input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
No. 10/ 14 / DPbS
Jakarta, 17 Maret 2008
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/19/PBI/2007 Tanggal 17 Desember 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa
Bank Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4793), perlu diatur
ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok
ketentuan sebagai berikut :
I. UMUM
1. Sejalan dengan perkembangan yang pesat di dunia bisnis dan keuangan
telah mendorong berkembangnya inovasi transaksi-transaksi keuangan
syariah, sehingga Bank perlu mengantisipasi dan mengikuti dinamika
tersebut agar dapat berkembang serta tetap memenuhi prinsip syariah
secara istiqomah sesuai dengan fatwa yang berlaku.
2. Implementasi atas setiap inovasi transaksi-transaksi keuangan syariah
yang baru, selalu akan menimbulkan berbagai risiko termasuk risiko
reputasi. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mengantisipasi timbulnya
risiko reputasi akibat tidak terpenuhinya prinsip syariah, diperlukan
adanya …..
adanya penyesuaian dan penyempurnaan pengaturan yang berlaku
terhadap pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan
dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa bank syariah.
3. Adanya ketentuan tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan
penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa akan
meningkatkan kepastian hukum para pihak termasuk bagi pengawas
dan auditor bank syariah.
II. PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN
PENGHIMPUNAN DANA.
II.1. Giro dan Tabungan atas dasar Akad Wadi’ah
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro dan Tabungan
atas dasar Akad Wadi’ah berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah
bertindak sebagai penitip dana;
b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk
Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
c. Bank tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan atau
bonus kepada nasabah;
d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan
dan penggunaan produk Giro atau Tabungan atas dasar Akad
Wadi’ah, dalam bentuk perjanjian tertulis;
e. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi
berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan
rekening antara lain biaya kartu ATM, buku/cek/bilyet giro, biaya
meterai …..
meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan
dan penutupan rekening;
f. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah; dan
g. Dana titipan dapat diambil setiap saat oleh nasabah.
II.2. Giro atas dasar Akad Mudharabah
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro atas dasar
Akad Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan Nasabah
bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal);
b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk
Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
c. Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang
disepakati;
d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan
dan penggunaan produk Giro atas dasar Akad Mudharabah, dalam
bentuk perjanjian tertulis;
e. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi
berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya
pengelolaan rekening antara lain biaya cek/bilyet giro, biaya
meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan
dan penutupan rekening; dan
f. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah
tanpa persetujuan nasabah.
II.3. Tabungan …..
II.3. Tabungan dan deposito atas dasar Akad Mudharabah
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Tabungan dan
Deposito atas dasar Akad Mudharabah berlaku persyaratan paling
kurang sebagai berikut :
a. Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah
bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal);
b. Pengelolaan dana oleh Bank dapat dilakukan sesuai batasan-
batasan yang ditetapkan oleh pemilik dana (mudharabah
muqayyadah) atau dilakukan dengan tanpa batasan-batasan dari
pemilik dana (mudharabah mutlaqah);
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk
Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan
dan penggunaan produk Tabungan dan Deposito atas dasar Akad
Mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis;
e. Dalam Akad Mudharabah Muqayyadah harus dinyatakan secara
jelas syarat-syarat dan batasan tertentu yang ditentukan oleh
nasabah;
f. Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang
disepakati;
g. Penarikan dana oleh nasabah hanya dapat dilakukan sesuai waktu
yang disepakati;
h. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi
berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya
pengelolaan rekening antara lain biaya meterai, cetak laporan
transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening;
dan
i. Bank …..
i. Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah
tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan.
III. PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN
PENYALURAN DANA
III.1. Pembiayaan Atas Dasar Akad Mudharabah
1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas
dasar Akad Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang
menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja, dan
nasabah bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dalam
kegiatan usahanya;
b. Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha
nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha
nasabah, antara lain Bank dapat melakukan review dan meminta
bukti-bukti dari laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti
pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai
karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah,
serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi
produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
d. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah
Muqayyadah yaitu penyediaan dana kepada nasabah dimana
pemilik dana (shahibul maal) memberikan persyaratan khusus
kepada pengelola dana (mudharib), Bank wajib memenuhi
persyaratan khusus dimaksud;
Sebagai …..
Sebagai contoh :
Tuan A sebagai pemilik dana memiliki keinginan untuk
menginvestasikan dananya ke sektor UKM yang bergerak di
sektor usaha perdagangan. Dengan keterbatasan waktu yang
dimiliki, Tuan A mengalami kesulitan untuk mencari dan
menetapkan UKM yang bergerak di sektor usaha
perdagangan dimaksud. Oleh karena itu Tuan A
memutuskan untuk menitipkan dananya tersebut ke Bank
sekaligus meminta bantuan Bank untuk mencarikan UKM
sesuai dengan yang diharapkan. Sesuai dengan amanah yang
ditetapkan Tuan A, selanjutnya Bank mencari UKM yang
paling feasible di sektor usaha perdagangan. Transaksi
investasi yang terjadi antara Tuan A dengan UKM dimaksud
yang diperantarai oleh Bank, merupakan salah satu contoh
transaksi investasi dengan Akad Mudharabah Muqayyadah.
e. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan
atas dasar Akad Mudharabah dari nasabah yang antara lain
meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter
(Character) dan aspek usaha antara lain meliputi analisa
kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan prospek
usaha (Condition);
f. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam
nisbah yang disepakati;
g. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang
jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para
pihak;
h. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar
Mudharabah;
i. Jangka …..
i. Jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah,
pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
j. Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah diberikan dalam
bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang
atau tagihan;
k. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah diberikan
dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;
l. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Mudharabah diberikan
dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas
dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara
jelas jumlahnya;
m. Pengembalian Pembiayaan atas dasar Mudharabah dilakukan
dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada
akhir periode Akad, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan
atas dasar Akad Mudharabah;
n. Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha
pengelola dana (mudharib) dengan disertai bukti pendukung
yang dapat dipertanggungjawabkan;
o. Kerugian usaha nasabah pengelola dana (mudharib) yang dapat
ditanggung oleh Bank selaku pemilik dana (shahibul maal)
adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan
(ra’sul maal).
2. Dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha
(mitra usaha) yang dibiayai Bank (Mudharabah Musytarakah),
maka berlaku ketentuan :
a. Norma-norma umum dalam pembiayaan atas dasar Akad
Mudharabah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bab III.1
kecuali angka 1 huruf a dan huruf d;
b. Kedudukan …..
b. Kedudukan nasabah adalah sebagai mitra usaha sekaligus
sebagai pengelola dana (mudharib);
c. Sebagai mitra usaha, nasabah berhak mendapatkan bagian
keuntungan sesuai kesepakatan atau menanggung kerugian
sesuai porsi modalnya; dan
d. Sebagai pengelola dana (mudharib), nasabah berhak
mendapatkan bagian keuntungan berdasarkan nisbah yang
disepakati, setelah dikurangi bagian keuntungan milik nasabah
sebagai mitra usaha.
III.2. Pembiayaan Atas Dasar Akad Musyarakah
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar
Akad Musyarakah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha
dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk
membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
b. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra
usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas
dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta
bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah
berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah serta hak dan
kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan
penggunaan data pribadi nasabah;
d. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas
dasar Akad Musyarakah dari nasabah yang antara lain meliputi
aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan aspek
usaha …..
usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity),
keuangan (Capital), dan prospek usaha (Condition);
e. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam
bentuk nisbah yang disepakati;
f. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang
jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak;
g. Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk
uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau
tagihan;
h. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya;
i. Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar
harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas
jumlahnya;
j. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk
perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar
Musyarakah;
k. Jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah,
pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
l. Pengembalian Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dilakukan
dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir
periode Pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan atas
dasar Akad Musyarakah;
m. Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah
berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
dan
n. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional
menurut porsi modal masing-masing.
III.3. Pembiayaan …..
III.3. Pembiayaan Atas Dasar Akad Murabahah
1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas
dasar Akad Murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka
membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi
Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang;
b. Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas
kuantitas, kualitas, harga perolehan dan spesifikasinya;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta hak dan
kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan
penggunaan data pribadi nasabah;
d. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan
atas dasar Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain
meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter
(Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa
kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan/atau
prospek usaha (Condition);
e. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian
barang yang telah disepakati kualifikasinya;
f. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan
penyediaan barang yang dipesan nasabah;
g. Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal
Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama
periode Pembiayaan;
h. Bank …..
h. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar
Murabahah; dan
i. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada
Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.
2. Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar
dengan tanpa diperjanjikan dimuka.
3. Bank dapat meminta ganti rugi kepada nasabah atas pembatalan
pesanan oleh nasabah sebesar biaya riil.
III.4. Pembiayaan atas dasar Akad Salam
1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas
dasar Akad Salam berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana maupun
sebagai pembeli barang untuk kegiatan transaksi Salam dengan
nasabah yang bertindak sebagai penjual barang;
b. Barang dalam transaksi Salam adalah objek jual beli dengan
spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga
yang jelas, yang pada umumnya tersedia secara reguler di pasar,
serta bukan objek jual beli yang sulit diidentifikasi ciri-cirinya
dimana antara lain nilainya berubah-ubah tergantung penilaian
subyektif;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk Pembiayaan atas dasar Akad Salam, serta hak dan
kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan
penggunaan data pribadi nasabah;
d. Bank …..
d. Bank wajib melakukan analisis atas rencana Pembiayaan atas
dasar Salam kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek
personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau
aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha
(Capacity), keuangan (Capital), dan/atau prospek usaha
(Condition);
e. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar
Salam;
f. Pembayaran atas barang nasabah oleh Bank harus dilakukan di
muka secara penuh yaitu pembayaran segera setelah
Pembiayaan atas dasar Akad Salam disepakati atau paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah Pembiayaan atas dasar Akad Salam
disepakati; dan
g. Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam
bentuk pembebasan utang nasabah kepada Bank atau dalam
bentuk piutang Bank.
2. Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai
kesepakatan maka Bank dapat :
a. Menolak menerima barang dan meminta pengembalian dana;
b. Meminta kepada nasabah untuk mengganti dengan barang
lainnya yang sejenis dan/atau memiliki nilai yang setara; atau
c. Menunggu barang hingga tersedia.
3. Dalam hal Bank menerima barang dengan kualitas lebih tinggi
maka Bank tidak wajib membayar tambahan harga, kecuali
terdapat kesepakatan kedua belah pihak.
4. Dalam hal Bank menerima barang dengan kualitas lebih rendah
maka Bank tidak diperkenankan untuk meminta potongan harga
(discount), kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak.
III.5.Pembiayaan …..
III.5. Pembiayaan atas dasar Akad Istishna'
1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas
dasar Akad Istishna' berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana maupun
penjual barang untuk kegiatan transaksi Istishna’ dengan
nasabah sebagai pihak pembeli barang;
b. Barang dalam transaksi Istishna’ adalah setiap keluaran (output)
yang antara lain berasal dari proses manufacturing atau
construction yang melibatkan tenaga kerja, dengan spesifikasi,
kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang jelas
serta disepakati oleh kedua belah pihak;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk Pembiayaan atas dasar Istishna’, serta hak dan
kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan
penggunaan data pribadi nasabah;
d. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan
atas dasar Istishna' dari nasabah yang antara lain meliputi
aspek personal berupa analisa atas karakter (Character)
dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas
usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan/atau prospek usaha
(Condition);
e. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar
Istishna’; dan
f. Pembayaran pembelian barang tidak boleh dalam bentuk
pembebasan utang atau dalam bentuk pemberian piutang.
2. Bank …..
2. Bank tidak dapat meminta tambahan harga apabila nasabah
menerima barang dengan kualitas yang lebih tinggi, kecuali
terdapat kesepakatan kedua belah pihak.
3. Bank tidak harus memberikan potongan harga (discount) apabila
nasabah menerima barang dengan kualitas yang lebih rendah,
kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak.
III.6. Pembiayaan atas Dasar Akad Ijarah
1. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas
dasar Akad Ijarah berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a. Bank bertindak sebagai pemilik dan/atau pihak yang
mempunyai hak penguasaan atas obyek sewa baik berupa
barang atau jasa, yang menyewakan obyek sewa dimaksud
kepada nasabah sesuai kesepakatan;
b. Barang dalam transaksi Ijarah adalah barang bergerak atau
tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewa;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk Pembiayaan atas dasar Ijarah, serta hak dan kewajiban
nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan
data pribadi nasabah;
d. Bank wajib melakukan analisis atas rencana Pembiayaan atas
dasar Ijarah kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek
personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau
aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha
(Capacity), keuangan (Capital), dan/atau prospek usaha
(Condition);
e. Obyek …..
e. Obyek sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara
spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai
sewa dan jangka waktunya;
f. Bank sebagai pihak yang menyediakan obyek sewa, wajib
menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas obyek sewa
serta ketepatan waktu penyediaan obyek sewa sesuai
kesepakatan;
g. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan
penyediaan obyek sewa yang dipesan nasabah;
h. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar
Ijarah;
i. Pembayaran sewa dapat dilakukan baik dengan angsuran
maupun sekaligus;
j. Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang
maupun dalam bentuk pembebasan utang;
k. Bank dapat meminta nasabah untuk menjaga keutuhan obyek
sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan obyek sewa sesuai
dengan kesepakatan dimana uraian biaya pemeliharaan yang
bersifat material dan struktural harus dituangkan dalam Akad;
dan
l. Bank tidak dapat meminta nasabah untuk bertanggungjawab
atas kerusakan obyek sewa yang terjadi bukan karena
pelanggaran Akad atau kelalaian nasabah.
2. Dalam hal Pembiayaan Multijasa dimana pembiayaan diberikan
oleh Bank kepada nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu
jasa, menggunakan Akad Ijarah maka :
a. Ketentuan yang berlaku dalam Pembiayaan atas dasar Ijarah
sebagaimana dimaksud pada angka 1 kecuali huruf k dan l,
berlaku …..
berlaku pula pada Pembiayaan Multijasa dengan menggunakan
Akad Ijarah;
b. Bank memperoleh sewa atas transaksi multijasa berupa imbalan
(ujrah);
c. Besarnya imbalan (ujrah) harus disepakati di awal dan
dinyatakan dalam bentuk nominal yang tetap.
III.7. Pembiayaan Atas Dasar Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik
Disamping ketentuan sebagaimana dimaksud pada Bab III.6. angka 1,
untuk kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar
Ijarah Muntahiya Bittamlik berlaku pula persyaratan paling kurang
sebagai berikut :
a. Bank sebagai pemilik obyek sewa juga bertindak sebagai pemberi
janji (wa’ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan
dan/atau hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah penyewa
sesuai kesepakatan;
b. Bank hanya dapat memberikan janji (wa’ad) untuk mengalihkan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa setelah obyek
sewa secara prinsip dimiliki oleh Bank;
c. Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi
pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek sewa
dalam bentuk tertulis;
d. Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan/atau hak penguasaan
obyek sewa dapat dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai
oleh Bank dan nasabah penyewa; dan
e. Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan
kepemilikan dan/atau hak penguasaan objek sewa, maka Bank
wajib mengalihkan kepemilikan dan/atau hak penguasaan obyek
sewa kepada nasabah yang dilakukan pada saat tertentu dalam
periode …..
periode atau pada akhir periode Pembiayaan atas dasar Akad
Ijarah Muntahiya Bittamlik.
III.8. Pembiayaan atas dasar Akad Qardh
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan atas dasar
Akad Qardh berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan pinjaman
(Qardh) kepada nasabah berdasarkan kesepakatan;
b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
produk Pembiayaan atas dasar Qardh, serta hak dan kewajiban
nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan
data pribadi nasabah;
c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana Pembiayaan atas dasar
Qardh kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal
berupa analisa atas karakter (Character);
d. Bank dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian
pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang sesuai Akad;
e. Bank dilarang untuk membebankan biaya apapun atas penyaluran
Pembiayaan atas dasar Qardh, kecuali biaya administrasi dalam
batas kewajaran;
f. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk
perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Qardh;
g. Pengembalian jumlah Pembiayaan atas dasar Qardh, harus
dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati; dan
h. Dalam hal nasabah digolongkan mampu namun tidak
mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu
yang telah disepakati, maka Bank dapat memberikan sanksi sesuai
syariah dalam rangka pembinaan nasabah.
IV. PELAKSANAAN …..
IV. PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN
PELAYANAN JASA
IV.1. Jasa Pemberian Jaminan atas Dasar Akad Kafalah
1. Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk jasa pemberian
jaminan atas dasar Akad Kafalah, berlaku persyaratan paling
kurang sebagai berikut :
a. Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan
kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga;
b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
jasa pemberian jaminan atas dasar Kafalah, serta hak dan
kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan
penggunaan data pribadi nasabah;
c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana jasa pemberian
jaminan atas dasar Kafalah kepada nasabah yang antara lain
meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter
(Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa
kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan prospek
usaha (Condition);
d. Obyek penjaminan harus :
i. Merupakan kewajiban pihak/orang yang meminta jaminan;
ii. Jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya;
iii. Tidak bertentangan dengan syariah (tidak diharamkan).
e. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian tertulis berupa Akad pemberian jaminan atas
dasar Kafalah;
f. Bank dapat memperoleh imbalan atau fee yang disepakati di
awal serta dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap;
g. Bank …..
g. Bank dapat meminta jaminan berupa Cash Collateral atau
bentuk jaminan lainnya atas nilai penjaminan; dan
h. Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban kepada
pihak ketiga, maka Bank melakukan pemenuhan kewajiban
nasabah kepada pihak ketiga dengan memberikan dana talangan
sebagai Pembiayaan atas dasar Akad Qardh yang harus
diselesaikan oleh nasabah.
2. Ketentuan yang berlaku pada jasa pemberian jaminan atas dasar
Akad Kafalah sebagaimana dimaksud pada angka 1, berlaku pula
pada Pembiayaan Multijasa dengan menggunakan Akad Kafalah.
IV.2. Pemberian Jasa Pengalihan Utang atas Dasar Akad Hawalah
1. Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa
pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah terdiri dari :
a. Hawalah Mutlaqah yaitu transaksi yang berfungsi untuk
pengalihan utang para pihak yang menimbulkan adanya dana
keluar (cash out) Bank, dan
b. Hawalah Muqayyadah yaitu transaksi yang berfungsi untuk
melakukan set-off utang piutang diantara 3 (tiga) pihak yang
memiliki hubungan muamalat (utang piutang) melalui transaksi
pengalihan utang, serta tidak menimbulkan adanya dana keluar
(cash out).
2. Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa
pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah berlaku
persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang
atas utang nasabah kepada pihak ketiga;
b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik
pemberian jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah,
serta…..
serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi
produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
c. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa
pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah bagi nasabah yang
antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter
(Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa
kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital), dan prospek
usaha (Condition);
d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian tertulis berupa Akad pengalihan utang atas
dasar Hawalah;
e. Nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal;
f. Bank menyediakan dana talangan (Qardh) sebesar nilai
pengalihan utang nasabah kepada pihak ketiga;
g. Bank dapat meminta imbalan (ujrah) atau fee dalam batas
kewajaran kepada nasabah; dan
h. Bank dapat mengenakan biaya administrasi dalam batas
kewajaran kepada nasabah.
3. Dalam kegiatan pelayanan jasa dalam bentuk pemberian jasa
pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah Muqayyadah berlaku
persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Ketentuan kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian
jasa pengalihan utang atas dasar Akad Hawalah Mutlaqah
sebagaimana dimaksud pada Angka 2, kecuali huruf a, huruf f
dan huruf g;
b. Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang
atas utang nasabah kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya
Bank memiliki utang kepada nasabah; dan
c. Jumlah …..
c. Jumlah utang nasabah kepada pihak ketiga yang bisa diambil
alih oleh Bank, paling besar sebanyak nilai utang Bank kepada
nasabah.
IV.3. Jasa Pertukaran Mata Uang atas Dasar Akad Sharf
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pemberian jasa
pertukaran mata uang atas dasar Akad Sharf, berlaku persyaratan
paling kurang sebagai berikut :
a. Bank dapat bertindak baik sebagai pihak yang menerima penukaran
maupun pihak yang menukarkan uang dari atau kepada nasabah;
b. Transaksi pertukaran uang untuk mata uang berlainan jenis (valuta
asing) hanya dapat dilakukan dalam bentuk transaksi spot; dan
c. Dalam hal transaksi pertukaran uang dilakukan terhadap mata uang
berlainan jenis dalam kegiatan money changer, maka transaksi
harus dilakukan secara tunai dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dilakukan.
V. KETENTUAN GANTI RUGI (Ta’widh)
Ketentuan Ganti Rugi (Ta'widh) dalam Pembiayaan dan Penghimpunan
Dana adalah sebagai berikut :
a. Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) kepada nasabah baik
karena kesengajaan maupun kelalaian nasabah dalam melakukan sesuatu
yang menyimpang dari perjanjian pembiayaan dan penghimpunan dana
yang mengakibatkan kerugian dan/atau tambahan beban pada Bank;
b. Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah sebesar
nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya Bank untuk
memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan potensi kerugian yang
diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang
hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah);
c. Kerugian…..
c. Kerugian riil sebagaimana dimaksud dalam huruf b adalah biaya-biaya
riil dan/atau tambahan beban yang dikeluarkan oleh Bank dalam rangka
penagihan hak Bank atas nasabah dan/atau dalam rangka pengelolaan
rekening penghimpunan dana nasabah.
d. Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Pembiayaan atas dasar Ijarah
dan Pembiayaan yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam,
Istishna’ serta Murabahah, yang pembayarannya dilakukan secara
tangguh;
e. Ganti rugi dalam Pembiayaan atas dasar Mudharabah dan Musyarakah,
hanya boleh dikenakan oleh Bank sebagai pemilik dana (shahibul maal)
apabila bagian keuntungan Bank tidak dibayar oleh nasabah sebagai
pengelola dana (mudharib);
f. Klausul kemungkinan pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas
dalam perjanjian Pembiayaan dan dipahami oleh nasabah.
VI. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 17 Maret 2008
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SITI CH. FADJRIJAH
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/14/DPbS|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah </reg_title>
<set_date> 17 Maret 2008 </set_date>
<effective_date> 17 Maret 2008 </effective_date>
<related_reg> '9/19/PBI/2007' </related_reg>
|
No. 13 /30 /DPNP
Jakarta, 16 Desember 2011
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan
Bank Umum serta Laporan Tertentu yang
Disampaikan kepada Bank Indonesia
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/22/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Transparansi
Kondisi Keuangan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 4159) serta dalam rangka sinkronisasi ketentuan
Bank Indonesia dengan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia
yang telah diselaraskan dengan International Financial Reporting
Standards (IFRS), perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum
serta Laporan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia
sebagaimana . . .
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 12/11/DPNP tanggal 31 Maret 2010, sebagai
berikut:
1. Seluruh lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan
Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 12/11/DPNP tanggal 31 Maret 2010 diubah
menjadi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1, Lampiran 1a,
Lampiran 2, Lampiran 2a, Lampiran 3, Lampiran 3a, Lampiran 4,
Lampiran 5, Lampiran 5a, Lampiran 6, Lampiran 6a, Lampiran 7,
Lampiran 8, Lampiran 8a, Lampiran 9, Lampiran 9a, Lampiran 10,
Lampiran 11, Lampiran 12, Lampiran 13, dan Lampiran 14, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
2. Ketentuan dalam butir II.2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
II.2. Cakupan
a. Laporan yang wajib disajikan dalam Laporan Keuangan
Publikasi Triwulanan paling kurang terdiri atas:
1) Posisi Keuangan/Neraca;
2) Laba Rugi Komprehensif;
3) Komitmen dan Kontinjensi;
4) Transaksi Spot dan Derivatif;
5) Kualitas Aset Produktif dan Informasi lainnya;
6) Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum; dan
7) Rasio Keuangan.
Format . . .
Format laporan sebagaimana butir II.2.a.1) sampai dengan
butir II.2.a.7) masing-masing menggunakan format
sebagaimana dimaksud pada Lampiran 1, Lampiran 2,
Lampiran 3, Lampiran 4, Lampiran 5, Lampiran 6, dan
Lampiran 7.
b. Dalam penyusunan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank wajib
berpedoman pada:
1) Pedoman Penyusunan Laporan Posisi Keuangan/Neraca;
2) Pedoman Penyusunan Laporan Laba Rugi Komprehensif;
3) Pedoman Penyusunan Laporan Komitmen dan
Kontinjensi;
4) Pedoman Penyusunan Laporan Transaksi Spot dan
Derivatif;
5) Pedoman Penyusunan Laporan Kualitas Aset Produktif
dan Informasi Lainnya;
6) Pedoman Perhitungan Modal; dan
7) Pedoman Perhitungan Rasio Keuangan.
Pedoman penyusunan laporan sebagaimana butir II.2.b.1)
sampai dengan butir II.2.b.7) masing-masing adalah
sebagaimana pada Lampiran 8, Lampiran 9, Lampiran 10,
Lampiran 11, Lampiran 12, Lampiran 13, dan Lampiran 14.
Penyajian Laporan Keuangan Publikasi dengan menggunakan
format laporan sebagaimana dimaksud pada butir II.2.a dilakukan
sejak laporan posisi bulan Desember 2011.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16
Desember 2011.
Agar . . .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
WIMBOH SANTOSO
DIREKTUR PENELITIAN DAN
PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 13/30/DPNP|SE-BI/2011 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia </reg_title>
<set_date> 16 Desember 2011 </set_date>
<effective_date> 16 Desember 2011 </effective_date>
<changed_reg> '3/30/DPNP|SE-BI/2001' </changed_reg>
<extension_of> '12/11/DPNP|SE-BI/2010' </extension_of>
<related_reg> '3/22/PBI/2001', '3/30/DPNP|SE-BI/2001', '12/11/DPNP|SE-BI/2010' </related_reg>
|
No.10/38/DPM
Jakarta, 14 November 2008
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
Perihal : Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum
Dalam rangka pemberian fasilitas likuiditas intrahari untuk kelancaran
transaksi Bank dalam Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement (BI-
RTGS) dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/29/PBI/2008 tanggal 14 November 2008
tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4922), dipandang perlu untuk mengatur ketentuan
pelaksanaan pemberian fasilitas likuiditas intrahari sebagai berikut:
I. PENYEDIAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI (FLI)
1. Bank Indonesia menyediakan FLI kepada Bank yang meliputi FLI-RTGS
dan/atau FLI-Kliring.
2. Bank dapat menggunakan FLI jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia
berupa SBI dan/atau SUN;
b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta
Sistem BI-RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank peserta kliring;
dan
c. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS.
3. Bank ...
2
3. Bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan
akan menggunakan FLI harus menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. Perjanjian Penggunaan FLI sebagaimana contoh dalam Lampiran-1
sebagai dasar bagi Bank untuk menggunakan FLI sebanyak 2 (dua)
eksemplar sebagai berikut:
1) 1 (satu) eksemplar dibubuhi meterai cukup dan ditandatangani oleh
Direksi atau pejabat Bank yang berwenang sesuai dengan
Anggaran Dasar Bank; dan
2) 1 (satu) eksemplar dibubuhi meterai cukup untuk ditandatangani
oleh Bank Indonesia.
b. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia :
1) fotokopi anggaran dasar Bank atau perubahan terakhir yang
dilegalisir Bank, yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili
Bank jika penandatangan perjanjian dilakukan oleh direksi;
2) fotokopi anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan
surat kuasa dari direksi kepada pejabat yang menandatangani
perjanjian jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh
direksi;
3) fotokopi peraturan daerah bagi Bank yang berbadan hukum
perusahaan daerah yang memuat kewenangan direksi untuk
mewakili Bank jika penandatanganan perjanjian dilakukan oleh
direksi; atau
4) fotokopi peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan
surat kuasa dari direksi kepada pejabat yang menandatangani
perjanjian jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh
direksi.
c. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri :
1) fotokopi ...
3
1) fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusatnya yang
memuat kewenangan pejabat untuk mewakili Bank jika
penandatangan perjanjian dilakukan oleh Chief Executive Officer
(CEO); atau
2) fotokopi surat kuasa sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan surat
kuasa dari CEO kepada pejabat yang menandatangani perjanjian
jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh CEO.
d. Fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau paspor dari pejabat Bank yang berwenang untuk
menandatangani perjanjian sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan
huruf c.
4. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 3 disampaikan dengan surat
pengantar kepada Bank Indonesia, Biro Operasi Moneter - Direktorat
Pengelolaan Moneter (BOpM-DPM), Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta
10350.
5. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan atau
penolakan permohonan FLI kepada Bank paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 3 diterima oleh
Bank Indonesia secara lengkap.
6. Dalam hal permohonan FLI disetujui, Bank Indonesia membuka akses bagi
Bank untuk menggunakan FLI melalui BI-SSSS.
7. Dalam hal Bank telah memiliki akses FLI sebagaimana dimaksud pada
angka 6 dan di kemudian hari Bank yang bersangkutan tidak lagi
memenuhi persyaratan FLI maka Bank Indonesia menghentikan akses
penggunaan FLI melalui BI-SSSS.
II. TRANSAKSI ...
4
II. TRANSAKSI REPO DALAM RANGKA FLI
1. Dalam rangka memperoleh FLI, Bank melakukan transaksi repo dengan
menggunakan surat berharga berupa SBI dan/atau SUN milik Bank yang
bersangkutan yang tercatat dalam rekening perdagangan dalam BI-SSSS.
2. Pelaksanaan transaksi repo dengan menggunakan SBI dan/atau SUN
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Transaksi repo dalam rangka FLI-RTGS
1) Bank harus memindahkan SBI dan/atau SUN dari rekening
perdagangan ke rekening FLI-RTGS pada BI-SSSS.
2) Pemindahan SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada angka
1) dilakukan pada saat Bank membutuhkan FLI-RTGS (self
assessment) selama jam operasional BI-RTGS sampai dengan cut
off warning sistem BI-RTGS.
3) SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak
dapat dipindahkan ke rekening perdagangan selama Bank
menggunakan FLI-RTGS.
4) Bank dapat memindahkan kembali SBI dan/atau SUN sebagaimana
dimaksud pada angka 1) ke rekening perdagangan setelah Bank
menyelesaikan FLI-RTGS.
b. Transaksi repo dalam rangka FLI-Kliring
1) Bank harus memindahkan SBI dan/atau SUN dari rekening
perdagangan ke rekening FLI-Kliring dalam rangka pemenuhan
kewajiban penyediaan pendanaan awal (prefund).
2) Pemindahan SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada angka
1) dilakukan pada awal hari sebelum Kliring Debet dimulai sesuai
ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI).
3) Nilai ...
5
3) Nilai nominal SBI dan/atau SUN sebagaimana dimaksud pada
angka 1) yang dipindahkan sesuai dengan kebutuhan untuk
memenuhi kewajiban penyediaan pendanaan awal (prefund).
4) Bank dapat memindahkan kembali SBI dan/atau SUN sebagaimana
dimaksud pada angka 1) ke rekening perdagangan sesuai ketentuan
Bank Indonesia mengenai SKNBI.
3. Pelaksanaan transaksi repo dengan menggunakan SBI dan/atau SUN dalam
rangka FLI melalui BI-SSSS dilakukan dengan tata cara sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS.
III. PENGGUNAAN FLI
1. Penggunaan FLI-RTGS
a. Bank dapat menggunakan FLI-RTGS sejak Sistem BI-RTGS dibuka
sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS sepanjang Bank telah
memindahkan SBI dan/atau SUN ke rekening FLI-RTGS sebagaimana
dimaksud pada butir II.2.a.
b. Penggunaan FLI-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo
rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk:
1) penyelesaian transaksi keluar (outgoing transaction) sistem BI-
RTGS; dan
2) penyelesaian akhir Kliring Debet, sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai SKNBI.
2. Penggunaan FLI-Kliring
Penggunaan FLI-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo
rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk
memenuhi kewajiban Bank dalam penyelesaian akhir Kliring Debet
sepanjang Bank telah memindahkan surat berharga ke rekening FLI-
Kliring sebagaimana dimaksud pada butir II.2.b.
3. Mekanisme ...
6
3. Mekanisme penggunaan FLI melalui BI-SSSS dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS.
IV. PENYELESAIAN FLI
1. Bank wajib menyelesaikan FLI pada hari penggunaan FLI (T+0) paling
lambat sampai dengan pre cut-off time Sistem BI-RTGS.
2. Penyelesaian FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap
terdapat transaksi masuk (incoming transaction) ke rekening giro Rupiah
Bank di Bank Indonesia.
3. Mekanisme penyelesaian FLI melalui BI-SSSS dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS.
V. BIAYA PENGGUNAAN FLI
1. Bank Indonesia mengenakan biaya atas penggunaan FLI yang dihitung
sebagai berikut :
Nominal Penggunaan FLI x [t / (10,5 jam x 60 menit)] x i x [1/360 ]
Keterangan:
t
i
= waktu penggunaan FLI
= suku bunga rata-rata tertimbang PUAB Rupiah overnight
pagi yang terjadi pada hari penggunaan FLI (T+0).
10,5 jam = jangka waktu dari mulai dibukanya jam operasional Sistem
BI-RTGS (06.30 WIB) sampai dengan cut off warning
Sistem BI-RTGS (17.00 WIB).
2. Biaya atas penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung
dengan cara sebagai berikut:
a. Untuk penggunaan FLI dalam 1 (satu) jam pertama, biaya atas
penggunaan FLI dihitung berdasarkan akumulasi nilai nominal FLI
yang ...
7
yang digunakan Bank (extend) dengan waktu penggunaan dibulatkan
menjadi 1 (satu) jam.
b. Untuk penggunaan FLI setelah 1 (satu) jam pertama sebagaimana
dimaksud pada huruf a, biaya atas penggunaan FLI dihitung sesuai
dengan posisi (outstanding) nominal FLI yang digunakan dengan waktu
penggunaan dibulatkan ke atas dalam hitungan menit terdekat.
3. Contoh perhitungan biaya atas penggunaan FLI sebagaimana dimaksud
pada angka 2 dapat dilihat dalam Lampiran-2.
4. Pembebanan biaya atas penggunaan FLI dilakukan pada 1 (satu) hari kerja
setelah penggunaan FLI.
VI. PERLAKUAN FLI YANG TIDAK TERSELESAIKAN
1. Dalam hal Bank tidak menyelesaikan FLI sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud pada butir IV.1 maka terhadap nilai FLI yang tidak
diselesaikan diberlakukan sebagai transaksi repo dengan Bank Indonesia
dengan jangka waktu 1 (satu) hari (overnight).
2. Dengan pengalihan FLI menjadi transaksi repo dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka Bank tunduk pada ketentuan
Bank Indonesia mengenai transaksi repo dengan Bank Indonesia di pasar
sekunder yang berlaku.
VII. KETENTUAN PERALIHAN
1. Bank yang telah menandatangani Perjanjian Penggunaan FLI dan
Pengagunan sebelum berlakunya Surat Edaran ini harus mengganti
Perjanjian Penggunaan FLI sebagaimana terlampir dalam Surat Edaran ini.
2. Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum
menerapkan SKNBI dapat menggunakan FLI-RTGS untuk penyelesaian
akhir kliring yang terjadi sebelum cut off warning Sistem BI-RTGS.
VIII. PENUTUP ...
8
VIII. PENUTUP
Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 7/34/DPM tanggal 3 Agustus 2005 perihal Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/46/DPM
tanggal 27 September 2005 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 7/34/DPM tanggal 3 Agustus 2005 perihal Fasilitas Likuiditas Intrahari
Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 14 November
2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/38/DPM|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum </reg_title>
<set_date> 14 November 2008 </set_date>
<effective_date> 14 November 2008 </effective_date>
<replaced_reg> '7/34/DPM|SE-BI/2005', '7/46/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '10/29/PBI/2008' </related_reg>
|
No. 6/16 /DPM
Jakarta, 31 Maret 2004
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal
: Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang
dijamin Pemerintah
Sehubungan dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan atas Simpanan Pihak
Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 23, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4082) serta memperhatikan Surat Badan Penyehatan Perbankan
Nasional kepada Bank Indonesia Nomor PROG-2345/BPPN/0700 tanggal 28
Juli 2000 perihal Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang
dijamin oleh Pemerintah, maka dipandang perlu untuk melakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai marjin suku bunga menjadi
sebagai berikut:
1. Marjin Simpanan Pihak Ketiga
Jenis
Deposito
Jangka waktu
1 bulan
3 bulan
6 bulan
12 bulan
24 bulan
dalam Rupiah
(basis point)
24 (dua puluh empat)
25 (dua puluh lima)
25 (dua puluh lima)
27 (dua puluh tujuh)
22 (dua puluh dua)
dalam valuta asing
(basis point)
6 (enam)
6 (enam)
6 (enam)
6 (enam)
11 (sebelas)
di atas …
2
di atas rata-rata suku bunga deposito berjangka dari bank-bank anggota
Jakarta Inter Bank Offered Rates (JIBOR) yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
2. Marjin Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
a. Dalam Rupiah ditetapkan sebesar 77 (tujuh puluh tujuh) basis point di
atas rata-rata suku bunga PUAB dari bank-bank anggota JIBOR yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Dalam valuta asing ditetapkan sebesar 1 (satu) basis point di bawah rata-
rata suku bunga PUAB dari bank-bank anggota JIBOR yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 6/12/DPNP tanggal 26 Februari 2004 perihal Penetapan
Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang Dijamin Pemerintah
dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 1 April 2004.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Ttd.
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 6/16/DPM|SE-BI/2004 </reg_id>
<reg_title> Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2004 </set_date>
<effective_date> 1 April 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '6/12/DPNP|SE-BI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> 'PROG-2345/BPPN/0700|SRT-BPPN/2000', '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '3/5/PBI/2001' </related_reg>
|
No. 2/ 12 /DPNP
Jakarta, 12 Juni 2000
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal :
Penilaian Aktiva Produktif dalam Penghitungan Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko
I. PENJELASAN UMUM
Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/146/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, terdapat perubahan pengaturan
mengenai komponen modal pelengkap yang bersumber dari Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Perubahan dalam ketentuan
tersebut menyatakan bahwa komponen modal pelengkap yang berasal dari
PPAP hanya cadangan umum PPAP. Sedangkan cadangan khusus PPAP
dikeluarkan dari komponen modal pelengkap.
Selain itu, berdasarkan standar internasional sebagaimana ditetapkan oleh
Bank for International Settlements (BIS), cadangan khusus PPAP yang
dikeluarkan dari komponen modal pelengkap akan diperhitungkan sebagai
faktor pengurang pada nilai aktiva produktif yang bersangkutan dalam
penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).
Sehubungan …
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan perbankan yang ada.
Penyesuaian terhadap ketentuan tersebut diharapkan dapat memberi ruang
gerak yang lebih luas bagi kegiatan usaha perbankan, khususnya
penyaluran kredit perbankan.
II. PENGHITUNGAN AKTIVA TERTIMBANG MENURUT RISIKO
1. Aktiva Produktif dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus, Kurang
Lancar, Diragukan atau Macet dalam penghitungan ATMR dinilai
sebesar nilai buku. Nilai buku adalah nilai Aktiva Produktif setelah
dikurangi dengan cadangan khusus PPAP yang dibentuk. Khusus
terhadap kredit yang direstrukturisasi, penghitungan nilai buku
tersebut dilakukan setelah memperhitungkan cadangan
restrukturisasi kredit.
2. Ketentuan mengenai Aktiva Produktif dan PPAP didasarkan pada
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 tentang Pembentukan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif .
3. Dalam penghitungan ATMR, bobot risiko Aktiva Produktif bank
yang memperoleh jaminan dari Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) disetarakan dengan bobot risiko Aktiva Produktif
yang dijamin oleh Pemerintah Pusat,
yaitu dengan bobot risiko
sebesar 0% (nol perseratus) sebesar bagian yang dijamin oleh BPPN.
4. Agar …
4. Agar dapat disetarakan dengan jaminan dari Pemerintah Pusat maka
jaminan dari BPPN sebagaimana dimaksud dalam butir 3, wajib
memenuhi persyaratan :
a. bersifat irrevocable yaitu jaminan dengan kondisi tidak dapat
diubah dan atau ditarik kembali atau dibatalkan tanpa persetujuan
Bank dan BPPN;
b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
diajukannya klaim; dan
c. jangka waktu jaminan sekurang-kurangnya sama dengan jangka
waktu aktiva produktif.
III. PELAPORAN
1. Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia laporan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Surat Edaran ini setiap
bulan selambat-lambatnya tanggal 24 bulan berikutnya. Apabila
tanggal 24 jatuh pada hari Sabtu/Minggu/Libur, maka laporan
disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan alamat :
a. Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta
10010 sesuai dengan Direktorat yang mengawasi bank yang
bersangkutan bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
Bank Indonesia Jakarta;
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat
di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia.
3. Dalam …
3. Dalam hal bank tidak menyampaikan laporan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam butir 1, maka penghitungan ATMR
akan dilakukan berdasarkan data yang tersedia dalam Laporan
Bulanan Bank Umum.
4. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 hanya
berlaku sampai dengan ketentuan penyempurnaan Laporan Bulanan
Bank Umum diberlakukan.
IV. PENUTUP
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini, maka penghitungan ATMR
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/1/BPPP
tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
bagi Bank Umum wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Surat
Edaran ini.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 12 Juni 2000
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
SUBARJO JOYOSUMARTO
Deputi Gubernur
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 2/12/DPNP|SE-BI/2000 </reg_id>
<reg_title> Penilaian Aktiva Produktif dalam Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko </reg_title>
<set_date> 12 Juni 2000 </set_date>
<effective_date> 12 Juni 2000 </effective_date>
<related_reg> '31/146/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '26/20/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' </related_reg>
|
No. 14/ 3 /DPM
Jakarta, 4 Januari 2012
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM DAN PERUSAHAAN PIALANG
PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING
Perihal : Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip
Syariah Antarbank
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar
Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4715) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/xx1x/PBI/2012
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 2 ,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5270) dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/xx1x /DPM tanggal 4
Januari 2012 perihal Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip
Syariah, perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Sertifikat
Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank dalam
suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut :
I. UMUM …
2
I. UMUM
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Bank Asing adalah bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kantor bank dari
bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
4. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang
selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah Perusahaan
Pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah
dan valuta asing.
5. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan
jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik
dalam rupiah maupun valuta asing.
6. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan
prinsip syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang
digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS.
7. Bursa adalah PT Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures
Exchange) yang telah memperoleh persetujuan dari Badan
Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) untuk
mengadakan kegiatan pasar komoditi syariah.
8. Komoditi di Bursa adalah komoditi yang dipastikan
ketersediaannya untuk ditransaksikan di pasar komoditi
syariah …
3
syariah sebagaimana ditetapkan oleh Bursa atas Persetujuan
Dewan Pengawas Syariah, kecuali indeks dan valuta asing.
9. Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah
Antarbank yang selanjutnya disebut SiKA adalah sertifikat yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah oleh BUS atau UUS
dalam transaksi PUAS yang merupakan bukti jual beli dengan
pembayaran tangguh atas perdagangan Komoditi di Bursa.
10. Peserta Pedagang Komoditi adalah peserta yang menyediakan
persediaan (stock) komoditi di pasar komoditi syariah.
11. Peserta Komersial adalah BUS, UUS, atau Bank Asing yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang
membeli Komoditi di Bursa.
12. Konsumen Komoditi adalah BUS atau UUS yang membeli
Komoditi di Bursa dari Peserta Komersial.
13. Murabahah adalah penjualan suatu barang (komoditi) dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba.
14. Ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan
imbalan tertentu (‘iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah)
yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
15. Surat Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT) adalah
tanda bukti penguasaan Komoditi di Bursa yang
diperdagangkan dalam sistem perdagangan pasar komoditi
syariah secara elektronik.
16. Qabdh adalah penguasaan Komoditi di Bursa oleh pembeli yang
menyebabkan ia berhak untuk melakukan tindakan hukum
(tasharruf) terhadap komoditi tersebut, seperti menjual,
menerima manfaat atau menanggung risikonya.
17. Qabdh …
4
17. Qabdh Hukmi adalah penguasaan Komoditi di Bursa oleh
pembeli secara dokumen kepemilikan komoditi yang dibelinya
baik dalam bentuk catatan elektronik maupun non-elektronik.
18. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut
Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank
Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar
uang dan pengumuman dari Bank Indonesia.
II. KARAKTERISTIK DAN PERSYARATAN SiKA
SiKA mempunyai karakteristik dan persyaratan sebagai berikut :
1. Diterbitkan atas dasar transaksi jual beli Komoditi di Bursa
dengan menggunakan akad Murabahah.
2. Diterbitkan dalam rupiah.
3. Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat (scripless).
4. Berjangka waktu satu hari (overnight) sampai dengan 365 (tiga
ratus enam puluh lima) hari.
5. Tidak dapat dialihkan kepemilikannya.
6. Diterbitkan berdasarkan perdagangan Komoditi di Bursa.
7. Diterbitkan paling banyak sebesar nilai perdagangan Komoditi
di Bursa yang menjadi dasar penerbitannya.
8. Komoditi di Bursa yang menjadi dasar penerbitan SiKA harus
halal dan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
9. Perdagangan Komoditi di Bursa yang menjadi dasar penerbitan
SiKA harus sesuai dengan peraturan perdagangan di Bursa dan
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
III. MEKANISME PENERBITAN DAN TRANSAKSI SiKA
1. SiKA diterbitkan oleh BUS atau UUS selaku Konsumen
Komoditi.
2. SiKA …
5
2. SiKA dapat ditransaksikan oleh Konsumen Komoditi dengan
BUS, UUS, atau Bank Asing yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah selaku Peserta Komersial.
3. Transaksi SiKA dapat dilakukan secara langsung dan/atau
melalui Perusahaan Pialang.
4. Dalam hal transaksi SiKA dilakukan melalui Perusahaan
Pialang sebagaimana dimaksud pada angka 3, maka
penggunaan Perusahaan Pialang dimaksud menggunakan akad
Ju’alah.
5. SiKA memuat informasi antara lain :
a. nilai nominal perdagangan Komoditi di Bursa sesuai Surat
Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT);
b. marjin perdagangan Komoditi di Bursa; dan
c. jangka waktu pembayaran tangguh oleh Konsumen
Komoditi.
6. Mekanisme Transaksi SiKA
a. Konsumen Komoditi selaku pembeli memesan kepada
Peserta Komersial untuk melakukan pembelian Komoditi di
Bursa dan berjanji (al wa’d) akan melakukan pembelian
komoditi dimaksud.
b. Peserta Komersial membeli Komoditi di Bursa dari Peserta
Pedagang Komoditi dengan pembayaran tunai (al bai’)
sebesar nilai nominal komoditi.
c. Peserta Komersial menerima dokumen kepemilikan yang
berupa SPAKT.
d. Peserta Komersial menjual komoditi kepada Konsumen
Komoditi dengan akad Murabahah.
e. Konsumen Komoditi membayar kepada Peserta Komersial
secara tangguh atau angsuran sesuai kesepakatan dalam
akad Murabahah dan menerbitkan SiKA.
f. Konsumen …
6
f. Konsumen Komoditi mendapat jaminan untuk menerima
komoditi dalam bentuk SPAKT dari Peserta Komersial
(Qabdh Hukmi).
g. Konsumen Komoditi menjual komoditi melalui Bursa kepada
Peserta Pedagang Komoditi secara tunai dengan akad al bai’
sebesar nilai nominal komoditi sebagaimana tercantum di
dalam SPAKT.
h. Konsumen Komoditi menyerahkan komoditi dengan
mengalihkan SPAKT yang diterima dari Peserta Komersial
sebagaimana dimaksud pada huruf f.
i. Konsumen Komoditi menerima pembayaran tunai dari
Peserta Pedagang Komoditi.
7. Peserta Pedagang Komoditi yang melakukan transaksi dengan
Peserta Komersial dan Konsumen Komoditi tidak boleh
merupakan pihak yang sama.
IV. PENYELESAIAN TRANSAKSI
1. Pada saat pembelian Komoditi di Bursa, Peserta Komersial
melakukan transfer dana kepada Peserta Pedagang Komoditi
sebesar nilai nominal komoditi dan memperoleh SPAKT dari
Peserta Pedagang Komoditi.
2. Pada saat SiKA diterbitkan, Peserta Komersial menyerahkan
SPAKT kepada Konsumen Komoditi.
3. Pada saat penjualan Komoditi di Bursa oleh Konsumen Komoditi
kepada Peserta Pedagang Komoditi, Peserta Pedagang Komoditi
melakukan transfer dana kepada Konsumen Komoditi sebesar
nilai nominal komoditi sebagaimana tercantum di dalam SPAKT.
4. Pada …
7
4. Pada saat SiKA jatuh waktu, Konsumen Komoditi melakukan
transfer dana kepada Peserta Komersial sebesar nilai nominal
komoditi ditambah marjin perdagangan Komoditi di Bursa.
V. PELAPORAN
1. BUS atau UUS yang melakukan transaksi SiKA wajib
melaporkan transaksi SiKA kepada Bank Indonesia melalui
Sistem LHBU sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Sistem LHBU.
2. Dalam hal transaksi SiKA belum dapat dilaporkan secara online
melalui Sistem LHBU, BUS dan UUS melaporkan transaksi SiKA
yang dilakukan dengan mengirimkan softcopy laporan melalui
e-mail dan hardcopy laporan melalui faksimili kepada Direktorat
Perbankan Syariah dan Direktorat Pengelolaan Moneter.
3. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 menggunakan
format laporan sebagaimana contoh pada Lampiran Surat
Edaran ini.
VI. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku
pada tanggal 4 Januari 2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar maklum.
BANK INDONESIA,
HENDAR
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
DPM
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 14/3/DPM|SE-BI/2012 </reg_id>
<reg_title> Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank </reg_title>
<set_date> 4 Januari 2012 </set_date>
<effective_date> 4 Januari 2012 </effective_date>
<related_reg> '14/1/DPM|SE-BI/2012', '9/5/PBI/2007', '14/1/PBI/2012' </related_reg>
|
No. 15/20/DKBU
Jakarta, 22 Mei 2013
SURAT EDARAN
KEPADA
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT
DI INDONESIA
Perihal : Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/51/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 145, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4580) tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/37/DKBU/2009 tanggal 31
Desember 2009 perihal Penetapan Standar Akuntansi Keuangan bagi
Bank Perkreditan Rakyat, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
12/14/DKBU/2010 tanggal 1 Juni 2010 perihal Pelaksanaan
Pedoman Akuntansi Bank Perkreditan Rakyat, serta dalam rangka
meningkatkan transparansi informasi keuangan kegiatan usaha Bank
Perkreditan Rakyat perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan
tentang Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat dalam Surat
Edaran Bank Indonesia ini sebagai berikut:
I. KETENTUAN . . .
2
I. KETENTUAN UMUM
A. Laporan Bulanan disampaikan kepada Bank Indonesia
dalam rangka pengawasan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
dan sebagai sumber penyusunan statistik perbankan untuk
kepentingan penyusunan kebijakan pengembangan BPR.
B. Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf A
disampaikan oleh BPR Pelapor yang meliputi kantor pusat
dan kantor cabang BPR.
C. Penyusunan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan
Bulanan dilakukan dengan berpedoman pada Buku
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan BPR.
II. FORMAT DAN TATA CARA PENYUSUNAN LAPORAN BULANAN
A. Format dan tata cara penyusunan Laporan Bulanan
berpedoman pada Buku Pedoman Penyusunan Laporan
Bulanan BPR sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
B. Prosedur pengoperasian aplikasi Laporan Bulanan diatur
dalam Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Berkala BPR
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
III. PERSYARATAN PENYUSUNAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN
BULANAN BPR
Persyaratan yang perlu dipenuhi dalam rangka penyusunan dan
penyampaian Laporan Bulanan adalah:
A. Komputer yang memenuhi konfigurasi perangkat keras dan
perangkat lunak sesuai Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan
Berkala . . .
3
Berkala BPR sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
B. Pegawai BPR yang ditunjuk sebagai petugas yang memiliki
kompetensi untuk menyusun dan melakukan verifikasi
Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan.
C. Pejabat atau Pegawai BPR yang ditunjuk sebagai
penanggung jawab untuk melakukan verifikasi ulang dan
menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan
Bulanan kepada Bank Indonesia.
D. Pedoman tertulis mengenai sistem dan prosedur
penyusunan dan penyampaian Laporan Bulanan dan/atau
koreksi Laporan Bulanan.
E. Sistem pengamanan yang memadai terhadap komputer,
aplikasi yang digunakan, dan data Laporan Bulanan.
F. Back up data Laporan Bulanan yang ditatausahakan dengan
baik.
IV. PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN DAN/ATAU KOREKSI
LAPORAN BULANAN
A. BPR Pelapor menyampaikan Laporan Bulanan kepada Bank
Indonesia secara on-line melalui fasilitas ekstranet Bank
Indonesia atau sarana teknologi lainnya paling lambat
tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
laporan.
B. BPR Pelapor menyampaikan koreksi Laporan Bulanan
kepada Bank Indonesia secara on-line melalui fasilitas
ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya
paling lambat tanggal 20 pada bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan laporan.
C. Dalam . . .
4
C. Dalam hal BPR Pelapor belum menyampaikan Laporan
Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana
dimaksud dalam huruf A dan huruf B, BPR Pelapor tetap
harus menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi
Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia secara on-line
sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan laporan.
Contoh:
BPR A hanya dapat menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line untuk
data bulan Juni 2013, paling lama sampai dengan akhir
bulan Juli 2013.
D. Bagi BPR Pelapor yang menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam huruf C, BPR Pelapor
tersebut tetap dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan.
E. Dalam hal BPR Pelapor tidak menyampaikan Laporan
Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan kepada Bank
Indonesia sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam huruf C maka BPR Pelapor tersebut
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau
koreksi Laporan Bulanan.
F. Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan yang
disampaikan melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam huruf C hanya dapat disampaikan secara
off-line dalam bentuk CD atau media perekam data
elektronik lainnya disertai hasil validasi, kepada Bank
Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR Pelapor.
G. Untuk . . .
5
G. Untuk mendapatkan pengecualian penyampaian Laporan
Bulanan secara on-line, BPR Pelapor menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis beserta alasannya kepada
Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR Pelapor.
H. Dalam hal BPR Pelapor merupakan kantor cabang BPR,
pemberitahuan dilakukan oleh kantor cabang BPR tersebut
kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR
dimaksud, dengan tembusan kepada kantor pusat BPR
Pelapor.
Contoh:
BPR A berkantor pusat di Surabaya memiliki kantor cabang
di Jember. Apabila kantor cabang BPR A tidak dapat
menyampaikan Laporan Bulanan secara on-line maka
pemberitahuan untuk mendapatkan pengecualian
penyampaian Laporan Bulanan secara on-line disampaikan
oleh kantor cabang BPR A kepada Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Surabaya, dengan tembusan kepada kantor pusat
BPR tersebut.
I. Dalam hal BPR Pelapor menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara off-line maka
Laporan Bulanan disampaikan dengan menggunakan
compact disk (CD) atau media perekam data elektronik
lainnya disertai hasil validasi yang telah ditandatangani oleh
penanggung jawab dan disampaikan kepada Kantor Pusat
atau Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang mewilayahi
kantor pusat BPR Pelapor.
J. Dalam hal terjadi kerusakan CD atau media perekam data
elektronik lainnya yang telah diterima oleh Bank Indonesia
secara off-line, BPR Pelapor menyampaikan ulang CD atau
media perekam data elektronik lainnya tersebut.
V. TATA CARA . . .
6
V. TATA CARA PEMENUHAN SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR
Pemenuhan sanksi kewajiban membayar kepada Bank Indonesia
dilakukan oleh kantor pusat BPR Pelapor secara tunai atau non
tunai dengan tata cara sebagai berikut:
A. Pembayaran secara tunai
1. Bagi BPR Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI
Jakarta, Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi,
menyetor kepada Departemen Pengedaran Uang c.q.
Divisi Pengelolaan Uang Keluar (PgUK); dan
2. bagi BPR Pelapor yang kantor pusatnya berkedudukan
di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
menyetor kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia
yang mewilayahi kantor pusat BPR Pelapor,
pada setiap hari kerja, waktu layanan kas, pukul 08.00
sampai dengan 12.00 waktu setempat (hari Senin sampai
dengan Kamis) atau pukul 08.00 sampai dengan 11.30
waktu setempat (hari Jumat), untuk untung rekening nomor
566.000447.XXX (sesuai sandi satuan kerja Bank Indonesia)
– “Rekening antara sehubungan dengan penerimaan sanksi
administratif BPR”.
B. Pembayaran secara non tunai
1. Kliring
Transfer ditujukan ke rekening nomor
566.000447.XXX (sesuai sandi satuan kerja Bank
Indonesia) – “Rekening antara sehubungan dengan
penerimaan sanksi administratif BPR”, dengan
mencantumkan “pembayaran sanksi kewajiban
membayar dari BPR XXX untuk Laporan Bulanan
periode XXX” pada kolom keterangan.
2. BI-RTGS . . .
7
2. BI-RTGS
Transfer ditujukan ke rekening nomor
566.000447.XXX (sesuai sandi satuan kerja Bank
Indonesia) – “Rekening antara sehubungan dengan
penerimaan sanksi administratif BPR”, dengan
mencantumkan Transaction Reference Number (TRN)
BIRBK566 dan pada kolom keterangan dicantumkan
“pembayaran sanksi kewajiban membayar dari BPR
XXX untuk Laporan Bulanan periode XXX”.
3. BPR Pelapor menyampaikan salinan bukti pembayaran
sanksi kewajiban membayar kepada Bank Indonesia .
VI. KORESPONDENSI
A. Penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan
Bulanan secara off-line, pemberitahuan tertulis untuk
memperoleh pengecualian tidak menyampaikan Laporan
Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line
dan penyampaian salinan bukti pembayaran sanksi
kewajiban membayar ditujukan kepada:
1. Departemen yang menangani mengenai pengelolaan
dan kepatuhan laporan Bank bagi BPR Pelapor yang
berkedudukan di wilayah DKI Jakarta, Banten, Bogor,
Depok, Karawang, dan Bekasi.
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia/Kantor Regional
Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat BPR
Pelapor, bagi BPR Pelapor yang berkedudukan di luar
wilayah sebagaimana dimaksud dalam angka 1.
B. Penyampaian nama petugas, penanggung jawab dan nomor
telepon serta perubahannya yang digunakan untuk
menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan
Bulanan . . .
8
Bulanan ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat
sebagaimana dimaksud dalam huruf A.
C. Pertanyaan yang berkaitan dengan aplikasi Laporan
Bulanan disampaikan kepada help desk Bank Indonesia
dengan alamat:
Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350,
telp. 021- 381 8000 (hunting),
fax. 021 – 386 6071
e-mail: helpdesk@bi.go.id.
VII. KETENTUAN PERALIHAN
A. Penyusunan dan penyampaian Laporan Bulanan dan/atau
Koreksi Laporan Bulanan untuk posisi bulan sebelum bulan
Agustus 2013 tetap berpedoman pada Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006
perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 12/15/DKBU tanggal 11 Juni 2010.
B. BPR Pelapor melakukan uji coba penyampaian Laporan
Bulanan untuk posisi bulan Juni dan Juli 2013 yang
masing-masing disampaikan paling lambat pada akhir bulan
berikutnya, dengan berpedoman pada Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
VIII. KETENTUAN PENUTUP
A. BPR Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan
Bulanan kepada Bank Indonesia sejak posisi bulan Agustus
2013 dengan berpedoman pada Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
B. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka:
1. Surat . . .
9
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR
tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan Bank
Perkreditan Rakyat; dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/15/DKBU
tanggal 11 Juni 2010 perihal Perubahan Kedua atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/7/DPBPR
tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan Bank
Perkreditan Rakyat, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
C. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
22 Mei 2013
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
ZAINAL ABIDIN
KEPALA DEPARTEMEN KREDIT,
BPR DAN UMKM
DKBU
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 15/20/DKBU|SE-BI/2013 </reg_id>
<reg_title> Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat. </reg_title>
<set_date> 22 Mei 2013 </set_date>
<effective_date> 22 Mei 2013 </effective_date>
<replaced_reg> '8/7/DPBPR|SE-BI/2006', '12/15/DKBU|SE-BI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '11/37/DKBU/2009|SE-BI/2009', '12/14/DKBU/2010|SE-BI/2010', '7/51/PBI/2005' </related_reg>
|
No. 10/49/DASP
Jakarta, 24 Desember 2008
S U R A T E D A R A N
Perihal : Perizinan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang bagi Perorangan
dan Badan Usaha Selain Bank
---------------------------------------------------------------------------
Sehubungan dengan berakhirnya masa transisi untuk pendaftaran atas
kegiatan usaha Pengiriman Uang pada tanggal 31 Desember 2008, sesuai
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/28/PBI/2006 tentang Kegiatan Usaha
Pengiriman Uang, maka terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009, setiap
perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank yang akan
melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang wajib terlebih dahulu memperoleh
izin dari Bank Indonesia. Kewajiban untuk memperoleh izin tersebut berlaku
juga untuk Penyelenggara kegiatan usaha Pengiriman Uang yang telah terdaftar
di Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan,
pelaksanaan kegiatan usaha Pengiriman Uang, serta pelaporan kegiatan usaha
Pengiriman Uang oleh Penyelenggara diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
I. TATA CARA DAN PROSES PERIZINAN
Perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank yang
akan atau telah melakukan kegiatan usaha Pengiriman Uang wajib
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
A. Pengajuan …
2
A. Pengajuan Permohonan Izin sebagai Penyelenggara
1. Untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia, perorangan Warga
Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank harus
menyampaikan permohonan izin secara tertulis kepada Bank
Indonesia.
2. Untuk perorangan Warga Negara Indonesia, permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada angka 1 diajukan oleh individu
yang bersangkutan, sedangkan untuk badan usaha diajukan oleh
pengurus badan usaha.
3. Untuk perorangan Warga Negara Indonesia, permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dilampiri dokumen
sebagai berikut:
a.
fotokopi kartu tanda penduduk;
b.
c.
surat keterangan domisili/tempat tinggal dari lurah/kepala
desa setempat;
surat pernyataan kesanggupan pemohon dalam bentuk akta
otentik yang dibuat di hadapan notaris, untuk:
1) bertanggung jawab jika terdapat penyalahgunaan
Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan
2) memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim
dan/atau diterima dari harta kekayaan pribadi;
d.
informasi mengenai tempat usaha dan sarana prasarana
yang digunakan oleh pemohon sebagai Penyelenggara;
e. prosedur pengiriman dan/atau penerimaan Uang; dan
f. mekanisme …
3
f. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya
meliputi:
1) penerapan prinsip mengenal nasabah;
2) metode monitoring Uang yang dikirim dan/atau
diterima; dan
3) mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk
permasalahan mengenai Uang kiriman yang terlambat
atau tidak sampai kepada Penerima yang dituju.
4. Untuk badan usaha yang berbadan hukum, permohonan izin
sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dilampiri dokumen
sebagai berikut:
a.
b.
fotokopi surat keterangan domisili badan usaha dari
lurah/kepala desa setempat;
fotokopi akta pendirian badan hukum Indonesia dan
perubahannya jika ada, yang telah memperoleh pengesahan
dari instansi yang berwenang. Akta pendirian tersebut
harus mencantumkan secara tegas kegiatan Pengiriman
Uang sebagai kegiatan dari badan usaha yang
bersangkutan;
c.
surat pernyataan pengurus dalam bentuk akta otentik yang
dibuat di hadapan notaris, yang menyatakan kesanggupan
pemohon untuk:
1) bertanggung jawab jika terdapat penyalahgunaan
Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan
2) memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim
dan/atau diterima dari harta kekayaan perusahaan;
d. mekanisme …
4
d. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya
meliputi:
1) penerapan prinsip mengenal nasabah;
2) metode monitoring Uang yang dikirim dan/atau
diterima; dan
3) mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk
permasalahan mengenai Uang kiriman yang terlambat
atau tidak sampai kepada Penerima yang dituju.
e. bukti kesiapan operasional yang sekurang-kurangnya
meliputi:
1)
sumber daya manusia yang memadai;
2) kesiapan tempat usaha;
3)
sarana dan peralatan untuk melakukan kegiatan
pengiriman dan/atau penerimaan Uang; dan
4) mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan
pengiriman dan/atau penerimaan Uang.
5. Untuk badan usaha yang tidak berbadan hukum, permohonan
izin sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dilampiri
dokumen sebagai berikut:
a. bukti bahwa pemilik dan pengurus badan usaha merupakan
Warga Negara Indonesia. Bukti kewarganegaraan
Indonesia tersebut antara lain berupa Kartu Tanda
Penduduk, Surat Izin Mengemudi atau Paspor;
b.
fotokopi surat keterangan domisili badan usaha dari
lurah/kepala desa setempat;
c. fotokopi …
5
c.
fotokopi akta pendirian badan usaha dan perubahannya jika
ada, yang telah memperoleh pengesahan dari instansi yang
berwenang. Akta pendirian tersebut harus mencantumkan
secara tegas kegiatan Pengiriman Uang sebagai salah satu
kegiatan dari badan usaha yang bersangkutan;
d.
surat pernyataan pengurus dalam bentuk akta otentik yang
dibuat di hadapan notaris, yang menyatakan kesanggupan
pemohon untuk:
1) bertanggung jawab jika terdapat penyalahgunaan
Uang yang dikirim dan/atau diterima; dan
2) memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim
dan/atau diterima dari harta kekayaan pribadi;
e. mekanisme pengelolaan risiko yang sekurang-kurangnya
meliputi:
1) penerapan prinsip mengenal nasabah;
2) metode monitoring Uang yang dikirim dan/atau
diterima; dan
3) mekanisme penyelesaian permasalahan termasuk
permasalahan mengenai Uang kiriman yang terlambat
atau tidak sampai kepada Penerima yang dituju;
f.
bukti kesiapan operasional yang sekurang-kurangnya
meliputi:
1)
sumber daya manusia yang memadai;
2) kesiapan tempat usaha;
3)
sarana dan peralatan untuk melakukan kegiatan
pengiriman dan/atau penerimaan Uang; dan
4) mekanisme …
6
4) mekanisme dan prosedur dalam melakukan kegiatan
pengiriman dan/atau penerimaan Uang.
B. Proses Perizinan
1. Dalam memproses permohonan izin, Bank Indonesia c.q.
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran (DASP) atau
Kantor Bank Indonesia (KBI) yang mewilayahi dapat
melakukan peninjauan lapangan untuk memastikan kesiapan
serta kesesuaian sarana dan prasarana yang ada dengan
dokumen yang disampaikan pemohon.
2. Dalam memproses perizinan sebagaimana dimaksud pada
angka 1, Bank Indonesia dapat meminta rekomendasi dari
otoritas pengawas atau pembina dari badan usaha pemohon,
antara lain tentang kinerja dan kepatuhan pemohon terhadap
ketentuan yang berlaku.
3. Bank Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi
memberikan izin atau penolakan secara tertulis dalam jangka
waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung
sejak dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap.
Dalam hal proses perizinan memerlukan rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada angka 2, pemberian izin atau
penolakan tersebut diberikan dalam jangka waktu paling lambat
45 (empat puluh lima) hari kerja setelah diterimanya
rekomendasi dan dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
4. Terhadap permohonan izin yang disetujui, Bank Indonesia
c.q. …
7
c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi memberikan izin yang
disertai dengan tanda izin.
II. PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
Dalam rangka penerapan prinsip mengenal nasabah, Penyelenggara wajib
melakukan kegiatan yang sekurang-kurangnya meliputi:
A.
Identifikasi dan Verifikasi Identitas Pengirim dan/atau Penerima
1. Penyelenggara wajib melakukan identifikasi dan verifikasi
terhadap identitas Pengirim dan/atau Penerima pada saat
Pengirim dan/atau Penerima melakukan transaksi pengiriman
dan/atau penerimaan Uang.
2. Penyelenggara wajib melakukan identifikasi dan verifikasi ulang
terhadap identitas Pengirim dan/atau Penerima jika:
a.
terjadi pengiriman dan/atau penerimaan dengan nilai
Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau lebih atau
mata uang asing yang nilainya setara;
b.
c.
terdapat transaksi yang mencurigakan; dan/atau
terdapat keraguan Penyelenggara atas keabsahan informasi
yang disampaikan oleh Pengirim dan/atau Penerima atau
penerima kuasa.
3. Kegiatan identifikasi dan verifikasi sebagaimana dimaksud di
atas dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
a. Terhadap Pengirim dan/atau Penerima perorangan:
1) Penyelenggara …
8
1) Penyelenggara meminta informasi mengenai:
a) Nama dan alamat Pengirim dan/atau Penerima;
b) Tempat dan tanggal lahir;
c) Pekerjaan;
d) Kewarganegaraan;
e) Nomor bukti identitas;
f)
g) Sumber dana;
h) Tujuan Pengiriman Uang; dan
i)
Informasi
Identitas pihak lain dalam hal Pengirim
bertindak untuk dan atas nama pihak lain;
lain yang memungkinkan
Penyelenggara untuk dapat mengetahui profil
Pengirim dan/atau Penerima.
Informasi identitas sebagaimana dimaksud pada
butir a) sampai dengan butir f) dibuktikan dengan
dokumen seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin
Mengemudi atau Paspor.
