input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret 2008 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tanggal 17 Desember 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4793), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok ketentuan sebagai berikut : I. UMUM 1. Sejalan dengan perkembangan yang pesat di dunia bisnis dan keuangan telah mendorong berkembangnya inovasi transaksi-transaksi keuangan syariah, sehingga Bank perlu mengantisipasi dan mengikuti dinamika tersebut agar dapat berkembang serta tetap memenuhi prinsip syariah secara istiqomah sesuai dengan fatwa yang berlaku. 2. Implementasi atas setiap inovasi transaksi-transaksi keuangan syariah yang baru, selalu akan menimbulkan berbagai risiko termasuk risiko reputasi. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mengantisipasi timbulnya risiko reputasi akibat tidak terpenuhinya prinsip syariah, diperlukan adanya ….. adanya penyesuaian dan penyempurnaan pengaturan yang berlaku terhadap pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa bank syariah. 3. Adanya ketentuan tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa akan meningkatkan kepastian hukum para pihak termasuk bagi pengawas dan auditor bank syariah. II. PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA. II.1. Giro dan Tabungan atas dasar Akad Wadi’ah Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro dan Tabungan atas dasar Akad Wadi’ah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai penitip dana; b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; c. Bank tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah; d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk Giro atau Tabungan atas dasar Akad Wadi’ah, dalam bentuk perjanjian tertulis; e. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya kartu ATM, buku/cek/bilyet giro, biaya meterai ….. meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening; f. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah; dan g. Dana titipan dapat diambil setiap saat oleh nasabah. II.2. Giro atas dasar Akad Mudharabah Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro atas dasar Akad Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan Nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal); b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; c. Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati; d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk Giro atas dasar Akad Mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis; e. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya cek/bilyet giro, biaya meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening; dan f. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah. II.3. Tabungan ….. II.3. Tabungan dan deposito atas dasar Akad Mudharabah Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Tabungan dan Deposito atas dasar Akad Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal); b. Pengelolaan dana oleh Bank dapat dilakukan sesuai batasan- batasan yang ditetapkan oleh pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau dilakukan dengan tanpa batasan-batasan dari pemilik dana (mudharabah mutlaqah); c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk Tabungan dan Deposito atas dasar Akad Mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis; e. Dalam Akad Mudharabah Muqayyadah harus dinyatakan secara jelas syarat-syarat dan batasan tertentu yang ditentukan oleh nasabah; f. Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati; g. Penarikan dana oleh nasabah hanya dapat dilakukan sesuai waktu yang disepakati; h. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening; dan i. Bank ….. i. Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan. III. PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENYALURAN DANA III.1. Pembiayaan Atas Dasar Akad Mudharabah 1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dalam kegiatan usahanya; b. Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah, antara lain Bank dapat melakukan review dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; d. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah Muqayyadah yaitu penyediaan dana kepada nasabah dimana pemilik dana (shahibul maal) memberikan persyaratan khusus kepada pengelola dana (mudharib), Bank wajib memenuhi persyaratan khusus dimaksud; Sebagai ….. Sebagai contoh : Tuan A sebagai pemilik dana memiliki keinginan untuk menginvestasikan dananya ke sektor UKM yang bergerak di sektor usaha perdagangan. Dengan keterbatasan waktu yang dimiliki, Tuan A mengalami kesulitan untuk mencari dan menetapkan UKM yang bergerak di sektor usaha perdagangan dimaksud. Oleh karena itu Tuan A memutuskan untuk menitipkan dananya tersebut ke Bank sekaligus meminta bantuan Bank untuk mencarikan UKM sesuai dengan yang diharapkan. Sesuai dengan amanah yang ditetapkan Tuan A, selanjutnya Bank mencari UKM yang paling feasible di sektor usaha perdagangan. Transaksi investasi yang terjadi antara Tuan A dengan UKM dimaksud yang diperantarai oleh Bank, merupakan salah satu contoh transaksi investasi dengan Akad Mudharabah Muqayyadah. e. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan prospek usaha (Condition); f. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam nisbah yang disepakati; g. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak; h. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Mudharabah; i. Jangka ….. i. Jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah; j. Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan; k. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya; l. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya; m. Pengembalian Pembiayaan atas dasar Mudharabah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode Akad, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah; n. Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola dana (mudharib) dengan disertai bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan; o. Kerugian usaha nasabah pengelola dana (mudharib) yang dapat ditanggung oleh Bank selaku pemilik dana (shahibul maal) adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan (ra’sul maal). 2. Dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha (mitra usaha) yang dibiayai Bank (Mudharabah Musytarakah), maka berlaku ketentuan : a. Norma-norma umum dalam pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bab III.1 kecuali angka 1 huruf a dan huruf d; b. Kedudukan ….. b. Kedudukan nasabah adalah sebagai mitra usaha sekaligus sebagai pengelola dana (mudharib); c. Sebagai mitra usaha, nasabah berhak mendapatkan bagian keuntungan sesuai kesepakatan atau menanggung kerugian sesuai porsi modalnya; dan d. Sebagai pengelola dana (mudharib), nasabah berhak mendapatkan bagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati, setelah dikurangi bagian keuntungan milik nasabah sebagai mitra usaha. III.2. Pembiayaan Atas Dasar Akad Musyarakah Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu; b. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; d. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan aspek usaha ….. usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan prospek usaha (Condition); e. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati; f. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak; g. Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan; h. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya; i. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya; j. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Musyarakah; k. Jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah; l. Pengembalian Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode Pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah; m. Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan; dan n. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing. III.3. Pembiayaan ….. III.3. Pembiayaan Atas Dasar Akad Murabahah 1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang; b. Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya; c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; d. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan/atau prospek usaha (Condition); e. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya; f. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah; g. Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan; h. Bank ….. h. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah; dan i. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah. 2. Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa diperjanjikan dimuka. 3. Bank dapat meminta ganti rugi kepada nasabah atas pembatalan pesanan oleh nasabah sebesar biaya riil. III.4. Pembiayaan atas dasar Akad Salam 1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar Akad Salam berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana maupun sebagai pembeli barang untuk kegiatan transaksi Salam dengan nasabah yang bertindak sebagai penjual barang; b. Barang dalam transaksi Salam adalah objek jual beli dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang jelas, yang pada umumnya tersedia secara reguler di pasar, serta bukan objek jual beli yang sulit diidentifikasi ciri-cirinya dimana antara lain nilainya berubah-ubah tergantung penilaian subyektif; c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Salam, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; d. Bank ….. d. Bank wajib melakukan analisis atas rencana Pembiayaan atas dasar Salam kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan/atau prospek usaha (Condition); e. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Salam; f. Pembayaran atas barang nasabah oleh Bank harus dilakukan di muka secara penuh yaitu pembayaran segera setelah Pembiayaan atas dasar Akad Salam disepakati atau paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Pembiayaan atas dasar Akad Salam disepakati; dan g. Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah kepada Bank atau dalam bentuk piutang Bank. 2. Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai kesepakatan maka Bank dapat : a. Menolak menerima barang dan meminta pengembalian dana; b. Meminta kepada nasabah untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis dan/atau memiliki nilai yang setara; atau c. Menunggu barang hingga tersedia. 3. Dalam hal Bank menerima barang dengan kualitas lebih tinggi maka Bank tidak wajib membayar tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak. 4. Dalam hal Bank menerima barang dengan kualitas lebih rendah maka Bank tidak diperkenankan untuk meminta potongan harga (discount), kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak. III.5.Pembiayaan ….. III.5. Pembiayaan atas dasar Akad Istishna' 1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar Akad Istishna' berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana maupun penjual barang untuk kegiatan transaksi Istishna’ dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang; b. Barang dalam transaksi Istishna’ adalah setiap keluaran (output) yang antara lain berasal dari proses manufacturing atau construction yang melibatkan tenaga kerja, dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang jelas serta disepakati oleh kedua belah pihak; c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Istishna’, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; d. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Istishna' dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan/atau prospek usaha (Condition); e. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Istishna’; dan f. Pembayaran pembelian barang tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang atau dalam bentuk pemberian piutang. 2. Bank ….. 2. Bank tidak dapat meminta tambahan harga apabila nasabah menerima barang dengan kualitas yang lebih tinggi, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak. 3. Bank tidak harus memberikan potongan harga (discount) apabila nasabah menerima barang dengan kualitas yang lebih rendah, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak. III.6. Pembiayaan atas Dasar Akad Ijarah 1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar Akad Ijarah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank bertindak sebagai pemilik dan/atau pihak yang mempunyai hak penguasaan atas obyek sewa baik berupa barang atau jasa, yang menyewakan obyek sewa dimaksud kepada nasabah sesuai kesepakatan; b. Barang dalam transaksi Ijarah adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewa; c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Ijarah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; d. Bank wajib melakukan analisis atas rencana Pembiayaan atas dasar Ijarah kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan/atau prospek usaha (Condition); e. Obyek ….. e. Obyek sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai sewa dan jangka waktunya; f. Bank sebagai pihak yang menyediakan obyek sewa, wajib menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas obyek sewa serta ketepatan waktu penyediaan obyek sewa sesuai kesepakatan; g. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan obyek sewa yang dipesan nasabah; h. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Ijarah; i. Pembayaran sewa dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus; j. Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang; k. Bank dapat meminta nasabah untuk menjaga keutuhan obyek sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan obyek sewa sesuai dengan kesepakatan dimana uraian biaya pemeliharaan yang bersifat material dan struktural harus dituangkan dalam Akad; dan l. Bank tidak dapat meminta nasabah untuk bertanggungjawab atas kerusakan obyek sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran Akad atau kelalaian nasabah. 2. Dalam hal Pembiayaan Multijasa dimana pembiayaan diberikan oleh Bank kepada nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu jasa, menggunakan Akad Ijarah maka : a. Ketentuan yang berlaku dalam Pembiayaan atas dasar Ijarah sebagaimana dimaksud pada angka 1 kecuali huruf k dan l, berlaku ….. berlaku pula pada Pembiayaan Multijasa dengan menggunakan Akad Ijarah; b. Bank memperoleh sewa atas transaksi multijasa berupa imbalan (ujrah); c. Besarnya imbalan (ujrah) harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal yang tetap. III.7. Pembiayaan Atas Dasar Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik Disamping ketentuan sebagaimana dimaksud pada Bab III.6. angka 1, untuk kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar Ijarah Muntahiya Bittamlik berlaku pula persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank sebagai pemilik obyek sewa juga bertindak sebagai pemberi janji (wa’ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah penyewa sesuai kesepakatan; b. Bank hanya dapat memberikan janji (wa’ad) untuk mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa setelah obyek sewa secara prinsip dimiliki oleh Bank; c. Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa dalam bentuk tertulis; d. Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa dapat dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai oleh Bank dan nasabah penyewa; dan e. Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa, maka Bank wajib mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah yang dilakukan pada saat tertentu dalam periode ….. periode atau pada akhir periode Pembiayaan atas dasar Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik. III.8. Pembiayaan atas dasar Akad Qardh Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar Akad Qardh berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan pinjaman (Qardh) kepada nasabah berdasarkan kesepakatan; b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Qardh, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana Pembiayaan atas dasar Qardh kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character); d. Bank dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang sesuai Akad; e. Bank dilarang untuk membebankan biaya apapun atas penyaluran Pembiayaan atas dasar Qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran; f. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Qardh; g. Pengembalian jumlah Pembiayaan atas dasar Qardh, harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati; dan h. Dalam hal nasabah digolongkan mampu namun tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah. IV. PELAKSANAAN ….. IV. PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PELAYANAN JASA IV.1. Jasa Pemberian Jaminan atas Dasar Akad Kafalah 1. Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk jasa pemberian jaminan atas dasar Akad Kafalah, berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga; b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik jasa pemberian jaminan atas dasar Kafalah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana jasa pemberian jaminan atas dasar Kafalah kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan prospek usaha (Condition); d. Obyek penjaminan harus : i. Merupakan kewajiban pihak/orang yang meminta jaminan; ii. Jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya; iii. Tidak bertentangan dengan syariah (tidak diharamkan). e. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad pemberian jaminan atas dasar Kafalah; f. Bank dapat memperoleh imbalan atau fee yang disepakati di awal serta dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap; g. Bank ….. g. Bank dapat meminta jaminan berupa Cash Collateral atau bentuk jaminan lainnya atas nilai penjaminan; dan h. Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga, maka Bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah kepada pihak ketiga dengan memberikan dana talangan sebagai Pembiayaan atas dasar Akad Qardh yang harus diselesaikan oleh nasabah. 2. Ketentuan yang berlaku pada jasa pemberian jaminan atas dasar Akad Kafalah sebagaimana dimaksud pada angka 1, berlaku pula pada Pembiayaan Multijasa dengan menggunakan Akad Kafalah. IV.2. Pemberian Jasa Pengalihan Utang atas Dasar Akad Hawalah 1. Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah terdiri dari : a. Hawalah Mutlaqah yaitu transaksi yang berfungsi untuk pengalihan utang para pihak yang menimbulkan adanya dana keluar (cash out) Bank, dan b. Hawalah Muqayyadah yaitu transaksi yang berfungsi untuk melakukan set-off utang piutang diantara 3 (tiga) pihak yang memiliki hubungan muamalat (utang piutang) melalui transaksi pengalihan utang, serta tidak menimbulkan adanya dana keluar (cash out). 2. Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ketiga; b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah, serta….. serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah bagi nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan prospek usaha (Condition); d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad pengalihan utang atas dasar Hawalah; e. Nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal; f. Bank menyediakan dana talangan (Qardh) sebesar nilai pengalihan utang nasabah kepada pihak ketiga; g. Bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas kewajaran kepada nasabah; dan h. Bank dapat mengenakan biaya administrasi dalam batas kewajaran kepada nasabah. 3. Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah Muqayyadah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Ketentuan kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah sebagaimana dimaksud pada Angka 2, kecuali huruf a, huruf f dan huruf g; b. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya Bank memiliki utang kepada nasabah; dan c. Jumlah ….. c. Jumlah utang nasabah kepada pihak ketiga yang bisa diambil alih oleh Bank, paling besar sebanyak nilai utang Bank kepada nasabah. IV.3. Jasa Pertukaran Mata Uang atas Dasar Akad Sharf Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa pertukaran mata uang atas dasar Akad Sharf, berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a. Bank dapat bertindak baik sebagai pihak yang menerima penukaran maupun pihak yang menukarkan uang dari atau kepada nasabah; b. Transaksi pertukaran uang untuk mata uang berlainan jenis (valuta asing) hanya dapat dilakukan dalam bentuk transaksi spot; dan c. Dalam hal transaksi pertukaran uang dilakukan terhadap mata uang berlainan jenis dalam kegiatan money changer, maka transaksi harus dilakukan secara tunai dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan. V. KETENTUAN GANTI RUGI (Ta’widh) Ketentuan Ganti Rugi (Ta'widh) dalam Pembiayaan dan Penghimpunan Dana adalah sebagai berikut : a. Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) kepada nasabah baik karena kesengajaan maupun kelalaian nasabah dalam melakukan sesuatu yang menyimpang dari perjanjian pembiayaan dan penghimpunan dana yang mengakibatkan kerugian dan/atau tambahan beban pada Bank; b. Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah sebesar nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya Bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan potensi kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah); c. Kerugian….. c. Kerugian riil sebagaimana dimaksud dalam huruf b adalah biaya-biaya riil dan/atau tambahan beban yang dikeluarkan oleh Bank dalam rangka penagihan hak Bank atas nasabah dan/atau dalam rangka pengelolaan rekening penghimpunan dana nasabah. d. Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Pembiayaan atas dasar Ijarah dan Pembiayaan yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam, Istishna’ serta Murabahah, yang pembayarannya dilakukan secara tangguh; e. Ganti rugi dalam Pembiayaan atas dasar Mudharabah dan Musyarakah, hanya boleh dikenakan oleh Bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) apabila bagian keuntungan Bank tidak dibayar oleh nasabah sebagai pengelola dana (mudharib); f. Klausul kemungkinan pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam perjanjian Pembiayaan dan dipahami oleh nasabah. VI. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 17 Maret 2008 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, SITI CH. FADJRIJAH DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/14/DPbS|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah </reg_title> <set_date> 17 Maret 2008 </set_date> <effective_date> 17 Maret 2008 </effective_date> <related_reg> '9/19/PBI/2007' </related_reg>
No. 13 /30 /DPNP Jakarta, 16 Desember 2011 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4159) serta dalam rangka sinkronisasi ketentuan Bank Indonesia dengan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia yang telah diselaraskan dengan International Financial Reporting Standards (IFRS), perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana . . . sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/11/DPNP tanggal 31 Maret 2010, sebagai berikut: 1. Seluruh lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/11/DPNP tanggal 31 Maret 2010 diubah menjadi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1, Lampiran 1a, Lampiran 2, Lampiran 2a, Lampiran 3, Lampiran 3a, Lampiran 4, Lampiran 5, Lampiran 5a, Lampiran 6, Lampiran 6a, Lampiran 7, Lampiran 8, Lampiran 8a, Lampiran 9, Lampiran 9a, Lampiran 10, Lampiran 11, Lampiran 12, Lampiran 13, dan Lampiran 14, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Ketentuan dalam butir II.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: II.2. Cakupan a. Laporan yang wajib disajikan dalam Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan paling kurang terdiri atas: 1) Posisi Keuangan/Neraca; 2) Laba Rugi Komprehensif; 3) Komitmen dan Kontinjensi; 4) Transaksi Spot dan Derivatif; 5) Kualitas Aset Produktif dan Informasi lainnya; 6) Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum; dan 7) Rasio Keuangan. Format . . . Format laporan sebagaimana butir II.2.a.1) sampai dengan butir II.2.a.7) masing-masing menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3, Lampiran 4, Lampiran 5, Lampiran 6, dan Lampiran 7. b. Dalam penyusunan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank wajib berpedoman pada: 1) Pedoman Penyusunan Laporan Posisi Keuangan/Neraca; 2) Pedoman Penyusunan Laporan Laba Rugi Komprehensif; 3) Pedoman Penyusunan Laporan Komitmen dan Kontinjensi; 4) Pedoman Penyusunan Laporan Transaksi Spot dan Derivatif; 5) Pedoman Penyusunan Laporan Kualitas Aset Produktif dan Informasi Lainnya; 6) Pedoman Perhitungan Modal; dan 7) Pedoman Perhitungan Rasio Keuangan. Pedoman penyusunan laporan sebagaimana butir II.2.b.1) sampai dengan butir II.2.b.7) masing-masing adalah sebagaimana pada Lampiran 8, Lampiran 9, Lampiran 10, Lampiran 11, Lampiran 12, Lampiran 13, dan Lampiran 14. Penyajian Laporan Keuangan Publikasi dengan menggunakan format laporan sebagaimana dimaksud pada butir II.2.a dilakukan sejak laporan posisi bulan Desember 2011. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 Desember 2011. Agar . . . Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, WIMBOH SANTOSO DIREKTUR PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 13/30/DPNP|SE-BI/2011 </reg_id> <reg_title> Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia </reg_title> <set_date> 16 Desember 2011 </set_date> <effective_date> 16 Desember 2011 </effective_date> <changed_reg> '3/30/DPNP|SE-BI/2001' </changed_reg> <extension_of> '12/11/DPNP|SE-BI/2010' </extension_of> <related_reg> '3/22/PBI/2001', '3/30/DPNP|SE-BI/2001', '12/11/DPNP|SE-BI/2010' </related_reg>
No.10/38/DPM Jakarta, 14 November 2008 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM Perihal : Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Dalam rangka pemberian fasilitas likuiditas intrahari untuk kelancaran transaksi Bank dalam Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement (BI- RTGS) dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/29/PBI/2008 tanggal 14 November 2008 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4922), dipandang perlu untuk mengatur ketentuan pelaksanaan pemberian fasilitas likuiditas intrahari sebagai berikut: I. PENYEDIAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI (FLI) 1. Bank Indonesia menyediakan FLI kepada Bank yang meliputi FLI-RTGS dan/atau FLI-Kliring. 2. Bank dapat menggunakan FLI jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI dan/atau SUN; b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta Sistem BI-RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank peserta kliring; dan c. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS. 3. Bank ... 2 3. Bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan akan menggunakan FLI harus menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. Perjanjian Penggunaan FLI sebagaimana contoh dalam Lampiran-1 sebagai dasar bagi Bank untuk menggunakan FLI sebanyak 2 (dua) eksemplar sebagai berikut: 1) 1 (satu) eksemplar dibubuhi meterai cukup dan ditandatangani oleh Direksi atau pejabat Bank yang berwenang sesuai dengan Anggaran Dasar Bank; dan 2) 1 (satu) eksemplar dibubuhi meterai cukup untuk ditandatangani oleh Bank Indonesia. b. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia : 1) fotokopi anggaran dasar Bank atau perubahan terakhir yang dilegalisir Bank, yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili Bank jika penandatangan perjanjian dilakukan oleh direksi; 2) fotokopi anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan surat kuasa dari direksi kepada pejabat yang menandatangani perjanjian jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh direksi; 3) fotokopi peraturan daerah bagi Bank yang berbadan hukum perusahaan daerah yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili Bank jika penandatanganan perjanjian dilakukan oleh direksi; atau 4) fotokopi peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan surat kuasa dari direksi kepada pejabat yang menandatangani perjanjian jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh direksi. c. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri : 1) fotokopi ... 3 1) fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusatnya yang memuat kewenangan pejabat untuk mewakili Bank jika penandatangan perjanjian dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO); atau 2) fotokopi surat kuasa sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan surat kuasa dari CEO kepada pejabat yang menandatangani perjanjian jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh CEO. d. Fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari pejabat Bank yang berwenang untuk menandatangani perjanjian sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c. 4. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 3 disampaikan dengan surat pengantar kepada Bank Indonesia, Biro Operasi Moneter - Direktorat Pengelolaan Moneter (BOpM-DPM), Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350. 5. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan atau penolakan permohonan FLI kepada Bank paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 3 diterima oleh Bank Indonesia secara lengkap. 6. Dalam hal permohonan FLI disetujui, Bank Indonesia membuka akses bagi Bank untuk menggunakan FLI melalui BI-SSSS. 7. Dalam hal Bank telah memiliki akses FLI sebagaimana dimaksud pada angka 6 dan di kemudian hari Bank yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan FLI maka Bank Indonesia menghentikan akses penggunaan FLI melalui BI-SSSS. II. TRANSAKSI ... 4 II. TRANSAKSI REPO DALAM RANGKA FLI 1. Dalam rangka memperoleh FLI, Bank melakukan transaksi repo dengan menggunakan surat berharga berupa SBI dan/atau SUN milik Bank yang bersangkutan yang tercatat dalam rekening perdagangan dalam BI-SSSS. 2. Pelaksanaan transaksi repo dengan menggunakan SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Transaksi repo dalam rangka FLI-RTGS 1) Bank harus memindahkan SBI dan/atau SUN dari rekening perdagangan ke rekening FLI-RTGS pada BI-SSSS. 2) Pemindahan SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan pada saat Bank membutuhkan FLI-RTGS (self assessment) selama jam operasional BI-RTGS sampai dengan cut off warning sistem BI-RTGS. 3) SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak dapat dipindahkan ke rekening perdagangan selama Bank menggunakan FLI-RTGS. 4) Bank dapat memindahkan kembali SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) ke rekening perdagangan setelah Bank menyelesaikan FLI-RTGS. b. Transaksi repo dalam rangka FLI-Kliring 1) Bank harus memindahkan SBI dan/atau SUN dari rekening perdagangan ke rekening FLI-Kliring dalam rangka pemenuhan kewajiban penyediaan pendanaan awal (prefund). 2) Pemindahan SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan pada awal hari sebelum Kliring Debet dimulai sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). 3) Nilai ... 5 3) Nilai nominal SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang dipindahkan sesuai dengan kebutuhan untuk memenuhi kewajiban penyediaan pendanaan awal (prefund). 4) Bank dapat memindahkan kembali SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) ke rekening perdagangan sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai SKNBI. 3. Pelaksanaan transaksi repo dengan menggunakan SBI dan/atau SUN dalam rangka FLI melalui BI-SSSS dilakukan dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS. III. PENGGUNAAN FLI 1. Penggunaan FLI-RTGS a. Bank dapat menggunakan FLI-RTGS sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS sepanjang Bank telah memindahkan SBI dan/atau SUN ke rekening FLI-RTGS sebagaimana dimaksud pada butir II.2.a. b. Penggunaan FLI-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk: 1) penyelesaian transaksi keluar (outgoing transaction) sistem BI- RTGS; dan 2) penyelesaian akhir Kliring Debet, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai SKNBI. 2. Penggunaan FLI-Kliring Penggunaan FLI-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban Bank dalam penyelesaian akhir Kliring Debet sepanjang Bank telah memindahkan surat berharga ke rekening FLI- Kliring sebagaimana dimaksud pada butir II.2.b. 3. Mekanisme ... 6 3. Mekanisme penggunaan FLI melalui BI-SSSS dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS. IV. PENYELESAIAN FLI 1. Bank wajib menyelesaikan FLI pada hari penggunaan FLI (T+0) paling lambat sampai dengan pre cut-off time Sistem BI-RTGS. 2. Penyelesaian FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat transaksi masuk (incoming transaction) ke rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. 3. Mekanisme penyelesaian FLI melalui BI-SSSS dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS. V. BIAYA PENGGUNAAN FLI 1. Bank Indonesia mengenakan biaya atas penggunaan FLI yang dihitung sebagai berikut : Nominal Penggunaan FLI x [t / (10,5 jam x 60 menit)] x i x [1/360 ] Keterangan: t i = waktu penggunaan FLI = suku bunga rata-rata tertimbang PUAB Rupiah overnight pagi yang terjadi pada hari penggunaan FLI (T+0). 10,5 jam = jangka waktu dari mulai dibukanya jam operasional Sistem BI-RTGS (06.30 WIB) sampai dengan cut off warning Sistem BI-RTGS (17.00 WIB). 2. Biaya atas penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan cara sebagai berikut: a. Untuk penggunaan FLI dalam 1 (satu) jam pertama, biaya atas penggunaan FLI dihitung berdasarkan akumulasi nilai nominal FLI yang ... 7 yang digunakan Bank (extend) dengan waktu penggunaan dibulatkan menjadi 1 (satu) jam. b. Untuk penggunaan FLI setelah 1 (satu) jam pertama sebagaimana dimaksud pada huruf a, biaya atas penggunaan FLI dihitung sesuai dengan posisi (outstanding) nominal FLI yang digunakan dengan waktu penggunaan dibulatkan ke atas dalam hitungan menit terdekat. 3. Contoh perhitungan biaya atas penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat dilihat dalam Lampiran-2. 4. Pembebanan biaya atas penggunaan FLI dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah penggunaan FLI. VI. PERLAKUAN FLI YANG TIDAK TERSELESAIKAN 1. Dalam hal Bank tidak menyelesaikan FLI sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada butir IV.1 maka terhadap nilai FLI yang tidak diselesaikan diberlakukan sebagai transaksi repo dengan Bank Indonesia dengan jangka waktu 1 (satu) hari (overnight). 2. Dengan pengalihan FLI menjadi transaksi repo dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka Bank tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai transaksi repo dengan Bank Indonesia di pasar sekunder yang berlaku. VII. KETENTUAN PERALIHAN 1. Bank yang telah menandatangani Perjanjian Penggunaan FLI dan Pengagunan sebelum berlakunya Surat Edaran ini harus mengganti Perjanjian Penggunaan FLI sebagaimana terlampir dalam Surat Edaran ini. 2. Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum menerapkan SKNBI dapat menggunakan FLI-RTGS untuk penyelesaian akhir kliring yang terjadi sebelum cut off warning Sistem BI-RTGS. VIII. PENUTUP ... 8 VIII. PENUTUP Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/34/DPM tanggal 3 Agustus 2005 perihal Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/46/DPM tanggal 27 September 2005 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/34/DPM tanggal 3 Agustus 2005 perihal Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 14 November 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/38/DPM|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum </reg_title> <set_date> 14 November 2008 </set_date> <effective_date> 14 November 2008 </effective_date> <replaced_reg> '7/34/DPM|SE-BI/2005', '7/46/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '10/29/PBI/2008' </related_reg>
No. 6/16 /DPM Jakarta, 31 Maret 2004 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah Sehubungan dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4082) serta memperhatikan Surat Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Bank Indonesia Nomor PROG-2345/BPPN/0700 tanggal 28 Juli 2000 perihal Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin oleh Pemerintah, maka dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai marjin suku bunga menjadi sebagai berikut: 1. Marjin Simpanan Pihak Ketiga Jenis Deposito Jangka waktu 1 bulan 3 bulan 6 bulan 12 bulan 24 bulan dalam Rupiah (basis point) 24 (dua puluh empat) 25 (dua puluh lima) 25 (dua puluh lima) 27 (dua puluh tujuh) 22 (dua puluh dua) dalam valuta asing (basis point) 6 (enam) 6 (enam) 6 (enam) 6 (enam) 11 (sebelas) di atas … 2 di atas rata-rata suku bunga deposito berjangka dari bank-bank anggota Jakarta Inter Bank Offered Rates (JIBOR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2. Marjin Pasar Uang Antar Bank (PUAB) a. Dalam Rupiah ditetapkan sebesar 77 (tujuh puluh tujuh) basis point di atas rata-rata suku bunga PUAB dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Dalam valuta asing ditetapkan sebesar 1 (satu) basis point di bawah rata- rata suku bunga PUAB dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/12/DPNP tanggal 26 Februari 2004 perihal Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang Dijamin Pemerintah dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 1 April 2004. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Ttd. BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 6/16/DPM|SE-BI/2004 </reg_id> <reg_title> Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah </reg_title> <set_date> 31 Maret 2004 </set_date> <effective_date> 1 April 2004 </effective_date> <replaced_reg> '6/12/DPNP|SE-BI/2004' </replaced_reg> <related_reg> 'PROG-2345/BPPN/0700|SRT-BPPN/2000', '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '3/5/PBI/2001' </related_reg>
No. 2/ 12 /DPNP Jakarta, 12 Juni 2000 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penilaian Aktiva Produktif dalam Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko I. PENJELASAN UMUM Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/146/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, terdapat perubahan pengaturan mengenai komponen modal pelengkap yang bersumber dari Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Perubahan dalam ketentuan tersebut menyatakan bahwa komponen modal pelengkap yang berasal dari PPAP hanya cadangan umum PPAP. Sedangkan cadangan khusus PPAP dikeluarkan dari komponen modal pelengkap. Selain itu, berdasarkan standar internasional sebagaimana ditetapkan oleh Bank for International Settlements (BIS), cadangan khusus PPAP yang dikeluarkan dari komponen modal pelengkap akan diperhitungkan sebagai faktor pengurang pada nilai aktiva produktif yang bersangkutan dalam penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Sehubungan … Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan perbankan yang ada. Penyesuaian terhadap ketentuan tersebut diharapkan dapat memberi ruang gerak yang lebih luas bagi kegiatan usaha perbankan, khususnya penyaluran kredit perbankan. II. PENGHITUNGAN AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RISIKO 1. Aktiva Produktif dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan atau Macet dalam penghitungan ATMR dinilai sebesar nilai buku. Nilai buku adalah nilai Aktiva Produktif setelah dikurangi dengan cadangan khusus PPAP yang dibentuk. Khusus terhadap kredit yang direstrukturisasi, penghitungan nilai buku tersebut dilakukan setelah memperhitungkan cadangan restrukturisasi kredit. 2. Ketentuan mengenai Aktiva Produktif dan PPAP didasarkan pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif . 3. Dalam penghitungan ATMR, bobot risiko Aktiva Produktif bank yang memperoleh jaminan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) disetarakan dengan bobot risiko Aktiva Produktif yang dijamin oleh Pemerintah Pusat, yaitu dengan bobot risiko sebesar 0% (nol perseratus) sebesar bagian yang dijamin oleh BPPN. 4. Agar … 4. Agar dapat disetarakan dengan jaminan dari Pemerintah Pusat maka jaminan dari BPPN sebagaimana dimaksud dalam butir 3, wajib memenuhi persyaratan : a. bersifat irrevocable yaitu jaminan dengan kondisi tidak dapat diubah dan atau ditarik kembali atau dibatalkan tanpa persetujuan Bank dan BPPN; b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diajukannya klaim; dan c. jangka waktu jaminan sekurang-kurangnya sama dengan jangka waktu aktiva produktif. III. PELAPORAN 1. Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia laporan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Surat Edaran ini setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 24 bulan berikutnya. Apabila tanggal 24 jatuh pada hari Sabtu/Minggu/Libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya. 2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat : a. Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10010 sesuai dengan Direktorat yang mengawasi bank yang bersangkutan bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Bank Indonesia Jakarta; b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. 3. Dalam … 3. Dalam hal bank tidak menyampaikan laporan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir 1, maka penghitungan ATMR akan dilakukan berdasarkan data yang tersedia dalam Laporan Bulanan Bank Umum. 4. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 hanya berlaku sampai dengan ketentuan penyempurnaan Laporan Bulanan Bank Umum diberlakukan. IV. PENUTUP Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini, maka penghitungan ATMR sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/1/BPPP tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Surat Edaran ini. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 12 Juni 2000 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA SUBARJO JOYOSUMARTO Deputi Gubernur
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 2/12/DPNP|SE-BI/2000 </reg_id> <reg_title> Penilaian Aktiva Produktif dalam Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko </reg_title> <set_date> 12 Juni 2000 </set_date> <effective_date> 12 Juni 2000 </effective_date> <related_reg> '31/146/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '26/20/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' </related_reg>
No. 14/ 3 /DPM Jakarta, 4 Januari 2012 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING Perihal : Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4715) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/xx1x/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 2 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5270) dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/xx1x /DPM tanggal 4 Januari 2012 perihal Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut : I. UMUM … 2 I. UMUM Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan : 1. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Bank Asing adalah bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kantor bank dari bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 4. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 5. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. 6. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS. 7. Bursa adalah PT Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange) yang telah memperoleh persetujuan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) untuk mengadakan kegiatan pasar komoditi syariah. 8. Komoditi di Bursa adalah komoditi yang dipastikan ketersediaannya untuk ditransaksikan di pasar komoditi syariah … 3 syariah sebagaimana ditetapkan oleh Bursa atas Persetujuan Dewan Pengawas Syariah, kecuali indeks dan valuta asing. 9. Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank yang selanjutnya disebut SiKA adalah sertifikat yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah oleh BUS atau UUS dalam transaksi PUAS yang merupakan bukti jual beli dengan pembayaran tangguh atas perdagangan Komoditi di Bursa. 10. Peserta Pedagang Komoditi adalah peserta yang menyediakan persediaan (stock) komoditi di pasar komoditi syariah. 11. Peserta Komersial adalah BUS, UUS, atau Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang membeli Komoditi di Bursa. 12. Konsumen Komoditi adalah BUS atau UUS yang membeli Komoditi di Bursa dari Peserta Komersial. 13. Murabahah adalah penjualan suatu barang (komoditi) dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba. 14. Ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (‘iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. 15. Surat Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT) adalah tanda bukti penguasaan Komoditi di Bursa yang diperdagangkan dalam sistem perdagangan pasar komoditi syariah secara elektronik. 16. Qabdh adalah penguasaan Komoditi di Bursa oleh pembeli yang menyebabkan ia berhak untuk melakukan tindakan hukum (tasharruf) terhadap komoditi tersebut, seperti menjual, menerima manfaat atau menanggung risikonya. 17. Qabdh … 4 17. Qabdh Hukmi adalah penguasaan Komoditi di Bursa oleh pembeli secara dokumen kepemilikan komoditi yang dibelinya baik dalam bentuk catatan elektronik maupun non-elektronik. 18. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. II. KARAKTERISTIK DAN PERSYARATAN SiKA SiKA mempunyai karakteristik dan persyaratan sebagai berikut : 1. Diterbitkan atas dasar transaksi jual beli Komoditi di Bursa dengan menggunakan akad Murabahah. 2. Diterbitkan dalam rupiah. 3. Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat (scripless). 4. Berjangka waktu satu hari (overnight) sampai dengan 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari. 5. Tidak dapat dialihkan kepemilikannya. 6. Diterbitkan berdasarkan perdagangan Komoditi di Bursa. 7. Diterbitkan paling banyak sebesar nilai perdagangan Komoditi di Bursa yang menjadi dasar penerbitannya. 8. Komoditi di Bursa yang menjadi dasar penerbitan SiKA harus halal dan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan. 9. Perdagangan Komoditi di Bursa yang menjadi dasar penerbitan SiKA harus sesuai dengan peraturan perdagangan di Bursa dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. III. MEKANISME PENERBITAN DAN TRANSAKSI SiKA 1. SiKA diterbitkan oleh BUS atau UUS selaku Konsumen Komoditi. 2. SiKA … 5 2. SiKA dapat ditransaksikan oleh Konsumen Komoditi dengan BUS, UUS, atau Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selaku Peserta Komersial. 3. Transaksi SiKA dapat dilakukan secara langsung dan/atau melalui Perusahaan Pialang. 4. Dalam hal transaksi SiKA dilakukan melalui Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada angka 3, maka penggunaan Perusahaan Pialang dimaksud menggunakan akad Ju’alah. 5. SiKA memuat informasi antara lain : a. nilai nominal perdagangan Komoditi di Bursa sesuai Surat Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT); b. marjin perdagangan Komoditi di Bursa; dan c. jangka waktu pembayaran tangguh oleh Konsumen Komoditi. 6. Mekanisme Transaksi SiKA a. Konsumen Komoditi selaku pembeli memesan kepada Peserta Komersial untuk melakukan pembelian Komoditi di Bursa dan berjanji (al wa’d) akan melakukan pembelian komoditi dimaksud. b. Peserta Komersial membeli Komoditi di Bursa dari Peserta Pedagang Komoditi dengan pembayaran tunai (al bai’) sebesar nilai nominal komoditi. c. Peserta Komersial menerima dokumen kepemilikan yang berupa SPAKT. d. Peserta Komersial menjual komoditi kepada Konsumen Komoditi dengan akad Murabahah. e. Konsumen Komoditi membayar kepada Peserta Komersial secara tangguh atau angsuran sesuai kesepakatan dalam akad Murabahah dan menerbitkan SiKA. f. Konsumen … 6 f. Konsumen Komoditi mendapat jaminan untuk menerima komoditi dalam bentuk SPAKT dari Peserta Komersial (Qabdh Hukmi). g. Konsumen Komoditi menjual komoditi melalui Bursa kepada Peserta Pedagang Komoditi secara tunai dengan akad al bai’ sebesar nilai nominal komoditi sebagaimana tercantum di dalam SPAKT. h. Konsumen Komoditi menyerahkan komoditi dengan mengalihkan SPAKT yang diterima dari Peserta Komersial sebagaimana dimaksud pada huruf f. i. Konsumen Komoditi menerima pembayaran tunai dari Peserta Pedagang Komoditi. 7. Peserta Pedagang Komoditi yang melakukan transaksi dengan Peserta Komersial dan Konsumen Komoditi tidak boleh merupakan pihak yang sama. IV. PENYELESAIAN TRANSAKSI 1. Pada saat pembelian Komoditi di Bursa, Peserta Komersial melakukan transfer dana kepada Peserta Pedagang Komoditi sebesar nilai nominal komoditi dan memperoleh SPAKT dari Peserta Pedagang Komoditi. 2. Pada saat SiKA diterbitkan, Peserta Komersial menyerahkan SPAKT kepada Konsumen Komoditi. 3. Pada saat penjualan Komoditi di Bursa oleh Konsumen Komoditi kepada Peserta Pedagang Komoditi, Peserta Pedagang Komoditi melakukan transfer dana kepada Konsumen Komoditi sebesar nilai nominal komoditi sebagaimana tercantum di dalam SPAKT. 4. Pada … 7 4. Pada saat SiKA jatuh waktu, Konsumen Komoditi melakukan transfer dana kepada Peserta Komersial sebesar nilai nominal komoditi ditambah marjin perdagangan Komoditi di Bursa. V. PELAPORAN 1. BUS atau UUS yang melakukan transaksi SiKA wajib melaporkan transaksi SiKA kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem LHBU. 2. Dalam hal transaksi SiKA belum dapat dilaporkan secara online melalui Sistem LHBU, BUS dan UUS melaporkan transaksi SiKA yang dilakukan dengan mengirimkan softcopy laporan melalui e-mail dan hardcopy laporan melalui faksimili kepada Direktorat Perbankan Syariah dan Direktorat Pengelolaan Moneter. 3. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 menggunakan format laporan sebagaimana contoh pada Lampiran Surat Edaran ini. VI. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2012. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar maklum. BANK INDONESIA, HENDAR DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER DPM
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 14/3/DPM|SE-BI/2012 </reg_id> <reg_title> Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank </reg_title> <set_date> 4 Januari 2012 </set_date> <effective_date> 4 Januari 2012 </effective_date> <related_reg> '14/1/DPM|SE-BI/2012', '9/5/PBI/2007', '14/1/PBI/2012' </related_reg>
No. 15/20/DKBU Jakarta, 22 Mei 2013 SURAT EDARAN KEPADA SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA Perihal : Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/51/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 145, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4580) tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/37/DKBU/2009 tanggal 31 Desember 2009 perihal Penetapan Standar Akuntansi Keuangan bagi Bank Perkreditan Rakyat, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/14/DKBU/2010 tanggal 1 Juni 2010 perihal Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat, serta dalam rangka meningkatkan transparansi informasi keuangan kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini sebagai berikut: I. KETENTUAN . . . 2 I. KETENTUAN UMUM A. Laporan Bulanan disampaikan kepada Bank Indonesia dalam rangka pengawasan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan sebagai sumber penyusunan statistik perbankan untuk kepentingan penyusunan kebijakan pengembangan BPR. B. Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf A disampaikan oleh BPR Pelapor yang meliputi kantor pusat dan kantor cabang BPR. C. Penyusunan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan dilakukan dengan berpedoman pada Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan BPR. II. FORMAT DAN TATA CARA PENYUSUNAN LAPORAN BULANAN A. Format dan tata cara penyusunan Laporan Bulanan berpedoman pada Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan BPR sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. B. Prosedur pengoperasian aplikasi Laporan Bulanan diatur dalam Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Berkala BPR sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. III. PERSYARATAN PENYUSUNAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN BPR Persyaratan yang perlu dipenuhi dalam rangka penyusunan dan penyampaian Laporan Bulanan adalah: A. Komputer yang memenuhi konfigurasi perangkat keras dan perangkat lunak sesuai Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Berkala . . . 3 Berkala BPR sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. B. Pegawai BPR yang ditunjuk sebagai petugas yang memiliki kompetensi untuk menyusun dan melakukan verifikasi Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan. C. Pejabat atau Pegawai BPR yang ditunjuk sebagai penanggung jawab untuk melakukan verifikasi ulang dan menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia. D. Pedoman tertulis mengenai sistem dan prosedur penyusunan dan penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan. E. Sistem pengamanan yang memadai terhadap komputer, aplikasi yang digunakan, dan data Laporan Bulanan. F. Back up data Laporan Bulanan yang ditatausahakan dengan baik. IV. PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN BULANAN A. BPR Pelapor menyampaikan Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia secara on-line melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. B. BPR Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia secara on-line melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya paling lambat tanggal 20 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. C. Dalam . . . 4 C. Dalam hal BPR Pelapor belum menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan huruf B, BPR Pelapor tetap harus menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia secara on-line sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. Contoh: BPR A hanya dapat menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line untuk data bulan Juni 2013, paling lama sampai dengan akhir bulan Juli 2013. D. Bagi BPR Pelapor yang menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf C, BPR Pelapor tersebut tetap dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan. E. Dalam hal BPR Pelapor tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf C maka BPR Pelapor tersebut dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan. F. Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan yang disampaikan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf C hanya dapat disampaikan secara off-line dalam bentuk CD atau media perekam data elektronik lainnya disertai hasil validasi, kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR Pelapor. G. Untuk . . . 5 G. Untuk mendapatkan pengecualian penyampaian Laporan Bulanan secara on-line, BPR Pelapor menyampaikan pemberitahuan secara tertulis beserta alasannya kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR Pelapor. H. Dalam hal BPR Pelapor merupakan kantor cabang BPR, pemberitahuan dilakukan oleh kantor cabang BPR tersebut kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR dimaksud, dengan tembusan kepada kantor pusat BPR Pelapor. Contoh: BPR A berkantor pusat di Surabaya memiliki kantor cabang di Jember. Apabila kantor cabang BPR A tidak dapat menyampaikan Laporan Bulanan secara on-line maka pemberitahuan untuk mendapatkan pengecualian penyampaian Laporan Bulanan secara on-line disampaikan oleh kantor cabang BPR A kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia Surabaya, dengan tembusan kepada kantor pusat BPR tersebut. I. Dalam hal BPR Pelapor menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara off-line maka Laporan Bulanan disampaikan dengan menggunakan compact disk (CD) atau media perekam data elektronik lainnya disertai hasil validasi yang telah ditandatangani oleh penanggung jawab dan disampaikan kepada Kantor Pusat atau Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR Pelapor. J. Dalam hal terjadi kerusakan CD atau media perekam data elektronik lainnya yang telah diterima oleh Bank Indonesia secara off-line, BPR Pelapor menyampaikan ulang CD atau media perekam data elektronik lainnya tersebut. V. TATA CARA . . . 6 V. TATA CARA PEMENUHAN SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR Pemenuhan sanksi kewajiban membayar kepada Bank Indonesia dilakukan oleh kantor pusat BPR Pelapor secara tunai atau non tunai dengan tata cara sebagai berikut: A. Pembayaran secara tunai 1. Bagi BPR Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta, Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi, menyetor kepada Departemen Pengedaran Uang c.q. Divisi Pengelolaan Uang Keluar (PgUK); dan 2. bagi BPR Pelapor yang kantor pusatnya berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, menyetor kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR Pelapor, pada setiap hari kerja, waktu layanan kas, pukul 08.00 sampai dengan 12.00 waktu setempat (hari Senin sampai dengan Kamis) atau pukul 08.00 sampai dengan 11.30 waktu setempat (hari Jumat), untuk untung rekening nomor 566.000447.XXX (sesuai sandi satuan kerja Bank Indonesia) – “Rekening antara sehubungan dengan penerimaan sanksi administratif BPR”. B. Pembayaran secara non tunai 1. Kliring Transfer ditujukan ke rekening nomor 566.000447.XXX (sesuai sandi satuan kerja Bank Indonesia) – “Rekening antara sehubungan dengan penerimaan sanksi administratif BPR”, dengan mencantumkan “pembayaran sanksi kewajiban membayar dari BPR XXX untuk Laporan Bulanan periode XXX” pada kolom keterangan. 2. BI-RTGS . . . 7 2. BI-RTGS Transfer ditujukan ke rekening nomor 566.000447.XXX (sesuai sandi satuan kerja Bank Indonesia) – “Rekening antara sehubungan dengan penerimaan sanksi administratif BPR”, dengan mencantumkan Transaction Reference Number (TRN) BIRBK566 dan pada kolom keterangan dicantumkan “pembayaran sanksi kewajiban membayar dari BPR XXX untuk Laporan Bulanan periode XXX”. 3. BPR Pelapor menyampaikan salinan bukti pembayaran sanksi kewajiban membayar kepada Bank Indonesia . VI. KORESPONDENSI A. Penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara off-line, pemberitahuan tertulis untuk memperoleh pengecualian tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line dan penyampaian salinan bukti pembayaran sanksi kewajiban membayar ditujukan kepada: 1. Departemen yang menangani mengenai pengelolaan dan kepatuhan laporan Bank bagi BPR Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta, Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi. 2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia/Kantor Regional Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR Pelapor, bagi BPR Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam angka 1. B. Penyampaian nama petugas, penanggung jawab dan nomor telepon serta perubahannya yang digunakan untuk menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan . . . 8 Bulanan ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam huruf A. C. Pertanyaan yang berkaitan dengan aplikasi Laporan Bulanan disampaikan kepada help desk Bank Indonesia dengan alamat: Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telp. 021- 381 8000 (hunting), fax. 021 – 386 6071 e-mail: helpdesk@bi.go.id. VII. KETENTUAN PERALIHAN A. Penyusunan dan penyampaian Laporan Bulanan dan/atau Koreksi Laporan Bulanan untuk posisi bulan sebelum bulan Agustus 2013 tetap berpedoman pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana telah diubah terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/15/DKBU tanggal 11 Juni 2010. B. BPR Pelapor melakukan uji coba penyampaian Laporan Bulanan untuk posisi bulan Juni dan Juli 2013 yang masing-masing disampaikan paling lambat pada akhir bulan berikutnya, dengan berpedoman pada Surat Edaran Bank Indonesia ini. VIII. KETENTUAN PENUTUP A. BPR Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia sejak posisi bulan Agustus 2013 dengan berpedoman pada Surat Edaran Bank Indonesia ini. B. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka: 1. Surat . . . 9 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/15/DKBU tanggal 11 Juni 2010 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. C. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 Mei 2013 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, ZAINAL ABIDIN KEPALA DEPARTEMEN KREDIT, BPR DAN UMKM DKBU
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 15/20/DKBU|SE-BI/2013 </reg_id> <reg_title> Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat. </reg_title> <set_date> 22 Mei 2013 </set_date> <effective_date> 22 Mei 2013 </effective_date> <replaced_reg> '8/7/DPBPR|SE-BI/2006', '12/15/DKBU|SE-BI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '11/37/DKBU/2009|SE-BI/2009', '12/14/DKBU/2010|SE-BI/2010', '7/51/PBI/2005' </related_reg>
No. 10/49/DASP Jakarta, 24 Desember 2008 S U R A T E D A R A N Perihal : Perizinan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang bagi Perorangan dan Badan Usaha Selain Bank --------------------------------------------------------------------------- Sehubungan dengan berakhirnya masa transisi untuk pendaftaran atas kegiatan usaha Pengiriman Uang pada tanggal 31 Desember 2008, sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/28/PBI/2006 tentang Kegiatan Usaha Pengiriman Uang, maka terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009, setiap perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank yang akan melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. Kewajiban untuk memperoleh izin tersebut berlaku juga untuk Penyelenggara kegiatan usaha Pengiriman Uang yang telah terdaftar di Bank Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan, pelaksanaan kegiatan usaha Pengiriman Uang, serta pelaporan kegiatan usaha Pengiriman Uang oleh Penyelenggara diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. I. TATA CARA DAN PROSES PERIZINAN Perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank yang akan atau telah melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. A. Pengajuan … 2 A. Pengajuan Permohonan Izin sebagai Penyelenggara 1. Untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia, perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank harus menyampaikan permohonan izin secara tertulis kepada Bank Indonesia. 2. Untuk perorangan Warga Negara Indonesia, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada angka 1 diajukan oleh individu yang bersangkutan, sedangkan untuk badan usaha diajukan oleh pengurus badan usaha. 3. Untuk perorangan Warga Negara Indonesia, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dilampiri dokumen sebagai berikut: a. fotokopi kartu tanda penduduk; b. c. surat keterangan domisili/tempat tinggal dari lurah/kepala desa setempat; surat pernyataan kesanggupan pemohon dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan notaris, untuk: 1) bertanggung jawab jika terdapat penyalahgunaan Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan 2) memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim dan/atau diterima dari harta kekayaan pribadi; d. informasi mengenai tempat usaha dan sarana prasarana yang digunakan oleh pemohon sebagai Penyelenggara; e. prosedur pengiriman dan/atau penerimaan Uang; dan f. mekanisme … 3 f. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) penerapan prinsip mengenal nasabah; 2) metode monitoring Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan 3) mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk permasalahan mengenai Uang kiriman yang terlambat atau tidak sampai kepada Penerima yang dituju. 4. Untuk badan usaha yang berbadan hukum, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dilampiri dokumen sebagai berikut: a. b. fotokopi surat keterangan domisili badan usaha dari lurah/kepala desa setempat; fotokopi akta pendirian badan hukum Indonesia dan perubahannya jika ada, yang telah memperoleh pengesahan dari instansi yang berwenang. Akta pendirian tersebut harus mencantumkan secara tegas kegiatan Pengiriman Uang sebagai kegiatan dari badan usaha yang bersangkutan; c. surat pernyataan pengurus dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan notaris, yang menyatakan kesanggupan pemohon untuk: 1) bertanggung jawab jika terdapat penyalahgunaan Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan 2) memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim dan/atau diterima dari harta kekayaan perusahaan; d. mekanisme … 4 d. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) penerapan prinsip mengenal nasabah; 2) metode monitoring Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan 3) mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk permasalahan mengenai Uang kiriman yang terlambat atau tidak sampai kepada Penerima yang dituju. e. bukti kesiapan operasional yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) sumber daya manusia yang memadai; 2) kesiapan tempat usaha; 3) sarana dan peralatan untuk melakukan kegiatan pengiriman dan/atau penerimaan Uang; dan 4) mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan pengiriman dan/atau penerimaan Uang. 5. Untuk badan usaha yang tidak berbadan hukum, permohonan izin sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dilampiri dokumen sebagai berikut: a. bukti bahwa pemilik dan pengurus badan usaha merupakan Warga Negara Indonesia. Bukti kewarganegaraan Indonesia tersebut antara lain berupa Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi atau Paspor; b. fotokopi surat keterangan domisili badan usaha dari lurah/kepala desa setempat; c. fotokopi … 5 c. fotokopi akta pendirian badan usaha dan perubahannya jika ada, yang telah memperoleh pengesahan dari instansi yang berwenang. Akta pendirian tersebut harus mencantumkan secara tegas kegiatan Pengiriman Uang sebagai salah satu kegiatan dari badan usaha yang bersangkutan; d. surat pernyataan pengurus dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan notaris, yang menyatakan kesanggupan pemohon untuk: 1) bertanggung jawab jika terdapat penyalahgunaan Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan 2) memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim dan/atau diterima dari harta kekayaan pribadi; e. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) penerapan prinsip mengenal nasabah; 2) metode monitoring Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan 3) mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk permasalahan mengenai Uang kiriman yang terlambat atau tidak sampai kepada Penerima yang dituju; f. bukti kesiapan operasional yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) sumber daya manusia yang memadai; 2) kesiapan tempat usaha; 3) sarana dan peralatan untuk melakukan kegiatan pengiriman dan/atau penerimaan Uang; dan 4) mekanisme … 6 4) mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan pengiriman dan/atau penerimaan Uang. B. Proses Perizinan 1. Dalam memproses permohonan izin, Bank Indonesia c.q. Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP) atau Kantor Bank Indonesia (KBI) yang mewilayahi dapat melakukan peninjauan lapangan untuk memastikan kesiapan serta kesesuaian sarana dan prasarana yang ada dengan dokumen yang disampaikan pemohon. 2. Dalam memproses perizinan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia dapat meminta rekomendasi dari otoritas pengawas atau pembina dari badan usaha pemohon, antara lain tentang kinerja dan kepatuhan pemohon terhadap ketentuan yang berlaku. 3. Bank Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi memberikan izin atau penolakan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. Dalam hal proses perizinan memerlukan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada angka 2, pemberian izin atau penolakan tersebut diberikan dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja setelah diterimanya rekomendasi dan dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. 4. Terhadap permohonan izin yang disetujui, Bank Indonesia c.q. … 7 c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi memberikan izin yang disertai dengan tanda izin. II. PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH Dalam rangka penerapan prinsip mengenal nasabah, Penyelenggara wajib melakukan kegiatan yang sekurang-kurangnya meliputi: A. Identifikasi dan Verifikasi Identitas Pengirim dan/atau Penerima 1. Penyelenggara wajib melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Pengirim dan/atau Penerima pada saat Pengirim dan/atau Penerima melakukan transaksi pengiriman dan/atau penerimaan Uang. 2. Penyelenggara wajib melakukan identifikasi dan verifikasi ulang terhadap identitas Pengirim dan/atau Penerima jika: a. terjadi pengiriman dan/atau penerimaan dengan nilai Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara; b. c. terdapat transaksi yang mencurigakan; dan/atau terdapat keraguan Penyelenggara atas keabsahan informasi yang disampaikan oleh Pengirim dan/atau Penerima atau penerima kuasa. 3. Kegiatan identifikasi dan verifikasi sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. Terhadap Pengirim dan/atau Penerima perorangan: 1) Penyelenggara … 8 1) Penyelenggara meminta informasi mengenai: a) Nama dan alamat Pengirim dan/atau Penerima; b) Tempat dan tanggal lahir; c) Pekerjaan; d) Kewarganegaraan; e) Nomor bukti identitas; f) g) Sumber dana; h) Tujuan Pengiriman Uang; dan i) Informasi Identitas pihak lain dalam hal Pengirim bertindak untuk dan atas nama pihak lain; lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk dapat mengetahui profil Pengirim dan/atau Penerima. Informasi identitas sebagaimana dimaksud pada butir a) sampai dengan butir f) dibuktikan dengan dokumen seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi atau Paspor. 2) Penyelenggara meneliti bahwa Pengirim dan/atau Penerima tersebut telah sesuai dengan identitas Pengirim dan/atau Penerima yang bersangkutan, antara lain kesamaan pasphoto dan tanda tangan. b. Terhadap Pengirim dan/atau Penerima badan usaha: 1) Penyelenggara meminta informasi mengenai: a) Nama dan alamat Pengirim dan/atau Penerima; b) Bidang usaha; c) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d) Identitas … 9 d) Identitas pihak lain dalam hal Pengirim bertindak untuk dan atas nama pihak lain; e) Sumber dana; f) Tujuan Pengiriman Uang; dan g) Informasi lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk dapat mengetahui profil Pengirim dan/atau Penerima. Informasi identitas sebagaimana dimaksud pada butir a) sampai dengan butir d) dibuktikan dengan dokumen izin usaha dan/atau NPWP. 2) Penyelenggara meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas nasabah di atas. 4. Transaksi pengiriman dan/atau penerimaan tidak dapat dilakukan jika terjadi hal-hal antara lain sebagai berikut: a. Pengirim dan/atau Penerima tidak dapat menunjukkan bukti identitas atau anonim; b. Terdapat ketidaksesuaian identitas Pengirim dan/atau Penerima dengan bukti dokumen identitas yang disampaikan; atau c. Penyelenggara meragukan keaslian/kebenaran dari identitas Pengirim dan/atau Penerima. B. Pemantauan Transaksi Pengiriman dan/atau Penerimaan 1. Penyelenggara wajib menatausahakan dokumen identitas Pengirim dan/atau Penerima sebagaimana dimaksud pada butir A.3.a, butir A.3.b dan dokumen transaksi pengiriman dan/atau … 10 dan/atau penerimaan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai dokumen perusahaan serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya. 2. Penyelenggara wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan informasi dokumen sebagaimana dimaksud pada butir A.3.a dan butir A.3.b. 3. Penyelenggara wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa dan memantau Pengirim dan/atau Penerima maupun transaksi yang dilakukannya, serta menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Pengirim dan/atau Penerima. 4. Penyelenggara wajib melakukan identifikasi transaksi yang tergolong mencurigakan (suspicious transactions). Pada prinsipnya transaksi keuangan tergolong mencurigakan jika memiliki unsur-unsur sebagai berikut: a. transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari Pengirim dan/atau Penerima yang bersangkutan; b. transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan yang wajib dilakukan Penyelenggara; c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana diatur dalam peraturan tentang tindak pidana pencucian uang dan pendanaan … 11 pendanaan teroris serta peraturan terkait lainnya. Dalam hal suatu transaksi keuangan telah memenuhi satu atau lebih dari unsur-unsur di atas maka Penyelenggara wajib menetapkan transaksi tersebut sebagai transaksi keuangan mencurigakan dan melaporkannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Untuk mengidentifikasi suatu transaksi keuangan memenuhi satu atau lebih dari unsur-unsur transaksi keuangan tergolong mencurigakan, Penyelenggara dapat menggunakan indikator- indikator transaksi keuangan mencurigakan, antara lain sebagai berikut: a. Pengiriman dan/atau penerimaan Uang dilakukan dalam jumlah diluar kebiasaan Pengirim dan/atau Penerima. Hal ini dapat dilakukan jika Pengirim dan/atau Penerima sering melakukan transaksi Pengiriman Uang pada Penyelenggara yang sama; b. Pengiriman dan/atau penerimaan Uang dilakukan dalam jumlah relatif kecil namun dengan frekuensi yang tinggi; c. Pengiriman dan/atau penerimaan Uang dilakukan dengan menggunakan beberapa nama individu yang berbeda-beda untuk kepentingan satu orang tertentu; d. Pengiriman dan/atau penerimaan Uang dilakukan untuk tujuan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau kegiatan usaha dari Pengirim dan/atau Penerima; e. Perilaku Pengirim dan/atau Penerima, seperti: 1) perilaku … 12 1) perilaku Pengirim dan/atau Penerima yang tidak wajar pada saat melakukan transaksi, seperti: gugup, tergesa-gesa, rasa kurang percaya diri; 2) Pengirim dan/atau Penerima memberikan informasi yang tidak benar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan identitas dirinya; 3) Pengirim dan/atau Penerima menggunakan dokumen identitas yang diragukan kebenarannya atau diduga palsu seperti tanda tangan yang berbeda atau foto yang tidak sama; 4) Pengirim dan/atau Penerima keberatan atau menolak untuk memberikan informasi/dokumen yang diminta oleh Penyelenggara tanpa alasan yang jelas; 5) Pengirim dan/atau Penerima mencoba mempengaruhi Penyelenggara untuk tidak melaporkan sebagai transaksi keuangan mencurigakan dengan berbagai cara. Apabila setelah melakukan proses identifikasi transaksi keuangan mencurigakan, Penyelenggara masih ragu, maka Penyelenggara dapat melaporkan transaksi tersebut kepada PPATK sebagai transaksi keuangan mencurigakan. C. Program Pelatihan Pengurus dan/atau Pegawai Penyelenggara wajib melakukan berbagai upaya yang memadai untuk memastikan seluruh pengurus dan/atau pegawai memperoleh pelatihan secara berkala dan berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian yang bersangkutan. Program pelatihan tersebut … 13 tersebut antara lain mencakup materi mengenai: 1. Peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris; 2. Teknik, metode, dan tren tentang tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris; dan 3. Kebijakan internal, prosedur, dan pengawasan. D. Pengendalian Intern Penyelenggara wajib memelihara fungsi audit dengan sarana yang memadai dan mampu untuk menilai efektifitas dari kebijakan internal, prosedur dan pengawasan, serta kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris. E. Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 1. Penyelenggara wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyelenggara mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. 2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK. 3. Penyelenggara badan usaha wajib menunjuk satu atau lebih pejabat senior manajemen sebagai pejabat kepatuhan yang bertanggung jawab terhadap pelaporan transaksi keuangan mencurigakan. 4. Pejabat … 14 4. Pejabat kepatuhan wajib memastikan bahwa mekanisme pelaporan transaksi keuangan mencurigakan terjamin kerahasiaannya. Dalam rangka memenuhi kewajiban pelaporan kepada PPATK, Penyelenggara hendaknya selalu melakukan pengkinian atas pemahaman ketentuan dan pedoman pelaporan yang dikeluarkan oleh PPATK. III. LAPORAN TANGGAL EFEKTIF DIMULAINYA KEGIATAN 1. Perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara wajib melakukan kegiatannya paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal perizinan. 2. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1, perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank telah melakukan kegiatannya maka perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank tersebut wajib melaporkan secara tertulis tanggal efektif dimulainya kegiatan sebagai Penyelenggara kepada Bank Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi. 3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal efektif dimulainya kegiatan sebagai Penyelenggara. 4. Jika perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank yang telah memperoleh izin tersebut tidak melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1, perorangan … 15 perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank tersebut harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi, sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut: a. uraian kesiapan infrastruktur yang antara lain meliputi kesiapan operasional, sistem yang akan digunakan dalam Pengiriman Uang, dan rencana kerjasama dengan Operator jika ada; dan b. uraian kendala yang dihadapi yang mengakibatkan belum atau tidak dapat dilaksanakannya kegiatan Pengiriman Uang. 5. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4 disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada angka 1. 6. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4, jika Bank Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi menilai terdapat permasalahan yang bersifat struktural yang dapat mengakibatkan perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank tersebut tidak mampu melaksanakan kegiatan sebagai Penyelenggara, maka Bank Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi dapat membatalkan izin sebagai Penyelenggara yang telah diberikan kepada perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank tersebut. IV. PENCANTUMAN DALAM DAFTAR PENYELENGGARA DAN PUBLIKASI 1. Bank Indonesia c.q. DASP mencantumkan identitas Penyelenggara yang telah menyampaikan laporan dimulainya kegiatan Pengiriman Uang … 16 Uang sebagaimana dimaksud dalam butir III.2 dalam Daftar Penyelenggara di Bank Indonesia. 2. Setiap Penyelenggara yang identitasnya telah dicantumkan dalam Daftar Penyelenggara harus menempatkan tanda izin di tempat usaha yang bersangkutan, yakni di tempat yang mudah dilihat dan dibaca oleh pengguna jasa. Fotokopi tanda izin ditempatkan pula di setiap kantor cabang Penyelenggara. 3. Dalam hal Penyelenggara memasang papan nama atas kegiatan usaha Pengiriman Uang yang dilakukan berdasarkan izin dari Bank Indonesia, maka pada papan nama tersebut dicantumkan nomor izin yang telah diperoleh dari Bank Indonesia. 4. Bank Indonesia mempublikasikan Daftar Penyelenggara dalam website Bank Indonesia dan/atau booklet. V. LAPORAN OLEH PENYELENGGARA A. Laporan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang 1. Penyelenggara wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha Pengiriman Uang secara online kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi (UKMI) secara berkala. 2. Jenis dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan oleh Lembaga Selain Bank dan Bank Perkreditan Rakyat. 3. Waktu pelaksanaan penyampaian laporan secara online sebagaimana dimaksud pada angka 1 diberitahukan oleh Bank Indonesia … 17 Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi kepada seluruh Penyelenggara melalui surat. 4. Dalam hal laporan secara online belum diberlakukan, Penyelenggara wajib menyampaikan laporan secara berkala dalam bentuk hardcopy yaitu Laporan Transaksi Kegiatan Usaha Pengiriman Uang sebagaimana dalam Lampiran 1.a dan Lampiran 1.b. Penyelenggara wajib menyampaikan Laporan Transaksi Kegiatan Usaha Pengiriman Uang tersebut meskipun pada periode bulan laporan tidak terdapat transaksi pengiriman dan/atau penerimaan uang. Field dalam Laporan diisi dengan keterangan “NIHIL”. 5. Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada angka 4 disampaikan kepada: a. DASP c.q. Tim Manajemen Informasi dan Administrasi (Tim MIA), untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a. 6. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4 disampaikan secara bulanan dan harus sudah diterima oleh DASP c.q. Tim MIA atau KBI yang mewilayahi paling lambat tanggal 15 pada bulan … 18 bulan berikutnya. Contoh: laporan bulan Januari 2009, harus sudah diterima oleh DASP c.q. Tim MIA atau KBI yang mewilayahi paling lambat pada tanggal 15 Februari 2009. 7. Dalam hal tanggal paling lambat sebagaimana dimaksud pada angka 6 jatuh pada hari libur, maka tanggal paling lambat adalah pada tanggal hari kerja berikutnya. 8. Untuk Penyelenggara yang memiliki kantor cabang, laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4 disampaikan oleh kantor pusat Penyelenggara secara konsolidasi yang merupakan gabungan laporan kantor pusat dan seluruh kantor cabang. B. Laporan Rencana Pembukaan Kantor Cabang 1. Penyelenggara wajib menyampaikan laporan secara tertulis jika merencanakan untuk melakukan pembukaan kantor cabang kepada: a. DASP c.q. Bagian Pengawasan Sistem Pembayaran (Bagian PwSP), untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a. 2. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal efektif dimulainya … 19 dimulainya kegiatan oleh kantor cabang tersebut, dengan format sebagaimana dalam Lampiran 2.a dan Lampiran 2.b. C. Laporan Kerjasama Penyelenggara dengan Operator 1. Penyelenggara yang melakukan kerjasama dengan Operator wajib melaporkan secara tertulis kerjasama tersebut, sebagaimana dalam Lampiran 3.a dan Lampiran 3.b kepada: a. DASP c.q. Bagian PwSP, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a. 2. Laporan kerjasama antara Penyelenggara dengan Operator sebagaimana dimaksud pada angka 1 sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut: a. fotokopi perjanjian kerjasama antara Penyelenggara dengan Operator. Perjanjian tersebut sekurang-kurangnya memuat: 1) kesepakatan antara Penyelenggara dan Operator untuk memberikan informasi kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk keperluan pemeriksaan; 2) pemberian kewenangan kepada Bank Indonesia atau pihak … 20 pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan terhadap sistem yang digunakan baik oleh Penyelenggara maupun oleh Operator; dan 3) kesediaan Penyelenggara dan Operator untuk menyampaikan kepada Bank Indonesia hasil assessment terhadap sistem yang digunakan; b. informasi singkat mengenai profil perusahaan Operator; dan c. hasil assessment terhadap sistem yang digunakan oleh Operator. 3. Jika Penyelenggara menghentikan kerjasama dengan Operator, maka penghentian kerjasama dengan Operator tersebut dilaporkan kepada DASP c.q. Bagian PwSP atau KBI yang mewilayahi sebagaimana dimaksud pada Lampiran 4.a dan Lampiran 4.b. D. Laporan Perubahan Pengurus 1. Penyelenggara wajib menyampaikan laporan secara tertulis jika terjadi perubahan pengurus kepada: a. DASP c.q. Bagian PwSP, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar … 21 luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a. 2. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilengkapi dengan surat pernyataan pengurus yang baru dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan notaris yang menyatakan kesanggupan Penyelenggara untuk: a. bertanggung jawab jika terdapat penyalahgunaan Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan b. memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim dan/atau diterima dari harta kekayaan pribadi atau perusahaan. 3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus disertai dengan fotokopi bukti perubahan Pengurus antara lain berupa Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham bagi badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas dan perubahan akta pendirian bagi badan usaha yang tidak berbadan hukum. VI. PENGHENTIAN KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG DAN PENGHAPUSAN PENYELENGGARA DARI DAFTAR PENYELENGGARA 1. Penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Penyelenggara atau berdasarkan keputusan Bank Indonesia. Penghentian kegiatan sebagai Penyelenggara dilakukan dengan mencabut izin kegiatan usaha Pengiriman Uang yang telah diberikan oleh Bank Indonesia. 2. Penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang atas permintaan Penyelenggara sendiri sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. menyampaikan … 22 a. menyampaikan laporan penghentian kegiatan usaha paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum Penyelenggara menghentikan kegiatannya; dan b. melaporkan pelaksanaan penghentian kegiatan usaha secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penghentian kegiatan usaha, dengan melampirkan: 1) dokumen penyelesaian hak dan kewajiban kepada Pengirim dan/atau Penerima; dan 2) surat pernyataan dari pengurus dan/atau pemilik bahwa segala tuntutan yang timbul setelah penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pengurus dan/atau pemilik. 3. Laporan penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud pada butir 2.a disampaikan secara tertulis kepada: a. DASP c.q. Bagian PwSP, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a. 4. Penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan jika: a. terdapat putusan pengadilan yang menghukum Penyelenggara untuk menghentikan kegiatan usaha Pengiriman Uang yang dilakukan … 23 dilakukan; b. terdapat permintaan tertulis/rekomendasi kepada Bank Indonesia dari otoritas pengawas yang berwenang untuk menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara, atau otoritas pengawas dimaksud telah menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara; c. Penyelenggara melakukan pelanggaran terhadap ketentuan kegiatan usaha Pengiriman Uang dan ketentuan yang terkait lainnya; atau d. Penyelenggara dikenakan sanksi oleh lembaga yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris. 5. Dalam hal terjadi penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia menghapus identitas Penyelenggara dari Daftar Penyelenggara dan menginformasikan perubahan status yang bersangkutan di website Bank Indonesia. VII. MASA TRANSISI 1. Perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank yang sebelum berlakunya Surat Edaran ini telah disetujui sebagai Penyelenggara yang terdaftar di Bank Indonesia, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Surat Edaran ini wajib melengkapi persyaratan perizinan sebagai berikut: a. Dokumen sebagaimana dimaksud pada butir I.A.3.c, butir I.A.3.e dan butir I.A.3.f, untuk perorangan Warga Negara Indonesia; b. Dokumen … 24 b. Dokumen sebagaimana dimaksud pada butir I.A.4.d dan butir I.A.4.e.4), untuk badan usaha yang berbadan hukum; c. Dokumen sebagaimana dimaksud pada butir I.A.5.c, butir I.A.5.e dan butir I.A.5.f.4), untuk badan usaha yang tidak berbadan hukum; 2. Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan kepada: a. DASP c.q. Tim Pengaturan dan Perizinan Sistem Pembayaran (Tim PPSP), untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a. 3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1, perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank tersebut tidak menyampaikan dokumen dimaksud, maka Bank Indonesia menghapus identitas Penyelenggara dari Daftar Penyelenggara serta menginformasikan perubahan status yang bersangkutan di website Bank Indonesia. VIII. LAIN-LAIN 1. Permohonan izin kegiatan usaha Pengiriman Uang disampaikan secara tertulis kepada: a. DASP … 25 a. DASP, Bank Indonesia, Gedung D, Lt. 8. Jalan M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a. 2. Dalam hal Penyelenggara menggunakan Uang Elektronik (Electronic Money) sebagai sarana dalam Pengiriman Uang, Penyelenggara tersebut selain wajib memperoleh izin sebagai penyelenggara kegiatan usaha Pengiriman Uang juga wajib memperoleh izin sebagai penerbit Uang Elektronik dari Bank Indonesia. 3. Izin sebagai Penyelenggara yang telah diberikan Bank Indonesia kepada perorangan Warga Negara Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan Pengiriman Uang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cara apapun termasuk jika yang bersangkutan meninggal dunia. 4. Izin sebagai Penyelenggara yang telah diberikan Bank Indonesia kepada badan usaha selain Bank tidak dapat dialihkan, kecuali dengan izin Bank Indonesia. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 berlaku pula dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan antar badan usaha selain Bank. 6. Dalam … 26 6. Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan, dimana badan usaha selain Bank hasil penggabungan atau peleburan belum memperoleh izin sebagai Penyelenggara, maka badan usaha selain Bank hasil penggabungan atau peleburan tersebut harus mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara kepada Bank Indonesia. 7. Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada angka 6 dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini. 8. Dalam hal terjadi penggabungan dimana badan usaha selain Bank hasil penggabungan sebelumnya telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara dari Bank Indonesia maka badan usaha selain Bank hasil penggabungan tersebut harus melaporkan kepada Bank Indonesia untuk tetap dapat bertindak sebagai Penyelenggara, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a. kesiapan infrastruktur, termasuk sistem dan sumber daya manusia yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha Pengiriman Uang; dan b. penerapan pengelolaan risiko dalam melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang. 9. Penyelenggara yang akan melakukan pengambilalihan, penggabungan atau peleburan, harus melaporkan rencana tersebut kepada Bank Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi, yang memuat sekurang-kurangnya informasi mengenai pihak-pihak yang akan melakukan pengambilalihan, penggabungan atau peleburan dan tanggal efektif berlakunya pengambilalihan, penggabungan atau peleburan. Laporan tersebut disampaikan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal efektif dilakukannya pengambilalihan, penggabungan atau peleburan. 10. Dalam … 27 10. Dalam hal pengaturan penghitungan jangka waktu dalam Surat Edaran ini menggunakan hitungan bulan, maka jumlah hari dalam 1 (satu) bulan adalah 30 (tiga puluh) hari. IX. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Nomor 8/32/DASP tanggal 20 Desember 2006 perihal Pendaftaran Kegiatan Usaha Pengiriman Uang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, SWD. MURNIASTUTI DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/49/DASP|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Perizinan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang bagi Perorangan dan Badan Usaha Selain Bank </reg_title> <set_date> 24 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2009 </effective_date> <replaced_reg> '8/32/DASP|SE-BI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '8/28/PBI/2006' </related_reg>
No.18/12/DPM Jakarta, 24 Mei 2016 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga dalam Rupiah Bank Umum kepada Bank Indonesia terhadap Chinese Yuan dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/7/PBI/2016 tentang Transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5880), perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai transaksi repurchase agreement surat berharga dalam Rupiah Bank Umum kepada Bank Indonesia terhadap Chinese Yuan dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga dalam Rupiah Bank kepada Bank Indonesia terhadap Chinese Yuan dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement yang selanjutnya disebut Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah transaksi penjualan bersyarat Surat Berharga dalam denominasi Rupiah oleh … 2 oleh Bank Umum kepada Bank Indonesia untuk memperoleh mata uang Chinese Yuan, dengan kewajiban membeli kembali Surat Berharga tersebut sesuai harga dan jangka waktu yang disepakati dengan menggunakan mata uang Chinese Yuan. 3. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Surat Berharga Negara, dan surat berharga lain yang dapat digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. 4. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Surat Berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 5. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Surat Berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar bank. 6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 7. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara. 8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. 9. Repo Rate adalah tingkat bunga yang dikenakan kepada Bank Umum terhadap dana dalam mata uang Chinese Yuan dalam rangka Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. 10. Bank … 3 10. Bank Koresponden adalah bank pemelihara rekening giro dalam rangka pembayaran dan/atau penerimaan dana ke atau dari Bank Umum, counterparty dan kustodian. 11. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. 12. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank Umum di Bank Indonesia. 13. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan, serta penatausahaan surat berharga, yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan Surat Berharga, dan setelmen dana seketika. 14. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan bank kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. 15. Standard Settlement Instruction adalah suatu pedoman tertentu dalam melakukan transfer dana melalui sarana telekomunikasi yang antara lain memuat nama Bank Koresponden, nomor rekening, kode kliring, dan kode Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). II. KARAKTERISTIK TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA 1. Bank Indonesia melakukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dalam rangka memenuhi kebutuhan Chinese Yuan Bank Umum dalam pembayaran perdagangan internasional dan/atau investasi langsung. 2. Bank Umum melakukan transaksi CNY/IDR Repo BCSA berdasarkan Underlying Transaksi. 3. Bank Umum mengajukan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara langsung tanpa melalui lembaga perantara. 4. Jenis … 4 4. Jenis valuta asing dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah Chinese Yuan. 5. Kurs Chinese Yuan terhadap Rupiah yang digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah kurs Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang diumumkan oleh Bank Indonesia. 6. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA memiliki jangka waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, dan/atau 6 (enam) bulan yang dihitung 1 (satu) hari setelah tanggal valuta sampai dengan tanggal jatuh waktu. 7. Hak penerimaan kupon atas Surat Berharga yang di-repo-kan selama periode Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah milik Bank Umum. 8. Nilai pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA kepada Bank Indonesia paling sedikit sebesar CNY500,000 (lima ratus ribu Chinese yuan) dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi. III. PERSYARATAN BANK UMUM PESERTA TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA Bank Umum yang dapat mengajukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA kepada Bank Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. termasuk dalam klasifikasi Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan peringkat komposit paling rendah 3 (tiga) sesuai data terkini yang diterima Bank Indonesia; dan b. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter. IV. SURAT BERHARGA YANG DIGUNAKAN DALAM TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA 1. Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah sebagai berikut: a. diterbitkan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik Indonesia; b. dalam … 5 b. dalam mata uang Rupiah; c. tercatat di BI-SSSS; dan d. tidak sedang diagunkan. 2. Jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 1 terdiri atas: a. SBI dan SDBI Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. b. SBN Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 16 (enam belas) hari kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. 3. Harga dan haircut Surat Berharga ditetapkan dan diumumkan oleh Bank Indonesia. 4. Harga sebagaimana dimaksud dalam angka 3 mengacu pada harga Surat Berharga yang diumumkan pada BI-SSSS pada tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. 5. Haircut Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 3 merupakan faktor pengurang terhadap harga Surat Berharga yang ditetapkan sebesar: a. 15% (lima belas persen) untuk SBI dan SDBI; b. 20% (dua puluh persen) untuk SUN; dan c. 21,5% (dua puluh satu koma lima persen) untuk SBSN. 6. Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut sebagaimana dimaksud dalam angka 5 dan mengumumkan perubahan tersebut melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. V. MEKANISME TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA 1. Bank Indonesia melakukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA melalui mekanisme lelang dan/atau nonlelang. 2. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dilakukan melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 3. Bank … 6 3. Bank Umum melakukan pledge terhadap Surat Berharga yang di- repo-kan di BI-SSSS. 4. Dalam rangka penyelesaian Transaksi CNY/IDR Repo BCSA, Bank Indonesia berwenang antara lain melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menghentikan pledge Surat Berharga; b. memindahkan Surat Berharga dari rekening Bank Umum ke rekening Bank Indonesia; c. menjual Surat Berharga Bank Umum; d. melakukan pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) atas SBI atau SDBI; dan/atau e. mendebet Rekening Giro Rupiah dan/atau Rekening Giro valuta asing Bank Umum di Bank Indonesia. VI. DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA 1. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi berupa perdagangan internasional dan/atau investasi langsung. 2. Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mencakup Underlying Transaksi milik Bank Umum dan/atau nasabah Bank Umum. 3. Dalam hal Underlying Transaksi terkait perdagangan internasional maka dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, letter of credit, invoice, atau kontrak jual/beli yang dinyatakan dalam Chinese Yuan. 4. Dalam hal Underlying Transaksi terkait kegiatan investasi langsung maka dokumen Underlying Transaksi antara lain berupa dokumen yang terkait dengan kontrak investasi langsung dan/atau dokumen persetujuan pemerintah. 5. Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. 6. Dokumen Underlying Transaksi wajib ditatausahakan oleh Bank Umum. 7. Bank … 7 7. Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran dokumen Underlying Transaksi. VII. TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA DENGAN MEKANISME NONLELANG 1. Pengumuman dan Pelaksanaan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara Nonlelang a. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang dapat dilakukan pada hari Rabu dan/atau hari kerja lain yang ditetapkan Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. b. Dalam hal hari Rabu adalah bukan hari kerja maka Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang pada minggu yang bersangkutan ditiadakan. c. Window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan Bank Indonesia. d. Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang paling lambat sebelum window time melalui Sistem LHBU dan/atau sarana informasi lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia. e. Pengumuman rencana Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang memuat antara lain: 1) sarana pengajuan penawaran; 2) tanggal transaksi; 3) window time; 4) jangka waktu; 5) Repo Rate; 6) haircut; 7) tanggal dan waktu setelmen; dan 8) kurs Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. 2. Pengajuan … 8 2. Pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara Nonlelang a. Bank Umum hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang untuk masing-masing jangka waktu. b. Pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang meliputi informasi: 1) nama Bank Umum; 2) tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA; 3) nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA; 4) jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA; 5) jangka waktu dan nilai Underlying Transaksi; 6) identitas dokumen Underlying Transaksi, meliputi nomor referensi dokumen antara lain letter of credit, non letter of credit, nomor PIB, nomor invoice dan/atau nomor kontrak jual beli dari Underlying Transaksi kegiatan perdagangan internasional, atau nomor kontrak investasi langsung dan/atau nomor dokumen persetujuan pemerintah dari Underlying Transaksi kegiatan investasi langsung; 7) tanggal valuta; 8) tanggal jatuh waktu; 9) jenis, seri, dan nilai nominal Surat Berharga yang di- repo-kan; 10) sisa jangka waktu Surat Berharga; dan 11) Standard Settlement Instruction (SSI). c. Bank Umum mengajukan setiap Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang dengan nilai paling sedikit sebesar CNY500,000 (lima ratus ribu Chinese yuan) dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi, dengan kelipatan CNY100,000 (seratus ribu Chinese yuan). Contoh penetapan dan perhitungan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dengan mekanisme nonlelang sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. d. Bank … 9 d. Bank Umum dapat melakukan koreksi atas pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang, kecuali untuk informasi nama Bank Umum dan jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang. e. Koreksi sebagaimana dimaksud dalam huruf d dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali selama window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang. f. Dalam hal dilakukan koreksi atas nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang maka nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang harus memenuhi persyaratan jumlah pengajuan nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. g. Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran data pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang yang disampaikan kepada Bank Indonesia. h. Bank Umum dilarang membatalkan pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. i. Dalam hal Bank Umum mengajukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan/atau huruf c, dan tidak melakukan koreksi pengajuan transaksi dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang, pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang dimaksud dinyatakan batal. j. Dalam hal Bank Umum telah memenuhi seluruh persyaratan pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang, Bank Indonesia melakukan konfirmasi secara individual kepada Bank Umum melalui sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain mencakup: 1) 2) nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang disetujui; jenis, seri, dan nilai nominal Surat Berharga yang di- repo-kan; 3) tanggal … 10 3) tanggal setelmen atau tanggal valuta; dan 4) Standard Settlement Instruction (SSI). VIII. PENIADAAN WINDOW TIME TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA DENGAN MEKANISME NONLELANG 1. Bank Indonesia dapat meniadakan window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang. 2. Bank Indonesia mengumumkan peniadaan window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia paling lambat sebelum window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang. 3. Dalam hal Bank Indonesia meniadakan window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank Indonesia dapat melakukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA melalui mekanisme lelang. IX. TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA DENGAN MEKANISME LELANG 1. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dengan mekanisme lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender). 2. Pengumuman dan Pelaksanaan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara Lelang a. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang dapat dilakukan pada hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. b. Window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang paling lambat sebelum window time melalui Sistem LHBU dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan Bank Indonesia. d. Pengumuman … 11 d. Pengumuman rencana Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang memuat antara lain: 1) sarana pengajuan penawaran; 2) tanggal lelang; 3) window time; 4) jangka waktu; 5) target indikatif; 6) Repo Rate; 7) haircut; 8) tanggal dan waktu setelmen; dan 9) kurs Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. 3. Pengajuan Penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara Lelang a. Bank Umum hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan penawaran dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang untuk masing-masing jangka waktu. b. Pengajuan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang meliputi informasi: 1) nama Bank Umum; 2) tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA; 3) nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA; 4) jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA; 5) jangka waktu dan nilai Underlying Transaksi; 6) identitas dokumen Underlying Transaksi, meliputi nomor referensi dokumen antara lain letter of credit, non letter of credit, nomor PIB, nomor invoice dan/atau nomor kontrak jual beli dari Underlying Transaksi kegiatan perdagangan internasional, atau nomor kontrak investasi langsung dan/atau nomor dokumen persetujuan pemerintah dari Underlying Transaksi kegiatan investasi langsung; 7) tanggal valuta; 8) tanggal jatuh waktu; 9) jenis … 12 9) jenis, seri, dan nilai nominal Surat Berharga yang di- repo-kan; 10) sisa jangka waktu Surat Berharga; dan 11) Standard Settlement Instruction (SSI). c. Bank Umum mengajukan setiap penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang dengan nilai paling sedikit sebesar CNY500,000 (lima ratus ribu Chinese yuan) dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi, dengan kelipatan CNY100,000 (seratus ribu Chinese yuan). d. Bank Umum dapat melakukan koreksi atas pengajuan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang, kecuali untuk informasi nama Bank Umum dan jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang. e. Koreksi sebagaimana dimaksud dalam huruf d dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali selama window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang. f. Dalam hal dilakukan koreksi atas nilai penawaran yang diajukan pada Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang maka nilai penawaran transaksi dimaksud harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf c. g. Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang yang diajukan kepada Bank Indonesia. h. Bank Umum dilarang membatalkan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang yang telah diajukan kepada Bank Indonesia. i. Dalam hal Bank Umum mengajukan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d, dan tidak melakukan koreksi pengajuan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang, pengajuan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang dimaksud dinyatakan batal. 4. Penetapan … 13 4. Penetapan Pemenang Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara Lelang a. Bank Indonesia menetapkan pemenang Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang diajukan Bank Umum dimenangkan seluruhnya. 2) Dalam hal diperlukan, nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang diajukan Bank Umum dapat dimenangkan sebagian dengan perhitungan secara proporsional dengan pembulatan ke seratus ribuan Chinese Yuan terdekat dengan ketentuan: a) untuk nominal kurang dari CNY50,000 (lima puluh ribu Chinese yuan) dibulatkan menjadi nol; b) untuk nominal CNY50,000 (lima puluh ribu Chinese yuan) atau lebih dibulatkan menjadi CNY100,000 (seratus ribu Chinese yuan). Contoh penetapan dan perhitungan kuantitas pemenang Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. b. Bank Indonesia dapat menetapkan bahwa tidak ada pemenang lelang. 5. Pengumuman Hasil Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara Lelang a. Bank Indonesia mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang secara keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan Bank Indonesia, antara lain berupa nominal seluruh penawaran yang dimenangkan. b. Bank Indonesia melakukan konfirmasi secara individual kepada pemenang lelang melalui sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain berupa: 1) nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang dimenangkan; 2) jenis … 14 2) jenis, seri, dan nilai nominal Surat Berharga yang di- repo-kan; 3) tanggal setelmen atau tanggal valuta; dan 4) Standard Settlement Instruction (SSI). c. Dalam hal penawaran yang diajukan Bank Umum dimenangkan sebagian sebagaimana dimaksud dalam butir 4.a.2), Bank Umum dapat melakukan penyesuaian jenis, seri dan nominal Surat Berharga pada saat dilakukan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b. d. Penyesuaian jenis, seri, dan nominal Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf c harus memenuhi kecukupan nilai Surat Berharga yang di-repo-kan dengan nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang dimenangkan. X. PLEDGE SURAT BERHARGA 1. Bank Umum yang telah melakukan konfirmasi secara individual kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir VII.2.j atau butir IX.5.b, melakukan pledge di BI-SSSS atas Surat Berharga yang di-repo-kan. 2. Pledge sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi, paling lambat pada pukul 13.00 WIB. 3. Bank Umum melakukan pledge Surat Berharga pada BI-SSSS dengan mencantumkan hal-hal sebagai berikut: a. nama Bank Umum; b. pledge code yang terdiri dari 13 (tiga belas) karakter dengan ketentuan sebagai berikut: format penulisan BCNYDDMMYYTTN/R. Keterangan: BCNY : Jenis transaksi adalah Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. DDMMYY : Tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. TT : Jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang … 15 yang dinyatakan antara lain dalam 1M, 3M, atau 6M. N : Kode untuk pledge Surat Berharga yang digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA pada saat pertama kali dilakukan. R : Kode untuk pledge Surat Berharga yang digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA pada saat dilakukan koreksi. c. nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA; d. jenis, seri, dan nominal Surat Berharga yang di-pledge; e. tanggal valuta pledge Surat Berharga; f. tanggal jatuh waktu pledge Surat Berharga; g. harga Surat Berharga di BI-SSSS pada tanggal transaksi setelah dikurangi haircut; dan h. nilai tunai Surat Berharga (proceed) yang di-pledge. 4. Jangka waktu pledge atas Surat Berharga diatur sebagai berikut: a. SBI dan SDBI Jangka waktu pledge sesuai dengan jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditambah 6 (enam) hari kerja yang dihitung sejak 1 (satu) hari kerja setelah pledge dilakukan. b. SBN Jangka waktu pledge sesuai dengan jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditambah 14 (empat belas) hari kerja yang dihitung sejak 1 (satu) hari kerja setelah pledge dilakukan. 5. Dalam hal Bank Umum me-repo-kan Surat Berharga yang berbeda jenis untuk 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA, maka pledge SBI dan/atau SDBI dilakukan secara terpisah dengan pledge SBN. 6. Bank Indonesia melakukan verifikasi terhadap pledge Surat Berharga yang dilakukan oleh Bank Umum mulai pukul 13.00 WIB. 7. Dalam hal nilai Surat Berharga yang di-pledge oleh Bank Umum lebih rendah dari kewajiban pledge Surat Berharga yang telah dikonfirmasi … 16 dikonfirmasi sebagaimana dimaksud dalam butir VII.2.j atau butir IX.5.b, Bank Umum melakukan koreksi atas pledge Surat Berharga dengan ketentuan sebagai berikut: a. koreksi pledge dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali. b. koreksi pledge dilakukan dengan membatalkan pledge yang telah dilakukan di BI-SSSS. c. koreksi sebagaimana dimaksud huruf a dilakukan sebelum pukul 15.00 WIB. d. Bank Indonesia melakukan verifikasi terhadap koreksi pledge Surat Berharga Bank Umum mulai pukul 16.00 WIB. 8. Dalam hal setelah terjadinya Transaksi CNY/IDR Repo BCSA tanggal pledge Surat Berharga Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditetapkan sebagai hari libur oleh Pemerintah Indonesia, pelaksanaan pledge Surat Berharga dilakukan pada hari kerja berikutnya dan penyelesaian Transaksi CNY/IDR Repo BCSA first leg dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan pledge. XI. PENYELESAIAN TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA A. PENYELESAIAN TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA PADA FIRST LEG 1. Bank Umum wajib memiliki kecukupan nilai nominal, jenis, dan seri Surat Berharga yang di-pledge pada saat setelmen first leg yang ditatausahakan di BI-SSSS. 2. Nilai nominal Surat Berharga yang di-pledge sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung sebagai berikut: a. Untuk SBI, SDBI, SBN berupa Surat Perbendaharaan Negara (SPN), Zero Coupon Bond (ZCB), dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Jangka Pendek Nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ekuivalen (IDR) Nilai Transaksi = CNY/IDR Repo BCSA (CNY) x Kurs Transaksi Jual CNY IDR⁄ Bank Indonesia Nilai … 17 Nilai Transaksi Nilai Nominal Surat Berharga yang di-pledge = CNY/IDR Repo BCSA Ekuivalen (IDR) (p-h) × 100 b. Untuk SBN berupa Obligasi Negara termasuk Obligasi Negara Ritel (ORI) dan SBSN Jangka Panjang Nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ekuivalen (IDR) Kurs Transaksi JualCNY IDR⁄ Bank Indonesia Nilai Transaksi Nilai Nominal Surat Berharga yang di-pledge Keterangan: p CNY/IDR Repo BCSA Ekuivalen (IDR) = (p - h) + (c f⁄ ) x (a E⁄ ) x 100 = Nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA (CNY) x : Harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan pada BI-SSSS pada tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA (dalam persen). h : Haircut sebagaimana diumumkan Bank Indonesia pada tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA (dalam persen). c f a : Tingkat kupon (dalam persen). : Frekuensi pembayaran kupon dalam satu tahun. : Jumlah hari sebenarnya (actual days) dihitung dari 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal setelmen first leg. E : Jumlah hari sebenarnya (actual days) dihitung dari 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya. 3. Dalam hal Bank Umum tidak dapat memenuhi kecukupan nilai nominal, jenis, dan seri Surat Berharga sebagaimana dimaksud … 18 dimaksud dalam angka 1 maka Bank Umum akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi bank kepada Bank Indonesia dalam rangka BCSA. 4. Bank Indonesia melakukan setelmen first leg pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA (pada tanggal valuta), dengan mentransfer dana Chinese Yuan ke rekening Bank Umum pada Bank Koresponden yang berada di Republik Rakyat Tiongkok yang ditunjuk oleh Bank Umum sebesar nilai pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang disetujui atau dimenangkan. 5. Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan nilai sebagaimana dimaksud dalam angka 2 antara Bank Umum dengan Bank Indonesia maka yang digunakan adalah hasil perhitungan Bank Indonesia. 6. Dalam hal setelah terjadinya Transaksi CNY/IDR Repo BCSA tanggal setelmen first leg Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditetapkan sebagai hari libur oleh Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Tiongkok, pelaksanaan setelmen first leg dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan pengurangan bunga Repo untuk hari libur dimaksud. B. PENYELESAIAN TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA PADA SECOND LEG 1. Pada tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA, Bank Umum wajib mentransfer kembali dana Chinese Yuan ke rekening Bank Indonesia di People’s Bank of China dalam rangka setelmen second leg. 2. Perhitungan nilai Chinese Yuan pada saat setelmen second leg sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah sebesar: Nilai Nilai Setelmen Second Leg = Setelmen First Leg + Bunga Repo Bunga … 19 Bunga Repo Nilai = Setelmen First Leg x Repo Rate x Jangka Waktu (dalam hari) 360 3. Transfer dana Chinese Yuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan paling lambat sebelum penutupan jam kliring yang berlaku di People’s Bank of China. 4. Penutupan jam kliring sebagaimana dimaksud dalam angka 3, yaitu pada pukul 10.00 Waktu Beijing (pukul 09.00 WIB) atau waktu lain yang ditetapkan People’s Bank of China. 5. Bank Umum harus menyampaikan konfirmasi kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Devisa- Grup Setelmen dan Sistem Tresuri-Divisi Penyelesaian Transaksi Devisa mengenai pengiriman dana Chinese Yuan ke rekening Bank Indonesia di People’s Bank of China. 6. Konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam angka 5 disampaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA melalui authenticated telecommunication. 7. Bank Umum dapat mengirimkan perintah untuk melepaskan (release) pledge Surat Berharga di BI-SSSS paling cepat 1 (satu) hari kerja setelah dana Chinese Yuan diterima sesuai dengan nilai kewajiban second leg di rekening Bank Indonesia pada People’s Bank of China. 8. Release pledge Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada angka 7 berlaku efektif setelah Bank Indonesia melakukan otorisasi di BI-SSSS. 9. Dalam hal Bank Umum tidak dapat memenuhi kewajiban pengiriman dana Chinese Yuan pada tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA (second leg), Bank Indonesia melakukan: a. pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) dalam hal Surat Berharga yang digunakan berupa SBI dan/atau SDBI; dan/atau b. penjualan … 20 b. penjualan Surat Berharga dalam hal Surat Berharga yang digunakan berupa SBN. 10. Pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) dan/atau penjualan sebagaimana dimaksud dalam angka 9 dilakukan sejak 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA. 10. Pencairan … 11. Harga Surat Berharga yang digunakan dalam pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) dan/atau transaksi penjualan Surat Berharga Bank Umum oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 9 adalah harga SBI/SDBI yang diumumkan di BI-SSSS pada tanggal pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) dan/atau harga SBN yang berlaku di pasar pada tanggal transaksi penjualan Surat Berharga Bank Umum. 12. Dalam rangka setelmen penjualan Surat Berharga Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam angka 9, Bank Indonesia memindahkan Surat Berharga ke rekening Bank Indonesia. 13. Dalam hal hasil pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) dan/atau penjualan Surat Berharga Bank Umum tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg Bank Umum, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro valuta asing Bank Umum di Bank Indonesia untuk melunasi kekurangan kewajiban setelmen second leg Bank Umum. 14. Dalam hal pembebanan Rekening Giro valuta asing Bank Umum di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 13 tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg Bank Umum, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank Umum untuk melunasi kekurangan kewajiban setelmen second leg. 15. Dalam hal hasil pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) dan/atau penjualan Surat Berharga Bank Umum melebihi kewajiban membayar yang telah disepakati dalam … 21 dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dan kewajiban Bank Umum lainnya, selisih lebih tersebut akan dikembalikan kepada Bank Umum melalui Rekening Giro Rupiah Bank Umum yang bersangkutan di Bank Indonesia. 16. Dalam rangka perhitungan pelunasan kewajiban setelmen second leg Bank Umum, digunakan kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) Surat Berharga, tanggal setelmen penjualan Surat Berharga, tanggal pendebetan Rekening Giro valuta asing dan/atau tanggal pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank Umum. 17. Dalam hal setelah terjadinya Transaksi CNY/IDR Repo BCSA tanggal jatuh waktu (second leg) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditetapkan sebagai hari libur oleh Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Tiongkok, pelaksanaan setelmen dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan bunga Repo untuk hari libur dimaksud. XII. PENGHENTIAN TRANSAKSI SEBELUM JATUH WAKTU (EARLY TERMINATION) TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA 1. Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) terhadap Transaksi CNY/IDR Repo BCSA apabila Bank Umum yang bersangkutan mengalami penurunan peringkat komposit di bawah 3 (tiga) dan/atau ditemukan adanya pelanggaran lain terhadap PBI tentang Transaksi Bank Kepada Bank Indonesia Dalam Rangka Bilateral Currency Swap Arrangement. 2. Dalam hal terjadi penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank Umum menyelesaikan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dengan mentransfer kembali dana Chinese Yuan ke rekening Bank Indonesia di People’s Bank of China. 3. Bank.. 22 3. Bank Indonesia akan menyampaikan surat kepada Bank Umum yang berisi pemberitahuan pemberlakuan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination), tanggal pentransferan dan jumlah nilai setelmen second leg yang wajib dibayar oleh Bank Umum. 4. Perhitungan nilai penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) adalah sebesar setelmen second leg sebagaimana dimaksud dalam butir XI.B.2. 5. Jangka waktu yang digunakan dalam perhitungan bunga Repo sebagaimana dimaksud dalam angka 4 tetap menggunakan jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang disepakati pada tanggal transaksi. XIII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. Dalam hal Bank Umum tidak melakukan kewajiban pledge yang mencukupi terkait nilai nominal, jenis, dan seri Surat Berharga pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi, tidak memiliki Underlying Transaksi, menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA, tidak menatausahakan dokumen Underlying Transaksi, dan/atau membatalkan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang telah diajukan kepada Bank Indonesia maka Bank Umum dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang tidak memenuhi persyaratan, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi. 2. Dalam hal pada tanggal jatuh waktu (second leg) Bank Umum tidak mentransfer dana Chinese Yuan sebesar nilai setelmen second leg Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ke rekening Bank Indonesia.. 23 Indonesia di People’s Bank of China, Bank Umum dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar dengan perhitungan sebagai berikut: Sanksi Nilai Kewajiban Membayar = Setelmen Second Leg x ( Repo Rate +300bps) x Jumlah Hari 360 Perhitungan hari dalam pengenaan sanksi menggunakan hari kalender dimulai sejak tanggal jatuh waktu sampai tanggal pelunasan, tanggal pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) atau tanggal setelmen penjualan Surat Berharga (tidak termasuk tanggal pelunasan, tanggal pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) atau tanggal setelmen penjualan Surat Berharga). 3. Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a. dan butir 2.a dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah tanggal setelmen atau segera setelah ditemukan adanya pelanggaran. 4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b dan butir 2.b dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank Umum di Bank Indonesia paling lama 2 (dua) hari kerja setelah tanggal setelmen atau segera setelah ditemukan adanya pelanggaran. 5. Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai pengenaan sanksi kewajiban membayar adalah kurs tengah yang diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggal pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank Umum di Bank Indonesia. XIV. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan Terhadap … 24 terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/22/DPM tanggal 2 Agustus 2010 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 Mei 2016 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, DODDY ZULVERDI KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 18/12/DPM|SE-BI/2016 </reg_id> <reg_title> Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga dalam Rupiah Bank Umum kepada Bank Indonesia terhadap Chinese Yuan dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement </reg_title> <set_date> 24 Mei 2016 </set_date> <effective_date> 24 Mei 2016 </effective_date> <replaced_reg> '12/22/DPM|SE-BI/2010', '12/12/DPD|SE-BI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '18/7/PBI/2016' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi XIII' </penalty_list>
No.17/21/DPM Jakarta, 28 Agustus 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DEVISA DI INDONESIA Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5582), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/14/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5737), yang selanjutnya disebut PBI, perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/16/DPM tanggal 12 Juni 2015, sebagai berikut: 1. Ketentuan butir I.10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 10. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank tanpa Underlying Transaksi yang hanya dapat dilakukan … 2 dilakukan paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau ekuivalennya, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan kalender, yaitu sejak tanggal permulaan bulan kalender sampai dengan tanggal berakhirnya bulan kalender. Contoh: Jika pada bulan November 20xx Pihak Asing hanya melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi 1 (satu) kali pada tanggal 25 November 20xx sebesar USD25,000.00 maka hal tersebut diperhitungkan sebagai maksimum jumlah yang telah digunakan dalam bulan November 20xx. Pihak Asing dapat kembali menggunakan jumlah maksimum ekuivalen USD25,000.00 tersebut selama periode Desember 20xx. b. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada tanggal transaksi. Contoh: Pada tanggal 11 November 20xx, Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot beli sebesar USD5,000.00. Kemudian Pihak Asing kembali melakukan Transaksi Spot beli valuta asing terhadap Rupiah pada tanggal 30 November 20xx sebesar USD10,000.00 yang jatuh waktu pada tanggal 2 Desember 20xx. Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing sampai dengan 30 November 20xx adalah USD15,000.00. c. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada akumulasi seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan kalender yang dilakukan oleh masing-masing Pihak Asing secara individual baik secara tunai maupun non tunai dalam bentuk simpanan valuta asing. Contoh: Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah di Bank Y secara tunai sebesar USD5,000.00 pada tanggal … 3 tanggal 11 November 20xx. Kemudian, pada tanggal 15 November 20xx Pihak Asing melakukan konversi simpanan Rupiah menjadi simpanan valuta asing dalam US Dollar di Bank Y sebesar USD10,000.00. Perhitungan kumulatif transaksi yang dilakukan oleh Pihak Asing di Bank Y, yaitu sebesar USD15,000.00. d. Untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui rekening gabungan (joint account) yang dimiliki lebih dari 1 (satu) Pihak Asing, Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak sebesar threshold per rekening gabungan (joint account). Contoh: Pihak Asing A dan B memiliki joint account. Pada tanggal 10 November 20xx, Pihak Asing A melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui joint account sebesar USD 20,000.00. Atas transaksi tersebut Pihak Asing A wajib menyampaikan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 12 November 20xx. Pada tanggal 24 November 20xx, Pihak Asing B melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui joint account sebesar USD 30,000.00. Atas pembelian valuta asing tersebut, Pihak Asing B wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 26 November 20xx karena jumlah pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan melalui joint account pada bulan November 20xx telah melebihi USD25,000.00, yaitu sebanyak USD25,000.00. 2. Ketentuan butir III.9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 9. Untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot dengan nilai nominal di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) maka dokumen yang disampaikan Pihak Asing kepada Bank berupa: a. dokumen… 4 a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing yang memuat informasi mengenai: 1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan 3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3. Ketentuan butir III.10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 10. Untuk pembelian valuta asing melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing memuat informasi bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing dalam sistem perbankan di Indonesia. Contoh pernyataan tertulis yang authenticated adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 4. Ketentuan butir III.14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 14. Untuk Transaksi Spot di atas USD25.000,00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal… 5 tanggal transaksi. Apabila dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta. 5. Ketentuan butir III.15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 15. Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) secara berangsur mencapai nilai di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya dalam 1 (satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying Transaksi dilampirkan untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah yang melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya. Contoh: Pada tanggal 10 November 20XX Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebesar USD10,000.00. Kemudian pada tanggal 14 November 20XX Pihak Asing yang sama melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebesar USD15,000.00. Selanjutnya pada tanggal 19 November 20XX Pihak Asing kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebesar USD60,000.00 maka transaksi pembelian yang dilakukan pada tanggal 19 November 20XX tersebut telah melampaui USD25,000.00. Dengan demikian untuk pembelian yang dilakukan pada tanggal 19 November 20XX tersebut, Pihak Asing menyediakan dokumen Underlying Transaksi sebesar USD60,000.00. 6. Ketentuan butir III.21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 21. Pihak Asing yang melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) per bulan, dokumen pendukung disampaikan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender. Contoh… 6 Contoh: Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal 19 November 20xx sebesar USD10,000.00. Atas pembelian ini Bank Y wajib memastikan Pihak Asing C menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang authenticated. Pada tanggal 26 November 20xx Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD5,000.00. Atas pembelian ini, Pihak Asing C tidak wajib menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang authenticated. Pada tanggal 16 Desember 20xx Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD20,000.00. Atas pembelian ini Bank Y wajib memastikan Pihak Asing C menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis yang authenticated. 7. Ketentuan butir IV.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 2. Dalam mengenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 PBI berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Contoh: Pada tanggal 5 September 20XX Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD60,000.00 di Bank A. Atas pembelian valuta asing terhadap Rupiah tanggal 5 September 20XX, Bank A tidak meminta Pihak Asing untuk memberikan dokumen Underlying Transaksi, dan dengan demikian terdapat pelanggaran yang melebihi threshold sebesar USD35,000.00. Atas pelanggaran tersebut, Bank A dikenakan… 7 dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar yang dihitung dari nilai nominal USD35,000.00 x 1%, yaitu USD350.00 (jika kurs JISDOR pada tanggal 15 September 20XX adalah Rp10.000,00 maka ekuivalen perhitungan sanksi adalah Rp3.500.000,00) tetapi minimal sanksi yang harus dibayar adalah sebesar Rp10.000.000,00. b. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 28 Agustus 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, ERWIN RIJANTO DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 17/21/DPM|SE-BI/2015 </reg_id> <reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing </reg_title> <set_date> 28 Agustus 2015 </set_date> <effective_date> 28 Agustus 2015 </effective_date> <changed_reg> '16/15/DPM|SE-BI/2014' </changed_reg> <extension_of> '17/16/DPM|SE-BI/2015' </extension_of> <related_reg> '17/14/PBI/2015', '16/15/DPM|SE-BI/2014', '17/16/DPM|SE-BI/2015', '16/17/PBI/2014' </related_reg> <penalty_list> 'Angka 7 Angka 2' </penalty_list>
No. 15/ 52 /DSta Jakarta, 30 Desember 2013 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK Perihal : Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/6/PBI/2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5442) maka perlu dilakukan perubahan ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum sebagai berikut: 1. Menambahkan cakupan informasi yang harus disampaikan oleh bank kustodian mengenai rekening efek (securities account) Bukan Penduduk dalam Form 407 pada angka II Penjelasan Formulir dan Cakupan Informasi Yang Dilaporkan – Lampiran 1 Pedoman Penyusunan Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran1. 2. Menambahkan sandi jenis pengecualian Pinjaman Luar Negeri (PLN) yaitu sandi 80 sampai dengan 85 dalam Form 407 pada angka III Penjelasan Pengisian Field atau Kolom – Lampiran 1 Pedoman Penyusunan ... 2 Penyusunan Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1. 3. Menambahkan sandi yang divalidasi di kolom jenis PLN yaitu sandi 80 sampai dengan 85 dalam Form 407 pada Bab 2 Sistem Validasi – Lampiran 2 Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2. 4. Menambahkan sandi jenis PLN yang dikecualikan yaitu sandi 80 sampai dengan 85 dalam Form 407 pada Bab 5 – Template dan Spesifikasi – Lampiran 2 Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2. 5. Lampiran 1 sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 serta Lampiran 2 sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 4 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 2014.16 Desember 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDY SULISTIOWATY KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 15/52/DSta|SE-BI/2013 </reg_id> <reg_title> Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum. </reg_title> <set_date> 30 Desember 2013 </set_date> <effective_date> 3 Maret 2014 </effective_date> <changed_reg> '13/3/DPM|SE-BI/2011' </changed_reg> <related_reg> '13/3/DPM|SE-BI/2011', '7/1/PBI/2005', '13/8/PBI/2011', '15/6/PBI/2013' </related_reg>
No. 5/13/DASP Jakarta, 7 juli 2003 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/15/DASP tanggal 30 September 2002 Perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik Berkenaan dengan diimplementasikannya Sistem Penerimaan Bundel Warkat Secara Otomasi (Pay In Slip System) dan untuk memberikan penegasan lebih lanjut mengenai ketentuan pengisian nomor sandi Peserta Kliring pada spesimen Warkat, jangka waktu penyesuaian Warkat dan Dokumen Kliring dalam hal terdapat perubahan nama Peserta, status kantor dan atau status kepesertaan, prosedur penanganan Warkat reject, pendistribusian disket data Kliring pengembalian dan penyediaan fasilitas informasi hasil Kliring, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas beberapa ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 4/15/DASP tanggal 30 September 2002 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik sebagai berikut. 1. Ketentuan butir III.C.1.c diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “c. foto kopi surat persetujuan penggunaan Warkat dan Dokumen Kliring. Berkaitan dengan hal tersebut, Bank baru yang telah memperoleh izin prinsip dalam rangka pendirian Bank segera mengajukan permohonan persetujuan Warkat dan Dokumen Kliring kepada Bank Indonesia dengan tata … 2 tata cara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Warkat, Dokumen Kliring, dan pencetakannya pada perusahaan percetakan dokumen sekuriti. Dalam hal ini, khusus untuk mendapat persetujuan atas Warkat dan Dokumen Kliring yang akan digunakan, pengisian nomor sandi Peserta Kliring pada spesimen Warkat dan Dokumen Kliring menggunakan nomor sandi 888-9993.” 2. Ketentuan butir III.D.1 diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “1. Perubahan nama Peserta a. Kantor Pusat Peserta wajib melaporkan perubahan nama Peserta secara tertulis kepada Penyelenggara paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal surat persetujuan perihal penggunaan Warkat dan Dokumen Kliring dengan nama baru dari Bank Indonesia dengan melampirkan : 1) foto kopi salinan keputusan tentang perubahan nama Bank dari Bank Indonesia; 2) contoh Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan; 3) foto kopi surat persetujuan penggunaan Warkat dan Dokumen Kliring dengan nama baru, sekurang-kurangnya meliputi persetujuan untuk Cek, Bilyet Giro, Nota Debet, Nota Kredit, Kartu Batch dan Bukti Penyerahan Warkat (BPW); 4) 2 (dua) disket kosong ukuran 3.5” (90 mm) untuk diisi rekaman aplikasi SOKL untuk kegiatan Kliring pengembalian. b. Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak semua lampiran sebagaimana dimaksud dalam huruf a dipenuhi, kepada Peserta yang bersangkutan diberikan : 1) surat persetujuan penggunaan nama Peserta yang baru dalam Kliring; 2) TPPK … 3 2) TPPK untuk Petugas Kliring bagi PLA dan PLP; 3) 2 (dua) disket ukuran 3.5” (90 mm) yang berisi rekaman aplikasi SOKL untuk kegiatan Kliring pengembalian. c. Penyelenggara mengumumkan secara tertulis kepada seluruh Peserta mengenai perubahan nama Peserta paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif berlakunya nama Peserta yang baru yang tercantum dalam surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam butir b.1), disertai foto kopi contoh Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan.” 3. Ketentuan butir III.D.4.n diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “n. Dalam hal Peserta mengalami perubahan nama, status kantor, dan atau status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam butir III.D.1 dan III.D.4 maka Peserta yang bersangkutan wajib untuk melakukan penyesuaian terhadap Warkat dan Dokumen Kliring paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak : 1) tanggal surat persetujuan penggunaan nama Peserta yang baru dalam Kliring sebagaimana dimaksud dalam butir III.D.1.b.1) yang berlaku secara nasional; dan atau 2) penetapan tanggal efektif keikutsertaan Peserta dengan status kantor dan atau status kepesertaan yang baru dalam Kliring Lokal oleh Penyelenggara.” 4. Ketentuan butir IV.B.2.c diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “c. BPW sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.a dan IV.B.1.b dibuat oleh Bank Pengirim dengan ketentuan sebagai berikut : 1) BPW diisi dengan informasi dalam bentuk MICR code line; 2) BPW dibubuhi tanda tangan dan nama jelas oleh Peserta pada kolom yang telah tersedia; 3) BPW … 4 3) BPW akan diserahkan kembali kepada Petugas Kliring yang menyerahkan Bundel Warkat setelah sisi belakang BPW dicetak informasi penerimaan Bundel Warkat dengan mesin baca MICR oleh Penyelenggara sebagai bukti telah menerima Bundel Warkat yang dianggap telah memenuhi persyaratan dan pengisian Bundel Warkat.” 5. Ketentuan butir V.A.5 dihapus. 6. Ketentuan butir VI.A.1.a.5) diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “5) menyusun Bundel Warkat berikut Dokumen Kliring dengan urutan sebagai berikut : a) Bundel Warkat debet terdiri dari : (1) BPWD; (2) Lembar Substitusi yang dilampiri add-list; (3) KBWD; dan (4) Warkat debet yang bersangkutan. b) Bundel Warkat kredit terdiri dari : (1) BPWK; (2) Lembar Substitusi yang dilampiri add-list; (3) KBWK; dan (4) Warkat kredit yang bersangkutan.” 7. Ketentuan butir VI.A.1.b.1) diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “1) Petugas Kliring mencantumkan waktu penyerahan Bundel Warkat dengan cara memasukkan BPW ke dalam mesin tera waktu (time stamp) yang telah disediakan oleh Penyelenggara;” 8. Ketentuan … 5 8. Ketentuan butir VI.A.1.b.3) diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “3) Petugas loket memeriksa kelengkapan dan pengisian Dokumen Kliring dalam setiap Bundel Warkat. Apabila Dokumen Kliring telah memenuhi persyaratan kelengkapan dan pengisian maka petugas loket mencetak informasi penerimaan Bundel Warkat dengan menggunakan mesin baca MICR pada sisi belakang BPW sebagai pengganti paraf petugas loket, kemudian mengembalikan BPW tersebut beserta bukti penyerahan media rekaman data yang telah diparaf oleh petugas loket kepada Petugas Kliring sebagai tanda terima;” 9. Ketentuan butir VI.A.1.b.4) diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “4) Dalam hal persyaratan kelengkapan dan pengisian Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.1.b.3) tidak dipenuhi, petugas loket melakukan hal-hal sebagai berikut : a) Apabila pencetakan tanda terima dengan mesin baca MICR belum dilakukan, pembatalan penerimaan Bundel Warkat dilakukan dengan mencoret time stamp dan membubuhkan paraf disertai alasan pembatalan; b) Apabila pencetakan tanda terima dengan mesin baca MICR telah dilakukan, pembatalan penerimaan Bundel Warkat dilakukan dengan cara membubuhi Stempel Tanda Terima Dibatalkan disertai alasan pembatalan. Contoh Stempel Tanda Terima Dibatalkan sebagaimana pada Lampiran 9a.” 10. Isi Lampiran 10 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan butir VI.A.1.b.5) diubah sehingga menjadi sebagaimana terlampir pada Surat Edaran ini.” 11. Ketentuan … 6 11. Ketentuan butir VI.A.1.c.2) diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “2) mencocokkan total nominal pada BPW sebagaimana dimaksud pada butir VI.A.1.b.3) serta jumlah lembar Warkat yang diserahkan dengan laporan “Daftar Data Keuangan Elektronik Kliring Penyerahan yang Diserahkan” (KNB-SKE(X)-1205/SKE(X)-1205);” 12. Ketentuan butir VI.A.2.b.7) diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “7) Petugas Kliring menerima lembar kedua BPRWKP yang telah diparaf oleh petugas Penyelenggara.” 13. Ketentuan butir VI.A.2.b.12) diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “12) Penyelenggara mendistribusikan Warkat yang telah diproses, laporan hasil proses Kliring pengembalian dan disket rekaman data Kliring pengembalian kepada Petugas Kliring.” 14. Ketentuan butir VI.A.2.c diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “c. Kegiatan di kantor Peserta setelah menerima Warkat, laporan hasil proses Kliring pengembalian dan disket rekaman data Kliring pengembalian dari Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.2.b.12), adalah meneliti dan mencocokkan laporan hasil proses Kliring pengembalian dengan data Warkat yang diserahkan maupun fisik Warkat yang diterima.” 15. Ketentuan butir VI.B.1.a diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “a. Melakukan penelitian atas Warkat dan Dokumen Kliring sebelum Bundel Warkat diserahkan kepada Penyelenggara. Dalam hal ini Peserta wajib meneliti dan bertanggung jawab atas : 1) keabsahan Warkat dan Dokumen Kliring Peserta yang bersangkutan; 2) kebenaran pencantuman informasi MICR code line pada Warkat; 3) kebenaran … 7 3) kebenaran jumlah lembar dan nominal pada Warkat dan Dokumen Kliring; dan 4) kelengkapan Dokumen Kliring. Jumlah nominal yang tercantum pada BPW dan Kartu Batch harus sama dengan jumlah nominal keseluruhan Warkat berdasarkan add-list (bukti penjumlahan mesin hitung) yang dilampirkan pada Lembar Substitusi.” 16. Ketentuan butir VI.B.1.b diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “b. Penyelenggara tidak bertanggung jawab atas : 1) keabsahan Warkat dan Dokumen Kliring; dan 2) kebenaran jumlah lembar dan nominal pada Warkat dan Dokumen Kliring.” 17. Ketentuan butir VI.B.1.i diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “i. Melakukan pencocokan antara nominal yang tercantum pada BPW dan jumlah lembar BPW yang diterima dari Penyelenggara dengan catatan intern Peserta mengenai nominal yang tercantum dalam BPW dan jumlah lembar BPW yang diserahkan kepada Penyelenggara;” 18. Ketentuan butir VI.B.2.e diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “e Peserta Kliring yang menerima Warkat, laporan hasil proses Kliring pengembalian dan disket rekaman data Kliring Pengembalian milik Peserta lain, wajib segera memberitahukan dan menyerahkan kepada Peserta yang seharusnya menerima serta melaporkan kepada Penyelenggara pada hari yang sama.” 19. “Isi Lampiran 12 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan butir VI.D.2.b.1).b).(2) diubah sehingga menjadi sebagaimana terlampir pada Surat Edaran ini.” 20. Ketentuan … 8 20. Ketentuan butir VI.E.1. diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “1. Informasi Hasil Kliring Informasi hasil Kliring diperoleh Peserta dalam bentuk : a. elektronik yang dapat diakses secara elektronis oleh Peserta dari Penyelenggara, melalui : 1) TPK, meliputi informasi : a) Daftar Sandi Peserta Kliring Elektronik dan Peserta Kliring Warkat Luar Wilayah; b) Daftar DKE yang dikirim Peserta ke SPKE; c) Hasil Kliring penyerahan. 2) Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh, meliputi informasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh.” 21. Ketentuan butir VI.E.3 diubah sehingga menjadi sebagai berikut : “3. Penyelenggara menyediakan fasilitas investigasi selisih yaitu fasilitas untuk melakukan penelitian terhadap ketidaksesuaian antara laporan hasil proses Kliring dengan : a. DKE atau data Warkat yang disampaikan Peserta kepada Penyelenggara; dan atau b. Warkat yang diterima Peserta dari Penyelenggara. Permintaan terhadap fasilitas investigasi selisih dilakukan dengan telepon atau faksimili oleh Peserta untuk selanjutnya ditegaskan secara tertulis dengan surat yang dilampiri BPW dan laporan hasil proses Kliring atau data pendukung lainnya yang diperlukan. Permintaan untuk melakukan investigasi selisih hanya dapat diajukan oleh Peserta dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah hasil Kliring dibukukan … 9 dibukukan oleh Bank Indonesia. Dalam hal permintaan untuk melakukan investigasi selisih tersebut melampaui jangka waktu tersebut di atas, Penyelenggara tidak menyediakan fasilitas investigasi selisih, kecuali apabila terdapat indikasi tindak pidana.” Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2003. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, Ttd. MOHAMAD ISHAK DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 5/13/DASP|SE-BI/2003 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/15/DASP tanggal 30 September 2002 Perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik </reg_title> <set_date> 7 Juli 2003 </set_date> <effective_date> 1 Agustus 2003 </effective_date> <changed_reg> '4/15/DASP|SE-BI/2002' </changed_reg> <related_reg> '4/15/DASP|SE-BI/2002' </related_reg>
No.4/ 6 /DPM Jakarta, 25 April 2002 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal: Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah Menunjuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 23; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4082) serta memperhatikan Surat Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Bank Indonesia Nomor PROG-2345/BPPN/0700 tanggal 28 Juli 2000 perihal Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga dan Maksimum Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank yang dijamin oleh Pemerintah, dengan ini diberitahukan bahwa marjin suku bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin oleh Pemerintah: - dalam Rupiah ditetapkan sebesar 300 (tiga ratus) basis point; sedangkan - dalam valuta asing ditetapkan sebesar 100 (seratus) basis point, di atas rata-rata suku bunga deposito berjangka dari bank-bank anggota JIBOR yang dipilih oleh Bank Indonesia. Dengan … Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/19/DPNP tanggal 14 Agustus 2001 perihal Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang Dijamin Pemerintah dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei 2002. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar maklum. BANK INDONESIA ASLIM TADJUDDIN DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER DPM.
