Terintegrasi secara komprehensif dan efektif sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 3 (1) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memiliki struktur yang terdiri dari Entitas Utama dan: a. perusahaan anak; dan/atau b. perusahaan terelasi beserta perusahaan anaknya. (2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis LJK sebagai berikut: a. bank; b. perusahaan asuransi dan reasuransi; c. perusahaan efek; dan/atau d. perusahaan pembiayaan. Pasal 4 (1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh LJK secara langsung maupun tidak langsung baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan. (2) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Perusahaan subsidiari yaitu perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari 50% (lima puluh perseratus); b. Perusahaan partisipasi yaitu perusahaan yang dimiliki LJK sebesar 50% (lima puluh perseratus) atau kurang, namun LJK memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. Perusahaan … - 5 - c. Perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi persyaratan, yaitu: 1. kepemilikan LJK dan para pihak lainnya pada perusahaan anak adalah masing-masing sama besar; dan 2. masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap perusahaan anak yang didasarkan pada perjanjian, dan dibuktikan dengan adanya kesepakatan atau komitmen secara tertulis dari para pemilik untuk memberikan dukungan baik finansial maupun non finansial sesuai kepemilikannya masing-masing. d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku wajib dikonsolidasikan. Pasal 5 Perusahaan terelasi (sister company) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah beberapa LJK yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh pemegang saham pengendali yang sama. Pasal 6 (1) LJK wajib mengidentifikasi keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian dengan LJK lain dalam menentukan Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Konglomerasi Keuangan wajib memiliki Entitas Utama. (3) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan terdiri dari LJK induk dan LJK anak, Entitas Utama adalah LJK induk. (4) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan wajib menunjuk Entitas Utama. (5) Dalam hal Konglomerasi Keuangan dimiliki oleh lebih dari satu pihak dengan porsi kepemilikan yang sama, penunjukan Entitas Utama berdasarkan kesepakatan di antara pihak dengan porsi kepemilikan yang sama. (6) Pihak … - 6 - (6) Pihak yang ditunjuk sebagai Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) adalah LJK yang memiliki total aset terbesar dan/atau memiliki kualitas penerapan manajemen risiko yang baik. (7) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Entitas Utama untuk melakukan penyesuaian terhadap: a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama. Pasal 7 Entitas Utama wajib menerapkan Tata Kelola Terintegrasi. Pasal 8 Penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling sedikit mencakup: a. persyaratan Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama; b. tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama; c. tugas dan tanggung jawab Komite Tata Kelola Terintegrasi; d. tugas dan tanggung jawab satuan kerja kepatuhan terintegrasi; e. tugas dan tanggung jawab satuan kerja audit intern terintegrasi; f. penerapan manajemen risiko terintegrasi; dan g. penyusunan dan pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi. BAB II DIREKSI ENTITAS UTAMA, DEWAN KOMISARIS ENTITAS UTAMA, DAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH ENTITAS UTAMA Pasal 9 Calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon Dewan Komisaris Entitas Utama harus memiliki pengetahuan mengenai Entitas Utama dan pengetahuan mengenai LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 10 (1) Direksi Entitas Utama wajib memastikan penerapan Tata Kelola Terintegrasi dalam Konglomerasi Keuangan. (2) Tugas … - 7 - (2) Tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dalam rangka memastikan penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit: a. menyusun Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; b. mengarahkan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; dan c. menindaklanjuti arahan atau nasihat Dewan Komisaris Entitas Utama dalam rangka penyempurnaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi. Pasal 11 Direksi Entitas Utama wajib memastikan bahwa temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern terintegrasi, auditor eksternal, hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain telah ditindaklanjuti oleh LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 12 (1) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib melakukan pengawasan atas penerapan Tata Kelola Terintegrasi. (2) Tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris Entitas Utama dalam rangka melakukan pengawasan atas penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit: a. mengawasi penerapan Tata Kelola pada masing-masing LJK agar sesuai dengan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; b. mengawasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama, serta memberikan arahan atau nasihat kepada Direksi Entitas Utama atas pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; dan c. mengevaluasi Pedoman Tata Kelola Terintegrasi dan mengarahkan dalam rangka penyempurnaan. Pasal 13 (1) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib menyelenggarakan rapat secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali setiap semester. (2) Rapat … - 8 - (2) Rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dapat dilaksanakan melalui video conference. (3) Hasil rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan secara baik. (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat. Pasal 14 (1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugasnya, Dewan Komisaris Entitas Utama wajib membentuk Komite Tata Kelola Terintegrasi. (2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki Komite Tata Kelola, fungsi Komite Tata Kelola Terintegrasi dapat dilakukan oleh Komite Tata Kelola yang telah ada dengan menyesuaikan keanggotaan, fungsi dan tanggung jawab. Pasal 15 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan/atau Dewan Komisaris Entitas Utama tidak diperhitungkan sebagai rangkap jabatan. Pasal 16 Dalam hal Entitas Utama melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah pada Entitas Utama harus memastikan penerapan Tata Kelola Terintegrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. BAB III KOMITE TATA KELOLA TERINTEGRASI Pasal 17 (1) Komite Tata Kelola Terintegrasi paling sedikit terdiri dari: a. seorang Komisaris Independen yang menjadi Ketua pada salah satu komite pada Entitas Utama, sebagai ketua merangkap anggota; b. Komisaris Independen yang mewakili dan ditunjuk dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan, sebagai anggota; c. seorang … - 9 - c. seorang pihak independen, sebagai anggota; dan d. anggota Dewan Pengawas Syariah dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan, sebagai anggota. (2) Jumlah dan komposisi Komisaris Independen yang menjadi anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas Komite Tata Kelola Terintegrasi dengan memperhatikan paling sedikit keterwakilan masing-masing sektor jasa keuangan. (3) Keanggotaan Komisaris Independen pada Komite Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa keanggotaan tetap atau tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan. Pasal 18 Keanggotaan Komisaris Independen, pihak independen, dan anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) pada Komite Tata Kelola Terintegrasi dalam Konglomerasi Keuangan tidak diperhitungkan sebagai rangkap jabatan. Pasal 19 Komite Tata Kelola Terintegrasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling sedikit: a. mengevaluasi pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi paling sedikit melalui penilaian kecukupan pengendalian intern dan pelaksanaan fungsi kepatuhan secara terintegrasi; dan b. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris Entitas Utama untuk penyempurnaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi. Pasal 20 (1) Komite Tata Kelola Terintegrasi harus melaksanakan rapat paling sedikit 1 (satu) kali setiap semester. (2) Rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dapat dilaksanakan melalui video conference. (3) Hasil rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan secara baik. (4) Perbedaan … - 10 - (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat. BAB IV SATUAN KERJA KEPATUHAN TERINTEGRASI DAN AUDIT INTERN TERINTEGRASI Pasal 21 (1) Entitas Utama wajib memiliki Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi yang independen. (2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja kepatuhan, pelaksanaan tugas kepatuhan terintegrasi dapat dilakukan oleh satuan kerja kepatuhan yang telah ada. Pasal 22 Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi mempunyai tugas paling sedikit memantau dan mengevaluasi pelaksanaan fungsi kepatuhan pada masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 23 (1) Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kepada Direktur Kepatuhan Entitas Utama atau Direktur yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan. (2) Direktur Kepatuhan Entitas Utama atau Direktur yang ditunjuk oleh Direktur Utama Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kepatuhan terintegrasi kepada Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama. Pasal 24 (1) Entitas Utama wajib memiliki Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi yang independen. (2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja audit intern, pelaksanaan tugas audit intern terintegrasi dapat dilakukan oleh satuan kerja audit intern yang telah ada. Pasal … - 11 - Pasal 25 Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi mempunyai tugas paling sedikit memantau pelaksanaan audit intern pada masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 26 Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi menyampaikan laporan audit intern terintegrasi kepada Direktur yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan dan Dewan Komisaris Entitas Utama serta Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan Entitas Utama. BAB V MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI Pasal 27 Entitas Utama wajib menerapkan manajemen risiko terintegrasi secara komprehensif dan efektif dengan berpedoman pada ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. BAB VI PEDOMAN TATA KELOLA TERINTEGRASI Pasal 28 (1) Pedoman Tata Kelola Terintegrasi yang disusun oleh Direksi Entitas Utama dan disetujui oleh Dewan Komisaris Entitas Utama paling sedikit mencakup: a. kerangka Tata Kelola Terintegrasi bagi Entitas Utama; dan b. kerangka Tata Kelola bagi LJK dalam Konglomerasi Keuangan. (2) Penyusunan kerangka Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada peraturan ini dan ketentuan tata kelola yang berlaku bagi masing-masing LJK. (3) Direksi Entitas Utama menyampaikan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi kepada Direksi LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 29 Kerangka Tata Kelola Terintegrasi bagi Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a memuat paling sedikit: a. persyaratan … - 12 - a. persyaratan Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama; b. tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama; c. tugas dan tanggung jawab Komite Tata Kelola Terintegrasi; d. tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi; e. tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi; dan f. penerapan manajemen risiko terintegrasi. Pasal 30 (1) Kerangka Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b memuat paling sedikit: a. persyaratan calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris; b. persyaratan calon anggota Dewan Pengawas Syariah; c. struktur Direksi dan Dewan Komisaris; d. struktur Dewan Pengawas Syariah; e. independensi tindakan Dewan Komisaris; f. pelaksanaan fungsi pengurusan LJK oleh Direksi; g. pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris; h. pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah; i. pelaksanaan fungsi kepatuhan, fungsi audit intern, dan pelaksanaan audit ekstern; j. pelaksanaan fungsi manajemen risiko; k. kebijakan remunerasi; dan l. pengelolaan benturan kepentingan. (2) Persyaratan, struktur dan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf d, dan huruf h dicantumkan dalam kerangka Tata Kelola Terintegrasi apabila Konglomerasi Keuangan memiliki LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasar prinsip Syariah. Pasal 31 Persyaratan calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, serta calon Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b paling sedikit memuat persyaratan integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan. Pasal … - 13 - Pasal 32 Struktur Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c, paling sedikit memuat: a. jumlah minimal dan maksimal anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; b. rangkap jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; dan c. jumlah dan komposisi Komisaris Independen. Pasal 33 Struktur Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d paling sedikit memuat: a. jumlah minimal dan maksimal anggota Dewan Pengawas Syariah; dan b. rangkap jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah. Pasal 34 Independensi tindakan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e paling sedikit memuat kriteria tindakan Dewan Komisaris yang dinyatakan independen. Pasal 35 Pelaksanaan fungsi pengurusan LJK oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf f paling sedikit memuat tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. melaksanakan prinsip-prinsip Tata Kelola; b. menindaklanjuti hasil audit oleh pihak intern dan ekstern; c. menyusun tata tertib kerja; dan d. menyelenggarakan rapat Direksi yang paling sedikit mencakup tata cara pengambilan keputusan dan dokumentasi rapat. Pasal 36 Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf g paling sedikit memuat tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris sebagai berikut: a. melakukan pengawasan terhadap penerapan tata kelola, tugas dan tanggung jawab Direksi dan tindak lanjut hasil audit dari pihak intern dan ekstern; b. membentuk … - 14 - b. membentuk komite atau menunjuk pihak untuk melaksanakan fungsi yang mendukung tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris paling sedikit komite atau fungsi pemantauan audit, dan komite atau fungsi pemantauan kepatuhan; c. menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris yang paling sedikit mencakup frekuensi, kehadiran dan tata cara pengambilan keputusan; dan d. menyusun tata tertib kerja Dewan Komisaris. Pasal 37 Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf h memuat paling sedikit tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan LJK agar sesuai dengan Prinsip Syariah; dan b. menyusun tata tertib kerja Dewan Pengawas Syariah. Pasal 38 Pelaksanaan fungsi kepatuhan, fungsi audit intern, dan pelaksanaan audit ekstern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf i paling sedikit memuat: a. pembentukan fungsi kepatuhan dan fungsi audit intern yang independen; b. pelaksanaan fungsi audit intern paling sedikit melaksanakan audit intern LJK; dan c. pelaksanaan fungsi audit ekstern oleh pihak eksternal terhadap laporan keuangan LJK. Pasal 39 Pelaksanaan fungsi manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf j memuat paling sedikit kebijakan manajemen risiko secara komprehensif dan efektif dengan berpedoman pada ketentuan mengenai manajemen risiko yang berlaku bagi masing-masing LJK. Pasal … - 15 - Pasal 40 Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf k memuat paling sedikit kebijakan remunerasi dengan memperhatikan profil risiko dan dalam rangka terwujudnya budaya kerja yang hati-hati. Pasal 41 Pengelolaan benturan kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf l paling sedikit memuat kebijakan: a. untuk melakukan identifikasi, mitigasi, dan pengelolaan atas benturan kepentingan termasuk yang berasal dari transaksi dengan pihak afiliasi dan transaksi intra group; b. larangan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris mengambil tindakan yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan LJK; dan c. kewajiban mengungkapkan apabila terjadi benturan kepentingan dalam setiap pengambilan keputusan. BAB VII TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN YANG ENTITAS UTAMANYA BERUPA KANTOR CABANG DARI ENTITAS DI LUAR NEGERI Pasal 42 Konglomerasi Keuangan yang Entitas Utamanya berupa Kantor Cabang dari entitas di luar negeri wajib memenuhi ketentuan mengenai Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 43 Pelaksanaan fungsi Dewan Komisaris, dan pembentukan Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada Entitas Utama yang bersangkutan. BAB … - 16 - BAB VIII PELAPORAN Pasal 44 (1) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan mengenai LJK yang menjadi Entitas Utama dan LJK yang menjadi anggota Konglomerasi Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terdapat: a. Konglomerasi Keuangan baru disertai penunjukkan Entitas Utama; b. perubahan Entitas Utama; c. perubahan anggota Konglomerasi Keuangan; dan/atau d. pembubaran Konglomerasi Keuangan. (3) Laporan disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak terjadinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang lain, laporan tersebut dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan. (5) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penyesuaian terhadap: a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama, dalam hal diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7). Pasal 45 (1) Entitas Utama wajib menyusun laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala. (2) Penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat. (3) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disusun setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (4) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. (5) Laporan … - 17 - (5) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (6) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/libur, laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 46 (1) Entitas Utama wajib menyusun laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi. (2) Laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) bulan sejak tahun buku berakhir. (3) Entitas Utama wajib mempublikasikan laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dalam home page Entitas Utama paling lambat 5 (lima) bulan sejak tahun buku berakhir. (4) Laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dapat menjadi bagian tersendiri dalam laporan tahunan Konglomerasi Keuangan atau diajukan secara terpisah dari laporan tahunan Konglomerasi Keuangan. Pasal 47 (1) Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5). (2) Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan Tahunan Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2). Pasal 48 Bagi Entitas Utama berupa Bank yang telah menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah memenuhi kewajiban penyampaian laporan penilaian Tata Kelola Konsolidasi secara … - 18 - secara berkala sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum. Pasal 49 Bagi Entitas Utama berupa Bank yang telah menyampaikan Laporan Tahunan Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah memenuhi kewajiban penyampaian Laporan Pelaksanaan good corporate governance sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum. BAB IX LAIN-LAIN Pasal 50 Hubungan antar LJK yang dimiliki dan dikendalikan langsung oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia dikecualikan dari pengertian Konglomerasi Keuangan. Pasal 51 (1) Dalam hal Konglomerasi Keuangan berada dalam satu sektor jasa keuangan yang sama dan telah terdapat ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Tata Kelola (good corporate governance) bagi sektor jasa keuangan, penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Tata Kelola (good corporate governance) yang berlaku bagi sektor jasa keuangan. (2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. memiliki Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); b. membentuk Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi, Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi, dan Komite Tata Kelola Terintegrasi; c. menyusun Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; d. menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45; e. menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46. Pasal … - 19 - Pasal 52 Entitas Utama wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penerapan Tata Kelola Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB X S A N K S I Pasal 53 Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 6 ayat (2), Pasal 42, dan Pasal 51 ayat (2); Entitas Utama yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7, Pasal 21 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27, Pasal 44 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 52; LJK yang melanggar ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1); pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 6 ayat (4); Direksi Entitas Utama yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11, dan Dewan Komisaris Entitas Utama yang melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (1), dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan; d. pembatasan kegiatan usaha; e. perintah penggantian manajemen; f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; dan/atau g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan. Pasal 54 Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan: a. laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5); dan/atau b. laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal … - 20 - Pasal 55 Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54 mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada setiap sektor jasa keuangan. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 56 Laporan mengenai LJK yang menjadi Entitas Utama dan LJK yang menjadi anggota Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) disampaikan pertama kali paling lambat 31 Maret 2015. Pasal 57 Kewajiban penyampaian laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) pertama kali dilakukan untuk posisi laporan sebagai berikut: a. Juni 2015, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. Desember 2015, untuk Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank. Pasal 58 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 mulai berlaku sejak: a. 1 Januari 2017, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama berupa bank non Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal … Pasal 60 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK tetap menerapkan ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan. Pasal 61 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditctapkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I KEUKNGAN Tini Kustini End of Page 21 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN I. UMUM Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil menjadi suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berperan secara optimal dalam perekonomian nasional. Industri keuangan merupakan salah satu industri yang memiliki kompleksitas operasional dan tingkat persaingan yang tinggi, sehingga menyebabkan industri keuangan terekspos risiko yang tinggi dan harus beroperasi secara berhati-hati serta efisien. Seiring dengan perkembangan globalisasi, teknologi informasi, dan inovasi produk serta aktivitas Lembaga Jasa Keuangan (LJK) telah menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing-masing sektor keuangan baik dalam produk dan kelembagaan, maupun kepemilikan. Menghadapi kondisi tersebut, LJK perlu menerapkan tata kelola yang baik pada LJK dan Konglomerasi Keuangan. Dalam rangka penerapan tata kelola terintegrasi yang baik, Konglomerasi Keuangan perlu memiliki Pedoman Tata Kelola Terintegrasi dengan mengacu pada peraturan yang konservatif guna menjadi panduan bagi LJK dalam Konglomerasi Keuangan untuk menerapkan tata kelola, sehingga dapat mendorong peningkatan kualitas penerapan tata kelola terintegrasi. Dengan penerapan tata kelola terintegrasi, akan mendorong Konglomerasi Keuangan memiliki tata kelola yang lebih prudent sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau profesional (professional), dan kewajaran (fairness). Selain itu, penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan diharapkan dapat mendorong stabilitas sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional … - 2 - nasional. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah perseorangan atau perusahaan/badan, baik secara sendiri maupun bersama- sama dan baik secara langsung maupun tidak langsung yang memiliki 50% (lima puluh perseratus) atau kurang saham yang memiliki hak suara pada suatu perusahaan atau badan lain tetapi: 1. terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain sehingga memiliki hak suara lebih dari 50% (lima puluh perseratus); 2. mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional perusahaan/badan lain berdasarkan anggaran dasar/perjanjian; 3. mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau mengganti sebagian besar Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lainnya yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan lain melalui Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lainnya … - 3 - lainnya tersebut; dan/atau 4. mampu menguasai suara mayoritas pada rapat Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lainnya yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan melalui Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lainnya tersebut. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sebagai contoh: LJK A adalah LJK induk dari LJK anak yang terdiri dari LJK B dan LJK C secara langsung, serta LJK D dan LJK E secara tidak langsung. Dengan demikian, Entitas Utama dari Konglomerasi Keuangan adalah LJK A. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di bawah ini. LJK A LJK B LJK C LJK D LJK E Ayat (4) Termasuk pemegang saham pengendali pada ayat ini adalah: 1. perorangan/perusahaan non keuangan; atau 2. perorangan/ perusahaan yang berkedudukan di luar negeri. Sebagai … - 4 - Sebagai contoh: “Non LJK 1” adalah pemegang saham pengendali dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C. “Non LJK 1” wajib menunjuk Entitas Utama dalam rangka penerapan Tata Kelola Terintegrasi. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di bawah ini. Non LJK 1 LJK A LJK B LJK C Contoh berikutnya: “Non LJK 2” adalah pemegang saham pengendali dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, LJK C, LJK D, dan LJK E. “Non LJK 2” wajib menunjuk Entitas Utama dalam rangka penerapan Tata Kelola Terintegrasi. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di bawah ini. Non LJK 2 LJK A Non LJK 1 LJK B LJK C LJK D LJK E Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat … - 5 - Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon anggota Dewan Komisaris tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan uji kemampuan dan kepatutan bagi masing-masing sektor jasa keuangan. Persyaratan pengetahuan bagi calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon anggota Dewan Komisaris Entitas Utama mengenai LJK dalam Konglomerasi Keuangan diperlukan karena adanya peningkatan tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan Konglomerasi Keuangan. Yang dimaksud dengan “pengetahuan” antara lain pemahaman kegiatan bisnis utama dan risiko utama dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Yang dimaksud dengan “otoritas lain” termasuk namun tidak terbatas pada: a. Bank Indonesia; b. Otoritas pengawasan terhadap Kantor Pusat LJK dalam hal LJK merupakan kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Termasuk dalam penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris Entitas Utama adalah penjadwalan waktu pelaksanaan rapat. Ayat … - 6 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Rangkap jabatan tidak diperhitungkan karena merupakan ex-officio yaitu jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pihak independen dapat berasal dari pihak independen anggota Komite pada Entitas Utama. Huruf d Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah dalam Komite Tata Kelola Terintegrasi hanya apabila terdapat LJK yang melaksanakan kegiatan usaha berdasar prinsip Syariah. Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah yang menjadi anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dari Komite Tata Kelola Terintegrasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat … - 7 - Ayat (3) Mengingat jumlah dan komposisi Komisaris Independen yang menjadi anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dari Komite Tata Kelola Terintegrasi, maka dalam hal diperlukan Entitas Utama dapat menambah keanggotaan tidak tetap Komisaris Independen dari LJK yang belum menjadi anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Dalam melakukan evaluasi, Komite Tata Kelola Terintegrasi memperoleh informasi berupa hasil evaluasi atas pelaksanaan audit intern dan fungsi kepatuhan masing-masing LJK dari anggota Dewan Komisaris masing-masing LJK yang menjadi anggota pada Komite Tata Kelola Terintegrasi. Huruf b Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Termasuk dalam penyelenggaraan rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi adalah penjadwalan waktu pelaksanaan rapat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan satuan kerja yang melaksanakan fungsi kepatuhan terintegrasi dengan … - 8 - dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Penunjukan Direktur untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan dilakukan sesuai dengan anggaran dasar LJK sebagai Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan satuan kerja yang melaksanakan fungsi audit intern terintegrasi dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Dalam melaksanakan tugasnya Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi dapat melakukan audit pada LJK baik secara individual, audit bersama, atau berdasarkan laporan dari Satuan Kerja Audit Intern LJK. Pasal 26 Penunjukan Direktur untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan dilakukan sesuai dengan anggaran dasar LJK sebagai Entitas Utama. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal … - 9 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “independen” adalah tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham baik langsung maupun tidak langsung, dan/atau hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik vertikal maupun horizontal dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi yang mendukung tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris merupakan organ Dewan Komisaris di luar struktur organisasi LJK. Huruf … - 10 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Laporan disertai dengan dokumen penunjukan Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi didasarkan atas hasil penilaian … - 11 - penilaian sendiri (self assessment). Ayat (2) Peringkat terbaik dari 5 (lima) kategori peringkat Tata Kelola Terintegrasi adalah peringkat 1 (satu). Ayat (3) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disajikan secara komparatif dengan posisi semester sebelumnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dapat digunakan oleh Entitas Utama untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Sektor jasa keuangan terdiri dari sektor perbankan, sektor pasar modal, dan sektor industri keuangan non bank. Contoh: Dalam hal Konglomerasi keuangan seluruhnya terdiri dari beberapa perusahaan asuransi, maka penerapan Tata Kelola Terintegrasi mengacu … - 12 - mengacu pada ketentuan mengenai Tata Kelola (good corporate governance) untuk perusahaan asuransi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 52 Data dan informasi dari Entitas Utama digunakan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka melakukan evaluasi dan penilaian terhadap penerapan Tata Kelola Terintegrasi yang dilakukan oleh Konglomerasi Keuangan. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5627
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 8/POJK.03/2014 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 11 Juni 2014 </set_date> <effective_date> 13 Juni 2014 </effective_date> <issued_date> 13 Juni 2014 </issued_date> <replaced_reg> '9/1/PBI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 57 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK UMUM YANG MELAKUKAN LAYANAN NASABAH PRIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkatnya persaingan usaha bank, diperlukan peningkatan penyediaan layanan perbankan kepada suatu segmen nasabah dengan keistimewaan tertentu; b. bahwa dalam praktik penyediaan layanan perbankan kepada suatu segmen nasabah dengan keistimewaan tertentu terdapat potensi meningkatnya profil risiko industri perbankan; c. bahwa dengan terdapatnya potensi peningkatan risiko, perlu diupayakan oleh industri perbankan untuk memitigasi risiko yang diakibatkan oleh praktik penyediaan layanan perbankan kepada suatu segmen nasabah dengan keistimewaan tertentu; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum yang Melakukan Layanan Nasabah Prima; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK UMUM YANG MELAKUKAN LAYANAN NASABAH PRIMA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan bank umum syariah serta unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor_21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. - 3 - 2. Nasabah Prima adalah perseorangan yang memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu yang ditetapkan Bank untuk dapat memperoleh layanan atau menggunakan fasilitas Bank dengan keistimewaan tertentu dibandingkan dengan nasabah lain pada umumnya. 3. Layanan Nasabah Prima yang selanjutnya disebut LNP adalah bagian dari kegiatan usaha Bank dalam menyediakan layanan terkait produk dan/atau aktivitas dengan keistimewaan tertentu bagi Nasabah Prima. BAB II PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DALAM MELAKUKAN LAYANAN NASABAH PRIMA Pasal 2 (1) Bank yang akan melakukan LNP yang memenuhi kriteria sebagai aktivitas baru, wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Bank yang melakukan LNP wajib memiliki kebijakan tertulis sebagai acuan. (3) Kebijakan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun oleh direksi dan disetujui oleh dewan komisaris. (4) Kebijakan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. persyaratan Nasabah Prima; b. ruang lingkup produk dan/atau aktivitas Bank; c. cakupan keistimewaan LNP; dan d. nama layanan (brand name) dan pengelompokan Nasabah Prima. (5) Bank dalam menetapkan pengelompokan Nasabah Prima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, harus secara jelas membedakan keistimewaan layanan untuk setiap kelompok Nasabah Prima. - 4 - Pasal 3 (1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara umum dalam pelaksanaan LNP. (2) Bank wajib menerapkan manajemen risiko pada aspek: a. pendukung keistimewaan layanan; dan b. transparansi, edukasi, dan perlindungan nasabah. (3) Penerapan manajemen risiko pada aspek pendukung keistimewaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit mencakup: a. ketersediaan sumber daya manusia yang memadai sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas LNP; b. prosedur tertulis kegiatan LNP yang mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko dan ketentuan yang mengatur mengenai Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT); c. kesesuaian spesifikasi, karakteristik, dan risiko dari produk dan/atau aktivitas yang ditawarkan dengan karakteristik dan profil Nasabah Prima; dan d. ketersediaan teknologi informasi yang memadai. (4) Penerapan manajemen risiko pada aspek transparansi, edukasi, dan perlindungan nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit mencakup: a. spesifikasi LNP; b. kesepakatan tertulis antara Bank dengan Nasabah Prima; c. mekanisme untuk memastikan kewenangan pelaku transaksi; dan d. penyampaian informasi kepada Nasabah Prima mengenai posisi atau eksposur masing-masing Nasabah Prima secara berkala. - 5 - Pasal 4 Bank wajib menatausahakan data, dokumen atau warkat terkait transaksi keuangan dan aktivitas Nasabah Prima dalam LNP. BAB III PERSETUJUAN DAN PELAPORAN Pasal 5 (1) Bank yang akan melakukan LNP yang memenuhi kriteria sebagai aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib: a. bagi bank umum konvensional, menyampaikan laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum; atau b. bagi bank umum syariah, mengajukan permohonan persetujuan penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru yang mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. (2) Bank yang melakukan LNP yang memenuhi kriteria sebagai aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib: a. bagi bank umum konvensional, menyampaikan laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum; atau b. bagi bank umum syariah, menyampaikan laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang mengacu pada Peraturan - 6 - Otoritas Jasa Keuangan mengenai Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. BAB IV SANKSI Pasal 6 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal_3 ayat (2), Pasal 4, dan/atau Pasal 5 dikenakan sanksi administratif, berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak- pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau e. pemberhentian pengurus Bank. Pasal 7 Bank yang melanggar ketentuan yang terkait dengan transparansi, edukasi, dan perlindungan nasabah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan mengenai Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah serta - 7 - Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Pasal 8 Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank yang melanggar kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) diatur: a. bagi bank umum konvensional dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum; atau b. bagi bank umum syariah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 9 Penyusunan kebijakan LNP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan penerapan manajemen risiko dalam kegiatan LNP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 paling sedikit mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum yang Melakukan LNP, yang merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/29/DPNP tanggal 9 Desember 2011 perihal Penerapan Manajemen - 8 - Risiko Pada Bank Umum Yang Melakukan Layanan Nasabah Prima dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 288 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 57 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK UMUM YANG MELAKUKAN LAYANAN NASABAH PRIMA I. UMUM Dengan semakin meningkatnya persaingan usaha di industri perbankan, mendorong Bank untuk mengembangkan inovasi layanan dalam menyediakan produk dan/atau aktivitas yang disesuaikan dengan kebutuhan nasabah, khususnya suatu segmen nasabah tertentu yang menginginkan Bank dapat memberikan layanan perbankan secara lebih personal dan mendapatkan tambahan layanan keistimewaan tertentu. Selama ini upaya Bank untuk memenuhi kebutuhan nasabah segmen tertentu berpotensi meningkatkan profil risiko perbankan, khususnya risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diatur secara bank wide antara lain mengenai penerapan manajemen risiko, APU dan PPT, transparansi informasi produk Bank, serta penggunaan data pribadi nasabah sebagai acuan standar minimal bagi Bank dalam memberikan layanan kepada nasabahnya. Mengingat terdapat potensi risiko sebagaimana dikemukakan di atas maka atas layanan tersebut dipandang perlu untuk memitigasi risiko antara lain dengan cara merumuskan suatu standar minimal sebagai pedoman penyusunan kebijakan dan penerapan manajemen risiko pada aspek tertentu. - 2 - Standar minimal dimaksud antara lain didasarkan pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko, dan memperhatikan pengaturan mengenai APU dan PPT, transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah, serta perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Melalui penerapan manajemen risiko, Bank diharapkan dapat mengukur risiko operasional, risiko hukum, dan risiko reputasi dalam praktik penyediaan layanan perbankan dengan keistimewaan tertentu kepada suatu segmen nasabah tertentu. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Bank yang akan melakukan LNP yang memenuhi kriteria sebagai aktivitas baru mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank dan/atau produk dan aktivitas bank umum syariah dan unit usaha syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Persyaratan Nasabah Prima berupa kriteria atau persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh nasabah untuk dapat diperlakukan sebagai Nasabah Prima. Huruf b Dalam menetapkan ruang lingkup produk dan/atau aktivitas yang ditawarkan dalam LNP, Bank memperhatikan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan - 3 - ketentuan lain yang mengatur mengenai produk dan/atau aktivitas Bank. Huruf c Cakupan keistimewaan LNP meliputi layanan keuangan dan/atau non keuangan. Penetapan cakupan keistimewaan LNP memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan lain yang terkait. Huruf d Dalam melakukan LNP, Bank menetapkan nama layanan (brand name) tertentu. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Penerapan manajemen risiko secara umum mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai dari sisi kualitas dan sisi kuantitas, dengan memperhatikan paling sedikit: 1. penetapan persyaratan dan kualifikasi untuk jabatan tertentu dalam melakukan LNP; 2. penetapan wewenang dan tanggung jawab yang jelas; 3. penerapan prinsip know your employee; 4. sistem remunerasi yang jelas dan transparan; - 4 - 5. kebijakan pengendalian risiko yang terkait dengan manajemen sumber daya manusia antara lain rekrutmen, promosi, rotasi, mutasi, dan cuti; dan/atau 6. kebijakan evaluasi secara berkala. Huruf b Prosedur tertulis kegiatan LNP mencakup setiap produk dan/atau aktivitas yang ditawarkan kepada Nasabah Prima. Penetapan prosedur khusus pada LNP harus memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko terutama pada aspek pengendalian intern dan ketentuan yang mengatur mengenai APU dan PPT. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Teknologi informasi yang memadai antara lain dapat menghasilkan laporan yang akurat dan komprehensif dalam melakukan LNP baik untuk kepentingan Bank maupun Nasabah Prima serta memastikan keamanan data dan informasi yang ada. Ayat (4) Huruf a Spesifikasi LNP antara lain mencakup: 1. nama LNP; 2. masing-masing kelompok Nasabah Prima dalam LNP dan kriterianya beserta cakupan keistimewaan layanan yang diberikan; dan 3. karakteristik, termasuk risiko dari produk dan/atau aktivitas yang ditawarkan kepada Nasabah Prima. Huruf b Kesepakatan tertulis paling sedikit memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta tata cara penyelesaian apabila terjadi perselisihan. - 5 - Huruf c Mekanisme dimaksud bertujuan untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan oleh Nasabah Prima atau kuasa yang mewakili Nasabah Prima sesuai kesepakatan tertulis dengan Nasabah Prima. Huruf d Penyampaian informasi kepada Nasabah Prima mengenai posisi atau eksposur masing-masing Nasabah Prima didasarkan pada kesepakatan tertulis dengan Nasabah Prima. Pasal 4 Data yang wajib ditatausahakan paling sedikit meliputi: 1. jumlah nasabah; 2. volume produk yang dijual; 3. kantor yang memberikan layanan; dan 4. informasi terkait lainnya yang selalu dikinikan secara berkala. Penatausahaan dilakukan antara lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dokumen perusahaan, ketentuan yang mengatur mengenai APU dan PPT, serta kebijakan dan prosedur intern Bank. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. - 6 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5982
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 57/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK UMUM YANG MELAKUKAN LAYANAN NASABAH PRIMA </reg_title> <set_date> 7 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 9 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 9 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> '13/29/DPNP|SE-BI/2011' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 58 /POJK.04/2016 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS BURSA EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan tata kelola Bursa Efek yang baik dan berdaya saing global, serta meningkatkan kompetensi dan integritas Direksi dan Dewan Komisaris Bursa Efek, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris Bursa Efek dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan Komisaris Bursa Efek; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS BURSA EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Direksi adalah organ Bursa Efek yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Bursa Efek untuk kepentingan Bursa Efek, sesuai dengan maksud dan tujuan Bursa Efek serta mewakili Bursa Efek, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 2. Dewan Komisaris adalah organ Bursa Efek yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 3. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak- Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 4. Anggota Bursa Efek adalah Perantara Pedagang Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan/atau sarana Bursa Efek sesuai dengan peraturan Bursa Efek. 5. Komite Remunerasi adalah komite ad hoc yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam membantu melaksanakan fungsi dan tugas Dewan Komisaris untuk mengkaji dan mengusulkan gaji dan manfaat lain bagi anggota Direksi, serta honorarium - 3 - termasuk metode penentuannya, bagi anggota Dewan Komisaris. 6. Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan adalah komite ad hoc yang dibentuk oleh Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. 7. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disingkat RUPS, adalah organ Bursa Efek yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar. BAB II DIREKSI BURSA EFEK Bagian Kesatu Keanggotaan Direksi Pasal 2 (1) Bursa Efek wajib mempunyai paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Direksi. (2) Satu di antara anggota Direksi Bursa Efek wajib ditetapkan sebagai direktur utama Bursa Efek dengan tugas utama paling sedikit: a. mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat Direksi tidak dapat mengambil keputusan; dan b. melakukan koordinasi kegiatan di Bursa Efek, kegiatan hubungan masyarakat, kegiatan hukum dan peraturan, dan kegiatan pemeriksaan internal. (3) Anggota Direksi Bursa Efek selain direktur utama wajib ditetapkan sebagai anggota Direksi Bursa Efek yang paling sedikit bertanggung jawab terhadap 1 (satu) atau lebih kegiatan sebagai berikut: - 4 - a. pencatatan, yang paling sedikit bertanggung jawab atas: 1. pembuatan peraturan pencatatan dan penghapusan pencatatan Efek; 2. perilaku Emiten yang tercatat di Bursa Efek dan Biro Administrasi Efek; 3. koordinasi dan pengawasan aksi korporasi Emiten yang tercatat di Bursa Efek; dan 4. pengelolaan pelatihan dan pendidikan pada Emiten yang tercatat di Bursa Efek dan Biro Administrasi Efek; b. keanggotaan Bursa Efek dan partisipan, yang paling sedikit bertanggung jawab atas: 1. pembuatan peraturan mengenai persyaratan keanggotaan Bursa Efek dan partisipan; 2. kewajiban pelaporan Anggota Bursa Efek dan partisipan; 3. pengawasan Anggota Bursa Efek dan partisipan; dan 4. pengelolaan pelatihan dan pendidikan Anggota Bursa Efek dan partisipan; c. perdagangan, yang paling sedikit bertanggung jawab atas: 1. pembuatan peraturan perdagangan, kliring dan penyelesaian Transaksi Bursa; dan penyelenggaraan 2. kelancaran perdagangan di Bursa Efek; d. pengawasan perdagangan, yang paling sedikit bertanggung jawab atas: 1. penyusunan parameter perdagangan; dan 2. pelaksanaan pengawasan perdagangan secara efektif; e. pemeriksaan Anggota Bursa Efek dan partisipan, yang bertanggung jawab atas: 1. penyusunan pedoman pemeriksaan Anggota Bursa Efek dan partisipan; dan pengawasan kegiatan - 5 - 2. pelaksanaan pemeriksaan dan pemantauan pemeriksaan Anggota Bursa Efek dan partisipan secara efektif; f. riset dan pengembangan usaha, yang paling sedikit bertanggung jawab atas: 1. pelaksanaan kegiatan riset dan pengembangan pencatatan, keanggotaan perdagangan dan pengawasan perdagangan; dan 2. pengembangan usaha Bursa Efek; g. sistem teknologi informasi, yang paling sedikit bertanggung jawab melaksanakan penyediaan dan pengelolaan sistem teknologi dan informasi pencatatan, keanggotaan Bursa Efek, perdagangan, serta pengawasan perdagangan; dan h. keuangan dan sumber daya manusia, yang paling sedikit bertanggung jawab atas: 1. kegiatan perencanaan keuangan; 2. pengendalian anggaran tahunan; 3. administrasi dan pengembangan sumber daya manusia; dan 4. administrasi umum. Pasal 3 (1) Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 121 (seratus dua puluh satu) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek. (2) Dewan Komisaris Bursa Efek menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Bursa Efek serta mengajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 116 (seratus enam belas) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek. (3) Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Bursa Efek, Dewan Komisaris dapat membentuk komite dengan atau tanpa melibatkan pihak lain, dengan berpedoman pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Bursa Efek, - 6 - peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Perizinan Bursa Efek, dan struktur organisasi Bursa Efek. (4) Dalam menentukan jabatan anggota Direksi Bursa Efek, Dewan Komisaris wajib memperhatikan kegiatan yang menjadi tanggung jawab masing-masing jabatan anggota Direksi Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3). (5) Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris belum mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Bursa Efek, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan langsung jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Bursa Efek. (6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Bursa Efek paling lambat 106 (seratus enam) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek. (7) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan belum menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Bursa Efek, berlaku jumlah kebutuhan dan jabatan anggota Direksi Bursa Efek periode sebelumnya. Pasal 4 Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional Bursa Efek, Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah anggota Direksi Bursa Efek dalam Direksi Bursa Efek yang sedang menjabat. Bagian Kedua Persyaratan Anggota Direksi dan Susunan Direksi Pasal 5 Anggota Direksi Bursa Efek wajib memenuhi persyaratan: a. integritas meliputi: - 7 - 1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2. memiliki akhlak dan moral yang baik; 3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum dicalonkan; 5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang diberikan dari kepolisian jika kurang dari 6 (enam) bulan; 6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan 7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek dan Pasar Modal Indonesia; dan b. kompetensi meliputi: 1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal termasuk perkembangan Pasar Modal internasional; 2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip pengelolaan risiko; dan 3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang cukup. Pasal 6 Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b angka 3, anggota Direksi Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: - 8 - a. dalam hal Direksi Bursa Efek terdiri dari 3 (tiga) atau 4 (empat) orang: 1. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek wajib mempunyai pengalaman dalam posisi anggota direksi pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan paling singkat 5 (lima) tahun, dengan ketentuan paling singkat 3 (tiga) tahun berpengalaman pada posisi anggota direksi di Perusahaan Efek; 2. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek wajib berpengalaman pada posisi manajerial paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah direktur atau jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling singkat 5 (lima) tahun; dan 3. khusus bagi anggota Direksi Bursa Efek yang bertanggung jawab di bidang teknologi informasi, wajib berpengalaman dalam posisi manajerial pada bidang teknologi informasi paling singkat 5 (lima) tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem informasi perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. b. dalam hal Direksi Bursa Efek terdiri dari 5 (lima) orang atau lebih: 1. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek wajib mempunyai pengalaman dalam posisi anggota direksi pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan paling singkat 5 (lima) tahun, dengan ketentuan paling singkat 3 (tiga) tahun berpengalaman pada posisi anggota direksi di Perusahaan Efek; 2. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek wajib berpengalaman pada posisi manajerial paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah direktur atau jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar - 9 - Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling singkat 5 (lima) tahun; 3. paling sedikit seorang anggota Direksi Bursa Efek wajib mempunyai pengalaman dalam posisi manajerial pada bidang pengelolaan risiko dan/atau pengelolaan investasi pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, atau mempunyai pengalaman sebagai profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal, paling singkat 5 (lima) tahun; dan 4. khusus bagi anggota Direksi Bursa Efek yang bertanggung jawab di bidang teknologi informasi, wajib berpengalaman dalam posisi manajerial pada bidang teknologi informasi paling singkat 5 (lima) tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem informasi perusahaan yang bergerak di bidang keuangan; dan c. Jangka waktu atau masa pengalaman anggota Direksi Bursa Efek dalam posisi manajerial, anggota direksi, atau direktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dihitung sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek. Pasal 7 Anggota Direksi Bursa Efek yang diajukan sebagai direktur utama Bursa Efek, wajib mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. Bagian Ketiga Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Direksi Pasal 8 (1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Direksi Bursa Efek dilakukan oleh kelompok Anggota Bursa Efek - 10 - dengan paling sedikit terdiri dari 10 (sepuluh) Anggota Bursa Efek, dengan persyaratan sebagai berikut: a. 10 (sepuluh) atau lebih Anggota Bursa Efek tersebut telah melakukan transaksi Efek secara bersama- sama paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total frekuensi dan nilai perdagangan Efek di Bursa Efek selama 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum pengajuan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. setiap Anggota Bursa Efek hanya dapat menjadi anggota pada 1 (satu) kelompok Anggota Bursa Efek. (2) Dalam pencalonan anggota Direksi Bursa Efek, kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama- sama bertanggung jawab untuk: a. mencari dan menyeleksi calon anggota Direksi Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. meneliti bahwa setiap calon anggota Direksi Bursa Efek tersebut mempunyai keahlian, pengalaman dan tanggung jawab untuk setiap jabatan dan kegiatan yang menjadi tugas jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, dan Pasal 6; dan c. merekomendasikan gaji serta manfaat lain bagi setiap calon anggota Direksi Bursa Efek dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika ada). (3) Calon anggota Direksi Bursa Efek wajib diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu) kesatuan paket calon Direksi Bursa Efek dengan memenuhi ketentuan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7. (4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota Direksi Bursa Efek untuk mengisi jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi Bursa Efek. - 11 - Pasal 9 (1) Dalam pengajuan calon anggota Direksi Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan, kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua), dokumen sebagai berikut: a. riwayat hidup calon anggota Direksi Bursa Efek; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota Direksi Bursa Efek; c. fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan keahlian dari calon anggota Direksi Bursa Efek (jika ada); d. surat pernyataan dari setiap Pihak yang diajukan sebagai calon anggota Direksi Bursa Efek yang memuat paling sedikit: 1. menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 7; 2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon anggota Direksi Bursa Efek dengan calon anggota Direksi lain dari Bursa Efek, anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, Anggota Bursa Efek, Emiten, atau Perusahaan Publik yang Efek-nya tercatat di Bursa Efek dalam paket yang diajukan; 3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan bersedia dipilih menjadi calon anggota Direksi Bursa Efek oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), yang berbeda dengan jabatan yang diajukan oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); - 12 - 4. bersedia untuk diangkat menjadi anggota Direksi Bursa Efek oleh RUPS yang bertanggung jawab untuk kegiatan yang menjadi tugasnya dan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dengan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi lain dari Bursa Efek dalam rangka pelaksanaan kegiatan Bursa Efek yang teratur, wajar, dan efisien; 5. menyatakan tidak melakukan perangkapan jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau institusi lain, apabila yang bersangkutan terpilih sebagai anggota Direksi Bursa Efek; 6. menyatakan bahwa calon anggota Direksi Bursa Efek setelah menjadi anggota Direksi Bursa Efek tidak akan menggunakan aset Bursa Efek atau melakukan transaksi dan memberi manfaat dalam bentuk apapun kepada Afiliasi dari calon anggota Direksi Bursa Efek, anggota Direksi lain dari Bursa Efek, Afiliasi dari anggota Direksi lain Bursa Efek, anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, dan/atau Afiliasi dari anggota Dewan Komisaris Bursa Efek; dan 7. menyatakan paling sedikit: a) kesediaan untuk tidak memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek selama menjabat sebagai anggota Direksi Bursa Efek paling lambat 6 (enam) bulan sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek dan dalam jangka waktu tersebut, yang bersangkutan bersedia untuk tidak memiliki hak suara dalam RUPS; b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik; dan/ atau - 13 - c) kesediaan untuk tidak mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik yang dimilikinya sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir; e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian; f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga) lembar; h. surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi, dan meneliti calon anggota Direksi Bursa Efek dari kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), termasuk rekomendasi mengenai gaji dan manfaat lain apabila calon anggota Direksi Bursa Efek diangkat menjadi anggota Direksi Bursa Efek, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak terdapat kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, melainkan hanya untuk kepentingan Bursa Efek khususnya dan Pasar Modal pada umumnya; dan i. rencana strategis calon anggota Direksi Bursa Efek yang sejalan dengan visi dan misi Bursa Efek. (2) Pengajuan nama calon anggota Direksi Bursa Efek oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 56 (lima puluh enam) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek. - 14 - Bagian Keempat Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Direksi Pasal 10 (1) Setiap calon anggota Direksi Bursa Efek yang diajukan wajib menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu Deputi Komisioner sebagai ketua merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat direktur sebagai anggota. (3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi Bursa Efek paling sedikit melalui penelitian administratif dan wawancara, dan/atau permintaan presentasi yang paling sedikit meliputi rencana strategis pengembangan Bursa Efek ke depan. (5) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan atas setiap calon anggota Direksi Bursa Efek secara individual sesuai dengan jabatan yang diusulkan. (6) Dalam hal diperlukan, Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang lain. (7) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi Bursa Efek, Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat dibantu oleh narasumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Otoritas Jasa Keuangan. - 15 - Pasal 11 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menentukan dan menilai bahwa calon anggota Direksi Bursa Efek memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7 serta merupakan calon terbaik untuk menduduki setiap jabatan anggota Direksi Bursa Efek. (2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi Bursa Efek untuk setiap jabatan wajib memperhatikan komposisi calon anggota Direksi Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 12 Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan proses pencalonan atas calon anggota Direksi Bursa Efek apabila calon tersebut menjalani proses hukum. Pasal 13 Dewan Komisioner menetapkan calon anggota Direksi Bursa Efek untuk setiap jabatan dengan memperhatikan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. Pasal 14 Berdasarkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan posisi jabatan calon anggota Direksi yang berbeda dengan posisi jabatan yang diajukan oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Pasal 15 (1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Direksi Bursa Efek yang terpilih dari hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) untuk 1 (satu) atau lebih jabatan anggota Direksi, - 16 - Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada setiap kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk mengajukan calon anggota Direksi Bursa Efek lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan, paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah permohonan memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat mengajukan kembali calon anggota Direksi Bursa Efek lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek, dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (1). (3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi Bursa Efek lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 16 (1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sudah lengkap dan telah memenuhi persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan daftar calon anggota Direksi Bursa Efek terpilih untuk setiap jabatan anggota Direksi beserta fotokopi dokumen calon anggota Direksi Bursa Efek kepada Direksi Bursa Efek paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek. (2) Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham, daftar calon anggota Direksi Bursa Efek beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) hari kerja - 17 - setelah diterimanya daftar calon anggota Direksi Bursa Efek dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Daftar calon anggota Direksi Bursa Efek beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. Bagian Kelima RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Direksi Pasal 17 (1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek. (2) Pemanggilan RUPS Bursa Efek untuk mengangkat anggota Direksi Bursa Efek dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek. Pasal 18 (1) Pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon anggota Direksi yang dipilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan jabatannya masing-masing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (2) Prosedur pengangkatan calon anggota Direksi Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan calon anggota Direksi Bursa Efek untuk mengisi jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi Bursa Efek. - 18 - (3) RUPS untuk mengangkat anggota Direksi Bursa Efek wajib dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu anggota Dewan Komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. Pasal 19 (1) Pada saat RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek, calon anggota Direksi Bursa Efek yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib menjelaskan rencana strategis kepada pemegang saham. (2) Penjelasan dapat juga disampaikan dalam forum lainnya sebelum RUPS yang memungkinkan pemegang saham melakukan interaksi dengan calon anggota Direksi Bursa Efek. Pasal 20 RUPS menyetujui dan menetapkan gaji dan manfaat lain bagi anggota Direksi Bursa Efek yang diajukan oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Bagian Keenam Larangan Anggota Direksi Pasal 21 (1) Anggota Direksi Bursa Efek dilarang mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota Direksi lain dari Bursa Efek dan/atau anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. (2) Anggota Direksi Bursa Efek dilarang memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek. (3) Dalam hal anggota Direksi Bursa Efek memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek, saham tersebut wajib dialihkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek, dan dalam - 19 - jangka waktu tersebut yang bersangkutan dilarang menggunakan hak suara dalam RUPS Perusahaan Efek dimaksud. (4) Anggota Direksi Bursa Efek dilarang mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau dilarang mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik. (5) Dalam hal anggota Direksi Bursa Efek diangkat oleh RUPS telah memiliki saham Emiten atau Perusahaan Publik, saham tersebut tidak dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir. (6) Anggota Direksi Bursa Efek dilarang melakukan perangkapan jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau institusi lain dalam jabatan apapun. Bagian Ketujuh Jabatan Anggota Direksi Pasal 22 (1) Masa jabatan anggota Direksi Bursa Efek adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS pengangkatan anggota Direksi Bursa Efek sampai dengan penutupan RUPS tahun ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan, dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila seorang anggota Direksi Bursa Efek diangkat untuk mengisi jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang lowong atau untuk menambah calon anggota Direksi Bursa Efek, masa jabatan anggota Direksi Bursa Efek tersebut berlaku selama sisa masa jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang sedang menjabat; b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang anggota Direksi Bursa Efek adalah jika yang bersangkutan menjabat selama paling sedikit 2/3 - 20 - (dua per tiga) dari masa jabatan Direksi Bursa Efek; dan c. keseluruhan masa jabatan anggota Direksi pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. (2) Berakhirnya masa jabatan Direksi Bursa Efek wajib diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan Dewan Komisaris Bursa Efek. Pasal 23 (1) Dalam hal anggota Direksi Bursa Efek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 7, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. anggota Direksi Bursa Efek tersebut wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi syarat; b. kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti anggota Direksi Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9; dan c. calon anggota Direksi Bursa Efek pengganti tersebut wajib memenuhi Pasal 5 sampai dengan Pasal 7. (2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang lowong, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. jabatan anggota Direksi Bursa Efek tersebut wajib diisi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak jabatan anggota Direksi Bursa Efek dimaksud lowong; dan b. kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib segera mengajukan calon anggota - 21 - Direksi Bursa Efek yang akan mengisi jabatan lowong kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9. (3) Dalam hal terjadi: a. jabatan direktur utama Bursa Efek lowong, salah satu anggota Direksi Bursa Efek wajib ditunjuk berdasarkan keputusan Direksi Bursa Efek yang bertindak sebagai pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan wewenang direktur utama yang lowong tersebut sampai dengan diangkatnya pengganti, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris; b. jabatan anggota Direksi Bursa Efek selain direktur utama lowong, tugas dan wewenang anggota Direksi tersebut berdasarkan keputusan rapat Direksi Bursa Efek wajib dialihkan kepada anggota Direksi Bursa Efek yang lain sampai dengan diangkatnya pengganti, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris; dan c. penunjukan sementara direktur utama Bursa Efek atau pengalihan tugas dan wewenang anggota Direksi Bursa Efek wajib dilaporkan oleh Direksi Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari setelah penunjukan atau pengalihan. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang lowong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diisi setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Bursa Efek. (5) Batas waktu penggantian dan/atau pengisian anggota Direksi Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 22 - (6) Dalam hal terdapat jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang lowong atau dalam hal adanya pengunduran diri anggota Direksi Bursa Efek, Direksi Bursa Efek wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui atau diterimanya surat pengunduran diri oleh Direksi Bursa Efek. (7) Dalam pengisian jabatan anggota Direksi Bursa Efek yang lowong dan/atau diperlukannya tambahan anggota Direksi Bursa Efek berlaku ketentuan sebagai berikut: a. pengisian atau penambahan anggota Direksi Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9; b. calon anggota Direksi Bursa Efek yang akan diajukan wajib bersedia bekerja sama dengan anggota Direksi Bursa Efek yang ada; dan c. penambahan anggota Direksi Bursa Efek yang baru wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 9. Pasal 24 Masa jabatan anggota Direksi Bursa Efek berakhir dengan sendirinya apabila: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana; e. berhalangan tetap; f. meninggal dunia; dan/atau g. masa jabatan berakhir. - 23 - Pasal 25 (1) Anggota Direksi Bursa Efek dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan; c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek; dan/atau e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberhentikan sementara dan/atau terjadi kekosongan atas seluruh anggota Direksi Bursa Efek, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan dapat menunjuk dan menetapkan Dewan Komisaris Bursa Efek untuk melaksanakan fungsi Direksi Bursa Efek hingga diangkatnya anggota Direksi yang baru oleh RUPS. (3) Dalam hal tidak terdapat anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang dapat melaksanakan fungsi Direksi Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berdasarkan usulan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dapat menunjuk dan menetapkan pihak lain sebagai manajemen sementara Bursa Efek. Pasal 26 (1) Pembagian tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) wajib ditetapkan dalam struktur organisasi Bursa Efek dan uraian jabatan Bursa Efek. (2) Penetapan dan/atau perubahan struktur organisasi Bursa Efek sampai 1 (satu) tingkat di bawah anggota Direksi wajib mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. - 24 - Pasal 27 Dalam hal Direksi Bursa Efek menganggap anggota Direksi Bursa Efek yang bertanggung jawab dan menjalankan tugas atas beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan pada saat yang bersangkutan diangkat, tidak dapat melaksanakan sebagian tugasnya, berdasarkan keputusan rapat Direksi, sebagian tugasnya dapat dialihkan kepada anggota Direksi Bursa Efek lain yang dianggap mampu untuk menjalankan tugas setelah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris, dan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 28 Anggota Direksi Bursa Efek yang tidak lagi menjabat sebagai anggota Direksi Bursa Efek karena sebab apapun, tidak berhak menerima gaji dan manfaat lainnya dari Bursa Efek kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh RUPS dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan. BAB III DEWAN KOMISARIS BURSA EFEK Bagian Kesatu Keanggotaan Dewan Komisaris Pasal 29 (1) Bursa Efek wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. (2) Satu di antara anggota Dewan Komisaris Bursa Efek wajib ditetapkan sebagai komisaris utama. Pasal 30 (1) Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan jadwal dan agenda RUPS dalam rangka pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum - 25 - RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek paling lambat 50 (lima puluh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. (3) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan belum menetapkan jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, berlaku jumlah kebutuhan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek periode sebelumnya. (4) Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional Bursa Efek, Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dalam Dewan Komisaris Bursa Efek yang sedang menjabat. Bagian Kedua Persyaratan Anggota Dewan Komisaris dan Susunan Dewan Komisaris Pasal 31 Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. integritas meliputi: 1. orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2. memiliki akhlak dan moral yang baik; 3. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebelum dicalonkan; - 26 - 5. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan menyampaikan paling sedikit Surat Keterangan Catatan Kepolisian dimana jangka waktu tanggal diterbitkannya sampai dengan diajukan ke Otoritas Jasa Keuangan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau sesuai dengan masa berlaku yang diberikan dari kepolisian jika kurang dari 6 (enam) bulan; 6. tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan 7. mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek dan Pasar Modal Indonesia; dan b. kompetensi meliputi: 1. mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal; 2. memahami prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip pengelolaan risiko; dan 3. memiliki latar belakang dan/atau pengalaman yang cukup. Pasal 32 (1) Berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b angka 3, anggota Dewan Komisaris Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri dari 3 (tiga) atau 4 (empat) orang: 1. paling sedikit seorang anggota Dewan Komisaris merupakan anggota direksi Anggota Bursa Efek dan telah menjabat paling singkat 2 (dua) tahun; 2. seorang anggota Dewan Komisaris merupakan anggota direksi pada Emiten atau Perusahaan Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tersebut - 27 - dicatatkan dan telah menjabat paling singkat 2 (dua) tahun; dan 3. seorang anggota Dewan Komisaris wajib: a) berpengalaman pada posisi manajerial pada institusi pengawas Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; b) berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling singkat 2 (dua) tahun; atau c) merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun; atau b. dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri dari 5 (lima) orang: 1. 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris merupakan anggota direksi Anggota Bursa Efek dan telah menjabat paling singkat 2 (dua) tahun; 2. seorang anggota Dewan Komisaris merupakan anggota direksi pada Emiten atau Perusahaan Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tersebut dicatatkan dan telah menjabat paling singkat 2 (dua) tahun; 3. seorang anggota Dewan Komisaris wajib berpengalaman pada: a) posisi manajerial pada institusi pengawas Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; atau - 28 - b) posisi anggota direksi pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling singkat 2 (dua) tahun; dan 4. seorang anggota Dewan Komisaris merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun; atau c. dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri lebih dari 5 (lima) orang: 1. paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris merupakan anggota direksi Anggota Bursa Efek dan telah menjabat paling singkat 2 (dua) tahun; 2. paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris merupakan anggota direksi pada Emiten atau Perusahaan Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tersebut dicatatkan dan telah menjabat paling singkat 2 (dua) tahun; dan 3. paling sedikit seorang anggota Dewan Komisaris wajib berpengalaman pada: a) posisi manajerial pada institusi pengawas Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; atau b) posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling singkat 2 (dua) tahun; dan c) paling sedikit seorang anggota Dewan Komisaris merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang - 29 - berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling singkat 5 (lima) tahun. (2) Dua atau lebih anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dilarang berasal dari perusahaan yang sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama. (3) Jangka waktu atau masa pengalaman calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dalam posisi manajerial, anggota direksi, atau direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. Bagian Ketiga Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Anggota Dewan Komisaris Pasal 33 (1) Pencalonan dan pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dilakukan oleh kelompok Anggota Bursa Efek dengan paling sedikit terdiri dari 10 (sepuluh) Anggota Bursa Efek, dengan persyaratan sebagai berikut: a. 10 (sepuluh) atau lebih Anggota Bursa Efek tersebut telah melakukan transaksi Efek secara bersama- sama paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total frekuensi dan nilai perdagangan Efek di Bursa Efek selama 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum pengajuan kepada Otoritas jasa Keuangan; dan b. setiap Anggota Bursa Efek hanya dapat menjadi anggota pada 1 (satu) kelompok Anggota Bursa Efek. (2) Dalam pencalonan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-sama bertanggung jawab untuk: a. mencari dan menyeleksi calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; - 30 - b. meneliti tingkat keahlian, pengalaman dan tanggung jawab sebagai anggota Dewan Komisaris sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan c. merekomendasikan honorarium bagi setiap calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika ada). (3) Calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek wajib diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu) kesatuan paket calon anggota Dewan Komisaris. (4) Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku untuk pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek untuk mengisi jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang lowong atau untuk menambah calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. Pasal 34 (1) Dalam pengajuan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan, kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen sebagai berikut: a. riwayat hidup calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek; c. fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan tingkat keahlian dari calon anggota Dewan Komisaris (jika ada); d. surat pernyataan dari setiap pihak yang diajukan sebagai calon anggota Dewan Komisaris yang memuat paling sedikit: 1. menyatakan bahwa calon anggota Dewan Komisaris telah memenuhi ketentuan - 31 - sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32; 2. menyatakan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon anggota Dewan Komisaris dengan Anggota Bursa Efek, Emiten atau Perusahaan Publik yang Efek-nya tercatat di Bursa Efek; 3. bersedia tanpa syarat mengikuti proses penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan 4. bersedia untuk dipilih menjadi anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dengan anggota Dewan Komisaris lain dan anggota Direksi Bursa Efek dalam rangka pelaksanaan kegiatan Bursa Efek yang teratur, wajar dan efisien; e. Surat Keterangan Catatan Kepolisian; f. jawaban atas pertanyaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 10x15 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 3 (tiga) lembar; dan h. surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon anggota Dewan Komisaris dari kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), termasuk rekomendasi mengenai honorarium apabila calon anggota Dewan Komisaris diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, selain hanya untuk untuk kepentingan Bursa Efek khususnya dan Pasar Modal pada umumnya. - 32 - (2) Pengajuan nama calon anggota Dewan Komisaris oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 35 (tiga puluh lima hari) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. Bagian Keempat Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Anggota Dewan Komisaris Pasal 35 (1) Setiap calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang diajukan wajib menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (2) Anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 5 (lima) orang yang terdiri dari Deputi Komisioner sebagai ketua merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat paling rendah setingkat dengan direktur sebagai anggota. (3) Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. (4) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek paling sedikit melalui penelitian administratif dan wawancara, dan/atau permintaan presentasi. (5) Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dapat dibantu oleh narasumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Otoritas Jasa Keuangan. - 33 - Pasal 36 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon anggota Dewan Komisaris memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32. (2) Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek memperhatikan komposisi calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32. Pasal 37 Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menghentikan proses pencalonan atas calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek apabila calon tersebut menjalani proses hukum. Pasal 38 Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menetapkan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dengan memperhatikan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan. Pasal 39 (1) Dalam hal tidak terdapat calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang terpilih dari hasil penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), untuk 1 (satu) atau lebih jabatan anggota Dewan Komisaris, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada setiap kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk mengajukan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penilaian kemampuan dan kepatutan, paling lambat 14 (empat belas) hari setelah permohonan memenuhi syarat dan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. wajib - 34 - (2) Kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat mengajukan kembali calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek lain untuk posisi jabatan yang calonnya belum terpilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 ayat (1). (3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 40 (1) Apabila semua dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) sudah lengkap dan telah memenuhi persyaratan, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan daftar calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek terpilih beserta fotokopi dokumen calon anggota Dewan Komisaris kepada Direksi Bursa Efek paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. (2) Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek beserta fotokopi dokumen lengkap paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon anggota Dewan Komisaris dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Daftar calon anggota Dewan Komisaris beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. - 35 - Bagian Kelima RUPS dan Tata Cara Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Pasal 41 (1) Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. (2) Pemanggilan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS, dengan memuat paling sedikit rencana pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. Pasal 42 (1) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dilakukan oleh RUPS berdasarkan calon anggota Dewan Komisaris yang dipilih oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1). (2) Prosedur pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk pengangkatan calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek untuk mengisi jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang lowong atau untuk menambah calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. (3) RUPS untuk mengangkat anggota Dewan Komisaris Bursa Efek wajib dipimpin oleh direktur utama atau salah satu anggota Direksi dalam hal direktur utama berhalangan. - 36 - Bagian Keenam Jabatan Anggota Dewan Komisaris Pasal 43 Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek adalah 3 (tiga) tahun terhitung sejak RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek sampai dengan penutupan RUPS tahun ketiga dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila seorang anggota Dewan Komisaris Bursa Efek diangkat karena mengisi jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang lowong dan/atau ada tambahan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek baru, masa jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek tersebut berlaku selama sisa masa jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang sedang menjabat; b. penghitungan 1 (satu) kali masa jabatan bagi seorang anggota Dewan Komisaris Bursa Efek adalah jika yang bersangkutan menjabat selama paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan Dewan Komisaris Bursa Efek; dan c. keseluruhan masa jabatan anggota Dewan Komisaris pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. Pasal 44 (1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris Bursa Efek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. anggota Dewan Komisaris Bursa Efek tersebut wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memenuhi syarat; - 37 - b. kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib segera mengajukan calon pengganti anggota Dewan Komisaris Bursa Efek kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34; dan c. calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek pengganti tersebut wajib memenuhi ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32. (2) Dalam hal terdapat jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang lowong, Direksi Bursa Efek wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui oleh Direksi Bursa Efek. (3) Dalam pengisian jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek untuk menggantikan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang lowong dan/atau diperlukannya tambahan anggota Dewan Komisaris baru, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. penggantian atau penambahan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 34; b. calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang akan diajukan wajib bersedia bekerja sama dengan dan tidak memperoleh keberatan dari anggota Dewan Komisaris yang ada; dan c. Penambahan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek baru wajib memperhatikan ketentuan Pasal 31 dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan Pasal 32 sampai dengan Pasal 35. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang lowong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diisi setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Bursa Efek. - 38 - (5) Batas waktu penggantian anggota Dewan Komisaris Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 45 Masa jabatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek berakhir dengan sendirinya apabila: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. dinyatakan pailit atau menjadi anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; d. dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana; e. berhalangan tetap; f. meninggal dunia; dan/atau g. masa jabatan berakhir. Pasal 46 Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; b. melakukan perbuatan tercela di sektor jasa keuangan; c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek; dan/atau e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas. Pasal 47 Dewan Komisaris Bursa Efek wajib mengadakan rapat paling sedikit 1 (satu) bulan sekali yang dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu anggota Dewan Komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. - 39 - Pasal 48 Dewan Komisaris Bursa Efek dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk komite audit dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a. ketua komite audit dan ketua Komite Remunerasi adalah salah seorang anggota Dewan Komisaris Bursa Efek; b. komite audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang independen kepada Dewan Komisaris Bursa Efek terhadap laporan atau hal yang disampaikan oleh Direksi kepada Dewan Komisaris Bursa Efek serta mengidentifikasikan hal yang memerlukan perhatian Dewan Komisaris Bursa Efek; dan c. anggota komite audit wajib memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan. Pasal 49 Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi (jika ada), sebelum pelaksanaan RUPS pengangkatan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. Pasal 50 Honorarium bagi anggota Dewan Komisaris Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh RUPS. Pasal 51 Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek yang tidak lagi menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris Bursa Efek karena sebab apapun, tidak berhak menerima honorarium dari Bursa Efek, kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh RUPS dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah honorarium dari sisa masa jabatan. - 40 - BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 52 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 53 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 41 - BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 54 Dalam hal terdapat pengajuan pengisian jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek untuk mengganti seluruhnya, mengisi jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang lowong atau tidak memenuhi syarat, menambah anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, tata cara pengajuan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bursa Efek mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris yang berlaku pada saat pengajuan. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 55 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-54/BL/2012 tanggal 24 Februari 2012 tentang Direktur Bursa Efek, beserta Peraturan Nomor III.A.3 yang merupakan lampirannya; dan 2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-106/BL/2008 tanggal 10 April 2008 tentang Komisaris Bursa Efek, beserta Peraturan Nomor III.A.12 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 56 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 42 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 312 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 58 /POJK.04/2016 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS BURSA EFEK I. UMUM Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menetapkan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan di bidang jasa keuangan termasuk Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berkepentingan untuk menjaga agar Pasar Modal tetap terselenggara secara teratur, wajar, transparan, dan efisien. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan yang berlaku bagi setiap Pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Pasar Modal salah satunya adalah Bursa Efek yang didirikan untuk menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana perdagangan Efek. Dalam rangka meningkatkan tata kelola Bursa Efek yang baik dan berdaya saing global, diperlukan Direksi dan Komisaris Bursa Efek yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pengaturan mengenai anggota Direksi Bursa Efek saat ini diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.A.3 tentang Direktur Bursa Efek, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep- 54/BL/2012 tanggal 24 Februari 2012 (Peraturan Nomor III.A.3 tentang - 2 - Direktur Bursa Efek), sedangkan pengaturan mengenai anggota Dewan Komisaris Bursa Efek diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.A.12 tentang Komisaris Bursa Efek, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-106/BL/2008 tanggal 10 April 2008 (Peraturan Nomor III.A.12 tentang Komisaris Bursa Efek). Memperhatikan hal tersebut, perlu untuk dilakukan perubahan dan penggabungan terhadap Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.A.3 tentang Direktur Bursa Efek dan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor III.A.12 tentang Komisaris Bursa Efek dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi Dan Dewan Komisaris Bursa Efek. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “keputusan yang bersifat final” adalah keputusan yang ditetapkan direktur utama Bursa Efek dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota Direksi Bursa Efek sehingga rapat Direksi Bursa Efek tidak dapat mengambil keputusan, maka keputusan akan ditentukan oleh direktur utama. Keputusan yang ditetapkan oleh direktur utama adalah salah satu dari dua atau lebih pendapat yang disampaikan dalam rapat Direksi Bursa Efek. Huruf b Cukup jelas. - 3 - Ayat (3) Huruf a Angka 1 Pada praktiknya “penghapusan pencatatan” dimaksud biasa disebut dengan delisting. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Perizinan Bursa Efek yang berlaku adalah Peraturan Nomor III.A.1, lampiran Keputusan Ketua Badan - 4 - Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-02/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Perizinan Bursa Efek. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah: 1. tindak pidana di Bidang Keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di - 5 - bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Penilaian terhadap kriteria pada angka ini dilakukan paling sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan atau tindak pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon anggota Direksi Bursa Efek diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Dalam hal calon Direksi Bursa Efek terdiri dari 4 (empat) orang dan setelah komposisi direksi Bursa Efek memenuhi persyaratan pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, - 6 - maka calon anggota Direksi Bursa Efek lainnya tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a. Huruf b Dalam hal calon Direksi Bursa Efek terdiri dari 5 (lima) orang dan setelah komposisi Direksi Bursa Efek memenuhi persyaratan pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, calon anggota Direksi lainnya tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b. Huruf c Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir merupakan 12 (dua belas) bulan terakhir sampai dengan 1 (satu) bulan sebelum pengajuan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Rekomendasi gaji dan manfaat lain bagi calon anggota Direksi Bursa Efek ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-masing jabatan anggota Direksi Bursa Efek sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian dan pengalaman masing-masing calon anggota Direksi Bursa Efek. Ayat (3) Cukup jelas. - 7 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan proses hukum pada ayat ini adalah proses penyidikan atau peradilan (termasuk banding dan kasasi) dalam perkara tindak pidana yang meliputi: 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, di bidang Pasar Modal dan di bidang Industri Keuangan Non Bank. 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. - 8 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pembuktian pailit didasarkan pada keputusan pengadilan niaga. Huruf d Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah: - 9 - 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Huruf e Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” paling sedikit sakit permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. - 10 - Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah: 1. tindak pidana di bidang keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan yang terbukti dilakukan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan; 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih yang terbukti dilakukan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. - 11 - Penilaian terhadap kriteria pada huruf ini dilakukan paling sedikit berdasarkan informasi yang diperoleh Otoritas Jasa Keuangan atau informasi yang diketahui oleh umum, bahwa yang bersangkutan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan dan tindak pidana khusus dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan atau pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Yang dimaksud dengan “sebelum dicalonkan” adalah terhitung sejak tanggal permohonan pengajuan nama calon anggota Direksi Bursa Efek diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir merupakan 12 (dua belas) bulan terakhir sampai dengan 1 (satu) bulan sebelum pengajuan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 12 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Rekomendasi honorarium bagi calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek wajib ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing- masing anggota Dewan Komisaris Bursa Efek sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian dan pengalaman masing-masing calon anggota Dewan Komisaris Bursa Efek. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. - 13 - Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan dengan “tindak pidana” adalah: 1. tindak pidana di Bidang Keuangan, yaitu tindak pidana di bidang Perbankan, tindak pidana di bidang Pasar Modal, dan tindak pidana di bidang Industri Keuangan Non Bank; 2. tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, paling sedikit: korupsi; narkotika/ psikotropika; penyelundupan; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; pemalsuan uang; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; dan 3. tindak pidana kejahatan, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau. - 14 - Huruf e Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” paling sedikit sakit permanen yang mengakibatkan tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Pada saat peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang - 15 - mengatur mengenai Direksi dan Dewan Komisaris yang berlaku adalah: 1. Peraturan Nomor III.A.3, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep- 54/BL/2012 tanggal 24 Februari 2012 tentang Direktur Bursa Efek; dan 2. Peraturan Nomor III.A.12, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep- 106/BL/2012 tanggal 10 April 2008 tentang Komisaris Bursa Efek. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6000
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 58/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS BURSA EFEK </reg_title> <set_date> 20 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-106/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'Kep-54/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-106/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor III.A.3', 'Kep-54/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor III.A.12' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, mampu berkembang dan bersaing secara nasional maupun internasional serta sejalan dengan perkembangan standar internasional, perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); 4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5848); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5848) diubah sebagai berikut: - 3 - 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Sistemik adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. 3. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah - 4 - sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 4. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; - 5 - c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. 5. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas: a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan harus dikonsolidasikan, namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit. - 6 - 6. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. 7. Capital Equivalency Maintained Assets yang selanjutnya disingkat CEMA adalah alokasi dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu. 8. Internal Capital Adequacy Assessment Process yang selanjutnya disingkat ICAAP adalah proses yang dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan modal sesuai profil risiko Bank dan penetapan strategi untuk memelihara tingkat permodalan. 9. Supervisory Review and Evaluation Process yang selanjutnya disingkat SREP adalah proses kaji ulang yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas hasil ICAAP Bank. 10. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi kerugian pada periode krisis. 11. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. 12. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank Sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam menyerap kerugian. 13. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank. - 7 - 14. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option. Operasional 15. Risiko ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 16. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank dengan tujuan untuk: a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi: 1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek; 2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek secara aktual dan/atau potensi dari pergerakan harga (price movement); atau 3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits); dan b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book. 17. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam Trading Book. adalah risiko akibat - 8 - 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sesuai kriteria yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Capital Conservation Buffer; b. Countercyclical Buffer; dan/atau c. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik. (3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur: a. Capital Conservation Buffer sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR; b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR; c. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR. (4) Besarnya persentase Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berdasarkan penetapan otoritas yang berwenang. (5) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya persentase Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. (6) Dalam menetapkan besar Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang. ditetapkan - 9 - (7) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan persentase Capital Surcharge untuk Bank Sistemik yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. (8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi dengan komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1). (9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diperhitungkan setelah komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1) dialokasikan untuk memenuhi kewajiban penyediaan: a. modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3); b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). 3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 wajib membentuk Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a. (2) Seluruh Bank wajib membentuk Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b. (3) Bank yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik wajib membentuk Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c. - 10 - 4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). (2) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang dalam menetapkan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 5. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Bank wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016. (2) Bank wajib memenuhi pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bertahap: a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2016; b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2017; c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2018; dan d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2019. (3) Bank wajib membentuk tambahan modal berupa Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai tanggal 1 Januari 2016. (4) Bank wajib membentuk Capital Surcharge bagi Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c mulai tanggal 1 Januari 2016. - 11 - (5) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk Bank Sistemik diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan. (6) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang dalam menetapkan metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (5). 6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri terdiri atas: a. dana usaha; b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah dikeluarkan pengaruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); c. laba tahun berjalan setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); d. cadangan umum; e. saldo surplus revaluasi aset tetap; f. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; g. cadangan umum Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) atas aset produktif dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c; dan h. lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. faktor-faktor - 12 - (2) Modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, Pasal 17, dan Pasal 22. (3) Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal: a. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha) lebih besar dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha), yang diperhitungkan adalah dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha); b. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha) lebih kecil dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha), yang diperhitungkan adalah dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha); atau c. posisi dana usaha yang sebenarnya negatif, menjadi faktor pengurang komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 7. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 1 wajib memenuhi persyaratan: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. bersifat subordinasi terhadap komponen modal lain; c. bersifat permanen; d. tidak dapat dibayar kembali oleh Bank, kecuali memenuhi kriteria pembelian kembali saham (treasury stock) atau pada saat likuidasi; - 13 - e. f. g. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi; perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; h. tidak terdapat kesepakatan yang dapat meningkatkan senioritas instrumen secara legal atau ekonomis; i. memiliki karakteristik pembayaran dividen atau imbal hasil: 1. hanya dapat dilakukan jika Bank telah memenuhi seluruh kewajiban legal dan kontraktual serta melakukan pembayaran atas imbal hasil instrumen modal lainnya; 2. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan; 3. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang dibayarkan atas instrumen modal; dan 4. tidak memiliki fitur preferensi; j. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung atau tidak langsung; dan k. diklasifikasikan sebagai ekuitas berdasarkan standar akuntansi keuangan. 8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Bank yang melakukan pembelian kembali saham (treasury stock) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d yang telah diakui sebagai komponen modal disetor, wajib memenuhi persyaratan: a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan; b. untuk tujuan tertentu; c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; - 14 - d. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan e. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7. 9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 2 terdiri atas: a. faktor penambah, yaitu: 1. Pendapatan komprehensif lainnya berupa: a) selisih lebih penjabaran laporan keuangan; b) potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual; dan c) saldo surplus revaluasi aset tetap; 2. cadangan tambahan modal lainnya (other disclosed reserves) berupa: a) agio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti utama (Common Equity Tier 1); b) cadangan umum; c) laba tahun-tahun lalu; d) laba tahun berjalan; e) dana setoran modal, yang memenuhi persyaratan: 1) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan kelengkapan - 15 - 1) persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; 2) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang tidak diberikan imbal hasil; 3) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham atau calon pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian; dan 4) penggunaan dana harus dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan f) lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. faktor pengurang, yaitu: 1. pendapatan komprehensif lainnya berupa: a) selisih kurang penjabaran laporan keuangan; dan b) potensi kerugian yang berasal dari penurunan nilai wajar aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual; 2. cadangan tambahan modal lainnya (other disclosed reserves) berupa: a) disagio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti utama (Common Equity Tier 1); b) rugi tahun-tahun lalu; c) rugi tahun berjalan; - 16 - d) selisih kurang antara PPA atas aset produktif dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas aset produktif; e) selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi dari instrumen keuangan dalam Trading Book dan jumlah penyesuaian berdasarkan standar akuntansi keuangan; f) PPA non-produktif; dan g) lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 huruf c) dan huruf d) harus dikeluarkan dari pengaruh faktor: a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan; dan/atau b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale). 10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b wajib memenuhi persyaratan: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang; c. pembelian kembali atau pembayaran pokok instrumen harus mendapat persetujuan pengawas; d. tidak memiliki fitur step-up; - 17 - e. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down dalam hal Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; f. bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; g. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan baik jumlah maupun waktu dan tidak dapat diakumulasikan antar periode serta bank memiliki kewenangan penuh (full access) untuk membatalkan pembayaran imbal hasil pada saat timbul kewajiban pembayaran imbal hasil; h. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; i. tidak terdapat kesepakatan yang dapat meningkatkan senioritas instrumen secara legal atau ekonomi; j. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit; k. dalam hal disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. Bank tidak memberikan ekspektasi akan membeli kembali, atau melakukan aktivitas lain yang dapat memberikan ekspektasi tersebut; l. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; - 18 - m. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; n. tidak memiliki fitur yang menghambat proses penambahan modal pada masa mendatang; o. dalam kondisi tertentu apabila dibutuhkan tambahan modal melalui penerbitan instrumen oleh entitas lain yang berada diluar cakupan konsolidasi maka dana hasil penerbitan harus segera diserahkan kepada Bank; dan p. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Bank hanya dapat melakukan eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang baik; c. setelah eksekusi opsi beli (call option), permodalan Bank tetap berada di atas persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; dan d. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai kualitas sama atau lebih baik. 11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 1 diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa: a. pajak tangguhan (deferred tax); b. goodwill; c. seluruh aset tidak berwujud lainnya; - 19 - d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi: 1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali penyertaan modal sementara Bank kepada Perusahaan Anak dalam rangka restrukturisasi kredit; 2. penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) namun Bank tidak memiliki Pengendalian; dan 3. penyertaan kepada perusahaan asuransi; e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio solvabilitas minimum (Risk Based Capital atau RBC minimum) pada perusahaan asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank; f. g. eksposur sekuritisasi; dan faktor pengurang modal inti utama lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. (2) Faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g tidak diperhitungkan dalam ATMR untuk Risiko Kredit. 12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib memenuhi persyaratan: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; - 20 - c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down dalam hal Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability), yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; d. bersifat subordinasi yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila pembayaran dapat menyebabkan rasio KPMM secara individu atau secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; f. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; g. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit; h. tidak memiliki fitur step-up; i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. Bank tidak memberikan ekspektasi akan membeli kembali atau melakukan aktivitas lain yang dapat memberikan ekspektasi akan membeli kembali; j. tidak memiliki persyaratan percepatan pembayaran bunga atau pokok yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; - 21 - l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; m. dalam kondisi tertentu apabila dibutuhkan tambahan modal melalui penerbitan instrumen oleh entitas lain yang berada diluar cakupan konsolidasi maka dana hasil penerbitan harus segera diserahkan kepada Bank; dan n. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Bank hanya dapat melakukan eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang baik; dan c. setelah eksekusi opsi beli (call option), permodalan Bank tetap berada di atas persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7 atau digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai: 1. kualitas sama atau lebih baik; dan 2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak melebihi batasan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap adalah jumlah modal pelengkap dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. (4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk sisa jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir. - 22 - (5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), jangka waktu sampai Bank dapat mengeksekusi opsi beli (call option) merupakan sisa jangka waktu instrumen. 13. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Modal pelengkap meliputi: a. instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen modal yang tergolong sebagai modal pelengkap; dan c. cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dihitung dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit. (2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dihitung dari batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. 14. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2) mencakup: a. pembelian kembali instrumen modal yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank; b. penempatan dana pada instrumen utang Bank lain yang diakui sebagai komponen modal oleh Bank lain (Bank penerbit); dan - 23 - c. kepemilikan silang yang diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas sepanjang belum dialihkan kepada pihak lain. (2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit. 15. Ketentuan dalam Pasal 41 tetap, dengan perubahan penjelasan Pasal 41 ayat (1) menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 24 - Pasal II Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 September 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 188 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM I. UMUM Sejalan dengan standar internasional “Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking System” yang lebih dikenal dengan Basel III, Bank dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas modal Bank sehingga Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum Bank Umum antara lain dengan melakukan penyesuaian terhadap persyaratan instrumen modal dan komponen modal Bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. - 2 - Angka 2 Pasal 3 Ayat (1) Pembentukan tambahan modal selain modal minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dipenuhi dari bagian dana usaha yang ditempatkan dalam CEMA. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank. - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Angka 5 Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Angka 6 Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana usaha” adalah penempatan yang berasal dari kantor pusat bank pada kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri setelah dikurangi dengan - 4 - penempatan yang berasal dari kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri pada: 1. kantor pusat; 2. kantor-kantor bank yang bersangkutan di luar negeri; dan 3. kantor lainnya seperti perusahaan terelasi dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang telah dinyatakan sebagai dana usaha (declared dana usaha) dan harus selalu tercatat setiap waktu di Indonesia selama kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri beroperasi di Indonesia. Dana usaha tidak termasuk komponen dalam rekening antar kantor yang bukan merupakan dana bersih seperti kewajiban bunga dan kewajiban lainnya serta tagihan bunga dan tagihan lainnya. Yang dimaksud dengan penempatan mencakup penempatan pada seluruh aset keuangan sesuai standar akuntansi keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “laba ditahan” adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh kantor pusatnya diputuskan untuk ditahan di kantor cabangnya di Indonesia. Yang dimaksud dengan “laba tahun lalu” adalah seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak dan belum ditetapkan penggunaannya oleh kantor pusat. Dalam hal bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu seluruh kerugian menjadi faktor pengurang modal. Huruf c Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak. - 5 - Dalam hal pada tahun buku berjalan bank mengalami kerugian, seluruh kerugian menjadi faktor pengurang modal. Huruf d Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan kantor pusatnya sebagai cadangan umum. Huruf e Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik bank. Pengakuan surplus revaluasi aset tetap mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai aset tetap. Huruf f Pengertian aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan jumlah dana usaha yang dinyatakan mengacu kepada ketentuan mengenai pinjaman luar negeri. Angka 7 Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. - 6 - Huruf b Instrumen modal inti utama bersifat subordinasi terhadap antara lain pemegang instrumen yang memenuhi kriteria modal inti tambahan, modal pelengkap, deposan, dan kreditur. Huruf c Termasuk dalam pengertian fitur bersifat permanen antara lain tidak terdapat ekspektasi bahwa penerbit akan membeli kembali, atau aktivitas lain yang dapat memberikan ekspektasi tersebut. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Angka 1 Termasuk kewajiban legal dan kontraktual adalah kewajiban legal dan kontraktual yang jatuh tempo pada saat pembayaran dividen atau imbal hasil akan dilakukan. Yang dimaksud dengan “kewajiban legal” adalah kewajiban yang timbul karena perbuatan dan/atau peristiwa hukum tertentu. Yang dimaksud dengan “instrumen modal lainnya” adalah instrumen modal inti tambahan dan instrumen modal pelengkap. - 7 - Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Angka 8 Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali saham yang telah diakui sebagai komponen modal disetor yaitu sebagai persediaan saham dalam rangka program employee stock option atau management stock option atau menghindari upaya take over. Huruf c Yang dimaksud dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku antara lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pasar modal. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. - 8 - Angka 9 Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Huruf a) Yang dimaksud dengan “selisih lebih penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan. Huruf b) Pengertian aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Huruf c) Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik Bank. Pengakuan saldo surplus revaluasi aset tetap mengikuti standar akuntansi keuangan mengenai aset tetap. Angka 2 Huruf a) Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih tinggi dari nilai nominal. Huruf b) Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah - 9 - dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagai cadangan umum. Huruf c) Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak mencakup: 1) laba tahun lalu yaitu seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak dan belum ditetapkan penggunaannya oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan 2) laba ditahan (retained earnings) yaitu saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota diputuskan untuk tidak dibagikan. Huruf d) Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak dan pembayaran dividen. Huruf e) Dalam hal berdasarkan penelitian Otoritas Jasa Keuangan, calon pemegang saham Bank atau dana setoran modal diketahui tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau sebagai modal, dana tersebut tidak dapat diakui sebagai komponen modal. Huruf f) Cukup jelas. - 10 - Huruf b Angka 1 Huruf a) Yang dimaksud dengan “selisih kurang penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan mengenai penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Huruf b) Pengertian aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Angka 2 Huruf a) Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih rendah dari nilai nominal. Huruf b) Yang dimaksud dengan “rugi tahun- tahun lalu” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun lalu. Huruf c) Yang dimaksud dengan “rugi tahun berjalan” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank dalam tahun buku berjalan. - 11 - Huruf d) Yang dimaksud dengan “selisih kurang antara PPA atas aset produktif dan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan atas aset produktif” adalah selisih kurang antara total PPA (cadangan umum dan cadangan khusus atas seluruh aset produktif) yang wajib dibentuk sesuai ketentuan mengenai penilaian kualitas aset Bank dengan total cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan (impairment) atas seluruh aset produktif (secara individu dan secara kolektif) sesuai standar akuntansi keuangan. Huruf e) Selisih kurang ini timbul karena jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen keuangan dalam Trading Book yang mempertimbangkan berbagai faktor tertentu antara lain karena posisi yang kurang likuid melebihi jumlah penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai standar akuntansi keuangan mengenai pengukuran instrumen keuangan, khususnya instrumen keuangan yang diukur berdasarkan nilai wajar. Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia, penyesuaian terhadap hasil valuasi instrumen keuangan akan langsung mengurangi atau menambah nilai tercatat instrumen keuangan. - 12 - Huruf f) Yang dimaksud dengan “PPA non-produktif” adalah cadangan yang wajib dibentuk untuk aset non-produktif sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank. Huruf g) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi (fair value option) sesuai standar akuntansi keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale)” adalah keuntungan yang diperoleh Bank sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi yang bersumber dari kapitalisasi pendapatan masa mendatang (expected future margin) atau kapitalisasi pendapatan dari penyediaan jasa (servicing income). Angka 10 Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam rangka memperoleh persetujuan pengawas, Bank tidak dapat mengasumsikan atau menciptakan ekspektasi pasar bahwa persetujuan pengawas akan diberikan. - 13 - Huruf d Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf e Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal inti tambahan menjadi saham biasa atau melakukan write down. Dampak dilakukan write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal inti tambahan dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. Huruf f Instrumen modal inti tambahan bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan, kreditur, dan pemegang instrumen yang memenuhi kriteria modal pelengkap. Huruf g Dalam hal imbal hasil tidak dibayarkan maka tidak menyebabkan adanya pembatasan pembayaran dividen atau kupon, untuk instrumen lain, kecuali untuk saham biasa (common stock). - 14 - Huruf h Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit Bank penerbit. Huruf k Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Contoh memberikan ekspektasi adalah mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu yang memungkinkan opsi beli (call option) dapat dilakukan, kecuali apabila kriteria atau kondisi tersebut adalah sebagaimana tercantum pada Pasal ini. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. - 15 - Huruf n Fitur yang menghambat proses penambahan modal di masa mendatang yaitu antara lain persyaratan yang mewajibkan Bank untuk memberikan kompensasi kepada investor apabila Bank menerbitkan instrumen modal baru dengan harga yang lebih rendah. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang baik” adalah apabila eksekusi opsi beli (call option) tersebut tidak mengganggu kelangsungan rentabilitas Bank. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai komponen modal inti tambahan. Angka 11 Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100% (seratus persen) baik atas perhitungan pajak tangguhan pada tahun-tahun lalu maupun pada tahun berjalan. - 16 - Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul sebagai akibat penerapan standar akuntansi keuangan mengenai akuntansi pajak penghasilan. Dalam perhitungan KPMM secara individu, pajak tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih lebih dari aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan yang dikurangkan dari aset pajak tangguhan tidak termasuk kewajiban pajak tangguhan yang terkait dengan goodwill dan aset tidak berwujud lainnya. Dalam hal terjadi selisih kurang, perhitungan pajak tangguhan yang akan dikeluarkan adalah nihil. Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus dengan kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam kelompok usaha Bank. Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi harus dihitung dan dikeluarkan secara terpisah untuk masing-masing entitas. Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan modal inti utama, aset pajak tangguhan tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR. Huruf b Pengertian goodwill mengacu pada standar akuntansi keuangan. Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang baik dalam perhitungan modal minimum Bank secara individu maupun secara konsolidasi. Goodwill yang dikurangkan dari modal inti utama mencakup goodwill baik yang berasal dari penyertaan modal Bank kepada entitas yang dikonsolidasikan maupun yang tidak dikonsolidasikan, contohnya perusahaan asuransi. - 17 - Goodwill yang dikurangkan dari modal inti utama adalah sebesar nilai tercatat goodwill dikurangi kewajiban pajak tangguhan yang terkait dengan goodwill. Huruf c Pengertian aset tidak berwujud lainnya mengacu kepada standar akuntansi keuangan mengenai aset tidak berwujud. Seluruh aset tidak berwujud lainnya diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal inti utama. Contoh aset tidak berwujud lainnya antara lain copyright, hak paten, dan hak milik intelektual (intellectual property right) lainnya termasuk aplikasi piranti lunak (software) yang dikembangkan oleh Bank. Aset tidak berwujud lainnya yang dikurangkan dari modal inti utama adalah sebesar nilai tercatat aset tidak berwujud dikurangi kewajiban pajak tangguhan yang terkait dengan aset tidak berwujud. Huruf d Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku yang tercatat pada laporan posisi keuangan (neraca). Huruf e Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor pengurang hanya dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi. Kekurangan modal (shortfall) perusahaan asuransi dari RBC minimum diperhitungkan apabila perusahaan dimaksud tidak dapat memenuhi RBC minimum sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 18 - Huruf f Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai pengurang modal atau diperhitungkan sebagai ATMR mengacu pada ketentuan mengenai sekuritisasi aset. Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi” adalah kredit pendukung (credit enhancement), fasilitas likuiditas (liquidity support), dan efek beragun aset (asset backed securities). Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal pelengkap menjadi saham biasa atau melakukan write down. Dampak dilakukan write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. - 19 - Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal pelengkap dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. Huruf d Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan dan kreditur. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Termasuk dalam pengertian diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf g Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit Bank penerbit. Huruf h Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf i Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas - 20 - Angka 3 Contoh memberikan ekspektasi adalah mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu yang memungkinkan opsi beli (call option) dapat dilakukan, kecuali apabila kriteria atau kondisi tercantum pada Pasal ini. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang baik” adalah apabila eksekusi opsi beli (call option) tersebut tidak mengganggu kelangsungan rentabilitas Bank. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai komponen modal pelengkap. Angka 2 Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap yang tersedia. tersebut adalah sebagaimana - 21 - Contoh “jumlah yang berbeda”: Modal pelengkap yang dieksekusi adalah Rp500 juta namun pada saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan sehingga batasan modal pelengkap menjadi paling tinggi sebesar Rp400 juta. Dengan kondisi ini, Bank dapat menggantikan modal pelengkap sebesar Rp400 juta. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “metode garis lurus” adalah perhitungan amortisasi secara prorata. Ayat (4) Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang telah memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan (sinking fund). Ayat (5) Contoh ilustrasi pelaksanaan amortisasi: a. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir tahun kelima. Dalam kondisi ini, Bank mulai menghitung amortisasi sejak tahun pertama. Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak mengeksekusi opsi beli (call option), mulai awal tahun keenam obligasi subordinasi dapat diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM dengan memperhatikan batasan yang dipersyaratkan, termasuk kewajiban untuk memperhitungkan amortisasi. b. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli (call option) setelah lewat tahun kelima. Dalam kondisi ini, sisa jangka waktu instrumen pada awal penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi mulai diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama. - 22 - Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh tempo, Bank tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi subordinasi sebagai modal pelengkap meskipun Bank belum mengeksekusi opsi beli (call option). Angka 13 Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Contoh instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan adalah: 1. saham preferen (yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif (cumulative preference share); 2. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, bersifat kumulatif dan memenuhi seluruh persyaratan untuk dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap (cumulative subordinated debt); dan 3. instrumen utang yang memiliki karakteristik seperti modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat dikonversi menjadi saham setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (mandatory convertible bond). Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar. - 23 - Huruf b Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga pasar instrumen modal lebih tinggi dari nilai nominal. Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga pasar instrumen modal lebih rendah dari nilai nominal. Huruf c Pembentukan cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank. Contoh: Cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk sebesar Rp15 juta dan ATMR Bank untuk Risiko Kredit sebesar Rp1 miliar. Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap paling tinggi 1,25% dari Rp1 miliar yaitu sebesar Rp12,5 juta. Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar Rp2,5 juta yang tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap. Ayat (2) Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif sesuai contoh pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu sebesar Rp2,5 juta menjadi faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. - 24 - Angka 14 Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Pembelian kembali instrumen modal inti utama, modal inti tambahan atau modal pelengkap yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank menjadi faktor pengurang masing-masing komponen modal yang bersangkutan. Contoh 1: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti utama adalah antara lain pembelian kembali instrumen modal yang telah diterbitkan Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh 2: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti tambahan antara lain eksekusi opsi beli (call option). Huruf b Penempatan dana pada instrumen utang yang telah diakui sebagai komponen modal Bank lain menjadi faktor pengurang modal bagi Bank yang melakukan penempatan dana pada komponen modal yang memiliki kualitas sama dan/atau lebih baik. Contoh 1: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp100 miliar. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar. Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar - 25 - Rp80 miliar tersebut di atas selanjutnya diakui sebagai modal pelengkap dengan memperhatikan batasan modal pelengkap yang diperkenankan. Contoh 2: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp10 miliar dan modal inti utama sebesar Rp100 miliar. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar. Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp10 miliar - Rp20 miliar = (Rp10 miliar) Rp10 miliar tersebut di atas selanjutnya akan dikurangkan terhadap modal inti utama Bank A. Contoh 3: Bank A hanya memiliki komponen modal inti utama sebesar Rp100 miliar dan tidak memiliki komponen modal lainnya. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar. Dalam kondisi ini, modal inti utama Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar. Huruf c Pengaturan mengenai kepemilikan silang mengacu pada Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas. Kepemilikan silang menjadi faktor pengurang modal pada komponen modal yang memiliki kualitas sama dan/atau lebih baik bagi Bank yang melakukan penempatan dana. - 26 - Kepemilikan silang yang telah menjadi faktor pengurang modal tidak lagi diperhitungkan baik dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit maupun faktor pengurang modal lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 41 Ayat (1) Termasuk posisi yang kurang likuid adalah portofolio yang terkonsentrasi dan berpotensi tidak memiliki pasar yang aktif dan memadai. Yang dimaksud dengan memiliki “pasar yang aktif dan memadai” adalah aset harus memiliki pasar repo atau jual putus (outright sale) yang aktif sepanjang waktu, yang antara lain ditunjukkan dengan: 1. terdapat bukti historis mengenai keluasan pasar (market breadth) dan kedalaman pasar (market depth) antara lain: a. rendahnya spread antara bid dan ask price; b. tingginya volume perdagangan; c. banyak dan beragamnya jumlah peserta pasar; dan/atau 2. terdapat infrastruktur pasar yang handal. Faktor-faktor tertentu mencakup antara lain rata-rata dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid atau ask spreads), serta ketersediaan kuotasi pasar. Ayat (2) Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca) dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi. - 27 - Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5929
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 4/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 26 Januari 2016 </set_date> <effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date> <replaced_reg> '13/1/PBI/2011' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sektor jasa keuangan yang tumbuh sccara berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing yang tinggi, perlu penerapan tata kelola yang baik di sektor jasa keuangan; b. bahwa adanya Lembaga Jasa Keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan dan/atau pengendalian di berbagai sektor jasa keuangan telah meningkatkan kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan dalam konglomerasi keuangan, sehingga diperlukan penerapan tata kelola terintegrasi; c. bahwa mengingat dalam konglomerasi keuangan terdiri dari lembaga jasa keuangan dari berbagai industri keuangan, maka diperlukan peningkatan kualitas tata kelola yang baik dalam suatu konglomerasi keuangan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia End of Page 1 - 2 - Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA KONGLOMERASI KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 2. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian. 3. Entitas … TERINTEGRASI BAGI - 3 - 3. Entitas Utama adalah LJK induk dari Konglomerasi Keuangan atau LJK yang ditunjuk oleh pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan. 4. Tata Kelola adalah suatu tata kelola dalam LJK yang menerapkan prinsip- prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau profesional (professional), dan kewajaran (fairness). 5. Tata Kelola Terintegrasi adalah suatu tata kelola yang menerapkan prinsip- prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau profesional (professional), dan kewajaran (fairness) secara terintegrasi dalam Konglomerasi Keuangan. 6. Direksi adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian; d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 7. Dewan Komisaris adalah: a. bagi LJK berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi LJK berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi LJK berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian; d. bagi … (accountability), (accountability), - 4 - d. bagi LJK yang berbadan hukum Usaha Bersama adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi LJK yang berstatus sebagai kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Pasal 2 Konglomerasi Keuangan wajib menerapkan Tata Kelola Terintegrasi secara komprehensif dan efektif sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 3 (1) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memiliki struktur yang terdiri dari Entitas Utama dan: a. perusahaan anak; dan/atau b. perusahaan terelasi beserta perusahaan anaknya. (2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis LJK sebagai berikut: a. bank; b. perusahaan asuransi dan reasuransi; c. perusahaan efek; dan/atau d. perusahaan pembiayaan. Pasal 4 (1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh LJK secara langsung maupun tidak langsung baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan. (2) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Perusahaan subsidiari yaitu perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari 50% (lima puluh perseratus); b. Perusahaan partisipasi yaitu perusahaan yang dimiliki LJK sebesar 50% (lima puluh perseratus) atau kurang, namun LJK memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. Perusahaan … - 5 - c. Perusahaan yang dimiliki LJK lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi persyaratan, yaitu: 1. kepemilikan LJK dan para pihak lainnya pada perusahaan anak adalah masing-masing sama besar; dan 2. masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap perusahaan anak yang didasarkan pada perjanjian, dan dibuktikan dengan adanya kesepakatan atau komitmen secara tertulis dari para pemilik untuk memberikan dukungan baik finansial maupun non finansial sesuai kepemilikannya masing-masing. d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku wajib dikonsolidasikan. Pasal 5 Perusahaan terelasi (sister company) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah beberapa LJK yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh pemegang saham pengendali yang sama. Pasal 6 (1) LJK wajib mengidentifikasi keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian dengan LJK lain dalam menentukan Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Konglomerasi Keuangan wajib memiliki Entitas Utama. (3) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan terdiri dari LJK induk dan LJK anak, Entitas Utama adalah LJK induk. (4) Dalam hal struktur Konglomerasi Keuangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan wajib menunjuk Entitas Utama. (5) Dalam hal Konglomerasi Keuangan dimiliki oleh lebih dari satu pihak dengan porsi kepemilikan yang sama, penunjukan Entitas Utama berdasarkan kesepakatan di antara pihak dengan porsi kepemilikan yang sama. (6) Pihak … - 6 - (6) Pihak yang ditunjuk sebagai Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) adalah LJK yang memiliki total aset terbesar dan/atau memiliki kualitas penerapan manajemen risiko yang baik. (7) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Entitas Utama untuk melakukan penyesuaian terhadap: a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama. Pasal 7 Entitas Utama wajib menerapkan Tata Kelola Terintegrasi. Pasal 8 Penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling sedikit mencakup: a. persyaratan Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama; b. tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama; c. tugas dan tanggung jawab Komite Tata Kelola Terintegrasi; d. tugas dan tanggung jawab satuan kerja kepatuhan terintegrasi; e. tugas dan tanggung jawab satuan kerja audit intern terintegrasi; f. penerapan manajemen risiko terintegrasi; dan g. penyusunan dan pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi. BAB II DIREKSI ENTITAS UTAMA, DEWAN KOMISARIS ENTITAS UTAMA, DAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH ENTITAS UTAMA Pasal 9 Calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon Dewan Komisaris Entitas Utama harus memiliki pengetahuan mengenai Entitas Utama dan pengetahuan mengenai LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 10 (1) Direksi Entitas Utama wajib memastikan penerapan Tata Kelola Terintegrasi dalam Konglomerasi Keuangan. (2) Tugas … - 7 - (2) Tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dalam rangka memastikan penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit: a. menyusun Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; b. mengarahkan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; dan c. menindaklanjuti arahan atau nasihat Dewan Komisaris Entitas Utama dalam rangka penyempurnaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi. Pasal 11 Direksi Entitas Utama wajib memastikan bahwa temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern terintegrasi, auditor eksternal, hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain telah ditindaklanjuti oleh LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 12 (1) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib melakukan pengawasan atas penerapan Tata Kelola Terintegrasi. (2) Tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris Entitas Utama dalam rangka melakukan pengawasan atas penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit: a. mengawasi penerapan Tata Kelola pada masing-masing LJK agar sesuai dengan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; b. mengawasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama, serta memberikan arahan atau nasihat kepada Direksi Entitas Utama atas pelaksanaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; dan c. mengevaluasi Pedoman Tata Kelola Terintegrasi dan mengarahkan dalam rangka penyempurnaan. Pasal 13 (1) Dewan Komisaris Entitas Utama wajib menyelenggarakan rapat secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali setiap semester. (2) Rapat … - 8 - (2) Rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dapat dilaksanakan melalui video conference. (3) Hasil rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan secara baik. (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Dewan Komisaris Entitas Utama dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat. Pasal 14 (1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugasnya, Dewan Komisaris Entitas Utama wajib membentuk Komite Tata Kelola Terintegrasi. (2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki Komite Tata Kelola, fungsi Komite Tata Kelola Terintegrasi dapat dilakukan oleh Komite Tata Kelola yang telah ada dengan menyesuaikan keanggotaan, fungsi dan tanggung jawab. Pasal 15 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan/atau Dewan Komisaris Entitas Utama tidak diperhitungkan sebagai rangkap jabatan. Pasal 16 Dalam hal Entitas Utama melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah pada Entitas Utama harus memastikan penerapan Tata Kelola Terintegrasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. BAB III KOMITE TATA KELOLA TERINTEGRASI Pasal 17 (1) Komite Tata Kelola Terintegrasi paling sedikit terdiri dari: a. seorang Komisaris Independen yang menjadi Ketua pada salah satu komite pada Entitas Utama, sebagai ketua merangkap anggota; b. Komisaris Independen yang mewakili dan ditunjuk dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan, sebagai anggota; c. seorang … - 9 - c. seorang pihak independen, sebagai anggota; dan d. anggota Dewan Pengawas Syariah dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan, sebagai anggota. (2) Jumlah dan komposisi Komisaris Independen yang menjadi anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas Komite Tata Kelola Terintegrasi dengan memperhatikan paling sedikit keterwakilan masing-masing sektor jasa keuangan. (3) Keanggotaan Komisaris Independen pada Komite Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa keanggotaan tetap atau tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan. Pasal 18 Keanggotaan Komisaris Independen, pihak independen, dan anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) pada Komite Tata Kelola Terintegrasi dalam Konglomerasi Keuangan tidak diperhitungkan sebagai rangkap jabatan. Pasal 19 Komite Tata Kelola Terintegrasi mempunyai tugas dan tanggung jawab paling sedikit: a. mengevaluasi pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi paling sedikit melalui penilaian kecukupan pengendalian intern dan pelaksanaan fungsi kepatuhan secara terintegrasi; dan b. memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris Entitas Utama untuk penyempurnaan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi. Pasal 20 (1) Komite Tata Kelola Terintegrasi harus melaksanakan rapat paling sedikit 1 (satu) kali setiap semester. (2) Rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dapat dilaksanakan melalui video conference. (3) Hasil rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan secara baik. (4) Perbedaan … - 10 - (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang terjadi dalam rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasan perbedaan pendapat. BAB IV SATUAN KERJA KEPATUHAN TERINTEGRASI DAN AUDIT INTERN TERINTEGRASI Pasal 21 (1) Entitas Utama wajib memiliki Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi yang independen. (2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja kepatuhan, pelaksanaan tugas kepatuhan terintegrasi dapat dilakukan oleh satuan kerja kepatuhan yang telah ada. Pasal 22 Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi mempunyai tugas paling sedikit memantau dan mengevaluasi pelaksanaan fungsi kepatuhan pada masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 23 (1) Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kepada Direktur Kepatuhan Entitas Utama atau Direktur yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan. (2) Direktur Kepatuhan Entitas Utama atau Direktur yang ditunjuk oleh Direktur Utama Entitas Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kepatuhan terintegrasi kepada Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama. Pasal 24 (1) Entitas Utama wajib memiliki Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi yang independen. (2) Dalam hal Entitas Utama telah memiliki satuan kerja audit intern, pelaksanaan tugas audit intern terintegrasi dapat dilakukan oleh satuan kerja audit intern yang telah ada. Pasal … - 11 - Pasal 25 Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi mempunyai tugas paling sedikit memantau pelaksanaan audit intern pada masing-masing LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 26 Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi menyampaikan laporan audit intern terintegrasi kepada Direktur yang ditunjuk untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan dan Dewan Komisaris Entitas Utama serta Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan Entitas Utama. BAB V MANAJEMEN RISIKO TERINTEGRASI Pasal 27 Entitas Utama wajib menerapkan manajemen risiko terintegrasi secara komprehensif dan efektif dengan berpedoman pada ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko terintegrasi bagi konglomerasi keuangan. BAB VI PEDOMAN TATA KELOLA TERINTEGRASI Pasal 28 (1) Pedoman Tata Kelola Terintegrasi yang disusun oleh Direksi Entitas Utama dan disetujui oleh Dewan Komisaris Entitas Utama paling sedikit mencakup: a. kerangka Tata Kelola Terintegrasi bagi Entitas Utama; dan b. kerangka Tata Kelola bagi LJK dalam Konglomerasi Keuangan. (2) Penyusunan kerangka Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada peraturan ini dan ketentuan tata kelola yang berlaku bagi masing-masing LJK. (3) Direksi Entitas Utama menyampaikan Pedoman Tata Kelola Terintegrasi kepada Direksi LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 29 Kerangka Tata Kelola Terintegrasi bagi Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a memuat paling sedikit: a. persyaratan … - 12 - a. persyaratan Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama; b. tugas dan tanggung jawab Direksi Entitas Utama dan Dewan Komisaris Entitas Utama; c. tugas dan tanggung jawab Komite Tata Kelola Terintegrasi; d. tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi; e. tugas dan tanggung jawab Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi; dan f. penerapan manajemen risiko terintegrasi. Pasal 30 (1) Kerangka Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b memuat paling sedikit: a. persyaratan calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris; b. persyaratan calon anggota Dewan Pengawas Syariah; c. struktur Direksi dan Dewan Komisaris; d. struktur Dewan Pengawas Syariah; e. independensi tindakan Dewan Komisaris; f. pelaksanaan fungsi pengurusan LJK oleh Direksi; g. pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris; h. pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah; i. pelaksanaan fungsi kepatuhan, fungsi audit intern, dan pelaksanaan audit ekstern; j. pelaksanaan fungsi manajemen risiko; k. kebijakan remunerasi; dan l. pengelolaan benturan kepentingan. (2) Persyaratan, struktur dan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf d, dan huruf h dicantumkan dalam kerangka Tata Kelola Terintegrasi apabila Konglomerasi Keuangan memiliki LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasar prinsip Syariah. Pasal 31 Persyaratan calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, serta calon Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b paling sedikit memuat persyaratan integritas, kompetensi, dan reputasi keuangan. Pasal … - 13 - Pasal 32 Struktur Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c, paling sedikit memuat: a. jumlah minimal dan maksimal anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; b. rangkap jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; dan c. jumlah dan komposisi Komisaris Independen. Pasal 33 Struktur Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d paling sedikit memuat: a. jumlah minimal dan maksimal anggota Dewan Pengawas Syariah; dan b. rangkap jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah. Pasal 34 Independensi tindakan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e paling sedikit memuat kriteria tindakan Dewan Komisaris yang dinyatakan independen. Pasal 35 Pelaksanaan fungsi pengurusan LJK oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf f paling sedikit memuat tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. melaksanakan prinsip-prinsip Tata Kelola; b. menindaklanjuti hasil audit oleh pihak intern dan ekstern; c. menyusun tata tertib kerja; dan d. menyelenggarakan rapat Direksi yang paling sedikit mencakup tata cara pengambilan keputusan dan dokumentasi rapat. Pasal 36 Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf g paling sedikit memuat tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris sebagai berikut: a. melakukan pengawasan terhadap penerapan tata kelola, tugas dan tanggung jawab Direksi dan tindak lanjut hasil audit dari pihak intern dan ekstern; b. membentuk … - 14 - b. membentuk komite atau menunjuk pihak untuk melaksanakan fungsi yang mendukung tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris paling sedikit komite atau fungsi pemantauan audit, dan komite atau fungsi pemantauan kepatuhan; c. menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris yang paling sedikit mencakup frekuensi, kehadiran dan tata cara pengambilan keputusan; dan d. menyusun tata tertib kerja Dewan Komisaris. Pasal 37 Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf h memuat paling sedikit tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan LJK agar sesuai dengan Prinsip Syariah; dan b. menyusun tata tertib kerja Dewan Pengawas Syariah. Pasal 38 Pelaksanaan fungsi kepatuhan, fungsi audit intern, dan pelaksanaan audit ekstern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf i paling sedikit memuat: a. pembentukan fungsi kepatuhan dan fungsi audit intern yang independen; b. pelaksanaan fungsi audit intern paling sedikit melaksanakan audit intern LJK; dan c. pelaksanaan fungsi audit ekstern oleh pihak eksternal terhadap laporan keuangan LJK. Pasal 39 Pelaksanaan fungsi manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf j memuat paling sedikit kebijakan manajemen risiko secara komprehensif dan efektif dengan berpedoman pada ketentuan mengenai manajemen risiko yang berlaku bagi masing-masing LJK. Pasal … - 15 - Pasal 40 Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf k memuat paling sedikit kebijakan remunerasi dengan memperhatikan profil risiko dan dalam rangka terwujudnya budaya kerja yang hati-hati. Pasal 41 Pengelolaan benturan kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf l paling sedikit memuat kebijakan: a. untuk melakukan identifikasi, mitigasi, dan pengelolaan atas benturan kepentingan termasuk yang berasal dari transaksi dengan pihak afiliasi dan transaksi intra group; b. larangan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris mengambil tindakan yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan LJK; dan c. kewajiban mengungkapkan apabila terjadi benturan kepentingan dalam setiap pengambilan keputusan. BAB VII TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN YANG ENTITAS UTAMANYA BERUPA KANTOR CABANG DARI ENTITAS DI LUAR NEGERI Pasal 42 Konglomerasi Keuangan yang Entitas Utamanya berupa Kantor Cabang dari entitas di luar negeri wajib memenuhi ketentuan mengenai Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 43 Pelaksanaan fungsi Dewan Komisaris, dan pembentukan Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada Entitas Utama yang bersangkutan. BAB … - 16 - BAB VIII PELAPORAN Pasal 44 (1) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan mengenai LJK yang menjadi Entitas Utama dan LJK yang menjadi anggota Konglomerasi Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terdapat: a. Konglomerasi Keuangan baru disertai penunjukkan Entitas Utama; b. perubahan Entitas Utama; c. perubahan anggota Konglomerasi Keuangan; dan/atau d. pembubaran Konglomerasi Keuangan. (3) Laporan disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak terjadinya kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang lain, laporan tersebut dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan. (5) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penyesuaian terhadap: a. LJK yang termasuk dalam Konglomerasi Keuangan; dan/atau b. LJK yang ditunjuk menjadi Entitas Utama, dalam hal diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7). Pasal 45 (1) Entitas Utama wajib menyusun laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala. (2) Penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat. (3) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disusun setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (4) Entitas Utama wajib menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. (5) Laporan … - 17 - (5) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (6) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/libur, laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 46 (1) Entitas Utama wajib menyusun laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi. (2) Laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) bulan sejak tahun buku berakhir. (3) Entitas Utama wajib mempublikasikan laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dalam home page Entitas Utama paling lambat 5 (lima) bulan sejak tahun buku berakhir. (4) Laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dapat menjadi bagian tersendiri dalam laporan tahunan Konglomerasi Keuangan atau diajukan secara terpisah dari laporan tahunan Konglomerasi Keuangan. Pasal 47 (1) Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5). (2) Entitas Utama dinyatakan terlambat menyampaikan laporan Tahunan Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi apabila laporan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2). Pasal 48 Bagi Entitas Utama berupa Bank yang telah menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah memenuhi kewajiban penyampaian laporan penilaian Tata Kelola Konsolidasi secara … - 18 - secara berkala sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum. Pasal 49 Bagi Entitas Utama berupa Bank yang telah menyampaikan Laporan Tahunan Pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi secara berkala, bank dianggap telah memenuhi kewajiban penyampaian Laporan Pelaksanaan good corporate governance sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum. BAB IX LAIN-LAIN Pasal 50 Hubungan antar LJK yang dimiliki dan dikendalikan langsung oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia dikecualikan dari pengertian Konglomerasi Keuangan. Pasal 51 (1) Dalam hal Konglomerasi Keuangan berada dalam satu sektor jasa keuangan yang sama dan telah terdapat ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Tata Kelola (good corporate governance) bagi sektor jasa keuangan, penerapan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Tata Kelola (good corporate governance) yang berlaku bagi sektor jasa keuangan. (2) Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. memiliki Entitas Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); b. membentuk Satuan Kerja Kepatuhan Terintegrasi, Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi, dan Komite Tata Kelola Terintegrasi; c. menyusun Pedoman Tata Kelola Terintegrasi; d. menyampaikan laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45; e. menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46. Pasal … - 19 - Pasal 52 Entitas Utama wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penerapan Tata Kelola Terintegrasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB X S A N K S I Pasal 53 Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 6 ayat (2), Pasal 42, dan Pasal 51 ayat (2); Entitas Utama yang melanggar ketentuan dalam Pasal 7, Pasal 21 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27, Pasal 44 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 52; LJK yang melanggar ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1); pemegang saham pengendali Konglomerasi Keuangan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 6 ayat (4); Direksi Entitas Utama yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11, dan Dewan Komisaris Entitas Utama yang melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (1), dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan; d. pembatasan kegiatan usaha; e. perintah penggantian manajemen; f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; dan/atau g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan. Pasal 54 Entitas Utama yang dinyatakan terlambat menyampaikan: a. laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5); dan/atau b. laporan tahunan pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan dengan jumlah paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal … - 20 - Pasal 55 Mekanisme pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54 mengacu pada ketentuan yang berlaku bagi LJK pada setiap sektor jasa keuangan. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 56 Laporan mengenai LJK yang menjadi Entitas Utama dan LJK yang menjadi anggota Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) disampaikan pertama kali paling lambat 31 Maret 2015. Pasal 57 Kewajiban penyampaian laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) pertama kali dilakukan untuk posisi laporan sebagai berikut: a. Juni 2015, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. Desember 2015, untuk Entitas Utama berupa bank selain Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank. Pasal 58 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 mulai berlaku sejak: a. 1 Januari 2017, untuk Entitas Utama yang merupakan Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4; b. 1 Januari 2018, untuk Entitas Utama berupa bank non Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 4 dan bukan bank. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal … Pasal 60 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku, LJK tetap menerapkan ketentuan yang berlaku pada masing-masing sektor jasa keuangan. Pasal 61 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditctapkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I KEUKNGAN Tini Kustini End of Page 21 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18/POJK.03/2014 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN I. UMUM Kondisi sektor jasa keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil menjadi suatu prasyarat utama agar sistem keuangan mampu mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan berperan secara optimal dalam perekonomian nasional. Industri keuangan merupakan salah satu industri yang memiliki kompleksitas operasional dan tingkat persaingan yang tinggi, sehingga menyebabkan industri keuangan terekspos risiko yang tinggi dan harus beroperasi secara berhati-hati serta efisien. Seiring dengan perkembangan globalisasi, teknologi informasi, dan inovasi produk serta aktivitas Lembaga Jasa Keuangan (LJK) telah menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing-masing sektor keuangan baik dalam produk dan kelembagaan, maupun kepemilikan. Menghadapi kondisi tersebut, LJK perlu menerapkan tata kelola yang baik pada LJK dan Konglomerasi Keuangan. Dalam rangka penerapan tata kelola terintegrasi yang baik, Konglomerasi Keuangan perlu memiliki Pedoman Tata Kelola Terintegrasi dengan mengacu pada peraturan yang konservatif guna menjadi panduan bagi LJK dalam Konglomerasi Keuangan untuk menerapkan tata kelola, sehingga dapat mendorong peningkatan kualitas penerapan tata kelola terintegrasi. Dengan penerapan tata kelola terintegrasi, akan mendorong Konglomerasi Keuangan memiliki tata kelola yang lebih prudent sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) atau profesional (professional), dan kewajaran (fairness). Selain itu, penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan diharapkan dapat mendorong stabilitas sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional … - 2 - nasional. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, perlu pengaturan tentang Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah perseorangan atau perusahaan/badan, baik secara sendiri maupun bersama- sama dan baik secara langsung maupun tidak langsung yang memiliki 50% (lima puluh perseratus) atau kurang saham yang memiliki hak suara pada suatu perusahaan atau badan lain tetapi: 1. terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain sehingga memiliki hak suara lebih dari 50% (lima puluh perseratus); 2. mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional perusahaan/badan lain berdasarkan anggaran dasar/perjanjian; 3. mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau mengganti sebagian besar Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lainnya yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan lain melalui Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lainnya … - 3 - lainnya tersebut; dan/atau 4. mampu menguasai suara mayoritas pada rapat Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lainnya yang setara dan mengendalikan perusahaan/badan melalui Direksi dan Dewan Komisaris atau organ lainnya tersebut. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sebagai contoh: LJK A adalah LJK induk dari LJK anak yang terdiri dari LJK B dan LJK C secara langsung, serta LJK D dan LJK E secara tidak langsung. Dengan demikian, Entitas Utama dari Konglomerasi Keuangan adalah LJK A. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di bawah ini. LJK A LJK B LJK C LJK D LJK E Ayat (4) Termasuk pemegang saham pengendali pada ayat ini adalah: 1. perorangan/perusahaan non keuangan; atau 2. perorangan/ perusahaan yang berkedudukan di luar negeri. Sebagai … - 4 - Sebagai contoh: “Non LJK 1” adalah pemegang saham pengendali dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, dan LJK C. “Non LJK 1” wajib menunjuk Entitas Utama dalam rangka penerapan Tata Kelola Terintegrasi. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di bawah ini. Non LJK 1 LJK A LJK B LJK C Contoh berikutnya: “Non LJK 2” adalah pemegang saham pengendali dari Konglomerasi Keuangan yang terdiri atas LJK A, LJK B, LJK C, LJK D, dan LJK E. “Non LJK 2” wajib menunjuk Entitas Utama dalam rangka penerapan Tata Kelola Terintegrasi. Untuk jelasnya, sebagaimana bagan di bawah ini. Non LJK 2 LJK A Non LJK 1 LJK B LJK C LJK D LJK E Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat … - 5 - Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon anggota Dewan Komisaris tetap wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan uji kemampuan dan kepatutan bagi masing-masing sektor jasa keuangan. Persyaratan pengetahuan bagi calon anggota Direksi Entitas Utama dan calon anggota Dewan Komisaris Entitas Utama mengenai LJK dalam Konglomerasi Keuangan diperlukan karena adanya peningkatan tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan Konglomerasi Keuangan. Yang dimaksud dengan “pengetahuan” antara lain pemahaman kegiatan bisnis utama dan risiko utama dari LJK dalam Konglomerasi Keuangan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Yang dimaksud dengan “otoritas lain” termasuk namun tidak terbatas pada: a. Bank Indonesia; b. Otoritas pengawasan terhadap Kantor Pusat LJK dalam hal LJK merupakan kantor cabang dari entitas yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Termasuk dalam penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris Entitas Utama adalah penjadwalan waktu pelaksanaan rapat. Ayat … - 6 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Rangkap jabatan tidak diperhitungkan karena merupakan ex-officio yaitu jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pihak independen dapat berasal dari pihak independen anggota Komite pada Entitas Utama. Huruf d Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah dalam Komite Tata Kelola Terintegrasi hanya apabila terdapat LJK yang melaksanakan kegiatan usaha berdasar prinsip Syariah. Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah yang menjadi anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dari Komite Tata Kelola Terintegrasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat … - 7 - Ayat (3) Mengingat jumlah dan komposisi Komisaris Independen yang menjadi anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi disesuaikan dengan kebutuhan Konglomerasi Keuangan serta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dari Komite Tata Kelola Terintegrasi, maka dalam hal diperlukan Entitas Utama dapat menambah keanggotaan tidak tetap Komisaris Independen dari LJK yang belum menjadi anggota Komite Tata Kelola Terintegrasi. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Dalam melakukan evaluasi, Komite Tata Kelola Terintegrasi memperoleh informasi berupa hasil evaluasi atas pelaksanaan audit intern dan fungsi kepatuhan masing-masing LJK dari anggota Dewan Komisaris masing-masing LJK yang menjadi anggota pada Komite Tata Kelola Terintegrasi. Huruf b Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Termasuk dalam penyelenggaraan rapat Komite Tata Kelola Terintegrasi adalah penjadwalan waktu pelaksanaan rapat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan satuan kerja yang melaksanakan fungsi kepatuhan terintegrasi dengan … - 8 - dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Penunjukan Direktur untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan dilakukan sesuai dengan anggaran dasar LJK sebagai Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “independen” antara lain adanya pemisahan satuan kerja yang melaksanakan fungsi audit intern terintegrasi dengan satuan kerja operasional (risk-taking unit) pada Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Dalam melaksanakan tugasnya Satuan Kerja Audit Intern Terintegrasi dapat melakukan audit pada LJK baik secara individual, audit bersama, atau berdasarkan laporan dari Satuan Kerja Audit Intern LJK. Pasal 26 Penunjukan Direktur untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap LJK dalam Konglomerasi Keuangan dilakukan sesuai dengan anggaran dasar LJK sebagai Entitas Utama. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal … - 9 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “independen” adalah tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham baik langsung maupun tidak langsung, dan/atau hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik vertikal maupun horizontal dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi yang mendukung tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris merupakan organ Dewan Komisaris di luar struktur organisasi LJK. Huruf … - 10 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Laporan disertai dengan dokumen penunjukan Entitas Utama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi didasarkan atas hasil penilaian … - 11 - penilaian sendiri (self assessment). Ayat (2) Peringkat terbaik dari 5 (lima) kategori peringkat Tata Kelola Terintegrasi adalah peringkat 1 (satu). Ayat (3) Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi disajikan secara komparatif dengan posisi semester sebelumnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Laporan penilaian pelaksanaan Tata Kelola Terintegrasi dapat digunakan oleh Entitas Utama untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Sektor jasa keuangan terdiri dari sektor perbankan, sektor pasar modal, dan sektor industri keuangan non bank. Contoh: Dalam hal Konglomerasi keuangan seluruhnya terdiri dari beberapa perusahaan asuransi, maka penerapan Tata Kelola Terintegrasi mengacu … - 12 - mengacu pada ketentuan mengenai Tata Kelola (good corporate governance) untuk perusahaan asuransi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 52 Data dan informasi dari Entitas Utama digunakan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka melakukan evaluasi dan penilaian terhadap penerapan Tata Kelola Terintegrasi yang dilakukan oleh Konglomerasi Keuangan. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5627