2) Penyelenggara meneliti bahwa Pengirim dan/atau
Penerima tersebut telah sesuai dengan identitas
Pengirim dan/atau Penerima yang bersangkutan,
antara lain kesamaan pasphoto dan tanda tangan.
b. Terhadap Pengirim dan/atau Penerima badan usaha:
1) Penyelenggara meminta informasi mengenai:
a) Nama dan alamat Pengirim dan/atau Penerima;
b) Bidang usaha;
c) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d) Identitas …
9
d)
Identitas pihak lain dalam hal Pengirim
bertindak untuk dan atas nama pihak lain;
e) Sumber dana;
f) Tujuan Pengiriman Uang; dan
g)
Informasi
lain yang memungkinkan
Penyelenggara untuk dapat mengetahui profil
Pengirim dan/atau Penerima.
Informasi identitas sebagaimana dimaksud pada
butir a) sampai dengan butir d) dibuktikan dengan
dokumen izin usaha dan/atau NPWP.
2) Penyelenggara meneliti kebenaran dokumen
pendukung identitas nasabah di atas.
4. Transaksi pengiriman dan/atau penerimaan tidak dapat
dilakukan jika terjadi hal-hal antara lain sebagai berikut:
a. Pengirim dan/atau Penerima tidak dapat menunjukkan
bukti identitas atau anonim;
b. Terdapat ketidaksesuaian identitas Pengirim dan/atau
Penerima dengan bukti dokumen identitas yang
disampaikan; atau
c. Penyelenggara meragukan keaslian/kebenaran dari
identitas Pengirim dan/atau Penerima.
B. Pemantauan Transaksi Pengiriman dan/atau Penerimaan
1.
Penyelenggara wajib menatausahakan dokumen identitas
Pengirim dan/atau Penerima sebagaimana dimaksud pada
butir A.3.a, butir A.3.b dan dokumen transaksi pengiriman
dan/atau …
10
dan/atau penerimaan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai
dokumen perusahaan serta peraturan perundang-undangan
terkait lainnya.
2.
Penyelenggara wajib melakukan pengkinian data dalam hal
terdapat perubahan informasi dokumen sebagaimana dimaksud
pada butir A.3.a dan butir A.3.b.
3.
Penyelenggara wajib memiliki sistem informasi yang dapat
mengidentifikasi, menganalisa dan memantau Pengirim dan/atau
Penerima maupun transaksi yang dilakukannya, serta
menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik
transaksi yang dilakukan oleh Pengirim dan/atau Penerima.
4.
Penyelenggara wajib melakukan identifikasi transaksi yang
tergolong mencurigakan (suspicious transactions).
Pada prinsipnya transaksi keuangan tergolong mencurigakan
jika memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a.
transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari Pengirim dan/atau Penerima
yang bersangkutan;
b.
transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan yang wajib dilakukan
Penyelenggara;
c.
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan
dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal
dari hasil tindak pidana sebagaimana diatur dalam
peraturan tentang tindak pidana pencucian uang dan
pendanaan …
11
pendanaan teroris serta peraturan terkait lainnya.
Dalam hal suatu transaksi keuangan telah memenuhi satu atau
lebih dari unsur-unsur di atas maka Penyelenggara wajib
menetapkan transaksi tersebut sebagai transaksi keuangan
mencurigakan dan melaporkannya kepada Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Untuk mengidentifikasi suatu transaksi keuangan memenuhi
satu atau lebih dari unsur-unsur transaksi keuangan tergolong
mencurigakan, Penyelenggara dapat menggunakan indikator-
indikator transaksi keuangan mencurigakan, antara lain sebagai
berikut:
a. Pengiriman dan/atau penerimaan Uang dilakukan dalam
jumlah diluar kebiasaan Pengirim dan/atau Penerima. Hal
ini dapat dilakukan jika Pengirim dan/atau Penerima sering
melakukan transaksi Pengiriman Uang pada Penyelenggara
yang sama;
b. Pengiriman dan/atau penerimaan Uang dilakukan dalam
jumlah relatif kecil namun dengan frekuensi yang tinggi;
c. Pengiriman dan/atau penerimaan Uang dilakukan dengan
menggunakan beberapa nama individu yang berbeda-beda
untuk kepentingan satu orang tertentu;
d. Pengiriman dan/atau penerimaan Uang dilakukan untuk
tujuan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau
kegiatan usaha dari Pengirim dan/atau Penerima;
e. Perilaku Pengirim dan/atau Penerima, seperti:
1) perilaku …
12
1) perilaku Pengirim dan/atau Penerima yang tidak
wajar pada saat melakukan transaksi, seperti: gugup,
tergesa-gesa, rasa kurang percaya diri;
2) Pengirim dan/atau Penerima memberikan informasi
yang tidak benar mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan identitas dirinya;
3) Pengirim dan/atau Penerima menggunakan dokumen
identitas yang diragukan kebenarannya atau diduga
palsu seperti tanda tangan yang berbeda atau foto
yang tidak sama;
4) Pengirim dan/atau Penerima keberatan atau menolak
untuk memberikan informasi/dokumen yang diminta
oleh Penyelenggara tanpa alasan yang jelas;
5) Pengirim dan/atau Penerima mencoba mempengaruhi
Penyelenggara untuk tidak melaporkan sebagai
transaksi keuangan mencurigakan dengan berbagai
cara.
Apabila setelah melakukan proses identifikasi transaksi
keuangan mencurigakan, Penyelenggara masih ragu, maka
Penyelenggara dapat melaporkan transaksi tersebut kepada
PPATK sebagai transaksi keuangan mencurigakan.
C. Program Pelatihan Pengurus dan/atau Pegawai
Penyelenggara wajib melakukan berbagai upaya yang memadai untuk
memastikan seluruh pengurus dan/atau pegawai memperoleh pelatihan
secara berkala dan berkesinambungan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keahlian yang bersangkutan. Program pelatihan
tersebut …
13
tersebut antara lain mencakup materi mengenai:
1.
Peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan teroris;
2. Teknik, metode, dan tren tentang tindak pidana pencucian uang
dan pendanaan teroris; dan
3. Kebijakan internal, prosedur, dan pengawasan.
D. Pengendalian Intern
Penyelenggara wajib memelihara fungsi audit dengan sarana yang
memadai dan mampu untuk menilai efektifitas dari kebijakan internal,
prosedur dan pengawasan, serta kepatuhan terhadap peraturan yang
berlaku yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan
pendanaan teroris.
E. Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
1.
Penyelenggara wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan
mencurigakan kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja
setelah Penyelenggara mengetahui adanya unsur transaksi
keuangan mencurigakan.
2.
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1
dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan
oleh PPATK.
3.
Penyelenggara badan usaha wajib menunjuk satu atau lebih
pejabat senior manajemen sebagai pejabat kepatuhan yang
bertanggung jawab terhadap pelaporan transaksi keuangan
mencurigakan.
4. Pejabat …
14
4.
Pejabat kepatuhan wajib memastikan bahwa mekanisme
pelaporan transaksi keuangan mencurigakan terjamin
kerahasiaannya.
Dalam rangka memenuhi kewajiban pelaporan kepada PPATK,
Penyelenggara hendaknya selalu melakukan pengkinian atas
pemahaman ketentuan dan pedoman pelaporan yang dikeluarkan oleh
PPATK.
III. LAPORAN TANGGAL EFEKTIF DIMULAINYA KEGIATAN
1. Perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank
yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara wajib melakukan
kegiatannya paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
perizinan.
2. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1,
perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank
telah melakukan kegiatannya maka perorangan Warga Negara
Indonesia atau badan usaha selain Bank tersebut wajib melaporkan
secara tertulis tanggal efektif dimulainya kegiatan sebagai
Penyelenggara kepada Bank Indonesia c.q. DASP atau KBI yang
mewilayahi.
3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal efektif
dimulainya kegiatan sebagai Penyelenggara.
4.
Jika perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain
Bank yang telah memperoleh izin tersebut tidak melaksanakan
kegiatannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1,
perorangan …
15
perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank
tersebut harus melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia
c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi, sekurang-kurangnya meliputi
hal-hal sebagai berikut:
a.
uraian kesiapan infrastruktur yang antara lain meliputi kesiapan
operasional, sistem yang akan digunakan dalam Pengiriman
Uang, dan rencana kerjasama dengan Operator jika ada; dan
b.
uraian kendala yang dihadapi yang mengakibatkan belum atau
tidak dapat dilaksanakannya kegiatan Pengiriman Uang.
5. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4 disampaikan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka
waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada angka 1.
6. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4, jika Bank
Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi menilai terdapat
permasalahan yang bersifat struktural yang dapat mengakibatkan
perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank
tersebut tidak mampu melaksanakan kegiatan sebagai Penyelenggara,
maka Bank Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi dapat
membatalkan izin sebagai Penyelenggara yang telah diberikan kepada
perorangan Warga Negara Indonesia atau badan usaha selain Bank
tersebut.
IV. PENCANTUMAN DALAM DAFTAR PENYELENGGARA DAN
PUBLIKASI
1. Bank Indonesia c.q. DASP mencantumkan identitas Penyelenggara
yang telah menyampaikan laporan dimulainya kegiatan Pengiriman
Uang …
16
Uang sebagaimana dimaksud dalam butir III.2 dalam Daftar
Penyelenggara di Bank Indonesia.
2. Setiap Penyelenggara yang identitasnya telah dicantumkan dalam
Daftar Penyelenggara harus menempatkan tanda izin di tempat usaha
yang bersangkutan, yakni di tempat yang mudah dilihat dan dibaca
oleh pengguna jasa. Fotokopi tanda izin ditempatkan pula di setiap
kantor cabang Penyelenggara.
3. Dalam hal Penyelenggara memasang papan nama atas kegiatan usaha
Pengiriman Uang yang dilakukan berdasarkan izin dari Bank
Indonesia, maka pada papan nama tersebut dicantumkan nomor izin
yang telah diperoleh dari Bank Indonesia.
4. Bank Indonesia mempublikasikan Daftar Penyelenggara dalam
website Bank Indonesia dan/atau booklet.
V. LAPORAN OLEH PENYELENGGARA
A. Laporan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang
1.
Penyelenggara wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha
Pengiriman Uang secara online kepada Bank Indonesia c.q. Unit
Khusus Manajemen Informasi (UKMI) secara berkala.
2.
Jenis dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan oleh Lembaga Selain Bank
dan Bank Perkreditan Rakyat.
3. Waktu pelaksanaan penyampaian laporan secara online
sebagaimana dimaksud pada angka 1 diberitahukan oleh Bank
Indonesia …
17
Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi kepada seluruh
Penyelenggara melalui surat.
4. Dalam hal laporan secara online belum diberlakukan,
Penyelenggara wajib menyampaikan laporan secara berkala
dalam bentuk hardcopy yaitu Laporan Transaksi Kegiatan
Usaha Pengiriman Uang sebagaimana dalam Lampiran 1.a dan
Lampiran 1.b.
Penyelenggara wajib menyampaikan Laporan Transaksi
Kegiatan Usaha Pengiriman Uang tersebut meskipun pada
periode bulan laporan tidak terdapat transaksi pengiriman
dan/atau penerimaan uang. Field dalam Laporan diisi dengan
keterangan “NIHIL”.
5. Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada angka 4
disampaikan kepada:
a. DASP c.q. Tim Manajemen Informasi dan Administrasi
(Tim MIA), untuk Penyelenggara yang berkantor pusat
atau berdomisili/bertempat kedudukan di wilayah
DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota
Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau
b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang
berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di
luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a.
6. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 4 disampaikan
secara bulanan dan harus sudah diterima oleh DASP c.q. Tim
MIA atau KBI yang mewilayahi paling lambat tanggal 15 pada
bulan …
18
bulan berikutnya. Contoh: laporan bulan Januari 2009, harus
sudah diterima oleh DASP c.q. Tim MIA atau KBI yang
mewilayahi paling lambat pada tanggal 15 Februari 2009.
7. Dalam hal tanggal paling lambat sebagaimana dimaksud pada
angka 6 jatuh pada hari libur, maka tanggal paling lambat adalah
pada tanggal hari kerja berikutnya.
8. Untuk Penyelenggara yang memiliki kantor cabang, laporan
sebagaimana dimaksud pada angka 4 disampaikan oleh kantor
pusat Penyelenggara secara konsolidasi yang merupakan
gabungan laporan kantor pusat dan seluruh kantor cabang.
B. Laporan Rencana Pembukaan Kantor Cabang
1. Penyelenggara wajib menyampaikan laporan secara tertulis jika
merencanakan untuk melakukan pembukaan kantor cabang
kepada:
a. DASP c.q. Bagian Pengawasan Sistem Pembayaran
(Bagian PwSP), untuk Penyelenggara yang berkantor pusat
atau berdomisili/bertempat kedudukan di DKI Jakarta,
Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor,
Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau
b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang
berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di
luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a.
2. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 disampaikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal efektif
dimulainya …
19
dimulainya kegiatan oleh kantor cabang tersebut, dengan format
sebagaimana dalam Lampiran 2.a dan Lampiran 2.b.
C. Laporan Kerjasama Penyelenggara dengan Operator
1.
Penyelenggara yang melakukan kerjasama dengan Operator
wajib melaporkan secara tertulis kerjasama tersebut,
sebagaimana dalam Lampiran 3.a dan Lampiran 3.b kepada:
a. DASP c.q. Bagian PwSP, untuk Penyelenggara yang
berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di
wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi,
Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan
Kota Depok; atau
b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang
berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di
luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a.
2. Laporan kerjasama antara Penyelenggara dengan Operator
sebagaimana dimaksud pada angka 1 sekurang-kurangnya
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
fotokopi perjanjian kerjasama antara Penyelenggara
dengan Operator. Perjanjian tersebut sekurang-kurangnya
memuat:
1) kesepakatan antara Penyelenggara dan Operator
untuk memberikan informasi kepada Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia
untuk keperluan pemeriksaan;
2) pemberian kewenangan kepada Bank Indonesia atau
pihak …
20
pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk
melakukan pemeriksaan terhadap sistem yang
digunakan baik oleh Penyelenggara maupun oleh
Operator; dan
3) kesediaan Penyelenggara dan Operator untuk
menyampaikan kepada Bank Indonesia hasil
assessment terhadap sistem yang digunakan;
b.
informasi singkat mengenai profil perusahaan Operator;
dan
c. hasil assessment terhadap sistem yang digunakan oleh
Operator.
3.
Jika Penyelenggara menghentikan kerjasama dengan Operator,
maka penghentian kerjasama dengan Operator tersebut
dilaporkan kepada DASP c.q. Bagian PwSP atau KBI yang
mewilayahi sebagaimana dimaksud pada Lampiran 4.a dan
Lampiran 4.b.
D. Laporan Perubahan Pengurus
1. Penyelenggara wajib menyampaikan laporan secara tertulis jika
terjadi perubahan pengurus kepada:
a. DASP c.q. Bagian PwSP, untuk Penyelenggara yang
berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di
wilayah DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi,
Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota
Depok; atau
b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang
berkantor pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di
luar …
21
luar wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf a.
2. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilengkapi
dengan surat pernyataan pengurus yang baru dalam bentuk akta
otentik yang dibuat di hadapan notaris yang menyatakan
kesanggupan Penyelenggara untuk:
a.
bertanggung jawab jika terdapat penyalahgunaan Uang
yang dikirim dan/atau diterima; dan
b. memisahkan penatausahaan Uang yang dikirim dan/atau
diterima dari harta kekayaan pribadi atau perusahaan.
3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus disertai
dengan fotokopi bukti perubahan Pengurus antara lain berupa
Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham bagi badan usaha
yang berbentuk Perseroan Terbatas dan perubahan akta
pendirian bagi badan usaha yang tidak berbadan hukum.
VI. PENGHENTIAN KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG DAN
PENGHAPUSAN PENYELENGGARA DARI DAFTAR
PENYELENGGARA
1. Penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang dapat dilakukan
berdasarkan permintaan tertulis dari Penyelenggara atau berdasarkan
keputusan Bank Indonesia. Penghentian kegiatan sebagai
Penyelenggara dilakukan dengan mencabut izin kegiatan usaha
Pengiriman Uang yang telah diberikan oleh Bank Indonesia.
2. Penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang atas permintaan
Penyelenggara sendiri sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. menyampaikan …
22
a. menyampaikan laporan penghentian kegiatan usaha paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum Penyelenggara
menghentikan kegiatannya; dan
b. melaporkan pelaksanaan penghentian kegiatan usaha secara
tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 5 (lima) hari kerja
terhitung sejak tanggal penghentian kegiatan usaha, dengan
melampirkan:
1) dokumen penyelesaian hak dan kewajiban kepada
Pengirim dan/atau Penerima; dan
2)
surat pernyataan dari pengurus dan/atau pemilik bahwa
segala tuntutan yang timbul setelah penghentian kegiatan
usaha Pengiriman Uang menjadi tanggung jawab
sepenuhnya dari pengurus dan/atau pemilik.
3. Laporan penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang sebagaimana
dimaksud pada butir 2.a disampaikan secara tertulis kepada:
a. DASP c.q. Bagian PwSP, untuk Penyelenggara yang berkantor
pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di wilayah
DKI Jakarta, Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor,
Kabupaten Karawang dan Kota Depok; atau
b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor
pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar wilayah
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
4. Penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan jika:
a.
terdapat putusan pengadilan yang menghukum Penyelenggara
untuk menghentikan kegiatan usaha Pengiriman Uang yang
dilakukan …
23
dilakukan;
b.
terdapat permintaan tertulis/rekomendasi kepada Bank
Indonesia dari otoritas pengawas yang berwenang untuk
menghentikan kegiatan usaha Penyelenggara, atau otoritas
pengawas dimaksud telah menghentikan kegiatan usaha
Penyelenggara;
c.
Penyelenggara melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
kegiatan usaha Pengiriman Uang dan ketentuan yang terkait
lainnya; atau
d.
Penyelenggara dikenakan sanksi oleh lembaga yang berwenang
sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris.
5. Dalam hal terjadi penghentian kegiatan usaha Pengiriman Uang
sebagaimana dimaksud pada angka 1, Bank Indonesia menghapus
identitas Penyelenggara dari Daftar Penyelenggara dan
menginformasikan perubahan status yang bersangkutan di website
Bank Indonesia.
VII. MASA TRANSISI
1. Perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank
yang sebelum berlakunya Surat Edaran ini telah disetujui sebagai
Penyelenggara yang terdaftar di Bank Indonesia, dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Surat Edaran ini wajib
melengkapi persyaratan perizinan sebagai berikut:
a. Dokumen sebagaimana dimaksud pada butir I.A.3.c,
butir I.A.3.e dan butir I.A.3.f, untuk perorangan Warga Negara
Indonesia;
b. Dokumen …
24
b. Dokumen sebagaimana dimaksud pada butir I.A.4.d dan
butir I.A.4.e.4), untuk badan usaha yang berbadan hukum;
c. Dokumen sebagaimana dimaksud pada butir I.A.5.c,
butir I.A.5.e dan butir I.A.5.f.4), untuk badan usaha yang tidak
berbadan hukum;
2. Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1
disampaikan kepada:
a. DASP c.q. Tim Pengaturan dan Perizinan Sistem Pembayaran
(Tim PPSP), untuk Penyelenggara yang berkantor pusat atau
berdomisili/bertempat kedudukan di wilayah DKI Jakarta,
Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten
Karawang dan Kota Depok; atau
b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor
pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar wilayah
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 1,
perorangan Warga Negara Indonesia dan badan usaha selain Bank
tersebut tidak menyampaikan dokumen dimaksud, maka Bank
Indonesia menghapus identitas Penyelenggara dari Daftar
Penyelenggara serta menginformasikan perubahan status yang
bersangkutan di website Bank Indonesia.
VIII. LAIN-LAIN
1. Permohonan izin kegiatan usaha Pengiriman Uang disampaikan secara
tertulis kepada:
a. DASP …
25
a. DASP, Bank Indonesia, Gedung D, Lt. 8. Jalan M.H. Thamrin
No.2, Jakarta 10350, untuk Penyelenggara yang berkantor pusat
atau berdomisili/bertempat kedudukan di DKI Jakarta,
Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten
Karawang dan Kota Depok; atau
b. KBI yang mewilayahi, untuk Penyelenggara yang berkantor
pusat atau berdomisili/bertempat kedudukan di luar wilayah
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
2. Dalam hal Penyelenggara menggunakan Uang Elektronik
(Electronic Money) sebagai sarana dalam Pengiriman Uang,
Penyelenggara tersebut selain wajib memperoleh izin sebagai
penyelenggara kegiatan usaha Pengiriman Uang juga wajib
memperoleh izin sebagai penerbit Uang Elektronik dari Bank
Indonesia.
3.
Izin sebagai Penyelenggara yang telah diberikan Bank Indonesia
kepada perorangan Warga Negara Indonesia untuk menyelenggarakan
kegiatan Pengiriman Uang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain
dengan cara apapun termasuk jika yang bersangkutan meninggal
dunia.
4.
Izin sebagai Penyelenggara yang telah diberikan Bank Indonesia
kepada badan usaha selain Bank tidak dapat dialihkan, kecuali dengan
izin Bank Indonesia.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 berlaku pula dalam
hal terjadi penggabungan atau peleburan antar badan usaha selain
Bank.
6. Dalam …
26
6. Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan, dimana badan usaha
selain Bank hasil penggabungan atau peleburan belum memperoleh
izin sebagai Penyelenggara, maka badan usaha selain Bank hasil
penggabungan atau peleburan tersebut harus mengajukan permohonan
izin sebagai Penyelenggara kepada Bank Indonesia.
7. Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada angka 6 dilakukan
sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini.
8. Dalam hal terjadi penggabungan dimana badan usaha selain Bank
hasil penggabungan sebelumnya telah memperoleh izin sebagai
Penyelenggara dari Bank Indonesia maka badan usaha selain Bank
hasil penggabungan tersebut harus melaporkan kepada Bank
Indonesia untuk tetap dapat bertindak sebagai Penyelenggara, dengan
melampirkan dokumen sebagai berikut:
a.
kesiapan infrastruktur, termasuk sistem dan sumber daya
manusia yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha
Pengiriman Uang; dan
b.
penerapan pengelolaan risiko dalam melakukan kegiatan usaha
Pengiriman Uang.
9. Penyelenggara yang akan melakukan pengambilalihan, penggabungan
atau peleburan, harus melaporkan rencana tersebut kepada Bank
Indonesia c.q. DASP atau KBI yang mewilayahi, yang memuat
sekurang-kurangnya informasi mengenai pihak-pihak yang akan
melakukan pengambilalihan, penggabungan atau peleburan dan
tanggal efektif berlakunya pengambilalihan, penggabungan atau
peleburan. Laporan tersebut disampaikan sekurang-kurangnya 1 (satu)
bulan sebelum tanggal efektif dilakukannya pengambilalihan,
penggabungan atau peleburan.
10. Dalam …
27
10. Dalam hal pengaturan penghitungan jangka waktu dalam Surat Edaran
ini menggunakan hitungan bulan, maka jumlah hari dalam 1 (satu)
bulan adalah 30 (tiga puluh) hari.
IX. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Nomor 8/32/DASP
tanggal 20 Desember 2006 perihal Pendaftaran Kegiatan Usaha Pengiriman
Uang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SWD. MURNIASTUTI
DIREKTUR AKUNTING
DAN SISTEM PEMBAYARAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/49/DASP|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Perizinan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang bagi Perorangan dan Badan Usaha Selain Bank </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2009 </effective_date>
<replaced_reg> '8/32/DASP|SE-BI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '8/28/PBI/2006' </related_reg>
|
No.18/12/DPM
Jakarta, 24 Mei 2016
S U R A T
E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal
: Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga dalam
Rupiah Bank Umum kepada Bank Indonesia terhadap
Chinese Yuan dalam rangka Bilateral Currency Swap
Arrangement
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/7/PBI/2016 tentang Transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam
rangka Bilateral Currency Swap Arrangement (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5880), perlu diatur kembali ketentuan pelaksanaan
mengenai transaksi repurchase agreement surat berharga dalam Rupiah
Bank Umum kepada Bank Indonesia terhadap Chinese Yuan dalam rangka
Bilateral Currency Swap Arrangement dalam Surat Edaran Bank Indonesia
sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor bank
berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
2. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga dalam Rupiah
Bank kepada Bank Indonesia terhadap Chinese Yuan dalam
rangka Bilateral Currency Swap Arrangement yang selanjutnya
disebut Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah transaksi
penjualan bersyarat Surat Berharga dalam denominasi Rupiah
oleh …
2
oleh Bank Umum kepada Bank Indonesia untuk memperoleh
mata uang Chinese Yuan, dengan kewajiban membeli kembali
Surat Berharga tersebut sesuai harga dan jangka waktu yang
disepakati dengan menggunakan mata uang Chinese Yuan.
3. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia, Surat Berharga Negara, dan surat berharga lain yang
dapat digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
4.
Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah
Surat Berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek.
5.
Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SDBI adalah Surat Berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar
bank.
6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah
Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
7. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat
berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang
Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga
dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan
masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Surat Utang Negara.
8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN,
atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah baik dalam mata uang Rupiah
maupun valuta asing sebagai bukti atas penyertaan terhadap
aset SBSN, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Surat Berharga Syariah Negara.
9. Repo Rate adalah tingkat bunga yang dikenakan kepada Bank
Umum terhadap dana dalam mata uang Chinese Yuan dalam
rangka Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
10. Bank …
3
10. Bank Koresponden adalah bank pemelihara rekening giro dalam
rangka pembayaran dan/atau penerimaan dana ke atau dari
Bank Umum, counterparty dan kustodian.
11. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA.
12. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank Umum di Bank
Indonesia.
13. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang
selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dengan
Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan, serta
penatausahaan surat berharga, yang dilakukan secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan
Surat Berharga, dan setelmen dana seketika.
14. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut
Sistem LHBU adalah sarana pelaporan bank kepada Bank
Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar
uang dan pengumuman dari Bank Indonesia.
15. Standard Settlement Instruction adalah suatu pedoman tertentu
dalam melakukan transfer dana melalui sarana telekomunikasi
yang antara lain memuat nama Bank Koresponden, nomor
rekening, kode kliring, dan kode Society for Worldwide Interbank
Financial Telecommunication (SWIFT).
II. KARAKTERISTIK TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA
1. Bank Indonesia melakukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
dalam rangka memenuhi kebutuhan Chinese Yuan Bank Umum
dalam pembayaran perdagangan internasional dan/atau investasi
langsung.
2. Bank Umum melakukan transaksi CNY/IDR Repo BCSA
berdasarkan Underlying Transaksi.
3. Bank Umum mengajukan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo
BCSA secara langsung tanpa melalui lembaga perantara.
4. Jenis …
4
4. Jenis valuta asing dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah
Chinese Yuan.
5. Kurs Chinese Yuan terhadap Rupiah yang digunakan dalam
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah kurs Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA yang diumumkan oleh Bank Indonesia.
6. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA memiliki jangka waktu 1 (satu)
bulan, 3 (tiga) bulan, dan/atau 6 (enam) bulan yang dihitung 1
(satu) hari setelah tanggal valuta sampai dengan tanggal jatuh
waktu.
7. Hak penerimaan kupon atas Surat Berharga yang di-repo-kan
selama periode Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah milik
Bank Umum.
8.
Nilai pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA kepada Bank
Indonesia paling sedikit sebesar CNY500,000 (lima ratus ribu
Chinese yuan) dan paling banyak sebesar nilai Underlying
Transaksi.
III. PERSYARATAN BANK UMUM PESERTA TRANSAKSI CNY/IDR REPO
BCSA
Bank Umum yang dapat mengajukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
kepada Bank Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. termasuk dalam klasifikasi Bank Umum yang melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing dengan peringkat komposit
paling rendah 3 (tiga) sesuai data terkini yang diterima Bank
Indonesia; dan
b. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk
mengikuti kegiatan operasi moneter.
IV. SURAT BERHARGA YANG DIGUNAKAN DALAM TRANSAKSI CNY/IDR
REPO BCSA
1.
Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA adalah sebagai berikut:
a. diterbitkan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik
Indonesia;
b. dalam …
5
b. dalam mata uang Rupiah;
c. tercatat di BI-SSSS; dan
d. tidak sedang diagunkan.
2. Jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 terdiri atas:
a. SBI dan SDBI
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) hari
kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo
BCSA.
b. SBN
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 16 (enam belas)
hari kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA.
3. Harga dan haircut Surat Berharga ditetapkan dan diumumkan
oleh Bank Indonesia.
4. Harga sebagaimana dimaksud dalam angka 3 mengacu pada
harga Surat Berharga yang diumumkan pada BI-SSSS pada
tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
5. Haircut Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 3
merupakan faktor pengurang terhadap harga Surat Berharga
yang ditetapkan sebesar:
a. 15% (lima belas persen) untuk SBI dan SDBI;
b. 20% (dua puluh persen) untuk SUN; dan
c. 21,5% (dua puluh satu koma lima persen) untuk SBSN.
6. Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut
sebagaimana dimaksud dalam angka 5 dan mengumumkan
perubahan tersebut melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
V. MEKANISME TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA
1. Bank Indonesia melakukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
melalui mekanisme lelang dan/atau nonlelang.
2. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dilakukan melalui sarana dealing
system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Bank …
6
3. Bank Umum melakukan pledge terhadap Surat Berharga yang di-
repo-kan di BI-SSSS.
4. Dalam rangka penyelesaian Transaksi CNY/IDR Repo BCSA,
Bank Indonesia berwenang antara lain melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. menghentikan pledge Surat Berharga;
b. memindahkan Surat Berharga dari rekening Bank Umum ke
rekening Bank Indonesia;
c. menjual Surat Berharga Bank Umum;
d. melakukan pencairan sebelum jatuh waktu (early
redemption) atas SBI atau SDBI; dan/atau
e. mendebet Rekening Giro Rupiah dan/atau Rekening Giro
valuta asing Bank Umum di Bank Indonesia.
VI. DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA
1. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dilakukan berdasarkan
Underlying Transaksi berupa perdagangan internasional
dan/atau investasi langsung.
2. Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 1
mencakup Underlying Transaksi milik Bank Umum dan/atau
nasabah Bank Umum.
3. Dalam hal Underlying Transaksi terkait perdagangan
internasional maka dokumen Underlying Transaksi antara lain
berupa Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang, letter of credit, invoice, atau kontrak
jual/beli yang dinyatakan dalam Chinese Yuan.
4. Dalam hal Underlying Transaksi terkait kegiatan investasi
langsung maka dokumen Underlying Transaksi antara lain
berupa dokumen yang terkait dengan kontrak investasi langsung
dan/atau dokumen persetujuan pemerintah.
5. Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama
untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
6. Dokumen Underlying Transaksi wajib ditatausahakan oleh Bank
Umum.
7. Bank …
7
7. Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran dokumen
Underlying Transaksi.
VII. TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA DENGAN MEKANISME
NONLELANG
1. Pengumuman dan Pelaksanaan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
Secara Nonlelang
a. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang dapat
dilakukan pada hari Rabu dan/atau hari kerja lain yang
ditetapkan Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja
terbatas Bank Indonesia.
b. Dalam hal hari Rabu adalah bukan hari kerja maka
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang pada
minggu yang bersangkutan ditiadakan.
c. Window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara
nonlelang dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai
dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan
Bank Indonesia.
d. Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA secara nonlelang paling lambat sebelum window
time melalui Sistem LHBU dan/atau sarana informasi
lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia.
e. Pengumuman rencana Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
secara nonlelang memuat antara lain:
1) sarana pengajuan penawaran;
2) tanggal transaksi;
3) window time;
4) jangka waktu;
5) Repo Rate;
6) haircut;
7) tanggal dan waktu setelmen; dan
8) kurs Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
2. Pengajuan …
8
2. Pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara Nonlelang
a. Bank Umum hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan
dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara
nonlelang untuk masing-masing jangka waktu.
b. Pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang
meliputi informasi:
1) nama Bank Umum;
2) tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;
3)
nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;
4) jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;
5) jangka waktu dan nilai Underlying Transaksi;
6)
identitas dokumen Underlying Transaksi, meliputi
nomor referensi dokumen antara lain letter of credit, non
letter of credit, nomor PIB, nomor invoice dan/atau
nomor kontrak jual beli dari Underlying Transaksi
kegiatan perdagangan internasional, atau nomor
kontrak investasi langsung dan/atau nomor dokumen
persetujuan pemerintah dari Underlying Transaksi
kegiatan investasi langsung;
7) tanggal valuta;
8) tanggal jatuh waktu;
9)
jenis, seri, dan nilai nominal Surat Berharga yang di-
repo-kan;
10) sisa jangka waktu Surat Berharga; dan
11) Standard Settlement Instruction (SSI).
c. Bank Umum mengajukan setiap Transaksi CNY/IDR Repo
BCSA secara nonlelang dengan nilai paling sedikit sebesar
CNY500,000 (lima ratus ribu Chinese yuan) dan paling
banyak sebesar nilai Underlying Transaksi, dengan kelipatan
CNY100,000 (seratus ribu Chinese yuan).
Contoh penetapan dan perhitungan Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA dengan mekanisme nonlelang sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I.
d. Bank …
9
d. Bank Umum dapat melakukan koreksi atas pengajuan
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang, kecuali
untuk informasi nama Bank Umum dan jangka waktu
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang.
e. Koreksi sebagaimana dimaksud dalam huruf d dapat
dilakukan paling banyak 1 (satu) kali selama window time
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang.
f. Dalam hal dilakukan koreksi atas nilai Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA secara nonlelang maka nilai Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA secara nonlelang harus memenuhi persyaratan
jumlah pengajuan nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
secara nonlelang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
g. Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran data
pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang
yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
h. Bank Umum dilarang membatalkan pengajuan Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
i. Dalam hal Bank Umum mengajukan Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA secara nonlelang yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan/atau
huruf c, dan tidak melakukan koreksi pengajuan transaksi
dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara
nonlelang, pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara
nonlelang dimaksud dinyatakan batal.
j. Dalam hal Bank Umum telah memenuhi seluruh
persyaratan pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
secara nonlelang, Bank Indonesia melakukan konfirmasi
secara individual kepada Bank Umum melalui sarana
dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain
mencakup:
1)
2)
nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang disetujui;
jenis, seri, dan nilai nominal Surat Berharga yang di-
repo-kan;
3) tanggal …
10
3) tanggal setelmen atau tanggal valuta; dan
4) Standard Settlement Instruction (SSI).
VIII. PENIADAAN WINDOW TIME TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA
DENGAN MEKANISME NONLELANG
1. Bank Indonesia dapat meniadakan window time Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang.
2. Bank Indonesia mengumumkan peniadaan window time
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 melalui Sistem LHBU dan/atau sarana
lain yang ditetapkan Bank Indonesia paling lambat sebelum
window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang.
3. Dalam hal Bank Indonesia meniadakan window time Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA secara nonlelang sebagaimana dimaksud
dalam angka 1, Bank Indonesia dapat melakukan Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA melalui mekanisme lelang.
IX. TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA DENGAN MEKANISME LELANG
1. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dengan mekanisme lelang
dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender).
2. Pengumuman dan Pelaksanaan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
Secara Lelang
a. Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang dapat
dilakukan pada hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk
hari kerja terbatas Bank Indonesia.
b. Window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang
dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan
pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
c. Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA secara lelang paling lambat sebelum window
time melalui Sistem LHBU dan/atau sarana informasi lain
yang ditetapkan Bank Indonesia.
d. Pengumuman …
11
d. Pengumuman rencana Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
secara lelang memuat antara lain:
1) sarana pengajuan penawaran;
2) tanggal lelang;
3) window time;
4) jangka waktu;
5) target indikatif;
6) Repo Rate;
7) haircut;
8) tanggal dan waktu setelmen; dan
9) kurs Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
3. Pengajuan Penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara
Lelang
a. Bank Umum hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan
penawaran dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo
BCSA secara lelang untuk masing-masing jangka waktu.
b. Pengajuan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
secara lelang meliputi informasi:
1) nama Bank Umum;
2) tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;
3)
nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;
4) jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;
5) jangka waktu dan nilai Underlying Transaksi;
6)
identitas dokumen Underlying Transaksi, meliputi
nomor referensi dokumen antara lain letter of credit, non
letter of credit, nomor PIB, nomor invoice dan/atau
nomor kontrak jual beli dari Underlying Transaksi
kegiatan perdagangan internasional, atau nomor
kontrak investasi langsung dan/atau nomor dokumen
persetujuan pemerintah dari Underlying Transaksi
kegiatan investasi langsung;
7) tanggal valuta;
8) tanggal jatuh waktu;
9) jenis …
12
9)
jenis, seri, dan nilai nominal Surat Berharga yang di-
repo-kan;
10) sisa jangka waktu Surat Berharga; dan
11) Standard Settlement Instruction (SSI).
c. Bank Umum mengajukan setiap penawaran Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA secara lelang dengan nilai paling
sedikit sebesar CNY500,000 (lima ratus ribu Chinese yuan)
dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi,
dengan kelipatan CNY100,000 (seratus ribu Chinese yuan).
d. Bank Umum dapat melakukan koreksi atas pengajuan
penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang,
kecuali untuk informasi nama Bank Umum dan jangka
waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang.
e. Koreksi sebagaimana dimaksud dalam huruf d dapat
dilakukan paling banyak 1 (satu) kali selama window time
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang.
f. Dalam hal dilakukan koreksi atas nilai penawaran yang
diajukan pada Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang
maka nilai penawaran transaksi dimaksud harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
g. Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran data
penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang
yang diajukan kepada Bank Indonesia.
h. Bank Umum dilarang membatalkan penawaran Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA secara lelang yang telah diajukan
kepada Bank Indonesia.
i. Dalam hal Bank Umum mengajukan penawaran Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA secara lelang yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf
d, dan tidak melakukan koreksi pengajuan penawaran
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang dalam window
time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang,
pengajuan penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
secara lelang dimaksud dinyatakan batal.
4. Penetapan …
13
4. Penetapan Pemenang Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara
Lelang
a. Bank Indonesia menetapkan pemenang Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA secara lelang dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang diajukan
Bank Umum dimenangkan seluruhnya.
2) Dalam hal diperlukan, nilai Transaksi CNY/IDR Repo
BCSA yang diajukan Bank Umum dapat dimenangkan
sebagian dengan perhitungan secara proporsional
dengan pembulatan ke seratus ribuan Chinese Yuan
terdekat dengan ketentuan:
a) untuk nominal kurang dari CNY50,000 (lima puluh
ribu Chinese yuan) dibulatkan menjadi nol;
b) untuk nominal CNY50,000 (lima puluh ribu
Chinese yuan) atau lebih dibulatkan menjadi
CNY100,000 (seratus ribu Chinese yuan).
Contoh penetapan dan perhitungan kuantitas pemenang
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara lelang sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.
b. Bank Indonesia dapat menetapkan bahwa tidak ada
pemenang lelang.
5. Pengumuman Hasil Transaksi CNY/IDR Repo BCSA Secara
Lelang
a. Bank Indonesia mengumumkan hasil penetapan pemenang
lelang secara keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau
sarana informasi lain yang ditetapkan Bank Indonesia,
antara lain berupa nominal seluruh penawaran yang
dimenangkan.
b. Bank Indonesia melakukan konfirmasi secara individual
kepada pemenang lelang melalui sarana dealing system yang
ditetapkan Bank Indonesia antara lain berupa:
1)
nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang
dimenangkan;
2) jenis …
14
2)
jenis, seri, dan nilai nominal Surat Berharga yang di-
repo-kan;
3) tanggal setelmen atau tanggal valuta; dan
4) Standard Settlement Instruction (SSI).
c. Dalam hal penawaran yang diajukan Bank Umum
dimenangkan sebagian sebagaimana dimaksud dalam butir
4.a.2), Bank Umum dapat melakukan penyesuaian jenis, seri
dan nominal Surat Berharga pada saat dilakukan konfirmasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
d. Penyesuaian jenis, seri, dan nominal Surat Berharga
sebagaimana dimaksud dalam huruf c harus memenuhi
kecukupan nilai Surat Berharga yang di-repo-kan dengan
nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang dimenangkan.
X. PLEDGE SURAT BERHARGA
1. Bank Umum yang telah melakukan konfirmasi secara individual
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir
VII.2.j atau butir IX.5.b, melakukan pledge di BI-SSSS atas Surat
Berharga yang di-repo-kan.
2. Pledge sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan pada 1
(satu) hari kerja setelah tanggal transaksi, paling lambat pada
pukul 13.00 WIB.
3. Bank Umum melakukan pledge Surat Berharga pada BI-SSSS
dengan mencantumkan hal-hal sebagai berikut:
a. nama Bank Umum;
b. pledge code yang terdiri dari 13 (tiga belas) karakter dengan
ketentuan sebagai berikut:
format penulisan BCNYDDMMYYTTN/R.
Keterangan:
BCNY
: Jenis transaksi adalah Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA.
DDMMYY : Tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo
BCSA.
TT
: Jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
yang …
15
yang dinyatakan antara lain dalam 1M, 3M,
atau 6M.
N
: Kode untuk pledge Surat Berharga yang
digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo
BCSA pada saat pertama kali dilakukan.
R
: Kode untuk pledge Surat Berharga yang
digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo
BCSA pada saat dilakukan koreksi.
c. nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;
d. jenis, seri, dan nominal Surat Berharga yang di-pledge;
e. tanggal valuta pledge Surat Berharga;
f. tanggal jatuh waktu pledge Surat Berharga;
g. harga Surat Berharga di BI-SSSS pada tanggal transaksi
setelah dikurangi haircut; dan
h. nilai tunai Surat Berharga (proceed) yang di-pledge.
4. Jangka waktu pledge atas Surat Berharga diatur sebagai berikut:
a. SBI dan SDBI
Jangka waktu pledge sesuai dengan jangka waktu Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA ditambah 6 (enam) hari kerja yang
dihitung sejak 1 (satu) hari kerja setelah pledge dilakukan.
b. SBN
Jangka waktu pledge sesuai dengan jangka waktu Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA ditambah 14 (empat belas) hari kerja
yang dihitung sejak 1 (satu) hari kerja setelah pledge
dilakukan.
5. Dalam hal Bank Umum me-repo-kan Surat Berharga yang
berbeda jenis untuk 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA,
maka pledge SBI dan/atau SDBI dilakukan secara terpisah
dengan pledge SBN.
6. Bank Indonesia melakukan verifikasi terhadap pledge Surat
Berharga yang dilakukan oleh Bank Umum mulai pukul 13.00
WIB.
7. Dalam hal nilai Surat Berharga yang di-pledge oleh Bank Umum
lebih rendah dari kewajiban pledge Surat Berharga yang telah
dikonfirmasi …
16
dikonfirmasi sebagaimana dimaksud dalam butir VII.2.j atau
butir IX.5.b, Bank Umum melakukan koreksi atas pledge Surat
Berharga dengan ketentuan sebagai berikut:
a. koreksi pledge dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali.
b. koreksi pledge dilakukan dengan membatalkan pledge yang
telah dilakukan di BI-SSSS.
c. koreksi sebagaimana dimaksud huruf a dilakukan sebelum
pukul 15.00 WIB.
d. Bank Indonesia melakukan verifikasi terhadap koreksi
pledge Surat Berharga Bank Umum mulai pukul 16.00 WIB.
8. Dalam hal setelah terjadinya Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
tanggal pledge Surat Berharga Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
ditetapkan sebagai hari libur oleh Pemerintah Indonesia,
pelaksanaan pledge Surat Berharga dilakukan pada hari kerja
berikutnya dan penyelesaian Transaksi CNY/IDR Repo BCSA first
leg dilakukan pada 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan pledge.
XI. PENYELESAIAN TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA
A. PENYELESAIAN TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA PADA FIRST
LEG
1. Bank Umum wajib memiliki kecukupan nilai nominal, jenis,
dan seri Surat Berharga yang di-pledge pada saat setelmen
first leg yang ditatausahakan di BI-SSSS.
2.
Nilai nominal Surat Berharga yang di-pledge sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 dihitung sebagai berikut:
a. Untuk SBI, SDBI, SBN berupa Surat Perbendaharaan
Negara (SPN), Zero Coupon Bond (ZCB), dan Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) Jangka Pendek
Nilai Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA
ekuivalen
(IDR)
Nilai Transaksi
=
CNY/IDR Repo BCSA
(CNY)
x
Kurs
Transaksi
Jual CNY IDR⁄
Bank Indonesia
Nilai …
17
Nilai Transaksi
Nilai Nominal
Surat Berharga
yang di-pledge
=
CNY/IDR Repo BCSA
Ekuivalen (IDR)
(p-h)
× 100
b. Untuk SBN berupa Obligasi Negara termasuk Obligasi
Negara Ritel (ORI) dan SBSN Jangka Panjang
Nilai Transaksi
CNY/IDR Repo BCSA
ekuivalen
(IDR)
Kurs
Transaksi
JualCNY IDR⁄
Bank Indonesia
Nilai Transaksi
Nilai Nominal
Surat Berharga
yang di-pledge
Keterangan:
p
CNY/IDR Repo BCSA
Ekuivalen (IDR)
=
(p - h) + (c f⁄ ) x (a E⁄ )
x 100
=
Nilai Transaksi
CNY/IDR
Repo BCSA (CNY)
x
: Harga Surat Berharga sebagaimana diumumkan
pada BI-SSSS pada tanggal Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA (dalam persen).
h
: Haircut sebagaimana diumumkan Bank Indonesia
pada tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
(dalam persen).
c
f
a
: Tingkat kupon (dalam persen).
: Frekuensi pembayaran kupon dalam satu tahun.
: Jumlah hari sebenarnya (actual days) dihitung dari
1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode
kupon sampai dengan tanggal setelmen first leg.
E : Jumlah hari sebenarnya (actual days) dihitung dari
1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode
kupon sampai dengan tanggal pembayaran kupon
berikutnya.
3. Dalam hal Bank Umum tidak dapat memenuhi kecukupan
nilai nominal, jenis, dan seri Surat Berharga sebagaimana
dimaksud …
18
dimaksud dalam angka 1 maka Bank Umum akan
dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi bank
kepada Bank Indonesia dalam rangka BCSA.
4. Bank Indonesia melakukan setelmen first leg pada 2 (dua)
hari kerja setelah tanggal Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
(pada tanggal valuta), dengan mentransfer dana Chinese
Yuan ke rekening Bank Umum pada Bank Koresponden
yang berada di Republik Rakyat Tiongkok yang ditunjuk oleh
Bank Umum sebesar nilai pengajuan Transaksi CNY/IDR
Repo BCSA yang disetujui atau dimenangkan.
5. Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan nilai sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 antara Bank Umum dengan Bank
Indonesia maka yang digunakan adalah hasil perhitungan
Bank Indonesia.
6. Dalam hal setelah terjadinya Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
tanggal setelmen first leg Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
ditetapkan sebagai hari libur oleh Pemerintah Indonesia atau
Pemerintah Tiongkok, pelaksanaan setelmen first leg
dilakukan pada hari
kerja berikutnya tanpa
memperhitungkan pengurangan bunga Repo untuk hari
libur dimaksud.
B. PENYELESAIAN TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA PADA
SECOND LEG
1. Pada tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA,
Bank Umum wajib mentransfer kembali dana Chinese Yuan
ke rekening Bank Indonesia di People’s Bank of China dalam
rangka setelmen second leg.
2. Perhitungan nilai Chinese Yuan pada saat setelmen second
leg sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah sebesar:
Nilai
Nilai
Setelmen
Second Leg
=
Setelmen
First Leg
+ Bunga Repo
Bunga …
19
Bunga
Repo
Nilai
=
Setelmen
First Leg
x
Repo
Rate
x
Jangka Waktu (dalam hari)
360
3. Transfer dana Chinese Yuan sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dilakukan paling lambat sebelum penutupan jam
kliring yang berlaku di People’s Bank of China.
4. Penutupan jam kliring sebagaimana dimaksud dalam angka
3, yaitu pada pukul 10.00 Waktu Beijing (pukul 09.00 WIB)
atau waktu lain yang ditetapkan People’s Bank of China.
5. Bank Umum harus menyampaikan konfirmasi kepada Bank
Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Devisa- Grup
Setelmen dan Sistem Tresuri-Divisi Penyelesaian Transaksi
Devisa mengenai pengiriman dana Chinese Yuan ke rekening
Bank Indonesia di People’s Bank of China.
6. Konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam angka 5
disampaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA melalui
authenticated telecommunication.
7. Bank Umum dapat mengirimkan perintah untuk
melepaskan (release) pledge Surat Berharga di BI-SSSS
paling cepat 1 (satu) hari kerja setelah dana Chinese Yuan
diterima sesuai dengan nilai kewajiban second leg di
rekening Bank Indonesia pada People’s Bank of China.
8. Release pledge Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada
angka 7 berlaku efektif setelah Bank Indonesia melakukan
otorisasi di BI-SSSS.
9. Dalam hal Bank Umum tidak dapat memenuhi kewajiban
pengiriman dana Chinese Yuan pada tanggal jatuh waktu
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA (second leg), Bank Indonesia
melakukan:
a. pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption)
dalam hal Surat Berharga yang digunakan berupa SBI
dan/atau SDBI; dan/atau
b. penjualan …
20
b. penjualan Surat Berharga dalam hal Surat Berharga
yang digunakan berupa SBN.
10. Pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) dan/atau
penjualan sebagaimana dimaksud dalam angka 9 dilakukan
sejak 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal jatuh waktu
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
10. Pencairan …
11. Harga Surat Berharga yang digunakan dalam pencairan
sebelum jatuh waktu (early redemption) dan/atau transaksi
penjualan Surat Berharga Bank Umum oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam angka 9 adalah harga
SBI/SDBI yang diumumkan di BI-SSSS pada tanggal
pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) dan/atau
harga SBN yang berlaku di pasar pada tanggal transaksi
penjualan Surat Berharga Bank Umum.
12. Dalam rangka setelmen penjualan Surat Berharga Bank
Umum sebagaimana dimaksud dalam angka 9, Bank
Indonesia memindahkan Surat Berharga ke rekening Bank
Indonesia.
13. Dalam hal hasil pencairan sebelum jatuh waktu (early
redemption) dan/atau penjualan Surat Berharga Bank
Umum tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen second leg Bank Umum, Bank Indonesia mendebet
Rekening Giro valuta asing Bank Umum di Bank Indonesia
untuk melunasi kekurangan kewajiban setelmen second leg
Bank Umum.
14. Dalam hal pembebanan Rekening Giro valuta asing Bank
Umum di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
angka 13 tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban
setelmen second leg Bank Umum, Bank Indonesia mendebet
Rekening Giro Rupiah Bank Umum untuk melunasi
kekurangan kewajiban setelmen second leg.
15. Dalam hal hasil pencairan sebelum jatuh waktu (early
redemption) dan/atau penjualan Surat Berharga Bank
Umum melebihi kewajiban membayar yang telah disepakati
dalam …
21
dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dan kewajiban Bank
Umum lainnya, selisih lebih tersebut akan dikembalikan
kepada Bank Umum melalui Rekening Giro Rupiah Bank
Umum yang bersangkutan di Bank Indonesia.
16. Dalam rangka perhitungan pelunasan kewajiban setelmen
second leg Bank Umum, digunakan kurs transaksi Bank
Indonesia pada tanggal pencairan sebelum jatuh waktu
(early redemption) Surat Berharga, tanggal setelmen
penjualan Surat Berharga, tanggal pendebetan Rekening
Giro valuta asing dan/atau tanggal pendebetan Rekening
Giro Rupiah Bank Umum.
17. Dalam hal setelah terjadinya Transaksi CNY/IDR Repo BCSA
tanggal jatuh waktu (second leg) Transaksi CNY/IDR Repo
BCSA ditetapkan sebagai hari libur oleh Pemerintah
Indonesia atau Pemerintah Tiongkok, pelaksanaan setelmen
dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa
memperhitungkan tambahan bunga Repo untuk hari libur
dimaksud.
XII. PENGHENTIAN TRANSAKSI SEBELUM JATUH WAKTU (EARLY
TERMINATION) TRANSAKSI CNY/IDR REPO BCSA
1. Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan penghentian
transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) terhadap
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA apabila Bank Umum yang
bersangkutan mengalami penurunan peringkat komposit di
bawah 3 (tiga) dan/atau ditemukan adanya pelanggaran lain
terhadap PBI tentang Transaksi Bank Kepada Bank Indonesia
Dalam Rangka Bilateral Currency Swap Arrangement.
2. Dalam hal terjadi penghentian transaksi sebelum jatuh waktu
(early termination) sebagaimana dimaksud dalam angka 1, Bank
Umum menyelesaikan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dengan
mentransfer kembali dana Chinese Yuan ke rekening Bank
Indonesia di People’s Bank of China.
3. Bank..
22
3. Bank Indonesia akan menyampaikan surat kepada Bank Umum
yang berisi pemberitahuan pemberlakuan penghentian transaksi
sebelum jatuh waktu (early termination), tanggal pentransferan
dan jumlah nilai setelmen second leg yang wajib dibayar oleh
Bank Umum.
4. Perhitungan nilai penghentian transaksi sebelum jatuh waktu
(early termination) adalah sebesar setelmen second leg
sebagaimana dimaksud dalam butir XI.B.2.
5. Jangka waktu yang digunakan dalam perhitungan bunga Repo
sebagaimana dimaksud dalam angka 4 tetap menggunakan
jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang disepakati
pada tanggal transaksi.
XIII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. Dalam hal Bank Umum tidak melakukan kewajiban pledge yang
mencukupi terkait nilai nominal, jenis, dan seri Surat Berharga
pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi, tidak memiliki
Underlying Transaksi, menggunakan Underlying Transaksi yang
sama untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA,
tidak menatausahakan dokumen Underlying Transaksi, dan/atau
membatalkan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang telah
diajukan kepada Bank Indonesia maka Bank Umum dikenakan
sanksi berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang tidak
memenuhi persyaratan, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per
transaksi.
2. Dalam hal pada tanggal jatuh waktu (second leg) Bank Umum
tidak mentransfer dana Chinese Yuan sebesar nilai setelmen
second leg Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ke rekening Bank
Indonesia..
23
Indonesia di People’s Bank of China, Bank Umum dikenakan
sanksi berupa:
a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
b. kewajiban membayar dengan perhitungan sebagai berikut:
Sanksi
Nilai
Kewajiban
Membayar
=
Setelmen
Second Leg
x (
Repo
Rate
+300bps) x
Jumlah
Hari
360
Perhitungan hari dalam pengenaan sanksi menggunakan
hari kalender dimulai sejak tanggal jatuh waktu sampai
tanggal pelunasan, tanggal pencairan sebelum jatuh waktu
(early redemption) atau tanggal setelmen penjualan Surat
Berharga (tidak termasuk tanggal pelunasan, tanggal
pencairan sebelum jatuh waktu (early redemption) atau
tanggal setelmen penjualan Surat Berharga).
3. Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam
butir 1.a. dan butir 2.a dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal setelmen atau segera setelah ditemukan adanya
pelanggaran.
4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam butir 1.b dan butir 2.b dilakukan dengan mendebet
Rekening Giro Rupiah Bank Umum di Bank Indonesia paling
lama 2 (dua) hari kerja setelah tanggal setelmen atau segera
setelah ditemukan adanya pelanggaran.
5. Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai pengenaan sanksi
kewajiban membayar adalah kurs tengah yang diumumkan oleh
Bank Indonesia pada tanggal pendebetan Rekening Giro Rupiah
Bank Umum di Bank Indonesia.
XIV. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/12/DPD tanggal 8 April
2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan
Terhadap …
24
terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia;
dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/22/DPM tanggal 2
Agustus 2010 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal
Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat
Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24 Mei
2016
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
DODDY ZULVERDI
KEPALA DEPARTEMEN
PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 18/12/DPM|SE-BI/2016 </reg_id>
<reg_title> Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga dalam Rupiah Bank Umum kepada Bank Indonesia terhadap Chinese Yuan dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement </reg_title>
<set_date> 24 Mei 2016 </set_date>
<effective_date> 24 Mei 2016 </effective_date>
<replaced_reg> '12/22/DPM|SE-BI/2010', '12/12/DPD|SE-BI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '18/7/PBI/2016' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi XIII' </penalty_list>
|
No.17/21/DPM
Jakarta, 28 Agustus 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DEVISA
DI INDONESIA
Perihal
: Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing
terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara
Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5582), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/14/PBI/2015 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 201, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5737), yang selanjutnya
disebut PBI, perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
17/16/DPM tanggal 12 Juni 2015, sebagai berikut:
1. Ketentuan butir I.10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
10. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing
kepada Bank tanpa Underlying Transaksi yang hanya dapat
dilakukan …
2
dilakukan paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh
lima ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing atau
ekuivalennya, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan
kalender, yaitu sejak tanggal permulaan bulan kalender
sampai dengan tanggal berakhirnya bulan kalender.
Contoh:
Jika pada bulan November 20xx Pihak Asing hanya
melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah tanpa
Underlying Transaksi 1 (satu) kali pada tanggal
25 November 20xx sebesar USD25,000.00 maka hal
tersebut diperhitungkan sebagai maksimum jumlah yang
telah digunakan dalam bulan November 20xx. Pihak Asing
dapat kembali menggunakan jumlah maksimum ekuivalen
USD25,000.00 tersebut selama periode Desember 20xx.
b. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada tanggal
transaksi.
Contoh:
Pada tanggal 11 November 20xx, Pihak Asing melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi
Spot beli sebesar USD5,000.00. Kemudian Pihak Asing
kembali melakukan Transaksi Spot beli valuta asing
terhadap Rupiah pada tanggal 30 November 20xx sebesar
USD10,000.00 yang jatuh waktu pada tanggal 2 Desember
20xx. Perhitungan transaksi pembelian valuta asing
terhadap Rupiah oleh Pihak Asing sampai dengan
30 November 20xx adalah USD15,000.00.
c. Perhitungan nominal transaksi didasarkan pada
akumulasi seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan
kalender yang dilakukan oleh masing-masing Pihak Asing
secara individual baik secara tunai maupun non tunai
dalam bentuk simpanan valuta asing.
Contoh:
Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah di Bank Y secara tunai sebesar USD5,000.00 pada
tanggal …
3
tanggal 11 November 20xx. Kemudian, pada tanggal
15 November 20xx Pihak Asing melakukan konversi
simpanan Rupiah menjadi simpanan valuta asing dalam
US Dollar di Bank Y sebesar USD10,000.00. Perhitungan
kumulatif transaksi yang dilakukan oleh Pihak Asing di
Bank Y, yaitu sebesar USD15,000.00.
d. Untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui
rekening gabungan (joint account) yang dimiliki lebih dari
1 (satu) Pihak Asing, Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan
paling banyak sebesar threshold per rekening gabungan
(joint account).
Contoh:
Pihak Asing A dan B memiliki joint account. Pada tanggal
10 November 20xx, Pihak Asing A melakukan Transaksi
Spot pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui joint
account sebesar USD 20,000.00. Atas transaksi tersebut
Pihak Asing A wajib menyampaikan dokumen pendukung
paling lambat pada tanggal 12 November 20xx. Pada
tanggal 24 November 20xx, Pihak Asing B melakukan
Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap Rupiah
melalui
joint account sebesar USD 30,000.00. Atas
pembelian valuta asing tersebut, Pihak Asing B wajib
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung paling lambat pada tanggal
26 November 20xx karena jumlah pembelian valuta asing
terhadap Rupiah yang dilakukan melalui joint account pada
bulan November 20xx telah melebihi USD25,000.00, yaitu
sebanyak USD25,000.00.
2. Ketentuan butir III.9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
9. Untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui
Transaksi Spot dengan nilai nominal di atas USD25,000.00
(dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) maka dokumen
yang disampaikan Pihak Asing kepada Bank berupa:
a. dokumen…
4
a. dokumen Underlying
Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun
yang berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
authenticated dari Pihak Asing yang memuat informasi
mengenai:
1) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya
untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling
banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam
sistem perbankan di Indonesia; dan
3) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada
huruf a berupa perkiraan.
Contoh pernyataan tertulis yang authenticated adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
3. Ketentuan butir III.10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
10. Untuk pembelian valuta asing melalui Transaksi Spot paling
banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat), pernyataan tertulis yang authenticated dari
Pihak Asing memuat informasi bahwa pembelian valuta asing
terhadap Rupiah tidak melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Pihak Asing dalam
sistem perbankan di Indonesia.
Contoh pernyataan tertulis yang authenticated adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
4. Ketentuan butir III.14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
14. Untuk Transaksi Spot di atas USD25.000,00 (dua puluh lima
ribu dolar Amerika Serikat), dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada
tanggal…
5
tanggal transaksi. Apabila dokumen Underlying Transaksi dan
dokumen pendukung tidak dapat diterima pada tanggal
transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan dokumen
pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada
tanggal valuta.
5. Ketentuan butir III.15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
15. Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat)
secara berangsur mencapai nilai di atas USD25,000.00 (dua
puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya
dalam 1 (satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying
Transaksi dilampirkan untuk pembelian valuta asing terhadap
Rupiah yang melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu
dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya.
Contoh:
Pada tanggal 10 November 20XX Pihak Asing melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebesar
USD10,000.00. Kemudian pada tanggal 14 November 20XX
Pihak Asing yang sama melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah sebesar USD15,000.00. Selanjutnya pada
tanggal 19 November 20XX Pihak Asing kembali melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebesar USD60,000.00
maka transaksi pembelian yang dilakukan pada tanggal
19 November 20XX tersebut telah melampaui USD25,000.00.
Dengan demikian untuk pembelian yang dilakukan pada
tanggal 19 November 20XX tersebut, Pihak Asing menyediakan
dokumen Underlying Transaksi sebesar USD60,000.00.
6. Ketentuan butir III.21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
21. Pihak Asing yang melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) per
bulan, dokumen pendukung disampaikan paling kurang
1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender.
Contoh…
6
Contoh:
Pihak Asing C melakukan pembelian valuta asing terhadap
Rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal
19 November 20xx sebesar USD10,000.00. Atas pembelian ini
Bank Y wajib memastikan Pihak Asing C menyampaikan
dokumen berupa pernyataan tertulis yang authenticated.
Pada tanggal 26 November 20xx Pihak Asing C melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot
kepada Bank Y sebesar USD5,000.00. Atas pembelian ini, Pihak
Asing C tidak wajib menyampaikan dokumen berupa
pernyataan tertulis yang authenticated.
Pada tanggal 16 Desember 20xx Pihak Asing C melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot
kepada Bank Y sebesar USD20,000.00. Atas pembelian ini
Bank Y wajib memastikan Pihak Asing C menyampaikan
dokumen berupa pernyataan tertulis yang authenticated.
7. Ketentuan butir IV.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
2. Dalam mengenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 PBI berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Besarnya kewajiban membayar adalah 1% (satu persen)
dari nilai nominal transaksi yang dilanggar dengan jumlah
sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Contoh:
Pada tanggal 5 September 20XX Pihak Asing melakukan
pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi
Spot sebesar USD60,000.00 di Bank A. Atas pembelian
valuta asing terhadap Rupiah tanggal 5 September 20XX,
Bank A tidak meminta Pihak Asing untuk memberikan
dokumen Underlying Transaksi, dan dengan demikian
terdapat pelanggaran yang melebihi threshold sebesar
USD35,000.00. Atas pelanggaran tersebut, Bank A
dikenakan…
7
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar yang dihitung dari nilai nominal USD35,000.00
x 1%, yaitu USD350.00 (jika kurs JISDOR pada tanggal
15 September 20XX adalah Rp10.000,00 maka ekuivalen
perhitungan sanksi adalah Rp3.500.000,00) tetapi minimal
sanksi yang harus dibayar adalah sebesar
Rp10.000.000,00.
b. Pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro
Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 28
Agustus 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
ERWIN RIJANTO
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 17/21/DPM|SE-BI/2015 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing </reg_title>
<set_date> 28 Agustus 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Agustus 2015 </effective_date>
<changed_reg> '16/15/DPM|SE-BI/2014' </changed_reg>
<extension_of> '17/16/DPM|SE-BI/2015' </extension_of>
<related_reg> '17/14/PBI/2015', '16/15/DPM|SE-BI/2014', '17/16/DPM|SE-BI/2015', '16/17/PBI/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'Angka 7 Angka 2' </penalty_list>
|
No. 15/ 52 /DSta
Jakarta, 30 Desember 2013
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK
Perihal : Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan
Harian Bank Umum.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5194) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/6/PBI/2013
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5442) maka perlu dilakukan
perubahan ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM
tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum sebagai
berikut:
1. Menambahkan cakupan informasi yang harus disampaikan oleh bank
kustodian mengenai rekening efek (securities account) Bukan
Penduduk dalam Form 407 pada angka II Penjelasan Formulir dan
Cakupan Informasi Yang Dilaporkan – Lampiran 1 Pedoman
Penyusunan Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran1.
2. Menambahkan sandi jenis pengecualian Pinjaman Luar Negeri (PLN)
yaitu sandi 80 sampai dengan 85 dalam Form 407 pada angka III
Penjelasan Pengisian Field atau Kolom – Lampiran 1 Pedoman
Penyusunan ...
2
Penyusunan Laporan Harian Bank Umum, menjadi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran 1.
3. Menambahkan sandi yang divalidasi di kolom jenis PLN yaitu sandi 80
sampai dengan 85 dalam Form 407 pada Bab 2 Sistem Validasi –
Lampiran 2 Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Harian Bank Umum,
menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2.
4. Menambahkan sandi jenis PLN yang dikecualikan yaitu sandi 80
sampai dengan 85 dalam Form 407 pada Bab 5 – Template dan
Spesifikasi – Lampiran 2 Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Harian
Bank Umum, menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2.
5. Lampiran 1 sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 serta
Lampiran 2 sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 4
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3
Maret 2014.16 Desember 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDY SULISTIOWATY
KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 15/52/DSta|SE-BI/2013 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum. </reg_title>
<set_date> 30 Desember 2013 </set_date>
<effective_date> 3 Maret 2014 </effective_date>
<changed_reg> '13/3/DPM|SE-BI/2011' </changed_reg>
<related_reg> '13/3/DPM|SE-BI/2011', '7/1/PBI/2005', '13/8/PBI/2011', '15/6/PBI/2013' </related_reg>
|
No. 5/13/DASP
Jakarta, 7 juli 2003
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/15/DASP
tanggal 30 September 2002 Perihal Penyelenggaraan Kliring
Lokal Secara Elektronik
Berkenaan dengan diimplementasikannya Sistem Penerimaan Bundel Warkat
Secara Otomasi (Pay In Slip System) dan untuk memberikan penegasan lebih lanjut
mengenai ketentuan pengisian nomor sandi Peserta Kliring pada spesimen Warkat,
jangka waktu penyesuaian Warkat dan Dokumen Kliring dalam hal terdapat
perubahan nama Peserta, status kantor dan atau status kepesertaan, prosedur
penanganan Warkat reject, pendistribusian disket data Kliring pengembalian dan
penyediaan fasilitas informasi hasil Kliring, dipandang perlu untuk melakukan
perubahan atas beberapa ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia
No. 4/15/DASP tanggal 30 September 2002 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal
Secara Elektronik sebagai berikut.
1.
Ketentuan butir III.C.1.c diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“c. foto kopi surat persetujuan penggunaan Warkat dan Dokumen Kliring.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bank baru yang telah memperoleh izin
prinsip dalam rangka pendirian Bank segera mengajukan permohonan
persetujuan Warkat dan Dokumen Kliring kepada Bank Indonesia dengan
tata …
2
tata cara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Warkat, Dokumen Kliring, dan pencetakannya pada
perusahaan percetakan dokumen sekuriti. Dalam hal ini, khusus untuk
mendapat persetujuan atas Warkat dan Dokumen Kliring yang akan
digunakan, pengisian nomor sandi Peserta Kliring pada spesimen Warkat
dan Dokumen Kliring menggunakan nomor sandi 888-9993.”
2. Ketentuan butir III.D.1 diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“1. Perubahan nama Peserta
a. Kantor Pusat Peserta wajib melaporkan perubahan nama Peserta
secara tertulis kepada Penyelenggara paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kalender sejak tanggal surat persetujuan perihal penggunaan
Warkat dan Dokumen Kliring dengan nama baru dari Bank
Indonesia dengan melampirkan :
1) foto kopi salinan keputusan tentang perubahan nama Bank dari
Bank Indonesia;
2) contoh Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan;
3) foto kopi surat persetujuan penggunaan Warkat dan Dokumen
Kliring dengan nama baru, sekurang-kurangnya meliputi
persetujuan untuk Cek, Bilyet Giro, Nota Debet, Nota Kredit,
Kartu Batch dan Bukti Penyerahan Warkat (BPW);
4) 2 (dua) disket kosong ukuran 3.5” (90 mm) untuk diisi rekaman
aplikasi SOKL untuk kegiatan Kliring pengembalian.
b. Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak semua lampiran sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dipenuhi, kepada Peserta yang bersangkutan
diberikan :
1) surat persetujuan penggunaan nama Peserta yang baru dalam
Kliring;
2) TPPK …
3
2) TPPK untuk Petugas Kliring bagi PLA dan PLP;
3) 2 (dua) disket ukuran 3.5” (90 mm) yang berisi rekaman
aplikasi SOKL untuk kegiatan Kliring pengembalian.
c. Penyelenggara mengumumkan secara tertulis kepada seluruh Peserta
mengenai perubahan nama Peserta paling lambat 2 (dua) hari kerja
sebelum tanggal efektif berlakunya nama Peserta yang baru yang
tercantum dalam surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
butir b.1), disertai foto kopi contoh Stempel Kliring dan Stempel
Kliring Dibatalkan.”