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 4/6/DPM|SE-BI/2002 </reg_id> <reg_title> Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah </reg_title> <set_date> 25 April 2002 </set_date> <effective_date> 1 Mei 2002 </effective_date> <replaced_reg> '3/19/DPNP|SE-BI/2001' </replaced_reg> <related_reg> '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '3/5/PBI/2001', 'PROG-2345/BPPN/0700|SRT-BPPN/2000' </related_reg>
No. 9/7/DPM Jakarta, 30 Maret 2007 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM Perihal : Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4715) dipandang perlu untuk menyusun tata cara pelaksanaan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan prinsip Syariah sebagai berikut. I. UMUM 1. Bank Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 3. Unit … 2 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah: a. unit kerja di kantor pusat Bank Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah; atau b. unit kerja di kantor cabang dari Bank Konvensional yang berkedudukan di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah. 4. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. 5. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS. 6. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut LHBU adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh bank pelapor secara harian kepada Bank Indonesia. II. TATA CARA PENERBITAN DAN TRANSAKSI INSTRUMEN PUAS 1. Bank Syariah atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS selain yang telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia wajib mengajukan surat permohonan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS (sebagaimana contoh yang tercantum pada lampiran SE ini) kepada Bank Indonesia u.p. Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM). 2. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus disertai dokumen sebagai berikut : a. fotokopi fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan; b. opini syariah Dewan Pengawas Syariah dari Bank Syariah atau UUS terhadap Instrumen PUAS yang akan diterbitkan; c. penjelasan … 3 c. penjelasan tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan paling kurang menjelaskan karakteristik, skema transaksi, proses akuntansi, pihak yang berwenang, infrastruktur yang diperlukan, dan analisis risiko Instrumen PUAS tersebut; d. draft atau pokok-pokok ketentuan dalam akad atau kontrak keuangan; dan e. informasi dan atau dokumen lainnya yang dinilai relevan dan berguna untuk menilai manfaat serta risiko Instrumen PUAS tersebut; 3. Untuk Bank Syariah, surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditandatangani oleh direksi. 4. Untuk UUS surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditandatangani oleh direksi kantor pusat Bank Konvensional, atau oleh kepala UUS. 5. Bank Syariah atau UUS harus melakukan presentasi kepada Bank Indonesia dalam rangka mendapatkan izin atas Instrumen PUAS yang akan diterbitkan. 6. Bank Indonesia akan menerbitkan surat persetujuan atau penolakan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1. 7. Dalam hal Instrumen PUAS, telah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia, Instrumen PUAS dimaksud belum dapat diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS sampai diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur tentang Instrumen PUAS tersebut. 8. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai Instrumen PUAS maka Bank Syariah atau UUS yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan Bank Syariah atau UUS lainnya dapat langsung menerbitkan dan menggunakan Instrumen PUAS dimaksud tanpa perlu mengajukan izin penerbitan Instrumen PUAS yang baru sepanjang Instrumen PUAS yang diterbitkan tidak berbeda dengan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia pada angka 7. 9. Bank … 4 9. Bank Syariah, UUS atau Bank Konvensional dapat membeli Instrumen PUAS yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS. 10. Bank Syariah atau UUS yang menerbitkan Instrumen PUAS harus memberikan informasi terkait dengan Instrumen PUAS dimaksud kepada Bank Syariah, UUS, atau Bank Konvensional yang akan membeli Instrumen PUAS tersebut. 11. Informasi terkait dengan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud angka 10 diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai Instrumen PUAS tersebut. IV. PELAPORAN Bank Syariah, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi PUAS wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia melalui sistem LHBU sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai LHBU. V. SANKSI 1. Bank Syariah atau UUS yang tidak menaati ketentuan tatacara penerbitan Instrumen PUAS dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 2. Bank Syariah, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi PUAS yang tidak melapor dan atau salah melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai LHBU. VI. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 30 Maret 2007. Agar … 5 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER DPM
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 9/7/DPM|SE-BI/2007 </reg_id> <reg_title> Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title> <set_date> 30 Maret 2007 </set_date> <effective_date> 30 Maret 2007 </effective_date> <related_reg> '9/5/PBI/2007' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
No. 16/21/DSta Jakarta, 12 Desember 2014 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4950) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/2/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5113), Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/5/PBI/2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5440), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 223, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5469) maka perlu melakukan perubahan terhadap Lampiran - Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) 2008 dari Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum… 2 Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Surat Edaran Bank Indonesia: a. Nomor 12/7/DSM tanggal 10 Maret 2010; b. Nomor 14/5/DSM tanggal 27 Januari 2012, sebagai berikut: 1. menambahkan pos-pos rincian Neraca untuk Tambahan Modal Disetor, yaitu sandi 471, sandi 472, sandi 473, sandi 474, sandi 475, dan sandi 476 pada angka: a. III.1.1 Neraca per Kantor (Form-01); b. IV.1.1 Neraca Gabungan (Form-01); c. V.1.1 Neraca Gabungan, termasuk UUS (Form-01), d. VI.1.1 Neraca Perusahaan Anak; dan e. VII.1.1 Neraca Konsolidasi; 2. menghapus pos-pos rincian Neraca untuk Tambahan Modal Disetor, yaitu sandi 453 pada angka: a. III.1.1 Neraca per Kantor (Form-01); b. IV.1.1 Neraca Gabungan (Form-01); c. V.1.1 Neraca Gabungan, termasuk UUS (Form-01), d. VI.1.1 Neraca Perusahaan Anak; dan e. VII.1.1 Neraca Konsolidasi; 3. mengubah penjelasan pos-pos rincian Neraca untuk Modal Disetor dan Tambahan Modal Disetor pada angka: a. III.1.2 Penjelasan Pos-Pos Neraca Bulanan; b. III.37.2 Penjelasan Daftar Rincian Modal Pinjaman; dan c. III.38.2 Penjelasan Daftar Rincian Modal Disetor; 4. mengubah penjelasan Term Deposit pada angka III.4.2 Penjelasan Daftar Rincian Penempatan pada Bank Indonesia; 5. menghapus sandi 012, sandi 022, sandi 032, sandi 042, sandi 052, sandi … 3 sandi 062, sandi 072, dan sandi 082 pada angka III.37.1 Sandi Rincian Modal Pinjaman; 6. menambahkan sandi 10, sandi 11, sandi 12, sandi 13, dan sandi 14 pada angka III.38.1 Sandi Rincian Modal Disetor; 7. menambahkan 2 (dua) kolom baru yaitu Kolom Jumlah Agio dan Kolom Jumlah Disagio pada angka III.38.3 Daftar Rincian Modal Disetor (Form-38); 8. menambahkan sandi 044 - Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) pada angka: a. III.7.1 Sandi Rincian Surat Berharga; b. III.8.1 Sandi Rincian Surat Berharga yang Dijual dengan Janji Dibeli Kembali (Repo); c. III.9.1 Sandi Rincian Tagihan atas Surat Berharga yang Dibeli dengan Janji Dijual Kembali (Reverse Repo); dan d. III.29.1 Sandi Rincian Kewajiban atas Surat Berharga yang Dijual dengan Janji Dibeli Kembali (Repo); dan 9. menambahkan penjelasan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) pada angka: a. III.7.2 Penjelasan Daftar Rincian Surat Berharga; b. III.8.2 Penjelasan Daftar Rincian Surat Berharga yang Dijual dengan Janji Dibeli Kembali (Repo); c. III.9.2 Penjelasan Daftar Rincian Tagihan atas Surat Berharga yang Dibeli dengan Janji Dijual Kembali (Reverse Repo); dan d. III.29.2 Penjelasan Daftar Rincian Kewajiban atas Surat Berharga yang Dijual dengan Janji Dibeli Kembali (Repo), sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat … 4 Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku untuk pelaporan data bulan Desember 2014 yang disampaikan pada bulan Januari 2015.Desembr 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, PERRY WARJIYO DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 16/21/DSta|SE-BI/2014 </reg_id> <reg_title> Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum </reg_title> <set_date> 12 Desember 2014 </set_date> <effective_date> pelaporan data bulan Desember 2014 yang disampaikan pada bulan Januari 2015 </effective_date> <changed_reg> '11/2/DSM|SE-BI/2009' </changed_reg> <extension_of> '12/7/DSM|SE-BI/2010', '14/5/DSM|SE-BI/2012' </extension_of> <related_reg> '15/5/PBI/2013', '12/2/PBI/2010', '10/40/PBI/2008', '12/11/PBI/2010', '11/2/DSM|SE-BI/2009', '15/12/PBI/2013', '12/7/DSM|SE-BI/2010', '14/5/DSM|SE-BI/2012' </related_reg>
No. 14/ 7 /DPbS Jakarta, 29 Februari 2012 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA Perihal: Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4896), Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, dan dengan dikeluarkannya fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 79/DSN- MUI/III/2011 tanggal 8 Maret 2011 perihal Qardh dengan Menggunakan Dana Nasabah, serta mempertimbangkan perkembangan produk qardh beragun emas yang semakin pesat yang berpotensi meningkatkan risiko bagi perbankan syariah, maka perlu dilakukan pengaturan secara khusus mengenai produk qardh beragun emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagai berikut: I. UMUM 1. Qardh adalah suatu akad penyaluran dana oleh Bank Syariah atau UUS kepada nasabah sebagai utang piutang dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana tersebut… tersebut kepada Bank Syariah atau UUS pada waktu yang telah disepakati. 2. Akad qardh terdiri atas 2 (dua) macam: a. akad qardh yang berdiri sendiri, dengan karakteristik sebagai berikut: 1) pembiayaan digunakan untuk tujuan sosial dan bukan untuk mendapatkan keuntungan; 2) sumber dana dapat berasal dari bagian modal, keuntungan yang disisihkan, dan/atau zakat, infak, sedekah dan tidak boleh menggunakan dana pihak ketiga; 3) 4) jumlah pinjaman wajib dikembalikan pada waktu yang telah disepakati; tidak boleh dipersyaratkan adanya imbalan dalam bentuk apapun; 5) nasabah dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela selama tidak diperjanjikan dalam akad; dan 6) nasabah dapat dikenakan biaya administrasi; dan b. akad qardh yang dilakukan bersamaan dengan transaksi lain yang menggunakan akad-akad mu’awadhah (pertukaran dan dapat bersifat komersial) dalam produk yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, dapat dilakukan antara lain dalam produk rahn emas, pembiayaan pengurusan haji, pengalihan utang, syariah charge card, syariah card, dan anjak piutang syariah. 3. Qardh Beragun Emas adalah salah satu produk yang menggunakan akad qardh sebagaimana dimaksud dalam butir 2.b. dengan agunan berupa emas yang diikat dengan akad rahn, dimana emas yang diagunkan disimpan dan dipelihara… dipelihara oleh Bank Syariah atau UUS selama jangka waktu tertentu dengan membayar biaya penyimpanan dan pemeliharaan atas emas sebagai objek rahn yang diikat dengan akad ijarah. II. KARAKTERISTIK PRODUK QARDH BERAGUN EMAS 1. Tujuan penggunaan adalah untuk membiayai keperluan dana jangka pendek atau tambahan modal kerja jangka pendek untuk golongan nasabah Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta tidak dimaksudkan untuk tujuan investasi. 2. Akad yang digunakan adalah sebagai berikut: a. akad qardh, untuk pengikatan pinjaman dana yang disediakan Bank Syariah atau UUS kepada nasabah; b. akad rahn, untuk pengikatan emas sebagai agunan atas pinjaman dana; dan c. akad ijarah, untuk pengikatan pemanfaatan jasa penyimpanan dan pemeliharaan emas sebagai agunan pinjaman dana. 3. Biaya yang dapat dikenakan oleh Bank Syariah atau UUS kepada nasabah antara lain biaya administrasi, biaya asuransi, dan biaya penyimpanan dan pemeliharaan. 4. Penetapan besarnya biaya penyimpanan dan pemeliharaan agunan emas didasarkan pada berat agunan emas dan tidak dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diterima nasabah. 5. Sumber dana dapat berasal dari bagian modal, keuntungan yang disisihkan, dan/atau dana pihak ketiga. 6. Pendapatan dari penyimpanan dan pemeliharaan emas yang berasal dari produk Qardh Beragun Emas yang sumber dananya… dananya berasal dari dana pihak ketiga harus dibagikan kepada nasabah penyimpan dana. 7. Pemberian Qardh Beragun Emas wajib didukung kebijakan dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP) tertulis secara memadai, termasuk penerapan manajemen risiko. 8. Bank Syariah atau UUS wajib menjelaskan secara lisan atau tertulis (transparan) kepada nasabah antara lain: a. karakteristik produk antara lain fitur, risiko, manfaat, biaya, persyaratan, dan penyelesaian apabila terdapat sengketa; b. hak dan kewajiban nasabah termasuk apabila terjadi eksekusi agunan emas. III. PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENERAPAN PRODUK QARDH BERAGUN EMAS 1. Tujuan penggunaan dana oleh nasabah wajib dicantumkan secara jelas pada formulir aplikasi produk. 2. Emas yang akan diserahkan sebagai agunan Qardh Beragun Emas harus sudah dimiliki oleh nasabah pada saat permohonan pembiayaan diajukan. 3. Jumlah portofolio Qardh Beragun Emas pada setiap akhir bulan paling banyak: a. untuk Bank Syariah, jumlah yang lebih kecil antara sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan atau sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari modal bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). b. untuk… b. untuk UUS, sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan. Contoh 1 : Jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan pada Bank Syariah A adalah sebesar Rp130.000.000.000,00 (seratus tiga puluh miliar rupiah). Jumlah modal bank pada Bank Syariah A adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Perhitungan jumlah seluruh Qardh Beragun Emas pada Bank Syariah A adalah sebagai berikut: 1) Berdasarkan portofolio jumlah Qardh Beragun Emas dari jumlah seluruh pembiayaan adalah : = 20% x Rp130.000.000.000,00 = Rp26.000.000.000,00 2) Berdasarkan jumlah modal bank adalah : = 150% x Rp20.000.000.000,00 = Rp30.000.000.000,00 Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, maka jumlah Qardh Beragun Emas pada Bank Syariah A paling banyak adalah sebesar Rp26.000.000.000,00 (dua puluh enam miliar rupiah). Contoh 2 : Jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan pada Bank Syariah B adalah sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Jumlah modal bank pada Bank Syariah B adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Perhitungan jumlah seluruh Qardh Beragun Emas pada Bank Syariah B adalah sebagai berikut: 1) Berdasarkan… 1) Berdasarkan portofolio jumlah Qardh Beragun Emas dari jumlah seluruh pembiayaan adalah : = 20% x Rp200.000.000.000,00 = Rp40.000.000.000,00 2) Berdasarkan jumlah modal Bank adalah : = 150% x Rp20.000.000.000,00 = Rp30.000.000.000,00 Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, maka jumlah Qardh Beragun Emas pada Bank Syariah B paling banyak adalah sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah). 4. Pembiayaan Qardh Beragun Emas dapat diberikan paling banyak sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk setiap nasabah, dengan jangka waktu pembiayaan paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali. 5. Khusus untuk nasabah Usaha Mikro dan Kecil, dapat diberikan pembiayaan Qardh Beragun Emas paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dengan jangka waktu pembiayaan paling lama 1 (satu) tahun dengan angsuran setiap bulan dan tidak dapat diperpanjang. 6. Financing To Value (FTV) yang merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman yang diterima oleh nasabah dengan nilai emas yang diagunkan oleh nasabah kepada Bank Syariah atau UUS, paling banyak adalah sebesar 80% (delapan puluh persen) dari rata-rata harga jual emas 100 (seratus) gram dan harga beli kembali (buyback) emas PT. ANTAM (Persero) Tbk. Bank… Bank Syariah atau UUS dapat menetapkan FTV dengan menggunakan acuan lain sepanjang nilai FTV yang dihasilkan lebih kecil dari atau sama dengan nilai FTV yang ditetapkan. Contoh 1: Nasabah C pada Bank Syariah D memiliki emas seberat 70 gram. Harga emas berdasarkan PT. ANTAM (Persero) Tbk sebagai berikut: - harga jual emas 100 gram sebesar Rp550.000,00 (lima ratus lima puluh ribu rupiah) per gram; dan - harga beli kembali (buyback) emas sebesar Rp540.000,00 (lima ratus empat puluh ribu rupiah) per gram. Bank Syariah D menetapkan nilai FTV sebesar 90% dari harga pasar emas dunia rata-rata selama 30 (tiga puluh) hari terakhir. 1) Perhitungan FTV untuk nasabah C berdasarkan harga yang ditetapkan PT ANTAM (Persero) Tbk adalah sebagai berikut: FTV = 80% x [70 gram x ((harga jual+harga beli)/2)] = 80% x[70 gramx((Rp550.000,00+Rp540.000,00)/2)] = 80% x [70 gram x Rp545.000,00] = 80% x Rp38.150.000,00 = Rp30.520.000,00 2) Apabila harga emas per gram berdasarkan perhitungan harga pasar emas dunia rata-rata selama 30 (tiga puluh) hari terakhir adalah sebesar Rp520.000,00 (lima ratus dua puluh lima ribu rupiah), maka perhitungan FTV untuk nasabah C adalah sebagai berikut: FTV = 90% x (70 gram x harga acuan) = 90% x (70 gram x Rp520.000,00) = 90% x Rp36.400.000,00 =Rp32.760.000,00... = Rp32.760.000,00 Berdasarkan data tersebut di atas, maka nilai FTV untuk nasabah C paling banyak adalah sebesar Rp30.520.000,00 (tiga puluh juta lima ratus dua puluh ribu rupiah). Contoh 2: Nasabah C pada Bank Syariah D memiliki emas seberat 70 gram. Harga emas berdasarkan PT. ANTAM (Persero) Tbk sebagai berikut: - harga jual emas 100 gram sebesar Rp550.000,00 (lima ratus lima puluh ribu rupiah) per gram; dan - harga beli kembali (buyback) emas sebesar Rp540.000,00 (lima ratus empat puluh ribu rupiah) per gram. Bank Syariah D menetapkan nilai FTV sebesar 90% dari harga pasar emas dunia rata-rata selama 30 (tiga puluh) hari terakhir. 1) Perhitungan FTV untuk nasabah C berdasarkan harga yang ditetapkan PT ANTAM, Tbk adalah sebagai berikut: FTV = 80% x [70 gram x ((harga jual+harga beli)/2)] = 80% x[70 gramx((Rp550.000,00+Rp540.000,00)/2)] = 80% x [70 gram x Rp545.000,00] = 80% x Rp38.150.000,00 = Rp30.520.000,00 2) Apabila harga emas per gram berdasarkan perhitungan harga pasar emas dunia rata-rata selama 30 (tiga puluh) hari terakhir adalah sebesar Rp482.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah), maka perhitungan FTV untuk nasabah C adalah sebagai berikut: FTV = 90% x (70 gram x harga acuan) = 90% x (70 gram x Rp482.000,00) = 90% … = 90% x Rp33.740.000,00 = Rp30.366.00,00 Berdasarkan data tersebut di atas, maka nilai FTV untuk nasabah C adalah sebesar Rp30.366.000,00 (tiga puluh juta tiga ratus enam puluh enam ribu rupiah). IV. PERMOHONAN PERSETUJUAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN REALISASI PRODUK QARDH BERAGUN EMAS 1. Bank Syariah atau UUS yang akan melakukan penyaluran dana dalam produk Qardh Beragun Emas harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. 2. Tata cara, persyaratan, dan dokumen dalam rangka permohonan persetujuan produk Qardh Beragun Emas mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 3. Bank Syariah atau UUS wajib melaporkan realisasi pengeluaran produk Qardh Beragun Emas paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah dikeluarkan produk tersebut. V. ALAMAT PERMOHONAN IZIN DAN/ATAU PENYAMPAIAN LAPORAN Permohonan izin dan/atau penyampaian laporan produk Qardh Beragun Emas diajukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: 1. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi Bank Syariah atau UUS yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta Raya, Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi; atau 2. Kantor Bank Indonesia setempat dengan tembusan Direktorat Perbankan Syariah, bagi Bank Syariah atau UUS yang berkedudukan … berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada angka 1. VI. PENGHENTIAN PRODUK 1. Bank Indonesia dapat meminta Bank Syariah atau UUS untuk menghentikan kegiatan produk sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, dalam hal produk Qardh Beragun Emas tidak memenuhi ketentuan Bab II, Bab III, dan/atau Bab IV angka 1 dan angka 2 dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Penghentian produk sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat bersifat tetap atau sementara. 3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 berlaku pula untuk Bank Syariah atau UUS yang tidak dapat melakukan penyesuaian sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Bab VIII Surat Edaran Bank Indonesia ini. VII. PENGENAAN SANKSI 1. Bank Syariah atau UUS yang menjalankan produk Qardh Beragun Emas sebelum memperoleh izin dari Bank Indonesia dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan denda uang sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank Syariah atau UUS yang terlambat melaporkan realisasi pengeluaran produk Qardh Beragun Emas sesuai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.3 Surat Edaran Bank Indonesia ini dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan denda uang sebagaimana diatur dalam Pasal… Pasal 10 ayat (7) dan ayat (8) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 3. Bank Syariah atau UUS yang tidak menghentikan produk Qardh Beragun Emas sesuai permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Bab VI Surat Edaran Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. VIII.KETENTUAN PERALIHAN 1. Bank Syariah atau UUS yang telah menjalankan produk Qardh Beragun Emas sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini wajib menyesuaikan: a. kebijakan dan prosedur dengan mengacu pada karakteristik dan fitur produk Qardh Beragun Emas sebagaimana dimaksud dalam butir II.7 Surat Edaran ini paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini. b. jumlah portofolio Qardh Beragun Emas sebagaimana dimaksud dalam butir III.3 Surat Edaran Bank Indonesia ini, paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini. c. jumlah dan jangka waktu pembiayaan setiap nasabah sebagaimana dimaksud dalam butir III.4 dan butir III.5 Surat Edaran Bank Indonesia ini, paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini. d. FTV… d. FTV sebagaimana dimaksud dalam butir III.6 Surat Edaran Bank Indonesia ini, paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Akad yang terkait dengan produk Qardh Beragun Emas yang sudah ada sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jatuh tempo, dan dapat diperpanjang dengan memperhatikan ketentuan pada butir VIII.1.c Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3. Perpanjangan jangka waktu Qardh Beragun Emas yang telah dilakukan oleh Bank Syariah atau UUS sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini tidak dihitung sebagai perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam butir III.4. IX. PENUTUP Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 29 Februari 2012. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DEPUTI GUBERNUR DPbS
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 14/7/DPbS|SE-BI/2012 </reg_id> <reg_title> Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. </reg_title> <set_date> 29 Februari 2012 </set_date> <effective_date> 29 Februari 2012 </effective_date> <related_reg> '10/31/DPbS|SE-BI/2008', '10/17/PBI/2008', '79/DSN-MUI/III/2011' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VII' </penalty_list>
No. 13/5/DPNP Jakarta, 8 Februari 2011 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4475), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4159) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4573) perlu diatur lebih lanjut mengenai penyediaan layanan informasi dan penerapan transparansi informasi suku bunga dasar kredit (prime lending rate) kepada masyarakat sebagai berikut: I. UMUM . . . I. UMUM A. Pemilihan produk Bank oleh nasabah pada umumnya didasarkan pada pertimbangan mengenai manfaat, biaya, dan risiko dari produk yang ditawarkan oleh Bank tersebut. Hal ini menjadi sangat relevan khususnya untuk produk Bank berupa kredit mengingat kredit merupakan salah satu produk utama perbankan yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, transparansi informasi mengenai Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate), selanjutnya disebut sebagai SBDK, sangat diperlukan untuk memberikan kejelasan kepada nasabah. B. Penerapan transparansi informasi mengenai SBDK juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan good governance dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan antara lain melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik. II. SUKU BUNGA DASAR KREDIT A. Perhitungan Suku Bunga Dasar Kredit 1. Perhitungan SBDK merupakan hasil perhitungan dari 3 (tiga) komponen yaitu: a. Harga Pokok Dana untuk Kredit atau HPDK; b. Biaya overhead yang dikeluarkan Bank dalam proses pemberian kredit; dan c. Marjin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan. 2. Dalam . . . 2. Dalam perhitungan SBDK, Bank belum memperhitungkan komponen premi risiko individual nasabah Bank. Suku bunga kredit (lending rate) adalah hasil penjumlahan SBDK dengan premi risiko. Premi risiko merepresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur yang antara lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu kredit, dan prospek usaha yang dibiayai. 3. Pada dasarnya, SBDK merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi Bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah Bank. 4. Perhitungan SBDK dalam rupiah yang wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia dan dipublikasikan sebagaimana dimaksud dalam butir II.B dan butir II.C dilakukan sebagai berikut: a. dihitung untuk 3 (tiga) jenis kredit yaitu: 1) Kredit korporasi; 2) Kredit ritel; dan 3) Kredit konsumsi (KPR dan Non KPR). Dalam kredit konsumsi non KPR tidak termasuk penyediaan dana melalui kartu kredit dan kredit tanpa agunan. Penggolongan jenis kredit tersebut didasarkan pada kriteria yang ditetapkan oleh internal Bank. b. dihitung secara per tahun dalam bentuk persentase (%). B. Pelaporan . . . B. Pelaporan Perhitungan SBDK 1. Bank wajib menyusun laporan perhitungan SBDK dalam rupiah yang memuat rincian perhitungan masing-masing komponen SBDK sesuai dengan tabel komponen perhitungan SBDK sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Laporan perhitungan SBDK disampaikan kepada Bank Indonesia secara triwulanan bersamaan dengan penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dalam bentuk: a. Softcopy dan hardcopy “Tabel Komponen Perhitungan SBDK” sesuai Lampiran 1, oleh seluruh Bank. b. Fotokopi atau guntingan surat kabar yang memuat publikasi SBDK di surat kabar sesuai Lampiran 2, khusus oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam butir C.1. 3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jalan M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. b. Kantor Bank Indonesia setempat, dengan tembusan kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. 4. Apabila . . . 4. Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2.a secara berkala atau sewaktu-waktu diluar periode penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2. C. Publikasi Informasi SBDK 1. Bank yang pada dan/atau setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih wajib melakukan publikasi informasi SBDK dalam rupiah melalui: a. papan pengumuman di setiap kantor Bank; b. halaman utama website Bank, dalam hal Bank memiliki website; dan c. surat kabar, yang dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. 2. Bagi Bank yang pada tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, kewajiban publikasi informasi SBDK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud pada butir 1.a dan butir 1.b untuk pertama kali dilakukan pada tanggal 31 Maret 2011; dan b. publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud pada butir 1.c untuk pertama kali dilakukan bersamaan dengan pengumuman . . . pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret 2011. 3. Bagi Bank yang setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi LBU mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, kewajiban publikasi informasi SBDK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud pada butir 1.a dan butir 1.b untuk pertama kali dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Bank berdasarkan posisi yang tercatat di LBU mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih; dan b. publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud pada butir 1.c untuk pertama kali dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan pada triwulan yang sama dengan periode LBU sejak Bank tercatat mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih. Contoh : Bank A pertama kali tercatat mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) pada akhir bulan April 2011, akhir bulan Mei 2011, atau akhir bulan Juni 2011, maka publikasi informasi SBDK melalui surat kabar pertama kali dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan posisi akhir bulan Juni 2011. 4. Dalam . . . 4. Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 3 total asetnya turun menjadi kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), Bank tetap wajib melakukan publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud pada angka 1. 5. Informasi SBDK yang dipublikasikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada butir 1.a dan butir 1.b adalah informasi SBDK yang berlaku pada saat dipublikasikan. Dalam hal SBDK mengalami perubahan, maka perubahan tersebut wajib dipublikasikan melalui sarana/media sebagaimana dimaksud pada butir 1.a dan butir 1.b paling lama pada tanggal berlakunya perubahan SBDK tersebut. 6. Informasi SBDK yang dipublikasikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada butir 1.c adalah informasi SBDK yang berlaku pada akhir periode Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan. 7. Dalam mempublikasikan SBDK, Bank wajib mencantumkan kalimat sebagai berikut: a. “Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) ini belum memperhitungkan komponen premi risiko yang besarnya tergantung dari penilaian Bank terhadap risiko masing-masing debitur. Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK”; dan b. “Dalam . . . b. “Dalam Kredit konsumsi non KPR tidak termasuk penyediaan dana melalui kartu kredit dan kredit tanpa agunan”. 8. Untuk publikasi yang dilakukan melalui surat kabar sebagaimana dimaksud pada butir 1.c, selain mencantumkan kalimat sebagaimana pada angka 7 juga wajib mencantumkan kalimat sebagai berikut: “Informasi SBDK yang berlaku setiap saat dapat dilihat pada publikasi di setiap kantor Bank dan/atau website Bank”. 9. SBDK dipublikasikan kepada masyarakat dalam bentuk angka akhir dari hasil perhitungan komponen SBDK sebagaimana dimaksud pada butir II.A.1 dengan mengacu pada Lampiran 2 Surat Edaran ini. III. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud dalam butir II.C.1.a dan butir II.C.1.b, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. 2. Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sebagaimana dimaksud dalam butir II.C.1.c. dan/atau Bank yang tidak menyampaikan laporan perhitungan SBDK bersamaan dengan penyampaian . . . penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir II.B.2, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) dan/atau ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005. 3. Bank yang menyampaikan laporan perhitungan SBDK dan/atau mempublikasikan informasi SBDK: a. tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan/atau b. tidak sesuai dengan Lampiran 1 dan Lampiran 2, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (4) huruf a Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005. IV. LAIN-LAIN Lampiran 1 dan Lampiran 2 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. V. PENUTUP Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2011. Agar . . . Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MULIAMAN D. HADAD DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 13/5/DPNP|SE-BI/2011 </reg_id> <reg_title> Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit </reg_title> <set_date> 8 Februari 2011 </set_date> <effective_date> 31 Maret 2011 </effective_date> <related_reg> '7/6/PBI/2005', '3/22/PBI/2001', '7/50/PBI/2005' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi III' </penalty_list>
No. 7/26/DASP Jakarta, 22 Juli 2005 S U R A T E D A R A N Perihal : Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia ./. Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tanggal 22 Juli 2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516), perlu diatur lebih lanjut ketentuan mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran Surat Edaran ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka : 1. Surat Edaran Bank Indonesia No.1/8/DASP tanggal 24 Desember 1999 perihal Rencana Penanggulangan Segera Atas Penyelenggaraan Kliring Dalam Keadaan Darurat, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut mengimplementasikan SKNBI. 2. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/7/DASP tanggal 24 Februari 2000 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Manual, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring dengan sistem Kliring manual yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut mengimplementasikan SKNBI, kecuali ketentuan mengenai perubahan nama Peserta berlaku sesuai dengan ketentuan mengenai tatacara perubahan nama Bank pada Bab III Lampiran Surat Edaran ini. 3. Surat … 2 3. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/8/DASP tanggal 4 Mei 2000 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Semi Otomasi, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring dengan sistem Kliring semi otomasi yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut mengimplementasikan SKNBI, kecuali ketentuan mengenai perubahan nama Peserta berlaku sesuai dengan ketentuan mengenai tatacara perubahan nama Bank pada Bab III Lampiran Surat Edaran ini. 4. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.4/17/DASP tanggal 7 November 2002 dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI, kecuali ketentuan mengenai alasan penolakan Warkat Debet dan tata cara pembuatan Surat Keterangan Penolakan pada Kliring pengembalian sebagaimana dimaksud pada angka IV.A dan angka IV.C dinyatakan tidak berlaku untuk Wilayah Kliring yang sudah mengimplementasikan SKNBI. Untuk selanjutnya, ketentuan mengenai alasan penolakan Warkat Debet dan tata cara pembuatan Surat Keterangan Penolakan untuk Wilayah Kliring yang sudah mengimplementasikan SKNBI dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Bab VII mengenai Penyelenggaraan Kliring Debet Surat Edaran ini. 5. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/7/DASP tanggal 7 Mei 2002 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Otomasi sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.5/12/DASP tanggal 7 Juli 2003, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring dengan sistem Kliring otomasi yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut mengimplementasikan SKNBI, kecuali ketentuan mengenai tatacara perubahan nama Peserta berlaku sesuai dengan ketentuan mengenai perubahan nama Bank pada Bab III Lampiran Surat Edaran ini. 6. Surat … 3 6. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/12/DASP tanggal 24 September 2002 perihal Jadwal Kliring Dan Tanggal Valuta Penyelesaian Akhir, Sistem Penyelenggaraan Kliring Lokal Serta Jenis dan Batasan Nominal Warkat Atau Data Keuangan Elektronik, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut mengimplementasikan SKNBI. 7. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/15/DASP tanggal 30 September 2002 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.5/15/DASP tanggal 7 Juli 2003, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 8. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/16/DASP tanggal 21 Oktober 2002 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal atas Cek dan Bilyet Giro yang Berasal dari Luar Wilayah, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI. 9. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/21/DASP tanggal 2 Desember 2002 perihal Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI. 10. Surat Edaran Bank Indonesia No.6/38/DASP tanggal 16 September 2004 perihal Penggunaan Jasa Kurir dan Tanda Pengenal Dalam Penyelenggaraan Kliring Lokal, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut mengimplementasikan SKNBI. 11. Surat Edaran Bank Indonesia No.6/52/DASP tanggal 31 Desember 2004 perihal Warkat, Dokumen Kliring serta Pencetakannya pada Perusahaan Percetakan Warkat dan Dokumen Kliring, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI. Ketentuan … 4 Ketentuan dalam Surat Edaran ini dilaksanakan sejak tanggal implementasi SKNBI di Wilayah Kliring yang bersangkutan sesuai dengan pengumuman Bank Indonesia. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Juli 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MOHAMAD ISHAK DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN DASP
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 7/26/DASP|SE-BI/2005 </reg_id> <reg_title> Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia </reg_title> <set_date> 22 Juli 2005 </set_date> <effective_date> 22 Juli 2005 </effective_date> <related_reg> '7/18/PBI/2005' </related_reg>
No. 2/ 7 /DASP Jakarta, 24 Februari 2000 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA Perihal : Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Manual. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (PBI No.1/3/PBI/1999), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (PBI No.2/4/PBI/2000) ditetapkan bahwa penyelenggaraan Kliring Lokal antara lain dilakukan dengan sistem manual yang diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut dengan ini dikemukakan pokok-pokok pengaturan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Kliring Lokal secara manual sebagai berikut. I. PENYELENGGARA A. Penyelenggara Penyelenggara Kliring Lokal dengan sistem manual adalah pihak lain yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Persyaratan Penyelenggara dan tata cara pemberian persetujuan terhadap Penyelenggara… 2 Penyelenggara mengacu kepada ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/4/DASP tanggal 29 November 1999 perihal Pemberian Persetujuan Terhadap Pihak Lain Untuk Menyelenggarakan Kliring di Daerah yang Tidak Terdapat Kantor Bank Indonesia. B. Kewajiban Penyelenggara Kewajiban Penyelenggara yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kliring Lokal dengan sistem manual adalah sebagai berikut : 1. Menyediakan fasilitas penyelenggaraan Kliring Lokal sebagai berikut : a. b. Ruangan dan fasilitas pendukung untuk pertemuan Kliring, antara lain meja, kursi, papan nama Peserta dan lain-lain; Fasilitas komunikasi berupa telepon, teleks dan faksimili; c. Formulir Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian Gabungan; d. Daftar Hadir Peserta. 2. Menatausahakan dokumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kliring Lokal sebagai berikut : a. Daftar Hadir Peserta; b. Data yang berkaitan dengan wakil Peserta dan perubahannya dengan menggunakan Kartu Tata Usaha Wakil Peserta sebagaimana contoh pada Lampiran 9; c. Dokumen-dokumen yang memuat data pendukung hasil Kliring meliputi : 1) Daftar Warkat Kliring Penyerahan/Pengembalian; 2) Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian; 3) Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian Gabungan; 4) Bilyet Saldo Kliring. 3. Meneruskan… 3 3. Meneruskan secara tertulis informasi penolakan Nota Debet yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/10/DASP tanggal 31 Desember 1999 perihal Penggunaan Nota Debet Dalam Kliring dari Peserta kepada Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional, Jalan M.H. Thamrin No.2 Jakarta, Kode Pos 10010, untuk wilayah DKI Jakarta Raya, Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Bogor, Karawang dan Bekasi atau Kantor Bank Indonesia setempat untuk wilayah di luar wilayah tersebut di atas (untuk selanjutnya disebut Bank Indonesia yang mewilayahi); 4. Menjaga kerahasiaan data yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kliring; 5. Memberikan keputusan terlebih dahulu dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara 2 (dua) atau lebih Peserta mengenai dapat tidaknya suatu Warkat diperhitungkan dalam Kliring Lokal. Dalam hal keputusan tersebut masih belum dapat diterima oleh Peserta yang terkait maka Penyelenggara menyerahkan penyelesaian masalah tersebut kepada Bank Indonesia yang mewilayahi dan Bank Indonesia berwenang untuk memberikan keputusan terakhir. II. WARKAT, DOKUMEN KLIRING DAN FORMULIR KLIRING A. Warkat Warkat yang dapat diperhitungkan dalam penyelenggaraan Kliring Lokal dengan sistem manual meliputi : 1. 2. Cek; Bilyet Giro; 3. Wesel Bank Untuk Transfer; 4. Surat … 4 4. Surat Bukti Penerimaan Transfer; 5. Nota Debet; 6. Nota Kredit; dengan spesifikasi teknis sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/7/DASP tanggal 23 Desember 1999 perihal Warkat, Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada Perusahaan Percetakan Dokumen Sekuriti sebagaimana telah disempurnakan dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/6/DASP tanggal 11 Februari 2000 perihal Penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia No.1/7/DASP tanggal 23 Desember 1999 perihal Warkat, Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada Perusahaan Percetakan Dokumen Sekuriti. B. Dokumen Kliring Dokumen Kliring yang digunakan dalam penyelenggaraan Kliring Lokal dengan sistem manual berupa Daftar Warkat Kliring Penyerahan/Pengembalian yang berfungsi sebagai bukti penyerahan/pengembalian Warkat baik pada Kliring Penyerahan maupun Kliring Pengembalian. Daftar Warkat Kliring Penyerahan/Pengembalian ini disediakan oleh masing-masing Peserta. Spesifikasi teknis Dokumen Kliring sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/7/DASP tanggal 23 Desember 1999 tentang Warkat, Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada Perusahaan Percetakan Dokumen Sekuriti sebagaimana telah disempurnakan dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/6/DASP tanggal 11 Februari 2000 perihal Penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia No.1/7/DASP tanggal 23 Desember 1999 perihal Warkat, Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada Perusahaan Percetakan Dokumen Sekuriti. C. Formulir… 5 C. Formulir Kliring Formulir yang digunakan untuk proses perhitungan Kliring Lokal dengan sistem manual meliputi : 1. Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian Gabungan (contoh format pada Lampiran 1). Formulir ini disediakan oleh Penyelenggara dan digunakan oleh Penyelenggara untuk menyusun rekapitulasi Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian dari seluruh Peserta. 2. Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian (contoh format pada Lampiran 2). Formulir ini disediakan oleh Peserta dan digunakan oleh Peserta untuk menyusun Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian atas dasar Daftar Warkat Kliring Penyerahan/Pengembalian. 3. Bilyet Saldo Kliring (contoh format pada Lampiran 3). Formulir ini disediakan oleh Peserta dan digunakan oleh Peserta untuk menyusun Bilyet Saldo Kliring berdasarkan Neraca Kliring Penyerahan dan Neraca Kliring Pengembalian. III. STEMPEL DAN TANDA PENGENAL WAKIL PESERTA KLIRING A. Stempel Kliring 1. Dalam penyelenggaraan Kliring Lokal dengan sistem manual, Peserta wajib memiliki 2 (dua) jenis stempel yaitu: a. Stempel Kliring, yang memuat : 1) Kata “KLIRING”; 2) Tanggal, Bulan dan Tahun pada saat Warkat dikliringkan; 3) Nama atau nama singkatan kantor Bank yang lazim digunakan; 4) Identitas Peserta (Nomor Urut). b. Stempel … 6 b. Stempel Kliring Dibatalkan, yang memuat : 1) Kata “STEMPEL KLIRING DIBATALKAN”; 2) Nama atau nama singkatan kantor Bank yang lazim digunakan; 3) Kolom untuk tanda tangan pejabat. Bentuk serta ukuran Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan dapat dilihat pada Lampiran 4. 2. Penggunaan Stempel Kliring mengacu kepada Penjelasan Pasal 36 PBI No. 1/3/PBI/1999 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 2/4/PBI/2000. B. Tanda Pengenal Wakil Peserta Kliring (TPWPK) 1. TPWPK merupakan tanda izin bagi setiap wakil Peserta untuk memasuki ruangan Kliring dan wajib dikenakan oleh wakil Peserta selama pertemuan Kliring. 2. TPWPK dikeluarkan oleh Penyelenggara pada waktu permohonan sebagai Peserta disetujui atau setelah mendapat konfirmasi secara tertulis dari Penyelenggara atas permohonan penggantian/penambahan wakil Peserta sebagaimana dimaksud pada angka IV huruf D.4. 3. Dalam hal TPWPK dimaksud hilang maka Peserta wajib mengajukan surat permohonan penggantian TPWPK kepada Penyelenggara dengan dilampiri pas foto ukuran 2x3 cm sebanyak 1 (satu) lembar dan surat keterangan kehilangan dari Kepolisian. Penyelenggara memberikan penggantian paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah permohonan diterima dengan lengkap. 4. Dalam… 7 4. Dalam hal TPWPK dimaksud rusak maka Peserta dapat memperoleh penggantian dengan mengajukan surat permohonan penggantian TPWPK kepada Penyelenggara dengan dilampiri pas foto ukuran 2x3 cm sebanyak 1 (satu) lembar serta TPWPK yang rusak. Penyelenggara memberikan penggantian paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah permohonan diterima dengan lengkap. 5. Selama TPWPK sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan 4 belum memperoleh penggantian dari Penyelenggara, wakil Peserta yang bersangkutan dapat mengikuti pertemuan Kliring dengan membawa fotokopi surat permohonan yang telah dilegalisir oleh Penyelenggara. 6. Bentuk dan ukuran TPWPK dapat dilihat pada Lampiran 5. IV. KEPESERTAAN A. Persyaratan Menjadi Peserta 1. Persyaratan untuk menjadi Peserta Langsung : a. Kantor Bank yang dapat menjadi Peserta Langsung adalah : 1) Kantor cabang yang telah memperoleh izin pembukaan kantor dari Bank Indonesia; 2) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, yang telah memperoleh izin pembukaan kantor dari Bank Indonesia; 3) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di dalam negeri yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk beroperasi di Wilayah Kliring yang berbeda dari kantor cabang induknya. b. Kantor… 8 b. Kantor bank sebagaimana dimaksud pada huruf a mempunyai kantor lain yang memiliki rekening giro di salah satu kantor Bank Indonesia. c. Lokasi kantor Bank memungkinkan Bank tersebut untuk mengikuti Kliring secara tertib sesuai jadwal Kliring Lokal yang ditetapkan. Dalam hal ini yang perlu dipertimbangkan adalah waktu tempuh dari lokasi kantor Bank ke lokasi Penyelenggara maksimal 45 (empat puluh lima) menit. 2. Persyaratan untuk menjadi Peserta Tidak Langsung : a. Kantor Bank yang dapat menjadi Peserta Tidak Langsung adalah: 1) Kantor cabang yang telah memperoleh izin pembukaan kantor dari Bank Indonesia; 2) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang telah memperoleh izin pembukaan kantor dari Bank Indonesia; 3) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di dalam negeri yang telah dilaporkan kepada Bank Indonesia. b. Kantor Bank sebagaimana dimaksud pada huruf a menginduk kepada kantor lain yang merupakan Bank yang sama yang telah menjadi Peserta Langsung di Wilayah Kliring yang sama. B. Tata Cara… 9 B. Tata Cara Menjadi Peserta 1. Tata cara menjadi Peserta Langsung : a. Dengan memperhatikan persyaratan pada huruf A.1, kantor Bank dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk menjadi Peserta Langsung kepada Penyelenggara dengan melampirkan : 1) Formulir data kepesertaan sebagaimana contoh pada Lampiran 6 yang telah diisi lengkap; 2) Formulir penunjukan pejabat yang berwenang untuk menandatangani Surat Keterangan Penolakan sebagaimana contoh pada Lampiran 7 yang telah diisi lengkap; 3) Formulir penunjukan wakil Peserta sebagaimana contoh pada Lampiran 8 yang telah diisi lengkap. Dalam surat permohonan tersebut kantor Bank yang bersangkutan dapat mengajukan sekaligus kantor lain yang akan menjadi Peserta Tidak Langsung dengan memperhatikan ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara permohonan untuk menjadi Peserta Tidak Langsung sebagaimana dimaksud pada huruf A.2. b. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah surat permohonan diterima secara lengkap, Penyelenggara wajib menyampaikan permintaan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia yang mewilayahi mengenai status perizinan pembukaan kantor Bank pemohon dan rekening giro kantor lain yang akan digunakan untuk pelimpahan hasil Kliring. c. Dalam … 10 c. Dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah surat permintaan Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada huruf b diterima, Bank Indonesia yang mewilayahi akan memberikan surat pemberitahuan kepada Penyelenggara mengenai status perizinan pembukaan kantor Bank pemohon dan rekening giro kantor lain dari kantor Bank pemohon yang akan digunakan untuk pelimpahan hasil Kliring. d. Penyelenggara wajib memberitahukan secara tertulis kepada kantor Bank pemohon dengan tembusan kepada Bank Indonesia yang mewilayahi mengenai keputusan untuk menyetujui atau menolak kepesertaan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah menerima surat pemberitahuan dari Bank Indonesia yang mewilayahi. e. Dalam hal permohonan disetujui oleh Penyelenggara maka Penyelenggara akan memberikan : 1) Surat persetujuan keikutsertaan sebagai Peserta Langsung kepada kantor Bank pemohon sebagaimana contoh pada Lampiran 10a yang memuat antara lain : a) tanggal efektif keikutsertaan, yaitu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat persetujuan Penyelenggara; b) identitas Peserta berupa nomor urut Peserta. c) kewajiban calon Peserta untuk menyampaikan fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan, spesimen Warkat serta contoh Dokumen Kliring paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaannya; d) pemberitahuan … 11 d) pemberitahuan bahwa wakil Peserta telah didaftarkan, disertai TPWPK. Dalam hal calon Peserta tidak dapat menyampaikan hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf c) dalam 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaan yang ditetapkan maka tanggal efektif tersebut ditunda menjadi 3 (tiga) hari kerja setelah hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf c) dipenuhi. 2) Pelatihan singkat mengenai tata cara pelaksanaan Kliring dengan sistem manual. f. Selanjutnya Penyelenggara akan mengumumkan secara tertulis kepada Peserta lainnya mengenai keikutsertaan Peserta tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaannya, dengan melampirkan foto kopi contoh Stempel Kliring, Stempel Kliring Dibatalkan, Warkat dan Dokumen Kliring. g. Fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan sebagaimana dimaksud pada huruf e.1)c) dikembalikan oleh Penyelenggara kepada calon Peserta paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaannya. 2. Tata cara menjadi Peserta Tidak Langsung : a. Dengan memperhatikan persyaratan pada huruf A.2, kantor Bank dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk menjadi Peserta Tidak Langsung kepada Penyelenggara. Permohonan tersebut diajukan oleh kantor Bank yang telah menjadi Peserta Langsung dengan melampirkan : 1) Formulir… 12 1) Formulir data kepesertaan sebagaimana contoh pada Lampiran 6 yang telah diisi lengkap; dan 2) Formulir penunjukan pejabat yang berwenang untuk menandatangani Surat Keterangan Penolakan sebagaimana contoh pada Lampiran 7 yang telah diisi lengkap. b. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah surat permohonan diterima secara lengkap, Penyelenggara wajib menyampaikan permintaan informasi secara tertulis kepada Bank Indonesia yang mewilayahi mengenai status perizinan/pelaporan pembukaan kantor Bank pemohon. c. Dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah surat permintaan Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada huruf b diterima, Bank Indonesia yang mewilayahi akan memberikan surat pemberitahuan kepada Penyelenggara mengenai status perizinan/pelaporan pembukaan kantor Bank pemohon. d. Penyelenggara wajib memberitahukan secara tertulis kepada kantor Bank pemohon dengan tembusan kepada Bank Indonesia yang mewilayahi mengenai keputusan untuk menyetujui atau menolak kepesertaan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah menerima surat pemberitahuan dari Bank Indonesia yang mewilayahi. e. Dalam hal permohonan disetujui oleh Penyelenggara maka Penyelenggara akan memberikan surat persetujuan keikutsertaan sebagai Peserta Tidak Langsung sebagaimana contoh pada Lampiran 10b kepada kantor Bank pemohon yang memuat antara lain : 1) tanggal … 13 1) tanggal efektif keikutsertaan, yaitu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat persetujuan Penyelenggara; 2) kewajiban calon Peserta untuk menyampaikan fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan serta spesimen Warkat paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaannya; 3) Pemberitahuan identitas Peserta Tidak Langsung yaitu nomor urut kantor induknya yang menjadi Peserta Langsung; Dalam hal calon Peserta tidak dapat menyampaikan hal-hal sebagaimana dimaksud pada angka 2) dalam 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaan yang ditetapkan maka tanggal efektif tersebut ditunda menjadi 3 (tiga) hari kerja setelah hal-hal sebagaimana dimaksud pada angka 2) dipenuhi. f. Selanjutnya Penyelenggara akan mengumumkan secara tertulis kepada Peserta lainnya mengenai keikutsertaan Peserta tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaannya dengan melampirkan foto kopi contoh Stempel Kliring, Stempel Kliring Dibatalkan dan Warkat. g. Fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan sebagaimana dimaksud pada huruf e.2) dikembalikan oleh Penyelenggara kepada calon Peserta paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaannya. C. Perubahan … 14 C. Perubahan Nama, Status Kantor dan Status Kepesertaan 1. Perubahan nama Peserta a. Perubahan nama Peserta wajib dilaporkan secara tertulis kepada Penyelenggara paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal efektif berlakunya nama Peserta yang baru dengan melampirkan : 1) fotokopi dokumen persetujuan perubahan nama Peserta dari instansi yang berwenang; 2) b. fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan; 3) spesimen Warkat dan Dokumen Kliring. Penyelenggara wajib mengumumkan secara tertulis kepada Peserta lainnya mengenai perubahan nama Peserta tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif berlakunya nama Peserta yang baru disertai fotokopi contoh Stempel Kliring, Stempel Kliring Dibatalkan, Warkat dan Dokumen Kliring. c. Dalam hal Peserta yang melakukan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada huruf a masih memiliki persediaan Warkat, Dokumen Kliring dan Formulir Kliring lama yang cukup banyak maka : 1) Peserta yang bersangkutan diberi kelonggaran paling lambat 3 (tiga) bulan untuk tetap menggunakan Warkat, Dokumen Kliring dan Formulir Kliring lama terhitung sejak tanggal efektif berlakunya nama yang baru. 2) Peserta … 15 2) Peserta yang bersangkutan wajib menyampaikan spesimen Warkat dan Dokumen Kliring kepada Penyelenggara paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum batas waktu kelonggaran sebagaimana dimaksud pada angka 1) berakhir. 3) Penyelenggara wajib mengumumkan kepada Peserta lainnya fotokopi contoh Warkat dan Dokumen Kliring sebagaimana dimaksud pada angka 2) paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum batas waktu kelonggaran sebagaimana dimaksud pada angka 1) berakhir. 2. Perubahan status kantor dan status kepesertaan Perubahan status kantor Peserta dapat/tidak diikuti dengan perubahan status kepesertaannya dari Peserta Langsung menjadi Peserta Tidak Langsung atau sebaliknya. a. Kemungkinan perubahan status kantor Peserta yang tidak diikuti dengan perubahan status kepesertaan : 1) Peserta Langsung dengan status kantor cabang yang kemudian berubah menjadi kantor cabang pembantu, dapat mengikuti Kliring dengan status kepesertaan yang sama sepanjang memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk menjadi kantor cabang pembantu di Wilayah Kliring yang berbeda dari kantor cabang induknya. 2) Peserta Tidak Langsung dengan status kantor cabang yang kemudian berubah menjadi kantor cabang pembantu, dapat mengikuti Kliring dengan status kepesertaan yang sama sepanjang terdapat kantor lain dari Bank tersebut yang telah menjadi Peserta Langsung di Wilayah Kliring yang sama. 3) Peserta … 16 3) Peserta Langsung dengan status kantor cabang pembantu yang kemudian berubah menjadi kantor cabang, dapat mengikuti kliring dengan status kepesertaan yang sama. 4) Peserta Tidak Langsung dengan status kantor cabang pembantu yang kemudian berubah menjadi kantor cabang, dapat mengikuti kliring dengan status kepesertaan yang sama sepanjang terdapat kantor lain dari Bank tersebut yang telah menjadi Peserta Langsung di Wilayah Kliring yang sama. b. Kemungkinan Perubahan status kantor Peserta yang diikuti dengan perubahan status kepesertaan : 1) Peserta Langsung dengan status kantor cabang yang kemudian berubah menjadi kantor cabang pembantu, dapat mengubah status kepesertaannya menjadi Peserta Tidak Langsung sepanjang terdapat kantor lain dari Bank tersebut yang telah menjadi Peserta Langsung di Wilayah Kliring yang sama. 2) Peserta Tidak Langsung dengan status kantor cabang yang kemudian berubah menjadi kantor cabang pembantu, dapat mengubah status kepesertaannya menjadi Peserta Langsung sepanjang memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk menjadi kantor cabang pembantu di Wilayah Kliring yang berbeda dari kantor cabang induknya. 3) Peserta … 17 3) Peserta Langsung dengan status kantor cabang pembantu yang kemudian berubah menjadi kantor cabang, dapat mengubah status kepesertaannya menjadi Peserta Tidak Langsung sepanjang terdapat kantor lain dari Bank tersebut yang telah menjadi Peserta Langsung di Wilayah Kliring yang sama. 4) Peserta Tidak Langsung dengan status kantor cabang pembantu yang kemudian berubah menjadi kantor cabang, dapat mengubah status kepesertaannya menjadi Peserta Langsung. c. Dalam hal perubahan status kantor Peserta tidak akan diikuti dengan perubahan status kepesertaannya dalam Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada huruf a.1) sampai dengan a.4) maka : 1) Peserta tersebut wajib melaporkan perubahan status kantornya kepada Penyelenggara paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal efektif perubahan status kantornya dengan melampirkan : a) fotokopi dokumen perizinan/persetujuan perubahan status kantor Peserta; b) fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan; c) formulir penunjukan pejabat yang berwenang untuk menandatangani Surat Keterangan Penolakan sebagaimana contoh pada Lampiran 7 yang telah diisi lengkap, apabila akan melakukan penggantian pejabat yang berwenang; d) Formulir … 18 d) Formulir penunjukan wakil Peserta sebagaimana contoh pada Lampiran 8 yang telah diisi lengkap, apabila akan melakukan penggantian wakil Peserta. 2) Selanjutnya Penyelenggara wajib melaporkan perubahan status kantor Peserta tersebut kepada Bank Indonesia yang mewilayahi paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif perubahan tersebut disertai fotokopi dokumen perizinan/persetujuan perubahan status kantor Peserta dimaksud. 3) Penyelenggara wajib mengumumkan secara tertulis kepada Peserta lainnya mengenai perubahan status kantor Peserta tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif perubahan tersebut disertai fotokopi contoh Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan. 4) Dalam hal Peserta mengajukan penggantian wakil Peserta sebagaimana dimaksud pada huruf c.1)d) maka TPWPK untuk wakil Peserta yang baru akan diberikan pada tanggal efektif perubahan dengan mengembalikan TPWPK yang lama. d. Dalam hal perubahan status kantor Peserta akan diikuti dengan perubahan status kepesertaan dari Peserta Tidak Langsung menjadi menjadi Peserta Langsung sebagaimana dimaksud pada huruf b.2) dan b.4) maka : 1) Peserta tersebut wajib mengajukan permohonan secara tertulis untuk menjadi Peserta Langsung kepada Penyelenggara dengan melampirkan : a) Formulir … 19 a) Formulir data kepesertaan sebagaimana contoh pada Lampiran 6 yang telah diisi lengkap; b) Formulir penunjukan pejabat yang berwenang untuk menandatangani Surat Keterangan Penolakan sebagaimana contoh pada Lampiran 7 yang telah diisi lengkap; c) Formulir penunjukan wakil Peserta sebagaimana contoh pada Lampiran 8 yang telah diisi lengkap. 2) Penyelenggara dalam mempertimbangkan permohonan tersebut wajib memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf A.1 dan tata cara sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 1.b sampai dengan 1.g. e. Dalam hal perubahan status kantor Peserta akan diikuti dengan perubahan status kepesertaan dari Peserta Langsung menjadi menjadi Peserta Tidak Langsung sebagaimana dimaksud pada huruf b.1) dan b.3) maka : 1) Peserta tersebut wajib mengajukan permohonan secara tertulis untuk menjadi Peserta Tidak Langsung kepada Penyelenggara dengan melampirkan : a) Formulir data kepesertaan sebagaimana contoh pada Lampiran 6 yang telah diisi lengkap; b) Formulir penunjukan pejabat yang berwenang untuk menandatangani Surat Keterangan Penolakan sebagaimana contoh pada Lampiran 7 yang telah diisi lengkap; c) TPWPK … 20 c) TPWPK untuk dikembalikan kepada Penyelenggara. 2) Penyelenggara dalam mempertimbangkan permohonan tersebut wajib memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf A.2 dan tata cara sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 2.b sampai dengan 2.g. D. Wakil Peserta 1. Peserta Langsung wajib menunjuk wakil Peserta sekurang- kurangnya 2 (dua) orang yang mempunyai kewenangan untuk membuat, mengubah, dan menandatangani : a. b. c. Daftar Warkat Kliring Penyerahan/Pengembalian; Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian; Bilyet Saldo Kliring; serta menandatangani dan mencantumkan nama jelas sebagai tanda terima pada Daftar Warkat Kliring Penyerahan/ Pengembalian yang diterima dari Peserta lain. 2. Wakil Peserta tersebut wajib didaftarkan pada Penyelenggara dengan menyampaikan surat permohonan yang dilampiri dengan: a. Formulir Penunjukan Wakil Peserta sebagaimana contoh pada Lampiran 8 yang telah diisi lengkap; Pasfoto ukuran 2x3 sebanyak 2 (dua) lembar; Fotokopi KTP/SIM; b. c. dari masing-masing wakil Peserta dimaksud. 3. Penunjukan … 21 3. Penunjukan wakil Peserta untuk pertama kali dilakukan pada saat kantor Bank mengajukan permohonan untuk menjadi Peserta Langsung kepada Penyelenggara dan mulai berlaku bersamaan dengan tanggal efektif keikutsertaan kantor Bank sebagai Peserta. 4. Dalam hal Peserta ingin mengganti atau menambah wakil Peserta maka Peserta wajib menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Penyelenggara dengan memperhatikan ketentuan pada angka 2. Penggantian atau penambahan wakil Peserta mulai berlaku setelah Peserta memperoleh konfirmasi secara tertulis mengenai pendaftaran wakil Peserta dimaksud serta TP WK dari Penyelenggara. 5. Dalam hal penggantian wakil Peserta, TPWPK dari wakil Peserta yang lama wajib dikembalikan kepada Penyelenggara pada saat menerima TPWPK untuk wakil Peserta yang baru. 6. Konfirmasi tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 4 wajib diberikan oleh Penyelenggara paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. V. TATA CARA PENYELENGGARAAN KLIRING Penyelenggaraan Kliring Lokal secara manual terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian yang merupakan satu kesatuan siklus Kliring. Peserta wajib mengikuti kedua kegiatan tersebut sampai Kliring dinyatakan selesai oleh Penyelenggara dengan mengirimkan wakil Peserta walaupun Peserta yang bersangkutan tidak mempunyai Warkat yang akan dikliringkan pada kedua tahap Kliring tersebut. A. Kliring … 22 A. Kliring Penyerahan Kliring Penyerahan meliputi kegiatan yang dilakukan di kantor Peserta dan kegiatan yang dilakukan di tempat Penyelenggara. 1. Kegiatan di kantor Peserta Sebelum datang ke pertemuan Kliring Penyerahan di tempat Penyelenggara, Peserta harus melakukan persiapan sebagai berikut : a. Melakukan pengecekan terhadap Warkat yang akan dikliringkan apakah Warkat tersebut merupakan Warkat yang dapat dikliringkan dan telah memenuhi spesifikasi sesuai ketentuan yang berlaku. Warkat-warkat yang telah memenuhi ketentuan dibubuhi Stempel Kliring. Dalam hal pada suatu Warkat terdapat lebih dari 1 (satu) Stempel Kliring, maka Stempel Kliring yang terdahulu harus dibatalkan dengan membubuhkan Stempel Kliring Dibatalkan dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta yang bersangkutan. b. Memilah Warkat berdasarkan Bank penerima. Warkat yang telah dipilah berdasarkan Bank penerima itu dipisahkan antara Warkat Debet dan Warkat Kredit. c. Mengisi Daftar Warkat Kliring Penyerahan dengan rincian nominal Warkat serta jumlah lembar dan jumlah nominal Warkat. Daftar Warkat Kliring Penyerahan tersebut dibuat tersendiri untuk kelompok Warkat Debet dan kelompok Warkat Kredit per Bank penerima, masing-masing sebanyak rangkap 3 (tiga). Selain itu untuk memudahkan perhitungan, dapat pula dibuat telstruk per Bank penerima untuk … 23 untuk masing-masing Daftar Warkat Kliring Penyerahan apabila jumlah Warkat lebih dari 1 (satu) lembar. Daftar Warkat Kliring Penyerahan kemudian dibubuhi Stempel Kliring serta tandatangan dan nama jelas wakil Peserta. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c dilakukan di kantor Peserta. Dengan demikian wakil Peserta tidak diperkenankan menerima setoran Warkat dari nasabah di tempat Penyelenggara untuk langsung dikliringkan; 2. Kegiatan Peserta di tempat Penyelenggara Pada saat pertemuan Kliring Penyerahan di tempat Penyelenggara, wakil Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut : a. Wakil Peserta wajib hadir dalam pertemuan Kliring Penyerahan pada jadwal yang telah ditetapkan dengan mengisi Daftar Hadir yang disediakan Penyelenggara. Dalam hal wakil Peserta hadir melewati batas akhir jadwal Kliring Penyerahan yang ditetapkan maka wakil Peserta tersebut tidak diperkenankan menyerahkan Warkat kepada Peserta lain untuk diperhitungkan dalam hari Kliring tersebut namun wajib menerima Warkat dari Peserta lain. Kegiatan wakil Peserta yang terlambat tersebut akan diambil alih oleh Petugas Penyelenggara sebagaimana dijelaskan pada angka 3.b. b. Melakukan kegiatan pendistribusian Warkat : 1) Menyerahkan ke masing-masing Peserta penerima : a) lembar pertama Daftar Warkat Kliring Penyerahan; dan b) Warkat. 2) Meminta … 24 2) Meminta tanda tangan dari wakil Peserta penerima pada lembar kedua Daftar Warkat Kliring Penyerahan sebagai bukti penerimaan Warkat. 3) Menyerahkan lembar ketiga Daftar Warkat Kliring Penyerahan kepada Penyelenggara. c. Melakukan kegiatan Penerimaan Warkat : 1) Menerima dari Peserta lain : a) lembar pertama Daftar Warkat Kliring Penyerahan; dan b) Warkat. 2) Membubuhkan tanda tangan pada lembar kedua Daftar Warkat Kliring Penyerahan yang diserahkan oleh Peserta lain sebagai bukti penerimaan Warkat. d. Mencocokkan rincian yang tercantum pada Daftar Warkat Kliring Penyerahan yang diterima dari Peserta lain dengan Warkat yang diterima. e. Menyusun Neraca Kliring Penyerahan sebanyak rangkap 2 (dua) berdasarkan Daftar Warkat Kliring Penyerahan yang diserahkan maupun yang diterima. Neraca Kliring Penyerahan ini diisi rincian Warkat yang diserahkan maupun yang diterima serta saldo debet/kredit Kliring Penyerahan bagi Peserta yang bersangkutan. f. Menandatangani dan mencantumkan nama jelas wakil Peserta yang bersangkutan pada Neraca Kliring Penyerahan, kemudian menyerahkan lembar pertama Neraca Kliring Penyerahan kepada Penyelenggara. 3. Kegiatan … 25 3. Kegiatan Petugas Penyelenggara a. Menyusun Neraca Kliring Penyerahan Gabungan berdasarkan Neraca Kliring Penyerahan yang disampaikan oleh seluruh wakil Peserta, kemudian membubuhkan tanda tangan dan nama jelas petugas Penyelenggara pada Neraca Kliring Penyerahan Gabungan tersebut. Dengan ditandatanganinya Neraca Kliring Penyerahan Gabungan oleh petugas Penyelenggara maka Kliring Penyerahan dinyatakan berakhir. b. Apabila wakil Peserta belum hadir sampai dengan batas akhir jadwal Kliring Penyerahan yang ditetapkan, Penyelenggara akan melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf c, d, e dan f atas nama wakil Peserta. Dalam hal kemudian wakil Peserta hadir sebelum Kliring Penyerahan dinyatakan berakhir maka kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf c, d, e dan f yang belum dilaksanakan oleh petugas Penyelenggara akan dilanjutkan oleh wakil Peserta yang bersangkutan. Seluruh Warkat yang ditujukan kepada Peserta yang terlambat diserahkan oleh Penyelenggara pada saat wakil Peserta yang bersangkutan hadir. Apabila wakil Peserta tidak hadir sampai Kliring Penyerahan dinyatakan berakhir maka Penyelenggara akan menghubungi Peserta untuk mengambil Warkat dan Neraca Kliring Penyerahan. B. Kliring Pengembalian Kliring Pengembalian meliputi kegiatan yang dilakukan di kantor Peserta dan kegiatan yang dilakukan di tempat Penyelenggara. 1. Kegiatan … 26 1. Kegiatan di kantor Peserta Sebelum dibawa ke pertemuan Kliring Pengembalian di tempat Penyelenggara, Peserta harus melakukan persiapan sebagai berikut : a. Melakukan verifikasi terhadap Warkat yang diterima Peserta pada pertemuan Kliring Penyerahan apakah telah memenuhi persyaratan untuk dibukukan. Dalam hal Warkat Debet : 1) Memenuhi salah satu atau lebih alasan penolakan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.28/137/UPG tanggal 5 Januari 1996 tentang Cek/Bilyet Giro Kosong; atau 2) Merupakan Nota Debet, yang tidak memenuhi ketentuan mengenai nilai nominal Nota Debet; maka Warkat Debet tersebut wajib ditolak dalam pertemuan Kliring Pengembalian yang merupakan satu kesatuan siklus kliring dengan Kliring Penyerahan yang bersangkutan. Dalam hal terdapat kesalahan dalam Warkat Kredit maka pengembaliannya tidak dapat dilakukan melalui pertemuan Kliring Pengembalian, namun dapat dilakukan melalui Kliring Penyerahan berikutnya segera setelah diketahui adanya kesalahan dengan menerbitkan Warkat baru. b. Membuat Surat Keterangan Penolakan (SKP) Warkat Debet yang ditolak wajib disertai dengan SKP sebanyak rangkap 3 (tiga). SKP tersebut harus memuat alasan … 27 alasan penolakan Warkat sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.28/137/UPG tanggal 5 Januari 1996 tentang Cek/Bilyet Giro Kosong. Khusus untuk penolakan Nota Debet sebagaimana dimaksud pada huruf a.2), dalam SKP harus dituliskan nomor, tanggal dan nilai nominal Nota Debet serta alasan penolakan yaitu “nilai nominal Nota Debet diatas Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”. SKP tersebut kemudian diberi tanda tangan dan nama jelas dari pejabat yang berwenang. Dalam hal warkat ditolak pembayarannya karena diduga terdapat hubungan dengan suatu tindak pidana sesuai dengan surat lapor dari pihak berwajib, selain membuat SKP, Peserta tertarik juga harus menahan Warkat tersebut dan membuat Surat Keterangan Penahanan Warkat rangkap 3 (tiga). Contoh Surat Keterangan Penahanan Warkat dapat dilihat pada Lampiran 11. Surat Keterangan Penahanan Warkat tersebut, dengan dilampiri fotokopi surat bukti lapor dari kepolisian dan fotokopi Warkat yang bersangkutan, selanjutnya untuk didistribusikan pada pertemuan Kliring Pengembalian sebagai berikut : 1) lembar pertama kepada nasabah penyetor melalui Peserta yang mengkliringkan; 2) lembar kedua kepada Peserta yang mengkliringkan; 3) lembar ketiga kepada Penyelenggara. c. Memilah Warkat Debet tolakan beserta SKP berdasarkan Bank penerima. d. Mengisi … 28 d. Mengisi Daftar Warkat Kliring Pengembalian dengan rincian nominal serta jumlah lembar dan jumlah nominal Warkat Debet tolakan untuk masing-masing Bank penerima sebanyak rangkap 3 (tiga). Selain itu untuk memudahkan perhitungan, dapat pula dibuat telstruk per Bank penerima untuk masing-masing Daftar Warkat Kliring Pengembalian apabila jumlah Warkat Debet tolakan lebih dari 1 (satu) lembar. Daftar Warkat Kliring Pengembalian kemudian dibubuhi Stempel Kliring serta tandatangan dan nama jelas wakil Peserta. 2. Kegiatan Peserta di tempat Penyelenggara Pada saat pertemuan Kliring Pengembalian di tempat Penyelenggara, wakil Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut: a. Wakil Peserta hadir dalam pertemuan Kliring Pengembalian pada jadwal yang telah ditetapkan dengan mengisi Daftar Hadir yang disediakan Penyelenggara. Dalam hal wakil Peserta hadir melewati batas akhir jadwal Kliring Pengembalian yang ditetapkan maka wakil Peserta tersebut tidak diperkenankan menyerahkan Warkat Debet tolakan kepada Peserta lain untuk diperhitungkan dalam pertemuan Kliring tersebut namun wajib menerima Warkat Debet tolakan dari Peserta lain. Kegiatan wakil Peserta yang terlambat tersebut akan diambil alih oleh petugas Penyelenggara sebagaimana dijelaskan pada angka 3.f. b. Melakukan … 29 b. Melakukan kegiatan pendistribusian Warkat Debet tolakan: 1) Menyerahkan kepada masing-masing Peserta penerima: a) lembar pertama Daftar Warkat Kliring Pengembalian; b) Warkat Debet tolakan; serta c) lembar pertama dan lembar kedua SKP. Lembar kedua SKP untuk diteruskan oleh Peserta penerima kepada nasabah penyetor. 2) Meminta tanda tangan dari wakil Peserta penerima pada lembar kedua Daftar Warkat Kliring Pengembalian sebagai bukti penerimaan Warkat Debet tolakan. 3) Menyerahkan kepada Penyelenggara : a) lembar ketiga Daftar Warkat Kliring Pengembalian; dan b) lembar ketiga SKP. c. Melakukan kegiatan Penerimaan Warkat Debet tolakan : 1) Menerima dari Peserta lain : a) lembar pertama Daftar Warkat Kliring Pengembalian; b) Warkat Debet tolakan; serta c) lembar pertama dan lembar kedua SKP. Lembar kedua SKP untuk diteruskan oleh Peserta kepada nasabah penyetor. 2) Membubuhkan … 30 2) Membubuhkan tanda tangan pada lembar kedua Daftar Warkat Kliring Pengembalian yang diserahkan oleh Peserta lain sebagai bukti penerimaan Warkat Debet tolakan. d. Mencocokkan rincian yang tercantum pada Daftar Warkat Kliring Pengembalian dengan Warkat Debet tolakan yang diterima. e. Menyusun Neraca Kliring Pengembalian sebanyak rangkap 2 (dua) berdasarkan Daftar Warkat Kliring Pengembalian yang diserahkan maupun yang diterima. Neraca Kliring Pengembalian ini diisi rincian Warkat Debet tolakan yang diserahkan maupun yang diterima serta saldo debet/kredit Kliring Pengembalian Peserta yang bersangkutan. f. Menandatangani dan mencantumkan nama jelas wakil Peserta pada Neraca Kliring Pengembalian, kemudian menyerahkan lembar pertama Neraca Kliring Pengembalian kepada Penyelenggara. g. Menyusun Bilyet Saldo Kliring (BSK) sebanyak rangkap 2 (dua) berdasarkan Neraca Kliring Penyerahan dan Neraca Kliring Pengembalian. h. Menandatangani dan mencantumkan nama jelas wakil Peserta pada BSK, kemudian menyerahkan BSK rangkap 2 (dua) kepada Penyelenggara. 3. Kegiatan … 31 3. Kegiatan Petugas Penyelenggara a. Menyusun Neraca Kliring Pengembalian Gabungan berdasarkan Neraca Kliring Pengembalian yang disampaikan oleh seluruh wakil Peserta, kemudian membubuhkan tanda tangan dan nama jelas petugas Penyelenggara pada Neraca Kliring Pengembalian Gabungan tersebut . b. Mencocokkan antara Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian Gabungan yang disusun oleh Penyelenggara dengan BSK yang disusun oleh Peserta. c. Menandatangani dan mencantumkan nama jelas petugas Penyelenggara pada BSK rangkap 2 (dua) setelah terdapat kecocokan antara Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian Gabungan dengan BSK. d. Mendistribusikan BSK sebagai berikut : 1) lembar pertama untuk Penyelenggara; 2) lembar kedua kepada masing-masing Peserta. Dengan didistribusikannya BSK maka Kliring Pengembalian dinyatakan berakhir. e. Melakukan verifikasi terhadap tanda tangan pejabat pada SKP yang diserahkan oleh seluruh Peserta, sebelum disampaikan kepada Bank Indonesia. f. Apabila wakil Peserta belum hadir sampai dengan batas akhir jadwal Kliring Pengembalian yang ditetapkan, Penyelenggara akan melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf c, d, e, f, g dan h atas nama wakil Peserta yang bersangkutan. Dalam hal kemudian wakil … 32 wakil Peserta hadir sebelum Kliring Pengembalian dinyatakan berakhir maka kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf c, d, e, f, g dan h yang belum dilaksanakan oleh petugas Penyelenggara akan dilanjutkan oleh wakil Peserta yang bersangkutan. Seluruh Warkat Debet tolakan yang ditujukan kepada Peserta yang terlambat akan diserahkan oleh Penyelenggara pada saat wakil Peserta yang bersangkutan hadir. Apabila wakil Peserta tidak hadir sampai Kliring Pengembalian dinyatakan berakhir maka Penyelenggara akan menghubungi Peserta untuk mengambil Warkat Debet tolakan dari Peserta lain, Neraca Kliring Pengembalian dan BSK. Sementara itu perhitungan atas Warkat Debet tolakan yang tidak dapat diserahkan pada pertemuan Kliring Pengembalian diselesaikan berdasarkan kesepakatan Peserta yang terkait. Namun, Peserta yang bersangkutan wajib menyampaikan Warkat Debet tolakan beserta lembar 1 dan 2 SKP kepada Peserta penerima tolakan dan lembar ketiga SKP kepada Penyelenggara pada saat Kliring Pengembalian tersebut. C. Penyelesaian Akhir Penyelesaian Akhir atas hasil Kliring dilakukan dengan melimpahkan hasil Kliring masing-masing Peserta ke rekening giro kantor lain dari Peserta di Bank Indonesia yang telah ditetapkan. Prosedur Penyelesaian Akhir dilakukan sebagai berikut : 1. Penyelenggara … 33 1. Penyelenggara mengirimkan informasi hasil Kliring berdasarkan BSK ke Kantor Bank Indonesia yang ditetapkan dengan menggunakan sarana teleks setelah dilakukan test key arrangement. Dalam Keadaan Darurat dimana tidak dimungkinkan menggunakan sarana teleks maka pelimpahan tersebut dapat dilakukan dengan sarana telepon dan dikonfirmasikan kemudian dengan teleks apabila penggunaan teleks sudah dimungkinkan. Dalam hal terdapat perbedaan BSK antara penyampaian konfirmasi melalui sarana teleks dan penyampaian melalui sarana telepon maka yang akan digunakan adalah BSK yang disampaikan melalui sarana teleks. Bank Indonesia akan mengoreksi pembukuan BSK tersebut berdasarkan konfirmasi teleks yang dikirim Penyelenggara. 2. Atas dasar instruksi pelimpahan tersebut, kantor Bank Indonesia membukukan hasil Kliring ke rekening kantor lain dari masing- masing Peserta yang ada di kantor Bank Indonesia tersebut . 3. Tanggal valuta pembukuan hasil Kliring adalah sama dengan tanggal hari Kliring yang bersangkutan (same day settlement). 4. Apabila terdapat kesalahan perhitungan hasil Kliring yang diketahui setelah hasil Kliring tersebut dilimpahkan ke Bank Indonesia, maka penyelesaiannya dilakukan antara Penyelenggara dengan Peserta. 5. Dalam Keadaan Darurat dimana tidak dimungkinkan menggunakan sarana teleks dan telepon maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku dan pelimpahan serta pembukuan hasil Kliring dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. VI. JADWAL … 34 VI. JADWAL KLIRING LOKAL DAN PELIMPAHAN HASIL KLIRING 1. Jadwal penyelenggaraan Kliring Lokal serta jadwal pelimpahan hasil Kliring ditetapkan oleh Penyelenggara dengan persetujuan Bank Indonesia yang mewilayahi. Jadwal Kliring Lokal yang ditetapkan merupakan rentang waktu bagi wakil Peserta diperkenankan untuk hadir dan mendistribusikan Warkat pada proses penyelenggaraan Kliring Penyerahan/Pengembalian. Sebagai contoh : a. Jadwal Kliring Penyerahan ditetapkan pukul 10.30 s/d 11.00. Hal ini berarti bahwa kehadiran wakil Peserta dan proses pendistribusian Warkat dapat dimulai pada pukul 10.30 dengan batas akhir kehadiran wakil Peserta pukul 11.00. Apabila wakil Peserta hadir pada pukul 11.00 maka wakil Peserta yang bersangkutan masih dapat mendistribusikan Warkat. Namun apabila wakil Peserta hadir setelah pukul 11.00 maka wakil Peserta yang bersangkutan dianggap terlambat dan terkena ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka V huruf A.2.a. b. Jadwal Kliring Pengembalian ditetapkan pukul 13.00 s/d 13.30. Hal ini berarti bahwa kehadiran wakil Peserta dan proses pendistribusian Warkat Debet tolakan dapat dimulai pada pukul 13.00 dengan batas akhir kehadiran wakil Peserta pukul 13.30. Apabila wakil Peserta hadir pada pukul 13.30 maka wakil Peserta yang bersangkutan masih dapat mendistribusikan Warkat Debet tolakan. Namun apabila wakil Peserta hadir setelah pukul 13.30 maka wakil Peserta yang bersangkutan dianggap terlambat dan terkena ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka V huruf B.2.a. 2. Jadwal Kliring Lokal dan pelimpahan hasil kliring diumumkan secara tertulis oleh Penyelenggara. VII. RENCANA … 35 VII. RENCANA PENANGGULANGAN SEGERA ATAS PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DALAM KEADAAN DARURAT Penyelenggara wajib memiliki rencana penanggulangan segera atas penyelenggaraan Kliring Lokal dalam Keadaan Darurat dengan berpedoman pada ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/8/DASP tanggal 24 Desember 1999 perihal Rencana Penanggulangan Segera Atas Penyelenggaraan Kliring Lokal Dalam Keadaan Darurat. VIII. SANKSI 1. Penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada angka I huruf B.1dan B.2 dikenakan sanksi teguran secara tertulis. 2. Penyelenggara yang tidak meneruskan secara tertulis informasi mengenai penolakan Nota Debet kepada Bank Indonesia yang mewilayahi sebagaimana dimaksud pada angka I huruf B.3 akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap penolakan Nota Debet yang tidak diteruskan. 3. Penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban untuk menjaga kerahasiaan data yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kliring sebagaimana dimaksud pada angka I huruf B.4 dikenakan sanksi berupa penghentian sebagai Penyelenggara. 4. a. Wakil Peserta yang tidak mengenakan TPWPK akan dikenakan sanksi teguran tertulis kepada Peserta oleh Penyelenggara. b. Dalam hal teguran sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diindahkan maka Penyelenggara memberlakukan ketentuan mengenai keterlambatan kehadiran wakil Peserta sebagaimana dimaksud pada Angka V huruf A.2.a dan huruf B.2.a. IX. PENUTUP … 36 IX. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.14/8/UPPB tanggal 10 September 1981 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal angka V, VI, VII, VIII dan X dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 24 Februari 2000. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HARMAIN SALIM DEPUTI DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN 37 Lampiran - 4 Contoh Format STEMPEL KLIRING DAN STEMPEL KLIRING DIBATALKAN 1. Stempel Kliring 5 cm KLIRING 27 FEBRUARI 2000 A. PT. BANK MANDIRI -CABANG No. Urut : 4 2,5 cm 2. Stempel Kliring Dibatalkan 6 cm STEMPEL KLIRING DIBATALKAN PT.BANK MANDIRI CABANG SOLOK *) Tanda Tangan 1,5 cm 38 Lampiran - 5 Contoh Format TANDA PENGENAL WAKIL PESERTA KLIRING Sisi depan 7 cm KLIRING FOTO BANK MANDIRI *) SOLOK BANK DANAMON **) SOLOK NAMA WAKIL PESERTA 4 cm Sisi belakang Tanda Pengenal Wakil Peserta Kliring No. Penda ftaran Alamat : : Tanda tangan & Nama ybs [kota],[tgl/bln/thn] BANK MANDIRI *) *) Diisi nama bank penyelenggara **) Diisi nama bank peserta 39 X. Lampiran - 16 Contoh Formulir DATA KEPESERTAAN KLIRING LOKAL DI [kota] I. II. III. − − − − − IV. V. Nama Bank Nama Kantor Alamat Kantor Jalan Kabupaten/Kotamadya Kode Pos Telepon Fax Status Kantor Bank Jenis Usaha VI. Badan Hukum : : : : : : : : : Kantor Pusat/Kantor Pusat Operasional/ Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu : Bank Devisa/Non Devisa/Asing *) : Badan Pemerintah/Perusahaan Terbatas/ Perusahaan Daerah/Koperasi *) VII. SK. Izin Usaha (bagi bank yang baru beroperasi) A. Nomor B. Tanggal : : VIII. SK Izin Pembukaan Kantor (bagi Kantor Pusat/Kantor Pusat Operasional/ Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu) A. Nomor B. Tanggal IX. X. : : No.Urut Peserta Langsung : (hanya diisi bagi permohonan untuk menjadi Peserta Tidak Langsung) Rekening giro kator lain di Bank Indonesia yang mewilayahi yang akan dipergunakan untuk pelimpahan hasil kliring (jika tidak ada, sebutkan 3 alternatif rekening giro kantor lain di Kantor Bank Indonesia lainnya yang terdekat) : a. KBI ………………… No. Rek ………………………………….. b. KBI …………………. No. Rek ………………………………….. *) 40 c. KBI …………………. No. Rek ………………………………….. XI. Contact… XI. Contact Officer untuk masalah Kliring Manual : A. Pejabat Bagian Kliring I : B. Pejabat Bagian Kliring II : Telp. : Telp. : Demikian formulir data kepesertaan Kliring Lokal ini telah kami isi dengan benar sebagaimana adanya. Jika terdapat perubahan data, selanjutnya akan kami informasikan kepada Penyelenggara kliring setempat dengan menggunakan formulir ini dengan hanya mengisi bagian yang mengalami perubahan. *) coret yang tidak perlu [kota] , [tanggal/bulan/tahun] PT. BANK ……………. (Tanda tangan & Nama Jelas Pejabat Berwenang) Jabatan 41 Lampiran – 7 Contoh SURAT PENUNJUKAN PEJABAT YANG BERWENANG MENANDATANGANI SKP Kepada Yth, ………..…… …….…… Sehubungan dengan permohonan kami untuk menjadi peserta kliring pada kliring lokal di wilayah kliring…… yang Saudara selenggarakan, dengan ini kami sampaikan nama pejabat kami yang berhak menandatangani Surat Keterangan Penolakan warkat sebagai berikut : No. Nama Jabatan Contoh Tanda Tangan Contoh Paraf [kota], tanggal/bulan/tahun] PT. Bank …………. Nama jelas Jabatan 42 A. Lampiran - 8 Contoh Formulir PENUNJUKAN WAKIL PESERTA PT. BANK …………….. Contoh Tanda No. Nama Jabatan Alamat & No. KTP Tangan dan Paraf Foto Keterangan*) [ k o t a ] , [ t a n g g a l / b u l a n 43 / t a h u n ] PT. BANK …………… *) baru/penggantian/tambahan Nama Jelas Jabatan Catatan : Formulir ini dilampiri dengan 2 lembar pasfoto terbaru ukuran 2 x 3 cm dari masing- masing wakil peserta. 44 Lampiran - 9 Contoh KARTU TATA USAHA WAKIL PESERTA PT. BANK …………….. Contoh Nama Jabatan Alamat & No. KTP Tanda Tangan dan Paraf Foto No. dan Tgl Surat Persetujuan Penyelenggara Keterang *) dapat ditambah sesuai kebutuhan PENYELENGGARA KLIRING LOKAL PT. BANK …………. Nama Jelas Jabatan 45 XI. Lampiran – 10a Contoh SURAT PERSETUJUAN KEIKUTSERTAAN SEBAGAI PESERTA LANGSUNG No. Kepada Yth, ………………………….. di………………… Sehubungan dengan surat Saudara No….. tanggal ……perihal permohonan untuk menjadi Peserta Langsung pada penyelenggaraan Kliring Lokal di tempat kami, perlu kami beritahukan bahwa permohonan tersebut dapat kami setujui. Selanjutnya perlu kami sampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Tanggal efektif keikutsertaan kantor bank Saudara adalah tanggal …. 2. Nomor urut kepesertaan kantor bank Saudara adalah … 3. Sesuai penetapan dari Bank Indonesia, hasil kliring dari kantor bank Saudara akan dilimpahkan ke rekening …………. di Bank Indonesia ……… 4. Kepada Saudara diwajibkan untuk menyampaikan : a. Spesimen Warkat b. fisik Stempel Kliring c. fisik Stempel Kliring Dibatalkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum tanggal efektif keikutsertaan yang ditetapkan. 5. Wakil Peserta telah kami daftarkan sesuai formulir penunjukan wakil Peserta yang Saudara sampaikan. 6. Wakil Peserta tersebut wajib mengikuti pelatihan mengenai tata cara pelaksanaan kliring secara manual yang akan kami laksanakan selama 2 (dua) hari yaitu pada tanggal ……..dan……. Terlampir kami sampaikan Tanda Pengenal Wakil Peserta Kliring (TPWPK) untuk digunakan pada pertemuan kliring. Demikian hal ini kami sampaikan, agar dapat dilaksanakan. [kota], [tanggal/bulan/tahun] Penyelenggara Kliring Lokal PT. Bank ………… Nama jelas 46 Jabatan cc : [Bank Indonesia yang mewilayahi] XII. Lampiran – 10b Contoh SURAT PERSETUJUAN KEIKUTSERTAAN SEBAGAI PESERTA TIDAK LANGSUNG No. Kepada Yth, ………………………….. di………………… Sehubungan dengan surat Saudara No….. tanggal ……perihal permohonan kantor Saudara untuk menjadi Peserta Tidak Langsung pada penyelenggaraan Kliring Lokal di tempat kami, perlu kami beritahukan bahwa permohonan tersebut dapat kami setujui. Selanjutnya perlu kami sampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Tanggal efektif keikutsertaan adalah tanggal …. 2. Kepada Saudara diwajibkan untuk menyampaikan : a. Spesimen Warkat b. fisik Stempel Kliring c. fisik Stempel Kliring Dibatalkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum tanggal efektif keikutsertaan yang ditetapkan. 3. Nomor urut kepesertaan kantor bank Saudara menggunakan nomor urut Peserta Langsung yang menjadi kantor induk bank Saudara yaitu nomor ….. Demikian hal ini kami sampaikan, agar dapat dilaksanakan. [kota], [tanggal/bulan/tahun] Penyelenggara Kliring Lokal PT. Bank ………… Nama jelas Jabatan cc : [Bank Indonesia yang mewilayahi] 47 XIII. Lampiran - 11 a. Contoh b. SURAT KETERANGAN PENAHANAN WARKAT Sudah terima dari PT. Bank ……………… ………………………….. dalam perhitungan kliring pada tanggal …………………………. sebanyak … lembar warkat berupa : 1. No. Urut Jenis Warkat Nomor Nominal Tgl.Penarikan Warkat tersebut kami tahan untuk dilakukan penelitian dan diteruskan kepada yang berwajib karena diduga ada hubungannya dengan tindak pidana, sesuai dengan Surat Keterangan Lapor dari Kepolisian (foto copy terlampir). [kota], [tanggal/bulan/tahun] PT. BANK ……………… Nama jelas 48 Jabatan *) Diisi nama bank peserta kliring
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 2/7/DASP|SE-BI/2000 </reg_id> <reg_title> Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Manual. </reg_title> <set_date> 24 Februari 2000 </set_date> <effective_date> 24 Februari 2000 </effective_date> <replaced_reg> '14/8/UPPB|SE-BI/1981 | angka V, VI, VII, VIII dan X' </replaced_reg> <related_reg> '2/4/PBI/2000', '1/3/PBI/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VIII' </penalty_list>
No. 5/3/DSM Jakarta, 10 Februari 2003 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN DI INDONESIA Perihal: Perubahan atas Surat Edaran No. 4/5/DSM tanggal 28 Maret 2002 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan, maka untuk lebih meningkatkan kesiapan Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan dalam rangka memenuhi ketentuan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa perlu dilakukan perubahan mengenai ketentuan yang mengatur pemberlakuan pengenaan sanksi administratif. Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Nomor 4/5/DSM tanggal 28 Maret 2002 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan sebagai berikut: 1. Mengubah ketentuan dalam butir VII.B. menjadi berbunyi sebagai berikut : "B. Untuk lebih meningkatkan kesiapan bagi Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan dalam rangka memenuhi ketentuan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa, pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada butir VI mulai diberlakukan ... 2 diberlakukan untuk pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa Periode Laporan bulan Januari 2004.” 2. Mengubah ketentuan dalam butir VII.C. menjadi berbunyi sebagai berikut : "C. Bagi Perusahaan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut sehubungan dengan pelaksanaan pelaporan ini dapat menghubungi: Bank Indonesia Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter Bagian Statistik Neraca Pembayaran: Telepon : lldperusahaan@bi.go.id." : 0-800-1501969 (bebas pulsa), 3817040, 3817041, 3817469 Faksimili : 0-800-1501829 (bebas pulsa), 3866063, 3501974. E-mail Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 10 Februari 2003 dan berlaku surut sejak tanggal 1 Desember 2002. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Ttd TREESNA WILDA SUPARYONO DEPUTI DIREKTUR STATISTIK EKONOMI DAN MONETER DSM
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 5/3/DSM|SE-BI/2003 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran No. 4/5/DSM tanggal 28 Maret 2002 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan. </reg_title> <set_date> 10 Februari 2003 </set_date> <effective_date> 10 Februari 2003, dan berlaku surut sejak tanggal 1 Desember 2002 </effective_date> <changed_reg> '4/5/DSM|SE-BI/2002' </changed_reg> <related_reg> '5/1/PBI/2003', '4/2/PBI/2002', '4/5/DSM|SE-BI/2002' </related_reg>
No. 12/19/DInt Jakarta, 22 Juli 2010 SURAT EDARAN Kepada BANK, BADAN USAHA BUKAN BANK, DAN PERORANGAN DI INDONESIA Perihal : Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/22/PBI/2000 tanggal 2 Oktober 2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 172; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4007) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/17/PBI/2009 tanggal 5 Mei 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/22/PBI/2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 71) dan dilakukannya penyempurnaan atas laporan dan sistem pelaporan, yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi laporan utang luar negeri, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai kewajiban pelaporan utang luar negeri, sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM A. Definisi Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan : 1. Utang Luar Negeri atau selanjutnya disebut ULN adalah utang penduduk kepada bukan penduduk, dalam valuta asing dan/-atau rupiah, berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) atau perjanjian lainnya, kecuali giro, tabungan, dan deposito; 2. Penduduk… 2. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia paling singkat 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri; 3. Utang Penduduk kepada bukan Penduduk adalah sejumlah nilai pada periode dan posisi tertentu yang merupakan kewajiban penduduk kepada bukan penduduk untuk melakukan pembayaran pokok dan/- atau bunga di masa mendatang; 4. Perjanjian Kredit (Loan Agreement) adalah perjanjian tertulis yang berisi syarat dan kondisi pinjaman yang antara lain mengatur besarnya plafond kredit, suku bunga, jangka waktu, dan cara-cara pelunasannya; 5. Surat Utang (Debt Securities) adalah surat pengakuan utang yang dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam maupun di luar negeri; 6. Utang Dagang (Trade Credit) adalah utang yang timbul dalam rangka kredit yang diberikan oleh supplier atas transaksi barang dan/-atau jasa; 7. Utang lainnya (Other Loans) adalah seluruh utang yang tidak termasuk utang berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities), dan Utang Dagang (Trade Credit); 8. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. B. Tujuan Pelaporan ULN dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai ULN dalam rangka penyusunan Statistik ULN Indonesia dan Statistik Neraca Pembayaran dalam upaya mendukung keberhasilan pengelolaan cadangan devisa dan perumusan kebijakan moneter. C. Pelapor 1. Berdasarkan jenis usaha, Pelapor terdiri dari : a. Lembaga keuangan: 1) Bank… 1) Bank; 2) Lembaga Keuangan Non Bank. b. Non Lembaga Keuangan. 2. Berdasarkan kepemilikan usaha, Pelapor terdiri dari : a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Badan Usaha Milik Swasta; d. Koperasi; e. Perorangan; f. Yayasan; g. Lainnya. 3. Dalam hal pelaporan ULN adalah Badan usaha, pelaporan dilakukan oleh Kantor Pusat badan usaha yang bersangkutan. 4. Dalam hal pelaporan ULN adalah Perorangan, pelaporan dilakukan oleh perorangan yang bersangkutan. 5. Dalam hal Pelapor ULN mempunyai Kantor Cabang Luar Negeri (KCLN), utang KCLN tersebut wajib dilaporkan oleh Kantor Pusat. 6. Pelapor sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan 4 dapat memberi kuasa kepada pihak lain untuk melakukan pelaporan ULN. II. RUANG LINGKUP LAPORAN A. Ruang Lingkup ULN yang Wajib Dilaporkan 1. ULN yang wajib dilaporkan meliputi : a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement); b. ULN berdasarkan Perjanjian Lainnya yang terdiri dari: 1) Surat Utang (Debt Securities); 2) Utang Dagang (Trade Credit); dan/-atau 3) Utang Lainnya (Other Loans), dalam valuta rupiah dan/-atau valuta asing. 2. Surat … 2. Surat Utang (Debt Securities) sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.1) meliputi antara lain Obligasi, Commercial Papers (CP), Promissory Notes (PN), Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Letter of Credit (LC) impor yang diakseptasi oleh Bank (Bankers Acceptance) dan transaksi Money Market (MM). 3. Utang lainnya sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.3) antara lain berupa pembayaran klaim asuransi dan deviden yang sudah ditetapkan namun belum dibayar. 4. ULN Lembaga Keuangan dan Non Lembaga Keuangan wajib dilaporkan seluruhnya tanpa batasan minimum. 5. ULN Perorangan yang wajib dilaporkan meliputi : a. Setiap ULN dengan nominal paling sedikit USD 200.000,00 (dua ratus ribu USD) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen utang ditandatangani atau diterbitkan; dan/-atau b. Beberapa ULN yang apabila dijumlahkan telah mencapai USD 200.000,00 (dua ratus ribu USD) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen utang ditandatangani atau diterbitkan. B. Jenis Laporan Laporan ULN terdiri dari : 1. Laporan Data Pokok ULN dan/-atau perubahannya meliputi : a. Profil Pelapor Setiap pelapor yang baru pertama kali melaporkan ULN harus menyampaikan Data Profil Pelapor. Apabila terjadi perubahan Data Profil Pelapor sebagaimana dimaksud pada huruf a maka perubahan tersebut harus disampaikan kepada Bank Indonesia. Cakupan... Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir Profil Pelapor (Lampiran 1). b. Profil ULN 1) Atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir PK01 (Lampiran 2). 2) Atas dasar Surat Utang (Debt Securities) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir SU01 (Lampiran 3). 3) Atas dasar Utang Dagang (Trade Credit) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir UD01 (Lampiran 4). 4) Atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada formulir UL01 (Lampiran 5). 2. Laporan Data Realisasi ULN a. Atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada Formulir PK02 (Lampiran 6). b. Atas dasar Surat Utang (Debt Securities) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada Formulir SU02 (Lampiran 7). c. Atas dasar Utang Dagang (Trade Credit) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada Formulir UD02 (Lampiran 8). d. Atas dasar Utang Lainnya (Other Loans) Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud pada Formulir UL02 (Lampiran 9). III. PENYAMPAIAN … III. PENYAMPAIAN LAPORAN A. Batas Waktu Penyampaian Laporan ULN 1. Masa Penyampaian Laporan ULN a. Laporan Data Pokok ULN dan/-atau Perubahannya 1) Profil ULN baru atau perubahannya wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 hari setelah penandatanganan atau penerbitan ULN dan/-atau perubahannya untuk ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credit) dan Utang Lainnya (Other Loans). Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka laporan ULN disampaikan pada hari sebelumnya. Contoh: ULN yang ditandatangani pada tanggal 6 April 2010 paling lambat wajib disampaikan pada tanggal 20 April 2010. 2) Dalam hal penarikan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credit) dan Utang Lainnya (Other Loans) dilakukan sebelum tanggal penandatanganan atau penerbitan ULN, Laporan Data Pokok ULN Baru wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 hari setelah tanggal penarikan atau penerbitan ULN. Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka disampaikan pada hari sebelumnya. Contoh: ULN yang ditandatangani pada tanggal 9 April 2010 tetapi penarikannya dilakukan pada tanggal 5 April 2010 paling lambat wajib disampaikan pada tanggal 19 April 2010. b. Laporan Data Realisasi ULN Laporan Data Realisasi ULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia mulai tanggal 1 s.d. 10 pada bulan berikutnya. Apabila tanggal … tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka disampaikan pada hari sebelumnya. Contoh: Data realisasi selama bulan April 2010, wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Mei 2010. 2. Masa Penyampaian Koreksi Laporan ULN a. Koreksi Laporan Data Pokok ULN dan/-atau Perubahannya Batas waktu penyampaian koreksi Laporan Data Pokok ULN sampai dengan 20 hari setelah penandatanganan atau penerbitan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credit) dan Utang Lainnya (Other Loans) atau setelah tanggal penarikan ULN. Apabila tanggal tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka disampaikan pada hari sebelumnya. Contoh : Koreksi Data Pokok ULN yang ditandatangani pada tanggal 6 April 2010 paling lambat harus disampaikan pada tanggal 4 Mei 2010. b. Koreksi Laporan Data Realisasi ULN. Batas waktu penyampaian koreksi Laporan Data Realisasi ULN disampaikan paling lambat tanggal 20 pada bulan penyampaian laporan. Contoh : Koreksi data realisasi selama bulan April 2010, harus disampaikan paling lambat pada tanggal 20 Mei 2010. 3. Keterlambatan Penyampaian Laporan ULN a. Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Profil ULN Laporan Data Profil ULN dianggap terlambat disampaikan ke Bank Indonesia, apabila laporan disampaikan melebihi 10 hari setelah penandatanganan atau penerbitan ULN dan/-atau perubahannya untuk ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credit) dan Utang Lainnya… Lainnya (Other Loans) sebagaimana dimaksud pada butir 1.a.1) atau 10 hari setelah tanggal penarikan ULN sebagaimana dimaksud pada butir 1.a.2) Contoh : Data profil ULN yang ditandatangani pada tanggal 6 April 2010 dianggap ‘terlambat’ apabila disampaikan setelah tanggal 20 April 2010. b. Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Realisasi ULN Laporan Data Realisasi ULN bulan yang bersangkutan dianggap terlambat, jika disampaikan ke Bank Indonesia melebihi tanggal 10 bulan berikutnya, sebagaimana dimaksud pada butir 1.b. Contoh : Data realisasi selama bulan April 2010, dianggap ‘terlambat’ apabila disampaikan setelah tanggal 10 Mei 2010. c. Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Profil ULN Laporan Koreksi Profil ULN dianggap terlambat, jika disampaikan ke Bank Indonesia melebihi batas waktu 20 hari setelah penandatanganan atau penerbitan ULN dan/-atau perubahannya untuk ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credit) dan Utang Lainnya (Other Loans) sebagaimana dimaksud pada butir 1.a.1) atau setelah tanggal penarikan ULN sebagaimana dimaksud pada butir 1.a.2). Contoh : Koreksi Profil ULN yang ditandatangani 6 April 2010, dianggap ‘terlambat’ apabila disampaikan setelah tanggal 4 Mei 2010. d. Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Data Realisasi ULN Laporan Koreksi Data Realisasi ULN dianggap terlambat, jika disampaikan ke Bank Indonesia melebihi tanggal 20 bulan berikutnya, sebagaimana diatur dalam butir 2.b. Contoh … Contoh : Koreksi Data Realisasi ULN bulan April 2010, dianggap terlambat apabila disampaikan setelah tanggal 20 Mei 2010. 4. Tidak Menyampaikan Laporan ULN a. Apabila pelapor terlambat atau tidak menyampaikan Laporan Data Pokok ULN melampaui 6 (enam) bulan terhitung sejak batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1.a maka pelapor dianggap tidak menyampaikan laporan. b. Apabila pelapor terlambat atau tidak menyampaikan Laporan Data Realisasi ULN melampaui 6 (enam) bulan terhitung sejak batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1.b, maka pelapor dianggap tidak menyampaikan laporan. 5. Batas Waktu Penyampaian Pelaporan Menggunakan Media Off line a. Tanggal penerimaan laporan dengan menggunakan media off line berupa disket/CD, media penyimpanan lainnya, atau hard copy oleh Bank Indonesia adalah sesuai dengan tanggal penerimaan di Bank Indonesia. Untuk pengiriman dengan pos, tanggal penerimaan laporan adalah tanggal stempel pos. b. Laporan ULN dengan media off line berupa disket/CD, media penyimpanan lainnya, atau hard copy harus sudah diterima di Bank Indonesia dengan batas waktu paling lambat pukul 16.00 WIB. B. Media Penyampaian Laporan Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia menggunakan media on line (web technology) atau media off line berupa lampiran e-mail, Disket/CD, media penyimpanan lainnya, atau hard copy melalui kurir atau jasa ekspedisi dengan alamat : 1. Media on line (web technology) : https://www.bi.go.id/siulweb/ 2. Media … 2. Media off line : a. Disket/CD, media penyimpanan lainnya atau hard copy : Bagian Penatausahaan dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.5 Jalan MH. Thamrin No.2 Jakarta. b. E-mail : aplnsiul@bi.go.id C. Prosedur Penyusunan dan Penyampaian Laporan ULN Prosedur dan penyusunan penyampaian laporan ULN tercantum dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaporan Utang Luar Negeri sebagaimana tecantum dalam Lampiran 13 Surat Edaran Bank Indonesia ini. IV. TATA CARA PENGENAAN SANKSI A. Sanksi Administratif Berupa Denda 1. Sanksi adminstratif bagi pelapor yang terlambat menyampaikan laporan data pokok sebagaimana dimaksud butir III.A.1.a.1), dan butir III.A.2.a. adalah denda sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap 1 hari keterlambatan. Jumlah hari keterlambatan dihitung mulai 1 hari setelah berakhirnya masa penyampaian laporan sampai dengan tanggal diterimanya laporan oleh Bank Indonesia. Contoh : ULN yang ditandatangani pada tanggal 6 April 2010 paling lambat harus sudah disampaikan pada tanggal 20 April 2010. Apabila pelapor menyampaikan laporan tersebut pada tanggal 23 April 2010, maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) x 3 hari = Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). 2. Sanksi administratif bagi pelapor yang terlambat menyampaikan laporan data Realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada butir III.A.1.b. adalah denda sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap 1 hari keterlambatan. Jumlah hari keterlambatan dihitung mulai … mulai satu hari setelah berakhirnya masa penyampaian laporan sampai dengan tanggal diterimanya laporan oleh Bank Indonesia. Contoh : Data realisasi selama bulan April 2010, harus sudah disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Mei 2010. Apabila pelapor menyampaikan laporan tersebut pada tanggal 12 Mei 2010, maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) x 2 hari = Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). 3. Sanksi administratif bagi pelapor yang tidak menyampaikan Laporan Data Pokok ULN sebagaimana dimaksud pada butir III.A.4.a. adalah denda sebesar 1 ‰ (satu per mil) dari jumlah ULN yang diterima, ditambah dengan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada angka 1. 4. Sanksi administratif bagi pelapor yang tidak menyampaikan Laporan Data Realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada butir III.A.4.b. adalah denda sebesar 1 ‰ (satu per mil) dari jumlah ULN yang diterima, ditambah dengan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada angka 2. 5. Bagi pelapor yang menyampaikan laporan ULN tidak lengkap dan/- atau tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah). B. Pembayaran Sanksi Administratif Berupa Denda 1. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada huruf A disetorkan ke Rekening Kas Negara No. 501.000.000 yang ada di Bank Indonesia. 2. Pelaksanaan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan setelah adanya surat pemberitahuan secara tertulis dari Bank Indonesia dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara yang antara lain berisi tentang penetapan besarnya denda yang harus dibayar dan tata cara penyetorannya. 3. Bukti… 3. Bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda harus disampaikan kepada Bank Indonesia. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka: a. Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/51/DLN tanggal 31 Desember 2004 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia No.7/22/DLN tanggal 7 Juli 2005 perihal perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/51/DLN tanggal 31 Desember 2004. dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Juli 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA NELSON TAMPUBOLON DIREKTUR INTERNASIONAL
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 12/19/DInt|SE-BI/2010 </reg_id> <reg_title> Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri </reg_title> <set_date> 22 Juli 2010 </set_date> <effective_date> 22 Juli 2010 </effective_date> <replaced_reg> '7/22/DLN|SE-BI/2005', '6/51/DLN|SE-BI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '11/17/PBI/2009', '2/22/PBI/2000' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi IV' </penalty_list>
No.7/35/DPM Jakarta, 3 Agustus 2005 S U R A T E D A R A N Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/9/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah Sehubungan dengan adanya ketentuan pengalihan atas Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Syariah yang tidak dapat dilunasi menjadi Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/23/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4520) maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/9/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah dipandang perlu untuk diatur kembali sebagai berikut: Ketentuan butir I diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : I. PERMOHONAN FPJPS 1. Permohonan FPJPS dari Bank Syariah 1) Bank Syariah dapat mengajukan permohonan FPJPS kepada Bank Indonesia melalui BI-SSSS dari cut off warning sampai dengan 15 (lima belas) menit setelah pre-cut off BI-SSSS. 2) Permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus ditegaskan dengan surat permohonan sebagaimana lampiran 1 yang disampaikan kepada: contoh a. Direktorat … pada 2 a. Direktorat Pengelolan Moneter (DPM) c.q. Bagian Operasi Pasar Uang (OPU), Bank Indonesia, Jl.M.H Thamrin No. 2 Jakarta, bagi Pusat Bank Indonesia (KPBI) dengan tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah; atau b. Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat c.q. Seksi Pelaksana Kebijakan Moneter (PKM), bagi Bank Syariah yang berkantor pusat di luar wilayah kerja KPBI dengan tembusan kepada Tim Pengawas Bank di kantor Bank Indonesia setempat. 3) Surat permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada angka 2), harus dilampiri dengan: a. Perjanjian Pembiayaan FPJPS sebagaimana contoh pada Lampiran 2 dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi meterai cukup dan ditandatangani oleh Direksi Bank Syariah atau Pejabat Bank Syariah yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa; b. Akta Pengikatan Agunan secara gadai sebagaimana contoh Lampiran 3 dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi materai cukup dan ditandatangani oleh Direksi Bank Syariah atau Pejabat Bank Syariah yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa; dan c. Bagi Bank Syariah yang akan memanfaatkan FPJPS untuk pertama kali selain melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir a dan butir b, juga harus menyampaikan: i. specimen tanda tangan Direksi Bank Syariah atau Pejabat Bank Syariah yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa; ii. fotokopi Anggaran Dasar Bank Syariah, contoh stempel Bank Syariah, dan fotokopi identitas diri berupa KTP/SIM/Paspor Direksi ... Bank Syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor 3 Direksi Bank Syariah atau Pejabat Bank Syariah diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa. yang iii. Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud pada butir i dan butir ii, Bank Syariah harus menyampaikan dokumen yang terkait dengan perubahan dimaksud. 2. Permohonan FPJPS dari Unit Usaha Syariah (UUS) 1) UUS dapat mengajukan permohonan FPJPS kepada Bank Indonesia melalui BI-SSSS dari cut off warning sampai dengan 15 (lima belas) menit setelah pre-cut off BI-SSSS. 2) Permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus ditegaskan dengan surat permohonan yang disampaikan kepada: a. Direktorat Pengelolan Moneter (DPM) c.q. Bagian Operasi Pasar Uang (OPU), Bank Indonesia, Jl.M.H Thamrin No. 2 Jakarta, oleh kantor pusat bank umum konvensional untuk kepentingan UUS, atau oleh UUS berdasarkan surat kuasa dari kantor pusat bank umum konvensional, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) dengan tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah; atau b. Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat c.q. Seksi Pelaksana Kebijakan Moneter (PKM), oleh kantor pusat bank umum konvensional atas nama UUS, atau oleh UUS berdasarkan surat kuasa dari kantor pusat bank umum konvensional, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja KPBI dengan tembusan kepada Tim Pengawas Bank di kantor Bank Indonesia setempat. 3) Surat permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada angka 2) harus dilampiri dengan: a. Perjanjian Pembiayaan FPJPS sebagaimana contoh pada Lampiran 2 dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi materai cukup dan ditandatangani … 4 ditandatangani oleh Direksi kantor pusat bank konvensional atau Pejabat kantor pusat bank konvensional yang diberikan wewenang berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh kantor pusat bank konvensional atau oleh Pejabat dari UUS berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh kantor pusat bank konvensional kepada UUS tersebut; dan b. Akta Pengikatan Agunan secara gadai sebagaimana contoh Lampiran 3 dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi materai cukup dan ditandatangani oleh Direksi kantor pusat bank konvensional atau Pejabat kantor pusat bank konvensional yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa atau oleh Pejabat dari UUS berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh kantor pusat bank konvensional kepada UUS tersebut; dan c. Surat Pernyataan dari Direksi kantor pusat bank konvensional yang menyatakan ketidakmampuan kantor pusat bank konvensional memberikan bantuan dana kepada UUS sebagaimana contoh dalam Lampiran 4. d. Bagi UUS yang akan memanfaatkan FPJPS untuk pertama kali selain melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir a dan butir b, juga harus menyampaikan: i. specimen tanda tangan Direksi kantor pusat bank konvensional atau Pejabat kantor pusat bank konvensional yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa atau Pejabat UUS berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh kantor pusat bank konvensional. ii. fotokopi Anggaran Dasar kantor pusat bank konvensional, contoh stempel kantor pusat bank konvensional, dan fotokopi identitas diri berupa KTP/SIM/Paspor Direksi kantor pusat bank konvensional atau pejabat kantor pusat bank konvensional … 5 konvensional yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa atau Pejabat UUS berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh kantor pusat bank konvensional. iii. Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud pada butir i dan butir ii, UUS harus menyampaikan dokumen yang terkait dengan perubahan dimaksud. 3. Dalam hal Bank Syariah atau UUS menggunakan FLIS dan tidak dapat melunasi FLIS sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada butir 1.1) maka nilai nominal FLIS yang tidak dapat dilunasi secara otomatis melalui sarana BI-SSSS dialihkan menjadi FPJPS Bank Syariah atau UUS yang bersangkutan. 4. Dalam hal terdapat pengalihan nilai nominal FLIS menjadi FPJPS sebagaimana dimaksud angka 3 diatur sebagai berikut : 1) Apabila Bank Syariah atau UUS sedang tidak menggunakan FPJPS maka Bank Syariah atau UUS wajib menandatangani menyampaikan Perjanjian Pembiayaan FPJPS. 2) Apabila Bank Syariah atau UUS sedang menggunakan FPJPS dan melakukan perpanjangan FPJPS maka Bank Syariah atau UUS wajib menandatangani dan menyampaikan Addendum Perjanjian Pembiayaan FPJPS dengan nilai FPJPS sebesar FLIS yang tidak dapat dilunasi ditambah dengan nilai nominal perpanjangan FPJPS. 3) Dalam hal Bank Syariah atau UUS tidak menandatangani menyampaikan Perjanjian Pembiayaan FPJPS dan atau Addendum Perjanjian Pembiayaan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam angka 1) atau angka 2) paling lambat 30 (tiga puluh) menit setelah berakhirnya waktu pengajuan FPJPS maka pengikatan pembiayaan dilakukan berdasarkan kuasa penandatanganan Perjanjian Pembiayaan FPJPS atau Addendum Perjanjian Pembiayaan FPJPS sebagaimana tercantum dalam Perjanjian … dan 6 Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS yang telah ditandatangani Bank Syariah atau UUS. 4) Akta pengikatan agunan dalam rangka pengalihan FLIS menjadi FPJPS dibuat oleh Bank Indonesia berdasarkan kuasa gadai sebagaimana diatur dalam ketentuan FLIS yang berlaku. 5. Dalam hal nominal FPJPS yang diajukan berbeda dengan kewajiban yang tidak dapat diselesaikan oleh Bank Syariah atau UUS di Bank Indonesia maka: 1) permohonan FPJPS Bank Syariah atau UUS ditolak Indonesia; 2) Bank Syariah atau UUS dapat melakukan penyesuaian permohonan nominal FPJPS yang diajukan melalui BI-SSSS paling lambat 15 (lima belas) menit setelah pre cut off BI-SSSS; 3) Bank Syariah atau UUS harus menyampaikan kembali Perjanjian Pembiayaan FPJPS atau Addendum Perjanjian Pembiayaan FPJPS dan Akta Pengikatan Agunan paling lambat 30 (tiga puluh) menit setelah pre cut off BI-SSSS 4) permohonan FPJPS Bank Syariah atau UUS ditolak oleh Bank Indonesia apabila tidak memenuhi persyaratan dan tata cara pengajuan FPJPS sebagaimana dimaksud pada butir 2) dan 3). . 6. Persetujuan atau penolakan atas permohonan FPJPS dapat diketahui melalui BI-SSSS. 7. Mekanisme pengajuan FPJPS melalui sarana BI-SSSS dilakukan mengikuti tata cara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang berlaku. oleh Bank Ketentuan … 7 Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2005 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER DPM
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 7/35/DPM|SE-BI/2005 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/9/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah </reg_title> <set_date> 3 Agustus 2005 </set_date> <effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date> <changed_reg> '6/9/DPM|SE-BI/2004' </changed_reg> <related_reg> '7/23/PBI/2005 | Pasal 2 ayat (1)', '5/3/PBI/2003', '6/9/DPM|SE-BI/2004' </related_reg>
BAN K IN DONESI2Peraturan ini mencabut : - SE No.23/DPNP Tgl.26-1-20 No.2/ 22 /DPNP . Jakarta, 6 November 2000 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Dengan telah dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/ 23 /PBI/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) maka perlu diatur ketentuan pelaksanaan atas Peraturan Bank Indonesia tersebut. L TATACARA PENENTUAN HASIL PENILAIAN Penentuan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan dilaksanakan dengan tatacara sebagai berikut: A. Faktor Kompetensi Penetapan nilai faktor untuk faktor kompetensi yaitu a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya diberikan nilai faktor setinggi-tingginya sebesar 4 (empat); BANK INDORBSIA b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga keuangan diberikan nilai faktor setinggir-tingginya sebesar 4 (empat); kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat diberikan nilai faktor setinggi-tingginya sebesar 4 (empat). Penilaian faktor kompetensi didasarkan atas skala penilaian sebagai berikut: a. baik diberikan nilai faktor sebesar 0 (nol); b. kurang baik diberikan nilai faktor sebesar 2 (dua); c. tidak baik diberikan nilai faktor sebesar 4 (empat). B. Faktor Integritas 1. Penetapan nilai faktor untuk faktor integritas yaitu a. perbuatan rekayasa dan praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan diberikan nilai faktor scbesar 20 (dua puluh); b. perbuatan yang tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh); c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pribadi pemilik, Pengurus, pegawai Bank, dan atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank diberikan nilai faktor sebesar 15 (lima belas); d. perbuatan . BARE INDORESIA d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan diberikan nilai faktor sebesar 10 (sepuluh); e. perbuatan dari Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang tidak independen diberikan nilai faktor sebesar 5 (lima). 2. Penetapan bobot pelaku untuk faktor integritas yaitu a. pelaku, pemutus, pemrakarsa, atau penanggung jawab diberikan bobot pelaku sebesar 1009 (seratus perseratus); b. pelaksana, pihak yang turut menandatangani, atau pihak yang turut menyetujui diberikan bobot pelaku sebesar 60% (enam puluh perseratus); c. pihak yang hanya mengetabui diberikan bobot pelaku sebesar 25% (dua puluh lima perseratus). 3. Penetapan hasil akhir untuk faktor integritas dilakukan setelah memperhitungkan nilai faktor sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 1 dengan bobot pelaku sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 2. C. Hasil Akhir Penilaian Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan menjumlahkan hasil penilaian faktor kompetensi sebagaimana dimaksud pada huruf A dan hasil penilaian faktor integritas sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 3. Berdasarkan hasil akhir penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf C maka Pemegang Saham Pengendali, Pengurus, dan atau Pejabat Eksekutif diberikan predikat menjadi: BARE IRDORBSIA a. lulus apabila hasil akhir penilaian sebesar 0 (nol); b. lulus bersyarat apabila hasil akhir penilaian sebesar 1 (satu) sampai dengan 19 (sembilan belas); c. tidak lulus apabila hasil akhir penilaian sebesar 20 (dua puluh) atau Icbih. IL KRITERIA PENENTUAN FAKTOR MATERIALITAS DALAM PENETAPAN JANGKA WAKTU PENGENAAN SANKSI Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) pada Peraturan Bank Indonesia terscbut diatas bahwa salah satu faktor untuk penetapan jangka waktu pengenaan sanksi larangan bagi pihak-pihak yang diberikan predikat tidak lulus didasarkan atas faktor materialitas kerugian yang ditimbulkan terhadap permodalan Bank sebagai akibat dari perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu perlu ditetapkan kriteria terhadap faktor materialitas dimaksud, yaitu sebagai berikut 1. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori menimbulkan kerugian tidak material pada permodalan Bank apabila kerugian yang ditimbulkan menyebabkan a. berkurangnya rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum sebesar kurang dari 0,59 (setengah perseratus); dan b. rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori menimbulkan kerugian cukup material pada permodalan Bank apabila kerugian yang ditimbulikan menyebabkan: BANE INDORESIA a. berkurangnya rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum sebesar sama atau lebih dari 0,5% (setengah perseratus); dan b. rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori menimbulkan kerugian sangat material pada permodalan Bank apabila kerugian yang ditimbulkan menyebabkan : a. berkurangnya rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum scbesar sama atau lebih dari 2 % (dua perseratus); atau b. rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank menjadi lebih rendah dari ketentuan yang berlaku. perhitungan tingkat materialias kerugian yang ditimbulkan adalah posisi permodalan terakhir yang tersedia pada saat terjadinya perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan dengan memperhitungkan bobot pelaku dari pihak-pihak yang dinilai. Sehubungan dengan itu perlu ditetapkan tata cara perhitungan sebagai berikut 1. Penentuan kerugian terhadap setiap perbuatan dan atau tindakan yang terjadi ditentukan atas beban masing-masing pihak yang terlibat berdasarkan bobot pelaku sebagaimana dimaksud dalam angka 1.B.2. 2. Beban kerugian yang ditimbulkan terhadap masing-masing pihak pada angka I, kemudian diperhitungkan dengan petmodalan pada saat perbuatan dan atau tindakan tersebut terjadi. 3. Dalam hal terdapat beberapa perbuatan dan atau tindakan yang dinilai dengan posisi permodalan pada bulan yang berbeda, maka BANE IRDONESIA BANK IRDONESIA Blalaman .6. perhitungan dilakukan dengan menetapkan hasil perhitungan yang memberikan dampak perhitungan jangka waktu larangan yang paling lama diantara beberapa metode perhitungan, yaitu dengan membandingkan salah satu di antara metode sebagai berikut a. pengaruh kerugian dari setiap perbuatan dan atau tindakan dibandingkan dengan posisi permodalan pada saat terjadinya perbuatan dan atau tindakan tersebut; b. pengaruh kerugian yang dihitung secara kumulatif atas beberapa perbuatan dan atau tindakan yang berakhir pada tanggal tertentu dibandingkan dengan posisi permodalan periode terakhir dari beberapa perbuatan dan atau tindakan tersebut; c. pengaruh kerugian yang dihitung secara kumulatif dari seluruh perbuatan dan atau tindakan dibandingkan dengan posisi permodalan pada periode terakhir dari seluruh perbuatan dan atau tindakan tersebut. IIL. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PERNYATAAN TERTULIS Seluruh laporan dan pemyataan tertulis yang wajib disampaikan oleh Bank dan atau pihak-pihak yang dinilai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut, dialamatkan kepada: b. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek, c. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di Juar wilayah Jabotabek; dengan tembusan kepada Direktorat Peririnan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110. IV. PENUTUP. BARK INDONBSIA IV. PENUTUP Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Bdaran Bank Indonesia Nomor 2/3/DPNP tanggal 26 Januari 2000 perihal Tata Cara Penentuan Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 6 November 2000. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH Deputi Gubemur DPNP
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 2/22/DPNP|SE-BI/2000 </reg_id> <reg_title> Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) </reg_title> <set_date> 6 November 2000 </set_date> <effective_date> 6 November 2000 </effective_date> <replaced_reg> '2/3/DPNP|SE-BI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '2/23/PBI/2000' </related_reg>
BANK INDONESIA ---------------- No. 1/ 2 /DSM Jakarta, 22 September 1999 S U R A T E D A R A N Perihal : Tata Cara Pengumpulan dan Penyampaian Keterangan dan Data, Persyaratan Lain bagi Lembaga Penelitian dan Prosedur Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Survei Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 tanggal 18 Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia maka untuk memperoleh informasi secara akurat, lengkap, cepat, dan terkini, dipandang perlu untuk mengatur lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan survei dan prosedur pengenaan sanksi administratif. I. Tata Cara Pengumpulan dan Penyampaian Keterangan dan Data Pelaksanaan survei diawali dengan penjelasan dari petugas survei kepada responden mengenai hal-hal sebagai berikut : a. Tujuan survei yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia berdasarkan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia; b. Ruang lingkup survei; c. Manfaat …. 1 c. Manfaat survei secara umum bagi responden; d. Jaminan kerahasiaan keterangan dan data yang diberikan oleh responden berdasarkan pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 12 huruf c Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia; e. Tata cara dan batas waktu penyampaian keterangan dan data dari responden; f. Hak, kewajiban, dan sanksi administratif yang berlaku baik terhadap pelaksana dan petugas survei maupun terhadap responden. Adapun pengumpulan dan penyampaian keterangan dan data dapat dilakukan dengan cara : 1. Wawancara a. Pengumpulan dan penyampaian keterangan dan data melalui wawancara dilakukan oleh petugas survei dengan menanyakan langsung kepada responden baik secara tatap muka maupun dengan media telekomunikasi. b. Dalam hal responden belum dapat memberikan seluruh jawaban pada saat wawancara atau ingin melakukan koreksi jawaban setelah wawancara, responden wajib menyampaikan keterangan dan data yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan batas waktu penyampaian keterangan dan data. c. Dalam pengumpulan keterangan dan data, setiap petugas survei dilarang mengarahkan atau mempengaruhi jawaban dari responden. 2. Pengisian… 2 2. Pengisian kuesioner oleh responden a. Pengumpulan dan penyampaian keterangan dan data melalui pengisian kuesioner dilakukan dengan cara meminta responden untuk : 1) mengisi atau menjawab sendiri seluruh pertanyaan yang terdapat pada kuesioner; 2) menyampaikan jawaban kuesioner sebagaimana pada angka 1) kepada petugas survei atau pelaksana survei. b. Batas waktu terakhir penyampaian jawaban kuesioner ditentukan tersendiri untuk masing-masing survei sesuai dengan sifat, ruang lingkup dan periodisasi survei yang bersangkutan. Batas waktu terakhir survei ditetapkan oleh Bank Indonesia dan dicantumkan pada surat pengantar kepada responden atau pada kuesioner yang dikirimkan. Apabila batas waktu terakhir penyampaian jawaban kuesioner jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu atau hari libur baik hari libur nasional maupun hari libur yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka batas waktu terakhir penyampaian jawaban kuesioner adalah hari kerja berikutnya. c. Dalam hal responden melakukan koreksi terhadap jawaban kuesioner, responden wajib menyampaikan koreksi jawaban kuesioner tersebut dalam batas waktu yang telah ditetapkan. d. Waktu penyampaian jawaban kuesioner dan koreksi jawaban kuesioner dibuktikan dengan : 1) Tanggal bukti pengambilan oleh petugas survei; 2) Tanggal bukti penerimaan oleh petugas apabila jawaban dikirim melalui kurir; 3) Tanggal stempel pos pengiriman apabila jawaban kuesioner dikirim melalui pos; 4) Tanggal…. 3 4) Tanggal penerimaan jawaban kuesioner yang tercatat di Bank Indonesia atau lembaga survei apabila dikirim melalui faksimile, surat elektronik (e-mail), telepon atau media lainnya. e. Untuk memperlancar dan mempermudah responden dalam penyampaian jawaban kuesioner dan atau koreksinya, pelaksana survei sedapat mungkin tidak membebani responden. II. Persyaratan Lain bagi Lembaga Penelitian Pelaksanaan kegiatan survei dapat dilakukan baik oleh Bank Indonesia sendiri maupun oleh lembaga survei berdasarkan penugasan dari Bank Indonesia. Persyaratan umum yang harus dipenuhi lembaga penelitian untuk dapat ditunjuk menjadi pelaksana survei adalah independen, kompeten dan profesional. Persyaratan teknis yang harus dipenuhi yaitu : a. Mengajukan proposal survei yang mengacu pada kerangka acuan (terms of reference) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. Jenis dan uraian pekerjaan yang akan dilaksanakan; c. Jadwal pelaksanaan kegiatan secara rinci dan jelas. Hal-hal yang perlu dilampirkan oleh Lembaga survei dalam pengajuan proposal survei antara lain : a. Daftar susunan tim peneliti/surveyor. b. Fotokopi surat ijin usaha bagi lembaga penelitian yang bukan bagian dari Universitas/Perguruan Tinggi. c. Keterangan pengalaman kerja lembaga survei sesuai dengan bidangnya; d. Daftar atau keterangan mengenai sumber daya manusia yang dipergunakan; e. Surat… 4 e. Surat ketetapan nomor pokok wajib pajak (NPWP); f. Surat pernyataan kesediaan untuk melaksanakan kegiatan survei dengan penuh tanggung jawab. III. Prosedur Pengenaan Sanksi Administratif 1. Terhadap Lembaga Survei a. Sesuai dengan Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia, lembaga survei dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda, ketidakikutsertaan dalam survei selanjutnya dan atau pencabutan izin usaha melalui instansi yang berwenang, apabila yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya. Selain sanksi tersebut di atas, lembaga survei dapat dikenakan sanksi atas pelanggaran pelaksanaan survei sesuai yang diatur dalam Perjanjian Kerja. b. Sanksi denda, ketidakikutsertaan dalam survei selanjutnya dan atau pencabutan izin usaha melalui instansi yang berwenang, sebelumnya didahului dengan surat pemberitahuan dari Bank Indonesia mengenai jenis pelanggaran (kewajiban yang tidak dipenuhi) dan sanksi yang akan dikenakan. c. Lembaga Survei yang dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam huruf b) di atas, dapat mengajukan keberatan dengan menyampaikan penjelasan secara tertulis mengenai alasan tidak dipenuhinya kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4), (5), (6) dan (7) Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia. 2. Terhadap…. 5 2. Terhadap responden a. Sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia, responden yang berbentuk badan dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda, dan atau pencabutan izin usaha melalui instansi yang berwenang apabila responden yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya sebagai berikut : 1) Responden tidak bersedia menjawab Yang dimaksud responden tidak bersedia menjawab adalah apabila responden : a) secara eksplisit menyatakan tidak bersedia menjawab baik secara lisan maupun tertulis; dan atau b) dalam satu bulan setelah berakhirnya batas waktu penyampaian jawaban kuesioner, tetap tidak menyampaikan jawaban setelah dilakukan konfirmasi oleh pelaksana survei. 2) Responden menjawab sebagian atau kurang lengkap Yang dimaksud responden menjawab sebagian atau kurang lengkap adalah apabila dalam batas waktu yang ditetapkan, responden tidak melengkapi atau menyampaikan kekurangan jawaban kuesioner walaupun telah diberitahu oleh pelaksana survei. 3) Responden memberikan jawaban yang salah Yang dimaksud responden memberikan jawaban yang salah adalah apabila responden dengan sengaja memberikan jawaban kuesioner tidak sesuai dengan keadaan/kenyataan yang sebenarnya, dan tidak menyampaikan koreksi jawaban dalam batas waktu penyampaian jawaban kuesioner. 4) Responden…. 6 4) Responden terlambat menyampaikan jawaban kuesioner Yang dimaksud responden terlambat menyampaikan jawaban kuesioner adalah apabila penyampaian jawaban kuesioner atau koreksinya telah melewati batas waktu yang telah ditetapkan. b. Pengenaan sanksi administratif terhadap responden yang tidak memenuhi kewajibannya tersebut di atas, dilakukan oleh Bank Indonesia termasuk yang surveinya dilaksanakan oleh lembaga survei. Dalam hubungan ini, lembaga survei yang bersangkutan wajib menyampaikan daftar responden yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a tersebut di atas. c. Pengenaan sanksi administratif terhadap responden dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain jenis kewajiban yang tidak dipenuhi, besarnya kontribusi jawaban responden terhadap hasil survei, pentingnya survei, dan besarnya skala usaha responden. d. Sanksi denda dan pencabutan izin usaha melalui instansi yang berwenang kepada responden sebelumnya didahului dengan surat pemberitahuan dari Bank Indonesia mengenai jenis kewajiban yang tidak dipenuhi dan sanksi yang akan dikenakan. e. Responden yang dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf d) di atas, dapat mengajukan keberatan dengan menyampaikan penjelasan secara tertulis mengenai alasan tidak dipenuhinya kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) dan (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal …… Agar…. 7 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Achjar Iljas Deputi Gubernur DSM 8
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 1/2/DSM|SE-BI/1999 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Pengumpulan dan Penyampaian Keterangan dan Data, Persyaratan Lain bagi Lembaga Penelitian dan Prosedur Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Survei </reg_title> <set_date> 22 September 1999 </set_date> <related_reg> '4/PBI/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi III' </penalty_list>
No. 8/4/DPM NoAAve Jakarta, 7 Februari 2006 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM Perihal : Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunder. Dalam rangka menjaga kestabilan likuiditas di pasar uang antar bank, dipandang perlu untuk menyusun ketentuan transaksi SBI secara Repo dengan Bank Indonesia yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4243), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4533) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4244), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4366) sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Yang dimaksud dalam Surat Edaran ini dengan: 1. Bank … 2 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. 3. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 4. BI-Rate adalah suku bunga kebijakan dengan tenor 1 (satu) bulan yang ditetapkan Bank Indonesia secara periodik sebagai sinyal moneter untuk jangka waktu tertentu serta diumumkan kepada publik. kebijakan 5. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 6. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS. 7. Transaksi SBI yang dilakukan secara Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut SBI Repo adalah transaksi penjualan bersyarat SBI oleh Bank dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 8. Rekening Surat Berharga SBI adalah rekening surat berharga yang digunakan untuk mencatat kepemilikan SBI di Central Registry. 9. Setelmen … 3 9. Setelmen Surat Berharga SBI adalah perpindahan kepemilikan SBI antar pemilik rekening SBI yang tercatat dalam BI-SSSS dalam rangka pelaksanaan setelmen transaksi SBI melalui BI-SSSS. 10. Setelmen Dana adalah perpindahan dana antar pemilik rekening giro Rupiah di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS dalam rangka pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS. 11. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga SBI melalui BI-SSSS dilakukan bersamaan dengan Setelmen Dana di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS. 12. Pusat Informasi Pasar Uang yang selanjutnya disebut PIPU adalah bagian dari keluaran Laporan Harian Bank Umum yang menyediakan informasi yang meliputi namun tidak terbatas pada pasar uang Rupiah dan valuta asing serta informasi dari sumber lainnya yang terkait dengan pasar keuangan. II. PERSYARATAN TRANSAKSI SBI REPO DENGAN BANK INDONESIA 1. SBI yang dapat dijual secara Repo kepada Bank Indonesia adalah : a. SBI milik Bank yang tercatat dalam rekening perdagangan (active account) dalam sarana BI-SSSS pada hari pengajuan transaksi; dan b. Memiliki sisa jangka waktu paling sedikit 2 (dua) hari kerja pada saat transaksi SBI repo jatuh waktu. 2. Jumlah SBI milik Bank yang dapat dijual secara Repo kepada Bank Indonesia paling banyak 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah kepemilikan SBI yang tercatat pada rekening perdagangan di sarana BI- SSSS pada 1 (satu) hari kerja sebelum pengajuan SBI Repo (T-1). 3. Jangka … 4 3. Jangka waktu SBI Repo adalah 1 (satu) hari. Dalam hal pengajuan transaksi dilakukan pada 1 (satu) hari kerja sebelum hari libur maka tanggal jatuh waktu SBI Repo ditetapkan pada hari kerja berikutnya. 4. Tingkat diskonto SBI Repo ditetapkan sebesar BI-Rate yang berlaku pada hari transaksi ditambah 300 (tiga ratus) basis points. 5. Perhitungan jumlah hari dalam diskonto SBI Repo berdasarkan hari kalender. 6. Penyelesaian SBI Repo dilaksanakan pada hari transaksi (same-day settlement) melalui mekanisme DVP. 7. Bank yang mengajukan SBI Repo wajib memiliki saldo Rekening Surat Berharga SBI yang mencukupi di Central Registry untuk keperluan Setelmen Surat Berharga SBI pada saat setelmen penjualan SBI Repo. 8. Bank wajib memiliki saldo rekening giro Rupiah di Bank Indonesia yang mencukupi untuk keperluan Setelmen Dana pada saat setelmen pembelian kembali SBI Repo. 9. Bank tidak sedang dikenakan sanksi diberhentikan sementara (suspend) atau diberhentikan secara permanen (close) sebagai peserta BI-SSSS. III. TATA CARA SBI REPO DENGAN BANK INDONESIA 1. Bank Indonesia membuka transaksi SBI Repo melalui mekanisme non lelang pada setiap hari kerja. 2. Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM) cq. Biro Operasi Moneter (BOpM) mengumumkan tingkat diskonto SBI Repo yang berlaku melalui BI-SSSS dan atau PIPU paling lambat sebelum waktu pengajuan transaksi (window time) SBI Repo dibuka (T+0). 3. Window time SBI Repo sebagaimana dimaksud pada angka 2 ditetapkan dari pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB. 4. Selama … 5 4. Selama window time SBI Repo, Bank mengajukan transaksi secara langsung melalui BI-SSSS dengan mencantumkan antara lain nominal transaksi, seri SBI yang akan direpokan dan jangka waktu repo. Contoh perhitungan nilai tunai transaksi SBI Repo dapat dilihat pada Lampiran. 5. Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menutup dan atau mengubah window time transaksi SBI Repo. 6. Penutupan dan atau perubahan window time sebagaimana dimaksud pada angka 5 diumumkan paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelumnya melalui BI-SSSS dan atau PIPU dan atau sarana lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia. IV. TATA CARA SETELMEN SBI REPO DENGAN BANK INDONESIA A. Setelmen Penjualan SBI (First Leg) 1. Bank Indonesia melakukan setelmen penjualan SBI secara Repo oleh Bank melalui BI-SSSS setelah waktu cut off warning BI-SSSS secara gross to gross. 2. Dalam hal Bank tidak memiliki seri SBI yang mencukupi untuk setiap pengajuan SBI Repo pada Rekening Surat Berharga SBI maka BI-SSSS secara otomatis membatalkan setelmen penjualan SBI. 3. Atas batalnya penjualan SBI sebagaimana dimaksud pada angka 2 maka Bank dikenakan sanksi OPT. B. Setelmen Pembelian Kembali SBI (Second Leg) 1. Bank Indonesia melakukan setelmen pembelian kembali SBI oleh Bank melalui BI-SSSS. 2. Dalam hal Bank tidak memiliki saldo rekening giro Rupiah di Bank Indonesia yang mencukupi untuk setelmen pembelian kembali SBI sampai dengan cut off warning Sistem BI-RTGS maka Sistem BI- RTGS secara otomatis membatalkan pembelian kembali SBI Repo. 3. Atas … 6 3. Atas batalnya pembelian kembali SBI sebagaimana dimaksud pada angka 2 maka Bank dikenakan sanksi OPT dan seri SBI yang gagal dibeli kembali oleh Bank secara otomatis akan dilunasi sebelum jatuh waktu (early redemption). V. SANKSI 1. Dalam hal terjadi pembatalan penjualan SBI atau pembelian kembali SBI sebagaimana dimaksud pada butir IV.A.2 atau butir IV.B.2., Bank dikenakan sanksi OPT berupa: a. teguran tertulis, dengan tembusan kepada: 1) Direktorat Pengawasan Bank terkait, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI); atau 2) Tim Pengawas Bank di Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI, dan b. kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai setelmen yang dibatalkan atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah), dan c. pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja dalam hal Bank dikenakan sanksi teguran tertulis karena pembatalan transaksi kegiatan OPT untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan. 2. Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada butir 1.a. dan pemberitahuan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT sebagaimana dimaksud pada butir 1.c. dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. 3. Pengenaan … 7 3. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada butir 1.b. dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 7 Februari 2006. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 8/4/DPM|SE-BI/2006 </reg_id> <reg_title> Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunder. </reg_title> <set_date> 7 Februari 2006 </set_date> <effective_date> 7 Februari 2006 </effective_date> <related_reg> '4/10/PBI/2002', '6/5/PBI/2004', '7/30/PBI/2005', '4/9/PBI/2002' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi IV Huruf A Angka 3', 'Romawi IV Huruf B Angka 3', 'Romawi V' </penalty_list>
No. 7/31/DPM Jakarta, 25 Juli 2005 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM, PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING DAN PERUSAHAAN EFEK DI INDONESIA Perihal: Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara 7/19/PBI/2005 Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor tanggal 25 Juli 2005 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4517), bahwa penjualan Surat Utang Negara dengan cara lelang dilakukan melalui Peserta Lelang yang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, serta Perusahaan Efek. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, Bank Indonesia berwenang melakukan seleksi dan mengusulkan calon Peserta Lelang Surat Utang Negara kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia serta melakukan evaluasi keaktifan Peserta Lelang Surat Utang Negara. Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia perlu menetapkan tata cara pengajuan bagi Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek untuk dapat disetujui menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara, evaluasi keaktifan Peserta Lelang Surat Utang Negara, serta prosedur pengenaan sanksi dan … 2 dan pencabutan Peserta Lelang Surat Utang Negara dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut : I. Kriteria dan Persyaratan Peserta Lelang 1. Yang dapat menjadi Peserta Lelang adalah Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek. 2. Kriteria dan Persyaratan untuk masing-masing Peserta Lelang adalah sebagai berikut : a. Bank 1) memiliki izin kegiatan usaha yang masih berlaku dari Bank Indonesia sebagai Bank; 2) memenuhi persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) berdasarkan ketentuan Bank Indonesia; dan 3) menjadi peserta Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). b. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing 1) memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bank Indonesia sebagai Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing; 2) memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang tenaga ahli di bidang Pasar Uang; 3) aktif melakukan kegiatan di Pasar Uang dan atau melakukan transaksi perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang tercermin dari aktivitas pengajuan penawaran dalam lelang di pasar perdana SBI 1 (satu) bulan secara kumulatif minimal 1% (satu perseratus) dari total jumlah penerbitan dalam 3 (tiga) bulan terakhir; dan 4) menjadi peserta Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). c. Perusahaan … 3 c. Perusahaan Efek 1) memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah; 2) mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun dalam kegiatan transaksi di Pasar Modal; dan 3) menjadi peserta Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). II. Tata Cara Pengajuan Permohonan, Seleksi dan Persetujuan Peserta Lelang 1. Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka I dapat mengajukan permohonan dengan surat sebagaimana contoh pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3, kepada : Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter Gedung B Lantai 11 Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10010. 2. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 harus dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut : a. Bank 1) fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bank Indonesia sebagai Bank; 2) fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila telah ada perubahan); dan 3) keterangan mengenai posisi KPMM terakhir. b. Perusahaan … 4 b. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing 1) fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bank Indonesia sebagai Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing; 2) fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila telah ada perubahan); 3) daftar riwayat pekerjaan atau keahlian dari anggota Direksi serta tenaga ahli di bidang Pasar Uang; dan 4) bukti aktivitas kegiatan di Pasar Uang selama 3 (tiga) bulan terakhir. c. Perusahaan Efek 1) fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bapepam sebagai Perusahaan Efek; 2) fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila telah ada perubahan); dan 3) bukti pengalaman atau aktivitas kegiatan transaksi di Pasar Modal selama 3 (tiga) tahun terakhir. 3. Bank Indonesia melakukan seleksi atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dan menyampaikan hasil seleksi calon Peserta Lelang kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. 4. Berdasarkan surat keputusan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara kepada pemohon. 5. Berdasarkan surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 4, Peserta Lelang yang belum menjadi peserta BI- SSSS mengajukan permohonan menjadi peserta BI-SSSS kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS yang berlaku. 6. Bank … 5 6. Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang Surat Utang Negara yang disetujui melalui sarana BI-SSSS, Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana informasi lainnya. III. Kewajiban Peserta Lelang 1. Peserta Lelang wajib mengikuti Lelang Surat Utang Negara, dengan persyaratan keaktifan sebagai berikut : a. melakukan penawaran pembelian 12 (dua belas) kali Lelang Surat Utang Negara terakhir; atau b. melakukan penawaran pembelian paling sedikit 1 (satu) kali dalam 4 (empat) kali Lelang Surat Utang Negara secara berturut-turut. 2. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang disetujui sebagai Peserta Lelang, wajib memenuhi persyaratan keaktifan Lelang Surat Utang Negara hanya untuk lelang Surat Perbendaharaan Negara. 3. Peserta Lelang wajib memelihara pemenuhan kriteria dan persyaratan Peserta Lelang sebagaimana dimaksud dalam butir I angka 2. 4. Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara, wajib menjamin kecukupan dana pada Bank pembayar yang ditunjuk sampai dengan batas waktu akhir setelmen sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS yang berlaku. IV. Evaluasi Keaktifan Peserta Lelang dan Pengenaan Sanksi kepada Peserta Lelang A. Evaluasi Keaktifan Peserta Lelang 1. Bank Indonesia melakukan evaluasi keaktifan Peserta Lelang dalam setiap kegiatan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana. 2. Berdasarkan hasil evaluasi keaktifan Peserta lelang, Bank Indonesia menyampaikan hasil evaluasi kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia mengenai Peserta Lelang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir III angka 1. B. Pengenaan … paling sedikit 4 (empat) kali dalam 6 B. Pengenaan Sanksi Pemberhentian Sementara 1. Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara tidak memenuhi kewajibannya sampai dengan batas akhir waktu setelmen akibat Bank yang melakukan setelmen pembayaran tidak memiliki saldo yang mencukupi dalam rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang Surat Utang Negara yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan batal. 2. Terhadap Peserta Lelang yang transaksinya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada angka 1, dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut- turut sejak transaksinya dinyatakan batal. 3. Bank Indonesia mengirimkan surat pemberitahuan kepada Peserta Lelang mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam angka 2, dengan tembusan surat kepada Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara, Departemen Keuangan. V. Pencabutan Persetujuan sebagai Peserta Lelang 1. Menteri Keuangan Republik Indonesia berwenang mencabut persetujuan Peserta Lelang dalam kondisi sebagai berikut : a. Peserta Lelang tidak memenuhi kewajiban keaktifan sebagaimana dimaksud dalam butir III angka 1; dan atau b. Peserta Lelang sudah tidak memenuhi kewajiban kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir III angka 3; dan atau c. Peserta Lelang sedang dalam proses kepailitan di pengadilan. 2. Bank Indonesia mengumumkan pencabutan persetujuan Peserta Lelang kepada publik melalui sarana BI-SSSS, Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana informasi lainnya. 3. Peserta Lelang Surat Utang Negara yang telah dicabut kepesertaannya, dapat mengajukan kembali permohonan menjadi Peserta Lelang setelah jangka … 7 jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pencabutan sesuai tata cara pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada butir II angka 1 dan angka 2. VI. Penutup Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia nomor 6/11/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Kriteria dan Persyaratan serta Tata Cara Penunjukan Peserta Lelang Surat Utang Negara dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 25 Juli 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, ASLIM TADJUDDIN DEPUTI GUBERNUR Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/31/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lampiran 1 Kepada : Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter Gedung B Lantai 11 Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 Perihal : Permohonan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk dapat dipertimbangkan menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara. Sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/ /DPM tanggal 25 Juli 2005 perihal Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara, bersama ini kami pendukung sebagai berikut (dalam hal pemohon adalah Bank): a. fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bank Indonesia sebagai Bank; b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila telah ada perubahan); dan c. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir. Surat permohonan beserta lampiran tersebut di atas kami buat dengan sebenar-benarnya dan apabila di kemudian hari diketahui terdapat hal-hal yang tidak benar maka kami bersedia menerima risiko dan akibat dari tindakan yang diambil Bank Indonesia. Demikian permohonan kami, atas perhatian Saudara kami ucapkan terima kasih. Jakarta,…………….. Nama Bank lampirkan dokumen Tandatangan Pejabat berwenang Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/31/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lampiran 2 Kepada : Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter Gedung B Lantai 11 Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 Perihal : Permohonan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk dapat dipertimbangkan menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara. Sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/ /DPM tanggal 25 Juli 2005 perihal Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara, bersama ini kami lampirkan dokumen pendukung sebagai berikut (dalam hal pemohon adalah Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing): a. fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bank Indonesia sebagai Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing; b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila telah ada perubahan); c. daftar riwayat pekerjaan atau keahlian dari anggota Direksi serta tenaga ahli di bidang pasar uang; dan d. bukti aktivitas kegiatan di pasar uang selama 3 (tiga) bulan terakhir. Surat permohonan beserta lampiran tersebut di atas kami buat dengan sebenar-benarnya dan apabila di kemudian hari diketahui terdapat hal-hal yang tidak benar maka kami bersedia menerima risiko dan akibat dari tindakan yang diambil Bank Indonesia. Demikian permohonan kami, atas perhatian Saudara kami ucapkan terima kasih. Jakarta,…………….. Nama Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing Tandatangan Pejabat berwenang Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/31/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lampiran 3 Kepada : Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter Gedung B Lantai 11 Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 Perihal : Permohonan Sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk dapat dipertimbangkan menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara. Sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/ /DPM tanggal 25 Juli 2005 perihal Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara, bersama ini kami lampirkan dokumen pendukung sebagai berikut (dalam hal pemohon adalah Perusahaan Efek): a. fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bapepam sebagai Perusahaan Efek; b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila telah ada perubahan); c. bukti pengalaman atau aktivitas kegiatan transaksi di pasar modal selama 3 (tiga) tahun terakhir. Surat permohonan beserta lampiran tersebut di atas kami buat dengan sebenar-benarnya dan apabila di kemudian hari diketahui terdapat hal-hal yang tidak benar maka kami bersedia menerima risiko dan akibat dari tindakan yang diambil Bank Indonesia. Demikian permohonan kami, atas perhatian Saudara kami ucapkan terima kasih. Jakarta,…………….. Nama Perusahaan Efek Tandatangan Pejabat berwenang
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 7/31/DPM|SE-BI/2005 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara </reg_title> <set_date> 25 Juli 2005 </set_date> <effective_date> 25 Juli 2005 </effective_date> <replaced_reg> '6/11/DPM|SE-BI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '7/19/PBI/2005' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi IV Huruf B' </penalty_list>