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 18/POJK.03/2014 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA TERINTEGRASI BAGI KONGLOMERASI KEUANGAN </reg_title> <set_date> 18 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '40/UU/2014', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka sejak tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan atas pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks perlu mengganti Peraturan mengenai pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman - 2 - Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks adalah Reksa Dana selain dari yang disebutkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka. BAB II PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS Pasal 2 Ketentuan mengenai: a. Larangan bagi Manajer Investasi Reksa Dana melakukan tindakan yang menyebabkan Reksa Dana Berbentuk Perseroan: - 3 - 1. membeli Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia lebih dari 15% (lima belas persen) dari Nilai Aktiva Bersih; 2. membeli Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang telah mencatatkan Efeknya pada Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor perusahaan dimaksud; 3. membeli Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat, termasuk pemilikan surat berharga yang dikeluarkan oleh bank-bank tetapi tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia dan obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; 4. menjual saham Reksa Dana terbuka kepada setiap pemodal lebih dari 2% (dua persen) dari modal yang dikeluarkan, kecuali bagi Manajer Investasi Reksa Dana terbuka yang bersangkutan; dan 5. membeli Efek Beragun Aset lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana dengan ketentuan bahwa setiap jenis Efek Beragun Aset tidak lebih dari 5% (lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; b. Larangan bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan melakukan: 1. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia lebih dari 15% (lima belas persen) dari Nilai Aktiva Bersih; 2. pembelian Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang telah mencatatkan Efeknya pada - 4 - Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor perusahaan dimaksud; 3. pembelian Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat, dengan ketentuan pembatasan tersebut termasuk pemilikan surat berharga yang dikeluarkan oleh bank-bank tetapi tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia dan obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; 4. penjualan saham Reksa Dana terbuka kepada setiap pemodal lebih dari 2% (dua persen) dari modal yang dikeluarkan, kecuali bagi Manajer Investasi Reksa Dana terbuka yang bersangkutan; 5. pembelian Efek Beragun Aset lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana dengan ketentuan bahwa setiap jenis Efek Beragun Aset tidak lebih dari 5% (lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; c. Kewajiban Manajer Investasi menentukan komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana dengan ketentuan sebagai berikut: 1. paling sedikit 85% (delapan puluh lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada: a) portofolio Efek yang diterbitkan, ditawarkan, dan/atau diperdagangkan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia; dan/atau b) Efek bersifat utang yang diperdagangkan di luar negeri, namun diterbitkan oleh: 1) Pemerintah Republik Indonesia; 2) badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten dan/atau Perusahaan Publik - 5 - sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; 3) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada angka 2), dan badan hukum asing tersebut khusus didirikan untuk menghimpun dana dari luar negeri bagi kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau 4) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki Badan Usaha Milik Negara; 2. paling banyak 15% (lima belas persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses dari Indonesia melalui media massa atau fasilitas internet, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan d. Larangan bagi Manajer Investasi melakukan tindakan yang dapat menyebabkan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif: 1. memiliki Efek yang diterbitkan oleh satu perusahaan berbadan hukum Indonesia atau berbadan hukum asing yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor perusahaan dimaksud atau lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat; 2. memiliki Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang telah mencatatkan Efeknya pada - 6 - Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor perusahaan dimaksud; 3. memiliki Efek yang diterbitkan oleh satu Pihak lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat, termasuk surat berharga yang diterbitkan oleh bank, namun tidak berlaku bagi: a) Sertifikat Bank Indonesia; b) Efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau c) Efek yang diterbitkan oleh lembaga keuangan internasional dimana Pemerintah Republik Indonesia menjadi salah satu anggotanya; dan 4. memiliki Efek Beragun Aset lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, dengan ketentuan bahwa masing-masing Efek Beragun Aset tidak lebih dari 5% (lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, tidak berlaku bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks. Pasal 3 Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. - 7 - Pasal 4 Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Terproteksi dan Reksa Dana Dengan Penjaminan, bersifat terbatas, baik dalam masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan, sedangkan Reksa Dana Indeks dapat bersifat terus menerus atau terbatas baik dalam masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan. Pasal 5 Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks wajib mencantumkan nama yang mencerminkan jenis Reksa Dana tersebut. Bagian Kesatu Reksa Dana Terproteksi Pasal 6 Manajer Investasi yang bermaksud menerbitkan Reksa Dana Terproteksi wajib: a. memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus yang paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Mekanisme proteksi yang paling sedikit memuat: a) jumlah investasi yang terproteksi yang paling sedikit sama dengan jumlah investasi awal; b) jangka waktu proteksi; c) persentase investasi pada Efek bersifat utang yang digunakan sebagai basis proteksi; d) pelunasan lebih awal sebelum jangka waktu proteksi, jika ada; e) ruang lingkup dan persyaratan bagi berlakunya proteksi; f) hal-hal yang membuat pemegang saham atau Unit Penyertaan kehilangan hak atas proteksi; dan g) risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan. - 8 - 2. Kebijakan investasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Manajer Investasi wajib: 1) menjelaskan persentase dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terproteksi yang akan diinvestasikan pada Efek bersifat utang, instrumen pasar uang dan Efek lain; 2) membentuk Portofolio Efek sebagai basis proteksi dengan melakukan investasi pada Efek bersifat utang, termasuk Efek Beragun Aset Arus Kas Tetap yang masuk dalam kategori layak investasi (investment grade), sehingga nilai Efek bersifat utang pada saat jatuh tempo paling sedikit dapat menutupi jumlah nilai yang diproteksi; 3) menentukan komposisi Portofolio Efek Reksa Dana Terproteksi dengan ketentuan sebagai berikut: (a) paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada: i. portofolio Efek yang diterbitkan, ditawarkan, dan/atau diperdagangkan di Indonesia berdasarkan perundang-undangan Indonesia; dan/atau peraturan di ii. Efek bersifat utang yang diperdagangkan di luar negeri, namun diterbitkan oleh: i) Pemerintah Indonesia; Republik ii) badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten dan/atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang - 9 - Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal; iii) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada butir ii), dan badan hukum asing didirikan menghimpun dana dari luar negeri bagi kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau iv) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki Badan Usaha Milik Negara; (b) paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses dari Indonesia melalui media massa atau fasilitas internet; 4) menjelaskan kriteria pemilihan Efek dan/ atau instrumen pasar uang. b) Manajer Investasi dilarang: 1) melakukan tindakan yang mengakibatkan Reksa Dana memiliki Efek yang diterbitkan oleh pihak terafiliasinya sebagai basis proteksi, kecuali hubungan Afiliasi tersebut tersebut khusus untuk - 10 - terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal pemerintah, dengan ketentuan pelaksanaan ketentuan tersebut wajib memperhatikan ketentuan larangan bagi Reksa Dana membeli Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi baik dengan Manajer Investasi maupun pemegang Unit Penyertaan lebih dari 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih, kecuali hubungan afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah; 2) mengubah Portofolio Efek sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2 huruf a) angka 2), kecuali dalam rangka pemenuhan penjualan kembali dari pemegan g saham atau Unit Penyertaan atau penurunan peringkat Efek; c) Kebijakan investasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2 huruf a) angka 2) tidak berlaku sepanjang Manajer Investasi melakukan investasi pada Surat Berharga Negara; d) Manajer Investasi dapat melakukan investasi pada Efek derivatif tanpa harus terlebih dahulu memiliki Efek yang menjadi aset dasar (underlying) dari derivatif tersebut dengan memperhatikan ketentuan bahwa investasi dalam Efek bersifat utang tetap menjadi basis nilai proteksi; e) Dalam hal Manajer Investasi melakukan investasi pada Efek yang merupakan turunan dari Efek (derivatif) maka Manajer Investasi wajib menambahkan keterbukaan informasi atas investasi pada Efek tersebut, paling sedikit mengenai: 1) jenis Efek derivatif; 2) jatuh tempo (jika ada); 3) Efek yang mendasari (underlying asset); - 11 - 4) harga perolehan atas Efek derivatif tersebut (premi); 5) Pihak yang memiliki kewajiban pemenuhan manfaat atas Efek derivatif (counterparty); 6) penghitungan nilai kas saat jatuh tempo; dan 7) risiko Efek derivatif. 3. Jangka waktu Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan. 4. Jumlah minimum dan maksimum saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan. 5. Reksa Dana Terproteksi wajib mengumumkan dan melaporkan Nilai Aktiva Bersih paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. b. memberikan gambaran dalam Prospektus dan/atau dokumen keterbukaan mengenai kinerja Reksa Dana Terproteksi atau indikasi hasil yang akan diterima oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Terproteksi di masa datang, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. menjelaskan secara lengkap kalkulasi kinerja atau indikasi hasil kinerja tersebut termasuk semua kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat terjadi; 2. menjelaskan asumsi yang menjadi latar belakang kalkulasi dan kemungkinan tersebut; dan 3. menjelaskan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Terproteksi sehubungan dengan asumsi dan kalkulasi kinerja dan indikasi hasil kinerja yang paling sedikit memuat: a) risiko pasar; b) risiko tingkat suku bunga; c) risiko kredit; d) risiko nilai tukar mata uang; e) risiko industri yang mencerminkan sebagian besar Portofolio Efek yang menjadi basis proteksi; dan - 12 - f) risiko likuiditas bagi pemegang saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Terproteksi. Pasal 7 Dokumen keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai bagian dari dokumen Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Bagian Kedua Reksa Dana Dengan Penjaminan Pasal 8 Manajer Investasi yang bermaksud menerbitkan Reksa Dana Dengan Penjaminan wajib: a. Menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan salinan Kontrak Penjaminan yang dibuat secara notariil antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan pihak yang memberikan penjaminan (penjamin/guarantor) yang paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: 1. jumlah investasi yang dijamin, paling sedikit sama dengan jumlah investasi awal; 2. jangka waktu penjaminan; 3. pelunasan lebih awal sebelum jangka waktu penjaminan (jika ada); 4. ruang lingkup dan persyaratan bagi berlakunya penjaminan; 5. hal-hal yang membuat Reksa Dana kehilangan hak atas penjaminan; 6. syarat-syarat dan pihak-pihak yang dapat menghentikan penjaminan; - 13 - 7. risiko yang ditanggung oleh Reksa Dana; 8. keadaan darurat; dan 9. hal-hal yang dimuat dalam perjanjian ini tidak boleh mengakibatkan atau menghilangkan tanggung jawab para pihak sesuai ketentuan yang berlaku. b. Menunjuk lembaga yang dapat melakukan kegiatan penjaminan dan mempunyai izin usaha dari instansi yang berwenang sebagai penjamin/guarantor. c. Memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus yang paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: 1. penjelasan mengenai penjaminan sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. penjelasan mengenai penjamin/guarantor, yang paling sedikit memuat: a) izin usaha; dan b) profil ringkas tentang penjamin/guarantor. 3. Kebijakan investasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Manajer Investasi wajib: 1) melakukan investasi pada Efek bersifat utang termasuk Efek Beragun Aset Arus Kas Tetap yang masuk dalam kategori layak investasi (investment grade) paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih; 2) menentukan komposisi Portofolio Efek Reksa Dana dengan ketentuan sebagai berikut: (a) Paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada: i. portofolio Efek yang diterbitkan, ditawarkan, dan/atau diperdagangkan di Indonesia berdasarkan perundang-undangan Indonesia; dan/atau peraturan di - 14 - ii. Efek bersifat utang yang diperdagangkan di luar negeri, namun diterbitkan oleh: i) Pemerintah Indonesia; Republik ii) badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten dan/atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal; iii) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada butir ii), dan badan hukum asing tersebut khusus didirikan menghimpun dana dari luar negeri bagi kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau iv) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki Badan Usaha Milik Negara. (b) Paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat Undang-undang untuk - 15 - diakses dari Indonesia melalui media massa atau fasilitas internet. 3) menjelaskan persentase dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Dengan Penjaminan yang akan diinvestasikan pada Efek dan instrumen pasar uang; dan 4) menjelaskan kriteria pemilihan Efek dan/atau instrumen pasar uang. b) Manajer Investasi dilarang mengubah portofolio Efek sebagaimana dimaksud pada ketentuan huruf a) angka 1), kecuali dalam rangka pemenuhan penjualan kembali dari pemegang saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Dengan Penjaminan atau penurunan peringkat Efek; c) Manajer Investasi dapat melakukan investasi pada Efek derivatif tanpa harus terlebih dahulu memiliki Efek yang menjadi aset dasar (underlying) dari derivatif tersebut; d) Dalam hal Manajer Investasi melakukan investasi pada Efek yang merupakan turunan dari Efek (derivatif) maka Manajer Investasi wajib menambahkan keterbukaan informasi mengenai investasi pada Efek tersebut, yaitu: 1) jenis Efek derivatif; 2) jatuh tempo (jika ada); 3) Efek yang mendasari (underlying asset); 4) harga perolehan atas Efek derivatif tersebut (premi); 5) Pihak yang memiliki kewajiban pemenuhan manfaat atas Efek derivatif (counterparty); 6) penghitungan nilai kas saat jatuh tempo; 7) risiko Efek derivatif; dan 8) informasi lain yang relevan mengenai investasi pada Efek tersebut. 4. Jangka waktu Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan. - 16 - 5. Jumlah minimum dan maksimum saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Dengan Penjaminan yang ditawarkan. 6. Reksa Dana Dengan Penjaminan wajib mengumumkan dan melaporkan Nilai Aktiva Bersih paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. d. Memberikan gambaran dalam Prospektus dan/atau dokumen keterbukaan mengenai kinerja Reksa Dana Dengan Penjaminan tersebut ataupun indikasi hasil yang akan diterima oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan di masa datang, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. menjelaskan secara lengkap kalkulasi kinerja atau indikasi hasil tersebut termasuk semua kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat terjadi; 2. menjelaskan asumsi yang menjadi latar belakang kalkulasi dan kemungkinan tersebut; dan 3. menjelaskan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Dengan Penjaminan sehubungan dengan asumsi dan kalkulasi kinerja dan indikasi hasil tersebut yang paling sedikit memuat: a) b) risiko pasar; risiko derivatif; c) risiko tingkat suku bunga; d) risiko kredit; e) risiko nilai tukar mata uang; f) g) risiko industri yang mencerminkan sebagian besar Portofolio Efek; dan risiko likuiditas bagi pemegang saham atau pemegang Unit Penyertaan. Pasal 9 Dokumen keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai bagian dari dokumen Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan - 17 - Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Bagian Kedua Reksa Dana Dengan Penjaminan Pasal 10 Manajer Investasi yang bermaksud menerbitkan Reksa Dana Indeks wajib: a. memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus mengenai ketentuan investasi sebagai berikut: 1. paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana tersebut wajib diinvestasikan pada Efek yang merupakan bagian dari kumpulan Efek yang ada dalam indeks tersebut; 2. investasi pada Efek yang ada dalam indeks sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib berjumlah paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari keseluruhan Efek yang ada dalam indeks tersebut; 3. pembobotan atas masing-masing Efek dalam Reksa Dana Indeks tersebut paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dan paling banyak 120% (seratus dua puluh persen) dari pembobotan atas masing-masing Efek dalam indeks yang menjadi acuan; dan 4. tingkat penyimpangan (tracking error) dari kinerja Reksa Dana Indeks terhadap kinerja indeks yang menjadi acuan. b. menginformasikan bahwa indeks Efek tersebut tersedia di media massa atau dapat diakses melalui fasilitas internet. Pasal 11 Reksa Dana Indeks wajib melaporkan Nilai Aktiva Bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Laporan Reksa Dana. Pasal 12 - 18 - Otoritas Jasa Keuangan berwenang menolak indeks Efek yang akan dijadikan tujuan investasi tersebut dengan menyampaikan alasan penolakan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 13 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 14 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan - 19 - tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 15 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-262/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks beserta Peraturan Nomor IV.C.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 20 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 399 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep- 262/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks beserta Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga - 2 - Keuangan Nomor IV.C.4 sebagai lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang berlaku adalah Peraturan Nomor IV.A.3, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP- 13/PM/2002 tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Huruf b Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang berlaku adalah Peraturan Nomor IV.A.4, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-14/PM/2002 tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Huruf c Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang berlaku adalah Peraturan Nomor IV.B.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-552/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. - 3 - Huruf d Cukup jelas. Pasal 3 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang berlaku adalah Peraturan Nomor IX.C.4, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-52/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang berlaku adalah Peraturan Nomor IX.C.5, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-430/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. - 4 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Laporan Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan Nomor X.D.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-430/PM/2004 tanggal 09 Februari 2004 tentang Laporan Reksa Dana. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 399
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 48/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-262/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011', 'KEP-262/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.4' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 70 /POJK.05/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (4), Pasal 24 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasal 29 ayat (5), dan Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan penyelesaian klaimnya dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta penanganan dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 2. Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Usaha Penilai Kerugian Asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. - 3 - 4. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi. 5. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi. 6. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi. 7. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 8. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 Perasuransian. 9. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya. 10. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syariah atas risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya. 11. Pialang Asuransi adalah orang yang bekerja pada Perusahaan Pialang Asuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam melakukan penutupan asuransi atau asuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. tentang Syariah, - 4 - 12. Pialang Reasuransi adalah orang yang bekerja pada Perusahaan Pialang Reasuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili Asuransi Perusahaan Syariah, perusahaan Asuransi, perusahaan penjaminan syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah dalam melakukan penutupan reasuransi atau reasuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 13. Tenaga Ahli adalah orang perseorangan yang memiliki kualifikasi dan/atau keahlian tertentu dan ditunjuk sebagai tenaga ahli pada Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, atau Perusahaan Penilai Kerugian tempatnya bekerja. 14. Reasuradur Perusahaan adalah Reasuransi Perusahaan Syariah, Reasuransi, perusahaan asuransi umum, atau perusahaan asuransi umum syariah yang menerima pertanggungan ulang termasuk retrosesi. 15. Perusahaan Ceding adalah: a. perusahaan asuransi umum yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Reasuransi atau perusahaan asuransi umum lain; b. perusahaan asuransi umum syariah yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah pada Perusahaan Reasuransi, perusahaan asuransi umum syariah lain atau unit syariah pada perusahaan asuransi umum; c. unit syariah pada perusahaan asuransi umum yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah, unit syariah pada Perusahaan Reasuransi, perusahaan Asuransi Perusahaan penjaminan, Perusahaan - 5 - asuransi umum syariah atau unit syariah pada perusahaan asuransi umum lain; d. perusahaan asuransi jiwa yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi; e. perusahaan asuransi jiwa syariah yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah pada Perusahaan Reasuransi; f. unit syariah pada perusahaan asuransi jiwa yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah pada Perusahaan Reasuransi; g. perusahaan penjaminan yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi; atau h. perusahaan penjaminan syariah atau unit syariah pada perusahaan penjaminan yang mengalihkan sebagian risikonya kepada Perusahaan Reasuransi Syariah atau unit syariah pada Perusahaan Reasuransi. 16. Pemberi Tugas adalah pihak yang memberikan tugas penilaian kerugian dan/atau jasa konsultasi atas objek asuransi kepada Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. 17. Objek Asuransi adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 18. Polis Asuransi adalah akta perjanjian asuransi atau dokumen lain yang dipersamakan dengan akta perjanjian asuransi, serta dokumen lain yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi, yang dibuat secara tertulis dan memuat perjanjian antara Perusahaan nilainya - 6 - Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, dan pemegang polis, tertanggung, atau peserta. 19. Rekening Premi adalah rekening Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi pada bank umum konvensional atau bank umum syariah yang digunakan untuk menampung: a. premi atau kontribusi yang diterima dari pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding; atau b. klaim yang diterima dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Syariah. atau Perusahaan Reasuransi 20. Rekening Operasional adalah rekening Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi pada bank umum konvensional atau bank umum syariah yang khusus digunakan untuk kegiatan operasional. 21. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai pengaturan, fungsi, tugas, pengawasan, dan pemeriksaan, penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II RUANG LINGKUP USAHA PIALANG ASURANSI, PIALANG REASURANSI, DAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI Pasal 2 (1) Perusahaan Pialang Asuransi hanya menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi. (3) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi. dapat wewenang dan - 7 - Pasal 3 (1) Perusahaan Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Ceding. BAB III STANDAR PERILAKU USAHA Bagian Kesatu Premi atau Kontribusi Pasal 4 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dapat menerima pembayaran premi atau kontribusi dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi dapat menerima pembayaran premi atau kontribusi dari Perusahaan Ceding. Pasal 5 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib menyerahkan premi atau kontribusi yang diterima dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak premi atau kontribusi diterima atau sesuai jangka waktu pembayaran premi atau kontribusi yang ditetapkan dalam Polis Asuransi yang bersangkutan, mana yang lebih singkat. (2) Dalam hal Perusahaan Pialang Asuransi belum menyerahkan pembayaran premi atau kontribusi kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah setelah berakhirnya jangka waktu - 8 - (3) Dalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pialang Asuransi wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang timbul. Pialang hal Perusahaan menyerahkan premi atau setelah Asuransi kontribusi kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dan tidak ada pembatalan dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja, tanggung jawab pembayaran klaim atau manfaat yang timbul beralih dari Perusahaan Pialang Asuransi kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah sejak premi atau kontribusi diterima oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. Pasal 6 (1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyerahkan premi atau kontribusi yang diterima dari Perusahaan Ceding kepada Reasuradur paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak premi atau kontribusi diterima atau sesuai jangka waktu pembayaran premi atau kontribusi yang ditetapkan dalam perjanjian reasuransi yang bersangkutan, mana yang lebih singkat. (2) Dalam hal Perusahaan Pialang Reasuransi belum menyerahkan pembayaran premi atau kontribusi kepada Reasuradur setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pialang Reasuransi wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim atau manfaat yang timbul. (3) Dalam hal Perusahaan menyerahkan premi setelah atau Pialang Reasuransi kontribusi kepada Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah jangka waktu sebagaimana - 9 - dimaksud pada ayat (1) berakhir dan tidak ada pembatalan dari Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja, tanggung jawab pembayaran klaim atau manfaat yang timbul beralih dari Perusahaan Pialang Reasuransi kepada Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah sejak premi atau kontribusi diterima oleh Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah. Pasal 7 (1) Tanggung jawab pembayaran klaim atau manfaat yang timbul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) wajib dilakukan oleh Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi sesuai jangka waktu pembayaran klaim atau manfaat yang ditetapkan dalam Polis Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak nilai pembayaran klaim atau manfaat disetujui pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding, mana yang lebih singkat. (2) Penentuan nilai pembayaran klaim atau manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan: a. hasil penilaian atau Perusahaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Syariah; atau Reasuransi b. hasil penilaian Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. (3) Dalam hal penentuan nilai pembayaran klaim atau manfaat dilakukan berdasarkan hasil penilaian Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, biaya yang timbul - 10 - dibebankan kepada Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi. Pasal 8 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dalam melakukan pembayaran premi atau kontribusi kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib menyertakan rincian pembayaran masing-masing Polis Asuransi paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak pembayaran premi atau kontribusi kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi dalam melakukan pembayaran premi atau kontribusi kepada Reasuradur wajib menyertakan rincian pembayaran masing-masing perjanjian reasuransi paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak pembayaran premi atau kontribusi kepada Reasuradur. (3) Dalam hal pembayaran premi atau kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penutupan reasuransi berbentuk treaty reinsurance, Perusahaan Pialang Reasuransi dalam melakukan pembayaran premi atau kontribusi kepada Reasuradur wajib didasarkan pada statement of account dan/atau dokumen lain yang diatur dalam perjanjian reasuransi. Bagian Kedua Penanganan Klaim Pasal 9 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib membantu pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam rangka memenuhi persyaratan pengajuan klaim kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. - 11 - (2) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib membantu Perusahaan Ceding dalam rangka memenuhi persyaratan pengajuan klaim kepada Reasuradur. Pasal 10 (1) Dalam rangka membantu pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Perusahaan Pialang Asuransi wajib melakukan langkah-langkah paling sedikit sebagai berikut: a. memberikan pemberitahuan awal kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah mengenai informasi pengajuan klaim atau manfaat dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling lama 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya informasi pengajuan klaim dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta; b. memberikan tanggapan atas pemberitahuan klaim atau manfaat dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan menginformasikan dokumen pendukung yang dibutuhkan pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam proses pengajuan klaim atau manfaat paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak pemberitahuan klaim atau manfaat diterima; dan c. menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah paling lama 1 (satu) hari kerja sejak seluruh dokumen pendukung diterima. (2) Dalam rangka membantu Perusahaan Ceding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Perusahaan Pialang Reasuransi wajib melakukan langkah-langkah paling sedikit sebagai berikut: a. memberikan pemberitahuan awal kepada Reasuradur mengenai informasi pengajuan - 12 - klaim atau manfaat dari Perusahaan Ceding paling lama 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya informasi pengajuan klaim dari Perusahaan Ceding; b. memberikan tanggapan atas pemberitahuan klaim dari Perusahaan Ceding dengan menginformasikan dokumen pendukung yang dibutuhkan Perusahaan Ceding dalam proses pengajuan klaim atau manfaat paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak pemberitahuan klaim atau manfaat diterima; dan c. menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Reasuradur paling lama 1 (satu) hari kerja sejak seluruh dokumen pendukung diterima. Pasal 11 (1) Perusahaan Pialang Asuransi harus membantu pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan status klaim atau manfaat dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi harus membantu Perusahaan Ceding untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan status klaim atau manfaat dari Reasuradur. Pasal 12 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib (2) Perusahaan menginformasikan besar nilai klaim atau manfaat yang disetujui oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Pialang Reasuransi wajib menginformasikan besar nilai klaim atau manfaat yang disetujui oleh Reasuradur kepada Perusahaan Ceding. - 13 - Pasal 13 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dilarang memberikan janji atau pernyataan yang menyatakan bahwa klaim atau manfaat akan dibayar oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi dilarang memberikan janji atau pernyataan yang menyatakan bahwa klaim atau manfaat akan dibayar oleh Reasuradur. Bagian Ketiga Keahlian di Bidang Perasuransian Pasal 14 (1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dalam melaksanakan kegiatan usahanya wajib memiliki Tenaga Ahli yang sesuai dengan bidang usaha dan kompetensinya. (2) Ketentuan mengenai Tenaga Ahli diatur dalam peraturan OJK mengenai perizinan usaha dan kelembagaan Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. Pasal 15 (1) Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib memenuhi tugas paling sedikit sebagai berikut: a. membuat dan menerapkan proses kerja Pialang Asuransi yang baik, termasuk proses penyelesaian klaim; b. menganalisis dan memperbaiki proses kerja Pialang Asuransi agar tetap sesuai dengan perkembangan industri asuransi; c. memberikan informasi terkini mengenai perkembangan industri asuransi dan peraturan di bidang perasuransian kepada Pialang Asuransi; - 14 - d. memberikan arahan kepada Pialang Asuransi dalam memberikan masukan atau nasihat mengenai kebutuhan asuransi untuk calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta; e. memperhatikan dan memberikan arahan bagi Pialang Asuransi dalam bernegosiasi atau menyusun program asuransi; f. melakukan peninjauan atas kredibilitas Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dari berbagai aspek termasuk aspek finansial dan kemampuan/kapasitas dalam menerima risiko tertentu; dan g. memberikan arahan kepada Pialang Asuransi dalam hal negosiasi proses klaim. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Asuransi wajib berpedoman pada kode etik dan standar perilaku yang disusun oleh asosiasi profesi di Indonesia. Pasal 16 Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib bertanggung jawab dalam: a. membina Pialang Asuransi agar bertindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. memastikan kebenaran dan kecukupan data untuk menyusun profil risiko tertanggung atau peserta; c. menjaga kerahasiaan data calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. menyampaikan data dan informasi yang akurat kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk melakukan seleksi risiko; dan e. mengetahui lebih banyak informasi mengenai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi - 15 - Syariah dan kredibilitasnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Pasal 17 Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) memiliki wewenang untuk: a. menandatangani persetujuan dokumen penawaran asuransi atau asuransi syariah (quotation slip/proposal slip) yang ditujukan ke calon tertanggung atau peserta; b. menandatangani persetujuan dokumen penempatan asuransi atau asuransi syariah (placing slip/closing slip) yang ditujukan ke penanggung; c. mengingatkan Pialang Asuransi untuk: 1) melakukan penagihan premi atau kontribusi kepada tertanggung atau peserta; atau 2) melakukan proses pembayaran kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah; dan d. memberikan arahan kepada Pialang Asuransi dalam memberikan masukan atau nasihat mengenai kebutuhan pihak lain seperti pengacara dan/atau forensik kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, Perusahaan Asuransi, atau Perusahaan Asuransi Syariah. Pasal 18 (1) Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib memenuhi tugas paling sedikit sebagai berikut: a. membuat dan menerapkan proses kerja Pialang Reasuransi yang baik, termasuk proses penyelesaian klaim; b. menganalisis dan memperbaiki proses kerja Pialang Reasuransi agar tetap sesuai dengan perkembangan industri asuransi; - 16 - c. memberikan informasi terkini mengenai perkembangan industri asuransi dan peraturan di bidang perasuransian kepada Pialang Reasuransi; d. memberikan arahan kepada Pialang Reasuransi dalam memberikan masukan atau nasihat mengenai kebutuhan reasuransi untuk calon Perusahaan Ceding; e. memperhatikan dan memberikan arahan bagi Pialang Reasuransi dalam bernegosiasi atau menyusun program reasuransi; f. melakukan peninjauan atas kredibilitas Reasuradur dari berbagai aspek termasuk aspek finansial dan kemampuan/kapasitas dalam menerima risiko tertentu; dan g. memberikan arahan kepada Pialang Reasuransi dalam hal negosiasi proses klaim. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Reasuransi wajib berpedoman pada kode etik dan standar perilaku yang disusun oleh asosiasi profesi di Indonesia. Pasal 19 Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib bertanggung jawab dalam: a. membina Pialang Reasuransi agar bertindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. memastikan kebenaran dan kecukupan data untuk menyusun profil risiko Perusahaan Ceding; c. menjaga kerahasiaan data calon Perusahaan Ceding sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. menyampaikan data dan informasi yang akurat kepada Reasuradur untuk melakukan seleksi risiko; dan - 17 - e. mengetahui lebih banyak informasi mengenai Reasuradur dan kredibilitasnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Pasal 20 Tenaga Ahli pada Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) memiliki wewenang untuk: a. menandatangani persetujuan dokumen penawaran reasuransi atau reasuransi syariah (quotation slip/proposal slip) yang ditujukan ke calon Perusahaan Ceding; b. menandatangani persetujuan dokumen penempatan reasuransi atau reasuransi syariah slip/closing slip) yang ditujukan ke Reasuradur; c. mengingatkan Pialang Reasuransi terkait dengan penagihan premi atau kontribusi kepada Perusahaan Ceding dan melakukan proses pembayaran kepada Reasuradur; dan d. memberikan arahan kepada Pialang Reasuransi dalam memberikan masukan atau nasihat mengenai kebutuhan pihak lain seperti pengacara dan/atau forensik kepada Perusahaan Ceding atau Reasuradur. Pasal 21 (1) Tenaga Ahli pada Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib memenuhi tugas paling sedikit sebagai berikut: a. mengkoordinasikan pengumpulan data dan informasi untuk menilai ganti rugi asuransi; b. mengevaluasi rancangan laporan penilaian ganti rugi asuransi; dan c. memverifikasi laporan penilaian ganti rugi asuransi. (placing - 18 - (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Ahli pada Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib berpedoman pada kode etik dan standar perilaku yang disusun oleh asosiasi profesi di Indonesia. Pasal 22 Tenaga Ahli pada Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib bertanggung jawab dalam: a. memastikan kejelasan, kelengkapan dan keakuratan laporan penilaian ganti rugi asuransi berdasarkan data dan informasi yang sudah diperoleh; dan b. memastikan laporan penilaian ganti rugi asuransi disusun berdasarkan pedoman profesi yang berlaku. Pasal 23 Tenaga Ahli pada Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) memiliki wewenang: a. menyimpulkan tanggung jawab Polis Asuransi atas kerugian asuransi; b. menyimpulkan nilai ganti rugi asuransi; c. menandatangani laporan penilaian ganti rugi asuransi; d. memberikan saran dalam melakukan manajemen terhadap risiko objek asuransi; dan e. memberikan saran yang kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengenai langkah- langkah dapat meminimalisasi kerugian. Pasal 24 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dalam melaksanakan kegiatan usahanya wajib memiliki Pialang Asuransi yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup serta memiliki reputasi yang baik. dilakukan untuk - 19 - (2) Perusahaan Pialang Reasuransi dalam melaksanakan kegiatan usahanya wajib memiliki Pialang Reasuransi yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup serta memiliki reputasi yang baik. (3) Pialang Asuransi dan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan Pialang Asuransi dan Pialang Reasuransi yang terdaftar OJK. (4) Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi tugas paling sedikit sebagai berikut: a. menjelaskan kepada calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengenai: 1. kebutuhan asuransi atau asuransi syariah; 2. syarat dan kondisi penutupan asuransi atau asuransi syariah; dan 3. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang dapat menutup pertanggungan asuransi atau asuransi syariah yang dibutuhkan; b. membantu calon pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam proses penanganan klaim. (5) Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi tugas paling sedikit sebagai berikut: a. menjelaskan kepada Perusahaan Ceding mengenai: 1. kebutuhan reasuransi atau reasuransi syariah; 2. syarat dan kondisi penutupan reasuransi atau reasuransi syariah; dan 3. Reasuradur yang dapat menutup pertanggungan reasuransi atau reasuransi syariah yang dibutuhkan; b. membantu Perusahaan Ceding dalam proses penanganan klaim. - 20 - Bagian Keempat Penanganan Keluhan atau Pengaduan Pasal 25 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menangani setiap keluhan atau pengaduan yang diajukan oleh pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal pengaduan. (2) Dalam hal terdapat kondisi tertentu, Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja berikutnya. (3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a. kantor Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang menerima keluhan atau pengaduan tidak sama dengan kantor Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi tempat terjadinya permasalahan yang dikeluhkan atau diadukan dan terdapat kendala komunikasi di antara kedua kantor Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi tersebut; b. keluhan atau pengaduan dari pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding yang memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi; dan/atau c. terdapat hal lain di luar kendali Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi seperti adanya keterlibatan pihak ketiga di luar Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi dalam transaksi penerimaan keluhan atau - 21 - keuangan yang dilakukan oleh pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. (4) Perpanjangan jangka waktu penanganan keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan secara tertulis kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding yang mengajukan keluhan pengaduan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. Pasal 26 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan keluhan atau pengaduan dari pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. (2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memberitahukan mekanisme penanganan keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemegang polis, Perusahaan Ceding. tertanggung, peserta, atau (3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib mengadministrasikan dan mendokumentasikan secara elektronik penanganan keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kelima Imbalan Jasa Pasal 27 (1) Perusahaan Pialang Asuransi berhak mendapatkan imbalan jasa keperantaraan dari pemegang polis, tertanggung, atau keperantaraannya. peserta atas jasa - 22 - (2) Perusahaan Pialang Reasuransi berhak mendapatkan imbalan jasa keperantaraan dari Perusahaan Ceding atas jasa keperantaraannya. (3) Selain mendapatkan imbalan jasa keperantaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi dapat juga memperoleh imbalan jasa konsultasi dan imbalan jasa penanganan penyelesaian klaim. (4) Imbalan jasa penanganan penyelesaian klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding secara wajar. (5) Imbalan jasa keperantaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dibayarkan langsung oleh pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding, atau menjadi bagian dari premi atau kontribusi. (6) Dalam hal imbalan jasa keperantaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan bagian dari premi atau kontribusi, Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi dapat menjelaskan imbalan jasa keperantaraan yang diperolehnya kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding mengenai imbalan jasa keperantaraan tersebut. Pasal 28 (1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi berhak mendapatkan imbalan jasa penilaian klaim atas Objek Asuransi dari Pemberi Tugas. (2) Selain mendapatkan imbalan jasa penilaian klaim atas Objek Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dapat juga memperoleh imbalan jasa konsultasi atas Objek Asuransi yang akan ditutup asuransinya. pertanggungan - 23 - (3) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib memuat imbalan jasa penilaian klaim atas Objek Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam perjanjian kerja sama secara tertulis. (4) Perjanjian kerja sama secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memuat paling sedikit: a. hak dan kewajiban Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Pemberi Tugas; dan b. jangka waktu pembayaran imbalan jasa penilaian klaim dan/atau imbalan jasa konsultasi terkait dengan kerugian yang terjadi atas Objek Asuransi. (5) Setiap pelaksanaan jasa penilaian klaim atas Objek Asuransi oleh Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi harus didasari penugasan tertulis dari Pemberi Tugas. Bagian Keenam Rekening Premi dan Rekening Operasional Pasal 29 Dalam hal Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi menerima premi atau kontribusi dari pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding, Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memisahkan Rekening Premi dengan Rekening Operasional. Pasal 30 (1) Premi atau kontribusi yang diterima Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi dari pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding, wajib disetorkan ke dalam Rekening Premi. (2) Rekening Premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk: a. pemindahbukuan untuk pembayaran premi atau kontribusi yang menjadi hak Perusahaan - 24 - Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Reasuradur; b. pemindahbukuan imbalan jasa yang menjadi hak Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi ke Rekening Operasional; c. pemindahbukuan untuk pembayaran pengembalian atas pembayaran premi atau kontribusi pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding yang disebabkan adanya penyesuaian pembayaran; d. pemindahbukuan bunga rekening; e. pemindahbukuan untuk penerimaan klaim atau manfaat dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Reasuradur; dan/atau f. pemindahbukuan untuk pembayaran klaim atau manfaat kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. (3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi dilarang menggunakan dana di Rekening Premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. memberi dana talangan dalam rangka pembayaran premi atau kontribusi kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Reasuradur atas premi atau kontribusi yang belum dibayarkan oleh pemegang polis atau calon pemegang polis, tertanggung atau calon tertanggung, peserta atau calon peserta, atau Perusahaan Ceding atau calon Perusahaan Ceding; b. memberi dana talangan dalam rangka pembayaran klaim atau manfaat kepada pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding; dan/atau c. kegiatan operasional Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, termasuk biaya untuk mendapatkan bisnis. - 25 - Pasal 31 Rekening Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 digunakan untuk menerima pemindahbukuan imbalan jasa yang menjadi hak Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi serta untuk kegiatan operasional Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi. Bagian Ketujuh Objek Asuransi Pasal 32 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib memberikan keterangan yang jelas tentang Objek Asuransi yang dipertanggungkan kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memberikan keterangan yang jelas tentang Objek Asuransi yang dipertanggungkan kepada Reasuradur. Pasal 33 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib menjelaskan secara benar mengenai ketentuan isi Polis Asuransi, termasuk mengenai hak dan kewajiban kepada: a. pemegang polis atau calon pemegang polis; b. tertanggung atau calon tertanggung; atau c. peserta atau calon peserta. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menjelaskan secara benar mengenai ketentuan isi perjanjian reasuransi, termasuk mengenai hak dan kewajiban kepada Perusahaan Ceding atau calon Perusahaan Ceding. Pasal 34 Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyampaikan dokumen bukti penempatan reasuransi atau reasuransi syariah kepada Perusahaan Ceding. - 26 - Pasal 35 (1) Dalam rangka memberikan kebebasan kepada calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta untuk memilih Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi wajib mengupayakan pilihan lebih dari 1 (satu) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang dapat menutup Objek Asuransi, kecuali hanya ada 1 (satu) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersedia atau memiliki kemampuan untuk mengelola risiko atas Objek Asuransi. (2) Dalam rangka memberikan kebebasan kepada Perusahaan Ceding untuk memilih Reasuradur, Perusahaan Pialang Reasuransi wajib mengupayakan pilihan lebih dari 1 (satu) Reasuradur yang dapat menutup Objek Asuransi, kecuali hanya ada 1 (satu) Reasuradur yang bersedia atau memiliki kemampuan untuk mengelola risiko atas Objek Asuransi. (3) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi bertindak independen dalam merekomendasikan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Reasuradur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Bagian Kedelapan Kegiatan Usaha Pasal 36 (1) Perusahaan Pialang Asuransi hanya dapat menempatkan penutupan asuransi atau penutupan asuransi syariah pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang: a. memiliki izin usaha dari OJK; dan b. memenuhi ketentuan keuangan yang berlaku. (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia yang memiliki izin tingkat kesehatan - 27 - usaha dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, baik secara sendiri maupun bersama tidak bersedia atau tidak memiliki kemampuan untuk menahan atau mengelola risiko asuransi atau risiko asuransi syariah dari Objek Asuransi yang bersangkutan, Perusahaan Pialang Asuransi hanya dapat menempatkan penutupan asuransi atau asuransi syariah pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah di luar negeri yang: a. memiliki izin usaha dari otoritas perasuransian di luar negeri; dan b. memiliki peringkat paling rendah BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (3) Dalam hal peringkat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diterbitkan oleh lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. (4) Ketentuan mengenai tingkat kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengikuti ketentuan dalam peraturan OJK mengenai kesehatan perusahaan keuangan asuransi perusahaan syariah, asuransi, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah. Pasal 37 (1) Perusahaan Pialang Reasuransi hanya dapat menempatkan penutupan reasuransi atau reasuransi syariah pada Reasuradur yang: a. memiliki izin usaha dari OJK; dan b. memenuhi ketentuan keuangan yang berlaku. (2) Dalam hal Reasuradur yang memiliki izin usaha dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tingkat kesehatan - 28 - tidak dapat atau tidak bersedia memberikan dukungan reasuransi atau reasuransi syariah, Perusahaan Pialang Reasuransi atas permintaan Perusahaan Ceding hanya dapat melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah pada Reasuradur di luar negeri yang: a. memiliki izin usaha dari otoritas perasuransian di luar negeri; dan b. memiliki peringkat paling rendah BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (3) Dalam hal peringkat Reasuradur di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diterbitkan oleh lebih dari satu perusahaan pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. (4) Ketentuan mengenai tingkat kesehatan keuangan Reasuradur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengikuti ketentuan dalam peraturan OJK mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah. (5) Ketentuan mengenai penempatan reasuransi atau reasuransi syariah mengikuti ketentuan dalam peraturan OJK mengenai retensi sendiri dan dukungan reasuransi dalam negeri. Pasal 38 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menempatkan penutupan asuransi atau penutupan asuransi syariah pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang merupakan afiliasi dari Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan. (2) Perusahaan Pialang Asuransi merupakan afiliasi dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah apabila Perusahaan Pialang - 29 - Asuransi memiliki hubungan sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, atau sebaliknya. (3) Dapat mempengaruhi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah adanya pengendalian dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Perusahaan Pialang Asuransi, dalam hal: a. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris, yang juga menjabat sebagai direktur, pejabat setingkat di bawah direktur, atau komisaris pada pihak lain; b. salah satu pihak memiliki satu atau lebih direktur, komisaris atau pemegang saham pengendali, yang memiliki hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horisontal maupun vertikal yang menjabat sebagai direktur, komisaris, atau pemegang saham pengendali pada pihak lain; c. salah satu pihak memiliki 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham pihak lain; d. salah satu pihak merupakan pemegang saham terbesar dari pihak lain; e. para pihak dikendalikan oleh pengendali yang sama; dan/atau f. salah satu pihak mempunyai hak suara pada pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh persen) berdasarkan suatu perjanjian. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf f tidak berlaku dalam hal pengendalian dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. - 30 - (5) Ketentuan mengenai afiliasi bagi Perusahaan Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) mutatis mutandis berlaku bagi Perusahaan Pialang Reasuransi. Perusahaan Pialang Pasal 39 Asuransi dilarang mengatur penempatan reasuransi atau reasuransi syariah dengan mensyaratkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah melalui Perusahaan Pialang Reasuransi atau langsung ke Reasuradur tertentu. Pasal 40 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dapat menawarkan jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah dan/atau penanganan penyelesaian klaim secara digital atau elektronik. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi dapat menawarkan jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau reasuransi syariah dan/atau penanganan penyelesaian klaim secara digital atau elektronik. Pasal 41 Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dilarang memberikan pinjaman atau menempatkan kekayaan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pemegang saham dan afiliasinya. Pasal 42 Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi dilarang menerbitkan dokumen penutupan sementara, Polis Asuransi atau perjanjian reasuransi, dan/atau dokumen penutupan sementara reasuransi. - 31 - Pasal 43 Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib menyampaikan laporan hasil akhir penilaian kerugian asuransi kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta apabila terdapat permintaan dari pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam hal: a. klaim atau manfaat ditolak oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah; atau b. tidak terdapat kesepakatan mengenai jumlah kerugian. Pasal 44 Dalam kontrak penunjukan penilaian kerugian asuransi antara Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dilarang memuat klausula yang membatasi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi untuk memberikan laporan hasil akhir penilaian kerugian asuransi kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Pasal 45 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib membantu pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam proses penyelesaian perselisihan asuransi atau asuransi syariah melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib membantu Perusahaan Ceding dalam proses penyelesaian perselisihan reasuransi atau reasuransi syariah melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Pasal 46 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menjalankan kegiatan Usaha Pialang Asuransi atau Usaha Pialang Reasuransi secara terus menerus sejak diperolehnya izin usaha. - 32 - (2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi dinilai tidak menjalankan kegiatan Usaha Pialang Asuransi atau Usaha Pialang Reasuransi secara terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan memenuhi kriteria: a. tidak menjalankan kegiatan Usaha Pialang Asuransi atau Usaha Pialang Reasuransi; dan/atau b. tidak melakukan transaksi usaha. Pasal 47 (1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib menjalankan kegiatan Usaha Penilai Kerugian Asuransi secara terus menerus sejak diperolehnya izin usaha. (2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dinilai tidak menjalankan kegiatan Usaha Penilai Kerugian Asuransi secara terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan memenuhi kriteria: a. tidak melaksanakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi; dan/atau b. tidak melakukan transaksi usaha. Pasal 48 Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib mencantumkan nomor izin usaha pada surat dan/atau dokumen resmi Perusahaan. Bagian Kesembilan Kerahasiaan Data Pasal 49 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai pemegang polis, - 33 - tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding kepada pihak ketiga. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal: a. pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding memberikan persetujuan tertulis; dan/atau b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 50 Dalam hal Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi memperoleh data dan/atau informasi pribadi seseorang dan/atau korporasi dari pihak lain, dan Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi akan menggunakan data dan/atau informasi tersebut untuk melaksanakan kegiatannya, Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud telah memperoleh persetujuan tertulis dari seseorang dan/atau korporasi tersebut untuk memberikan data dan/atau informasi pribadi dimaksud kepada pihak manapun, termasuk Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi. Pasal 51 Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas pengungkapan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a dilakukan secara tertulis oleh pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding. BAB IV KERJA SAMA DENGAN PIHAK LAIN Pasal 52 (1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian - 34 - Asuransi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka perolehan bisnis atau melaksanakan sebagian penyelenggaraan usahanya. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan: a. tidak menghambat kegiatan operasional dan non- operasional Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi ; dan b. dituangkan dalam perjanjian tertulis. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit memuat: a. b. jangka waktu perjanjian; tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam pelaksanaan tugas; dan c. kewajiban alih teknologi dan pengetahuan dalam hal perjanjian kerja sama dilakukan dengan pihak asing. (4) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi yang melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memastikan bahwa pihak lain memenuhi ketentuan: a. memiliki izin usaha dari instansi yang berwenang; b. tidak memiliki benturan kepentingan dengan pemegang polis, tertanggung, peserta, Perusahaan Ceding, dan/atau penanggung; dan c. memiliki kemampuan dan pengalaman yang mendukung pelaksanaan tugas. Pasal 53 (1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib memastikan bahwa kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) telah sesuai dengan fungsi dalam - 35 - perjanjian yang dibuat dan peraturan perundang- undangan. (2) Dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib memiliki dan menerapkan standar seleksi dan akuntabilitas. Pasal 54 (1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi yang melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka melaksanakan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dilakukan kepada penyedia jasa dengan perjanjian alih daya. (2) Perjanjian alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui perjanjian: a. pemborongan pekerjaan; dan/atau b. penyediaan jasa tenaga kerja. (3) Perjanjian alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memuat ketentuan yang mengatur paling sedikit mengenai jenis, nilai, dan jangka waktu pengalihan fungsi penyelenggaraan usaha. Pasal 55 (1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dilarang melakukan alih daya dalam rangka kegiatan utama Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. (2) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib melakukan pengendalian atas sebagian fungsi penyelenggaraan usaha yang dialihkan kepada pihak lain yang levelnya sama dengan pengendalian yang - 36 - dilakukan di internal Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi. (3) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi tetap bertanggung jawab atas fungsi yang dialihkan kepada perusahaan penyedia jasa. BAB V EKUITAS MINIMUM Pasal 56 (1) Perusahaan Pialang Asuransi setiap saat wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Perusahaan Pialang Asuransi yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan memiliki ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2017; b. paling sedikit sebesar Rp1.600.000.000,00 (satu miliar enam ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2018; dan c. paling sedikit sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2019. Pasal 57 (1) Perusahaan Pialang Reasuransi setiap saat wajib memiliki ekuitas (2) Perusahaan paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pialang Reasuransi yang sebesar telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan memiliki ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: sebesar - 37 - a. paling sedikit sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2017; b. paling sedikit sebesar Rp2.200.000.000,00 (dua miliar dua ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2018; dan c. paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2019. Pasal 58 (1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi setiap saat wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan memiliki ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2017; b. paling sedikit sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2018; dan c. paling sedikit sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 30 Juni 2019. BAB VI PELAPORAN Bagian Kesatu Laporan Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi Pasal 59 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyampaikan kepada OJK: sebesar - 38 - a. laporan semesteran; b. laporan tahunan; dan c. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. (2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi menyampaikan kepada OJK: a. laporan tahunan; dan b. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. (3) Laporan semesteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang merupakan laporan yang berakhir pada tanggal 30 Juni dan 31 Desember, wajib disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya semester yang bersangkutan. (4) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf a dan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf b yang merupakan laporan yang berakhir pada tanggal 31 Desember, wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 30 April tahun berikutnya. Bagian Kedua Standarisasi Pelaporan Pasal 60 (1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf b dalam bentuk hard copy. (2) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a, huruf b, dan ayat (2) huruf a dalam bentuk soft copy. wajib - 39 - (3) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (4) Dalam hal Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi memperoleh izin usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya. (5) OJK setiap saat dapat meminta laporan atau informasi selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (6) Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 61 (1) Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf b wajib disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. (2) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan akuntan publik yang terdaftar di OJK. Pasal 62 Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf b wajib disusun dalam mata uang rupiah. - 40 - BAB VII SANKSI Pasal 63 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (1), ayat (2), Pasal 6 ayat (1), ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), ayat (2), Pasal 25 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 26, Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50, Pasal 52 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 54 ayat (3), Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 61 ayat (1), dan Pasal 62 Peraturan OJK ini dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap. (3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi tambahan berupa larangan menjadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, pengendali, direksi, dan dewan komisaris, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi, pada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Reasuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan - 41 - Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. Pasal 64 (1) OJK dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain terhadap pelanggaran ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 42, Pasal 46 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (1) Peraturan OJK ini. (2) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi yang telah melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) dan dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajiban pertanggungjawaban atas pembayaran klaim atau manfaat yang timbul dari kerugian yang terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). Pasal 65 Dalam hal Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 42 Peraturan OJK ini sebanyak 3 (tiga) kali, OJK mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Pasal 66 Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 24 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan OJK ini dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; dan b. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang Asuransi dan Pialang Reasuransi. Pasal 67 (1) Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, atau Perusahaan Penilai Kerugian - 42 - Asuransi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (5) serta Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan OJK ini dikenai sanksi administratif tambahan berupa denda administratif. (2) Besarnya denda administratif untuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (5) adalah sebagai berikut: a. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap penutupan asuransi atau asuransi syariah. b. Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap penutupan reasuransi atau reasuransi syariah. (3) Besarnya denda administratif untuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) adalah sebagai berikut: a. Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap jenis laporan dan untuk setiap hari keterlambatan. b. paling banyak Rp180.000.000,00 (seratus delapan puluh juta rupiah) untuk setiap laporan yang terlambat disampaikan. Pasal 68 Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 69 Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai pemisahan Rekening Premi dengan Rekening Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 - 43 - harus dipenuhi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 70 Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi yang telah melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka perolehan bisnis atau melaksanakan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian. Pasal 71 Dalam hal peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif belum diundangkan maka ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 72 Pada saat Peraturan OJK ini diundangkan, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 73 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 44 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 303 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 70/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI </reg_title> <set_date> 23 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.05/2016 TENTANG USAHA PERGADAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan inklusi keuangan bagi masyarakat menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan menengah, perlu memperluas layanan jasa keuangan melalui penyelenggaraan usaha pergadaian; b. bahwa dalam rangka penyelenggaraan usaha pergadaian yang memberikan kemudahan akses terhadap pinjaman, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan menengah, perlu adanya landasan hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan dalam mengawasi usaha pergadaian di Indonesia; c. bahwa landasan hukum untuk pengawasan usaha pergadaian diperlukan untuk menciptakan usaha pergadaian yang sehat, memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha pergadaian, dan perlindungan kepada konsumen; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu - 2 - menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Usaha Pergadaian; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG USAHA PERGADAIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha Pergadaian adalah segala usaha menyangkut pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak, jasa titipan, jasa taksiran, dan/atau jasa lainnya, termasuk yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah. 2. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian pemerintah yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. 3. Perusahaan Pergadaian Swasta adalah badan hukum yang melakukan Usaha Pergadaian. 4. Perusahaan Pergadaian Pemerintah adalah PT Pegadaian (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Staatsblad Tahun 1928 Nomor 81 tentang Pandhuis Regleement dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). - 3 - 5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 6. Direksi: a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 7. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 8. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ Perusahaan Pergadaian yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 9. Modal Disetor: a. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok - 4 - dan simpanan wajib sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 10. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh Perusahaan Pergadaian atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh nasabah atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas pinjamannya, dan yang memberi wewenang kepada Perusahaan Pergadaian untuk mengambil pelunasan pinjaman dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian biaya untuk melelang atau menjual barang tersebut dan biaya untuk menyelamatkan barang tersebut yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai, biaya- biaya mana harus didahulukan. 11. Uang Pinjaman adalah uang yang dipinjamkan oleh Perusahaan Pergadaian kepada nasabah. 12. Barang Jaminan adalah setiap barang bergerak yang dijadikan jaminan oleh nasabah kepada Perusahaan Pergadaian. 13. Penaksir adalah orang yang memiliki sertifikat keahlian untuk melakukan penaksiran atas nilai Barang Jaminan dalam transaksi Gadai. 14. Surat Bukti Gadai adalah surat tanda bukti perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan yang ditandatangani oleh Perusahaan Pergadaian dan nasabah. 15. Nasabah adalah orang perseorangan atau badan usaha yang menerima Uang Pinjaman dengan jaminan berupa Barang Jaminan dan/atau memanfaatkan layanan lainnya yang tersedia di Perusahaan Pergadaian. 16. Lelang adalah penjualan Barang Jaminan yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului pengumuman lelang. - 5 - 17. Uang Kelebihan adalah selisih lebih dari hasil penjualan Barang Jaminan dikurangi dengan jumlah Uang Pinjaman, bunga/jasa simpan, biaya untuk melelang, dan biaya menyelamatkan barang tersebut. 18. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan, serta untuk menilai dan memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan usaha pada Perusahaan Pergadaian. 19. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan. 20. Hari adalah hari kerja. 21. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN, DAN PERMODALAN Pasal 2 (1) Bentuk badan hukum Perusahaan Pergadaian adalah: a. perseroan terbatas; atau b. koperasi. (2) Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh: a. negara Republik Indonesia; b. pemerintah daerah; c. warga negara Indonesia; dan/atau d. badan hukum Indonesia. (3) Ketentuan kepemilikan untuk Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengikuti ketentuan - 6 - peraturan perundang-undangan di bidang perkoperasian. Pasal 3 Perusahaan Pergadaian dilarang dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh warga negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha asing, kecuali kepemilikan langsung maupun tidak langsung tersebut dilakukan melalui bursa efek. Pasal 4 (1) Modal Disetor Perusahaan Pergadaian ditetapkan berdasarkan lingkup wilayah usaha yaitu kabupaten/kota atau provinsi. (2) Jumlah Modal Disetor Perusahaan Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling sedikit: a. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha kabupaten/kota; atau b. Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha provinsi. (3) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disetor secara tunai dan penuh atas nama Perusahaan Pergadaian pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia. BAB III PENDAFTARAN DAN PERIZINAN USAHA Bagian Kesatu Pendaftaran Pasal 5 (1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah melakukan kegiatan Usaha Pergadaian sebelum Peraturan OJK ini - 7 - diundangkan, dapat mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK. (2) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang akan mengajukan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ketentuan lingkup wilayah usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dan ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada OJK paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (4) Permohonan pendaftaran oleh pelaku Usaha Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. (5) Bagi pelaku Usaha Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengajukan permohonan pendaftaran harus menggunakan format 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri dengan: a. akta pendirian badan usaha termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang dan/atau surat bukti usaha dari instansi yang berwenang; b. bukti identitas diri dan daftar riwayat hidup yang dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm dari: 1. pemilik kecuali koperasi; 2. anggota Direksi; dan 3. anggota Dewan Komisaris; - 8 - c. surat keterangan domisili perusahaan dari instansi yang berwenang; d. bukti telah melakukan kegiatan usaha; dan e. foto unit layanan (outlet) berukuran 4R/5R. (6) OJK memberikan persetujuan atas permohonan pendaftaran paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya dokumen permohonan pendaftaran secara lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan OJK ini. (7) OJK menetapkan pendaftaran pelaku Usaha Pergadaian berupa tanda bukti terdaftar. (8) Tanda bukti terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus dicantumkan pada setiap kantor atau unit layanan (outlet). Pasal 6 (1) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar, dapat membuka unit layanan (outlet). (2) Pembukaan unit layanan (outlet) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK melalui laporan berkala. Pasal 7 (1) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember kepada OJK paling sedikit berupa: a. profil pelaku Usaha Pergadaian; b. laporan keuangan; dan c. laporan operasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 9 - Pasal 8 (1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7), wajib mengajukan permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Pergadaian dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (2) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar, pada saat mengajukan izin usaha harus memenuhi ketentuan dalam Peraturan OJK ini. (3) Pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar dan berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, pada saat mengajukan izin usaha dikecualikan dari ketentuan Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (4) Ketentuan permodalan bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar dan berbentuk perseroan terbatas atau koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pada saat mengajukan izin usaha harus memenuhi Ekuitas sebesar: a. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha kabupaten/kota; atau b. Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), untuk lingkup wilayah usaha provinsi. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir dan pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar belum menyampaikan permohonan izin usaha, pendaftaran dinyatakan batal dan tidak berlaku. Bagian Kedua Perizinan Usaha Perusahaan Pergadaian Pasal 9 (1) Perusahaan Pergadaian melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin usaha dari OJK. - 10 - (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Pergadaian dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Pergadaian harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK dengan menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri dokumen berupa: a. akta pendirian perseroan terbatas atau koperasi yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, yang paling sedikit harus memuat: 1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup wilayah usaha; 2. kegiatan Pergadaian; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS, dan perubahan anggaran dasar terakhir (jika ada) disertai dengan bukti pengesahan, persetujuan, dan/atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; b. data anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; 2. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang masih berlaku; 3. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm; dan 4. surat pernyataan bermeterai dari masing- masing anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau DPS yang menyatakan: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; usaha sebagai Perusahaan - 11 - b) tidak tercantum dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; pernah c) tidak dihukum karena d) tidak melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan f) tidak pernah menjadi pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas syariah pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; c. data pemegang saham atau anggota pendiri: 1. dalam hal pemegang saham atau anggota pendiri adalah warga negara Indonesia, dokumen yang dilampirkan berupa: a) fotokopi surat pemberitahuan pajak terhutang (SPT) untuk 1 (satu) tahun terakhir; b) dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3; dan c) surat pernyataan bermeterai dari yang bersangkutan yang menyatakan bahwa: - 12 - 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari dan untuk tindak pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; 4) tidak tercantum dalam daftar tidak lulus (DTL) keuangan; di sektor 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan perekonomian dan/atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 8) tidak pernah menjadi pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas syariah pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena jasa pidana - 13 - melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 2. dalam hal pemegang saham atau anggota pendiri adalah badan hukum Indonesia, dokumen yang dilampirkan berupa: a) akta pendirian termasuk anggaran dasar berikut perubahan yang terakhir (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; b) laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan bulanan terakhir; c) dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 bagi direksi; dan d) surat pernyataan bermeterai dari direksi yang menyatakan bahwa: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari dan untuk tindak pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak terdapat kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung; 4) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; 5) tidak tercantum dalam daftar tidak lulus (DTL) di sektor jasa keuangan; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan perekonomian dan/atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah pidana - 14 - mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 8) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 9) tidak pernah menjadi pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas syariah pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 3. dalam hal pemegang saham adalah negara Republik Indonesia, dokumen yang dilampirkan berupa Peraturan Pemerintah mengenai penyertaan modal negara Republik Indonesia untuk pendirian Perusahaan Pergadaian; dan/atau 4. dalam hal pemegang saham adalah pemerintah daerah, dokumen dilampirkan berupa Peraturan Daerah mengenai penyertaan modal daerah untuk pendirian Perusahaan Pergadaian; d. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor, berupa: 1. slip setoran dari pemegang saham atau anggota pendiri ke rekening tabungan atau giro atas nama Perusahaan Pergadaian; dan yang - 15 - 2. rekening koran Perusahaan Pergadaian periode mulai dari tanggal penyetoran modal sampai dengan tanggal surat permohonan izin usaha; e. struktur organisasi yang memuat susunan personalia yang paling sedikit memiliki fungsi pemutus pinjaman, f. Penaksir, Nasabah, dan administrasi; rencana kerja untuk 1 (satu) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. gambaran mengenai kegiatan usaha yang akan dilakukan; 2. target dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan target dimaksud; dan 3. proyeksi laporan keuangan untuk 1 (satu) tahun ke depan; g. bukti kesiapan operasional antara lain berupa: 1. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung dan ruangan kantor atau unit layanan (outlet), berupa fotokopi sertipikat hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai atas nama Perusahaan Pergadaian, atau perjanjian sewa gedung/ruangan disertai foto tampak luar gedung dan foto dalam ruangan serta tata letak (lay-out) ruangan; 2. daftar inventaris dan peralatan kantor; dan 3. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir yang akan digunakan; h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Pergadaian; i. j. bukti setor pelunasan biaya perizinan; bukti sertifikat Penaksir yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi atau pihak lain yang ditunjuk OJK sebagai lembaga penerbit sertifikasi Penaksir; k. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, bagi pelayanan - 16 - Perusahaan Pergadaian yang akan menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan l. pedoman penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak permohonan izin usaha dan dokumen diterima secara lengkap serta sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan OJK ini. (4) OJK menyampaikan pernyataan lengkap atau permintaan kelengkapan dokumen kepada pemohon paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah permohonan diterima. (5) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan tidak lengkap, pemohon harus menyampaikan kekurangan dokumen tersebut paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah berakhir dan pemohon tidak menyampaikan kelengkapan dokumen, permohonan izin usaha dinyatakan batal. (7) Penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan alasan penolakan. (8) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan keputusan pemberian izin usaha sesuai lingkup wilayah usaha sebagai: a. perusahaan pergadaian, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional; atau b. perusahaan pergadaian syariah, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. - 17 - (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin usaha Perusahaan Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 10 Nama Perusahaan Pergadaian harus dicantumkan secara jelas dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 1 yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan memuat kata: a. Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional; atau b. Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai diikuti dengan kata syariah, bagi Perusahaan Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 11 (1) Perusahaan Pergadaian yang telah memperoleh izin usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal izin usaha ditetapkan. (2) Perusahaan Pergadaian wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha. (3) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dengan menggunakan format 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri fotokopi Surat Bukti Gadai. Pasal 12 (1) Perusahaan Pergadaian dilarang membuka atau memindahkan alamat unit layanan (outlet) di luar - 18 - wilayah usaha yang ditetapkan dalam keputusan pemberian izin usaha dari OJK. (2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan atau pemindahan alamat unit layanan (outlet) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB IV PENYELENGGARAAN USAHA Pasal 13 (1) Kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian meliputi: a. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai; b. penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan fidusia; c. pelayanan jasa dan/atau titipan barang berharga; d. pelayanan jasa taksiran. (2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pergadaian dapat melakukan kegiatan usaha lainnya, yaitu: a. kegiatan lain yang tidak komisi terkait Usaha Pergadaian yang memberikan pendapatan berdasarkan (fee based income) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan; dan/atau b. kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK. (3) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah. (4) Pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib menggunakan akad dengan ketentuan: - 19 - a. memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan universalisme (alamiyah); b. tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm, risywah, dan objek haram; dan c. tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha lain dengan persetujuan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 14 (1) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b, harus tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK. (2) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengajukan permohonan kepada OJK dan harus melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. kegiatan usaha yang akan dilakukan; dan b. hak dan kewajiban para pihak. (3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan paling lama 20 (dua puluh) Hari setelah permohonan diterima secara lengkap dan sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan OJK ini. Pasal 15 Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal (maslahah), dan - 20 - 13 ayat (1) huruf b wajib melakukan mitigasi risiko, yang dapat dilakukan dengan: a. mengalihkan risiko usaha melalui mekanisme asuransi kredit atau penjaminan kredit; b. mengalihkan risiko atas barang yang menjadi agunan melalui mekanisme asuransi; dan/atau c. melakukan pendaftaran jaminan fidusia atas barang yang menjadi jaminan dari kegiatan usaha. Pasal 16 Perusahaan Pergadaian wajib mencantumkan keterangan/informasi secara jelas di setiap kantor atau unit layanan (outlet) hal sebagai berikut: a. nama dan/atau logo Perusahaan Pergadaian; b. nomor dan tanggal izin usaha dan pernyataan bahwa Perusahaan Pergadaian diawasi oleh OJK; hari dan jam operasional; dan c. d. tingkat bunga pinjaman atau imbal jasa/imbal hasil bagi Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, dan biaya administrasi. Pasal 17 (1) Perusahaan Pergadaian wajib menetapkan Barang Jaminan yang dapat diterima sebagai jaminan. (2) Penetapan Barang Jaminan yang dapat diterima sebagai jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan kriteria Barang Jaminan. (3) Ketentuan mengenai kriteria Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 18 Perusahaan Pergadaian yang menyalurkan Uang Pinjaman berdasarkan hukum Gadai dilarang untuk: a. menggunakan Barang Jaminan; - 21 - b. menyimpan Barang Jaminan di tempat Nasabah; c. memiliki Barang Jaminan; dan/atau d. menggadaikan kembali Barang Jaminan kepada pihak lain. Pasal 19 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Penaksir untuk melakukan penaksiran atas Barang Jaminan pada setiap unit pelayanan (outlet). (2) Dalam melakukan penaksiran, Penaksir wajib dilengkapi pedoman tertulis yang ditetapkan oleh Perusahaan Pergadaian. (3) Penaksir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lulus sertifikasi penaksiran Barang Jaminan. Pasal 20 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memberikan nilai taksiran atas setiap Barang Jaminan kepada Nasabah. (2) Dalam rangka memenuhi kualitas penaksiran Barang Jaminan, Perusahaan Pergadaian wajib: a. menyediakan alat penaksir; dan b. menetapkan daftar harga pasar Barang Jaminan yang wajar. Pasal 21 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memenuhi nilai minimum perbandingan antara Uang Pinjaman dan nilai taksiran Barang Jaminan dalam memberikan Uang Pinjaman kepada Nasabah, kecuali apabila Nasabah menyatakan secara tertulis menghendaki Uang Pinjaman yang lebih rendah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai minimum perbandingan antara Uang Pinjaman dan nilai taksiran Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 22 - Pasal 22 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki tempat penyimpanan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan yang memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan. (2) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki pedoman tertulis dalam menjaga keamanan dan keselamatan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan. (3) Perusahaan Pergadaian wajib mengasuransikan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan dalam rangka memitigasi risiko. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tempat penyimpanan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dan barang titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 23 (1) Perusahaan Pergadaian wajib menyerahkan Surat Bukti Gadai kepada Nasabah pada saat menerima Barang Jaminan. (2) Surat Bukti Gadai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dengan memenuhi ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. (3) Perusahaan Pergadaian wajib menyimpan paling sedikit 1 (satu) salinan Surat Bukti Gadai untuk setiap transaksi. Pasal 24 (1) Jangka waktu pinjaman kepada Nasabah dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai paling lama 4 (empat) bulan. (2) Dalam hal Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai belum dilunasi sampai - 23 - dengan tanggal jatuh tempo, Perusahaan Pergadaian dapat melelang Barang Jaminan. (3) Sebelum pelaksanaan Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan Pergadaian dengan Nasabah, Barang Jaminan dapat dijual dengan cara: a. Nasabah menjual sendiri Barang Jaminannya; atau b. Nasabah memberikan kuasa kepada Perusahaan Pergadaian untuk Jaminannya. (4) Dalam hal Perusahaan Pergadaian bersepakat dengan Nasabah untuk melakukan cara penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat menjualkan Barang (3), maka penjualan dimaksud dilaksanakan paling lama 20 (dua puluh) Hari setelah tanggal jatuh tempo. (5) Kesepakatan antara Perusahaan Pergadaian dengan Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dimuat dalam Surat Bukti Gadai. (6) Penjualan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan apabila nilai penjualan dapat memenuhi kewajiban Nasabah terhadap Perusahaan Pergadaian. (7) Barang Jaminan yang dijual oleh Nasabah sebelum tanggal Lelang, dilarang dibeli secara langsung maupun tidak langsung oleh Perusahaan Pergadaian atau pegawainya. (8) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki pedoman tertulis untuk melakukan penjualan Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 25 (1) Dalam hal Nasabah telah melunasi Uang Pinjaman beserta bunga pinjaman atau imbal jasa/imbal hasil bagi Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, Perusahaan Pergadaian wajib mengembalikan Barang - 24 - Jaminan kepada Nasabah dalam kondisi fisik yang sama seperti saat penyerahan Barang Jaminan. (2) Dalam hal Barang Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hilang atau rusak, Perusahaan Pergadaian wajib menggantinya dengan: a. uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan nilai Barang Jaminan pada saat Barang Jaminan tersebut hilang atau rusak, untuk Barang Jaminan berupa perhiasan; atau b. uang atau barang yang nilainya sama atau setara dengan nilai Barang Jaminan pada saat Barang Jaminan tersebut dijaminkan, untuk Barang Jaminan selain perhiasan. Pasal 26 Syarat dan tata cara penjualan Barang Jaminan berdasarkan hukum Gadai dengan cara Lelang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 27 (1) Perusahaan Pergadaian wajib mengembalikan Uang Kelebihan dari hasil penjualan Barang Jaminan dengan cara Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 atau berdasarkan kuasa menjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b kepada Nasabah. (2) Perusahaan Pergadaian wajib mencatat secara terpisah Uang Kelebihan dari hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih pengembalian Uang lanjut mengenai tata cara Kelebihan dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. sebagaimana - 25 - Pasal 28 (1) Perusahaan Pergadaian wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa bagi Nasabah. (2) Mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Surat Bukti Gadai. (3) Ketentuan mengenai penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) berpedoman pada Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan dan Peraturan OJK mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa pelaksanaannya. Pasal 29 (1) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) wajib mengangkat paling sedikit 1 (satu) orang DPS. (2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota setelah memperoleh rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (3) Bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi, pengangkatan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat pula dilakukan setelah memperoleh sertifikasi pelatihan DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diangkat oleh 1 (satu) atau beberapa Perusahaan Pergadaian secara bersama-sama. (5) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip Syariah. beserta peraturan - 26 - (6) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit dilakukan terhadap: a. kegiatan operasional Perusahaan Pergadaian; b. pedoman operasional dan produk yang dipasarkan; dan c. pengembangan, pengkajian, dan rekomendasi kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian yang antara lain mencakup produk, operasional, dan pemasaran. Pasal 30 (1) Perusahaan Pergadaian dapat menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dengan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. (2) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, wajib: a. mempunyai pembukuan terpisah untuk kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dari kegiatan usaha konvensional; dan b. menunjuk pegawai yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 31 (1) Untuk memperoleh persetujuan menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Direksi Perusahaan Pergadaian harus mengajukan permohonan persetujuan kepada OJK dengan menggunakan format 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri dokumen: - 27 - a. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia atau bukti sertifikasi pelatihan DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia; b. daftar riwayat hidup pegawai yang bertanggung jawab atas kegiatan usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah, dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm; dan c. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir berdasarkan Prinsip digunakan. Syariah yang akan (2) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak permohonan persetujuan dan dokumen diterima secara lengkap serta sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan OJK ini. (3) OJK menyampaikan pernyataan lengkap atau permintaan kelengkapan dokumen kepada pemohon paling lama 10 (sepuluh) Hari setelah permohonan diterima. (4) Dalam hal permohonan persetujuan menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang disampaikan tidak lengkap, pemohon harus menyampaikan kekurangan dokumen tersebut paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah berakhir dan pemohon tidak menyampaikan kelengkapan dokumen, permohonan persetujuan dinyatakan batal. (6) Penolakan atas permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan penolakan. (7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, OJK menetapkan surat persetujuan - 28 - penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. BAB V PELAPORAN Bagian Kesatu Perubahan Modal Disetor, Perubahan Alamat Kantor Pusat, dan Perubahan Nama Perusahaan Pergadaian Pasal 32 (1) Perusahaan Pergadaian wajib melaporkan perubahan Modal Disetor secara tertulis kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari setelah diterbitkannya persetujuan atau surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang, atau disetujui oleh rapat anggota. (2) Pelaporan perubahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan anggaran dasar bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi; dan c. surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan/atau tindak pidana pencucian uang. Pasal 33 (1) Perusahaan Pergadaian wajib melaporkan perubahan alamat kantor pusat secara tertulis kepada OJK paling - 29 - lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal pemindahan. (2) Pelaporan perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat pusat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 6 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. bukti penguasaan gedung atas kantor pusat yang baru; dan b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang telah mencantumkan alamat kantor pusat yang baru. Pasal 34 (1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan perubahan nama wajib melaporkan perubahan nama paling lama 15 (lima belas) Hari setelah diterbitkannya persetujuan dari instansi berwenang, atau disetujui oleh rapat anggota. (2) Laporan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; b. akta risalah rapat anggota dan/atau perubahan anggaran dasar bagi Perusahaan Pergadaian yang berbentuk badan hukum koperasi; dan c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Pergadaian yang baru. dengan menggunakan format 7 - 30 - Bagian Kedua Pelaporan Perusahaan Pergadaian Pasal 35 (1) Perusahaan Pergadaian wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember kepada OJK. (2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyampaikan Perusahaan laporan diperlukan oleh OJK. (3) Perusahaan Pergadaian yang menyelenggarakan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah dalam laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada OJK paling lambat pada akhir bulan berikutnya. (5) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Perusahaan Pergadaian berupa: a. b. c. profil Perusahaan Pergadaian; laporan keuangan; dan laporan operasional. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pergadaian sewaktu-waktu wajib bila - 31 - BAB VI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN Pasal 36 (1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan penggabungan atau peleburan wajib menyampaikan laporan penggabungan atau peleburan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal diterimanya persetujuan atau pengesahan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang. (2) Laporan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dengan dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. akta hasil penggabungan atau peleburan yang telah disetujui atau disahkan oleh instansi yang berwenang; c. akta pendirian atas Perusahan Pergadaian hasil peleburan yang telah disahkan oleh instansi berwenang; dan d. data pemegang saham atau anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c, dalam hal terdapat pemegang saham baru atau anggota baru. (3) Berdasarkan laporan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK menetapkan: a. pencabutan izin usaha Perusahaan Pergadaian yang menggabungkan diri atau yang melakukan peleburan; dan/atau - 32 - b. pemberian izin usaha kepada Perusahaan Pergadaian hasil peleburan. (4) Sebelum pemberian izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan, Perusahaan Pergadaian hasil peleburan dilarang menjalankan kegiatan usaha. Pasal 37 (1) Perusahaan Pergadaian yang diambil alih wajib menyampaikan laporan pengambilalihan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari sejak tanggal akta pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris. (2) Laporan pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. akta pengambilalihan; dan c. data pemegang saham atau anggota pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c. Pasal 38 (1) Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan wajib menyampaikan laporan pemisahan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal akta pemisahan yang dibuat di hadapan notaris. (2) Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. pemisahan murni; atau b. pemisahan tidak murni. (3) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mengakibatkan seluruh aset dan liabilitas - 33 - Perusahaan Pergadaian beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perusahaan Pergadaian lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan tersebut berakhir karena hukum. (4) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mengakibatkan sebagian aset dan liabilitas Perusahaan Pergadaian beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perusahaan Pergadaian lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan tersebut tetap ada. (5) Laporan pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 10 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dengan dokumen: a. b. akta pemisahan. (6) Berdasarkan laporan pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pergadaian yang melakukan pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 39 Perusahaan Pergadaian yang melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan wajib memenuhi ketentuan dalam peraturan OJK ini dan peraturan penggabungan, pemisahan. perundang-undangan peleburan, lain pengambilalihan, risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan mengenai dan - 34 - BAB VII ASOSIASI PERUSAHAAN PERGADAIAN Pasal 40 (1) Dalam hal telah terbentuk asosiasi yang menaungi Perusahaan Pergadaian di Indonesia, Perusahaan Pergadaian wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Perusahaan Pergadaian yang telah mendapatkan izin usaha sebelum terbentuknya asosiasi, paling lama 3 (tiga) bulan sejak asosiasi terbentuk; b. bagi Perusahaan Pergadaian yang mendapatkan izin usaha setelah asosiasi terbentuk, paling lama 3 (tiga) bulan sejak mendapatkan izin usaha. (2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari OJK. (3) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas paling sedikit: a. mengkoordinasikan penyusunan standar praktik dan kode etik Perusahaan Pergadaian; dan b. mengadakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. (4) Pelaksanaan tugas asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan kepada OJK. BAB VIII PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN Bagian Kesatu Pengawasan Perusahaan Pergadaian Pasal 41 (1) Pengawasan terhadap dilakukan oleh OJK. Perusahaan Pergadaian - 35 - (2) Pengawasan terhadap Perusahaan Pergadaian dilakukan berdasarkan Peraturan OJK ini dan peraturan pelaksanaannya. Bagian Kedua Pemeriksaan Perusahaan Pergadaian Pasal 42 (1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), OJK berwenang melakukan Perusahaan Pergadaian. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim Pemeriksa yang dapat terdiri dari: a. pegawai OJK yang ditugaskan untuk melakukan Pemeriksaan; b. pihak lain yang ditunjuk oleh OJK; atau c. gabungan antara pegawai OJK dan pihak lain yang ditunjuk oleh OJK. Pasal 43 Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap setiap Perusahaan Pergadaian dilakukan: a. secara berkala sesuai dengan rencana Pemeriksaan tahunan yang ditetapkan oleh OJK; dan/atau b. setiap waktu bila diperlukan. Pasal 44 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan surat perintah Pemeriksaan dan surat pemberitahuan Pemeriksaan. (2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu disampaikan surat pemberitahuan Perusahaan Pergadaian. Pemeriksaan kepada Pemeriksaan terhadap - 36 - (3) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat informasi sebagai berikut: a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan; b. nama Pemeriksa; c. tujuan Pemeriksaan; d. jangka waktu Pemeriksaan; e. dokumen yang diperlukan untuk Pemeriksaan; dan f. batas waktu penyampaian dokumen kepada Pemeriksa. (4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum tanggal pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan apabila pemberitahuan Pemeriksaan penyampaian diduga surat akan mempersulit atau menghambat proses Pemeriksaan atau akan memungkinkan dilakukannya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau menyembunyikan atau menghilangkan data, keterangan, atau laporan, yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan. Pasal 45 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a. persiapan Pemeriksaan; b. pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan; dan c. pelaporan hasil Pemeriksaan. (2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan hasil analisis laporan berkala dan data lain yang mendukung. (3) Pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara Pemeriksaan di Perusahaan Pergadaian, - 37 - Pemeriksaan di kantor OJK, atau Pemeriksaaan di tempat lain yang ditentukan oleh OJK. Pasal 46 (1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan, Pemeriksa menunjukkan surat perintah Pemeriksaan dan tanda pengenal Pemeriksa. (2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pergadaian yang akan diperiksa dapat menolak dilakukannya Pemeriksaan. (3) Pemeriksa wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan terhadap pihak yang tidak berhak, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 47 (1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dilarang menolak dan/atau menghambat kelancaran proses Pemeriksaan. (2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, Perusahaan Pergadaian yang diperiksa wajib untuk: a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku, berkas, catatan, disposisi, memorandum, dokumen, data termasuk salinannya; elektronik, b. memberikan keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa baik lisan maupun tertulis; c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan yang dipandang perlu; - 38 - d. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk meneliti keberadaan dan penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa; dan/atau e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor independen untuk memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan. (3) Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dinyatakan menghambat kelancaran proses Pemeriksaan apabila tidak melaksanakan kewajiban dimaksud pada ayat (2) atau meminjamkan buku, memberikan catatan, dokumen, atau keterangan yang tidak benar. Pasal 48 (1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b berakhir, Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan. (2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan b. laporan hasil Pemeriksaan final. (3) Pemeriksa menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sementara kepada Perusahaan Pergadaian paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah berakhirnya pelaksanaan Pemeriksaan. (4) Dalam hal hasil Pemeriksaan terdapat rekomendasi OJK yang harus dilakukan oleh Perusahaan Pergadaian, maka Perusahaan Pergadaian wajib melakukan rekomendasi tersebut. (5) Perusahaan Pergadaian wajib melakukan langkah- langkah tindak lanjut sesuai rekomendasi yang terdapat dalam (6) Perusahaan pelaksanaan laporan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pergadaian wajib langkah-langkah Pemeriksaan tindak melaporkan lanjut sebagaimana - 39 - sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada OJK paling sedikit setiap bulan atau sesuai laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Kewajiban melakukan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dalam hal OJK menilai bahwa Perusahaan Pergadaian melakukan rekomendasi tersebut. (8) Penilaian OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Perusahaan Pergadaian melalui surat. (9) Perusahaan Pergadaian yang diperiksa dapat mengajukan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) Hari setelah tanggal ditetapkannya laporan hasil Pemeriksaan sementara. (10) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9) Perusahaan Pergadaian tidak memberikan tanggapan atas Pemeriksaan sementara secara laporan hasil tertulis, OJK menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (9) berakhir. (11) Dalam hal Perusahaan Pergadaian menyampaikan tanggapan yang tidak memuat sanggahan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan sehingga tidak diperlukan adanya pembahasan, OJK menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari setelah diterimanya tanggapan dari Perusahaan Pergadaian yang diperiksa. (12) Dalam hal Perusahaan Pergadaian menyampaikan tanggapan yang memuat sanggahan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan dan diperlukan adanya pembahasan atas laporan telah - 40 - hasil Pemeriksaan sementara, maka OJK dapat mengundang Perusahaan Pergadaian yang bersangkutan guna melakukan pembahasan atas tanggapan yang disampaikan. (13) Proses pembahasan atas tanggapan laporan hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (12) paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak diterimanya surat tanggapan. (14) Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (13), OJK menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) Hari setelah selesainya pembahasan bersama Perusahaan Pergadaian yang diperiksa. (15) Laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bersifat rahasia. (16) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketiga Kerja Sama Dengan Pihak Tertentu Pasal 49 (1) OJK dapat bekerja sama dengan pihak tertentu untuk dan atas nama OJK melaksanakan sebagian fungsi pengawasan Perusahaan Pergadaian. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan antara OJK dengan pihak tertentu yang menerima kerja sama. (3) Pihak tertentu yang melakukan kerja sama harus melaporkan rencana dan pelaksanaan sebagian tugas pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK. (4) Ketentuan mengenai kerja sama OJK dengan pihak tertentu untuk melaksanakan sebagian fungsi pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana - 41 - dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan rencana serta pelaksanaan pengawasan Perusahaan Pergadaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. BAB IX PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 50 (1) Pencabutan izin usaha Perusahaan Pergadaian dilakukan oleh OJK. (2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Perusahaan Pergadaian: a. bubar karena pailit; b. bubar karena keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota, atau menurut anggaran dasar jangka waktunya berakhir; c. bubar karena penggabungan, peleburan, atau pemisahan; d. melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak lagi menjadi Perusahaan Pergadaian; atau e. dikenakan sanksi pencabutan izin usaha. (3) Sebelum pencabutan izin usaha ditetapkan oleh OJK, Perusahaan Pergadaian wajib melakukan penyelesaian kewajibannya kepada Nasabah. penyelesaian (4) Prosedur dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan memperhatikan kepentingan Nasabah. Pasal 51 (1) Perusahaan Pergadaian yang dinyatakan pailit wajib menyampaikan laporan kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak ditetapkannya putusan pailit. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian administratif berupa kewajiban sebagaimana - 42 - dengan menggunakan format 11 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya putusan pailit atau penetapan pembubaran; dan izin usaha sebagai Perusahaan b. fotokopi Pergadaian. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pergadaian. Pasal 52 (1) Perusahaan Pergadaian yang akan melakukan pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b atau melakukan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf d, wajib mendapatkan persetujuan dari OJK. pembubaran (2) Permohonan persetujuan atau perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pergadaian dengan menggunakan format 12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. rancangan akta pembubaran atau rancangan akta perubahan anggaran dasar yang memuat rencana kegiatan usaha yang baru; dan b. rencana penyelesaian hak dan kewajiban. (3) Perusahaan Pergadaian yang telah memperoleh persetujuan pembubaran atau perubahan kegiatan usaha dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan pembubaran atau perubahan kegiatan usaha paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak tanggal ditetapkannya akta pembubaran atau sejak perubahan anggaran dasar disahkan oleh instansi berwenang, dengan menggunakan format 13 - 43 - sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; dan c. bukti penyelesaian hak dan kewajiban. Pasal 53 Perusahaan Pergadaian yang telah dicabut izin usahanya dilarang untuk menggunakan kata Gadai atau kata yang mencirikan kegiatan Gadai dalam nama perusahaan. Pasal 54 OJK dapat mengumumkan pelaku usaha yang telah terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK. BAB X PERUSAHAAN PERGADAIAN PEMERINTAH Pasal 55 (1) Perusahaan Pergadaian Pemerintah dinyatakan telah memperoleh izin usaha dari OJK berdasarkan Peraturan OJK ini. (2) Permodalan Perusahaan Pergadaian Pemerintah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Perusahaan Pergadaian Pemerintah dikecualikan dari ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 19 ayat (3) Peraturan OJK ini. Pasal 56 (1) Untuk memperoleh persetujuan menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), - 44 - Perusahaan Pergadaian Pemerintah wajib membentuk unit usaha syariah. (2) Unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unit kerja dari kantor pusat Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 57 (1) Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang mempunyai unit usaha syariah wajib memenuhi ketentuan: a. mempunyai modal kerja yang disisihkan untuk kegiatan unit usaha syariah; b. mempunyai pimpinan unit usaha syariah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah; dan c. mempunyai pembukuan terpisahkan untuk unit usaha syariah. (2) Pimpinan unit usaha syariah Perusahaan Pergadaian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi ketentuan: a. diangkat oleh Direksi Perusahaan Pergadaian Pemerintah; dan b. tidak melakukan rangkap jabatan pada fungsi lain selain pada fungsi yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 58 Untuk membentuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Direksi Perusahaan Pergadaian Pemerintah harus mengajukan permohonan izin unit usaha syariah kepada OJK dengan dilampiri: a. anggaran dasar Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang memuat maksud dan tujuan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; - 45 - b. surat keputusan dari rapat umum pemegang saham atau Direksi, yang membuktikan adanya modal kerja yang disisihkan untuk unit usaha syariah; c. dokumen DPS, meliputi: 1. keputusan rapat umum pemegang saham mengenai pengangkatan DPS; dan 2. surat rekomendasi DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia; d. dokumen pimpinan unit usaha syariah meliputi: 1. surat keputusan Direksi Perusahaan Pergadaian Pemerintah mengenai pengangkatan pimpinan unit usaha syariah; 2. surat pernyataan dari pimpinan unit usaha syariah dan diketahui oleh Direksi Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang menyatakan bahwa pimpinan unit usaha syariah tidak rangkap jabatan pada fungsi lain selain pada fungsi yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan 3. daftar riwayat hidup pimpinan unit usaha syariah, dilengkapi dengan pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4x6 cm; dan e. contoh Surat Bukti Gadai dan/atau formulir berdasarkan Prinsip Syariah yang akan digunakan. Pasal 59 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) bagi Perusahaan Pergadaian Pemerintah berupa laporan unit usaha syariah dalam hal Perusahaan Pergadaian Pemerintah telah memiliki izin pembukaan unit usaha syariah. (2) Selain laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Perusahaan Pergadaian Pemerintah wajib menyampaikan kepada OJK: a. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir; dan - 46 - b. laporan bulanan sesuai peraturan perundang- undangan. BAB XI SANKSI Pasal 60 (1) Perusahaan Pergadaian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 24 ayat (7) dan ayat (8), Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 50 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 59 ayat (2) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; c. pembatalan persetujuan penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; d. pencabutan izin unit usaha syariah bagi Perusahaan Pergadaian Pemerintah; dan/atau e. pencabutan izin usaha. - 47 - (2) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 40 (empat puluh) Hari. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pergadaian telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pergadaian tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (6) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Pergadaian telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Pergadaian tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. pembatalan persetujuan penyelenggaraan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; b. pencabutan izin unit usaha syariah bagi Perusahaan Pergadaian Pemerintah; atau c. pencabutan izin usaha. Pasal 61 (1) Bagi pelaku Usaha Pergadaian yang telah terdaftar di OJK dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana - 48 - dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan sanksi berupa peringatan paling banyak 2 (dua) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 1 (satu) bulan. (2) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku Usaha Pergadaian telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (3) Dalam hal masa berlaku peringatan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dan pelaku Usaha Pergadaian tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK membatalkan pendaftaran. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 62 Perusahaan Pergadaian Pemerintah harus menyesuaikan kegiatan usahanya sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 63 Kegiatan usaha Perusahaan Pergadaian Pemerintah yang telah mendapat persetujuan OJK sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku. Pasal 64 Permohonan izin pembukaan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 harus diajukan oleh Perusahaan Pergadaian Pemerintah kepada OJK paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. - 49 - BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Juli 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 152 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 1/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> INVESTASI SURAT BERHARGA NEGARA BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 11 Januari 2016 </set_date> <effective_date> 12 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 12 Januari 2016 </issued_date> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011', '11/UU/1992', '24/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 5' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 21 /POJK.04/2015 TENTANG PENERAPAN PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi Perusahaan Terbuka yang penerapannya belum diwajibkan dalam peraturan, diperlukan pedoman penerapan praktik tata kelola yang mengacu pada praktik internasional yang patut diteladani yang belum diwajibkan tersebut; b. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi atas praktik tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada huruf a, Perusahaan Terbuka perlu melakukan keterbukaan atas penerapannya dalam praktik; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN TERBUKA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 (1) Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka, yang selanjutnya disebut Pedoman Tata Kelola, adalah pedoman tata kelola perusahaan bagi Perusahaan Terbuka yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan guna mendorong penerapan praktik tata kelola sesuai dengan praktik internasional yang patut diteladani. (2) Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat aspek, prinsip, dan rekomendasi tata kelola perusahaan yang baik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 2 (1) Perusahaan Terbuka wajib menerapkan Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1). - 3 - (2) Dalam hal Perusahaan Terbuka tidak menerapkan Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Terbuka wajib menjelaskan alasan tidak diterapkannya Pedoman Tata Kelola tersebut. BAB II PENGUNGKAPAN Pasal 3 Perusahaan Terbuka wajib mengungkapkan informasi mengenai penerapan atas rekomendasi dalam Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada laporan tahunan Perusahaan Terbuka. Pasal 4 Pengungkapan penerapan Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, paling sedikit memuat: a. pernyataan mengenai telah dilaksanakannya rekomendasi dalam Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2); dan/atau b. penjelasan atas belum dilaksanakannya rekomendasi dalam Pedoman Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2), yang paling sedikit memuat: 1. alasan belum diterapkannya; dan 2. alternatif pelaksanaannya (jika ada). - 4 - BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 5 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; dan b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Pasal 6 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada masyarakat. - 5 - BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur ketentuan mengenai pedoman tata kelola bagi Perusahaan Terbuka yang berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, berlaku ketentuan yang mengatur lebih ketat. Pasal 9 Kewajiban mengungkapkan informasi mengenai penerapan atas rekomendasi dalam Pedoman Tata Kelola dalam laporan tahunan Perusahaan Terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mulai berlaku untuk laporan tahunan Perusahaan Terbuka dengan periode yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2016. Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 November 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 November 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 276 ttd Sudarmaji - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 21 /POJK.04/2015 TENTANG PENERAPAN PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN TERBUKA I. UMUM Dalam rangka mendorong Perusahaan Terbuka untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan telah mengatur tata kelola perusahaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang wajib dilaksanakan. Namun demikian, tata kelola perusahaan yang telah diatur tersebut belum mencakup semua aspek tata kelola perusahaan, karena tidak semua aspek tata kelola dapat diterapkan sama untuk seluruh Perusahaan Terbuka sementara kegiatan usahanya di sektor, jenis industri, ukuran berbeda serta kompleksitas perusahaannya pun berbeda. Memperhatikan hal tersebut, maka dalam Peraturan ini diatur penerapan Pedoman Tata Kelola perusahaan yang belum atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang terkait dengan tata kelola perusahaan yang baik, namun sudah seharusnya atau selayaknya diterapkan oleh Perusahaan Terbuka dalam bentuk Pedoman Tata Kelola yang pelaksanaannya dilakukan melalui pendekatan “Terapkan atau Jelaskan” (Comply or Explain). Pengaturan tata kelola perusahaan dengan pendekatan tersebut diharapkan dapat mendorong Perusahaan Terbuka untuk menginternalisasikan praktik-praktik tata kelola perusahaan yang baik. Peningkatan penerapan tata kelola perusahaan oleh Perusahaan Terbuka juga sangat diperlukan dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, sehingga tingkat tata kelola Perusahaan Terbuka setidaknya - 2 - dapat disejajarkan dengan tata kelola perusahaan di negara ASEAN lainnya. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. Penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan b. Penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. - 3 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5765
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 21/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PEDOMAN TATA KELOLA PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title> <set_date> 16 November 2015 </set_date> <effective_date> 17 November 2015 </effective_date> <issued_date> 17 November 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.04/2016 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI PERUSAHAAN EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk pengaturan mengenai pengawasan terhadap wakil dan pegawai Perusahaan Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian terkait pengaturan mengenai pengawasan terhadap wakil dan pegawai Perusahaan Efek, peraturan mengenai pengawasan terhadap wakil dan pegawai Perusahaan Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengawasan terhadap Wakil dan Pegawai Perusahaan Efek; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI PERUSAHAAN EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi. BAB II PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI PERUSAHAAN EFEK Pasal 2 (1) Perusahaan Efek bertanggung jawab atas perilaku Wakil Perusahaan Efek dan pegawai Perusahaan Efek. (2) Setiap Perusahaan Efek wajib melakukan pengawasan secara terus menerus terhadap semua Pihak yang bekerja atau menjadi Wakil Perusahaan Efek tersebut. Pasal 3 Direksi Perusahaan Efek wajib melakukan pengawasan atau menunjuk wakil untuk melakukan pengawasan terhadap - 3 - Wakil Perusahaan Efek yang tidak menjadi anggota direksi Perusahaan Efek dan semua pegawai Perusahaan Efek. BAB III SISTEM PENGAWASAN PERUSAHAAN EFEK Pasal 4 Setiap Perusahaan Efek wajib mempunyai sistem pengawasan atas kegiatan para Wakil Perusahaan Efek dan setiap pegawainya untuk menjamin dipatuhinya semua ketentuan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Pasal 5 Sistem pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, paling sedikit memuat hal sebagai berikut: a. prosedur pengawasan yang dibuat secara tertulis antara lain memuat: 1. wewenang dan tanggung jawab setiap Wakil Perusahaan Efek dan pegawai Perusahaan Efek; 2. pembukaan atau penutupan rekening nasabah; 3. penanganan atas pengaduan nasabah; 4. pemeriksaan atas rekening nasabah; dan 5. pemeriksaan atas surat menyurat, pesanan dan transaksi serta penyelesaiannya atas nama nasabah; dan b. mekanisme pengawasan yang pelaksanaannya dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih pengawas untuk: 1. secara berkala mengawasi dan meninjau kegiatan Wakil Perusahaan Efek dan pegawai Perusahaan Efek; dan 2. secara berkala memeriksa setiap unit kerja Perusahaan Efek untuk memastikan bahwa prosedur sebagaimana dimaksud dalam huruf a dijalankan. - 4 - Pasal 6 Pembukaan atau penutupan rekening nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a angka 2, harus memperoleh persetujuan tertulis dari pengawas. Pasal 7 Pemeriksaan atas rekening nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a angka 4, harus sering dilakukan untuk mencegah ketidakberesan atau penyalahgunaan. Pasal 8 Pemeriksaan atas surat menyurat, pesanan, dan transaksi nasabah oleh Wakil Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a angka 5, harus dilakukan secara terus menerus untuk mencegah ketidakberesan atau penyalahgunaan oleh Wakil Perusahaan Efek dan pegawai Perusahaan Efek, seperti transaksi untuk kepentingan sendiri. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 9 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. - 5 - (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 10 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 11 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-27/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pengawasan Terhadap Wakil dan Pegawai Perusahaan Efek, beserta Peraturan Nomor V.D.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 Oktober KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 Ok MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 274 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.04/2016 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI PERUSAHAAN EFEK I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pengawasan terhadap Wakil dan Pegawai Perusahaan Efek yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-27/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pengawasan terhadap Wakil dan Pegawai Perusahaan Efek beserta Peraturan Nomor V.D.1 yang merupakan lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa - 2 - Keuangan tentang Pengawasan terhadap Wakil dan Pegawai Perusahaan Efek. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Wakil Perusahaan Efek terdiri atas Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, dan Wakil Manajer Investasi. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5970
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 45/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PENGAWASAN TERHADAP WAKIL DAN PEGAWAI PERUSAHAAN EFEK </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-27/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-27/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | lampiran Peraturan Nomor V.D.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24/POJK.04/2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka profesionalisme serta perlindungan nasabah, Manajer Investasi perlu meningkatkan kualitas fungsi-fungsi Manajer Investasi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI. BAB I... - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Wakil Manajer Investasi adalah orang perseorangan yang bertindak mewakili kepentingan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi. 3. Komite Investasi adalah komite yang bertugas mengarahkan dan mengawasi Tim Pengelola Investasi dalam menjalankan kebijakan dan strategi investasi. 4. Tim Pengelola Investasi adalah tim yang bertugas mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau portofolio investasi kolektif untuk kepentingan sekelompok nasabah. 5. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Manajer Investasi. BAB II FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI Pasal 2 Dalam melakukan kegiatannya, Manajer Investasi wajib mempunyai dan melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut... - 3 - berikut: a. fungsi investasi dan riset; b. fungsi perdagangan; c. fungsi penyelesaian transaksi Efek; d. fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal; e. fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan nasabah; f. fungsi teknologi informasi; g. fungsi akuntansi dan keuangan; dan h. fungsi pengembangan sumber daya manusia. Pasal 3 (1) Manajer Investasi wajib memisahkan pelaksanaan fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dari fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dan fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d. (2) Koordinator dan pegawai yang melaksanakan salah satu fungsi dari keempat fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang merangkap sebagai koordinator dan pegawai pada ketiga fungsi lainnya. (3) Anggota direksi dilarang bertindak sebagai koordinator fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dan/atau fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c. (4) Anggota direksi yang bertindak sebagai koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d... - 4 - huruf d dilarang merangkap sebagai koordinator fungsi lainnya. Pasal 4 Manajer Investasi wajib memiliki prosedur operasi standar atas pelaksanaan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan memastikan prosedur operasi standar dipatuhi dan dilaksanakan oleh koordinator dan semua pegawai yang melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Pasal 5 Dalam hal kegiatan usaha Manajer Investasi dilakukan dalam satu Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek maka: a. prosedur operasi standar pelaksanaan fungsi-fungsi Manajer Investasi wajib terpisah dari prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek; dan b. pelaksanaan fungsi riset, fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal, fungsi akuntansi dan keuangan, fungsi teknologi informasi dan/atau fungsi pengembangan sumber daya manusia pada kegiatan usaha Manajer Investasi dan Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dapat dilaksanakan oleh satu unit kerja yang melaksanakan fungsi tersebut. BAB III PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJER INVESTASI Bagian Kesatu Fungsi Investasi dan Riset Pasal 6 Pelaksanaan fungsi investasi dan riset wajib dikoordinir oleh pegawai yang memiliki izin Wakil Manajer Investasi dan... - 5 - dan pengalaman kerja di bidang pengelolaan investasi paling kurang 3 (tiga) tahun. Pasal 7 Dalam melaksanakan fungsi investasi, koordinator fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bertanggung jawab: a. membuat keputusan investasi yang terbaik untuk kepentingan nasabah; b. membuat dan memelihara catatan dan/atau kertas kerja dalam rangka pengambilan keputusan investasi untuk kepentingan nasabah; c. melakukan analisa kinerja produk investasi secara periodik; d. memastikan kesesuaian antara keputusan investasi yang diambil dengan: 1. kebijakan dan strategi investasi yang telah ditetapkan dalam perjanjian pengelolaan Portofolio Efek untuk para nasabah atau portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah; dan 2. kebijakan dan strategi investasi yang telah ditetapkan oleh Komite Investasi; e. memastikan setiap keputusan investasi yang diambil dilakukan atas pertimbangan yang rasional serta didukung oleh hasil riset yang cukup; dan f. menerapkan prinsip kehati-hatian dan Manajemen Risiko antara lain dengan: 1. memperhatikan risiko investasi yang mungkin terjadi serta tindakan yang akan dilakukan jika risiko investasi tersebut terjadi; dan 2. adanya pembagian kewenangan yang jelas dalam menentukan jumlah transaksi. Pasal 8... - 6 - Pasal 8 (1) Fungsi investasi dilakukan oleh Tim Pengelola Investasi yang paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang yang meliputi ketua dan anggota tim. (2) Ketua dan anggota Tim Pengelola Investasi wajib memiliki izin Wakil Manajer Investasi dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Tim Pengelola Investasi dilarang merangkap sebagai koordinator atau pelaksana fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dan/atau fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d. Pasal 9 (1) Pelaksanaan fungsi investasi didasarkan atas arahan Komite Investasi. (2) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang yang memiliki pengalaman di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun. (3) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. menetapkan kebijakan dan strategi investasi; dan b. mengawasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan investasi yang dilakukan oleh Tim Pengelola Investasi. (4) Anggota Komite Investasi dilarang: a. merangkap sebagai koordinator dan pelaksana fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, serta fungsi manajemen risiko, kepatuhan... - 7 - kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d; dan/atau b. merangkap menjadi anggota Tim Pengelola Investasi untuk 1 (satu) produk investasi yang sama. Pasal 10 Dalam melaksanakan fungsi riset, koordinator fungsi investasi dan riset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bertanggung jawab: a. melakukan riset dan analisa kondisi makro ekonomi serta sektor industri; b. melakukan riset dan analisa tentang Efek dalam portofolio investasi yang menjadi dan/atau yang akan dijadikan sebagai portofolio investasi; dan c. membuat dan mendokumentasikan catatan serta laporan hasil riset. Bagian Kedua Fungsi Perdagangan Pasal 11 Pelaksanaan fungsi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi perdagangan wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; b. koordinator fungsi perdagangan bertanggung jawab: 1. melakukan transaksi atas Efek yang telah ditentukan oleh fungsi investasi pada harga dan waktu terbaik untuk kepentingan nasabah; dan 2. melakukan koordinasi dengan koordinator fungsi... - 8 - fungsi investasi dan riset dalam rangka pemilihan Perantara Pedagang Efek dengan mempertimbangkan antara lain biaya yang dibebankan dan pelayanan yang diberikan oleh Perantara Pedagang Efek tersebut. Bagian Ketiga Fungsi Penyelesaian Transaksi Efek Pasal 12 Pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi penyelesaian transaksi Efek wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; b. koordinator fungsi penyelesaian transaksi Efek bertanggung jawab: 1. melakukan rekonsiliasi atas data-data transaksi kepada pihak-pihak terkait seperti Perantara Pedagang Efek dan Bank Kustodian; dan 2. melakukan pengecekan silang atas data-data yang ada pada administrasi Efek dalam portofolio Reksa Dana atau produk yang dikelola Manajer Investasi. Bagian Keempat Fungsi Manajemen Risiko, Kepatuhan, dan Audit Internal Pasal 13 (1) Pelaksanaan fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pimpinan unit kerja, anggota direksi atau pejabat setingkat di bawah direksi. (2) Koordinator... - 9 - (2) Koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. memiliki izin Wakil Manajer Investasi dari Otoritas Jasa Keuangan dan mempunyai pengalaman kerja menduduki jabatan manajerial pada institusi yang bergerak di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 3 (tiga) tahun; b. ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi Manajer Investasi dan memiliki alur pertanggungjawaban langsung kepada dewan komisaris; dan c. bertindak secara independen dan memiliki akses yang tidak terbatas terhadap fungsi Manajer Investasi lainnya terkait dengan tugasnya untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan fungsi- fungsi Manajer Investasi. Pasal 14 Dalam melaksanakan fungsi manajemen risiko, koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal bertanggung jawab: a. menyusun strategi Manajemen Risiko; b. memperbaharui strategi Manajemen Risiko, jika: 1. terjadi perubahan dan/atau penambahan kegiatan Manajer Investasi; dan/atau 2. terdapat peraturan baru dan/atau perubahan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau peraturan lainnya yang terkait; c. memantau dan menelaah secara berkala pelaksanaan strategi Manajemen Risiko; d. memantau posisi risiko secara keseluruhan dan per jenis risiko; dan e. menerapkan... - 10 - e. menerapkan Manajemen Risiko secara efektif dan disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Manajer Investasi. Pasal 15 Penerapan fungsi manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c wajib dilakukan berdasarkan strategi Manajemen Risiko yang paling kurang memuat: a. pengidentifikasian semua risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan Manajer Investasi; b. penjelasan mengenai penyebab dari timbulnya risiko-risiko tersebut; c. pengidentifikasian kemungkinan terjadinya risiko- risiko tersebut; d. penjelasan tentang implikasi atas terjadinya risiko- risiko tersebut; dan e. langkah-langkah yang wajib dilakukan apabila risiko-risiko tersebut terjadi. Pasal 16 Dalam melaksanakan fungsi kepatuhan, koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal bertanggung jawab: a. memastikan kepatuhan Manajer Investasi terhadap peraturan perundang-undangan; b. bertindak sebagai pihak penghubung (liason officer) dengan Otoritas Jasa Keuangan; c. menyusun strategi kepatuhan; d. memperbaharui strategi kepatuhan, jika: 1. terjadi perubahan dan/atau penambahan kegiatan Manajer Investasi; dan/atau 2. terdapat peraturan baru dan/atau perubahan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau peraturan lainnya yang terkait; e. menyebarluaskan... - 11 - e. menyebarluaskan dan mensosialisasikan manual kepatuhan, kebijakan, prosedur, dan informasi lain terkait kepatuhan kepada para pihak terkait di lingkungan Manajer Investasi; f. melakukan pengawasan dan memastikan pelaksanaan rencana kelangsungan usaha (business continuity plan) sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan perusahaan; g. memastikan pegawai memperoleh pelatihan dan pendidikan yang terkait dengan kepatuhan; h. menyusun dan menyampaikan rencana kerja tahunan fungsi kepatuhan kepada Dewan Komisaris yang memuat kegiatan dan jadwal pelaksanaan kegiatan fungsi kepatuhan; i. menyusun dan menyampaikan laporan tengah tahunan dan laporan tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan kepada Dewan Komisaris; dan j. menyampaikan laporan insidental kepada Dewan Komisaris jika menemukan adanya dugaan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang dilakukan oleh Manajer Investasi dan/atau nasabahnya paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak ditemukannya dugaan pelanggaran. Pasal 17 Tugas dan tanggung jawab fungsi kepatuhan wajib ditetapkan dalam pakta (charter) tertulis yang mengikat fungsi-fungsi Manajer Investasi. Pasal 18 Dalam melaksanakan fungsi audit internal, koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal bertanggung jawab memastikan pelaksanaan fungsi- fungsi Manajer Investasi sesuai dengan prosedur dan kebijakan tertulis/prosedur operasi standar. Pasal 19... - 12 - Pasal 19 Dalam melaksanakan fungsi audit internal, koordinator fungsi manajemen risiko, kepatuhan, dan audit internal wajib: a. membuat perencanaan, pengendalian, dan pencatatan semua pelaksanaan kegiatan audit internal; b. membuat pencatatan semua temuan, kesimpulan, dan rekomendasi dari pelaksanaan kegiatan audit internal; dan c. menyusun laporan audit internal setelah pelaksanaan setiap audit internal disampaikan kepada Dewan Komisaris. Bagian Kelima Fungsi Pemasaran dan Penanganan Pengaduan Nasabah Pasal 20 Pelaksanaan fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan nasabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan nasabah wajib dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan serta mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; b. pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran Efek Reksa Dana wajib memiliki izin Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; c. pegawai yang melakukan kegiatan pemasaran jasa pengelolaan portofolio investasi kolektif selain Reksa Dana dan jasa pengelolaan investasi wajib memiliki izin Wakil Perusahaan Efek; d. dalam... untuk - 13 - d. dalam hal fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan nasabah tidak dilaksanakan dalam satu kesatuan fungsi maka: 1. fungsi pemasaran dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan serta mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; dan 2. fungsi penanganan pengaduan nasabah dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana dari Otoritas Jasa Keuangan serta mempunyai pengalaman kerja di bidang Pasar Modal dan/atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun. 3. koordinator fungsi pemasaran bertanggung jawab untuk mengkoordinir: a) proses pembukaan rekening Reksa Dana, portofolio investasi kolektif selain Reksa Dana, dan jasa pengelolaan investasi nasabah dengan memperhatikan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan dalam rangka penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; dan b) kegiatan pemasaran produk investasi secara benar dan profesional dengan menerapkan ketentuan mengenai profil risiko nasabah dan ketentuan terkait lainnya. 4. koordinator fungsi penanganan pengaduan nasabah bertanggung jawab untuk mengkoordinir: a) penerimaan dan pengadministrasian pengaduan nasabah; b) penanganan dan tindak lanjut pengaduan nasabah... - 14 - nasabah; dan c) pengadministrasian hasil penanganan dan tindak lanjut pengaduan nasabah. Bagian Keenam Fungsi Teknologi Informasi Pasal 21 Pelaksanaan fungsi teknologi informasi wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Pelaksanaan fungsi teknologi informasi dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan anggota direksi atau pegawai yang mempunyai pengalaman kerja dalam bidang teknologi informasi paling kurang 1 (satu) tahun; b. Koordinator fungsi teknologi informasi bertanggungjawab untuk: 1. melakukan reviu dan pemeliharaan sistem teknologi informasi secara berkala untuk memastikan: a) sistem teknologi mendukung kegiatan operasional Manajer Investasi agar berjalan dengan baik; dan b) sistem teknologi informasi yang digunakan telah sesuai dengan kebutuhan untuk kegiatan pelaporan secara elektronik kepada Otoritas Jasa Keuangan agar kegiatan pelaporan dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan; dan 2. melakukan penyimpanan cadangan data (back- up) secara periodik. Bagian Ketujuh Fungsi Pengembangan Sumber Daya Manusia Pasal 22 Pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia... informasi dapat - 15 - manusia wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi pengembangan sumber daya manusia dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan anggota direksi atau pegawai yang memiliki pengalaman kerja dalam bidang sumber daya manusia paling kurang 1 (satu) tahun; b. koordinator fungsi pengembangan sumber daya manusia bertanggung jawab: 1. menyusun dan melaksanakan program pelatihan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan kepatuhan pegawai terhadap kode etik dan standar perilaku pegawai; 2. melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru sesuai prosedur operasi standar dan ketentuan yang berlaku; dan 3. memelihara catatan dan dokumen yang berkaitan dengan fungsi pengembangan sumber daya manusia, termasuk namun tidak terbatas pada dokumen terkait pelatihan dan administrasi kepegawaian. Bagian Kedelapan Fungsi Akuntansi dan Keuangan Pasal 23 Pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan fungsi akuntansi dan keuangan dikoordinir oleh seorang koordinator yang merupakan anggota direksi atau pegawai yang memiliki pengalaman kerja di bidang akuntansi dan keuangan paling kurang 1 (satu) tahun; b. koordinator fungsi akuntansi dan keuangan bertanggung jawab: 1. merencanakan... - 16 - 1. merencanakan dan mengelola aktivitas akuntansi dan keuangan; dan 2. memastikan laporan keuangan tahunan, laporan keuangan tengah tahunan, laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi, laporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan dan laporan lainnya yang disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan telah disusun berdasarkan data yang akurat dan sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan serta Standar Akuntansi Keuangan. BAB IV PENGALIHAN PELAKSANAAN FUNGSI Pasal 24 Manajer Investasi dapat mengalihkan pelaksanaan fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan kepada penyedia jasa yang berbentuk badan hukum dengan tetap memperhatikan ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 25 Dalam hal Manajer Investasi mengalihkan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Manajer Investasi bertanggung jawab terhadap perilaku dan kegiatan yang dilakukan oleh penyedia jasa yang menerima pengalihan fungsi-fungsi dari Manajer Investasi dimaksud. Pasal 26 Manajer Investasi yang melakukan pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib memastikan bahwa penyedia jasa yang menerima pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut adalah profesional yang mempunyai standar kapasitas... - 17 - kapasitas dan kapabilitas untuk melaksanakan fungsi serta mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian pengalihan pelaksanaan fungsi-fungsi. Pasal 27 Manajer Investasi wajib memiliki dan melaksanakan prosedur operasi standar untuk mengawasi perilaku dan kegiatan penyedia jasa yang menerima pengalihan fungsi-fungsi Manajer Investasi. Pasal 28 Penyerahan pelaksanaan fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan hanya dapat dilakukan kepada penyedia jasa dengan ketentuan sebagai berikut: a. Manajer Investasi wajib melaporkan informasi tentang rencana penyerahan pelaksanaan fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format laporan rencana penyerahan pelaksanaan fungsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. b. Sebelum menunjuk penyedia jasa untuk melaksanakan fungsi teknologi informasi, fungsi pengembangan sumber daya manusia, serta fungsi akuntansi dan keuangan, Manajer Investasi wajib melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap penyedia jasa yang mencakup, antara lain: 1. kemampuan penyedia jasa dalam melaksanakan fungsi-fungsi Manajer Investasi; 2. kemampuan penyedia jasa memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian; 3. faktor-faktor operasional dan kemampuan keuangan secara kualitatif dan kuantitatif; 4. faktor... - 18 - 4. faktor reputasi; 5. cakupan asuransi oleh penyedia jasa (jika ada); 6. adanya potensi benturan kepentingan khususnya bila penyedia jasa bergerak di bidang usaha yang sama; dan 7. kemampuan dan kecukupan sumber daya yang dimiliki penyedia jasa, apabila memiliki perjanjian penyerahan pelaksanaan fungsi Manajer Investasi kepada Penyedia jasa (outsourcing) dengan beberapa Pihak.; dan c. Manajer Investasi wajib melakukan reviu secara berkala atas fungsi yang dijalankan oleh penyedia jasa untuk memastikan fungsi tersebut telah dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur operasi standar pelaksanaan fungsi-fungsi dimaksud. d. Manajer Investasi wajib memiliki perjanjian tertulis dengan penyedia jasa, yang paling kurang mencakup: 1. nama pihak; 2. ruang lingkup, syarat-syarat, dan kondisi fungsi Manajer Investasi yang pelaksanaannya diserahkan kepada penyedia jasa; 3. tanggung jawab Manajer Investasi dan penyedia jasa serta pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab tersebut; 4. standar layanan jasa dan mekanisme untuk memastikan bahwa standar tersebut dapat dipenuhi setiap saat; 5. kerahasiaan dan keamanan informasi; 6. tanggung jawab terkait dengan keamanan sistem teknologi informasi; 7. pelaporan penyedia jasa kepada Manajer Investasi; 8. pertanggungjawaban... - 19 - 8. pertanggungjawaban dari penyedia jasa kepada Manajer Investasi atas pelayanan yang tidak memuaskan atau pelanggaran-pelanggaran lainnya atas perjanjian; 9. jaminan atas kualitas layanan jasa dan ganti rugi; 10. kewajiban penyedia jasa, setiap saat jika diminta, untuk menyediakan setiap catatan, informasi dan/atau bantuan berkaitan fungsi- fungsi Manajer Investasi yang dilaksanakannya kepada Manajer Investasi yang menunjuk penyedia jasa, auditor Manajer Investasi dimaksud, dan/atau Otoritas Jasa Keuangan; 11. larangan bagi penyedia jasa untuk menunjuk pihak ketiga (sub kontrak) dalam menjalankan kewajibannya; 12. ketentuan-ketentuan tentang keberlangsungan fungsi Manajer Investasi dalam hal penyedia jasa mengalami kondisi darurat sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya; 13. pengakhiran perjanjian, yang meliputi antara lain transfer informasi dan langkah-langkah pemutusan perjanjian, serta prosedur transisi; dan 14. mekanisme untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul antara Manajer Investasi dengan penyedia jasa. e. Manajer Investasi wajib memastikan penyedia jasa menjaga kerahasiaan informasi yang diterima dari Manajer Investasi. f. Manajer Investasi pada hari kerja berikutnya wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila penyedia jasa tidak dapat melakukan kewajibannya. g. Manajer Investasi wajib memastikan Otoritas Jasa Keuangan… - 20 - Keuangan setiap saat dapat mengakses pembukuan, catatan dan dokumen penyedia jasa berkaitan dengan penyerahan pelaksanaan fungsi Manajer Investasi kepada penyedia jasa. h. Manajer Investasi hanya dapat menunjuk penyedia jasa yang kegiatan operasionalnya berlokasi di Indonesia. BAB V KEWAJIBAN PELAPORAN Pasal 29 (1) Manajer Investasi wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan laporan sebagai berikut: a. laporan rencana kerja tahunan fungsi kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf h sesuai dengan format laporan rencana kerja tahunan fungsi kepatuhan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah berakhirnya bulan Desember; b. laporan tengah tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf i sesuai dengan format laporan tengah tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah berakhirnya bulan Juni; c. laporan tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf i sesuai dengan format laporan tahunan atas pelaksanaan fungsi kepatuhan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan. .. - 21 - merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah berakhirnya bulan Desember; dan d. laporan insidental, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf j sesuai dengan format laporan insidental sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahuinya peristiwa tersebut. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c jatuh pada hari libur, laporan tersebut wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. BAB VI SANKSI Pasal 30 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)... - 22 - ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, atau huruf e. Pasal 31 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 32 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 Manajer Investasi wajib menyesuaikan dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis fungsi... - 23 - fungsi-fungsi Manajer Investasi yang belum diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 35 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-480/BL/2009 tanggal 31 Desember 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi beserta Peraturan Nomor V.D.11 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 359 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 4/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PENAGIHAN SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DI SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 1 April 2014 </set_date> <effective_date> 1 April 2014 </effective_date> <issued_date> 1 April 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-21/PM/1999|KEPTA-BAPEPAM/1999' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '11/PP/2014' </related_reg> <penalty_list> '4/POJK.04/2014' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /POJK.03/2017 TENTANG PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank semakin meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi, dan integrasi pasar keuangan; b. bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank memberikan dampak yang sangat besar terhadap eksposur risiko yang dihadapi oleh bank sehingga diperlukan upaya untuk memitigasi risiko kegiatan usaha bank; c. bahwa untuk memitigasi risiko kegiatan usaha bank diperlukan berbagai upaya baik yang bersifat preventif (ex-ante) maupun kuratif (ex-post); d. bahwa upaya yang bersifat preventif (ex-ante) dapat ditempuh dengan mematuhi berbagai kaidah perbankan yang berlaku untuk mengurangi atau memperkecil risiko kegiatan usaha bank; e. bahwa untuk mewujudkan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf d diperlukan peningkatan peran dan fungsi kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan yang ada pada bank sehingga potensi risiko kegiatan usaha bank dapat diantisipasi lebih dini; - 2 - f. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan disektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali pelaksanaan fungsi kepatuhan bank umum; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Direksi adalah: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan - 4 - Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yaitu pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 3. Dewan Komisaris adalah: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; - 5 - 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. 4. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Budaya Kepatuhan adalah nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan terhadap ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk Prinsip Syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. 6. Fungsi Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat preventif (ex-ante) untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk Prinsip Syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah, serta memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang. - 6 - 7. Risiko Kepatuhan adalah risiko yang timbul akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk Prinsip Syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Pasal 2 (1) Direksi wajib menumbuhkan dan mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan organisasi dan kegiatan usaha Bank. (2) Direksi wajib memastikan terlaksananya Fungsi Kepatuhan Bank. (3) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Fungsi Kepatuhan. BAB II FUNGSI KEPATUHAN BANK Pasal 3 Fungsi Kepatuhan Bank meliputi tindakan untuk: a. mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan organisasi dan kegiatan usaha Bank; b. mengelola Risiko Kepatuhan yang dihadapi oleh Bank; c. memastikan agar kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk Prinsip Syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah; dan d. memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang. Pasal 4 (1) Bank wajib memiliki direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan membentuk satuan kerja kepatuhan. (2) Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh satuan kerja kepatuhan. - 7 - Pasal 5 Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan satuan kerja kepatuhan pada bank umum syariah dan/atau bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah wajib berkoordinasi dengan dewan pengawas syariah terkait pelaksanaan Fungsi Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah. Pasal 6 (1) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap Fungsi Kepatuhan, dengan: a. mengevaluasi pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank paling sedikit 2 (dua) kali dalam satu tahun; dan b. memberikan saran untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank. (2) Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Fungsi Kepatuhan, Dewan Komisaris menyampaikan saran untuk peningkatan kualitas pelaksanaan Fungsi Kepatuhan kepada direktur utama dengan tembusan kepada direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. BAB III DIREKTUR YANG MEMBAWAHKAN FUNGSI KEPATUHAN Bagian Pertama Independensi dan Kriteria Pasal 7 (1) Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memenuhi persyaratan independensi. (2) Direktur utama dan/atau wakil direktur utama dilarang merangkap jabatan sebagai direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. (3) Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dilarang membawahkan fungsi: a. bisnis dan operasional; b. manajemen risiko yang melakukan pengambilan keputusan pada kegiatan usaha Bank; - 8 - c. tresuri (treasury); d. keuangan dan akuntansi; e. logistik dan pengadaan barang atau jasa; f. teknologi informasi; dan/atau g. audit intern. Pasal 8 Calon direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memiliki integritas dan pengetahuan yang memadai mengenai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Pengangkatan, Pemberhentian, dan/atau Pengunduran Diri Direktur yang Membawahkan Fungsi Kepatuhan Pasal 9 (1) Pengangkatan, pemberhentian, dan/atau pengunduran diri direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai bank umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai bank umum syariah. (2) Dalam hal direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan sementara sehingga tidak dapat menjalankan tugas jabatannya selama lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut, pelaksanaan tugas yang bersangkutan wajib digantikan sementara oleh direktur lain sampai dengan direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dapat menjalankan tugas jabatannya kembali. (3) Dalam hal direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya, Bank wajib segera mengangkat pengganti direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, paling lama 6 (enam) bulan setelah direktur - 9 - yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya. (4) Selama dalam proses penggantian direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank wajib menunjuk atau menugaskan salah satu direktur lainnya untuk sementara melaksanakan tugas direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. (5) Direktur yang melaksanakan tugas sementara sebagai direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, baik karena berhalangan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maupun berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus memenuhi ketentuan mengenai rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan larangan membawahkan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). (6) Dalam hal direktur lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak ada, jabatan direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dapat dirangkap sementara oleh direktur lain yang membawahkan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). (7) Penggantian sementara jabatan direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Ketiga Tugas dan Tanggung Jawab Direktur yang Membawahkan Fungsi Kepatuhan Pasal 10 (1) Tugas dan tanggung jawab direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, wajib paling sedikit: a. merumuskan strategi guna mendorong terciptanya Budaya Kepatuhan Bank; - 10 - b. mengusulkan kebijakan kepatuhan atau prinsip- prinsip kepatuhan yang akan ditetapkan oleh Direksi; c. menetapkan sistem dan prosedur kepatuhan yang digunakan untuk menyusun ketentuan dan pedoman internal Bank; d. memastikan bahwa seluruh kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan Bank telah sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk Prinsip Syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah; e. meminimalkan Risiko Kepatuhan Bank; f. melakukan tindakan pencegahan agar kebijakan dan/atau keputusan yang diambil Direksi Bank atau pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri tidak menyimpang dari ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan g. melakukan tugas lain yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan. (2) Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan hak dan kewajiban direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagai anggota Direksi Bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas, dalam hal diperlukan keputusan terhadap perbuatan tertentu dari seluruh anggota Direksi Bank. Pasal 11 Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada direktur utama dengan tembusan kepada Dewan Komisaris, paling sedikit secara triwulanan. - 11 - BAB IV SATUAN KERJA KEPATUHAN Bagian Pertama Independensi dan Kriteria Pasal 12 (1) Satuan kerja kepatuhan wajib independen. (2) Pejabat dan staf di satuan kerja kepatuhan dilarang ditempatkan pada posisi menghadapi benturan kepentingan (conflict of interest) dalam melaksanakan tanggung jawab Fungsi Kepatuhan. (3) Satuan kerja kepatuhan pada bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah wajib didukung oleh sumber daya manusia yang mempunyai pengetahuan dan/atau pemahaman tentang operasional perbankan syariah. Pasal 13 Kepala satuan kerja kepatuhan wajib memenuhi kriteria paling sedikit: a. memenuhi persyaratan independensi; b. menguasai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. tidak melaksanakan tugas lain di luar Fungsi Kepatuhan; dan d. memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan dan mengembangkan Budaya Kepatuhan. Pasal 14 Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan kerja kepatuhan wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. - 12 - Bagian Kedua Tugas dan Tanggung Jawab Satuan Kerja Kepatuhan Pasal 15 Dalam melaksanakan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tugas dan tanggung jawab satuan kerja kepatuhan wajib paling sedikit: a. membuat langkah untuk mendukung terciptanya Budaya Kepatuhan pada seluruh kegiatan usaha Bank pada setiap jenjang organisasi; b. melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap Risiko Kepatuhan dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah; c. menilai dan mengevaluasi efektivitas, kecukupan, dan kesesuaian kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh Bank dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. melakukan kaji ulang dan/atau merekomendasikan pengkinian dan penyempurnaan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh Bank agar sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk Prinsip Syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah; e. melakukan upaya untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur, serta kegiatan usaha Bank telah sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan f. melakukan tugas lain yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan. - 13 - BAB V PELAPORAN Pasal 16 Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan tentang pelaksanaan tugasnya, meliputi: a. rencana kerja kepatuhan yang dimuat dalam Rencana Bisnis Bank; b. laporan kepatuhan; dan c. laporan khusus mengenai kebijakan dan/atau keputusan Direksi yang menurut direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan telah menyimpang dari ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagai bagian dari tugas direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f. Pasal 17 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, wajib ditandatangani oleh direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara semesteran dan diterima Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir dengan tembusan kepada Dewan Komisaris dan direktur utama. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, laporan kepatuhan disampaikan pada hari kerja berikutnya. (3) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan kepatuhan apabila laporan diterima Otoritas Jasa Keuangan melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan. - 14 - (4) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan kepatuhan apabila laporan tersebut belum diterima Otoritas Jasa Keuangan setelah batas akhir waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui oleh direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengenai adanya penyimpangan. BAB VI ALAMAT PENYAMPAIAN PELAPORAN Pasal 18 (1) Laporan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan kerja kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 disampaikan secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan secara daring (online) dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai laporan kantor pusat bank umum. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan Pasal 16, disampaikan secara luring (offline) kepada: a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai dengan wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. - 15 - BAB VII SANKSI Pasal 19 Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 9 ayat (4), Pasal 9 ayat (7), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan/atau Pasal 17 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor tata kelola dalam penilaian tingkat kesehatan; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pemberhentian anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Anggota Tahunan (RAT) koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau e. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pegawai, dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 20 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu keterlambatan. (2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000.000,00 juta rupiah) per hari - 16 - (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5187), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 17 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 152 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /POJK.03/2017 TENTANG PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM I. UMUM Kegiatan usaha Bank terus mengalami perubahan dan peningkatan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi, dan integrasi pasar keuangan sehingga kompleksitas kegiatannya semakin tinggi. Kompleksitas kegiatan usaha Bank yang semakin meningkat tersebut mengakibatkan tantangan dan eksposur risiko yang dihadapi juga semakin besar. Melihat perkembangan tantangan dan risiko usaha Bank yang semakin besar, diperlukan berbagai macam upaya untuk memitigasi risiko tersebut. Upaya-upaya tersebut dapat bersifat preventif (ex-ante) maupun kuratif (ex-post). Upaya yang bersifat preventif (ex-ante) sangat diperlukan untuk mengurangi atau memperkecil potensi risiko kegiatan usaha Bank yang diperkirakan akan terjadi. Oleh karena itu diperlukan adanya peningkatan peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan dalam pengelolaan Risiko Kepatuhan. Pengelolaan Risiko Kepatuhan yang baik dan tepat waktu diharapkan dapat meminimalisasi dampak risiko sedini mungkin. Dengan demikian peran dan Fungsi Kepatuhan maupun satuan kerja kepatuhan ke depan tidak hanya melihat suatu kejadian yang bersifat preventif (ex-ante) melainkan juga harus mampu mengelola Risiko Kepatuhan agar sejalan dengan penerapan manajemen risiko yang telah berjalan di Bank secara keseluruhan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Khusus bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, pelaksanaan pengawasan terhadap Fungsi Kepatuhan disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada bank yang bersangkutan. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tindakan mengelola Risiko Kepatuhan dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. - 3 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak memiliki hubungan keuangan, hubungan kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan yang bersangkutan untuk bertindak independen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan tata kelola bagi bank umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “fungsi bisnis” atau “fungsi operasional” antara lain meliputi kegiatan penghimpunan dana dan/atau penyaluran dana serta kegiatan keagenan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. - 4 - Pasal 8 Penilaian kriteria calon direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan serta ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai pemanfaatan tenaga kerja asing dan program alih pengetahuan di sektor perbankan. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berhalangan sementara” antara lain cuti, sakit, dan/atau dinas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” antara lain kehilangan kewarganegaraan Indonesia, meninggal dunia, mengalami cacat fisik, mengalami cacat mental, dan/atau kondisi lain yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kebijakan kepatuhan” adalah prinsip yang dipergunakan untuk menyusun sistem, - 5 - prosedur, dan pedoman internal dalam rangka harmonisasi antara kepentingan komersial Bank dengan ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Termasuk sebagai tindakan pencegahan antara lain memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dalam hal terdapat kebijakan dan/atau keputusan yang menyimpang dari ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanggung jawab direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dalam melakukan tindakan pencegahan terbatas pada kewenangan direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. Huruf g Yang dimaksud dengan “tugas lain yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan” antara lain adalah memantau dan menjaga kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan maupun otoritas pengawas lain yang berwenang. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perbuatan tertentu” adalah perbuatan yang terkait dengan aksi korporasi (corporate actions) antara lain penggabungan, peleburan, pengambilalihan, penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (right issue) dan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO). Pasal 11 Bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, laporan disampaikan kepada pemimpin kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dengan tembusan kepada pihak yang berwenang mengawasi kantor cabang dari bank yang - 6 - berkedudukan di luar negeri, sesuai dengan struktur organisasi bank. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “satuan kerja kepatuhan wajib independen” adalah satuan kerja kepatuhan harus dibentuk secara tersendiri dan bebas dari pengaruh satuan kerja lainnya, serta mempunyai akses langsung kepada direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. Satuan kerja kepatuhan dibentuk di kantor pusat Bank namun melaksanakan Fungsi Kepatuhan di seluruh jaringan kantor Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak memiliki hubungan keuangan, hubungan kepengurusan, hubungan kepemilikan, dan/atau hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuan yang bersangkutan untuk bertindak independen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan tata kelola bagi bank umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 7 - Huruf d Cukup jelas. Pasal 14 Laporan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan kerja kepatuhan mengacu pada ketentuan pelaporan bagi pejabat eksekutif sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai bank umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai bank umum syariah. Pasal 15 Huruf a Langkah-langkah untuk mendukung terciptanya Budaya Kepatuhan antara lain pembuatan sistem, program, kerangka pikir (frame work), compliance charter, kode etik kepatuhan (compliance code of conduct), atau kebijakan kepatuhan (compliance policy). Huruf b Dalam rangka melakukan proses pengelolaan Risiko Kepatuhan, satuan kerja kepatuhan berkoordinasi dengan satuan kerja manajemen risiko. Huruf c Terkait dengan tugas dan tanggung jawab ini, satuan kerja kepatuhan dapat melakukan antara lain: 1. menilai rancangan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur baru; dan 2. berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur berdasarkan informasi yang diperoleh. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “tugas lain yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan” antara lain: - 8 - 1. memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang; 2. melakukan sosialisasi kepada seluruh pegawai Bank mengenai hal-hal yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan terutama mengenai ketentuan yang berlaku; dan/atau 3. bertindak sebagai narahubung (contact person) untuk permasalahan kepatuhan Bank bagi pihak internal maupun eksternal. Pasal 16 Huruf a Laporan rencana kerja kepatuhan paling sedikit terdiri atas: a. rencana evaluasi pedoman internal; dan b. rencana kegiatan untuk mendorong dan/atau memelihara Budaya Kepatuhan, termasuk rencana sosialisasi ketentuan. Tata cara penyampaian rencana kerja kepatuhan yang dimuat dalam Rencana Bisnis Bank dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai rencana bisnis bank umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai rencana bisnis bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf b Laporan kepatuhan paling sedikit terdiri atas: a. pelaksanaan tugas Fungsi Kepatuhan; b. Risiko Kepatuhan yang dihadapi; c. potensi Risiko Kepatuhan yang diperkirakan dihadapi ke depan; dan d. mitigasi Risiko Kepatuhan yang telah dilaksanakan. Laporan kepatuhan disajikan secara komparatif dalam 2 (dua) periode laporan. Huruf c Laporan khusus direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengenai kebijakan dan/atau keputusan Direksi yang menyimpang dari ketentuan Otoritas Jasa Keuangan - 9 - dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan paling sedikit meliputi: a. nama Direksi beserta bidang tugasnya; b. tanggal pengambilan kebijakan atau keputusan kegiatan; c. aktivitas penyimpangan yang dilakukan; d. ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar; dan e. dampak yang ditimbulkan untuk jangka pendek dan jangka menengah baik secara finansial, gangguan terhadap kelangsungan usaha, maupun penurunan reputasi Bank. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”hari libur” adalah hari libur nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau hari libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Ayat (3) Contoh: Laporan kepatuhan periode bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2017, batas akhir waktu penyampaian laporan kepatuhan adalah tanggal 31 Juli 2017. Laporan kepatuhan tersebut dinyatakan terlambat disampaikan apabila diterima Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 1 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2017. Ayat (4) Laporan kepatuhan dinyatakan tidak disampaikan apabila sampai dengan tanggal 31 Agustus 2017 laporan kepatuhan tidak diterima Otoritas Jasa Keuangan atau diterima Otoritas Jasa Keuangan setelah tanggal 31 Agustus 2017. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. - 10 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengenaan sanksi administratif berupa denda tersebut tidak menghapus kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6095