3. Ketentuan butir III.D.4.n diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“n. Dalam hal Peserta mengalami perubahan nama, status kantor, dan atau
status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam butir III.D.1 dan III.D.4
maka Peserta yang bersangkutan wajib untuk melakukan penyesuaian
terhadap Warkat dan Dokumen Kliring paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak :
1) tanggal surat persetujuan penggunaan nama Peserta yang baru dalam
Kliring sebagaimana dimaksud dalam butir III.D.1.b.1) yang berlaku
secara nasional; dan atau
2) penetapan tanggal efektif keikutsertaan Peserta dengan status kantor
dan atau status kepesertaan yang baru dalam Kliring Lokal oleh
Penyelenggara.”
4. Ketentuan butir IV.B.2.c diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“c. BPW sebagaimana dimaksud dalam butir IV.B.1.a dan IV.B.1.b dibuat
oleh Bank Pengirim dengan ketentuan sebagai berikut :
1) BPW diisi dengan informasi dalam bentuk MICR code line;
2) BPW dibubuhi tanda tangan dan nama jelas oleh Peserta pada kolom
yang telah tersedia;
3) BPW …
4
3) BPW akan diserahkan kembali kepada Petugas Kliring yang
menyerahkan Bundel Warkat setelah sisi belakang BPW dicetak
informasi penerimaan Bundel Warkat dengan mesin baca MICR oleh
Penyelenggara sebagai bukti telah menerima Bundel Warkat yang
dianggap telah memenuhi persyaratan dan pengisian Bundel
Warkat.”
5. Ketentuan butir V.A.5 dihapus.
6. Ketentuan butir VI.A.1.a.5) diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“5) menyusun Bundel Warkat berikut Dokumen Kliring dengan
urutan sebagai berikut :
a) Bundel Warkat debet terdiri dari :
(1) BPWD;
(2) Lembar Substitusi yang dilampiri add-list;
(3) KBWD; dan
(4) Warkat debet yang bersangkutan.
b) Bundel Warkat kredit terdiri dari :
(1) BPWK;
(2) Lembar Substitusi yang dilampiri add-list;
(3) KBWK; dan
(4) Warkat kredit yang bersangkutan.”
7. Ketentuan butir VI.A.1.b.1) diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“1) Petugas Kliring mencantumkan waktu penyerahan Bundel Warkat dengan
cara memasukkan BPW ke dalam mesin tera waktu (time stamp) yang
telah disediakan oleh Penyelenggara;”
8. Ketentuan …
5
8. Ketentuan butir VI.A.1.b.3) diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“3) Petugas loket memeriksa kelengkapan dan pengisian Dokumen Kliring
dalam setiap Bundel Warkat. Apabila Dokumen Kliring telah memenuhi
persyaratan kelengkapan dan pengisian maka petugas loket mencetak
informasi penerimaan Bundel Warkat dengan menggunakan mesin baca
MICR pada sisi belakang BPW sebagai pengganti paraf petugas loket,
kemudian mengembalikan BPW tersebut beserta bukti penyerahan media
rekaman data yang telah diparaf oleh petugas loket kepada Petugas
Kliring sebagai tanda terima;”
9. Ketentuan butir VI.A.1.b.4) diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“4) Dalam hal persyaratan kelengkapan dan pengisian Dokumen Kliring
sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.1.b.3) tidak dipenuhi, petugas
loket melakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Apabila pencetakan tanda terima dengan mesin baca MICR belum
dilakukan, pembatalan penerimaan Bundel Warkat dilakukan dengan
mencoret time stamp dan membubuhkan paraf disertai alasan
pembatalan;
b) Apabila pencetakan tanda terima dengan mesin baca MICR telah
dilakukan, pembatalan penerimaan Bundel Warkat dilakukan dengan
cara membubuhi Stempel Tanda Terima Dibatalkan disertai alasan
pembatalan. Contoh Stempel Tanda Terima Dibatalkan sebagaimana
pada Lampiran 9a.”
10. Isi Lampiran 10 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan butir VI.A.1.b.5)
diubah sehingga menjadi sebagaimana terlampir pada Surat Edaran ini.”
11. Ketentuan …
6
11. Ketentuan butir VI.A.1.c.2) diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“2) mencocokkan total nominal pada BPW sebagaimana dimaksud pada
butir VI.A.1.b.3) serta jumlah lembar Warkat yang diserahkan dengan
laporan “Daftar Data Keuangan Elektronik Kliring Penyerahan yang
Diserahkan” (KNB-SKE(X)-1205/SKE(X)-1205);”
12. Ketentuan butir VI.A.2.b.7) diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“7) Petugas Kliring menerima lembar kedua BPRWKP yang telah
diparaf oleh petugas Penyelenggara.”
13. Ketentuan butir VI.A.2.b.12) diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“12) Penyelenggara mendistribusikan Warkat yang telah diproses, laporan
hasil proses Kliring pengembalian dan disket rekaman data Kliring
pengembalian kepada Petugas Kliring.”
14. Ketentuan butir VI.A.2.c diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“c. Kegiatan di kantor Peserta setelah menerima Warkat, laporan hasil proses
Kliring pengembalian dan disket rekaman data Kliring pengembalian dari
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.2.b.12), adalah
meneliti dan mencocokkan laporan hasil proses Kliring pengembalian
dengan data Warkat yang diserahkan maupun fisik Warkat yang
diterima.”
15. Ketentuan butir VI.B.1.a diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“a. Melakukan penelitian atas Warkat dan Dokumen Kliring sebelum Bundel
Warkat diserahkan kepada Penyelenggara. Dalam hal ini Peserta wajib
meneliti dan bertanggung jawab atas :
1) keabsahan Warkat dan Dokumen Kliring Peserta yang bersangkutan;
2) kebenaran pencantuman informasi MICR code line pada Warkat;
3) kebenaran …
7
3) kebenaran jumlah lembar dan nominal pada Warkat dan Dokumen
Kliring; dan
4) kelengkapan Dokumen Kliring.
Jumlah nominal yang tercantum pada BPW dan Kartu Batch harus sama
dengan jumlah nominal keseluruhan Warkat berdasarkan add-list (bukti
penjumlahan mesin hitung) yang dilampirkan pada Lembar Substitusi.”
16. Ketentuan butir VI.B.1.b diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“b. Penyelenggara tidak bertanggung jawab atas :
1) keabsahan Warkat dan Dokumen Kliring; dan
2) kebenaran jumlah lembar dan nominal pada Warkat dan Dokumen
Kliring.”
17. Ketentuan butir VI.B.1.i diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“i. Melakukan pencocokan antara nominal yang tercantum pada BPW dan
jumlah lembar BPW yang diterima dari Penyelenggara dengan catatan
intern Peserta mengenai nominal yang tercantum dalam BPW dan jumlah
lembar BPW yang diserahkan kepada Penyelenggara;”
18. Ketentuan butir VI.B.2.e diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“e Peserta Kliring yang menerima Warkat, laporan hasil proses Kliring
pengembalian dan disket rekaman data Kliring Pengembalian milik
Peserta lain, wajib segera memberitahukan dan menyerahkan kepada
Peserta yang seharusnya menerima serta melaporkan kepada
Penyelenggara pada hari yang sama.”
19. “Isi Lampiran 12 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan butir
VI.D.2.b.1).b).(2) diubah sehingga menjadi sebagaimana terlampir pada Surat
Edaran ini.”
20. Ketentuan …
8
20. Ketentuan butir VI.E.1. diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“1. Informasi Hasil Kliring
Informasi hasil Kliring diperoleh Peserta dalam bentuk :
a.
elektronik yang dapat diakses secara elektronis oleh Peserta dari
Penyelenggara, melalui :
1) TPK, meliputi informasi :
a) Daftar Sandi Peserta Kliring Elektronik dan Peserta
Kliring Warkat Luar Wilayah;
b) Daftar DKE yang dikirim Peserta ke SPKE;
c) Hasil Kliring penyerahan.
2) Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh, meliputi informasi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh.”
21. Ketentuan butir VI.E.3 diubah sehingga menjadi sebagai berikut :
“3. Penyelenggara menyediakan fasilitas investigasi selisih yaitu fasilitas
untuk melakukan penelitian terhadap ketidaksesuaian antara laporan hasil
proses Kliring dengan :
a. DKE atau data Warkat yang disampaikan Peserta kepada
Penyelenggara; dan atau
b. Warkat yang diterima Peserta dari Penyelenggara.
Permintaan terhadap fasilitas investigasi selisih dilakukan dengan telepon
atau faksimili oleh Peserta untuk selanjutnya ditegaskan secara tertulis
dengan surat yang dilampiri BPW dan laporan hasil proses Kliring atau
data pendukung lainnya yang diperlukan.
Permintaan untuk melakukan investigasi selisih hanya dapat diajukan
oleh Peserta dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah hasil Kliring
dibukukan …
9
dibukukan oleh Bank Indonesia. Dalam hal permintaan untuk melakukan
investigasi selisih tersebut melampaui jangka waktu tersebut di atas,
Penyelenggara tidak menyediakan fasilitas investigasi selisih, kecuali
apabila terdapat indikasi tindak pidana.”
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus
2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
Ttd.
MOHAMAD ISHAK
DIREKTUR AKUNTING
DAN SISTEM PEMBAYARAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 5/13/DASP|SE-BI/2003 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/15/DASP tanggal 30 September 2002 Perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik </reg_title>
<set_date> 7 Juli 2003 </set_date>
<effective_date> 1 Agustus 2003 </effective_date>
<changed_reg> '4/15/DASP|SE-BI/2002' </changed_reg>
<related_reg> '4/15/DASP|SE-BI/2002' </related_reg>
|
No.4/ 6 /DPM
Jakarta, 25 April 2002
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal: Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang
dijamin Pemerintah
Menunjuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan atas Simpanan
Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 23; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4082) serta memperhatikan
Surat Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Bank Indonesia
Nomor PROG-2345/BPPN/0700 tanggal 28 Juli 2000 perihal Penetapan
Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga dan Maksimum Suku Bunga
Pasar Uang Antar Bank yang dijamin oleh Pemerintah, dengan ini
diberitahukan bahwa marjin suku bunga Simpanan Pihak Ketiga yang
dijamin oleh Pemerintah:
- dalam Rupiah ditetapkan sebesar 300 (tiga ratus) basis point; sedangkan
- dalam valuta asing ditetapkan sebesar 100 (seratus) basis point,
di atas rata-rata suku bunga deposito berjangka dari bank-bank anggota
JIBOR yang dipilih oleh Bank Indonesia.
Dengan …
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 3/19/DPNP tanggal 14 Agustus 2001 perihal Penetapan
Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang Dijamin Pemerintah
dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei
2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar maklum.
BANK INDONESIA
ASLIM TADJUDDIN
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
DPM.
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 4/6/DPM|SE-BI/2002 </reg_id>
<reg_title> Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah </reg_title>
<set_date> 25 April 2002 </set_date>
<effective_date> 1 Mei 2002 </effective_date>
<replaced_reg> '3/19/DPNP|SE-BI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '3/5/PBI/2001', 'PROG-2345/BPPN/0700|SRT-BPPN/2000' </related_reg>
|
No. 9/7/DPM
Jakarta, 30 Maret 2007
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
Perihal : Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/5/PBI/2007 tanggal 30 Maret 2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan
Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4715) dipandang perlu
untuk menyusun tata cara pelaksanaan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan prinsip
Syariah sebagai berikut.
I. UMUM
1. Bank Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional.
2. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
3. Unit …
2
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah:
a. unit kerja di kantor pusat Bank Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah; atau
b. unit kerja di kantor cabang dari Bank Konvensional yang berkedudukan
di luar negeri yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
pembantu syariah dan atau unit syariah.
4. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut
PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank
berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing.
5. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah
yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS yang digunakan sebagai sarana
transaksi di PUAS.
6. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut LHBU adalah laporan
yang disusun dan disampaikan oleh bank pelapor secara harian kepada Bank
Indonesia.
II. TATA CARA PENERBITAN DAN TRANSAKSI INSTRUMEN PUAS
1. Bank Syariah atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS selain yang
telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia wajib mengajukan surat
permohonan persetujuan penerbitan Instrumen PUAS (sebagaimana contoh
yang tercantum pada lampiran SE ini) kepada Bank Indonesia u.p. Direktorat
Perbankan Syariah (DPbS) dengan tembusan kepada Direktorat Pengelolaan
Moneter (DPM).
2. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus disertai
dokumen sebagai berikut :
a. fotokopi fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Instrumen PUAS yang
akan diterbitkan;
b. opini syariah Dewan Pengawas Syariah dari Bank Syariah atau UUS
terhadap Instrumen PUAS yang akan diterbitkan;
c. penjelasan …
3
c. penjelasan tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan paling kurang
menjelaskan karakteristik, skema transaksi, proses akuntansi, pihak yang
berwenang, infrastruktur yang diperlukan, dan analisis risiko Instrumen
PUAS tersebut;
d. draft atau pokok-pokok ketentuan dalam akad atau kontrak keuangan; dan
e. informasi dan atau dokumen lainnya yang dinilai relevan dan berguna
untuk menilai manfaat serta risiko Instrumen PUAS tersebut;
3. Untuk Bank Syariah, surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1
ditandatangani oleh direksi.
4. Untuk UUS surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1
ditandatangani oleh direksi kantor pusat Bank Konvensional, atau oleh
kepala UUS.
5. Bank Syariah atau UUS harus melakukan presentasi kepada Bank Indonesia
dalam rangka mendapatkan izin atas Instrumen PUAS yang akan diterbitkan.
6. Bank Indonesia akan menerbitkan surat persetujuan atau penolakan terhadap
surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1.
7. Dalam hal Instrumen PUAS, telah mendapatkan persetujuan dari Bank
Indonesia, Instrumen PUAS dimaksud belum dapat diterbitkan oleh Bank
Syariah atau UUS sampai diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia
yang mengatur tentang Instrumen PUAS tersebut.
8. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Instrumen PUAS maka Bank Syariah atau UUS yang mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan Bank Syariah atau
UUS lainnya dapat langsung menerbitkan dan menggunakan Instrumen
PUAS dimaksud tanpa perlu mengajukan izin penerbitan Instrumen PUAS
yang baru sepanjang Instrumen PUAS yang diterbitkan tidak berbeda dengan
Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia
pada angka 7.
9. Bank …
4
9. Bank Syariah, UUS atau Bank Konvensional dapat membeli Instrumen PUAS
yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS.
10. Bank Syariah atau UUS yang menerbitkan Instrumen PUAS harus
memberikan informasi terkait dengan Instrumen PUAS dimaksud kepada
Bank Syariah, UUS, atau Bank Konvensional yang akan membeli Instrumen
PUAS tersebut.
11. Informasi terkait dengan Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud angka 10
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Instrumen PUAS tersebut.
IV. PELAPORAN
Bank Syariah, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi PUAS
wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia melalui sistem LHBU
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai LHBU.
V. SANKSI
1. Bank Syariah atau UUS yang tidak menaati ketentuan tatacara penerbitan
Instrumen PUAS dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
2. Bank Syariah, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi
PUAS yang tidak melapor dan atau salah melaporkan transaksi PUAS kepada
Bank Indonesia dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai LHBU.
VI. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 30 Maret 2007.
Agar …
5
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
DPM
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 9/7/DPM|SE-BI/2007 </reg_id>
<reg_title> Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title>
<set_date> 30 Maret 2007 </set_date>
<effective_date> 30 Maret 2007 </effective_date>
<related_reg> '9/5/PBI/2007' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
|
No. 16/21/DSta
Jakarta, 12 Desember 2014
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal
Laporan Bulanan Bank Umum
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4950) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/2/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5113),
Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi
Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/5/PBI/2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5440), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 223, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5469) maka perlu melakukan
perubahan terhadap Lampiran - Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan
Bank Umum (LBU) 2008 dari Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank
Umum…
2
Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Surat Edaran
Bank Indonesia:
a. Nomor 12/7/DSM tanggal 10 Maret 2010;
b. Nomor 14/5/DSM tanggal 27 Januari 2012,
sebagai berikut:
1. menambahkan pos-pos rincian Neraca untuk Tambahan Modal
Disetor, yaitu sandi 471, sandi 472, sandi 473, sandi 474, sandi 475,
dan sandi 476 pada angka:
a. III.1.1 Neraca per Kantor (Form-01);
b. IV.1.1 Neraca Gabungan (Form-01);
c. V.1.1 Neraca Gabungan, termasuk UUS (Form-01),
d. VI.1.1 Neraca Perusahaan Anak; dan
e. VII.1.1 Neraca Konsolidasi;
2. menghapus pos-pos rincian Neraca untuk Tambahan Modal Disetor,
yaitu sandi 453 pada angka:
a. III.1.1 Neraca per Kantor (Form-01);
b. IV.1.1 Neraca Gabungan (Form-01);
c. V.1.1 Neraca Gabungan, termasuk UUS (Form-01),
d. VI.1.1 Neraca Perusahaan Anak; dan
e. VII.1.1 Neraca Konsolidasi;
3. mengubah penjelasan pos-pos rincian Neraca untuk Modal Disetor
dan Tambahan Modal Disetor pada angka:
a. III.1.2 Penjelasan Pos-Pos Neraca Bulanan;
b. III.37.2 Penjelasan Daftar Rincian Modal Pinjaman; dan
c. III.38.2 Penjelasan Daftar Rincian Modal Disetor;
4. mengubah penjelasan Term Deposit pada angka III.4.2 Penjelasan
Daftar Rincian Penempatan pada Bank Indonesia;
5. menghapus sandi 012, sandi 022, sandi 032, sandi 042, sandi 052,
sandi …
3
sandi 062, sandi 072, dan sandi 082 pada angka III.37.1 Sandi
Rincian Modal Pinjaman;
6. menambahkan sandi 10, sandi 11, sandi 12, sandi 13, dan sandi 14
pada angka III.38.1 Sandi Rincian Modal Disetor;
7. menambahkan 2 (dua) kolom baru yaitu Kolom Jumlah Agio dan
Kolom Jumlah Disagio pada angka III.38.3 Daftar Rincian Modal
Disetor (Form-38);
8. menambahkan sandi 044 - Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI)
pada angka:
a. III.7.1 Sandi Rincian Surat Berharga;
b. III.8.1 Sandi Rincian Surat Berharga yang Dijual dengan Janji
Dibeli Kembali (Repo);
c. III.9.1 Sandi Rincian Tagihan atas Surat Berharga yang Dibeli
dengan Janji Dijual Kembali (Reverse Repo); dan
d. III.29.1 Sandi Rincian Kewajiban atas Surat Berharga yang Dijual
dengan Janji Dibeli Kembali (Repo); dan
9. menambahkan penjelasan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI)
pada angka:
a. III.7.2 Penjelasan Daftar Rincian Surat Berharga;
b. III.8.2 Penjelasan Daftar Rincian Surat Berharga yang Dijual
dengan Janji Dibeli Kembali (Repo);
c. III.9.2 Penjelasan Daftar Rincian Tagihan atas Surat Berharga
yang Dibeli dengan Janji Dijual Kembali (Reverse Repo); dan
d. III.29.2 Penjelasan Daftar Rincian Kewajiban atas Surat Berharga
yang Dijual dengan Janji Dibeli Kembali (Repo),
sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
Surat …
4
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku untuk pelaporan
data bulan Desember 2014 yang disampaikan pada bulan Januari
2015.Desembr 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
PERRY WARJIYO
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 16/21/DSta|SE-BI/2014 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum </reg_title>
<set_date> 12 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> pelaporan data bulan Desember 2014 yang disampaikan pada bulan Januari 2015 </effective_date>
<changed_reg> '11/2/DSM|SE-BI/2009' </changed_reg>
<extension_of> '12/7/DSM|SE-BI/2010', '14/5/DSM|SE-BI/2012' </extension_of>
<related_reg> '15/5/PBI/2013', '12/2/PBI/2010', '10/40/PBI/2008', '12/11/PBI/2010', '11/2/DSM|SE-BI/2009', '15/12/PBI/2013', '12/7/DSM|SE-BI/2010', '14/5/DSM|SE-BI/2012' </related_reg>
|
No. 14/ 7 /DPbS
Jakarta, 29 Februari 2012
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal: Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4896), Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008
tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, dan dengan
dikeluarkannya fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 79/DSN-
MUI/III/2011 tanggal 8 Maret 2011 perihal Qardh dengan
Menggunakan Dana Nasabah, serta mempertimbangkan
perkembangan produk qardh beragun emas yang semakin pesat yang
berpotensi meningkatkan risiko bagi perbankan syariah, maka perlu
dilakukan pengaturan secara khusus mengenai produk qardh beragun
emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagai berikut:
I. UMUM
1. Qardh adalah suatu akad penyaluran dana oleh Bank Syariah
atau UUS kepada nasabah sebagai utang piutang dengan
ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana
tersebut…
tersebut kepada Bank Syariah atau UUS pada waktu yang
telah disepakati.
2. Akad qardh terdiri atas 2 (dua) macam:
a. akad qardh yang berdiri sendiri, dengan karakteristik
sebagai berikut:
1) pembiayaan digunakan untuk tujuan sosial dan
bukan untuk mendapatkan keuntungan;
2) sumber dana dapat berasal dari bagian modal,
keuntungan yang disisihkan, dan/atau zakat, infak,
sedekah dan tidak boleh menggunakan dana pihak
ketiga;
3)
4)
jumlah pinjaman wajib dikembalikan pada waktu
yang telah disepakati;
tidak boleh dipersyaratkan adanya imbalan dalam
bentuk apapun;
5) nasabah dapat memberikan tambahan (sumbangan)
dengan sukarela selama tidak diperjanjikan dalam
akad; dan
6) nasabah dapat dikenakan biaya administrasi; dan
b. akad qardh yang dilakukan bersamaan dengan transaksi
lain yang menggunakan akad-akad mu’awadhah
(pertukaran dan dapat bersifat komersial) dalam produk
yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, dapat
dilakukan antara lain dalam produk rahn emas,
pembiayaan pengurusan haji, pengalihan utang, syariah
charge card, syariah card, dan anjak piutang syariah.
3. Qardh Beragun Emas adalah salah satu produk yang
menggunakan akad qardh sebagaimana dimaksud dalam
butir 2.b. dengan agunan berupa emas yang diikat dengan
akad rahn, dimana emas yang diagunkan disimpan dan
dipelihara…
dipelihara oleh Bank Syariah atau UUS selama jangka waktu
tertentu dengan membayar biaya penyimpanan dan
pemeliharaan atas emas sebagai objek rahn yang diikat
dengan akad ijarah.
II. KARAKTERISTIK PRODUK QARDH BERAGUN EMAS
1. Tujuan penggunaan adalah untuk membiayai keperluan dana
jangka pendek atau tambahan modal kerja jangka pendek
untuk golongan nasabah Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta tidak
dimaksudkan untuk tujuan investasi.
2. Akad yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. akad qardh, untuk pengikatan pinjaman dana yang
disediakan Bank Syariah atau UUS kepada nasabah;
b. akad rahn, untuk pengikatan emas sebagai agunan atas
pinjaman dana; dan
c. akad ijarah, untuk pengikatan pemanfaatan jasa
penyimpanan dan pemeliharaan emas sebagai agunan
pinjaman dana.
3. Biaya yang dapat dikenakan oleh Bank Syariah atau UUS
kepada nasabah antara lain biaya administrasi, biaya
asuransi, dan biaya penyimpanan dan pemeliharaan.
4. Penetapan besarnya biaya penyimpanan dan pemeliharaan
agunan emas didasarkan pada berat agunan emas dan tidak
dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diterima nasabah.
5. Sumber dana dapat berasal dari bagian modal, keuntungan
yang disisihkan, dan/atau dana pihak ketiga.
6. Pendapatan dari penyimpanan dan pemeliharaan emas yang
berasal dari produk Qardh Beragun Emas yang sumber
dananya…
dananya berasal dari dana pihak ketiga harus dibagikan
kepada nasabah penyimpan dana.
7. Pemberian Qardh Beragun Emas wajib didukung kebijakan
dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP) tertulis
secara memadai, termasuk penerapan manajemen risiko.
8. Bank Syariah atau UUS wajib menjelaskan secara lisan atau
tertulis (transparan) kepada nasabah antara lain:
a. karakteristik produk antara lain fitur, risiko, manfaat,
biaya, persyaratan, dan penyelesaian apabila terdapat
sengketa;
b. hak dan kewajiban nasabah termasuk apabila terjadi
eksekusi agunan emas.
III. PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENERAPAN PRODUK QARDH
BERAGUN EMAS
1. Tujuan penggunaan dana oleh nasabah wajib dicantumkan
secara jelas pada formulir aplikasi produk.
2. Emas yang akan diserahkan sebagai agunan Qardh Beragun
Emas harus sudah dimiliki oleh nasabah pada saat
permohonan pembiayaan diajukan.
3. Jumlah portofolio Qardh Beragun Emas pada setiap akhir
bulan paling banyak:
a. untuk Bank Syariah, jumlah yang lebih kecil antara
sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh
pembiayaan yang diberikan atau sebesar 150% (seratus
lima puluh persen) dari modal bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM).
b. untuk…
b. untuk UUS, sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah
seluruh pembiayaan yang diberikan.
Contoh 1 :
Jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan pada Bank
Syariah A adalah sebesar Rp130.000.000.000,00 (seratus tiga
puluh miliar rupiah). Jumlah modal bank pada Bank Syariah
A adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
Perhitungan jumlah seluruh Qardh Beragun Emas pada Bank
Syariah A adalah sebagai berikut:
1) Berdasarkan portofolio jumlah Qardh Beragun Emas
dari jumlah seluruh pembiayaan adalah :
= 20% x Rp130.000.000.000,00
= Rp26.000.000.000,00
2) Berdasarkan jumlah modal bank adalah :
= 150% x Rp20.000.000.000,00
= Rp30.000.000.000,00
Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, maka jumlah
Qardh Beragun Emas pada Bank Syariah A paling banyak
adalah sebesar Rp26.000.000.000,00 (dua puluh enam miliar
rupiah).
Contoh 2 :
Jumlah seluruh pembiayaan yang diberikan pada Bank
Syariah B adalah sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah). Jumlah modal bank pada Bank Syariah B
adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
Perhitungan jumlah seluruh Qardh Beragun Emas pada Bank
Syariah B adalah sebagai berikut:
1) Berdasarkan…
1) Berdasarkan portofolio jumlah Qardh Beragun Emas dari
jumlah seluruh pembiayaan adalah :
= 20% x Rp200.000.000.000,00
= Rp40.000.000.000,00
2) Berdasarkan jumlah modal Bank adalah :
= 150% x Rp20.000.000.000,00
= Rp30.000.000.000,00
Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, maka jumlah
Qardh Beragun Emas pada Bank Syariah B paling banyak
adalah sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar
rupiah).
4. Pembiayaan Qardh Beragun Emas dapat diberikan paling
banyak sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) untuk setiap nasabah, dengan jangka waktu
pembiayaan paling lama 4 (empat) bulan dan dapat
diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali.
5. Khusus untuk nasabah Usaha Mikro dan Kecil, dapat
diberikan pembiayaan Qardh Beragun Emas paling banyak
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dengan
jangka waktu pembiayaan paling lama 1 (satu) tahun dengan
angsuran setiap bulan dan tidak dapat diperpanjang.
6. Financing To Value (FTV) yang merupakan perbandingan
antara jumlah pinjaman yang diterima oleh nasabah dengan
nilai emas yang diagunkan oleh nasabah kepada Bank
Syariah atau UUS, paling banyak adalah sebesar 80%
(delapan puluh persen) dari rata-rata harga jual emas 100
(seratus) gram dan harga beli kembali (buyback) emas PT.
ANTAM (Persero) Tbk.
Bank…
Bank Syariah atau UUS dapat menetapkan FTV dengan
menggunakan acuan lain sepanjang nilai FTV yang dihasilkan
lebih kecil dari atau sama dengan nilai FTV yang ditetapkan.
Contoh 1:
Nasabah C pada Bank Syariah D memiliki emas seberat 70
gram. Harga emas berdasarkan PT. ANTAM (Persero) Tbk
sebagai berikut:
- harga jual emas 100 gram sebesar Rp550.000,00 (lima
ratus lima puluh ribu rupiah) per gram; dan
- harga beli kembali (buyback) emas sebesar Rp540.000,00
(lima ratus empat puluh ribu rupiah) per gram.
Bank Syariah D menetapkan nilai FTV sebesar 90% dari harga
pasar emas dunia rata-rata selama 30 (tiga puluh) hari
terakhir.
1) Perhitungan FTV untuk nasabah C berdasarkan harga
yang ditetapkan PT ANTAM (Persero) Tbk adalah sebagai
berikut:
FTV = 80% x [70 gram x ((harga jual+harga beli)/2)]
= 80% x[70 gramx((Rp550.000,00+Rp540.000,00)/2)]
= 80% x [70 gram x Rp545.000,00]
= 80% x Rp38.150.000,00
= Rp30.520.000,00
2) Apabila harga emas per gram berdasarkan perhitungan
harga pasar emas dunia rata-rata selama 30 (tiga puluh)
hari terakhir adalah sebesar Rp520.000,00 (lima ratus
dua puluh lima ribu rupiah), maka perhitungan FTV
untuk nasabah C adalah sebagai berikut:
FTV = 90% x (70 gram x harga acuan)
= 90% x (70 gram x Rp520.000,00)
= 90% x Rp36.400.000,00
=Rp32.760.000,00...
= Rp32.760.000,00
Berdasarkan data tersebut di atas, maka nilai FTV untuk
nasabah C paling banyak adalah sebesar Rp30.520.000,00
(tiga puluh juta lima ratus dua puluh ribu rupiah).
Contoh 2:
Nasabah C pada Bank Syariah D memiliki emas seberat 70
gram.
Harga emas berdasarkan PT. ANTAM (Persero) Tbk sebagai
berikut:
- harga jual emas 100 gram sebesar Rp550.000,00 (lima
ratus lima puluh ribu rupiah) per gram; dan
- harga beli kembali (buyback) emas sebesar Rp540.000,00
(lima ratus empat puluh ribu rupiah) per gram.
Bank Syariah D menetapkan nilai FTV sebesar 90% dari harga
pasar emas dunia rata-rata selama 30 (tiga puluh) hari
terakhir.
1) Perhitungan FTV untuk nasabah C berdasarkan harga
yang ditetapkan PT ANTAM, Tbk adalah sebagai berikut:
FTV = 80% x [70 gram x ((harga jual+harga beli)/2)]
= 80% x[70 gramx((Rp550.000,00+Rp540.000,00)/2)]
= 80% x [70 gram x Rp545.000,00]
= 80% x Rp38.150.000,00
= Rp30.520.000,00
2) Apabila harga emas per gram berdasarkan perhitungan
harga pasar emas dunia rata-rata selama 30 (tiga puluh)
hari terakhir adalah sebesar Rp482.000,00 (empat ratus
delapan puluh ribu rupiah), maka perhitungan FTV
untuk nasabah C adalah sebagai berikut:
FTV = 90% x (70 gram x harga acuan)
= 90% x (70 gram x Rp482.000,00)
= 90% …
= 90% x Rp33.740.000,00
= Rp30.366.00,00
Berdasarkan data tersebut di atas, maka nilai FTV untuk
nasabah C adalah sebesar Rp30.366.000,00 (tiga puluh juta
tiga ratus enam puluh enam ribu rupiah).
IV. PERMOHONAN PERSETUJUAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN
REALISASI PRODUK QARDH BERAGUN EMAS
1. Bank Syariah atau UUS yang akan melakukan penyaluran
dana dalam produk Qardh Beragun Emas harus memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
2. Tata cara, persyaratan, dan dokumen dalam rangka
permohonan persetujuan produk Qardh Beragun Emas
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
3. Bank Syariah atau UUS wajib melaporkan realisasi
pengeluaran produk Qardh Beragun Emas paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah dikeluarkan produk tersebut.
V. ALAMAT PERMOHONAN IZIN DAN/ATAU PENYAMPAIAN
LAPORAN
Permohonan izin dan/atau penyampaian laporan produk Qardh
Beragun Emas diajukan kepada Bank Indonesia dengan alamat
sebagai berikut:
1. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta
10350, bagi Bank Syariah atau UUS yang berkedudukan di
wilayah DKI Jakarta Raya, Banten, Bogor, Depok, Karawang,
dan Bekasi; atau
2. Kantor Bank Indonesia setempat dengan tembusan Direktorat
Perbankan Syariah, bagi Bank Syariah atau UUS yang
berkedudukan …
berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud pada
angka 1.
VI. PENGHENTIAN PRODUK
1. Bank Indonesia dapat meminta Bank Syariah atau UUS untuk
menghentikan kegiatan produk sebagaimana diatur dalam
Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008
tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,
dalam hal produk Qardh Beragun Emas tidak memenuhi
ketentuan Bab II, Bab III, dan/atau Bab IV angka 1 dan angka
2 dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini.
2. Penghentian produk sebagaimana dimaksud pada angka 1
dapat bersifat tetap atau sementara.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2
berlaku pula untuk Bank Syariah atau UUS yang tidak dapat
melakukan penyesuaian sesuai jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada Bab VIII Surat Edaran Bank Indonesia ini.
VII. PENGENAAN SANKSI
1. Bank Syariah atau UUS yang menjalankan produk Qardh
Beragun Emas sebelum memperoleh izin dari Bank Indonesia
dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan denda uang
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang
Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Syariah atau UUS yang terlambat melaporkan realisasi
pengeluaran produk Qardh Beragun Emas sesuai batas waktu
yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.3
Surat Edaran Bank Indonesia ini dikenakan sanksi berupa
teguran tertulis dan denda uang sebagaimana diatur dalam
Pasal…
Pasal 10 ayat (7) dan ayat (8) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah.
3. Bank Syariah atau UUS yang tidak menghentikan produk
Qardh Beragun Emas sesuai permintaan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Bab VI Surat Edaran Bank
Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
VIII.KETENTUAN PERALIHAN
1. Bank Syariah atau UUS yang telah menjalankan produk
Qardh Beragun Emas sebelum berlakunya Surat Edaran Bank
Indonesia ini wajib menyesuaikan:
a. kebijakan dan prosedur dengan mengacu pada
karakteristik dan fitur produk Qardh Beragun Emas
sebagaimana dimaksud dalam butir II.7 Surat Edaran ini
paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak berlakunya
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
b.
jumlah portofolio Qardh Beragun Emas sebagaimana
dimaksud dalam butir III.3 Surat Edaran Bank Indonesia
ini, paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
c.
jumlah dan jangka waktu pembiayaan setiap nasabah
sebagaimana dimaksud dalam butir III.4 dan butir III.5
Surat Edaran Bank Indonesia ini, paling lama 1 (satu)
tahun terhitung sejak berlakunya Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
d. FTV…
d. FTV sebagaimana dimaksud dalam butir III.6 Surat
Edaran Bank Indonesia ini, paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
2. Akad yang terkait dengan produk Qardh Beragun Emas yang
sudah ada sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia
ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jatuh tempo, dan
dapat diperpanjang dengan memperhatikan ketentuan pada
butir VIII.1.c Surat Edaran Bank Indonesia ini.
3. Perpanjangan jangka waktu Qardh Beragun Emas yang telah
dilakukan oleh Bank Syariah atau UUS sebelum berlakunya
Surat Edaran Bank Indonesia ini tidak dihitung sebagai
perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam butir III.4.
IX. PENUTUP
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 29
Februari 2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DEPUTI GUBERNUR
DPbS
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 14/7/DPbS|SE-BI/2012 </reg_id>
<reg_title> Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. </reg_title>
<set_date> 29 Februari 2012 </set_date>
<effective_date> 29 Februari 2012 </effective_date>
<related_reg> '10/31/DPbS|SE-BI/2008', '10/17/PBI/2008', '79/DSN-MUI/III/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VII' </penalty_list>
|
No. 13/5/DPNP
Jakarta, 8 Februari 2011
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal : Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan
Penggunaan Data Pribadi Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4475),
dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi
Kondisi Keuangan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4159)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/50/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 135,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4573) perlu diatur lebih
lanjut mengenai penyediaan layanan informasi dan penerapan transparansi
informasi suku bunga dasar kredit (prime lending rate) kepada masyarakat
sebagai berikut:
I. UMUM . . .
I. UMUM
A. Pemilihan produk Bank oleh nasabah pada umumnya didasarkan pada
pertimbangan mengenai manfaat, biaya, dan risiko dari produk
yang ditawarkan oleh Bank tersebut. Hal ini menjadi sangat
relevan khususnya untuk produk Bank berupa kredit mengingat kredit
merupakan salah satu produk utama perbankan yang dimanfaatkan
oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, transparansi informasi
mengenai Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate), selanjutnya
disebut sebagai SBDK, sangat diperlukan untuk memberikan
kejelasan kepada nasabah.
B. Penerapan transparansi informasi mengenai SBDK juga merupakan
salah satu upaya untuk meningkatkan good governance dan
mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan antara
lain melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih
baik.
II. SUKU BUNGA DASAR KREDIT
A. Perhitungan Suku Bunga Dasar Kredit
1. Perhitungan SBDK merupakan hasil perhitungan dari 3 (tiga)
komponen yaitu:
a. Harga Pokok Dana untuk Kredit atau HPDK;
b. Biaya overhead yang dikeluarkan Bank dalam proses
pemberian kredit; dan
c. Marjin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk
aktivitas perkreditan.
2. Dalam . . .
2. Dalam perhitungan SBDK, Bank belum memperhitungkan
komponen premi risiko individual nasabah Bank. Suku bunga
kredit (lending rate) adalah hasil penjumlahan SBDK dengan
premi risiko. Premi risiko merepresentasikan penilaian bank
terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur yang antara
lain mempertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu
kredit, dan prospek usaha yang dibiayai.
3. Pada dasarnya, SBDK merupakan suku bunga terendah yang
digunakan sebagai dasar bagi Bank dalam penentuan suku bunga
kredit yang dikenakan kepada nasabah Bank.
4. Perhitungan SBDK dalam rupiah yang wajib dilaporkan kepada
Bank Indonesia dan dipublikasikan sebagaimana dimaksud
dalam butir II.B dan butir II.C dilakukan sebagai berikut:
a. dihitung untuk 3 (tiga) jenis kredit yaitu:
1) Kredit korporasi;
2) Kredit ritel; dan
3) Kredit konsumsi (KPR dan Non KPR).
Dalam kredit konsumsi non KPR tidak termasuk
penyediaan dana melalui kartu kredit dan kredit tanpa
agunan.
Penggolongan jenis kredit tersebut didasarkan pada kriteria
yang ditetapkan oleh internal Bank.
b. dihitung secara per tahun dalam bentuk persentase (%).
B. Pelaporan . . .
B. Pelaporan Perhitungan SBDK
1. Bank wajib menyusun laporan perhitungan SBDK dalam rupiah
yang memuat rincian perhitungan masing-masing komponen
SBDK sesuai dengan tabel komponen perhitungan SBDK
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
2. Laporan perhitungan SBDK disampaikan kepada Bank Indonesia
secara triwulanan bersamaan dengan penyampaian Laporan
Keuangan Publikasi Triwulanan dalam bentuk:
a. Softcopy dan hardcopy “Tabel Komponen Perhitungan
SBDK” sesuai Lampiran 1, oleh seluruh Bank.
b. Fotokopi atau guntingan surat kabar yang memuat publikasi
SBDK di surat kabar sesuai Lampiran 2, khusus oleh Bank
sebagaimana dimaksud dalam butir C.1.
3. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2 disampaikan
kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jalan M.H. Thamrin
No.2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Direktorat
Penelitian dan Pengaturan Perbankan, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia.
b. Kantor Bank Indonesia setempat, dengan tembusan kepada
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, bagi Bank
yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia.
4. Apabila . . .
4. Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2.a
secara berkala atau sewaktu-waktu diluar periode penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada angka 2.
C. Publikasi Informasi SBDK
1. Bank yang pada dan/atau setelah tanggal 28 Februari 2011
berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU)
mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun
rupiah) atau lebih wajib melakukan publikasi informasi SBDK
dalam rupiah melalui:
a. papan pengumuman di setiap kantor Bank;
b. halaman utama website Bank, dalam hal Bank memiliki
website; dan
c. surat kabar, yang dilakukan bersamaan dengan pengumuman
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir
bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
2. Bagi Bank yang pada tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan
posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total
aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau
lebih, kewajiban publikasi informasi SBDK dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud pada
butir 1.a dan butir 1.b untuk pertama kali dilakukan pada
tanggal 31 Maret 2011; dan
b. publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud pada
butir 1.c untuk pertama kali dilakukan bersamaan dengan
pengumuman . . .
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
untuk posisi akhir bulan Maret 2011.
3. Bagi Bank yang setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan
posisi LBU mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00
(sepuluh triliun rupiah) atau lebih, kewajiban publikasi informasi
SBDK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud pada
butir 1.a dan butir 1.b untuk pertama kali dilakukan paling
lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Bank berdasarkan posisi
yang tercatat di LBU mempunyai total aset
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih;
dan
b. publikasi informasi SBDK sebagaimana dimaksud pada
butir 1.c untuk pertama kali dilakukan bersamaan dengan
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan pada
triwulan yang sama dengan periode LBU sejak Bank tercatat
mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah) atau lebih.
Contoh :
Bank A pertama kali tercatat mempunyai total aset
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) pada akhir
bulan April 2011, akhir bulan Mei 2011, atau akhir bulan
Juni 2011, maka publikasi informasi SBDK melalui surat
kabar pertama kali dilakukan bersamaan dengan
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
posisi akhir bulan Juni 2011.
4. Dalam . . .
4. Dalam hal Bank sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2,
dan angka 3 total asetnya turun menjadi kurang
dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), Bank
tetap wajib melakukan publikasi informasi SBDK sebagaimana
dimaksud pada angka 1.
5.
Informasi SBDK yang dipublikasikan oleh Bank sebagaimana
dimaksud pada butir 1.a dan butir 1.b adalah informasi SBDK
yang berlaku pada saat dipublikasikan. Dalam hal SBDK
mengalami perubahan, maka perubahan tersebut wajib
dipublikasikan melalui sarana/media sebagaimana dimaksud
pada butir 1.a dan butir 1.b paling lama pada tanggal berlakunya
perubahan SBDK tersebut.
6.
Informasi SBDK yang dipublikasikan oleh Bank sebagaimana
dimaksud pada butir 1.c adalah informasi SBDK yang berlaku
pada akhir periode Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan.
7. Dalam mempublikasikan SBDK, Bank wajib mencantumkan
kalimat sebagai berikut:
a. “Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) ini belum
memperhitungkan komponen premi risiko yang
besarnya tergantung dari penilaian Bank terhadap risiko
masing-masing debitur. Dengan demikian, besarnya
suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur
belum tentu sama dengan SBDK”; dan
b. “Dalam . . .
b. “Dalam Kredit konsumsi non KPR tidak termasuk
penyediaan dana melalui kartu kredit dan kredit tanpa
agunan”.
8. Untuk publikasi yang dilakukan melalui surat kabar sebagaimana
dimaksud pada butir 1.c, selain mencantumkan kalimat
sebagaimana pada angka 7 juga wajib mencantumkan kalimat
sebagai berikut: “Informasi SBDK yang berlaku setiap saat dapat
dilihat pada publikasi di setiap kantor Bank dan/atau website
Bank”.
9. SBDK dipublikasikan kepada masyarakat dalam bentuk angka
akhir dari hasil perhitungan komponen SBDK sebagaimana
dimaksud pada butir II.A.1 dengan mengacu pada Lampiran 2
Surat Edaran ini.
III. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK sebagaimana
dimaksud dalam butir II.C.1.a dan butir II.C.1.b, dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi
Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
2. Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK bersamaan
dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam butir II.C.1.c. dan/atau Bank yang tidak
menyampaikan laporan perhitungan SBDK bersamaan dengan
penyampaian . . .
penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir II.B.2, dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) dan/atau ayat
(3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005.
3. Bank yang menyampaikan laporan perhitungan SBDK dan/atau
mempublikasikan informasi SBDK:
a.
tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan/atau
b. tidak sesuai dengan Lampiran 1 dan Lampiran 2,
dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (4) huruf a
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi
Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005.
IV. LAIN-LAIN
Lampiran 1 dan Lampiran 2 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
V. PENUTUP
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2011.
Agar . . .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MULIAMAN D. HADAD
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 13/5/DPNP|SE-BI/2011 </reg_id>
<reg_title> Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit </reg_title>
<set_date> 8 Februari 2011 </set_date>
<effective_date> 31 Maret 2011 </effective_date>
<related_reg> '7/6/PBI/2005', '3/22/PBI/2001', '7/50/PBI/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi III' </penalty_list>
|
No. 7/26/DASP
Jakarta, 22 Juli 2005
S U R A T E D A R A N
Perihal : Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
./.
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/18/PBI/2005 tanggal 22 Juli 2005 tentang Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516), perlu diatur
lebih lanjut ketentuan mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Surat Edaran ini, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka :
1. Surat Edaran Bank Indonesia No.1/8/DASP tanggal 24 Desember 1999
perihal Rencana Penanggulangan Segera Atas Penyelenggaraan Kliring
Dalam Keadaan Darurat, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring
yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut
mengimplementasikan SKNBI.
2. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/7/DASP tanggal 24 Februari 2000
perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Manual, dinyatakan tetap
berlaku untuk Wilayah Kliring dengan sistem Kliring manual yang belum
mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut
mengimplementasikan SKNBI, kecuali ketentuan mengenai perubahan
nama Peserta berlaku sesuai dengan ketentuan mengenai tatacara perubahan
nama Bank pada Bab III Lampiran Surat Edaran ini.
3. Surat …
2
3. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/8/DASP tanggal 4 Mei 2000 perihal
Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Semi Otomasi, dinyatakan tetap
berlaku untuk Wilayah Kliring dengan sistem Kliring semi otomasi yang
belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring tersebut
mengimplementasikan SKNBI, kecuali ketentuan mengenai perubahan
nama Peserta berlaku sesuai dengan ketentuan mengenai tatacara perubahan
nama Bank pada Bab III Lampiran Surat Edaran ini.
4. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 perihal
Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong sebagaimana telah diubah
dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.4/17/DASP tanggal 7 November
2002 dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring yang sudah dan
belum mengimplementasikan SKNBI, kecuali ketentuan mengenai alasan
penolakan Warkat Debet dan tata cara pembuatan Surat Keterangan
Penolakan pada Kliring pengembalian sebagaimana dimaksud pada angka
IV.A dan angka IV.C dinyatakan tidak berlaku untuk Wilayah Kliring yang
sudah mengimplementasikan SKNBI. Untuk selanjutnya, ketentuan
mengenai alasan penolakan Warkat Debet dan tata cara pembuatan Surat
Keterangan Penolakan untuk Wilayah Kliring yang sudah
mengimplementasikan SKNBI dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam
Bab VII mengenai Penyelenggaraan Kliring Debet Surat Edaran ini.
5. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/7/DASP tanggal 7 Mei 2002 perihal
Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Otomasi sebagaimana telah diubah
dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.5/12/DASP tanggal 7 Juli 2003,
dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring dengan sistem Kliring
otomasi yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring
tersebut mengimplementasikan SKNBI, kecuali ketentuan mengenai
tatacara perubahan nama Peserta berlaku sesuai dengan ketentuan mengenai
perubahan nama Bank pada Bab III Lampiran Surat Edaran ini.
6. Surat …
3
6. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/12/DASP tanggal 24 September 2002
perihal Jadwal Kliring Dan Tanggal Valuta Penyelesaian Akhir, Sistem
Penyelenggaraan Kliring Lokal Serta Jenis dan Batasan Nominal Warkat
Atau Data Keuangan Elektronik, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah
Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring
tersebut mengimplementasikan SKNBI.
7. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/15/DASP tanggal 30 September 2002
perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik sebagaimana
telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.5/15/DASP tanggal 7
Juli 2003, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
8. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/16/DASP tanggal 21 Oktober 2002
perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal atas Cek dan Bilyet Giro yang
Berasal dari Luar Wilayah, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah Kliring
yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI.
9. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/21/DASP tanggal 2 Desember 2002
perihal Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh, dinyatakan tetap berlaku untuk
Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI.
10. Surat Edaran Bank Indonesia No.6/38/DASP tanggal 16 September 2004
perihal Penggunaan Jasa Kurir dan Tanda Pengenal Dalam
Penyelenggaraan Kliring Lokal, dinyatakan tetap berlaku untuk Wilayah
Kliring yang belum mengimplementasikan SKNBI sampai Wilayah Kliring
tersebut mengimplementasikan SKNBI.
11. Surat Edaran Bank Indonesia No.6/52/DASP tanggal 31 Desember 2004
perihal Warkat, Dokumen Kliring serta Pencetakannya pada Perusahaan
Percetakan Warkat dan Dokumen Kliring, dinyatakan tetap berlaku untuk
Wilayah Kliring yang sudah dan belum mengimplementasikan SKNBI.
Ketentuan …
4
Ketentuan dalam Surat Edaran ini dilaksanakan sejak tanggal implementasi
SKNBI di Wilayah Kliring yang bersangkutan sesuai dengan pengumuman Bank
Indonesia.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Juli 2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MOHAMAD ISHAK
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
DASP
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 7/26/DASP|SE-BI/2005 </reg_id>
<reg_title> Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia </reg_title>
<set_date> 22 Juli 2005 </set_date>
<effective_date> 22 Juli 2005 </effective_date>
<related_reg> '7/18/PBI/2005' </related_reg>
|
No. 2/ 7 /DASP
Jakarta, 24 Februari 2000
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK
DI INDONESIA
Perihal : Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Manual.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tanggal 13
Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir
Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (PBI
No.1/3/PBI/1999), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal
(PBI No.2/4/PBI/2000) ditetapkan bahwa penyelenggaraan Kliring Lokal antara
lain dilakukan dengan sistem manual yang diatur lebih lanjut dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut dengan ini dikemukakan pokok-pokok
pengaturan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Kliring Lokal secara manual
sebagai berikut.
I. PENYELENGGARA
A. Penyelenggara
Penyelenggara Kliring Lokal dengan sistem manual adalah pihak lain
yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Persyaratan
Penyelenggara dan tata cara pemberian persetujuan terhadap
Penyelenggara…
2
Penyelenggara mengacu kepada ketentuan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 1/4/DASP tanggal 29 November 1999 perihal
Pemberian Persetujuan Terhadap Pihak Lain Untuk
Menyelenggarakan Kliring di Daerah yang Tidak Terdapat Kantor
Bank Indonesia.
B. Kewajiban Penyelenggara
Kewajiban Penyelenggara yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Kliring Lokal dengan sistem manual adalah sebagai berikut :
1. Menyediakan fasilitas penyelenggaraan Kliring Lokal sebagai
berikut :
a.
b.
Ruangan dan fasilitas pendukung untuk pertemuan Kliring,
antara lain meja, kursi, papan nama Peserta dan lain-lain;
Fasilitas komunikasi berupa telepon, teleks dan faksimili;
c. Formulir Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian
Gabungan;
d.
Daftar Hadir Peserta.
2. Menatausahakan dokumen yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Kliring Lokal sebagai berikut :
a.
Daftar Hadir Peserta;
b. Data yang berkaitan dengan wakil Peserta dan
perubahannya dengan menggunakan Kartu Tata Usaha
Wakil Peserta sebagaimana contoh pada Lampiran 9;
c. Dokumen-dokumen yang memuat data pendukung hasil
Kliring meliputi :
1) Daftar Warkat Kliring Penyerahan/Pengembalian;
2) Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian;
3) Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian Gabungan;
4)
Bilyet Saldo Kliring.
3. Meneruskan…
3
3. Meneruskan secara tertulis informasi penolakan Nota Debet
yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 1/10/DASP tanggal 31 Desember
1999 perihal Penggunaan Nota Debet Dalam Kliring dari Peserta
kepada Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional, Jalan
M.H. Thamrin No.2 Jakarta, Kode Pos 10010, untuk wilayah
DKI Jakarta Raya, Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang,
Bogor, Karawang dan Bekasi atau Kantor Bank Indonesia
setempat untuk wilayah di luar wilayah tersebut di atas (untuk
selanjutnya disebut Bank Indonesia yang mewilayahi);
4. Menjaga kerahasiaan data yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Kliring;
5. Memberikan keputusan terlebih dahulu dalam hal terjadi
perbedaan pendapat antara 2 (dua) atau lebih Peserta mengenai
dapat tidaknya suatu Warkat diperhitungkan dalam Kliring
Lokal. Dalam hal keputusan tersebut masih belum dapat diterima
oleh Peserta yang terkait maka Penyelenggara menyerahkan
penyelesaian masalah tersebut kepada Bank Indonesia yang
mewilayahi dan Bank Indonesia berwenang untuk memberikan
keputusan terakhir.
II. WARKAT, DOKUMEN KLIRING DAN FORMULIR KLIRING
A. Warkat
Warkat yang dapat diperhitungkan dalam penyelenggaraan Kliring
Lokal dengan sistem manual meliputi :
1.
2.
Cek;
Bilyet Giro;
3. Wesel Bank Untuk Transfer;
4. Surat …
4
4.
Surat Bukti Penerimaan Transfer;
5. Nota Debet;
6. Nota Kredit;
dengan spesifikasi teknis sesuai dengan ketentuan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 1/7/DASP tanggal 23 Desember 1999 perihal
Warkat, Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada Perusahaan
Percetakan Dokumen Sekuriti sebagaimana telah disempurnakan
dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/6/DASP tanggal
11 Februari 2000 perihal Penyempurnaan Surat Edaran Bank
Indonesia No.1/7/DASP tanggal 23 Desember 1999 perihal Warkat,
Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada Perusahaan Percetakan
Dokumen Sekuriti.
B. Dokumen Kliring
Dokumen Kliring yang digunakan dalam penyelenggaraan Kliring
Lokal dengan sistem manual berupa Daftar Warkat Kliring
Penyerahan/Pengembalian yang berfungsi sebagai bukti
penyerahan/pengembalian Warkat baik pada Kliring Penyerahan
maupun Kliring Pengembalian. Daftar Warkat Kliring
Penyerahan/Pengembalian ini disediakan oleh masing-masing Peserta.
Spesifikasi teknis Dokumen Kliring sesuai dengan ketentuan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/7/DASP tanggal 23 Desember
1999 tentang Warkat, Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada
Perusahaan Percetakan Dokumen Sekuriti sebagaimana telah
disempurnakan dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
2/6/DASP tanggal 11 Februari 2000 perihal Penyempurnaan Surat
Edaran Bank Indonesia No.1/7/DASP tanggal 23 Desember 1999
perihal Warkat, Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada
Perusahaan Percetakan Dokumen Sekuriti.
C. Formulir…
5
C.
Formulir Kliring
Formulir yang digunakan untuk proses perhitungan Kliring Lokal
dengan sistem manual meliputi :
1. Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian Gabungan (contoh
format pada Lampiran 1). Formulir ini disediakan oleh
Penyelenggara dan digunakan oleh Penyelenggara untuk
menyusun rekapitulasi Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian
dari seluruh Peserta.
2. Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian (contoh format pada
Lampiran 2). Formulir ini disediakan oleh Peserta dan digunakan
oleh Peserta untuk menyusun Neraca Kliring
Penyerahan/Pengembalian atas dasar Daftar Warkat Kliring
Penyerahan/Pengembalian.
3.
Bilyet Saldo Kliring (contoh format pada Lampiran 3). Formulir
ini disediakan oleh Peserta dan digunakan oleh Peserta untuk
menyusun Bilyet Saldo Kliring berdasarkan Neraca Kliring
Penyerahan dan Neraca Kliring Pengembalian.
III. STEMPEL DAN TANDA PENGENAL WAKIL PESERTA KLIRING
A. Stempel Kliring
1. Dalam penyelenggaraan Kliring Lokal dengan sistem manual,
Peserta wajib memiliki 2 (dua) jenis stempel yaitu:
a.
Stempel Kliring, yang memuat :
1) Kata “KLIRING”;
2) Tanggal, Bulan dan Tahun pada saat Warkat
dikliringkan;
3) Nama atau nama singkatan kantor Bank yang lazim
digunakan;
4)
Identitas Peserta (Nomor Urut).
b. Stempel …
6
b.
Stempel Kliring Dibatalkan, yang memuat :
1) Kata “STEMPEL KLIRING DIBATALKAN”;
2) Nama atau nama singkatan kantor Bank yang lazim
digunakan;
3) Kolom untuk tanda tangan pejabat.
Bentuk serta ukuran Stempel Kliring dan Stempel Kliring
Dibatalkan dapat dilihat pada Lampiran 4.
2. Penggunaan Stempel Kliring mengacu kepada Penjelasan Pasal
36 PBI No. 1/3/PBI/1999 sebagaimana telah diubah dengan PBI
No. 2/4/PBI/2000.
B. Tanda Pengenal Wakil Peserta Kliring (TPWPK)
1. TPWPK merupakan tanda izin bagi setiap wakil Peserta untuk
memasuki ruangan Kliring dan wajib dikenakan oleh wakil
Peserta selama pertemuan Kliring.
2. TPWPK dikeluarkan oleh Penyelenggara pada waktu
permohonan sebagai Peserta disetujui atau setelah mendapat
konfirmasi secara tertulis dari Penyelenggara atas permohonan
penggantian/penambahan wakil Peserta sebagaimana dimaksud
pada angka IV huruf D.4.
3. Dalam hal TPWPK dimaksud hilang maka Peserta wajib
mengajukan surat permohonan penggantian TPWPK kepada
Penyelenggara dengan dilampiri pas foto ukuran 2x3 cm
sebanyak 1 (satu) lembar dan surat keterangan kehilangan dari
Kepolisian. Penyelenggara memberikan penggantian paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah permohonan diterima dengan
lengkap.
4. Dalam…
7
4. Dalam hal TPWPK dimaksud rusak maka Peserta dapat
memperoleh penggantian dengan mengajukan surat permohonan
penggantian TPWPK kepada Penyelenggara dengan dilampiri
pas foto ukuran 2x3 cm sebanyak 1 (satu) lembar serta TPWPK
yang rusak. Penyelenggara memberikan penggantian paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah permohonan diterima dengan
lengkap.
5. Selama TPWPK sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan 4
belum memperoleh penggantian dari Penyelenggara, wakil
Peserta yang bersangkutan dapat mengikuti pertemuan Kliring
dengan membawa fotokopi surat permohonan yang telah
dilegalisir oleh Penyelenggara.
6. Bentuk dan ukuran TPWPK dapat dilihat pada Lampiran 5.
IV. KEPESERTAAN
A. Persyaratan Menjadi Peserta
1. Persyaratan untuk menjadi Peserta Langsung :
a.
Kantor Bank yang dapat menjadi Peserta Langsung adalah :
1) Kantor cabang yang telah memperoleh izin
pembukaan kantor dari Bank Indonesia;
2) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor
pusatnya berkedudukan di luar negeri, yang telah
memperoleh izin pembukaan kantor dari Bank
Indonesia;
3) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor
pusatnya berkedudukan di dalam negeri yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk
beroperasi di Wilayah Kliring yang berbeda dari
kantor cabang induknya.
b. Kantor…
8
b. Kantor bank sebagaimana dimaksud pada huruf a
mempunyai kantor lain yang memiliki rekening giro di
salah satu kantor Bank Indonesia.
c. Lokasi kantor Bank memungkinkan Bank tersebut untuk
mengikuti Kliring secara tertib sesuai jadwal Kliring Lokal
yang ditetapkan. Dalam hal ini yang perlu dipertimbangkan
adalah waktu tempuh dari lokasi kantor Bank ke lokasi
Penyelenggara maksimal 45 (empat puluh lima) menit.
2. Persyaratan untuk menjadi Peserta Tidak Langsung :
a. Kantor Bank yang dapat menjadi Peserta Tidak Langsung
adalah:
1) Kantor cabang yang telah memperoleh izin
pembukaan kantor dari Bank Indonesia;
2) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor
pusatnya berkedudukan di luar negeri yang telah
memperoleh izin pembukaan kantor dari Bank
Indonesia;
3) Kantor cabang pembantu dari Bank yang kantor
pusatnya berkedudukan di dalam negeri yang telah
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
b. Kantor Bank sebagaimana dimaksud pada huruf a
menginduk kepada kantor lain yang merupakan Bank yang
sama yang telah menjadi Peserta Langsung di Wilayah
Kliring yang sama.
B. Tata Cara…
9
B. Tata Cara Menjadi Peserta
1. Tata cara menjadi Peserta Langsung :
a.
Dengan memperhatikan persyaratan pada huruf A.1, kantor
Bank dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk
menjadi Peserta Langsung kepada Penyelenggara dengan
melampirkan :
1) Formulir data kepesertaan sebagaimana contoh pada
Lampiran 6 yang telah diisi lengkap;
2) Formulir penunjukan pejabat yang berwenang untuk
menandatangani Surat Keterangan Penolakan
sebagaimana contoh pada Lampiran 7 yang telah diisi
lengkap;
3) Formulir penunjukan wakil Peserta sebagaimana
contoh pada Lampiran 8 yang telah diisi lengkap.
Dalam surat permohonan tersebut kantor Bank yang
bersangkutan dapat mengajukan sekaligus kantor lain yang
akan menjadi Peserta Tidak Langsung dengan
memperhatikan ketentuan mengenai persyaratan dan tata
cara permohonan untuk menjadi Peserta Tidak Langsung
sebagaimana dimaksud pada huruf A.2.
b. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah surat
permohonan diterima secara lengkap, Penyelenggara wajib
menyampaikan permintaan informasi secara tertulis kepada
Bank Indonesia yang mewilayahi mengenai status
perizinan pembukaan kantor Bank pemohon dan rekening
giro kantor lain yang akan digunakan untuk pelimpahan
hasil Kliring.
c. Dalam …
10
c. Dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah surat
permintaan Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada
huruf b diterima, Bank Indonesia yang mewilayahi akan
memberikan surat pemberitahuan kepada Penyelenggara
mengenai status perizinan pembukaan kantor Bank
pemohon dan rekening giro kantor lain dari kantor Bank
pemohon yang akan digunakan untuk pelimpahan hasil
Kliring.
d. Penyelenggara wajib memberitahukan secara tertulis
kepada kantor Bank pemohon dengan tembusan kepada
Bank Indonesia yang mewilayahi mengenai keputusan
untuk menyetujui atau menolak kepesertaan dalam jangka
waktu 3 (tiga) hari kerja setelah menerima surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia yang mewilayahi.
e. Dalam hal permohonan disetujui oleh Penyelenggara maka
Penyelenggara akan memberikan :
1) Surat persetujuan keikutsertaan sebagai Peserta
Langsung kepada kantor Bank pemohon sebagaimana
contoh pada Lampiran 10a yang memuat antara lain :
a)
tanggal efektif keikutsertaan, yaitu paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat
persetujuan Penyelenggara;
b)
identitas Peserta berupa nomor urut Peserta.
c) kewajiban calon Peserta untuk menyampaikan
fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring
Dibatalkan, spesimen Warkat serta contoh
Dokumen Kliring paling lambat 3 (tiga) hari
kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaannya;
d) pemberitahuan …
11
d) pemberitahuan bahwa wakil Peserta telah
didaftarkan, disertai TPWPK.
Dalam hal calon Peserta tidak dapat menyampaikan
hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf c) dalam 3
(tiga) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaan
yang ditetapkan maka tanggal efektif tersebut ditunda
menjadi 3 (tiga) hari kerja setelah hal-hal
sebagaimana dimaksud pada huruf c) dipenuhi.
2) Pelatihan singkat mengenai tata cara pelaksanaan
Kliring dengan sistem manual.
f.
Selanjutnya Penyelenggara akan mengumumkan secara
tertulis kepada Peserta lainnya mengenai keikutsertaan
Peserta tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal efektif keikutsertaannya, dengan melampirkan foto
kopi contoh Stempel Kliring, Stempel Kliring Dibatalkan,
Warkat dan Dokumen Kliring.
g. Fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan
sebagaimana dimaksud pada huruf e.1)c) dikembalikan
oleh Penyelenggara kepada calon Peserta paling lambat 1
(satu) hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaannya.
2. Tata cara menjadi Peserta Tidak Langsung :
a.
Dengan memperhatikan persyaratan pada huruf A.2, kantor
Bank dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk
menjadi Peserta Tidak Langsung kepada Penyelenggara.
Permohonan tersebut diajukan oleh kantor Bank yang telah
menjadi Peserta Langsung dengan melampirkan :
1) Formulir…
12
1) Formulir data kepesertaan sebagaimana contoh pada
Lampiran 6 yang telah diisi lengkap; dan
2) Formulir penunjukan pejabat yang berwenang untuk
menandatangani Surat Keterangan Penolakan
sebagaimana contoh pada Lampiran 7 yang telah diisi
lengkap.
b. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah surat
permohonan diterima secara lengkap, Penyelenggara wajib
menyampaikan permintaan informasi secara tertulis kepada
Bank Indonesia yang mewilayahi mengenai status
perizinan/pelaporan pembukaan kantor Bank pemohon.
c. Dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah surat
permintaan Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada
huruf b diterima, Bank Indonesia yang mewilayahi akan
memberikan surat pemberitahuan kepada Penyelenggara
mengenai status perizinan/pelaporan pembukaan kantor
Bank pemohon.
d. Penyelenggara wajib memberitahukan secara tertulis
kepada kantor Bank pemohon dengan tembusan kepada
Bank Indonesia yang mewilayahi mengenai keputusan
untuk menyetujui atau menolak kepesertaan dalam jangka
waktu 3 (tiga) hari kerja setelah menerima surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia yang mewilayahi.
e. Dalam hal permohonan disetujui oleh Penyelenggara maka
Penyelenggara akan
memberikan surat persetujuan
keikutsertaan sebagai Peserta Tidak Langsung sebagaimana
contoh pada Lampiran 10b kepada kantor Bank pemohon
yang memuat antara lain :
1) tanggal …
13
1) tanggal efektif keikutsertaan, yaitu paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat persetujuan
Penyelenggara;
2) kewajiban calon Peserta untuk menyampaikan fisik
Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan serta
spesimen Warkat paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sebelum tanggal efektif keikutsertaannya;
3) Pemberitahuan identitas Peserta Tidak Langsung yaitu
nomor urut kantor induknya yang menjadi Peserta
Langsung;
Dalam hal calon Peserta tidak dapat menyampaikan hal-hal
sebagaimana dimaksud pada angka 2) dalam 3 (tiga) hari
kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaan yang ditetapkan
maka tanggal efektif tersebut ditunda menjadi 3 (tiga) hari
kerja setelah hal-hal sebagaimana dimaksud pada angka 2)
dipenuhi.
f. Selanjutnya Penyelenggara akan mengumumkan secara
tertulis kepada Peserta lainnya mengenai keikutsertaan
Peserta tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum
tanggal efektif keikutsertaannya dengan melampirkan foto
kopi contoh Stempel Kliring, Stempel Kliring Dibatalkan
dan Warkat.
g. Fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan
sebagaimana dimaksud pada huruf e.2) dikembalikan oleh
Penyelenggara kepada calon Peserta paling lambat 1 (satu)
hari kerja sebelum tanggal efektif keikutsertaannya.
C. Perubahan …
14
C. Perubahan Nama, Status Kantor dan Status Kepesertaan
1. Perubahan nama Peserta
a.
Perubahan nama Peserta wajib dilaporkan secara tertulis
kepada Penyelenggara paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sebelum tanggal efektif berlakunya nama Peserta yang baru
dengan melampirkan :
1) fotokopi dokumen persetujuan perubahan nama
Peserta dari instansi yang berwenang;
2)
b.
fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring Dibatalkan;
3) spesimen Warkat dan Dokumen Kliring.
Penyelenggara wajib mengumumkan secara tertulis kepada
Peserta lainnya mengenai perubahan nama Peserta tersebut
paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif
berlakunya nama Peserta yang baru disertai fotokopi
contoh Stempel Kliring, Stempel Kliring Dibatalkan,
Warkat dan Dokumen Kliring.
c. Dalam hal Peserta yang melakukan perubahan nama
sebagaimana dimaksud pada huruf a masih memiliki
persediaan Warkat, Dokumen Kliring dan Formulir Kliring
lama yang cukup banyak maka :
1) Peserta yang bersangkutan diberi kelonggaran paling
lambat 3 (tiga) bulan untuk tetap menggunakan
Warkat, Dokumen Kliring dan Formulir Kliring lama
terhitung sejak tanggal efektif berlakunya nama yang
baru.
2) Peserta …
15
2) Peserta yang bersangkutan wajib menyampaikan
spesimen Warkat dan Dokumen Kliring kepada
Penyelenggara paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sebelum batas waktu kelonggaran sebagaimana
dimaksud pada angka 1) berakhir.
3) Penyelenggara wajib mengumumkan kepada Peserta
lainnya fotokopi contoh Warkat dan Dokumen Kliring
sebagaimana dimaksud pada angka 2) paling lambat 2
(dua) hari kerja sebelum batas waktu kelonggaran
sebagaimana dimaksud pada angka 1) berakhir.
2. Perubahan status kantor dan status kepesertaan
Perubahan status kantor Peserta dapat/tidak diikuti dengan
perubahan status kepesertaannya dari Peserta Langsung menjadi
Peserta Tidak Langsung atau sebaliknya.
a.
Kemungkinan perubahan status kantor Peserta yang tidak
diikuti dengan perubahan status kepesertaan :
1) Peserta Langsung dengan status kantor cabang yang
kemudian berubah menjadi kantor cabang pembantu,
dapat mengikuti Kliring dengan status kepesertaan
yang sama sepanjang memperoleh izin dari Bank
Indonesia untuk menjadi kantor cabang pembantu di
Wilayah Kliring yang berbeda dari kantor cabang
induknya.