No. 11/ 3 /DPNP Jakarta, 27 Januari 2009 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID) Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4895), perlu diatur ketentuan pelaksanaan perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional dalam suatu Surat Edaran sebagai berikut: I. UMUM A. Untuk mendorong terciptanya sistem perbankan yang sehat dan mampu bersaing secara nasional maupun internasional, dibutuhkan suatu struktur permodalan Bank untuk menyerap risiko yang dihadapi sesuai standar internasional yang berlaku. B. Mengacu … B. Mengacu pada standar internasional yang berlaku, risiko operasional merupakan salah satu risiko yang perlu diperhitungkan dalam perhitungan kecukupan modal selain risiko kredit, risiko pasar, dan risiko-risiko lainnya yang bersifat material. C. Risiko Operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian- kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. D. Risiko Operasional merupakan salah satu risiko yang wajib diperhitungkan Bank dalam menghitung ATMR untuk perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). Oleh karena itu, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 31 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Operasional dalam perhitungan KPMM dengan menggunakan : a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic IndicatorApproach); b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement Approaches). E. Untuk penerapan tahap awal, perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional wajib dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID). II. PERHITUNGAN … II. PERHITUNGAN ATMR UNTUK RISIKO OPERASIONAL DENGAN MENGGUNAKAN PID A. Perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional dalam perhitungan KPMM dengan menggunakan PID sebagaimana dimaksud dalam butir I.E, dilakukan dengan rumus sebagai berikut: ATMR untuk Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko Operasional. Yang dimaksud dengan beban modal Risiko Operasional adalah rata- rata dari penjumlahan pendapatan bruto (gross income) tahunan (Januari-Desember) yang positif pada 3 (tiga) tahun terakhir dikali 15% (lima belas persen). Perhitungan beban modal Risiko Operasional dilakukan dengan rumus sebagai berikut: KPID = [ ∑(GI 1...n x α)] n Dengan keterangan sebagai berikut: KPID = beban modal Risiko Operasional menggunakan PID GI = pendapatan bruto positif tahunan dalam tiga tahun terakhir n = jumlah tahun di mana pendapatan bruto positif α = 15% Contoh: (dalam Jutaan Rp) Bank A Pendapatan Bruto 2010 2009 2008 2007 2006 750 3.000 2.250 1.750 2.500 Berdasarkan … Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka menghitung ATMR untuk Risiko Operasional posisi tahun 2011 adalah sebagai berikut: ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko Operasional = 12,5 x [15%x{(750+3.000+2.250)/3}] = Rp.3.750 juta B. Perhitungan pendapatan bruto dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Pendapatan bruto adalah pendapatan bunga bersih ditambah pendapatan operasional non-bunga tertentu lainnya bersih yang dihitung secara kumulatif dari periode awal Januari sampai dengan akhir Desember setiap tahun. Tata cara perhitungan pendapatan bruto adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran Surat Edaran ini. 2. Tata cara perhitungan pendapatan bruto sebagaimana terdapat pada Lampiran menggunakan data yang disampaikan melalui Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) yang berlaku. Dalam hal terjadi perubahan sistem Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) seperti pada tahun 2009, maka Bank menggunakan pendapatan bruto sesuai LBU lama yang berlaku pada tahun yang bersangkutan. 3. Untuk Bank yang memiliki Unit Usaha Syariah, perhitungan pendapatan bruto memperhitungkan pula pendapatan bruto dari Unit Usaha Syariah setelah dikonversi sesuai dengan karakteristik usaha Bank dan prinsip syariah. 4. Apabila berdasarkan hasil Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) terdapat koreksi atas besarnya pendapatan … pendapatan bruto, maka Bank harus melakukan koreksi atas perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional pada bulan berikutnya setelah laporan keuangan yang diaudit disampaikan oleh KAP kepada Bank. Contoh: Bank menghitung ATMR untuk Risiko Operasional selama bulan Januari dan Februari 2011 berdasarkan pendapatan bruto tahun 2008, tahun 2009, dan tahun 2010 (unaudited). Pada awal Maret 2011, Laporan Keuangan 2010 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) telah disampaikan kepada Bank. Berdasarkan laporan tersebut Bank menghitung ATMR untuk Risiko Operasional bulan Maret 2011 berdasarkan pendapatan bruto tahun 2008, tahun 2009, dan tahun 2010 (audited). 5. Apabila dalam menghitung rata-rata pendapatan bruto selama 3 (tiga) tahun terakhir terdapat 1 (satu) atau 2 (dua) tahun Bank mengalami pendapatan bruto negatif atau nihil, maka untuk perhitungan rata-rata pendapatan bruto tahunan sebagaimana dimaksud pada huruf A, Bank harus mengeluarkan nilai pendapatan bruto negatif tersebut dari pembilang dan penyebut pada saat menghitung rata-rata pendapatan bruto. Contoh: (dalam Jutaan Rp) Bank A Pendapatan Bruto 2011 2010 2009 2008 2007 800 1.200 (750) (1.750) 3.000 Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka menghitung ATMR untuk Risiko Operasional: a. Untuk … a. Untuk posisi tahun 2012: ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko Operasional = 12,5 x [15%x{(800+1.200)/2}] = Rp.1.875 juta b. Untuk posisi tahun 2011: ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko Operasional = 12,5 x [15%x{(1.200)/1}] = Rp.2.250 juta 6. Apabila dalam 3 (tiga) tahun terakhir Bank mengalami pendapatan bruto negatif atau nihil, maka untuk perhitungan rata-rata pendapatan bruto tahunan sebagaimana dimaksud pada huruf A, Bank harus menghitung beban modal Risiko Operasional dengan menggunakan pendapatan bruto tahunan terakhir yang positif. Contoh: (dalam Jutaan Rp) Bank A 2010 2009 2008 2007 2006 Pendapatan Bruto (1.250) (1.500) (750) 1.800 2.750 Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka menghitung ATMR untuk Risiko Operasional posisi tahun 2011 adalah sebagai berikut: ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko Operasional = 12,5 x [15%x{(1.800)/1}] = Rp.3.375 juta C. Bagi … C. Bagi Bank yang baru berdiri atau Bank hasil merger atau konsolidasi, maka Bank tidak diwajibkan untuk menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir bulan Desember tahun pendiriannya atau tahun Bank dimaksud melakukan merger atau konsolidasi. Untuk tahun berikutnya, Bank wajib menghitung beban modal untuk Risiko Operasional dengan menggunakan pendapatan bruto selama tahun awal pendirian yang disetahunkan. Contoh: 1. Beberapa Bank melakukan merger menjadi Bank A yang efektif beroperasi sejak tanggal 15 April 2010. Pada akhir Desember 2010 total pendapatan bruto Bank A sebesar Rp.750 juta. Berdasarkan pengaturan diatas Bank A tidak diwajibkan untuk menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir tahun pendiriannya (tahun 2010). Selama tahun 2011, sejak bulan Januari 2011 Bank A menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sebagai berikut: ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko Operasional = 12,5 x [15%x{750x12/9}] = Rp.1.875 juta 2. Bank B didirikan dan mulai beroperasi pada tanggal 19 Desember 2010. Total pendapatan bruto Bank B sampai dengan tanggal 31 Desember 2010 sebesar Rp.100 juta. Berdasarkan pengaturan diatas Bank B tidak diwajibkan untuk menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir tahun pendiriannya (Desember tahun 2010). Selama tahun 2011, sejak bulan Januari 2011 Bank B menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sebagai berikut: ATMR … ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko Operasional = 12,5 x [15%x{100x12/1}] = Rp.2.250 juta III. PEMANTAUAN A. Dalam rangka memantau kesiapan melaksanakan perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional dengan menggunakan PID, Bank harus melakukan simulasi perhitungan KPMM dengan memasukkan perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional sebagaimana dimaksud pada angka IV sejak berlakunya Surat Edaran ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2009. B. Dalam hal berdasarkan pemantauan dengan memperhitungkan ATMR untuk Risiko Operasional sebagaimana dimaksud pada huruf A mengakibatkan Bank belum dapat memenuhi rasio KPMM sesuai dengan ketentuan KPMM yang berlaku, Bank harus melakukan upaya-upaya agar pada waktu berlakunya perhitungan pada angka IV dapat memenuhi ketentuan KPMM yang berlaku. C. Pemenuhan KPMM dengan memasukkan perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional sebagaimana dimaksud pada huruf A tidak dikenakan sanksi yang terkait pemenuhan KPMM sesuai dengan ketentuan yang berlaku. IV. PENUTUP Perhitungan beban modal Risiko Operasional dalam menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sebagaimana diatur dalam butir II dilakukan secara bertahap sebagai berikut: A. Sejak … A. Sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 30 Juni 2010, perhitungan beban modal Risiko Operasional ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari rata-rata pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir. B. Sejak tanggal 1 Juli 2010 sampai dengan 31 Desember 2010, perhitungan beban modal Risiko Operasional ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari rata-rata pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir. C. Sejak tanggal 1 Januari 2011, perhitungan beban modal Risiko Operasional ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen) dari rata-rata pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 27 Januari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MULIAMAN D. HADAD DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 11/3/DPNP|SE-BI/2009 </reg_id> <reg_title> Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID) </reg_title> <set_date> 27 Januari 2009 </set_date> <effective_date> 27 Januari 2009 </effective_date> <related_reg> '10/15/PBI/2008' </related_reg>
No. 15/10 /DPNP Jakarta, 28 Maret 2013 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank Indonesia. Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/17/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 260, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5368), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai laporan kegiatan Trust baik yang dilakukan Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. UMUM 1. Bank yang telah memperoleh persetujuan prinsip dan surat penegasan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan Trust wajib menyampaikan laporan kegiatan Trust kepada Bank Indonesia. 2. Laporan ... 2. Laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud pada angka 1 paling kurang mencakup informasi mengenai: a. sumber daya manusia unit kerja Trustee; b. perjanjian Trust dan Settlor; c. kegiatan Trust; dan d. posisi aset dan kewajiban Trust. 3. Laporan kegiatan Trust wajib disampaikan secara bulanan oleh Bank kepada Bank Indonesia untuk kegiatan Trust yang dilakukan oleh setiap kantor Bank. II. CAKUPAN LAPORAN KEGIATAN TRUST Laporan kegiatan Trust paling kurang mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Informasi umum mengenai sumber daya manusia unit kerja Trustee a. Informasi ini memuat: 1) jumlah pimpinan unit kerja Trustee; 2) jumlah pejabat satu tingkat di bawah pimpinan unit kerja Trustee; 3) jumlah sumber daya manusia lainnya; dan 4) nama pemimpin unit kerja Trustee serta nama penanggung jawab penyusun laporan kegiatan Trust berikut nomor telepon, nomor faksimili dan alamat surat elektronik masing-masing pihak dimaksud. b. Informasi sebagaimana dimaksud dalam butir a.1), butir a.2), dan butir a.3) disampaikan berikut informasi status pegawai, yang berupa pegawai tetap atau tidak tetap dan Warga Negara Indonesia (WNI) atau tenaga kerja asing (TKA). c. Informasi ... c. Informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b disampaikan: 1) setelah Bank menerima surat penegasan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan Trust yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan kegiatan Trust bulanan yang pertama kali disampaikan kepada Bank Indonesia; dan 2) dalam hal terdapat perubahan sumber daya manusia. d. Informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b disampaikan Bank untuk unit kerja Trustee pada setiap kantor Bank. e. Format penyampaian informasi umum mengenai sumber daya manusia unit kerja Trustee mengacu pada Formulir1- Sumber Daya Manusia dalam Lampiran I. 2. Informasi umum mengenai perjanjian Trust dan Settlor a. Informasi daftar perjanjian Trust meliputi nomor, tanggal penandatanganan dan tanggal berakhirnya perjanjian, jenis kegiatan Trust, sandi sektor ekonomi, dan sandi perjanjian Trust. b. Informasi Settlor meliputi nama, nomor pokok wajib pajak (NPWP), dan sandi negara. Sandi negara meliputi sandi negara residensial yang mengacu pada negara residen dan sandi negara nasionalitas yang mengacu pada pemegang saham utama. c. Pengelompokan sandi sektor ekonomi dan penyebutan sandi negara dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. d. Informasi ... d. Informasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b disampaikan: 1) setelah Bank menerima surat penegasan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan Trust yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan kegiatan Trust bulanan yang pertama kali disampaikan kepada Bank Indonesia; dan 2) dalam hal terdapat perubahan perjanjian Trust dan Settlor. e. Informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b disampaikan Bank untuk unit kerja Trustee pada setiap kantor Bank. f. Format penyampaian informasi umum mengenai perjanjian Trust dan Settlor mengacu pada Formulir 2 - Daftar Perjanjian Trust dan Settlor dalam Lampiran I. 3. Informasi kegiatan Trust a. Informasi ini memuat rincian kegiatan Trust sebagai berikut: 1) Penerimaan dana, yang terdiri atas: a) setoran dana; b) hasil penjualan atau devisa hasil ekspor; c) pokok investasi; d) imbal hasil investasi; e) utang atau pembiayaan yang diterima; dan f) lain-lain. 2) Pengeluaran dana, yang terdiri atas: a) pembayaran pajak; b) pembayaran pada supplier atau vendor; c) pembayaran ... c) pembayaran pada Beneficiary, yang terdiri atas: (1) pemerintah; (2) Settlor sebagai Beneficiary; dan (3) lainnya. d) investasi, yang terdiri atas: (1) investasi yang dilakukan oleh Trustee; dan (2) investasi yang dilakukan melalui manajer investasi. e) pembayaran utang atau pembiayaan yang diterima, yang terdiri atas: (1) pokok utang atau pembiayaan yang diterima; dan (2) bunga utang atau imbal hasil pembiayaan yang diterima. f) fee atau ujroh kepada Trustee; dan g) lain – lain. 3) selisih antara penerimaan dan pengeluaran. b. Informasi sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a dibuat untuk: 1) setiap perjanjianTrust dengan mengacu pada Formulir 3 – Rincian Kegiatan Trust dalam Lampiran I; dan 2) seluruh perjanjian Trust dengan mengacu pada Formulir 4 – Rekapitulasi Kegiatan Trust dalam Lampiran I. 4. Informasi posisi aset dan kewajiban Trust a. Informasi posisi aset Trust terdiri atas: 1) giro; 2) investasi: a) investasi ... a) investasi yang dilakukan oleh Trustee, yang terdiri atas: (1) tabungan; (2) deposito; (3) SBI/SBIS; (4) SBN/SBSN; dan (5) lain-lain, b) investasi yang dilakukan melalui Manajer Investasi, yang terdiri atas: (1) saham; (2) obligasi atau sukuk korporasi; (3) reksadana atau reksadana syariah; (4) Efek Beragun Aset (EBA); (5) Medium Term Notes (MTN); dan (6) lain-lain, 3) aset finansial lainnya. b. Informasi posisi kewajiban Trust terdiri atas: 1) kewajiban kepada Settlor; 2) dana usaha; dan 3) kewajiban lainnya. 5. Pencatatan nilai nominal sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dan angka 4 disajikan dalam valuta asal dan nilai konversi dalam Rupiah. 6. Tata cara pencatatan kegiatan Trust mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. 7. Bank Indonesia dapat meminta informasi lain terkait dengan kegiatan Trust apabila diperlukan. III. PELAPORAN ... III. PELAPORAN KEGIATAN TRUST 1. Laporan kegiatan Trust bulanan sebagaimana dimaksud dalam butir I.3 pertama kali disampaikan pada akhir bulan sejak kantor Bank memperoleh surat penegasan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan Trust. 2. Dalam hal tidak terdapat kegiatan Trust selama periode pelaporan, maka Bank tetap wajib menyampaikan laporan dengan keterangan nihil. 3. Batas Waktu Penyampaian Laporan a. Laporan kegiatan Trust disampaikan secara bulanan paling lambat tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. b. Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila laporan disampaikan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. c. Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila Bank belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b. 4. Tata Cara Penyampaian Laporan a. Laporan kegiatan Trust disampaikan melalui surat yang ditandatangani oleh pimpinan unit kerja Trustee dan diketahui oleh pejabat yang membawahi unit kerja Trustee, dengan melampirkan: 1) hardcopy ... 1) hardcopy laporan kegiatan Trust; dan 2) softcopy laporan kegiatan Trust dalam format spreadsheet dengan menggunakan compact disc, flash disk, atau media perekaman data elektronik lainnya, yang dimasukkan dalam amplop tertutup dan disegel. b. Pengisian format laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud pada angka II mengacu pada Lampiran II Surat Edaran Bank Indonesia ini. 5. Alamat Penyampaian Laporan Laporan kegiatan Trust disampaikan kepada: Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter Menara Sjafruddin Prawiranegara Jl. M. H. Thamrin Nomor 2 Jakarta, 10350 dengan tembusan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah, Menara Radius Prawiro, Jl. M. H. Thamrin Nomor 2, Jakarta, 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. IV. LAIN-LAIN Lampiran I dan Lampiran II merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. V. PENUTUP ... V. PENUTUP Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 28 Maret 2013 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MULYA E. SIREGAR KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 15/10/DPNP|SE-BI/2013 </reg_id> <reg_title> Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank Indonesia. </reg_title> <set_date> 28 Maret 2013 </set_date> <effective_date> 28 Maret 2013 </effective_date> <related_reg> '14/17/PBI/2012' </related_reg>
No.10/ 32 /DInt Jakarta, 14 Oktober 2008 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/ 20 /PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4905), perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal perihal Pinjaman Luar Negeri Bank sebagai berikut : 1. Ketentuan dalam butir I.C.2 dan butir I.C.3 dihapus sehingga butir I.C berbunyi sebagai berikut : C. PLN JANGKA PENDEK 1. Bank dapat memperoleh PLN Jangka Pendek tanpa persetujuan dari Bank Indonesia. 2. Dihapus. 3. Dihapus. 4. PLN … 4. PLN Jangka Pendek yang diperpanjang (roll over) tetap merupakan PLN Jangka Pendek. Dalam hal akan diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun maka akan diperlakukan sebagai PLN Jangka Panjang baru yang harus mengikuti prosedur berdasarkan ketentuan yang berlaku. 2. Ketentuan dalam butir III.A.1 dihapus sehingga butir III.A berbunyi sebagai berikut : III. SANKSI A. Jenis Pelanggaran 1. Dihapus. 2. Kantor cabang bank asing yang memelihara posisi harian Dana Usaha kurang dari 90% (sembilan puluh per seratus) dari declared Dana Usaha yang telah ditetapkan, akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu per seratus) per tahun dari jumlah kekurangan per hari. 3. Bank yang masuk pasar untuk memperoleh PLN Jangka Panjang tanpa persetujuan Bank Indonesia, akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 (dua per seribu) dari jumlah pinjaman yang diterima. 4. Bank yang menerima PLN Jangka Panjang lebih besar dari rencana jumlah PLN Jangka Panjang yang telah disetujui Bank Indonesia, akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 (dua per seribu) dari kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. 5. Bank yang menyampaikan laporan masuk pasar dengan jangka waktu lebih dari 7 (tujuh) hari kerja setelah masuk pasar, akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja dan paling tinggi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). 6. Apabila … 6. Apabila terdapat perubahan yang mendasar berkaitan dengan terms and conditions dan Bank tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai, maka akan dikenakan sanksi administratif berupa : a. b. surat teguran; dan atau larangan melakukan PLN untuk jangka waktu tertentu. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 13 Oktober 2008 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BUDI MULYA DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/32/DInt|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank </reg_title> <set_date> 14 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> pada tanggal 14 Oktober 2008 dan berlaku surut sejak tanggal 13 Oktober 2008. </effective_date> <changed_reg> '9/1/DInt|SE-BI/2007' </changed_reg> <related_reg> '9/1/DInt|SE-BI/2007', '7/1/PBI/2005', '10/20/PBI/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Angka 2 Romawi III' </penalty_list>
No. 6/ 30 /DPM Jakarta, 12 Juli 2004 SURAT EDARAN Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/10/DPM Tanggal 16 Februari 2004 Perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana Sehubungan dengan penyempurnaan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/10/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/3/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4364) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4363), menjadi sebagai berikut : 1. Ketentuan butir II.A.10. sampai dengan butir II.A.15 pada halaman 5 dan 6 diubah, sehingga menjadi sebagai berikut : “10. Dalam hal Bank mengajukan penawaran Lelang SUN melalui Peserta Lelang maka Bank yang bersangkutan wajib menetapkan batas maksimum nominal penawaran (broker bidding limit) per hari bagi Peserta Lelang yang ditunjuk. 11. Dalam … 2 11. Dalam hal pihak lain selain Bank mengajukan penawaran Lelang SUN melalui Peserta Lelang maka yang bersangkutan wajib menunjuk Sub- Registry untuk melakukan setelmen hasil lelang SUN. 12. Sub-Registry yang ditunjuk pihak lain selain Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 11, wajib menetapkan batas maksimum nominal penawaran (broker bidding limit) per hari bagi Peserta Lelang untuk kepentingan nasabah Sub-Registry. 13. Penetapan broker bidding limit sebagaimana dimaksud dalam angka 10 dan 12, wajib diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank atau Sub-Registry dengan Peserta Lelang dengan format perjanjian diserahkan kepada masing- masing pihak sesuai dengan kebutuhan. 14. Perjanjian penetapan broker bidding limit merupakan pemberian wewenang dari Bank atau Sub-Registry kepada Peserta Lelang untuk melakukan penawaran (bidding) per hari dalam lelang SUN untuk dan atas nama Bank atau nasabah Sub-Registry, maksimum sebesar jumlah limit bidding yang diberikan. 15. Bank atau Sub-Registry wajib melakukan pengelolaan broker bidding limit dalam BI-SSSS untuk semua Peserta Lelang yang ditunjuk sebagai perantara dalam pengajuan penawaran SUN, melalui BI-SSSS Terminal (ST) pada menu Supervisory – Member Bidding Limit.” 2. Lampiran 1 dan Lampiran 2 dihapus. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 19 Juli 2004. Agar … 3 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, Ttd. BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 6/30/DPM|SE-BI/2004 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/10/DPM Tanggal 16 Februari 2004 Perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana </reg_title> <set_date> 12 Juli 2004 </set_date> <effective_date> 19 Juli 2004 </effective_date> <changed_reg> '6/10/DPM|SE-BI/2004' </changed_reg> <related_reg> '6/3/PBI/2004', '6/2/PBI/2004', '6/10/DPM|SE-BI/2004' </related_reg>
No. 13/31/DPNP Jakarta, 22 Desember 2011 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia Dalam rangka pelaksanaan peraturan-peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan penggunaan peringkat dari suatu eksposur yang dimiliki Bank, diperlukan pengaturan kembali ketentuan mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pengaturan tersebut dilakukan antara lain dengan menyempurnakan cakupan penilaian, termasuk parameter dalam kriteria penilaian, yang digunakan Bank Indonesia dalam melakukan penilaian terhadap lembaga pemeringkat. Pengaturan mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia adalah sebagai berikut: I. UMUM ... I. UMUM 1. Lembaga pemeringkat merupakan salah satu elemen penting yang berperan dalam mendukung operasional suatu sistem keuangan, antara lain untuk membantu terciptanya transparansi pasar keuangan dan mendorong investasi yang efisien yang dapat mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. 2. Dalam kegiatan usaha perbankan, penetapan peringkat oleh lembaga pemeringkat terhadap eksposur yang dimiliki oleh Bank merupakan salah satu alat bantu bagi Bank dalam pengelolaan risiko. 3. Lembaga pemeringkat yang dapat diakui oleh Bank Indonesia adalah lembaga pemeringkat yang memenuhi penilaian sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. 4. Peringkat yang diakui Bank Indonesia merupakan peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia. 5. Bank Indonesia melakukan pengkinian terhadap daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia berdasarkan hasil penilaian dan pemantauan terhadap lembaga pemeringkat dimaksud. II. PENILAIAN LEMBAGA PEMERINGKAT 1. PRINSIP UMUM Prinsip umum dalam melakukan penilaian lembaga pemeringkat antara lain: a. penilaian yang dilakukan tidak menghambat perkembangan industri pemeringkatan, dapat menstimulasi kompetisi yang sehat, dan mendorong terciptanya disiplin pasar (market discipline); b. penilaian ... b. penilaian ditujukan untuk mendorong agar lembaga pemeringkat menghasilkan peringkat yang dapat diandalkan; dan c. penilaian dilakukan dengan mengacu pada standar dan praktek internasional yang sehat untuk mendukung terciptanya konsistensi diantara regulator lainnya, khususnya dalam melakukan penilaian dan pengakuan terhadap lembaga pemeringkat yang berskala regional maupun internasional. 2. CAKUPAN PENILAIAN Penilaian terhadap lembaga pemeringkat dilakukan berdasarkan pemenuhan atas kriteria penilaian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a serta media publikasi dan cakupan pengungkapan sebagaimana dimaksud pada huruf b. a. Kriteria yang menjadi acuan dalam melakukan penilaian terhadap lembaga pemeringkat adalah: 1) Independensi Kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat independensi atau kebebasan lembaga pemeringkat dari segala bentuk kepentingan, seperti kepentingan ekonomi, sosial dan/atau politik, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hasil pemeringkatan yang diterbitkan. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria independensi adalah: a) independensi kedudukan dan kondisi lembaga pemeringkat Kedudukan ... Kedudukan dan kondisi lembaga pemeringkat tidak berada dibawah tekanan ekonomi, sosial dan/atau politik yang dapat mempengaruhi proses dan hasil pemeringkatan; b) independensi kegiatan usaha Lembaga pemeringkat beroperasi sebagai badan usaha yang berdiri sendiri dan terpisah dari kegiatan usaha lainnya yang tidak berkaitan dengan penyediaan jasa pemeringkatan; c) independensi prosedur pemeringkatan Lembaga pemeringkat memiliki prosedur pemeringkatan yang dapat menjaga independensi dari benturan kepentingan dengan pihak yang diperingkat, yang dapat timbul antara lain karena pihak yang diperingkat dikenakan biaya pemeringkatan; d) independensi kontrak perjanjian pemeringkatan Lembaga pemeringkat mempertahankan independensi dalam setiap kontrak perjanjian pemeringkatan. Independensi harus diperhatikan terutama apabila lembaga pemeringkat melakukan kegiatan usaha lainnya yang berkaitan dengan penyediaan jasa pemeringkatan kepada pihak yang diperingkat; dan e) independensi kegiatan operasional Lembaga pemeringkat memiliki kebijakan, pengamanan operasional dan code of conduct yang dapat menjamin independensi kegiatan operasional lembaga pemeringkat. 2) Obyektivitas ... 2) Obyektivitas Kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat obyektivitas dan efektivitas dari prosedur dan metodologi yang digunakan dan dikembangkan, kewajaran dan konsistensi dari kriteria pemeringkatan, serta obyektivitas proses penetapan peringkat. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria obyektivitas adalah: a) Obyektivitas prosedur pemeringkatan Lembaga pemeringkat memiliki prosedur pemeringkatan yang sistematis yang mengacu pada standar internasional dan dirancang untuk menghasilkan peringkat yang dapat diandalkan; b) Obyektivitas metodologi pemeringkatan Lembaga pemeringkat memiliki metodologi pemeringkatan yang dapat diandalkan, sistematis, dan melalui tahapan pengujian dan validasi berdasarkan pengalaman historis; c) Obyektivitas proses penetapan peringkat Lembaga pemeringkat memiliki Komite Pemeringkat memastikan tercapainya (Rating Committee) untuk obyektivitas, kewajaran, serta analisis yang menyeluruh dalam proses penetapan peringkat; d) Obyektivitas hasil pemeringkatan Obyektivitas hasil pemeringkatan antara lain dinilai dari faktor-faktor sebagai berikut: (1) Lembaga ... (1) Lembaga pemeringkat mengungkapkan seluruh faktor yang mempengaruhi hasil pemeringkatan dan memiliki keberanian untuk menerbitkan suatu peringkat yang tidak populer atau tidak sejalan dengan ekspektasi umum; (2) Lembaga pemeringkat memperhatikan batasan (system boundary) yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, untuk pemeringkatan perusahaan, lembaga pemeringkat antara lain harus memperhatikan seluruh sektor usaha dari perusahaan yang terkait dengan pihak yang diperingkat; dan (3) Lembaga pemeringkat memperhatikan isu- isu dan peraturan yang berlaku di suatu negara secara spesifik yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeringkatan; e) Obyektivitas standar pemeringkatan Obyektivitas standar pemeringkatan antara lain dinilai dari faktor-faktor sebagai berikut: (1) lembaga pemeringkat menggunakan standar minimum yang diakui secara internasional dalam melakukan pemeringkatan, termasuk pemeringkatan terhadap bidang baru; dan (2) memiliki kebijakan mengenai pemeringkatan yang dilakukan atas inisiatif lembaga pemeringkat (unsolicited rating); dan f) Kaji ... f) Kaji ulang Untuk memastikan kualitas, konsistensi, dan obyektivitas hasil pemeringkatan, lembaga pemeringkat melakukan kaji ulang (review) secara berkala terhadap praktek, prosedur, kriteria, dan metodologi pemeringkatan paling kurang satu kali dalam satu tahun. Kaji ulang dilakukan oleh unit/pejabat yang memiliki kompetensi dan tidak terlibat dalam proses pemeringkatan. 3) Pengungkapan Publik (Disclosures) Kriteria ini digunakan untuk menilai pengungkapan segala sesuatu mengenai lembaga pemeringkat sehingga memungkinkan publik maupun otoritas yang berwenang melakukan penilaian terhadap independensi, obyektivitas, kapabilitas, dan operasional lembaga pemeringkat, serta pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria pengungkapan publik adalah: a) Kemudahan akses bagi publik Lembaga pemeringkat menyediakan kemudahan akses bagi publik agar tercipta pemahaman yang lebih baik terhadap lembaga pemeringkat, proses pemeringkatan, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga pemeringkat; b) Pengungkapan informasi yang terkait dengan proses, kriteria, dan metodologi pemeringkatan Lembaga ... Lembaga pemeringkat mengungkapkan informasi mengenai proses, kriteria, dan metodologi pemeringkatan, termasuk penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan, yang mengacu pada standar internasional serta best practices baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang memungkinkan publik melakukan perbandingan; c) Pengungkapan benturan kepentingan Lembaga pemeringkat mengungkapkan kebijakan, prosedur, dan aktivitas, yang berkaitan dengan benturan kepentingan; d) Pengungkapan perubahan internal Lembaga pemeringkat mengungkapkan perubahan internal yang signifikan yang dapat mempengaruhi kemampuan lembaga pemeringkat untuk menerbitkan peringkat yang dapat diandalkan; dan e) Prosedur pengungkapan Lembaga pemeringkat memiliki prosedur yang sistematis mengenai pengungkapan sebagaimana dimaksud pada huruf b), huruf c), dan huruf d) . 4) Transparansi Pemeringkatan Kriteria ini digunakan untuk menilai keterbukaan lembaga pemeringkat kepada publik atas seluruh informasi yang terkait dengan hasil pemeringkatan, termasuk asumsi dan latar belakang penerbitan hasil pemeringkatan. Parameter ... Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria transparansi adalah: a) Transparansi hasil pemeringkatan Lembaga pemeringkat mempublikasikan seluruh hasil pemeringkatan setelah mendapat persetujuan pihak yang diperingkat sehingga dapat diakses secara tidak terbatas dan tanpa biaya oleh setiap pihak, baik pemeringkatan yang dilakukan atas inisiatif pihak yang diperingkat (solicited rating) maupun atas inisiatif lembaga pemeringkat (unsolicited rating). Lembaga pemeringkat tidak diperbolehkan memberikan lebih dahulu hak akses atas informasi hasil pemeringkatan kepada pelanggan; b) Transparansi hasil pemantauan peringkat Lembaga pemeringkat mempublikasikan hasil pemantauan, dan penyesuaian peringkat (jika ada) melalui penetapan “watch list”, serta pencantuman periode terakhir pelaksanaan pengkajian secara menyeluruh; c) Transparansi faktor-faktor yang mempengaruhi pemeringkatan Lembaga pemeringkat mempublikasikan latar belakang pemikiran termasuk faktor-faktor kritikal dalam analisis dan pengambilan keputusan untuk setiap hasil pemeringkatan, hasil pemantauan, dan penyesuaian peringkat sebagaimana ... sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan huruf b), dengan tetap berpegang pada prinsip kerahasiaan informasi; d) Transparansi proses, kriteria, dan metodologi pemeringkatan terkait hasil pemeringkatan Lembaga pemeringkat mempublikasikan proses, kriteria, dan metodologi pemeringkatan yang digunakan dalam menghasilkan suatu peringkat. Publikasi mencakup pula hal-hal yang bersifat struktural seperti metodologi yang digunakan untuk mengevaluasi risiko-risiko material yang terkandung dalam berbagai instrumen keuangan dan industri tertentu, serta asumsi, ekspektasi, dan argumentasi yang mendasari analisis hasil pemeringkatan; dan e) Transparansi metode analisis dalam proses pemeringkatan Lembaga pemeringkat mengungkapkan metode analisis yang digunakan dalam proses pemeringkatan. Metode analisis tersebut antara lain: (i) analisis statitistik atas informasi yang dipublikasikan, (ii) analisis statitistik atas informasi yang dipublikasikan yang dikonfirmasikan melalui diskusi antara lembaga pemeringkat dan pihak yang diperingkat, dan/atau (iii) analisis atas informasi yang dipublikasikan dan informasi yang tidak dipublikasikan, yang diperoleh dari hasil ... hasil diskusi antara lembaga pemeringkat dan pihak yang diperingkat. 5) Sumber Daya (Resources) Kriteria ini digunakan untuk menilai kemampuan lembaga pemeringkat dalam memberikan jasa pemeringkatan, baik dari aspek sumber daya manusia (human resources), aspek sumber daya keuangan (financial resources), maupun dukungan pemegang saham, yang memungkinkan lembaga pemeringkat beroperasi secara independen dan profesional. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria sumber daya adalah: a) Sumber daya manusia Aspek sumber daya manusia antara lain dinilai dari faktor-faktor sebagai berikut: (1) memiliki kebijakan dan prosedur yang memadai mengenai pengadaan, pengelolaan, dan pengembangan sumber daya manusia; dan (2) mengungkapkan informasi terkini mengenai kualifikasi dan pengalaman dari analis pemeringkat, serta sektor maupun pihak- pihak yang diperingkat oleh analis tersebut; b) Sumber daya keuangan Aspek sumber daya keuangan antara lain dinilai dari kemampuan dan kinerja keuangan yang baik; dan c) Dukungan ... c) Dukungan pemegang saham Terdapat komitmen tertulis dari pemegang saham yang menyatakan bahwa lembaga pemeringkat akan beroperasi di Indonesia dalam jangka panjang dan kesediaan untuk membantu mengatasi permasalahan apabila lembaga pemeringkat mengalami kesulitan keuangan. 6) Kredibilitas Kriteria ini digunakan untuk menilai pengakuan dan akseptabilitas oleh pasar terhadap keberadaan lembaga pemeringkat sebagai penyedia jasa pemeringkatan yang dapat diandalkan. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria kredibilitas adalah: a) Izin otoritas yang berwenang Memiliki izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) atau otoritas yang berwenang lainnya; b) Jangka waktu operasional Lembaga pemeringkat telah menjalankan kegiatan operasional paling kurang 1 (satu) tahun; c) Publikasi hasil pemeringkatan Lembaga pemeringkat telah mempublikasikan minimal 2 (dua) hasil pemeringkatan; d) Kebijakan penyebaran informasi Memiliki kebijakan dan prosedur internal untuk mencegah penyalahgunaan dan/atau penyebaran informasi non-publikasi kepada pegawai ... pegawai atau pihak yang tidak berwenang serta pihak eksternal, yang dapat memperoleh keuntungan atas informasi tersebut; dan e) Rekam jejak (track record) Memiliki rekam jejak dalam penerbitan hasil pemeringkatan yang dapat diandalkan. Pendekatan dalam menilai rekam jejak antara lain dilakukan melalui evaluasi terhadap studi terjadinya default (default study). Untuk lembaga pemeringkat yang baru berdiri, maka penilaian rekam jejak dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah dan pengalaman analis pemeringkat yang dimiliki. b. Media publikasi dan cakupan pengungkapan Lembaga pemeringkat wajib memiliki website yang mudah untuk diakses oleh publik yang memuat seluruh informasi yang wajib diungkapkan/dipublikasikan sebagaimana dimaksud pada huruf a Surat Edaran Bank Indonesia ini. Dalam hal website lembaga pemeringkat merupakan bagian dari website perusahaan induk, maka lembaga pemeringkat wajib memiliki website atau region site tersendiri. III. PUBLIKASI LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI BANK INDONESIA 1. Berdasarkan penilaian terhadap pemenuhan kriteria sebagaimana tercantum pada angka II, Bank Indonesia menetapkan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia dalam suatu daftar yang digunakan dalam pelaksanaan ... pelaksanaan ketentuan-ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan penggunaan peringkat suatu eksposur. 2. Daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 1 dipublikasikan melalui website Bank Indonesia pada www.bi.go.id. IV. PENGKINIAN DAFTAR LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI 1. Bank Indonesia melakukan pengkinian atas daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia apabila diperlukan, berdasarkan hasil penilaian dan pemantauan terhadap pemenuhan kriteria penilaian serta media publikasi dan cakupan pengungkapan sebagaimana dimaksud pada butir II.2. 2. Untuk keperluan pengkinian sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia berwenang meminta kepada lembaga pemeringkat untuk menyampaikan laporan kinerja keuangan tahunan yang telah diaudit. Selain itu, Bank Indonesia berwenang meminta informasi tertulis mengenai setiap perubahan yang signifikan, antara lain mengenai struktur organisasi atau manajemen, formasi analis pemeringkat, prosedur dan metodologi pemeringkatan, dan/atau informasi lain, yang dapat mempengaruhi kemampuan lembaga pemeringkat dalam menghasilkan peringkat yang dapat diandalkan. 3. Lembaga pemeringkat dapat dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia berdasarkan: a. hasil penilaian Bank Indonesia; dan/atau b. permintaan lembaga pemeringkat. 4. Lembaga ... 4. Lembaga pemeringkat dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 3.a a. lembaga pemeringkat diketahui memberikan informasi yang keliru (misleading); b. lembaga pemeringkat dikenakan sanksi oleh otoritas yang berwenang yang dapat mengganggu kelangsungan usaha lembaga pemeringkat; dan/atau c. lembaga pemeringkat melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain menciptakan pasar semu atau insider trading dan/atau melakukan rekayasa untuk menghasilkan peringkat yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Sebelum mengeluarkan lembaga pemeringkat dari daftar lembaga pemeringkat yang diakui, Bank Indonesia melakukan klarifikasi terhadap permasalahan yang menyebabkan lembaga pemeringkat tersebut akan dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia. Lembaga pemeringkat diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atas permintaan klarifikasi tersebut dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 5. Lembaga pemeringkat yang mengajukan permintaan untuk dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir 3.b, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memastikan masa berlaku peringkat yang diterbitkan telah habis atau memastikan terdapat lembaga pemeringkat pengganti untuk menerbitkan peringkat baru dalam hal eksposur yang diperingkat belum jatuh tempo; b. telah menyelesaikan seluruh kewajiban kepada pihak yang b. telah ... diperingkat sebelum kegiatan operasional dihentikan; c. menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia paling kurang 12 (dua belas) bulan sebelum rencana penghentian kegiatan operasional; dan d. mengumumkan kepada publik mengenai rencana penghentian kegiatan operasional paling kurang 3 (tiga) bulan sebelum penghentian kegiatan operasional. 6. Lembaga pemeringkat yang memutuskan akan menghentikan kegiatan operasionalnya di Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 5. V. LAIN-LAIN 1. Bank tetap wajib melakukan penilaian terhadap eksposur yang diperingkat oleh lembaga pemeringkat dan sepenuhnya bertanggung jawab atas penggunaan hasil pemeringkatan yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia. 2. Permohonan dari lembaga pemeringkat untuk dicantumkan dalam daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia up. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. 3. Proses penilaian dan pengkinian lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia dilakukan selain berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia ini juga memperhatikan ketentuan terkait lainnya mengenai lembaga pemeringkat. VI. KETENTUAN ... VI. KETENTUAN PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/19/DPNP tanggal 30 April 2008 tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/30/DPNP tanggal 30 Oktober 2009 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/19/DPNP tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 Desember 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MULIAMAN D. HADAD DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 3/31/DPNP|SE-BI/2001 </reg_id> <reg_title> Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia </reg_title> <set_date> 14 Desember 2001 </set_date> <effective_date> 14 Desember 2001 </effective_date> <replaced_reg> '31/6/UPPB|SE-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '3/22/PBI/2001' </related_reg>
No. 4/4/DASP Jakarta, 1 Maret 2002 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/25/DASP tanggal 17 November 2000 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Dalam rangka mempermudah Peserta Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dalam melakukan kontrol terhadap pembebanan biaya sehubungan dengan penggunaan Sistem BI-RTGS, dengan ini ketentuan angka II SE No. 2/25/DASP tanggal 17 November 2000 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement mengenai Penghitungan dan Pembebanan Biaya diubah sehingga seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut : "II. PENGHITUNGAN DAN PEMBEBANAN BIAYA A. Biaya Transaksi Bank Indonesia menghitung jumlah biaya transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf B pada setiap akhir hari dan membebankan biaya tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya. B. Biaya Perpanjangan Jam Operasional Bank Indonesia menghitung jumlah biaya perpanjangan Jam Operasional sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf C pada saat terjadinya perpanjangan Jam Operasional dan membebankan biaya tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya. C. Biaya… C. Biaya sehubungan dengan Contingency Plan Bank Indonesia menghitung jumlah biaya sehubungan dengan Contingency Plan sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf D pada saat terjadinya Contingency Plan dan membebankan biaya tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pembebanan biaya-biaya tersebut di atas dilakukan dengan cara mendebet rekening Peserta yang berada di Bank Indonesia.” Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 1 Maret 2002. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, AULIA POHAN DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 4/4/DASP|SE-BI/2002 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/25/DASP tanggal 17 November 2000 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement </reg_title> <set_date> 1 Maret 2002 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2002 </effective_date> <changed_reg> '2/25/DASP|SE-BI/2000' </changed_reg> <related_reg> '2/25/DASP|SE-BI/2000 | angka II' </related_reg>
1 No. 18/39/DPSP Jakarta, 28 Desember 2016 S U R A T E D A R A N Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/41/PBI/2016 tentang Bilyet Giro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5951) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4669) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/43/PBI/2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 296, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5986), perlu melakukan perubahan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/12/DPSP tanggal 5 Juni 2015 sebagai berikut: 1. Ketentuan butir I.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: C. Penatausahaan Penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro Penatausahaan penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro yang wajib dilakukan oleh Bank, paling sedikit mengenai: 1. jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang diproses oleh Bank, yaitu: a. dicetak oleh Bank; b. didistribusikan kepada Nasabah; dan c. diproses melalui loket Bank Tertarik (over the counter) dan Kliring; 2. jumlah ... 2 2. jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak melalui loket Bank Tertarik (over the counter) dan Kliring beserta alasannya; dan 3. penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro. 2. Ketentuan butir I.D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: D. Kewajiban Penyediaan Dana Kewajiban Penarik untuk menyediakan Dana yang cukup pada Bank Tertarik, diatur sebagai berikut: 1. untuk Cek: a. Penarik wajib menyediakan Dana yang cukup pada saat Cek diunjukkan kepada Bank Tertarik; b. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a termasuk pula penyediaan Dana atas Pengunjukan yang dilakukan sebelum Tanggal Penarikan; dan c. dalam hal Pengunjukan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b tidak didukung Dana yang cukup atau Rekening Giro atau Rekening Khusus telah ditutup maka Penarikan tersebut dikategorikan sebagai Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; dan 2. untuk Bilyet Giro: a. Penarik wajib menyediakan Dana yang cukup pada saat Bilyet Giro diunjukkan kepada Bank Tertarik dalam Tenggang Waktu Efektif; dan b. dalam hal Pengunjukan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak didukung Dana yang cukup atau Rekening Giro atau Rekening Khusus telah ditutup maka Penarikan tersebut dikategorikan sebagai Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong. 3. Ketentuan butir I.F diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: F. Tata Cara Pembatalan Cek 1. Penarik dapat membatalkan Cek setelah tanggal berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan. 2. Pembatalan ... 3 2. Pembatalan Cek dilakukan dengan cara menyampaikan permohonan pembatalan Cek kepada Bank Tertarik secara tertulis, yang paling sedikit memuat informasi: a. nomor Cek; b. Tanggal Penarikan Cek; c. nilai nominal Cek; dan d. tanggal mulai berlakunya pembatalan. 3. Surat permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 disampaikan dengan melampirkan fotokopi identitas diri. 4. Dalam hal tanggal mulai berlakunya pembatalan tidak dicantumkan dalam surat permohonan pembatalan maka tanggal mulai berlakunya pembatalan adalah tanggal diterimanya surat permohonan pembatalan oleh Bank Tertarik sepanjang tanggal diterimanya surat setelah tanggal berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan. 5. Permohonan pembatalan tidak dapat dilaksanakan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2, angka 3, dan angka 4. 4. Ketentuan butir II.A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: A. Alasan Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Bank Tertarik wajib menolak Cek dan/atau Bilyet Giro apabila memenuhi salah satu atau lebih alasan penolakan sebagai berikut: 1. Dana tidak cukup; 2. Rekening Giro atau Rekening Khusus telah ditutup; 3. unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak dipenuhi, yaitu: a. untuk Cek, tidak terdapat penyebutan tempat dan Tanggal Penarikan; atau b. untuk Bilyet Giro, tidak terdapat penyebutan Tanggal Penarikan dan/atau Tanggal Efektif; 4. unsur Cek berupa tanda tangan Penarik tidak dipenuhi; 5. syarat formal Bilyet Giro berupa nama dan nomor Rekening Giro Pemegang tidak dipenuhi; 6. syarat ... 4 6. syarat formal Bilyet Giro berupa nama Bank Penagih tidak dipenuhi; 7. syarat formal Bilyet Giro berupa jumlah Dana yang dipindahbukukan baik dalam angka maupun dalam huruf tidak dipenuhi secara lengkap; 8. syarat formal Bilyet Giro berupa nama jelas Penarik dan/atau tanda tangan Penarik tidak dipenuhi, yaitu tanda tangan basah yang dapat dilengkapi dengan cap atau stempel sesuai dengan Perjanjian Pembukaan Rekening Giro; 9. Pengunjukan Bilyet Giro dilakukan tidak dalam Tenggang Waktu Efektif atau Tanggal Efektif dicantumkan tidak dalam Tenggang Waktu Pengunjukan; 10. Cek telah dibatalkan oleh Penarik setelah berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan berdasarkan surat permohonan pembatalan Cek dari Penarik; 11. Cek telah daluwarsa atau Tenggang Waktu Pengunjukan Bilyet Giro telah berakhir; 12. koreksi Bilyet Giro tidak sesuai dengan ketentuan, sedangkan untuk Cek, koreksi dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 228 KUHD; 13. tanda tangan Penarik tidak sesuai dengan spesimen yang ditatausahakan oleh Bank Tertarik dan/atau syarat formal Bilyet Giro diduga diisi oleh pihak lain selain Penarik; 14. Bank Penagih bukan merupakan Bank Penagih yang disebut dalam Cek silang khusus atau dalam Bilyet Giro. Contoh: Pada Cek silang khusus atau Bilyet Giro ditulis nama Bank Penagih (Bank A), namun Cek silang khusus atau Bilyet Giro ditagihkan oleh Bank lain (Bank B) kepada Bank Tertarik (Bank C), dalam hal ini Bank Tertarik (Bank C) wajib menolak; 15. Cek dan/atau Bilyet Giro diblokir pembayarannya oleh Penarik karena hilang atau dicuri dan pemblokirannya harus disertai dengan asli surat keterangan dari kepolisian; 16. Cek ... 5 16. Cek dan/atau Bilyet Giro diblokir pembayarannya oleh instansi yang berwenang karena diduga terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Penarik atau pihak lain dan pemblokirannya harus disertai dengan surat pemblokiran dari instansi yang berwenang; 17. Rekening Giro diblokir oleh instansi yang berwenang dan pemblokirannya harus disertai dengan surat pemblokiran dari instansi yang berwenang; 18. perintah dalam data elektronik Cek dan/atau Bilyet Giro tidak sesuai dengan perintah dalam Cek dan/atau Bilyet Giro; 19. penerimaan data elektronik Cek dan/atau Bilyet Giro tidak disertai dengan penerimaan fisik Cek dan/atau Bilyet Giro; 20. Cek dan/atau Bilyet Giro diduga palsu atau dimanipulasi; 21. Cek dan/atau Bilyet Giro yang diterima oleh Bank Tertarik bukan ditujukan untuk Bank Tertarik; dan 22. tidak ada endosemen pada Cek atas nama yang dialihkan pada pihak lain yang diunjukkan melalui loket Bank Tertarik (over the counter). 5. Diantara butir II.A dan butir II.B disisipkan 1 (satu) butir, yakni butir II.A1 yang berbunyi sebagai berikut: A1. Dalam hal terdapat perbedaan penulisan jumlah Dana pada Bilyet Giro antara yang tertulis dalam angka dan dalam huruf, Bank Tertarik dapat menolak Bilyet Giro dengan menggunakan alasan sebagaimana dimaksud dalam butir A.7. 6. Setelah ketentuan butir II.B ditambahkan 1 (satu) butir, yakni butir II.C yang berbunyi sebagai berikut: C. Penahanan dan Penundaan Pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro 1. Bank Tertarik yang melakukan penolakan terhadap Cek dan/atau Bilyet Giro yang diduga palsu atau dimanipulasi wajib menahan warkat dan menunda pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro yang diduga palsu atau isi Cek dan/atau Bilyet Giro diduga dimanipulasi. 2. Cek ... 6 2. Cek dan/atau Bilyet Giro diduga palsu dan/atau dimanipulasi dapat terlihat antara lain dari: a. penggunaan logo dan/atau nama Bank Tertarik yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Bank Tertarik; b. standar keamanan tidak sesuai dengan standar keamanan yang digunakan oleh Bank dalam Cek dan/atau Bilyet Giro; c. terdapat isi perintah dalam Cek dan/atau Bilyet Giro yang tidak sesuai dengan karakteristik transaksi Penarik; dan/atau d. warkat Cek dan/atau Bilyet Giro tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang digunakan oleh Bank Tertarik. 3. Penahanan dan penundaan pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib ditindaklanjuti dengan verifikasi paling lama sampai dengan 1 (satu) hari kerja berikutnya. 4. Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilakukan antara lain dengan: a. pengecekan fisik warkat Cek dan/atau Bilyet Giro dengan mengacu pada standar keamanan yang digunakan; b. pengecekan data pada warkat Cek dan/atau Bilyet Giro; c. konfirmasi kepada Penarik, apabila diperlukan; dan/atau d. mekanisme lain sesuai dengan ketentuan internal Bank Tertarik. 5. Bank Tertarik menginformasikan mengenai penahanan dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 kepada: a. Pemegang, dalam hal penagihan dilakukan melalui loket Bank Tertarik (over the counter); atau b. Bank Penagih, dalam hal penagihan dilakukan melalui Kliring, dengan ... 7 dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 10 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 6. Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 3 menunjukkan bahwa indikasi pemalsuan tidak terbukti, Bank Tertarik wajib menindaklanjuti dengan cara: a. melaksanakan pembayaran atau pemindahbukuan melalui mekanisme transfer dana apabila Cek dan/atau Bilyet Giro memenuhi persyaratan untuk dilaksanakannya pembayaran atau pemindahbukuan; atau b. menolak Cek dan/atau Bilyet Giro dengan alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam butir II.A dan mengembalikan Cek dan/atau Bilyet Giro, dalam hal Cek dan/atau Bilyet Giro tidak memenuhi persyaratan untuk dilaksanakannya pembayaran atau pemindahbukuan. 7. Bank Tertarik harus menginformasikan secara tertulis mengenai hasil verifikasi dan tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam angka 6 kepada: a. Pemegang, dalam hal penagihan dilakukan melalui loket Bank Tertarik (over the counter); atau b. Bank Penagih, dalam hal penagihan dilakukan melalui Kliring, dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 11 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 8. Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 3 menunjukkan bahwa indikasi pemalsuan terbukti, Bank Tertarik wajib menindaklanjuti dengan cara: a. menginformasikan kepada Penarik secara tertulis mengenai indikasi pemalsuan Cek dan/atau Bilyet Giro agar Penarik dapat melaporkan kepada pihak yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan; b. melaporkan ... 8 b. melaporkan indikasi pemalsuan Cek dan/atau Bilyet Giro kepada pihak yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; c. melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir X.C.2; dan d. menginformasikan pemalsuan atau manipulasi Cek dan/atau Bilyet Giro kepada: 1) Pemegang, dalam hal penagihan dilakukan melalui loket Bank Tertarik (over the counter); 2) Bank Penagih, dalam hal penagihan dilakukan melalui Kliring, dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 11 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 7. Ketentuan butir IX.6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 6. Setiap permohonan pembatalan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dikenakan biaya administrasi sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah), kecuali untuk permohonan pembatalan penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong karena Keadaan Darurat yang disetujui oleh Bank Indonesia dikenakan biaya administrasi sebesar Rp0,00 (nol rupiah). Biaya administrasi tersebut belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai. 8. Ketentuan angka X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: X. PENGAWASAN KEPATUHAN A. Bank Indonesia melakukan pengawasan kepatuhan secara langsung maupun tidak langsung terhadap Bank atas pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia ini. B. Pengawasan kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam huruf A dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian atas: a. laporan ... 9 a. laporan berkala dan/atau laporan insidental yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia; dan/atau b. data, informasi, dan/atau dokumen yang diperoleh dari Bank dan/atau pihak lain; 2. berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan ke Bank (on- site) secara berkala atau insidental; 3. dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Bank wajib memberikan akses kepada petugas Bank Indonesia, paling sedikit untuk: a. memperoleh data, informasi, dan/atau dokumen yang diperlukan, termasuk namun tidak terbatas pada dokumen asli dan/atau salinan dokumen dan/atau data elektronik sesuai dengan permintaan petugas Bank Indonesia; dan b. memeriksa sarana fisik yang berkaitan dengan pembukaan Rekening Giro, Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro, dan tata usaha Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; dan 4. Bank wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 3. C. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan tidak langsung, Bank wajib menyampaikan laporan berkala dan/atau laporan insidental kepada Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Laporan Berkala a. Laporan berkala terdiri atas laporan penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro, yang terdiri atas: 1) 2) laporan jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang diproses oleh Bank; dan jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak melalui loket Bank Tertarik (over the counter) dan Kliring beserta alasannya. b. Laporan ... 10 b. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan laporan untuk periode tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. c. Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan oleh Bank paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya. d. Dalam hal batas waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf d jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka batas waktu penyampaian laporan adalah hari kerja berikutnya. e. Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia melalui surat dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. f. Dalam hal laporan berkala yang disampaikan oleh Bank tidak lengkap dan/atau perlu dilakukan perbaikan, Bank dianggap belum menyampaikan laporan berkala. g. Format laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf a menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 12 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Laporan Insidental a. Laporan insidental disampaikan atas inisiatif Bank atau berdasarkan permintaan Bank Indonesia antara lain berupa laporan penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro. b. Laporan penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan oleh Bank Tertarik paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahuinya penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro, dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 13 yang merupakan... 11 merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 9. Ketentuan angka XI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: XI. TATA CARA PENGENAAN SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR A. Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar terhadap Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong, pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan dengan mendebit rekening setelmen dana Bank di Bank Indonesia. B. Bank Indonesia menginformasikan pembebanan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf A melalui surat setelah dilakukan pendebitan rekening setelmen dana Bank di Bank. 10. Lampiran 1 mengenai matriks pengkategorian alasan penolakan cek dan/atau bilyet giro diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2017. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2 Mei 2016. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BRAMUDIJA HADINOTO KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 18/39/DPSP|SE-BI/2016 </reg_id> <reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong </reg_title> <set_date> 28 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 1 April 2017 </effective_date> <changed_reg> '9/13/DASP|SE-BI/2007' </changed_reg> <extension_of> '17/12/DPSP|SE-BI/2015' </extension_of> <related_reg> '8/29/PBI/2006', '18/43/PBI/2016', '9/13/DASP|SE-BI/2007', '18/41/PBI/2016', '17/12/DPSP|SE-BI/2015' </related_reg> <penalty_list> 'Angka 9 angka XI' </penalty_list>
No. 11/ 6 /DPM Jakarta, 10 Februari 2009 SURAT EDARAN KEPADA SEMUA BANK, PERUSAHAAN EFEK DAN LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK DI INDONESIA Perihal : Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Ritel Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tanggal 21 Agustus 2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888) dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 215/KMK.08/2008 tanggal 15 Agustus 2008 tentang Penunjukan Bank Indonesia Sebagai Agen Penata Usaha, Agen Pembayar dan Agen Lelang Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Dalam Negeri serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.08/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Ritel di Pasar Perdana Dalam Negeri, perlu ditetapkan ketentuan mengenai tata cara penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara ritel dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan : 1. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, dalam mata uang rupiah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN. 2 . SBSN… 2 2. SBSN Ritel atau yang selanjutnya disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN yang dijual kepada individu atau orang perseorangan warga negara Indonesia melalui agen penjual. 3. Agen Penjual adalah bank dan/atau perusahaan efek yang ditunjuk untuk melaksanakan penjualan Sukuk Negara ritel. 4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah . 5. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek. 6. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem BI- RTGS. 7. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta BI-SSSS, penyelenggara BI-SSSS dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). 8. Penatausahaan Sukuk Negara Ritel adalah kegiatan yang mencakup kliring dan setelmen, penca tatan kepemilikan, serta agen pembayar imbalan dan nilai nominal Sukuk Negara ritel. 9. Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi hasil atau margin, atau bentuk pembayaran lainnya sesuai dengan akad penerbitan Sukuk Negara ritel, yang diberikan kepada pemegang Sukuk Negara ritel sampai… 3 sampai dengan berakhirnya periode Sukuk Negara ritel. 10. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang memenuhi persyaratan dan disetujui Bank Indonesia melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk Sukuk Negara ritel untuk kepentingan nasabah. 11. Nilai Nominal adalah nilai Sukuk Negara ritel atas nama investor yang tercatat dalam BI-SSSS dan Sub-Registry. 12. Hari Kerja adalah hari operasional sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. II. TATA CARA PENATAUSAHAAN SUKUK NEGARA RITEL A. Setelmen Sukuk Negara Ritel di Pasar Perdana 1. Bank Indonesia melakukan setelmen Sukuk Negara Ritel di Pasar Perdana berdasarkan penetapan hasil penjualan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Utang untuk dan atas nama Menteri Keuangan. 2. Setelmen Sukuk Negara Ritel dilakukan paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal penetapan hasil penjualan Sukuk Negara Ritel (T+2). 3. Setelmen Sukuk Negara Ritel dilakukan pada tanggal setelmen dengan prosedur sebagai berikut: a. Agen Penjual melakukan pembayaran dana melalui Sistem BI- RTGS ke rekening giro rupiah Pemerintah di Bank Indonesia dengan nomor rekening 500.000003 “Menteri Keuangan Penerimaan Penerbitan Surat Berharga Negara” sesuai dengan nilai volume hasil penjatahan yang diperoleh, dengan batas waktu sampai dengan pukul 10.00 WIB. b. Agen Penjual selain Bank, harus menunjuk Bank pembayar untuk melaksanakan pembayaran dana sebagaimana dimaksud pada huruf a dan menyampaikan informasi Bank pembayar secara tertulis yang didahului… 4 didahului dengan faksimili kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter – Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter (BI cq. DPM-PTPM). c. Agen Penjual menyampaikan bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada BI cq. DPM-PTPM. d. Setelah bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf c diterima, Bank Indonesia cq. DPM-PTPM melakukan pencatatan penerbitan seri Sukuk Negara Ritel dalam BI-SSSS dan mengkredit rekening surat berharga Sub-Registry yang ditunjuk oleh investor pembeli Sukuk Negara Ritel. e. Setelah setelmen Sukuk Negara Ritel sebagaimana dimaksud pada huruf d berhasil dilakukan, Sub-Registry wajib mencatat kepemilikan Sukuk Negara Ritel atas nama investor yang memperoleh penjatahan Sukuk Negara Ritel secara individual pada sistem Sub-Registry. f. Pada hari yang sama Sub-Registry mengirimkan daftar rincian individual investor Sukuk Negara Ritel kepada BI cq. DPM-PTPM yang mencakup Account Identifier (AId), nama nasabah, securities code, status investor, tipe investor dan nominal transaksi melalui sarana e-mail. B. Pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel 1. Bank Indonesia melakukan pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel berdasarkan posisi kepemilikan Sukuk Negara Ritel yang tercatat di BI-SSSS pada 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel (T-2). 2. Pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan pada tanggal jatuh tempo… 5 tempo dengan mendebet rekening giro rupiah milik Pemerintah di Bank Indonesia dan mengkredit rekening giro rupiah milik Bank atau Bank pembayar Sub-Registry atau Sub-Registry di Bank Indonesia sebesar Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel. 3. Pada hari yang sama dengan hari pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel oleh Bank Indonesia, Sub-Registry wajib meneruskan pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel kepada investor yang tercatat di Sub-Registry. C. Setelmen Transaksi Sukuk Negara Ritel di Pasar Sekunder Prosedur setelmen transaksi Sukuk Negara Ritel di pasar sekunder dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI- SSSS. III. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 10 Februari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER DPM
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 11/6/DPM|SE-BI/2009 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Ritel </reg_title> <set_date> 10 Februari 2009 </set_date> <effective_date> 10 Februari 2009 </effective_date> <related_reg> '10/13/PBI/2008', '218/PMK.08/2008|PER-MENKEU/2008', '215/KMK.08/2008|KEP-MENKEU/2008' </related_reg>
No. 18/ 14/DPPK Jakarta, 25 Mei 2016 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/2/PBI/2015 tentang Suku Bunga Penawaran Antarbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5681) dan dalam rangka lebih meningkatkan kredibilitas Suku Bunga Penawaran Antarbank, perlu melakukan perubahan atas ketentuan angka V Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank, sehingga berbunyi sebagai berikut: V. PEMENUHAN PERMINTAAN TRANSAKSI 1. Asking Bank dapat meminta Quoting Bank untuk: a. meminjam rupiah dari Asking Bank; atau b. meminjamkan rupiah kepada Asking Bank, pada tingkat suku bunga sesuai suku bunga indikasi yang disampaikan oleh Quoting Bank. 2. Quoting Bank wajib memenuhi permintaan transaksi (deal) dari Asking Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sepanjang memenuhi batasan waktu dan batasan tertentu, yaitu: a. permintaan... 2 a. permintaan transaksi oleh Asking Bank dilakukan dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 10.20 WIB; b. jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah paling lama 3 (tiga) bulan; c. permintaan transaksi dari Asking Bank paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah); d. total permintaan transaksi dari seluruh Asking Bank yang dipenuhi oleh Quoting Bank tidak melebihi Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) per hari; dan e. ketersediaan dana (availability of fund) dan credit limit dari Quoting Bank kepada Asking Bank. 3. Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Asking Bank harus menyampaikan informasi mengenai penolakan tersebut secara tertulis dengan disertai bukti-bukti pendukung kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengembangan Pasar Keuangan, paling lama 5 (lima) Hari Kerja sejak tanggal penolakan. Ketentuan mengenai batasan jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah sebagaimana dimaksud dalam butir V.2.b mulai berlaku pada tanggal 1 September 2016. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2016. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MIRZA ADITYASWARA DEPUTI GUBERNUR SENIOR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 18/14/DPPK|SE-BI/2016 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank </reg_title> <set_date> 25 Mei 2016 </set_date> <effective_date> 1 Juni 2016 </effective_date> <changed_reg> '17/6/DPM|SE-BI/2015' </changed_reg> <related_reg> '17/2/PBI/2015', '17/6/DPM|SE-BI/2015' </related_reg>
No.7/34/DPM Jakarta, 3 Agustus 2005 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM Perihal : Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Dalam rangka pemberian fasilitas likuiditas intrahari untuk kelancaran transaksi Bank dalam Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement (BI- RTGS) dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/22/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4519), dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan pelaksanaan pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari sebagai berikut: I. PENYEDIAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI (FLI) 1. Bank Indonesia menyediakan FLI kepada Bank yang meliputi FLI-RTGS dan atau FLI-Kliring. 2. Bank yang memenuhi persyaratan dan akan menggunakan FLI harus menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI sebagaimana contoh dalam Lampiran-1 sebagai dasar bagi Bank untuk menggunakan FLI sebanyak 2 (dua) eksemplar sebagai berikut: 1) 1 (satu) eksemplar dibubuhi meterai cukup dan ditandatangani oleh pejabat Bank; dan 2) 1 (satu) …. 2 2) 1 (satu) eksemplar dibubuhi meterai cukup untuk ditandatangani oleh Bank Indonesia. b. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia : 1. fotokopi anggaran dasar Bank atau perubahan terakhir yang dilegalisir Bank, yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili Bank jika penandatangan perjanjian dilakukan oleh direksi; atau 2. fotokopi anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan surat kuasa dari direksi kepada pejabat yang menandatangani perjanjian jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh direksi. c. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri : 1. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusatnya yang memuat kewenangan pejabat untuk mewakili Bank jika penandatangan perjanjian dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO); atau 2. fotokopi surat kuasa sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan surat kuasa dari CEO kepada pejabat yang menandatangani perjanjian jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh CEO. d. Fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari pejabat Bank yang berwenang untuk menandatangani perjanjian sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c. 3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 2 disampaikan dengan surat pengantar kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM), c.q. Bagian Operasi Pasar Uang (OPU), Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10110. 4. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan atau penolakan permohonan FLI kepada Bank paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah …. 3 setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 2 diterima secara lengkap. 5. Dalam hal permohonan FLI disetujui, Bank Indonesia membuka akses bagi Bank untuk menggunakan FLI melalui sarana BI-SSSS. 6. Dalam hal Bank telah memiliki akses FLI sebagaimana dimaksud pada angka 5 dan di kemudian hari Bank yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan FLI maka Bank Indonesia menghentikan akses penggunaan FLI melalui sarana BI-SSSS. II. PENGAGUNAN SURAT BERHARGA DALAM RANGKA FLI 1. Bank dapat mengagunkan SBI dan atau SUN milik Bank yang bersangkutan yang tercatat dalam rekening perdagangan melalui sarana BI- SSSS. 2. Pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 1 diatur sebagai berikut: a. Pengagunan dalam rangka FLI-RTGS 1) Bank harus memindahkan surat berharga berupa SBI dan atau SUN dari rekening perdagangan ke rekening agunan FLI-RTGS pada sarana BI-SSSS. 2) Pemindahan surat berharga dilakukan pada saat Bank membutuhkan FLI-RTGS (self assessment) selama jam operasional BI-RTGS sampai dengan cut off warning sistem BI-RTGS. 3) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak dapat dipindahkan ke rekening perdagangan selama Bank menggunakan FLI-RTGS. 4) Bank dapat memindahkan kembali surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1) ke rekening perdagangan setelah Bank melunasi FLI-RTGS. b. Pengagunan …. 4 b. Pengagunan dalam rangka FLI-Kliring 1) Bank harus memindahkan surat berharga berupa SBI dan atau SUN dari rekening perdagangan ke rekening agunan FLI-Kliring dalam rangka pemenuhan kewajiban penyediaan pendanaan awal (prefund). 2) Pemindahan surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan pada awal hari sebelum Kliring Debet dimulai sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). 3) Nilai nominal surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1) yang dipindahkan sesuai dengan kebutuhan untuk memenuhi kewajiban penyediaan pendanaan awal (prefund). 4) Bank dapat memindahkan kembali surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1) ke rekening perdagangan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai SKNBI. 3. Mekanisme pengagunan SBI dan atau SUN dalam rangka FLI melalui sarana BI-SSSS dilakukan mengikuti tata cara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang berlaku. III. PENGGUNAAN FLI 1. Penggunaan FLI-RTGS a. Bank dapat menggunakan FLI-RTGS sejak sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS sepanjang Bank telah memindahkan surat berharga ke rekening sebagaimana dimaksud pada butir II.2.a. b. Penggunaan FLI-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk: agunan FLI-RTGS 1) penyelesaian …. 5 1) penyelesaian transaksi keluar (outgoing transaction) sistem BI- RTGS; dan 2) penyelesaian akhir Kliring Debet, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai SKNBI. 2. Penggunaan FLI-Kliring Penggunaan FLI-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban Bank dalam penyelesaian akhir Kliring Debet sepanjang Bank telah memindahkan surat berharga ke rekening agunan FLI-Kliring sebagaimana dimaksud pada butir II.2.b. 3. Mekanisme penggunaan FLI melalui sarana BI-SSSS dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS. IV. PELUNASAN FLI 1. Bank wajib melunasi FLI pada hari penggunaan FLI (T+0) selambat- lambatnya sampai dengan pre cut-off time Sistem BI-RTGS. 2. Pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat transaksi masuk (incoming transaction) ke rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. 3. Mekanisme pelunasan FLI melalui sarana BI-SSSS dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS. V. BIAYA PENGGUNAAN FLI 1. Bank Indonesia mengenakan biaya bunga atas penggunaan FLI yang dihitung sebagai berikut: Nominal Penggunaan FLI x [T / (10,5 jam x 60 menit)] x i x [1/360 ] Keterangan …. 6 Keterangan: T i = waktu penggunaan FLI. = suku bunga rata-rata tertimbang PUAB Rupiah overnight pagi yang terjadi pada hari penggunaan FLI (T+0). 10,5 jam = jangka waktu dari mulai dibukanya jam operasional Sistem BI-RTGS (06.30 WIB) sampai dengan cut off warning Sistem BI-RTGS (17.00 WIB). 2. Biaya bunga atas penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan cara sebagai berikut: a. Untuk penggunaan FLI dalam 1 (satu) jam pertama, biaya bunga atas penggunaan FLI dihitung berdasarkan akumulasi nilai nominal FLI yang digunakan Bank (extend) dengan waktu penggunaan dibulatkan menjadi 1 (satu) jam. b. Untuk penggunaan FLI setelah 1 (satu) jam pertama sebagaimana dimaksud pada huruf a, biaya bunga atas penggunaan FLI dihitung sesuai dengan posisi (outstanding) nominal FLI yang digunakan dengan waktu penggunaan dibulatkan ke atas dalam hitungan menit terdekat. 3. Contoh perhitungan biaya bunga atas penggunaan FLI dimaksud pada angka 2 dapat dilihat dalam Lampiran-2. sebagaimana 4. Pembebanan biaya bunga atas penggunaan FLI dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah penggunaan FLI. VI. PENGALIHAN FLI MENJADI FPJP 1. Dalam hal Bank tidak melunasi FLI sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada butir IV.1. maka terhadap nilai FLI yang tidak dilunasi diberlakukan sebagai FPJP dan agunan FLI yang tercatat dalam sarana BI-SSSS dijadikan sebagai agunan FPJP. 2. Dengan …. 7 2. Dengan pengalihan FLI menjadi FPJP sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka Bank tunduk pada pada ketentuan FPJP bagi Bank Umum yang berlaku antara lain meliputi kewajiban penyampaian akta pengikatan kredit, tata cara pelunasan, eksekusi agunan, pengawasan dan sanksi atas penggunaan FPJP. VII. KETENTUAN PERALIHAN 1. Bank yang telah menandatangani Perjanjian Penggunaan FLI dan Pengagunan sebelum berlakunya Surat Edaran ini wajib memperbaharui Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI sebagaimana terlampir dalam Surat Edaran ini. 2. Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum menerapkan SKNBI dapat menggunakan FLI-RTGS untuk penyelesaian akhir kliring yang terjadi sebelum cut off warning Sistem BI-RTGS. VIII. PENUTUP Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/8/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2005. Juni Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 7/34/DPM|SE-BI/2005 </reg_id> <reg_title> Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum </reg_title> <set_date> 3 Agustus 2005 </set_date> <effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date> <replaced_reg> '6/8/DPM|SE-BI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '7/22/PBI/2005' </related_reg>
1 No. 18/2/DPTP Jakarta, 28 Januari 2016 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA PEMILIK REKENING GIRO DI BANK INDONESIA Perihal : Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Government Electronic Banking Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/24/PBI/2015 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 416, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5832) dan dalam rangka meningkatkan tata kelola penyelenggaraan sarana elektronik serta meningkatkan kualitas layanan jasa perbankan oleh Bank Indonesia, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai penyelenggaraan sistem Bank Indonesia Government electronic Banking dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM A. Definisi Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Sistem Bank Indonesia Government-electronic Banking yang selanjutnya disebut Sistem BIG-eB adalah suatu sarana elektronik dan on-line yang disediakan untuk Pemilik Rekening Giro dalam rangka melakukan Transaksi Keuangan dan memperoleh Informasi Keuangan. 2. Penyelenggara Sistem BIG-eB yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah satuan kerja di Bank Indonesia yang menangani operasional layanan jasa perbankan. 3. Peserta Sistem BIG-eB yang selanjutnya disebut Peserta adalah Pemilik Rekening Giro yang menggunakan Sistem BIG-eB. 4. Rekening… 2 4. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penyetoran dan penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 5. Pemilik Rekening Giro adalah pihak yang mempunyai Rekening Giro. 6. Host to Host adalah keterhubungan antara Sistem BIG-eB dengan sistem internal Peserta. 7. BIG-eB Client adalah sistem komputer yang berada di lokasi Peserta dan Penyelenggara yang terhubung dengan server Sistem BIG-eB di Bank Indonesia. 8. Fasilitas Guest Bank Sistem BIG-eB adalah fasilitas BIG-eB Client yang disediakan oleh Penyelenggara di lokasi Penyelenggara yang dapat digunakan oleh Peserta apabila terjadi keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat di lokasi kantor Peserta. 9. Transaksi Keuangan adalah transaksi penambahan dan pengurangan dana pada Rekening Giro. 10. Informasi Keuangan adalah informasi yang berisi saldo dan mutasi Rekening Giro, serta informasi pendukung Transaksi Keuangan. 11. Kode Transaksi adalah kombinasi angka untuk mengidentifikasi dan menentukan jurnal transaksi dalam proses penyelesaian Transaksi Keuangan. B. Prinsip Umum Prinsip umum dalam penyelenggaraan Sistem BIG-eB: 1. Sistem BIG-eB berfungsi untuk mengelola data pengguna, rekening, Kode Transaksi, dan meneruskan instruksi Transaksi Keuangan ke sistem akunting Bank Indonesia dan memproses inquiry Informasi Keuangan. 2. Transaksi Keuangan dan Informasi Keuangan yang diproses melalui Sistem BIG-eB harus memenuhi prinsip keamanan data yang meliputi kerahasiaan (confidentiality), otorisasi (authorization)… 3 (authorization), akuntabilitas (accountability), integritas (integrity), keaslian (authenticity), dan tidak dapat disangkal (non-repudiation). 3. Dalam mengirimkan Transaksi Keuangan melalui Sistem BIG-eB, dasar transaksi dan prosedur perekaman data yang diterapkan Peserta diatur dalam ketentuan internal Peserta. 4. Informasi Keuangan yang dihasilkan oleh Sistem BIG-eB merupakan bukti Transaksi Keuangan. 5. Dalam hal terdapat perbedaan Informasi Keuangan antara Sistem BIG-eB dengan sistem internal Peserta dan/atau sistem akunting Bank Indonesia, maka yang digunakan sebagai bukti adalah Informasi Keuangan pada sistem akunting Bank Indonesia. 6. Pemilik Rekening Giro dapat menjadi Peserta sepanjang memperoleh persetujuan dari Penyelenggara. 7. Penyelenggara menyediakan layanan Sistem BIG-eB melalui: a. BIG-eB Client; atau b. BIG-eB Client dan Host to Host. Penyediaan layanan BIG-eB Client dan Host to Host hanya diberikan kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 8. Penentuan ruang lingkup Transaksi Keuangan dan Informasi Keuangan melalui Sistem BIG-eB didasarkan pada: a. kepemilikan Rekening Giro; b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro; dan/atau c. perjanjian penggunaan Sistem BIG-eB antara Bank Indonesia dengan Peserta apabila diperlukan. II. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB A. Penyelenggara 1. Penyelenggara bertugas untuk: a. memantau… 4 a. memantau keberhasilan setelmen Transaksi Keuangan melalui Sistem BIG-eB; b. menatausahakan data pengguna Sistem BIG-eB yang menjalankan peran sebagai: 1) administrator, manager, dan inquisitor di Bank Indonesia; dan 2) administrator di Peserta. c. menatausahakan rekening pada Sistem BIG-eB; d. menatausahakan Kode Transaksi pada Sistem BIG-eB; e. menyediakan helpdesk proses bisnis Sistem BIG-eB; f. menyediakan dan melaksanakan rencana kelangsungan kegiatan dan rencana pemulihan teknologi informasi Sistem BIG-eB; g. melakukan asesmen sistem pengamanan (security system assesment) paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap terjadi perubahan lingkup bisnis Sistem BIG-eB; h. memberikan pelatihan operasional Sistem BIG-eB kepada Peserta; dan i. menyediakan petunjuk teknis Sistem BIG-eB. 2. Penyelenggara bertanggung jawab atas: a. ketersediaan infrastruktur dan kehandalan aplikasi Sistem BIG-eB; b. kerahasiaan Informasi Keuangan pada Sistem BIG-eB; c. keamanan Transaksi Keuangan dan Informasi Keuangan pada Sistem BIG-eB; d. kebijakan internal dalam rangka penyelenggaraan Sistem BIG-eB; dan e. ketersediaan layanan penyelesaian insiden operasional Sistem BIG-eB. B. Peserta 1. Peserta bertugas untuk: a. melakukan pemasangan infrastruktur yang digunakan dalam pengoperasian Sistem BIG-eB di lokasi Peserta; b. memastikan… 5 b. memastikan kecukupan kapasitas infrastruktur utama dan cadangan untuk operasional Sistem BIG-eB di lokasi Peserta; c. menatausahakan data pengguna Sistem BIG-eB di Peserta yang menjalankan peran sebagai administrator, manager, inquisitor, supervisor 1, supervisor 2 dan operator; d. menggunakan infrastruktur Sistem BIG-eB sesuai peruntukan; dan e. menjaga keamanan dan kerahasiaan kata kunci (password) Sistem BIG-eB. 2. Peserta bertanggung jawab atas: a. ketersediaan infrastruktur Sistem BIG-eB di lokasi Peserta; b. kerahasiaan Informasi Keuangan pada Sistem BIG-eB; c. kebenaran Transaksi Keuangan pada Sistem BIG-eB; dan d. kebijakan internal dalam rangka operasional Sistem BIG-eB. III. TATA CARA MENJADI PESERTA Prosedur pengajuan menjadi Peserta diatur sebagai berikut: 1. Pemilik Rekening Giro dapat mengajukan permohonan menjadi Peserta dalam hal memerlukan layanan Transaksi Keuangan dan Informasi Keuangan dari Sistem BIG-eB. 2. Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada angka 1 mengajukan surat permohonan kepesertaan Sistem BIG-eB kepada Penyelenggara. Surat permohonan kepesertaan Sistem BIG-eB ditandatangani oleh Pemilik Rekening Giro atau pejabat yang diberi kuasa oleh Pemilik Rekening Giro. Surat permohonan diajukan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dengan dilengkapi formulir data calon Peserta sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3. Penyelenggara… 6 3. Penyelenggara memastikan bahwa Pemilik Rekening Giro yang mengajukan surat permohonan memenuhi persyaratan menjadi Peserta. 4. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 3 paling kurang meliputi: a. Pemilik Rekening Giro berdomisili di Indonesia; dan b. memiliki kesiapan infrastruktur yang digunakan dalam pengoperasian Sistem BIG-eB. 5. Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 2, Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau penolakan secara tertulis kepada Pemilik Rekening Giro atau pejabat yang diberi kuasa oleh Pemilik Rekening Giro. 6. Dalam hal terdapat tambahan persyaratan atau ketentuan khusus yang diperlukan namun tidak diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro, Penyelenggara dapat: a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pemilik Rekening Giro yang telah memperoleh persetujuan sebagai Peserta; dan/atau b. membuat perjanjian dengan Peserta. IV. HAK AKSES PADA PESERTA A. Pengguna dan Fungsinya 1. Untuk dapat melakukan aktifitas melalui Sistem BIG-eB, Peserta harus menentukan pihak-pihak yang akan menjadi pengguna. 2. Pihak pengguna pada Peserta adalah: a. Administrator; b. Manager; c. Inquisitor; d. Supervisor 1; e. Supervisor 2; dan f. Operator. 3. Fungsi… 7 3. Fungsi masing-masing pengguna pada Peserta adalah sebagai berikut: a. Administrator Administrator adalah petugas di Peserta yang memiliki fungsi: 1) menatausahakan pengguna administrator lain dan manager di Peserta; dan 2) mengakses menu inquiry, laporan dan tata usaha pengguna. b. Manager Manager adalah petugas di Peserta yang memiliki fungsi: 1) menatausahakan pengguna inquisitor, group inquisitor, supervisor 1, supervisor 2, dan operator di Peserta. 2) mengakses menu inquiry, laporan dan tata usaha pengguna. c. Inquisitor Inquisitor adalah petugas di Peserta yang memiliki fungsi untuk dapat mengakses menu inquiry, laporan dan utilitas. d. Supervisor 1 Supervisor 1 adalah petugas di Peserta yang memiliki fungsi: 1) melakukan pra persetujuan data transaksi; dan 2) mengakses menu transaksi, inquiry, laporan, dan utilitas. e. Supervisor 2 Supervisor 2 adalah petugas di Peserta yang memiliki fungsi: 1) melakukan persetujuan akhir data transaksi; dan 2) mengakses menu transaksi, inquiry, laporan, dan utilitas. f. Operator… 8 f. Operator Operator adalah petugas di Peserta yang memiliki fungsi: 1) merekam dan mengubah data transaksi; dan 2) mengakses menu transaksi, inquiry, laporan, dan utilitas. 4. Pendistribusian hak akses pengguna Sistem BIG-eB mengacu pada uraian dalam Tabel Hak Akses Sistem BIG-eB sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. B. Pemberian Hak Akses 1. Penyelenggara menyampaikan 2 (dua) identitas pengguna dan kata kunci (password) administrator kepada Peserta dalam amplop tertutup. 2. Penatausahaan administrator, manager, inquisitor, supervisor 1, supervisor 2, dan operator di Peserta berdasarkan pada kebijakan internal Peserta. 3. Dalam hal diperlukan reset kata kunci (password) administrator, Peserta menyampaikan surat permohonan reset kata kunci (password) kepada Penyelenggara. 4. Peserta dapat melakukan pembatasan hak akses inquisitor terhadap rekening dan/atau fungsi tertentu pada Sistem BIG-eB melalui group inquisitor. V. PENATAUSAHAAN REKENING DAN KODE TRANSAKSI A. Penatausahaan Rekening 1. Peserta menyampaikan surat permohonan pendaftaran atau perubahan rekening yang akan digunakan dalam Sistem BIG-eB. 2. Surat permohonan pendaftaran atau perubahan rekening pada Sistem BIG-eB sebagaimana dimaksud dalam angka 1 ditandatangani oleh Peserta atau pejabat yang diberi kuasa oleh Peserta. 3. Atas… 9 3. Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 2, Penyelenggara menyampaikan informasi pendaftaran atau perubahan rekening pada Sistem BIG-eB secara tertulis kepada Peserta atau pejabat yang diberi kuasa oleh Peserta. 4. Permohonan pendaftaran atau perubahan rekening pada Sistem BIG-eB dapat diajukan bersamaan dengan surat permohonan pendaftaran atau perubahan Rekening Giro. B. Penatausahaan Kode Transaksi 1. Peserta menyampaikan surat permohonan pendaftaran atau perubahan Kode Transaksi pada Sistem BIG-eB kepada Penyelenggara. 2. Surat permohonan pendaftaran atau perubahan Kode Transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 ditandatangani oleh Peserta atau pejabat yang diberi kuasa oleh Peserta. Surat Permohonan diajukan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3. Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Penyelenggara menyampaikan informasi pendaftaran atau perubahan Kode Transaksi pada Sistem BIG-eB secara tertulis kepada Peserta atau pejabat yang diberi kuasa oleh Peserta. 4. Permohonan pendaftaran atau perubahan Kode Transaksi pada Sistem BIG-eB dapat diajukan bersamaan dengan surat permohonan pembukaan atau perubahan Rekening Giro. VI. LAYANAN SISTEM BIG-eB A. Layanan Transaksi Keuangan 1. Ruang Lingkup a. Ruang lingkup Transaksi Keuangan melalui Sistem BIG- eB mencakup layanan: 1) pindah… 10 1) pindah buku dalam Rupiah dan valuta asing antar Rekening Giro Peserta atau dari Rekening Giro Peserta ke Rekening Giro lain; dan 2) transfer kredit dalam Rupiah dan valuta asing atas beban Rekening Giro Peserta untuk untung : a) penerima dana yang telah ditentukan dalam Sistem BIG-eB (defined ultimate beneficiary); atau b) penerima dana yang tidak ditentukan dalam Sistem BIG-eB (undefined ultimate beneficiary), berdasarkan Kode Transaksi. b. Penyelenggara menetapkan layanan Transaksi Keuangan yang disediakan kepada Peserta. 2. Tanggal Efektif Transaksi Keuangan Transaksi Keuangan melalui Sistem BIG-eB dapat diefektifkan pada tanggal valuta hari berjalan atau tanggal valuta hari yang ditetapkan oleh Peserta. 3. Waktu Layanan a. Penyelenggara menyediakan layanan Transaksi Keuangan pada hari kerja dengan waktu layanan sebagai berikut: 1) transaksi pindah buku pada pukul 07.10 s.d. 18.30 WIB; dan 2) transaksi transfer kredit yaitu: a) b) c) transfer Real Time Gross Settlement (RTGS) pada pukul 07.10 s.d. 16.30 WIB; transfer kliring pada pukul 07.10 s.d. 15.30 WIB; dan transfer valuta asing pada pukul 07.10 s.d. 15.00 WIB. b. Waktu layanan Sistem BIG-eB sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat diubah oleh Penyelenggara dalam hal: 1) terjadi keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat di Penyelenggara; 2) terdapat… 11 2) 3) terdapat transaksi yang masih harus diselesaikan di Bank Indonesia; atau terdapat perubahan waktu operasional transfer kredit Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. c. Selain huruf b, waktu layanan Sistem BIG-eB dapat diperpanjang dalam hal terdapat permohonan tertulis dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Permohonan dimaksud ditandatangani oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Permohonan perpanjangan diterima oleh Penyelenggara paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum berakhirnya waktu layanan terkait pada Sistem BIG-eB. d. Penyelenggara menyampaikan informasi mengenai perubahan waktu layanan Sistem BIG-eB secara tertulis kepada Peserta. B. Layanan Informasi Keuangan 1. Waktu Layanan Layanan Informasi Keuangan dapat diakses setiap hari, baik pada hari kerja maupun bukan hari kerja. Apabila diakses pada bukan hari kerja, Informasi Keuangan yang ditampilkan adalah informasi yang tercatat pada hari kerja sebelumnya. 2. Ruang Lingkup a. Inquiry Inquiry menyajikan informasi antara lain posisi saldo, mutasi per rekening, dan status transaksi. Informasi dalam inquiry dapat dilihat, dicetak, dan/atau disimpan dalam bentuk data softcopy. b. Laporan Laporan menyajikan informasi antara lain daftar posisi saldo, saldo dan mutasi per rekening, jurnal transaksi, rincian… 12 rincian transaksi pindah buku dan transfer, advis pembukuan, nilai kurs Bank Indonesia, dan kegiatan penatausahaan administrasi Sistem BIG-eB. Informasi dalam laporan dapat dilihat, dicetak, dan/atau disimpan dalam bentuk data soft copy. c. Utilitas Utilitas menyediakan fasilitas unduh (download) informasi mutasi rekening sesuai parameter yang dipilih. VII. PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN KEADAAN DARURAT A. Penanganan Keadaan Tidak Normal Dalam hal terjadi keadaan tidak normal yaitu situasi atau kondisi yang disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi, maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran penggunaan Sistem BIG-eB, penanganan dilakukan sebagai berikut: 1. Penyelenggara berkoordinasi dengan Peserta untuk mengetahui penyebab keadaan tidak normal. 2. Dalam hal penyebab keadaan tidak normal berada di lokasi Bank Indonesia, Penyelenggara menginformasikan penanganan keadaan tidak normal kepada Peserta. 3. Dalam hal penyebab keadaan tidak normal berada di lokasi Peserta, Peserta menginformasikan keadaan tidak normal kepada Penyelenggara dan meminta persetujuan atas langkah penanganan yang akan dilakukan. 4. Penanganan keadaan tidak normal antara lain: a. Dalam hal Sistem BIG-eB di lokasi Peserta dan Penyelenggara mengalami gangguan, Peserta dapat menyampaikan warkat pembukuan dan memperoleh rekening koran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro. b. Dalam… 13 b. Dalam hal Sistem BIG-eB di lokasi Peserta mengalami gangguan, Peserta dapat: 1) menyampaikan warkat pembukuan dan memperoleh rekening koran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro; atau 2) menggunakan Fasilitas Guest Bank Sistem BIG-eB dengan ketentuan sebagai berikut: a) Peserta mengajukan surat permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank Sistem BIG- eB dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. b) Peserta datang ke lokasi Penyelenggara dan melakukan aktivitas berupa mengirimkan Transaksi Keuangan dan memperoleh Informasi Keuangan melalui Fasilitas Guest Bank Sistem BIG-eB. B. Penanganan Keadaan Darurat Dalam hal terjadi Keadaan Darurat yaitu situasi atau kondisi yang terjadi di luar kekuasaan Bank Indonesia dan/atau Peserta yang mempengaruhi kelancaran penggunaan Sistem BIG-eB yang disebabkan oleh tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat termasuk Bank Indonesia, penanganan dilakukan sebagai berikut: 1. Dalam hal keadaan darurat terjadi di lokasi Penyelenggara, Penyelenggara memberitahukan keadaan tersebut kepada Peserta berikut langkah penanganannya. 2. Dalam hal keadaan darurat terjadi di lokasi Peserta, Peserta menginformasikan keadaan darurat kepada Penyelenggara dan… 14 dan meminta persetujuan atas langkah penanganan yang akan dilakukan. VIII. KETENTUAN LAIN-LAIN Petunjuk teknis Sistem BIG-eB akan disampaikan melalui surat oleh Penyelenggara kepada Peserta. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada 28 Januari 2016. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN PINJAMAN DAN TRANSAKSI PEMERINTAH DYAH N.K. MAKHIJANI
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 18/2/DPTP|SE-BI/2016 </reg_id> <reg_title> Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Government Electronic Banking </reg_title> <set_date> 28 Januari 2016 </set_date> <effective_date> 28 Januari 2016 </effective_date> <related_reg> '17/24/PBI/2015' </related_reg>
No. 15/43/DPNP Jakarta, 21 Oktober 2013 SURAT EDARAN KEPADA SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/3/PBI/2013 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5418) dan terkait dengan diterbitkannya Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/39/DPNP tanggal 17 September 2013 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/20/DKBU tanggal 22 Mei 2013 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat serta dalam rangka menjaga kesinambungan dan konsistensi data yang dikelola oleh Bank Indonesia maka perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat sebagai berikut: Ketentuan dalam angka III ditambahkan huruf H yang berbunyi sebagai berikut: H. Khusus Laporan Keuangan Publikasi yang diumumkan untuk posisi akhir bulan September 2013 diatur sebagai berikut: 1.Penyusunan... 2 1. Penyusunan Laporan Keuangan Publikasi mengacu pada format sebagaimana pada Lampiran IA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Rekaman data Laporan Keuangan Publikasi yang disampaikan kepada Bank Indonesia secara on-line tidak mencakup rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), dan Cash Ratio sebagaimana dimaksud pada angka 8, angka 9, dan angka 10 pada Tabel 4 mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan Informasi Lainnya. 3. Bukti pengumuman atas Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bentuk: a. halaman surat kabar yang memuat Laporan Keuangan Publikasi; dan/atau b. fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman atau media lainnya. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 21 Oktober 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, IRWAN LUBIS KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 15/43/DPNP|SE-BI/2013 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat. </reg_title> <set_date> 21 Oktober 2013 </set_date> <effective_date> 21 Oktober 2013 </effective_date> <changed_reg> '15/29/DKBU|SE-BI/2013' </changed_reg> <related_reg> '15/29/DKBU|SE-BI/2013', '15/39/DPNP|SE-BI/2013', '15/20/DKBU|SE-BI/2013', '15/3/PBI/2013' </related_reg>
No. 10/ 13 /DPNP Jakarta, 6 Maret 2008 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.7/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005 perihal Penyelesaian Pengaduan Nasabah --------------------------------------------------------------------------- Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/3/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, dipandang perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Nomor 7/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005 mengenai Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagai berikut: Ketentuan dalam Butir VI. Pelaporan Penyelesaian Pengaduan Nasabah Kepada Bank Indonesia diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: VI. Pelaporan Penyelesaian Pengaduan Nasabah Kepada Bank Indonesia 1. a. Bank umum menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan secara triwulanan kepada Bank Indonesia secara On-Line, yaitu untuk periode pelaporan yang berakhir pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember dengan berpedoman pada tatacara pelaporan dan … 2 dan format sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum. b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan secara triwulanan kepada Bank Indonesia secara manual, yaitu untuk periode pelaporan yang berakhir pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember dengan format sebagaimana pada lampiran Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan disampaikan oleh BPR dalam masa 1 (satu) bulan sejak berakhirnya periode laporan. Apabila batas waktu penyampaian laporan adalah hari libur maka penyampaian laporan dilakukan pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya. Sebagai contoh, laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan untuk periode laporan yang berakhir pada bulan Maret 2008 wajib disampaikan paling lambat tanggal 30 April 2008. 3. Dalam hal tidak terdapat Pengaduan dalam periode pelaporan, maka BPR tetap menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan dengan mencantumkan nihil pada laporan tersebut. 4. BPR dianggap terlambat menyampaikan laporan apabila penyampaian laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan melebihi batas waktu penyampaian Laporan. Sebagai contoh, BPR akan dianggap terlambat apabila laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan untuk periode pelaporan yang berakhir pada bulan Maret 2008 disampaikan pada bulan Mei 2008. 5. BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila penyampaian laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan melebihi jangka waktu 1 (satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian laporan. Sebagai… 3 Sebagai contoh, BPR dianggap tidak menyampaikan laporan apabila laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan untuk periode pelaporan yang berakhir pada bulan Maret 2008 disampaikan pada bulan Juni 2008. 6. Pengenaan sanksi kewajiban membayar atas keterlambatan dan/atau tidak disampaikannya laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan tidak menghapuskan kewajiban BPR untuk menyampaikan laporan tersebut. 7. BPR menyampaikan laporan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan kepada: a. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia, b. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR Syariah yang berkantor pusat di wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia, atau c. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BPR dan BPR Syariah yang berkantor pusat di luar wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia. dengan tembusan ditujukan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 6 Maret 2008. Agar… 4 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DIREKTUR DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/13/DPNP|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.7/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005 perihal Penyelesaian Pengaduan Nasabah </reg_title> <set_date> 6 Maret 2008 </set_date> <effective_date> 6 Maret 2008 </effective_date> <changed_reg> '7/24/DPNP|SE-BI/2005' </changed_reg> <related_reg> '7/7/PBI/2005', '7/24/DPNP|SE-BI/2005', '10/3/PBI/2008', '10/10/PBI/2008' </related_reg>
No. 17/4/DSta Jakarta, 6 Maret 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA KORPORASI NONBANK DI INDONESIA YANG MELAKUKAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA Perihal: Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri dan Perubahan Rencana Utang Luar Negeri Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/22/PBI/2014 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa dan Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 397, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5654), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa berupa Rencana Utang Luar Negeri dan Perubahan Rencana Utang Luar Negeri dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 2. Korporasi Nonbank adalah badan usaha selain bank, dan badan lainnya. 3. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing dan/atau Rupiah ... 2 Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 4. ULN Jangka Pendek adalah ULN dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, baik langsung dari kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi maupun nonafiliasi. 5. ULN Jangka Panjang adalah ULN dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, baik langsung dari kreditur atau pasar keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan afiliasi maupun nonafiliasi. 6. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 7. Pelapor LLD Korporasi Nonbank yang selanjutnya disebut Pelapor adalah Penduduk selain bank yang melakukan kegiatan LLD, baik untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun pihak lain. 8. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 9. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. II. PELAPOR A. Pelapor meliputi: 1. berdasarkan jenis lembaga: a. lembaga keuangan bukan bank; b. bukan lembaga keuangan. 2. berdasarkan kepemilikan: a. badan usaha milik negara; b. badan usaha milik daerah; c. badan usaha milik swasta; d. badan lainnya. B. Pendaftaran ... 3 B. Pendaftaran Profil Pelapor 1. Korporasi Nonbank yang baru pertama kali menyampaikan Laporan Rencana ULN harus mengisi data Profil Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I. 2. Data Profil Pelapor disampaikan dengan menyertakan dokumen pendukung yang terdiri atas: a. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); b. fotokopi Anggaran Dasar; dan c. Surat Penunjukan mengenai penanggung jawab laporan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II. 3. Dalam hal terdapat perubahan atas data Profil Pelapor, Pelapor harus menyampaikan perubahan data tersebut kepada Bank Indonesia melalui data Profil Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, dengan menyertakan dokumen pendukung. 4. Dalam hal pelaporan dilakukan oleh pihak lain, dokumen pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 2 harus dilengkapi dengan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III. C. Sandi Pelapor 1. Untuk memperoleh Sandi Pelapor, Korporasi Nonbank yang baru pertama kali menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia harus mengajukan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV dengan melampirkan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam butir II.B.2 dan butir II.B.4. 2. Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank Indonesia memberitahukan kepada Pelapor mengenai Sandi Pelapor. 3. Pelapor yang telah menerima Sandi Pelapor dari Bank Indonesia menyampaikan Laporan Rencana ULN dan Laporan Perubahan Rencana ULN dengan menggunakan Sandi Pelapor tersebut. III. CAKUPAN ... 4 III. CAKUPAN LAPORAN A. Laporan Rencana ULN Laporan Rencana ULN meliputi keterangan dan data mengenai rencana ULN Jangka Panjang selama 1 (satu) tahun berjalan, baik berupa utang baru maupun perpanjangan (rollover) utang lama, yang mencakup items sebagai berikut: 1. status ULN; 2. jenis valuta; 3. jumlah; 4. tujuan penggunaan; 5. kreditur; 6. hubungan dengan kreditur; 7. jenis utang; 8. waktu masuk pasar; 9. jangka waktu; 10. lokasi penerbitan (untuk surat utang); 11. suku bunga indikatif; 12. basis suku bunga; dan 13. sumber pembayaran ULN. B. Laporan Perubahan Rencana ULN 1. Laporan Perubahan Rencana ULN meliputi perubahan rencana ULN Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam huruf A. 2. Laporan Perubahan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam angka 1 disampaikan dengan mengisi item yang berubah dan alasan perubahannya. IV. KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN A. Kewajiban penyampaian Laporan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam butir III.A berlaku bagi: 1. Pelapor yang berencana untuk memperoleh ULN Jangka Panjang baru selama 1 (satu) tahun berjalan; 2. Pelapor yang berencana untuk memperpanjang (rollover) ULN Jangka Panjang; dan/atau 3. Pelapor ... 5 3. Pelapor yang berencana memperpanjang ULN Jangka Pendek menjadi Jangka Panjang. B. Dalam hal Pelapor tidak memiliki rencana untuk memperoleh ULN Jangka Panjang, kewajiban penyampaian Laporan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam huruf A tetap dilakukan dengan menyampaikan form header (null/kosong). C. Kewajiban penyampaian Laporan Perubahan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam butir III.B berlaku bagi Pelapor yang akan mengubah rencana ULN Jangka Panjang selama 1 (satu) tahun berjalan. V. FORMAT LAPORAN DAN TATA CARA PELAPORAN A. Format Laporan Format laporan diatur dalam Petunjuk Teknis Pelaporan Rencana ULN dan Perubahan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I. B. Tata Cara Penyampaian Laporan 1. Pelaporan Rencana ULN dan Perubahan Rencana ULN disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dalam hal Pelapor adalah badan usaha atau badan lainnya yang berkedudukan di Indonesia, pelaporan dilakukan oleh kantor pusat badan usaha atau badan lainnya yang bersangkutan. b. Dalam hal Pelapor adalah badan usaha atau badan lainnya yang kantor pusatnya berkedudukan di luar Indonesia, pelaporan dilakukan oleh kantor koordinator dari kantor Pelapor yang berkedudukan di Indonesia. 2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka III dan butir IV.B dilakukan secara online melalui website pelaporan kegiatan LLD yang dikelola oleh Bank Indonesia dengan alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2. 3. Tata ... 6 3. Tata cara pelaporan mengacu pada Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaporan Laporan Rencana ULN dan Perubahan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V. VI. PENYAMPAIAN LAPORAN A. Batas Waktu Penyampaian Laporan 1. Laporan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam butir III.A disampaikan secara online paling lambat tanggal 15 Maret tahun berjalan. 2. Laporan Perubahan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam butir III.B disampaikan secara online paling lambat tanggal 1 Juli tahun berjalan. 3. Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, batas waktu penyampaian laporan jatuh pada Hari berikutnya. 4. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 sehingga Pelapor tidak dapat menyampaikan laporan secara online, laporan disampaikan pada Hari berikutnya secara: a. online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau b. offline kepada Bank Indonesia selama jam kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, jika gangguan teknis belum dapat diatasi. 5. Penyampaian secara offline sebagaimana dimaksud dalam butir 4.b. adalah dengan menggunakan media antara lain attachment email, Compact Disc (CD), flash disk, dan/atau media perekaman data elektronik lainnya. B. Terlambat dan Tidak Menyampaikan Laporan. 1. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Rencana ULN apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu ... 7 waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf A sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. Contoh: Perusahaan A menyampaikan Laporan Rencana ULN pada tanggal 25 Maret 2015. Berdasarkan hal tersebut, Perusahaan A dinyatakan terlambat menyampaikan laporan. 2. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Rencana ULN apabila laporan tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. Contoh: Perusahaan B menyampaikan Laporan Rencana ULN pada tanggal 1 April 2015. Berdasarkan hal tersebut, Perusahaan B dinyatakan tidak menyampaikan laporan. 3. Dalam hal terdapat perubahan rencana ULN, Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Perubahan Rencana ULN apabila laporan disampaikan melewati batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam huruf A sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. Contoh: Perusahaan C menyampaikan Laporan Perubahan Rencana ULN pada tanggal 7 Juli 2015. Berdasarkan hal tersebut, Perusahaan C dinyatakan terlambat menyampaikan laporan. 4. Dalam hal terdapat perubahan rencana ULN, Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Perubahan Rencana ULN apabila laporan tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. Contoh: Perusahaan D menyampaikan Laporan Perubahan Rencana ULN pada tanggal 3 Agustus 2015. Berdasarkan hal tersebut, Perusahaan D dinyatakan tidak menyampaikan laporan. VII. KEADAAN ... 8 VII. KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) A. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan keterangan dan data tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka III untuk periode laporan pada saat keadaan memaksa terjadi. B. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka III terhambat, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A. C. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami yang paling kurang memuat: 1. jenis keadaan memaksa dengan melampirkan surat keterangan yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat; 2. dampak terhadap pelaporan; dan 3. perkiraan lamanya keadaan memaksa. D. Pelapor dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa sebagaimana dimaksud dalam huruf C melalui kantor pusat Pelapor, kantor cabang Pelapor, atau pihak lain yang ditunjuk Pelapor. E. Pelapor wajib menyampaikan laporan setelah Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. VIII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI A. Sanksi Keterlambatan Penyampaian Laporan Pelapor yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B.1 dan butir VI.B.3 dikenakan sanksi administratif berupa Surat Peringatan dari Bank Indonesia. B. Sanksi ... 9 B. Sanksi Tidak Menyampaikan Laporan 1. Pelapor yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B.2 dan butir VI.B.4 dikenakan sanksi administratif berupa Surat Peringatan dari Bank Indonesia. 2. Pelapor yang tidak menyampaikan laporan sebanyak 2 (dua) kali atau lebih secara berturut-turut, dikenakan sanksi administratif berupa: a. Surat Peringatan dari Bank Indonesia; dan b. Surat Pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang. IX. KORESPONDENSI DAN HELP DESK A. Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini, serta pertanyaan yang berkaitan dengan teknis dan cara pelaporan, data entry, serta materi laporan ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan 2 c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan Lalu Lintas Devisa Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16 Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350 B. Help Desk Telepon : 021-29814077, 021-29814219, 021-29814556, 021-29814572, 021-29814650, 021-29814657, 021-29815174, 021-29815870, 021-29815871, 021-29815875, 021-29816036, 021-29818126, 021-29818127, 021-29810000 ext. 2122, 2134, 2138, 2166 Faksimili : 021-2311936 E-mail ... 10 E-mail : LLD-ULN@bi.go.id C. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi, Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Pelapor melalui surat dan/atau media lainnya. X. KETENTUAN PERALIHAN A. Pelapor yang telah menyampaikan Laporan Rencana ULN dan Laporan Perubahan Rencana ULN pada tahun 2015 sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini tidak diwajibkan menyampaikan laporan kembali. B. Dalam hal terdapat perubahan atas Laporan Rencana ULN dan Laporan Perubahan Rencana ULN tahun 2015 setelah berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Pelapor tetap wajib menyampaikan Laporan Perubahan Rencana ULN sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. XI. KETENTUAN LAIN-LAIN Lampiran I sampai dengan Lampiran V merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. XII. KETENTUAN PENUTUP Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/17/DInt tanggal 29 April 2013 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi Keuangan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 6 Maret 2015. Agar ... 11 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDY SULISTIOWATY KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 17/4/DSta|SE-BI/2015 </reg_id> <reg_title> Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri dan Perubahan Rencana Utang Luar Negeri </reg_title> <set_date> 6 Maret 2015 </set_date> <effective_date> 6 Maret 2015 </effective_date> <replaced_reg> '15/17/DInt|SE-BI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '16/22/PBI/2014' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VIII' </penalty_list>
No. 8/10/DPbS Jakarta, 7 Maret 2006 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November 2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/7/PBI/2006 tanggal 27 Februari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4606), perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November 2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, khususnya yang menyangkut perhitungan bobot risiko dalam aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) sebagai berikut : I. PERUBAHAN BEBERAPA KETENTUAN A. Ketentuan angka II. 1. 1.2. 4) berikut : 4) Investasi … diubah, sehingga berbunyi sebagai 4) Investasi Subordinasi dalam Laporan bulanan bank Syariah adalah Pinjaman Subordinasi dan Obligasi Syariah Subordinasi, yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah; 2. ada perjanjian tertulis antara bank dengan investor; 3. mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Dalam hubungan ini pada saat bank mengajukan permohonan persetujuan, bank harus menyampaikan program pembayaran kembali investasi subordinasi tersebut; 4. tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan telah disetor penuh; 5. minimal berjangka waktu 5 (lima) tahun; 6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, dan dengan pelunasan tersebut permodalan bank tetap sehat; dan 7. dalam hal terjadi likuidasi hak tagihnya berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan modal). Jumlah investasi subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai modal untuk sisa jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir adalah jumlah investasi subordinasi dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus atau prorata. Jumlah investasi subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap maksimum sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal inti. B. Ketentuan … B. Ketentuan angka III.1.c diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : c. Penghitungan ATMR untuk aktiva produktif dibedakan sebagai berikut : 1) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang sumber dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi untung atau bagi rugi (profit and loss sharing) diberikan bobot sebesar 1% (satu perseratus); 2) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan atau pihak ketiga dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) yang dibedakan sebagai berikut : a) diberikan kepada atau dijamin oleh pemerintah atau bank sentral diberikan bobot sebesar 0% (nol perseratus); b) diberikan kepada atau dijamin oleh bank lain diberikan bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus); c) diberikan kepada atau dijamin oleh swasta penetapan bobot berdasarkan peringkat (rating) yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan; 3) penyaluran dana dalam bentuk piutang untuk kepemilikan rumah yang dijamin oleh hak tanggungan pertama dan bertujuan untuk dihuni yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan atau dana pihak ketiga dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot 35% (tiga puluh lima perseratus); 4) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif kepada pegawai/pensiunan di luar usaha kecil dan pemilikan rumah yang sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh … qardh dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 50% (lima puluh perseratus), dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) Plafon penyaluran dana keseluruhan maksimum Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per pegawai/pensiunan; b) 1. Pegawai/pensiunan dijamin dengan asuransi jiwa dari perusahaan asuransi yang berstatus sebagai BUMN atau perusahaan asuransi swasta yang memiliki peringkat paling kurang peringkat investasi dari lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat Yang Diakui Bank Indonesia; atau 2. Penyaluran dana kepada pegawai/pensiunan yang penyaluran dana-nya dijamin oleh perusahaan BUMN penjaminan pembiayaan ; c) Pembayaran angsuran/pelunasan atas penyaluran dana bersumber dari gaji/pensiun berdasarkan Surat Kuasa Memotong Gaji/Pensiun kepada Bank pemberi penyaluran dana. Dalam hal pembayaran gaji/pensiun dilakukan melalui Bank lain atau BUMN lain, maka Bank pemberi penyaluran dana harus memiliki perjanjian kerja sama dengan Bank lain atau BUMN lain pembayar gaji/pensiun untuk melakukan pemotongan gaji/pensiun dalam rangka pembayaran angsuran/pelunasan penyaluran dana; dan d) Bank menyimpan asli surat pengangkatan pegawai atau surat keputusan pensiun atau Kartu Registrasi Induk Pensiun (KARIP) dan polis pertanggungan asuransi jiwa debitur ... debitur, atau dokumen yang dapat dipersamakan dengan itu untuk penjaminan oleh perusahaan penjaminan pembiayaan . 5) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif kepada usaha kecil yang sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus). Penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif kepada usaha kecil yang dapat dikenakan bobot risiko tersebut adalah untuk penyaluran dana yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil ; 6) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit and loss sharing method) yang sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh, dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus). b. Ketentuan angka III.2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : 2. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka rincian bobot risiko untuk semua aktiva Neraca adalah sebagai berikut : 0% : 1. Kas. 2. Emas dan mata uang emas. 3. Commemorative coins. 4. Penempatan pada Bank Indonesia : 4.1. Giro Wadiah pada Bank Indonesia; 4.2. SWBI; 4.3 Lainnya … BUMN 4.3. Lainnya; 5. Penempatan/ Tagihan pada bank lain : 5.1. Pada bank sentral negara lain; 5.2. Pada bank lain yang dijamin oleh pemerintah pusat dan bank sentral. 6. Surat berharga yang dimiliki : 6.1. Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah negara lain; 6.2. Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh bank sentral negara lain; 6.3. Surat berharga pasar uang /pasar modal Syariah. 6.3.1. Yang diterbitkan atau dijamin oleh bank sentral dan pemerintah pusat; 6.3.2. Yang diterbitkan atau dijamin dengan uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas, serta giro, deposito dan tabungan pada bank yang besangkutan, sebesar nilai dari jaminan tersebut. 7. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya kepada atau dijamin : 7.1. Bank sentral; 7.2. Pemerintah Pusat. 8. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya yang dijamin uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas, serta giro, deposito, dan tabungan pada bank yang bersangkutan tersebut. sebesar nilai dari jaminan 1% … 1% : Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan, piutang, ijarah dan bentuk penanaman lainnya yang sumber dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit and loss sharing method). 20% : 1. Penempatan / Tagihan pada bank lain; 2. Surat berharga pasar uang/ pasar modal syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh bank lain, pemerintah daerah, lembaga non departemen di Indonesia, Bank Pembangunan Multilateral, Islamic Development Bank,BUMN dan perusahaan pemerintah pusat negara lain; 3. Surat Berharga pasar uang/pasar modal Syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pihak swasta dengan peringkat perusahaan AAA sampai dengan AA- dari pemeringkat Standard & Poor's atau peringkat yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia; 4. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya kepada atau dijamin oleh bank lain, pemerintah daerah, lembaga non departemen di Indonesia, bank pembangunan multilateral, Islamic Development Bank, BUMN dan perusahaan milik pemerintah pusat negara lain; 5. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya kepada atau dijamin oleh pihak swasta yang memiliki peringkat perusahaan AAA … AAA sampai dengan AA- dari pemeringkat Standard & Poor's atau peringkat yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia. 35% : Piutang pemilikan rumah yang dijamin oleh hak tanggungan pertama dengan tujuan untuk dihuni. 50% : 1. Surat berharga pasar uang/ pasar modal Syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pihak swasta dengan peringkat perusahaan A+ sampai dengan A- dari pemeringkat Standard & Poor's atau peringkat yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia; 2.Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya kepada atau dijamin oleh pihak swasta yang memiliki peringkat perusahaan A+ sampai dengan A- dari pemeringkat Standard & Poor's atau peringkat yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia; 3. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya kepada pegawai/pensiunan; 85% 100% : Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya kepada usaha kecil : 1. Surat Berharga pasar uang/ pasar modal Syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pihak swasta dengan peringkat perusahaan BBB+ sampai dengan BBB- atau BB+ sampai dengan B- dari pemeringkat Standard & Poor's atau peringkat yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia. 2. Surat … 2. Surat Berharga pasar uang/pasar modal Syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh perusahaan tidak memiliki peringkat. 3. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya kepada atau dijamin oleh pihak swasta yang memiliki peringkat perusahaan BBB+ sampai dengan BBB- atau BB+ sampai dengan B- dari pemeringkat Standard & Poor's atau peringkat yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia. 4. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya kepada atau dijamin oleh pihak swasta yang tidak memiliki peringkat. 5. Penyertaan, Aktiva istishna dalam penyelesaian, nilai buku Aktiva Tetap dan Inventaris, Antar Kantor Aktiva dan Rupa-rupa Aktiva. 150% : 1. Surat Berharga pasar uang/pasar modal Syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh perusahaan dengan peringkat dibawah B- dari pemeringkat Standard & Poor's atau peringkat yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia. 2. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya kepada atau dijamin oleh pihak swasta yang memiliki peringkat dibawah B- dari pemeringkat Standard & Poor's atau peringkat yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia. 3. Penyaluran … 3. Penyaluran dana dalam berbagai aktiva produktif berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit and loss sharing method). c. Ketentuan angka III. 3. 3.2 mengalami perubahan, sehingga berbunyi sebagai berikut : 3.2. Tahap Kedua Setelah diketahui faktor konversinya maka masing-masing aktiva administratif tersebut dikonversikan ke dalam aktiva-aktiva neraca padanannya. Selanjutnya, untuk menghitung bobot risiko aktiva administratif dilakukan dengan mengalikan faktor konversi dengan bobot risiko aktiva neraca padanannya. Atas dasar perhitungan tersebut, maka pengelompokan besarnya bobot risiko masing-masing aktiva administratif menjadi sebagai berikut : 0% : 1. Fasilitas yang disediakan bagi atau dijamin oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia dan Bank Indonesia, serta bank sentral dan pemerintah pusat negara lain, yang meliputi : a. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang disediakan untuk nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan. b. Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing dalam rangka pemberian pembiayaan serta endosemen atau aval surat-surat berharga berdasarkan prinsip syariah. c. Jaminan bank yang diterbitkan bukan dalam rangka pemberian pembiayaan atau piutang. d. L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C). 2. Fasilitas ... 2. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang disediakan kepada nasabah yang dijamin dengan uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas, serta giro, deposito dan tabungan pada bank yang bersangkutan sebesar nilai jaminannya. 4% : L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C) dan dibuka atas permintaan bank-bank di dalam negeri termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, pemerintah daerah, lembaga negara non- departemen di Indonesia, bank pembangunan multilateral, Islamic Development Bank, BUMN dan pemerintah pusat negara lain, bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang masuk dalam bank utama (prime bank) di luar negeri, perusahaan swasta yang memiliki rating AAA sampai dengan AA-. 10% : 1. Fasilitas yang disediakan bagi atau dijamin oleh bank- bank di dalam negeri termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, Pemerintah Daerah, lembaga non-departemen di Indonesia, bank- bank pembangunan multilateral, Islamic Development Bank, bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang masuk dalam bank utama (prime bank) di luar negeri dan perusahaan swasta yang memiliki rating AAA sampai dengan AA- yang meliputi : a. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang disediakan untuk nasabah sampai dengan akhir tahun takwim yang berjalan; b. Jaminan bank yang diterbitkan bukan dalam rangka pemberian pembiayaan. 2. L/C … 2. L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C) dan dibuka atas permintaan perusahaan swasta yang memiliki rating A+ sampai dengan A-. 20% : 1. L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C) dan dibuka atas permintaan perusahaan yang : a. mempunyai rating BBB+ sampai dengan BBB-; b. mempunyai rating BB+ sampai dengan B-; dan c. tidak mempunyai rating. 2. Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing dalam rangka pemberian pembiayaan atau piutang serta endosemen atau aval surat-surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan atas permintaan : a. Bank-bank di dalam negeri termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri b. Pemerintah Daerah di Indonesia c. Lembaga non departemen di Indonesia d. Bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang masuk dalam bank utama (prime bank) di luar negeri. e. Perusahaan swasta yang mempunyai rating AAA+ sampai dengan AA- 25% : 1. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang disediakan sampai dengan akhir tahun takwin berjalan yang disediakan bagi perusahaan yang mempunyai rating A+ sampai dengan A-. 2. Jaminan bank yang diterbitkan bukan dalam rangka pembiayaan bagi perusahaan swasta yang mempunyai rating A+ sampai dengan A-. 3. Fasilitas … 3. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang disediakan sampai dengan akhir tahun takwim berjalan yang disediakan bagi pegawai/pensiunan. 30% : L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C) yang dibuka atas permintaan perusahaan swasta yang memiliki rating dibawah B-. 42,5% : Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang disediakan sampai dengan akhir tahun takwim berjalan yang disediakan bagi usaha kecil. 50% : 1. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang disediakan sampai dengan akhir tahun takwim berjalan yang disediakan bagi perusahaan yang : a. mempunyai rating BBB+ sampai dengan BBB-; b. mempunyai rating BB+ sampai dengan B-; dan c. tidak memiliki rating. 2. Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing dalam rangka pemberian pembiayaan dan atau piutang serta endosemen atau aval surat-surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan atas permintaan perusahaan swasta yang mempunyai rating A+ sampai dengan A-. 3. Jaminan bukan dalam pembiayaan yang rangka pemberian diterbitkan atas permintaan perusahaan yang : a. mempunyai rating BBB+ sampai dengan BBB-; b. mempunyai rating BB+ sampai dengan B-; dan c. tidak mempunyai rating. 75% : 1. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang disediakan sampai dengan akhir tahun takwim berjalan yang disediakan bagi perusahaan yang mempunyai rating dibawah B-. 2. Jaminan … 2. Jaminan bukan dalam pembiayaan yang rangka pemberian diterbitkan atas permintaan perusahaan yang mempunyai rating dibawah B-. 100% : Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing dalam rangka pemberian pembiayaan dan atau piutang serta endosemen atau aval surat-surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan atas permintaan perusahaan yang: a. mempunyai rating BBB+ sampai dengan BBB-; b. mempunyai rating BB+ sampai dengan B-; dan c. tidak mempunyai rating. 150% : Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing dalam rangka pemberian pembiayaan dan atau piutang serta endosemen atau aval surat-surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan atas permintaan perusahaan yang mempunyai dibawah B-. d. Ketentuan angka III.4.d diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : d. Bank wajib memelihara Posisi Devisa Neto pada setiap hari kerja setinggi-tingginya sebesar ketentuan tentang Posisi Devisa Neto yang berlaku. II. PELAPORAN 1. Bank wajib melaporkan/mencantumkan secara tersendiri penyaluran dana kepada pegawai/pensiunan dalam perhitungan ATMR dengan cara input manual sampai dengan tersedianya sandi khusus untuk itu dalam Laporan Bulanan Bank Umum Syariah. 2. Kewajiban pelaporan/pencantuman dengan cara sebagaimana dimaksud dalam angka 1 hanya berlaku sampai dengan ketentuan penyempurnaan … rating penyempurnaan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah diberlakukan. III. PENUTUP 1. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Lampiran I Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November 2005 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dinyatakan tidak berlaku. 2. Bank wajib menyesuaikan penghitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko sesuai dengan Lampiran 1 Surat Edaran ini. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 2006. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, Siti Ch. Fadjrijah DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 8/10/DPbS|SE-BI/2006 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November 2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title> <set_date> 7 Maret 2006 </set_date> <effective_date> 7 Maret 2006 </effective_date> <changed_reg> '7/53/DPbS|SE-BI/2005' </changed_reg> <replaced_reg> '7/53/DPbS|SE-BI/2005 | Lampiran I' </replaced_reg> <related_reg> '7/13/PBI/2005', '7/53/DPbS|SE-BI/2005', '8/7/PBI/2006' </related_reg>
No. 2/ 20 /DLN Jakarta, 9 Oktober 2000 SURAT EDARAN Kepada BANK, BADAN USAHA BUKAN BANK, DAN PERORANGAN DI INDONESIA Perihal: Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.2/22/PBI/2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 172; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4007) tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri, perlu ditetapkan ketentuan pelaksanaan mengenai pelaporan Utang Luar Negeri (ULN) sebagai berikut : I. UMUM A. Tujuan Pelaporan ULN dimaksudkan untuk penyusunan statistik ULN, statistik neraca pembayaran, pengelolaan cadangan devisa dan perumusan kebijakan moneter. B. Pelapor Pelapor adalah seluruh kantor pusat bank umum yang berbadan hukum Indonesia, dan kantor cabang bank asing yang berkedudukan di Indonesia, kantor pusat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha … 2 Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta serta Perorangan, yang memiliki ULN. II. RUANG LINGKUP DAN JENIS LAPORAN A. Ruang Lingkup Laporan 1. ULN yang wajib dilaporkan adalah utang penduduk kepada bukan penduduk, dalam valuta asing dan atau rupiah, berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement), surat berharga, atau berdasarkan perjanjian lainnya seperti utang dagang, kecuali kewajiban bank dalam bentuk giro, tabungan dan deposito berjangka milik bukan penduduk. 2. Surat berharga yang wajib dilaporkan adalah surat berharga yang diterbitkan di pasar uang dan atau pasar modal di luar negeri, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing, antara lain Obligasi, Commercial Papers, Promissory Notes, Medium Term Notes (MTN), dan Floating Rate Notes (FRN). 3. Utang dagang yang wajib dilaporkan adalah utang luar negeri yang timbul dalam rangka perdagangan internasional baik dengan L/C maupun tanpa L/C yang berjangka waktu di atas 6 bulan. Bagi bank, utang dagang yang wajib dilaporkan adalah utang dagang dengan L/C maupun tanpa L/C yang telah menjadi kewajiban bank seperti wesel ekspor yang telah diakseptasi oleh bank. Bagi swasta non bank, utang dagang yang wajib dilaporkan adalah utang dagang tanpa L/C di luar yang menjadi kewajiban bank. 4. ULN bank yang wajib dilaporkan adalah ULN yang diterima oleh: a. kantor pusat maupun kantor cabang bank umum yang berbadan hukum Indonesia; b. kantor … 3 b. kantor cabang bank di luar negeri dari bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia, baik yang disalurkan maupun tidak disalurkan ke Indonesia; c. kantor cabang bank asing yang berkedudukan di Indonesia. 5. Jumlah ULN yang wajib dilaporkan: a. ULN atas dasar perjanjian kredit (loan agreement) adalah minimum USD. 500,000.00 (lima ratus ribu US Dollar) atau equivalen dalam mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada saat perjanjian kredit ditanda tangani. b. ULN atas dasar Surat Berharga dan atas dasar perjanjian lainnya seperti utang dagang wajib dilaporkan seluruhnya tanpa batasan minimum. B. Jenis Laporan Laporan ULN terdiri dari data pokok ULN dan data realisasi. 1. Data Pokok ULN, terdiri dari : a. Data penerima ULN dan atau perubahannya, mencakup informasi mengenai: nama, alamat, nomor telepon, nomor faksimili, status, grup perusahaan, nama grup, kepemilikan asing, dan nama yang dapat dihubungi. a.1. ULN atas dasar perjanjian kredit menggunakan formulir F-01.1 butir A sebagaimana dilampirkan dalam Surat Edaran ini (Lampiran 1). a.2. ULN atas dasar surat berharga menggunakan formulir F- 02.1 butir A sebagaimana dilampirkan dalam Surat Edaran ini (Lampiran 2). a.3. ULN atas dasar utang dagang menggunakan formulir F- 03 butir A sebagaimana dilampirkan dalam Surat Edaran ini (Lampiran 5). b. Data … 4 b. Data ULN dan atau perubahannya terdiri dari : b.1. Data ULN atas dasar perjanjian kredit mencakup informasi mengenai: status, tanggal penandatanganan, valuta dan nominal, jangka waktu, masa tenggang dan tanggal jatuh waktu, tingkat bunga dan biaya, jadwal penarikan, jadwal pelunasan, penggunaan, bentuk ikatan pinjaman, sektor ekonomi, lokasi proyek, nama pemberi pinjaman, negara pemberi pinjaman, jenis usaha dan status pemberi pinjaman, sebagaimana tercantum dalam formulir F-01.1 butir B (Lampiran 1). b.2. Data ULN atas dasar surat berharga mencakup informasi mengenai: jenis surat berharga, tanggal penerbitan, valuta dan jumlah, jangka waktu dan tanggal jatuh waktu, bunga/diskonto/kupon dan biaya, rencana pembayaran, penggunaan, sektor ekonomi, lokasi proyek dan negara diterbitkannya surat berharga, sebagaimana tercantum dalam formulir F-02.1 butir B (Lampiran 2). 2. Data Realisasi ULN, terdiri dari: a. Data realisasi ULN atas dasar perjanjian kredit mencakup informasi mengenai: periode laporan, kode dan nama penerima, nomor referensi, penarikan, pembayaran, tunggakan dan posisi utang pada bulan laporan sebagaimana tercantum dalam formulir F-01.2 (Lampiran 3). b. Data realisasi ULN atas dasar surat berharga mencakup informasi mengenai: periode laporan, kode dan nama penerbit, nomor referensi, pembayaran, jumlah yang tidak bisa dibayar dan posisi surat berharga pada bulan laporan sebagaimana tercantum dalam formulir F-02.2 (Lampiran 4). c. Data … 5 c. Data realisasi ULN dalam bentuk utang dagang mencakup informasi mengenai: nomor referensi, tanggal jatuh waktu, valuta, pembayaran, posisi kewajiban, dan pemberi pinjaman, sebagaimana tercantum dalam formulir F-03 butir B (lampiran5). III. BATAS WAKTU DAN PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN A. Periode dan masa penyampaian Laporan 1. Laporan data pokok ULN atas dasar perjanjian kredit, wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap melakukan penandatanganan perjanjian ULN dan atau perubahannya, dan disampaikan paling lambat 15 hari kerja setelah penandatanganan perjanjian ULN dan atau perubahannya. 2. Laporan data pokok ULN atas dasar surat berharga, wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap melakukan penerbitan surat berharga, dan disampaikan paling lambat 15 hari kerja setelah tanggal penerbitan surat berharga. 3. Laporan data realisasi ULN atas dasar perjanjian kredit dan laporan data realisasi ULN atas dasar surat berharga wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. 4. Laporan data penerima dan realisasi ULN atas dasar utang dagang, wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. 5. Apabila batas waktu penyampaian laporan tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, laporan dimaksud disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Yang dimaksud dengan hari kerja adalah hari kerja Bank Indonesia. 6. Pelapor … 6 6. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan laporan data pokok dan realisasi ULN, apabila laporan disampaikan melewati batas akhir masa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1 s./d. 4. 7. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan data pokok ULN dan atau perubahannya setelah Bank Indonesia memperoleh informasi dari pihak ketiga. 8. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan data realisasi ULN apabila pelapor terlambat menyampaikan laporan dimaksud melampaui 6 (enam) bulan secara berturut-turut terhitung sejak batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 3 dan 4. 9. Pelaporan ULN dinyatakan tidak lengkap apabila laporan yang disampaikan tidak memenuhi cakupan laporan sebagaimana ditetapkan pada angka II butir B. 10. Pelapor dinyatakan menyampaikan laporan tidak benar apabila laporan yang disampaikan tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi. B. Prosedur Penyampaian Laporan 1. Laporan data pokok ULN sebagaimana dimaksud pada angka II huruf B butir 1 disampaikan kepada Bank Indonesia : a. untuk butir a.1. dengan menggunakan formulir F-01.1 terlampir; b. untuk butir a.2. dengan menggunakan formulir F-02.1 terlampir; c. untuk butir a.3. dengan menggunakan formulir F-03 terlampir. 2. Laporan data pokok ULN sebagaimana dimaksud pada angka II huruf B butir 2 disampaikan kepada Bank Indonesia : a. untuk butir b.1. menggunakan formulir F-01.1 terlampir; b. untuk butir b.2. menggunakan formulir F-02.1 terlampir. 3. Laporan … 7 3. Laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada angka II huruf B. butir 2.a. disampaikan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan formulir F-01.2 terlampir. 4. Laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada angka II huruf B. butir 2.b. disampaikan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan formulir F-02.2 terlampir. 5. Laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada angka II huruf B. butir 2.c. disampaikan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan formulir F-03 terlampir. 6. Laporan data realisasi ULN kantor pusat bank dan kantor cabang di luar negeri dari bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada butir II.A.4.a dan b disampaikan secara terpisah. 7. Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia berupa hard copy dan atau disket melalui kurir atau jasa ekspedisi. Prosedur penyampaian laporan dengan menggunakan disket akan diatur lebih lanjut. 8. Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka III butir A.1 s./d. 5 adalah sesuai dengan tanggal penerimaan di Bank Indonesia. 9. Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: Bagian Administrasi dan Analisis Pinjaman Luar Negeri, Bank Indonesia Gedung B Lt.5 Jalan M.H. Thamrin No.2 Jakarta. C. Pelaporan dengan menggunakan format laporan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran ini untuk data bulan September 2000 disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Oktober 2000. Untuk selanjutnya laporan disampaikan sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran ini. IV. SANKSI … 8 IV. SANKSI A. Sanksi bagi pelapor yang terlambat menyampaikan, tidak menyampaikan, menyampaikan laporan secara tidak lengkap dan tidak benar. 1. Sanksi bagi Pelapor yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada butir III. A.1 s./d. 5 adalah sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap 1 (satu) hari keterlambatan. Jumlah hari keterlambatan dihitung mulai satu hari setelah berakhirnya masa penyampaian laporan sampai dengan tanggal diterimanya laporan oleh Bank Indonesia. 2. Sanksi bagi pelapor yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada butir III A.7 dan 8 adalah sanksi administratif berupa denda sebesar 1 0/00 (satu per mil) dari komitmen/jumlah setiap ULN atas dasar perjanjian kredit yang diterima atau surat berharga yang diterbitkan, dan dari posisi kewajiban untuk setiap ULN atas dasar utang dagang, ditambah dengan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada butir 1. 3. Sanksi bagi pelapor yang menyampaikan laporan tidak lengkap dan atau tidak benar sebagaimana dimaksud pada butir III A.9 dan 10 adalah sanksi administratif berupa denda masing-masing sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). 4. Pelapor dapat menyampaikan koreksi selama batas waktu penyampaian laporan. Koreksi disampaikan dengan formulir yang sama dengan membubuhkan kata “KOREKSI” pada setiap lembar formulir laporan. Penyampaian koreksi yang melampaui batas waktu penyampaian laporan dikenai sanksi administratif sebagaimana tercantum pada butir IV A.1. B. Pembebanan … 9 B. Pembebanan sanksi denda. 1. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada butir IV.A. disetorkan ke Rekening Kas Negara yang ada di Bank Indonesia Nomor 501.000.000. 2. Pelaksanaan kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada butir B.1. di atas dilakukan setelah adanya surat pemberitahuan secara tertulis dari Bank Indonesia yang antara lain berisi tentang penetapan besarnya kewajiban yang harus dibayar, perhitungan lamanya keterlambatan pelaporan dan tata cara penyetoran, dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA NANA SUPRIANA DIREKTUR DLN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 2/20/DLN|SE-BI/2000 </reg_id> <reg_title> Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri. </reg_title> <set_date> 9 Oktober 2000 </set_date> <effective_date> 9 Oktober 2000 </effective_date> <related_reg> '2/22/PBI/2000' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi IV' </penalty_list>
No. 16/25/DKSP Jakarta, 31 Desember 2014 S U R A T E D A R A N Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275), dan memperhatikan kesiapan Penerbit Kartu Kredit, Acquirer Kartu Kredit, dan Pemegang Kartu Kredit serta Pedagang (Merchant) dalam penerapan teknologi Personal Identification Number (PIN) online 6 (enam) digit sebagai sarana verifikasi dan autentikasi pada transaksi Kartu Kredit yang diterbitkan oleh Penerbit Kartu Kredit di Indonesia, perlu dilakukan perubahan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012 sebagai berikut: 1. Ketentuan butir VII.C.4.a diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: a. Kartu Kredit 1) Penerbit Kartu Kredit di mengimplementasikan teknologi PIN online 6 (enam) digit. 2) PIN online 6 (enam) digit sebagaimana dimaksud dalam angka 1) adalah PIN yang dienkripsi oleh Acquirer pada terminal … Indonesia wajib 2 terminal pemroses transaksi dan hasil enkripsi tersebut dikirimkan kepada Penerbit Kartu Kredit dalam rangka verifikasi dan autentikasi Pemegang Kartu Kredit. 3) Penerbit Kartu Kredit di Indonesia wajib telah mengimplementasikan teknologi PIN online 6 (enam) digit sebagaimana dimaksud dalam angka 1) untuk penerbitan Kartu Kredit baru dan penggantian Kartu Kredit lama (renewal) mulai tanggal 1 Juli 2015. 4) Seluruh Kartu Kredit yang diterbitkan oleh Penerbit Kartu Kredit di Indonesia wajib telah mengimplementasikan teknologi PIN online 6 (enam) digit paling lambat tanggal 30 Juni 2020. 5) Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan laporan rencana dan laporan perkembangan implementasi teknologi PIN online 6 (enam) digit pada Kartu Kredit. 6) Laporan rencana implementasi teknologi PIN online 6 (enam) digit sebagaimana dimaksud dalam angka 5) disampaikan paling lambat pada minggu keempat bulan Januari 2015 dan antara lain mencakup: a) rencana kerja Penerbit sampai dengan tanggal 30 Juni 2015 yang antara lain meliputi informasi: (1) langkah-langkah persiapan penerbitan Kartu Kredit dengan menggunakan teknologi PIN online 6 (enam) digit; dan (2) perkembangan proses penggantian atau peningkatan seluruh EDC dan back end system hingga mampu memproses transaksi Kartu Kredit dengan menggunakan teknologi PIN online 6 (enam) digit, dalam hal Penerbit juga bertindak sebagai Acquirer; b) rencana kerja penyelesaian proses penggantian seluruh Kartu Kredit lama (renewal) dengan Kartu Kredit yang telah mengimplementasikan teknologi PIN online 6 (enam) digit. 7) Laporan perkembangan implementasi teknologi PIN online 6 (enam) digit sebagaimana dimaksud dalam angka 5) disampaikan … 3 disampaikan secara triwulanan, yaitu untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember, yang disampaikan paling lambat pada minggu pertama bulan berikutnya dan antara lain mencakup informasi mengenai perkembangan proses penggantian seluruh Kartu Kredit lama (renewal) dengan Kartu Kredit yang telah mengimplementasikan teknologi PIN online 6 (enam) digit. 8) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Penerbit Kartu Kredit untuk menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 5) di luar jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 6) dan angka 7). 2. Ketentuan butir VII.C.5.a diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: a. Acquirer Kartu Kredit wajib telah mengganti atau meningkatkan standar keamanan pada seluruh EDC dan back end system yang disediakan sehingga dapat memproses transaksi Kartu Kredit yang menggunakan teknologi chip dan PIN online 6 (enam) digit paling lambat tanggal 30 Juni 2015. 3. Di antara butir VII.C.5 dan butir VII.C.6 disisipkan 2 (dua) butir, yakni butir VII.C.5A dan VII.C.5B sehingga berbunyi sebagai berikut: 5A. Pemrosesan transaksi Kartu Kredit yang diterbitkan oleh Penerbit dan ditransaksikan di wilayah Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Proses verifikasi dan autentikasi transaksi Kartu Kredit dapat dilakukan dengan menggunakan PIN online 6 (enam) digit atau tanda tangan sampai dengan tanggal 30 Juni 2020. b. Proses verifikasi dan autentikasi transaksi Kartu Kredit wajib dilakukan dengan menggunakan PIN online 6 (enam) digit terhitung mulai tanggal 1 Juli 2020. 5B. Dalam hal Penerbit Kartu Kredit telah siap mengimplementasikan teknologi PIN online 6 (enam) digit sebelum tanggal 30 Juni 2020 maka Penerbit Kartu Kredit dapat mengimplementasikan PIN online 6 (enam) digit dalam proses verifikasi dan autentikasi transaksi Kartu Kredit, dengan terlebih dahulu menyampaikan laporan … 4 laporan kepada Bank Indonesia mengenai rencana implementasi PIN online 6 (enam) digit tersebut. 4. Ketentuan butir IX.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: C. TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF 1. Penyelenggara APMK yang melanggar Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 dan Surat Edaran Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran; b. denda atau kewajiban membayar; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK; dan/atau d. pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan APMK. 2. Dalam mengenakan dan/atau menerapkan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a, butir 1.c, dan/atau butir 1.d, Bank Indonesia mempertimbangkan antara lain hal-hal sebagai berikut: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; dan b. akibat yang ditimbulkan terhadap aspek kelancaran dan keamanan sistem pembayaran khususnya terhadap kegiatan APMK, aspek reputasi, aspek perlindungan konsumen, aspek anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. 3. Pengenaan sanksi administratif berupa teguran sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a dilakukan dengan menyampaikan teguran tertulis kepada penyelenggara APMK yang dapat disertai dengan kewajiban untuk menyampaikan komitmen tertulis untuk tidak melakukan kesalahan dan/atau pelanggaran kembali dan/atau rencana tindak lanjut (action plan) dalam rangka memastikan pemenuhan ketentuan sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 4. Pengenaan sanksi administratif berupa denda atau kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. besarnya … 5 a. besarnya denda atau kewajiban membayar berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat Bank Umum dan ketentuan mengenai laporan penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank; b. dalam hal penyelenggara APMK berupa Bank maka pengenaan sanksi berupa denda atau kewajiban membayar dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro penyelenggara APMK di Bank Indonesia; c. dalam hal penyelenggara APMK berupa Lembaga Selain Bank maka pengenaan sanksi berupa denda atau kewajiban membayar dilakukan melalui transfer dana ke rekening Bank Indonesia dengan nomor rekening tujuan dan besarnya denda atau kewajiban membayar diinformasikan dalam surat pengenaan sanksi. 5. Pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK sebagaimana dimaksud dalam butir 1.c dan/atau pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan APMK sebagaimana dimaksud dalam butir 1.d dilakukan dengan menyampaikan surat pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK dan/atau surat pengenaan sanksi pencabutan izin usaha penyelenggara APMK. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, ENI V. PANGGABEAN KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN DAN PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 16/25/DKSP|SE-BI/2014 </reg_id> <reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu </reg_title> <set_date> 31 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 31 Desember 2014 </effective_date> <changed_reg> '11/10/DASP|SE-BI/2009' </changed_reg> <extension_of> '14/17/DASP|SE-BI/2012' </extension_of> <related_reg> '14/17/DASP|SE-BI/2012', '11/10/DASP|SE-BI/2009', '14/2/PBI/2012', '11/11/PBI/2009' </related_reg> <penalty_list> 'Angka 4 Huruf C' </penalty_list>
No. 14/ 1 /DPM 31 Maret Jakarta, 4 Januari 2012 2008 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING Perihal : Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4715) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/xx1x/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor x2 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5270 ), perlu untuk mengatur kembali ketentuan pelaksanaan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut : I. UMUM Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan : 1. Bank Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank … 2 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank Asing adalah bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kantor bank dari bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 5. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 6. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. 7. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS. 8. Prinsip Syariah adalah Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 9. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. II. TATA … 3 II. TATA CARA PERMOHONAN PERSETUJUAN PENERBITAN INSTRUMEN PUAS 1. BUS atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS selain yang telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia wajib mengajukan surat permohonan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS kepada Bank Indonesia u.p. Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM) dengan format sebagaimana tercantum pada lampiran Surat Edaran ini. 2. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus disertai dokumen sebagai berikut : a. fotokopi fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan; b. opini syariah Dewan Pengawas Syariah dari BUS atau UUS terhadap Instrumen PUAS yang akan diterbitkan; c. penjelasan tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan, yang paling kurang menjelaskan karakteristik, skema transaksi, proses akuntansi, pihak yang berwenang, infrastruktur yang diperlukan dan analisis risiko Instrumen PUAS tersebut; d. draft atau pokok-pokok ketentuan dalam akad atau kontrak keuangan; dan e. informasi dan/atau dokumen lainnya yang dinilai relevan dan berguna untuk menilai manfaat serta risiko Instrumen PUAS tersebut. 3. Untuk BUS, surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditandatangani oleh direksi. 4. Untuk UUS, surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditandatangani oleh direksi kantor pusat Bank Konvensional atau oleh kepala UUS. 5. BUS … 4 5. BUS atau UUS harus melakukan presentasi kepada Bank Indonesia dalam rangka mendapatkan persetujuan atas Intrumen PUAS yang akan diterbitkan. 6. Bank Indonesia akan menerbitkan surat persetujuan atau penolakan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1. 7. Bank Indonesia akan menerbitkan Surat Edaran yang mengatur tentang Instrumen PUAS yang telah disetujui sebagaimana dimaksud pada angka 6. 8. BUS atau UUS yang mengajukan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada angka 1 hanya dapat melakukan penerbitan Instrumen PUAS dimaksud setelah diberlakukannya Surat Edaran sebagaimana dimaksud pada angka 7. 9. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 7, BUS atau UUS lainnya dapat menerbitkan dan menggunakan Instrumen PUAS dimaksud tanpa perlu mengajukan permohonan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS baru sepanjang Instrumen PUAS yang diterbitkan tidak berbeda dengan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia pada angka 7. III. MEKANISME TRANSAKSI INSTRUMEN PUAS 1. BUS, UUS, Bank Konvensional atau Bank Asing dapat membeli Instrumen PUAS yang diterbitkan oleh BUS atau UUS. 2. BUS, UUS, Bank Konvensional atau Bank Asing dapat melakukan pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu untuk Instrumen PUAS yang menurut ketentuan Bank … 5 Bank Indonesia dapat dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu. 3. Dalam melakukan transaksi di PUAS, baik pada saat penerbitan maupun pada saat pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum jatuh waktu, BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing dapat menggunakan Perusahaan Pialang. 4. BUS atau UUS yang menerbitkan Instrumen PUAS harus memberikan informasi terkait dengan Instrumen PUAS dimaksud kepada BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank Asing yang akan membeli Instrumen PUAS tersebut. 5. Jenis Instrumen PUAS yang dapat dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh waktu dan tata cara pengalihannya serta informasi terkait dengan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada angka 4 diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai Instrumen PUAS tersebut. 6. BUS atau UUS yang melakukan penempatan dana pada instrumen lain yang diterbitkan oleh Bank Asing wajib memenuhi prinsip syariah. IV. TATA CARA PELAPORAN BUS, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi PUAS wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia melalui Sistem LHBU sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai LHBU. V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. BUS atau UUS yang menerbitkan atau melakukan transaksi atas Instrumen PUAS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), dan/atau Pasal 4 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor … 6 Nomor19/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 1 /PBI/2012 dikenakan sanksi berupa : a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah). 2. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada butir 1.b. dilakukan dengan cara Bank Indonesia mendebet rekening giro rupiah BUS atau UUS yang ada di Bank Indonesia. 3. BUS atau UUS yang melanggar ketentuan Pasal 2B Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/1/PBI/2012 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. VI. PENUTUP Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/7/DPM tanggal 30 Maret 2007 perihal Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2012. 2011. 17 November 2008 Agar … 7 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar maklum. BANK INDONESIA, HENDAR DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER DPM Agar diberikan kata sambung ...