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 46/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '13/2/PBI/2011' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 33 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai pedoman pengelolaan reksa dana berbentuk perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pedoman pengelolaan reksa dana berbentuk perseroan, ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai pedoman pengelolaan reksa dana berbentuk perseroan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual saham dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis efek yang diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang. 2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 3. Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh pihak. 4. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan setiap pihak dalam portofolio investasi kolektif. - 3 - 5. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai kustodian. 7. Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. 8. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 9. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau perusahaan publik. 10. Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 11. Afiliasi adalah: a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari Pihak tersebut; c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan di mana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama; d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut; - 4 - e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama; atau f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama. BAB II PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Pasal 2 Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah memperoleh izin usaha wajib memenuhi ketentuan: a. menugaskan Manajer Investasi yang telah memperoleh izin usaha untuk mengelola investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan dan melaksanakan kegiatan lainnya yang diperlukan serta menunjang fungsinya sebagai Manajer Investasi berdasarkan suatu pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; kontrak b. dalam hal Manajer Investasi menghentikan kegiatannya atas pengelolaan suatu Reksa Dana Berbentuk Perseroan dan tidak ada rencana yang dibuat untuk pengalihan atas kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau pembuatan kontrak Reksa Dana Berbentuk Perseroan baru, Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib dibubarkan; c. kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari sebagian besar anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan; d. semua pengalihan dari kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib didasarkan pada persetujuan sebagian besar anggota direksi; e. jabatan anggota direksi Reksa Dana Berbentuk Perseroan tidak diberikan kepada: 1. orang yang pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau anggota dewan komisaris yang - 5 - dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; dan 2. orang yang pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang pasar modal pada khususnya atau di bidang keuangan pada umumnya; f. setiap rencana pemutusan kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan sebagian besar anggota direksi dan pemutusan tersebut diberitahukan kepada para pemegang saham dan Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari atau dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum pemutusan kontrak dimaksud; dan g. Manajer Investasi wajib menyampaikan kepada direksi semua laporan, catatan, dan informasi material dan relevan lainnya, serta memberikan informasi lain yang berhubungan dengan pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang diminta oleh direksi untuk menilai kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Pasal 3 Setiap perubahan kebijakan dasar yang dimuat dalam kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau penunjukan dan perubahan akuntan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan sebagian besar anggota direksi, dan perubahan tersebut diberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan serta pemegang saham paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum berlakunya perubahan tersebut. Pasal 4 Otoritas Jasa Keuangan dapat menolak perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak pemberitahuan tersebut diterima. - 6 - Pasal 5 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak keberatan atas perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, perubahan dimaksud dengan sendirinya berlaku pada hari ke-61 (enam puluh satu) sejak tanggal diterimanya pemberitahuan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 Direksi wajib mempertimbangkan dengan teliti, baik terhadap calon profesi dan lembaga penunjang yang terkait dan persyaratan kontrak yang diajukan sebelum menyetujui, memperpanjang, atau menyetujui pengalihan dari setiap kontrak untuk kepentingan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. Pasal 7 Direksi wajib: a. melaksanakan pengawasan terus-menerus secara cermat dan teliti terhadap Reksa Dana Berbentuk Perseroan, termasuk pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh profesi dan lembaga penunjang terkait; dan b. meminta kepada profesi dan lembaga penunjang yang terkait semua dokumen, catatan, dan keterangan lain yang diperlukan untuk menilai kinerja profesi dan lembaga penunjang yang terkait tersebut. Pasal 8 Direksi dalam mempertimbangkan penunjukan Manajer Investasi paling sedikit wajib memperhatikan hal sebagai berikut: a. kemampuan Manajer Investasi; b. biaya Manajer Investasi; c. d. setiap manfaat selain biaya pengelolaan yang dibayarkan berdasarkan kontrak pengelolaan Reksa Dana Berbentuk jasa yang diberikan oleh Manajer Investasi selain jasa pengelolaan; dan - 7 - Perseroan, yang diperoleh Manajer Investasi atau pihak Afiliasi-nya. Pasal 9 Semua kontrak serta perubahannya wajib dibuat secara notariil. Pasal 10 Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dan yang telah dinyatakan efektif hanya dapat melakukan pembelian dan penjualan atas: a. Efek yang telah dijual dalam Penawaran Umum dan/atau dicatatkan di Bursa Efek baik di dalam maupun di luar negeri; b. instrumen pasar uang yang mempunyai jatuh tempo kurang dari 1 (satu) tahun, meliputi: 1. sertifikat Bank Indonesia; 2. surat berharga pasar uang; 3. surat pengakuan utang; 4. 5. sertifikat deposito baik dalam rupiah maupun dalam mata uang asing; dan obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; dan c. surat berharga komersial yang jatuh temponya di bawah 3 (tiga) tahun dan telah diperingkat oleh perusahaan pemeringkat Efek. Pasal 11 Dalam hal Pernyataan Pendaftaran saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat tertutup telah dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan, saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan tersebut dapat dicatatkan di Bursa Efek. Pasal 12 Manajer Investasi wajib memelihara semua catatan penting yang berkaitan dengan laporan keuangan dan pengelolaan - 8 - Reksa Dana Berbentuk Perseroan sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 13 Dalam hal Reksa Dana Berbentuk Perseroan melakukan Penawaran Umum berikutnya, Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib: a. mengumumkan secara harian nilai aktiva bersih dari sahamnya selama masa Penawaran Umum; dan b. menawarkan sahamnya pada harga yang sama atau lebih besar dari nilai aktiva bersih per saham. Pasal 14 Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib menghitung nilai aktiva bersih per saham setiap hari bursa bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka dan seminggu sekali bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat tertutup. Pasal 15 Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan dilarang melakukan tindakan yang dapat menyebabkan Reksa Dana Berbentuk Perseroan: a. membeli Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya tidak dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia; b. membeli Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia lebih dari 15% (lima belas persen) dari nilai aktiva bersih; c. membeli Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang telah mencatatkan Efek-nya pada Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor perusahaan dimaksud; d. membeli Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan lebih dari 10% (sepuluh persen) dari nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan pada setiap saat, - 9 - dengan ketentuan pembatasan ini termasuk pemilikan surat berharga yang dikeluarkan oleh bank tetapi tidak termasuk sertifikat Bank Indonesia dan obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; e. menjual saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka kepada setiap pemodal lebih dari 2% (dua persen) dari modal yang dikeluarkan, kecuali bagi Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka yang bersangkutan; f. membeli Efek beragun aset lebih dari 10% (sepuluh persen) dari nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan dengan ketentuan bahwa setiap jenis Efek beragun aset tidak lebih dari 5% (lima persen) dari nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan; g. membeli Efek yang tidak melalui Penawaran Umum dan/atau tidak dicatatkan di Bursa Efek, kecuali Efek pasar uang, obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; h. membeli Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi baik dengan Manajer Investasi maupun pemegang Unit Penyertaan lebih dari 20% (dua puluh persen) dari nilai aktiva bersih, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah; i. j. terlibat dalam kegiatan selain dari investasi, investasi kembali, atau perdagangan Efek; terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki; k. terlibat dalam membeli Efek secara margin; l. melakukan emisi obligasi atau sekuritas kredit; m. terlibat dalam berbagai bentuk pinjaman, kecuali pinjaman jangka pendek yang berkaitan dengan penyelesaian transaksi dan pinjaman tersebut tidak lebih dari 10% (sepuluh persen) dari nilai portofolio Reksa Dana Berbentuk Perseroan pada saat pembelian; n. membeli Efek yang sedang ditawarkan dalam Penawaran Umum dimana Manajer Investasi bertindak sebagai penjamin emisi dari Efek dimaksud; - 10 - o. terlibat dalam transaksi bersama atau kontrak bagi hasil dengan Manajer Investasi atau pihak Afiliasi-nya; p. membayar dividen selain berasal dari laba; q. membeli Efek beragun aset dimana Manajer Investasi-nya sama dengan Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan dan/atau terafiliasi dengan kreditur awal Efek beragun aset tersebut; atau r. membeli Efek beragun aset yang tidak tercatat pada Bursa Efek di Indonesia. Pasal 16 Setelah memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan, Manajer Investasi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka dapat menginstruksikan kepada Bank Kustodian dan agen penjual untuk melakukan penundaan pembelian kembali (pelunasan) apabila terjadi hal sebagai berikut: a. Bursa Efek di mana sebagian besar Portofolio Efek Reksa Dana Berbentuk Perseroan diperdagangkan ditutup; b. perdagangan Efek atas sebagian besar Portofolio Efek Reksa Dana Berbentuk Perseroan di Bursa dihentikan; c. keadaan darurat; atau d. terdapat hal lain yang ditetapkan dalam kontrak pengelolaan investasi setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 17 Manajer Investasi atau pihak Afiliasi-nya dapat membeli atau menjual saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat tertutup yang dikelola oleh Manajer Investasi tersebut, apabila nilai aktiva bersih dihitung, dinilai, dan diumumkan setiap hari. Pasal 18 Penjualan atau pembelian kembali saham (pelunasan) Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka dapat - 11 - dilakukan melalui Bank Kustodian atau agen penjual yang ditunjuk oleh Manajer Investasi. Pasal 19 Manajer Investasi dilarang terafiliasi dengan Bank Kustodian. Pasal 20 Pembayaran atas saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka yang dijual kembali oleh pemodal dilakukan sesegera mungkin, tidak lebih dari 7 (tujuh) hari kerja sejak diminta penjualan kembali oleh pemegang saham. Pasal 21 Nilai aktiva bersih awal untuk setiap saham dari Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka wajib ditetapkan sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah). Pasal 22 Laporan keuangan tahunan Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib diperiksa oleh akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan serta disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Manajer Investasi paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir. Pasal 23 Reksa Dana Berbentuk Perseroan wajib menerbitkan pembaruan prospektus yang disertai laporan keuangan tahunan terakhir serta disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Manajer Investasi paling lambat pada akhir bulan ke-3 (ketiga) setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir. Pasal 24 Dalam hal Reksa Dana Berbentuk Perseroan dibubarkan, biaya konsultan hukum, akuntan, dan beban lain kepada Pihak ketiga menjadi tanggung jawab dan wajib dibayar Manajer Investasi kepada pihak yang bersangkutan. - 12 - BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 25 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 26 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 13 - Pasal 27 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-13/PM/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.3 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 29 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 14 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 133 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 33 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-13/PM/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.3 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 3 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Dalam praktiknya “penjualan atas Efek yang belum dimiliki” dimaksud dikenal juga dengan sebutan short sale. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. - 4 - Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. - 5 - Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6080
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 33/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-13/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002', 'KEP-13/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.3' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2015 TENTANG SALINAN PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU REPUBLIK INDONESIA SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan Perusahaan Terbuka dalam penambahan modal dengan memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu dan meningkatkan kualitas keterbukaan informasi kepada masyarakat, perlu menyempurnakan peraturan mengenai pelaksanaan penambahan modal Perusahaan Terbuka yang memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu kepada pemegang saham dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain. 2. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. 3. Pembeli Siaga adalah Pihak yang akan membeli baik sebagian maupun seluruh sisa saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh pemegang HMETD. 4. Waran adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam) bulan sejak Efek dimaksud diterbitkan. 5. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Perusahaan Terbuka yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka. -3- Pasal 2 Jika Perusahaan Terbuka bermaksud melakukan penambahan modal melalui penerbitan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversi menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, Perusahaan Terbuka tersebut wajib memberikan HMETD kepada setiap pemegang saham sesuai dengan rasio tertentu terhadap persentase kepemilikan sahamnya. Pasal 3 Kewajiban memberikan HMETD dalam penerbitan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku jika Perusahaan Terbuka mengeluarkan saham berupa: a. Saham Bonus yang merupakan Dividen Saham sebagai hasil dari Saldo Laba yang dikapitalisasi menjadi modal; dan/atau b. Saham Bonus yang bukan merupakan Dividen Saham sebagai hasil dari agio saham atau unsur ekuitas lainnya yang dikapitalisasi menjadi modal. Pasal 4 HMETD merupakan hak yang dapat dialihkan dan dibuktikan dengan: a. catatan pemilikan dalam daftar pemegang saham Perusahaan Terbuka atau Biro Administrasi Efek; b. sertifikat HMETD yang dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka untuk pemegang saham yang terdaftar pada tanggal tertentu; c. kupon HMETD yang dapat dilepas dari surat saham; atau d. konfirmasi atau laporan rekening Efek yang diterbitkan oleh Kustodian. -4- Pasal 5 (1) Penambahan modal dengan memberikan HMETD yang dilakukan oleh Perusahaan Terbuka yang mempunyai lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham dilakukan dengan ketentuan: a. jika penerbitan saham dilakukan dalam setiap klasifikasi saham secara proporsional, pemegang saham wajib diberi HMETD sesuai dengan rasio tertentu terhadap persentase kepemilikan sahamnya dalam masing-masing klasifikasi saham; atau b. jika penerbitan saham: 1. dilakukan hanya pada 1 (satu) klasifikasi saham; 2. dilakukan pada semua klasifikasi saham namun tidak proporsional; atau 3. dilakukan melalui Penawaran Umum atas Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversi menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, pemegang saham wajib diberi HMETD sesuai dengan persentase pemilikan sahamnya dalam Perusahaan Terbuka. (2) Penambahan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh pemegang saham yang mewakili sebagian besar saham dalam setiap klasifikasi saham. Pasal 6 Dalam hal penambahan modal disertai dengan penerbitan Waran, jumlah Waran yang akan diterbitkan dan Waran yang telah beredar tidak boleh melebihi 35% (tiga puluh lima persen) dari jumlah saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh pada saat Pernyataan Pendaftaran disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. -5- Pasal 7 Perusahaan Terbuka dilarang melakukan penyesuaian jumlah Waran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kecuali dalam hal terjadi pemecahan saham atau penggabungan saham. BAB II PERSYARATAN PENAMBAHAN MODAL Pasal 8 (1) Dalam melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD, Perusahaan Terbuka wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah memperoleh persetujuan RUPS; b. telah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan c. Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada huruf b sudah menjadi efektif. (2) Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dan anggaran dasar Perusahaan Terbuka. (3) Jangka waktu antara tanggal persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan efektifnya Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan. Pasal 9 (1) Dalam hal penyetoran atas saham dilakukan dalam bentuk lain selain uang, penyetoran dengan bentuk lain selain uang dimaksud wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. terkait langsung dengan rencana penggunaan dana; dan -6- b. menggunakan Penilai untuk menentukan nilai wajar dari bentuk lain selain uang yang digunakan sebagai penyetoran dan kewajaran transaksi penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang; (2) Jangka waktu antara tanggal penilaian dan tanggal penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 10 Dalam hal penyetoran atas saham berupa hak tagih kepada Perusahaan Terbuka yang dikompensasikan sebagai setoran saham, hak tagih tersebut harus sudah dimuat dalam laporan keuangan terakhir Perusahaan Terbuka yang telah diaudit oleh Akuntan. Pasal 11 Penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan penyetoran atas saham berupa hak tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib memenuhi peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang dan kompensasi hak tagih sebagai setoran saham. BAB III PENGGUNAAN DANA Pasal 12 Jika Perusahaan Terbuka bermaksud melakukan penambahan modal yang penggunaan dananya digunakan untuk melakukan transaksi dengan nilai tertentu yang telah ditetapkan, dalam penambahan modal dimaksud wajib terdapat Pembeli Siaga yang menjamin untuk membeli sisa saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya paling rendah pada harga penawaran atas saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya, yang tidak dilaksanakan oleh pemegang HMETD. -7- Pasal 13 Dalam hal sebagian atau seluruh dana hasil penambahan modal dengan memberikan HMETD digunakan untuk Transaksi Afiliasi dan/atau Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan, Perusahaan Terbuka wajib memenuhi ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan peraturan perundangan-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu. Pasal 14 (1) Dalam hal sebagian atau seluruh dana hasil penambahan modal dengan memberikan HMETD digunakan untuk Transaksi Material, Perusahaan Terbuka wajib memenuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama. (2) Dalam hal sebagian atau seluruh dana hasil penambahan modal dengan memberikan HMETD digunakan untuk Transaksi Material yang memerlukan persetujuan RUPS dan pada saat RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a belum memenuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama, meskipun keterbukaan informasi dalam rangka Transaksi Material tersebut telah diungkapkan secara lengkap dalam Prospektus yang digunakan dalam Penawaran Umum untuk penambahan modal dengan memberikan HMETD dimaksud, Perusahaan Terbuka wajib melaksanakan RUPS untuk memperoleh persetujuan atas Transaksi Material tersebut. -8- BAB IV KETERBUKAAN INFORMASI DALAM RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM Pasal 15 (1) Perusahaan Terbuka yang melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada pemegang saham wajib mengumumkan informasi mengenai rencana penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada pemegang saham paling lambat bersamaan dengan pengumuman RUPS dengan memenuhi Prinsip Keterbukaan yang paling sedikit memuat: a. jumlah maksimal rencana pengeluaran saham dengan memberikan HMETD termasuk Efek yang menyertainya; b. perkiraan periode pelaksanaan penambahan modal apabila sudah dapat ditentukan; c. analisis mengenai pengaruh penambahan modal terhadap kondisi keuangan dan pemegang saham; d. perkiraan secara garis besar penggunaan dana; dan e. informasi mengenai penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang termasuk informasi mengenai hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b (jika ada). (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau Situs Web Bursa Efek; dan b. Situs Web Perusahaan Terbuka. (3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud. -9- Pasal 16 Dalam hal terdapat perubahan atas hal-hal yang telah diputuskan oleh RUPS dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD, Perusahaan Terbuka wajib mengadakan RUPS kembali untuk menyetujui perubahan tersebut sebelum Perusahaan Terbuka menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB V PERNYATAAN PENDAFTARAN Pasal 17 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan wajib mengikuti peraturan perundangan-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran. Pasal 18 Dalam rangka penyampaian Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Perusahaan Terbuka harus menyampaikan dokumen paling sedikit terdiri dari: a. surat pengantar dalam bentuk dan isi sesuai dengan format surat pengantar Pernyataan Pendaftaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. Prospektus; dan c. dokumen lain sebagai bagian dari Pernyataan Pendaftaran tersebut. Pasal 19 Dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c paling sedikit meliputi: a. surat pernyataan dari Pembeli Siaga yang menyatakan -10- Pembeli Siaga memiliki dana yang cukup dan sanggup untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian pembelian sisa Efek, jika terdapat Pembeli Siaga; b. surat pernyataan dari pemegang saham utama Perusahaan Terbuka yang menyatakan pemegang saham utama memiliki dana yang cukup dan sanggup untuk melaksanakan HMETD yang dimilikinya, jika pemegang saham utama berkomitmen untuk mengambil saham yang diterbitkan Perusahaan Terbuka melalui pelaksanaan HMETD yang akan diperolehnya berdasarkan proporsi kepemilikan saham pemegang saham utama dimaksud; c. surat pernyataan dari pemegang saham utama yang menyatakan pemegang saham utama akan mengalihkan HMETD yang akan diperolehnya berdasarkan proporsi kepemilikan saham pemegang saham utama kepada pihak lain, jika terdapat pemegang saham utama yang akan mengalihkan HMETD yang dimilikinya dimaksud; d. surat pernyataan dari pihak yang akan memperoleh pengalihan HMETD dari pemegang saham utama sebagaimana dimaksud pada huruf c yang menyatakan pihak dimaksud memiliki dana yang cukup untuk melaksanakan HMETD yang diperoleh dari pemegang saham utama, jika pihak dimaksud berkomitmen untuk mengambil saham yang diterbitkan Perusahaan Terbuka melalui pelaksanaan HMETD yang diperolehnya dari pemegang saham utama tersebut; e. bukti kecukupan dana dari masing-masing pihak untuk mendukung masing-masing surat pernyataannya sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf d; f. rencana jadwal penambahan modal dengan memberikan HMETD; g. perjanjian mengenai pembelian sisa Efek (jika ada); h. dalam rangka penerbitan HMETD untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi: -11- 1. kontrak Perwaliamanatan; 2. perjanjian penanggungan (jika ada); dan 3. i. hasil pemeringkatan Efek, kecuali untuk Efek bersifat utang yang wajib dikonversi menjadi saham; laporan keuangan interim yang telah diaudit Akuntan dengan ketentuan: 1. jika laporan keuangan tahunan terakhir yang telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan akan berumur lebih dari 6 (enam) bulan pada saat Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif; dan 2. jangka waktu antara tanggal laporan keuangan interim yang diaudit Akuntan dan efektifnya Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 6 (enam) bulan; j. Comfort Letter sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Penyusunan Comfort Letter; k. surat pernyataan manajemen di bidang akuntansi sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pedoman Penyusunan Surat Pernyataan Manajemen Dalam Bidang Akuntansi; l. dokumen pendukung tentang prakiraan dan/atau proyeksi keuangan beserta laporan Akuntan atas proyeksi keuangan, jika diungkapkan dalam Prospektus; m. laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi hukum yang berkaitan dengan aspek hukum dari penambahan modal dengan memberikan HMETD termasuk penggunaan dananya; n. surat pencabutan pembatasan yang dapat merugikan kepentingan pemegang saham publik dari kreditur; o. pernyataan dari Perusahaan Terbuka dalam bentuk dan isi sesuai dengan format surat Pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; -12- p. pernyataan Profesi Penunjang Pasar Modal dalam bentuk dan isi sesuai dengan format surat Pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; q. dokumen lain yang harus disampaikan dalam hal penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang adalah: 1. laporan Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b; 2. laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi hukum atas objek penyetoran; dan 3. laporan keuangan perusahaan lain yang diaudit yang menjadi objek penyetoran untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir atau sejak berdirinya, dalam hal objek penyetoran adalah saham perusahaan lain; dan r. informasi lain sesuai dengan permintaan Otoritas Jasa Keuangan yang dipandang perlu dalam penelaahan Pernyataan Pendaftaran, sepanjang dapat diumumkan kepada masyarakat tanpa merugikan kepentingan Perusahaan Terbuka. Pasal 20 Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta informasi dan/atau dokumen lain yang tidak merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran dan tidak dimaksudkan untuk diumumkan kepada masyarakat karena dapat merugikan kepentingan Perusahaan Terbuka atau Pihak terafiliasi Perusahaan Terbuka yang meliputi: a. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak dari anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham utama; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk dari anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham utama perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia atau dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah tangga -13- atau yang setara serta fotokopi identitas pengurus, jika pemegang saham utama adalah non orang perseorangan; c. fotokopi paspor atau tanda bukti lain dari anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham utama perseorangan yang merupakan Warga Negara Asing atau dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah tangga atau yang setara serta fotokopi identitas pengurus, jika pemegang saham utama adalah non orang perseorangan; d. surat pernyataan dari pihak yang membantu penyusunan Prospektus: 1. surat pernyataan persetujuan pencantuman nama pihak tersebut di Prospektus; dan/atau 2. surat pencabutan dalam hal pihak tersebut mencabut persetujuannya; e. surat pernyataan bermeterai cukup dari anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris tentang keterlibatan atau tidaknya dalam perkara hukum; f. keterangan lain yang mendukung kecukupan dan ketelitian dari pengungkapan yang diwajibkan dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD (jika ada); dan/atau g. dokumen lain yang dibutuhkan yang tidak merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran dan tidak dimaksudkan untuk diumumkan kepada masyarakat karena dapat merugikan kepentingan Perusahaan Terbuka atau Pihak terafiliasi Perusahaan Terbuka. Pasal 21 (1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan informasi bersamaan dengan penyampaian Pernyataan Pendaftaran, paling sedikit memuat: a. nama lengkap Perusahaan Terbuka, alamat kantor pusat, telepon, Situs Web, faksimili, kotak pos (jika ada), dan surat elektronik; -14- b. uraian mengenai Efek yang diterbitkan dalam pelaksanaan HMETD; c. tanggal dan hasil keputusan RUPS yang menyetujui penambahan modal dengan memberikan HMETD; d. tanggal pencatatan pemegang saham yang berhak atas HMETD pada daftar pemegang saham atau nomor kupon untuk menentukan HMETD; e. tanggal terakhir dari pelaksanaan HMETD dan informasi bahwa HMETD yang tidak dilaksanakan pada tanggal tersebut tidak berlaku lagi, dan tanggal terakhir pembayaran saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dalam pelaksanaan HMETD; f. periode perdagangan HMETD; g. harga saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya pada saat pelaksanaan oleh pemegang HMETD dengan membayar saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dimaksud atau indikasi harga dan/atau metode penentuan harga saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya pada saat pelaksanaan HMETD dengan membayar saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dimaksud, dalam hal harga pelaksanaan belum dapat ditentukan; h. rasio HMETD atas saham atau indikasi rasio HMETD atas saham dalam hal rasio belum dapat ditentukan; i. j. uraian mengenai perlakuan HMETD dalam bentuk pecahan; rasio Waran dengan saham yang akan diterbitkan atau indikasi rasio Waran dengan saham yang akan diterbitkan, dalam hal rasio Waran belum dapat ditentukan; k. tata cara pemesanan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam l. penambahan modal dengan memberikan HMETD; uraian mengenai tata cara pengalihan HMETD; -15- m. uraian mengenai perlakuan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam penambahan modal dengan memberikan HMETD yang tidak diambil oleh yang berhak; n. tata cara penerbitan dan penyampaian bukti HMETD serta saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; o. nama Bursa Efek tempat dicatatkan dan diperdagangkannya HMETD dan saham yang mendasarinya (jika ada); p. keterangan tentang rencana Perusahaan Terbuka untuk mengeluarkan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal efektif (jika ada); q. pernyataan yang menyatakan pemegang saham utama akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan menerima pengalihan HMETD (jika ada); r. keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka (jika ada) paling sedikit meliputi: 1. nama Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka; 2. alamat domisili atau kantor pusat Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka; 3. bidang usaha (jika ada); 4. status badan hukum (jika ada); 5. susunan pengurus dan pengawas (jika ada); 6. struktur permodalan atau informasi yang setara; 7. penerima manfaat dari calon Pengendali baru (jika ada); 8. sumber dana yang digunakan oleh Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka; -16- 9. sifat hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Terbuka (jika ada); 10. keterangan mengenai porsi yang akan diambil oleh Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka; 11. uraian tentang persyaratan penting dari perjanjian pembelian sisa Efek atau persetujuan untuk membeli Efek oleh Pembeli Siaga; dan 12. uraian tentang persetujuan dari pihak yang berwenang (jika ada). s. dampak dilusi bagi pemegang saham dari penerbitan saham baru; t. rencana penggunaan dana hasil penambahan modal dengan memberikan HMETD; u. ringkasan manajemen; v. informasi tentang tempat Prospektus dapat diperoleh; dan w. uraian mengenai penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang paling sedikit: 1. keterangan tentang objek penyetoran; 2. hasil penilaian atas nilai wajar objek penyetoran dan kewajaran transaksi penyetoran; 3. nama pihak yang melakukan penyetoran; dan 4. nilai setoran modal. (2) Dalam rangka penerbitan HMETD untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham, selain informasi sebagaimana dimaksud ayat (1), Perusahaan Terbuka harus menambahkan informasi paling sedikit meliputi sebagai berikut: a. hak para pemegang Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; b. sifat Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; analisis dan pembahasan oleh -17- c. sifat Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham yang memungkinkan pelunasan lebih dini atas pilihan Perusahaan Terbuka atau pemegang Efek dimaksud; d. harga dan tingkat suku bunga dari Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham, dengan ketentuan: 1. dalam hal suku bunga ditetapkan mengambang, harus diuraikan cara penentuan tingkat suku bunga yang mengambang tersebut; dan 2. dalam hal harga pelaksanaan dan tingkat suku bunga dari Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham belum dapat ditentukan, harus diungkapkan indikasi harga pelaksanaan dan tingkat suku bunga, dan/atau metode penentuan harga pelaksanaan dan tingkat suku bunga. e. hasil pemeringkatan Efek bersifat utang yang dapat dikonversi menjadi saham dan nama Pemeringkat Efek; f. jadwal pelunasan atau cicilan termasuk jumlahnya; g. jadwal pembayaran bunga; h. jadwal konversi Efek bersifat utang menjadi saham; i. ketentuan tentang dana pelunasan (jika ada); j. mata uang yang menjadi denominasi utang dan mata uang lain yang menjadi alternatif (jika ada) digunakan dalam penerbitan Efek utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham dimaksud (jika ada); dan k. nama, alamat kantor pusat, dan uraian mengenai pihak-pihak yang bertindak sebagai Wali Amanat dan Penanggung (jika ada). -18- (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau Situs Web Bursa Efek; dan b. Situs Web Perusahaan Terbuka. BAB VI PERMINTAAN PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN INFORMASI Pasal 22 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi untuk tujuan penelaahan atau pengungkapan kepada masyarakat. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan meminta perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pernyataan Pendaftaran dianggap disampaikan kembali pada tanggal perubahan dimaksud disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Perusahaan Terbuka harus menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan Otoritas Jasa Keuangan. (4) Pernyataan Pendaftaran menjadi batal apabila dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud ayat (3), Perusahaan Terbuka tidak memberikan tanggapan. (5) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak meminta perubahan dan tambahan informasi dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau perubahan dan tambahan informasi terakhir dari Pernyataan Pendaftaran kepada -19- Otoritas Jasa Keuangan, Pernyataan Pendaftaran dianggap telah disampaikan secara lengkap dan memenuhi persyaratan serta prosedur yang ditetapkan. Pasal 23 (1) Perusahaan Terbuka wajib mengumumkan perubahan dan/atau penambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit melalui: a. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau Situs Web Bursa Efek; dan b. Situs Web Perusahaan Terbuka. BAB VII EFEKTIFNYA PERNYATAAN PENDAFTARAN Pasal 24 Pernyataan Pendaftaran dapat menjadi efektif dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: a. atas dasar lewatnya waktu, yakni: 1. 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal Pernyataan Pendaftaran diterima Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap; atau 2. 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal perubahan terakhir yang disampaikan Perusahaan Terbuka atau yang diminta Otoritas Jasa Keuangan dipenuhi; atau b. atas dasar pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada lagi perubahan dan/atau tambahan informasi lebih lanjut yang diperlukan. -20- Pasal 25 Sebelum Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif, seluruh informasi mengenai penerbitan HMETD wajib telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap termasuk kepastian harga pelaksanaan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya. BAB VIII PENCATATAN, PERDAGANGAN, DAN DISTRIBUSI HMETD Pasal 26 Dalam hal saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang mendasari HMETD tercatat di Bursa Efek, Perusahaan Terbuka wajib mencatatkan HMETD tersebut di Bursa Efek yang sama. Pasal 27 Bursa Efek wajib secara otomatis mencatatkan HMETD yang berhubungan dengan Efek yang tercatat tanpa biaya pencatatan tambahan. Pasal 28 Dalam hal Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan dari pelaksanaan HMETD berbeda dari Efek Bersifat Ekuitas yang mendasari atas mana HMETD melekat dan berbeda dari Efek Bersifat Ekuitas lain dari Perusahaan Terbuka tersebut yang telah tercatat di Bursa Efek, Efek Bersifat Ekuitas tersebut tidak wajib dicatatkan di Bursa Efek. Pasal 29 HMETD yang tercatat di Bursa Efek dapat juga diperdagangkan di luar Bursa Efek. Pasal 30 Pemegang saham Perusahaan Terbuka yang berhak atas HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf -21- d adalah pemegang saham yang tercatat pada daftar pemegang saham 8 (delapan) hari kerja setelah efektifnya Pernyataan Pendaftaran. Pasal 31 Bukti HMETD wajib tersedia dan didistribusikan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah tanggal daftar pemegang saham yang berhak atas HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Pasal 32 Perusahaan Terbuka wajib menyediakan Prospektus yang dipersyaratkan sebagai bagian dari Pernyataan Pendaftaran bagi pemegang saham paling lambat pada saat distribusi HMETD. Pasal 33 Dalam hal pemegang saham mempunyai HMETD dalam bentuk pecahan, hak atas pecahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dalam penambahan modal dengan memberikan HMETD tersebut wajib dijual oleh Perusahaan Terbuka dan hasil penjualannya dimasukkan ke dalam rekening Perusahaan Terbuka. Pasal 34 Perdagangan HMETD dimulai setelah berakhirnya distribusi HMETD dan berlangsung selama paling singkat 5 (lima) hari kerja dan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal distribusi HMETD berakhir. Pasal 35 Sertifikat HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b atau kupon HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c wajib tersedia sebelum dimulai dan selama periode perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. -22- Pasal 36 (1) HMETD dapat dilaksanakan selama periode perdagangan. (2) Saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya hasil pelaksanaan HMETD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib sudah diterbitkan dan tersedia paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah HMETD dilaksanakan. Pasal 37 (1) Dalam hal terjadi pelaksanaan HMETD, Perusahaan Terbuka wajib memberikan tanda terima sebagai bukti bahwa hak telah dilaksanakan. (2) Tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menunjukkan apakah pemegang HMETD atau pemegang saham bermaksud memesan tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang berasal dari HMETD yang tidak dilaksanakan. (3) Perusahaan Terbuka wajib menyimpan tembusan dari tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat jumlah tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang dipesan. BAB IX PENJATAHAN TAMBAHAN SAHAM DAN/ATAU EFEK BERSIFAT EKUITAS LAINNYA Pasal 38 (1) Perusahaan Terbuka wajib mengadakan alokasi saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak dipesan pada harga pemesanan yang sama kepada semua pemegang saham yang menyatakan berminat untuk membeli tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya pada periode pelaksanaan HMETD dimaksud. (2) Dalam hal jumlah permintaan atas saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak dipesan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi saham dan/atau Efek -23- Bersifat Ekuitas lainnya yang tersedia, Efek dimaksud akan dijatahkan secara proporsional berdasarkan atas jumlah HMETD yang dilaksanakan oleh masing-masing pemegang saham yang meminta penambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya berdasarkan harga pemesanan. Pasal 39 (1) Para pemesan tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya wajib menyerahkan pembayaran penuh kepada Perusahaan Terbuka untuk tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah berakhirnya perdagangan HMETD. (2) Penjatahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) ditetapkan dalam 1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya pembayaran pesanan tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya. (3) Perusahaan Terbuka wajib mengembalikan uang untuk bagian pemesanan tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak terpenuhi paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penjatahan. BAB X LAPORAN PELAKSANAAN HMETD DAN DOKUMENTASI Pasal 40 Perusahaan Terbuka wajib menunjuk Akuntan untuk melakukan pemeriksaan khusus mengenai pelaksanaan HMETD. Pasal 41 (1) Laporan hasil pemeriksaan mengenai kewajaran pelaksanaan HMETD wajib disampaikan oleh Perusahaan Terbuka kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penjatahan berakhir. -24- (2) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, laporan hasil pemeriksaan mengenai kewajaran pelaksanaan HMETD wajib disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 42 Perusahaan Terbuka wajib menyampaikan Prospektus dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan sebanyak 5 (lima) eksemplar beserta salinan elektroniknya paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah distribusi HMETD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Pasal 43 Setelah penjatahan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) selesai dilaksanakan, semua dokumen yang berhubungan dengan pelaksanaan HMETD termasuk tembusan tanda terima pemesanan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dan pembayaran pemesanannya wajib disimpan oleh Perusahaan Terbuka untuk jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun. BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 44 (1) Kecuali ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bursa Efek wajib mencatat Efek yang sama dengan Efek yang tercatat dan yang timbul dari: a. pelaksanaan HMETD, Waran atau Efek yang dapat dikonversikan menjadi saham; b. penerbitan saham yang berasal dari kapitalisasi Saldo Laba dan/atau modal disetor lainnya seperti Dividen Saham atau Saham Bonus; atau c. pemecahan saham. -25- (2) Biaya pencatatan atas Efek yang timbul sebagai akibat adanya pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada perhitungan yang sama dengan Efek sejenis yang berlaku. BAB XII KETENTUAN SANKSI Pasal 45 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. -26- Pasal 46 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 47 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 kepada masyarakat. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 48 Bagi Perusahaan Terbuka yang akan melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD dan telah menyampaikan mata acara rapat mengenai penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, penambahan modal dengan memberikan HMETD oleh Perusahaan Terbuka dimaksud tetap mengikuti Peraturan Nomor IX.D.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-26/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 49 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-26/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Hak -27- Memesan Efek Terlebih Dahulu beserta Peraturan Nomor IX.D.1 yang merupakan lampirannya; dan 2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-08/PM/2000 tanggal 13 Maret 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu beserta Peraturan Nomor IX.D.2 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 50 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, kewajiban penyertaan dokumen hasil pemeringkatan Efek dalam Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum untuk penambahan modal dengan memberikan HMETD dan kewajiban pemeringkatan atas Efek Bersifat Utang yang jatuh temponya lebih dari 1 (satu) tahun yang wajib dikonversi menjadi saham yang diterbitkan Emiten melalui Penawaran Umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.11, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 712/BL/2012 tanggal 26 Desember 2012 tentang Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 51 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -28- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 307 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 32/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU </reg_title> <set_date> 16 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 22 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-26/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003', 'Kep-08/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'Kep-712/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.11' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /POJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengarahkan kegiatan operasional Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sesuai dengan visi dan misinya, Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah perlu menetapkan sasaran strategis dan nilai- nilai perusahaan yang dijabarkan lebih lanjut dalam rencana bisnis; b. bahwa rencana bisnis perlu disusun secara matang dan realistis dengan memperhatikan faktor ekstern dan intern yang dapat memengaruhi kelangsungan usaha Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat, serta bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah perlu mempertimbangkan prinsip syariah; c. bahwa rencana bisnis merupakan salah satu acuan bagi pengawas Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam menyusun rencana pengawasan yang optimal dan efektif; - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Rencana Bisnis Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/17/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4787); 5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5629); 6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik - 3 - Indonesia Tahun 2015 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5685); 7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5686); 8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 9. Peraturan 13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 272, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5761); Otoritas Jasa Keuangan 3/POJK.03/2016 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5839); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR yaitu Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Nomor - 4 - 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS yaitu Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana pengembangan dan kegiatan usaha BPR atau BPRS dalam jangka waktu tertentu serta strategi untuk merealisasikan rencana tersebut sesuai target dan waktu yang ditetapkan. 4. Laporan Realisasi Rencana Bisnis adalah laporan yang disusun oleh Direksi BPR atau BPRS mengenai realisasi Rencana Bisnis sampai dengan periode tertentu. 5. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis adalah laporan yang disusun oleh Dewan Komisaris BPR atau BPRS mengenai hasil pengawasan yang bersangkutan terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis sampai dengan periode tertentu. 6. Direksi: a. bagi BPR atau BPRS berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah - 5 - sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 7. Dewan Komisaris: a. bagi BPR atau BPRS berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pasal 2 (1) BPR dan BPRS wajib menyusun Rencana Bisnis secara realistis setiap tahun. - 6 - (2) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Dewan Komisaris. (3) Rencana Bisnis yang disusun oleh BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana jangka pendek, jangka menengah, dan/atau rencana strategis jangka panjang. (4) Rencana strategis jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dan ditetapkan setiap 5 (lima) tahun. (5) Cakupan materi yang tercantum dalam rencana strategis jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diubah dalam periode 5 (lima) tahun tersebut sesuai kebutuhan BPR dan BPRS. Pasal 3 (1) BPR dan BPRS harus menyusun Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dengan memperhatikan: a. faktor ekstern dan intern yang dapat memengaruhi kelangsungan usaha BPR dan BPRS; b. prinsip kehati-hatian; dan c. asas perbankan yang sehat. (2) Selain memperhatikan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPRS harus menyusun Rencana Bisnis dengan memperhatikan prinsip syariah. Pasal 4 (1) Direksi wajib melaksanakan Rencana Bisnis secara efektif. (2) Direksi wajib mengomunikasikan Rencana Bisnis kepada: a. pemegang saham BPR atau BPRS; dan b. seluruh jenjang organisasi pada BPR atau BPRS. Pasal 5 Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis. - 7 - BAB II CAKUPAN RENCANA BISNIS Pasal 6 Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit meliputi: a. ringkasan eksekutif; b. strategi bisnis dan kebijakan; c. proyeksi laporan keuangan; d. target rasio-rasio dan pos-pos keuangan; e. rencana penghimpunan dana; f. rencana penyaluran dana; g. rencana permodalan; h. rencana pengembangan organisasi, teknologi informasi dan Sumber Daya Manusia (SDM); i. j. rencana pelaksanaan kegiatan usaha baru atau rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru; rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; dan k. informasi lainnya. Pasal 7 (1) Ringkasan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a paling sedikit meliputi: a. rencana dan langkah-langkah strategis yang akan ditempuh oleh BPR atau BPRS; b. indikator keuangan utama; dan c. target jangka pendek dan jangka menengah. (2) Rencana dan langkah-langkah strategis yang akan ditempuh oleh BPR atau BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dijelaskan dalam jangka pendek untuk periode 1 (satu) tahun, jangka menengah untuk periode 3 (tiga) tahun, dan rencana strategis jangka panjang untuk periode 5 (lima) tahun. (3) Indikator keuangan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi kinerja BPR atau BPRS dan proyeksi dari faktor permodalan, kualitas aset, - 8 - rentabilitas, dan likuiditas sesuai dengan penilaian tingkat kesehatan BPR atau BPRS. (4) Indikator keuangan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling sedikit meliputi kinerja BPR atau BPRS: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; dan c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran, dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas sesuai dengan penilaian tingkat kesehatan BPR atau BPRS. (5) Indikator keuangan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling sedikit meliputi kinerja BPR atau BPRS: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran; dan d. proyeksi akhir tahun kedua dan ketiga yang disajikan secara tahunan, dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas sesuai dengan penilaian tingkat kesehatan BPR atau BPRS. (6) Target jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah target kegiatan usaha BPR atau BPRS selama 1 (satu) tahun ke depan, paling sedikit meliputi penurunan Non Performing Loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF), peningkatan fungsi intermediasi, dan peningkatan efisiensi. - 9 - (7) Target jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bagi BPR atau BPRS adalah target kegiatan usaha selama 3 (tiga) tahun ke depan, paling sedikit meliputi upaya penguatan permodalan, serta penerapan tata kelola dan manajemen risiko BPR yang mengacu pada ketentuan mengenai tata kelola dan manajemen risiko bagi BPR atau BPRS. (8) Dalam hal belum terdapat ketentuan khusus yang mengatur mengenai penerapan tata kelola BPRS dan manajemen risiko BPRS, target penerapan tata kelola dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mengacu pada ketentuan mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan BPRS. Pasal 8 (1) Strategi bisnis dan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b paling sedikit meliputi: a. visi dan misi BPR atau BPRS; b. arah kebijakan BPR atau BPRS; c. kebijakan tata kelola dan manajemen risiko BPR atau BPRS; d. analisis posisi BPR atau BPRS dalam persaingan usaha berdasarkan aset dan/atau lokasi; e. strategi penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan jenis usaha; dan f. strategi pengembangan bisnis. (2) Dalam hal belum terdapat ketentuan khusus yang mengatur mengenai kebijakan tata kelola BPRS dan manajemen risiko BPRS, kebijakan tata kelola dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mengacu pada ketentuan mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan BPRS. - 10 - Pasal 9 (1) Proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c paling sedikit meliputi: a. neraca; dan b. laba rugi. (2) BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menyampaikan proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; dan c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran. (3) BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menyampaikan proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. proyeksi akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; c. proyeksi 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran; dan d. proyeksi akhir tahun kedua dan ketiga yang disajikan secara tahunan. Pasal 10 (1) Target rasio-rasio dan pos-pos keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d paling sedikit meliputi: a. target rasio keuangan pokok; dan b. target rasio pos-pos tertentu lainnya. (2) BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menyampaikan target rasio keuangan pokok dan target - 11 - pos-pos tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. b. c. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; target akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; dan target 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran. (3) BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) wajib menyampaikan target rasio keuangan pokok dan target pos-pos tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. b. c. d. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; target akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; target 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran; dan target akhir tahun kedua dan ketiga yang disajikan secara tahunan. Pasal 11 Rencana penghimpunan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e paling sedikit meliputi: a. rencana penghimpunan dana pihak ketiga; dan b. rencana pendanaan lainnya. Pasal 12 Rencana penyaluran dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f paling sedikit meliputi: a. rencana penyaluran dana kepada pihak terkait; b. rencana penempatan pada bank lain; c. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan kepada bank lain; d. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan kepada debitur inti; - 12 - e. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan sektor ekonomi yang menjadi prioritas dalam penyaluran kredit atau pembiayaan; f. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan jenis penggunaan; g. rencana penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan jenis usaha; dan h. rencana penyaluran pembiayaan berdasarkan akad bagi BPRS. Pasal 13 (1) Rencana permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf g paling sedikit meliputi: a. rencana pemenuhan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) dan rasio modal inti; b. rencana pemenuhan modal inti minimum; dan c. rencana penambahan modal. (2) BPR atau BPRS yang belum memenuhi kewajiban pemenuhan modal inti minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR atau BPRS, wajib menyampaikan rencana pemenuhan modal inti minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk: a. posisi aktual akhir bulan Oktober tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; b. rencana akhir bulan Desember tahun penyusunan Rencana Bisnis BPR atau BPRS; c. rencana 1 (satu) tahun ke depan yang disajikan secara semesteran; dan d. rencana akhir tahun kedua, ketiga, keempat, dan kelima yang disajikan secara tahunan. - 13 - Pasal 14 Rencana pengembangan organisasi, teknologi informasi, dan SDM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf h paling sedikit meliputi: a. rencana pengembangan organisasi; b. rencana pengembangan dan pengadaan teknologi informasi yang bersifat mendasar; c. rencana pengembangan SDM termasuk pemenuhan SDM; dan d. rencana pemanfaatan tenaga kerja alih daya. Pasal 15 (1) Rencana pelaksanaan kegiatan usaha baru untuk BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i paling sedikit meliputi: a. rencana pelaksanaan kegiatan usaha yang memerlukan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan b. rencana pelaksanaan kegiatan usaha yang harus dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru untuk BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i paling sedikit meliputi: a. rencana penerbitan produk baru; dan b. rencana pelaksanaan aktivitas baru. Pasal 16 Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf j paling sedikit meliputi: a. rencana pemindahan alamat kantor pusat; b. rencana pembukaan, pemindahan alamat dan/atau penutupan kantor cabang dan/atau kantor kas; c. rencana pelaksanaan kegiatan pelayanan kas dan rencana penutupan kegiatan pelayanan kas berupa kas keliling, payment point, dan perangkat perbankan elektronis; dan - 14 - d. rencana pemindahan payment point dan lokasi perangkat Automated Teller Machine dan/atau Automated Deposit Machine. Pasal 17 Informasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf k paling sedikit meliputi informasi yang diperkirakan memengaruhi kegiatan usaha BPR atau BPRS, namun belum disebutkan dalam cakupan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a sampai dengan huruf j. BAB III PENYAMPAIAN, PERUBAHAN, DAN PELAPORAN RENCANA BISNIS Pasal 18 (1) BPR dan BPRS wajib menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 15 Desember sebelum tahun Rencana Bisnis dimulai. (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR dan BPRS untuk melakukan presentasi atau memberikan penjelasan yang menyeluruh mengenai Rencana Bisnis yang disampaikan oleh BPR dan BPRS. Pasal 19 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta BPR dan BPRS untuk melakukan penyesuaian terhadap Rencana Bisnis yang disampaikan oleh BPR dan BPRS, apabila: a. Rencana Bisnis dinilai belum memenuhi cakupan Rencana Bisnis sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan/atau b. proyeksi, target atau rencana yang disampaikan dalam Rencana Bisnis dinilai tidak realistis. (2) BPR dan BPRS wajib menyampaikan penyesuaian terhadap Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 - 15 - (tiga puluh) hari setelah tanggal surat Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 20 (1) BPR dan BPRS hanya dapat melakukan perubahan terhadap Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, apabila: a. terdapat faktor ekstern dan intern yang secara signifikan memengaruhi operasional BPR atau BPRS; dan/atau b. terdapat faktor yang secara signifikan memengaruhi kinerja BPR atau BPRS, berdasarkan pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR dan BPRS untuk melakukan presentasi atau memberikan penjelasan yang menyeluruh mengenai perubahan Rencana Bisnis. (3) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali, dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada akhir bulan Juni tahun berjalan. (4) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilaksanakan paling cepat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penyampaian perubahan Rencana Bisnis. Pasal 21 (1) BPR dan BPRS wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara semesteran. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan setelah semester dimaksud berakhir. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pencapaian Rencana Bisnis yaitu perbandingan antara rencana dengan realisasi; - 16 - b. penjelasan mengenai penyebab dan kendala terjadinya perbedaan antara rencana dengan realisasi Rencana Bisnis; dan c. upaya tindak lanjut yang telah dan akan dilakukan untuk memperbaiki pencapaian realisasi Rencana Bisnis. Pasal 22 (1) BPR dan BPRS wajib menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis secara semesteran. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan setelah semester dimaksud berakhir. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi penilaian Dewan Komisaris mengenai: a. b. c. pelaksanaan Rencana Bisnis baik secara kuantitatif maupun kualitatif; faktor-faktor yang memengaruhi kinerja BPR atau BPRS; penerapan tata kelola dan manajemen risiko BPR atau BPRS; dan d. upaya memperbaiki kinerja BPR atau BPRS. (4) Dalam hal belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai penerapan tata kelola BPRS dan manajemen risiko BPRS, laporan penilaian Dewan Komisaris mengenai penerapan tata kelola dan manajemen risiko BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c mengacu pada ketentuan mengenai penilaian tingkat kesehatan BPRS. Pasal 23 (1) Penyampaian, penyesuaian, dan perubahan Rencana Bisnis, serta Laporan Realisasi Rencana Bisnis, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1) disampaikan - 17 - oleh BPR dan BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan secara online. (2) Kewajiban penyampaian Rencana Bisnis dan Realisasi Rencana Bisnis secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal: a. BPR pelapor berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Rencana Bisnis dan Realisasi Rencana Bisnis secara online; b. BPR pelapor baru beroperasi dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. BPR pelapor mengalami gangguan teknis; atau d. terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database atau jaringan komunikasi di Otoritas Jasa Keuangan. (3) BPR pelapor memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan alasan dan dokumen Rencana Bisnis, penyesuaian Rencana Bisnis, perubahan Rencana Bisnis, dan Laporan Realisasi Rencana Bisnis. (4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan belum menyediakan sistem secara online, penyampaian, penyesuaian, dan perubahan Rencana Bisnis, serta Laporan Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara offline. (5) Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) disampaikan oleh Dewan Komisaris BPR dan BPRS secara offline. Pasal 24 (1) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) apabila BPR dan BPRS menyampaikan Rencana Bisnis melewati batas waktu penyampaian sampai - 18 - dengan 30 (tiga puluh) hari setelah akhir batas waktu penyampaian Rencana Bisnis. (2) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) apabila BPR dan BPRS menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis melewati batas waktu penyampaian sampai dengan 20 (dua puluh) hari setelah akhir batas waktu penyampaian penyesuaian Rencana Bisnis. (3) BPR dan BPRS dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) atau penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), BPR dan BPRS belum menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaian Rencana Bisnis. (4) BPR dan BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap wajib menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaian Rencana Bisnis kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 25 (1) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) apabila BPR dan BPRS menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis melewati batas waktu penyampaian sampai dengan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah akhir batas waktu penyampaian Laporan Realisasi Rencana Bisnis. (2) BPR dan BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) apabila BPR dan BPRS menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis melewati batas waktu penyampaian sampai dengan paling - 19 - lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah akhir batas waktu penyampaian Laporan Pengawasan Rencana Bisnis. (3) BPR dan BPRS dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu penyampaian BPR dan BPRS dinyatakan terlambat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), BPR dan BPRS belum menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rancana Bisnis. (4) BPR dan BPRS yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan/atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap wajib menyampaikan laporan tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 26 Dalam hal batas akhir penyampaian Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur, Laporan Pengawasan Rencana Bisnis dapat disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 27 (1) Penyampaian surat dan laporan secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 23 ayat (5) dengan alamat: a. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan, bagi BPR dan BPRS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan; atau b. Kantor Otoritas Jasa Keuangan, bagi BPR dan BPRS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Otoritas Jasa Keuangan. - 20 - (2) Khusus untuk BPRS, alamat penyampaian surat dan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif setelah Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan resmi kepada BPRS. (3) Sebelum surat pemberitahuan resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPRS, BPRS menyampaikan surat dan laporan secara offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 23 ayat (5) dengan alamat: a. Departemen Perbankan Syariah, bagi BPRS yang berkantor pusat di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten/Kota Bekasi, serta Provinsi Banten; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi BPRS yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten/Kota Bekasi, serta Provinsi Banten. BAB IV SANKSI Pasal 28 (1) BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau ayat (2), atau Laporan Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), masing-masing dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan denda: a. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau b. sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar - 21 - Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan denda: a. sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau b. sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (3) BPR dan BPRS yang tidak menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) atau Laporan Realisasi Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) masing- masing dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan denda: a. sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); atau b. sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (4) BPR dan BPRS yang menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), namun: a. b. dinilai tidak lengkap; dan/atau tidak dilampiri dokumen dan informasi sesuai dengan cakupan yang ditetapkan dalam Peraturan - 22 - Otoritas Jasa Keuangan ini dan/atau ketentuan pelaksanaan terkait lainnya, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti kurang dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) atau sebesar Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) bagi BPR atau BPRS yang memiliki modal inti paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (5) BPR dan BPRS dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah: a. BPR dan BPRS diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu paling lama 14 (empat belas) hari untuk setiap surat teguran; dan b. BPR dan BPRS tidak memperbaiki penyesuaian Rencana Bisnis dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah surat teguran kedua. Pasal 29 BPR dan BPRS yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 13 ayat (2), Pasal 24 ayat (4), dan/atau Pasal 25 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan BPR dan BPRS; dan/atau c. penghentian sementara sebagian kegiatan usaha BPR dan BPRS. Pasal 30 Sanksi atas : a. keterlambatan penyampaian Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau Pasal 28 ayat (2); dan - 23 - b. tidak disampaikannya Rencana Bisnis dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis BPR dan BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), berlaku efektif sejak bulan Desember 2017. Pasal 31 Pengenaan sanksi secara penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 mulai berlaku untuk Rencana Bisnis tahun 2019. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 (1) BPR dan BPRS untuk pertama kali menyampaikan Rencana Bisnis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 15 Desember 2017 untuk Rencana Bisnis tahun 2018. (2) BPR dan BPRS untuk pertama kali menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir bulan Juni 2018. (3) BPR dan BPRS untuk pertama kali menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan setelah akhir bulan Juni 2018. Pasal 33 Sanksi atas keterlambatan penyampaian atau tidak disampaikannya Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/60/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja Bank Pekreditan Rakyat untuk posisi akhir bulan Desember 2017 mengacu pada sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 24 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 35 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/60/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Rencana Kerja dan Laporan Pelaksanaan Rencana Kerja Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku mulai tanggal 1 Maret 2018. - 25 - Pasal 36 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 258 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 37/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 25 November 2016 </set_date> <effective_date> 30 November 2016 </effective_date> <issued_date> 30 November 2016 </issued_date> <replaced_reg> '31/60/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011', '9/17/PBI/2007', '20/POJK.03/2014', '4/POJK.03/2015', '5/POJK.03/2015', '13/POJK.03/2015', '3/POJK.03/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 3 /POJK.03/2016 TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara berkesinambungan dan dapat melayani berbagai lapisan masyarakat akan jasa perbankan diperlukan industri perbankan yang kuat dan berdaya saing; b. bahwa dalam rangka memperkuat perbankan dan meningkatkan daya saing khususnya bagi perbankan syariah, perlu berbagai upaya yang harus dilakukan antara lain melalui penguatan permodalan, penataan kepemilikan, peningkatan kualitas pengurus, dan peningkatan layanan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan ketentuan mengenai Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik -2- Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253). MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan/atau secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. Kantor Cabang adalah kantor BPRS yang bertanggungjawab kepada kantor pusat BPRS yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya. 4. Kantor Kas adalah kantor BPRS yang kegiatan usahanya melakukan pelayanan kas dalam rangka membantu kantor induknya. -3- 5. Kegiatan Pelayanan Kas adalah kegiatan Kas Keliling, Payment Point, dan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu Automated Teller Machine (ATM) dan/atau kartu debet, atau pelayanan kas lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 6. Kas Keliling adalah kegiatan pelayanan kas secara berpindah-pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil, kas terapung atau counter bank tidak permanen. 7. Payment Point adalah kegiatan dalam bentuk penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara BPRS dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau penerimaan setoran dari pihaork ketiga. 8. Automated Teller Machine (ATM) adalah kegiatan kas atau non kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan nasabah antara lain dalam rangka menarik atau menyetor secara tunai atau melakukan pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah. 9. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disingkat PPE adalah kegiatan pelayanan kas atau non kas dalam rangka melayani masyarakat yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis namun tidak termasuk penyediaan instrumen giral, yang berlokasi baik di dalam maupun di luar kantor BPRS, yang dapat melakukan pelayanan penarikan atau penyetoran secara tunai, pembayaran melalui pemindahbukuan, pemindahan dana antar bank, dan/atau informasi saldo atau mutasi rekening nasabah, baik menggunakan jaringan dan/atau mesin milik BPRS sendiri maupun melalui kerja sama BPRS dengan pihak lain, antara lain Automated Teller Machine (ATM) termasuk dalam hal ini adalah -4- Automated Deposit Machine (ADM) dan Electronic Data Capture (EDC). 10. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia. 11. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 12. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 13. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan BPRS agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 14. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional BPRS, antara lain pemimpin kantor cabang, kepala divisi, kepala bagian, manajer dan/atau pejabat lainnya yang setara. 15. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham BPRS sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memperoleh hak suara; atau b. memiliki saham BPRS kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara, tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian BPRS baik secara langsung maupun tidak langsung. 16. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana Sertifikasi Kompetensi Kerja yang mendapatkan lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. -5- 17. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat dengan RUPS adalah RUPS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 18. Daftar Tidak Lulus yang selanjutnya disingkat DTL adalah daftar yang ditatausahakan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang memuat pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan. Pasal 2 BPRS harus berbadan hukum Perseroan Terbatas. Pasal 3 BPRS harus memiliki anggaran dasar yang selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan juga harus memuat ketentuan: a. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS diangkat oleh RUPS; b. pengangkatan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota DPS berlaku efektif setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; c. tugas, wewenang, tanggung jawab dan hal-hal lain yang terkait dengan persyaratan Direksi, Dewan Komisaris dan DPS harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. RUPS BPRS menetapkan remunerasi anggota Direksi dan Dewan Komisaris, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan e. RUPS harus dipimpin oleh Komisaris Utama dan dalam hal Komisaris Utama berhalangan, RUPS dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris lainnya. -6- BAB II PENDIRIAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH Pasal 4 BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 (1) BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; b. pemerintah daerah; atau c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. (2) Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan sebagai calon PSP BPRS, badan hukum dimaksud harus telah beroperasi paling singkat selama 2 (dua) tahun pada saat pengajuan permohonan persetujuan prinsip. Pasal 6 (1) Modal disetor untuk mendirikan BPRS paling sedikit: a. Rp12.000.000.000,00 (dua belas milyar rupiah), bagi BPRS yang didirikan di zona 1; b. Rp7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah), bagi BPRS yang didirikan di zona 2; c. Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), bagi BPRS yang didirikan di zona 3; dan d. Rp3.500.000.000,00 (tiga milyar lima ratus juta rupiah), bagi BPRS yang didirikan di zona 4. (2) Dengan pertimbangan tertentu, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan jumlah modal disetor BPRS lebih tinggi daripada jumlah modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1). -7- Pasal 7 (1) Modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) harus ditempatkan dalam bentuk deposito di Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah di Indonesia atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama calon PSP BPRS)” dengan keterangan untuk pendirian BPRS yang bersangkutan dan pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Keuangan. Otoritas Jasa (2) Penempatan modal disetor dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap: a. paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari modal disetor sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip pendirian BPRS; dan b. kekurangan dari modal disetor, disetorkan sebelum pengajuan permohonan izin usaha pendirian BPRS. BAB III PERIZINAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH Pasal 8 Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diberikan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPRS; dan b. izin usaha, yaitu izin untuk melakukan kegiatan usaha BPRS setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Bagian Kesatu Persetujuan Prinsip Pasal 9 Permohonan persetujuan prinsip pendirian BPRS -8- sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a diajukan paling sedikit oleh satu calon PSP BPRS kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan antara lain: a. rancangan akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), termasuk rancangan anggaran dasar; b. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham; c. daftar calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota DPS disertai dengan dokumen yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan; d. rencana struktur organisasi dan jumlah personalia; e. analisis potensi dan kelayakan pendirian BPRS; f. rencana sistem dan prosedur kerja; g. rencana bisnis; h. bukti setoran modal paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; i. surat pernyataan dari calon pemegang saham BPRS, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud pada huruf h: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan/atau pihak lain; dan/atau 2. tidak berasal dari dan untuk pencucian uang (money laundering). Dalam hal calon pemegang saham BPRS adalah Pemerintah Daerah, surat pernyataan dapat digantikan oleh Surat Keputusan Kepala Daerah; j. daftar BPRS dan/atau lembaga keuangan lain yang dimiliki oleh calon PSP BPRS, disertai dengan laporan keuangan setiap BPRS atau lembaga keuangan lain yang dimiliki oleh calon PSP BPRS; dan k. bukti lunas pembayaran biaya perizinan dalam rangka pendirian BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan. -9- Pasal 10 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan pendirian BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e; c. analisis yang mencakup antara lain tingkat kejenuhan jumlah BPRS serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional; d. e. penilaian terhadap komitmen calon pemilik BPRS dalam pendirian BPRS; uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP, calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, dan wawancara terhadap calon anggota DPS; f. g. pemeriksaan setoran modal; dan penelitian terhadap kinerja keuangan BPRS dan/atau lembaga keuangan lain yang berada dalam kepemilikan PSP yang sama. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang mengajukan permohonan pendirian BPRS harus melakukan presentasi dan memberikan penjelasan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai analisis potensi dan kelayakan pendirian BPRS, rencana sistem dan prosedur kerja, dan rencana bisnis (business plan). Pasal 11 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam -10- Pasal 10 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diberikan dan tidak dapat diperpanjang. (2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha sebelum mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui dan calon pemilik BPRS tidak mengajukan permohonan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan, persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Bagian Kedua Izin Usaha Pasal 12 Pihak yang telah mendapatkan persetujuan prinsip mengajukan izin usaha BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan, antara lain: a. akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, dalam hal terjadi perubahan pemegang saham; c. daftar calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dalam hal terjadi perubahan calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota DPS; d. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; dan e. bukti kesiapan operasional, mencakup paling sedikit: 1. struktur personalia; organisasi termasuk susunan -11- 2. sistem dan prosedur kerja; 3. daftar aset tetap dan inventaris; 4. bukti penguasaan gedung kantor berupa bukti kepemilikan gedung kantor yang didukung dengan bukti kepemilikan dari pihak yang menyewakan; 5. foto gedung kantor dan tata letak ruangan; 6. contoh formulir atau warkat yang akan digunakan untuk operasional BPRS; dan 7. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pasal 13 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. b. c. atau perjanjian sewa-menyewa penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; analisis terhadap kesiapan operasional pendirian BPRS; uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP, calon anggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, dan wawancara terhadap calon anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dan huruf c dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan sebelumnya; d. pemeriksaan setoran modal; dan e. penelitian terhadap kinerja keuangan BPRS dan/atau lembaga keuangan lain yang berada dalam kepemilikan PSP yang sama. -12- Pasal 14 (1) BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melaksanakan kegiatan usaha paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal izin usaha. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. (3) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui dan BPRS tidak melakukan kegiatan usaha maka izin usaha BPRS yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib mencantumkan secara jelas frasa “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau “BPRS” pada penulisan namanya dan logo iB pada kantor BPRS yang bersangkutan. BAB IV KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL Bagian Kesatu Kepemilikan Pasal 16 (1) Kepemilikan BPRS oleh badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib memenuhi hal-hal sebagai berikut: a. bagi badan hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi paling banyak sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan dan tidak melebihi jumlah yang diperkenankan bagi badan hukum tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan -13- yang berlaku; dan b. bagi badan hukum yayasan atau badan hukum lainnya paling banyak sebesar jumlah yang diperkenankan bagi badan hukum tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Perhitungan kepemilikan dilakukan pada awal pendirian BPRS dan pada saat dilakukan penambahan modal disetor oleh badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki saham BPRS paling sedikit 25% (dua puluh lima persen), BPRS wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang disusun oleh badan hukum tersebut sesuai peraturan perundang- undangan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat akhir bulan Juni tahun berikutnya. Pasal 17 Sumber dana untuk kepemilikan BPRS dilarang: a. berasal dari pinjaman dan/atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Pasal 18 (1) Pemegang saham BPRS dilarang menarik kembali modal yang telah disetor. (2) Dalam hal pemegang saham bermaksud mengundurkan diri sebagai pemegang saham BPRS, pemegang saham dimaksud wajib mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 19 (1) Pihak yang dapat menjadi pemilik BPRS harus memenuhi persyaratan, paling sedikit: -14- a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan perundang- undangan; c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan BPRS yang sehat dan tangguh (sustainable); d. tidak termasuk dalam DTL; e. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet; f. memiliki komitmen untuk tidak melakukan dan/atau mengulang perbuatan dan/atau tindakan yang termasuk dalam cakupan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPRS; g. tidak menjadi pengendali, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dari badan hukum yang mempunyai kredit macet dan/atau pembiayaan macet; dan h. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. (2) Pihak-pihak yang dapat menjadi PSP harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persyaratan kelayakan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan BPRS. (3) Dalam hal pemilik BPRS berbentuk badan hukum, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi pemilik, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pengurus dari badan hukum dimaksud. -15- (4) Persyaratan bagi pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam hal pemilik BPRS berbentuk badan hukum berupa Koperasi dan Yayasan. Pasal 20 Setiap BPRS wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham paling sedikit 25% (dua puluh lima persen). Bagian Kedua Perubahan Kepemilikan Pasal 21 (1) Perubahan kepemilikan BPRS yang mengakibatkan perubahan dan/atau terjadinya PSP baru, wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Perubahan kepemilikan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada tata cara perubahan kepemilikan BPRS yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi. (3) Perubahan kepemilikan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai akibat adanya pewarisan tidak diperlakukan sebagai akuisisi namun tetap wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (4) Perubahan kepemilikan BPRS yang tidak mengakibatkan perubahan PSP dan/atau terjadinya PSP baru wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan. Bagian Ketiga Perubahan Modal Pasal 22 Direksi BPRS wajib melaporkan perubahan modal dasar -16- kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak BPRS menerima persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang, dengan dilampiri: a. akta perubahan anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan b. bukti persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada huruf a dari instansi yang berwenang. Pasal 23 BPRS wajib mengadministrasikan dengan tertib daftar pemegang saham dan perubahannya. Pasal 24 (1) Dalam rangka penambahan modal disetor, pemegang saham dan/atau calon pemegang saham harus mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemegang saham dan/atau calon pemegang saham menyampaikan permohonan persetujuan penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri: a. bukti setoran modal; dan b. dokumen pendukung. (3) Penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah di Indonesia atau pada BPRS yang bersangkutan, kecuali penambahan modal disetor yang bersumber dari dividen BPRS yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam bentuk lain. (4) Penambahan modal disetor yang ditempatkan dalam bentuk deposito pada BPRS yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya berlaku: a. bagi BPRS yang tidak dalam status pengawasan khusus; dan b. dilakukan oleh pemegang saham BPRS yang bersangkutan. -17- (5) Tata cara penambahan modal disetor: a. dalam bentuk deposito pada Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah di Indonesia dengan cara mencantumkan atas nama ”Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama BPRS)”, dan mencantumkan keterangan nama penyetor tambahan modal serta keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau b. dalam bentuk deposito pada BPRS yang bersangkutan dengan cara mencantumkan atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama pemegang saham penyetor)” dan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (6) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (7) Penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disetujui oleh RUPS paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (8) Apabila jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui, persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dinyatakan tidak berlaku. (9) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan penambahan modal disetor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah perubahan modal disetor disetujui dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dengan dilampiri: a. bukti penyetoran; -18- b. risalah RUPS; c. surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf i; dan d. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham. (10) BPRS wajib melaporkan perubahan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar atau pengesahan dari instansi yang berwenang, dengan dilampiri: a. akta perubahan anggaran dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan b. bukti penerimaan pemberitahuan pengesahan atau perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada huruf a dari instansi yang berwenang. BAB V DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN PEJABAT EKSEKUTIF Bagian Kesatu Direksi dan Dewan Komisaris Pasal 25 (1) Anggota Direksi dan Dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan integritas, kompetensi dan reputasi keuangan. (2) Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan persyaratan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris mengacu pada ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 26 -19- (1) Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan kepengurusan BPRS. (2) Direksi wajib melakukan pengelolaan BPRS sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar BPRS dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi perbankan syariah. (3) Pengelolaan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. Pasal 27 (1) Jumlah anggota Direksi BPRS paling sedikit 2 (dua) orang. (2) Direksi dipimpin oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama. (3) Paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari anggota Direksi termasuk Direktur Utama harus berpengalaman operasional paling singkat: a. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau pembiayaan di perbankan syariah; b. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau perkreditan di perbankan konvensional dan memiliki pengetahuan di bidang perbankan syariah; atau c. 3 (tiga) tahun sebagai direksi atau setingkat dengan direksi di lembaga keuangan mikro syariah. (4) Anggota Direksi berpendidikan formal paling rendah setingkat Diploma III atau Sarjana Muda. (5) Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja dari Lembaga Sertifikasi Profesi paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal pengangkatan efektif. (6) Direktur Utama dan anggota Direksi lainnya wajib bertindak independen dalam menjalankan tugasnya. (7) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri maupun -20- bersama-sama dilarang memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor BPRS. Pasal 28 (1) Seluruh anggota Direksi wajib berdomisili di dekat tempat kedudukan kantor pusat BPRS. (2) Mayoritas Anggota Direksi dilarang memiliki hubungan semenda atau hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan: a. anggota Direksi lainnya; dan/atau b. anggota Dewan Komisaris. (3) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS atau Pejabat Eksekutif pada lembaga keuangan, badan usaha atau lembaga lain, kecuali sebagai pengurus organisasi/lembaga non profit sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan tugas sebagai Direksi BPRS. (4) Anggota Direksi BPRS yang merangkap jabatan sebagai pengurus organisasi/lembaga non profit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (5) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas, wewenang dan tanggung jawab kepada pihak lain. Pasal 29 (1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada Direksi. (2) Pengawasan dan nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga Direksi dapat mengembangkan dan memitigasi risiko atas kegiatan bisnisnya. (3) Dewan Komisaris wajib mendorong Direksi BPRS untuk memenuhi prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. -21- Pasal 30 (1) Jumlah anggota Dewan Komisaris paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. (2) Dalam hal jumlah anggota Direksi lebih dari 2 (dua) orang, maka jumlah anggota Dewan Komisaris paling banyak 3 (tiga) orang. (3) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit 1 (satu) orang wajib berdomisili di dekat tempat kedudukan BPRS. (4) Dewan Komisaris dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama. (5) Anggota Dewan Komisaris harus memiliki: a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya;dan/atau b. pengalaman di bidang perbankan dan/atau lembaga jasa keuangan non bank. (6) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja dari Lembaga Sertifikasi Profesi paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal pengangkatan efektif. (7) Dewan Komisaris wajib melakukan rapat Dewan Komisaris secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. (8) Dewan Komisaris wajib mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPRS apabila diminta Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 31 (1) Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan paling banyak pada 2 (dua) perusahaan lain sebagai berikut : a. anggota Dewan Komisaris BPR/BPRS lain; atau b. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau Pejabat Eksekutif lembaga/perusahaan lain non bank; atau pada -22- c. kombinasi huruf a dan b. (2) Anggota Dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi pada BPRS lain, Bank Perkreditan Rakyat dan/atau Bank Umum. Pasal 32 (1) Anggota Dewan Komisaris dilarang memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota Dewan Komisaris; dan/atau (2) Mayoritas anggota Dewan Komisaris dilarang memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan anggota Direksi. Pasal 33 Anggota Dewan Komisaris dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas. Pasal 34 Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau Pejabat Eksekutif dilarang mengambil keputusan. Pasal 35 (1) Calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum menjalankan tugas dan fungsi dalam jabatannya. (2) BPRS mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan dokumen pendukung. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan uji kemampuan dan kepatutan. (4) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Direksi dan/atau calon -23- anggota Dewan Komisaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (5) Pengangkatan calon anggota Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris harus dilakukan oleh RUPS paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (6) Dalam hal pengangkatan calon anggota Direksi dan/atau calon Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), persetujuan yang telah diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan batal dan dinyatakan tidak berlaku. (7) Pengangkatan calon anggota Direksi dan/atau calon Dewan Komisaris berlaku efektif setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (8) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris wajib dilaporkan oleh BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal rapat umum pemegang saham. Pasal 36 (1) BPRS wajib menyampaikan rencana pemberhentian atau pengunduran diri anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan alasan pemberhentian atau pengunduran diri. (2) Pemberhentian atau pengunduran diri anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif setelah mendapat penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pemberhentian atau pengunduran diri anggota anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja -24- sejak pemberhentian atau pengunduran diri berlaku efektif. (4) Dalam hal anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris meninggal dunia, BPRS wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris meninggal dunia disertai dengan surat keterangan kematian dari instansi yang berwenang. Pasal 37 (1) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris diberhentikan oleh RUPS sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 30 ayat (1), BPRS wajib melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak tanggal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris keputusan RUPS. (2) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris mengundurkan diri mengakibatkan tidak terpenuhinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 30 ayat (1), BPRS wajib melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak tanggal pengunduran diri berlaku efektif. (3) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris meninggal dunia sehingga mengakibatkan tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 30 ayat (1), BPRS wajib melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak dinyatakan meninggal sesuai dengan surat keterangan kematian sehingga ketentuan diberhentikan berdasarkan -25- dari instansi yang berwenang. (4) Dalam hal anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris melanggar ketentuan yang menyebabkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris harus mengundurkan diri atau diberhentikan sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 30 ayat (1), BPRS wajib melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan atau keputusan Otoritas Jasa Keuangan. (5) BPRS wajib menyelenggarakan RUPS untuk melakukan penggantian anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris karena masa jabatannya berakhir paling lambat pada tanggal berakhirnya masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris tersebut. Pasal 38 (1) Pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris oleh RUPS harus dilakukan paling lambat pada tanggal berakhirnya masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris. (2) BPRS wajib menyampaikan laporan pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal RUPS. (3) Penyampaian laporan pengangkatan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan dokumen: a. risalah RUPS yang menyetujui pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; dan b. bukti persetujuan perubahan anggaran dasar dan/atau penerimaan pelaporan atas -26- pengangkatan kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris. (4) Dalam hal: a. BPRS tidak dapat menyelenggarakan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau b. RUPS dilaksanakan namun tidak menyetujui untuk mengangkat kembali anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris, masa jabatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dimaksud berakhir. (5) Anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang telah berakhir masa jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dicalonkan kembali sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris, calon dimaksud harus memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan dengan berpedoman pada tata cara pengajuan calon anggota Direksi dan/atau calon anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. Bagian Kedua Dewan Pengawas Syariah Pasal 39 (1) BPRS wajib membentuk DPS yang berkedudukan di kantor pusat BPRS. (2) Jumlah anggota DPS paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 3 (tiga) orang. (3) DPS dipimpin oleh seorang ketua yang berasal dari salah satu anggota DPS. (4) Anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS paling banyak pada 4 (empat) lembaga keuangan syariah lain. Pasal 40 -27- Anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Integritas, yang paling sedikit mencakup: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan perundang- undangan; 3. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional BPRS yang sehat; 4. tidak termasuk dalam DTL sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. b. Kompetensi, yang paling sedikit memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum; dan c. Reputasi keuangan, yang paling sedikit mencakup: 1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; 2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Pasal 41 (1) DPS bertugas dan bertanggungjawab memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi penerapan Prinsip Syariah dalam penghimpunan dana, pembiayaan dan kegiatan jasa BPRS lainnya. (2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi antara lain: a. mengawasi proses pengembangan produk baru BPRS; b. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional -28- untuk produk baru BPRS yang belum ada fatwanya; c. melakukan tinjauan (review) secara berkala terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa BPRS; dan d. meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja di BPRS dalam rangka pelaksanan tugasnya. (3) Tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai pedoman pelaksanaan tugas DPS yang berlaku. Pasal 42 (1) Anggota DPS diangkat oleh RUPS. (2) Pengangkatan anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat rekomendasi Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia. (3) Pengangkatan anggota DPS berlaku efektif setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling sedikit berdasarkan: a. hasil penilaian terhadap komitmen calon anggota DPS dalam pengawasan BPRS dan ketersediaan waktu; dan b. hasil wawancara terhadap calon anggota DPS. Pasal 43 (1) BPRS wajib menyampaikan rencana pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah mendapat penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS diputuskan oleh RUPS dan/atau mekanisme -29- lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar. Bagian Ketiga Pejabat Eksekutif Pasal 44 (1) Pengangkatan, penggantian atau pemberhentian Pejabat Eksekutif BPRS wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengangkatan, penggantian atau pemberhentian efektif. (2) Apabila menurut penilaian dan penelitian Otoritas Jasa Keuangan, Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam DTL, daftar kredit macet atau terdapat informasi lain yang menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas dan kompetensi, maka pengangkatan Pejabat Eksekutif tersebut wajib dibatalkan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan. BAB VI KEGIATAN USAHA Pasal 45 Dalam melaksanakan kegiatan usaha BPRS wajib menerapkan Prinsip Syariah dan prinsip kehati-hatian. BAB VII PEMBUKAAN KANTOR BPRS Pasal 46 (1) BPRS hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang dalam wilayah provinsi yang sama dengan kantor pusat BPRS. -30- (2) BPRS hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Kas dalam wilayah kabupaten/kota yang sama dengan kantor induknya dan/atau dalam wilayah kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota lokasi kantor induknya dalam 1 (satu) wilayah provinsi yang sama. (3) Kegiatan Kas Keliling dan Payment Point hanya dapat dilakukan dalam wilayah kabupaten/kota yang sama dengan kantor induk dari Kas Keliling dan Payment Point. (4) Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten/Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten/Kota Bekasi diperlakukan sebagai satu wilayah provinsi untuk keperluan perizinan pembukaan Kantor Cabang. (5) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah yang menyebabkan Kantor Kas, Kantor Cabang dan kantor pusat BPRS berada di wilayah provinsi yang berbeda, BPRS dapat tetap beroperasi di wilayah tersebut. Bagian Kesatu Kantor Cabang Pasal 47 (1) BPRS wajib memperoleh izin Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pembukaan Kantor Cabang. (2) Pengajuan permohonan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. telah tercantum dalam rencana kerja tahunan BPRS; b. memenuhi kelengkapan organisasi dan infrastruktur antara lain meliputi teknologi sistem informasi yang memadai dan gedung; c. memiliki rasio Non Performing Financing (NPF) gross paling tinggi 7% (tujuh persen) selama 6 -31- (enam) bulan terakhir; d. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir; e. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat komposit minimal 2 (dua) selama 2 (dua) periode penilaian terakhir; f. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling sedikit 12% (dua belas persen) selama 6 (enam) bulan terakhir; g. tidak terdapat pelampauan dan/atau pelanggaran Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD); dan h. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait dengan BPRS. Pasal 48 (1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan pembukaan Kantor Cabang paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka pemberian persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan antara lain: a. penelitian atas pemenuhan persyaratan serta kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. penilaian terhadap kesiapan operasional Kantor Cabang; c. penilaian terhadap analisis potensi dan kelayakan pembukaan kantor cabang yang disampaikan oleh BPRS; dan d. penilaian atas kinerja keuangan BPRS. Pasal 49 (1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang wajib dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal izin diterbitkan. -32- (2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pembukaan. (3) Apabila batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui dan BPRS tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang maka izin pembukaan Kantor Cabang yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Bagian Kedua Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas Pasal 50 Rencana pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas harus dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS. Pasal 51 (1) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan pembukaan Kantor Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pembukaan. (2) Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kegiatan sebagai berikut: a. menerima setoran dalam rangka pembukaan rekening tabungan atau deposito; b. menerima angsuran pembiayaan; c. menerima setoran tabungan nasabah; d. melayani penarikan tabungan bagi nasabah sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh kantor induknya; e. menerima titipan dana dalam rangka pelayanan jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran tagihan listrik, telepon, air dan lainnya; f. menerima permohonan pembiayaan; dan g. melakukan pencairan pembiayaan setelah proses -33- analisis dan persetujuan pembiayaan oleh kantor induknya. Pasal 52 (1) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan Kas Keliling dan Payment Point kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan. (2) Kegiatan Kas Keliling sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu: a. menerima angsuran pembiayaan; b. menerima setoran tabungan nasabah; c. melayani penarikan tabungan bagi nasabah sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh kantor induknya; dan d. menerima titipan dana dalam rangka pelayanan jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran tagihan listrik, telepon, air, dan lainnya. (3) Kegiatan Payment Point sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan transaksi yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga, yaitu: a. menerima angsuran pembiayaan; b. menerima setoran tabungan nasabah; c. melayani penarikan tabungan bagi nasabah sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh kantor induknya; d. menerima titipan dana dalam rangka pelayanan jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran tagihan listrik, telepon, air, dan lainnya; dan/atau e. pembayaran gaji pegawai/karyawan. Pasal 53 BPRS wajib menggabungkan laporan keuangan Kantor Kas, kegiatan Kas Keliling dan Payment Point dengan laporan keuangan kantor pusat atau Kantor Cabang yang menjadi kantor induknya pada hari yang sama. -34- BAB VIII KEGIATAN LAYANAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU AUTOMATED TELLER MACHINE DAN/ATAU KARTU DEBET Pasal 54 (1) Dalam hal BPRS merencanakan melakukan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet, BPRS wajib mengajukan permohonan izin sebagai penerbit kartu ATM dan/atau kartu debet kepada Bank Indonesia setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPRS mengajukan permohonan persetujuan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan persyaratan sebagai berikut: a. rencana kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet telah tercantum dalam rencana kerja tahunan BPRS; b. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat komposit minimal 2 (dua) selama 2 (dua) periode penilaian terakhir; c. tidak dalam keadaan rugi dalam 1 (satu) tahun terakhir; d. memiliki teknologi sistem informasi yang memadai; dan e. tidak terdapat pelanggaran ketentuan terkait dengan BPRS. (3) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan untuk melakukan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana dimaksud pada angka 1 paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (4) Kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM -35- dan/atau kartu debet yang diselenggarakan dengan menggunakan PPE yang dikelola sendiri oleh BPRS hanya dapat dilakukan dalam wilayah provinsi yang sama dengan provinsi tempat kedudukan kantor pusat BPRS. (5) BPRS wajib melaporkan penggunaan PPE dan setiap penambahan PPE yang dikelola sendiri oleh BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan. (6) Kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet dapat dilakukan sampai keluar wilayah provinsi tempat kedudukan kantor induk BPRS melalui kerjasama dengan: a. jaringan bersama ATM; dan/atau b. bank umum. (7) BPRS wajib menyampaikan laporan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan kegiatan. Pasal 55 BPRS dilarang melakukan kegiatan sebagai acquirer. Pasal 56 BPRS wajib menggabungkan laporan keuangan kegiatan layanan dengan menggunakan kartu ATM dan/atau kartu debet dengan laporan keuangan kantor pusat atau Kantor Cabang yang menjadi kantor induknya pada hari yang sama. BAB IX PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR Bagian Kesatu Kantor Pusat dan Kantor Cabang -36- Pasal 57 (1) BPRS wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pemindahan alamat kantor pusat. (2) Pemindahan alamat kantor pusat dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. (3) BPRS yang melakukan pemindahan alamat kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke zona yang memiliki persyaratan modal disetor pendirian BPRS yang lebih tinggi dari zona kantor pusat BPRS semula, harus memenuhi persyaratan modal disetor pendirian BPRS di zona kantor pusat BPRS yang baru. (4) Pemberian persetujuan pemindahan alamat kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pemindahan alamat kantor pusat; dan b. persetujuan pemindahan alamat kantor pusat, yaitu persetujuan untuk melakukan pemindahan alamat kantor pusat. (5) Dalam hal pemindahan alamat kantor pusat dilakukan dalam wilayah kabupaten/kota yang sama dengan lokasi kantor pusat sebelumnya, pemberian persetujuan pemindahan alamat kantor pusat dilakukan dalam 1 (satu) tahap. (6) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diajukan oleh BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling sedikit disertai dengan: a. alasan pemindahan alamat kantor pusat dan rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban; b. c. analisis potensi dan kelayakan pemindahan alamat kantor pusat; dan risalah RUPS mengenai persetujuan pemindahan alamat kantor. -37- (7) BPRS harus melakukan penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja setelah BPRS memperoleh persetujuan prinsip. (8) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui dan BPRS tidak mengajukan permohonan persetujuan pemindahan alamat kantor pusat, persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. (9) Permohonan untuk memperoleh persetujuan pemindahan alamat kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diajukan oleh BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan paling sedikit disertai dengan: a. kesiapan operasional kantor pusat dan Kantor Cabang; b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang; c. bukti penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban. (10) Pemindahan kantor pusat dilakukan setelah penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban BPRS di tempat kedudukan semula. (11) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan pemindahan alamat kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (12) Dalam hal pemindahan alamat kantor pusat ke wilayah provinsi yang berbeda, BPRS harus: a. menutup dan memindahkan Kantor Cabang BPRS ke dalam wilayah provinsi yang sama dengan kantor pusat BPRS yang baru; atau b. menutup Kantor Cabang BPRS. (13) Mekanisme penutupan dan pemindahan Kantor Cabang BPRS ke dalam wilayah provinsi yang sama -38- dengan kantor pusat BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (12) harus memenuhi ketentuan penutupan dan pembukaan Kantor Cabang. Pasal 58 (1) BPRS wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pemindahan alamat Kantor Cabang. (2) Pemindahan alamat Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dalam wilayah provinsi yang sama dengan kantor pusat. (3) Persetujuan atas permohonan pemindahan alamat Kantor Cabang diberikan berdasarkan pertimbangan, antara lain: a. alasan pemindahan Kantor Cabang; b. kesiapan operasional Kantor Cabang; c. hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi kelayakan usaha pada lokasi kantor yang baru; d. jarak lokasi kantor lama dengan yang baru; e. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan f. infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru. (4) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan pemindahan alamat Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (5) Khusus untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kabupaten atau Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten atau Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten atau Kota Bekasi diperlakukan sebagai 1 (satu) wilayah provinsi untuk keperluan pemindahan alamat Kantor Cabang. -39- Pasal 59 (1) BPRS wajib mengumumkan pemindahan alamat kantor pusat dan/atau Kantor Cabang dalam surat kabar harian lokal dan/atau pada papan pengumuman pada kantor BPRS yang bersangkutan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (2) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat dan/atau Kantor Cabang kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (3) Apabila dalam jangka waktu 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan, BPRS tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, maka persetujuan pemindahan alamat kantor pusat dan/atau Kantor Cabang yang telah diterbitkan akan ditinjau kembali. Bagian Kedua Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas Pasal 60 (1) Pemindahan alamat Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas hanya dapat dilakukan di wilayah Kabupaten/Kota yang sama dengan kedudukan kantor BPRS yang menjadi induknya dan/atau dalam wilayah kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota lokasi kantor induknya dalam 1 (satu) wilayah provinsi yang sama. (2) Pemindahan alamat Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas harus mempertimbangkan kepentingan nasabah. Pasal 61 (1) BPRS wajib mengumumkan pemindahan alamat Kantor Kas kepada nasabah dan masyarakat paling -40- lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan. (2) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan. BAB X PENUTUPAN KANTOR Bagian Kesatu Kantor Cabang Pasal 62 BPRS wajib mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penutupan Kantor Cabang. Pasal 63 (1) Pemberian persetujuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan penutupan Kantor Cabang; dan b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan Kantor Cabang. (2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan dokumen berupa penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan setelah penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang -41- kepada nasabah dan pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilakukan. (4) Seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja setelah BPRS memperoleh persetujuan prinsip, didukung dengan dokumen penyelesaian kewajiban. (5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlampaui dan BPRS tidak mengajukan permohonan persetujuan penutupan Kantor Cabang maka persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. (6) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan kepada BPRS terkait dengan penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang yang akan ditutup. (7) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan penutupan Kantor Cabang paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap dan seluruh kewajiban telah diselesaikan. (8) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berdasarkan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. pemeriksaan terhadap penyelesaian kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (9) Penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh BPRS dalam surat kabar harian lokal dan/atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPRS yang bersangkutan, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan prinsip dari Otoritas Jasa Keuangan diberikan. -42- (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 64 (1) BPRS wajib melakukan penutupan Kantor Cabang paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan penutupan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) BPRS wajib mengumumkan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam surat kabar harian lokal dan/atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPRS yang bersangkutan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan penutupan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) BPRS wajib melaporkan pelaksanaan penutupan Kantor Cabang kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan penutupan, disertai dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Bagian Kedua Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas Pasal 65 BPRS wajib menyampaikan laporan rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan alasan penutupan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan. Pasal 66 BPRS wajib melaporkan pelaksanaan penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Pelayanan Kas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penutupan. -43- BAB XI PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN NAMA Bagian Kesatu Perubahan Anggaran Dasar Pasal 67 BPRS wajib melaporkan setiap perubahan anggaran dasar BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak BPRS menerima persetujuan atau penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang dengan melampirkan dokumen pendukung. Bagian Kedua Perubahan Nama Pasal 68 (1) Perubahan nama BPRS wajib dilakukan dengan memenuhi peraturan perundang-undangan. (2) BPRS yang telah memperoleh persetujuan perubahan anggaran dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang wajib mengajukan permohonan mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki BPRS dengan nama yang baru. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh BPRS paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah perubahan nama mendapat persetujuan dari instansi berwenang disertai dengan: a. alasan perubahan nama; b. akta perubahan anggaran dasar; dan c. bukti persetujuan atas perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. (4) Dalam hal permohonan perubahan nama BPRS karena adanya perubahan kepemilikan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan setelah BPRS menyelesaikan seluruh proses perubahan kepemilikan dengan mengacu pada ketentuan perubahan -44- kepemilikan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (5) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan penetapan penggunaan izin usaha BPRS dengan nama baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 69 (1) BPRS wajib mengumumkan perubahan nama kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal dan/atau pada papan pengumuman kantor BPRS yang bersangkutan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) BPRS wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pengumuman. BAB XII PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN PEMEGANG SAHAM Pasal 70 Pemegang saham BPRS dapat mengajukan permohonan pencabutan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan sepanjang BPRS tidak dalam status pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai tindak lanjut penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan khusus. Pasal 71 Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha BPRS atas permintaan pemegang saham BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 apabila BPRS telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabah dan kreditur lainnya. -45- Pasal 72 Pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip pencabutan izin usaha; b. persetujuan pencabutan izin usaha. Bagian Kesatu Persetujuan Prinsip Pencabutan Izin Usaha Pasal 73 BPRS mengajukan permohonan persetujuan prinsip pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf a kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan: a. risalah RUPS mengenai persetujuan atas rencana pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPRS; b. alasan pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham BPRS; c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban BPRS kepada nasabah, kreditur, karyawan, dan pihak-pihak lainnya; d. laporan keuangan terakhir; dan e. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya kepada negara. Pasal 74 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap permohonan persetujuan prinsip pencabutan izin usaha yang diajukan oleh BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73. (2) BPRS yang telah memperoleh persetujuan prinsip pencabutan izin usaha BPRS berdasarkan hasil penelitian terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib untuk: -46- a. menghentikan seluruh kegiatan usaha BPRS; b. mengumumkan rencana pembubaran badan hukum BPRS dan rencana penyelesaian kewajiban BPRS dalam surat kabar harian lokal dan/atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPRS yang bersangkutan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan prinsip pencabutan izin usaha BPRS; c. menyelesaikan seluruh kewajiban BPRS dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat persetujuan prinsip pencabutan izin usaha BPRS; dan d. menunjuk kantor akuntan publik untuk menyusun neraca akhir termasuk melakukan verifikasi untuk memastikan penyelesaian seluruh kewajiban BPRS. (3) Dalam hal BPRS tidak dapat menyelesaikan seluruh kewajiban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, BPRS harus menyampaikan rencana tindak lanjut penyelesaian kewajiban BPRS dan melakukan langkah-langkah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Persetujuan Pencabutan Izin Usaha Pasal 75 BPRS mengajukan permohonan pencabutan izin usaha BPRS kepada Otoritas Jasa Keuangan setelah seluruh kewajiban BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) diselesaikan, dilampiri dengan dokumen yang paling sedikit mencakup: a. laporan pelaksanaan penghentian kegiatan usaha BPRS; b. laporan dan bukti pelaksanaan pengumuman; c. laporan dan bukti pelaksanaan penyelesaian kewajiban BPRS; -47- d. neraca akhir BPRS; dan e. surat pernyataan dari pemegang saham BPRS. Pasal 76 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian terhadap dokumen permohonan pencabutan izin usaha yang diajukan oleh BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75. (2) Berdasarkan hasil penelitian terhadap dokumen permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Izin Usaha BPRS dan memerintahkan BPRS untuk melakukan pembubaran badan hukum dan mengumumkan berakhirnya atau bubarnya badan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 77 Status badan hukum BPRS berakhir sejak tanggal pengumuman berakhirnya badan hukum BPRS dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 78 Sejak berakhirnya status badan hukum BPRS sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, apabila dikemudian hari muncul kewajiban yang belum diselesaikan, pemegang saham BPRS bertanggung jawab atas segala kewajiban BPRS. BAB XIII KANTOR BPRS TIDAK BEROPERASI PADA HARI KERJA Pasal 79 (1) BPRS dapat melakukan penutupan sementara kantor BPRS di luar hari libur resmi dengan alasan tertentu. (2) Penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud -48- pada ayat (1) dilakukan paling banyak 5 (lima) hari kerja dalam kurun waktu 1 (satu) tahun takwim. (3) BPRS menyampaikan laporan rencana penutupan sementara kantor BPRS di luar hari libur resmi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum pelaksanaan penutupan sementara. (4) BPRS wajib mengumumkan tanggal penutupan kantor sementara kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal dan/atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPRS yang bersangkutan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal penutupan. (5) BPRS wajib menyampaikan bukti pengumuman penutupan kantor sementara kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) BPRS wajib menyampaikan laporan pembukaan kembali kantor paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pembukaan. BAB XIV KANTOR BPRS BEROPERASI DI LUAR HARI KERJA OPERASIONAL Pasal 80 (1) BPRS dapat melakukan kegiatan operasional di luar hari kerja operasional dan pada hari libur nasional. (2) Kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk seluruh dan/atau sebagian kantor BPRS. (3) BPRS wajib menyampaikan laporan rencana BPRS untuk melakukan kegiatan operasional di luar hari kerja operasional dan pada hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan kegiatan operasional. -49- BAB XV PENCANTUMAN STATUS DAN LOGO PADA KANTOR BPRS Pasal 81 (1) BPRS wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis status kantor pada masing-masing kantornya. (2) BPRS wajib mencantumkan logo iB pada formulir, warkat, produk dan kantor serta Kegiatan Pelayanan Kas BPRS. BAB XVI SANKSI Pasal 82 (1) BPRS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 23, Pasal 25, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) ayat (5) ayat (6) dan ayat (7), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (5), Pasal 29 ayat (3), Pasal 30 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) , Pasal 40, Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45, Pasal 47 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 53, Pasal 54 ayat (1) ayat (4) dan ayat (5), Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60 ayat (1), Pasal 62, Pasal 64 ayat (1), Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 74 ayat (2), Pasal 79 ayat (2) dan ayat (4), dan Pasal 81 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pemberhentian pengurus dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara -50- sampai RUPS mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; e. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau f. pencabutan izin usaha. (2) BPRS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22, Pasal 24 ayat (9) dan ayat (10), Pasal 35 ayat (8), Pasal 36 ayat (3) ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 49 ayat (2), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (7), Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 61, Pasal 63 ayat (9), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 69, Pasal 79 ayat (5) dan ayat (6), dan Pasal 80 ayat (3) dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja kelambatan untuk setiap laporan dan/atau pengumuman atau paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan dan/atau pengumuman; b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) apabila BPRS tidak menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan pengumuman. (3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila BPRS belum menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan pengumuman setelah 20 (dua dua puluh) hari kerja sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau melaksanakan pengumuman. (4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda uang karena tidak menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud -51- pada ayat (2) huruf b tidak menghapus kewajiban BPRS untuk menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan pengumuman. (5) Setiap pihak yang tidak mentaati ketentuan dalam Pasal 4 dan Pasal 11 ayat (2), dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 59 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 83 BPRS yang melanggar ketentuan kewajiban memiliki 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan BPRS satu predikat; c. penundaan hak menerima dividen bagi pemegang saham; d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPRS; dan/atau e. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing (PVA). BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 84 (1) Persetujuan prinsip pendirian BPRS yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan izin usaha pendirian BPRS yang disertai dokumen yang lengkap dengan mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat -52- Syariah sampai dengan tanggal 31 Desember 2016. (3) Permohonan persetujuan prinsip pendirian BPRS yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, namun belum memperoleh persetujuan atau penolakan, wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (4) Permohonan pembukaan Kantor Kas dan permohonan Kegiatan Pelayanan Kas dengan menggunakan PPE antara lain berupa ATM, ADM, dan EDC, pemindahan alamat kantor dan lokasi perangkat ATM dan/atau ADM, penggunaan izin usaha BPRS dengan nama baru serta penutupan kantor yang telah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, namun belum mendapat persetujuan atau penolakan, wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 85 BPRS yang belum memiliki paling sedikit 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemillikan saham paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus menyesuaikan kepemilikan saham berdasarkan ketentuan dalam Pasal 20 paling lambat pada tanggal 31 Desember 2020. Pasal 86 (1) BPRS yang telah mengajukan permohonan izin usaha pendirian BPRS sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan memperoleh izin usaha setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, namun belum memiliki 1 (satu) pemegang saham dengan persentase kepemilikan saham paling sedikit 25% (dua puluh lima persen), harus menyusun rencana pemenuhan kewajiban -53- tersebut yang dituangkan dalam bentuk rencana tindak (action plan) dengan persetujuan RUPS. (2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal izin usaha BPRS. Pasal 87 Anggota Direksi yang secara sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama memiliki saham BPRS paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus melakukan penyesuaian terhadap ketentuan dalam Pasal 27 ayat (7) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2020. Pasal 88 Dalam hal BPRS memiliki anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang merangkap jabatan dan/atau memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, BPRS harus menyesuaikan komposisi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 31 ayat (2), dan Pasal 32 paling lambat pada tanggal 31 Desember 2018. Pasal 89 BPRS yang memiliki jumlah anggota Dewan Komisaris melebihi jumlah anggota Direksi atau lebih dari 3 (tiga) orang pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus menyesuaikan jumlah anggota Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2017. Pasal 90 Anggota Dewan Komisaris yang belum memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 -54- ayat (6) pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, harus memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja paling lambat pada tanggal 31 Desember 2018. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 91 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 92 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 101 DPbS, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5027 DPbS), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 93 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 101 DPbS, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5027 DPbS) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 94 Ketentuan yang mengatur mengenai pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/54/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang -55- Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat dinyatakan tidak berlaku. Pasal 95 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Jan 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 15 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 3/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 21 Jan 2016 </set_date> <effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date> <replaced_reg> '32/54/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999', '11/23/PBI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XVI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 61 /POJK.05/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperlancar proses perizinan, harmonisasi kebijakan, dan mendorong pengembangan lembaga keuangan mikro, perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai perizinan usaha dan kelembagaan lembaga keuangan mikro; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5616); 4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 342, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5621); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 342, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5621) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: - 3 - Pasal 5 (1) LKM dapat melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari OJK. (3) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi LKM mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri dengan: a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang, yang paling sedikit memuat: 1) nama dan tempat kedudukan; 2) kegiatan usaha sebagai LKM secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah; 3) permodalan; 4) kepemilikan; dan 5) wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS; b. data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS meliputi: 1) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; 2) daftar riwayat hidup; - 4 - 3) surat pernyataan bermeterai dari Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; b) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; c) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; d) tidak pernah dinyatakan pailit atau menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e) f) tidak merangkap jabatan sebagai Direksi pada LKM lain bagi Direksi; tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris lebih dari 2 (dua) LKM lain bagi Direksi; dan g) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris lebih dari 3 (tiga) LKM lain bagi Dewan Komisaris; 4) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro atau lembaga jasa keuangan lainnya paling - 5 - singkat 1 (satu) tahun bagi salah satu Direksi; dan 5) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya paling singkat 1 (satu) tahun bagi salah satu Direksi, bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; c. data pemegang saham atau anggota: 1) dalam hal pemegang saham atau anggota adalah perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku dan surat pernyataan bermeterai bahwa setoran modal: a) tidak berasal dari pinjaman; dan b) tidak berasal dari dan untuk tindak pidana pencucian uang; 2) dalam hal LKM berbentuk koperasi, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c angka 1) hanya berlaku bagi anggota pendiri; 3) dalam hal pemegang saham adalah badan usaha milik desa/kelurahan dan/atau koperasi, dokumen yang dilampirkan adalah: a) akta pendirian termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang, atau bukti - 6 - pendirian badan usaha milik desa/kelurahan; b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik atau laporan keuangan terakhir atau pembukuan keuangan terakhir; c) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku bagi Direksi atau pengurus badan usaha milik desa/kelurahan dan/atau koperasi; dan d) surat pernyataan bermeterai bahwa setoran modal: i. ii. tidak berasal dari pinjaman; dan tidak berasal dari dan untuk tindak pidana pencucian uang; 4) dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dokumen yang dilampirkan adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota terkait penyertaan modal pada LKM; d. surat rekomendasi pengangkatan DPS dari DSN MUI atau sertifikasi pelatihan DPS dari DSN MUI bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; e. struktur organisasi dan kepengurusan yang paling kurang memiliki fungsi pemutus kredit, penagihan, dan administrasi; f. sistem dan prosedur kerja LKM, paling kurang meliputi: 1) pemberian Pinjaman atau Pembiayaan; 2) penerimaan Simpanan; 3) penagihan kepada pihak peminjam atau pihak yang menerima Pembiayaan; - 7 - 4) prosedur penyelesaian piutang macet; dan 5) prosedur penutupan Simpanan; g. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang paling kurang memuat: 1) rencana kegiatan usaha LKM dan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; 2) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan tahunan yang dimulai sejak LKM melakukan kegiatan operasional; dan 3) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 2) mengacu pada ketentuan mengenai laporan keuangan LKM; h. bukti pemenuhan modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah dilakukan secara tunai dalam bentuk fotokopi deposito berjangka yang masih berlaku atas nama salah satu Direksi pada salah satu bank di Indonesia atau salah satu bank syariah atau unit usaha syariah di Indonesia bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, disertai dengan surat pernyataan dari Direksi: dan i. bukti kesiapan operasional berupa: 1) daftar aset tetap (jika ada) dan inventaris; dan 2) bukti kepemilikan atau penguasaan kantor. (4) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g tidak berlaku bagi LKM dengan cakupan wilayah usaha desa/kelurahan. - 8 - 2. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 5A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A (1) Dalam hal LKM mengajukan permohonan izin usaha dengan setoran modal secara nontunai, permohonan izin usaha disampaikan sesuai dengan format dalam Lampiran IA yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri: a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a; b. proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan tahunan yang dimulai sejak LKM melakukan kegiatan operasional untuk 2 (dua) tahun pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf g angka 2); c. laporan keuangan tahunan yang paling sedikit terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir; d. laporan posisi keuangan penutupan dan laporan posisi keuangan pembukaan dari LKM; e. daftar Pinjaman/Pembiayaan LKM selama 2 (dua) tahun terakhir sesuai dengan format dalam Lampiran IB yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini; dan f. data Direksi, Dewan Komisaris, DPS, pemegang saham atau anggota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan - 9 - huruf c kecuali surat pernyataan mengenai setoran modal. (2) Pemenuhan setoran modal secara nontunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan ekuitas pada laporan posisi keuangan pembukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. (3) Proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tidak berlaku bagi LKM dengan cakupan wilayah usaha desa/kelurahan. (4) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; dan b. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang LKM. (5) OJK memberikan persetujuan atas permohonan izin usaha dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap dan benar. (6) Dalam hal permohonan izin usaha sebagai LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan tidak lengkap namun perhitungan ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memenuhi ketentuan jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah LKM sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini, paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah permohonan diterima, OJK memberikan persetujuan izin usaha bersyarat. (7) Pihak yang telah mendapatkan persetujuan izin usaha bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (6), harus menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama - 10 - 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan izin usaha bersyarat ditetapkan dan tidak dapat diperpanjang. (8) Dalam hal pihak yang telah mendapatkan persetujuan izin usaha bersyarat telah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara lengkap dan benar, OJK memberikan persetujuan atas permohonan izin usaha dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima secara lengkap dan benar. (9) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah berakhir dan pihak yang telah mendapatkan persetujuan izin usaha bersyarat belum menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara lengkap dan benar, persetujuan izin usaha bersyarat dinyatakan batal dan tidak berlaku. 3. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima secara lengkap dan benar. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha, OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. c. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang LKM. - 11 - (3) Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak benar, OJK menyampaikan surat pemberitahuan yang memuat syarat-syarat yang belum terpenuhi kepada pemohon, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah permohonan diterima. (4) Penolakan atas permohonan izin usaha disertai dengan alasan penolakan. (5) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan izin usaha sebagai LKM kepada pemohon. 4. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Nama LKM harus dicantumkan secara jelas dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a angka 1 yang dimulai dengan bentuk badan hukum diikuti dengan frasa: a. “Lembaga Keuangan Mikro” dan nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; b. “Lembaga Keuangan Mikro Syariah” dan nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. 5. Ketentuan dalam Pasal 9 tetap dengan perubahan Penjelasan Pasal 9 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal dalam Peraturan OJK ini. - 12 - 6. Ketentuan ayat (2) Pasal 12 diubah, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk DPS. (2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota berdasarkan rekomendasi DSN MUI atau sertifikasi pelatihan DPS dari DSN MUI. (3) Pembentukan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh beberapa LKM. (4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip Syariah. (5) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk: a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional LKM terhadap fatwa yang telah ditetapkan oleh DSN MUI; b. menilai aspek Syariah terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan LKM; dan c. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN MUI. (6) Ketentuan mengenai persyaratan Direksi dan Dewan Komisaris LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kecuali huruf e dan huruf f, mutatis mutandis berlaku bagi DPS. - 13 - 7. Ketentuan ayat (1) Pasal 14 diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Direksi wajib melaporkan perubahan nama LKM kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah diperolehnya surat persetujuan perubahan nama dari instansi berwenang atau bukti pelaporan perubahan nama kepada instansi berwenang, dengan menggunakan format dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota perubahan nama LKM; b. bukti perubahan anggaran dasar atas perubahan nama yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang bagi LKM yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau bukti pelaporan kepada instansi yang berwenang bagi LKM yang berbentuk badan hukum koperasi; dan c. bukti pengumuman perubahan nama melalui surat kabar harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM yang mudah diketahui oleh masyarakat. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencatat perubahan nama LKM dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan secara lengkap dan benar. koperasi mengenai - 14 - 8. Nama Bab VIII diubah, sehingga Bab VIII berbunyi sebagai berikut: BAB VIII PERUBAHAN CAKUPAN WILAYAH USAHA 9. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 24A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A (1) LKM dapat melakukan peningkatan cakupan wilayah usaha. (2) LKM yang melakukan peningkatan cakupan wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). (3) LKM yang akan melakukan peningkatan cakupan wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyampaikan laporan rencana peningkatan cakupan wilayah usaha kepada OJK dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan sesuai dengan format dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dan dilampiri dengan risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengenai peningkatan cakupan wilayah usaha LKM. 10. Ketentuan ayat (1) Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 3, Pasal 4, - 15 - Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24A ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 40 (empat puluh) hari kerja. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LKM telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK atau pemerintah kabupaten/kota setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK mencabut sanksi peringatan tertulis. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan LKM tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK meminta pemegang saham atau rapat anggota untuk mengganti Direksi LKM dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak pemberitahuan dari OJK. (5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota tidak mengganti Direksi LKM dimaksud, OJK memberhentikan Direksi LKM dan selanjutnya menunjuk serta mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK. - 16 - 11. Ketentuan Pasal 29 dihapus. 12. Ketentuan Pasal 30 diubah dan di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 30A dan Pasal 30B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 LKM yang telah memperoleh izin usaha melalui pengukuhan berdasarkan Peraturan OJK Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro dan LKM yang memperoleh izin usaha dengan setoran modal nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A ayat (1), harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan OJK Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro dan LKM paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal Peraturan OJK ini berlaku. Pasal 30A Dalam hal permohonan izin usaha LKM yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah disampaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak POJK ini diundangkan, rekomendasi pengangkatan anggota DPS dari DSN MUI atau sertifikasi pelatihan DPS dari DSN MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf d dan Pasal 12 ayat (2) disampaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak izin usaha LKM ditetapkan. Pasal 30B Permohonan izin usaha melalui pengukuhan yang telah diterima oleh OJK sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, tetap diakui dan diselesaikan berdasarkan Peraturan OJK ini. - 17 - Pasal II Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 412 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 61/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <changed_reg> '12/POJK.05/2014' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014', '12/POJK.05/2014' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 10 Pasal 27' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa saat ini terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan; b. bahwa untuk merespons melambatnya pertumbuhan ekonomi, diperlukan kebijakan untuk mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan peran serta perbankan dalam mengelola dana yang dimiliki oleh pelaku ekonomi khususnya yang berbentuk valuta asing; c. bahwa pengelolaan dana valuta asing dapat dilakukan melalui kegiatan usaha bank berupa penitipan dengan pengelolaan (trust) yang dapat mendukung peningkatan daya saing perbankan di dalam negeri dan meningkatkan pasokan valuta asing yang berkesinambungan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust); - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan - 3 - Syariah. 2. Kegiatan usaha Bank berupa penitipan dengan pengelolaan, yang selanjutnya disebut Trust, adalah kegiatan penitipan dengan pengelolaan atas harta milik penitip harta trust berdasarkan perjanjian tertulis antara Bank sebagai penerima dan pengelola harta trust dengan penitip harta trust untuk kepentingan penerima manfaat. 3. Penerima dan Pengelola Harta Trust, yang selanjutnya disebut Trustee, adalah Bank yang melakukan kegiatan Trust sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 4. Penitip Harta Trust, yang selanjutnya disebut Settlor, adalah pihak yang memiliki dan menitipkan hartanya untuk dikelola oleh Trustee. 5. Penerima Manfaat, yang selanjutnya disebut Beneficiary, adalah pihak yang menerima manfaat dari kegiatan Trust. Pasal 2 Bank dalam melakukan kegiatan Trust wajib berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 3 Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib mematuhi ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Pasal 4 Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memenuhi prinsip-prinsip: a. kegiatan Trust dilakukan oleh unit kerja yang terpisah dari unit kegiatan Bank lainnya; b. harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee terbatas pada aset keuangan; c. harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee dicatat dan dilaporkan terpisah dari harta Bank; d. dalam hal Bank yang melakukan kegiatan Trust - 4 - dilikuidasi, semua harta Trust tidak dimasukkan dalam harta pailit (boedel pailit) dan dikembalikan kepada Settlor atau dialihkan kepada trustee pengganti yang ditunjuk Settlor; e. kegiatan Trust dituangkan dalam perjanjian tertulis antara Trustee dengan Settlor; f. Trustee menjaga kerahasiaan data dan keterangan terkait kegiatan Trust sebagaimana diatur dalam perjanjian Trust, kecuali untuk kepentingan pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan g. Bank yang melakukan kegiatan Trust mematuhi ketentuan dan peraturan perundang-undangan. BAB II KEGIATAN TRUST Pasal 5 (1) Dalam kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Trustee dapat bertindak untuk dan atas nama Settlor sesuai perjanjian Trust sebagai: a. agen pembayar (paying agent); b. agen investasi dana secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah; dan/atau c. agen peminjaman secara konvensional (borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. (2) Kegiatan Trust sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan instruksi tertulis dari Settlor sebagaimana termuat dalam perjanjian Trust. Pasal 6 Kegiatan Trustee sebagai agen pembayar (paying agent) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, mencakup: a. membuka dan menutup rekening untuk dan atas nama Settlor; - 5 - b. menerima dan menyimpan dana ke dalam rekening Settlor; c. melakukan pembayaran dari rekening Settlor kepada Beneficiary dan/atau pihak lain; d. mencatat, mendokumentasikan, dan mengadministrasikan dokumen terkait dengan rekening Settlor; dan/atau e. melakukan kegiatan lain dalam rangka menjalankan fungsi sebagai agen pembayar (paying agent). Pasal 7 (1) Kegiatan Trustee sebagai agen investasi dana secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dilaksanakan berdasarkan instruksi tertulis yang jelas dan rinci dari Settlor, yang disesuaikan dengan jenis kegiatan dan/atau instrumen yang digunakan. (2) Dalam hal Settlor menginstruksikan Trustee untuk melakukan kegiatan investasi dana selain kegiatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan, investasi dana harus dilakukan oleh manajer investasi. (3) Dalam hal investasi dana dilakukan oleh manajer investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Trustee bertindak sebagai: a. agen pembayar (paying agent); atau b. agen pembayar (paying agent) dan agen yang menghubungkan manajer investasi dengan Settlor. (4) Trustee tidak bertanggung jawab atas kerugian dari investasi dana sepanjang investasi dana telah sesuai instruksi Settlor dalam perjanjian Trust. Pasal 8 Kegiatan Trustee sebagai agen peminjaman secara konvensional (borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c mencakup: - 6 - a. memperoleh pinjaman secara konvensional atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang dibuktikan dengan perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; b. melakukan transaksi lindung nilai (hedging) atau tahawwuth berdasarkan prinsip syariah; c. mencadangkan dana untuk membayar pinjaman atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah mekanisme yang ditetapkan Settlor; dan/atau sesuai d. melakukan kegiatan lainnya yang terkait dengan peminjaman atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Pasal 9 Dalam kegiatan Trust, Trustee dilarang: a. memanfaatkan harta Trust untuk kepentingan sendiri; dan/atau b. melakukan kegiatan diluar yang telah diatur dalam perjanjian Trust, baik atas inisiatif sendiri maupun berdasarkan perintah tertulis dari Settlor. Pasal 10 Dalam melaksanakan kegiatan Trust, Trustee memperoleh fee atau ujroh sesuai perjanjian Trust. BAB III PENCATATAN KEGIATAN TRUST Pasal 11 (1) Trustee wajib membuat pencatatan kegiatan Trust yang terpisah dari pembukuan Bank. (2) Pencatatan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi pencatatan mengenai transaksi dan posisi harta Trust. (3) Tata cara pencatatan kegiatan Trust mengacu pada standar akuntasi keuangan yang berlaku. - 7 - Pasal 12 (1) Trustee wajib menggunakan rekening pada bank di dalam negeri untuk seluruh kegiatan Trust. (2) Trustee wajib melakukan pencatatan mutasi rekening secara terpisah untuk masing-masing Settlor dan Beneficiary. Pasal 13 (1) Kegiatan Trust wajib diaudit oleh auditor intern dan auditor ekstern paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Bank wajib memastikan kegiatan Trust merupakan bagian dari objek audit umum terhadap Bank. BAB IV PARA PIHAK DALAM KEGIATAN TRUST Pasal 14 Para pihak dalam kegiatan Trust adalah: a. Bank sebagai Trustee; b. Settlor; dan c. Beneficiary. Pasal 15 (1) Bank, selain kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dapat melakukan kegiatan Trust dengan memenuhi persyaratan: a. berbadan hukum Indonesia; b. merupakan bank devisa dengan modal inti paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah); c. memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko selama 6 (enam) bulan terakhir berturut-turut; d. memiliki tingkat kesehatan Bank paling rendah Peringkat Komposit 2 pada periode penilaian terakhir; - 8 - e. mencantumkan rencana kegiatan Trust dalam Rencana Bisnis Bank; dan f. memiliki kapasitas untuk melakukan kegiatan Trust berdasarkan hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan. (2) Selama melakukan kegiatan Trust, Bank, selain kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki modal inti paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah); b. memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko; dan c. memiliki tingkat kesehatan Bank paling rendah Peringkat Komposit 2. Pasal 16 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dapat melakukan kegiatan Trust, dengan persyaratan: a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c sampai dengan huruf f; dan b. memenuhi Capital Equivalency Maintained Asset (CEMA) minimum dengan perhitungan sesuai ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). (2) Selama melakukan kegiatan Trust, kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi persyaratan: a. memenuhi Capital Equivalency Maintained Asset (CEMA) minimum dengan perhitungan sesuai ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah); b. memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko; dan c. memiliki tingkat kesehatan Bank paling rendah Peringkat Komposit 2. - 9 - Pasal 17 Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau Pasal 16 ayat (2) tidak terpenuhi, Bank: a. dilarang membuat perjanjian Trust baru; b. wajib menyelesaikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau Pasal 16 ayat (2) paling lama 6 (enam) bulan sejak pelanggaran persyaratan terjadi; dan c. wajib mengembalikan harta Trust kepada Settlor atau mengalihkan harta Trust kepada trustee pengganti yang ditunjuk oleh Settlor sesuai perjanjian Trust, apabila Trustee tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf b. Pasal 18 Penilaian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f paling sedikit mencakup: a. manajemen risiko Bank yang memadai khususnya untuk sistem operasi dan prosedur yang didukung oleh teknologi informasi yang memadai untuk seluruh kegiatan Trust yang diperkenankan; b. Bank tidak sedang dikenakan tindakan pengawasan Bank; dan c. kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan pada saat Bank menyampaikan permohonan untuk melakukan kegiatan Trust. Pasal 19 (1) Bank wajib memiliki kebijakan sumber daya manusia yang mengelola unit kerja Trustee. (2) Dalam menetapkan kebijakan sumber daya manusia pada unit kerja Trustee, Bank tetap berpedoman pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain. - 10 - (3) Komposisi jumlah sumber daya manusia unit kerja Trustee paling sedikit 50% (lima puluh persen) merupakan pegawai Bank dan berkewarganegaraan Indonesia. (4) Mayoritas pimpinan unit kerja Trustee dan pejabat satu tingkat di bawah pimpinan unit kerja Trustee merupakan pegawai Bank dan berkewarganegaraan Indonesia. (5) Kualifikasi jabatan pimpinan unit kerja Trustee dan pejabat satu tingkat di bawah pimpinan unit kerja Trustee paling sedikit meliputi kompetensi di bidang keuangan dan memiliki integritas. Pasal 20 (1) Settlor wajib memenuhi kriteria: a. nasabah korporasi; dan b. bukan merupakan pihak terafiliasi dengan Bank. (2) Settlor dapat bertindak sebagai Beneficiary. BAB V PERJANJIAN TRUST Pasal 21 (1) Penunjukan Bank sebagai Trustee dan penunjukan Beneficiary harus disampaikan secara tertulis oleh Settlor kepada Bank. (2) Bank yang ditunjuk sebagai Trustee sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membuat pernyataan tertulis atas kesanggupannya sebagai Trustee. (3) Penunjukan Bank sebagai Trustee dan penunjukan Beneficiary sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta hak dan kewajiban antara Bank dengan Settlor dan Beneficiary wajib dituangkan dalam perjanjian Trust secara tertulis. Pasal 22 (1) Perjanjian Trust wajib disusun dalam Bahasa Indonesia. (2) Perjanjian Trust sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 11 - dapat dialihbahasakan dalam bahasa lain sesuai dengan kepentingan para pihak. (3) Dalam hal perjanjian Trust dialihbahasakan dalam bahasa lain, harus memuat informasi yang sama dengan perjanjian Trust yang disusun dalam Bahasa Indonesia. (4) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran antara perjanjian Trust yang dialihbahasakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan perjanjian Trust sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian yang berlaku adalah perjanjian Trust yang disusun dalam bahasa Indonesia. Pasal 23 Perjanjian Trust paling sedikit mencakup: a. penunjukan Bank sebagai Trustee; b. penunjukan Beneficiary; c. hak dan kewajiban para pihak, yaitu Trustee, Settlor, dan Beneficiary; d. kewajiban Trustee untuk menjaga kerahasiaan data dan transaksi Settlor dan Beneficiary, kecuali untuk kepentingan pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan; e. harta Trust tidak termasuk dalam harta pailit dan wajib dikembalikan kepada Settlor; f. pencatatan harta Trust dilakukan secara terpisah dari harta Bank; g. pembebasan Trustee dari tanggung jawab (indemnification) terhadap kerugian, kecuali karena kelalaian (negligence) dan pelanggaran (willful misconduct) yang dilakukan Trustee; h. mekanisme penghentian perjanjian Trust; i. penunjukan trustee pengganti; j. penyelesaian sengketa; k. pilihan hukum (choice of law); l. yurisdiksi pengadilan apabila penyelesaian sengketa ditempuh melalui jalur hukum; m. klausul yang menyatakan bahwa kegiatan yang diperjanjikan dalam perjanjian Trust adalah kegiatan - 12 - Trust sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; n. klausul bahwa perubahan terhadap isi perjanjian hanya dapat dilakukan secara tertulis dan disepakati oleh para pihak; o. tidak bertujuan untuk pencucian uang dan/atau terorisme sebagaimana dimaksud dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; p. tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan lainnya. BAB VI PERSETUJUAN PRINSIP DAN SURAT PENEGASAN Bagian Kesatu Umum Pasal 24 (1) Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memperoleh izin Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip; dan b. surat penegasan. Bagian Kedua Persetujuan Prinsip Pasal 25 Bank dapat mengajukan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a setelah Bank memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 16. - 13 - Pasal 26 (1) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a, diajukan oleh Bank secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan dokumen berupa: a. informasi umum mengenai kegiatan Trust; b. analisis manfaat dan biaya bagi Bank; c. standar prosedur pelaksanaan, organisasi, dan kewenangan untuk melaksanakan kegiatan Trust; d. rencana kebijakan dan prosedur terkait dengan penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; e. identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap risiko yang melekat pada kegiatan Trust; f. hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan atas kegiatan Trust; dan g. sistem informasi akuntansi dan sistem teknologi informasi. (3) Persetujuan atau penolakan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank paling lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Ketiga Surat Penegasan Pasal 27 (1) Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a mengajukan permohonan untuk memperoleh surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan. - 14 - (2) Permohonan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan: a. struktur organisasi, pembagian kewenangan serta tanggung jawab pejabat yang menangani kegiatan Trust termasuk daftar penanggung jawab dan tenaga ahli di bidang Trust; b. daftar pegawai dan pembagian kerja serta komposisi pegawai lokal dan tenaga kerja asing, baik pada level manajemen maupun operasional; dan c. penilaian tingkat risiko kegiatan Trust dan profil risiko calon Settlor. (3) Persetujuan atau penolakan pemberian surat penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank paling lama 60 (enam puluh) hari kerja setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 28 (1) Surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b hanya berlaku untuk satu kantor. (2) Dalam hal Bank akan melakukan kegiatan Trust di kantor lainnya, Bank wajib memperoleh surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Tata cara pengajuan permohonan surat penegasan untuk kegiatan Trust di kantor lainnya mengacu pada ketentuan dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. Pasal 29 (1) Dalam hal Bank yang melakukan kegiatan Trust melakukan merger atau konsolidasi, Bank hasil merger atau konsolidasi wajib memenuhi persyaratan sebagai Trustee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 16. - 15 - (2) Dalam hal Bank hasil merger atau konsolidasi tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 atau Pasal 16, Bank sebagai Trustee: a. dilarang membuat perjanjian Trust baru; b. wajib menyelesaikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau Pasal 16 ayat (2) paling lama 6 (enam) bulan sejak hasil merger atau konsolidasi dinyatakan efektif; dan c. wajib mengembalikan harta Trust kepada Settlor atau mengalihkan harta Trust kepada trustee pengganti yang ditunjuk oleh Settlor sesuai dengan perjanjian Trust, apabila Trustee tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf b. BAB VII MANAJEMEN RISIKO KEGIATAN TRUST Bagian Kesatu Umum Pasal 30 (1) Dalam melakukan kegiatan Trust, Bank wajib menerapkan manajemen risiko dengan berpedoman pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum. (2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris serta Dewan Pengawas Syariah; b. kecukupan kebijakan dan prosedur; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern. - 16 - Bagian Kedua Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris serta Dewan Pengawas Syariah Pasal 31 Pengawasan aktif Direksi paling sedikit mencakup: a. penetapan Rencana Bisnis Bank untuk kegiatan Trust; b. penetapan kebijakan dan prosedur Bank untuk kegiatan Trust; dan c. pemantauan dan pengevaluasian kegiatan Trust. Pasal 32 Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling sedikit mencakup: a. persetujuan Dewan Komisaris atas Rencana Bisnis Bank untuk melakukan kegiatan Trust; dan b. evaluasi pelaksanaan Rencana Bisnis Bank terkait kegiatan Trust. Pasal 33 Pengawasan aktif Dewan Pengawas Syariah paling sedikit mencakup: a. memastikan kegiatan Trust sesuai prinsip syariah; dan b. memastikan prosedur Bank untuk kegiatan Trust sesuai prinsip syariah. Bagian Ketiga Kecukupan Kebijakan dan Prosedur Pasal 34 (1) Bank wajib memiliki dan mengimplementasikan kebijakan serta prosedur yang komprehensif dan efektif untuk kegiatan Trust. (2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. kebijakan penilaian tingkat risiko kegiatan Trust; b. kebijakan sumber daya manusia untuk kegiatan Trust; - 17 - c. prosedur pelaksanaan kegiatan Trust yang mencakup: 1. penunjukan Bank sebagai Trustee; 2. penilaian profil risiko Settlor yang paling sedikit meliputi tujuan dan profil keuangan Settlor; 3. pernyataan kesanggupan Bank sebagai Trustee; 4. penyusunan perjanjian Trust; 5. pelaksanaan kegiatan Trust yang berpedoman pada perjanjian Trust; d. prosedur penyelesaian sengketa; dan e. prosedur untuk melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian risiko, dan sistem informasi untuk kegiatan Trust. Bagian Keempat Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, Pengendalian, dan Sistem Informasi Manajemen Risiko Pasal 35 (1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian atas risiko untuk Kegiatan Trust. (2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh sistem informasi manajemen yang tepat waktu, informatif, dan akurat. Bagian Kelima Sistem Pengendalian Intern Pasal 36 Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif. - 18 - BAB VIII TRANSPARANSI INFORMASI Pasal 37 (1) Bank wajib menerapkan transparansi informasi dalam melakukan kegiatan Trust dengan berpedoman pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai transparansi informasi produk yang disesuaikan dengan karakteristik kegiatan Trust. (2) Dalam menerapkan transparansi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank wajib mengungkapkan informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan. Pasal 38 Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) paling sedikit mencakup: a. jenis-jenis transaksi yang dapat dilakukan oleh Bank sebagai Trustee; b. tanggung jawab Bank terhadap risiko dan kerugian; dan c. fee atau ujroh dari kegiatan Trust. Pasal 39 Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memberikan laporan tertulis secara berkala kepada Settlor mengenai kinerja Trustee dalam pengelolaan harta Trust. BAB IX LAPORAN Pasal 40 (1) Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib menyampaikan laporan kegiatan Trust kepada Otoritas Jasa Keuangan secara bulanan untuk kegiatan Trust yang dilakukan oleh setiap kantor Bank. (2) Bank bertanggung jawab atas kelengkapan dan kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 19 - Pasal 41 Laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 mencakup informasi paling sedikit mengenai: a. sumber daya manusia unit kerja Trustee; b. perjanjian Trust dan Settlor; c. kegiatan Trust; dan d. posisi aset dan kewajiban Trust. Pasal 42 Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta informasi lain terkait kegiatan Trust. Pasal 43 (1) Laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 disampaikan pertama kali pada akhir bulan sejak kantor Bank memperoleh surat penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan Trust. (2) Dalam hal tidak terdapat kegiatan Trust selama periode pelaporan, Bank tetap wajib menyampaikan laporan dengan keterangan nihil. Pasal 44 (1) Laporan kegiatan Trust disampaikan melalui surat yang ditandatangani oleh pimpinan unit kerja Trustee dan diketahui oleh pejabat yang membawahi unit kerja Trustee. (2) Pengisian format laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 mengacu pada Lampiran II Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 45 Laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. - 20 - Pasal 46 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, apabila Bank menyampaikan laporan kegiatan Trust setelah batas akhir waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. (2) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, apabila Bank belum menyampaikan laporan kegiatan Trust dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB X SANKSI Pasal 47 (1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (2), Pasal 9, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), dan Pasal 45 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. larangan kegiatan Trust; dan/atau d. pencabutan persetujuan prinsip untuk melakukan kegiatan Trust. (2) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b, dan Pasal 29 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi pencabutan persetujuan prinsip untuk melakukan kegiatan Trust. - 21 - Pasal 48 (1) Selain sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dikenakan sanksi kewajiban membayar berupa denda bagi: a. Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan; dan/atau b. Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menyetor ke Rekening Otoritas Jasa Keuangan di bank umum. BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 49 Bank yang dicabut izin usahanya atas permintaan Bank (self liquidation) atau yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank atau Tim Likuidasi harus: a. mengembalikan harta Trust kepada Settlor; atau b. mengalihkan harta Trust kepada trustee pengganti, sesuai dengan perjanjian Trust. Pasal 50 Bank menyampaikan: a. permohonan persetujuan prinsip dan permohonan surat penegasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 27; - 22 - b. laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui: 1) Departemen Pengawasan Bank terkait, Departemen Perbankan Syariah atau Kantor Regional 1 Jabodetabek, Banten, Lampung, dan Kalimantan, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta Provinsi Banten; atau 2) Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta Provinsi Banten. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 51 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/17/PBI/2012 tanggal 23 November 2012 tentang Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust); dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/10/DPNP tanggal 28 Maret 2013 perihal Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 23 - Pasal 52 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 11 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 293 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2015 TENTANG KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) I. UMUM Sehubungan dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan maka diperlukan adanya kebijakan untuk menstimulus pertumbuhan perekonomian nasional. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang dapat mendorong pelaku ekonomi dalam mengelola dana khususnya yang berbentuk valuta asing yang dimilikinya dengan menggunakan jasa dan keahlian perbankan di dalam negeri. Kebijakan tersebut juga ditujukan untuk mendorong pendalaman pasar keuangan domestik. Sejalan dengan hal tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan peran serta perbankan antara lain melalui kebijakan terkait dengan pengelolaan dana yang dimiliki oleh pelaku ekonomi khususnya yang berbentuk valuta asing. Kebijakan pengelolaan dana valuta asing dapat dilakukan melalui kegiatan usaha Bank berupa penitipan dengan pengelolaan (Trust) yang ditujukan untuk mendukung peningkatan daya saing perbankan di dalam negeri dan meningkatkan pasokan valuta asing yang berkesinambungan. Sehubungan dengan pertimbangan di atas, diperlukan kebijakan mengenai Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Yang dimaksud dengan mematuhi ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme antara lain Trustee harus melakukan: a. Customer Due Dilligence; b. Enhanced Due Dilligence; dan/atau c. pelaporan transaksi keuangan mencurigakan, untuk memastikan harta Trust tidak berasal dari kejahatan dan/atau tidak bertujuan untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “aset keuangan” adalah aset berupa dana, tagihan dan/atau surat berharga. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam kegiatan Trust mengikuti bankruptcy remote. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. - 3 - Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “agen pembayar (paying agent)” adalah kegiatan menerima dan melakukan pemindahan uang dan/atau dana, serta mencatat arus kas masuk dan keluar untuk dan atas nama Settlor. Huruf b Yang dimaksud dengan “agen investasi dana secara konvensional dan/atau investasi dana berdasarkan prinsip syariah” adalah kegiatan menempatkan, mengkonversi, melakukan lindung nilai (hedging), mengadministrasikan penempatan dana untuk dan atas nama Settlor. Huruf c Yang dimaksud dengan “agen peminjaman secara konvensional (borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah” adalah kegiatan perantara dalam rangka mendapatkan sumber-sumber pendanaan antara lain dalam bentuk pinjaman atau pembiayaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Instruksi tertulis yang jelas dan rinci memuat antara lain: a. jenis mata uang; b. jenis/instrumen penempatan; c. jangka waktu; d. jumlah nominal; e. counterparty; f. counterparty limit; g. penjamin; dan/atau h. peringkat instrumen investasi. dan - 4 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, dan Undang-Undang tentang Pasar Modal. Yang dimaksud dengan “manajer investasi” adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Pasar Modal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Bagi Bank Umum Syariah yang melakukan kegiatan Trust, hanya dapat bertindak sebagai agen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Bagi Bank Umum Syariah yang melakukan kegiatan Trust, fee atau ujroh disesuaikan dengan akad yang digunakan. Pasal 11 Ayat (1) Pencatatan kegiatan Trust yang terpisah dari pembukuan Bank dilakukan termasuk untuk rincian masing-masing kegiatan Trust. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 5 - Pasal 12 Ayat (1) Penggunaan rekening pada bank di dalam negeri antara lain untuk menerima seluruh pendapatan, membayarkan seluruh kewajiban Settlor, dan/atau pemindahan dana dari rekening Settlor kepada Beneficiary. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “auditor ekstern” adalah kantor akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “Peringkat Komposit 2” adalah sebagaimana dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. - 6 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “Peringkat Komposit 2” adalah sebagaimana dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan tindakan pengawasan Bank antara lain adalah Cease and Desist Order (CDO). Huruf c Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kebijakan sumber daya manusia yang mengelola unit kerja Trustee antara lain berupa penentuan persyaratan dan kualifikasi sumber daya manusia untuk kegiatan Trust. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pegawai Bank” adalah pegawai tetap Bank. Ayat (5) Integritas antara lain memiliki akhlak dan moral yang baik, yang - 7 - ditunjukkan dengan sikap memenuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana asal yang disebutkan dalam Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak terafiliasi” adalah pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. - 8 - Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Penunjukan trustee pengganti dengan trustee lain dilakukan antara lain dalam hal Bank dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan atau penutupan Bank atas kemauan sendiri (self liquidation) atau dicabut persetujuan prinsipnya untuk melakukan kegiatan Trust. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini bertujuan untuk menilai kelengkapan dokumen dan kesiapan Bank dalam melakukan kegiatan Trust. Huruf b Surat penegasan yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan bersifat administratif yang didasarkan pada analisis terhadap kelengkapan data, informasi, dan - 9 - dokumen yang disampaikan oleh Bank untuk menilai kesiapan operasional dalam melakukan kegiatan Trust. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Informasi umum mengenai kegiatan Trust antara lain meliputi rencana waktu pelaksanaan dan target pasar. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyampaian daftar pegawai disertai dengan dokumen antara lain: - 10 - 1. daftar riwayat hidup; 2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk; 3. fotokopi bukti kewarganegaraan bagi Warga Negara Asing; dan 4. fotokopi Izin Kerja Tenaga Asing bagi Warga Negara Asing. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Huruf a Persetujuan Dewan Komisaris dapat tercermin dalam Rencana Bisnis Bank yang telah ditandatangani Komisaris. Huruf b Evaluasi atas pelaksanaan Rencana Bisnis Bank terkait kegiatan Trust antara lain dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris atau laporan pengawasan Rencana Bisnis Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Rencana Bisnis Bank. Pasal 33 Cukup jelas. - 11 - Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan dengan: a. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja untuk kegiatan Trust; b. dilakukannya pemeriksaan oleh satuan kerja audit intern. Penetapan batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan kegiatan Trust dituangkan dalam kebijakan dan prosedur. Pasal 37 Ayat (1) Transparansi informasi bertujuan agar Settlor dan/atau Beneficiary memperoleh informasi yang memadai mengenai kegiatan Trust. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Frekuensi laporan tertulis secara berkala yang disampaikan Bank kepada Settlor diatur dalam perjanjian Trust. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Huruf a Informasi umum mengenai sumber daya manusia unit kerja - 12 - Trustee antara lain memuat: 1) Jumlah pimpinan unit kerja Trustee; Informasi mengenai pimpinan unit kerja Trustee disampaikan berikut informasi status pegawai, yang berupa pegawai tetap atau tidak tetap dan Warga Negara Indonesia atau tenaga kerja asing. 2) Jumlah pejabat satu tingkat di bawah pimpinan unit kerja Trustee; Informasi mengenai pejabat satu tingkat dibawah pimpinan unit kerja Trustee disampaikan berikut informasi status pegawai, yang berupa pegawai tetap atau tidak tetap dan Warga Negara Indonesia atau tenaga kerja asing. 3) Jumlah sumber daya manusia lainnya; Informasi mengenai sumber daya manusia lainnya disampaikan berikut informasi status pegawai, yang berupa pegawai tetap atau tidak tetap dan Warga Negara Indonesia atau tenaga kerja asing; dan 4) Nama pemimpin unit kerja Trustee serta nama penanggung jawab penyusun laporan kegiatan Trust berikut nomor telepon, nomor faksimili, dan alamat surat elektronik masing-masing pihak dimaksud. Informasi pada angka 1) dan 2) disampaikan untuk unit kerja Trustee pada setiap kantor Bank: 1) setelah Bank menerima surat penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan Trust yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan kegiatan Trust bulanan yang pertama kali disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan 2) dalam hal terdapat perubahan sumber daya manusia. Format penyampaian informasi umum mengenai sumber daya manusia unit kerja Trustee mengacu pada Formulir 1-Sumber Daya Manusia dalam Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Huruf b Informasi umum mengenai perjanjian Trust antara lain meliputi nomor, tanggal penandatanganan dan tanggal berakhirnya perjanjian, jenis kegiatan Trust, sandi sektor ekonomi, dan sandi - 13 - perjanjian Trust. Pengelompokan sandi sektor ekonomi dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. Informasi umum mengenai Settlor antara lain meliputi nama, nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan sandi negara. Sandi negara meliputi sandi negara residensial yang mengacu pada negara residen dan sandi negara nasionalitas yang mengacu pada pemegang saham utama. Pengelompokan sandi negara dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. Informasi umum mengenai perjanjian Trust dan Settlor disampaikan: 1) setelah Bank menerima surat penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan Trust yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan kegiatan Trust bulanan yang pertama kali disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan 2) dalam hal terdapat perubahan perjanjian antara Trust dan Settlor. Informasi disampaikan Bank untuk unit kerja Trustee pada setiap kantor Bank. Format penyampaian informasi umum mengenai perjanjian Trust dan Settlor mengacu pada Formulir 2-Daftar Perjanjian antara Trust dan Settlor dalam Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Huruf c Informasi umum mengenai kegiatan Trust memuat rincian kegiatan Trust, yaitu: 1) Penerimaan dana, yang terdiri atas: a) setoran dana; b) hasil penjualan atau devisa hasil ekspor; c) pokok investasi; d) imbal hasil investasi; e) utang atau pembiayaan yang diterima; dan f) lain-lain. - 14 - 2) Pengeluaran dana, yang terdiri atas: a) pembayaran pajak; b) pembayaran pada supplier atau vendor; c) pembayaran pada Beneficiary, yang terdiri atas: (1) pemerintah; (2) Settlor sebagai Beneficiary; dan (3) lainnya. d) Investasi, yang terdiri atas: (1) investasi yang dilakukan oleh Trustee; dan (2) investasi yang dilakukan melalui manajer investasi. e) Pembayaran utang atau pembiayaan yang diterima, yang terdiri atas: (1) pokok utang atau pembiayaan yang diterima; dan (2) bunga utang atau imbal hasil pembiayaan yang diterima. f) g) fee atau ujroh kepada Trustee; dan lain-lain. 3) Selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pencatatan nilai nominal kegiatan Trust disajikan dalam valuta asal dan nilai konversi dalam Rupiah. Tata cara pencatatan kegiatan Trust mengacu pada Standar Akuntansi yang berlaku. Format Penyampaian Informasi umum mengenai kegiatan Trust memuat rincian kegiatan Trust dibuat untuk setiap perjanjian Trust dengan mengacu pada Formulir 3–Rincian Kegiatan Trust dalam Lampiran I dan seluruh perjanjian Trust dengan mengacu pada Formulir 4–Rekapitulasi Kegiatan Trust dalam Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Huruf d Informasi umum mengenai posisi aset dan kewajiban Trust antara lain memuat: 1) Informasi posisi aset Trust terdiri atas: a) b) giro; investasi yang dilakukan oleh Trustee, yang terdiri atas: (1) tabungan; (2) deposito; - 15 - (3) Sertifikat Bank Indonesia/Sertifikat Bank Indonesia Syariah; (4) Surat Berharga Negara/Surat Berharga Syariah Negara; dan (5) lain-lain, c) Investasi yang dilakukan melalui Manajer Investasi, yang terdiri atas: (1) saham; (2) obligasi atau sukuk korporasi; (3) reksadana atau reksadana syariah; (4) Efek Beragun Aset; (5) Medium Term Notes; dan (6) lain-lain. d) aset keuangan lainnya. 2) Informasi posisi kewajiban Trust terdiri atas: a) kewajiban kepada Settlor; b) dana usaha; dan c) kewajiban lainnya. Pencatatan nilai nominal posisi aset dan kewajiban Trust disajikan dalam valuta asal dan nilai konversi dalam Rupiah. Tata cara pencatatan posisi aset dan kewajiban Trust mengacu pada Standar Akuntansi yang berlaku. Format penyampaian informasi umum mengenai posisi aset dan kewajiban Trust mengacu pada Formulir 5–Posisi Aset dan Kewajiban Trust dalam Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Laporan kegiatan Trust disampaikan dengan melampirkan: a. hardcopy laporan kegiatan Trust; dan - 16 - b. softcopy laporan kegiatan Trust dalam format spreadsheet dengan menggunakan compact disc, flash disk, atau media perekaman data elektronik lainnya, yang dimasukkan dalam amplop tertutup dan disegel. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5775