2) Peserta Tidak Langsung dengan status kantor cabang
yang kemudian berubah menjadi kantor cabang
pembantu, dapat mengikuti Kliring dengan status
kepesertaan yang sama sepanjang terdapat kantor lain
dari Bank tersebut yang telah menjadi Peserta
Langsung di Wilayah Kliring yang sama.
3) Peserta …
16
3) Peserta Langsung dengan status kantor cabang
pembantu yang kemudian berubah menjadi kantor
cabang, dapat mengikuti kliring dengan status
kepesertaan yang sama.
4) Peserta Tidak Langsung dengan status kantor cabang
pembantu yang kemudian berubah menjadi kantor
cabang, dapat mengikuti kliring dengan status
kepesertaan yang sama sepanjang terdapat kantor lain
dari Bank tersebut yang telah menjadi Peserta
Langsung di Wilayah Kliring yang sama.
b.
Kemungkinan Perubahan status kantor Peserta yang diikuti
dengan perubahan status kepesertaan :
1) Peserta Langsung dengan status kantor cabang yang
kemudian berubah menjadi kantor cabang pembantu,
dapat mengubah status kepesertaannya menjadi
Peserta Tidak Langsung sepanjang terdapat kantor
lain dari Bank tersebut yang telah menjadi Peserta
Langsung di Wilayah Kliring yang sama.
2) Peserta Tidak Langsung dengan status kantor cabang
yang kemudian berubah menjadi kantor cabang
pembantu, dapat mengubah status kepesertaannya
menjadi Peserta Langsung sepanjang memperoleh izin
dari Bank Indonesia untuk menjadi kantor cabang
pembantu di Wilayah Kliring yang berbeda dari
kantor cabang induknya.
3) Peserta …
17
3) Peserta Langsung dengan status kantor cabang
pembantu yang kemudian berubah menjadi kantor
cabang, dapat mengubah status kepesertaannya
menjadi Peserta Tidak Langsung sepanjang terdapat
kantor lain dari Bank tersebut yang telah menjadi
Peserta Langsung di Wilayah Kliring yang sama.
4) Peserta Tidak Langsung dengan status kantor cabang
pembantu yang kemudian berubah menjadi kantor
cabang, dapat mengubah status kepesertaannya
menjadi Peserta Langsung.
c. Dalam hal perubahan status kantor Peserta tidak akan
diikuti dengan perubahan status kepesertaannya dalam
Kliring Lokal sebagaimana dimaksud pada huruf a.1)
sampai dengan a.4) maka :
1) Peserta tersebut wajib melaporkan perubahan status
kantornya kepada Penyelenggara paling lambat 3
(tiga) hari kerja sebelum tanggal efektif perubahan
status kantornya dengan melampirkan :
a) fotokopi dokumen perizinan/persetujuan
perubahan status kantor Peserta;
b) fisik Stempel Kliring dan Stempel Kliring
Dibatalkan;
c) formulir penunjukan pejabat yang berwenang
untuk menandatangani Surat Keterangan
Penolakan sebagaimana contoh pada Lampiran 7
yang telah diisi lengkap, apabila akan
melakukan penggantian pejabat yang
berwenang;
d) Formulir …
18
d) Formulir penunjukan wakil Peserta sebagaimana
contoh pada Lampiran 8 yang telah diisi
lengkap, apabila akan melakukan penggantian
wakil Peserta.
2) Selanjutnya Penyelenggara wajib melaporkan
perubahan status kantor Peserta tersebut kepada Bank
Indonesia yang mewilayahi paling lambat 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal efektif perubahan tersebut
disertai fotokopi dokumen perizinan/persetujuan
perubahan status kantor Peserta dimaksud.
3) Penyelenggara wajib mengumumkan secara tertulis
kepada Peserta lainnya mengenai perubahan status
kantor Peserta tersebut paling lambat 2 (dua) hari
kerja sebelum tanggal efektif perubahan tersebut
disertai fotokopi contoh Stempel Kliring dan Stempel
Kliring Dibatalkan.
4) Dalam hal Peserta mengajukan penggantian wakil
Peserta sebagaimana dimaksud pada huruf c.1)d)
maka TPWPK untuk wakil Peserta yang baru akan
diberikan pada tanggal efektif perubahan dengan
mengembalikan TPWPK yang lama.
d. Dalam hal perubahan status kantor Peserta akan diikuti
dengan perubahan status kepesertaan dari Peserta Tidak
Langsung menjadi menjadi Peserta Langsung sebagaimana
dimaksud pada huruf b.2) dan b.4) maka :
1) Peserta tersebut wajib mengajukan permohonan
secara tertulis untuk menjadi Peserta Langsung
kepada Penyelenggara dengan melampirkan :
a) Formulir …
19
a) Formulir data kepesertaan sebagaimana contoh
pada Lampiran 6 yang telah diisi lengkap;
b) Formulir penunjukan pejabat yang berwenang
untuk menandatangani Surat Keterangan
Penolakan sebagaimana contoh pada Lampiran 7
yang telah diisi lengkap;
c) Formulir penunjukan wakil Peserta sebagaimana
contoh pada Lampiran 8 yang telah diisi
lengkap.
2) Penyelenggara dalam mempertimbangkan
permohonan tersebut wajib memperhatikan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf A.1
dan tata cara sebagaimana dimaksud pada huruf B
angka 1.b sampai dengan 1.g.
e. Dalam hal perubahan status kantor Peserta akan diikuti
dengan perubahan status kepesertaan dari Peserta Langsung
menjadi menjadi Peserta Tidak Langsung sebagaimana
dimaksud pada huruf b.1) dan b.3) maka :
1) Peserta tersebut wajib mengajukan permohonan
secara tertulis untuk menjadi Peserta Tidak Langsung
kepada Penyelenggara dengan melampirkan :
a) Formulir data kepesertaan sebagaimana contoh
pada Lampiran 6 yang telah diisi lengkap;
b) Formulir penunjukan pejabat yang berwenang
untuk menandatangani Surat Keterangan
Penolakan sebagaimana contoh pada Lampiran 7
yang telah diisi lengkap;
c) TPWPK …
20
c) TPWPK untuk dikembalikan kepada
Penyelenggara.
2) Penyelenggara dalam mempertimbangkan
permohonan tersebut wajib memperhatikan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf A.2
dan tata cara sebagaimana dimaksud pada huruf B
angka 2.b sampai dengan 2.g.
D. Wakil Peserta
1. Peserta Langsung wajib menunjuk wakil Peserta sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang yang mempunyai kewenangan untuk
membuat, mengubah, dan menandatangani :
a.
b.
c.
Daftar Warkat Kliring Penyerahan/Pengembalian;
Neraca Kliring Penyerahan/Pengembalian;
Bilyet Saldo Kliring;
serta menandatangani dan mencantumkan nama jelas sebagai
tanda terima pada Daftar Warkat Kliring Penyerahan/
Pengembalian yang diterima dari Peserta lain.
2. Wakil Peserta tersebut wajib didaftarkan pada Penyelenggara
dengan menyampaikan surat permohonan yang dilampiri
dengan:
a. Formulir Penunjukan Wakil Peserta sebagaimana contoh
pada Lampiran 8 yang telah diisi lengkap;
Pasfoto ukuran 2x3 sebanyak 2 (dua) lembar;
Fotokopi KTP/SIM;
b.
c.
dari masing-masing wakil Peserta dimaksud.
3. Penunjukan …
21
3. Penunjukan wakil Peserta untuk pertama kali dilakukan pada
saat kantor Bank mengajukan permohonan untuk menjadi
Peserta Langsung kepada Penyelenggara dan mulai berlaku
bersamaan dengan tanggal efektif keikutsertaan kantor Bank
sebagai Peserta.
4. Dalam hal Peserta ingin mengganti atau menambah wakil
Peserta maka Peserta wajib menyampaikan permohonan secara
tertulis kepada Penyelenggara dengan memperhatikan ketentuan
pada angka 2. Penggantian atau penambahan wakil Peserta mulai
berlaku setelah Peserta memperoleh konfirmasi secara tertulis
mengenai pendaftaran wakil Peserta dimaksud serta TP WK dari
Penyelenggara.
5. Dalam hal penggantian wakil Peserta, TPWPK dari wakil
Peserta yang lama wajib dikembalikan kepada Penyelenggara
pada saat menerima TPWPK untuk wakil Peserta yang baru.
6. Konfirmasi tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 4 wajib
diberikan oleh Penyelenggara paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah permohonan diterima secara lengkap.
V. TATA CARA PENYELENGGARAAN KLIRING
Penyelenggaraan Kliring Lokal secara manual terdiri dari 2 (dua) tahap
yaitu Kliring Penyerahan dan Kliring Pengembalian yang merupakan satu
kesatuan siklus Kliring. Peserta wajib mengikuti kedua kegiatan tersebut
sampai Kliring dinyatakan selesai oleh Penyelenggara dengan mengirimkan
wakil Peserta walaupun Peserta yang bersangkutan tidak mempunyai
Warkat yang akan dikliringkan pada kedua tahap Kliring tersebut.
A. Kliring …
22
A. Kliring Penyerahan
Kliring Penyerahan meliputi kegiatan yang dilakukan di kantor
Peserta dan kegiatan yang dilakukan di tempat Penyelenggara.
1.
Kegiatan di kantor Peserta
Sebelum datang ke pertemuan Kliring Penyerahan di tempat
Penyelenggara, Peserta harus melakukan persiapan sebagai
berikut :
a. Melakukan pengecekan terhadap Warkat yang akan
dikliringkan apakah Warkat tersebut merupakan Warkat
yang dapat dikliringkan dan telah memenuhi spesifikasi
sesuai ketentuan yang berlaku. Warkat-warkat yang telah
memenuhi ketentuan dibubuhi Stempel Kliring. Dalam hal
pada suatu Warkat terdapat lebih dari 1 (satu) Stempel
Kliring, maka Stempel Kliring yang terdahulu harus
dibatalkan dengan membubuhkan Stempel Kliring
Dibatalkan dan ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang dari Peserta yang bersangkutan.
b. Memilah Warkat berdasarkan Bank penerima. Warkat yang
telah dipilah berdasarkan Bank penerima itu dipisahkan
antara Warkat Debet dan Warkat Kredit.
c. Mengisi Daftar Warkat Kliring Penyerahan dengan rincian
nominal Warkat serta jumlah lembar dan jumlah nominal
Warkat. Daftar Warkat Kliring Penyerahan tersebut dibuat
tersendiri untuk kelompok Warkat Debet dan kelompok
Warkat Kredit per Bank penerima, masing-masing
sebanyak rangkap 3 (tiga). Selain itu untuk memudahkan
perhitungan, dapat pula dibuat telstruk per Bank penerima
untuk …
23
untuk masing-masing Daftar Warkat Kliring Penyerahan
apabila jumlah Warkat lebih dari 1 (satu) lembar. Daftar
Warkat Kliring Penyerahan kemudian dibubuhi Stempel
Kliring serta tandatangan dan nama jelas wakil Peserta.
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c dilakukan
di kantor Peserta. Dengan demikian wakil Peserta tidak
diperkenankan menerima setoran Warkat dari nasabah di tempat
Penyelenggara untuk langsung dikliringkan;
2. Kegiatan Peserta di tempat Penyelenggara
Pada saat pertemuan Kliring Penyerahan di tempat
Penyelenggara, wakil Peserta melakukan kegiatan sebagai
berikut :
a. Wakil Peserta wajib hadir dalam pertemuan Kliring
Penyerahan pada jadwal yang telah ditetapkan dengan
mengisi Daftar Hadir yang disediakan Penyelenggara.
Dalam hal wakil Peserta hadir melewati batas akhir jadwal
Kliring Penyerahan yang ditetapkan maka wakil Peserta
tersebut tidak diperkenankan menyerahkan Warkat kepada
Peserta lain untuk diperhitungkan dalam hari Kliring
tersebut namun wajib menerima Warkat dari Peserta lain.
Kegiatan wakil Peserta yang terlambat tersebut akan
diambil alih oleh Petugas Penyelenggara sebagaimana
dijelaskan pada angka 3.b.
b.
Melakukan kegiatan pendistribusian Warkat :
1) Menyerahkan ke masing-masing Peserta penerima :
a) lembar pertama Daftar Warkat Kliring
Penyerahan; dan
b)
Warkat.
2) Meminta …
24
2) Meminta tanda tangan dari wakil Peserta penerima
pada lembar kedua Daftar Warkat Kliring Penyerahan
sebagai bukti penerimaan Warkat.
3) Menyerahkan lembar ketiga Daftar Warkat Kliring
Penyerahan kepada Penyelenggara.
c.
Melakukan kegiatan Penerimaan Warkat :
1) Menerima dari Peserta lain :
a) lembar pertama Daftar Warkat Kliring
Penyerahan; dan
b) Warkat.
2) Membubuhkan tanda tangan pada lembar kedua
Daftar Warkat Kliring Penyerahan yang diserahkan
oleh Peserta lain sebagai bukti penerimaan Warkat.
d. Mencocokkan rincian yang tercantum pada Daftar Warkat
Kliring Penyerahan yang diterima dari Peserta lain dengan
Warkat yang diterima.
e. Menyusun Neraca Kliring Penyerahan sebanyak rangkap 2
(dua) berdasarkan Daftar Warkat Kliring Penyerahan yang
diserahkan maupun yang diterima. Neraca Kliring
Penyerahan ini diisi rincian Warkat yang diserahkan
maupun yang diterima serta saldo debet/kredit Kliring
Penyerahan bagi Peserta yang bersangkutan.
f. Menandatangani dan mencantumkan nama jelas wakil
Peserta yang bersangkutan pada Neraca Kliring
Penyerahan, kemudian menyerahkan lembar pertama
Neraca Kliring Penyerahan kepada Penyelenggara.
3. Kegiatan …
25
3.
Kegiatan Petugas Penyelenggara
a. Menyusun Neraca Kliring Penyerahan Gabungan
berdasarkan Neraca Kliring Penyerahan yang disampaikan
oleh seluruh wakil Peserta, kemudian membubuhkan tanda
tangan dan nama jelas petugas Penyelenggara pada Neraca
Kliring Penyerahan Gabungan tersebut. Dengan
ditandatanganinya Neraca Kliring Penyerahan Gabungan
oleh petugas Penyelenggara maka Kliring Penyerahan
dinyatakan berakhir.
b. Apabila wakil Peserta belum hadir sampai dengan batas
akhir jadwal Kliring Penyerahan yang ditetapkan,
Penyelenggara akan melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf c, d, e dan f atas nama wakil
Peserta. Dalam hal kemudian wakil Peserta hadir sebelum
Kliring Penyerahan dinyatakan berakhir maka kegiatan
sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf c, d, e dan f
yang belum dilaksanakan oleh petugas Penyelenggara akan
dilanjutkan oleh wakil Peserta yang bersangkutan. Seluruh
Warkat yang ditujukan kepada Peserta yang terlambat
diserahkan oleh Penyelenggara pada saat wakil Peserta
yang bersangkutan hadir. Apabila wakil Peserta tidak hadir
sampai Kliring Penyerahan dinyatakan berakhir maka
Penyelenggara akan menghubungi Peserta untuk
mengambil Warkat dan Neraca Kliring Penyerahan.
B. Kliring Pengembalian
Kliring Pengembalian meliputi kegiatan yang dilakukan di kantor
Peserta dan kegiatan yang dilakukan di tempat Penyelenggara.
1. Kegiatan …
26
1.
Kegiatan di kantor Peserta
Sebelum dibawa ke pertemuan Kliring Pengembalian di tempat
Penyelenggara, Peserta harus melakukan persiapan sebagai
berikut :
a. Melakukan verifikasi terhadap Warkat yang diterima
Peserta pada pertemuan Kliring Penyerahan apakah telah
memenuhi persyaratan untuk dibukukan. Dalam hal Warkat
Debet :
1) Memenuhi salah satu atau lebih alasan penolakan
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia No.28/137/UPG tanggal 5 Januari 1996
tentang Cek/Bilyet Giro Kosong; atau
2) Merupakan Nota Debet, yang tidak memenuhi
ketentuan mengenai nilai nominal Nota Debet;
maka Warkat Debet tersebut wajib ditolak dalam
pertemuan Kliring Pengembalian yang merupakan satu
kesatuan siklus kliring dengan Kliring Penyerahan yang
bersangkutan. Dalam hal terdapat kesalahan dalam Warkat
Kredit maka pengembaliannya tidak dapat dilakukan
melalui pertemuan Kliring Pengembalian, namun dapat
dilakukan melalui Kliring Penyerahan berikutnya segera
setelah diketahui adanya kesalahan dengan menerbitkan
Warkat baru.
b.
Membuat Surat Keterangan Penolakan (SKP)
Warkat Debet yang ditolak wajib disertai dengan SKP
sebanyak rangkap 3 (tiga). SKP tersebut harus memuat
alasan …
27
alasan penolakan Warkat sesuai dengan Surat Edaran Bank
Indonesia No.28/137/UPG tanggal 5 Januari 1996 tentang
Cek/Bilyet Giro Kosong. Khusus untuk penolakan Nota
Debet sebagaimana dimaksud pada huruf a.2), dalam SKP
harus dituliskan nomor, tanggal dan nilai nominal Nota
Debet serta alasan penolakan yaitu “nilai nominal Nota
Debet diatas Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”. SKP
tersebut kemudian diberi tanda tangan dan nama jelas dari
pejabat yang berwenang.
Dalam hal warkat ditolak pembayarannya karena diduga
terdapat hubungan dengan suatu tindak pidana sesuai
dengan surat lapor dari pihak berwajib, selain membuat
SKP, Peserta tertarik juga harus menahan Warkat tersebut
dan membuat Surat Keterangan Penahanan Warkat rangkap
3 (tiga). Contoh Surat Keterangan Penahanan Warkat dapat
dilihat pada Lampiran 11. Surat Keterangan Penahanan
Warkat tersebut, dengan dilampiri fotokopi surat bukti
lapor dari kepolisian dan fotokopi Warkat yang
bersangkutan, selanjutnya untuk didistribusikan pada
pertemuan Kliring Pengembalian sebagai berikut :
1) lembar pertama kepada nasabah penyetor melalui
Peserta yang mengkliringkan;
2) lembar kedua kepada Peserta yang mengkliringkan;
3)
lembar ketiga kepada Penyelenggara.
c. Memilah Warkat Debet tolakan beserta SKP berdasarkan
Bank penerima.
d. Mengisi …
28
d. Mengisi Daftar Warkat Kliring Pengembalian dengan
rincian nominal serta jumlah lembar dan jumlah nominal
Warkat Debet tolakan untuk masing-masing Bank
penerima sebanyak rangkap 3 (tiga). Selain itu untuk
memudahkan perhitungan, dapat pula dibuat telstruk per
Bank penerima untuk masing-masing Daftar Warkat
Kliring Pengembalian apabila jumlah Warkat Debet
tolakan lebih dari 1 (satu) lembar. Daftar Warkat Kliring
Pengembalian kemudian dibubuhi Stempel Kliring serta
tandatangan dan nama jelas wakil Peserta.
2. Kegiatan Peserta di tempat Penyelenggara
Pada saat pertemuan Kliring Pengembalian di tempat
Penyelenggara, wakil Peserta melakukan kegiatan sebagai
berikut:
a. Wakil Peserta hadir dalam pertemuan Kliring
Pengembalian pada jadwal yang telah ditetapkan dengan
mengisi Daftar Hadir yang disediakan Penyelenggara.
Dalam hal wakil Peserta hadir melewati batas akhir jadwal
Kliring Pengembalian yang ditetapkan maka wakil Peserta
tersebut tidak diperkenankan menyerahkan Warkat Debet
tolakan kepada Peserta lain untuk diperhitungkan dalam
pertemuan Kliring tersebut namun wajib menerima Warkat
Debet tolakan dari Peserta lain. Kegiatan wakil Peserta
yang terlambat tersebut akan diambil alih oleh petugas
Penyelenggara sebagaimana dijelaskan pada angka 3.f.
b. Melakukan …
29
b.
Melakukan kegiatan pendistribusian Warkat Debet tolakan:
1) Menyerahkan kepada masing-masing Peserta
penerima:
a) lembar pertama Daftar Warkat Kliring
Pengembalian;
b)
Warkat Debet tolakan; serta
c) lembar pertama dan lembar kedua SKP.
Lembar kedua SKP untuk diteruskan oleh Peserta
penerima kepada nasabah penyetor.
2) Meminta tanda tangan dari wakil Peserta penerima
pada lembar kedua Daftar Warkat Kliring
Pengembalian sebagai bukti penerimaan Warkat
Debet tolakan.
3) Menyerahkan kepada Penyelenggara :
a) lembar ketiga Daftar Warkat Kliring
Pengembalian; dan
b) lembar ketiga SKP.
c.
Melakukan kegiatan Penerimaan Warkat Debet tolakan :
1) Menerima dari Peserta lain :
a) lembar pertama Daftar Warkat Kliring
Pengembalian;
b) Warkat Debet tolakan; serta
c) lembar pertama dan lembar kedua SKP.
Lembar kedua SKP untuk diteruskan oleh Peserta
kepada nasabah penyetor.
2) Membubuhkan …
30
2) Membubuhkan tanda tangan pada lembar kedua
Daftar Warkat Kliring Pengembalian yang diserahkan
oleh Peserta lain sebagai bukti penerimaan Warkat
Debet tolakan.
d. Mencocokkan rincian yang tercantum pada Daftar Warkat
Kliring Pengembalian dengan Warkat Debet tolakan yang
diterima.
e. Menyusun Neraca Kliring Pengembalian sebanyak rangkap
2 (dua) berdasarkan Daftar Warkat Kliring Pengembalian
yang diserahkan maupun yang diterima. Neraca Kliring
Pengembalian ini diisi rincian Warkat Debet tolakan yang
diserahkan maupun yang diterima serta saldo debet/kredit
Kliring Pengembalian Peserta yang bersangkutan.
f.
Menandatangani dan mencantumkan nama jelas wakil
Peserta pada Neraca Kliring Pengembalian, kemudian
menyerahkan lembar pertama Neraca Kliring
Pengembalian kepada Penyelenggara.
g. Menyusun Bilyet Saldo Kliring (BSK) sebanyak rangkap 2
(dua) berdasarkan Neraca Kliring Penyerahan dan Neraca
Kliring Pengembalian.
h. Menandatangani dan mencantumkan nama jelas wakil
Peserta pada BSK, kemudian menyerahkan BSK rangkap 2
(dua) kepada Penyelenggara.
3. Kegiatan …
31
3. Kegiatan Petugas Penyelenggara
a. Menyusun Neraca Kliring Pengembalian Gabungan
berdasarkan Neraca Kliring Pengembalian yang
disampaikan oleh seluruh wakil Peserta, kemudian
membubuhkan tanda tangan dan nama jelas petugas
Penyelenggara pada Neraca Kliring Pengembalian
Gabungan tersebut .
b. Mencocokkan antara Neraca Kliring
Penyerahan/Pengembalian Gabungan yang disusun oleh
Penyelenggara dengan BSK yang disusun oleh Peserta.
c. Menandatangani dan mencantumkan nama jelas petugas
Penyelenggara pada BSK rangkap 2 (dua) setelah terdapat
kecocokan antara Neraca Kliring
Penyerahan/Pengembalian Gabungan dengan BSK.
d.
Mendistribusikan BSK sebagai berikut :
1) lembar pertama untuk Penyelenggara;
2) lembar kedua kepada masing-masing Peserta.
Dengan didistribusikannya BSK maka Kliring
Pengembalian dinyatakan berakhir.
e.
Melakukan verifikasi terhadap tanda tangan pejabat pada
SKP yang diserahkan oleh seluruh Peserta, sebelum
disampaikan kepada Bank Indonesia.
f.
Apabila wakil Peserta belum hadir sampai dengan batas
akhir jadwal Kliring Pengembalian yang ditetapkan,
Penyelenggara akan melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada angka 2 huruf c, d, e, f, g dan h atas nama
wakil Peserta yang bersangkutan. Dalam hal kemudian
wakil …
32
wakil Peserta hadir sebelum Kliring Pengembalian
dinyatakan berakhir maka kegiatan sebagaimana dimaksud
pada angka 2 huruf c, d, e, f, g dan h yang belum
dilaksanakan oleh petugas Penyelenggara akan dilanjutkan
oleh wakil Peserta yang bersangkutan. Seluruh Warkat
Debet tolakan yang ditujukan kepada Peserta yang
terlambat akan diserahkan oleh Penyelenggara pada saat
wakil Peserta yang bersangkutan hadir. Apabila wakil
Peserta tidak hadir sampai Kliring Pengembalian
dinyatakan berakhir maka Penyelenggara akan
menghubungi Peserta untuk mengambil Warkat Debet
tolakan dari Peserta lain, Neraca Kliring Pengembalian dan
BSK. Sementara itu perhitungan atas Warkat Debet tolakan
yang tidak dapat diserahkan pada pertemuan Kliring
Pengembalian diselesaikan berdasarkan kesepakatan
Peserta yang terkait. Namun, Peserta yang bersangkutan
wajib menyampaikan Warkat Debet tolakan beserta lembar
1 dan 2 SKP kepada Peserta penerima tolakan dan lembar
ketiga SKP kepada Penyelenggara pada saat Kliring
Pengembalian tersebut.
C.
Penyelesaian Akhir
Penyelesaian Akhir atas hasil Kliring dilakukan dengan melimpahkan
hasil Kliring masing-masing Peserta ke rekening giro kantor lain dari
Peserta di Bank Indonesia yang telah ditetapkan. Prosedur
Penyelesaian Akhir dilakukan sebagai berikut :
1. Penyelenggara …
33
1. Penyelenggara mengirimkan informasi hasil Kliring berdasarkan
BSK ke Kantor Bank Indonesia yang ditetapkan dengan
menggunakan sarana teleks setelah dilakukan test key
arrangement. Dalam Keadaan Darurat dimana tidak
dimungkinkan menggunakan sarana teleks maka pelimpahan
tersebut dapat dilakukan dengan sarana telepon dan
dikonfirmasikan kemudian dengan teleks apabila penggunaan
teleks sudah dimungkinkan. Dalam hal terdapat perbedaan BSK
antara penyampaian konfirmasi melalui sarana teleks dan
penyampaian melalui sarana telepon maka yang akan digunakan
adalah BSK yang disampaikan melalui sarana teleks. Bank
Indonesia akan mengoreksi pembukuan BSK tersebut
berdasarkan konfirmasi teleks yang dikirim Penyelenggara.
2. Atas dasar instruksi pelimpahan tersebut, kantor Bank Indonesia
membukukan hasil Kliring ke rekening kantor lain dari masing-
masing Peserta yang ada di kantor Bank Indonesia tersebut .
3. Tanggal valuta pembukuan hasil Kliring adalah sama dengan
tanggal hari Kliring yang bersangkutan (same day settlement).
4. Apabila terdapat kesalahan perhitungan hasil Kliring yang
diketahui setelah hasil Kliring tersebut dilimpahkan ke Bank
Indonesia, maka penyelesaiannya dilakukan antara
Penyelenggara dengan Peserta.
5. Dalam Keadaan Darurat dimana tidak dimungkinkan
menggunakan sarana teleks dan telepon maka ketentuan
sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku dan
pelimpahan serta pembukuan hasil Kliring dapat dilakukan pada
hari kerja berikutnya.
VI. JADWAL …
34
VI. JADWAL KLIRING LOKAL DAN PELIMPAHAN HASIL KLIRING
1.
Jadwal penyelenggaraan Kliring Lokal serta jadwal pelimpahan hasil
Kliring ditetapkan oleh Penyelenggara dengan persetujuan Bank
Indonesia yang mewilayahi. Jadwal Kliring Lokal yang ditetapkan
merupakan rentang waktu bagi wakil Peserta diperkenankan untuk
hadir dan mendistribusikan Warkat pada proses penyelenggaraan
Kliring Penyerahan/Pengembalian. Sebagai contoh :
a.
Jadwal Kliring Penyerahan ditetapkan pukul 10.30 s/d 11.00.
Hal ini berarti bahwa kehadiran wakil Peserta dan proses
pendistribusian Warkat dapat dimulai pada pukul 10.30 dengan
batas akhir kehadiran wakil Peserta pukul 11.00. Apabila wakil
Peserta hadir pada pukul 11.00 maka wakil Peserta yang
bersangkutan masih dapat mendistribusikan Warkat. Namun
apabila wakil Peserta hadir setelah pukul 11.00 maka wakil
Peserta yang bersangkutan dianggap terlambat dan terkena
ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka V huruf A.2.a.
b.
Jadwal Kliring Pengembalian ditetapkan pukul 13.00 s/d 13.30.
Hal ini berarti bahwa kehadiran wakil Peserta dan proses
pendistribusian Warkat Debet tolakan dapat dimulai pada pukul
13.00 dengan batas akhir kehadiran wakil Peserta pukul 13.30.
Apabila wakil Peserta hadir pada pukul 13.30 maka wakil
Peserta yang bersangkutan masih dapat mendistribusikan Warkat
Debet tolakan. Namun apabila wakil Peserta hadir setelah pukul
13.30 maka wakil Peserta yang bersangkutan dianggap terlambat
dan terkena ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka V
huruf B.2.a.
2.
Jadwal Kliring Lokal dan pelimpahan hasil kliring diumumkan secara
tertulis oleh Penyelenggara.
VII. RENCANA …
35
VII. RENCANA PENANGGULANGAN SEGERA ATAS
PENYELENGGARAAN KLIRING LOKAL DALAM KEADAAN
DARURAT
Penyelenggara wajib memiliki rencana penanggulangan segera atas
penyelenggaraan Kliring Lokal dalam Keadaan Darurat dengan
berpedoman pada ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
1/8/DASP tanggal 24 Desember 1999 perihal Rencana Penanggulangan
Segera Atas Penyelenggaraan Kliring Lokal Dalam Keadaan Darurat.
VIII. SANKSI
1. Penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud pada angka I huruf B.1dan B.2 dikenakan sanksi teguran
secara tertulis.
2. Penyelenggara yang tidak meneruskan secara tertulis informasi
mengenai penolakan Nota Debet kepada Bank Indonesia yang
mewilayahi sebagaimana dimaksud pada angka I huruf B.3 akan
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp.100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk setiap penolakan Nota Debet yang tidak
diteruskan.
3. Penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban untuk menjaga
kerahasiaan data yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kliring
sebagaimana dimaksud pada angka I huruf B.4 dikenakan sanksi
berupa penghentian sebagai Penyelenggara.
4.
a. Wakil Peserta yang tidak mengenakan TPWPK akan dikenakan
sanksi teguran tertulis kepada Peserta oleh Penyelenggara.
b. Dalam hal teguran sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
diindahkan maka Penyelenggara memberlakukan ketentuan
mengenai keterlambatan kehadiran wakil Peserta sebagaimana
dimaksud pada Angka V huruf A.2.a dan huruf B.2.a.
IX. PENUTUP …
36
IX. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka ketentuan
dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.14/8/UPPB tanggal 10 September
1981 perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal angka V, VI, VII, VIII dan X
dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku
sejak tanggal
24 Februari 2000.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HARMAIN SALIM
DEPUTI DIREKTUR AKUNTING
DAN SISTEM PEMBAYARAN
37
Lampiran - 4
Contoh Format
STEMPEL KLIRING DAN STEMPEL KLIRING DIBATALKAN
1. Stempel Kliring
5 cm
KLIRING
27 FEBRUARI 2000
A. PT. BANK MANDIRI -CABANG
No. Urut : 4
2,5 cm
2. Stempel Kliring Dibatalkan
6 cm
STEMPEL KLIRING DIBATALKAN
PT.BANK MANDIRI
CABANG SOLOK *)
Tanda Tangan
1,5 cm
38
Lampiran - 5
Contoh Format
TANDA PENGENAL WAKIL PESERTA KLIRING
Sisi depan
7 cm
KLIRING
FOTO
BANK MANDIRI *)
SOLOK
BANK DANAMON **)
SOLOK
NAMA WAKIL PESERTA
4 cm
Sisi belakang
Tanda Pengenal Wakil Peserta Kliring
No. Penda ftaran
Alamat
:
:
Tanda tangan &
Nama ybs
[kota],[tgl/bln/thn]
BANK MANDIRI *)
*) Diisi nama bank penyelenggara
**) Diisi nama bank peserta
39
X. Lampiran - 16
Contoh Formulir
DATA KEPESERTAAN
KLIRING LOKAL DI [kota]
I.
II.
III.
−
−
−
−
−
IV.
V.
Nama Bank
Nama Kantor
Alamat Kantor
Jalan
Kabupaten/Kotamadya
Kode Pos
Telepon
Fax
Status Kantor Bank
Jenis Usaha
VI. Badan Hukum
:
:
:
:
:
:
:
:
: Kantor Pusat/Kantor Pusat Operasional/
Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu
: Bank Devisa/Non Devisa/Asing *)
: Badan Pemerintah/Perusahaan Terbatas/
Perusahaan Daerah/Koperasi
*)
VII. SK. Izin Usaha (bagi bank yang baru beroperasi)
A. Nomor
B. Tanggal
:
:
VIII. SK Izin Pembukaan Kantor (bagi Kantor Pusat/Kantor Pusat Operasional/
Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu)
A. Nomor
B. Tanggal
IX.
X.
:
:
No.Urut Peserta Langsung :
(hanya diisi bagi permohonan untuk menjadi Peserta Tidak Langsung)
Rekening giro kator lain di Bank Indonesia yang mewilayahi yang akan
dipergunakan untuk pelimpahan hasil kliring (jika tidak ada, sebutkan 3
alternatif rekening giro kantor lain di Kantor Bank Indonesia lainnya
yang terdekat) :
a. KBI ………………… No. Rek …………………………………..
b. KBI …………………. No. Rek …………………………………..
*)
40
c. KBI …………………. No. Rek …………………………………..
XI. Contact…
XI.
Contact Officer untuk masalah Kliring Manual :
A. Pejabat Bagian Kliring I :
B. Pejabat Bagian Kliring II :
Telp. :
Telp. :
Demikian formulir data kepesertaan Kliring Lokal ini telah kami isi
dengan benar sebagaimana adanya.
Jika terdapat perubahan data,
selanjutnya akan kami informasikan kepada Penyelenggara kliring
setempat dengan menggunakan formulir ini dengan hanya mengisi bagian
yang mengalami perubahan.
*)
coret yang tidak perlu
[kota] , [tanggal/bulan/tahun]
PT. BANK …………….
(Tanda tangan & Nama Jelas Pejabat Berwenang)
Jabatan
41
Lampiran – 7
Contoh
SURAT PENUNJUKAN
PEJABAT YANG BERWENANG MENANDATANGANI SKP
Kepada Yth,
………..……
…….……
Sehubungan dengan permohonan kami untuk menjadi peserta kliring
pada kliring lokal di wilayah kliring…… yang Saudara selenggarakan,
dengan ini kami sampaikan nama pejabat kami yang berhak
menandatangani Surat Keterangan Penolakan warkat sebagai berikut :
No.
Nama
Jabatan
Contoh
Tanda Tangan
Contoh
Paraf
[kota], tanggal/bulan/tahun]
PT. Bank ………….
Nama jelas
Jabatan
42
A. Lampiran - 8
Contoh Formulir
PENUNJUKAN WAKIL PESERTA
PT. BANK ……………..
Contoh Tanda
No.
Nama
Jabatan
Alamat & No. KTP
Tangan dan
Paraf
Foto
Keterangan*)
[
k
o
t
a
]
,
[
t
a
n
g
g
a
l
/
b
u
l
a
n
43
/
t
a
h
u
n
]
PT. BANK ……………
*) baru/penggantian/tambahan
Nama Jelas
Jabatan
Catatan : Formulir ini dilampiri dengan 2 lembar pasfoto terbaru ukuran 2 x 3 cm dari masing-
masing wakil peserta.
44
Lampiran - 9
Contoh
KARTU TATA USAHA WAKIL PESERTA
PT. BANK ……………..
Contoh
Nama
Jabatan
Alamat &
No. KTP
Tanda Tangan
dan Paraf
Foto
No. dan Tgl
Surat
Persetujuan
Penyelenggara
Keterang
*)
dapat ditambah sesuai kebutuhan
PENYELENGGARA KLIRING LOKAL
PT. BANK ………….
Nama Jelas
Jabatan
45
XI. Lampiran – 10a
Contoh
SURAT PERSETUJUAN
KEIKUTSERTAAN SEBAGAI PESERTA LANGSUNG
No.
Kepada Yth,
…………………………..
di…………………
Sehubungan dengan surat Saudara No….. tanggal ……perihal
permohonan untuk menjadi Peserta Langsung pada penyelenggaraan
Kliring Lokal di tempat kami, perlu kami beritahukan bahwa
permohonan tersebut dapat kami setujui. Selanjutnya perlu kami
sampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Tanggal efektif keikutsertaan kantor bank Saudara adalah tanggal ….
2. Nomor urut kepesertaan kantor bank Saudara adalah …
3. Sesuai penetapan dari Bank Indonesia, hasil kliring dari kantor bank Saudara
akan dilimpahkan ke rekening …………. di Bank Indonesia ………
4. Kepada Saudara diwajibkan untuk menyampaikan :
a. Spesimen Warkat
b. fisik Stempel Kliring
c. fisik Stempel Kliring Dibatalkan
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum tanggal efektif keikutsertaan yang
ditetapkan.
5. Wakil Peserta telah kami daftarkan sesuai formulir penunjukan wakil Peserta
yang Saudara sampaikan.
6. Wakil Peserta tersebut wajib mengikuti pelatihan mengenai tata cara
pelaksanaan kliring secara manual yang akan kami laksanakan selama 2 (dua)
hari yaitu pada tanggal ……..dan…….
Terlampir kami sampaikan Tanda Pengenal Wakil Peserta Kliring
(TPWPK) untuk digunakan pada pertemuan kliring.
Demikian hal ini kami sampaikan, agar dapat dilaksanakan.
[kota], [tanggal/bulan/tahun]
Penyelenggara Kliring Lokal
PT. Bank …………
Nama jelas
46
Jabatan
cc : [Bank Indonesia yang mewilayahi]
XII. Lampiran – 10b
Contoh
SURAT PERSETUJUAN
KEIKUTSERTAAN SEBAGAI PESERTA TIDAK LANGSUNG
No.
Kepada Yth,
…………………………..
di…………………
Sehubungan dengan surat Saudara No….. tanggal ……perihal
permohonan kantor Saudara untuk menjadi Peserta Tidak Langsung
pada penyelenggaraan Kliring Lokal di tempat kami, perlu kami
beritahukan bahwa permohonan tersebut dapat kami setujui.
Selanjutnya perlu kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Tanggal efektif keikutsertaan adalah tanggal ….
2. Kepada Saudara diwajibkan untuk menyampaikan :
a. Spesimen Warkat
b. fisik Stempel Kliring
c. fisik Stempel Kliring Dibatalkan
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum tanggal efektif keikutsertaan yang
ditetapkan.
3. Nomor urut kepesertaan kantor bank Saudara menggunakan nomor urut
Peserta Langsung yang menjadi kantor induk bank Saudara yaitu nomor …..
Demikian hal ini kami sampaikan, agar dapat dilaksanakan.
[kota], [tanggal/bulan/tahun]
Penyelenggara Kliring Lokal
PT. Bank …………
Nama jelas
Jabatan
cc : [Bank Indonesia yang mewilayahi]
47
XIII. Lampiran - 11
a. Contoh
b. SURAT KETERANGAN PENAHANAN WARKAT
Sudah terima dari PT. Bank ……………… ………………………….. dalam
perhitungan kliring pada tanggal …………………………. sebanyak …
lembar warkat berupa :
1. No.
Urut
Jenis Warkat
Nomor
Nominal
Tgl.Penarikan
Warkat tersebut kami tahan untuk dilakukan penelitian dan
diteruskan kepada yang berwajib karena diduga ada hubungannya
dengan tindak pidana, sesuai dengan Surat Keterangan Lapor dari
Kepolisian (foto copy terlampir).
[kota], [tanggal/bulan/tahun]
PT. BANK ………………
Nama jelas
48
Jabatan
*) Diisi nama bank peserta kliring
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 2/7/DASP|SE-BI/2000 </reg_id>
<reg_title> Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Manual. </reg_title>
<set_date> 24 Februari 2000 </set_date>
<effective_date> 24 Februari 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '14/8/UPPB|SE-BI/1981 | angka V, VI, VII, VIII dan X' </replaced_reg>
<related_reg> '2/4/PBI/2000', '1/3/PBI/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VIII' </penalty_list>
|
No. 5/3/DSM
Jakarta, 10 Februari 2003
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA PERUSAHAAN BUKAN LEMBAGA KEUANGAN
DI INDONESIA
Perihal:
Perubahan atas Surat Edaran No. 4/5/DSM tanggal 28 Maret 2002
perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Perusahaan
Bukan Lembaga Keuangan.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan, maka
untuk lebih meningkatkan kesiapan Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan dalam
rangka memenuhi ketentuan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa perlu dilakukan
perubahan mengenai ketentuan yang mengatur pemberlakuan pengenaan sanksi
administratif.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Surat
Edaran Nomor 4/5/DSM tanggal 28 Maret 2002 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas
Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan sebagai berikut:
1. Mengubah ketentuan dalam butir VII.B. menjadi berbunyi sebagai berikut :
"B. Untuk lebih meningkatkan kesiapan bagi Perusahaan Bukan Lembaga
Keuangan dalam rangka memenuhi ketentuan pelaporan kegiatan Lalu Lintas
Devisa, pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada butir VI mulai
diberlakukan ...
2
diberlakukan untuk pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa Periode Laporan
bulan Januari 2004.”
2. Mengubah ketentuan dalam butir VII.C. menjadi berbunyi sebagai berikut :
"C. Bagi Perusahaan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut sehubungan dengan
pelaksanaan pelaporan ini dapat menghubungi:
Bank Indonesia
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter
Bagian Statistik Neraca Pembayaran:
Telepon
: lldperusahaan@bi.go.id."
: 0-800-1501969 (bebas pulsa), 3817040, 3817041, 3817469
Faksimili : 0-800-1501829 (bebas pulsa), 3866063, 3501974.
E-mail
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 10 Februari 2003
dan berlaku surut sejak tanggal 1 Desember 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Ttd
TREESNA WILDA SUPARYONO
DEPUTI DIREKTUR STATISTIK
EKONOMI DAN MONETER
DSM
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 5/3/DSM|SE-BI/2003 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran No. 4/5/DSM tanggal 28 Maret 2002 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan. </reg_title>
<set_date> 10 Februari 2003 </set_date>
<effective_date> 10 Februari 2003, dan berlaku surut sejak tanggal 1 Desember 2002 </effective_date>
<changed_reg> '4/5/DSM|SE-BI/2002' </changed_reg>
<related_reg> '5/1/PBI/2003', '4/2/PBI/2002', '4/5/DSM|SE-BI/2002' </related_reg>
|
No. 12/19/DInt
Jakarta, 22 Juli 2010
SURAT EDARAN
Kepada
BANK, BADAN USAHA BUKAN BANK, DAN PERORANGAN
DI INDONESIA
Perihal : Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/22/PBI/2000 tanggal 2 Oktober 2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar
Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 172;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4007) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/17/PBI/2009 tanggal 5
Mei 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/22/PBI/2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 71) dan dilakukannya
penyempurnaan atas laporan dan sistem pelaporan, yang bertujuan untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi laporan utang luar negeri, dipandang perlu
untuk mengatur kembali ketentuan pelaksanaan mengenai kewajiban pelaporan
utang luar negeri, sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
A. Definisi
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan :
1. Utang Luar Negeri atau selanjutnya disebut ULN adalah utang
penduduk kepada bukan penduduk, dalam valuta asing dan/-atau
rupiah, berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) atau perjanjian
lainnya, kecuali giro, tabungan, dan deposito;
2. Penduduk…
2. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang
berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia paling singkat 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik
Indonesia di luar negeri;
3. Utang Penduduk kepada bukan Penduduk adalah sejumlah nilai pada
periode dan posisi tertentu yang merupakan kewajiban penduduk
kepada bukan penduduk untuk melakukan pembayaran pokok dan/-
atau bunga di masa mendatang;
4. Perjanjian Kredit (Loan Agreement) adalah perjanjian tertulis yang
berisi syarat dan kondisi pinjaman yang antara lain mengatur besarnya
plafond kredit, suku bunga, jangka waktu, dan cara-cara pelunasannya;
5. Surat Utang (Debt Securities) adalah surat pengakuan utang yang
dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam
maupun di luar negeri;
6. Utang Dagang (Trade Credit) adalah utang yang timbul dalam rangka
kredit yang diberikan oleh supplier atas transaksi barang dan/-atau
jasa;
7. Utang lainnya (Other Loans) adalah seluruh utang yang tidak termasuk
utang berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang
(Debt Securities), dan Utang Dagang (Trade Credit);
8. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
B. Tujuan
Pelaporan ULN dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai
ULN dalam rangka penyusunan Statistik ULN Indonesia dan Statistik
Neraca Pembayaran dalam upaya mendukung keberhasilan pengelolaan
cadangan devisa dan perumusan kebijakan moneter.
C. Pelapor
1. Berdasarkan jenis usaha, Pelapor terdiri dari :
a. Lembaga keuangan:
1) Bank…
1) Bank;
2) Lembaga Keuangan Non Bank.
b. Non Lembaga Keuangan.
2. Berdasarkan kepemilikan usaha, Pelapor terdiri dari :
a. Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Badan Usaha Milik Swasta;
d. Koperasi;
e. Perorangan;
f. Yayasan;
g. Lainnya.
3. Dalam hal pelaporan ULN adalah Badan usaha, pelaporan dilakukan
oleh Kantor Pusat badan usaha yang bersangkutan.
4. Dalam hal pelaporan ULN adalah Perorangan, pelaporan dilakukan
oleh perorangan yang bersangkutan.
5. Dalam hal Pelapor ULN mempunyai Kantor Cabang Luar Negeri
(KCLN), utang KCLN tersebut wajib dilaporkan oleh Kantor Pusat.
6. Pelapor sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan 4 dapat memberi
kuasa kepada pihak lain untuk melakukan pelaporan ULN.
II. RUANG LINGKUP LAPORAN
A. Ruang Lingkup ULN yang Wajib Dilaporkan
1. ULN yang wajib dilaporkan meliputi :
a. ULN berdasarkan Perjanjian Kredit (Loan Agreement);
b. ULN berdasarkan Perjanjian Lainnya yang terdiri dari:
1) Surat Utang (Debt Securities);
2) Utang Dagang (Trade Credit); dan/-atau
3) Utang Lainnya (Other Loans),
dalam valuta rupiah dan/-atau valuta asing.
2. Surat …
2. Surat Utang (Debt Securities) sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.1)
meliputi antara lain Obligasi, Commercial Papers (CP), Promissory
Notes (PN), Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN),
Letter of Credit (LC) impor yang diakseptasi oleh Bank (Bankers
Acceptance) dan transaksi Money Market (MM).
3. Utang lainnya sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.3) antara lain
berupa pembayaran klaim asuransi dan deviden yang sudah ditetapkan
namun belum dibayar.
4. ULN Lembaga Keuangan dan Non Lembaga Keuangan wajib
dilaporkan seluruhnya tanpa batasan minimum.
5. ULN Perorangan yang wajib dilaporkan meliputi :
a. Setiap ULN dengan nominal paling sedikit USD 200.000,00 (dua
ratus ribu USD) atau ekuivalen dengan mata uang lain dengan kurs
yang berlaku pada saat dokumen utang ditandatangani atau
diterbitkan; dan/-atau
b. Beberapa ULN yang apabila dijumlahkan telah mencapai USD
200.000,00 (dua ratus ribu USD) atau ekuivalen dengan mata uang
lain dengan kurs yang berlaku pada saat dokumen utang
ditandatangani atau diterbitkan.
B. Jenis Laporan
Laporan ULN terdiri dari :
1. Laporan Data Pokok ULN dan/-atau perubahannya meliputi :
a. Profil Pelapor
Setiap pelapor yang baru pertama kali melaporkan ULN harus
menyampaikan Data Profil Pelapor.
Apabila terjadi perubahan Data Profil Pelapor sebagaimana
dimaksud pada huruf a maka perubahan tersebut harus disampaikan
kepada Bank Indonesia.
Cakupan...
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada formulir Profil Pelapor (Lampiran 1).
b. Profil ULN
1) Atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana
dimaksud pada formulir PK01 (Lampiran 2).
2) Atas dasar Surat Utang (Debt Securities)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana
dimaksud pada formulir SU01 (Lampiran 3).
3) Atas dasar Utang Dagang (Trade Credit)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana
dimaksud pada formulir UD01 (Lampiran 4).
4) Atas dasar Utang Lainnya (Other Loans)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana
dimaksud pada formulir UL01 (Lampiran 5).
2. Laporan Data Realisasi ULN
a. Atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada Formulir PK02 (Lampiran 6).
b. Atas dasar Surat Utang (Debt Securities)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada Formulir SU02 (Lampiran 7).
c. Atas dasar Utang Dagang (Trade Credit)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada Formulir UD02 (Lampiran 8).
d. Atas dasar Utang Lainnya (Other Loans)
Cakupan informasi yang harus diisi adalah sebagaimana dimaksud
pada Formulir UL02 (Lampiran 9).
III. PENYAMPAIAN …
III. PENYAMPAIAN LAPORAN
A. Batas Waktu Penyampaian Laporan ULN
1. Masa Penyampaian Laporan ULN
a. Laporan Data Pokok ULN dan/-atau Perubahannya
1) Profil ULN baru atau perubahannya wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 hari setelah penandatanganan
atau penerbitan ULN dan/-atau perubahannya untuk ULN atas
dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang (Debt
Securities), Utang Dagang (Trade Credit) dan Utang Lainnya
(Other Loans). Apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada
hari Sabtu atau hari libur, maka laporan ULN disampaikan pada
hari sebelumnya.
Contoh: ULN yang ditandatangani pada tanggal 6 April 2010
paling lambat wajib disampaikan pada tanggal 20 April 2010.
2) Dalam hal penarikan ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan
Agreement), Surat Utang (Debt Securities), Utang Dagang
(Trade Credit) dan Utang Lainnya (Other Loans) dilakukan
sebelum tanggal penandatanganan atau penerbitan ULN,
Laporan Data Pokok ULN Baru wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 hari setelah tanggal penarikan
atau penerbitan ULN. Apabila tanggal batas waktu tersebut
jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka disampaikan pada
hari sebelumnya.
Contoh: ULN yang ditandatangani pada tanggal 9 April 2010
tetapi penarikannya dilakukan pada tanggal 5 April 2010 paling
lambat wajib disampaikan pada tanggal 19 April 2010.
b. Laporan Data Realisasi ULN
Laporan Data Realisasi ULN wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia mulai tanggal 1 s.d. 10 pada bulan berikutnya. Apabila
tanggal …
tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur,
maka disampaikan pada hari sebelumnya.
Contoh: Data realisasi selama bulan April 2010, wajib disampaikan
paling lambat pada tanggal 10 Mei 2010.
2. Masa Penyampaian Koreksi Laporan ULN
a. Koreksi Laporan Data Pokok ULN dan/-atau Perubahannya
Batas waktu penyampaian koreksi Laporan Data Pokok ULN
sampai dengan 20 hari setelah penandatanganan atau penerbitan
ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat Utang
(Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credit) dan Utang Lainnya
(Other Loans) atau setelah tanggal penarikan ULN. Apabila
tanggal tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka
disampaikan pada hari sebelumnya.
Contoh : Koreksi Data Pokok ULN yang ditandatangani pada
tanggal 6 April 2010 paling lambat harus disampaikan pada tanggal
4 Mei 2010.
b. Koreksi Laporan Data Realisasi ULN.
Batas waktu penyampaian koreksi Laporan Data Realisasi ULN
disampaikan paling lambat tanggal 20 pada bulan penyampaian
laporan.
Contoh : Koreksi data realisasi selama bulan April 2010, harus
disampaikan paling lambat pada tanggal 20 Mei 2010.
3. Keterlambatan Penyampaian Laporan ULN
a. Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Profil ULN
Laporan Data Profil ULN dianggap terlambat disampaikan ke Bank
Indonesia, apabila laporan disampaikan melebihi 10 hari setelah
penandatanganan atau penerbitan ULN dan/-atau perubahannya
untuk ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat
Utang (Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credit) dan Utang
Lainnya…
Lainnya (Other Loans) sebagaimana dimaksud pada butir 1.a.1)
atau 10 hari setelah tanggal penarikan ULN sebagaimana dimaksud
pada butir 1.a.2)
Contoh : Data profil ULN yang ditandatangani pada tanggal 6 April
2010 dianggap ‘terlambat’ apabila disampaikan setelah tanggal 20
April 2010.
b. Keterlambatan Penyampaian Laporan Data Realisasi ULN
Laporan Data Realisasi ULN bulan yang bersangkutan dianggap
terlambat, jika disampaikan ke Bank Indonesia melebihi tanggal 10
bulan berikutnya, sebagaimana dimaksud pada butir 1.b.
Contoh : Data realisasi selama bulan April 2010, dianggap
‘terlambat’ apabila disampaikan setelah tanggal 10 Mei 2010.
c. Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Profil ULN
Laporan Koreksi Profil ULN dianggap terlambat, jika disampaikan
ke Bank Indonesia melebihi batas waktu 20 hari setelah
penandatanganan atau penerbitan ULN dan/-atau perubahannya
untuk ULN atas dasar Perjanjian Kredit (Loan Agreement), Surat
Utang (Debt Securities), Utang Dagang (Trade Credit) dan Utang
Lainnya (Other Loans) sebagaimana dimaksud pada butir 1.a.1)
atau setelah tanggal penarikan ULN sebagaimana dimaksud pada
butir 1.a.2).
Contoh : Koreksi Profil ULN yang ditandatangani 6 April 2010,
dianggap ‘terlambat’ apabila disampaikan setelah tanggal 4 Mei
2010.
d. Keterlambatan Penyampaian Koreksi Laporan Data Realisasi ULN
Laporan Koreksi Data Realisasi ULN dianggap terlambat, jika
disampaikan ke Bank Indonesia melebihi tanggal 20 bulan
berikutnya, sebagaimana diatur dalam butir 2.b.
Contoh …
Contoh : Koreksi Data Realisasi ULN bulan April 2010, dianggap
terlambat apabila disampaikan setelah tanggal 20 Mei 2010.
4. Tidak Menyampaikan Laporan ULN
a. Apabila pelapor terlambat atau tidak menyampaikan Laporan Data
Pokok ULN melampaui 6 (enam) bulan terhitung sejak batas akhir
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1.a maka
pelapor dianggap tidak menyampaikan laporan.
b. Apabila pelapor terlambat atau tidak menyampaikan Laporan Data
Realisasi ULN melampaui 6 (enam) bulan terhitung sejak batas
akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1.b,
maka pelapor dianggap tidak menyampaikan laporan.
5. Batas Waktu Penyampaian Pelaporan Menggunakan Media Off line
a. Tanggal penerimaan laporan dengan menggunakan media off line
berupa disket/CD, media penyimpanan lainnya, atau hard copy
oleh Bank Indonesia adalah sesuai dengan tanggal penerimaan di
Bank Indonesia. Untuk pengiriman dengan pos, tanggal
penerimaan laporan adalah tanggal stempel pos.
b. Laporan ULN dengan media off line berupa disket/CD, media
penyimpanan lainnya, atau hard copy harus sudah diterima di
Bank Indonesia dengan batas waktu paling lambat pukul 16.00
WIB.
B. Media Penyampaian Laporan
Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia menggunakan media on line
(web technology) atau media off line berupa lampiran e-mail, Disket/CD,
media penyimpanan lainnya, atau hard copy melalui kurir atau jasa
ekspedisi dengan alamat :
1. Media on line (web technology) :
https://www.bi.go.id/siulweb/
2. Media …
2. Media off line :
a. Disket/CD, media penyimpanan lainnya atau hard copy :
Bagian Penatausahaan dan Publikasi Pinjaman Luar Negeri
Bank Indonesia
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt.5
Jalan MH. Thamrin No.2 Jakarta.
b. E-mail : aplnsiul@bi.go.id
C. Prosedur Penyusunan dan Penyampaian Laporan ULN
Prosedur dan penyusunan penyampaian laporan ULN tercantum dalam
Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaporan Utang Luar Negeri sebagaimana
tecantum dalam Lampiran 13 Surat Edaran Bank Indonesia ini.
IV. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
A. Sanksi Administratif Berupa Denda
1. Sanksi adminstratif bagi pelapor yang terlambat menyampaikan
laporan data pokok sebagaimana dimaksud butir III.A.1.a.1), dan butir
III.A.2.a. adalah denda sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah)
untuk setiap 1 hari keterlambatan. Jumlah hari keterlambatan dihitung
mulai 1 hari setelah berakhirnya masa penyampaian laporan sampai
dengan tanggal diterimanya laporan oleh Bank Indonesia.
Contoh : ULN yang ditandatangani pada tanggal 6 April 2010 paling
lambat harus sudah disampaikan pada tanggal 20 April 2010. Apabila
pelapor menyampaikan laporan tersebut pada tanggal 23 April 2010,
maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu
rupiah) x 3 hari = Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
2. Sanksi administratif bagi pelapor yang terlambat menyampaikan
laporan data Realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada butir
III.A.1.b. adalah denda sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah)
untuk setiap 1 hari keterlambatan. Jumlah hari keterlambatan dihitung
mulai …
mulai satu hari setelah berakhirnya masa penyampaian laporan sampai
dengan tanggal diterimanya laporan oleh Bank Indonesia.
Contoh : Data realisasi selama bulan April 2010, harus sudah
disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Mei 2010. Apabila pelapor
menyampaikan laporan tersebut pada tanggal 12 Mei 2010, maka akan
dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) x 2 hari
= Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
3. Sanksi administratif bagi pelapor yang tidak menyampaikan Laporan
Data Pokok ULN sebagaimana dimaksud pada butir III.A.4.a. adalah
denda sebesar 1 ‰ (satu per mil) dari jumlah ULN yang diterima,
ditambah dengan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada
angka 1.
4. Sanksi administratif bagi pelapor yang tidak menyampaikan Laporan
Data Realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada butir III.A.4.b.
adalah denda sebesar 1 ‰ (satu per mil) dari jumlah ULN yang
diterima, ditambah dengan denda keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada angka 2.
5. Bagi pelapor yang menyampaikan laporan ULN tidak lengkap dan/-
atau tidak benar dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).
B. Pembayaran Sanksi Administratif Berupa Denda
1. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
pada huruf A disetorkan ke Rekening Kas Negara No. 501.000.000
yang ada di Bank Indonesia.
2. Pelaksanaan pembayaran sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan setelah adanya surat
pemberitahuan secara tertulis dari Bank Indonesia dengan tembusan
kepada Kantor Kas Negara yang antara lain berisi tentang penetapan
besarnya denda yang harus dibayar dan tata cara penyetorannya.
3. Bukti…
3. Bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda harus
disampaikan kepada Bank Indonesia.
Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/51/DLN tanggal 31 Desember 2004
perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia No.7/22/DLN tanggal 7 Juli 2005 perihal
perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/51/DLN tanggal 31
Desember 2004.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Juli 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
NELSON TAMPUBOLON
DIREKTUR INTERNASIONAL
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 12/19/DInt|SE-BI/2010 </reg_id>
<reg_title> Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri </reg_title>
<set_date> 22 Juli 2010 </set_date>
<effective_date> 22 Juli 2010 </effective_date>
<replaced_reg> '7/22/DLN|SE-BI/2005', '6/51/DLN|SE-BI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '11/17/PBI/2009', '2/22/PBI/2000' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi IV' </penalty_list>
|
No.7/35/DPM
Jakarta, 3 Agustus 2005
S U R A T E D A R A N
Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/9/DPM
tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah
Sehubungan dengan adanya ketentuan pengalihan
atas
Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Syariah yang tidak dapat dilunasi menjadi Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek Bagi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/23/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari
2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4520) maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
6/9/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Pemberian
Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah dipandang perlu untuk diatur
kembali sebagai berikut:
Ketentuan butir I diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
I. PERMOHONAN FPJPS
1. Permohonan FPJPS dari Bank Syariah
1) Bank Syariah dapat mengajukan permohonan FPJPS kepada Bank
Indonesia melalui BI-SSSS dari cut off warning sampai dengan 15 (lima
belas) menit setelah pre-cut off BI-SSSS.
2) Permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus
ditegaskan dengan surat permohonan sebagaimana
lampiran 1 yang disampaikan kepada:
contoh
a. Direktorat …
pada
2
a. Direktorat Pengelolan Moneter (DPM) c.q. Bagian Operasi Pasar
Uang (OPU), Bank Indonesia, Jl.M.H Thamrin No. 2 Jakarta,
bagi
Pusat Bank Indonesia (KPBI) dengan tembusan kepada Direktorat
Perbankan Syariah; atau
b. Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat c.q. Seksi Pelaksana
Kebijakan Moneter (PKM), bagi Bank Syariah yang berkantor pusat
di luar wilayah kerja KPBI dengan tembusan kepada Tim Pengawas
Bank di kantor Bank Indonesia setempat.
3) Surat permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada angka 2), harus
dilampiri dengan:
a. Perjanjian Pembiayaan FPJPS sebagaimana contoh pada Lampiran 2
dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi meterai cukup dan
ditandatangani oleh Direksi Bank Syariah atau Pejabat Bank
Syariah yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa;
b. Akta Pengikatan Agunan secara gadai sebagaimana contoh
Lampiran 3 dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi materai
cukup dan ditandatangani oleh Direksi Bank Syariah atau Pejabat
Bank Syariah yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat
kuasa; dan
c. Bagi Bank Syariah yang akan memanfaatkan FPJPS untuk pertama
kali selain melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
butir a dan butir b, juga harus menyampaikan:
i.
specimen tanda tangan Direksi Bank Syariah atau Pejabat
Bank Syariah yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan
surat kuasa;
ii.
fotokopi Anggaran Dasar Bank Syariah, contoh stempel Bank
Syariah, dan fotokopi identitas diri berupa KTP/SIM/Paspor
Direksi ...
Bank Syariah yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
3
Direksi Bank Syariah atau Pejabat Bank Syariah
diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa.
yang
iii. Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud pada butir
i dan butir ii, Bank Syariah harus menyampaikan dokumen
yang terkait dengan perubahan dimaksud.
2. Permohonan FPJPS dari Unit Usaha Syariah (UUS)
1) UUS dapat mengajukan permohonan FPJPS kepada Bank Indonesia
melalui BI-SSSS dari cut off warning sampai dengan 15 (lima belas)
menit setelah pre-cut off BI-SSSS.
2) Permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus
ditegaskan dengan surat permohonan yang disampaikan kepada:
a. Direktorat Pengelolan Moneter (DPM) c.q. Bagian Operasi Pasar
Uang (OPU), Bank Indonesia, Jl.M.H Thamrin No. 2 Jakarta,
oleh kantor pusat bank umum konvensional untuk kepentingan
UUS, atau oleh UUS berdasarkan surat kuasa dari kantor pusat bank
umum konvensional, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) dengan tembusan kepada
Direktorat Perbankan Syariah; atau
b. Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat c.q. Seksi Pelaksana
Kebijakan Moneter (PKM), oleh kantor pusat
bank umum
konvensional atas nama UUS, atau oleh UUS berdasarkan surat
kuasa dari kantor pusat bank umum konvensional, bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah kerja KPBI dengan tembusan
kepada Tim Pengawas Bank di kantor Bank Indonesia setempat.
3) Surat permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada angka 2) harus
dilampiri dengan:
a. Perjanjian Pembiayaan FPJPS sebagaimana contoh pada Lampiran 2
dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi materai cukup dan
ditandatangani …
4
ditandatangani oleh Direksi kantor pusat bank konvensional atau
Pejabat kantor pusat bank konvensional yang diberikan wewenang
berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh kantor pusat bank
konvensional atau oleh Pejabat dari UUS berdasarkan surat kuasa
yang diberikan oleh kantor pusat bank konvensional kepada UUS
tersebut; dan
b. Akta Pengikatan Agunan secara gadai sebagaimana contoh
Lampiran 3 dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi materai
cukup dan ditandatangani oleh Direksi kantor pusat bank
konvensional atau Pejabat kantor pusat bank konvensional yang
diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa atau oleh
Pejabat dari UUS berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh
kantor pusat bank konvensional kepada UUS tersebut; dan
c. Surat Pernyataan dari Direksi kantor pusat bank konvensional yang
menyatakan ketidakmampuan kantor pusat bank konvensional
memberikan bantuan dana kepada UUS sebagaimana contoh dalam
Lampiran 4.
d. Bagi UUS yang akan memanfaatkan FPJPS untuk pertama kali
selain melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir a
dan butir b, juga harus menyampaikan:
i.
specimen tanda tangan Direksi kantor pusat bank konvensional
atau Pejabat kantor pusat bank konvensional yang diberikan
wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa atau Pejabat UUS
berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh kantor pusat bank
konvensional.
ii.
fotokopi Anggaran Dasar kantor pusat bank konvensional,
contoh stempel kantor pusat bank konvensional, dan fotokopi
identitas diri berupa KTP/SIM/Paspor Direksi kantor pusat
bank
konvensional atau pejabat kantor pusat bank
konvensional …
5
konvensional yang diberikan wewenang oleh Direksi dengan
surat kuasa atau Pejabat UUS berdasarkan surat kuasa yang
diberikan oleh kantor pusat bank konvensional.
iii. Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud pada butir
i dan butir ii, UUS harus menyampaikan dokumen yang terkait
dengan perubahan dimaksud.
3. Dalam hal Bank Syariah atau UUS menggunakan FLIS dan tidak dapat
melunasi FLIS sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada butir
1.1) maka nilai nominal FLIS yang tidak dapat dilunasi secara otomatis
melalui sarana BI-SSSS dialihkan menjadi FPJPS Bank Syariah atau UUS
yang bersangkutan.
4. Dalam
hal terdapat pengalihan nilai nominal FLIS menjadi FPJPS
sebagaimana dimaksud angka 3 diatur sebagai berikut :
1) Apabila Bank Syariah atau UUS sedang tidak menggunakan FPJPS
maka Bank
Syariah atau UUS
wajib menandatangani
menyampaikan Perjanjian Pembiayaan FPJPS.
2) Apabila Bank Syariah atau UUS sedang menggunakan FPJPS dan
melakukan perpanjangan FPJPS maka Bank Syariah atau UUS wajib
menandatangani dan menyampaikan Addendum Perjanjian Pembiayaan
FPJPS dengan nilai FPJPS sebesar FLIS yang tidak dapat dilunasi
ditambah dengan nilai nominal perpanjangan FPJPS.
3) Dalam hal Bank Syariah atau UUS tidak menandatangani
menyampaikan Perjanjian Pembiayaan FPJPS
dan
atau Addendum
Perjanjian Pembiayaan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam angka 1)
atau angka 2) paling lambat 30 (tiga puluh) menit setelah berakhirnya
waktu pengajuan FPJPS maka pengikatan pembiayaan
dilakukan
berdasarkan kuasa penandatanganan Perjanjian Pembiayaan FPJPS atau
Addendum Perjanjian Pembiayaan FPJPS sebagaimana tercantum dalam
Perjanjian …
dan
6
Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS yang telah ditandatangani
Bank Syariah atau UUS.
4) Akta pengikatan agunan dalam rangka pengalihan FLIS menjadi FPJPS
dibuat oleh Bank Indonesia berdasarkan kuasa gadai sebagaimana diatur
dalam ketentuan FLIS yang berlaku.
5. Dalam hal nominal FPJPS yang diajukan berbeda dengan kewajiban yang
tidak dapat diselesaikan oleh Bank Syariah atau UUS di Bank Indonesia
maka:
1) permohonan FPJPS Bank Syariah atau UUS ditolak
Indonesia;
2) Bank Syariah atau UUS dapat melakukan penyesuaian permohonan
nominal FPJPS yang diajukan melalui BI-SSSS paling lambat 15 (lima
belas) menit setelah pre cut off BI-SSSS;
3) Bank Syariah atau UUS harus menyampaikan kembali Perjanjian
Pembiayaan FPJPS atau Addendum Perjanjian Pembiayaan FPJPS dan
Akta Pengikatan Agunan paling lambat 30 (tiga puluh) menit setelah pre
cut off BI-SSSS
4) permohonan FPJPS Bank Syariah atau UUS ditolak
oleh Bank
Indonesia apabila tidak memenuhi persyaratan dan tata cara pengajuan
FPJPS sebagaimana dimaksud pada butir 2) dan 3). .
6. Persetujuan atau penolakan atas permohonan FPJPS dapat diketahui melalui
BI-SSSS.
7. Mekanisme pengajuan FPJPS melalui sarana BI-SSSS dilakukan mengikuti
tata cara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang
berlaku.
oleh Bank
Ketentuan …
7
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2005
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
DPM
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 7/35/DPM|SE-BI/2005 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/9/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah </reg_title>
<set_date> 3 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date>
<changed_reg> '6/9/DPM|SE-BI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '7/23/PBI/2005 | Pasal 2 ayat (1)', '5/3/PBI/2003', '6/9/DPM|SE-BI/2004' </related_reg>
|
BAN K IN DONESI2Peraturan ini mencabut : - SE No.23/DPNP Tgl.26-1-20
No.2/ 22 /DPNP . Jakarta, 6 November 2000
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
Dengan telah dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/ 23 /PBI/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) maka perlu diatur ketentuan
pelaksanaan atas Peraturan Bank Indonesia tersebut.