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 14/1/DPM|SE-BI/2012 </reg_id> <reg_title> Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title> <set_date> 4 Januari 2012 </set_date> <effective_date> 4 Januari 2012 </effective_date> <replaced_reg> '9/7/DPM|SE-BI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '9/5/PBI/2007', '14/1/PBI/2012' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
No. 9/4/DPM Jakarta, 16 Maret 2007 SURAT EDARAN Perihal: Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/3/PBI/2007 tanggal 16 Maret 2007 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4710) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/1/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4363) dipandang perlu untuk mengatur petunjuk pelaksanaan mengenai Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut : I. Ketentuan Umum 1. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara. 2. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 3. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 4. Obligasi … 2 4. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disebut ORI adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual. 5. Agen Penjual adalah Bank dan/atau Perusahaan Efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan ORI. 6. Dealer Utama adalah Lembaga Keuangan (Bank dan Perusahaan Efek) yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menjalankan kewajiban tertentu baik di Pasar Perdana maupun Pasar Sekunder SUN dalam mata uang rupiah dengan imbalan/hak (rights) tertentu. 7. Peserta Lelang adalah Dealer Utama yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk mengikuti lelang SUN dan sedang tidak dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti Lelang SUN. 8. Lelang SUN adalah penjualan SUN yang diikuti oleh Peserta Lelang dan Bank Indonesia atau hanya diikuti oleh Peserta Lelang, dengan cara mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 9. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil (Yield) yang diinginkan penawar. 10. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil (Yield) yang diinginkan penawar. 11. Batas Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) adalah pemberian wewenang dari Bank atau Sub-Registry melalui BI-SSSS kepada Peserta Lelang untuk dapat melakukan penawaran pembelian per hari dalam Lelang SUN untuk dan atas nama Bank atau nasabah Sub- Registry, maksimum sebesar jumlah limit bidding yang diberikan. 12. Harga … 3 12. Harga Beragam (Multiple Price) adalah harga yang dibayarkan oleh masing-masing pemenang lelang sesuai dengan harga penawaran yang diajukannya. 13. Harga Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Price) adalah harga yang dihitung dari hasil bagi antara jumlah dari perkalian masing-masing volume SUN dengan harga yang dimenangkan dan total volume SUN yang terjual. 14. Penatausahaan SUN adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok SUN. 15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk SUN untuk kepentingan Bank, Sub-Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. 16. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk SUN untuk kepentingan nasabah. 17. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut LHBU adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank pelapor secara harian kepada Bank Indonesia. 18. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 19. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem BI-RTGS. 20. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi SUN dengan cara setelmen surat berharga melalui BI-SSSS … 4 BI-SSSS dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS. 21. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi SUN dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui BI-SSSS, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana. 22. Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara yang selanjutnya disebut Lelang Buyback adalah pembelian kembali Obligasi Negara di pasar sekunder oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo dengan cara tunai dan/atau dengan cara penukaran (debt switching), dalam suatu masa penawaran yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya. 23. Fasilitas Peminjaman SUN adalah fasilitas yang diberikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Dealer Utama untuk melakukan peminjaman SUN sesuai tata cara yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku. II. Tata Cara Lelang SUN di Pasar Perdana A. Ketentuan dan Persyaratan 1. Pihak yang dapat membeli SUN dalam Lelang SUN di Pasar Perdana yaitu orang perseorangan, atau kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, atau Bank Indonesia. 2. Pembeli selain Bank Indonesia mengajukan penawaran pembelian SUN melalui Peserta Lelang kepada Bank Indonesia sebagai agen lelang. 3. Peserta Lelang dapat mengajukan penawaran Lelang SUN untuk dan atas nama diri sendiri dan/atau pihak lain. 4. Penawaran pembelian lelang dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) atau dengan cara kombinasi … 5 kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding). 5. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN baik secara langsung maupun melalui Peserta Lelang lain untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding). 6. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN untuk dan atas nama pihak lain, pengajuan penawaran dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut : a. pengajuan penawaran pada lelang SPN dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding); b. pengajuan penawaran pada lelang Obligasi Negara dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan atau Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Non- competitive Bidding). 7. Bank Indonesia hanya dapat membeli SUN di Pasar Perdana berupa SPN. 8. Bank Indonesia dapat membeli SPN di Pasar Perdana melalui lelang SPN, dengan persyaratan sebagai berikut : a. penawaran pembelian dilakukan secara langsung tanpa melalui Peserta Lelang; b. penawaran pembelian hanya untuk Penawaran Pembelian Non- kompetitif (Non-competitive Bidding). 9. Lelang SUN dilaksanakan pada hari Selasa, atau pada hari kerja lain apabila hari Selasa jatuh pada hari libur. Setiap perubahan jadwal Lelang SUN diumumkan oleh Bank Indonesia melalui LHBU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 10. Sarana … 6 10. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SUN adalah BI-SSSS. 11. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM) mengumumkan rencana lelang paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan Lelang SUN melalui BI-SSSS, LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 12. Dalam hal Bank mengajukan penawaran Lelang SUN melalui Peserta Lelang maka Bank yang bersangkutan wajib menetapkan Batas Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari bagi Peserta Lelang SUN yang ditunjuk. 13. Peserta Lelang selain Bank yang mengajukan penawaran Lelang SUN harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan setelmen hasil Lelang SUN. 14. Sub-Registry yang ditunjuk pihak lain selain Bank untuk melakukan setelmen hasil Lelang SUN sebagaimana dimaksud pada angka 13, harus menetapkan Batas Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari bagi Peserta Lelang untuk kepentingan nasabah Sub-Registry. 15. Penetapan Batas Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) sebagaimana dimaksud pada angka 12 dan 14, harus diatur dalam suatu perjanjian antara Bank atau Sub-Registry dengan Peserta Lelang. B. Pelaksanaan Lelang 1. Sebelum pelaksanaan lelang, Bank Indonesia cq. DPM mengumumkan rencana pelaksanaan Lelang SUN melalui BI-SSSS, LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 2. Pengumuman rencana Lelang SUN paling kurang memuat : a. jenis SUN; b. waktu … 7 b. waktu pelaksanaan lelang; c. d. jangka waktu SUN; e. target indikatif yang ditawarkan; tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo; f. mata uang; g. waktu pembukaan dan penutupan penawaran pembelian; h. waktu pengumuman hasil lelang; i. tanggal setelmen; j. alokasi untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non- competitive Bidding) dalam hal dilakukan kombinasi lelang kompetitif dan non-kompetitif. 3. Pada hari pelaksanaan Lelang SUN, Peserta Lelang mengajukan penawaran kuantitas dan tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield) untuk Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) atau penawaran kuantitas untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding). 4. Penawaran Lelang SUN sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilakukan dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. 5. Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SUN untuk Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding), mencakup penawaran kuantitas dan tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield) dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengajuan penawaran kuantitas dari masing-masing Peserta Lelang paling rendah 1.000 (seribu) unit atau Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah), dan selebihnya dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah); b. penawaran … 8 b. penawaran diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield) diajukan dengan kelipatan 1/32 (satu per tiga puluh dua) atau 0,03125 (tiga ribu seratus dua puluh lima per seratus ribu). 6. Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SUN untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding), mencakup penawaran kuantitas dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 5.a. 7. Peserta Lelang harus menyampaikan data penawaran pembelian atas nama diri sendiri maupun atas nama pihak lain termasuk data mengenai besarnya tarif (rate) pajak penghasilan atas diskonto SPN, dan bertanggung jawab atas kebenaran data dimaksud. 8. Peserta Lelang yang telah mengajukan penawaran tidak dapat membatalkan penawarannya. C. Penentuan Pemenang Lelang 1. Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan hasil Lelang SUN di Pasar Perdana yang mencakup pemenang lelang, nilai nominal, tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield). 2. Penetapan harga SUN bagi pemenang lelang dengan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dilakukan dengan metode Harga Beragam (Multiple Price). 3. Penetapan harga SUN bagi pemenang lelang dengan Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) dilakukan berdasarkan Harga Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Price). 4. Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat menyesuaikan kuantitas hasil Lelang SUN yang dimenangkan, dan/atau menolak seluruh atau sebagian penawaran lelang yang masuk. D. Pengumuman … 9 D. Pengumuman Hasil Lelang 1. Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SUN melalui BI-SSSS, LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang SUN. 2. Pengumuman hasil Lelang SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1 paling kurang memuat kuantitas lelang secara keseluruhan dan rata- rata tertimbang tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield). 3. Bank Indonesia menyampaikan hasil Lelang SUN kepada masing- masing Peserta Lelang melalui BI-SSSS paling kurang memuat nama pemenang, nilai nominal dan tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield). 4. Dalam hal Menteri Keuangan Republik Indonesia menolak seluruh atau sebagian penawaran pembelian Lelang SUN, Bank Indonesia mengumumkan penolakan dimaksud melalui BI-SSSS, LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. III. Tata Cara Penatausahaan SUN A. Setelmen Hasil Lelang SUN di Pasar Perdana 1. Setelmen hasil Lelang SUN di Pasar Perdana dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Setelmen hasil lelang SPN dilakukan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan lelang SPN (T+1); b. Setelmen hasil lelang Obligasi Negara paling lambat dilakukan pada 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah hasil pengumuman pemenang lelang Obligasi Negara (T+5). 2. Pemenang Lelang SUN selain Bank harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan setelmen dan pencatatan kepemilikan SUN yang dimenangkan. 3. Dalam … 10 3. Dalam pelaksanaan setelmen hasil Lelang SUN atas nama nasabah, Sub-Registry harus menunjuk Bank Pembayar yang memiliki rekening giro Rupiah di Sistem BI-RTGS untuk pelaksanaan setelmen dana. 4. Berdasarkan hasil pemenang Lelang SUN yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bank Indonesia cq. DPM melakukan pencatatan penerbitan dan setelmen hasil pemenang Lelang SUN. 5. Pencatatan penerbitan SUN sebagaimana dimaksud pada angka 4, dilakukan sesuai ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. 6. Setelmen hasil pemenang Lelang SUN sebagaimana dimaksud pada angka 4 dilakukan sebagai berikut : a. Setelmen Dana Setelmen dana dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebet rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik Bank dan/atau Bank Pembayar yang ditunjuk Sub-Registry, serta mengkredit rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai setelmen. b. Setelmen SUN Setelmen SUN dilakukan dengan mengkredit rekening Surat Berharga Peserta BI-SSSS di Central Registry sebesar total nilai nominal SUN yang dimenangkan. 7. Bank dan Bank Pembayar yang ditunjuk Sub-Registry harus menjamin kecukupan dana pada rekening giro Rupiah Bank atau Bank Pembayar di Bank Indonesia untuk pelaksanaan setelmen hasil lelang SUN. 8. Dalam hal kecukupan dana sebagaimana dimaksud pada angka 7 sampai dengan batas waktu setelmen dana di Sistem BI-RTGS (cut off warning) tidak dipenuhi maka setelmen transaksi hasil Lelang SUN yang dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan batal. 9. Terhadap … 11 9. Terhadap Peserta Lelang yang tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 7 sehingga dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada angka 8 dikenakan sanksi sesuai Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku, yaitu tidak boleh mengikuti Lelang SUN di Pasar Perdana sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. 10. Setelah pelaksanaan setelmen SUN sebagaimana dimaksud pada butir 6b, pada hari yang sama Sub-Registry wajib mencatat kepemilikan SUN atas nama nasabah pemenang SUN secara individual pada sistem Sub-Registry. 11. Bank Indonesia sebagai Central Registry melakukan pemotongan pajak penghasilan atas diskonto SPN sesuai ketentuan yang berlaku. 12. Pemenang lelang SPN harus membayar nilai setelmen dan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 11 kepada Pemerintah. 13. Atas pemotongan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 11, Bank Indonesia cq. DPM menerbitkan bukti pemotongan pajak penghasilan bagi pemenang lelang SPN. B. Setelmen Hasil Lelang Buyback 1. Setelmen hasil Lelang Buyback dilakukan pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+3). 2. Peserta Lelang Buyback selain Bank harus menunjuk Sub-Registry untuk pelaksanaan setelmen hasil Lelang Buyback. 3. Dalam pelaksanaan setelmen hasil Lelang Buyback, Sub-Registry harus menunjuk Bank Pembayar pemilik rekening giro Rupiah di Sistem BI-RTGS untuk pelaksanaan setelmen dana. 4. Peserta Lelang Buyback harus memiliki kecukupan seri dan nilai Obligasi Negara pada rekening surat berharga di BI-SSSS atau pada rekening … 12 rekening surat berharga Sub-Registry yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada angka 2. 5. Berdasarkan hasil keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia atas pemenang Lelang Buyback, Bank Indonesia cq. DPM melakukan setelmen pada tanggal setelmen dengan prosedur sebagai berikut : a. Lelang Buyback dengan cara tunai 1) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pendebetan rekening surat berharga Peserta Lelang dan/atau Sub-Registry yang ditunjuk Peserta Lelang sampai dengan batas waktu setelmen surat berharga di BI-SSSS, sebesar jumlah seri dan nilai Obligasi Negara yang dimenangkan. 2) Bank Indonesia cq. DPM mengkredit rekening surat berharga Pemerintah atau melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) atas Seri Obligasi Negara yang dibeli kembali oleh Pemerintah. 3) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pembayaran dana melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah dan mengkredit rekening giro Rupiah Bank dan/atau Bank Pembayar sebesar nilai setelmen. b. Lelang Buyback dengan cara penukaran (debt switching) 1) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pendebetan rekening surat berharga Peserta Lelang dan/atau Sub-Registry yang ditunjuk Peserta Lelang sampai batas waktu setelmen surat berharga di BI-SSSS, sebesar jumlah seri dan nilai Obligasi Negara yang dimenangkan. 2) Bank Indonesia cq. DPM mengkredit rekening surat berharga Pemerintah atau melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) atas Seri Obligasi Negara yang dibeli kembali oleh Pemerintah. 3) Bank … 13 3) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pencatatan penerbitan SUN seri penukar dan mengkredit ke rekening surat berharga Peserta Lelang atau Sub-Registry yang ditunjuk Peserta Lelang. 4) Lelang Buyback dapat menyebabkan terjadi selisih tunai atas beban Pemerintah atau atas beban Peserta Lelang. 5) Dalam hal terjadi selisih tunai atas beban Pemerintah, Bank Indonesia cq. DPM melakukan setelmen dana dengan mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia dan mengkredit rekening giro Rupiah Bank atau Bank Pembayar Sub-Registry sebesar selisih tunai. 6) Dalam hal terjadi selisih tunai atas beban Peserta Lelang, Bank Indonesia cq. DPM melakukan setelmen dana dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank atau Bank Pembayar Sub-Registry dan mengkredit rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar selisih tunai. 6. Dalam hal Peserta Lelang Buyback tidak dapat menyelesaikan setelmen surat berharga sebagaimana dimaksud pada butir 5.a.1) dan butir 5.b.1) maka yang bersangkutan harus menyelesaikan setelmen dimaksud pada jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak tanggal setelmen awal. 7. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 6 tidak dapat dipenuhi maka transaksi yang bersangkutan dinyatakan batal. 8. Terhadap Peserta Lelang Buyback yang tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 7 dikenakan sanksi sesuai Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku, sebagai berikut : a. diumumkan kepada publik; b. tidak … 14 b. tidak diperkenankan mengikuti Lelang SUN di Pasar Perdana dan Lelang Buyback secara kumulatif sebanyak 3 kali berturut-turut; dan c. dilaporkan kepada otoritas di bidang perbankan dan pasar modal. C. Setelmen Fasilitas Peminjaman SUN 1. Setelmen pemberian Fasilitas Peminjaman SUN kepada Dealer Utama dilakukan pada 2 (dua) hari kerja setelah permohonan disetujui oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang (T+2). 2. Setelmen pengembalian SUN yang dipinjamkan dan yang dijaminkan dalam rangka pemberian Fasilitas Peminjaman SUN kepada Dealer Utama oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang dilakukan pada saat berakhirnya batas waktu peminjaman. 3. Dealer Utama selain Bank harus menunjuk Sub-Registry untuk pelaksanaan setelmen Fasilitas Peminjaman SUN. 4. Dealer Utama harus memiliki kecukupan seri dan nilai Obligasi Negara pada rekening surat berharga di BI-SSSS atau rekening surat berharga Sub-Registry yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada angka 3. 5. Berdasarkan pemberitahuan persetujuan Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang sebagaimana dimaksud pada angka 1, setelmen dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : a. Setelmen Pemberian Fasilitas Peminjaman SUN Pada tanggal Setelmen dilakukan setelmen pemberian Fasilitas Peminjaman SUN dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Dealer … 15 1) Dealer Utama membayar biaya peminjaman SUN melalui Sistem BI-RTGS ke rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia dengan nomor rekening 502.000001 ”Bendahara Umum Negara untuk pengelolaan Obligasi Dalam Rangka Rekapitalisasi Perbankan”. 2) Dealer Utama menyampaikan bukti pembayaran biaya peminjaman SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) kepada DPM cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter (PTPM). 3) Dealer Utama dan Bank Indonesia atas nama Pemerintah melakukan setelmen pemindahan seri SUN yang dijaminkan melalui BI-SSSS dengan mekanisme transfer secara FoP dari rekening surat berharga Dealer Utama kepada rekening surat berharga Pemerintah, sebesar nilai nominal seri SUN yang dijaminkan. 4) Setelah setelmen jaminan sebagaimana dimaksud pada angka 3) berhasil, Bank Indonesia cq. DPM melakukan pencatatan penerbitan seri SUN yang dipinjam dan mengkredit rekening surat berharga Dealer Utama atau Sub-Registry yang ditunjuk Dealer Utama, sebesar nilai nominal SUN yang dipinjam. b. Setelmen Pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN Pada tanggal setelmen dilakukan setelmen pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) seri SUN yang dipinjam oleh Dealer Utama dengan mendebet rekening surat berharga Dealer Utama atau rekening surat berharga Sub-Registry yang ditunjuk Dealer Utama, sebesar nilai nominal SUN yang dipinjam. 2) Setelah … 16 2) Setelah pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption) sebagaimana dimaksud pada angka 1) berhasil, Dealer Utama dan Bank Indonesia atas nama Pemerintah melakukan setelmen pemindahan seri SUN yang dijaminkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang dengan mekanisme transfer secara FoP dari rekening surat berharga Pemerintah kepada rekening surat berharga Dealer Utama, sebesar nilai nominal SUN yang dijaminkan. 3) Dalam hal setelmen sebagaimana dimaksud pada angka 2) tidak dapat dilakukan sampai dengan batas waktu setelmen surat berharga di BI-SSSS maka setelmen pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN dinyatakan batal. c. Perpanjangan Fasilitas Peminjaman SUN 1) Dealer Utama dapat mengajukan permohonan perpanjangan Fasilitas Peminjaman SUN kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. 2) Dalam hal Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang menyetujui perpanjangan Fasilitas Peminjaman SUN maka pada tanggal setelmen : a) prosedur sebagaimana dimaksud pada butir b.1 dan butir b.2. tidak dilaksanakan, dan b) Dealer Utama membayar biaya perpanjangan Fasilitas Peminjaman SUN sesuai prosedur sebagaimana dimaksud pada butir a.1) dan menyampaikan bukti pembayaran sesuai prosedur sebagaimana dimaksud pada butir a.2). c) Pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN dilakukan sesuai prosedur setelmen sebagaimana dimaksud pada huruf b. d. Proses … 17 d. Proses Penyelesaian Jaminan Dalam hal Dealer Utama gagal mengembalikan seri SUN yang dipinjam : 1) Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang dapat menjual SUN yang dijaminkan. 2) Bank Indonesia berdasarkan permintaan tertulis Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang melakukan setelmen penyelesaian SUN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. D. Setelmen Obligasi Negara Ritel (ORI) 1. Setelmen ORI dilakukan pada 2 (dua) hari kerja setelah penetapan hasil penjatahan ORI di pasar perdana (T+2). 2. Berdasarkan penetapan hasil penjatahan ORI oleh Menteri Keuangan, pada tanggal setelmen dilakukan setelmen dengan prosedur sebagai berikut : a. Agen Penjual melakukan pembayaran dana melalui Sistem BI- RTGS ke rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia dengan nomor rekening 500.000003 “Menteri Keuangan cq. Dirjen Anggaran untuk Pengelolaan SUN” sesuai dengan nilai volume hasil penjatahan yang diperoleh, dengan batas waktu sampai dengan pukul 10.00 WIB. b. Agen Penjual selain Bank, harus menunjuk Bank Pembayar untuk melaksanakan pembayaran dana sebagaimana dimaksud pada huruf a. c. Agen Penjual menyampaikan bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada butir a kepada DPM cq PTPM. d. Setelah bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b diterima, Bank Indonesia cq. melakukan pencatatan penerbitan seri … 18 seri ORI dan mengkredit rekening surat berharga Sub-Registry yang ditunjuk oleh investor individual pembeli ORI. e. Setelah setelmen ORI sebagaimana dimaksud pada huruf d berhasil, Sub-Registry wajib mencatat kepemilikan SUN atas nama nasabah pemenang SUN secara individual pada sistem Sub- Registry. E. Prosedur Pembayaran Kupon Obligasi Negara dan atau Pelunasan Pokok SUN 1. Pembayaran kupon dan atau pelunasan pokok SUN didasarkan pada posisi pencatatan kepemilikan SUN di Central Registry pada 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran kupon dan atau pokok SUN (T-2). 2. Bank Indonesia sebagai agen pembayar melakukan pembayaran kupon dan atau pelunasan pokok SUN pada tanggal jatuh waktu, dengan mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia dan mengkredit sebesar nilai kupon dan atau nilai pokok SUN pada : a. Rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia untuk kepemilikan SUN atas nama Bank tersebut; dan b. Rekening giro Rupiah Bank Pembayar yang ditunjuk oleh Sub- Registry di Bank Indonesia untuk kepemilikan SUN atas nama nasabah Sub-Registry. 3. Pada hari yang sama Bank Indonesia melakukan pembayaran kupon dan/atau pelunasan pokok SUN, Sub-Registry wajib melakukan pembayaran kupon dan/atau pokok SUN dengan mengkredit rekening nasabah yang tercatat di Sub-Registry, sebesar nilai kupon dan/atau pokok SUN. F. Setelmen … 19 F. Setelmen Transaksi SUN di Pasar Sekunder 1. Transaksi SUN yang dilakukan di Pasar Sekunder antara lain transaksi jual putus (outright), transaksi penjualan dengan janji untuk membeli kembali (repurchase agreement atau repo), transaksi penjaminan SUN (agunan), atau transaksi peminjaman SUN dengan jaminan surat berharga lainnya (securities lending borrowing). 2. Prosedur setelmen transaksi SUN di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS yang berlaku. IV. Penutup Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia nomor 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 7/31/DPM tanggal 25 Juli 2005 perihal Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan Peserta Lelang Surat Utang Negara dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 16 Maret 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 9/4/DPM|SE-BI/2007 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara </reg_title> <set_date> 16 Maret 2007 </set_date> <effective_date> 16 Maret 2007 </effective_date> <replaced_reg> '7/30/DPM|SE-BI/2005', '7/31/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '6/1/DPM|PBI/2004', '9/3/PBI/2007' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi III Huruf A Angka 9', 'Romawi III Huruf B Angka 8' </penalty_list>
No. 5/9/DPM Jakarta, 10 Juni 2003 SURAT EDARAN Perihal : Tata Cara Penerbitan, Perdagangan dan Penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4243) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4244) dan sebagai upaya untuk meningkatkan kelancaran transaksi dan penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia, dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang tata cara penerbitan, perdagangan dan penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia. I. KETENTUAN UMUM Yang dimaksud dalam Surat Edaran ini dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. 3. Sertifikat …….. 2 3. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 4. Lelang SBI adalah penjualan SBI yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter. 5. Pialang adalah pialang pasar uang dan perantara pedagang efek yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. 6. Stop-out Rate yang selanjutnya disebut SOR adalah tingkat diskonto tertinggi yang dihasilkan dari lelang dalam rangka mencapai target kuantitas SBI yang akan dijual Bank Indonesia. 7. Automatic Bidding System yang selanjutnya disebut ABS adalah sistem penawaran dana dan surat berharga dari Bank atau Pialang dalam rangka OPT secara on-line dan real time. 8. Transaksi SBI yang dilakukan secara Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut SBI Repo adalah SBI yang dijual secara bersyarat berupa kewajiban membeli kembali oleh pihak penjual sesuai dengan harga dan jangka waktu yang ditetapkan. 9. Transaksi SBI yang dilakukan secara Outright yang selanjutnya disebut SBI Outright adalah transaksi pembelian atau penjualan SBI secara lepas atau putus tanpa kewajiban untuk menjual atau membeli kembali. 10. Rekening Penatausahaan SBI adalah rekening surat berharga yang digunakan untuk mencatat kepemilikan SBI di Central Registry, terdiri dari Rekening Perdagangan SBI dan Rekening Agunan SBI. 11. Rekening Perdagangan SBI adalah rekening surat berharga yang digunakan untuk menampung pencatatan kepemilikan SBI yang dapat diperdagangkan. 12. Rekening Agunan SBI adalah rekening surat berharga yang digunakan untuk menampung pencatatan kepemilikan SBI yang diagunkan. 13. Rekening …….. 3 13 Rekening Giro adalah rekening dana Rupiah milik Bank di Bank Indonesia. 14. Bank Indonesia-Sistem Penatausahaan SBI yang selanjutnya disebut BI- SPS adalah sistem yang dikelola oleh Bank Indonesia untuk penyelesaian transaksi yang mencakup Penyelesaian Pembayaran dan Penyelesaian Surat Berharga, serta pencatatan kepemilikan SBI. 15. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah mekanisme penyelesaian transaksi melalui Penyelesaian Surat Berharga yang dilakukan bersamaan dengan Penyelesaian Pembayaran di dalam BI-SPS. 16. Free of Payment yang selanjutnya disebut FoP adalah mekanisme penyelesaian transaksi dimana Penyelesaian Surat Berharga yang dilakukan di dalam BI-SPS, sedangkan Penyelesaian Pembayaran dilakukan di luar BI-SPS. 17. Penyelesaian Surat Berharga (securities settlement) adalah perpindahan kepemilikan surat berharga dari pihak penjual ke pihak pembeli dalam Rekening Perdagangan SBI pemindahan dari pihak penjual. 18. Penyelesaian Pembayaran (fund settlement) adalah perpindahan dana dari pihak pembeli ke pihak penjual surat berharga dalam Rekening Giro masing-masing pihak sesuai perintah pembayaran dari pihak pembeli. 19. Book Entry Registry yang selanjutnya disebut BER adalah suatu sistem pencatatan kepemilikan Surat Berharga tanpa warkat (scripless) yang dilakukan dalam suatu jurnal secara elektronis. 20. Central Registry adalah fungsi yang dilakukan oleh Bank Indonesia cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang (PTPU) - Direktorat Pengelolaan Moneter (PTPU-DPM), Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10010, untuk melakukan pencatatan kepemilikan surat berharga dengan menggunakan BER untuk kepentingan Bank dan Sub Registry. masing-masing pihak sesuai perintah 21. Sub Registry …….. 4 21. Sub Registry adalah fungsi yang dilakukan oleh Bank atau pihak bukan Bank yang ditunjuk Bank Indonesia untuk melakukan pencatatan kepemilikan surat berharga dengan menggunakan BER untuk kepentingan nasabah non-bank pembeli / pemilik SBI. 22. Konfirmasi Pencatatan Surat Berharga yang selanjutnya disebut KPS adalah bukti pencatatan kepemilikan SBI yang diterbitkan oleh Central Registry. 23. Surat Keterangan Surat Berharga Yang Diagunkan yang selanjutnya disebut SKSD adalah bukti Registry. 24. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana secara elektronik antar Bank dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan per transaksi secara individual sesuai dengan ketentuan yang berlaku. II. PENERBITAN SBI A. Karakteristik 1. SBI memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 2. Jangka waktu SBI sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh tempo. Contoh perhitungan jangka waktu SBI tercantum dalam Lampiran 1. 3. Nilai Tunai transaksi dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount) sebagai berikut: pengagunan SBI yang diterbitkan oleh Central Nilai …….. 5 Nilai Nominal x 360 Nilai Tunai = ------------------------------------------------------------- 360 + {(Tingkat Diskonto) x (Jangka Waktu)} 4. Nilai Diskonto transaksi dihitung sebagai berikut: Nilai Diskonto = Nilai Nominal – Nilai Tunai Contoh perhitungan Nilai Diskonto SBI tercantum dalam Lampiran 2. 5. SBI diterbitkan tanpa warkat SBI (scripless). 6. SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder. B. Prinsip dan Persyaratan 1. SBI diterbitkan melalui mekanisme lelang. 2. Lelang SBI dilakukan berdasarkan target kuantitas dengan memperhatikan tingkat suku bunga/diskonto yang terjadi. 3. Lelang SBI dilaksanakan setiap hari Rabu, atau pada hari kerja berikutnya atau hari kerja lain apabila hari Rabu adalah hari libur. Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat mengadakan Lelang SBI tambahan pada hari kerja lain. 4. Jatuh waktu SBI ditetapkan jatuh pada hari Kamis atau hari kerja berikutnya apabila hari Kamis adalah hari libur. Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menetapkan jatuh waktu pada hari kerja lain. 5. Bank Indonesia mengumumkan rencana target kuantitas lelang berupa target indikatif selambat-lambatnya pada 1 (satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan Lelang SBI melalui sarana ABS dan atau Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 6. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SBI adalah sarana ABS. 7. Pihak yang dapat mengikuti Lelang SBI yang selanjutnya disebut Peserta Lelang (bidder) dibedakan menjadi: a. Peserta …….. 6 a. Peserta Langsung yaitu Bank dan Pialang yang melakukan transaksi Lelang SBI secara langsung dengan Bank Indonesia melalui sarana ABS dengan ketentuan: 1) Bank untuk kepentingan sendiri dan atau Bank lain; 2) Pialang untuk kepentingan pihak lain (Bank). b. Peserta Tidak Langsung yaitu Bank yang mengajukan penawaran melalui Peserta Langsung. 8. Peserta Langsung sebagaimana dimaksud dalam butir 7.a wajib menyampaikan kepada Bagian Operasi Pasar Uang (OPU), Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM), Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10010, mengenai : a. Data pejabat yang berwenang (authorized dealer) sebanyak- banyaknya 3 (tiga) nama untuk melakukan transaksi Lelang SBI dan User Unique Identification (UUID) dari masing-masing pejabat yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran 3. b. Laporan perubahan nama pejabat yang berwenang dan atau UUID sebagaimana dimaksud butir 1) dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh dalam Lampiran 4 yang wajib disampaikan selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum pejabat yang bersangkutan melakukan transaksi Lelang SBI. 9. Peserta Langsung wajib menjaga keamanan penggunaan UUID serta bertanggung jawab penuh atas transaksi Lelang SBI yang diajukan kepada Bank Indonesia. 10. Bank Indonesia hanya menerima pengajuan transaksi dari Peserta Langsung berdasarkan data penawaran yang disampaikan melalui sarana ABS. 11. Pialang …….. 7 11. Pialang dilarang mengajukan penawaran lelang untuk kepentingan diri sendiri. 12. Pihak yang melakukan transaksi Lelang SBI wajib memiliki Rekening Penatausahaan SBI dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank yang berfungsi sebagai Sub Registry wajib memiliki dua Rekening Penatausahaan SBI di Central Registry, masing-masing untuk kepentingan sendiri dan untuk kepentingan pihak lain (Sub Registry); b. Bank yang tidak berfungsi sebagai Sub Registry wajib memiliki satu Rekening Penatausahaan SBI di Central Registry untuk kepentingan sendiri; c. Pihak bukan Bank yang berfungsi sebagai Sub Registry wajib memiliki satu Rekening Penatausahaan SBI di Central Registry untuk kepentingan pihak lain; d. Pihak lain wajib memiliki Rekening Penatausahaan SBI di Sub Registry. 13. Tata cara pembukaan Rekening Penatausahaan SBI di Central Registry dilakukan sebagaimana diatur dalam butir V.A sedangkan tata cara pembukaan Rekening Penatausahaan SBI di Sub Registry diatur oleh masing-masing Sub Registry yang bersangkutan. 14. Bank wajib menyediakan dana sebesar jumlah transaksi Lelang SBI yang dimenangkan sebelum waktu cut-off warning Sistem BI-RTGS untuk penyelesaian transaksi SBI di pasar perdana dengan ketentuan: a. Bank yang mengajukan penawaran langsung bertanggung jawab terbatas pada jumlah SBI untuk kepentingan sendiri; dan b. Bank yang mengajukan penawaran melalui Bank lain atau Pialang bertanggung jawab atas jumlah SBI yang diajukan untuk kepentingan Bank yang bersangkutan. 15. Bank Indonesia …….. 8 15. Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi Lelang SBI di pasar perdana pada hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan Lelang SBI (one-day settlement). 16. Peserta Lelang SBI yang telah mengajukan penawaran membatalkan penawarannya. dilarang C. Tata Cara Pelaksanaan dan Pengajuan Penawaran Lelang SBI 1. Pada hari pelaksanaan Lelang SBI, Peserta Langsung mengajukan penawaran Lelang SBI kepada Bagian OPU dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB melalui sarana ABS dengan Standard Operating Procedures (SOP) sebagaimana terlampir dalam Lampiran 6. 2. Penawaran Lelang SBI sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas dilakukan oleh: a. Kantor Pusat Bank: 1) bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI); 2) bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia (KBI) namun tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI. b. Kantor cabang Bank yang berada di wilayah kerja KPBI, bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI. Penunjukan kantor cabang Bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bagian OPU selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum transaksi SBI dan tetap berlaku sampai ada surat pencabutan penunjukan dimaksud. c. Pialang. 3. Bank …….. 9 3. Bank yang tidak memiliki ABS dapat mengikuti Lelang SBI sebagai Peserta Tidak Langsung dengan mengajukan Peserta Langsung sebagaimana dimaksud dalam butir B.7.a. 4. Penawaran Lelang SBI sebagaimana dimaksud penawaran melalui dalam angka 1 mencakup penawaran kuantitas dan tingkat diskonto menurut jangka waktu dengan ketentuan sebagai berikut : a. Pengajuan penawaran kuantitas Pialang sekurang-kurangnya 1.000 dari masing-masing Bank dan (seribu) unit atau Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dan selebihnya dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); b. Penawaran tingkat diskonto diajukan dengan kelipatan 0,0625% (enam ratus dua puluh lima per satu juta). 5. Bank atau Pialang bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran Lelang SBI yang diajukan. 6. Bank yang mengajukan penawaran Lelang SBI sebagai Peserta Tidak Langsung wajib menyampaikan konfirmasi kepada Bagian OPU selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) menit setelah jam penutupan lelang melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) atau telepon yang ditegaskan dengan faksimili dengan menggunakan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5. formulir 7. Peserta Langsung (Bank atau Pialang) yang mengajukan penawaran lelang untuk kepentingan pihak lain (Bank) wajib menyampaikan data transaksi kepada Bagian OPU selambat-lambatnya 15 (lima belas) menit setelah jam penutupan lelang, berupa Daftar Rincian Permohonan Lelang SBI dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada SOP Sistem ABS dalam Lampiran 6 melalui sarana electronic mail (email) ABS. 8. Dalam …….. 10 8. Dalam hal terjadi perbedaan antara jumlah penawaran Lelang SBI menurut Daftar Rincian Permohonan Lelang sebagaimana dimaksud angka 7 dengan penawaran Lelang SBI yang diajukan Peserta Langsung pada sarana ABS sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Peserta Langsung wajib menyesuaikan daftar rincian dimaksud sesuai dengan data pada sarana ABS dalam jangka waktu 15 menit setelah pemberitahuan dari Bank Indonesia. 9. Dalam hal terjadi perbedaan data antara Daftar Rincian Permohonan Lelang sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dengan konfirmasi yang disampaikan oleh Bank sebagai Peserta Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam angka 6, Bank sebagai Peserta Tidak Langsung wajib menyesuaikan data penawaran Lelang SBI sesuai dengan data yang disampaikan oleh Peserta Langsung yang mengajukan penawaran atas nama Peserta Tidak Langsung dimaksud dalam jangka waktu 15 (lima belas) menit setelah pemberitahuan dari Bank Indonesia. 10. Peserta Lelang SBI wajib memenuhi tata cara pengajuan transaksi Lelang SBI sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 9. 11. Dalam hal Peserta Lelang SBI tidak memenuhi tata cara pengajuan transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 10 maka pengajuan transaksi Lelang SBI yang bersangkutan dinyatakan batal. 12. Bank Indonesia menetapkan pemenang Lelang SBI dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal penawaran tingkat diskonto lebih rendah dari SOR, Peserta Lelang yang bersangkutan memperoleh seluruh penawaran kuantitas SBI yang diajukan; b. dalam hal penawaran tingkat diskonto sama dengan SOR, Peserta Lelang yang bersangkutan dapat memperoleh seluruh penawaran kuantitas …….. 11 kuantitas SBI yang diajukan atau sebagian dari penawaran kuantitas SBI sebesar hasil perhitungan secara proporsional. Contoh perhitungan penetapan pemenang Lelang SBI disajikan dalam Lampiran 7. 13. Bank Indonesia dapat menyesuaikan realisasi kuantitas hasil Lelang SBI atau membatalkan seluruh kuantitas hasil Lelang SBI dalam hal SOR yang akan terbentuk dari hasil Lelang SBI terkait dengan target kuantitas berada di luar batas kewajaran. 14. Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBI berupa kuantitas keseluruhan dan rata-rata tertimbang tingkat diskonto pemenang lelang melalui sarana ABS, PIPU atau sarana lainnya pada hari pelaksanaan Lelang SBI selambat-lambatnya pukul 16.30 WIB. 15. Bank Indonesia memberitahukan hasil Lelang SBI berupa kuantitas, tingkat diskonto dan nomor seri SBI kepada Peserta Langsung yang memenangkan Lelang SBI melalui sarana ABS pada hari pelaksanaan lelang. III. PERDAGANGAN SBI DI PASAR SEKUNDER A. Perdagangan SBI Repo dengan Bank Indonesia 1. Prinsip dalam Perdagangan SBI Repo dengan Bank Indonesia a. Bank Indonesia melakukan transaksi SBI dengan Bank. secara Repo hanya b. SBI yang dapat dijual secara Repo kepada Bank Indonesia adalah SBI milik Bank yang bersangkutan dan memiliki sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 4 (empat) hari kerja. c. Jumlah SBI milik Bank yang dapat dijual secara Repo kepada Bank Indonesia sebanyak-banyaknya 25% (dua puluh lima per seratus) dari …….. 12 dari rata-rata seri SBI yang dimenangkan Bank untuk kepentingannya sendiri dalam 3 (tiga) kali Lelang SBI terakhir yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Contoh perhitungan SBI yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia terdapat dalam Lampiran 8. d. Jangka waktu Repo adalah 1 (satu) hari (overnight). e. Tingkat diskonto Repo adalah sebesar nilai tertinggi dari: 1) rata-rata tertimbang suku bunga PUAB sesi pagi jangka waktu 1 (satu) hari pada 1 (satu) hari kerja sebelum transaksi ditambah 200 (dua ratus) basis points; atau 2) rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 1 (satu) bulan pada lelang terakhir ditambah 200 (dua ratus) basis points. Contoh perhitungan tingkat diskonto SBI Repo sebagaimana terdapat dalam Lampiran 9. f. Penyelesaian transaksi SBI Repo dilaksanakan pada hari transaksi SBI Repo (same-day settlement) melalui mekanisme DVP. g. Bank yang mengajukan transaksi SBI Repo wajib memiliki saldo Rekening Perdagangan SBI yang mencukupi untuk keperluan penyelesaian transaksi SBI Repo dan saldo Rekening Giro yang mencukupi untuk keperluan pelunasan transaksi SBI Repo. 2. Tata Cara Transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia a. Pada hari transaksi SBI Repo, Bank mengajukan permohonan transaksi SBI Repo melalui RMDS atau telepon yang ditegaskan dengan faksimili kepada Bagian OPU dari pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. b. Permohonan …….. 13 b. Permohonan transaksi SBI Repo sebagaimana dimaksud dalam butir a di atas dilakukan oleh: 1) Kantor Pusat Bank: a) bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI; b) bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI namun tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI. 2) Kantor Cabang Bank yang berada di wilayah kerja KPBI, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI sebagaimana yang telah ditunjuk dalam transaksi Lelang SBI dan tetap berlaku sampai ada surat pencabutan penunjukan dimaksud. c. Pengajuan transaksi SBI Repo Bank wajib ditegaskan dengan penyampaian Surat Permohonan Pemindahan Registrasi-SBI Repo dengan Bank Indonesia (SPPR-SBI Repo) selambat-lambatnya sampai dengan pukul 17.00 WIB dengan menggunakan Formulir BER-12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran 10. d. SPPR-SBI Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf c disampaikan kepada: 1) Central Registry oleh: a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI; b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI sebagaimana dimaksud dalam butir b.2). 2) Central Registry melalui KBI setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak memiliki kantor cabang …….. 14 cabang di wilayah kerja KPBI sebagaimana dimaksud pada butir b.1). e. Dalam hal data dalam formulir SPPR-SBI Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak lengkap dan atau salah, Bank Indonesia memberitahukan hal tersebut dan kepada Bank untuk dilengkapi kembali selambat-lambatnya pukul atau diperbaiki dan selanjutnya disampaikan Permohonan 17.30 WIB. transaksi SBI Repo yang tidak dilengkapi dengan SPPR-SBI Repo yang disyaratkan dinyatakan batal. f. Bank Indonesia akan memproses permohonan transaksi SBI Repo segera setelah Bank melengkapi permohonannya. g. Bank wajib memenuhi tata cara pengajuan transaksi SBI Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan e. h. Dalam hal Bank tidak memenuhi tata cara sebagaimana dimaksud dalam huruf g maka pengajuan transaksi SBI Repo oleh Bank dinyatakan batal. i. Pemberitahuan persetujuan atau penolakan atas pengajuan SBI Repo disampaikan kepada Bank oleh Bagian OPU selambat- lambatnya pukul 18.00 WIB melalui sarana RMDS atau telepon yang ditegaskan dengan faksimili. B. Perdagangan SBI Repo dan SBI Outright Antar Bank/Sub Registry 1. Prinsip dan tata cara pelaksanaan perdagangan SBI Repo dan SBI Outright antar Bank/Sub Registry diserahkan pada kesepakatan para pelaku transaksi yang bersangkutan. 2. Penyelesaian transaksi SBI Repo dan SBI Outright antar Bank/Sub Registry dapat dilakukan melalui Bank Indonesia. IV. SISTEM …….. 15 IV. SISTEM PENATAUSAHAAN SBI Bank Indonesia menatausahakan SBI dengan menggunakan BI-SPS yang terdiri dari sistem pencatatan kepemilikan SBI dan sistem penyelesaian transaksi yang terdiri dari Penyelesaian Pembayaran dan Penyelesaian Surat Berharga, termasuk pelunasan pokok SBI. A. Prinsip Pencatatan Kepemilikan SBI 1. Bank Indonesia melalui BI-SPS menatausahakan kepemilikan SBI baik yang diperoleh dari transaksi SBI di pasar perdana, maupun transaksi SBI di pasar sekunder yang meliputi transaksi SBI Repo antara Bank dengan Bank Indonesia, transaksi SBI Repo antar Bank/Sub Registry serta transaksi SBI Outright antar Bank/Sub Registry. 2. Pencatatan kepemilikan SBI dilakukan oleh Bank Indonesia dengan prinsip two-tier system yang terdiri dari Central Registry dan Sub Registry yang dilakukan dengan menggunakan sistem BER. 3. Kepemilikan SBI di Central Registry dan Sub Registry dicatat dalam Rekening Penatausahaan SBI yang terdiri dari Rekening Perdagangan SBI dan Rekening Agunan SBI. 4. Sub Registry tidak diperbolehkan untuk memelihara Rekening Penatausahaan SBI untuk kepentingan diri sendiri, pengurus, pemegang saham dan pengelola Sub Registry termasuk manajemen dan pegawai pengelola Sub Registry. 5. Nasabah non Bank yang membeli SBI di pasar sekunder termasuk yang melakukan transaksi repo wajib memiliki Rekening Penatausahaan SBI di Sub Registry. Untuk nasabah dari Bank bukan Sub Registry, pembukaan Rekening Penatausahaan SBI di Sub Registry dapat dilakukan melalui Bank yang bersangkutan. 6. Sub Registry …….. 16 6. Sub Registry wajib memberitahukan kepada nasabah non bank yang memiliki Rekening Penatausahaan SBI bahwa yang dicatat dalam penatausahaan SBI di Sub Registry adalah nama pemilik SBI 7. Sub Registry wajib mencatat nama pemilik SBI dalam penatausahaan SBI. Dalam hal pemilik SBI adalah nasabah Bank lain, pencatatan nama pemilik SBI pada Sub Registry dapat dilakukan dengan cara mencantumkan nama Bank qq. nama pemilik SBI yang bersangkutan. B. Prinsip Penyelesaian Transaksi SBI 1. Mekanisme penyelesaian transaksi SBI melalui BI-SPS dilakukan secara transaksi per transaksi (gross settlement) yang dapat dibedakan menjadi DVP dan FoP. 2. Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi SBI untuk transaksi SBI di pasar perdana, transaksi SBI di pasar sekunder mencakup transaksi SBI Repo dan transaksi SBI Outright, serta pengagunan SBI. 3. Penyelesaian transaksi SBI di pasar perdana dan transaksi SBI Repo antara Bank dengan Bank Indonesia dilakukan melalui mekanisme DVP. 4. Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi SBI di pasar sekunder baik secara DVP maupun FoP yang mencakup: a. transaksi antar Bank; b. transaksi antar Sub Registry untuk kepentingan nasabahnya; c. transaksi antara Bank dengan Sub Registry untuk kepentingan nasabahnya. 5. Penyelesaian transaksi antar Bank/Sub Registry dilakukan dengan ketentuan: a. melalui mekanisme DVP untuk transaksi SBI Repo; b. melalui mekanisme DVP atau FoP untuk transaksi SBI Outright. 6. Dalam …….. 17 6. Dalam rangka Penyelesaian Pembayaran atas transaksi SBI dengan Bank Indonesia, Bank Indonesia berwenang untuk mendebet Rekening Giro Bank yang berkewajiban menyelesaikan transaksi Lelang SBI. 7. Penyelesaian transaksi Lelang SBI di pasar perdana dilaksanakan pada hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan Lelang SBI (one-day settlement), sedangkan penyelesaian transaksi SBI di pasar sekunder dilakukan pada hari yang sama (same-day settlement). 8. Bank wajib melakukan Penyelesaian Pembayaran atas seluruh seri SBI yang dimenangkan Bank di pasar perdana, sebelum dapat mentransaksikan salah satu atau keseluruhan seri SBI tersebut di pasar sekunder. 9. Pada saat pelunasan transaksi SBI di pasar sekunder, SBI yang bersangkutan memiliki sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja. 10. Dalam rangka Penyelesaian Pembayaran SBI untuk transaksi nasabah di Pasar Sekunder, Sub Registry wajib menunjuk Bank untuk melakukan Penyelesaian Pembayaran. V. PENCATATAN KEPEMILIKAN SBI A. Tata Cara Pembukaan Rekening Penatausahaan SBI 1. Di Central Registry a. Bank dan Sub Registry wajib membuka Rekening Penatausahaan SBI dengan mengajukan surat permohonan pembukaan Rekening Penatausahaan SBI kepada Central Registry. b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib disertai dengan: 1). Data …….. 18 1) Data Bank/Sub Registry dengan menggunakan Formulir BER- 01 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10; 2) Contoh stempel Bank/Sub Registry dan contoh tandatangan pejabat Bank/Sub Registry yang berwenang untuk melakukan penyelesaian transaksi SBI masing-masing sekurang- kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 6 (enam) orang dengan menggunakan Formulir BER-02 dan Formulir BER-03 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10; 3) Data petugas yang berwenang dilengkapi dengan bukti identitas diri. untuk mengambil KPS 2. Di Sub Registry a. Nasabah bukan Bank wajib membuka Rekening Penatausahaan SBI dengan mengajukan surat permohonan pembukaan Rekening Penatausahaan SBI kepada Sub Registry. b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dengan persyaratan yang diatur oleh masing-masing Sub Registry. c. Bank bukan Sub Registry dapat mengajukan permohonan pembukaan Rekening Penatausahaan SBI kepada Sub Registry untuk kepentingan nasabahnya. B. Tata Cara Pencatatan Kepemilikan SBI 1. Pencatatan kepemilikan SBI dilakukan di Central Registry dan Sub Registry. 2. Central Registry dan Sub Registry menerbitkan KPS yang memuat saldo Rekening Penatausahaan SBI sebagai bukti pencatatan kepemilikan SBI. 3. KPS sebagaimana dimaksud pada angka 2, diterbitkan ketentuan sebagai berikut : dengan a. Setiap …….. 19 a. Setiap terjadi mutasi/perubahan pencatatan kepemilikan dalam Rekening Penatausahaan SBI, baik Rekening Perdagangan SBI maupun Rekening Agunan SBI, Central Registry dan Sub Registry menerbitkan KPS Harian pada hari yang sama, yang memuat mutasi kepemilikan dan posisi dalam Rekening Penatausahaan SBI yang bersangkutan; b. Pada setiap akhir bulan, Central Registry dan Sub Registry menerbitkan KPS Bulanan yang memuat posisi Rekening Penatausahaan SBI; c. Format KPS yang diterbitkan oleh Central Registry untuk KPS sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, menggunakan Formulir BER-04 dan Formulir BER-05 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10; d. Format KPS yang diterbitkan oleh Sub Registry untuk KPS sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, menggunakan format yang ditetapkan oleh masing-masing Sub Registry. 4. Bank dan Sub Registry wajib mengambil KPS Harian dan KPS Bulanan di Central Registry masing-masing 1 (satu) hari kerja setelah tanggal penerbitan KPS. Central Registry tidak bertanggung jawab atas KPS yang tidak diambil. 5. KPS milik Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja KPBI dan tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI disampaikan melalui Kantor Bank Indonesia setempat c.q. Seksi Pelaksana Kebijakan Moneter (PKM) yang didahului dengan faksimili KPS dimaksud kepada kantor pusat Bank oleh Central Registry. 6. Sub Registry wajib menyampaikan KPS Harian dan KPS Bulanan yang diterbitkannya kepada pemilik SBI. Dalam hal pemilik SBI membuka Rekening Penatausahaan SBI melalui Bank bukan Sub Registry, Sub Registry …….. 20 Registry dapat menyampaikan KPS Harian dan KPS Bulanan dimaksud kepada pemilik SBI melalui Bank yang bersangkutan. Tata cara penyampaian KPS Harian dan KPS Bulanan dilakukan sesuai dengan pengaturan yang ditetapkan oleh masing-masing Sub Registry. 7. Dalam hal terjadi perbedaan pencatatan kepemilikan SBI yang dicetak Central Registry dalam KPS Harian sebagaimana dimaksud butir 3.a dengan pencatatan kepemilikan SBI oleh Bank atau Sub Registry, Bank dan Sub Registry wajib memberikan tanggapan atas perbedaan tersebut kepada Central Registry selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah batas waktu pengambilan KPS sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dengan menggunakan Formulir BER-06 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10. 8. Dalam hal Bank dan Sub Registry telah melaporkan perbedaan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam angka 7, Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam 1 (satu) hari kerja setelah penerimaan laporan dimaksud akan memberikan jawaban. 9. Dalam hal Bank dan Sub Registry tidak menyampaikan keberatan atas KPS sebagaimana dimaksud dalam angka 7, Bank dan Sub Registry dianggap setuju dengan pencatatan kepemilikan SBI di Central Registry. 10. Dalam rangka pelunasan SBI jatuh waktu, maka pada 3 (tiga) hari kerja sebelum SBI jatuh waktu, Central Registry menerbitkan daftar Pemberitahuan Pelunasan SBI Jatuh Waktu berdasarkan saldo posisi Rekening Perdagangan pada akhir hari kerja dimaksud kepada Bank dan Sub Registry dengan menggunakan Formulir BER-07 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10. 11. Daftar sebagaimana dimaksud dalam angka 10 dapat diambil oleh Bank atau Sub Registry pada awal hari kerja berikutnya di Central Registry. Dalam …….. 21 Dalam hal Bank berkantor pusat di luar wilayah kerja KPBI dan tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI maka daftar dimaksud disampaikan melalui Kantor Bank Indonesia setempat c.q. Seksi PKM yang didahului dengan faksimili daftar dimaksud kepada kantor pusat Bank oleh Central Registry. 12. Bank Indonesia menggunakan saldo posisi Rekening Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam angka 10 sebagai dasar pelunasan SBI pada saat SBI jatuh waktu kecuali ada pembuktian lain dari Bank atau Sub Registry di kemudian hari yang dapat diterima oleh Central Registry. 13. Pencatatan kepemilikan SBI pada KPS Bulanan yang dicetak Central Registry sebagaimana dimaksud butir 3.b. dan daftar Pemberitahuan Pelunasan SBI Jatuh Waktu sebagaimana dimaksud angka 10 tidak dapat dilakukan rekonsiliasi oleh pemilik KPS. VI. PENYELESAIAN TRANSAKSI SBI DI PASAR PERDANA 1. Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi SBI di pasar perdana terhadap penawaran yang telah memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan termasuk sebagai pemenang Lelang SBI sebagaimana dimaksud pada butir II.C. 2. Bank Indonesia melakukan Penyelesaian Pembayaran transaksi SBI dengan cara mendebet sebesar nilai tunai SBI pada Rekening Giro Bank pembeli SBI di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS dengan ketentuan : a. Bank yang mengajukan penawaran langsung bertanggung jawab terbatas pada jumlah SBI untuk kepentingan sendiri; dan b. Bank …….. 22 b. Bank yang mengajukan penawaran melalui Bank lain atau Pialang bertanggung jawab atas jumlah SBI yang diajukan untuk kepentingan Bank yang bersangkutan. 3. Bersamaan dengan Penyelesaian Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan cara mengkredit Rekening Perdagangan SBI milik Bank pembeli SBI sebesar nilai nominal SBI. 4. Dalam hal Bank tidak memiliki saldo Rekening Giro yang mencukupi sampai dengan waktu cut-off warning Sistem BI-RTGS untuk menutup Penyelesaian Pembayaran SBI yang dimenangkan Bank pembeli SBI sebagaimana dimaksud dalam angka 2 maka seluruh hasil Lelang SBI yang dimenangkan Bank yang bersangkutan dinyatakan batal, termasuk atas sebagian seri SBI yang telah dilakukan Penyelesaian Pembayaran sebelum waktu cut-off warning Sistem BI-RTGS. VII. PENYELESAIAN TRANSAKSI SBI DI PASAR SEKUNDER A. Tata Cara Penyelesaian Transaksi SBI Repo 1. Transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia a. Pada hari penyelesaian transaksi SBI Repo: 1) Penyelesaian Pembayaran dilakukan dengan mengkredit Rekening Giro Bank yang menjual SBI Repo sebesar nilai tunai SBI Repo. 2) Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet Rekening Perdagangan SBI milik Bank yang menjual SBI Repo sebesar nilai nominal SBI Repo. b. Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI milik Bank penjual SBI Repo tidak mencukupi, transaksi SBI Repo dinyatakan batal. c. Dalam …….. 23 c. Dalam hal transaksi SBI Repo dinyatakan batal, Bank dapat mengambil formulir SPPR-Repo yang telah dicap “BATAL” pada 1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan transaksi SBI Repo di Bagian PTPU atau KBI setempat. d. Pada saat SBI Repo jatuh waktu: 1) Penyelesaian Pembayaran dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Bank penjual SBI Repo sebesar nilai nominal SBI Repo yang jatuh waktu. 2) Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mengkredit Rekening Perdagangan SBI milik Bank penjual SBI Repo sebesar nilai nominal SBI Repo. e. Dalam hal pada saat jatuh waktu transaksi SBI Repo, saldo Rekening Giro Bank penjual SBI Repo tidak mencukupi untuk menutup pendebetan sebesar nilai nominal SBI Repo yang jatuh waktu, transaksi pelunasan SBI Repo dinyatakan batal dan SBI yang direpokan dinyatakan lunas sebelum jatuh waktu. f. Atas batalnya transaksi pelunasan SBI Repo dimaksud dalam huruf e, Bank dikenakan sanksi. g. Atas pelunasan SBI Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf e, Bank Indonesia melakukan koreksi terhadap diskonto yang telah dibukukan. 2. Transaksi SBI Repo Antar Bank/Sub Registry a. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan nasabah bukan Bank, yang membeli SBI Repo menyerahkan SPPP-Repo dengan menggunakan Formulir BER-11 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 dari pukul 08.00 waktu setempat sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada: 1) Bagian …….. sebagaimana 24 1) Bagian PTPU oleh: a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI; b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI berkantor pusat di wilayah kerja KBI. bagi bank yang 2) Bagian PTPU melalui KBI setempat c.q. Seksi PKM, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI. b. Dalam hal transaksi SBI Repo dilakukan untuk kepentingan nasabah bukan Bank, SPPP-Repo yang disampaikan oleh Bank wajib menunjuk Sub Registry yang menatausahakan SBI milik nasabah yang bersangkutan untuk Penyelesaian Surat Berharga. c. Dalam hal formulir SPPP-Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas disampaikan oleh Sub Registry, formulir SPPP- Repo tersebut wajib dilengkapi dengan konfirmasi dari Bank yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran dengan cara membubuhkan tandatangan pejabat Bank yang berwenang dan stempel Bank pada formulir SPPP-Repo sebagai persetujuan pendebetan Rekening Giro Bank yang bersangkutan. d. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan nasabah bukan Bank, yang menjual SBI Repo menyerahkan SPPR-Repo dengan menggunakan formulir BER-10 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 dari pukul 08.00 waktu setempat sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada: 1) Central Registry oleh: a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI; b) kantor …….. 25 b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI. 2) Central Registry melalui KBI setempat cq. Seksi PKM, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI. e. Dalam hal transaksi SBI Repo dilakukan untuk kepentingan nasabah bukan Bank, SPPR-Repo yang disampaikan oleh Bank wajib disertai dengan pengesahan dari Sub Registry yang menatausahakan SBI milik nasabah yang bersangkutan untuk mendebet Rekening Perdagangan SBI nasabah. f. Dalam hal data dalam formulir SPPP-Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan formulir SPPR-Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf d tidak lengkap dan atau salah, Bank Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Bank atau Sub Registry melalui telepon atau faksimili untuk dilengkapi dan atau diperbaiki dan selanjutnya disampaikan kembali selambat- lambatnya pukul 16.00 waktu setempat pada hari yang sama. g. Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual SBI Repo dan mengkredit Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang membeli SBI Repo masing-masing sebesar nilai nominal SBI Repo. h. Penyelesaian Pembayaran dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang membeli SBI Repo dan mengkredit Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang menjual SBI Repo masing-masing sebesar nilai transaksi SBI Repo. i. Dalam …….. 26 i. Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual SBI Repo untuk melakukan Penyelesaian Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Repo dinyatakan batal. j. Dalam hal saldo Rekening Giro Bank yang membeli SBI atau Bank yang ditunjuk oleh Sub Registry untuk melakukan Penyelesaian Pembayaran tidak mencukupi sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Repo dinyatakan batal. k. Dalam hal transaksi SBI Repo dinyatakan batal, Bank atau Sub Registry dapat mengambil formulir SPPR-Repo dan SPPP-Repo yang telah dicap “BATAL” pada 1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan transaksi SBI Repo di Bagian PTPU atau KBI setempat. l. Pada saat SBI Repo jatuh waktu: 1) Penyelesaian Pembayaran dilakukan dengan pendebetan Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang menjual SBI Repo dan pengkreditan Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang membeli SBI Repo masing-masing sebesar nilai nominal SBI Repo. 2) Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan pendebetan Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang membeli SBI Repo dan pengkreditan Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual SBI Repo masing- masing sebesar nilai nominal SBI Repo. 3) Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry pembeli SBI Repo dan atau saldo Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry penjual SBI Repo tidak mencukupi untuk pelunasan SBI Repo …….. 27 Repo sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS, maka transaksi pelunasan SBI Repo dimaksud dinyatakan batal dan transaksi SBI Repo dinyatakan sebagai transaksi Outright dan bersifat final. m. Dalam hal pembelian kembali SBI Repo dilakukan sebelum jatuh waktu, berlaku ketentuan sebagai berikut : 1) Terdapat kesepakatan antara penjual SBI Repo dan pembeli SBI Repo. 2) Penjual SBI Repo dan pembeli SBI Repo menyampaikan surat permohonan untuk melakukan penyelesaian transaksi SBI atas pembelian kembali SBI Repo sebelum jatuh waktu masing-masing dengan menggunakan Formulir BER-13 dan Formulir BER-14 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10, dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada Central Registry dengan tata cara penyampaian sesuai dengan butir d. 3) Penyelesaian Pembayaran dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang menjual SBI Repo dan mengkredit Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang membeli SBI Repo masing-masing sebesar jumlah pembayaran SBI Repo sebelum jatuh waktu. 4) Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet Rekening Perdagangan SBI milik Bank atau Sub Registry yang membeli SBI Repo dan mengkredit Rekening Perdagangan SBI milik Bank atau Sub Registry yang menjual SBI Repo masing-masing sebesar nilai nominal SBI Repo. 5) Dalam …….. 28 5) Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI milik Bank atau Sub Registry pembeli SBI Repo dan atau saldo Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry penjual SBI Repo tidak mencukupi untuk pelunasan SBI Repo sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS, penyelesaian transaksi SBI Repo sebelum jatuh waktu dimaksud dinyatakan batal. B. Tata Cara Penyelesaian Transaksi SBI Outright 1. Transaksi SBI Outright secara DVP a. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan nasabah bukan Bank, yang membeli SBI Outright menyerahkan SPPP-DVP dengan menggunakan Formulir BER-09 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 dari pukul 08.00 waktu setempat sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada : 1) Bagian PTPU oleh: a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI; b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI. 2) Bagian PTPU melalui KBI setempat cq. Seksi PKM, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI. b. Dalam hal transaksi SBI Outright dilakukan untuk kepentingan nasabah bukan Bank, SPPP-Outright yang disampaikan oleh Bank wajib menunjuk Sub Registry yang menatausahakan SBI milik nasabah yang bersangkutan untuk Penyelesaian Surat Berharga. c. Dalam hal formulir SPPP-DVP sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas disampaikan oleh Sub Registry, formulir SPPP- DVP…….. 29 DVP tersebut wajib dilengkapi dengan pengesahan dari Bank yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran dengan cara membubuhkan tandatangan pejabat Bank yang berwenang dan stempel Bank pada formulir SPPP-DVP sebagai pendebetan Rekening Giro Bank yang bersangkutan. persetujuan d. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan nasabah bukan Bank, yang menjual SBI Outright menyerahkan SPPR-DVP dengan menggunakan formulir BER-08 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 dari pukul 08.00 waktu setempat sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada Central Registry dengan cara penyampaian sebagaimana diatur dalam butir a. e. Dalam hal transaksi SBI Outright dilakukan untuk kepentingan nasabah bukan Bank, SPPR-DVP yang disampaikan oleh Bank wajib disertai dengan konfirmasi dari Sub Registry yang menatausahakan SBI milik nasabah yang bersangkutan untuk mendebet Rekening Perdagangan SBI nasabah. dalam f. Dalam hal data formulir SPPP-DVP sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan formulir SPPR-DVP sebagaimana dimaksud dalam huruf d tidak lengkap dan atau salah, Bank Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Bank atau Sub Registry melalui telepon atau faksimili untuk dilengkapi dan atau diperbaiki dan selanjutnya disampaikan kembali selambat- lambatnya pukul 16.00 waktu setempat pada hari yang sama. g. Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual SBI Outright dan mengkredit Rekening Perdagangan SBI Bank atau …….. 30 atau Sub Registry yang membeli SBI Outright masing-masing sebesar nilai nominal SBI Outright. h. Penyelesaian Pembayaran dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang membeli SBI Outright dan mengkredit Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang menjual SBI Outright masing- masing sebesar nilai transaksi SBI Outright. i. Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual SBI Outright untuk melakukan Penyelesaian Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan cut- off warning Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Outright dinyatakan batal. j. Dalam hal saldo Rekening Giro Bank yang membeli SBI atau Bank yang ditunjuk oleh Sub Registry untuk melakukan Penyelesaian Pembayaran tidak mencukupi sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Outright dinyatakan batal. k. Dalam hal transaksi SBI Outright dinyatakan batal, Bank dan atau Sub Registry dapat mengambil formulir SPPR-DVP atau SPPP- DVP yang telah dicap “BATAL” pada 1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan transaksi SBI di Bagian PTPU atau KBI setempat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a. 2. Transaksi SBI Outright secara FoP a. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan nasabah bukan Bank yang tercatat di Sub Registry, yang menjual SBI Outright menyerahkan SPPR-FoP dengan menggunakan formulir BER-15 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 dari pukul…….. 31 pukul 08.00 waktu setempat sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada: 1) Central Registry oleh: a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI; b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI. 2) Central Registry melalui KBI setempat cq. Seksi PKM, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI. b. Dalam hal data dalam formulir SPPR-FoP sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak lengkap dan atau salah, Bank Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Bank atau Sub Registry melalui telepon atau faksimili untuk dilengkapi dan atau diperbaiki dan selanjutnya disampaikan kembali selambat- lambatnya pukul 16.00 waktu setempat pada hari yang sama. c. Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual SBI dan mengkredit Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang membeli SBI Outright masing-masing sebesar nilai nominal SBI Outright. d. Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual SBI Outright untuk melakukan Penyelesaian Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan cut- off warning Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Outright dinyatakan batal. e. Dalam hal transaksi SBI dinyatakan batal, Bank dan atau Sub Registry dapat mengambil formulir SPPR-FoP yang telah dicap “BATAL” …….. 32 “BATAL” secepat-cepatnya 1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan transaksi SBI di Bagian PTPU atau KBI setempat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a. VIII.TATA CARA PENCATATAN PENGAGUNAN SBI A. Prinsip dalam Pengagunan SBI 1. Pemilik SBI yang tercatat pada Central Registry atau Sub Registry dapat mengagunkan SBI yang dimiliki. 2. Selama masa pengagunan, SBI yang tercatat dalam Rekening Agunan di Central Registry dan Sub Registry tidak dapat diagunkan dan diperdagangkan lagi. 3. Jumlah SBI yang akan diagunkan tidak melebihi saldo SBI yang terdapat pada Rekening Perdagangan SBI. 4. Pada saat jangka waktu agunan SBI berakhir, SBI yang bersangkutan masih memiliki sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja. B. Tata Cara Pencatatan Pengagunan SBI di Central Registry 1. Pengagunan oleh Bank a. Bank menyampaikan Permohonan Penerbitan SKSD (PP-SKSD) dengan menggunakan Formulir BER-16 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 kepada Central Registry dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. b. Dalam hal Bank berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak memiliki cabang di wilayah kerja KPBI, formulir sebagaimana dimaksud butir a disampaikan melalui KBI setempat cq. Seksi PKM. c. Dalam …….. 33 c. Dalam hal formulir belum diisi secara lengkap dan atau salah, Central Registry memberitahukan kepada Bank untuk mengambil formulir dimaksud untuk dilengkapi dan atau diperbaiki dan selanjutnya disampaikan kembali kepada Central Registry selambat-lambatnya pukul 17.00 WIB pada hari yang sama. d. Berdasarkan PP-SKSD, Central Registry pada hari yang sama: 1) memindahkan SBI dari Rekening Perdagangan ke Rekening Agunan. 2) menerbitkan SKSD dengan menggunakan Formulir BER-17 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10. e. SKSD sebagaimana dimaksud dalam butir d.2) wajib diambil pada hari yang sama di Central Registry. Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI, SKSD disampaikan oleh Central Registry kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan melalui KBI setempat, yang didahului dengan faksimili SKSD dimaksud. f. Pada hari kerja berikutnya setelah berakhirnya pengagunan, Central pemindahan SBI dari Perdagangan. periode Registry secara otomatis melakukan Rekening Agunan ke Rekening g. Bank pemberi agunan atau pihak lain penerima agunan dapat mengajukan permohonan penglepasan agunan SBI sebelum berakhirnya periode pengagunan kepada Central Registry dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, dengan persyaratan sebagai berikut: 1) pihak pemberi agunan SBI menyampaikan surat permohonan penglepasan agunan SBI dengan dilampiri SKSD asli; atau 2) pihak …….. 34 2) pihak penerima agunan SBI menyampaikan surat permohonan penglepasan agunan SBI dan pemindahan kepemilikan SBI untuk penerima agunan dengan dilampiri SKSD asli, surat Permintaan Perpindahan Registrasi Surat Berharga FoP (SPPR-FoP) dari pihak pemberi agunan dan surat kuasa yang ditandatangani oleh kedua belah pihak untuk memindahkan kepemilikan SBI dari pemberi agunan kepada penerima agunan. h. Dalam hal pengajuan permohonan belum lengkap dan atau formulir sebagaimana dimaksud huruf g belum diisi dengan lengkap dan atau salah, Central Registry memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi dan atau memperbaikinya untuk selanjutnya disampaikan kembali kepada Central Registry selambat-lambatnya pukul 17.00 WIB pada hari yang sama. i. Berdasarkan permohonan penglepasan agunan SBI sebagaimana tersebut pada huruf g, Central Registry melakukan pemindahan SBI dari Rekening Agunan ke Rekening Perdagangan. 2. Pengagunan oleh Nasabah Sub Registry a. Central Registry memindahkan SBI milik Sub Registry dari Rekening Perdagangan ke Rekening Agunan berdasarkan Laporan Pengagunan SBI dengan menggunakan Formulir BER-18 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 yang disampaikan oleh Sub Registry pada hari transaksi. b. Satu hari kerja setelah berakhirnya periode pengagunan, Central Registry memindahkan secara otomatis SBI yang diagunkan dari Rekening Agunan ke Rekening Perdagangan. c. Dalam …….. 35 c. Dalam hal terjadi pelepasan agunan sebelum berakhirnya periode pengagunan, Central Registry memindahkan SBI yang diagunkan dari Rekening Agunan ke Rekening Perdagangan berdasarkan Laporan Penglepasan Agunan SBI Sebelum Berakhirnya Periode Pengagunan dengan menggunakan Formulir BER-19 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 yang disampaikan oleh Sub Registry pada hari transaksi. C. Tata Cara Pencatatan Pengagunan SBI di Sub Registry 1. Nasabah pemilik SBI pada Sub Registry wajib menyampaikan PP- SKSD kepada Sub Registry. 2. Berdasarkan PP-SKSD, Sub Registry pada hari yang sama: a. memindahkan SBI dari Rekening Perdagangan ke Rekening Agunan; b. menerbitkan SKSD dengan menggunakan Formulir BER-17 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10. 3. Pada hari kerja yang sama, Sub Registry wajib menyampaikan Laporan Pengagunan SBI dengan menggunakan Formulir BER-18 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 kepada Central Registry selambat-lambatnya pukul 17.00 WIB. 4. Pada saat pengagunan berakhir, Sub Registry secara otomatis melakukan pemindahan SBI dari Rekening Agunan ke Rekening Perdagangan. 5. Nasabah Sub Registry pemberi agunan atau pihak lain penerima agunan dapat mengajukan permohonan penglepasan agunan SBI sebelum berakhirnya periode pengagunan kepada Sub Registry dengan persyaratan sebagai berikut : a. pihak pemberi agunan SBI menyampaikan surat permohonan penglepasan agunan SBI dengan dilampiri SKSD asli; atau b. pihak …….. 36 b. pihak penerima agunan SBI menyampaikan surat permohonan penglepasan agunan SBI dan pemindahan kepemilikan SBI dengan dilampiri SKSD asli, SPPR-FoP dari pihak pemberi agunan dan surat kuasa yang ditandatangani oleh kedua belah pihak untuk memindahkan kepemilikan SBI dari pemberi agunan kepada penerima agunan. 6. Pada hari kerja yang sama, Sub Registry wajib menyampaikan kepada Central Registry mengenai Laporan Penglepasan Agunan SBI Sebelum Berakhirnya Periode Pengagunan dengan menggunakan Formulir BER-19 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 selambat- lambatnya pukul 17.00 WIB. IX. TATA CARA PELUNASAN SBI 1. Bank Indonesia melunasi SBI yang jatuh waktu sebesar nilai nominal SBI pada tanggal jatuh waktu SBI. 2. Pembayaran nilai nominal SBI dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan saldo posisi akhir hari Rekening Perdagangan SBI di Central Registry pada 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu SBI sebagaimana dimaksud butir V.B.10. 3. Pembayaran SBI sebesar nilai nominal dilakukan pada saat tanggal jatuh waktu dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk SBI milik Bank dilakukan dengan mengkredit Rekening Giro Bank pemilik SBI, atau; b. untuk SBI milik nasabah (non Bank) dilakukan dengan mengkredit Rekening Giro Bank yang membawahi Sub Registry yang bersangkutan. Selanjutnya Sub Registry membayarkan dana pembayaran SBI dimaksud kepada pemilik SBI. 4. Pada…….. 37 4. Pada saat jatuh waktu SBI, Rekening Perdagangan SBI milik Bank dan Sub Registry yang jatuh waktu didebet sebesar nilai nominal sesuai dengan saldo posisi Rekening Perdagangan sebagaimana dimaksud angka 3 secara otomatis. 5. Sub Registry melalui Bank yang ditunjuk wajib melakukan pembayaran nilai nominal SBI yang jatuh waktu pada hari yang sama kepada nasabah yang tercatat pada Sub Registry. X. MEKANISME PENGENAAN SANKSI 1. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi yang disebabkan Bank atau Pialang tidak memenuhi tata cara pengajuan transaksi dalam rangka Lelang SBI sebagaimana dimaksud dalam butir II.C.11 atau dalam rangka transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.2.h, Bank atau Pialang yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 11 dengan tembusan kepada : 1) Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI; atau 2) Tim Pengawas Bank - KBI setempat, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI, atau 3) Direktorat Pengelolaan Devisa, Bank Indonesia dalam hal sanksi diberikan kepada Pialang Pasar Uang, atau 4) Badan Pengawas Pasar Modal, dalam hal sanksi diberikan kepada Perantara Pedagang Efek, dan b. pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja dalam hal Bank atau Pialang telah dikenakan sanksi teguran…….. 38 teguran tertulis untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan karena pembatalan transaksi SBI di pasar perdana dan atau pembatalan transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia dan atau pembatalan transaksi FASBI sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi yang disebabkan oleh tidak mencukupinya saldo rekening giro Bank untuk menutupi Penyelesaian Pembayaran transaksi Lelang SBI sebagaimana dimaksud dalam angka VI.4 atau pelunasan transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir VII.A.1.f, Bank yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada Lampiran 11 dengan tembusan kepada: 1) Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI; atau 2) Tim Pengawas Bank-KBI setempat, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI, dan b. kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai nominal transaksi SBI yang dibatalkan atau sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah), dan c. pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja dalam hal Bank telah dikenakan teguran tertulis untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan karena pembatalan transaksi SBI di pasar perdana dan atau pembatalan transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia dan atau pembatalan transaksi FASBI sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi yang disebabkan mencukupinya saldo giro Bank dan atau saldo rekening SBI milik Bank tidak atau…….. 39 atau Sub Registry dalam rangka penyelesaian transaksi SBI Repo Antar Bank/Sub Registry sebagaimana dimaksud dalam butir VII.A.2.i dan butir VII.A.2.j, transaksi pelunasan SBI Repo Antar Bank/Sub Registry sebagaimana dimaksud dalam butir VII.A.2.1.3) dan butir VII.A.2.m.5, transaksi SBI Outright secara DVP sebagaimana dimaksud dalam butir VII.B.1.i dan butir VII.B.1.j, dan transaksi SBI Outright secara FoP sebagaimana dimaksud dalam butir VII.B.2.d, Bank/Sub Registry yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 12 dengan tembusan kepada: 1) Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah KPBI; atau 2) Tim Pengawas Bank-KBI setempat, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI; dan b. kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta Rupiah); dan c. pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja dalam hal Bank telah dikenakan teguran tertulis untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan karena pembatalan transaksi SBI di pasar sekunder. 4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam butir 2.b. dan 3.b. dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Bank/Bank yang membawahi Sub Registry yang bersangkutan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. XI. CONTINGENCY PLAN Dalam hal terjadi gangguan pada sistem yang terkait dengan sarana ABS yang disebabkan oleh hal-hal di luar kendali Bank Indonesia, tata cara pelaksanaan transaksi dilakukan sebagaimana SOP ABS dalam Lampiran 6. XII. KONDISI …….. 40 XII. KONDISI DILUAR TANGGUNG JAWAB BANK INDONESIA Bank Indonesia sebagai Central Registry tidak bertanggung jawab atas tidak terlaksananya transaksi dan atau kerugian yang mungkin timbul disebabkan antara lain namun tidak terbatas pada: 1. Keterlambatan informasi atau ketidak-akuratan data yang diterima oleh Bank Indonesia mengenai pejabat yang berwenang dari Bank atau Sub Registry untuk melakukan perintah penyelesaian transaksi SBI. 2. Keadaan bencana alam, kebakaran, banjir, tidak berfungsinya yang sistem kelistrikan secara nasional/regional, taufan, pemogokan, embargo, perang, invasi, huru hara, revolusi, terorisme, dan berbagai gangguan alam serta kemasyarakatan lainnya yang dapat mengganggu jalannya transaksi SBI, penyelesaian transaksi SBI, dan penyelesaian administrasi. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/20/DPM tanggal 18 November 2002 tentang Tata Cara Penerbitan, Perdagangan dan Penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 12 Juni 2003. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, TARMIDEN SITORUS DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 5/9/DPM|SE-BI/2003 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Penerbitan, Perdagangan dan Penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia. </reg_title> <set_date> 10 Juni 2003 </set_date> <effective_date> 12 Juni 2003 </effective_date> <replaced_reg> '4/20/DPM|SE-BI/2002' </replaced_reg> <related_reg> '4/10/PBI/2002', '4/9/PBI/2002' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi X' </penalty_list>
No. 9/3/DPM Jakarta, 5 Maret 2007 SURAT EDARAN Perihal : Biaya Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/2/PBI/2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4706) dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/2/DPM tanggal 5 Maret 2007 perihal Laporan Harian Bank Umum, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang Biaya Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang, dalam suatu Surat Edaran sebagai berikut: I. Bank Pelapor 1. Bank Indonesia menyediakan hak akses berupa user id atas sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) di Bank Indonesia dalam jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya, baik berupa biaya lisensi maupun biaya pemeliharaan. 2. Dalam hal Bank Pelapor menambah hak akses sistem LHBU, Bank Pelapor dikenakan biaya lisensi dan biaya pemeliharaan sistem LHBU yang diatur sebagai berikut: a. Biaya lisensi sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar) dikenakan 1 (satu) kali selama menggunakan hak akses sistem LHBU, untuk setiap tambahan hak akses. b. Biaya pemeliharaan sistem LHBU sebesar USD300 (tiga ratus US Dollar) dikenakan setiap tahun, untuk setiap tambahan hak akses. c. Pembayaran ... 2 c. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b dilakukan dalam ekuivalen mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs transaksi jual Bank Indonesia pada tanggal pembayaran biaya. d. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. e. Dalam rangka pendebetan rekening giro Rupiah Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam huruf d, Bank Pelapor memberikan surat kuasa pendebetan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, sebagaimana contoh terlampir. II. Pelanggan Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) Dalam rangka memperoleh informasi PIPU, Pelanggan PIPU dikenakan biaya lisensi, biaya pemeliharaan sistem LHBU, dan biaya perolehan informasi PIPU yang diatur sebagai berikut: 1. Biaya lisensi untuk pertama kali memperoleh hak akses dikenakan 1 (satu) kali sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar) yang berlaku selama menggunakan informasi PIPU. 2. Setiap tambahan hak akses, dikenakan biaya lisensi sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar) yang berlaku selama menggunakan hak akses. 3. Pembayaran biaya lisensi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dilakukan dengan cara transfer melalui Bank umum dan harus sudah diterima oleh Bank Indonesia pada saat Perjanjian Penggunaan PIPU terkait ditandatangani. 4. Biaya pemeliharaan sistem LHBU sebesar USD300 (tiga ratus US Dollar) setahun untuk setiap hak akses atau setiap tambahan hak akses. 5. Pembayaran biaya pemeliharaan sistem LHBU untuk setiap hak akses atau setiap tambahan hak akses sebagaimana dimaksud pada angka 4, dilakukan ... 3 dilakukan dengan cara transfer melalui Bank umum dan harus sudah diterima oleh Bank Indonesia pada saat Perjanjian Penggunaan PIPU terkait ditandatangani. 6. Biaya perolehan informasi PIPU sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta Rupiah) sebulan untuk setiap hak akses, dan diterima Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 pada bulan yang bersangkutan. 7. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2 dilakukan dalam ekuivalen mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs transaksi jual Bank Indonesia pada tanggal pembayaran dilakukan. 8. Tata cara pembayaran biaya lisensi, biaya pemeliharaan sistem LHBU, dan biaya untuk memperoleh informasi PIPU diatur dalam Perjanjian Penggunaan PIPU. Pada saat Surat Edaran ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/38/DPM tanggal 9 Agustus 2005 perihal Biaya Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 5... Maret 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 9/3/DPM|SE-BI/2007 </reg_id> <reg_title> Biaya Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang </reg_title> <set_date> 5 Maret 2007 </set_date> <effective_date> 5 Maret 2007 </effective_date> <replaced_reg> '7/38/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '9/2/DPM|SE-BI/2007', '9/2/PBI/2007' </related_reg>
No. 6/27/DPM NoAAve Jakarta, 8 Juli 2004 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.6/17/DPM Tanggal 6 April 2004 tentang Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunder. Sehubungan dengan perlu dilakukannya penyelarasan persyaratan sisa jangka waktu transaksi Sertifikat Bank Indonesia secara Repurchase Agreement (Repo) melalui sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System maka Surat Edaran Bank Indonesia No.6/17/DPM tanggal 6 April 2004 tentang Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia di Pasar Sekunder yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4243), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/4/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4365), Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4244), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 18, Tambahan Lembaran … 2 Lembaran Negara Nomor 4366), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4363), dipandang perlu untuk diatur kembali sebagai berikut: Mengubah ketentuan butir II.1.b sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “b. Memiliki sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja.” Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 8 Juli 2004. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 6/27/DPM|SE-BI/2004 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.6/17/DPM Tanggal 6 April 2004 tentang Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunder. </reg_title> <set_date> 8 Juli 2004 </set_date> <effective_date> 8 Juli 2004 </effective_date> <changed_reg> '6/17/DPM|SE-BI/2004' </changed_reg> <related_reg> '6/17/DPM|SE-BI/2004', '6/2/PBI/2004', '6/4/PBI/2004', '6/5/PBI/2004', '4/10/PBI/2002', '4/9/PBI/2002' </related_reg>
No.15/45/DPNP Jakarta, 18 November 2013 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/9/PBI/2012 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5331) dan dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan maka perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat sebagai berikut: 1. Ketentuan . . . 1. Ketentuan dalam butir I.3.c diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: c. Pihak-pihak yang sudah tidak menjadi atau sudah tidak menjabat sebagai pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, namun yang bersangkutan diindikasikan terlibat atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau tindakan yang sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan pada BPR. Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan setiap waktu apabila berdasarkan hasil pengawasan, pemeriksaan atau informasi dari sumber-sumber lainnya terdapat indikasi permasalahan integritas, kompetensi, dan/atau kelayakan/reputasi keuangan. 2. Ketentuan dalam butir II.E diubah, sehingga huruf E berbunyi sebagai berikut: E. Penyampaian Permohonan Surat permohonan berikut dokumen disampaikan secara lengkap oleh BPR kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: 1) Kantor Regional Pengawasan Bank 1, Bank Indonesia, Jalan M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR yang berada di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Karawang, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Provinsi Banten. 2) Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi BPR yang berkantor pusat di luar wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Karawang, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Provinsi Banten. 3. Ketentuan dalam butir III.A.2.k diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: k. menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi komitmen yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. Komitmen yang dimaksud antara lain adalah: 1) komitmen . . . 1) komitmen dalam rangka penyehatan BPR; 2) komitmen terhadap pengembangan operasional BPR yang sehat, termasuk pengembangan ekonomi regional yang mengutamakan pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil (UMK) yang produktif dengan mempertimbangkan potensi wilayah dan ditujukan untuk masyarakat setempat; 3) komitmen untuk tidak mengulangi tindakan atau perbuatan pelanggaran sebagai berikut: a) komitmen dari pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu untuk tidak mengulangi tindakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan/atau huruf c; atau b) komitmen untuk tidak mengulangi tindakan atau perbuatan pelanggaran bagi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat Eksekutif yang pernah diberikan predikat Lulus Bersyarat (LB) karena faktor integritas berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/23/PBI/2004 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat; atau 4) komitmen untuk tidak melakukan dan/atau mengulangi perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan/atau Pasal 39 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan BPR bagi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan Pejabat Eksekutif yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan, dan telah menjalani sanksi. 4. Ketentuan dalam butir III.C.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 2. Pihak-pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu ditetapkan predikat Lulus apabila yang bersangkutan menyampaikan surat pernyataan yang berisi komitmen untuk tidak mengulangi . . . mengulangi tindakan pelanggaran, dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat pemberitahuan hasil sementara dari Bank Indonesia. Dalam hal pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu tidak menyampaikan surat pernyataan yang berisi komitmen kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu tersebut di atas maka yang bersangkutan ditetapkan predikat Tidak Lulus dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun. Pelanggaran atas komitmen yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia menjadi dasar untuk dilakukan uji kemampuan dan kepatutan kepada yang bersangkutan selama yang bersangkutan menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau Pejabat Eksekutif. 5. Dokumen Persyaratan Administratif bagi Calon PSP sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1.a dan Lampiran 1.b, Calon Anggota Dewan Komisaris BPR dan Calon Anggota Direksi BPR sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2.a dan Lampiran 2.b, serta Daftar Riwayat Hidup sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2.c diubah menjadi sebagaimana terlampir. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 18 November 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, IRWAN LUBIS KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 15/45/DPNP|SE-BI/2013 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat </reg_title> <set_date> 18 November 2013 </set_date> <effective_date> 18 November 2013 </effective_date> <changed_reg> '14/36/DKBU|SE-BI/2012' </changed_reg> <related_reg> '14/9/PBI/2012', '14/36/DKBU|SE-BI/2012' </related_reg>
No.7/36/DPM Jakarta, 3 Agustus 2005 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/24/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4521), dipandang perlu untuk menetapkan tata cara pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Yang dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan. 2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor pusat bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional, yang berfungsi … 2 berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah. 3. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement. 4. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan penatausahaan surat berharga secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Peraturan bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System. 5. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI adalah suatu sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. 6. Kliring Debet adalah kegiatan SKNBI untuk transfer debet sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. 7. Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut FLIS adalah fasilitas pendanaan yang disediakan Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan sebagai peserta Sistem BI- RTGS dan SKNBI, yang harus dilunasi pada hari yang sama dengan hari penggunaan. 8. FLIS dalam rangka RTGS bagi Bank yang selanjutnya disebut dengan FLIS- RTGS adalah FLIS untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 9. FLIS … 3 9. FLIS dalam rangka Kliring bagi Bank yang selanjutnya disebut FLIS-Kliring adalah FLIS untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi saat penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet. 10. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah yang selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah. 11. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SWBI adalah bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. 12. Pasar Uang Antarbank berdasarkan prisnip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah. 13. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dan pengelolan dana untuk suatu kegiatan usaha, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati. II. PENYEDIAAN FLIS 1. Bank Indonesia menyediakan FLIS kepada Bank yang meliputi FLIS-RTGS dan atau FLIS-Kliring. 2. Bank dapat memperoleh FLIS setelah menyampaikan: a. Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS sebagaimana contoh dalam lampiran -1 dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi meterai cukup dan ditandatangani oleh Direksi Bank atau pejabat Bank yag diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa sebagai dasar bagi Bank untuk memanfaatkan FLIS; b. Fotokopi anggaran dasar Bank; c.Fotokopi … 4 c. Fotokopi identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor Direksi, Chief Executive Officer (CEO) dan atau pejabat Bank yang diberi kuasa untuk menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang masih berlaku. d. Khusus untu UUS, perjanjian sebagaimana huruf a ditandatangani oleh Direksi bank konvensional atau pejabat bank konvensional yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa, atau oleh pejabat UUS berdasarkan surat kuasa yang konvensional. e. Dokumen sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d disampaikan kepada Bagian Operasi Pasar Uang (OPU), Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM), Bank Indonesia, Jl. MH.Thamrin No.2, Jakarta 10010, dengan tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) atau Tim Pengawas Bank terkait di kantor Bank Indonesia (KBI) yang mewilayahinya. f. Bank Indonesia memberitahukan kepada Bank mengenai persetujuan atau penolakan permohonan FLIS termasuk tanggal efektif pembukaan akses kepada Bank paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 2 diterima secara lengkap. g. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf f disampaikan secara tertulis melalui surat atau sarana BI-SSSS. h. Bank Indonesia menghentikan akses penggunaan FLIS melalui sarana BI- SSSS apabila Bank tidak lagi memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan. diberikan oleh Direksi bank III. PENGAGUNAN FLIS 1. Bank dapat mengagunkan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan … 5 diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan milik Bank yang bersangkutan yang tercatat dalam rekening aktif melalui sarana BI-SSSS. 2. Pengagunan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 diatur sebagai berikut: a. Pengagunan dalam rangka FLIS-RTGS 1) Bank memindahkan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan dari rekening aktif ke rekening agunan khusus FLIS- RTGS pada sarana BI-SSSS. 2) Pemindahan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan dilakukan pada saat Bank membutuhkan FLIS-RTGS (self assessment) selama jam operasional BI-RTGS sampai dengan cut off warning sistem BI-RTGS. 3) SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang telah diagunkan sebagaimana dimaksud dalam angka 1) tidak dapat dipindahkan ke rekening aktif selama Bank menggunakan FLIS RTGS. 4) Bank dapat memindahkan kembali SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan sebagaimana dimaksud dalam angka 1) ke rekening aktif setelah Bank melunasi FLIS-RTGS. b. Pengagunan dalam rangka FLIS-Kliring 1) Bank harus memindahkan surat berharga berupa SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip … 6 prinsip syariah yang dapat diagunkan dari rekening aktif ke rekening agunan khusus FLIS-Kliring dalam rangka pemenuhan kewajiban penyediaan pendanaan awal (prefund). 2) Pemindahan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan sebagaimana dimaksud dalam angka 1) dilakukan pada awal hari sebelum Kliring Debet dimulai sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. 3) Bank dapat memindahkan kembali SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan sebagaimana dimaksud pada angka 1) ke rekening aktif mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. 3. Mekanisme pengagunan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan dalam rangka FLIS melalui sarana BI-SSSS dilakukan mengikuti tata cara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang berlaku. IV. PENGGUNAAN FLIS 1. Penggunaan FLIS-RTGS a. Bank dapat menggunakan FLIS-RTGS dimulai sejak sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS sepanjang Bank telah memindahkan surat berharga ke rekening agunan FLIS-RTGS sebagaimana dimaksud pada butir III.2.a. b. Penggunaan FLIS-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk ; 1) penyelesaian transaksi keluar (outgoing transaction) sistem BI- RTGS; dan 2) penyelesaian … sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang 7 2) penyelesaian akhir Kliring Debet, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. 2. Penggunaan FLIS-Kliring Penggunaan FLIS-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban Bank dalam penyelesaian akhir Kliring Debet sepanjang Bank telah memindahkan surat berharga ke rekening agunan khusus FLIS-Kliring sebagaimana dimaksud pada butir III.2.b. 3. Mekanisme penggunaan FLIS melalui sarana BI-SSSS mengikuti tata cara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang berlaku. V. PELUNASAN FLIS 1. Bank wajib melunasi FLIS pada hari penggunaan FLIS (T+0) selambat- lambatnya sampai dengan pre cut-off Sistem BI-RTGS. 2. Pelunasan FLIS dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat transaksi masuk (incoming transaction) ke rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia. 3. Mekanisme pelunasan FLIS melalui sarana BI-SSSS dilakukan mengikuti tata cara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang berlaku. VI. IMBALAN PENGGUNAAN FLIS 1. Bank Indonesia mengenakan imbalan atas FLIS yang digunakan oleh Bank. 2. Pengenaan imbalan FLIS sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah penggunaan FLIS. 3. Perhitungan imbalan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: X … 8 X = P x R x N x [T / (10,5 jam x 60 menit)] x [1/360] Keterangan: X = besarnya imbalan yang diterima Bank Indonesia P = nominal penggunaan FLIS R = rata-rata tertimbang PUAS terakhir N = nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia (sebesar 90%) T = waktu penggunaan FLIS (dihitung dan dibulatkan ke atas sampai dengan perhitungan menit terdekat) 10,5 jam = jangka waktu dari mulai dibukanya jam operasional Sistem BI-RTGS (pk.06.30 WIB) sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS (pk.17.00). 4. Imbalan dalam 1 (satu) jam pertama penggunaan FLIS sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dihitung dengan cara: a. Pembulatan waktu penggunaan menjadi 1 (satu) jam; dan b. Nilai nominal penggunaan FLIS dalam 1 (satu) jam pertama merupakan akumulasi dari transaksi FLIS yang diajukan Bank dalam kurun waktu tersebut. 5. Imbalan atas penggunaan FLIS yang terjadi setelah 1 (satu0 jam pertama sebagaimana dimaksud dalam angka 4.b dihitung per transaksi dengan pembulatan waktu pembulatan ke atas dalam hitungan menit. 6. Contoh pembulatan waktu penggunaan dan perhitungan imbalan FLIS sebagaimana Lampiran 2. VII. PENGALIHAN FLIS MENJADI FPJPS 1. Dalam hal Bank tidak melunasi FLIS sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam angka V.1. maka terhadap nilai FLIS yang tidak dilaunasi diberlakukan sebagai FPJPS dan agunan yang tercatat dalam sarana BI-SSSS otomatis dijadikan sebagai agunan FPJPS. 2. Dengan … 9 2. Dengan pengalihan FLIS menjadi FPJPS sebagaimana dimaksud dalam angka 1 maka Bank tunduk pada ketentuan FPJPS yang berlaku antara lain meliputi kewajiban penyampaian perjanjian pembiayaan FPJPS dan akta pengikatan agunan, tata cara pelunasan, eksekusi agunan, pengawasan dan sanksi atas penggunaan FPJPS. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2005 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BUDI MULYA DIREKTORAT PENGELOLAAN MONETER DPM
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 7/36/DPM|SE-BI/2005 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title> <set_date> 3 Agustus 2005 </set_date> <effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date> <related_reg> '7/24/PBI/2005' </related_reg>
No. 7/32/DPM Jakarta, 1 Agustus 2005 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Marjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4383), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/11/PBI/2005 tanggal 31 Maret 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4491), maka Bank Indonesia menetapkan marjin suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dan pasar uang antar bank sebagai berikut: 1. Marjin untuk Maksimum Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah ditetapkan sebesar: Jangka Waktu Simpanan 1 bulan 3 bulan 6 bulan Marjin (basis point) Ditambah 0 (nol) Ditambah 5 (lima) Ditambah 10 (sepuluh) 12 bulan Ditambah 25 (dua puluh lima) 24 bulan Ditambah 55 (lima puluh lima) dari … 2 dari rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 3 (tiga) bulan pada lelang terakhir. 2. Marjin untuk Maksimum Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam US Dollar ditetapkan sebesar: Jangka Waktu Simpanan 1 bulan 3 bulan Marjin (basis point) Ditambah 106 (seratus enam) Ditambah 102 (seratus dua) 6 bulan Ditambah 95 (sembilan puluh lima) 12 bulan Ditambah 86 (delapan puluh enam) 24 bulan Ditambah 89 (delapan puluh sembilan) dari rata-rata suku bunga deposito dalam US Dollar bank-bank anggota Jakarta Inter Bank Offered Rates (JIBOR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia menurut jangka waktu tertentu selama 1 (satu) bulan sebelumnya. 3. Marjin untuk maksimum Suku Bunga PUAB ditetapkan sebagai berikut : a. Marjin untuk maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah yang dijamin Pemerintah ditetapkan 0 (nol) basis point di atas rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight pagi dalam Rupiah dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya. b. Marjin untuk maksimum suku bunga PUAB dalam valuta asing dalam US Dollar yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar 220 (dua ratus dua puluh) basis point di bawah rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight dalam valuta asing US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/20/DPM tanggal 1 Juli 2005 perihal Marjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2005. Agar … 3 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 7/32/DPM|SE-BI/2005 </reg_id> <reg_title> Marjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank </reg_title> <set_date> 1 Agustus 2005 </set_date> <effective_date> 1 Agustus 2005 </effective_date> <replaced_reg> '7/20/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '6/11/PBI/2004', '7/11/PBI/2005' </related_reg>
No. 14/31/DPNP Jakarta, 31 Oktober 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA Perihal : Laporan Kantor Pusat Bank Umum Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5349) dan dalam rangka menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan penyampaian Laporan Kantor Pusat Bank Umum, yang selanjutnya disebut dengan Laporan, perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut: I. BANK PELAPOR Yang termasuk sebagai Bank Pelapor meliputi: 1. Kantor pusat dari Bank yang berbadan hukum Indonesia, yaitu: a. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; b. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; dan 3. Unit Usaha Syariah. II. CAKUPAN ... II. CAKUPAN LAPORAN A. Laporan yang disusun secara mingguan adalah laporan proyeksi arus kas. B. Laporan yang disusun secara bulanan terdiri atas laporan: 1. kegiatan kustodian; 2. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); 3. penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik bulanan; 4. remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia; 5. mutasi rekening pemerintah; 6. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank berupa produk keuangan luar negeri; 7. transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking; 8. structured product berupa data: a. outstanding transaksi structured product; b. transaksi structured product yang bermasalah; 9. pejabat eksekutif; 10. jaringan kantor; dan 11. laporan keuangan publikasi bulanan. C. Laporan yang disusun secara triwulanan terdiri atas laporan: 1. penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik triwulanan; 2. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank berupa data: a. bancassurance; b. reksadana; 3. laporan keuangan publikasi triwulanan; dan 4. penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah. D. Laporan ... D. Laporan yang disusun secara tahunan adalah laporan tenaga kerja perbankan. III. FORMAT LAPORAN A. Format Laporan yang Disampaikan ke Bank Indonesia Penyusunan Laporan mengacu pada Pedoman Penyusunan Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang selanjutnya disebut Pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang selanjutnya disebut Juknis sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini, dengan menggunakan format sebagai berikut: 1. Laporan yang disusun secara mingguan berupa laporan proyeksi arus kas menggunakan Form 707. 2. Laporan yang disusun secara bulanan: a. kegiatan kustodian menggunakan Form 101; b. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN): 1) transaksi SKBDN menggunakan Form 201; 2) pembelian wesel SKBDN menggunakan Form 202; 3) penjualan wesel SKBDN menggunakan Form 203; c. penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik bulanan: 1) penerbit kartu kredit menggunakan Form 301; 2) penerbit selain kartu kredit menggunakan Form 302; 3) acquirer menggunakan Form 303; 4) infrastruktur menggunakan Form 304; 5) fraud APMK dan uang elektronik menggunakan Form 306; d. remittance ... d. remittance: 1) remittance dari TKI di luar negeri menggunakan Form 401; 2) remittance dari TKA di Indonesia menggunakan Form 402; e. mutasi rekening pemerintah menggunakan Form 501; f. aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri menggunakan Form 703; g. transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking menggunakan Form 704; h. structured product berupa data: 1) outstanding transaksi menggunakan Form 705; 2) transaksi structured product yang bermasalah menggunakan Form 706; i. pejabat eksekutif: 1) pengangkatan, pergantian, dan pemberhentian pejabat eksekutif menggunakan Form 801; 2) j. riwayat perkerjaan individual pejabat eksekutif menggunakan Form 802; jaringan kantor menggunakan Form 807; k. laporan keuangan publikasi bulanan menggunakan Form 901. 3. Laporan yang disusun secara triwulanan: a. penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik triwulanan berupa penyelenggara kliring dan/atau penyelesaian akhir (settlement) menggunakan Form 305; structured product b. aktivitas ... b. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank berupa data: 1) bancassurance menggunakan Form 701; 2) reksadana menggunakan Form 702; c. laporan keuangan publikasi triwulanan menggunakan Form 902; d. penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah: 1) jenis produk dan permasalahan yang diadukan menggunakan Form 601; 2) pengaduan yang diselesaikan dalam masa laporan menggunakan Form 602; 3) penyebab pengaduan menggunakan Form 603; 4) publikasi negatif menggunakan Form 604; 5) penyelesaian sengketa menggunakan Form 605. 4. Laporan yang disusun secara tahunan berupa data tenaga kerja perbankan yang meliputi: a. struktur tenaga kerja menurut jenjang informasi pendidikan, status tenaga kerja, jenis kelamin, usia, pendidikan, dan jabatan menggunakan Form 803; b. perkembangan jumlah tenaga kerja pensiun, pensiun dini, dan tenaga kerja yang diberhentikan menggunakan Form 804; c. prediksi jumlah kebutuhan pegawai berdasarkan jenis pekerjaan dan kualifikasi menggunakan Form 805; d. jumlah dan pelatihan karyawan menggunakan Form 806. B. Format ... B. Format Laporan yang Disampaikan oleh Bank Pelapor 1. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib menyampaikan laporan dengan format sebagai berikut: Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 401, Form 402, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604, Form 605, Form 701, Form 702, Form 703, Form 704, Form 705, Form 706, Form 707, Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805, Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902. 2. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib menyampaikan laporan dengan format sebagai berikut: Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 401, Form 402, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604, Form 605, Form 701, Form 702, Form 704, Form 707, Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805, Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902. 3. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib menyampaikan laporan dengan format sebagai berikut: Form 101, Form 201, Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, Form 401, Form 402, Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604, Form 605, Form 701, Form 702 ... Form 702, Form 703, Form 704, Form 705, Form 706, Form 707, Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805, Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902. 4. Unit Usaha Syariah wajib menyampaikan laporan dengan format sebagai berikut: Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, Form 306, dan Form 902. C. Bank Pelapor yang Tidak Perlu Menyampaikan Format Laporan atas Kegiatan/Aktivitas Tertentu 1. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan kustodian tidak menyampaikan Form 101. 2. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan APMK dan uang elektronik tidak menyampaikan Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, dan Form 306. 3. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas bancassurance tidak menyampaikan Form 701. 4. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas sebagai agen penjual efek reksadana tidak menyampaikan Form 702. 5. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri tidak menyampaikan Form 703. 6. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking tidak menyampaikan Form 704. 7. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan structured product tidak menyampaikan Form 705 dan Form 706. IV. PENYAMPAIAN … ... IV. PENYAMPAIAN DAN KOREKSI LKPBU A. Batas Waktu Penyampaian dan Koreksi LKPBU 1. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang Disusun Secara Mingguan a. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.1 pada setiap hari Jumat. Contoh: Laporan proyeksi arus kas periode tanggal 8-12 Oktober 2012 disampaikan pada hari Jumat tanggal 5 Oktober 2012. b. Dalam hal hari Jumat adalah hari libur maka laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.1 disampaikan kepada Bank Indonesia pada Hari Kerja sebelumnya. Contoh: Laporan mingguan proyeksi arus kas yang seharusnya disampaikan pada hari Jumat tanggal 26 Oktober 2012 menjadi disampaikan pada hari Kamis tanggal 25 Oktober 2012, karena tanggal 26 Oktober 2012 merupakan hari libur. 2. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang Disusun Secara Bulanan a. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.2.a, butir III.A.2.b, butir III.A.2.d, butir III.A.2.e, butir III.A.2.g, butir III.A.2.h, butir III.A.2.i, dan butir III.A.2.j paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan laporan berikutnya Contoh ... Contoh: Laporan, form header, dan/ atau koreksi laporan kegiatan kustodian bulan Oktober 2012 disampaikan paling lambat pada hari Rabu tanggal 7 November 2012. b. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.2.k paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal 2 (dua) bulan laporan berikutnya. Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi laporan keuangan publikasi bank bulan Oktober 2012 disampaikan paling lambat pada hari Jumat tanggal 7 Desember 2012. c. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.2.c dan butir III.A.2.f paling lambat tanggal 15 pada bulan laporan berikutnya. Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi laporan penerbit kartu kredit bulan Desember 2012 disampaikan paling lambat pada hari Selasa tanggal 15 Januari 2013. d. Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka laporan, form header, dan/atau koreksi laporan disampaikan kepada Bank Indonesia pada Hari Kerja berikutnya. Contoh ... Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi laporan penerbit kartu kredit bulan Oktober 2012 disampaikan paling lambat hari Jumat tanggal 16 November 2012, karena tanggal 15 November 2012 merupakan hari libur. 3. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang Disusun Secara Triwulanan a. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.3.d paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan April untuk triwulan I, 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Juli untuk triwulan II, 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Oktober untuk triwulan III, dan 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Januari untuk triwulan IV. Contoh: Laporan penanganan dan pengaduan nasabah untuk triwulan III tahun 2012 disampaikan paling lambat tanggal 5 Oktober 2012. Data yang dilaporkan merupakan akumulasi data dari tanggal 1 Juli 2012 sampai dengan tanggal 30 September 2012. b. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.3.a dan butir III.A.3.b paling lambat pada tanggal 15 bulan April untuk triwulan I, tanggal 15 bulan Juli untuk triwulan II, tanggal 15 bulan Oktober untuk triwulan III, dan tanggal 15 bulan Januari untuk triwulan IV. . Contoh ... Contoh: Laporan penyelenggara kliring dan/atau penyelesaian akhir (settlement) untuk triwulan III tahun 2012 disampaikan paling lambat tanggal 15 Oktober 2012. c. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.3.c paling lambat tanggal 15 bulan Mei untuk triwulan I, tanggal 15 bulan Agustus untuk triwulan II, tanggal 15 bulan November untuk triwulan III, dan tanggal 15 bulan April untuk triwulan IV. Contoh: 1) Laporan keuangan publikasi bank untuk triwulan III posisi akhir bulan September 2012 disampaikan paling lambat tanggal 15 November 2012. 2) Laporan keuangan publikasi bank untuk triwulan IV posisi akhir bulan Desember 2012 disampaikan paling lambat tanggal 15 April 2013. d. Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia pada Hari Kerja berikutnya. Contoh: Laporan, form header dan/atau koreksi laporan penyelenggara kliring dan/atau settlement untuk triwulan II tahun 2012 paling lambat disampaikan kepada Bank Indonesia pada tanggal 15 Juli 2012, namun karena tanggal 15 Juli 2012 jatuh pada hari ... hari Minggu, maka laporan tersebut paling lambat disampaikan pada hari Senin tanggal 16 Juli 2012. 4. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang Disusun Secara Tahunan Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.4 paling lambat pada tanggal 15 Februari tahun berikutnya. Contoh: Laporan, form header dan/atau koreksi laporan tenaga kerja tahun 2012 disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 15 Februari 2013. Dalam hal tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka laporan, form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.4 disampaikan kepada Bank Indonesia pada Hari Kerja berikutnya. B. Tata Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan 1. Sebelum menyampaikan Laporan, Bank Pelapor melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam Juknis sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2. 2. Bank Pelapor wajib menyampaikan form sesuai dengan jenis Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A. 3. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A yang wajib disampaikan selama periode Laporan, Bank Pelapor tetap wajib ... wajib menyampaikan Laporan dengan cara menyampaikan form header. 4. Kewajiban menyampaikan form header sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku bagi Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan kustodian, kegiatan APMK dan uang elektronik, aktivitas bancassurance, aktivitas sebagai agen penjual efek reksadana, aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri, transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking dan kegiatan structured product. 5. Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Pelapor lain namun secara operasional belum efektif berlaku, masing-masing Bank Pelapor peserta merger atau konsolidasi tetap wajib menyampaikan Laporan sebelum dilakukan merger atau konsolidasi secara operasional. Contoh: Apabila pada tanggal 22 Juli 2013 Bank Pelapor X secara operasional telah melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Pelapor Y, maka masing-masing Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan bulan Juni 2013. Sementara itu, Laporan bulan Juli 2013 merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh Bank Pelapor hasil merger atau konsolidasi. Contoh: Apabila pada tanggal 22 Juli 2013 Bank Pelapor X secara operasional telah melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Pelapor Y, maka Laporan triwulan III tahun 2013 merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan ... gabungan yang dilaporkan oleh Bank Pelapor hasil merger atau konsolidasi. C. Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara On-Line 1. Sistem LKPBU secara On-Line digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan akhir bulan periode penyampaian Laporan. Contoh: a. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan kegiatan kustodian bulan September 2012 secara On-line paling lambat 5 (lima) hari kerja pada awal bulan Oktober 2012. Sistem LKPBU secara On-Line hanya dapat digunakan untuk penyampaian laporan, form header, dan/atau koreksi laporan kegiatan kustodian sampai dengan akhir bulan Oktober 2012. b. Bank Pelapor menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan bancassurance untuk triwulan III tahun 2012 secara On-Line paling lambat tanggal 15 Oktober 2012. Sistem LKPBU secara On-Line hanya dapat digunakan untuk penyampaian laporan, form header, dan/atau koreksi laporan bancassurance sampai dengan akhir bulan Oktober 2012. c. Bank Pelapor menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan tenaga kerja perbankan untuk tahun 2012 secara On-Line paling lambat tanggal 15 Februari 2013. Sistem LKPBU secara On-Line hanya dapat ... dapat digunakan untuk penyampaian laporan, form header, dan/atau koreksi laporan tenaga kerja perbankan sampai dengan akhir bulan Februari 2013. 2. Khusus untuk laporan proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.1, Sistem LKPBU secara On-Line hanya dapat digunakan sampai dengan 2 (dua) Hari Kerja setelah hari Jumat. Contoh: Bank Pelapor menyampaikan laporan, form header, dan/atau koreksi laporan proyeksi arus kas untuk periode tanggal 8-12 Oktober 2012 secara On-Line pada hari Jumat tanggal 5 Oktober 2012. Sistem LKPBU secara On-Line hanya dapat digunakan untuk penyampaian laporan, form header, dan/atau koreksi laporan proyeksi arus kas sampai dengan tanggal 9 Oktober 2012. D. Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara Off-Line 1. Penyampaian Secara Off-Line Karena Melampaui Batas Waktu Penyampaian Secara On-Line Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf C dilakukan secara Off-Line. 2. Penyampaian Secara Off-Line Karena Gangguan Teknis a. Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis pada batas waktu penyampaian Laporan, Bank Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai gangguan teknis yang dialami pada hari terjadinya gangguan teknis. b. Pemberitahuan ... b. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor berwenang dan disampaikan kepada: 1) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. c. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line karena gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line kepada Bank Indonesia dengan alamat: 1) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia paling lambat pukul 10:00 WIB pada Hari Kerja berikutnya; atau 2) Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia paling lambat pukul 10:00 waktu setempat pada Hari Kerja berikutnya. Contoh ... Contoh: Pada tanggal 5 November 2012 Bank Pelapor X mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line, maka Bank Pelapor X wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line paling lambat tanggal 6 November 2012 pukul 10:00 waktu setempat. d. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia, Bank Indonesia akan memberitahukan secara tertulis dan/atau menggunakan sarana lainnya kepada Bank Pelapor. e. Dalam hal gangguan teknis terjadi pada batas waktu penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.1.a, butir IV.A.1.b, butir IV.A.2.a, butir IV.A.2.b, butir IV.A.2.c, butir IV.A.2.d, butir IV.A.3.a, butir IV.A.3.b, butir IV.A.3.c, butir IV.A.3.d, dan butir IV.A.4, Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan pada Hari Kerja berikutnya secara Off-Line. f. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan karena keadaan memaksa (force majeure) wajib segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor yang berwenang kepada Bank Indonesia dengan alamat: 1) Departemen ... 1) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. V. PENYAMPAIAN PERTANYAAN Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan sistem, materi, dan/atau ketentuan Laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: 1. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Grup Neraca Pembayaran mengenai materi Form 101, Form 401, dan Form 402. 2. Departemen Internasional, Grup Kerjasama dan Studi Multilateral mengenai materi Form 201, Form 202, dan Form 203. 3. Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran, Divisi Perizinan dan Informasi Sistem Pembayaran dan Divisi Pengawasan Sistem Pembayaran mengenai materi Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, dan Form 306. 4. Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Grup Kebijakan Moneter mengenai materi Form 501. 5. Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Divisi Mediasi Perbankan mengenai materi Form 601, Form 602, Form 603, Form 604, dan Form 605. 6. Departemen ... 6. Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan mengenai materi Form 701, Form 702, Form 703, Form 704, Form 705, Form 706, dan Form 707. 7. Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan mengenai materi Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805, Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902. 8. Departemen Pengelolaan Sistem Informasi, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aplikasi dan otomasi sistem penyampaian Laporan dan akses Sistem LKPBU di Bank Indonesia. Pertanyan-pertanyaan yang terkait dengan hal-hal tersebut di atas disampaikan melalui Helpdesk Bank Indonesia dengan nomor telepon (021) 381-8000. VI. SANKSI Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar yang dikenakan. VII. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/3/UKMI tanggal 8 Februari 2008 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/18/DPNP tanggal 16 Juli 2009 perihal Pelaporan Structured Product, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2012. Agar ... Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MULYA E. SIREGAR KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN DPNP/DASP/DSM/DInt
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 14/31/DPNP|SE-BI/2012 </reg_id> <reg_title> Laporan Kantor Pusat Bank Umum </reg_title> <set_date> 31 Oktober 2012 </set_date> <effective_date> 1 November 2012 </effective_date> <replaced_reg> '11/18/DPNP|SE-BI/2009', '10/3/UKMI|SE-BI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '14/12/PBI/2012' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
No. 5/29/DPD Jakarta, 18 November 2003 SURAT EDARAN Kepada SEMUA PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING : Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia No.5/5/PBI/2003 tanggal 1 April 2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4283), dengan ini diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing sebagai berikut. I. TATA CARA PERIZINAN A. Persetujuan Prinsip 1. Permohonan persetujuan prinsip diajukan oleh salah satu calon pemilik Perusahaan Pialang, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh format Lampiran 1. Perihal 2. Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana diatur dalam angka 1 diajukan kepada : Bank Indonesia Direktorat Pengelolaan Devisa Gedung B, Lantai 8 Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110. 3. Dalam hal pemohon tidak memenuhi kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan … permohonan tersebut diterima oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia memberitahukan dengan surat tertulis kepada pemohon untuk melengkapi dokumen dimaksud. 4. Dalam hal dokumen yang dipersyaratkan telah lengkap sesuai dengan ketentuan maka Bank Indonesia akan menerbitkan tanda terima kelengkapan dokumen pengajuan permohonan sebagaimana tersebut di atas selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. 5. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip untuk melakukan kegiatan sebagai Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing dengan surat tertulis selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. 6. Perusahaan Pialang wajib mengajukan permohonan izin usaha selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya persetujuan prinsip. 7. Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan oleh Bank Indonesia, pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip belum mengajukan permohonan izin usaha, secara otomatis, tanpa surat pemberitahuan dari Bank Ind onesia, persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. B. Izin Usaha 1. Permohonan izin usaha diajukan oleh salah satu calon pemilik perusahaan pialang, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh format Lampiran 2. 2. Permohonan izin usaha sebagaimana diatur dalam angka 1 diajukan kepada: Bank Indonesia … Bank Indonesia Direktorat Pengelolaan Devisa Gedung B, Lantai 8 Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110. 3. Dalam hal pemohon tidak memenuhi kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan dimaksud diterima oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi dokumen dimaksud. 4. Dalam hal dokumen yang dipersyaratkan telah lengkap sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia maka Bank Indonesia akan menerbitkan tanda terima kelengkapan dokumen pengajuan permohonan sebagaimana tersebut di atas selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. 5. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha untuk melakukan kegiatan sebagai Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing dengan surat tertulis selambat- lambatnya 90 (sembilan puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. 6. Perusahaan Pialang wajib melakukan kegiatan usaha selambat- lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal izin usaha dikeluarkan. 7. Perusahaan Pialang wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional. 8. Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak dikeluarkannya izin usaha Perusahaan Pialang tidak melaksanakan kegiatan usaha, maka … maka Bank Indonesia akan membatalkan izin usaha dengan menerbitkan surat pembatalan izin usaha. II. TATA CARA PENGAWASAN A. Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Pialang, baik secara langsung maupun tidak langsung. B. Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap Perusahaan Pialang, Bank Indonesia dapat bekerjasama dengan pihak lain yang ditunjuk. C. Dalam hal pengawasan langsung, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan umum dan atau pemeriksaan khusus (insidentil) dalam hal diperlukan. D. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, petugas pemeriksa dilengkapi dengan surat penugasan dari Bank Indonesia yang memuat antara lain tujuan dan objek pemeriksaan. E. Objek pemeriksaan umum meliputi : 1. penelitian atas kebenaran dan keakuratan laporan-laporan yang disampaikan ke Bank Indonesia; 2. manajemen (termasuk aspek organisasi, keuangan dan pengawasan intern) serta sistem dan prosedur kegiatan operasional. F. Dalam hal pengawasan tidak langsung, Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap kepatuhan atas pelaksanaan ketentuan yang berlaku, termasuk penyampaian laporan yang ditetapkan. III. TATA CARA PELAPORAN Dalam rangka pengawasan dan pembinaan, Perusahaan Pialang wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut : A. Laporan Berkala : 1. Laporan bulanan meliputi laporan kegiatan usaha yang disampaikan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah berakhirnya bulan … bulan laporan yang bersangkutan dengan menggunakan format sebagaimana contoh format Lampiran 3; 2. Laporan tahunan meliputi laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik dan disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun laporan yang bersangkutan dengan format yang lazim dipergunakan di dunia usaha. B. Laporan khusus meliputi laporan selain laporan berkala yang dapat diminta sewaktu-waktu oleh Bank Indonesia sesuai dengan kebutuhan. C. Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.A. dan III.B. di atas disampaikan kepada: Bank Indonesia Direktorat Pengelolaan Devisa Tim Analisis Ekonomi dan Peraturan Devisa Gedung B, Lantai 8 Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110. IV. TATA CARA PERUBAHAN KEPEMILIKAN, SUSUNAN DIREKSI, DAN KOMISARIS. Tata cara izin perubahan kepemilikan, susunan direksi dan komisaris Perusahaan Pialang diatur sebagai berikut : A. Perusahaan Pialang mengajukan permohonan izin perubahan kepemilikan, susunan direksi dan komisaris secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh format Lampiran 4. B. Surat permohonan izin perubahan kepemilikan, susunan direksi dan komisaris sebagaimana dimaksud dalam huruf A dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut : 1. pas foto terakhir ukuran 4x6 cm; 2. fotokopi… 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; 3. riwayat hidup; 4. surat pernyataan pribadi bermeterai cukup yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya serta tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan. C. Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A. diajukan kepada : Bank Indonesia Direktorat Pengelolaan Devisa Gedung B, Lantai 8 Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110. D. Dalam hal dokumen yang dipersyaratkan telah diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia, maka Bank Indonesia akan memberikan surat tanda terima. E. Pemberitahuan persetujuan atau penolakan izin sebagaimana dimaksud pada butir IV.A. tersebut di atas, dilakukan dengan memberikan surat tertulis kepada perusahaan pialang yang bersangkutan selambat- lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI A. Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan pertama dengan mengeluarkan surat peringatan pertama dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) PBI No. 5/5/PBI/2003. B. Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dengan mengeluarkan surat peringatan kedua dalam hal Perusahaan Pialang melakukan … melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) PBI No. 5/5/PBI/2003. C. Dalam hal perusahaan pialang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) huruf a dan huruf b PBI No. 5/5/PBI/2003 maka : 1. Bank Indonesia melakukan pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham Perusahaan Pialang dengan surat; 2. Pengurus dan atau pemegang saham Perusahaan Pialang membuat surat pernyataan bermeterai cukup yang memuat rencana tindak lanjut. D. Dalam hal Perusahaan Pialang tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f PBI No. 5/5/PBI/2003 selambat- lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham, Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha Perusahaan Pialang dengan cara memberitahukan pencabutan izin usaha secara tertulis kepada Perusahaan Pialang dengan melampirkan Keputusan Pencabutan Izin Usaha yang menyatakan izin usaha Perusahaan Pialang yang bersangkutan dicabut dan tidak berlaku. Selanjutnya Bank Indonesia mengumumkan Perusahaan Pialang yang izin usahanya dicabut melalui media cetak dan atau elektronik. VI. TATA CARA PENDAFTARAN ULANG A. Seluruh Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang pernah mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan pendaftaran ulang dengan menggunakan format sebagaimana contoh format Lampiran 5. Dalam rangka pendaftaran ulang dimaksud Perusahaan Pialang wajib menyampaikan surat disertai dokumen- dokumen sebagai berikut : 1. Surat… 1. Surat izin usaha yang diterbitkan Bank Indonesia; 2. Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia mengenai penetapan nama perusahaan dan pengesahan Anggaran Dasar; 3. Akta Notaris mengenai Anggaran Dasar perusahaan; 4. Susunan Pengurus dan Pemegang Saham yang terakhir. B. Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf A disampaikan kepada : Bank Indonesia Direktorat Pengelolaan Devisa Gedung B Lantai 8 Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 18 November 2003. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar maklum. BANK INDONESIA, MADE SUKADA DIREKTUR PENGELOLAAN DEVISA
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 5/29/DPD|SE-BI/2003 </reg_id> <reg_title> Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing </reg_title> <set_date> 18 November 2003 </set_date> <effective_date> 18 November 2003 </effective_date> <related_reg> '5/5/PBI/2003' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
No. 6/ 32 /DPM Jakarta, 30 Juli 2004 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/20/DPM Tanggal 26 April 2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank Menunjuk Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank, maka perlu dilakukan perubahan pada beberapa butir dalam Surat Edaran Nomor 6/20/DPM tanggal 26 April 2004 perihal Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank, sebagai berikut: 1. Butir I.B.2 diubah sehingga menjadi sebagai berikut: ”2. Marjin Maksimum Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga ditetapkan sebesar: Jangka Waktu Simpanan 1 bulan 3 bulan 6 bulan 12 bulan 24 bulan Marjin (basis point) Dikurangi 4 (empat) Ditambah 1 (satu) Ditambah 6 (enam) Ditambah 21 (dua puluh satu) Ditambah 51 (lima puluh satu) dari rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 3 (tiga) bulan pada lelang terakhir.” 2. Butir I.B.4 diubah sehingga menjadi sebagai berikut: “4. Marjin … 2 “4. Marjin untuk maksimum suku bunga simpanan pihak ketiga dalam valuta asing US Dollar berjangka waktu 1, 3, 6, 12 dan 24 bulan yang dijamin Pemerintah masing-masing ditambah 3 (tiga) basis point di atas rata-rata suku bunga deposito dalam valuta asing US Dollar dari bank-bank anggota Jakarta Inter Bank Offered Rates (JIBOR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia menurut jangka waktu tertentu selama 1 (satu) bulan sebelumnya.” 3. Butir II.B diubah sehingga menjadi sebagai berikut: “B. Maksimum Suku Bunga PUAB a. Maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar 23 (dua puluh tiga) basis point di atas rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight pagi dalam Rupiah dari bank- bank anggota JIBOR yang dipilih oleh Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya. b. Maksimum suku bunga PUAB dalam valuta asing dalam US Dollar yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar 24 (dua puluh empat) basis point di bawah rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight pagi valuta asing dalam US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang dipilih oleh Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya.” Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 30 Juli 2004. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, Ttd. BUDI MULYA DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 6/32/DPM|SE-BI/2004 </reg_id> <reg_title> Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/20/DPM Tanggal 26 April 2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank </reg_title> <set_date> 30 Juli 2004 </set_date> <effective_date> 30 Juli 2004 </effective_date> <changed_reg> '6/20/DPM|SE-BI/2004' </changed_reg> <related_reg> '6/11/PBI/2004 | Pasal 3', '6/20/DPM|SE-BI/2004' </related_reg>
No. 11/ 1 /DPNP Jakarta, 21 Januari 2009 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal: Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko untuk Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Dalam rangka upaya meningkatkan penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah serta sehubungan dengan pengaturan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, maka perlu diatur kembali ketentuan mengenai perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko yang selanjutnya disebut ATMR untuk Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut KUMKM dalam Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut: I. UMUM A. Sejalan dengan upaya menggerakkan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka peran perbankan dalam … dalam pembiayaan pembangunan terutama dalam rangka penyaluran kredit terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah perlu ditingkatkan. B. Sebagian besar usaha mikro, kecil, dan menengah yang layak, menghadapi permasalahan dalam pemenuhan persyaratan teknis perbankan (bankable) sehingga dalam penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan peran lembaga penjaminan/asuransi kredit. C. Kebijakan dalam rangka meningkatkan peran perbankan dan lembaga penjaminan/asuransi kredit tersebut dilakukan dengan menurunkan penetapan bobot risiko dalam perhitungan ATMR untuk KUMKM yang dijamin oleh lembaga penjaminan/asuransi kredit yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. II. PERHITUNGAN ATMR A. KUMKM Dalam perhitungan ATMR, KUMKM dikenakan bobot risiko sebesar 85% (delapan puluh lima persen). KUMKM dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini adalah kredit atau pembiayaan untuk modal kerja atau investasi yang diberikan Bank kepada nasabah usaha mikro, kecil, dan menengah dengan jumlah maksimum fasilitas sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk membiayai kegiatan usaha yang produktif. Usaha mikro, kecil, dan menengah adalah usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan … Ketentuan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. B. Bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN 1. Dalam perhitungan ATMR, bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN dikenakan bobot risiko sebesar 20% (dua puluh persen) sepanjang memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tertentu dimaksud meliputi: a. KUMKM memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Kredit yang diberikan termasuk dalam kategori KUMKM sebagaimana dimaksud dalam huruf A; dan 2) Rata-rata fasilitas KUMKM per debitur paling tinggi 0,2% dari total KUMKM. Formula yang digunakan untuk pemantauan batasan tersebut adalah sebagai berikut: Total KUMKM/ jumlah debitur < 0,2% x Total KUMKM. Sebagai contoh: Bank memberikan penyaluran KUMKM kepada beberapa debitur sebagai berikut: Jumlah Debitur 200 150 100 50 25 Fasilitas 500.000.000 400.000.000 50.000.000 15.000.000 10.000.000 Total 100.000.000.000 60.000.000.000 5.000.000.000 750.000.000 250.000.000 Sesuai … Sesuai data penyaluran kredit tersebut maka Total KUMKM adalah Rp. 166.000.000.000,-, sedangkan jumlah debitur adalah 525 sehingga Total KUMKM/ jumlah debitur adalah Rp. 166.000.000.000,-/ 525 = Rp. 316.190.476,-. Selanjutnya 0,2% dari Total KUMKM adalah 0,2% x Rp. 166.000.000.000,- = Rp. 332.000.000,-. Dengan demikian maka KUMKM tersebut memenuhi persyaratan yaitu rata-rata fasilitas KUMKM per debitur paling tinggi 0,2% dari total KUMKM (Rp. 316.190.476,- < Rp. 332.000.000,-). b. Skema penjaminan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Pangsa penjaminan KUMKM oleh lembaga penjaminan/ asuransi kredit berstatus BUMN paling tinggi 70% (tujuh puluh persen) dari KUMKM yang diberikan Bank; 2) Bank wajib segera mengajukan klaim yang disampaikan kepada lembaga penjaminan/asuransi kredit paling lambat 1 (satu) bulan setelah debitur memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Terjadi tunggakan pokok, bunga, dan atau tagihan lainnya yang menjadikan kualitas kredit tersebut dinilai “Diragukan” sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku walaupun belum jatuh tempo; atau b) Tidak diterimanya pembayaran pokok, bunga, dan atau tagihan lainnya pada saat kredit jatuh tempo; 3) Pembayaran penjaminan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah klaim diajukan Bank dan dokumen diterima … diterima secara lengkap oleh lembaga penjaminan /asuransi kredit; 4) Jangka waktu penjaminan paling kurang sama dengan jangka waktu kredit; dan 5) Penjaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable). Persyaratan pada huruf b angka 1) sampai dengan angka 5) wajib dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dengan lembaga penjaminan/asuransi kredit. c. Lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) didukung oleh dana penjaminan (modal) termasuk setoran dana dari pemerintah dengan gearing ratio yang mengacu pada ketentuan yang berlaku yang dikeluarkan oleh otoritas yang mengatur lembaga penjaminan, paling tinggi 10 (sepuluh) kali; dan 2) mematuhi ketentuan mengenai lembaga penjaminan/ asuransi kredit yang diatur oleh otoritas yang berwenang. 2. Bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN yang tidak memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf B.1, dalam perhitungan ATMR dikenakan bobot risiko sebesar 50% (lima puluh persen). C. Bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus bukan BUMN 1. Dalam perhitungan ATMR, bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus bukan BUMN yang memenuhi … memenuhi persyaratan tertentu dikenakan bobot risiko sesuai dengan peringkat lembaga penjaminan/asuransi yaitu sebagai berikut: Peringkat Lembaga Penjaminan/ Asuransi Kredit AAA s.d AA- atau Aaa s.d Aa3 A+ s.d BBB- atau A1 s.d Baa3 BB+ s.d B- atau Ba1 s.d B3 Bobot Risiko 20% 50% 75% Peringkat lembaga penjaminan/asuransi tersebut adalah peringkat yang diterbitkan dalam 1 (satu) tahun terakhir oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia. Bagi lembaga pemeringkat yang menggunakan simbol peringkat yang berbeda maka peringkat tersebut disesuaikan dengan simbol peringkat yang setara yang digunakan oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia dimaksud. Dalam hal lembaga penjaminan/asuransi kredit memiliki lebih dari 1 (satu) peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia maka perhitungan ATMR menggunakan peringkat yang terendah. Persyaratan tertentu dimaksud meliputi: a. KUMKM memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka II.B.1.a. b. Skema … b. Skema penjaminan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka II.B.1.b. c. Lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus bukan BUMN memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Pendirian lembaga penjaminan kredit sesuai peraturan yang berlaku mengenai lembaga penjaminan; 2) Memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia; 3) Didukung oleh dana penjaminan (modal) dengan gearing ratio paling tinggi 10 (sepuluh) kali; 4) Mematuhi ketentuan mengenai lembaga penjaminan/asuransi kredit yang diatur oleh otoritas yang berwenang; dan 5) Bukan merupakan pihak terkait Bank (independen), kecuali keterkaitan karena hubungan kepemilikan oleh Pemerintah Daerah. Penentuan pihak terkait Bank didasarkan pada hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan hubungan keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit, namun keterkaitan tersebut hanya dilihat sampai dengan derajat (layer) kedua. 2. Bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus bukan BUMN yang tidak memenuhi peringkat dan/atau persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam angka II.C.1, dalam perhitungan ATMR dikenakan bobot risiko sebesar 85% (delapan puluh lima persen). III. PELAPORAN … III. PELAPORAN A. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan mengenai KUMKM yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud angka II.B dan angka II.C, sesuai dengan Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini setiap bulan paling lambat tanggal 24 bulan berikutnya. Apabila tanggal 24 jatuh pada hari Sabtu/Minggu/Libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya. B. Dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf A, maka perhitungan ATMR akan dilakukan berdasarkan data yang tersedia dalam Laporan Bulanan Bank Umum untuk bulan yang sama. C. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf A hanya berlaku sampai dengan posisi laporan bulan Desember 2009. D. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: 1. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350 bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; 2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. IV. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka angka II.1 Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/3/DPNP tanggal 30 Januari 2006 perihal Perubahan Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko untuk Kredit Usaha Kecil, Kredit Pemilikan Rumah, dan Kredit Pegawai/ Pensiunan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan … Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Januari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MULIAMAN D. HADAD DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 11/1/DPNP|SE-BI/2009 </reg_id> <reg_title> Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko untuk Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah </reg_title> <set_date> 21 Januari 2009 </set_date> <effective_date> 31 Januari 2009 </effective_date> <replaced_reg> '8/3/DPNP|SE-BI/2006 | angka II.1' </replaced_reg> <related_reg> '10/15/PBI/2008' </related_reg>
No.5/ 28 /DPM Jakarta, 17 November 2003 S U R A T E D A R A N Perihal : Tata Cara Penyelenggaraan Pusat Informasi Pasar Uang Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/24/PBI/2003 tanggal 31 Oktober 2003 tentang Pusat Informasi Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4329) yang diberlakukan sejak tanggal 17 November 2003, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Tata Cara Penyelenggaraan Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) sebagai berikut: I. ANGGOTA DAN PELANGGAN PIPU A. Tata Cara Menjadi Anggota PIPU 1. Bank yang belum menjadi Anggota PIPU terhitung sejak berlakunya ketentuan ini wajib membuat pernyataan kesediaan menjadi Anggota PIPU secara tertulis kepada Bank Indonesia yang memuat: a. kesediaan menanggung biaya sebagai Anggota PIPU; b. kesediaan menyiapkan sambungan telepon langsung; dan c. kesediaan menyiapkan perangkat keras (hardware) yang memadai untuk pemasangan PIPU, sebagaimana contoh pada Lampiran 1, serta menyampaikan surat kuasa pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia guna membayar biaya yang berkaitan dengan PIPU sebagaimana contoh pada Lampiran 2. 2. Bank yang telah menjadi Anggota PIPU sebelum berlakunya ketentuan ini wajib menyampaikan surat kuasa pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sebagaimana contoh pada Lampiran 2 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berlakunya ketentuan ini. 3. Pernyataan … 2 3. Pernyataan kesediaan menjadi Anggota PIPU dan surat kuasa pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2, disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter, cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang Jl.M.H.Thamrin No.2, Jakarta 10010. 4. Bank Indonesia memberikan persetujuan secara tertulis mengenai keanggotaan dalam PIPU terhadap Bank yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 1. 5. Kewajiban sebagai Anggota PIPU berlaku efektif sejak PIPU berfungsi dan dapat diakses oleh Bank, yang ditegaskan secara tertulis oleh Bank Indonesia. B. Tata Cara Menjadi Pelanggan PIPU 1. Calon Pelanggan PIPU mengajukan permohonan menjadi Pelanggan PIPU secara tertulis kepada Bank Indonesia yang memuat: a. kesediaan menanggung biaya sebagai Pelanggan PIPU; b. kesediaan menyiapkan sambungan telepon langsung; dan c. kesediaan menyiapkan perangkat keras (hardware) yang memadai untuk pemasangan PIPU, sebagaimana contoh pada Lampiran 3. 2. Permohonan menjadi Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter, cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang Jl.M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10010. 3. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada calon Pelanggan PIPU mengenai disetujui atau tidak disetujuinya permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1. 4. Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia, calon Pelanggan PIPU diminta untuk menandatangani surat Perjanjian mengenai penggunaan PIPU antara Bank Indonesia dengan Pelanggan PIPU yang bersangkutan sebagaimana contoh pada Lampiran 4. C. Biaya … 3 C. Biaya PIPU 1. Biaya PIPU terdiri dari: a. Biaya sistem yang dikenakan atas pemakaian aplikasi, pemakaian perangkat pusat komputer PIPU, sarana penunjang, ruangan dan biaya operasional; dan b. Biaya komunikasi yang dikenakan atas pemakaian saluran komunikasi yang menghubungkan pusat komputer PIPU dengan lokasi Anggota PIPU dan Pelanggan PIPU secara langsung. 2. Biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sebesar Rp2.838.804,00 (dua juta delapan ratus tiga puluh delapan ribu delapan ratus empat Rupiah) dengan rincian sebagai berikut: a. Biaya sistem sebesar Rp858.804,00 (delapan ratus lima puluh delapan ribu delapan ratus empat Rupiah) per akses (port jaringan) per bulan. b. Biaya komunikasi sebesar Rp1.980.000,00 (satu juta sembilan ratus delapan puluh ribu Rupiah) per akses (port jaringan) per bulan. 3. Biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2 diterima Bank Indonesia selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulan berikutnya. Dalam hal tanggal 10 pada bulan yang bersangkutan adalah hari libur maka pembayaran dilakukan pada hari kerja sebelumnya. 4. Pembayaran biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2, untuk Anggota PIPU dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara pendebetan rekening giro Rupiah Anggota PIPU yang bersangkutan di Bank Indonesia. 5. Pembayaran biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2, untuk Pelanggan PIPU dilakukan oleh Pelanggan PIPU dengan cara pentransferan ke rekening 3040.40.00.430.0 “Penerimaan karena jasa pemberian informasi pasar uang” di Bank Indonesia dengan sandi satker 980.743 Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang. 6. Besarnya biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2 sudah termasuk bea meterai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% (sepuluh per seratus) sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang berlaku. 7. Besarnya … 4 7. Besarnya biaya PIPU sebagaimana dimaksud angka 2 dapat disesuaikan sewaktu-waktu. 8. Biaya bagi Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU yang melakukan penambahan akses (port jaringan) PIPU akan disesuaikan dengan menambah biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2 untuk setiap penambahan akses (port jaringan). 9. Biaya bagi Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU yang melakukan pengurangan akses (port jaringan) PIPU akan disesuaikan dengan mengurangi biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2 untuk setiap pengurangan akses (port jaringan). II. PENYAMPAIAN DATA A. Jenis Data dan Keluaran PIPU 1. Jenis data yang wajib disampaikan kepada Bank Indonesia oleh Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional terdiri dari data : a. Transaksi pasar uang yang meliputi data volume dan tingkat suku bunga Transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dalam mata uang Rupiah dan USD masing-masing untuk sesi pagi dan sore. b. Perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder yang meliputi data volume transaksi, tingkat diskonto dan jangka waktu Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Commercial Paper. c. Simpanan dana pihak ketiga yang meliputi data suku bunga Deposito Berjangka dalam mata uang Rupiah dan USD maupun Sertifikat Deposito dalam mata uang Rupiah. d. Penyaluran dana bank yang meliputi data tingkat suku bunga dasar kredit (Base Lending Rates) dalam mata uang Rupiah dan USD. 2. Jenis data yang wajib disampaikan kepada Bank Indonesia oleh Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah atau Anggota PIPU yang mempunyai Unit Usaha Syariah (UUS) terdiri dari data : a. Transaksi … 5 a. Transaksi pasar uang yang meliputi data nilai nominal investasi, nisbah bagi hasil, jangka waktu investasi dan tingkat indikasi imbalan sertifikat Investasi Mudharabah (IMA) antar bank yang dilakukan dalam transaksi Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) serta tingkat realisasi imbalan sertifikat IMA. b. Simpanan dana pihak ketiga yang meliputi tingkat realisasi imbalan deposito investasi Mudharabah sesuai jangka waktu. 3. Data yang disampaikan oleh Anggota PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 akan diproses oleh PIPU dan atau Bank Indonesia untuk menghasilkan informasi dalam bentuk keluaran PIPU yang dapat diakses oleh Anggota PIPU dan Pelanggan PIPU. B. Tata Cara Penyampaian Data PIPU 1. Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam angka II.A.1 ke PIPU segera setelah terjadinya transaksi secara lengkap dan benar pada setiap hari kerja. 2. Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah atau yang mempunyai UUS menyampaikan data sebagaimana dimaksud angka II.A.2 setiap terjadi transaksi ke PIPU secara lengkap dan benar pada hari kerja yang sama. 3. Dalam hal Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional mempunyai UUS maka penyampaian data sebagaimana dimaksud dalam angka II.A.2 dilakukan melalui kantor pusat Anggota PIPU yang bersangkutan. 4. Penyampaian data sebagaimana dimaksud dalam angka II.A.1 dan angka II.A.2 yang bersifat non transaksi wajib dilakukan pada setiap hari kerja. 5. Dalam hal terjadi kesalahan atas data yang disampaikan sebagaimana dimaksud angka II.A.1 dan angka II.A.2, Anggota PIPU wajib melakukan koreksi terhadap data dimaksud segera setelah diketahui adanya kesalahan. 6. Pengkoreksian … 6 6. Pengkoreksian data sebagaimana dimaksud dalam angka 5 oleh Anggota PIPU yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah atau yang mempunyai UUS dilakukan segera setelah diketahui adanya kesalahan pada hari kerja yang sama. 7. Waktu penyampaian atau pengkoreksian data ke PIPU bagi Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional diatur sebagai berikut: a. Transaksi PUAB: 1) Rupiah a) PUAB Pagi b) PUAB Sore 2) USD Pukul 07.00 s.d 12.00 WIB Pukul 12.00 s.d 18.00 WIB Pukul 07.00 s.d 18.00 WIB b. Perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder: 1) Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 2) Commercial Paper c. Simpanan dana pihak ketiga: 1) Suku bunga deposito berjangka (Rupiah dan USD) 2) Suku bunga sertifikat deposito d. Penyaluran dana bank: Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Pukul 07.00 s.d 17.00 WIB Pukul 07.00 s.d 17:00 WIB Pukul 07.00 s.d 17:00 WIB Pukul 07.00 s.d 17:00 WIB Pukul 07.00 s.d 17:00 WIB 8. Dalam hal PIPU pada Anggota PIPU mengalami gangguan dan atau kerusakan pada sistem dan atau jaringan maka penyampaian atau pengkoreksian data sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2 dan 5 dilakukan secara manual melalui faksimile pada hari yang sama saat terjadinya gangguan atau kerusakan. III. PENGEMBANGAN A. Tata Cara Perubahan Akses PIPU 1. Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU yang akan melakukan perubahan akses baik dengan cara menambah, mengurangi dan atau memodifikasi akses … 7 akses PIPU wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. 2. Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU yang akan melakukan perubahan akses PIPU berupa penambahan atau modifikasi akses PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib menyediakan perangkat komputer yang memadai dan saluran telepon langsung. 3. Dalam hal dipandang perlu Bank Indonesia dapat menyetujui permohonan perubahan akses PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 melalui pemberitahuan secara tertulis kepada Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU yang bersangkutan. 4. Berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, Bank Indonesia akan melakukan perubahan akses PIPU. B. Tata Cara Pengembangan PIPU 1. Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Anggota PIPU dan Pelanggan PIPU mengenai pengembangan PIPU. 2. Anggota PIPU dan Pelanggan PIPU berkewajiban melakukan penyesuaian yang diperlukan terhadap pengembangan PIPU berdasarkan pemberitahuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 1. IV. PENGAWASAN Tata Cara Pengawasan Anggota PIPU dan Pelanggan PIPU 1. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan tidak langsung (off-site supervision) dan atau pengawasan langsung (on-site supervision) terhadap Anggota PIPU. 2. Pengawasan tidak langsung terhadap Anggota PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan dengan cara mengecek kebenaran data yang disampaikan Anggota PIPU melalui layar monitor PIPU dan melakukan pengecekan silang dengan sumber data lainnya. 3. Pengawasan langsung terhadap Anggota PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dapat dilakukan melalui pemeriksaan (on the spot supervision) terhadap Anggota PIPU yang bersangkutan berdasarkan hasil pengecekan data … 8 data yang disampaikan atau pertimbangan-pertimbangan lainnya dari Bank Indonesia. 4. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan tidak langsung (off-site supervision) terhadap Pelanggan PIPU. 5. Pengawasan tidak langsung terhadap Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dilakukan dengan memantau pemenuhan hak dan kewajiban Pelanggan PIPU berdasarkan isi Perjanjian. V. SANKSI A. Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Anggota PIPU Pengenaan sanksi oleh Bank Indonesia atas pelanggaran oleh Bank diatur sebagai berikut: 1. Pelanggaran atas kewajiban menjadi Anggota PIPU a. Dalam hal Bank tidak menyatakan kesediaan menjadi Anggota PIPU selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berlakunya ketentuan ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis. b. Dalam hal Bank yang bersangkutan tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud huruf a selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kalender sejak sanksi teguran tertulis, Bank Indonesia melakukan pemanggilan terhadap pengurus Bank yang bersangkutan. c. Dalam hal Bank yang bersangkutan tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti pemanggilan sebagaimana dimaksud huruf b selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kalender sejak sanksi pemanggilan pengurus maka Bank yang bersangkutan dikenakan sanksi kewajiban membayar. d. Besarnya jumlah kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam huruf c adalah sebesar biaya PIPU perbulan dan dibebankan pada rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulan selama Bank belum menjadi Anggota PIPU. 2. Pelanggaran … 9 2. Pelanggaran atas kewajiban penyampaian data sebagaimana dimaksud dalam butir A.II.1 dan A.II.2 oleh Anggota PIPU diatur sebagai berikut: a. Anggota PIPU yang tidak menyampaikan data sampai batas waktu yang ditetapkan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap transaksi dan sebanyak-banyaknya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) per hari. b. Anggota PIPU yang menyampaikan data secara tidak benar dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap kesalahan dan sebanyak-banyaknya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) per hari. c. Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b dibebankan pada rekening giro Rupiah Anggota PIPU yang bersangkutan di Bank Indonesia. B. Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggan PIPU 1. Pelanggan PIPU yang tidak melunasi biaya PIPU sampai dengan tanggal 10 setiap bulan berikutnya, dikenakan sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1 0/00 (satu perseribu) dari biaya PIPU perbulan untuk setiap hari keterlambatan. 2. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan oleh Pelanggan PIPU dengan cara transfer ke rekening 3040.40.00.470.0 “Penerimaan karena sanksi administratif” di Bank Indonesia dengan sandi satker 980.743 Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang. 3. Dalam hal Pelanggan PIPU tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kalender sejak dikenakannya sanksi dimaksud, Bank Indonesia mencabut keikutsertaan sebagai Pelanggan PIPU. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka: 1. Surat … 10 1. Surat Edaran Bank Indonesia No.27/16/UPG tanggal 10 Mei 1994 perihal Pusat Informasi Pasar Uang; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/22/DPM tanggal 17 Desember 2002 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.27/16/UPG tanggal 10 Mei 1994 perihal Pusat Informasi Pasar Uang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 17 November 2003. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, Ttd. BUDI MULYA DIREKTUR PENGEL OLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 5/28/DPM|SE-BI/2003 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Penyelenggaraan Pusat Informasi Pasar Uang </reg_title> <set_date> 17 November 2003 </set_date> <effective_date> 17 November 2003 </effective_date> <replaced_reg> '27/16/UPG|SE-BI/1994', '4/22/DPM|SE-BI/2002' </replaced_reg> <related_reg> '5/24/PBI/2003' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