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 27/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> KEGIATAN USAHA BANK BERUPA PENITIPAN DENGAN PENGELOLAAN (TRUST) </reg_title> <set_date> 4 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 11 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 11 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> '14/17/PBI/2012', '15/10/DPNP|SE-BI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 7/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LEMBAGA PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap Lembaga Penjaminan,perlu dilakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Penjaminan guna meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku di bidang Lembaga Penjaminan; b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Mengingat : Jasa Keuangan Pemeriksaan Lembaga Penjaminan; 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan; MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMERIKSAAN LEMBAGA PENJAMINAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin. 2. Penjaminan… tentang -2- 2. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang telah menjamin pemenuhan kewajiban finansial Terjamin. 3. Lembaga Penjaminan adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. 4. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan. 5. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan berdasarkan Prinsip Syariah. 6. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang. 7. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang berdasarkan Prinsip Syariah. 8. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 9. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan usaha Lembaga Penjaminan, yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran laporan berkala, kepatuhan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang- undangan di bidang Lembaga Penjaminan serta memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 10. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. 11. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan. 12. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang disampaikan… Syariah, Perusahaan -3- disampaikan kepada Lembaga Penjaminan yang akan diperiksa. 13. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PEMERIKSAAN Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan melakukan Pemeriksaan terhadap Lembaga Penjaminan. (2) Pemeriksaan bertujuan untuk: a. Memperoleh keyakinan mengenai kondisi Lembaga Penjaminan yang sebenarnya; b. Meneliti kesesuaian kondisi Lembaga Penjaminan dengan peraturan perundang-undangan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang sehat; dan c. Memastikan bahwa Lembaga Penjaminan telah melakukan upaya untuk dapat memenuhi kewajiban kepada Penerima Jaminan. Pasal 3 (1) Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap setiap Lembaga Penjaminan dilakukan: a. secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; atau b. setiap waktu bila diperlukan. (2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan atas substansi laporan berkala dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lembaga penjaminan. (3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Pemeriksaan yang bersifat khusus dan dilakukan apabila: a. berdasarkan hasil analisis atas laporan berkala Lembaga Penjaminan, patut diduga bahwa penyelenggaraan... -4- penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Penjaminan dimaksud menyimpang dari peraturan perundang-undangan di bidang Lembaga Penjaminan yang dapat menimbulkan risiko atas kepentingan Penerima Jaminan dan/atau Terjamin dalam kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Ulang; b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan, patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Penjaminan dimaksud menyimpang dari peraturan perundang-undangan di bidang Lembaga Penjaminan yang dapat menimbulkan risiko atas kepentingan para Penerima Jaminan; atau c. terdapat alasan khusus yang mendasari perlunya dilakukan Pemeriksaan, antara lain: 1. verifikasi kegiatan operasional Lembaga Penjaminan; 2. penggabungan; 3. peleburan; 4. pengambilalihan; dan/atau 5. pengalihan portofolio Penjaminan atau Penjaminan Ulang. (4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam rencana pemeriksaan tahunan yang ditetapkan oleh OtoritasJasaKeuangan. Pasal 4 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. (2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu disampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada Lembaga Penjaminan. (3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan. (4) Ketentuan ayat (2) dikecualikan apabila diduga bahwa penyampaian Surat PemberitahuanPemeriksaan dapat menyebabkan tindakan mengaburkan keadaan yang... -5- yang sebenarnya atau tindakan menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan. Pasal 5 Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan berdasarkan Pedoman Pemeriksaan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a. persiapan Pemeriksaan; b. pelaksanaan Pemeriksaan; dan c. pelaporan hasil Pemeriksaan. (2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan hasil analisis laporan berkala dan data lain yang mendukung. (3) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara Pemeriksaan di kantor Lembaga Penjaminan atau Pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan atau Pemeriksaan di tempat lain yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (4) Untuk mendukung pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait dengan Lembaga Penjaminan yang bersangkutan. (5) Pelaporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama proses pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam kertas kerja Pemeriksaan. Pasal 7 (1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan, Pemeriksa wajib menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan dan tanda pengenal Pemeriksa. (2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan dalam ayat (1)LembagaPenjaminan yang akan diperiksa wajib menolak dilakukannyaPemeriksaan. (3) Dalam hal Pemeriksa telah menunjukan Surat Pemberitahuan... -6- Pemberitahuan Pemeriksaan, Surat Perintah Pemeriksaan beserta tanda pengenal Pemeriksa, Pemeriksa berhak: a. memeriksa dan/atau meminjam buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen pendukungnya termasuk keluaran (output) dari pengolahan data atau media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya; b. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis dari LembagaPenjaminan yang diperiksa; c. memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, atau barang yang dapat memberikan petunjuk tentang keadaan LembagaPenjaminan yang diperiksa; dan d. mendapatkan keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Lembaga Penjaminan yang diperiksa. (4) Pemeriksa wajib merahasiakan data dan/atau keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan terhadap pihak yang tidak berhak, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Otoritas Jasa Keuangan atau diwajibkan oleh Undang-Undang. Pasal 8 (1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), LembagaPenjaminan yang diperiksa dilarang menolak dan/atau menghambat kelancaran proses Pemeriksaan. (2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, Lembaga Penjaminan yang diperiksa berkewajiban untuk: a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran Pemeriksaan selamaPemeriksaan; b. memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis dan/atau lisan; c. memberi akses kepada Pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu; dan d. memberikan keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan LembagaPenjaminan yang diperiksa. (3) Lembaga… -7- (3) Lembaga Penjaminan dianggap menghambat kelancaran proses Pemeriksaan apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun buku, catatan, dokumen atau keterangan yang diberikan tidak benar atau menyesatkan. (4) Dalam hal Lembaga Penjaminan dianggap menghambat kelancaran proses Pemeriksaan, maka akan dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan. (5) Tanpa mengurangi ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan, dalam hal Lembaga Penjaminan menolak dan/atau menghambat dilakukannya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pemeriksa menetapkan Berita Acara Penolakan Pemeriksaan dengan atau tanpa ditandatangani oleh Direksi Lembaga Penjaminan. (6) Direksi Lembaga Penjaminan yang menolak dan/atau menghambat dilakukannya Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) diwajibkan untuk mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 9 (1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b berakhir, Pemeriksa wajib menyusun laporan hasil Pemeriksaan. (2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan b. laporan hasil Pemeriksaan final. (3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani Pemeriksa dan ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 10 (1) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sementara kepada Direksi Lembaga Penjaminan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya pelaksanaan Pemeriksaan. (2) Lembaga Penjaminan mengajukan yang tanggapan atas diperiksa dapat laporan hasil Pemeriksaan… -8- Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal ditetapkannya laporan hasil Pemeriksaan sementara. (3) Dalam hal setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Lembaga Penjaminan tidak memberikan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara secara tertulis, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) hari setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (2) berakhir. (4) Dalam hal Lembaga Penjaminan menyampaikan tanggapan yang tidak memuat sanggahan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan sehingga tidak diperlukan adanya pembahasan, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) hari setelah diterimanya tanggapan dari Lembaga Penjaminan yang diperiksa. (5) Dalam hal Lembaga Penjaminan menyampaikan tanggapan yang memuat sanggahan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara yang telah disampaikan dan diperlukan adanya pembahasan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara, maka Otoritas Jasa Keuangan mengundang Lembaga Penjaminan yang bersangkutan guna melakukan pembahasan atas tanggapan yang disampaikan. (6) Proses Pembahasan atas tanggapan laporan hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterimanya surat tanggapan. (7) Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan laporan hasil Pemeriksaan sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan final paling lambat 15 (lima belas) hari setelah selesainya pembahasan bersama Lembaga Penjaminan yang diperiksa. BAB III KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pemeriksaaan Lembaga Penjaminan… -9- Penjaminan tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN Ttd Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 April 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 74 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 7/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LEMBAGA PENJAMINAN I. UMUM Lembaga Penjaminan adalah sebagai salah satu lembaga keuangan non bank yang diharapkan mampu untuk menjembatani akses UMKM pada fasilitas pembiayaan perbankan, sehingga diharapkan dengan tumbuhnya sektor UMKM dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu diperlukan pengelolaan kegiatan usaha yang efektif dan efisien yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan guna mewujudkan tujuan dimaksud. Untuk memastikan adanya efektivitas dalam pengelolaan kegiatan usaha Lembaga Penjaminan termasuk kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, perlu dilakukan pengawasan yang bersifat on site supervision dalam bentuk pemeriksaan langsung. Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 November 2011, maka tugas pengawasan atas Lembaga Penjaminan beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak tanggal 31 Desember 2012, tentunya dibutuhkan landasan hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya dalam mengawasi Lembaga Penjaminandalam bentuk pemeriksaan langsung. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeriksaan Lembaga Penjaminan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Bagi… -2- Bagi Perusahaan Penjaminanatau Perusahaan PenjaminanUlang yang memiliki Unit Usaha Syariah, makapemeriksaansecaraberkala paling kurangmeliputi 1 (satu) kali pada Perusahaan Penjaminanatau Perusahaan Penjaminan ulang selaku entitas induk, serta paling kurang 1 (satu) kali pada Unit Usaha Syariah yang dimiliki dalam 1 (satu) tahun. Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah meliputi pihak kreditur selaku Penerima Jaminan, agen penjamin, nasabah debitur selaku Terjamin dan/atau pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan penempatan investasi dari Lembaga Penjaminan. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9… -3- Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Jangka waktu paling lama 15 (limabelas) hari sudah termasuk waktu yang diperlukan untuk memperoleh hasil pembahasan antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjaminan yang diperiksa. Ayat (7) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5529
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 7/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PEMERIKSAAN LEMBAGA PENJAMINAN </reg_title> <set_date> 7 April 2014 </set_date> <effective_date> 8 April 2014 </effective_date> <issued_date> 8 April 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '2/PERPRES/2008' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 68 /POJK.05/2016 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (4), Pasal 10 ayat (4), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal 40 ayat (6), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi. 2. Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Usaha Penilai Kerugian Asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek - 3 - asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 5. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi. 6. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi. 7. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi. 8. Pialang Asuransi adalah orang yang bekerja pada Perusahaan Pialang Asuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam melakukan penutupan asuransi atau asuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 9. Pialang Reasuransi adalah orang yang bekerja pada Perusahaan Pialang Reasuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam melakukan penutupan reasuransi atau reasuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 10. Modal Disetor: a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; atau b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib. 11. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud - 4 - dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 12. Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 13. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi. 14. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi. 15. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi. 16. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari lembaga negara yang berwenang memberikan - 5 - lisensi terhadap lembaga sertifikasi profesi di Indonesia. 17. Tenaga Ahli adalah orang perseorangan yang memiliki kualifikasi dan/atau keahlian tertentu dan ditunjuk sebagai Tenaga Ahli pada Perusahaan tempatnya bekerja. 18. Asosiasi adalah asosiasi dari Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, atau profesi keahlian di lingkup usaha Perusahaan. 19. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN, NAMA PERUSAHAAN, DAN PERMODALAN Bagian Kesatu Bentuk Badan Hukum Pasal 2 Bentuk badan hukum Perusahaan adalah: a. perseroan terbatas; atau b. koperasi. Bagian Kedua Kepemilikan Pasal 3 (1) Perusahaan hanya dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang secara langsung atau tidak - 6 - langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; atau b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a, bersama-sama dengan warga negara asing atau badan hukum asing yang harus merupakan Perusahaan yang memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis. (2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menjadi pemilik Perusahaan hanya melalui transaksi di bursa efek. (3) Kriteria badan hukum asing dan kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b serta kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Perusahaan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah mengenai kepemilikan asing pada perusahaan perasuransian. Pasal 4 (1) Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a wajib menyesuaikan ketentuan tersebut dengan cara: a. mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada warga negara Indonesia; atau b. melakukan perubahan kepemilikan melalui mekanisme penawaran umum (initial public offering), paling lama 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. - 7 - (2) Perubahan kepemilikan melalui mekanisme penawaran umum (initial public offering) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dalam hal Perusahaan telah melakukan upaya pengalihan kepemilikan sahamnya kepada warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Dalam rangka pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib menyusun rencana tindak yang paling sedikit memuat cara penyesuaian, tahapan pelaksanaan, dan jangka waktu. (4) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mendapatkan persetujuan RUPS. (5) Rencana tindak yang telah mendapatkan persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini diundangkan. (6) OJK memberikan persetujuan atau permintaan perbaikan atas rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya rencana tindak. (7) Perusahaan dapat melakukan perubahan terhadap rencana tindak yang telah memperoleh persetujuan dari OJK paling banyak 3 (tiga) kali. (8) Ketentuan mengenai rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6), berlaku mutatis mutandis terhadap perubahan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (7). (9) Perusahaan wajib menyampaikan pelaksanaan rencana tindak yang telah mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak realisasi rencana tindak atau sesuai dengan tahapan rencana tindak. - 8 - Bagian Ketiga Nama Perusahaan Pasal 5 (1) Perusahaan harus menggunakan nama Perusahaan yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan memuat kata: a. Pialang Asuransi, insurance broker, atau kata yang mencirikan kegiatan Pialang Asuransi bagi Perusahaan Pialang Asuransi; b. Pialang Reasuransi, reinsurance broker, atau kata yang mencirikan kegiatan Pialang Reasuransi bagi Perusahaan Pialang Reasuransi; atau c. penilai kerugian asuransi, adjuster, atau kata yang mencirikan kegiatan penilai kerugian asuransi bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. (2) Penggunaan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas. (3) Nama Perusahaan wajib dicantumkan secara jelas pada gedung kantor, iklan, dan kop surat Perusahaan. (4) OJK berwenang meminta Perusahaan untuk mengubah nama Perusahaan apabila nama Perusahaan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Permodalan Pasal 6 (1) Perusahaan Pialang Asuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). - 9 - (2) Perusahaan Pialang Reasuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (3) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) wajib disetor secara tunai dan penuh dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening giro atas nama Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, atau Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi pada salah satu bank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia. Pasal 7 (1) Pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan hukum asing harus memiliki rating paling rendah A atau yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional. (2) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum asing dan merupakan perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis, pemenuhan ketentuan rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipenuhi oleh rating dari salah satu anak perusahaannya yang bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis. (3) Bagi pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan hukum Indonesia, jumlah penyertaan langsung pada Perusahaan ditetapkan paling tinggi sebesar ekuitas pemegang saham. (4) Ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi pemegang saham Perusahaan yang merupakan lembaga jasa keuangan yang berada dalam pengawasan OJK. - 10 - (5) Bagi lembaga jasa keuangan yang berada dalam pengawasan OJK, jumlah penyertaan langsung pada Perusahaan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai investasi dan/atau penyertaan. (6) Jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan: a. penyetoran modal pendirian Perusahaan; b. perubahan pemegang saham Perusahaan; dan/atau c. penambahan Modal Disetor Perusahaan. BAB III PERIZINAN USAHA Bagian Kesatu Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha Pasal 8 (1) Setiap Pihak yang menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi, Usaha Pialang Reasuransi, atau Usaha Penilai Kerugian Asuransi wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari OJK. (2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK. Pasal 9 (1) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), harus diajukan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 1 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. - 11 - (2) Pengajuan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dokumen: a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, yang paling sedikit harus memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, dan fotokopi akta perubahan anggaran dasar (jika ada) disertai dengan fotokopi bukti persetujuan dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang; b. susunan organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja; c. fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam bentuk setoran tunai dan fotokopi bukti penempatan Modal Disetor minimum dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening giro pada salah satu bank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha; d. daftar kepemilikan, berupa: 1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham dan seluruh struktur kelompok usaha yang terkait Perusahaan dan badan hukum pemilik Perusahaan sampai dengan pemilik terakhir, bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas; atau - 12 - 2. daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi; e. data pemegang saham atau anggota selain Pengendali: 1. orang perseorangan, dilampiri dengan: a) fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; b) fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); c) fotokopi surat pemberitahuan (SPT) pajak 2 (dua) tahun terakhir dan dokumen lain yang menunjukkan kemampuan keuangan serta sumber dana calon pemegang saham orang perseorangan; d) daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan e) surat pernyataan dari yang bersangkutan yang menyatakan: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan; 3) tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; 4) tidak termasuk sebagai Pihak yang dilarang untuk menjadi pemegang saham atau Pihak yang mengelola, mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada lembaga jasa keuangan; - 13 - 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 7) tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 8) tidak pernah menjadi pemegang saham pengendali, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pengendali, atau anggota DPS pada perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; 2. badan hukum, dilampiri dengan: a) fotokopi akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada), disertai dengan fotokopi bukti pengesahan, fotokopi bukti persetujuan, dan/atau fotokopi bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang; - 14 - b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik yang dilengkapi laporan keuangan non-konsolidasi dan laporan keuangan bulan terakhir; c) dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e angka 1 huruf a), huruf b), dan huruf d), bagi direksi atau yang setara dengan direksi dari badan hukum yang bersangkutan; dan d) surat pernyataan direksi atau yang setara dengan direksi dari badan hukum yang bersangkutan yang menyatakan bahwa: 1) setoran modal tidak berasal dari pinjaman; 2) setoran modal tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering) keuangan; dan kejahatan 3) tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet; 4) tidak termasuk sebagai Pihak yang dilarang untuk menjadi pemegang saham atau Pihak yang mengelola, mengawasi, dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan pada lembaga jasa keuangan; 5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 6) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang menyebabkan suatu perusahaan berdasarkan - 15 - dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 7) tidak pernah menjadi pemegang saham pengendali perusahaan jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan e) hasil rating dari lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional, bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum asing; 3. negara Republik Indonesia, dilampiri dengan fotokopi peraturan pemerintah mengenai penyertaan modal negara Republik Indonesia untuk pendirian Perusahaan; 4. pemerintah daerah, dilampiri dengan fotokopi peraturan daerah penyertaan modal daerah untuk pendirian Perusahaan; f. daftar Pengendali beserta keterangan mengenai bentuk pengendaliannya; g. bukti mempekerjakan Tenaga Ahli; h. rencana kerja untuk 3 (tiga) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi serta lini usaha yang akan dimasuki dan target pasarnya; 2. langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi arus kas, neraca, perhitungan laba/rugi semesteran dan tingkat kesehatan Perusahaan serta asumsi yang mendasarinya, dimulai sejak Perusahaan melakukan kegiatan operasional; mengenai pada - 16 - i. j. fotokopi pedoman manajemen risiko Perusahaan; fotokopi perikatan dengan pihak lain (jika ada) dan kebijakan pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha; k. sistem administrasi dan infrastruktur pengelolaan data yang mendukung penyiapan dan penyampaian laporan kepada OJK; l. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal Pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung dari Pihak asing; m. bukti pelunasan biaya perizinan; dan n. dokumen lain dalam rangka mendukung pertumbuhan usaha yang sehat, meliputi: 1. fotokopi awal/pembukaan Perusahaan; 2. bukti kesiapan operasional; 3. bukti memiliki polis indemnitas profesi yang masih berlaku dengan uang pertanggungan paling sedikit sebesar Modal Disetor; 4. rencana bidang kepegawaian termasuk rencana pengembangan sumber daya manusia paling singkat untuk 3 (tiga) tahun pertama; 5. fotokopi pedoman pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; 6. fotokopi pedoman tata kelola Perusahaan yang baik; 7. fotokopi pedoman tata kelola investasi; 8. fotokopi perjanjian kerjasama antara pemegang saham yang berbentuk badan hukum asing dengan pemegang saham Indonesia, bagi Perusahaan yang di dalamnya terdapat penyertaan dari badan hukum asing yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan paling sedikit memuat: laporan posisi keuangan - 17 - a) komposisi permodalan dan rincian kewenangan, yang paling sedikit memuat ketentuan mengenai hak suara, pembagian keuntungan dan kerugian, dan penunjukan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Rasuransi, atau Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi; dan b) kewajiban pemegang saham berbentuk badan hukum asing untuk menyusun dan melaksanakan program pendidikan dan pelatihan sesuai bidang keahliannya. (3) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak utama Perusahaan. (4) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama Perusahaan dan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Bagian Kedua Persetujuan atau Penolakan Permohonan Izin Usaha Pasal 10 (1) OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima. - 18 - (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); b. verifikasi setoran modal; c. analisis kelayakan atas rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf h; d. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon pihak utama; dan e. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. (3) OJK dapat melakukan peninjauan ke kantor Perusahaan untuk memastikan kesiapan operasional Perusahaan. (4) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (5) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan permohonan izin usaha. (7) Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK menetapkan keputusan pemberian izin usaha kepada pemohon. (8) Dalam hal OJK menolak permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan - 19 - harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 11 (1) Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan oleh OJK. (2) Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha. (3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (4) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan: a. bukti penempatan asuransi bagi Perusahaan Pialang Asuransi, bukti penempatan reasuransi bagi Perusahaan Pialang Reasuransi, atau bukti surat perintah kerja bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi; dan b. fotokopi surat izin menetap dan/atau surat izin menggunakan tenaga kerja asing yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, bagi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang berkewarganegaraan asing. BAB IV PENGENDALI Pasal 12 (1) Pihak yang dikategorikan sebagai Pengendali merupakan: a. pemegang saham; atau - 20 - b. bukan pemegang saham. (2) Pengendali yang merupakan pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi kriteria persyaratan integritas dan kelayakan keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. (3) Pengendali yang bukan merupakan pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria persyaratan integritas dan reputasi keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. BAB V SUSUNAN ORGANISASI Pasal 13 (1) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memiliki susunan organisasi yang menggambarkan secara jelas paling sedikit fungsi: a. pelayanan; b. teknis kepialangan; dan c. administrasi, keuangan, dan audit internal. (2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib memiliki susunan organisasi yang menggambarkan secara jelas paling sedikit fungsi: a. pelayanan; b. teknis penilaian kerugian asuransi; dan c. administrasi, keuangan, dan audit internal. (3) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) wajib dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja secara tertulis, yang ditetapkan oleh Direksi. (4) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencerminkan adanya pengendalian internal yang baik. - 21 - (5) Perusahaan wajib memiliki pegawai yang bertanggung jawab atas masing-masing fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2). (6) Pengelolaan Perusahaan wajib didukung paling sedikit dengan sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan keputusan. BAB VI SUMBER DAYA MANUSIA Bagian Kesatu Sertifikasi Pasal 14 (1) Anggota Direksi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memiliki sertifikat kepialangan dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian. (2) Anggota Direksi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib memiliki sertifikat ahli penilai kerugian asuransi dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi bagi anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kedua Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 15 (1) Perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja asing. - 22 - (2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dipekerjakan sebagai: a. Tenaga Ahli dengan level jabatan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi; atau b. konsultan. (3) Perusahaan hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja asing yang menangani fungsi: a. teknis kepialangan, bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi; b. teknis penilaian kerugian asuransi, bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi; c. pemasaran; dan/atau d. sistem informasi. (4) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing sebagai Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tenaga kerja asing dipekerjakan dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; dan b. tenaga kerja asing didampingi oleh tenaga kerja Indonesia dalam rangka alih pengetahuan, keahlian, dan teknologi. (5) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. tenaga kerja asing hanya dipekerjakan untuk melaksanakan proyek atau program tertentu yang berkaitan dengan kegiatan operasional di bidang perasuransian; b. jangka waktu untuk proyek atau program sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling lama 5 (lima) tahun; dan c. tenaga kerja asing didampingi oleh tenaga kerja Indonesia dalam rangka alih pengetahuan, keahlian, dan teknologi. - 23 - (6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya; b. tenaga asing tersebut menduduki jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia; dan c. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan. (7) OJK berwenang untuk meminta Perusahaan memberhentikan tenaga kerja asing yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Pasal 16 (1) Perusahaan yang akan mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), wajib terlebih dahulu melaporkan kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sebelum tenaga kerja asing dimaksud dipekerjakan. (2) Pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK sesuai dengan format 3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri: a. daftar riwayat hidup tenaga kerja asing yang dipekerjakan, disertai dengan fotokopi dokumen yang mencerminkan bidang keahliannya; b. rencana program pendidikan dan pelatihan tahunan selama tenaga kerja asing dimaksud dipekerjakan; dan c. rencana penempatan dan bidang tugas yang menjadi tanggung jawab tenaga kerja asing. - 24 - Pasal 17 (1) Perusahaan wajib melaporkan pengangkatan atau pemberhentian tenaga kerja asing kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah diangkat atau diberhentikan. (2) Pelaporan pengangkatan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan melampirkan: a. fotokopi bukti pengangkatan tenaga kerja asing; b. fotokopi surat izin menetap; c. d. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP). (3) Pelaporan pemberhentian tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan disertai alasan pemberhentian. Pasal 18 (1) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), wajib menyelenggarakan kegiatan alih pengetahuan dari tenaga kerja asing kepada pegawai Perusahaan. (2) Alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dibuat dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan tahunan kepada pegawai Perusahaan. Bagian Ketiga Pengembangan Sumber Daya Manusia Pasal 19 (1) Perusahaan wajib menyelenggarakan program pengembangan kemampuan dan pengetahuan bagi pegawainya. fotokopi surat izin menggunakan tenaga kerja asing; dan - 25 - (2) Pengembangan kemampuan dan pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan. BAB VII PIALANG ASURANSI DAN PIALANG REASURANSI Bagian Kesatu Pialang Asuransi Pasal 20 Perusahaan Pialang Asuransi wajib mempekerjakan Pialang Asuransi secara penuh waktu. Pasal 21 (1) Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat kepialangan dengan level paling rendah 2 (dua) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi atau sertifikat kepialangan dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari Lembaga Sertifikasi Profesi; b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis kepialangan dan/atau teknis asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. menjadi anggota Asosiasi Pialang Asuransi di Indonesia. (2) Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada unit yang bertanggung jawab terhadap fungsi teknis kepialangan. Pasal 22 (1) Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 wajib terdaftar di OJK. (2) Untuk terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Pialang Asuransi harus mendaftarkan kepada OJK sesuai dengan format 4 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang - 26 - merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan melampirkan dokumen: a. fotokopi sertifikat kepialangan bagi Pialang Asuransi dengan level paling rendah 2 (dua) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi atau sertifikat kepialangan dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari Lembaga Sertifikasi Profesi; b. bukti pengalaman kerja di bidang teknis kepialangan dan/atau teknis asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; c. bukti keanggotaan pada anggota Asosiasi Pialang Asuransi di Indonesia; d. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; e. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); f. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan g. surat pernyataan dari yang bersangkutan yang menyatakan: 1. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 2. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 3. tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah - 27 - mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir. Pasal 23 (1) OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan pendaftaran diterima. (2) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (3) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam rangka memproses permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen permohonan. (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan permohonan pendaftaran. (6) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK menerbitkan surat tanda terdaftar kepada pemohon. (7) Dalam hal OJK menolak permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. - 28 - Pasal 24 Surat tanda terdaftar Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6) dapat dibatalkan dalam hal Pialang Asuransi: a. tidak lagi menjadi anggota Asosiasi Pialang Asuransi; b. dinyatakan melanggar kode etik dan standar praktik oleh Asosiasi Pialang Asuransi yang bersangkutan; c. dicabut gelar profesinya oleh Asosiasi yang mengeluarkan gelar tersebut; atau d. melakukan perbuatan tercela di bidang usaha jasa keuangan. Pasal 25 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib melaporkan pengangkatan dan/atau pemberhentian Pialang Asuransi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal pengangkatan dan/atau pemberhentian. (2) Pelaporan pengangkatan Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK sesuai dengan format 5 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan melampirkan dokumen berupa surat tanda terdaftar Pialang Asuransi yang dipekerjakan. (3) Pelaporan pemberhentian Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 6 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. - 29 - Bagian Kedua Pialang Reasuransi Pasal 26 Perusahaan Pialang Reasuransi wajib mempekerjakan Pialang Reasuransi secara penuh waktu. Pasal 27 (1) Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sertifikat kepialangan dengan level paling rendah 2 (dua) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi atau sertifikat dari luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari Lembaga Sertifikasi Profesi; b. memiliki pengalaman kerja di bidang pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia. (2) Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada unit yang bertanggung jawab terhadap fungsi teknis kepialangan. Pasal 28 (1) Pialang Resuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 wajib terdaftar di OJK. (2) Untuk terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan Pialang Reasuransi harus mendaftarkan kepada OJK sesuai dengan format 7 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan melampirkan dokumen: a. fotokopi sertifikat kepialangan bagi Pialang Reasuransi dengan level paling rendah 2 (dua) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi atau sertifikat dari - 30 - luar negeri setelah terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari Lembaga Sertifikasi Profesi; b. bukti pengalaman kerja di bidang teknis kepialangan dan/atau teknis asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; c. bukti keanggotaan pada anggota Asosiasi Pialang Reasuransi di Indonesia; d. fotokopi tanda pengenal berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; e. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); f. daftar riwayat hidup dengan dilengkapi pas foto berwarna yang terbaru berukuran 4 x 6 cm; dan g. surat pernyataan dari yang bersangkutan yang menyatakan: 1. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; 2. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; dan 3. tidak pernah dinyatakan pailit atau bersalah yang menyebabkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir. Pasal 29 (1) OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dalam jangka waktu paling - 31 - lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan pendaftaran diterima. (2) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (3) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam rangka memproses permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen permohonan. (5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan permohonan pendaftaran. (6) Dalam hal permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, OJK menerbitkan surat tanda terdaftar kepada pemohon. (7) Dalam hal OJK menolak permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 30 Surat tanda terdaftar Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6) dapat dibatalkan dalam hal Pialang Reasuransi: a. tidak lagi menjadi anggota Asosiasi Pialang Reasuransi; b. dinyatakan melanggar kode etik dan standar praktik oleh Asosiasi Pialang Reasuransi yang bersangkutan; - 32 - c. dicabut gelar profesinya oleh Asosiasi yang mengeluarkan gelar tersebut; atau d. melakukan perbuatan tercela di bidang usaha perasuransian. Pasal 31 (1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib melaporkan pengangkatan dan/atau pemberhentian Pialang Reasuransi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal pengangkatan atau pemberhentian. (2) Pelaporan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK sesuai dengan format 8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan melampirkan dokumen berupa surat tanda terdaftar Pialang Reasuransi yang dipekerjakan. (3) Pelaporan pemberhentian Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. BAB VIII TENAGA AHLI Bagian Kesatu Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Asuransi Pasal 32 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Asuransi secara penuh waktu. - 33 - (2) Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat ahli pialang asuransi dengan level tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis kepialangan dan/atau teknis asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia. Pasal 33 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib menyesuaikan Tenaga Ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan volume dan kompleksitas usaha Perusahaan. (2) Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat ahli Pialang Asuransi dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis kepialangan dan/atau teknis asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan (3) Tenaga c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia. Ahli Perusahaan Pialang Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada unit yang bertanggung jawab terhadap fungsi teknis kepialangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. - 34 - Pasal 34 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib melaporkan pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Asuransi paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Asuransi. (2) Pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK sesuai dengan format 10 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pelaporan pemberhentian Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 11 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. Bagian Kedua Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi Pasal 35 (1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi secara penuh waktu. (2) Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat ahli Pialang Reasuransi dengan kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki pengalaman kerja di bidang pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia. - 35 - Pasal 36 (1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyesuaikan Tenaga Ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan volume dan kompleksitas usaha Perusahaan. (2) Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat ahli Pialang Reasuransi dengan kualifikasi paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki pengalaman kerja di bidang teknis kepialangan dan/atau teknis asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia. (3) Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada unit yang bertanggung jawab terhadap fungsi teknis kepialangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 37 (1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib melaporkan pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli Perusahaan Pialang Reasuransi. (2) Pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK sesuai dengan format 12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. - 36 - (3) Pelaporan pemberhentian Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 13 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. Bagian Ketiga Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi Pasal 38 (1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi secara penuh waktu. (2) Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat ahli penilai kerugian asuransi dengan kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; b. memiliki pengalaman kerja di bidang penilaian kerugian paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia. Pasal 39 (1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib menyesuaikan Tenaga Ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan volume dan kompleksitas usaha Perusahaan. (2) Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. memiliki sertifikat ahli penilai kerugian asuransi dengan kualifikasi paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian; - 37 - b. memiliki pengalaman kerja di bidang penilaian kerugian paling singkat 3 (tiga) tahun; dan c. menjadi anggota Asosiasi profesi di Indonesia. (3) Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada unit yang bertanggung jawab terhadap fungsi teknis penilai kerugian. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian jumlah Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persyaratan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 40 (1) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi wajib melaporkan pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pengangkatan dan/atau pemberhentian Tenaga Ahli Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. (2) Pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK sesuai dengan format 14 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pelaporan pemberhentian Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK dengan menggunakan format 15 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. - 38 - BAB IX KANTOR DI LUAR KANTOR PUSAT Pasal 41 (1) Perusahaan dapat membuka kantor di luar kantor pusat di dalam atau di luar negeri. (2) Perusahaan bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap kantor yang dimiliki atau dikelolanya, atau yang pemilik atau pengelolanya diberi izin menggunakan nama Perusahaan yang bersangkutan. Pasal 42 (1) Perusahaan wajib melaporkan setiap pembukaan dan/atau penutupan kantor di luar kantor pusat kepada OJK. (2) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi Perusahaan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah kantor tersebut beroperasi dengan menggunakan format 16 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri: a. nama kantor dan fungsi kantor; b. alamat kantor yang didukung oleh surat keterangan dari pihak yang relevan yang paling sedikit menyatakan nama Perusahaan; c. nama pimpinan kantor dilengkapi dengan daftar riwayat hidup; dan d. tugas dan kewenangan pimpinan kantor. Pasal 43 (1) Perusahaan yang akan menutup kantor di luar kantor pusat wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengenai: a. rencana penutupan kantor di luar kantor pusat; dan - 39 - b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban. (2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memperhatikan kepentingan tertanggung, atau peserta. pemegang polis, Pasal 44 (1) Perusahaan wajib melaporkan penutupan kantor di luar kantor pusat secara tertulis oleh Direksi Perusahaan kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penutupan kantor di luar kantor pusat. (2) Pelaporan penutupan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 17 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri: a. bukti pemberitahuan rencana penutupan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a; dan b. bukti pengalihan pelayanan kantor di luar kantor pusat di tutup ke kantor pusat atau kantor di luar kantor pusat terdekat. BAB X KEANGGOTAAN PADA ASOSIASI Pasal 45 (1) Setiap Perusahaan wajib menjadi anggota salah satu Asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya. (2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK. - 40 - (3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Asosiasi harus menyampaikan permohonan tertulis kepada OJK yang dilampiri dokumen: a. fotokopi anggaran dasar atau anggaran rumah tangga; dan b. struktur kepengurusan. BAB XI PERUBAHAN KEPEMILIKAN Pasal 46 (1) Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. (2) Dalam hal perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakibatkan oleh adanya penambahan Modal Disetor maka penambahan modal dimaksud hanya dapat dilakukan dalam bentuk: a. setoran tunai; b. pengalihan saldo laba; c. pengalihan pinjaman; dan/atau d. dividen saham. (3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon pemegang saham melalui Direksi Perusahaan harus mengajukan permohonan persetujuan kepada OJK dengan menggunakan format 18 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan: a. rencana daftar kepemilikan; b. data calon pemegang saham atau anggota selain Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e, apabila terdapat pemegang saham baru; c. rancangan akta risalah RUPS; d. rancangan akta pemindahan hak atas saham; - 41 - e. fotokopi surat pemberitahuan pajak (SPT) 2 (dua) tahun terakhir dan dokumen lain yang menunjukkan kemampuan keuangan serta sumber dana pemegang saham orang perseorangan; f. fotokopi laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebelum penambahan Modal Disetor, dalam hal perubahan kepemilikan diakibatkan oleh penambahan Modal Disetor dan akan dilakukan dalam bentuk pengalihan saldo laba, pengalihan pinjaman, dan/atau dividen saham; dan g. fotokopi perjanjian kerjasama antara pemegang saham yang berbentuk badan hukum asing dengan pemegang saham Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf n angka 8 bagi pelaporan perubahan kepemilikan yang terdapat pemegang saham baru berbentuk badan hukum asing. (4) OJK memberikan persetujuan, permintaan kelengkapan dokumen, atau penolakan atas permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan persetujuan diterima. (5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) OJK melakukan: a. b. c. penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3); analisis kelayakan rencana perubahan kepemilikan; penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pengendali, dalam hal perubahan kepemilikan menyebabkan Pengendali; dan perubahan - 42 - d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. (6) Pemohon harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 20 (dua puluh) hari sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari OJK. (7) Dalam hal pemohon telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6), OJK memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (8) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, pemohon dianggap membatalkan permohonan persetujuan. (9) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (4), OJK menetapkan keputusan pemberian persetujuan kepada pemohon. (10) Dalam hal OJK menolak permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. Pasal 47 (1) Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya bukti persetujuan, dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang. (2) Pelaporan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 19 sebagaimana tercantum - 43 - dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dengan: a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai bukti persetujuan dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang; b. fotokopi akta pemindahan hak atas saham dalam hal terjadi pemindahan hak atas saham; c. bukti penambahan modal berupa fotokopi bukti pelunasan Modal Disetor dalam bentuk setoran tunai dan fotokopi bukti penempatan Modal Disetor pada salah satu bank umum atau bank umum syariah yang dilegalisasi oleh bank penerima setoran dalam hal perubahan kepemilikan mengakibatkan penambahan Modal Disetor; d. fotokopi peraturan pemerintah mengenai penyertaan modal negara Republik Indonesia, dalam hal perubahan kepemilikan karena penambahan Modal Disetor dari pemegang saham pemerintah pusat; dan/atau e. fotokopi peraturan daerah mengenai penyertaan modal daerah dalam hal perubahan kepemilikan karena penambahan Modal Disetor dari pemegang saham pemerintah daerah. BAB XII PELAPORAN Bagian Kesatu Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar Pasal 48 (1) Perusahaan wajib melaporkan kepada OJK perubahan anggaran dasar meliputi: a. perubahan nama Perusahaan; b. perubahan tempat kedudukan kantor pusat Perusahaan; - 44 - c. pengurangan Modal Disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; d. penambahan Modal Disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan/atau e. perubahan status Perusahaan yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya, paling lama 15 (lima belas) hari kerja tanggal sejak persetujuan atau surat penerimaan pemberitahuan, atau pengesahan dari instansi yang berwenang. (2) Pelaporan perubahan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 20 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri dokumen: a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai dengan persetujuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan b. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama baru dari Perusahaan. (3) Pelaporan perubahan tempat kedudukan kantor pusat Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 21 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan - 45 - b. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas tempat kedudukan baru dari Perusahaan. (4) Pengurangan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilaksanakan oleh Perusahaan dengan tetap memperhatikan pemenuhan ketentuan Modal Disetor minimum dan/atau pemenuhan ketentuan ekuitas minimum Perusahaan. pengurangan Modal (5) Pelaporan Disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 22 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri dokumen fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti persetujuan dari instansi yang berwenang. (6) Penambahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat dilakukan dalam bentuk: a. setoran tunai; b. pengalihan saldo laba; c. pengalihan pinjaman; dan/atau d. dividen saham. (7) Pelaporan penambahan Modal Disetor Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 23 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dilampiri dokumen: a. fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang disertai dengan bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi berwenang bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; - 46 - b. bukti penambahan Modal Disetor, yaitu: 1. fotokopi bukti setoran modal pada salah satu bank umum atau bank umum syariah di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk uang tunai; atau 2. laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebelum penambahan modal, dalam hal penambahan Modal Disetor dilakukan dalam bentuk pengalihan pinjaman dan/atau saldo laba bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; c. fotokopi surat pernyataan pemegang saham atau anggota koperasi yang menyatakan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman, kegiatan pencucian uang (money laundering) dan kejahatan keuangan dalam hal penambahan modal dilakukan dalam bentuk uang tunai sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1; d. fotokopi surat pemberitahuan pajak (SPT) 2 (dua) tahun terakhir dan dokumen lain yang menunjukkan kemampuan keuangan serta sumber dana calon pemegang saham orang perseorangan; dan e. laporan keuangan pemegang saham yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan keuangan terakhir, dalam hal pemegang saham berbentuk badan hukum. (8) Pelaporan perubahan status Perusahaan yang tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 24 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, - 47 - dilampiri dokumen fotokopi akta perubahan anggaran dasar disertai dengan bukti persetujuan dari instansi berwenang. Bagian Kedua Pelaporan Perubahan Anggota Direksi dan/atau Anggota Dewan Komisaris Pasal 49 (1) Perusahaan yang melakukan perubahan: a. anggota Direksi; dan/atau b. anggota Dewan Komisaris, wajib melaporkan kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pencatatan perubahan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dalam daftar perseroan, atau disetujui rapat anggota. (2) Pelaporan perubahan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan dilampiri dokumen: a. fotokopi akta risalah rapat anggota bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi; atau b. akta risalah RUPS bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Bagian Ketiga Pelaporan Perubahan Alamat Pasal 50 (1) Perusahaan wajib melaporkan perubahan alamat kantor pusat dan/atau kantor di luar kantor pusat - 48 - kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja kerja terhitung sejak tanggal perubahan. (2) Pelaporan perubahan alamat kantor pusat dan/atau kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 26 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan disertai data mengenai alamat kantor yang didukung oleh surat keterangan dari pihak yang relevan yang paling sedikit menyatakan nama Perusahaan. BAB XIII PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 51 (1) Pencabutan izin usaha Perusahaan dilakukan oleh OJK. (2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Perusahaan: a. dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK ini; b. pailit; atau c. menghentikan kegiatan usaha. Pasal 52 (1) Perusahaan yang dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b wajib menyampaikan laporan kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak putusan pernyataan pailit oleh pengadilan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi Perusahaan kepada OJK dengan menggunakan format 27 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian - 49 - yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, dengan dilampiri: a. fotokopi dokumen yang menjadi dasar ditetapkannya putusan pailit; dan b. asli salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha Perusahaan atau apabila asli salinan keputusan hilang harus dilampiri dengan fotokopi salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha yang telah dilegalisasi dan surat pernyataan Direksi bahwa asli salinan keputusan hilang. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan pencabutan izin usaha. Pasal 53 (1) Perusahaan yang akan menghentikan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf c wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan dari OJK. (2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Perusahaan harus menyampaikan permohonan persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha kepada OJK yang memuat paling sedikit hal-hal sebagai berikut: a. alasan penghentian kegiatan usaha; b. uraian mengenai kondisi Perusahaan, termasuk data mengenai jumlah polis yang masih berlaku (in-force), jumlah pemegang polis, tertanggung, atau peserta, jumlah kewajiban Perusahaan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan kewajiban lainnya; c. rencana penyelesaian kewajiban Perusahaan kepada seluruh kreditor; dan d. rencana pembubaran atau rencana lainnya setelah Perusahaan menyelesaikan kewajiban kepada seluruh kreditor dan izin usaha Perusahaan telah dicabut oleh OJK. - 50 - (3) Permohonan persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan dengan menggunakan format 28 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dilampiri dengan dokumen sebagai berikut: a. asli salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha Perusahaan atau apabila asli salinan keputusan hilang harus dilampiri dengan fotokopi salinan keputusan mengenai pemberian izin usaha yang telah dilegalisasi dan surat pernyataan Direksi bahwa asli Salinan keputusan hilang; b. fotokopi keputusan RUPS mengenai persetujuan atas rencana penghentian kegiatan usaha Perusahaan; c. laporan keuangan terakhir Perusahaan; d. bukti penyelesaian pajak dan kewajiban lainnya kepada negara; dan e. bukti penyelesaian pungutan OJK dan denda administratif terutang. Pasal 54 (1) OJK melakukan penelitian terhadap permohonan persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2). (2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha secara lengkap, OJK memberikan persetujuan atau penolakan rencana penghentian kegiatan usaha. - 51 - (3) Dalam hal OJK memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan wajib untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Perusahaan; b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan usaha dan rencana penyelesaian kewajiban Perusahaan dalam surat kabar selama 3 (tiga) hari berturut-turut paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal surat persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha; c. menyelesaikan seluruh kewajiban Perusahaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan sejak tanggal surat persetujuan rencana penghentian kegiatan usaha; dan d. menunjuk akuntan publik untuk menyusun neraca akhir termasuk melakukan verifikasi untuk memastikan penyelesaian seluruh kewajiban Perusahaan. (4) Prosedur penyelesaian seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 55 Setelah seluruh kewajiban Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) diselesaikan, Direksi wajib menyampaikan laporan kepada OJK yang paling sedikit memuat: a. pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) huruf a; b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) huruf b; c. pelaksanaan penyelesaian kewajiban Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) huruf c; - 52 - d. neraca akhir Perusahaan yang telah diaudit oleh auditor independen; dan e. surat pernyataan dari pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban Perusahaan telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi. Pasal 56 (1) OJK melakukan penelitian terhadap laporan yang disampaikan oleh Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55. (2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya laporan secara lengkap, OJK menerbitkan keputusan tentang pencabutan izin usaha Perusahaan. (3) Perusahaan yang dicabut izin usahanya wajib menghentikan kegiatan usahanya. Pasal 57 Sejak tanggal pencabutan izin usaha Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), apabila di kemudian hari muncul kewajiban Perusahaan yang belum diselesaikan, pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi bertanggung jawab atas kewajiban dimaksud. BAB XIV SANKSI Pasal 58 (1) Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), 4 ayat - 53 - (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (9), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7 ayat (6), Pasal 8 ayat (1), Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 28 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 43, Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 55, dan Pasal 56 ayat (3) Peraturan OJK ini dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap. (3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat mengenakan sanksi tambahan berupa larangan menjadi pemegang saham, Pengendali, Direksi, Dewan Komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, Pengendali, Direksi, dan Dewan Komisaris, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi, pada Perusahaan Perasuransian. (4) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan OJK mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif. - 54 - BAB XV LAIN-LAIN Pasal 59 (1) Dalam hal OJK telah menyediakan sistem pelayanan secara elektronik (e-licensing), maka permohonan perizinan, persetujuan, atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 46 ayat (3), Pasal 47 ayat (2), Pasal 48 ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 49 ayat (2), Pasal 50 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 53 ayat (2) disampaikan kepada OJK secara online melalui sistem jaringan komunikasi data OJK. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan secara elektronik (e-licensing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. Pasal 60 (1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus tercatat di OJK. (2) Untuk dapat tercatat di OJK, Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan kepada OJK dengan dilampiri: a. bukti lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau instansi lain yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. fotokopi akta anggaran dasar Lembaga Sertifikasi Profesi. - 55 - BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 61 Perusahaan yang mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK sebelum Peraturan OJK ini diundangkan dan belum menyampaikan dokumen permohonan izin usaha secara lengkap, maka berlaku ketentuan dalam Peraturan OJK ini. Pasal 62 Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha pada saat Peraturan OJK ini diundangkan, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sepanjang tidak Perusahaan. Pasal 63 Perusahaan yang telah memperoleh sebelum Peraturan OJK ini izin usaha diundangkan dan belum memenuhi ketentuan mengenai Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 38 ayat (1), harus menyesuaikan dengan ketentuan tersebut paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 64 Sertifikat yang telah diperoleh dari Asosiasi atau lembaga, baik di dalam maupun luar negeri, yang telah melaksanakan sertifikasi di bidang Perasuransian sebelum Peraturan OJK ini diundangkan, dinyatakan tetap sah dan berlaku. melakukan perubahan nama - 56 - Pasal 65 Asosiasi atau lembaga yang telah melaksanakan sertifikasi di bidang Perasuransian pada saat Peraturan OJK ini diundangkan wajib memenuhi ketentuan sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi paling lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 66 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Perusahaan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 425/KMK.06/2003 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi, dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Perusahaan penyebab yang belum dikenakannya dapat sanksi mengatasi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 67 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai perizinan usaha dan kelembagaan bagi Perusahaan tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 68 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 57 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 301 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 68/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI </reg_title> <set_date> 23 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2016 </issued_date> <related_reg> '40/UU/2014', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
- 1 - SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 38 /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa kelangsungan usaha bank dipengaruhi oleh eksposur risiko yang timbul baik secara langsung dari kegiatan usaha bank maupun secara tidak langsung dari kegiatan usaha perusahaan anak; b. bahwa untuk mengelola eksposur risiko tersebut bank wajib menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi; c. bahwa dalam menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi, bank harus mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank dan perusahaan anak; d. bahwa dalam menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi bank harus memastikan prinsip kehati- hatian yang diterapkan pada kegiatan usaha bank diterapkan pula pada perusahaan anak; e. bahwa penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak merupakan salah satu prinsip dari standar internasional; - 2 - f. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak; berdasarkan pertimbangan g. bahwa sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi bagi Bank yang Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan Anak; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Pengendalian adalah orang perseorangan atau perusahaan atau badan, baik secara sendiri maupun bersama-sama baik langsung maupun tidak langsung yang memiliki saham 50% (lima puluh persen), atau kurang dari 50% (lima puluh persen) yang memiliki hak suara pada suatu perusahaan atau badan lain tetapi: a. terdapat perjanjian dengan pemegang saham lain, sehingga memiliki hak suara lebih dari 50% (lima puluh persen); b. mempunyai kewenangan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional perusahaan atau badan lain berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian; c. mempunyai kewenangan untuk menunjuk atau mengganti sebagian besar direksi dan dewan komisaris atau organ lain yang setara dan mengendalikan perusahaan atau badan lain melalui direksi dan dewan komisaris atau organ lain; dan/atau d. mampu menguasai suara mayoritas pada rapat direksi dan dewan komisaris atau organ lain yang setara dan mengendalikan perusahaan atau badan melalui direksi dan dewan komisaris atau organ lain. - 4 - 3. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 4. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disingkat KPMM adalah KPMM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah. 5. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disingkat BMPK adalah BMPK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. Pasal 2 (1) Bank yang memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak wajib melakukan penerapan manajemen risiko secara konsolidasi. (2) Penerapan manajemen risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Perusahaan Anak yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank karena adanya penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit atau restrukturisasi pembiayaan. Pasal 3 Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas: a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); - 5 - b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh persen) atau kurang namun Bank memiliki Pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan: 1. kepemilikan Bank dan para pihak lain pada Perusahaan Anak masing-masing sama besar; dan 2. masing-masing pemilik melakukan Pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; dan d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan diwajibkan untuk dikonsolidasikan. BAB II SISTEM INFORMASI DAN PELAPORAN Pasal 4 (1) Bank wajib memiliki sistem yang dapat mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko usaha dari Bank dan Perusahaan Anak agar dapat menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan efektif. (2) Sistem yang wajib dimiliki oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi: a. sistem informasi akuntansi; dan b. sistem informasi manajemen risiko. BAB III PENILAIAN KUALITAS ASET Pasal 5 Untuk kepentingan penyusunan laporan keuangan konsolidasi dan perhitungan KPMM, Bank wajib melakukan penilaian kualitas aset dan membentuk penyisihan penghapusan aset untuk seluruh aset Perusahaan Anak paling sedikit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum dan - 6 - ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. BAB IV PERHITUNGAN BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT Pasal 6 (1) Bank wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum baik untuk penyediaan dana Bank secara individu maupun untuk penyediaan dana Bank dan Perusahaan Anak secara konsolidasi. (2) Dalam perhitungan BMPK untuk penyediaan dana Bank dan Perusahaan Anak secara konsolidasi: a. penyediaan dana dari Perusahaan Anak kepada debitur Bank wajib diperhitungkan sebagai satu kesatuan dengan penyediaan dana Bank; dan b. komponen modal menggunakan modal secara konsolidasi. Pasal 7 Penyertaan pada Perusahaan Anak oleh Bank yang melakukan penerapan manajemen risiko secara konsolidasi, tidak diperhitungkan sebagai penyediaan dana dalam perhitungan BMPK. BAB V PENGELOLAAN PERUSAHAAN ANAK Pasal 8 (1) Bank wajib memastikan pengurus yang mengelola Perusahaan Anak memiliki integritas yang baik. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pengurus yang mengelola Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c. - 7 - (3) Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyampaikan daftar calon pengurus yang mengelola Perusahaan Anak yang diusulkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) kepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan RUPS. BAB VI PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN DAN PROFIL RISIKO BANK Pasal 9 (1) Bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan baik secara individu maupun secara konsolidasi. (2) Dalam hal terdapat perbedaan karakteristik usaha Perusahaan Anak dengan Bank, komponen tertentu dalam penilaian tingkat kesehatan Bank dapat disesuaikan untuk penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi. Pasal 10 (1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan laporan profil risiko baik secara individu maupun secara konsolidasi. (2) Dalam hal terdapat perbedaan karakteristik usaha Perusahaan Anak dengan Bank, parameter pengukuran risiko tertentu dalam penyusunan profil risiko Bank dapat disesuaikan untuk penyusunan profil risiko secara konsolidasi. - 8 - BAB VII PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK Pasal 11 Ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum diterapkan bagi Bank secara individu dan bagi Bank secara konsolidasi. BAB VIII PELAPORAN Pasal 12 (1) Bank wajib menyampaikan laporan keuangan Perusahaan Anak secara daring (online) sesuai dengan format dan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan secara daring (online) melalui sistem Laporan Bulanan Bank Umum, Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, Laporan Berkala Bank Umum, atau Laporan Berkala Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal penyampaian laporan secara daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) belum dapat dilakukan, Bank wajib menyampaikan laporan secara luring (offline) setiap triwulanan untuk periode bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember yang meliputi: a. laporan penilaian kualitas aset secara konsolidasi; - 9 - b. laporan perhitungan Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) secara konsolidasi bagi bank umum syariah; dan c. laporan profil risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. (4) Laporan penilaian kualitas aset secara konsolidasi dan laporan perhitungan BMPD secara konsolidasi bagi Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b disampaikan paling lambat pada tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (5) Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur, laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya. (6) Laporan profil risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah akhir bulan laporan. (7) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bagi bank umum syariah mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. (8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat: a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai dengan wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. - 10 - Pasal 13 (1) Dalam hal Bank memiliki dan/atau mengendalikan Perusahaan Anak yang melakukan kegiatan usaha asuransi: a. penerapan manajemen risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan melalui penilaian dan penyampaian laporan penerapan manajemen risiko pada perusahaan asuransi secara tersendiri; dan b. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12, tidak diterapkan. (2) Laporan penilaian terhadap penerapan manajemen risiko pada perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan secara triwulanan untuk periode bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember, paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah akhir bulan laporan. (3) Penyampaian laporan penilaian terhadap penerapan manajemen risiko pada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan dalam Pasal 12 ayat (8). BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 14 (1) Peningkatan penyertaan karena akumulasi laba Perusahaan Anak oleh Bank yang melakukan penerapan manajemen risiko secara konsolidasi, tidak diperhitungkan dalam batasan portofolio penyertaan Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterapkan dalam hal Bank memiliki dan/atau mengendalikan Perusahaan Anak yang melakukan kegiatan usaha asuransi. perusahaan asuransi - 11 - BAB X SANKSI Pasal 15 (1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (3), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1), dan/atau Pasal 10 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan terkait dan dapat dikenakan sanksi administratif, berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau c. pencantuman anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). (2) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (3), dan Pasal 13 ayat (2) setelah batas akhir waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), Pasal 12 ayat (6), dan Pasal 13 ayat (2) sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan untuk masing-masing laporan. (3) Bank yang belum menyampaikan laporan atau menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (4) Bank yang belum menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap diwajibkan menyampaikan - 12 - laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 ayat (2). (5) Dalam hal Bank dikenakan sanksi administratif berupa denda karena dinyatakan belum menyampaikan laporan atau menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sanksi administratif berupa denda karena terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberlakukan. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip kehati-hatian dan laporan dalam rangka penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi Bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 17 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tentang Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi bagi Bank yang Melakukan Pengendalian Terhadap Perusahaan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4602), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 13 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 144 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 38 /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK I. UMUM Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang melekat dalam setiap kegiatan usaha. Risiko-risiko yang melekat tersebut dapat berasal dari kegiatan usaha Bank itu sendiri maupun dari perusahaan yang terkait dengan Bank. Sementara itu perkembangan transaksi keuangan dalam era globalisasi menyebabkan semakin terintegrasinya produk dan jasa keuangan yang dilakukan oleh Bank. Produk dan jasa keuangan yang semakin terintegrasi menyebabkan eksposur risiko yang harus dihadapi Bank menjadi semakin kompleks dan meningkat. Menghadapi kondisi tersebut, Bank perlu memperhatikan seluruh risiko yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank. Risiko yang harus diperhatikan mencakup seluruh risiko yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank, baik yang berasal dari Perusahaan Anak maupun dari kelompok usaha. Sebagai langkah awal untuk mengukur risiko secara lebih menyeluruh, Bank diminta untuk menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi pada Perusahaan Anak yang dikendalikan. Penerapan manajemen risiko pada Perusahaan Anak juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing perbankan Indonesia di dunia internasional, - 2 - mengingat hal ini merupakan salah satu pemenuhan tingkat kepatuhan Bank terhadap standar internasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Penerapan manajemen risiko secara konsolidasi dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah, yang meliputi: a. pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris; b. kecukupan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta penetapan limit risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam huruf a, bagi bank umum syariah termasuk pengawasan aktif dewan pengawas syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Termasuk dalam kegiatan usaha di bidang keuangan antara lain jasa perbankan, sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, perusahaan pembiayaan, penyelesaian dan penyimpanan. Huruf a Cukup jelas. serta lembaga kliring - 3 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c angka 1 Cukup jelas. angka 2 Yang dimaksud dengan “Pengendalian secara bersama” adalah Pengendalian bersama oleh para pemilik atas Perusahaan Anak yang didasarkan pada perjanjian kontraktual. Pengendalian bersama harus dibuktikan dengan adanya kesepakatan atau komitmen secara tertulis dari para pemilik untuk memberikan dukungan baik finansial maupun non-finansial sesuai kepemilikan masing-masing. Huruf d Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Sistem informasi akuntansi antara lain meliputi sistem yang dapat menghasilkan laporan keuangan, perhitungan KPMM, penilaian kualitas aset dan pembentukan penyisihan penghapusan aset, perhitungan BMPK yang menghitung seluruh eksposur Bank dan eksposur Perusahaan Anak secara konsolidasi serta penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi. Penyusunan laporan keuangan konsolidasi mengacu pada standar akuntansi keuangan. Huruf b Sistem informasi manajemen risiko mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. - 4 - Pasal 5 Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar laporan keuangan konsolidasi dan perhitungan KPMM dapat dilakukan secara lebih tepat, sesuai dengan risiko yang telah dapat diperkirakan (expected risk). Pasal 6 Ayat (1) Persentase BMPK untuk Bank secara individu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum, juga diberlakukan secara konsolidasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Integritas yang baik antara lain dibuktikan dengan pengurus Perusahaan Anak tidak berasal dari pihak-pihak yang terdapat dalam Daftar Tidak Lulus Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Daftar Kredit Macet. Yang dimaksud dengan “pengurus yang mengelola Perusahaan Anak” adalah direksi dan dewan komisaris bagi badan hukum perseroan terbatas atau jabatan lain yang setara pada badan hukum lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 5 - Pasal 9 Ayat (1) Penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Penyusunan laporan profil risiko secara konsolidasi mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Kriteria yang digunakan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum antara lain rasio KPMM dan rasio kredit bermasalah atau rasio pembiayaan bermasalah yang dihitung secara konsolidasi. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Asuransi memiliki karakteristik risiko yang sangat berbeda dengan Bank sehingga tidak diterapkan penilaian manajemen risiko secara konsolidasi terutama untuk hal-hal yang bersifat kuantitatif. - 6 - Huruf a Penilaian penerapan manajemen risiko perusahaan asuransi mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi lembaga jasa keuangan non-bank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Batasan portofolio penyertaan Bank mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan penyertaan modal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6087
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 38/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '8/6/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung perkembangan perusahaan pembiayaan yang dinamis dan mewujudkan industri perusahaan pembiayaan yang tangguh, kontributif, inklusif, serta berkontribusi untuk menjaga sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha oleh Perusahaan Pembiayaan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. BAB I ... - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa. 2. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan untuk pengadaan barang-barang modal beserta jasa yang diperlukan untuk aktivitas usaha/investasi, rehabilitasi, modernisasi, ekspansi atau relokasi tempat usaha/investasi yang diberikan kepada debitur dalam jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun. 3. Pembiayaan Modal Kerja adalah pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran-pengeluaran yang habis dalam satu siklus aktivitas usaha debitur dan merupakan pembiayaan dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. 4. Pembiayaan Multiguna adalah pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha (aktivitas produktif) dalam jangka waktu yang diperjanjikan. 5. Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang oleh Perusahaan Pembiayaan untuk digunakan debitur selama jangka waktu tertentu, yang mengalihkan secara substansial manfaat dan risiko atas barang yang dibiayai. 6. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penjualan suatu barang oleh debitur kepada Perusahaan Pembiayaan yang ... - 3 - yang disertai dengan menyewa-pembiayaankan kembali barang tersebut kepada debitur yang sama. 7. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang usaha suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. 8. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring With Recourse) adalah transaksi Anjak Piutang usaha dimana penjual piutang menanggung risiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan. 9. Anjak Piutang Tanpa Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring Without Recourse) adalah transaksi Anjak Piutang usaha dimana Perusahaan Pembiayaan menanggung risiko tidak tertagihnya seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan. 10. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pengadaan barang dan/atau jasa yang dibeli oleh debitur dari penyedia barang atau jasa dengan pembayaran secara angsuran. 11. Pembiayaan Proyek adalah pembiayaan yang diberikan dalam rangka pelaksanaan sebuah proyek yang memerlukan pengadaan beberapa jenis barang modal dan/atau jasa yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan proyek tersebut. 12. Pembiayaan Infrastruktur adalah pembiayaan dalam bentuk pengadaan barang dan/atau jasa untuk pembangunan infrastruktur. 13. Fasilitas Modal Usaha adalah Pembiayaan Modal Kerja yang dibayarkan langsung oleh Perusahaan Pembiayaan kepada penyedia barang dan/atau jasa. 14. Debitur adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menerima pembiayaan pengadaan barang dan/atau jasa dari Perusahaan Pembiayaan. 15. Tingkat ... - 4 - 15. Tingkat Kesehatan Keuangan adalah hasil penilaian kondisi Perusahaan Pembiayaan terhadap risiko permodalan, likuiditas, aset, operasional dan kinerja Perusahaan Pembiayaan. 16. Modal Disetor: a. bagi Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib. 17. Ekuitas: a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah penjumlahan dari: 1. Modal Disetor; 2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas: a) agio/disagio saham; b) biaya emisi efek Ekuitas; dan c) lainnya sesuai dengan prinsip standar akuntansi keuangan; 3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas sepengendali; 4. saldo laba/rugi; 5. laba/rugi tahun berjalan; 6. saham tresuri (treasury stock); dan 7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas: a) perubahan dalam surplus revaluasi; b) selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing; c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan tersedia untuk dijual; d) bagian ... - 5 - d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen keuangan lindung nilai dalam rangka lindung nilai arus kas; dan e) komponen ekuitas lainnya sesuai prinsip standar akuntansi keuangan. b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum koperasi harus sebesar penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah, dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan. 18. Direksi: a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 19. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 20. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan yang selanjutnya disebut dengan BMPP adalah batasan tertentu dalam penyaluran pembiayaan yang diperkenankan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 21. Pengendali ... - 6 - 21. Pengendali: a. bagi badan hukum perseroan terbatas, adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: 1. memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau 2. memiliki saham kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. b. bagi badan usaha lainnya adalah pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan pengurus, pengawas atau yang setara dan/atau mempengaruhi tindakan pengurus, pengawas atau yang setara. 22. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. BAB II KEGIATAN USAHA Bagian Kesatu Jenis Kegiatan Usaha dan Cara Pembiayaan Pasal 2 (1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi: a. Pembiayaan Investasi; b. Pembiayaan Modal Kerja; c. Pembiayaan Multiguna; dan/atau d. kegiatan ... - 7 - d. kegiatan usaha pembiayaan lain berdasarkan persetujuan OJK. (2) Selain kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan sewa operasi (operating lease) dan/atau kegiatan berbasis fee sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan di sektor jasa keuangan. Pasal 3 Kegiatan Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan/atau Pembiayaan Modal Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b ditujukan untuk Debitur berbentuk badan usaha atau orang perseorangan: a. yang memiliki usaha produktif; dan/atau b. yang memiliki ide-ide untuk pengembangan usaha produktif. Pasal 4 (1) Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a wajib dilakukan dengan cara: a. Sewa Pembiayaan (Finance Lease); b. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback); c. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring With Recourse); d. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran; e. Pembiayaan Proyek; f. Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau g. pembiayaan lain setelah mendapatkan persetujuan dari OJK. (2) Pembiayaan Modal Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b wajib dilakukan dengan cara: a. Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback); b. Anjak ... terlebih dahulu - 8 - b. Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring With Recourse); c. Anjak Piutang Tanpa Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring Without Recourse); d. Fasilitas Modal Usaha; dan/atau e. pembiayaan lain setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. (3) Pembiayaan Multiguna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c wajib dilakukan dengan cara: a. Sewa Pembiayaan (Finance Lease); b. Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran; dan/atau c. pembiayaan lain setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. Pasal 5 (1) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan usaha pembiayaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d dan cara pembiayaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g, ayat (2) huruf e, dan ayat (3) huruf c, harus memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum sehat dan tidak sedang dikenakan sanksi oleh OJK. (2) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan usaha pembiayaan lain dan cara pembiayaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengajukan permohonan kepada OJK dan harus melampirkan dokumen yang berisi uraian paling sedikit mengenai: a. produk yang akan dipasarkan; b. analisis prospek usaha; c. mekanisme atau cara pembiayaan yang akan dilakukan; d. hak dan kewajiban para pihak; dan e. contoh ... - 9 - e. contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan. (3) OJK melakukan analisis atas dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kelayakan usaha pembiayaan lain yang diajukan. (4) OJK mengeluarkan surat persetujuan atau penolakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah permohonan diterima secara lengkap dan benar. Pasal 6 (1) Perusahaan Pembiayaan yang akan melakukan kegiatan berbasis fee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib melaporkan kepada OJK dengan melampirkan paling sedikit mengenai: a. produk berbasis fee yang akan dipasarkan; b. mekanisme; c. hak dan kewajiban para pihak; d. perjanjian kerjasama; dan e. perizinan dari otoritas yang berwenang (jika ada). (2) Dalam hal OJK telah menerima laporan secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengeluarkan surat pencatatan kegiatan berbasis fee dalam administrasi OJK paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah laporan diterima. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK tidak mengeluarkan surat pencatatan, Perusahaan Pembiayaan dapat melaksanakan kegiatan berbasis fee sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 7 Perusahaan Pembiayaan wajib secara jelas mencantumkan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam anggaran dasarnya. Bagian ... - 10 - Bagian Kedua Sewa Pembiayaan (Finance Lease) Pasal 8 (1) Sewa Pembiayaan (Finance Lease) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dalam rangka penyediaan barang oleh Perusahaan Pembiayaan untuk digunakan oleh Debitur selama jangka waktu tertentu, yang mengalihkan secara substansial manfaat dan risiko atas barang yang dibiayai. (2) Dalam hal perjanjian Sewa Pembiayaan (Finance Lease) masih berlaku, kepemilikan atas barang objek transaksi Sewa Pembiayaan (Finance Lease) berada pada Perusahaan Pembiayaan. (3) Perusahaan Pembiayaan wajib memastikan dalam perjanjian pembiayaan bahwa Debitur dilarang menyewa-pembiayaankan kembali barang yang disewa- pembiayaankan kepada pihak lain. Pasal 9 Selama masa Sewa Pembiayaan (Finance Lease), Perusahaan Pembiayaan wajib menempelkan plakat atau etiket pada barang yang disewa-pembiayaankan dengan mencantumkan nama dan alamat Perusahaan Pembiayaan serta pernyataan bahwa barang dimaksud terikat dalam perjanjian Sewa Pembiayaan (Finance Lease). Bagian Ketiga Anjak Piutang Pasal 10 (1) Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan transaksi Anjak Piutang Dengan Pemberian Jaminan Dari Penjual Piutang (Factoring With Recourse) dengan Perusahaan Pembiayaan lainnya sebagai Debitur. (2) Piutang ... - 11 - (2) Piutang usaha yang dapat dialihkan dalam Anjak Piutang adalah piutang usaha dengan jangka waktu jatuh tempo paling lama 10 (sepuluh) tahun. Bagian Keempat Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran Pasal 11 Dalam hal Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran untuk pengadaan barang, kepemilikan objek pembiayaan dalam perjanjian beralih dari penyedia barang kepada Debitur Bagian Kelima Pembiayaan Proyek Pasal 12 Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan Proyek dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau lebih cara pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. Bagian Keenam Pembiayaan Infrastruktur Pasal 13 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan Infrastruktur wajib memenuhi persyaratan, sebagai berikut: a. memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum sehat; b. memiliki Ekuitas lebih besar dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan c. memiliki standar operasi dan prosedur terkait Pembiayaan Infrastruktur. (2) Pembiayaan Investasi dengan cara Pembiayaan Infrastruktur dapat dilakukan dengan menggunakan satu ... - 12 - satu atau lebih cara pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. Bagian Ketujuh Fasilitas Modal Usaha Pasal 14 Fasilitas Modal Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d wajib dilakukan dengan cara memberikan pembiayaan berdasarkan bukti tagihan pembelian barang atau penggunaan jasa yang diterima Debitur dari penyedia barang atau jasa. BAB III PERJANJIAN PEMBIAYAAN Pasal 15 (1) Seluruh perjanjian pembiayaan antara Perusahaan Pembiayaan dengan Debitur wajib dibuat secara tertulis. (2) Perjanjian pembiayaan antara Perusahaan Pembiayaan dengan Debitur wajib memenuhi ketentuan penyusunan perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pasal 16 (1) Perjanjian pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib paling sedikit memuat: a. jenis kegiatan usaha dan cara pembiayaan; b. nomor dan tanggal perjanjian; c. identitas para pihak; d. barang atau jasa pembiayaan; e. nilai barang atau jasa pembiayaan; f. jumlah piutang dan nilai angsuran pembiayaan; g. jangka waktu dan tingkat suku bunga pembiayaan; h. objek jaminan (jika ada); i. rincian ... - 13 - i. rincian biaya-biaya terkait dengan pembiayaan yang diberikan yang paling sedikit memuat: 1. biaya survey; 2. biaya asuransi/penjaminan/fidusia; 3. biaya provisi; dan 4. biaya notaris; j. klausul pembebanan fidusia secara jelas, apabila terdapat pembebanan jaminan fidusia dalam kegiatan pembiayaan; k. mekanisme apabila terjadi perselisihan dan pemilihan tempat penyelesaian perselisihan; l. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak; dan m. ketentuan mengenai denda. (2) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan pembiayaan untuk pengadaan kendaraan bermotor dengan cara Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran, perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan nilai uang muka. (3) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan pembiayaan dengan cara Sewa Pembiayaan (Finance Lease), perjanjian pembiayaan wajib mencantumkan nilai simpanan jaminan (security deposit). BAB IV UANG MUKA PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR Pasal 17 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan dengan cara Pembelian Dengan Pembayaran Secara Angsuran untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan ketentuan uang muka (down payment) kepada Debitur sebagai berikut: a. bagi ... - 14 - a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk Pembiayaan Investasi (tujuan produktif), paling rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk Pembiayaan Multiguna (tujuan non-produktif), paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. (2) Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria paling kurang sebagai berikut: a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu; atau b. diajukan oleh orang perseorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki. (3) Ketentuan mengenai besaran uang muka (down payment) kepada Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dengan Surat Edaran OJK. BAB V MITIGASI RISIKO PEMBIAYAAN Pasal 18 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan mitigasi risiko pembiayaan. (2) Mitigasi ... - 15 - (2) Mitigasi risiko pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. mengalihkan risiko pembiayaan melalui mekanisme asuransi kredit atau penjaminan kredit; b. mengalihkan risiko atas barang yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari kegiatan Pembiayaan melalui mekanisme asuransi; dan/atau c. melakukan pembebanan jaminan fidusia atas barang yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari kegiatan pembiayaan. Pasal 19 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pengalihan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a wajib menggunakan perusahaan asuransi atau lembaga penjaminan yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha dari OJK. (2) Jangka waktu pertanggungan asuransi kredit atau penjaminan kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a paling singkat sama dengan jangka waktu pembiayaan. Pasal 20 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pengalihan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b wajib menggunakan perusahaan asuransi yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha dari OJK. (2) Jangka ... - 16 - (2) Jangka waktu pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b paling singkat sama dengan jangka waktu pembiayaan. Pasal 21 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan dengan pembebanan jaminan fidusia, wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada kantor pendaftaran fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia. (2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan dengan pembebanan jaminan fidusia yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing). Pasal 22 Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan. Pasal 23 Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan eksekusi benda jaminan apabila kantor pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan. Pasal 24 Eksekusi benda jaminan fidusia oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan. BAB VI ... - 17 - BAB VI TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 25 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib setiap waktu memenuhi persyaratan Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum sehat. (2) Pengukuran rasio Tingkat Kesehatan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. rasio permodalan; b. kualitas piutang pembiayaan; c. rentabilitas; dan d. likuiditas. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengukuran Tingkat Kesehatan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kedua Rasio Permodalan Pasal 26 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi rasio permodalan paling sedikit sebesar 10% (sepuluh persen). (2) Rasio permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara modal yang disesuaikan dengan aset yang disesuaikan. (3) Ketentuan mengenai besaran rasio permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK. (4) Ketentuan mengenai tata cara perhitungan perbandingan antara modal yang disesuaikan dengan aset ... - 18 - aset yang disesuaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Ketiga Kualitas Piutang Pembiayaan Paragraf 1 Penilaian Kualitas Piutang Pembiayaan Pasal 27 Perusahaan Pembiayaan wajib menilai, memantau dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan terhadap piutang pembiayaan agar kualitas piutang pembiayaan senantiasa baik. Pasal 28 (1) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ditetapkan menjadi: a. lancar; b. dalam perhatian khusus; c. kurang lancar; d. diragukan; atau e. macet (2) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan faktor ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. (3) Penilaian piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikategorikan sebagai berikut: a. lancar apabila tidak terdapat keterlambatan atau terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender; b. dalam perhatian khusus apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender; c. kurang ... - 19 - c. kurang lancar apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sampai dengan 120 (seratus dua puluh) hari kalender; d. diragukan apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 120 (seratus dua puluh) hari kalender sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari kalender; atau e. macet apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari kalender. Pasal 29 (1) Selain faktor ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), penilaian kualitas piutang pembiayaan untuk Pembiayaan Investasi dan Pembiayaan Modal Kerja dengan nilai pembiayaan pada saat penandatanganan perjanjian sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau lebih, dapat juga ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor: a. kemampuan membayar Debitur; b. kinerja keuangan (financial performance) Debitur; dan c. prospek usaha Debitur. (2) Penilaian terhadap kemampuan membayar Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan Debitur; b. kelengkapan dokumentasi pembiayaan; c. kepatuhan terhadap perjanjian pembiayaan; d. kesesuaian ... - 20 - d. kesesuaian penggunaan dana; dan e. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. (3) Penilaian terhadap kinerja keuangan (financial performance) Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen- komponen sebagai berikut: a. perolehan laba; b. struktur permodalan; c. arus kas; dan d. sensitivitas terhadap risiko pasar. (4) Penilaian terhadap prospek usaha Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi Debitur dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan Debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. (5) Dalam hal terdapat perbedaan antara penilaian kualitas piutang pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan dengan OJK, kualitas piutang pembiayaan yang berlaku adalah yang ditetapkan oleh OJK. (6) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan penyesuaian kualitas piutang pembiayaan dengan penilaian kualitas piutang pembiayaan yang ditetapkan oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam laporan- laporan yang disampaikan kepada OJK. (7) Pedoman penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 2 ... - 21 - Paragraf 2 Kualitas Piutang Pembiayaan untuk Debitur Dengan Lebih Dari Satu Perjanjian Pembiayaan Pasal 30 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menetapkan kualitas piutang pembiayaan yang sama terhadap 1 (satu) Debitur dengan lebih dari 1 (satu) pembiayaan. (2) Perusahaan Pembiayaan dapat menetapkan kualitas piutang pembiayaan yang berbeda untuk lebih dari 1 (satu) pembiayaan yang dimiliki 1 (satu) Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal: a. piutang pembiayaan yang memiliki kualitas paling rendah telah dihapus buku; dan/atau b. nilai piutang pembiayaan sampai dengan Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (3) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas dalam piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kualitas piutang pembiayaan yang wajib digunakan adalah kualitas piutang pembiayaan yang paling rendah. Paragraf 3 Piutang Pembiayaan Bermasalah Pasal 31 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menjaga kualitas piutang pembiayaan. (2) Piutang pembiayaan yang dikategorikan sebagai piutang pembiayaan bermasalah (non performing financing) terdiri atas piutang pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. (3) Nilai piutang pembiayaan dengan kategori kualitas piutang pembiayaan bermasalah (non performing financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah dikurangi cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan ... - 22 - pembiayaan wajib paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari total piutang pembiayaan. (4) Ketentuan mengenai besaran rasio piutang pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 4 Cadangan Penyisihan Penghapusan Piutang Pembiayaan Pasal 32 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menghitung cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan. (2) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar: a. 1% (satu persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas lancar setelah dikurangi agunan; b. 5% (lima persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi agunan; c. 15% (lima belas persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas kurang lancar setelah dikurangi agunan; d. 50% (lima puluh persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas diragukan setelah dikurangi agunan; e. 100% (seratus persen) dari saldo piutang pembiayaan yang memiliki kualitas macet setelah dikurangi agunan. (3) Perusahaan Pembiayaan wajib membentuk cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan paling rendah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam laporan bulanan. (4) Nilai ... - 23 - (4) Nilai agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang saldo piutang pembiayaan ditetapkan paling tinggi senilai saldo piutangnya. (5) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Perusahaan Pembiayaan dalam rangka perhitungan rasio permodalan, gearing ratio, rasio Ekuitas terhadap Modal Disetor, BMPP, rasio piutang pembiayaan bermasalah, dan perbandingan piutang pembiayaan dengan total aset. (6) Ketentuan mengenai jenis, tata cara perhitungan, dan pengembalian agunan, serta tata cara perhitungan cadangan diatur dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 5 Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Piutang Pembiayaan Pasal 33 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib membentuk cadangan kerugian penurunan nilai piutang pembiayaan sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. (2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam penyusunan laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik. Bagian Keempat Rentabilitas Pasal 34 (1) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c merupakan kemampuan Perusahaan Pembiayaan dalam menghasilkan laba. (2) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap kinerja aset dan efisiensi operasional. (3) Ketentuan ... - 24 - (3) Ketentuan mengenai tata cara penilaian terhadap faktor rentabilitas diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kelima Likuiditas Pasal 35 (1) Penilaian terhadap faktor likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d merupakan penilaian terhadap tingkat ketersesuaian antara aset lancar dan liabilitas lancar. (2) Ketentuan mengenai tata cara penilaian likuiditas diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB VII RASIO PIUTANG PEMBIAYAAN TERHADAP TOTAL ASET Pasal 36 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki rasio piutang pembiayaan neto terhadap total aset (financing to asset ratio) paling rendah 40% (empat puluh persen). (2) Piutang pembiayaan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh dari pengurangan piutang pembiayaan bruto dengan pendapatan yang belum diakui dan cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan. (3) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak memperoleh izin usaha. (4) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan yang melakukan peningkatan Modal Disetor dalam rangka pemenuhan rasio permodalan, gearing ratio, dan perbandingan Ekuitas dengan Modal Disetor, Perusahaan Pembiayaan dikecualikan dari pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) ... - 25 - 1 (satu) tahun sejak tanggal peningkatan Modal Disetor dicatat oleh instansi yang berwenang. BAB VIII EKUITAS Pasal 37 (1) Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk badan hukum: a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Perusahaan Pembiayaan berbadan hukum perseroan terbatas yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan dan memiliki Ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar) paling lambat 31 Desember 2016; dan b. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar) paling lambat tanggal 31 Desember 2019. (3) Perusahaan Pembiayaan berbadan hukum koperasi yang telah mendapatkan izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan dan memiliki Ekuitas di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib memiliki Ekuitas dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar) paling lambat tanggal 31 Desember 2016; dan b. paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar) paling lambat tanggal 31 Desember 2019. Pasal 38 ... - 26 - Pasal 38 Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki rasio Ekuitas terhadap Modal Disetor paling rendah sebesar 50% (lima puluh persen). BAB IX BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN PEMBIAYAAN Pasal 39 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan BMPP kepada seluruh pihak terkait paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (2) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. orang perseorangan atau badan usaha yang merupakan Pengendali Perusahaan Pembiayaan; b. badan usaha dimana Perusahaan Pembiayaan bertindak sebagai Pengendali; c. orang perseorangan atau badan usaha yang bertindak sebagai Pengendali dari badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. badan usaha yang pengendaliannya dilakukan oleh: 1. orang perseorangan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. orang perseorangan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf c; e. Dewan Komisaris atau Direksi Perusahaan Pembiayaan; f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal: 1. dari ... - 27 - 1. dari orang perseorangan yang merupakan Pengendali Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. dari Dewan Komisaris atau Direksi pada Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf e. g. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d; h. badan usaha yang dewan komisaris atau direksi merupakan: 1. Dewan Komisaris atau Direksi pada Perusahaan Pembiayaan; 2. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d; i. badan usaha dimana: 1. Dewan Komisaris atau Direksi Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf e bertindak sebagai Pengendali; 2. dewan komisaris atau direksi dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d, bertindak sebagai Pengendali; dan j. badan usaha yang memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan Perusahaan Pembiayaan dan/atau pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan/atau huruf i. (3) Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki dan menata- usahakan daftar rincian pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 40 ... - 28 - Pasal 40 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan BMPP kepada 1 (satu) Debitur yang bukan merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (2) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan BMPP kepada 1 (satu) kelompok Debitur yang bukan merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (3) Debitur digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila Debitur mempunyai hubungan pengendalian dengan Debitur lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan, yang meliputi: a. Debitur merupakan Pengendali Debitur lain; b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan Pengendali dari beberapa Debitur (common ownership); c. Debitur memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan Debitur lain; d. Debitur menerbitkan jaminan (guarantee) untuk mengambil alih dan/atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban Debitur lain dalam hal Debitur lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada Perusahaan Pembiayaan; dan/atau e. dewan komisaris dan/atau direksi Debitur menjadi dewan komisaris dan/atau direksi pada Debitur lain. Pasal 41 Ketentuan BMPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (2) dikecualikan bagi pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa dalam rangka program pemerintah. BAB X ... - 29 - BAB X KERJA SAMA PEMBIAYAAN Pasal 42 (1) Dalam menjalankan usahanya, Perusahaan Pembiayaan dapat bekerjasama dengan pihak lain melalui pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing) dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bank; b. perusahaan pembiayaan sekunder perumahan; c. lembaga keuangan mikro; dan/atau d. Perusahaan Pembiayaan. (3) Dalam pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), risiko yang timbul dari kegiatan ini berada pada pihak yang memiliki dana. (4) Dalam pembiayaan penerusan (channeling), pihak yang menerima dana hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh imbalan atau fee dari pengelolaan dana tersebut. (5) Dalam pembiayaan bersama (joint financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber dana untuk pembiayaan ini harus berasal dari Perusahaan Pembiayaan dan pihak lain. (6) Risiko yang timbul dari pembiayaan bersama (joint financing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi beban masing-masing pihak secara proporsional sesuai dengan besaran dana yang dikeluarkan. BAB XI ... - 30 - BAB XI PENDANAAN Pasal 43 Sumber pendanaan Perusahaan Pembiayaan dapat berasal dari: a. pinjaman dari bank, industri keuangan non bank, dan/atau badan usaha lain; b. penerbitan obligasi; c. penerbitan medium term notes; d. pinjaman subordinasi; e. penambahan Modal Disetor termasuk melalui penawaran umum saham; dan/atau f. sekuritisasi aset. Pasal 44 Jumlah pinjaman dari badan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, wajib memenuhi ketentuan paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap kreditur dengan jangka waktu pengembalian paling singkat 1 (satu) tahun. Pasal 45 Pinjaman subordinasi yang diterima Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d harus memenuhi ketentuan: a. paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun; b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada; dan c. dituangkan dalam bentuk perjanjian akta notariil antara Perusahaan Pembiayaan dengan pemberi pinjaman. Pasal 46 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan gearing ratio paling tinggi 10 (sepuluh) kali. (2) Gearing ratio ... - 31 - (2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman dengan selisih penjumlahan Ekuitas dan pinjaman subordinasi dengan penyertaan. (3) Pinjaman subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai pembagi dalam perhitungan gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Modal Disetor. (4) Ketentuan mengenai besaran gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 47 (1) Perusahaan Pembiayaan yang menerima pinjaman dalam valuta asing wajib melakukan lindung nilai secara penuh (full hedge). (2) Lindung nilai secara penuh (full hedge) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan untuk pokok pinjaman, suku bunga pinjaman, dan/atau jangka waktu pembayaran. Pasal 48 Perusahaan Pembiayaan yang akan menerima pinjaman dalam valuta asing wajib memenuhi Tingkat Kesehatan Keuangan dengan kondisi minimum sehat. BAB XII PENYERTAAN Pasal 49 (1) Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan penyertaan modal secara langsung pada: a. perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia; dan b. perusahaan yang terkait dengan kegiatan Perusahaan Pembiayaan. (2) Jumlah ... - 32 - (2) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (3) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan Pembiayaan kepada entitas dalam 1 (satu) grup paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Ekuitas Perusahaan Pembiayaan. (4) Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) pada saat melakukan penyertaan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikecualikan bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pemisahan dalam rangka pendirian Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip syariah. BAB XIII SERTIFIKASI Pasal 50 (1) Pegawai Perusahaan Pembiayaan yang menduduki posisi manajerial mulai dari tingkat kepala kantor cabang sampai dengan satu tingkat dibawah Direksi, wajib memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang pembiayaan dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (2) Direksi Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang pembiayaan dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (3) Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan wajib memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang pembiayaan dari ... - 33 - dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (4) Direksi dan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi yang membawahkan fungsi manajemen risiko wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (5) Pegawai dan/atau tenaga alih daya Perusahaan Pembiayaan yang menangani bidang penagihan wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari lembaga yang ditunjuk asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. BAB XIV LARANGAN Pasal 51 Perusahaan Pembiayaan dilarang: a. menghimpun dana secara langsung dari masyarakat berbentuk giro, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; c. menerbitkan surat sanggup bayar (promisorry note), kecuali sebagai jaminan atas utang kepada bank yang menjadi krediturnya; d. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah pengawasan OJK melanggar peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan/atau e. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah pengawasan ... - 34 - pengawasan OJK menghindari peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 52 (1) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan pembiayaan secara dana tunai kepada Debitur. (2) Dalam menyalurkan pembiayaan, Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan pembelian barang dari Debitur atau calon Debitur kecuali melalui cara Jual dan Sewa-Balik (Sale and Leaseback). Pasal 53 Perusahaan Pembiayaan dalam melakukan kegiatan usahanya dilarang menggunakan informasi yang tidak benar yang dapat merugikan kepentingan Debitur, kreditur, dan pemangku kepentingan termasuk OJK. BAB XV PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA Pasal 54 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan berkala kepada OJK, yaitu: a. laporan bulanan; dan b. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik. (2) Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK mengenai laporan bulanan. Pasal 55 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b kepada OJK paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku terakhir. (2) Perusahaan ... - 35 - (2) Perusahaan Pembiayaan wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) secara lengkap dan benar dalam bentuk hard copy dan soft copy. (3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) wajib disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. (4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) wajib mencantumkan perhitungan hal-hal yang diatur khusus di dalam Peraturan OJK ini. (5) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) wajib disusun dalam mata uang rupiah. (6) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berdasarkan tahun takwim. (7) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdaftar di OJK. (8) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan memperoleh izin usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya. Pasal 56 Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Pasal 57... - 36 - Pasal 57 (1) Perusahaan Pembiayaan wajib mengumumkan laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi komprehensif singkat paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran nasional. (2) Perusahaan Pembiayaan wajib melaporkan pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kalender setelah pelaksanaan pengumuman, dilampiri dengan bukti pengumuman. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. BAB XVI SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI Pasal 58 (1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan usaha yang sehat, Perusahaan Pembiayaan wajib mempunyai sistem informasi dan teknologi yang terintegrasi. (2) Kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) berlaku untuk Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai kantor cabang lebih dari 5 (lima). BAB XVII PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN DAN PELAYARAN Pasal 59 (1) Perusahaan Pembiayaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan pembiayaan di bidang ketenagalistrikan dapat melakukan kegiatan usaha selain ... - 37 - selain kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan OJK ini. (2) Kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dalam rangka mendukung pemenuhan kebutuhan ketenagalistrikan nasional. (3) Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib memenuhi ketentuan mengenai Pasal 26 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 46 ayat (1). Pasal 60 Perusahaan Pembiayaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan di bidang pelayaran tidak wajib memenuhi ketentuan Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3). BAB XVIII PENEGAKAN KEPATUHAN Bagian Kesatu Pemberitahuan Pasal 61 (1) Perusahaan Pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), Pasal 9, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 47, Pasal 54 ayat (1) huruf b, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 55 ayat (3), Pasal 55 ayat (4), Pasal 55 ayat (5), Pasal 55 ayat (6), Pasal 57 ayat (1), dan/atau Pasal 57 ayat (2), Peraturan OJK ini diberikan surat pemberitahuan. (2) Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan pemenuhan atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan. Bagian ... - 38 - Bagian Kedua Rencana Pemenuhan Pasal 62 (1) Perusahaan Pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 29 ayat (6), Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (3), Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (3), Pasal 33 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), Pasal 37 ayat (1), Pasal 37 ayat (2) huruf a, Pasal 37 ayat (3) huruf a, Pasal 38, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 50, dan/atau Pasal 58 ayat (1) Peraturan OJK ini wajib menyampaikan rencana pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran oleh OJK. (2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan Perusahaan Pembiayaan untuk pemenuhan ketentuan yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat antara lain: a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas; b. penambahan Modal Disetor; c. pembatasan penerimaan pinjaman baru; d. penerimaan pinjaman subordinasi; e. pengalihan sebagian atau seluruh aset; f. pembatasan pembagian laba; g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan pelanggaran ketentuan; h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru; dan/atau i. penggabungan ... - 39 - i. penggabungan badan usaha. (4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan Dewan Komisaris. (5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum pemegang saham dalam hal rencana dimaksud memuat rencana penambahan Modal Disetor atau rencana penggabungan usaha. (6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari OJK. (7) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut. (8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan oleh Perusahaan Pembiayaan dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan Pembiayaan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara lengkap. (9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8), OJK tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Perusahaan Pembiayaan dapat melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (10) Perusahaan Pembiayaan wajib melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XIX ... - 40 - BAB XIX SANKSI Pasal 63 (1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), Perusahaan Pembiayaan dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; dan c. pencabutan izin usaha. (2) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (7) Dalam ... - 41 - (7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (8) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilarang melakukan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sanksi waktu pembekuan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. (12) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 64 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10) Peraturan OJK ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan ... - 42 - b. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau c. pencabutan izin usaha. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. penurunan hasil penilaian tingkat risiko; c. pembatalan persetujuan; dan/atau d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1), ayat (7) atau ayat (10), OJK mencabut sanksi peringatan. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (7) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) atau ayat (3) dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10) sampai dengan berakhirnya jangka waktu peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Pembiayaan dimaksud dikenakan sanksi pencabutan ... - 43 - pencabutan izin usaha tanpa didahului sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (10) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan usaha. (11) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (12) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (13) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), ayat (7), atau, ayat (10), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. (14) OJK dapat mengumumkan sanksi pembatasan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau sanksi pencabutan ... - 44 - pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 65 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (2), Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 37 ayat (2) huruf b, Pasal 37 ayat (3) huruf b, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49 ayat (4), Pasal 51, Pasal 52, dan/atau Pasal 53 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; dan c. pencabutan izin usaha. (2) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (6) Sanksi ... - 45 - (6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (8) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. (12) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c kepada masyarakat. Pasal 66 (1) OJK dapat mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan apabila ... - 46 - apabila Perusahaan Pembiayaan pelanggaran atas Pasal 51 huruf a. melakukan (2) Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (3) Dalam hal masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (4) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang melakukan kegiatan usaha. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (6) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan tetap melakukan kegiatan usaha pembiayaan, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. (8) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) kepada masyarakat. Pasal 67 ... - 47 - Pasal 67 Dalam hal Perusahaan Pembiayaan mendapatkan sanksi administratif berupa sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a, Pasal 64 ayat (1) huruf a, dan/atau Pasal 65 ayat (1) huruf a secara kumulatif sebanyak 5 (lima) kali atau lebih dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, OJK dapat meminta Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk mengikuti penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. BAB XX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 68 (1) Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, dapat melaksanakan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, serta Pasal 2 ayat (2). (2) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan mengenai pencantuman kegiatan usaha dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. (3) Perjanjian pembiayaan yang telah dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian pembiayaan tersebut. Pasal 69 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, dan Pasal 35 dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 70 ... - 48 - Pasal 70 (1) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (2), berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. (2) Penyaluran pembiayaan yang diberikan sebelum ketentuan BMPP berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan tersebut dan tidak diperhitungkan sebagai dasar perhitungan BMPP. Pasal 71 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 tidak berlaku bagi pinjaman dalam valuta asing yang diterima oleh Perusahaan Pembiayaan sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 72 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dinyatakan berlaku 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 73 Perjanjian pembiayaan berupa penyediaan dana secara tunai yang telah dilakukan sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan tersebut. Pasal 74 Ketentuan dan mekanisme pelaporan bulanan Perusahaan Pembiayaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum terdapat peraturan yang mengatur mengenai ketentuan pelaporan bulanan sesuai dengan kegiatan usaha dalam Peraturan OJK ini. Pasal 75 ... - 49 - Pasal 75 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 76 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Perusahaan Pembiayaan berdasarkan: a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor b. Peraturan 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 220/PMK.010/2012; d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Perusahaan Pembiayaan yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini. administratif BAB XXI ... - 50 - BAB XXI KETENTUAN PENUTUP Pasal 77 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Pembiayaan tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 78 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 364 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 9/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 15 Juli 2014 </set_date> <effective_date> 21 Juli 2014 </effective_date> <issued_date> 21 Juli 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '11/UU/1992', '76/PP/1992', '77/PP/1992' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13 /POJK.05/2016 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengesahan pembentukan dana pensiun pemberi kerja dan pengesahan atas perubahan peraturan dana pensiun dari dana pensiun pemberi kerja perlu diatur bentuk dan susunan formulir permohonan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Permohonan Pengesahan Pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pengesahan atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik - 2 - Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3507); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA. Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah dana pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti atau program pensiun iuran pasti, bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. 2. Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan program pensiun. 3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 2 Pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja wajib mendapat pengesahan OJK. - 3 - Pasal 3 Untuk mendapat pengesahan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pendiri mengajukan permohonan kepada OJK sesuai dengan contoh formulir A sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. Pasal 4 Untuk mendapat pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pendiri mengajukan permohonan kepada OJK sesuai dengan contoh formulir B sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. Pasal 5 (1) Peraturan Dana Pensiun yang dilampirkan dalam rangka permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 disampaikan dalam rangkap 2 (dua). (2) Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah disahkan oleh OJK, satu diantaranya dikembalikan kepada pendiri dan yang lainnya disimpan di OJK. (3) Dalam hal terdapat perbedaan di antara kedua Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang dianggap benar adalah Peraturan Dana Pensiun yang disimpan di OJK. Pasal 6 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja tunduk pada Peraturan OJK ini. - 4 - Pasal 7 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Februari 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Maret 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 38 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 13/POJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PERMOHONAN PENGESAHAN PEMBENTUKAN DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA </reg_title> <set_date> 23 Februari 2016 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2016 </effective_date> <issued_date> 1 Maret 2016 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '76/PP/1992', '11/UU/1992' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 57 /POJK.04/2015 TENTANG LAPORAN PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Perusahaan Pemeringkat Efek beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan Perusahaan Pemeringkat Efek, maka peraturan mengenai Laporan Perusahaan Pemeringkat Efek yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Perusahaan Pemeringkat Efek; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi berbentuk Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan pemeringkatan dan memberikan peringkat. 2. Peringkat adalah opini tentang kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu oleh suatu Pihak: a. sebagai entitas (company rating); dan/ atau b. berkaitan dengan Efek yang diterbitkan oleh Pihak yang diperingkat (instrument rating). BAB II PELAPORAN Pasal 2 (1) Perusahaan Pemeringkat Efek yang mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan - 3 - laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebanyak satu eksemplar sebagai berikut: a. perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah perubahan, dengan melampirkan dokumen: 1. data anggota Direksi, Dewan Komisaris, pejabat satu tingkat di bawah Direksi dan analis baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki pengalaman dalam bidang keuangan dan pemeringkatan Efek atau keahlian di bidang pemeringkatan Efek, meliputi: a) daftar nama; b) daftar riwayat hidup yang telah ditandatangani; c) fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir yang telah dilegalisasi; d) fotokopi sertifikat keahlian di bidang pemeringkatan Efek (jika ada); e) f) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor yang masih berlaku; pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; g) fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris, pejabat satu tingkat di bawah Direksi dan analis yang diwajibkan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan; 2. surat pernyataan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang menyatakan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut: a) cakap melakukan perbuatan hukum; b) mempunyai akhlak dan moral yang baik; - 4 - c) tidak pernah dinyatakan pailit; d) tidak pernah menjadi pengurus atau pengawas perusahaan yang berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham atau organ lain yang setara dengan Rapat Umum Pemegang Saham, dinyatakan bertanggung jawab atas kepailitan perusahaan; e) f) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya; g) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; h) tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan sesama anggota Direksi, dengan sesama anggota Dewan Komisaris, dan/atau antara anggota Direksi dengan anggota Dewan Komisaris; i) mempunyai komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan j) mempunyai komitmen terhadap pengembangan industri pemeringkatan pada khususnya dan Pasar Modal pada umumnya; 3. surat pernyataan masing-masing anggota Direksi yang menyatakan tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada perusahaan lain; dan 4. surat pernyataan masing-masing anggota Dewan Komisaris yang menyatakan tidak - 5 - bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada perusahaan lain yang melakukan kegiatan usaha sebagai pemeringkat Efek; b. perubahan terkait dengan analis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Perizinan Perusahaan Pemeringkat Efek paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah perubahan, dengan melampirkan surat pernyataan dari analis yang menyatakan bahwa analis tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada perusahaan lain dan berdomisili di Indonesia; c. perubahan struktur organisasi, prosedur dan standar operasi, dan/atau prosedur dan metodologi pemeringkatan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah perubahan, dengan melampirkan dokumen perubahan dimaksud; d. perubahan berkaitan dengan: 1. alamat usaha; 2. identitas Perusahaan Pemeringkat Efek, yang meliputi antara lain nama dan logo; 3. anggaran dasar; 4. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) dan Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA); atau 5. Daftar Khusus terkait dengan pemegang saham perseroan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, paling lama 14 (empat belas) hari setelah perubahan tersebut, dengan melampirkan dokumen perubahan dimaksud; e. agenda Rapat Umum Pemegang Saham ke Otoritas Jasa Keuangan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham yang terkait dengan perubahan anggaran dasar yang mencakup maksud dan tujuan atau - 6 - kegiatan usaha, permodalan, anggota Direksi dan Komisaris, dan perubahan pemegang saham; f. hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang sebagaimana dimaksud dalam huruf e, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham; g. laporan keuangan tahunan yang disertai laporan Akuntan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan; dan h. laporan kegiatan operasional secara berkala setiap tiga bulan (Maret, Juni, September, dan Desember) paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian kewajiban laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, g dan h jatuh pada hari libur, maka laporan dimaksud disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 3 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g dan h, wajib disertai dengan format digital. Pasal 4 Perusahaan Pemeringkat Efek wajib menyediakan akses yang memungkinkan Otoritas Jasa Keuangan setiap saat dan secara mudah mendapatkan data dan informasi yang terkait dengan penetapan suatu Peringkat, antara lain meliputi: a. data pendukung penyusunan laporan hasil Peringkat; b. nama setiap analis yang terlibat di dalam proses pemeringkatan; c. nama dan jabatan setiap Pihak yang terlibat dalam proses penetapan hasil Peringkat; d. nama dan jabatan setiap Pihak yang menyetujui Peringkat sebelum Peringkat tersebut ditetapkan; dan - 7 - e. prosedur, metodologi dan asumsi yang digunakan dalam penetapan suatu Peringkat. Pasal 5 Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memuat paling sedikit: 1. laporan posisi keuangan; 2. laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain; 3. laporan perubahan ekuitas; 4. laporan arus kas; dan 5. catatan atas laporan keuangan. b. disajikan dalam bahasa Indonesia; c. disajikan secara perbandingan dengan periode yang sama tahun sebelumnya; dan d. disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan ketentuan akuntansi di bidang Pasar Modal yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 Laporan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h wajib memuat informasi yang mencakup paling sedikit: a. untuk Peringkat yang dikeluarkan berdasarkan permintaan suatu Pihak, meliputi: 1. identitas Pihak yang meminta pemeringkatan; 2. nama Pihak yang diperingkat dan/atau nama dan nilai total Efek yang diperingkat; 3. hasil peringkat dan interpretasi atau makna dari hasil Peringkat; dan 4. jangka waktu berlakunya perjanjian pemeringkatan. b. keterangan untuk Peringkat yang dikeluarkan tidak berdasarkan permintaan suatu Pihak meliputi: - 8 - 1. nama Pihak yang diperingkat dan/atau nama dan nilai total Efek yang diperingkat; 2. hasil peringkat dan interpretasi atau makna dari hasil Peringkat; dan 3. sumber data dan informasi untuk melakukan pemeringkatan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 7 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. - 9 - Pasal 8 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 9 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-153/BL/2009 tanggal 22 Juni 2009 tentang Laporan Perusahaan Pemeringkat Efek, beserta Peraturan Nomor X.F.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 10 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 408 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 57 /POJK.04/2015 TENTANG LAPORAN PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan Nomor X.F.4, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep- 153/BL/2009 tentang Laporan Perusahaan Pemeringkat Efek, tanggal 22 Juni 2009. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Surat pernyataan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang menyatakan terpenuhinya persyaratan serta surat pernyataan masing-masing anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang menyatakan tidak berkerja rangkap jabatan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan pemeringkat Efek. Huruf b Surat pernyataan analis yang menyatakan bahwa analis tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada perusahaan lain dan berdomisili di Indonesia sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perizinan Perusahaan pemeringkat Efek. Huruf c cukup jelas Huruf d cukup jelas Huruf e cukup jelas Huruf f cukup jelas Huruf g Akuntan adalah Akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri dan terdaftar di OJK sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. - 3 - Huruf h cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5826