L TATACARA PENENTUAN HASIL PENILAIAN
Penentuan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan dilaksanakan
dengan tatacara sebagai berikut:
A. Faktor Kompetensi
Penetapan nilai faktor untuk faktor kompetensi yaitu
a. pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan
dengan jabatannya diberikan nilai faktor setinggi-tingginya
sebesar 4 (empat);
BANK INDORBSIA
b. pengalaman dan keahlian di bidang perbankan dan atau lembaga
keuangan diberikan nilai faktor setinggir-tingginya sebesar 4
(empat);
kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam
rangka pengembangan Bank yang sehat diberikan nilai faktor
setinggi-tingginya sebesar 4 (empat).
Penilaian faktor kompetensi didasarkan atas skala penilaian sebagai
berikut:
a. baik diberikan nilai faktor sebesar 0 (nol);
b. kurang baik diberikan nilai faktor sebesar 2 (dua);
c. tidak baik diberikan nilai faktor sebesar 4 (empat).
B. Faktor Integritas
1. Penetapan nilai faktor untuk faktor integritas yaitu
a. perbuatan rekayasa dan praktek-praktek perbankan yang
menyimpang dari ketentuan perbankan diberikan nilai faktor
scbesar 20 (dua puluh);
b. perbuatan yang tidak memenuhi komitmen yang telah
disepakati dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah
diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh);
c. perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar
kepada pribadi pemilik, Pengurus, pegawai Bank, dan atau
pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan Bank diberikan nilai faktor sebesar 15 (lima
belas);
d. perbuatan .
BARE INDORESIA
d. perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang
perbankan diberikan nilai faktor sebesar 10 (sepuluh);
e. perbuatan dari Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang tidak
independen diberikan nilai faktor sebesar 5 (lima).
2. Penetapan bobot pelaku untuk faktor integritas yaitu
a. pelaku, pemutus, pemrakarsa, atau penanggung jawab
diberikan bobot pelaku sebesar 1009 (seratus perseratus);
b. pelaksana, pihak yang turut menandatangani, atau pihak yang
turut menyetujui diberikan bobot pelaku sebesar 60% (enam
puluh perseratus);
c. pihak yang hanya mengetabui diberikan bobot pelaku sebesar
25% (dua puluh lima perseratus).
3. Penetapan hasil akhir untuk faktor integritas dilakukan setelah
memperhitungkan nilai faktor sebagaimana dimaksud pada huruf
B angka 1 dengan bobot pelaku sebagaimana dimaksud pada
huruf B angka 2.
C. Hasil Akhir Penilaian
Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan
dilakukan dengan menjumlahkan hasil penilaian faktor kompetensi
sebagaimana dimaksud pada huruf A dan hasil penilaian faktor
integritas sebagaimana dimaksud pada huruf B angka 3.
Berdasarkan hasil akhir penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf C
maka Pemegang Saham Pengendali, Pengurus, dan atau Pejabat
Eksekutif diberikan predikat menjadi:
BARE IRDORBSIA
a. lulus apabila hasil akhir penilaian sebesar 0 (nol);
b. lulus bersyarat apabila hasil akhir penilaian sebesar 1 (satu) sampai
dengan 19 (sembilan belas);
c. tidak lulus apabila hasil akhir penilaian sebesar 20 (dua puluh) atau
Icbih.
IL KRITERIA PENENTUAN FAKTOR MATERIALITAS DALAM
PENETAPAN JANGKA WAKTU PENGENAAN SANKSI
Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) pada Peraturan Bank
Indonesia terscbut diatas bahwa salah satu faktor untuk penetapan
jangka waktu pengenaan sanksi larangan bagi pihak-pihak yang
diberikan predikat tidak lulus didasarkan atas faktor materialitas
kerugian yang ditimbulkan terhadap permodalan Bank sebagai akibat
dari perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan.
Sehubungan dengan itu perlu ditetapkan kriteria terhadap faktor
materialitas dimaksud, yaitu sebagai berikut
1. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori
menimbulkan kerugian tidak material pada permodalan Bank apabila
kerugian yang ditimbulkan menyebabkan
a. berkurangnya rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum
sebesar kurang dari 0,59 (setengah perseratus); dan
b. rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank masih sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
2. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori
menimbulkan kerugian cukup material pada permodalan Bank
apabila kerugian yang ditimbulikan menyebabkan:
BANE INDORESIA
a. berkurangnya rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum
sebesar sama atau lebih dari 0,5% (setengah perseratus); dan
b. rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank masih sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
3. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori
menimbulkan kerugian sangat material pada permodalan Bank
apabila kerugian yang ditimbulkan menyebabkan :
a. berkurangnya rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum
scbesar sama atau lebih dari 2 % (dua perseratus); atau
b. rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank menjadi
lebih rendah dari ketentuan yang berlaku.
perhitungan tingkat materialias kerugian yang ditimbulkan adalah posisi
permodalan terakhir yang tersedia pada saat terjadinya perbuatan dan
atau tindakan yang bersangkutan dengan memperhitungkan bobot
pelaku dari pihak-pihak yang dinilai.
Sehubungan dengan itu perlu ditetapkan tata cara perhitungan sebagai
berikut
1. Penentuan kerugian terhadap setiap perbuatan dan atau tindakan yang
terjadi ditentukan atas beban masing-masing pihak yang terlibat
berdasarkan bobot pelaku sebagaimana dimaksud dalam angka 1.B.2.
2. Beban kerugian yang ditimbulkan terhadap masing-masing pihak
pada angka I, kemudian diperhitungkan dengan petmodalan pada saat
perbuatan dan atau tindakan tersebut terjadi.
3. Dalam hal terdapat beberapa perbuatan dan atau tindakan yang dinilai
dengan posisi permodalan pada bulan yang berbeda, maka
BANE IRDONESIA
BANK IRDONESIA Blalaman .6.
perhitungan dilakukan dengan menetapkan hasil perhitungan yang
memberikan dampak perhitungan jangka waktu larangan yang paling
lama diantara beberapa metode perhitungan, yaitu dengan
membandingkan salah satu di antara metode sebagai berikut
a. pengaruh kerugian dari setiap perbuatan dan atau tindakan
dibandingkan dengan posisi permodalan pada saat terjadinya
perbuatan dan atau tindakan tersebut;
b. pengaruh kerugian yang dihitung secara kumulatif atas beberapa
perbuatan dan atau tindakan yang berakhir pada tanggal tertentu
dibandingkan dengan posisi permodalan periode terakhir dari
beberapa perbuatan dan atau tindakan tersebut;
c. pengaruh kerugian yang dihitung secara kumulatif dari seluruh
perbuatan dan atau tindakan dibandingkan dengan posisi
permodalan pada periode terakhir dari seluruh perbuatan dan atau
tindakan tersebut.
IIL. ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PERNYATAAN
TERTULIS
Seluruh laporan dan pemyataan tertulis yang wajib disampaikan oleh
Bank dan atau pihak-pihak yang dinilai sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia tersebut, dialamatkan kepada:
b. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia Jl. MH.
Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah Jabotabek,
c. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
Juar wilayah Jabotabek;
dengan tembusan kepada Direktorat Peririnan dan Informasi Perbankan,
Bank Indonesia Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10110.
IV. PENUTUP.
BARK INDONBSIA
IV. PENUTUP
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Bdaran Bank
Indonesia Nomor 2/3/DPNP tanggal 26 Januari 2000 perihal Tata Cara
Penentuan Hasil Penilaian Kemampuan dan Kepatutan, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 6 November 2000.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
Deputi Gubemur
DPNP
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 2/22/DPNP|SE-BI/2000 </reg_id>
<reg_title> Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) </reg_title>
<set_date> 6 November 2000 </set_date>
<effective_date> 6 November 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '2/3/DPNP|SE-BI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '2/23/PBI/2000' </related_reg>
|
BANK INDONESIA
----------------
No. 1/ 2 /DSM
Jakarta, 22 September 1999
S U R A T E D A R A N
Perihal : Tata Cara Pengumpulan dan Penyampaian Keterangan dan Data,
Persyaratan Lain bagi Lembaga Penelitian dan Prosedur Pengenaan
Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Survei
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 4
tanggal 18 Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia
maka untuk memperoleh informasi secara akurat, lengkap, cepat, dan terkini,
dipandang perlu untuk mengatur lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan survei
dan prosedur pengenaan sanksi administratif.
I. Tata Cara Pengumpulan dan Penyampaian Keterangan dan Data
Pelaksanaan survei diawali dengan penjelasan dari petugas survei kepada
responden mengenai hal-hal sebagai berikut :
a. Tujuan survei yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia berdasarkan
Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 2 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Survei
oleh Bank Indonesia;
b. Ruang lingkup survei;
c. Manfaat ….
1
c. Manfaat survei secara umum bagi responden;
d. Jaminan kerahasiaan keterangan dan data yang diberikan oleh responden
berdasarkan pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia dan Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (4) dan ayat
(5) serta Pasal 12 huruf c Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia;
e. Tata cara dan batas waktu penyampaian keterangan dan data dari
responden;
f. Hak, kewajiban, dan sanksi administratif yang berlaku baik terhadap
pelaksana dan petugas survei maupun terhadap responden.
Adapun pengumpulan dan penyampaian keterangan dan data dapat dilakukan
dengan cara :
1. Wawancara
a. Pengumpulan dan penyampaian keterangan dan data melalui wawancara
dilakukan oleh petugas survei dengan menanyakan langsung kepada
responden baik secara tatap muka maupun dengan media
telekomunikasi.
b. Dalam hal responden belum dapat memberikan seluruh jawaban pada
saat wawancara atau ingin melakukan koreksi jawaban setelah
wawancara, responden wajib menyampaikan keterangan dan data yang
bersangkutan dengan tetap memperhatikan batas waktu penyampaian
keterangan dan data.
c. Dalam pengumpulan keterangan dan data, setiap petugas survei dilarang
mengarahkan atau mempengaruhi jawaban dari responden.
2. Pengisian…
2
2. Pengisian kuesioner oleh responden
a. Pengumpulan dan penyampaian keterangan dan data melalui pengisian
kuesioner dilakukan dengan cara meminta responden untuk :
1) mengisi atau menjawab sendiri seluruh pertanyaan yang terdapat
pada kuesioner;
2) menyampaikan jawaban kuesioner sebagaimana pada angka 1)
kepada petugas survei atau pelaksana survei.
b. Batas waktu terakhir penyampaian jawaban kuesioner ditentukan
tersendiri untuk masing-masing survei sesuai dengan sifat, ruang
lingkup dan periodisasi survei yang bersangkutan. Batas waktu terakhir
survei ditetapkan oleh Bank Indonesia dan dicantumkan pada surat
pengantar kepada responden atau pada kuesioner yang dikirimkan.
Apabila batas waktu terakhir penyampaian jawaban kuesioner jatuh
pada hari Sabtu, hari Minggu atau hari libur baik hari libur nasional
maupun hari libur yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka batas
waktu terakhir penyampaian jawaban kuesioner adalah hari kerja
berikutnya.
c. Dalam hal responden melakukan koreksi terhadap jawaban kuesioner,
responden wajib menyampaikan koreksi jawaban kuesioner tersebut
dalam batas waktu yang telah ditetapkan.
d. Waktu penyampaian jawaban kuesioner dan koreksi jawaban kuesioner
dibuktikan dengan :
1) Tanggal bukti pengambilan oleh petugas survei;
2) Tanggal bukti penerimaan oleh petugas apabila jawaban dikirim
melalui kurir;
3) Tanggal stempel pos pengiriman apabila jawaban kuesioner dikirim
melalui pos;
4) Tanggal….
3
4) Tanggal penerimaan jawaban kuesioner yang tercatat di Bank
Indonesia atau lembaga survei apabila dikirim melalui faksimile,
surat elektronik (e-mail), telepon atau media lainnya.
e. Untuk memperlancar dan mempermudah responden dalam penyampaian
jawaban kuesioner dan atau koreksinya, pelaksana survei sedapat
mungkin tidak membebani responden.
II. Persyaratan Lain bagi Lembaga Penelitian
Pelaksanaan kegiatan survei dapat dilakukan baik oleh Bank Indonesia
sendiri maupun oleh lembaga survei berdasarkan penugasan dari Bank
Indonesia. Persyaratan umum yang harus dipenuhi lembaga penelitian untuk
dapat ditunjuk menjadi pelaksana survei adalah independen, kompeten dan
profesional. Persyaratan teknis yang harus dipenuhi yaitu :
a. Mengajukan proposal survei yang mengacu pada kerangka acuan (terms
of reference) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. Jenis dan uraian pekerjaan yang akan dilaksanakan;
c. Jadwal pelaksanaan kegiatan secara rinci dan jelas.
Hal-hal yang perlu dilampirkan oleh Lembaga survei dalam pengajuan
proposal survei antara lain :
a. Daftar susunan tim peneliti/surveyor.
b. Fotokopi surat ijin usaha bagi lembaga penelitian yang bukan bagian dari
Universitas/Perguruan Tinggi.
c. Keterangan pengalaman kerja lembaga survei sesuai dengan bidangnya;
d. Daftar atau keterangan mengenai sumber daya manusia yang
dipergunakan;
e. Surat…
4
e. Surat ketetapan nomor pokok wajib pajak (NPWP);
f. Surat pernyataan kesediaan untuk melaksanakan kegiatan survei dengan
penuh tanggung jawab.
III. Prosedur Pengenaan Sanksi Administratif
1. Terhadap Lembaga Survei
a. Sesuai dengan Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia, lembaga survei
dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda,
ketidakikutsertaan dalam survei selanjutnya dan atau pencabutan izin
usaha melalui instansi yang berwenang, apabila yang bersangkutan
tidak memenuhi kewajibannya. Selain sanksi tersebut di atas, lembaga
survei dapat dikenakan sanksi atas pelanggaran pelaksanaan survei
sesuai yang diatur dalam Perjanjian Kerja.
b. Sanksi denda, ketidakikutsertaan dalam survei selanjutnya dan atau
pencabutan izin usaha melalui instansi yang berwenang, sebelumnya
didahului dengan surat pemberitahuan dari Bank Indonesia mengenai
jenis pelanggaran (kewajiban yang tidak dipenuhi) dan sanksi yang akan
dikenakan.
c. Lembaga Survei yang dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
huruf b) di atas, dapat mengajukan keberatan dengan menyampaikan
penjelasan secara tertulis
mengenai alasan
tidak dipenuhinya
kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4), (5), (6) dan (7)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia.
2. Terhadap….
5
2. Terhadap responden
a. Sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia, responden
yang berbentuk badan dapat dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis, denda, dan atau pencabutan izin usaha melalui instansi
yang berwenang apabila responden yang bersangkutan tidak
memenuhi kewajibannya sebagai berikut :
1) Responden tidak bersedia menjawab
Yang dimaksud responden tidak bersedia menjawab adalah apabila
responden :
a) secara eksplisit menyatakan tidak bersedia menjawab baik
secara lisan maupun tertulis; dan atau
b) dalam satu bulan setelah berakhirnya batas waktu penyampaian
jawaban kuesioner, tetap tidak menyampaikan jawaban setelah
dilakukan konfirmasi oleh pelaksana survei.
2) Responden menjawab sebagian atau kurang lengkap
Yang dimaksud responden menjawab sebagian atau kurang lengkap
adalah apabila dalam batas waktu yang ditetapkan, responden tidak
melengkapi atau menyampaikan kekurangan jawaban kuesioner
walaupun telah diberitahu oleh pelaksana survei.
3) Responden memberikan jawaban yang salah
Yang dimaksud responden memberikan jawaban yang salah adalah
apabila responden dengan sengaja memberikan jawaban kuesioner
tidak sesuai dengan keadaan/kenyataan yang sebenarnya, dan tidak
menyampaikan koreksi jawaban dalam batas waktu penyampaian
jawaban kuesioner.
4) Responden….
6
4) Responden terlambat menyampaikan jawaban kuesioner
Yang dimaksud responden terlambat menyampaikan jawaban
kuesioner adalah apabila penyampaian jawaban kuesioner atau
koreksinya telah melewati batas waktu yang telah ditetapkan.
b. Pengenaan sanksi administratif terhadap responden yang tidak
memenuhi kewajibannya tersebut di atas, dilakukan oleh Bank
Indonesia termasuk yang surveinya dilaksanakan oleh lembaga survei.
Dalam hubungan ini, lembaga survei yang bersangkutan wajib
menyampaikan daftar responden yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a tersebut di atas.
c. Pengenaan sanksi administratif terhadap responden dilakukan dengan
mempertimbangkan antara lain jenis kewajiban yang tidak dipenuhi,
besarnya kontribusi jawaban responden terhadap hasil survei,
pentingnya survei, dan besarnya skala usaha responden.
d. Sanksi denda dan pencabutan izin usaha melalui instansi yang
berwenang kepada responden sebelumnya didahului dengan surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia mengenai jenis kewajiban yang
tidak dipenuhi dan sanksi yang akan dikenakan.
e. Responden yang dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam huruf d) di atas, dapat mengajukan keberatan dengan
menyampaikan penjelasan secara tertulis mengenai alasan tidak
dipenuhinya kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) dan
(4) Peraturan Bank Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ……
Agar….
7
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Achjar Iljas
Deputi Gubernur
DSM
8
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 1/2/DSM|SE-BI/1999 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Pengumpulan dan Penyampaian Keterangan dan Data, Persyaratan Lain bagi Lembaga Penelitian dan Prosedur Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pelaksanaan Survei </reg_title>
<set_date> 22 September 1999 </set_date>
<related_reg> '4/PBI/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi III' </penalty_list>
|
No. 8/4/DPM
NoAAve
Jakarta, 7 Februari 2006
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
Perihal :
Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara
Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar
Sekunder.
Dalam rangka menjaga kestabilan likuiditas di pasar uang antar bank,
dipandang perlu untuk menyusun ketentuan transaksi SBI secara Repo dengan Bank
Indonesia yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4243), sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/30/PBI/2005 tanggal 13
September 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4533) dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4244), sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/5/PBI/2004 tanggal 16
Februari 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 18,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4366) sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Yang dimaksud dalam Surat Edaran ini dengan:
1. Bank …
2
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan
transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank
dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter.
3. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
4. BI-Rate adalah suku bunga kebijakan dengan tenor 1 (satu) bulan yang
ditetapkan Bank Indonesia secara periodik sebagai sinyal
moneter untuk jangka waktu tertentu serta diumumkan kepada publik.
kebijakan
5. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana
elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang
penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual.
6. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS.
7. Transaksi SBI yang dilakukan secara Repurchase Agreement yang
selanjutnya disebut SBI Repo adalah transaksi penjualan bersyarat SBI
oleh Bank dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan
jangka waktu yang disepakati.
8. Rekening Surat Berharga SBI adalah rekening surat berharga yang
digunakan untuk mencatat kepemilikan SBI di Central Registry.
9. Setelmen …
3
9. Setelmen Surat Berharga SBI adalah perpindahan kepemilikan SBI antar
pemilik rekening SBI yang tercatat dalam BI-SSSS dalam rangka
pelaksanaan setelmen transaksi SBI melalui BI-SSSS.
10. Setelmen Dana adalah perpindahan dana antar pemilik rekening giro
Rupiah di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS dalam rangka
pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS.
11. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah setelmen
transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga SBI melalui
BI-SSSS dilakukan bersamaan dengan Setelmen Dana di Bank Indonesia
melalui Sistem BI-RTGS.
12. Pusat Informasi Pasar Uang yang selanjutnya disebut PIPU adalah bagian
dari keluaran Laporan Harian Bank Umum yang menyediakan informasi
yang meliputi namun tidak terbatas pada pasar uang Rupiah dan valuta
asing serta informasi dari sumber lainnya yang terkait dengan pasar
keuangan.
II. PERSYARATAN TRANSAKSI SBI REPO DENGAN BANK INDONESIA
1. SBI yang dapat dijual secara Repo kepada Bank Indonesia adalah :
a. SBI milik Bank yang tercatat dalam rekening perdagangan (active
account) dalam sarana BI-SSSS pada hari pengajuan transaksi; dan
b. Memiliki sisa jangka waktu paling sedikit 2 (dua) hari kerja pada saat
transaksi SBI repo jatuh waktu.
2. Jumlah SBI milik Bank yang dapat dijual secara Repo kepada Bank
Indonesia paling banyak 50% (lima puluh per seratus) dari
jumlah
kepemilikan SBI yang tercatat pada rekening perdagangan di sarana BI-
SSSS pada 1 (satu) hari kerja sebelum pengajuan SBI Repo (T-1).
3. Jangka …
4
3. Jangka waktu SBI Repo adalah 1 (satu) hari. Dalam hal pengajuan
transaksi dilakukan pada 1 (satu) hari kerja sebelum hari libur maka
tanggal jatuh waktu SBI Repo ditetapkan pada hari kerja berikutnya.
4. Tingkat diskonto SBI Repo ditetapkan sebesar BI-Rate yang berlaku pada
hari transaksi ditambah 300 (tiga ratus) basis points.
5. Perhitungan jumlah hari dalam diskonto SBI Repo berdasarkan hari
kalender.
6. Penyelesaian SBI Repo dilaksanakan pada hari transaksi (same-day
settlement) melalui mekanisme DVP.
7. Bank yang mengajukan SBI Repo wajib memiliki saldo Rekening Surat
Berharga SBI yang mencukupi di Central Registry untuk keperluan
Setelmen Surat Berharga SBI pada saat setelmen penjualan SBI Repo.
8. Bank wajib memiliki saldo rekening giro Rupiah di Bank Indonesia yang
mencukupi untuk keperluan Setelmen Dana pada saat setelmen pembelian
kembali SBI Repo.
9. Bank tidak sedang dikenakan sanksi diberhentikan sementara (suspend)
atau diberhentikan secara permanen (close) sebagai peserta BI-SSSS.
III. TATA CARA SBI REPO DENGAN BANK INDONESIA
1. Bank Indonesia membuka transaksi SBI Repo melalui mekanisme non
lelang pada setiap hari kerja.
2. Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM) cq. Biro Operasi
Moneter (BOpM) mengumumkan tingkat diskonto SBI Repo yang berlaku
melalui BI-SSSS dan atau PIPU paling lambat sebelum waktu pengajuan
transaksi (window time) SBI Repo dibuka (T+0).
3. Window time SBI Repo sebagaimana dimaksud pada angka 2 ditetapkan
dari pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB.
4. Selama …
5
4. Selama window time SBI Repo, Bank mengajukan transaksi secara
langsung melalui BI-SSSS dengan mencantumkan antara lain nominal
transaksi, seri SBI yang akan direpokan dan jangka waktu repo. Contoh
perhitungan nilai tunai transaksi SBI Repo dapat dilihat pada Lampiran.
5. Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menutup dan atau mengubah
window time transaksi SBI Repo.
6. Penutupan dan atau perubahan window time sebagaimana dimaksud pada
angka 5 diumumkan paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelumnya melalui
BI-SSSS dan atau PIPU dan atau sarana lainnya yang ditetapkan Bank
Indonesia.
IV. TATA CARA SETELMEN SBI REPO DENGAN BANK INDONESIA
A. Setelmen Penjualan SBI (First Leg)
1. Bank Indonesia melakukan setelmen penjualan SBI secara Repo oleh
Bank melalui BI-SSSS setelah waktu cut off warning BI-SSSS secara
gross to gross.
2. Dalam hal Bank tidak memiliki seri SBI yang mencukupi untuk setiap
pengajuan SBI Repo pada Rekening Surat Berharga SBI maka BI-SSSS
secara otomatis membatalkan setelmen penjualan SBI.
3. Atas batalnya penjualan SBI sebagaimana dimaksud pada angka 2
maka Bank dikenakan sanksi OPT.
B. Setelmen Pembelian Kembali SBI (Second Leg)
1. Bank Indonesia melakukan setelmen pembelian kembali SBI oleh Bank
melalui BI-SSSS.
2. Dalam hal Bank tidak memiliki saldo rekening giro Rupiah di Bank
Indonesia yang mencukupi untuk setelmen pembelian kembali SBI
sampai dengan cut off warning Sistem BI-RTGS maka Sistem BI-
RTGS secara otomatis membatalkan pembelian kembali SBI Repo.
3. Atas …
6
3. Atas batalnya pembelian kembali SBI sebagaimana dimaksud pada
angka 2 maka Bank dikenakan sanksi OPT dan seri SBI yang gagal
dibeli kembali oleh Bank secara otomatis akan dilunasi sebelum jatuh
waktu (early redemption).
V. SANKSI
1. Dalam hal terjadi pembatalan penjualan SBI atau pembelian kembali SBI
sebagaimana dimaksud pada butir IV.A.2 atau butir IV.B.2., Bank
dikenakan sanksi OPT berupa:
a. teguran tertulis, dengan tembusan kepada:
1) Direktorat Pengawasan Bank terkait, dalam hal sanksi diberikan
kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia (KPBI); atau
2) Tim Pengawas Bank di Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat,
dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja KBI, dan
b. kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai setelmen
yang dibatalkan atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
Rupiah), dan
c. pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5
(lima) hari kerja dalam hal Bank dikenakan sanksi teguran tertulis
karena pembatalan transaksi kegiatan OPT untuk ketiga kalinya dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan.
2. Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada butir 1.a.
dan pemberitahuan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti
kegiatan OPT sebagaimana dimaksud pada butir 1.c. dilakukan pada 1
(satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi.
3. Pengenaan …
7
3. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada butir
1.b. dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank di Bank
Indonesia pada 1 (satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 7 Februari 2006.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 8/4/DPM|SE-BI/2006 </reg_id>
<reg_title> Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunder. </reg_title>
<set_date> 7 Februari 2006 </set_date>
<effective_date> 7 Februari 2006 </effective_date>
<related_reg> '4/10/PBI/2002', '6/5/PBI/2004', '7/30/PBI/2005', '4/9/PBI/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi IV Huruf A Angka 3', 'Romawi IV Huruf B Angka 3', 'Romawi V' </penalty_list>
|
No. 7/31/DPM
Jakarta, 25 Juli 2005
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM,
PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING
DAN
PERUSAHAAN EFEK
DI INDONESIA
Perihal: Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai Peserta Lelang
Surat Utang Negara
7/19/PBI/2005
Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
tanggal 25 Juli 2005 tentang
Penerbitan, Penjualan dan
Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4517), bahwa penjualan Surat Utang Negara dengan cara
lelang dilakukan melalui Peserta Lelang yang terdiri dari Bank, Perusahaan
Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, serta Perusahaan Efek.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas, Bank Indonesia
berwenang melakukan seleksi dan mengusulkan calon Peserta Lelang Surat
Utang Negara kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia serta melakukan
evaluasi keaktifan Peserta Lelang Surat Utang Negara. Sehubungan dengan itu
maka Bank Indonesia perlu menetapkan tata
cara pengajuan bagi Bank,
Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek
untuk dapat disetujui menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara, evaluasi
keaktifan Peserta Lelang Surat Utang Negara, serta prosedur pengenaan sanksi
dan …
2
dan pencabutan Peserta Lelang Surat Utang Negara dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagai berikut :
I. Kriteria dan Persyaratan Peserta Lelang
1. Yang dapat menjadi Peserta Lelang adalah Bank, Perusahaan Pialang
Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek.
2. Kriteria dan Persyaratan untuk masing-masing Peserta Lelang adalah
sebagai berikut :
a. Bank
1) memiliki izin kegiatan usaha yang masih berlaku dari Bank
Indonesia sebagai Bank;
2) memenuhi persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) berdasarkan ketentuan Bank Indonesia; dan
3) menjadi peserta Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement
System (BI-SSSS).
b. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
1) memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Bank Indonesia
sebagai Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing;
2) memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) orang tenaga ahli di bidang
Pasar Uang;
3) aktif melakukan kegiatan di Pasar Uang dan atau melakukan
transaksi perdagangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang
tercermin dari aktivitas pengajuan penawaran dalam lelang di pasar
perdana SBI 1 (satu) bulan secara kumulatif minimal 1% (satu
perseratus) dari total jumlah penerbitan dalam 3 (tiga) bulan
terakhir; dan
4) menjadi peserta Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement
System (BI-SSSS).
c. Perusahaan …
3
c. Perusahaan Efek
1) memiliki izin usaha yang masih berlaku dari Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam) sebagai Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah;
2) mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun
dalam kegiatan transaksi di Pasar Modal; dan
3) menjadi peserta Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement
System (BI-SSSS).
II. Tata Cara Pengajuan Permohonan, Seleksi dan Persetujuan Peserta Lelang
1. Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dan
Perusahaan Efek yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam angka I dapat mengajukan permohonan dengan surat sebagaimana
contoh pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3, kepada :
Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter
Gedung B Lantai 11
Jl. MH. Thamrin No. 2
Jakarta 10010.
2. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 harus dilengkapi
dengan dokumen sebagai berikut :
a. Bank
1) fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bank Indonesia sebagai
Bank;
2) fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila
telah ada perubahan); dan
3) keterangan mengenai posisi KPMM terakhir.
b. Perusahaan …
4
b. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
1) fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bank Indonesia sebagai
Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing;
2) fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila
telah ada perubahan);
3) daftar riwayat pekerjaan atau keahlian dari anggota Direksi serta
tenaga ahli di bidang Pasar Uang; dan
4) bukti aktivitas kegiatan di Pasar Uang selama 3 (tiga) bulan
terakhir.
c. Perusahaan Efek
1) fotokopi
surat izin kegiatan usaha dari Bapepam sebagai
Perusahaan Efek;
2) fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila
telah ada perubahan); dan
3) bukti pengalaman atau aktivitas kegiatan transaksi di Pasar Modal
selama 3 (tiga) tahun terakhir.
3. Bank Indonesia melakukan seleksi atas permohonan sebagaimana
dimaksud dalam angka 1, dan menyampaikan hasil seleksi calon Peserta
Lelang kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia selambat-lambatnya
10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
4. Berdasarkan surat keputusan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia,
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan
menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara kepada pemohon.
5. Berdasarkan surat pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam angka 4, Peserta Lelang yang belum menjadi peserta BI-
SSSS mengajukan permohonan menjadi peserta BI-SSSS kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS yang
berlaku.
6. Bank …
5
6. Bank Indonesia mengumumkan Peserta Lelang Surat Utang Negara yang
disetujui melalui sarana BI-SSSS, Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan
atau sarana informasi lainnya.
III. Kewajiban Peserta Lelang
1. Peserta Lelang wajib mengikuti Lelang Surat Utang Negara, dengan
persyaratan keaktifan sebagai berikut :
a. melakukan penawaran pembelian
12 (dua belas) kali Lelang Surat Utang Negara terakhir; atau
b. melakukan penawaran pembelian paling sedikit 1 (satu) kali dalam 4
(empat) kali Lelang Surat Utang Negara secara berturut-turut.
2. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang disetujui
sebagai Peserta Lelang, wajib memenuhi persyaratan keaktifan Lelang
Surat Utang Negara hanya untuk lelang Surat Perbendaharaan Negara.
3. Peserta Lelang wajib memelihara pemenuhan kriteria dan persyaratan
Peserta Lelang sebagaimana dimaksud dalam butir I angka 2.
4. Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang Negara, wajib
menjamin kecukupan dana pada Bank pembayar yang ditunjuk sampai
dengan batas waktu akhir setelmen sesuai ketentuan Bank Indonesia
mengenai BI-SSSS yang berlaku.
IV. Evaluasi Keaktifan Peserta Lelang dan Pengenaan Sanksi kepada Peserta
Lelang
A. Evaluasi Keaktifan Peserta Lelang
1. Bank Indonesia melakukan evaluasi keaktifan Peserta Lelang dalam
setiap kegiatan lelang Surat Utang Negara di pasar perdana.
2. Berdasarkan hasil evaluasi keaktifan Peserta lelang, Bank Indonesia
menyampaikan hasil evaluasi kepada Menteri Keuangan Republik
Indonesia mengenai Peserta Lelang yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada butir III angka 1.
B. Pengenaan …
paling sedikit 4 (empat) kali dalam
6
B. Pengenaan Sanksi Pemberhentian Sementara
1. Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang Surat Utang
Negara tidak memenuhi kewajibannya sampai dengan batas akhir
waktu setelmen akibat Bank yang melakukan setelmen pembayaran
tidak memiliki saldo yang mencukupi dalam rekening giro Rupiah
Bank di Bank Indonesia maka seluruh hasil Lelang Surat Utang
Negara yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan
batal.
2. Terhadap Peserta Lelang
yang
transaksinya dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud pada angka 1, dikenakan sanksi tidak boleh
mengikuti Lelang Surat Utang Negara sebanyak 3 (tiga) kali berturut-
turut sejak transaksinya dinyatakan batal.
3. Bank Indonesia mengirimkan surat pemberitahuan kepada Peserta
Lelang mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
angka 2, dengan tembusan surat kepada Direktorat Pengelolaan Surat
Utang Negara, Departemen Keuangan.
V. Pencabutan Persetujuan sebagai Peserta Lelang
1. Menteri Keuangan Republik Indonesia berwenang mencabut persetujuan
Peserta Lelang dalam kondisi sebagai berikut :
a. Peserta Lelang tidak memenuhi kewajiban keaktifan sebagaimana
dimaksud dalam butir III angka 1; dan atau
b. Peserta Lelang
sudah tidak memenuhi kewajiban
kriteria dan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam butir III angka 3; dan atau
c. Peserta Lelang sedang dalam proses kepailitan di pengadilan.
2. Bank Indonesia mengumumkan pencabutan persetujuan Peserta Lelang
kepada publik melalui sarana BI-SSSS, Pusat Informasi Pasar Uang
(PIPU) dan atau sarana informasi lainnya.
3. Peserta Lelang Surat Utang Negara yang telah dicabut kepesertaannya,
dapat mengajukan kembali permohonan menjadi Peserta Lelang setelah
jangka …
7
jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pencabutan sesuai tata
cara pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada butir II angka 1
dan angka 2.
VI. Penutup
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia
nomor 6/11/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Kriteria dan Persyaratan
serta Tata Cara Penunjukan Peserta Lelang Surat Utang Negara dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 25 Juli 2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
ASLIM TADJUDDIN
DEPUTI GUBERNUR
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/31/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lampiran 1
Kepada :
Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter
Gedung B Lantai 11
Jl. MH. Thamrin No. 2
Jakarta 10010
Perihal : Permohonan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara
Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk dapat dipertimbangkan
menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara. Sesuai dengan persyaratan
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/ /DPM
tanggal 25 Juli 2005 perihal Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai
Peserta Lelang Surat Utang Negara, bersama ini kami
pendukung sebagai berikut (dalam hal pemohon adalah Bank):
a. fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bank Indonesia sebagai Bank;
b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila telah ada
perubahan); dan
c. keterangan mengenai posisi KPMM terakhir.
Surat permohonan beserta lampiran tersebut di atas kami buat dengan
sebenar-benarnya dan apabila di kemudian hari diketahui terdapat hal-hal yang
tidak benar maka kami bersedia menerima risiko dan akibat dari tindakan yang
diambil Bank Indonesia.
Demikian permohonan kami, atas perhatian Saudara kami ucapkan terima
kasih.
Jakarta,……………..
Nama Bank
lampirkan dokumen
Tandatangan Pejabat berwenang
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/31/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lampiran 2
Kepada :
Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter
Gedung B Lantai 11
Jl. MH. Thamrin No. 2
Jakarta 10010
Perihal : Permohonan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara
Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk dapat dipertimbangkan
menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara. Sesuai dengan persyaratan
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/ /DPM
tanggal 25 Juli 2005 perihal Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai
Peserta Lelang Surat Utang Negara, bersama ini kami
lampirkan dokumen
pendukung sebagai berikut (dalam hal pemohon adalah Perusahaan Pialang Pasar
Uang Rupiah dan Valuta Asing):
a. fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bank Indonesia sebagai Perusahaan
Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing;
b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila telah ada
perubahan);
c. daftar riwayat pekerjaan atau keahlian dari anggota Direksi serta tenaga ahli
di bidang pasar uang; dan
d. bukti aktivitas kegiatan di pasar uang selama 3 (tiga) bulan terakhir.
Surat permohonan beserta lampiran tersebut di atas kami buat dengan
sebenar-benarnya dan apabila di kemudian hari diketahui terdapat hal-hal yang
tidak benar maka kami bersedia menerima risiko dan akibat dari tindakan yang
diambil Bank Indonesia.
Demikian permohonan kami, atas perhatian Saudara kami ucapkan terima
kasih.
Jakarta,……………..
Nama Perusahaan Pialang
Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
Tandatangan Pejabat berwenang
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/31/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lampiran 3
Kepada :
Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter
Gedung B Lantai 11
Jl. MH. Thamrin No. 2
Jakarta 10010
Perihal : Permohonan Sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara
Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk dapat dipertimbangkan
menjadi Peserta Lelang Surat Utang Negara. Sesuai dengan persyaratan
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/ /DPM
tanggal 25 Juli 2005 perihal Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai
Peserta Lelang Surat Utang Negara, bersama ini kami
lampirkan dokumen
pendukung sebagai berikut (dalam hal pemohon adalah Perusahaan Efek):
a. fotokopi surat izin kegiatan usaha dari Bapepam sebagai Perusahaan Efek;
b. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahannya (apabila telah ada
perubahan);
c. bukti pengalaman atau aktivitas kegiatan transaksi di pasar modal selama 3
(tiga) tahun terakhir.
Surat permohonan beserta lampiran tersebut di atas kami buat dengan
sebenar-benarnya dan apabila di kemudian hari diketahui terdapat hal-hal yang
tidak benar maka kami bersedia menerima risiko dan akibat dari tindakan yang
diambil Bank Indonesia.
Demikian permohonan kami, atas perhatian Saudara kami ucapkan terima
kasih.
Jakarta,……………..
Nama Perusahaan Efek
Tandatangan Pejabat berwenang
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 7/31/DPM|SE-BI/2005 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan sebagai Peserta Lelang Surat Utang Negara </reg_title>
<set_date> 25 Juli 2005 </set_date>
<effective_date> 25 Juli 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '6/11/DPM|SE-BI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '7/19/PBI/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi IV Huruf B' </penalty_list>
|
No. 11/ 3 /DPNP
Jakarta, 27 Januari 2009
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal : Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk
Risiko Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator
Dasar (PID)
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4895), perlu diatur ketentuan pelaksanaan perhitungan ATMR
untuk Risiko Operasional dalam suatu Surat Edaran sebagai berikut:
I. UMUM
A. Untuk mendorong terciptanya sistem perbankan yang sehat dan
mampu bersaing secara nasional maupun internasional, dibutuhkan
suatu struktur permodalan Bank untuk menyerap risiko yang dihadapi
sesuai standar internasional yang berlaku.
B. Mengacu …
B. Mengacu pada standar internasional yang berlaku, risiko operasional
merupakan salah satu risiko yang perlu diperhitungkan dalam
perhitungan kecukupan modal selain risiko kredit, risiko pasar, dan
risiko-risiko lainnya yang bersifat material.
C. Risiko Operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh
proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal,
kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-
kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
D. Risiko Operasional merupakan salah satu risiko yang wajib
diperhitungkan Bank dalam menghitung ATMR untuk perhitungan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). Oleh karena itu,
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 31 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bank wajib
memperhitungkan ATMR untuk Risiko Operasional dalam
perhitungan KPMM dengan menggunakan :
a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic IndicatorApproach);
b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement
Approaches).
E. Untuk penerapan tahap awal, perhitungan ATMR untuk Risiko
Operasional wajib dilakukan dengan menggunakan Pendekatan
Indikator Dasar (PID).
II. PERHITUNGAN …
II. PERHITUNGAN ATMR UNTUK RISIKO OPERASIONAL DENGAN
MENGGUNAKAN PID
A. Perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional dalam perhitungan
KPMM dengan menggunakan PID sebagaimana dimaksud dalam butir
I.E, dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
ATMR untuk Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko
Operasional.
Yang dimaksud dengan beban modal Risiko Operasional adalah rata-
rata dari penjumlahan pendapatan bruto (gross income) tahunan
(Januari-Desember) yang positif pada 3 (tiga) tahun terakhir dikali
15% (lima belas persen).
Perhitungan beban modal Risiko Operasional dilakukan dengan rumus
sebagai berikut:
KPID = [ ∑(GI 1...n x α)]
n
Dengan keterangan sebagai berikut:
KPID = beban modal Risiko Operasional menggunakan PID
GI = pendapatan bruto positif tahunan dalam tiga tahun terakhir
n = jumlah tahun di mana pendapatan bruto positif
α = 15%
Contoh:
(dalam Jutaan Rp)
Bank A
Pendapatan Bruto
2010 2009 2008 2007 2006
750
3.000
2.250
1.750
2.500
Berdasarkan …
Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka
menghitung ATMR untuk Risiko Operasional posisi tahun 2011
adalah sebagai berikut:
ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko Operasional
= 12,5 x [15%x{(750+3.000+2.250)/3}]
= Rp.3.750 juta
B. Perhitungan pendapatan bruto dilakukan dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
1. Pendapatan bruto adalah pendapatan bunga bersih ditambah
pendapatan operasional non-bunga tertentu lainnya bersih yang
dihitung secara kumulatif dari periode awal Januari sampai
dengan akhir Desember setiap tahun. Tata cara perhitungan
pendapatan bruto adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran
Surat Edaran ini.
2. Tata cara perhitungan pendapatan bruto sebagaimana terdapat
pada Lampiran menggunakan data yang disampaikan melalui
Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) yang berlaku. Dalam hal
terjadi perubahan sistem Laporan Bulanan Bank Umum (LBU)
seperti pada tahun 2009, maka Bank menggunakan pendapatan
bruto sesuai LBU lama yang berlaku pada tahun yang
bersangkutan.
3. Untuk Bank yang memiliki Unit Usaha Syariah, perhitungan
pendapatan bruto memperhitungkan pula pendapatan bruto dari
Unit Usaha Syariah setelah dikonversi sesuai dengan karakteristik
usaha Bank dan prinsip syariah.
4. Apabila berdasarkan hasil Laporan Keuangan yang telah diaudit
oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) terdapat koreksi atas besarnya
pendapatan …
pendapatan bruto, maka Bank harus melakukan koreksi atas
perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional pada bulan
berikutnya setelah laporan keuangan yang diaudit disampaikan
oleh KAP kepada Bank.
Contoh:
Bank menghitung ATMR untuk Risiko Operasional selama
bulan Januari dan Februari 2011 berdasarkan pendapatan bruto
tahun 2008, tahun 2009, dan tahun 2010 (unaudited). Pada awal
Maret 2011, Laporan Keuangan 2010 yang telah diaudit oleh
Kantor Akuntan Publik (KAP) telah disampaikan kepada Bank.
Berdasarkan laporan tersebut Bank menghitung ATMR untuk
Risiko Operasional bulan Maret 2011 berdasarkan pendapatan
bruto tahun 2008, tahun 2009, dan tahun 2010 (audited).
5. Apabila dalam menghitung rata-rata pendapatan bruto selama
3 (tiga) tahun terakhir terdapat 1 (satu) atau 2 (dua) tahun Bank
mengalami pendapatan bruto negatif atau nihil, maka untuk
perhitungan rata-rata pendapatan bruto tahunan sebagaimana
dimaksud pada huruf A, Bank harus mengeluarkan nilai
pendapatan bruto negatif tersebut dari pembilang dan penyebut
pada saat menghitung rata-rata pendapatan bruto.
Contoh:
(dalam Jutaan Rp)
Bank A
Pendapatan Bruto
2011 2010 2009 2008 2007
800 1.200 (750)
(1.750) 3.000
Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka
menghitung ATMR untuk Risiko Operasional:
a. Untuk …
a. Untuk posisi tahun 2012:
ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko
Operasional
= 12,5 x [15%x{(800+1.200)/2}]
= Rp.1.875 juta
b. Untuk posisi tahun 2011:
ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko
Operasional
= 12,5 x [15%x{(1.200)/1}]
= Rp.2.250 juta
6. Apabila dalam 3 (tiga) tahun terakhir Bank mengalami pendapatan
bruto negatif atau nihil, maka untuk perhitungan rata-rata
pendapatan bruto tahunan sebagaimana dimaksud pada huruf A,
Bank harus menghitung beban modal Risiko Operasional dengan
menggunakan pendapatan bruto tahunan terakhir yang positif.
Contoh:
(dalam Jutaan Rp)
Bank A 2010 2009 2008 2007 2006
Pendapatan Bruto (1.250) (1.500)
(750) 1.800
2.750
Berdasarkan data di atas, maka pendapatan bruto dalam rangka
menghitung ATMR untuk Risiko Operasional posisi tahun 2011
adalah sebagai berikut:
ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko
Operasional
= 12,5 x [15%x{(1.800)/1}]
= Rp.3.375 juta
C. Bagi …
C. Bagi Bank yang baru berdiri atau Bank hasil merger atau konsolidasi,
maka Bank tidak diwajibkan untuk menghitung ATMR untuk Risiko
Operasional sampai dengan akhir bulan Desember tahun pendiriannya
atau tahun Bank dimaksud melakukan merger atau konsolidasi. Untuk
tahun berikutnya, Bank wajib menghitung beban modal untuk Risiko
Operasional dengan menggunakan pendapatan bruto selama tahun
awal pendirian yang disetahunkan.
Contoh:
1. Beberapa Bank melakukan merger menjadi Bank A yang efektif
beroperasi sejak tanggal 15 April 2010. Pada akhir Desember
2010 total pendapatan bruto Bank A sebesar Rp.750 juta.
Berdasarkan pengaturan diatas Bank A tidak diwajibkan untuk
menghitung ATMR untuk Risiko Operasional sampai dengan
akhir tahun pendiriannya (tahun 2010). Selama tahun 2011, sejak
bulan Januari 2011 Bank A menghitung ATMR untuk Risiko
Operasional sebagai berikut:
ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko
Operasional
= 12,5 x [15%x{750x12/9}]
= Rp.1.875 juta
2. Bank B didirikan dan mulai beroperasi pada tanggal 19 Desember
2010. Total pendapatan bruto Bank B sampai dengan tanggal
31 Desember 2010 sebesar Rp.100 juta. Berdasarkan pengaturan
diatas Bank B tidak diwajibkan untuk menghitung ATMR
untuk Risiko Operasional sampai dengan akhir tahun
pendiriannya (Desember tahun 2010). Selama tahun 2011, sejak
bulan Januari 2011 Bank B menghitung ATMR untuk Risiko
Operasional sebagai berikut:
ATMR …
ATMR Risiko Operasional = 12,5 x beban modal Risiko
Operasional
= 12,5 x [15%x{100x12/1}]
= Rp.2.250 juta
III. PEMANTAUAN
A. Dalam rangka memantau kesiapan melaksanakan perhitungan ATMR
untuk Risiko Operasional dengan menggunakan PID, Bank harus
melakukan simulasi perhitungan KPMM dengan memasukkan
perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional sebagaimana dimaksud
pada angka IV sejak berlakunya Surat Edaran ini sampai dengan
tanggal 31 Desember 2009.
B. Dalam hal berdasarkan pemantauan dengan memperhitungkan ATMR
untuk Risiko Operasional sebagaimana dimaksud pada huruf A
mengakibatkan Bank belum dapat memenuhi rasio KPMM sesuai
dengan ketentuan KPMM yang berlaku, Bank harus melakukan
upaya-upaya agar pada waktu berlakunya perhitungan pada angka IV
dapat memenuhi ketentuan KPMM yang berlaku.
C. Pemenuhan KPMM dengan memasukkan perhitungan ATMR untuk
Risiko Operasional sebagaimana dimaksud pada huruf A tidak
dikenakan sanksi yang terkait pemenuhan KPMM sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
IV. PENUTUP
Perhitungan beban modal Risiko Operasional dalam menghitung ATMR
untuk Risiko Operasional sebagaimana diatur dalam butir II dilakukan
secara bertahap sebagai berikut:
A. Sejak …
A. Sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai dengan 30 Juni 2010,
perhitungan beban modal Risiko Operasional ditetapkan sebesar 5%
(lima persen) dari rata-rata pendapatan bruto positif tahunan selama
tiga tahun terakhir.
B. Sejak tanggal 1 Juli 2010 sampai dengan 31 Desember 2010,
perhitungan beban modal Risiko Operasional ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen) dari rata-rata pendapatan bruto positif tahunan
selama tiga tahun terakhir.
C. Sejak tanggal 1 Januari 2011, perhitungan beban modal Risiko
Operasional ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen) dari rata-rata
pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku
pada tanggal 27 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MULIAMAN D. HADAD
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 11/3/DPNP|SE-BI/2009 </reg_id>
<reg_title> Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Operasional dengan Menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID) </reg_title>
<set_date> 27 Januari 2009 </set_date>
<effective_date> 27 Januari 2009 </effective_date>
<related_reg> '10/15/PBI/2008' </related_reg>
|
No. 15/10 /DPNP
Jakarta, 28 Maret 2013
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust)
Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank
Indonesia.
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/17/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha Bank berupa
Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 260, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5368), perlu diatur ketentuan pelaksanaan
mengenai laporan kegiatan Trust baik yang dilakukan Bank Umum
Konvensional maupun Bank Umum Syariah dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagai berikut:
I. UMUM
1. Bank yang telah memperoleh persetujuan prinsip dan surat
penegasan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan
Trust wajib menyampaikan laporan kegiatan Trust kepada
Bank Indonesia.
2. Laporan ...
2. Laporan kegiatan Trust sebagaimana dimaksud pada angka 1
paling kurang mencakup informasi mengenai:
a. sumber daya manusia unit kerja Trustee;
b. perjanjian Trust dan Settlor;
c. kegiatan Trust; dan
d. posisi aset dan kewajiban Trust.
3. Laporan kegiatan Trust wajib disampaikan secara bulanan oleh
Bank kepada Bank Indonesia untuk kegiatan Trust yang
dilakukan oleh setiap kantor Bank.
II. CAKUPAN LAPORAN KEGIATAN TRUST
Laporan kegiatan Trust paling kurang mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. Informasi umum mengenai sumber daya manusia unit kerja
Trustee
a. Informasi ini memuat:
1) jumlah pimpinan unit kerja Trustee;
2) jumlah pejabat satu tingkat di bawah pimpinan unit
kerja Trustee;
3) jumlah sumber daya manusia lainnya; dan
4) nama pemimpin unit kerja Trustee serta nama
penanggung jawab penyusun laporan kegiatan Trust
berikut nomor telepon, nomor faksimili dan alamat
surat elektronik masing-masing pihak dimaksud.
b. Informasi sebagaimana dimaksud dalam butir a.1), butir
a.2), dan butir a.3) disampaikan berikut informasi status
pegawai, yang berupa pegawai tetap atau tidak tetap dan
Warga Negara Indonesia (WNI) atau tenaga kerja asing
(TKA).
c. Informasi ...
c. Informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf
b disampaikan:
1) setelah Bank menerima surat penegasan dari Bank
Indonesia untuk melakukan kegiatan Trust yang
disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan
kegiatan Trust bulanan yang pertama kali disampaikan
kepada Bank Indonesia; dan
2) dalam hal terdapat perubahan sumber daya manusia.
d. Informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf
b disampaikan Bank untuk unit kerja Trustee pada setiap
kantor Bank.
e. Format penyampaian informasi umum mengenai sumber
daya manusia unit kerja Trustee mengacu pada Formulir1-
Sumber Daya Manusia dalam Lampiran I.
2. Informasi umum mengenai perjanjian Trust dan Settlor
a. Informasi daftar perjanjian Trust meliputi nomor, tanggal
penandatanganan dan tanggal berakhirnya perjanjian, jenis
kegiatan Trust, sandi sektor ekonomi, dan sandi perjanjian
Trust.
b. Informasi Settlor meliputi nama, nomor pokok wajib pajak
(NPWP), dan sandi negara. Sandi negara meliputi sandi
negara residensial yang mengacu pada negara residen dan
sandi negara nasionalitas yang mengacu pada pemegang
saham utama.
c. Pengelompokan sandi sektor ekonomi dan penyebutan
sandi negara dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum.
d. Informasi ...
d. Informasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b
disampaikan:
1) setelah Bank menerima surat penegasan dari Bank
Indonesia untuk melakukan kegiatan Trust yang
disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan
kegiatan Trust bulanan yang pertama kali disampaikan
kepada Bank Indonesia; dan
2) dalam hal terdapat perubahan perjanjian Trust dan
Settlor.
e. Informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf
b disampaikan Bank untuk unit kerja Trustee pada setiap
kantor Bank.
f. Format penyampaian informasi umum mengenai perjanjian
Trust dan Settlor mengacu pada Formulir 2 - Daftar
Perjanjian Trust dan Settlor dalam Lampiran I.
3. Informasi kegiatan Trust
a. Informasi ini memuat rincian kegiatan Trust sebagai
berikut:
1) Penerimaan dana, yang terdiri atas:
a) setoran dana;
b) hasil penjualan atau devisa hasil ekspor;
c) pokok investasi;
d) imbal hasil investasi;
e) utang atau pembiayaan yang diterima; dan
f) lain-lain.
2) Pengeluaran dana, yang terdiri atas:
a) pembayaran pajak;
b) pembayaran pada supplier atau vendor;
c) pembayaran ...
c) pembayaran pada Beneficiary, yang terdiri atas:
(1) pemerintah;
(2) Settlor sebagai Beneficiary; dan
(3) lainnya.
d) investasi, yang terdiri atas:
(1) investasi yang dilakukan oleh Trustee; dan
(2) investasi yang dilakukan melalui manajer
investasi.
e) pembayaran utang atau pembiayaan yang diterima,
yang terdiri atas:
(1) pokok utang atau pembiayaan yang diterima; dan
(2) bunga utang atau imbal hasil pembiayaan yang
diterima.
f) fee atau ujroh kepada Trustee; dan
g) lain – lain.
3) selisih antara penerimaan dan pengeluaran.
b. Informasi sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a
dibuat untuk:
1) setiap perjanjianTrust dengan mengacu pada Formulir 3
– Rincian Kegiatan Trust dalam Lampiran I; dan
2) seluruh perjanjian Trust dengan mengacu pada
Formulir 4 – Rekapitulasi Kegiatan Trust dalam
Lampiran I.
4. Informasi posisi aset dan kewajiban Trust
a. Informasi posisi aset Trust terdiri atas:
1) giro;
2) investasi:
a) investasi ...
a) investasi yang dilakukan oleh Trustee, yang terdiri
atas:
(1) tabungan;
(2) deposito;
(3) SBI/SBIS;
(4) SBN/SBSN; dan
(5) lain-lain,
b) investasi yang dilakukan melalui Manajer Investasi,
yang terdiri atas:
(1) saham;
(2) obligasi atau sukuk korporasi;
(3) reksadana atau reksadana syariah;
(4) Efek Beragun Aset (EBA);
(5) Medium Term Notes (MTN); dan
(6) lain-lain,
3) aset finansial lainnya.
b. Informasi posisi kewajiban Trust terdiri atas:
1) kewajiban kepada Settlor;
2) dana usaha; dan
3) kewajiban lainnya.
5. Pencatatan nilai nominal sebagaimana dimaksud dalam angka
3 dan angka 4 disajikan dalam valuta asal dan nilai konversi
dalam Rupiah.
6. Tata cara pencatatan kegiatan Trust mengacu pada Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
7. Bank Indonesia dapat meminta informasi lain terkait dengan
kegiatan Trust apabila diperlukan.
III. PELAPORAN ...
III. PELAPORAN KEGIATAN TRUST
1. Laporan kegiatan Trust bulanan sebagaimana dimaksud dalam
butir I.3 pertama kali disampaikan pada akhir bulan sejak
kantor Bank memperoleh surat penegasan dari Bank Indonesia
untuk melakukan kegiatan Trust.
2. Dalam hal tidak terdapat kegiatan Trust selama periode
pelaporan, maka Bank tetap wajib menyampaikan laporan
dengan keterangan nihil.
3. Batas Waktu Penyampaian Laporan
a. Laporan kegiatan Trust disampaikan secara bulanan paling
lambat tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan laporan. Dalam hal tanggal 15 jatuh
pada hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
b. Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila
laporan disampaikan setelah batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a
sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan laporan.
c. Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila
Bank belum menyampaikan laporan sampai dengan
berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b.
4. Tata Cara Penyampaian Laporan
a. Laporan kegiatan Trust disampaikan melalui surat yang
ditandatangani oleh pimpinan unit kerja Trustee dan
diketahui oleh pejabat yang membawahi unit kerja Trustee,
dengan melampirkan:
1) hardcopy ...
1) hardcopy laporan kegiatan Trust; dan
2) softcopy laporan kegiatan Trust dalam format
spreadsheet dengan menggunakan compact disc, flash
disk, atau media perekaman data elektronik lainnya,
yang dimasukkan dalam amplop tertutup dan disegel.
b. Pengisian format laporan kegiatan Trust sebagaimana
dimaksud pada angka II mengacu pada Lampiran II Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
5. Alamat Penyampaian Laporan
Laporan kegiatan Trust disampaikan kepada:
Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara
Jl. M. H. Thamrin Nomor 2
Jakarta, 10350
dengan tembusan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen
Perbankan Syariah, Menara Radius Prawiro, Jl. M. H.
Thamrin Nomor 2, Jakarta, 10350, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank
yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia.
IV. LAIN-LAIN
Lampiran I dan Lampiran II merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini.
V. PENUTUP ...
V. PENUTUP
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
28 Maret 2013
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MULYA E. SIREGAR
KEPALA DEPARTEMEN
PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 15/10/DPNP|SE-BI/2013 </reg_id>
<reg_title> Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank Indonesia. </reg_title>
<set_date> 28 Maret 2013 </set_date>
<effective_date> 28 Maret 2013 </effective_date>
<related_reg> '14/17/PBI/2012' </related_reg>
|
No.10/ 32 /DInt
Jakarta, 14 Oktober 2008
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt
tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/ 20 /PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4905), perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal perihal
Pinjaman Luar Negeri Bank sebagai berikut :
1. Ketentuan dalam butir I.C.2 dan butir I.C.3 dihapus sehingga butir I.C
berbunyi sebagai berikut :
C. PLN JANGKA PENDEK
1. Bank dapat memperoleh PLN Jangka Pendek tanpa persetujuan dari
Bank Indonesia.
2. Dihapus.
3. Dihapus.
4. PLN …
4. PLN Jangka Pendek yang diperpanjang (roll over) tetap merupakan
PLN Jangka Pendek. Dalam hal akan diperpanjang lebih dari 1 (satu)
tahun maka akan diperlakukan sebagai PLN Jangka Panjang baru yang
harus mengikuti prosedur berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2. Ketentuan dalam butir III.A.1 dihapus sehingga butir III.A berbunyi sebagai
berikut :
III. SANKSI
A. Jenis Pelanggaran
1. Dihapus.
2. Kantor cabang bank asing yang memelihara posisi harian Dana
Usaha kurang dari 90% (sembilan puluh per seratus) dari
declared Dana Usaha yang telah ditetapkan, akan dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu per seratus) per
tahun dari jumlah kekurangan per hari.
3. Bank yang masuk pasar untuk memperoleh PLN Jangka Panjang
tanpa persetujuan Bank Indonesia, akan dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar 2%0 (dua per seribu) dari jumlah
pinjaman yang diterima.
4. Bank yang menerima PLN Jangka Panjang lebih besar dari
rencana jumlah PLN Jangka Panjang yang telah disetujui Bank
Indonesia, akan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
2%0 (dua per seribu) dari kelebihan jumlah yang telah disetujui
oleh Bank Indonesia.
5. Bank yang menyampaikan laporan masuk pasar dengan jangka
waktu lebih dari 7 (tujuh) hari kerja setelah masuk pasar, akan
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per hari kerja dan paling tinggi
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
6. Apabila …
6. Apabila terdapat perubahan yang mendasar berkaitan dengan
terms and conditions dan Bank tidak dapat memberikan
penjelasan yang memadai, maka akan dikenakan sanksi
administratif berupa :
a.
b.
surat teguran; dan atau
larangan melakukan PLN untuk jangka waktu tertentu.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 13 Oktober 2008
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BUDI MULYA
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/32/DInt|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank </reg_title>
<set_date> 14 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> pada tanggal 14 Oktober 2008 dan berlaku surut sejak tanggal 13 Oktober 2008. </effective_date>
<changed_reg> '9/1/DInt|SE-BI/2007' </changed_reg>
<related_reg> '9/1/DInt|SE-BI/2007', '7/1/PBI/2005', '10/20/PBI/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Angka 2 Romawi III' </penalty_list>
|
No. 6/ 30 /DPM
Jakarta, 12 Juli 2004
SURAT EDARAN
Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/10/DPM
Tanggal 16 Februari 2004 Perihal Tata Cara Lelang Surat Utang
Negara di Pasar Perdana
Sehubungan dengan penyempurnaan Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System, perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 6/10/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang
Negara di Pasar Perdana, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Bank Indonesia Nomor 6/3/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Penerbitan,
Penjualan dan Pembelian serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4364) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16
Februari 2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4363), menjadi sebagai berikut :
1. Ketentuan butir II.A.10. sampai dengan butir II.A.15 pada halaman 5 dan 6
diubah, sehingga menjadi sebagai berikut :
“10. Dalam hal Bank mengajukan penawaran Lelang SUN melalui Peserta
Lelang maka Bank yang bersangkutan wajib menetapkan batas maksimum
nominal penawaran (broker bidding limit) per hari bagi Peserta Lelang yang
ditunjuk.
11. Dalam …
2
11. Dalam hal pihak lain selain Bank mengajukan penawaran Lelang SUN
melalui Peserta Lelang maka yang bersangkutan wajib menunjuk Sub-
Registry untuk melakukan setelmen hasil lelang SUN.
12. Sub-Registry yang ditunjuk pihak lain selain Bank sebagaimana dimaksud
dalam angka 11, wajib menetapkan batas maksimum nominal penawaran
(broker bidding limit) per hari bagi Peserta Lelang untuk kepentingan
nasabah Sub-Registry.
13. Penetapan broker bidding limit sebagaimana dimaksud dalam angka 10 dan
12, wajib diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank atau Sub-Registry
dengan Peserta Lelang dengan format perjanjian diserahkan kepada masing-
masing pihak sesuai dengan kebutuhan.
14. Perjanjian penetapan broker bidding limit merupakan pemberian wewenang
dari Bank atau Sub-Registry kepada Peserta Lelang untuk melakukan
penawaran (bidding) per hari dalam lelang SUN untuk dan atas nama Bank
atau nasabah Sub-Registry, maksimum sebesar jumlah limit bidding yang
diberikan.
15. Bank atau Sub-Registry wajib melakukan pengelolaan broker bidding limit
dalam BI-SSSS untuk semua Peserta Lelang yang ditunjuk sebagai
perantara dalam pengajuan penawaran SUN, melalui BI-SSSS Terminal
(ST) pada menu Supervisory – Member Bidding Limit.”
2. Lampiran 1 dan Lampiran 2 dihapus.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 19 Juli 2004.
Agar …
3
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
Ttd.
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 6/30/DPM|SE-BI/2004 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/10/DPM Tanggal 16 Februari 2004 Perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2004 </set_date>
<effective_date> 19 Juli 2004 </effective_date>
<changed_reg> '6/10/DPM|SE-BI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '6/3/PBI/2004', '6/2/PBI/2004', '6/10/DPM|SE-BI/2004' </related_reg>
|
No. 13/31/DPNP
Jakarta, 22 Desember 2011
S U R A T
E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI
INDONESIA
Perihal : Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank
Indonesia
Dalam rangka pelaksanaan peraturan-peraturan Bank Indonesia
yang terkait dengan penggunaan peringkat dari suatu eksposur yang
dimiliki Bank, diperlukan pengaturan kembali ketentuan mengenai
lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pengaturan tersebut dilakukan antara lain dengan
menyempurnakan cakupan penilaian, termasuk parameter dalam
kriteria penilaian, yang digunakan Bank Indonesia dalam melakukan
penilaian terhadap lembaga pemeringkat.
Pengaturan mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang
diakui Bank Indonesia adalah sebagai berikut:
I. UMUM ...
I. UMUM
1. Lembaga pemeringkat merupakan salah satu elemen penting
yang berperan dalam mendukung operasional suatu sistem
keuangan, antara lain untuk membantu terciptanya
transparansi pasar keuangan dan mendorong investasi yang
efisien yang dapat mendukung percepatan pertumbuhan
ekonomi.
2. Dalam kegiatan usaha perbankan, penetapan peringkat oleh
lembaga pemeringkat terhadap eksposur yang dimiliki oleh
Bank merupakan salah satu alat bantu bagi Bank dalam
pengelolaan risiko.
3. Lembaga pemeringkat yang dapat diakui oleh Bank Indonesia
adalah lembaga pemeringkat yang memenuhi penilaian
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini.
4. Peringkat yang diakui Bank Indonesia merupakan peringkat
yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui Bank
Indonesia.
5. Bank Indonesia melakukan pengkinian terhadap daftar lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia
berdasarkan hasil penilaian dan pemantauan terhadap lembaga
pemeringkat dimaksud.
II. PENILAIAN LEMBAGA PEMERINGKAT
1. PRINSIP UMUM
Prinsip umum dalam melakukan penilaian lembaga
pemeringkat antara lain:
a. penilaian yang dilakukan tidak menghambat
perkembangan industri pemeringkatan, dapat
menstimulasi kompetisi yang sehat, dan mendorong
terciptanya disiplin pasar (market discipline);
b. penilaian ...
b. penilaian ditujukan untuk mendorong agar lembaga
pemeringkat menghasilkan peringkat yang dapat
diandalkan; dan
c. penilaian dilakukan dengan mengacu pada standar dan
praktek internasional yang sehat untuk mendukung
terciptanya konsistensi diantara regulator lainnya,
khususnya dalam melakukan penilaian dan pengakuan
terhadap lembaga pemeringkat yang berskala regional
maupun internasional.
2. CAKUPAN PENILAIAN
Penilaian terhadap lembaga pemeringkat dilakukan
berdasarkan pemenuhan atas kriteria penilaian yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf a serta
media publikasi dan cakupan pengungkapan sebagaimana
dimaksud pada huruf b.
a. Kriteria yang menjadi acuan dalam melakukan penilaian
terhadap lembaga pemeringkat adalah:
1) Independensi
Kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat
independensi atau kebebasan
lembaga
pemeringkat dari segala bentuk kepentingan,
seperti kepentingan ekonomi, sosial dan/atau
politik, baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap hasil pemeringkatan yang
diterbitkan.
Parameter yang digunakan untuk mengukur
kriteria independensi adalah:
a)
independensi kedudukan dan kondisi lembaga
pemeringkat
Kedudukan ...
Kedudukan dan kondisi lembaga pemeringkat
tidak berada dibawah tekanan ekonomi, sosial
dan/atau politik yang dapat mempengaruhi
proses dan hasil pemeringkatan;
b)
independensi kegiatan usaha
Lembaga pemeringkat beroperasi sebagai badan
usaha yang berdiri sendiri dan terpisah dari
kegiatan usaha lainnya yang tidak berkaitan
dengan penyediaan jasa pemeringkatan;
c)
independensi prosedur pemeringkatan
Lembaga pemeringkat memiliki prosedur
pemeringkatan yang dapat menjaga
independensi dari benturan kepentingan
dengan pihak yang diperingkat, yang dapat
timbul antara lain karena pihak yang
diperingkat dikenakan biaya pemeringkatan;
d)
independensi kontrak perjanjian pemeringkatan
Lembaga pemeringkat mempertahankan
independensi dalam setiap kontrak perjanjian
pemeringkatan.
Independensi harus diperhatikan terutama
apabila lembaga pemeringkat melakukan
kegiatan usaha lainnya yang berkaitan dengan
penyediaan jasa pemeringkatan kepada pihak
yang diperingkat; dan
e)
independensi kegiatan operasional
Lembaga pemeringkat memiliki kebijakan,
pengamanan operasional dan code of conduct
yang dapat menjamin independensi kegiatan
operasional lembaga pemeringkat.
2) Obyektivitas ...
2) Obyektivitas
Kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat
obyektivitas dan efektivitas dari prosedur dan
metodologi yang digunakan dan dikembangkan,
kewajaran dan konsistensi dari kriteria
pemeringkatan, serta obyektivitas proses penetapan
peringkat.
Parameter yang digunakan untuk mengukur
kriteria obyektivitas adalah:
a) Obyektivitas prosedur pemeringkatan
Lembaga pemeringkat memiliki prosedur
pemeringkatan yang sistematis yang mengacu
pada standar internasional dan dirancang
untuk menghasilkan peringkat yang dapat
diandalkan;
b) Obyektivitas metodologi pemeringkatan
Lembaga pemeringkat memiliki metodologi
pemeringkatan yang dapat diandalkan,
sistematis, dan melalui tahapan pengujian dan
validasi berdasarkan pengalaman historis;
c) Obyektivitas proses penetapan peringkat
Lembaga pemeringkat memiliki Komite
Pemeringkat
memastikan tercapainya
(Rating Committee) untuk
obyektivitas,
kewajaran, serta analisis yang menyeluruh
dalam proses penetapan peringkat;
d) Obyektivitas hasil pemeringkatan
Obyektivitas hasil pemeringkatan antara lain
dinilai dari faktor-faktor sebagai berikut:
(1) Lembaga ...