No. 7/30/DPM Jakarta, 25 Juli 2005 SURAT EDARAN Perihal: Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/19/PBI/2005 tanggal 25 Juli 2005 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4517), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4363) maka dipandang perlu untuk mengatur petunjuk pelaksanaan mengenai Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut : I. Ketentuan Umum 1. Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan dan dijual dengan cara lelang di Pasar Perdana terdiri dari : a. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yaitu SUN dalam mata uang Rupiah yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto; dan b. Obligasi Negara yaitu SUN dalam mata uang Rupiah yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 2. Pihak yang dapat membeli SUN dalam Lelang SUN di Pasar Perdana yaitu orang perseorangan, perusahaan, Bank Indonesia, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi. 3. Pihak … 2 3. Peserta Lelang adalah pihak yang dapat mengikuti Lelang SUN di Pasar Perdana yang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek yang telah disetujui oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. 4. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing sebagai Peserta Lelang dapat mengikuti Lelang SUN di Pasar Perdana hanya untuk SPN. 5. Pembeli selain Bank Indonesia mengajukan penawaran pembelian SUN melalui Peserta Lelang. 6. Penawaran pembelian lelang dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif atau dengan cara kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif. 7. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar. 8. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar. 9. Persentase untuk Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif ditentukan sebelum Lelang SUN. Dalam hal Penawaran Pembelian Kompetitif melebihi target yang ditetapkan sedangkan Penawaran Pembelian Non-kompetitif lebih kecil dari target yang ditetapkan, atau sebaliknya, alokasi persentase Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif dapat disesuaikan untuk menyerap kelebihan atau kekurangan pada salah satu jenis penawaran lelang. 10. Bank … 3 10. Bank Indonesia dapat membeli SUN di Pasar Perdana hanya untuk SPN, dengan persyaratan sebagai berikut : a. penawaran pembelian dilakukan secara langsung tanpa melalui Peserta Lelang; b. penawaran pembelian hanya untuk Penawaran Pembelian Non- kompetitif. 11. Setelmen hasil Lelang SUN di Pasar Perdana dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. SPN dilakukan pada satu hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan lelang SPN (T+1); b. Obligasi Negara paling lambat dilakukan pada 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi Negara (T+5). 12. Pihak pembeli SUN wajib memiliki : a. Rekening surat berharga di Central Registry atau Sub-Registry untuk pelaksanaan setelmen hasil Lelang SUN; b. Rekening giro Rupiah di Bank Indonesia atau menunjuk Bank pembayar untuk pelaksanaan setelmen dana. 13. Dalam rangka setelmen hasil Lelang SUN di Pasar Perdana, Bank Indonesia berwenang melakukan pendebetan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia milik pemenang Lelang SUN atau Bank yang ditunjuk sebagai Bank pembayar untuk setelmen dana. 14. Setelmen hasil Lelang SUN yang dilakukan Bank Indonesia cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang - Direktorat Pengelolaan Moneter, terdiri dari : a. Setelmen … 4 a. Setelmen surat berharga (securities settlement) Setelmen surat berharga dilakukan secara gross dengan cara mengkredit rekening surat berharga pembeli SUN di Central Registry melalui Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System ( BI-SSSS) sebesar nilai nominal SUN. b. Setelmen dana (fund settlement) Setelmen dana dilakukan secara gross atau netting dengan mendebet rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik pemenang Lelang SUN atau Bank yang ditunjuk sebagai Bank pembayar, dan mengkredit rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia melalui Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sebesar harga setelmen Lelang SUN. II. Tata Cara Lelang SUN A. Ketentuan dan Persyaratan 1. Lelang SUN dilakukan berdasarkan target kuantitas dengan memperhatikan tingkat diskonto atau yield dari penawaran yang diterima. 2. Bank dan Perusahaan Efek dapat mengajukan penawaran Lelang SUN untuk dan atas nama diri sendiri dan pihak lain yaitu orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi. 3. Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing hanya dapat mengajukan penawaran Lelang SPN untuk kepentingan pihak lain yaitu orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok yang terorganisasi. 4. Dalam … 5 4. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN baik secara langsung maupun melalui Peserta Lelang lain untuk dan atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian dapat dilakukan hanya dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif. 5. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN untuk dan atas nama pihak lain yaitu orang perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok perseorangan, yang terorganisasi maka pengajuan penawaran dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut : a. Pengajuan penawaran pada Lelang SPN dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif. b. Pengajuan penawaran pada Lelang Obligasi Negara dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif. 6. Dalam hal Lelang SUN dilaksanakan maka pelaksanaan dilakukan pada hari Selasa, atau pada hari kerja lain apabila hari Selasa jatuh pada hari libur. Setiap perubahan jadwal Lelang SUN diumumkan oleh Bank Indonesia melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 7. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SUN adalah Automatic Bidding System yang merupakan salah satu fungsi dalam BI-SSSS (ABS BI-SSSS). 8. Bank Indonesia mengumumkan rencana target kuantitas lelang berupa target indikatif paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum hari pelaksanaan Lelang SUN melalui BI-SSSS, PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 9. Dalam … 6 9. Dalam hal menggunakan ABS BI-SSSS maka Peserta Lelang harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS yang berlaku. 10. Dalam hal Bank mengajukan penawaran Lelang SUN melalui Peserta Lelang maka Bank yang bersangkutan wajib menetapkan batas maksimum nominal penawaran (broker bidding limit) per hari bagi Peserta Lelang SUN yang ditunjuk. 11. Dalam hal pihak lain selain Bank mengajukan penawaran Lelang SUN melalui Peserta Lelang maka yang bersangkutan wajib menunjuk Sub-Registry untuk melakukan setelmen hasil lelang SUN. 12. Sub-Registry yang ditunjuk pihak lain selain Bank untuk melakukan setelmen hasil lelang SUN sebagaimana dimaksud dalam angka 11, harus menetapkan batas maksimum nominal penawaran (broker bidding limit) per hari bagi Peserta Lelang untuk kepentingan nasabah Sub-Registry. 13. Penetapan broker bidding limit sebagaimana dimaksud dalam angka 10 dan 12, harus diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank atau Sub-Registry dengan Peserta Lelang dengan format perjanjian diserahkan kepada masing-masing pihak sesuai dengan kebutuhan. 14. Perjanjian penetapan broker bidding limit merupakan pemberian wewenang dari Bank atau Sub-Registry kepada Peserta Lelang untuk melakukan penawaran (bidding) per hari dalam Lelang SUN untuk dan atas nama Bank atau nasabah Sub-Registry, maksimum sebesar jumlah limit bidding yang diberikan. 15. Bank atau Sub-Registry harus melakukan pengelolaan broker bidding limit dalam BI-SSSS untuk semua Peserta Lelang yang ditunjuk sebagai … 7 sebagai perantara dalam pengajuan penawaran SUN, melalui BI- SSSS Terminal (ST) pada menu Supervisory - Broker Bidding Limit. B. Tata cara Pelaksanaan Lelang SUN 1. Bank Indonesia mengumumkan target indikatif dan tanggal pelaksanaan Lelang SUN melalui BI-SSSS, PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. 2. Pengumuman rencana Lelang SUN antara lain memuat: a. jenis SUN; b. waktu pelaksanaan lelang; c. target indikatif yang ditawarkan; d. jangka waktu SUN; e. tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo; f. mata uang; g. waktu pembukaan dan penutupan penawaran pembelian (bid); h. waktu pengumuman hasil lelang; i. tanggal setelmen; j. alokasi untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif dalam hal dilakukan kombinasi lelang kompetitif dan non-kompetitif; k. sarana pengajuan penawaran lelang. 3. Pada hari pelaksanaan Lelang SUN, Peserta Lelang mengajukan penawaran kuantitas dan tingkat diskonto atau yield untuk Penawaran Pembelian Kompetitif atau penawaran kuantitas untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif, dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB. 4. Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SUN kepada Bank Indonesia cq. Bagian Operasi Pasar Uang - Direktorat Pengelolaan Moneter … 8 Moneter yang mencakup penawaran kuantitas dan tingkat diskonto atau yield diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengajuan penawaran kuantitas dari masing-masing Lelang sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) Peserta unit atau Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah), dan selebihnya dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah); b. penawaran diskonto atau yield diajukan dengan kelipatan 1/32 atau 0,03125. 5. Peserta Lelang bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran pembelian yang diajukan. 6. Peserta Lelang yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan penawarannya. C. Penentuan Pemenang Lelang SUN 1. Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan hasil dan pemenang Lelang SUN di Pasar Perdana berdasarkan target indikatif SUN yang akan dijual pemerintah. 2. Metode penentuan pemenang Lelang SUN dilakukan dengan sistem Stop-Out Rate yang selanjutnya disebut SOR yaitu tingkat diskonto atau yield tertinggi yang dihasilkan dari penawaran Lelang SUN di Pasar Perdana dalam rangka mencapai target indikatif SUN yang akan dijual Pemerintah. SOR ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. 3. Penentuan harga dan kuantitas pemenang Lelang SUN dilakukan dengan metode harga beragam (multiple price), sebagai berikut: a. Penawaran Pembelian Kompetitif i. Dalam … 9 1) Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield lebih rendah dari SOR, Peserta Lelang memperoleh seluruh penawaran kuantitas SUN yang diajukan dengan tingkat diskonto atau yield yang diajukan. 2) Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield sama dengan SOR, Peserta Lelang dapat memperoleh seluruh atau sebagian penawaran kuantitas SUN yang diajukan berdasarkan perhitungan secara proporsional, dengan tingkat diskonto atau yield yang diajukan. Penetapan pemenang Lelang SUN dengan metode harga beragam (multiple price) sebagaimana contoh perhitungan pada Lampiran 1. b. Penawaran Pembelian Non-kompetitif 1) Penetapan harga SUN bagi pemenang Lelang SUN dihitung berdasarkan harga rata-rata tertimbang (weighted average price) dari hasil lelang Penawaran Pembelian Kompetitif. 2) Penetapan kuantitas SUN bagi pemenang lelang dilakukan sebagai berikut : i. Dalam hal jumlah penawaran lebih kecil dari alokasi maksimum penawaran pembelian Non-kompetitif, Peserta Lelang memperoleh seluruh kuantitas yang diajukan. ii. Dalam hal jumlah penawaran lebih besar dari alokasi maksimum penawaran pembelian Non-kompetitif, Peserta Lelang memperoleh sebagian penawaran kuantitas yang diajukan, berdasarkan perhitungan secara proporsional. 4. Dalam hal penawaran yang diajukan menghasilkan tingkat diskonto atau yield di luar batas kewajaran, Menteri Keuangan Republik Indonesia … 10 Indonesia dapat menyesuaikan realisasi kuantitas Lelang SUN atau menolak seluruh penawaran lelang yang masuk. D. Pengumuman Hasil Lelang SUN 1. Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SUN melalui BI-SSSS, PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang SUN. Pengumuman kurangnya mencakup: a. kuantitas lelang secara keseluruhan; b. rata-rata tertimbang tingkat diskonto atau yield; c. penawaran tingkat diskonto atau yield terendah dan tertinggi. 2. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SUN berupa kuantitas dan tingkat diskonto atau yield kepada Peserta Lelang memenangkan Lelang SUN melalui BI-SSSS. yang 3. Dalam hal Menteri Keuangan Republik Indonesia menolak seluruh atau atau sebagian penawaran pembelian Lelang SUN, Bank Indonesia mengumumkan penolakan dimaksud melalui BI-SSSS, PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. III. Perhitungan Harga Setelmen Hasil Lelang SUN 1. Jangka waktu SUN dinyatakan dalam jumlah hari sebenarnya (actual days) dan dihitung dari tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo. 2. Jumlah hari bunga (day count) untuk perhitungan accrued interest menggunakan basis Actual per Actual (A/A). 3. Perhitungan harga setelmen dana dilakukan sebagai berikut: a. Untuk SPN : sekurang- Harga … 11 Harga setelmen = (Harga bersih per unit SPN yang sudah dibulatkan) x (jumlah unit SPN yang dimenangkan) b. Untuk Obligasi Negara dengan sistem kupon : Harga setelmen = (Harga bersih per unit Obligasi Negara yang sudah dibulatkan ditambah accrued interest per unit Obligasi Negara yang sudah dibulatkan) x (jumlah unit Obligasi Negara yang dimenangkan) c. Untuk Obligasi Negara dengan sistem diskonto (zero coupon bond) Harga setelmen = (Harga bersih per unit Obligasi Negara yang sudah dibulatkan) x (jumlah unit Obligasi Negara yang dimenangkan) Perhitungan harga per unit SPN dan Obligasi Negara sebagaimana contoh perhitungan pada Lampiran 2. IV. Tata Cara Setelmen dan Pencatatan Kepemilikan SUN Tata cara setelmen Lelang SUN dan pencatatan kepemilikan SUN dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS yang berlaku. V. Pembatalan Transaksi Hasil Lelang dan Pengenaan Sanksi kepada Peserta Lelang 1. Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang SUN tidak memenuhi kewajibannya sampai dengan cut off warning Sistem BI- RTGS akibat Bank yang melakukan setelmen dana tidak memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang SUN yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan batal. 2. Terhadap Peserta Lelang yang transaksinya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dikenakan sanksi tidak boleh mengikuti … 12 mengikuti lelang SUN sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut sejak transaksinya dinyatakan batal. 3. Bank Indonesia mengirimkan surat pemberitahuan kepada Peserta Lelang mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dengan tembusan surat kepada Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara, Departemen Keuangan Republik Indonesia. VI. Penutup Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia nomor 6/10/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran nomor 6/30/DPM tanggal 12 Juli 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 25 Juli 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, ASLIM TADJUDDIN DEPUTI GUBERNUR Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lampiran 1 Contoh Perhitungan Hasil Lelang SUN SOR dengan Multiple Price • Target indikatif : Rp 10 Triliun • Dengan alokasi Penawaran Pembelian Kompetitif 60% dan untuk Penawaran Pembelian Non-Kompetitif 40% Rincian Penawaran Pembelian Kompetitif (Tabel -1): P E N A W A R A N NO NOMINAL (RP MILIAR) 1 2 3 4 50 50 1.250 2.000 5 500 2.500 6 7 250 8 10 1.500 6.250 9 750 7.000 2.000 4.500 4.750 0,7 450 500 6,9 250 750 10,3 27,6 34,5 62,1 65,5 86,2 96,6 250 7.250 100,0 13,62500 13,75000 13,75000 14,00000 14,00000 14,00000 14,00000 14,00000 14,25000 14,37500 KUMULATIF (RP MILIAR) KUMULATIF (%) DISKONTO (%) Rata-Rata Tertimbang (%) 13,62500 13,73800 13,74200 13,90300 13,92300 13,95700 13,96900 13,99900 14,01200  Weighted average pada kumulatif 13,95900 239 13,96730% Rp 6 triliun = H A S I L NOMINAL DIMENANGKAN (RP MILIAR) KUMULATIF (RP MILIAR) 50 50 450 500 250 750 1.193 1.943 477 2.420 1.909 4.330 4.568 1.432 6.000 0 6.000 0 6.000 Rincian Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Tabel -2): P E N A W A R A N H A S I L NO NOMINAL (RP MILIAR) 1 2 3 450 375 375 400 775 1225 4 500 1725 5 525 2250 6 550 2800 7 575 3375 8 600 3975 9 625 10 4600 650 5250 7.14 14.76 23.33 32.86 42.86 53.33 64.29 75.71 87.62 100.00  KUMULATIF (RP MILIAR) KUMULATIF (%) NOMINAL DIMENANGKAN (RP MILIAR) KUMULATIF (RP MILIAR) 286 286 305 590 343 933 381 1314 400 1714 419 2133 438 2571 457 3029 476 3505 495 4000 Berdasarkan penawaran yang masuk, Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan SOR pada tingkat 14,00000%. Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lanj. Lampiran 1 Jumlah penawaran yang masuk melebihi target indikatif sebesar Rp.10 triliun, dimana untuk Penawaran Pembelian Kompetitif sebesar 60% atau Rp 6 triliun dan untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif sebesar 40% atau Rp4 triliun. Jumlah penawaran yang masuk melebihi target indikatif baik pada Penawaran Pembelian Kompetitif maupun Penawaran Pembelian Non-kompetitif, maka tidak semua peserta memenangkan lelang. Pemenang lelang ditentukan sebagai berikut: 1. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Kompetitif Pemenang lelang adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran dengan tingkat diskonto atau yield yang sama atau lebih kecil dari SOR (stop-out rate) yaitu 14,00000%. Dengan demikian pemenang lelang adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran tingkat diskonto atau yield sama atau lebih kecil dari 14,00000%, yaitu peserta pertama s.d. peserta kedelapan. Peserta keempat s.d. peserta kedelapan memenangkan lelang secara proposional sesuai bobot jumlah penawaran masing-masing dibandingkan jumlah penawaran untuk tingkat diskonto atau yield 14,00000%. Rincian jumlah yang dimenangkan Peserta Lelang kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel kanan atas (Tabel-1). 2. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Non-Kompetitif Seluruh Peserta Lelang non-kompetitif memperoleh yield sebesar 13,96730% atau sebesar rata-rata tertimbang (weighted average) yang diperoleh dari pemenang lelang kompetitif. Kuantitas SUN yang diperoleh berdasarkan perhitungan secara proposional. Rincian jumlah yang dimenangkan untuk Peserta Lelang non-kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel kanan atas (Tabel 2). Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lampiran 2 PERHITUNGAN HARGA SETELMEN SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah sebagai berikut: PSPN N = 1 i+ ×    dimana, PSPN 365 D    = Harga Setelmen per unit SPN; N = nilai nominal SPN per unit; i = Yield dalam persentase, sampai dengan 5 (lima) desimal dengan kelipatan 0,03125 atau 1/32; D = jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung- sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo. Harga Setelmen dibulatkan ke dalam rupiah penuh, dengan ketentuan apabila dibawah dan sama dengan 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi nol, sedangkan di atas 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi Rp1,00 (satu rupiah). Contoh Penghitungan Harga Setelmen SPN Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan SPN dengan nilai nominal per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). SPN ini jatuh tempo pada tanggal 19 Maret 2003. Jika Yield yang disepakati sebesar 12,00000% (dua belas persen) dan setelmen dilakukan pada tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit SPN dihitung sebagai berikut: N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); i = 12,00000% (dua belas persen); Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lanj. Lampiran 2 D = 28 (dua puluh delapan) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen (20 Februari 2003) sampai dengan tanggal jatuh tempo (19 Maret 2003); Rp. 1.000.000,00 28 PSPN = 1+ 12,00000% x 365 = Rp990.878,49 ≈ Rp990.878,00 Jadi Harga Setelmen per unit SPN setelah dibulatkan adalah Rp990.878,00 (sembilan ratus sembilan puluh ribu delapan ratus tujuh puluh delapan rupiah). PERHITUNGAN HARGA SETELMEN OBLIGASI NEGARA I. Harga Setelmen Obligasi Negara Dengan Kupon Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dengan kupon adalah sebagai berikut: Langkah 1 : Harga bersih (clean price) per unit dihitung sebagai berikut:   P =        N     1+ n i      F 1− + E d            = N ×× n c E a  + ∑ =        F k 1    1+ N×  n i      n c k 1− + E d           dimana bunga berjalan (accrued interest) per unit dihitung sebagai berikut: AI − × ×    N n c E a    Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lanj. Lampiran 2 Langkah 2 : Harga Setelmen per unit dihitung sebagai berikut: PK = P AI+ II. Harga Setelmen Obligasi Negara Tanpa Kupon (Zero Coupon Bond) Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Obligasi Negara tanpa kupon adalah sebagai berikut: PZ = ()i1 N + 365 D dimana, PK = Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dengan kupon; PZ = Harga Setelmen per unit Obligasi Negara tanpa kupon; P = harga bersih (clean price) per unit Obligasi Negara dengan kupon; AI = bunga berjalan (accrued interest) per unit Obligasi Negara dengan kupon; N = nilai nominal Obligasi Negara per unit; D = jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo; a = jumlah hari sebenarnya (actual day) dihitung dari 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal Setelmen; c = tingkat kupon (coupon rate); d = jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya; E = jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya, dimana pelaksanaan Setelmen terjadi; Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lanj. Lampiran 2 i = Imbal Hasil sampai jatuh tempo (yield to maturity) dalam persentase, sampai dengan 5 (lima) desimal, dengan kelipatan 0,03125 atau 1/32; k = 1, 2, 3, …, F; F = jumlah frekuensi pembayaran kupon yang Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo; n = frekuensi pembayaran kupon dalam setahun. Harga bersih (clean price) dan bunga berjalan (accrued interest) masing- masing dibulatkan ke dalam rupiah penuh, dengan ketentuan apabila dibawah dan sama dengan 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi nol, sedangkan di atas 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi Rp1,00 (satu rupiah). Contoh Penghitungan Harga Setelmen Obligasi Negara Dengan Kupon Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara dengan nilai nominal per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan dengan kupon sebesar 12,00% (dua belas persen) per tahun. Obligasi Negara ini jatuh tempo pada tanggal 15 Februari 2005 dan kupon dibayarkan di belakang pada tanggal 15 Februari dan 15 Agustus setiap tahunnya. Jika yield to maturity yang disepakati sebesar 12,50000% (dua belas koma lima nol persen) dan Setelmen dilakukan pada tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dihitung dengan langkah-langkah sebagai berikut: N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); i = 12,500000% (dua belas koma lima nol persen); c = 12,00% (dua belas persen); a = 4 (empat) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon (16 Februari 2003) sampai dengan tanggal Setelmen (19 Februari 2003); tersisa dari tanggal Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lanj. Lampiran 2 d = 177 (seratus tujuh puluh tujuh) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen (20 Februari 2003) sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya (15 Agustus 2003); E = 181 (seratus delapan puluh satu) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya, dimana pelaksanaan Setelmen terjadi (16 Februari 2003 sampai dengan 15 Agustus 2003); n = 2 (dua) kali dalam satu tahun (semiannually), yaitu setiap tanggal 15 Februari dan 15 Agustus; F = 4 (empat) kali, yaitu jumlah pembayaran kupon yang terjadi dari tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo (19 Februari 2003 sampai dengan 15 Februari 2005); Langkah 1: Harga bersih (clean price) per unit dihitung sebagai berikut:   P =        +    1+ 12,50000%  2   Rp1.000.000,00   +   1 12,50000%  2     4 1− + 181 177     +        Rp1.000.000,00× 12,00% 2    2 1− + 181 177           +    1+ 12,50000%  2   Rp1.000.000,00×  +   1 12,50000%  2   12,00% 2    1 1− + 181 177    Rp1.000.000,00× 12,00% 2    3 1− + 181 177    Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lanj. Lampiran 2  Rp1.000.000,00× +    1+ 12,50000%  2   12,00% 2    4 1− + 181 177            = Rp785.716,91 + Rp206.998,81 – Rp1.325,97 = Rp991.389,75 ≈ Rp991.390,00 Jadi harga bersih per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp991.390,00 (sembilan ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus sembilan puluh rupiah). Dimana bunga berjalan (accrued interest) per unit dihitung sebagai berikut: AI = Rp1.000.000,00× = Rp1.325,97 ≈ Rp1.326,00 Jadi bunga berjalan per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp1.326,00 (seribu tiga ratus dua puluh enam rupiah). Langkah 2: Harga Setelmen per unit dihitung sebagai berikut: PK = Rp991.390,00 + Rp1.326,00 = Rp992.716,00 Jadi Harga Setelmen per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp992.716,00 (sembilan ratus sembilan puluh dua ribu tujuh ratus enam belas rupiah). 12,00% 2 × 181 4 − Rp1.000.000,00×    12,00% 2 × 181 4    Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 Lanj. Lampiran 2 Contoh Penghitungan Harga Setelmen Obligasi Negara Tanpa Kupon (Zero Coupon Bonds) Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara dengan nilai nominal per unit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah). Obligasi Negara ini jatuh tempo pada tanggal 15 Februari 2005. Jika yield to maturity yang disepakati sebesar 12,50000% (dua belas koma lima nol persen) dan Setelmen dilakukan pada tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dihitung sebagai berikut: N = Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah); i = 12,50000% (dua belas koma lima puluh persen); D = 727 (tujuh ratus dua puluh tujuh) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen (20 Februari 2003) sampai dengan tanggal jatuh tempo (15 Februari 2005); PZ = Rp1.000.000,00 () 1+12,50000% = Rp.790.888,73 ≈ Rp.790.889,00 Jadi Harga Setelmen per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp.790.889,00 (tujuh ratus sembilan puluh ribu delapan ratus delapan puluh sembilan rupiah). 365 727
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 7/30/DPM|SE-BI/2005 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana </reg_title> <set_date> 25 Juli 2005 </set_date> <effective_date> 25 Juli 2005 </effective_date> <replaced_reg> '6/30/DPM|SE-BI/2004', '6/10/DPM|SE-BI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '7/19/PBI/2005', '6/2/PBI/2004' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
No. 15/6/DPNP Jakarta, 8 Maret 2013 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Kegiatan Usaha Bank Umum Berdasarkan Modal Inti Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 286, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5384) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Kegiatan Usaha Bank Umum Berdasarkan Modal Inti dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. UMUM … I. UMUM A. Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum dikelompokkan berdasarkan Modal Inti, yang selanjutnya disebut Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Pengelompokan Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha dimaksud terdiri dari 4 (empat) BUKU. Semakin tinggi Modal Inti Bank, semakin tinggi BUKU Bank dan semakin luas cakupan Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh Bank. B. Pelaksanaan Kegiatan Usaha Bank Umum dilakukan dengan menerbitkan produk maupun melaksanakan aktivitas tertentu untuk memenuhi kebutuhan nasabah. C. Dalam menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas, Bank perlu memiliki modal yang cukup untuk mendukung penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitasnya, serta menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh produk atau aktivitas tersebut. II. KEGIATAN USAHA BANK UMUM A. Kegiatan Usaha Bank Umum 1. Kegiatan Usaha Bank Umum meliputi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan nasabah. Produk Bank adalah instrumen keuangan yang diterbitkan oleh Bank. Produk dimaksud adalah produk yang diciptakan, diterbitkan, dan/atau dikembangkan oleh Bank yang terkait dengan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana. Aktivitas adalah jasa yang disediakan oleh Bank kepada nasabah. 2. Kegiatan … 2. Kegiatan Usaha Bank yang meliputi produk atau aktivitas dikelompokkan sebagai berikut: a. Penghimpunan dana Produk atau aktivitas penghimpunan dana berupa: 1) giro, tabungan atau deposito; 2) penerbitan sertifikat deposito; 3) pinjaman yang diterima; 4) penerbitan surat utang termasuk surat utang dengan fitur ekuitas; 5) sekuritisasi aset; dan 6) produk atau aktivitas penghimpunan dana lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Penyaluran dana Produk atau aktivitas penyaluran dana berupa: 1) kredit termasuk kredit sindikasi; 2) anjak piutang; 3) pembelian surat berharga berupa surat berharga korporasi, Surat Berharga Negara (SBN) atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI); 4) penempatan pada Bank Indonesia; 5) penempatan pada Bank lain; 6) penerbitan bank garansi; dan 7) produk atau aktivitas penyaluran dana lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. c. Pembiayaan perdagangan (trade finance) Aktivitas pembiayaan perdagangan berupa: 1) pembiayaan … 1) pembiayaan transaksi dalam negeri dengan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); 2) pembiayaan ekspor impor dengan menggunakan Letter of Credit (L/C); 3) pembiayaan ekspor impor tanpa menggunakan Letter of Credit (L/C); dan 4) jasa atau layanan pembiayaan perdagangan lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank Umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Kegiatan treasury Kegiatan treasury berupa: 1) jual beli Uang Kertas Asing (Bank Notes); 2) transaksi tunai valuta asing berupa transaksi tod, tom dan spot; 3) transaksi derivatif yang bersifat plain vanilla, antara lain forward, swap, atau option dengan fitur, karakteristik dan underlying asset yang tergolong sederhana; 4) transaksi derivatif kompleks, antara lain transaksi forward, swap, atau option yang bersifat kompleks, structured products dan credit derivative; dan 5) transaksi valuta asing dan derivatif lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. e. Kegiatan keagenan dan kerjasama Aktivitas keagenan dan kerjasama berupa: 1) agen … 1) agen penjual Reksadana; 2) agen penjual Surat Berharga Negara (SBN); 3) Bancassurance model bisnis referensi, distribusi dan integrasi; 4) Payment point; dan 5) aktivitas keagenan atau kerjasama lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. f. Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking Produk atau aktivitas sistem pembayaran dan electronic banking berupa: 1) penyelenggara kliring; 2) penyelenggara penyelesaian akhir transaksi antar Bank (settlement); 3) penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu; 4) penyelenggara uang elektronik (e-money); 5) Phone Banking; 6) SMS Banking; 7) Mobile Banking; 8) Internet Banking; dan 9) produk atau aktivitas sistem pembayaran dan electronic banking lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. g. Jasa atau layanan lain Jasa atau layanan lain berupa: 1) penyediaan ... 1) penyediaan safe deposit box; 2) pembayaran gaji karyawan secara massal (payroll); 3) pengelolaan kas (cash management); 4) Layanan Nasabah Prima (LNP); 5) kustodian; 6) wali amanat; 7) penitipan dengan pengelolaan (trust); dan 8) jasa atau layanan lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Bank yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 2 dalam valuta asing wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan dalam valuta asing. 4. Selain dapat melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 2, Bank dapat melakukan: a. kegiatan penyertaan modal Kegiatan berupa penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) yang bersifat mandatory atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. b. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit Kegiatan berupa penyertaan modal oleh Bank pada perusahaan debitur untuk mengatasi kegagalan kredit (debt … (debt to equity swap) sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penyertaan modal Bank Umum. 5. Definisi atau karakteristik umum produk atau aktivitas sebagaimana dimaksud pada angka 2 mengacu pada Lampiran I. B. Cakupan Kegiatan Usaha Bank Umum menurut BUKU 1. Cakupan Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan Bank pada masing-masing BUKU sebagai berikut: a. BUKU 1 BUKU 1 dapat melakukan Kegiatan Usaha dalam Rupiah berupa kegiatan penghimpunan dana dan kegiatan penyaluran dana berupa produk atau aktivitas dasar, kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance), kegiatan keagenan dan kerjasama dengan cakupan terbatas, kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan terbatas dan penyediaan jasa atau layanan lainnya. Bank juga dapat melakukan kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit dan kegiatan sebagai Pedagang Valuta Asing (PVA). b. BUKU 2 BUKU 2 dapat melakukan Kegiatan Usaha dalam Rupiah dan valuta asing yang meliputi kegiatan penghimpunan dana, kegiatan penyaluran dana dengan cakupan yang lebih luas, kegiatan pembiayaan perdagangan (trade finance), kegiatan treasury secara terbatas, kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking dengan cakupan lebih luas, kegiatan … kegiatan keagenan dan kerjasama dengan cakupan lebih luas dan penyediaan jasa atau layanan lainnya. Bank juga dapat melakukan kegiatan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit. c. BUKU 3 BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha baik dalam Rupiah maupun valuta asing. Bank juga dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau di luar negeri terbatas pada wilayah regional Asia. d. BUKU 4 BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha baik dalam Rupiah maupun valuta asing. Bank juga dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3 di Indonesia dan/atau seluruh wilayah di luar negeri. 2. Cakupan Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh Bank sesuai dengan BUKU mengacu pada Lampiran II. III. PENERBITAN PRODUK ATAU PELAKSANAAN AKTIVITAS BANK UMUM A. Ketentuan Umum Bank dapat menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2 dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. merupakan produk atau aktivitas yang diperkenankan pada masing-masing BUKU; 2. rencana … 2. rencana penerbitan produk yang belum pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tersebut; 3. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang merupakan produk atau aktivitas dasar tidak memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia; 4. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang bukan merupakan produk atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas tinggi, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia; dan 5. menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum. Rincian mengenai produk atau aktivitas sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 3, dan angka 4 mengacu pada Lampiran II. B. Produk atau Aktivitas Baru 1. Produk atau aktivitas baru merupakan produk atau aktivitas Bank yang memenuhi kriteria berikut: a. tidak pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank; atau aktivitas yang belum pernah merupakan … merupakan pengembangan, kombinasi atau variasi dari produk atau aktivitas yang telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank yang menyebabkan perubahan atau peningkatan profil risiko produk atau aktivitas yang telah diterbitkan sebelumnya. Pengembangan yang menyebabkan perubahan atau peningkatan profil risiko produk atau aktivitas yang telah diterbitkan sebelumnya antara lain sebagai berikut: 1) pengembangan, kombinasi atau variasi dari produk yang telah diterbitkan sebelumnya oleh Bank misalnya: a) penerbitan surat utang dengan fitur yang berbeda dari surat utang sebelumnya misalnya penerbitan surat utang dengan fitur opsi konversi menjadi saham; atau b) penerbitan structured product dengan struktur, fitur, karakteristik, imbal hasil, jangka waktu dan/atau underlying asset yang berbeda dengan produk sebelumnya; 2) pengembangan dari aktivitas kerjasama yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh Bank, misalnya aktivitas bancassurance model bisnis referensi dikembangkan menjadi model bisnis distribusi atau integrasi sehingga mengakibatkan perubahan pada profil risiko aktivitas tersebut. 2. Produk atau aktivitas baru yang tidak memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir A.3 antara lain meliputi: a. penerbitan … a. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dasar, berupa: 1) penghimpunan dana dalam bentuk giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito dan pinjaman yang diterima; 2) penyaluran dana dalam bentuk kredit, pembelian surat berharga, penempatan pada Bank Indonesia dan penempatan pada Bank lain; dan 3) trade finance, transaksi derivatif plain vanilla dan aktivitas pemindahan dana (transfer); b. pengembangan dari produk atau aktivitas dasar yang pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank; c. aktivitas penjualan produk yang diterbitkan oleh Pemerintah, misalnya aktivitas agen penjual Surat Berharga Negara (SBN); d. penanaman dana dalam rangka investasi, misalnya pembelian Reksadana pendapatan tetap dan pembelian surat berharga; dan e. penyaluran dan penghimpunan dana dalam rangka pengelolaan likuiditas, antara lain penempatan antar Bank dan penerimaan pinjaman antar Bank. 3. Produk atau aktivitas baru yang wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir A.4 adalah produk atau aktivitas yang bukan merupakan cakupan produk atau aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi, antara lain meliputi: a. penghimpunan … a. penghimpunan dana berupa penerbitan surat utang, surat utang yang memiliki fitur ekuitas dan sekuritisasi aset; b. aktivitas treasury berupa penerbitan derivatif kompleks, structured product atau credit derivative; c. keagenan dan kerjasama berupa aktivitas bancassurance dan reksadana; d. kegiatan sistem pembayaran antara lain berupa penyelenggara kliring, penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan penyelenggara uang elektronik (E-Money), Phone Banking, SMS Banking, Mobile Banking dan Internet Banking; dan e. jasa atau layanan lain seperti kustodian, wali amanat dan trust. 4. Rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank menggunakan format sebagaimana dimaksud pada Lampiran III huruf A, yang paling kurang memuat informasi dan penjelasan sebagai berikut: a. jenis dan deskripsi umum produk atau aktivitas baru; b. waktu penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; c. tujuan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; d. keterkaitan produk atau aktivitas baru dengan strategi bisnis Bank; e. risiko atas penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan f. mitigasi risiko atas penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. 5. Dalam … 5. Dalam rangka penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia, Bank mengajukan surat permohonan persetujuan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru kepada Bank Indonesia yang disertai dengan dokumen pendukung yang paling kurang memuat informasi dan penjelasan sebagai berikut: a. informasi umum mengenai produk atau aktivitas baru meliputi antara lain nama produk atau jenis aktivitas, rencana waktu penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas, target pasar dan/atau nasabah, rencana atau target nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun pertama, informasi mengenai skim atau fitur produk yang akan diterbitkan atau penjelasan mengenai aktivitas yang akan dilaksanakan; b. manfaat dan biaya bagi Bank; c. manfaat dan risiko bagi nasabah; d. prosedur pelaksanaan (standard operating procedures/SOP), organisasi dan kewenangan untuk menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru; e. rencana kebijakan dan prosedur terkait dengan penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teroris (APU dan PPT); f. identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian terhadap risiko yang melekat pada produk atau aktivitas baru; g. hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan atas produk atau aktivitas baru; h. dokumen … h. dokumen atau konsep dokumen dalam rangka transparansi kepada nasabah yang terkait dengan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang meliputi antara lain perjanjian antara Bank dengan nasabah atau pihak lain, brosur, leaflet, prospektus, dan/atau formulir aplikasi; i. sistem informasi akuntansi termasuk penjelasan singkat mengenai keterkaitan sistem informasi akuntansi tersebut dengan sistem informasi akuntansi Bank secara menyeluruh, dan/atau sistem pencatatan administrasi; j. dokumen yang menyatakan bahwa Bank telah memperoleh persetujuan atau izin dari otoritas yang berwenang, apabila aktivitas Bank dimaksud memerlukan persetujuan dari otoritas tersebut. Dalam hal dokumen dimaksud belum diterbitkan, maka Bank dapat menyampaikan fotokopi bukti permohonan persetujuan atau izin kepada otoritas yang berwenang. Selanjutnya, setelah otoritas menerbitkan persetujuan atau izin, maka Bank wajib menyampaikannya kepada Bank Indonesia sebagai kelengkapan dokumen; dan k. kesiapan dan hasil uji coba Bank (apabila ada) atas produk atau aktivitas baru. Informasi dan penjelasan dalam dokumen pendukung permohonan persetujuan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru berpedoman pada Lampiran III.B. 6. Permohonan persetujuan penerbitan produk atau aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada angka 5 disampaikan … disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. 7. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen permohonan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. 8. Dalam hal masih diperlukan tambahan dokumen dan/atau penjelasan berkenaan dengan evaluasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan maka batas waktu 60 (enam puluh) hari dihitung sejak Bank melengkapi dokumen dan/atau memberikan penjelasan yang diminta oleh Bank Indonesia. 9. Bank harus menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia. Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia, Bank tidak menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru maka persetujuan Bank Indonesia menjadi tidak berlaku. 10. Dalam hal persetujuan Bank Indonesia sudah tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada angka 9, namun Bank tetap akan menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru, maka Bank wajib menyampaikan kembali permohonan persetujuan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru kepada Bank Indonesia. 11. Bank wajib menyampaikan laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah produk diterbitkan atau aktivitas baru dilaksanakan. Realisasi… Realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru dihitung sejak tanggal produk atau aktivitas tersebut sudah dapat dibeli atau dimanfaatkan oleh nasabah. Laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling kurang memuat informasi dan penjelasan sebagai berikut: a. jenis dan nama produk atau aktivitas baru; b. tanggal penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan c. kesesuaian produk yang diterbitkan atau aktivitas baru yang dilaksanakan dengan produk atau aktivitas yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. IV. PERLAKUAN TERHADAP BANK UMUM YANG MENGALAMI PENURUNAN MODAL INTI A. Bank yang mengalami penurunan Modal Inti sehingga menjadi tidak sesuai dengan persyaratan Modal Inti Minimum sesuai BUKU Bank selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, wajib menyampaikan: 1. rencana tindak (action plan) dalam rangka pemenuhan persyaratan Modal Inti sesuai BUKU Bank; atau 2. rencana tindak dalam rangka penyesuaian Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan BUKU Bank. B. Rencana tindak pemenuhan Modal Inti sesuai BUKU Bank paling kurang menguraikan: 1. penyebab penurunan Modal Inti; 2. mekanisme dan tahapan pemenuhan Modal Inti; dan 3. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank Indonesia. C. Rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan BUKU Bank paling kurang menguraikan: 1. produk … 1. produk dan/atau aktivitas yang harus dihentikan serta nilai nominal (outstanding) dan sisa jangka waktu terlama untuk produk atau aktivitas yang wajib dihentikan; 2. rencana waktu penyelesaian akhir produk dan/atau aktivitas yang tidak sesuai; 3. rencana komunikasi atau pemberitahuan kepada nasabah atau stakeholders mengenai penghentian produk dan/atau aktivitas; 4. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank Indonesia. D. Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf B atau huruf C wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada bulan keempat sejak terjadinya penurunan Modal Inti sehingga menyebabkan tidak sesuai dengan persyaratan Modal Inti sesuai BUKU Bank, dengan alamat sebagai berikut: 1. Departemen Pengawasan Bank, Jalan M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. E. Bank wajib menyelesaikan rencana tindak pemenuhan Modal Inti sebagaimana dimaksud dalam huruf B paling lama 1 (satu) tahun sejak rencana tindak disetujui oleh Bank Indonesia. F. Bank yang tidak mampu memenuhi rencana tindak pemenuhan Modal Inti dalam waktu 1 (satu) tahun sejak rencana tindak disetujui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha yang … yang tidak sesuai dengan BUKU Bank sebagaimana dimaksud pada huruf C. G. Bank wajib menyelesaikan rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf C sampai dengan berakhirnya sisa jangka waktu perjanjian produk dan/atau aktivitas yang tidak sesuai dengan BUKU Bank. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian produk dan/atau aktivitas lebih dari 3 (tiga) tahun, Bank wajib menyelesaikan penghentian produk atau aktivitas dimaksud paling lama 3 (tiga) tahun sejak rencana tindak disetujui oleh Bank Indonesia. H. Bagi Bank yang telah memperoleh persetujuan atas rencana tindak pemenuhan persyaratan Modal Inti sesuai BUKU yang diajukan kepada Bank Indonesia maka: 1. Bank tetap dapat melaksanakan Kegiatan Usaha yang telah dilakukan meskipun tidak sesuai dengan cakupan Kegiatan Usaha yang diperkenankan pada BUKU Bank, termasuk melakukan transaksi baru dengan nasabah, sepanjang memenuhi tahapan pemenuhan Modal Inti yang telah disetujui Bank Indonesia; 2. Bank tidak diperkenankan melakukan transaksi baru dengan nasabah sampai dengan terpenuhinya Modal Inti minimum menurut BUKU, apabila terdapat pelanggaran terhadap tahapan pemenuhan Modal Inti yang telah disetujui Bank Indonesia. I. Bank yang mengajukan rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha dilarang menawarkan, menjual dan/atau melakukan perjanjian atau transaksi baru atas produk dan/atau aktivitas yang harus dihentikan sejak bulan keempat sejak terjadinya penurunan Modal Inti sehingga menyebabkan tidak sesuai … sesuai dengan persyaratan Modal Inti berdasarkan BUKU Bank. J. Ketentuan dalam huruf A tidak berlaku untuk Bank yang mengalami penurunan Modal Inti selama 3 (tiga) bulan berturut-turut termasuk Bank dalam penanganan atau penyelamatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), apabila mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia untuk melakukan Kegiatan Usaha tertentu dengan pertimbangan stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional. V. TINDAK LANJUT PENGAWASAN A. Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dalam hal di kemudian hari berdasarkan evaluasi Bank Indonesia: 1. Produk yang diterbitkan atau aktivitas yang dilaksanakan: a. tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk atau aktivitas yang diajukan kepada Bank Indonesia; b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank; c. berpotensi meningkatkan risiko hukum atau reputasi Bank secara signifikan karena adanya pengaduan atau tuntutan dari nasabah; dan/atau d. tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Bank tidak menerapkan manajemen risiko yang memadai atas produk yang diterbitkan atau aktivitas yang dilaksanakan. Penghentian ... Penghentian tersebut dapat bersifat sementara maupun permanen berdasarkan penilaian Bank Indonesia atas penyimpangan yang terjadi. B. Dalam hal Bank diperintahkan untuk menghentikan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sebagaimana dimaksud dalam huruf A maka: 1. Bank wajib segera menghentikan penawaran, penjualan dan/atau perjanjian atau transaksi baru atas produk atau aktivitas yang wajib dihentikan; dan 2. Bank menyampaikan rencana tindak kepada Bank Indonesia atas penyelesaian kewajiban kepada nasabah terkait produk yang telah diterbitkan atau aktivitas yang telah dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak Bank diperintahkan untuk menghentikan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas. VI. LAIN-LAIN A. Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas produk atau aktivitas tertentu, Bank Indonesia akan mempertimbangkan kepentingan nasional terkait dengan dampak penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas antara lain untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional termasuk untuk penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas Bank dalam penanganan atau penyelamatan LPS. B. Bank dilarang untuk memasarkan produk atau melaksanakan aktivitas yang belum mendapatkan persetujuan Bank Indonesia dan/atau tidak tercatat dalam pembukuan atau administrasi Bank. C. Dalam hal penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas Bank telah diatur secara khusus dalam ketentuan Bank Indonesia dan/atau ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas lainnya … lainnya seperti ketentuan mengenai structured product, agen penjual SBN, agen penjual reksadana, aktivitas bancassurance, penitipan dengan pengelolaan (trust), pelaksana sistem pembayaran, penyediaan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan penggunaan teknologi informasi maka penerbitan produk atau aktivitas dimaksud mengacu pada ketentuan Bank Indonesia dan/atau ketentuan otoritas lain yang mengatur secara khusus mengenai hal tersebut. D. Lampiran I sampai dengan Lampiran IV merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini. VII. PERALIHAN A. Penentuan BUKU Bank berdasarkan Modal Inti, untuk pertama kali didasarkan pada posisi Modal Inti Bank pada akhir bulan Desember 2012. B. Bagi Bank yang sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini telah melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai dengan BUKU, wajib menyampaikan rencana tindak pemenuhan Modal Inti atau rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha kepada Bank Indonesia. C. Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf B, wajib disampaikan oleh Bank yang tidak mampu memenuhi persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU sampai dengan akhir bulan Maret 2013. D. Ketentuan dalam huruf B tidak berlaku bagi Bank yang sampai dengan akhir bulan Maret 2013 telah mampu memenuhi persyaratan Modal Inti minimum berdasarkan BUKU. Namun Bank wajib menyampaikan laporan dan bukti pendukung pemenuhan Modal Inti minimum kepada pengawas … pengawas Bank yang bersangkutan sebagai dasar penyesuaian BUKU Bank. E. Rencana tindak pemenuhan Modal Inti paling kurang memuat: 1. sumber, jumlah dan mekanisme penambahan Modal Inti, seperti penambahan modal melalui investor yang telah ada (existing), investor strategis, atau merger dan konsolidasi; 2. komposisi pemegang saham Bank setelah penambahan Modal Inti; 3. tahapan pemenuhan Modal Inti sampai dengan persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU Bank terpenuhi; dan 4. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank Indonesia terkait dengan rencana penambahan Modal Inti Bank. F. Rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha paling kurang memuat: 1. produk dan/atau aktivitas yang harus dihentikan, nilai nominal (outstanding) dan sisa jangka waktu terlama produk atau aktivitas yang harus dihentikan atau disesuaikan dan/atau penyertaan modal yang harus disesuaikan karena melebihi batas maksimal penyertaan modal berdasarkan BUKU; 2. rencana waktu pengakhiran produk dan/atau aktivitas dan/atau penyesuaian penyertaan modal; 3. rencana komunikasi atau pemberitahuan kepada nasabah dan stakeholders mengenai penghentian produk dan/atau aktivitas; dan 4. hal … 4. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank Indonesia terkait penghentian produk atau aktivitas yang tidak sesuai dengan BUKU Bank dan/atau penyesuaian penyertaan modal. G. Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada huruf B wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Maret 2013, dengan alamat sebagai berikut: 1. Departemen Pengawasan Bank, Jalan M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. H. Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan, Bank Indonesia melakukan evaluasi atas rencana tindak yang disampaikan oleh Bank. I. Berdasarkan persetujuan Bank Indonesia atas rencana tindak, Bank melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. melakukan revisi atas Rencana Bisnis Bank dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada akhir bulan Juni 2013. 2. melakukan penambahan modal dan/atau menyesuaikan Kegiatan Usaha: a. paling lambat akhir bulan Juni 2016; atau b. paling lambat akhir bulan Juni 2018 bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. 3. Bank yang mengajukan rencana tindak pemenuhan Modal Inti: a. tetap … a. tetap dapat melaksanakan Kegiatan Usaha yang telah dilakukan meskipun tidak sesuai dengan cakupan Kegiatan Usaha yang diperkenankan pada BUKU Bank termasuk melakukan transaksi baru dengan nasabah, sepanjang memenuhi tahapan pemenuhan Modal Inti yang telah disetujui Bank Indonesia; b. tidak diperkenankan melakukan transaksi baru dengan nasabah sampai dengan terpenuhinya Modal Inti minimum menurut BUKU, apabila terdapat pelanggaran terhadap tahapan pemenuhan Modal Inti yang telah disetujui Bank Indonesia. 4. Bank yang mengajukan rencana penyesuaian Kegiatan Usaha dilarang menawarkan, menjual, dan/atau melakukan perjanjian atau transaksi baru atas produk dan/atau aktivitas yang harus dihentikan. J. Bagi Bank yang telah menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas yang berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia ini wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia, tetap dapat memelihara produk atau aktivitas tersebut tanpa harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia, sepanjang merupakan cakupan produk atau aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU Bank. K. Ketentuan dalam huruf B tidak berlaku bagi Bank yang pada posisi akhir Desember 2012 tidak memenuhi persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU namun mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia untuk tetap dapat melakukan Kegiatan Usaha tertentu berdasarkan pertimbangan stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong perkembangan perekonomian nasional, termasuk Bank yang dalam penanganan atau penyelamatan LPS. VIII. PENUTUP … VIII. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/35/DPNP tanggal 31 Desember 2009 perihal Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 Maret 2013. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MULYA E. SIREGAR KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 15/6/DPNP|SE-BI/2013 </reg_id> <reg_title> Kegiatan Usaha Bank Umum Berdasarkan Modal Inti </reg_title> <set_date> 8 Maret 2013 </set_date> <effective_date> 8 Maret 2013 </effective_date> <replaced_reg> '11/35/DPNP|SE-BI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '5/8/PBI/2003', '14/26/PBI/2012', '11/25/PBI/2009' </related_reg>
No. 10/ 20 /DASP Jakarta, 8 Mei 2008 S U R A T E D A R A N Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu ------------------------------------------------------------------------- Dalam rangka meningkatkan kelancaran transaksi antar Pemegang Kartu dengan tetap memperhatikan faktor keamanan dan perlindungan kepada Pemegang Kartu, perlu dilakukan penyesuaian batas maksimum nilai nominal dana yang dapat ditransfer antar Penerbit dengan menggunakan Kartu ATM melalui mesin ATM. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/18/DASP tanggal 23 Agustus 2006, sebagai berikut: Ketentuan butir II.3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3. Untuk meningkatkan kelancaran transaksi antar Pemegang Kartu dengan tetap memperhatikan faktor keamanan dan perlindungan kepada Pemegang Kartu, ditetapkan hal-hal sebagai berikut: a. Batas maksimum nilai nominal dana yang dapat ditransfer antar Penerbit Kartu ATM melalui mesin ATM adalah sebesar Rp25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) per rekening dalam satu hari dengan ketentuan sebagai berikut: 1) batas … 2 1) batas maksimum nilai nominal dana berlaku untuk transfer dana antar Penerbit dimana rekening pengirim dan penerima berada pada Penerbit yang berbeda, dan seluruh proses transfer dana diselesaikan melalui jaringan ATM antar Penerbit; dan 2) batas maksimum nilai nominal dana tidak berlaku untuk transfer dana intra Penerbit Kartu ATM di mana rekening pengirim dan penerima berada pada Penerbit yang sama. b. Batas maksimum nilai nominal dana untuk penarikan tunai dengan Kartu ATM dan Kartu Kredit melalui mesin ATM adalah sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per rekening dalam satu hari. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 8 Mei 2008 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, SWD. MURNIASTUTI DIREKTUR AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/20/DASP|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu </reg_title> <set_date> 8 Mei 2008 </set_date> <effective_date> 8 Mei 2008 </effective_date> <changed_reg> '7/60/DASP|SE-BI/2005' </changed_reg> <extension_of> '8/18/DASP|SE-BI/2006' </extension_of> <related_reg> '7/60/DASP|SE-BI/2005', '8/18/DASP|SE-BI/2006' </related_reg>
No. 17/38/DPM Jakarta, 16 November 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA PERANTARA DI INDONESIA Perihal : Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/20/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 275, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5764) dan dalam rangka upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai kriteria dan persyaratan Surat Berharga, peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan yang berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka dan koridor suku bunga (standing facilities). 3. Operasi … 2 3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter. 4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana Rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. 5. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Surat Berharga Negara dan surat berharga lain yang digunakan dalam transaksi Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini. 6. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 7. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar Bank. 8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara yang berlaku. 10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang Rupiah maupun … 3 maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara yang berlaku. 11. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 12. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 13. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disingkat ZCB adalah Obligasi Negara tanpa kupon, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 14. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disebut ORI adalah Obligasi Negara yang pada pasar perdana dijual kepada individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia. 15. Surat Berharga Syariah Negara Ritel yang selanjutnya disebut SBSN Ritel, atau dapat disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual. 16. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 17. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 18. Transaksi Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut Transaksi Repo adalah transaksi penjualan Surat Berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 19. Transaksi Reverse Repo adalah transaksi pembelian Surat Berharga oleh Peserta OPT dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 20. Transaksi … 4 20. Transaksi Outright adalah transaksi pembelian dan penjualan Surat Berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia secara putus tanpa kewajiban penjualan dan pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter. 21. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika. 22. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan, serta penatausahaan surat berharga, yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika. 23. Sistem Bank Indonesia–Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika. II. SURAT BERHARGA 1. Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter adalah sebagai berikut: a. Surat Berharga dalam mata uang Rupiah 1) diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia; 2) tercatat di BI-SSSS; dan 3) tidak … 5 3) tidak sedang diagunkan. b. Surat Berharga dalam valuta asing 1) diterbitkan oleh pemerintah negara lain yang bank sentralnya memiliki kerjasama dengan Bank Indonesia antara lain dalam bentuk cross border collateral arrangement; 2) sesuai denominasi asal negara penerbit; 3) tercatat pada aktiva peserta Operasi Moneter yang tercatat pada rekening surat berharga milik peserta Operasi Moneter di lembaga kustodian yang disepakati; 4) memiliki peringkat investasi (investment grade); dan 5) tidak sedang diagunkan. 2. Jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 1 terdiri atas: a. SBI; b. SDBI; c. SBN, yang terdiri atas: 1) SUN, yang terdiri atas SPN dan Obligasi Negara termasuk ZCB dan ORI; dan 2) SBSN, yang terdiri atas SBSN Jangka Pendek dan SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel; dan 3) Surat berharga jangka pendek atau jangka panjang yang diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereign bond). 3. Persyaratan Surat Berharga: Untuk Transaksi Repo dalam rangka OPT dan lending facility: a. SBI Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada saat second leg Transaksi Repo. b. SDBI Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada saat second leg Transaksi Repo. c. SBN Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat second leg Transaksi Repo. d. Surat … 6 d. Surat berharga dalam valuta asing Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender pada saat second leg Transaksi Repo. III. HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA 1. Harga dan haircut Surat Berharga ditetapkan dan diumumkan oleh Bank Indonesia di Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lainnya. 2. Harga Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 1 ditetapkan sebagai berikut: a. Harga SBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SBI. b. Harga SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SDBI. c. Harga SBN dan surat berharga dalam valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN serta surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond). 3. Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga Surat Berharga. 4. Haircut Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 1 ditetapkan sebagai berikut: a. untuk SBI sebesar 0% (nol persen); b. untuk SDBI sebesar 0% (nol persen); c. untuk SBN yang terdiri atas: 1) SUN sebesar 5% (lima persen); 2) SBSN sebesar 6,5% (enam koma lima persen); d. sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggal pelaksanaan transaksi untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond). 5. Bank … 7 5. Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dan mengumumkan perubahan tersebut melalui Sistem BI-ETP, BI-SSSS, Sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan/atau sarana lainnya. 6. Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara outright oleh peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo atau lending facility, harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga pada tanggal Transaksi Outright paling tinggi sebesar harga pada transaksi first leg. 7. Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara outright oleh peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Reverse Repo, harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga pada tanggal Transaksi Outright paling rendah sebesar harga pada transaksi first leg. 8. Dalam hal terjadi penjualan Surat Berharga dalam valuta asing oleh Bank Indonesia karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo, harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga penjualan surat berharga tersebut oleh Bank Indonesia pada tanggal penjualan. IV. PERHITUNGAN NILAI SETELMEN SURAT BERHARGA DALAM RUPIAH 1. Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo dengan Surat Berharga dalam Rupiah dan Transaksi Reverse Repo a. Nilai setelmen Surat Berharga adalah sebesar nilai nominal Surat Berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan. b. Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung sebagai berikut: 1) SBI, SDBI, SPN, ZCB, dan SBSN Jangka Pendek 2) Obligasi … 8 2) Obligasi Negara termasuk ORI, SBSN Jangka Panjang Keterangan: Harga Surat Berharga : Harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP dan BI-SSSS pada tanggal transaksi lending facility, Transaksi Repo atau Transaksi Reverse Repo. Haircut : Haircut sebagaimana diumumkan dalam Sistem BI-ETP dan BI-SSSS pada transaksi lending facility, Transaksi Repo atau Transaksi Reverse Repo. Accrued Interest atau Accrued Imbalan : Hak atas kupon atau imbalan Surat Berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran kupon atau imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen first leg. c. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai berikut: Keterangan: Jangka waktu : Jangka waktu lending facility atau Transaksi Repo atau Transaksi Reverse Repo. 2. Transaksi … 9 2. Transaksi Outright Perhitungan nilai setelmen transaksi pembelian atau penjualan Surat Berharga secara outright sebagai berikut: a. SPN, ZCB dan SBSN Jangka Pendek b. Obligasi Negara termasuk ORI, SBSN Jangka Panjang Keterangan: Harga Surat Berharga : 1) Transaksi Outright OPT Harga Surat Berharga sebagaimana ditetapkan Bank Indonesia dalam hal Transaksi Outright dilakukan dengan mekanisme lelang, dan/atau harga Surat Berharga berdasarkan kesepakatan para pihak dalam hal Transaksi Outright dilakukan dengan mekanisme non lelang; 2) Transaksi Outright karena kegagalan setelmen second leg a) Untuk transaksi Repo, harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP dan BI-SSSS pada tanggal Transaksi Outright paling tinggi sebesar harga transaksi first leg. b) Untuk transaksi Reverse Repo, harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP dan BI-SSSS pada tanggal … 10 tanggal Transaksi Outright paling rendah sebesar harga transaksi first leg. Accrued Interest atau accrued imbalan : hak atas kupon atau imbalan Surat Berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran kupon atau imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen Transaksi Outright. 3. Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption) Dalam hal terjadi kegagalan setelmen Transaksi Repo jatuh waktu atau lending facility jatuh waktu yang menggunakan SBI, perhitungan setelmen nilai tunai sebagai berikut: Keterangan: Tingkat Diskonto Sisa jangka waktu : Rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada saat SBI diterbitkan. : Jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal gagal setelmen transaksi Operasi Moneter sampai dengan tanggal jatuh waktu SBI (maturity date). 4. Pelunasan SDBI sebelum jatuh waktu (early redemption) Early redemption terhadap SDBI dilakukan dalam hal terjadi kegagalan setelmen Transaksi Repo jatuh waktu, lending facility jatuh waktu atau terjadi transaksi antara Bank dengan pihak selain Bank yang menggunakan SDBI, dengan perhitungan nilai setelmen nilai tunai sebagai berikut: Keterangan … 11 Keterangan: Tingkat diskonto : Rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada saat SDBI diterbitkan. Sisa waktu jangka : Jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal gagal setelmen transaksi Operasi Moneter sampai dengan tanggal jatuh waktu SDBI (maturity date). V. PERHITUNGAN NILAI AGUNAN DAN NILAI SETELMEN SURAT BERHARGA DALAM VALUTA ASING 1. Nilai nominal Surat Berharga dalam valuta asing yang diagunkan pada setelmen first leg dihitung sebagai berikut: Keterangan: Nilai setelmen first leg Kurs transaksi Harga Berharga Surat : Besarnya nominal Rupiah yang dimenangkan pada saat setelmen first leg : Kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi. : Harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan pada saat pelaksanaan transaksi untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond). Haircut : Haircut sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada saat pelaksanaan transaksi untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond). 2. Kurs … 12 2. Kurs Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen atas transaksi yang menggunakan Surat Berharga dalam valuta asing adalah kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi. 3. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai berikut: Keterangan: Jangka waktu : Jangka waktu Transaksi Repo VI. PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA OPERASI MONETER 1. Peserta Operasi Moneter a. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti Operasi Moneter dalam Rupiah adalah Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) berstatus aktif sebagai peserta di Sistem BI-ETP, BI- SSSS, dan Sistem BI-RTGS; 2) tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter; 3) harus memiliki rekening giro di Bank Indonesia; dan 4) harus memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS. b. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti transaksi Operasi Moneter dalam valuta asing adalah Bank devisa, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter; 2) harus memiliki rekening giro valuta asing di Bank Indonesia; dan/atau 3) harus … 13 3) harus memiliki rekening surat berharga di lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia, untuk transaksi Operasi Moneter dengan Surat Berharga dalam valuta asing yang tidak ditatausahakan di Bank Indonesia. c. Peserta Operasi Moneter wajib: 1) menyediakan dana Rupiah di rekening giro di Bank Indonesia dan/atau Surat Berharga di rekening Surat Berharga di BI-SSSS yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi Operasi Moneter; dan/atau 2) mentransfer dana valuta asing ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden dan/atau Surat Berharga dalam valuta asing ke rekening Surat Berharga di Bank Indonesia atau ke rekening surat berharga Bank Indonesia di lembaga kustodian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi Operasi Moneter. d. Peserta Operasi Moneter melakukan transaksi Operasi Moneter untuk kepentingan diri sendiri. 2. Lembaga Perantara a. Lembaga perantara melakukan transaksi OPT untuk kepentingan peserta Operasi Moneter. b. Lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1) pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing; dan 2) perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama. c. Perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam butir b.2) hanya dapat menjadi lembaga perantara dalam Transaksi Repo, Transaksi Reverse Repo dan transaksi pembelian atau penjualan SBN secara outright di pasar sekunder. d. Persyaratan … 14 d. Persyaratan lembaga perantara adalah sebagai berikut: 1) berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP; dan 2) tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang. VII. KETENTUAN PENUTUP Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/22/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, DODDY ZULVERDI KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 17/38/DPM|SE-BI/2015 </reg_id> <reg_title> Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter </reg_title> <set_date> 16 November 2015 </set_date> <effective_date> 16 November 2015 </effective_date> <replaced_reg> '16/22/DPM|SE-BI/2014' </replaced_reg> <related_reg> '17/20/PBI/2015', '12/11/PBI/2010' </related_reg>
BANK INDONESIA NO.5/ 11 /DPNP Jakarta, 26 Juni 2003 Jakarta, 26 Juni 2003 SURATEDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah Menunjuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 23; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4082) serta memperhatikan Surat Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Bank Indonesia Nomor PROG-234S/BPPN/0700 tanggal 28 Juli 2000 perihal Penctapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga dan Maksimum Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank yang dijamin oleh Pemerintah, dengan ini diberitahukan bahwa marjin suku bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin oleh Pemerintah: dalam Rupiah ditetapkan sebesar 100 (seratus) basis point; sedangkan dalam valuta asing ditetapkan sebesar 100 (seratus) basis poin, di atas rata-rata suku bunga deposito berjangka dari bank-bank anggota JTBOR yang dipilih oleh Bank Indonesin. B1 100(448)- 200- 1-2003- ERC BARR ERBORBSBA Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indoncsia Nomor 4/9/DPM tanggal 26 Juni 2002 perihal Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang Djamin Pemerintah dinyatakan tidak berlaku.Ketentuan dalam Surat Edaran ini nulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2003, Agar setiap orang mengetabuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indomesia. Demikian agar maklum. BANK,INDONESIA, NELSON TAIVPUBOLON DIREKTUR PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN 81-101 (446)-2007-12-97-AEB
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 5/11/DPNP|SE-BI/2003 </reg_id> <reg_title> Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah </reg_title> <set_date> 26 Juni 2003 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2003 </effective_date> <replaced_reg> '4/9/DPM|SE-BI/2002' </replaced_reg> <related_reg> '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '3/5/PBI/2001', 'PROG-2345/BPPN/0700|SRT-BPPN/2000' </related_reg>
No. 13/ 4 /DPM Jakarta, 4 Februari 2011 SURAT EDARAN Perihal : Biaya Laporan Harian Bank Umum Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/ 8 /PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194) dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/ 3 /DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum, perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang biaya Laporan Harian Bank Umum dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. Bank Pelapor 1. Bank Indonesia menyediakan hak akses berupa user id atas sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) di Bank Indonesia dalam jumlah tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya, baik berupa biaya lisensi maupun biaya pemeliharaan. 2. Dalam hal Bank Pelapor menambah hak akses sistem LHBU, Bank Pelapor dikenakan biaya lisensi dan biaya pemeliharaan sistem LHBU yang diatur sebagai berikut: a. Biaya lisensi sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar) dikenakan 1 (satu) kali selama menggunakan hak akses sistem LHBU, untuk setiap tambahan hak akses. b. Biaya pemeliharaan sistem LHBU sebesar USD300 (tiga ratus US Dollar) dikenakan setiap tahun, untuk setiap tambahan hak akses. c. Pembayaran ... 2 c. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dilakukan dalam ekuivalen mata uang rupiah dengan menggunakan kurs transaksi jual Bank Indonesia pada tanggal pembayaran biaya. d. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dilakukan dengan mendebet rekening giro rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. e. Dalam rangka pendebetan rekening giro rupiah Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam huruf d, Bank Pelapor memberikan surat kuasa pendebetan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus Manajemen Informasi, sebagaimana contoh dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini . II. Pelanggan LHBU Dalam rangka memperoleh informasi LHBU, Pelanggan LHBU dikenakan biaya lisensi, biaya pemeliharaan sistem LHBU, dan biaya perolehan informasi LHBU yang diatur sebagai berikut: 1. Biaya lisensi untuk pertama kali memperoleh hak akses dikenakan 1 (satu) kali sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar) yang berlaku selama menggunakan informasi LHBU. 2. Setiap tambahan hak akses, dikenakan biaya lisensi sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar) yang berlaku selama menggunakan hak akses. 3. Pembayaran biaya lisensi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dilakukan dengan cara transfer melalui Bank umum dan harus sudah diterima oleh Bank Indonesia pada saat Perjanjian Penggunaan LHBU terkait ditandatangani. 4. Biaya ... 3 4. Biaya pemeliharaan sistem LHBU sebesar USD300 (tiga ratus US Dollar) setahun untuk setiap hak akses atau setiap tambahan hak akses. 5. Pembayaran biaya pemeliharaan sistem LHBU untuk setiap hak akses atau setiap tambahan hak akses sebagaimana dimaksud pada angka 4, dilakukan dengan cara transfer melalui Bank umum dan harus sudah diterima oleh Bank Indonesia pada saat Perjanjian Penggunaan LHBU terkait ditandatangani. 6. Biaya perolehan informasi LHBU sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) sebulan untuk setiap hak akses, dan diterima Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 pada bulan yang bersangkutan. 7. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 4 dilakukan dalam ekuivalen mata uang rupiah dengan menggunakan kurs transaksi jual Bank Indonesia pada tanggal pembayaran dilakukan. 8. Tata cara pembayaran biaya lisensi, biaya pemeliharaan sistem LHBU, dan biaya untuk memperoleh informasi LHBU diatur dalam Perjanjian Penggunaan LHBU. III. Ketentuan Peralihan Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Perjanjian Penggunaan PIPU yang telah ada sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, dinyatakan masih tetap berlaku dan diperlakukan sebagai Perjanjian Penggunaan LHBU sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian yang bersangkutan. IV. Penutup ... 4 IV. Penutup Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/3/DPM tanggal 5 Maret 2007 perihal Biaya Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Februari 2011 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDAR DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 13/4/DPM|SE-BI/2011 </reg_id> <reg_title> Biaya Laporan Harian Bank Umum </reg_title> <set_date> 4 Februari 2011 </set_date> <effective_date> 7 Februari 2011 </effective_date> <replaced_reg> '9/3/DPM|SE-BI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '13/8/PBI/2011', '13/3/DPM|SE-BI/2011' </related_reg>
No.16/ 4 /DKEM Jakarta, 7 April 2014 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/7/PBI/2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5523), perlu untuk dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Surat Edaran Bank Indonesia: a. Nomor 10/32/DInt tanggal 14 Oktober 2008 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank; b. Nomor 14/30/DInt tanggal 22 Oktober 2012 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank; c. Nomor 15/36/DKEM tanggal 30 Agustus 2013 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank; diubah… diubah sebagai berikut: Ketentuan butir I.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: C. PLN JANGKA PENDEK 1. Bank dapat memperoleh PLN Jangka Pendek tanpa persetujuan dari Bank Indonesia. 2. Bank wajib membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank termasuk yang dimiliki oleh kantor cabangnya di luar negeri. 3. Pembatasan posisi saldo harian PLN Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dikecualikan terhadap: a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dimaksud dikecualikan mengingat pemegang saham pengendali mempunyai kewajiban untuk membantu Bank apabila Bank mengalami kesulitan likuiditas. Pemegang saham pengendali merupakan pemegang saham pengendali sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai bank umum dan bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Kesulitan likuiditas merupakan kesulitan Bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendek yang disebabkan mismatch arus dana, baik valas maupun Rupiah. b. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil. Sektor riil dalam hal ini merupakan kegiatan usaha suatu entitas di Indonesia yang menghasilkan barang dan jasa, tidak termasuk di dalamnya kegiatan usaha di sektor keuangan. c. Dana Usaha kantor cabang bank asing di Indonesia sampai dengan paling Usaha yang dinyatakan (declared Dana Usaha). d. Giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing dan lembaga internasional, termasuk anggota staf perwakilan negara asing dan lembaga internasional. Perwakilan… tinggi 100% (seratus persen) dari Dana Perwakilan resmi pemerintah daerah negara asing yang melakukan tugasnya di Indonesia juga dianggap sebagai perwakilan negara asing. e. Giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia yang meliputi penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, dan/atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN). Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi tidak termasuk yang dikecualikan. f. Giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil penjualan kembali (divestasi) atas penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, dan/atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN). g. Giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana untuk pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan hasil penjualan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI). h. Kewajiban Bank kepada Bukan Penduduk yang timbul dari transaksi derivatif lindung nilai. Kewajiban merupakan liabilitas Bank yang muncul akibat kegiatan mark-to-market transaksi derivatif Bank dengan Bukan Penduduk dan tercatat di on balance sheet. Transaksi derivatif merupakan transaksi yang didasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, namun tidak termasuk transaksi derivatif kredit. Lindung nilai merupakan cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di pasar keuangan. i. Giro milik Bukan Penduduk non pemegang saham pengendali yang digunakan dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil dan proyek-proyek infrastruktur. j. Giro... j. Giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil penerbitan obligasi berdenominasi Rupiah oleh lembaga supranasional dalam rangka pembiayaan sektor riil dan proyek- proyek infrastruktur. Lembaga supranasional merupakan lembaga keuangan multilateral yang dibentuk oleh dua atau lebih negara dan dalam kegiatannya menyediakan pembiayaan, hibah, dan/atau bantuan teknis dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi negara anggotanya. 4. PLN Jangka Pendek yang diperpanjang (roll over) tetap merupakan PLN Jangka Pendek. Dalam hal akan diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun maka akan diberlakukan sebagai PLN Jangka Panjang baru yang harus mengikuti prosedur sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai PLN. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 April 2014 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, JUDA AGUNG KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN EKONOMI DAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 16/4/DKEM|SE-BI/2014 </reg_id> <reg_title> Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank. </reg_title> <set_date> 7 April 2014 </set_date> <effective_date> 7 April 2014 </effective_date> <changed_reg> '9/1/DInt|SE-BI/2007' </changed_reg> <extension_of> '10/32/DInt|SE-BI/2008', '14/30/DInt|SE-BI/2012', '15/36/DKEM|SE-BI/2013' </extension_of> <related_reg> '7/1/PBI/2005', '16/7/PBI/2014', '9/1/DInt|SE-BI/2007', '10/32/DInt|SE-BI/2008', '14/30/DInt|SE-BI/2012', '15/36/DKEM|SE-BI/2013' </related_reg>
No. 14/ 33 /DPbS Jakarta, 27 November 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA Perihal : Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4896) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5247) serta dalam rangka meningkatkan kehati-hatian bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang melakukan penyaluran pembiayaan kepemilikan rumah dan pembiayaan kendaraan bermotor, perlu untuk mengatur mengenai penerapan kebijakan produk pembiayaan kepemilikan rumah dan pembiayaan kendaraan bermotor oleh Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN … I. KETENTUAN UMUM A. Latar Belakang 1. Peningkatan permintaan pembiayaan kepemilikan rumah, dan pembiayaan kendaraan bermotor yang sangat tinggi berpotensi menimbulkan berbagai risiko bagi BUS dan UUS. 2. Pertumbuhan pembiayaan kepemilikan rumah yang sangat tinggi juga dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble), sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi BUS dan UUS yang memiliki eksposur pembiayaan properti yang besar. 3. Untuk tetap dapat menjaga perekonomian yang produktif dan mampu menghadapi tantangan sektor keuangan di masa yang akan datang, perlu adanya kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan sektor keuangan untuk meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang dapat timbul, termasuk pertumbuhan pembiayaan kepemilikan rumah dan pembiayaan kendaraan bermotor yang berlebihan. 4. Kebijakan dalam rangka meningkatkan kehati-hatian BUS dan UUS dalam penyaluran pembiayaan kepemilikan rumah dan pembiayaan kendaraan bermotor serta untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan dilakukan melalui penetapan besaran Financing to Value, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk pembiayaan kepemilikan rumah dan uang muka (down payment) untuk pembiayaan kendaraan bermotor dengan memperhatikan karakteristik produk perbankan syariah. B. Pengertian … B. Pengertian 1. Pembiayaan Kepemilikan Rumah yang selanjutnya disebut KPR iB adalah pemberian pembiayaan kepada nasabah dalam rangka kepemilikan rumah dengan menggunakan akad berdasarkan prinsip syariah. 2. Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut KKB iB adalah pemberian pembiayaan kepada nasabah dalam rangka kepemilikan kendaraan bermotor dengan menggunakan akad berdasarkan prinsip syariah. 3. Financing to Value yang selanjutnya disebut FTV adalah perbandingan antara nilai pembiayaan yang dapat diberikan oleh BUS atau UUS terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian pembiayaan dalam rangka kepemilikan rumah. 4. Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) adalah musyarakah atau syirkah dalam rangka kepemilikan rumah antara BUS atau UUS dengan nasabah, dimana penyertaan (sharing) kepemilikan rumah oleh BUS atau UUS akan berkurang yang disebabkan pembelian secara bertahap oleh nasabah. 5. Uang Jaminan (Deposit) adalah uang yang harus diserahkan oleh nasabah kepada BUS atau UUS dalam rangka kepemilikan rumah yang dilakukan dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT). 6. Uang Muka (Down Payment) adalah pembayaran di muka atau uang muka secara tunai yang sumber dananya dari debitur (self financing) dalam rangka pembelian kendaraan bermotor. II. PENERAPAN… II. PENERAPAN KEBIJAKAN PRODUK PEMBIAYAAN KEPEMILIKAN RUMAH DAN PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR Dalam menyalurkan KPR iB dan KKB iB, BUS dan UUS wajib: A. menerapkan manajemen risiko sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tanggal 2 November 2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, dalam rangka memitigasi berbagai risiko yang melekat pada penyaluran KPR iB dan KKB iB, terutama risiko kredit dan risiko likuiditas; dan B. menerapkan prinsip kehati-hatian antara lain dengan menyusun kebijakan dan prosedur secara tertulis yang akan menjadi acuan dalam penyaluran KPR iB dan KKB iB dengan berpedoman pada: 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum; 4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008 perihal Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah; dan 5. Surat Edaran Bank Indonesia ini. III. RUANG … III. RUANG LINGKUP PENGATURAN KPR iB DAN KKB iB A. KPR iB 1. Ruang lingkup KPR iB meliputi pembiayaan KPR iB yang diberikan oleh BUS dan UUS kepada nasabah perorangan dalam rangka kepemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen dengan tipe bangunan lebih dari 70 m2 (tujuh puluh meter persegi), namun tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, tidak berlaku untuk KPR iB dalam rangka pelaksanaan program perumahan Pemerintah Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. B. KKB iB Ruang lingkup KKB iB meliputi pembiayaan yang diberikan oleh BUS dan UUS kepada nasabah untuk pembelian kendaraan bermotor. IV. PENGATURAN FINANCING TO VALUE PADA KPR iB A. FTV diberlakukan terhadap KPR iB yang menggunakan akad murabahah atau akad istishna’. B. Perhitungan FTV yang merupakan perbandingan antara nilai pembiayaan terhadap nilai agunan, adalah sebagai berikut: 1. nilai pembiayaan ditetapkan berdasarkan harga pokok pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad pembiayaan; dan 2. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai pengikatan agunan oleh BUS dan UUS. C. FTV … C. FTV KPR iB sebagaimana dimaksud pada huruf B ditetapkan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen). V. PENGATURAN PENYERTAAN (SHARING) DAN UANG JAMINAN (DEPOSIT) PADA KPR iB A. Penyertaan (sharing) BUS atau UUS dalam rangka kepemilikan rumah diberlakukan terhadap KPR iB dengan skema Musyarakah Mutanaqisah (MMQ). B. Penyertaan (sharing) BUS atau UUS sebagaimana dimaksud pada huruf A ditetapkan paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen) dari harga perolehan rumah. C. Uang Jaminan (Deposit) dalam rangka kepemilikan rumah diberlakukan terhadap KPR iB dengan akad IMBT. D. Uang Jaminan (Deposit) sebagaimana dimaksud pada huruf C ditetapkan paling rendah sebesar 20% (dua puluh persen) dari harga perolehan rumah yang disewakan kepada nasabah. E. Uang Jaminan (Deposit) sebagaimana dimaksud pada huruf D akan diperhitungkan sebagai uang muka pembelian rumah pada saat akad IMBT jatuh tempo. Dalam hal nasabah tidak mengambil opsi untuk membeli rumah, maka Uang Jaminan (Deposit) tersebut dikembalikan kepada nasabah. VI. PENGATURAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT) PADA KKB iB A. Uang Muka (Down Payment) KKB iB ditetapkan sebesar persentase tertentu dari harga pembelian kendaraan bermotor yang dibiayai oleh BUS atau UUS. B. Uang … B. Uang Muka (Down Payment) sebagaimana dimaksud pada huruf A ditetapkan sebagai berikut: 1. paling rendah 25% (dua puluh lima persen), bagi kendaraan bermotor roda dua atau roda tiga; 2. paling rendah 30% (tiga puluh persen), bagi kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif; 3. paling rendah 20% (dua puluh persen), bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif. Kriteria kendaraan bermotor untuk keperluan produktif adalah sebagai berikut: a. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; dan/atau b. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya. VII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI 1. Bank Indonesia meminta BUS atau UUS untuk menghentikan kegiatan produk KPR iB dan/atau KKB iB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam hal BUS atau UUS melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C, butir V.B, butir V.D, dan butir VI.B Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. BUS… 2. BUS atau UUS yang tidak menghentikan kegiatan produk KPR iB dan/atau KKB iB sesuai permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf A, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. VIII. KETENTUAN LAIN-LAIN A. Besaran FTV untuk KPR iB sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C, besaran penyertaan (sharing) untuk KPR iB sebagaimana dimaksud dalam butir V.B, dan besaran Uang Jaminan (Deposit) untuk KPR iB sebagaimana dimaksud dalam butir V.D, serta besaran Uang Muka (Down Payment) untuk KKB iB sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia. B. Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain melalui pelaporan Sistem Informasi Debitur (SID) oleh BUS dan UUS maupun melalui pengawasan dan pemeriksaan BUS dan UUS. IX. KETENTUAN PERALIHAN BUS dan UUS yang telah memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penyaluran KPR iB dan/atau KKB iB sebelum Surat Edaran ini berlaku, wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur KPR iB dan/atau KKB iB serta menyampaikannya kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31 Maret 2013. X. KETENTUAN… X. KETENTUAN PENUTUP Ketentuan mengenai besaran FTV untuk KPR iB sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C, besaran penyertaan (sharing) untuk KPR iB sebagaimana dimaksud dalam butir V.B, dan besaran Uang Jaminan (Deposit) untuk KPR iB sebagaimana dimaksud dalam butir V.D, serta besaran Uang Muka (Down Payment) untuk KKB iB sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B mulai berlaku pada tanggal 1 April 2013. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 27 November 2012 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DEPUTI GUBERNUR DPbS
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 14/33/DPbS|SE-BI/2012 </reg_id> <reg_title> Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. </reg_title> <set_date> 27 November 2012 </set_date> <effective_date> 27 November 2012 </effective_date> <related_reg> '13/23/PBI/2011', '10/17/PBI/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VII' </penalty_list>
No. 2/18/DPM Jakarta, 19 September 2000 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal: Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tanggal 3 Desember 1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi dan Peraturan Bank Indonesia No.2/10/PBI/2000 tanggal 29 Maret 2000 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang Portofolio Obligasi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi, diatur ketentuan tentang jumlah, jenis dan seri Obligasi yang dapat diperdagangkan serta kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan peningkatan prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan. Dengan mempertimbangkan bahwa transaksi perdagangan Obligasi di pasar sekunder oleh perbankan dewasa ini cenderung meningkat dan guna mengantisipasi kebutuhan lembaga perbankan untuk menggunakan OBLIGASI PEMERINTAH…… 1 Obligasi Pemerintah di waktu mendatang sebagai agunan baik dalam transaksi di pasar uang maupun dalam rangka memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari Bank Indonesia, dipandang perlu untuk meningkatkan prosentase Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder dengan ketentuan sebagai berikut: I. JUMLAH DAN SERI OBLIGASI YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN 1. Jumlah prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan yang semula ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10% (sepuluh perseratus) ditingkatkan menjadi setinggi-tingginya sebesar 15% (lima belas perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi Pemerintah yang dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank Umum. 2. Bank wajib memindah-bukukan seluruh Obligasi Pemerintah yang akan diperdagangkan dari portofolio investasi ke dalam portofolio perdagangan sebesar jumlah nominalnya. 3. Obligasi Pemerintah yang dapat dipindahkan kedalam portofolio perdagangan adalah Obligasi Pemerintah yang telah dapat perdagangkan pada pasar sekunder yaitu seri FR0001, FR0002, FR0003, FR0004, FR0005, VR0001, VR0002 dan VR0005, sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia pada tanggal 1 Februari 2000 dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/14/DPNP/2000 Tanggal 27 Juni 2000 tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0002 untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/16/DPNP/2000 Tanggal 25 Juli 2000 Tentang Penetapan Obliogasi Pemerintah Seri FR0003, FR0004 dan FR0005 untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder. II. TATA CARA ….… 2 II. TATA CARA PENGAJUAN PENAMBAHAN JUMLAH OBLIGASI YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER 1. Bank wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai seri dan tambahan jumlah dari Obligasi yang akan dipindahkan kedalam portofolio perdagangan; 2. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, wajib dilengkapi dengan jumlah nominal yang akan diperdagangkan; 3. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 diajukan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter – Bank Indonesia, Gedung B – Lantai 11, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait. III. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 19 September 2000. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA 3
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 2/18/DPM|SE-BI/2000 </reg_id> <reg_title> Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan </reg_title> <set_date> 19 September 2000 </set_date> <effective_date> 19 September 2000 </effective_date> <related_reg> '1/10/PBI/1999', '2/10/PBI/2000' </related_reg>
No. 3/ 18 /DPM Jakarta, 31 Juli 2001 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal: Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR0006, VR0008, VR0010, VR0012, VR0014 dan VR0016 Untuk Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Oleh Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tanggal 3 Desember 1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi dan Peraturan Bank Indonesia No.2/10/PBI/2000 tanggal 29 Maret 2000 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang Portofolio Obligasi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi, Bank Indonesia berwenang menetapkan dan mengumumkan jenis dan seri Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder serta meningkatkan prosentase Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder, melalui suatu Surat Edaran. Dengan mempertimbangkan bahwa transaksi perdagangan Obligasi di pasar sekunder oleh perbankan dewasa ini semakin meningkat termasuk antisipasi terhadap peningkatan penggunaan Obligasi Pemerintah oleh perbankan pasca Sidang Istimewa MPR tahun 2001 dalam waktu dekat bagi keperluan-keperluan antara lain : a. sebagai …. a. sebagai agunan, baik dalam transaksi di pasar uang maupun dalam rangka memperoleh Fasilitas Likuiditas Intrahari dan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek; b. untuk memenuhi kebutuhan likuiditas melalui transaksi perdagangan dipasar sekunder baik secara “outright (jual lepas)” maupun “repurchase agreement (repo)”, maka dipandang perlu untuk menambah seri Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder dan meningkatkan prosentase Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder dengan ketentuan sebagai berikut : I. TAMBAHAN SERI OBLIGASI PEMERINTAH YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER 1. Obligasi Pemerintah Seri VR0006, VR0008, VR0010, VR0012, VR0014, dan VR0016 dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Dengan demikian, semua seri Obligasi Pemerintah dapat diperdagangkan sejak berlakunya Surat Edaran ini. 2. Bank wajib memindahbukukan Obligasi Pemerintah dimaksud diatas sebesar jumlah nominal yang akan diperdagangkan dari portofolio investasi kedalam portofolio perdagangan. II. JUMLAH DAN SERI OBLIGASI PEMERINTAH YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER 1. Jumlah prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder yang semula ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 50% (lima puluh perseratus) ditingkatkan menjadi setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi Pemerintah yang dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank Umum. 2. Bank wajib memindah-bukukan sejumlah Obligasi Pemerintah yang akan diperdagangkan di pasar sekunder dari portofolio investasi ke dalam portofolio perdagangan sebesar jumlah nominalnya. 3. Obligasi Pemerintah…. 3. Obligasi Pemerintah yang dapat dipindahkan kedalam portofolio perdagangan adalah Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan pada pasar sekunder yaitu seri-seri sebagai berikut : FR0001, FR0002, FR0003, FR0004, FR0005, FR0006, FR0007, FR0008, FR0009, VR0001, VR0002, VR0003, VR0004, VR0005, VR0006, VR0007, VR0008, VR0009, VR0010, VR0011, VR0012, VR0013, VR0014, VR0015, dan VR0016 sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia pada : - Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/14/DPNP tanggal 27 Juni 2000 tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0002 untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder. - Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/16/DPNP tanggal 25 Juli 2000 Tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0003, FR0004 dan FR0005 untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder. - Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/26/DPM tanggal 8 Desember 2000 Tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007, FR0008 dan FR0009 untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan. - Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/6/DPM tanggal 9 Februari 2001 Tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR0003, VR0004, VR0007, VR0009, VR00011, VR0013 dan VR0015 untuk Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan oleh Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan. III. TATA CARA PENGAJUAN PENAMBAHAN JUMLAH OBLIGASI YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER 1. Bank wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia mengenai jenis, seri dan tambahan jumlah dari Obligasi yang akan dipindahkan kedalam portofolio perdagangan; 2. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, wajib dilengkapi dengan jumlah nominal yang akan diperdagangkan; 3. Surat … 3. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 diajukan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter – Bank Indonesia, Gedung B – Lantai 11, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait. IV. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 31 Juli 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Tarmiden Sitorus Deputi Direktur
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 3/18/DPM|SE-BI/2001 </reg_id> <reg_title> Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR0006, VR0008, VR0010, VR0012, VR0014 dan VR0016 Untuk Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Oleh Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan </reg_title> <set_date> 31 Juli 2001 </set_date> <effective_date> 31 Juli 2001 </effective_date> <related_reg> '1/10/PBI/1999', '2/10/PBI/2000' </related_reg>
No. 6 / 15 /DPNP Jakarta, 31 Maret 2004 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) ----------------------------------------------------------------------- Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4334), maka perlu diatur ketentuan pelaksanaan atas Peraturan Bank Indonesia tersebut sebagai berikut : I. UMUM 1. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap : a. Calon Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan calon Pengurus Bank (new entry); dan b. PSP yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia, serta Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat di Bank (existing). 2. Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP dan calon Pengurus Bank, termasuk calon Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, dilakukan dalam rangka menilai apakah yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan yang dilakukan melalui penelitian administratif dan wawancara. 3. Penilaian … 3. Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap PSP yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia serta Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat di Bank dilakukan setiap waktu, khususnya apabila dari hasil pengawasan, pemeriksaan atau dari sumber-sumber lainnya diperoleh informasi adanya indikasi penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat. 4. Penilaian kemampuan dan kepatutan tidak dilakukan terhadap calon Pejabat Eksekutif Bank. Adapun bagi Pejabat Eksekutif Bank dan Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing yang sedang menjabat, penilaian kemampuan dan kepatutan hanya dilakukan dalam hal terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan : a. dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang secara negatif mempengaruhi kegiatan usaha Bank; dan atau b. atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan dalam kegiatan operasional Bank atau Kantor Perwakilan Bank asing. II. PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BAGI CALON PEMEGANG SAHAM PENGENDALI DAN CALON PENGURUS BANK A. Cakupan Penilaian 1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, faktor yang dinilai meliputi : a. Integritas dan kelayakan keuangan calon PSP; dan b. Integritas, kompetensi dan reputasi keuangan calon Pengurus. 2. Pihak-pihak yang wajib mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan, antara lain adalah: a. Seseorang dan atau Badan Hukum yang akan melakukan pembelian, menerima hibah atau menerima hak waris atas saham Bank sehingga mengakibatkan yang bersangkutan tergolong sebagai PSP; b. Pemegang … b. Pemegang Saham Bank yang tidak tergolong sebagai PSP (Non PSP) yang melakukan pembelian saham, atau menerima hibah saham bank atau menerima hak waris atas saham bank, sehingga yang bersangkutan tergolong sebagai PSP; c. Non PSP yang melakukan penambahan atau penyetoran modal sehingga yang bersangkutan tergolong sebagai PSP; d. Non PSP yang secara sukarela mengajukan diri menjadi PSP; e. Seseorang dan atau badan hukum yang digolongkan sebagai pengendali Bank karena adanya perubahan struktur kelompok usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas; f. Seseorang yang belum pernah menjadi Pengurus Bank, yang dicalonkan menjadi Pengurus Bank; g. Seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai Pengurus Bank, yang dicalonkan menjadi Pengurus pada Bank lainnya; h. Komisaris Bank yang beralih jabatan menjadi Direksi pada Bank yang sama; i. Direktur yang beralih jabatan menjadi Direktur Kepatuhan pada Bank yang sama; j. Seseorang yang dicalonkan menjadi Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing; k. Anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang beralih jabatan ke jabatan yang lebih tinggi pada Bank yang sama (hanya penelitian administratif); l. Direktur yang beralih jabatan menjadi Komisaris pada Bank yang sama (hanya penelitian administratif). B. Persyaratan Administratif bagi Calon PSP 1. Permohonan Bank untuk memperoleh persetujuan atas calon PSP disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilengkapi persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut … tersebut di atas dan ketentuan lain yang mengatur tentang persyaratan pemegang saham Bank, yaitu : a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/37/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/50/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum; c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum; d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum; dan e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional. Rincian dokumen persyaratan administratif dimaksud adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1a dan 1b. 2. Persyaratan laporan keuangan 3 (tiga) tahun buku terakhir dari Bank dan Badan Hukum yang akan mengakuisisi Bank sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 a angka 3 huruf c, sekurang-kurangnya terdiri dari laporan neraca dan perhitungan laba rugi beserta penjelasannya yang telah diaudit oleh Akuntan Publik. Laporan keuangan tersebut disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. 3. Selain dokumen-dokumen tersebut bank juga menyampaikan Daftar Isian sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1c dan 1d yang telah diisi lengkap dan ditanda-tangani oleh calon PSP/Ultimate shareholders. C. Persyaratan … C. Persyaratan Administratif bagi Calon Pengurus Permohonan Bank untuk memperoleh persetujuan atas calon Pengurus disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilengkapi persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas dan ketentuan lain yang mengatur tentang persyaratan Pengurus Bank, yakni: 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/37/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri; 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/6/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum; 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum; dan 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional. Rincian dokumen persyaratan administratif dimaksud adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2a sampai dengan 2f. D. Dokumen Pendukung Persyaratan Administratif Dalam hal dianggap perlu, Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung atas dokumen-dokumen administratif yang dipersyaratkan. Dokumen pendukung tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen administratif yang dipersyaratkan. Contoh … Contoh dokumen pendukung yang dapat diminta antara lain adalah perjanjian konsorsium apabila pembelian saham dilakukan secara bersama- sama dengan pihak lainnya, dokumen sah yang menunjukkan keterkaitan antara PSP dengan ultimate shareholders, dokumen keuangan yang dapat menunjukan kemampuan keuangan calon PSP/ultimate shareholders, dokumen keuangan yang dapat menunjukkan aliran dana pembelian saham, dan atau dokumen-dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk analisis atau meyakini bahwa dokumen-dokumen utama atau pernyataan- pernyataan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dapat dipertanggung- jawabkan kebenarannya atau kewajarannya. E. Tata Cara/Prosedur Penilaian 1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP dan calon Pengurus Bank dilakukan melalui penelitian administratif dan wawancara. 2. Penelitian administratif antara lain meliputi : a. Bagi Calon PSP Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen administratif, penelitian track record, penelitian kelayakan keuangan, serta penelitian terhadap struktur kelompok usaha yang disampaikan kepada Bank Indonesia. b. Bagi Calon Pengurus Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen administratif, penelitian track record serta penelitian reputasi keuangan. 3. Dokumen permohonan dinyatakan telah diterima secara lengkap, apabila dokumen administratif dan dokumen pendukungnya (apabila diperlukan) telah diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. 4. Wawancara … 4. Wawancara dilakukan untuk konfirmasi atas informasi yang telah diperoleh dan atau untuk menggali informasi lebih lanjut dari calon PSP dan calon Pengurus yang diajukan dalam rangka memperoleh keyakinan dan melengkapi informasi yang disampaikan oleh Bank atau telah dimiliki oleh Bank Indonesia. Wawancara hanya dilakukan terhadap calon PSP dan calon Pengurus yang telah memenuhi persyaratan dalam penelitian administratif. 5. Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan berupa persetujuan atau penolakan permohonan sebagai calon PSP atau calon Pengurus disampaikan secara tertulis kepada Bank. Apabila diperlukan, hasil penilaian dapat disampaikan pula kepada pihak yang berkepentingan, seperti Pemerintah dan Pemegang Saham Bank. 6. Prosedur penilaian kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi calon Pengurus tidak dilakukan untuk perpanjangan jabatan Pengurus Bank. Termasuk dalam pengertian perpanjangan jabatan adalah setiap penugasan kembali dalam tingkat jabatan yang sama, baik sebelum maupun sesudah masa jabatan yang bersangkutan berakhir. Perpanjangan jabatan Pengurus tersebut dilaporkan kepada Bank Indonesia, sesuai dengan tata cara penyampaian laporan yang diatur dalam angka romawi III huruf E. F. Alamat Penyampaian Surat Permohonan dan Dokumen Administratif Surat permohonan berikut dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf B, C dan D di atas disampaikan oleh Bank kepada : Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110; dengan tembusan kepada : a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank Umum yang berkantor Pusat di wilayah Jabotabek; atau b. Kantor … b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek. III. PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BAGI PSP, PENGURUS DAN PEJABAT EKSEKUTIF BANK A. Tata Cara Pelaksanaan Penilaian 1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap PSP yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia maupun Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat di Bank dilakukan setiap waktu apabila dianggap perlu, khususnya apabila dari hasil pengawasan, hasil pemeriksaan dan atau dari sumber-sumber lain diperoleh informasi mengenai adanya indikasi penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat. 2. Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan dapat dilakukan melalui pemeriksaan khusus atau dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan lainnya. B. Tata Cara Penentuan Hasil Penilaian Penentuan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dilaksanakan dengan pemberian nilai faktor untuk masing-masing faktor yang dinilai sebagai berikut : 1. Untuk PSP, pemberian nilai faktor untuk masing-masing faktor yang dinilai meliputi : a. Faktor Integritas 1) perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh); 2) perbuatan menolak memberikan komitmen atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh); 3) perbuatan … 3) perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemilik, Pengurus, pegawai, dan atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank diberikan nilai faktor sebesar 15 (lima belas); 4) perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan diberikan nilai faktor sebesar 10 (sepuluh). b. Faktor Kelayakan Keuangan 1) tercantum dalam daftar kredit macet diberikan nilai faktor sebesar 5 (lima); 2) dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh); 3) tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank diberikan nilai faktor setinggi-tingginya sebesar 10 (sepuluh). 2. Untuk Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif, pemberian nilai faktor untuk masing-masing faktor yang dinilai meliputi : a. Faktor Integritas 1) perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang menyimpang dari ketentuan perbankan diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh); 2) perbuatan menolak memberikan komitmen atau tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh); 3) perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemilik, Pengurus, pegawai, dan atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank diberikan nilai faktor sebesar 15 (lima belas); 4) perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang perbankan diberikan nilai faktor sebesar 10 (sepuluh); 5) perbuatan dari Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif yang tidak independen diberikan nilai faktor sebesar 5 (lima). b. Faktor … b. Faktor Kompetensi 1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan dengan jabatannya diberikan nilai faktor setinggi-tingginya sebesar 4 (empat); 2) keahlian dan pengalaman di bidang perbankan dan atau bidang keuangan diberikan nilai faktor setinggi-tingginya sebesar 4 (empat); 3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Bank yang sehat diberikan nilai faktor setinggi-tingginya sebesar 4 (empat). Penilaian faktor kompetensi didasarkan atas skala penilaian sebagai berikut: a) Baik diberikan nilai faktor sebesar 0 b) Kurang Baik diberikan nilai faktor sebesar 2 c) Tidak Baik diberikan nilai faktor sebesar 4 c. Faktor Reputasi Keuangan 1) tercantum dalam daftar kredit macet diberikan nilai faktor sebesar 5 (lima); 2) dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh). 3. Dalam penilaian atas faktor integritas sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a dan angka 2 huruf a, ditetapkan bobot sebagai berikut : a. pelaku, pemutus, pemrakarsa, atau penanggung jawab diberikan bobot sebesar 100% (seratus perseratus); b. pelaksana, pihak yang turut menandatangani, atau pihak yang turut menyetujui diberikan bobot sebesar 60% (enam puluh perseratus); c. pihak yang hanya mengetahui diberikan bobot sebesar 25% (dua puluh lima perseratus). Penetapan hasil akhir untuk faktor integritas dilakukan setelah memperhitungkan nilai faktor sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a atau angka 2 huruf a dengan bobot sebagaimana tersebut di atas. 4. Penetapan … 4. Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan dengan menjumlahkan hasil penilaian : a. faktor integritas dan faktor kelayakan keuangan, untuk PSP; b. faktor integritas, faktor kompetensi dan faktor reputasi keuangan, untuk Pengurus dan Pejabat Eksekutif. C. Tata Cara Penentuan Predikat Hasil Penilaian Berdasarkan hasil akhir penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf B angka 4, maka PSP, Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif diberikan predikat : a. Lulus, apabila hasil akhir penilaian sebesar 0 (nol); b. Lulus Bersyarat, apabila hasil akhir penilaian lebih dari 0 (nol) namun kurang dari 20 (dua puluh); c. Tidak Lulus, apabila hasil akhir penilaian sama dengan atau lebih besar dari 20 (dua puluh). D. Kriteria Penentuan Faktor Materialitas dalam Penetapan Jangka Waktu Pengenaan Sanksi 1. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, salah satu faktor untuk penetapan jangka waktu pengenaan sanksi larangan bagi pihak-pihak yang diberikan predikat tidak lulus didasarkan atas faktor materialitas pengaruh kerugian yang ditimbulkan terhadap permodalan Bank sebagai akibat dari perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu perlu ditetapkan kriteria terhadap faktor materialitas dimaksud, yaitu sebagai berikut: a. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori menimbulkan kerugian yang berpengaruh tidak material pada permodalan Bank apabila kerugian yang ditimbulkan menyebabkan: 1) berkurangnya rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar kurang dari 0,5% (setengah perseratus); dan 2) rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Perbuatan … b. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori menimbulkan kerugian yang berpengaruh cukup material pada permodalan Bank apabila kerugian yang ditimbulkan menyebabkan: 1) berkurangnya rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar 0,5% (setengah perseratus) sampai dengan kurang dari 2% (dua); dan 2) rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank masih sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori menimbulkan kerugian yang berpengaruh sangat material pada permodalan Bank apabila kerugian yang ditimbulkan menyebabkan: 1) berkurangnya rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar sama atau lebih dari 2 % (dua perseratus); atau 2) rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank menjadi lebih rendah dari ketentuan yang berlaku. 2. Permodalan Bank yang dijadikan dasar perhitungan tingkat materialitas kerugian yang ditimbulkan adalah posisi permodalan terakhir yang tersedia pada saat terjadinya perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan dengan memperhitungkan bobot pelaku dari pihak-pihak yang dinilai. 3. Tata cara perhitungan tingkat materialitas: a. Penentuan kerugian terhadap setiap perbuatan dan atau tindakan yang terjadi ditentukan atas beban masing-masing pihak yang terlibat berdasarkan bobot pelaku sebagaimana dimaksud dalam huruf B angka 3. b. Beban kerugian yang ditimbulkan untuk masing-masing pihak pada huruf a, kemudian diperhitungkan dengan permodalan pada saat perbuatan dan atau tindakan tersebut terjadi. c. Dalam hal terdapat beberapa perbuatan dan atau tindakan yang dinilai dengan posisi permodalan pada bulan yang berbeda, maka perhitungan dilakukan dengan menetapkan hasil perhitungan yang memberikan dampak perhitungan jangka waktu larangan yang paling lama di antara beberapa metode sebagai berikut : 1) pengaruh … 1) pengaruh kerugian terhadap modal bank dari setiap perbuatan dan atau tindakan dibandingkan dengan posisi permodalan pada saat terjadinya perbuatan dan atau tindakan tersebut; 2) pengaruh kerugian terhadap modal bank yang dihitung secara kumulatif atas beberapa perbuatan dan atau tindakan yang berakhir pada tanggal tertentu dibandingkan dengan posisi permodalan periode terakhir dari beberapa perbuatan dan atau tindakan tersebut; 3) pengaruh kerugian terhadap modal bank yang dihitung secara kumulatif dari seluruh perbuatan dan atau tindakan dibandingkan dengan posisi permodalan pada periode terakhir dari seluruh perbuatan dan atau tindakan tersebut. E. Alamat Penyampaian Laporan, Pernyataan Tertulis serta Permohonan Peninjauan Kembali Laporan, pernyataan tertulis dan atau permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Bab II huruf D angka 6 Surat Edaran ini, serta Bab IV dan Bab V Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, disampaikan oleh Bank dan atau pihak-pihak yang dinilai kepada : a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank Umum yang berkantor Pusat di wilayah Jabotabek; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek, dengan tembusan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110. IV. LAPORAN STRUKTUR KELOMPOK USAHA Laporan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas mencakup seluruh pihak yang terkait dengan Bank dari segi pengendalian sampai dengan ultimate shareholders. Dalam … Dalam hal keterkaitan pengendalian tersebut disebabkan oleh aspek kepemilikan, maka wajib dicantumkan porsi kepemilikan dan susunan kepengurusan tiap-tiap pihak yang terkait. Contoh pelaporan struktur kelompok usaha adalah sebagaimana pada lampiran 3a dan 3b. Laporan struktur kelompok usaha disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana angka romawi III huruf E. V. PENUTUP Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/22/DPNP tanggal 6 November 2000 perihal Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 31 Maret 2004 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, Ttd. NELSON TAMPUBOLON DIREKTUR PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 6/15/DPNP|SE-BI/2004 </reg_id> <reg_title> Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) </reg_title> <set_date> 31 Maret 2004 </set_date> <effective_date> 31 Maret 2004 </effective_date> <replaced_reg> '2/22/DPNP|SE-BI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '5/25/PBI/2003' </related_reg>
No. 18/ 18 /DKMP Jakarta, 22 Agustus 2016 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal: Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP Tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5478) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/14/PBI/2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5921), perlu melakukan perubahan ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Surat Edaran Bank Indonesia: a. Nomor 17/47/DKEM tanggal 30 November 2015; dan b. Nomor 18/3/DKEM tanggal 15 Maret 2016; sebagai berikut: 1. Ketentuan … 2 1. Ketentuan butir IV.A.1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: IV. TATA CARA PERHITUNGAN GWM LFR Tata cara perhitungan GWM LFR diatur sebagai berikut: A. Besaran dan Parameter GWM LFR 1. Besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR ditetapkan sebagai berikut: a. Batas bawah LFR Target sebesar 80% (delapan puluh persen). b. Batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen). c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen). d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu). e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). 2. Lampiran III mengenai Contoh Perhitungan GWM dalam Rupiah dan Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3. Lampiran IV mengenai Contoh Perhitungan GWM bagi Bank yang Melakukan Merger diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus 2016. Agar … 3 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, ERWIN RIJANTO DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 18/18/DKMP|SE-BI/2016 </reg_id> <reg_title> Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP Tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. </reg_title> <set_date> 22 Agustus 2016 </set_date> <effective_date> 24 Agustus 2016 </effective_date> <changed_reg> '17/17/DKMP|SE-BI/2015' </changed_reg> <extension_of> '17/47/DKEM|SE-BI/2015', '18/3/DKEM|SE-BI/2016' </extension_of> <related_reg> '17/17/DKMP|SE-BI/2015', '15/15/PBI/2013', '18/14/PBI/2016', '17/47/DKEM|SE-BI/2015', '18/3/DKEM|SE-BI/2016' </related_reg>
1 No. 17/33/DPSP Jakarta, 13 November 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK PESERTA SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT Perihal : Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762), perlu untuk mengatur kembali tata cara penggunaan fasilitas likuiditas intrahari sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS dan/atau pada saat Setelmen dana atas hasil perhitungan dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. 2. FLI RTGS adalah FLI yang digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 3. FLI Kliring adalah FLI yang digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan pada saat Setelmen dana atas hasil perhitungan dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. 4. Sistem... 2 4. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 5. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Penatausahaan Transaksi dan Penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara elektronik. 6. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal untuk memproses Data Keuangan Elektronik pada Layanan Transfer Dana, Layanan Kliring Warkat Debit, Layanan Pembayaran Reguler, dan Layanan Penagihan Reguler. 7. Bank Peserta Sistem BI-RTGS adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Umum Syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, yang telah menjadi Peserta Sistem BI-RTGS. 8. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan/atau lembaga lain yang ditatausahakan pada BI-SSSS. 9. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 10. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar Bank. 11. Sertifikat... 3 11. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 12. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 13. Transaksi Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut Transaksi Repo adalah transaksi penjualan Surat Berharga kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. II. PENGGUNAAN FLI 1. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan FLI apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Penggunaan FLI RTGS 1) memiliki Surat Berharga yang tercatat pada BI-SSSS; dan 2) memiliki status kepesertaan aktif pada Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS. b. Penggunaan FLI Kliring 1) memiliki Surat Berharga yang tercatat di BI-SSSS; dan 2) memiliki status kepesertaan aktif pada Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan SKNBI. 2. FLI dilakukan melalui Transaksi Repo dengan menggunakan Surat Berharga milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang bersangkutan yang tercatat pada BI-SSSS. 3. Mekanisme pelaksanaan Transaksi Repo dalam rangka penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan BI-SSSS. 4. Surat Berharga yang dapat direpokan dalam rangka FLI berupa: a. SBI... 4 a. SBI, SDBI, dan/atau SBN dalam mata uang Rupiah, untuk Peserta Sistem BI-RTGS berupa bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; atau b. SBIS dan/atau SBSN dalam mata uang Rupiah, untuk Peserta Sistem BI-RTGS berupa bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah termasuk Unit Usaha Syariah. 5. Dalam hal Surat Berharga yang direpokan berupa SBIS dan/atau SBSN dalam mata uang Rupiah maka klausul pengagunan SBIS dalam rangka repo SBIS dan/atau klausul janji (wa’ad) untuk membeli kembali SBSN dimuat dalam perjanjian penggunaan Sistem BI-RTGS yang ditandatangani oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS dengan Bank Indonesia. 6. Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada angka 4 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. b. memiliki sisa jangka waktu jatuh tempo (maturity date) sebagai berikut: 1) untuk SBI, SBIS, dan SDBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 5 (lima) hari kalender pada saat penggunaan FLI; dan 2) untuk SBN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 6 (enam) hari kalender pada saat penggunaan FLI. 7. Dalam kondisi tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan penyesuaian sisa jangka waktu jatuh tempo (maturity date) sebagaimana dimaksud dalam butir 6.b. Penyesuaian sisa jangka waktu jatuh tempo (maturity date) tersebut disampaikan oleh Bank Indonesia melalui administrative message Sistem BI-RTGS atau sarana lainnya. 8. Dalam hal Surat Berharga yang direpokan berupa SBI, SDBI, dan/atau SBN maka harga, haircut, dan perhitungan nilai Setelmen Surat Berharga yang akan direpokan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta dan lembaga perantara dalam operasi moneter. 9. Dalam... tidak sedang diagunkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain; 5 9. Dalam hal Surat Berharga yang direpokan berupa SBIS maka harga, marjin, dan perhitungan nilai Setelmen SBIS yang akan direpokan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai tata cara transaksi repo SBIS dengan Bank Indonesia. 10. Dalam hal Surat Berharga yang direpokan berupa SBSN maka harga, haircut, dan perhitungan nilai Setelmen SBSN yang akan direpokan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai tata cara transaksi repo SBSN dengan Bank Indonesia dalam rangka standing facilities syariah. 11. Pelaksanaan Transaksi Repo sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Transaksi Repo dalam rangka FLI RTGS 1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan FLI RTGS sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut off warning Sistem BI-RTGS sepanjang Bank Peserta Sistem BI-RTGS telah memindahkan Surat Berharga melalui BI-SSSS ke Rekening Surat Berharga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Penggunaan FLI RTGS dilakukan berdasarkan kecukupan nilai Surat Berharga yang tersedia di rekening sebagaimana dimaksud pada angka 1). 3) Penggunaan FLI RTGS dilakukan secara otomatis pada saat dana dalam Rekening Setelmen Dana milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk melaksanakan transaksi keluar (outgoing transaction). 4) Pencairan dana dalam rangka penggunaan FLI RTGS sebagaimana dimaksud pada angka 3) dilakukan sebesar kebutuhan dana Peserta Sistem BI-RTGS. 5) Jumlah Surat Berharga yang direpokan memiliki total nilai paling sedikit sebesar pencairan dana sebagaimana dimaksud pada angka 4). 6) Perhitungan nominal atas Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada angka 5) mengacu pada kelipatan unit terkecil Surat Berharga di BI-SSSS dengan pembulatan ke atas. b. Transaksi... 6 b. Transaksi Repo dalam Rangka FLI Kliring 1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan FLI Kliring apabila telah memindahkan Surat Berharga melalui BI-SSSS ke Rekening Surat Berharga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2) Pemindahan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan dalam rangka penyediaan prefund debit sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. 3) Penggunaan FLI Kliring dilakukan berdasarkan kecukupan nilai Surat Berharga yang tersedia di rekening sebagaimana dimaksud pada angka 1). 4) Penggunaan FLI Kliring dilakukan secara otomatis pada saat dana dalam Rekening Setelmen Dana milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen dana atas hasil perhitungan layanan kliring warkat debit dan/atau layanan penagihan regular dalam penyelenggaraan SKNBI. 5) Pencairan dana dalam rangka penggunaan FLI Kliring sebagaimana dimaksud pada angka 4) dilakukan sebesar kebutuhan dana Peserta Sistem BI-RTGS. 6) Jumlah Surat Berharga yang direpokan memiliki total nilai paling sedikit sebesar pencairan dana sebagaimana dimaksud pada angka 5). 7) Perhitungan nominal atas Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada angka 6) mengacu pada kelipatan unit terkecil Surat Berharga di BI-SSSS dengan pembulatan ke atas. 12. Mekanisme pencairan dana dalam rangka penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada butir 11.a.4) dan 11.b.5) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. III. BIAYA... 7 III. BIAYA ATAS PENGGUNAAN FLI 1. Bank Indonesia mengenakan biaya atas penggunaan FLI yang dibebankan ke Rekening Setelmen Dana milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS pada hari kerja berikutnya setelah penggunaan FLI. 2. Biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan sebagai berikut: Biaya = N x [ t / (10,5 jam x 60 menit)] x i x [1/360 ] Keterangan: N t i = nilai nominal penggunaan FLI = waktu penggunaan FLI = a. rata-rata tertimbang PUAB overnight pagi pada hari penggunaan FLI, untuk Peserta Sistem BI- RTGS berupa Bank Umum, dan b. rata-rata tertimbang PUAS overnight pagi (SIMA Aset Tetap) 1 (satu) hari sebelum penggunaan FLI, untuk Peserta Sistem BI-RTGS berupa Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah 10,5 jam = jangka waktu dari mulai dibukanya jam operasional Sistem BI-RTGS (06.30 WIB) sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS (17.00 WIB). 3. Biaya atas penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dihitung dengan cara sebagai berikut: a. Biaya penggunaan FLI dalam 1 (satu) jam pertama dihitung berdasarkan akumulasi nilai nominal FLI yang digunakan Bank Peserta Sistem BI-RTGS dengan waktu penggunaan dibulatkan menjadi 1 (satu) jam. b. Biaya penggunaan FLI setelah 1 (satu) jam dihitung sesuai dengan posisi (outstanding) nilai nominal FLI yang digunakan dengan waktu penggunaan dibulatkan ke atas dalam hitungan menit terdekat. 4. Contoh... 8 4. Contoh perhitungan biaya atas penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat dilihat dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. IV. PELUNASAN FLI 1. Bank Peserta Sistem BI-RTGS harus melunasi penggunaan FLI pada hari penggunaan FLI. 2. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat melakukan pelunasan untuk setiap penggunaan FLI sepanjang jam operasional sampai dengan batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. 3. Pelunasan FLI sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan melalui BI-SSSS sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan BI-SSSS. 4. Dalam hal sampai dengan batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS Bank Peserta Sistem BI-RTGS belum melunasi FLI, Bank Indonesia menerbitkan instruksi Setelmen dana dalam rangka pelunasan FLI pada awal periode pre cut-off Sistem BI- RTGS. 5. Instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada angka 4, berupa pendebitan Rekening Setelmen Dana milik Peserta Sistem BI-RTGS. 6. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat memindahkan kembali Surat Berharga yang digunakan dalam FLI RTGS sebelum batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS, dalam hal: a. Bank Peserta Sistem BI-RTGS telah melunasi penggunaan FLI RTGS; dan/atau b. nilai Surat Berharga yang tersisa di rekening yang ditetapkan oleh Bank Indonesia masih dapat meng-cover FLI RTGS. V. PERLAKUAN FLI YANG TIDAK LUNAS 1. Dalam hal Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak dapat melunasi penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam butir IV.4, terhadap nilai FLI yang tidak dapat dilunasi diberlakukan sebagai... 9 sebagai transaksi Indonesia. lending/financing facility dengan Bank 2. Mekanisme lending/financing facility sebagaimana dimaksud pada angka 1 mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai koridor suku bunga (standing facilities), tata cara transaksi repo SBIS dengan Bank Indonesia, dan tata cara transaksi repo SBSN dengan Bank Indonesia dalam rangka standing facilities syariah. VI. KETENTUAN LAIN-LAIN Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Perjanjian Penggunaan FLI dan Perjanjian Penggunaan FLIS menjadi tidak berlaku. VII. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/17/DPM tanggal 7 Juli 2009 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Berdasarkan Prinsip Syariah; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/4/DASP tanggal 1 Februari 2010 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/17/DPM perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Berdasarkan Prinsip Syariah; c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/29/DASP tanggal 10 November 2010 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum; dan d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/34/DASP tanggal 27 Agustus 2013 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/29/DASP perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015. Agar... 10 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, BRAMUDIJA HADINOTO KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARANDPSP
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 17/33/DPSP|SE-BI/2015 </reg_id> <reg_title> Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari </reg_title> <set_date> 13 November 2015 </set_date> <effective_date> 16 November 2015 </effective_date> <replaced_reg> '12/29/DASP|SE-BI/2010', '12/4/DASP|SE-BI/2010', '11/17/DPM|SE-BI/2009', '15/34/DASP|SE-BI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '17/18/PBI/2015' </related_reg>
No. 12/ 7 /DSM Jakarta, 10 Maret 2010 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4950) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/18/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5010) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/2/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5113), perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum sebagai berikut : 1. Ketentuan… 1. Ketentuan Romawi I angka 3 diubah, sehingga Romawi I berbunyi sebagai berikut : I. UMUM 1. Laporan Bulanan Bank Umum, yang selanjutnya disebut Laporan, disampaikan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh informasi mengenai kondisi keuangan dan kegiatan usaha Bank baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, guna mendukung pengambilan kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan. 2. Dalam hal Bank telah mampu menyusun dan mengirimkan Laporan per Kantor dari seluruh atau sebagian Kantor Cabangnya secara terpusat atau sentralisasi, Laporan dimaksud dapat disusun dan dikirim oleh kantor pusat Bank atau kantor Bank yang bertindak sebagai koordinator, dengan terlebih dahulu menyampaikan surat permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. 3. Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang dapat menyampaikan koreksi Laporan per Kantor sampai dengan tanggal 7 bulan berikutnya dan dinyatakan terlambat apabila menyampaikan koreksi Laporan per Kantor sampai dengan tanggal 10 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu menyampaikan permohonan tertulis… tertulis, yang dilengkapi dengan data berupa jumlah Kantor Cabang yang dimiliki, jumlah Kantor Cabang yang sudah online, jumlah Kantor Cabang yang belum online dan sebab-sebab belum online, serta rencana perbaikan sistem di masa yang akan datang kepada Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. 2. Ketentuan Romawi VIII ditambah dengan ketentuan sebagai berikut : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Romawi I angka 3 mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2011. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 10 Maret 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HARTADI A. SARWONO DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 12/7/DSM|SE-BI/2010 </reg_id> <reg_title> Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum </reg_title> <set_date> 10 Maret 2010 </set_date> <effective_date> 10 Maret 2010 </effective_date> <changed_reg> '11/2/DSM|SE-BI/2009' </changed_reg> <related_reg> '10/40/PBI/2008', '12/2/PBI/2010', '11/18/PBI/2009', '11/2/DSM|SE-BI/2009' </related_reg>
No. 12/13/DPbS Jakarta, 30 April 2010 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA Perihal: Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tanggal 29 Januari 2009 tentang Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4978), Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tanggal 19 Maret 2009 tentang Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4992), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5085) maka diperlukan ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut: A. UMUM … 2 A. UMUM 1. Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) pada industri perbankan syariah harus berlandaskan pada lima prinsip dasar. Pertama, transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, profesional (professional) yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak obyektif, dan bebas dari pengaruh/tekanan dari pihak manapun (independen) serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Dalam pelaksanaan GCG, Bank perlu melakukan check and balance, menghindari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam pelaksanaan tugas serta meningkatkan perlindungan bagi kepentingan stakeholders khususnya nasabah pemilik dana dan pemegang saham minoritas. Dalam rangka mendukung hal tersebut, secara internal diperlukan keberadaan Komisaris Independen dan Pihak Independen. 3. Dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelaksanaan GCG, Bank diwajibkan secara berkala melakukan self assessment secara komprehensif terhadap kecukupan pelaksanaan GCG. Apabila masih terdapat kekurangan dalam implementasinya, Bank segera menetapkan langkah perbaikan yang diperlukan. 4. Sebagai … 3 4. Sebagai salah satu bentuk implementasi prinsip transparansi (transparency), Bank diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan GCG kepada stakeholders. Laporan dimaksud diperlukan untuk meningkatkan pemahaman stakeholders dan mendorong stakeholders melakukan check and balance. B. DEWAN KOMISARIS 1. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki: a. hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi; atau b. hubungan keuangan dan/atau hubungan kepemilikan saham dengan BUS, sehingga dapat mendukung kemampuannya untuk bertindak independen. 2. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang menerima penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari: a. b. c. anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi BUS; dan/atau suatu perusahaan dimana anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi BUS menjadi pemegang saham pengendali. 3. Yang … pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders); 4 3. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepengurusan dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang menduduki jabatan sebagai: a. anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan yang menjadi pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders); b. anggota Dewan Komisaris atau Direksi pada perusahaan dimana anggota Dewan Komisaris lainnya menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi; dan/atau c. anggota Dewan Komisaris atau Direksi pada suatu perusahaan dimana anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi BUS menjadi pemegang saham pengendali. 4. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang: a. memiliki saham pada perusahaan yang menjadi pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders); dan/atau b. memiliki saham pada perusahaan yang secara bersama-sama dimiliki oleh pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders), anggota Dewan Komisaris lainnya, dan/atau anggota Direksi sehingga bersama- sama menjadi pemegang saham pengendali pada perusahaan tersebut. 5. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang memiliki hubungan … 5 hubungan keluarga dengan pihak-pihak tersebut sampai dengan derajat kedua baik vertikal maupun horizontal, yang meliputi: a. b. c. orang tua kandung/tiri/angkat; saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; anak kandung/tiri/angkat; d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; e. cucu kandung/tiri/angkat; f. g. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya; suami/istri; h. mertua; i. besan; j. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat; k. kakek atau nenek dari suami atau istri; l. m. suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat; atau saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya. Dalam hal pemegang saham pengendali BUS berbentuk badan hukum, maka hubungan keluarga antara Komisaris Independen dengan pemegang saham pengendali BUS dimaksud dilihat dari hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali dari badan hukum tersebut sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders). 6. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan BUS” adalah apabila seseorang menerima/memberi penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari/kepada BUS yang menyebabkan pihak yang memberi penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman memiliki kemampuan untuk memengaruhi pihak yang menerima penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman, seperti: a. pihak … 6 a. pihak terafiliasi yang memberikan jasanya kepada BUS, antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya; dan/atau b. pihak yang melakukan transaksi keuangan dengan BUS yang dapat memengaruhi baik kelangsungan usaha BUS maupun kelangsungan usaha pihak yang melakukan transaksi keuangan tersebut, antara lain debitur inti, deposan inti, dan perusahaan yang sebagian besar sumber pendanaannya diperoleh dari BUS. Yang dimaksud dengan “debitur inti dan deposan inti” adalah debitur inti dan deposan inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Laporan Berkala Bank Umum Syariah. 7. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham dengan BUS” adalah apabila seseorang: a. memiliki saham BUS dimaksud lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor BUS; b. memiliki saham BUS dimaksud kurang dari 5% (lima persen) dari modal disetor BUS namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian pada BUS dimaksud; dan/atau c. bersama-sama BUS menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan lain. 8. Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi Komisaris Independen pada BUS yang bersangkutan sebelum menjalani masa tunggu (cooling off period) paling kurang selama 6 (enam) bulan. Ketentuan masa tunggu tersebut tidak berlaku bagi mantan anggota Direksi BUS yang melakukan fungsi pengawasan yaitu Direktur Kepatuhan. 9. Perubahan status jabatan dari Komisaris menjadi Komisaris Independen pada BUS yang sama harus mendapat persetujuan Bank Indonesia … 7 Indonesia. Untuk mendapatkan persetujuan, calon Komisaris Independen harus menyampaikan surat pernyataan independen dengan format sebagaimana Lampiran 1. Persetujuan Bank Indonesia diberikan setelah dilakukan penilaian administratif antara lain terhadap kebenaran surat pernyataan independen. 10. Pengajuan permohonan perubahan status dari Komisaris menjadi Komisaris Independen disampaikan kepada: a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BUS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 11. Dalam hal rapat Dewan Komisaris menggunakan teknologi telekonferensi, maka BUS harus melengkapi dengan hal-hal sebagai berikut: a. ketentuan internal Bank mengenai penyelenggaraan rapat dengan menggunakan teknologi telekonferensi; dan b. bukti rekaman audio visual penyelenggaraan rapat. C. DIREKSI 1. Presiden Direktur atau Direktur Utama yang selanjutnya disebut Presdir, wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali. Independensi dari seorang Presdir dapat dipenuhi apabila yang bersangkutan tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali BUS. 2. Yang … 8 2. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan pemegang saham pengendali” adalah apabila seseorang menerima penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders). 3. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepengurusan dengan pemegang saham pengendali” adalah apabila seseorang menduduki jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan yang menjadi pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders). 4. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham dengan pemegang saham pengendali” adalah apabila seseorang: a. memiliki saham pada perusahaan yang menjadi pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders); dan/atau b. memiliki saham BUS dimaksud lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor BUS. 5. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali” adalah apabila seseorang memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali dimaksud sampai dengan derajat kedua baik vertikal maupun horizontal, yang meliputi: a. b. c. orang tua kandung/tiri/angkat; saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; anak kandung/tiri/angkat; d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; e. cucu kandung/tiri/angkat; f. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya; g. suami/istri … 9 g. suami/istri; h. mertua; i. besan; j. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat; k. kakek atau nenek dari suami atau istri; l. m. suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat; atau saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya. Dalam hal pemegang saham pengendali BUS berbentuk badan hukum, maka hubungan keluarga antara seorang Presdir dengan pemegang saham pengendali BUS dilihat dari hubungan keluarga Presdir dengan pemegang saham pengendali dari badan hukum pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders). D. KOMITE-KOMITE 1. Anggota Komite yang berasal dari Pihak Independen dinilai memiliki keahlian apabila yang bersangkutan paling kurang memiliki pengetahuan yang memadai dan pengalaman kerja yang cukup di bidangnya masing-masing berdasarkan penilaian BUS. 2. Pihak Independen adalah pihak di luar BUS yang tidak memiliki: a. hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi; atau b. hubungan keuangan dan/atau hubungan kepemilikan saham dengan Bank, sehingga dapat mendukung kemampuannya untuk bertindak independen. 3. Yang … 10 3. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang menerima penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari: a. b. c. anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi BUS; dan/atau suatu perusahaan dimana anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi BUS menjadi pemegang saham pengendali. 4. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepengurusan dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang menduduki jabatan sebagai: a. anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan yang menjadi pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders); b. anggota Dewan Komisaris atau Direksi pada perusahaan dimana anggota Dewan Komisaris BUS menjadi anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi; dan/atau c. anggota Dewan Komisaris atau Direksi pada suatu perusahaan dimana anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi BUS menjadi pemegang saham pengendali. 5. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang: a. memiliki saham pada perusahaan yang menjadi pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders); dan/atau b. memiliki … pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders); 11 b. memiliki saham pada perusahaan yang secara bersama-sama dimiliki oleh pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders), anggota Dewan Komisaris, dan/atau Direksi sehingga bersama-sama menjadi pemegang saham pengendali pada perusahaan tersebut. 6. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang memiliki hubungan keluarga dengan pihak-pihak tersebut sampai dengan derajat kedua baik vertikal maupun horizontal, yang meliputi: a. b. c. orang tua kandung/tiri/angkat; saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya; anak kandung/tiri/angkat; d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; e. cucu kandung/tiri/angkat; f. g. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau istrinya; suami/istri; h. mertua; i. besan; j. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat; k. kakek atau nenek dari suami atau istri; l. m. suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat; atau saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya. Dalam hal pemegang saham pengendali BUS berbentuk badan hukum, maka hubungan keluarga antara Pihak Independen dengan pemegang saham pengendali BUS dilihat dari hubungan keluarga Pihak Independen dengan pemegang saham pengendali dari badan hukum pemegang … 12 pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders). 7. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan BUS” adalah apabila seseorang menerima/memberi penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari/kepada BUS yang menyebabkan pihak yang memberi penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman memiliki kemampuan untuk memengaruhi pihak yang menerima penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman, seperti: a. pihak terafiliasi yang memberikan jasanya kepada BUS, antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya; dan/atau b. pihak yang melakukan transaksi keuangan dengan BUS yang dapat memengaruhi baik kelangsungan usaha BUS maupun kelangsungan usaha pihak yang melakukan transaksi keuangan tersebut, antara lain debitur inti, deposan inti, dan perusahaan yang sebagian besar sumber pendanaannya diperoleh dari BUS; Yang dimaksud dengan “debitur inti dan deposan inti” adalah debitur inti dan deposan inti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Laporan Berkala Bank Umum Syariah. Penghasilan yang diterima oleh Pihak Independen karena jabatan rangkapnya sebagai anggota Komite lainnya pada BUS yang sama, tidak termasuk dalam hubungan keuangan dimaksud. 8. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham dengan BUS” adalah apabila seseorang: a. memiliki saham BUS dimaksud lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor BUS; b. memiliki … 13 b. memiliki saham BUS dimaksud kurang dari 5% (lima persen) dari modal disetor BUS namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian pada BUS dimaksud; dan/atau c. bersama-sama BUS menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan lain. 9. Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi Pihak Independen pada BUS yang bersangkutan sebelum menjalani masa tunggu (cooling off period) paling kurang selama 6 (enam) bulan. Ketentuan masa tunggu tersebut tidak berlaku bagi mantan anggota Direksi BUS yang melakukan fungsi pengawasan, yaitu Direktur Kepatuhan. 10. Anggota Komite yang berasal dari Pihak Independen dapat merangkap jabatan sebagai Pihak Independen dalam keanggotaan Komite lainnya pada Bank yang sama, Bank lain, dan/atau perusahaan lain, sepanjang yang bersangkutan: a. memenuhi kriteria independensi; b. memenuhi kriteria keahlian; c. mampu menjaga rahasia Bank; d. memperhatikan kode etik yang berlaku; dan e. tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota Komite. 11. Bank harus meneliti kebenaran seluruh dokumen atau data pendukung pemenuhan persyaratan Pihak Independen. 12. Komite Audit, Komite Pemantau Risiko serta Komite Remunerasi dan Nominasi, harus memiliki kebijakan intern yang paling kurang meliputi pedoman kerja dan tata tertib kerja, dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. E. DEWAN … 14 E. DEWAN PENGAWAS SYARIAH 1. Mekanisme pengangkatan calon anggota Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai berikut: a. Komite Remunerasi dan Nominasi memberikan rekomendasi calon anggota Dewan Pengawas Syariah kepada Dewan Komisaris; b. Berdasarkan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi tersebut, Dewan Komisaris mengusulkan calon anggota Dewan Pengawas Syariah kepada Direksi; c. Berdasarkan pertimbangan tertentu dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Komisaris, rapat Direksi menetapkan calon anggota Dewan Pengawas Syariah untuk dimintakan rekomendasi kepada Majelis Ulama Indonesia; d. Majelis Ulama Indonesia memberikan atau tidak memberikan rekomendasi calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang disampaikan oleh Direksi; e. Bank mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia atas calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang telah mendapatkan rekomendasi Majelis Ulama Indonesia; f. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas calon anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud; dan g. Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat anggota Dewan Pengawas Syariah yang telah mendapat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia dan persetujuan Bank Indonesia. Dalam hal pengangkatan anggota Dewan Pengawas Syariah oleh Rapat Umum Pemegang Saham tersebut dilakukan sebelum adanya persetujuan BI, maka pengangkatan tersebut baru akan efektif jika anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut telah disetujui oleh Bank Indonesia. 2. Penetapan … 15 2. Penetapan masa jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah paling lama sama dengan masa jabatan yang ditetapkan bagi anggota Direksi atau Dewan Komisaris. Yang dimaksud dengan “masa jabatan” adalah masa jabatan dalam 1 (satu) periode pengangkatan. 3. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah meliputi antara lain: a. Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank; b. Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia; c. Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya; d. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan e. Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya. 4. Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilakukan dengan cara antara lain: a. Melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru Bank; dan b. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan Bank. 5. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru Bank sebagaimana dimaksud pada angka 4.a. dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Meminta penjelasan dari pejabat Bank yang berwenang mengenai tujuan, karakteristik, dan akad yang digunakan dalam produk baru yang akan dikeluarkan; b. Memeriksa … 16 b. Memeriksa apakah terhadap akad yang digunakan dalam produk baru telah terdapat fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. 1) Dalam hal telah terdapat fatwa, maka Dewan Pengawas Syariah melakukan analisa atas kesesuaian akad produk baru dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia. 2) Dalam hal belum terdapat fatwa, maka Dewan Pengawas Syariah mengusulkan kepada Direksi Bank untuk melengkapi akad produk baru dengan fatwa dari Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia. c. Mereview sistem dan prosedur produk baru yang akan dikeluarkan terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah; dan d. Memberikan pendapat syariah atas produk baru yang akan dikeluarkan. 6. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan terhadap kegiatan Bank sebagaimana dimaksud pada angka 4.b. dengan melakukan hal- hal sebagai berikut: a. Menganalisis laporan yang disampaikan oleh dan/atau yang diminta dari Direksi, pelaksana fungsi audit intern dan/atau fungsi kepatuhan untuk mengetahui kualitas pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah atas kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; b. Menetapkan jumlah uji petik (sampel) transaksi yang akan diperiksa dengan memperhatikan kualitas pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah dari masing-masing kegiatan; c. Memeriksa dokumen transaksi yang diuji petik (sampel) untuk mengetahui pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dipersyaratkan dalam SOP, antara lain: 1) ada … 17 1) ada tidaknya bukti pembelian barang, untuk akad murabahah sebagai bukti terpenuhinya syarat jual-beli murabahah; 2) ada tidaknya laporan usaha nasabah, untuk akad mudharabah/musyarakah, sebagai dasar melakukan perhitungan distribusi bagi hasil; d. Melakukan inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan/atau konfirmasi kepada pegawai Bank dan/atau nasabah untuk memperkuat hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf c., apabila diperlukan; e. Melakukan review terhadap SOP terkait aspek syariah apabila terdapat indikasi ketidaksesuaian pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah atas kegiatan dimaksud; f. Memberikan pendapat syariah atas kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan g. Melaporkan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah kepada Direksi dan Dewan Komisaris. 7. Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah wajib disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester berakhir. Yang dimaksud dengan “semester” adalah periode 6 (enam) bulanan yang berakhir pada bulan Juni dan Desember. Penyampaian Laporan tersebut menggunakan format surat sebagaimana Lampiran 2. 8. Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah memuat hasil pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah selama 1 (satu) semester, yang meliputi antara lain: a. Kertas kerja pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru Bank; dan b. Kertas kerja pengawasan terhadap kegiatan Bank. Laporan … 18 Laporan tersebut disampaikan dengan menggunakan format laporan sebagaimana Lampiran 3. 9. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah, Bank menyediakan fasilitas yang layak bagi Dewan Pengawas Syariah antara lain ruang kerja, telepon, dan lemari arsip. 10. Bank menugaskan paling kurang 1 (satu) orang pegawai untuk mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah. 11. Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas Syariah dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat. Apabila dalam proses pengambilan keputusan terdapat perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat tersebut dapat dicantumkan dalam risalah rapat beserta alasannya. 12. Dalam rangka pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada angka 11, Dewan Pengawas Syariah dapat meminta pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia, apabila diperlukan. 13. Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang merangkap jabatan sebagai konsultan di seluruh BUS dan/atau UUS. Yang dimaksud dengan “konsultan” adalah meliputi konsultan, penasihat atau yang dapat dipersamakan dengan itu, baik individu maupun perusahaan, termasuk pemilik dari perusahaan yang memberikan jasa konsultasi bagi BUS dan/atau UUS. Dalam hal konsultan berbentuk perusahaan maka pegawai/perorangan yang bekerja pada perusahaan tersebut, namun tidak bertugas sebagai konsultan bagi BUS dan/atau UUS, tidak dikategorikan sebagai konsultan. Yang dimaksud dengan “jasa konsultasi” adalah terbatas pada jasa konsultasi terkait kegiatan usaha perbankan syariah. 14. Dalam … 19 14. Dalam hal Dewan Pengawas Syariah tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sampai dengan izin usaha Bank dicabut, maka anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud dapat dikenakan sanksi berupa pelarangan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di perbankan syariah paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan izin usaha Bank oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “Dewan Pengawas Syariah tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sampai dengan izin usaha Bank dicabut” meliputi antara lain: a. Tidak memberikan nasihat dan saran kepada Direksi atas hasil pengawasan yang dilakukan Dewan Pengawas Syariah; b. Tidak menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank; c. Tidak mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia; d. Tidak melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan/atau e. Tidak menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah secara semesteran. yang mengakibatkan izin usaha Bank dicabut. F. SELF ASSESSMENT PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE 1. Penilaian atas pelaksanaan GCG bagi BUS, dilakukan terhadap 11 (sebelas) faktor sebagai berikut: a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris; b. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi; c. Kelengkapan … 20 c. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite; d. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah; e. Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa; f. Penanganan benturan kepentingan; g. Penerapan fungsi kepatuhan; h. Penerapan fungsi audit intern; i. Penerapan fungsi audit ekstern; j. Batas Maksimum Penyaluran Dana; dan k. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS, laporan pelaksanaan GCG serta pelaporan internal; 2. Penilaian atas pelaksanaan GCG bagi UUS, dilakukan terhadap 5 (lima) faktor sebagai berikut: a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS; b. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah; c. Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa; d. Penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan inti; dan e. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS, laporan pelaksanaan GCG serta pelaporan internal; 3. Bank wajib melakukan self assessment atas pelaksanaan GCG sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun. 4. Self assessment sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilakukan dengan menggunakan Kertas Kerja Self Assessment sebagaimana Lampiran 4 … 21 Lampiran 4 (bagi BUS) dan Lampiran 5 (bagi UUS). Pengisian Kertas Kerja Self Assessment dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Menyusun analisis self assessment, dengan cara membandingkan pemenuhan setiap Kriteria/Indikator dengan kondisi Bank berdasarkan data dan informasi yang relevan. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditetapkan peringkat masing-masing Kriteria/Indikator. Adapun kriteria peringkat adalah sebagai berikut: 1) Peringkat 1: hasil analisis self assessment menunjukkan bahwa pelaksanaan GCG Bank sangat sesuai dengan Kriteria/Indikator. 2) Peringkat 2: hasil analisis self assessment menunjukkan bahwa pelaksanaan GCG Bank sesuai dengan Kriteria/Indikator. 3) Peringkat 3: hasil analisis self assessment menunjukkan bahwa pelaksanaan GCG Bank cukup sesuai dengan Kriteria/Indikator. 4) Peringkat 4: hasil analisis self assessment menunjukkan bahwa pelaksanaan GCG Bank kurang sesuai dengan Kriteria/Indikator. 5) Peringkat 5: hasil analisis self assessment menunjukkan bahwa pelaksanaan GCG Bank tidak sesuai dengan Kriteria/Indikator. b. Menetapkan peringkat sub faktor, berdasarkan hasil analisis self assessment, dengan mengacu pada kriteria peringkat sebagaimana dimaksud pada huruf a. c. Menetapkan peringkat faktor, berdasarkan peringkat sub faktor. Dalam hal tidak terdapat sub faktor, maka peringkat faktor dimaksud ditetapkan berdasarkan hasil analisis self assessment, dengan … 22 dengan mengacu pada kriteria peringkat sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan d. Menyusun kesimpulan untuk masing-masing faktor yang juga memuat permasalahan dan langkah perbaikan secara komprehensif dan sistematis beserta target waktu pelaksanaannya. 5. Untuk mendapatkan nilai dari masing-masing faktor, Bank mengalikan peringkat dari masing-masing faktor dengan bobot tertentu. Bobot masing-masing faktor ditetapkan sebagaimana tabel berikut: a. Bagi BUS No Faktor 1 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris 4 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah 5 Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa 6 Penanganan benturan kepentingan 7 Penerapan fungsi kepatuhan Bank 8 Penerapan fungsi audit intern 9 Penerapan fungsi audit ekstern 10 Batas Maksimum Penyaluran Dana 11 Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan, laporan pelaksanaan GCG dan pelaporan internal TOTAL Bobot (%) 12.50 2 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi 17.50 3 Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite 10.00 10.00 5.00 10.00 5.00 5.00 5.00 5.00 15.00 100.00 b. Bagi … 23 b. Bagi UUS No Faktor 1 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS 2 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah 3 Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa 4 Penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan inti 5 Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan, laporan pelaksanaan GCG dan pelaporan internal TOTAL Bobot (%) 35.00 20.00 10.00 10.00 25.00 100.00 6. Untuk mendapatkan nilai komposit, Bank menjumlahkan nilai dari seluruh faktor. Berdasarkan nilai komposit tersebut, Bank menetapkan predikat komposit sebagaimana tabel berikut: Nilai Komposit Nilai Komposit < 1.5 1.5 ≤ Nilai komposit < 2.5 2.5 ≤ Nilai Komposit < 3.5 3.5 ≤ Nilai Komposit < 4.5 4.5 ≤ Nilai Komposit ≤ 5 Predikat Komposit Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik Penetapan … 24 Penetapan predikat komposit tersebut juga memperhatikan ketentuan sebagai berikut: a. Apabila terdapat faktor yang nilai peringkat faktor-nya 5, maka predikat komposit tertinggi yang dapat dicapai Bank adalah ”Cukup Baik”. b. Apabila terdapat faktor yang nilai peringkat faktor-nya 4, maka predikat komposit tertinggi yang dapat dicapai Bank adalah ”Baik”. 7. Penghitungan sebagaimana dimaksud pada angka 5 dan 6 dilakukan dengan menggunakan tabel Ringkasan Perhitungan Nilai Komposit Self Assessment, sebagaimana Lampiran 6 (bagi BUS) dan Lampiran 7 (bagi UUS). 8. Kertas Kerja Self Assessment dan dokumen pendukung self assessment harus didokumentasikan dengan baik sehingga memudahkan penelusuran oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 9. Berdasarkan Kertas Kerja Self Assessment dan Ringkasan Perhitungan Nilai Komposit Self Assessment di atas, Bank membuat Kesimpulan Umum pada lembar tersendiri yang paling kurang meliputi: a. Gambaran umum pelaksanaan GCG termasuk peringkat masing- masing faktor serta nilai komposit dan predikatnya; b. Kelemahan dan kekuatan pelaksanaan GCG secara umum; c. Langkah perbaikan beserta target waktu pelaksanaannya; dan d. Realisasi pelaksanaan langkah perbaikan periode sebelumnya beserta waktu penyelesaian dan kendala penyelesaiannya, apabila ada. 10. Kesimpulan Umum sebagaimana dimaksud pada angka 9, harus ditandatangani oleh Komisaris Utama dan Direktur Utama Bank. 11. Bank harus menyampaikan hasil self assessment pelaksanaan GCG secara lengkap kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan setelah … 25 setelah tahun buku berakhir, yang meliputi: Kertas Kerja Self Assessment, Ringkasan Perhitungan Nilai Komposit Self Assessment, dan Kesimpulan Umum. G. LAPORAN PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI BANK UMUM SYARIAH 1. Laporan Pelaksanaan GCG dapat digabungkan ke dalam Laporan Tahunan BUS (menjadi bab tersendiri) atau disajikan secara terpisah dari Laporan Tahunan BUS. Dalam hal Laporan Pelaksanaan GCG digabungkan ke dalam Laporan Tahunan BUS maka Laporan Pelaksanaan GCG tetap disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir. 2. Laporan Pelaksanaan GCG bagi BUS paling kurang terdiri dari: a. Kesimpulan Umum dari hasil self assessment atas pelaksanaan GCG BUS; b. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih dari modal disetor, yang meliputi jenis dan jumlah lembar saham pada BUS yang bersangkutan; c. kepemilikan saham anggota Direksi yang mencapai 5% (lima persen) atau lebih dari modal disetor, yang meliputi jenis dan jumlah lembar saham pada BUS yang bersangkutan, bank lain, dan perusahaan lain yang berkedudukan baik di dalam maupun di luar negeri; d. hubungan keuangan anggota Dewan Komisaris dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau anggota Direksi BUS; e. hubungan … 26 e. hubungan keuangan anggota Direksi dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi lain; f. hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau anggota Direksi BUS; g. hubungan keluarga anggota Direksi dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi lain; h. i. j. rangkap jabatan anggota Dewan Komisaris pada perusahaan atau lembaga lain; rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga keuangan syariah lainnya; struktur komite, keanggotaan komite, dan keahlian anggota komite; k. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh BUS; Pengungkapan mengenai konsultan paling kurang mencakup nama perusahaan konsultan, tujuan, dan ruang lingkup kerja. Dalam hal konsultan adalah individu, cukup disebutkan nama yang bersangkutan. l. kebijakan remunerasi dan fasilitas lainnya (remuneration package) yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah. Yang dimaksud dengan kebijakan remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham antara lain meliputi: 1) dalam … remunerasi yaitu penghasilan dalam bentuk keuangan (non natura) antara lain gaji, tunjangan (benefit), kompensasi 27 dalam bentuk saham, bonus dan bentuk remunerasi lainnya; dan 2) fasilitas lain yaitu fasilitas yang diterima tidak dalam bentuk keuangan (natura), antara lain fasilitas perumahan, fasilitas transportasi, fasilitas asuransi kesehatan, fasilitas telekomunikasi, dan fasilitas lainnya, yang dapat dimiliki maupun tidak dapat dimiliki. Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham mencakup jumlah anggota Dewan Komisaris, jumlah anggota Direksi, dan jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah serta jumlah keseluruhan remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham, sebagaimana tabel di bawah ini: Jumlah Diterima dalam 1 Tahun Jenis Remunerasi dan Fasilitas lainnya 1. Remunerasi 2. Fasilitas lainnya*) : a. yang dapat dimiliki b. yang tidak dapat dimiliki Total *) dinilai dalam ekuivalen Rupiah. Jumlah anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah yang menerima remunerasi dalam satu tahun dikelompokkan … Dewan Komisaris Orang jutaan Rupiah Dewan Direksi Orang jutaan Rupiah Pengawas Syariah Orang jutaan Rupiah 28 dikelompokkan dalam kisaran tingkat penghasilan, sebagaimana tabel di bawah ini: (satuan orang) Jumlah Remunerasi*) per orang dalam 1 tahun di atas Rp 2 miliar di atas Rp 1 miliar s.d. Rp 2 miliar di atas Rp 500 juta s.d. Rp 1 miliar Rp 500 juta ke bawah *) yang diterima dalam bentuk keuangan (non natura) m. rasio gaji tertinggi dan gaji terendah; Yang dimaksud dengan ”gaji” adalah hak pegawai yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari perusahaaan atau pemberi kerja kepada pegawai yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pegawai dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukannya. Pengungkapan mengenai rasio gaji tertinggi dan gaji terendah dalam skala perbandingan berikut: 1) 2) 3) 4) rasio gaji pegawai yang tertinggi dan terendah; rasio gaji Direksi yang tertinggi dan terendah; rasio gaji Komisaris yang tertinggi dan terendah; dan rasio gaji Direksi tertinggi dan pegawai tertinggi. Gaji yang dibandingkan dalam rasio gaji tersebut di atas, adalah gaji yang diterima oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi dan pegawai … Jumlah Dewan Komisaris Jumlah Direksi Jumlah Dewan Pengawas Syariah 29 pegawai per bulan. Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah pegawai tetap BUS sampai batas pelaksana. n. frekuensi rapat Dewan Komisaris; Pengungkapan mengenai frekuensi rapat Dewan Komisaris, paling kurang mencakup: 1) 2) jumlah rapat yang diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun; tingkat kehadiran masing-masing anggota di setiap rapat yang dihadiri baik secara fisik maupun melalui teknologi telekonferensi. o. frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah; Pengungkapan mengenai frekuensi rapat anggota Dewan Pengawas Syariah, paling kurang mencakup: 1) 2) jumlah rapat yang diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun; tingkat kehadiran masing-masing anggota di setiap rapat yang dihadiri baik secara fisik maupun melalui teknologi telekonferensi. p. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaian oleh BUS; Yang dimaksud dengan ”internal fraud” adalah penyimpangan/kecurangan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris, Direksi, pegawai tetap, dan/atau pegawai tidak tetap (honorer dan outsourcing) terkait dengan proses kerja dan/atau kegiatan operasional Bank yang memengaruhi kondisi keuangan Bank secara signifikan. Yang dimaksud dengan ”memengaruhi kondisi keuangan Bank secara signifikan” adalah apabila dampak penyimpangannya lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pengungkapan mengenai mencakup: internal fraud paling kurang 1) jumlah … 30 1) 2) 3) 4) jumlah internal fraud yang telah diselesaikan; jumlah internal fraud yang sedang dalam proses penyelesaian di internal Bank; jumlah internal fraud yang belum diupayakan penyelesaiannya; dan jumlah internal fraud yang telah ditindaklanjuti melalui proses hukum, sebagaimana tabel di bawah ini: Jumlah Kasus yang Dilakukan oleh Internal Fraud dalam 1 tahun Total Fraud Telah diselesaikan Dalam proses penyelesaian di internal Bank Belum diupayakan penyelesaiannya Telah ditindaklanjuti melalui proses hukum. q. jumlah permasalahan hukum dan upaya penyelesaian oleh BUS; Yang dimaksud dengan “permasalahan hukum” adalah permasalahan hukum perdata dan pidana yang dihadapi BUS selama periode tahun laporan dan telah diajukan melalui proses hukum. Pengungkapan … Dewan Komisaris / Direksi Thn sebelum nya Thn berjalan Pegawai Tetap Thn sebelum nya Thn berjalan Pegawai tidak Tetap Thn Sebelum nya Thn Berjalan 31 Pengungkapan mengenai permasalahan hukum paling kurang mencakup: 1) jumlah permasalahan hukum perdata dan pidana yang dihadapi dan telah selesai (telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap); dan 2) jumlah permasalahan hukum perdata dan pidana yang dihadapi dan masih dalam proses penyelesaian, sebagaimana tabel di bawah ini: Permasalahan Hukum Telah selesai (telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap) Dalam proses penyelesaian Total r. transaksi yang mengandung benturan kepentingan; Pengungkapan mengenai transaksi yang mengandung benturan kepentingan, paling kurang mencakup nama dan jabatan pihak yang memiliki benturan kepentingan, nama dan jabatan pengambil keputusan transaksi yang mengandung benturan kepentingan, jenis transaksi, nilai transaksi, dan keterangan mengenai ketidaksesuaian dengan sistim dan prosedur yang berlaku. s. buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS; Yang dimaksud dengan “buy back shares” atau “buy back obligasi” adalah upaya mengurangi jumlah saham atau obligasi yang telah diterbitkan BUS dengan cara membeli kembali saham atau obligasi tersebut, yang tata cara pembayarannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengungkapan … Jumlah Perdata Pidana 32 Pengungkapan mengenai buy back shares dan/atau buy back obligasi paling kurang mencakup: 1) kebijakan dalam melakukan buy back shares dan/atau buy back obligasi; 2) jumlah lembar saham dan/atau obligasi yang dibeli kembali; 3) harga pembelian kembali per lembar saham dan/atau obligasi; 4) peningkatan laba per lembar saham dan/atau obligasi. t. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun pihak penerima dana; dan u. pendapatan non halal dan penggunaannya. Contoh sumber pendapatan non halal antara lain pendapatan bunga dari penempatan pada bank konvensional. Pengungkapan mengenai pendapatan non halal dan penggunaannya paling kurang meliputi sumber pendapatan non halal, nilai, dan penggunaannya. Dalam hal penggunaan pendapatan non halal dimaksud digabungkan menjadi satu dengan penggunaan ”dana qardh lainnya” dan tidak dapat dikaitkan lagi sumber dengan penggunaannya maka cukup diberi keterangan ”dijadikan satu dengan penggunaan dana qardh”. H. LAPORAN PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE BAGI UNIT USAHA SYARIAH 1. Laporan pelaksanaan GCG UUS dapat digabungkan ke dalam laporan pelaksanaan GCG bank umum konvensional yang menjadi induknya (menjadi bab tersendiri) atau disajikan secara terpisah dari laporan pelaksanaan GCG bank umum konvensional yang menjadi induknya. Dalam … 33 Dalam hal laporan pelaksanaan GCG UUS digabungkan ke dalam laporan tahunan bank umum konvensional maka laporan pelaksanaan GCG tetap disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir. 2. Laporan pelaksanaan GCG bagi UUS paling kurang terdiri dari: a. Kesimpulan Umum dari hasil self assessment atas pelaksanaan GCG UUS; b. rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga keuangan syariah lainnya; c. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh UUS; Pengungkapan mengenai konsultan paling kurang mencakup nama perusahaan konsultan, tujuan, dan ruang lingkup kerja. Dalam hal konsultan adalah individu, cukup disebutkan nama yang bersangkutan. Pengungkapan konsultan dalam laporan ini hanya untuk konsultan yang ruang lingkup kerjanya terkait UUS. d. kebijakan remunerasi dan fasilitas lainnya (remuneration package) yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham bagi Dewan Pengawas Syariah: Yang dimaksud dengan kebijakan remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham antara lain meliputi: 1) remunerasi yaitu penghasilan dalam bentuk keuangan (non natura) antara lain gaji, tunjangan (benefit), kompensasi dalam bentuk saham, bonus dan bentuk remunerasi lainnya; dan 2) fasilitas lain yaitu fasilitas yang diterima tidak dalam bentuk keuangan (natura), antara lain fasilitas perumahan, fasilitas … 34 fasilitas transportasi, fasilitas asuransi kesehatan, fasilitas telekomunikasi, dan fasilitas lainnya, yang dapat dimiliki maupun tidak dapat dimiliki. Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham mencakup jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah dan jumlah keseluruhan remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham, sebagaimana tabel di bawah ini: Jenis Remunerasi dan Fasilitas lainnya Jumlah Diterima dalam 1 Tahun Orang jutaan Rupiah 1. Remunerasi 2. Fasilitas lainnya*) : a. yang dimiliki b. yang tidak dapat dimiliki Total *) dinilai dalam ekuivalen Rupiah. Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah yang menerima remunerasi dalam satu tahun dikelompokkan dalam kisaran tingkat penghasilan, sebagaimana tabel di bawah ini: (satuan orang) Jumlah Remunerasi*) per orang dalam 1 tahun di atas Rp 2 miliar di atas Rp 1 miliar s.d. Rp 2 miliar di atas Rp 500 juta s.d. Rp 1 miliar Rp 500 juta ke bawah *) yang diterima dalam bentuk keuangan (non natura) Jumlah Dewan Pengawas Syariah dapat e. frekuensi … 35 e. frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah; Pengungkapan mengenai frekuensi rapat anggota Dewan Pengawas Syariah, paling kurang mencakup: 1) 2) jumlah rapat yang diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun; tingkat kehadiran masing-masing anggota di setiap rapat yang dihadiri baik secara fisik maupun melalui teknologi telekonferensi f. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaian oleh UUS; Yang dimaksud dengan ”internal fraud” adalah penyimpangan/kecurangan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris, Direksi, pegawai tetap, dan/atau pegawai tidak tetap (honorer dan outsorcing) terkait dengan proses kerja dan/atau kegiatan operasional UUS yang memengaruhi kondisi keuangan UUS secara signifikan. Yang dimaksud dengan ”memengaruhi kondisi keuangan UUS secara signifikan” adalah apabila dampak penyimpangannya lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pengungkapan mengenai internal fraud paling kurang mencakup: 1) 2) 3) 4) jumlah internal fraud yang telah diselesaikan; jumlah internal fraud yang sedang dalam proses penyelesaian di internal UUS; jumlah internal fraud yang belum diupayakan penyelesaiannya; dan jumlah internal fraud yang telah ditindaklanjuti melalui proses hukum, sebagaimana … 36 sebagaimana tabel di bawah ini: Jumlah Kasus yang Dilakukan oleh Internal Fraud dalam 1 tahun Total Fraud Telah diselesaikan Dalam proses penyelesaian di internal UUS Belum diupayakan penyelesaiannya Telah ditindaklanjuti melalui proses hukum. g. jumlah permasalahan hukum dan upaya penyelesaian oleh UUS; Yang dimaksud dengan ”permasalahan hukum” adalah permasalahan hukum perdata dan pidana yang dihadapi UUS selama periode tahun laporan dan telah diajukan melalui proses hukum. Pengungkapan mengenai permasalahan hukum paling kurang mencakup: 1) jumlah permasalahan hukum perdata dan pidana yang dihadapi dan telah selesai (telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap); dan 2) jumlah permasalahan hukum perdata dan pidana yang dihadapi dan masih dalam proses penyelesaian, sebagaimana … Dewan Komisaris / Direksi Thn sebelum nya Thn berjalan Pegawai Tetap Thn sebelum nya Thn berjalan Pegawai tidak Tetap Thn Sebelum nya Thn Berjala n 37 sebagaimana tabel di bawah ini: Permasalahan Hukum Telah selesai (telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap) Dalam proses penyelesaian Total h. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun pihak penerima dana; dan Yang dimaksud dengan penyaluran dana adalah penyaluran dana yang sumber dananya berasal dari UUS. i. pendapatan non halal dan penggunaannya. Contoh sumber pendapatan non halal antara lain pendapatan bunga dari penempatan pada bank konvensional. Pengungkapan mengenai pendapatan non halal dan penggunaannya paling kurang meliputi sumber pendapatan non halal, nilai, dan penggunaannya. Dalam hal penggunaan pendapatan non halal dimaksud digabungkan menjadi satu dengan penggunaan ”dana qardh lainnya” dan tidak dapat dikaitkan lagi sumber dengan penggunaannya maka cukup diberi keterangan ”dijadikan satu dengan penggunaan dana qardh”. I. ALAMAT PENYAMPAIAN 1. Penyampaian Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah, hasil self assessment pelaksanaan GCG, dan Laporan Pelaksanaan GCG oleh BUS kepada Bank Indonesia dialamatkan kepada: a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor … Jumlah Perdata Pidana 38 b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BUS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah. 2. Penyampaian Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah, hasil self assessment pelaksanaan GCG dan Laporan Pelaksanaan GCG oleh UUS kepada Bank Indonesia dialamatkan kepada: a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi UUS yang Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi UUS yang Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah. J. PENUTUP Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka: 1. Surat Edaran Nomor 9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum dinyatakan tidak berlaku bagi UUS sepanjang hal-hal yang telah diatur dalam Surat Edaran ini dan dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum Syariah. 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/19/DPbS tanggal 24 Agustus 2006 tentang Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah dinyatakan tidak berlaku bagi BUS dan UUS. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 30 April 2010. Agar … 39 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MULIAMAN D. HADAD DEPUTI GUBERNUR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 12/13/DPbS|SE-BI/2010 </reg_id> <reg_title> Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah </reg_title> <set_date> 30 April 2010 </set_date> <effective_date> 30 April 2010 </effective_date> <replaced_reg> '9/12/DPNP|SE-BI/2007', '8/19/DPbS|SE-BI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '11/3/PBI/2009', '11/10/PBI/2009', '11/33/PBI/2009' </related_reg> <penalty_list> 'Huruf E Angka 14' </penalty_list>