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 57/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> LAPORAN PERUSAHAAN PEMERINGKAT EFEK </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-153/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009', 'Kep-153/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | Lampiran Peraturan Nomor X.F.4' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.04/2014 TENTANG PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pendirian Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah untuk melaksanakan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa yang teratur, wajar, dan efisien sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal; b. bahwa penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa merupakan salah satu kegiatan pengelolaan risiko di bidang Pasar Modal yang memerlukan adanya pengaturan yang jelas dan menjamin kepastian hukum; c. bahwa pengaturan mengenai Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa dan pengaturan mengenai Dana Jaminan perlu disesuaikan dengan perkembangan praktik penjaminan dan penyelesaian transaksi di Bursa Efek; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995... -2- 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa adalah kewajiban Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk seketika dan langsung mengambil alih tanggung jawab Anggota Kliring yang gagal memenuhi kewajibannya berkaitan dengan penyelesaian Transaksi Bursa dan untuk menyelesaikan transaksi tersebut pada waktu dan cara yang sama sebagaimana diwajibkan kepada Anggota Kliring yang bersangkutan. 2. Dana Jaminan adalah kumpulan dana dan/atau Efek yang diadministrasikan dan dikelola oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan yang digunakan untuk melakukan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan. 3. Cadangan Jaminan adalah akumulasi dana yang berasal dari penyisihan laba bersih Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam bentuk kas atau setara kas yang digunakan untuk melakukan Penjaminan Penyelesaian... -3- Penyelesaian Transaksi Bursa oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan. 4. Kliring adalah proses penentuan hak dan kewajiban yang timbul dari Transaksi Bursa. 5. Netting adalah kegiatan Kliring yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi setiap Anggota Kliring untuk menyerahkan atau menerima sejumlah saldo Efek tertentu untuk setiap jenis Efek yang ditransaksikan dan untuk menerima atau membayar sejumlah saldo dana untuk seluruh atau setiap jenis Efek yang ditransaksikan. 6. Anggota Kliring adalah Anggota Bursa Efek atau pihak lain, yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan layanan jasa Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa berdasarkan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan. 7. Agunan adalah dana, Efek, dan/atau instrumen keuangan lainnya milik Anggota Kliring sebagai jaminan yang dapat digunakan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk menyelesaikan Transaksi Bursa dan/atau untuk menyelesaikan kewajiban Anggota Kliring kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan. 8. Rekening Jaminan adalah Rekening Efek Anggota Kliring pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk menempatkan Agunan berbentuk Efek dan/atau dana yang dapat digunakan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk menyelesaikan Transaksi Bursa dan/atau untuk menyelesaikan kewajiban Anggota Kliring tersebut kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan. 9. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh Anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek, pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek... -4- Efek atau harga Efek. 10. Transaksi Dipisahkan adalah Transaksi Bursa yang dipisahkan dari Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau atas perintah Otoritas Jasa Keuangan. 11. Efek Tidak Dijamin adalah Efek yang ditetapkan oleh Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan berdasarkan persyaratan tertentu yang penyelesaian transaksinya tidak dijamin. 12. Jaringan Kredit adalah Anggota Kliring baik sendiri- sendiri maupun bersama-sama yang diwajibkan untuk menutup kewajiban Lembaga Kliring dan Penjaminan berkaitan dengan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa. 13. Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko adalah komite yang diangkat dan diberhentikan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk memberi masukan kebijakan kredit dan pengendalian risiko guna mendukung pelaksanaan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa. BAB II KEWAJIBAN PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA Pasal 2 Bursa Efek wajib mengatur setiap jenis Transaksi Bursa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait Transaksi Efek serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 3 Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melaksanakan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, peraturan Bursa Efek, dan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 4... -5- Pasal 4 Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib bertanggung jawab atas kerugian yang dialami setiap pihak sebagai akibat keterlambatan Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam penyelesaian Transaksi Bursa yang dijaminnya. Pasal 5 (1) Direktur dan/atau komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat diminta pertanggungjawaban secara pribadi baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama atas segala kerugian yang diderita oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan atau pihak lain. (2) Tanggung jawab direktur dan/atau komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena kelalaian atau pelanggaran peraturan yang dilakukan direktur dan/atau komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang mengakibatkan Lembaga Kliring dan Penjaminan gagal memenuhi kewajiban Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa. Pasal 6 (1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memastikan bahwa semua pesanan Transaksi Bursa Anggota Kliring sebelum dilaksanakan mempunyai Agunan yang cukup dan dikendalikan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Kewajiban Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Efek yang tidak dapat dijual dengan cepat atau yang dihentikan sementara dari perdagangannya di Bursa Efek tidak dapat digunakan sebagai Agunan pada Rekening Jaminan kecuali untuk menjamin penyelesaian penjualan Efek itu sendiri; b. Lembaga... -6- b. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mensyaratkan Anggota Kliring menyetor Agunan tambahan pada Rekening Jaminan apabila nilai pasar Agunan tersebut jatuh di bawah batas nilai Agunan yang ditetapkan oleh Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko dan Lembaga Kliring dan Penjaminan berhak menolak pesanan Transaksi Bursa Anggota Kliring sampai Agunan tambahan tersebut dipenuhi; dan c. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menolak pesanan baru Transaksi Bursa Anggota Kliring yang mempunyai saldo debit pada Agunan sampai saldo Agunannya positif atau yang gagal memenuhi kewajiban penyelesaian Transaksi Bursa kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan sampai kewajiban tersebut dipenuhi. Pasal 7 (1) Dalam rangka menjalankan fungsi Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa, Lembaga Kliring dan Penjaminan membentuk Cadangan Jaminan. (2) Pembentukan Cadangan Jaminan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaannya dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. besarnya penyisihan dari laba bersih Lembaga Kliring dan Penjaminan tahun berjalan, yang dialokasikan ke Cadangan Jaminan ditentukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham; dan b. penggunaan Cadangan Jaminan tidak memerlukan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Pasal 8 (1) Bursa Efek wajib membuat kontrak dengan Lembaga Kliring dan Penjaminan mengenai Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa. (2) Kontrak... -7- (2) Kontrak antara Bursa Efek dengan Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat ketentuan sebagai berikut: a. Lembaga Kliring dan Penjaminan berwenang menentukan Anggota Kliring yang dapat melakukan Transaksi Bursa dan Anggota Kliring yang dilarang melakukan Transaksi Bursa berdasarkan hasil analisis risiko penjaminan; b. Bursa Efek wajib memastikan bahwa Lembaga Kliring dan Penjaminan memiliki fasilitas untuk menganalisis tingkat risiko Anggota Kliring dan berhak menyetujui atau menolak setiap pesanan sebelum pesanan tersebut dapat dilaksanakan di Bursa Efek; c. Lembaga Kliring dan Penjaminan berhak untuk mengetahui informasi berkaitan dengan Rekening Jaminan setiap Anggota Kliring dan wajib memiliki fasilitas untuk menerima informasi dimaksud setiap saat serta wajib menetapkan persyaratan Agunan yang wajib dipenuhi setiap Anggota Kliring; d. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mensyaratkan setiap Anggota Kliring untuk menyerahkan saham Bursa Efek yang dimilikinya sebagai Agunan; e. Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat mensyaratkan setiap Anggota Kliring untuk memastikan pemegang saham mayoritas dan/atau pemegang saham utama Anggota Kliring menyerahkan sebagian atau seluruh saham Anggota Kliring yang dimilikinya sebagai Agunan; f. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mensyaratkan setiap Anggota Kliring untuk menerima tanggung jawab Jaringan Kredit sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; g. Bursa... -8- g. Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menetapkan persyaratan dan tata cara penetapan Efek Tidak Dijamin berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; h. Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menetapkan persyaratan dan tata cara penetapan Transaksi Dipisahkan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; i. Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menetapkan parameter penghentian sementara perdagangan atas Efek tertentu dan/atau Anggota Kliring tertentu dalam rangka melaksanakan pengelolaan risiko penjaminan; dan j. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menetapkan parameter kondisi Anggota Kliring yang dinyatakan gagal memenuhi kewajiban penyelesaian Transaksi Bursa dan tindakan yang diambil oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam rangka penanganan kegagalan Anggota Kliring tersebut. Pasal 9 (1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib membuat kontrak dengan setiap Anggota Kliring mengenai Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa. (2) Kontrak antara Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan setiap Anggota Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat ketentuan sebagai berikut: a. Lembaga Kliring dan Penjaminan hanya bertanggung jawab melakukan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa kepada Anggota Kliring; b. Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan didasarkan pada hasil... -9- hasil Kliring yang dilakukan secara Netting setiap Anggota Kliring yang ditetapkan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan; c. kondisi Anggota Kliring yang dinyatakan gagal memenuhi kewajiban penyelesaian Transaksi Bursa dan tindakan yang diambil oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam rangka penanganan kegagalan Anggota Kliring; d. kewajiban Anggota Kliring untuk membayar kontribusi Dana Jaminan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan e. kewajiban Anggota Kliring untuk menerima tanggung jawab Jaringan Kredit sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan. BAB III DANA JAMINAN Pasal 10 (1) Anggota Kliring wajib membayar sejumlah uang sebagai kontribusi untuk Dana Jaminan yang tidak dapat ditarik kembali guna menjamin kelancaran dan keamanan penyelesaian Transaksi Bursa. (2) Kewajiban Anggota Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. kontribusi Dana Jaminan berasal dari kontribusi awal Anggota Kliring baru dan kontribusi yang didasarkan pada nilai transaksi setiap Anggota Kliring; b. penetapan besaran nilai kontribusi awal Anggota Kliring baru termasuk tata cara pemungutannya, ditetapkan dalam peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan; c. kontribusi... -10- c. kontribusi yang didasarkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a dibayar paling lambat pada hari penyelesaian Transaksi Bursa melalui Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan d. penetapan besaran nilai kontribusi yang didasarkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 (1) Dana Jaminan hanya dapat digunakan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam rangka Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa. (2) Penggunaan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. jika sumber keuangan berupa Cadangan Jaminan dan kredit bank telah digunakan tetapi tidak mencukupi untuk menyelesaikan kewajiban Anggota Kliring yang gagal memenuhi kewajiban penyelesaian Transaksi Bursa; dan b. sebagai jaminan untuk memperoleh kredit bank yang hanya ditujukan untuk Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa. (3) Dana Jaminan yang digunakan untuk memperoleh kredit bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko. (4) Setiap penggunaan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah penggunaan Dana Jaminan. Pasal 12... -11- Pasal 12 Penggunaan Dana Jaminan untuk menyelesaikan Transaksi Bursa wajib dibayar kembali oleh Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa dimaksud. Pasal 13 Dana Jaminan bukan merupakan milik pihak tertentu dan tidak didistribusikan kepada siapapun untuk keperluan apapun kecuali untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). Pasal 14 (1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mengelola Dana Jaminan. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan berpendapat Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak sanggup untuk mengelola Dana Jaminan dan tidak dapat melanjutkan fungsinya atau tidak ada pihak lain yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab Lembaga Kliring dan Penjaminan, Dana Jaminan wajib diserahkan Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa. Pasal 15 (1) Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat mengenakan biaya atas jasa pengelolaan investasi Dana Jaminan paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari pendapatan bersih Dana Jaminan setelah pajak. (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan batasan lain yang lebih kecil atas biaya jasa pengelolaan Dana Jaminan dengan memperhatikan kondisi keuangan Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 16 (1) Dana Jaminan hanya dapat diinvestasikan dalam deposito bank dan/atau Surat Berharga Negara. (2) Investasi... -12- (2) Investasi Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. komposisi dan batasan nilai investasi sesuai dengan penetapan Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko; dan b. Surat Berharga Negara tersebut dapat dijadikan dasar atau jaminan dalam transaksi jual Efek dengan janji beli kembali (repurchase agreement) dan/atau transaksi pinjam meminjam Efek dengan Pemerintah dan Bank Indonesia. Pasal 17 Dalam mengelola Dana Jaminan, Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memisahkan penyimpanan, pencatatan, dan pembukuan antara aset Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan aset Dana Jaminan; b. menyediakan tempat penyimpanan yang aman atas aset Dana Jaminan; c. Dana Jaminan yang diinvestasikan dalam deposito bank wajib ditempatkan pada bank yang disetujui oleh Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko; dan d. Dana Jaminan yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara wajib disimpan di Rekening Efek pada Kustodian yang disetujui oleh Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko. Pasal 18 Hasil investasi Dana Jaminan wajib ditambahkan ke dalam Dana Jaminan setelah dikurangi biaya atas jasa pengelolaan investasi Penjaminan. oleh Lembaga Kliring dan Pasal 19 (1) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan laporan... -13- laporan keuangan Dana Jaminan secara bulanan dan tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. laporan disusun dan disampaikan secara terpisah dari laporan keuangan Lembaga Kliring dan Penjaminan; b. laporan disajikan dengan menggunakan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku; c. laporan ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan; d. laporan bulanan disampaikan paling lambat hari ke-15 (kelima belas) pada bulan berikutnya dengan tembusan kepada Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan e. laporan keuangan tahunan disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal tahun buku berakhir dan diaudit oleh akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. (3) Biaya yang berkaitan dengan jasa akuntansi dan audit laporan keuangan tahunan Dana Jaminan dibebankan pada Dana Jaminan dan besarnya biaya dimaksud wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko. (4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e jatuh pada hari libur, maka penyampaian laporan tersebut disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. BAB IV... -14- BAB IV PROSEDUR PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA Pasal 20 Anggota Kliring dinyatakan gagal memenuhi kewajibannya berkaitan dengan penyelesaian Transaksi Bursa apabila Anggota Kliring tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruh kewajibannya untuk menyelesaikan Transaksi Bursa sesuai dengan waktu dan cara yang telah diatur dalam peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 21 (1) Dalam hal terjadi kegagalan Anggota Kliring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melaksanakan fungsi Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa. (2) Fungsi Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan sumber keuangan dan urutan sebagai berikut: a. Cadangan Jaminan; b. Kredit bank, jika sudah ada kontrak antara Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan bank; c. Dana Jaminan; d. sumber keuangan dari anggota Jaringan Kredit yang lain, apabila seluruh sumber keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c telah digunakan tetapi tidak mencukupi, dengan pembagian sebagai berikut: 1. 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah yang dibutuhkan untuk membayar kewajiban Lembaga Kliring dan Penjaminan dibagi sama rata di antara anggota Jaringan Kredit yang tersisa; 2. 80% (delapan puluh per seratus) dari jumlah yang dibutuhkan untuk membayar kewajiban Lembaga... -15- Lembaga Kliring dan Penjaminan dibagi di antara anggota Jaringan Kredit yang tersisa secara proporsional berdasarkan nilai Kliring masing-masing anggota Jaringan Kredit dimaksud selama 6 (enam) bulan terakhir; dan 3. jumlah yang tidak dibayar dalam 30 (tiga puluh) hari oleh anggota Jaringan Kredit tertentu, dibagi kembali di antara anggota Jaringan Kredit yang tersisa sesuai dengan ketentuan angka 1 dan angka 2. Pasal 22 Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan hukum tertentu terhadap Anggota Jaringan Kredit yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d angka 3 dengan memperhatikan usulan dari Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 23 (1) Setiap penggunaan sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib dibayar kembali dari sumber keuangan Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa. (2) Pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Lembaga Kliring dan Penjaminan melakukan proses permintaan setoran dana dan/atau menggunakan sumber keuangan Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa yang berada di bawah penguasaan Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 2 (dua) hari Bursa setelah penggunaan sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2); b. Lembaga Kliring dan Penjaminan melakukan proses penjualan Efek dalam Rekening Jaminan Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan Transaksi... -16- Transaksi Bursa paling lambat 10 (sepuluh) hari Bursa setelah penggunaan sumber keuangan; c. Lembaga Kliring dan Penjaminan melakukan permintaan pencabutan keanggotaan Bursa Efek Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa diikuti dengan penjualan saham Bursa Efek dan/atau penjualan saham Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa yang dimiliki pemegang saham mayoritas paling lambat 60 (enam puluh) hari Bursa setelah penggunaan sumber keuangan; dan d. Lembaga Kliring dan Penjaminan melakukan proses pengajuan permohonan pailit terhadap Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari Bursa setelah penggunaan sumber keuangan diikuti dengan likuidasi dan/atau penjualan aset Anggota Kliring. (3) Pengembalian sumber keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan urutan prioritas sebagai berikut: a. Dana Jaminan; b. Jaringan Kredit; c. Kredit bank; dan d. Cadangan Jaminan. (4) Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat melakukan proses permintaan setoran dana dan/atau likuidasi sumber keuangan lain milik Anggota Kliring yang gagal menyelesaikan Transaksi Bursa dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, pada hari yang sama dengan penggunaan sumber keuangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 21 ayat (2). Pasal 24... sebagaimana -17- Pasal 24 Dalam hal sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) belum mencukupi untuk membayar kembali penggunaan Dana Jaminan yang digunakan untuk menyelesaikan kegagalan Anggota Kliring dalam penyelesaian Transaksi Bursa, kekurangan pengembalian Dana Jaminan dilakukan dengan menggunakan sumber keuangan anggota Jaringan Kredit yang lain dengan mekanisme pembagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah penggunaan Dana Jaminan. BAB V TRANSAKSI BURSA YANG DIKECUALIKAN Pasal 25 (1) Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat menetapkan Efek Tidak Dijamin. (2) Efek Tidak Dijamin wajib diumumkan kepada publik dan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 2 (dua) hari Bursa sebelum Efek Tidak Dijamin berlaku. (3) Penetapan Efek Tidak Dijamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. persyaratan dan tata cara penetapan Efek Tidak Dijamin wajib ditetapkan dalam peraturan Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan; b. dalam menetapkan persyaratan Efek Tidak Dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf a, Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempertimbangkan paling kurang: 1. komposisi kepemilikan Efek termasuk porsi kepemilikan publik dan konsentrasi kepemilikan Efek; 2. pola... -18- 2. pola, volume, dan frekuensi transaksi Efek; dan 3. fluktuasi harga Efek. c. tata cara penetapan Efek Tidak Dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf a antara lain memuat periode data dan informasi yang digunakan, periode reviu, serta tata cara pengumuman Efek Tidak Dijamin. (4) Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak melakukan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa terhadap Transaksi Bursa atas Efek Tidak Dijamin. Pasal 26 (1) Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat menetapkan Transaksi Dipisahkan. (2) Penetapan Transaksi Dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan atau berdasarkan perintah Otoritas Jasa Keuangan. (3) Transaksi Dipisahkan wajib diumumkan kepada publik dan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 2 (dua) hari Bursa setelah penetapan Transaksi Dipisahkan. (4) Penetapan Transaksi Dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Transaksi Dipisahkan dapat ditetapkan dalam hal terdapat antara lain indikasi transaksi yang tidak wajar, berisiko tinggi, dan/atau membahayakan integritas pasar; b. persyaratan dan tata cara penetapan Transaksi Dipisahkan wajib ditetapkan dalam peraturan Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan; c. dalam menetapkan persyaratan Transaksi Dipisahkan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Bursa... -19- Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempertimbangkan paling kurang: 1. kondisi Anggota Kliring yang transaksinya dapat diberlakukan sebagai Dipisahkan, termasuk tetapi tidak terbatas pada besaran nilai transaksi yang berpotensi tidak dapat diselesaikan dan pola transaksi Anggota Kliring yang bersangkutan; dan 2. kondisi Efek termasuk tetapi tidak terbatas pada pola, volume, dan frekuensi transaksi Efek, serta fluktuasi harga Efek. d. tata cara penetapan Transaksi Dipisahkan sebagaimana dimaksud pada huruf b antara lain memuat periode data dan informasi yang digunakan, periode reviu, serta pengumuman penetapan Transaksi Dipisahkan. (5) Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat menunda Penyelesaian Transaksi Bursa dan/atau tidak melakukan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa terhadap Transaksi Dipisahkan setelah mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atau berdasarkan perintah Otoritas Jasa Keuangan. BAB VI KOMITE KEBIJAKAN KREDIT DAN PENGENDALIAN RISIKO Pasal 27 (1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa, Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib membentuk Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko. (2) Pembentukan Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. keanggotaan Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko wajib terdiri dari 5 (lima) direktur... Transaksi -20- direktur dari Anggota Kliring yang tidak saling terafiliasi; dan b. keanggotaan Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko ditetapkan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan berdasarkan calon yang diajukan oleh para Anggota Kliring. (3) Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko mempunyai tugas dan kewajiban antara lain: a. merekomendasikan kebijakan pengelolaan risiko Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa kepada Direksi dan Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; b. memantau kebijakan pengelolaan risiko Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa; c. merekomendasikan persentase laba bersih Lembaga Kliring dan Penjaminan yang wajib disisihkan untuk membentuk Cadangan Jaminan kepada Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan d. menetapkan kebijakan penggunaan dan investasi Dana Jaminan. (4) Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko wajib mengadakan rapat paling kurang sekali dalam 2 (dua) bulan atau setiap saat jika terjadi kondisi tertentu yang memerlukan keputusan dan/atau rekomendasi Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko. (5) Setiap rapat Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko wajib dibuat minuta atau risalah rapat yang ditandatangani oleh paling sedikit 3 (tiga) anggota komite dan disimpan. Pasal 28 Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan kepada Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko data dan informasi yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban... -21- kewajiban Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) sesuai dengan cara yang ditetapkan Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko. Pasal 29 Persyaratan dan tata cara pemilihan anggota Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko dan tata cara pengambilan keputusan dan/atau rekomendasi Komite Kebijakan Kredit dan Pengendalian Risiko ditetapkan lebih lanjut dalam peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan. BAB VII KETENTUAN SANKSI Pasal 30 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu c. pembatasan kegiatan usaha d. pembekuan kegiatan usaha e. pencabutan izin usaha f. pembatalan persetujuan, dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi... -22- (3) Sanksi administratif denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f atau huruf g. Pasal 31 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 32 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 kepada masyarakat. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 Bursa Efek dan Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib telah menetapkan peraturan dan sarana terkait dengan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa paling lambat pada tanggal 31 Desember 2015. Pasal 34 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku sejak tanggal diundangkan, kecuali ketentuan dalam Pasal 25 dan Pasal 26 berlaku sejak tanggal 1 Januari 2016. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Keputusan... -23- a. Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa, beserta Peraturan Nomor III.B.6 yang merupakan lampirannya; dan b. Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-47/PM/2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Dana Jaminan, beserta Peraturan Nomor III.B.7 yang merupakan lampirannya; dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, kecuali ketentuan angka 3 huruf a Peraturan Nomor III.B.7 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-47/PM/2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Dana Jaminan masih tetap berlaku sampai dengan diterbitkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 361 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 26/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA </reg_title> <set_date> 19 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-46/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004', 'Kep-47/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004', 'Kep-46/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.6', 'Kep-47/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.7 kecuali ketentuan angka 3 huruf a masih tetap berlaku sampai dengan diterbitkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d.' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /POJK.04/2017 TENTANG REKSA DANA TARGET WAKTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan alternatif investasi bagi investor, perlu meningkatkan keberagaman produk investasi; b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan investor akan produk investasi yang sesuai dengan siklus perencanaan keuangan investor, perlu diciptakan produk investasi yang kebijakan investasinya dapat berubah sesuai dengan siklus perencanaan keuangan investor; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Target Waktu; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG REKSA DANA TARGET WAKTU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi. 2. Reksa Dana Target Waktu adalah Reksa Dana yang memiliki jangka waktu tertentu dan kebijakan investasi yang menyesuaikan dengan jangka waktu tersebut. 3. Target Waktu adalah tahun dimana kebijakan investasi Reksa Dana Target Waktu memiliki tingkat risiko paling rendah dan tidak lagi berubah. 4. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak dalam portofolio investasi kolektif. 5. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar Pihak lain membeli Efek. 6. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. - 3 - 7. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 8. Nilai Aktiva Bersih adalah nilai pasar yang wajar dari suatu Efek dan kekayaan lain dari Reksa Dana dikurangi seluruh kewajibannya. Pasal 2 (1) Reksa Dana Target Waktu memiliki jangka waktu tertentu sampai dengan Target Waktu yang ditetapkan. (2) Kebijakan investasi Reksa Dana Target Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyesuaikan dengan jangka waktu sampai dengan Target Waktu yang ditetapkan. (3) Kontrak investasi kolektif Reksa Dana Target Waktu wajib memuat klausula yang menjelaskan bahwa Reksa Dana Target Waktu dapat berakhir secara otomatis pada saat mencapai Target Waktu yang ditetapkan atau terus dikelola oleh Manajer Investasi berdasarkan kebijakan investasi terakhir. Pasal 3 Ketentuan mengenai kebijakan investasi Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Pendapatan Tetap, Reksa Dana Saham, dan Reksa Dana Campuran sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka tidak berlaku bagi Reksa Dana Target Waktu. Pasal 4 (1) Ketentuan mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana, pedoman kontrak investasi kolektif Reksa Dana, pedoman bentuk dan isi prospektus dalam rangka penawaran umum Reksa Dana, pernyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum, dan pelaporan Reksa - 4 - Dana berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif berlaku bagi Reksa Dana Target Waktu berbentuk kontrak investasi kolektif, kecuali diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Ketentuan mengenai pedoman pengelolaan, pedoman kontrak pengelolaan, pedoman anggaran dasar, pedoman bentuk dan isi prospektus dalam rangka penawaran umum Reksa Dana, pedoman kontrak penyimpanan kekayaan, dan tata cara permohonan izin usaha Reksa Dana berbentuk perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai Reksa Dana berbentuk perseroan berlaku bagi Reksa Dana Target Waktu berbentuk perseroan, kecuali diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 Dalam hal Reksa Dana Target Waktu merupakan Reksa Dana yang portofolio investasinya sebagian besar berupa Efek luar negeri, komposisi portofolio investasi Reksa Dana Target Waktu atas Efek luar negeri mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Reksa Dana Syariah. Pasal 6 Nama Reksa Dana Target Waktu wajib mencantumkan angka tahun yang ditetapkan sebagai Target Waktu. Pasal 7 Penawaran umum Unit Penyertaan Reksa Dana Target Waktu dapat bersifat terus-menerus atau terbatas baik dalam masa penawaran maupun jumlah Unit Penyertaan Reksa Dana yang ditawarkan. - 5 - BAB II PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TARGET WAKTU Pasal 8 Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Target Waktu wajib: a. menyusun jadwal perubahan kebijakan investasi untuk periode sejak Reksa Dana Target Waktu diterbitkan sampai dengan Target Waktu yang ditetapkan dan mencantumkannya dalam: 1. kontrak investasi kolektif bagi Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif; 2. kontrak pengelolaan bagi Reksa Dana berbentuk perseroan; dan 3. Prospektus Reksa Dana Target Waktu; dan b. melakukan pengelolaan investasi Reksa Dana Target Waktu sesuai dengan jadwal perubahan kebijakan investasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal 9 (1) Jadwal perubahan kebijakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dapat dibuat dalam bentuk grafik dan/atau tabel yang dilengkapi dengan narasi atau keterangan penjelasan. (2) Grafik dan/atau tabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggambarkan persentase alokasi investasi yang direncanakan pada setiap jenis Efek untuk setiap bagian periode sejak Reksa Dana diterbitkan sampai dengan Target Waktu yang ditetapkan. (3) Persentase alokasi investasi yang direncanakan pada setiap jenis Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan dalam bentuk angka absolut atau berupa rentang angka dengan ketentuan bahwa selisih antara angka tertinggi dan angka terendah tidak boleh lebih besar dari 20% (dua puluh persen). (4) Bagian periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun. - 6 - Pasal 10 Dalam hal Manajer Investasi menetapkan persentase alokasi investasi yang direncanakan pada setiap jenis Efek untuk setiap bagian periode dalam bentuk angka absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Manajer Investasi dalam melakukan pengelolaan Reksa Dana Target Waktu dapat melakukan investasi pada setiap jenis Efek dimaksud dengan persentase alokasi yang lebih besar atau lebih kecil dari persentase alokasi yang telah ditetapkan dengan ketentuan bahwa selisih antara persentase alokasi yang terjadi dengan persentase alokasi yang telah ditetapkan tidak boleh lebih besar dari 10% (sepuluh persen) pada setiap saat. BAB III PROSPEKTUS REKSA DANA TARGET WAKTU Pasal 11 (1) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Target Waktu wajib mencantumkan keterangan tambahan dalam Prospektus Reksa Dana Target Waktu yang paling sedikit memuat hal sebagai berikut: a. keterangan mengenai sifat dan fitur Reksa Dana Target Waktu, termasuk penjelasan mengenai kebijakan investasi yang berubah sesuai dengan jadwal perubahan kebijakan investasi yang telah ditetapkan; b. keterangan bahwa Reksa Dana Target Waktu: 1. tidak memberikan jaminan tercapainya imbal hasil; 2. dapat mengalami kerugian; dan/atau 3. dapat kehilangan imbal hasil ataupun pokok investasi walaupun investasi telah mendekati, pada, atau setelah Target Waktu; c. keterangan yang menyatakan bahwa tahun yang ditetapkan sebagai Target Waktu bagi Reksa Dana Target Waktu merupakan tahun acuan bagi investor, - 7 - yang umumnya menggambarkan perkiraan waktu bagi investor untuk pensiun, menarik investasinya, atau tidak lagi menambah investasinya; d. ilustrasi dalam bentuk grafik dan/atau tabel mengenai jadwal perubahan kebijakan investasi dan dilengkapi dengan narasi atau keterangan yang menjelaskan ilustrasi tersebut; dan e. keterangan yang menjelaskan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Target Waktu sehubungan dengan kebijakan investasi yang ditetapkan. (2) Selain keterangan tambahan dalam Prospektus Reksa Dana Target Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Target Waktu menetapkan akan terus mengelola Reksa Dana Target Waktu walaupun Reksa Dana Target Waktu telah mencapai Target Waktu yang ditetapkan, Manajer Investasi wajib mencantumkan keterangan tambahan dalam Prospektus Reksa Dana Target Waktu yang menjelaskan bahwa Reksa Dana Target Waktu dapat berakhir secara otomatis pada saat mencapai Target Waktu yang ditetapkan atau terus dikelola oleh Manajer Investasi berdasarkan kebijakan investasi akhir yang telah diungkapkan. Pasal 12 Ketentuan mengenai Reksa Dana Target Waktu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku secara mutatis mutandis bagi penerbitan produk Reksa Dana Target Waktu yang akad, cara pengelolaan, dan portofolionya sesuai dengan prinsip syariah. - 8 - BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 13 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 14 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 9 - Pasal 15 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 135 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /POJK.04/2017 TENTANG REKSA DANA TARGET WAKTU I. UMUM Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal guna selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek oleh Manajer Investasi. Perkembangan Reksa Dana di Indonesia yang cukup signifikan telah menyebabkan permintaan atas produk Reksa Dana semakin tinggi, yang dibarengi dengan harapan bahwa Reksa Dana tidak hanya memberikan keuntungan yang relatif tinggi dan aman, tapi juga kemampuan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pemodal yang spesifik ataupun berubah seiring waktu. Reksa Dana Target Waktu diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan khusus ini, dengan menawarkan sebuah produk investasi yang tidak terpaku dengan mayoritas jenis Efek dalam portofolionya, melainkan mengacu kepada sebuah tanggal tertentu di masa yang akan datang, atau sebuah waktu tujuan investasi jangka panjang tertentu. Reksa Dana Target Waktu dapat mengubah komposisi portofolio Efek-nya dari yang mengandung sebagian besar Efek bersifat ekuitas berisiko tinggi perlahan menjadi cenderung konservatif dan berinvestasi sebagian besar pada Efek bersifat utang atau instrumen pasar uang seiring bertambahnya usia Reksa Dana Target Waktu tersebut mendekati tanggal acuan. Jenis Reksa Dana ini sangat sesuai bagi pemodal yang menggunakan Reksa Dana sebagai sarana investasi untuk pemenuhan kebutuhan tertentu di masa yang akan datang, misalnya pernikahan, biaya sekolah anak, dan perencanaan pensiun. - 2 - Pengembangan jenis Reksa Dana ini diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pemodal Indonesia, serta mendorong pertumbuhan pasar modal Indonesia yang aman dan berkelanjutan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif” yang berlaku pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan antara lain: 1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2016 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5886); 2. Peraturan Nomor X.D.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-06/PM/2004 tentang Laporan Reksa Dana; dan 3. Peraturan Nomor IX.C.6, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-22/PM/2004 tentang Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana berbentuk perseroan” yang berlaku - 3 - pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan antara lain: 1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39/POJK.04/2016 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Reksa Dana Berbentuk Perseroan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 268, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5694); 2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.04/2016 tentang Pedoman Anggaran Dasar Reksa Dana Berbentuk Perseroan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 269, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5965); 3. Peraturan Nomor IV.A.3, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-13/PM/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; 4. Peraturan Nomor IV.A.4, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-14/PM/2002 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; 5. Peraturan Nomor IV.A.5, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-21/PM/1996 tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; dan 6. Peraturan Nomor IX.C.6, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-22/PM/2004 tentang Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Contoh dari nama Reksa Dana Target Waktu antara lain “Reksa Dana Gatotkaca Asset Management 2045”, “Reksa Dana XYZ Investasi 2055”, “Reksa Dana ABC 2060”, atau “Reksa Dana ABC Syariah Global 2030”. - 4 - Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Dalam praktiknya “jadwal perubahan kebijakan investasi Reksa Dana Target Waktu” dimaksud dikenal juga dengan sebutan glide path. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “persentase alokasi investasi” adalah persentase dari Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana yang dialokasikan pada setiap jenis Efek. Ayat (3) Contoh persentase alokasi investasi yang ditetapkan dalam bentuk angka absolut: Reksa Dana Gatotkaca Asset Management 2045 pada jadwal perubahan kebijakan investasi telah ditetapkan: Jenis Investasi Efek bersifat ekuitas Efek bersifat utang instrumen pasar uang Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Contoh persentase alokasi berupa angka absolut Reksa Dana Target Waktu yang dalam pengelolaannya memiliki selisih antara persentase alokasi yang terjadi dengan persentase alokasi yang telah ditetapkan tidak lebih besar dari 10% (sepuluh persen), misalnya: Reksa Dana Gatotkaca Asset Management 2045 pada jadwal perubahan kebijakan investasi telah ditetapkan: Persentase 2016-2021 70% 20% 10% Persentase 2022-2027 65% 25% 10% Dst. s.d 2045... - 5 - Jenis Investasi Efek bersifat ekuitas Efek bersifat utang instrumen pasar uang Persentase 2016-2021 70% 20% 10% Persentase 2022-2027 65% 25% 10% Dst. s.d 2045... Maka dalam pengelolaannya di tahun 2016-2021, Reksa Dana Gatotkaca Asset Management 2045 dapat memiliki investasi pada masing-masing Efek dan instrumen dimaksud kurang 10% dari batas bawah yang ditetapkan, yaitu sampai dengan 60% atau lebih 10% dari batas atas yang ditetapkan, yaitu sampai dengan 80%. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6082
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 34/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> REKSA DANA TARGET WAKTU </reg_title> <set_date> 3 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 3 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 3 Juli 2017 </issued_date> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
REPUBLIK INDONESIA OOTORITAS JASA KEUANGAN ReREPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 /POJK.03/2015 TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang: a. bahwa saat ini terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dapat memengaruhi kinerja dan kondisi industri perbankan termasuk perbankan syariah sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan; b. bahwa untuk merespons kondisi melambatnya pertumbuhan perekonomian, diperlukan kebijakan yang bersifat countercyclical dan bersifat sementara untuk mendorong optimalisasi fungsi intermediasi perbankan syariah dan pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah; c. bahwa sejalan dengan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, diperlukan kebijakan untuk mendukung program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi terutama yang berpihak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Ketentuan Kehati-Hatian... - 2 - e. Kehati-Hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Unit Usaha Syariah adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa termasuk sewa menyewa jasa, transaksi jual beli, dan transaksi pinjam meminjam berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, bagi hasil, atau margin. 5. Risiko... - 3 - 5. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati. 6. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya. 7. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank Umum Syariah dalam bentuk saham pada bank syariah dan perusahaan di bidang keuangan lainnya yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank Umum Syariah memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 8. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah UMKM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. Pasal 2 (1) Dalam menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi, Bank tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Bank Umum Syariah dilakukan terhadap: a. perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar bagi: 1. Pembiayaan beragun rumah tinggal; dan 2. Pembiayaan kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); b. penilaian dan penetapan kualitas aset bagi: 1. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya dalam jumlah kecil; dan 2. Pembiayaan yang direstrukturisasi; c. Penyertaan Modal. (3) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Unit Usaha Syariah dilakukan terhadap penilaian dan penetapan kualitas aset bagi: a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya dalam jumlah kecil; dan b. Pembiayaan yang direstrukturisasi. BAB II... - 4 - BAB II PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH Bagian Kesatu Bobot Risiko Pembiayaan Beragun Rumah Tinggal Pasal 3 Bobot risiko Pembiayaan beragun rumah tinggal ditetapkan sebagai berikut: a. paling rendah 35% (tiga puluh lima perseratus) untuk Pembiayaan konsumsi dalam rangka kepemilikan rumah tinggal atau apartemen atau Pembiayaan konsumsi yang dijamin dengan agunan berupa rumah tinggal atau apartemen yang memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut: 1. diberikan kepada nasabah perorangan; 2. agunan diikat dengan hak tanggungan atau fidusia sehingga memberikan kedudukan yang diutamakan (hak preferensi) kepada Bank Umum Syariah; dan 3. Bank Umum Syariah memiliki sistem dan prosedur yang memadai untuk menilai dan memantau nilai agunan secara berkala; b. paling rendah 20% (dua puluh perseratus) untuk Pembiayaan konsumsi dalam rangka kepemilikan rumah tinggal yang merupakan program Pemerintah Indonesia yang memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut: 1. dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 2. dijamin 100% (seratus perseratus) oleh lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memenuhi persyaratan pengakuan garansi dalam teknik mitigasi Risiko Kredit. Pasal 4 Persyaratan pengakuan garansi dalam teknik mitigasi Risiko Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 2 adalah sebagai berikut: a. Bank Umum Syariah memiliki hak tagih langsung kepada pihak pemberi jaminan tanpa harus melakukan tindakan hukum terlebih dahulu terhadap nasabah dalam hal terjadi cedera janji (wanprestasi); b. Tagihan atau transaksi rekening administratif yang diberikan garansi dinyatakan secara spesifik dan jelas dalam perjanjian garansi; c. Perjanjian... - 5 - c. Perjanjian garansi bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); d. Garansi dicairkan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak eksposur telah jatuh tempo lebih dari 90 (sembilan puluh) hari, baik atas pembayaran pokok dan/atau pembayaran margin/bagi hasil/ujrah; dan e. Garansi yang diterbitkan oleh pihak pemberi jaminan telah diakui sebagai kewajiban dalam pembukuan pihak pemberi jaminan. Bagian Kedua Bobot Risiko Pembiayaan kepada UMKM yang Dijamin oleh Lembaga Penjaminan atau Asuransi Pembiayaan Berstatus BUMD Pasal 5 (1) Bobot risiko Pembiayaan kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMD ditetapkan sebesar 50% (lima puluh perseratus) sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan. (2) Persyaratan lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan setara BBB-; atau b. mendapatkan rekomendasi dalam bentuk tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan program penjaminan. (3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pengakuan penjaminan atau asuransi Pembiayaan, skema penjaminan atau asuransi Pembiayaan, dan lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMD, tetap memenuhi persyaratan: a. pengakuan garansi dalam teknik mitigasi Risiko Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. skema penjaminan atau asuransi Pembiayaan; dan c. lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus bukan BUMN. Pasal 6 (1) Persyaratan skema penjaminan atau asuransi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b sebagai berikut: a. pangsa... - 6 - a. pangsa penjaminan Pembiayaan oleh lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan paling kurang sebesar 70% (tujuh puluh perseratus) dari Pembiayaan yang diberikan oleh Bank Umum Syariah; b. Bank Umum Syariah mengajukan klaim kepada lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan paling lama 1 (satu) bulan sejak terjadi tunggakan pokok, margin/bagi hasil/ujrah, dan/atau tagihan lainnya yang menjadikan kualitas Pembiayaan paling baik dinilai “Diragukan” sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang berlaku walaupun Pembiayaan belum jatuh tempo; c. pembayaran penjaminan atau asuransi Pembiayaan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah klaim diajukan oleh Bank Umum Syariah dan dokumen diterima secara lengkap oleh lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan; d. jangka waktu penjaminan atau asuransi Pembiayaan paling kurang sama dengan jangka waktu Pembiayaan; dan e. penjaminan atau asuransi Pembiayaan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable). (2) Persyaratan lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus bukan BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c sebagai berikut: a. pendirian lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan sesuai peraturan yang berlaku mengenai lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan; b. didukung oleh dana penjaminan (modal) dengan gearing ratio mengacu pada ketentuan yang berlaku, paling tinggi 10 (sepuluh) kali; c. mematuhi ketentuan mengenai lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan d. bukan merupakan pihak terkait Bank Umum Syariah kecuali keterkaitan tersebut karena hubungan kepemilikan dengan pemerintah daerah. (3) Persyaratan skema penjaminan atau asuransi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam perjanjian antara Bank Umum Syariah dengan lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan. Pasal 7 (1) Bobot risiko Pembiayaan kepada UMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMD yang: a. memiliki... - 7 - a. memiliki peringkat lebih tinggi dari BBB-; dan b. pengakuan penjaminan atau asuransi Pembiayaan, skema penjaminan atau asuransi Pembiayaan, dan lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMD memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), didasarkan pada peringkat lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan berstatus BUMD sesuai kategori portofolio tagihan kepada entitas sektor publik. (2) Bobot risiko tagihan kepada entitas sektor publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: a. sebesar 50% (lima puluh perseratus) untuk peringkat yang setara BBB+ sampai dengan BBB-; b. sebesar 50% (lima puluh perseratus) untuk peringkat yang setara A+ sampai dengan A-; atau c. sebesar 20% (dua puluh perseratus) untuk peringkat yang setara AAA sampai dengan AA-. (3) Ilustrasi peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan notasi peringkat yang dikeluarkan lembaga pemeringkat Standard and Poor’s. BAB III PENILAIAN DAN PENETAPAN KUALITAS ASET BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH Bagian Kesatu Pembiayaan dan Penyediaan Dana Lainnya dalam Jumlah Kecil Pasal 8 (1) Penetapan kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah, untuk: a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada 1 (satu) nasabah atau 1 (satu) proyek dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); b. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada nasabah UMKM dengan jumlah: 1. Lebih... - 8 - 1. Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki predikat penilaian kecukupan Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) untuk Risiko Kredit sangat memadai; b) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah sesuai ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah 3 (PK-3). 2. Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki predikat penilaian kecukupan KPMR untuk Risiko Kredit memadai; b) memiliki rasio KPMM paling rendah sesuai ketentuan yang berlaku; dan c) memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah 3 (PK-3). (2) Penetapan kualitas Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi Unit Usaha Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut: a. predikat penilaian KPMR untuk Risiko Kredit mengacu pada predikat penilaian kecukupan KPMR Unit Usaha Syariah; dan b. Peringkat Komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM mengacu pada Peringkat Komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM bank induknya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan untuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1 (satu) nasabah UMKM dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang merupakan: a. Pembiayaan yang direstrukturisasi; dan/atau b. Penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank. Bagian... - 9 - Bagian Kedua Penetapan Kualitas Pembiayaan yang Direstrukturisasi Pasal 9 (1) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut: a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. tetap atau tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang Lancar. (2) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan. (3) Dalam hal nasabah tidak memenuhi kriteria dan/atau persyaratan dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan, penilaian kualitas Pembiayaan ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku yang didasarkan atas: a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. prospek usaha, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan membayar untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (4) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan paling singkat 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan. Pasal 10 Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a ditetapkan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal... - 10 - Pasal 11 (1) Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran pokok, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. tetap atau tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang Lancar; (2) Kualitas Pembiayaan selama masa pemberian tenggang waktu pembayaran pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran margin/bagi hasil/ujrah selama 3 (tiga) kali periode pembayaran berturut- turut sesuai perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan; atau b. sesuai kualitas Pembiayaan yang lebih buruk antara kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau kualitas Pembiayaan yang sebenarnya, apabila terdapat tunggakan pembayaran margin/bagi hasil/ujrah atau tidak memenuhi kriteria dan/atau persyaratan dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan. (3) Kualitas Pembiayaan setelah masa pemberian tenggang waktu pembayaran pokok didasarkan atas: a. ketepatan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. prospek usaha, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan membayar untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). BAB IV PENYERTAAN MODAL BAGI BANK UMUM SYARIAH Pasal 12 (1) Penyertaan Modal dalam rangka: a. pendirian perusahaan yang akan mengambil alih aset Pembiayaan bermasalah dari Bank Umum Syariah yang melakukan penyertaan dengan kepemilikan Bank Umum Syariah paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari modal perusahaan dan Bank Umum Syariah tidak menjadi pengendali; atau b. tambahan... - 11 - b. tambahan penyertaan untuk penyelamatan perusahaan anak berupa bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dapat dilakukan apabila Bank Umum Syariah memiliki Peringkat Komposit tingkat kesehatan Bank Umum Syariah terakhir sebelum melakukan penyertaan paling rendah 3 (PK-3) dan mempunyai prospek peningkatan Peringkat Komposit menjadi lebih baik. (2) Persyaratan lain dalam rangka Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan Penyertaan Modal. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 Permohonan persetujuan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum ketentuan ini berlaku, disesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 14 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku: a. Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi dan masih dalam periode 3 (tiga) kali kewajiban pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah setelah penandatanganan perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan; atau b. Kualitas Pembiayaan yang direstrukturisasi dan masih dalam masa pemberian tenggang waktu pembayaran pokok setelah penandatanganan perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan, ditetapkan sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB... - 12 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan dalam: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/11/PBI/2013 tentang Prinsip Kehati- Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5466); b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2014 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 347, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5625); c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November 2005 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/10/DPbS tanggal 7 Maret 2006, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 16 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku sampai dengan 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan. Pasal 17 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar... - 13 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Agustus 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Agustus 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 198 PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12/POJK.03/2015 TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Dalam rangka menstimulus pertumbuhan perekonomian nasional, diperlukan upaya untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan termasuk perbankan syariah melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat countercyclical antara lain terkait dengan ketentuan mengenai perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan menggunakan pendekatan standar, penilaian kualitas aset, dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan Penyertaan Modal. Kebijakan countercyclical dimaksud ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, mendorong fungsi intermediasi dalam rangka meningkatkan potensi ekspansi Pembiayaan Bank yang dilakukan secara terukur dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah serta mencegah terjadinya moral hazard. Kebijakan countercyclical ini bersifat sementara (temporary policy) sehingga seiring dengan membaiknya kinerja dan kondisi keuangan Bank dan pertumbuhan ekonomi, kebijakan dimaksud perlu disesuaikan kembali. Kebijakan countercyclical ini difokuskan untuk mendorong pertumbuhan Pembiayaan kepada UMKM dan Pembiayaan beragun rumah tinggal serta meningkatkan kinerja dan kondisi Bank. Selain itu, kebijakan ini sejalan dengan program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi khususnya dalam program Pembiayaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta penyaluran Pembiayaan kepada UMKM. Sehubungan dengan pertimbangan di atas, diperlukan kebijakan berupa Ketentuan Kehati-Hatian Dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL... - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud rumah tinggal atau apartemen adalah rumah tapak atau rumah susun namun tidak termasuk rumah toko dan rumah kantor. Huruf b Yang dimaksud Pemerintah Indonesia adalah Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. Pasal 4 Huruf a Yang dimaksud dengan cedera janji (wanprestasi) adalah kegagalan atau kelalaian nasabah untuk membayar kewajiban keuangan dan memenuhi kewajiban lainnya kepada Bank Umum Syariah; misalnya, kegagalan nasabah membayar pokok dan margin/bagi hasil/ujrah pada saat yang ditentukan (default). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat... - 3 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kriteria lembaga penjaminan atau asuransi Pembiayaan yang berstatus BUMD yang mendapatkan rekomendasi dari Otoritas Jasa Keuangan antara lain memiliki kinerja keuangan yang baik. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penentuan pihak terkait Bank Umum Syariah didasarkan pada hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan hubungan keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku mengenai batas maksimum pemberian kredit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud entitas sektor publik adalah Badan Usaha Milik Negara, pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) di Indonesia dan badan-badan atau lembaga-lembaga Pemerintah Republik Indonesia yang tidak memenuhi kriteria sebagai Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia adalah Pemerintah Pusat Republik Indonesia, Bank Indonesia, dan badan-badan dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya... - 4 - lainnya yang seluruh pendanaan operasionalnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pemerintah Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lainnya” adalah penerbitan jaminan dan/atau pembukaan letter of credit. Termasuk sebagai “Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya” adalah semua jenis Pembiayaan atau penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada semua golongan nasabah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) nasabah terbesar adalah 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank Umum Syariah secara individu. Yang dimaksud dengan 50 (lima puluh) nasabah terbesar Unit Usaha Syariah adalah 50 (lima puluh) nasabah terbesar dari Unit Usaha Syariah, tidak termasuk dari bank induknya. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf... - 5 - Huruf b Faktor penilaian prospek usaha, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan membayar mengacu pada ketentuan mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kualitas Pembiayaan yang sebenarnya” adalah penilaian kualitas Pembiayaan yang didasarkan atas: a. Ketepatan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. Prospek usaha, kinerja (performance) nasabah, dan kemampuan membayar untuk Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal ... - 6 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5735
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 12/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 21 Agustus 2015 </set_date> <effective_date> 24 Agustus 2015 </effective_date> <issued_date> 24 Agustus 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 30/POJK.05/2014 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya untuk memperkuat industri Perusahaan Pembiayaan adalah dengan meningkatkan kualitas pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik bagi Perusahaan Pembiayaan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Pembiayaan; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. BAB I ... -2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahaan pembiayaan dan perusahaan pembiayaan syariah. 2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa. 3. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya melakukan pembiayaan syariah. 4. Pembiayaan Syariah adalah penyaluran pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 5. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 6. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Perusahaan Pembiayaan yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan Pembiayaan Syariah. 7. Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan yang selanjutnya disebut Tata Kelola Perusahaan Yang Baik adalah struktur dan proses yang digunakan dan diterapkan organ Perusahaan untuk meningkatkan pencapaian sasaran hasil usaha dan mengoptimalkan nilai perusahaan bagi seluruh pemangku kepentingan secara akuntabel dan berlandaskan peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika. 8. Organ Perusahaan adalah rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau rapat anggota ... -3 - anggota, pengurus, dan pengawas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi. 9. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap Perusahaan, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain debitur, anggota/pemegang saham, karyawan, kreditur, penyedia barang dan jasa, dan/atau pemerintah. 10. Debitur: a. bagi Perusahaan Pembiayaan adalah debitur baik badan usaha atau orang perseorangan yang menerima pembiayaan pengadaan barang dan/atau jasa dari Perusahaan Pembiayaan; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah atau Perusahaan Pembiayaan yang memiliki UUS adalah konsumen baik badan usaha atau orang perseorangan yang menerima pembiayaan dari Perusahaan Pembiayaan Syariah atau Perusahaan Pembiayaan yang memiliki UUS. 11. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi. 12. Direksi: a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 13. Dewan ... -4 - 13. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 14. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ Perusahaan yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan Perusahaan agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 15. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS, yaitu tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham, anggota Direksi, Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota DPS atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. 16. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijaksanaan dari orang yang lain atau badan hukum yang lain, atau sebaliknya, dengan memanfaatkan adanya kebersamaan kepemilikan saham atau kebersamaan pengelolaan perusahaan. 17. Benturan Kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis Perusahaan dan kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau DPS, serta pegawai Perusahaan. 18. Otoritas ... -5 - 18. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK Pasal 2 (1) Dalam melaksanakan kegiatannya, Perusahaan wajib melaksanakan prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. (2) Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan mengenai Perusahaan, yang mudah diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha pembiayaan yang sehat; b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban Organ Perusahaan sehingga kinerja Perusahaan dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan efisien; c. pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan Perusahaan dengan peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha pembiayaan yang sehat; d. kemandirian (independency), yaitu keadaan Perusahaan yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari Benturan Kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak ... -6 - tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha pembiayaan yang sehat; dan e. kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, peraturan perundang- undangan, dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha pembiayaan yang sehat. (3) Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bertujuan untuk: a. mengoptimalkan nilai Perusahaan bagi Pemangku Kepentingan, khususnya Debitur, kreditur, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; b. meningkatkan pengelolaan Perusahaan secara profesional, efektif, dan efisien; c. meningkatkan kepatuhan Organ Perusahaan dan DPS serta jajaran di bawahnya agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada etika yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan kesadaran atas tanggung jawab sosial Perusahaan terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian lingkungan; d. mewujudkan Perusahaan yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan e. meningkatkan kontribusi Perusahaan dalam perekonomian nasional. (4) Pelaksanaan prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dituangkan dalam suatu pedoman yang paling sedikit menguraikan hal-hal sebagai berikut: a. tata ... -7 - a. tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi; b. kelengkapan dan tata cara pelaksanaan tugas komite- komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern; c. kebijakan dan prosedur penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern; d. kebijakan dan prosedur penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern; e. kebijakan remunerasi; f. kebijakan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan; dan g. tata cara penyusunan rencana jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran tahunan. (5) Dalam melakukan kegiatan usaha, Perusahaan wajib menyelenggarakan kegiatan usahanya secara sehat dan mematuhi semua peraturan perundang-undangan industri jasa keuangan yang berada dalam pengawasan OJK. (6) Perusahaan wajib memiliki standar operasi dan prosedur yang memadai untuk seluruh aktivitas bisnis Perusahaan yang ditetapkan oleh Direksi. BAB III RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM Pasal 3 (1) RUPS Perusahaan wajib diselenggarakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar Perusahaan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. (2) Dalam mengambil keputusan, RUPS harus menjaga kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan Debitur, kreditur, dan kepentingan pemegang saham minoritas. BAB IV ... -8 - BAB IV PEMEGANG SAHAM Pasal 4 (1) Setiap pihak yang menjadi pemegang saham pengendali Perusahaan wajib memenuhi ketentuan penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 5 Pemegang saham Perusahaan melalui RUPS harus memastikan Perusahaan dijalankan berdasarkan praktik usaha pembiayaan yang sehat. Pasal 6 Pemegang saham harus memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Perusahaan. Pasal 7 (1) Pemegang saham Perusahaan dilarang mencampuri kegiatan operasional Perusahaan yang menjadi tanggung jawab Direksi sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Perusahaan dan peraturan perundang-undangan, kecuali dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban selaku RUPS. (2) Pemegang saham Perusahaan yang menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada Perusahaan yang sama harus mendahulukan kepentingan Perusahaan. BAB V ... -9 - BAB V DIREKSI Pasal 8 (1) Perusahaan yang memiliki aset lebih dari Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Direksi. (2) Perusahaan yang memiliki aset sampai dengan Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi. (3) Seluruh anggota Direksi dari Perusahaan yang seluruh pemegang sahamnya: a. warga negara Indonesia; dan/atau b. badan hukum Indonesia, yang dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh warga negara Indonesia, wajib berkewarganegaraan Indonesia. (4) Perusahaan yang di dalamnya terdapat kepemilikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung wajib memiliki paling sedikit 50% (lima puluh persen) anggota Direksi yang merupakan warga negara Indonesia. (5) Anggota Direksi Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia. (6) Bagi anggota Direksi berkewarganegaraan asing wajib memiliki: a. surat izin menetap; dan b. surat izin bekerja dari instansi berwenang. (7) Seluruh anggota Direksi Perusahaan harus memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatannya. Pasal 9 ... -10 - Pasal 9 (1) Anggota Direksi Perusahaan dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai Direksi pada perusahaan lain kecuali sebagai anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 3 (tiga) Perusahaan lain. (2) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila anggota Direksi yang bertanggung jawab terhadap pengawasan atas penyertaan pada anak perusahaan yang memiliki usaha di bidang pembiayaan, menjalankan tugas fungsional menjadi anggota Dewan Komisaris pada anak perusahaan yang dikendalikan oleh Perusahaan, sepanjang perangkapan jabatan tersebut tidak mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai anggota Direksi Perusahaan. Pasal 10 (1) Setiap anggota Direksi Perusahaan wajib lulus penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 11 Anggota Direksi Perusahaan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur dan profesional; b. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; c. mendahulukan kepentingan Perusahaan dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya dari pada kepentingan pribadi; d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan dan ... -11 - dan Debitur, kreditur, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; dan e. mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Perusahaan. Pasal 12 Direksi Perusahaan wajib: a. mematuhi peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan peraturan internal lain dari Perusahaan dalam melaksanakan tugasnya; b. mengelola Perusahaan sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya; c. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada RUPS; d. memastikan agar Perusahaan memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan Debitur, kreditur, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; e. memastikan agar informasi mengenai Perusahaan diberikan kepada Dewan Komisaris dan DPS secara tepat waktu dan lengkap; dan f. membantu dan menyediakan fasilitas dan/atau sumber daya untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang Organ Perusahaan dan DPS. Pasal 13 (1) Perusahaan wajib memiliki anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. (2) Fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perusahaan telah sesuai dengan peraturan perundang- undangan serta memastikan kepatuhan Perusahaan terhadap ... -12 - terhadap komitmen yang dibuat oleh Perusahaan kepada OJK dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang. (3) Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dirangkap oleh anggota Direksi yang membawahkan fungsi pembiayaan, fungsi pemasaran dan fungsi keuangan, kecuali direktur utama. Pasal 14 (1) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan. (2) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Direksi dalam memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang usaha pembiayaan dan peraturan perundang- undangan lainnya. (3) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan. Pasal 15 Anggota Direksi Perusahaan dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait dengan kegiatan operasional Perusahaan tempat anggota Direksi ... -13 - Direksi dimaksud menjabat selain yang telah ditetapkan dalam RUPS. Pasal 16 (1) Direksi Perusahaan wajib menyelenggarakan rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. (2) Direksi Perusahaan wajib menghadiri rapat Direksi paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah rapat Direksi dalam periode 1 (satu) tahun. (3) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan didokumentasikan dengan baik. (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat Direksi wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (5) Anggota Direksi Perusahaan yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Direksi berhak menerima salinan risalah rapat Direksi. (6) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi Perusahaan harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 17 Direksi Perusahaan harus menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif. BAB VI ... -14 - BAB VI DEWAN KOMISARIS Pasal 18 (1) Perusahaan yang memiliki aset lebih dari Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. (2) Perusahaan wajib mempunyai paling sedikit 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris yang berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia. (3) Bagi anggota Dewan Komisaris berkewarganegaraan asing yang berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia wajib memiliki: a. surat izin menetap; dan b. surat izin bekerja, dari instansi berwenang. (4) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Perusahaan lain. (5) Tidak termasuk rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) apabila: a. anggota Dewan Komisaris non independen menjalankan tugas fungsional dari pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan hukum pada kelompok usahanya; dan/atau b. anggota Dewan Komisaris menduduki jabatan pada organisasi atau lembaga nirlaba, sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota Dewan Komisaris Perusahaan. Pasal 19 (1) Setiap anggota Dewan Komisaris Perusahaan wajib lulus penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Ketentuan ... -15 - (2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 20 Dewan Komisaris Perusahaan wajib: a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi; b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak; c. menyusun laporan kegiatan Dewan Komisaris yang merupakan bagian dari laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; d. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; e. memberikan persetujuan dalam hal DPS memerlukan bantuan anggota komite yang struktur organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris; dan f. memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern Perusahaan, auditor eksternal, hasil pengawasan OJK dan/atau hasil pengawasan otoritas lain. Pasal 21 Anggota Dewan Komisaris Perusahaan dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan ... -16 - Perusahaan tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan d. mencampuri kegiatan operasional Perusahaan yang menjadi tanggung jawab Direksi. Pasal 22 Anggota Dewan Komisaris Perusahaan berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai Perusahaan secara lengkap dan tepat waktu. Pasal 23 Perusahaan yang memiliki aset lebih dari Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Komisaris Independen. Pasal 24 Komisaris Independen Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau pemegang saham Perusahaan, dalam Perusahaan yang sama; b. tidak pernah menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS atau menduduki jabatan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Perusahaan yang sama atau perusahaan lain yang memiliki hubungan afiliasi dengan Perusahaan tersebut dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir; c. memahami peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan; d. memiliki ... -17 - d. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi keuangan Perusahaan tempat Komisaris Independen dimaksud menjabat; e. memiliki kewarganegaraan Indonesia; dan f. berdomisili di Indonesia. Pasal 25 Komisaris Independen mempunyai tugas pokok melakukan fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan Debitur, kreditur, dan Pemangku Kepentingan lainnya. Pasal 26 (1) Komisaris Independen wajib melaporkan kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak ditemukannya: a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pembiayaan; dan/atau b. keadaan atau perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Perusahaan. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Pasal 27 Perusahaan dilarang memberhentikan Komisaris Independen karena tindakan Komisaris Independen dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 ayat (1). Pasal 28 (1) Perusahaan yang memiliki total aset lebih dari Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib membentuk komite audit. (2) Salah seorang anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Komisaris Independen yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua komite. (3) Komite ... -18 - (3) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. (4) Selain komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Komisaris Perusahaan dapat membentuk komite lain guna menunjang pelaksanaan tugas Dewan Komisaris. Pasal 29 Perusahaan yang memiliki total aset sampai dengan Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) wajib memiliki fungsi yang membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. Pasal 30 (1) Dewan Komisaris Perusahaan wajib menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. (2) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan wajib menghadiri rapat Dewan Komisaris paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah rapat Dewan Komisaris dalam periode 1 (satu) tahun. (3) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik. (4) Perbedaan ... -19 - (4) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat Dewan Komisaris wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat tersebut. (5) Anggota Dewan Komisaris Perusahaan yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat Dewan Komisaris. (6) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 31 Dewan Komisaris Perusahaan wajib menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam melaksanakan tugas. BAB VII DEWAN PENGAWAS SYARIAH Pasal 32 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS wajib memiliki DPS. (2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (3) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dalam RUPS dan dituangkan dalam akta notaris. Pasal 33 (1) DPS paling sedikit mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan nasihat dan saran kepada Direksi, mengawasi aspek syariah kegiatan operasional Perusahaan Pembiayaan Syariah atau UUS dan sebagai wakil ... -20 - wakil Perusahaan Pembiayaan Syariah atau UUS pada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimuat dalam anggaran dasar Perusahaan. Pasal 34 (1) Setiap anggota DPS Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS wajib lulus penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 35 (1) DPS dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris pada Perusahaan Pembiayaan yang sama. (2) DPS dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada lebih dari 4 (empat) lembaga keuangan syariah lainnya. Pasal 36 DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mampu untuk bertindak dengan itikad baik, jujur dan profesional; b. mampu bertindak untuk kepentingan Perusahaan Pembiayaan Syariah, UUS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; c. mendahulukan kepentingan Perusahaan Pembiayaan Syariah, UUS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya dari pada kepentingan pribadi; d. mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Perusahaan Pembiayaan ... -21 - Pembiayaan Syariah, UUS dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya; dan e. mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS. Pasal 37 DPS, Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS wajib menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan objektif. Pasal 38 (1) DPS wajib melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat serta saran kepada Direksi agar kegiatan Perusahaan Pembiayaan Syariah atau UUS sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian nasihat dan saran yang dilakukan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. kegiatan Pembiayaan Syariah; b. akad Pembiayaan Syariah yang dipasarkan oleh Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS; dan c. praktik pemasaran Pembiayaan Syariah yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS. (3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat serta saran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPS dapat dibantu oleh anggota komite dan/atau pegawai yang struktur organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris dan/atau Direksi. Pasal 39 ... -22 - Pasal 39 Anggota DPS berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS secara lengkap dan tepat waktu. Pasal 40 (1) DPS wajib menyelenggarakan rapat DPS secara berkala paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Hasil rapat DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat DPS dan didokumentasikan dengan baik. (3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam keputusan rapat DPS wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat DPS disertai alasan perbedaan pendapat tersebut. (4) Anggota DPS yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat DPS berhak menerima salinan risalah rapat Dewan Pengawas Syariah. (5) Jumlah rapat DPS yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota DPS harus dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 41 Anggota DPS dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS tempat anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada DPS dan UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat; dan c. mengambil ... -23 - c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan Pembiayaan Syariah dan UUS tempat anggota DPS dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Pasal 42 (1) Dalam hal DPS menilai terdapat kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang terkait dengan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah, DPS wajib meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah. (2) Dalam hal Direksi menolak hasil penilaian DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada OJK dan ditembuskan kepada Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak penjelasan anggota Direksi diterima oleh DPS. (3) Dalam hal Direksi menerima hasil penilaian DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPS meminta Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan anggota Direksi tersebut agar sesuai dengan Prinsip Syariah. (4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPS wajib segera melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada OJK dan ditembuskan kepada Direksi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui anggota Direksi tidak melakukan upaya perbaikan dimaksud. BAB VIII ... -24 - BAB VIII TRANSPARANSI KEPEMILIKAN SAHAM Pasal 43 Anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan wajib mengungkapkan mengenai: a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 50% (lima puluh persen) atau lebih pada Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud menjabat dan/atau pada perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; dan b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau pemegang saham Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud menjabat, kepada Perusahaan tempat anggota Direksi dimaksud menjabat dan dicantumkan dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. BAB IX AUDITOR EKSTERNAL Pasal 44 (1) Auditor eksternal Perusahaan wajib ditunjuk oleh RUPS dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris berdasarkan usulan komite audit (jika ada). (2) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai: a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium atau imbal jasa yang diusulkan untuk auditor eksternal tersebut; dan b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani oleh auditor eksternal, untuk bebas dari pengaruh Direksi, Dewan Komisaris, DPS dan pihak yang berkepentingan di Perusahaan dan kesediaan untuk memberikan informasi terkait dengan hasil auditnya kepada OJK. (3) Perusahaan ... -25 - (3) Perusahaan wajib menyediakan semua catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi auditor eksternal sehingga memungkinkan auditor eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran dan kesesuaian laporan keuangan Perusahaan dengan standar audit yang berlaku. BAB X PRAKTIK DAN KEBIJAKAN REMUNERASI Pasal 45 (1) Perusahaan wajib menerapkan kebijakan remunerasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai yang mendorong perilaku berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent behaviour) yang sejalan dengan kepentingan jangka panjang Perusahaan dan perlakuan adil terhadap Debitur, kreditur, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya. (2) Kebijakan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan paling sedikit: a. kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban Perusahaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. prestasi kerja individual; c. kewajaran dengan Perusahaan dan/atau level jabatan yang setara (peer group); dan d. pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang Perusahaan. BAB XI TATA KELOLA PEMBIAYAAN Pasal 46 (1) Perusahaan wajib menyusun kebijakan dan rencana pembiayaan yang dituangkan dalam rencana bisnis tahunan Perusahaan. (2) Kebijakan dan rencana pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. ditetapkan ... -26 - a. ditetapkan oleh Direksi; dan b. disosialisasikan kepada manajemen dan pegawai di unit kerja terkait. Pasal 47 Direksi wajib mengambil keputusan pembiayaan secara profesional dan mengoptimalkan nilai tambah kekayaan Perusahaan dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap Debitur dan kepentingan bagi Pemangku Kepentingan lainnya. Pasal 48 (1) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja atau pegawai yang bertanggung jawab: a. menyelenggarakan fungsi pemasaran, penerapan prinsip mengenal nasabah, analisis pembiayaan, pemantauan kualitas piutang penagihan, penanganan pengaduan Debitur; b. menyusun dan menerapkan standar dan prosedur operasional pembiayaan; dan c. menyusun dan menerapkan sistem dan prosedur pengendalian internal untuk memastikan bahwa proses pemberian pembiayaan dilakukan sesuai dengan kebijakan dan strategi pembiayaan, serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan. (2) Untuk melakukan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib memiliki pegawai yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang pembiayaan. Pasal 49 (1) Perusahaan dapat melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada Debitur. (2) Perusahaan harus menuangkan kerjasama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk perjanjian tertulis bermaterai. (3) Kerjasama ... pembiayaan, -27 - (3) Kerjasama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pihak lain tersebut berbentuk badan hukum; b. pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan c. pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi profesi di bidang penagihan dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi perusahaan pembiayaan Indonesia. (4) Perusahaan bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan dari kerjasama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Perusahaan wajib melakukan evaluasi secara berkala atas kerjasama dengan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XII MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 50 (1) Perusahaan wajib menerapkan manajemen risiko dengan mengidentifikasi, menilai, dan memantau risiko usaha secara efektif. (2) Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Perusahaan. Pasal 51 (1) Direksi Perusahaan wajib menetapkan pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan usaha dijalankan sesuai dengan sasaran dan strategi bisnis serta anggaran dasar dan aturan internal lain Perusahaan, dan peraturan perundang-undangan. (2) Pengendalian ... -28 - (2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut: a. lingkungan pengendalian internal dalam Perusahaan yang disiplin dan terstruktur; b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu suatu proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai, dan mengelola risiko usaha; c. aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan Perusahaan pada setiap tingkat dan unit dalam struktur organisasi Perusahaan, antara lain mengenai kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas dan keamanan terhadap aset perusahaan; d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses penyajian laporan mengenai kegiatan operasional, finansial, dan ketaatan atas peraturan perundang- undangan di bidang usaha pembiayaan; e. tata cara monitoring, yaitu proses penilaian terhadap kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi Perusahaan, sehingga dapat dilaksanakan secara optimal; dan f. mekanisme pelaporan kepada Direksi dengan tembusan kepada komite audit, dalam hal terjadi penyimpangan kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi Perusahaan. BAB XIII RENCANA BISNIS TAHUNAN Pasal 52 (1) Perusahaan wajib menyusun rencana bisnis tahunan. (2) Rencana ... -29 - (2) Rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi: a. ringkasan eksekutif; b. kebijakan dan strategi manajemen; c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan; d. penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; e. kinerja keuangan Perusahaan periode sebelumnya; f. proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan; g. proyeksi rasio-rasio dan tingkat kesehatan keuangan; h. rencana pengembangan dan pemasaran pembiayaan; i. rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor; j. rencana permodalan; k. rencana pendanaan; l. rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia; dan m. informasi lainnya. (3) Perusahaan wajib menyampaikan rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK paling lambat pada tanggal 30 Januari tahun berikutnya. (4) Perusahaan wajib menyampaikan rencana bisnis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali paling lambat tanggal 30 Januari 2016. BAB XIV KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 53 (1) Kebijakan dan strategi komunikasi Perusahaan harus memungkinkan informasi yang dibutuhkan diberikan kepada ... -30 - kepada OJK secara lengkap, tepat waktu, dan dengan cara yang efisien. (2) Perusahaan wajib memiliki sistem pelaporan keuangan yang diandalkan untuk keperluan pengawasan dan Pemangku Kepentingan lain. Pasal 54 (1) Perusahaan wajib mengungkapkan kepada OJK mengenai hal-hal penting, paling sedikit meliputi: a. pengunduran diri atau pemberhentian auditor eksternal; b. transaksi material dengan pihak terkait; c. Benturan Kepentingan yang sedang berlangsung dan/atau yang mungkin akan terjadi; dan d. informasi material lain mengenai Perusahaan. (2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. BAB XV ETIKA BISNIS Pasal 55 (1) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan Perusahaan dilarang menawarkan atau memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi pembiayaan, dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan karyawan Perusahaan dilarang menerima sesuatu untuk kepentingan pribadinya dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapapun, yang dapat mempengaruhi ... -31 - mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi pembiayaan. Pasal 56 Perusahaan wajib membuat pedoman tentang perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha, sebagai panduan bagi Organ Perusahaan dan seluruh karyawan Perusahaan. BAB XVI PELAPORAN Pasal 57 (1) Perusahaan wajib melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik secara berkala. (2) Penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 58 (1) Perusahaan wajib menyusun laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik pada setiap akhir tahun buku. (2) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat: a. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang paling sedikit meliputi pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); b. penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57; dan c. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan korektif (corrective action) yang diperlukan dan waktu penyelesaian ... -32 - penyelesaian serta kendala/hambatan penyelesaiannya, apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik diatur dalam Surat Edaran OJK. (4) Laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (5) Dalam hal tanggal 30 April sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah hari libur, maka batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah tanggal 30 April dimaksud. (6) Perusahaan wajib menyampaikan laporan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali pada periode tahun 2016, yang disampaikan paling lambat tanggal 30 April 2017. BAB XVII SANKSI Pasal 59 (1) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (4), Pasal 2 ayat (5), Pasal 2 ayat (6), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (3), Pasal 8 ayat (4), Pasal 8 ayat (5), Pasal 8 ayat (6), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 16 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 30 ayat (4), Pasal 31, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 37, Pasal ... -33 - Pasal 38 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), Pasal 40 ayat (3), Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (3), Pasal 49 ayat (5), Pasal 50 ayat (1), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (3), Pasal 52 ayat (4), Pasal 53 ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 58 ayat (4), dan/atau Pasal 58 ayat (6), Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. peringatan; dan/atau b. pelaksanaan penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (2) Sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku paling lama masing-masing 2 (dua) bulan, yaitu: a. peringatan pertama; b. peringatan kedua; dan c. peringatan ketiga. (3) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi, Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali dikenakan penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. Pasal 60 Dalam hal Perusahaan mendapatkan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat ... -34 - ayat (1) huruf a secara kumulatif sebanyak 5 (lima) kali atau lebih dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, OJK dapat meminta Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan/atau pemegang saham pengendali untuk mengikuti penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. BAB XVIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 61 Bagi Direksi Perusahaan yang telah melakukan rangkap jabatan sebagai direksi pada perusahaan lain sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dinyatakan berlaku 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 62 Bagi Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum berlakunya Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan Pasal 23, Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 58 ayat (1) dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 63 Bagi Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum berlakunya Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan dalam Peraturan ini dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan kecuali terhadap ketentuan Pasal 9 ayat (1), Pasal 23, Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 58 ayat (1). BAB XIX KETENTUAN PENUTUP Pasal 64 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Tata Kelola Yang Baik Bagi Perusahaan tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 65 ... -35 - Pasal 65 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 365 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 30/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title> <set_date> 19 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XVII' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /POJK.04/2015 TENTANG PENAWARAN TENDER SUKARELA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai penawaran tender sukarela beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terkait penawaran tender sukarela, maka peraturan mengenai Penawaran Tender Sukarela yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka perlu diterbitkan peraturan mengenai Penawaran Tender Sukarela dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENAWARAN TENDER SUKARELA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Efek Bersifat Ekuitas adalah saham atau Efek yang dapat ditukar dengan saham atau Efek yang mengandung hak untuk memperoleh saham. 2. Media Massa adalah surat kabar, majalah, film, televisi, radio, dan media elektronik lainnya, atau surat, brosur, dan barang cetak lain yang dibagikan kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak. 3. Penawaran Tender Sukarela adalah penawaran yang dilakukan secara sukarela oleh Pihak untuk memperoleh Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan oleh Perusahaan Sasaran dengan cara pembelian atau pertukaran dengan Efek lainnya melalui Media Massa. 4. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela. 5. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan - 3 - Publik. 6. Perusahaan Sasaran adalah Perusahaan Terbuka yang Efek Bersifat Ekuitasnya merupakan obyek dari Penawaran Tender Sukarela. Pasal 2 Transaksi dalam rangka Penawaran Tender Sukarela dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar Bursa Efek. BAB II PERNYATAAN PENAWARAN TENDER SUKARELA Pasal 3 Pihak yang akan melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib menyampaikan Pernyataan Penawaran Tender Sukarela kepada Otoritas Jasa Keuangan, serta ditembuskan kepada: a. Bursa Efek dimana Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela dicatatkan; b. Perusahaan Sasaran; dan c. Pihak lain yang telah menyampaikan pengumuman Penawaran Tender Sukarela atas Efek Bersifat Ekuitas dari Perusahaan Sasaran yang sama yang masa penawarannya belum berakhir. Pasal 4 Pernyataan Penawaran Tender Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib memuat hal-hal sebagai berikut: a. nama dan alamat Perusahaan Sasaran; b. uraian lengkap mengenai Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela yang paling sedikit memuat informasi tentang: 1) harga Penawaran Tender Sukarela; 2) waktu pelaksanaan Penawaran Tender Sukarela; dan 3) tata cara Penawaran Tender Sukarela; c. persyaratan serta kondisi khusus dari Penawaran Tender Sukarela; - 4 - d. nama Bursa Efek dimana Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela diperdagangkan; e. hasil penghitungan harga Efek Bersifat Ekuitas; f. nama, alamat, dan kewarganegaraan dari Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dan Afiliasinya sehubungan dengan Penawaran Tender Sukarela, dan keterangan apakah Pihak tersebut: 1) pernah dinyatakan pailit; 2) pernah menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; 3) pernah dihukum karena melakukan kejahatan di bidang keuangan; atau 4) pernah diperintahkan oleh pengadilan atau lembaga yang berwenang untuk menghentikan kegiatan usahanya yang berhubungan dengan Efek; g. penjelasan tentang hubungan, kontrak, dan transaksi material dengan Perusahaan Sasaran atau Afiliasinya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir yang dilakukan oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela, paling sedikit meliputi: 1) kontrak penjualan atau pembelian; 2) hubungan keagenan; dan 3) hubungan kepengurusan; h. pernyataan Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela tentang tersedianya dana yang cukup untuk menyelesaikan Penawaran Tender Sukarela yang didukung dengan pendapat dari Akuntan, bank, atau Perusahaan Efek; i. pernyataan tentang tujuan Penawaran Tender Sukarela dan setiap rencana atas Perusahaan Sasaran setelah Penawaran Tender Sukarela selesai dilaksanakan. j. penjelasan tentang jumlah dan persentase Efek Perusahaan Sasaran yang dimiliki baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela termasuk opsi untuk membeli atau hak - 5 - untuk memperoleh dividen atau manfaat lain serta kuasa untuk menggunakan hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Sasaran; k. daftar nama dan alamat Pihak yang diberi imbalan oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela untuk membuat pembelaan atau rekomendasi sehubungan dengan penawaran tersebut (jika ada); l. penjelasan tentang persetujuan atau persyaratan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang wajib dipenuhi sehubungan dengan Penawaran Tender Sukarela (jika ada); dan m. informasi tambahan yang diperlukan agar pernyataan dalam Penawaran Tender Sukarela tidak menyesatkan. Pasal 5 (1) Seluruh informasi yang dimuat dalam Pernyataan Penawaran Tender Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib diumumkan dalam paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah satu diantaranya berperedaran nasional, pada tanggal yang bersamaan dengan penyampaian Pernyataan Penawaran Tender Sukarela kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Disamping kewajiban mengumumkan dalam surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 juga dapat diumumkan dalam Media Massa yang lain. Pasal 6 Penawaran Tender Sukarela tidak dapat dibatalkan setelah pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), kecuali memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 Pernyataan Penawaran Tender Sukarela dapat menjadi efektif dengan ketentuan sebagai berikut: a. atas dasar lewatnya waktu, yakni: 1) 15 (lima belas) hari sejak tanggal Pernyataan - 6 - Penawaran Tender Sukarela diterima Otoritas Jasa Keuangan secara lengkap, yaitu telah memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; atau 2) 15 (lima belas) hari sejak tanggal perubahan terakhir yang disampaikan Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela atau yang diminta Otoritas Jasa Keuangan dipenuhi; atau b. atas dasar pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada lagi perubahan dan/atau tambahan informasi lebih lanjut yang diperlukan. Pasal 8 Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib mengumumkan perbaikan dan/atau tambahan atas Pernyataan Penawaran Tender Sukarela paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah efektifnya Pernyataan Penawaran Tender Sukarela (jika ada). BAB III PERNYATAAN PERUSAHAAN SASARAN DAN PIHAK LAINNYA SEHUBUNGAN DENGAN PENAWARAN TENDER SUKARELA Pasal 9 Perusahaan Sasaran, Afiliasi dari Perusahaan Sasaran, Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela atas Efek Bersifat Ekuitas yang sama pada waktu yang bersamaan, atau Pihak yang mengungkapkan informasi atau pendapat terhadap suatu Penawaran Tender Sukarela, dapat membuat pernyataan tertulis untuk mendukung atau keberatan atas Penawaran Tender Sukarela tersebut. Pasal 10 Dalam hal anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris dari Perusahaan Sasaran mengetahui atau mempunyai alasan yang cukup bahwa informasi yang dimuat dalam Pernyataan Penawaran Tender Sukarela tidak benar atau menyesatkan, - 7 - Perusahaan Sasaran yang bersangkutan wajib membuat pernyataan tertulis. Pasal 11 Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 wajib diumumkan dalam paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah 1 (satu) diantaranya berperedaran nasional, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum berakhirnya masa Penawaran Tender Sukarela. Pasal 12 Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 wajib: a. menunjukkan dengan jelas hal-hal yang merupakan dukungan atau keberatan dan/atau bantahan serta alasan-alasannya; b. mencantumkan dalam pernyataannya tersebut, nama, alamat, dan hubungan dengan Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela; dan c. mengungkapkan secara jelas kepemilikan atas Efek Bersifat Ekuitas oleh Pihak yang bersangkutan yang menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela atau perubahan kepentingan atas Efek Bersifat Ekuitas yang akan terjadi karena adanya Penawaran Tender Sukarela. BAB IV HARGA EFEK BERSIFAT EKUITAS YANG MENJADI OBYEK PENAWARAN TENDER SUKARELA Pasal 13 Untuk objek Penawaran Tender Sukarela berupa saham dan/atau waran, harga Penawaran Tender Sukarela atas saham dan/atau waran kecuali ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan, harus lebih tinggi dari harga berikut: a. harga Penawaran Tender Sukarela tertinggi yang diajukan sebelumnya oleh Pihak yang sama dalam jangka waktu - 8 - 180 (seratus delapan puluh) hari sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); b. harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dalam hal Penawaran Tender Sukarela dilakukan atas saham dan/atau waran Perusahaan Sasaran yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek; c. harga rata-rata dari harga tertinggi pada perdagangan harian di Bursa Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atas saham dimaksud, dalam hal saham dan/atau waran Perusahaan Sasaran tidak diperdagangkan di Bursa Efek dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); atau d. harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai, dalam hal Penawaran Tender Sukarela dilakukan atas saham dan/atau waran Perusahaan Sasaran yang tidak tercatat di Bursa Efek. Pasal 14 Dalam hal objek Penawaran Tender Sukarela berupa surat utang yang dapat ditukar dengan saham, harga Penawaran Tender Sukarela harus lebih tinggi dari harga Efek dimaksud yang telah ditetapkan pada saat penerbitan. Pasal 15 Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat melakukan perubahan harga Penawaran Tender Sukarela, sepanjang perubahan harga tersebut tidak lebih rendah dari harga yang telah diumumkan. Pasal 16 Perubahan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 hanya dapat dilakukan sebelum efektifnya Pernyataan - 9 - Penawaran Tender Sukarela. BAB V PELAKSANAAN PENAWARAN TENDER SUKARELA Pasal 17 (1) Masa Penawaran Tender Sukarela wajib dimulai paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah Pernyataan Penawaran Tender Sukarela menjadi efektif. (2) Masa Penawaran Tender Sukarela adalah paling singkat 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama menjadi 90 (sembilan puluh) hari, kecuali disetujui lain oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 18 Transaksi Penawaran Tender Sukarela wajib diselesaikan paling lambat dalam waktu 12 (dua belas) hari setelah masa penawaran berakhir dengan penyerahan uang atau penyerahan Efek sebagai penukarnya. Pasal 19 Dalam hal persyaratan atau kondisi khusus yang ditetapkan dalam Penawaran Tender Sukarela tidak dipenuhi, Efek yang ditawarkan wajib dikembalikan dalam waktu paling lambat 12 (dua belas) hari setelah masa Penawaran Tender berakhir. Pasal 20 Dalam hal Penawaran Tender Sukarela dibatalkan, Efek yang ditawarkan wajib dikembalikan dalam waktu paling lambat 12 (dua belas) hari setelah pembatalan. Pasal 21 Dalam hal Penawaran Tender Sukarela dilaksanakan melalui penukaran Efek Perusahaan Sasaran dengan Efek lain, Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib memberikan pilihan untuk menerima Efek lain tersebut atau uang dalam jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 - 10 - atau Pasal 14. Pasal 22 (1) Dengan memperhatikan batasan masa Penawaran Tender Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), setiap masa perpanjangan Penawaran Tender Sukarela wajib dilaksanakan paling singkat 15 (lima belas) hari dan diumumkan dalam waktu 2 (dua) hari sebelum masa perpanjangan dimulai. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimuat dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah satu di antaranya berperedaran nasional dan mencantumkan jumlah penawaran Efek yang sudah diterima sampai dengan masa perpanjangan dimulai. Pasal 23 Dalam hal jumlah Efek Bersifat Ekuitas yang ditawarkan untuk dijual atau ditukar melebihi jumlah Efek Bersifat Ekuitas yang ditetapkan dalam Penawaran Tender Sukarela, Pihak yang melaksanakan Penawaran Tender Sukarela wajib melakukan penjatahan secara proporsional sebanding dengan partisipasi setiap Pihak yang melakukan penjualan atau penukaran dalam Penawaran Tender Sukarela tersebut dengan memperhatikan satuan perdagangan yang berlaku di Bursa Efek tanpa pecahan. Pasal 24 Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib menunjuk Akuntan untuk melakukan pemeriksaan khusus mengenai kewajaran pelaksanaan penjatahan dan wajib menyampaikan laporannya kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penjatahan berakhir. Pasal 25 Pihak yang akan menjual Efek Bersifat Ekuitas sehubungan dengan Penawaran Tender Sukarela wajib menyerahkan Efek - 11 - tersebut kepada Kustodian yang ditunjuk oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dan dapat menarik kembali Efek tersebut setiap saat sebelum Penawaran Tender Sukarela berakhir. Pasal 26 (1) Dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2), perubahan persyaratan Penawaran Tender Sukarela hanya dapat dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum Penawaran Tender Sukarela berakhir. (2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah satu diantaranya berperedaran nasional dan disampaikan kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 pada waktu yang bersamaan dengan pengumuman tersebut. Pasal 27 Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dilarang membeli atau menjual Efek Bersifat Ekuitas yang sedang ditawarkan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sebelum penerbitan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan masa Penawaran Tender Sukarela berakhir. Pasal 28 (1) Formulir Penawaran Tender Sukarela hanya dapat dibagikan setelah Pernyataan Penawaran Tender Sukarela efektif. (2) Formulir Penawaran Tender Sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat pernyataan bahwa Pihak yang menawarkan Efek Bersifat Ekuitas telah menerima dan membaca Pernyataan Penawaran Tender Sukarela. Pasal 29 Dalam masa Penawaran Tender Sukarela, Pihak yang - 12 - melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat melakukan pengumuman ulang atas Pernyataan Penawaran Tender Sukarela yang diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 30 Perusahaan Sasaran dilarang melakukan transaksi yang semata-mata dilaksanakan dengan tujuan menghalangi perubahan pengendalian Perusahaan Sasaran dimaksud sebagai akibat pelaksanaan Penawaran Tender Sukarela dalam jangka waktu sejak pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan masa Penawaran Tender Sukarela berakhir. Pasal 31 Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dan Afiliasinya wajib merahasiakan rencana Penawaran Tender Sukarela sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 32 Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dilarang menetapkan pembatasan dan persyaratan yang berbeda berdasarkan penggolongan atau kedudukan Pihak yang menjadi pemegang Efek Bersifat Ekuitas, kecuali apabila terdapat perbedaan hak atau manfaat yang melekat pada Efek Bersifat Ekuitas dimaksud. Pasal 33 Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat membuat rencana mengenai kelangsungan atau perubahan manajemen perusahaan dan karyawan setelah Penawaran Tender Sukarela, sepanjang hal tersebut tidak merupakan persyaratan Penawaran Tender Sukarela, dan diungkapkan seluruhnya dalam Pernyataan Penawaran Tender Sukarela. BAB VI PELAPORAN HASIL PENAWARAN TENDER SUKARELA - 13 - Pasal 34 Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib melaporkan hasil dari Penawaran Tender Sukarela tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penyelesaian Penawaran Tender Sukarela berakhir. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 35 Bukti iklan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 26 ayat (2) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah iklan tersebut dimuat di surat kabar. BAB VIII KETENTUAN SANKSI Pasal 36 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 14 - huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, d, e, f, atau g. Pasal 37 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 38 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 kepada masyarakat. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-263/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011 tentang Penawaran Tender Sukarela beserta Peraturan Nomor IX.F.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 40 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 15 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 405 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /POJK.04/2015 TENTANG PENAWARAN TENDER SUKARELA I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK yaitu Peraturan Nomor IX.F.1, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-263/BL/2011 tentang Penawaran Tender Sukarela tanggal 31 Mei 2003. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “Transaksi di luar Bursa Efek” adalah transaksi yang dilaksanakan antara pembeli dan penjual secara langsung. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Akuntan adalah Akuntan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Pasar Modal. Huruf i Contoh tujuan dan rencana atas Perusahaan Sasaran setelah Penawaran Tender Sukarela selesai dilaksanakan antara lain rencana untuk mengubah struktur modal, kebijakan dividen, atau mengubah manajemen. - 3 - Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. - 4 - Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Akuntan adalah Akuntan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Pasar Modal. Pasal 25 Cukup jelas. - 5 - Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. - 6 - Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5823
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 54/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PENAWARAN TENDER SUKARELA </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-263/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011', 'KEP-263/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 | Lampiran Peraturan IX.F.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALSINAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 33 /POJK.04/2015 TENTANG BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk meningkatkan kualitas keterbukaan informasi dalam Prospektus dalam rangka penambahan modal Perusahaan Terbuka dengan memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia - 2 - Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain. 2. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. 3. Kelompok Usaha Perusahaan Terbuka adalah Perusahaan Terbuka dan semua perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Perusahaan Terbuka. 4. Pembeli Siaga adalah Pihak yang akan membeli baik sebagian maupun seluruh sisa saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh pemegang HMETD. 5. Waran adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu Perusahaan Terbuka yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham dari Perusahaan - 3 - Terbuka tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam) bulan atau lebih sejak Efek dimaksud diterbitkan. 6. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Perusahaan Terbuka. Pasal 2 (1) Prospektus dalam rangka penambahan modal dengan memberikan HMETD wajib memuat rincian Informasi atau Fakta Material mengenai HMETD dan informasi dan/atau keterangan yang dapat mempengaruhi keputusan pemodal, yang diketahui atau layak diketahui oleh Perusahaan Terbuka. (2) Prospektus dilarang memuat keterangan yang tidak benar tentang Fakta Material atau tidak memuat keterangan yang benar tentang Fakta Material yang diperlukan agar Prospektus tersebut tidak memberikan gambaran yang menyesatkan. (3) Prospektus harus dibuat sedemikian rupa sehingga jelas dan komunikatif. (4) Penyajian dan penyampaian informasi penting dalam Prospektus tidak dikaburkan dengan informasi yang kurang penting yang mengakibatkan informasi penting tersebut terlepas dari perhatian pembaca. (5) Fakta dan pertimbangan-pertimbangan yang paling penting harus dibuat ringkasannya dan diungkapkan pada bagian awal Prospektus. (6) Pengungkapan Informasi atau Fakta Material dan/atau penggunaan foto, diagram, dan/atau tabel dalam Prospektus dilarang memberikan gambaran yang menyesatkan. (7) Pengungkapan atas Informasi atau Fakta Material dalam Prospektus harus dilakukan secara jelas dengan penekanan yang sesuai dengan bidang usaha atau sektor industrinya sehingga Prospektus tidak menyesatkan. - 4 - Pasal 3 Dalam menyusun Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Perusahaan Terbuka dapat melakukan penyesuaian atas pengungkapan Informasi atau Fakta Material tidak terbatas hanya pada Informasi atau Fakta Material yang telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 4 Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Terbuka pada waktu Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif, Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal atau Pihak lain yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya dimuat dalam Prospektus, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, wajib bertanggung jawab bahwa Prospektus telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2). Pasal 5 (1) Perusahaan Terbuka harus mengungkapkan seluruh bagian yang terdapat dalam Prospektus dan menyusun Prospektus sesuai urutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pengungkapan seluruh bagian yang terdapat dalam Prospektus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan, jika pengungkapan tersebut tidak relevan atau tidak dapat diterapkan oleh Perusahaan Terbuka. BAB II BENTUK PROSPEKTUS Pasal 6 Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus paling sedikit memuat bagian-bagian sebagai berikut: a. Informasi pada bagian kulit muka Prospektus; b. Daftar isi; c. Ringkasan Prospektus; d. Penawaran Umum; - 5 - e. Penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum; f. g. Pernyataan utang; Ikhtisar data keuangan penting; h. Analisis dan pembahasan oleh manajemen; i. Faktor risiko; j. Kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan; k. Keterangan tentang Perusahaan Terbuka, kegiatan usaha, serta kecenderungan dan prospek usaha; Ekuitas; l. m. Kebijakan dividen; n. Perpajakan; o. Keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka (jika ada); p. Keterangan tentang Perwaliamanatan, dalam hal penerbitan HMETD untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; q. Keterangan tentang penanggung, dalam hal penerbitan HMETD untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; r. Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal serta profesi lain; s. Tata cara pemesanan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; dan t. Penyebarluasan Prospektus dan formulir pemesanan pembelian saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya. BAB III ISI PROSPEKTUS Bagian Pertama Informasi Pada Bagian Kulit Muka Prospektus Pasal 7 Informasi pada bagian luar kulit muka Prospektus harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: - 6 - a. tanggal Rapat Umum Pemegang Saham; b. tanggal efektif Pernyataan Pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan; c. tanggal daftar pemegang saham yang berhak memperoleh HMETD; d. tanggal distribusi sertifikat HMETD; e. tanggal terakhir pelaksanaan HMETD dan tanggal terakhir pembayaran saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dalam pelaksanaan HMETD; f. periode perdagangan HMETD; g. tanggal pembayaran pemesanan tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; h. tanggal penjatahan pemesanan tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; i. tanggal pengembalian uang pemesanan pembelian tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; j. tanggal pembayaran penuh oleh Pembeli Siaga (jika ada); k. nama lengkap Perusahaan Terbuka, alamat, logo (jika ada), nomor telepon/faksimili, surat elektronik, Situs Web, dan kotak pos (jika ada) termasuk pabrik dan kantor perwakilan (jika ada), serta kegiatan usaha utama dari Perusahaan Terbuka; l. uraian mengenai Efek yang diterbitkan dalam pelaksanaan HMETD paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. rasio HMETD atas saham; 2. jumlah dan nilai nominal saham baru dalam Penawaran Umum untuk penambahan modal dengan memberikan HMETD; 3. harga saham baru dalam pelaksanaan HMETD; 4. total nilai Penawaran Umum; dan 5. hasil pemeringkatan Efek bersifat utang yang dapat dikonversi menjadi saham dan nama Pemeringkat Efek jika penambahan modal dengan memberikan HMETD dilakukan melalui pembelian Efek bersifat utang yang dapat dikonversi menjadi saham; - 7 - m. bentuk dan jumlah objek penyetoran dalam hal penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang; n. informasi bahwa HMETD yang tidak dilaksanakan pada tanggal terakhir pelaksanaan HMETD tidak berlaku lagi; o. uraian mengenai perlakuan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam penambahan modal dengan memberikan HMETD yang tidak diambil oleh yang berhak; p. uraian mengenai perlakuan HMETD dalam bentuk pecahan; q. nama Bursa Efek tempat dicatatkan dan diperdagangkannya HMETD dan saham atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang mendasarinya (jika ada); r. pernyataan berikut dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca: “OTORITAS JASA KEUANGAN TIDAK MEMBERIKAN PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI EFEK INI, TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU KECUKUPAN ISI PROSPEKTUS INI. SETIAP PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL– HAL TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR HUKUM” “PROSPEKTUS INI PENTING DAN PERLU MENDAPAT PERHATIAN SEGERA. APABILA TERDAPAT KERAGUAN PADA TINDAKAN YANG AKAN DIAMBIL, SEBAIKNYA BERKONSULTASI DENGAN PIHAK YANG KOMPETEN”; s. pernyataan dalam huruf kapital bahwa Perusahaan Terbuka bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran semua informasi dan kejujuran pendapat yang diungkapkan dalam Prospektus sebagai berikut: “EMITEN BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN SEMUA INFORMASI, FAKTA, DATA, ATAU LAPORAN DAN KEJUJURAN PENDAPAT YANG TERCANTUM DALAM PROSPEKTUS INI”; t. pernyataan singkat dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca mengenai risiko utama yang dihadapi Perusahaan Terbuka; - 8 - u. pernyataan singkat dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca tentang dampak dilusi dari penerbitan saham baru; v. pernyataan yang menyatakan pemegang saham utama akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan menerima pengalihan HMETD (jika ada); w. nama lengkap Pihak yang bertindak sebagai Pembeli Siaga/calon Pengendali (jika ada); dan x. tempat dan tanggal Prospektus diterbitkan. Pasal 8 Informasi pada bagian dalam kulit muka Prospektus harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. keterangan bahwa Pernyataan Pendaftaran telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal; b. pernyataan bahwa semua Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal yang disebut dalam Prospektus bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan sesuai dengan fungsi dan kedudukan mereka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal, dan kode etik, norma, serta standar profesi masing-masing; c. pernyataan bahwa sehubungan dengan Penawaran Umum, setiap Pihak terafiliasi dilarang untuk memberikan keterangan atau pernyataan mengenai data yang tidak diungkapkan dalam Prospektus, tanpa persetujuan tertulis dari Perusahaan Terbuka; dan d. dalam hal Prospektus mencantumkan nama pihak yang membantu Perusahaan Terbuka dalam penyusunan Prospektus, pihak dimaksud harus membuat pernyataan bahwa telah memberikan persetujuan tertulis mengenai pencantuman nama pihak tersebut dalam Prospektus dan tidak mencabut persetujuan tersebut. - 9 - Bagian Kedua Daftar Isi Pasal 9 Daftar isi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b harus meliputi uraian mengenai bagian dan halaman. Bagian Ketiga Ringkasan Prospektus Pasal 10 Dalam bagian ringkasan Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan informasi penting sebagai berikut: a. keterangan tentang HMETD dan Efek lain yang menyertainya (jika ada); b. rencana penggunaan dana hasil Penawaran Umum; c. data keuangan penting; d. risiko usaha; dan e. kebijakan dividen. Bagian Keempat Penawaran Umum Pasal 11 Dalam bagian Penawaran Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. uraian mengenai Rapat Umum Pemegang Saham yang menyetujui penambahan modal dengan memberikan HMETD; b. keterangan tentang HMETD yang paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. uraian mengenai Efek yang diterbitkan dari pelaksanaan HMETD paling sedikit memuat atau mengungkapkan: - 10 - a) tanggal daftar pemegang saham yang berhak memperoleh HMETD; b) jumlah, jenis, dan nilai nominal saham baru dalam Penawaran Umum untuk penambahan modal dengan memberikan HMETD; c) rasio HMETD atas saham; d) harga saham baru dalam pelaksanaan HMETD; dan e) total nilai Penawaran Umum. 2. uraian mengenai tata cara pengalihan HMETD; 3. uraian mengenai perlakuan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam penambahan modal dengan memberikan HMETD yang tidak diambil oleh yang berhak; 4. uraian mengenai HMETD dalam bentuk pecahan; 5. tata cara penerbitan dan penyampaian bukti HMETD serta saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; 6. kriteria penerima dan pemegang HMETD yang berhak; 7. perdagangan HMETD; 8. bentuk sertifikat HMETD (jika ada); 9. pemecahan sertifikat bukti HMETD (jika ada); dan 10. nilai teoretis HMETD. c. uraian mengenai penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang (jika ada) yang paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. keterangan tentang objek penyetoran; 2. ringkasan hasil penilaian dari Penilai paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a) identitas Pihak; b) Objek Penilaian; c) tujuan penilaian; d) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas; e) Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian; f) kesimpulan nilai; dan g) pendapat kewajaran atas transaksi penyetoran. - 11 - d. dalam hal terdapat Waran yang menyertai penambahan modal dengan memberikan HMETD, Perusahaan Terbuka harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. rasio Waran dengan saham yang akan diterbitkan; 2. tanggal dimulai dan tanggal diakhirinya pelaksanaan Waran; 3. harga saham baru dalam pelaksanaan Waran; 4. nilai terakhir, jika Waran tidak dilaksanakan; 5. informasi tentang Waran yang bersifat tetap atau yang tergantung pada suatu kondisi (jika ada); 6. perubahan rasio Waran sebagai akibat pemecahan nilai nominal saham atau penggabungan nilai nominal saham; dan 7. faktor-faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi likuiditas Waran termasuk perkiraan jumlah pemegang Waran, likuiditas saham yang mendasarinya, serta rencana pencatatan di Bursa Efek (jika ada); e. hak pemegang saham yaitu hak atas dividen, HMETD, dan hak-hak lain termasuk batasan dan/atau kualifikasi atas hak tersebut (jika ada) dan pengaruhnya terhadap hak-hak pemegang saham; f. dalam hal saham dan/atau Efek bersifat Ekuitas lainnya yang akan diterbitkan dalam pelaksanaan HMETD, Waran, atau konversi Efek utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham tidak mempunyai sifat yang sama dengan saham yang telah ada, uraian mengenai saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dimaksud dengan penjelasan perbedaan sifat dan alasan perbedaan tersebut harus diungkapkan; g. dalam hal saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang akan diterbitkan memiliki sifat yang sama dengan saham yang dicatatkan di Bursa Efek, paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. historis kinerja saham di Bursa Efek yang berisi harga tertinggi, harga terendah, dan total volume perdagangan, setiap bulan dalam periode 12 (dua - 12 - belas) bulan terakhir sebelum Pernyataan Pendaftaran disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan 2. informasi mengenai penghentian perdagangan saham Perusahaan Terbuka yang terjadi dalam 3 (tiga) tahun terakhir, atau sejak dicatatkan jika dicatatkan kurang dari 3 (tiga) tahun di Bursa Efek (jika ada). h. pernyataan yang menyatakan pemegang saham utama akan melaksanakan atau tidak melaksanakan HMETD yang dimiliki dan informasi nama pihak yang akan menerima pengalihan HMETD (jika ada); i. pengungkapan dalam bentuk tabel struktur modal saham pada waktu Prospektus diterbitkan harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. modal dasar, modal ditempatkan, dan disetor penuh yang meliputi jumlah saham, nilai nominal, dan jumlah nilai nominal atau jumlah dan nilai saham dalam hal saham tanpa nilai nominal; 2. rincian kepemilikan saham oleh pemegang saham yang memiliki 5% (lima persen) atau lebih, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris yang meliputi jumlah saham, jumlah nilai nominal dan persentase atau jumlah, nilai saham dan persentase dalam hal saham tanpa nilai nominal; dan 3. saham dalam simpanan (portepel), yang mencakup jumlah saham dan nilai nominal atau jumlah dan nilai saham dalam hal saham tanpa nilai nominal; j. keterangan tentang rencana Perusahaan Terbuka untuk mengeluarkan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal efektif (jika ada); k. keterangan tentang jumlah dan persentase saham yang akan dicatatkan pada Bursa Efek serta pembatasan- pembatasan atas pencatatan saham (jika ada); - 13 - l. keterangan mengenai jumlah, nilai perolehan, dan nilai nominal saham Perusahaan Terbuka yang dimiliki oleh Perusahaan Terbuka sendiri (jika ada); dan m. pengungkapan persetujuan yang diterima dari pihak- pihak yang berwenang atas rencana penerbitan HMETD (jika ada). Pasal 12 Dalam rangka penerbitan HMETD untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham, Perusahaan Terbuka harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. hak para pemegang Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; b. c. sifat Efek bersifat utang yang dapat dikonversikan menjadi saham; sifat Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham yang memungkinkan pelunasan lebih dini atas pilihan Perusahaan Terbuka atau pemegang Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; d. harga dan tingkat suku bunga dari Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham; e. jadwal pelunasan atau cicilan termasuk jumlahnya; f. jadwal pembayaran bunga; g. jadwal konversi Efek bersifat utang menjadi saham; h. hasil pemeringkatan Efek bersifat utang yang dapat dikonversi menjadi saham dan nama Perusahaan Pemeringkat Efek; i. ketentuan tentang dana pelunasan (jika ada); j. mata uang yang menjadi denominasi utang dan mata uang lain yang menjadi alternatif (jika ada) digunakan dalam penerbitan Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham dimaksud (jika ada); k. ringkasan tentang setiap tuntutan atas aset dari Perusahaan Terbuka yang dijadikan agunan untuk Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham yang ditawarkan; - 14 - l. pernyataan tentang dicatatkan atau tidaknya Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham di Bursa Efek; dan m. jumlah dan persentase Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham, dalam hal Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham sebagaimana dimaksud pada huruf l dicatatkan di Bursa Efek. Bagian Kelima Penggunaan Dana yang Diperoleh dari Hasil Penawaran Umum Dalam Rangka Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan HMETD Pasal 13 Dalam bagian penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. keterangan tentang penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum setelah dikurangi dengan biaya- biaya dibuat secara rinci seperti pengembangan sarana yang ada, diversifikasi, penambahan modal kerja dan sebagainya dengan ketentuan: 1. dalam hal penggunaan dana untuk tujuan pembayaran utang baik seluruhnya atau sebagian, informasi yang harus diungkapkan meliputi keterangan mengenai kreditur, sifat hubungan Afiliasi dengan kreditur (jika ada), nilai pinjaman atau jumlah utang saat ini jika dibayar sebagian, tingkat bunga, jatuh tempo, penggunaan pinjaman dari utang yang akan dilunasi, riwayat utang, prosedur dan persyaratan pelunasan atau pembayaran, saldo utang jika dibayar sebagian dan pelunasan lebih awal (jika ada); 2. dalam hal penggunaan dana untuk tujuan pembelian saham atau akuisisi atau penyertaan dalam perusahaan lain, informasi yang harus - 15 - diungkapkan meliputi uraian singkat mengenai alasan dan pertimbangan dilakukannya pembelian saham atau akuisisi atau penyertaan dalam perusahaan lain, nama pihak penjual, kegiatan usaha dari perusahaan lain yang sahamnya akan dibeli dan status dari pembelian saham atau akuisisi atau penyertaan dalam perusahaan lain tersebut, serta sifat hubungan Afiliasi (jika ada); 3. dalam hal penggunaan dana untuk tujuan memperoleh aset secara langsung atau tidak langsung di luar Kegiatan Usaha Utama Perusahaan Terbuka, informasi yang harus diungkapkan meliputi alasan dan pertimbangan dilakukannya pembelian aset, jumlah dana yang digunakan, dan jenis aset, nama pihak penjual serta sifat hubungan Afiliasi-nya dengan Perusahaan Terbuka (jika ada); dan/atau 4. dalam hal penggunaan dana untuk tujuan pemberian pinjaman kepada Perusahaan Anak, informasi yang harus diungkapkan meliputi nama Perusahaan Anak dan tujuan penggunaan dana oleh Perusahaan Anak. b. keterangan mengenai sumber dana lain yang akan digunakan untuk membiayai suatu kegiatan apabila dana hasil Penawaran Umum tidak mencukupi. c. dalam hal Penawaran Umum untuk penambahan modal dengan memberikan HMETD tidak terdapat Pembeli Siaga atau Pembeli Siaga hanya berkomitmen untuk mengambil sebagian sisa saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang tidak diambil oleh pemegang saham atau pemegang HMETD, paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. urutan prioritas penggunaan dana apabila dana yang diperoleh tidak mencukupi untuk mendanai seluruh rencana penggunaan dana; dan - 16 - 2. risiko dan rencana manajemen dalam hal dana yang diperoleh dari Penawaran Umum tidak sesuai rencana. d. informasi tentang perkiraan rincian biaya yang dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka dalam rangka Penawaran Umum baik dalam bentuk persentase tertentu atau nilai absolut dalam denominasi mata uang dibandingkan dengan total nilai Penawaran Umum, yang paling sedikit meliputi: 1. biaya jasa Profesi Penunjang Pasar Modal; 2. biaya jasa Lembaga Penunjang Pasar Modal; 3. biaya jasa konsultasi keuangan; dan 4. biaya lain-lain. e. uraian tentang sisa penggunaan dana hasil Penawaran Umum sebelumnya secara terperinci dan alasan belum terealisasinya sisa penggunaan dana tersebut (jika ada). Pasal 14 (1) Dalam hal terdapat Pihak yang melakukan penyetoran modal dalam bentuk selain uang yang dapat mengakibatkan Pihak tersebut menjadi Pengendali baru Perusahaan Terbuka dan meningkatkan ekuitas Perusahaan Terbuka sebesar 100% (seratus persen) atau lebih, Prospektus harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. dalam hal setoran modal berbentuk saham perusahaan lain, informasi yang harus dimuat atau diungkapkan paling sedikit: 1) laporan keuangan perusahaan lain tersebut; 2) informasi keuangan proforma yang diperiksa Akuntan; 3) informasi tentang faktor risiko; 4) keterangan tentang perusahaan lain tersebut; 5) kegiatan dan prospek usaha, dan 6) pendapat dari segi hukum perusahaan lain tersebut; dan/atau - 17 - b. dalam hal setoran modal berbentuk aset, informasi yang harus diungkapkan berupa keterangan mengenai aset tersebut serta risiko dan prospek usaha atas penggunaan aset tersebut. (2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bagian tersendiri pada Prospektus. Bagian Keenam Pernyataan Utang Pasal 15 Dalam bagian pernyataan utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. pernyataan mengenai posisi seluruh liabilitas pada tanggal laporan keuangan terakhir; b. laporan keuangan terakhir yang telah diaudit yang menjadi sumber data termasuk nama Kantor Akuntan Publik yang mengaudit disertai opini yang diberikan; c. penjelasan rincian masing-masing liabilitas sesuai dengan liabilitas di laporan posisi keuangan; d. komitmen dan kontijensi sesuai laporan keuangan terakhir; e. liabilitas yang telah jatuh tempo tetapi belum dapat dilunasi (jika ada) dan disertai penyebab atau alasannya; f. pinjaman yang diterima oleh Perusahaan Terbuka dan/atau Perusahaan Anak, dan/atau pinjaman yang diterima untuk kepentingan Perusahaan Terbuka dan/atau Perusahaan Anak yang material, yang mencakup jumlah pinjaman untuk tanggal terkini yang dapat ditentukan, tingkat bunga, sifat dari pinjaman, jenis jaminan yang diberikan, pemenuhan terhadap ketentuan terkait liabilitas atas pinjaman dan transaksi yang menyebabkan terjadinya liabilitas; dan g. pernyataan manajemen. - 18 - Pasal 16 Pengungkapan pernyataan manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf g sebagai berikut: a. seluruh liabilitas Perusahaan Terbuka per tanggal laporan keuangan terakhir telah diungkapkan di Prospektus; b. ada atau tidak adanya fakta material yang mengakibatkan perubahan signifikan pada: 1. liabilitas dan/atau perikatan setelah tanggal laporan keuangan terakhir sampai dengan tanggal laporan Akuntan; dan 2. liabilitas dan/atau perikatan setelah tanggal laporan Akuntan sampai dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dalam uraian secara rinci mengenai fakta material dan perubahan signifikan yang terjadi pada liabilitas dimaksud; c. kesanggupan manajemen untuk menyelesaikan seluruh liabilitas Perusahaan Terbuka sebagaimana dimaksud pada huruf a; d. ada atau tidak adanya pelanggaran atas persyaratan dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh Perusahaan Terbuka atau Perusahaan Anak dalam Kelompok Usaha Perusahaan Terbuka yang berdampak material terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Terbuka, beserta penjelasan mengenai persyaratan dalam perjanjian kredit yang dilanggar, dan tindakan yang telah atau akan diambil oleh Perusahaan Terbuka atau Perusahaan Anak dalam Kelompok Usaha Perusahaan Terbuka termasuk perkembangan terakhir dari negosiasi dalam rangka restrukturisasi kredit (jika ada); e. ada atau tidak adanya keadaan lalai atas pembayaran pokok dan/atau bunga pinjaman setelah tanggal laporan keuangan terakhir sampai dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran, termasuk perkembangan terakhir dari negosiasi dalam rangka restrukturisasi utang (jika ada); dan - 19 - f. tidak terdapat pembatasan yang merugikan hak-hak pemegang saham publik. Bagian Ketujuh Ikhtisar Data Keuangan Penting Pasal 17 (1) Dalam bagian ikhtisar data keuangan penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf g harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. keterangan bahwa laporan keuangan Perusahaan Terbuka merupakan sumber data; b. keterangan mengenai audit laporan keuangan yang telah dilakukan yang meliputi informasi Akuntan, Kantor Akuntan Publik, dan opini yang diberikan oleh Akuntan; c. data keuangan 2 (dua) tahun terakhir ditambah interim (jika ada) yang meliputi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lainnya, serta laporan arus kas; d. dalam hal terdapat data keuangan periode interim, pengungkapan disajikan dengan perbandingan periode interim yang sama dari tahun buku sebelumnya (tidak harus diaudit), kecuali untuk laporan posisi keuangan; e. bentuk dan isi laporan sebagaimana pada huruf c harus sama dengan yang disajikan dalam laporan keuangan; dan f. rasio keuangan paling sedikit: 1. rasio laba (rugi) terhadap total aset; 2. rasio laba (rugi) terhadap ekuitas; 3. rasio laba (rugi) terhadap pendapatan; 4. rasio lancar; 5. rasio liabilitas terhadap ekuitas; 6. rasio liabilitas terhadap total aset; dan - 20 - 7. informasi dan rasio keuangan lainnya yang relevan dengan perusahaan dan jenis industrinya. (2) Ikhtisar data keuangan penting yang disajikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus konsisten dengan laporan keuangan Perusahaan Terbuka termasuk nama pos yang digunakan. Bagian Kedelapan Analisis dan Pembahasan oleh Manajemen Pasal 18 Dalam bagian analisis dan pembahasan oleh manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf h, Perusahaan Terbuka harus memberikan uraian singkat yang membahas dan menganalisis laporan keuangan dan informasi atau fakta lain yang tercantum dalam Prospektus. Pasal 19 Bahasan dan analisis serta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. analisis kinerja keuangan komprehensif yang mencakup perbandingan kinerja keuangan dalam 2 (dua) tahun buku terakhir, penjelasan tentang penyebab adanya perubahan dan dampak perubahan tersebut, paling sedikit mencakup mengenai: 1. aset lancar, aset tidak lancar, dan total aset; 2. liabilitas jangka pendek, liabilitas jangka panjang, dan total liabilitas; 3. ekuitas; dan 4. pendapatan, beban, laba (rugi), pendapatan komprehensif lain, dan total laba (rugi) komprehensif. b. bahasan mengenai operasi per segmen operasi (jika ada) dikaitkan dengan kondisi keuangan Perusahaan Terbuka secara keseluruhan, yang paling sedikit mencakup: - 21 - 1. produksi; 2. penjualan atau pendapatan usaha; 3. kontribusi terhadap penjualan atau pendapatan dan laba usaha Perusahaan Terbuka; 4. profitabilitas; dan 5. peningkatan atau penurunan kapasitas produksi; c. bahasan mengenai likuiditas Perusahaan Terbuka yang paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. sumber internal dan eksternal dari likuiditas; 2. sumber likuiditas yang material yang belum digunakan; 3. kecenderungan yang diketahui, permintaan, perikatan atau komitmen, kejadian, dan/atau ketidakpastian yang mungkin mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan yang material terhadap likuiditas Perusahaan Terbuka; dan 4. pernyataan Perusahaan Terbuka mengenai kecukupan modal kerja atau jika modal kerja tidak mencukupi, langkah yang akan dilakukan Perusahaan Terbuka untuk mendapatkan modal kerja tambahan yang diperlukan; d. bahasan mengenai sumber dan jumlah arus kas dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan serta pola arus kas dikaitkan dengan karakteristik dan siklus bisnis Perusahaan Terbuka; e. bahasan mengenai pembatasan yang ada terhadap kemampuan Perusahaan Anak untuk mengalihkan dana kepada Perusahaan Terbuka dan dampak dari adanya pembatasan tersebut terhadap kemampuan Perusahaan Terbuka dalam memenuhi kewajiban pembayaran tunai; f. bahasan mengenai komitmen investasi barang modal yang material yang dilakukan, dengan penjelasan tentang: 1. pihak yang terkait dalam perjanjian; 2. nilai keseluruhan, mata uang, dan bagian yang telah direalisasi; - 22 - 3. sanksi; 4. tujuan dari investasi barang modal; 5. distribusi investasi secara geografis; 6. sumber dana yang digunakan; 7. mata uang yang menjadi denominasi dalam hal sumber dana berasal dari pinjaman; 8. tindakan yang akan dilakukan Perusahaan Terbuka untuk melindungi risiko dari fluktuasi kurs mata uang asing yang terkait (jika ada); 9. prakiraan periode dimulai dan selesainya proses pembangunan dalam rangka investasi barang modal; dan 10. peningkatan kapasitas produksi atau jasa yang diharapkan dari investasi barang modal; g. bahasan mengenai risiko fluktuasi kurs mata uang asing atau suku bunga acuan pinjaman dan pengaruhnya terhadap hasil usaha atau keadaan keuangan Perusahaan Terbuka pada masa yang akan datang yang disertai keterangan mengenai semua pinjaman dan perikatan atau komitmen tanpa proteksi yang dinyatakan dalam mata uang asing, atau pinjaman yang suku bunganya tidak ditentukan terlebih dahulu; h. bahasan mengenai kejadian atau transaksi yang tidak normal dan jarang terjadi atau perubahan penting dalam ekonomi yang dapat mempengaruhi jumlah pendapatan dan profitabilitas yang dilaporkan dalam laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan yang dicantumkan dalam Prospektus, dengan penekanan pada laporan keuangan terakhir; i. bahasan mengenai komponen penting dari pendapatan atau beban lainnya yang dianggap perlu oleh Perusahaan Terbuka dalam rangka mengetahui hasil usaha Perusahaan Terbuka; j. bahasan dalam hal laporan keuangan yang mengungkapkan peningkatan yang material dari penjualan atau pendapatan bersih, yang meliputi pembahasan tentang sejauh mana kenaikan tersebut - 23 - dapat dikaitkan dengan kenaikan harga, volume atau jumlah barang atau jasa yang dijual, atau adanya produk atau jasa baru, disertai uraian mengenai penyebab kenaikan harga atau volume tersebut; k. bahasan mengenai dampak perubahan harga terhadap penjualan dan pendapatan bersih Perusahaan Terbuka serta laba operasi Perusahaan Terbuka selama 2 (dua) tahun terakhir atau selama Perusahaan Terbuka menjalankan usaha jika berdirinya kurang dari 2 (dua) tahun, serta dampak inflasi dan perubahan kurs valuta asing, jika material; l. bahasan terkait perubahan kebijakan akuntansi dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir atau sejak berdirinya bagi perusahaan yang berdiri kurang dari 2 (dua) tahun buku meliputi: 1. ringkasan dari perubahan kebijakan akuntansi yang material; 2. alasan perubahan kebijakan akuntansi; dan 3. dampak kuantitatif dari perubahan tersebut terhadap kinerja keuangan Perusahaan Terbuka; m. bahasan mengenai kebijakan pemerintah dan institusi lainnya dalam bidang fiskal, moneter, ekonomi publik, dan politik yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan usaha dan investasi Perusahaan Terbuka dan Perusahaan Anak yang tercermin di laporan keuangan; n. bahasan mengenai jumlah pinjaman yang masih terutang pada tanggal laporan keuangan terakhir, kebutuhan pinjaman musiman, analisis jatuh tempo pinjaman, fasilitas pinjaman dari perbankan, pembatasan penggunaan pinjaman dan jaminan (jika ada) dengan ketentuan dalam hal pinjaman berasal dari luar negeri bahasan atas hal ini harus diungkapkan secara terpisah dengan jumlah mata uang asingnya; dan o. bahasan mengenai investasi barang modal yang dikeluarkan dalam rangka pemenuhan persyaratan regulasi dan isu lingkungan hidup (jika ada). - 24 - Pasal 20 Dalam hal proyeksi keuangan diungkapkan dalam bagian analisis dan pembahasan oleh manajemen, pengungkapan tersebut harus disertai bahasan tentang prakiraan dan/atau proyeksi penjualan atau pendapatan usaha, laba bersih dan kondisi keuangan secara keseluruhan dengan ketentuan sebagai berikut: a. proyeksi keuangan harus dipersiapkan dengan seksama, obyektif, dan berdasarkan asumsi yang wajar dan layak dipercaya; b. proyeksi keuangan harus disertai dengan penjelasan mengenai sejauh mana proyeksi penjualan atau pendapatan usaha didasarkan pada kontrak atau pesanan yang pasti, alasan bahwa proyeksi tersebut dapat dicapai, dan dampak dari perubahan kondisi bisnis dan operasi atas proyeksi tersebut; c. kewajaran penyusunan proyeksi keuangan harus diperiksa oleh Akuntan, dan hasil pemeriksaan Akuntan harus diungkapkan dalam pembahasan manajemen; dan d. Perusahaan Terbuka wajib bertanggung jawab atas kelayakan prakiraan dan/atau proyeksi keuangan tersebut. Bagian Kesembilan Faktor Risiko Pasal 21 Dalam bagian Faktor Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. risiko utama yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Terbuka; b. risiko usaha yang bersifat material baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi hasil usaha dan kondisi keuangan Perusahaan Terbuka, yang timbul karena paling sedikit meliputi: - 25 - 1. persaingan; 2. investasi atau aksi korporasi; 3. kegagalan Perusahaan Terbuka memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam industrinya; 4. perubahan teknologi; 5. kelangkaan sumber daya; dan 6. pasokan bahan baku. c. risiko umum yang timbul karena paling sedikit meliputi: 1. kondisi perekonomian secara makro dan global; 2. perubahan kurs valuta asing; 3. kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang berlaku terkait bidang usaha Perusahaan Terbuka; 4. tuntutan atau gugatan hukum; 5. kebijakan pemerintah; dan 6. ketentuan negara lain atau peraturan internasional; dan d. pernyataan bahwa faktor risiko disusun berdasarkan bobot risiko yang dihadapi Perusahaan Terbuka. Pasal 22 (1) Faktor risiko usaha dan risiko umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus disusun berdasarkan bobot risiko. (2) Pengungkapan faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara rinci disertai uraian tentang dampak masing-masing risiko terhadap kinerja Perusahaan Terbuka. Bagian Kesepuluh Kejadian Penting setelah Tanggal Laporan Akuntan Pasal 23 Dalam bagian kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf j harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: - 26 - a. informasi tentang semua kejadian penting yang terjadi setelah tanggal laporan Akuntan sampai dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran; dan b. pernyataan manajemen mengenai tidak terdapatnya kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan sampai dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dalam hal tidak terdapat kejadian penting. Bagian Kesebelas Keterangan tentang Perusahaan Terbuka, Kegiatan Usaha, serta Kecenderungan dan Prospek Usaha Pasal 24 Dalam bagian keterangan tentang Perusahaan Terbuka, kegiatan usaha, serta kecenderungan dan prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf k harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. keterangan tentang Perusahaan Terbuka, paling sedikit: 1. permodalan dan pemegang saham, paling sedikit: a) kepemilikan saham dan struktur permodalan terakhir; b) posisi Perusahaan Terbuka dan Perusahaan Anak dalam Kelompok Usaha Perusahaan Terbuka yang dibuat dalam bentuk diagram disertai presentase kepemilikannya; dan c) keterangan tentang Pengendali, baik langsung maupun tidak langsung, sampai kepada pemilik individu, dan/atau pemegang saham utama yang disajikan dalam bentuk skema atau diagram. 2. pengurus dan pengawasan yang meliputi nama dan daftar riwayat hidup anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Terbuka serta Sekretaris Perusahaan, Komite Audit dan/atau komite lainnya (jika ada); 3. keterangan ringkas tentang Perusahaan Anak yang material serta kegiatannya, paling sedikit: - 27 - a) nama; b) kegiatan usaha; c) tahun dimulainya investasi oleh Perusahaan Terbuka di Perusahaan Anak; d) status operasional; dan e) perizinan terkait dengan kegiatan usaha. 4. perkara yang dihadapi Perusahaan Terbuka, Perusahaan Anak, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris Perusahaan Terbuka yang mempunyai dampak material terhadap kelangsungan usaha, kegiatan usaha dan/atau operasional Perusahaan Terbuka (jika ada); dan 5. perjanjian penting; b. kegiatan usaha Perusahaan Terbuka serta kecenderungan dan prospek usaha yang paling sedikit memuat atau mengungkapkan: 1. uraian singkat mengenai kegiatan usaha utama Perusahaan Terbuka atau Kelompok Usaha Perusahaan Terbuka (jika Perusahaan Terbuka merupakan entitas induk); 2. setiap kecenderungan yang signifikan dalam produksi, penjualan, persediaan, beban, dan harga penjualan sejak tahun buku terakhir yang mempengaruhi kegiatan usaha dan prospek keuangan Perusahaan Terbuka; 3. setiap kecenderungan, ketidakpastian, permintaan, komitmen, atau peristiwa yang dapat diketahui yang dapat mempengaruhi secara signifikan penjualan bersih atau pendapatan usaha, pendapatan dari operasi berjalan, profitabilitas, likuiditas atau sumber modal, atau peristiwa yang akan menyebabkan informasi keuangan yang dilaporkan tidak dapat dijadikan indikasi atas hasil operasi atau kondisi keuangan masa datang; 4. dalam hal tidak ada kecenderungan, ketidakpastian, permintaan, komitmen, atau peristiwa sebagaimana - 28 - dimaksud pada angka 3, Perusahaan Terbuka harus memberikan pernyataan mengenai hal tersebut; 5. masa berlaku dari hak paten, hak merek, lisensi, waralaba, dan konsesi yang dimiliki dan/atau dikuasai Perusahaan Terbuka dan/atau Perusahaan Anak serta pentingnya hal tersebut bagi Perusahaan Terbuka; 6. besarnya ketergantungan terhadap pemasok tertentu; 7. besarnya ketergantungan terhadap satu dan/atau sekelompok pelanggan; 8. besarnya ketergantungan terhadap kontrak dengan pemerintah; 9. sifat musiman dari kegiatan usaha (jika ada); 10. keadaan persaingan dalam industri dan kedudukan Perusahaan Terbuka dalam persaingan tersebut (jika ada sumber data yang layak dipercaya); dan 11. uraian tentang prospek usaha Perusahaan Terbuka dikaitkan dengan industri, perekonomian secara umum, dan pasar domestik atau internasional, yang dapat disertai data pendukung kuantitatif jika ada sumber data yang layak dipercaya. Bagian Kedua Belas Ekuitas Pasal 25 (1) Dalam bagian keterangan tentang Ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf l harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. tabel ekuitas yang memuat rincian ekuitas per tanggal laporan keuangan seluruh periode yang disajikan dalam laporan keuangan; b. perubahan struktur permodalan yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan terakhir sampai dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran; - 29 - c. rencana Penawaran Umum saham atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya untuk penambahan modal dengan memberikan HMETD yang meliputi jenis dan jumlah saham atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang ditawarkan, nilai nominal per saham, dan harga penawaran per saham atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; d. tabel proforma ekuitas pada tanggal laporan keuangan terakhir dengan asumsi bahwa perubahan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan Penawaran Umum saham atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya untuk penambahan modal dengan memberikan HMETD sebagaimana dimaksud pada huruf c telah terjadi pada tanggal laporan keuangan terakhir; dan e. tabel proforma sebagaimana dimaksud dalam huruf d yang menggambarkan posisi ekuitas pada tanggal laporan keuangan dengan asumsi bahwa seluruh Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham telah ditukarkan ke dalam saham, dalam hal Efek dalam Penawaran Umum berupa Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham. (2) Pengungkapan tentang ekuitas sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a harus berdasarkan laporan keuangan yang diaudit Akuntan. Bagian Ketiga Belas Kebijakan Dividen Pasal 26 Dalam bagian kebijakan dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf m harus memuat atau mengungkapkan informasi mengenai kebijakan dividen serta riwayat pembayaran dividen. - 30 - Bagian Keempat Belas Perpajakan Pasal 27 Dalam bagian perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf n harus memuat atau mengungkapkan informasi mengenai pajak yang berlaku baik bagi pemodal maupun Perusahaan Terbuka dan fasilitas khusus perpajakan yang diperoleh. Bagian Kelima Belas Keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau Calon Pengendali Perusahaan Terbuka Pasal 28 Pengungkapan Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka pada Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf o hanya dilakukan jika terdapat Pembeli Siaga dan/atau Calon Pengendali Perusahaan Terbuka dan dengan ketentuan pengungkapan dalam bagian keterangan mengenai Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. nama Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka; b. alamat domisili atau kantor pusat Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka; c. bidang usaha (jika ada); d. status badan hukum (jika ada); e. susunan pengurus dan pengawas (jika ada); f. struktur permodalan atau informasi yang setara; g. penerima manfaat dari calon Pengendali baru (jika ada); h. sumber dana yang digunakan oleh Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka; i. sifat hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Terbuka (jika ada); - 31 - j. keterangan mengenai porsi yang akan diambil oleh Pembeli Siaga dan/atau calon Pengendali Perusahaan Terbuka; k. uraian tentang persyaratan penting dari perjanjian pembelian sisa Efek atau persetujuan untuk membeli Efek oleh Pembeli Siaga; dan l. uraian tentang persetujuan dari pihak yang berwenang (jika ada). Bagian Keenam Belas Keterangan tentang Perwaliamanatan Pasal 29 Dalam bagian keterangan tentang perwaliamanatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf p harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. informasi mengenai Wali Amanat yang meliputi nama, alamat kantor pusat dan uraian mengenai pihak yang bertindak sebagai Wali Amanat (jika ada); dan b. ringkasan pokok kontrak perwaliamanatan, serta tingkat senioritas dari utang dibandingkan dengan utang Perusahaan Terbuka yang masih ada dan utang lainnya yang mungkin diperoleh Perusahaan Terbuka pada masa yang akan datang, utang pokok dan bunga saat jatuh tempo, jaminan (jika ada), agen pembayaran, serta tugas dan fungsi Wali Amanat. Bagian Ketujuh Belas Keterangan tentang Penanggungan Pasal 30 Dalam bagian keterangan tentang penanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf q harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. informasi mengenai penanggung yang meliputi nama, alamat kantor pusat dan uraian mengenai pihak yang bertindak sebagai penanggung (jika ada); dan - 32 - b. ringkasan pokok perjanjian penanggungan (jika ada). Bagian Kedelapan Belas Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal serta Profesi Lain Pasal 31 (1) Dalam bagian Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal serta profesi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf r, harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. nama, alamat, dan uraian mengenai tugas dan tanggung jawab Notaris, Konsultan Hukum, Akuntan, Penilai, dan profesi lain yang berperan serta dalam Penawaran Umum; dan b. kualifikasi profesional, untuk profesi selain yang terdaftar di Pasar Modal (jika ada). (2) Dalam bagian Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal serta profesi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf r, Perusahaan Terbuka harus menyatakan tidak adanya hubungan Afiliasi antara Perusahaan Terbuka dengan Wali Amanat, jika Perusahaan Terbuka melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD dengan menerbitkan Efek bersifat utang yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal hubungan Afiliasi antara Perusahaan Terbuka dengan Wali Amanat terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah. Bagian Kesembilan Belas Tata Cara Pemesanan Saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas Pasal 32 Dalam bagian tata cara pemesanan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf s harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: - 33 - a. informasi bahwa pihak yang berhak memesan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya yang diterbitkan dalam penambahan modal dengan memberikan HMETD adalah pemegang HMETD; b. distribusi HMETD; c. tata cara pelaksanaan HMETD; d. pemesanan pembelian tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; e. penjatahan pemesanan tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; f. persyaratan pembayaran baik untuk pembelian saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya sebagai pelaksanaan HMETD maupun pembelian tambahan saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya serta batas waktu pembayaran; g. bukti tanda terima pemesanan pembelian saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya; h. kriteria pembatalan pemesanan; i. pengembalian uang pemesanan yang mencakup: 1. tingkat bunga yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan ganti rugi atas keterlambatan pengembalian uang pemesanan pembelian saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya, dengan menyebutkan persentase tingkat bunga, atau pengukur lainnya; dan 2. tata cara yang akan digunakan dalam melakukan pengembalian uang pemesanan pembelian saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya dan ganti rugi yang paling sedikit mengenai: a) jenis alat pembayaran; dan b) cara pembayaran. - 34 - Bagian Kedua Puluh Penyebarluasan Prospektus dan Formulir Pemesanan Pembelian Saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya Pasal 33 Dalam bagian penyebarluasan Prospektus dan formulir pemesanan pembelian saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf t harus paling sedikit memuat atau mengungkapkan: a. penjelasan tentang nama, alamat, dan nomor telepon Perusahaan Terbuka dan Biro Administrasi Efek, jika menggunakan Biro Administrasi Efek; b. penjelasan tentang metode dan batas waktu penyebaran Prospektus; c. tempat dimana Prospektus, sertifikat atau kupon HMETD jika saham yang mendasari HMETD berbentuk warkat, dan formulir pemesanan pembelian saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan Penawaran Umum atau salinannya yang disebutkan dalam Prospektus dapat diperoleh; dan d. tempat dan nama pihak yang berwenang untuk memberikan informasi tambahan. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 34 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; - 35 - b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 35 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 36 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 kepada masyarakat. - 36 - BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 37 Bagi Perusahaan Terbuka yang akan melakukan penambahan modal dengan memberikan HMETD dan telah menyampaikan mata acara rapat mengenai penambahan modal dengan memberikan HMETD kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, penambahan modal dengan memberikan HMETD oleh Perusahaan Terbuka dimaksud tetap mengikuti Peraturan Nomor IX.D.3, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-09/PM/2000 tanggal 13 Maret 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: KEP-09/PM/2000 tanggal 13 Maret 2000 tentang Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu beserta Peraturan Nomor IX.D.3 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 39 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 37 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 2015 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 308 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 33/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAMBAHAN MODAL PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU </reg_title> <set_date> 16 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 22 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-09/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'KEP-09/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000 | Lampiran Peraturan Nomor IX.D.3' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Pungutan . . . - 2 - 2. Pungutan adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. 3. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang selanjutnya disebut Pihak adalah Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. 4. Sektor Jasa Keuangan adalah sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. BAB II PENGENAAN DAN KEWAJIBAN MEMBAYAR PUNGUTAN Pasal 2 (1) OJK mengenakan Pungutan kepada Pihak. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar Pungutan yang dikenakan OJK. BAB III PENGGUNAAN, JENIS, DAN BESARAN PUNGUTAN Pasal 3 (1) Pungutan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset, serta kegiatan pendukung lainnya. (2) Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan digunakan untuk membiayai kegiatan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tahun anggaran berikutnya. (3) Dalam hal Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (4) Dalam . . . - 3 - (4) Dalam melakukan penyetoran ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), OJK berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Pasal 4 Perhitungan Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilakukan berdasarkan jumlah kas yang diterima OJK. Pasal 5 (1) Jenis Pungutan yang berlaku pada OJK meliputi: a. b. biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi korporasi; dan biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian. (2) Jenis, satuan, dan besaran Pungutan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Pasal 6 Bagi Pihak yang melakukan lebih dari satu kegiatan usaha yang diatur dan diawasi oleh OJK, Pihak dimaksud wajib membayar biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b pada besaran Pungutan tertinggi diantara besaran Pungutan dari setiap kegiatan usaha. BAB IV . . . - 4 - BAB IV PELAPORAN DAN AKUNTABILITAS Pasal 7 Akuntabilitas pelaksanaan dan penggunaan Pungutan dilakukan OJK melalui laporan keuangan dan laporan kegiatan OJK. BAB V PEMBAYARAN PUNGUTAN Pasal 8 (1) Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a wajib dibayar oleh Pihak sebelum pengajuan perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan. (2) Biaya penelaahan atas rencana aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a wajib dibayar oleh Pihak sebelum penyampaian rencana aksi korporasi. Pasal 9 (1) Biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, besaran tarifnya ditetapkan dalam: a. b. c. persentase tertentu yang mengacu pada laporan keuangan tahunan yang telah diaudit; nominal tertentu yang mengacu pada laporan keuangan tahunan yang telah diaudit; atau nominal tertentu yang tidak mengacu pada laporan keuangan. (2) Biaya . . . - 5 - (2) Biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib dibayar dalam 4 (empat) tahap paling lambat tanggal 15 (lima belas) setiap bulan April, Juli, Oktober dan tanggal 31 Desember pada tahun berjalan. (3) Biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dibayar paling lambat setiap tanggal 15 Juni pada tahun berjalan. (4) Dalam hal tanggal 15 April, 15 Juli, atau 15 Oktober merupakan hari libur, kewajiban pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib dilakukan pada hari kerja berikutnya. (5) Dalam hal tanggal 31 Desember merupakan hari libur, kewajiban pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelumnya. (6) Dalam hal tanggal 15 Juni merupakan hari libur, kewajiban pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pasal 10 Besarnya biaya tahunan yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan huruf b dihitung secara mandiri dengan mengacu pada laporan keuangan tahunan tahun sebelumnya yang telah diaudit dan memenuhi ketentuan: a. Pembayaran Tahap I paling lambat tanggal 15 April tahun berjalan sebesar 25% (dua puluh lima persen); b. Pembayaran Tahap II paling lambat tanggal 15 Juli tahun berjalan sebesar 25% (dua puluh lima persen); c. Pembayaran Tahap III paling lambat tanggal 15 Oktober tahun berjalan sebesar 25% (dua puluh lima persen); dan d. Pembayaran Tahap IV paling lambat tanggal 31 Desember tahun berjalan sebesar 25% (dua puluh lima persen). Pasal 11 . . . - 6 - Pasal 11 (1) Keseluruhan biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dihitung kembali berdasarkan laporan keuangan tahunan tahun bersangkutan yang telah diaudit. (2) Dalam hal terdapat selisih negatif antara biaya tahunan yang dihitung berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 dikurangi biaya tahunan yang dihitung berdasarkan ketentuan pada ayat (1), selisih negatif tersebut ditambahkan pada kewajiban biaya tahunan untuk tahun diketahuinya selisih tersebut. (3) Dalam hal terdapat selisih positif antara biaya tahunan yang dihitung berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 dikurangi biaya tahunan yang dihitung berdasarkan ketentuan pada ayat (1), selisih positif tersebut dikurangkan dari kewajiban biaya tahunan untuk tahun diketahuinya selisih tersebut. (4) Selisih negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau selisih positif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambahkan atau dikurangkan pada pembayaran tahap terdekat setelah diketahuinya selisih tersebut. Pasal 12 (1) OJK dapat melakukan verifikasi atas perhitungan secara mandiri biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11. (2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas kewajiban biaya tahunan paling lama 10 (sepuluh) tahun sebelum pelaksanaan verifikasi. (3) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 dengan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hasil perhitungan biaya tahunan yang berlaku adalah hasil verifikasi yang dilakukan oleh OJK. (4) Pihak . . . - 7 - (4) Pihak yang melakukan perhitungan biaya tahunan secara mandiri dapat meminta klarifikasi kepada OJK atas hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Dalam hal terdapat selisih negatif antara biaya tahunan berdasarkan verifikasi OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi biaya tahunan berdasarkan perhitungan secara mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11, selisih negatif tersebut ditambahkan sebagai kewajiban biaya tahunan pada tahun ditetapkan hasil verifikasi. (6) Dalam hal terdapat selisih positif antara biaya tahunan berdasarkan verifikasi OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi biaya tahunan berdasarkan perhitungan secara mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11, selisih positif tersebut dikurangkan dari kewajiban biaya tahunan pada tahun ditetapkan hasil verifikasi. (7) Selisih negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau selisih positif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditambahkan atau dikurangkan pada tahap pembayaran terdekat setelah ditetapkannya selisih berdasarkan hasil verifikasi. (8) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK. Pasal 13 Dalam hal laporan keuangan tahun sebelumnya yang telah diaudit tidak tersedia, besarnya biaya tahunan yang wajib dibayar pada setiap tahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 mengacu pada laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit. Pasal 14 . . . - 8 - Pasal 14 (1) Dalam hal ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan tidak mewajibkan adanya laporan keuangan tahunan yang diaudit, perhitungan besarnya biaya tahunan yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 mengacu pada laporan keuangan tahunan yang tidak diaudit yang disampaikan kepada OJK. (2) Dalam hal ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan tidak mewajibkan adanya laporan keuangan, perhitungan besarnya biaya tahunan yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 mengacu pada buku, catatan, dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara aplikasi online yang mencerminkan capaian kinerja, volume usaha, atau ukuran lain yang menjadi dasar penghitungan Pungutan. (3) Buku, catatan, dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada OJK dalam hal OJK melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. Pasal 15 Tata cara pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK. Pasal 16 Dalam hal Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tidak dibayar sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan dan dikategorikan macet oleh OJK, OJK menyerahkan penagihan atas Pungutan kepada Panitia Urusan Piutang Negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. BAB VI . . . - 9 - BAB VI PENYESUAIAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN PUNGUTAN Pasal 17 (1) Dalam hal Pihak sedang mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya penyehatan dan/atau dalam pemberesan, OJK dapat mengenakan Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sampai dengan 0% (nol persen) dari besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (2) Dalam hal sebagian besar atau seluruh Pihak: a. b. tidak mampu mempertahankan tingkat kesehatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan/atau mengalami kesulitan keuangan sehingga berpotensi terjadinya kegagalan untuk memenuhi kewajiban kepada konsumennya atau dapat membahayakan kelangsungan usahanya, OJK dapat mengenakan Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sampai dengan 0% (nol persen) dari besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (3) Dalam hal OJK akan atau sedang mengembangkan industri, jenis layanan, atau produk keuangan tertentu, baik secara nasional ataupun di daerah tertentu, OJK dapat mengenakan Pungutan paling rendah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (4) Penetapan besaran Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan OJK setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. (5) Tata cara pengenaan Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK. Pasal 18 . . . - 10 - Pasal 18 Dalam hal sebelum berakhirnya tahun berjalan penerimaan OJK yang berasal dari Pungutan lebih besar dari rencana kerja dan anggaran OJK tahun berikutnya yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, OJK mengenakan biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b sebesar 0% (nol persen) pada sisa tahun berjalan. Pasal 19 (1) OJK dapat mengenakan Pungutan sampai dengan 0% (nol persen) dari besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini terhadap Lembaga Jasa Keuangan yang secara khusus dibentuk Undang-Undang atau dibentuk oleh Pemerintah. (2) Pengenaan Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan OJK setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 20 (1) Pihak yang tidak melakukan atau terlambat melakukan pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa denda oleh OJK sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah Pungutan yang wajib dibayar dan paling banyak 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah Pungutan yang wajib dibayar dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. (2) Selain . . . - 11 - (2) Selain sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat menetapkan sanksi administratif tambahan atau tindakan tertentu kepada Pihak yang tidak melakukan atau terlambat melakukan pembayaran sesuai dengan jenis sanksi atau tindakan tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan. BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 21 Besaran Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk tahun 2014 adalah 2/3 (dua pertiga) dari besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Pasal 22 Pendapatan yang berasal dari: a. pengelolaan, penyimpanan, atau penggunaan Pungutan; dan b. sanksi administratif berupa denda atas pelanggaran peraturan perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan, merupakan bagian dari penerimaan Pungutan OJK. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 23 (1) Sanksi administratif berupa denda yang dikenakan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada pelaku kegiatan di sektor pasar modal dan lembaga . . . - 12 - lembaga keuangan bukan bank yang belum dibayar dan upaya penagihannya dilakukan oleh OJK merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Keuangan. (2) Biaya Tahunan oleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal untuk tahun 2013 merupakan bagian dari penerimaan Pungutan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b. (3) Sanksi administratif berupa denda yang dikenakan oleh OJK kepada Pihak atas pelanggaran peraturan perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini merupakan bagian dari penerimaan Pungutan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Pungutan kepada Pihak dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 25 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . - 13 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 33 PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN I. UMUM Otoritas Jasa Keuangan yang merupakan otoritas tunggal (unified supervisory model) di Sektor Jasa Keuangan di Indonesia, yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) mempunyai tujuan agar keseluruhan kegiatan Sektor Jasa Keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Sedangkan fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam Sektor Jasa Keuangan. Untuk mendukung operasionalisasi OJK sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara independen dan profesional, dengan berlandaskan pada prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness), perlu adanya pembiayaan yang memadai dengan standar yang wajar yang lazim digunakan oleh Sektor Jasa Keuangan atau regulator Sektor Jasa Keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Pembiayaan OJK selain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga berasal dari Pungutan dari Pihak. Sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 37 ayat (6) UU OJK, maka perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai Pungutan OJK kepada Pihak, yang antara lain mencakup tata cara penetapan, penggunaan, jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran Pungutan, dan sanksi denda. Penetapan besaran Pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan Pihak serta kebutuhan pendanaan OJK. Meskipun . . . - 2 - Meskipun secara kelembagaan OJK merupakan lembaga di luar pemerintah, namun OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah ini menegaskan peran Panitia Urusan Piutang Negara dalam penagihan atas Pungutan OJK yang dikategorikan macet berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Pemerintah ini merupakan bagian dari Peraturan Perundang- undangan di Sektor Jasa Keuangan. Dengan demikian, pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya mendasarkan pada realisasi penggunaan anggaran OJK sampai dengan akhir tahun anggaran berikutnya. Sebagai contoh: Pada 31 Desember 2016 Pungutan yang telah diterima OJK pada tahun berjalan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2016) diketahui sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah). Pada saat itu, Rencana Kerja dan Anggaran OJK tahun 2017 yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah sebesar . . . - 3 - sebesar Rp2.400.000.000.000,00 (dua triliun empat ratus miliar rupiah). Selanjutnya, per 31 Desember 2017 diketahui realisasi anggaran OJK tahun anggaran 2017 adalah sebesar Rp2.200.000.000.000,00 (dua triliun dua ratus miliar rupiah). Dengan demikian, Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan 2016 sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah) melebihi realisasi kebutuhan OJK tahun anggaran 2017 sebesar Rp2.200.000.000.000,00 (dua triliun dua ratus miliar rupiah) yaitu sebesar Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah). Atas kelebihan Pungutan sebesar Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah) dimaksud, OJK harus menyetor kelebihan ke Kas Negara. Penyetoran tersebut dilaksanakan setelah realisasi anggaran tahun 2017 diketahui. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Sebagai contoh perhitungan Pungutan yang diterima oleh OJK pada tahun berjalan berdasarkan jumlah kas yang diterima oleh OJK: Jumlah tagihan yang berasal dari Pungutan OJK tahun 2016 adalah sebesar Rp3.500.000.000.000,00 (tiga triliun lima ratus miliar rupiah), sementara jumlah kas yang diterima OJK dari Pungutan pada tahun 2016 adalah sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah). Dengan demikian, Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan (tahun 2016) adalah sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah). Jumlah sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah) ini akan digunakan untuk membiayai kegiatan OJK pada tahun anggaran berikutnya (tahun 2017), dan digunakan sebagai dasar perhitungan kelebihan yang akan disetor ke Kas Negara sebagaimana contoh pada penjelasan Pasal 3 ayat (3). Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “perizinan” mencakup antara lain izin usaha Bank Umum, izin usaha Bursa Efek, izin usaha Lembaga Kliring dan Penjaminan, izin usaha Lembaga Penyimpanan . . . - 4 - Penyimpanan dan Penyelesaian, izin usaha Perusahaan Perasuransian, dan izin usaha Perusahaan Efek. Yang dimaksud dengan “persetujuan” mencakup antara lain persetujuan Bank Umum sebagai Bank Kustodian. Yang dimaksud dengan “pendaftaran” mencakup: a. Pernyataan pendaftaran dalam rangka: 1) Penawaran umum efek bersifat ekuitas; 2) Penawaran umum efek bersifat utang; 3) Penawaran umum sukuk; 4) Perusahaan Publik; 5) Penawaran umum dalam rangka penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (penawaran umum terbatas/right issue); 6) Penawaran umum dalam rangka penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu; 7) Penawaran umum efek yang dapat dikonversi menjadi saham; dan 8) Penawaran umum efek bersifat ekuitas oleh pemegang saham. b. Pendaftaran profesi penunjang, antara lain notaris, konsultan hukum, akuntan, dan penilai. Yang dimaksud dengan “pengesahan” mencakup antara lain pengesahan Dana Pensiun. Yang dimaksud dengan “penelaahan atas rencana aksi korporasi” mencakup: 1) Penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu tanpa melalui penawaran umum tidak dalam rangka memperbaiki posisi keuangan; 2) Penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka; 3) Perubahan perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup secara sukarela (voluntary going private); dan 4) Pengambilalihan perusahaan terbuka. Huruf b . . . - 5 - Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Contoh, PT Bank ABC Tbk., pada tahun 2016 memiliki aset sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Sebagai Bank, PT Bank ABC Tbk. dimaksud juga: - merupakan Emiten karena melakukan Penawaran Umum saham sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah); - melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Kustodian, dan membukukan pendapatan usaha sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); - melakukan kegiatan usaha sebagai Wali Amanat, dan membukukan pendapatan usaha sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); - melakukan kegiatan usaha sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan pendapatan dari fee keagenan sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah); Dalam menetapkan besarnya biaya tahunan 2016, PT Bank ABC Tbk. melakukan perhitungan sebagai berikut: - biaya tahunan sebagai Bank Umum: 0,045% X Rp5.000.000.000.000,00=Rp2.250.000.000,00 - biaya tahunan sebagai Emiten: 0,03% X 2.000.000.000.000,00=Rp600.000.000,00 (paling banyak Rp150.000.000,00) - biaya tahunan sebagai Bank Kustodian: 1,2% X 1.000.000.000,00=Rp12.000.000,00 - biaya tahunan sebagai Wali Amanat: 1,2% X 2.000.000.000,00=Rp24.000.000,00 - biaya tahunan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana: 1,2% X 3.000.000.000,00=Rp36.000.000,00 Berdasarkan ketentuan Pasal ini, PT Bank ABC Tbk. hanya diwajibkan membayar Pungutan dengan besaran tertinggi, yaitu Rp2.250.000.000,00 (dua miliar dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 7 . . . - 6 - Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Dalam permohonan pengajuan perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan kepada OJK, disertakan tanda bukti pembayaran Pungutan yang telah dilakukan oleh Pihak. Ayat (2) Dalam permohonan penyampaian rencana aksi korporasi kepada OJK, disertakan tanda bukti pembayaran Pungutan yang telah dilakukan oleh Pihak. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan tanggal pembayaran Pungutan dalam empat tahap dilakukan agar dapat meringankan Pihak untuk melakukan kewajiban pembayaran Pungutan. Selain itu, hal tersebut juga ditujukan untuk memberikan waktu yang cukup kepada OJK untuk menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan yang akan disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk memperoleh persetujuan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 10 . . . - 7 - Pasal 10 Sebagai contoh: Pada tahun 2016 diketahui bahwa laporan keuangan tahunan tahun 2015 yang telah diaudit menunjukkan bahwa pendapatan usaha Bursa Efek adalah Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Berdasarkan informasi tersebut, besarnya biaya tahunan yang wajib dibayar adalah 15% x Rp100.000.000.000,00 = Rp15.000.000.000,00. Kewajiban pembayaran biaya tahunan setiap tahap oleh Bursa Efek pada tahun 2016 secara mandiri adalah sebagai berikut: a. pembayaran tahap I tanggal 15 April 2016 adalah 25% X Rp15.000.000.000,00 = Rp3.750.000.000,00; b. pembayaran tahap II tanggal 15 Juli 2016 adalah 25% X Rp15.000.000.000,00 = Rp3.750.000.000,00; c. pembayaran tahap III tanggal 15 Oktober 2016 adalah 25% X Rp15.000.000.000,00 = Rp3.750.000.000,00; d. pembayaran tahap IV tanggal 31 Desember 2016 adalah 25% X Rp15.000.000.000,00 = Rp3.750.000.000,00; Pasal 11 Ayat (1) Sebagai contoh penghitungan kembali keseluruhan biaya tahunan berdasarkan laporan keuangan tahunan tahun bersangkutan yang telah diaudit dengan tetap merujuk contoh penjelasan Pasal 10, adalah sebagai berikut: Diketahui laporan keuangan tahunan tahun 2016 yang telah diaudit (yang diterbitkan pada 31 Maret 2017) menunjukkan pendapatan usaha Bursa Efek adalah Rp110.000.000.000,00 (seratus sepuluh miliar rupiah). Keseluruhan kewajiban biaya tahunan Bursa Efek tahun 2016 dihitung kembali didasarkan pada pendapatan usaha Bursa Efek dalam laporan keuangan tahunan tahun 2016 yang telah diaudit tersebut sehingga biaya tahunannya menjadi 15% x Rp110.000.000.000,00 = Rp16.500.000.000,00 (enam belas miliar lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Contoh penghitungan selisih negatif: Merujuk contoh pada penjelasan ayat (1) dan Pasal 10, maka terdapat selisih negatif pembayaran biaya tahunan yang dilakukan oleh Bursa Efek dengan perhitungan sebagai berikut: a. Total . . . - 8 - a. Total pembayaran yang telah dilaksanakan sebagaimana contoh dalam Penjelasan Pasal 10 adalah Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); b. Keseluruhan biaya tahunan yang dihitung kembali berdasarkan laporan keuangan tahunan tahun 2016 yang telah di audit adalah 15% X Rp110.000.000.000,00 = Rp16.500.000.000,00; c. Perhitungan antara yang telah dibayar pada huruf a dikurang dengan kewajiban keseluruhan biaya tahunan yang dihitung kembali pada huruf b yaitu Rp15.000.000.000,00– Rp16.500.000.000,00 = –Rp1.500.000.000,00. Jumlah sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) merupakan selisih negatif; d. Selisih negatif sebagaimana huruf c ditambahkan pada kewajiban biaya tahunan tahun 2017. Ayat (3) Contoh penghitungan selisih positif: Merujuk contoh pada penjelasan Pasal 10, diketahui laporan keuangan tahunan tahun 2016 yang telah diaudit (yang diterbitkan pada 31 Maret 2017) menunjukkan pendapatan usaha Bursa Efek adalah Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah), kewajiban pembayaran biaya tahunan oleh Bursa Efek adalah sebagai berikut: a. Total pembayaran yang telah dilaksanakan sebagaimana contoh dalam Penjelasan Pasal 10 adalah Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); b. Keseluruhan biaya tahunan yang dihitung kembali berdasarkan laporan keuangan tahunan Tahun 2016 yang telah di audit adalah 15% X Rp80.000.000.000,00 = Rp12.000.000.000,00; c. Perhitungan antara yang telah dibayar pada huruf a dikurang dengan kewajiban keseluruhan biaya tahunan yang dihitung kembali pada huruf b yaitu Rp15.000.000.000,00– Rp12.000.000.000,00 = Rp3.000.000.000,00. Jumlah sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) merupakan selisih positif; d. Selisih positif sebagaimana perhitungan huruf c dikurangkan dari kewajiban biaya tahunan untuk tahun 2017. Ayat (4) . . . - 9 - Ayat (4) Pembayaran selisih negatif oleh Bursa Efek sebagaimana contoh dalam penjelasan ayat (2) adalah sebagai berikut: a. Hasil penghitungan kembali biaya tahunan untuk tahun 2016 berdasarkan laporan keuangan tahun 2016 yang telah diaudit (yang diterbitkan 31 Maret 2017) diketahui terdapat selisih negatif sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). b. Kewajiban pembayaran tahap I tahun 2017 tanggal 15 April 2017 berdasarkan laporan keuangan tahun 2016 yang telah diaudit adalah 25% dari kewajiban biaya tahunan tahun 2017 (15% x Rp110.000.000.000,00 = Rp16.500.000.000,00) yaitu sebesar Rp4.125.000.000,00 (empat miliar seratus dua puluh lima juta rupiah); c. Pembayaran selisih negatif sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) pada huruf a dibayarkan pada pembayaran Tahap I tanggal 15 April 2017 sehingga secara keseluruhan menjadi Rp4.125.000.000,00 Rp1.500.000.000,00 = Rp5.625.000.000,00. Pembayaran selisih positif sebagaimana contoh ayat (3) adalah sebagai berikut: a. Hasil penghitungan kembali biaya tahunan untuk tahun 2016 berdasarkan laporan keuangan tahun 2016 yang telah diaudit (yang diterbitkan 31 Maret 2017) diketahui terdapat selisih positif sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). b. Kewajiban pembayaran tahap I tahun 2017 tanggal 15 April 2017 berdasarkan laporan keuangan tahun 2016 yang telah diaudit adalah 25% dari kewajiban biaya tahunan tahun 2017 (15% x Rp80.000.000.000,00 = Rp12.000.000.000,00) yaitu sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah); c. Perhitungan selisih positif sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) pada huruf a dilakukan pada pembayaran Tahap I tanggal 15 April 2017 oleh Bursa Efek sehingga secara keseluruhan pembayaran Bursa Efek pada Tahap I ini menjadi Rp3.000.000.000,00 - Rp3.000.000.000,00= Rp0,00 (nol rupiah). Pasal 12 . . . + - 10 - Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) OJK memberikan penjelasan atas permintaan klarifikasi dari Pihak yang melakukan perhitungan biaya tahunan secara mandiri terhadap hasil verifikasi yang dilakukan oleh OJK. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Yang dimaksud dengan “dikategorikan macet” adalah apabila Pihak yang diwajibkan melakukan pembayaran Pungutan tidak memenuhi ketentuan mengenai tata cara pembayaran yang ditetapkan dalam Peraturan OJK. Pasal 17 . . . - 11 - Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemberesan” adalah pemberesan yang dilakukan oleh likuidator atau kurator. Penurunan besaran pada ayat ini dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan semakin memburuknya kondisi keuangan dan/atau membantu proses penyehatan keuangan Pihak. Ayat (2) Ukuran tingkat kesehatan antara lain capital adequacy ratio untuk perbankan, modal kerja bersih disesuaikan untuk Perusahaan Efek, dan risk based capital untuk perusahaan asuransi dan reasuransi. Ayat (3) Pengembangan dilakukan OJK dengan mempertimbangkan industri, jenis layanan, atau produk keuangan yang antara lain mempunyai trend pertumbuhan lambat, dan baru dikembangkan. Yang dimaksud dengan “daerah tertentu” adalah daerah tertentu di wilayah Republik Indonesia yang berdasarkan penetapan OJK secara khusus perlu dikembangkan. Contoh, OJK sedang berupaya untuk mendorong perkembangan layanan perasuransian di wilayah Indonesia bagian timur. Berdasarkan hal tersebut, OJK dapat menetapkan besaran Pungutan yang lebih rendah kepada perusahaan asuransi yang akan melakukan kegiatan di wilayah Republik Indonesia bagian timur. Ayat (4) Koordinasi dengan Menteri Keuangan diperlukan antara lain agar tercipta keselarasan antara program Pemerintah dan OJK, dalam penanganan permasalahan perekonomian dan pembangunan nasional, termasuk pembangunan di daerah tertentu. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Dalam hal OJK sepenuhnya telah dibiayai dari Pungutan dan misalnya pada tanggal 16 Oktober 2015 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memberikan persetujuan atas rencana kerja dan anggaran OJK untuk tahun 2016, serta pada tanggal tersebut jumlah kas yang diterima . . . - 12 - diterima OJK dari Pungutan lebih besar dari rencana kerja dan anggaran OJK untuk tahun 2016, OJK mengenakan biaya tahunan dengan tarif sebesar 0% (nol persen) untuk pembayaran tahap IV tahun 2015 dan bagi Pihak yang telah melakukan pembayaran biaya tahunan untuk satu tahun penuh maka kelebihan pembayaran akan diperhitungkan untuk pembayaran tahun berikutnya. Pasal 19 Ayat (1) Lembaga Jasa Keuangan dibentuk untuk melaksanakan program Pemerintah, yaitu Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Penjaminan Infrastruktur Indonesia, Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan lembaga jasa keuangan sejenis yang dibentuk kemudian berdasarkan Undang-Undang atau dibentuk oleh Pemerintah. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bulan” adalah 30 (tiga puluh) hari. Sebagai contoh, laporan keuangan tahunan tahun 2015 yang telah diaudit menunjukkan bahwa pendapatan usaha Bursa Efek adalah Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), sehingga kewajiban pembayaran Pungutan Tahap I Bursa Efek pada tanggal 15 April 2016 adalah Rp3.750.000.000,00 (tiga miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Bursa Efek baru membayar Pungutan Tahap I pada tanggal 19 Mei 2016 (terlambat selama 34 hari yaitu sejak tanggal 16 April 2016 sampai dengan 19 Mei 2016), sehingga Bursa Efek dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar denda sebesar 4% X Rp3.750.000.000,00 = Rp150.000.000,00. Dengan demikian, meskipun Bursa Efek baru terlambat membayar Pungutan selama 34 hari sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (2), Bursa Efek dianggap telah terlambat selama 2 (dua) bulan dan dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar denda sebanyak 4% (empat persen). Ayat (2) . . . Ayat (2) . . . - 13 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “jenis sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan”antara lain berupa: a. peringatan tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan; d. pembatasan kegiatan usaha; e. perintah penggantian manajemen; f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; g. pembatalan persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan; h. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau i. pencabutan izin usaha. Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan”antara lain berupa penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penawaran umum, penggabungan usaha, peleburan usaha, dan pernyataan tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Yang dimaksud dengan “pendapatan yang berasal dari pengelolaan” adalah pendapatan yang diperoleh melalui deposito pada bank Badan Usaha Milik Negara, serta surat berharga yang diterbitkan dan/atau dijamin oleh bank sentral Republik Indonesia atau Negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan “pendapatan yang berasal dari penyimpanan” antara lain jasa giro dan bunga. Yang dimaksud dengan “pendapatan yang berasal dari penggunaan” antara lain denda wanprestasi terkait pengadaan barang dan jasa. Pasal 23 . . . - 14 - Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5504 LAMPIRAN: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN JENIS DAN BESARAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN JENIS PUNGUTAN SATUAN I. Pungutan yang Terkait Dengan Pengajuan Perizinan, Persetujuan, Pendaftaran, dan Pengesahan kepada OJK: A. Biaya Perizinan, Persetujuan, Pendaftaran, dan Pengesahan Lembaga: 1. Perizinan Usaha untuk: a. Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perdagangan Surat Utang Negara di luar Bursa Efek, Bank Umum, Asuransi Jiwa, Asuransi Umum, Reasuransi dan Manajer Investasi; b. Perusahaan Pemeringkat Efek, Penjamin Emisi Efek, Bank Perkreditan Rakyat, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Modal Ventura, serta Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; c. Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah; per perusahaan Rp30.000.000,00 per perusahaan Rp50.000.000,00 per perusahaan Penyelenggara Rp100.000.000,00 BESARAN d. Perantara . . . - 2 - JENIS PUNGUTAN SATUAN d. Perantara Pedagang Efek yang tidak mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah, Penasihat Investasi, Biro Administrasi Efek, dan Lembaga Penilai Harga Efek. 2. Persetujuan untuk Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah, Bank Kustodian; Lembaga Penunjang Perbankan yaitu Lembaga Pemeringkat; 3. Perizinan Lembaga Penunjang IKNB yaitu Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Perusahaan Agen Asuransi; 4. Pendaftaran untuk: a. Wali Amanat; b. Agen Penjual Efek Reksa Dana. 5. Pengesahan untuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan Dana Pensiun Pemberi Kerja. per perusahaan BESARAN Rp5.000.000,00 per perusahaan Rp5.000.000,00 per perusahaan Rp5.000.000,00 per perusahaan per perusahaan per lembaga Rp5.000.000,00 Rp30.000.000,00 Rp50.000.000,00 B. Biaya Perizinan dan Pendaftaran Orang Perseorangan: 1. Perizinan untuk: a. Wakil Manajer Investasi dan Penasihat Investasi; b. Wakil Penjamin Emisi Efek; c. Wakil Perantara Pedagang Efek dan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. per orang per orang per orang Rp1.000.000,00 Rp500.000,00 Rp500.000,00 2. Pendaftaran . . . - 3 - JENIS PUNGUTAN SATUAN 2. Pendaftaran untuk: a. Profesi Penunjang Perbankan yaitu Akuntan dan Penilai; b. Profesi Penunjang Pasar Modal yaitu Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, dan Notaris; c. Profesi Penunjang IKNB yaitu Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, dan Konsultan Aktuaria. C. Biaya Pendaftaran: 1. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum: a. Efek Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat Utang, dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Penawaran Umum Terbatas/Right Issue), untuk Penambahan Modal tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, Efek yang dapat dikonversi menjadi saham, dan oleh Pemegang Saham; b. Sukuk. nilai emisi 0,05% paling banyak Rp150.000.000,00 2. Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik; 3. Pernyataan Pendaftaran untuk Penawaran Tender Sukarela; per pernyataan pendaftaran per penawaran Rp10.000.000,00 Rp25.000.000,00 nilai emisi 0,05% paling banyak Rp750.000.000,00 per orang BESARAN Rp5.000.000,00 D. Biaya . . . - 4 - JENIS PUNGUTAN SATUAN D. Biaya Penelaahan Rencana Aksi Korporasi: 1. Penambahan Modal tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu tanpa Melalui Penawaran Umum tidak untuk memperbaiki posisi keuangan; 2. Penggabungan atau Peleburan Perusahaan Terbuka; nilai emisi 0,025% paling banyak Rp500.000.000,00 aset berdasarkan laporan keuangan proforma penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka 3. Perubahan Perusahaan Terbuka menjadi Perusahaan Tertutup secara Sukarela (voluntary going private); 4. Pengambilalihan Perusahaan Terbuka. per perubahan per pengambil- alihan II. Biaya Tahunan untuk Pengaturan, Pengawasan, Pemeriksaan dan Penelitian 1. Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Penyelenggara Perdagangan Surat Utang Negara di luar Bursa Efek; 2. Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Asuransi Jiwa, Asuransi Umum, Reasuransi, Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Dana Pensiun Pemberi Kerja, Perusahaan Pembiayaan, dan Perusahaan Modal Ventura, serta Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; pendapatan usaha 15% Rp1.000.000.000,00 Rp25.000.000,00 0,05% paling banyak Rp250.000.000,00 BESARAN aset 0,045% paling sedikit Rp10.000.000,00 3. Manajer . . . - 5 - JENIS PUNGUTAN SATUAN 3. Manajer Investasi; dana kelolaan BESARAN 0,045% paling sedikit 4. Penasihat Investasi; pendapatan dari imbalan jasa nasihat investasi 5. Agen Penjual Efek Reksa Dana; pendapatan dari fee keagenan 6. Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek; 7. Emiten; pendapatan usaha nilai emisi efek (outstanding) Rp10.000.000,00 1,2% paling sedikit Rp10.000.000,00 1,2% paling sedikit Rp10.000.000,00 1,2% paling sedikit Rp10.000.000,00 0,03% paling sedikit Rp15.000.000,00 paling banyak 8. Perusahaan Publik; 9. Perusahaan Pemeringkat Efek; 10. Lembaga Penunjang: a. Lembaga Penunjang Perbankan yaitu Lembaga Pemeringkat; b. Lembaga Penunjang Pasar Modal yaitu Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, dan Wali Amanat; c. Lembaga Penunjang IKNB yaitu Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, Perusahaan Agen Asuransi; d. Lembaga Penilai Harga Efek. per perusahaan pendapatan usaha pendapatan usaha Rp150.000.000,00 Rp15.000.000,00 1,2% paling sedikit Rp5.000.000,00 1,2% paling sedikit Rp5.000.000,00 11. Kantor . . . - 6 - JENIS PUNGUTAN SATUAN 11. Kantor Akuntan Publik, Kantor Jasa Penilai Publik, Kantor Konsultan Hukum, Kantor Notaris, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, sepanjang kantor dimaksud memiliki izin, persetujuan, pengesahan, atau pendaftaran dari OJK; 12. Profesi: a. Profesi Penunjang Perbankan yaitu Akuntan dan Penilai; b. Profesi Penunjang Pasar Modal yaitu Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, dan Notaris. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO nilai kontrak dari kegiatan di sektor jasa keuangan BESARAN 1,2% per orang Rp5.000.000,00
<reg_id> 11/PP/2014 </reg_id> <reg_title> PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 12 Februari 2014 </set_date> <effective_date> 12 Februari 2014 </effective_date> <issued_date> 12 Februari 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peranan usaha perasuransian di Indonesia dalam menunjang pembangunan nasional perlu diarahkan agar dalam kegiatan usahanya, Perusahaan Perasuransian di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dengan tidak mengabaikan prinsip usaha yang sehat dan bertanggungjawab; b. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur penyelenggaraan usaha perasuransian di dalam suatu Peraturan Pemerintah. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang.Undang Dasar 1945; 2. Kitab Undang.undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang.undang Nomor 4 Tahun 1971 tentang Perubahan dan Penambahan atas ketentuan Pasal 54 Kitab Undang.undang Hukum Dagang (Lembaran Negara. Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2959); 3. Undang.undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 4. Undang.undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3502); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan: 1. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Asuransi Jiwa. 2. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria. 3. Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang pertanggungan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa dukungan reasuransi. 4. Pengurus adalah direksi untuk perseroan terbatas atau persero, atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan usaha bersama. 5. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II PENUTUPAN OBYEK ASURANSI Pasal 2 Obyek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi yang mendapat izin usaha dari Menteri, kecuali dalam hal: a. tidak ada Perusahaan Asuransi di bersama.sama, yang memiliki bersangkutan; atau kemampuan menahan risiko asuransi Indonesia, baik secara sendiri.sendiri maupun dari obyek yang b. tidak ada Perusahaan Asuransi yang bersedia melakukan penutupan asuransi atas obyek yang bersangkutan; atau c. pemilik obyek asuransi yang bersangkutan bukan warga negara Indonesia atau bukan badan hukum Indonesia. BAB III PERIZINAN USAHA PERASURANSIAN Bagian Pertama Persyaratan Umum Perusahaan Perasuransian Pasal 3 (1) Perusahaan Perasuransian dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa: 1. maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan salah satu jenis usaha perasuransian; 2. perusahaan tidak memberikan pinjaman kepada pemegang saham. b. Susunan organisasi perusahaan sekurang.kurangnya meliputi berikut: 1. Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan; 2. Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan; 3. Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya. c. Memenuhi ketentuan permodalan perundang.undangan yang berlaku. sebagaimana ditetapkan dalam peraturan d. Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang memadai untuk mengelola kegiatan usahanya. fungsi.fungsi sebagai e. Melaksanakan pengelolaan perusahaan sebagaimana Pemerintah ini, yang sekurang.kurangnya didukung dengan: 1. Sistem pengembangan sumber daya manusia; 2. Sistem administrasi, 3. Sistem pengelolaan data. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai huruf d dan huruf e ditetapkan oleh Menteri. Pasal 4 (1) Perusahaan Perasuransian yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga negara Indonesia, seluruh anggota dewan komisaris dan Pengurus harus warga negara Indonesia. (2) Anggota dewan komisaris dan anggota direksi Perusahaan Perasuransian yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing harus warga negara Indonesia dan warga negara asing, atau seluruhnya warga negara Indonesia. Pasal 5 (1) Anggota dewan komisaris dan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perasuransian dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang perasuransian dan perekonomian, serta memiliki akhlak dan moral yang baik. (2) Sekurang.kurangnya separo dari jumlah anggota Pengurus harus mcmiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan risiko. (3) Pengurus tidak diperkenankan merangkap jabatan pada perusahaan lain, kecuali untuk jabatan komisaris. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 6 (1) Modal disetor bagi perusahaan yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang seluruh atau mayoritas pemiliknya warga negara Indonesia, untuk masing. masing Perusahaan Perasuransian sekurang-kurangnya sebagai berikut: a. Rp. 3.000.000.000,. (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Kerugian; b. Rp. 2.000.000.000,. (dua milyar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Jiwa; c. Rp. 10.000.000.000,. (sepuluh milyar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi; d. Rp. 500.000.000,. (lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi, e. Rp. 500.000.000,. (lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Pialang Reasuransi. (2) Dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor untuk masing- masing Perusahaan Perasuransian sekurang-kurangnya sebagai berikut: a. Rp. 15.000.000.000,. (lima belas milyar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Kerugian; b. Rp. 4.500.000.000,. (empat milyar lima ratus juta rupiah), bagi Perusahaan Asuransi Jiwa; c. Rp. 30.000.000.000,. (tiga puluh milyar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi; d. Rp. 3.000.000.000,. (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi; e. Rp. 3.000.000.000. (tiga milyar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Reasuransi. (3) Pada saat pendirian perusahaan, penyertaan langsung pihak asing dalam Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling banyak 80% (delapan puluh per seratus). ditetapkan dalam Peraturan (4) Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memiliki perjanjian antar pemegang saham yang memuat kesepakatan mengenai kepemilikan saham pihak Indonesia. rencana Pasal 7 (1) Pada awal pendirian, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus menempatkan sekurang.kurangnya 20% (dua puluh per seratus) dari modal disetor yang dipersyaratkan, dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum di In. donesia yang bukan Afiliasi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. (2) Deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis. (3) Penempatan deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus atas nama Menteri untuk kepentingan perusahaan yang bersangkutan. (4) Deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disesuaikan dengan perkembangan volume usaha yang besarnya ditetapkan oleh Menteri dengan ketentuan besarnya deposito dimaksud tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada awal pendirian. (5) Deposito sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dicairkan atas persetujuan Menteri berdasarkan: a. batas permintaan liquidator dalam hal perusahaan dilikuidasi; atau b. atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dalam hal izin usahanya dicabut atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah diselesaikan. Pasal 8 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus menyelenggarakan: a. Pengembangan sumber daya manusia yang dapat menunjang pengelolaan perusahaan secara profesional, pengembangan perusahaan secara sehat, adanya kemampuan dalam mengikuti perkembangan teknologi, serta penyelenggaraan jasa asuransi secara tertib dan bcrtanggung jawab; b. Administrasi keuangan yang dapat menunjang ketertiban pengelolaan kcuangan dan pelaksanaan pengendalian intern perusahaan; c. Pengelolaan data yang dapat menunjang pelaksanaan fungsi pengelolaan risiko, pemasaran, penyelesaian klaim dan pelayanan kepada pemegang polis, serta memungkinkan tersedianya data yang relevan, akurat, dan tepat waktu, untuk pemeriksaan dan pengawasan perusahaan maupun untuk pengembangan perusahaan. analisis (2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi harus menyelenggarakan hal.hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b. (3) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultan Aktuaria menyelenggarakan hal.hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. harus dalam rangka peningkatan Bagian Kedua Perizinan Perusahaan Perasuransian Pasal 9 (1) Pemberian izin bagi Perusahaan Perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu: a. persetujuan prinsip; b. izin usaha. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak berlaku bagi agen asuransi dan konsultan aktuaria. (3) Permohonan persetujuan prinsip bagi Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diajukan kepada Menteri dengan melampirkan: a. Anggaran dasar perusahaan yang dibuat di hadapan notaris; b. Rencana susunan organisasi perusahaan; c. Rencana penggunaan tenaga ahli oleh perusahaan; d. Rencana kerja perusahaan dalam garis besar; e. Rancangan perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing; f. Program asuransi yang akan dipasarkan dan rencana reasuransinya, khusus bagi Perusahaan Asuransi; g. Bukti penempatan deposito sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). (4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. (5) Permohonan izin usaha Perusahaan Perasuransian disampaikan kepada Menteri dengan melampirkan: a. Anggaran dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari berwenang; instansi yang b. Susunan organisasi perusahaan; c. Bukti pemenuhan penyetoran modal disetor; d. Surat pengangkatan tenaga ahli yang dipekerjakan oleh perusahaan; e. Program kerja perusahaan serta rincian persiapan yang telah dilakukan; f. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing; g. Contoh polis, perhitungan premi, dan perjanjian reasuransi dari program asuransi yang akan dipasarkan, bagi Perusahaan Asuransi; h. Perjanjian retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi; i. Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (3) dan ayat (5) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 10 Izin usaha Perusahaan Perasuransian dapat dicabut apabila, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan, Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan usahanya. BAB IV KESEHATAN KEUANGAN Pasal 11 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib menjaga tingkat solvabilitas. (2) Tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah selisih antara kekayaan yang diperkenankan dengan jumlah kewajiban dan modal disetor yang dipersyaratkan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tingkat solvabilitas dan kekayaan diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)ditetapkan oleh Menteri. Pasal 12 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dan menerapkan Retensi Sendiri, yang besarnya didasarkan pada kemampuan keuangan dan tingkat risiko yang dihadapi. (2) Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi harus menjaga perimbangan yang sehat.antara jumlah premi neto dengan jumlah premi bruto, dan perimbangan antara jumlah premi neto dengan modal sendiri. (3) Perusahaan Asuransi Jiwa yang menyelenggarakan program asuransi kecelakaan diri dan program asuransi kesehatan harus menjaga perimbangan yang sehat antara jumlah premi neto dengan jumlah premi bruto yang berasal dari program termaksud, dan perimbangan antara jumlah premi neto yang berasal dari program termaksud dengan modal sendiri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 13 (1) Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki tingkat likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. (2) Menteri menetapkan jenis.jenis investasi yang tidak boleh dilakukan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Pasal 14 (1) Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus membentuk cadangan teknis asuransi sesuai dengan jenis asuransi yang diselenggarakan, yaitu: a. Cadangan teknis asuransi kerugian, terdiri dari cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan, dan cadangan klaim. b. Cadangan teknis asuransi jiwa, terdiri dari cadangan premi, cadangan premi anuitas, cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan dan cadangan klaim. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 15 (1) Setiap penutupan asuransi yang jumlah uang pertanggungannya melebihi Retensi Sendiri harus memperoleh dukungan reasuransi. yang (2) Penempatan reasuransi ke luar negeri, baik yang dilakukan langsung oleh Perusahaan Asuransi maupun yang dilakukan melalui Perusahaan Pialang Reasuransi, hanya dapat dilakukan pada penanggung ulang yang oleh Perusahaan Asurarsi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah memenuhi persyaratan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku pula dalam hal penempatan retroseri ke luar negeri oleh Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Asuransi. (4) Jumlah premi penutupan langsung Perusahaan Asuransi harus lebih besar dari jumlah premi penutupan tidak langsung. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 16 (1) Setiap perjanjian reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak merupakan perjanjian yang menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulangnya. (2) Dalam perjanjian reasuransi harus dinyatakan bahwa dalam hal Perusahaan Asuransi dilikuidasi, hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi yang timbul dalam transaksi reasuransi sampai dengan saat Perusahaan Asuransi dilikuidasi diselesaikan oleh likuidator. BAB V PEYELENGGARAAN USAHA Pasal 17 Dalam setiap pemasaran program asuransi harus diungkapkan informal yang relevan, tidak ada yang bertentangan dengan persyaratan yang dicantumkan dalam polis, dan tidak menyesatkan. Pasal 18 (1) Perusahaan Asuransi harus terlebih dahulu melaporkan kepada Menteri setiap program asuransi baru yang akan dipasarkan. (2) Perusahaan Asuransi dilarang memasarkan program asuransi baru yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 19 (1) Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata.kata, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya. (2) Dalam polis atau dokumen yang merupakan kesatuan dengannya, harus dimuat rincian mengenai bagian premi yang diteruskan kepada Perusahaan Asuransi dan bagian premi yang dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 20 (1) Premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif. (2) Tingkat premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinilai tidak mencukupi, apabila: a. sedemikian rendah sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam polis asuransi yang bersangkutan; b. penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan membahayakan tingkat solvabilitas perusahaan; c. penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan dapat merusak iklim kompetisi yang sehat. (3) Tingkat premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinilai berlebihan apabila sedemikian tinggi sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam polis asuransi yang bersangkutan. (4) Penerapan tingkat premi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinilai bersifat diskriminatif apabila tertanggung dengan luas penutupan yang sama serta dengan jenis dan tingkat risiko yang sama dikenakan tingkat premi yang berbeda. Pasal 21 (1) Penetapan tingkat premi asuransi harus didasarkan pada perhitungan analisis risiko yang sehat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 22 (1) Premi asuransi dapat dibayarkan langsung oleh tertanggung kepada Perusahaan Asuransi, atau melalui Perusahaan Pialang Asuransi untuk kepentingan tertanggung. (2) Dalam hal premi asuransi dibayarkan melalui Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Asuransi wajib menyerahkan premi tersebut kepada Perusahaan Asuransi sebelum berakhimya tenggang waktu pembayaran premi yang ditetapkan dalam polis asuransi yang bersangkutan. (3) Dalam hal penyerahan premi oleh Perusahaan Pialang Asuransi dilakukan setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul dari kerugian yang terjadi dalam jangka waktu antara habisnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan diserahkannya premi kepada Perusahaan Asuransi. Pasal 23 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim. (2) Tertanggung dalam molakukan pengurusan penyelesaian klaim dapat menunjuk pihak lain, termasuk Perusahaan Pialang Asuransi yang dipergunakan jasanya oleh tertanggung dalam penutupan asuransi yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 24 (1) Perusahaan Pialang Asuransi wajib memberikan keterangan yang sejelas.jelasnya kepada penanggung tentang obyek asuransi yang dipertanggungkan, dan wajib menjelaskan secara benar kepada tertanggung tentang ketentuan isi polis, termasuk mengenai hak dan kewajiban tertanggung. (2) Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menerbitkan dokumen penutupan sementara dan atau polis asuransi. (3) Perusahaan Pialang Asuransi harus menjaga perimbangan yang schat antara jumlah premi yang belum disetor kepada Perusahaan Asuransi dan jumlah modal sendiri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 25 (1) Perusahaan Pialang Reasuransi wajib memberikan keterangan yang sejelas.jelasnya kepada penanggung ulang tentang obyek asuransi yang diasuransikan, serta kepada penanggung tentang hak dan kewajibannya. (2) Perusahaan Pialang Reasuransi yang menerima pembayaran premi dari penanggung wajib menyetorkannya kepada penanggung ulang sesuai dengan tenggang waktu pembayaran premi sebagaimana yang tertera dalam perjanjian reasuransi. Pasal 26 (1) Setiap penilai kerugian asuransi dalam menjalankan usahanya harus mempergunakan keahlian berdasarkan norma profesi yang berlaku. (2) Setiap konsultan aktuaria dalam menjalankan kegiatan usahanya harus mempergunakan keahlian berdasarkan norma profesi yang berlaku. (3) Menteri dapat memberikan arahan bagi penilai kerugian asuransi dan konsultan aktuaria dalam menyusun norma profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). Pasal 27 (1) Setiap Agen Asuransi hanya dapat menjadi agen dari 1 (satu) Perusahaan Asuransi. (2) Agen Asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni. (3) Semua tindakan Agen Asuransi yang berkaitan dengan transaksi asuransi menjadi tanggung jawab Perusahaan Asuransi yang diageni. (4) Agen Asuransi dalam menjalankan kegiatannya harus memberikan keterangan yang benar dan jelas kepada calon tertanggung tentang program asuransi yang dipasarkan dan ketentuan isi polis, termasuk mengenai hak dan kewajiban calon tertanggung. Pasal 28 (1) Perusahaan Perasuransian dapat menggunakan tenaga asing sebagai tenaga ahli, penaschat atau konsultan yang penggunaannya : a. hanya untuk melaksanakan proyek atau program tertentu yang berkaitan dengan kegiatan operasional di bidang perasuransian; dan b. jangka waktu untuk proyek atau program sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling lama 5 (lima) tahun. (2) Perusahaan Perasuransian yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat menggunakan tenaga asing sebagai tenaga eksekutif di luar Pengurus dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. tenaga asing tersebut menduduki jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja warga negara Indonesia; b. mempunyai program Indonesianisasi yang jelas melalui pendidikan dan latihan. (3) Disamping persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penggunaan tenaga kerja asing serta tatacara penggunaannya mengikuti peraturan perundang.undangan di bidang ketenagakerjaaan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 29 (1) Setiap pembukaan kantor cabang Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yang dalam kegiatannya memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak penutupan asuransi dan atau menandatangani polis dan atau menetapkan untuk membayar atau menolak klaim, harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Menteri. (2) Untuk memperoleh izin pembukaan kantor sebagaimana dimaksud Perusahaan Asuransi solvabilitas. (3) Kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memiliki tenaga ahli, sistem administrasi dan sistem pengolahan data yang memadai. (4) Setiap pembukaan kantor Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi selain kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus terlebih dahulu dilaporkan kepada Menteri. (5) Setiap pembukaan kantor cabang Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dalam bentuk atau dengan nama apapun harus terlebih dahulu dilaporkan kepada Mcnteri. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 30 (1) Izin pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dapat dicabut, apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal izin pembukaan kantor cabang ditetapkan, kantor cabang yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan usahanya. (2) Setiap penutupan kantor cabang Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib dilaporkan kepada Menteri. Pasal 31 (1) Setiap perubahan terhadap ketentuan persyaratan yang telah dipenuhi dalam rangka pemberian izin usaha, harus terlebih dahulu dilaporkan kepada Menteri. (2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah ini dilakukannya perbaikan terhadap perubahan dimaksud agar tetap memenuhi ketentuan yang berlaku. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. beserta peraturan pelaksanaanya, Menteri memerintahkan dalam ayat (1), atau Perusahaan Reasuransi harus memenuhi ketentuan tingkat BAB VI PENYELENGGARAAN PROGRAM ASURANSI SOSIAL Pasal 32 (1) Program Asuransi Sosial merupakan program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu Undang.undang. (2) Program Asuransi Sosial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk khusus untuk itu. Pasal 33 Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan Program Asuransi menyelenggarakan program asuransi lain selain Program Asuransi Sosial. Pasal 34 Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial dalam menyelenggarakan usahanya wajib memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah ini beserta peraturan pelaksanaannya. Pasal 35 (1) Perusahaan Asuransi yang telah menyelenggarakan Program Asuransi Sosial pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, diwajibkan untuk menyesuaikan kegiatannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta jangka waktunya ditetapkan oleh Menteri. BAB VII MERGER DAN KONSOLIDASI Pasal 36 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang akan melakukan merger atau konsolidasi harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Menteri. (2) Merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan antara: a. Perusahaan Asuransi Kerugian dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau dengan Perusahaan Reasuransi, untuk membentuk Perusahaan Asuransi Kerugian; b. Perusahaan Reasuransi dengan Perusahaan Reasuransi Asuransi Kerugian, untuk membentuk Perusahaan Reasuransi; atau c. Perusahaan Asuransi Jiwa dengan Perusahaan Asuransi Perusahaan Asuransi Jiwa. (3) Untuk memperoleh persetujuan merger atau konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dipenuhi ketentuan: a. Merger atau konsolidasi tersebut tidak mengurangi hak tertanggung; b. Kondisi keuangan perusahaan hasil merger atau konsolidasi harus tetap memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas. Jiwa, untuk membentuk Sosial dilarang atau dengan Perusahaan (4) Tatacara permohonan persetujuan untuk melakukan merger atau konsolidasi ditetapkan oleh Menteri. BAB VIII SANKSI Pasal 37 Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya tentang perizinan usaha, kesehatan keuangan, penyelenggaraan usaha, penyampaian laporan, pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi, atau tentang pemeriksaan langsung, dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha, dan sanksi pencabutan izin usaha. Pasal 38 (1) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, maka terhadap: a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operational tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratip Rp. 1.000.000,. (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. b. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operational tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratip Rp. 500.000,. (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 39 (1) Pengenaan denda administratip berakhir pada saat pembayaran denda ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara yang diikuti dengan penyampaian laporan keuangan tahunan dan atau laporan operasional tahunan dan atau pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selambat.lambatnya dalam 2 (dua) hari kerja. (2) Dalam hal laporan keuangan tahunan dan atau laporan operasional tahunan telah disampaikan dan atau neraca dan perhitungan laba rugi telah diumumkan tetapi perusahaan yang bersangkutan belum membayar denda administratip, denda tersebut dinyatakah sebagai hutang kepada negara yang harus dicantumkan dalam neraca pcrusahaan yang bersangkutan. Pasal 40 Perusahaan Perasuransian yang telah dikenakan denda selama 90 (sembilan puluh) hari keterlambatan tetapi belum juga menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dengan tidak membebaskan kewajiban membayar denda yang telah dikenakan untuk jangka 90 (sembilan puluh) hari termaksud, dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha. Pasal 41 (1) Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. (2) Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut.turut dengan jangka waktu paling lama masing.masing 1 (satu) bulan. (3) Dalam hal perusahaan telah dikenakan sanksi peringatan terakhir, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah peringatan dimaksud perusahaan tetap tidak memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan, perusahaan yang bersangkutan dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha. Pasal 42 (1) Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan. (2) Dalam hal Menteri menilai diperlukan adanya suatu rencana kerja dalam rangka mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha pada saat penetapan pembatasan kegiatan usaha Menteri dapat memerintahkan penyusunan rencana kerja yang harus disampaikan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. (3) Dalam hal Perusahaan Perasuransian dapat mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat mencabut sanksi pembatasan kegiatan usaha. (4) Dalam hal Perusahaan Perasuransian tidak dapat mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau dari pelaksanaan rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam jangka waktu sampai berakhirnya sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpulkan bahwa perusahaan tidak mampu atau tidak bersedia mengatasi penyebab dari sanksi termaksud, Menteri mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan. Pasal 43 (1) Menteri dapat mencabut izin usaha Perusahaan Pialang Asuransi yang diwajibkan membayar klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3). (2) Tanpa mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42, pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut: a. Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya kewajiban pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3). usaha sanksi pembatasan Perusahaan Pialang Asuransi tidak memenuhi kewajiban pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat kegiatan (3) (3) dalam jangka waktu 1 (satu) ditetapkannya sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. c. Pengenaan sanksi pencabutan izin usaha dilakukan oleh Menteri apabila Perusahaan Pialang Asuransi tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat dalam jangka waktu 1 (satu) (3) Dalam hal bulan setelah ditetapkannya sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a. terdapat Perusahaan Pialang Asuransi yang diwajibkan membayar klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) untuk kedua kalinya, maka pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan dianggap sebagai kelanjutan dari pelanggaran sebelumnya dan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bulan setelah dilakukan oleh Menteri apabila b. Pengenaan (1), Menteri dilakukan dengan mengikuti kelanjutan tahapan pelaksanaan pengenaan sanksi yang pernah dilakukan tanpa harus mengulangi dari tahap pemberian peringatan. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 44 (1) Bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, izin usahanya dinyatakan telap berlaku, dan (2) Perusahaan Pialang Asuransi menyesuaikan diri dengan kctentuan.ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini peraturan pelaksanaannya. diwajibkan serta yang telah mendapat izin usaha pada saat Peraturan Pcmerintah ini ditetapkan, wajib memperbarui izin usahanya sebagai Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi. (3) Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 45 Peraturan pelaksanaan Kcputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1988 tentang Usaha Di Bidang Asuransi Kerugian serta ketentuan lainnya masih berlaku sampai dengan diberlakukannya peraturan perundang. undangan yang menggantikannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 46 Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1988 tentang Usaha Di Bidang Asuransi Kerugian dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 47 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, MOERDIONO PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELEGGARAAN USAHA PERASURANSIAN UMUM Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Pembangunan Nasional atas dasar kekuatan sendiri, diperlukan upaya menata lembaga-lembaga keuangan agar mampu melaksanakan fungsinya menyediakan jasa keuangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia usaha, serta dapat benar-benar memperoleh kepercayaan dari masyarakat atas ketangguhan dan keandalannya, sehingga semakin mampu berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya termasuk memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja. Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka telah terdapat salah satu perangkat hukum bagi industri perasuransian yang merupakan salah satu unsur lembaga keuangan, yang diharapkan dapat berperan dalam menanggulangi risiko yang dihadapi anggota masyarakat dan sekaligus merupakan salah satu lembaga penghimpun dana masyarakat. Dalam memperkuat pelaksanaan fungsi Perusahaan Perasuransian, perlu diberikan kesempatan yang luas kepada pihak-pihak yang ingin berusaha di bidang perasuransian, sekaligus dengan penegasan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha tersebut dilakukan secara sehat dan bertanggung jawab, dan tidak mengabaikan kepentingan masyarakat pada umumnya atau tertanggung khususnya. Untuk itu, dalam melaksanakan kegiatan usahanya Perusahaan Perasuransian perlu tetap mempertahankan ketaatannya pada syarat- syarat penyelenggaraan usaha, termasuk mengenai tingkat kesehatan usaha, sebagaimana yang dipersyaratkan di dalam Peraturan Pemerintah ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Pada dasarnya, setiap obyek asuransi di Indonesia harus diasuransikan pada Perusahaan Asuransi di Indonesia. Namun demikian, apabila tidak ada satu pun Perusahaan Asuransi yang mampu atau bersedia melakukan penutupan asuransi atas obyek yang bersangkutan, penutupannya dimungkinkan dilakukan oleh Perusahaan Asuransi di luar negeri. Pasal 3 Ayat (1) Dalam anggaran dasar harus dinyatakan secara tegas jenis usaha perasuransian yang akan dijalankan. Contoh peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam huruf c, adalah Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian beserta peraturan pelaksanaannya serta Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Ayat Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan modal disetor dalam Peraturan Pemerintah ini adalah modal disetor perseroan terbatas, atau simpanan pokok dan simpanan wajib koperasi, atau dana awal usaha bersama. Ketentuan permodalan tidak dikenakan pada Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria karena dalam kegiatan perusahaan-perusahaan dimaksud yang lebih dominan adalah unsur profesionalisme. Dengan demikian, unsur permodalan diharapkan dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan kebutuhan perusahaan yang bersangkutan dalam menjalankan kegiatan usahanya tanpa perlu adanya pengaturan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Apabila terjadi perubahan pemegang saham, maka pemegang saham baru wajib tunduk dan mengikatkan diri pada perjanjian kerjasama yang telah dibuat oleh para pemegang saham pendiri, yang antara lain memuat tentang peningkatan kepemilikan saham pihak Indonesia. Peningkatan kepemilikan saham pihak Indonesia tersebut dapat ditempuh antara lain melalui penjualan saham dari pihak asing kepada pihak Indonesia, peningkatan penyertaan modal pihak Indonesia, dan atau penjualan saham melalui bursa efek di Indonesia. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas (2) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Bunga atau hasil deposito yang ditempatkan atas nama Menteri untuk kepentingan perusahaan adalah menjadi hak perusahaan yang bersangkutan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Pengembangan sumber daya manusia yang dimaksudkan dalam Ayat (2) (3) (4) (1) huruf a termasuk pula peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi para Agen Asuransi yang melakukan kegiatan pemasaran untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi yang diageni. Ayat Cukup jelas Ayat Cukup jelas Ayat Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Sebelum berakhirnya jangka waktu 1 (satu) tahun, Perusahaan Perasuransian dapat mempersiapkan diri dan mengajukan izin usaha. Ayat (5) Yang dimaksud dengan retrosesi penutupan reasuransi. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas dalam huruf h adalah pertanggungan ulang atas Ayat Pasal 12 Ayat (3) Cukup jelas (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan premi bruto dalam ayat ini adalah premi penutupan langsung ditambah premi penutupan tidak langsung, setelah masing-masing dikurangi komisi. Sedangkan premi neto adalah premi bruto dikurangi premi reasuransi dibayar, setelah premi reasuransi dibayar tersebut dikurangi komisinya. Contoh perhitungan : Seandainya perusahaan menerima premi penutupan langsung Rp. 1.000,- dengan komisi dibayar 20%. Dari penutupan langsung tersebut direasuransikan 50%-nya. Untuk itu perusahaan menerima komisi reasuransi sebesar 25% dari premi reasuransi yang dibayarnya. Di samping itu perusahaan menerima pula premi penutupan tidak langsung Rp. 300,-. dengan komisi reasuransi dibayar sebesar 25% pula. Maka premi bruto dan premi neto sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah sebagai berikut : PENUTUPAN LANGSUNG : a. Premi diterima= Rp. 1.000,- b. Komisi keperantaraan Dibayar (20% x a)= Rp. 200,- PENUTUPAN REASURANSI : c. Premi reasuransi dibayar (50% x a) = Rp. 500,- d. Komisi reasuransi diterima (25% x c) = Rp. 125,- PENUTUPAN TIDAK LANGSUNG : e. Premi diterima = Rp. 300,- f. Komisi dibayar (25% x e)= Rp. 75,- PREMI BRUTO = (Premi penutupan lsg - Komisi penutupan lsg) + (Premi Penutupan tdk lsg – Komisi penutupan tdk lsg) = [a - b] + [e – f) = [Rp 1.000,- - Rp 200,-] + [Rp 300,- Rp 75,-] = Rp 1.025,- PREMI NETO = PREMI BRUTO - (Premi Reasuransi dibyr - Komisi Reasuransi ditrm) = Rp 1.025;48,- - [Rp 5OO- - Rp 125,-] = Rp 650,- Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Dana yang diinvestasikan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagian besar berasal dari masyarakat dan berkaitan dengan kewajiban perusahaan yang bersangkutan kepada para tertanggung. Oleh sebab itu, pengelolaan investasi harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek yuridis, tingkat risiko, tingkat keuntungan, dan tingkat likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk itu, Menteri menetapkan jenis-jenis investasi yang dapat dilakukan, misalnya deposito, serta saham dan obligasi yang diperjual belikan di bursa efek di Indonesia. Ayat Pasal 14 Ayat (2) Cukup jelas (1) Cadangan teknis menggambarkan kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi, yang timbul dalam rangka transaksi asuransi. Dengan ketentuan Pasal ini. Perusahaan Asuransi Kerugian harus membentuk cadangan teknis, yaitu: - cadangan atas premi reserve), yaitu bagian premi dari pertanggungan yang masih berjalan, - cadangan klaim. - Perusahaan Asuransi Jiwa, dengan mempertimbangkan jenis program asuransi yang dipasarkan, harus membentuk cadangan teknis, yaitu: - cadangan premi, - cadangan premi anuitas, - cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan, - cadangan klaim. Perusahaan Reasuransi, dengan mempertimbangkan jenis asuransi reasuransinya, harus membentuk cadangan teknis, yaitu: - cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan, - cadangan premi, - cadangan klaim. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat. (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas yang belum merupakan pendapatan (unearned premium yang ditutup Pasal 16 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini melarang perjanjian reasuransi yang memungkinkan pihak penanggung ulang memperoleh penerimaan yang sudah dipastikan tidak kurang dari jumlah tertentu, terlepas dari besarnya klaim yang dicakup dalam perjanjian reasuransi dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Yang dimaksud dengan pemasaran program asuransi adalah setiap kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung dilakukan untuk menarik calon tertanggung, kegiatan promosi, iklan, brosur, dan prospektus. termasuk Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Termasuk dalam pembayaran premi (2) (3) asuransi Perusahaan Asuransi adalah setiap pembayaran baik langsung dari tertanggung kepada dilakukan langsung kepada Perusahaan Asuransi maupun pembayaran melalui badan perantara yang ditunjuk oleh Perusahaan Asuransi, misalnya Agen Asuransi, bank, dan sebagainya. Ayat Cukup jelas Ayat Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Dalam ketentuan ini (2) Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 37 Sanksi pembatasan kegiatan usaha dapat dilakukan antara lain dalam bentuk : a. Larangan melakukan penutupan pertanggungan baru bagi Perusahaan Asuransi; b. Larangan melakukan penutupan pertanggungan ulang yang baru bagi Perusahaan Reasuransi; c. Larangan melakukan jasa keperantaraan bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi; d. Larangan melakukan jasa konsultasi aktuaria bagi Perusahaan Konsultan Aktuaria; e. Larangan melakukan jasa penilaian kerugian bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi; f. Larangan melakukan jasa pemasaran bagi Agen Asuransi. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas dikandung pengertian bahwa Program Asuransi Sosial tersebut didasarkan pada undang-undang tersendiri dan penyelenggaraannya bersifat wajib. Ayat Pasal 39 Ayat (1) Dalam hal laporan disampaikan melalui usaha jasa pengiriman, batas waktu 2 (dua) hari kerja dihitung sejak tanggal pembayaran denda sampai dengan tanggal pengiriman melalui usaha jasa pengiriman. Untuk pemenuhan pengumuman neraca dan laporan laba rugi pada surat kabar harian, batas waktu 2 (dua) hari kerja dihitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemuatan pengumuman neraca dan laporan laba rugi dimaksud pada surat kabar harian. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas
<reg_id> 73/PP/1992 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 30 Oktober 1992 </set_date> <effective_date> 30 Oktober 1992 </effective_date> <issued_date> 30 Oktober 1992 </issued_date> <replaced_reg> '40/KEPPRES/1988' </replaced_reg> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '2/UU/1992', '25/UU/1992', '23/STBLD/1847', '4/UU/1971' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PP. No. : 46 Tahun 1995 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1995 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, Bapepam berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap setiap Pihak yang melakukan pelanggaran atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diatur mengenai tata cara pemeriksaan di bidang Pasar Modal dengan Peraturan Pemerintah; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DI BIDANG PASAR MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Bapepam yang diangkat oleh Ketua Bapepam sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 2. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lain yang dilakukan oleh Pemeriksa untuk membuktikan ada atau tidak adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. II- 1 PP. No. : 46 Tahun 1995 BAB II TUJUAN PEMERIKSAAN Pasal 2 (1) Tujuan pemeriksaan adalah membuktikan ada atau tidak adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan dalam hal : a. adanya laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari Pihak tentang adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; b. tidak dipenuhinya kewajiban yang harus dilakukan oleh Pihak-Pihak yang memperoleh perizinan, persetujuan atau pendaftaran dari Bapepam atau Pihak lain yang dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam; atau c. terdapat petunjuk tentang terjadinya pelanggaran atas peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal. BAB III NORMA PEMERIKSAAN Pasal 3 Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada norma pemeriksaan yang menyangkut Pemeriksa, pelaksanaan pemeriksaan, dan Pihak yang diperiksa. Pasal 4 Norma pemeriksaan yang menyangkut Pemeriksa adalah sebagai berikut : a. Pemeriksa harus memiliki Tanda Pengenal Pemeriksa serta dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan dari Ketua Bapepam pada waktu melakukan pemeriksaan; b. Pemeriksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Pihak yang diperiksa; c. Pemeriksa memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Pihak yang diperiksa; d. Pemeriksa menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Pihak yang akan diperiksa; e. Pemeriksa wajib membuat laporan hasil pemeriksaan; dan f. Pemeriksa dilarang memberitahukan kepada Pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau yang diberitahukan kepadanya oleh Pihak yang diperiksa dalam rangka pemeriksaan. Pasal 5 Norma pemeriksaan yang menyangkut pelaksanaan pemeriksaan adalah sebagai berikut : II- 2 PP. No. : 46 Tahun 1995 a. pemeriksaan hanya dapat dilakukan oleh lebih dari satu orang Pemeriksa; b. pemeriksaan dilaksanakan di kantor Pemeriksa, di kantor atau di pabrik atau di tempat usaha atau di tempat tinggal atau di tempat lain yang diduga ada kaitannya dengan pelanggaran yang terjadi; c. pemeriksaan dilaksanakan pada jam dan hari kerja dan dapat dilanjutkan di luar jam kerja dan hari kerja, jika dipandang perlu; d. Hasil pemeriksaan diwujudkan dalam laporan pemeriksaan; dan e. Hasil pemeriksaan yang disetujui Pihak yang diperiksa, dibuatkan surat pernyataan tentang persetujuannya dan ditandatangani oleh yang bersangkutan. Pasal 6 Norma pemeriksaan yang menyangkut Pihak yang diperiksa adalah sebagai berikut : a. Pihak yang diperiksa berhak meminta kepada Pemeriksa untuk memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan dan Tanda Pengenal Pemeriksa; b. Pihak yang diperiksa berhak meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan; dan c. Pihak yang diperiksa menandatangani surat pernyataan persetujuan tentang hasil pemeriksaan. Pasal 7 Pelaksanaan pemeriksaan terhadap Pihak yang diperiksa didasarkan pada pedoman pemeriksaan yang meliputi pedoman umum pemeriksaan, pedoman pelaksanaan pemeriksaan, dan pedoman laporan pemeriksaan. Pasal 8 Pedoman umum pemeriksaan mengatur hal-hal sebagai berikut : a. pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa yang telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan dapat menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memiliki ketrampilan sebagai Pemeriksa; b. Pemeriksa harus bekerja dengan jujur, wajar, bertanggung jawab, penuh pengabdian serta wajib menghindarkan diri dari tindakan yang merugikan kebebasan bertindak selayaknya sebagai Pemeriksa yang baik; dan c. laporan pemeriksaan harus dibuat oleh Pemeriksa secara cermat dan seksama serta memberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Pasal 9 Pedoman pelaksanaan pemeriksaan mengatur hal-hal sebagai berikut : a. pelaksanaan pemeriksaan harus dilakukan dengan persiapan sebaik-baiknya, juga dengan memperhatikan tujuan pemeriksaan, serta harus ada pengawasan dan bimbingan yang seksama terhadap Pemeriksa; II- 3 PP. No. : 46 Tahun 1995 b. ruang lingkup pemeriksaan ditentukan berdasarkan tingkatan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan dengan bukti yang kuat dan berkaitan melalui pencocokan, pengamatan, tanya jawab, dan data-data; dan c. kesimpulan harus didasarkan pada bukti yang berkaitan dengan lingkup pemeriksaan dan berlandaskan pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Pasal 10 Pedoman laporan pemeriksaan mengatur hal-hal sebagai berikut : a. dalam menyusun laporan pemeriksaan, Pemeriksa wajib memperhatikan: 1) sifat dari pelanggaran; 2) bukti atau petunjuk adanya pelanggaran; 3) pengaruh atau akibat dari pelanggaran; 4) ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang dilanggar; dan 5) hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan; b. laporan pemeriksaan disusun secara jelas, terinci, dan ringkas serta memuat ruang lingkup yang sesuai dengan tujuan pemeriksaan. c. uraian dan kesimpulan didukung oleh alasan dan bukti yang cukup tentang ada atau tidak adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan ditetapkan oleh Bapepam. BAB IV TATA CARA PEMERIKSAAN Pasal 12 (1) Pemeriksaan dimulai setelah memperoleh penetapan Ketua Bapepam. (2) Penetapan Ketua Bapepam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikeluarkan, setelah disusun program pemeriksaan yang sekurang-kurangnya memuat : a. tujuan pemeriksaan; b. ruang lingkup pemeriksaan; dan c. saat dimulainya pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pemeriksaan, Pemeriksa dapat : a. meminta keterangan, konfirmasi, dan atau bukti yang diperlukan dari Pihak yang diperiksa dan atau Pihak lain yang diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan; b. memerintahkan Pihak yang diperiksa untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan tertentu; c. memeriksa catatan, pembukuan, dan atau dokumen pendukung lainnya; II- 4 PP. No. : 46 Tahun 1995 d. meminjam atau membuat salinan atas catatan pembukuan, dan atau dokumen lainnya sepanjang diperlukan; e. memasuki tempat atau ruangan tertentu yang diduga merupakan tempat menyimpan catatan, pembukuan, dan atau dokumen lainnya; dan f. memerintahkan Pihak yang diperiksa untuk mengamankan catatan, pembukuan, dan atau dokumen lainnya yang berada dalam tempat atau ruangan sebagaimana dimaksud dalam huruf e, untuk kepentingan pemeriksaan. (4) Atas peminjaman catatan, pembukuan dan dokumen lainnya sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara jelas dan terinci jenis serta jumlahnya. Pasal 13 (1) Apabila pada saat dilakukan pemeriksaan, Pihak yang diperiksa atau wakil atau kuasanya tidak ada di tempat, maka pemeriksaan tetap dapat dilangsungkan sepanjang ada Pihak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili Pihak yang diperiksa, terbatas untuk hal yang boleh dilakukannya, dan selanjutnya pemeriksaan ditunda untuk diulang pada kesempatan yang berikutnya. (2) Sebagai upaya pengamanan, maka sebelum pemeriksaan ditunda, Pemeriksa dapat memerintahkan Pihak yang diperiksa untuk melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf f. (3) Apabila pada saat dilanjutkannya pemeriksaan kembali setelah dilakukan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pihak yang diperiksa atau wakil atau kuasanya tidak juga ada di tempat, maka pemeriksaan tetap dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai Pihak yang diperiksa untuk membantu kelancaran pemeriksaan. (4) Dalam hal Pihak yang diperiksa atau wakil atau kuasanya berada di tempat, tetapi menolak atau menghambat pelaksanaan pemeriksaan, maka yang bersangkutan wajib menandatangani Surat Pernyataan Menolak atau Menghambat Pemeriksaan. (5) Dalam hal pegawai Pihak yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) menolak untuk membantu atau menghambat kelancaran pemeriksaan, maka yang bersangkutan wajib menandatangani Surat Pernyataan Menolak Membantu atau Menghambat Kelancaran Pemeriksaan. (6) Dalam hal terjadi penolakan untuk menandatangani sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5), Pemeriksa membuat Berita Acara tentang penolakan tersebut yang ditandatangani oleh Pemeriksa. (7) Surat Pernyataan Menolak atau Menghambat Pemeriksaan, Surat Pernyataan Menolak Membantu atau Menghambat Kelancaran Pemeriksaan atau Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) dapat dijadikan dasar untuk dilakukan penyidikan. II- 5 PP. No. : 46 Tahun 1995 Pasal 14 (1) Pemeriksa membuat laporan pemeriksaan untuk digunakan sebagai dasar untuk membuktikan ada atau tidak adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. (2) Laporan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Ketua Bapepam. (1) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang Pasar Modal, pemeriksaan tetap dilanjutkan dan Pemeriksa wajib membuat laporan kepada Ketua Bapepam mengenai ditemukannya bukti permulaan tindak pidana tersebut. (2) Berdasarkan bukti permulaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Bapepam dapat menetapkan dimulainya penyidikan. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Bapepam. Pasal 17 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1995 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal.30 Desember 1995 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd MOERDIONO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995 NOMOR 87 II- 6 Penjelasan PP. No. : 46/1995 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1995 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DI BIDANG PASAR MODAL UMUM Agar kegiatan di bidang Pasar Modal dapat dilaksanakan secara teratur, wajar, dan efisien, serta agar masyarakat pemodal dapat terlindungi dari praktik yang merugikan dan tidak sejalan dengan ketentuan perundang-undangan di bidang Pasar Modal, Bapepam mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap setiap Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Untuk menjamin agar pemeriksaan tersebut dapat terlaksana dengan lancar dan tertib dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban dari Pihak yang diperiksa, perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pemeriksaan sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 100 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas II- 7 Penjelasan PP. No. : 46/ 1995 Pasal 3 Yang dimaksud dengan “norma pemeriksaan” dalam Pasal ini adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-hal yang berkaitan antara Pemeriksa dengan Pihak yang diperiksa dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan. Norma pemeriksaan wajib dipatuhi baik oleh Pemeriksa maupun oleh Pihak yang diperiksa, agar pemeriksaan dapat terlaksana dengan lancar dan tertib. Pasal 4 Huruf a Tanda Pengenal Pemeriksa dalam Pasal ini diperlukan agar pemeriksaan dilakukan hanya oleh Pemeriksa yang berwenang. Surat Perintah Pemeriksaan diperlukan agar pemeriksaan hanya ditujukan terhadap Pihak yang diperiksa yang namanya tercantum dalam Surat Perintah Pemeriksaan. Sebelum pemeriksaan dimulai, Pemeriksa wajib memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Pihak yang akan diperiksa. Dalam hal Pemeriksa tidak memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan, atau apabila identitas Pemeriksa yang tercantum dalam Tanda Pengenal Pemeriksa tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Surat Perintah Pemeriksaan, Pihak yang akan diperiksa berhak untuk menolak pemeriksaan. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Ketentuan ini tidak membatasi kewenangan Bapepam untuk mengumumkan hasil pemeriksaan. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas II- 8 Penjelasan PP. No. : 46/ 1995 Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 7 Yang dimaksud dengan “pedoman pemeriksaan” dalam Pasal ini adalah suatu kaidah yang memuat batasan-batasan yang harus dipenuhi Pemeriksa mengenai sifat, ruang lingkup, dan isi laporan pemeriksaan. Pasal 8 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 9 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas II- 9 Penjelasan PP. No. : 46/ 1995 Pasal 10 Huruf a Angka 1) Cukup jelas Angka 2) Cukup jelas Angka 3) Cukup jelas Angka 4) Cukup jelas Angka 5) Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas II- 10 Penjelasan PP. No. : 46/ 1995 Huruf d Yang dimaksud dengan “membuat salinan” dalam huruf ini adalah termasuk pula menggandakan dengan cara memfotocopy. Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Untuk mencegah agar pembukuan, catatan dan atau dokumen lainnya yang berhubungan dengan kegiatan Pihak yang diperiksa tidak dirusak, dimusnahkan, diganti, dipalsu, dipindahtangankan dan sebagainya, maka sebelum Pemeriksa meninggalkan tempat atau ruangan Pihak yang diperiksa, Pemeriksa dapat memerintahkan Pihak yang diperiksa untuk melakukan pengamanan terhadap dokumen-dokumen tersebut untuk kepentingan proses pemeriksaan. Ketentuan ini dapat juga diberlakukan terhadap wakil, atau kuasa, atau Pihak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili Pihak yang diperiksa. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas II- 11 Penjelasan PP. No. : 46/1995 Pasal 14 Ayat (1) Laporan pemeriksaan memuat antara lain tujuan pemeriksaan, temuan yang diperoleh dan kesimpulan hasil pemeriksaan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3618 II- 12
<reg_id> 46/PP/1995 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PEMERIKSAAN DI BIDANG PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 30 Desember 1995 </set_date> <effective_date> 1 Januari 1996 </effective_date> <issued_date> 30 Desember 1995 </issued_date> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '8/UU/1995' </related_reg>
PP No. 149 Th. 2000 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 149 TAHUN 2000 TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun dan; Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA. Pasal 1 Atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final oleh pihak-pihak yang membayarkan. Pasal 2 (1) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dipotong Pajak Penghasilan sebagai berikut: a. Penghasilan bruto di atas Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebesar 5% (lima persen). Page 1 of 2 PP No. 149 Th. 2000 b. Penghasilan bruto di atas Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebesar 10% (sepuluh persen) c. Penghasilan bruto di atas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebesar 15% (lima belas persen) d. Penghasilan bruto di atas Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebesar 25% (dua puluh lima persen) (2) Dikecualikan dari pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 jumlahnya Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) atau kurang. Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 4 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku. Pasal 5 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 266 Page 2 of 2
<reg_id> 149/PP/2000 </reg_id> <reg_title> PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA </reg_title> <set_date> 23 Desember 2000 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2001 </effective_date> <issued_date> 23 Desember 2000 </issued_date> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '6/UU/1983', '16/UU/2000', '7/UU/1983', '17/UU/2000' </related_reg>
PP. No. : 12 Tahun 2004 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja Perusahaan Efek melalui peningkatan permodalan Perusahaan Efek dan untuk menjamin hak-hak kepemilikan Perusahaan Efek pada Bursa Efek, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan Keempat Undang- Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentangPenyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL. II- 1 PP. No. : 12 Tahun 2004 Pasal I Mengubah ketentuan Pasal 8 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal, sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut : Pasal 8 (1) Perusahaan Efek yang telah menjadi pemegang saham Bursa Efek tetapi kemudian tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi Anggota Bursa Efek atau tidak lagi menjadi Anggota Bursa Efek, wajib mengalihkan saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada Perusahaan Efek lain yang memenuhi persyaratan sebagai Anggota Bursa Efek atau mengajukan permintaan penjualan saham dimaksud kepada Bursa Efek, dalam jangka waktu selambat- lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak saat Perusahaan Efek tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota Bursa Efek atau tidak lagi menjadi Anggota Bursa Efek. (2) Dalam hal kepemilikan saham belum beralih dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau Perusahaan Efek mengajukan permintaan penjualan saham kepada Bursa Efek, Bursa Efek melelang saham dimaksud pada tingkat harga terbaik atau membeli kembali saham tersebut pada harga nominal. (3) Pelelangan atau pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan terhitung sejak lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau sejak Bursa Efek menerima pengajuan permintaan penjualan. (4) Dalam hal Bursa Efek memutuskan untuk melelang saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), namun dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) saham dimaksud tidak terjual, maka Bursa Efek membeli saham tersebut pada harga nominal.” Pasal II Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. II- 2 PP. No. : 12 Tahun 2004 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Maret 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Maret 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 27 II- 3 Penjelasan PP. No. : 12 Tahun 2004 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL, U M U M Dalam rangka menciptakan Pasar Modal yang wajar, teratur dan efisien serta mampu bersaing dalam era perdagangan bebas, diperlukan upaya untuk meningkatkan kinerja Perusahaan Efek antara lain kualitas pelayanan, kualitas sumber daya manusia, ketaatan terhadap peraturan dan kualitas sistem back office. Peningkatan kinerja Perusahaan Efek ini dapat dilakukan dengan memperkuat kondisi keuangan dan kemampuan operasional Perusahaan Efek melalui peningkatan permodalan Perusahaan Efek. Peningkatan permodalan Perusahaan Efek dimaksud sejalan dengan General Principles International Organization of Securities Commission (IOSCO), yang menyatakan bahwa harus ada peningkatan secara terus menerus tentang persyaratan untuk menjadi perusahaan efek yang memperhatikan prinsip kehati-hatian, seperti struktur permodalan awal dan pemeliharaannya sehubungan dengan perkembangan potensi risiko yang ditanggung oleh Perusahaan Efek. Dengan adanya peningkatan permodalan bagi Perusahaan Efek, maka untuk melindungi kepentingan Perusahaan Efek yang saat ini telah memiliki saham Bursa Efek, maka jangka waktu pengalihan saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada pihak lain perlu diperpanjang. PASAL DEMI PASAL PASAL I Pasal 8 Cukup jelas. PASAL II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4372 II-4
<reg_id> 12/PP/2004 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 2 Maret 2004 </set_date> <effective_date> 2 Maret 2004 </effective_date> <issued_date> 2 Maret 2004 </issued_date> <changed_reg> '45/PP/1995' </changed_reg> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33', '45/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mencermati perkembangan industri perasuransian nasional dan dalam rangka mengantisipasi krisis ekonomi global yang melanda dunia pada saat ini, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan pentahapan pemenuhan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoncsia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lerabaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4856); MEMUTUSKAN: ... End of Page 1 REPUBLIK INDONESIA 2- MEMUTUSKAN Nlemeapian : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUDAA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN. Pasal l Ketentuan Pasal 6B Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran aaNegara Republik Indonesia Nomor 3506 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Pemerintah a. Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3861); b. Nomor 39 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4856); diubah schingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6B (1) Perusahaan Asuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2010, b. paling sedikit sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupials) paling lambat tanggal 31 Desember 2012; . paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2014. (2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut a. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupish) paling lambat tanggal 31 Desember 2010;, b. paling sedikit ... End of Page 2 PRESIDEN - 3- b. paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2012; c. paling sedikit sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiahl paling lambat tanggal 31 Desember 2014. Pasal II pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah yang dimiliki Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah ada dinyatakan berlaku sebagai izin untuk Unit Syariah. 2. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, untuk telah memiliki izin usaha berlaku ketentuan a. modal dalam perhitungan dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), sampai dengan tanggal 31 Desember 2010, adalah modal disetor Pemerintah tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang mendasari pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi terscbut. b. dalam hal memiliki Unit Syariah, modal dalam dalam Pasal 7 ayat (1), sampai dengan tanggal 31 Desember 2010, adalah modal disctor minimum yang dipersjaratkan dalam Peraturan Pemerintoht pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi tersebut ditambah modal kerja minimum Unit Syariah sestai dengan pentahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6E. dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b lewat, adalah modal sendiri minimum sesuai dengan dimalssud dalam Pasal 6B ditambah modal kerja minimum Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam End of Page 3 REPUBLIK INDONESIA -4 Agar setiap orang mengctahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSTA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 212 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidanig Perekonomian dan Industri, End of Page 4 REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1. UMUM Industri asuransi yang sehat, dapat diandalkan, dan kompetitif sangat asuransi seperti itu perlu dilakukan penyempurnaan strulctur permodalan dan tata kelola (govermance) dari para pelaku usaha perasuransian. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai landasan hukum untuk penyempurnaan tersebut. Penyempurnaan ketentuan mengenai struktur permodalan dilakukan pendirian baru Perusahaan Perasuransian dan keharusan menyesuaikan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. Hal ini dan kondisi ketiangan yang kuat dalam memberikan jasa perlindungan dan/atau pelayanan kepada masyarakat dan mampu berkompetisi secara sehat baik di tingkat nasionel, regional, maupun global. Mencermati perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional dan dalam rangka mengantisipasi krisis ekonomi global yang ketentuan mengenai jangka waktu pentahapan pemenuhan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 6B Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBUIK INDONESIA NOMOR 4954 End of Page 5
<reg_id> 81/PP/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 31 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 31 Desember 2008 </effective_date> <issued_date> 31 Desember 2008 </issued_date> <changed_reg> '73/PP/1992' </changed_reg> <extension_of> '63/PP/1999', '39/PP/2008' </extension_of> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '39/PP/2008', '73/PP/1992', '2/UU/1992' </related_reg>
PP. No. : 45 Tahun 1995 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan kegiatan Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien, diperlukan adanya persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Pihak-Pihak yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal dan ketentuan mengenai sanksi administratif bagi Pihak-Pihak tertentu yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu mengatur mengenai persyaratan dan tata cara perizinan, persetujuan, dan pendaftaran untuk melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal serta sanksi administratif dengan Peraturan Pemerintah; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL. BAB I BURSA EFEK Pasal 1 Bursa Efek dapat menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam. Pasal 2 Modal disetor Bursa Efek sekurang-kurangnya berjumlah Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 3 (1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Bursa Efek diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : a. akta pendirian Perseroan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman; II- 1 PP. No. : 45 Tahun 1995 b. daftar Perusahaan Efek yang menjadi pemegang saham Bursa Efek; c. Nomor Pokok Wajib Pajak Perseroan; d. pertimbangan ekonomi yang mendasari pendirian Bursa Efek termasuk uraian tentang keadaan pasar yang akan dilayaninya; e. proyeksi keuangan 3 (tiga) tahun; f. rencana kegiatan 3 (tiga) tahun termasuk susunan organisasi, fasilitas komunikasi, dan program - program latihan yang akan diadakan; g. daftar calon direktur dan komisaris termasuk pejabat satu tingkat di bawah direksi; h. daftar Pihak yang merencanakan untuk mencatatkan Efek di Bursa Efek; i. rancangan peraturan mengenai keanggotaan, pencatatan, perdagangan, kesepadanan Efek, kliring dan penyelesaian Transaksi Bursa, termasuk mengenai penetapan biaya dan iuran berkenaan dengan jasa yang diberikan; j. neraca pembukaan Perseroan yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam; dan k. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin usaha Bursa Efek yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. Pasal 4 Bapepam mempertimbangkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dengan memperhatikan: a. integritas dan keahlian calon anggota direksi dan komisaris; b. tingkat kelayakan dari rencana yang telah disusun; dan c. prospek terbentuknya suatu pasar yang teratur, wajar, dan efisien. Pasal 5 (1) Yang dapat menjadi pemegang saham Bursa Efek adalah Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. (2) Pada waktu pendirian, Bursa Efek wajib memiliki sekurang - kurangnya 50 (lima puluh) pemegang saham. (3) Bursa Efek wajib menerima permohonan Perusahaan Efek untuk menjadi pemegang saham Bursa Efek sepanjang pemegang saham yang menjadi Anggota Bursa Efek tersebut belum mencapai 200 (dua ratus). (1) Yang dapat menjadi Anggota Bursa Efek adalah pemegang saham Bursa Efek yang memenuhi syarat sebagai Anggota Bursa Efek. II- 2 PP. No. : 45 Tahun 1995 (2) Bursa Efek wajib menerima permohonan pemegang saham yang memenuhi syarat sebagai Anggota Bursa Efek untuk menjadi Anggota Bursa Efek sepanjang jumlah Anggota Bursa Efek belum mencapai 200 (dua ratus). Pasal 7 (1) Pemindahan hak atas saham Bursa Efek hanya dapat dilakukan kepada Perusahaan Efek yang telah mempunyai izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek dan memenuhi syarat menjadi Anggota Bursa Efek tersebut. (2) Pemindahan saham Bursa Efek hanya dapat dilakukan setelah adanya pernyataan Bursa Efek bahwa Perusahaan Efek yang akan menerima peralihan saham Bursa Efek tersebut telah memenuhi syarat menjadi Anggota Bursa Efek. Pasal 8 (1) Perusahaan Efek yang telah menjadi pemegang saham Bursa Efek tetapi kemudian tidak memenuhi syarat untuk menjadi Anggota Bursa Efek wajib mengalihkan saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada Perusahaan Efek lain yang memenuhi persyaratan sebagai Anggota Bursa Efek selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal saham Bursa Efek tersebut dimiliki oleh Perusahaan Efek dimaksud. (2) Perusahaan Efek yang tidak lagi menjadi Anggota Bursa Efek wajib mengalihkan saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada Perusahaan Efek lain yang memenuhi persyaratan sebagai Anggota Bursa Efek selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Perusahaan Efek tersebut tidak lagi menjadi Anggota Bursa Efek. (3) Dalam hal Perusahaan Efek tidak mengalihkan saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada Perusahaan Efek lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), maka Bursa Efek melelang saham Bursa Efek dimaksud pada tingkat harga terbaik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak dilampauinya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). (4) Dalam hal saham Bursa Efek tidak dapat dialihkan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka Perusahaan Efek yang memiliki saham Bursa Efek wajib menjual saham tersebut kepada Bursa Efek dan Bursa Efek wajib membeli saham tersebut pada harga nominal. Pasal 9 (1) Jumlah anggota direksi dan komisaris Bursa Efek masing-masing sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang. (2) Anggota direksi dilarang mempunyai jabatan rangkap sebagai anggota direksi, komisaris atau pegawai pada perusahaan lain. (3) Anggota direksi dan komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. II- 3 PP. No. : 45 Tahun 1995 Pasal 10 (1) Saham Bursa Efek adalah saham atas nama yang mempunyai nilai nominal dan hak suara yang sama. (2) Setiap pemegang saham Bursa Efek hanya dapat memiliki 1 (satu) saham. (3) Perusahaan Efek pemegang saham Bursa Efek yang tidak memenuhi syarat menjadi Anggota Bursa Efek atau tidak lagi menjadi Anggota Bursa Efek, tidak dapat menggunakan hak suara atas saham yang dimilikinya. (4) Bursa Efek dilarang membagikan dividen kepada pemegang saham. Pasal 11 Perusahaan Efek yang menjadi pemegang saham Bursa Efek dilarang mempunyai hubungan dengan Perusahaan Efek lain yang juga menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama melalui : a. kepemilikan, baik langsung maupun tidak langsung, sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari saham yang mempunyai hak suara; b. perangkapan jabatan sebagai anggota direksi atau komisaris; atau c. pengendalian di bidang pengelolaan dan atau kebijaksanaan perusahaan, baik langsung maupun tidak langsung. Pasal 12 Pemegang saham Bursa Efek wajib menyerahkan surat saham Bursa Efek yang dimilikinya kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagai jaminan atas transaksi Efek yang dilakukannya. Pasal 13 (1) Anggaran dasar atau peraturan Bursa Efek atau perubahannya wajib diajukan kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan. (2) Dalam hal anggaran dasar atau peraturan Bursa Efek atau perubahannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditolak, Bapepam memberikan alasan atas penolakan tersebut. (3) Dalam rangka terciptanya Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien, Bapepam dapat memerintahkan Bursa Efek untuk mengubah anggaran dasar atau peraturan Bursa Efek. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Bursa Efek berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. II- 4 PP. No. : 45 Tahun 1995 BAB II LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN Pasal 15 Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam. Pasal 16 Modal disetor Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sekurang-kurangnya berjumlah Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 17 (1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : a. akta pendirian Perseroan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman; b. Nomor Pokok Wajib Pajak Perseroan; c. proyeksi keuangan 3 (tiga) tahun; d. rencana kegiatan 3 (tiga) tahun termasuk susunan organisasi, fasilitas komunikasi, dan program-program latihan yang akan diadakan; e. daftar calon direktur dan komisaris termasuk pejabat satu tingkat di bawah direksi; f. Bursa Efek yang akan mengendalikan dan atau menggunakan jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; g. rancangan peraturan mengenai kegiatan kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa, termasuk ketentuan mengenai biaya pemakaian jasa yang ditetapkan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan; h. rancangan peraturan mengenai jasa Kustodian sentral dan jasa penyelesaian transaksi Efek, termasuk ketentuan mengenai biaya pemakaian jasa yang ditetapkan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan i. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin usaha Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. Pasal 18 Bapepam mempertimbangkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan memperhatikan : II- 5 PP. No. : 45 Tahun 1995 a. integritas dan keahlian calon anggota direksi dan komisaris; b. tingkat kelayakan dari rencana yang telah disusun; c. prospek terbentuknya suatu pasar yang teratur, wajar, dan efisien; dan d. sistem kliring, penjaminan, penyelesaian, serta jasa Kustodian yang aman dan efisien. Pasal 19 (1) Jumlah anggota direksi dan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian masing-masing sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang. (2) Anggota direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang mempunyai jabatan rangkap sebagai anggota direksi, komisaris, atau pegawai pada perusahaan lain. (3) Anggota direksi dan komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Pasal 20 (1) Saham Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah saham atas nama yang mempunyai nilai nominal dan hak suara yang sama. (2) Saham Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya dapat dimiliki oleh Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Pihak lain atas persetujuan Bapepam. (3) Mayoritas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan, harus dimiliki oleh Bursa Efek. (4) Pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya dapat dilakukan kepada Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Pihak lain yang telah memperoleh persetujuan dari Bapepam. (5) Pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh Bursa Efek kepada pihak yang bukan Bursa Efek hanya dapat dilakukan sepanjang Bursa Efek tetap memiliki mayoritas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan. (6) Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang membagikan dividen kepada pemegang saham. Pasal 21 (1) Anggaran dasar atau peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau perubahannya wajib diajukan kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan. (2) Dalam hal anggaran dasar atau peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau perubahannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditolak, Bapepam memberikan alasan atas penolakan tersebut. (3) Dalam rangka terciptanya Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien, Bapepam dapat memerintahkan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan II- 6 PP. No. : 45 Tahun 1995 Penyelesaian untuk mengubah anggaran dasar atau peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. BAB III REKSA DANA Pasal 23 Reksa Dana berbentuk Perseroan menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam. Pasal 24 (1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : a. akta pendirian Perseroan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman; b. nama dan alamat pendiri Reksa Dana; c. nama dan alamat anggota direksi Reksa Dana; d. nama dan alamat Manajer Investasi dan Bank Kustodian; e. kontrak pengelolaan Reksa Dana; f. kontrak mengenai jasa Kustodian atas kekayaan Reksa Dana; g. penunjukan Profesi Penunjang Pasar Modal; dan h. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin usaha Reksa Dana yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. Pasal 25 Maksud dan tujuan Reksa Dana berbentuk Perseroan hanya untuk menyelenggarakan kegiatan usaha Reksa Dana. Pasal 26 Pengeluaran saham baru, pembelian kembali, dan pengalihan saham bagi Reksa Dana terbuka berbentuk Perseroan dapat dilakukan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. II- 7 PP. No. : 45 Tahun 1995 Pasal 27 Reksa Dana berbentuk Perseroan wajib dibubarkan dalam hal izin usaha Reksa Dana tersebut dicabut oleh Bapepam. Pasal 28 Dalam hal Manajer Investasi dan atau direktur Reksa Dana berbentuk Perseroan melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, peraturan pelaksanaannya, kontrak pengelolaan Reksa Dana dan atau anggaran dasar Reksa Dana, Bapepam berwenang membekukan kegiatan usaha Reksa Dana, mengamankan kekayaan, dan menunjuk Manajer Investasi lain untuk mengelola kekayaan Reksa Dana, atau mencabut izin usaha Reksa Dana dimaksud. Pasal 29 Dalam hal Manajer Investasi untuk Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, peraturan pelaksanaannya, dan atau kontrak investasi kolektif, Bapepam berwenang membekukan kegiatan usaha Reksa Dana, mengamankan kekayaan, dan menunjuk Manajer Investasi lain untuk mengelola kekayaan Reksa Dana, atau membubarkan Reksa Dana dimaksud. Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Reksa Dana berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. BAB IV PERUSAHAAN EFEK Pasal 31 Perusahaan Efek dapat menjalankan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek dan atau Manajer Investasi setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam. Pasal 32 (1) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat berbentuk : a. Perusahaan Efek nasional, yang seluruh sahamnya dimiliki oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; b. Perusahaan Efek patungan, yang sahamnya dimiliki oleh orang perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia dan atau badan hukum asing yang bergerak di bidang keuangan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal Perusahaan Efek melakukan Penawaran Umum. II- 8 PP. No. : 45 Tahun 1995 (3) Ketentuan mengenai kepemilikan saham Perusahaan Efek oleh orang perseorangan warga negara asing dan atau badan hukum asing ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Pasal 33 (1) Perusahaan Efek wajib memenuhi persyaratan permodalan sebagai berikut: a. Modal Perusahaan Efek nasional ditetapkan sebagai berikut : 1) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); 2) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); 3) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); 4) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek dan Manajer Investasi memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp10.500.000.000,00 (sepuluh milyar lima ratus juta rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah); dan 5) Perusahaan Efek nasional yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek dan Manajer Investasi memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). b. Modal Perusahaan Efek patungan ditetapkan sebagai berikut : 1) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); 2) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang- kurangnya sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); 3) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); II- 9 PP. No. : 45 Tahun 1995 4) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek dan Manajer Investasi memiliki modal disetor sekurang- kurangnya sebesar Rp11.000.000.000,00 (sebelas milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah); dan 5) Perusahaan Efek patungan yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek dan Manajer Investasi memiliki modal disetor sekurang-kurangnya sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Menteri Keuangan dapat menetapkan besarnya modal disetor yang harus dipenuhi oleh Perusahaan Efek, yang berbeda dengan besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Bapepam dapat menetapkan besarnya Modal Kerja Bersih Disesuaikan yang harus dipenuhi oleh Perusahaan Efek, yang berbeda dengan besarnya Modal Kerja Bersih Disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 34 (1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Efek diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : a. akta pendirian Perseroan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman; b. Nomor Pokok Wajib Pajak Perseroan; c. daftar nama direktur dan tenaga ahli yang memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek dari Bapepam; dan d. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin usaha Perusahaan Efek yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. Pasal 35 (1) Perusahaan Efek dilarang untuk dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung,oleh orang perseorangan yang : a. pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; dan b. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik. (2) Direktur, komisaris, atau Wakil Perusahaan Efek wajib memenuhi persyaratan sekurang- kurangnya sebagai berikut : a. orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum; b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direktur atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; II- 10 PP. No. : 45 Tahun 1995 c. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; d. memiliki akhlak dan moral yang baik; dan e. memiliki keahlian di bidang Pasar modal. Pasal 36 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek wajib sekurang- kurangnya memiliki seorang direktur dan seorang pegawai yang masing-masing telah memperoleh izin orang perseorangan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek. (2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek wajib sekurang- kurangnya memiliki seorang direktur dan seorang pegawai yang masing-masing telah memperoleh izin orang perseorangan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek atau Wakil Penjamin Emisi Efek. (3) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Manajer Investasi wajib sekurang- kurangnya memiliki seorang direktur dan seorang pegawai yang masing-masing telah memperoleh izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi. Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Perusahaan Efek berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. BAB V WAKIL PERUSAHAAN EFEK Pasal 38 (1) Izin orang perseorangan sebagai : a. Wakil Penjamin Emisi Efek hanya diberikan kepada orang perseorangan yang memiliki keahlian di bidang penjaminan emisi dan keperantara-pedagangan Efek; b. Wakil Perantara Pedagang Efek hanya diberikan kepada orang perseorangan yang memiliki keahlian di bidang keperantara-pedagangan Efek; dan c. Wakil Manajer Investasi hanya diberikan kepada orang perseorangan yang memiliki keahlian di bidang analisa Efek dan pengelolaan Portofolio Efek. (2) Persyaratan mengenai keahlian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam. Pasal 39 (1) Permohonan untuk memperoleh izin sebagai Wakil Perusahaan Efek diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : a. sertifikat pendidikan formal; II- 11 PP. No. : 45 Tahun 1995 b. sertifikat keahlian atau keterangan pengalaman kerja; dan c. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin sebagai Wakil Perusahaan Efek yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Wakil Perusahaan Efek berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. BAB VI PENASIHAT INVESTASI Pasal 41 (1) Pihak yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Penasihat Investasi adalah orang perseorangan atau perusahaan yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam. (2) Orang perseorangan yang menjadi Penasihat Investasi atau orang perseorangan yang menjadi direktur, komisaris atau mengendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, Penasihat Investasi yang berbentuk perusahaan wajib memenuhi persyaratan sekurang - kurangnya sebagai berikut : a. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; b. memiliki akhlak dan moral yang baik; dan c. memiliki keahlian di bidang Pasar modal. Pasal 42 Penasihat Investasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 41 wajib sekurang-kurangnya memiliki seorang tenaga ahli yang memiliki izin sebagai Wakil Manajer Investasi. Pasal 43 Penasihat Investasi yang melakukan kegiatan sebagai pemeringkat Efek, wajib memenuhi persyaratan sebagai beriku t : a. berbentuk Perseroan; b. mempunyai modal disetor Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan c. memiliki sekurang-kurangnya seorang direktur yang mempunyai pengetahuan di bidang pemeringkat Efek. II- 12 PP. No. : 45 Tahun 1995 Pasal 44 (1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha sebagai Penasihat Investasi diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : a. izin sebagai Wakil Manajer Investasi; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan c. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin usaha PenasihatInvestasi yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. Pasal 45 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Penasihat Investasi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. BAB VII BANK UMUM SEBAGAI KUSTODIAN Pasal 46 Bank Umum dapat menjalankan usaha sebagai Kustodian di bidang Pasar Modal setelah mendapat persetujuan dari Bapepam. Pasal 47 (1) Permohonan untuk mendapat persetujuan sebagai Kustodian diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut: : a. anggaran dasar; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; c. izin usaha sebagai Bank Umum; d. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam; e. buku pedoman operasional tentang kegiatan Kustodian yang akan dilakukan serta uraian mengenai fasilitas fisik yang akan digunakan oleh bank tersebut; f. rekomendasi dari Bank Indonesia; dan g. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan persetujuan Bank Umum sebagai Kustodian yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. II- 13 PP. No. : 45 Tahun 1995 Pasal 48 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Kustodian berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. BAB VIII BIRO ADMINISTRASI EFEK Pasal 49 Biro Administrasi Efek dapat menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam. Pasal 50 Modal disetor Biro Administrasi Efek sekurang-kurangnya Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 51 (1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha Biro Administrasi Efek diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : a. akta pendirian yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman; b. Nomor Pokok Wajib Pajak Perseroan; c. buku pedoman operasional tentang kegiatan yang akan dilakukan serta uraian mengenai fasilitas fisik yang akan digunakan; dan d. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan izin usaha Biro Administrasi Efek yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Biro Administrasi Efek berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. BAB IX WALI AMANAT Pasal 53 (1) Kegiatan usaha sebagai Wali Amanat dapat dilakukan oleh Bank Umum. (2) Wali Amanat dapat menjalankan usaha di bidang Pasar Modal setelah terdaftar di Bapepam. II- 14 PP. No. : 45 Tahun 1995 Pasal 54 (1) Permohonan untuk terdaftar sebagai Wali Amanat diajukan kepada Bapepam disertai dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : a. anggaran dasar; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; c. izin usaha sebagai Bank Umum; d. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam; e. rekomendasi dari Bank Indonesia; dan f. dokumen dan keterangan pendukung lain yang berhubungan dengan permohonan pendaftaran Wali Amanat yang ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Wali Amanat berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. BAB X PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL Pasal 56 (1) Kegiatan Profesi Penunjang Pasar Modal dapat dilakukan oleh : a. Akuntan; b. Konsultan Hukum; c. Penilai; dan d. Notaris. (2) Profesi Penunjang Pasar Modal hanya dapat menjalankan usaha di bidang Pasar Modal setelah terdaftar di Bapepam. Pasal 57 (1) Permohonan untuk terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal diajukan kepada Bapepam, dengan menggunakan formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan oleh Bapepam. (2) Pihak yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; II- 15 PP. No. : 45 Tahun 1995 b. memiliki akhlak dan moral yang baik; dan c. memiliki keahlian di bidang Pasar modal. Pasal 58 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Profesi Penunjang Pasar Modal berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam. BAB XI TATA CARA PEMBERIAN ATAU PENOLAKAN IZIN, PERSETUJUAN, DAN PENDAFTARAN Pasal 59 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan setiap Pihak untuk memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Bapepam wajib diberikan selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan diterima secara lengkap oleh Bapepam. (2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam dapat meminta perubahan dan atau tambahan informasi untuk melengkapi permohonan izin, persetujuan, atau pendaftaran. (3) Dalam hal perubahan dan atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah disampaikan kepada Bapepam, permohonan izin, persetujuan, atau pendaftaran dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan dan atau tambahan informasi tersebut oleh Bapepam. Pasal 60 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan peraturan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap oleh Bapepam. (2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam dapat meminta untuk mengubah materi perubahan peraturan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan atau meminta tambahan informasi yang berhubungan dengan perubahan peraturan dimaksud. (3) Dalam hal perubahan dan atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah disampaikan kepada Bapepam, permohonan perubahan peraturan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan atau tambahan informasi tersebut oleh Bapepam. II- 16 PP. No. : 45 Tahun 1995 BAB XII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 61 Emiten, Perusahaan Publik, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Reksa Dana, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Manajer Investasi, Biro Administrasi Efek, Kustodian, Wali Amanat, Profesi Penunjang Pasar Modal, dan Pihak lain yang telah memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Bapepam, serta direktur, komisaris, dan setiap Pihak yang memiliki sekurang- kurangnya 5% (lima perseratus) saham Emiten atau Perusahaan Publik, yang melakukan pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dikenakan sanksi administratif berupa : a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. Pasal 62 (1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a. (2) Sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 63 Setiap Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85, Pasal 86, dan Pasal 87 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang terlambat menyampaikan laporan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bapepam, dikenakan sanksi administratif sebagai berikut : a. Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dikenakan sanksi denda Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); b. Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Wali Amanat dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); II- 17 PP. No. : 45 Tahun 1995 c. Perusahaan Efek dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); d. Penasihat Investasi dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); e. Emiten yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif, dikenakan sanksi denda Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); f. Perusahaan Publik yang terlambat menyampaikan Pernyataan Pendaftarannya, dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan g. Direktur atau komisaris Emiten atau Perusahaan Publik, atau setiap Pihak yang memiliki sekurang- kurangnya 5% (lima perseratus) saham Emiten atau Perusahaan Publik, dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). h. Pihak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g yang telah memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Bapepam dikenakan sanksi denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 64 (1) Sanksi denda, selain sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, dapat dikenakan pada Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bagi orang perseorangan dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi Pihak yang bukan orang perseorangan, yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bapepam. Pasal 65 (1) Sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64 dikenakan untuk setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat diumumkan dalam media massa oleh Bapepam. II- 18 PP. No. : 45 Tahun 1995 BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 (1) Perusahaan Efek Nasional yang telah memperoleh izin usaha sebagai Penjamin Emisi Efek sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, wajib memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a angka 1) dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. (2) Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Pasal 67 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1990 tentang Pasar Modal dinyatakan tidak berlaku. Pasal 68 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1996. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1995 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1995 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, MOERDIONO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995 NOMOR 86 II- 19 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL UMUM Dalam rangka menciptakan Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien, perlu ditetapkan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap Pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Pasar Modal. Persyaratan dimaksud berlaku dalam rangka perizinan, persetujuan, atau pendaftaran Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Reksa Dana, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Wakil Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Kustodian, Wali Amanat, dan Profesi Penunjang Pasar Modal. Di samping persyaratan yang perlu dipenuhi dalam rangka perizinan, persetujuan, atau pendaftaran dimaksud, maka perlu pula diatur persyaratan penyampaian laporan yang berlaku bagi setiap Pihak yang memperoleh izin, persetujuan atau pendaftaran dari Bapepam, termasuk Emiten, Perusahaan Publik, dan direktur atau komisaris atau setiap Pihak yang memiliki sekurang- kurangnya 5% (lima perseratus) saham Emiten atau Perusahaan Publik. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan dimaksud, ditetapkan oleh Bapepam. Selanjutnya, dalam rangka penegakan berbagai peraturan di bidang Pasar Modal, perlu pula diatur ketentuan tentang pengenaan sanksi administratif. Dengan mengingat ragam serta jenis pelanggaran yang ada dalam kegiatan Pasar Modal, maka pada dasarnya Peraturan Pemerintah ini menyerahkan lebih lanjut mengenai pengaturan sanksi administratif kepada Bapepam dalam batas-batas yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan sebagai penjabaran lebih lanjut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) huruf a II- 20 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas huruf e Yang dimaksud dengan proyeksi keuangan adalah kemampuan Bursa Efek untuk menghasilkan arus kas dalam kegiatan usahanya di masa yang akan datang. huruf f Cukup jelas huruf g Cukup jelas huruf h Cukup jelas huruf i Cukup jelas huruf j Cukup jelas huruf k Dokumen dan keterangan pendukung tersebut semata-mata untuk melengkapi dokumen dan keterangan yang telah disebutkan dalam huruf a sampai dengan huruf j, dan bukan merupakan persyaratan baru. Hal yang sama juga berlaku untuk ketentuan yang sama dengan ketentuan ini dalam rangka persyaratan permohonan izin usaha, persetujuan dan atau pendaftaran kegiatan usaha di bidang Pasar Modal yang lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas II- 21 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 huruf c Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Kesempatan untuk ikut serta dalam pelelangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini hanya terbuka bagi Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek dari Bapepam dan memenuhi syarat sebagai Anggota Bursa Efek, sepanjang Perusahaan Efek tersebut belum menjadi pemegang saham Bursa Efek dimaksud. Ayat (4) Cukup jelas II- 22 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Pasal 9 Ayat (1) Penentuan jumlah anggota direksi dan komisaris didasarkan pada kebutuhan penyelenggaraan kegiatan Bursa Efek. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari atau mencegah terjadinya pengendalian Bursa Efek oleh satu Perusahaan Efek. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Bursa Efek semata-mata berfungsi untuk menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana perdagangan Efek, sehingga Anggota Bursa Efek dapat melakukan penawaran jual dan beli Efek secara teratur, wajar, dan efisien. Atas dasar itu pendapatan Bursa Efek yang pada dasarnya diperoleh dari pungutan berupa iuran anggota, biaya transaksi, dan biaya pencatatan Efek terutama dipergunakan untuk mencapai pelaksanaan fungsi tersebut. Pasal 11 huruf a Hubungan kepemilikan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam huruf ini terjadi apabila satu Perusahaan Efek memiliki saham Perusahaan Efek lain yang juga menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari saham yang mempunyai hak suara. Hubungan kepemilikan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam huruf ini terjadi apabila sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari saham yang mempunyai hak suara yang telah dikeluarkan oleh 2 (dua) Perusahaan Efek atau lebih yang menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama dimiliki oleh Pihak yang sama. Hubungan antara 2 (dua) Perusahaan Efek atau lebih dimaksud merupakan hubungan kepemilikan secara tidak langsung. II- 23 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 huruf b Perangkapan sebagai anggota direksi atau komisaris dalam huruf ini terjadi apabila direktur atau komisaris suatu Perusahaan Efek juga menduduki jabatan sebagai direktur dan atau komisaris Perusahaan Efek lain pada saat yang bersamaan. huruf c Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain pengendalian yang dilakukan oleh Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, atas 2 (dua) Perusahaan Efek atau lebih yang menjadi pemegang saham Bursa Efek yang sama. Pasal 12 Saham Bursa Efek yang dimiliki oleh Perusahaan Efek merupakan jaminan atas transaksi Efek yang dilakukan oleh Perusahaan Efek yang bersangkutan. Untuk itu, maka surat saham Bursa Efek tersebut wajib diserahkan kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan. Dengan penyerahan surat saham Bursa Efek tersebut, Lembaga Kliring dan Penjaminan diberi kuasa berdasarkan Peraturan Pemerintah ini untuk menjual saham Bursa Efek tersebut bagi pemenuhan kewajiban yang timbul sehubungan transaksi Efek yang dilakukannya. Pasal 13 Ayat (1) Berdasarkan ketentuan ini anggaran dasar Bursa Efek atau perubahannya diajukan terlebih dahulu kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan sebelum diajukan kepada Menteri Kehakiman. Ayat (2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini antara lain dilakukan apabila anggaran dasar atau peraturan Bursa Efek atau perubahannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal atau dapat menghambat terciptanya Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien. Ayat (3) Peraturan Bursa Efek yang dianggap menghambat bagi terciptanya Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien antara lain peraturan Bursa Efek yang melarang dilakukannya pencatatan Efek pada Bursa Efek lain. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas II- 24 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Pasal 17 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Yang dimaksud dengan proyeksi keuangan adalah kemampuan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk menghasilkan arus kas dalam kegiatan usahanya di masa yang akan datang. huruf d Cukup jelas huruf e Cukup jelas huruf f Cukup jelas huruf g Cukup jelas huruf h Cukup jelas huruf i Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18 huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas II- 25 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Pasal 19 Ayat (1) Penentuan jumlah anggota direksi dan komisaris didasarkan pada kebutuhan penyelenggaraan kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan “mayoritas” dalam ketentuan ini adalah kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari modal yang ditempatkan dan disetor. Ayat (6) Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian semata- mata berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan kliring, penjaminan, penyelesaian Transaksi Bursa, dan Kustodian sentral secara aman, teratur, wajar dan efisien. Atas dasar itu pendapatan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terutama dipergunakan untuk membiayai pelaksanaan fungsi tersebut. Pasal 21 Ayat (1) Berdasarkan ketentuan ini anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau perubahannya diajukan terlebih dahulu kepada Bapepam untuk memperoleh persetujuan sebelum diajukan kepada Menteri Kehakiman. II- 26 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Ayat (2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini antara lain dilakukan apabila anggaran dasar atau peraturan Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau perubahannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal atau dapat menghambat terciptanya pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas huruf e Cukup jelas huruf f Cukup jelas huruf g Cukup jelas huruf h Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas II- 27 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) huruf a angka 1) Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) atau disebut pula net adjusted working capital adalah jumlah kas dan bank, Portofolio Efek, dan aktiva lain Perusahaan Efek dikurangi dengan seluruh utang Perusahaan Efek, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bapepam. II- 28 PP. No. : 45 Tahun 1995 angka 2) Cukup jelas angka 3) Cukup jelas angka 4) Cukup jelas angka 5) Cukup jelas huruf b angka 1) Cukup jelas angka 2) Cukup jelas angka 3) Cukup jelas angka 4) Cukup jelas angka 5) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 34 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas II- 29 PP. No. : 45 Tahun 1995 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 35 Ayat 1) huruf a Tindak pidana di bidang keuangan antara lain tindak pidana di bidang perbankan, atau Pasar Modal, atau perpajakan. huruf b Cukup jelas Ayat (2) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas huruf e Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Orang perseorangan yang telah memiliki izin sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek dapat melakukan kegiatan sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas II- 30 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Pasal 38 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas II- 31 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 huruf c Cukup jelas Pasal 42 Dalam hal Penasihat Investasi adalah orang perseorangan dan yang bersangkutan telah memperoleh izin sebagai Wakil Manajer Investasi, maka orang perseorangan tersebut tidak wajib menunjuk Wakil Manajer Investasi lain. Pasal 43 Kegiatan pemeringkat Efek adalah kegiatan membuat penilaian mengenai kualitas atas suatu Efek dalam bentuk kode yang dibakukan. huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas II- 32 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Pasal 47 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas huruf e Cukup jelas huruf f Cukup jelas huruf g Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas II- 33 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 54 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Cukup jelas huruf d Cukup jelas huruf e Cukup jelas huruf f Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas II- 34 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal Pihak yang melakukan kegiatan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal bukan merupakan orang perseorangan, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berlaku pula bagi pengurus, pengawas, dan Pihak yang melakukan pengendalian, baik langsung maupun tidak langsung, atas Profesi Penunjang Pasar Modal. huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Persyaratan mengenai keahlian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, dapat berupa sertifikat pendidikan di bidang Pasar Modal. Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas II- 35 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 63 huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Pengenaan sanksi denda kepada Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam huruf ini termasuk pula pengenaan sanksi denda kepada Manajer Investasi. huruf d Cukup jelas huruf e Cukup jelas huruf f Cukup jelas huruf g Cukup jelas huruf h Cukup jelas II- 36 Penjelasan PP. No. : 45/ 1995 Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengenaan sanksi denda yang dimaksud dalam ketentuan ini misalnya terhadap tidak dipenuhinya persyaratan Modal Kerja Bersih Disesuaikan oleh Perusahaan Efek. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3617 II- 37
<reg_id> 45/PP/1995 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 30 Desember 1995 </set_date> <effective_date> 1 Januari 1996 </effective_date> <issued_date> 30 Desember 1995 </issued_date> <replaced_reg> '53/KEPPRES/1990' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan pelaksanaan di bidang usaha perasuransian perlu disesuaikan dengan perkembangan kegiatan industri asuransi pada khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN. Pasal I Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut : "Pasal 6 1. Persyaratan modal disetor bagi pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang- kurangnya sebagai berikut : a. Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi; b. Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi. (2) Pada saat pendirian perusahaan, kepemilikan saham pihak asing melalui penyertaan langsung dalam Perusahaan Perasuransian paling banyak 80% (delapan puluh per seratus). (3) Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian harus dilaporkan kepada Menteri." 2. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 9 (1) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut : a. Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang; b. Susunan Organisasi dan Kepengurusan perusahaan yang menggambarkan pemisahan fungsi dan uraian tugas; c. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya; d. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing; e. Spesifikasi program asuransi yang akan dipasarkan beserta program reasuransinya, bagi Perusahaan Asuransi; dan f. Program retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi. (2) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang- undang Nomor 2 tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut : a. Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang; b. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya; c. Polis Asuransi Indemnitas Profesi; dan d. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing. (3) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Penilai Kerugian, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Agen Asuransi yang berbentuk badan hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut : a. Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang; b. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya; c. Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing; dan d. Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi. (4) Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Agen Asuransi perorangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang- undang Nomor 2 tahun 1992, sekurang-kurangnya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi, sesuai dengan bidang usahanya; dan b. Perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni, bagi Perusahaan Agen Asuransi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha diatur dengan Keputusan Menteri." 3. Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 9 dan Pasal 10 yaitu Pasal 9A, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 9A (1) Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha bagi Perusahaan Perasuransian diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. (2) Setiap penolakan terhadap permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasan penolakannya." 4. Menambah satu BAB dan pasal baru diantara Pasal 10 dan Pasal 11 yaitu BAB IIIA Pasal 10A, yang berbunyi sebagai berikut: BAB IIIA KEPEMILIKAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN Pasal 10A Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dimungkinkan untuk melakukan perubahan kepemilikan melampaui batas kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) dengan ketentuan jumlah modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia harus tetap dipertahankan." 5. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) diubah serta menambah ayat baru yaitu ayat (4), sehingga Pasal 11 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 11 1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib menjaga tingkat solvabilitas. 2. Tingkat solvabilitas merupakan selisih antara jumlah kekayaan yang diperkenankan dan kewajiban. 3. Selisih antara jumlah kekayaan yang diperkenankan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya harus sebesar dana yang cukup untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai kekayaan yang diperkenan-kan, kewajiban, dan risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Menteri." 6. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 15 (1) Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menetapkan batas retensi sendiri sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri." 7. Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 15 dan Pasal 16 yaitu Pasal 15A, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 15A (1) Setiap Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi otomatis. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri." 8. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 16 (1) Dalam hal dukungan reasuransi diperoleh dari perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi luar negeri, maka perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi luar negeri tersebut harus memiliki peringkat yang baik dari lembaga pemeringkat independen yang diakui secara internasional. (2) Setiap perjanjian reasuransi harus dibuat secara tertulis dan tidak merupakan perjanjian yang menjanjikan keuntungan pasti bagi penanggung ulangnya. (3) Dalam perjanjian reasuransi harus dinyatakan bahwa dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilikuidasi, hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang timbul dalam transaksi reasuransi tetap mengikat sampai dengan saat salah satu atau kedua perusahaan tersebut dilikuidasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri." 9. Menambah 1 (satu) pasal baru diantara Pasal 16 dan Pasal 17 yaitu Pasal 16A, yang berbunyi sebagai berikut : "Pasal 16A Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat melakukan upaya bersama untuk menutup suatu jenis risiko khusus." 10. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut : "Pasal 18 (1) Perusahaan Asuransi yang akan memasarkan program asuransi baru harus terlebih dahulu memberitahukan rencana tersebut kepada Menteri. (2) Pemberitahuan mengenai rencana memasarkan program asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilengkapi dengan spesifikasi program asuransi yang akan dipasarkan berikut program reasuransinya serta bukti-bukti pendukungnya. (3) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak pemberitahuan diterima secara lengkap Menteri tidak memberikan tanggapan, Perusahaan Asuransi dapat memasarkan program asuransi dimaksud. (4) Program asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitahuan rencana memasarkan program asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri." 11. Ketentuan Pasal 38 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 38 ayat (1) seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 38 1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan dan atau laporan operasional tahunan, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan." 12. Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga Pasal 41 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 41 1. Pengenaan sanksi peringatan dilakukan oleh Menteri segera setelah diketahui adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. 2. Pengenaan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk setiap jenis pelanggaran dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 1 (satu) bulan. 3. Dalam hal Menteri menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan tidak mungkin dapat diatasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat menetapkan berlakunya jangka waktu yang lebih lama dari 1 (satu) bulan dengan ketentuan jangka waktu dimaksud paling lama 6 (enam) bulan. 4. Dalam hal perusahaan telah dikenakan sanksi peringatan terakhir, dan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) setelah peringatan diberikan, perusahaan tetap tidak memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan, perusahaan yang bersangkutan dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha." 13. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 42 ayat (1) seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 42 (1) Sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4) berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan." Pasal II Bagi permohonan izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah diajukan dan yang telah memperoleh izin prinsip sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, persyaratan permodalan tetap diberlakukan berdasarkan persyaratan yang berlaku pada saat izin prinsip ditetapkan. Pasal III Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd M U L A D I LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 118 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN UMUM Dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat dan dalam menghadapi era globalisasi, perlu ditingkatkan peran industri asuransi yang semakin kompetitif dengan cara mewujudkan terciptanya industri asuransi yang kuat baik dari segi permodalan maupun kondisi kesehatan keuangannya. Dengan menetapkan jumlah modal disetor yang cukup besar dalam Peraturan Pemerintah ini, diharapkan agar pendirian Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat mewujudkan industri asuransi yang memiliki permodalan dan kondisi keuangan yang kuat sehingga mampu melakukan usaha yang kompetitif. Dalam Peraturan Pemerintah ini, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah mendapat izin usaha sebelum Peraturan Pemerintah ini tidak diwajibkan menyesuaikan jumlah modal setor, akan tetapi didorong untuk memperkuat permodalannya melalui ketentuan kesehatan keuangan. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan modal disetor dalam Peraturan Pemerintah ini adalah modal disetor perseroan terbatas, atau simpanan pokok dan simpanan wajib koperasi, atau dana awal usaha bersama. Ketentuan permodalan tidak dikenakan pada Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Perusahaan Agen Asuransi, karena dalam kegiatan usaha perusahaan tersebut lebih dituntut unsur profesionalisme. Dengan demikian, unsur permodalan dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan kebutuhan perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Angka 2 Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Polis Asuransi Indemnitas Profesi yang dimaksudkan dalam ayat (2) huruf c adalah polis asuransi tanggungjawab hukum yang lazim disebut dengan polis Professional Indemnity. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Ketentuan yang diatur dengan Keputusan Menteri meliputi antara lain alamat perusahaan, NPWP, riwayat hidup pengurus dan atau direksi, dan besarnya uang pertanggungan untuk polis asuransi indemnitas profesi. Angka 3 Pasal 9A Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Angka 4 Pasal 10A Pada prinsipnya modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan pihak asing tidak boleh berkurang jumlahnya. Namun demikian prosentase kepemilikan pihak Indonesia dapat berkurang dalam hal perusahaan dimaksud membutuhkan penambahan modal, namun penambahan modal tersebut menyebabkan pihak Indonesia tidak mampu mempertahankan prosentase kepemilikannya. Ketentuan yang memungkinkan prosentase kepemilikan pihak asing melampaui batas 80% ini hanya berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing yang prosentase kepemilikan pihak asing sudah mencapai 80%. Angka 5 Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Dalam Keputusan Menteri diatur antara lain meliputi batas tingkat solvabilitas, jenis dan penilaian serta pembatasan kekayaan yang diperkenankan, dan perhitungan kewajiban yang meliputi kewajiban kepada tertanggung dan kewajiban kepada pihak lain. Angka 6 Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam Keputusan Menteri diatur batas minimum dan batas maksimum retensi sendiri. Angka 7 Pasal 15A Ayat (1) Perjanjian reasuransi otomatis (treaty reinsurance) merupakan salah satu bentuk perjanjian reasuransi yang lazim dilakukan dalam usaha asuransi. Dalam perjanjian tersebut perusahaan asuransi wajib mereasuransikan setiap penutupan yang nilai dan lingkup penutupannya sesuai dengan yang telah diperjanjikan kepada penanggung ulang (Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi) dan penanggung ulang dimaksud wajib menerima penempatan reasuransi tersebut. Dukungan reasuransi otomatis tersebut sedapat mungkin diperoleh dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi di dalam negeri. Ayat (2) Cukup jelas Angka 8 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Dalam Keputusan Menteri diatur mengenai kriteria penanggung ulang luar negeri yang baik. Angka 9 Pasal 16A Salah satu prinsip usaha asuransi adalah adanya kerjasama dalam penyebaran risiko yang dapat dilakukan melalui mekanisme reasuransi dan koasuransi. Disamping kedua mekanisme tersebut, untuk memenuhi permintaan pasar terhadap suatu risiko khusus yang apabila penutupannya dilakukan oleh perusahaan asuransi secara sendiri-sendiri tidak layak usaha (feasible) namun penutupan atas risiko tersebut menjadi layak usaha jika dilakukan secara bersama, maka atas kesepakatan sebagian besar Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi penutupan risiko khusus tersebut dilakukan oleh satu perusahaan asuransi. Angka 10 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Dalam Keputusan Menteri diatur mengenai kriteria program asuransi baru serta tata cara pemberitahuan rencana memasarkan program asuransi baru. Angka 11 Pasal 38 Ayat (1) Pengenaan denda untuk setiap hari keterlambatan dalam ketentuan ini dihitung berdasarkan hari kerja pada kantor pusat Departemen Keuangan. Dalam hal tanggal batas waktu penyampaian laporan jatuh pada hari libur, maka batas waktu yang berlaku adalah hari kerja pertama setelah libur dimaksud. Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dikenakan terhadap keterlambatan penyampaian laporan keuangan dan atau laporan operasional. Contoh : a. Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan operasional tetapi telah menyampaikan laporan keuangan, atau sebaliknya, dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari. b. Perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan keuangan dan laporan operasional dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari. Angka 12 Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Angka 13 Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Pasal II Cukup jelas Pasal III Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3861
<reg_id> 63/PP/1999 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 2 Juli 1999 </set_date> <effective_date> 2 Juli 1999 </effective_date> <issued_date> 2 Juli 1999 </issued_date> <changed_reg> '73/PP/1992' </changed_reg> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '73/PP/1992', '2/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 13 Pasal 42 ayat (1)', 'Pasal I Angka 12 Pasal 41', 'Pasal I Angka 11 Pasal 38' </penalty_list>
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penyelenggaraan usaha perasuransian; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3861); MEMUTUSKAN: ... - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3861), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. 2. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Asuransi Jiwa. 3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi. 4. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria. 5. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang dan/atau kantor pemasaran yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah. 6. Retensi ... - 3 - 6. Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang pertanggungan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa dukungan reasuransi. 7. Pengurus adalah direksi untuk perseroan terbatas atau persero atau yang setara dengan itu untuk koperasi dan usaha bersama. 8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 2A dan Pasal 2B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A (1) Perusahaan Asuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha di bidang asuransi kerugian atau asuransi jiwa. (2) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyelenggarakan seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah. (3) Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah dengan membentuk Unit Syariah. Pasal 2B (1) Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang untuk risiko yang dihadapi perusahaan asuransi kerugian dan/atau perusahaan asuransi jiwa. (2) Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyelenggarakan seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah. (3) Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah dengan membentuk Unit Syariah. 3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Perusahaan Perasuransian dalam melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dalam ... - 4 - a. dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan satu jenis usaha perasuransian; b. permodalan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; c. susunan organisasi perusahaan paling sedikit meliputi fungsi: 1. bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan; 2. bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan; 3. bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya. d. mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang cukup untuk mengelola kegiatan usahanya; e. untuk Perusahaan Asuransi, memiliki komisaris independen yang: 1. tugas pokoknya adalah untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis; 2. bukan merupakan afiliasi dari pemegang saham, direksi, atau komisaris; dan 3. menjabat sebagai komisaris independen paling banyak pada 2 (dua) Perusahaan Asuransi. f. untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah, memiliki dewan pengawas syariah; dan g. melaksanakan pengelolaan Perusahaan Perasuransian berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi perusahaan, tenaga ahli, komisaris independen, dewan pengawas syariah, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 4. Ketentuan ... - 5 - 4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi adalah sebagai berikut: a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi; b. Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi; c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi. (2) Modal disetor minimum bagi pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut: a. Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), bagi Perusahaan Asuransi; b. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi Perusahaan Reasuransi. (3) Modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan setiap penambahannya harus dalam bentuk tunai. (4) Pada saat pendirian perusahaan, kepemilikan saham pihak asing melalui penyertaan langsung dalam Perusahaan Perasuransian paling banyak 80% (delapan puluh persen). 5. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 7 (tujuh) pasal, yakni Pasal 6A, Pasal 6B, Pasal 6C, Pasal 6D, Pasal 6E, Pasal 6F, dan Pasal 6G sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A (1) Perusahaan Perasuransian harus memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2). (2).Modal ... - 6 - (2) Modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjumlahan dari modal disetor, agio saham, saldo laba, cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai surat berharga, dan selisih penilaian aktiva tetap. Pasal 6B (1) Perusahaan Asuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008; b. paling sedikit sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2009; c. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2010. (2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki modal sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1) dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008; b. paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2009; c. paling sedikit sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2010. Pasal 6C (1) Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah harus memiliki modal sendiri paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008. (2) Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi harus memiliki modal sendiri paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008. Pasal 6D ... - 7 - Pasal 6D Modal kerja minimum Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut: a. sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) bagi Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi; b. sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) bagi Unit Syariah dari Perusahaan Reasuransi. Pasal 6E (1) Perusahaan Asuransi yang memiliki Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf a, harus menyesuaikan modal kerja dari Unit Syariah dimaksud dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008; b. paling sedikit sebesar Rp12.500.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2009; c. paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2010. (2) Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf b, harus menyesuaikan modal kerja dari Unit Syariah dimaksud dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit sebesar Rp12.500.000.000,00 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2008; b. paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2009; c. paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2010. Pasal 6F (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah harus memenuhi modal sendiri dalam jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6D huruf a dan huruf b. (2). Perusahaan ... - 8 - (2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah dapat membuka kantor cabang dan/atau kantor pemasaran syariah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan, syarat, dan tata cara pendirian kantor cabang dan/atau kantor pemasaran syariah diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 6G (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi yang belum memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B, Pasal 6C, dan Pasal 6E harus menyampaikan rencana kerja untuk memenuhi ketentuan pentahapan permodalan paling lambat tanggal 30 September tahun berjalan. (2) Rencana kerja yang disampaikan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya. (3) Menteri mengevaluasi rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak menyampaikan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap memperhatikan tahapan pengenaan sanksi. (5) Dalam hal Menteri menyimpulkan bahwa Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi tidak memenuhi rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Pialang Reasuransi yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan tahapan pengenaan sanksi. 6.Ketentuan ... - 9 - 6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari modal disetor minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) atau 20% (dua puluh persen) dari modal sendiri minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (1). (2) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis. (3) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat ditempatkan dalam bentuk: a. deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum di Indonesia yang bukan afiliasi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan; dan/atau b. surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh Pemerintah. (4) Besar dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus disesuaikan dengan perkembangan volume usaha yang besarnya ditetapkan oleh Menteri. (5) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dicairkan atau dijual hanya atas persetujuan Menteri atau pejabat yang mendapat pendelegasian untuk itu berdasarkan permintaan: a. likuidator dalam hal perusahaan dilikuidasi; b. perusahaan yang bersangkutan dalam hal izin usahanya dicabut atas permintaan perusahaan yang bersangkutan dengan ketentuan kewajibannya telah diselesaikan; c. perusahaan yang bersangkutan dalam hal jumlah dana jaminan yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan telah melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3); atau d.perusahaan ... - 10 - d. perusahaan yang bersangkutan dalam hal akan melakukan pemindahan atau penggantian dana jaminan, setelah terlebih dahulu menempatkan dana jaminan dalam jumlah yang sekurang-kurangnya sama dengan jumlah dana jaminan yang akan dipindahkan atau diganti. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah dan tata cara penempatan dana jaminan diatur dengan Peraturan Menteri. 7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Perusahaan Perasuransian harus menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara terus menerus sejak diperolehnya izin usaha. (2) Perusahaan Perasuransian dinilai tidak menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara terus menerus apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan. (3) Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian apabila perusahaan tidak menjalankan kegiatan usaha perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperhatikan tahapan pengenaan sanksi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tidak menjalankan kegiatan usaha secara terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 8. Ketentuan Pasal 10A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dimungkinkan untuk melakukan perubahan kepemilikan melampaui batas kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dengan ketentuan jumlah modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia harus tetap dipertahankan. 9.Di antara ... - 11 - 9. Di antara Pasal 10A dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10B (1) Setiap rencana perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian harus memperoleh persetujuan Menteri. (2) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perubahan kepemilikan yang mengakibatkan terdapatnya penyertaan langsung oleh pihak asing di dalam Perusahaan Perasuransian tersebut, maka pihak asing tersebut harus merupakan Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis. (3) Ketentuan mengenai Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha sejenis dan kepemilikan perusahaan induk atas anak perusahaan yang bergerak di bidang usaha perasuransian yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus tetap dipenuhi selama pihak asing tersebut memiliki penyertaan pada Perusahaan Perasuransian. (4) Perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian melalui transaksi di bursa efek dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang tidak menyebabkan perubahan pengendalian pada Perusahaan Perasuransian tersebut. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian diatur dengan Peraturan Menteri. 10. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A (1) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi mengalami permasalahan kondisi keuangan, Menteri dapat memerintahkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan untuk melakukan pengalihan portofolio pertanggungan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria permasalahan kondisi keuangan dan tata cara pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 11.Di antara ... - 12 - 11. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13A (1) Perusahaan Perasuransian dilarang memberikan pinjaman kepada atau menempatkan kekayaan pada pemegang saham dan afiliasinya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pinjaman atau penempatan kekayaan tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan segala bentuk pengalihan modal disetor kepada pemegang saham atau pihak lainnya. 12. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, terhadap: a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan, laporan auditor independen, atau laporan operasional tahunan, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan untuk setiap laporan tersebut; b. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan, laporan auditor independen, atau laporan operasional tahunan, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan untuk setiap laporan tersebut. (2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak: a. Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) untuk setiap laporan yang terlambat disampaikan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi; b. Rp180.000.000,00 ... - 13 - b. Rp180.000.000,00 (seratus delapan puluh juta rupiah) untuk setiap laporan yang terlambat disampaikan oleh Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan, penagihan, dan pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 13. Ketentuan Pasal 40 dihapus. Pasal II (1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, izin pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah yang dimiliki Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah ada dinyatakan berlaku sebagai izin untuk Unit Syariah. (2) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah memiliki izin usaha: a. modal dalam perhitungan dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, adalah modal disetor minimum yang dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang mendasari pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi tersebut. b. modal dalam perhitungan dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), setelah batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a lewat, adalah modal sendiri minimum sesuai dengan pentahapan pemenuhan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B dan Pasal 6E. (3) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar ... - 14 - Ditetapkan di Jakarta 19 Mei 2008 Diundangkan di Jakarta 19 Mei 2008 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN I. UMUM Industri asuransi yang sehat, dapat diandalkan, dan kompetitif sangat diperlukan dalam perekonomian nasional. Untuk mewujudkan industri asuransi seperti itu perlu dilakukan penyempurnaan struktur permodalan dan tata kelola (governance) dari para pelaku usaha perasuransian. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai landasan hukum untuk penyempurnaan tersebut. Selain itu, Peraturan Pemerintah ini diharapkan memberi landasan hukum yang lebih kuat untuk penyelenggaraan usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah yang makin dirasakan kebutuhannya oleh masyarakat. Penyempurnaan ketentuan mengenai struktur permodalan dilakukan dengan menetapkan jumlah modal disetor yang cukup besar bagi pendirian baru Perusahaan Perasuransian dan keharusan menyesuaikan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. Hal ini dimaksudkan agar pelaku usaha perasuransian memiliki permodalan dan kondisi keuangan yang kuat dalam memberikan jasa perlindungan dan/atau pelayanan kepada masyarakat dan mampu berkompetisi secara sehat baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Selain penguatan dalam hal struktur permodalan, perlu pula dilakukan penguatan dari segi tata kelola (governance). Perusahaan perasuransian dalam menjalankan kegiatan usahanya diharuskan untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha asuransi dan reasuransi berdasarkan prinsip syariah antara lain berkaitan dengan permodalan, struktur organisasi, dan pengawasannya. II.PASAL ... - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2A Cukup jelas. Pasal 2B Cukup jelas. Angka 3 Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Dalam anggaran dasar harus dinyatakan secara tegas bahwa perusahaan akan menjalankan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, Perusahaan Konsultan Aktuaria, atau Perusahaan Agen Asuransi. Untuk Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah, di dalam anggaran dasarnya harus juga dinyatakan secara tegas bahwa perusahaan menjalankan usaha asuransi atau reasuransi berdasarkan prinsip syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud fungsi pelayanan dalam ketentuan ini mencakup pula penanganan keluhan atau pengaduan masyarakat, khususnya nasabah. Huruf d Kecukupan jumlah tenaga ahli yang dipekerjakan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jumlah cabang, jenis produk yang dipasarkan, dan/atau volume usaha. Huruf e ... - 3 - Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 6A Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dalam hal kekuatan permodalan bagi Perusahaan Perasuransian baik yang baru maupun yang telah ada pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6B Cukup jelas. Pasal 6C Cukup jelas. Pasal 6D Cukup jelas. Pasal 6E Cukup jelas. Pasal 6F ... - 4 - Pasal 6F Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dalam hal kekuatan permodalan bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi baik yang memiliki Unit Syariah maupun yang tidak. Ayat (2) Kantor cabang dan/atau kantor pemasaran syariah menjadi pelaksana kegiatan pemasaran produk asuransi berdasarkan prinsip syariah dan pelayanan nasabah terkait dengan produk asuransi berdasarkan prinsip syariah. Ayat (3) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri mencakup: 1. hubungan kelembagaan antara Unit Syariah dengan kantor cabang atau kantor pemasaran baik yang konvensional maupun yang berdasarkan prinsip syariah; 2. persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka pembukaan kantor cabang atau kantor pemasaran syariah; 3. tata cara pemasaran produk asuransi berdasarkan prinsip syariah melalui kantor cabang atau kantor pemasaran konvensional; dan 4. tata cara pelimpahan wewenang dari pimpinan Unit Syariah kepada pimpinan kantor cabang syariah. Pasal 6G Ayat (1) Untuk mengetahui sudah atau belum dipenuhinya ketentuan permodalan oleh perusahaan tersebut dapat dilihat dari laporan berkala yang disampaikan kepada Menteri. Dalam hal terdapat keraguan mengenai pemenuhan ketentuan permodalan tersebut, perusahaan menyampaikan laporan auditor independen yang disusun khusus untuk membuktikan hal tersebut. Ayat (2) Batas waktu tersebut berlaku bagi Perusahaan Perasuransian yang menyampaikan rencana kerja yang jelas dan rasional berdasarkan hasil evaluasi Menteri. Ayat (3) ... - 5 - Ayat (3) Evaluasi dilakukan untuk memastikan rencana kerja yang akan dijadikan pedoman Perusahaan Perasuransian dalam memenuhi ketentuan modal sendiri minimum, jelas dan rasional. Ayat (4) Perusahaan yang belum memenuhi persyaratan modal sendiri minimum dan tidak menyampaikan rencana kerja, dinilai tidak bersedia berkomitmen untuk memenuhi persyaratan tersebut. Ayat (5) Perusahaan yang tidak dapat memenuhi rencana kerjanya dinilai tidak memiliki komitmen dan/atau kemampuan yang cukup untuk mewujudkan perusahaan yang sehat, dapat diandalkan, dan kompetitif. Angka 6 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dana jaminan yang dapat dicairkan adalah deposito berjangka, sedangkan dana jaminan yang dapat dijual adalah surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh Pemerintah. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 10 Cukup jelas. Angka 8 ... - 6 - Angka 8 Pasal 10A Pada prinsipnya modal yang telah disetor oleh pihak Indonesia pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang di dalamnya terdapat penyertaan pihak asing tidak boleh berkurang jumlahnya. Namun demikian persentase kepemilikan pihak Indonesia dapat berkurang dalam hal perusahaan dimaksud membutuhkan penambahan modal dan penambahan modal tersebut menyebabkan pihak Indonesia tidak mampu mempertahankan persentase kepemilikannya. Ketentuan yang memungkinkan persentase kepemilikan pihak asing melampaui batas 80% (delapan puluh persen) ini hanya berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing yang persentase kepemilikan asing sudah mencapai 80% (delapan puluh persen). Angka 9 Pasal 10B Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri mencakup: 1. tata cara dan persyaratan untuk memperoleh persetujuan perubahan kepemilikan; 2. kriteria untuk usaha perasuransian yang sejenis; 3. kriteria untuk perusahaan induk (holding company); dan 4. kriteria pengendalian dan pemegang saham pengendali. Angka 10 ... - 7 - Angka 10 Pasal 11A Cukup jelas. Angka 11 Pasal 13A Cukup jelas. Angka 12 Pasal 38 Cukup jelas. Angka 13 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4856
<reg_id> 39/PP/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 19 Mei 2008 </set_date> <effective_date> 19 Mei 2008 </effective_date> <issued_date> 19 Mei 2008 </issued_date> <changed_reg> '73/PP/1992' </changed_reg> <extension_of> '63/PP/1999' </extension_of> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 ayat (2)', '73/PP/1992', '2/UU/1992', '63/PP/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 12 Pasal 38' </penalty_list>
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI BURSA EFEK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek dan untuk lebih mendorong berkembangnya aktivitas pasar modal di Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek; Mengingat 1. 2. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI BURSA EFEK. Pasal 1 Yang dimaksud dengan obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek adalah obligasi korporasi dan obligasi pemerintah atau surat utang negara berjangka lebih dari 1 (satu) tahun yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek Indonesia. Pasal 2 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak berupa bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final, kecuali bagi Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 3 Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2: a. Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebesar: 1) 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT); 2) 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri; dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan (holdig period) obligasi. b. Atas diskonto obligasi dengan kupon sebesar: 1) 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT); 2) 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri; dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest). c. Atas diskonto obligasi tanpa bunga (zero coupon bond) sebesar: 1) 20% (dua puluh persen), Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT); 2) 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri; dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi. Pasal 4 Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh: a. Penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, atas bunga dan diskonto yang diterima pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo bunga/obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo obligasi; b. Perusahaan efek (broker) atau bank, selaku pedagang perantara maupun selaku pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual obligasi pada saat transaksi. Pasal 5 Atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak: a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia; b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; c. Reksana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha; tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Pasal 6 Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya termasuk penghasilan bunga dan diskonto obligasi tersebut dalam 1 (satu) tahun pajak tidak melebihi jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), tidak bersifat final. Pasal 7 Tata cara pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 8 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 254, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4056), dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Maret 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 Maret 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd BAMBANG KESOWO PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI BURSA EFEK UMUM Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, atas penghasilan tertentu termasuk penghasilan dari transaksi sekuritas di bursa efek pengenaan pajaknya diatur secara khusus dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan khusus tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dan sekaligus meningkatkan efektivitas pengenaan pajaknya. Perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek dipandang masih belum efektif dan efisien. Oleh karena itu guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengenaan pajaknya serta untuk mendorong berkembangnya perdagangan obligasi melalui pasar modal di Indonesia, maka perlu diatur kembali perlakuan Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek. Sedangkan terhadap bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan di luar bursa dan tidak dilaporkan perdagangannya ke bursa tetap dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23/26 dan pada akhir tahun pajak dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum atas jumlah seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diterima/diperoleh selama tahun pajak, melalui perhitungan dalam SPT Tahunan. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Perlakuan Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan di bursa dan/atau dilaporkan perdagangannya ke bursa berlaku baik untuk obligasi tanpa kupon (zero coupon bond) maupun obligasi dengan kupon (interest bearing bond). Demikian pula tidak ada perbedaan perlakuan pajak antara obligasi korporasi yang diterbitkan oleh badan usaha swasta (corporate bond) dengan obligasi yang diterbitkan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah (government bond). Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4175.