(1) Lembaga pemeringkat mengungkapkan
seluruh faktor yang mempengaruhi hasil
pemeringkatan dan memiliki keberanian
untuk menerbitkan suatu peringkat yang
tidak populer atau tidak sejalan dengan
ekspektasi umum;
(2) Lembaga pemeringkat memperhatikan
batasan (system boundary) yang telah
ditetapkan. Sebagai contoh, untuk
pemeringkatan perusahaan,
lembaga
pemeringkat antara lain harus
memperhatikan seluruh sektor usaha dari
perusahaan yang terkait dengan pihak
yang diperingkat; dan
(3) Lembaga pemeringkat memperhatikan isu-
isu dan peraturan yang berlaku di suatu
negara secara spesifik yang berkaitan
dengan pelaksanaan pemeringkatan;
e) Obyektivitas standar pemeringkatan
Obyektivitas standar pemeringkatan antara lain
dinilai dari faktor-faktor sebagai berikut:
(1) lembaga pemeringkat menggunakan standar
minimum yang diakui secara internasional
dalam melakukan pemeringkatan, termasuk
pemeringkatan terhadap bidang baru; dan
(2) memiliki kebijakan mengenai pemeringkatan
yang dilakukan atas inisiatif lembaga
pemeringkat (unsolicited rating); dan
f) Kaji ...
f) Kaji ulang
Untuk memastikan kualitas, konsistensi, dan
obyektivitas hasil pemeringkatan, lembaga
pemeringkat melakukan kaji ulang (review)
secara berkala terhadap praktek, prosedur,
kriteria, dan metodologi pemeringkatan paling
kurang satu kali dalam satu tahun. Kaji ulang
dilakukan oleh unit/pejabat yang memiliki
kompetensi dan tidak terlibat dalam proses
pemeringkatan.
3) Pengungkapan Publik (Disclosures)
Kriteria ini digunakan untuk menilai pengungkapan
segala sesuatu mengenai lembaga pemeringkat
sehingga memungkinkan publik maupun otoritas
yang berwenang melakukan penilaian terhadap
independensi, obyektivitas, kapabilitas, dan
operasional lembaga pemeringkat, serta pemenuhan
terhadap ketentuan yang berlaku.
Parameter yang digunakan untuk mengukur
kriteria pengungkapan publik adalah:
a) Kemudahan akses bagi publik
Lembaga pemeringkat menyediakan kemudahan
akses bagi publik agar tercipta pemahaman
yang lebih baik terhadap lembaga pemeringkat,
proses pemeringkatan, serta segala sesuatu
yang berkaitan dengan lembaga pemeringkat;
b) Pengungkapan informasi yang terkait dengan
proses, kriteria, dan metodologi pemeringkatan
Lembaga ...
Lembaga pemeringkat mengungkapkan
informasi mengenai proses, kriteria, dan
metodologi
pemeringkatan,
termasuk
penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan, yang
mengacu pada standar internasional serta best
practices baik yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif yang memungkinkan publik
melakukan perbandingan;
c) Pengungkapan benturan kepentingan
Lembaga pemeringkat mengungkapkan
kebijakan, prosedur, dan aktivitas, yang
berkaitan dengan benturan kepentingan;
d) Pengungkapan perubahan internal
Lembaga pemeringkat mengungkapkan
perubahan internal yang signifikan yang dapat
mempengaruhi
kemampuan lembaga
pemeringkat untuk menerbitkan peringkat yang
dapat diandalkan; dan
e) Prosedur pengungkapan
Lembaga pemeringkat memiliki prosedur yang
sistematis mengenai
pengungkapan
sebagaimana dimaksud pada huruf b), huruf c),
dan huruf d) .
4) Transparansi Pemeringkatan
Kriteria ini digunakan untuk menilai keterbukaan
lembaga pemeringkat kepada publik atas seluruh
informasi yang terkait dengan hasil pemeringkatan,
termasuk asumsi dan latar belakang penerbitan
hasil pemeringkatan.
Parameter ...
Parameter yang digunakan untuk mengukur
kriteria transparansi adalah:
a) Transparansi hasil pemeringkatan
Lembaga pemeringkat mempublikasikan seluruh
hasil pemeringkatan setelah mendapat
persetujuan pihak yang diperingkat sehingga
dapat diakses secara tidak terbatas dan tanpa
biaya oleh setiap pihak, baik pemeringkatan
yang dilakukan atas inisiatif pihak yang
diperingkat (solicited rating) maupun atas
inisiatif lembaga pemeringkat (unsolicited rating).
Lembaga pemeringkat tidak diperbolehkan
memberikan lebih dahulu hak akses atas
informasi hasil pemeringkatan kepada
pelanggan;
b) Transparansi hasil pemantauan peringkat
Lembaga pemeringkat mempublikasikan hasil
pemantauan, dan penyesuaian peringkat (jika
ada) melalui penetapan “watch list”, serta
pencantuman periode terakhir pelaksanaan
pengkajian secara menyeluruh;
c) Transparansi faktor-faktor yang mempengaruhi
pemeringkatan
Lembaga pemeringkat mempublikasikan latar
belakang pemikiran termasuk faktor-faktor
kritikal dalam analisis dan pengambilan
keputusan untuk setiap hasil pemeringkatan,
hasil pemantauan, dan penyesuaian peringkat
sebagaimana ...
sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan
huruf b), dengan tetap berpegang pada prinsip
kerahasiaan informasi;
d) Transparansi proses, kriteria, dan metodologi
pemeringkatan terkait hasil pemeringkatan
Lembaga pemeringkat mempublikasikan proses,
kriteria, dan metodologi pemeringkatan yang
digunakan dalam menghasilkan suatu
peringkat. Publikasi mencakup pula hal-hal
yang bersifat struktural seperti metodologi yang
digunakan untuk mengevaluasi risiko-risiko
material yang terkandung dalam berbagai
instrumen keuangan dan industri tertentu, serta
asumsi, ekspektasi, dan argumentasi yang
mendasari analisis hasil pemeringkatan; dan
e) Transparansi metode analisis dalam proses
pemeringkatan
Lembaga pemeringkat mengungkapkan metode
analisis yang digunakan dalam proses
pemeringkatan.
Metode analisis tersebut antara lain: (i) analisis
statitistik atas informasi yang dipublikasikan,
(ii) analisis statitistik atas informasi yang
dipublikasikan yang dikonfirmasikan melalui
diskusi antara lembaga pemeringkat dan pihak
yang diperingkat, dan/atau (iii) analisis atas
informasi yang dipublikasikan dan informasi
yang tidak dipublikasikan, yang diperoleh dari
hasil ...
hasil diskusi antara lembaga pemeringkat dan
pihak yang diperingkat.
5) Sumber Daya (Resources)
Kriteria ini digunakan untuk menilai kemampuan
lembaga pemeringkat dalam memberikan jasa
pemeringkatan, baik dari aspek sumber daya
manusia (human resources), aspek sumber daya
keuangan (financial resources), maupun dukungan
pemegang saham, yang memungkinkan lembaga
pemeringkat beroperasi secara independen dan
profesional.
Parameter yang digunakan untuk mengukur
kriteria sumber daya adalah:
a) Sumber daya manusia
Aspek sumber daya manusia antara lain dinilai
dari faktor-faktor sebagai berikut:
(1) memiliki kebijakan dan prosedur yang
memadai mengenai pengadaan, pengelolaan,
dan pengembangan sumber daya manusia;
dan
(2) mengungkapkan informasi terkini mengenai
kualifikasi dan pengalaman dari analis
pemeringkat, serta sektor maupun pihak-
pihak yang diperingkat oleh analis tersebut;
b) Sumber daya keuangan
Aspek sumber daya keuangan antara lain dinilai
dari kemampuan dan kinerja keuangan yang
baik; dan
c) Dukungan ...
c) Dukungan pemegang saham
Terdapat komitmen tertulis dari pemegang
saham yang menyatakan bahwa lembaga
pemeringkat akan beroperasi di Indonesia dalam
jangka panjang dan kesediaan untuk membantu
mengatasi permasalahan apabila lembaga
pemeringkat mengalami kesulitan keuangan.
6) Kredibilitas
Kriteria ini digunakan untuk menilai pengakuan
dan akseptabilitas oleh pasar terhadap keberadaan
lembaga pemeringkat sebagai penyedia jasa
pemeringkatan yang dapat diandalkan.
Parameter yang digunakan untuk mengukur
kriteria kredibilitas adalah:
a)
Izin otoritas yang berwenang
Memiliki izin dari Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) atau
otoritas yang berwenang lainnya;
b) Jangka waktu operasional
Lembaga pemeringkat telah menjalankan
kegiatan operasional paling kurang 1 (satu)
tahun;
c) Publikasi hasil pemeringkatan
Lembaga pemeringkat telah mempublikasikan
minimal 2 (dua) hasil pemeringkatan;
d) Kebijakan penyebaran informasi
Memiliki kebijakan dan prosedur internal untuk
mencegah penyalahgunaan dan/atau
penyebaran informasi non-publikasi
kepada
pegawai ...
pegawai atau pihak yang tidak berwenang serta
pihak eksternal, yang dapat memperoleh
keuntungan atas informasi tersebut; dan
e) Rekam jejak (track record)
Memiliki rekam jejak dalam penerbitan hasil
pemeringkatan yang dapat diandalkan.
Pendekatan dalam menilai rekam jejak antara
lain dilakukan melalui evaluasi terhadap studi
terjadinya default (default study). Untuk
lembaga pemeringkat yang baru berdiri, maka
penilaian rekam jejak dilakukan dengan
mempertimbangkan jumlah dan pengalaman
analis pemeringkat yang dimiliki.
b. Media publikasi dan cakupan pengungkapan
Lembaga pemeringkat wajib memiliki website yang
mudah untuk diakses oleh publik yang memuat seluruh
informasi yang wajib diungkapkan/dipublikasikan
sebagaimana dimaksud pada huruf a Surat Edaran
Bank Indonesia ini. Dalam hal website lembaga
pemeringkat merupakan bagian dari website
perusahaan induk, maka lembaga pemeringkat wajib
memiliki website atau region site tersendiri.
III. PUBLIKASI LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG
DIAKUI BANK INDONESIA
1. Berdasarkan penilaian terhadap pemenuhan kriteria
sebagaimana tercantum pada angka II, Bank Indonesia
menetapkan lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui
Bank
Indonesia
dalam suatu daftar yang digunakan dalam
pelaksanaan ...
pelaksanaan ketentuan-ketentuan Bank Indonesia yang terkait
dengan penggunaan peringkat suatu eksposur.
2. Daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 1 dipublikasikan
melalui website Bank Indonesia pada www.bi.go.id.
IV. PENGKINIAN DAFTAR LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT
YANG DIAKUI
1. Bank Indonesia melakukan pengkinian atas daftar lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia
apabila diperlukan, berdasarkan hasil penilaian dan
pemantauan terhadap pemenuhan kriteria penilaian serta
media publikasi dan cakupan pengungkapan sebagaimana
dimaksud pada butir II.2.
2. Untuk keperluan pengkinian sebagaimana dimaksud pada
angka 1, Bank Indonesia berwenang meminta kepada lembaga
pemeringkat untuk menyampaikan laporan kinerja keuangan
tahunan yang telah diaudit. Selain itu, Bank Indonesia
berwenang meminta informasi tertulis mengenai setiap
perubahan yang signifikan, antara lain mengenai struktur
organisasi atau manajemen, formasi analis pemeringkat,
prosedur dan metodologi pemeringkatan, dan/atau informasi
lain, yang dapat mempengaruhi kemampuan lembaga
pemeringkat dalam menghasilkan peringkat yang dapat
diandalkan.
3. Lembaga pemeringkat dapat dikeluarkan dari daftar lembaga
pemeringkat yang diakui Bank Indonesia berdasarkan:
a. hasil penilaian Bank Indonesia; dan/atau
b. permintaan lembaga pemeringkat.
4. Lembaga ...
4. Lembaga pemeringkat dikeluarkan dari daftar lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia
berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam angka 3.a
a. lembaga pemeringkat diketahui memberikan informasi
yang keliru (misleading);
b. lembaga pemeringkat dikenakan sanksi oleh otoritas yang
berwenang yang dapat mengganggu kelangsungan usaha
lembaga pemeringkat; dan/atau
c. lembaga pemeringkat melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain
menciptakan pasar semu atau insider trading dan/atau
melakukan rekayasa untuk menghasilkan peringkat yang
lebih tinggi dari yang seharusnya.
Sebelum mengeluarkan lembaga pemeringkat dari daftar
lembaga pemeringkat yang diakui, Bank Indonesia melakukan
klarifikasi terhadap permasalahan yang menyebabkan
lembaga pemeringkat tersebut akan dikeluarkan dari daftar
lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia. Lembaga
pemeringkat diberikan kesempatan untuk memberikan
tanggapan atas permintaan klarifikasi tersebut dalam jangka
waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
5. Lembaga pemeringkat yang mengajukan permintaan untuk
dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat dan peringkat
yang diakui Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
butir 3.b, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memastikan masa berlaku peringkat yang diterbitkan telah
habis atau memastikan terdapat lembaga pemeringkat
pengganti untuk menerbitkan peringkat baru dalam hal
eksposur yang diperingkat belum jatuh tempo;
b. telah menyelesaikan seluruh kewajiban kepada pihak yang
b.
telah ...
diperingkat sebelum kegiatan operasional dihentikan;
c. menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank
Indonesia paling kurang 12 (dua belas) bulan sebelum
rencana penghentian kegiatan operasional; dan
d. mengumumkan kepada publik mengenai rencana
penghentian kegiatan operasional paling kurang 3 (tiga)
bulan sebelum penghentian kegiatan operasional.
6. Lembaga pemeringkat yang memutuskan akan menghentikan
kegiatan operasionalnya di Indonesia wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 5.
V. LAIN-LAIN
1. Bank tetap wajib melakukan penilaian terhadap eksposur
yang diperingkat oleh lembaga pemeringkat dan sepenuhnya
bertanggung jawab atas penggunaan hasil pemeringkatan yang
diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui Bank
Indonesia.
2. Permohonan dari lembaga pemeringkat untuk dicantumkan
dalam daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui
Bank Indonesia diajukan secara tertulis kepada Bank
Indonesia up. Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350.
3. Proses penilaian dan pengkinian lembaga pemeringkat dan
peringkat yang diakui Bank Indonesia dilakukan selain
berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia ini juga
memperhatikan ketentuan terkait lainnya mengenai lembaga
pemeringkat.
VI. KETENTUAN ...
VI. KETENTUAN PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/19/DPNP tanggal 30
April 2008 tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang
Diakui Bank Indonesia; dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/30/DPNP tanggal 30
Oktober 2009 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 10/19/DPNP tentang Lembaga Pemeringkat
dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku
pada tanggal 22 Desember 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MULIAMAN D. HADAD
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 3/31/DPNP|SE-BI/2001 </reg_id>
<reg_title> Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia </reg_title>
<set_date> 14 Desember 2001 </set_date>
<effective_date> 14 Desember 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '31/6/UPPB|SE-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '3/22/PBI/2001' </related_reg>
|
No. 4/4/DASP
Jakarta, 1 Maret 2002
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal :
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
2/25/DASP tanggal 17 November 2000 perihal Biaya Dalam
Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement
Dalam rangka mempermudah Peserta Sistem Bank Indonesia Real Time
Gross Settlement (BI-RTGS) dalam melakukan kontrol terhadap pembebanan
biaya sehubungan dengan penggunaan Sistem BI-RTGS, dengan ini ketentuan
angka II SE No. 2/25/DASP tanggal 17 November 2000 perihal Biaya Dalam
Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement mengenai
Penghitungan dan Pembebanan Biaya diubah sehingga seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut :
"II. PENGHITUNGAN DAN PEMBEBANAN BIAYA
A. Biaya Transaksi
Bank Indonesia menghitung jumlah biaya transaksi sebagaimana
dimaksud dalam angka I huruf B pada setiap akhir hari dan
membebankan biaya tersebut paling lambat pada hari kerja
berikutnya.
B. Biaya Perpanjangan Jam Operasional
Bank Indonesia menghitung jumlah biaya perpanjangan Jam
Operasional sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf C pada saat
terjadinya perpanjangan Jam Operasional dan membebankan biaya
tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya.
C. Biaya…
C. Biaya sehubungan dengan Contingency Plan
Bank Indonesia menghitung jumlah biaya sehubungan dengan
Contingency Plan sebagaimana dimaksud dalam angka I huruf D
pada saat terjadinya Contingency Plan dan membebankan biaya
tersebut paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Pembebanan biaya-biaya tersebut di atas dilakukan dengan cara mendebet
rekening Peserta yang berada di Bank Indonesia.”
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 1 Maret 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
AULIA POHAN
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 4/4/DASP|SE-BI/2002 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/25/DASP tanggal 17 November 2000 perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement </reg_title>
<set_date> 1 Maret 2002 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2002 </effective_date>
<changed_reg> '2/25/DASP|SE-BI/2000' </changed_reg>
<related_reg> '2/25/DASP|SE-BI/2000 | angka II' </related_reg>
|
1
No. 18/39/DPSP
Jakarta, 28 Desember 2016
S U R A T E D A R A N
Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar
Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/41/PBI/2016 tentang Bilyet Giro (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5951) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang
Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 107, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4669) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/43/PBI/2016 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 296, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5986), perlu melakukan perubahan kedua atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007
perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong
sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
17/12/DPSP tanggal 5 Juni 2015 sebagai berikut:
1. Ketentuan butir I.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
C. Penatausahaan Penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro
Penatausahaan penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro yang wajib
dilakukan oleh Bank, paling sedikit mengenai:
1. jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang diproses oleh
Bank, yaitu:
a. dicetak oleh Bank;
b. didistribusikan kepada Nasabah; dan
c. diproses melalui loket Bank Tertarik (over the counter)
dan Kliring;
2. jumlah ...
2
2. jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolak melalui
loket Bank Tertarik (over the counter) dan Kliring beserta
alasannya; dan
3. penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro.
2. Ketentuan butir I.D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
D. Kewajiban Penyediaan Dana
Kewajiban Penarik untuk menyediakan Dana yang cukup pada
Bank Tertarik, diatur sebagai berikut:
1. untuk Cek:
a. Penarik wajib menyediakan Dana yang cukup pada saat
Cek diunjukkan kepada Bank Tertarik;
b. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a
termasuk pula penyediaan Dana atas Pengunjukan yang
dilakukan sebelum Tanggal Penarikan; dan
c. dalam hal Pengunjukan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b tidak didukung Dana yang cukup
atau Rekening Giro atau Rekening Khusus telah ditutup
maka Penarikan tersebut dikategorikan sebagai
Penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong; dan
2. untuk Bilyet Giro:
a. Penarik wajib menyediakan Dana yang cukup pada saat
Bilyet Giro diunjukkan kepada Bank Tertarik dalam
Tenggang Waktu Efektif; dan
b. dalam hal Pengunjukan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a tidak didukung Dana yang cukup atau Rekening
Giro atau Rekening Khusus telah ditutup maka
Penarikan tersebut dikategorikan sebagai Penarikan Cek
dan/atau Bilyet Giro Kosong.
3. Ketentuan butir I.F diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
F. Tata Cara Pembatalan Cek
1. Penarik dapat membatalkan Cek setelah tanggal berakhirnya
Tenggang Waktu Pengunjukan.
2. Pembatalan ...
3
2. Pembatalan Cek dilakukan dengan cara menyampaikan
permohonan pembatalan Cek kepada Bank Tertarik secara
tertulis, yang paling sedikit memuat informasi:
a. nomor Cek;
b. Tanggal Penarikan Cek;
c. nilai nominal Cek; dan
d. tanggal mulai berlakunya pembatalan.
3. Surat permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 disampaikan dengan melampirkan fotokopi
identitas diri.
4. Dalam hal tanggal mulai berlakunya pembatalan tidak
dicantumkan dalam surat permohonan pembatalan maka
tanggal mulai berlakunya pembatalan adalah tanggal
diterimanya surat permohonan pembatalan oleh Bank
Tertarik sepanjang tanggal diterimanya surat setelah tanggal
berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan.
5. Permohonan pembatalan tidak dapat dilaksanakan apabila
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
angka 2, angka 3, dan angka 4.
4. Ketentuan butir II.A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
A. Alasan Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro
Bank Tertarik wajib menolak Cek dan/atau Bilyet Giro apabila
memenuhi salah satu atau lebih alasan penolakan sebagai
berikut:
1. Dana tidak cukup;
2. Rekening Giro atau Rekening Khusus telah ditutup;
3. unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak dipenuhi,
yaitu:
a. untuk Cek, tidak terdapat penyebutan tempat dan
Tanggal Penarikan; atau
b. untuk Bilyet Giro, tidak terdapat penyebutan Tanggal
Penarikan dan/atau Tanggal Efektif;
4. unsur Cek berupa tanda tangan Penarik tidak dipenuhi;
5. syarat formal Bilyet Giro berupa nama dan nomor Rekening
Giro Pemegang tidak dipenuhi;
6. syarat ...
4
6. syarat formal Bilyet Giro berupa nama Bank Penagih tidak
dipenuhi;
7. syarat formal Bilyet Giro berupa jumlah Dana yang
dipindahbukukan baik dalam angka maupun dalam huruf
tidak dipenuhi secara lengkap;
8. syarat formal Bilyet Giro berupa nama jelas Penarik dan/atau
tanda tangan Penarik tidak dipenuhi, yaitu tanda tangan
basah yang dapat dilengkapi dengan cap atau stempel sesuai
dengan Perjanjian Pembukaan Rekening Giro;
9. Pengunjukan Bilyet Giro dilakukan tidak dalam Tenggang
Waktu Efektif atau Tanggal Efektif dicantumkan tidak dalam
Tenggang Waktu Pengunjukan;
10. Cek telah dibatalkan oleh Penarik setelah berakhirnya
Tenggang Waktu Pengunjukan berdasarkan surat
permohonan pembatalan Cek dari Penarik;
11. Cek telah daluwarsa atau Tenggang Waktu Pengunjukan
Bilyet Giro telah berakhir;
12. koreksi Bilyet Giro tidak sesuai dengan ketentuan, sedangkan
untuk Cek, koreksi dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 228 KUHD;
13. tanda tangan Penarik tidak sesuai dengan spesimen yang
ditatausahakan oleh Bank Tertarik dan/atau syarat formal
Bilyet Giro diduga diisi oleh pihak lain selain Penarik;
14. Bank Penagih bukan merupakan Bank Penagih yang disebut
dalam Cek silang khusus atau dalam Bilyet Giro.
Contoh:
Pada Cek silang khusus atau Bilyet Giro ditulis nama Bank
Penagih (Bank A), namun Cek silang khusus atau Bilyet Giro
ditagihkan oleh Bank lain (Bank B) kepada Bank Tertarik
(Bank C), dalam hal ini Bank Tertarik (Bank C) wajib menolak;
15. Cek dan/atau Bilyet Giro diblokir pembayarannya oleh
Penarik karena hilang atau dicuri dan pemblokirannya harus
disertai dengan asli surat keterangan dari kepolisian;
16. Cek ...
5
16. Cek dan/atau Bilyet Giro diblokir pembayarannya oleh
instansi yang berwenang karena diduga terkait dengan tindak
pidana yang dilakukan oleh Penarik atau pihak lain dan
pemblokirannya harus disertai dengan surat pemblokiran
dari instansi yang berwenang;
17. Rekening Giro diblokir oleh instansi yang berwenang dan
pemblokirannya harus disertai dengan surat pemblokiran
dari instansi yang berwenang;
18. perintah dalam data elektronik Cek dan/atau Bilyet Giro
tidak sesuai dengan perintah dalam Cek dan/atau Bilyet Giro;
19. penerimaan data elektronik Cek dan/atau Bilyet Giro tidak
disertai dengan penerimaan fisik Cek dan/atau Bilyet Giro;
20. Cek dan/atau Bilyet Giro diduga palsu atau dimanipulasi;
21. Cek dan/atau Bilyet Giro yang diterima oleh Bank Tertarik
bukan ditujukan untuk Bank Tertarik; dan
22. tidak ada endosemen pada Cek atas nama yang dialihkan
pada pihak lain yang diunjukkan melalui loket Bank Tertarik
(over the counter).
5. Diantara butir II.A dan butir II.B disisipkan 1 (satu) butir, yakni butir
II.A1 yang berbunyi sebagai berikut:
A1. Dalam hal terdapat perbedaan penulisan jumlah Dana pada Bilyet
Giro antara yang tertulis dalam angka dan dalam huruf, Bank
Tertarik dapat menolak Bilyet Giro dengan menggunakan alasan
sebagaimana dimaksud dalam butir A.7.
6. Setelah ketentuan butir II.B ditambahkan 1 (satu) butir, yakni butir II.C
yang berbunyi sebagai berikut:
C. Penahanan dan Penundaan Pembayaran Cek dan/atau Bilyet Giro
1. Bank Tertarik yang melakukan penolakan terhadap Cek
dan/atau Bilyet Giro yang diduga palsu atau dimanipulasi
wajib menahan warkat dan menunda pembayaran Cek
dan/atau Bilyet Giro yang diduga palsu atau isi Cek dan/atau
Bilyet Giro diduga dimanipulasi.
2. Cek ...
6
2. Cek dan/atau Bilyet Giro diduga palsu dan/atau
dimanipulasi dapat terlihat antara lain dari:
a. penggunaan logo dan/atau nama Bank Tertarik yang
tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Bank
Tertarik;
b. standar keamanan tidak sesuai dengan standar
keamanan yang digunakan oleh Bank dalam Cek
dan/atau Bilyet Giro;
c.
terdapat isi perintah dalam Cek dan/atau Bilyet Giro
yang tidak sesuai dengan karakteristik transaksi
Penarik; dan/atau
d. warkat Cek dan/atau Bilyet Giro tidak sesuai dengan
spesifikasi teknis yang digunakan oleh Bank Tertarik.
3. Penahanan dan penundaan pembayaran Cek dan/atau Bilyet
Giro sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib
ditindaklanjuti dengan verifikasi paling lama sampai dengan
1 (satu) hari kerja berikutnya.
4. Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilakukan
antara lain dengan:
a. pengecekan fisik warkat Cek dan/atau Bilyet Giro
dengan mengacu pada standar keamanan yang
digunakan;
b. pengecekan data pada warkat Cek dan/atau Bilyet Giro;
c. konfirmasi kepada Penarik, apabila diperlukan;
dan/atau
d. mekanisme lain sesuai dengan ketentuan internal Bank
Tertarik.
5. Bank Tertarik menginformasikan mengenai penahanan dan
penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 kepada:
a. Pemegang, dalam hal penagihan dilakukan melalui loket
Bank Tertarik (over the counter); atau
b. Bank Penagih, dalam hal penagihan dilakukan melalui
Kliring,
dengan ...
7
dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 10
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
6. Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam
angka 3 menunjukkan bahwa indikasi pemalsuan tidak
terbukti, Bank Tertarik wajib menindaklanjuti dengan cara:
a. melaksanakan pembayaran atau pemindahbukuan
melalui mekanisme transfer dana apabila Cek dan/atau
Bilyet Giro memenuhi persyaratan untuk
dilaksanakannya pembayaran atau pemindahbukuan;
atau
b. menolak Cek dan/atau Bilyet Giro dengan alasan
penolakan sebagaimana dimaksud dalam butir II.A dan
mengembalikan Cek dan/atau Bilyet Giro, dalam hal Cek
dan/atau Bilyet Giro tidak memenuhi persyaratan untuk
dilaksanakannya pembayaran atau pemindahbukuan.
7. Bank Tertarik harus menginformasikan secara tertulis
mengenai hasil verifikasi dan tindak lanjut sebagaimana
dimaksud dalam angka 6 kepada:
a. Pemegang, dalam hal penagihan dilakukan melalui loket
Bank Tertarik (over the counter); atau
b. Bank Penagih, dalam hal penagihan dilakukan melalui
Kliring,
dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 11
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
8. Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam
angka 3 menunjukkan bahwa indikasi pemalsuan terbukti,
Bank Tertarik wajib menindaklanjuti dengan cara:
a. menginformasikan kepada Penarik secara tertulis
mengenai indikasi pemalsuan Cek dan/atau Bilyet Giro
agar Penarik dapat melaporkan kepada pihak yang
berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. melaporkan ...
8
b. melaporkan indikasi pemalsuan Cek dan/atau Bilyet
Giro kepada pihak yang berwenang sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai
penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir X.C.2;
dan
d. menginformasikan pemalsuan atau manipulasi Cek
dan/atau Bilyet Giro kepada:
1) Pemegang, dalam hal penagihan dilakukan melalui
loket Bank Tertarik (over the counter);
2) Bank Penagih, dalam hal penagihan dilakukan
melalui Kliring,
dengan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
11 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
7. Ketentuan butir IX.6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
6. Setiap permohonan pembatalan penolakan Cek dan/atau Bilyet
Giro Kosong sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dikenakan
biaya administrasi sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah),
kecuali untuk permohonan pembatalan penolakan Cek dan/atau
Bilyet Giro Kosong karena Keadaan Darurat yang disetujui oleh
Bank Indonesia dikenakan biaya administrasi sebesar Rp0,00 (nol
rupiah). Biaya administrasi tersebut belum termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
8. Ketentuan angka X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
X. PENGAWASAN KEPATUHAN
A. Bank Indonesia melakukan pengawasan kepatuhan secara
langsung maupun tidak langsung terhadap Bank atas
pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia ini.
B. Pengawasan kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam huruf
A dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian
atas:
a. laporan ...
9
a.
laporan berkala dan/atau laporan insidental yang
disampaikan Bank kepada Bank Indonesia;
dan/atau
b. data, informasi, dan/atau dokumen yang diperoleh
dari Bank dan/atau pihak lain;
2. berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan ke Bank (on-
site) secara berkala atau insidental;
3. dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam angka 2, Bank wajib memberikan akses kepada
petugas Bank Indonesia, paling sedikit untuk:
a. memperoleh data, informasi, dan/atau dokumen
yang diperlukan, termasuk namun tidak terbatas
pada dokumen asli dan/atau salinan dokumen
dan/atau data elektronik sesuai dengan permintaan
petugas Bank Indonesia; dan
b. memeriksa sarana fisik yang berkaitan dengan
pembukaan Rekening Giro, Penarikan Cek dan/atau
Bilyet Giro, dan tata usaha Penarikan Cek dan/atau
Bilyet Giro Kosong; dan
4. Bank wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 3.
C. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan tidak langsung,
Bank wajib menyampaikan laporan berkala dan/atau laporan
insidental kepada Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Laporan Berkala
a. Laporan berkala terdiri atas laporan penggunaan
Cek dan/atau Bilyet Giro, yang terdiri atas:
1)
2)
laporan jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet
Giro yang diproses oleh Bank; dan
jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang
ditolak melalui loket Bank Tertarik (over the
counter) dan Kliring beserta alasannya.
b. Laporan ...
10
b. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
merupakan laporan untuk periode tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Desember.
c. Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam
huruf a disampaikan oleh Bank paling lambat
tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
d. Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf d jatuh
pada hari Sabtu atau hari libur maka batas waktu
penyampaian laporan adalah hari kerja berikutnya.
e. Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam
huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia
melalui surat dan/atau sarana lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
f. Dalam hal laporan berkala yang disampaikan oleh
Bank tidak lengkap dan/atau perlu dilakukan
perbaikan, Bank dianggap belum menyampaikan
laporan berkala.
g. Format laporan berkala sebagaimana dimaksud
dalam huruf a menggunakan format sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 12 yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
2. Laporan Insidental
a. Laporan insidental disampaikan atas inisiatif Bank
atau berdasarkan permintaan Bank Indonesia
antara lain berupa laporan penyalahgunaan Cek
dan/atau Bilyet Giro.
b. Laporan penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro
sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan
oleh Bank Tertarik paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak diketahuinya penyalahgunaan Cek dan/atau
Bilyet Giro, dengan menggunakan format
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 13 yang
merupakan...
11
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
9. Ketentuan angka XI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
XI. TATA CARA PENGENAAN SANKSI KEWAJIBAN MEMBAYAR
A. Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif
berupa kewajiban membayar terhadap Bank yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai daftar
hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong,
pengenaan sanksi kewajiban membayar dilakukan dengan
mendebit rekening setelmen dana Bank di Bank Indonesia.
B. Bank Indonesia menginformasikan pembebanan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf A
melalui surat setelah dilakukan pendebitan rekening
setelmen dana Bank di Bank.
10. Lampiran 1 mengenai matriks pengkategorian alasan penolakan cek
dan/atau bilyet giro diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum
dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
2017.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 April
2 Mei 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BRAMUDIJA HADINOTO
KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN
SISTEM PEMBAYARAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 18/39/DPSP|SE-BI/2016 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/13/DASP tanggal 19 Juni 2007 perihal Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong </reg_title>
<set_date> 28 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 1 April 2017 </effective_date>
<changed_reg> '9/13/DASP|SE-BI/2007' </changed_reg>
<extension_of> '17/12/DPSP|SE-BI/2015' </extension_of>
<related_reg> '8/29/PBI/2006', '18/43/PBI/2016', '9/13/DASP|SE-BI/2007', '18/41/PBI/2016', '17/12/DPSP|SE-BI/2015' </related_reg>
<penalty_list> 'Angka 9 angka XI' </penalty_list>
|
No. 11/ 6 /DPM
Jakarta, 10 Februari 2009
SURAT EDARAN
KEPADA
SEMUA BANK, PERUSAHAAN EFEK DAN
LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK DI INDONESIA
Perihal : Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Ritel
Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/13/PBI/2008 tanggal 21 Agustus 2008 tentang Lelang dan Penatausahaan
Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888) dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 215/KMK.08/2008 tanggal 15 Agustus
2008 tentang Penunjukan Bank Indonesia Sebagai Agen Penata Usaha, Agen
Pembayar dan Agen Lelang Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Dalam
Negeri serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.08/2008 tanggal 16
Desember 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara
Ritel di Pasar Perdana Dalam Negeri, perlu ditetapkan ketentuan mengenai tata
cara penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara ritel dalam suatu Surat
Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan :
1. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau
dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, dalam mata uang rupiah, sebagai
bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN.
2 . SBSN…
2
2. SBSN Ritel atau yang selanjutnya disebut Sukuk Negara Ritel adalah
SBSN yang dijual kepada individu atau orang perseorangan warga negara
Indonesia melalui agen penjual.
3. Agen Penjual adalah bank dan/atau perusahaan efek yang ditunjuk untuk
melaksanakan penjualan Sukuk Negara ritel.
4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah .
5. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang
melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek.
6. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana
elektronik antar peserta dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem BI-
RTGS.
7. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara peserta BI-SSSS, penyelenggara BI-SSSS dan
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
8. Penatausahaan Sukuk Negara Ritel adalah kegiatan yang mencakup
kliring dan setelmen, penca tatan kepemilikan, serta agen pembayar
imbalan dan nilai nominal Sukuk Negara ritel.
9. Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi hasil atau
margin, atau bentuk pembayaran lainnya sesuai dengan akad penerbitan
Sukuk Negara ritel, yang diberikan kepada pemegang Sukuk Negara ritel
sampai…
3
sampai dengan berakhirnya periode Sukuk Negara ritel.
10. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan
kustodian, yang memenuhi persyaratan dan disetujui Bank Indonesia
melakukan fungsi penatausahaan surat berharga termasuk Sukuk Negara
ritel untuk kepentingan nasabah.
11. Nilai Nominal adalah nilai Sukuk Negara ritel atas nama investor yang
tercatat dalam BI-SSSS dan Sub-Registry.
12. Hari Kerja adalah hari operasional sistem pembayaran yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
II. TATA CARA PENATAUSAHAAN SUKUK NEGARA RITEL
A. Setelmen Sukuk Negara Ritel di Pasar Perdana
1. Bank Indonesia melakukan setelmen Sukuk Negara Ritel di Pasar
Perdana berdasarkan penetapan hasil penjualan oleh Direktur Jenderal
Pengelolaan Utang untuk dan atas nama Menteri Keuangan.
2. Setelmen Sukuk Negara Ritel dilakukan paling lambat 2 (dua) Hari
Kerja setelah tanggal penetapan hasil penjualan Sukuk Negara Ritel
(T+2).
3. Setelmen Sukuk Negara Ritel dilakukan pada tanggal setelmen dengan
prosedur sebagai berikut:
a. Agen Penjual melakukan pembayaran dana melalui Sistem BI-
RTGS ke rekening giro rupiah Pemerintah di Bank Indonesia
dengan nomor rekening 500.000003 “Menteri Keuangan
Penerimaan Penerbitan Surat Berharga Negara” sesuai dengan nilai
volume hasil penjatahan yang diperoleh, dengan batas waktu
sampai dengan pukul 10.00 WIB.
b. Agen Penjual selain Bank, harus menunjuk Bank pembayar untuk
melaksanakan pembayaran dana sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan menyampaikan informasi Bank pembayar secara tertulis yang
didahului…
4
didahului dengan faksimili kepada Bank Indonesia cq. Direktorat
Pengelolaan Moneter – Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan
Moneter (BI cq. DPM-PTPM).
c. Agen Penjual menyampaikan bukti pembayaran sebagaimana
dimaksud pada huruf a kepada BI cq. DPM-PTPM.
d. Setelah bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf c
diterima, Bank Indonesia cq. DPM-PTPM melakukan pencatatan
penerbitan seri Sukuk Negara Ritel dalam BI-SSSS dan mengkredit
rekening surat berharga Sub-Registry yang ditunjuk oleh investor
pembeli Sukuk Negara Ritel.
e. Setelah setelmen Sukuk Negara Ritel sebagaimana dimaksud pada
huruf d berhasil dilakukan, Sub-Registry wajib mencatat
kepemilikan Sukuk Negara Ritel atas nama investor yang
memperoleh penjatahan Sukuk Negara Ritel secara individual pada
sistem Sub-Registry.
f. Pada hari yang sama Sub-Registry mengirimkan daftar rincian
individual investor Sukuk Negara Ritel kepada BI cq. DPM-PTPM
yang mencakup Account Identifier (AId), nama nasabah, securities
code, status investor, tipe investor dan nominal transaksi melalui
sarana e-mail.
B. Pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel
1. Bank Indonesia melakukan pembayaran Imbalan dan/atau Nilai
Nominal Sukuk Negara Ritel berdasarkan posisi kepemilikan Sukuk
Negara Ritel yang tercatat di BI-SSSS pada 2 (dua) Hari Kerja
sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran Imbalan dan/atau Nilai
Nominal Sukuk Negara Ritel (T-2).
2. Pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan pada tanggal jatuh
tempo…
5
tempo dengan mendebet rekening giro rupiah milik Pemerintah di
Bank Indonesia dan mengkredit rekening giro rupiah milik Bank atau
Bank pembayar Sub-Registry atau Sub-Registry di Bank Indonesia
sebesar Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk Negara Ritel.
3. Pada hari yang sama dengan hari pembayaran Imbalan dan/atau Nilai
Nominal Sukuk Negara Ritel oleh Bank Indonesia, Sub-Registry wajib
meneruskan pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal Sukuk
Negara Ritel kepada investor yang tercatat di Sub-Registry.
C. Setelmen Transaksi Sukuk Negara Ritel di Pasar Sekunder
Prosedur setelmen transaksi Sukuk Negara Ritel di pasar sekunder
dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-
SSSS.
III. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 10 Februari
2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
DPM
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 11/6/DPM|SE-BI/2009 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Ritel </reg_title>
<set_date> 10 Februari 2009 </set_date>
<effective_date> 10 Februari 2009 </effective_date>
<related_reg> '10/13/PBI/2008', '218/PMK.08/2008|PER-MENKEU/2008', '215/KMK.08/2008|KEP-MENKEU/2008' </related_reg>
|
No. 18/ 14/DPPK
Jakarta, 25 Mei 2016
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga
Penawaran Antarbank
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/2/PBI/2015 tentang Suku Bunga Penawaran Antarbank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5681) dan dalam rangka lebih
meningkatkan kredibilitas Suku Bunga Penawaran Antarbank, perlu
melakukan perubahan atas ketentuan angka V Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga
Penawaran Antarbank, sehingga berbunyi sebagai berikut:
V. PEMENUHAN PERMINTAAN TRANSAKSI
1. Asking Bank dapat meminta Quoting Bank untuk:
a. meminjam rupiah dari Asking Bank; atau
b. meminjamkan rupiah kepada Asking Bank,
pada tingkat suku bunga sesuai suku bunga indikasi yang
disampaikan oleh Quoting Bank.
2. Quoting Bank wajib memenuhi permintaan transaksi (deal) dari
Asking Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sepanjang
memenuhi batasan waktu dan batasan tertentu, yaitu:
a. permintaan...
2
a. permintaan transaksi oleh Asking Bank dilakukan dari pukul
10.00 WIB sampai dengan pukul 10.20 WIB;
b. jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah paling lama
3 (tiga) bulan;
c. permintaan transaksi dari Asking Bank paling banyak
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah);
d. total permintaan transaksi dari seluruh Asking Bank yang
dipenuhi oleh Quoting Bank tidak melebihi Rp20.000.000.000,00
(dua puluh miliar rupiah) per hari; dan
e. ketersediaan dana (availability of fund) dan credit limit dari
Quoting Bank kepada Asking Bank.
3. Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam angka 2, Asking Bank harus menyampaikan
informasi mengenai penolakan tersebut secara tertulis dengan
disertai bukti-bukti pendukung kepada Bank Indonesia c.q.
Departemen Pengembangan Pasar Keuangan, paling lama 5 (lima)
Hari Kerja sejak tanggal penolakan.
Ketentuan mengenai batasan jangka waktu meminjam atau meminjamkan
rupiah sebagaimana dimaksud dalam butir V.2.b mulai berlaku pada
tanggal 1 September 2016.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MIRZA ADITYASWARA
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 18/14/DPPK|SE-BI/2016 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank </reg_title>
<set_date> 25 Mei 2016 </set_date>
<effective_date> 1 Juni 2016 </effective_date>
<changed_reg> '17/6/DPM|SE-BI/2015' </changed_reg>
<related_reg> '17/2/PBI/2015', '17/6/DPM|SE-BI/2015' </related_reg>
|
No.7/34/DPM
Jakarta, 3 Agustus 2005
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
Perihal : Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum
Dalam rangka pemberian fasilitas likuiditas intrahari untuk kelancaran
transaksi Bank dalam Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement (BI-
RTGS) dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/22/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang
Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 2005 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4519), dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan
pelaksanaan pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari sebagai berikut:
I. PENYEDIAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI (FLI)
1. Bank Indonesia menyediakan FLI kepada Bank yang meliputi FLI-RTGS
dan atau FLI-Kliring.
2. Bank yang memenuhi persyaratan dan akan menggunakan FLI harus
menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI sebagaimana contoh dalam
Lampiran-1 sebagai dasar bagi Bank untuk menggunakan FLI sebanyak
2 (dua) eksemplar sebagai berikut:
1) 1 (satu) eksemplar dibubuhi meterai cukup dan ditandatangani oleh
pejabat Bank; dan
2) 1 (satu) ….
2
2) 1 (satu) eksemplar dibubuhi meterai cukup untuk ditandatangani
oleh Bank Indonesia.
b. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia :
1.
fotokopi
anggaran dasar Bank atau
perubahan terakhir yang
dilegalisir Bank, yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili
Bank jika penandatangan perjanjian dilakukan oleh direksi; atau
2. fotokopi anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan
surat kuasa dari direksi kepada pejabat yang menandatangani
perjanjian jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh
direksi.
c. Bagi Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri :
1. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusatnya yang
memuat kewenangan
pejabat
untuk
mewakili Bank
jika
penandatangan perjanjian dilakukan oleh Chief Executive Officer
(CEO); atau
2. fotokopi surat kuasa sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan surat
kuasa dari CEO kepada pejabat yang menandatangani perjanjian
jika penandatangan perjanjian tidak dilakukan oleh CEO.
d. Fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau paspor dari pejabat Bank yang berwenang untuk
menandatangani perjanjian sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan
huruf c.
3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 2 disampaikan dengan surat
pengantar kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM),
c.q. Bagian Operasi Pasar Uang (OPU), Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta
10110.
4. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan atau
penolakan permohonan FLI kepada Bank paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah ….
3
setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 2 diterima secara
lengkap.
5. Dalam hal permohonan FLI disetujui, Bank Indonesia membuka akses bagi
Bank untuk menggunakan FLI melalui sarana BI-SSSS.
6. Dalam hal Bank telah memiliki akses FLI sebagaimana dimaksud pada
angka 5 dan di kemudian hari Bank yang bersangkutan tidak lagi
memenuhi persyaratan FLI maka Bank Indonesia menghentikan akses
penggunaan FLI melalui sarana BI-SSSS.
II. PENGAGUNAN SURAT BERHARGA DALAM RANGKA FLI
1. Bank dapat mengagunkan SBI
dan atau SUN milik Bank
yang
bersangkutan yang tercatat dalam rekening perdagangan melalui sarana BI-
SSSS.
2. Pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 1 diatur
sebagai berikut:
a. Pengagunan dalam rangka FLI-RTGS
1) Bank harus memindahkan surat berharga berupa SBI dan atau SUN
dari rekening perdagangan ke rekening agunan FLI-RTGS pada
sarana BI-SSSS.
2) Pemindahan surat berharga dilakukan pada saat Bank membutuhkan
FLI-RTGS (self assessment) selama jam operasional BI-RTGS
sampai dengan cut off warning sistem BI-RTGS.
3) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak dapat
dipindahkan ke rekening perdagangan selama Bank menggunakan
FLI-RTGS.
4) Bank dapat memindahkan kembali surat berharga sebagaimana
dimaksud pada angka 1) ke rekening perdagangan setelah Bank
melunasi FLI-RTGS.
b. Pengagunan ….
4
b. Pengagunan dalam rangka FLI-Kliring
1) Bank harus memindahkan surat berharga berupa SBI dan atau SUN
dari rekening perdagangan ke rekening agunan FLI-Kliring dalam
rangka pemenuhan kewajiban penyediaan pendanaan awal
(prefund).
2) Pemindahan surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1)
dilakukan pada awal hari sebelum Kliring Debet dimulai sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
3) Nilai nominal surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1)
yang dipindahkan sesuai dengan kebutuhan untuk memenuhi
kewajiban penyediaan pendanaan awal (prefund).
4) Bank dapat memindahkan kembali surat berharga sebagaimana
dimaksud pada angka 1) ke rekening perdagangan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai SKNBI.
3. Mekanisme pengagunan SBI dan atau SUN dalam rangka FLI melalui
sarana BI-SSSS dilakukan mengikuti tata cara sebagaimana dimaksud
dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang berlaku.
III. PENGGUNAAN FLI
1. Penggunaan FLI-RTGS
a. Bank dapat menggunakan FLI-RTGS sejak sistem BI-RTGS dibuka
sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS sepanjang Bank telah
memindahkan surat berharga ke rekening
sebagaimana dimaksud pada butir II.2.a.
b. Penggunaan FLI-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo
rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk:
agunan FLI-RTGS
1) penyelesaian ….
5
1) penyelesaian transaksi keluar (outgoing transaction) sistem BI-
RTGS; dan
2) penyelesaian akhir Kliring Debet, sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai SKNBI.
2. Penggunaan FLI-Kliring
Penggunaan FLI-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo
rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk
memenuhi kewajiban Bank dalam penyelesaian akhir Kliring Debet
sepanjang Bank telah memindahkan surat berharga ke rekening agunan
FLI-Kliring sebagaimana dimaksud pada butir II.2.b.
3. Mekanisme penggunaan FLI melalui sarana BI-SSSS dilakukan sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS.
IV. PELUNASAN FLI
1. Bank wajib melunasi FLI pada hari penggunaan FLI (T+0) selambat-
lambatnya sampai dengan pre cut-off time Sistem BI-RTGS.
2. Pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap
terdapat transaksi masuk (incoming transaction) ke rekening giro Rupiah
Bank di Bank Indonesia.
3. Mekanisme pelunasan FLI melalui sarana BI-SSSS dilakukan sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BI-SSSS.
V. BIAYA PENGGUNAAN FLI
1. Bank Indonesia mengenakan biaya bunga atas penggunaan FLI yang
dihitung sebagai berikut:
Nominal Penggunaan FLI x [T / (10,5 jam x 60 menit)] x i x [1/360 ]
Keterangan ….
6
Keterangan:
T
i
= waktu penggunaan FLI.
= suku bunga rata-rata tertimbang PUAB Rupiah overnight
pagi yang terjadi pada hari penggunaan FLI (T+0).
10,5 jam = jangka waktu dari mulai dibukanya jam operasional Sistem
BI-RTGS (06.30 WIB) sampai dengan cut off warning
Sistem BI-RTGS (17.00 WIB).
2. Biaya bunga atas penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam angka 1
dihitung dengan cara sebagai berikut:
a. Untuk penggunaan FLI dalam 1 (satu) jam pertama, biaya bunga atas
penggunaan FLI dihitung berdasarkan akumulasi nilai nominal FLI
yang digunakan Bank (extend) dengan waktu penggunaan dibulatkan
menjadi 1 (satu) jam.
b. Untuk penggunaan FLI setelah 1 (satu) jam pertama sebagaimana
dimaksud pada huruf a, biaya bunga atas penggunaan FLI dihitung
sesuai dengan posisi (outstanding) nominal FLI yang digunakan dengan
waktu penggunaan dibulatkan ke atas dalam hitungan menit terdekat.
3. Contoh perhitungan biaya bunga atas penggunaan FLI
dimaksud pada angka 2 dapat dilihat dalam Lampiran-2.
sebagaimana
4. Pembebanan biaya bunga atas penggunaan FLI dilakukan pada 1 (satu)
hari kerja setelah penggunaan FLI.
VI. PENGALIHAN FLI MENJADI FPJP
1. Dalam hal Bank tidak melunasi FLI
sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud pada butir IV.1. maka terhadap nilai FLI yang tidak
dilunasi diberlakukan sebagai FPJP dan agunan FLI yang tercatat dalam
sarana BI-SSSS dijadikan sebagai agunan FPJP.
2. Dengan ….
7
2. Dengan pengalihan FLI menjadi FPJP sebagaimana dimaksud pada angka
1 maka Bank tunduk pada pada ketentuan FPJP bagi Bank Umum yang
berlaku antara lain meliputi kewajiban penyampaian akta pengikatan
kredit, tata cara pelunasan, eksekusi agunan, pengawasan dan sanksi atas
penggunaan FPJP.
VII. KETENTUAN PERALIHAN
1. Bank
yang
telah menandatangani Perjanjian Penggunaan FLI
dan
Pengagunan sebelum berlakunya Surat Edaran ini wajib memperbaharui
Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI sebagaimana terlampir dalam
Surat Edaran ini.
2. Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum
menerapkan SKNBI dapat menggunakan FLI-RTGS untuk penyelesaian
akhir kliring yang terjadi sebelum cut off warning Sistem BI-RTGS.
VIII. PENUTUP
Dengan diberlakukannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 6/8/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2005.
Juni
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 7/34/DPM|SE-BI/2005 </reg_id>
<reg_title> Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum </reg_title>
<set_date> 3 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '6/8/DPM|SE-BI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '7/22/PBI/2005' </related_reg>
|
1
No. 18/2/DPTP
Jakarta, 28 Januari 2016
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA PEMILIK REKENING GIRO DI BANK INDONESIA
Perihal : Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Government
Electronic Banking
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/24/PBI/2015 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 416, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5832) dan dalam rangka meningkatkan
tata kelola penyelenggaraan sarana elektronik serta meningkatkan
kualitas layanan jasa perbankan oleh Bank Indonesia, perlu diatur
ketentuan pelaksanaan mengenai penyelenggaraan sistem Bank Indonesia
Government electronic Banking dalam Surat Edaran Bank Indonesia
sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
A. Definisi
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Sistem Bank Indonesia Government-electronic Banking yang
selanjutnya disebut Sistem BIG-eB adalah suatu sarana
elektronik dan on-line yang disediakan untuk Pemilik
Rekening Giro dalam rangka melakukan Transaksi
Keuangan dan memperoleh Informasi Keuangan.
2. Penyelenggara Sistem BIG-eB yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah satuan kerja di Bank Indonesia yang
menangani operasional layanan jasa perbankan.
3. Peserta Sistem BIG-eB yang selanjutnya disebut Peserta
adalah Pemilik Rekening Giro yang menggunakan Sistem
BIG-eB.
4. Rekening…
2
4. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern di Bank
Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan
transaksi dari simpanan yang penyetoran dan penarikannya
dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
5. Pemilik Rekening Giro adalah pihak yang mempunyai
Rekening Giro.
6. Host to Host adalah keterhubungan antara Sistem BIG-eB
dengan sistem internal Peserta.
7. BIG-eB Client adalah sistem komputer yang berada di lokasi
Peserta dan Penyelenggara yang terhubung dengan server
Sistem BIG-eB di Bank Indonesia.
8. Fasilitas Guest Bank Sistem BIG-eB adalah fasilitas BIG-eB
Client yang disediakan oleh Penyelenggara di lokasi
Penyelenggara yang dapat digunakan oleh Peserta apabila
terjadi keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat di
lokasi kantor Peserta.
9. Transaksi Keuangan adalah transaksi penambahan dan
pengurangan dana pada Rekening Giro.
10. Informasi Keuangan adalah informasi yang berisi saldo dan
mutasi Rekening Giro, serta informasi pendukung Transaksi
Keuangan.
11. Kode Transaksi adalah kombinasi angka untuk
mengidentifikasi dan menentukan jurnal transaksi dalam
proses penyelesaian Transaksi Keuangan.
B. Prinsip Umum
Prinsip umum dalam penyelenggaraan Sistem BIG-eB:
1. Sistem BIG-eB berfungsi untuk mengelola data pengguna,
rekening, Kode Transaksi, dan meneruskan instruksi
Transaksi Keuangan ke sistem akunting Bank Indonesia dan
memproses inquiry Informasi Keuangan.
2. Transaksi Keuangan dan Informasi Keuangan yang diproses
melalui Sistem BIG-eB harus memenuhi prinsip keamanan
data yang meliputi kerahasiaan (confidentiality), otorisasi
(authorization)…
3
(authorization), akuntabilitas (accountability), integritas
(integrity), keaslian (authenticity), dan tidak dapat disangkal
(non-repudiation).
3. Dalam mengirimkan Transaksi Keuangan melalui Sistem
BIG-eB, dasar transaksi dan prosedur perekaman data yang
diterapkan Peserta diatur dalam ketentuan internal Peserta.
4.
Informasi Keuangan yang dihasilkan oleh Sistem BIG-eB
merupakan bukti Transaksi Keuangan.
5. Dalam hal terdapat perbedaan Informasi Keuangan antara
Sistem BIG-eB dengan sistem internal Peserta dan/atau
sistem akunting Bank Indonesia, maka yang digunakan
sebagai bukti adalah Informasi Keuangan pada sistem
akunting Bank Indonesia.
6. Pemilik Rekening Giro dapat menjadi Peserta sepanjang
memperoleh persetujuan dari Penyelenggara.
7. Penyelenggara menyediakan layanan Sistem BIG-eB melalui:
a. BIG-eB Client; atau
b. BIG-eB Client dan Host to Host.
Penyediaan layanan BIG-eB Client dan Host to Host hanya
diberikan kepada Kementerian Keuangan Republik
Indonesia.
8. Penentuan ruang lingkup Transaksi Keuangan dan
Informasi Keuangan melalui Sistem BIG-eB didasarkan
pada:
a. kepemilikan Rekening Giro;
b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
rekening giro; dan/atau
c. perjanjian penggunaan Sistem BIG-eB antara Bank
Indonesia dengan Peserta apabila diperlukan.
II. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
A. Penyelenggara
1. Penyelenggara bertugas untuk:
a. memantau…
4
a. memantau keberhasilan setelmen Transaksi Keuangan
melalui Sistem BIG-eB;
b. menatausahakan data pengguna Sistem BIG-eB yang
menjalankan peran sebagai:
1) administrator, manager, dan inquisitor di Bank
Indonesia; dan
2) administrator di Peserta.
c. menatausahakan rekening pada Sistem BIG-eB;
d. menatausahakan Kode Transaksi pada Sistem BIG-eB;
e. menyediakan helpdesk proses bisnis Sistem BIG-eB;
f. menyediakan dan melaksanakan rencana kelangsungan
kegiatan dan rencana pemulihan teknologi informasi
Sistem BIG-eB;
g. melakukan asesmen sistem pengamanan (security
system assesment) paling kurang 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun atau setiap terjadi perubahan lingkup
bisnis Sistem BIG-eB;
h. memberikan pelatihan operasional Sistem BIG-eB
kepada Peserta; dan
i. menyediakan petunjuk teknis Sistem BIG-eB.
2. Penyelenggara bertanggung jawab atas:
a. ketersediaan infrastruktur dan kehandalan aplikasi
Sistem BIG-eB;
b. kerahasiaan Informasi Keuangan pada Sistem BIG-eB;
c. keamanan Transaksi Keuangan dan Informasi
Keuangan pada Sistem BIG-eB;
d. kebijakan internal dalam rangka penyelenggaraan
Sistem BIG-eB; dan
e. ketersediaan layanan penyelesaian insiden operasional
Sistem BIG-eB.
B. Peserta
1. Peserta bertugas untuk:
a. melakukan pemasangan infrastruktur yang digunakan
dalam pengoperasian Sistem BIG-eB di lokasi Peserta;
b. memastikan…
5
b. memastikan kecukupan kapasitas infrastruktur utama
dan cadangan untuk operasional Sistem BIG-eB di
lokasi Peserta;
c. menatausahakan data pengguna Sistem BIG-eB di
Peserta yang menjalankan peran sebagai administrator,
manager, inquisitor, supervisor 1, supervisor 2 dan
operator;
d. menggunakan infrastruktur Sistem BIG-eB sesuai
peruntukan; dan
e. menjaga keamanan dan kerahasiaan kata kunci
(password) Sistem BIG-eB.
2. Peserta bertanggung jawab atas:
a. ketersediaan infrastruktur Sistem BIG-eB di lokasi
Peserta;
b. kerahasiaan Informasi Keuangan pada Sistem BIG-eB;
c. kebenaran Transaksi Keuangan pada Sistem BIG-eB;
dan
d. kebijakan internal dalam rangka operasional Sistem
BIG-eB.
III. TATA CARA MENJADI PESERTA
Prosedur pengajuan menjadi Peserta diatur sebagai berikut:
1. Pemilik Rekening Giro dapat mengajukan permohonan menjadi
Peserta dalam hal memerlukan layanan Transaksi Keuangan dan
Informasi Keuangan dari Sistem BIG-eB.
2. Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada angka 1
mengajukan surat permohonan kepesertaan Sistem BIG-eB
kepada Penyelenggara. Surat permohonan kepesertaan Sistem
BIG-eB ditandatangani oleh Pemilik Rekening Giro atau pejabat
yang diberi kuasa oleh Pemilik Rekening Giro. Surat permohonan
diajukan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dengan dilengkapi formulir data calon Peserta
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
3. Penyelenggara…
6
3. Penyelenggara memastikan bahwa Pemilik Rekening Giro yang
mengajukan surat permohonan memenuhi persyaratan menjadi
Peserta.
4. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 3 paling kurang
meliputi:
a. Pemilik Rekening Giro berdomisili di Indonesia; dan
b. memiliki kesiapan infrastruktur yang digunakan dalam
pengoperasian Sistem BIG-eB.
5. Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 2,
Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau penolakan
secara tertulis kepada Pemilik Rekening Giro atau pejabat yang
diberi kuasa oleh Pemilik Rekening Giro.
6. Dalam hal terdapat tambahan persyaratan atau ketentuan
khusus yang diperlukan namun tidak diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro,
Penyelenggara dapat:
a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pemilik
Rekening Giro yang telah memperoleh persetujuan sebagai
Peserta; dan/atau
b. membuat perjanjian dengan Peserta.
IV. HAK AKSES PADA PESERTA
A. Pengguna dan Fungsinya
1. Untuk dapat melakukan aktifitas melalui Sistem BIG-eB,
Peserta harus menentukan pihak-pihak yang akan menjadi
pengguna.
2. Pihak pengguna pada Peserta adalah:
a. Administrator;
b. Manager;
c.
Inquisitor;
d. Supervisor 1;
e. Supervisor 2; dan
f. Operator.
3. Fungsi…
7
3. Fungsi masing-masing pengguna pada Peserta adalah
sebagai berikut:
a. Administrator
Administrator adalah petugas di Peserta yang memiliki
fungsi:
1) menatausahakan pengguna administrator lain dan
manager di Peserta; dan
2) mengakses menu inquiry, laporan dan tata usaha
pengguna.
b. Manager
Manager adalah petugas di Peserta yang memiliki
fungsi:
1) menatausahakan pengguna inquisitor, group
inquisitor, supervisor 1, supervisor 2, dan operator
di Peserta.
2) mengakses menu inquiry, laporan dan tata usaha
pengguna.
c.
Inquisitor
Inquisitor adalah petugas di Peserta yang memiliki
fungsi untuk dapat mengakses menu inquiry, laporan
dan utilitas.
d. Supervisor 1
Supervisor 1 adalah petugas di Peserta yang memiliki
fungsi:
1) melakukan pra persetujuan data transaksi; dan
2) mengakses menu transaksi, inquiry, laporan, dan
utilitas.
e. Supervisor 2
Supervisor 2 adalah petugas di Peserta yang memiliki
fungsi:
1) melakukan persetujuan akhir data transaksi; dan
2) mengakses menu transaksi, inquiry, laporan, dan
utilitas.
f. Operator…
8
f. Operator
Operator adalah petugas di Peserta yang memiliki
fungsi:
1) merekam dan mengubah data transaksi; dan
2) mengakses menu transaksi, inquiry, laporan, dan
utilitas.
4. Pendistribusian hak akses pengguna Sistem BIG-eB
mengacu pada uraian dalam Tabel Hak Akses Sistem BIG-eB
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
B. Pemberian Hak Akses
1. Penyelenggara menyampaikan 2 (dua) identitas pengguna
dan kata kunci (password) administrator kepada Peserta
dalam amplop tertutup.
2. Penatausahaan administrator, manager, inquisitor, supervisor
1, supervisor 2, dan operator di Peserta berdasarkan pada
kebijakan internal Peserta.
3. Dalam hal diperlukan reset kata kunci (password)
administrator, Peserta menyampaikan surat permohonan
reset kata kunci (password) kepada Penyelenggara.
4. Peserta dapat melakukan pembatasan hak akses inquisitor
terhadap rekening dan/atau fungsi tertentu pada Sistem
BIG-eB melalui group inquisitor.
V. PENATAUSAHAAN REKENING DAN KODE TRANSAKSI
A. Penatausahaan Rekening
1. Peserta menyampaikan surat permohonan pendaftaran atau
perubahan rekening yang akan digunakan dalam Sistem
BIG-eB.
2. Surat permohonan pendaftaran atau perubahan rekening
pada Sistem BIG-eB sebagaimana dimaksud dalam angka 1
ditandatangani oleh Peserta atau pejabat yang diberi kuasa
oleh Peserta.
3. Atas…
9
3. Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 2,
Penyelenggara menyampaikan informasi pendaftaran atau
perubahan rekening pada Sistem BIG-eB secara tertulis
kepada Peserta atau pejabat yang diberi kuasa oleh Peserta.
4. Permohonan pendaftaran atau perubahan rekening pada
Sistem BIG-eB dapat diajukan bersamaan dengan surat
permohonan pendaftaran atau perubahan Rekening Giro.
B. Penatausahaan Kode Transaksi
1. Peserta menyampaikan surat permohonan pendaftaran atau
perubahan Kode Transaksi pada Sistem BIG-eB kepada
Penyelenggara.
2. Surat permohonan pendaftaran atau perubahan Kode
Transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 1
ditandatangani oleh Peserta atau pejabat yang diberi kuasa
oleh Peserta. Surat Permohonan diajukan dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
3. Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 2,
Penyelenggara menyampaikan informasi pendaftaran atau
perubahan Kode Transaksi pada Sistem BIG-eB secara
tertulis kepada Peserta atau pejabat yang diberi kuasa oleh
Peserta.
4. Permohonan pendaftaran atau perubahan Kode Transaksi
pada Sistem BIG-eB dapat diajukan bersamaan dengan
surat permohonan pembukaan atau perubahan Rekening
Giro.
VI. LAYANAN SISTEM BIG-eB
A. Layanan Transaksi Keuangan
1. Ruang Lingkup
a. Ruang lingkup Transaksi Keuangan melalui Sistem BIG-
eB mencakup layanan:
1) pindah…
10
1) pindah buku dalam Rupiah dan valuta asing antar
Rekening Giro Peserta atau dari Rekening Giro
Peserta ke Rekening Giro lain; dan
2)
transfer kredit dalam Rupiah dan valuta asing atas
beban Rekening Giro Peserta untuk untung :
a) penerima dana yang telah ditentukan dalam
Sistem BIG-eB (defined ultimate beneficiary);
atau
b) penerima dana yang tidak ditentukan dalam
Sistem BIG-eB (undefined ultimate beneficiary),
berdasarkan Kode Transaksi.
b. Penyelenggara menetapkan layanan Transaksi
Keuangan yang disediakan kepada Peserta.
2. Tanggal Efektif Transaksi Keuangan
Transaksi Keuangan melalui Sistem BIG-eB dapat
diefektifkan pada tanggal valuta hari berjalan atau tanggal
valuta hari yang ditetapkan oleh Peserta.
3. Waktu Layanan
a. Penyelenggara menyediakan layanan Transaksi
Keuangan pada hari kerja dengan waktu layanan
sebagai berikut:
1)
transaksi pindah buku pada pukul 07.10 s.d. 18.30
WIB; dan
2)
transaksi transfer kredit yaitu:
a)
b)
c)
transfer Real Time Gross Settlement (RTGS)
pada pukul 07.10 s.d. 16.30 WIB;
transfer kliring pada pukul 07.10 s.d. 15.30
WIB; dan
transfer valuta asing pada pukul 07.10 s.d.
15.00 WIB.
b. Waktu layanan Sistem BIG-eB sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dapat diubah oleh Penyelenggara dalam
hal:
1)
terjadi keadaan tidak normal dan/atau keadaan
darurat di Penyelenggara;
2) terdapat…
11
2)
3)
terdapat transaksi yang masih harus diselesaikan
di Bank Indonesia; atau
terdapat perubahan waktu operasional transfer
kredit Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia.
c. Selain huruf b, waktu layanan Sistem BIG-eB dapat
diperpanjang dalam hal terdapat permohonan tertulis
dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Permohonan dimaksud ditandatangani oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia atau pejabat yang diberi
kuasa oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Permohonan perpanjangan diterima oleh Penyelenggara
paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum
berakhirnya waktu layanan terkait pada Sistem BIG-eB.
d. Penyelenggara menyampaikan informasi mengenai
perubahan waktu layanan Sistem BIG-eB secara tertulis
kepada Peserta.
B. Layanan Informasi Keuangan
1. Waktu Layanan
Layanan Informasi Keuangan dapat diakses setiap hari, baik
pada hari kerja maupun bukan hari kerja. Apabila diakses
pada bukan hari kerja, Informasi Keuangan yang
ditampilkan adalah informasi yang tercatat pada hari kerja
sebelumnya.
2. Ruang Lingkup
a.
Inquiry
Inquiry menyajikan informasi antara lain posisi saldo,
mutasi per rekening, dan status transaksi. Informasi
dalam inquiry dapat dilihat, dicetak, dan/atau disimpan
dalam bentuk data softcopy.
b. Laporan
Laporan menyajikan informasi antara lain daftar posisi
saldo, saldo dan mutasi per rekening, jurnal transaksi,
rincian…
12
rincian transaksi pindah buku dan transfer, advis
pembukuan, nilai kurs Bank Indonesia, dan kegiatan
penatausahaan administrasi Sistem BIG-eB. Informasi
dalam laporan dapat dilihat, dicetak, dan/atau
disimpan dalam bentuk data soft copy.
c. Utilitas
Utilitas menyediakan fasilitas unduh (download)
informasi mutasi rekening sesuai parameter yang
dipilih.
VII. PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN KEADAAN DARURAT
A. Penanganan Keadaan Tidak Normal
Dalam hal terjadi keadaan tidak normal yaitu situasi atau
kondisi yang disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi,
aplikasi, maupun sarana pendukung yang mempengaruhi
kelancaran penggunaan Sistem BIG-eB, penanganan dilakukan
sebagai berikut:
1. Penyelenggara berkoordinasi dengan Peserta untuk
mengetahui penyebab keadaan tidak normal.
2. Dalam hal penyebab keadaan tidak normal berada di lokasi
Bank Indonesia, Penyelenggara menginformasikan
penanganan keadaan tidak normal kepada Peserta.
3. Dalam hal penyebab keadaan tidak normal berada di lokasi
Peserta, Peserta menginformasikan keadaan tidak normal
kepada Penyelenggara dan meminta persetujuan atas
langkah penanganan yang akan dilakukan.
4. Penanganan keadaan tidak normal antara lain:
a. Dalam hal Sistem BIG-eB di lokasi Peserta dan
Penyelenggara mengalami gangguan, Peserta dapat
menyampaikan warkat pembukuan dan memperoleh
rekening koran sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
rekening giro.
b. Dalam…
13
b. Dalam hal Sistem BIG-eB di lokasi Peserta mengalami
gangguan, Peserta dapat:
1) menyampaikan warkat pembukuan dan
memperoleh rekening koran sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai rekening giro; atau
2) menggunakan Fasilitas Guest Bank Sistem BIG-eB
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Peserta mengajukan surat permohonan
penggunaan Fasilitas Guest Bank Sistem BIG-
eB dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran V yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
b) Peserta datang ke lokasi Penyelenggara dan
melakukan aktivitas berupa mengirimkan
Transaksi Keuangan dan memperoleh
Informasi Keuangan melalui Fasilitas Guest
Bank Sistem BIG-eB.