No.18/6/DKEM Jakarta, 22 April 2016 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA KORPORASI NONBANK DI INDONESIA Perihal: Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 394, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5651), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/4/PBI/2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5874 ), perlu melakukan perubahan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank, sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/18/DKEM tanggal 30 Juni 2015, sebagai berikut: 1. Ketentuan butir I.A.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 2. Piutang sebagaimana dimaksud dalam butir 1.e diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Piutang terdiri atas piutang usaha kepada Penduduk dan bukan Penduduk yang akan jatuh waktu: 1) sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan; dan/atau 2) lebih ... 2) lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan; yang bersifat jual putus atau tidak dapat dikembalikan dan setelah dikurangi penyisihan penurunan nilai. b. Piutang usaha kepada Penduduk sebagaimana dimaksud dalam huruf a dihitung sebagai komponen Aset Valuta Asing sepanjang telah memiliki kontrak atau perjanjian yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Juli 2015 sampai dengan berakhirnya perjanjian tertulis tersebut. c. Piutang usaha kepada Penduduk yang kontrak atau perjanjiannya ditandatangani sejak tanggal 1 Juli 2015 dapat tetap dihitung sebagai komponen Aset Valuta Asing sepanjang: 1) berkaitan dengan proyek infrastruktur strategis dan mendapat persetujuan Bank Indonesia; atau 2) transaksi yang mendasarinya diperkenankan dilakukan dalam Valuta Asing sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Cakupan proyek infrastruktur yang dapat dipertimbangkan untuk diakui sebagai proyek infrastruktur strategis mengacu pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. d. Penentuan proyek infrastruktur strategis sebagaimana dimaksud dalam huruf c.1) dibuktikan dengan: 1) surat keterangan dari kementerian atau lembaga pemerintah yang berwenang; dan 2) surat persetujuan dari Bank Indonesia. e. Untuk piutang usaha sebagaimana dimaksud dalam butir c.2) dibuktikan dengan surat persetujuan dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. 2. Ketentuan... 2. Ketentuan butir II.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 2. Pengecualian kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) diberikan bagi: a. ULN dalam Valuta Asing yang digunakan untuk menggantikan ULN sebelumnya (refinancing); b. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan proyek infrastruktur yang bersumber dari: 1) seluruhnya dari kreditor lembaga internasional (bilateral atau multilateral); 2) pinjaman sindikasi dengan kontribusi kreditor lembaga internasional (bilateral atau multilateral) lebih besar dari 50% (lima puluh persen); c. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan proyek infrastruktur pemerintah baik pusat maupun daerah; d. ULN dalam Valuta Asing yang dijamin oleh lembaga internasional (bilateral atau multilateral); e. ULN dalam Valuta Asing berupa utang dagang (trade credit); f. ULN dalam Valuta Asing berupa utang lainnya (other loans); atau g. ULN dalam Valuta Asing yang dimiliki perusahaan pembiayaan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan minimum “Sehat” yang terakhir dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan 2) memenuhi gearing ratio maksimum sebagaimana diatur oleh OJK. h. ULN dalam Valuta Asing yang dimiliki Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Cakupan proyek infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam butir b dan butir c tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 3. Lampiran I diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. 4. Menambahkan ... 4. Menambahkan 1 (satu) lampiran yakni Lampiran III sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 April 2016 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, JUDA AGUNG KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN EKONOMI DAN MONETER LAMPIRAN I SURAT EDARAN BANK INDONESIA NOMOR 18/6/DKEM TANGGAL 22 APRIL 2016 PERIHAL PERUBAHAN KEDUA ATAS SURAT EDARAN BANK INDONESIA NOMOR 16/24/DKEM TANGGAL 30 DESEMBER 2014 PERIHAL PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DAFTAR LEMBAGA PEMERINGKAT YANG DIAKUI BANK INDONESIA UNTUK DIGUNAKAN DALAM PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK Nama Lembaga Pemeringkat Lembaga Pemeringkat Dalam Negeri Lembaga Pemeringkat Luar Negeri PT. Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) PT. Fitch Ratings Indonesia Moody’s Investors Service Standard & Poor’s Fitch Ratings Japan Credit Rating Agency Rating and Investment Information Inc. Peringkat Setara BB- idBB- BB-(idn) Ba3 BB- BB- BB- BB- KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN EKONOMI DAN MONETER JUDA AGUNG LAMPIRAN III SURAT EDARAN BANK INDONESIA NOMOR 18/6/DKEM TANGGAL 22 APRIL 2016 PERIHAL PERUBAHAN KEDUA ATAS SURAT EDARAN BANK INDONESIA NOMOR 16/24/DKEM TANGGAL 30 DESEMBER 2014 PERIHAL PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DAFTAR CAKUPAN PROYEK INFRASTRUKTUR a. Infrastruktur transportasi, antara lain: 1) penyediaan dan/atau pengelolaan fasilitas dan/atau pelayanan jasa kebandarudaraan, termasuk fasilitas pendukung seperti terminal penumpang dan kargo; 2) penyediaan dan/atau pengelolaan fasilitas dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan; 3) sarana dan/atau prasarana perkeretaapian; 4) sarana dan prasarana angkutan massal perkotaan dan lalu lintas; dan/atau 5) sarana dan prasarana penyeberangan laut, sungai, dan/atau danau. b. Infrastruktur jalan, antara lain: 1) 2) 3) c. jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal; jalan tol; dan/atau jembatan tol. Infrastruktur sumber daya air dan irigasi, antara lain: 1) saluran pembawa air baku; dan/atau 2) jaringan irigasi dan prasarana penampung air beserta bangunan pelengkapnya, antara lain waduk, bendungan, dan bendung. d. Infrastruktur ... 2 d. Infrastruktur air minum, antara lain: 1) unit air baku; 2) unit produksi; dan/atau 3) unit distribusi. e. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat, antara lain: 1) unit pelayanan; 2) unit pengumpulan; 3) unit pengolahan; 4) unit pembuangan akhir; dan/atau 5) saluran pembuangan air, dan sanitasi. f. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat, antara lain: 1) unit pengolahan setempat; 2) unit pengangkutan; 3) unit pengolahan lumpur tinja; 4) unit pembuangan akhir; dan/atau 5) saluran pembuangan air, dan sanitasi. g. Infrastruktur sistem pengelolaan persampahan, antara lain: 1) pengangkutan; 2) pengolahan; dan/atau 3) pemrosesan akhir sampah. h. Infrastruktur telekomunikasi dan informatika, antara lain: 1) 2) 3) jaringan telekomunikasi; infrastruktur e-government; dan/atau infrastruktur pasif seperti pipa saluran media transmisi kabel (ducting). i. Infrastruktur energi dan ketenagalistrikan, termasuk infrastruktur energi terbarukan, antara lain: 1) infrastruktur ketenagalistrikan, antara lain: i. pembangkit listrik; ii. transmisi tenaga listrik; iii. gardu induk; dan/atau iv. distribusi tenaga listrik. 2) infrastruktur minyak dan gas bumi, termasuk bioenergi, antara lain: i. pengolahan; ii. penyimpanan ... 3 ii. penyimpanan; iii. pengangkutan; dan/atau iv. distribusi. j. Infrastruktur konservasi energi, antara lain: 1) penerangan jalan umum; dan/atau 2) efisiensi energi. k. Infrastruktur ekonomi fasilitas perkotaan, antara lain: 1) saluran utilitas (tunnel); dan/atau 2) pasar umum. l. Infrastruktur kawasan, antara lain: 1) kawasan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi termasuk pembangunan science and technopark; dan/atau 2) kawasan industri. m. Infrastruktur pariwisata, antara lain pusat informasi pariwisata (tourism information center). n. Infrastruktur fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan, antara lain: 1) sarana pembelajaran; 2) laboratorium; 3) pusat pelatihan; 4) pusat penelitian atau pusat kajian; 5) sarana dan prasarana penelitian dan pengembangan; 6) inkubator bisnis; 7) galeri pembelajaran; 8) ruang praktik siswa; 9) perpustakaan; dan/atau 10) fasilitas pendukung pembelajaran dan pelatihan. o. Infrastruktur fasilitas sarana olahraga, kesenian dan budaya, antara lain: 1) gedung atau stadion olahraga; dan/atau 2) gedung kesenian dan budaya. p. Infrastruktur kesehatan, antara lain: 1) rumah sakit, seperti bangunan rumah sakit, prasarana rumah sakit, dan peralatan medis; 2) fasilitas... 4 2) fasilitas pelayanan kesehatan dasar, seperti bangunan, prasarana, dan peralatan medis baik untuk puskesmas maupun klinik; dan/atau 3) laboratorium kesehatan, seperti bangunan laboratorium kesehatan, prasarana laboratorium kesehatan dan peralatan laboratorium. q. Infrastruktur pemasyarakatan, antara lain: 1) lembaga pemasyarakatan; 2) balai pemasyarakatan; 3) 4) 5) 6) 7) r. rumah tahanan negara; rumah penyimpanan benda sitaan dan barang rampasan negara; lembaga penempatan anak sementara; lembaga pembinaan khusus anak; dan/atau rumah sakit pemasyarakatan. Infrastruktur perumahan rakyat, antara lain: 1) perumahan rakyat untuk golongan rendah; dan/atau 2) rumah susun sederhana sewa. KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN EKONOMI DAN MONETER JUDA AGUNG
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 18/6/DKEM|SE-BI/2016 </reg_id> <reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. </reg_title> <set_date> 22 April 2016 </set_date> <effective_date> 22 April 2016 </effective_date> <changed_reg> '16/24/DKEM|SE-BI/2014' </changed_reg> <extension_of> '17/18/DKEM|SE-BI/2015' </extension_of> <related_reg> '16/24/DKEM|SE-BI/2014', '18/4/PBI/2016', '17/18/DKEM|SE-BI/2015', '16/21/PBI/2014' </related_reg>
No. 11/ 36 /DPNP Jakarta, 31 Desember 2009 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/19/DPNP tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Berkaitan dengan Reksa Dana. Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), maka dipandang perlu untuk melakukan beberapa perubahan pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/19/DPNP tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Berkaitan dengan Reksa Dana sebagai berikut: 1. Mengubah . . . 1. Mengubah angka IV sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: IV. RENCANA DAN PELAPORAN A. Bank yang pertama kali akan melaksanakan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian 1. Bank wajib mencantumkan rencana pelaksanaan aktivitas baru sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana pelaksanaan aktivitas tersebut. Kewajiban menyusun Rencana Bisnis Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai rencana bisnis Bank Umum. Format pencantuman rencana pelaksanaan aktivitas baru sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian dalam Rencana Bisnis Bank mengacu pada Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini. 2. Bank yang telah memenuhi ketentuan pada angka 1, wajib menyampaikan laporan pelaksanaan aktivitas baru kepada Bank Indonesia yang terdiri dari: a. Laporan rencana pelaksanaan aktivitas baru sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian; dan b. Laporan realisasi pelaksanaan aktivitas baru sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian. 3. Penyampaian laporan rencana pelaksanaan aktivitas baru sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian, sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a dilakukan sebagai berikut: a. Untuk . . . a. Untuk aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana terdiri dari 2 (dua) laporan, yaitu: 1) Laporan Rencana Menjadi Agen Penjual Efek Reksa Dana a) Laporan wajib disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum pelaksanaan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana. b) Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a), paling kurang memuat hal-hal terkait dengan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagai berikut: (1) informasi umum yang antara lain memuat tujuan, gambaran potensial nasabah, analisa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (Strengths,Weaknesses,Opportunities, Threats/SWOT); (2) analisa manfaat dan biaya (cost and benefits analysis); (3) prosedur pelaksanaan (standard operating procedure/SOP), organisasi dan kewenangan pelaksanaan dengan memperhatikan pengaturan penerapan Manajemen Risiko pada butir II.B.2; (4) kesiapan . . . (4) kesiapan sumber daya manusia paling kurang mengacu pada persyaratan pada butir II.B.2.a; (5) kesiapan Bank terkait sistem informasi; (6) rencana kebijakan dan prosedur terkait dengan penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teroris (APU dan PPT) dengan mengacu pada pengaturan butir II.B.2.j; (7) hasil analisa aspek hukum dan aspek kepatuhan; (8) penilaian Bank atas kesiapan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan (9) Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK). Dalam hal Surat Tanda Terdaftar belum diterbitkan, maka Bank dapat menyampaikan kepada Bank Indonesia fotokopi bukti permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana kepada BAPEPAM-LK. Selanjutnya, . . . Selanjutnya, setelah BAPEPAM-LK menerbitkan Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana, maka Bank wajib menyampaikannya kepada Bank Indonesia sebagai kelengkapan dokumen. c) Format Laporan Rencana Menjadi Agen Penjual Efek Reksa Dana mengacu pada Lampiran 2 Surat Edaran Bank Indonesia ini. d) Bank Indonesia menyampaikan surat penegasan terhadap rencana menjadi Agen Penjual Efek Reksa Dana setelah seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. 2) Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa Dana a) Laporan wajib disampaikan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sebelum pelaksanaan penjualan efek Reksa Dana. b) Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a), paling kurang memuat hal-hal terkait dengan rencana penjualan efek Reksa Dana sebagai berikut: (1) informasi . . . (1) informasi umum terkait efek Reksa Dana paling kurang meliputi: jenis, bentuk Reksa Dana, dan komposisi underlying asset, serta prospektus; (2) penilaian terhadap manajer investasi mengacu pada butir II.A.1.a dan butir II.B.2.e.2); (3) dokumen dalam rangka transparansi kepada nasabah yang meliputi antara lain: brosur, leaflet, dan/atau formulir aplikasi, dengan mengacu pada butir II.B.2.f.2), butir II.B.2.g, dan butir II.B.2.h; (4) Manajemen Risiko yang meliputi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian terhadap Risiko yang melekat atas aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana; (5) dokumen yang terkait dengan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana antara lain draft final perjanjian antara Bank dengan pihak-pihak yang terkait dengan penjualan efek Reksa Dana dengan mengacu pada butir II.B.2.d; (6) Surat . . . (6) Surat Efektif Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana yang dikeluarkan oleh BAPEPAM-LK. Dalam hal Surat Efektif Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana belum diterbitkan, maka Bank dapat menyampaikan kepada Bank Indonesia fotokopi bukti permohonan Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana kepada BAPEPAM-LK. Selanjutnya, setelah BAPEPAM-LK menerbitkan Surat Efektif Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana, maka Bank wajib menyampaikannya kepada Bank Indonesia sebagai kelengkapan dokumen. c) Format Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa Dana mengacu pada Lampiran 3 Surat Edaran Bank Indonesia ini. d) Bank Indonesia menyampaikan surat penegasan terhadap rencana penjualan efek Reksa Dana setelah seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. Surat penegasan Bank Indonesia tersebut merupakan penegasan bahwa dari aspek Manajemen Risiko, Bank dinilai mampu untuk . . . untuk menerapkan Manajemen Risiko yang memadai atas aktivitas penjualan efek Reksa Dana. e) Setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia terhadap rencana menjadi Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.3.a.1).d) dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia terhadap rencana penjualan efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.3.a.2).d), Bank dapat melakukan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana. b. Untuk aktivitas sebagai Bank Kustodian, penyampaian laporan rencana pelaksanaan aktivitas baru sebagai Bank Kustodian dilakukan sebagai berikut: 1) Laporan wajib disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum pelaksanaan aktivitas. 2) Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1), paling kurang memuat informasi dan penjelasan dalam rangka pelaporan produk atau aktivitas baru sesuai Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan produk atau aktivitas baru. B. Bank . . . B. Bank yang sudah pernah melaksanakan aktivitas dan terdaftar atau memperoleh izin sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian 1. Untuk aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana a. Bank wajib memenuhi ketentuan yang terkait dengan Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa Dana apabila penerbitan Reksa Dana memerlukan Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. b. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa Dana dilakukan sebagai berikut: 1) Laporan wajib disampaikan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sebelum pelaksanaan penjualan efek Reksa Dana. 2) Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1), paling kurang memuat hal-hal terkait dengan rencana penjualan efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.3.a.2).b) 3) Format Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa Dana mengacu pada Lampiran 3 Surat Edaran Bank Indonesia ini c. Persyaratan pelaksanaan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana mengacu pada pengaturan sebagaimana dimaksud pada butir IV.A.3.a.2).d) dan butir IV.A.3.a.2).e) 2. Untuk . . . 2. Untuk aktivitas sebagai Bank Kustodian Perubahan atau pengembangan terhadap aktivitas Bank sebagai kustodian tidak termasuk dalam kriteria aktivitas baru, sehingga pengembangan aktivitas sebagai Bank Kustodian oleh Bank yang sudah pernah melakukan aktivitas tersebut tidak terkena kewajiban pelaporan rencana pelaksanaan aktivitas baru. C. Laporan Realisasi Pelaksanaan Aktivitas Bank sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian 1. Laporan wajib disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah aktivitas baru tersebut direalisasikan pelaksanaannya. 2. Yang dimaksud dengan tanggal realisasi adalah tanggal sejak aktivitas tersebut mulai ditawarkan oleh Bank dan sudah dapat dibeli atau dimanfaatkan oleh nasabah. 3. Laporan realisasi pelaksanaan aktivitas baru paling kurang memuat informasi dan penjelasan sebagai berikut: a) jenis dan tanggal realisasi aktivitas baru oleh Bank; dan b) kesesuaian realisasi aktivitas baru dengan laporan rencana pelaksanaan aktivitas baru yang telah disampaikan. D. Laporan . . . D. Laporan Berkala terkait Pelaksanaan Aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dan/atau Bank Kustodian 1. Bank yang telah melaksanakan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dan/atau Bank Kustodian wajib menyusun laporan berkala terkait pelaksanaan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana secara bulanan. 2. Laporan berkala terkait pelaksanaan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan kepada Bank Indonesia secara berkala setiap triwulan yang meliputi posisi setiap akhir bulan untuk periode 3 (tiga) bulan berturut-turut dengan menggunakan format Lampiran 4 paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah akhir bulan ke 3 (tiga) dari triwulan yang bersangkutan. Untuk pertama kali laporan tersebut disampaikan untuk posisi akhir bulan Maret 2010. Dalam hal tanggal 15 (lima belas) adalah hari libur maka laporan disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah hari libur dimaksud. 3. Laporan berkala terkait pelaksanaan aktivitas sebagai Bank Kustodian mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum. E. Alamat Penyampaian Laporan 1. Laporan rencana pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A dan butir IV.B serta laporan realisasi pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam butir IV. C disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat . . . a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 2. Laporan Berkala terkait Pelaksanaan Aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana a. Laporan berkala terkait pelaksanaan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada butir IV.D disampaikan secara on-line melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum (LKPBU). b. Selama format Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a belum dapat disampaikan secara on-line melalui LKPBU, laporan tersebut wajib disampaikan secara off-line oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: 1) Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2) Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dengan tembusan kepada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan c.q. Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350. 2. Mengubah . . . 2. Mengubah angka VI sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: VI. SANKSI 1. Pelanggaran atas penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam angka II dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau e. pemberhentian pengurus Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009. 2. Pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.3, butir IV.B.1.b, butir IV.C.1 dan butir IV.E.2.b dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009. 3. Di antara . . . 3. Di antara angka VI dan angka VII disisipkan satu angka baru yakni angka VI A yang berbunyi sebagai berikut: VI A. KETENTUAN PERALIHAN 1. Bank yang telah melakukan aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian setelah tanggal 1 Juli 2009 dan sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini namun belum menyampaikan pelaporan sesuai dengan ketentuan ini, wajib menyampaikan laporan sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia ini paling lambat 60 hari setelah berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini. Untuk aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana, penyampaian laporan tersebut disertai dengan dokumen dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.3.a.1).b), butir IV.A.3.a.2).b) dan/atau butir IV.C.3.a. Untuk aktivitas sebagai Bank Kustodian, penyampaian laporan disertai informasi dan penjelasan dalam rangka pelaporan produk atau aktivitas baru sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan produk atau aktivitas baru. 2. Dalam hal Bank telah menyampaikan Laporan Rencana Menjadi Agen Penjual Efek Reksa Dana atau laporan rencana pelaksanaan aktivitas baru sebagai Bank Kustodian dan/atau Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa Dana sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini namun belum memperoleh surat penegasan dari Bank Indonesia, maka Bank wajib menyesuaikan pelaporan tersebut dengan Surat Edaran Bank Indonesia ini. Ketentuan . . . Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HALIM ALAMSYAH DIREKTUR PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 11/36/DPNP|SE-BI/2009 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/19/DPNP tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Berkaitan dengan Reksa Dana. </reg_title> <set_date> 31 Desember 2009 </set_date> <effective_date> 31 Desember 2009 </effective_date> <changed_reg> '7/19/DPNP|SE-BI/2005' </changed_reg> <related_reg> '5/8/PBI/2003', '11/25/PBI/2009', '7/19/DPNP|SE-BI/2005' </related_reg> <penalty_list> 'Angka 2 Romawi VI' </penalty_list>
No. 5/ 1 /DSM Jakarta, 30 Januari 2003 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA LEMBAGA KEUANGAN NON BANK DI INDONESIA Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni 2001 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Lembaga Keuangan Non Bank Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank dan Surat Edaran Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni 2001 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Lembaga Keuangan Non Bank dan sehubungan dengan adanya penyempurnaan sarana pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Lembaga Keuangan Non Bank kepada Bank Indonesia, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni 2002 sebagai berikut : 1. Menambah ketentuan pada butir III.D. dengan butir III.D.3. yang berbunyi sebagai berikut : “3. Khusus bagi Lembaga Keuangan Non Bank pelapor yang berkedudukan di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek), penyampaian laporan kegiatan lalu lintas devisa, selain melalui surat atau faksimili dapat dilakukan dengan menyampaikan disket yang disertai dengan… dengan form identitas yang sudah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Penyampaian laporan dengan disket tersebut disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Bagian Statistik Neraca Pembayaran, Gedung B, Lantai 14, Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta. Bank Indonesia akan menyampaikan tanda terima atas setiap laporan yang masuk pada saat laporan diterima, sesudah disket di-up load oleh petugas Bank Indonesia.” 2. Mengubah paragraf pertama dalam butir IV. Koreksi dan Klarifikasi Laporan menjadi berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal laporan yang diterima oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir III.D. masih tidak lengkap dan atau tidak benar, maka LKNB pelapor harus menyampaikan Laporan Koreksi melalui surat, faksimili atau disket.” Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 2003, untuk Periode Laporan bulan Februari 2003. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA Ttd TREESNA WILDA SUPARYONO DEPUTI DIREKTUR STATISTIK EKONOMI DAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 5/1/DSM|SE-BI/2003 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni 2001 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Lembaga Keuangan Non Bank </reg_title> <set_date> 30 Januari 2003 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2003 </effective_date> <changed_reg> '3/14/DSM|SE-BI/2001' </changed_reg> <related_reg> '3/14/DSM|SE-BI/2001', '1/9/PBI/1999' </related_reg>
No. 17/6/DPM Jakarta, 31 Maret 2015 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Suku Bunga Penawaran Antarbank Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/2/PBI/2015 tentang Suku Bunga Penawaran Antarbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5681), perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai Suku Bunga Penawaran Antarbank dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. PENGERTIAN 1. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan (unsecured) yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh Bank Kontributor kepada Bank Kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk tenor tertentu di Indonesia. 2. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 3. Bank Kontributor adalah Bank yang menyampaikan suku bunga indikasi kepada Bank Indonesia untuk digunakan dalam penetapan Suku Bunga Penawaran Antarbank. 4. Asking… 2 4. Asking Bank adalah Bank Kontributor yang meminta Quoting Bank untuk melakukan transaksi dengan Asking Bank. 5. Quoting Bank adalah Bank Kontributor yang menerima permintaan Asking Bank untuk melakukan transaksi dengan Asking Bank. 6. Hari Kerja adalah adalah hari pada saat Kantor Pusat Bank Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement. II. PENETAPAN BANK KONTRIBUTOR 1. Bank Indonesia menetapkan Bank-Bank yang menjadi Bank Kontributor. 2. Bank Indonesia menunjuk Bank sebagai Bank Kontributor berdasarkan: a. keaktifan Bank dalam melakukan transaksi pinjaman tanpa agunan (unsecured) di pasar uang antarbank; b. credit rating; dan c. kriteria lain yang ditetapkan berdasarkan kewenangan Bank Indonesia. 3. Penunjukan Bank Kontributor sebagaimana dimaksud dalam angka 2 disampaikan melalui surat Bank Indonesia. 4. Bank Indonesia melakukan review atas daftar Bank Kontributor 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. 5. Dalam hal diperlukan, sewaktu-waktu Bank Indonesia dapat melakukan review atas daftar Bank Kontributor. 6. Berdasarkan review sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dan angka 5, Bank Indonesia dapat melakukan penambahan dan/atau pengurangan Bank Kontributor. III. PENYAMPAIAN SUKU BUNGA INDIKASI OLEH BANK KONTRIBUTOR 1. Bank Kontributor menyampaikan suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan (unsecured) dimana Bank Kontributor bersedia untuk: a. meminjamkan… 3 a. meminjamkan rupiah kepada Bank Kontributor lain (offer rate); dan b. meminjam rupiah dari Bank Kontributor lain (bid rate), masing-masing untuk tenor overnight, 1 (satu) minggu, 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, dan 12 (dua belas) bulan, dengan day count convention aktual/360 (tiga ratus enam puluh). 2. Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 disampaikan setiap Hari Kerja dengan ketentuan sebagai berikut: a. mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 09.30 WIB; dan b. waktu koreksi sampai dengan pukul 09.45 WIB. 3. Tata cara penyampaian kuotasi suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 4. Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 memperhatikan spread antara offer rate dan bid rate paling lebar: a. 10 (sepuluh) basis points (bps) untuk tenor overnight dan 1 (satu) minggu; dan b. 20 (dua puluh) bps untuk tenor 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, dan 12 (dua belas) bulan. IV. PENETAPAN SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK 1. Bank Indonesia menetapkan Suku Bunga Penawaran Antarbank dalam bentuk JIBOR berdasarkan data offer rate yang disampaikan oleh Bank Kontributor. 2. Penetapan JIBOR sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan dengan menggunakan metode rata-rata sederhana (simple average), setelah mengeluarkan 15% (lima belas persen) data offer rate tertinggi dan 15% (lima belas persen) data offer rate terendah. 3. Publikasi JIBOR beserta suku bunga indikasi individual Bank Kontributor yaitu offer rate dan bid rate dilakukan melalui situs Bank Indonesia setiap Hari Kerja pada pukul 10.00 WIB. V. PEMENUHAN… 4 V. PEMENUHAN PERMINTAAN TRANSAKSI 1. Asking Bank dapat meminta Quoting Bank untuk: a. meminjam rupiah dari Asking Bank; atau b. meminjamkan rupiah kepada Asking Bank, pada tingkat suku bunga sesuai suku bunga indikasi yang disampaikan oleh Quoting Bank. 2. Quoting Bank wajib memenuhi permintaan transaksi (deal) dari Asking Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sepanjang memenuhi batasan waktu dan batasan tertentu, yaitu: a. permintaan transaksi oleh Asking Bank dilakukan dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 10.10 WIB; b. jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah paling lama 1 (satu) bulan; c. permintaan transaksi dari Asking Bank paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); d. total permintaan transaksi dari seluruh Asking Bank yang dipenuhi oleh Quoting Bank tidak melebihi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) per hari; dan e. availability of fund dan credit limit dari Quoting Bank kepada Asking Bank. 3. Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Asking Bank harus menyampaikan informasi mengenai penolakan tersebut secara tertulis dengan disertai bukti-bukti pendukung kepada Bank Indonesia c.q. Pusat Program Transformasi Bank Indonesia, Program Pendalaman Pasar Keuangan, paling lama 5 (lima) Hari Kerja sejak tanggal penolakan. VI. TATA CARA PENGENAAN SANKSI Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi permintaan transaksi (deal) dari Asking Bank sebagaimana dimaksud dalam butir V.2, Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis melalui tata cara sebagai berikut: a. berdasarkan… 5 a. berdasarkan informasi mengenai penolakan yang diterima dari Asking Bank sebagaimana dimaksud dalam butir V.3, Bank Indonesia meminta Quoting Bank untuk memberikan alasan penolakan transaksi disertai dengan bukti-bukti pendukung. b. Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap informasi mengenai penolakan yang diterima dari Asking Bank dan alasan penolakan transaksi serta bukti pendukung dari Quoting Bank. c. Dalam melakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Bank Indonesia dapat melibatkan asosiasi di pasar uang dan/atau perbankan. d. Dalam hal menurut penelitian Bank Indonesia Quoting Bank tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menolak permintaan transaksi (deal) dari Asking Bank maka Bank Indonesia memberikan sanksi berupa teguran tertulis kepada Quoting Bank. VII. KETENTUAN PENUTUP Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2015. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. DEPUTI GUBERNUR SENIOR BANK INDONESIA, MIRZA ADITYASWARA
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 17/6/DPM|SE-BI/2015 </reg_id> <reg_title> Suku Bunga Penawaran Antarbank </reg_title> <set_date> 31 Maret 2015 </set_date> <effective_date> 1 April 2015 </effective_date> <related_reg> '17/2/PBI/2015' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
No.15/19/DPM Jakarta, 15 Mei 2013 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DEVISA DI INDONESIA Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/48/DPD perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4945) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/14/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5003), dan kebutuhan adanya acuan kurs yang kredibel untuk pembentukan harga yang efisien, perlu untuk melakukan perubahan atas ketentuan angka 1 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/48/DPD tanggal 24 Desember 2008 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/12/DPD tanggal 20 April 2009, sebagai berikut: 1. Transaksi … 2 1. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan/atau terhadap valuta asing lainnya untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah atas dasar suatu kontrak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut PBI, Pasal 2 ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan/atau terhadap valuta asing lainnya untuk kepentingan sendiri adalah apabila Bank berperan sebagai counterparty dalam bertransaksi dengan Nasabah, dimana kedudukan Bank dan Nasabah setara. Contoh: Bank A melakukan transaksi spot USD/IDR sebesar USD1,000,000 (satu juta US Dollar) dengan Nasabah X. Dalam hal ini, posisi Bank A sebagai counterparty dari Nasabah X. b. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan/atau terhadap valuta asing lainnya untuk kepentingan Nasabah adalah apabila Bank bertransaksi atas nama Nasabah, dimana Bank bertindak sebagai pihak yang mewakili kepentingan Nasabah. Contoh: Nasabah A meminta kepada Bank B untuk mewakili Nasabah A tersebut untuk melakukan transaksi dengan Bank X, Ltd di luar negeri. Dalam hal ini, transaksi yang terjadi adalah antara Nasabah A dengan Bank X, Ltd, dimana posisi Bank B hanya merupakan perantara. c. Kontrak yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan/atau terhadap valuta asing lainnya yang … 3 yang dilakukan Bank untuk kepentingan sendiri paling kurang berisi: 1) nomor kontrak; 2) tanggal transaksi dan tanggal valuta; 3) nilai nominal transaksi; 4) nama counterparty; 5) mata uang (denominasi); dan 6) rekening Bank koresponden. d. Kontrak yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan/atau terhadap valuta asing lainnya yang dilakukan Bank untuk kepentingan Nasabah paling kurang berisi: 1) nomor kontrak; 2) hak dan kewajiban dari kedua belah pihak (Bank dan Nasabah) dalam hal Bank diberi kewenangan untuk mewakili Nasabah; 3) tanggal transaksi dan tanggal valuta; 4) nilai nominal transaksi; 5) pagu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah; 6) jenis valuta yang diperjualbelikan; 7) jenis transaksi yang digunakan; 8) besarnya komisi; dan 9) rekening Bank koresponden. e. Dalam hal kontrak yang dilakukan Bank atas Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d mencantumkan penggunaan acuan kurs dalam penyelesaian transaksi pada saat jatuh tempo, Bank harus mengacu pada kurs referensi yang diterbitkan Bank Indonesia. f. Kurs referensi yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf e yang selanjutnya disebut Jakarta Interbank … 4 Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) merupakan representasi harga spot US Dollar terhadap Rupiah dari transaksi antar Bank di pasar domestik termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang dilaporkan Bank melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (SISMONTAVAR). g. JISDOR yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf f diatur sebagai berikut: 1) Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari kerja pada pukul 10.00 WIB melalui website Bank Indonesia dan/atau media lainnya. 2) Penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi US Dollar terhadap Rupiah. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 20 Mei 2013 . Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, FILIANINGSIH HENDARTA KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 15/19/DPM|SE-BI/2013 </reg_id> <reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/48/DPD perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. </reg_title> <set_date> 15 Mei 2013 </set_date> <effective_date> 20 Mei 2013 </effective_date> <changed_reg> '10/48/DPD|SE-BI/2009' </changed_reg> <extension_of> '11/12/DPD|SE-BI/2009' </extension_of> <related_reg> '10/48/DPD|SE-BI/2008', '10/37/PBI/2008', '11/12/DPD|SE-BI/2008', '11/14/PBI/2009' </related_reg>
No.5/18/DSM Jakarta, 16 September 2003 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.2/19/DSM Tanggal 3 Oktober 2000 Perihal Laporan Bulanan Bank Umum. Menunjuk Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/19/DSM tanggal 3 Oktober 2000 perihal Laporan Bulanan Bank Umum, khususnya pada Bab II mengenai Format Laporan dan Tata Cara Pelaporan Bank Umum, serta memperhatikan adanya tambahan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan bank dan perluasan cakupan statistik moneter, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Format Laporan dan Tata Cara Pelaporan pada beberapa bab dalam Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bank Umum (LBU) yang merupakan lampiran dari Surat Edaran tersebut di atas. Adapun perubahan pada Buku Pedoman Penyusunan LBU dimaksud mencakup perubahan berupa penambahan dan pengurangan sandi transaksi pada beberapa bab yang merupakan lampiran dari Surat Edaran ini. Perubahan-perubahan tersebut terdapat pada beberapa bab sebagai berikut : 1. Bab.IV.2.1. Formulir-02: Laporan Laba /Rugi, berikut penjelasannya. 2. Bab.IV.4.2. Sandi Rincian Penempatan Pada Bank Lain, berikut penjelasannya. 3. Bab.IV.6.2..… Lanj. SE. No.5/ /DSM tgl. September 2003 3. Bab.IV.6.2. Sandi Rincian Kredit Yang Diberikan, berikut penjelasannya. 4. Bab.IV.7.2. Sandi Rincian Tagihan Lainnya, berikut penjelasannya. 5. Bab.IV.17.2. Sandi Rincian Kewajiban Kepada Bank Lain, berikut penjelasannya. 6. Bab.IV.20.2. Sandi Rincian Kewajiban Lainnya, berikut penjelasannya. 7. Bab.IV.24.2. Sandi Rincian Rupa-Rupa Pasiva, berikut penjelasannya. 8. Bab.IV.25.2. Sandi Rincian Modal Pinjaman, berikut penjelasannya. 9. Bab.IV.31.1. Daftar Persetujuan Kredit Dalam Bulan Laporan, berikut penjelasannya. 10.Bab.IV.35.2. Sandi Rincian Transaksi Derivatif, berikut penjelasannya. 11.Lampiran i. Daftar Sandi Bank. Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan diberlakukan pertama kali untuk laporan bulanan bank yang disampaikan pada bulan Oktober 2003 dengan data bulan September 2003. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HARTADI A. SARWONO DEPUTI GUBERNUR DSM
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 5/18/DSM|SE-BI/2003 </reg_id> <reg_title> Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.2/19/DSM Tanggal 3 Oktober 2000 Perihal Laporan Bulanan Bank Umum. </reg_title> <set_date> 16 September 2003 </set_date> <effective_date> 16 September 2003 </effective_date> <changed_reg> '2/19/DSM|SE-BI/2000' </changed_reg> <related_reg> '2/19/DSM|SE-BI/2000 | Bab II' </related_reg>
No. 12/ 33 /DKBU Jakarta, 1 Desember 2010 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/31/DPBPR Tanggal 12 Desember 2006 Perihal Bank Perkreditan Rakyat Mempertimbangkan perlunya petunjuk pelaksanaan sanksi atas pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tanggal 8 November 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4656) yang selanjutnya disebut PBI BPR, khususnya terkait dengan sanksi atas pelanggaran ketentuan permodalan, jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta terkait dengan sertifikasi bagi anggota Direksi, maka perlu untuk melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/31/DPBPR tanggal 12 Desember 2006 perihal Bank Perkreditan Rakyat sebagai berikut: 1. Ketentuan dalam angka II diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: II. PERUBAHAN KEPEMILIKAN BPR 1. Tata cara pelaporan atau permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar BPR karena perubahan kepemilikan, tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), bukti pelaporan ... 2 pelaporan atau pengesahan perubahan anggaran dasar yang disampaikan kepada Bank Indonesia berupa : a. surat penerimaan pemberitahuan dalam hal perubahan anggaran dasar cukup diberitahukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) atau tidak memerlukan persetujuan Menkumham; atau b. surat persetujuan dalam hal permohonan perubahan anggaran dasar wajib mendapatkan persetujuan dari Menkumham. Bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah (PD) dan Koperasi, perubahan anggaran dasar dan pelaporan atau persetujuannya dilakukan sesuai Peraturan Daerah (Perda) atau ketentuan yang mengatur mengenai badan hukum Koperasi yang berlaku. 2. BPR menyampaikan laporan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada angka 1 kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah dipenuhinya aspek ekonomis dan aspek yuridis atas perubahan kepemilikan dimaksud. Yang dimaksud dengan pemenuhan aspek ekonomis dan aspek yuridis adalah: a. aspek ekonomis berupa setoran modal oleh pemegang saham BPR yang telah efektif, dan b. aspek yuridis berupa pengesahan perubahan kepemilikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Anggota dan perubahan anggaran dasar tersebut telah dilaporkan kepada instansi yang berwenang. 2. Ketentuan dalam angka III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: III. PERSYARATAN ANGGOTA DIREKSI, PEMENUHAN JUMLAH ANGGOTA DIREKSI/DEWAN KOMISARIS DAN SERTIFIKASI KELULUSAN BAGI ANGGOTA DIREKSI 1.Calon ... 3 1. Calon anggota Direksi yang belum berpengalaman sebagai pejabat di bidang operasional perbankan paling singkat selama 2 (dua) tahun, wajib mengikuti magang paling singkat selama 3 (tiga) bulan pada BPR di bidang pendanaan dan perkreditan yang dibuktikan dengan surat keterangan telah mengikuti magang dari BPR tempat calon anggota Direksi mengikuti magang yang ditandatangani oleh Direktur BPR tempat magang tersebut. 2. Dalam hal calon anggota Direksi telah lulus ujian sertifikasi namun yang bersangkutan belum menerima sertifikat kelulusan maka surat pemberitahuan hasil kelulusan ujian yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi berlaku sebagai bukti sementara pemenuhan kewajiban memiliki sertifikat kelulusan. Dalam hal sertifikat kelulusan telah diterima oleh yang bersangkutan, maka fotokopi sertifikat tersebut harus segera disampaikan kepada Bank Indonesia. 3. BPR wajib memiliki Direksi dan Dewan Komisaris paling kurang 2 (dua) anggota Direksi dan 2 (dua) anggota Dewan Komisaris. 4. Dalam hal BPR tidak memenuhi jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada angka 3, Bank Indonesia mengenakan sanksi sebagaimana diatur dalam PBI BPR sebagai berikut: a. menutup Kantor Cabang dan Kantor Kas, b. menghentikan Kegiatan Kas di Luar Kantor, dan c. menghentikan kegiatan usaha sebagai Pedagang Valuta Asing (PVA). Pengenaan sanksi penutupan Kantor Cabang dan Kantor Kas serta penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan kegiatan usaha sebagai PVA adalah bentuk pencabutan izin pembukaan Kantor Cabang dan kegiatan usaha sebagai PVA, larangan pembukaan Kantor ... 4 Kantor Kas dan melakukan Kegiatan Kas di Luar Kantor, dan dikenakan pada seluruh jaringan kantor yang dimiliki oleh BPR. Pengenaan sanksi tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan dalam angka 8, angka 9 dan angka 10. 5. Bagi BPR yang tidak memiliki jaringan kantor dan/atau kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 4 wajib memenuhi jumlah Direksi dan Dewan Komisaris sesuai ketentuan dan tidak diperkenankan untuk membuka Kantor Cabang/Kantor Kas dan menyelenggarakan Kegiatan Kas di Luar Kantor serta kegiatan usaha sebagai PVA. 6. Dalam hal BPR mengalami kekurangan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 3 maka BPR wajib segera memenuhi kekurangan dimaksud. 7. Dalam kondisi tertentu dimana pemenuhan kekurangan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada angka 6 tidak dapat segera dilaksanakan maka pemenuhan kekurangan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris BPR dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Yang dimaksud dengan kondisi tertentu adalah apabila kekurangan dimaksud disebabkan karena anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. dilarang menjadi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku. 8. Bagi BPR yang mengalami kekurangan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris BPR karena meninggal dunia atau mengundurkan ... 5 mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada angka 7 huruf a dan b, maka BPR tersebut harus segera mengangkat anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris baru paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari sejak terjadinya kekurangan tersebut. Jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari dihitung sejak tanggal anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris: a. meninggal dunia; atau b. mengundurkan diri. Bagi BPR berbadan hukum PT, pengunduran diri anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris dinyatakan efektif terhitung sejak RUPS menyetujui pengunduran diri yang bersangkutan atau lewatnya jangka waktu yang diatur dalam anggaran dasar BPR apabila RUPS tidak terselenggara. Bagi BPR berbadan hukum PD atau Koperasi, pengunduran diri anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris dinyatakan efektif sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah atau ketentuan yang mengatur mengenai badan hukum Koperasi yang berlaku. 9. Bagi BPR yang mengalami kekurangan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris BPR karena dilarang menjadi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada angka 7 huruf c, maka BPR harus segera mengangkat anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris baru paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan Bank Indonesia. 10. Bagi BPR yang mengalami kekurangan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada angka 3 karena ... 6 karena masa jabatan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris berakhir atau pensiun atau diberhentikan oleh RUPS/Rapat Anggota maka kekurangan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris harus dipenuhi pada tanggal masa jabatan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris berakhir atau pensiun atau diberhentikan oleh RUPS/Rapat Anggota. Dalam hal RUPS tidak menetapkan tanggal pemberhentian anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris maka pemberhentian dinyatakan efektif pada tanggal terselenggaranya RUPS. Bagi BPR yang berbadan hukum PD, pemberhentian anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris dinyatakan efektif sesuai surat keputusan kepala daerah. 11. BPR yang sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada angka 8, angka 9 dan angka 10 tidak memenuhi ketentuan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada angka 3, wajib menutup Kantor Cabang dan/atau Kantor Kas dan/atau menghentikan Kegiatan Kas di Luar Kantor dan/atau kegiatan usaha sebagai PVA terhitung 1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya batas waktu pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 8, angka 9, dan angka 10, serta melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. mengumumkan penutupan Kantor Cabang dan/atau Kantor Kas dan/atau penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan/atau kegiatan usaha sebagai PVA kepada masyarakat pada tanggal yang sama dengan tanggal pelaksanaan penutupan kantor dan penghentian kegiatan usaha. Pengumuman selain memuat informasi mengenai penutupan, juga memuat tata cara penyelesaian hak dan kewajiban kepada nasabah. Pengumuman dilakukan ... 7 dilakukan dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR; b. menyelesaikan seluruh kewajiban kepada nasabah serta pihak- pihak lain yang terkait dengan penutupan Kantor Cabang paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak penutupan kantor. Termasuk dalam pengertian penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah pengalihan administrasi nasabah Kantor Cabang ke Kantor Pusat BPR dalam hal nasabah Kantor Cabang menyepakati pengalihan dimaksud; c. menjual/mencairkan seluruh aktiva valuta asing (valas) apabila BPR memiliki kegiatan usaha sebagai PVA menjadi mata uang Rupiah selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak penghentian kegiatan usaha sebagai PVA; d. melaporkan pelaksanaan penutupan Kantor Cabang dan/atau Kantor Kas dan/atau penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan/atau kegiatan usaha sebagai PVA kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal penutupan Kantor Cabang dan/atau Kantor Kas dan/atau penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan/atau kegiatan usaha sebagai PVA, disertai dengan bukti pengumuman penutupan Kantor Cabang dan/atau Kantor Kas dan/atau penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan/atau kegiatan usaha sebagai PVA; e. melaporkan penyelesaian seluruh kewajiban nasabah Kantor Cabang dan penjualan/pencairan seluruh aktiva valas ke dalam mata uang Rupiah apabila BPR memiliki kegiatan usaha sebagai PVA disertai dengan: 1) surat pernyataan seluruh anggota Direksi BPR bahwa BPR telah ... 8 telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabah dan pihak lain yang terkait dengan penutupan Kantor Cabang BPR dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab BPR. 2) surat pernyataan seluruh anggota Direksi BPR bahwa BPR telah melakukan penjualan/pencairan seluruh aktiva valas. Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah batas akhir penyelesaian kewajiban dan penjualan/pencairan seluruh aktiva valas sebagaimana dimaksud pada huruf b dan c. 12. Kantor Cabang BPR yang telah ditutup tidak diperkenankan melakukan kegiatan operasional kecuali dalam rangka untuk menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada angka 11 huruf b. 13. Dalam hal batas akhir pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 8, angka 9, angka 10 dan angka 11 jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka batas akhir pemenuhan ketentuan adalah hari kerja berikutnya. 14. BPR yang telah menjalani sanksi tetap harus memenuhi kewajiban pemenuhan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sesuai ketentuan. 15. BPR yang telah menjalani sanksi dan telah memenuhi jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sesuai ketentuan dapat mengajukan permohonan: a. pembukaan Kantor Cabang, Kantor Kas dan/atau Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan mengacu pada prosedur pembukaan Kantor Cabang, Kantor Kas dan/atau Kegiatan Kas di Luar Kantor ... 9 Kantor sebagaimana diatur pada ketentuan yang mengatur tentang BPR. b. kegiatan usaha sebagai PVA dengan mengacu pada prosedur sebagaimana diatur pada ketentuan yang mengatur tentang PVA. 16. Bagi BPR yang melanggar ketentuan pemenuhan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada angka 3 namun tidak melaksanakan sanksi penutupan Kantor Cabang dan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada angka 11 dalam jangka waktu yang ditetapkan dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan yang berlaku. 3. Ketentuan dalam angka VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: VI. PEMENUHAN MODAL DISETOR SECARA BERTAHAP 1. BPR wajib memenuhi modal disetor sebesar 100% (seratus perseratus) dari yang dipersyaratkan sesuai ketentuan yang berlaku paling lambat tanggal 31 Desember 2010. 2. Pemenuhan modal sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat dilakukan melalui setoran modal, merger, konsolidasi atau akuisisi. 3. BPR yang melanggar ketentuan pemenuhan modal disetor 100% (seratus perseratus) dari modal disetor yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dikenakan sanksi berupa: a. larangan penyediaan dana baru; Yang dimaksud dengan penyediaan dana baru adalah : 1) pemberian kredit kepada debitur baru dan/atau perpanjangan kredit kepada debitur; atau 2) penempatan dana dan/atau memperpanjang penempatan dana pada bank lain dalam bentuk tabungan, deposito berjangka ... 10 berjangka, sertifikat deposito dan kredit yang diberikan. Larangan penyediaan dana baru tidak berlaku terhadap permohonan kredit calon debitur yang telah disetujui dan dibuatkan surat Perjanjian Kredit serta telah ditandatangani oleh BPR dan debitur. b. menutup Kantor Cabang dan Kantor Kas; 1) dalam rangka menjalani sanksi berupa penutupan Kantor Cabang dan Kantor Kas, BPR wajib melakukan langkah- langkah sebagaimana dimaksud pada angka III.11. 2) pengenaan sanksi berupa penutupan Kantor Cabang dan Kantor Kas diberlakukan kepada seluruh jaringan kantor yang dimiliki oleh BPR. c. menghentikan Kegiatan Kas di Luar Kantor; 1) dalam rangka menjalani sanksi berupa penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor, BPR wajib melakukan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada angka III.11. 2) pengenaan sanksi berupa penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor diberlakukan kepada seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh BPR. d. menghentikan kegiatan usaha sebagai PVA; 1) dalam rangka menjalani sanksi berupa penghentian kegiatan usaha sebagai PVA, BPR wajib melakukan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada angka III.11. 2) pengenaan sanksi berupa penghentian kegiatan usaha sebagai PVA diberlakukan kepada seluruh kegiatan usaha PVA yang dilakukan oleh seluruh kantor BPR. e. memindahkan alamat kantor ke wilayah yang sesuai dengan tahapan pemenuhan modal disetor. 1) Pengenaan ... 11 1) Pengenaan sanksi berupa pemindahan alamat kantor BPR ke wilayah yang sesuai dengan modal disetor bagi BPR yang melanggar ketentuan pemenuhan modal disetor 100% (seratus perseratus) dari yang dipersyaratkan, wajib dipenuhi paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal 1 Januari 2011 atau sejak tanggal penolakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 8, angka 10, dan angka 12. Pemindahan alamat kantor BPR adalah pemindahan alamat Kantor Pusat BPR. 2) Dalam rangka menjalani sanksi berupa pemindahan alamat kantor BPR ke wilayah yang sesuai dengan modal disetor, BPR melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a) menyampaikan rencana secara tertulis mengenai pemindahan alamat kantor BPR yang baru kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal 1 Januari 2011 atau sejak tanggal penolakan oleh Bank Indonesia. Rencana dimaksud paling kurang memuat tahapan sebagai berikut: (1) pengumuman kepada masyarakat mengenai rencana pemindahan alamat kantor BPR melalui surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan; (2) penyelesaian kewajiban dan tagihan; (3) penyiapan kantor BPR yang baru termasuk sarananya; (4) pelaksanaan pemindahan kantor BPR ke alamat yang baru. b) Melaksanakan rencana sebagaimana dimaksud pada huruf a) yang meliputi: (1) pengumuman ... 12 (1) pengumuman mengenai rencana pemindahan kantor BPR ke alamat yang baru kepada masyarakat paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal 1 Januari 2011 atau sejak tanggal penolakan oleh Bank Indonesia; (2) penyampaian bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada angka (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan pengumuman; (3) penyelesaian seluruh kewajiban dan tagihan BPR sebelum pemindahan alamat kantor BPR. Pengertian penyelesaian seluruh kewajiban dan tagihan adalah penyelesaian kewajiban dan tagihan BPR termasuk pengalihan tagihan dan kewajiban BPR kepada pihak/ Bank lain yang ditunjuk oleh BPR dan disepakati oleh nasabah; (4) penyampaian laporan kepada Bank Indonesia mengenai pelaksanaan penyelesaian kewajiban dan tagihan BPR pada setiap akhir bulan. Dalam hal BPR telah menyelesaikan seluruh kewajiban dan tagihannya maka laporan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 5 (lima) hari setelah pelaksanaan penyelesaian kewajiban dan tagihan BPR; (5) penyampaian laporan kesiapan operasional kantor BPR yang akan ditempati beserta prasarana pendukungnya kepada Bank Indonesia sebelum pemindahan alamat kantor BPR dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan ... 13 pemindahan alamat kantor; (6) pemindahan alamat kantor BPR ke alamat baru yang sesuai dengan tahapan pemenuhan modal disetor paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal 1 Januari 2011 atau sejak tanggal penolakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 8, angka 10, dan angka 12. (7) penyampaian laporan pelaksanaan pemindahan alamat kantor BPR sebagaimana dimaksud pada angka (6) paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pelaksanaan pemindahan alamat kantor BPR disertai dengan: (a) surat pernyataan seluruh anggota Direksi BPR bahwa BPR telah menyelesaikan seluruh tagihan dan kewajiban BPR terkait dengan pemindahan alamat kantor BPR dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab BPR; dan (b) surat pernyataan seluruh anggota Direksi BPR bahwa BPR telah melakukan penjualan/ pencairan seluruh aktiva valas ke dalam mata uang Rupiah bagi BPR yang memiliki kegiatan usaha sebagai PVA. 3) Dalam hal batas akhir pelaksanaan sanksi/pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka batas akhir pelaksanaan sanksi/pemenuhan ketentuan adalah pada hari kerja berikutnya. 4) Sejak BPR memindahkan alamat kantor ke wilayah yang sesuai ... 14 sesuai dengan tahapan pemenuhan modal disetor, BPR dapat kembali melakukan penyediaan dana baru. 5) BPR yang telah melaksanakan pemindahan alamat kantor ke wilayah yang sesuai dengan persyaratan modal disetor dapat mengajukan permohonan di wilayah yang baru tersebut untuk: a) Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Kas, Kegiatan Kas di Luar Kantor dan pemindahan alamat kantor dengan mengacu pada prosedur sebagaimana diatur pada PBI BPR. b) Kegiatan usaha sebagai PVA dengan mengacu pada prosedur sebagaimana diatur pada PBI tentang PVA. 4. BPR yang telah melakukan setoran modal secara riil namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk digolongkan sebagai modal disetor, dinyatakan telah memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana dimaksud pada Pasal 69 ayat (1) PBI BPR sepanjang telah melapor kepada atau meminta persetujuan/pengesahan dari instansi berwenang. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 tidak mengurangi kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan penelitian mengenai kebenaran sumber dana untuk setoran modal dan pihak-pihak yang melakukan penyetoran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 PBI BPR, dalam rangka memberikan persetujuan/penolakan atas setoran modal yang dilakukan oleh BPR. 6. BPR yang sudah melakukan penyetoran modal sebagaimana dimaksud pada angka 4, wajib melaporkan setoran modal tersebut kepada ... 15 kepada Bank Indonesia. Dalam rangka penelitian atas setoran modal tersebut, BPR wajib menyampaikan dokumen berupa: a. Bukti penyetoran; b. Risalah RUPS atau Rapat Anggota; c. Perubahan anggaran dasar yang telah dinotariilkan; d. Bukti pelaporan perubahan anggaran dasar kepada instansi yang berwenang dalam bentuk hasil cetak (print out) melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) atau tanda terima dari instansi yang berwenang baik untuk perubahan anggaran dasar yang cukup diberitahukan kepada Menkumham maupun yang memerlukan persetujuan Menkumham. Bagi BPR berbentuk hukum PD, permintaan pengesahan atau pelaporan/permintaan persetujuan dibuktikan oleh dokumen tertulis dari Kepala Daerah kepada DPRD. Bagi BPR berbentuk hukum Koperasi, dibuktikan dengan permintaan pengesahan atau pelaporan/ permintaan dari Direksi kepada instansi berwenang. e. Surat pernyataan dari pihak yang melakukan setoran modal sebagaimana dimaksud pada angka 4 bahwa setoran modal yang dilakukan: 1) Tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain, dan 2) Tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. f. Daftar pemegang saham dengan adanya setoran modal sebagaimana pada angka 4 berikut rincian besarnya masing- masing kepemilikan saham, bagi BPR yang berbentuk hukum PT atau PD, atau daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan ... 16 dan simpanan wajib serta daftar hibah, bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi. 7. Dalam hal proses penelitian oleh Bank Indonesia atas setoran modal sebagaimana dimaksud pada angka 5 melampaui tanggal 31 Desember 2010 maka setoran modal dimaksud dapat diakui sampai dengan adanya persetujuan/penolakan atas setoran modal dari Bank Indonesia. 8. Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia, tambahan setoran modal BPR ditolak karena tidak sesuai dengan ketentuan persyaratan setoran modal sehingga jumlah modal disetor BPR tidak memenuhi ketentuan pemenuhan modal disetor sebesar 100% (seratus perseratus) sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka BPR dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang berlaku efektif sejak tanggal sebagaimana diberitahukan dalam surat Bank Indonesia kepada BPR. 9. Bagi BPR yang pemenuhan modalnya dilakukan dengan cara merger atau konsolidasi dan telah menyampaikan permohonan izin merger atau konsolidasi kepada Bank Indonesia sebelum tanggal 31 Desember 2010 maka BPR dimaksud dianggap telah memenuhi ketentuan mengenai kecukupan modal disetor sampai dengan adanya persetujuan/penolakan atas merger atau konsolidasi dari Bank Indonesia sepanjang: a. permohonan izin merger atau konsolidasi diajukan oleh Direksi masing-masing BPR yang akan melakukan merger atau konsolidasi dilampiri dengan dokumen berupa: 1) Notulen RUPS; 2) Akta Merger atau Konsolidasi dan Akta Perubahan Anggaran ... 17 Anggaran Dasar BPR hasil Merger atau Akta Pendirian BPR hasil Konsolidasi; 3) Bukti pengumuman ringkasan rancangan Merger atau Konsolidasi; 4) Bukti setoran modal bagi BPR yang memerlukan penambahan modal; 5) Daftar calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris BPR hasil merger atau konsolidasi dengan dokumen yang dipersyaratkan; dan 6) Dokumen pendukung lain sesuai ketentuan yang berlaku. b. berdasarkan perhitungan Bank Indonesia: 1) perhitungan CAR BPR hasil merger atau konsolidasi memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan mengenai Merger atau Konsolidasi BPR; dan 2) jumlah modal disetor BPR hasil merger atau konsolidasi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1. 10. Dalam hal permohonan izin merger atau konsolidasi ditolak karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga berakibat modal disetor BPR tidak memenuhi ketentuan pemenuhan modal disetor sebesar 100% (seratus perseratus) sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka BPR dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang berlaku efektif sejak tanggal sebagaimana diberitahukan dalam surat Bank Indonesia. 11. Bagi BPR yang pemenuhan modalnya dilakukan dengan cara akuisisi dan telah menyampaikan permohonan izin akuisisi kepada Bank Indonesia sebelum tanggal 31 Desember 2010 maka BPR dimaksud dianggap telah memenuhi ketentuan mengenai kecukupan ... 18 kecukupan modal disetor sampai dengan adanya persetujuan/penolakan atas akuisisi dari Bank Indonesia sepanjang: a. permohonan izin akuisisi dilampiri dengan dokumen berupa: 1) Notulen RUPS yang menyetujui akuisisi; 2) Rancangan Akuisisi yang disusun bersama oleh Direksi BPR yang akan diakuisisi dan pihak yang akan mengakuisisi yang telah mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris BPR yang akan diakuisisi; 3) Bukti setoran modal bagi BPR untuk memenuhi kecukupan modal sebesar 100% (seratus perseratus); 4) Daftar pihak yang mengakuisisi disertai dengan dokumen yang dipersyaratkan; dan 5) Dokumen pendukung lain sesuai ketentuan yang berlaku. b. berdasarkan perhitungan Bank Indonesia jumlah modal disetor BPR setelah akuisisi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1. 12. Dalam hal permohonan izin Akuisisi ditolak karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga berakibat modal disetor BPR tidak memenuhi ketentuan pemenuhan modal disetor sebesar 100% (seratus perseratus) sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka BPR dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang berlaku efektif sejak tanggal sebagaimana diberitahukan dalam surat Bank Indonesia. 13. BPR yang berlokasi di wilayah dengan persyaratan modal paling kurang sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan belum memenuhi persyaratan modal disetor, tetap dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d ... 19 huruf d. Dalam hal BPR tersebut tidak memiliki jaringan kantor dan tidak melakukan kegiatan usaha PVA, BPR dikenakan sanksi larangan penyediaan dana selama persyaratan modal belum dipenuhi. BPR tersebut wajib memenuhi persyaratan modal disetor seusai ketentuan dan tidak diperkenankan untuk membuka Kantor Cabang/Kantor Kas dan menyelenggarakan Kegiatan Kas di Luar Kantor serta kegiatan usaha sebagai PVA. 14. BPR yang melanggar ketentuan pemenuhan modal disetor sebagaimana dimaksud pada angka 1 namun tidak melaksanakan sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 3 dalam jangka waktu yang ditetapkan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. 4. Diantara angka VII.3 dan angka VII.4 disisipkan 1 (satu) angka baru yaitu angka VII.3.A yang berbunyi sebagai berikut: VII.3.A. FORMAT PENGUMUMAN DAN LAPORAN PELAKSANAAN DALAM RANGKA PENGENAAN SANKSI a. Pengumuman dan Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang dan Kantor Kas BPR serta Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan kegiatan usaha sebagai PVA karena sanksi atas pelanggaran ketentuan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris BPR diatur sebagai berikut: 1) Pengumuman Penutupan Kantor Cabang/Kantor Kas BPR dan Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor/kegiatan usaha sebagai PVA, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.a; 2) Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang/Kantor Kas BPR dan Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor/Kegiatan Usaha sebagai PVA, menggunakan format sebagaimana tercantum ... 20 tercantum dalam lampiran 39.b; 3) Laporan Penyelesaian Kewajiban atas penutupan Kantor Cabang dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.c. Laporan ini dilampiri dengan surat pernyataan seluruh anggota Direksi mengenai penyelesaian seluruh kewajiban, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.d; 4) Laporan Penjualan/Pencairan Aktiva Valas ke dalam mata uang Rupiah bagi BPR yang mempunyai kegiatan usaha sebagai PVA dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.e. Laporan ini dilampiri dengan surat pernyataan seluruh anggota Direksi mengenai penjualan/pencairan seluruh aktiva valas, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.f; b. Pengumuman dan Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang dan Kantor Kas serta Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan kegiatan usaha sebagai PVA serta Laporan Pelaksanaan Pemindahan Alamat Kantor ke Wilayah yang sesuai dengan Modal Disetor karena sanksi atas pelanggaran ketentuan jumlah modal disetor diatur sebagai berikut: 1) Pengumuman Penutupan Kantor Cabang/Kantor Kas dan Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor/kegiatan usaha sebagai PVA, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.a; 2) Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang/Kantor Kas dan Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor/Kegiatan Usaha sebagai PVA, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.b; 3) Laporan Penyelesaian Kewajiban atas penutupan Kantor Cabang ... 21 Cabang dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.c. Laporan ini dilampiri dengan surat pernyataan seluruh anggota Direksi mengenai penyelesaian seluruh kewajiban, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.d; 4) Laporan Penjualan/Pencairan Aktiva Valas ke dalam mata uang Rupiah bagi BPR yang mempunyai kegiatan usaha sebagai PVA dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.e. Laporan ini dilampiri dengan surat pernyataan seluruh anggota Direksi mengenai penjualan/pencairan seluruh aktiva valas, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.f; 5) Laporan Rencana Pemindahan Alamat Kantor ke Wilayah yang sesuai dengan Modal Disetor, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.g; 6) Pengumuman Rencana Pemindahan Alamat Kantor ke Wilayah yang sesuai dengan Modal Disetor, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.h; 7) Laporan kesiapan operasional kantor yang akan ditempati, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.i; 8) Laporan Pelaksanaan Pemindahan Alamat Kantor ke Wilayah yang sesuai dengan Modal Disetor, menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.j; 9) Laporan Penyelesaian atau Pengalihan Tagihan dan Kewajiban atas pemindahan alamat kantor dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.k. Laporan ini dilampiri dengan surat pernyataan seluruh anggota Direksi mengenai penyelesaian seluruh tagihan dan kewajiban, menggunakan ... 22 menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.l; 5. Ketentuan dalam angka VII.4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: VII.4. ALAMAT PENGAJUAN PERMOHONAN IZIN, PENGAJUAN RENCANA DAN/ATAU PENYAMPAIAN LAPORAN a. Permohonan pendirian BPR ditujukan kepada: 1) Dewan Gubernur Bank Indonesia u.p. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Bank Indonesia, Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR yang akan didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Kabupaten/kota Bogor, Depok, Karawang, Bekasi dan Provinsi Banten. 2) Dewan Gubernur Bank Indonesia u.p. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Bank Indonesia, Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia setempat bagi BPR yang akan didirikan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam angka 1), dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia pada Lampiran 41. b. Permohonan selain untuk pendirian BPR, pengajuan rencana dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam PBI BPR ditujukan kepada: 1) Bank Indonesia u.p. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Bank Indonesia, Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Kabupaten/kota Bogor, Depok, Karawang, Bekasi dan Provinsi Banten. 2) Bank Indonesia u.p. Kantor Bank Indonesia setempat bagi BPR yang berkantor pusat di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam ... 23 dalam angka 1), dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia pada Lampiran 41. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2010.12 November 2010 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA S. BUDI ROCHADI DEPUTI GUBERNUR DKBU
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 12/33/DKBU|SE-BI/2010 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/31/DPBPR Tanggal 12 Desember 2006 Perihal Bank Perkreditan Rakyat </reg_title> <set_date> 1 Desember 2010 </set_date> <effective_date> 1 Desember 2010 </effective_date> <changed_reg> '8/31/DPBPR|SE-BI/2006' </changed_reg> <related_reg> '8/26/PBI/2006', '8/31/DPBPR|SE-BI/2006' </related_reg> <penalty_list> 'Angka 2 Romawi III Butir 4', 'Angka 2 Romawi III Butir 16', 'Angka 3 Romawi VI Angka 3', 'Angka 3 Romawi VI Angka 8', 'Angka 3 Romawi VI Angka 10', 'Angka 3 Romawi VI Angka 12', 'Angka 3 Romawi VI Angka 13', 'Angka 3 Romawi VI Angka 14', 'Angka 4 Romawi VII.3.A' </penalty_list>
No.8/ 23/DPbS Jakarta, 20 Oktober 2006 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DI INDONESIA Perihal: Lembaga Sertifikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah Dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4651, perlu ditetapkan ketentuan pelaksanaan mengenai Lembaga Sertifikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (BPRS) dalam Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut: I. UMUM 1. Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya disebut dengan BPRS, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan … dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 2. Sistem Sertifikasi Profesional bagi BPRS, yang selanjutnya disebut Sistem Sertifikasi, adalah serangkaian kegiatan yang meliputi penyusunan standar kurikulum pelatihan, pemberian akreditasi kepada pengajar dan Lembaga Pelatihan, penentuan penyelenggaraan pelatihan, pelaksanaan ujian, pemberian sertifikat kelulusan, dan pencabutan akreditasi dan sertifikat. 3. Lembaga Sertifikasi adalah lembaga yang bertugas untuk mengatur dan menetapkan Sistem Sertifikasi dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang berdasarkan rekomendasi Bank Indonesia. 4. Lembaga Pelatihan adalah lembaga yang melaksanakan pelatihan dan ujian sertifikasi yang telah ditunjuk dan telah mendapat akreditasi dari Lembaga Sertifikasi. 5. Dewan Sertifikasi adalah organ tertinggi yang berwenang menetapkan arah kebijakan Lembaga Sertifikasi. 6. Komite Kurikulum Nasional adalah komite yang bertugas membantu Dewan Sertifikasi untuk melakukan penelitian dan pengembangan kurikulum untuk meningkatkan kualitas Sistem Sertifikasi. 7. Manajemen adalah organ yang mengelola seluruh kegiatan sehari-hari Lembaga Sertifikasi. II. LEMBAGA SERTIFIKASI BAGI BPRS 1. Tujuan dan Persyaratan Lembaga Sertifikasi a. Tujuan dibentuknya Lembaga Sertifikasi adalah untuk: 1) Menjamin kualitas Sistem Sertifikasi; (2) Menjamin … 2) Menjamin pelaksanaan Sistem Sertifikasi; dan 3) Meningkatkan kualitas dan kemampuan profesionalisme sumber daya BPRS. b. Persyaratan yang harus dipenuhi Lembaga Sertifikasi adalah: 1) Memiliki visi dan misi untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia BPRS yang mendukung terciptanya kondisi industri BPRS yang sehat, kuat dan efisien. 2) Memiliki organ yang sekurang-kurangnya terdiri dari: a) Dewan Sertifikasi, dengan anggota yang paling sedikit terdiri dari: i. Bank Indonesia c.q. Direktur Direktorat Perbankan Syariah; ii. Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah. b) Komite Kurikulum Nasional, dengan anggota terdiri dari profesional yang kompeten di bidang ekonomi, keuangan, perbankan syariah, dan hukum. c) Manajemen dengan bagian paling sedikit terdiri dari: i. Bagian Standarisasi Materi dan Sistem; ii. Bagian Sertifikasi, Akreditasi, dan Ujian; iii. Bagian Keuangan; dan iv. Bagian Umum, Hukum, dan Informasi. 3) Memiliki dan melaksanakan tugas atas dasar kompetensi dan komitmen untuk mengatur, menetapkan dan menyusun Sistem Sertifikasi yang termasuk namun tidak terbatas pada: a) Menetapkan standar kurikulum pelatihan bagi pengajar dan sumber daya manusia BPRS sesuai dengan kebutuhan; b) Mempersiapkan … b) Mempersiapkan mitra pelatihan apabila perlu; c) Menetapkan standar akreditasi bagi pengajar dan Lembaga Pelatihan; d) Memberikan persetujuan terhadap rencana pelaksanaan pelatihan oleh Lembaga Pelatihan baik untuk pengajar maupun untuk sumber daya manusia BPRS; e) Menetapkan materi dan jadwal ujian; f) Memberikan sertifikat kelulusan kepada peserta ujian yang memenuhi syarat kelulusan; g) Menetapkan kode etik Sistem Sertifikasi; h) Mencabut sertifikat apabila berdasarkan informasi Bank Indonesia, anggota Direksi pemegang sertifikat dinyatakan tidak lulus dalam penilain kemampuan dan kepatutan; i) Melaporkan kepada Bank Indonesia pemegang sertifikat yang telah dicabut sertifikat kelulusannya; j) Melakukan penelitian dan pengembangan Sistem Sertifikasi. 2. Tugas Organ Lembaga Sertifikasi a. Tugas Dewan Sertifikasi mencakup namun tidak terbatas pada: 1) Menjamin terlaksananya Sistem Sertifikasi dan seluruh kebijakan serta prosedur yang ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi dalam rangka mencapai tujuan Lembaga Sertifikasi; 2) Melakukan evaluasi dan memberikan persetujuan atas usulan Komite Kurikulum Nasional antara lain mengenai modifikasi kurikulum dan identifikasi kebutuhan pelatihan dan modul- modul pelatihan yang baru; 3) Melakukan … 3) Melakukan evaluasi terhadap kinerja manajemen Lembaga Sertifikasi. b. Tugas Komite Kurikulum Nasional mencakup namun tidak terbatas pada: 1) Menyusun modifikasi kurikulum; 2) Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan modul-modul pelatihan yang baru. c. Tugas Manajemen mencakup namun tidak terbatas pada: 1) Menyusun tata tertib, tata kerja dan prosedur pelaksanaan kebijakan Lembaga Sertifikasi dan Sistem Sertifikasi yang telah disetujui oleh Dewan Sertifikasi; 2) Menjamin terlaksananya seluruh kegiatan sesuai dengan ketentuan, tata tertib dan keputusan Dewan Sertifikasi; 3) Menjalankan kepengurusan sehari-hari, mengadministrasikan, dan menjamin kerahasiaan dokumen-dokumen sertifikasi. III. PROSEDUR PERMOHONAN REKOMENDASI PENDIRIAN LEMBAGA SERTIFIKASI KEPADA BANK INDONESIA 1. Lembaga sertifikasi yang akan melaksanakan Sistem Sertifikasi harus memperoleh izin dari instansi yang berwenang berdasarkan rekomendasi Bank Indonesia. 2. Permohonan untuk memperoleh rekomendasi diajukan oleh pengurus atau pejabat sesuai dengan ketentuan intern yang berlaku di lembaga yang bersangkutan kepada Bank Indonesia dengan alamat Direktorat Perbankan Syariah, Jl MH Thamrin No.2, Jakarta 10350, dengan melampirkan: a. Anggaran Dasar yang telah disahkan oleh notaris; b. Kurikulum … b. Kurikulum, modul dan kerangka materi pelatihan; c. Struktur organisasi; d. Rencana kegiatan; e. Referensi tertulis dari asosiasi bank syariah; dan f. Daftar riwayat hidup pendiri dan pengurus atau anggota lembaga. 3. Bank Indonesia tidak mengakui sertifikat yang telah dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang tidak mendapat rekomendasi dari Bank Indonesia. IV. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 20 Oktober 2006. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM DEPUTI GUBERNUR SENIOR
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 8/23/DPbS|SE-BI/2006 </reg_id> <reg_title> Lembaga Sertifikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title> <set_date> 20 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 20 Oktober 2006 </effective_date> <related_reg> '8/25/PBI/2006', '6/17/PBI/2004' </related_reg>
No. 10 /2/DPM Jakarta, 31 Januari 2008 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM Perihal : Transaksi Repurchase Agreement Dengan Bank Indonesia di Pasar Sekunder. Dalam rangka memperluas jenis surat berharga yang dapat ditransaksikan secara Repurchase Agreement (Repo) dengan Bank Indonesia, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan transaksi Repo yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4243), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4533), Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4244), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4366) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4363) sebagai berikut : I. KETENTUAN .... 2 I. KETENTUAN UMUM Yang dimaksud dalam Surat Edaran ini dengan : 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. 3. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah dan/atau lembaga lainnya, yang ditatausahakan dalam Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System. 4. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 5. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara. 6. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 7. Obligasi Negara yang selanjutnya disebut ON adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 8. BI-Rate adalah suku bunga kebijakan dengan tenor 1 (satu) bulan yang ditetapkan Bank Indonesia secara periodik sebagai sinyal kebijakan moneter untuk jangka waktu tertentu serta diumumkan kepada publik. 9. Sistem .... 3 9. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 10. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya, dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem BI-RTGS. 11. Transaksi Surat Berharga secara Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut Repo adalah transaksi penjualan bersyarat Surat Berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 12. Rekening Giro adalah rekening dana milik Bank dalam Rupiah di Bank Indonesia. 13. Rekening Perdagangan adalah rekening Surat Berharga milik Bank yang digunakan untuk mencatat kepemilikan Surat Berharga di Central Registry yang dapat diperdagangkan. 14. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem- LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. 15. Hair Cut adalah marjin yang ditetapkan Bank Indonesia sebagai faktor pengurang harga Surat Berharga. II. PERSYARATAN UMUM 1. Bank Indonesia membuka window time transaksi Repo dengan jangka waktu 1 (satu) hari melalui pengumuman di sarana BI-SSSS dan/atau Sistem-LHBU. 2. Surat Berharga yang digunakan dalam transaksi Repo adalah Surat Berharga dalam mata uang Rupiah. 3. Transaksi .... 4 3. Transaksi Repo sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan dengan prinsip sell and buy back, yaitu penjualan Surat Berharga oleh Bank yang wajib dibeli kembali oleh Bank yang bersangkutan pada saat transaksi Repo jatuh waktu. 4. Pihak yang dapat mengajukan transaksi Repo adalah Bank untuk kepentingan sendiri. 5. Bank Indonesia mengenakan bunga atas transaksi Repo (Repo rate) sebesar BI-Rate yang berlaku pada tanggal transaksi ditambah marjin 300 (tiga ratus) basis points, yang harus dilunasi pada tanggal transaksi Repo jatuh waktu. 6. Bank yang melakukan transaksi Repo dengan Bank Indonesia bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran transaksi Repo yang diajukan. 7. Bank dapat mengajukan transaksi Repo apabila Bank tersebut tidak dalam masa pengenaan sanksi penghentian sementara (suspend) sebagai peserta BI-SSSS. 8. Setelmen transaksi Repo dilaksanakan pada hari transaksi (same-day settlement) melalui mekanisme Delivery Versus Payment. 9. Bank wajib memiliki seri Surat Berharga yang mencukupi dalam Rekening Perdagangan untuk setelmen penjualan Surat Berharga secara Repo paling lambat pada saat window time transaksi Repo ditutup pada tanggal transaksi Repo (first leg). 10. Bank wajib memiliki saldo Rekening Giro yang mencukupi untuk setelmen pembelian kembali Surat Berharga pada tanggal transaksi Repo jatuh waktu (second leg). 11. Bank Indonesia dapat mengubah atau menutup window time transaksi Repo yang diumumkan melalui sarana BI-SSSS dan/atau Sistem-LHBU paling lambat pada 1 (satu) hari kerja sebelum perubahan atau penutupan window time tersebut. III. PERSYARATAN .... 5 III. PERSYARATAN DAN NILAI SURAT BERHARGA 1. Surat Berharga yang dapat direpokan adalah Surat Berharga dalam bentuk SBI dan/atau SUN milik Bank sebagaimana tercatat dalam Rekening Perdagangan pada sarana BI-SSSS. 2. Pada saat transaksi Repo jatuh waktu, Surat Berharga yang direpokan harus memiliki sisa jangka waktu : a. paling singkat 2 (dua) hari kerja untuk SBI dan SPN; atau b. paling singkat 10 (sepuluh) hari kerja untuk ON termasuk ORI dan ZCB. 3. Surat Berharga yang dapat direpokan oleh Bank paling banyak sebesar nilai nominal Surat Berharga yang dimiliki Bank pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal transaksi. 4. Bank Indonesia menetapkan nilai jual Surat Berharga dengan ketentuan sebagai berikut : a. SBI 1) Nilai jual SBI merupakan nilai nominal dikalikan dengan harga SBI. 2) Harga setiap seri SBI sebagaimana tercantum dalam BI-SSSS ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan harga teoritis SBI yang mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SBI. b. SUN 1) SUN dalam bentuk SPN : a) Nilai jual SPN merupakan nilai nominal dikalikan dengan harga SPN. b) Harga SPN sebagaimana tercantum dalam BI-SSSS ditetapkan berdasarkan harga teoritis SPN yang mempertimbangkan rata- rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan, sisa jangka waktu dan pajak atas diskonto setiap seri SPN. c) Dalam hal pemerintah melakukan penerbitan kembali (re- opening) seri SPN yang telah diterbitkan sebelumnya, maka rata- rata .... 6 rata tertimbang tingkat diskonto yang digunakan dalam perhitungan harga teoritis SPN sebagaimana huruf b) adalah rata-rata tertimbang tingkat diskonto hasil lelang re-opening SPN terakhir. 2) SUN dalam bentuk ON : a) ON dengan sistem kupon termasuk Obligasi Negara Ritel (ORI) (1) Nilai jual ON merupakan nilai nominal dikalikan dengan harga ditambah dengan nilai atas accrued interest yang dihitung dari tanggal pembayaran kupon terakhir sampai dengan tanggal transaksi (dirty price). (2) Harga ON dengan sistem kupon, termasuk ORI sebagaimana tercantum dalam BI-SSSS ditetapkan berdasarkan harga rata-rata tertimbang transaksi perdagangan ON sesuai serinya yang setelmennya terjadi pada 1 (satu) hari kerja sebelum transaksi Repo atau berdasarkan harga teoritis ON dalam hal seri ON tidak memiliki data transaksi di pasar sekunder pada 1 (satu) hari kerja sebelum pengajuan Repo (T-1). b) ON dengan sistem tanpa kupon atau Zero Coupon Bond (ZCB) (1) Nilai jual ZCB merupakan nilai nominal dikalikan dengan harga ZCB. (2) ZCB sebagaimana tercantum dalam BI-SSSS ditetapkan berdasarkan harga teoritis ZCB yang mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap serinya. (3) Dalam hal pemerintah melakukan penerbitan kembali (re- opening) seri ZCB, maka rata-rata tertimbang tingkat diskonto yang digunakan dalam perhitungan harga teoritis sebagaimana dimaksud angka (2) adalah rata-rata tertimbang .... 7 tertimbang tingkat diskonto hasil lelang re-opening terakhir. 5. Untuk menentukan nilai setelmen Penjualan Repo, Bank Indonesia menetapkan besarnya Hair Cut masing-masing jenis Surat Berharga. 6. Harga atas Surat Berharga yang digunakan dalam perhitungan penjualan Surat Berharga pada tanggal transaksi Repo (first leg) sama dengan harga atas Surat Berharga yang digunakan dalam perhitungan pembelian kembali Surat Berharga pada tanggal transaksi Repo jatuh waktu (second leg). 7. Bank Indonesia menetapkan jenis dan/atau seri Surat Berharga yang dapat direpokan. IV. PENGAJUAN TRANSAKSI REPO SURAT BERHARGA 1. Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Biro Operasi Moneter (DPM-BOpM) mengumumkan Repo rate, Hair Cut dan jangka waktu transaksi Repo melalui sarana BI-SSSS dan/atau Sistem-LHBU paling lambat sebelum waktu pengajuan transaksi (window time) Repo dibuka (T+0). 2. Window time transaksi Repo ditetapkan dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB pada setiap hari kerja. 3. Selama window time transaksi Repo dibuka, Bank mengajukan transaksi secara langsung melalui sarana BI-SSSS yang mencakup antara lain jenis, seri, dan nominal Surat Berharga yang direpokan serta jangka waktu transaksi. 4. Nilai setelmen atas setiap Surat Berharga yang direpokan dihitung berdasarkan nilai nominal, harga, Repo rate, jangka waktu dan Hair Cut masing-masing jenis Surat Berharga. Contoh perhitungan transaksi Repo adalah sebagaimana terlampir. 5. Dalam hal transaksi Repo sebagaimana dimaksud pada butir II.1 dilakukan pada 1 (satu) hari kerja sebelum hari libur, maka tanggal transaksi Repo jatuh waktu adalah pada hari kerja berikutnya. 6. Jumlah .... 8 6. Jumlah hari dalam perhitungan Repo rate yang harus dibayar oleh Bank dihitung berdasarkan hari kalender. V. SETELMEN 1. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter – Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter (DPM-PTPM) melakukan setelmen transaksi Repo melalui sarana BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross). 2. Setelmen transaksi Repo sebagaimana dimaksud pada angka 1 terdiri dari: a. Setelmen penjualan Surat Berharga (first leg). 1) Pada tanggal transaksi Repo, DPM-PTPM melakukan setelmen first leg setelah window time transaksi Repo tutup. 2) Nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud dalam angka 1) dihitung sebagai berikut : a) Untuk Repo dengan menggunakan SBI, SPN dan ZCB, yaitu: Nilai Setelmen first leg = Nominal Surat Berharga yang direpokan × (harga – Hair cut) b) Untuk Repo dengan menggunakan ON termasuk ORI, yaitu : Nilai Setelmen first leg = Nominal Surat Berharga yang direpokan × (harga – Hair cut) + Accrued Interest 3) Setelmen first leg dilakukan dengan cara : a) Mendebet Rekening Perdagangan sebesar nilai nominal dari jenis Surat Berharga yang direpokan; dan b) Mengkredit Rekening Giro sebesar nilai setelmen dana first leg sebagaimana dimaksud dalam angka 2). 4) Bank wajib menyediakan Surat Berharga yang mencukupi sesuai seri Surat Berharga yang direpokan untuk setelmen first leg . 5) Dalam .... 9 5) Dalam hal Bank tidak memiliki Surat Berharga yang mencukupi sebagaimana dimaksud angka 4), sarana BI-SSSS secara otomatis membatalkan setelmen first leg. 6) Pembatalan setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada angka 5) hanya dikenakan untuk transaksi Repo yang tidak memiliki seri Surat Berharga yang mencukupi. 7) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen first leg pada hari yang sama, pembatalan transaksi dihitung sebanyak 1 (satu) kali. 8) Bank dikenakan sanksi OPT atas pembatalan setelmen sebagaimana dimaksud pada angka 5) sesuai ketentuan yang berlaku. b. Setelmen pembelian kembali Surat Berharga (second leg) 1) Setelmen second leg dilakukan secara otomatis pada saat sarana BI-SSSS dibuka pada tanggal transaksi Repo jatuh waktu. 2) Nilai atas setelmen second leg dihitung sebesar : Nilai Setelmen second leg = Nilai Setelmen first leg + Nilai atas bunga transaksi Repo 3) Setelmen second leg dilakukan dengan cara : a) Mendebet Rekening Giro sebesar nilai setelmen dana second leg sebagaimana dimaksud dalam angka 2); dan b) Mengkredit Rekening Perdagangan sebesar nilai nominal Surat Berharga yang direpokan. 4) Bank wajib menyediakan saldo Rekening Giro yang mencukupi untuk setelmen second leg. 5) Dalam hal Bank tidak memiliki saldo Rekening Giro yang mencukupi sampai dengan cut off warning Sistem BI-RTGS, BI-SSSS otomatis membatalkan setelmen second leg. 6) Pembatalan setelmen second leg hanya dikenakan pada transaksi Repo jatuh waktu yang tidak memiliki kecukupan dana. 7) Dalam .... 10 7) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen second leg pada hari yang sama, pembatalan transaksi dihitung sebanyak 1 (satu) kali. 8) Bank dikenakan sanksi OPT atas pembatalan setelmen second leg sebagaimana dimaksud dalam angka 5) sesuai ketentuan yang berlaku. 9) Dalam rangka pemenuhan kewajiban Bank untuk pelunasan transaksi Repo jatuh waktu atas kegagalan setelmen second leg, dilakukan hal-hal sebagai berikut: a) Bank Indonesia mendebet Rekening Giro melalui Sistem BI-RTGS untuk penyelesaian nominal bunga Repo yang harus dibayar. b) Bank Indonesia melakukan penyelesaian Surat Berharga sebesar nominal Surat Berharga yang gagal dilakukan setelmen dengan cara : i. Pelunasan seri SBI sebelum jatuh waktu (early redemption) secara otomatis melalui sarana BI-SSSS; dan/atau ii. Memperlakukan seri SUN yang gagal dibeli kembali oleh Bank sebagai transaksi jual putus (outright selling) secara otomatis melalui sarana BI-SSSS. VI. SANKSI 1. Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam butir V.2.a.4), V.2.a.5) dan V.2.a.8) atau V.2.b.4), V.2.b.5) dan V.2.b.8) dikenakan sanksi OPT berupa : a. Teguran tertulis, dengan tembusan kepada: 1) Direktorat Pengawasan Bank terkait, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI); atau 2) Tim .... 11 2) Tim Pengawas Bank di Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat, dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI; dan b. Kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai nominal transaksi yang dinyatakan batal atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah); dan/atau c. Penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima) hari kerja dalam hal Bank dikenakan sanksi teguran tertulis karena pembatalan transaksi kegiatan OPT untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan. 2. Nilai nominal transaksi sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b. dihitung sesuai pembatalan nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud butir V.2.a.5) atau nilai setelmen second leg sebagaimana dimaksud dalam butir V.2.b.5). 3. Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a. dan pemberitahuan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT sebagaimana dimaksud dalam butir 1.c. dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. 4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b. dilakukan dengan mendebet Rekening Giro pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. VII. PENUTUP Pada saat Surat Edaran ini mulai berlaku maka: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/4/DPM tanggal 7 Februari 2006 perihal Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia di Pasar Sekunder; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/6/DPM tanggal 26 Maret 2007 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.8/4/DPM Tanggal 7 Februari .... 12 7 Februari 2006 perihal Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunder, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, EDDY SULAEMAN YUSUF DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER DPM
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 10/2/DPM|SE-BI/2008 </reg_id> <reg_title> Transaksi Repurchase Agreement Dengan Bank Indonesia di Pasar Sekunder. </reg_title> <set_date> 31 Januari 2008 </set_date> <effective_date> 1 Februari 2008 </effective_date> <replaced_reg> '9/6/DPM|SE-BI/2007', '8/4/DPM|SE-BI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '6/2/PBI/2004', '7/30/PBI/2005', '6/5/PBI/2004', '4/10/PBI/2002', '4/9/PBI/2002' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
No.11/21/DKBU Jakarta, 10 Agustus 2009 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA Perihal : Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tanggal 17 April 2009 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5002), maka perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok-pokok sebagai berikut: I. UMUM 1. BPR dalam menyediakan dana perlu memperhatikan prinsip kehati- hatian antara lain dengan penyebaran portofolio penyediaan dana yang diberikan agar risiko penyediaan dana tersebut tidak terpusat pada Peminjam atau kelompok Peminjam tertentu. 2. Dalam rangka pemantauan penyediaan dana, BPR menyampaikan laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) secara berkala kepada Bank Indonesia. 3. Pelaporan … 2 3. Pelaporan BMPK disampaikan oleh kantor pusat BPR secara on-line yang mencakup data kantor pusat dan data seluruh kantor cabang BPR. II. PERHITUNGAN BMPK 1. BMPK untuk Kredit Perhitungan BMPK untuk Kredit dilakukan berdasarkan baki debet seluruh kredit yang diterima oleh debitur yang bersangkutan, termasuk pemberian kredit atas nama debitur lain yang digunakan untuk keuntungan debitur yang bersangkutan. Untuk kredit dalam bentuk rekening koran, perhitungan BMPK dilakukan berdasarkan baki debet tertinggi pada bulan laporan. 2. BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank dalam bentuk tabungan Perhitungan BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank dalam bentuk tabungan dilakukan berdasarkan saldo tertinggi pada bulan laporan. 3. BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank dalam bentuk deposito Perhitungan BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank dalam bentuk deposito dilakukan berdasarkan jumlah nominal sebagaimana tercantum dalam seluruh bilyet deposito pada BPR yang sama. 4. BMPK untuk penyediaan dana kepada Pihak Terkait Perhitungan BMPK untuk penyediaan dana kepada Pihak Terkait dilakukan berdasarkan jumlah seluruh baki debet kredit Pihak Terkait dan seluruh nominal atau baki debet penempatan dana (tabungan, deposito, dan kredit) kepada seluruh BPR lain Pihak Terkait sebesar 10% (sepuluh persen) dari modal BPR. 5. BMPK … 3 5. BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain Pihak Tidak Terkait Perhitungan BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain Pihak Tidak Terkait dilakukan berdasarkan jumlah seluruh nominal atau baki debet Penempatan Dana Antar Bank (tabungan, deposito, dan kredit) di masing-masing BPR Pihak Tidak Terkait sebesar 20% (dua puluh persen) dari modal BPR. 6. Penyediaan dana dalam bentuk kredit kepada satu atau lebih Peminjam Pihak Tidak Terkait yang merupakan bagian dari kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait Perhitungan BMPK untuk penyediaan dana dalam bentuk kredit kepada satu atau lebih Peminjam Pihak Tidak Terkait yang merupakan bagian dari kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait dihitung berdasarkan pemberian kredit kepada masing-masing Peminjam dan pemberian kredit kepada satu kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait. BMPK pemberian kredit kepada satu kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebesar 30% (tiga puluh persen) dari modal BPR. III. PELANGGARAN BMPK 1. BPR dinyatakan melakukan pelanggaran BMPK apabila terdapat selisih lebih antara persentase penyediaan dana pada saat direalisasikan terhadap Modal BPR dengan BMPK yang diperkenankan. BPR tetap dinilai melanggar BMPK selama pelanggaran BMPK tersebut belum diselesaikan. 2. Modal BPR yang digunakan dalam perhitungan BMPK adalah jumlah Modal Inti dan Modal Pelengkap sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum BPR pada posisi bulan terakhir sebelum realisasi penyediaan dana. 3. Dalam … 4 3. Dalam hal terdapat pelanggaran BMPK berupa penyediaan dana dalam bentuk kredit kepada satu atau lebih Peminjam Pihak Tidak Terkait yang merupakan bagian dari kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait maka pelanggaran BMPK dihitung berdasarkan penjumlahan pelanggaran atas pemberian kredit kepada masing-masing Peminjam dan pelanggaran pemberian kredit kepada satu kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait. 4. Contoh Perhitungan BMPK: Contoh 1: Kredit dengan angsuran yang ditarik sekaligus BPR ”X” memberikan fasilitas kredit dengan pembayaran angsuran kepada debitur A (Pihak Tidak Terkait) yang penarikannya dilakukan secara sekaligus dengan kondisi sebagai berikut: a. Modal BPR : - per akhir Juni 2009 sebesar Rp1.500 juta - per akhir Juli 2009 sebesar Rp1.400 juta b. BMPK Pihak Tidak Terkait : 20% - bulan Juli 2009 sebesar Rp300 juta (= 20% x Rp1.500 juta) - bulan Agustus 2009 sebesar Rp280 juta (= 20% x Rp1.400 juta) c. Fasilitas kredit d. Jangka waktu : Rp400 juta : 18 (delapan belas) bulan e. Tanggal akad kredit : 15 Juli 2009 f. Realisasi kredit g. Baki debet : Pencairan Kredit sekaligus pada tanggal 15 Juli 2009 : - per akhir Juli 2009 sebesar Rp375 juta - per akhir Agustus 2009 sebesar Rp350 juta Perhitungan … 5 Perhitungan Pelanggaran BMPK 1) Bulan Juli 2009 Berdasarkan persentase atas baki debet pada saat realisasi/pencairan kredit debitur A yaitu sebesar Rp400 juta terhadap modal BPR per akhir Juni 2009 sebesar Rp1.500 juta dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil sebagai berikut: (400 juta / 1.500 juta x 100%) – 20% = 6,67% Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 6,67%. 2) Bulan Agustus 2009 Berdasarkan persentase atas baki debet debitur A pada akhir Agustus 2009 yaitu sebesar Rp350 juta terhadap modal BPR per akhir Juli 2009 sebesar Rp1.400 juta dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil sebagai berikut: (350 juta / 1.400 juta x 100%) – 20% = 5,00% Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 5,00%. Contoh 2: Kredit yang pencairannya dilakukan secara bertahap BPR ”Y” memberikan fasilitas kredit kepada debitur B (Pihak Terkait) yang pencairannya dilakukan secara bertahap dengan kondisi sebagai berikut: a. Modal BPR : - per akhir Juli 2009 sebesar Rp2.000 juta - per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.500 juta b. BMPK Pihak Terkait : 10% - bulan Agustus 2009 sebesar Rp200 juta (= 10% x Rp2.000 juta) - bulan … 6 - bulan September 2009 sebesar Rp150 juta (= 10% x Rp1.500 juta) c. Fasilitas kredit d. Jangka waktu : Rp200 juta : 24 (dua puluh empat) bulan e. Tanggal akad kredit : 10 Agustus 2009 f. Realisasi kredit : Pencairan Kredit secara bertahap - Pencairan tahap I, tanggal 10 Agustus 2009 : Rp100 juta - Pencairan tahap II, tanggal 10 September 2009 : Rp100 juta Perhitungan BMPK 1) Bulan Agustus 2009 Berdasarkan persentase atas baki debet pada saat realisasi/pencairan kredit debitur B tahap I sebesar Rp100 juta terhadap modal BPR per akhir Juli 2009 sebesar Rp2.000 juta dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Terkait (10%), diperoleh hasil sebagai berikut: (100 juta / 2.000 juta x 100%) – 10% = -5% Tidak terdapat pelanggaran BMPK. 2) Bulan September 2009 Dengan adanya realisasi/pencairan kredit debitur B tahap II sebesar Rp100 juta sehingga baki debet menjadi sebesar Rp200 juta maka persentase atas baki debet tersebut terhadap modal BPR per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.500 juta dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Terkait (10%), diperoleh hasil sebagai berikut: (200 juta / 1.500 juta x 100%) – 10% = 3,33% Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 3,33%. Contoh 3: … 7 Contoh 3: Kredit dengan fasilitas rekening koran BPR ”Y” memberikan fasilitas kredit rekening koran kepada debitur C (Pihak Tidak Terkait) dengan kondisi sebagai berikut: a. Modal BPR : per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.800 juta b. BMPK Pihak Tidak Terkait : 20% atau sebesar Rp360 juta (= 20% x Rp1.800 juta) c. Fasilitas kredit d. Jangka waktu : Rp400 juta : 12 (dua belas) bulan e. Tanggal akad kredit : 5 September 2009 f. Realisasi baki debet pada bulan September 2009: Tanggal Penarikan 8 September 2009 Rp370.000.000,- 15 September 2009 28 September 2009 Rp35.000.000,- 29 September 2009 Penyetoran Saldo Debet Rp370.000.000,- Rp5.000.000,- Rp365.000.000,- Rp400.000.000,- Rp15.000.000,- Rp385.000.000,- Perhitungan BMPK Perhitungan BMPK didasarkan pada persentase atas baki debet tertinggi pada bulan yang bersangkutan (September 2009) yaitu sebesar Rp400 juta terhadap modal BPR per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.800 juta dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Tidak Terkait (20%), dengan perhitungan sebagai berikut: (400 juta / 1.800 juta x 100%) – 20% = 2,22% Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 2,22%. Contoh 4: … 8 Contoh 4: Pemberian kredit yang secara individu Peminjam tidak melebihi BMPK namun secara kelompok Peminjam melebihi BMPK BPR ”X” memberikan fasilitas kredit kepada debitur A (Pihak Tidak Terkait) dan debitur PT B (PT B menjamin kredit yang diberikan oleh BPR ”X” kepada debitur A) yang pencairannya dilakukan secara sekaligus dengan kondisi sebagai berikut: a. Modal BPR : per akhir September 2009 sebesar Rp3.000 juta b. BMPK Pihak Tidak Terkait: - Individu Peminjam : 20% atau sebesar Rp600 juta (= 20% x Rp3.000 juta) - Kelompok Peminjam : 30% atau sebesar Rp900 juta (= 30% x Rp3.000 juta) c. Fasilitas kredit d. Jangka waktu : - debitur A sebesar Rp500 juta - debitur PT B sebesar Rp600 juta : masing-masing 24 (dua puluh empat) bulan e. Tanggal akad kredit : - debitur A, tanggal 15 Oktober 2009 - debitur PT B, tanggal 20 Oktober 2009 f. Realisasi kredit : Pencairan dilakukan sekaligus - debitur A, tanggal 15 Oktober 2009 - debitur PT B, tanggal 20 Oktober 2009 Perhitungan BMPK 1) BMPK Individu Peminjam a) Pemberian kredit BPR ”X” kepada debitur A sebesar Rp500 juta tidak melanggar BMPK dengan perhitungan sebagai berikut: … 9 berikut: (500 juta / 3.000 juta x 100%) – 20% = -3,34% b) Pemberian kredit BPR ”X” kepada debitur PT B sebesar Rp600 juta tidak melanggar BMPK dengan perhitungan sebagai berikut: (600 juta / 3.000 juta x 100%) – 20% = 0% 2) BMPK Kelompok Peminjam Mengingat debitur A dan PT B memenuhi kriteria kelompok Peminjam maka perhitungan BMPK juga dihitung berdasarkan baki debet kelompok Peminjam yaitu sebesar Rp1.100 juta (Rp500 juta + Rp600 juta). BMPK kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait yaitu 30%. Perhitungan BMPK kelompok Peminjam tersebut sebagai berikut: (1.100 juta / 3.000 juta x 100%) – 30% = 6,67% Terdapat Pelanggaran BMPK kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebesar 6,6,7% Berdasarkan perhitungan angka 1) dan angka 2) diatas, pemberian kredit kepada masing-masing Peminjam yaitu debitur A dan PT B tidak melanggar BMPK namun secara kelompok Peminjam melanggar BMPK sebesar 6,67%. Contoh 5: Pemberian Kredit dan Penempatan dana pada BPR lain yang secara individu Peminjam melebihi BMPK namun secara kelompok Peminjam tidak melebihi BMPK BPR ”Y” menempatkan dananya pada BPR ”Z” dan memberikan fasilitas kredit kepada debitur PT A (Pihak Tidak Terkait yang memiliki saham BPR ”Z” sebesar 40%) dengan kondisi sebagai berikut: a. Modal … 10 a. Modal BPR : per akhir Oktober 2009 sebesar Rp5.000 juta b. BMPK Pihak Tidak Terkait: - Individu Peminjam : 20% atau sebesar Rp1.000 juta (= 20% x Rp5.000 juta) - Kelompok Peminjam : 30% atau sebesar Rp1.500 juta (= 30% x Rp5.000 juta) c. Penyediaan Dana BPR ”Y” pada BPR ”Z” berupa: - Deposito - Kredit : Rp500 juta, jangka waktu 3 (tiga) bulan (10 November 2009 – 10 Februari 2010) : Rp700 juta d. BPR ”Y” memberikan kredit kepada debitur PT A sebesar Rp800 juta e. Jangka waktu : 36 (tiga puluh enam) bulan f. Tanggal akad kredit : - BPR ”Z”, tanggal 4 November 2009 - debitur PT A, tanggal 11 November 2009 g. Realisasi kredit : Pencairan dilakukan sekaligus - BPR ”Z” pada tanggal 4 November 2009 - debitur PT A pada tanggal 11 November 2009 Perhitungan BMPK: 1) BMPK Individu Peminjam a) Penempatan dana BPR ”Y” pada BPR ”Z” berupa deposito sebesar Rp500 juta dan kredit sebesar Rp700 juta, sehingga jumlah penempatan dana sebesar Rp1.200 juta. BMPK Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain yaitu sebesar 20%. Perhitungan BMPK Penempatan Dana Antar Bank tersebut … 11 tersebut sebagai berikut: (1.200 juta / 5.000 juta x 100%) – 20% = 4,00% b) Pemberian kredit BPR ”Y” kepada debitur PT A sebesar Rp800 juta tidak melanggar BMPK dengan perhitungan sebagai berikut: (800 juta / 5.000 juta x 100%) – 20% = -4,00% 2) BMPK Kelompok Peminjam Mengingat debitur PT A dan BPR ”Z” memenuhi kriteria kelompok Peminjam maka perhitungan BMPK juga dihitung berdasarkan kelompok Peminjam. Berdasarkan perhitungan, BMPK kelompok Peminjam tidak melanggar BMPK karena secara keseluruhan jumlah baki debet dalam bentuk kredit masing-masing kepada debitur PT A Rp700 juta dan BPR ”Z” Rp800 juta yaitu sebesar Rp1.500 juta, tidak melebihi BMPK kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait yaitu paling tinggi 30%, dengan perhitungan sebagai berikut: (1.500 juta / 5.000 juta x 100%) – 30% = 0,00% Berdasarkan perhitungan diatas, maka: - Penempatan dana BPR ”Y” pada BPR ”Z” melanggar BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain sebesar 4,00%. - Pemberian kredit BPR ”Y” kepada debitur PT A tidak melanggar BMPK. - Pemberian kredit kepada BPR ”Z” dan debitur PT A sebagai kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait juga tidak melanggar BMPK. Contoh 6: … 12 Contoh 6: Pemberian Kredit yang secara individu dan kelompok Peminjam melebihi BMPK BPR ”B” memberikan fasilitas kredit kepada debitur Pihak Tidak Terkait PT X dan PT Y. PT X dan PT Y dimiliki oleh Sdr. S dengan kepemilikan saham pada masing-masing PT tersebut 50%. Pencairan kredit dilakukan sekaligus dengan kondisi sebagai berikut: a. Modal BPR : per akhir November 2009 sebesar Rp4.000 juta b. BMPK Pihak Tidak Terkait: - Individu Peminjam : 20% atau sebesar Rp800 juta (= 20% x Rp4.000 juta) - Kelompok Peminjam : 30% atau sebesar Rp1.200 juta (= 30% x Rp4.000 juta) c. Fasilitas kredit d. Jangka waktu : - debitur PT X sebesar Rp1.000 juta - debitur PT Y sebesar Rp900 juta : masing-masing 48 (empat puluh delapan) bulan e. Tanggal akad kredit : - debitur PT X, tanggal 7 Desember 2009 - debitur PT Y, tanggal 15 Desember 2009 f. Realisasi kredit : Pencairan dilakukan sekaligus - debitur PT X, tanggal 7 Desember 2009 - debitur PT Y, tanggal 15 Desember 2009 Perhitungan BMPK 1) BMPK Individu Peminjam a) Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT X sebesar Rp1.000 juta melanggar BMPK dengan perhitungan sebagai berikut: … 13 berikut: (1.000 juta / 4.000 juta x 100%) – 20% = 5,00% b) Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT Y sebesar Rp900 juta melanggar BMPK dengan perhitungan sebagai berikut: (900 juta / 4.000 juta x 100%) – 20% = 2,50% 2) BMPK Kelompok Peminjam Mengingat debitur PT X dan PT Y memenuhi kriteria kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait maka perhitungan BMPK juga dihitung berdasarkan kelompok Peminjam yaitu sebesar Rp1.900 juta (Rp1.000 juta + Rp900 juta). BMPK kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait yaitu 30%. Perhitungan BMPK kelompok Peminjam tersebut sebagai berikut: (1.900 juta / 4.000 juta x 100%) – 30% = 17,50% Berdasarkan perhitungan diatas, maka - Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT X secara individu melanggar BMPK sebesar 5%. - Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT Y secara individu melanggar BMPK sebesar 2,5%. - Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT X dan PT Y sebagai kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait melanggar BMPK kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebesar 17,50%. Dengan demikian persentase jumlah keseluruhan pelanggaran BMPK yang dilakukan oleh BPR ”B” adalah 25%. Contoh 7: … 14 Contoh 7: Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain dalam bentuk deposito BPR ”Y” menempatkan dananya dalam bentuk deposito pada BPR ”Z” dengan kondisi sebagai berikut: a. Modal BPR ”Y” : - per akhir Agustus 2009 sebesar Rp4.900 juta - per akhir September 2009 sebesar Rp5.000 juta b. BMPK Penempatan Dana pada BPR lain : 20% - bulan September 2009 sebesar Rp980 juta (= 20% x Rp4.900 juta) - bulan Oktober 2009 sebesar Rp1.000 juta (= 20% x Rp5.000 juta) c. Penyediaan Dana BPR ”Y” pada BPR ”Z” berupa: - Deposito I - Deposito II : Rp700 juta dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan (10 Juli 2009 – 10 Oktober 2009) : Rp500 juta dengan jangka waktu 1 (satu) bulan (2 Oktober 2009 – 2 November 2009) Perhitungan BMPK 1) Bulan September 2009 Berdasarkan persentase atas jumlah nominal sebagaimana tercantum dalam bilyet deposito I sebesar Rp700 juta terhadap modal BPR per akhir Agustus 2009 sebesar Rp4.900 juta dikurangi dengan persentase BMPK Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil sebagai berikut: (700 juta / 4.900 juta x 100%) – 20% = -5,71% Tidak terdapat pelanggaran BMPK. 2) Bulan … 15 2) Bulan Oktober 2009 Dengan adanya penempatan deposito II sebesar Rp500 juta pada tanggal 2 Oktober 2009 maka jumlah seluruh penempatan deposito pada BPR ”Z” pada tanggal tersebut menjadi sebesar Rp1.200 juta. Dengan demikian persentase atas nominal Penempatan Dana Antar Bank tersebut terhadap modal BPR per akhir September 2009 sebesar Rp5.000 juta dikurangi dengan persentase BMPK Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil sebagai berikut: (1.200 juta / 5.000 juta x 100%) – 20% = 4,00% Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 4,00%. 5. Berdasarkan contoh perhitungan sebagaimana dimaksud pada angka 4 contoh 1, 3, 4, 5 dan 6 maka selain melanggar BMPK, BPR juga melanggar Pasal 3 ayat (1) PBI No.11/13/PBI/2009 tanggal 17 April 2009 tentang BMPK BPR yang menyatakan bahwa BPR dilarang membuat Perjanjian Kredit yang mewajibkan BPR untuk menyediakan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPK. IV. PELAMPAUAN BMPK 1. Penyediaan dana oleh BPR dikategorikan sebagai pelampauan BMPK apabila terjadi selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPK. 2. Pelampauan BMPK dapat disebabkan oleh penurunan modal BPR, penggabungan usaha (merger), peleburan usaha (konsolidasi), pengambilalihan usaha (akuisisi), perubahan struktur kepemilikan dan/atau … 16 dan/atau kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait dan/atau kelompok Peminjam, dan/atau perubahan ketentuan. 3. Contoh Perhitungan Pelampauan BMPK karena penurunan modal BPR ”X” memberikan fasilitas kredit dengan pembayaran angsuran kepada debitur A (Pihak Tidak Terkait) yang penarikannya dilakukan secara sekaligus dengan kondisi sebagai berikut: a. Modal BPR : - per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.500 juta - per akhir September 2009 sebesar Rp1.200 juta b. BMPK Pihak Tidak Terkait : 20% - bulan September 2009 sebesar Rp300 juta (= 20% x Rp1.500 juta) c. Fasilitas kredit d. Jangka waktu - bulan Oktober 2009 sebesar Rp240 juta (= 20% x Rp1.200 juta) : Rp300 juta : 18 (delapan belas) bulan e. Tanggal akad kredit : 17 September 2009 f. Realisasi kredit g. Baki debet : Pencairan Kredit sekaligus pada tanggal 21 September 2009 : - per akhir September 2009 sebesar Rp300 juta - per akhir Oktober 2009 sebesar Rp285 juta Perhitungan … 17 Perhitungan pelampauan BMPK 1) Bulan September 2009 Berdasarkan persentase atas baki debet pada saat realisasi kredit debitur A yaitu sebesar Rp300 juta terhadap modal BPR per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.500 juta dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil sebagai berikut: (300 juta / 1.500 juta x 100%) – 20% = 0% Tidak terdapat pelanggaran BMPK. 2) Bulan Oktober 2009 Berdasarkan persentase atas baki debet debitur A pada akhir Oktober 2009 yaitu sebesar Rp285 juta terhadap modal BPR per akhir September 2009 sebesar Rp1.200 juta dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil sebagai berikut: (285 juta / 1.200 juta x 100%) – 20% = 3,75% Terdapat pelampauan BMPK sebesar 3,75%. V. PENYAMPAIAN LAPORAN BMPK DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN BMPK 1. BPR pelapor menyampaikan laporan BMPK kepada Bank Indonesia secara on-line melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya paling lambat tanggal 14 (empat belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. 2. BPR pelapor menyampaikan koreksi laporan BMPK kepada Bank Indonesia secara on-line melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya paling lambat tanggal 20 (dua puluh) pada … 18 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. 3. Dalam hal laporan disampaikan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 maka BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK. 4. Penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-line dilakukan sampai dengan akhir bulan laporan. Laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-line tersebut dapat disampaikan pada hari libur atau hari Sabtu. 5. Dalam hal BPR tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sampai dengan akhir bulan laporan maka BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK. 6. Dalam hal penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dilakukan setelah berakhirnya bulan laporan maka laporan tersebut hanya dapat disampaikan secara off-line. Penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara off-line dilakukan dalam bentuk disket atau media perekam data elektronik lainnya disertai hasil validasi yang telah ditandatangani oleh penanggung jawab dan disampaikan kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR. 7. Dalam hal terjadi kerusakan disket atau media perekam data elektronik lainnya yang telah diterima oleh Bank Indonesia secara off- line, BPR pelapor menyampaikan ulang disket atau media perekam data elektronik lainnya setelah diminta oleh Bank Indonesia. 8. Dalam hal tanggal 14 (empat belas) atau tanggal 20 (dua puluh) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka BPR yang menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara off-line wajib menyampaikan … 19 menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya. 9. Hari libur yang terkait dengan penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara off-line adalah hari libur nasional dan hari libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat. VI. FORMAT DAN TATA CARA PENYUSUNAN LAPORAN BMPK DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN BMPK 1. Format dan tata cara penyusunan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK berpedoman pada Lampiran 1 mengenai Pedoman Penyusunan Laporan BMPK dan/atau Koreksi Laporan BMPK BPR, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. 2. Prosedur pengoperasian aplikasi laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK diatur dalam Lampiran 2 mengenai Petunjuk Teknis Aplikasi Data Entry Laporan BMPK BPR dan Lampiran 3 mengenai Petunjuk Teknis Aplikasi Web BPR Laporan BMPK BPR, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini. VII. SARANA DAN PERSIAPAN PELAPORAN Dalam rangka penyusunan dan penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK, BPR perlu melakukan persiapan dan menyediakan sarana sebagai berikut: 1. Komputer dengan memenuhi konfigurasi minimal hardware dan software sebagaimana tercantum dalam Petunjuk Teknis Aplikasi Data Entry Laporan BMPK BPR dan Petunjuk Teknis Aplikasi Web BPR Laporan BMPK BPR. 2. BPR … 20 2. BPR menunjuk: a. Pegawai yang ditugaskan (Petugas) untuk mengoperasikan aplikasi dan melakukan verifikasi laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK. b. Pejabat atau Pegawai BPR yang bertanggungjawab (Penanggungjawab) untuk melakukan verifikasi ulang dalam rangka meyakini kebenaran laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK serta menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK kepada Bank Indonesia. 3. Nama Petugas dan Penanggungjawab sebagaimana dimaksud pada angka 2, wajib disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR. 4. BPR menyusun pedoman tertulis tentang sistem dan prosedur penyusunan dan penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dengan mengacu pada Pedoman Penyusunan Laporan BMPK BPR, Petunjuk Teknis Aplikasi Data Entry Laporan BMPK BPR dan Petunjuk Teknis Aplikasi Web BPR Laporan BMPK BPR. 5. BPR memiliki: a. sistem pengamanan yang memadai terhadap: sarana komputer, aplikasi, dan data laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK. b. back up data laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK yang ditatausahakan dengan baik. VIII. TATA CARA MEMBAYAR Pembayaran sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada 2. BPR … Pasal PENYELESAIAN SANKSI KEWAJIBAN 21 Pasal 27 PBI No.11/13/PBI/2009 tanggal 17 April 2009 tentang BMPK BPR dilakukan oleh kantor pusat BPR pelapor kepada Bank Indonesia secara tunai atau non tunai dengan cara sebagai berikut: 1. Pembayaran secara tunai a. bagi BPR pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta Raya, Provinsi Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi, menyetor kepada Bagian Pengelolaan Uang Kas Keluar (BPUK), b. bagi BPR pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a, menyetor kepada Kantor Bank Indonesia, pada setiap hari kerja, waktu layanan kas, pukul 08.00 s.d 12.00 waktu setempat (hari Senin s.d. Kamis) atau pukul 08.00 s.d 11.30 waktu setempat (hari Jumat), untuk untung rekening nomor 566.000447 - ”Rekening antara sehubungan dengan penerimaan sanksi administratif BPR”. 2. Pembayaran secara non tunai a. Kliring Transfer ditujukan ke rekening nomor 566.000447 - ”Rekening antara sehubungan dengan penerimaan sanksi administratif BPR”, dengan mencantumkan ”pembayaran sanksi kewajiban membayar dari BPR XXX atas kesalahan/keterlambatan/tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK periode MM- YYYY” pada kolom keterangan. b. BI-RTGS Transfer ditujukan ke rekening nomor 566.000447 - ”Rekening antara sehubungan dengan penerimaan sanksi administratif BPR”, dengan … 22 dengan mencantumkan Transaction Reference Number (TRN) BIRBK566 dan pada kolom keterangan dicantumkan ”pembayaran sanksi kewajiban membayar dari BPR XXX atas kesalahan/keterlambatan/tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK periode MM-YYYY”. 3. BPR pelapor menyampaikan fotokopi bukti pembayaran sanksi kewajiban membayar kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud pada butir IX.2. IX. ALAMAT 1. Laporan BMPK dan/atau laporan koreksi BMPK disampaikan kepada Bank Indonesia secara on-line melalui fasilitas jaringan ekstranet Bank Indonesia. 2. BPR pelapor yang berkedudukan di wilayah yang belum memiliki fasilitas jaringan ekstranet atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), laporan disampaikan secara off-line kepada Kantor Bank Indonesia (KBI) yang mewilayahi BPR pelapor. 3. Dalam hal terjadi masalah/gangguan pada ekstranet, BPR pelapor menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara off-line kepada: a. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM cq. Bagian Informasi, Dokumentasi dan Administrasi (IDAd), Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta Raya, Provinsi Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi. b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi BPR pelapor, bagi BPR pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud … 23 dimaksud pada huruf a. 4. Penyampaian nama petugas, penanggungjawab dan nomor telepon yang digunakan untuk menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK serta perubahan nama dan nomor telepon tersebut ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud pada angka 3. 5. Pertanyaan yang berkaitan dengan aplikasi laporan BMPK disampaikan kepada help desk Bank Indonesia dengan alamat Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, telp. (021) 3818000 (hunting), faksimili (021) 3866071 atau email address: helpdesk@bi.go.id. X. PENUTUP Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 10 Agustus 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, RATNA E. AMIATY DIREKTUR KREDIT, BPR DAN UMKM DKBU
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 11/21/DKBU|SE-BI/2009 </reg_id> <reg_title> Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat </reg_title> <set_date> 10 Agustus 2009 </set_date> <effective_date> 10 Agustus 2009 </effective_date> <related_reg> '11/13/PBI/2009' </related_reg>
No. 12/ 2 /DPM Jakarta, 22 Januari 2010 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK, PERUSAHAAN EFEK DAN LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK DI INDONESIA Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/6/DPM tanggal 10 Februari 2009 perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Ritel Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tanggal 21 Agustus 2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888), Keputusan Menteri Keuangan Nomor 215/KMK.08/2008 tanggal 15 Agustus 2008 tentang Penunjukan Bank Indonesia Sebagai Agen Penata Usaha, Agen Pembayar dan Agen Lelang Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.08/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Ritel di Pasar Perdana Dalam Negeri, maka dalam rangka menyempurnakan mekanisme setelmen Surat Berharga Syariah Negara Ritel, dipandang perlu untuk mengubah ketentuan angka II huruf A Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/6/DPM tanggal 10 Februari 2009 perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Ritel dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut : II . TATA… 2 II. TATA CARA PENATAUSAHAAN SUKUK NEGARA RITEL A. Setelmen Sukuk Negara Ritel di Pasar Perdana 1. Bank Indonesia melakukan setelmen Sukuk Negara Ritel di Pasar Perdana berdasarkan penetapan hasil penjualan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Utang untuk dan atas nama Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal penetapan hasil penjualan Sukuk Negara Ritel (T+2). 2. Setelmen sebagaimana dimaksud angka 1 berupa : a. setelmen dana dengan cara mendebet rekening giro rupiah milik Bank pembayar di Bank Indonesia, serta mengkredit rekening giro rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai setelmen; dan b. Setelmen surat berharga dengan mencatatkan penerbitan seri Sukuk Negara Ritel dalam BI-SSSS sesuai ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan serta mengkredit rekening surat berharga Sub-Registry yang ditunjuk oleh investor pembeli Sukuk Negara Ritel. 3. Pada hari yang sama dengan hari pengkreditan rekening surat berharga Sub-Registry, Sub-Registry : a. wajib mencatat kepemilikan Sukuk Negara Ritel atas nama investor yang memperoleh penjatahan Sukuk Negara Ritel secara individual pada sistem Sub-Registry; dan b. mengirimkan daftar rincian individual investor Sukuk Negara Ritel kepada BI cq. DPM-PTPM yang mencakup Account Identifier (AId), nama nasabah, securities code, status investor, tipe investor dan nominal transaksi melalui sarana pelaporan yang ditentukan Bank Indonesia. 4.Dalam… 3 4. Dalam hal dana pada rekening giro rupiah Bank pembayar di Bank Indonesia tidak mencukupi sampai dengan batas waktu setelmen dana di Sistem BI-RTGS (cut-off warning) maka setelmen Sukuk Negara Ritel yang dilakukan melalui Bank pembayar tersebut dinyatakan gagal. 5. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kegagalan setelmen tersebut kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Januari 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDAR DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 12/2/DPM|SE-BI/2010 </reg_id> <reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/6/DPM tanggal 10 Februari 2009 perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Ritel </reg_title> <set_date> 22 Januari 2010 </set_date> <effective_date> 22 Januari 2010 </effective_date> <changed_reg> '11/6/DPM|SE-BI/2009' </changed_reg> <related_reg> '10/13/PBI/2008', '11/6/DPM|SE-BI/2009', '218/PMK.08/2008|PER-MENKEU/2008', '215/KMK.08/2008|KEP-MENKEU/2008' </related_reg>
No. 16/22/DPM Jakarta, 24 Desember 2014 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA PERANTARA DI INDONESIA Perihal : Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter. Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/5/PBI/2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5440) dan dalam rangka upaya meminimalkan potensi terjadinya gangguan likuiditas sistem keuangan melalui penyediaan instrumen Operasi Moneter dengan menggunakan surat berharga dalam valuta asing, perlu untuk dilakukan pengaturan kembali ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan Surat Berharga, peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities). 3. Operasi … 2 3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Peserta OPT dalam rangka Operasi Moneter. 4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana Rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. 5. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Surat Berharga Negara dan surat berharga lain yang digunakan dalam transaksi Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini. 6. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 7. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar Bank. 8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara. 10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang Rupiah maupun … 3 maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. 11. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 12. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 13. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disingkat ZCB adalah Obligasi Negara tanpa kupon, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 14. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disebut ORI adalah Obligasi Negara yang pada pasar perdana dijual kepada individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia. 15. Surat Berharga Syariah Negara Ritel yang selanjutnya disebut SBSN Ritel, atau dapat disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual. 16. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 17. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 18. Transaksi Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut Transaksi Repo adalah transaksi penjualan Surat Berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 19. Transaksi Reverse Repo adalah transaksi pembelian Surat Berharga oleh Peserta OPT dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 20. Transaksi … 4 20. Transaksi Outright adalah transaksi pembelian dan penjualan Surat Berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia secara putus tanpa kewajiban penjualan dan pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter. 21. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya, dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. 22. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. II. SURAT BERHARGA 1. Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter adalah sebagai berikut: a. Surat Berharga dalam mata uang Rupiah 1) diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia; 2) 3) tercatat di BI-SSSS; dan tidak sedang diagunkan. b. Surat Berharga dalam valuta asing 1) diterbitkan oleh negara lain yang bank sentralnya memiliki kerja sama dengan Bank Indonesia antara lain dalam bentuk cross border collateral arrangement; 2) sesuai denominasi asal negara penerbit; 3) tercatat pada aktiva peserta Operasi Moneter yang tercatat pada rekening surat berharga milik peserta Operasi Moneter di lembaga kustodian yang disepakati; 4) memiliki peringkat investasi (investment grade); dan 5) tidak sedang diagunkan. 2. Jenis … 5 2. Jenis-jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 1 terdiri atas: a. SBI; b. SDBI; c. SBN, yang terdiri atas: 1) SUN, yang terdiri atas SPN dan Obligasi Negara termasuk ZCB dan ORI; dan 2) SBSN, yang terdiri atas SBSN Jangka Pendek dan SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel; dan d. Surat berharga jangka pendek atau jangka panjang yang diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereign bond). 3. Persyaratan Surat Berharga: Untuk Transaksi Repo dalam rangka OPT dan lending facility: a. SBI Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada saat second leg Transaksi Repo. b. SDBI Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada saat second leg Transaksi Repo. c. SBN Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat second leg Transaksi Repo. d. Surat berharga dalam valuta asing Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender pada saat second leg Transaksi Repo. III. HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA 1. Harga dan haircut Surat Berharga ditetapkan dan diumumkan oleh Bank Indonesia di BI-SSSS dan/atau sarana lainnya. 2. Harga Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 1 ditetapkan sebagai berikut: a. Harga SBI ditetapkan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat diskonto … 6 diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SBI. b. Harga SDBI ditetapkan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SDBI. c. Harga SBN dan surat berharga dalam valuta asing ditetapkan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN serta surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond). 3. Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga Surat Berharga. 4. Haircut sebagaimana dimaksud dalam angka 1 ditetapkan sebesar: a. 0% (nol persen) untuk SBI; b. 0% (nol persen) untuk SDBI; c. 5% (lima persen) untuk SBN; d. sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada saat pelaksanaan transaksi untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond). 5. Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dan mengumumkan perubahan tersebut melalui BI-SSSS, Sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan/atau sarana lainnya. 6. Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara outright oleh peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo atau lending facility, harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga pada tanggal Transaksi Outright paling tinggi sebesar harga pada transaksi first leg. 7. Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara outright oleh peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Reverse Repo, harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga pada tanggal Transaksi Outright paling rendah sebesar harga pada transaksi first leg. 8. Dalam … 7 8. Dalam hal terjadi penjualan Surat Berharga dalam valuta asing oleh Bank Indonesia karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo, harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga penjualan surat berharga tersebut oleh Bank Indonesia pada tanggal penjualan. IV. PERHITUNGAN NILAI SETELMEN SURAT BERHARGA DALAM RUPIAH 1. Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo dengan Surat Berharga dalam Rupiah dan Transaksi Reverse Repo a. Nilai setelmen Surat Berharga adalah sebesar nilai nominal Surat Berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan. b. Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung sebagai berikut: 1) SBI, SDBI, SPN, ZCB, dan SBSN Jangka Pendek nilai setelmen first leg = nominal Surat Berharga yang di-repo-kan × harga Surat berharga − haircut 2) Obligasi Negara termasuk ORI, SBSN Jangka Panjang nilai setelmen first leg Keterangan: Harga Surat Berharga = nominal Surat Berharga yang di-repo-kan × harga Surat Berharga − haircut + accrued interest/imbalan : Harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan pada BI-SSSS pada tanggal transaksi lending facility, Transaksi Repo atau Transaksi Reverse Repo. Haircut : Haircut sebagaimana diumumkan dalam BI-SSSS pada transaksi lending facility, Transaksi Repo atau Transaksi Reverse Repo. Accrued Interest : Hak atas kupon atau imbalan Surat atau … 8 atau Imbalan Accrued Berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran kupon atau imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen first leg. c. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai berikut: nilai setelmen = second leg nilai setelmen first leg bunga transaksi repo/reverse repo/ lending facility = + nilai setelmen first leg × bunga transaksi repo/reverse repo /lending facility repo/reverse repo rate/ lending facility × jangka waktu 360 Keterangan : Jangka waktu : Jangka waktu lending facility atau Transaksi Repo atau Transaksi Reverse Repo. 2. Transaksi Outright Perhitungan nilai setelmen transaksi pembelian atau penjualan Surat Berharga secara outright sebagai berikut: a. SPN, ZCB dan SBSN Jangka Pendek nilai setelmen outright = nominal Surat Berharga × harga Surat Berharga b. Obligasi Negara termasuk ORI, SBSN Jangka Panjang nilai setelmen outright = nominal Surat Berharga Keterangan Harga Surat Berharga × harga Surat Berharga + accrued interest : 1) Transaksi Outright OPT Harga Surat Berharga sebagaimana ditetapkan Bank Indonesia dalam hal transaksi outright dilakukan dengan mekanisme lelang, dan/atau harga … 9 harga Surat Berharga berdasarkan kesepakatan para pihak dalam hal Transaksi Outright dilakukan dengan mekanisme non lelang; 2) Transaksi Outright karena kegagalan setelmen second leg Harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan pada BI-SSSS pada tanggal Transaksi Outright, atau paling tinggi sebesar harga transaksi first leg untuk Transaksi Repo dan paling rendah sebesar transaksi first leg untuk Transaksi Reverse Repo. Accrued Interest atau accrued imbalan : hak atas kupon atau imbalan Surat Berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran kupon atau imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen outright. 3. Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption) Dalam hal terjadi kegagalan setelmen Transaksi Repo jatuh waktu dan lending facility jatuh waktu yang menggunakan SBI, perhitungan setelmen nilai tunai sebagai berikut : nilai tunai early redemption= Keterangan : Tingkat Diskonto Sisa jangka waktu nilai nominal × 360 360 + (tingkat diskonto × sisa jangka waktu : rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada saat SBI diterbitkan. : jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal gagal setelmen transaksi Operasi Moneter sampai dengan tanggal jatuh waktu SBI (maturity … 10 (maturity date). 4. Pelunasan SDBI sebelum jatuh waktu (early redemption) Early redemption terhadap SDBI dilakukan dalam hal terjadi kegagalan setelmen transaksi repo jatuh waktu, lending facility jatuh waktu atau terjadi transaksi antara Bank dengan pihak selain Bank yang menggunakan SDBI, dengan perhitungan nilai setelmen nilai tunai sebagai berikut : nilai tunai early redemption = Keterangan: Tingkat diskonto Sisa jangka waktu yang gagal setel × 360 nilai nominal 360+ tingkat diskonto × sisa jangka waktu : Rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada saat SDBI diterbitkan. : Jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal gagal setelmen transaksi Operasi Moneter sampai dengan tanggal jatuh waktu SDBI (maturity date). V. PERHITUNGAN NILAI AGUNAN DAN NILAI SETELMEN SURAT BERHARGA DALAM VALUTA ASING 1. Nilai nominal Surat Berharga dalam valuta asing yang diagunkan pada setelmen first leg dihitung sebagai berikut: nilai nominal Surat Berharga dalam valuta asing yang diagunkan Keterangan: Nilai setelmen first leg Kurs transaksi Harga Berharga Surat = kurs transaksi × nilai setelmen first leg harga Surat Berharga − haircut : Besarnya nominal Rupiah yang dimenangkan pada saat setelmen first leg : Kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi : Harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan pada saat pelaksanaan transaksi … 11 transaksi untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond). Haircut : Haircut sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada saat pelaksanaan transaksi untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond). 2. Kurs Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen atas transaksi yang menggunakan Surat Berharga dalam valuta asing adalah kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi. 3. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai berikut: nilai setelmen = second leg bunga Transaksi Repo nilai setelmen first leg = + bunga Transaksi Repo nilai setelmen first leg × repo rate × jangka waktu 360 Keterangan : Jangka waktu : Jangka waktu Transaksi Repo VI. PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA OPERASI MONETER 1. Peserta Operasi Moneter a. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti Operasi Moneter dalam Rupiah adalah Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) berstatus aktif sebagai peserta di BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS; 2) tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter; 3) wajib memiliki rekening giro di Bank Indonesia; dan 4) wajib memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS. b. Peserta … 12 b. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti transaksi Operasi Moneter dalam valuta asing adalah Bank devisa, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter; 2) wajib memiliki rekening giro valuta asing di Bank Indonesia; dan/atau 3) wajib memiliki rekening surat berharga di lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia, untuk transaksi Operasi Moneter dengan Surat Berharga dalam valuta asing yang tidak ditatausahakan di Bank Indonesia. c. Peserta Operasi Moneter wajib: 1) menyediakan dana Rupiah di rekening giro di Bank Indonesia dan/atau Surat Berharga di rekening Surat Berharga di BI-SSSS yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi Operasi Moneter. 2) mentransfer dana valuta asing ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden dan/atau Surat Berharga dalam valuta asing ke rekening Surat Berharga di Bank Indonesia atau ke rekening surat berharga Bank Indonesia di lembaga kustodian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi Operasi Moneter. d. Peserta Operasi Moneter melakukan transaksi Operasi Moneter untuk kepentingan diri sendiri. 2. Lembaga Perantara a. Lembaga perantara melakukan transaksi OPT untuk kepentingan peserta Operasi Moneter. b. Lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1) pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing; dan 2) perusahaan … 13 2) perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama. c. Perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam butir b.2) hanya dapat menjadi lembaga perantara dalam Transaksi Repo, Transaksi Reverse Repo dan transaksi pembelian atau penjualan SBN secara outright di pasar sekunder. d. Persyaratan lembaga perantara adalah sebagai berikut: 1) berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS; dan 2) tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang. VII. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/16/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/30/DPM tanggal 27 Agustus 2013 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/16/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter. dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 2015 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, FILIANINGSIH HENDARTA KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 16/22/DPM|SE-BI/2014 </reg_id> <reg_title> Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter. </reg_title> <set_date> 24 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 12 Januari 2015 </effective_date> <replaced_reg> '15/30/DPM|SE-BI/2013', '12/16/DPM|SE-BI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '15/5/PBI/2013', '12/11/PBI/2010' </related_reg>
No. 3/ 9 /BKr Jakarta, 17 Mei 2001 S U R A T E D A R A N kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil ---------------------------------------------------------------- Menunjuk Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil, dengan ini kami beritahukan Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil sebagai berikut: I. UMUM 1. Kriteria Usaha Kecil Usaha kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); c. milik Warga Negara Indonesia; d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung, maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; e. berbentuk .... Lanjt. SE No. 3/ /BKr tanggal 2001 ----------------------------------------------------------------------- e. berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. 2. Cakupan Kredit Usaha Kecil (KUK) a. Yang termasuk dalam KUK sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil adalah kredit atau pembiayaan dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja, yang diberikan dalam Rupiah dan atau Valuta Asing kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit keseluruhan maksimum Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk membiayai usaha yang produktif, termasuk pula kredit program. b. Kredit program adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada usaha kecil dan koperasi dalam rangka membantu program Pemerintah, yang dananya baik sebagian maupun seluruhnya berasal dari Pemerintah, termasuk bantuan luar negeri, dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia yang dikelola oleh BUMN, dana bank sendiri yang disubsidi dan atau dijamin oleh Pemerintah atau pihak lain berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. II. RENCANA PEMBERIAN KUK 1. Rencana pemberian KUK merupakan bagian dari Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT). Pada setiap awal tahun takwim, Bank diwajibkan membuat rencana pemberian KUK yang besarnya ditentukan sendiri oleh bank sesuai dengan arah kebijakan perkreditannya. Besarnya rencana pemberian KUK dinyatakan dalam nominal dan persentase terhadap rencana pemberian kredit keseluruhan. 2. Dalam ... Lanjt. SE No. 3/ /BKr tanggal 2001 ----------------------------------------------------------------------- 2. Dalam hal terdapat perubahan rencana pemberian KUK dari rencana yang telah ditetapkan pada tahun berjalan, Bank wajib menyampaikan perubahan berikut alasannya kepada Bank Indonesia. 3. Tata cara pelaporan rencana pemberian KUK maupun pelaporan perubahan rencana pemberian KUK dan penyampaiannya berpedoman pada ketentuan tentang RKAT. III. PENCAPAIAN PEMBERIAN KUK 1. Untuk keperluan statistik, Bank Indonesia melakukan perhitungan pencapaian pemberian KUK dengan perbandingan antara posisi jumlah KUK dengan jumlah kredit yang diberikan untuk seluruh kantor bank di dalam negeri, dengan formula sebagai berikut: Total KUK = --------------------- x 100% Total Kredit a. Total KUK adalah jumlah baki debet KUK dalam Rupiah dan valuta asing pada posisi akhir bulan laporan. Dalam Laporan Bulanan Bank Umum, total KUK merupakan penjumlahan dari nilai pada: - formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” jenis valuta Rupiah dan valuta asing, dan Golongan Kredit KUK lainnya (sandi 19); - formulir 30 “Daftar Rincian Penerusan Kredit” jenis valuta Rupiah dan valuta asing, jenis kredit KUK dalam rangka penerusan kredit dari Bank Indonesia (sandi 10), dan KUK lainnya (sandi 20); - formulir 04 “Daftar Rincian Penempatan pada Bank Lain” jenis Kredit yang diberikan dalam rangka KUK (sandi 65) dengan Sandi Bank 600 (BPR). Lanjt. SE No. 3/ /BKr tanggal 2001 ----------------------------------------------------------------------- b. Total ... b. Total kredit adalah jumlah baki debet kredit dalam Rupiah dan valuta asing pada posisi akhir bulan laporan. Dalam Laporan Bulanan Bank Umum, total kredit merupakan penjumlahan dari nilai pada: - formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” jenis valuta Rupiah dan valuta asing”; - formulir 30 “Daftar Rincian Penerusan Kredit” jenis valuta Rupiah dan valuta asing, jenis kredit sandi 10 sampai dengan 99; - formulir 04 “Daftar Rincian Penempatan pada Bank Lain” jenis Kredit yang diberikan dalam rangka KUK (sandi 65) dengan Sandi Bank 600 (BPR); IV. LAPORAN PELAKSANAAN PEMBERIAN KUK 1. Setiap bulan Bank wajib melaporkan posisi atas Pemberian KUK melalui Laporan Bulanan Bank Umum (LBU). 2. Tata cara pelaporan pelaksanaan pemberian KUK mengacu kepada Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU). V. PENGUMUMAN PENCAPAIAN PEMBERIAN KUK 1. Bank wajib mengumumkan pemberian KUK kepada masyarakat, dengan mencantumkan dalam Laporan Keuangan Publikasi. 2. Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada butir 1 dilakukan sesuai dengan ketentuan tentang Laporan Keuangan Publikasi yang berlaku. VI. KERJASAMA ... Lanjt. SE No. 3/ /BKr tanggal 2001 ----------------------------------------------------------------------- VI. KERJASAMA DALAM RANGKA PEMBERIAN KUK 1. Pemberian kredit dari Bank Umum kepada BPR Dalam hal Bank memberikan kredit kepada BPR sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), maka dilaporkan dalam LBU pada formulir 04 “Daftar Rincian Penempatan pada Bank Lain” jenis Kredit yang diberikan dalam rangka KUK (sandi 65) dengan Sandi Bank 600 (BPR); 2. Pembiayaan Bersama Dalam hal Bank melakukan kerjasama dengan Bank lain dalam pemberian KUK, maka baik Bank yang bertindak sebagai bank induk maupun bank peserta masing-masing mengadministrasikan pemberian KUK dan dilaporkan dalam LBU sebesar pangsanya. Kredit dimaksud dilaporkan pada formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” dengan Sifat Pembiayaan Bersama (sandi 10) jenis valuta Rupiah dan atau valuta asing Golongan Kredit KUK lainnya (sandi 19); khusus untuk Bank Syariah dengan Sifat Pembiayaan Musyarakah (sandi 50) Golongan Kredit KUK lainnya (sandi 19). 3. Penerusan Kredit a. Pada saat Bank melimpahkan dana kepada Bank lain dan atau BPR yang belum disalurkan kepada nasabah KUKnya, Bank pemilik dana melaporkan kredit tersebut dalam LBU pada formulir 04 “Daftar Rincian Penempatan pada Bank lain” jenis “Kredit yang diberikan” lainnya (sandi 69). b. Pada saat Bank melimpahkan dana kepada Lembaga Pembiayaan dan belum disalurkan kepada nasabah KUKnya, Bank pemilik dana melaporkan... Lanjt. SE No. 3/ /BKr tanggal 2001 ----------------------------------------------------------------------- melaporkan kredit tersebut dalam LBU pada formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” jenis valuta Rupiah dan atau valuta asing Golongan Kredit bukan KUK (sandi 20). c. Pada saat Bank lain, BPR atau Lembaga Pembiayaan telah menyalurkan dana tersebut kepada nasabah KUKnya dan menyampaikan Daftar Nominatif Nasabah KUK kepada Bank pemilik dana, maka kredit dimaksud diperhitungkan sebagai KUK dan Bank pemilik dana melaporkannya dalam LBU formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” jenis valuta Rupiah dan atau valuta asing Sifat Penyaluran kredit melalui lembaga lain - channelling (sandi 20) dan Golongan Kredit KUK lainnya (sandi 19), dengan mencantumkan jumlah nasabah yang telah menerima KUK pada kolom jumlah rekening. 4. Pengambilalihan Kredit a. Pengambilalihan kredit adalah pemindahan seluruh hak dan risiko atas kredit dari Bank lain, BPR atau Lembaga Pembiayaan kepada Bank pengambil alih. Kredit yang diambil alih dapat diperhitungkan sebagai KUK jika kredit tersebut memenuhi kriteria KUK. b. Pengambilalihan KUK pada huruf a dilaporkan dalam LBU pada formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” jenis valuta Rupiah dan atau valuta asing kolom sifat Pengambilalihan Kredit (sandi 40) dan Golongan Kredit KUK lainnya (sandi 19). c. Pengambilalihan KUK ini akan mengurangi total KUK yang dimiliki oleh Bank lain yang diambil alih KUKnya dan akan menambah total KUK Bank pengambil alih. VII. BANTUAN... Lanjt. SE No. 3/ /BKr tanggal 2001 ----------------------------------------------------------------------- VII. BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PEMBERIAN KUK 1. Bantuan teknis yang diberikan Bank Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Bank dalam pemberian KUK. 2. Bantuan teknis yang diberikan berupa: a. Pelatihan kepada pegawai/pejabat bank yang menangani KUK dan atau, b. Penyediaan informasi yang berkaitan dengan pemberian kredit usaha kecil, antara lain sosialisasi, workshop dan penelitian. 3. Bank penyalur KUK yang membutuhkan bantuan teknis dapat meminta informasi dan atau mengajukan permohonan bantuan teknis tersebut kepada Bank Indonesia sebagai berikut: a. Untuk bank yang berkedudukan di wilayah kerja Bank Indonesia Jabotabek disampaikan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia cq. Biro Kredit dengan alamat Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat. b. Untuk bank yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia yang mewilayahinya. 4. Bank Indonesia akan melakukan seleksi permohonan tersebut dan memberitahukan kepada bank yang bersangkutan mengenai keikutsertaannya dalam bantuan teknis dimaksud. 5. Dalam pelaksanaan bantuan teknis tersebut, Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan lembaga lain. VIII. LAIN-LAIN Ketentuan lain yang menyangkut pemberian KUK yang tidak diatur dalam Surat Edaran ini seperti suku bunga kredit, jangka waktu kredit dan lain sebagainya... Lanjt. SE No. 3/ /BKr tanggal 2001 ----------------------------------------------------------------------- sebagainya diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Bank pemberi kredit sesuai kelaziman perbankan dan perundang-undangan yang berlaku. IX. KETENTUAN PERALIHAN 1. Bagi bank yang merencanakan menyalurkan KUK namun belum memasukkan rencana pemberian KUK tersebut dalam RKAT tahun 2001, wajib menyampaikan rencana pemberian KUK sebagai tambahan RKAT yang telah disampaikan oleh Bank paling lambat tanggal 30 Juni 2001. 2. Pengumuman pencapaian KUK untuk pertama kali dicantumkan dalam Laporan Keuangan Publikasi Maret 2001. 3. Untuk pertama kali program bantuan teknis dalam rangka pemberian KUK dilaksanakan Juni 2001. X. PENUTUP 1. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran No. 30/1/UK tanggal 4 April 1997 perihal Kredit Usaha Kecil (KUK) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. 2. Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. BANK INDONESIA Abdul Azis Kepala Biro BKr