<reg_id> 6/PP/2002 </reg_id> <reg_title> PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI BURSA EFEK </reg_title> <set_date> 23 Maret 2002 </set_date> <effective_date> 1 Mei 2002 </effective_date> <issued_date> 23 Maret 2002 </issued_date> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 5 Ayat (2)', '16/UU/2000', '6/UU/1983', '17/UU/2000', '7/UU/1983' </related_reg>
No. 11/11/DASP Jakarta, 13 April 2009 S U R A T E D A R A N Perihal : Uang Elektronik (Electronic Money) Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12./PBI/2009 tanggal 13 April 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5001), dan dalam rangka mendukung kelancaran dan efektivitas penyelenggaraan Uang Elektronik, perlu diatur lebih lanjut ketentuan mengenai penyelenggaraan Uang Elektronik dalam Surat Edaran Bank Indonesia. I. PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI PRINSIPAL A. Pihak yang Dapat Bertindak sebagai Prinsipal Kegiatan sebagai Prinsipal dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. B. Permohonan Izin sebagai Prinsipal Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Prinsipal wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Permohonan izin untuk melakukan kegiatan sebagai Prinsipal disampaikan kepada Bank Indonesia secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dan paling kurang harus memuat informasi sebagai berikut: 1. 2. jenis kegiatan Uang Elektronik yang akan diselenggarakan; rencana waktu dimulainya kegiatan; dan 3. nama jaringan yang akan digunakan. C. Persyaratan Dokumen sebagai Prinsipal yang Berupa Bank Untuk Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B dilampiri dokumen sebagai berikut: 1. fotokopi … 2 1. fotokopi Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun berjalan yang di dalamnya tercantum rencana kegiatan Bank sebagai Prinsipal; 2. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement) antara calon Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, yang ditandatangani oleh pengurus dan paling kurang memuat: a. persyaratan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang akan menggunakan jaringan Prinsipal; b. prosedur kegiatan operasional (operating procedure) bagi Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang akan bekerjasama dengan Prinsipal; dan c. rencana pelaksanaan kerjasama dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain; 3. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal yang akan dilakukan, paling kurang memuat uraian mengenai: a. b. c. potensi pasar yang ada; analisis persaingan usaha; rencana kerjasama dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, termasuk jumlah dan namanya; d. e. rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan prakiraan target pendapatan yang akan dicapai; 4. bukti kesiapan perangkat hukum, yang meliputi: a. konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis antara calon Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang: 1) kesepakatan … 3 1) kesepakatan mengenai penggunaan jaringan Prinsipal dalam penyelenggaraan Uang Elektronik; 2) hak dan kewajiban masing-masing pihak; 3) 4) rencana pelaksanaan kerjasama; jangka waktu kerjasama; dan 5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa yang mungkin terjadi antara para pihak; b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti pengaturan hak dan kewajiban Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain; dan c. prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul antara Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain; 5. fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G; 6. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik; dan 7. fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah atas rencana kegiatan sebagai calon Prinsipal, khusus untuk Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. D. Persyaratan Dokumen sebagai Prinsipal yang Berupa Lembaga Selain Bank Untuk Lembaga Selain Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada … 4 pada huruf B dilampiri dokumen sebagai berikut: 1. profil perusahaan (company profile) yang antara lain memuat rencana kegiatan sebagai Prinsipal; 2. fotokopi akta pendirian perseroan terbatas termasuk perubahannya, jika ada, yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang dan harus dilegalisasi oleh pihak atau pejabat yang berwenang; 3. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement) antara calon Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, yang diketahui oleh pengurus dan paling kurang memuat: a. persyaratan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang akan menggunakan jaringan Prinsipal; b. prosedur kegiatan operasional (operating procedure) bagi Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang akan bekerjasama dengan Prinsipal; dan c. rencana pelaksanaan kerjasama dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain; 4. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan kegiatan sebagai Prinsipal yang akan dilakukan, paling kurang memuat uraian mengenai: a. b. c. potensi pasar yang ada; analisis persaingan usaha; rencana kerjasama dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,dan/atau pihak lain, termasuk jumlah dan namanya; d. rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan e. prakiraan … 5 e. prakiraan target pendapatan yang akan dicapai; 5. bukti kesiapan perangkat hukum, yang meliputi: a. konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis antara calon Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang: 1) kesepakatan mengenai penggunaan jaringan Prinsipal dalam penerbitan Uang Elektronik; 2) hak dan kewajiban masing-masing pihak; 3) 4) rencana pelaksanaan kerjasama; jangka waktu kerjasama; dan 5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa yang mungkin terjadi antara para pihak; b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti pengaturan hak dan kewajiban Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain; dan c. prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul antara Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain; 6. fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G; 7. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul … 6 timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik; 8. fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah, khusus untuk Lembaga Selain Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; dan 9. rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank, jika Lembaga Selain Bank tersebut memiliki otoritas pengawas. Rekomendasi tersebut paling kurang meliputi keterangan tentang kepatuhan Lembaga Selain Bank terhadap ketentuan yang berlaku termasuk informasi dapat atau tidaknya Lembaga Selain Bank melakukan kegiatan sebagai Prinsipal dan informasi lain tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lembaga Selain Bank tersebut. II. PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI PENERBIT A. Pihak yang Dapat Bertindak Sebagai Penerbit Kegiatan sebagai Penerbit dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. B. Permohonan Izin sebagai Penerbit Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Penerbit wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Permohonan izin untuk melakukan kegiatan sebagai Penerbit disampaikan kepada Bank Indonesia secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dan paling kurang harus memuat informasi sebagai berikut: 1. jenis kegiatan Uang Elektronik yang akan diselenggarakan; 2. rencana waktu dimulainya kegiatan; dan 3. nama produk yang akan digunakan. C. Persyaratan Dokumen sebagai Penerbit yang Berupa Bank Untuk Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B dilampiri dokumen sebagai berikut: 1. fotokopi … 7 1. fotokopi RBB tahun berjalan yang di dalamnya tercantum rencana kegiatan Bank sebagai Penerbit; 2. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement) antara calon Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer dan/atau pihak lain, yang diketahui oleh pengurus dan paling kurang memuat: a. prosedur kegiatan operasional (operating procedure) bagi Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang akan bekerjasama dengan Penerbit; dan b. rencana pelaksanaan kerjasama dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain; 3. profil Uang Elektronik, paling kurang memuat informasi mengenai: a. spesifikasi teknis yang paling kurang memuat informasi mengenai media penyimpan data elektronis dan fitur keamanan (security features); b. mekanisme pengelolaan Uang Elektronik yang paling kurang memuat informasi mengenai penerbitan, Pengisian Ulang, penarikan tunai sisa Nilai Uang Elektronik dalam rangka mengakhiri penggunaan Uang Elektronik (redeem), penagihan oleh Pedagang, penyelenggaraan kliring, dan penyelenggaraan penyelesaian akhir jika ada; dan c. mekanisme pengelolaan Dana Float; 4. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan kegiatan sebagai Penerbit yang akan dilakukan, paling kurang memuat uraian mengenai: a. b. c. d. potensi pasar yang ada; segmen pasar yang akan dituju dan analisis persaingan usaha; target jumlah Pemegang dan Dana Float yang akan dikelola; rencana kerjasama dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan/atau pihak lain, termasuk jumlah dan namanya; e. rencana … 8 e. f. rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan prakiraan target pendapatan yang akan dicapai; 5. bukti kesiapan perangkat hukum, yang meliputi: a. konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis antara calon Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang: 1) kesepakatan antara Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan/atau pihak lain mengenai penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik; 2) hak dan kewajiban masing-masing pihak; 3) 4) rencana pelaksanaan kerjasama; jangka waktu kerjasama; dan 5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa yang mungkin terjadi antara para pihak; Dalam hal calon Penerbit adalah kantor cabang Bank asing, dan perjanjian yang dilakukan dengan Prinsipal merupakan Global Agreement antara kantor pusat Bank tersebut dengan Prinsipal, maka kantor cabang Bank asing dimaksud cukup menyampaikan fotokopi Global Agreement. b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit, Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pemegang, dan/atau pihak lain; dan c. prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul antara Prinsipal dengan Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pemegang, dan/atau pihak lain; 6. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi: a. rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya manusia; dan b. rencana … 9 b. rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat informasi mengenai: 1) lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan operasional; dan 2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware, software, dan jaringan yang akan digunakan; c. uraian kesiapan struktur organisasi pendukung dan bentuk pengawasan yang melekat (built in control) yang akan diterapkan; dan d. kebijakan dan prosedur yang menjelaskan kesiapan infrastruktur teknologi informasi yang digunakan dalam penyelenggaraan Uang Elektronik; 7. bukti kesiapan manajemen risiko likuiditas, antara lain meliputi: a. mekanisme pemenuhan kewajiban Penerbit; dan b. mekanisme dalam hal Penerbit mengalami gagal bayar (failure to settle); 8. fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G, termasuk sistem keamanan atau jaringan Penerbit yang digunakan oleh pihak lain seperti untuk fasilitas Pengisian Ulang, redeem atau Tarik Tunai dalam rangka kegiatan pengiriman uang; 9. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik; 10. hasil analisis dan identifikasi risiko produk Uang Elektronik antara lain risiko operasional, hukum, dan reputasi; 11. uraian … 10 11. uraian sistem informasi akuntansi yang akan diterapkan untuk Uang Elektronik yang diterbitkan; dan 12. fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah atas rencana kegiatan sebagai calon Penerbit, khusus untuk Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. D. Persyaratan Dokumen sebagai Penerbit yang Berupa Lembaga Selain Bank Untuk Lembaga Selain Bank yang telah mengelola atau merencanakan mengelola Dana Float sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau lebih, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. direksi dan/atau dewan komisaris tidak termasuk dalam daftar kredit macet; dan 2. direksi dan/atau dewan komisaris tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum mengajukan permohonan. 3. menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. b. profil perusahaan (company profile) yang antara lain memuat rencana kegiatan sebagai Penerbit; fotokopi akta pendirian perseroan terbatas termasuk perubahannya, jika ada, yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang dan harus dilegalisasi oleh pihak atau pejabat yang berwenang; c. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement) antara calon Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, yang diketahui oleh pengurus dan paling kurang memuat: 1) prosedur … 11 1) prosedur kegiatan operasional (operating procedure) bagi Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang akan bekerjasama dengan Penerbit; dan 2) d. rencana pelaksanaan kerjasama dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain; susunan daftar direksi dan/atau dewan komisaris, yang terdiri dari nama, jabatan, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); e. profil Uang Elektronik, paling kurang memuat informasi mengenai: 1) spesifikasi teknis yang paling kurang memuat informasi mengenai media penyimpan data elektronis dan fitur keamanan (security features); 2) mekanisme pengelolaan Uang Elektronik yang paling kurang memuat informasi mengenai penerbitan, Pengisian Ulang, redeem, penagihan oleh Pedagang, penyelenggaraan kliring, dan penyelenggaraan penyelesaian akhir, jika ada; dan 3) mekanisme pengelolaan Dana Float; f. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan kegiatan sebagai Penerbit yang akan dilakukan, paling kurang memuat uraian mengenai: 1) potensi pasar yang ada; 2) segmen pasar yang akan dituju dan analisis persaingan usaha; 3) 4) target jumlah Pemegang dan Dana Float yang akan dikelola; rencana kerjasama dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, termasuk jumlah dan namanya; 5) rencana … 12 5) rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan 6) prakiraan target pendapatan yang akan dicapai; g. bukti kesiapan perangkat hukum, yang meliputi: 1) konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis antara calon Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang: a) kesepakatan antara Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan/atau pihak lain mengenai penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik; b) hak dan kewajiban masing-masing pihak; c) d) rencana pelaksanaan kerjasama; jangka waktu kerjasama; dan e) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa yang mungkin terjadi antara para pihak; dan 2) konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti pengaturan hak dan kewajiban Penerbit, Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pemegang, dan/atau pihak lain; dan 3) prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul antara Penerbit dengan Prinsipal, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pemegang, dan/atau pihak lain; h. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi: 1) 2) rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya manusia; rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat informasi mengenai: a) lokasi … 13 a) lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan operasional, dan b) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware, software, dan jaringan yang akan digunakan; 3) uraian kesiapan struktur organisasi pendukung dan bentuk pengawasan yang melekat (built in control) yang akan diterapkan; dan 4) kebijakan dan prosedur yang menjelaskan kesiapan infrastruktur teknologi informasi yang digunakan dalam penyelenggaraan Uang Elektronik; i. bukti kesiapan manajemen risiko likuiditas, antara lain meliputi: 1) mekanisme pemenuhan kewajiban Penerbit; dan 2) mekanisme dalam hal Penerbit mengalami gagal bayar (failure to settle); j. fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G, termasuk sistem keamanan atau jaringan Penerbit yang digunakan oleh pihak lain seperti untuk redeem atau Tarik Tunai dalam rangka kegiatan pengiriman uang; k. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik; l. fotokopi rekening simpanan yang menunjukkan besarnya Dana Float pada saat mengajukan permohonan; m. hasil … 14 m. hasil analisis dan identifikasi risiko produk Uang Elektronik antara lain risiko operasional, hukum, dan reputasi; n. uraian sistem informasi akuntansi yang akan diterapkan untuk Uang Elektronik yang diterbitkan; o. fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah, khusus untuk Lembaga Selain Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; dan p. rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank, jika Lembaga Selain Bank tersebut memiliki otoritas pengawas. Rekomendasi tersebut paling kurang meliputi keterangan tentang kepatuhan Lembaga Selain Bank terhadap ketentuan yang berlaku termasuk informasi dapat atau tidaknya Lembaga Selain Bank melakukan kegiatan sebagai Penerbit dan informasi lain tentang permasalahan- permasalahan yang dihadapi Lembaga Selain Bank tersebut. III. PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI ACQUIRER A. Pihak yang Dapat Bertindak sebagai Acquirer Kegiatan sebagai Acquirer dapat dilakukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank. B. Permohonan Izin sebagai Acquirer Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Acquirer wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Permohonan izin untuk melakukan kegiatan sebagai Acquirer disampaikan kepada Bank Indonesia secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dan paling kurang harus memuat informasi sebagai berikut: 1. rencana waktu dimulainya kegiatan; 2. nama dan jumlah Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang bekerjasama; dan 3. nama dan jumlah Pedagang yang akan bekerjasama. C. Persyaratan Dokumen sebagai Acquirer yang Berupa Bank Untuk … 15 Untuk Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B dilampiri dokumen sebagai berikut: 1. fotokopi RBB tahun berjalan yang di dalamnya tercantum rencana kegiatan Bank sebagai Acquirer; 2. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement) antara calon Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang dan/atau pihak lain, yang diketahui oleh pengurus dan paling kurang memuat: a. pokok-pokok perjanjian tertulis dan pengaturan hak dan kewajiban antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang dan/atau pihak lain yang akan bekerjasama dengan Acquirer; dan b. rencana pelaksanaan kerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang, dan/atau pihak lain; 3. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan kegiatan sebagai Acquirer yang akan dilakukan, paling kurang memuat uraian mengenai: a. b. c. potensi pasar yang ada; segmen pasar yang akan dituju dan analisis persaingan usaha; d. e. rencana kerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang, dan/atau pihak lain, termasuk jumlah dan namanya; rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan prakiraan target pendapatan yang akan dicapai; 4. bukti kesiapan perangkat hukum, antara lain berupa: a. konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis antara calon Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang … 16 Pedagang dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang: 1) kesepakatan antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang, dan/atau pihak lain mengenai penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik; 2) hak dan kewajiban masing-masing pihak; 3) 4) rencana pelaksanaan kerjasama; jangka waktu kerjasama; dan 5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa yang mungkin terjadi antara para pihak; b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti pengaturan hak dan kewajiban Acquirer, Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang, dan/atau pihak lain; dan c. prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang, dan/atau pihak lain; 5. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi: a. b. rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya manusia; dan rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat informasi mengenai: 1) lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan operasional; dan 2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware, software, dan jaringan yang akan digunakan; 6. bukti kesiapan manajemen risiko likuiditas, antara lain meliputi: a. mekanisme pemenuhan kewajiban Acquirer; dan b. mekanisme dalam hal Acquirer mengalami gagal bayar failure … 17 (failure to settle); 7. fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G, termasuk sistem keamanan atau jaringan Acquirer yang digunakan oleh Pedagang; 8. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik; dan 9. fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah atas kegiatan Uang Elektronik yang akan dilakukan, khusus untuk Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; D. Persyaratan Dokumen sebagai Acquirer yang Berupa Lembaga Selain Bank Untuk Lembaga Selain Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B dilampiri dokumen sebagai berikut: 1. profil perusahaan (company profile) yang antara lain memuat rencana kegiatan sebagai Acquirer; 2. fotokopi akta pendirian perseroan terbatas termasuk perubahannya, jika ada, yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang dan harus dilegalisasi oleh pihak atau pejabat yang berwenang; 3. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement) antara calon Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang dan/atau pihak lain, yang antara lain berisi: a. pokok-pokok perjanjian tertulis dan pengaturan hak dan kewajiban antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang, dan/atau pihak lain yang bekerjasama dengan Acquirer … 18 Acquirer; dan b. rencana pelaksanaan kerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang dan/atau pihak lain; 4. hasil analisis bisnis 1 (satu) tahun ke depan atas penyelenggaraan kegiatan sebagai Acquirer yang akan dilakukan, paling kurang memuat uraian mengenai: a. b. c. potensi pasar yang ada; segmen pasar yang akan dituju dan analisis persaingan usaha; d. e. rencana kerjasama dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang dan/atau pihak lain, termasuk jumlah dan namanya; rencana lingkup daerah penyelenggaraan; dan prakiraan target pendapatan yang akan dicapai; 5. bukti kesiapan perangkat hukum, antara lain berupa: a. konsep perjanjian tertulis atau pokok-pokok perjanjian tertulis antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang, dan/atau pihak lain, yang antara lain memuat klausul tentang: 1) kesepakatan antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang dan/atau pihak lain; 2) hak dan kewajiban masing-masing pihak; 3) 4) rencana pelaksanaan kerjasama; jangka waktu kerjasama; dan 5) prosedur dan mekanisme penyelesaian atas sengketa yang mungkin terjadi antara para pihak; b. konsep pengaturan hak dan kewajiban para pihak, seperti pengaturan hak dan kewajiban Acquirer, Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan … 19 dan Pemegang; dan c. prosedur mekanisme penyelesaian sengketa yang timbul antara Acquirer dengan Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, Pedagang, dan/atau pihak lain; 6. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi: a. b. rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya manusia; dan rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat informasi mengenai: 1) lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan operasional; dan 2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware, software, dan jaringan yang akan digunakan; 7. bukti kesiapan manajemen risiko likuiditas, antara lain meliputi: a. mekanisme pemenuhan kewajiban Acquirer; dan b. mekanisme dalam hal Acquirer mengalami gagal bayar (failure to settle); 8. fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan proven technology dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G, termasuk sistem keamanan atau jaringan Acquirer yang digunakan oleh Pedagang; 9. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat mengganggu kelancaran operasional sistem Uang Elektronik; 10. fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah, khusus untuk Lembaga Selain Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan … 20 berdasarkan prinsip syariah; dan 11. rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank, jika Lembaga Selain Bank tersebut memiliki otoritas pengawas. Rekomendasi tersebut paling kurang meliputi keterangan tentang kepatuhan Lembaga Selain Bank terhadap ketentuan yang berlaku termasuk informasi dapat atau tidaknya Lembaga Selain Bank melakukan kegiatan sebagai Acquirer dan informasi lain tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lembaga Selain Bank tersebut. IV. PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI PENYELENGGARA KLIRING DAN/ATAU PENYELENGGARA PENYELESAIAN AKHIR A. Permohonan Izin Sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir Bank atau Lembaga Selain Bank yang akan melakukan kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib menyampaikan permohonan izin kepada Bank Indonesia secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dan paling kurang memuat informasi sebagai berikut: 1. rencana waktu dimulainya kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; 2. nama dan jumlah Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau pihak lain yang akan bekerjasama; dan 3. nama atau merek dagang yang akan digunakan. B. Persyaratan Dokumen sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang Berupa Bank Untuk Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf A dilampiri dokumen sebagai berikut: 1. fotokopi RBB tahun berjalan yang di dalamnya tercantum rencana kegiatan Bank sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara … 21 Penyelenggara Penyelesaian Akhir; 2. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement) antara Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau pihak lain, yang diketahui oleh pengurus dan paling kurang memuat: a. persyaratan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau pihak lain yang akan menggunakan jasa Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; b. pokok-pokok perjanjian tertulis dan pengaturan hak dan kewajiban antara Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak lain yang bekerja sama dengan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; c. manajemen risiko dalam penyelenggaraan kliring dan/atau penyelenggaraan penyelesaian akhir; d. mekanisme kliring dan/atau penyelesaian akhir; e. prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa antara Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak lain; 3. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi: a. b. rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya manusia; dan rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat informasi mengenai: 1) lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan kliring dan/atau penyelesaian akhir; dan 2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware, software, dan jaringan yang akan digunakan; 4. fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen … 22 independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan proven technology dalam penyelenggaraan kliring yang paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G; 5. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan kesinambungan kegiatan usaha (business continuity plan) yang efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat mengganggu kelancaran operasional penyelenggaraan kliring dan/atau penyelenggaraan penyelesaian akhir; dan 6. fotokopi rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah atas kegiatan penyelenggaraan kliring dan/atau penyelenggaraan penyelesaian akhir yang akan dilakukan, khusus untuk Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. C. Persyaratan Dokumen sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir yang Berupa Lembaga Selain Bank Untuk Lembaga Selain Bank, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada huruf B dilampiri dokumen sebagai berikut: 1. profil perusahaan (company profile) yang antara lain memuat rencana kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; 2. fotokopi akta pendirian perseroan terbatas termasuk perubahannya, jika ada, yang telah disahkan oleh pihak yang berwenang dan harus dilegalisasi oleh pihak atau pejabat yang berwenang; 3. konsep pokok-pokok hubungan bisnis (business arrangement) antara Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak lain, dan paling kurang memuat: a. persyaratan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau pihak lain yang akan menggunakan jasa Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; b. pokok … 23 b. pokok-pokok perjanjian tertulis dan pengaturan hak dan kewajiban antara Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak lain yang bekerja sama dengan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; c. manajemen risiko dalam penyelenggaraan kliring dan/atau penyelenggaraan penyelesaian akhir; d. mekanisme kliring dan/atau penyelesaian akhir; e. prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa antara Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dengan Prinsipal, Penerbit, Acquirer, dan/atau pihak lain; 4. bukti kesiapan operasional, paling kurang meliputi: a. b. rencana struktur organisasi dan kesiapan sumber daya manusia; dan rencana peralatan dan sarana usaha, paling kurang memuat informasi mengenai: 1) lokasi atau ruangan yang akan digunakan untuk kegiatan kliring dan/atau penyelesaian akhir; dan 2) peralatan teknis terkait sistem, seperti hardware, software, dan jaringan yang akan digunakan; 5. fotokopi laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen internal atau eksternal sebagai bukti penggunaan proven technology dalam penyelenggaraan kliring yang paling kurang meliputi pemenuhan aspek keamanan sistem dan/atau jaringan sebagaimana dimaksud pada butir VII.G; 6. prosedur penanganan keadaan darurat (disaster recovery plan) dan kesinambungan usaha (business continuity plan) yang efektif dalam mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan, yang dapat mengganggu kelancaran operasional penyelenggaraan kliring dan/atau penyelenggaraan … 24 penyelenggaraan penyelesaian akhir; dan 7. rekomendasi tertulis dari otoritas pengawas Lembaga Selain Bank, jika Lembaga Selain Bank tersebut memiliki otoritas pengawas. Rekomendasi tersebut paling kurang meliputi keterangan tentang kepatuhan Lembaga Selain Bank terhadap ketentuan yang berlaku termasuk informasi dapat atau tidaknya Lembaga Selain Bank melakukan kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir dan informasi lain tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lembaga Selain Bank tersebut. V. PEMROSESAN PERIZINAN SEBAGAI PRINSIPAL, PENERBIT, ACQUIRER, PENYELENGGARA KLIRING DAN/ATAU PENYELENGGARA PENYELESAIAN AKHIR 1. Bank Indonesia memberikan izin atau penolakan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak surat permohonan beserta dokumen yang dipersyaratkan diterima oleh Bank Indonesia. 2. Dalam rangka memberikan izin atau penolakan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. pemeriksaan administratif terhadap kelengkapan, kebenaran dan kesesuaian dokumen yang diajukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank; b. pemeriksaan (on site visit) ke Bank atau Lembaga Selain Bank yang bersangkutan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang diajukan serta untuk memastikan kesiapan operasional, jika diperlukan; dan/atau c. dalam hal pemohon berupa Bank, Bank Indonesia meminta rekomendasi kepada otoritas pengawas Bank, paling kurang meliputi kondisi keuangan, tingkat kesehatan, kesiapan operasional dan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk informasi jika terdapat permasalahan-permasalahan yang dihadapi Bank … 25 Bank tersebut. 3. Berdasarkan hasil pemeriksaan administratif dokumen, hasil pemeriksaan (on site visit) dan/atau rekomendasi otoritas pengawas Bank sebagaimana dimaksud pada angka 2, Bank Indonesia melakukan: a. pemberian izin, jika: 1) hasil pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud pada butir 2.a menunjukkan bahwa dokumen yang diajukan pemohon telah lengkap, benar dan sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia; 2) hasil pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud pada butir 2.b menunjukkan kebenaran dan kesesuaian dokumen yang diajukan serta kesiapan operasional; dan 3) otoritas pengawas Bank atau Lembaga Selain Bank merekomendasikan Bank atau Lembaga Selain Bank untuk memperoleh izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. b. penolakan, jika: 1) hasil pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud pada butir 2.a menunjukkan bahwa dokumen yang diajukan pemohon tidak lengkap, tidak benar dan/atau tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia; 2) hasil pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud pada butir 2.b menunjukkan adanya ketidakbenaran atau ketidaksesuaian dokumen yang diajukan dan/atau ketidaksiapan operasional; dan/atau 3) otoritas pengawas Bank atau Lembaga Selain Bank tidak merekomendasikan Bank atau Lembaga Selain Bank untuk memperoleh izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir … 26 Akhir. 4. Jika terdapat hal-hal yang harus ditindaklanjuti, maka jangka waktu pemberian izin sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat diperpanjang. Perpanjangan jangka waktu pemberian izin tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Bank Indonesia kepada pemohon. VI. PEMBERITAHUAN TANGGAL EFEKTIF DIMULAINYA KEGIATAN SEBAGAI PRINSIPAL, PENERBIT, ACQUIRER, PENYELENGGARA KLIRING DAN/ATAU PENYELENGGARA PENYELESAIAN AKHIR 1. Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, wajib melakukan kegiatannya paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pemberian izin dari Bank Indonesia. 2. Apabila dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank atau Lembaga Selain Bank telah melakukan kegiatannya sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, maka Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai tanggal efektif dimulainya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Bank atau Lembaga Selain Bank dinyatakan telah dapat melaksanakan kegiatannya secara efektif sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir jika jaringan atau sistemnya telah dapat dioperasikan dan produknya telah dapat digunakan oleh masyarakat luas sebagai Uang Elektronik. 3. Apabila Bank atau Lembaga Selain Bank tidak dapat melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank atau Lembaga Selain Bank tersebut wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia … 27 Indonesia disertai dengan bukti-bukti pendukung yang memperkuat penjelasan mengenai alasan dan kendala-kendala yang menyebabkan belum dapat dilaksanakannya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. 4. Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal efektif dimulainya kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Sedangkan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 3, disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada angka 1. VII. PENYELENGGARAAN UANG ELEKTRONIK A. Jenis Uang Elektronik Berdasarkan Pencatatan Identitas Pemegang Berdasarkan tercatat tidaknya data identitas Pemegang Uang Elektronik, Penerbit dapat mengeluarkan jenis Uang Elektronik yang terdaftar dan tercatat data identitas Pemegang (registered) dan jenis yang tidak terdaftar dan tidak tercatat data identitas Pemegang (unregistered). Pencatatan data identitas Pemegang paling kurang memuat nama, alamat, tanggal lahir dan data lainnya sebagaimana yang tercantum pada bukti identitas Pemegang. Perolehan data identitas Pemegang dilakukan oleh Penerbit dengan menyediakan suatu sarana atau formulir aplikasi yang harus diisi oleh calon Pemegang disertai dengan fotokopi bukti identitas calon Pemegang. Keharusan pengisian data identitas Pemegang tersebut diperuntukkan bagi Pemegang yang baru pertama kali mengajukan sebagai Pemegang dan Penerbit sama sekali belum mempunyai data yang lengkap, benar dan akurat tentang identitas Pemegang (Customer Information File). B. Batas … 28 B. Batas Paling Banyak Nilai Uang Elektronik 1. Batas Nilai Uang Elektronik untuk jenis registered dan unregistered diatur sebagai berikut: a. Batas Nilai Uang Elektronik untuk jenis unregistered paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). b. Batas Nilai Uang Elektronik untuk jenis registered paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). 2. Batas nilai transaksi untuk kedua jenis Uang Elektronik sebagaimana dimaksud pada angka 1 dalam 1 (satu) bulan untuk setiap Uang Elektronik secara keseluruhan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), yang meliputi transaksi pembayaran, transfer dana, dan fasilitas transaksi lainnya yang disediakan oleh Penerbit. C. Mekanisme Pencairan Uang Hasil Transaksi bagi Pedagang Hasil transaksi Pedagang dengan Pemegang hanya dapat ditarik oleh Pedagang melalui rekening Pedagang yang tercatat pada Bank. Rekening yang tercatat pada Bank milik Pedagang digunakan sebagai sarana untuk menampung pembayaran dari Penerbit atau Acquirer setelah dilakukannya transaksi antara Pemegang dan Pedagang. D. Agen Penerbit dalam Pengisian Ulang dan Tarik Tunai Nilai Uang Elektronik Penerbit dapat bekerjasama dengan Pedagang atau pihak lain sebagai agen dalam memberikan fasilitas Pengisian Ulang dan Tarik Tunai Nilai Uang Elektronik. Dalam hal agen Penerbit tersebut memberikan jasa layanan kepada Pemegang untuk Tarik Tunai dalam rangka transfer dana maka agen Penerbit tersebut wajib memperoleh izin sebagai penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. E. Penerbitan Uang Elektronik dengan Jenis atau Nama yang Berbeda dan/atau Penambahan Fasilitas Baru 1. Penerbit yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia dan akan menerbitkan Uang Elektronik dengan jenis atau nama yang berbeda dengan … 29 dengan yang telah diterbitkan sebelumnya tidak memerlukan izin namun harus dilaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia. Contoh: a. Penerbit A telah memperoleh izin dan menerbitkan Uang Elektronik dengan media chip. Dalam perkembangannya, Penerbit A tersebut akan menerbitkan Uang Elektronik jenis baru dengan menggunakan media server. Dalam hal ini penerbitan Uang Elektronik dengan menggunakan media server tidak memerlukan izin baru, namun cukup melaporkan rencana penerbitan tersebut kepada Bank Indonesia. b. Penerbit B telah memperoleh izin dan menerbitkan Uang Elektronik bekerjasama dengan salah satu Prinsipal. Dalam perkembangannya, Penerbit B tersebut akan menerbitkan Uang Elektronik bekerjasama dengan Prinsipal yang berbeda. Dalam hal ini penerbitan Uang Elektronik yang bekerjasama dengan Prinsipal yang berbeda tidak memerlukan izin baru, namun cukup melaporkan rencana penerbitan dan kerjasama tersebut kepada Bank Indonesia. c. Penerbit C berupa Bank yang telah memperoleh izin dan menerbitkan Uang Elektronik akan menambah fitur layanan Uang Elektronik untuk kepentingan transfer dana, maka Penerbit C cukup melaporkan rencana penambahan fitur tersebut kepada Bank Indonesia. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi Penerbit berupa Lembaga Selain Bank karena penambahan fitur transfer dana pada Uang Elektronik oleh Lembaga Selain Bank wajib memperoleh izin sebagai penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. 2. Hal-hal yang dilaporkan antara lain meliputi: a. b. latar belakang penerbitan Uang Elektronik jenis baru; laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen internal atau eksternal, jika menggunakan sistem yang … 30 yang berbeda dengan sistem yang digunakan dalam penerbitan Uang Elektronik yang telah memperoleh izin sebelumnya; c. profil Uang Elektronik, antara lain memuat informasi mengenai: 1) merek (brand name) yang digunakan; 2) spesifikasi teknis yang paling kurang memuat informasi mengenai media penyimpan data elektronis dan fitur keamanan (security features); dan 3) mekanisme pengelolaan Uang Elektronik yang paling kurang memuat informasi mengenai penerbitan, Pengisian Ulang, redeem, dan penagihan oleh Pedagang; d. pihak-pihak yang bekerja sama dalam penerbitan Uang Elektronik jenis baru, jika ada; dan e. tanggal efektif penerbitan Uang Elektronik jenis baru. F. Fasilitas Transfer Dana 1. Penerbit yang menyediakan fasilitas transfer dana antar Pemegang wajib: a. menyediakan sistem yang dapat mencatat transaksi perpindahan dana dari pengirim dan penerima sehingga Penerbit mengetahui informasi tersebut secara on-line dan real time; b. menatausahakan data identitas Pemegang, yang antara lain meliputi nama, nomor identitas, dan alamat; dan c. tunduk pada ketentuan yang mengatur mengenai prinsip Know Your Customer (KYC), tindak pidana pencucian uang, dan ketentuan terkait lainnya. Khusus untuk Lembaga Selain Bank, selain tunduk pada ketentuan tersebut tunduk pula pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha pengiriman uang dan/atau ketentuan mengenai transfer dana. 2. Fasilitas … 31 2. Fasilitas Tarik Tunai hanya dapat diberikan untuk Uang Elektronik yang memiliki fasilitas transfer dana. 3. Jika Penerbit bekerjasama dengan pihak lain yang merupakan Lembaga Selain Bank untuk bertindak sebagai agen pengirim dan/atau agen penerima transfer (termasuk pihak yang melayani fasilitas Tarik Tunai), maka pihak lain tersebut wajib pula memperoleh izin sebagai penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang atau transfer dana terlebih dahulu dari Bank Indonesia. G. Penerapan Manajemen Risiko Operasional dan Peningkatan Keamanan Teknologi 1. Dalam rangka penerapan manajemen risiko operasional, Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib meningkatkan keamanan teknologi Uang Elektronik untuk mengurangi tingkat kejahatan dan penyalahgunaan Uang Elektronik, serta sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Uang Elektronik sebagai alat pembayaran. 2. Peningkatan keamanan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dilakukan terhadap seluruh infrastruktur teknologi yang terkait dengan penyelenggaraan Uang Elektronik, yang meliputi pengamanan pada media penyimpan Uang Elektronik dan pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi Uang Elektronik. 3. Dalam peningkatan keamanan sebagaimana dimaksud pada angka 2, antara lain dilakukan dengan penggunaan proven technology yang paling kurang mencakup pemenuhan aspek-aspek sebagai berikut: a. Adanya sistem keamanan teknologi yang paling kurang memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) kerahasiaan data (confidentiality); 2) integritas sistem dan data (integrity); 3) otentikasi … 32 3) otentikasi sistem dan data (authentication); 4) pencegahan terjadinya penyangkalan transaksi yang telah dilakukan (non-repudiation); dan 5) ketersediaan sistem (availability), yang dilakukan secara efektif dan efisien dengan memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku; b. Adanya sistem dan prosedur untuk melakukan audit trail; c. Adanya kebijakan dan prosedur internal untuk sistem dan Sumber Daya Manusia (SDM); dan d. Adanya Business Continuity Plan (BCP) yang dapat menjamin kelangsungan penyelenggaraan Uang Elektronik. BCP tersebut meliputi tindakan preventif maupun contingency plan (termasuk penyediaan sarana back-up) jika terjadi kondisi darurat atau gangguan yang mengakibatkan sistem utama penyelenggaraan Uang Elektronik tidak dapat digunakan. H. Penempatan Dana Float 1. Dalam hal Penerbit berupa Lembaga Selain Bank, maka Dana Float yang dikelola wajib ditempatkan pada Bank Umum dalam bentuk rekening simpanan berupa tabungan, giro, dan/atau deposito. 2. Dana Float yang ditempatkan pada Bank Umum sebagaimana dimaksud pada angka 1 sebesar 100% dari Dana Float yang diperoleh dari hasil penjualan Uang Elektronik yang masih merupakan kewajiban Penerbit kepada Pemegang dan Pedagang. 3. Besarnya komposisi Dana Float dalam bentuk tabungan, giro, dan/atau deposito diserahkan sepenuhnya kepada Penerbit. Penerbit hanya dapat memanfaatkan Dana Float tersebut untuk kepentingan pemenuhan kewajiban kepada Pemegang dan Pedagang. Dana Float tidak dapat digunakan untuk membiayai kegiatan di luar kewajiban kepada Pemegang dan Pedagang tersebut seperti untuk pembiayaan operasional Penerbit. 4. Pemenuhan … 33 4. Pemenuhan kewajiban kepada Pemegang dan Pedagang harus dilakukan oleh Penerbit dengan tepat waktu. 5. Penatausahaan Dana Float milik Penerbit yang berasal dari Bank dilakukan dengan pencatatan pada sisi kewajiban segera atau rupa- rupa pasiva. Jika Penerbit yang berasal dari Bank tersebut melakukan penempatan Dana Float maka harus dilakukan pada investasi yang aman dan likuid. I. Transparansi Produk 1. Transparansi produk antara lain dilakukan oleh Penerbit dengan memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang atas Uang Elektronik yang diterbitkannya. Informasi tersebut wajib disampaikan dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang mudah dibaca oleh Pemegang. 2. Informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1, paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut: a. informasi bahwa Uang Elektronik bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan sehingga Nilai Uang Elektronik tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS); b. prosedur dan tata cara penggunaan Uang Elektronik, fasilitas yang melekat pada Uang Elektronik, seperti Pengisian Ulang, transfer dana, Tarik Tunai, dan redeem, serta risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Uang Elektronik; c. hak dan kewajiban Pemegang, paling kurang meliputi: 1) hal-hal penting yang harus diperhatikan Pemegang dalam penggunaan Uang Elektronik seperti masa berlaku media Uang Elektronik, jika ada, dan hak serta kewajiban Pemegang atas berakhirnya masa berlaku media Uang Elektronik tersebut; 2) hak dan kewajiban Pemegang jika terjadi hal-hal yang mengakibatkan kerugian bagi Pemegang dan/atau Penerbit … 34 Penerbit, baik yang disebabkan oleh kegagalan sistem atau sebab lainnya; dan 3) d. jenis dan besarnya biaya yang dikenakan; tata cara pengajuan pengaduan yang berkaitan dengan penggunaan Uang Elektronik dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut; dan e. tata cara dan konsekuensi penggunaan produk termasuk tata cara pengembalian seluruh Nilai Uang Elektronik yang tersisa pada Uang Elektronik pada saat Pemegang mengakhiri penggunaan Uang Elektronik (redeem). J. Kerjasama Acquirer dengan Pedagang atau Pihak Lain 1. Dalam hal Acquirer melakukan kerjasama dengan Pedagang, Acquirer tersebut harus memastikan bahwa: a. bidang usaha Pedagang tidak termasuk bidang usaha yang dilarang oleh undang-undang; b. dalam perjanjian kerjasama antara Acquirer dengan Pedagang memuat klausula yang harus dicantumkan paling kurang meliputi: 1) 2) hak dan kewajiban Acquirer dan Pedagang; larangan kepada Pedagang untuk mengenakan biaya tambahan (surcharge) kepada Pemegang; dan/atau 3) kewajiban kepada Pedagang untuk menjaga kerahasiaan data/informasi mengenai transaksi dan Pemegang; c. d. Pedagang mematuhi perjanjian kerjasama dengan Acquirer sebagaimana dimaksud pada huruf b; dan Pedagang memahami tata cara dan mekanisme transaksi dengan menggunakan Uang Elektronik. Dalam hal ini Acquirer berkewajiban untuk memberikan edukasi dan pembinaan secara berkala kepada Pedagang termasuk jika terdapat jenis atau nama yang berbeda dan/atau penambahan fasilitas baru Uang Elektronik. 2. Dalam … 35 2. Dalam hal Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain, seperti perusahaan personalisasi atau perusahaan penyedia jasa teknologi dalam penyelenggaraan Uang Elektronik, maka: a. pengoperasian sistem harus dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa teknologi dalam penyelenggaraan Uang Elektronik yang mempunyai jaminan keamanan atas keseluruhan proses transaksi Uang Elektronik. Jaminan keamanan tersebut dibuktikan dengan: 1) adanya hasil audit teknologi informasi dari auditor independen internal atau eksternal; dan 2) adanya hasil sertifikasi yang dilakukan oleh Prinsipal, jika Acquirer menjadi anggota Prinsipal. b. Acquirer harus memastikan bahwa perusahaan penyedia jasa teknologi dalam penyelenggaraan Uang Elektronik dapat menjaga kerahasiaan data, baik data Pemegang maupun data transaksi. 3. Acquirer yang merupakan Bank jika dalam melakukan kegiatan Uang Elektronik akan bekerjasama atau menggunakan pihak lain untuk memproses transaksi Uang Elektronik, wajib pula memperhatikan dan memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kerjasama Bank dengan pihak lain, antara lain ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh Bank Umum. VIII. MASA BERLAKU MEDIA UANG ELEKTRONIK Penerbit dapat menetapkan masa berlaku media Uang Elektronik antara lain dengan pertimbangan adanya batas usia teknis dari media Uang Elektronik yang digunakan. Sebagai contoh, untuk Uang Elektronik yang menggunakan chip sebagai media elektronik yang ditanam pada kartu, Penerbit dapat menetapkan masa berlaku kartu tersebut untuk jangka waktu tertentu. Dengan berakhirnya masa berlaku media Uang Elektronik, Nilai Uang Elektronik yang masih tersisa dalam media tersebut tidak serta merta menjadi hapus … 36 hapus. Dengan demikian Pemegang masih memiliki hak tagih atas sisa Nilai Uang Elektronik yang terdapat dalam media tersebut sampai dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang masih terdapat sisa Nilai Uang Elektronik pada media tersebut. Pemenuhan hak tagih atas sisa Nilai Uang Elektronik tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan memindahkan sisa Nilai Uang Elektronik tersebut ke dalam media yang baru. Pemenuhan hak tagih atas Nilai Uang Elektronik dapat dikurangi dengan biaya administrasi yang dikenakan oleh Penerbit kepada Pemegang. IX. PENGAWASAN DAN LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN UANG ELEKTRONIK A. Pengawasan Penyelenggaraan Kegiatan Uang Elektronik 1. Tujuan Pengawasan Pengawasan bertujuan untuk memastikan penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dilakukan secara efisien, cepat, aman dan andal dengan memperhatikan prinsip perlindungan nasabah. 2. Obyek Pengawasan Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyelenggaraan Uang Elektronik yang dilakukan oleh: a. Prinsipal; b. Penerbit; c. Acquirer; d. Penyelenggara Kliring; dan e. Penyelenggara Penyelesaian Akhir. 3. Fokus Pengawasan Pengawasan terhadap penyelenggaraan Uang Elektronik difokuskan pada: a. penerapan aspek manajemen risiko; b. kepatuhan … 37 b. kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk kebenaran dan ketepatan penyampaian informasi dan laporan; dan c. penerapan aspek perlindungan nasabah. 4. Metode Pengawasan a. Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dilakukan Bank Indonesia melalui: 1) penelitian, analisis dan evaluasi, antara lain yang didasarkan atas laporan berkala, laporan insidentil, data dan/atau informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia dari pihak lain, dan diskusi dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2. 2) pemeriksaan (on site visit) terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2 untuk mencocokan kebenaran data dengan fakta di lapangan, serta melihat sarana fisik, sistem, aplikasi pendukung dan database. Dalam hal diperlukan, pemeriksaan (on site visit) dapat juga dilakukan terhadap pihak-pihak yang bekerjasama dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2. 3) pertemuan konsultasi (consultative meeting) dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2 untuk mendapatkan informasi penyelenggaraan dan menyampaikan saran. 4) pembinaan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2 termasuk untuk melakukan perubahan. b. Dalam rangka pengawasan, pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2 wajib memberikan: 1) keterangan … 38 1) keterangan dan/atau data yang terkait dengan penyelenggaraan Uang Elektronik, baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy; dan 2) kesempatan melakukan pemeriksaan (on site visit) untuk melihat penyelenggaraan Uang Elektronik, sarana fisik, sistem, aplikasi pendukung dan database. c. Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan (on site visit) terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2. B. Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Uang Elektronik 1. Laporan Berkala a. Laporan berkala merupakan laporan yang wajib disampaikan secara lengkap, benar, akurat dan tepat waktu oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir A.2 sesuai dengan periode masing-masing laporan. Laporan berkala terdiri atas laporan bulanan, laporan triwulanan, dan laporan tahunan. b. Jenis Laporan Berkala Laporan berkala yang wajib disampaikan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir A.2 meliputi: 1) Prinsipal a) Laporan Tahunan yang paling kurang meliputi informasi mengenai: (1) rencana kerja dan target 1 (satu) tahun ke depan termasuk rencana pengembangan produk dan kerjasama dengan pihak lain; (2) realisasi rencana kerja tahun sebelumnya; (3) anggota yang tergabung dalam jaringan Prinsipal; dan (4) jenis dan besarnya biaya yang dikenakan kepada anggota. b) Laporan … 39 b) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain meliputi: (1) keamanan jaringan; (2) keamanan data; (3) keamanan aplikasi dan sistem; (4) kontrol terhadap akses sistem dan data; (5) monitoring dan pengujian berkala terhadap jaringan; dan (6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi informasi. 2) Penerbit a) Laporan Bulanan Fraud; b) Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah; dan c) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain meliputi: (1) keamanan jaringan; (2) keamanan data; (3) keamanan aplikasi dan sistem; (4) kontrol terhadap akses sistem dan data; (5) monitoring dan pengujian berkala terhadap jaringan; dan (6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi informasi. 3) Acquirer a) Laporan Bulanan penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik sebagai Acquirer; dan b) Laporan … 40 b) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain meliputi: (1) keamanan jaringan; (2) keamanan data; (3) keamanan aplikasi dan sistem; (4) kontrol terhadap akses sistem dan data; (5) monitoring dan pengujian berkala terhadap jaringan; dan (6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi informasi. 4) Penyelenggara Kliring a) Laporan Triwulanan Penyelenggaraan Kegiatan Kliring. b) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain meliputi: (1) keamanan jaringan; (2) keamanan data; (3) keamanan aplikasi dan sistem; (4) kontrol terhadap akses sistem dan data; (5) monitoring dan pengujian berkala terhadap jaringan; dan (6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi informasi. 5) Penyelenggara Penyelesaian Akhir a) Laporan Triwulanan Penyelenggaraan Kegiatan Penyelesaian Akhir; dan b) Laporan … 41 b) Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi yang dilakukan secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun, dengan cakupan audit antara lain meliputi: (1) keamanan jaringan; (2) keamanan data; (3) keamanan aplikasi dan sistem; (4) kontrol terhadap akses sistem dan data; (5) monitoring dan pengujian berkala terhadap jaringan; dan (6) prosedur tertulis terkait keamanan teknologi informasi. 2. Laporan Insidentil a. Laporan insidentil merupakan laporan tertulis yang wajib disampaikan secara benar oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada butir A.2 kepada Bank Indonesia baik atas permintaan Bank Indonesia maupun atas inisiatif sendiri pihak- pihak tersebut. Laporan insidentil dapat dilakukan dengan penyampaian dokumen sesuai dengan permintaan Bank Indonesia. b. Jenis Laporan Insidentil 1) Laporan Rencana Kerjasama dengan Pihak Lain a) Prinsipal, Penerbit atau Acquirer yang akan melakukan kerjasama dengan pihak lain wajib menyampaikan laporan secara terulis kepada Bank Indonesia, paling kurang memuat: (1) data/informasi/profil perusahaan pihak lain yang akan bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit atau Acquirer; (2) dasar … 42 (2) dasar pertimbangan dilakukannya kerjasama; (3) tanggal efektif rencana dilaksanakannya kerjasama; dan (4) jangka waktu rencana pelaksanaan kerjasama; b) Laporan tertulis rencana kerjasama Prinsipal, Penerbit atau Acquirer dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada huruf a), harus dilengkapi dengan dokumen berupa: (1) fotokopi konsep perjanjian kerjasama antara Prinsipal, Penerbit atau Acquirer dengan pihak lain; (2) hasil audit teknologi informasi dari auditor independen, jika pihak lain yang bekerjasama dengan Prinsipal atau Penerbit, merupakan perusahaan penyedia jasa teknologi dan/atau pihak lain yang menyediakan sarana pemrosesan transaksi Uang Elektronik; (3) hasil audit teknologi informasi dari auditor independen, jika pihak lain yang bekerjasama dengan Acquirer merupakan pihak yang menyediakan sarana pemrosesan transaksi Uang Elektronik; (4) fotokopi sertifikat dari Prinsipal terhadap pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit atau Acquirer, jika Penerbit atau Acquirer menjadi anggota Prinsipal; (5) surat pernyataan kesanggupan pihak lain yang bekerjasama dengan Prinsipal, Penerbit atau Acquirer untuk menjaga kerahasiaan data; (6) fotokopi … 43 (6) fotokopi konsep perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pihak lain dengan pihak ketiga, jika ada. 2) Laporan Jenis atau Nama yang Berbeda dan/atau Penambahan Fasilitas Baru pada Uang Elektronik a) Penerbit yang akan menerbitkan Uang Elektronik dengan jenis atau nama yang berbeda dan/atau penambahan fasilitas baru harus melaporkan secara tertulis dengan dilampiri dokumen paling kurang: (1) rencana bisnis; dan (2) penjelasan karakteristik jenis atau nama yang berbeda dan/atau penambahan fasilitas baru. b) Rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada butir a)(1), antara lain meliputi informasi mengenai target pendapatan yang akan dicapai dari produk dengan Jenis atau Nama yang Berbeda dan/atau Penambahan Fasilitas Baru tersebut. c) Penjelasan karakteristik produk dengan Jenis atau Nama yang Berbeda dan/atau Penambahan Fasilitas Baru sebagaimana dimaksud pada butir a)(2), meliputi penjelasan alur transaksi, upaya peningkatan keamanan sistem, dan perbedaan produk dengan Jenis atau Nama yang Berbeda dan/atau Penambahan Fasilitas Baru dengan produk sebelumnya. 3) Laporan Insiden (incident report) Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir wajib menyampaikan laporan insiden (incident report) yakni laporan atas terjadinya gangguan pada sistem dan upaya yang telah dilakukan untuk menanggulanginya seperti: a) adanya kegagalan network dalam memproses transaksi Uang Elektronik; dan b) fraud yang terjadi. 4) Laporan … 44 4) Laporan Perubahan Data/Informasi Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir harus melaporkan secara tertulis jika terdapat perubahan data atau informasi atas dokumen-dokumen yang disampaikan pada saat mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia, seperti perubahan nama, alamat kantor, perubahan pengurus (Direksi dan/atau Dewan Komisaris), perubahan dokumen pokok-pokok hubungan bisnis, perubahan pengaturan hak dan kewajiban para pihak, perubahan perjanjian kerjasama dan perubahan para pihak yang bekerjasama, perubahan prosedur penyelesaian sengketa. 3. Laporan tahunan Prinsipal sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.1)a) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia secara tertulis dengan hardcopy paling lambat diterima Bank Indonesia pada tanggal 15 Februari tahun berikutnya. Apabila tanggal 15 Februari jatuh pada hari libur maka laporan harus sudah diterima pada hari kerja berikutnya. Contoh: Laporan untuk periode bulan Januari sampai dengan Desember 2009 disampaikan paling lambat tanggal 15 Februari 2010. 4. Penyampaian Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.1)b), 1.b.2)c), 1.b.3), 1.b.4)b), dan butir 1.b.5)b) harus sudah diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak Laporan Hasil Audit Teknologi Informasi diterbitkan. 5. Laporan Rencana Kerjasama dengan Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada butir 2.b.1), wajib dilaporkan secara tertulis oleh Prinsipal, Penerbit atau Acquirer kepada Bank Indonesia paling lambat … 45 lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum perjanjian kerjasama ditandatangani. 6. Apabila Penerbit atau Acquirer telah menandatangani perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud pada angka 5, Prinsipal, Penerbit atau Acquirer wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai realisasi/pelaksanaan kerjasama dengan pihak lain tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak ditandatanganinya perjanjian kerjasama. 7. Laporan Jenis atau Nama yang Berbeda dan Penambahan Fasilitas Baru sebagaimana dimaksud pada butir 2.b.2) harus dilaporkan secara tertulis oleh Penerbit kepada Bank Indonesia paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja sebelum produk dengan jenis atau nama yang berbeda dan penambahan fasilitas baru tersebut diterbitkan. 8. Laporan Insiden (incident report) sebagaimana dimaksud pada butir 2.b.3) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia sesegera mungkin setelah kejadian kepada Tim PwSP DASP melalui telepon atau faksimili yang diikuti pelaporan tertulis paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah kejadian. 9. Laporan Perubahan Data/Informasi sebagaimana dimaksud pada butir 2.b.4) harus disampaikan secara tertulis oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir kepada Bank Indonesia paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak dilakukannya perubahan. 10. Untuk kepentingan pengawasan terkait dengan penyelenggaraan kegaiatan Uang Elektronik, Bank Indonesia berwenang meminta data, informasi, dan/atau laporan di luar laporan-laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2. 11. Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.2)a), butir 1.b.2)b), butir 1.b.3)a), butir 1.b.4)a), dan butir 1.b.5)a) dan sanksi kewajiban membayar berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia… 46 Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat Bank Umum dan ketentuan mengenai laporan penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran menggunakan kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank. C. Tata Cara Pengenaan Sanksi Denda 1. Pengenaan sanksi denda terhadap Bank terkait penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik, dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. 2. Pengenaan sanksi denda terhadap Lembaga Selain Bank terkait penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara menyampaikan surat pengenaan sanksi denda kepada Lembaga Selain Bank tersebut yang antara lain berisi informasi jumlah sanksi denda dan tata cara pembayarannya kepada Bank Indonesia. X. PENGEMBANGAN DAN PENYEDIAAN SISTEM UANG ELEKTRONIK YANG DAPAT SALING DIKONEKSIKAN (INTEROPERABILITY) DENGAN SISTEM UANG ELEKTRONIK LAINNYA. Dalam rangka meningkatkan efisiensi, kelancaran dan memberikan manfaat yang lebih luas kepada Pemegang dalam bertransaksi diperlukan upaya untuk mengembangkan sistem yang dapat saling dikoneksikan dalam memproses transaksi antara Prinsipal, Penerbit dengan Acquirer yang satu dengan Prinsipal, Penerbit dan Acquirer yang lain. Secara teknis hal tersebut dapat dilakukan oleh Prinsipal dengan menetapkan aturan main dan suatu kriteria atau standar sehingga setiap Penerbit yang menggunakan jaringan dari Prinsipal tersebut dapat memberikan fasilitas kepada para Pemegang untuk menggunakan akses peralatan yang menggunakan tanda atau logo dari Prinsipal yang bersangkutan. Kemudahan tersebut disamping dapat memberikan manfaat bagi Pemegang juga memberikan penghematan proses transaksi yang dilakukan oleh pihak Acquirer sehingga dapat dihindari investasi yang tidak perlu diantara para Acquirer … 47 Acquirer. Dalam jangka panjang penghematan biaya transaksi diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Penyederhanaan sistem atau aplikasi dapat dilakukan oleh pihak Prinsipal, Penerbit dan Acquirer dengan melakukan pengembangan sistem yang dari awalnya telah dirancang agar sistem yang dikembangkan dapat saling membaca dengan sistem yang dikembangkan oleh pihak lain. Langkah penyederhanaan sistem oleh para pihak dapat dilakukan melalui kesepakatan yang dilakukan sendiri oleh industri. Untuk mendukung pelaksanaannya Bank Indonesia dapat mewajibkan para pihak untuk mengikuti dan menyesuaikan sistemnya yang kriteria dan persyaratannya telah menjadi kesepakatan industri. XI. PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMPEROLEH IZIN DAN MENYAMPAIKAN LAPORAN DALAM RANGKA PERALIHAN PERIZINAN MELALUI PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PEMISAHAN ATAU PENGAMBILALIHAN A. Penggabungan 1. Dalam hal Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia akan melakukan penggabungan dengan Bank yang telah/belum memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. jika Bank hasil penggabungan adalah Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia, maka Bank hasil penggabungan tersebut harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai rencana melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. b. jika Bank hasil penggabungan adalah Bank yang belum memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia, maka Bank hasil penggabungan tersebut wajib… 48 wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. 2. Dalam hal Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia akan melakukan penggabungan dengan Lembaga Selain Bank yang telah/belum memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. jika Lembaga Selain Bank hasil penggabungan adalah Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia, maka Lembaga Selain Bank hasil penggabungan tersebut harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai rencana melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. b. jika Lembaga Selain Bank hasil penggabungan adalah Lembaga Selain Bank yang belum memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia, maka Lembaga Selain Bank hasil penggabungan tersebut wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. B. Peleburan 1. Dalam hal Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia akan melakukan peleburan dengan Bank yang telah atau belum memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia, Bank hasil peleburan wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. 2. Dalam hal Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia akan … 49 akan melakukan peleburan dengan Lembaga Selain Bank yang telah atau belum memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia, Lembaga Selain Bank hasil peleburan wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. C. Pemisahan 1. Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia akan melakukan pemisahan murni, maka Bank atau Lembaga Selain Bank hasil pemisahan murni wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. 2. Dalam hal Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia akan melakukan pemisahan tidak murni (spin off), berlaku ketentuan sebagai berikut: a. izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia tetap melekat pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan pemisahan tidak murni (spin off). Oleh karena itu Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan pemisahan tidak murni (spin off) harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai rencana melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. b. Bank atau Lembaga Selain Bank hasil pemisahan tidak murni (spin off) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. D. Pengambilalihan 1. Dalam hal terjadi pengambilalihan terhadap Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik dari Bank Indonesia, maka Bank atau Lembaga Selain … 50 Selain Bank yang akan diambilalih harus melaporkan rencana pengambilalihan tersebut kepada Bank Indonesia. 2. Laporan rencana pengambilalihan tersebut harus dilengkapi dengan informasi yang paling kurang meliputi latar belakang pengambilalihan, pihak yang akan melakukan pengambilalihan, target waktu pelaksanaan pengambilalihan, susunan pemilik dan/atau Pemegang saham pengendali setelah dilakukannya pengambilalihan, serta rencana bisnis setelah dilakukannya pengambilalihan khususnya yang terkait denan penyelenggaraan kegaiatan Uang Elektronik seperti rencana perubahan nama, perubahan struktur organisasi, atau perubahan sistem yang digunakan. E. Laporan sebagaimana dimaksud pada butir A.1.a., butir A.2.a., butir C.2.a, dan butir D.1. harus disampaikan kepada Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Laporan harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian permohonan izin rencana penggabungan, pemisahan, atau pengambilalihan kepada Bank Indonesia atau otoritas pengawas Lembaga Selain Bank yang berwenang. 2. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1, harus dilampiri dengan dokumen antara lain berupa rencana bisnis setelah penggabungan, pemisahan, atau pengambilalihan, termasuk rencana penggunaan sistem dan pengembangan sistem, kesiapan infrastruktur, dan laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen dalam hal terjadi pengembangan dan/atau penggabungan sistem yang ada. F. Permohonan perizinan sebagaimana dimaksud pada butir A.1.b., butir A.2.b., butir B.1., butir B.2., butir C.1., dan butir C.2.b, harus disampaikan kepada Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Permohonan persetujuan wajib disampaikan bersamaan dengan penyampaian permohonan izin rencana penggabungan, peleburan, atau … 51 atau pemisahan kepada Bank Indonesia atau otoritas pengawas Lembaga Selain Bank yang berwenang. 2. Permohonan perizinan sebagaimana dimaksud pada angka 1, harus dilampiri dengan dokumen yang antara lain berupa: a. laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik yang independen, untuk Lembaga Selain Bank; b. rencana bisnis setelah penggabungan, peleburan, atau pemisahan, termasuk rencana penggunaan sistem dan pengembangan sistem; c. d. laporan kesiapan infrastruktur; laporan hasil audit teknologi informasi dari auditor independen dalam hal terjadi pengembangan dan/atau penggabungan sistem yang telah ada; e. komposisi kepemilikan saham setelah penggabungan, peleburan, atau pemisahan untuk Lembaga Selain Bank; dan f. rekomendasi otoritas pengawas Lembaga Selain Bank, khusus untuk Lembaga Selain Bank. G. Pemrosesan permohonan perizinan untuk dapat melanjutkan kegiatan Uang Elektronik sehubungan dengan penggabungan, peleburan, atau pemisahan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. 2. Dalam rangka memberikan izin atau penolakan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. pemeriksaan … 52 a. pemeriksaan administratif terhadap kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang diajukan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank; b. pemeriksaan (on site visit) ke Bank atau Lembaga Selain Bank yang bersangkutan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dokumen yang diajukan dan untuk memastikan kesiapan operasional, jika diperlukan; dan c. dalam hal pemohon berupa Bank, Bank Indonesia meminta rekomendasi kepada otoritas pengawas Bank, paling kurang meliputi kondisi keuangan, tingkat kesehatan, kesiapan operasional dan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk informasi terdapat permasalahan- permasalahan yang dihadapi Bank tersebut. 3. Dalam hal pemeriksaan administratif dokumen sebagaimana dimaksud pada butir 2.a dan pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud pada butir 2.b telah dilakukan, dan dengan mempertimbangkan rekomendasi otoritas pengawas Bank atau Lembaga Selain Bank, Bank Indonesia melakukan: a. pemberian izin, jika: 1) berdasarkan hasil pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud pada butir 2.a menunjukkan bahwa dokumen yang diajukan telah lengkap dan telah sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia; 2) berdasarkan hasil pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud pada butir 2.b, jika ada menunjukkan kebenaran dokumen yang diajukan dan kesiapan operasional; dan 3) otoritas pengawas Bank atau Lembaga Selain Bank merekomendasikan pelaksanaan rencana kegiatan Bank atau Lembaga Selain Bank untuk melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. b. penolakan … 53 b. penolakan, jika: 1) berdasarkan hasil pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud pada butir 2.a menunjukkan adanya satu atau lebih dokumen yang tidak lengkap dan/atau tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia; 2) berdasarkan hasil pemeriksaan (on site visit) sebagaimana dimaksud pada butir 2.b, jika ada menunjukkan adanya ketidakbenaran dokumen yang diajukan dan/atau ketidaksiapan operasional; dan/atau 3) otoritas pengawas Bank atau Lembaga Selain Bank tidak merekomendasikan Bank atau Lembaga Selain Bank untuk melanjutkan kegiatan Uang Elektronik. XII. PERUBAHAN DIREKSI DAN/ATAU DEWAN KOMISARIS Dalam hal terdapat rencana perubahan direksi dan/atau dewan komisaris dari Penerbit yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia maka rencana perubahan tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat meminta untuk mengganti direksi dan/atau dewan komisaris jika nama calon direksi dan/atau dewan komisaris tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir II.D.1 dan butir II.D.2 . XIII. LAIN-LAIN A. Hal-hal yang bersifat teknis dan mikro dalam penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik selain yang telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, dapat diatur dan disepakati sendiri oleh industri Uang Elektronik (Self Regulation Organization - SRO). Pengaturan yang dilakukan oleh industri Uang Elektronik tersebut sebagai pelengkap dan tidak diperkenankan bertentangan dengan ketentuan Bank Indonesia. Dalam hal SRO telah menyepakati dan menetapkan suatu ketentuan, maka setiap anggota yang tergabung atau pihak yang terkait dengan SRO harus mematuhi dan mengikuti ketentuan yang telah disepakati. B. Penyampaian … 54 B. Penyampaian permohonan izin penyelenggaraan Uang Elektronik, penyampaian laporan, informasi lainnya, dan/atau surat menyurat disampaikan oleh kantor pusat Bank atau Lembaga Selain Bank kepada: Bank Indonesia cq. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 2, Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta – 10350 XIV. PERALIHAN A. Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Pengajuan permohonan izin wajib disampaikan oleh Bank atau Lembaga Selain Bank paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini. Persyaratan dan tata cara memperoleh izin dari Bank Indonesia mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia ini. B. Bank atau Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelum diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini dan telah memperoleh izin atau penegasan dari Bank Indonesia, wajib melaporkan kegiatannya kepada Bank Indonesia dan melengkapi persyaratan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini. C. Lembaga Selain Bank yang telah melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian … 55 Penyelesaian Akhir di wilayah Republik Indonesia sebelum diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini dan belum berbadan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas maka wajib telah berbadan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini. D. Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit sebelum diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini wajib memenuhi ketentuan mengenai penempatan Dana Float sebagaimana dimaksud pada butir VII.H paling lambat dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kalender sejak tanggal diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini. XV. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 13 April 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, SWD. MURNIASTUTI DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 11/11/DASP|SE-BI/2009 </reg_id> <reg_title> Uang Elektronik (Electronic Money) </reg_title> <set_date> 13 April 2009 </set_date> <effective_date> 13 April 2009 </effective_date> <related_reg> '11/12./PBI/2009' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi IX Huruf C' </penalty_list>
No. 13/ 1 /DInt Jakarta, 20 Januari 2011 SURAT EDARAN Perihal : Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/24/PBI/2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5181) perlu untuk mengatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai kewajiban pelaporan utang luar negeri, sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan Pelaporan Utang Luar Negeri (ULN) dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai ULN dalam rangka penyusunan Statistik ULN Indonesia dan Statistik Neraca Pembayaran dalam upaya mendukung keberhasilan pengelolaan cadangan devisa dan perumusan kebijakan moneter. B. Pelapor 1. Berdasarkan jenis usaha, Pelapor terdiri dari : a. Lembaga Keuangan: 1) Bank; 2) Lembaga Keuangan Non Bank. b. Non Lembaga Keuangan. 2. Berdasarkan kepemilikan usaha, Pelapor terdiri dari : a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Badan Usaha Milik Swasta; d. Koperasi; e. Perorangan; f. Yayasan; g. Lainnya. 3. Dalam ... 3. Dalam hal Pelapor ULN adalah badan usaha, pelaporan dilakukan oleh kantor pusat badan usaha yang bersangkutan. 4. Dalam hal Pelapor ULN adalah perorangan, pelaporan dilakukan oleh perorangan yang bersangkutan. 5. Dalam hal Pelapor ULN mempunyai kantor cabang luar negeri, utang kantor cabang luar negeri tersebut wajib dilaporkan oleh kantor pusat Pelapor ULN. 6. Pelapor ULN harus menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk menyusun, memverifikasi dan menyampaikan Laporan ULN. Contoh surat penunjukan sebagaimana dimaksud pada Lampiran 10. 7. Pelapor ULN sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 4 dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan pelaporan ULN. Contoh surat kuasa sebagaimana dimaksud pada Lampiran 11 atau Lampiran 12. II. RUANG LINGKUP LAPORAN A. Ruang Lingkup ULN yang Wajib Dilaporkan 1. ULN yang wajib dilaporkan meliputi : a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement); b. ULN berdasarkan Surat Utang (Debt Securities); c. ULN berdasarkan Utang Dagang (Trade Credits); dan/atau d. ULN berdasarkan Utang Lainnya (Other Loans). dalam valuta rupiah dan/atau valuta asing. 2. Surat Utang (Debt Securities) sebagaimana dimaksud pada butir 1.b. meliputi antara lain Letter of Credit (LC) impor yang diakseptasi oleh Bank (Bankers’ Acceptance), Obligasi, Commercial Papers (CP), Promissory Notes (PN), Medium Term Notes (MTN) dan Floating Rate Notes (FRN). 3. Utang Lainnya (Other Loans) sebagaimana dimaksud pada butir 1.d antara lain berupa pembayaran klaim asuransi dan deviden yang sudah ditetapkan namun belum dibayar. 4. ULN Lembaga Keuangan dan Non Lembaga Keuangan wajib dilaporkan seluruhnya tanpa batasan minimum. 5. ULN ... 5. ULN Perorangan yang wajib dilaporkan meliputi : a. setiap ULN dengan nominal paling sedikit USD 200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen utang ditandatangani atau diterbitkan; dan/atau b. beberapa ULN yang apabila dijumlahkan telah mencapai USD 200.000,00 (dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen utang ditandatangani atau diterbitkan. B. Jenis Laporan Laporan ULN terdiri dari : 1. Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya, meliputi : a. Profil Pelapor Setiap Pelapor yang baru pertama kali melaporkan ULN harus menyampaikan data profil Pelapor. Apabila terjadi perubahan data profil Pelapor maka perubahan tersebut harus disampaikan kepada Bank Indonesia. Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir Profil Pelapor (Lampiran 1). b. Profil ULN 1) Atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir PK01 (Lampiran 2). 2) Atas dasar Surat Utang (Debt Securities) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir SU01 (Lampiran 3). 3) Atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir UD01 (Lampiran 4). 4) Atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir UL01 (Lampiran 5). 2. Laporan ... 2. Laporan Data Realisasi ULN a. Atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada Formulir PK02 (Lampiran 6). b. Atas dasar Surat Utang (Debt Securities) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada Formulir SU02 (Lampiran 7). c. Atas dasar Utang Dagang (Trade Credits) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada Formulir UD02 (Lampiran 8). d. Atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada Formulir UL02 (Lampiran 9). III. PENYAMPAIAN LAPORAN A. Jangka Waktu Penyampaian Laporan ULN 1. Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya a. Laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), penerbitan Surat Utang (Debt Securities), pengakuan utang atas Utang Dagang (Trade Credits), dan/atau pengakuan utang atas Utang Lainnya (Other Loans). Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka Laporan ULN disampaikan pada hari kerja berikutnya. Contoh: Laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), yang ditandatangani pada tanggal 1 Juli 2011 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 10 Agustus 2011. b. Dalam hal penarikan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) telah dilakukan sebelum tanggal penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), maka untuk kepentingan pelaporan ... pelaporan ULN, penandatanganan Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dianggap telah dilakukan pada tanggal penarikan ULN dan laporan data pokok ULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah tanggal penarikan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tersebut. Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka Laporan ULN disampaikan pada hari kerja berikutnya. Contoh: Laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 2011 tetapi penarikannya dilakukan pada tanggal 15 Juli 2011 maka laporan data pokok ULN tersebut wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 10 Agustus 2011. 2. Laporan Data Realisasi ULN Laporan data realisasi ULN wajib disampaikan secara bulanan kepada Bank Indonesia dengan waktu penyampaian dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 pada bulan berikutnya. Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. Contoh: Laporan data realisasi ULN selama bulan Juli 2011, wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 10 Agustus 2011. 3. Koreksi Laporan ULN a. Koreksi Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya Koreksi atas laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 20 bulan penyampaian laporan. Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. Contoh : Koreksi data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juni 2011 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 20 Juli 2011. b. Koreksi … b. Koreksi Laporan Data Realisasi ULN Koreksi atas laporan data realisasi ULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama tanggal 20 bulan penyampaian laporan. Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. Contoh : Koreksi laporan data realisasi ULN selama bulan Juli 2011, wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 22 Agustus 2011. 4. Tidak Menyampaikan Laporan ULN Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan ULN apabila sampai dengan 6 (enam) bulan terhitung sejak batas akhir penyampaian Laporan ULN sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 Pelapor tidak menyampaikan Laporan ULN. 5. Keterlambatan Penyampaian Laporan ULN a. Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya Laporan data pokok ULN dan atau perubahannya pada bulan yang bersangkutan dianggap terlambat, apabila laporan disampaikan kepada Bank Indonesia melebihi tanggal 10 bulan berikutnya sebagaimana dimaksud pada angka 1. Contoh : Laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juli 2011 dianggap terlambat apabila disampaikan kepada Bank Indonesia setelah tanggal 10 Agustus 2011. b. Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Realisasi ULN Laporan data realisasi ULN bulan yang bersangkutan dianggap terlambat, apabila disampaikan kepada Bank Indonesia melebihi tanggal 10 bulan berikutnya, sebagaimana dimaksud pada angka 2. Contoh : Laporan data realisasi ULN selama bulan Juli 2011, dianggap terlambat apabila disampaikan kepada Bank Indonesia setelah tanggal 10 Agustus 2011. c. Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Data Pokok ULN Laporan … Laporan koreksi data pokok ULN dianggap terlambat, apabila disampaikan kepada Bank Indonesia melebihi tanggal 20 bulan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 3.a. Contoh : Koreksi laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juni 2011 dianggap terlambat apabila disampaikan kepada Bank Indonesia setelah tanggal 20 Juli 2011. d. Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Data Realisasi ULN Koreksi laporan data realisasi ULN dianggap terlambat, apabila disampaikan kepada Bank Indonesia melebihi tanggal 20 bulan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 3.b. Contoh : Koreksi laporan data realisasi ULN selama bulan Juni 2011, dianggap terlambat apabila disampaikan kepada Bank Indonesia setelah tanggal 20 Juli 2011. 6. Batas Waktu Penyampaian Pelaporan Menggunakan Media Off Line a. Tanggal penerimaan laporan dengan menggunakan media off line berupa disket/compact disc, media penyimpanan lainnya, atau hard copy oleh Bank Indonesia adalah sesuai dengan tanggal penerimaan di Bank Indonesia. Untuk pengiriman dengan pos, tanggal penerimaan laporan adalah tanggal stempel pos. b. Laporan ULN dengan media off line berupa disket/compact disc, media penyimpanan lainnya, atau hard copy harus sudah diterima di Bank Indonesia dengan batas waktu paling lama pukul 16.15 WIB. B. Media Penyampaian Laporan Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia menggunakan media on line (web technology) atau media off line berupa lampiran e-mail, disket/ compact disc, media penyimpanan lainnya, atau hard copy melalui kurir atau jasa ekspedisi dengan alamat : 1. Media on line (web technology) : a. Untuk pendaftaran Pelapor baru secara online melalui https://www.bi.go.id/siulweb/ b. Untuk pelaporan Laporan ULN menggunakan aplikasi SIUL yang diberikan oleh Bank Indonesia. 2. Media … 2. Media off line : a. Disket/ compact disc, media penyimpanan lainnya atau hard copy : Bagian Penatausahaan dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.5 Jalan MH. Thamrin No.2 Jakarta. b. E-mail : aplnsiul@bi.go.id C. Prosedur Penyusunan dan Penyampaian Laporan ULN Prosedur dan penyusunan penyampaian Laporan ULN tercantum dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaporan Utang Luar Negeri sebagaimana tercantum dalam Lampiran 13. IV. TATA CARA PENGENAAN SANKSI A. Sanksi Administratif Berupa Denda 1. Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan ULN kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada butir III.A.4, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Contoh: a. Perusahaan “A” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juli 2011 sebesar ekuivalen Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Laporan ULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 10 Agustus 2011. Perusahaan “A” sampai dengan 6 bulan sejak batas akhir penyampaian laporan yaitu tanggal 10 Februari 2012 tidak menyampaikan laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tersebut kepada Bank Indonesia, maka Perusahaan “A” dikenakan sanksi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). b. Perusahaan “B” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 4 Juli 2011 sebesar ekuivalen Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Penarikan dilakukan pada tanggal 12 Juli 2011. Laporan ULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 10 Agustus 2011. Laporan data pokok ULN disampaikan pada tanggal 9 Agustus 2011, sedangkan sampai dengan tanggal 10 Februari 2012 laporan data realisasi ... realisasi ULN tidak disampaikan kepada Bank Indonesia. Terkait dengan kasus ini, maka perusahaan “B” dianggap tidak menyampaikan laporan data realisasi ULN sehingga dikenakan sanksi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 2. Keterlambatan Penyampaian Laporan ULN dikenakan sanksi administratif berupa denda dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pelapor yang terlambat menyampaikan laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya, dan/atau laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada butir III.A.5.a dan III.A.5.b, dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap 1 (satu) Hari keterlambatan untuk setiap Pelapor. b. Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi laporan data pokok ULN dan/atau perubahannya, dan/atau koreksi laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada butir III.A.5.c dan III.A.5.d, dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap 1 (satu) Hari keterlambatan untuk setiap Pelapor. c. Jumlah keseluruhan denda sebagaimana dimaksud pada butir a dan b paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Pelapor atas keterlambatan Laporan ULN dan/atau koreksi Laporan ULN yang disampaikan pada periode yang sama. Contoh : 1) Keterlambatan Penyampaian Laporan ULN dan Batas Maksimal Pengenaan Denda Sampai dengan posisi akhir bulan September 2011, Perusahaan “C” memiliki ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities) dan Utang Dagang (Trade Credits). ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tersebut masing-masing ditandatangani pada tanggal 1, 5 dan 7 September 2011. Laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) dan laporan data realisasi ULN periode laporan bulan September 2011 disampaikan pada tanggal 30 Desember 2011. Pada ... Pada tanggal tersebut perusahan “C” juga menyampaikan koreksi data realisasi pembayaran bunga ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) periode laporan bulan September 2011. Laporan data pokok ULN dan laporan data realisasi ULN periode laporan bulan September 2011 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 10 Oktober 2011, sedangkan laporan koreksi data realisasi ULN periode laporan bulan September 2011 wajib disampaikan pada tanggal 20 Oktober 2011. Terkait dengan kasus ini, maka perusahaan “C” seharusnya dikenakan sanksi denda sebagai berikut: - Sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan data pokok ULN: 59 (lima puluh sembilan) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp5.900.000,00 (lima juta sembilan ratus ribu rupiah). - Sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan data realisasi ULN: 59 (lima puluh sembilan) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp5.900.000,00 (lima juta sembilan ratus ribu rupiah). - Sanksi denda keterlambatan penyampaian koreksi laporan data realisasi ULN: 52 (lima puluh dua) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp5.200.000,00 (lima juta dua ratus ribu rupiah). Total sanksi denda perusahaan “C” sebesar Rp17.000.000,000 (tujuh belas juta rupiah). Berhubung batas maksimal pengenaan sanksi denda atas keterlambatan penyampaian Laporan ULN adalah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), maka Perusahaan “C” terkena sanksi denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 2) Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Pokok ULN dan/atau Perubahannya a) Perusahaan “D” memiliki 3 (tiga) ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang masing-masing ditandatangani pada tanggal 4, 6 dan 8 Juli 2011. Batas waktu penyampaian laporan ... laporan data pokok ULN untuk ketiga Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tersebut seharusnya 10 Agustus 2011, namun baru disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 12 Agustus 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “D” dikenakan sanksi sebesar: 2 (dua) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). b) Perusahaan “E” memiliki 1 (satu) ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 2 November 2011. Batas waktu penyampaian Laporan ULN tersebut seharusnya 10 Desember 2011, namun karena ULN ditarik pada tanggal 17 Oktober 2011 maka batas waktu penyampaian Laporan ULN paling lama menjadi tanggal 10 November 2011. Perusahaan “E” baru menyampaikan Laporan ULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 19 Desember 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “E” dikenakan sanksi sebesar: 27 (dua puluh tujuh) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah). c) Perusahaan “F” memiliki 3 (tiga) jenis ULN atas dasar Surat Utang (Debt Securities) yang diterbitkan pada tanggal 12 Juli 2011, Utang Dagang (Trade Credits) yang diakui sebagai ULN pada tanggal 20 Juli 2011, dan Utang Lainnya (Other Loans) yang diakui sebagai ULN pada tanggal 27 Juli 2011. Batas waktu penyampaian laporan data pokok ULN untuk ketiga jenis ULN tersebut seharusnya pada tanggal 10 Agustus 2011, namun baru disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 22 Agustus 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “F” dikenakan sanksi sebesar: 7 (tujuh) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah). d) Perusahaan “G” memiliki 1 (satu) ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 15 Juni 2011. Batas waktu penyampaian Laporan data pokok ULN tersebut ... tersebut seharusnya pada tanggal 10 Juli 2011, namun karena tanggal tersebut jatuh pada hari libur, maka batas waktu penyampaian laporan data pokok ULN menjadi tanggal 11 Juli 2011. Perusahaan “G” baru menyampaikan laporan data pokok ULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 14 Juli 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “G” dikenakan sanksi sebesar: 3 (tiga) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). e) Perusahaan “H” memiliki 1 (satu) ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 15 Juni 2011. Batas waktu penyampaian laporan data pokok ULN tersebut seharusnya pada tanggal 10 Juli 2011, namun karena tanggal tersebut jatuh pada hari libur, maka batas penyampaian laporan ULN menjadi tanggal 11 Juli 2011. Perusahaan “H” baru menyampaikan laporan data pokok ULN kepada Bank Indonesia pada tanggal 30 Desember 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “H” seharusnya dikenakan sanksi sebesar: 121 (seratus dua puluh satu) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp12.100.000,00 (dua belas juta seratus ribu rupiah). Namun berhubung batas maksimal pengenaan sanksi denda atas keterlambatan penyampaian Laporan ULN adalah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), maka Perusahaan “H” terkena sanksi denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 3) Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Realisasi ULN a) Perusahaan “I” menyampaikan laporan data realisasi ULN selama bulan Juli 2011 pada tanggal 16 Agustus 2011. Batas waktu penyampaian laporan data realisasi ULN untuk bulan Juli seharusnya pada tanggal 10 Agustus 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “I” dikenakan sanksi sebesar: 4 (empat) ... 4 (empat) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp 400.000,00 (empat ratus ribu rupiah). b) Perusahaan “J” menyampaikan laporan data realisasi ULN selama bulan Agustus 2011 pada tanggal 14 September 2011. Batas waktu penyampaian laporan data realisasi ULN tersebut seharusnya pada tanggal 10 September 2011, namun karena tanggal tersebut jatuh pada hari libur, maka batas penyampaian laporan ULN menjadi tanggal 12 September 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “J” dikenakan sanksi sebesar: 2 (dua) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). c) Perusahaan “K” menyampaikan laporan data realisasi ULN selama bulan Juni 2011 pada tanggal 20 Desember 2011. Batas waktu penyampaian laporan data realisasi ULN tersebut seharusnya pada tanggal 10 Juli 2011, namun karena tanggal tersebut jatuh pada hari libur, maka batas penyampaian laporan ULN menjadi tanggal 11 Juli 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “K” seharusnya dikenakan sanksi sebesar: 113 (seratus tiga belas) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp11.300.000,00 (sebelas juta tiga ratus ribu rupiah). Berhubung batas maksimal pengenaan sanksi denda atas keterlambatan penyampaian Laporan ULN adalah sebesar Rp10.000.000,00, (sepuluh juta rupiah) maka Perusahaan “K” terkena sanksi denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 4) Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Data Pokok ULN dan Koreksi Laporan Data Realisasi ULN a) Perusahaan “L” menyampaikan koreksi laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juni 2011, pada tanggal 25 Juli 2011. Batas waktu penyampaian koreksi laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) tersebut seharusnya ... seharusnya pada tanggal 20 Juli 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “L” dikenakan sanksi sebesar: 3 (tiga) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). b) Perusahaan “M” menyampaikan koreksi laporan data realisasi ULN untuk periode Juni 2011, pada tanggal 27 Juli 2011. Batas waktu penyampaian koreksi laporan data realisasi ULN untuk tersebut seharusnya pada tanggal 20 Juli 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “M” dikenakan sanksi sebesar: 5 (lima) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). c) Pada tanggal 29 Juli 2011, Perusahaan “N” menyampaikan koreksi laporan data pokok ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 15 Juni 2011. Selain itu pada tanggal tersebut perusahaan “N” juga menyampaikan koreksi laporan data realisasi ULN periode bulan Juni 2011. Batas waktu penyampaian koreksi laporan data pokok dan data realisasi ULN tersebut pada tanggal 20 Juli 2011. Terkait keterlambatan di atas maka Perusahaan “N” dikenakan sanksi sebesar: 7 (tujuh) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah). B. Pembayaran Sanksi Administratif Berupa Denda 1. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada huruf A disetorkan ke Rekening Kas Negara No. 501.000.000 yang ada di Bank Indonesia. 2. Pelaksanaan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan setelah adanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara yang antara lain berisi tentang penetapan besarnya denda yang harus dibayar dan tata cara penyetorannya. 3. Bukti ... 3. Bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda harus disampaikan kepada Bank Indonesia. V. LAIN-LAIN Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 13 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. VI. PENUTUP Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka: Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/19/DInt tanggal 22 Juli 2010 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 20 Januari 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA NELSON TAMPUBOLON DIREKTUR INTERNASIONAL DInt
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 13/1/DInt|SE-BI/2011 </reg_id> <reg_title> Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri </reg_title> <set_date> 20 Januari 2011 </set_date> <effective_date> 20 Januari 2011 </effective_date> <replaced_reg> '12/19/DInt|SE-BI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '12/24/PBI/2010' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi IV' </penalty_list>
No.10/29/DPM Jakarta, 2 September 2008 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK DI INDONESIA Perihal : Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809), Bank Indonesia melaksanakan kegiatan Penatausahaan Surat Berharga. Kegiatan Penatausahaan Surat Berharga tersebut mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga. Pelaksanaan Penatausahaan Surat Berharga dilakukan secara two-tier system, yang terdiri dari Central Registry yaitu Bank Indonesia dan Sub-Registry yaitu Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia. Central Registry melakukan penatausahaan Rekening Surat Berharga untuk Bank, Sub- Registry dan pihak lain pemilik Rekening Surat Berharga di Bank Indonesia– Scripless Securities Settlement System yang disetujui oleh Bank Indonesia. Sedangkan Sub-Registry melakukan penatausahaan Rekening Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. Pencatatan Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga Sub-Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account). Sedangkan … 2 Sedangkan pencatatan Surat Berharga secara individual nasabah dilakukan oleh Sub-Registry dengan menggunakan sistem yang dimiliki Sub-Registry. Dalam rangka terselenggaranya sistem Penatausahaan Surat Berharga yang aman, akurat dan terpercaya maka Bank Indonesia sebagai Central Registry memandang perlu untuk mengatur kembali tata cara permohonan, pelaporan dan pengawasan Sub-Registry. I. Ketentuan Umum Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan: 1. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima deviden, bunga dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal yang berlaku. 2. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) untuk menjalankan usaha sebagai Kustodian. 3. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disebut sebagai LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, perusahaan efek dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal yang berlaku. 4. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal yang berlaku. 5. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan dalam Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System. 6. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia termasuk … 3 termasuk penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. 7. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok nominal Surat Berharga. 8. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah pihak pengelola BI-SSSS yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya serta Penatausahaan Surat Berharga. 9. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah pengguna BI- SSSS yang memenuhi persyaratan dan/atau disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan/atau Penatausahaan Surat Berharga. 10. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan Peserta yang memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS. 11. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan Kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. 12. Pengurus Sub-Registry adalah Direksi dan Dewan Komisaris dari Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan Sub-Registry 13. Pengelola Sub-Registry adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan operasional Sub-Registry. II. Persyaratan … 4 II. Persyaratan Sub-Registry Pihak yang dapat disetujui sebagai Sub-Registry adalah Bank, LPP dan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan Kustodian, yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. berkedudukan di wilayah hukum Indonesia; 2. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; 3. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bapepam-LK; 4. telah mempunyai pengalaman paling kurang 3 (tiga) tahun dalam kegiatan pencatatan Surat Berharga dan/atau paling kurang 3 (tiga) tahun dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga sejak memperoleh izin usaha dari Bapepam-LK; 5. memenuhi persyaratan permodalan sebagai berikut : a. bagi Bank, yang selanjutnya disebut Bank Kustodian harus memenuhi persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut KPMM berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; b. bagi LPP dan Perusahaan Efek yang selanjutnya disebut lembaga Kustodian bukan Bank, harus memiliki modal disetor paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar Rupiah). 6. memiliki sistem pencatatan surat berharga yang terintegrasi dengan dan antar kantor cabang yang dimiliki di dalam negeri; 7. memiliki sistem pencatatan surat berharga tanpa warkat (scripless) secara book-entry yang aman, akurat, dan terpercaya yang paling kurang dapat menatausahakan transaksi outright, repo, dan pengagunan; 8. Pengurus Sub-Registry dan Pengelola Sub-Registry tidak termasuk dalam Daftar Kredit Macet dan/atau dalam Daftar Tidak Lulus Fit and Proper Test; 9. memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani kegiatan Kustodian dengan manajemen dan staf yang profesional di bidang pencatatan dan/ atau penyimpanan Surat Berharga; 10. Surat … 5 10. Surat Berharga yang dicatat dan/atau disimpan paling sedikit telah mencapai nilai nominal rata-rata bulanan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah) dalam 6 (enam) bulan terakhir, terdiri dari Surat Berharga yang dapat diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal. III. Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Persetujuan sebagai Sub-Registry 1. Kustodian yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir II dapat mengajukan surat permohonan sebagaimana contoh pada Lampiran 1, kepada : Bank Indonesia - Direktorat Pengelolaan Moneter Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 11 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. 2. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 harus dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut : a. fotokopi surat persetujuan sebagai Bank Kustodian atau izin usaha sebagai Kustodian untuk lembaga Kustodian bukan Bank dari Bapepam-LK; b. fotokopi Anggaran Dasar Perusahaan dan perubahannya; c. fotokopi akta notaris yang memuat susunan pengurus perusahaan terakhir; d. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir untuk Bank Kustodian, atau jumlah modal disetor untuk lembaga Kustodian bukan Bank; e. keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha pencatatan dan/atau penyimpanan surat berharga yang terintegrasi dengan dan antar kantor cabang yang dimiliki di dalam negeri; f. fotokopi bukti hasil pemeriksaan oleh auditor independen mengenai keamanan sistem pencatatan surat berharga secara scripless; g. riwayat pekerjaan atau keahlian dari Pengurus dan/atau Pengelola di bidang Kustodian; h. data … 6 h. data mengenai jumlah dan nilai nominal transaksi pencatatan dan/atau penyimpanan surat berharga dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan i. laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. 3. Dalam hal persyaratan dokumen sudah dilengkapi, Bank Indonesia dapat melakukan peninjauan langsung ke tempat kedudukan calon Sub- Registry dalam rangka meneliti kebenaran persyaratan sesuai dengan dokumen yang disampaikan pemohon. 4. Bank Indonesia memberitahukan persetujuan atau penolakan untuk menjadi Sub-Registry kepada pemohon paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah persyaratan dokumen diterima lengkap oleh Bank Indonesia. 5. Dalam hal dokumen tidak lengkap, Bank Indonesia memberitahukan kepada pemohon secara tertulis untuk melengkapi dokumen yang belum disampaikan. 6. Dalam hal pemohon telah disetujui menjadi Sub-Registry, yang bersangkutan harus menjadi Peserta sesuai ketentuan BI-SSSS yang berlaku. 7. Dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah permohonan disetujui, Sub-Registry belum menjadi Peserta maka persetujuan sebagai Sub-Registry dibatalkan dan apabila yang bersangkutan bermaksud untuk menjadi Sub-Registry, harus mengajukan permohonan kembali beserta kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan untuk menjadi Sub-Registry. IV. Penatausahaan Surat Berharga oleh Sub-Registry Dalam rangka Penatausahaan Surat Berharga, Sub-Registry wajib melakukan tugas Sub-Registry, melaporkan kegiatan usahanya, dan tetap memenuhi persyaratan sebagai Sub-Registry, dengan ketentuan sebagai berikut : A. Pelaksanaan … 7 A. Pelaksanaan Tugas Sub-Registry 1. Melaksanakan setelmen transaksi Surat Berharga untuk dan atas nama nasabah; 2. Mencatat kepemilikan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah secara terpisah dari aset Sub-Registry; 3. Memelihara Rekening Surat Berharga selain untuk dan atas nama diri sendiri, Pengurus Sub-Registry, dan Pengelola Sub-Registry; 4. Menyampaikan bukti pencatatan Surat Berharga kepada nasabah yang antara lain berisi saldo akhir Rekening Surat Berharga yang memuat masing-masing seri Surat Berharga dan perubahan pencatatan kepemilikan Surat Berharga, termasuk pencatatan Surat Berharga yang ditransaksikan secara repo dan diagunkan kepada pihak lain; 5. Menyampaikan bukti pencatatan agunan bagi pihak penerima agunan; 6. Melakukan pencatatan Surat Berharga pada saat penerbitan atas nama nasabah; 7. Melakukan pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada nasabah pemilik Surat Berharga sesuai pencatatan pada sistem internal Sub-Registry; 8. Melakukan pemotongan dan administrasi pajak atas diskonto, capital gain dan kupon (bunga) atau imbalan Surat Berharga atas permintaan nasabah sesuai peraturan pajak yang berlaku; 9. Dalam hal terjadi pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) final atas diskonto, capital gain dan kupon (bunga) atau imbalan Surat Berharga, Sub-Registry mengambil bukti pemungutan PPh final dimaksud ke Bank Indonesia - Central Registry cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter (Bagian PTPM); 10. Menjamin … 8 10. Menjamin kebenaran pencatatan dan laporan kepemilikan Surat Berharga atas nama seluruh nasabah sesuai dengan saldo keseluruhan pada Rekening Surat Berharga (omnibus account) di Central Registry; 11. Menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah. 12. Memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. 13. Menjaga agar posisi KPMM bagi Bank Kustodian atau modal disetor bagi lembaga Kustodian bukan Bank tidak kurang dari posisi KPMM atau modal disetor sesuai ketentuan yang berlaku selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. B. Kewajiban Pelaporan 1. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia - Central Registry, sebagai berikut : a) Laporan Harian mengenai informasi setelmen transaksi Surat Berharga yang memuat perubahan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antar nasabah individual dalam Sub-Registry yang sama. b) Laporan Bulanan Posisi Kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah individual Sub-Registry sebagaimana contoh Lampiran 2. c) Laporan Tahunan berupa laporan rencana bisnis (bussiness plan) Sub-Registry pada tahun berikutnya, yang memuat antara lain target volume Penatausahaan Surat Berharga, rencana program peningkatan pelayanan, dan rencana pengembangan sistem penatausahaan internal; d) Laporan perubahan Pengurus Sub-Registry dan/atau Pengelola Sub-Registry; e) Laporan … 9 e) Laporan perubahan status dan/atau tipe nasabah pemilik Surat Berharga; f) Laporan hasil pemeriksaan auditor independen mengenai keamanan sistem pencatatatan Surat Berharga secara scripless; g) laporan hasil audit (berupa fotokopi) dari otoritas pengawas Kustodian mengenai keamanan sistem pencatatan Surat Berharga secara scripless, dalam hal tidak terdapat pemeriksaan oleh auditor independen selama periode tahun yang bersangkutan; dan h) Laporan lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia. 2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 ditujukan kepada : Bank Indonesia – Central Registry Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter Menara Sjafruddin Prawiranegara Lantai 11 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan ketentuan sebagai berikut : a) Laporan Harian sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a) disampaikan melalui BI-SSSS dan/atau sarana lainnya pada hari yang sama dengan tanggal perubahan pencatatan kepemilikan individual dalam sistem pencatatan Sub-Registry; Tata cara penyampaian Laporan Harian mengacu pada Pedoman Penyampaian Laporan Sub-Registry melalui BI-SSSS sebagaimana Lampiran 3. b) Laporan Bulanan disampaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah akhir bulan melalui sarana surat elektronis (e-mail) dengan alamat Sub_Reg_BI-SSSS@bi.go.id. c) Laporan Tahunan yang merupakan laporan rencana bisnis (bussiness plan) Sub-Registry pada tahun berikutnya disampaikan … 10 disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhir tahun kalender. d) Laporan Perubahan Pengurus Sub-Registry dan/atau Pengelola Sub-Registry disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi perubahan. e) Laporan hasil pemeriksaan auditor independen mengenai keamanan sistem pencatatatan Surat Berharga secara scripless disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan. f) Fotokopi laporan hasil audit dari otoritas pengawas Kustodian mengenai keamanan sistem pencatatan Surat Berharga secara scripless disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal laporan. g) Laporan perubahan status dan/atau tipe nasabah disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah terjadi perubahan. h) Laporan lainnya disampaikan sesuai jangka waktu yang akan ditetapkan dalam surat pemberitahuan Bank Indonesia. C. Pemenuhan Persyaratan sebagai Sub-Registry Sub-Registry wajib menjaga pemenuhan persyaratan sebagai Sub- Registry sebagaimana dimaksud dalam butir II, kecuali butir II.4 dan butir II.10. V. Pengawasan Sub-Registry 1. Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan terhadap Sub- Registry dengan ruang lingkup pengawasan sebagai berikut : a. pengawasan terhadap pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A ; b. pengawasan terhadap kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B; c. pengawasan terhadap kewajiban menjaga pemenuhan persyaratan sebagai Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C. 2. Metode … 11 2. Metode pengawasan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dapat dilakukan dengan cara: a. pengawasan tidak langsung melalui laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia; dan b. pengawasan langsung dengan melakukan pemeriksaan terhadap Sub- Registry. 3. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam butir 2.b dilakukan sewaktu- waktu apabila diperlukan. 4. Dalam rangka pengawasan terhadap Sub-Registry, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas pengawas Kustodian. 5. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan, Sub-Registry wajib memberikan informasi yang lengkap dan benar sesuai permintaan Bank Indonesia. 6. Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan terdapat hasil temuan yang wajib ditindaklanjuti oleh Sub-Registry, Bank Indonesia menyampaikan hasil temuan dimaksud melalui surat dan/atau melalui sarana lainnya. 7. Berdasarkan hasil pengawasan, Sub-Registry wajib melakukan tindak lanjut terhadap hasil temuan sebagai berikut : a. Sub-Registry yang belum memenuhi kewajiban dan/atau melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas dan/atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A dan butir IV.B, wajib : 1) memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang benar atau melakukan koreksi kesalahan dengan data yang benar terhadap Laporan Harian sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.a), paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir 6; dan/atau 2) memenuhi kewajiban pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.1 sampai dengan butir IV.A.11, atau memenuhi kewajiban pelaporan dengan data yang benar sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.b) sampai dengan butir … 12 butir IV.B.1.h), paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia; dan/atau 3) melakukan koreksi kesalahan atas laporan dengan data yang benar terhadap Laporan Bulanan, laporan perubahan status dan/atau tipe nasabah, dan laporan lainnya sesuai permintaan Bank Indonesia, paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia. b. Sub-Registry yang tidak memenuhi persyaratan pemenuhan jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.12 dan pemenuhan persyaratan sebagai Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C terkait dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir II.6 sampai dengan butir II.9, wajib membuat rencana tindakan (action plan) dalam rangka memenuhi persyaratan dimaksud, dengan ketentuan sebagai berikut : 1) rencana tindakan disampaikan kepada Bank Indonesia-Central Registry paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan hasil temuan oleh Bank Indonesia. 2) rencana tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) wajib dipenuhi sesuai dengan batas waktu pemenuhan yang diusulkan Sub-Registry paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat penyampaian rencana tindakan Sub-Registry, termasuk apabila terdapat perubahan. VI. Sanksi Terhadap Sub-Registry A. Teguran tertulis Dalam hal Sub-Registry tidak melakukan kewajiban tindak lanjut hasil temuan sebagaimana batas waktu dimaksud dalam butir V.7 maka pengenaan sanksi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : 1. teguran … 13 1. teguran tertulis pertama; 2. teguran tertulis kedua, dilakukan 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal teguran tertulis pertama dalam hal Sub-Registry tidak memenuhi kewajibannya; 3. teguran tertulis ketiga, dilakukan 6 (enam) hari kerja sejak tanggal teguran tertulis kedua dalam hal Sub-Registry tidak memenuhi kewajibannya. B. Pencabutan Persetujuan Sebagai Sub-Registry 1. Persetujuan Bank Kustodian dan lembaga Kustodian bukan Bank sebagai Sub-Registry dapat dicabut oleh Bank Indonesia apabila : a. Izin usaha sebagai Kustodian dicabut oleh Bapepam-LK. b. Posisi KPMM Bank Kustodian atau modal disetor lembaga Kustodian bukan Bank kurang dari persyaratan yang ditentukan sesuai ketentuan yang berlaku selama 3 (tiga) bulan berturut- turut; c. Sub-Registry tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah teguran tertulis ketiga; d. terdapat keputusan atau surat permintaan dari otoritas pengawas terkait untuk mencabut persetujuan Bank Kustodian dan lembaga Kustodian bukan Bank sebagai Sub-Registry; e. terdapat putusan pailit dari pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap atas lembaga Kustodian bukan Bank; f. status Sub-Registry sebagai Peserta dicabut oleh Penyelenggara; g. terdapat permohonan tertulis dari Sub-Registry sepanjang Sub- Registry telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang terkait dengan Penatausahaan Surat Berharga kepada nasabah, dengan menggunakan contoh surat sebagaimana Lampiran 4. 2. Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan mengenai pencabutan sebagai Sub-Registry kepada Sub-Registry. 3. Sub-Registry … 14 3. Sub-Registry yang dicabut persetujuannya sebagai Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a sampai dengan butir 1.f, harus menyelesaikan pencatatan perpindahan kepemilikan Surat Berharga individual nasabah kepada Sub-Registry lainnya yang ditunjuk oleh nasabah paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal pemberitahuan pencabutan sebagai Sub-Registry. 4. Bank Indonesia mengumumkan pencabutan persetujuan Sub- Registry melalui sarana BI-SSSS dan/atau sarana informasi lainnya. VII. Ketentuan Penutup Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/55/DPM tanggal 6 Desember 2005 perihal Tata Cara Penunjukan dan Pengawasan Sub-Registry dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 2 September 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/29/DPM|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Pengajuan Permohonan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry </reg_title> <set_date> 2 September 2008 </set_date> <effective_date> 2 September 2008 </effective_date> <replaced_reg> '7/55/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '10/2/PBI/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
No. 11/2/DSM Jakarta, 22 Januari 2009 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Laporan Bulanan Bank Umum Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 4950) tentang Laporan Bulanan Bank Umum, perlu ditetapkan ketentuan pelaksanaan mengenai Laporan Bulanan Bank Umum sebagai berikut. I. UMUM 1. Laporan Bulanan Bank Umum, yang selanjutnya disebut Laporan, disampaikan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh informasi mengenai kondisi keuangan dan kegiatan usaha Bank baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, guna mendukung pengambilan kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan. 2. Dalam hal Bank telah mampu menyusun dan mengirimkan Laporan per Kantor dari seluruh atau sebagian Kantor Cabangnya secara terpusat atau sentralisasi, Laporan dimaksud dapat disusun dan dikirim oleh kantor pusat Bank… Bank atau kantor Bank yang bertindak sebagai koordinator, dengan terlebih dahulu menyampaikan surat permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. 3. Dalam hal Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang dapat menyampaikan koreksi Laporan per Kantor sampai dengan tanggal 13 bulan berikutnya dan terlambat menyampaikan koreksi Laporan per Kantor sampai dengan tanggal 19 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu menyampaikan permohonan tertulis, yang dilengkapi dengan data berupa jumlah Kantor Cabang yang dimiliki, jumlah Kantor Cabang yang sudah online, jumlah Kantor Cabang yang belum online dan sebab- sebab belum online, serta rencana perbaikan sistem di masa yang akan datang kepada Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. II. FORMAT LAPORAN DAN TATA CARA PELAPORAN Format Laporan dan tata cara pelaporan diatur dalam Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) 2008 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. III. PETUGAS DAN PENANGGUNG JAWAB LAPORAN Nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan Laporan harus selalu dikinikan. Pengkinian dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktorat Statistik Ekonomi… Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. IV. PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN 1. Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia yang dilakukan secara online melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau melalui saluran telepon khusus ke Remote Access Server (RAS) Bank Indonesia, diatur dalam Petunjuk Teknis Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) 2008 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. 2. Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia secara offline dilakukan dengan menggunakan disket atau media perekaman data elektronik lainnya disertai hasil cetak komputer (hard copy), dalam hal : a. Bank Pelapor berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online; b. Bank Pelapor baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. Bank Pelapor mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, namun Bank Pelapor harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia, mengenai sebab-sebab terjadinya gangguan teknis tersebut. Dalam hal gangguan teknis tersebut disebabkan oleh tidak berfungsinya sarana yang disediakan oleh instansi tertentu, harus disertai keterangan tertulis dari pejabat instansi dimaksud; dan/atau d. Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan karena gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau… atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia. Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Bank Pelapor mengenai terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau dengan menggunakan sarana lain. 3. Tata cara dalam penyampaian Laporan: a. Bank Pelapor yang telah memiliki sandi Bank Pelapor menyampaikan Laporan dengan menggunakan sandi tersebut. b. Bank Pelapor yang baru dibuka mengajukan surat permohonan untuk memperoleh sandi Bank Pelapor dengan melampirkan izin pembukaan kantor Bank dari Bank Indonesia. Permohonan diajukan sebelum Bank melakukan kegiatan operasional. c. Kantor pusat Bank Pelapor mengajukan surat permohonan untuk memperoleh sandi Perusahaan Anak. d. Bank Pelapor mengajukan surat permohonan untuk memperoleh user ID dan password Remote Access Server (RAS). e. Bank Pelapor mengajukan surat permohonan untuk memperoleh dan/atau mengubah user ID dan password aplikasi, dengan melampirkan nama petugas dan penanggung jawab Laporan. 4. Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (3) disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. 5. Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (3) Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal akan memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor pemohon mengenai sandi Bank Pelapor, sandi Perusahaan Anak, user ID dan password Remote Access Server (RAS), dan user ID dan password aplikasi. V. PEMBEBANAN… V. PEMBEBANAN SANKSI Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki rekening giro di Bank Indonesia setempat, maka pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum, dilakukan dengan cara mendebet rekening giro kantor pusat Bank di Bank Indonesia. VI. PENYAMPAIAN PERTANYAAN 1. Pertanyaan yang berkaitan dengan teknis dan cara pelaporan, program data entry, serta materi Laporan disampaikan kepada Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. 2. Pertanyaan yang berkaitan dengan materi Laporan disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan atau Direktorat Pengawasan Bank terkait, Menara Radius Prawiro, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. 3. Pertanyaan yang berkaitan dengan aplikasi dan otomasi Laporan disampaikan kepada Help Desk Teknologi Informasi Bank Indonesia, Jl.M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp. 021-3818000 (Hunting), email address: helpdesk@bi.go.id; atau 4. Bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia, pertanyaan yang berkaitan dengan teknis dan cara pelaporan, program data entry, serta materi Laporan, disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat. VII. PERALIHAN… VII. PERALIHAN Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/19/DSM tanggal 3 Oktober 2000 perihal Laporan Bulanan Bank Umum masih tetap berlaku bagi Bank Pelapor untuk penyampaian Laporan sampai dengan data bulan April 2009. VIII. PENUTUP Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/19/DSM tanggal 3 Oktober 2000 perihal Laporan Bulanan Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak pelaporan data bulan Mei 2009. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Januari 2009 dan berlaku surut sejak tanggal 24 Desember 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HARTADI A. SARWONO DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 11/2/DSM|SE-BI/2009 </reg_id> <reg_title> Laporan Bulanan Bank Umum </reg_title> <set_date> 22 Januari 2009 </set_date> <effective_date> pada tanggal 22 Januari 2009 dan berlaku surut sejak tanggal 24 Desember 2008 </effective_date> <replaced_reg> '2/19/DSM|SE-BI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '10/40/PBI/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
No. 17/19/DPUM Jakarta, 8 Juli 2015 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5378) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/12/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5713), dan untuk meningkatkan pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM maka perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sebagai berikut: 1. Ketentuan… 2 1. Ketentuan butir I.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: I. UMUM C. Dalam rangka pencapaian pangsa Kredit atau Pembiayaan UMKM oleh Bank Umum, diperlukan ketentuan pelaksanaan yang mengatur mengenai tata cara penghitungan dan pemantauan atas pencapaian pangsa Kredit atau Pembiayaan UMKM, pelaksanaan pola kerja sama yang ditetapkan, kriteria dan prosedur penyediaan Bantuan Teknis, pemberian insentif dan pengenaan disinsentif, tata cara publikasi atas pencapaian pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM, kriteria dan tata cara pemberian penghargaan (award) kepada Bank Umum, pemantauan terhadap kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Bank Umum Syariah, serta tata cara penyampaian laporan pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum. 2. Ketentuan angka II diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: II. RENCANA PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UMKM Bank Umum menyusun rencana pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM dengan memperhatikan tahapan pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan, yaitu: 1. tahun 2015, paling rendah 5% (lima persen); 2. tahun 2016, paling rendah 10% (sepuluh persen); 3. tahun 2017, paling rendah 15% (lima belas persen); dan 4. sejak tahun 2018, paling rendah 20% (dua puluh persen). 3. Ketentuan angka III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: III. PENCAPAIAN RASIO DAN KUALITAS KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UMKM A. Bank Indonesia melakukan perhitungan pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM dan rasio Non Performing Loan/Non Performing Financing (NPL/NPF) secara gabungan untuk… 3 untuk seluruh kantor Bank Umum di dalam negeri posisi akhir bulan Desember tahun bersangkutan yang bersumber dari Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, serta laporan Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing yang diterima secara offline dalam hal pelaporan online belum tersedia. B. Perhitungan pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud dalam huruf A dilakukan dengan formula sebagai berikut: Total Kredit atau Pembiayaan UMKM Total Kredit atau Pembiayaan x 100% C. Dalam melakukan perhitungan pencapaian rasio pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud dalam huruf B, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. Total Kredit atau Pembiayaan UMKM adalah jumlah baki debet Kredit atau Pembiayaan UMKM dalam Rupiah dan valuta asing, yaitu: a. Untuk Bank Umum selain kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Campuran, berasal dari pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM kepada pelaku usaha yang memenuhi kriteria UMKM yang dilakukan secara: 1) langsung; dan/atau 2) tidak langsung yaitu melalui kerja sama dengan pihak tertentu menggunakan pola executing, pola channeling, atau pembiayaan bersama (sindikasi). b. Untuk kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Campuran, berasal dari: 1) pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM kepada pelaku usaha yang memenuhi kriteria UMKM yang dilakukan secara: a) langsung; dan/atau b) tidak… 4 b) tidak langsung melalui kerja sama dengan pihak tertentu menggunakan pola executing; dan/atau 2) pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk produk ekspor non migas. Informasi mengenai Bank Umum yang memenuhi kriteria sebagai Bank Campuran diperoleh dari otoritas pengawas bank pada setiap awal tahun berdasarkan permintaan Bank Indonesia. c. Pedoman rincian komponen Kredit atau Pembiayaan UMKM dan/atau ekspor non migas yang diperhitungkan sebagai Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b mengacu pada Lampiran 1.a dan Lampiran 1.b yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Total Kredit atau Pembiayaan adalah jumlah baki debet Kredit atau Pembiayaan dalam Rupiah dan valuta asing. D. Non Performing Loan/Non Performing Financing (NPL/NPF) total Kredit atau Pembiayaan adalah penjumlahan Kredit atau Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet yang disalurkan Bank Umum. Perhitungan rasio NPL/NPF total Kredit atau Pembiayaan dilakukan dengan membandingkan total NPL/NPF terhadap total Kredit atau Pembiayaan Bank Umum. E. NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM adalah penjumlahan Kredit atau Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet yang disalurkan Bank Umum kepada pelaku usaha yang memenuhi kriteria UMKM. Perhitungan rasio NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM dilakukan dengan membandingkan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan UMKM Bank Umum. Yang dimaksud dengan NPL/NPF adalah NPL/NPF yang dihitung secara gross. Rasio… 5 Rasio NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM dihitung dengan rumus: NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM Total Kredit atau Pembiayaan UMKM x100% 4. Di antara angka V dan angka VI disisipkan 1 angka yaitu angka VA yang berbunyi sebagai berikut: VA.INSENTIF DAN DISINSENTIF DALAM RANGKA MENDORONG PENYALURAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UMKM Dalam rangka lebih meningkatkan penyaluran Kredit atau Pembiayaan kepada UMKM, Bank Indonesia memberikan insentif dan mengenakan disinsentif kepada Bank Umum yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu berupa: A. Pencapaian Rasio Kredit UMKM Digunakan dalam Perhitungan Giro Wajib Minimum Loan to Funding Ratio (GWM LFR) 1. Bank Umum konvensional yang memenuhi rasio Kredit UMKM lebih cepat dari target waktu tahapan pencapaian rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam angka II dapat memperoleh kelonggaran batas atas LFR target. 2. Bank Umum konvensional yang tidak memenuhi rasio Kredit UMKM atau memiliki rasio NPL total Kredit dan/atau rasio NPL Kredit UMKM lebih dari atau sama dengan 5% (lima persen), dikenakan pengurangan jasa giro. 3. Kelonggaran batas atas LFR target dan pengurangan jasa giro sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum dalam Rupiah dan valuta asing bagi Bank Umum konvensional. B. Insentif terkait Penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM Bank Indonesia dapat memberikan insentif kepada Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM dalam bentuk sebagai berikut: a. Pelatihan… 6 a. Pelatihan untuk Pejabat Kredit/Account Officer Bank Umum 1) Pelatihan kepada pejabat kredit/account officer Bank Umum dilakukan untuk meningkatkan kapasitas Bank Umum dalam penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM. 2) Mekanisme Pelaksanaan a) Bank Indonesia menginformasikan rencana penyelenggaraan pelatihan kepada pejabat kredit/account officer Bank Umum melalui surat atau media lainnya kepada Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM. b) Berdasarkan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a), Bank Umum mengajukan rencana keikutsertaan dalam pelatihan termasuk menyampaikan nama pejabat kredit/account officer yang menjadi peserta pelatihan. c) Pendaftaran untuk mengikuti pelatihan ditujukan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Kantor Pusat Bank Umum maupun Kantor Cabang Bank Umum yang beroperasi di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia. d) Bank Indonesia menetapkan calon peserta, jadwal, lokasi, dan topik pelatihan. 3) Bank Indonesia melakukan monitoring dan evaluasi terhadap hasil pelatihan. Dalam rangka monitoring dan evaluasi tersebut, Bank Indonesia meminta Bank Umum untuk menyampaikan laporan perkembangan Kredit atau Pembiayaan UMKM yang disalurkan oleh pejabat kredit/account officer yang mengikuti pelatihan. Monitoring dilakukan selama 1 (satu) tahun setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. 4) Laporan perkembangan Kredit atau Pembiayaan UMKM antara lain memuat jumlah debitur, jumlah dan kualitas… 7 kualitas Kredit atau Pembiayaan UMKM yang disalurkan. Laporan tersebut disampaikan secara triwulanan dan diterima Bank Indonesia paling lambat pada akhir triwulan yang bersangkutan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 6 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 5) Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4) di atas disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia melalui Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Kantor Pusat Bank Umum dan Kantor Cabang Bank Umum yang beroperasi di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia. b. Pelatihan kepada Pendamping/Pembina Usaha Mikro dan Usaha Kecil (UMK) 1) Bank Indonesia memberikan pelatihan kepada pendamping/pembina UMK guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan UMK atau UMK debitur Bank Umum dalam menyusun laporan keuangan. 2) Pelatihan diberikan kepada pendamping/pembina UMK dari lembaga/instansi yang memiliki kerjasama dengan Bank Indonesia. 3) Pelatihan dilakukan dalam bentuk Training of Trainer (ToT) kepada pendamping/pembina UMK yang antara lain berasal dari perguruan tinggi, kementerian teknis atau dinas pada pemerintah daerah, lembaga penyedia jasa, dan perusahaan yang memiliki binaan UMK. 4) Mekanisme Pelaksanaan a) Lembaga/instansi yang memiliki pendamping/ pembina UMK dapat mengajukan secara tertulis usulan kerja sama kepada: i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi kementerian/lembaga/instansi di tingkat pusat; atau ii. Kantor… 8 ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi pemerintah daerah/dinas/universitas/lembaga pendamping/pembina UMK yang beroperasi di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia. b) Atas dasar kerjasama yang disepakati, Bank Indonesia bersama lembaga/instansi menyusun rencana kegiatan penyelenggaraan pelatihan. c) Lembaga/instansi yang telah mengikuti ToT harus memberikan pelatihan kepada UMK atau UMK debitur Bank Umum dan/atau menghubungkan UMK dengan Bank Umum. d) Bank Indonesia melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c). Dalam rangka monitoring dan evaluasi tersebut, lembaga/instansi menyampaikan laporan pelatihan kepada UMK atau UMK debitur Bank Umum dan/atau hasil kegiatan menghubungkan UMK dengan Bank Umum kepada Bank Indonesia. Monitoring dilakukan selama 6 (enam) bulan setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. e) Laporan pelatihan kepada UMK antara lain memuat pencapaian jumlah UMK yang telah dilatih oleh peserta ToT. Laporan disampaikan secara triwulanan dan diterima Bank Indonesia paling lambat pada akhir triwulan yang bersangkutan dengan menggunakan format Lampiran 7 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. f) Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf e) disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia melalui: i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi kementerian… 9 kementerian/lembaga/instansi di tingkat pusat; atau ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi bagi pemerintah daerah/dinas/universitas/ lembaga pendamping/pembina UMK yang beroperasi di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia. c. Fasilitasi Pemanfaatan Pemeringkatan Kredit (Credit Rating) untuk Usaha Kecil dan Usaha Menengah (UKM) 1) Dalam rangka mengurangi permasalahan asymmetric information dan meningkatkan penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM oleh perbankan, Bank Indonesia memfasilitasi Bank Umum agar dapat memanfaatkan jasa pemeringkatan Kredit UKM oleh lembaga pemeringkat yang telah mendapat izin dari otoritas yang berwenang. 2) Dalam melaksanakan fasilitasi pemeringkatan Kredit UKM, Bank Indonesia berkoordinasi dengan otoritas pengawas bank. 3) Pelaksanaan pemeringkatan Kredit UKM didasarkan pada kerja sama yang dilakukan antara lembaga pemeringkat dengan Bank Umum. 4) Mekanisme Pelaksanaan a) Bank Indonesia memfasilitasi pertemuan antara lembaga pemeringkat dengan Bank Umum. b) Bank Umum dapat mengajukan permintaan fasilitasi pemeringkatan Kredit UKM kepada Bank Indonesia secara tertulis yang ditujukan kepada: i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Kantor Cabang Bank Umum maupun Bank… 10 Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia. c) Bank melaporkan kepada Bank Indonesia hasil pemeringkatan Kredit UKM yang meliputi: i. jumlah UKM yang telah diperingkat; dan ii. jumlah UKM dan nominal Kredit yang disetujui, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 8 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. d) Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf c) disampaikan secara tertulis kepada: i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Kantor Cabang Bank Umum maupun Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia. d. Publikasi dan Pemberian Penghargaan (Award) kepada Bank Umum 1) Publikasi Bank Umum a) Bank Indonesia memublikasikan Bank Umum yang telah menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM sesuai target yang ditetapkan dengan kualitas Kredit atau Pembiayaan terjaga. b) Kriteria Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam huruf a) adalah sebagai berikut: (1) memenuhi rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM sesuai tahapan yang ditentukan; (2) memiliki… 11 (2) memiliki rasio NPL/NPF total Kredit atau Pembiayaan kurang dari 5% (lima persen); dan (3) memiliki rasio NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM kurang dari 5% (lima persen). c) Publikasi dilakukan 1 (satu) kali setiap tahun untuk pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM posisi akhir tahun sebelumnya. d) Publikasi dilakukan melalui website Bank Indonesia dan media cetak atau elektronik yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. 2) Pemberian Penghargaan (Award) a) Bank Indonesia memberikan penghargaan kepada Bank Umum yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) memiliki pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM sesuai dengan tahapan yang ditetapkan; (2) memiliki rasio NPL/NPF total Kredit atau Pembiayaan kurang dari 5% (lima persen); (3) memiliki rasio NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM kurang dari 5% (lima persen); dan (4) memenuhi tema dan kriteria yang ditetapkan. b) Mekanisme Pelaksanaan (1) Pemberian penghargaan dilakukan setiap tahun kepada Bank Umum yang memenuhi kriteria dan tema yang ditetapkan. (2) Bank Umum yang terpilih mendapat penghargaan dan publikasi eksklusif. (3) Publikasi pemberian penghargaan kepada Bank Umum dilakukan melalui website Bank Indonesia dan media cetak atau elektronik yang ditunjuk Bank Indonesia. c) Tata… 12 c) Tata cara penilaian dalam rangka pemberian penghargaan diatur sebagaimana angka VII. 5. Ketentuan angka VII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: VII. TATA CARA PENILAIAN DALAM RANGKA PEMBERIAN PENGHARGAAN A. Dalam proses penilaian, Bank Indonesia dapat membentuk tim penilai, atau bekerjasama dengan pihak ketiga sebagai pendukung penilaian. B. Dalam hal proses penilaian dilakukan oleh tim penilai yang dibentuk Bank Indonesia maka tim penilai paling kurang terdiri dari: 1. Bank Indonesia; 2. Kementerian terkait; 3. Pakar/pengamat UMKM atau akademisi; dan 4. Pihak eksternal terkait. C. Dalam hal proses penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh Bank Indonesia maka tim penilai terdiri dari Bank Indonesia dan pihak ketiga sebagai pendukung penilaian yang paling kurang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Merupakan badan hukum atau lembaga yang resmi; 2. Memiliki kompetensi di bidang UMKM; dan 3. Memiliki reputasi yang baik. D. Proses penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf C dilakukan sebagai berikut: 1. Penetapan tema dan periode penilaian oleh Bank Indonesia; 2. Pengumuman tema dan periode penilaian oleh Bank Indonesia; 3. Pembentukan tim penilai atau penunjukan pihak ketiga sebagai pendukung penilaian; 4. Proses penilaian oleh Bank Indonesia atau tim penilai; dan 5. Penetapan… 13 5. Penetapan dan pengumuman pemenang oleh Bank Indonesia. 6. Ketentuan angka VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: VIII. PELATIHAN KEPADA PELAKU UMKM OLEH BANK UMUM SYARIAH A. Bank Umum Syariah yang tidak mencapai realisasi Pembiayaan UMKM sesuai rasio yang ditetapkan wajib menyelenggarakan pelatihan kepada pelaku UMKM. Kewajiban tersebut mulai berlaku untuk pencapaian rasio pemberian Pembiayaan UMKM tahun 2015. B. Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam huruf A ditujukan kepada pelaku UMKM yang tidak sedang dan/atau belum pernah mendapat Pembiayaan UMKM. Data pelaku UMKM bersumber dari data antara lain yang dimiliki Bank Indonesia, Bank Umum, Kementerian dan/atau dinas pada pemerintah daerah terkait. C. Jumlah dana yang dialokasikan dalam rangka pelatihan sebagaimana dimaksud dalam huruf A paling sedikit 2% (dua persen) dari selisih antara kewajiban pencapaian rasio Pembiayaan UMKM dengan realisasi pencapaian rasio Pembiayaan UMKM pada setiap akhir tahun berjalan, dengan jumlah paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Contoh 1: - Pada tahun 2015, total Pembiayaan yang diberikan Bank A sebesar Rp500 miliar; - Bank A wajib memberikan Pembiayaan UMKM sebesar 5% dari total Pembiayaannya yaitu 5% x Rp500 miliar = Rp25 miliar; - realisasi pencapaian Pembiayaan UMKM pada akhir Desember 2015 sebesar Rp20 miliar; - selisih antara rasio Pembiayaan yang wajib dipenuhi dengan realisasi pencapaian pada akhir tahun = Rp25 miliar – Rp20 miliar = Rp5 miliar; - 2%… 14 - 2% dari selisih antara rasio Pembiayaan yang wajib dipenuhi dengan realisasi pencapaian pada akhir tahun = 2% x Rp5 miliar = Rp100juta. Dengan demikian, Bank A wajib menyelenggarakan pelatihan dengan dana pelatihan sebesar Rp100juta. Contoh 2: - Pada tahun 2015, total Pembiayaan yang diberikan Bank B sebesar Rp20 triliun; - Bank B wajib memberikan Pembiayaan UMKM sebesar 5% dari total Pembiayaan yaitu 5% x Rp20 triliun = Rp1 triliun; - realisasi pencapaian Pembiayaan UMKM pada akhir Desember 2015 sebesar Rp400 miliar; - selisih antara rasio Pembiayaan yang wajib dipenuhi dengan realisasi pencapaian pada akhir tahun = Rp1 triliun – Rp400 milyar = Rp600 miliar; - 2% dari selisih antara rasio Pembiayaan yang wajib dipenuhi dengan realisasi pencapaian pada akhir tahun = 2% x Rp600 miliar = Rp12 miliar. Dengan demikian, Bank B wajib menyelenggarakan pelatihan dengan dana pelatihan sebesar Rp10 miliar. D. Pelatihan kepada UMKM dilakukan dan dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 30 September tahun berikutnya dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Dalam hal 30 September jatuh pada hari libur maka pelaporan kepada Bank Indonesia disampaikan pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya. E. Topik pelatihan yang dapat diselenggarakan oleh Bank Umum Syariah antara lain mengenai aspek keuangan, aspek pemasaran, aspek produksi, aspek kelembagaan, untuk meningkatkan jumlah pelaku UMKM yang dapat memperoleh Kredit atau Pembiayaan UMKM dari Bank Umum. F. Metode… 15 F. Metode pelatihan dapat dilaksanakan dalam bentuk klasikal, magang, studi banding, promosi, atau pendampingan. G. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf D disampaikan secara tertulis kepada: i. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau ii. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia dengan tembusan kepada Departemen Pengembangan UMKM. 7. Ketentuan angka IX diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: IX. PENYAMPAIAN LAPORAN A. Bank Umum menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM secara online setiap bulannya melalui Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan Bank Umum atau laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. B. Bank Umum menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline sampai dengan tersedianya sistem pelaporan secara online sebagaimana dimaksud dalam huruf A. Yang dimaksud dengan penyampaian laporan secara offline adalah penyampaian laporan melalui sarana elektronik berupa email. C. Pelaporan secara offline sebagaimana dimaksud pada huruf B dilakukan setiap triwulan untuk posisi Maret, Juni, September, dan Desember dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan… 16 merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. D. Laporan offline sebagaimana dimaksud dalam huruf B diterima Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya triwulan bersangkutan. E. Bank Umum dinyatakan terlambat menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline apabila laporan diterima Bank Indonesia setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf D sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah batas waktu tersebut. F. Bank Umum dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing belum diterima Bank Indonesia sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf E. G. Bank Umum dapat melakukan koreksi atas laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing yang telah disampaikan secara offline kepada Bank Indonesia. H. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf B disampaikan melalui secured email kepada: 1. Departemen Pengembangan UMKM, dengan alamat email gwm_umkm_kp@bi.go.id, bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat dengan alamat email sebagaimana tercantum dalam Lampiran 9, dengan tembusan ke alamat gwm_umkm_kp@bi.go.id, bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Dalam… email 17 Dalam hal penyampaian laporan melalui email dimaksud tidak dapat dilakukan, Bank Umum menyampaikan laporan dalam bentuk hardcopy dan softcopy (compact disc/USB) kepada: 1. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia, dengan tembusan kepada Departemen Pengembangan UMKM. I. Dalam setiap penyampaian laporan, Bank menyampaikan 2 (dua) email, meliputi 1 (satu) email berisi file laporan dalam format excel baik .xls maupun .xlsx yang dienkripsi dan 1 (satu) email berisi password untuk membuka file laporan. J. Penyampaian email berisi password sebagaimana dimaksud dalam huruf I dapat dilakukan setelah pengiriman file laporan. K. Penyampaian laporan pemberian kredit atau pembiayaan kepada UMKM secara offline melalui email menggunakan subjek email yang disamakan dengan nama file yaitu: UMKM_<sandi_bank>_<tahunbulan>. Contoh: Penyampaian pemberian kredit atau pembiayaan kepada UMKM secara offline posisi Juni 2015 menggunakan subjek email: UMKM_xxx_201506. L. Bank Umum menyampaikan data nama petugas, penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerjasama pola executing. M. Penyampaian data nama petugas, penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim laporan sebagaimana dimaksud pada huruf L kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 Juli 2015. N. Informasi… 18 N. Informasi data nama petugas, penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf M disampaikan Bank Umum secara tertulis yang dialamatkan kepada: 1. Departemen Pengembangan UMKM, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank Umum yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia, dengan tembusan kepada Departemen Pengembangan UMKM. O. Bank Umum melakukan pengkinian data nama petugas, penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf L setiap terjadi perubahan. P. Laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing yang disampaikan secara offline digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagai berikut: 1. posisi akhir bulan Maret digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan Mei, Juni, dan Juli. 2. posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan Agustus, September, dan Oktober. 3. posisi akhir bulan September digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan November, Desember, dan Januari. 4. posisi akhir bulan Desember digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan Februari, Maret, dan April. Q. Bank… 19 Q. Bank Umum yang tidak melakukan pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing, dengan keterangan nihil. R. Untuk pertama kali Bank Umum menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline kepada Bank Indonesia untuk posisi Juni 2015 dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. S. Periode pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf R paling lambat diterima Bank Indonesia pada tanggal 31 Juli 2015 pukul 16.00 waktu setempat. T. Dalam hal laporan diterima Bank Indonesia melewati batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf S, maka laporan tersebut diperlakukan sebagai laporan yang diterima Bank Indonesia pada hari kerja berikutnya. U. Bank Umum dinyatakan terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf T, apabila laporan diterima Bank Indonesia pada tanggal 3 Agustus 2015. V. Bank Umum dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf R, apabila laporan belum diterima Bank Indonesia sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf U. W. Penyampaian laporan periode berikutnya, berlaku ketentuan sebagaimana huruf D, E, dan F di atas. X. Kewajiban penyampaian laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline berakhir setelah adanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. 8. Ketentuan… 20 8. Ketentuan angka X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: X. TATA CARA PENGENAAN SANKSI A. Dalam hal Bank Umum dikenakan sanksi teguran tertulis dan/atau kewajiban membayar maka informasi mengenai pengenaan sanksi tersebut disampaikan kepada Bank Umum yang bersangkutan dengan tembusan kepada otoritas pengawas bank. B. Dalam hal Bank Indonesia menerima laporan secara offline dari Bank Umum melampaui batas waktu keterlambatan maka Bank Umum dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan. Pengenaan sanksi kewajiban membayar tersebut tidak diakumulasikan dengan sanksi kewajiban membayar karena keterlambatan pelaporan. Contoh: Untuk penyampaian laporan secara offline untuk posisi September 2015, maka Bank Indonesia harus menerima laporan tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja pertama bulan Oktober 2015 yaitu tanggal 15 Oktober 2015. - Dalam hal laporan diterima Bank Indonesia pada hari kerja ke-15 yaitu tanggal 22 Oktober 2015, maka sanksi kewajiban membayar yang dikenakan kepada Bank adalah sebesar 5 x Rp1.000.000,00 = Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) karena Bank tersebut dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama 5 (lima) hari kerja. - Dalam hal laporan tersebut diterima Bank Indonesia pada hari kerja ke-16 yaitu tanggal 23 Oktober 2015 maka sanksi kewajiban membayar yang dikenakan kepada Bank adalah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) karena Bank tersebut dinyatakan tidak menyampaikan laporan. C. Pengenaan sanksi kewajiban membayar oleh Bank Umum dilakukan dengan cara pendebetan rekening giro Bank Umum yang ada di Bank Indonesia. 9. Lampiran… 21 9. Lampiran 1.b diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1.b yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 10. Lampiran 2 diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 11. Lampiran 4 dihapus. 12. Lampiran 5 diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 13. Menambah Lampiran tentang Laporan Perkembangan Kredit atau Pembiayaan UMKM yang Disalurkan oleh Pejabat Kredit/Account Officer Pasca Pelatihan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 6 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 14. Menambah Lampiran tentang Laporan Pelatihan kepada UMK atau UMK Debitur Bank Umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran 7 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 15. Menambah Lampiran tentang Laporan Pelaksanaan Pemeringkatan Kredit UKM sebagaimana tercantum dalam Lampiran 8 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 16. Menambah Lampiran tentang Daftar Alamat Email Penyampaian Laporan Realisasi Pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui Kerja Sama Pola Executing sebagaimana tercantum dalam Lampiran 9 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2015. Agar… 22 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, YUNITA RESMI SARI KEPALA DEPARTEMEN PENGEMBANGAN UMKM DPUM
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 17/19/DPUM|SE-BI/2015 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah </reg_title> <set_date> 8 Juli 2015 </set_date> <effective_date> 3 Agustus 2015 </effective_date> <changed_reg> '15/35/DPAU|SE-BI/2013' </changed_reg> <related_reg> '17/12/PBI/2015', '14/22/PBI/2012', '15/35/DPAU|SE-BI/2013' </related_reg> <penalty_list> 'Angka 8 Romawi X' </penalty_list>
No. 2 /28/ DSM Jakarta, 21 Desember 2000 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal: Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Bank Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.1/9/PBI/1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa dan Lembaga Keuangan Non Bank dan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pelaporan kegiatan LLD oleh bank, maka peraturan pelaksanaan dan petunjuk teknis pelaporan kegiatan LLD oleh bank perlu diatur kembali sebagai berikut: I. UMUM A. Tujuan pelaporan Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) oleh bank dimaksudkan untuk memperoleh keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa secara lengkap, akurat dan tepat waktu yang diperlukan terutama untuk penyusunan Statistik Neraca Pembayaran dan Posisi Investasi Internasional Indonesia. B. Bank pelapor B.1. Bank pelapor adalah seluruh bank umum di Indonesia yang melakukan Kegiatan LLD baik untuk kepentingan bank maupun nasabah, dan atau memiliki aset/kewajiban finansial luar negeri (AFLN/KFLN). Penjelasan mengenai Kegiatan LLD dan AFLN/KFLN dapat dilihat pada petunjuk teknis terlampir. B.2. Bagi…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 --------------------------------------------------------------- B.2. Bagi bank yang dalam periode laporan tertentu tidak melakukan Kegiatan LLD dan atau tidak memiliki AFLN/KFLN sebagaimana dimaksud pada butir B.1. wajib menyampaikan laporan nihil. B.3. Bagi bank yang pada saat ketentuan ini diberlakukan tidak melakukan Kegiatan LLD dan atau tidak memiliki AFLN/KFLN sebagaimana dimaksud pada butir B.1. tidak wajib menyampaikan laporan LLD, namun bank dimaksud wajib menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh pada petunjuk teknis terlampir. Apabila dikemudian hari bank tersebut melakukan Kegiatan LLD, maka wajib menyampaikan laporan sebagaimana butir B.1. II. JENIS DAN FORMAT LAPORAN A. Jenis laporan Laporan Kegiatan LLD terdiri dari Laporan Transaksi dan Laporan Posisi. 1. Laporan Transaksi Laporan Transaksi adalah laporan mengenai transaksi bank dan atau nasabah yang mempengaruhi AFLN/KFLN bank pelapor. Laporan Transaksi mencakup informasi antara lain mengenai pelaku transaksi (status dan kategori pelaku transaksi serta hubungan keuangan antar pelaku transaksi) dan tujuan transaksi. 2. Laporan Posisi Laporan Posisi adalah laporan mengenai posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN/KFLN bank pelapor. Laporan Posisi mencakup informasi antara lain negara debitur/kreditur dan jenis valuta dari setiap rekening AFLN/KFLN bank pelapor. B. Format…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 B. Format laporan Laporan Transaksi dan Laporan Posisi disusun berdasarkan spesifikasi format laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Masing-masing laporan terdiri dari beberapa baris (record) dan setiap record terdiri dari beberapa rincian baris (field) yang dinyatakan dalam bentuk sandi-sandi dengan format ASCII (American Standard Code for Information Interchange). Penjelasan lebih lanjut mengenai jenis dan format laporan terdapat pada petunjuk teknis terlampir. III. PENYAMPAIAN PELAPORAN A. Periode Laporan Periode Laporan (PL) adalah bulanan, yaitu dari tanggal 1 (satu) sampai dengan akhir bulan. B. Masa Penyampaian Laporan Masa Penyampaian Laporan (MPL) adalah selama satu bulan setelah berakhirnya PL, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Untuk laporan yang disampaikan secara on-line, batas akhir MPL adalah akhir bulan MPL pukul 24.00 WIB, termasuk hari Sabtu dan hari libur. Contoh-1: MPL Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Januari 2001 adalah tanggal 1 sampai dengan 28 Februari 2001 (hari Rabu) pukul 24.00 WIB. --------------------------------------------------------------- Contoh…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 Contoh-2: MPL Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Februari 2001 adalah tanggal 1 sampai dengan 31 Maret 2001 (hari Sabtu) pukul 24.00 WIB. 2. Untuk laporan yang disampaikan secara off-line, batas akhir MPL adalah pada akhir bulan MPL pukul 16.00 WIB. Apabila akhir bulan MPL jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka penyampaian laporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Contoh: MPL Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Februari 2001 adalah tanggal 1 sampai dengan tanggal 30 Maret 2001 (hari Jum’at) pukul 16.00 WIB. 3. Apabila penyampaian laporan dilakukan setelah batas akhir MPL sebagaimana disebutkan pada butir 1 dan 2 sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah MPL, maka bank pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan laporan. Contoh: Laporan Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Januari 2001 diterima Bank Indonesia pada tanggal 2 Maret 2001, maka bank pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan laporan. 4. Dalam hal terjadi kendala teknis dalam penyampaian laporan Kegiatan LLD, bank pelapor dapat menghubungi Bank Indonesia selama hari kerja sampai dengan pukul 16.00 WIB. C. Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan (MKPL) adalah selama satu bulan setelah berakhirnya MPL, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Penyampaian…. --------------------------------------------------------------- Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 --------------------------------------------------------------- 1. Penyampaian laporan hanya dapat dilakukan secara off-line. 2. Batas akhir MKPL adalah pada akhir bulan MKPL pukul 16.00 WIB. Apabila akhir bulan MKPL jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka penyampaian laporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Contoh: MKPL Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Januari 2001 adalah selama bulan Maret 2001 dengan batas akhir MKPL pada tanggal 30 Maret 2001 (hari Jum’at) pukul 16.00 WIB. 3. Bank pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila sampai dengan batas akhir MKPL laporan Kegiatan LLD belum diterima oleh Bank Indonesia. Contoh: Sampai dengan tanggal 30 Maret 2001 (hari Jum’at) pukul 16.00 WIB, Bank Indonesia belum menerima laporan Kegiatan LLD bank pelapor untuk periode laporan bulan Januari 2001. D. Cara penyampaian laporan Laporan Kegiatan LLD disampaikan kepada Bank Indonesia oleh kantor pusat bagi bank pelapor yang berkantor pusat di dalam negeri dan oleh kantor cabang koordinator bagi bank pelapor yang berkantor pusat di luar negeri, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Bagi bank pelapor yang berkedudukan di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek), laporan disampaikan secara on-line melalui jaringan khusus (ekstranet BI) kepada Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI). Apabila terdapat kendala dalam penyampaian laporan secara on-line tersebut, maka laporan disampaikan kepada Bagian Statistik Neraca Pembayaran, Bank Indonesia, Gedung B lantai…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 --------------------------------------------------------------- lantai 14, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta secara off-line dengan menggunakan disket dan disertai dengan alasan-alasan secara tertulis. 2. Bagi bank pelapor yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek, laporan dapat disampaikan secara off-line kepada Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat atau secara on-line kepada KPBI. Bank pelapor yang saat ini menyampaikan laporan secara off-line dan akan menyampaikan laporan secara on-line, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan secara tertulis untuk mendapatkan username dan password kepada KBI setempat dengan tembusan kepada Bagian Statistik Neraca Pembayaran, Bank Indonesia, Gedung B lantai 14, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta. 3. Laporan Kegiatan LLD yang disampaikan oleh bank pelapor baik secara on-line maupun off-line dinyatakan telah diterima Bank Indonesia apabila status laporan tersebut telah memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas (yang ditandai dengan ‘UJI KUALITAS OK’ dalam sistem komputer Bank Indonesia) sebagaimana dijelaskan dalam petunjuk teknis terlampir. 4. Tanggal penerimaan laporan yang telah memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas pada butir 3 adalah tanggal penerimaan file laporan (yang ditandai dengan ‘FILE OK’ dalam sistem komputer Bank Indonesia). 5. Apabila bank pelapor menyampaikan laporan koreksi dalam MPL untuk mengganti laporan Kegiatan LLD yang dinyatakan telah diterima sebagaimana dimaksud pada butir 3, maka status laporan yang berlaku adalah sesuai dengan status laporan (koreksi) yang terakhir disampaikan oleh bank pelapor kepada Bank Indonesia. Contoh…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 Contoh: Bank pelapor telah menyampaikan laporan Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Januari 2001 pada tanggal 10 Februari 2001 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas. Pada tanggal 15 Februari bank pelapor menyampaikan laporan koreksi atas laporan yang disampaikan pada tanggal 10 Februari 2001 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas. Selanjutnya apabila pada tanggal 28 Februari 2001 (akhir bulan MPL) bank pelapor melakukan koreksi kembali dan sampai dengan pukul 24.00 WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka status laporan yang berlaku adalah status laporan yang disampaikan tanggal 28 Februari 2001. Dalam hal ini bank pelapor dinyatakan belum menyampaikan laporan. Penjelasan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan secara on-line dan off-line terdapat pada petunjuk teknis terlampir. IV. LAPORAN KOREKSI Dalam hal laporan yang telah diterima oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada butir III.D.3. masih tidak lengkap dan atau tidak benar, maka bank pelapor harus menyampaikan laporan koreksi. Laporan dinyatakan tidak lengkap apabila terdapat field yang masih mengandung sandi sementara (sandi-sandi dummy yang mengandung karakter ‘Y’). Laporan dinyatakan tidak benar apabila terdapat field yang masih mengandung kesalahan atau tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, termasuk Kegiatan LLD yang seharusnya dilaporkan akan tetapi tidak disampaikan oleh bank pelapor kepada Bank Indonesia. --------------------------------------------------------------- Penyampaian…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 --------------------------------------------------------------- Penyampaian laporan koreksi dapat dilakukan selama MPL maupun setelah MPL. Laporan koreksi yang disampaikan selama MPL merupakan pengganti atas laporan yang telah disampaikan sebelumnya. Laporan koreksi yang disampaikan setelah MPL merupakan laporan pengganti atas laporan yang tidak lengkap dan atau tidak benar yang disampaikan dalam MPL. Laporan koreksi setelah MPL hanya dapat dilakukan secara off-line dan bank pelapor wajib melampirkan daftar field yang dikoreksi sesuai format terlampir. V. PROSEDUR PEROLEHAN INFORMASI Dalam rangka mendukung kelancaran penyampaian laporan Kegiatan LLD kepada Bank Indonesia, ditetapkan hal-hal sebagai berikut: 1. Bank wajib meminta keterangan dan data kepada nasabah yang melakukan Kegiatan LLD melalui bank. 2. Dalam hal suatu Kegiatan LLD melibatkan lebih dari satu bank di dalam negeri, maka untuk mendukung kelancaran pelaporan ditetapkan sebagai berikut: a. Bank dapat meminta informasi yang diperlukan untuk pelaporan Kegiatan LLD kepada bank lain. b. Permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada butir a wajib memperhatikan batas waktu MPL. c. Untuk keperluan komunikasi antar bank dalam rangka permintaan/ pemberian informasi, setiap bank harus menunjuk petugas bank (contact person) yang bertanggung jawab terhadap kelancaran arus komunikasi antar bank beserta alamat yang dapat dihubungi (e-mail address, nomor telepon dan atau nomor faksimili). Nama-nama dan alamat petugas bank tersebut harus disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya akhir bulan Januari 2001. Apabila terdapat…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 --------------------------------------------------------------- terdapat perubahan nama-nama dan alamat petugas bank, maka bank pelapor segera memberitahukan kepada Bank Indonesia. Penjelasan lebih lanjut mengenai pelaporan Kegiatan LLD yang melibatkan lebih dari satu bank di dalam negeri terdapat pada petunjuk teknis terlampir. VI. SANKSI A. Laporan yang tidak lengkap dan atau tidak benar Bagi bank pelapor yang menyampaikan laporan tidak lengkap dan atau tidak benar sebagaimana dimaksud pada butir IV dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap field dengan maksimum denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per laporan Apabila laporan yang tidak benar ditemukan berdasarkan pemeriksaan oleh Bank Indonesia, maka bank pelapor dikenakan denda sebesar Rp100.000 (seratus ribu rupiah) untuk setiap field. Contoh-1: Dari seluruh record transaksi dalam laporan bulan Januari 2001 terdapat 1 record yang menggunakan sandi dummy untuk field status (Y1) dan field kategori penerima (Y1) serta 2 record yang menggunakan sandi dummy untuk field tujuan transaksi (1YYY/2YYY). Berdasarkan contoh tersebut, maka bank pelapor dikenakan denda sebesar Rp200.000,00 (4 field x Rp50.000,00). Contoh-2: Dari seluruh record dalam Laporan Posisi AFLN/KFLN bulan Januari 2001 terdapat 1 record posisi AFLN yang menggunakan sandi dummy untuk…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 --------------------------------------------------------------- untuk field negara debitur (Y1) dan 2 record posisi KFLN yang menggunakan sandi dummy untuk field negara kreditur (Y1). Berdasarkan contoh tersebut, maka bank pelapor dikenakan denda sebesar Rp150.000,00 (3 field x Rp50.000,00). Contoh-3: Dari seluruh record transaksi dalam laporan bulan Januari 2001 terdapat 2 field yang tidak benar dalam 1 record, yaitu nilai pengiriman dana yang seharusnya sebesar JPY120.000.000,00 dilaporkan JPY120.000,00 dan status penerima yang seharusnya Singapura dilaporkan Malaysia. Berdasarkan contoh tersebut, maka bank pelapor dikenakan denda sebesar Rp100.000,00 (2 field x Rp50.000,00) Contoh-4: Dalam Laporan Posisi AFLN/KFLN bulan Januari 2001 terdapat 2 field yang tidak benar dalam 2 record, yaitu deposito senilai 100 juta rupiah yang seharusnya milik perusahaan di Singapura dilaporkan milik perusahaan di Indonesia dan pinjaman sebesar 1 juta USD yang diterima oleh bank pelapor dari Jepang dilaporkan diterima dari Amerika Serikat. Berdasarkan contoh tersebut, maka bank pelapor dikenakan denda sebesar Rp100.000,00 (2 field x Rp50.000,00) B. Terlambat menyampaikan laporan Bagi bank pelapor yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.B.3. dikenakan denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. Jumlah hari keterlambatan dihitung sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal diterimanya laporan oleh Bank Indonesia dalam bulan MKPL. Contoh…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 Contoh-1: Laporan Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Januari 2001 diterima oleh Bank Indonesia tanggal 1 Maret 2001, maka bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama 1 hari keterlambatan dan dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (1 x Rp5.000.000,00). Contoh-2: Laporan Kegiatan LLD untuk periode laporan bulan Februari 2001 diterima oleh Bank Indonesia tanggal 2 April 2001 (hari Senin), maka bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama dua hari yaitu dari tanggal 1 sampai dengan 2 April 2001 dan dikenakan sanksi denda sebesar Rp10.000.000,00 (2 x Rp5.000.000,00). C. Tidak menyampaikan laporan Bagi bank pelapor yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.C.3. dikenakan denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Apabila bank pelapor tidak menyampaikan laporan selama 6 periode berturut-turut atau paling lama 6 bulan dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha, dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Sebelum sanksi tersebut dikenakan bank pelapor akan diberikan peringatan secara tertulis oleh Bank Indonesia. D. Pembebanan denda Pembebanan denda sebagaimana tersebut di atas dilakukan dengan cara mendebet rekening giro bank pelapor di Bank Indonesia untuk untung kas negara nomor 501.000.000 yang terdapat pada Bank Indonesia setempat, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Bank…. --------------------------------------------------------------- Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 --------------------------------------------------------------- 1. Bank Indonesia akan menyampaikan surat pemberitahuan denda kepada bank pelapor. 2. Bank pelapor dapat mengajukan tanggapan atas surat pemberitahuan denda sebagaimana dimaksud pada butir 1. Tanggapan dimaksud disampaikan secara tertulis dan harus telah diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan denda. 3. Pembebanan denda dilakukan setelah adanya surat penetapan denda dari Bank Indonesia. VII. PENUTUP A. Pelaksanaan kewajiban pelaporan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 2001 untuk periode laporan bulan Februari 2001. Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia nomor 1/9/DSM tanggal 28 Desember 1999 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank dan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 2/15/DSM tanggal 30 Juni 2000 perihal perubahan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 1/9/DSM dinyatakan tidak berlaku lagi. B. Bagi bank pelapor yang memerlukan penjelasan lebih lanjut sehubungan dengan pelaksanaan pelaporan ini dapat menghubungi Bagian Statistik Neraca Pembayaran, Bank Indonesia: - Telp - Fax - E-mail : (021) 381-7040 dan 381-7041 : (021) 386-6063 : lld@bi.go.id Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 1 Maret 2001. Agar…. Lanj. SE No. 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000 --------------------------------------------------------------- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Miranda S. Goeltom Deputi Gubernur
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 2/28/DSM|SE-BI/2000 </reg_id> <reg_title> Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Bank </reg_title> <set_date> 21 Desember 2000 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2001 </effective_date> <replaced_reg> '2/15/DSM|SE-BI/2000', '1/9/DSM|SE-BI/1999' </replaced_reg> <related_reg> '1/9/PBI/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
No.10/ 41 /DPM Jakarta, 27 November 2008 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM Perihal : Perubahan Nama Rekening Pemerintah Nomor 500.000003 dan Nomor 502.000001 Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/2/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4809) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tanggal 21 Agustus 2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888), serta adanya perubahan nama rekening Pemerintah untuk nomor 500.000003 yang semula “Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk Pengelolaan SUN” menjadi “Menteri Keuangan Penerimaan Penerbitan Surat Berharga Negara” dan untuk nomor 502.000001 yang semula “BUN untuk Pengelolaan Obligasi dalam rangka Rekapitalisasi Perbankan” menjadi “Menteri Keuangan Pengeluaran untuk Surat Berharga Negara”, perlu dilakukan pengaturan kembali penyebutan nama rekening Pemerintah tersebut di atas sebagai berikut: Semua penyebutan rekening 500.000003 “Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk Pengelolaan SUN” dan rekening 502.000001 “BUN untuk Pengelolaan Obligasi dalam rangka Rekapitalisasi Perbankan” yang diatur dalam: a. Surat … 2 a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/4/DPM tanggal 16 Maret 2007 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara Di Pasar Perdana Dan Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/18/DPM tanggal 15 April 2008; dan b. Pedoman Penyelenggaraan Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang merupakan lampiran dari Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/21/DPM tanggal 23 Mei 2008 perihal Penyelenggaraan Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System; diubah menjadi rekening 500.000003 “Menteri Keuangan Penerimaan Penerbitan Surat Berharga Negara” dan rekening 502.000001 “Menteri Keuangan Pengeluaran untuk Surat Berharga Negara”. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal diterbitkan dan berlaku surut sejak tanggal 4 Agustus 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/41/DPM|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Perubahan Nama Rekening Pemerintah Nomor 500.000003 dan Nomor 502.000001 </reg_title> <set_date> 27 November 2008 </set_date> <effective_date> pada tanggal 27 November 2008 dan berlaku surut sejak tanggal 4 Agustus 2008. </effective_date> <related_reg> '10/13/PBI/2008', '10/2/PBI/2008' </related_reg>