B. Penanganan Keadaan Darurat
Dalam hal terjadi Keadaan Darurat yaitu situasi atau kondisi
yang terjadi di luar kekuasaan Bank Indonesia dan/atau Peserta
yang mempengaruhi kelancaran penggunaan Sistem BIG-eB yang
disebabkan oleh tetapi tidak terbatas pada kebakaran,
kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa
bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau
pejabat yang berwenang setempat termasuk Bank Indonesia,
penanganan dilakukan sebagai berikut:
1.
Dalam hal keadaan darurat terjadi di lokasi Penyelenggara,
Penyelenggara memberitahukan keadaan tersebut kepada
Peserta berikut langkah penanganannya.
2.
Dalam hal keadaan darurat terjadi di lokasi Peserta, Peserta
menginformasikan keadaan darurat kepada Penyelenggara
dan…
14
dan meminta persetujuan atas langkah penanganan yang
akan dilakukan.
VIII. KETENTUAN LAIN-LAIN
Petunjuk teknis Sistem BIG-eB akan disampaikan melalui surat oleh
Penyelenggara kepada Peserta.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada 28
Januari 2016.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN
PINJAMAN DAN TRANSAKSI PEMERINTAH
DYAH N.K. MAKHIJANI
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 18/2/DPTP|SE-BI/2016 </reg_id>
<reg_title> Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Government Electronic Banking </reg_title>
<set_date> 28 Januari 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Januari 2016 </effective_date>
<related_reg> '17/24/PBI/2015' </related_reg>
|
No. 15/43/DPNP
Jakarta, 21 Oktober 2013
SURAT EDARAN
KEPADA
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT
DI INDONESIA
Perihal
:
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan
Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank
Perkreditan Rakyat.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/3/PBI/2013
tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5418) dan terkait dengan diterbitkannya
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/39/DPNP tanggal 17 September 2013
perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/20/DKBU
tanggal 22 Mei 2013 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat serta
dalam rangka menjaga kesinambungan dan konsistensi data yang dikelola
oleh Bank Indonesia maka perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 perihal Laporan
Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat sebagai
berikut:
Ketentuan dalam angka III ditambahkan huruf H yang berbunyi sebagai
berikut:
H. Khusus Laporan Keuangan Publikasi yang diumumkan untuk posisi
akhir bulan September 2013 diatur sebagai berikut:
1.Penyusunan...
2
1. Penyusunan Laporan Keuangan Publikasi mengacu pada format
sebagaimana pada Lampiran IA yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
2. Rekaman data Laporan Keuangan Publikasi yang disampaikan
kepada Bank Indonesia secara on-line tidak mencakup rasio
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), rasio Beban
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), dan
Cash Ratio sebagaimana dimaksud pada angka 8, angka 9, dan
angka 10 pada Tabel 4 mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan
Informasi Lainnya.
3. Bukti pengumuman atas Laporan Keuangan Publikasi
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 disampaikan kepada
Bank Indonesia dalam bentuk:
a. halaman surat kabar yang memuat Laporan Keuangan
Publikasi; dan/atau
b. fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan
pada papan pengumuman atau media lainnya.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 21
Oktober 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
IRWAN LUBIS
KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN
DAN PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 15/43/DPNP|SE-BI/2013 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tanggal 31 Juli 2013 Perihal Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat. </reg_title>
<set_date> 21 Oktober 2013 </set_date>
<effective_date> 21 Oktober 2013 </effective_date>
<changed_reg> '15/29/DKBU|SE-BI/2013' </changed_reg>
<related_reg> '15/29/DKBU|SE-BI/2013', '15/39/DPNP|SE-BI/2013', '15/20/DKBU|SE-BI/2013', '15/3/PBI/2013' </related_reg>
|
No. 10/ 13 /DPNP
Jakarta, 6 Maret 2008
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.7/24/DPNP
tanggal 18 Juli 2005 perihal Penyelesaian Pengaduan Nasabah
---------------------------------------------------------------------------
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/3/PBI/2008 tanggal 4 Februari 2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4810) dan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah,
dipandang perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran Nomor 7/24/DPNP
tanggal 18 Juli 2005 mengenai Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagai berikut:
Ketentuan dalam Butir VI. Pelaporan Penyelesaian Pengaduan Nasabah Kepada
Bank Indonesia diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
VI. Pelaporan Penyelesaian Pengaduan Nasabah Kepada Bank Indonesia
1. a. Bank umum menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian
Pengaduan secara triwulanan kepada Bank Indonesia secara On-Line,
yaitu untuk periode pelaporan yang berakhir pada bulan Maret, Juni,
September, dan Desember dengan berpedoman pada tatacara pelaporan
dan …
2
dan format sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai Laporan Kantor Pusat Bank Umum.
b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyampaikan laporan penanganan
dan penyelesaian Pengaduan secara triwulanan kepada Bank Indonesia
secara manual, yaitu untuk periode pelaporan yang berakhir pada bulan
Maret, Juni, September, dan Desember dengan format sebagaimana
pada lampiran Surat Edaran Bank Indonesia ini.
2. Laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan disampaikan oleh BPR
dalam masa 1 (satu) bulan sejak berakhirnya periode laporan. Apabila
batas waktu penyampaian laporan adalah hari libur maka penyampaian
laporan dilakukan pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya.
Sebagai contoh, laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan untuk
periode laporan yang berakhir pada bulan Maret 2008 wajib disampaikan
paling lambat tanggal 30 April 2008.
3. Dalam hal tidak terdapat Pengaduan dalam periode pelaporan, maka BPR
tetap menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan
dengan mencantumkan nihil pada laporan tersebut.
4. BPR dianggap terlambat menyampaikan laporan apabila penyampaian
laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan melebihi batas waktu
penyampaian Laporan.
Sebagai contoh, BPR akan dianggap terlambat apabila laporan
penanganan dan penyelesaian Pengaduan untuk periode pelaporan yang
berakhir pada bulan Maret 2008 disampaikan pada bulan Mei 2008.
5. BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila penyampaian
laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan melebihi jangka waktu 1
(satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian laporan.
Sebagai…
3
Sebagai contoh, BPR dianggap tidak menyampaikan laporan apabila
laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan untuk periode pelaporan
yang berakhir pada bulan Maret 2008 disampaikan pada bulan Juni 2008.
6. Pengenaan sanksi kewajiban membayar atas keterlambatan dan/atau tidak
disampaikannya laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan tidak
menghapuskan kewajiban BPR untuk menyampaikan laporan tersebut.
7. BPR menyampaikan laporan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan
kepada:
a. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta
10350, bagi BPR yang berkantor pusat di wilayah Kantor Pusat Bank
Indonesia,
b. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta 10350,
bagi BPR Syariah yang berkantor pusat di wilayah Kantor Pusat Bank
Indonesia, atau
c. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BPR dan BPR Syariah yang
berkantor pusat di luar wilayah Kantor Pusat Bank Indonesia.
dengan tembusan ditujukan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi
Perbankan.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 6
Maret 2008.
Agar…
4
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DIREKTUR DIREKTORAT
PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/13/DPNP|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.7/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005 perihal Penyelesaian Pengaduan Nasabah </reg_title>
<set_date> 6 Maret 2008 </set_date>
<effective_date> 6 Maret 2008 </effective_date>
<changed_reg> '7/24/DPNP|SE-BI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '7/7/PBI/2005', '7/24/DPNP|SE-BI/2005', '10/3/PBI/2008', '10/10/PBI/2008' </related_reg>
|
No. 17/4/DSta
Jakarta, 6 Maret 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA KORPORASI NONBANK DI INDONESIA
YANG MELAKUKAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
Perihal: Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana
Utang Luar Negeri dan Perubahan Rencana Utang Luar
Negeri
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/22/PBI/2014 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa dan
Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan
Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 397, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5654), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai
pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa berupa Rencana Utang Luar Negeri
dan Perubahan Rencana Utang Luar Negeri dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagai berikut:
I. UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu
lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar.
2. Korporasi Nonbank adalah badan usaha selain bank, dan badan
lainnya.
3. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing dan/atau
Rupiah ...
2
Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah.
4. ULN Jangka Pendek adalah ULN dengan jangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun, baik langsung dari kreditur atau pasar
keuangan maupun tidak langsung melalui pihak lain yang
merupakan afiliasi maupun nonafiliasi.
5. ULN Jangka Panjang adalah ULN dengan jangka waktu lebih dari
1 (satu) tahun, baik langsung dari kreditur atau pasar keuangan
maupun tidak langsung melalui pihak lain yang merupakan
afiliasi maupun nonafiliasi.
6. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan
sistem nilai tukar.
7. Pelapor LLD Korporasi Nonbank yang selanjutnya disebut Pelapor
adalah Penduduk selain bank yang melakukan kegiatan LLD,
baik untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun
pihak lain.
8. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
9. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
II. PELAPOR
A. Pelapor meliputi:
1. berdasarkan jenis lembaga:
a. lembaga keuangan bukan bank;
b. bukan lembaga keuangan.
2. berdasarkan kepemilikan:
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. badan usaha milik swasta;
d. badan lainnya.
B. Pendaftaran ...
3
B. Pendaftaran Profil Pelapor
1. Korporasi Nonbank yang baru pertama kali menyampaikan
Laporan Rencana ULN harus mengisi data Profil Pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.
2. Data Profil Pelapor disampaikan dengan menyertakan
dokumen pendukung yang terdiri atas:
a. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. fotokopi Anggaran Dasar; dan
c. Surat Penunjukan mengenai penanggung jawab laporan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II.
3. Dalam hal terdapat perubahan atas data Profil Pelapor, Pelapor
harus menyampaikan perubahan data tersebut kepada Bank
Indonesia melalui data Profil Pelapor sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran I, dengan menyertakan dokumen pendukung.
4. Dalam hal pelaporan dilakukan oleh pihak lain, dokumen
pendukung yang disampaikan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 harus dilengkapi
dengan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
III.
C. Sandi Pelapor
1. Untuk memperoleh Sandi Pelapor, Korporasi Nonbank yang
baru pertama kali menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia harus mengajukan surat permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran IV dengan melampirkan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam butir II.B.2 dan
butir II.B.4.
2. Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1, Bank Indonesia memberitahukan kepada
Pelapor mengenai Sandi Pelapor.
3. Pelapor yang telah menerima Sandi Pelapor dari Bank
Indonesia menyampaikan Laporan Rencana ULN dan Laporan
Perubahan Rencana ULN dengan menggunakan Sandi Pelapor
tersebut.
III. CAKUPAN ...
4
III. CAKUPAN LAPORAN
A. Laporan Rencana ULN
Laporan Rencana ULN meliputi keterangan dan data mengenai
rencana ULN Jangka Panjang selama 1 (satu) tahun berjalan,
baik berupa utang baru maupun perpanjangan (rollover) utang
lama, yang mencakup items sebagai berikut:
1. status ULN;
2. jenis valuta;
3. jumlah;
4. tujuan penggunaan;
5. kreditur;
6. hubungan dengan kreditur;
7. jenis utang;
8. waktu masuk pasar;
9. jangka waktu;
10. lokasi penerbitan (untuk surat utang);
11. suku bunga indikatif;
12. basis suku bunga; dan
13. sumber pembayaran ULN.
B. Laporan Perubahan Rencana ULN
1. Laporan Perubahan Rencana ULN meliputi perubahan
rencana ULN Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam
huruf A.
2. Laporan Perubahan Rencana ULN sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 disampaikan dengan mengisi item yang
berubah dan alasan perubahannya.
IV. KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN
A. Kewajiban penyampaian Laporan Rencana ULN sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A berlaku bagi:
1. Pelapor yang berencana untuk memperoleh ULN Jangka
Panjang baru selama 1 (satu) tahun berjalan;
2. Pelapor yang berencana untuk memperpanjang (rollover) ULN
Jangka Panjang; dan/atau
3. Pelapor ...
5
3. Pelapor yang berencana memperpanjang ULN Jangka Pendek
menjadi Jangka Panjang.
B. Dalam hal Pelapor tidak memiliki rencana untuk memperoleh
ULN Jangka Panjang, kewajiban penyampaian Laporan Rencana
ULN sebagaimana dimaksud dalam huruf A tetap dilakukan
dengan menyampaikan form header (null/kosong).
C. Kewajiban penyampaian Laporan Perubahan Rencana ULN
sebagaimana dimaksud dalam butir III.B berlaku bagi Pelapor
yang akan mengubah rencana ULN Jangka Panjang selama 1
(satu) tahun berjalan.
V. FORMAT LAPORAN DAN TATA CARA PELAPORAN
A. Format Laporan
Format laporan diatur dalam Petunjuk Teknis Pelaporan Rencana
ULN dan Perubahan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I.
B. Tata Cara Penyampaian Laporan
1. Pelaporan Rencana ULN dan Perubahan Rencana ULN
disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam hal Pelapor adalah badan usaha atau badan
lainnya yang berkedudukan di Indonesia, pelaporan
dilakukan oleh kantor pusat badan usaha atau badan
lainnya yang bersangkutan.
b. Dalam hal Pelapor adalah badan usaha atau badan
lainnya yang kantor pusatnya berkedudukan di luar
Indonesia, pelaporan dilakukan oleh kantor koordinator
dari kantor Pelapor yang berkedudukan di Indonesia.
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam angka III
dan butir IV.B dilakukan secara online melalui website
pelaporan kegiatan LLD yang dikelola oleh Bank Indonesia
dengan alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2.
3. Tata ...
6
3. Tata cara pelaporan mengacu pada Petunjuk Teknis Aplikasi
Pelaporan Laporan Rencana ULN dan Perubahan Rencana ULN
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V.
VI. PENYAMPAIAN LAPORAN
A. Batas Waktu Penyampaian Laporan
1. Laporan Rencana ULN sebagaimana dimaksud dalam butir
III.A disampaikan secara online paling lambat tanggal 15
Maret tahun berjalan.
2. Laporan Perubahan Rencana ULN sebagaimana dimaksud
dalam butir III.B disampaikan secara online paling lambat
tanggal 1 Juli tahun berjalan.
3. Dalam hal hari terakhir penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 jatuh pada hari Sabtu,
Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia, batas waktu penyampaian laporan jatuh
pada Hari berikutnya.
4. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada
hari terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 sehingga Pelapor tidak
dapat menyampaikan laporan secara online, laporan
disampaikan pada Hari berikutnya secara:
a. online jika gangguan teknis telah dapat diatasi; atau
b. offline kepada Bank Indonesia selama jam kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia, jika gangguan teknis belum dapat
diatasi.
5. Penyampaian secara offline sebagaimana dimaksud dalam
butir 4.b. adalah dengan menggunakan media antara lain
attachment email, Compact Disc (CD), flash disk, dan/atau
media perekaman data elektronik lainnya.
B. Terlambat dan Tidak Menyampaikan Laporan.
1. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
Rencana ULN apabila laporan disampaikan melampaui batas
waktu ...
7
waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
huruf A sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan.
Contoh:
Perusahaan A menyampaikan Laporan Rencana ULN pada
tanggal 25 Maret 2015. Berdasarkan hal tersebut, Perusahaan
A dinyatakan terlambat menyampaikan laporan.
2. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Rencana
ULN apabila laporan tidak disampaikan sampai dengan akhir
bulan yang bersangkutan.
Contoh:
Perusahaan B menyampaikan Laporan Rencana ULN pada
tanggal 1 April 2015. Berdasarkan hal tersebut, Perusahaan B
dinyatakan tidak menyampaikan laporan.
3. Dalam hal terdapat perubahan rencana ULN, Pelapor
dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Perubahan
Rencana ULN apabila laporan disampaikan melewati batas
waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam huruf A
sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan.
Contoh:
Perusahaan C menyampaikan Laporan Perubahan Rencana
ULN pada tanggal 7 Juli 2015. Berdasarkan hal tersebut,
Perusahaan C dinyatakan terlambat menyampaikan laporan.
4. Dalam hal terdapat perubahan rencana ULN, Pelapor
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Perubahan Rencana
ULN apabila laporan tidak disampaikan sampai dengan akhir
bulan yang bersangkutan.
Contoh:
Perusahaan D menyampaikan Laporan Perubahan Rencana
ULN pada tanggal 3 Agustus 2015. Berdasarkan hal tersebut,
Perusahaan D dinyatakan tidak menyampaikan laporan.
VII. KEADAAN ...
8
VII. KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
A. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan keterangan dan data tidak tersedia, dikecualikan
dari kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam angka III untuk periode laporan pada saat keadaan
memaksa terjadi.
B. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga
menyebabkan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam angka III terhambat, dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan laporan dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam butir VI.A.
C. Pelapor yang mengalami keadaan memaksa harus segera
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank
Indonesia, dengan memberikan penjelasan mengenai keadaan
memaksa yang dialami yang paling kurang memuat:
1. jenis keadaan memaksa dengan melampirkan surat
keterangan yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat;
2. dampak terhadap pelaporan; dan
3. perkiraan lamanya keadaan memaksa.
D. Pelapor dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai keadaan memaksa sebagaimana dimaksud dalam huruf
C melalui kantor pusat Pelapor, kantor cabang Pelapor, atau
pihak lain yang ditunjuk Pelapor.
E. Pelapor wajib menyampaikan laporan setelah Pelapor kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
VIII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
A. Sanksi Keterlambatan Penyampaian Laporan
Pelapor yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir VI.B.1 dan butir VI.B.3 dikenakan sanksi
administratif berupa Surat Peringatan dari Bank Indonesia.
B. Sanksi ...
9
B. Sanksi Tidak Menyampaikan Laporan
1. Pelapor yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir VI.B.2 dan butir VI.B.4 dikenakan
sanksi administratif berupa Surat Peringatan dari Bank
Indonesia.
2. Pelapor yang tidak menyampaikan laporan sebanyak 2 (dua)
kali atau lebih secara berturut-turut, dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. Surat Peringatan dari Bank Indonesia; dan
b. Surat Pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang
berwenang.
IX. KORESPONDENSI DAN HELP DESK
A. Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank
Indonesia terkait pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini,
serta pertanyaan yang berkaitan dengan teknis dan cara
pelaporan, data entry, serta materi laporan ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan 2
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan Lalu Lintas Devisa
Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16
Jl. M.H. Thamrin No.2
Jakarta 10350
B. Help Desk
Telepon : 021-29814077, 021-29814219, 021-29814556,
021-29814572, 021-29814650, 021-29814657,
021-29815174, 021-29815870, 021-29815871,
021-29815875, 021-29816036, 021-29818126,
021-29818127,
021-29810000 ext. 2122, 2134, 2138, 2166
Faksimili : 021-2311936
E-mail ...
10
E-mail
: LLD-ULN@bi.go.id
C. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat menyurat dan
komunikasi, Bank Indonesia akan memberitahukan kepada
Pelapor melalui surat dan/atau media lainnya.
X. KETENTUAN PERALIHAN
A. Pelapor yang telah menyampaikan Laporan Rencana ULN dan
Laporan Perubahan Rencana ULN pada tahun 2015 sebelum
berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini tidak diwajibkan
menyampaikan laporan kembali.
B. Dalam hal terdapat perubahan atas Laporan Rencana ULN dan
Laporan Perubahan Rencana ULN tahun 2015 setelah berlakunya
Surat Edaran Bank Indonesia ini, Pelapor tetap wajib
menyampaikan Laporan Perubahan Rencana ULN sebagaimana
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini.
XI. KETENTUAN LAIN-LAIN
Lampiran I sampai dengan Lampiran V merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
XII. KETENTUAN PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 15/17/DInt tanggal 29 April 2013
perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang
Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi
Keuangan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 6
Maret 2015.
Agar ...
11
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDY SULISTIOWATY
KEPALA DEPARTEMEN STATISTIK
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 17/4/DSta|SE-BI/2015 </reg_id>
<reg_title> Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri dan Perubahan Rencana Utang Luar Negeri </reg_title>
<set_date> 6 Maret 2015 </set_date>
<effective_date> 6 Maret 2015 </effective_date>
<replaced_reg> '15/17/DInt|SE-BI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '16/22/PBI/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VIII' </penalty_list>
|
No. 8/10/DPbS
Jakarta, 7 Maret 2006
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
7/53/DPbS tanggal 22 November 2005 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/7/PBI/2006 tanggal 27 Februari 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4606), perlu dilakukan
perubahan terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal
22 November 2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank
Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
khususnya yang menyangkut perhitungan bobot risiko dalam aktiva tertimbang
menurut risiko (ATMR) sebagai berikut :
I. PERUBAHAN BEBERAPA KETENTUAN
A. Ketentuan angka II. 1. 1.2. 4)
berikut :
4) Investasi …
diubah, sehingga berbunyi sebagai
4) Investasi Subordinasi dalam Laporan bulanan bank Syariah adalah
Pinjaman Subordinasi dan Obligasi Syariah Subordinasi, yang
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah;
2. ada perjanjian tertulis antara bank dengan investor;
3. mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
Dalam hubungan ini pada saat bank mengajukan permohonan
persetujuan, bank harus menyampaikan program pembayaran
kembali investasi subordinasi tersebut;
4. tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan telah disetor
penuh;
5. minimal berjangka waktu 5 (lima) tahun;
6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan
dari Bank Indonesia, dan dengan pelunasan tersebut
permodalan bank tetap sehat; dan
7. dalam hal terjadi likuidasi hak tagihnya berlaku paling akhir
dari segala pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan
modal).
Jumlah investasi subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai
modal untuk sisa jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir adalah
jumlah investasi subordinasi dikurangi amortisasi yang dihitung
dengan menggunakan metode garis lurus atau prorata.
Jumlah investasi subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai
komponen modal pelengkap maksimum sebesar 50% (lima puluh
perseratus) dari modal inti.
B. Ketentuan …
B. Ketentuan angka III.1.c diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
c. Penghitungan ATMR untuk aktiva produktif dibedakan sebagai
berikut :
1) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang
sumber dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip
mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi untung atau
bagi rugi (profit and loss sharing) diberikan bobot sebesar 1%
(satu perseratus);
2) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang
sumber dananya berasal dari modal sendiri dan atau pihak
ketiga dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah
mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue
sharing) yang dibedakan sebagai berikut :
a)
diberikan kepada atau dijamin oleh pemerintah atau bank
sentral diberikan bobot sebesar 0% (nol perseratus);
b) diberikan kepada atau dijamin oleh bank lain diberikan
bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus);
c) diberikan kepada atau dijamin oleh swasta penetapan
bobot berdasarkan peringkat (rating) yang dimiliki oleh
perusahaan yang bersangkutan;
3) penyaluran dana dalam bentuk piutang untuk kepemilikan
rumah yang dijamin oleh hak tanggungan pertama dan
bertujuan untuk dihuni yang sumber dananya berasal dari
modal sendiri dan atau dana pihak ketiga dengan prinsip
wadiah, qardh dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem
bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot 35% (tiga
puluh lima perseratus);
4) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif
kepada pegawai/pensiunan di luar usaha kecil dan pemilikan
rumah yang sumber dananya dari wadiah, modal sendiri,
qardh …
qardh dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi
pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 50%
(lima puluh perseratus), dengan memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a) Plafon penyaluran dana keseluruhan maksimum Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per
pegawai/pensiunan;
b) 1. Pegawai/pensiunan dijamin dengan asuransi jiwa dari
perusahaan asuransi yang berstatus sebagai BUMN
atau perusahaan asuransi swasta yang memiliki
peringkat paling kurang peringkat investasi dari
lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku tentang Lembaga Pemeringkat dan
Peringkat Yang Diakui Bank Indonesia; atau
2. Penyaluran dana kepada pegawai/pensiunan yang
penyaluran dana-nya dijamin oleh perusahaan
BUMN penjaminan pembiayaan ;
c) Pembayaran angsuran/pelunasan atas penyaluran dana
bersumber dari gaji/pensiun berdasarkan Surat Kuasa
Memotong Gaji/Pensiun kepada Bank pemberi
penyaluran dana. Dalam hal pembayaran gaji/pensiun
dilakukan melalui Bank lain atau BUMN lain, maka
Bank pemberi penyaluran dana harus memiliki perjanjian
kerja sama dengan Bank lain atau BUMN lain pembayar
gaji/pensiun untuk melakukan pemotongan gaji/pensiun
dalam
rangka pembayaran angsuran/pelunasan
penyaluran dana; dan
d) Bank menyimpan asli surat pengangkatan pegawai atau
surat keputusan pensiun atau Kartu Registrasi Induk
Pensiun (KARIP) dan polis pertanggungan asuransi jiwa
debitur ...
debitur, atau dokumen yang dapat dipersamakan dengan
itu untuk
penjaminan oleh perusahaan
penjaminan pembiayaan .
5) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif
kepada usaha kecil yang sumber dananya dari wadiah, modal
sendiri, qardh dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem
bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar
85% (delapan puluh lima perseratus). Penyaluran dana dalam
berbagai bentuk aktiva produktif kepada usaha kecil yang
dapat dikenakan bobot risiko tersebut adalah untuk penyaluran
dana yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pemberian
Kredit Usaha Kecil ;
6) penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif
berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit and loss
sharing method) yang sumber dananya dari wadiah, modal
sendiri, qardh, dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem
bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar
150% (seratus lima puluh perseratus).
b. Ketentuan angka III.2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
2. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud
pada angka 1, maka rincian bobot risiko untuk semua aktiva
Neraca adalah sebagai berikut :
0%
: 1. Kas.
2. Emas dan mata uang emas.
3. Commemorative coins.
4. Penempatan pada Bank Indonesia :
4.1. Giro Wadiah pada Bank Indonesia;
4.2. SWBI;
4.3 Lainnya …
BUMN
4.3. Lainnya;
5. Penempatan/ Tagihan pada bank lain :
5.1. Pada bank sentral negara lain;
5.2. Pada bank lain yang dijamin oleh
pemerintah pusat dan bank sentral.
6. Surat berharga yang dimiliki :
6.1. Surat Berharga Syariah yang diterbitkan
oleh Pemerintah negara lain;
6.2. Surat Berharga Syariah yang diterbitkan
oleh bank sentral negara lain;
6.3. Surat berharga pasar uang /pasar modal
Syariah.
6.3.1. Yang diterbitkan atau dijamin oleh
bank sentral dan pemerintah pusat;
6.3.2. Yang diterbitkan atau dijamin
dengan uang kas, uang kertas
asing, emas, mata uang emas,
serta giro, deposito dan tabungan
pada bank yang besangkutan,
sebesar nilai dari jaminan tersebut.
7. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan
lainnya kepada atau dijamin :
7.1. Bank sentral;
7.2. Pemerintah Pusat.
8. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan
lainnya yang dijamin uang kas, uang kertas
asing, emas, mata uang emas, serta giro,
deposito, dan tabungan pada bank yang
bersangkutan
tersebut.
sebesar nilai dari jaminan
1% …
1% : Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan,
piutang, ijarah dan bentuk penanaman lainnya
yang sumber dananya berasal dari dana pihak
ketiga dengan prinsip mudharabah mutlaqah
berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit
and loss sharing method).
20%
: 1. Penempatan / Tagihan pada bank lain;
2. Surat berharga pasar uang/ pasar modal
syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh
bank lain, pemerintah daerah, lembaga non
departemen di Indonesia, Bank
Pembangunan Multilateral, Islamic
Development Bank,BUMN dan perusahaan
pemerintah pusat negara lain;
3. Surat Berharga pasar uang/pasar modal
Syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh
pihak swasta dengan peringkat perusahaan
AAA sampai dengan AA- dari pemeringkat
Standard & Poor's atau peringkat yang
setara dari lembaga pemeringkat yang
diakui oleh Bank Indonesia;
4. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan
lainnya kepada atau dijamin oleh bank lain,
pemerintah daerah, lembaga non
departemen di Indonesia, bank
pembangunan multilateral,
Islamic
Development Bank, BUMN dan perusahaan
milik pemerintah pusat negara lain;
5. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan
lainnya kepada atau dijamin oleh pihak
swasta yang memiliki peringkat perusahaan
AAA …
AAA sampai dengan AA- dari pemeringkat
Standard & Poor's atau peringkat yang
setara dari lembaga pemeringkat yang
diakui oleh Bank Indonesia.
35%
:
Piutang pemilikan rumah yang dijamin oleh hak
tanggungan pertama dengan tujuan untuk
dihuni.
50% : 1. Surat berharga pasar uang/ pasar modal Syariah
yang diterbitkan atau dijamin oleh pihak swasta
dengan peringkat perusahaan A+ sampai dengan
A- dari pemeringkat Standard & Poor's atau
peringkat yang setara dari lembaga pemeringkat
yang diakui oleh Bank Indonesia;
2.Piutang, pembiayaan, ijarah atau
tagihan
lainnya kepada atau dijamin oleh pihak swasta
yang memiliki peringkat perusahaan A+ sampai
dengan A- dari pemeringkat Standard & Poor's
atau peringkat yang setara dari lembaga
pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia;
3. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya
kepada pegawai/pensiunan;
85%
100%
: Piutang,
pembiayaan, ijarah atau tagihan
lainnya kepada usaha kecil
: 1. Surat Berharga pasar uang/ pasar modal
Syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh
pihak swasta dengan peringkat perusahaan
BBB+ sampai dengan BBB- atau BB+ sampai
dengan B- dari pemeringkat Standard & Poor's
atau peringkat yang setara dari lembaga
pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia.
2. Surat …
2. Surat Berharga pasar uang/pasar modal Syariah
yang diterbitkan atau dijamin oleh perusahaan
tidak memiliki peringkat.
3. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan
lainnya kepada atau dijamin oleh pihak swasta
yang memiliki peringkat perusahaan BBB+
sampai dengan BBB- atau BB+ sampai dengan
B- dari pemeringkat Standard & Poor's atau
peringkat yang setara dari lembaga
pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia.
4. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan
lainnya kepada atau dijamin oleh pihak swasta
yang tidak memiliki peringkat.
5. Penyertaan, Aktiva
istishna
dalam
penyelesaian, nilai buku Aktiva Tetap dan
Inventaris, Antar Kantor Aktiva dan Rupa-rupa
Aktiva.
150%
: 1. Surat Berharga pasar uang/pasar modal Syariah
yang diterbitkan atau dijamin oleh perusahaan
dengan peringkat dibawah B- dari pemeringkat
Standard & Poor's atau peringkat yang setara
dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh
Bank Indonesia.
2. Piutang, pembiayaan, ijarah atau tagihan lainnya
kepada atau dijamin oleh pihak swasta yang
memiliki peringkat dibawah B- dari
pemeringkat Standard & Poor's atau peringkat
yang setara dari lembaga pemeringkat yang
diakui oleh Bank Indonesia.
3. Penyaluran …
3. Penyaluran dana dalam
berbagai aktiva
produktif berdasarkan sistem bagi untung atau
rugi (profit and loss sharing method).
c. Ketentuan angka III. 3. 3.2 mengalami perubahan, sehingga berbunyi
sebagai berikut :
3.2. Tahap Kedua
Setelah diketahui faktor konversinya maka masing-masing aktiva
administratif tersebut dikonversikan ke dalam aktiva-aktiva
neraca padanannya. Selanjutnya, untuk menghitung bobot risiko
aktiva administratif dilakukan dengan mengalikan faktor
konversi dengan bobot risiko aktiva neraca padanannya.
Atas dasar perhitungan tersebut, maka pengelompokan besarnya
bobot risiko masing-masing aktiva administratif menjadi sebagai
berikut :
0% : 1. Fasilitas yang disediakan bagi atau dijamin oleh
Pemerintah Pusat Republik Indonesia dan Bank
Indonesia, serta bank sentral dan pemerintah pusat
negara lain, yang meliputi :
a. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang
disediakan untuk nasabah sampai dengan akhir
tahun takwim yang berjalan.
b. Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing
dalam rangka pemberian pembiayaan
serta
endosemen atau aval surat-surat berharga
berdasarkan prinsip syariah.
c. Jaminan bank yang diterbitkan bukan dalam
rangka pemberian pembiayaan atau piutang.
d. L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby
L/C).
2. Fasilitas ...
2. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang
disediakan kepada nasabah yang dijamin dengan
uang kas, uang kertas asing, emas, mata uang emas,
serta giro, deposito dan tabungan pada bank yang
bersangkutan sebesar nilai jaminannya.
4% : L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C)
dan dibuka atas permintaan bank-bank di dalam negeri
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, pemerintah daerah, lembaga negara non-
departemen di Indonesia, bank
pembangunan
multilateral, Islamic Development Bank, BUMN dan
pemerintah pusat negara lain, bank umum yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
yang masuk dalam bank utama (prime bank) di luar
negeri, perusahaan swasta yang memiliki rating AAA
sampai dengan AA-.
10% : 1. Fasilitas yang disediakan bagi atau dijamin oleh bank-
bank di dalam negeri termasuk kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri, Pemerintah
Daerah, lembaga non-departemen di Indonesia, bank-
bank pembangunan multilateral, Islamic Development
Bank, bank umum yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah yang masuk dalam bank
utama (prime bank) di luar negeri dan perusahaan
swasta yang memiliki rating AAA sampai dengan
AA- yang meliputi :
a. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang
disediakan untuk nasabah sampai dengan akhir
tahun takwim yang berjalan;
b. Jaminan bank yang diterbitkan bukan dalam
rangka pemberian pembiayaan.
2. L/C …
2. L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C)
dan dibuka atas permintaan perusahaan swasta yang
memiliki rating A+ sampai dengan A-.
20% : 1. L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C)
dan dibuka atas permintaan perusahaan yang :
a. mempunyai rating BBB+ sampai dengan BBB-;
b. mempunyai rating BB+ sampai dengan B-; dan
c. tidak mempunyai rating.
2. Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing
dalam rangka pemberian pembiayaan atau piutang
serta endosemen atau aval surat-surat berharga
berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan atas
permintaan :
a. Bank-bank di dalam negeri termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri
b. Pemerintah Daerah di Indonesia
c. Lembaga non departemen di Indonesia
d. Bank umum yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah yang masuk dalam
bank utama (prime bank) di luar negeri.
e. Perusahaan swasta yang mempunyai rating AAA+
sampai dengan AA-
25% : 1. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang
disediakan sampai dengan akhir tahun takwin
berjalan yang disediakan bagi perusahaan yang
mempunyai rating A+ sampai dengan A-.
2. Jaminan bank yang diterbitkan bukan dalam rangka
pembiayaan bagi perusahaan swasta yang
mempunyai rating A+ sampai dengan A-.
3. Fasilitas …
3. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang
disediakan sampai dengan akhir tahun takwim
berjalan yang disediakan bagi pegawai/pensiunan.
30% : L/C yang masih berlaku (tidak termasuk standby L/C)
yang dibuka atas permintaan perusahaan swasta yang
memiliki rating dibawah B-.
42,5% : Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang
disediakan sampai dengan akhir tahun takwim berjalan
yang disediakan bagi usaha kecil.
50% : 1. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang
disediakan sampai dengan akhir tahun takwim
berjalan yang disediakan bagi perusahaan yang :
a. mempunyai rating BBB+ sampai dengan BBB-;
b. mempunyai rating BB+ sampai dengan B-; dan
c. tidak memiliki rating.
2. Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing
dalam rangka pemberian pembiayaan dan atau
piutang serta endosemen
atau aval surat-surat
berharga berdasarkan prinsip syariah yang
diterbitkan atas permintaan perusahaan swasta yang
mempunyai rating A+ sampai dengan A-.
3. Jaminan bukan dalam
pembiayaan yang
rangka pemberian
diterbitkan atas permintaan
perusahaan yang :
a. mempunyai rating BBB+ sampai dengan BBB-;
b. mempunyai rating BB+ sampai dengan B-; dan
c. tidak mempunyai rating.
75% : 1. Fasilitas pembiayaan yang belum digunakan yang
disediakan sampai dengan akhir tahun takwim
berjalan yang disediakan bagi perusahaan yang
mempunyai rating dibawah B-.
2. Jaminan …
2. Jaminan bukan dalam
pembiayaan yang
rangka pemberian
diterbitkan atas permintaan
perusahaan yang mempunyai rating dibawah B-.
100% : Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing
dalam rangka pemberian pembiayaan dan atau piutang
serta endosemen atau aval surat-surat berharga
berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan atas
permintaan perusahaan yang:
a. mempunyai rating BBB+ sampai dengan BBB-;
b. mempunyai rating BB+ sampai dengan B-; dan
c. tidak mempunyai rating.
150% : Jaminan (termasuk standby L/C) dan risk sharing
dalam rangka pemberian pembiayaan dan atau piutang
serta endosemen atau aval surat-surat berharga
berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan atas
permintaan
perusahaan yang mempunyai
dibawah B-.
d. Ketentuan angka III.4.d diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut
:
d. Bank wajib memelihara Posisi Devisa Neto pada setiap hari kerja
setinggi-tingginya sebesar ketentuan tentang Posisi Devisa Neto
yang berlaku.
II. PELAPORAN
1. Bank wajib melaporkan/mencantumkan secara tersendiri penyaluran
dana kepada pegawai/pensiunan dalam perhitungan ATMR dengan
cara input manual sampai dengan tersedianya sandi khusus untuk itu
dalam Laporan Bulanan Bank Umum Syariah.
2. Kewajiban pelaporan/pencantuman dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 hanya berlaku sampai dengan ketentuan
penyempurnaan …
rating
penyempurnaan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah diberlakukan.
III. PENUTUP
1. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Lampiran I
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Aktiva
Tertimbang
Menurut Risiko sebagaimana
diatur
dalam Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November 2005 perihal
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
dinyatakan tidak berlaku.
2. Bank wajib menyesuaikan penghitungan Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum dan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko sesuai
dengan Lampiran 1 Surat Edaran ini.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 7 Maret 2006.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
Siti Ch. Fadjrijah
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 8/10/DPbS|SE-BI/2006 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPbS tanggal 22 November 2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title>
<set_date> 7 Maret 2006 </set_date>
<effective_date> 7 Maret 2006 </effective_date>
<changed_reg> '7/53/DPbS|SE-BI/2005' </changed_reg>
<replaced_reg> '7/53/DPbS|SE-BI/2005 | Lampiran I' </replaced_reg>
<related_reg> '7/13/PBI/2005', '7/53/DPbS|SE-BI/2005', '8/7/PBI/2006' </related_reg>
|
No. 2/ 20 /DLN
Jakarta, 9 Oktober 2000
SURAT EDARAN
Kepada
BANK, BADAN USAHA BUKAN BANK, DAN PERORANGAN
DI INDONESIA
Perihal: Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.2/22/PBI/2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 172; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4007) tentang Kewajiban Pelaporan Utang
Luar Negeri, perlu ditetapkan ketentuan pelaksanaan mengenai pelaporan Utang
Luar Negeri (ULN) sebagai berikut :
I. UMUM
A. Tujuan
Pelaporan ULN dimaksudkan untuk penyusunan statistik ULN,
statistik neraca pembayaran, pengelolaan cadangan devisa dan
perumusan kebijakan moneter.
B. Pelapor
Pelapor adalah seluruh kantor pusat bank umum yang berbadan hukum
Indonesia, dan kantor cabang bank asing yang berkedudukan di
Indonesia, kantor pusat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan
Usaha …
2
Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta serta
Perorangan, yang memiliki ULN.
II. RUANG LINGKUP DAN JENIS LAPORAN
A. Ruang Lingkup Laporan
1. ULN yang wajib dilaporkan adalah utang penduduk kepada bukan
penduduk, dalam valuta asing dan atau rupiah, berdasarkan
perjanjian kredit (loan agreement), surat berharga, atau
berdasarkan perjanjian lainnya seperti utang dagang, kecuali
kewajiban bank dalam bentuk giro, tabungan dan deposito
berjangka milik bukan penduduk.
2. Surat berharga yang wajib dilaporkan adalah surat berharga yang
diterbitkan di pasar uang dan atau pasar modal di luar negeri, baik
dalam rupiah maupun dalam valuta asing, antara lain Obligasi,
Commercial Papers, Promissory Notes, Medium Term Notes
(MTN), dan Floating Rate Notes (FRN).
3. Utang dagang yang wajib dilaporkan adalah utang luar negeri yang
timbul dalam rangka perdagangan internasional baik dengan L/C
maupun tanpa L/C yang berjangka waktu di atas 6 bulan. Bagi
bank, utang dagang yang wajib dilaporkan adalah utang dagang
dengan L/C maupun tanpa L/C yang telah menjadi kewajiban bank
seperti wesel ekspor yang telah diakseptasi oleh bank.
Bagi swasta non bank, utang dagang yang wajib dilaporkan adalah
utang dagang tanpa L/C di luar yang menjadi kewajiban bank.
4. ULN bank yang wajib dilaporkan adalah ULN yang diterima oleh:
a. kantor pusat maupun kantor cabang bank umum yang berbadan
hukum Indonesia;
b. kantor …
3
b. kantor cabang bank di luar negeri dari bank yang kantor
pusatnya berkedudukan di Indonesia, baik yang disalurkan
maupun tidak disalurkan ke Indonesia;
c. kantor cabang bank asing yang berkedudukan di Indonesia.
5. Jumlah ULN yang wajib dilaporkan:
a. ULN atas dasar perjanjian kredit (loan agreement) adalah
minimum USD. 500,000.00 (lima ratus ribu US Dollar) atau
equivalen dalam mata uang lain dengan kurs yang berlaku pada
saat perjanjian kredit ditanda tangani.
b. ULN atas dasar Surat Berharga dan atas dasar perjanjian
lainnya seperti utang dagang wajib dilaporkan seluruhnya tanpa
batasan minimum.
B. Jenis Laporan
Laporan ULN terdiri dari data pokok ULN dan data realisasi.
1. Data Pokok ULN, terdiri dari :
a. Data penerima ULN dan atau perubahannya, mencakup
informasi mengenai: nama, alamat, nomor telepon, nomor
faksimili, status, grup perusahaan, nama grup, kepemilikan
asing, dan nama yang dapat dihubungi.
a.1. ULN atas dasar perjanjian kredit menggunakan formulir
F-01.1 butir A sebagaimana dilampirkan dalam Surat
Edaran ini (Lampiran 1).
a.2. ULN atas dasar surat berharga menggunakan formulir F-
02.1 butir A sebagaimana dilampirkan dalam Surat
Edaran ini (Lampiran 2).
a.3. ULN atas dasar utang dagang menggunakan formulir F-
03 butir A sebagaimana dilampirkan dalam Surat Edaran
ini (Lampiran 5).
b. Data …
4
b. Data ULN dan atau perubahannya terdiri dari :
b.1. Data ULN atas dasar perjanjian kredit mencakup
informasi mengenai: status, tanggal penandatanganan,
valuta dan nominal, jangka waktu, masa tenggang dan
tanggal jatuh waktu, tingkat bunga dan biaya, jadwal
penarikan, jadwal pelunasan, penggunaan, bentuk ikatan
pinjaman, sektor ekonomi, lokasi proyek, nama pemberi
pinjaman, negara pemberi pinjaman, jenis usaha dan
status pemberi pinjaman, sebagaimana tercantum dalam
formulir F-01.1 butir B (Lampiran 1).
b.2. Data ULN atas dasar surat berharga mencakup informasi
mengenai: jenis surat berharga, tanggal penerbitan, valuta
dan jumlah, jangka waktu dan tanggal jatuh waktu,
bunga/diskonto/kupon dan biaya, rencana pembayaran,
penggunaan, sektor ekonomi, lokasi proyek dan negara
diterbitkannya surat berharga, sebagaimana tercantum
dalam formulir F-02.1 butir B (Lampiran 2).
2. Data Realisasi ULN, terdiri dari:
a. Data realisasi ULN atas dasar perjanjian kredit mencakup
informasi mengenai: periode laporan, kode dan nama penerima,
nomor referensi, penarikan, pembayaran, tunggakan dan posisi
utang pada bulan laporan sebagaimana tercantum dalam
formulir F-01.2 (Lampiran 3).
b. Data realisasi ULN atas dasar surat berharga mencakup
informasi mengenai: periode laporan, kode dan nama penerbit,
nomor referensi, pembayaran, jumlah yang tidak bisa dibayar
dan posisi surat berharga pada bulan laporan sebagaimana
tercantum dalam formulir F-02.2 (Lampiran 4).
c. Data …
5
c. Data realisasi ULN dalam bentuk utang dagang mencakup
informasi mengenai: nomor referensi, tanggal jatuh waktu,
valuta, pembayaran, posisi kewajiban, dan pemberi pinjaman,
sebagaimana tercantum dalam formulir F-03 butir B
(lampiran5).
III. BATAS WAKTU DAN PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN
A. Periode dan masa penyampaian Laporan
1. Laporan data pokok ULN atas dasar perjanjian kredit, wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia setiap melakukan
penandatanganan perjanjian ULN dan atau perubahannya, dan
disampaikan paling lambat 15 hari kerja setelah penandatanganan
perjanjian ULN dan atau perubahannya.
2. Laporan data pokok ULN atas dasar surat berharga, wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia setiap melakukan penerbitan
surat berharga, dan disampaikan paling lambat 15 hari kerja setelah
tanggal penerbitan surat berharga.
3. Laporan data realisasi ULN atas dasar perjanjian kredit dan laporan
data realisasi ULN atas dasar surat berharga wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya.
4. Laporan data penerima dan realisasi ULN atas dasar utang dagang,
wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal
15 bulan berikutnya.
5. Apabila batas waktu penyampaian laporan tersebut jatuh pada hari
Sabtu atau hari libur, laporan dimaksud disampaikan pada hari
kerja sebelumnya. Yang dimaksud dengan hari kerja adalah hari
kerja Bank Indonesia.
6. Pelapor …
6
6. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan laporan data pokok
dan realisasi ULN, apabila laporan disampaikan melewati batas
akhir masa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir
1 s./d. 4.
7. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan data pokok ULN
dan atau perubahannya setelah Bank Indonesia memperoleh
informasi dari pihak ketiga.
8. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan laporan data realisasi
ULN apabila pelapor terlambat menyampaikan laporan dimaksud
melampaui 6 (enam) bulan secara berturut-turut terhitung sejak
batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir
3 dan 4.
9. Pelaporan ULN dinyatakan tidak lengkap apabila laporan yang
disampaikan tidak memenuhi cakupan laporan sebagaimana
ditetapkan pada angka II butir B.
10. Pelapor dinyatakan menyampaikan laporan tidak benar apabila
laporan yang disampaikan tidak sesuai dengan fakta-fakta yang
terjadi.
B. Prosedur Penyampaian Laporan
1. Laporan data pokok ULN sebagaimana dimaksud pada angka II
huruf B butir 1 disampaikan kepada Bank Indonesia :
a. untuk butir a.1. dengan menggunakan formulir F-01.1 terlampir;
b. untuk butir a.2. dengan menggunakan formulir F-02.1 terlampir;
c. untuk butir a.3. dengan menggunakan formulir F-03 terlampir.
2. Laporan data pokok ULN sebagaimana dimaksud pada angka II
huruf B butir 2 disampaikan kepada Bank Indonesia :
a. untuk butir b.1. menggunakan formulir F-01.1 terlampir;
b. untuk butir b.2. menggunakan formulir F-02.1 terlampir.
3. Laporan …
7
3. Laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada angka II
huruf B. butir 2.a. disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan formulir F-01.2 terlampir.
4. Laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada angka II
huruf B. butir 2.b. disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan formulir F-02.2 terlampir.
5. Laporan data realisasi ULN sebagaimana dimaksud pada angka II
huruf B. butir 2.c. disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan formulir F-03 terlampir.
6. Laporan data realisasi ULN kantor pusat bank dan kantor cabang di
luar negeri dari bank yang kantor pusatnya berkedudukan di
Indonesia sebagaimana dimaksud pada butir II.A.4.a dan b
disampaikan secara terpisah.
7. Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia berupa hard copy dan
atau disket melalui kurir atau jasa ekspedisi. Prosedur penyampaian
laporan dengan menggunakan disket akan diatur lebih lanjut.
8. Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada angka III butir A.1 s./d. 5 adalah sesuai dengan
tanggal penerimaan di Bank Indonesia.
9. Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat:
Bagian Administrasi dan Analisis Pinjaman Luar Negeri, Bank
Indonesia Gedung B Lt.5 Jalan M.H. Thamrin No.2 Jakarta.
C. Pelaporan dengan menggunakan format laporan sebagaimana
dimaksud dalam Surat Edaran ini untuk data bulan September 2000
disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Oktober 2000. Untuk
selanjutnya laporan disampaikan sesuai dengan ketentuan dalam Surat
Edaran ini.
IV. SANKSI …
8
IV. SANKSI
A. Sanksi bagi pelapor yang terlambat menyampaikan, tidak
menyampaikan, menyampaikan laporan secara tidak lengkap dan tidak
benar.
1. Sanksi bagi Pelapor yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada butir III. A.1 s./d. 5 adalah sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu
rupiah) untuk setiap 1 (satu) hari keterlambatan. Jumlah hari
keterlambatan dihitung mulai satu hari setelah berakhirnya masa
penyampaian laporan sampai dengan tanggal diterimanya laporan
oleh Bank Indonesia.
2. Sanksi bagi pelapor yang tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada butir III A.7 dan 8 adalah sanksi
administratif berupa denda sebesar 1 0/00 (satu per mil) dari
komitmen/jumlah setiap ULN atas dasar perjanjian kredit yang
diterima atau surat berharga yang diterbitkan, dan dari posisi
kewajiban untuk setiap ULN atas dasar utang dagang, ditambah
dengan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada butir 1.
3. Sanksi bagi pelapor yang menyampaikan laporan tidak lengkap dan
atau tidak benar sebagaimana dimaksud pada butir III A.9 dan
10 adalah sanksi administratif berupa denda masing-masing sebesar
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
4. Pelapor dapat menyampaikan koreksi selama batas waktu
penyampaian laporan. Koreksi disampaikan dengan formulir yang
sama dengan membubuhkan kata “KOREKSI” pada setiap lembar
formulir laporan. Penyampaian koreksi yang melampaui batas
waktu penyampaian laporan dikenai sanksi administratif
sebagaimana tercantum pada butir IV A.1.
B. Pembebanan …
9
B. Pembebanan sanksi denda.
1. Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada butir IV.A. disetorkan ke Rekening Kas Negara
yang ada di Bank Indonesia Nomor 501.000.000.
2. Pelaksanaan kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
butir B.1. di atas dilakukan setelah adanya surat pemberitahuan
secara tertulis dari Bank Indonesia yang antara lain berisi tentang
penetapan besarnya kewajiban yang harus dibayar, perhitungan
lamanya keterlambatan pelaporan dan tata cara penyetoran, dengan
tembusan kepada Kantor Kas Negara.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
NANA SUPRIANA
DIREKTUR
DLN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 2/20/DLN|SE-BI/2000 </reg_id>
<reg_title> Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri. </reg_title>
<set_date> 9 Oktober 2000 </set_date>
<effective_date> 9 Oktober 2000 </effective_date>
<related_reg> '2/22/PBI/2000' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi IV' </penalty_list>
|
No. 16/25/DKSP
Jakarta, 31 Desember 2014
S U R A T E D A R A N
Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/2/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275), dan
memperhatikan kesiapan Penerbit Kartu Kredit, Acquirer Kartu Kredit, dan
Pemegang Kartu Kredit serta Pedagang (Merchant) dalam penerapan
teknologi Personal Identification Number (PIN) online 6 (enam) digit sebagai
sarana verifikasi dan autentikasi pada transaksi Kartu Kredit yang
diterbitkan oleh Penerbit Kartu Kredit di Indonesia, perlu dilakukan
perubahan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP
tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012 sebagai
berikut:
1. Ketentuan butir VII.C.4.a diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
a. Kartu Kredit
1) Penerbit Kartu Kredit di
mengimplementasikan teknologi PIN online 6 (enam) digit.
2) PIN online 6 (enam) digit sebagaimana dimaksud dalam
angka 1) adalah PIN yang dienkripsi oleh Acquirer pada
terminal …
Indonesia wajib
2
terminal pemroses transaksi dan hasil enkripsi tersebut
dikirimkan kepada Penerbit Kartu Kredit dalam rangka
verifikasi dan autentikasi Pemegang Kartu Kredit.
3) Penerbit Kartu Kredit di Indonesia wajib telah
mengimplementasikan teknologi PIN online 6 (enam) digit
sebagaimana dimaksud dalam angka 1) untuk penerbitan
Kartu Kredit baru dan penggantian Kartu Kredit lama
(renewal) mulai tanggal 1 Juli 2015.
4) Seluruh Kartu Kredit yang diterbitkan oleh Penerbit Kartu
Kredit di Indonesia wajib telah mengimplementasikan
teknologi PIN online 6 (enam) digit paling lambat tanggal 30
Juni 2020.
5) Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan laporan rencana
dan laporan perkembangan implementasi teknologi PIN
online 6 (enam) digit pada Kartu Kredit.
6) Laporan rencana implementasi teknologi PIN online 6 (enam)
digit sebagaimana dimaksud dalam angka 5) disampaikan
paling lambat pada minggu keempat bulan Januari 2015
dan antara lain mencakup:
a)
rencana kerja Penerbit sampai dengan tanggal 30 Juni
2015 yang antara lain meliputi informasi:
(1)
langkah-langkah persiapan penerbitan Kartu Kredit
dengan menggunakan teknologi PIN online 6 (enam)
digit; dan
(2) perkembangan proses penggantian atau
peningkatan seluruh EDC dan back end system
hingga mampu memproses transaksi Kartu Kredit
dengan menggunakan teknologi PIN online 6 (enam)
digit, dalam hal Penerbit juga bertindak sebagai
Acquirer;
b)
rencana kerja penyelesaian proses penggantian seluruh
Kartu Kredit lama (renewal) dengan Kartu Kredit yang
telah mengimplementasikan teknologi PIN online 6
(enam) digit.
7) Laporan perkembangan implementasi teknologi PIN online 6
(enam) digit sebagaimana dimaksud dalam angka 5)
disampaikan …
3
disampaikan secara triwulanan, yaitu untuk posisi akhir
bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan
Desember, yang disampaikan paling lambat pada minggu
pertama bulan berikutnya dan antara lain mencakup
informasi mengenai perkembangan proses penggantian
seluruh Kartu Kredit lama (renewal) dengan Kartu Kredit
yang telah mengimplementasikan teknologi PIN online 6
(enam) digit.
8) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta
Penerbit Kartu Kredit untuk menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam angka 5) di luar jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam angka 6) dan angka 7).
2. Ketentuan butir VII.C.5.a diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
a. Acquirer Kartu Kredit wajib telah mengganti atau meningkatkan
standar keamanan pada seluruh EDC dan back end system yang
disediakan sehingga dapat memproses transaksi Kartu Kredit
yang menggunakan teknologi chip dan PIN online 6 (enam) digit
paling lambat tanggal 30 Juni 2015.
3. Di antara butir VII.C.5 dan butir VII.C.6 disisipkan 2 (dua) butir, yakni
butir VII.C.5A dan VII.C.5B sehingga berbunyi sebagai berikut:
5A. Pemrosesan transaksi Kartu Kredit yang diterbitkan oleh Penerbit
dan ditransaksikan di wilayah Indonesia dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Proses verifikasi dan autentikasi transaksi Kartu Kredit
dapat dilakukan dengan menggunakan PIN online 6 (enam)
digit atau tanda tangan sampai dengan tanggal 30 Juni
2020.
b. Proses verifikasi dan autentikasi transaksi Kartu Kredit wajib
dilakukan dengan menggunakan PIN online 6 (enam) digit
terhitung mulai tanggal 1 Juli 2020.
5B. Dalam hal Penerbit Kartu Kredit telah siap mengimplementasikan
teknologi PIN online 6 (enam) digit sebelum tanggal 30 Juni 2020
maka Penerbit Kartu Kredit dapat mengimplementasikan PIN
online 6 (enam) digit dalam proses verifikasi dan autentikasi
transaksi Kartu Kredit, dengan terlebih dahulu menyampaikan
laporan …
4
laporan kepada Bank Indonesia mengenai rencana implementasi
PIN online 6 (enam) digit tersebut.
4. Ketentuan butir IX.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
C. TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
1. Penyelenggara APMK yang melanggar Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/2/PBI/2012 dan Surat Edaran Bank Indonesia ini
dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran;
b. denda atau kewajiban membayar;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
APMK; dan/atau
d. pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan APMK.
2. Dalam mengenakan dan/atau menerapkan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a, butir
1.c, dan/atau butir 1.d, Bank Indonesia mempertimbangkan
antara lain hal-hal sebagai berikut:
a.
tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; dan
b. akibat yang ditimbulkan terhadap aspek kelancaran
dan keamanan sistem pembayaran khususnya terhadap
kegiatan APMK, aspek reputasi, aspek perlindungan
konsumen, aspek anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme.
3. Pengenaan sanksi administratif berupa teguran sebagaimana
dimaksud dalam butir 1.a dilakukan dengan menyampaikan
teguran tertulis kepada penyelenggara APMK yang dapat
disertai dengan kewajiban untuk menyampaikan komitmen
tertulis untuk tidak melakukan kesalahan dan/atau
pelanggaran kembali dan/atau rencana tindak lanjut (action
plan) dalam rangka memastikan pemenuhan ketentuan
sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Pengenaan sanksi administratif berupa denda atau
kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam butir
1.b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya …
5
a. besarnya denda atau kewajiban membayar berpedoman
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat Bank Umum dan
ketentuan mengenai laporan penyelenggaraan kegiatan
APMK dan uang elektronik oleh Bank Perkreditan
Rakyat dan Lembaga Selain Bank;
b. dalam hal penyelenggara APMK berupa Bank maka
pengenaan sanksi berupa denda atau kewajiban
membayar dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara
mendebet rekening giro penyelenggara APMK di Bank
Indonesia;
c. dalam hal penyelenggara APMK berupa Lembaga Selain
Bank maka pengenaan sanksi berupa denda atau
kewajiban membayar dilakukan melalui transfer dana
ke rekening Bank Indonesia dengan nomor rekening
tujuan dan besarnya denda atau kewajiban membayar
diinformasikan dalam surat pengenaan sanksi.
5. Pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau
seluruh kegiatan APMK sebagaimana dimaksud dalam butir
1.c dan/atau pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan
APMK sebagaimana dimaksud dalam butir 1.d dilakukan
dengan menyampaikan surat pengenaan sanksi penghentian
sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK dan/atau
surat pengenaan sanksi pencabutan izin usaha
penyelenggara APMK.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 31 Desember 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
ENI V. PANGGABEAN
KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN DAN
PENGAWASAN SISTEM PEMBAYARAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 16/25/DKSP|SE-BI/2014 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu </reg_title>
<set_date> 31 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 31 Desember 2014 </effective_date>
<changed_reg> '11/10/DASP|SE-BI/2009' </changed_reg>
<extension_of> '14/17/DASP|SE-BI/2012' </extension_of>
<related_reg> '14/17/DASP|SE-BI/2012', '11/10/DASP|SE-BI/2009', '14/2/PBI/2012', '11/11/PBI/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'Angka 4 Huruf C' </penalty_list>
|
No. 14/ 1 /DPM
31 Maret
Jakarta, 4 Januari 2012 2008
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM DAN PERUSAHAAN PIALANG
PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING
Perihal : Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4715) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 14/xx1x/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor x2 , Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5270 ), perlu untuk mengatur kembali
ketentuan pelaksanaan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip
Syariah dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut :
I. UMUM
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Konvensional adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Bank …
2
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank Asing adalah bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kantor bank dari
bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
5. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang
selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah Perusahaan
Pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang rupiah
dan valuta asing.
6. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang
selanjutnya disingkat PUAS adalah kegiatan transaksi keuangan
jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik
dalam rupiah maupun valuta asing.
7. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan berdasarkan
prinsip syariah yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang
digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS.
8. Prinsip Syariah adalah Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
9. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut
Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank
Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar
uang dan pengumuman dari Bank Indonesia.
II. TATA …
3
II. TATA CARA PERMOHONAN PERSETUJUAN PENERBITAN
INSTRUMEN PUAS
1. BUS atau UUS yang akan menerbitkan Instrumen PUAS selain
yang telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia wajib
mengajukan surat permohonan persetujuan penerbitan
Instrumen PUAS kepada Bank Indonesia u.p. Direktorat
Perbankan Syariah (DPbS) dengan tembusan kepada Direktorat
Pengelolaan Moneter (DPM) dengan format sebagaimana
tercantum pada lampiran Surat Edaran ini.
2. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1
harus disertai dokumen sebagai berikut :
a. fotokopi fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Instrumen
PUAS yang akan diterbitkan;
b. opini syariah Dewan Pengawas Syariah dari BUS atau UUS
terhadap Instrumen PUAS yang akan diterbitkan;
c. penjelasan tentang Instrumen PUAS yang akan diterbitkan,
yang paling kurang menjelaskan karakteristik, skema
transaksi, proses akuntansi, pihak yang berwenang,
infrastruktur yang diperlukan dan analisis risiko Instrumen
PUAS tersebut;
d. draft atau pokok-pokok ketentuan dalam akad atau kontrak
keuangan; dan
e. informasi dan/atau dokumen lainnya yang dinilai relevan
dan berguna untuk menilai manfaat serta risiko Instrumen
PUAS tersebut.
3. Untuk BUS, surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 ditandatangani oleh direksi.
4. Untuk UUS, surat permohonan sebagaimana dimaksud pada
angka 1 ditandatangani oleh direksi kantor pusat Bank
Konvensional atau oleh kepala UUS.
5. BUS …
4
5. BUS atau UUS harus melakukan presentasi kepada Bank
Indonesia dalam rangka mendapatkan persetujuan atas
Intrumen PUAS yang akan diterbitkan.
6. Bank Indonesia akan menerbitkan surat persetujuan atau
penolakan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud
pada angka 1.
7. Bank Indonesia akan menerbitkan Surat Edaran yang mengatur
tentang Instrumen PUAS yang telah disetujui sebagaimana
dimaksud pada angka 6.
8. BUS atau UUS yang mengajukan persetujuan penerbitan
Instrumen PUAS sebagaimana dimaksud pada angka 1 hanya
dapat melakukan penerbitan Instrumen PUAS dimaksud setelah
diberlakukannya Surat Edaran sebagaimana dimaksud pada
angka 7.
9. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada angka 7, BUS atau UUS lainnya
dapat menerbitkan dan menggunakan Instrumen PUAS
dimaksud tanpa perlu mengajukan permohonan persetujuan
penerbitan Instrumen PUAS baru sepanjang Instrumen PUAS
yang diterbitkan tidak berbeda dengan Instrumen PUAS
sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia
pada angka 7.
III. MEKANISME TRANSAKSI INSTRUMEN PUAS
1. BUS, UUS, Bank Konvensional atau Bank Asing dapat membeli
Instrumen PUAS yang diterbitkan oleh BUS atau UUS.
2. BUS, UUS, Bank Konvensional atau Bank Asing dapat
melakukan pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS sebelum
jatuh waktu untuk Instrumen PUAS yang menurut ketentuan
Bank …
5
Bank Indonesia dapat dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh
waktu.
3. Dalam melakukan transaksi di PUAS, baik pada saat penerbitan
maupun pada saat pengalihan kepemilikan Instrumen PUAS
sebelum jatuh waktu, BUS, UUS, Bank Konvensional, atau
Bank Asing dapat menggunakan Perusahaan Pialang.
4. BUS atau UUS yang menerbitkan Instrumen PUAS harus
memberikan informasi terkait dengan Instrumen PUAS
dimaksud kepada BUS, UUS, Bank Konvensional, atau Bank
Asing yang akan membeli Instrumen PUAS tersebut.
5. Jenis Instrumen PUAS yang dapat dialihkan kepemilikannya
sebelum jatuh waktu dan tata cara pengalihannya serta
informasi terkait dengan Instrumen PUAS sebagaimana
dimaksud pada angka 4 diatur lebih lanjut dengan Surat
Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai Instrumen
PUAS tersebut.
6. BUS atau UUS yang melakukan penempatan dana pada
instrumen lain yang diterbitkan oleh Bank Asing wajib
memenuhi prinsip syariah.
IV. TATA CARA PELAPORAN
BUS, UUS, atau Bank Konvensional yang melakukan transaksi
PUAS wajib melaporkan transaksi PUAS kepada Bank Indonesia
melalui Sistem LHBU sesuai dengan ketentuan yang mengatur
mengenai LHBU.
V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. BUS atau UUS yang menerbitkan atau melakukan transaksi
atas Instrumen PUAS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 ayat (1),
dan/atau Pasal 4 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia
Nomor …
6
Nomor19/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 1 /PBI/2012 dikenakan
sanksi berupa :
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh
lima juta rupiah).
2. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
pada butir 1.b. dilakukan dengan cara Bank Indonesia
mendebet rekening giro rupiah BUS atau UUS yang ada di Bank
Indonesia.
3. BUS atau UUS yang melanggar ketentuan Pasal 2B Peraturan
Bank Indonesia Nomor 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang
Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/1/PBI/2012 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
VI. PENUTUP
Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini
maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/7/DPM tanggal 30
Maret 2007 perihal Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip
Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku
pada tanggal 4 Januari 2012. 2011. 17 November 2008
Agar …
7
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar maklum.
BANK INDONESIA,
HENDAR
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
DPM
Agar diberikan kata sambung ...
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 14/1/DPM|SE-BI/2012 </reg_id>
<reg_title> Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title>
<set_date> 4 Januari 2012 </set_date>
<effective_date> 4 Januari 2012 </effective_date>
<replaced_reg> '9/7/DPM|SE-BI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '9/5/PBI/2007', '14/1/PBI/2012' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
|
No. 9/4/DPM
Jakarta, 16 Maret 2007
SURAT EDARAN
Perihal: Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan
Penatausahaan Surat Utang Negara
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/3/PBI/2007 tanggal 16 Maret 2007 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 45, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4710) dan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/1/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Bank Indonesia - Scripless
Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4363)
dipandang perlu untuk mengatur petunjuk pelaksanaan mengenai Tata Cara Lelang
Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara dalam
Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut :
I. Ketentuan Umum
1. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga
yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang
terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara.
2. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah SUN
yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
3. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua
belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
4. Obligasi …
2
4. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disebut ORI adalah Obligasi
Negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga
Negara Indonesia melalui Agen Penjual.
5. Agen Penjual adalah Bank dan/atau Perusahaan Efek yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan ORI.
6. Dealer Utama adalah Lembaga Keuangan (Bank dan Perusahaan Efek)
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menjalankan kewajiban
tertentu baik di Pasar Perdana maupun Pasar Sekunder SUN dalam mata
uang rupiah dengan imbalan/hak (rights) tertentu.
7. Peserta Lelang adalah Dealer Utama yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan untuk mengikuti lelang SUN dan sedang tidak dikenakan sanksi
tidak boleh mengikuti Lelang SUN.
8. Lelang SUN adalah penjualan SUN yang diikuti oleh Peserta Lelang dan
Bank Indonesia atau hanya diikuti oleh Peserta Lelang, dengan cara
mengajukan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan
atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding)
dalam suatu periode waktu penawaran yang telah ditentukan dan
diumumkan sebelumnya.
9. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan
penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal
hasil (Yield) yang diinginkan penawar.
10. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa
tingkat imbal hasil (Yield) yang diinginkan penawar.
11. Batas Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) adalah
pemberian wewenang dari Bank atau Sub-Registry melalui BI-SSSS
kepada Peserta Lelang untuk dapat melakukan penawaran pembelian per
hari dalam Lelang SUN untuk dan atas nama Bank atau nasabah Sub-
Registry, maksimum sebesar jumlah limit bidding yang diberikan.
12. Harga …
3
12. Harga Beragam (Multiple Price) adalah harga yang dibayarkan oleh
masing-masing pemenang lelang sesuai dengan harga penawaran yang
diajukannya.
13. Harga Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Price) adalah harga yang
dihitung dari hasil bagi antara jumlah dari perkalian masing-masing
volume SUN dengan harga yang dimenangkan dan total volume SUN
yang terjual.
14. Penatausahaan SUN adalah kegiatan yang mencakup pencatatan
kepemilikan, kliring dan setelmen serta agen pembayar bunga (kupon) dan
pokok SUN.
15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi
penatausahaan surat berharga termasuk SUN untuk kepentingan Bank,
Sub-Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
16. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan
kustodian, yang disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi
penatausahaan surat berharga termasuk SUN untuk kepentingan nasabah.
17. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut LHBU adalah
laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank pelapor secara harian
kepada Bank Indonesia.
18. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik
antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang
penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual.
19. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem BI-RTGS.
20. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disebut DVP adalah
setelmen transaksi SUN dengan cara setelmen surat berharga melalui
BI-SSSS …
4
BI-SSSS dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia
melalui Sistem BI-RTGS.
21. Free of Payment yang untuk selanjutnya disebut FoP adalah setelmen
transaksi SUN dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui
BI-SSSS, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan
dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana.
22. Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara yang selanjutnya disebut
Lelang Buyback adalah pembelian kembali Obligasi Negara di pasar
sekunder oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo dengan cara tunai dan/atau
dengan cara penukaran (debt switching), dalam suatu masa penawaran
yang telah ditentukan dan diumumkan sebelumnya.
23. Fasilitas Peminjaman SUN adalah fasilitas yang diberikan oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia kepada Dealer Utama untuk melakukan
peminjaman SUN sesuai tata cara yang ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan yang berlaku.
II. Tata Cara Lelang SUN di Pasar Perdana
A. Ketentuan dan Persyaratan
1. Pihak yang dapat membeli SUN dalam Lelang SUN di Pasar Perdana
yaitu orang perseorangan, atau kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum, atau Bank Indonesia.