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 3/9/BKr|SE-BI/2001 </reg_id> <reg_title> Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil </reg_title> <set_date> 17 Mei 2001 </set_date> <replaced_reg> '30/1/UK|SE-BI/1997' </replaced_reg> <related_reg> '3/2/PBI/2001' </related_reg>
No. 12/ 16 /DPM Jakarta, 6 Juli 2010 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA PERANTARA Perihal : Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tanggal 2 Juli 2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141), perlu ditetapkan ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan Surat Berharga, peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia, sebagai berikut : I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan yang berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities). 3. Operasi … 2 3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dalam rangka Operasi Moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Peserta Operasi Moneter. 4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. 5. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 7. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 9. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 10. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 11. Zero … 3 11. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disebut ZCB adalah Obligasi Negara tanpa kupon, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 12. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disebut ORI adalah Obligasi Negara yang pada pasar perdana dijual kepada individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia. 13. Surat Berharga Syariah Negara Ritel atau yang selanjutnya disebut SBSN Ritel, atau dapat disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual. 14. Transaksi Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut transaksi repo adalah transaksi penjualan Surat Berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 15. Transaksi Outright adalah transaksi pembelian dan penjualan Surat Berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia secara putus tanpa kewajiban penjualan dan pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter. 16. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya, dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. 17. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. II. SURAT… 4 II. SURAT BERHARGA 1. Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter adalah sebagai berikut : a. diterbitkan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik Indonesia; b. dalam mata uang rupiah; c. ditatausahakan di BI-SSSS; d. tercatat di rekening perdagangan/aktif (active) di BI-SSSS; dan e. tidak sedang diagunkan. 2. Jenis-jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 1 terdiri dari : a. SBI; dan b. SBN, yang terdiri dari : a. SUN, yang terdiri dari SPN dan Obligasi Negara termasuk ZCB dan ORI; dan b. SBSN termasuk SBSN Ritel. 3. Persyaratan Surat Berharga : Untuk transaksi repo dalam rangka OPT dan lending facility : a. SBI Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada saat second leg transaksi repo. b. SBN Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat second leg transaksi repo. III. HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA 1. Harga dan haircut Surat Berharga ditetapkan dan diumumkan oleh Bank Indonesia di BI-SSSS dan/atau sarana lainnya. 2. Harga … 5 2. Harga Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan sebagai berikut : a. Harga SBI ditetapkan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SBI. b. Harga SBN ditetapkan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN. 3. Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga Surat Berharga. 4. Haircut sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan sebesar : a. 0% (nol per seratus) untuk SBI; dan b. 5% (lima per seratus) untuk SBN. 5. Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan mengumumkan perubahan tersebut melalui BI-SSSS, Sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan/atau sarana lainnya. 6. Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara outright oleh peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg transaksi repo atau lending facility, maka harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga pada tanggal transaksi outright paling tinggi sebesar harga pada transaksi first leg. 7. Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara outright oleh peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg transaksi reverse repo, maka harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga pada tanggal transaksi outright paling rendah sebesar harga pada transaksi first leg. IV. PERHITUNGAN … 6 IV. PERHITUNGAN NILAI SETELMEN 1. Perhitungan nilai setelmen transaksi lending facility, transaksi repo dan transaksi reverse repo a. Nilai setelmen Surat Berharga adalah sebesar nilai nominal Surat Berharga yang direpokan atau direverse repokan. b. Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung sebagai berikut: 1) SBI, SPN, ZCB dan SBSN tanpa kupon setelmen Nilai f leg irst Nominal Surat = Berharga yang × direpo kan  Harga   Berharga Surat 2) Obligasi Negara termasuk ORI Nominal Surat setelmen Nilai f leg irst 3) SBSN setelmen Nilai f leg irst = Berharga yang × direpo kan     Keterangan: Harga Surat Berharga : Harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan pada BI-SSSS pada tanggal transaksi lending facility, transaksi repo dan transaksi reverse repo. Haircut : Haircut sebagaimana diumumkan pada BI-SSSS pada transaksi lending facility, transaksi repo dan transaksi reverse repo. Accrued Interest dan Accrued Imbalan : Hak atas kupon/imbalan Surat Berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran kupon/imbalan dengan tanggal setelmen first leg. c. Nilai … Nominal Surat    Berharga H Surat arga - Haircut        + Accrued Imbalan = Berharga yang × direpo kan        Berharga H Surat arga - Haircut - Haircut           + Interest Accrued terakhir sampai 7 c. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai berikut: setelmen Nilai s ond leg ec = setelmen Nilai first Transaksi R oep Reverse Repo / = Lending F Bunga / acility Keterangan: Jangka waktu leg Bunga + Transaksi Repo/Rever s Repoe Lending Facility setelmen Nilai first leg / R oe × epo p Reverse / × R rate Jangka waktu 360 : Jangka waktu lending facility atau transaksi repo atau transaksi reverse repo 2. Transaksi Outright Perhitungan nilai setelmen transaksi pembelian atau penjualan Surat Berharga secara outright sebagai berikut : a. SPN, ZCB dan SBSN tanpa kupon Setelmen Nilai Outright Setelmen Nilai Outright c. SBSN Setelmen Nilai Outright =      Nominal Berharga Surat × Berharga Surat Harga      + Accrued imbalan =      Nominal = Berharga Surat x Berharga Surat Harga b. Obligasi Negara termasuk ORI Nominal Berharga Surat × Berharga Surat Harga      + Accrued interest Keterangan … 8 Keterangan : Harga Surat Berharga : Harga Surat Berharga dimaksud sebagaimana diumumkan pada BI-SSSS pada tanggal transaksi outright, atau paling tinggi sebesar harga transaksi first leg. Accrued interest dan accrued imbalan : hak atas kupon/imbalan surat Berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran kupon/imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen outright. 3. Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption) Dalam hal terjadi kegagalan setelmen transaksi repo jatuh waktu dan lending facility jatuh waktu yang menggunakan SBI, perhitungan setelmen nilai tunai sebagai berikut : N Tunai ilai = early redemption Keterangan : Tingkat diskonto 360 + (Tingkat Diskonto x Sisa Jangka Waktu ) : rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada saat SBI diterbitkan. V. PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA OPERASI MONETER 1. Peserta Operasi Moneter a. Peserta Operasi Moneter adalah Bank. b. Persyaratan peserta Operasi Moneter adalah sebagai berikut: a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS; b. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter; c. wajib memiliki rekening giro di Bank Indonesia; dan d. wajib memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS. c. Peserta Operasi Moneter wajib menyediakan dana di rekening giro di Bank Indonesia dan/atau surat berharga di rekening surat berharga di BI-SSSS … N Nominal ilai x 360 9 BI-SSSS yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi Operasi Moneter. d. Peserta Operasi Moneter melakukan transaksi Operasi Moneter untuk kepentingan diri sendiri. 2. Lembaga Perantara a. Lembaga Perantara melakukan transaksi OPT untuk kepentingan peserta Operasi Moneter. b. Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud pada huruf a terdiri dari: 1) Pialang pasar uang rupiah dan valuta asing; dan 2) Pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai Dealer Utama. c. Pialang pasar modal sebagaimana dimaksud pada butir b.2) hanya dapat menjadi lembaga perantara dalam transaksi repo, transaksi reverse repo dan transaksi pembelian atau penjualan Surat Berharga secara outright. d. Persyaratan Lembaga Perantara adalah sebagai berikut : 1) berstatus aktif sebagai Peserta BI-SSSS; dan 2) tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang. VI. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Juli 2010. Agar … 10 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA, HENDAR DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
<reg_type> SE-BI </reg_type> <reg_id> 12/16/DPM|SE-BI/2010 </reg_id> <reg_title> Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter </reg_title> <set_date> 6 Juli 2010 </set_date> <effective_date> 7 Juli 2010 </effective_date> <related_reg> '12/11/PBI/2010' </related_reg>
Yth. 1. Direksi Bank Umum Konvensional; dan 2. Direksi Bank Umum Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /SEOJK.03/2016 TENTANG LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI OTORITAS JASA KEUANGAN Sehubungan dengan peraturan-peraturan yang terkait dengan penggunaan peringkat dari suatu eksposur yang dimiliki Bank, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Pengaturan mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dilakukan antara lain dengan menyempurnakan cakupan penilaian, termasuk parameter dalam kriteria penilaian, yang digunakan Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan penilaian terhadap lembaga pemeringkat. 2. Lembaga pemeringkat merupakan salah satu elemen penting yang berperan dalam mendukung operasional suatu sistem keuangan, antara lain untuk membantu terciptanya transparansi pasar keuangan dan mendorong investasi yang efisien yang dapat mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. 3. Dalam kegiatan usaha perbankan, penetapan peringkat oleh lembaga pemeringkat terhadap eksposur yang dimiliki oleh Bank merupakan salah satu alat bantu bagi Bank dalam pengelolaan risiko. 4. Lembaga ... - 2 - 4. Lembaga pemeringkat yang dapat diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga pemeringkat yang memenuhi penilaian sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 5. Peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan merupakan peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan. 6. Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengkinian terhadap daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan hasil penilaian dan pemantauan terhadap lembaga pemeringkat dimaksud berdasarkan standar internasional yang berlaku. II. PENILAIAN LEMBAGA PEMERINGKAT A. Prinsip Umum Prinsip umum dalam melakukan penilaian terhadap lembaga pemeringkat antara lain: 1. penilaian yang dilakukan tidak menghambat perkembangan industri pemeringkatan, dapat menstimulasi kompetisi yang sehat, dan mendorong terciptanya disiplin pasar (market discipline); 2. penilaian ditujukan untuk mendorong agar lembaga pemeringkat menghasilkan peringkat yang dapat diandalkan; dan 3. penilaian dilakukan dengan mengacu pada standar dan praktek internasional yang sehat untuk mendukung terciptanya konsistensi diantara regulator lainnya, khususnya dalam melakukan penilaian dan pengakuan terhadap lembaga pemeringkat yang berskala regional maupun internasional. B. Cakupan Penilaian Penilaian terhadap lembaga pemeringkat dilakukan berdasarkan pemenuhan atas kriteria penilaian serta media publikasi dan cakupan pengungkapan, sebagai berikut: 1. Kriteria yang menjadi acuan dalam melakukan penilaian terhadap lembaga pemeringkat adalah: a. Independensi Kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat independensi atau kebebasan lembaga pemeringkat dari segala bentuk kepentingan ... - 3 - kepentingan, seperti kepentingan ekonomi, sosial dan/atau politik, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hasil pemeringkatan yang diterbitkan. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria independensi adalah: 1) independensi kedudukan dan kondisi lembaga pemeringkat, dalam hal ini lembaga pemeringkat tidak berada di bawah tekanan ekonomi, sosial dan/atau politik yang dapat mempengaruhi proses dan hasil pemeringkatan; 2) independensi kegiatan usaha, dalam hal ini lembaga pemeringkat beroperasi sebagai badan usaha yang berdiri sendiri dan terpisah dari kegiatan usaha lainnya yang tidak berkaitan dengan penyediaan jasa pemeringkatan; 3) independensi prosedur pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat memiliki prosedur pemeringkatan yang dapat menjaga independensi dari benturan kepentingan dengan pihak yang diperingkat, yang dapat timbul antara lain karena pihak yang diperingkat dikenakan biaya pemeringkatan; 4) independensi kontrak perjanjian pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat mempertahankan independensi dalam setiap kontrak perjanjian pemeringkatan. Independensi harus diperhatikan terutama apabila lembaga pemeringkat melakukan kegiatan usaha lainnya yang berkaitan dengan penyediaan jasa pemeringkatan kepada pihak yang diperingkat; dan 5) independensi kegiatan operasional, dalam hal ini lembaga pemeringkat memiliki kebijakan, pengamanan operasional, dan code of conduct yang dapat menjamin independensi kegiatan operasional lembaga pemeringkat. b. Obyektivitas Kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat obyektivitas dan efektivitas dari prosedur dan metodologi yang digunakan ... - 4 - digunakan dan dikembangkan, kewajaran dan konsistensi dari kriteria pemeringkatan, serta obyektivitas proses penetapan peringkat. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria obyektivitas adalah: 1) obyektivitas prosedur pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat memiliki prosedur pemeringkatan yang sistematis yang mengacu pada standar internasional dan dirancang untuk menghasilkan peringkat yang dapat diandalkan; 2) obyektivitas metodologi pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat memiliki metodologi pemeringkatan bagi setiap segmen pasar yang dapat diandalkan, sistematis, memperhitungkan seluruh eksposur risiko dari pihak yang diperingkat, dan melalui tahapan pengujian (backtesting) serta validasi berdasarkan pengalaman historis paling sedikit 1 (satu) tahun terakhir, namun diutamakan mencakup periode 3 (tiga) tahun terakhir; 3) obyektivitas proses penetapan peringkat, dalam hal ini lembaga pemeringkat memiliki komite pemeringkat (rating committee) untuk memastikan tercapainya obyektivitas, kewajaran serta analisis yang menyeluruh dalam proses penetapan peringkat; 4) obyektivitas hasil pemeringkatan, antara lain dinilai dari faktor-faktor: (a) lembaga pemeringkat mengungkapkan seluruh faktor yang mempengaruhi hasil pemeringkatan dan memiliki keberanian untuk menerbitkan suatu peringkat yang tidak populer atau tidak sejalan dengan ekspektasi umum; (b) lembaga pemeringkat memperhatikan batasan (system boundary) yang telah ditetapkan. Sebagai contoh untuk pemeringkatan perusahaan, lembaga pemeringkat antara lain harus memperhatikan seluruh sektor usaha dari perusahaan ... - 5 - perusahaan yang terkait dengan pihak yang diperingkat; dan (c) lembaga pemeringkat memperhatikan isu-isu dan peraturan di suatu negara secara spesifik yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeringkatan; 5) obyektivitas standar pemeringkatan, antara lain dinilai dari faktor-faktor: (a) lembaga pemeringkat menggunakan standar minimum yang diakui secara internasional dalam melakukan pemeringkatan, termasuk pemeringkatan terhadap bidang baru; dan (b) memiliki kebijakan mengenai pemeringkatan yang dilakukan atas inisiatif lembaga pemeringkat (unsolicited rating); dan 6) kaji ulang (review) oleh lembaga pemeringkat secara berkala terhadap praktik, prosedur, kriteria, dan metodologi pemeringkatan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk memastikan kualitas, konsistensi, dan obyektivitas hasil pemeringkatan. Kaji ulang dilakukan oleh unit atau pejabat yang memiliki kompetensi dan tidak terlibat dalam proses pemeringkatan. c. Pengungkapan Publik (Disclosure) Kriteria ini digunakan untuk menilai pengungkapan segala sesuatu mengenai lembaga pemeringkat sehingga memungkinkan publik maupun otoritas yang berwenang melakukan penilaian terhadap independensi, obyektivitas, kapabilitas, dan operasional lembaga pemeringkat serta pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria pengungkapan publik adalah: 1) kemudahan akses bagi publik, dalam hal ini lembaga pemeringkat menyediakan kemudahan akses bagi publik agar tercipta pemahaman yang lebih baik terhadap lembaga pemeringkat, proses pemeringkatan, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga pemeringkat; 2) pengungkapan ... - 6 - 2) pengungkapan informasi yang terkait dengan proses, kriteria, metodologi pemeringkatan, rentang waktu pemeringkatan, definisi dari masing-masing peringkat, dan transisi hasil pemeringkatan, termasuk penyesuaian yang dilakukan, serta data default rate terkini untuk tiap kategori pemeringkatan termasuk definisi, yang mengacu pada standar internasional serta best practices, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang memungkinkan publik melakukan perbandingan; 3) pengungkapan benturan kepentingan, dalam hal ini lembaga pemeringkat mengungkapkan kebijakan, prosedur, dan aktivitas, yang berkaitan dengan benturan kepentingan; 4) pengungkapan perubahan internal, dalam hal ini lembaga pemeringkat mengungkapkan perubahan internal yang signifikan yang dapat mempengaruhi kemampuan lembaga pemeringkat untuk menerbitkan peringkat yang dapat diandalkan; 5) pengungkapan informasi mengenai kode etik dan kompensasi dengan pihak yang diperingkat; dan 6) prosedur pengungkapan, dalam hal ini lembaga pemeringkat memiliki prosedur yang sistematis mengenai pengungkapan sebagaimana pada angka 2) sampai dengan angka 5). d. Transparansi Pemeringkatan Kriteria ini digunakan untuk menilai keterbukaan lembaga pemeringkat kepada publik atas seluruh informasi yang terkait dengan hasil pemeringkatan, termasuk asumsi dan latar belakang penerbitan hasil pemeringkatan. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria transparansi adalah: 1) transparansi hasil pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat mempublikasikan seluruh hasil pemeringkatan setelah mendapat persetujuan pihak yang diperingkat sehingga dapat diakses secara tidak terbatas dan tanpa biaya oleh setiap pihak, baik pemeringkatan ... - 7 - pemeringkatan yang dilakukan atas inisiatif pihak yang diperingkat (solicited rating) maupun atas inisiatif lembaga pemeringkat (unsolicited rating). Lembaga pemeringkat tidak diperbolehkan memberikan lebih dahulu hak akses atas informasi hasil pemeringkatan kepada pihak yang dapat mengakses hasil pemeringkatan; 2) transparansi hasil pemantauan peringkat, dalam hal ini lembaga pemeringkat mempublikasikan hasil pemantauan dan penyesuaian peringkat (jika ada) melalui penetapan watch list, serta pencantuman periode terakhir pelaksanaan pengkajian secara menyeluruh; 3) 4) transparansi faktor-faktor yang mempengaruhi pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat mempublikasikan latar belakang pemikiran termasuk faktor-faktor kritikal dalam analisis dan pengambilan keputusan untuk setiap hasil pemeringkatan, hasil pemantauan, dan penyesuaian peringkat sebagaimana pada angka 1) dan angka 2), dengan tetap berpegang pada prinsip kerahasiaan informasi; transparansi proses, kriteria, metodologi pemeringkatan terkait hasil pemeringkatan, rentang waktu pemeringkatan, definisi dari masing-masing peringkat, dan transisi hasil pemeringkatan, termasuk penyesuaian yang dilakukan, serta data default rate terkini untuk tiap kategori pemeringkatan termasuk definisi, dalam hal ini lembaga pemeringkat mempublikasikan hal-hal dimaksud yang digunakan dalam menghasilkan suatu peringkat. Publikasi mencakup pula hal-hal yang bersifat struktural seperti metodologi yang digunakan untuk mengevaluasi risiko- risiko material yang terkandung dalam berbagai instrumen keuangan dan industri tertentu serta asumsi, ekspektasi, dan argumentasi yang mendasari analisis hasil pemeringkatan; dan 5) transparansi ... - 8 - 5) transparansi metode analisa dalam proses pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat mengungkapkan metode analisa yang digunakan dalam proses pemeringkatan antara lain: (a) analisa dipublikasikan; (b) analisa statistik atas informasi yang dipublikasikan yang dikonfirmasikan melalui diskusi antara lembaga pemeringkat dan pihak yang diperingkat; dan/atau (c) analisa atas informasi yang dipublikasikan dan informasi yang tidak dipublikasikan, yang diperoleh dari hasil diskusi antara lembaga pemeringkat dan pihak yang diperingkat. e. Sumber Daya (Resources) Kriteria ini digunakan untuk menilai kemampuan lembaga pemeringkat dalam memberikan jasa pemeringkatan, baik dari aspek sumber daya manusia (human resources), aspek sumber daya keuangan (financial resources), maupun dukungan pemegang saham, yang memungkinkan lembaga pemeringkat beroperasi secara independen dan profesional. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria sumber daya adalah: 1) statistik atas informasi yang sumber daya manusia antara lain dinilai dari faktor- faktor sebagai berikut: (a) memiliki kebijakan dan prosedur yang memadai mengenai pengadaan, pengelolaan, dan pengembangan sumber daya manusia; (b) mengungkapkan informasi terkini mengenai kualifikasi dan pengalaman dari analis pemeringkat, serta sektor maupun pihak-pihak yang diperingkat oleh analis; dan (c) melakukan koordinasi dan komunikasi secara rutin dengan pejabat pada level senior dan pegawai pada level teknis atau operasional dari pihak yang diperingkat; 2) sumber ... - 9 - 2) sumber daya keuangan, antara lain dinilai dari kemampuan dan kinerja keuangan yang baik; 3) dukungan pemegang saham, dalam hal ini terdapat komitmen tertulis dari pemegang saham yang menyatakan bahwa lembaga pemeringkat akan beroperasi di Indonesia dalam jangka panjang dan kesediaan untuk membantu mengatasi permasalahan dalam hal lembaga pemeringkat mengalami kesulitan keuangan; dan 4) pendekatan pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat melakukan proses pemeringkatan dengan menggunakan metodologi yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. f. Kredibilitas Kriteria ini digunakan untuk menilai pengakuan dan akseptabilitas oleh pasar terhadap keberadaan lembaga pemeringkat sebagai penyedia jasa pemeringkatan yang dapat diandalkan. Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria kredibilitas lembaga pemeringkat adalah: 1) memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan atau otoritas yang berwenang lainnya; 2) telah menjalankan kegiatan operasional paling sedikit 1 (satu) tahun; 3) telah mempublikasikan paling sedikit 2 (dua) hasil pemeringkatan; 4) memiliki kebijakan dan prosedur internal untuk mencegah penyalahgunaan dan/atau penyebaran informasi non-publikasi kepada pegawai atau pihak yang tidak berwenang serta pihak eksternal, yang dapat memperoleh keuntungan atas informasi tersebut; dan 5) memiliki rekam jejak dalam penerbitan hasil pemeringkatan yang dapat diandalkan. Pendekatan dalam menilai rekam jejak antara lain dilakukan melalui evaluasi terhadap studi terjadinya default (default study). Untuk lembaga pemeringkat yang baru berdiri ... - 10 - berdiri, penilaian rekam jejak dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah dan pengalaman analis pemeringkat yang dimiliki. 2. Media publikasi dan cakupan pengungkapan, dalam hal ini lembaga pemeringkat harus memiliki situs web yang mudah untuk diakses oleh publik yang memuat seluruh informasi yang harus diungkapkan atau dipublikasikan sebagaimana pada angka 1. Dalam hal situs web lembaga pemeringkat merupakan bagian dari situs web perusahaan induk, lembaga pemeringkat harus memiliki situs web atau region site tersendiri. III. PUBLIKASI LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI OTORITAS JASA KEUANGAN 1. Berdasarkan penilaian terhadap pemenuhan kriteria sebagaimana tercantum pada angka II, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dalam suatu daftar yang digunakan dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang terkait dengan penggunaan peringkat suatu eksposur. 2. Daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana pada angka 1 dipublikasikan melalui situs web Otoritas Jasa Keuangan pada www.ojk.go.id. IV. PENGKINIAN DAFTAR LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI 1. Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengkinian atas daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dalam hal diperlukan, berdasarkan hasil penilaian dan pemantauan terhadap pemenuhan kriteria penilaian serta media publikasi dan cakupan pengungkapan sebagaimana pada butir II.B. 2. Untuk keperluan pengkinian sebagaimana pada angka 1, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta kepada lembaga pemeringkat untuk menyampaikan laporan kinerja keuangan tahunan yang telah diaudit. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta informasi tertulis mengenai setiap perubahan yang signifikan, antara lain mengenai struktur organisasi atau manajemen, formasi analis pemeringkat, prosedur dan metodologi pemeringkatan, dan/atau informasi ... - 11 - informasi lain, yang dapat mempengaruhi kemampuan lembaga pemeringkat dalam menghasilkan peringkat yang dapat diandalkan. 3. Lembaga pemeringkat dapat dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan: a. hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau b. permintaan lembaga pemeringkat. 4. Lembaga pemeringkat dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana pada butir 3.a dalam hal: a. lembaga pemeringkat diketahui memberikan informasi yang keliru (misleading); b. lembaga pemeringkat dikenakan sanksi oleh otoritas yang berwenang yang dapat mengganggu kelangsungan usaha lembaga pemeringkat; c. lembaga pemeringkat melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain menciptakan pasar semu atau insider trading dan/atau melakukan rekayasa untuk menghasilkan peringkat yang lebih tinggi dari yang seharusnya; dan/atau d. lembaga pemeringkat tidak memenuhi kriteria penilaian serta publikasi dan pengungkapan sebagaimana pada butir II.B. 5. Sebelum mengeluarkan lembaga pemeringkat dari daftar lembaga pemeringkat yang diakui, Otoritas Jasa Keuangan melakukan klarifikasi terhadap permasalahan yang menyebabkan lembaga pemeringkat tersebut akan dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga pemeringkat diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atas permintaan klarifikasi tersebut dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 6. Lembaga pemeringkat yang mengajukan permintaan untuk dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana pada butir 3.b, harus memenuhi persyaratan: a. memastikan masa berlaku peringkat yang diterbitkan telah habis atau memastikan terdapat lembaga pemeringkat pengganti untuk ... - 12 - untuk menerbitkan peringkat baru dalam hal eksposur yang diperingkat belum jatuh tempo; b. telah menyelesaikan seluruh kewajiban kepada pihak yang diperingkat sebelum kegiatan operasional dihentikan; c. menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum rencana penghentian kegiatan operasional; dan d. mengumumkan kepada publik mengenai rencana penghentian kegiatan operasional paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum penghentian kegiatan operasional. 7. Lembaga pemeringkat asing yang memutuskan akan menghentikan kegiatan operasionalnya di Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagaimana pada angka 6. V. KETENTUAN LAIN-LAIN 1. Bank tetap harus melakukan penilaian terhadap eksposur yang diperingkat oleh lembaga pemeringkat. 2. Bank sepenuhnya bertanggung jawab atas penggunaan pemeringkatan yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan. 3. Permohonan dari lembaga pemeringkat untuk dicantumkan dalam daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan up. Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan. 4. Proses penilaian dan pengkinian lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dilakukan selain berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini juga memperhatikan ketentuan terkait lainnya mengenai lembaga pemeringkat. VI. KETENTUAN PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/31/DPNP tanggal 22 Desember 2011 perihal Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan ... - 13 - Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 September 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 37/SEOJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI OTORITAS JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 8 September 2016 </set_date> <effective_date> 8 September 2016 </effective_date> <replaced_reg> '13/31/DPNP|SE-BI/2011' </replaced_reg>
- 1 - Yth. 1. Direksi Bank Umum Konvensional; dan 2. Direksi Bank Umum Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /SEOJK.03/2017 TENTANG PEDOMAN STANDAR SISTEM PENGENDALIAN INTERN BAGI BANK UMUM Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5861) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5988), serta sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, perlu untuk mengatur kembali pelaksanaan mengenai pedoman standar sistem pengendalian intern bagi bank umum dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: 1. Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum merupakan acuan standar sistem pengendalian intern yang harus dipenuhi oleh Bank sehingga Bank dapat memperluas dan memperdalam sesuai dengan kebutuhan Bank. 2. Bank yang telah memiliki sistem pengendalian intern namun belum memenuhi acuan Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum, harus menyesuaikan dan menyempurnakan sistem pengendalian intern Bank dengan berpedoman pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. - 2 - 3. Dalam penyusunan sistem pengendalian intern, Bank harus mempertimbangkan total aset, produk dan jasa yang ditawarkan, termasuk produk dan jasa baru, kompleksitas operasional, jaringan kantor, profil Risiko dari setiap kegiatan usaha, metode yang digunakan untuk pengolahan data dan pengukuran Risiko, serta ketentuan terkait. 4. Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum paling sedikit meliputi 5 (lima) komponen pokok, yaitu: a. pengawasan oleh manajemen dan budaya pengendalian; b. identifikasi dan penilaian Risiko; c. kegiatan pengendalian dan pemisahan fungsi; d. sistem akuntansi, informasi dan komunikasi; dan e. kegiatan pemantauan dan tindakan koreksi penyimpangan. Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/22/DPNP perihal Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Juli 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 35/SEOJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN STANDAR SISTEM PENGENDALIAN INTERN BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 7 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 7 Juli 2017 </effective_date> <replaced_reg> '5/22/DPNP|SE-BI' </replaced_reg> <related_reg> '18/POJK.03/2016', '65/POJK.03/2016' </related_reg>
Yth. PT Taspen (Persero) di Tempat SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/SEOJK.05/2013 TENTANG LAPORAN BULANAN PT TASPEN (PERSERO) Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.05/2013 tanggal 12 September 2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5443), maka perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai laporan bulanan PT Taspen (Persero) dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Laporan Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun oleh lembaga jasa keuangan non bank untuk kepentingan OJK, yang meliputi periode tanggal 1 sampai dengan akhir bulan berjalan dan disampaikan sesuai format dan menurut tata cara yang ditentukan oleh OJK. II. BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN BULANAN Bentuk dan susunan serta pedoman penyusunan Laporan Bulanan bagi PT Taspen (Persero), adalah sebagai berikut: a. untuk... -2- a. untuk Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I; b. untuk Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II, dan c. untuk Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil dan Bukan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran OJK ini. III. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN 1. PT Taspen (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan kepada OJK paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. 2. Dalam hal tanggal 10 sebagaimana dimaksud pada angka 1 jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. IV. TATA CARA PENYAMPAIAN 1. Penyampaian Laporan Bulanan dilakukan secara online melalui sistem jaringan komunikasi data OJK. 2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK belum tersedia maka Laporan Bulanan disampaikan secara online melalui surat elektronik (email) resmi perusahaan dengan melampirkan softcopy Laporan Bulanan dalam format spreadsheet ke LB.ASOS@ojk.go.id 3. Dalam hal Laporan Bulanan disampaikan secara offline, penyampaian dilakukan melalui surat yang ditandatangani oleh direksi dan ditujukan kepada: Otoritas Jasa Keuangan u.p. Direktur Pengawasan Perasuransian Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14 Jl. Lapangan... -3- Jl. Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4 Jakarta 10710 4. Penyampaian Laporan Bulanan secara offline sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. diserahkan langsung ke kantor OJK; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. 5. PT Taspen (Persero) dinyatakan telah menyampaikan Laporan Bulanan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk penyampaian secara online melalui email, dibuktikan dengan email tanda terima dari OJK, b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan: 1) surat tanda terima dari OJK, apabila laporan diserahkan langsung ke kantor OJK; atau 2) tanda terima pengiriman dari kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan, apabila laporan dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. 6. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik (email) OJK sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan/atau perubahan alamat kantor OJK sebagaimana dimaksud pada angka 3, OJK akan menyampaikan perubahan alamat melalui surat atau pengumuman. V. KETENTUAN... -4- V. KETENTUAN SANKSI 1. OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dengan jangka waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama. 2. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. 3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 2 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis ketiga. VI. KETENTUAN... -5- VI. KETENTUAN PERALIHAN 1. PT Taspen (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan kepada OJK untuk periode laporan bulan September 2013 sampai dengan periode laporan bulan Agustus 2014 paling lambat akhir bulan berikutnya. 2. Dalam hal akhir bulan berikutnya sebagaimana dimaksud pada angka 1 jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. 3. Selama periode laporan bulan September 2013 sampai dengan periode laporan bulan Agustus 2014, PT Taspen (Persero) tidak diwajibkan untuk menyampaikan laporan bulan September 2013, Desember 2013, Maret 2014, dan Juni 2014. VII. PENUTUP Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran OJK ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2013 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS IKNB OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. FIRDAUS DJAELANI Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Bantuan Hukum Direktorat Hukum Ttd. Mufli Asmawidjaja
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 13/SEOJK.05/2013 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BULANAN PT TASPEN (PERSERO) </reg_title> <set_date> 25 November 2013 </set_date> <effective_date> 25 November 2013 </effective_date> <related_reg> '3/POJK.05/2013' </related_reg> <penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
-1- Yth. 1. Direksi Bank Umum Syariah; 2. Direksi Bank Umum Konvensional yang Memiliki Unit Usaha Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /SEOJK.03/2016 TENTANG PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5842), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS). 2. Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang memadai, antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank (Theoretical Capital), dengan tetap mempertimbangkan pengembangan perbankan syariah ke depan. 3. Otoritas Jasa Keuangan memberikan kemudahan Pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dapat meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan Bank dan menyalurkan pembiayaan kepada Usaha Mikro... -2- Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)/Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dalam jumlah tertentu. 4. Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah yang kurang terlayani oleh jasa perbankan syariah, guna mendukung upaya pengembangan pembangunan nasional. II. RUANG LINGKUP 1. Jaringan Kantor Bank dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini adalah: a. kantor Bank di dalam negeri yang meliputi Kantor Cabang, Kantor Wilayah yang melakukan kegiatan operasional, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan operasional, atau Kantor Kas; b. kantor Bank di luar negeri yang meliputi Kantor Cabang atau jenis kantor lainnya yang bersifat operasional di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah. 2. Pembukaan Jaringan Kantor dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini adalah pembukaan kantor Bank termasuk pembukaan kantor Bank yang berasal dari pemindahan alamat atau perubahan status kantor Bank. 3. Pemindahan alamat kantor Bank sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak termasuk pemindahan alamat kantor Bank pada: a. zona yang sama; atau b. zona yang lebih rendah persyaratan alokasi Modal Intinya; dan tidak terdapat peningkatan status kantor Bank. 4. Layanan Syariah Bank dan Layanan Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah, tidak diperhitungkan sebagai Pembukaan Jaringan Kantor Bank. III. PENETAPAN ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA 1. Dalam rangka Pembukaan Jaringan Kantor di dalam negeri, Otoritas Jasa Keuangan mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia… -3- Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai dengan Zona 6. 2. Pembagian zona sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan dalam masing-masing zona, antara lain menggunakan parameter pertumbuhan pendapatan domestik bruto, pertumbuhan pendapatan domestik regional bruto, kinerja penyaluran, dan penghimpunan dana yang dikaitkan dengan populasi di setiap provinsi. 3. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona yang paling tidak jenuh. Untuk setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh. 4. Pembukaan Jaringan Kantor Bank di luar negeri dikelompokkan ke dalam Zona 1. 5. Pengelompokan provinsi di masing-masing zona dapat dievaluasi dan dikinikan. 6. Dalam hal terdapat provinsi baru hasil pemekaran maka provinsi tersebut mengikuti zona provinsi asal sebelum pemekaran sepanjang Otoritas Jasa Keuangan belum menetapkan zona bagi provinsi baru tersebut. 7. Daftar zona dan koefisien dari masing-masing zona adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. IV. PENETAPAN BIAYA INVESTASI PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK 1. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk masing- masing Bank berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Rincian biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. 2. Pengelompokan BUKU untuk UUS didasarkan pada Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. 3. Biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor dapat dievaluasi dan dikinikan. V. PERTIMBANGAN… -4- V. PERTIMBANGAN PENCAPAIAN TINGKAT EFISIENSI DALAM PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR 1. Perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Operating Margin (NOM). Khusus untuk UUS, penilaian pencapaian tingkat efisiensi dihitung menggunakan pencapaian tingkat efisiensi yang berlaku bagi Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya secara konsolidasi yaitu rasio BOPO dan rasio Net Interest Margin (NIM). 2. Bank yang dapat meningkatkan efisiensi sehingga mencapai rentang efisiensi tertentu diberikan pengurangan alokasi Modal Inti. 3. Terhadap Bank yang tidak mencapai rentang efisiensi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengurangi jumlah rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank walaupun Bank memiliki alokasi Modal Inti yang mencukupi. 4. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan koefisien terkait pencapaian efisiensi untuk masing-masing BUKU sebagaimana tercantum dalam Lampiran III. VI. PERHITUNGAN ALOKASI MODAL INTI BANK 1. Bank memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor terhadap jaringan kantor yang sudah ada (existing) dan terhadap rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru. 2. Kantor Bank yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah kantor yang telah berdiri kurang dari atau sama dengan 2 (dua) tahun. 3. Perhitungan alokasi Modal Inti diperoleh dari hasil perkalian antara koefisien zona untuk lokasi Jaringan Kantor Bank dengan biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor sesuai jenis kantor untuk masing-masing BUKU dan koefisien terkait pencapaian efisiensi, dengan perhitungan sebagai berikut: TC=… -5- TC = Kz x B x KF TC = Alokasi Modal Inti di suatu zona Kz = Koefisien masing-masing zona B = Biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor sesuai jenis kantor untuk masing-masing BUKU KF = Koefisien terkait pencapaian efisiensi 4. Perhitungan alokasi Modal Inti untuk UUS menggunakan Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. VII. PERHITUNGAN KETERSEDIAAN ALOKASI MODAL INTI BANK 1. Bank yang mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB). 2. Ketersediaan alokasi Modal Inti dilakukan berdasarkan perhitungan sebagai berikut: n E M TC JKE ) p1 TC  ( ETC M TCp JKEp p  p = Ketersediaan alokasi Modal Inti = Modal Inti = Jumlah alokasi Modal Inti di suatu zona = Jumlah Jaringan Kantor Bank yang sudah ada (existing) pada suatu zona 3. Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada angka 2: a. Bank dengan nilai ketersediaan alokasi Modal Inti positif, memiliki kelebihan kapasitas Modal Inti yang dapat dialokasikan untuk membuka Jaringan Kantor. b. Bank dengan nilai ketersediaan alokasi Modal Inti nol atau negatif, tidak memiliki kelebihan kapasitas Modal Inti yang dapat dialokasikan untuk membuka Jaringan Kantor. 4. Persyaratan…. -6- 4. Persyaratan ketersediaan alokasi Modal Inti tidak berlaku terhadap: a. pembukaan Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan operasional khusus penyaluran pembiayaan kepada UMK; atau b. Pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat Bank dimaksud meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran. 5. Perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti untuk UUS diperhitungkan dalam ketersediaan alokasi Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya dengan mengacu pada penetapan biaya investasi sebagaimana dimaksud dalam butir IV.1 dan penetapan kantor Bank yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud dalam butir VI.2. VIII. PENETAPAN JUMLAH PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK 1. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi Modal Inti. Bank dimaksud dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor apabila Bank menyalurkan pembiayaan kepada: a. UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total portofolio pembiayaan; dan/atau b. UMK paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total portofolio pembiayaan Persyaratan pemenuhan tingkat kesehatan untuk UUS didasarkan pada penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya. Penilaian pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM atau UMK untuk UUS dihitung dengan menggunakan jumlah penyaluran pembiayaan… -7- pembiayaan dan kredit kepada UMKM atau UMK yang dilakukan UUS dan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya secara konsolidasi. Jumlah insentif tambahan Jaringan Kantor yang dapat dibuka sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV. 2. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor apabila: a. Bank menyalurkan pembiayaan kepada: 1) UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total portofolio pembiayaan; atau 2) UMK paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total portofolio pembiayaan; dan b. Bank melakukan pemupukan modal yang berasal dari alokasi laba dan/atau tambahan setoran modal. Pemupukan modal yang dilakukan Bank sebagian besar wajib dialokasikan untuk menutupi kekurangan alokasi Modal Inti bagi Jaringan Kantor yang sudah ada (existing), paling banyak sebesar kekurangan alokasi Modal Inti bagi Jaringan Kantor yang sudah ada (existing), dan sisanya untuk mendukung rencana Pembukaan Jaringan Kantor. 3. Otoritas Jasa Keuangan dapat mengurangi jumlah rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank walaupun Bank memiliki alokasi Modal Inti yang mencukupi. Contoh perhitungan penetapan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana tercantum dalam Lampiran V. IX. PERIMBANGAN PENYEBARAN JARINGAN KANTOR BANK PADA ZONA TERTENTU Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3 atau BUKU 4 diatur sebagai berikut: 1. Pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2 wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC di Zona 5 atau Zona 6. 2. Pembukaan... -8- 2. Pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2 wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KCP atau 1 (satu) KC di Zona 5 atau Zona 6. 3. Kewajiban pembukaan KC atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 untuk Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dengan ketentuan: a. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor konvensional maka kewajiban sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP berupa KC atau KCP konvensional atau syariah. b. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor syariah maka kewajiban sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP syariah. 4. Kewajiban pembukaan KC atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 3, tetap harus memperhitungkan kecukupan alokasi Modal Inti. 5. Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dihitung secara kumulatif. Contoh: Bank A (BUKU 4) pada tahun 2015 melakukan pembukaan 2 (dua) KC di Zona 1 dan pada tahun 2016 Bank A melakukan pembukaan 4 (empat) KC di Zona 1. Dengan demikian, Bank A harus membuka 2 (dua) KC di Zona 5 dan/atau Zona 6. 6. Bank yang mempunyai kewajiban untuk membuka KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 namun belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3, dan Zona 4. 7. Kewajiban Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah... -9- Pemerintah Daerah dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusatnya. Contoh: Bank yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang berkantor pusat di Provinsi DKI Jakarta (Zona 1) dan termasuk BUKU 3, apabila akan membuka 3 (tiga) KC di Provinsi DKI Jakarta, Bank dimaksud tidak wajib membuka 1 (satu) KC di Zona 5 atau Zona 6. 8. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud pada angka 7 meliputi juga provinsi hasil pemekaran wilayah, sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah tersebut belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran. Contoh: Bank A (BUKU 3) merupakan Bank yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang berkantor pusat di Provinsi X yang berada pada Zona 2. Terjadi pemekaran wilayah pada Provinsi X menjadi Provinsi X dan Provinsi X1. Dalam hal Bank A akan membuka 3 (tiga) KC di Provinsi X1, Bank A tidak wajib membuka 1 (satu) KC di Zona 5 atau Zona 6, sepanjang Pemerintah Daerah Provinsi X1 belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di Provinsi X1. X. LAIN-LAIN 1. Perhitungan jumlah Modal Inti, jumlah Jaringan Kantor yang sudah ada (existing), pencapaian efisiensi dan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data posisi akhir bulan September. 2. Otoritas Jasa Keuangan menilai Modal Inti, pencapaian efisiensi, dan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB... -10- RBB maupun pada saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Otoritas Jasa Keuangan. 3. Prosedur, tata cara, dan persyaratan lainnya untuk memperoleh izin atau penegasan Pembukaan Jaringan Kantor Bank juga wajib memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai: a. Bank Umum Syariah; atau b. Unit Usaha Syariah. 4. Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, dan Lampiran V merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. XI. KETENTUAN PERALIHAN Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2016 wajib dicantumkan dalam revisi RBB tahun 2016 dengan mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai RBB dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan alamat sebagai berikut: 1. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Provinsi DKI Jakarta; atau 2. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi DKI Jakarta. XII. KETENTUAN... -11- XII. KETENTUAN PENUTUP 1. Dengan berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPBS tanggal 27 Maret 2013 perihal Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 2. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana LAMPIRAN I SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /SEOJK.03/2016 TENTANG PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI -1- ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA Zona 1 Koefisien = 5 DKI Jakarta Luar Negeri Zona 2 Koefisien = 4 Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Zona 3 Koefisien = 3 Kalimantan Timur Kepulauan Riau Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Papua Zona 4 Koefisien = 2 Zona 5 Koefisien = 1 Aceh Jambi Sumatera Barat Bangka Belitung Lampung Bengkulu Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara Kalimantan Utara Zona 6 Koefisien = 0,5 Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Utara Maluku Papua Barat Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd ttd NELSON TAMPUBOLON Yuliana LAMPIRAN II SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /SEOJK.03/2016 TENTANG PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI -1- BIAYA INVESTASI PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK Jenis Kantor Kantor Cabang Kantor Wilayah yang Bersifat Operasional Kantor Cabang Pembantu Kantor Fungsional yang Melakukan Kegiatan Operasional Kantor Kas Kantor lainnya yang bersifat operasional di luar negeri Biaya Investasi Pembukaan Jaringan Kantor pada BUKU 1 dan BUKU 2 Rp3.000.000.000,00 Rp3.000.000.000,00 Rp1.500.000.000,00 Rp1.500.000.000,00 Rp500.000.000,00 Rp500.000.000,00 Biaya Investasi Pembukaan Jaringan Kantor pada BUKU 3 dan BUKU 4 Rp5.000.000.000,00 Rp5.000.000.000,00 Rp2.000.000.000,00 Rp2.000.000.000,00 Rp1.000.000.000,00 Rp1.000.000.000,00 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd ttd NELSON TAMPUBOLON Yuliana LAMPIRAN III SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /SEOJK.03/2016 TENTANG PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI -1- PENGURANGAN ALOKASI MODAL INTI (AMI) DAN KOEFISIEN TERKAIT PENCAPAIAN EFISIENSI BANK 1. BUKU 1 BUKU 1 <80 ≥4 ≥3.5-<4 ≥3-<3.5 KF = 0,4 NOM (%) ≥2.5-<3 KF = 0,5 Pengurangan AMI 0% ≥2-<2.5 KF = 1 <2 KF = 1 KF = 1 Tindakan Pengawasan KF = 1 KF = 0,6 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 0,5 KF = 1 Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 40% Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% ≥80 - <85 KF = 0,2 KF = 0,4 BOPO (%) ≥85 - <90 Pengurangan AMI 100% Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 0% KF = 0 KF = 1 Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 0% KF = 0,2 KF = 1 Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0% ≥90 - <95 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% ≥95 2. BUKU ... Tindakan Pengawasan -2- 2. BUKU 2 BUKU 2 <80 ≥4 ≥3.5-<4 ≥3-<3.5 NOM (%) KF = 0,4 ≥2.5-<3 KF = 0,5 Pengurangan AMI 0% ≥2-<2.5 KF = 1 <2 KF = 1 KF = 1 Tindakan Pengawasan KF = 1 KF = 0,6 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 0,5 KF = 1 Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 40% Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% ≥80 - <85 KF = 0,2 KF = 0,4 BOPO (%) ≥85 - <90 Pengurangan AMI 100% Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 0% KF = 0 KF = 1 Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 0% KF = 0,2 KF = 1 Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0% ≥90 - <95 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% ≥95 3. BUKU ... Tindakan Pengawasan -3- 3. BUKU 3 BUKU 3 <70 ≥4 ≥3.5-<4 KF = 0,2 ≥3-<3.5 NOM (%) KF = 0,4 ≥2.5-<3 KF = 0,5 Pengurangan AMI 0% ≥2-<2.5 KF = 1 <2 KF = 1 KF = 1 Tindakan Pengawasan KF = 1 KF = 0,6 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 0,5 KF = 1 Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 40% Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 0,4 KF = 1 Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% ≥70 - <75 KF = 0,2 BOPO (%) ≥75 - <80 Pengurangan AMI 100% Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 0% KF = 0 KF = 1 Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 0% ≥80 - <85 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% ≥85 4. BUKU ... Tindakan Pengawasan -4- 4. BUKU 4 BUKU 4 <70 ≥4 ≥3.5-<4 KF = 0,2 ≥3-<3.5 NOM (%) ≥2.5-<3 KF = 0,5 Pengurangan AMI 0% ≥2-<2.5 KF = 1 <2 KF = 1 KF = 1 Tindakan Pengawasan KF = 1 KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 0,4 KF = 0,5 Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% KF = 0,4 KF = 1 Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% ≥70 - <75 KF = 0,2 BOPO (%) ≥75 - <80 Pengurangan AMI 100% Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 0% KF = 0 KF = 1 Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 0% ≥80 - <85 Pengurangan AMI 0% KF = 1 Pengurangan AMI 0% ≥85 Ditetapkan… Tindakan Pengawasan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana NELSON TAMPUBOLON LAMPIRAN IV SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /SEOJK.03/2016 TENTANG PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI -1- INSENTIF TAMBAHAN JUMLAH PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR APABILA BANK MENYALURKAN PEMBIAYAAN KEPADA USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DAN/ATAU USAHA MIKRO DAN KECIL (UMK) Pangsa Pembiayaan UMKM terhadap Total Pembiayaan >80% >65% s/d <80% >50% s/d <65% >35% s/d <50% >20% s/d <35% Pangsa Pembiayaan UMK terhadap Total Pembiayaan >70% >55% s/d <70% >40% s/d <55% >25% s/d <40% >10% s/d <25% Jumlah Tambahan Jaringan Kantor*) 35% 30% 25% 20% 15% Jumlah Tambahan Jaringan Kantor*) 35% 30% 25% 20% 15% *) dari jumlah rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang didukung oleh kecukupan alokasi Modal Inti Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON LAMPIRAN V SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /SEOJK.03/2016 TENTANG PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI -1- CONTOH PERHITUNGAN PENETAPAN JUMLAH JARINGAN KANTOR YANG DAPAT DIBUKA CONTOH 1: Berdasarkan data posisi akhir September 2016, Bank A: a. Modal Inti Rp300.000.000.000,00 (BUKU 1). b. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan (PK TKS) 2 dalam 1 (satu) tahun terakhir. c. Telah memiliki Jaringan Kantor dalam 2 (dua) tahun terakhir sebagai berikut: 13 KC (8 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah), 10 KCP (5 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah), serta 10 KK (4 di DKI Jakarta dan 6 di Jawa Tengah). d. BOPO dan NOM masing-masing 84% dan 3,2%. e. Pencapaian pembiayaan UMKM adalah 45% dari total pembiayaan. Apabila Bank A merencanakan untuk membuka 8 KC di DI Yogyakarta, perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti adalah sebagai berikut: - Bank memperoleh pengurangan alokasi Modal Inti akibat pencapaian efisiensi sebesar 50% dengan Koefisien terkait pencapaian efisiensi (KF) sebesar 0,5. Jenis… -2- Biaya Investasi Pembukaan Jenis Kantor Zona Provinsi Jaringan Kantor (B) (1) Jaringan kantor yang sudah ada (existing) KC 1 DKI Jakarta 2 KCP Jawa Tengah 1 DKI Jakarta 2 KK Jawa Tengah 1 DKI Jakarta 2 Jawa Tengah 3.000 3.000 1.500 1.500 500 500 (2) 5 4 5 4 5 4 Total alokasi Modal Inti untuk kantor yang sudah ada (existing) Modal Inti Ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC) Rencana Pembukaan Jaringan Kantor KC 2 DI Yogyakarta 3.000 4 Kebutuhan alokasi Modal Inti untuk Rencana Pembukaan Jaringan Kantor Sisa alokasi Modal Inti 0,5 8 Koefisien Zona (KZ) Koefisien Pencapaian Efisiensi (KF) (3) 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 Jumlah Kantor (Existing/Rencana) (4) 8 5 5 5 4 6 Dalam jutaan Rp Jumlah AMI (TC) (5 = 1 x 2 x 3 x 4) 60.000 30.000 18.750 15.000 5.000 6.000 134.750 300.000 165.250 48.000 48.000 117.250 Berdasarkan… -3- Berdasarkan perhitungan alokasi Modal Inti, Bank A memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC) yang mencukupi untuk membuka 8 (delapan) KC di DI Yogyakarta sesuai dengan rencana. - Selanjutnya karena penyaluran pembiayaan UMKM Bank A adalah 45% dari total pembiayaan, maka Bank A akan mendapatkan tambahan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka sebesar 20% dari jumlah kantor yang direncanakan yang telah memenuhi kecukupan alokasi modal inti, yaitu sebanyak: Jenis Kantor KC Zona 2 Jumlah Rencana Pembukaan Jaringan Kantor Sesuai Kecukupan AMI (1) 8 Insentif Tambahan Jaringan Kantor (2) 20% Tambahan Jaringan Kantor (3)=(1) x (2) 1 Kesimpulan: Bank A dapat membuka jaringan kantor sebanyak 8 KC di DI Yogyakarta sesuai dengan yang direncanakan dan memperoleh tambahan 1 KC atau di bawah KC yang dapat dibuka pada zona yang sama atau zona yang lebih rendah persyaratan jumlah alokasi modal intinya dari zona dalam rencana pembukaan jaringan kantor. CONTOH… -4- CONTOH 2: Berdasarkan data posisi akhir September 2016, Bank B: a. Modal Inti Rp7.000.000.000.000,00 (BUKU 3) b. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan (PK TKS) 2 dalam 1 (satu) tahun terakhir c. Telah memiliki Jaringan Kantor sebagai berikut: 50 KC (20 di DKI Jakarta, 15 di Jawa Tengah dan 15 di Sumatera Utara), 150 KCP (60 di DKI Jakarta, 55 di Jawa Tengah dan 35 di Sumatera Utara dan 160 KK (60 di DKI Jakarta, 50 di Jawa Tengah dan 50 di Sumatera Utara). d. BOPO dan NOM masing-masing 86% dan 0,7%. e. Pencapaian UMKM adalah 55% dari total pembiayaan. Apabila Bank B merencanakan untuk membuka 30 KC di Zona 2 (5 KC di Jawa Timur, 10 KC di Jawa Barat dan 15 KC di Jawa Tengah) dan 15 KCP di Zona 3 (Sumatera Utara), perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti adalah sebagai berikut: - Bank tidak memperoleh pengurangan alokasi Modal Inti akibat tidak mencapai rentang efisiensi tertentu dan Bank dapat dikenakan tindakan pengawasan oleh OJK. Jenis… -5- Dalam jutaan Rp Biaya Jenis Kantor Zona Provinsi Investasi Pembukaan Jaringan Kantor (B) (1) Jaringan kantor yang sudah ada (existing) KC 1 2 3 1 KCP 2 3 1 KK 2 3 Jawa Tengah Sumatera Utara 1.000 1.000 4 3 Total Alokasi Modal Inti untuk kantor yang sudah ada (existing) Modal Inti Ketersediaan Alokasi Modal Inti (ETC) - - 50 50 Jawa Tengah Sumatera Utara DKI Jakarta 2.000 2.000 1.000 4 3 5 - - - 55 35 60 DKI Jakarta Jawa Tengah Sumatera Utara DKI Jakarta 5.000 5.000 5.000 2.000 Koefisien Zona (KZ) (2) 5 4 3 5 Koefisien Pencapaian Efisiensi (KF) (3) - - - - Jumlah Kantor (Existing/Rencana) (4) 20 15 15 60 Jumlah alokasi Modal Inti (TC) (5 = 1 x 2 x 4) 500.000 300.000 225.000 600.000 440.000 210.000 300.000 200.000 150.000 2.925.000 7.000.000 4.075.000 Rencana… -6- Rencana pembukaan jaringan kantor Biaya Jenis Kantor Zona KC KCP 2 2 2 3 Provinsi Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Sumatera Utara Investasi Pembukaan Jaringan Kantor (B) (1) 5.000 5.000 5.000 2.000 Koefisien Zona (KZ) (2) 4 4 4 3 Koefisien Pencapaian Efisiensi (KF) (3) - - - - Kebutuhan Alokasi Modal Inti untuk rencana pembukaan jaringan kantor Sisa alokasi Modal Inti Jumlah Kantor (Existing/Rencana) (4) 5 10 15 15 Jumlah alokasi Modal Inti (TC) (5 = 1 x 2 x 4) 100.000 200.000 300.000 90.000 690.000 3.385.000 Berdasarkan perhitungan alokasi Modal Inti, Bank B memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC) yang mencukupi untuk membuka 30 KC di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah serta 15 KCP di Sumatera Utara sesuai dengan rencana. - Selanjutnya karena penyaluran pembiayaan UMKM Bank B adalah 55% dari total pembiayaan, maka Bank B akan mendapatkan tambahan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka sebesar 25% dari jumlah kantor yang direncanakan yang telah memenuhi kecukupan alokasi modal inti, yaitu sebanyak: Jenis… -7- Jenis Kantor KC KCP Zona 2 3 Jumlah Rencana Pembukaan Jaringan Kantor Sesuai Kecukupan AMI (1) 30 15 Insentif Tambahan Jaringan Kantor (2) 25% 25% Tambahan Jaringan Kantor (3)=(1) x (2) 7 3 Kesimpulan: Berdasarkan perhitungan kecukupan alokasi Modal Inti dan pencapaian penyaluran pembiayaan UMKM, Bank B dapat membuka jaringan kantor sebanyak 30 KC di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah serta 15 KCP di Sumatera Utara sesuai dengan yang direncanakan dan memperoleh tambahan: a. 7 KC dan/atau di bawah KC yang dapat dibuka pada zona yang sama atau zona yang lebih rendah persyaratan jumlah alokasi modal intinya dari zona dalam rencana pembukaan jaringan kantor. b. 3 KCP dan/atau di bawah KC yang dapat dibuka pada zona yang sama atau zona yang lebih rendah persyaratan jumlah alokasi modal intinya dari zona dalam rencana pembukaan jaringan kantor. Namun demikian, mengingat rentang efisiensi Bank berada dalam rentang tindakan pengawasan, OJK dapat mengurangi jumlah rencana Pembukaan Jaringan kantor yang dapat dibuka oleh Bank. CONTOH 3: Berdasarkan data posisi akhir September 2016, Bank C: a. Modal Inti Rp1.500.000.000.000,00 (BUKU 2) b. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan (PK TKS) 2 dalam 1 (satu) tahun terakhir c. Telah memiliki Jaringan Kantor sebagai berikut: 40… -8- 40 KC (20 di DKI Jakarta dan 20 di Jawa Tengah), 100 KCP (50 di DKI Jakarta dan 50 di Jawa Tengah dan 150 KK (75 di DKI Jakarta dan 75 di Jawa Tengah). d. BOPO dan NOM masing-masing 83% dan 2,3%. e. Pencapaian UMKM adalah 85% dari total pembiayaan. - Bank C merencanakan untuk membuka 2 KC dan 5 KCP di Zona 2 (Jawa Timur). Bank memperkirakan akan memperoleh laba pada tahun 2017 sebesar Rp80 Milyar. Perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti adalah sebagai berikut: Biaya Jenis Kantor Zona Provinsi Investasi Pembukaan Jaringan Kantor (B) (1) Jaringan kantor yang sudah ada (existing) KC KCP KK 1 2 1 2 1 2 DKI Jakarta Jawa Tengah DKI Jakarta Jawa Tengah DKI Jakarta Jawa Tengah Ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC) 3.000 3.000 1.500 1.500 500 500 Koefisien Zona (KZ) (2) 5 4 5 4 5 4 Total alokasi Modal Inti untuk kantor yang sudah ada (existing) Modal Inti Koefisien Pencapaian Efisiensi (KF) (3) 1 1 1 1 1 1 Jumlah Kantor (Existing) (4) 20 20 50 50 75 75 Dalam jutaan Rp Jumlah alokasi Modal Inti (TC) (5 = 1 x 2 x 3 x 4) 300.000 240.000 375.000 300.000 187.500 150.000 1.552.500 1.500.000 (52.500) Berdasarkan… -9- Berdasarkan perhitungan alokasi Modal Inti, Bank C tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC) yang mencukupi sehingga pada dasarnya Bank C tidak dapat melakukan pembukaan jaringan kantor. Namun demikian, mengingat Bank C telah menyalurkan pembiayaan kepada UMKM lebih dari 20% dari total pembiayaan, maka Bank C menjadi dapat melakukan pembukaan jaringan kantor. Jumlah modal inti yang digunakan untuk pembukaan jaringan kantor menggunakan rencana pemupukan modal yang akan dilakukan oleh Bank C pada tahun 2017 dengan perhitungan sebagai berikut: - Kebutuhan alokasi Modal Inti untuk rencana pembukaan 7 jaringan kantor Biaya Investasi Pembukaan Jenis Kantor KC KCP Zona Provinsi 2 Jawa Timur 2 Jawa Timur Jaringan Kantor (B) (1) 3.000 1.500 Koefisien Zona (KZ) (2) 4 4 Koefisien Pencapaian Efisiensi (KF) (3) 1 1 Kebutuhan alokasi Modal Inti untuk rencana pembukaan jaringan kantor Rencana pemupukan modal Jumlah Rencana Pembukaan Jaringan Kantor (4) 2 5 Dalam jutaan Rp Jumlah alokasi Modal Inti (TC) (5 = 1 x 2 x 3 x 4) 24.000 30.000 54.000 80.000 Rencana… -10- Rencana pemupukan modal adalah Rp80 Milyar yang akan dialokasikan sebesar 60% (Rp48 Milyar) untuk menutupi kekurangan alokasi Modal Inti jaringan kantor yang telah ada/existing, dan sisanya sebesar 40% (Rp32 Milyar) dapat digunakan untuk membuka jaringan kantor baru. - Dengan demikian, maka alokasi pemupukan modal untuk pembukaan jaringan kantor baru hanya cukup untuk membuka 2 KC dan 1 KCP di Jawa Timur. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana NELSON TAMPUBOLON
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 28/SEOJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI </reg_title> <set_date> 21 Juli 2016 </set_date> <effective_date> 21 Juli 2016 </effective_date> <replaced_reg> '15/8/DPBS|SE-BI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '6/POJK.03/2016' </related_reg>
-1- Yth. Direksi/Pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan, di Tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/SEOJK.07/2014 TENTANG PERJANJIAN BAKU Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431), maka perlu diatur ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan untuk menyesuaikan klausula dalam Perjanjian Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22, dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh PUJK dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal. 2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat PUJK, adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah. 3. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di PUJK antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian ... -2- Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. II. KLAUSULA DALAM PERJANJIAN BAKU 1. PUJK wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen. 2. Dalam hal PUJK merancang, merumuskan, menetapkan, dan menawarkan Perjanjian Baku, PUJK wajib mendasarkan pada ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 1. 3. Klausula dalam Perjanjian Baku yang dilarang adalah yang memuat: a. Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban PUJK, atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban Konsumen. b. Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan. Contoh terhadap kondisi ini misalkan memanfaatkan kondisi Konsumen yang mendesak karena kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat dan secara sengaja atau tidak sengaja PUJK tidak menjelaskan manfaat, biaya dan risiko dari produk dan/atau layanan yang ditawarkan. 4. Perjanjian Baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK kepada Konsumen; b. menyatakan bahwa PUJK berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUJK, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. mewajibkan Konsumen untuk membuktikan dalil PUJK yang menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen bukan merupakan tanggung jawab PUJK; e. memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh ... -3- oleh PUJK dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUJK untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran. III. FORMAT PERJANJIAN BAKU 1. Perjanjian Baku yang memuat hak dan kewajiban Konsumen dan persyaratan yang mengikat Konsumen secara hukum, wajib menggunakan huruf, tulisan, simbol, diagram, tanda, istilah, frasa yang dapat dibaca, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh Konsumen. 2. Apabila Konsumen menemukan ketidakjelasan, PUJK wajib memberikan penjelasan atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang belum dipahami oleh Konsumen, baik secara tertulis di dalam Perjanjian Baku, maupun secara lisan sebelum Perjanjian Baku ditandatangani. 3. Dalam hal Perjanjian Baku menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat dari bahasa lain selain Bahasa Indonesia, maka istilah, frasa, dan/atau kalimat dari bahasa lain tersebut harus disandingkan dengan istilah, frasa, dan/atau kalimat dalam Bahasa Indonesia. 4. Dalam Perjanjian Baku wajib memuat pernyataan sebagai berikut: “PERJANJIAN INI TELAH DISESUAIKAN DENGAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERMASUK KETENTUAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN”. 5. Selain berbentuk cetak, Perjanjian Baku dapat berbentuk digital atau elektronik atau disebut e-contract untuk ditawarkan oleh PUJK melalui media elektronik. 6. Dalam hal Perjanjian Baku berbentuk cetak, maka berlaku hal-hal sebagai berikut: a. PUJK wajib memastikan terdapat persetujuan tertulis Konsumen dengan cara antara lain membubuhkan tanda tangan dalam Perjanjian Baku atau dokumen lain yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perjanjian Baku yang menyatakan persetujuan Konsumen. b. PUJK dapat menggandakannya sehingga transaksi dapat memenuhi tujuan, yaitu cepat, efektif, efisien, berulang, dan memberikan kepastian hukum. c. PUJK ... -4- c. PUJK memberikan waktu yang cukup bagi Konsumen untuk membaca dan memahami Perjanjian Baku sebelum menandatanganinya atau sebelum efektif berlakunya Perjanjian Baku. d. PUJK wajib mematuhi ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, antara lain undang-undang yang mengatur mengenai informasi dan transaksi elektronik. IV. KETENTUAN LAIN – LAIN 1. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, PUJK melakukan penyesuaian terhadap klausula dalam Perjanjian Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, maka PUJK harus memberitahukan kepada Konsumen. 2. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, PUJK belum selesai melaksanakan pemenuhan penyesuaian ketentuan dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, maka PUJK membuat action plan yang disetujui oleh Bidang Pengawasan masing-masing PUJK terkait. V. KETENTUAN PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 Agustus 2014 ANGGOTA DEWAN KOMISIONER BIDANG EDUKASI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN, Ttd. KUSUMANINGTUTI S. SOETIONO
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 13/SEOJK.07/2014 </reg_id> <reg_title> PERJANJIAN BAKU </reg_title> <set_date> 20 Agustus 2014 </set_date> <effective_date> 20 Agustus 2014 </effective_date> <related_reg> '1/POJK.07/2013' </related_reg>
Yth. 1. Direksi Bank Umum Konvensional; dan 2. Direksi Bank Umum Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 /SEOJK.03/2017 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 56/POJK.03/2016 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 287, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5981), yang selanjutnya disebut POJK Kepemilikan Saham Bank Umum, perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai Kepemilikan Saham Bank Umum dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dominasi kepemilikan Bank oleh salah satu pihak sering menghambat Bank dalam menerapkan Tata Kelola yang baik. Pengalaman krisis pada masa lalu membuktikan bahwa Bank yang terkena dampak krisis adalah Bank yang dimiliki secara dominan oleh pemegang saham tertentu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyebaran kepemilikan saham Bank dengan menerapkan batas maksimum kepemilikan saham Bank sehingga Bank dapat menerapkan Tata Kelola yang baik. II. PENERAPAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM BANK A. Calon Pemegang Saham Bank 1. Calon pemegang saham dapat memiliki saham Bank paling tinggi sebesar batas maksimum kepemilikan saham pada saat menjadi pemegang saham Bank. - 2 - 2. Batas maksimum kepemilikan saham bagi calon pemegang saham Bank berupa Pemerintah Daerah dipersamakan dengan batas maksimum kepemilikan saham Bank bagi badan hukum bukan lembaga keuangan yaitu 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank untuk masing-masing Pemerintah Daerah. 3. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company), yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban terhadap ketentuan mengenai kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, dalam hal akan melakukan akuisisi Bank lain maka batas maksimum kepemilikan sahamnya adalah sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang saham dari Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company). 4. Dalam hal calon pemegang saham berupa badan hukum yang berkedudukan di luar negeri akan menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP), harus memiliki peringkat investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c POJK Kepemilikan Saham Bank Umum. Posisi peringkat investasi calon pemegang saham yang digunakan paling sedikit 1 (satu) tahun terakhir sebelum menjadi PSP Bank. B. Pemegang Saham Bank 1. Pemegang saham yang memiliki saham Bank kurang dari batas maksimum kepemilikan saham Bank, dapat melakukan penambahan kepemilikan sampai dengan batas maksimum kepemilikan saham Bank. 2. Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan saham Bank, dapat melakukan penambahan kepemilikan saham sepanjang tidak menambah persentase kepemilikan saham yang bersangkutan. 3. Pemegang saham yang melakukan penjualan saham yang dimiliki atas inisiatif sendiri wajib menyesuaikan kepemilikan saham sesuai dengan batas maksimum kepemilikan saham Bank dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak penjualan saham yang dimiliki, sebagaimana diatur dalam POJK Kepemilikan Saham Bank Umum. Yang dimaksud dengan pemegang saham yang melakukan penjualan saham yang dimiliki atas inisiatif sendiri adalah pemegang saham Bank langsung dan/atau ultimate shareholder - 3 - yang melakukan penjualan sahamnya secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan: a. perubahan pemegang saham Bank langsung atau perubahan ultimate shareholder; dan/atau b. perubahan persentase kepemilikan saham Bank oleh pemegang saham langsung atau perubahan persentase kepemilikan ultimate shareholder pada Bank yang secara tidak langsung mempengaruhi jumlah pengendalian pada Bank. 4. Dalam hal terdapat penjualan saham oleh pemegang saham sebagaimana pada angka 3 maka pemegang saham langsung Bank wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham sesuai POJK Kepemilikan Saham Bank Umum. III. PERSYARATAN KHUSUS KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM A. Kepemilikan Saham Bank Lebih Dari 40% (Empat Puluh Persen) 1. Persyaratan untuk dapat memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) antara lain memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan Peringkat Komposit 1 atau Peringkat Komposit 2 atau Peringkat Tingkat Kesehatan Bank yang setara bagi lembaga keuangan bank yang berkedudukan di luar negeri, memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah sesuai profil risiko, dan memiliki modal inti (tier 1) paling sedikit 6% (enam persen). 2. Posisi penilaian yang digunakan untuk ketiga persyaratan tersebut adalah posisi penilaian paling lama 1 (satu) tahun terakhir. B. Persyaratan Peringkat Investasi Persyaratan peringkat investasi bagi calon PSP berupa badan hukum yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c POJK Kepemilikan Saham Bank Umum adalah posisi peringkat investasi paling lama 1 (satu) tahun sebelum yang bersangkutan menjadi PSP Bank. - 4 - IV. PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN DAN/ATAU TATA KELOLA SELAMA 3 (TIGA) PERIODE PENILAIAN BERTURUT-TURUT Yang dimaksud dengan 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut atas penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian penerapan Tata Kelola adalah penilaian yang dilakukan secara berkala sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum serta Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. V. PENTAHAPAN KEPEMILIKAN SAHAM BANK LEBIH DARI 40% (EMPAT PULUH PERSEN) 1. Batas maksimum kepemilikan saham bagi badan hukum lembaga keuangan bank adalah paling tinggi sebesar 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank. 2. Badan hukum lembaga keuangan bank hanya dapat memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank, dengan memenuhi ketentuan: a. bagi calon pemegang saham Bank hanya dapat memiliki saham Bank sebesar 40% (empat puluh persen) terlebih dahulu; dan b. selanjutnya pemegang saham Bank dapat meningkatkan kepemilikan saham lebih dari 40% (empat puluh persen) sepanjang memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) POJK Kepemilikan Saham Bank Umum. 3. Kepemilikan saham Bank oleh badan hukum lembaga keuangan bank lebih dari 40% (empat puluh persen) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Calon pemegang saham mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui Bank yang akan dimiliki dengan melampirkan dokumen administratif sebagaimana pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. b. Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian atas pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) POJK Kepemilikan Saham Bank Umum. c. Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf b, akan memberikan persetujuan bagi calon - 5 - pemegang saham yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) yaitu: 1) persetujuan untuk memiliki saham Bank sebesar 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank; dan 2) persetujuan untuk dapat meningkatkan jumlah kepemilikan saham dengan kewajiban mengajukan kembali permohonan persetujuan untuk meningkatkan jumlah kepemilikan sahamnya. Permohonan dapat diajukan kembali dalam hal Bank yang dimiliki memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan Peringkat Komposit 1 atau Peringkat Komposit 2 dan penilaian Tata Kelola dengan Peringkat 1 (satu) atau Peringkat 2 (dua) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut- turut dalam periode 5 (lima) tahun sejak persetujuan kepemilikan saham Bank sebesar 40% (empat puluh persen). d. Bagi PSP berupa lembaga keuangan bank yang telah memiliki saham Bank kurang dari 40% (empat puluh persen) dan akan meningkatkan kepemilikan sahamnya menjadi lebih dari 40% (empat puluh persen) dapat mengajukan permohonan dalam hal Bank yang dimiliki memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan Peringkat Komposit 1 atau Peringkat Komposit 2, dan penilaian Tata Kelola dengan Peringkat 1 (satu) atau Peringkat 2 (dua) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut dalam periode 5 (lima) tahun sebelum permohonan kepemilikan saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) diajukan. Permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk meningkatkan kepemilikan saham lebih dari 40% (empat puluh persen) diajukan oleh PSP melalui Bank yang dimiliki dengan melampirkan dokumen administratif sebagaimana dimaksud pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. VI. KOMITMEN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA Bagi calon PSP yang merupakan: 1. warga negara asing; 2. badan hukum yang berkedudukan di luar negeri; atau 3. badan hukum lembaga keuangan bank yang berkedudukan di luar - 6 - negeri yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank, harus memenuhi persyaratan antara lain memiliki komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia melalui Bank yang akan dimiliki, dalam bentuk: a. Komitmen tertulis, yang paling sedikit memuat: 1) sektor ekonomi yang akan diprioritaskan; dan 2) wilayah di Indonesia yang akan menjadi prioritas. b. Rencana kegiatan calon PSP dalam rangka pengembangan Bank yang akan dimiliki untuk paling sedikit 5 (lima) tahun ke depan, yang paling sedikit memuat: 1) Rencana penyaluran kredit atau pembiayaan produktif ke sektor ekonomi dan wilayah di Indonesia yang akan diprioritaskan. Sektor ekonomi dan wilayah di Indonesia yang menjadi prioritas mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Besarnya jumlah penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif mengacu pada kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan kepada usaha produktif sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. 2) Ringkasan strategi bisnis yang akan dijalankan. c. Komitmen tertulis sebagaimana pada huruf a dan rencana kegiatan sebagaimana pada huruf b, disampaikan pada saat permohonan izin sebagai calon PSP atau pemegang saham lembaga keuangan bank mengajukan permohonan untuk meningkatkan kepemilikan saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen). d. Dalam hal permohonan calon pemegang saham disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan, rencana kegiatan calon pemegang saham sebagaimana pada huruf b harus tercantum dalam rencana bisnis Bank. VII. REKOMENDASI DARI OTORITAS PENGAWASAN DARI NEGARA ASAL Bagi calon PSP yang merupakan: 1. badan hukum lembaga keuangan yang berkedudukan di luar negeri, atau 2. badan hukum lembaga keuangan bank yang berkedudukan di luar - 7 - negeri yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank, harus pula memenuhi persyaratan antara lain mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawasan negara asal lembaga keuangan tersebut yang paling sedikit memuat: a. Keterangan calon PSP mengenai: 1) reputasi yang baik; dan 2) tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan; dan b. Otoritas pengawasan negara asal PSP Bank mendukung kebijakan Otoritas Jasa Keuangan di bidang pengawasan yang antara lain bertujuan untuk memperbaiki kinerja Bank dan/atau memelihara stabilitas sistem keuangan di tempat kedudukan Bank. VIII. SURAT UTANG YANG BERSIFAT EKUITAS Sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 7 POJK Kepemilikan Saham Bank Umum, calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) harus memiliki komitmen untuk membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang akan dimiliki, dan Bank yang akan dimiliki harus memiliki persetujuan untuk menerbitkan surat utang yang bersifat ekuitas, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Komitmen Calon Pemegang Saham Berupa Lembaga Keuangan Bank a. Calon pemegang saham berupa lembaga keuangan bank yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) harus memiliki komitmen tertulis untuk memenuhi kewajiban membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan Bank yang dimiliki, yang paling sedikit memuat: 1) kesediaan calon pemegang saham berupa lembaga keuangan bank untuk membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan Bank yang dimiliki, dalam hal Bank yang dimiliki diperkirakan mengalami kesulitan pada waktu yang akan datang untuk memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) sesuai profil risiko, sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank umum dan kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank umum syariah; dan - 8 - 2) jumlah surat utang bersifat ekuitas yang akan dibeli yaitu paling sedikit sebanding dengan persentase kepemilikan saham. Pemegang saham berupa lembaga keuangan bank tersebut harus membeli sisa surat utang bersifat ekuitas, dalam hal setelah ditawarkan, pemegang saham lain tidak bersedia membeli surat utang dimaksud. b. Komitmen ditandatangani oleh pihak yang berwenang mewakili calon pemegang saham sesuai anggaran dasar. c. Komitmen disampaikan pada saat PSP berupa lembaga keuangan bank mengajukan permohonan untuk meningkatkan kepemilikan saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen). 2. Persetujuan Penerbitan Surat Utang yang Bersifat Ekuitas oleh Bank yang Dimiliki a. Bank yang dimiliki oleh pemegang saham sebagaimana pada angka 1 harus memiliki persetujuan untuk menerbitkan surat utang yang bersifat ekuitas setelah pemegang saham sebagaimana pada angka 1 merealisasikan pembelian saham lebih dari 40% (empat puluh persen). b. Surat utang yang bersifat ekuitas paling sedikit memenuhi ketentuan: 1) memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah; dan 2) merupakan surat utang yang dapat dikonversi menjadi saham atau mengandung hak opsi untuk memperoleh saham. c. Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat: 1) Bank akan menerbitkan surat utang bersifat ekuitas dalam hal Bank diperkirakan mengalami kesulitan pada waktu yang akan datang untuk memenuhi rasio KPMM sesuai profil risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank umum dan kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank umum syariah; 2) jumlah surat utang bersifat ekuitas yang akan diterbitkan adalah sebesar jumlah tambahan modal yang dibutuhkan untuk - 9 - mengatasi potensi kekurangan pemenuhan rasio KPMM sesuai profil risiko; dan 3) surat utang bersifat ekuitas dimaksud harus dikonversi menjadi saham dalam hal rasio KPMM sesuai profil risiko kurang dari ketentuan yang berlaku. d. Bentuk persetujuan sebagaimana pada huruf a disesuaikan dengan anggaran dasar Bank. e. Persetujuan sebagaimana pada huruf a disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 6 (enam) bulan sejak pemegang saham sebagaimana pada huruf a merealisasikan peningkatan jumlah kepemilikan saham menjadi lebih dari 40% (empat puluh persen). IX. KEWAJIBAN MENYESUAIKAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM BAGI PEMEGANG SAHAM PADA BANK UMUM SYARIAH HASIL PEMISAHAN (SPIN OFF) UNIT USAHA SYARIAH 1. Pemegang saham pada Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off) Unit Usaha Syariah yang dilakukan sebelum dan setelah diterbitkan POJK Kepemilikan Saham Bank Umum wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham paling lama akhir Desember 2028 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 POJK Kepemilikan Saham Bank Umum. 2. Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off) mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai Unit Usaha Syariah. - 10 - X. PENUTUP Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tanggal 6 Maret 2013 perihal Kepemilikan Saham Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Maret 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd NELSON TAMPUBOLON Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 12/SEOJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM </reg_title> <set_date> 17 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 17 Maret 2017 </effective_date> <replaced_reg> '15/4/DPNP|SE-BI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '56/POJK.03/2016' </related_reg>
Yth. Pelaku Pasar Modal di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/SEOJK.04/2014 TENTANG KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DAN PENGUMUMAN KEPADA MASYARAKAT OLEH PELAKU PASAR MODAL YANG BATAS WAKTUNYA JATUH PADA HARI LIBUR Sehubungan dengan kewajiban penyampaian laporan oleh pelaku Pasar Modal kepada Otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal, perlu diatur ketentuan mengenai kewajiban penyampaian laporan oleh pelaku Pasar Modal kepada Otoritas Jasa Keuangan yang batas waktu penyampaiannya jatuh pada Hari Libur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM a. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. b. Hari Libur adalah hari libur nasional atau hari libur yang ditetapkan oleh OJK. II. PENYAMPAIAN LAPORAN OLEH PELAKU PASAR MODAL KEPADA OJK a. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal, diatur bahwa pelaku Pasar Modal mempunyai kewajiban penyampaian laporan kepada OJK baik secara berkala maupun secara insidentil dengan batas waktu akhir kewajiban penyampaian laporan masing-masing. b. Batas waktu akhir kewajiban penyampaian laporan oleh pelaku Pasar Modal kepada OJK dapat jatuh pada Hari Libur. c. Jika batas waktu akhir kewajiban penyampaian laporan dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal jatuh pada Hari Libur dan telah diatur batas waktu akhir kewajiban penyampaiannya, laporan dimaksud wajib disampaikan kepada OJK paling lambat pada 1 (satu) hari kerja... -2- kerja sebelum Hari Libur atau pada 1 (satu) hari kerja setelah Hari Libur sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan dimaksud. d. Jika batas waktu akhir kewajiban penyampaian laporan dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal jatuh pada Hari Libur dan tidak diatur batas waktu akhir kewajiban penyampaiannya yaitu pada 1 (satu) hari kerja sebelum Hari Libur atau pada 1 (satu) hari kerja setelah Hari Libur, laporan dimaksud wajib disampaikan kepada OJK paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Hari Libur tersebut. III. PENGUMUMAN KETERBUKAAN INFORMASI OLEH PELAKU PASAR MODAL KEPADA MASYARAKAT a. Jika batas waktu akhir kewajiban pengumuman keterbukaan informasi kepada masyarakat dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal jatuh pada Hari Libur dan telah diatur batas akhir kewajiban pengumumannya, pengumuman dimaksud wajib dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja sebelum Hari Libur atau pada 1 (satu) hari kerja setelah Hari Libur sesuai dengan peraturan yang terkait kewajiban pengumuman dimaksud. b. Jika batas waktu akhir kewajiban melakukan pengumuman keterbukaan informasi kepada masyarakat dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal jatuh pada Hari Libur dan tidak diatur batas waktu akhir kewajiban pengumumannya yaitu pada satu hari kerja sebelum Hari Libur atau pada satu hari kerja setelah Hari Libur, pengumuman dimaksud wajib dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Hari Libur tersebut. IV. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran OJK ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Juli 2014 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PASAR MODAL, Ttd. NURHAIDA
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 11/SEOJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DAN PENGUMUMAN KEPADA MASYARAKAT OLEH PELAKU PASAR MODAL YANG BATAS WAKTUNYA JATUH PADA HARI LIBUR </reg_title> <set_date> 24 Juli 2014 </set_date> <effective_date> 24 Juli 2014 </effective_date>
Yth. 1. Akuntan Publik; 2. Aktuaris; dan 3. Penilai Independen, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 17/SEOJK.05/2015 TENTANG PENUNJUKAN AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS, DAN/ATAU PENILAI INDEPENDEN SEBAGAI PEMERIKSA LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5576), perlu untuk mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai penunjukan akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagai pemeriksa lembaga jasa keuangan non-bank dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang selanjutnya disingkat LJKNB adalah: a. perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian; b. perusahaan pembiayaan, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud ... -2- dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lembaga pembiayaan; c. dana pensiun, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun; dan d. lembaga jasa penunjang industri keuangan non-bank yang meliputi perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, kantor jasa penilai publik, perusahaan penilai kerugian asuransi, kantor akuntan publik dan lembaga jasa penunjang lainnya yang mendukung industri keuangan non-bank. 2. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan mengenai LJKNB yang dilakukan di kantor LJKNB dan di tempat lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan LJKNB. 3. Pemeriksa adalah pihak yang ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung. 4. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. II. PENUNJUKAN AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS, DAN/ATAU PENILAI INDEPENDEN SEBAGAI PEMERIKSA 1. OJK dapat menunjuk akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagai Pemeriksa. 2. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus memenuhi kriteria: a. bukan pihak terafiliasi terhadap pihak yang diperiksa; b. memiliki sikap mental yang baik dan etika serta tanggung jawab profesi yang tinggi; c. tidak pernah dihukum karena tindak pidana di sektor jasa keuangan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; d. bersikap … -3- d. bersikap independen, jujur, dan obyektif; dan e. kompeten di bidangnya dan memahami peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan dan peraturan perundang- undangan lainnya. 3. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagaimana dimaksud pada angka 1 juga harus memenuhi persyaratan: a. memiliki izin profesi dari instansi yang berwenang; dan b. tidak memberikan jasa kepada LJKNB yang akan diperiksa paling singkat dalam 2 (dua) tahun sebelum tanggal penunjukan sebagai Pemeriksa. 4. Tata cara penunjukan akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagai Pemeriksa dilakukan sesuai dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa OJK. 5. Penunjukan akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagai Pemeriksa dituangkan dalam surat perintah kerja. 6. Surat perintah kerja sebagaimana dimaksud pada angka 5 ditandatangani oleh Deputi Komisioner OJK yang membawahkan fungsi pengawasan LJKNB. III. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS, DAN/ATAU PENILAI INDEPENDEN YANG DITUNJUK SEBAGAI PEMERIKSA 1. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen yang ditunjuk sebagai Pemeriksa bertugas melaksanakan Pemeriksaan Langsung sesuai Peraturan Dewan Komisioner OJK tentang Tata Cara Pemeriksaan Langsung dan Surat Edaran Dewan Komisioner OJK tentang Pedoman Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang ditetapkan oleh OJK. 2. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagaimana dimaksud pada angka 1 bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas sebagaimana ditetapkan dalam surat perintah kerja. IV. HAK ... -4- IV. HAK DAN KEWAJIBAN AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS, DAN/ATAU PENILAI INDEPENDEN YANG DITUNJUK SEBAGAI PEMERIKSA 1. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen yang ditunjuk sebagai Pemeriksa berhak atas honorarium dan/atau imbalan jasa lainnya sebagaimana ditetapkan dalam surat perintah kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku di OJK. 2. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen yang ditunjuk sebagai Pemeriksa wajib menjaga kerahasiaan informasi terkait LJKNB yang diperiksa. V. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengumuman Surat Edaran OJK ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Ttd.. Ttd. Sudarmaji FIRDAUS DJAELANI BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 48 TANGGAL 16 JUNI 2015
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 17/SEOJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PENUNJUKAN AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS, DAN/ATAU PENILAI INDEPENDEN SEBAGAI PEMERIKSA LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 8 Juni 2015 </set_date> <effective_date> 8 Juni 2015 </effective_date> <related_reg> '11/POJK.05/2014 | Pasal 6 ayat (3)' </related_reg>
Z` Yth. 1. Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek; 2. Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi; dan 3. Direksi Bank Umum yang menjalankan fungsi Kustodian, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 47 /SEOJK.04/2017 TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR PASAR MODAL Dalam rangka pelaksanaan amanat Pasal 68 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6035), perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor pasar modal dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: a. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal yang selanjutnya disebut PJK di Sektor Pasar Modal adalah perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi, serta bank umum yang menjalankan fungsi kustodian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. -2- b. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam c. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan Undang-Undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pendanaan Terorisme. d. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang selanjutnya disingkat APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. e. Direksi bagi PJK di sektor Pasar Modal adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas. f. Dewan Komisaris bagi PJK di sektor Pasar Modal adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas. 2. PJK di Sektor Pasar Modal sangat rentan terhadap kemungkinan digunakan sebagai media Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK di Sektor Pasar Modal dimungkinkan menjadi pintu masuk harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana atau merupakan pendanaan kegiatan terorisme ke dalam sistem keuangan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelaku kejahatan. Misalnya untuk pelaku Pencucian Uang, harta kekayaan tersebut dapat ditarik kembali sebagai harta kekayaan yang seolah-olah sah dan tidak lagi dapat dilacak asal-usulnya. Sedangkan untuk pelaku Pendanaan Terorisme, harta kekayaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme. 3. Semakin berkembangnya kompleksitas produk dan layanan jasa keuangan termasuk pemasarannya (multi channel marketing), serta semakin meningkatnya penggunaan teknologi informasi pada industri jasa keuangan, mengakibatkan semakin tinggi risiko PJK di Sektor Pasar Modal digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. 4. Dalam kaitan tersebut perlu adanya peningkatan kualitas penerapan program APU dan PPT yang didasarkan pada pendekatan berbasis risiko (risk based approach) sesuai dengan prinsip-prinsip umum -3- yang berlaku secara internasional, serta sejalan dengan penilaian risiko nasional (national risk assessment/NRA) dan penilaian risiko sektoral (sectoral risk assessment/SRA). 5. Penerapan program APU dan PPT berbasis risiko paling sedikit meliputi: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kebijakan dan prosedur; c. pengendalian internal; d. sistem manajemen informasi; dan e. sumber daya manusia dan pelatihan. 6. Gambaran Umum Tindak Pidana Pencucian Uang a. Tindak pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. b. Pada dasarnya proses Pencucian Uang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tahap kegiatan yang meliputi: 1) penempatan (placement), yaitu upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system); 2) transfer (layering), yaitu upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada PJK (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke PJK yang lain. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan jejak sumber dana hasil tindak pidana melalui beberapa lapis (layer) transaksi keuangan; dan/atau 3) penggunaan harta kekayaan (integration), yaitu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan sah (clean money), untuk kegiatan bisnis yang sah atau untuk membiayai -4- kembali kegiatan kejahatan. c. Beberapa metode, teknis, skema, dan instrumen dalam Pencucian Uang, seperti: 1) penukaran mata uang/konversi uang tunai, yaitu teknik yang digunakan untuk membantu penyelundupan ke yurisdiksi lain atau untuk memanfaatkan rendahnya persyaratan pelaporan pada jasa penyedia jasa pertukaran mata uang untuk meminimalkan risiko terdeteksi, contohnya melakukan pembelian cek perjalanan untuk membawa nilai ke yurisdiksi lainnya; 2) pembawaan uang tunai/penyelundupan mata uang, yaitu teknik yang dilakukan untuk menyembunyikan perpindahan dari mata uang untuk menghindari transaksi atau mengukur pelaporan uang tunai; 3) structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil namun dengan frekuensi yang tinggi; 4) smurfing, yaitu metode yang dilakukan dengan menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang berbeda-beda untuk kepentingan satu orang tertentu; 5) underground banking atau alternatif jasa pengiriman uang, yaitu kegiatan pengiriman uang melalui mekanisme jalur informal yang dilakukan atas dasar kepercayaan. Seringkali mekanisme ini bekerja secara paralel dengan sektor perbankan tradisional dan kemungkinan melanggar hukum di beberapa yurisdiksi. Teknik ini dimanfaatkan oleh pelaku Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme untuk memindahkan nilai uang tanpa terdeteksi dan untuk mengaburkan identitas yang mengendalikan uang tersebut; 6) Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme berbasis perdagangan, yaitu teknik yang mencakup manipulasi faktur dan menggunakan rute jalur keuangan dan komoditas untuk menghindari transparansi hukum dan keuangan; -5- 7) mingling, yaitu teknik dengan menggunakan cara mencampurkan atau menggabungkan hasil kejahatan dengan hasil usaha bisnis yang sah dengan tujuan untuk mengaburkan sumber dana; 8) penggunaan jasa profesional, yaitu teknik dengan menggunakan pihak ketiga, dalam hal ini yaitu jasa profesional seperti advokat, notaris, perencana keuangan, akuntan, dan akuntan publik. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengaburkan identitas penerima manfaat dan sumber dana hasil kejahatan; 9) penggunaan perusahaan boneka (shell company), yaitu sebuah teknik yang dilakukan dengan mendirikan perusahaan secara formal berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Namun, dalam praktiknya perusahaan tersebut tidak digunakan untuk melakukan kegiatan usaha. Perusahaan boneka tersebut didirikan hanya untuk melakukan transaksi fiktif atau menyimpan aset pihak pendiri atau orang lain. Selain itu, teknik tersebut bertujuan untuk mengaburkan identitas orang yang mengendalikan dana dan memanfaatkan persyaratan pelaporan yang relatif rendah; 10) penggunaan transfer kawat (wire transfer), yaitu teknik yang bertujuan untuk melakukan transfer dana secara elektronik antara lembaga keuangan dan sering kali ke yurisdiksi lain untuk menghindari deteksi dan penyitaan aset; 11) teknologi pembayaran baru (new payment technologies), yaitu teknik yang menggunakan teknologi pembayaran yang baru muncul untuk Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, contohnya sistem pembayaran dan pengiriman uang berbasis telepon seluler (ponsel); 12) penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit terlacaknya identitas dan pendeteksian keberadaan pelaku Pencucian Uang. Dalam perkembangannya, tren penggunaan identitas palsu menunjukan peningkatan yang cukup signifikan melalui -6- berbagai cara, di antaranya, melakukan penipuan melalui penggunaan identitas palsu dalam proses pembukaan rekening; 13) penggunaan nama orang lain (nominee), wali amanat, anggota keluarga, dan pihak ketiga, yaitu teknik yang biasa digunakan untuk mengaburkan identitas orang yang mengendalikan dana hasil kejahatan; 14) pembelian aset atau barang mewah (properti, kendaraan, dan lain-lain), yaitu menginvestasikan hasil kejahatan ke dalam bentuk aset/barang yang memiliki nilai tawar tinggi. Hal tersebut bertujuan untuk mengambil keuntungan dari mengurangi persyaratan pelaporan dengan maksud mengaburkan sumber dana hasil kejahatan; 15) pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem keuangan dalam pengukuran rezim anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Contohnya, pertukaran secara langsung antara heroin dengan emas batangan; 16) u turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal-usul hasil kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya; 17) cuckoo smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal-usul sumber dana dengan mengirimkan dana dari hasil kejahatannya melalui rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari bahwa dana yang diterimanya tersebut merupakan proceed of crime; dan/atau 18) penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari terdeteksinya identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana. 7. Gambaran Umum Tindak Pidana Pendanaan Terorisme a. Setiap aksi terorisme yang dilakukan di Indonesia pada dasarnya membutuhkan dukungan, baik dalam bentuk persenjataan (senjata api, tajam, dan peledak), tempat tinggal, kendaraan untuk mobilisasi, fasilitas perang, dan penyediaan -7- kebutuhan anggota yang kesemuanya dapat diartikan sebagai pendanaan berdasarkan definisi dana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dalam tindak pidana kejahatan terorisme, uang atau dana diperuntukan sebagai sarana untuk melakukan aksi dan bukan sebagai sasaran yang ingin dicari sehingga berbagai cara akan dilakukan oleh para pelaku untuk mendapatkan dana baik secara sah maupun dengan aksi kejahatan. Dana yang terkumpul dipergunakan untuk mendapatkan persenjataan, membeli bahan peledak, membangun jaringan atau perekrutan anggota, pelatihan perang, mobilisasi anggota dari atau ke suatu tempat demi terlaksananya aksi teror. b. Tindak pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris. Pendanaan terorisme pada dasarnya merupakan jenis tindak pidana yang berbeda dari TPPU, namun demikian keduanya mengandung kesamaan yaitu menggunakan jasa keuangan sebagai sarana untuk melakukan suatu tindak pidana. c. Berbeda dengan TPPU yang tujuannya untuk menyamarkan asal-usul harta kekayaan, tujuan TPPT adalah membantu kegiatan terorisme, baik dengan harta kekayaan yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah. Untuk mencegah PJK di Sektor Pasar Modal digunakan sebagai sarana TPPT, PJK di Sektor Pasar Modal perlu menerapkan program APU dan PPT secara memadai. d. Beberapa modus Pendanaan Terorisme yang banyak digunakan oleh pelaku Pendanaan Terorisme adalah: 1) pendanaan dalam negeri melalui sumbangan ke yayasan menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris; 2) pendanaan dalam negeri melalui penyalahgunaan dana yayasan menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris; 3) pendanaan dalam negeri melalui berdagang/usaha -8- (barang/jasa) menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris; 4) pendanaan dalam negeri melalui tindakan kriminal menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris; dan/atau 5) pendanaan dalam negeri melalui penyalahgunaan dana yayasan untuk membuka kegiatan usaha baru (barang/jasa) yang hasilnya untuk pengelolaan jaringan teroris. Modus tersebut merupakan modus Pendanaan Terorisme berisiko tinggi. II. PROGRAM APU DAN PPT BERBASIS RISIKO (RISK BASED APPROACH) 1. Kewajiban Penerapan Program APU dan PPT Berbasis Risiko a. PJK di Sektor Pasar Modal wajib menerapkan program APU dan PPT berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan. b. Dalam penerapan program APU dan PPT berbasis risiko, PJK di Sektor Pasar Modal harus merujuk dan mempertimbangkan risiko sebagaimana yang tercantum dalam NRA dan SRA. Adapun risiko yang tercantum dalam NRA dan SRA tersebut dapat berkembang dan mengalami perubahan. Oleh karena itu, penerapan program APU dan PPT yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal harus responsif terhadap perubahan risiko tersebut. 2. Konsep Risiko a. Definisi Risiko Risiko secara sederhana dapat dilihat sebagai kombinasi peluang yang mungkin terjadi dan tingkat kerusakan atau kerugian yang mungkin dihasilkan dari suatu peristiwa. Dalam konteks Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, risiko diartikan: 1) Pada tingkat nasional adalah suatu ancaman dan kerentanan yang disebabkan oleh Pencucian Uang dan -9- Pendanaan Terorisme yang membahayakan sistem keuangan nasional serta keselamatan dan keamanan nasional. 2) Pada tingkat PJK di Sektor Pasar Modal adalah suatu ancaman dan kerentanan yang menempatkan PJK di Sektor Pasar Modal digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Adapun definisi ancaman dapat diartikan berupa pihak atau objek yang dapat menyebabkan kerugian. Dalam konteks Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, ancaman dapat berupa pelaku tindakan kriminal, fasilitator (pihak yang membantu pelaksanaan tindakan kriminal), dana para pelaku kejahatan, atau bahkan kelompok teroris. Sementara kerentanan adalah unsur kegiatan usaha yang dapat dimanfaatkan oleh ancaman yang telah teridentifikasi. Dalam konteks TPPU dan TPPT kerentanan dapat berupa pengendalian internal yang lemah dari PJK di Sektor Pasar Modal ataupun penawaran produk atau jasa yang berisiko tinggi. Dalam menilai risiko PJK di Sektor Pasar Modal juga mempertimbangkan dampak risiko tersebut, dimana dampak suatu risiko dilihat dari tingkat kerusakan dan kerugian yang serius yang timbul jika terdapat TPPU dan TPPT yang material. b. Manajemen Risiko Manajemen risiko merupakan suatu proses yang dilakukan untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Dalam kaitannya dengan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, manajemen risiko dimaksud mencakup pemahaman terhadap risiko Pencucian Uang dan risiko Pendanaan Terorisme, penilaian atas kedua risiko tersebut, serta pengembangan metode untuk mengelola dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi. Dalam menerapkan manajemen risiko atas risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK di Sektor Pasar Modal dapat mengembangkan metode manajemen risiko sesuai dengan karakteristik PJK di Sektor Pasar Modal dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai APU PPT. -10- c. Risiko Bawaan (Inherent Risk) dan Risiko Residual (Residual Risk) Dalam melakukan penilaian risiko, penting untuk membedakan antara risiko bawaan dan risiko residual. Risiko bawaan adalah risiko yang melekat pada suatu peristiwa atau keadaan yang telah ada sebelum penerapan tindakan pengendalian. Risiko bawaan ini terkait dengan kegiatan usaha dan nasabah PJK di Sektor Pasar Modal. Pada sisi lain, risiko residual adalah tingkat risiko yang tersisa setelah implementasi langkah mitigasi risiko dan pengendalian. d. Pendekatan Berbasis Risiko Dalam konteks Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, pendekatan berbasis risiko adalah suatu proses yang meliputi hal sebagai berikut: 1) Penilaian risiko yang mencakup 4 (empat) faktor risiko, yaitu: a) nasabah; b) negara atau area geografis; c) produk, jasa, atau transaksi; dan d) jaringan distribusi (delivery channels). 2) Mengelola dan memitigasi risiko yang dilakukan melalui penerapan pelaksanaan pengendalian internal dan langkah yang sesuai dengan risiko yang telah diidentifikasi. 3) Melakukan pemantauan atas nasabah, transaksi, dan hubungan bisnis sesuai dengan tingkat risiko yang telah dinilai. Dalam melakukan penilaian, pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK di Sektor Pasar Modal perlu memahami bahwa kegiatan penilaian dan mitigasi tersebut bukanlah sesuatu yang statis. Risiko yang telah diidentifikasi dapat berubah sejalan dengan perkembangan produk baru atau ancaman baru sehingga harus dilakukan pengkinian penilaian risiko secara berkala sesuai dengan kebutuhan dan penilaian risiko PJK di Sektor Pasar Modal. -11- 3. Siklus Pendekatan Berbasis Risiko a. Dalam melakukan pendekatan berbasis risiko (risk based approach), PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan 6 (enam) langkah kegiatan sebagai berikut: 1) melakukan identifikasi, pemahaman, dan penilaian terhadap risiko bawaan; 2) menetapkan toleransi risiko; 3) menyusun langkah pengurangan dan pengendalian risiko; 4) melakukan evaluasi atas risiko residual; 5) menerapkan pendekatan berbasis risiko; dan 6) melakukan peninjauan dan evaluasi atas pendekatan berbasis risiko yang telah dimiliki. b. Alur siklus pendekatan berbasis risiko (risk based approach) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 4. Langkah Pendekatan Berbasis Risiko a. Identifikasi, pemahaman dan penilaian terhadap risiko bawaan 1) Dalam melakukan identifikasi risiko bawaan, PJK di Sektor Pasar Modal harus mempertimbangkan kerentanan PJK di Sektor Pasar Modal untuk digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Langkah awal PJK di Sektor Pasar Modal dalam melakukan penilaian risiko yaitu dengan memahami kegiatan usaha PJK secara keseluruhan dengan perspektif yang luas. Pemahaman tersebut akan memungkinkan PJK di Sektor Pasar Modal untuk mempertimbangkan di mana risiko terjadi, apakah risiko terjadi pada kegiatan usaha, nasabah, atau produk tertentu. 2) PJK di Sektor Pasar Modal harus mempertimbangkan unsur yang memicu timbulnya risiko baik dari sisi nasabah, geografis/negara/yurisdiksi, produk, jasa, atau transaksi, dan jaringan distribusi (delivery channels). Jumlah aktual atas risiko yang diinventarisasi oleh PJK di Sektor Pasar Modal akan bervariasi bergantung pada kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal, dan produk atau jasa yang ditawarkan. -12- 3) Risiko Nasabah PJK di Sektor Pasar Modal harus memperhatikan risiko yang mungkin timbul dari nasabah. Untuk itu, PJK di Sektor Pasar Modal perlu mengategorikan nasabah berdasarkan tingkat risiko. Pengategorian tersebut dapat mengacu pada klasifikasi risiko yang ditetapkan oleh PJK di Sektor Pasar Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar internasional yang berlaku. Beberapa kategori nasabah yang aktivitasnya dapat diindikasikan memiliki risiko tinggi antara lain: a) nasabah yang melakukan hubungan usaha atau transaksi yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan profil nasabah, seperti: (1) jarak geografis yang signifikan dan tidak dapat dijelaskan antara tempat tinggal atau lokasi bisnis nasabah dengan lokasi di mana transaksi dilakukan; dan (2) nasabah yang melakukan transaksi dengan pola dan nilai transaksi yang jauh berbeda dengan yang biasa dilakukan; b) nasabah korporasi yang struktur kepemilikannya kompleks dan menimbulkan kesulitan untuk diidentifikasi siapa yang menjadi pemilik manfaat (beneficial owner), pemilik akhir (ultimate owner) atau pengendali akhir (ultimate controller) dari korporasi; c) nasabah yang termasuk dalam kategori orang yang populer secara politis (politically exposed person) yang selanjutnya disingkat PEP, termasuk anggota keluarga atau pihak yang terkait (close associates) dari PEP; d) nasabah yang pemilik manfaatnya (beneficial owner) tidak diketahui; dan e) nasabah yang tidak bersedia memberikan data dan informasi dalam proses identifikasi atau nasabah yang memberikan informasi yang sangat minim atau informasi yang patut diduga sebagai informasi fiktif. -13- 4) Risiko Negara atau Area Geografis Risiko negara atau risiko area geografis bersama dengan faktor risiko lainnya, menyediakan informasi yang sangat bermanfaat untuk penilaian risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Dalam melakukan penilaian risiko, PJK di Sektor Pasar Modal harus mengidentifikasi unsur risiko tinggi terkait dengan lokasi geografis, baik lokasi geografis PJK di Sektor Pasar Modal maupun lokasi geografis nasabah atau lokasi tempat terjadinya hubungan usaha, dan dampaknya pada keseluruhan risiko. Risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme pada kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal meningkat apabila: a) dana diterima dari atau dikirim ke negara/yurisdiksi yang berisiko tinggi; atau b) nasabah memiliki hubungan yang signifikan dengan negara/yurisdiksi berisiko tinggi. Risiko yang terkait dengan domisili, kewarganegaraan, atau transaksi harus dinilai sebagai bagian dari risiko bawaan dari nasabah PJK di Sektor Pasar Modal. Indikator yang menentukan suatu negara atau wilayah geografis berisiko tinggi terhadap Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme seperti: a) yurisdiksi yang oleh organisasi yang melakukan mutual assessment terhadap suatu negara (seperti: Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia Pacific Group on Money Laundering (APG), Caribbean Financial Action Task Force (CFATF), Committee of Experts on the Evaluation of Anti-Money Laundering Measures and the Financing of Terrorism (MONEYVAL), Eastern and Southern Africa Anti-Money Laundering Group (ESAAMLG), The Eurasian Group on Combating Money Laundering and Financing of Terrorism (EAG), The Grupo de Accion Financiera de Sudamerica (GAFISUD), Intergovernmental Anti-Money Laundering Group in Africa (GIABA) atau Middle East & North Africa Financial Action Task Force (MENAFATF)) -14- diidentifikasi sebagai yurisdiksi yang tidak secara memadai melaksanakan Rekomendasi FATF; b) negara yang diidentifikasi sebagai yang tidak cooperative atau Tax Haven oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD); c) negara yang memiliki tingkat tata kelola (good governance) yang rendah sebagaimana ditentukan oleh World Bank; d) negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang tinggi sebagaimana diidentifikasi dalam Transparancy International Corruption Perception Index; e) negara yang diketahui secara luas sebagai tempat penghasil dan pusat perdagangan narkoba; f) negara yang dikenakan sanksi, embargo, atau yang serupa, antara lain oleh PBB; atau g) negara atau yurisdiksi yang diidentifikasi oleh lembaga yang dipercaya, sebagai penyandang dana atau mendukung kegiatan terorisme, atau yang membolehkan kegiatan organisasi teroris di negaranya. 5) Risiko Produk/Jasa/Transaksi Penilaian risiko secara keseluruhan juga harus mengikutsertakan penentuan risiko potensial yang muncul dari berbagai produk atau jasa yang ditawarkan oleh PJK di Sektor Pasar Modal, hal berikut dapat meningkatkan profil risiko produk atau jasa: a) Produk atau jasa yang menawarkan keleluasaan dalam penarikan dengan biaya tertentu seperti layanan pinjam-meminjam dana nasabah yang dapat diambil sewaktu-waktu, transaksi pembelian atau penjualan unit penyertaan reksa dana yang tidak dibatasi dan dapat diambil sewaktu-waktu. b) Produk atau jasa yang memiliki nilai kas yang tinggi. c) Penerimaan pembayaran dari pihak ketiga yang tidak dikenal atau tidak ada hubungan, seperti penyelesaian pembayaran transaksi efek langsung ke rekening perusahaan. -15- d) Transaksi menggunakan online trading. e) Penerimaan pembayaran dengan menggunakan pembayaran tunai seperti penyetoran tunai pada saat margin call. 6) Risiko Jaringan Distribusi (delivery channels) Jaringan distribusi merupakan media yang digunakan untuk memperoleh suatu produk atau jasa, atau media yang digunakan untuk melakukan suatu transaksi. Jaringan distribusi harus dipertimbangkan sebagai risiko transaksi. Jaringan distribusi, yang memungkinkan adanya transaksi tanpa pertemuan langsung (non face to face), memiliki risiko bawaan yang lebih tinggi. Beberapa jaringan distribusi dapat digunakan tanpa pertemuan langsung (face to face), misalnya internet atau telepon, dan dapat diakses 24 (dua puluh empat) jam per hari, 7 (tujuh) hari dalam seminggu, dari manapun. Hal ini dapat digunakan untuk mengaburkan identitas sebenarnya dari nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner) sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi. Meskipun beberapa jaringan distribusi telah lazim digunakan misalnya online trading, hal tersebut tetap perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari faktor yang dapat menyebabkan risiko nasabah atau risiko produk menjadi lebih tinggi. Beberapa indikator yang dapat menyebabkan jaringan distribusi berisiko tinggi, antara lain: a) transaksi tanpa pertemuan langsung; b) penggunaan agen; dan/atau c) pembelian produk atau jasa secara online. 7) Risiko Relevan lainnya Faktor lain yang relevan yang dapat memberikan dampak pada risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, seperti: a) tren tipologi, metode, teknik, dan skema Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; dan b) model bisnis PJK di Sektor Pasar Modal. -16- PJK di Sektor Pasar Modal perlu mempertimbangkan model bisnis, skala usaha, jumlah cabang, dan jumlah karyawan yang dimiliki oleh PJK dimaksud sebagai faktor risiko bawaan dalam internal PJK di Sektor Pasar Modal. 8) Penskoran (scoring) Penilaian Risiko a) Setelah melakukan identifikasi dan dokumentasi risiko bawaan, PJK di Sektor Pasar Modal perlu memberikan level pada setiap risiko. b) Skala risiko perlu disusun, disesuaikan dengan skala bisnis dan jenis usaha PJK di Sektor Pasar Modal. c) Usaha dengan skala bisnis kecil yang melakukan transaksi sederhana dapat mengategorikan risiko dalam 2 (dua) kategori rendah dan tinggi. d) Untuk kegiatan usaha bisnis dengan skala bisnis lebih besar diharapkan dapat mengategorikan risiko dalam beberapa level, misalnya menengah, menengah-tinggi (medium-high), atau tinggi (high). 9) Untuk membantu PJK di Sektor Pasar Modal melakukan penilaian risiko, PJK di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan matriks kemungkinan dan dampak sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 10) Dalam melakukan tahapan identifikasi dari risiko bawaan, PJK di Sektor Pasar Modal harus mampu menjelaskan seluruh penilaian risiko yang telah dilakukan oleh PJK di Sektor Pasar Modal dengan alasan dan pertimbangannya. PJK di Sektor Pasar Modal dapat menyediakan informasi yang telah terdokumentasi yang menunjukkan bahwa PJK di Sektor Pasar Modal telah memperhatikan indikator- indikator yang berisiko tinggi dalam penilaian risikonya. b. Menetapkan Toleransi Risiko 1) Toleransi risiko merupakan tingkat dan jenis risiko yang secara maksimum ditetapkan oleh PJK di Sektor Pasar Modal. Toleransi risiko merupakan penjabaran dari tingkat risiko yang akan diambil (risk appetite). Toleransi risiko -17- adalah komponen penting dari manajemen risiko yang efektif. 2) Sebelum mempertimbangkan mitigasi risiko, PJK di Sektor Pasar Modal harus menetapkan toleransi risiko. 3) Pada saat mempertimbangkan ancaman, konsep toleransi risiko akan membuat PJK di Sektor Pasar Modal mampu untuk menentukan tingkat ancaman terpapar risiko yang dapat ditoleransi oleh PJK di Sektor Pasar Modal. 4) Dalam menetapkan toleransi risiko, PJK di Sektor Pasar Modal perlu mempertimbangkan kategori risiko di bawah ini, yaitu: a) b) risiko regulator (regulatory risk); risiko reputasi (reputational risk); c) risiko hukum (legal risk); dan d) risiko keuangan (financial risk). c. Menyusun Langkah Pengurangan dan Pengendalian Risiko 1) Mitigasi risiko adalah penerapan pengendalian internal untuk membatasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang telah diidentifikasi dalam melakukan penilaian risiko. 2) Mitigasi risiko akan membantu kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal tetap berada dalam batas toleransi risiko yang telah ditetapkan. Dalam hal hasil penilaian risiko menunjukan bahwa PJK di Sektor Pasar Modal memiliki tingkat risiko tinggi, PJK di Sektor Pasar Modal harus mengembangkan strategi mitigasi risiko secara tertulis berupa kebijakan dan prosedur untuk memitigasi risiko tinggi tersebut dan menerapkannya pada area atau hubungan usaha yang berisiko tinggi sebagaimana yang telah diidentifikasi. 3) Pengendalian internal dan mitigasi risiko yang tinggi didasarkan pada toleransi risiko dan penerimaan risiko (risk appetite). Diharapkan pengendalian internal dan mitigasi risiko akan sepadan dengan risiko yang telah diidentifikasi oleh PJK di Sektor Pasar Modal. 4) Dalam semua situasi, kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal harus mempertimbangkan pengendalian internal -18- yang akan berpengaruh dalam memitigasi keseluruhan risiko yang telah diidentifikasi. 5) Dalam penilaian risiko, semua area berisiko tinggi yang telah diidentifikasi harus dimitigasi dengan pengendalian internal atau langkah lain, serta didokumentasikan dengan baik. 6) Untuk semua nasabah dan hubungan usaha, PJK di Sektor Pasar Modal harus: a) melakukan pemantauan terhadap seluruh hubungan usaha; dan b) mendokumentasikan informasi terkait dan langkah- langkah yang telah dilakukan. 7) Untuk nasabah dan hubungan usaha yang berisiko tinggi, PJK di Sektor Pasar Modal harus: a) melakukan pemantauan yang lebih sering terhadap hubungan usaha tersebut; dan b) mengambil langkah yang lebih ketat dalam melakukan identifikasi dan pengkinian data. 8) Dengan adanya kegiatan mitigasi risiko, diharapkan PJK di Sektor Pasar Modal dapat: a) melakukan pengkinian dan penatausahaan terhadap informasi nasabah dan penerima manfaat (beneficial owner); b) menetapkan dan melaksanakan kegiatan pemantauan berkelanjutan pada setiap tingkatan hubungan usaha PJK di Sektor Pasar Modal (bagi nasabah berisiko rendah dilakukan secara periodik dan bagi nasabah berisiko tinggi dilakukan lebih sering); c) melaksanakan mitigasi terhadap area berisiko tinggi. Strategi mitigasi risiko ini harus tercantum dalam kebijakan dan prosedur; dan d) menerapkan prosedur pengendalian internal secara konsisten. 9) PJK di Sektor Pasar Modal juga harus dapat menunjukkan kepada Otoritas Jasa Keuangan bahwa langkah mitigasi tersebut telah dilaksanakan secara efektif, misalnya ditunjukkan melalui audit internal. -19- d. Melakukan Evaluasi atas Risiko Residual 1) Risiko residual merupakan risiko yang tersisa setelah penerapan pengendalian internal dan mitigasi risiko. 2) PJK di Sektor Pasar Modal perlu memperhatikan bahwa seketat apapun mitigasi risiko dan manajemen risiko yang dimiliki oleh PJK di Sektor Pasar Modal, PJK di Sektor Pasar Modal tetap memiliki risiko residual yang harus dikelola secara baik. 3) Jenis Risiko residual harus sesuai dengan jenis toleransi risiko yang telah ditetapkan. 4) PJK di Sektor Pasar Modal harus memastikan bahwa tingkat risiko residual tidak lebih besar dari tingkat toleransi risiko yang telah ditetapkan PJK di Sektor Pasar Modal. 5) Dalam hal risiko residual masih lebih besar daripada toleransi risiko, atau dalam hal pengendalian internal dan mitigasi terhadap area berisiko tinggi tidak memadai, PJK di Sektor Pasar Modal wajib kembali melakukan langkah pengurangan dan pengendalian risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan meningkatkan level atau kuantitas dari langkah mitigasi yang telah ditetapkan. 6) Ciri risiko residual adalah: a) Risiko telah ditoleransi/diterima Dalam risiko ini, risiko tetap ada meskipun telah ditoleransi. Penerimaan terhadap risiko yang ditoleransi diartikan bahwa tidak ada keuntungan dalam usaha mengurangi risiko. Namun demikian, risiko yang ditoleransi tersebut dapat meningkat dari waktu ke waktu, misalnya ketika terdapat produk baru atau ketika terjadi ancaman baru Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. b) Risiko telah dimitigasi Dalam risiko ini, risiko tetap ada meskipun telah dimitigasi. Risiko ini telah dikurangi, namun tetap tidak dapat dihilangkan. Dalam praktiknya, pengendalian internal yang telah ditetapkan mungkin tidak dapat diterapkan, misalnya sistem pemantauan -20- atau proses pemantauan transaksi gagal, sehingga menyebabkan beberapa transaksi tidak dilaporkan. 7) Dengan adanya kegiatan evaluasi terhadap risiko residual, diharapkan PJK di Sektor Pasar Modal dapat: a) melakukan evaluasi terhadap risiko residual yang dimiliki; dan b) PJK di Sektor Pasar Modal perlu menyesuaikan tingkat risiko yang dimiliki dengan risiko yang ditoleransi/diterima. e. Menerapkan Pendekatan Berbasis Risiko 1) Setelah PJK di Sektor Pasar Modal melakukan penilaian risiko, PJK di Sektor Pasar Modal harus menerapkan pendekatan berbasis risiko terhadap kegiatan/aktivitas usaha sehari-hari. Walaupun telah menggunakan pendekatan berbasis risiko, kewajiban yang ada seperti identifikasi, verifikasi, dan pemantauan, tetap perlu dilakukan sebagai persyaratan minimum. 2) Pendekatan berbasis risiko yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal perlu didokumentasikan dalam bentuk kebijakan dan prosedur untuk menunjukan tingkat kepatuhan PJK di Sektor Pasar Modal. 3) Kebijakan dan prosedur terkait pendekatan berbasis risiko harus dikomunikasikan, dipahami, dan dipatuhi oleh semua pegawai, khususnya pegawai yang melakukan identifikasi dan penatausahaan data dan informasi nasabah serta pelaporan transaksi kepada otoritas terkait. 4) Kebijakan dan prosedur terkait pendekatan berbasis risiko harus memenuhi persyaratan minimal sebagai berikut: a) identifikasi nasabah; b) penilaian risiko; c) tindakan khusus terhadap area berisiko tinggi; d) penatausahaan; dan e) pelaporan. 5) PJK di Sektor Pasar Modal perlu melakukan pemantauan secara berkala terhadap seluruh hubungan usaha yang dilakukan, dan terhadap hubungan usaha yang berisiko tinggi terhadap Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. -21- 6) PJK di Sektor Pasar Modal menerapkan langkah khusus yang lebih ketat terhadap nasabah atau hubungan usaha yang berisiko tinggi. 7) PJK di Sektor Pasar Modal perlu memperhatikan bahwa dalam manajemen risiko dan mitigasi risiko dibutuhkan kepemimpinan dan keterlibatan pejabat senior. 8) Pejabat senior bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan, prosedur, dan proses pengendalian internal dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dalam kegiatan/aktivitas usaha yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal. 9) Dengan adanya pendekatan berbasis risiko, diharapkan PJK di Sektor Pasar Modal dapat: a) memastikan bahwa penilaian risiko yang telah dilakukan menggambarkan proses pendekatan berbasis risiko, frekuensi pemantauan nasabah yang berisiko rendah dan berisiko tinggi, dan juga menggambarkan langkah pengendalian internal yang diberlakukan untuk mengurangi risiko tinggi yang telah diidentifikasi; b) menerapkan pendekatan berbasis risiko; c) melakukan pengkinian data dan informasi terhadap nasabah dan penerima manfaat (beneficial owner); d) melakukan pemantauan terhadap seluruh hubungan usaha yang dimiliki; e) melakukan pemantauan yang lebih sering terhadap hubungan usaha yang berisiko tinggi terkait Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; f) melakukan langkah tertentu terhadap nasabah berisiko tinggi; dan/atau g) melibatkan pejabat senior dalam menghadapi situasi atau area berisiko tinggi (misalnya untuk PEP, pemberian persetujuan melakukan hubungan usaha diberikan oleh pejabat senior). f. Peninjauan dan evaluasi atas Pendekatan Berbasis Risiko yang telah dimiliki -22- 1) Penilaian risiko yang dimiliki oleh PJK di Sektor Pasar Modal harus ditinjau berdasarkan kebutuhan untuk menguji efektivitas dari kepatuhan penerapan program anti Pencucian Uang dan pencegahan Pendanaan Terorisme, yang meliputi: a) kebijakan dan prosedur; b) penilaian risiko terkait Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; dan c) program pelatihan sumber daya manusia (bagi karyawan dan pejabat senior). 2) Dalam hal terhadap perubahan struktur kegiatan usaha dan adanya penawaran atas produk dan jasa baru, pengkinian atas penilaian risiko harus dilakukan untuk kebijakan dan prosedur, langkah mitigasi dan pengendalian internal. 3) Peninjauan atas penilaian risiko terkait Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme harus mencakup seluruh unsur termasuk kebijakan dan prosedur terhadap penilaian risiko, mitigasi risiko dan pemantauan berkelanjutan yang lebih intensif. 4) peninjauan dapat membantu dalam mengevaluasi kebutuhan untuk menyempurnakan kebijakan dan prosedur yang ada, atau untuk pembentukan kebijakan dan prosedur yang baru. 5) Risiko yang telah diidentifikasi dapat berubah atau berkembang pada saat ada produk dan ancaman baru terhadap kegiatan usaha. Pada akhirnya, prosedur peninjauan dimaksud akan mempengaruhi efektivitas dari pelaksanaan pendekatan berbasis risiko. 6) Dengan adanya peninjauan pada pendekatan berbasis risiko, diharapkan PJK di Sektor Pasar Modal dapat: a) melakukan peninjauan sesuai dengan kebutuhan PJK atau dalam hal terdapat perubahan model bisnis, akuisisi portofolio baru dan sebagainya; b) menghasilkan tinjauan yang mencakup kepatuhan kebijakan dan prosedur, penilaian risiko terhadap Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, dan -23- program pelatihan untuk menguji efektivitas pendekatan berbasis risiko; c) melakukan penatausahaan terhadap proses peninjauan dan melaporkan kepada pejabat senior; dan d) melakukan penatausahaan hasil peninjauan bersama dengan penetapan langkah yang bersifat korektif untuk ditindaklanjuti. III. PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 1. Pengawasan aktif Direksi a. Direksi bertanggung jawab atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. b. Direksi memberikan persetujuan yang bersifat teknis atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan tugas Direksi. c. Dalam mendukung efektivitas penerapan program APU dan PPT, Direksi harus: 1) memiliki pemahaman yang memadai mengenai risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Teroris yang melekat pada seluruh aktivitas operasional PJK di Sektor Pasar Modal sehingga Direksi mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil risiko PJK di Sektor Pasar Modal; 2) menyusun kebijakan dan prosedur tertulis terkait penerapan program APU dan PPT untuk diusulkan kepada Dewan Komisaris yang paling sedikit memuat: a) latar belakang penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis; -24- b) struktur, tugas, wewenang dan tanggung jawab satuan kerja atau penanggung jawab penerapan program APU dan PPT; c) kebijakan dan prosedur penerapan progam APU dan PPT; d) pengawasan atas penerapan program APU dan PPT; dan e) rencana pengendalian internal atas hasil pengawasan; 3) memberikan arahan yang jelas atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; 4) membentuk unit kerja khusus (UKK) dan/atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT; 5) memantau pelaksanaan tugas unit kerja khusus dan/atau pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT; dan 6) memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penerapan program APU dan PPT dapat diterapkan dalam berbagai situasi terutama responsif terhadap perubahan dan pengembangan produk, jasa dan teknologi di sektor jasa keuangan serta mampu untuk mendeteksi modus Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. 2. Pengawasan Aktif Dewan Komisaris a. Dewan Komisaris bertanggung jawab atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. b. Dewan Komisaris memberikan persetujuan yang bersifat strategis atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang berkaitan dengan kebijakan, pengawasan, dan prosedur yang sifatnya signifikan dan mendasar dalam penerapan program APU dan PPT. c. Dalam mendukung efektivitas penerapan program APU dan PPT, Dewan Komisaris harus: 1) memiliki pemahaman terkait risiko yang dihadapi PJK di -25- Sektor Pasar Modal terutama risiko nasabah, risiko negara atau geografis, risiko produk atau jasa, dan risiko jaringan distribusi (delivery channels); 2) memberikan persetujuan atas kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penerapan program APU dan PPT yang diusulkan oleh Direksi; 3) melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Direksi dalam penerapan program APU dan PPT; 4) memastikan struktur organisasi memadai untuk penerapan program APU dan PPT; dan 5) mengagendakan pembahasan program penerapan APU dan PPT dalam rapat Dewan Komisaris dengan Direksi. 3. Penanggung Jawab Penerapan Program APU dan PPT a. Berdasarkan pertimbangan beban tugas operasional dan kompleksitas usaha, PJK di Sektor Pasar Modal membentuk UKK dan/atau menunjuk pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor pusat dan/atau di kantor cabang. b. Dalam menjalankan tugasnya, UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, melapor dan bertanggung jawab kepada anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan atau salah satu anggota Direksi yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT. c. Agar tugas UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dapat dilaksanakan dengan baik, PJK di Sektor Pasar Modal harus memiliki mekanisme kerja yang memadai, serta dilaksanakan oleh setiap unit kerja terkait dengan memperhatikan ketentuan anti tipping off dan kerahasiaan informasi. d. UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT memenuhi kriteria: 1) independen terhadap kegiatan yang dimonitor; 2) mampu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Direksi untuk memperoleh gambaran tentang kondisi PJK di Sektor Pasar Modal terkait dengan manajemen risiko dan kepatuhan; dan 3) memiliki akses yang tepat dan tidak dibatasi untuk -26- dokumen identifikasi nasabah, rekening terdaftar, catatan akuntansi lain, dan informasi terkait lainnya. e. UKK paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pimpinan dan 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pelaksana. f. Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menunjuk pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor pusat, maka pejabat penanggung jawab dilakukan oleh pejabat atau pegawai paling rendah setingkat di bawah Direksi. g. Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menunjuk pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor cabang, maka pejabat penanggung jawab dilakukan oleh pejabat atau pegawai paling rendah setingkat dengan penyelia (supervisor). h. Untuk kantor cabang yang hanya terdapat unit kerja yang berhubungan dengan nasabah maka pejabat dan/atau pegawai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dapat: 1) berasal dari unit kerja dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dari kantor cabang lainnya; atau 2) berasal dari kantor pusat apabila seluruh hubungan usaha dan transaksi nasabah di kantor cabang dikontrol sepenuhnya oleh kantor pusat. 4. UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor cabang dapat dibantu oleh kepala kantor cabang dalam penerapan program APU dan PPT. IV. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR 1. Identifikasi dan Verifikasi Calon Nasabah, Nasabah, dan Pemilik Manfaat (beneficial owner) a. Kebijakan Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Dilligence/CDD) 1) Uji tuntas nasabah (Customer Due Dilligence/CDD) merupakan kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan PJK di Sektor Pasar Modal untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil calon nasabah atau nasabah. CDD dimaksudkan untuk mendapatkan informasi terkini -27- mengenai profil nasabah berdasarkan pendekatan berbasis risiko untuk memastikan kesesuaian antara profil nasabah dengan transaksi yang dilakukan. CDD dapat dilakukan baik terhadap seluruh informasi maupun hanya terhadap sebagian informasi. 2) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan prosedur CDD pada saat: a) melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah, misalnya pada saat pembukaan rekening efek. b) terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Contoh: Nasabah umum (walk in customer) yang melakukan pemesanan efek di pasar perdana paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). c) terdapat indikasi transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme, misalnya transaksi yang memenuhi salah satu kriteria dari transaksi keuangan mencurigakan namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah transaksi tersebut tergolong sebagai transaksi keuangan mencurigakan yang harus dilaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). d) PJK di Sektor Pasar Modal meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh nasabah, penerima kuasa, dan/atau pemilik manfaat (beneficial owner). Contoh: penerima kuasa adalah individual yang tidak memiliki hubungan afiliasi atau hubungan kerja sama sekali dengan pemilik manfaat (beneficial owner). PJK di Sektor Pasar Modal dapat melakukan konfirmasi terkait kebenaran atas kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama pemilik manfaat (beneficial owner). -28- b. Kebijakan dan Prosedur Penerimaan dan Identifikasi Calon Nasabah PJK di Sektor Pasar Modal harus memiliki kebijakan tentang penerimaan dan identifikasi calon nasabah yang paling sedikit mencakup hal sebagai berikut: 1) permintaan informasi mengenai calon nasabah; 2) permintaan salinan atau rekaman dari dokumen identitas nasabah yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi nasabah yang memiliki KTP berdasarkan Undang-Undang mengenai administrasi kependudukan atau dokumen lain yang dapat menunjukan nomor induk kependudukan (NIK) bagi nasabah yang belum memiliki KTP; 3) penelitian atas kebenaran dokumen pendukung identitas calon nasabah; 4) permintaan kartu identitas lebih dari satu yang dikeluarkan pihak yang berwenang, jika terdapat keraguan terhadap kartu identitas yang ada; 5) apabila diperlukan dapat dilakukan wawancara dengan calon nasabah untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran informasi, bukti identitas, dan dokumen pendukung calon nasabah; 6) larangan untuk membuka atau memelihara rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif; 7) pertemuan langsung (face to face) dengan calon nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon nasabah; 8) kewaspadaan terhadap transaksi atau hubungan usaha dengan calon nasabah yang berasal atau terkait dengan negara yang belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF); dan 9) penyelesaian proses verifikasi identitas calon nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner) dilakukan sebelum membina hubungan usaha dengan calon nasabah. c. Kebijakan dan Prosedur Identifikasi Pemilik Manfaat (beneficial owner) 1) Dalam hal calon nasabah mewakili pemilik manfaat (beneficial owner) untuk membuka hubungan usaha atau -29- melakukan transaksi, PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan prosedur CDD terhadap pemilik manfaat (beneficial owner) yang sama ketatnya dengan prosedur CDD bagi calon nasabah. 2) Dalam hal pemilik manfaat (beneficial owner) tergolong sebagai PEP maka prosedur yang diterapkan adalah prosedur CDD yang lebih ketat atau uji tuntas lanjut (enhanced due dilligence/EDD). 3) Dalam melakukan identifikasi terhadap calon nasabah korporasi, PJK di Sektor Pasar Modal harus menetapkan pemilik manfaat (beneficial owner). 4) Bagi pemilik manfaat (beneficial owner) berupa lembaga pemerintahan, instansi pemerintah, atau perusahaan yang terdaftar di bursa efek (listing), kewajiban penyampaian dokumen dan/atau identitas pengendali akhir tidak perlu dilakukan. Yang termasuk pengertian perusahaan yang terdaftar di bursa efek adalah: a) nasabah perusahaan yang merupakan anak perusahaan (subsidiary) dari perusahaan yang terdaftar di bursa efek, dimana kepemilikan perusahaan induk adalah mayoritas; dan/atau b) nasabah perusahaan yang bukan merupakan perusahaan yang terdaftar di bursa efek namun kebijakan internal perusahaan tersebut meharuskan adanya paparan publik (public expose) yang memaparkan kepada publik untuk menjelaskan mengenai kinerja perusahaan tersebut sebagaimana yang berlaku pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek. 5) Pengecualian terhadap kewajiban penyampaian dokumen dan/atau identitas pengendali akhir pemilik manfaat (beneficial owner) harus didokumentasikan. 6) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal meragukan atau tidak dapat meyakini identitas pemilik manfaat (beneficial owner), PJK di Sektor Pasar Modal harus menolak untuk melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan calon nasabah. -30- 7) Terhadap calon nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner) yang hubungan usaha atau transaksinya ditolak, PJK di Sektor Pasar Modal harus memperoleh paling sedikit informasi nama, nomor identitas, alamat, dan tempat tanggal lahir sesuai dengan salinan dokumen identitas yang diperoleh PJK di Sektor Pasar Modal untuk kepentingan pelaporan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM). d. Verifikasi Calon Nasabah, Nasabah, dan Penerima Manfaat (beneficial owner). 1) PJK di Sektor Pasar Modal harus meneliti kebenaran informasi yang disampaikan oleh calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner) dengan melakukan verifikasi terhadap dokumen pendukung berdasarkan dokumen dan/atau sumber independen lainnya serta memastikan kekinian informasi tersebut. 2) Dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner) verifikasi dilakukan dengan: a) pertemuan langsung (face to face) dengan calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner) pada awal melakukan hubungan usaha; b) melakukan wawancara dengan calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat apabila diperlukan; c) mencocokkan kesesuaian profil calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat dengan foto diri yang tercantum dalam kartu identitas; d) mencocokan kesesuaian tanda tangan, cap jempol, atau sidik jari dengan dokumen identitas atau dokumen lainnya yang mencantumkan tanda tangan, cap jempol, atau sidik jari. Dokumen lainnya antara lain surat pernyataan calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat, kartu keluarga, atau kartu kredit; e) meminta kepada calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang -31- apabila timbul keraguan terhadap kartu identitas yang ada; f) menatausahakan salinan dokumen kartu identitas setelah dilakukan pencocokan dengan dokumen asli yang sah; g) melakukan pengecekan silang untuk memastikan adanya konsistensi dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat. Pengecekan silang dilakukan dengan cara, antara lain: (1) menghubungi calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat melalui telepon (rumah atau kantor); (2) menghubungi pejabat sumber daya manusia tempat calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat bekerja apabila pekerjaan calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat adalah karyawan suatu perusahaan atau instansi; (3) melakukan konfirmasi atas penghasilan calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat dengan mensyaratkan rekening koran dari bank lainnya; atau (4) melakukan analisis informasi geografis untuk melihat kondisi hutan melalui teknologi remote sensing terhadap calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan; h) memastikan bahwa calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat tidak memiliki rekam jejak negatif dengan melakukan verifikasi identitas calon nasabah, nasabah dan pemilik manfaat menggunakan sumber independen lainnya antara lain sebagai berikut: (1) daftar teroris dan/atau daftar terduga teroris dan organisasi teroris yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; (2) daftar hitam nasional (DHN); atau -32- (3) data lainnya yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal, identitas pemberi kerja dari calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat, rekening telepon, dan rekening listrik; dan/atau i) memastikan adanya kemungkinan hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan. 3) Verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face), sebagaimana dimaksud pada angka 2) huruf a), dengan calon nasabah, nasabah dan pemilik manfaat pada awal melakukan hubungan usaha dapat digantikan dengan verifikasi melalui sarana elektronik, dengan persyaratan sebagai berikut: a) what you have, yaitu dokumen identitas yang dimiliki oleh calon nasabah yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik; dan b) what you are, yaitu data biometrik antara lain dalam bentuk sidik jari milik calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner). 4) Proses verifikasi identitas calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner) harus diselesaikan sebelum membina hubungan usaha dengan calon nasabah, nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner). 5) Dalam kondisi tertentu, proses verifikasi dapat diselesaikan kemudian setelah dilakukannya hubungan usaha. 6) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 5) yaitu: a) kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat hubungan usaha akan dilakukan misalnya karena dokumen masih dalam proses pengurusan. Untuk itu, calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner) dapat menyampaikan dokumen setelah melakukan hubungan usaha, dengan jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan oleh PJK di Sektor Pasar Modal; dan/atau -33- b) apabila tingkat risiko calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner) perorangan tergolong rendah. e. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence/EDD) 1) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menilai nasabah berisiko tinggi maka PJK di Sektor Pasar Modal menerapkan kadar CDD yang lebih tinggi berupa EDD terhadap Nasabah yang bersangkutan. 2) EDD sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilaksanakan dengan melakukan verifikasi informasi calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner), didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis informasi terkait. 3) Verifikasi informasi dalam pelaksanaan EDD sebagaimana dimaksud pada angka 2) dapat dilakukan antara lain dengan cara: a) mencari informasi tambahan tentang nasabah bersangkutan dan melakukan pengkinian atas data identitas nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner); b) mencari informasi tambahan tentang sifat peruntukan dari hubungan bisnis tersebut; c) mencari informasi tambahan mengenai sumber dana atau sumber kekayaan nasabah tersebut; d) mencari infromasi tambahan mengenai alasan dari transaksi yang dimaksud atau yang dilakukan; e) meminta persetujuan dari pejabat senior untuk memulai atau meneruskan hubungan bisnis tersebut; dan/atau f) melakukan pemantauan yang semakin diperketat terhadap hubungan bisnis tersebut, yaitu dengan menambah jumlah dan waktu pengawas yang dipakai, dan memiliki pola transaksi yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. 4) PJK di Sektor Pasar Modal menatausahakan dokumen terkait EDD serta melakukan pengkinian atas data nasabah secara berkala atau sesuai dengan kebutuhan -34- dan kompleksitas PJK di Sektor Pasar Modal. f. Dalam melaksanakan hubungan usaha dengan calon nasabah, nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner) yang mendapat perlakuan EDD, PJK di Sektor Pasar Modal harus menunjuk pejabat senior sebagai penanggung jawab atas hubungan usaha dengan calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner) tesebut. g. CDD sederhana (Simplified CDD) 1) PJK di Sektor Pasar Modal harus mendokumentasikan Nasabah yang mendapat perlakuan CDD sederhana dalam daftar yang memuat informasi mengenai alasan penetapan risiko sehingga digolongkan sebagai risiko rendah. 2) Nasabah yang telah mendapatkan perlakuan CDD sederhana (simplified CDD) harus dikeluarkan dari daftar nasabah CDD sederhana (simplified CDD) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a) diindikasikan terkait dengan Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme; atau b) tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan. 3) Nasabah yang dikeluarkan dari daftar nasabah CDD sederhana sebagaimana dimaksud pada angka 2), nasabah tersebut harus: a) dilakukan CDD atau EDD sesuai dengan tingkat risiko nasabah terkini; dan/atau b) dilaporkan dalam LTKM apabila transaksi diindikasikan terkait dengan Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme. h. CDD oleh Pihak Ketiga 1) PJK di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon nasabahnya yang telah menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut. Pihak ketiga dimaksud telah mempunyai hubungan usaha dengan nasabah yang bersifat -35- independen dari hubungan usaha yang dilakukan antara nasabah dengan PJK di Sektor Pasar Modal yang menggunakan hasil CDD pihak ketiga, dan pihak ketiga tersebut menerapkan prosedur CDD sendiri. 2) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah sebagai berikut: a) PJK di sektor perbankan dan di sektor industri keuangan non bank, misalnya apabila perusahaan efek menerima nasabah yang merupakan nasabah bank, perusahaan efek dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh bank dimaksud sepanjang perusahaan efek telah menandatangani kerjasama CDD pihak ketiga dengan bank tersebut dan perusahaan efek dapat sesegera mungkin mendapatkan informasi dan salinan dokumen pendukung apabila perusahaan efek membutuhkan dalam rangka penerapan program APU dan PPT. b) Lembaga keuangan dan penyedia barang dan/atau jasa dan profesi tertentu yang memiliki prosedur CDD dan tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Contoh dari lembaga keuangan yaitu penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank (money changer) dan penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. Perusahaan efek tetap harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a). 3) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga, PJK di Sektor Pasar Modal wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan yaitu pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga hanya terbatas pada tahap identifikasi dan verifikasi nasabah sedangkan tahap -36- pemantauan transaksi dan pengkinian data nasabah tetap dilakukan oleh PJK di Sektor Pasar Modal. 4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1), angka 2), dan angka 3) tidak berlaku untuk hubungan keagenan. Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menggunakan agen dalam menerapkan prosedur CDD, penerapan prosedur CDD dimaksud dilakukan oleh agen untuk dan atas nama PJK di Sektor Pasar Modal yang mendelegasikan. Hasil CDD yang dilakukan oleh agen sebagaimana dimaksud diserahkan kepada PJK di Sektor Pasar Modal yang mendelegasikan. Sebagai contoh, dalam hal Manajer Investasi menggunakan agen penjual efek reksa dana (APERD) dalam memasarkan produk reksa dana, penerapan CDD dilakukan oleh APERD untuk dan atas nama Manajer Investasi sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Manajer Investasi, dan di bawah pengawasan Manajer Investasi. 2. Penolakan dan Penutupan Hubungan Usaha a. Penolakan Hubungan Usaha 1) PJK di Sektor Pasar Modal wajib melakukan penolakan hubungan usaha dengan calon nasabah dalam hal: a) calon nasabah ingin melakukan transaksi namun calon nasabah tidak bersedia memberikan informasi dan/atau melengkapi dokumen yang dipersyaratkan PJK di Sektor Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 28 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan; dan/atau b) calon nasabah memberikan informasi dan/atau dokumen yang tidak sesuai atau patut diduga sebagai dokumen palsu atau informasi yang diragukan kebenarannya. 2) PJK di Sektor Pasar Modal harus mendokumentasikan calon nasabah yang terkena penolakan hubungan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1) dalam daftar -37- tersendiri. b. Penutupan Hubungan Usaha 1) PJK di Sektor Pasar Modal melakukan penutupan hubungan usaha dengan calon nasabah atau nasabah dalam hal: a) calon nasabah atau nasabah tidak bersedia memberikan informasi dan/atau melengkapi dokumen yang dipersyaratkan PJK di Sektor Pasar Modal; b) calon nasabah atau nasabah memberikan informasi dan/atau dokumen yang tidak sesuai atau patut diduga sebagai dokumen palsu atau informasi yang diragukan kebenarannya; c) sumber dana transaksi yang dimiliki calon nasabah atau nasabah diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana; dan d) calon nasabah atau nasabah tercatat dalam daftar teroris dan/atau daftar terduga teroris dan organisasi teroris. 2) PJK di Sektor Pasar Modal harus memberitahukan secara tertulis kepada nasabah mengenai penutupan hubungan usaha tersebut. 3) Pemberitahuan tertulis dapat dilakukan dengan penyampaian surat yang ditujukan kepada nasabah sesuai dengan alamat yang tercantum dalam database PJK di Sektor Pasar Modal atau diumumkan melalui media cetak, media elektronik, maupun media lainnya. 4) Apabila setelah dilakukan pemberitahuan tertulis, nasabah tidak mengambil sisa dana yang tersimpan di PJK di Sektor Pasar Modal, maka penyelesaian terhadap sisa dana nasabah tersebut dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain dengan menyerahkan sisa dana ke Balai Harta Peninggalan. Dalam hal penutupan hubungan usaha terkait dengan transaksi transfer dana, maka prosedur penutupan hubungan usaha dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai transfer dana. -38- 5) PJK di Sektor Pasar Modal harus mendokumentasikan calon nasabah atau nasabah yang terkena penutupan hubungan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1) dalam daftar tersendiri. 3. Pemantauan dan Pengkinian a. Pemantauan 1) Tingkat dan sifat pemantauan yang dilakukan oleh PJK di Sektor Pasar Modal akan begantung pada skala usaha perusahaan, tingkat risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal, dan jenis kegiatan usaha perusahaan. 2) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan kegiatan pemantauan yang paling sedikit: a) dilakukan secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi nasabah dengan profil nasabah dan menatausahakan dokumen tersebut, terutama terhadap hubungan usaha atau transaksi dengan nasabah dan/atau PJK di Sektor Pasar Modal dari negara dengan program APU dan PPT kurang memadai; b) melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil nasabah; dan c) apabila diperlukan, meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil nasabah, dengan memperhatikan ketentuan anti tipping off sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pencegahan dan pemberantasan TPPU. 3) Kegiatan pemantauan profil dan transaksi nasabah dilakukan secara berkesinambungan meliputi kegiatan: a) memastikan kelengkapan informasi dan dokumen nasabah; b) meneliti kesesuaian antara profil transaksi dengan profil nasabah; dan c) meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama yang tercantum dalam: (1) database daftar teroris; -39- (2) daftar terduga teroris dan organisasi teroris; (3) nama tersangka atau terdakwa yang dipublikasikan dalam media massa atau oleh otoritas yang berwenang; dan (4) daftar hitam nasional (DHN). 4) Sumber informasi yang dapat digunakan untuk memantau nasabah yang ditetapkan sebagai status tersangka atau terdakwa dapat diperoleh antara lain melalui: a) database yang dikeluarkan oleh pihak berwenang seperti PPATK; atau b) media massa, seperti koran, majalah, televisi, dan internet. 5) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan klasifikasi terkait transaksi dan nasabah yang membutuhkan pemantauan khusus. Pemantauan terhadap rekening nasabah harus dipantau lebih ketat apabila terdapat nasabah berisiko tinggi. 6) Seluruh kegiatan pemantauan didokumentasikan dengan baik dalam bentuk tertulis baik melalui dokumen formal seperti memo, nota, atau catatan maupun melalui dokumen informal seperti korespondensi melalui surat elektronik (email). b. Pengkinian Data 1) PJK di Sektor Pasar Modal harus menerapkan prosedur CDD terhadap nasabahnya dalam rangka pengkinian data, untuk mengkinikan materialitas data dan risiko. CDD tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan waktu pelaksanaan CDD sebelumnya dan kecukupan data yang diperoleh. 2) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan pengkinian data terhadap informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai APU dan PPT serta menatausahakannya. 3) PJK di Sektor Pasar Modal harus memastikan bahwa dokumen, data, atau informasi yang dihimpun dalam proses CDD selalu diperbarui dan relevan dengan melakukan pemeriksaan kembali terhadap data yang ada, -40- khususnya yang terkait dengan nasabah berisiko tinggi. 4) PJK di Sektor Pasar Modal harus mengkinikan data nasabah yang dimiliki agar identifikasi dan pemantauan transaksi keuangan yang mencurigakan dapat berjalan efektif. 5) Pengkinian data nasabah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko yang mencakup pengkinian profil nasabah dan transaksinya. Dalam hal sumber daya yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal terbatas, kegiatan pengkinian data dilakukan dengan skala prioritas. 6) Parameter untuk menetapkan skala prioritas sebagaimana dimaksud pada angka 5) antara lain: a) tingkat risiko nasabah tinggi; b) transaksi dengan jumlah yang signifikan dan/atau menyimpang dari profil transaksi atau profil nasabah (red flag); c) terdapat perubahan saldo yang nilainya signifikan; dan/atau d) informasi yang ada pada customer identification file (CIF) belum sesuai dengan Peraturan OJK mengenai APU dan PPT. 7) Pengkinian data dilakukan secara berkala sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas PJK di Sektor Pasar Modal dan didasarkan pada tingkat risiko nasabah atau transaksi. 8) Pelaksanaan pengkinian data terhadap nasabah yang tercantum dalam laporan rencana pengkinian data dapat dilakukan antara lain pada saat: a) pembukaan hubungan usaha tambahan; b) perpanjangan penggunaan produk atau jasa PJK di Sektor Pasar Modal; c) penggantian dokumen data dan identitas nasabah; atau d) penutupan hubungan usaha. 9) Seluruh kegiatan pengkinian data harus diadministrasikan. -41- 4. Dalam hal nasabah yang akan dilakukan pengkinian data telah menjadi nasabah sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan, PJK di Sektor Pasar Modal harus memberitahukan secara tertulis kepada nasabah dimaksud mengenai keharusan PJK di Sektor Pasar Modal untuk menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan usaha sebagaimana tercantum pada angka IV angka 2. 5. Pemeliharaan data yang akurat terkait dengan transaksi, penatausahaan proses CDD, dan penatausahaan kebijakan dan prosedur paling sedikit memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pendokumentasian data nasabah diklasifikasikan sesuai dengan tingkat risiko nasabah; b. dokumen yang ditatausahakan paling sedikit mencakup: 1) salinan atau rekaman dari dokumen identitas nasabah yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi nasabah yang memiliki KTP berdasarkan Undang-Undang mengenai administrasi kependudukan atau dokumen lain yang dapat menunjukan nomor induk kependudukan (NIK) bagi nasabah yang belum memiliki KTP; 2) berkas terkait proses CDD dan EDD, termasuk hasil analisis yang dilakukan; dan 3) informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi; c. jangka waktu penatausahaan dokumen adalah sebagai berikut: 1) dokumen yang terkait dengan data nasabah dengan jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun sejak: a) berakhirnya hubungan usaha dengan nasabah; dan/atau b) ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha; 2) dokumen yang terkait dengan transaksi keuangan nasabah dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang- Undang mengenai dokumen perusahaan; -42- d. PJK di Sektor Pasar Modal harus memastikan bahwa seluruh dokumen baik yang terkait dengan data nasabah maupun dokumen yang terkait dengan transaksi nasabah dapat disediakan setiap saat untuk kebutuhan otoritas yang berwenang. 6. Pelaporan kepada Pejabat Senior, Direksi, dan Dewan Komisaris terkait Penerapan Program APU dan PPT a. Dalam hal proses CDD menunjukkan adanya calon nasabah atau nasabah yang dikategorikan berisiko tinggi maka pegawai PJK di Sektor Pasar Modal yang melaksanakan CDD melaporkan kepada pejabat senior. Pejabat senior bertanggung jawab terhadap penerimaan dan/atau penolakan hubungan usaha dengan calon nasabah dan nasabah yang berisiko tinggi. b. Dalam hal pejabat senior menyetujui hubungan usaha dengan nasabah berisiko tinggi, pejabat senior bertanggung jawab dalam memantau transaksi nasabah berisiko tinggi. c. Pejabat senior harus melaporkan kepada Direksi yang membawahkan fungsi penerapan program APU dan PPT terkait jumlah calon nasabah atau nasabah yang berisiko tinggi termasuk jumlah nasabah berisiko tinggi yang ditolak, diterima, atau dilakukan penutupan hubungan usaha. d. Direksi harus memberikan arahan atas laporan yang disampaikan pejabat senior dan menetapkan langkah mitigasi risiko. e. Direksi melaporkan kepada Dewan Komisaris terkait hasil pemantauan atas penerapan program APU dan PPT secara keseluruhan sebagaimana kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan PJK. f. Direksi dapat mengusulkan pengkinian kebijakan dan prosedur dalam hal terdapat perkembangan risiko yang perlu dimitigasi oleh PJK di Sektor Pasar Modal, yang belum tercantum dalam kebijakan dan prosedur tertulis. V. PENGENDALIAN INTERNAL 1. Pelaksanaan pengendalian internal dalam rangka penerapan program APU dan PPT dilaksanakan oleh penanggung jawab kepatuhan atau satuan kerja audit internal (SKAI). -43- 2. Sistem pengendalian internal yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan, harus mampu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan dari penerapan program APU dan PPT. 3. Dalam rangka pelaksanaan pengendalian internal yang efektif sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan, PJK di Sektor Pasar Modal harus memiliki kerangka pengendalian internal yang meliputi: a. penunjukan UKK dan/atau pejabat yang bertanggung jawab dalam mengelola penerapan program APU dan PPT; b. pemantauan khusus terhadap kegiatan operasional yang berpotensi berisiko tinggi baik dari nasabah, produk ataupun wilayah geografis termasuk terhadap hal yang dinilai rentan, dan berpotensi berkaitan dengan transaksi yang mencurigakan, dan/atau hal yang atas saran dan informasi dari asosiasi industri atau regulator dan penegakan hukum perlu mendapat perhatian khusus; c. penyampaian informasi yang cepat dan tepat dalam hal terdapat indikasi dan/atau dugaan terkait TPPU dan TPPT, inisiatif kepatuhan, kekurangan terkait kepatuhan, tindakan korektif diambil, dan laporan aktivitas yang mencurigakan; d. penerapan kebijakan, prosedur dan kontrol atas uji tuntas nasabah (CDD); e. penyediaan kontrol yang memadai bagi nasabah, transaksi dan produk yang berisiko tinggi, seperti batasan transaksi atau persetujuan manajemen; dan f. pengujian terhadap keefektifan dari pelaksanaan program APU dan PPT dengan mengambil contoh secara acak (random sampling) dan melakukan pendokumentasian atas pengujian yang dilakukan. -44- VI. SISTEM INFORMASI MANAJEMEN 1. Sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah PJK di Sektor Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan, paling sedikit memiliki kriteria sebagai berikut: a. dapat menyimpan data dan informasi nasabah yang akurat, lengkap, dan terkini. Data dan informasi dimaksud wajib digunakan sebagai salah satu parameter dalam melakukan pemantauan transaksi nasabah; b. dapat menyediakan informasi rincian orang, bidang usaha, dan negara yang memenuhi kriteria area berisiko tinggi dan wajib dilakukan pengkinian secara reguler; c. dapat mengidentifikasi transaksi keuangan yang mencurigakan dengan menggunakan parameter yang disesuaikan secara berkala dan memperhatikan kompleksitas usaha, volume transaksi, dan risiko yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal; d. dapat menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah; dan e. dapat memungkinkan PJK di Sektor Pasar Modal untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction), baik untuk keperluan internal dan/atau OJK, maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan. 2. PJK di Sektor Pasar Modal wajib memiliki dan memelihara profil nasabah secara terpadu (single customer identification file). Single customer identification file dimaksud berupa nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification/SID) yang disediakan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 3. PJK di Sektor Pasar Modal wajib memastikan pemantauan transaksi nasabah dengan menggunakan sistem informasi dapat terlaksana secara efektif dan berkesinambungan. 4. PJK di Sektor Pasar Modal wajib memastikan keamanan dan keandalan sistem informasi. -45- 5. PJK di Sektor Pasar Modal wajib memiliki mekanisme atau prosedur operasional standar berkaitan dengan penggunaan sistem informasi termasuk menetapkan batasan akses bagi setiap pengguna sistem informasi. 6. Kebijakan dan prosedur tertulis yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal harus mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh pelaku Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme, seperti: pembukaan rekening melalui internet, wesel atau perintah transfer dana melalui fax atau telepon, dan transaksi elektronik lainnya. VII. SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN 1. Sumber Daya Manusia Dalam rangka pencegahan penggunaan PJK di Sektor Pasar Modal sebagai media atau tujuan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan: a. prosedur penyaringan (pre-employee screening) pada saat penerimaan calon karyawan baru sebagai bagian dari penerapan know your employee (KYE), dengan ketentuan sebagai berikut: 1) metode screening yang disesuaikan dengan kebutuhan, kompleksitas usaha, dan profil risiko PJK di Sektor Pasar Modal; dan 2) metode screening sebagaimana dimaksud pada angka 1), antara lain: a) mengharuskan calon karyawan membuat surat pernyataan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau menyerahkan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK); b) melakukan verifikasi identitas dan pendidikan formal terakhir yang telah diperoleh calon karyawan; c) memastikan rekam jejak (track record) calon karyawan; dan d) melakukan penelitian profil calon karyawan melalui media informasi lainnya; b. pengenalan dan pemantauan profil karyawan antara lain mencakup perilaku dan gaya hidup karyawan, antara lain: -46- 1) melakukan verifikasi pemantauan dan verifikasi terhadap karyawan yang mengalami perubahan gaya hidup yang cukup signifikan; 2) memastikan bahwa karyawan telah memahami dan menaati kode etik karyawan (staff code of conduct); dan 3) mengevaluasi karyawan yang bertanggung jawab pada aktivitas yang tergolong berisiko tinggi yaitu memiliki akses pada data PJK di Sektor Pasar Modal dan berhadapan dengan calon nasabah atau nasabah; dan c. prosedur penyaringan (pre-employee screening), pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan dituangkan dalam kebijakan know your employee yang berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan strategi anti fraud. 2. Pelatihan PJK di Sektor Pasar Modal wajib menyelenggarakan pelatihan terkait penerapan program APU dan PPT yang dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan, kompleksitas usaha, dan penilaian risiko PJK di Sektor Pasar Modal dengan cara sebagai berikut: a. peserta pelatihan: 1) PJK di Sektor Pasar Modal harus memberikan pelatihan mengenai penerapan program APU dan PPT kepada seluruh karyawan. 2) Dalam menentukan peserta pelatihan, PJK di Sektor Pasar Modal mengutamakan karyawan yang tugas sehari-harinya memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut: a) berhadapan langsung dengan nasabah (pelayanan nasabah); b) melakukan pengawasan pelaksanaan penerapan program APU dan PPT; atau c) terkait dengan penyusunan pelaporan kepada PPATK dan OJK. 3) Karyawan yang melakukan pengawasan pelaksanaan penerapan program APU dan PPT harus mendapatkan pelatihan secara berkala, sedangkan karyawan lainnya harus mendapatkan pelatihan paling sedikit 1 (satu) kali -47- dalam masa kerjanya. Karyawan yang berhadapan langsung dengan nasabah (front liner) harus mendapatkan pelatihan sebelum penempatan. b. Metode Pelatihan 1) Pelatihan dapat dilakukan secara elektronik (online base) maupun melalui tatap muka. 2) Pelatihan secara elektronik (online base) dapat menggunakan media e-learning baik yang disediakan oleh otoritas berwenang seperti PPATK atau yang disediakan secara mandiri oleh PJK di Sektor Pasar Modal. 3) Pelatihan melalui tatap muka dilakukan secara interaktif (misal workshop) atau tatap muka satu arah (misal seminar). c. Topik Pelatihan Topik pelatihan paling sedikit mengenai: 1) implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program APU dan PPT; 2) teknik, metode, dan tipologi Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme termasuk tren dan perkembangan profil risiko produk PJK di Sektor Pasar Modal; dan 3) kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan memberantas Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme, termasuk konsekuensi apabila karyawan melakukan tipping off. Kedalaman topik pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan PJK di Sektor Pasar Modal dan kesesuaian dengan tugas dan tanggung jawab karyawan. d. Evaluasi pelatihan 1) Untuk mengetahui tingkat pemahaman karyawan dan kesesuaian materi pelatihan, PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan evaluasi terhadap pelatihan yang telah diselenggarakan. 2) Evaluasi dapat dilakukan secara langsung melalui wawancara atau secara tidak langsung melalui tes. -48- 3) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan upaya tindak lanjut dari hasil evaluasi pelatihan melalui penyempurnaan materi dan metode pelatihan. VIII. PELAPORAN 1. Pelaporan rencana kegiatan pengkinian data dan laporan realisasi pengkinian data dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. laporan ditujukan kepada: 1) Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A, Otoritas Jasa Keuangan, bagi perusahaan efek. 2) Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2B, Otoritas Jasa Keuangan, bagi bank kustodian. b. isi laporan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak dan dapat pula disiapkan dalam format digital dengan menggunakan media digital cakram padat (compact disk). c. laporan sesuai dengan format sebagaimana dimuat dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik, pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat disampaikan melalui sistem elektronik tersebut. IX. PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 September 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PASAR MODAL OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd HOESEN - 1 - LAMPIRAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 47 /SEOJK.04/2017 TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR PASAR MODAL - 1 - SIKLUS PENDEKATAN BERBASIS RISIKO (RISK BASED APPROACH) Risiko Jaringan Distribusi Media yang digunakan untuk memperoleh atau menawarkan barang dan jasa, apakah secara langsung, melalui agen dan/atau secara online - 2 - PEMISAHAN RISIKO YANG TERKAIT DENGAN KEGIATAN USAHA PJK DI SEKTOR PASAR MODAL A. Tabel berikut menyajikan beberapa contoh faktor risiko yang mungkin dihadapi oleh PJK di Sektor Pasar Modal sebagai bagian dari penilaian risiko yang berhubungan dengan kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal. Tabel tersebut juga memaparkan alasan-alasan rasional yang dapat membantu PJK di Sektor Pasar Modal untuk membedakan setiap peringkat risiko. B. PJK di Sektor Pasar Modal dapat memutuskan skala risiko yang ingin digunakan oleh PJK di Sektor Pasar Modal. Pedoman ini tidak mewajibkan PJK di Sektor Pasar Modal untuk menentukan skala risiko tinggi, menengah, dan rendah. PJK di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan skala tinggi dan rendah saja sesuai dengan kegiatan usaha, kebutuhan, dan kompleksitas PJK di Sektor Pasar Modal. C. Perlu diketahui bahwa penggunaan tabel ini bukan merupakan penerapan Pendekatan Berbasis Risiko karena penerapan pendekatan berbasis risiko harus memenuhi siklus Risk Based Approach. Tabel ini membantu PJK di Sektor Pasar Modal dalam melakukan penilaian risiko atas kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal, namun tidak mempertimbangkan risiko nasabah. D. Tabel risiko ini menyajikan contoh risiko bawaan (inherent risk) yang belum dimitigasi, E. Mitigasi risiko diperlukan bagi risiko-risiko yang dikategorikan tinggi. TABEL CONTOH PEMISAHAN RISIKO Faktor Produk atau Jasa- Transaksi Elektronik contoh: online trading Rendah PJK di Sektor Pasar Modal tidak menyediakan layanan transaksi elektronik. contoh: online trading Menengah PJK di Sektor Pasar Modal memiliki beberapa layanan transaksi elektronik. contoh: online trading namun hanya untuk Tinggi PJK di Sektor Pasar Modal menawarkan beragam layanan transaksi elektronik. contoh: online trading - 3 - Faktor Rendah Menengah produk dan layanan tertentu. PJK di Sektor Pasar Modal memiliki batasan untuk penggunaan layanan transaksi elektronik Struktur Kepemilikan PJK di Sektor Pasar Modal dimiliki oleh BUMN Geografi- Wilayah berdasarkan tingkat risiko TPPU dan TPPT PJK di Sektor Pasar Modal berlokasi di wilayah yang memiliki tingkat risiko TPPU dan TPPT yang rendah. PJK di Sektor Pasar Modal dimiliki oleh swasta Kantor Pusat atau beberapa kantor cabang atau kantor di luar kantor cabang PJK di Sektor Pasar Modal berada di wilayah yang memiliki tingkat risiko TPPU dan TPPT menengah atau sedang. Geografi- negara berisiko tinggi PJK di Sektor Pasar Modal tidak memiliki hubungan usaha dengan negara berisiko tinggi. PJK di Sektor Pasar Modal memiliki hubungan usaha dengan negara berisiko tinggi dengan volume transaksi menengah atau sedang. PJK di Sektor Pasar Modal memiliki hubungan usaha dengan negara berisiko tinggi dengan volume transaksi tinggi. PJK di Sektor Pasar Modal dimiliki oleh Asing Kantor Pusat atau beberapa kantor cabang atau kantor di luar kantor cabang PJK berada di wilayah yang memiliki tingkat risiko TPPU dan TPPT yang tinggi. Tinggi - 4 - Beberapa indikator dalam tabel di atas bersifat samar atau membutuhkan penjelasan lebih lanjut seperti penggunaan kata beberapa atau signifikan. PJK di Sektor Pasar Modal dapat mengintepretasikan hal tersebut sesuai dengan skala kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal. - 5 - MATRIKS KEMUNGKINAN DAN DAMPAK (LIKELIHOOD AND IMPACT MATRIX) A. Dalam melakukan identifikasi risiko, salah satu alat bantu yang dapat digunakan oleh PJK di Sektor Pasar Modal ialah matriks kemungkinan dan dampak (likelihood and impact matrix). Matriks tersebut membantu PJK di Sektor Pasar Modal dalam menetapkan seberapa besar upaya atau pemantauan yang perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko bawaan (inherent risk). Perlu diperhatikan bahwa matriks tersebut hanya merupakan contoh. PJK di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan alat bantu lain atau bentuk matriks lain yang sesuai dengan skala usaha, kebutuhan, dan kompleksitas PJK di Sektor Pasar Modal sehingga benar-benar dapat menggambarkan risiko yang dihadapi PJK di Sektor Pasar Modal. 1. Kemungkinan (likelihood) Kemungkinan (likelihood) atas risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme (berupa ancaman dan kerentanan) terjadi dalam kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal. Peluang terjadi risiko ialah kemungkinan (likelihood) itu sendiri. PJK di Sektor Pasar Modal perlu memahami kemungkinan (likelihood) risiko yang telah teridentifikasi benar-benar terjadi. Kemungkinan (likelihood) merujuk pada tingkat risiko yang telah diidentifikasi sebagai bagian dari penilaian risiko. Dalam hal ini PJK di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan skala risiko yang pada umumnya digunakan yaitu: Peringkat Kemungkinan (Likelihood) risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme Tinggi Kemungkinan risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme terjadi. Menengah Kemungkinan terjadinya risiko dapat diterima. Rendah Tidak terdapat kemungkinan terjadinya risiko. 2. Dampak (Impact) Dampak dalam hal ini merujuk pada tingkat keseriusan atau konsekuensi dari suatu kerusakan atau kerugian yang terjadi apabila terjadi risiko. Timbulnya dampak (impact) bergantung pada kondisi internal PJK di Sektor Pasar Modal. Dampak (impact) atas terjadinya risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain: - 6 - a. Risiko reputasi dan dampaknya terhadap kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal; b. Dampak regulasi; c. Kerugian finansial bagi PJK di Sektor Pasar Modal; dan/atau d. Risiko hukum. Dampak (impact) atas terjadinya risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme akan sangat spesifik untuk setiap PJK di Sektor Pasar Modal, oleh karena itu hanya PJK di Sektor Pasar Modal yang dapat menentukan dampak (impact) atas risiko yang terjadi. Skala yang digunakan untuk menghitung dampak (impact) tidak jauh berbeda dengan skala dalam menghitung kemungkinan (likelihood). Peringkat Konsekuensi atas risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme Tinggi Menengah Rendah Risiko memiliki konsekuensi yang berat. Risiko memiliki konsekuensi yang moderat. Risiko memiliki konsekuensi yang kecil atau tidak signifikan. B. Matriks kemungkinan (likelihood) dan dampak (impact) akan membantu PJK di Sektor Pasar Modal untuk memutuskan hal yang perlu dilakukan dengan mempertimbangkan risiko secara keseluruhan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pendekatan berbasis risiko merupakan proses yang memungkinkan PJK di Sektor Pasar Modal untuk menerapkan langkah-langkah yang sepadan dengan risiko yang teridentifikasi sebagai bagian dari penilaian risiko. Setiap kotak dalam matriks menunjukan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan:  Action (contoh: risiko perlu segera ditindaklanjuti)  Effort (contoh: tingkat upaya dalam melakukan mitigasi risiko)  Monitoring (contoh: tingkat pemantauan yang perlu dilakukan PJK di Sektor Pasar Modal) - 7 - C. Cara membaca matriks prioritas 1. Kotak 6 Kondisi pada kotak 6 menunjukan kemungkinan dan dampak terjadinya risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme rendah sehingga PJK di Sektor Pasar Modal tidak perlu mengambil tindakan, upaya atau pemantauan khusus. 2. Kotak 3 Kondisi pada kotak 3 menunjukan bahwa PJK di Sektor Pasar Modal perlu mengalokasikan sumber daya untuk melakukan tindakan, upaya dan pemantauan. Terdapat kemungkinan terjadinya risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme dengan dampak yang dapat dikategorikan moderat. Untuk itu, PJK di Sektor Pasar Modal perlu memperhatikan seluruh kegiatan usaha dan hubungan usaha yang ada, sehingga tidak menimbulkan peningkatan risiko (tidak berubah menjadi kotak 2 atau kotak 1). - 8 - 3. Kotak 1 Kondisi pada kotak 1 menunjukan bahwa kemungkinan terjadinya risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme sangat tinggi termasuk besarnya dampak atas risiko tersebut. Pada kondisi tersebut dibutuhkan sumber daya yang lebih banyak, tindakan khusus, upaya khusus, serta pemantauan berkala untuk meminimalisasi risiko tersebut. - 9 - LAPORAN RENCANA PENGKINIAN DATA (Nama PJK di Sektor Pasar Modal) Posisi ..... Jumlah SID No (a) Jenis Nasabah dan Tingkat Risiko (b) 1 Nasabah orang perseorangan a. Risiko Tinggi b. Risiko Menengah c. Risiko Rendah 2 Nasabah Korporasi a. Non Usaha Mikro dan Kecil 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah 3) Risiko Rendah b. Usaha Mikro dan Kecil 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah 3) Risiko Rendah c. Penyedia Jasa Keuangan 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah SID yang akan Dikinikan (c) % terhadap jumlah seluruh SID (d) Informasi yang akan Dikinikan (e) Metode/Strategi (f) Persentase Pemenuhan SID yang telah dikinikan (g) - 10 - Jumlah SID No (a) Jenis Nasabah dan Tingkat Risiko (b) 3) Risiko Rendah d. Yayasan 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah 3) Risiko Rendah e. Selain perusahaan dan yayasan (berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum) 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah 3) Risiko Rendah 3 Lembaga Negara, Instansi Pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing a. Risiko Tinggi b. Risiko Menengah c. Risiko Rendah SID yang akan Dikinikan (c) % terhadap jumlah seluruh SID (d) Informasi yang akan Dikinikan (e) Metode/Strategi (f) Persentase Pemenuhan SID yang telah dikinikan (g) - 11 - Keterangan: (a) Diisi dengan nomor (b) Sesuai Kolom (c) Diisi dengan rencana jumlah SID yang akan dikinikan untuk 1 (satu) tahun berikutnya (d) Diisi dalam persentase (e) Informasi dapat diisi lebih dari satu, seperti pengkinian alamat tempat tinggal atau pekerjaan. (f) Metode atau strategi dapat diisi lebih dari satu, seperti korespondensi melalui surat atau surat elektronik. (g) Target waktu disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masing-masing PJK di Sektor Pasar Modal, misalnya secara triwulanan. - 12 - LAPORAN REALISASI PENGKINIAN DATA (Nama PJK di Sektor Pasar Modal) Posisi ...... No (a) Jenis Nasabah dan Tingkat Risiko (b) 1 Nasabah Perorangan a. Risiko Tinggi b. Risiko Menengah c. Risiko Rendah 2 Nasabah Korporasi a. Usaha Mikro dan Kecil 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah 3) Risiko Rendah b. Non Usaha Mikro dan Kecil 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah 3) Risiko Rendah c. Penyedia Jasa Keuangan 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah 3) Risiko Rendah d. Yayasan Target (c) Perkembangan Realisasi (d) Deviasi (%) (e) Kendala (f) Upaya yang akan Dilakukan (g) - 13 - No (a) Jenis Nasabah dan Tingkat Risiko (b) 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah 3) Risiko Rendah e. Selain perusahaan dan yayasan (berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum) 1) Risiko Tinggi 2) Risiko Menengah 3) Risiko Rendah 3 Lembaga Negara, Instansi Pemerinah, Lembaga Internasional, dan Perwakilan Negara Asing a. Risiko Tinggi b. Risiko Menengah c. Risiko Rendah Keterangan: (a) Diisi dengan nomor (b) Sesuai Kolom (c) Diisi dengan target jumlah SID yang dikinikan Target (c) Perkembangan Realisasi (d) Deviasi (%) (e) Kendala (f) Upaya yang akan Dilakukan (g) - 14 - (d) Diisi dengan realisasi jumlah SID yang dikinikan (e) Diisi dengan selisih persentase antara target jumlah SID yang dikinikan (c) dengan realisasi jumlah SID yang dikinikan (d). (f) Kendala dapat diisi lebih dari satu. (g) Diisi dengan upaya untuk mengatasi kendala dan dapat lebih dari satu. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 September 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PASAR MODAL, ttd HOESEN Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 7/SEOJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PENYAMPAIAN PERMOHONAN PERIZINAN, PENDAFTARAN, PENCATATAN, PERSETUJUAN, DAN PELAPORAN SECARA ELEKTRONIK BAGI PELAKU DI BIDANG PENGELOLAAN INVESTASI </reg_title> <set_date> 27 Januari 2017 </set_date> <effective_date> 27 Januari 2017 </effective_date> <related_reg> '8/UU/1995', 'KEP-479/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | lampiran Peraturan Nomor V.A.3', 'KEP-26/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | lampiran Peraturan Nomor V.C.1', 'KEP-50/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM-LK/1997 | lampiran Peraturan Nomor IX.C.9', 'KEP-423/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | lampiran Peraturan Nomor IX.C.15', 'KEP-70/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan X.F.1', 'KEP-283/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | lampiran Peraturan Nomor X.N.1', '23/POJK.04/2014', '25/POJK.04/2014', '37/POJK.04/2014', '39/POJK.04/2014', '50/POJK.04/2015', '19/POJK.04/2016', '23/POJK.04/2016', '27/POJK.03/2016', 'KEP-496/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | lampiran Peraturan Nomor II.A.4' </related_reg>