No. 11/ 20 /DPM Jakarta, 4 Agustus 2009 SURAT EDARAN Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/21/DPM Tanggal 1 Juli 2005 perihal Tata Cara Penyimpanan Sekuritas, Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia. Sehubungan dengan pembukaan Kantor Bank Indonesia (KBI) baru, dipandang perlu untuk mengubah Lampiran 1 dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/21/DPM tanggal 1 Juli 2005 perihal Tata Cara Penyimpanan Sekuritas, Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia dengan menambahkan 2 (dua) KBI baru yaitu KBI Pematangsiantar dan KBI Tegal sebagaimana Lampiran 1 yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 4 Agustus 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDAR DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 11/20/DPM|SE-BI/2009 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/21/DPM Tanggal 1 Juli 2005 perihal Tata Cara Penyimpanan Sekuritas, Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia. </reg_title> <set_date> 4 Agustus 2009 </set_date> <effective_date> 4 Agustus 2009 </effective_date> <changed_reg> '7/21/DPM|SE-BI/2005' </changed_reg> <related_reg> '7/21/DPM|SE-BI/2005' </related_reg>
No.18/13/DPM Jakarta, 24 Mei 2016 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DEVISA DI INDONESIA Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia. _______________________________________________________ Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5480) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/8/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5881), yang selanjutnya disebut PBI, dan dalam rangka memperkuat cadangan devisa serta memperluas jenis valuta asing yang digunakan dalam transaksi swap lindung nilai kepada Bank Indonesia, perlu dilakukan perubahan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/19/DPM tanggal 28 November 2014 sebagai berikut: 1. Ketentuan … 2 1. Ketentuan huruf A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: A. DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA 1. Dokumen underlying milik Bank dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) PBI, diatur sebagai berikut: a. Dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit maka dokumen underlying berupa perjanjian kredit (loan agreement) antara Bank dengan kreditur Bank. b. Dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk penerbitan surat utang maka dokumen underlying antara lain berupa laporan penjualan surat utang yang dikeluarkan oleh global custody. c. Dalam hal Underlying Transaksi berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) maka dokumen underlying diatur sebagai berikut: 1) Untuk dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang tidak mengalami perubahan maka dokumen underlying berupa surat dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) dari kantor pusat Bank atau dari Bank kepada otoritas yang berwenang. 2) Untuk dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang mengalami perubahan maka dokumen underlying berupa surat persetujuan otoritas yang berwenang atas perubahan dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang disampaikan kantor pusat Bank atau Bank. 2. Dokumen underlying milik nasabah dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) PBI, berupa dokumen transaksi … 3 transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah dalam bentuk deal ticket atau kontrak swap. 3. Dokumen Underlying Transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah diatur sebagai berikut: a. Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit, maka dokumen underlying transaksi berupa perjanjian kredit (loan agreement) antara nasabah dengan kreditur nasabah. b. Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk penerbitan surat utang, maka dokumen underlying transaksi antara lain berupa laporan penjualan surat utang yang dikeluarkan oleh global custody. c. Underlying Transaksi berupa Investasi Langsung, maka dokumen underlying transaksi antara lain berupa dokumen terkait dengan realisasi investasi. d. Underlying Transaksi berupa Devisa Hasil Ekspor (DHE), maka dokumen underlying transaksi antara lain berupa Authenticated SWIFT message (MT910) yang berisi informasi penerimaan DHE. berupa e. Underlying Transaksi investasi pada infrastruktur pembangunan sarana umum dan/atau produksi, maka dokumen underlying transaksi berupa dokumen kegiatan investasi yang diatur sebagai berikut: 1) dalam hal pemilik proyek infrastruktur adalah pemerintah, maka dokumen kegiatan investasi antara lain berupa dokumen persetujuan proyek dari instansi yang berwenang; 2) dalam hal pemilik proyek infrastruktur adalah lembaga nonpemerintah, maka dokumen kegiatan investasi antara lain berupa dokumen persetujuan proyek dari lembaga pemilik proyek. f. Underlying Transaksi berupa investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia … 4 Indonesia, maka dokumen underlying transaksi antara lain berupa rencana dan bukti realisasi investasi pada Surat Berharga Negara. 4. Dalam hal suatu Underlying Transaksi memiliki 1 (satu) jenis valuta asing, Underlying Transaksi dimaksud hanya berlaku untuk 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dan 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 5. Dalam hal suatu Underlying Transaksi memiliki lebih dari 1 (satu) jenis valuta asing, Bank dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari: a. 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai; dan b. 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam masing-masing valuta asing. Contoh: Pada bulan September 20XX Bank A menandatangani 1 (satu) perjanjian pinjaman dari luar negeri dalam valuta asing. Jumlah Pinjaman Luar Negeri yang diterima oleh Bank A sebesar USD500,000,000.00 (lima ratus juta dolar Amerika Serikat) dan JPY150,000,000.00 (seratus lima puluh juta yen Jepang). Atas Pinjaman Luar Negeri tersebut Bank A dapat mengajukan 2 (dua) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, yaitu 1 (satu) transaksi dalam Dolar Amerika Serikat dan 1 (satu) transaksi dalam Yen Jepang. Bank A melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan nilai nominal masing- masing sebesar USD500,000,000.00 (lima ratus juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 12 (dua belas) bulan dan JPY150,000,000.00 (seratus lima puluh juta yen Jepang) dengan tenor 12 (dua belas) bulan. Untuk Transaksi Swap Lindung Nilai tersebut Bank A menyampaikan 2 (dua) Kontrak Lindung Nilai, yaitu 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dalam Dolar Amerika Serikat dan 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dalam Yen Jepang. 6. Bank … 5 6. Bank bertanggung jawab atas penatausahaan kelengkapan dokumen asli Underlying Transaksi dan dokumen fotokopi Underlying Transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 PBI. 7. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 6 diterima oleh Bank dari nasabah paling lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 2. Ketentuan huruf B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: B. PELAKSANAAN TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA 1. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan melalui Transaksi Swap Beli Bank kepada Bank Indonesia dalam valuta asing terhadap Rupiah, dalam rangka Lindung Nilai yang dilakukan antara Bank dengan Bank Indonesia. 2. Jenis valuta asing dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah sesuai dengan jenis valuta asing yang diumumkan oleh Bank Indonesia paling lambat sebelum window time transaksi dibuka. 3. Untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah, kurs spot yang digunakan adalah kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal transaksi. 4. Untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah, kurs spot yang digunakan adalah kurs tengah transaksi Bank Indonesia valuta asing terhadap Rupiah pada tanggal transaksi. 5. Kurs … 6 5. Kurs tengah transaksi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dihitung dengan rumus sebagai berikut: 6. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengumuman dan Pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia 1) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan pada setiap hari kerja. 2) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dapat memiliki jangka waktu 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, atau 12 (dua belas) bulan, yang dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal valuta (tanggal setelmen) sampai dengan tanggal jatuh waktu. 3) Bank Indonesia mengumumkan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling lambat sebelum window time transaksi dibuka melalui Sistem Laporan Harian Bank Umum (Sistem LHBU) dan/atau sarana informasi lain yang ditentukan oleh Bank Indonesia. 4) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 3) paling kurang meliputi: a) jangka waktu swap; b) premi swap; c) tanggal transaksi; d) window time transaksi; e) f) tanggal valuta (tanggal setelmen); kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia; g) jenis valuta asing; h) jumlah minimum penawaran dan kelipatan penawaran; dan i) sarana … 7 i) sarana pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan sarana pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 5) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia mulai pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, atau waktu lain yang ditentukan oleh Bank Indonesia. b. Pengajuan Kontrak Lindung Nilai 1) Pengajuan Kontrak Lindung Nilai dilakukan oleh Bank bersamaan dengan pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia melalui sarana komunikasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia. 2) Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam angka 1) berlaku efektif pada tanggal valuta (tanggal setelmen). 3) Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam angka 1) meliputi informasi: a) nama Bank; b) jangka waktu Kontrak Lindung Nilai; c) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 dan/atau butir A.3; d) jenis valuta asing; dan e) nilai nominal underlying yang dicantumkan dalam Kontrak Lindung Nilai. Contoh Kontrak Lindung Nilai untuk transaksi swap atas underlying milik Bank adalah sebagai berikut: Nama Bank Jangka Waktu Underlying Jenis Valuta Asing Nilai Nominal : Bank A : 2 tahun : Kontrak Pinjaman Luar Negeri Bank : Dolar Amerika Serikat : USD500 juta Contoh … 8 Contoh Kontrak Lindung Nilai untuk transaksi swap atas underlying milik nasabah Bank adalah sebagai berikut: Nama Bank Jangka Waktu Underlying : Bank A : 2 tahun : Kontrak transaksi swap Bank A dengan PT X atas Pinjaman Luar Negeri PT X Jenis Valuta Asing : Dolar Amerika Serikat Nilai Nominal : USD500 juta Contoh nilai nominal dan underlying transaksi yang dinyatakan dalam Kontrak Lindung Nilai tercantum dalam Lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 4) Bank bertanggung jawab atas kebenaran data Kontrak Lindung Nilai yang disampaikan kepada Bank Indonesia. c. Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia 1) Bank mengajukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia secara langsung tanpa melalui lembaga perantara. 2) Pengajuan transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 1) dilakukan melalui sarana komunikasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia. 3) Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia memuat informasi paling kurang sebagai berikut: a) nama Bank; b) jenis valuta asing; c) identitas dokumen Underlying Transaksi; d) jangka … 9 d) jangka waktu dan nominal Underlying Transaksi yang tercantum pada Kontrak Lindung Nilai; e) tanggal transaksi; f) tanggal valuta; g) jangka waktu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia; h) tanggal jatuh waktu; i) nilai nominal; j) nomor rekening valuta asing Bank di bank koresponden; dan k) nomor rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. 4) Setiap pengajuan Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf b disertai juga dengan informasi yang berisi pernyataan Bank bahwa seluruh persyaratan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia telah dipenuhi. 5) Dalam hal Bank melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan Underlying Transaksi berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) tanpa informasi jangka waktu atas dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) maka pernyataan sebagaimana dimaksud dalam angka 4) ditambahkan informasi terkait jangka waktu dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha). 6) Contoh pernyataan Bank mengenai pemenuhan persyaratan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 4) dan angka 5) tercantum dalam Lampiran II Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/19/DPM tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor … 10 Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 7) Setelah diterimanya pengajuan Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam butir b.3) dan pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 3), Bank Indonesia akan memberikan nomor referensi kepada Bank untuk setiap Kontrak Lindung Nilai. 8) Nilai nominal minimum pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan kelipatannya diumumkan oleh Bank Indonesia melalui Sistem Laporan Harian Bank Umum (Sistem LHBU) atau sarana informasi lain yang ditentukan oleh Bank Indonesia, dengan nilai nominal pengajuan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi. 9) Dalam hal terjadi koreksi atas pengajuan transaksi, Bank hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang diajukan dalam window time Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 10) Dalam hal dilakukan koreksi atas nilai nominal sebagaimana dimaksud dalam angka 9), nilai nominal dimaksud harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 8). 11) Bank bertanggung jawab atas kebenaran data Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang disampaikan kepada Bank Indonesia. 12) Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia tidak dapat dibatalkan oleh Bank. 13) Kontrak … 11 13) Kontrak Lindung Nilai berakhir apabila Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia telah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan oleh Bank. 14) Bank Indonesia dapat menolak pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. d. Konfirmasi atas Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan konfirmasi atas pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang dilakukan oleh Bank melalui sarana komunikasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia yang meliputi: 1) jenis valuta asing; 2) nominal transaksi; 3) jangka waktu transaksi; 4) tanggal valuta dan tanggal jatuh waktu; 5) kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia; 6) kurs forward; 7) premi swap; 8) nomor rekening valuta asing Bank di bank koresponden; dan 9) nomor rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. e. Setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia 1) Setelmen first leg a) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lama 2 (dua) hari kerja setelah tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, dengan mengkredit rekening giro Rupiah Bank sebesar nilai setelmen first leg. b) Nilai … 12 b) Nilai setelmen first leg dihitung sebesar nilai nominal valuta asing yang diajukan dikalikan dengan kurs spot JISDOR dalam hal valuta asing yang digunakan adalah Dolar Amerika Serikat atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia dalam hal valuta asing yang digunakan adalah selain Dolar Amerika Serikat. c) Bank wajib menyelesaikan transfer dana valuta asing ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden pada tanggal valuta (tanggal setelmen), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) PBI. d) Dalam hal pada tanggal setelmen first leg, Bank tidak melakukan transfer dana valuta asing sebesar nilai transaksi yang diajukan, maka Bank wajib menyelesaikan transfer dana valuta asing sebesar nilai transaksi yang diajukan pada hari kerja berikutnya. e) Atas keterlambatan penyelesaian kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam huruf d), Bank dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (4) huruf a dan huruf b PBI. 2) Setelmen second leg a) Pada tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia jatuh waktu (second leg), Bank Indonesia melakukan transfer dana valuta asing ke rekening Bank di bank koresponden sebesar nilai nominal valuta asing pada setelmen first leg. b) Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar nilai nominal valuta asing pada setelmen first leg dikalikan kurs setelmen second leg. c) Kurs … 13 c) Kurs setelmen second leg adalah kurs spot saat tanggal transaksi ditambah premi swap yang dibayarkan Bank kepada Bank Indonesia. d) Bank wajib menyediakan dana Rupiah pada tanggal valuta (tanggal setelmen second leg) di rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) PBI. e) Dalam hal pada tanggal setelmen second leg, Bank tidak memiliki dana Rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam huruf d), maka Bank wajib menyediakan dana Rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen pada hari kerja berikutnya. f) Pembayaran nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf d) dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. g) Atas keterlambatan penyelesaian kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam huruf e), Bank dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (4) huruf a dan huruf b PBI. 3) Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, tanggal setelmen first leg sebagaimana dimaksud dalam angka 1) dan/atau tanggal setelmen second leg sebagaimana dimaksud dalam angka 2), ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan pengurangan dan … 14 dan/atau penambahan premi untuk hari libur dimaksud. 3. Ketentuan butir C.16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 16. Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan konfirmasi atas pengajuan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia melalui sarana komunikasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia yang paling kurang meliputi: a. jenis valuta asing; b. nominal transaksi; c. jangka waktu transaksi; d. tanggal valuta dan tanggal jatuh waktu; e. kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia; f. kurs forward; g. premi swap; h. nilai nominal netting baik dalam valuta asing maupun dalam Rupiah, jika penyelesaian dilakukan secara netting; i. nomor rekening Bank di bank koresponden; dan j. nomor rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. 4. Ketentuan butir C.18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 18. Setelmen netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam butir 17.a dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Nilai setelmen netting untuk nominal Rupiah dihitung sebagai berikut: b. Dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a menghasilkan selisih negatif, maka Bank Indonesia akan mengkredit rekening giro Rupiah Bank sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. c. Dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a menghasilkan selisih positif, maka Bank Indonesia akan akan … 15 mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal yang sama sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan Lampiran IV Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/19/DPM tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 5. Ketentuan butir C.19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 19. Setelmen netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam butir 17.b dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Nilai setelmen netting untuk valuta asing dihitung sebagai berikut: b. Bank Indonesia melakukan transfer dana valuta asing ke rekening Bank di bank koresponden sebesar nilai setelmen netting sebagaimana dimaksud dalam huruf a. c. Nilai setelmen netting untuk Rupiah dihitung sebagai berikut: d. Dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c menghasilkan selisih positif maka Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c. e. Dalam hal perhitungan sebagimana dimaksud dalam huruf c menghasilkan selisih negatif maka Bank Indonesia akan mengkredit rekening giro Rupiah Bank sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c. Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan sebagaimana tercantum Contoh … 16 dalam Lampiran V dan Lampiran VI Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/19/DPM tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 6. Ketentuan huruf E diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Dalam hal Bank dikenakan sanksi atas pelanggaran Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan/atau pelanggaran atas kewajiban setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, mekanisme pengenaan sanksi diatur sebagai berikut: 1. Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. 2. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan Pasal 15 ayat (4) huruf b PBI dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah atau rekening giro valuta asing Bank yang ada di Bank Indonesia. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 Mei 2016. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, DODDY ZULVERDI KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 18/13/DPM|SE-BI/2016 </reg_id> <reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia. </reg_title> <set_date> 24 Mei 2016 </set_date> <effective_date> 24 Mei 2016 </effective_date> <changed_reg> '16/2/DPM|SE-BI/2014' </changed_reg> <extension_of> '16/19/DPM|SE-BI/2014' </extension_of> <related_reg> '16/19/DPM|SE-BI/2014', '18/8/PBI/2016', '16/2/DPM|SE-BI/2014', '15/17/PBI/2013' </related_reg> <penalty_list> 'Angka 6' </penalty_list>
No. 14 / 24 /DSM Jakarta, 7 September 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA LEMBAGA BUKAN BANK DI INDONESIA Perihal: Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5222) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/4/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5320) maka dalam rangka meningkatkan kualitas data dan informasi yang disampaikan oleh Lembaga Bukan Bank perlu diatur kembali Surat Edaran Bank Indonesia Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank sebagai berikut: I. UMUM Pelaporan kegiatan lalu lintas devisa oleh Lembaga Bukan Bank (LBB) dimaksudkan untuk memperoleh keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa secara benar dan tepat waktu yang diperlukan untuk penyusunan Statistik Neraca Pembayaran Indonesia … 2 Indonesia, Statistik Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan statistik lainnya. II. PENGERTIAN 1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut LLD adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. 2. Kegiatan Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut Kegiatan LLD adalah kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. 3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut AFLN adalah aktiva penduduk terhadap bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing, simpanan pada bukan penduduk, piutang dagang atau usaha dengan bukan penduduk, kepemilikan surat berharga yang diterbitkan oleh bukan penduduk, dan penyertaan modal pada bukan penduduk. 4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut KFLN adalah pasiva penduduk terhadap bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan penduduk, utang dagang atau usaha dengan bukan penduduk, kepemilikan bukan penduduk pada surat berharga yang diterbitkan penduduk, pinjaman dari bukan penduduk, dan ekuitas dari bukan penduduk. 5. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf … 3 staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Lembaga Bukan Bank yang selanjutnya disebut LBB adalah lembaga selain bank yang berstatus Penduduk, yang meliputi: a. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku. b. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang perusahaan dan lembaga keuangan daerah yang berlaku. c. Badan Usaha Milik Swasta yang selanjutnya disebut BUMS adalah badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian BUMN dan BUMD yang berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum. d. Badan lainnya yang bukan merupakan badan usaha baik berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, antara lain Yayasan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat. 7. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LBB yang menjalankan kegiatan usaha sebagai perantara keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan LLD adalah laporan atas kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk … 4 Penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar Penduduk. 9. Pelapor adalah LBB yang memenuhi kriteria sebagai pelapor dan melakukan Kegiatan LLD. 10. Periode Laporan yang selanjutnya disebut PL adalah periode data tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan yang akan dilaporkan pada bulan berikutnya. 11. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang selanjutnya disebut BWPL adalah tanggal dan jam paling lama disampaikannya Laporan LLD. 12. Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan yang selanjutnya disebut BWPKL adalah tanggal dan jam paling lama disampaikannya koreksi Laporan LLD. 13. Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan yang selanjutnya disebut MKPL adalah periode waktu Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD. 14. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan LBB Pelapor. 15. Jam Kerja adalah jam kerja Bank Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan LBB Pelapor. III. PELAPOR 1. Pelapor meliputi LBB yang memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: a. BUMN; b. BUMD yang memiliki utang luar negeri; c. Lembaga Keuangan Non Bank; d. Perusahaan Publik; e. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak dan gas; f. Perusahaan … 5 f. Perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor barang; g. Perusahaan yang bergerak di sektor jasa; h. Perusahaan penanaman modal asing; i. BUMS yang memiliki utang luar negeri; j. Badan Lainnya yang memiliki utang luar negeri; atau k. Pelapor di luar huruf a sampai dengan huruf j yang memiliki total aset atau omset penjualan bruto selama 1 (satu) tahun, jumlah yang lebih dahulu dicapai, paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 2. Utang luar negeri sebagaimana dimaksud pada angka 1 meliputi utang luar negeri sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan utang luar negeri. 3. Total aset atau omset sebagaimana dimaksud pada butir 1.k didasarkan pada laporan keuangan terakhir yang telah diaudit. 4. Dalam hal laporan keuangan terakhir yang telah diaudit sebagaimana dimaksud pada angka 3 belum tersedia, maka yang digunakan adalah laporan keuangan terakhir yang belum diaudit. 5. Pelapor wajib melaporkan Kegiatan LLD sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan seperti neraca dan laba rugi serta off balance sheet Pelapor. 6. Pelapor sebagaimana dimaksud pada butir 1.k yang mengalami penurunan total aset atau omset penjualan bruto 1 (satu) tahun sehingga menjadi kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), tetap wajib menyampaikan Laporan LLD sepanjang masih melakukan Kegiatan LLD sebagaimana dimaksud dalam butir II.2. 7. LBB yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 1 namun tidak melakukan Kegiatan LLD, harus menyampaikan … 6 menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Melakukan Kegiatan LLD bermeterai cukup sebagaimana format pada Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini disertai laporan keuangan Perusahaan. 8. LBB yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada butir 1.k harus menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Memenuhi Batasan Aset atau Omset bermeterai cukup sebagaimana format pada Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini disertai laporan keuangan Perusahaan. IV. LAPORAN LLD, KOREKSI LAPORAN LLD, DAN FORMAT PELAPORAN LLD 1. JENIS LAPORAN LLD Laporan LLD yang wajib disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia terdiri dari: a. Laporan transaksi perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk. Laporan meliputi seluruh transaksi penjualan dan/atau pembelian barang dan/atau jasa dengan bukan Penduduk, perolehan dan/atau pemberian hibah dari/kepada bukan Penduduk, serta transaksi lainnya dengan bukan Penduduk, sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor. b. Laporan posisi dan perubahan AFLN. Laporan meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan dari seluruh aktiva yang merupakan klaim terhadap bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor yang meliputi: 1) Rekening … 7 1) Rekening giro di bank luar negeri; 2) Piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk; 3) Surat berharga yang diterbitkan oleh bukan Penduduk yang tidak disimpan pada kustodian dalam negeri, termasuk surat berharga yang diterbitkan oleh bukan Penduduk yang dimiliki oleh Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian; 4) Penyertaan pada bukan Penduduk, antara lain penyertaan modal, tagihan dividen, dan laba ditahan; 5) Tanah dan bangunan di luar negeri; 6) Aset lainnya pada bukan Penduduk antara lain kas dalam valuta asing, simpanan lainnya, pinjaman yang diberikan, pembayaran di muka, dan tagihan lainnya; 7) Tagihan derivatif pada bukan Penduduk. Termasuk di dalam pelaporan posisi dan perubahan AFLN adalah kegiatan yang mengakibatkan nilai AFLN menjadi negatif. c. Laporan posisi dan perubahan ekuitas luar negeri dan kewajiban lain yang terkait. Laporan meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan ekuitas luar negeri dan kewajiban terkait antara lain modal disetor dari bukan Penduduk, kewajiban dividen kepada bukan Penduduk, dan laba ditahan dari bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor. d. Laporan posisi dan perubahan kewajiban derivatif luar negeri. Laporan meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan kewajiban derivatif kepada bukan Penduduk … 8 Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor. e. Laporan posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri. Laporan meliputi posisi yang menjadi tagihan dan/atau kewajiban komitmen dan/atau kontinjensi kepada bukan Penduduk yang tercatat pada off-balance sheet Pelapor antara lain posisi pembelian dan/atau penjualan spot dan derivatif yang masih berjalan, garansi yang diterima dan/atau diberikan, dan fasilitas pinjaman dari dan/atau kepada bukan Penduduk yang belum ditarik. f. Laporan posisi surat berharga milik Nasabah kustodian. Laporan meliputi posisi surat berharga Penduduk yang dimiliki bukan Penduduk dan/atau surat berharga bukan Penduduk yang dimiliki Penduduk yang tercatat pada Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian, beserta hasil investasi yang diakui pada PL seperti bunga dan dividen. 2. KOREKSI LAPORAN LLD a. Dalam hal terdapat kesalahan Laporan LLD yang telah disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia, Pelapor harus menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan LLD yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. b. Koreksi terhadap Laporan LLD disampaikan secara lengkap untuk setiap jenis laporan yang dikoreksi. Contoh penyampaian koreksi secara lengkap: Perusahaan pembiayaan telah menyampaikan laporan penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat) baris (record), namun terdapat kesalahan pengisian sandi negara investee (anak perusahaan) pada baris ke-2 laporan. Berdasarkan hal tersebut, perusahaan pembiayaan … 9 pembiayaan wajib menyampaikan kembali laporan penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat) baris (record) dengan sandi negara investee yang telah dikoreksi pada baris ke-2 laporan. c. Koreksi Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada huruf b yang terakhir diterima oleh Bank Indonesia merupakan laporan pengganti atas laporan yang diterima sebelumnya. 3. FORMAT PELAPORAN LLD a. Format laporan diatur dalam Pedoman Pelaporan Kegiatan LLD LBB sebagaimana Lampiran 3 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. b. Masing-masing laporan terdiri dari satu atau beberapa baris (record) dan masing-masing baris memuat kolom (field) keterangan dan data yang harus dilaporkan seperti sandi transaksi dan sandi mitra transaksi. Contoh: Laporan transaksi perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk memiliki 6 (enam) kolom (field) yaitu kolom tujuan transaksi, negara mitra, hubungan keuangan, jenis valuta, nilai transaksi, dan nomor referensi. Apabila dalam 1 (satu) PL Pelapor melakukan transaksi ekspor sebanyak 3 (tiga) kali, maka Pelapor dapat menyampaikan laporan transaksi perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk dalam 3 (tiga) baris (record). V. Penyampaian … 10 V. PENYAMPAIAN LAPORAN LLD DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN LLD 1. TATA CARA PELAPORAN a. Tata cara pelaporan mengacu pada Petunjuk Teknis Aplikasi LLD LBB sebagaimana terdapat dalam website pelaporan LLD di Bank Indonesia. b. Pelapor menyampaikan seluruh Kegiatan LLD yang dilakukan selama PL. c. Apabila dalam suatu PL tertentu Pelapor tidak melakukan Kegiatan LLD, Pelapor harus menyampaikan laporan dengan isi nihil dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Petunjuk Teknis Aplikasi LLD LBB yang terdapat dalam website pelaporan LLD di Bank Indonesia. d. Apabila Pelapor tidak lagi melakukan Kegiatan LLD, Pelapor harus menyampaikan Surat Pernyataan Tidak Lagi Melakukan Kegiatan LLD sebagaimana format dalam Lampiran 4 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini disertai laporan keuangan Pelapor. e. Dalam hal Pelapor sebagaimana dimaksud pada huruf d melakukan Kegiatan LLD kembali, Pelapor wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada angka IV. f. Bagi Pelapor yang memiliki 1 (satu) atau lebih kantor cabang, Laporan LLD merupakan gabungan dari kantor pusat dan seluruh kantor cabang di Indonesia. Contoh pelaporan bagi perusahaan yang memiliki banyak cabang: Perusahaan perkebunan karet PT. X yang berkantor pusat di Medan memiliki 2 (dua) kantor cabang yaitu di Pekanbaru dan … 11 dan Bandar Lampung. PT. X menyampaikan 1 (satu) Laporan LLD yang merupakan gabungan dari Kegiatan LLD yang dilakukan kantor pusat Medan, kantor cabang Pekanbaru, dan kantor cabang Bandar Lampung. g. Bagi Pelapor yang tergabung dalam 1 (satu) grup perusahaan, Laporan LLD disampaikan oleh Pelapor secara terpisah dari laporan LLD induk perusahaan. Contoh perusahaan berbentuk grup: Perusahaan pertambangan PT. Y merupakan holding company yang memiliki 3 (tiga) anak perusahaan yakni PT. A, PT. B, dan PT. C. Laporan LLD disampaikan secara terpisah oleh induk perusahaan dan masing-masing anak perusahaan. 2. MEDIA PENYAMPAIAN LAPORAN a. Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan kepada Bank Indonesia secara Indonesia dengan online dengan menggunakan media internet pada website pelaporan LLD di Bank alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2. Dalam hal terdapat perubahan alamat penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD, Bank Indonesia akan menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui surat atau media lainnya. b. Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia yang mengakibatkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara online, maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan secara offline pada Hari Kerja berikutnya menggunakan attachment e-mail, compact disk (CD), flash disk … 12 disk, dan/atau media perekaman data elektronik lainnya dengan alamat sebagaimana dimaksud pada angka VIII. c. Apabila pada Hari Kerja berikutnya gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada huruf b telah dapat diatasi, maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan secara online. d. Laporan LLD secara online dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila seluruh laporan lolos verifikasi yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia. e. Laporan LLD secara offline dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila softcopy seluruh laporan berhasil di- upload dan lolos verifikasi yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia. Contoh penyampaian laporan offline: PT. A memiliki 3 (tiga) form laporan yang harus dilaporkan kepada Bank Indonesia. Pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2012 terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia sehingga PT. A menyampaikan ketiga form laporan tersebut secara offline pada hari Selasa tanggal 16 Oktober 2012 dengan mengirimkan softcopy laporan melalui e-mail. Setelah mengirimkan e-mail PT. A segera melakukan konfirmasi melalui telepon kepada petugas LLD di Bank Indonesia untuk memastikan bahwa e-mail yang berisi softcopy laporan telah diterima oleh Bank Indonesia. Selanjutnya PT. A melakukan konfirmasi melalui telepon atau e-mail kepada petugas LLD di Bank Indonesia atau pengecekan pada website pelaporan LLD pada saat gangguan teknis telah diatasi untuk memastikan ketiga form tersebut telah berhasil di-upload dan lolos verifikasi serta memperoleh/mencetak tanda terima. 3. PERIODE … 13 3. PERIODE LAPORAN (PL) a. Laporan LLD disampaikan secara berkala setiap bulan. b. Data yang disampaikan dalam PL mencakup data transaksi LLD yang dilakukan sejak tanggal 1 sampai dengan akhir bulan dan data posisi LLD akhir bulan. 4. BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN (BWPL) DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN (BWPKL) a. Laporan LLD disampaikan sebagai berikut: 1) Laporan LLD secara online wajib disampaikan paling lama tanggal 15 pukul 24.00 WIB setelah berakhirnya PL. 2) Apabila hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara online jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, BWPL tidak berubah. Contoh penyampaian laporan secara online di Provinsi Papua Barat: Laporan LLD PL Agustus 2012 disampaikan paling lama hari Sabtu tanggal 15 September 2012 pukul 24.00 WIB atau hari Minggu tanggal 16 September 2012 pukul 02.00 WIT. 3) Apabila terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara online, Laporan LLD disampaikan pada hari kerja berikutnya secara: (1) online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau (2) offline dalam Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat jika gangguan teknis belum dapat diatasi … 14 diatasi. Contoh penyampaian laporan secara offline di Provinsi Nusa Tenggara Barat: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Sabtu tanggal 15 September 2012. Laporan LLD wajib disampaikan paling lama pada hari Senin tanggal 17 September 2012 secara online. Apabila gangguan teknis masih berlangsung pada tanggal 17 September 2012, pelaporan wajib dilakukan secara offline dalam Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat. b. Koreksi terhadap Laporan LLD disampaikan sebagai berikut: 1) Koreksi terhadap Laporan LLD secara online harus disampaikan paling lama tanggal 20 pukul 24.00 WIB setelah berakhirnya PL. Contoh penyampaian koreksi: Perusahaan Sekuritas melaporkan kepemilikan deposito pada bank di Singapura untuk PL Oktober 2012 pada tanggal 12 November 2012. Berdasarkan konfirmasi Bank Indonesia, selain memiliki deposito, perusahaan juga memiliki simpanan (pooling account) pada grup perusahaan di Hong Kong yang belum dilaporkan. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tanggal 14 November 2012 perusahaan menyampaikan koreksi laporan aset lainnya pada bukan Penduduk. Selanjutnya karena terdapat kesalahan pada pengisian jangka waktu simpanan (pooling account), pada tanggal 19 November 2012 perusahaan mengirimkan kembali koreksi laporan tersebut. 2) Apabila hari terakhir penyampaian koreksi Laporan LLD … 15 LLD secara online jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, BWPKL tidak berubah. Contoh penyampaian koreksi laporan secara online di Provinsi Kalimantan Timur: Koreksi Laporan LLD PL September 2012 disampaikan paling lama hari Sabtu tanggal 20 Oktober 2012 pukul 24.00 WIB atau hari Minggu tanggal 21 Oktober 2012 pukul 01.00 WITA. 3) Apabila terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari terakhir penyampaian koreksi Laporan LLD secara online, koreksi Laporan LLD disampaikan pada hari kerja berikutnya secara: (1) online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau (2) offline dalam Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat jika gangguan teknis belum dapat diatasi. Contoh penyampaian koreksi laporan secara offline di Provinsi Sulawesi Barat: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Sabtu tanggal 20 Oktober 2012. Laporan LLD wajib disampaikan paling lama pada hari Senin tanggal 22 Oktober 2012 secara online. Apabila gangguan teknis masih berlangsung pada tanggal 22 Oktober 2012, pelaporan wajib dilakukan secara offline dalam Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat. 5. MASA … 16 5. MASA KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN LAPORAN (MKPL) a. MKPL adalah masa setelah berakhirnya BWPL sebagaimana dimaksud pada butir 4.a sampai dengan akhir bulan pukul 24.00 WIB. b. Apabila batas akhir MKPL jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka batas akhir MKPL tidak berubah. Contoh Batas akhir MKPL di Provinsi Lampung: Batas akhir MKPL untuk Laporan LLD PL Agustus 2012 adalah hari Minggu tanggal 30 September 2012 pukul 24.00 WIB. c. Apabila pada batas akhir MKPL terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia, maka batas akhir MKPL: 1) Tidak berubah, jika gangguan teknis dapat diatasi sebelum pukul 24.00 WIB. 2) Berubah menjadi pada Hari Kerja berikutnya, jika gangguan teknis belum dapat diatasi sampai dengan pukul 24.00 WIB. Contoh: Laporan LLD perusahaan di Provinsi Sumatera Utara. Gangguan teknis terjadi pada hari Jum’at tanggal 31 Agustus 2012 sampai dengan pukul 24.00 WIB, maka MKPL untuk PL Juli 2012 berakhir pada hari Senin tanggal 3 September 2012 . d. Dalam hal batas akhir MKPL berubah menjadi pada Hari Kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada butir c.2 maka penyampaian Laporan LLD dilakukan secara offline dalam Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat. Contoh … 17 Contoh: Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam contoh butir c.2 maka penyampaian Laporan LLD PL Juli 2012 dilakukan secara offline hari Senin tanggal 3 September 2012 dalam Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat. 6. TIDAK MENYAMPAIKAN LAPORAN LLD a. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila sampai dengan batas akhir MKPL sebagaimana dimaksud pada angka 5, Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD dari Pelapor. b. Pelapor sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap harus menyampaikan Laporan LLD secara offline. 7. PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN a. Bank Indonesia dapat melakukan penelitian terhadap kebenaran Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD Pelapor. b. Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain. c. Bank Indonesia dapat menyampaikan surat permintaan informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain. d. Pelapor harus menyampaikan informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada huruf c paling lama 14 (empat belas) Hari Kerja sejak tanggal diterimanya surat permintaan. e. Dalam hal Pelapor tidak menindaklanjuti surat permintaan dengan penyampaian bukti-bukti sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf d, maka Laporan LLD yang … 18 yang disampaikan Pelapor kepada Bank Indonesia dinyatakan tidak benar. 8. PERUBAHAN ALAMAT PELAPOR LLD a. Dalam hal Pelapor pindah alamat dari wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) ke wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) atau sebaliknya, Pelapor harus terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan ke KPBI dengan tembusan kepada KPwBI yang akan dituju atau ke KPwBI dengan tembusan kepada KPBI. b. Dalam hal Pelapor pindah alamat dari satu wilayah kerja KPwBI ke wilayah kerja KPwBI lainnya, Pelapor harus terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan ke KPwBI yang sebelumnya menerima Laporan LLD dari Pelapor dengan tembusan kepada KPBI dan KPwBI yang akan dituju. c. Dalam hal Pelapor pindah alamat namun tetap dalam wilayah kerja KPBI atau KPwBI, Pelapor harus terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan ke KPBI atau KPwBI setempat. VI. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. LAPORAN TIDAK BENAR a. Pelapor yang menyampaikan Laporan LLD tidak benar dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). b. Yang dimaksud dengan setiap baris (record) yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf a pada laporan rekening giro … 19 giro di bank luar negeri dan laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk adalah jika pada baris (record) transaksi yang bersangkutan terdapat satu atau lebih kolom (field) yang diisi secara tidak lengkap dan/atau tidak akurat. Contoh laporan rekening giro di bank luar negeri: Perusahaan Y di Indonesia membayar pembelian barang melalui rekening gironya pada bank di Singapura (SG) sebesar USD150.000 (seratus lima puluh ribu Dolar US) kepada perusahaan afiliasi-pemegang saham non SPV di India (IN). Rekening giro perusahaan menggunakan valuta USD dengan saldo awal rekening giro pada bulan tersebut adalah USD2.000.000 (dua juta Dolar US) dan mutasi selama bulan tersebut hanya pembayaran pembelian barang tersebut di atas. Perusahaan Y menyampaikan Laporan LLD sebagai berikut: 1) Saldo laporan rekening giro di luar negeri berupa negara domisili (SG), jenis valuta (USD), saldo awal (2.000.000) dan saldo akhir (1.985.000). Sandi Jns Neg No Rek OA Val Domisili Aw Ak 1 21111 USD SG Sandi Sandi No Rek LN Trans Tgl Neg Trans Keu 2000000 1985000 2) Transaksi laporan rekening giro di luar negeri, berupa Hub Neg Penerima / Pembayar 1 21111 101100T 20120710 ID 12 ID 15000 Nilai sandi jenis transaksi impor (101100T), sandi negara mitra transaksi (ID), sandi hubungan keuangan (12), dan nilai transaksi (15.000). Saldo Saldo Berdasarkan … 20 Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian yaitu: 1) Saldo akhir pada laporan rekening giro yang diisi 1.985.000 seharusnya 1.850.000. Sandi Jns Neg No Rek OA Val Domisili Aw Ak 1 21111 USD SG 2000000 1850000 2) Transaksi pada laporan rekening giro: a) Sandi jenis transaksi impor yang diisi 101100T seharusnya 201200T. b) Nilai transaksi yang diisi 15.000 seharusnya 150.000. c) Negara mitra transaksi yang diisi ID seharusnya IN. Neg No Sandi Rek LN Sandi Trans Tgl Trans Neg 1 21111 201200T 20120710 IN Hub Keu 12 Penerima / Pembayar Nilai IN 150000 Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu) baris (record). Perusahaan Y dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk 1 (satu) kesalahan tersebut. Contoh laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk: Dalam rangka impor, perusahaan C di Indonesia menggunakan sarana transportasi laut milik Australia dengan biaya senilai AUD100.000 (seratus ribu Dolar Australia). Perusahaan C menyampaikan laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan Bukan Penduduk meliputi sandi jenis transaksi (102501T- Jasa penunjang transportasi laut), sandi … Saldo Saldo 21 sandi negara mitra transaksi (AU), sandi hubungan keuangan (41), jenis valuta (USD), dan nilai transaksi (100.000). No Jns Trans Neg Hub Keu Jns Val Nilai No Ref 1 102501T AU 41 USD 100000 1 Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian yaitu: a) sandi jenis transaksi yang diisi 102501T (Jasa penunjang transportasi laut) seharusnya 202201T (Jasa transportasi barang dalam rangka ekspor dan impor menggunakan transportasi laut), b) jenis valuta yang diisi USD seharusnya AUD. Jns No Trans Neg Hub Keu 1 202201T AU 41 Jns Val AUD 100000 1 Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu) baris (record) dan dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk kesalahan tersebut. c. Yang dimaksud dengan setiap baris (record) yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf a pada laporan selain laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah jika pada baris (record) posisi yang bersangkutan terdapat satu atau lebih kolom (field) yang diisi secara tidak lengkap dan/atau tidak akurat. Contoh laporan piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk: Perusahaan D di Indonesia melakukan ekspor dengan jangka waktu pembayaran 16 bulan kepada perusahaan satu … Nilai No Ref 22 satu grup di Thailand senilai USD100.000 (seratus ribu Dolar US). Kegiatan tersebut menyebabkan posisi piutang berjangka waktu 16 bulan kepada buyer tersebut menjadi USD925.000 (sembilan ratus dua puluh lima ribu Dolar US). Perusahaan D menyampaikan Laporan LLD sebagai berikut: 1) Posisi piutang dagang atau usaha dengan jangka waktu “12” (jangka pendek), negara mitra “TH” (Thailand), sektor institusi “9500” (perusahaan), hubungan keuangan “31” (grup), jenis valuta “USD” (US Dollar), dan nilai posisi akhir “900.000”. No Jk Wkt Neg 1 Sekt Inst Hub Keu Jns Val No Doc 12 TH 9500 31 USD Saldo Awal Saldo Akhir 825000 900000 2) Transaksi piutang dagang atau usaha kepada bukan penduduk dengan nilai debit “75.000”. No Jk Wkt Neg Sekt Inst Hub Keu Jns Val 1 12 TH 9500 31 USD No Doc Sandi Trans Cara byr 140001A RLN Bank DN - 21111 20120831 75000 Nilai Bank LN Tgl Trans Berdasarkan contoh tersebut terdapat kesalahan pengisian yaitu: 1) Jangka waktu piutang dagang atau usaha kepada bukan penduduk yang diisi “12” (jangka pendek) seharusnya “11” (jangka panjang), serta nilai posisi saldo akhir yang diisi “900.000” seharusnya “925.000”. No Jk Wkt Neg 1 Sekt Inst Hub Keu Jns Val No Doc 11 TH 9500 31 USD Saldo Awal Saldo Akhir 825000 925000 2) Nilai debit transaksi piutang dagang atau usaha kepada bukan penduduk yang diisi “75.000” seharusnya “100.000”. 23 No Jk Wkt Neg Sekt Inst Hub Keu Jns Val 1 11 TH 9500 31 USD No Doc Sandi Trans Cara byr 140001A RLN Bank DN - 21111 20120831100000 Nilai Bank LN Tgl Trans Laporan tersebut dinyatakan tidak benar sebanyak 1 (satu) baris (record) dan dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk kesalahan tersebut. 2. TERLAMBAT MENYAMPAIKAN LAPORAN LLD a. Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan LLD dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). b. Jumlah hari keterlambatan dihitung mulai dari hari setelah berakhirnya BWPL sampai dengan tanggal diterimanya Laporan LLD oleh Bank Indonesia dalam MKPL sebagaimana dimaksud pada butir V.5. Contoh keterlambatan laporan online: PT. B menyampaikan laporan kepemilikan tanah dan bangunan di luar negeri untuk PL Agustus 2012 yang diterima Bank Indonesia pada tanggal 29 September 2012. PT. B dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama 14 (empat belas) hari dan dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). c. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia dan Pelapor menyampaikan Laporan LLD secara offline, Laporan LLD yang disampaikan pada akhir BWPL setelah Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat dianggap mengalami keterlambatan selama 1 (satu) hari. Contoh … 24 Contoh keterlambatan laporan offline di Provinsi Sulawesi Utara: Terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2012 yang belum dapat diatasi sampai dengan hari Selasa tanggal 16 Oktober 2012. PT. C menyampaikan laporan transaksi perdagangan barang dan jasa serta transaksi lainnya antara penduduk dengan bukan penduduk untuk PL September 2012 secara offline melalui CD yang diterima Bank Indonesia pada tanggal 16 Oktober 2012 pukul 19.00 WITA. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama 1 (satu) hari karena laporan diterima setelah Jam Kerja kantor Bank Indonesia setempat berakhir sehingga dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 3. TIDAK MENYAMPAIKAN LAPORAN LLD a. Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan LLD sampai dengan berakhirnya MKPL sebagaimana dimaksud pada butir V.5 dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Contoh tidak menyampaikan laporan di Provinsi Kalimantan Selatan: Laporan rekening giro di bank luar negeri untuk PL Agustus 2012 belum diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal 30 September 2012 maka Pelapor dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). b. Sanksi yang berlaku pada huruf a tidak menghilangkan kewajiban Pelapor untuk menyampaikan Laporan LLD. c. Bagi Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan LLD selama 6 (enam) PL berturut-turut, selain dikenai denda sebagaimana dimaksud pada huruf a, Pelapor juga dikenai surat … 25 surat teguran dari Bank Indonesia dengan tembusan kepada instansi yang terkait. 4. PENGENAAN SANKSI DENDA a. Pengenaan sanksi bagi Pelapor sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 3 dilakukan dengan surat penetapan sanksi denda secara tertulis dari Bank Indonesia dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara. b. Surat penetapan sanksi denda sebagaimana dimaksud pada huruf a didahului dengan surat pemberitahuan sanksi denda. c. Surat penetapan sanksi secara tertulis dari Bank Indonesia antara lain mencantumkan jenis pelanggaran dan besarnya denda yang harus dibayar. 5. PEMBAYARAN SANKSI DENDA a. Pembayaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 3 disetorkan ke rekening Kas Negara yang terdapat pada Bank Indonesia. b. Pelapor harus memberikan tembusan bukti pembayaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Bank Indonesia paling lama: 1) Untuk Laporan Tidak Benar, yaitu akhir bulan berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima oleh Pelapor. Contoh: Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia dan sesuai pengakuan Pelapor, terdapat 5 baris (record) dalam Laporan LLD PL Agustus 2012 yang tidak benar. Atas ketidakbenaran tersebut, Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan sanksi denda yang diterima Pelapor pada tanggal 25 Oktober 2012. Untuk itu, Pelapor harus menyetor … 26 menyetor sanksi denda ketidakbenaran laporan ke rekening Kas Negara yang terdapat pada Bank Indonesia dan menyampaikan tembusan bukti penyetoran denda tersebut ke Bank Indonesia paling lama tanggal 30 November 2012. 2) Untuk Laporan Terlambat, yaitu akhir bulan berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima oleh Pelapor. Contoh: Perusahaan terlambat menyampaikan Laporan LLD untuk PL September 2012 yaitu pada tanggal 17 Oktober 2012. Atas keterlambatan tersebut, Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan sanksi denda keterlambatan Laporan LLD yang diterima Pelapor pada tanggal 5 November 2012. Pelapor harus menyetor sanksi denda keterlambatan ke rekening Kas Negara yang terdapat pada Bank Indonesia dan menyampaikan tembusan bukti penyetoran denda tersebut ke Bank Indonesia paling lama tanggal 31 Desember 2012. 3) Untuk Tidak Menyampaikan Laporan, yaitu pada akhir bulan berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima oleh Pelapor. Contoh: Perusahaan belum menyampaikan Laporan LLD untuk PL Oktober 2012 sampai dengan tanggal 30 November 2012. Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan sanksi denda tidak menyampaikan Laporan LLD yang diterima Pelapor pada tanggal 27 Desember 2012. Selanjutnya Pelapor harus menyetor sanksi denda dimaksud ke rekening Kas Negara yang terdapat pada Bank Indonesia dan menyampaikan tembusan bukti penyetoran denda tersebut ke Bank Indonesia paling lama tanggal 31 Januari 2013. c. Apabila … 27 c. Apabila Bank Indonesia belum menerima tembusan bukti pembayaran sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf b maka Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kantor Kas Negara dengan tembusan kepada Pelapor. VII. PENYAMPAIAN LAPORAN DALAM KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) 1. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama 1 (satu) periode penyampaian laporan atau lebih, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD. Contoh: Pada bulan Agustus 2012 wilayah tempat kedudukan Pelapor mengalami banjir besar yang mengakibatkan perusahaan tidak dapat menyusun Laporan LLD sejak tanggal 7 sampai dengan tanggal 21 Agustus 2012 (15 hari). Dalam hal ini, Pelapor dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD untuk PL Juli 2012. 2. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang dari 1 (satu) periode penyampaian laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam butir V.4. Contoh: Pada tanggal 9 sampai dengan 13 November 2012 terjadi aksi demo seluruh karyawan perusahaan yang mengakibatkan perusahaan tidak dapat beroperasi dan menyusun Laporan LLD sejak tanggal 9 sampai dengan tanggal 16 November 2012 (8 hari). Akibat terjadinya demo tersebut, Pelapor dapat menyampaikan Laporan LLD untuk PL Oktober 2012 sepanjang datanya tersedia pada Pelapor setelah BWPL dan tidak dikenai denda. 3. Pelapor … 28 3. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa (force majeure) yang dialami. 4. Penjelasan secara tertulis paling kurang memuat: a. jenis keadaan memaksa (force majeure) dengan melampirkan surat keterangan yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat; b. dampak terhadap Pelaporan LLD; dan c. perkiraan lamanya keadaan memaksa (force majeure). 5. Pelapor dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa (force majeure) melalui kantor pusat Pelapor, kantor cabang Pelapor, atau pihak lain yang ditunjuk Pelapor. 6. Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa (force majeure) yang terjadi selama satu periode penyampaian laporan atau lebih, harus disampaikan untuk setiap periode sampai dengan berakhirnya keadaan memaksa (force majeure). Contoh: Daerah tempat kedudukan Pelapor mengalami gempa bumi dan tidak dapat beroperasi selama beberapa bulan. Atas kondisi tersebut, kantor cabang Pelapor di daerah lain menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa (force majeure) kepada kantor Bank Indonesia. Surat Pemberitahuan tersebut harus disampaikan setiap bulan selama Pelapor belum dapat menyampaikan Laporan LLD. 7. Pelapor … 29 7. Pelapor sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 wajib menyampaikan Laporan LLD setelah Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. 8. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada angka 2 wajib menyampaikan Laporan LLD sampai dengan batas akhir MKPL. Contoh: Pada tanggal 13 Juli 2013 kantor Pelapor mengalami kebakaran dan baru dapat beroperasi secara normal pada tanggal 15 Juli 2013 sehingga mengakibatkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan LLD secara tepat waktu. Pelapor dapat menyampaikan Laporan LLD untuk PL Juni 2013 sampai dengan batas akhir MKPL pada tanggal 31 Juli 2013 tanpa dikenakan sanksi administratif berupa denda keterlambatan. Apabila sampai dengan batas akhir MKPL pelapor tidak menyampaikan Laporan LLD, maka akan dikenai sanksi tidak menyampaikan Laporan LLD. VII. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN LLD DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN LLD SECARA OFFLINE, PERTANYAAN, SURAT, DAN INFORMASI LAINNYA Penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara offline, surat, pertanyaan, dan informasi lainnya berkaitan dengan pelaporan diatur sebagai berikut: 1. Bagi Pelapor yang berkedudukan: a. di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan Karawang ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter Grup Neraca Pembayaran Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16 Jl. … 30 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 b. di luar wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan Karawang, ditujukan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat sebagaimana terdapat dalam Pedoman Pelaporan Kegiatan LLD sebagaimana Lampiran 4. 2. Help Desk LLD: Telepon : 021-3817040, 021-3817041, 021-3817469, 021-3817606, 021-3817607, 021-3501969, 021-2310108 atau 021-2310408 atau 021- 2310847 ext. 5354/5351/5334/5337/ 5365/4678, 0-800-1501969 (bebas pulsa), Faksimili : 021-3501974, 021-3800134, Email : lldperusahaan@bi.go.id VIII. PENUTUP 1. Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada angka VI mulai berlaku untuk data PL bulan Juli 2012 yang disampaikan pada bulan Agustus 2012. 2. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/21/DSM tanggal 15 Agustus 2011 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 September 2012 dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012. Agar … 31 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HARTADI A. SARWONO DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 14/24/DSM|SE-BI/2012 </reg_id> <reg_title> Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank </reg_title> <set_date> 7 September 2012 </set_date> <effective_date> 7 September 2012 dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012 </effective_date> <replaced_reg> '13/21/DSM|SE-BI/2011' </replaced_reg> <related_reg> '14/4/PBI/2012', '13/15/PBI/2011' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
No.6/ 23 /DPNP Jakarta, 31 Mei 2004 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal: Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4382) Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara triwulanan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diatur ketentuan pelaksanaan penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut: I. UMUM 1. Dengan semakin meningkatnya kompleksitas usaha dan profil risiko, Bank perlu mengidentifikasi permasalahan yang mungkin timbul dari operasional Bank. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi Bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank oleh Bank Indonesia. 2. Tingkat … 2. Tingkat Kesehatan Bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar. Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif dan atau kualitatif setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan dan perekonomian nasional. II. FAKTOR PENILAIAN 1. Penilaian tingkat kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktor- faktor CAMELS yang terdiri dari: a. Permodalan (Capital) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen- komponen sebagai berikut: 1) kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku; 2) komposisi permodalan; 3) trend ke depan/proyeksi KPMM; 4) aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan modal Bank; 5) kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan (laba ditahan); 6) rencana permodalan Bank untuk mendukung usaha; 7) akses kepada sumber permodalan; dan 8) kinerja … pertumbuhan 8) kinerja keuangan pemegang permodalan Bank. saham untuk meningkatkan b. Kualitas Aset (Asset Quality) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas aset antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen- komponen sebagai berikut: 1) aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan total aktiva produktif; 2) debitur inti kredit di luar pihak terkait dibandingkan dengan total kredit; 3) perkembangan aktiva produktif bermasalah/non performing asset dibandingkan dengan aktiva produktif; 4) tingkat kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP); 5) kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva produktif; 6) sistem kaji ulang (review) internal terhadap aktiva produktif; 7) dokumentasi aktiva produktif; dan 8) kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah. c. Manajemen (Management) Penilaian terhadap faktor manajemen antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: 1) manajemen umum; 2) penerapan sistem manajemen risiko; dan 3) kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya. d. Rentabilitas (Earnings) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen- komponen sebagai berikut: 1) return … 1) return on assets (ROA); 2) return on equity (ROE); 3) net interest margin (NIM); 4) Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional (BOPO); 5) perkembangan laba operasional; 6) komposisi portofolio aktiva produktif dan diversifikasi pendapatan; 7) penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya; dan 8) prospek laba operasional. e. Likuiditas (Liquidity) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen- komponen sebagai berikut: 1) aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan dengan pasiva likuid kurang dari 1 bulan; 2) 1-month maturity mismatch ratio; 3) Loan to Deposit Ratio (LDR); 4) proyeksi cash flow 3 bulan mendatang; 5) ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti; 6) kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities management/ALMA); 7) kemampuan Bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang, pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan lainnya; dan 8) stabilitas dana pihak ketiga (DPK). f. Sensitivitas… f. Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas terhadap risiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: 1) modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga; 2) modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi nilai tukar dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar; dan 3) kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar. III. TATA CARA PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM 1. Formula dan indikator pendukung dalam rangka penilaian setiap komponen sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II berpedoman kepada Matriks Perhitungan/Analisis Komponen setiap faktor sebagaimana diuraikan pada Lampiran 1a, Lampiran 1b, Lampiran 1c, Lampiran 1d, Lampiran 1e, dan Lampiran 1f Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Berdasarkan formula dan indikator pendukung setiap komponen sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan proses analisis untuk menetapkan peringkat setiap komponen dengan berpedoman kepada Matriks Kriteria Penetapan Peringkat Komponen sebagaimana diuraikan pada Lampiran 2a, Lampiran 2b, Lampiran 2c, Lampiran 2d, Lampiran 2e, dan Lampiran 2f Surat Edaran Bank Indonesia ini. Dalam proses ini juga dilakukan analisis terhadap berbagai indikator pendukung dan atau pembanding yang relevan. 3. Selanjutnya … 3. Selanjutnya dilakukan proses analisis untuk menetapkan peringkat setiap faktor penilaian dengan berpedoman kepada Matriks Kriteria Penetapan Peringkat Faktor sebagaimana diuraikan pada Lampiran 3a, Lampiran 3b, Lampiran 3c, Lampiran 3d, Lampiran 3e, dan Lampiran 3f Surat Edaran Bank Indonesia ini. Proses penetapan peringkat setiap faktor penilaian dilaksanakan setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari setiap komponen. 4. Berdasarkan hasil penetapan peringkat setiap faktor penilaian sebagaimana dimaksud pada angka 3, dilakukan proses analisis untuk menetapkan peringkat komposit Bank dengan berpedoman kepada Matriks Kriteria Penetapan Peringkat Komposit sebagaimana diuraikan pada Lampiran 4a Surat Edaran Bank Indonesia ini. Proses penetapan peringkat komposit Bank dilaksanakan setelah mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari setiap faktor. 5. Untuk memproses penetapan peringkat sebagaimana dimaksud pada angka 2, angka 3, dan angka 4, Bank menggunakan kertas kerja sebagaimana diuraikan pada Lampiran 5a, Lampiran 5b, Lampiran 5c, Lampiran 5d, Lampiran 5e, dan Lampiran 5f Surat Edaran Bank Indonesia ini. 6. Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September dan Desember. Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank tersebut secara berkala atau sewaktu-waktu untuk posisi penilaian tersebut terutama untuk menguji ketepatan dan kecukupan hasil analisis Bank. Penilaian Tingkat Kesehatan … Kesehatan Bank dimaksud diselesaikan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah posisi penilaian atau dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh pengawas Bank terkait. Laporan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank tersebut berpedoman kepada format laporan sebagaimana diuraikan pada Lampiran 6 Surat Edaran Bank Indonesia ini. IV. TATA CARA PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN KANTOR CABANG BANK ASING 1. Sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, penilaian Tingkat Kesehatan kantor cabang bank asing didasarkan pada faktor kualitas aset dan faktor manajemen (Risk Management, Operational Control, Compliance, Asset Quality /ROCA), sehingga proses penetapan peringkat setiap komponen dan faktor berpedoman kepada Lampiran 1b, Lampiran 1c, Lampiran 2b, Lampiran 2c, Lampiran 3b, dan Lampiran 3c Surat Edaran Bank Indonesia ini. Proses penetapan peringkat setiap faktor penilaian dilaksanakan setelah mempertimbangkan unsur judgement sebagaimana dimaksud pada angka romawi III.3. 2. Proses penetapan peringkat komposit kantor cabang bank asing, dilaksanakan dengan berpedoman kepada Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum atau Lampiran 4b Surat Edaran Bank Indonesia ini setelah mempertimbangkan judgement sebagaimana dimaksud dalam angka romawi III.4. 3. Untuk … 3. Untuk memproses penetapan peringkat sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, kantor cabang bank asing menggunakan kertas kerja sebagaimana diuraikan pada Lampiran 5b dan Lampiran 5c Surat Edaran Bank Indonesia ini. V. ACTION PLAN 1. Bank Indonesia dapat meminta Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham untuk menyampaikan action plan yang memuat langkah-langkah perbaikan dengan target waktu selama periode tertentu yang wajib dilaksanakan oleh Bank apabila hasil penilaian tingkat kesehatan Bank menunjukkan bahwa satu atau lebih faktor penilaian memiliki peringkat 4 (empat) dan atau peringkat 5 (lima). 2. Action plan sebagaimana dimaksud pada angka 1 antara lain meliputi: a. penambahan modal (fresh money) dari pemegang saham Bank dan atau pihak lainnya apabila Bank mengalami permasalahan faktor permodalan seperti kecenderungan menurunnya KPMM sehingga diperkirakan akan dibawah ketentuan yang berlaku; b. penanganan kredit bermasalah secara intensif dan efektif apabila Bank mengalami permasalahan faktor kualitas aset seperti meningkatnya jumlah kredit bermasalah sehingga diperkirakan berpengaruh secara signifikan kepada faktor lain; c. peningkatan fungsi audit intern, penyempurnaan pemisahan tugas, dan peningkatan efektivitas tindakan korektif berdasarkan temuan audit apabila Bank mengalami permasalahan manajemen seperti lemahnya penerapan pengendalian intern (internal control); d. peningkatan efisiensi Bank apabila Bank mengalami permasalahan rentabilitas sehingga perolehan laba menurun dan mempengaruhi faktor lain secara signifikan; e. peningkatan … e. peningkatan akses kepada pasar uang, pasar modal, atau sumber- sumber pendanaan lainnya apabila Bank mengalami permasalahan likuiditas seperti menurunnya kecukupan likuiditas (liquidity shortage) sehingga diperkirakan akan mempengaruhi cash flow jangka pendek; f. penambahan modal (fresh money) dari pemegang saham Bank dan atau pihak lainnya atau penataan kembali portofolio Bank apabila Bank mengalami permasalahan sensitivitas terhadap risiko pasar seperti meningkatnya eksposur risiko suku bunga pada portofolio banking book (interest rate risk in banking book) dan kemampuan modal untuk menyerap potensi kerugian tersebut cenderung menurun. 3. Bank Indonesia secara berkala atau sewaktu-waktu memantau hasil perbaikan berdasarkan laporan pelaksanaan action plan yang disampaikan oleh Bank. Apabila diperlukan dilakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil perbaikan yang telah dilakukan oleh Bank untuk memastikan kebenaran laporan yang disampaikan oleh Bank tersebut. VI. LAIN-LAIN 1. Sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum maka sebelum penerapan efektif sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank sejak posisi bulan Desember 2004, Bank wajib melaksanakan uji coba penilaian tersebut untuk posisi bulan Juni dan September 2004. Uji coba tersebut hendaknya dilakukan Bank selambat-lambatnya sebelum posisi penilaian Tingkat Kesehatan triwulan berikutnya. Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta hasil uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank diantara dua periode hasil uji coba tersebut untuk memastikan persiapan penerapan yang efektif pada… pada Bank. 2. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/2/UPPB tanggal 30 April 1997 perihal Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/23/UPPB tanggal 19 Maret 1998 perihal Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sejak penilaian Tingkat Kesehatan Bank untuk posisi akhir bulan Desember 2004; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/15/UPPB tanggal 27 Februari 1998 tentang Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian Yang Menyangkut Kewajiban Antar Bank, Pengambilalihan Tagihan, Suku Bunga Simpanan dan Penyediaan Dana, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. c. Dalam rangka penerapan ketentuan yang memerlukan persyaratan Tingkat Kesehatan Bank maka predikat Tingkat Kesehatan Bank disesuaikan dengan ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini sebagai berikut: 1) untuk predikat Tingkat Kesehatan “Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 1 (PK-1) atau Peringkat Komposit 2 (PK-2); 2) untuk predikat Tingkat Kesehatan “Cukup Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 3 (PK-3); 3) untuk predikat Tingkat Kesehatan “Kurang Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 4 (PK-4); 4) untuk predikat Tingkat Kesehatan “Tidak Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 5 (PK-5). 3. Lampiran … 3. Lampiran-lampiran tersebut di atas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 31 Mei 2004. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, Ttd. MAMAN H. SOMANTRI DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 6/23/DPNP|SE-BI/2004 </reg_id> <reg_title> Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. </reg_title> <set_date> 31 Mei 2004 </set_date> <effective_date> 31 Mei 2004 </effective_date> <replaced_reg> '30/11/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '30/23/UPPB|SE-BI/1998', '30/15/UPPB|SE-BI/1998', '30/2/UPPB|SE-BI/1997' </replaced_reg> <related_reg> '6/10/PBI/2004' </related_reg>
No. 9/31/DPNP Jakarta, 12 Desember 2007 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Pedoman Penggunaan Model Internal dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/13/PBI/2007 tanggal 1 November 2007 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4773) antara lain diatur bahwa Bank dapat menggunakan Model Internal dalam perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) dengan memperhitungkan Risiko Pasar. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia, dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut: I. PENGGUNAAN … I. PENGGUNAAN MODEL INTERNAL DALAM PERHITUNGAN KPMM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR 1. Bank dapat menggunakan Model Internal dalam perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar setelah memenuhi persyaratan tertentu. 2. Bank yang merupakan kantor cabang atau perusahaan anak dari bank yang berkedudukan di luar negeri dapat menggunakan Model Internal yang telah digunakan oleh kantor pusat atau bank induk (parent bank) dalam perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 3. Persyaratan tertentu yang wajib dipenuhi dalam penggunaan Model Internal meliputi persyaratan umum, persyaratan kualitatif, dan persyaratan kuantitatif sebagaimana diatur dalam Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini. Khusus untuk persyaratan yang terkait dengan pelaksanaan stress testing, skenario yang digunakan untuk proses stress testing dimaksud diatur dalam Lampiran 2 Surat Edaran Bank Indonesia ini. 4. Model Internal yang digunakan Bank harus mencakup faktor-faktor Risiko Pasar yang memadai untuk mengukur: a. Risiko Suku Bunga dan/atau Risiko Ekuitas yang terkandung dalam posisi Trading Book; dan/atau b. Risiko Nilai Tukar dan/atau Risiko Komoditas yang terkandung dalam posisi Trading Book dan/atau Banking Book. 5. Bank … 5. Bank yang memiliki Model Internal dan memenuhi persyaratan tertentu dapat menggunakan Model Internal dalam perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar setelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. II. PROSES PERSETUJUAN PENGGUNAAN MODEL INTERNAL OLEH BANK INDONESIA 1. Sebelum menggunakan Model Internal, Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Pengajuan permohonan dilakukan dengan menyampaikan surat permohonan kepada Bank Indonesia disertai informasi dan dokumen tertentu. 2. Dalam rangka memberikan persetujuan penggunaan Model Internal untuk perhitungan KPMM, Bank Indonesia melakukan pengkajian untuk memastikan bahwa Model Internal telah memadai dan memenuhi seluruh persyaratan. 3. Dalam rangka melakukan pengkajian dan memberikan persetujuan atas penggunaan Model Internal, Bank Indonesia dapat meminta informasi atau dokumen tambahan kepada Bank. 4. Jangka waktu proses persetujuan terhadap penggunaan Model Internal oleh Bank Indonesia tergantung pada kondisi Bank serta permasalahan yang dihadapi selama proses pengkajian. 5. Dalam hal Bank melakukan modifikasi terhadap penggunaan Model Internal yang telah disetujui oleh Bank Indonesia, Bank wajib meminta persetujuan kembali kepada Bank Indonesia dengan mengajukan permohonan yang dilengkapi informasi dan dokumen tertentu. 6. Proses … 6. Proses persetujuan penggunaan Model Internal dan modifikasinya, serta rincian informasi dan dokumen tertentu berpedoman pada ketentuan dalam Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini. III. PELAPORAN 1. Penyampaian laporan yang terkait dengan Model Internal dilakukan secara bulanan dan triwulanan. 2. Laporan bulanan dan laporan triwulanan sebagaimana dimaksud pada angka 1 menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3 Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3. Laporan bulanan untuk pertama kali wajib disampaikan paling lambat untuk posisi akhir bulan berikutnya setelah Bank menggunakan secara efektif Model Internal yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. 4. Laporan triwulanan untuk pertama kali wajib disampaikan untuk posisi akhir triwulan setelah Bank menggunakan secara efektif Model Internal yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. IV. LAIN-LAIN Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3 Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. V. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 12 Desember 2007 Agar … Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DIREKTUR DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 9/31/DPNP|SE-BI/2007 </reg_id> <reg_title> Pedoman Penggunaan Model Internal dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar </reg_title> <set_date> 12 Desember 2007 </set_date> <effective_date> 12 Desember 2007 </effective_date> <related_reg> '9/13/PBI/2007' </related_reg>
No.4/22/DPM Jakarta, 17 Desember 2002 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/16/UPG tanggal 10 Mei 1994 perihal Pusat Informasi Pasar Uang ------------------------------------------------------------------------ Menunjuk Surat Edaran Bank Indonesia No.27/16/UPG tanggal 10 Mei 1994 perihal Pusat Informasi Pasar Uang, dengan ini diberitahukan mengenai perubahan biaya komunikasi bagi Anggota Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) yaitu dari sebesar Rp.1.175.000,- (Satu juta seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) per saluran per bulan menjadi sebesar Rp.1.980.000,- (Satu juta sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah) per saluran per bulan. Dengan perubahan tersebut, maka biaya PIPU menjadi sebesar Rp.2.838.804,- (Dua juta delapan ratus tiga puluh delapan ribu delapan ratus empat rupiah) setiap bulan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka butir V angka 4 Surat Edaran dimaksud berubah sehingga menjadi sebagai berikut : “4. Ketentuan mengenai biaya diatur sebagai berikut : a. Biaya Sistem dikenakan sebesar Rp.858.804,- (Delapan ratus lima puluh delapan ribu delapan ratus empat rupiah) setiap bulan. b. Biaya Komunikasi dikenakan sebesar Rp.1.980.000,- (Satu juta sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah) setiap bulan.” Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 2 Januari 2003. Agar … Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, Ttd TARMIDEN SITORUS DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 4/22/DPM|SE-BI/2002 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/16/UPG tanggal 10 Mei 1994 perihal Pusat Informasi Pasar Uang </reg_title> <set_date> 17 Desember 2002 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2003 </effective_date> <changed_reg> '27/16/UPG|SE-BI/1994' </changed_reg> <related_reg> '27/16/UPG|SE-BI/1994' </related_reg>
No. 14/19/DASP Jakarta, 26 Juni 2012 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/15/DASP tanggal 18 Juni 2009 perihal Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/5/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5119), dan dalam rangka lebih mendukung kelancaran sistem pembayaran dan meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) di Wilayah Kliring yang diselenggarakan oleh pihak selain Bank Indonesia, perlu dilakukan penyesuaian mengenai bantuan keuangan yang diberikan kepada Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia (PKL Selain BI). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan perubahan atas angka IV Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/15/DASP tanggal 18 Juni 2009 perihal Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia sebagai berikut: IV. BANTUAN … 2 IV. BANTUAN KEUANGAN A. Nominaldan Kriteria Bantuan Keuangan 1. Bank Indonesia memberikanbantuan keuangan kepada kantor Bank yang telah disetujui menjadi PKL Selain BI setiap bulan, terhitung sejak kantor Bank tersebut efektif melakukan kegiatan sebagai PKL Selain BI. 2. Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 diberikan kepada PKL Selain BI sesuai kriteria pada lampiran 6a yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3. Nilai nominal bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan Keputusan Kepala Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia. 4. Salinan Keputusan Kepala Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 3 disampaikan kepada kantor pusat Bank yang menjadi PKL Selain BI. B. Mekanisme Pemberian Bantuan Keuangan 1. Pemberian bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada butir A.2 disampaikan oleh Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setiap awal bulan berikutnya. 2. Bantuan Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan kepada kantor pusat Bank yang kantornya menjadi PKL Selain BI dengan cara mengkredit rekening giro Bank tersebut yang ada di Bank Indonesia. 3. Kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud pada angka 2 melakukan pendistribusian bantuan keuangan kepada masing-masing kantornya yang menjadi PKL Selain BI. 4. Dalam melakukan pendistribusian bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 3, kantor pusat Bank dapat … 3 dapat menetapkan besaran nominal bantuan keuangan bagi masing-masing kantornya yang menjadi PKL Selain BI. C. Penetapan IuranPeserta 1. Apabila bantuan keuangan yang diberikan oleh Bank Indonesia tidak dapat menutupi seluruh biaya operasional PKL Selain BI dalam penyelenggaraan SKNBI, PKL Selain BI dapat menetapkan iuran kepada Peserta. 2. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada angka 1, ditetapkan berdasarkan selisih biaya operasional yang dikeluarkan oleh PKL Selain BI dengan jumlah bantuan keuangan yang diberikan oleh Bank Indonesia. 3. Biaya operasionalyang dapat dibebankan kepada seluruh kantor Bank Peserta sebagaimana dimaksud pada angka 2adalah biaya operasional terkait penyelenggaraan SKNBI yang terdiri atas: a. biaya investasiterkait antara lain, perangkat Komputer Penyelenggara Kliring (KPK) Utama, KPK Back-up, dan printer; b. biaya overhead antara lain, biaya tenaga kerja, biaya listrik, biaya telepon dan jaringan komunikasi data, pembelian alat tulis kantor, sewa atau penyusutan gedung; dan c. biaya pemeliharaan perangkat KPK Utama dan KPK Back-up. 4. Besarnya iuran dan perhitungan biaya operasional yang menjadi dasar penetapan iuran wajib disampaikan kepadadan disetujui oleh seluruh Peserta di Wilayah Kliring. PKL Selain BI yang menetapkan iuran kepada seluruhPeserta, wajibmenyampaikan laporan triwulanan mengenai … 4 mengenai penggunaan bantuan keuangan dan iuran Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI kepada seluruh Peserta paling lambat akhir bulan berikutnya dengan format laporan sebagaimana dicontohkan dalam lampiran 6b yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. D. Bantuan Keuangan Bagi PKL Selain BI Yang Baru Khusus untuk kantor Bank yang baru ditetapkan sebagai PKL Selain BI, pemberian bantuan keuangan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Dalam hal kantor Bank bertindak sebagai PKL Selain BI di Wilayah Kliring yang baru dibentuk, maka: a. bantuan keuangan diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari nilai nominal sebagaimana dimaksud pada butir A.3 selama masa 3 (tiga) bulan pertama penyelenggaraan SKNBI; b. masa 3 (tiga) bulan pertama penyelenggaraan SKNBI sebagaimana dimaksud pada huruf a diatur sebagai berikut: 1) apabila tanggal efektif kegiatan penyelenggaraan sebagai PKL Selain BI ditetapkan tanggal 15 atau tanggal sebelumnya,maka masa 3 (tiga) bulan pertama dihitung sejak bulan yang bersangkutan; atau 2) apabila tanggal efektif kegiatan penyelenggaraan sebagai PKL Selain BI ditetapkan setelah tanggal 15, maka masa 3 (tiga) bulan pertama dihitung sejak bulan berikutnya; c. bantuan keuangan diberikan sesuai kriteria sebagaimana dimaksud pada butir A.2 sejak berakhirnya masa 3 (tiga) bulan pertama sebagaimana … 5 sebagaimana dimaksud pada huruf b. 2. Dalam hal kantor Bank bertindak sebagai PKL Selain BI yang menerima pengalihan dari PKL Selain BI di Wilayah Kliring yang telah dibentuk, maka: a. bantuan keuangan diberikan sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud pada butir A.2; b. apabila tanggal efektif pengalihan kegiatan penyelenggaraan sebagai PKL Selain BI ditetapkan: 1) tanggal 15 atau tanggal sebelumnya, maka bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk bulan yang bersangkutan diberikan kepada PKL Selain BI yang menerima pengalihan; 2) setelah tanggal 15, maka bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk bulan yang bersangkutan diberikan kepada PKL Selain BI yang mengalihkan. 3. Ilustrasi pemberian bantuan keuangan kepada PKL Selain BI yang baru adalah sebagaimana dalam lampiran 6c yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. E. Penyampaian Laporan 1. Kantor pusat Bank wajibmenyampaikan laporan bulanan mengenai: a. pendistribusian dan besarnya nilai nominal bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada butir IV.B.3; dan b. besarnya iuran yang ditetapkan oleh masing-masing kantor yang menjadi PKL Selain BI, paling lambat akhir bulan berikutnya. 2. Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan … 6 disampaikan kepada Bank Indonesia - Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran c.q. Divisi Penyelenggaraan Setelmen dengan menggunakan format laporan sebagaimana lampiran 6d yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. PKL Selain BI yang telah menetapkan iuran kepada Peserta sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini wajib menyesuaikan penetapan iuran sesuai ketentuan penetapan iuran Peserta sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Juli 2012. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BOEDI ARMANTO KEPALA DEPARTEMEN AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 14/19/DASP|SE-BI/2012 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/15/DASP tanggal 18 Juni 2009 perihal Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia oleh Penyelenggara Kliring Lokal Selain Bank Indonesia </reg_title> <set_date> 26 Juni 2012 </set_date> <effective_date> 2 Juli 2012 </effective_date> <changed_reg> '11/15/DASP|SE-BI/2009' </changed_reg> <related_reg> '7/18/PBI/2005', '11/15/DASP|SE-BI/2009', '12/5/PBI/2010' </related_reg>
No.7/ 10 /DPNP Jakarta, 31 Maret 2005 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia Sehubungan dengan telah dikeluarkannya atau diubahnya beberapa ketentuan Bank Indonesia antara lain Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/8/DPNP tanggal 31 Maret 2005 perihal Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/18/DSM tanggal 16 September 2003 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/19/DSM tanggal 3 Oktober 2000 perihal Laporan Bulanan Bank Umum, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor … Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia, sebagai berikut: 1. Lampiran 1, Lampiran 1a, Lampiran 2, Lampiran 2a, Lampiran 5, Lampiran 5a, Lampiran 6, Lampiran 6a, Lampiran 7, Lampiran 8, Lampiran 9, Lampiran 10, Lampiran 11, Lampiran 12, Lampiran 13, Lampiran 13a, Lampiran 13b dan Lampiran 14 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia diubah, sehingga seluruh lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 menjadi sebagaimana terlampir. 2. Lampiran-lampiran sebagaimana dimaksud di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3. Bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, selain menyajikan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sesuai ketentuan ini juga menyajikan informasi segmen usaha syariah berupa Neraca dan Perhitungan Laba Rugi secara tersendiri. Pos-pos yang disajikan disesuaikan dengan transaksi yang dilakukan oleh Unit Usaha Syariah. Informasi tersebut hendaknya ditandatangani oleh Dewan Pengawas Syariah dan Pimpinan Unit Usaha Syariah. 4. Lain-lain a. Bagi Bank Umum yang melakukan pembelian kredit dari BPPN, tetap wajib mencantumkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Peraturan … Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/7/PBI/2002 tanggal 27 September 2003 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Rangka Pembelian Kredit oleh Bank dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. b. Sesuai pasal 26 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, dalam hal Bank merupakan bagian dari kelompok usaha, selain menyajikan laporan keuangan Bank secara individual serta Laporan keuangan konsolidasi Bank yang merupakan hasil konsolidasi dari laporan keuangan Bank dan Perusahaan Anak, untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember, Bank diwajibkan pula menyajikan: 1) Laporan keuangan perusahaan induk di bidang keuangan; atau 2) Laporan keuangan perusahaan induk apabila tidak terdapat laporan keuangan perusahaan induk di bidang keuangan. Laporan yang wajib disajikan meliputi Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas serta Daftar Komitmen dan Kontinjensi. Penyajian disesuaikan dengan transaksi yang dilakukan oleh perusahaan induk. 5. Bank wajib menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi dengan menggunakan lampiran sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran ini mulai Laporan posisi bulan Maret 2005. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2005. Agar … Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MAMAN H. SOMANTRI DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 7/10/DPNP|SE-BI/2005 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia </reg_title> <set_date> 31 Maret 2005 </set_date> <effective_date> 31 Maret 2005 </effective_date> <changed_reg> '3/30/DPNP|SE-BI/2001' </changed_reg> <related_reg> '7/8/DPNP|SE-BI/2005', '5/18/DSM|SE-BI/2003', '7/3/DPNP|SE-BI/2005', '2/19/DSM|SE-BI/2000', '7/2/PBI/2005', '3/30/DPNP|SE-BI/2001' </related_reg>
No.11/ 16 /DPNP Jakarta, 6 Juli 2009 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas Sehubungan dengan pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029) dan perlunya pengelolaan Risiko Likuiditas baik dalam kondisi normal maupun kondisi krisis, dipandang perlu untuk mengatur pelaksanaan penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut: I. UMUM A. Salah satu Risiko yang dihadapi Bank dalam kegiatan usahanya adalah Risiko Likuiditas. Risiko Likuiditas merupakan Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank. B. Ketidakmampuan . . . B. Ketidakmampuan memperoleh sumber pendanaan arus kas sehingga menimbulkan Risiko Likuiditas dapat disebabkan: 1. ketidakmampuan menghasilkan arus kas yang berasal dari aset produktif maupun yang berasal dari penjualan aset termasuk aset likuid; dan/atau 2. ketidakmampuan menghasilkan arus kas yang berasal dari penghimpunan dana, transaksi antar Bank, dan pinjaman yang diterima. C. Ketidakmampuan Bank memperoleh pendanaan untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat sehingga semakin meningkatkan Risiko Likuiditas, dan selanjutnya dapat mempengaruhi aspek-aspek keuangan lainnya yang dapat mengancam kelangsungan usaha Bank. D. Mengingat permasalahan likuiditas sebagaimana dimaksud pada huruf C dapat memberikan dampak yang signifikan, maka Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas secara efektif baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. E. Tujuan utama dari penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas adalah untuk memastikan kecukupan dana secara harian baik pada saat kondisi normal maupun kondisi krisis dalam pemenuhan kewajiban secara tepat waktu dari berbagai sumber dana yang tersedia, termasuk memastikan ketersediaan aset likuid berkualitas tinggi. F. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas secara efektif paling kurang mencakup: 1. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; 2. kecukupan . . . 2. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko; 3. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; sistem pengendalian intern yang menyeluruh. 4. G. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas harus terintegrasi dengan penerapan Manajemen Risiko secara keseluruhan sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi Bank umum. H. Dalam penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas, Bank perlu melakukan evaluasi profil Risiko Likuiditas yang dihadapi dikaitkan dengan kecukupan modal. I. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas perlu diterapkan pula dalam penetapan harga internal (internal pricing) dan pengukuran kinerja masing-masing unit bisnis sehingga insentif masing-masing unit bisnis dapat ditetapkan sejalan dengan eksposur Risiko Likuiditasnya. J. Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas yang efektif dapat meminimalkan Risiko Likuiditas yang terjadi pada satu Bank dan juga meningkatkan stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan. II. PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO A. Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi 1. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan aktif, Dewan Komisaris dan Direksi harus memahami Risiko Likuiditas dan menyadari pentingnya penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. 2. Dewan . . . 2. Dewan Komisaris dan Direksi bertanggung jawab atas efektifitas penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. 3. Dewan Komisaris paling kurang berwenang dan bertanggung jawab terhadap hal-hal berikut: a. melakukan persetujuan dan evaluasi berkala mengenai kebijakan dan strategi yang terkait dengan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas termasuk rencana pendanaan darurat (Contingency Funding Plan). Evaluasi berkala dilakukan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau dalam frekuensi yang lebih tinggi dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank secara signifikan; b. melakukan evaluasi untuk memastikan bahwa Direksi telah menerapkan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas sesuai dengan kebijakan dan strategi Bank. 4. Direksi paling kurang berwenang dan bertanggung jawab terhadap hal-hal berikut: a. menyusun kebijakan, strategi, dan prosedur yang komprehensif terkait penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas dengan mempertimbangkan toleransi Risiko dan memperhatikan dampaknya terhadap permodalan; b. menjabarkan dan mengkomunikasikan kebijakan, strategi, dan prosedur Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas kepada seluruh satuan kerja terkait; c. memastikan dan mengevaluasi penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas; d. mengevaluasi . . . d. mengevaluasi kebijakan, strategi, dan prosedur terkait penerapan Manajemen Risiko secara berkala; e. melakukan evaluasi terhadap kondisi likuiditas Bank paling kurang 1 (satu) bulan sekali; f. melakukan evaluasi segera terhadap kondisi likuiditas dan profil Risiko Bank apabila terjadi perubahan yang signifikan antara lain atas kondisi-kondisi berikut: 1) peningkatan biaya penghimpunan dana; 2) peningkatan konsentrasi aset atau kewajiban; 3) peningkatan liquidity gap; 4) keterbatasan alternatif sumber pendanaan; 5) pelampauan yang material terhadap limit; 6) penurunan signifikan pada portofolio aset likuid berkualitas tinggi; dan/atau 7) perubahan kondisi pasar yang dapat menyebabkan permasalahan di masa datang; g. melakukan penyesuaian kebijakan dan strategi Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas yang diperlukan berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan f; h. menyampaikan laporan kepada Dewan Komisaris yang paling kurang mencakup: 1) hasil evaluasi secara berkala terhadap kondisi likuiditas sebagaimana dimaksud pada huruf e; 2) hasil evaluasi terhadap kondisi likuiditas sebagaimana dimaksud pada huruf f; dan 3) penyesuaian kebijakan dan strategi sebagaimana dimaksud pada huruf g. B. Kebijakan . . . B. Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit 1. Dalam menetapkan kebijakan mengenai Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas, termasuk penetapan strategi dan limit Manajemen Risiko, Bank wajib menyesuaikan kebijakan tersebut dengan visi, misi, strategi bisnis, tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite), kecukupan permodalan, kemampuan sumber daya manusia, dan kapasitas pendanaan Bank secara keseluruhan. 2. Kebijakan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan prosedur Manajemen Risiko harus dikomunikasikan kepada seluruh satuan kerja Bank yang aktivitasnya berdampak pada likuiditas, agar dapat diterapkan dalam melakukan kegiatan operasional. 3. Kebijakan dan prosedur tersebut paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut: a. kewenangan dan tanggung jawab manajemen likuiditas, antara lain alur yang jelas mengenai kewenangan, tanggung jawab, dan pelaporan terkait dengan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas termasuk menugaskan dan memberikan kewenangan kepada satuan kerja tertentu untuk menentukan pasar, instrumen, serta transaksi dengan pihak lawan yang memenuhi kriteria (eligible counterparty); b. komposisi aset dan kewajiban; c. diversifikasi dan kestabilan sumber pendanaan; d. penetapan jenis dan alokasi aset yang diklasifikasikan sebagai aset likuid berkualitas tinggi; e. manajemen likuiditas pada berbagai jenis valuta, berbagai wilayah, dan lini bisnis; f. manajemen . . . f. manajemen likuiditas harian termasuk intrahari; g. manajemen likuiditas intragroup (kelompok usaha); h. penetapan indikator yang merupakan indikator peringatan dini (early warning indicator) untuk Risiko Likuiditas; penetapan limit; penerapan stress testing; sistem informasi Manajemen Risiko dan sistem lain yang secara memadai diperlukan untuk identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko Likuiditas termasuk pelaporan likuiditas; rencana pendanaan darurat (contingency funding plan), antara lain yang menjelaskan mengenai pendekatan dan strategi dalam menghadapi kondisi krisis yang berdampak pada likuiditas. i. j. k. l. 4. Kebijakan manajemen likuiditas intragroup antara lain meliputi pengaturan atas likuiditas intragroup, termasuk penentuan pendekatan yang digunakan (sentralisasi atau desentralisasi), ketergantungan likuiditas intragroup, mekanisme, jenis, dan limit penyediaan dana intragroup (misalnya pemberian committed dan uncommitted line). Termasuk sebagai intragroup adalah perusahaan-perusahaan lain yang berada dalam satu kelompok usaha dengan Bank baik Bank sebagai perusahaan induk, perusahaan anak, maupun Bank sebagai perusahaan dalam kelompok usaha. 5. Penetapan indikator peringatan dini sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf h antara lain bertujuan untuk mengidentifikasi dan sebagai dasar menentukan tindak lanjut untuk memitigasi eksposur Risiko Likuiditas. 6. Indikator . . . 6. 7. Indikator peringatan dini meliputi indikator internal dan indikator eksternal. Indikator internal antara lain meliputi kualitas aset yang memburuk, peningkatan konsentrasi pada beberapa aset dan sumber pendanaan tertentu, peningkatan currency mismatches, pengulangan terjadinya pelampauan limit, peningkatan biaya dana secara keseluruhan, dan/atau posisi arus kas yang semakin buruk sebagai akibat maturity mismatch yang besar terutama pada skala waktu jangka pendek. Indikator eksternal antara lain meliputi informasi publik yang negatif terhadap Bank, penurunan hasil peringkat oleh lembaga pemeringkat, penurunan harga saham Bank secara terus menerus, penurunan fasilitas credit line yang diberikan oleh bank koresponden, peningkatan penarikan deposito sebelum jatuh tempo, dan/atau keterbatasan akses untuk memperoleh pendanaan jangka panjang. 8. Penetapan limit sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf i harus diimplementasikan secara konsisten guna mengendalikan eksposur dan konsentrasi Risiko Likuiditas. 9. Limit yang ditetapkan harus konsisten dan relevan dengan bisnis Bank, kompleksitas aktivitas, toleransi Risiko, karakteristik produk, valuta, pasar di mana Bank tersebut aktif melakukan transaksi, data historis, tingkat profitabilitas, dan modal yang tersedia. 10. Limit dimaksud juga harus sesuai dengan rencana pendanaan darurat (contingency funding plan) untuk memastikan bahwa rencana pendanaan darurat tersebut diterapkan secara efektif. 11. Penetapan . . . 11. Penetapan limit dapat meliputi antara lain limit mismatch arus kas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang termasuk arus kas yang berasal dari posisi rekening administratif, limit konsentrasi pada aset dan kewajiban, pinjaman overnight, dan rasio-rasio likuiditas lainnya. 12. Penetapan limit tidak hanya digunakan untuk mengelola likuiditas harian pada kondisi normal namun juga harus meliputi limit agar Bank dapat terus beroperasi pada periode krisis baik krisis pasar secara umum maupun krisis yang spesifik bagi Bank atau kombinasi keduanya. 13. Kebijakan, prosedur, dan proses penetapan limit harus didokumentasikan secara tertulis dan lengkap sehingga memudahkan untuk dilakukan jejak audit (audit trail). 14. Kebijakan dan prosedur serta limit harus dievaluasi dan dikinikan secara berkala atau sewaktu-waktu dalam hal terjadi perubahan kondisi yang signifikan. C. Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko serta Sistem Informasi Manajemen Risiko 1. Identifikasi a. Bank wajib melakukan identifikasi Risiko Likuiditas, baik eksposur Risiko saat ini maupun yang akan timbul di masa datang. Identifikasi Risiko Likuiditas merupakan proses yang berkelanjutan dan harus dilakukan secara berkala. b. Dalam rangka melakukan identifikasi Risiko Likuiditas, Bank harus melakukan analisis terhadap seluruh sumber Risiko Likuiditas. Sumber . . . Sumber Risiko Likuiditas meliputi: 1) Produk dan aktivitas perbankan yang dapat mempengaruhi sumber dan penggunaan dana baik pada posisi aset dan kewajiban maupun rekening administratif; dan 2) Risiko-Risiko lain yang dapat meningkatkan Risiko Likuiditas, misalnya Risiko Kredit, Risiko Pasar dan Risiko Operasional. c. Analisis terhadap seluruh sumber Risiko Likuiditas dilakukan untuk mengetahui jumlah dan tren kebutuhan likuiditas, serta sumber pendanaan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 2. Pengukuran a. Bank wajib memiliki alat pengukuran yang dapat mengkuantifikasi Risiko Likuiditas secara tepat waktu dan komprehensif. b. Alat pengukuran tersebut paling kurang meliputi: 1) Proyeksi arus kas, yaitu proyeksi seluruh arus kas masuk dan arus kas keluar termasuk kebutuhan pendanaan untuk memenuhi komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif; 2) Rasio likuiditas, yaitu rasio keuangan yang menggambarkan indikator likuiditas dan/atau mengukur kemampuan Bank untuk memenuhi kewajiban jangka pendek; 3) Profil maturitas, yaitu pemetaan posisi aset, kewajiban, dan rekening administratif ke dalam skala waktu . . . waktu tertentu (maturity buckets) berdasarkan sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo (remaining maturity); dan 4) Stress testing, yaitu pengujian yang dilakukan dengan menggunakan skenario tertentu terhadap posisi likuiditas Bank dalam kondisi krisis. c. Pendekatan pada setiap alat pengukuran Risiko Likuiditas yang digunakan Bank, harus disesuaikan dengan kompleksitas aktivitas bisnis dan profil Risiko Bank. Dalam hal Bank melakukan kegiatan usaha yang lebih kompleks, maka Bank harus menggunakan pendekatan pengukuran yang bersifat simulasi dan lebih dinamis yang didasarkan pada berbagai asumsi. Bank dapat dikatakan melakukan kegiatan usaha yang kompleks jika Bank antara lain melakukan transaksi treasuri secara aktif termasuk transaksi derivatif, memiliki atau menawarkan produk terstruktur (structured product). d. Pengukuran Risiko Likuiditas Bank harus didokumentasikan dan dievaluasi secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan, untuk memastikan kewajaran, akurasi, dan integritas data. e. Pengukuran dengan menggunakan proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Proyeksi arus kas menyajikan arus kas yang berasal dari aset, kewajiban, dan rekening adminisitratif serta kegiatan usaha lainnya dan dipetakan ke dalam skala waktu . . . waktu berdasarkan asumsi yang digunakan. Asumsi juga digunakan untuk menghitung arus kas dari posisi likuiditas yang memiliki jatuh tempo secara kontraktual. 2) Proyeksi arus kas harus disusun paling kurang setiap bulan dengan periode proyeksi sesuai kebutuhan Bank dengan memperhatikan struktur aset, kewajiban, dan rekening administratif, yang paling kurang meliputi periode 1 (satu) bulan. Pembagian periode proyeksi arus kas ke dalam skala waktu disesuaikan dengan Laporan Profil Maturitas. 3) Cakupan pos aset, kewajiban, dan rekening administratif dalam proyeksi arus kas disesuaikan dengan struktur aset, kewajiban, dan rekening administratif masing-masing Bank. Dalam hal Bank memiliki posisi likuiditas dalam valuta asing, maka Bank harus menyusun proyeksi arus kas dalam valuta asing. 4) Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan asumsi antara lain karakteristik produk, perilaku pihak lawan (counterparty) dan/atau nasabah, dan kondisi pasar serta pengalaman historis. 5) Penetapan asumsi harus dilakukan secara realistis, yang antara lain terkait dengan hal-hal berikut: a) perpanjangan jangka waktu aset dan kewajiban; b) persetujuan kredit baru dan perolehan dana nasabah; c) perilaku . . . c) perilaku aset dan kewajiban (asset and liability behaviour) yang tidak memiliki jatuh tempo, misalnya pola transaksi giro atau tabungan yang tidak memiliki jatuh tempo; d) perilaku aset (asset behaviour) yang memiliki fitur tertentu seperti opsi pelunasan dini (prepayment option); e) pembelian dan/atau penjualan aset termasuk aset likuid; f) perkiraan penarikan dan penerimaan dari rekening administratif, antara lain komitmen kredit, L/C, dan bank garansi; g) akses pada sumber-sumber pendanaan, antara lain pinjaman antar Bank, pendanaan antar perusahaan dalam kelompok usaha Bank (intragroup), dan fasilitas pinjaman siaga (standby facility); h) asumsi lainnya yang relevan, antara lain diskon (haircut) pada penjualan aset. 6) Asumsi yang digunakan dalam penyusunan proyeksi arus kas harus disetujui oleh pihak yang memiliki kewenangan sesuai kebijakan internal Bank, didokumentasikan, dan dievaluasi secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Evaluasi dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain perubahan kondisi pasar, faktor persaingan antar Bank, dan perubahan perilaku pihak lawan dan/atau nasabah Bank. f. Pengukuran . . . f. Pengukuran dengan menggunakan rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Penetapan rasio likuiditas yang digunakan untuk mengukur Risiko Likuiditas harus disesuaikan dengan strategi bisnis, toleransi Risiko, dan kinerja masa lalu. 2) Untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi aktual likuiditas Bank, hasil pengukuran dengan menggunakan rasio perlu dianalisis dengan memperhatikan informasi kualitatif yang relevan. Informasi kualitatif antara lain informasi mengenai kemungkinan terjadi peningkatan penarikan deposito sebelum jatuh tempo, penurunan fasilitas kredit, dan perubahan volume transaksi. g. Pengukuran dengan menggunakan profil maturitas sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 3) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Profil maturitas menyajikan pos-pos aset, kewajiban, dan rekening administratif yang dipetakan ke dalam skala waktu berdasarkan sisa waktu sampai dengan jatuh tempo sesuai kontrak dan/atau berdasarkan asumsi khususnya untuk pos neraca dan rekening administratif yang tidak memiliki jatuh tempo kontraktual (non maturity items). Penyusunan profil maturitas bertujuan untuk mengidentifikasi terjadinya gap likuiditas dalam skala waktu tertentu. 2) Profil . . . 2) Profil maturitas harus disusun paling kurang setiap bulan baik dalam rupiah maupun valuta asing. Apabila Bank memiliki posisi likuiditas dalam berbagai valuta asing dengan jumlah yang signifikan, dalam hal diperlukan untuk keperluan internal, Bank dapat menyusun profil maturitas dalam masing- masing valuta asing dimaksud. 3) Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan asumsi untuk mengestimasi pos neraca dan rekening administratif yang tidak memiliki jatuh tempo kontraktual antara lain karakteristik produk, perilaku pihak lawan dan/atau nasabah, dan kondisi pasar serta pengalaman historis. 4) Asumsi yang digunakan dalam penyusunan profil maturitas harus disetujui oleh pihak yang memiliki kewenangan sesuai kebijakan internal Bank, didokumentasikan, dan dievaluasi secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Evaluasi dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain perubahan kondisi pasar, faktor persaingan antar Bank, dan perubahan perilaku pihak lawan dan/atau nasabah Bank. h. Pengukuran dengan menggunakan stress test sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Stress test harus dapat menggambarkan kemampuan Bank untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dalam kondisi krisis, yang didasarkan pada berbagai skenario. 2) Penetapan . . . 2) Penetapan cakupan dan frekuensi stress test harus sesuai dengan skala dan kompleksitas usaha, serta eksposur Risiko Likuiditas Bank, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Stress test harus dilakukan dengan menggunakan skenario stress secara spesifik pada Bank (bank-specific stress scenario) maupun stress pada pasar (general market stress scenario) dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang antara lain meliputi berbagai jenis peristiwa yang telah atau berpotensi menyebabkan kondisi krisis likuiditas, durasi peristiwa tersebut, dan kedalaman (severity) permasalahan yang ditimbulkan peristiwa tersebut. b) Dalam menetapkan skenario untuk stress test, Bank menggunakan skenario yang bersifat historis (historical scenario) dan/atau hipotesis (hyphotetical scenario) dengan mempertimbangkan aktivitas bisnis dan kerentanan Bank. c) Stress test juga dapat dilakukan dengan menggunakan skenario: (1) krisis yang melanda suatu negara tertentu (country-specific crisis) yang dapat berdampak pada Bank, antara lain karena Bank memiliki jaringan operasi yang signifikan di negara tersebut; atau (2) krisis . . . (2) krisis yang terjadi atas suatu instrumen keuangan atau produk tertentu yang dapat berdampak pada Bank yang memiliki eksposur pada suatu instrumen keuangan atau produk tertentu, misalnya produk terstruktur (structured product). d) Stress test harus memperhitungkan implikasi skenario pada berbagai jangka waktu yang berbeda, termasuk secara harian. e) Stress test dengan menggunakan skenario stress secara spesifik pada Bank (bank-specific stress scenario) paling kurang dilakukan 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan, atau dalam rentang waktu yang lebih pendek jika Bank mengalami potensi peningkatan Risiko Likuiditas yang signifikan dan/atau atas permintaan Bank Indonesia. f) Stress test dengan menggunakan skenario stress pada pasar (general market stress scenario) paling kurang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun, atau dalam rentang waktu yang lebih pendek jika Bank menganggap bahwa kondisi krisis yang terjadi dapat menyebabkan Bank terekspos pada Risiko Likuiditas yang tidak dapat ditolerir dan/atau atas permintaan Bank Indonesia. 3) Skenario stress secara spesifik pada Bank (bank- specific stress scenario), yang dapat digunakan antara lain: a) penurunan . . . a) penurunan peringkat Bank oleh lembaga pemeringkat; b) penarikan dana besar-besaran; c) peningkatan kredit bermasalah; d) hambatan dalam memperoleh pendanaan dengan atau tanpa jaminan (secured atau unsecured); e) keterbatasan dalam melakukan transaksi pertukaran (konversi) valuta tertentu; f) gangguan/kegagalan sistem yang mendukung operasional Bank. 4) Skenario stress pada pasar (general market stress scenario) yang dapat digunakan antara lain: a) perubahan indikator ekonomi, misalnya tingkat inflasi, perubahan suku bunga, dan/atau depresiasi/apresiasi valuta; b) perubahan kondisi pasar, baik lokal maupun global, misalnya mengeringnya likuiditas pasar, penurunan harga saham, dan/atau pelebaran rentang antara kuotasi beli dan jual (bid and ask spread). 5) Dalam melakukan stress test, Bank harus mempertimbangkan faktor-faktor berikut: a) kemungkinan perubahan perilaku pihak lawan dan/atau nasabah yang dapat mempengaruhi arus kas; b) kemungkinan perubahan perilaku dari pelaku pasar lainnya sebagai respon dari kondisi krisis di pasar. 6) Berdasarkan . . . 6) Berdasarkan jenis skenario sebagaimana dimaksud pada angka 2) huruf a) dan kedalaman permasalahan dalam skenario serta faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada angka 5), Bank harus mengembangkan asumsi-asumsi stress test secara konservatif dan mempertimbangkan kesesuaian dari asumsi-asumsi tersebut, yang antara lain meliputi: a) likuiditas pasar dari aset Bank dan tingkat diskon (haircut) yang mempengaruhi penurunan nilai aset likuid; b) penurunan sumber pendanaan baik dari sisi jumlah maupun jenis; c) jumlah pendanaan dari pasar dengan atau tanpa agunan (secured atau unsecured); d) penambahan margin call dan/atau agunan; e) f) jumlah klaim kontijensi dan penarikan fasilitas komitmen oleh pihak lawan dan/atau nasabah; kebutuhan likuiditas yang terkait dengan produk/transaksi yang kompleks; g) besarnya tingkat penurunan peringkat Bank; h) i) jumlah pendanaan intragroup; ketersediaan jaminan untuk memperoleh fasilitas likuiditas dari pihak lain; j) pertumbuhan neraca di masa yang akan datang. 7) Dalam . . . 7) Dalam mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang dapat berdampak secara signifikan terhadap posisi likuiditas, Bank dapat melakukan analisis sensitivitas atas hasil stress test untuk asumsi-asumsi tertentu sehingga dapat diperoleh informasi tambahan mengenai tingkat kerentanan Bank terhadap faktor-faktor tertentu. 8) Bank harus mendokumentasikan seluruh skenario, asumsi, dan hasil stress test, serta melakukan evaluasi untuk memastikan kesesuaian dengan kondisi Bank, dengan memperhatikan antara lain hal-hal berikut: a) perubahan jenis, skala, dan kompleksitas usaha Bank; b) perubahan kondisi pasar; c) pengalaman Bank dalam kondisi krisis. 9) Dalam melakukan stress test untuk Risiko Likuiditas, Bank harus mempertimbangkan hasil penilaian yang dilakukan terhadap jenis Risiko lainnya (antara lain Risiko Pasar, Risiko Kredit, Risiko Reputasi) dan menganalisis kemungkinan interaksi dengan berbagai jenis Risiko tersebut. 10) Terhadap hasil stress test, Bank harus mempertimbangkan hal-hal berikut: a) menyesuaikan kebijakan dan strategi Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas, serta posisi likuiditas sejalan dengan hasil stress test; b) mengembangkan . . . b) mengembangkan atau menyempurnakan rencana pendanaan darurat (contingency funding plan) yang efektif dengan berdasarkan hasil stress test; c) menggunakan hasil stress test secara eksplisit dalam penetapan limit. 11) Hasil stress test dan tindak lanjut atas stress test tersebut harus dilaporkan kepada dan dievaluasi oleh Direksi. 3. Pemantauan a. Bank harus memantau posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas antara lain melalui hasil pengukuran Risiko Likuiditas termasuk kepatuhan terhadap limit yang ditetapkan. b. Pemantauan sebagaimana dimaksud pada huruf a harus memperhatikan indikator peringatan dini mengetahui potensi peningkatan Risiko Likuiditas. c. Pemantauan harus dilakukan oleh pegawai atau unit yang tidak terkait dengan pegawai atau unit yang menangani pendanaan. d. Hasil pemantauan digunakan sebagai dasar penentuan tindak lanjut bagi Bank untuk memitigasi eksposur Risiko Likuiditas dan melakukan penyesuaian yang diperlukan secara tepat waktu terhadap strategi manajemen likuiditas Bank. e. Hasil pemantauan disajikan dalam laporan berkala yang disampaikan kepada pihak yang berkepentingan sebagaimana diatur dalam kebijakan internal Bank. 4. Pengendalian . . . untuk 4. Pengendalian Pengendalian Risiko Likuiditas dilakukan melalui strategi pendanaan, pengelolaan posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas harian, pengelolaan posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas intragroup, pengelolaan aset likuid berkualitas tinggi, dan rencana pendanaan darurat. a. Strategi Pendanaan 1) Strategi pendanaan mencakup strategi diversifikasi sumber dan jangka waktu pendanaan yang dikaitkan dengan karakteristik dan rencana bisnis Bank. 2) Diversifikasi dilakukan berdasarkan counterparty, dana dengan atau tanpa jaminan (secured dan unsecured), jenis instrumen, jenis valuta, dan lokasi geografis pasar sumber pendanaan. 3) Bank harus mengidentifikasi dan memantau faktor- faktor utama yang mempengaruhi kemampuannya untuk memperoleh dana, termasuk mengidentifikasi dan memantau alternatif sumber pendanaan yang dapat memperkuat kapasitasnya untuk bertahan pada kondisi krisis. Alternatif sumber pendanaan tersebut, antara lain: a) penerbitan instrumen hutang jangka pendek dan jangka panjang; b) transfer intragroup; c) penambahan modal baru; d) penjualan perusahaan anak/bisnis tertentu; e) sekuritisasi aset; f) repo . . . f) repo aset likuid atau penjualan aset; g) penarikan fasilitas siaga (standby facility); h) fasilitas likuiditas lainnya. 4) Bank harus melakukan evaluasi terhadap strategi pendanaan secara berkala dengan memperhatikan perubahan internal maupun eksternal. 5) Untuk memastikan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas yang efektif, Bank harus memelihara akses pasar, termasuk sumber likuiditas pada masing- masing valuta asing bagi Bank yang aktif melakukan transaksi pada berbagai valuta asing. 6) Pemeliharaan akses pasar sebagaimana dimaksud pada angka 5) dapat meliputi: a) memperluas pasar untuk penjualan aset atau meningkatkan jumlah fasilitas siaga dengan atau tanpa agunan (secured atau unsecured); b) berpartisipasi aktif pada pasar yang relevan dengan strategi pendanaan Bank; c) memelihara hubungan yang baik dengan penyedia dana sehingga dapat melakukan diversifikasi sumber dana dengan baik. 7) Bank harus memiliki analisis mengenai dampak gangguan pasar pada kondisi krisis, dan mempertimbangkannya dalam strategi pendanaan. b. Pengelolaan Posisi Likuiditas dan Risiko Likuiditas Harian 1) Pengelolaan secara aktif atas posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas harian bertujuan untuk memenuhi kewajiban . . . kewajiban setiap saat sepanjang hari (intrahari) secara tepat waktu baik pada kondisi normal maupun kondisi krisis dengan memprioritaskan kewajiban yang kritikal. 2) Dalam memenuhi tujuan tersebut, Bank harus menganalisis perubahan posisi likuiditas yang terjadi akibat pembayaran dan/atau penerimaan dana sepanjang hari. 3) Dalam mengelola posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas harian, Bank paling kurang harus memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal berikut: a) mengestimasi arus kas masuk dan keluar pada setiap waktu sepanjang hari dan memprediksi kebutuhan pendanaan yang mungkin terjadi pada setiap waktu sepanjang hari. Dalam melakukan estimasi tersebut, Bank harus: (1) memahami mekanisme sistem pembayaran dan sistem setelmen; (2) mengidentifikasi pihak lawan utama termasuk bank koresponden dan kustodian yang terkait dengan sumber arus kas masuk atau keluar; (3) mengidentifikasi waktu dan kondisi dimana arus kas dan/atau kebutuhan pendanaan meningkat; dan (4) memahami bisnis yang mendasari arus kas dan/atau kebutuhan pendanaaan dari setiap unit bisnis maupun nasabah utama Bank. b) memantau . . . b) memantau posisi likuiditas intrahari sehingga dapat membantu Bank mengalokasikan likuiditas secara efisien di antara kebutuhan Bank dan kebutuhan nasabah Bank. c) mengupayakan pendanaan intrahari yang memadai untuk memenuhi kebutuhan intrahari. d) melakukan pengelolaan aset berkualitas tinggi yang dapat dijadikan agunan untuk memperoleh dana intrahari. 4) Dalam mengelola posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas harian, Bank harus menyusun proyeksi arus kas setiap hari baik dalam rupiah maupun valuta asing yang paling kurang mencakup proyeksi untuk jangka waktu satu minggu yang akan datang dan disajikan secara harian. Penyusunan proyeksi arus kas tersebut disusun oleh unit yang melakukan kegiatan treasury. c. Pengelolaan Posisi Likuiditas dan Risiko Likuiditas Intragroup 1) Dalam pengelolaan posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas intragroup, Bank harus memperhitungkan dan menganalisis: a) kebutuhan pendanaan perusahaan dalam kelompok usaha Bank yang dapat mempengaruhi kondisi likuiditas Bank; dan b) kendala/hambatan untuk mengakses likuiditas intragroup. 2) Dalam . . . 2) Dalam hal Bank menyediakan dukungan likuiditas kepada perusahaan dalam kelompok usaha Bank, misalnya dalam bentuk garansi atau fasilitas pinjaman yang dapat ditarik sewaktu-waktu jika diperlukan, Bank harus memastikan bahwa dukungan likuiditas tersebut diperhitungkan dalam pengukuran Risiko Likuiditas. d. Pengelolaan Aset Likuid Berkualitas Tinggi 1) Bank harus memiliki aset likuid berkualitas tinggi dengan jumlah yang cukup dan komposisi yang disesuaikan dengan karakterisitik bisnis dan profil Risiko Likuiditas. 2) Bank harus mengelola aset sebagaimana dimaksud pada angka 1) untuk memenuhi kebutuhan likuiditas intrahari, jangka pendek, dan jangka panjang. 3) Bank harus melakukan evaluasi terhadap seluruh posisi aset sebagaimana dimaksud pada angka 1), termasuk aset yang telah diikat sebagai agunan dan aset yang tersedia untuk dijadikan agunan. 4) Bank harus memantau aset dan komposisi aset sebagaimana dimaksud pada angka 1), termasuk ketersediaan pasar aktif dan kemudahan penjualan/pengagunan serta waktu yang dibutuhkan untuk proses pengagunan. 5) Bank harus memiliki prosedur operasional untuk mengagunkan atau menyerahkan agunan kepada pihak lawan, bank koresponden, bank kustodian, dan/atau Bank Indonesia. 6) Dalam . . . 6) Dalam hal Bank telah mengagunkan aset likuid berkualitas tinggi yang dimiliki, Bank harus memantau level agunan yang telah diagunkan dan memahami prosedur dan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh kembali agunan tersebut. 7) Bank harus mempertimbangkan potensi gangguan pada operasional dan likuiditas yang dapat meningkatkan kebutuhan tambahan agunan. 8) Bank yang melakukan transaksi derivatif harus mempertimbangkan potensi kebutuhan deposit/ collateral tambahan sebagai dampak perubahan posisi pasar atau perubahan pada credit rating atau posisi keuangan Bank. e. Rencana Pendanaan Darurat / Contingency Funding Plan (CFP) 1) Bank harus memiliki rencana pendanaan darurat / contingency funding plan (CFP) untuk menangani permasalahan likuiditas dalam berbagai kondisi krisis. 2) Rencana pendanaan darurat harus disesuaikan dengan tingkat profil Risiko, hasil stress test, kompleksitas usaha, cakupan bisnis dan struktur organisasi, serta peran Bank dalam sistem keuangan. 3) Rencana pendanaan darurat meliputi kebijakan, strategi, prosedur, dan rencana tindak (action plan) untuk memastikan kemampuan Bank memperoleh sumber pendanaan yang diperlukan secara tepat waktu dan dengan biaya yang wajar. 4) Rencana . . . 4) Rencana pendanaan darurat sebagaimana dimaksud pada angka 3) paling kurang mencakup: a) penetapan indikator dan/atau peristiwa yang digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya kondisi krisis; b) mekanisme pemantauan dan pelaporan internal Bank mengenai indikator sebagaimana dimaksud pada huruf a) secara berkala; c) strategi dalam menghadapi berbagai kondisi krisis dan prosedur pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan atas perubahan perilaku dan pola arus kas yang menyebabkan defisit arus kas; d) strategi untuk memperoleh dukungan pendanaan (back-up liquidity) dalam kondisi krisis dengan mempertimbangkan biaya serta dampaknya terhadap modal serta berbagai aspek penting lainnya yang antara lain mencakup: (1) sumber pendanaan utama, jumlah yang tersedia atau dapat diperoleh, dan waktu yang diperlukan untuk memperoleh dana tersebut; (2) kemungkinan ketersediaan back-up liquidity dan prakondisi penggunaan dana tersebut; (3) alternatif . . . (3) alternatif pendanaan lainnya pada saat back-up liquidity yang dimiliki tidak dapat digunakan. (4) dampak kondisi krisis di pasar pada kemampuan Bank untuk menjual, mengagunkan, dan/atau melakukan sekuritisasi aset; (5) kemampuan Bank untuk memperoleh fasilitas likuiditas lainnya; e) koordinasi manajerial (line of command) yang paling kurang mencakup: (1) penetapan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab untuk melakukan identifikasi terjadinya kondisi krisis; (2) pembentukan tim khusus (contingency crisis team) dan/atau penunjukan pihak yang bertanggung jawab sebagai koordinator dan pelaksana dalam pelaksanaan rencana pendanaan darurat; (3) penetapan dan pembagian wewenang dan tanggung jawab yang jelas dalam pelaksanaan rencana pendanaan darurat sehingga setiap anggota memahami perannya dalam kondisi krisis; dan (4) penetapan . . . (4) penetapan strategi dan prosedur komunikasi baik kepada pihak internal yang meliputi komunikasi antar satuan kerja, maupun eksternal Bank termasuk pihak media dan nasabah dalam hal terdapat pemberitaan atau publikasi negatif; f) prosedur pelaporan internal untuk memastikan ketersediaan berbagai informasi yang diperlukan secara tepat waktu dalam rangka pengambilan keputusan oleh manajemen; dan g) prosedur untuk menetapkan prioritas hubungan dengan nasabah termasuk debitur, kreditur, dan pihak-pihak lawan dalam transaksi rekening administratif untuk mengatasi permasalahan likuiditas dalam kondisi krisis; 5) Rencana pendanaan darurat harus didokumentasikan, dievaluasi, dikinikan, dan diuji secara berkala untuk memastikan tingkat keandalan; 6) Pengujian rencana pendanaan darurat dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan Bank memperoleh dana dari pihak lawan yang ada atau dari pasar, dengan berbagai skenario. Pengujian rencana pendanaan darurat dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan antara lain: a) menguji . . . a) menguji kemampuan Bank untuk memperoleh likuiditas dalam jumlah yang memadai, tepat waktu dan dengan biaya yang wajar antara lain melalui penggunaan credit line secara berkala, menjual aset keuangan dan/atau melakukan transaksi repo atas aset keuangan tertentu, memperoleh pinjaman tanpa agunan dan/atau jaminan, dan memperoleh pinjaman yang bukan overnight. b) melakukan simulasi terhadap efektivitas jalur komunikasi, baik dilingkup internal maupun eksternal; c) menguji kemampuan untuk memperoleh informasi yang diperlukan manajemen secara tepat waktu. 5. Sistem Informasi Manajemen Risiko a. Bank harus memiliki sistem informasi Manajemen Risiko yang memadai dan andal untuk mendukung pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian, serta pelaporan Risiko Likuiditas dalam kondisi normal dan kondisi krisis secara lengkap, akurat, kini, dan utuh. b. Sistem informasi Manajemen Risiko harus dapat menyediakan informasi terkini dan tepat waktu mengenai Risiko Likuiditas kepada Dewan Komisaris, Direksi, dan satuan kerja yang terkait dalam penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. Sistem . . . Sistem informasi Manajemen Risiko harus dapat menyediakan informasi paling kurang mengenai: 1) arus kas dan profil maturitas dari aset, kewajiban, dan rekening administratif; 2) kepatuhan terhadap kebijakan, strategi, dan prosedur Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas termasuk limit dan rasio likuditas; 3) 4) laporan profil Risiko dan trend likuiditas untuk kepentingan manajemen secara tepat waktu; dan informasi yang dapat digunakan untuk keperluan stress testing. c. Sistem informasi Manajemen Risiko dan informasi yang dihasilkan dapat disesuaikan dengan karakteristik, kegiatan usaha, dan kompleksitas bisnis Bank. d. Informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi Manajemen Risiko meliputi antara lain: 1) posisi dan valuasi portofolio aset likuid berkualitas tinggi; 2) konsentrasi sumber pendanaan; 3) aset dan kewajiban serta tagihan dan kewajiban off balance sheet, yang bersifat tidak stabil (volatile); 4) proyeksi arus kas dan profil maturitas; 5) analisa arus kas dan ketersediaan akses pendanaan; 6) kepatuhan terhadap strategi dan limit yang telah ditetapkan; 7) kemampuan untuk meminjam atau melakukan penjualan aset pada berbagai pasar; 8) kapasitas . . . 8) kapasitas penyedia standby facilities untuk memenuhi komitmen; 9) dampak dari penurunan kualitas aset, gangguan operasional, atau gangguan di pasar terhadap arus kas di masa datang dan kepercayaan pasar. e. Sistem informasi Manajemen Risiko harus mendukung pelaksanaan pelaporan kepada Bank Indonesia. D. Sistem Pengendalian Intern 1. Bank harus memiliki sistem pengendalian intern yang memadai untuk memastikan integritas, efektifitas, dan kewajaran dari proses Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. 2. Bank harus melakukan evaluasi atas penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. Evaluasi dimaksud meliputi: a. kepatuhan pada kebijakan dan prosedur pengelolaan likuiditas; b. kecukupan sistem dan prosedur untuk melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko Likuiditas; c. efektivitas proses pelaksanaan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko Likuiditas secara berkala; d. integritas laporan sistem informasi Manajemen Risiko. 3. Kelemahan dan permasalahan yang teridentifikasi dalam evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 harus dilaporkan kepada pihak yang bertanggung jawab dan ditindaklanjuti. 4. Bank harus memastikan bahwa pihak yang melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 adalah pihak intern yang independen dan memiliki kompetensi yang memadai. III. PEDOMAN . . . III. PEDOMAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO A. Pedoman penerapan Manajeman Risiko sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009, yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas dan telah dimiliki Bank, wajib disesuaikan dengan pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. B. Penyesuaian pedoman sebagaimana dimaksud pada huruf A wajib dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan setelah berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini. IV. PELAPORAN A. Dalam rangka pemantauan likuiditas, Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: 1. Laporan Proyeksi Arus Kas dalam rangka pengelolaan posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas harian sebagaimana dimaksud pada butir II.C.4.b.4); dan 2. Laporan Profil Maturitas, baik dalam rupiah maupun valuta asing. B. Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana dimaksud pada huruf A angka 1 mencakup data proyeksi arus kas selama 1 (satu) minggu berikutnya yang dipetakan secara harian. Laporan tersebut disampaikan secara mingguan yaitu setiap hari Jumat sesuai dengan format internal Bank. Contoh . . . Contoh: Bank wajib menyampaikan Laporan Proyeksi Arus Kas pada hari Jumat tanggal 3 Juli 2009 yang mencakup proyeksi arus kas hari Senin tanggal 6 Juli 2009 sampai dengan hari Jumat tanggal 10 Juli 2009. Dalam hal hari Jumat jatuh pada hari libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya. C. Format Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana dimaksud pada huruf B mencakup paling kurang pos-pos neraca dan pos-pos rekening administratif yang memiliki transaksi yang signifikan sesuai dengan karakteristik, kegiatan usaha, dan kompleksitas Bank serta harus dilakukan secara konsisten. Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyesuaikan format Laporan Proyeksi Arus Kas yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam hal Bank mengubah format Laporan Proyeksi Arus Kas yang disampaikan kepada Bank Indonesia, Bank wajib menginformasikan alasan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia. D. Laporan Profil Maturitas sebagaimana dimaksud pada huruf A angka 2 disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan dengan cakupan dan format sesuai Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini. Laporan tersebut disampaikan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank Umum. E. Laporan Proyeksi Arus Kas dan Laporan Profil Maturitas disampaikan kepada Bank Indonesia secara on-line yaitu: 1. Laporan Proyeksi Arus Kas melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU); 2. Laporan Profil Maturitas melalui Laporan Berkala Bank Umum (LBBU). F. Selama . . . F. Selama Laporan Proyeksi Arus Kas belum dapat disampaikan secara on-line melalui LKPBU, laporan tersebut wajib disampaikan secara off-line oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: 1. Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. G. Selama format Laporan Profil Maturitas dalam LBBU belum sesuai dengan format pada Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini, Bank tetap wajib menyampaikan Laporan Profil Maturitas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank Umum yang berlaku. H. Selain penyampaian laporan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud pada huruf A, Bank Indonesia dalam kondisi tertentu dapat mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas diluar waktu yang ditetapkan dan/atau laporan lain selain yang wajib disampaikan secara berkala. Contoh laporan lain selain yang wajib disampaikan secara berkala adalah laporan proyeksi arus kas dalam rangka pengukuran Risiko sebagaimana dimaksud pada butir II.C.2.b.1) dan laporan stress testing sebagaimana dimaksud pada butir II.C.2.b.4). V. SANKSI . . . V. SANKSI A. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini dikenakan sanksi sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009. B. Pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir IV, selain dikenakan sanksi sesuai huruf A, juga dikenakan sanksi sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum dan Laporan Berkala Bank Umum yang berlaku. VI. KETENTUAN PERALIHAN Ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/179/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 perihal Pemantauan Likuiditas Bank Umum yang mengatur mengenai Pedoman Likuiditas masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. VII. KETENTUAN PENUTUP A. Kewajiban penyampaian Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana dimaksud pada butir IV.A.1 mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2009. B. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka: 1. Surat Edaran Bank Indonesia No. 31/18/UPPB tanggal 31 Desember 1998 perihal Pemantauan Likuiditas Bank Umum; dan 2. angka . . . angka III.3 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 2. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DIREKTUR PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 11/16/DPNP|SE-BI/2009 </reg_id> <reg_title> Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas </reg_title> <set_date> 6 Juli 2009 </set_date> <effective_date> 6 Juli 2009 </effective_date> <replaced_reg> '31/18/UPPB|SE-BI/1998', '5/21/DPNP|SE-BI/2003 | Lampiran angka III.3' </replaced_reg> <related_reg> '5/8/PBI/2003', '11/25/PBI/2009' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
No. 8/ 28 /DPBPR Jakarta, 12 Desember 2006 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA Perihal : Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat ---------------------------------------------------------------------------- Dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/18/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4644), yang selanjutnya disebut PBI, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat, dalam Surat Edaran sebagai berikut: I. UMUM 1. Modal merupakan salah satu faktor yang penting bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam rangka pengembangan usaha dan menampung kemungkinan risiko kerugian. 2. Kewajiban penyediaan modal minimum bagi BPR, yang selanjutnya disebut KPMM, ditentukan berdasarkan risiko yang terkandung dalam aktiva neraca. Secara teknis, KPMM diukur berdasarkan persentase tertentu terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). 3. Penilaian … 2 3. Penilaian pemenuhan KPMM, didasarkan pada perhitungan secara kuantitatif dan penilaian faktor-faktor lain seperti kualitas aktiva produktif baik oleh BPR yang bersangkutan maupun oleh Bank Indonesia. II. PERMODALAN 1. Sesuai dengan Pasal 2 PBI, BPR diwajibkan untuk menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus) dari ATMR. 2. Modal sebagaimana dimaksud pada angka 1 terdiri dari modal inti dan modal pelengkap. 3. Dana setoran modal sebagai bagian dari modal inti disetorkan oleh pemilik/calon pemilik kepada BPR untuk tujuan penambahan modal yang selanjutnya oleh BPR ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum di Indonesia, atas nama ”Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. BPR yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan ”Pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia”. 4. Aktiva tetap yang dapat digunakan sebagai setoran modal adalah tanah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha BPR dan tidak dimaksudkan untuk dijual. III. PERHITUNGAN AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RISIKO (ATMR) 1. Dalam menghitung ATMR, pos-pos aktiva diberikan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada risiko yang terkandung pada aktiva itu sendiri atau risiko yang didasarkan pada jenis aktiva, golongan debitur, penjamin, atau sifat barang jaminan. 2. Dengan … 3 2. Dengan memperhatikan prinsip sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka rincian bobot risiko adalah sebagai berikut: 0%: a. Kas. b. Sertifikat Bank Indonesia (SBI). c. Kredit dengan agunan berupa SBI, tabungan dan deposito yang diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa pencairan, emas dan logam mulia, sebesar nilai terendah antara agunan dan baki debet. d. Kredit kepada Pemerintah Pusat. 20%: a. Giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan serta tagihan lainnya kepada bank lain. b. Kredit kepada atau yang dijamin oleh bank lain atau Pemerintah Daerah. 40%: Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dijamin oleh hak tanggungan pertama dengan tujuan untuk dihuni. 50%: a. Kredit kepada atau yang dijamin oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Yang dimaksud dengan BUMN sebagai penjamin adalah lembaga penjamin kredit milik Pemerintah Pusat. Yang dimaksud dengan BUMD sebagai penjamin adalah BUMD yang melakukan usaha sebagai perusahaan penjamin dan melakukan perjanjian kerjasama penjaminan kredit dengan lembaga penjamin kredit milik Pemerintah Pusat. b. Kredit kepada Pegawai/Pensiunan, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Pegawai … 4 1) Pegawai/Pensiunan yang menerima kredit adalah: a) pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, pegawai BUMN/BUMD; b) pensiunan PNS, pensiunan anggota TNI/POLRI, pensiunan pegawai lembaga negara atau pensiunan pegawai BUMN/BUMD; 2) Pegawai/Pensiunan dijamin dengan asuransi jiwa dari perusahaan asuransi yang memiliki kriteria sebagai berikut: a) memiliki izin usaha dari instansi yang berwenang; b) laporan keuangan terakhir telah diaudit oleh akuntan publik dan memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas minimum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan c) tidak merupakan pihak terkait dengan BPR; 3) Pembayaran angsuran/pelunasan kredit bersumber dari gaji/pensiun berdasarkan Surat Kuasa Memotong Gaji/Pensiun kepada BPR. Dalam hal pembayaran gaji/pensiun dilakukan melalui Bank lain atau BUMN lain, maka BPR harus memiliki perjanjian kerjasama dengan Bank lain atau BUMN lain pembayar gaji/pensiun untuk melakukan pemotongan gaji/pensiun dalam rangka pembayaran angsuran/pelunasan kredit; dan lembaga negara atau pegawai 4) BPR … 5 4) BPR menyimpan asli surat pengangkatan pegawai atau surat keputusan pensiun atau Kartu Registrasi Induk Pensiun (KARIP) dan polis pertanggungan asuransi jiwa debitur. 85%: Kredit kepada usaha mikro dan kecil. Kredit kepada usaha mikro adalah kredit dengan plafon sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Kredit kepada usaha kecil adalah kredit dengan plafon di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 100%: a. Kredit kepada atau yang dijamin oleh perorangan, koperasi atau kelompok dan perusahaan lainnya. b. Aktiva tetap dan inventaris (nilai buku). c. Aktiva lainnya selain tersebut di atas. 3. Aktiva produktif dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan atau Macet dalam perhitungan ATMR dinilai sebesar nilai buku yaitu setelah dikurangi dengan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) Khusus dari aktiva produktif dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Penilaian kualitas aktiva produktif (KAP) dan PPAP mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai KAP dan PPAP BPR. Format perhitungan ATMR adalah sebagaimana Lampiran 1. IV. TATA … 6 IV. TATA CARA PERHITUNGAN KEBUTUHAN MODAL MINIMUM Perhitungan kebutuhan modal minimum Bank Perkreditan Rakyat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada ATMR yang dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal pos-pos aktiva dengan bobot risiko masing-masing. Perhitungan ATMR bagi aktiva produktif dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan atau Macet dilakukan dengan cara mengalikan nilai buku sebagaimana dimaksud pada angka III.3 dengan bobot risiko masing-masing. 2. Menjumlahkan ATMR dari masing-masing pos aktiva. 3. Menjumlahkan modal inti dan modal pelengkap untuk mengetahui jumlah modal BPR. 4. Menghitung modal minimum dengan cara mengalikan jumlah ATMR dengan 8% (delapan perseratus). 5. Menghitung kekurangan modal dengan cara membandingkan jumlah modal minimum pada angka 4 dengan jumlah modal pada angka 3. 6. Menghitung KPMM dengan cara membandingkan jumlah modal BPR pada angka 3 dengan ATMR pada angka 2. Format perhitungan kebutuhan modal minimum BPR adalah sebagaimana Lampiran 2. V. ADMINISTRASI KPMM Mengingat bahwa modal merupakan faktor yang penting bagi BPR dalam rangka pengembangan usaha yang sehat dan dapat menampung risiko kerugian, maka pengurus BPR harus: 1. Melaksanakan … 7 1. Melaksanakan ekspansi usaha dalam batas-batas yang dapat ditampung oleh permodalan BPR yang bersangkutan. 2. Selalu memantau kondisi permodalan BPR dengan cara menghitung sendiri kecukupan permodalan sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, sekurang-kurangnya untuk periode bulanan dengan menggunakan data laporan bulanan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format sebagaimana contoh pada lampiran Surat Edaran ini. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Nomor 26/2/BPPP tanggal 29 Mei 1993 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal .12..Desember 2006. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, SITI CH. FADJRIJAH DEPUTI GUBERNUR DPBPR Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/28/DPBPR tanggal 12 Desember 2006 Lampiran 1 PERHITUNGAN AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RESIKO (ATMR) K O M P O N E N ATMR I. AKTIVA NERACA 1.1. Kas 1.2. 1.3. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Kredit dengan agunan berupa SBI, tabungan dan deposito yang diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa pencairan, emas dan logam mulia, sebesar nilai terendah antara agunan dan baki debet 1.4. 1.5. 1.6. 1.7. 1.8. 1.9. Kredit kepada Pemerintah Pusat Giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan serta tagihan lainnya kepada bank lain. Kredit kepada atau yang dijamin oleh bank lain atau Pemerintah Daerah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dijamin oleh hak tanggungan pertama dengan tujuan untuk dihuni Kredit kepada atau yang dijamin oleh BUMN/BUMD Kredit kepada Pegawai/Pensiunan 1.10. Kredit kepada Usaha Mikro dan Kecil 1.11. Kredit kepada atau yang dijamin oleh: a. Perorangan b. Koperasi c. Kelompok dan perusahaan lainnya 1.12. Aktiva tetap dan inventaris (nilai buku) 1.13. Aktiva lainnya selain tersebut di atas II. JUMLAH ATMR Keterangan *) Diisi dengan jumlah nominal setelah dikurangi PPAP khusus yang wajib dibentuk oleh BPR (khusus untuk aktiva produktif dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet). **) Diisi dengan jumlah nominal setelah dikurangi PPAP khusus yang wajib dibentuk oleh BPR (khusus untuk aktiva produktif dengan kualitas Kurang Lancar, dan Macet), kecuali Giro. *) **) *) *) *) *) *) *) *) *) 0 0 0 NOMINAL BOBOT RISIKO % ATMR 0 20 20 40 50 50 85 100 100 100 100 100 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/28/DPBPR tanggal 12 Desember 2006 Lampiran 2 PERHITUNGAN KEBUTUHAN MODAL MINIMUM KETERANGAN JUMLAH SETIAP KOMPONEN MODAL I. MODAL INTI 1.1. Modal disetor 1.2. Agio 1.3. Disagio -/- 1.4. Modal sumbangan 1.5. Dana setoran modal 1.6. Cadangan umum 1.7. Cadangan tujuan 1.8. Laba ditahan 1.9. Laba tahun-tahun lalu 1.10 Rugi tahun-tahun lalu -/- 1.11 Laba tahun berjalan setelah dikurangi kekurangan PPAP (max 50% setelah dikurangi taksiran hutang PPh) 1.12 Rugi tahun berjalan -/- 1.13 Sub total 1.14 Goodwill -/- 1.15 Jumlah Modal Inti II. MODAL PELENGKAP 2.1. Cadangan revaluasi aktiva tetap 2.2. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Umum (maksimum 1,25% dari ATMR) 2.3 Modal Pinjaman 2.4 Pinjaman Subordinasi (maksimum 50% dari modal inti) 2.5 Jumlah Modal Pelengkap (maksimum 100% dari modal inti) III. JUMLAH MODAL (1.15 + 2.5) MODAL MINIMUM (8% x ATMR) JUMLAH KEKURANGAN MODAL JUMLAH MODAL RASIO KPMM (CAR) = ------------------------- ATMR JUMLAH
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 8/28/DPBPR|SE-BI/2006 </reg_id> <reg_title> Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat </reg_title> <set_date> 12 Desember 2006 </set_date> <effective_date> 12 Desember 2006 </effective_date> <replaced_reg> '26/2/BPPP|SE-BI/1993' </replaced_reg> <related_reg> '8/18/PBI/2006' </related_reg>
No. 10/ 46 /DInt Jakarta, 22 Desember 2008 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA PERUSAHAAN BUKAN BANK DI INDONESIA Perihal : Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/7/PBI/2008 tanggal 19 Februari 2008 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 4821), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM A. DEFINISI Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan : 1. Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank yang untuk selanjutnya disebut PLN Perusahaan adalah semua bentuk pinjaman perusahaan dari bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh perusahaan, dan kewajiban lain kepada bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, termasuk juga yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 2. Prinsip … 2. Prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 3. Perusahaan Bukan Bank yang selanjutnya disebut Perusahaan adalah: a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), c. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang meliputi: 1) Perusahaan Publik, 2) Emiten, 3) Perusahaan Penanaman Modal Asing, 4) BUMS lainnya dengan aset atau penjualan bruto selama 1 (satu) tahun paling sedikit Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 4. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku. 5. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan tentang Badan Usaha Milik Daerah yang berlaku. 6. Perusahaan Publik adalah perseroan dengan jumlah pemegang saham dan modal disetor tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Pasar Modal yang berlaku. 7. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Pasar Modal yang berlaku. 8. Perusahaan … 8. Perusahaan Penanaman Modal Asing adalah perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Bukan Penduduk paling rendah 10% (sepuluh per seratus). 9. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau tidak berencana berdomisili di Indonesia. 10. Kreditur atau Penyedia Dana adalah orang, badan hukum atau badan lainnya yang memberi pinjaman atau menyediakan dana atau yang dapat dipersamakan dengan itu, kepada perusahaan untuk jangka waktu tertentu dengan terms and conditions yang telah disepakati. 11. PLN Perusahaan Jangka Pendek adalah PLN Perusahaan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, baik langsung dari kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi maupun non afiliasi. 12. PLN Perusahaan Jangka Panjang adalah PLN Perusahaan dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, baik langsung dari kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi maupun non afiliasi. 13. Pihak Lain Afiliasi adalah Pihak Lain yang memiliki hubungan kepemilikan modal atau saham pada Perusahaan paling rendah sebesar 10% (sepuluh per seratus) atau termasuk dalam satu grup. 14. Pihak Lain Non Afiliasi adalah Pihak Lain yang tidak memiliki hubungan kepemilikan modal atau saham atau memiliki hubungan kepemilikan modal atau saham lebih rendah dari 10% (sepuluh per seratus) pada Perusahaan atau tidak termasuk dalam satu grup. 15. Tahun adalah tahun kalender yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember. B. RUANG … B. RUANG LINGKUP Jenis PLN Perusahaan meliputi : 1. Pinjaman dalam Rupiah maupun valuta asing yang dilakukan berdasarkan perjanjian pinjaman (Loan Agreement) dengan Bukan Penduduk. Perjanjian pinjaman dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan perjanjian pinjaman dengan penduduk tidak termasuk dalam ruang lingkup PLN Perusahaan. 2. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan internasional melalui penawaran umum. 3. Surat utang dalam rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan melalui private placement kepada Bukan Penduduk. 4. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan dalam negeri melalui penawaran umum. 5. Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan melalui private placement kepada penduduk. 6. Kewajiban lainnya kepada Bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah selain Pinjaman Luar Negeri Perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5. Yang dimaksud kewajiban lainnya meliputi antara lain sub ordinated loan dan sejenisnya yang dicatat sebagai bagian dari komponen modal. Kewajiban dalam bentuk utang dagang dan sewa tidak termasuk dalam ruang lingkup PLN Perusahaan. Bentuk kewajiban dan surat utang sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 6 yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah termasuk dalam jenis PLN Perusahaan. Surat utang sebagaimana dimaksud pada angka 2, 3, 4, dan 5 diperhitungkan sebagai PLN Perusahaan pada saat diterbitkan. C. PRINSIP … C. PRINSIP UMUM 1. Perusahaan melakukan PLN Perusahaan Jangka Panjang maupun Jangka Pendek sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Prinsip kehati-hatian a. Penerapan Fungsi Manajemen Risiko 1) Perusahaan yang akan melakukan PLN Perusahaan Jangka Pendek maupun Jangka Panjang, harus menerapkan fungsi manajemen risiko yang meliputi pengelolaan atas: a) Risiko Pasar Risiko Pasar adalah risiko nilai tukar dan risiko tingkat bunga. Contoh upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain dengan : (1) memperhitungkan dampak pergerakan nilai tukar dan suku bunga terhadap perubahan nilai pinjaman dan kemampuan membayar kembali; dan/atau (2) melakukan lindung nilai (hedging). b) Risiko Kredit Risiko Kredit adalah risiko ketidakmampuan membayar kembali seluruh atau sebagian kewajiban secara tepat waktu. Jenis Risiko Kredit antara lain ketidakmampuan membayar seluruh atau sebagian kewajiban antara lain pokok, bunga, denda dan/atau biaya terkait lainnya. Contoh upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain dengan menyesuaikan jangka waktu pinjaman dengan periode penggunaannya. c). Risiko … c) Risiko Likuiditas Risiko Likuiditas adalah risiko ketidaktersediaan dana yang diperlukan untuk melunasi kewajiban pada saat jatuh tempo dan membiayai kegiatan usaha. Contoh upaya untuk mengelola risiko ini dapat dilakukan antara lain : (1) mengelola cash flow; (2) mempersiapkan contigency plan dan sumber pembiayaan pinjaman; dan (3) mempertimbangkan reputasi kreditur atau penyedia dana dalam hal dilakukan counter pembiayaan dari kreditur lain 2) Dalam rangka menerapkan fungsi manajemen risiko, Perusahaan dapat memperhatikan indikator-indikator yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam melakukan PLN Perusahaan yaitu : a) Indikator micro adalah indikator yang digunakan dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan PLN Perusahaan, yang diterbitkan dalam bentuk tabel indikator yaitu Financial Ratio Indicators by Economic Sectors, yaitu indikator rasio keuangan per sektor ekonomi seperti: (1) Pertanian; (2) Pertambangan; (3) Industri Dasar dan Kimia; (4) Aneka Industri; (5) Barang Konsumsi; (6) Properti dan Real Estate; (7) Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi; (8) Keuangan … (8) Keuangan Non Bank; (9) Perdagangan, Jasa dan Investasi yang diformulasikan dalam bentuk rata-rata atau kisaran indeks rasio keuangan baik jangka panjang maupun jangka pendek, dengan contoh sebagaimana lampiran h. b) Indikator macro adalah indikator yang digunakan dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian atas exposure PLN Perusahaan dalam skala makro (nasional) khususnya dari perspektif moneter yang diformulasikan dalam bentuk debt indicator ratio, yang meliputi antara lain : (1) Private external debt to total external debt (2) Debt to Gross Domestic Product dengan contoh table sebagaimana lampiran i. 3) Indikator micro dan macro sebagaimana dimaksud dalam angka 2) akan dipublikasikan oleh Bank Indonesia antara lain melalui email dan/atau website Bank Indonesia – Investor Relation Unit. b. Penilaian rating (peringkat) Penilaian peringkat adalah penilaian peringkat kredit perusahaan (corporate rating) yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat nasional dan/atau internasional kepada Perusahaan yang menggambarkan kemampuan dan kemauan Perusahaan untuk membayar kewajiban finansialnya sesuai dengan terms & conditions yang dipersyaratkan. Perusahaan yang berencana melakukan PLN Perusahaan Jangka Panjang harus memiliki penilaian peringkat dari lembaga pemeringkat nasional dan/atau internasional. Lembaga … Lembaga pemeringkat yang dapat digunakan adalah seluruh lembaga pemeringkat baik yang terdapat di dalam negeri ataupun luar negeri tanpa kriteria tertentu. Keharusan untuk memiliki penilaian peringkat sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku untuk : 1) BUMS yang memperoleh PLN Perusahaan secara langsung dari perusahaan induk (pemegang saham). Perusahaan induk (pemegang saham) adalah perusahaan induk sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan yang berlaku, tidak termasuk : a) Perusahaan yang memiliki PLN Perusahaan dari perusahaan lain di luar negeri namun termasuk dalam satu grup perusahaan (sister company). b) Perusahaan yang menerbitkan surat utang di pasar keuangan melalui Special Purpose Vehicle (SPV). 2) BUMN dan BUMD dengan aset atau penjualan bruto selama 1 (satu) tahun kurang dari Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 3. Kewajiban Pelaporan a. Perusahaan wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap, yaitu : 1) Perusahaan yang berencana memperoleh PLN Perusahaan Jangka Panjang, meliputi : a) Rasio Keuangan; b) Laporan Keuangan; c) Penilaian peringkat; d) Laporan Rencana PLN Perusahaan untuk 1 (satu) tahun;dan e) Hasil analisis manajemen risiko perusahaan. 2) Perusahaan … 2) Perusahaan yang memiliki posisi PLN Perusahaan Jangka Pendek dan/atau PLN Perusahaan Jangka Panjang, meliputi : a) Rasio keuangan; b) Laporan keuangan Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1) huruf b) dan angka 2) huruf b) adalah laporan keuangan yang telah diaudit maka harus mencantumkan nama auditor. Dalam hal laporan keuangan dimaksud belum diaudit maka harus diberi penjelasan bahwa laporan tersebut belum diaudit, atau dalam hal sedang diaudit, maka mencantumkan nama auditor yang sedang melakukan pemeriksaan. b. BUMS lainnya yang mengalami penurunan total aset atau penjualan bruto sehingga menjadi kurang dari Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), tetap wajib menyampaikan laporan rasio keuangan dan laporan keuangan sepanjang masih memiliki outstanding PLN Perusahaan. c. BUMS lainnya yang pada saat merencanakan PLN Perusahaan : 1) memiliki total aset atau penjualan bruto kurang dari Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), namun mengalami peningkatan total aset atau penjualan bruto menjadi Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau lebih atas dasar posisi laporan keuangan terakhir, dan/atau 2) berubah status menjadi BUMN, BUMD, BUMS Perusahaan Publik, BUMS Emiten atau BUMS Perusahaan Penanaman Modal Asing wajib menyampaikan laporan rasio keuangan dan laporan keuangan sepanjang masih memiliki outstanding PLN Perusahaan. II. LAPORAN … II. LAPORAN A. Jenis Laporan Laporan PLN Perusahaan meliputi : 1. Rasio Keuangan Perusahaan, memuat keterangan dan data mengenai : a. Jenis Rasio, meliputi : 1) Rasio Likuiditas terdiri dari : a) Current Ratio, rasio yang menunjukkan kemampuan aset lancar yang dimiliki Perusahaan dalam menyelesaikan kewajiban jangka pendek. b) Quick Ratio, rasio yang menunjukkan kemampuan aset paling lancar yang dimiliki Perusahaan dalam menyelesaikan kewajiban jangka pendek. 2) Rasio Solvabilitas terdiri dari : a) Debt to Equity Ratio, rasio yang menunjukkan struktur permodalan Perusahaan, jika dibandingkan dengan kewajibannya. b) Long Term Debt to Equity Ratio, rasio yang menunjukkan struktur permodalan Perusahaan, jika dibandingkan dengan kewajibannya jangka panjangnya. 3) Rasio Profitabilitas, terdiri dari : a) Net Profit Margin, rasio yang menunjukkan kontribusi penjualan terhadap laba bersih yang dihasilkan. b) Return on Equity, rasio yang menunjukkan tingkat pengembalian (return) yang dihasilkan manajemen atas modal yang ditanam oleh pemegang saham. c) Return on Asset, rasio yang menunjukkan tingkat keuntungan (earning) yang dihasilkan manajemen atas total aset yang dimiliki. 2. Laporan … 2. Laporan Keuangan Perusahaan, memuat keterangan dan data mengenai : a. Neraca yang disajikan pada akhir tahun sebelumnya dan akhir semester pertama tahun yang bersangkutan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum, dengan melampirkan rincian pos- pos aset dan kewajiban dengan denominasi Rupiah atau valuta asing. b. Laporan Rugi Laba yang disajikan akhir tahun sebelumnya dan akhir semester pertama tahun yang bersangkutan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum, dengan melampirkan rincian pos-pos pendapatan dan beban dengan denominasi Rupiah atau valuta asing. 3. Peringkat, memuat keterangan dan data mengenai : a. Lembaga pemeringkat domestik atau internasional. b. Nilai peringkat sebelumnya, yaitu nilai peringkat yang diberikan oleh Lembaga pemeringkat pada tahun sebelumnya, terdiri dari : 1) Nilai yang diberikan oleh Lembaga pemeringkat kepada Perusahaan (dalam notches). 2) Tanggal pengumuman nilai peringkat. c. Nilai peringkat terakhir, yaitu nilai peringkat terakhir yang diberikan oleh Lembaga pemeringkat kepada Perusahaan, terdiri dari : 1) Nilai yang diberikan oleh Lembaga pemeringkat kepada Perusahaan (dalam notches). 2) Tanggal pengumuman nilai peringkat. d. Outlook (prospek), perkiraan ke depan peringkat perusahaan, terdiri dari : 1) Nilai yang diberikan oleh Lembaga pemeringkat kepada Perusahaan yaitu positif, stable (stabil) atau negatif ;dan 2). Tanggal … 2) Tanggal pengumuman nilai outlook Dalam hal Perusahaan belum memiliki Peringkat harus memberikan alasan yang memadai. 4. Laporan Rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang untuk 1 (satu) tahun yang akan datang, memuat keterangan dan data mengenai : a. Nominal, yaitu rencana perolehan jumlah PLN Perusahaan; b. Tujuan penggunaan, yaitu tujuan penggunaan pinjaman oleh Perusahaan antara lain untuk ekspansi usaha, modal kerja dan refinancing; c. Kreditur/Penyedia Dana, yaitu pemberi PLN Perusahaan dapat berupa Lembaga Keuangan Bank atau Bukan Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank maupun Pasar Keuangan; d. Jenis PLN Perusahaan, dapat berupa : 1) Perjanjian pinjaman (loan Agreement) dengan cara bilateral atau sindikasi baik dalam Rupiah maupun valuta asing dengan bukan penduduk ; 2) Surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan di pasar keuangan dalam negeri maupun luar negeri melalui penawaran umum atau private placement kepada penduduk atau bukan penduduk; atau 3) Kewajiban lainnya, meliputi antara lain subordinated loan dan sejenisnya yang dicatat sebagai bagian dari komponen modal. e. Waktu masuk pasar, yaitu tanggal, bulan dan tahun : 1) Pada saat penandatanganan untuk jenis pinjaman Loan Agreement; 2) Pada saat diterbitkan untuk surat utang; f. Jangka waktu, yaitu : 1) Jangka … 1) Jangka waktu untuk perjanjian pinjaman adalah lamanya pinjaman dari mulai berlaku sampai dengan berakhirnya pinjaman sebagaimana tercantum dalam Loan Agreement. 2) Jangka waktu untuk surat utang adalah sejak penawaran umum sampai dengan jatuh tempo; g. Jenis mata uang, yaitu denominasi PLN Perusahaan dapat berupa Rupiah, USD maupun valuta asing lainnya; h. Lokasi penerbitan, yaitu tempat penerbitan untuk PLN Perusahaan yang berbentuk surat utang; i. Sumber pembayaran, yaitu sumber untuk pembayaran PLN Perusahaan, dapat berupa valuta asing hasil ekspor, valuta asing hasil penjualan dalam negeri, instrumen utang valuta asing dalam negeri (refinancing), instrumen utang valuta asing luar negeri (refinancing), pembelian valuta asing dari pasar uang; j. Suku bunga indikatif, yaitu perkiraan suku bunga PLN Perusahaan pada saat rencana masuk pasar, misalkan 5% sampai dengan 7% p.a atau Libor + 200 bps;dan k. Lainnya, adalah hal-hal lain yang belum tercakup dalam huruf a sampai dengan j, contoh antara lain informasi PLN Jangka Pendek. 5. Hasil analisis manajemen risiko perusahaan, memuat keterangan dan data mengenai : a. Risiko Pasar; b. Risiko Kredit;dan c. Risiko Likuiditas. 6. Laporan perubahan rencana PLN Perusahaan Jangka Panjang, dalam hal terdapat perubahan rencana nominal dan tujuan penggunaan PLN Perusahaan Jangka Panjang dengan mengemukakan perubahan dan alasan terjadinya perubahan tersebut;dan 7. Laporan … 7. Laporan perubahan hasil analisis manajemen risiko Perusahaan, dengan mengemukakan perubahan dan alasan terjadinya perubahan. B. Format Laporan Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 sampai dengan A.7 disusun sesuai dengan format laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran a, b, c, d, e, f, dan g C. Tatacara Penyampaian Laporan 1. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 sampai dengan A.7 dilakukan sebagai berikut : a. Bagi Perusahaan pelapor yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia, laporan tersebut disampaikan oleh kantor pusat dan merupakan gabungan dari perolehan PLN Perusahaan yang dilakukan oleh kantor pusat dan kantor lainnya yang berkedudukan di Indonesia. b. Bagi Perusahaan pelapor yang kantor pusatnya berkedudukan di Luar Indonesia, laporan tersebut dapat disampaikan oleh koordinator kantor Perusahaan pelapor atau masing-masing kantor Perusahaan Pelapor yang berkedudukan di Indonesia. 2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam butir A.1 sampai dengan A.7 dapat dilakukan: a. dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy atau media lainnya kepada : Bank Indonesia Direktorat Internasional c.q. Bagian Penatausahaan Dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri (PPLN) Menara Sjafrudin Prawiranegara, Lantai 5 Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350. Nomor Faksimili : (021) 2311936, (021) 3502002 Email … Email : APLNSIUL@bi.go.id b. Mekanisme penyampaian laporan dengan menggunakan media lainnya akan diberitahukan kemudian oleh Bank Indonesia. 3. Batas waktu penyampaian laporan kepada Bank Indonesia adalah sebagai berikut : a. Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1 dan II.A.2 termasuk revisinya disampaikan per semester, paling lambat tanggal 10 April dan 10 September atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. b. Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.3, II.A.4 dan II.A.5 termasuk revisinya disampaikan paling lambat tanggal 10 Maret pada tahun yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. c. Laporan perubahan rencana sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.6 dan II.A.7 disampaikan paling lambat tanggal 1 Juli tahun yang bersangkutan atau hari kerja berikutnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. 4. Perusahaan dianggap tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1 sampai dengan II.A.7 dalam hal laporan tidak diterima oleh Bank Indonesia 30 hari kalender setelah batas waktu yang ditetapkan dan/atau laporan diterima oleh Bank Indonesia dalam batas jangka waktu yang ditetapkan namun tidak lengkap sebagaimana diatur dalam butir I.C.3.a. 5. Direksi … 5. Direksi Perusahaan bertanggung jawab atas kebenaran laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.1 sampai dengan II.A.7. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ...................... Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA 22 Desember 2008 NELSON TAMPUBOLON DIREKTUR INTERNASIONAL DInt
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/46/DInt|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank </reg_title> <set_date> 22 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 22 Desember 2008 </effective_date> <related_reg> '10/7/PBI/2008' </related_reg>
No. 13/ 23 /DPNP Jakarta, 25 Oktober 2011 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor … Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5184), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tentang Penerapan Manajemen Risiko secara Konsolidasi bagi Bank yang Melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4602), serta dalam rangka meningkatkan efektivitas penerapan dan harmonisasi dengan ketentuan- ketentuan tersebut di atas, maka perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Nomor 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003 perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, sebagai berikut: 1. Ketentuan angka 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3. Penyempurnaan pedoman penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan paling lambat tanggal 30 November 2011 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diselesaikannya penyempurnaan pedoman tersebut. 2. Ketentuan angka 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 4. Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, paling kurang memuat: a. Penerapan Manajemen Risiko Secara Umum, yang mencakup mengenai pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko, serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh. b. Penerapan Manajemen Risiko untuk Masing-Masing Risiko, yang mencakup penerapan Manajemen Risiko untuk masing-masing Risiko yang meliputi 8 (delapan) Risiko yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko … Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, dan Risiko Reputasi. c. Penilaian Profil Risiko, yang mencakup penilaian terhadap Risiko inheren dan penilaian terhadap kualitas penerapan Manajemen Risiko yang mencerminkan sistem pengendalian Risiko (risk control system), baik untuk Bank secara individual maupun untuk Bank secara konsolidasi. Penilaian tersebut dilakukan terhadap 8 (delapan) Risiko yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, dan Risiko Reputasi. Dalam melakukan penilaian profil Risiko, Bank wajib mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum. 3. Lampiran 1, Lampiran 5, Lampiran 6, dan Lampiran 7 diubah sehingga menjadi Lampiran 1, Lampiran 5, Lampiran 6, dan Lampiran 7, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 4. Ketentuan dalam angka 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 9. Pelaporan Dalam rangka penerapan Manajemen Risiko, Bank wajib menyampaikan laporan sebagai berikut: a. Laporan Profil Risiko 1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko baik secara individual maupun secara konsolidasi kepada Bank Indonesia secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September, dan Desember, yang disajikan secara komparatif dengan posisi triwulan … triwulan sebelumnya paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah akhir bulan laporan. 2) Format dan isi laporan profil Risiko berpedoman pada Lampiran 5 dan Lampiran 6 Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3) Laporan profil Risiko yang disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia wajib memuat substansi yang sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada Direktur Utama dan Komite Manajemen Risiko. Mekanisme penilaian profil Risiko, penetapan tingkat Risiko dan penetapan peringkat profil Risiko mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan Bank Umum. b. Laporan Produk dan Aktivitas Baru Cakupan, format, dan cara penyampaian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan produk atau aktivitas baru. c. Laporan lain dalam hal terdapat kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank. Dalam hal ini, kondisi Bank tersebut antara lain dapat berupa: 1) Bank telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam status Bank dalam pengawasan intensif atau Bank dalam pengawasan khusus; 2) Bank memiliki eksposur Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas yang sangat signifikan; dan/atau 3) kondisi eksternal (pasar) mengalami fluktuasi yang sangat tajam dan cenderung tidak mampu dikendalikan oleh Bank. Laporan … Laporan ini bersifat insidentil yang disampaikan kepada Bank Indonesia berdasarkan kondisi terkini Bank yang memiliki eksposur tertentu dan hasil penilaian Bank Indonesia terhadap Bank tersebut. d. Laporan lain terkait penerapan Manajemen Risiko, antara lain laporan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas 1) Dalam rangka pemantauan likuiditas, Bank wajib menyampaikan laporan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas kepada Bank Indonesia, yang terdiri dari: a) Laporan Proyeksi Arus Kas dalam rangka pengelolaan posisi likuiditas dan Risiko Likuiditas harian sebagaimana dimaksud dalam butir II. C. 3. c. 4). c). (2) Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko yang merupakan Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini; dan b) Laporan Profil Maturitas dalam rangka mengukur Risiko Likuiditas sebagaimana dimaksud dalam butir II. C. 3. c. 2). d). (2) Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko yang merupakan Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini, baik dalam rupiah maupun valuta asing. 2) Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana dimaksud dalam butir 1). a) mencakup data proyeksi arus kas selama 1 (satu) minggu berikutnya yang dipetakan secara harian. Laporan tersebut disampaikan secara mingguan yaitu setiap hari Jumat sesuai dengan format internal Bank. Contoh: Bank wajib menyampaikan Laporan Proyeksi Arus Kas pada hari Jumat tanggal 7 Oktober 2011 yang mencakup proyeksi arus … arus kas hari Senin tanggal 10 Oktober 2011 sampai dengan hari Jumat tanggal 14 Oktober 2011. Dalam hal hari Jumat jatuh pada hari libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya. 3) Format Laporan Proyeksi Arus Kas sebagaimana dimaksud pada angka 2) mencakup paling kurang pos-pos neraca dan pos-pos rekening administratif yang memiliki transaksi yang signifikan sesuai dengan karakteristik, kegiatan usaha, dan kompleksitas Bank serta harus dilakukan secara konsisten. Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyesuaikan format Laporan Proyeksi Arus Kas yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam hal Bank mengubah format Laporan Proyeksi Arus Kas yang disampaikan kepada Bank Indonesia, Bank wajib menginformasikan alasan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia. 4) Laporan Profil Maturitas sebagaimana dimaksud dalam butir 1).b) disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan dengan cakupan dan format sesuai Lampiran 7 Surat Edaran Bank Indonesia ini. Tata cara penyampaian laporan Profil Maturitas kepada Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala Bank Umum. 5) Selama format Laporan Profil Maturitas dalam laporan Berkala Bank Umum (LBBU) belum sesuai dengan format pada Lampiran 7 Surat Edaran Bank Indonesia ini, Bank tetap wajib menyampaikan Laporan Profil Maturitas sesuai dengan format dalam … dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala Bank Umum yang berlaku. 6) Laporan Proyeksi Arus Kas dan Laporan Profil Maturitas disampaikan kepada Bank Indonesia secara on-line yaitu: a) Laporan Proyeksi Arus Kas melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU); b) Laporan Profil Maturitas melalui LBBU. 7) Selama Laporan Proyeksi Arus Kas belum dapat disampaikan secara on-line melalui LKPBU, laporan tersebut wajib disampaikan secara offline oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: a) Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b) Kantor Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 8) Selain penyampaian laporan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud pada angka 1), Bank Indonesia dalam kondisi tertentu dapat mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas diluar waktu yang ditetapkan dan/atau laporan lain selain yang wajib disampaikan secara berkala. Contoh laporan lain selain yang wajib disampaikan secara berkala adalah laporan proyeksi arus kas dalam rangka pengukuran Risiko sebagaimana dimaksud … dimaksud dalam butir II. C. 3. c. 2). d). (3) Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko dan laporan stress testing sebagaimana dimaksud dalam butir II. C. 3. c. 2). d). (4) Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko yang merupakan Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini. e. Laporan lain terkait dengan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu, antara lain laporan pelaksanaan aktivitas berkaitan dengan reksadana, laporan pelaksanaan kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi (bancassurance). Cakupan, format, dan cara penyampaian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. 5. Ketentuan Penutup 1. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/16/DPNP tanggal 6 Juli 2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas dan ketentuan pelaksanaan lainnya yang terkait dengan Penerapan Manajemen Risiko yang bertentangan dengan pengaturan dalam Surat Edaran ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum Konvensional, kecuali untuk ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka IV dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/16/DPNP tanggal 6 Juli 2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. 2. Ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka IV dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/16/DPNP tanggal 6 Juli 2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 31 Desember 2011 bagi Bank Umum Konvensional. 3. Ketentuan … 3. Ketentuan mengenai Lampiran 1, Lampiran 5, Lampiran 6, dan Lampiran 7 sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2011. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 25 Oktober 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MULIAMAN D. HADAD DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 13/23/DPNP|SE-BI/2011 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. </reg_title> <set_date> 25 Oktober 2011 </set_date> <effective_date> 25 Oktober 2011 </effective_date> <changed_reg> '5/21/DPNP|SE-BI/2003' </changed_reg> <replaced_reg> '11/16/DPNP|SE-BI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '5/8/PBI/2003', '11/25/PBI/2009', '13/1/PBI/2011', '8/6/PBI/2006', '5/21/DPNP|SE-BI/2003' </related_reg>