Yth. Direksi Bank Umum Syariah di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /SEOJK.03/2015 TENTANG PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO PASAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 352, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5630), selanjutnya disebut POJK KPMM BUS, perlu diatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Pasar dengan menggunakan Metode Standar bagi Bank Umum Syariah dalam suatu Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, sebagai berikut: I. UMUM 1. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga pasar, antara lain risiko berupa perubahan nilai dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan. 2. Sesuai POJK KPMM BUS, dalam menghitung Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) baik secara individu maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Pasar. 3. Risiko Pasar dalam perhitungan KPMM mencakup risiko benchmark suku bunga, risiko nilai tukar, risiko ekuitas, dan/atau risiko komoditas. 4. Bank secara individu dan secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak wajib memperhitungkan risiko benchmark suku bunga dan/atau risiko nilai tukar. 5. Bank... - 2 - 5. Bank secara konsolidasi selain memperhitungkan risiko sebagaimana dimaksud pada angka 4, juga wajib memperhitungkan: a. risiko ekuitas, apabila Bank memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko ekuitas; dan/atau b. risiko komoditas, apabila Bank memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko komoditas. 6. Dalam menghitung ATMR untuk Risiko Pasar, Bank dapat menggunakan 2 (dua) jenis pendekatan, yaitu: a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau b. Model Internal (Internal Model). Untuk penerapan tahap awal, Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib terlebih dahulu menggunakan Metode Standar dalam memperhitungkan Risiko Pasar. II. PERHITUNGAN ATMR RISIKO PASAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE STANDAR A. PERHITUNGAN RISIKO BENCHMARK SUKU BUNGA 1. Ketentuan Umum a. Perhitungan risiko benchmark suku bunga dilakukan terhadap instrumen keuangan dalam Trading Book yang terekspos risiko benchmark suku bunga antara lain surat berharga syariah atau sukuk. b. Perhitungan beban modal untuk risiko benchmark suku bunga meliputi: 1) risiko spesifik dari setiap instrumen keuangan pada posisi long; 2) risiko umum dari keseluruhan portofolio pada posisi long. c. Nilai pasar surat berharga syariah atau sukuk yang digunakan dalam perhitungan risiko spesifik dan risiko umum adalah dirty price, yaitu nilai pasar surat berharga syariah atau sukuk (clean price) ditambah dengan present value atas imbalan yang akan diterima (dicatat secara accrual). Present value atas imbalan yang akan diterima dapat tidak dilakukan apabila berdasarkan jangka waktu pembayaran kupon, nilai present value tidak menimbulkan perbedaan yang material dengan nilai imbalan yang akan diterima. 2. Perhitungan... - 3 - 2. Perhitungan Risiko Spesifik a. Perhitungan beban modal untuk risiko spesifik dirancang untuk melindungi Bank dari risiko kerugian akibat perubahan harga dari setiap instrumen keuangan yang dimiliki akibat faktor-faktor yang berkaitan dengan penerbit instrumen keuangan (issuer). b. Pembebanan risiko spesifik dibagi dalam kategori pembobotan mengacu pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Penerbit dan Bobot Risiko (Risiko Spesifik) Penerbit 1. Pemerintah Indonesia 2. Pemerintah Negara Lain a. peringkat AAA sampai dengan AA- b. peringkat A+ sampai dengan BBB- dengan: i. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo kurang dari atau sama dengan 6 (enam) bulan ii. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 24 (dua puluh empat) bulan iii. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan c. peringkat BB+ sampai dengan B- d. peringkat kurang dari B- e. tanpa peringkat 3. Kualifikasi (Qualifying) a. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo kurang dari atau sama dengan 6 (enam) bulan b. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 24 (dua puluh empat) bulan c. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan 0,25 1,00 1,60 4. Lainnya... 0,25 1,00 1,60 8,00 12,00 8,00 Bobot Risiko (%) 0,00 0,00 - 4 - Penerbit Bobot Risiko (%) 4. Lainnya a. korporasi dengan: i. peringkat jangka pendek A-1 ii. peringkat jangka pendek A-2 iii. peringkat jangka pendek A-3 iv. peringkat jangka pendek kurang dari A-3 v. peringkat AAA sampai dengan AA- vi. peringkat A+ sampai dengan A- vii. peringkat BBB+ sampai dengan BB- viii. peringkat kurang dari BB- ix. tanpa peringkat b. bank yang tergolong: i. Tagihan Jangka Pendek 1) peringkat jangka pendek kurang dari A-3 2) peringkat BB+ sampai dengan B- 3) peringkat kurang dari B- 4) tanpa peringkat ii. Tagihan Jangka Panjang 1) peringkat jangka pendek kurang dari A-3 2) peringkat BB+ sampai dengan B- 3) peringkat kurang dari B- 4) tanpa peringkat c. entitas sektor publik dan bank pembangunan multilateral dan lembaga internasional i. peringkat BB+ sampai dengan B- ii. peringkat kurang dari B- 8,00 12,00 iii. tanpa... 12,00 8,00 12,00 8,00 12,00 4,00 12,00 4,00 1,60 4,00 8,00 12,00 1,60 4,00 8,00 12,00 12,00 - 5 - Penerbit Bobot iii. tanpa peringkat Risiko (%) 8,00 1) Pemerintah Indonesia Yang termasuk kategori instrumen keuangan Pemerintah Indonesia adalah seluruh instrumen yang dikeluarkan, dijamin atau dijamin dengan efek yang dikeluarkan oleh: a) Pemerintah Pusat Republik Indonesia; b) Bank Indonesia; c) Badan-badan dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya yang seluruh pendanaan operasionalnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pemerintah Republik Indonesia. 2) Pemerintah Negara Lain Yang termasuk kategori instrumen keuangan pemerintah negara lain adalah seluruh instrumen yang dikeluarkan, dijamin atau dijamin dengan efek yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat atau bank sentral negara lain. 3) Kualifikasi a) Yang termasuk kategori instrumen keuangan kualifikasi (qualifying) adalah: (1) surat berharga syariah yang dikeluarkan, dijamin atau dijamin dengan efek yang dikeluarkan oleh: (a) pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah; (b) bank; (c ) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai BUMN, yang tidak tergolong sebagai bank; (d) bank pembangunan multilateral, yaitu World Bank Group yang terdiri atas International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan International Finance Corporation (IFC), Asian Development... - 6 - Development Bank (ADB), African Development Bank (AfDB), European Bank for Reconstruction and Development (EBRD), Inter-American Development Bank (IADB), European Investment Bank (EIB), European Investment Fund (EIF), Nordic Investment Bank (NIB), Caribbean Development Bank (CDB), Islamic Development Bank (IDB), dan Council of Europe Development Bank (CEDB); (e) lembaga internasional yaitu Bank for International Settlements, International Monetary Fund (IMF), dan European Central Bank, yang memiliki peringkat investasi (investment grade) dari 1 (satu) lembaga pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan. Bank sebagaimana dimaksud pada huruf (b) mencakup bank yang beroperasi di Indonesia dan bank yang beroperasi di luar Indonesia, termasuk Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai lembaga pembiayaan ekspor Indonesia. (2) surat berharga syariah yang diterbitkan oleh pihak selain sebagaimana dimaksud dalam angka (1), yang memiliki peringkat investasi (investment grade) dari paling sedikit 2 (dua) lembaga pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan. b) Peringkat domestik digunakan untuk surat berharga syariah atau sukuk dalam mata uang Rupiah. Peringkat internasional digunakan untuk surat berharga syariah atau sukuk dalam valuta asing. 4) Lainnya Yang termasuk kategori lainnya adalah seluruh surat berharga syariah atau sukuk yang dikeluarkan, dijamin atau dijamin dengan efek yang dikeluarkan oleh korporasi, bank, entitas sektor publik, bank pembangunan multilateral dan lembaga internasional yang tidak termasuk dalam... - 7 - dalam kategori Pemerintah Indonesia, pemerintah negara lain, dan kualifikasi. Yang dimaksud dengan korporasi, bank, entitas sektor publik, bank pembangunan multilateral dan lembaga internasional adalah pihak-pihak yang termasuk dalam Tagihan kepada Korporasi, Tagihan kepada Bank, Tagihan kepada Entitas Sektor Publik, dan Tagihan kepada Bank Pembangunan Multilateral dan Lembaga Internasional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar. 3. Perhitungan Risiko Umum a. Perhitungan beban modal untuk Risiko Umum dimaksudkan untuk melindungi Bank dari risiko kerugian akibat perubahan dalam benchmark suku bunga pasar. b. Risiko umum dikenakan terhadap posisi surat berharga syariah atausukuk dan tercatat pada Trading Book. c. Metode perhitungan yang dapat dilakukan untuk perhitungan risiko umum adalah dengan menggunakan Metode Jatuh Tempo (Maturity Method) atau Metode Jangka Waktu (Duration Method). Bank dapat menentukan pilihan terhadap 2 (dua) metode tersebut sepanjang dilakukan secara konsisten dan akurat. Bagi Bank yang menggunakan Metode Jangka Waktu (Duration Method), manajemen Bank harus dapat memastikan bahwa Bank memiliki kapasitas untuk menerapkan metode tersebut dengan berdasarkan prinsip kehati-hatian. d. Bank harus memberitahukan secara tertulis kepada Direktorat Pengawasan Perbankan Syariah, Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat apabila Bank akan menggunakan Metode Jangka Waktu (Duration Method) dalam perhitungan risiko umum. e. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf d harus dilengkapi dokumen dan informasi yang meliputi: 1) Kebijakan... - 8 - 1) kebijakan dan prosedur pelaksanaan Metode Jangka Waktu (Duration Method); 2) instrumen yang dihitung dengan Metode Jangka Waktu (Duration Method); 3) sistem yang mendukung pelaksanaan prosedur perhitungan; 4) proses dan prosedur pengendalian terhadap metode perhitungan; 5) validasi internal oleh pihak independen terhadap metode perhitungan Risiko Pasar yang digunakan. f. Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan terhadap Metode Jangka Waktu (Duration Method) yang digunakan Bank untuk memastikan kebenaran dokumen dan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf e. g. Metode Jatuh Tempo (Maturity Method) 1) Posisi long dari seluruh posisi surat berharga syariah atau sukuk dipetakan ke dalam jenjang maturitas (maturity ladder) yang terdiri atas 13 (tiga belas) skala waktu (time band). Yang dimaksud dengan jenjang maturitas adalah tabel yang disusun berdasarkan pengelompokkan sisa jatuh tempo atau jangka waktu sampai dengan penetapan imbalan berikutnya dari suatu surat berharga syariah atau sukuk. 2) Instrumen dengan imbalan tetap (fixed) dialokasikan sesuai sisa jatuh tempo sedangkan instrumen dengan imbalan mengambang (variable) dialokasikan sesuai jangka waktu sampai dengan saat penetapan imbalan berikutnya (next repricing date). 3) Pembebanan Risiko Umum dibagi dalam kategori pembobotan mengacu pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Skala Waktu dan Bobot Risiko (Risiko Umum - Maturity Method) Skala Waktu < 1 bulan > 1 – 3 bulan > 3 – 6 bulan > 6 – 12 bulan > 1 – 2 tahun > 2 – 3 tahun > 3 – 4 tahun > 4 – 5 tahun Bobot Risiko (%) 0,00 0,20 0,40 0,70 1,25 1,75 2,25 2,75 > 5-7 tahun... - 9 - Skala Waktu > 5 – 7 tahun > 7 – 10 tahun > 10 – 15 tahun > 15 – 20 tahun > 20 tahun Bobot Risiko (%) 3,25 3,75 4,50 5,25 6,00 4. Perlakuan terhadap Transaksi Repo a. Surat berharga syariah yang diserahkan kepada counterparty sebagai collateral dalam transaksi Repo yang dicatat dalam Trading Book sesuai standar akuntansi yang berlaku, dicatat sebagai posisi long dalam perhitungan risiko spesifik dan risiko umum. b. Perhitungan Risiko Spesifik Perhitungan Risiko Spesifik dari surat berharga syariah atau sukuk ditentukan dari: 1) kategori penerbit; dan 2) peringkat dan/atau sisa jatuh tempo. c. Perhitungan Risiko Umum Perhitungan Risiko Umum didasarkan pada sisa jatuh tempo untuk surat berharga syariah atau sukuk dengan imbalan tetap atau sisa jangka waktu sampai penyesuaian tingkat imbalan berikutnya untuk surat berharga syariah atau sukuk dengan imbalan mengambang. B. PERHITUNGAN RISIKO NILAI TUKAR 1. Perhitungan risiko nilai tukar dilakukan terhadap posisi valuta asing dalam Trading Book dan Banking Book yang terekspos risiko nilai tukar termasuk emas dengan mengacu pada perhitungan Posisi Devisa Neto sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku mengenai posisi devisa neto. Posisi terhadap emas diperhitungkan sama dengan valuta asing dengan pertimbangan bahwa pergerakan harga emas hampir sama dengan pergerakan nilai tukar valuta asing dan Bank memperlakukan transaksi emas sama dengan transaksi valuta asing. 2. Perhitungan beban modal untuk risiko nilai tukar dari posisi valuta asing dibebankan sebesar 8% (delapan persen) terhadap Posisi Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari. 3. Dalam... - 10 - 3. Dalam perhitungan risiko nilai tukar, Bank dapat mengecualikan Posisi Struktural dari perhitungan Posisi Devisa Neto sepanjang memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku mengenai posisi devisa neto. a. Bila Bank memilih untuk mengecualikan Posisi Struktural tersebut maka pengecualian tersebut harus dilakukan secara konsisten dan memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. b. Dalam rangka memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan, Bank wajib menyampaikan dokumen pendukung yang terkait dengan status dari Posisi Struktural dan bukti pembukuan transaksi. Contoh: Posisi Struktural berupa aset tetap di luar negeri perlu didukung antara lain dengan dokumen yang berupa bukti kepemilikan, bukti pembayaran, dan dokumen pembukuan. c. Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan dokumen kepada Bank untuk memastikan kelayakan dari suatu Posisi Struktural yang akan dikecualikan dari perhitungan Posisi Devisa Neto. C. PERHITUNGAN RISIKO EKUITAS 1. Perhitungan Risiko Ekuitas bagi Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak dilakukan terhadap posisi instrumen keuangan dalam Trading Book yang terekspos risiko ekuitas, yang meliputi saham biasa (common stocks) dengan atau tanpa hak suara (voting rights), surat berharga syariah atau sukuk yang dapat dikonversi menjadi saham (convertible securities), atau instrumen keuangan lainnya yang memiliki karakteristik seperti saham namun tidak termasuk penyertaan saham di Perusahaan Anak dan penyertaan saham sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan yang diperlakukan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan modal Bank serta saham preferen yang tidak dapat dikonversi (non- convertible preference shares). 2. Perhitungan beban modal untuk risiko ekuitas dalam Trading Book meliputi: a. Risiko... - 11 - a. Risiko spesifik dari posisi ekuitas yang merupakan penjumlahan nilai posisi long dari setiap instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas yang diterbitkan oleh setiap emiten di setiap pasar keuangan. Dalam hal instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas diperdagangkan pada lebih dari satu pasar keuangan maka instrumen keuangan tersebut diperlakukan sebagai posisi di pasar keuangan dimana instrumen keuangan dimaksud diperdagangkan secara utama (primary listing). b. Risiko umum dari posisi ekuitas yang merupakan penjumlahan nilai posisi long dari setiap instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas di setiap pasar keuangan. 3. Perhitungan Risiko Spesifik a. Perhitungan beban modal untuk risiko spesifik dirancang untuk melindungi Bank dari risiko kerugian akibat perubahan harga dari setiap instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas akibat faktor-faktor yang berkaitan dengan emiten. Risiko yang terkait dengan pihak lawan dalam transaksi tersebut diperhitungkan tersendiri dalam perhitungan risiko kredit akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk). b. Perhitungan beban modal untuk risiko spesifik adalah sebesar 8% (delapan persen) dari posisi ekuitas. 4. Perhitungan Risiko Umum a. Perhitungan beban untuk risiko umum dimaksudkan untuk melindungi Bank dari risiko kerugian akibat perubahan faktor pasar. b. Perhitungan beban modal untuk risiko umum adalah sebesar 8% (delapan persen) dari posisi ekuitas. Contoh: Perusahaan A B Jumlah Saham 10.000 20.000 Posisi Long Long Harga pasar/ saham Rp100 Rp200 Jumlah posisi long =Rp1.000.000,00+Rp4.000.000,00= Rp5.000.000,00 Risiko Spesifik Risiko Umum Risiko Ekuitas Harga pasar Rp1.000.000 Rp4.000.000 = Rp5.000.000,00 x 8% = Rp400.000,00 = Rp5.000.000,00 x 8% = Rp 400.000,00 = Rp400.000,00 + Rp400.000,00= Rp800.000,00 Dari... - 12 - Dari perhitungan tersebut, maka beban modal untuk risiko ekuitas adalah sebesar Rp800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah). D. PERHITUNGAN RISIKO KOMODITAS 1. Perhitungan risiko komoditas bagi Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak dilakukan terhadap posisi instrumen keuangan dalam Trading Book dan Banking Book yang terekspos risiko komoditas. Yang termasuk sebagai komoditas antara lain produk fisik yang dapat diperdagangkan seperti produk agrikultur, mineral (termasuk minyak), dan logam berharga (precious metal) namun tidak termasuk emas. 2. Risiko Komoditas yang harus diperhitungkan meliputi: a. Directional risk, yaitu risiko yang timbul dari perubahan harga spot atas posisi komoditas terbuka neto (net open positions), khususnya untuk posisi komoditas dari transaksi perdagangan spot atau perdagangan fisik. b. Basis risk, yaitu risiko yang timbul dari pergerakan harga yang tidak berkorelasi sempurna antara komoditas yang serupa namun tidak identik, yang antara lain dapat disebabkan oleh kualitas komoditas. 3. Dalam perhitungan risiko komoditas, Bank harus mengkonversi posisi bruto (yaitu penjumlahan posisi long dan short) untuk setiap komoditas (yang diukur dalam barrel, kilogram, atau unit pengukuran lainnya yang digunakan untuk komoditas) ke dalam satuan mata uang berdasarkan harga pasar terkini dari setiap komoditas tersebut; 4. Dalam perhitungan risiko komoditas, Bank dapat melakukan proses saling hapus antara posisi long dan short apabila bersifat identik, yaitu: a. komoditas yang mendasari sama; atau b. komoditas yang mendasari berbeda namun masuk dalam kelompok yang sama. 5. Metode perhitungan yang dapat dilakukan untuk perhitungan risiko komoditas adalah dengan menggunakan Metode Sederhana (Simplified Approach) atau Metode Jatuh Tempo (Maturity Ladder Approach). Bank dapat menentukan pilihan terhadap 2 (dua) metode tersebut sepanjang dilakukan secara akurat dan konsisten. 6. Metode... - 13 - 6. Metode Sederhana (Simplified Approach) Beban modal untuk risiko komoditas adalah sebesar penjumlahan dari perhitungan: a. 15% (lima belas persen) dari posisi neto, baik long atau short, dari setiap posisi komoditas untuk mengantisipasi directional risk; dan b. 3% (tiga persen) dari posisi bruto (penjumlahan dari nilai absolut posisi long dan short) dari setiap posisi komoditas untuk mengantisipasi basis risk. 7. Metode Jatuh Tempo (Maturity Ladder Approach) a. Posisi dalam setiap jenis komoditas harus dilaporkan berdasarkan skala waktu dalam jenjang maturitas (maturity ladder) yang terpisah mengacu pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Skala Waktu dan Spread Rate (Risiko Komoditas) Skala Waktu < 1 bulan > 1 – 3 bulan > 3 – 6 bulan > 6 – 12 bulan > 1 – 2 tahun > 2 – 3 tahun > 3 tahun Spread Rate 1,5% 1,5% 1,5% 1,5% 1,5% 1,5% 1,5% b. Beban modal untuk risiko komoditas adalah sebesar penjumlahan dari perhitungan: 1) 1,5% (satu koma lima persen) (spread rate) dari jumlah posisi long dan posisi short yang matched dalam setiap skala waktu; 2) 0,6% (nol koma enam persen) dari posisi residu (unmatched position) yang berasal dari setiap skala waktu yang dikalikan dengan jumlah skala antara skala waktu sebelumnya dengan skala waktu berikutnya; dan 3) 15% (lima belas persen) dari posisi residu yang tersisa (remaining unmatched position). Contoh: a. Perusahaan Anak menyepakati kontrak salam dan salam paralel komoditas gula dengan jatuh tempo dan harga sebagai berikut: Kontrak... - 14 - Kontrak salam salam paralel Salam salam paralel Skala waktu < 1 bulan > 1 – 3 bulan > 3 – 6 bulan Long 800 Short 1.000 [800 (Long) + 800 (Short) (posisi matched)] x 1,5% 200 (Short) (posisi residu yang tersisa) yang diperhitungkan ke 3 skala waktu berikutnya yaitu skala waktu > 2- 3 tahun 200 X 3 x 0.6% > 6 – 12 bulan > 1 – 2 tahun > 2 – 3 tahun Long 600 [200 (Long) + 200 (Short) (posisi matched)] x 1,5% 400 (Long) (posisi residu yang tersisa) yang diperhitungkan ke 1 skala waktu berikutnya yaitu skala waktu > 3 tahun 400 X 1 x 0.6% > 3... 2.4 6 24 Jatuh tempo 4 bulan 5 bulan 2,5 tahun 7 tahun Posisi (Rp 000) Harga (dalam Rp. 000) 800 1.000 600 600 Perhitungan Beban Modal 3.6 - 15 - > 3 tahun Short 600 [400 (Long) + 400 (Short) (posisi matched) x 1,5% 200 (posisi residu tersisa) x 15% Total Beban Modal 78 III. PELAPORAN 1. Sesuai dengan Pasal 42 POJK KPMM BUS, Bank wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM baik secara individu maupun secara konsolidasi, yaitu: a. laporan perhitungan ATMR Risiko Pasar untuk Bank secara individu disampaikan setiap bulan untuk posisi akhir bulan; dan b. laporan perhitungan ATMR Risiko Pasar untuk Bank secara konsolidasi disampaikan setiap triwulan untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember, bagi Bank yang memiliki perusahaan anak; dengan mengacu pada format dan pedoman pengisian dalam Lampiran I dan Lampiran II Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 2. Laporan perhitungan ATMR Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara online melalui Laporan Berkala Bank Umum Syariah. Tata cara penyampaian dan pengenaan sanksi mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum syariah. 3. Selama pelaporan secara online sebagaimana dimaksud pada angka 2 belum dapat dilaksanakan maka Bank wajib menyampaikan laporan secara offline paling lambat: a. tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah bulan laporan yang bersangkutan untuk laporan perhitungan ATMR Risiko Pasar Bank secara individu sebagaimana dimaksud pada butir 1.a; b. tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah akhir masing-masing triwulan untuk laporan perhitungan ATMR Risiko Pasar Bank secara konsolidasi, sebagaimana dimaksud pada butir 1.b; yang 12 30 4. Apabila... - 16 - 4. Apabila tanggal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. 5. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 3 disampaikan kepada: a. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten; atau b. Kantor Regional dan Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten. 6. Bank yang tidak menyampaikan laporan atau menyampaikan laporan tidak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 4, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 POJK KPMM BUS. IV. LAIN-LAIN Lampiran I dan Lampiran II merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. V. PENUTUP Dengan berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini maka butir III.4 dan Lampiran 2 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPBS tanggal 22 November 2005 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/10/DPbS tanggal 7 Maret 2006, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Surat... - 17 - Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji NELSON TAMPUBOLON
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 35/SEOJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO PASAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title> <set_date> 21 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2016 </effective_date> <replaced_reg> '7/53/DPBS|SE-BI/2005 | butir III.4 dan Lampiran 2', '8/10/DPbS|SE-BI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/POJK.03/2014' </related_reg>
Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah; dan 2. Direksi Perusahaan Reasuransi Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /SEOJK.05/2016 TENTANG PENCABUTAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25/SEOJK.05/2015 TENTANG PENILAIAN INVESTASI SURAT BERHARGA SYARIAH DAN PERHITUNGAN DANA UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KEGAGALAN PENGELOLAAN KEKAYAAN DAN/ATAU KEWAJIBAN PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH Sehubungan dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah, Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-07/BL/2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Dana Yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Pengelolaan Dana Tabarru’ dan Perhitungan Jumlah Dana Yang Harus Disediakan Perusahaan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Yang Mungkin Timbul Dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah, dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/SEOJK.05/2015 tanggal 31 Agustus 2015 tentang Penilaian Investasi Surat Berharga Syariah dan Perhitungan Dana Untuk Mengantisipasi Risiko Kegagalan Pengelolaan Kekayaan dan/atau Kewajiban Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah, selanjutnya disebut SEOJK Nomor 25/SEOJK.05/2015, serta memperhatikan kondisi perekonomian dan pasar saat ini, perlu menetapkan pencabutan SEOJK Nomor 25/SEOJK.05/2015 dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Berdasarkan SEOJK Nomor 25/SEOJK.05/2015 telah ditetapkan penilaian investasi surat berharga syariah agar mencerminkan nilai - 2 - yang wajar dan penyesuaian dana untuk mengantisipasi risiko kegagalan pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban yang diperhitungkan dalam perhitungan tingkat solvabilitas sebagai dampak dari kondisi keuangan global yang mengakibatkan nilai pasar dari investasi surat berharga syariah menunjukkan nilai yang tidak wajar. 2. Kondisi keuangan global sebagaimana dimaksud pada angka 1, telah mengakibatkan penurunan tingkat solvabilitas perusahaan asuransi syariah dan perusahaan reasuransi syariah kurang dari tingkat solvabilitas yang dipersyaratkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah. 3. Bahwa kondisi keuangan global dan perkembangan perekonomian Indonesia saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang positif, yang tercermin dari indikator pasar: a. b. Nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat sejak bulan Oktober 2015 terus menguat dan stabil. Nilai suku bunga Bank Indonesia sejak bulan Desember 2015 terus mengalami penurunan dan stabil. c. Country Rate atas Indonesia sejak bulan Oktober 2015 terus menguat dan stabil. d. Indeks Harga Saham Gabungan sejak bulan Oktober 2015 mengalami peningkatan dan terus menunjukkan tren kenaikan. 4. Bahwa berdasarkan kondisi dan perkembangan sebagaimana dimaksud pada angka 3, maka kondisi keuangan global sudah menunjukkan nilai yang wajar bagi pasar investasi surat berharga syariah. 5. Bahwa berdasarkan angka 4, maka penetapan kondisi penilaian investasi surat berharga syariah agar mencerminkan nilai yang wajar dan penyesuaian dana untuk mengantisipasi risiko kegagalan pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban yang diperhitungkan dalam perhitungan tingkat solvabilitas yang dipersyaratkan dalam SEOJK Nomor 25/SEOJK.05/2015 sebagai dasar bagi perusahaan asuransi syariah dan perusahaan reasuransi syariah melakukan perhitungan atas surat berharga syariah yang dimiliki dan penyesuaian dana untuk mengantisipasi risiko kegagalan pengelolaan - 3 - kekayaan dan/atau kewajiban yang diperhitungkan dalam perhitungan tingkat solvabilitas perlu untuk dicabut. II. PENETAPAN PENCABUTAN SEOJK NOMOR 25/SEOJK.05/2015 Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam romawi I, maka SEOJK Nomor 25/SEOJK.05/2015 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. III. PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Juni 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd FIRDAUS DJAELANI
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 22/SEOJK.05/2016 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25/SEOJK.05/2015 TENTANG PENILAIAN INVESTASI SURAT BERHARGA SYARIAH DAN PERHITUNGAN DANA UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KEGAGALAN PENGELOLAAN KEKAYAAN DAN/ATAU KEWAJIBAN PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title> <set_date> 27 Juni 2016 </set_date> <effective_date> 27 Juni 2016 </effective_date> <replaced_reg> '25/SEOJK.05/2015' </replaced_reg> <related_reg> 'PER-07/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011', '25/SEOJK.05/2015', '11/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 | Pasal 7' </related_reg>
Yth. Manajer Investasi di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /SEOJK.04/2016 TENTANG KRITERIA KHUSUS PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK Dalam rangka pelaksanaan Pasal 19 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 26/POJK.04/2016 tentang Produk Investasi Di Bidang Pasar Modal Dalam Rangka Mendukung Undang-Undang Tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 145, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5906), perlu mengatur mengenai kriteria khusus atas produk investasi di bidang Pasar Modal dalam rangka mendukung Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Pengelola Harta Wajib Pajak yang berperan sebagai pintu masuk pengalihan dan/atau pengelolaan dana Wajib Pajak, yang selanjutnya disebut Gateway, adalah Bank, Manajer Investasi, atau Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerima pengalihan Harta Wajib Pajak dan/atau melakukan pengelolaan dan penempatan dana Wajib Pajak pada instrumen investasi dalam rangka Pengampunan Pajak. 2. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan - 2 - asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, yang selanjutnya disebut Reksa Dana Penyertaan Terbatas, adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal profesional yang selanjutnya diinvestasikan oleh Manajer Investasi pada Portofolio Efek yang berbasis Kegiatan Sektor Riil. 4. Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual adalah jasa pengelolaan dana yang dilakukan Manajer Investasi kepada satu nasabah tertentu dimana berdasarkan perjanjian tentang pengelolaan Portofolio Efek, Manajer Investasi diberi wewenang penuh oleh nasabah untuk melakukan pengelolaan Portofolio Efek berdasarkan perjanjian dimaksud. 5. Penawaran adalah kegiatan menyampaikan informasi atau meneruskan leaflet, brosur, dan/atau hal-hal sejenis yang memuat informasi dan/atau penjelasan. 6. Pemodal adalah Wajib Pajak berupa orang pribadi atau badan yang berdasarkan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak telah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak. 7. Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset, yang selanjutnya disingkat KIK-EBA, adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif. 8. Efek Beragun Aset, yang selanjutnya disingkat EBA, adalah Efek yang diterbitkan oleh KIK-EBA yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau - 3 - apartemen, Efek bersifat utang yang dijamin oleh Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement)/Arus Kas (Cash Flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut. 9. Dana Investasi Real Estat, yang selanjutnya disingkat DIRE, adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real Estat, Aset Yang Berkaitan Dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas. 10. Kreditur Awal (Originator) adalah Pihak yang telah mengalihkan aset keuangannya kepada para pemegang Efek Beragun Aset secara kolektif dimana aset keuangan tersebut diperoleh Pihak yang bersangkutan karena pemberian pinjaman, penjualan, dan/atau pemberian jasa lain yang berkaitan dengan usahanya. II. REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS 1. Dalam hal Perusahaan Sasaran melakukan Penawaran Umum, Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas Perusahaan Sasaran wajib menjual Efek bersifat ekuitas dimaksud dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37/POJK.04/2014 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas atau jangka waktu tertentu yang lebih lama sepanjang ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif. 2. Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas dapat melakukan pembelian untuk kepentingan Reksa Dana Penyertaan Terbatas atas Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi dengan Manajer Investasi, dengan ketentuan: a. transaksi pembelian Efek Perusahaan Sasaran wajib dilakukan dalam kondisi arm’s length dimana transaksi antar para Pihak dilakukan secara independen dan pada harga yang wajar; b. dalam hal Efek Perusahaan Sasaran yang akan dibeli berupa Efek bersifat utang, Efek tersebut wajib didukung dengan - 4 - jaminan kebendaan berupa jaminan fidusia dan/atau hak tanggungan senilai paling sedikit 100% (seratus persen) dari nilai nominal Efek bersifat utang dimaksud, kecuali Efek bersifat utang yang telah diperingkat oleh Perusahaan Pemeringkat Efek yang memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dengan peringkat layak investasi (investment grade); c. dalam hal Efek Perusahaan Sasaran yang akan dibeli berupa Efek bersifat ekuitas, uji tuntas (due diligence) Perusahaan Sasaran dan kegiatan sektor riil wajib didukung dengan laporan hasil penilaian independen yang dibuat oleh Penilai yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan d. Manajer Investasi wajib mengungkapkan informasi mengenai investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas pada Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi dengan Manajer Investasi dalam dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. 3. Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib memiliki Unit Penyertaan dari masing-masing Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang dikelolanya paling sedikit 1.000.000 (satu juta) Unit Penyertaan sampai dengan bubarnya Reksa Dana Penyertaan Terbatas. III. PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH SECARA INDIVIDUAL 1. Manajer Investasi yang ditunjuk sebagai Gateway dapat menggunakan jasa pihak lain untuk melakukan Penawaran atas Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual kepada calon Pemodal. 2. Pihak lain sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat berupa: a. Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk sebagai Gateway; atau b. bank umum yang ditunjuk sebagai Gateway atau Bank Persepsi. - 5 - 3. Dalam melakukan Penawaran, kewenangan pihak lain terbatas pada: a. meneruskan informasi terkait Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual dari Manajer Investasi kepada Pemodal; atau b. menyediakan informasi mengenai Pemodal kepada Manajer Investasi atas persetujuan Pemodal. 4. Kegiatan Penawaran yang dilakukan oleh pihak lain kepada calon Pemodal dapat dilakukan baik melalui pertemuan langsung (face to face), surat, dan/atau media elektronik. 5. Manajer Investasi yang menggunakan jasa pihak lain untuk melakukan Penawaran atas Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual wajib: a. membuat kebijakan dan prosedur tertulis terkait Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual yang ditawarkan melalui pihak lain; b. menyediakan informasi terkait Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual untuk keperluan Penawaran; c. membuat perjanjian tertulis antara Manajer Investasi dengan pihak lain, yang paling sedikit memuat: 1) hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing pihak; 2) biaya-biaya; dan 3) penyelesaian dalam hal terjadi perselisihan; dan d. bertanggung jawab untuk menyelesaikan pengaduan nasabah. 6. Setoran awal Pemodal dalam Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual dapat berupa Efek yang paling sedikit nilainya setara dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 7. Dalam hal setoran awal Pemodal berbentuk Efek, maka nilai awal investasi Efek pada Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual - 6 - wajib dinilai berdasarkan nilai pasar wajar yang dihitung berdasarkan Peraturan Nomor IV.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 367/BL/2012 tanggal 9 Juli 2012 tentang Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana. IV. KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF EFEK BERAGUN ASET (KIK-EBA) 1. Pengalihan aset keuangan dari Kreditur Awal (Originator) kepada KIK-EBA wajib memenuhi kriteria jual beli atau tukar menukar putus/lepas sebagai berikut: a. aset keuangan harus dipisahkan dari aset keuangan milik Kreditur Awal (Originator); b. Kreditur Awal (Originator) harus mengalihkan semua hak dan kewajiban yang terkait dengan aset keuangan kepada KIK-EBA dan dilarang untuk menahan setiap manfaat dari aset keuangan tersebut; c. Kreditur Awal (Originator) tidak lagi bertindak sebagai pemegang hak atas aset keuangan tersebut, baik langsung atau tidak langsung; d. Kreditur Awal (Originator) tidak boleh berada dalam posisi sebagai pengendali KIK-EBA dalam transaksi sekuritisasi aset keuangan; e. KIK-EBA tidak mempunyai hak untuk meminta kembali (recourse) kepada Kreditur Awal (Originator) atas kerugian yang ditimbulkan dari aset keuangan tersebut; f. dalam hal Kreditur Awal (Originator) juga bertindak sebagai penyedia jasa (servicer), jasa sebagai penyedia jasa (servicer) harus diberikan berdasarkan prinsip kewajaran (arm’s length basis); g. dalam hal Kreditur Awal (Originator) juga bertindak sebagai agen pembayar (paying agent), tidak boleh terdapat kewajiban yang dikenakan kepada Kreditur Awal (Originator) untuk memberikan - 7 - dana kepada KIK-EBA kecuali sampai dengan dana tersebut diterima dari debitur; dan h. meskipun telah ditetapkan kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai huruf g: 1) dalam hal aset keuangan dalam KIK-EBA telah menurun ke skala yang tidak ekonomis, Kreditur Awal (Originator) memiliki hak untuk menolak melakukan pembelian kembali aset keuangan dalam KIK-EBA tersebut pada nilai yang wajar; atau 2) Kreditur Awal (Originator) dapat membeli kembali aset keuangan dari KIK-EBA dalam hal Kreditur Awal (Originator) berdasarkan transaksi sekuritisasi memiliki kewajiban untuk melakukannya karena Kreditur Awal (Originator) melanggar kondisi atau jaminan dalam transaksi sekuritisasi. 2. Pemenuhan kriteria jual beli atau tukar menukar putus/lepas sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat cukup didukung dengan pendapat Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. V. DANA INVESTASI REAL ESTAT 1. DIRE dapat berinvestasi pada sebagian dari suatu aset Real Estat, dengan ketentuan akuisisi aset Real Estat dilakukan demi kepentingan terbaik dari pemegang Unit Penyertaan DIRE. 2. DIRE dapat berinvestasi pada aset Real Estat secara tidak langsung melalui pengambilalihan saham perusahaan pemilik aset Real Estat, dengan ketentuan Real Estat yang dimiliki perusahaan yang sahamnya diambilalih DIRE wajib telah menghasilkan pendapatan. 3. Dalam hal DIRE berinvestasi pada aset Real Estat sebagaimana dimaksud pada angka 2, Manajer Investasi dikecualikan untuk memiliki dan mengadministrasikan dokumen yang terkait dengan - 8 - Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Dana Investasi Real Estat sebagai berikut: a. perjanjian pengelolaan Real Estat; b. dokumen penilaian Real Estat; c. salinan perjanjian sewa menyewa yang terkait dengan Real Estat; d. salinan perjanjian jual beli Real Estat; dan e. fotokopi sertifikat hak guna bangunan dan sertifikat hak atas tanah dan/atau bangunan lainnya. VI. KETENTUAN PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Desember 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PASAR MODAL, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd NURHAIDA
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 49/SEOJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> KRITERIA KHUSUS PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK </reg_title> <set_date> 19 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 19 Desember 2016 </effective_date> <related_reg> '26/POJK.04/2016 | Pasal 19' </related_reg>
Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Umum; 2. Direksi Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah; 3. Direksi Perusahaan Pialang Asuransi; 4. Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan; 5. Direksi Perusahaan Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan Syariah; 6. Direksi Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Modal Ventura Syariah; 7. Direksi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur; 8. Direksi Perusahaan Pergadaian; dan 9. Direksi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /SEOJK.05/2017 TENTANG PEDOMAN PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 68 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6035), perlu untuk mengatur lebih lanjut mengenai pedoman penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor industri keuangan non- bank sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: - 2 - a. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. b. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. c. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha pialang asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. d. Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang selanjutnya disingkat DPLK adalah dana pensiun lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. e. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah. f. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha modal ventura, pengelolaan dana ventura, kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah. g. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur. h. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah lembaga pembiayaan ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. i. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian pemerintah yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. j. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Industri Keuangan Non-Bank yang selanjutnya disebut PJK IKNB adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang - 3 - Asuransi, DPLK, Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, LPEI, dan Perusahaan Pergadaian. k. Direksi: 1) bagi PJK IKNB berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas; 2) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dan Perusahaan Pergadaian berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perkoperasian; 3) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Perusahaan Pialang Asuransi berbentuk badan hukum usaha bersama adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; 4) bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah yang setara dengan direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; 5) bagi DPLK adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai dana pensiun; dan 6) bagi LPEI adalah direktur eksekutif sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai LPEI. l. Dewan Komisaris: 1) bagi PJK IKNB berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas; 2) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dan Perusahaan Pergadaian berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perkoperasian; 3) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Perusahaan Pialang Asuransi berbentuk badan hukum - 4 - usaha bersama adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; 4) bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah yang setara dengan dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; 5) bagi DPLK adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai dana pensiun; dan 6) bagi LPEI adalah dewan direktur sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai LPEI. m. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. n. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pendanaan Terorisme. o. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang selanjutnya disingkat APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. 2. PJK IKNB sangat rentan terhadap kemungkinan digunakan sebagai media Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK IKNB dimungkinkan menjadi pintu masuk harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana Pencucian Uang atau merupakan pendanaan kegiatan terorisme ke dalam sistem keuangan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelaku kejahatan. Misalnya untuk pelaku Pencucian Uang, harta kekayaan tersebut dapat ditarik kembali sebagai harta kekayaan yang seolah- olah sah dan tidak lagi dapat dilacak asal usulnya. Sedangkan untuk pelaku Pendanaan Terorisme, harta kekayaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme. 3. Semakin berkembangnya kompleksitas produk dan layanan jasa keuangan termasuk pemasarannya (multi channel marketing), serta semakin meningkatnya penggunaan teknologi informasi pada industri jasa keuangan, mengakibatkan semakin tinggi risiko PJK IKNB digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan - 5 - Terorisme. 4. Dalam kaitan tersebut perlu adanya peningkatan kualitas penerapan program APU dan PPT yang didasarkan pada pendekatan berbasis risiko (risk based approach) sesuai dengan prinsip umum yang berlaku secara internasional dan sejalan dengan penilaian risiko nasional (national risk assessment/NRA) serta penilaian risiko sektoral (sectoral risk assessment/SRA). 5. Penerapan Program APU dan PPT berbasis risiko (risk based approach) paling sedikit mencakup: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kebijakan dan prosedur; c. pengendalian intern; d. sistem informasi manajemen; dan e. sumber daya manusia dan pelatihan. 6. Gambaran Umum Tindak Pidana Pencucian Uang a. Tindak pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. b. Pada dasarnya proses Pencucian Uang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tahap kegiatan yang meliputi: 1) penempatan (placement), adalah upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system), atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain- lain) kembali ke dalam sistem keuangan; 2) pemisahan/pelapisan (layering), adalah upaya untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada pelaku jasa keuangan. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian - 6 - transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber harta kekayaan tersebut; dan/atau 3) penggabungan (integration) adalah upaya menggabungkan atau menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai jenis produk keuangan dan bentuk material lainnya, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. c. Beberapa metode, teknis, skema, dan instrumen dalam Pencucian Uang, antara lain: 1) penukaran mata uang/konversi uang tunai, yaitu teknik yang digunakan untuk membantu penyelundupan ke yurisdiksi lain atau untuk memanfaatkan rendahnya persyaratan pelaporan pada penyedia jasa pertukaran mata uang untuk meminimalisir risiko terdeteksi, contohnya melakukan pembelian cek perjalanan untuk membawa nilai uang ke yurisdikasi lainnya; 2) penyeludupan uang tunai, yaitu teknik yang digunakan untuk mengaburkan asal usul harta dengan memindahkan sejumlah uang tunai melewati batas negara atau membawa harta hasil tindak pidana tersebut ke negara yang tidak memiliki pengaturan mata uang yang ketat; 3) structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil namun dengan frekuensi yang tinggi; 4) smurfing, yaitu metode yang dilakukan dengan menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang berbeda-beda untuk kepentingan satu orang tertentu; 5) underground banking atau alternatif jasa pengiriman uang, yaitu kegiatan pengiriman uang melalui mekanisme jalur informal yang dilakukan atas dasar kepercayaan. Seringkali mekanisme ini bekerja secara paralel dengan sektor perbankan tradisional dan kemungkinan melanggar hukum di beberapa yurisdiksi. Teknik ini dimanfaatkan oleh pelaku - 7 - Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme untuk memindahkan nilai uang tanpa terdeteksi dan untuk mengaburkan identitas yang mengendalikan uang tersebut; 6) Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme berbasis perdagangan, yaitu teknik yang mencakup manipulasi faktur dan menggunakan rute jalur keuangan dan komoditas untuk menghindari transparansi hukum dan keuangan; 7) mingling, yaitu teknik dengan menggunakan cara mencampurkan atau menggabungkan hasil kejahatan dengan hasil usaha bisnis yang sah dengan tujuan untuk mengaburkan sumber dana; 8) penggunaan jasa profesional, yaitu sebuah teknik dengan menggunakan pihak ketiga, yaitu jasa profesional seperti advokat, notaris, perencana keuangan, akuntan, dan akuntan publik. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengaburkan identitas penerima manfaat dan sumber dana hasil kejahatan; 9) penggunaan perusahaan boneka (shell company), yaitu sebuah teknik yang dilakukan dengan mendirikan perusahaan secara formal berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Namun, dalam praktiknya perusahaan tersebut tidak digunakan untuk melakukan kegiatan usaha. Perusahaan boneka tersebut didirikan hanya untuk melakukan transaksi fiktif atau menyimpan aset pihak pendiri atau orang lain. Selain itu teknik tersebut bertujuan untuk mengaburkan identitas orang yang mengendalikan dana dan memanfaatkan persyaratan pelaporan yang relatif rendah; 10) penggunaan transfer kawat (wire transfer), yaitu teknik yang bertujuan untuk melakukan transfer dana secara elektronik antara lembaga keuangan dan sering kali ke yurisdiksi lain untuk menghindari deteksi dan penyitaan aset; 11) teknologi pembayaran baru (new payment technologies), yaitu teknik yang menggunakan teknologi pembayaran yang baru muncul untuk Pencucian Uang dan Pendanaan - 8 - Terorisme, contohnya termasuk sistem pembayaran dan pengiriman uang berbasis telepon seluler (ponsel); 12) penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit terlacaknya identitas dan pendeteksian keberadaan pelaku Pencucian Uang. Dalam perkembangannya, tren penggunaan identitas palsu menunjukan peningkatan yang cukup signifikan melalui berbagai cara, diantaranya melakukan penipuan melalui penggunaan identitas palsu dalam proses pembukaan rekening; 13) penggunaan nama orang lain (nominee), wali amanat, anggota keluarga, dan pihak ketiga, yaitu teknik yang biasa digunakan untuk mengaburkan identitas orang yang mengendalikan dana hasil kejahatan; 14) pembelian aset atau barang mewah (properti, kendaraan, dan lain-lain), yaitu menginvestasikan hasil kejahatan ke dalam bentuk aset/barang yang memiliki nilai tawar tinggi. Hal tersebut bertujuan untuk mengambil keuntungan dari mengurangi persyaratan pelaporan dengan maksud mengaburkan sumber dana hasil kejahatan; 15) pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem keuangan. Dalam kaitannya dengan penilaian risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, contoh pertukaran barang antara lain pertukaran secara langsung antara heroin dengan emas batangan; 16) u turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal usul hasil kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya; 17) cuckoo smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal usul sumber dana dengan mengirimkan dana dari hasil kejahatannya melalui rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari bahwa dana yang diterimanya tersebut merupakan proceed of crime; dan/atau - 9 - 18) penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari terdeteksinya identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana. 7. Gambaran Umum Tindak Pidana Pendanaan Terorisme a. Setiap aksi terorisme yang dilakukan di Indonesia pada dasarnya membutuhkan dukungan, baik dalam bentuk persenjataan (senjata api, tajam, dan peledak), tempat tinggal, kendaraan untuk mobilisasi, fasilitas perang, dan penyediaan kebutuhan anggota yang kesemuanya dapat diartikan sebagai pendanaan berdasarkan definisi dana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dalam tindak pidana kejahatan terorisme, uang atau dana diperuntukan sebagai sarana untuk melakukan aksi dan bukan sebagai sasaran yang ingin dicari sehingga berbagai cara akan dilakukan oleh para pelaku untuk mendapatkan dana baik secara sah seperti berjualan pulsa, meminta sumbangan, berjualan alat komputer, berjualan herbal, membuka jasa warung internet, maupun dengan aksi kejahatan seperti perampokan, penipuan, sampai kepada peretasan situs investasi dalam jaringan (online investation). Dana yang terkumpul dipergunakan untuk mendapatkan persenjataan, membeli bahan peledak, membangun jaringan atau perekrutan anggota, pelatihan perang, mobilisasi anggota dari atau ke suatu tempat demi terlaksananya aksi teror. b. Tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris. Pendanaan Terorisme pada dasarnya merupakan jenis tindak pidana yang berbeda dari TPPU, namun demikian keduanya mengandung kesamaan yaitu menggunakan jasa keuangan sebagai sarana untuk melakukan suatu tindak pidana. c. Berbeda dengan TPPU yang tujuannya untuk menyamarkan asal- usul harta kekayaan, maka tujuan TPPT adalah membantu kegiatan terorisme, baik dengan harta kekayaan yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah. Untuk mencegah PJK IKNB digunakan sebagai sarana - 10 - TPPT, maka PJK IKNB perlu menerapkan program APU dan PPT secara memadai. d. Beberapa modus Pendanaan Terorisme antara lain: 1) pendanaan dalam negeri melalui sumbangan ke yayasan menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris; 2) pendanaan dalam negeri melalui penyalahgunaan dana yayasan menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris; 3) pendanaan dalam negeri melalui berdagang/usaha (barang/jasa) menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris; 4) pendanaan dalam negeri melalui tindakan kriminal menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris; dan/atau 5) pendanaan dalam negeri melalui penyalahgunaan dana yayasan untuk membuka kegiatan usaha baru (barang/jasa) yang hasilnya untuk pengelolaan jaringan teroris. Modus tersebut merupakan modus Pendanaan Terorisme berisiko tinggi. II. PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT BERBASIS RISIKO (RISK-BASED APPROACH) 1. Kewajiban Penerapan Program APU dan PPT Berbasis Risiko (Risk Based Approach) a. Program APU dan PPT merupakan program yang harus diterapkan PJK IKNB dalam melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa. Program tersebut antara lain mencakup hal yang diharuskan dalam Financial Action Task Force (FATF) Recommendation sebagai upaya untuk melindungi PJK IKNB agar tidak dijadikan sebagai sarana atau sasaran kejahatan baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan. Rekomendasi 1 FATF menegaskan bahwa PJK IKNB wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme terkait dengan nasabah, negara/area geografis/yurisdiksi, - 11 - produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi (delivery channels). PJK IKNB melakukan penilaian sendiri dan menerapkan proses kerangka kerja manajemen risiko yang efektif. PJK IKNB wajib melakukan pengkinian data terkait penerapan program APU dan PPT serta bersikap responsif dalam rangka mendukung penilaian risiko nasional. b. Penerapan program APU dan PPT berbasis risiko (risk based approach) mendukung PJK IKNB dalam menerapkan tindakan pencegahan dan mitigasi risiko yang sepadan dengan risiko TPPU dan TPPT yang teridentifikasi. PJK IKNB selanjutnya dapat mengalokasikan sumber dayanya sesuai dengan profil risiko yang dihadapi PJK IKNB, mengelola pengendalian intern, struktur internal, dan implementasi kebijakan dan prosedur untuk mencegah serta mendeteksi Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. c. Dalam penerapan program APU dan PPT berbasis risiko (risk based approach), PJK IKNB harus merujuk dan mempertimbangkan risiko yang menjadi perhatian nasional yang tercantum dalam NRA dan SRA. Adapun risiko yang tercantum dalam NRA dan SRA tersebut dapat berkembang dan mengalami perubahan, karena itu penerapan program APU dan PPT yang dimiliki PJK IKNB harus responsif terhadap perubahan risiko tersebut. 2. Konsep Risiko a. Definisi Risiko Risiko dapat didefinisikan sebagai kemungkinan (likelihood) suatu kejadian dan konsekuensinya. Secara sederhana, risiko dapat dilihat sebagai kombinasi peluang yang mungkin terjadi dan tingkat kerusakan atau kerugian yang mungkin dihasilkan dari suatu peristiwa. Dalam konteks Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, risiko diartikan: 1) pada tingkat nasional adalah suatu ancaman dan kerentanan yang disebabkan oleh Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang membahayakan sistem keuangan nasional serta keselamatan dan keamanan nasional; - 12 - 2) pada tingkat PJK IKNB adalah ancaman dan kerentanan yang menempatkan PJK IKNB pada risiko dimana PJK IKNB digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Ancaman dapat berupa pihak atau obyek yang dapat menyebabkan kerugian. Dalam konteks Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, ancaman dapat berupa pelaku tindakan kriminal, fasilitator (pihak yang membantu pelaksanaan tindakan kriminal), dana para pelaku kejahatan, atau bahkan kelompok teroris. Kerentanan adalah unsur kegiatan usaha yang dapat dimanfaatkan oleh ancaman yang telah teridentifikasi. Dalam konteks TPPU dan TPPT kerentanan dapat diartikan pengendalian internal yang lemah dari PJK IKNB ataupun penawaran produk/jasa/transaksi yang berisiko tinggi. Dampak mengacu pada tingkat kerusakan dan kerugian yang serius yang timbul jika terjadi TPPU dan TPPT. b. Manajemen Risiko Manajemen risiko adalah proses yang secara luas digunakan pada sektor publik dan sektor privat untuk membantu dalam pembuatan keputusan. Dalam kaitannya dengan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, proses dimaksud mencakup pemahaman terhadap risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, penilaian atas kedua risiko tersebut, dan pengembangan metode untuk mengelola dan memitigasi risiko yang telah diidentifikasi. Dalam menerapkan manajemen risiko atas risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK IKNB dapat mengembangkan metode manajemen risiko sesuai dengan karakteristik PJK IKNB dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai APU dan PPT. c. Risiko Bawaan (Inherent Risk) dan Risiko Residual (Residual Risk) Dalam melakukan penilaian risiko, penting untuk membedakan antara risiko bawaan (inherent risk) dan risiko residual (residual risk). Risiko bawaan (inherent risk) adalah risiko yang melekat pada suatu peristiwa atau keadaan yang telah ada sebelum - 13 - penerapan tindakan pengendalian. Risiko bawaan (inherent risk) ini terkait dengan kegiatan usaha dan nasabah PJK IKNB. Pada sisi lain, risiko residual (residual risk) adalah tingkat risiko yang tersisa setelah implementasi langkah mitigasi risiko dan pengendalian. d. Pendekatan Berbasis Risiko (Risk-Based Approach) Dalam konteks Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) adalah suatu proses yang meliputi hal sebagai berikut: 1) Penilaian risiko yang mencakup 4 (empat) faktor risiko, yaitu: a) nasabah; b) negara/area geografis/yurisdiksi; c) produk/jasa/transaksi; atau d) jaringan distribusi (delivery channels); dan 2) PJK IKNB mempertimbangkan seluruh faktor risiko yang relevan. 3) PJK IKNB mengelola dan memitigasi risiko melalui pelaksanaan pengendalian intern dan langkah yang sesuai dengan risiko yang telah diidentifikasi, dan melakukan pemantauan transaksi dan hubungan bisnis sesuai dengan tingkat risiko yang telah dinilai. 4) Dalam melakukan penilaian, pengelolaan, dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK IKNB perlu memahami bahwa kegiatan tersebut bukanlah sesuatu yang statis. Risiko yang telah diidentifikasi dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan produk baru atau ancaman baru yang masuk dalam kegiatan usaha. PJK IKNB harus melakukan pengkinian penilaian risiko secara berkala sesuai dengan kebutuhan dan penilaian risiko PJK IKNB. 3. Siklus Pendekatan Berbasis Risiko (Risk-Based Approach) a. Dalam melakukan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), PJK IKNB harus melakukan 6 (enam) langkah kegiatan sebagai berikut: 1) melakukan identifikasi terhadap risiko bawaan (inherent risk); - 14 - 2) menetapkan toleransi risiko; 3) menyusun langkah pengurangan dan pengendalian risiko; 4) melakukan evaluasi atas risiko residual (residual risk); 5) menerapkan pendekatan berbasis risiko approach); dan (risk-based 6) melakukan tinjauan dan evaluasi atas pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) yang telah dimiliki. b. Alur siklus pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 4. Langkah Pendekatan Berbasis Risiko (Risk-Based Approach) a. Identifikasi Risiko Bawaan (Inherent Risk) 1) Dalam melakukan identifikasi risiko bawaan (inherent risk), PJK IKNB harus mempertimbangkan kerentanan PJK IKNB untuk digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Langkah awal dalam melakukan penilaian risiko ialah dengan memahami kegiatan usaha PJK IKNB secara keseluruhan dengan prespektif yang luas. Pemahaman tersebut akan memungkinkan PJK IKNB untuk mempertimbangkan di mana risiko terjadi, apakah risiko terjadi pada kegiatan usaha, nasabah, atau produk tertentu. 2) Jumlah aktual atas risiko yang diinventarisasi oleh PJK IKNB akan bervariasi bergantung pada kegiatan usaha, serta produk/jasa/transaksi yang ditawarkan. 3) PJK IKNB harus mempertimbangkan unsur yang memicu timbulnya risiko bagi PJK IKNB baik dari sisi nasabah, negara/area geografis/yurisdiksi, produk/jasa/transaksi, atau jaringan distribusi (delivery channels). PJK IKNB memahami unsur apa saja yang merupakan risiko bawaan (inherent risk) dan risiko residual (residual risk). 4) Risiko Nasabah PJK IKNB harus memperhatikan risiko yang mungkin timbul dari nasabah. Untuk itu, PJK IKNB perlu mengkategorikan nasabah berdasarkan dengan tingkat risiko. Pengkategorian tersebut dapat mengacu pada - 15 - klasifikasi risiko yang ditetapkan oleh PJK IKNB, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar internasional. Beberapa kategori nasabah yang aktivitasnya dapat diindikasikan memiliki risiko tinggi mencakup antara lain: a) nasabah yang melakukan hubungan usaha atau transaksi yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan profil nasabah, antara lain: i. jarak geografis yang signifikan dan tidak dapat dijelaskan antara tempat tinggal atau lokasi bisnis nasabah dengan lokasi di mana transaksi dilakukan; ii. frekuensi dan pergerakan transaksi yang tidak dapat dijelaskan, terkait transaksi keuangan pada penyedia jasa keuangan lainnya, baik di sektor IKNB maupun di sektor jasa keuangan lainnya; dan/atau iii. frekuensi dan pergerakan dana yang tidak dapat dijelaskan yang terjadi antara lembaga jasa keuangan diberbagai wilayah geografis; b) nasabah korporasi yang struktur kepemilikannya kompleks dan menimbulkan kesulitan untuk diidentifikasi siapa yang menjadi pemilik manfaat (beneficial owner), pemilik akhir (ultimate owner), atau pengendali akhir (ultimate controller) dari korporasi; c) nasabah yang mencari atau menerima produk/jasa/transaksi PJK IKNB yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau tidak menguntungkan nasabah tersebut; d) organisasi amal atau organisasi non-profit lainnya yang tidak diatur dan diawasi; e) gatekeeper seperti akuntan, pengacara atau profesi lainnya yang bertindak mewakili nasabah sehubungan dengan rekening/kontrak pada PJK IKNB dan dimana PJK IKNB bergantung pada keberadaan gatekeeper tersebut; - 16 - f) nasabah yang termasuk dalam kategori orang yang populer secara politis (politically exposed person/PEP), termasuk anggota keluarga atau pihak yang terkait (close associates) dari PEP; g) nasabah yang mana pemilik manfaatnya (beneficial owner) tidak diketahui; h) nasabah yang proses verifikasinya tanpa pertemuan langsung (non face to face); i) nasabah yang menggunakan metode pembayaran yang tidak biasa seperti kas atau setara kas (ketika pembayaran menggunakan kas atau setara kas tidak lazim digunakan) atau instrumen moneter yang terstruktur; j) nasabah yang mencari produk yang dapat dilunasi lebih dini, khususnya atas biaya nasabah, atau dimana pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga yang tampaknya tidak terkait atau pengembalian pembayaran secara langsung diberikan kepada pihak ketiga lain yang seolah-olah tidak terkait dengan nasabah; k) nasabah yang mengalihkan manfaat atas produk/jasa/transaksi PJK IKNB kepada pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan dengan nasabah; l) nasabah yang tidak tertarik pada kinerja produk investasi PJK IKNB tetapi lebih memperhatikan adanya pelunasan dini atas produk tersebut; dan m) nasabah yang tidak bersedia memberikan data dan informasi dalam proses identifikasi atau nasabah yang memberikan informasi yang sangat minim atau informasi yang patut diduga sebagai informasi fiktif. 5) Risiko Negara/Area Geografis/Yurisdiksi Risiko negara, risiko area geografis, atau risiko yurisdiksi bersama dengan faktor risiko lainnya, menyediakan informasi yang sangat bermanfaat untuk penilaian risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Dalam melakukan penilaian risiko, PJK IKNB harus mengidentifikasi unsur risiko tinggi terkait dengan lokasi - 17 - geografis, baik lokasi geografis PJK IKNB maupun lokasi geografis nasabah, atau lokasi tempat terjadinya hubungan usaha, dan dampaknya pada keseluruhan risiko. Risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme pada kegiatan usaha PJK IKNB meningkat apabila: a) dana diterima dari atau dikirim ke negara atau yurisdiksi yang berisiko tinggi; atau b) nasabah memiliki hubungan yang signifikan dengan negara atau yurisdiksi berisiko tinggi. Risiko yang terkait dengan domisili, kewarganegaraan, atau transaksi harus dinilai sebagai bagian dari risiko bawaan (inherent risk) dari nasabah PJK IKNB. Indikator yang menentukan suatu negara/area geografis/yurisdiksi berisiko tinggi terhadap Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme antara lain: a) yurisdiksi yang oleh organisasi yang melakukan mutual assessment terhadap suatu negara (seperti: Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering, Asia Pacific Group on Money Laundering (APG), Caribbean Financial Action Task Force (CFATF), Committee of Experts on the Evaluation of Anti-Money Laundering Measures and the Financing of Terrorism (MONEYVAL), Eastern and Southern Africa Anti-Money Laundering Group (ESAAMLG), The Eurasian Group on Combating Money Laundering and Financing of Terrorism (EAG), The Grupo de Accion Financiera de Sudamerica (GAFISUD), Intergovernmental Anti-Money Laundering Group in Africa (GIABA), atau Middle East & North Africa Financial Action Task Force (MENAFATF)) diidentifikasi sebagai tidak secara memadai melaksanakan rekomendasi FATF; b) negara yang diidentifikasi tidak kooperatif atau suaka pajak (tax haven) oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD); c) negara yang memiliki tingkat tata kelola (good governance) yang rendah sebagaimana ditentukan oleh World Bank; - 18 - d) negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang tinggi sebagaimana diidentifikasi dalam Transparancy International Corruption Perception Index; e) negara yang diketahui secara luas sebagai tempat penghasil dan pusat perdagangan narkoba; f) negara yang dikenakan sanksi, embargo, atau yang serupa, misalnya PBB; atau g) negara atau yurisdiksi yang diidentifikasi oleh lembaga yang dipercaya, sebagai penyandang dana atau mendukung kegiatan terorisme, atau yang membolehkan kegiatan organisasi teroris di negaranya. 6) Risiko Produk/Jasa/Transaksi Penilaian risiko secara keseluruhan harus mencakup penentuan risiko yang dapat terjadi atas berbagai produk/jasa/transaksi ditawarkan. PJK IKNB harus memperhatikan risiko yang berhubungan dengan produk/jasa/transaksi tertentu yang tidak secara khusus ditawarkan oleh PJK IKNB, namun memanfaatkan infrastruktur yang dimiliki PJK IKNB dalam menyediakan produk/jasa/transaksi. Hal berikut cenderung dapat meningkatkan profil risiko produk/jasa/transaksi, antara lain: a) penerimaan pembayaran atau penerimaan pemberian uang dari pihak ketiga; b) penerimaan pembayaran dengan nilai nominal yang sangat tinggi atau tidak terbatas atau penerimaan besar dari pembayaran yang bernilai nominal kecil; c) penerimaan pembayaran dalam bentuk tunai atau wesel atau cek tunai; d) penerimaan pembayaran yang sering dilakukan, yang berada di luar kebijakan premi yang normal/wajar atau yang berada di luar jadwal pembayaran normal; e) penerimaan uang dari penarikan yang dilakukan pada saat kapanpun yang dikenai biaya jasa (chargers/fees) tertentu; f) penerimaan yang digunakan sebagai agunan pinjaman dan/atau yang tercatat dalam aset finansial yang - 19 - selalu dapat digunakan (discretionary) atau aset finansial lain yang selalu memiliki risiko yang meningkat; g) produk yang menerima pembayaran penuh (lump-sum payment) yang bernilai tinggi, yang juga memiliki fitur likuiditas yang baik; dan h) produk yang memperbolehkan terjadinya pengalihan penerima manfaat, yang dilakukan tanpa sepengetahuan PJK IKNB hingga terjadinya klaim. 7) Risiko Jaringan Distribusi (delivery channels) Jaringan distribusi (delivery channels) merupakan media yang digunakan untuk memperoleh suatu produk/jasa/transaksi, atau media yang digunakan untuk melakukan suatu transaksi. Jaringan distribusi (delivery channels) harus dipertimbangkan sebagai risiko transaksi. Jaringan distribusi (delivery channels), yang memungkinkan adanya transaksi tanpa pertemuan langsung (non face to face), memiliki risiko bawaan yang lebih tinggi. Jaringan distribusi (delivery channels) dilakukan tanpa pertemuan langsung (non face to face), sebagai contoh pemasaran dengan menggunakan internet atau telepon, dan dapat diakses 24 (dua puluh empat) jam per hari, 7 (tujuh) hari dalam seminggu, dari manapun, sangat mungkin digunakan untuk mengaburkan identitas sebenarnya dari nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner) sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi. Meskipun beberapa jaringan distribusi (delivery channels) telah lazim digunakan (misalnya penggunaan internet banking), hal tersebut tetap perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari faktor yang dapat menyebabkan risiko nasabah atau risiko produk menjadi lebih tinggi. Beberapa indikator yang dapat menyebabkan jaringan distribusi (delivery channels) berisiko tinggi, antara lain: a) transaksi tanpa pertemuan langsung (non face to face); b) penggunaan agen; dan/atau c) pembelian produk/jasa/transaksi secara online. - 20 - 8) Risiko Relevan Lainnya Faktor lain yang relevan yang dapat memberikan dampak pada risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, antara lain: a) tren tipologi, metode, teknik, dan skema Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; dan b) model bisnis PJK IKNB. PJK IKNB perlu mempertimbangkan bisnis model, skala usaha, jumlah cabang, dan jumlah karyawan sebagai faktor risiko bawaan (inherent risk) dalam internal PJK IKNB. 9) Penentuan Skala Risiko a) Setelah melakukan identifikasi dan dokumentasi risiko bawaan (inherent risk), PJK IKNB perlu memberikan skala pada setiap risiko. b) Skala risiko disusun dengan mempertimbangkan karakteristik dan kompleksitas kegiatan usaha. c) Untuk kegiatan usaha dengan karakteristik dan kompleksitas usaha rendah, PJK IKNB dapat mengkategorikan risiko dalam 2 (dua) kategori yaitu rendah dan tinggi. d) Untuk kegiatan usaha dengan karakteristik dan kompleksitas usaha tinggi diharapkan dapat mengkategorikan risiko dalam beberapa level, misalnya sedang (medium), sedang-tinggi (medium-high), atau tinggi (high). e) Untuk menentukan skala risiko setiap kegiatan usaha, PJK IKNB dapat menggunakan contoh pemisahan risiko sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 10) Setiap unsur risiko yang telah teridentifikasi sebagai risiko tinggi, harus dimitigasi dan didokumentasikan. PJK IKNB harus dapat menjelaskan kepada Otoritas Jasa Keuangan langkah mitigasi terhadap unsur risiko tinggi, contohnya langkah dalam kebijakan dan prosedur atau program pelatihan. - 21 - 11) PJK IKNB juga harus dapat menunjukkan kepada Otoritas Jasa Keuangan bahwa langkah mitigasi risiko tersebut telah dilaksanakan secara efektif, misalnya ditunjukkan melalui hasil audit internal atau audit independen. 12) Untuk membantu PJK IKNB melakukan evaluasi penilaian risiko, PJK IKNB dapat menggunakan matriks kemungkinan (likelihood) dan dampak (impact) sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini. 13) Dalam melakukan tahapan identifikasi dari risiko bawaan (inherent risk), PJK IKNB harus mampu menjelaskan seluruh proses identifikasi risiko yang telah dilakukan oleh PJK IKNB dan alasan atau pertimbangannya. 14) PJK IKNB harus menyediakan informasi yang telah terdokumentasi, yang menunjukkan bahwa PJK IKNB telah secara khusus memperhatikan indikator yang berisiko tinggi dalam penilaian risikonya. b. Menetapkan Toleransi Risiko 1) Toleransi risiko merupakan tingkat dan jenis risiko yang secara maksimum ditetapkan oleh PJK IKNB. Toleransi risiko merupakan penjabaran dari tingkat risiko yang akan diambil (risk appetite). 2) Toleransi risiko adalah komponen penting dari manajemen risiko yang efektif. 3) Sebelum mempertimbangkan mitigasi risiko, PJK IKNB harus menetapkan toleransi risiko. 4) Pada saat mempertimbangkan ancaman, konsep toleransi risiko akan memampukan PJK IKNB untuk menentukan tingkat ancaman risiko yang dapat ditoleransi oleh PJK IKNB. 5) Dalam menetapkan toleransi risiko, PJK IKNB perlu mempertimbangkan kategori risiko di bawah ini yang dapat mempengaruhi PJK IKNB, antara lain: a) risiko pengaturan (regulatory risk); b) risiko reputasi (reputational risk); c) risiko hukum (legal risk); dan - 22 - d) risiko keuangan (financial risk). c. Langkah Pengurangan dan Pengendalian Risiko 1) Mitigasi risiko adalah penerapan pengendalian internal untuk membatasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang telah diidentifikasi dalam melakukan penilaian risiko. Mitigasi risiko akan membantu agar kegiatan usaha PJK IKNB tetap berada dalam batas toleransi risiko yang telah ditetapkan PJK IKNB. Dalam hal hasil penilaian risiko menunjukan bahwa PJK IKNB memiliki tingkat risiko tinggi, PJK IKNB harus mengembangkan strategi mitigasi risiko secara tertulis (berupa kebijakan dan prosedur untuk memitigasi risiko tinggi) dan menerapkannya pada area atau hubungan usaha yang berisiko tinggi sebagaimana yang telah diidentifikasi. 2) Pengendalian internal dan mitigasi risiko pada area atau hubungan usaha yang berisiko tinggi didasarkan pada toleransi risiko dan penerimaan risiko (risk appetite). Diharapkan pengendalian internal dan mitigasi risiko akan sepadan dengan risiko yang telah diidentifikasi oleh PJK IKNB. 3) Dalam semua situasi, kegiatan usaha PJK IKNB harus mempertimbangkan pengendalian internal yang akan berpengaruh dalam memitigasi keseluruhan risiko yang telah diidentifikasi. 4) Dalam penilaian risiko, semua area berisiko tinggi yang telah diidentifikasi sebagai bagian dari penilaian risiko harus dimitigasi dengan pengendalian internal atau langkah lain, serta didokumentasikan dengan baik. 5) Untuk semua nasabah dan hubungan usaha, PJK IKNB harus: a) melakukan pemantauan terhadap seluruh hubungan usaha; dan b) mendokumentasikan informasi terkait dan langkah yang telah dilakukan. - 23 - 6) Untuk nasabah dan hubungan usaha yang berisiko tinggi, PJK IKNB harus: a) melakukan pemantauan yang lebih sering terhadap hubungan usaha tersebut; dan b) mengambil langkah yang lebih ketat dalam melakukan identifikasi dan pengkinian data. 7) Dengan adanya kegiatan mitigasi risiko, PJK IKNB diharapkan dapat: a) melakukan pengkinian dan penatausahaan terhadap informasi nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner); b) menetapkan dan melaksanakan kegiatan pemantauan berkelanjutan pada setiap tingkatan hubungan usaha PJK IKNB (bagi nasabah berisiko rendah dilakukan secara periodik dan bagi nasabah berisiko tinggi dilakukan lebih sering); c) melaksanakan mitigasi terhadap area berisiko tinggi. Strategi mitigasi risiko ini harus tercantum dalam kebijakan dan prosedur; dan d) menerapkan prosedur pengendalian internal secara konsisten. d. Melakukan Evaluasi atas Risiko Residual (Residual Risk) 1) Risiko residual (residual risk) merupakan risiko yang tersisa setelah penerapan pengendalian internal dan mitigasi risiko. PJK IKNB perlu memperhatikan bahwa seketat apapun mitigasi risiko dan manajemen risiko yang PJK IKNB miliki, PJK IKNB tetap akan memiliki risiko residual (residual risk) yang harus dikelola secara baik. 2) Risiko residual (residual risk) harus sesuai dengan toleransi risiko yang telah ditetapkan. PJK IKNB harus memastikan bahwa risiko residual (residual risk) tidak lebih besar dari toleransi risiko yang telah ditetapkan PJK IKNB. Dalam hal risiko residual (residual risk) masih lebih besar daripada toleransi risiko, atau dalam hal pengendalian internal dan mitigasi terhadap area berisiko tinggi tidak memadai, PJK IKNB wajib kembali melakukan langkah pengurangan dan pengendalian risiko, sebagaimana dimaksud dalam huruf c - 24 - dan meningkatkan level atau kuantitas dari langkah mitigasi yang telah ditetapkan. 3) Ciri-ciri risiko residual (residual risk) adalah: a) risiko telah ditoleransi/diterima: Dalam risiko ini, risiko tetap ada meskipun telah ditoleransi. Penerimaan terhadap risiko yang ditoleransi diartikan bahwa tidak ada keuntungan dalam usaha mengurangi risiko. Namun demikian, risiko yang ditoleransi tersebut dapat meningkat dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, ketika adanya produk baru atau ketika terjadi ancaman baru Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. b) risiko telah dimitigasi: Dalam risiko ini, risiko tetap ada meskipun telah dimitigasi. Risiko ini telah dikurangi, namun tetap tidak dapat dihilangkan. Dalam prakteknya, pengendalian internal yang telah ditetapkan mungkin tidak dapat diterapkan (misalnya, sistem pemantauan atau proses pemantauan transaksi gagal, sehingga menyebabkan beberapa transaksi tidak dilaporkan). 4) Dengan adanya kegiatan evaluasi terhadap risiko residual (residual risk), PJK IKNB diharapkan dapat: a) melakukan evaluasi terhadap risiko residual yang dimiliki; dan b) melakukan penyesuaian tingkat risiko yang dimiliki dengan risiko yang ditoleransi/diterima. e. Penerapan Pendekatan Berbasis Risiko (risk-based approach) 1) Setelah PJK IKNB melakukan penilaian risiko, PJK IKNB harus menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) terhadap kegiatan/aktivitas usaha sehari-hari. Walaupun adanya pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), kewajiban yang ada, seperti identifikasi, verifikasi, dan pemantauan, tetap perlu dilakukan sebagai persyaratan minimun. 2) Pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) yang dimiliki PJK IKNB perlu didokumentasikan untuk menunjukkan tingkat kepatuhan PJK IKNB. Kebijakan dan - 25 - prosedur terkait pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) harus dikomunikasikan, dipahami, dan dipatuhi oleh semua pegawai, khususnya pegawai yang melakukan identifikasi dan penatausahaan data dan informasi nasabah serta pelaporan transaksi kepada otoritas terkait. PJK IKNB harus menyediakan informasi yang cukup untuk memproses dan melengkapi transaksi, sesuai dengan identifikasi dan penatausahaan data dan informasi nasabah sebagaimana dipersyaratkan. 3) Prosedur dan kebijakan pendekatan berbasis risiko (risk- based approach) harus memenuhi persyaratan minimal sebagai berikut: a) identifikasi nasabah; b) penilaian risiko; c) tindakan khusus terhadap area berisiko tinggi; d) penatausahaan; dan e) pelaporan. 4) Kebijakan dan prosedur dalam pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) juga mencakup hal terkait pendeteksian transaksi mencurigakan dan penentuan jenis pemantauan yang disesuaikan dengan tingkat risiko nasabah atau hubungan usaha, serta aspek pemantauan baik dari sisi frekuensi, tata cara pelaksanaan, dan evaluasi terhadap hasil pemantauan. 5) PJK IKNB perlu melakukan pemantauan secara berkala terhadap seluruh hubungan usaha yang dilakukan, dan terhadap hubungan usaha yang berisiko tinggi terhadap Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. PJK IKNB menerapkan langkah khusus yang lebih ketat terhadap nasabah atau hubungan usaha yang berisiko tinggi. 6) PJK IKNB perlu memperhatikan bahwa dalam manajemen risiko dan mitigasi risiko dibutuhkan kepemimpinan dan keterlibatan pejabat senior. Pejabat senior bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan, prosedur, dan proses pengendalian internal dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dalam kegiatan/aktivitas usaha yang dimiliki PJK IKNB. - 26 - 7) Dengan adanya pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), PJK IKNB diharapkan dapat: a) memastikan bahwa penilaian risiko yang telah dilakukan menggambarkan proses pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), frekuensi pemantauan nasabah yang berisiko rendah dan berisiko tinggi, dan juga menggambarkan langkah pengendalian internal yang diberlakukan untuk mengurangi risiko tinggi yang telah diidentifikasi; b) menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach); c) melakukan pengkinian data dan informasi terhadap nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner); d) melakukan pemantauan terhadap seluruh hubungan usaha yang dimiliki; e) melakukan pemantauan yang lebih sering terhadap hubungan usaha yang berisiko tinggi terkait Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; f) melakukan langkah tertentu terhadap nasabah berisiko tinggi; dan/atau g) melibatkan pejabat senior dalam menghadapi situasi atau area berisiko tinggi (misalnya untuk PEP, pemberian persetujuan melakukan hubungan usaha diberikan oleh pejabat senior). f. Peninjauan dan Evaluasi Pendekatan Berbasis Risiko (Risk- Based Approach) 1) Penilaian risiko yang dimiliki oleh PJK IKNB harus ditinjau berdasarkan kebutuhan untuk menguji efektivitas dari kepatuhan penerapan program APU dan PPT, yang meliputi: a) kebijakan dan prosedur, b) penilaian risiko terkait Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; dan c) program pelatihan sumber daya manusia (bagi karyawan dan pejabat senior). 2) Dalam hal terhadap perubahan struktur kegiatan usaha dan adanya penawaran atas produk dan jasa baru, pengkinian atas penilaian risiko harus dilakukan untuk - 27 - kebijakan dan prosedur, langkah mitigasi, dan pengendalian internal. 3) Peninjauan atas penilaian risiko terkait Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme harus mencakup seluruh unsur termasuk kebijakan dan prosedur terhadap penilaian risiko, mitigasi risiko dan pemantauan berkelanjutan yang lebih intensif. Peninjauan dapat membantu PJK IKNB dalam mengevaluasi penyempurnaan kebijakan dan prosedur yang ada, atau untuk pembentukan kebijakan dan prosedur yang baru. Risiko yang telah diidentifikasi dapat berubah atau berkembang seiring dengan pengembangan produk baru atau timbulnya ancaman baru terhadap kegiatan usaha. Pada akhirnya, prosedur peninjauan dimaksud akan mempengaruhi efektivitas dari pelaksanaan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach). 4) Dengan adanya peninjauan pada pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), PJK IKNB diharapkan dapat: a) melakukan peninjauan sesuai dengan kebutuhan PJK IKNB atau dalam hal terdapat perubahan model bisnis, akuisisi portofolio baru dan sebagainya; b) menghasilkan tinjauan yang mencakup kepatuhan kebijakan dan prosedur, penilaian risiko terhadap Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme serta program pelatihan untuk menguji efektivitas pendekatan berbasis risiko (risk-based approach); c) melakukan penatausahaan terhadap proses peninjauan dan melaporkan kepada pejabat senior; dan d) melakukan penatausahaan hasil peninjauan bersama dengan penetapan langkah yang bersifat korektif untuk ditindaklanjuti. III. PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS 1. Pengawasan Aktif Direksi Pengawasan aktif Direksi paling sedikit meliputi: a. memastikan PJK IKNB memiliki kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT; - 28 - b. mengusulkan kebijakan dan prosedur tertulis yang bersifat strategis mengenai penerapan program APU dan PPT kepada Dewan Komisaris yang paling sedikit memuat: 1) latar belakang penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis; 2) struktur, tugas, wewenang dan tanggung jawab satuan kerja atau penanggung jawab penerapan program APU dan PPT; 3) kebijakan dan prosedur penerapan progam APU dan PPT; 4) pengawasan atas penerapan program APU dan PPT; dan 5) rencana pengendalian internal atas hasil pengawasan; c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan; d. membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT; e. melakukan pengawasan atas kepatuhan unit kerja dalam menerapkan program APU dan PPT, termasuk memantau pelaksanaan tugas UKK dan/atau pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT; f. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai penerapan program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi di sektor jasa keuangan serta sesuai dengan perkembangan modus Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme, serta dapat diterapkan dalam berbagai situasi; g. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari satuan kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan penerapan program APU dan PPT secara berkala, termasuk menjadwalkan pelatihan; h. bertanggung jawab atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; i. memberikan persetujuan yang bersifat teknis atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan tugas Direksi; dan - 29 - j. dalam mendukung efektivitas penerapan program APU dan PPT, Direksi harus: 1) memiliki pemahaman yang memadai mengenai risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang melekat pada seluruh aktivitas operasional PJK IKNB sehingga Direksi mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil risiko PJK IKNB; 2) memberikan arahan yang jelas atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; dan 3) melakukan pengawasan dan mitigasi risiko secara aktif khususnya risiko nasabah, risiko negara/area geografis/yurisdiksi, risiko produk/jasa/transaksi, dan risiko jaringan distribusi (delivery channels). 2. Pengawasan Aktif Dewan Komisaris Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling sedikit meliputi: a. memberikan persetujuan atas kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT yang diusulkan oleh Direksi; b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT; c. memastikan adanya pembahasan terkait Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme dalam rapat Direksi dan Dewan Komisaris dengan mengagendakan pembahasan program penerapan APU dan PPT dalam rapat Dewan Komisaris dengan Direksi; d. bertanggung jawab atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; e. memberikan persetujuan yang bersifat strategis atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang berkaitan dengan kebijakan, pengawasan, dan prosedur yang sifatnya signifikan dan mendasar dalam penerapan program APU dan PPT; dan f. dalam mendukung efektivitas penerapan program APU dan PPT, Dewan Komisaris harus: - 30 - 1) memiliki pemahaman terkait risiko yang dihadapi PJK IKNB terutama risiko nasabah, risiko negara/area geografis/yurisdiksi, risiko produk/jasa/transaksi, dan risiko jaringan distribusi (delivery channels); dan 2) memastikan struktur organisasi memadai untuk penerapan program APU dan PPT. 3. Penanggung Jawab Penerapan Program APU dan PPT a. Berdasarkan pertimbangan beban tugas operasional dan kompleksitas usaha, PJK IKNB membentuk UKK dan/atau menunjuk pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor pusat dan di kantor cabang atau kantor di luar kantor pusat. b. Dalam menjalankan tugasnya, UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, melapor dan bertanggung jawab kepada Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan, fungsi manajemen risiko atau salah satu anggota Direksi yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT. c. Agar tugas UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dapat dilaksanakan dengan baik, PJK IKNB harus memiliki mekanisme kerja yang memadai, serta dilaksanakan oleh setiap unit kerja terkait dengan memperhatikan ketentuan mengenai anti tipping off dan kerahasiaan informasi. d. UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT memenuhi kriteria: 1) independen terhadap kegiatan yang dimonitor; 2) mampu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Direksi untuk memperoleh gambaran tentang kondisi PJK IKNB terkait dengan manajemen risiko dan kepatuhan; dan 3) memiliki akses yang tepat dan tidak dibatasi untuk dokumen identifikasi nasabah, rekening terdaftar, catatan akuntansi lain, informasi terkait lainnya. e. UKK paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pimpinan dan 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pelaksana. - 31 - f. Dalam hal PJK IKNB menunjuk pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor pusat, maka pejabat penanggung jawab dilakukan oleh pejabat atau pegawai paling rendah setingkat di bawah Direksi. g. Dalam hal PJK IKNB menunjuk pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor cabang atau kantor di luar kantor pusat, maka pejabat penanggung jawab dilakukan oleh pejabat atau pegawai paling rendah setingkat dengan penyelia (supervisor). h. Untuk kantor cabang atau kantor di luar kantor pusat, dengan kompleksitas usaha tinggi dan di dalamnya hanya terdapat unit kerja yang berhubungan dengan nasabah maka pejabat atau pegawai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dapat: 1) berasal dari kantor pusat atau kantor wilayah dengan tugas dan tanggung jawab khusus mengawasi pelaksanaan program APU dan PPT di beberapa kantor cabang tertentu; atau 2) dirangkap oleh pegawai dari unit kerja yang tidak berhubungan dengan nasabah (non operasional) pada kantor cabang lainnya seperti unit kerja manajemen risiko. Rangkap jabatan diperkenankan dengan mempertimbangkan bahwa unit kerja yang melaksanakan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT terpisah dari unit kerja yang mengawasi penerapannya. i. Untuk kantor cabang atau kantor di luar kantor pusat, dengan kompleksitas usaha rendah maka pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab dalam penerapan program APU dan PPT dapat dirangkap oleh pegawai yang berasal dari unit kerja yang berhubungan dengan nasabah (operasional), sepanjang tugas operasional tersebut tidak mempengaruhi independensi dan profesionalisme pegawai tersebut dalam melaksanakan tugasnya. j. UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor cabang atau kantor di luar kantor pusat bagi PJK IKNB dibantu oleh kepala kantor dalam penerapan program APU dan PPT di kantor di luar kantor pusat. - 32 - IV. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR 1. PJK IKNB wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola dan memitigasi risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang diidentifikasi sesuai dengan penilaian risiko. 2. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT dimaksud paling sedikit meliputi: a. identifikasi dan verifikasi nasabah; b. identifikasi dan verifikasi pemilik manfaat (beneficial owner); c. penutupan hubungan usaha atau penolakan transaksi; d. pengelolaan risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang berkelanjutan terkait dengan nasabah, negara/area geografis/yurisdiksi, produk/jasa/transaksi, atau jaringan distribusi (delivery channels); e. pemeliharaan data yang akurat terkait dengan transaksi, penatausahaan proses kebijakan uji tuntas nasabah (customer due dilligence, dan penatausahaan kebijakan dan prosedur; f. pengkinian dan pemantauan; g. pelaporan kepada pejabat senior, Direksi dan Dewan Komisaris terkait pelaksanaan kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT; dan h. pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). 3. Identifikasi dan verifikasi calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner) terdiri dari: a. Kebijakan Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Dilligence/CDD) 1) Uji tuntas nasabah (customer due dilligence/CDD) merupakan kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan oleh PJK IKNB untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi calon nasabah, atau nasabah. 2) PJK IKNB wajib melakukan prosedur CDD pada saat: a) melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah; b) terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); - 33 - c) terdapat indikasi transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; atau d) PJK IKNB meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh calon nasabah, nasabah, penerima kuasa, dan/atau pemilik manfaat (beneficial owner). 3) CDD dengan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang terkini mengenai profil nasabah untuk memastikan kesesuaian antara profil nasabah dengan transaksi yang dilakukan. CDD dapat dilakukan baik terhadap seluruh informasi maupun hanya terhadap sebagian informasi. 4) Dalam hal PJK IKNB menilai terdapat perubahan tingkat risiko dari nasabah, CDD berdasarkan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) dapat dilakukan kembali apabila: a) terdapat peningkatan nilai transaksi yang signifikan; b) terdapat perubahan profil nasabah yang bersifat signifikan; c) informasi pada profil nasabah yang tersedia dalam customer identification file (CIF) belum dilengkapi dengan dokumen dalam rangka verifikasi; dan/atau d) menggunakan rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif. b. Prosedur Penerimaan dan Identifikasi Calon Nasabah PJK IKNB harus memiliki kebijakan tentang penerimaan dan identifikasi calon nasabah yang paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) permintaan informasi mengenai calon nasabah; 2) permintaan bukti identitas dan informasi pendukung dari calon nasabah; 3) penelitian atas kebenaran dokumen pendukung identitas calon nasabah; 4) permintaan kartu identitas calon nasabah lebih dari satu yang dikeluarkan pihak yang berwenang, jika terdapat keraguan terhadap kartu identitas yang ada; - 34 - 5) apabila diperlukan dapat dilakukan wawancara dengan calon nasabah untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran informasi, bukti identitas dan dokumen pendukung calon nasabah; 6) larangan untuk membuka atau memelihara rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif; 7) pertemuan langsung (face to face) dengan calon nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon nasabah; 8) kewaspadaan terhadap transaksi atau hubungan usaha dengan calon nasabah yang berasal atau terkait dengan negara yang belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi FATF; dan 9) penyelesaian proses verifikasi identitas calon nasabah dilakukan sebelum membina hubungan usaha dengan calon nasabah. c. Prosedur Identifikasi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) 1) Apabila calon nasabah mewakili pemilik manfaat (beneficial owner) untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, PJK IKNB harus melakukan prosedur CDD terhadap pemilik manfaat (beneficial owner) yang sama ketatnya dengan prosedur CDD bagi calon nasabah. 2) Dalam hal pemilik manfaat (beneficial owner) tergolong sebagai PEP, maka prosedur yang diterapkan adalah prosedur CDD yang lebih ketat atau uji tuntas lanjut (Enhanced Due Dilligence/EDD). 3) Dalam melakukan identifikasi terhadap calon nasabah korporasi, PJK IKNB harus menetapkan pemilik manfaat (beneficial owner). 4) Bagi pemilik manfaat (beneficial owner) berupa lembaga negara atau instansi pemerintah, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara, atau perusahaan publik atau emiten, tidak memiliki keharusan untuk menyampaikan dokumen dan/atau identitas pengendali akhir. - 35 - 5) Pengecualian terhadap keharusan penyampaian dokumen dan/atau identitas pengendali akhir pemilik manfaat (beneficial owner) harus didokumentasikan. 6) Apabila PJK IKNB meragukan atau tidak dapat meyakini identitas pemilik manfaat (beneficial owner), PJK IKNB harus menolak untuk melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan calon nasabah. 7) Terhadap calon nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner) yang hubungan usaha atau transaksinya ditolak, PJK IKNB harus memperoleh paling sedikit informasi nama, nomor identitas, alamat, dan tempat tanggal lahir sesuai dengan salinan dokumen identitas yang diperoleh PJK IKNB untuk kepentingan pelaporan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM). d. Verifikasi Calon Nasabah, Nasabah, dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) 1) PJK IKNB harus meneliti kebenaran informasi yang disampaikan oleh calon nasabah dengan melakukan verifikasi terhadap dokumen pendukung berdasarkan dokumen dan/atau sumber independen lainnya serta memastikan kekinian informasi tersebut. 2) Dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon nasabah verifikasi dilakukan dengan: a) pertemuan langsung (face to face) dengan calon nasabah pada awal melakukan hubungan usaha; b) melakukan wawancara dengan calon nasabah apabila diperlukan; c) mencocokkan kesesuaian profil calon nasabah dengan foto diri yang tercantum dalam kartu identitas; d) mencocokan kesesuaian tanda tangan, cap jempol, atau sidik jari dengan dokumen identitas atau dokumen lainnya yang mencantumkan tanda tangan, cap jempol, atau sidik jari. Dokumen lainnya antara lain surat pernyataan calon nasabah, kartu keluarga, atau kartu kredit; e) meminta kepada calon nasabah untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan - 36 - oleh pihak yang berwenang apabila timbul keraguan terhadap kartu identitas yang ada; f) menatausahakan salinan dokumen kartu identitas setelah dilakukan pencocokan dengan dokumen asli yang sah; g) melakukan pengecekan silang untuk memastikan adanya konsistensi dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon nasabah. Pengecekan silang dilakukan dengan cara, antara lain: i. menghubungi calon nasabah melalui telepon (rumah atau kantor); ii. menghubungi pejabat sumber daya manusia tempat calon nasabah bekerja apabila pekerjaan calon nasabah adalah karyawan suatu perusahaan atau instansi; iii. melakukan konfirmasi atas penghasilan calon nasabah dengan mensyaratkan rekening koran dari bank atau penyedia jasa keuangan lain; atau iv. melakukan analisis informasi geografis untuk melihat kondisi hutan melalui teknologi remote sensing terhadap calon nasabah perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan; h) memastikan bahwa calon nasabah tidak memiliki rekam jejak negatif dengan melakukan verifikasi identitas calon nasabah menggunakan sumber independen lainnya antara lain: i. daftar teroris dan/atau daftar terduga teroris dan organisasi teroris yang diterbitkan oleh Kepolisian Republik Indonesia; ii. daftar hitam nasional (DHN); atau iii. data lainnya yang dimiliki PJK IKNB, identitas pemberi kerja dari calon nasabah, rekening telepon dan rekening listrik; dan/atau i) memastikan adanya kemungkinan hal yang tidak wajar atau mencurigakan. 3) Verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face), sebagaimana dimaksud pada angka 2) huruf a) dapat - 37 - digantikan dengan verifikasi melalui sarana elektronik, dengan persyaratan sebagai berikut: a) what you have, yaitu dokumen identitas yang dimiliki oleh calon nasabah yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik; dan b) what you are, yaitu data biometrik antara lain dalam bentuk sidik jari milik calon nasabah. 4) Proses verifikasi identitas calon nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner) harus diselesaikan sebelum membina hubungan usaha dengan calon nasabah. 5) Dalam kondisi tertentu, proses verifikasi dapat diselesaikan kemudian setelah dilakukannya hubungan usaha. 6) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 5) yaitu: a) kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat hubungan usaha akan dilakukan misalnya karena dokumen masih dalam proses pengurusan. Untuk itu, calon nasabah dapat menyampaikan dokumen setelah melakukan hubungan usaha, dengan jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan oleh PJK IKNB; dan/atau b) apabila tingkat risiko calon nasabah perorangan tergolong rendah. e. CDD Sederhana (Simplified CDD) 1) Dalam hal PJK IKNB menilai bahwa risiko calon nasabah atau nasabah tergolong sangat rendah atau untuk transaksi yang tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme tergolong rendah, PJK IKNB dapat menerapkan CDD sederhana (simplified CDD). 2) PJK IKNB harus mendokumentasikan nasabah yang mendapat perlakuan CDD sederhana dalam daftar yang memuat informasi mengenai alasan penetapan risiko sehingga digolongkan sebagai risiko rendah. 3) Nasabah yang telah mendapatkan perlakuan CDD sederhana (simplified CDD) harus dikeluarkan dari daftar nasabah CDD sederhana (simplified CDD) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: - 38 - a) diindikasikan terkait dengan Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme; atau b) tidak sesuai dengan tujuan awal pembukaan rekening, antara lain untuk pembayaran atau penerimaan gaji. 4) Nasabah yang dikeluarkan dari daftar nasabah CDD sederhana (simplified CDD) sebagaimana dimaksud pada angka 3) harus: a) dilakukan CDD atau EDD sesuai dengan tingkat risiko nasabah terkini; dan/atau b) dilaporkan dalam Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) apabila transaksi diindikasikan terkait dengan Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme. f. CDD oleh Pihak Ketiga 1) PJK IKNB dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon nasabahnya yang telah menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut. 2) Dalam hal PJK IKNB menggunakan hasil CDD pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK IKNB wajib: a. memahami maksud dan tujuan hubungan usaha; dan b. mengidentifikasi dan memverifikasi nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner). 3) Dalam hal PJK IKNB menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga, tanggung jawab CDD tetap berada pada PJK IKNB tersebut. 4) Dalam hal PJK IKNB menggunakan CDD pihak ketiga: a. PJK IKNB wajib sesegera mungkin mendapatkan informasi yang diperlukan terkait dengan prosedur CDD; b. PJK IKNB wajib memiliki kerja sama dengan pihak ketiga dalam bentuk kesepakatan tertulis; c. PJK IKNB wajib mengambil langkah yang memadai untuk memastikan bahwa pihak ketiga bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen pendukung segera apabila dibutuhkan oleh PJK IKNB dalam rangka penerapan program APU dan PPT; - 39 - d. PJK IKNB wajib memastikan bahwa pihak ketiga merupakan lembaga keuangan dan penyedia barang dan/atau jasa dan profesi tertentu yang memiliki prosedur CDD dan tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. PJK IKNB wajib memperhatikan informasi terkait risiko negara tempat pihak ketiga tersebut berasal. 5) PJK IKNB memastikan bahwa pihak ketiga berada dalam negara yang patuh terhadap standar FATF; dan 6) CDD oleh pihak ketiga tidak berlaku untuk hubungan keagenan atau outsourcing. g. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence/EDD) 1) PJK IKNB wajib melakukan penilaian untuk menentukan calon nasabah, nasabah, atau pemilik manfaat (beneficial owner) adalah PEP. 2) Dalam hal PJK IKNB menilai calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner) berisiko tinggi termasuk PEP, maka PJK IKNB menerapkan EDD. 3) EDD sebagaimana dimaksud pada angka 2) dilaksanakan dengan melakukan verifikasi informasi calon nasabah, nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner), termasuk PEP, didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi dan jenis informasi terkait. 4) Verifikasi informasi dalam pelaksanaan EDD sebagaimana dimaksud pada angka 3) dapat dilakukan antara lain dengan cara: a) mencari informasi tambahan tentang nasabah bersangkutan dan melakukan pengkinian atas data identitas nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner); b) mencari informasi tambahan tentang sifat peruntukan dari hubungan bisnis tersebut; c) mencari informasi tambahan mengenai sumber dana atau sumber kekayaan nasabah tersebut; d) mencari informasi tambahan mengenai alasan dari transaksi yang dimaksud atau yang dilakukan; - 40 - e) meminta persetujuan dari pejabat senior untuk memulai atau meneruskan hubungan bisnis tersebut; dan/atau f) melakukan pemantauan yang semakin diperketat terhadap hubungan bisnis tersebut, yaitu dengan menambah jumlah dan waktu pengawas yang dipakai, dan memiliki pola transaksi yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. 5) PJK IKNB menatausahakan dokumen terkait EDD serta melakukan pengkinian atas data nasabah secara berkala atau sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas PJK IKNB. 6) Dalam melaksanakan hubungan usaha dengan calon nasabah, nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner), termasuk PEP, yang mendapat perlakuan EDD, PJK IKNB harus menunjuk pejabat senior sebagai penanggung jawab atas hubungan usaha tersebut. 4. Penolakan Transaksi dan Penutupan Hubungan Usaha 1) PJK IKNB melakukan penolakan transaksi atau penutupan hubungan usaha dengan calon nasabah atau nasabah dalam hal: a) calon nasabah atau nasabah tidak bersedia memberikan informasi dan/atau melengkapi dokumen yang dipersyaratkan PJK IKNB; b) calon nasabah atau nasabah memberikan informasi dan/atau dokumen yang tidak sesuai atau patut diduga sebagai dokumen palsu atau informasi yang diragukan kebenarannya; c) sumber dana transaksi yang dimiliki calon nasabah atau nasabah diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana; dan/atau d) calon nasabah atau nasabah tercatat dalam daftar teroris dan/atau daftar terduga teroris dan organisasi teroris. 2) PJK IKNB wajib memberitahukan secara tertulis kepada nasabah mengenai penutupan hubungan usaha. 3) Pemberitahuan tertulis dapat dilakukan dengan penyampaian surat yang ditujukan kepada nasabah sesuai dengan alamat - 41 - yang tercantum dalam database PJK IKNB atau diumumkan melalui media cetak, media elektronik maupun media lainnya. 4) Dalam hal pemberitahuan tertulis telah dilakukan dan nasabah tidak mengambil sisa dana yang tersimpan di PJK IKNB, maka penyelesaian terhadap sisa dana nasabah tersebut dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain dengan menyerahkan sisa dana ke Balai Harta Peninggalan. 5) PJK IKNB harus mendokumentasikan calon nasabah atau nasabah yang terkena penolakan transaksi atau penutupan hubungan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1) dalam daftar tersendiri. 5. Pengelolaan Risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang Berkelanjutan Terkait dengan Nasabah, Negara/Area Geografis/Yurisdiksi, Produk/Jasa/Transaksi, atau Jaringan Distribusi (Delivery Channels) a. PJK IKNB menerapkan kebijakan, prosedur dan kontrol untuk mengurangi potensi Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme terutama terkait dengan nasabah, negara/area geografis/yurisdiksi, produk/jasa/transaksi, atau jaringan distribusi (delivery channels) yang dapat menimbulkan risiko yang lebih tinggi. b. Pengendalian dan mitigasi yang dapat diterapkan paling sedikit meliputi: 1) mengembangkan sistem untuk mengidentifikasi dan memantau risiko nasabah yang lebih tinggi dan transaksi dalam seluruh kegiatan usaha PJK IKNB; 2) meningkatkan CDD menjadi EDD yang dilakukan seiring dengan bertambahnya pemahaman PJK IKNB terhadap nasabah, sumber dana yang digunakan untuk membeli produk/jasa/transaksi, dan perilaku nasabah dalam membeli produk dan jasa; 3) eskalasi atau persetujuan berjenjang untuk pembukaan hubungan usaha atau transaksi melalui persetujuan pejabat senior; 4) peningkatan monitoring transaksi (frekuensi, ambang batas, volume, dan lain-lain); dan - 42 - 5) meningkatkan frekuensi pengawasan dan melakukan peninjauan kembali atas hubungan usaha secara berkelanjutan. 6. Pemeliharaan Data yang Akurat terkait dengan Transaksi, Penatausahaan Proses CDD, dan Penatausahaan Kebijakan dan Prosedur a. PJK IKNB harus menatausahakan semua data atau dokumen transaksi, yang diperoleh melalui langkah CDD yang dilakukan baik dalam maupun luar negeri paling sedikit 5 (lima) tahun. Hal tersebut sebagai upaya untuk membantu pihak yang berwenang dalam melakukan penyidikan terhadap dana yang diindikasikan berasal dari hasil kejahatan atau membantu pelaksanaan tugas dari otoritas berwenang. Dengan demikian, dokumen yang dimiliki atau disimpan PJK IKNB harus memadai sebagai alat bantu rekonstruksi terhadap transaksi individu (termasuk besarnya dan jenis mata uang yang digunakan, jika ada) sehingga dapat dijadikan bukti (jika perlu) dalam melakukan penuntutan terhadap aktivitas kejahatan. b. Jangka waktu penatausahaan dokumen adalah sebagai berikut: 1) dokumen yang terkait dengan data nasabah dengan jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun sejak: a) berakhirnya hubungan usaha dengan nasabah; dan/atau b) ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha; 2) dokumen yang terkait dengan transaksi keuangan nasabah dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam undang- undang mengenai dokumen perusahaan; dan 3) dokumen yang ditatausahakan paling sedikit mencakup: a) identitas nasabah termasuk dokumen pendukungnya, antara lain salinan atau rekaman dari dokumen identitas nasabah berupa kartu tanda pengenal, surat izin mengemudi, paspor, atau dokumen lainnya; b) informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi; - 43 - c) hasil analisis yang telah dilakukan; dan d) korespondensi dengan nasabah, termasuk berkas rekening dan korespondensi bisnis, antara lain hasil analisis yang dilakukan melalui penyelidikan yang dilakukan untuk memastikan latar belakang dan tujuan dari transaksi yang besar, rumit, dan tidak lazim. c. PJK IKNB wajib memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang ditatausahakan apabila diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas lain yang berwenang. 7. Pemantauan dan Pengkinian a. Pemantauan 1) Tingkat dan sifat pemantauan yang dilakukan oleh PJK IKNB akan bergantung pada karakteristik PJK IKNB, kompleksitas usaha, tingkat risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang dimiliki PJK IKNB. 2) PJK IKNB harus melakukan kegiatan pemantauan yang paling sedikit: a) dilakukan secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi nasabah dengan profil nasabah dan menatausahakan dokumen tersebut, terutama terhadap hubungan usaha atau transaksi dengan nasabah dan/atau PJK IKNB dari negara dengan program APU dan PPT yang kurang memadai; b) melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil nasabah; dan c) apabila diperlukan, meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil nasabah, dengan memperhatikan ketentuan anti tipping off sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan TPPU. 3) Kegiatan pemantauan profil dan transaksi nasabah dilakukan secara berkesinambungan meliputi kegiatan: a) memastikan kelengkapan informasi dan dokumen nasabah; - 44 - b) meneliti kesesuaian antara profil transaksi dengan profil nasabah; dan c) meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama yang tercantum dalam: i. database daftar teroris; ii. daftar terduga teroris dan organisasi teroris; iii. nama tersangka atau terdakwa yang dipublikasikan dalam media massa atau oleh otoritas yang berwenang; dan iv. daftar hitam nasional (DHN). 4) Sumber informasi yang dapat digunakan untuk memantau nasabah yang ditetapkan sebagai status tersangka atau terdakwa dapat diperoleh antara lain melalui: a) database yang dikeluarkan oleh pihak berwenang seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK); atau b) media massa, seperti koran, majalah, televisi, dan internet. 5) PJK IKNB harus melakukan klasifikasi terkait transaksi dan nasabah yang membutuhkan pemantauan khusus. Pemantauan terhadap rekening nasabah harus lebih ketat apabila terdapat nasabah berisiko tinggi. 6) Seluruh kegiatan pemantauan didokumentasikan dengan baik dalam bentuk tertulis melalui dokumen formal seperti memo, nota, atau catatan maupun melalui dokumen informal seperti korespondensi melalui email. b. Pengkinian Data 1) PJK IKNB harus menerapkan prosedur CDD terhadap nasabahnya dalam rangka pengkinian data, untuk mengkinikan materialitas data dan risiko. CDD tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan waktu pelaksanaan CDD sebelumnya dan kecukupan data yang diperoleh. 2) PJK IKNB harus melakukan pengkinian data terhadap informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan - 45 - program APU dan PPT di sektor jasa keuangan serta menatausahakannya. 3) PJK IKNB harus memastikan bahwa dokumen, data atau informasi yang dihimpun dalam proses CDD selalu diperbaharui dan relevan dengan melakukan pemeriksaan kembali terhadap data yang ada, khususnya yang terkait dengan nasabah berisiko tinggi. 4) PJK IKNB harus mengkinikan data nasabah yang dimiliki agar identifikasi dan pemantauan transaksi keuangan yang mencurigakan dapat berjalan efektif. 5) Pengkinian data nasabah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko. Dalam hal sumber daya yang dimiliki PJK IKNB terbatas, kegiatan pengkinian data dilakukan dengan skala prioritas. 6) Parameter untuk menetapkan skala prioritas sebagaimana dimaksud pada angka 5) antara lain: a) tingkat risiko nasabah tinggi; b) transaksi dengan jumlah yang signifikan dan/atau menyimpang dari profil transaksi atau profil nasabah (red flag); c) terdapat perubahan saldo yang nilainya signifikan; dan/atau d) informasi yang ada pada customer identification file (CIF) belum sesuai dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program APU dan PPT di sektor jasa keuangan. 7) Pengkinian data dilakukan secara berkala sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas kegiatan usaha PJK IKNB. 8) Pelaksanaan pengkinian data terhadap nasabah yang tercantum dalam laporan rencana pengkinian data dapat dilakukan antara lain pada saat: a) pembukaan hubungan usaha tambahan; b) perpanjangan penggunaan produk/jasa/transaksi PJK IKNB; c) penggantian dokumen data dan identitas nasabah; atau d) penutupan hubungan usaha. - 46 - 9) Seluruh kegiatan pengkinian data harus diadministrasikan. 10) Dalam hal nasabah yang akan dilakukan pengkinian data telah menjadi nasabah sebelum peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program APU dan PPT di sektor jasa keuangan berlaku, PJK IKNB harus memberitahukan secara tertulis kepada nasabah dimaksud mengenai keharusan PJK IKNB untuk menolak transaksi dan/atau menutup hubungan usaha sebagaimana tercantum dalam Romawi IV angka 4. 8. Pelaporan Kepada Pejabat Senior, Direksi dan Dewan Komisaris terkait Pelaksanaan Kebijakan dan Prosedur Penerapan Program APU dan PPT a. Dalam hal proses CDD menunjukkan adanya calon nasabah atau nasabah yang dikategorikan berisiko tinggi maka pegawai PJK IKNB yang melaksanakan CDD melapor kepada Pejabat Senior. Pejabat Senior bertanggung jawab terhadap penerimaan dan/atau penolakan hubungan usaha dengan calon nasabah atau nasabah yang berisiko tinggi. b. Dalam hal pejabat senior menyetujui hubungan usaha dengan nasabah berisiko tinggi maka pejabat senior bertanggung jawab dalam memantau transaksi nasabah berisiko tinggi. c. Pejabat Senior harus melaporkan kepada Direksi yang membawahkan fungsi penerapan program APU dan PPT terkait jumlah calon nasabah atau nasabah yang berisiko tinggi termasuk jumlah nasabah berisiko tinggi yang ditolak, diterima atau dilakukan penutupan hubungan usaha. d. Direksi harus memberikan arahan atas laporan yang disampaikan pejabat senior dan menetapkan langkah-langkah mitigasi risiko. e. Direksi melaporkan kepada Dewan Komisaris terkait hasil pemantauan atas penerapan program APU dan PPT secara keseluruhan sebagaimana kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan PJK IKNB. f. Direksi dapat mengusulkan pengkinian kebijakan dan prosedur dalam hal terdapat perkembangan risiko yang perlu dimitigasi oleh PJK IKNB, yang belum tercantum dalam kebijakan dan prosedur tertulis. - 47 - 9. Pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) a. PJK IKNB wajib menyampaikan Laporan Transaksi keuangan Mencurigakan (LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), dan laporan lain kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. b. Dalam hal PJK IKNB menemukan adanya indikasi transaksi keuangan tunai yang melibatkan pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya serta zona tertentu yang merupakan zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang mengenai kepabeanan. c. PJK IKNB harus menyampaikan laporan lain terkait penerapan program APU dan PPT dalam hal terdapat permintaan informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). V. PENGENDALIAN INTERN 1. Penerapan program APU dan PPT berbasis risiko (risk based approach) yang efektif harus diimplementasikan dalam pengendalian intern dan diinternalisasikan dalam budaya PJK IKNB. 2. Pejabat senior bertanggung jawab untuk memastikan bahwa PJK IKNB memiliki struktur pengendalian internal yang efektif termasuk untuk memantau dan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan. 3. Pejabat senior harus menciptakan budaya manajemen risiko dan kepatuhan, memastikan bahwa pegawai taat terhadap kebijakan dan prosedur yang ditujukan untuk membatasi dan mengontrol risiko. 4. Selain kepatuhan atas pengendalian internal, penerapan program APU dan PPT juga dipengaruhi oleh faktor berikut: a. skala dan kompleksitas PJK IKNB; b. keragaman kegiatan usaha atau operasional PJK IKNB, termasuk keragaman negara/area geografis/yurisdiksi, nasabah, - 48 - produk/jasa/transaksi, dan aktivitas transaksi PJK IKNB secara keseluruhan; c. jaringan distribusi (delivery channels) yang digunakan; d. volume dan skala transaksi; e. tingkat penilaian risiko atas setiap kegiatan usaha PJK IKNB; dan/atau f. hubungan antara PJK IKNB dengan nasabah baik secara langsung atau melalui perantara, pihak ketiga, koresponden, atau komunikasi tanpa pertemuan langsung (non face to face). 5. PJK IKNB harus memiliki kerangka pengendalian intern yang meliputi: a. penunjukan UKK dan/atau pejabat yang bertanggung jawab dalam mengelola penerapan program APU dan PPT; b. pemantauan khusus terhadap kegiatan operasional yang berpotensi berisiko tinggi termasuk pemantauan terhadap hal yang dinilai rentan dan berpotensi berkaitan dengan transaksi yang mencurigakan atau perlu mendapat perhatian khusus berdasarkan saran dan informasi dari asosiasi industri, regulator, atau penegakan hukum; c. penyediaan tinjauan rutin atas penilaian risiko dan manajemen proses dengan mempertimbangkan lokasi tempat PJK IKNB beroperasi; d. memastikan terdapat kontrol yang memadai sebelum penawaran produk/jasa/transaksi baru atau ketika ada penawaran produk/jasa/transaksi yang dimodifikasi sedemikian rupa yang berpotensi terhadap peningkatan risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; e. penyampaian informasi secara cepat dan tepat dalam hal terdapat indikasi dan/atau dugaan terkait risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, langkah perbaikan yang dilakukan, hasil identifikasi kelemahan atas peraturan yang dimiliki, rencana tindak untuk perbaikan, dan pelaporan yang telah disampaikan kepada pihak berwenang; f. fokus pada pengumpulan hal terkait ketentuan peraturan perundangan-undangan, persyaratan pelaporan rekomendasi terkait kepatuhan atas penerapan program APU dan PPT dan melakukan pengkinian atas perubahan peraturan; serta - 49 - g. menerapkan kebijakan, prosedur dan kontrol atas uji tuntas nasabah (CDD); h. penyediaan kontrol yang memadai bagi nasabah, transaksi dan produk yang berisiko tinggi, seperti batasan transaksi atau persetujuan manajemen; i. memberikan pengawasan yang memadai terhadap pegawai PJK IKNB yang melengkapi laporan, menerima hibah, memantau aktivitas yang mencurigakan, atau terlibat dalam kegiatan lain yang merupakan bagian dari penerapan program APU dan PPT; j. mengintegrasikan kepatuhan terhadap penerapan program APU dan PPT dalam deskripsi pekerjaan dan evaluasi kinerja yang tepat; k. menyediakan pelatihan terkait program APU dan PPT yang tepat dan relevan untuk diberikan kepada semua pegawai; l. untuk kelompok usaha, harus memiliki kerangka kerja pengendalian bersama; dan m. melakukan pengujian terhadap keefektifan dari pelaksanaan program APU dan PPT dengan mengambil contoh secara acak (random sampling) dan melakukan pendokumentasian atas pengujian yang dilakukan. VI. SISTEM INFORMASI MANAJEMEN 1. Penerapan program APU dan PPT harus didukung oleh sistem informasi manajemen yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan nasabah dengan menggunakan parameter yang disesuaikan secara berkala dan memperhatikan kompleksitas usaha, volume transaksi, dan risiko yang dimiliki PJK IKNB. 2. Kebijakan dan prosedur tertulis yang dimiliki PJK IKNB wajib mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh pelaku Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme, misalnya pembukaan rekening melalui internet, wesel atau perintah transfer dana melalui faksmili atau telepon, dan transaksi elektronik lainnya. - 50 - 3. Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan PJK IKNB untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction), baik untuk keperluan internal dan/atau Otoritas Jasa Keuangan, maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan. 4. Untuk memudahkan pemantauan dalam rangka menganalisis transaksi keuangan yang mencurigakan, PJK IKNB wajib memiliki dan memelihara profil nasabah secara terpadu (single customer identification file/single CIF). 5. Informasi yang terdapat dalam single CIF mencakup seluruh produk dan jasa yang digunakan oleh nasabah pada suatu PJK IKNB yaitu antara lain asuransi kendaraan, asuransi jiwa, asuransi kepemilikan rumah, dan asuransi unit link. 6. Untuk rekening bersama (joint account) maka CIF dibuat atas masing- masing pihak pemilik rekening bersama (joint account). Contohnya rekening bersama (joint account) atas nama A dan B, maka CIF yang dibuat adalah 2 (dua) CIF yaitu CIF atas nama A dan B dengan menginformasikan bahwa baik A maupun B memiliki rekening bersama (joint account). 7. Untuk keperluan pemeliharaan single CIF, PJK IKNB harus menetapkan kebijakan bahwa untuk setiap penambahan rekening dan/atau jasa atau produk PJK IKNB oleh nasabah yang sudah ada, PJK IKNB harus mengkaitkan rekening, jasa, atau produk tambahan tersebut dengan nomor informasi nasabah dari nasabah yang bersangkutan. VII. SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN 1. Sumber Daya Manusia Untuk mencegah digunakannya PJK IKNB sebagai media atau tujuan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang melibatkan pihak intern, PJK IKNB wajib melakukan: a. prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan karyawan baru (pre-employee screening) sebagai bagian dari penerapan know your employee (KYE), dengan ketentuan sebagai berikut: 1) metode screening disesuaikan dengan kebutuhan, kompleksitas usaha PJK IKNB, dan profil risiko PJK IKNB; - 51 - 2) metode screening paling sedikit memastikan profil calon karyawan tidak memiliki catatan kejahatan, antara lain mengharuskan calon karyawan membuat surat pernyataan dan/atau menyerahkan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK); 3) melakukan verifikasi identitas dan pendidikan yang telah diperoleh calon karyawan; 4) memastikan apakah calon karyawan memiliki kredit macet; 5) memastikan track record calon karyawan dalam jangka waktu tertentu, misalnya 5 (lima) tahun terakhir; dan/atau 6) melakukan penelitian melalui media informasi lainnya. b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan, mencakup perilaku dan gaya hidup karyawan, antara lain: 1) memastikan karyawan tidak memiliki kredit macet; 2) melakukan penelitian melalui media internet; 3) melakukan verifikasi terhadap karyawan yang mengalami perubahan gaya hidup yang cukup signifikan; 4) memantau rekening karyawan; 5) memastikan bahwa karyawan telah memahami dan mentaati kode etik karyawan (staff code of conduct); dan/atau 6) mengevaluasi karyawan yang bertanggung jawab pada aktivitas yang tergolong berisiko tinggi antara lain memiliki akses ke data PJK IKNB, berhadapan dengan calon nasabah atau nasabah, dan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa. c. Prosedur penyaringan (pre-employee screening), pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan dituangkan dalam kebijakan KYE yang berpedoman pada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan strategi anti fraud. 2. Pelatihan a. Peserta Pelatihan 1) PJK IKNB wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan tentang kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan - 52 - tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme kepada seluruh karyawan. 2) Dalam menentukan peserta pelatihan, PJK IKNB mengutamakan karyawan yang tugas sehari-harinya memenuhi kriteria sebagai berikut: a) berhadapan langsung dengan nasabah (pelayanan nasabah); b) melakukan pengawasan pelaksanaan penerapan program APU dan PPT; atau c) terkait dengan penyusunan pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan. 3) Karyawan yang melakukan pengawasan pelaksanaan penerapan program APU dan PPT harus mendapatkan pelatihan secara berkesinambungan, sedangkan karyawan lainnya harus mendapatkan pelatihan paling sedikit 1 (satu) kali dalam masa kerjanya. Karyawan yang berhadapan langsung dengan nasabah (front liner) harus mendapatkan pelatihan sebelum penempatan. b. Metode Pelatihan 1) Pelatihan dapat dilakukan secara elekronik (online base) maupun melalui tatap muka. 2) Pelatihan secara elektronik (online base) dapat menggunakan media e-learning baik yang disediakan oleh otoritas berwenang seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau yang disediakan secara mandiri oleh PJK IKNB. 3) Pelatihan melalui tatap muka dilakukan dengan menggunakan pendekatan antara lain: a) tatap muka secara interaktif (misalnya workshop) dengan topik pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan peserta. Pendekatan ini digunakan untuk karyawan yang mendapatkan prioritas dan dilakukan secara berkesinambungan, misalnya setiap tahun; dan/atau b) tatap muka satu arah (misalnya seminar) dengan topik pelatihan adalah berupa gambaran umum dari - 53 - penerapan program APU dan PPT. Pendekatan ini diberikan kepada karyawan yang tidak mendapatkan prioritas dan dilakukan apabila terdapat perubahan ketentuan yang signifikan. c. Materi dan Evaluasi Pelatihan 1) PJK IKNB dapat mengembangkan materi pelatihan terkait penerapan program APU dan PPT sesuai dengan kebutuhan. Beberapa topik yang dapat menjadi materi dalam pelatihan antara lain: a) pelatihan implementasi ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan program APU dan PPT; b) tren dan perkembangan profil risiko produk sektor keuangan untuk pelatihan teknik, metode, dan tipologi tindak pidana Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme; dan/atau c) konsekuensi apabila karyawan melakukan tipping off untuk pelatihan kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme. 2) Kedalaman materi pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan karyawan dan kesesuaian dengan tugas dan tanggung jawab karyawan. 3) Untuk mengetahui tingkat pemahaman karyawan dan kesesuaian materi pelatihan, PJK IKNB harus melakukan evaluasi terhadap setiap pelatihan yang telah diselenggarakan. 4) Evaluasi dapat dilakukan secara langsung melalui wawancara atau secara tidak langsung melalui tes. 5) PJK IKNB harus melakukan upaya tindak lanjut dari hasil evaluasi pelatihan melalui penyempurnaan materi dan metode pelatihan. VIII. PELAPORAN 1. Laporan Action Plan a. Laporan action plan paling sedikit memuat langkah peraturan - 54 - pelaksanaan program APU dan PPT dalam rangka kepatuhan terhadap peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program APU dan PPT di sektor jasa keuangan yang harus dilaksanakan oleh PJK IKNB sesuai dengan target waktu selama periode tertentu sebagaimana ditetapkan dalam action plan, yaitu memuat antara lain: 1) penyesuaian sistem, perjanjian pembukaan hubungan usaha, dan mitigasi risiko terkait penerapan CDD sederhana (simplified CDD); 2) pengelompokan nasabah berdasarkan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach); 3) penyempurnaan infrastruktur terkait dengan teknologi informasi; 4) persiapan dalam pembangunan single customer identification file (single CIF); 5) penunjukkan pejabat/pegawai yang menjalankan fungsi UKK di kantor cabang yang kompleksitas usahanya tinggi; 6) penyiapan sumber daya manusia yang memadai; dan/atau 7) penyesuaian teknologi informasi untuk pelaksanaan program pengkinian data nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner). b. Laporan action plan harus disetujui dan disampaikan oleh anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan atau salah satu anggota Direksi yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT. c. Dalam hal terdapat perubahan atas action plan, kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT, laporan rencana kegiatan pengkinian data, yang telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, PJK IKNB wajib menyampaikan perubahan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan dilakukan. 2. Laporan Penyesuaian Kebijakan dan Prosedur Penerapan Program APU dan PPT PJK IKNB yang telah memiliki kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT harus menyampaikan laporan penyesuaian kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan - 55 - program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di sektor jasa keuangan paling lambat tanggal 16 September 2017. 3. Laporan Rencana Kegiatan Pengkinian Data dan Laporan Realisasi Kegiatan Pengkinian Data a. Laporan rencana kegiatan pengkinian data dan laporan realisasi kegiatan pengkinian data harus disetujui dan disampaikan oleh Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan atau salah satu anggota Direksi yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT. b. Penyampaian laporan rencana pengkinian data sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di sektor jasa keuangan dilakukan oleh Direksi yang membawahi fungsi kepatuhan atau salah satu anggota Direksi yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember. c. Penyampaian laporan realisasi pengkinian data sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di sektor jasa keuangan dilakukan oleh Direksi yang membawahi fungsi kepatuhan atau salah satu anggota Direksi yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember. d. Penyampaian laporan rencana pengkinian data sesuai peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b untuk pertama kalinya disampaikan paling lambat akhir bulan September 2017. Sementara penyampaian laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk pertama kalinya disampaikan setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember 2017. e. Perubahan atas laporan rencana kegiatan pengkinian data dapat dilakukan sepanjang terdapat perubahan yang terjadi di luar kendali PJK IKNB dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan dilakukan. - 56 - 4. Tata Cara Penyampaian Laporan Penerapan Program APU dan PPT a. PJK IKNB harus menyampaikan laporan penerapan program APU dan PPT yang telah ditandatangani oleh Direksi, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) surat pengantar penyampaian laporan penerapan program APU dan PPT yang ditandatangani oleh Direksi disampaikan dalam bentuk hasil cetak komputer (hardcopy); dan 2) isi laporan penerapan program APU dan PPT disampaikan dalam bentuk elektronik (softcopy). b. Alamat penyampaian laporan untuk DPLK: Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan u.p. Direktur Pengawasan Dana Pensiun Gedung Menara Merdeka Lantai 22 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110 c. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Pembiayaan, PMV, dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur: Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan u.p. Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan Gedung Menara Merdeka Lantai 19 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110 dan bagi Perusahaan Pembiayaan dan PMV yang memiliki unit usaha syariah, disampaikan kepada: Direktur IKNB Syariah Gedung Menara Merdeka Lantai 23 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110 - 57 - d. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Pergadaian dan LPEI: Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan u.p. Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Khusus Gedung Menara Merdeka Lantai 26 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110 dan bagi Perusahaan Pergadaian yang memiliki unit usaha syariah, disampaikan kepada: Direktur IKNB Syariah Gedung Menara Merdeka Lantai 23 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110 e. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Pembiayaan, PMV, dan Perusahaan Pergadaian yang menjalankan seluruh kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah: Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya u.p. Direktur IKNB Syariah Gedung Menara Merdeka Lantai 23 Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2 Jakarta 10110 5. Dalam hal terdapat perubahan alamat Kantor Otoritas Jasa Keuangan untuk penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4, Otoritas Jasa Keuangan akan menyampaikan pemberitahuan mengenai perubahan alamat melalui surat atau pengumuman. 6. Penyampaian laporan bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan Asuransi yang memiliki unit usaha syariah adalah penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai laporan berkala perusahaan perasuransian. - 58 - IX. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 2017 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd FIRDAUS DJAELANI Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 37/SEOJK.05/2017 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 17 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 17 Juli 2017 </effective_date> <related_reg> '12/POJK.01/2017 | Pasal 68' </related_reg>
Yth. Agen Penjual Efek Reksa Dana di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 51 /SEOJK.04/2016 TENTANG PELAKSANAAN PENJUALAN EFEK REKSA DANA DI GERAI PENJUALAN EFEK REKSA DANA Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39/POJK.04/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 396, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5653), perlu mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan penjualan Efek Reksa Dana di gerai penjualan Efek Reksa Dana dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: a. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Agen Penjual Efek Reksa Dana adalah Pihak yang melakukan penjualan Efek Reksa Dana berdasarkan kontrak kerja sama dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana. c. Gerai Penjualan Efek Reksa Dana yang selanjutnya disebut Gerai adalah tempat penjualan Efek Reksa Dana, yang dibuka berdasarkan kerja sama antara Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan pihak lain yang memiliki jaringan -2- usaha luas dalam kegiatan usahanya setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Manajer Investasi. 2. Kegiatan penjualan Efek Reksa Dana di Gerai mencakup kegiatan yang berkaitan dengan penjualan, pembelian kembali, pengalihan dari Unit Penyertaan dan/atau saham suatu Reksa Dana ke Unit Penyertaan dan/atau saham Reksa Dana lain yang dikelola oleh Manajer Investasi yang sama. 3. Penjualan Efek Reksa Dana di Gerai wajib memenuhi: a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); dan b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39/POJK.04/2014 tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 396, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5653). II. PENJUALAN EFEK REKSA DANA DI GERAI 1. Penerimaan nasabah baru Reksa Dana secara langsung di Gerai wajib dilakukan oleh tenaga pemasaran Agen Penjual Efek Reksa Dana yang mempunyai izin Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. 2. Penerimaan nasabah baru Reksa Dana meliputi pembukaan rekening Efek Reksa Dana dan penjualan pertama kali untuk setiap Reksa Dana. 3. Penjualan Efek Reksa Dana di Gerai dapat dilakukan: a. secara manual melalui tenaga pemasaran Agen Penjual Efek Reksa Dana yang mempunyai izin Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; b. melalui sistem pembayaran yang terdapat di Gerai hanya untuk penambahan (top up); atau c. melalui sistem elektronik penjualan Efek Reksa Dana yang terdapat di Gerai. 4. Penjualan Efek Reksa Dana melalui sistem pembayaran yang terdapat di Gerai sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b -3- dapat dilakukan tanpa Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana namun terbatas pada penambahan (top up). 5. Penjualan Efek Reksa Dana melalui sistem elektronik di Gerai sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf c wajib memperhatikan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 07/SEOJK.04/2014 tentang Penerapan Pelaksanaan Pertemuan Langsung (Face To Face) Dalam Penerimaan Pemegang Efek Reksa Dana Melalui Pembukaan Rekening Secara Elektronik, Serta Tata Cara Penjualan (Subscription) Dan Pembelian Kembali (Redemption) Efek Reksa Dana Secara Elektronik. 6. Agen Penjual Efek Reksa Dana yang melakukan kerja sama dengan pihak lain yang memiliki jaringan usaha luas dalam rangka penjualan Efek Reksa Dana wajib: a. bertanggung jawab atas penjualan Efek Reksa Dana yang dilakukan oleh pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana; b. melakukan penerapan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. memastikan keandalan dan keamanan sistem yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memiliki prosedur operasional standar berkaitan dengan penjualan Efek Reksa Dana yang dilakukan. III. KETENTUAN PENUTUP Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Desember 2016 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PASAR MODAL, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd NURHAIDA
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 51/SEOJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> PELAKSANAAN PENJUALAN EFEK REKSA DANA DI GERAI PENJUALAN EFEK REKSA DANA </reg_title> <set_date> 19 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 19 Desember 2016 </effective_date> <related_reg> '39/POJK.04/2014' </related_reg>
Yth. Direksi Lembaga Keuangan Mikro di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /SEOJK.05/2015 TENTANG LAPORAN KEUANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 27 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 343, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5622), perlu untuk mengatur pelaksanaan mengenai laporan keuangan lembaga keuangan mikro dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: I. KETENTUAN UMUM 1. Laporan Keuangan adalah laporan keuangan yang disusun oleh lembaga keuangan mikro sesuai format dan tata cara yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 2. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. 3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai OJK. II. ISI ... - 2 - II. ISI LAPORAN KEUANGAN 1. Laporan Keuangan yang wajib disampaikan oleh LKM terdiri dari: a. profil LKM; b. laporan posisi keuangan; c. laporan kinerja keuangan; dan d. daftar rincian. 2. Bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah serta menjalankan fungsi sosial yaitu menerima dan menyalurkan dana sosial, LKM juga wajib menyampaikan: a. laporan sumber dan penyaluran dana zakat; dan b. laporan sumber dan penyaluran dana infak dan sodaqoh. 3. Pedoman penyusunan Laporan Keuangan LKM adalah sebagai berikut: a. bagi yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I; b. bagi yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran OJK ini. III. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN 1. LKM wajib menyampaikan Laporan Keuangan secara berkala setiap 4 (empat) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 30 April, 31 Agustus, dan 31 Desember kepada OJK. 2. Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada butir 1 dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya. 3. Apabila LKM memperoleh izin usaha kurang dari 4 (empat) bulan dari kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1, kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2 mulai berlaku untuk periode penyampaian Laporan Keuangan berikutnya. 4. Apabila batas akhir penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada butir 2 jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. IV. TATA ... - 3 - IV. TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN 1. Penyampaian Laporan Keuangan dilakukan secara online melalui sistem jaringan komunikasi data OJK. 2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK mengalami gangguan atau LKM belum dapat menyampaikan secara online sebagaimana dimaksud pada butir 1, penyampaian Laporan Keuangan dilakukan secara offline: a. menggunakan media simpan antara lain dalam bentuk cakram padat (compact disc) atau media penyimpan (flashdisk), atau b. dalam bentuk salinan cetak (hardcopy), melalui surat yang ditandatangani Direksi LKM dan ditujukan kepada OJK c.q. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK. 3. Kondisi yang menyebabkan LKM belum dapat menyampaikan secara online sebagaimana dimaksud dalam butir 2 antara lain: a. LKM berkedudukan di daerah yang fasilitas jaringan telekomunikasinya belum memadai; b. jaringan telekomunikasi di wilayah LKM mengalami gangguan; c. LKM mengalami gangguan teknis yang menyebabkan LKM tidak dapat menyampaikan secara online antara lain kebakaran, kerusakan sistem komputer, dan gangguan jaringan listrik; d. adanya keadaan memaksa (force majeur) antara lain bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, kerusuhan massa, dan perang; atau e. LKM belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk menyampaikan Laporan Keuangan secara online. 4. Penyampaian Laporan Keuangan secara offline sebagaimana dimaksud pada butir 2, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. diserahkan langsung ke kantor Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. 5. LKM ... - 4 - 5. LKM dinyatakan telah menyampaikan Laporan Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk penyampaian secara online melalui sistem jaringan komunikasi data OJK dibuktikan dengan tanda terima dari sistem jaringan komunikasi data OJK; b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan: 1) surat tanda terima dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak yang lain yang ditunjuk oleh OJK, apabila diserahkan langsung ke Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak yang lain yang ditunjuk oleh OJK; atau 2) tanda terima pengiriman dari kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan, yang menunjukkan tanggal cap pos atau tanggal penerimaan dokumen laporan oleh perusahaan jasa pengiriman/titipan, apabila laporan dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. V. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 September 2015 KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERASURANSIAN, DANA PENSIUN, LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji FIRDAUS DJAELANI ttd
<reg_type> SEOJK </reg_type> <reg_id> 29/SEOJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> LAPORAN KEUANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO </reg_title> <set_date> 29 September 2015 </set_date> <effective_date> 29 September 2015 </effective_date> <related_reg> '13/POJK.05/2014 | Pasal 27' </related_reg>