2. Pembeli selain Bank Indonesia mengajukan penawaran pembelian
SUN melalui Peserta Lelang kepada Bank Indonesia sebagai agen
lelang.
3. Peserta Lelang dapat mengajukan penawaran Lelang SUN untuk dan
atas nama diri sendiri dan/atau pihak lain.
4. Penawaran pembelian lelang dapat dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) atau dengan cara
kombinasi …
5
kombinasi Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding)
dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding).
5. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN
baik secara langsung maupun melalui Peserta Lelang lain untuk dan
atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian hanya dapat
dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive
Bidding).
6. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN
untuk dan atas nama pihak lain, pengajuan penawaran dilakukan
dengan persyaratan sebagai berikut :
a. pengajuan penawaran pada lelang SPN dilakukan dengan cara
Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding);
b. pengajuan penawaran pada lelang Obligasi Negara dilakukan
dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive
Bidding) dan atau Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Non-
competitive Bidding).
7. Bank Indonesia hanya dapat membeli SUN di Pasar Perdana berupa
SPN.
8. Bank Indonesia dapat membeli SPN di Pasar Perdana melalui lelang
SPN, dengan persyaratan sebagai berikut :
a. penawaran pembelian dilakukan secara langsung tanpa melalui
Peserta Lelang;
b. penawaran pembelian hanya untuk Penawaran Pembelian Non-
kompetitif (Non-competitive Bidding).
9. Lelang SUN dilaksanakan pada hari Selasa, atau pada hari kerja lain
apabila hari Selasa jatuh pada hari libur. Setiap perubahan jadwal
Lelang SUN diumumkan oleh Bank Indonesia melalui LHBU dan atau
sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
10. Sarana …
6
10. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SUN
adalah BI-SSSS.
11. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter (DPM)
mengumumkan rencana lelang paling lambat 1 (satu) hari kerja
sebelum hari pelaksanaan Lelang SUN melalui BI-SSSS, LHBU dan
sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
12. Dalam hal Bank mengajukan penawaran Lelang SUN melalui Peserta
Lelang maka Bank yang bersangkutan wajib menetapkan Batas
Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding Limit) per hari bagi
Peserta Lelang SUN yang ditunjuk.
13. Peserta Lelang selain Bank yang mengajukan penawaran Lelang SUN
harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan setelmen hasil Lelang
SUN.
14. Sub-Registry yang ditunjuk pihak lain selain Bank untuk melakukan
setelmen hasil Lelang SUN sebagaimana dimaksud pada angka 13,
harus menetapkan Batas Maksimum Nominal Penawaran (Broker
Bidding Limit) per hari bagi Peserta Lelang untuk kepentingan
nasabah Sub-Registry.
15. Penetapan Batas Maksimum Nominal Penawaran (Broker Bidding
Limit) sebagaimana dimaksud pada angka 12 dan 14, harus diatur
dalam suatu perjanjian antara Bank atau Sub-Registry dengan Peserta
Lelang.
B. Pelaksanaan Lelang
1. Sebelum pelaksanaan lelang, Bank Indonesia cq. DPM
mengumumkan rencana pelaksanaan Lelang SUN melalui BI-SSSS,
LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
2. Pengumuman rencana Lelang SUN paling kurang memuat :
a.
jenis SUN;
b. waktu …
7
b. waktu pelaksanaan lelang;
c.
d. jangka waktu SUN;
e.
target indikatif yang ditawarkan;
tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo;
f. mata uang;
g. waktu pembukaan dan penutupan penawaran pembelian;
h. waktu pengumuman hasil lelang;
i.
tanggal setelmen;
j. alokasi untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-
competitive Bidding) dalam hal dilakukan kombinasi lelang
kompetitif dan non-kompetitif.
3. Pada hari pelaksanaan Lelang SUN, Peserta Lelang mengajukan
penawaran kuantitas dan tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil
(Yield) untuk Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding)
atau penawaran kuantitas untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif
(Non-competitive Bidding).
4. Penawaran Lelang SUN sebagaimana dimaksud pada angka 3
dilakukan dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB atau
waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang.
5. Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SUN untuk Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding), mencakup penawaran
kuantitas dan tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield) dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. pengajuan penawaran kuantitas dari masing-masing Peserta
Lelang paling rendah 1.000 (seribu) unit atau Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar Rupiah), dan selebihnya dengan kelipatan 100
(seratus) unit atau Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah);
b. penawaran …
8
b. penawaran diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield) diajukan
dengan kelipatan 1/32 (satu per tiga puluh dua) atau 0,03125 (tiga
ribu seratus dua puluh lima per seratus ribu).
6. Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SUN untuk Penawaran
Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding), mencakup
penawaran kuantitas dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
butir 5.a.
7. Peserta Lelang harus menyampaikan data penawaran pembelian atas
nama diri sendiri maupun atas nama pihak lain termasuk data
mengenai besarnya tarif (rate) pajak penghasilan atas diskonto SPN,
dan bertanggung jawab atas kebenaran data dimaksud.
8. Peserta Lelang yang telah mengajukan penawaran tidak dapat
membatalkan penawarannya.
C. Penentuan Pemenang Lelang
1. Menteri Keuangan Republik Indonesia menetapkan hasil Lelang SUN
di Pasar Perdana yang mencakup pemenang lelang, nilai nominal,
tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield).
2. Penetapan harga SUN bagi pemenang lelang dengan Penawaran
Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dilakukan dengan
metode Harga Beragam (Multiple Price).
3. Penetapan harga SUN bagi pemenang lelang dengan Penawaran
Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) dilakukan
berdasarkan Harga Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Price).
4. Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat menyesuaikan kuantitas
hasil Lelang SUN yang dimenangkan, dan/atau menolak seluruh atau
sebagian penawaran lelang yang masuk.
D. Pengumuman …
9
D. Pengumuman Hasil Lelang
1. Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SUN melalui BI-SSSS,
LHBU dan sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia pada akhir hari
pelaksanaan Lelang SUN.
2. Pengumuman hasil Lelang SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1
paling kurang memuat kuantitas lelang secara keseluruhan dan rata-
rata tertimbang tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil (Yield).
3. Bank Indonesia menyampaikan hasil Lelang SUN kepada masing-
masing Peserta Lelang melalui BI-SSSS paling kurang memuat nama
pemenang, nilai nominal dan tingkat diskonto atau tingkat imbal hasil
(Yield).
4. Dalam hal Menteri Keuangan Republik Indonesia menolak seluruh
atau sebagian penawaran pembelian Lelang SUN, Bank Indonesia
mengumumkan penolakan dimaksud melalui BI-SSSS, LHBU dan
sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
III. Tata Cara Penatausahaan SUN
A. Setelmen Hasil Lelang SUN di Pasar Perdana
1. Setelmen hasil Lelang SUN di Pasar Perdana dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Setelmen hasil lelang SPN dilakukan pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya setelah hari pelaksanaan lelang SPN (T+1);
b. Setelmen hasil lelang Obligasi Negara paling lambat dilakukan
pada 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah hasil pengumuman
pemenang lelang Obligasi Negara (T+5).
2. Pemenang Lelang SUN selain Bank harus menunjuk Sub-Registry
untuk melakukan setelmen dan pencatatan kepemilikan SUN yang
dimenangkan.
3. Dalam …
10
3. Dalam pelaksanaan setelmen hasil Lelang SUN atas nama nasabah,
Sub-Registry harus menunjuk Bank Pembayar yang memiliki rekening
giro Rupiah di Sistem BI-RTGS untuk pelaksanaan setelmen dana.
4. Berdasarkan hasil pemenang Lelang SUN yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Bank Indonesia cq. DPM
melakukan pencatatan penerbitan dan setelmen hasil pemenang
Lelang SUN.
5. Pencatatan penerbitan SUN sebagaimana dimaksud pada angka 4,
dilakukan sesuai ketentuan dan persyaratan (terms and conditions)
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.
6. Setelmen hasil pemenang Lelang SUN sebagaimana dimaksud pada
angka 4 dilakukan sebagai berikut :
a.
Setelmen Dana
Setelmen dana dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dengan
mendebet rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik Bank
dan/atau Bank Pembayar yang ditunjuk Sub-Registry, serta
mengkredit rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia
sebesar nilai setelmen.
b. Setelmen SUN
Setelmen SUN dilakukan dengan mengkredit rekening Surat
Berharga Peserta BI-SSSS di Central Registry sebesar total nilai
nominal SUN yang dimenangkan.
7. Bank dan Bank Pembayar yang ditunjuk Sub-Registry harus menjamin
kecukupan dana pada rekening giro Rupiah Bank atau Bank Pembayar
di Bank Indonesia untuk pelaksanaan setelmen hasil lelang SUN.
8. Dalam hal kecukupan dana sebagaimana dimaksud pada angka 7
sampai dengan batas waktu setelmen dana di Sistem BI-RTGS (cut off
warning) tidak dipenuhi maka setelmen transaksi hasil Lelang SUN
yang dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan batal.
9. Terhadap …
11
9. Terhadap Peserta Lelang yang tidak dapat memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada angka 7 sehingga dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud pada angka 8 dikenakan sanksi sesuai
Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku, yaitu tidak boleh
mengikuti Lelang SUN di Pasar Perdana sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut.
10. Setelah pelaksanaan setelmen SUN sebagaimana dimaksud pada butir
6b, pada hari yang sama Sub-Registry wajib mencatat kepemilikan
SUN atas nama nasabah pemenang SUN secara individual pada sistem
Sub-Registry.
11. Bank Indonesia sebagai Central Registry melakukan pemotongan
pajak penghasilan atas diskonto SPN sesuai ketentuan yang berlaku.
12. Pemenang lelang SPN harus membayar nilai setelmen dan pajak
penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 11 kepada
Pemerintah.
13. Atas pemotongan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada
angka 11, Bank Indonesia cq. DPM menerbitkan bukti pemotongan
pajak penghasilan bagi pemenang lelang SPN.
B. Setelmen Hasil Lelang Buyback
1. Setelmen hasil Lelang Buyback dilakukan pada 3 (tiga) hari kerja
berikutnya setelah tanggal pelaksanaan lelang (T+3).
2. Peserta Lelang Buyback selain Bank harus menunjuk Sub-Registry
untuk pelaksanaan setelmen hasil Lelang Buyback.
3. Dalam pelaksanaan setelmen hasil Lelang Buyback, Sub-Registry
harus menunjuk Bank Pembayar pemilik rekening giro Rupiah di
Sistem BI-RTGS untuk pelaksanaan setelmen dana.
4. Peserta Lelang Buyback harus memiliki kecukupan seri dan nilai
Obligasi Negara pada rekening surat berharga di BI-SSSS atau pada
rekening …
12
rekening surat berharga Sub-Registry yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud pada angka 2.
5. Berdasarkan hasil keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
atas pemenang Lelang Buyback, Bank Indonesia cq. DPM melakukan
setelmen pada tanggal setelmen dengan prosedur sebagai berikut :
a. Lelang Buyback dengan cara tunai
1) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pendebetan rekening
surat berharga Peserta Lelang dan/atau Sub-Registry yang
ditunjuk Peserta Lelang sampai dengan batas waktu setelmen
surat berharga di BI-SSSS, sebesar jumlah seri dan nilai
Obligasi Negara yang dimenangkan.
2) Bank Indonesia cq. DPM mengkredit rekening surat berharga
Pemerintah atau melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo
(early redemption) atas Seri Obligasi Negara yang dibeli
kembali oleh Pemerintah.
3) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pembayaran dana
melalui Sistem BI-RTGS dengan mendebet rekening giro
Rupiah Pemerintah dan mengkredit rekening giro Rupiah
Bank dan/atau Bank Pembayar sebesar nilai setelmen.
b. Lelang Buyback dengan cara penukaran (debt switching)
1) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pendebetan rekening
surat berharga Peserta Lelang dan/atau Sub-Registry yang
ditunjuk Peserta Lelang sampai batas waktu setelmen surat
berharga di BI-SSSS, sebesar jumlah seri dan nilai Obligasi
Negara yang dimenangkan.
2) Bank Indonesia cq. DPM mengkredit rekening surat berharga
Pemerintah atau melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo
(early redemption) atas Seri Obligasi Negara yang dibeli
kembali oleh Pemerintah.
3) Bank …
13
3) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pencatatan penerbitan
SUN seri penukar dan mengkredit ke rekening surat berharga
Peserta Lelang atau Sub-Registry yang ditunjuk Peserta
Lelang.
4) Lelang Buyback dapat menyebabkan terjadi selisih tunai atas
beban Pemerintah atau atas beban Peserta Lelang.
5) Dalam hal terjadi selisih tunai atas beban Pemerintah, Bank
Indonesia cq. DPM melakukan setelmen dana dengan
mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia
dan mengkredit rekening giro Rupiah Bank atau Bank
Pembayar Sub-Registry sebesar selisih tunai.
6) Dalam hal terjadi selisih tunai atas beban Peserta Lelang,
Bank Indonesia cq. DPM melakukan setelmen dana dengan
mendebet rekening giro Rupiah Bank atau Bank Pembayar
Sub-Registry dan mengkredit rekening giro Rupiah
Pemerintah di Bank Indonesia sebesar selisih tunai.
6. Dalam hal Peserta Lelang Buyback tidak dapat menyelesaikan
setelmen surat berharga sebagaimana dimaksud pada butir 5.a.1) dan
butir 5.b.1) maka yang bersangkutan harus menyelesaikan setelmen
dimaksud pada jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak
tanggal setelmen awal.
7. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 6 tidak dapat
dipenuhi maka transaksi yang bersangkutan dinyatakan batal.
8. Terhadap Peserta Lelang Buyback yang tidak dapat memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 7 dikenakan sanksi
sesuai Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku, sebagai berikut :
a. diumumkan kepada publik;
b. tidak …
14
b. tidak diperkenankan mengikuti Lelang SUN di Pasar Perdana dan
Lelang Buyback secara kumulatif sebanyak 3 kali berturut-turut;
dan
c. dilaporkan kepada otoritas di bidang perbankan dan pasar modal.
C. Setelmen Fasilitas Peminjaman SUN
1. Setelmen pemberian Fasilitas Peminjaman SUN kepada Dealer Utama
dilakukan pada 2 (dua) hari kerja setelah permohonan disetujui oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal
Pengelolaan Utang (T+2).
2. Setelmen pengembalian SUN yang dipinjamkan dan yang dijaminkan
dalam rangka pemberian Fasilitas Peminjaman SUN kepada Dealer
Utama oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur
Jenderal Pengelolaan Utang dilakukan pada saat berakhirnya batas
waktu peminjaman.
3. Dealer Utama selain Bank harus menunjuk Sub-Registry untuk
pelaksanaan setelmen Fasilitas Peminjaman SUN.
4. Dealer Utama harus memiliki kecukupan seri dan nilai Obligasi
Negara pada rekening surat berharga di BI-SSSS atau rekening surat
berharga Sub-Registry yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada
angka 3.
5. Berdasarkan pemberitahuan persetujuan Menteri Keuangan Republik
Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang sebagaimana
dimaksud pada angka 1, setelmen dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut :
a. Setelmen Pemberian Fasilitas Peminjaman SUN
Pada tanggal Setelmen dilakukan setelmen pemberian Fasilitas
Peminjaman SUN dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Dealer …
15
1) Dealer Utama membayar biaya peminjaman SUN melalui
Sistem BI-RTGS ke rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank
Indonesia dengan nomor rekening 502.000001 ”Bendahara
Umum Negara untuk pengelolaan Obligasi Dalam Rangka
Rekapitalisasi Perbankan”.
2) Dealer Utama menyampaikan bukti pembayaran biaya
peminjaman SUN sebagaimana dimaksud pada angka 1)
kepada DPM cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan
Moneter (PTPM).
3) Dealer Utama dan Bank Indonesia atas nama Pemerintah
melakukan setelmen pemindahan seri SUN yang dijaminkan
melalui BI-SSSS dengan mekanisme transfer secara FoP dari
rekening surat berharga Dealer Utama kepada rekening surat
berharga Pemerintah, sebesar nilai nominal seri SUN yang
dijaminkan.
4) Setelah setelmen jaminan sebagaimana dimaksud pada angka
3) berhasil, Bank Indonesia cq. DPM melakukan pencatatan
penerbitan seri SUN yang dipinjam dan mengkredit rekening
surat berharga Dealer Utama atau Sub-Registry yang ditunjuk
Dealer Utama, sebesar nilai nominal SUN yang dipinjam.
b. Setelmen Pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN
Pada tanggal setelmen dilakukan setelmen pengembalian Fasilitas
Peminjaman SUN dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Bank Indonesia cq. DPM melakukan pelunasan sebelum jatuh
tempo (early redemption) seri SUN yang dipinjam oleh Dealer
Utama dengan mendebet rekening surat berharga Dealer
Utama atau rekening surat berharga Sub-Registry yang
ditunjuk Dealer Utama, sebesar nilai nominal SUN yang
dipinjam.
2) Setelah …
16
2) Setelah pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption)
sebagaimana dimaksud pada angka 1) berhasil, Dealer Utama
dan Bank Indonesia atas nama Pemerintah melakukan
setelmen pemindahan seri SUN yang dijaminkan kepada
Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal
Pengelolaan Utang dengan mekanisme transfer secara FoP
dari rekening surat berharga Pemerintah kepada rekening surat
berharga Dealer Utama, sebesar nilai nominal SUN yang
dijaminkan.
3) Dalam hal setelmen sebagaimana dimaksud pada angka 2)
tidak dapat dilakukan sampai dengan batas waktu setelmen
surat berharga di BI-SSSS maka setelmen pengembalian
Fasilitas Peminjaman SUN dinyatakan batal.
c. Perpanjangan Fasilitas Peminjaman SUN
1) Dealer Utama dapat mengajukan permohonan perpanjangan
Fasilitas Peminjaman SUN kepada Menteri Keuangan
Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang.
2) Dalam hal Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur
Jenderal Pengelolaan Utang menyetujui perpanjangan Fasilitas
Peminjaman SUN maka pada tanggal setelmen :
a) prosedur sebagaimana dimaksud pada butir b.1 dan butir
b.2. tidak dilaksanakan, dan
b) Dealer Utama membayar biaya perpanjangan Fasilitas
Peminjaman SUN sesuai prosedur sebagaimana dimaksud
pada butir a.1) dan menyampaikan bukti pembayaran
sesuai prosedur sebagaimana dimaksud pada butir a.2).
c) Pengembalian Fasilitas Peminjaman SUN dilakukan
sesuai prosedur setelmen sebagaimana dimaksud pada
huruf b.
d. Proses …
17
d. Proses Penyelesaian Jaminan
Dalam hal Dealer Utama gagal mengembalikan seri SUN yang
dipinjam :
1) Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal
Pengelolaan Utang dapat menjual SUN yang dijaminkan.
2) Bank Indonesia berdasarkan permintaan tertulis Menteri
Keuangan Republik Indonesia cq. Direktur Jenderal
Pengelolaan Utang melakukan setelmen penyelesaian SUN
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
D. Setelmen Obligasi Negara Ritel (ORI)
1. Setelmen ORI dilakukan pada 2 (dua) hari kerja setelah penetapan
hasil penjatahan ORI di pasar perdana (T+2).
2. Berdasarkan penetapan hasil penjatahan ORI oleh Menteri Keuangan,
pada tanggal setelmen dilakukan setelmen dengan prosedur sebagai
berikut :
a. Agen Penjual melakukan pembayaran dana melalui Sistem BI-
RTGS ke rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia
dengan nomor rekening 500.000003 “Menteri Keuangan cq.
Dirjen Anggaran untuk Pengelolaan SUN” sesuai dengan nilai
volume hasil penjatahan yang diperoleh, dengan batas waktu
sampai dengan pukul 10.00 WIB.
b. Agen Penjual selain Bank, harus menunjuk Bank Pembayar untuk
melaksanakan pembayaran dana sebagaimana dimaksud pada
huruf a.
c. Agen Penjual menyampaikan bukti pembayaran sebagaimana
dimaksud pada butir a kepada DPM cq PTPM.
d. Setelah bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b
diterima, Bank Indonesia cq. melakukan pencatatan penerbitan
seri …
18
seri ORI dan mengkredit rekening surat berharga Sub-Registry
yang ditunjuk oleh investor individual pembeli ORI.
e. Setelah setelmen ORI sebagaimana dimaksud pada huruf d
berhasil, Sub-Registry wajib mencatat kepemilikan SUN atas
nama nasabah pemenang SUN secara individual pada sistem Sub-
Registry.
E. Prosedur Pembayaran Kupon Obligasi Negara dan atau Pelunasan Pokok
SUN
1. Pembayaran kupon dan atau pelunasan pokok SUN didasarkan pada
posisi pencatatan kepemilikan SUN di Central Registry pada 2 (dua)
hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran kupon dan atau
pokok SUN (T-2).
2. Bank Indonesia sebagai agen pembayar melakukan pembayaran kupon
dan atau pelunasan pokok SUN pada tanggal jatuh waktu, dengan
mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia dan
mengkredit sebesar nilai kupon dan atau nilai pokok SUN pada :
a. Rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia untuk kepemilikan
SUN atas nama Bank tersebut; dan
b. Rekening giro Rupiah Bank Pembayar yang ditunjuk oleh Sub-
Registry di Bank Indonesia untuk kepemilikan SUN atas nama
nasabah Sub-Registry.
3. Pada hari yang sama Bank Indonesia melakukan pembayaran kupon
dan/atau pelunasan pokok SUN, Sub-Registry wajib melakukan
pembayaran kupon dan/atau pokok SUN dengan mengkredit rekening
nasabah yang tercatat di Sub-Registry, sebesar nilai kupon dan/atau
pokok SUN.
F. Setelmen …
19
F. Setelmen Transaksi SUN di Pasar Sekunder
1. Transaksi SUN yang dilakukan di Pasar Sekunder antara lain transaksi
jual putus (outright), transaksi penjualan dengan janji untuk membeli
kembali (repurchase agreement atau repo), transaksi penjaminan SUN
(agunan), atau transaksi peminjaman SUN dengan jaminan surat
berharga lainnya (securities lending borrowing).
2. Prosedur setelmen transaksi SUN di pasar sekunder sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai BI-SSSS yang berlaku.
IV. Penutup
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia nomor
7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di
Pasar Perdana dan Surat Edaran Bank Indonesia nomor 7/31/DPM tanggal 25
Juli 2005 perihal Tata Cara Persetujuan dan Pencabutan Peserta Lelang Surat
Utang Negara dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 16 Maret 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 9/4/DPM|SE-BI/2007 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara </reg_title>
<set_date> 16 Maret 2007 </set_date>
<effective_date> 16 Maret 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '7/30/DPM|SE-BI/2005', '7/31/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '6/1/DPM|PBI/2004', '9/3/PBI/2007' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi III Huruf A Angka 9', 'Romawi III Huruf B Angka 8' </penalty_list>
|
No. 5/9/DPM
Jakarta, 10 Juni 2003
SURAT EDARAN
Perihal : Tata Cara Penerbitan, Perdagangan dan Penatausahaan Sertifikat
Bank Indonesia.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 4/9/PBI/2002 tentang
Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4243) dan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 127; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4244) dan sebagai upaya untuk
meningkatkan kelancaran transaksi dan penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia,
dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang tata cara penerbitan,
perdagangan dan penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia dalam suatu Surat
Edaran Bank Indonesia.
I. KETENTUAN UMUM
Yang dimaksud dalam Surat Edaran ini dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan
transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank
dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter.
3. Sertifikat ……..
2
3. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI
adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
4. Lelang SBI adalah penjualan SBI yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.
5. Pialang adalah pialang pasar uang dan perantara pedagang efek yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
6. Stop-out Rate yang selanjutnya disebut SOR adalah tingkat diskonto
tertinggi yang dihasilkan dari lelang dalam rangka mencapai target
kuantitas SBI yang akan dijual Bank Indonesia.
7. Automatic Bidding System yang selanjutnya disebut ABS adalah sistem
penawaran dana dan surat berharga dari Bank atau Pialang dalam rangka
OPT secara on-line dan real time.
8. Transaksi SBI yang dilakukan secara Repurchase Agreement yang
selanjutnya disebut SBI Repo adalah SBI yang dijual secara bersyarat
berupa kewajiban membeli kembali oleh pihak penjual sesuai dengan harga
dan jangka waktu yang ditetapkan.
9. Transaksi SBI yang dilakukan secara Outright yang selanjutnya disebut
SBI Outright adalah transaksi pembelian atau penjualan SBI secara lepas
atau putus tanpa kewajiban untuk menjual atau membeli kembali.
10. Rekening Penatausahaan SBI adalah rekening surat berharga yang
digunakan untuk mencatat kepemilikan SBI di Central Registry, terdiri dari
Rekening Perdagangan SBI dan Rekening Agunan SBI.
11. Rekening Perdagangan SBI adalah rekening surat berharga yang digunakan
untuk menampung pencatatan kepemilikan SBI yang dapat
diperdagangkan.
12. Rekening Agunan SBI adalah rekening surat berharga yang digunakan
untuk menampung pencatatan kepemilikan SBI yang diagunkan.
13. Rekening ……..
3
13 Rekening Giro adalah rekening dana Rupiah milik Bank di Bank Indonesia.
14. Bank Indonesia-Sistem Penatausahaan SBI yang selanjutnya disebut BI-
SPS adalah sistem yang dikelola oleh Bank Indonesia untuk penyelesaian
transaksi yang mencakup Penyelesaian Pembayaran dan Penyelesaian Surat
Berharga, serta pencatatan kepemilikan SBI.
15. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah mekanisme
penyelesaian transaksi melalui Penyelesaian Surat Berharga yang dilakukan
bersamaan dengan Penyelesaian Pembayaran di dalam BI-SPS.
16. Free of Payment yang selanjutnya disebut FoP adalah mekanisme
penyelesaian transaksi dimana Penyelesaian Surat Berharga yang dilakukan
di dalam BI-SPS, sedangkan Penyelesaian Pembayaran dilakukan di luar
BI-SPS.
17. Penyelesaian Surat Berharga (securities settlement) adalah perpindahan
kepemilikan surat berharga dari pihak penjual ke pihak pembeli dalam
Rekening
Perdagangan SBI
pemindahan dari pihak penjual.
18. Penyelesaian Pembayaran (fund settlement) adalah perpindahan dana dari
pihak pembeli ke pihak penjual surat berharga dalam Rekening Giro
masing-masing pihak sesuai perintah pembayaran dari pihak pembeli.
19. Book Entry Registry yang selanjutnya disebut BER adalah suatu sistem
pencatatan kepemilikan Surat Berharga tanpa warkat (scripless) yang
dilakukan dalam suatu jurnal secara elektronis.
20. Central Registry adalah fungsi yang dilakukan oleh Bank Indonesia cq.
Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang
(PTPU)
- Direktorat
Pengelolaan Moneter (PTPU-DPM), Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta
10010, untuk melakukan pencatatan kepemilikan surat berharga dengan
menggunakan BER untuk kepentingan Bank dan Sub Registry.
masing-masing pihak sesuai
perintah
21. Sub Registry ……..
4
21. Sub Registry adalah fungsi yang dilakukan oleh Bank atau pihak bukan
Bank yang ditunjuk Bank Indonesia untuk melakukan pencatatan
kepemilikan surat berharga dengan menggunakan BER untuk kepentingan
nasabah non-bank pembeli / pemilik SBI.
22. Konfirmasi Pencatatan Surat Berharga yang selanjutnya disebut KPS
adalah bukti pencatatan kepemilikan SBI yang diterbitkan oleh Central
Registry.
23. Surat Keterangan Surat Berharga Yang Diagunkan yang selanjutnya disebut
SKSD adalah bukti
Registry.
24. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana secara
elektronik antar Bank dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya
dilakukan per transaksi secara individual sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
II. PENERBITAN SBI
A. Karakteristik
1. SBI memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
2. Jangka waktu SBI sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama
12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung
dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh tempo.
Contoh perhitungan jangka waktu SBI tercantum dalam Lampiran 1.
3. Nilai Tunai transaksi dihitung berdasarkan diskonto murni (true
discount) sebagai berikut:
pengagunan SBI yang diterbitkan oleh Central
Nilai ……..
5
Nilai Nominal x 360
Nilai Tunai = -------------------------------------------------------------
360 + {(Tingkat Diskonto) x (Jangka Waktu)}
4.
Nilai Diskonto transaksi dihitung sebagai berikut:
Nilai Diskonto = Nilai Nominal – Nilai Tunai
Contoh perhitungan Nilai Diskonto SBI tercantum dalam Lampiran 2.
5. SBI diterbitkan tanpa warkat SBI (scripless).
6. SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
B. Prinsip dan Persyaratan
1. SBI diterbitkan melalui mekanisme lelang.
2. Lelang SBI dilakukan berdasarkan target kuantitas dengan
memperhatikan tingkat suku bunga/diskonto yang terjadi.
3. Lelang SBI dilaksanakan setiap hari Rabu, atau pada hari
kerja
berikutnya atau hari kerja lain apabila hari Rabu adalah hari libur.
Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat mengadakan Lelang SBI
tambahan pada hari kerja lain.
4. Jatuh waktu SBI ditetapkan jatuh pada hari Kamis atau hari kerja
berikutnya apabila hari Kamis adalah hari libur. Dalam hal diperlukan,
Bank Indonesia dapat menetapkan jatuh waktu pada hari kerja lain.
5. Bank Indonesia mengumumkan rencana target kuantitas lelang berupa
target indikatif selambat-lambatnya pada 1 (satu) hari kerja sebelum
hari pelaksanaan Lelang SBI melalui sarana ABS dan atau Pusat
Informasi Pasar Uang (PIPU) dan atau sarana lain yang ditetapkan
Bank Indonesia.
6. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SBI adalah
sarana ABS.
7. Pihak yang dapat mengikuti Lelang SBI yang selanjutnya disebut
Peserta Lelang (bidder) dibedakan menjadi:
a. Peserta ……..
6
a. Peserta Langsung yaitu Bank dan Pialang yang melakukan transaksi
Lelang SBI secara langsung dengan Bank Indonesia melalui sarana
ABS dengan ketentuan:
1) Bank untuk kepentingan sendiri dan atau Bank lain;
2) Pialang untuk kepentingan pihak lain (Bank).
b. Peserta Tidak Langsung yaitu Bank yang mengajukan penawaran
melalui Peserta Langsung.
8. Peserta Langsung sebagaimana dimaksud dalam butir 7.a wajib
menyampaikan kepada Bagian Operasi Pasar Uang (OPU), Direktorat
Pengelolaan Moneter (DPM), Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta 10010, mengenai :
a. Data pejabat
yang berwenang (authorized dealer) sebanyak-
banyaknya 3 (tiga) nama untuk melakukan transaksi Lelang SBI dan
User Unique Identification (UUID) dari masing-masing pejabat
yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana
contoh dalam Lampiran 3.
b. Laporan perubahan nama pejabat yang berwenang dan atau UUID
sebagaimana dimaksud butir 1) dengan menggunakan formulir
sebagaimana contoh dalam Lampiran 4 yang wajib disampaikan
selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum pejabat yang
bersangkutan melakukan transaksi Lelang SBI.
9. Peserta Langsung wajib menjaga keamanan penggunaan UUID serta
bertanggung jawab penuh atas transaksi Lelang SBI yang diajukan
kepada Bank Indonesia.
10. Bank Indonesia hanya menerima pengajuan transaksi dari Peserta
Langsung berdasarkan data penawaran yang disampaikan melalui sarana
ABS.
11. Pialang ……..
7
11. Pialang dilarang mengajukan penawaran lelang untuk kepentingan diri
sendiri.
12. Pihak yang melakukan transaksi Lelang SBI wajib memiliki Rekening
Penatausahaan SBI dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank yang berfungsi sebagai Sub Registry wajib memiliki dua
Rekening Penatausahaan SBI di Central Registry, masing-masing
untuk kepentingan sendiri dan untuk kepentingan pihak lain (Sub
Registry);
b. Bank yang tidak berfungsi sebagai Sub Registry wajib memiliki
satu Rekening Penatausahaan SBI di Central Registry untuk
kepentingan sendiri;
c. Pihak bukan Bank yang berfungsi sebagai Sub Registry wajib
memiliki satu Rekening Penatausahaan SBI di Central Registry
untuk kepentingan pihak lain;
d. Pihak lain wajib memiliki Rekening Penatausahaan SBI di Sub
Registry.
13. Tata cara pembukaan Rekening Penatausahaan SBI di Central Registry
dilakukan sebagaimana diatur dalam butir V.A sedangkan tata cara
pembukaan Rekening Penatausahaan SBI di Sub Registry diatur oleh
masing-masing Sub Registry yang bersangkutan.
14. Bank wajib menyediakan dana sebesar jumlah transaksi Lelang SBI
yang dimenangkan sebelum waktu cut-off warning Sistem BI-RTGS
untuk penyelesaian transaksi SBI di pasar perdana dengan ketentuan:
a. Bank yang mengajukan penawaran langsung bertanggung jawab
terbatas pada jumlah SBI untuk kepentingan sendiri; dan
b. Bank yang mengajukan penawaran melalui Bank lain atau Pialang
bertanggung jawab atas jumlah SBI yang diajukan untuk
kepentingan Bank yang bersangkutan.
15. Bank Indonesia ……..
8
15. Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi Lelang SBI di pasar
perdana pada hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan Lelang SBI
(one-day settlement).
16. Peserta Lelang SBI yang telah mengajukan penawaran
membatalkan penawarannya.
dilarang
C. Tata Cara Pelaksanaan dan Pengajuan Penawaran Lelang SBI
1. Pada hari pelaksanaan Lelang SBI, Peserta Langsung mengajukan
penawaran Lelang SBI kepada Bagian OPU dari pukul 10.00 WIB
sampai dengan pukul 14.00 WIB melalui sarana ABS dengan Standard
Operating Procedures (SOP) sebagaimana terlampir dalam Lampiran
6.
2. Penawaran Lelang SBI sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas
dilakukan oleh:
a. Kantor Pusat Bank:
1) bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia (KPBI);
2) bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank
Indonesia (KBI) namun tidak memiliki kantor cabang di
wilayah kerja KPBI.
b. Kantor cabang Bank yang berada di wilayah kerja KPBI, bagi bank
yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI. Penunjukan kantor
cabang Bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bagian OPU
selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sebelum transaksi SBI dan
tetap berlaku sampai ada surat pencabutan penunjukan dimaksud.
c. Pialang.
3. Bank ……..
9
3. Bank yang tidak memiliki ABS dapat mengikuti Lelang SBI sebagai
Peserta Tidak Langsung dengan mengajukan
Peserta Langsung sebagaimana dimaksud dalam butir B.7.a.
4. Penawaran Lelang SBI sebagaimana dimaksud
penawaran melalui
dalam angka 1
mencakup penawaran kuantitas dan tingkat diskonto menurut jangka
waktu dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Pengajuan penawaran kuantitas
Pialang sekurang-kurangnya 1.000
dari masing-masing Bank dan
(seribu)
unit atau
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dan selebihnya dengan
kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah);
b. Penawaran tingkat diskonto diajukan dengan kelipatan 0,0625%
(enam ratus dua puluh lima per satu juta).
5. Bank atau Pialang bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran
Lelang SBI yang diajukan.
6. Bank yang mengajukan penawaran Lelang SBI sebagai Peserta Tidak
Langsung wajib menyampaikan konfirmasi
kepada
Bagian OPU
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) menit setelah jam penutupan lelang
melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) atau telepon yang
ditegaskan dengan faksimili dengan menggunakan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5.
formulir
7. Peserta Langsung (Bank atau Pialang) yang mengajukan penawaran
lelang untuk kepentingan pihak lain (Bank) wajib menyampaikan data
transaksi kepada Bagian OPU selambat-lambatnya 15 (lima belas)
menit setelah jam penutupan lelang, berupa Daftar Rincian Permohonan
Lelang SBI dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada
SOP Sistem ABS dalam Lampiran 6 melalui sarana electronic mail
(email) ABS.
8. Dalam ……..
10
8. Dalam hal terjadi perbedaan antara jumlah penawaran Lelang SBI
menurut Daftar Rincian Permohonan Lelang sebagaimana dimaksud
angka 7 dengan penawaran Lelang SBI yang diajukan Peserta
Langsung pada sarana ABS sebagaimana dimaksud dalam angka 1,
Peserta Langsung wajib menyesuaikan daftar rincian dimaksud sesuai
dengan data pada sarana ABS dalam jangka waktu 15 menit setelah
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
9. Dalam hal terjadi perbedaan data antara Daftar Rincian Permohonan
Lelang sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dengan konfirmasi yang
disampaikan oleh Bank sebagai Peserta Tidak Langsung sebagaimana
dimaksud dalam angka 6, Bank sebagai Peserta Tidak Langsung wajib
menyesuaikan data penawaran Lelang SBI sesuai dengan data yang
disampaikan oleh Peserta Langsung yang mengajukan penawaran atas
nama Peserta Tidak Langsung dimaksud dalam jangka waktu 15 (lima
belas) menit setelah pemberitahuan dari Bank Indonesia.
10. Peserta Lelang SBI wajib memenuhi tata cara pengajuan transaksi
Lelang SBI sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan
angka 9.
11. Dalam hal Peserta Lelang SBI tidak memenuhi tata cara pengajuan
transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 10 maka pengajuan
transaksi Lelang SBI yang bersangkutan dinyatakan batal.
12. Bank Indonesia menetapkan pemenang Lelang SBI dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. dalam hal penawaran tingkat diskonto lebih rendah dari SOR,
Peserta Lelang yang bersangkutan memperoleh seluruh penawaran
kuantitas SBI yang diajukan;
b. dalam hal penawaran tingkat diskonto sama dengan SOR, Peserta
Lelang yang bersangkutan dapat memperoleh seluruh penawaran
kuantitas ……..
11
kuantitas SBI
yang diajukan
atau sebagian dari penawaran
kuantitas SBI sebesar hasil perhitungan secara proporsional.
Contoh perhitungan penetapan pemenang Lelang SBI disajikan
dalam Lampiran 7.
13. Bank Indonesia dapat menyesuaikan realisasi kuantitas hasil Lelang
SBI atau membatalkan seluruh kuantitas hasil Lelang SBI dalam hal
SOR yang akan terbentuk dari hasil Lelang SBI terkait dengan target
kuantitas berada di luar batas kewajaran.
14. Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBI berupa kuantitas
keseluruhan dan rata-rata tertimbang tingkat diskonto pemenang lelang
melalui sarana ABS, PIPU atau sarana lainnya pada hari pelaksanaan
Lelang SBI selambat-lambatnya pukul 16.30 WIB.
15. Bank Indonesia memberitahukan hasil Lelang SBI berupa kuantitas,
tingkat diskonto dan nomor seri SBI kepada Peserta Langsung yang
memenangkan Lelang SBI melalui sarana ABS pada hari pelaksanaan
lelang.
III. PERDAGANGAN SBI DI PASAR SEKUNDER
A. Perdagangan SBI Repo dengan Bank Indonesia
1. Prinsip dalam Perdagangan SBI Repo dengan Bank Indonesia
a. Bank Indonesia melakukan transaksi SBI
dengan Bank.
secara Repo hanya
b. SBI yang dapat dijual secara Repo kepada Bank Indonesia adalah
SBI milik Bank yang bersangkutan dan memiliki sisa jangka waktu
sekurang-kurangnya 4 (empat) hari kerja.
c. Jumlah SBI milik Bank yang dapat dijual secara Repo kepada Bank
Indonesia sebanyak-banyaknya 25% (dua puluh lima per seratus)
dari ……..
12
dari rata-rata seri SBI yang dimenangkan Bank untuk
kepentingannya sendiri dalam 3 (tiga) kali Lelang SBI terakhir
yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Contoh perhitungan SBI yang dapat direpokan kepada Bank
Indonesia terdapat dalam Lampiran 8.
d. Jangka waktu Repo adalah 1 (satu) hari (overnight).
e. Tingkat diskonto Repo adalah sebesar nilai tertinggi dari:
1) rata-rata tertimbang suku bunga PUAB sesi pagi jangka waktu
1 (satu) hari pada 1 (satu) hari kerja sebelum transaksi
ditambah 200 (dua ratus) basis points; atau
2) rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 1 (satu)
bulan pada lelang terakhir ditambah 200 (dua ratus) basis
points.
Contoh perhitungan tingkat diskonto SBI Repo sebagaimana
terdapat dalam Lampiran 9.
f. Penyelesaian transaksi SBI Repo dilaksanakan pada hari transaksi
SBI Repo (same-day settlement) melalui mekanisme DVP.
g. Bank yang mengajukan transaksi SBI Repo wajib memiliki saldo
Rekening Perdagangan SBI yang mencukupi untuk keperluan
penyelesaian transaksi SBI Repo dan saldo Rekening Giro yang
mencukupi untuk keperluan pelunasan transaksi SBI Repo.
2. Tata Cara Transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia
a. Pada hari transaksi SBI Repo, Bank mengajukan permohonan
transaksi SBI Repo melalui RMDS atau telepon yang ditegaskan
dengan faksimili kepada Bagian OPU dari pukul 15.00 WIB
sampai dengan pukul 16.00 WIB.
b. Permohonan ……..
13
b. Permohonan transaksi SBI Repo sebagaimana dimaksud dalam
butir a di atas dilakukan oleh:
1) Kantor Pusat Bank:
a) bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI;
b) bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI
namun tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja
KPBI.
2) Kantor Cabang Bank yang berada di wilayah kerja KPBI, bagi
Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI sebagaimana
yang telah ditunjuk dalam transaksi Lelang SBI dan tetap
berlaku sampai ada surat pencabutan penunjukan dimaksud.
c. Pengajuan transaksi SBI Repo Bank wajib ditegaskan dengan
penyampaian Surat Permohonan Pemindahan Registrasi-SBI Repo
dengan Bank Indonesia (SPPR-SBI Repo) selambat-lambatnya
sampai dengan pukul 17.00 WIB dengan menggunakan Formulir
BER-12 sebagaimana tercantum dalam Lampiran 10.
d.
SPPR-SBI Repo sebagaimana dimaksud
dalam huruf
c
disampaikan kepada:
1) Central Registry oleh:
a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja KPBI;
b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI bagi bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja KBI sebagaimana
dimaksud dalam butir b.2).
2) Central Registry melalui KBI setempat, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak memiliki kantor
cabang ……..
14
cabang di wilayah kerja KPBI sebagaimana dimaksud pada
butir b.1).
e. Dalam hal data dalam formulir SPPR-SBI Repo sebagaimana
dimaksud dalam huruf c tidak lengkap dan atau salah, Bank
Indonesia memberitahukan hal tersebut
dan
kepada Bank untuk
dilengkapi
kembali selambat-lambatnya pukul
atau diperbaiki dan selanjutnya disampaikan
Permohonan
17.30 WIB.
transaksi SBI Repo yang tidak dilengkapi dengan SPPR-SBI Repo
yang disyaratkan dinyatakan batal.
f. Bank Indonesia akan memproses permohonan transaksi SBI Repo
segera setelah Bank melengkapi permohonannya.
g. Bank wajib memenuhi tata cara pengajuan transaksi SBI Repo
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan e.
h. Dalam hal Bank tidak memenuhi tata cara sebagaimana dimaksud
dalam huruf g maka pengajuan transaksi SBI Repo oleh Bank
dinyatakan batal.
i. Pemberitahuan persetujuan atau penolakan atas pengajuan SBI
Repo disampaikan kepada Bank oleh Bagian OPU selambat-
lambatnya pukul 18.00 WIB melalui sarana RMDS atau telepon
yang ditegaskan dengan faksimili.
B. Perdagangan SBI Repo dan SBI Outright Antar Bank/Sub Registry
1. Prinsip dan tata cara pelaksanaan perdagangan SBI Repo dan SBI
Outright antar Bank/Sub Registry diserahkan pada kesepakatan para
pelaku transaksi yang bersangkutan.
2. Penyelesaian transaksi SBI Repo dan SBI Outright antar Bank/Sub
Registry dapat dilakukan melalui Bank Indonesia.
IV. SISTEM ……..
15
IV. SISTEM PENATAUSAHAAN SBI
Bank Indonesia menatausahakan SBI dengan menggunakan BI-SPS yang terdiri
dari sistem pencatatan kepemilikan SBI dan sistem penyelesaian transaksi yang
terdiri dari Penyelesaian Pembayaran dan Penyelesaian Surat Berharga,
termasuk pelunasan pokok SBI.
A. Prinsip Pencatatan Kepemilikan SBI
1. Bank Indonesia melalui BI-SPS menatausahakan kepemilikan SBI baik
yang diperoleh dari transaksi SBI di pasar perdana, maupun transaksi
SBI di pasar sekunder yang meliputi transaksi SBI Repo antara Bank
dengan Bank Indonesia, transaksi SBI Repo antar Bank/Sub Registry
serta transaksi SBI Outright antar Bank/Sub Registry.
2. Pencatatan kepemilikan SBI dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
prinsip two-tier system yang terdiri dari Central Registry dan Sub
Registry yang dilakukan dengan menggunakan sistem BER.
3. Kepemilikan SBI di Central Registry dan Sub Registry dicatat dalam
Rekening Penatausahaan SBI yang terdiri dari Rekening Perdagangan
SBI dan Rekening Agunan SBI.
4. Sub Registry tidak diperbolehkan untuk memelihara
Rekening
Penatausahaan SBI untuk kepentingan diri sendiri, pengurus, pemegang
saham dan pengelola Sub Registry termasuk manajemen dan pegawai
pengelola Sub Registry.
5. Nasabah non Bank yang membeli SBI di pasar sekunder termasuk yang
melakukan transaksi repo wajib memiliki Rekening Penatausahaan SBI
di Sub Registry. Untuk nasabah dari Bank bukan Sub Registry,
pembukaan Rekening Penatausahaan SBI di Sub Registry dapat
dilakukan melalui Bank yang bersangkutan.
6. Sub Registry ……..
16
6. Sub Registry wajib memberitahukan kepada nasabah non bank yang
memiliki Rekening Penatausahaan SBI bahwa yang dicatat dalam
penatausahaan SBI di Sub Registry adalah nama pemilik SBI
7. Sub Registry wajib mencatat nama pemilik SBI dalam penatausahaan
SBI. Dalam hal pemilik SBI adalah nasabah Bank lain, pencatatan
nama pemilik SBI pada Sub Registry dapat dilakukan dengan cara
mencantumkan nama Bank qq. nama pemilik SBI yang bersangkutan.
B. Prinsip Penyelesaian Transaksi SBI
1. Mekanisme penyelesaian transaksi SBI melalui BI-SPS dilakukan
secara transaksi per transaksi (gross settlement) yang dapat dibedakan
menjadi DVP dan FoP.
2. Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi SBI untuk transaksi
SBI di pasar perdana, transaksi SBI di pasar sekunder mencakup
transaksi SBI Repo dan transaksi SBI Outright, serta pengagunan SBI.
3. Penyelesaian transaksi SBI di pasar perdana dan transaksi SBI Repo
antara Bank dengan Bank Indonesia dilakukan melalui mekanisme
DVP.
4. Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi SBI di pasar
sekunder baik secara DVP maupun FoP yang mencakup:
a. transaksi antar Bank;
b. transaksi antar Sub Registry untuk kepentingan nasabahnya;
c. transaksi antara Bank dengan Sub Registry untuk kepentingan
nasabahnya.
5. Penyelesaian transaksi antar Bank/Sub Registry dilakukan dengan
ketentuan:
a. melalui mekanisme DVP untuk transaksi SBI Repo;
b. melalui mekanisme DVP atau FoP untuk transaksi SBI Outright.
6. Dalam ……..
17
6. Dalam rangka Penyelesaian Pembayaran atas transaksi SBI dengan
Bank Indonesia, Bank Indonesia berwenang untuk mendebet Rekening
Giro Bank yang berkewajiban menyelesaikan transaksi Lelang SBI.
7. Penyelesaian transaksi Lelang SBI di pasar perdana dilaksanakan pada
hari kerja berikutnya setelah hari pelaksanaan Lelang SBI (one-day
settlement), sedangkan penyelesaian transaksi SBI di pasar sekunder
dilakukan pada hari yang sama (same-day settlement).
8. Bank wajib melakukan Penyelesaian Pembayaran atas seluruh seri SBI
yang dimenangkan Bank di pasar perdana, sebelum
dapat
mentransaksikan salah satu atau keseluruhan seri SBI tersebut di pasar
sekunder.
9. Pada saat pelunasan transaksi SBI di pasar sekunder, SBI yang
bersangkutan memiliki sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga)
hari kerja.
10. Dalam rangka Penyelesaian Pembayaran SBI untuk transaksi nasabah
di Pasar Sekunder, Sub Registry wajib menunjuk Bank untuk
melakukan Penyelesaian Pembayaran.
V. PENCATATAN KEPEMILIKAN SBI
A. Tata Cara Pembukaan Rekening Penatausahaan SBI
1. Di Central Registry
a. Bank dan Sub Registry wajib membuka Rekening Penatausahaan
SBI dengan mengajukan surat permohonan pembukaan Rekening
Penatausahaan SBI kepada Central Registry.
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib
disertai dengan:
1). Data ……..
18
1) Data Bank/Sub Registry dengan menggunakan Formulir BER-
01 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10;
2) Contoh stempel Bank/Sub Registry dan contoh tandatangan
pejabat Bank/Sub Registry yang berwenang untuk melakukan
penyelesaian
transaksi SBI masing-masing
sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 6 (enam)
orang dengan menggunakan Formulir BER-02 dan Formulir
BER-03 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10;
3) Data petugas yang berwenang
dilengkapi dengan bukti identitas diri.
untuk mengambil KPS
2. Di Sub Registry
a. Nasabah bukan Bank wajib membuka Rekening Penatausahaan
SBI dengan mengajukan surat permohonan pembukaan Rekening
Penatausahaan SBI kepada Sub Registry.
b. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai
dengan persyaratan yang diatur oleh masing-masing Sub Registry.
c. Bank
bukan Sub Registry dapat mengajukan permohonan
pembukaan Rekening Penatausahaan SBI kepada Sub Registry
untuk kepentingan nasabahnya.
B. Tata Cara Pencatatan Kepemilikan SBI
1. Pencatatan kepemilikan SBI dilakukan di Central Registry dan Sub
Registry.
2. Central Registry dan Sub Registry menerbitkan KPS yang memuat
saldo Rekening Penatausahaan SBI sebagai bukti pencatatan
kepemilikan SBI.
3. KPS sebagaimana dimaksud pada angka 2, diterbitkan
ketentuan sebagai berikut :
dengan
a. Setiap ……..
19
a. Setiap terjadi mutasi/perubahan pencatatan kepemilikan dalam
Rekening Penatausahaan SBI, baik Rekening Perdagangan SBI
maupun Rekening Agunan SBI, Central Registry dan Sub Registry
menerbitkan KPS Harian pada hari yang sama, yang memuat
mutasi kepemilikan dan posisi dalam Rekening Penatausahaan SBI
yang bersangkutan;
b. Pada setiap akhir bulan, Central Registry dan Sub Registry
menerbitkan KPS Bulanan yang memuat posisi Rekening
Penatausahaan SBI;
c. Format KPS yang diterbitkan oleh Central Registry untuk KPS
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, menggunakan
Formulir BER-04 dan Formulir BER-05 sebagaimana contoh
dalam Lampiran 10;
d. Format KPS yang diterbitkan oleh Sub Registry untuk KPS
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, menggunakan
format yang ditetapkan oleh masing-masing Sub Registry.
4. Bank dan Sub Registry wajib mengambil KPS Harian dan KPS Bulanan
di Central Registry masing-masing 1 (satu) hari kerja setelah tanggal
penerbitan KPS. Central Registry tidak bertanggung jawab atas KPS
yang tidak diambil.
5. KPS milik Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja KPBI dan
tidak memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI disampaikan
melalui Kantor Bank Indonesia setempat c.q. Seksi Pelaksana
Kebijakan Moneter (PKM) yang didahului dengan faksimili KPS
dimaksud kepada kantor pusat Bank oleh Central Registry.
6. Sub Registry wajib menyampaikan KPS Harian dan KPS Bulanan yang
diterbitkannya kepada pemilik SBI. Dalam hal pemilik SBI membuka
Rekening Penatausahaan SBI melalui Bank bukan Sub Registry, Sub
Registry ……..
20
Registry dapat menyampaikan KPS Harian dan KPS Bulanan dimaksud
kepada pemilik SBI melalui Bank yang bersangkutan. Tata
cara
penyampaian KPS Harian dan KPS Bulanan dilakukan sesuai dengan
pengaturan yang ditetapkan oleh masing-masing Sub Registry.
7. Dalam hal terjadi perbedaan pencatatan kepemilikan SBI yang dicetak
Central Registry dalam KPS Harian sebagaimana dimaksud butir 3.a
dengan pencatatan kepemilikan SBI oleh Bank atau Sub Registry, Bank
dan Sub Registry wajib memberikan tanggapan atas perbedaan tersebut
kepada Central Registry selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) hari
kerja setelah batas waktu pengambilan KPS sebagaimana dimaksud
dalam angka 4 dengan menggunakan Formulir BER-06 sebagaimana
contoh dalam Lampiran 10.
8. Dalam hal Bank dan Sub Registry telah melaporkan perbedaan
pencatatan sebagaimana dimaksud dalam angka 7, Bank Indonesia
selambat-lambatnya dalam 1 (satu) hari kerja setelah penerimaan
laporan dimaksud akan memberikan jawaban.
9. Dalam hal Bank dan Sub Registry tidak menyampaikan keberatan atas
KPS sebagaimana dimaksud dalam angka 7, Bank dan Sub Registry
dianggap setuju dengan pencatatan kepemilikan SBI di Central
Registry.
10. Dalam rangka pelunasan SBI jatuh waktu, maka pada 3 (tiga) hari kerja
sebelum SBI jatuh waktu, Central Registry menerbitkan daftar
Pemberitahuan Pelunasan SBI Jatuh Waktu berdasarkan saldo posisi
Rekening Perdagangan pada akhir hari kerja dimaksud kepada Bank
dan Sub Registry dengan menggunakan Formulir BER-07 sebagaimana
contoh dalam Lampiran 10.
11. Daftar sebagaimana dimaksud dalam angka 10 dapat diambil oleh Bank
atau Sub Registry pada awal hari kerja berikutnya di Central Registry.
Dalam ……..
21
Dalam hal Bank berkantor pusat di luar wilayah kerja KPBI dan tidak
memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI maka daftar dimaksud
disampaikan melalui Kantor Bank Indonesia setempat c.q. Seksi PKM
yang didahului dengan faksimili daftar dimaksud kepada kantor pusat
Bank oleh Central Registry.
12. Bank Indonesia menggunakan saldo posisi Rekening Perdagangan
sebagaimana dimaksud dalam angka 10 sebagai dasar pelunasan SBI
pada saat SBI jatuh waktu kecuali ada pembuktian lain dari Bank atau
Sub Registry di kemudian hari yang dapat diterima oleh Central
Registry.
13. Pencatatan kepemilikan SBI pada KPS Bulanan yang dicetak Central
Registry sebagaimana dimaksud butir 3.b. dan daftar Pemberitahuan
Pelunasan SBI Jatuh Waktu sebagaimana dimaksud angka 10 tidak
dapat dilakukan rekonsiliasi oleh pemilik KPS.
VI. PENYELESAIAN TRANSAKSI SBI DI PASAR PERDANA
1. Bank Indonesia melakukan penyelesaian transaksi SBI di pasar perdana
terhadap penawaran yang telah memenuhi tata cara pengajuan penawaran
dan termasuk sebagai pemenang Lelang SBI sebagaimana dimaksud pada
butir II.C.
2. Bank Indonesia melakukan Penyelesaian Pembayaran transaksi SBI
dengan cara mendebet sebesar nilai tunai SBI pada Rekening Giro Bank
pembeli SBI di Bank Indonesia melalui Sistem
BI-RTGS dengan
ketentuan :
a. Bank yang mengajukan penawaran langsung bertanggung jawab
terbatas pada jumlah SBI untuk kepentingan sendiri; dan
b. Bank ……..
22
b. Bank yang mengajukan penawaran melalui Bank lain atau Pialang
bertanggung jawab atas jumlah SBI yang diajukan untuk kepentingan
Bank yang bersangkutan.
3. Bersamaan dengan Penyelesaian Pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam angka 2, Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan cara
mengkredit Rekening Perdagangan SBI milik Bank pembeli SBI sebesar
nilai nominal SBI.
4. Dalam hal Bank tidak memiliki saldo Rekening Giro yang mencukupi
sampai dengan waktu cut-off warning Sistem BI-RTGS untuk menutup
Penyelesaian Pembayaran SBI yang dimenangkan Bank pembeli SBI
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 maka seluruh hasil Lelang SBI
yang dimenangkan Bank yang bersangkutan dinyatakan batal, termasuk
atas sebagian seri SBI yang telah dilakukan Penyelesaian Pembayaran
sebelum waktu cut-off warning Sistem BI-RTGS.
VII. PENYELESAIAN TRANSAKSI SBI DI PASAR SEKUNDER
A. Tata Cara Penyelesaian Transaksi SBI Repo
1. Transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia
a. Pada hari penyelesaian transaksi SBI Repo:
1) Penyelesaian Pembayaran dilakukan dengan mengkredit
Rekening Giro Bank yang menjual SBI Repo sebesar nilai
tunai SBI Repo.
2) Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet
Rekening Perdagangan SBI milik Bank yang menjual SBI
Repo sebesar nilai nominal SBI Repo.
b. Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI milik Bank penjual
SBI Repo tidak mencukupi, transaksi SBI Repo dinyatakan batal.
c. Dalam ……..
23
c. Dalam hal transaksi SBI Repo dinyatakan batal, Bank dapat
mengambil formulir SPPR-Repo yang telah dicap “BATAL” pada
1 (satu) hari kerja setelah hari pembatalan transaksi SBI Repo di
Bagian PTPU atau KBI setempat.
d. Pada saat SBI Repo jatuh waktu:
1) Penyelesaian Pembayaran
dilakukan dengan mendebet
Rekening Giro Bank penjual SBI Repo sebesar nilai nominal
SBI Repo yang jatuh waktu.
2) Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mengkredit
Rekening Perdagangan SBI milik Bank penjual SBI Repo
sebesar nilai nominal SBI Repo.
e. Dalam hal pada saat jatuh waktu transaksi SBI Repo, saldo
Rekening Giro Bank penjual SBI Repo tidak mencukupi untuk
menutup pendebetan sebesar nilai nominal SBI Repo yang jatuh
waktu, transaksi pelunasan SBI Repo dinyatakan batal dan SBI
yang direpokan dinyatakan lunas sebelum jatuh waktu.
f. Atas
batalnya transaksi
pelunasan SBI Repo
dimaksud dalam huruf e, Bank dikenakan sanksi.
g. Atas pelunasan SBI Repo sebagaimana dimaksud dalam huruf e,
Bank Indonesia melakukan koreksi terhadap diskonto yang telah
dibukukan.
2. Transaksi SBI Repo Antar Bank/Sub Registry
a. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang
tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan
nasabah bukan Bank, yang membeli SBI Repo menyerahkan
SPPP-Repo dengan menggunakan Formulir BER-11 sebagaimana
contoh dalam Lampiran 10 dari pukul 08.00 waktu setempat
sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada:
1) Bagian ……..
sebagaimana
24
1) Bagian PTPU oleh:
a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja KPBI;
b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI
berkantor pusat di wilayah kerja KBI.
bagi bank yang
2) Bagian PTPU melalui KBI setempat c.q. Seksi PKM, bagi
Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak
memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI.
b. Dalam hal transaksi SBI Repo dilakukan untuk kepentingan
nasabah bukan Bank, SPPP-Repo yang disampaikan oleh Bank
wajib menunjuk Sub Registry yang menatausahakan SBI milik
nasabah yang bersangkutan untuk Penyelesaian Surat Berharga.
c. Dalam hal formulir SPPP-Repo sebagaimana dimaksud dalam
huruf a di atas disampaikan oleh Sub Registry, formulir SPPP-
Repo tersebut wajib dilengkapi dengan konfirmasi dari Bank yang
ditunjuk untuk melakukan pembayaran
dengan
cara
membubuhkan tandatangan pejabat Bank yang berwenang dan
stempel Bank pada formulir SPPP-Repo sebagai persetujuan
pendebetan Rekening Giro Bank yang bersangkutan.
d. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang
tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan
nasabah bukan Bank, yang menjual SBI Repo menyerahkan
SPPR-Repo dengan menggunakan formulir BER-10 sebagaimana
contoh dalam Lampiran 10 dari pukul 08.00 waktu setempat
sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada:
1) Central Registry oleh:
a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja KPBI;
b) kantor ……..
25
b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI bagi bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja KBI.
2) Central Registry melalui KBI setempat cq. Seksi PKM, bagi
Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak
memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI.
e. Dalam hal transaksi SBI Repo dilakukan untuk kepentingan
nasabah bukan Bank, SPPR-Repo yang disampaikan oleh Bank
wajib disertai dengan pengesahan
dari Sub Registry yang
menatausahakan SBI milik nasabah yang bersangkutan untuk
mendebet Rekening Perdagangan SBI nasabah.
f. Dalam hal data dalam formulir SPPP-Repo sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan formulir SPPR-Repo sebagaimana
dimaksud dalam huruf d tidak lengkap dan atau salah, Bank
Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Bank atau Sub
Registry melalui telepon atau faksimili untuk dilengkapi dan atau
diperbaiki dan selanjutnya disampaikan kembali selambat-
lambatnya pukul 16.00 waktu setempat pada hari yang sama.
g.
Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet
Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual
SBI Repo dan mengkredit Rekening Perdagangan SBI Bank atau
Sub Registry yang membeli SBI Repo masing-masing sebesar
nilai nominal SBI Repo.
h. Penyelesaian Pembayaran dilakukan dengan mendebet Rekening
Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang membeli
SBI Repo dan mengkredit Rekening Giro Bank atau Bank yang
ditunjuk Sub Registry yang menjual SBI Repo masing-masing
sebesar nilai transaksi SBI Repo.
i. Dalam ……..
26
i. Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub
Registry yang menjual SBI Repo untuk melakukan Penyelesaian
Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan cut-off warning
Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Repo dinyatakan batal.
j. Dalam hal saldo Rekening Giro Bank yang membeli SBI atau
Bank
yang
ditunjuk oleh Sub Registry untuk melakukan
Penyelesaian Pembayaran tidak mencukupi sampai dengan cut-off
warning Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Repo dinyatakan batal.
k. Dalam hal transaksi SBI Repo dinyatakan batal, Bank atau Sub
Registry dapat mengambil formulir SPPR-Repo dan SPPP-Repo
yang telah dicap “BATAL” pada 1 (satu) hari kerja setelah hari
pembatalan transaksi SBI Repo di Bagian PTPU atau KBI
setempat.
l. Pada saat SBI Repo jatuh waktu:
1) Penyelesaian
Pembayaran
dilakukan dengan
pendebetan
Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry
yang menjual SBI Repo dan pengkreditan Rekening Giro
Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang membeli
SBI Repo masing-masing sebesar nilai nominal SBI Repo.
2) Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan pendebetan
Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang
membeli SBI Repo dan pengkreditan Rekening Perdagangan
SBI Bank atau Sub Registry yang menjual SBI Repo masing-
masing sebesar nilai nominal SBI Repo.
3) Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI Bank atau
Sub Registry pembeli SBI Repo dan atau saldo Rekening
Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry
penjual SBI Repo tidak mencukupi
untuk pelunasan SBI
Repo ……..
27
Repo sampai
dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS,
maka transaksi pelunasan SBI Repo dimaksud dinyatakan
batal dan transaksi SBI Repo dinyatakan sebagai transaksi
Outright dan bersifat final.
m. Dalam hal pembelian kembali SBI Repo dilakukan sebelum jatuh
waktu, berlaku ketentuan sebagai berikut :
1) Terdapat kesepakatan antara penjual SBI Repo dan pembeli
SBI Repo.
2) Penjual SBI Repo dan pembeli SBI Repo menyampaikan
surat permohonan untuk melakukan penyelesaian transaksi
SBI atas pembelian kembali SBI Repo sebelum jatuh waktu
masing-masing dengan menggunakan Formulir BER-13 dan
Formulir BER-14 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10,
dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat
kepada Central Registry dengan tata cara penyampaian sesuai
dengan butir d.
3) Penyelesaian Pembayaran
dilakukan dengan mendebet
Rekening Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry
yang menjual SBI Repo dan mengkredit Rekening Giro
Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang membeli
SBI Repo masing-masing sebesar jumlah pembayaran SBI
Repo sebelum jatuh waktu.
4) Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet
Rekening Perdagangan SBI milik Bank atau Sub Registry
yang membeli
SBI Repo dan mengkredit Rekening
Perdagangan SBI milik Bank atau Sub Registry yang menjual
SBI Repo masing-masing sebesar nilai nominal SBI Repo.
5) Dalam ……..
28
5) Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI milik Bank atau
Sub Registry pembeli SBI Repo dan atau saldo Rekening Giro
Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry penjual SBI Repo
tidak mencukupi untuk pelunasan SBI Repo sampai dengan
cut-off warning Sistem BI-RTGS, penyelesaian transaksi SBI
Repo sebelum jatuh waktu dimaksud dinyatakan batal.
B. Tata Cara Penyelesaian Transaksi SBI Outright
1. Transaksi SBI Outright secara DVP
a. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang
tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan
nasabah bukan Bank, yang membeli SBI Outright menyerahkan
SPPP-DVP dengan menggunakan Formulir BER-09 sebagaimana
contoh dalam Lampiran 10 dari pukul 08.00 waktu setempat
sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada :
1) Bagian PTPU oleh:
a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja KPBI;
b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI bagi bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja KBI.
2) Bagian PTPU melalui KBI setempat cq. Seksi PKM, bagi
Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak
memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI.
b. Dalam hal transaksi SBI Outright dilakukan untuk kepentingan
nasabah bukan Bank, SPPP-Outright yang disampaikan oleh Bank
wajib menunjuk Sub Registry yang menatausahakan SBI milik
nasabah yang bersangkutan untuk Penyelesaian Surat Berharga.
c. Dalam hal formulir SPPP-DVP sebagaimana dimaksud dalam
huruf a di atas disampaikan oleh Sub Registry, formulir SPPP-
DVP……..
29
DVP tersebut wajib dilengkapi dengan pengesahan dari Bank
yang ditunjuk untuk melakukan
pembayaran dengan
cara
membubuhkan tandatangan pejabat Bank yang berwenang dan
stempel Bank pada formulir SPPP-DVP sebagai
pendebetan Rekening Giro Bank yang bersangkutan.
persetujuan
d. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang
tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan
nasabah bukan Bank, yang menjual SBI Outright menyerahkan
SPPR-DVP dengan menggunakan formulir BER-08 sebagaimana
contoh dalam Lampiran 10 dari pukul 08.00 waktu setempat
sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat kepada Central
Registry dengan cara penyampaian sebagaimana diatur dalam
butir a.
e. Dalam hal transaksi SBI Outright dilakukan untuk kepentingan
nasabah bukan Bank, SPPR-DVP yang disampaikan oleh Bank
wajib disertai dengan konfirmasi dari Sub Registry yang
menatausahakan SBI milik nasabah yang bersangkutan untuk
mendebet Rekening Perdagangan SBI nasabah.
dalam
f. Dalam hal data
formulir
SPPP-DVP
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan formulir SPPR-DVP sebagaimana
dimaksud dalam huruf d tidak lengkap dan atau salah, Bank
Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Bank atau Sub
Registry melalui telepon atau faksimili untuk dilengkapi dan atau
diperbaiki dan selanjutnya disampaikan kembali selambat-
lambatnya pukul 16.00 waktu setempat pada hari yang sama.
g.
Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet
Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual
SBI Outright dan mengkredit Rekening Perdagangan SBI Bank
atau ……..
30
atau Sub Registry yang membeli SBI Outright masing-masing
sebesar nilai nominal SBI Outright.
h. Penyelesaian Pembayaran dilakukan dengan mendebet Rekening
Giro Bank atau Bank yang ditunjuk Sub Registry yang membeli
SBI Outright dan mengkredit Rekening Giro Bank atau Bank
yang ditunjuk Sub Registry yang menjual SBI Outright masing-
masing sebesar nilai transaksi SBI Outright.
i. Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub
Registry yang menjual SBI Outright untuk melakukan
Penyelesaian Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan cut-
off warning Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Outright dinyatakan
batal.
j. Dalam hal saldo Rekening Giro Bank yang membeli SBI atau
Bank
yang
ditunjuk oleh Sub Registry untuk melakukan
Penyelesaian Pembayaran tidak mencukupi sampai dengan cut-off
warning Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Outright dinyatakan
batal.
k. Dalam hal transaksi SBI Outright dinyatakan batal, Bank dan atau
Sub Registry dapat mengambil formulir SPPR-DVP atau SPPP-
DVP yang telah dicap “BATAL” pada 1 (satu) hari kerja setelah
hari pembatalan transaksi SBI di Bagian PTPU atau KBI setempat
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
2. Transaksi SBI Outright secara FoP
a. Bank untuk kepentingan sendiri atau nasabah bukan Bank yang
tercatat di Sub Registry, atau Sub Registry untuk kepentingan
nasabah bukan Bank yang tercatat di Sub Registry, yang menjual
SBI Outright menyerahkan SPPR-FoP dengan menggunakan
formulir BER-15 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 dari
pukul……..
31
pukul 08.00 waktu setempat sampai dengan pukul 15.00 waktu
setempat kepada:
1) Central Registry oleh:
a) kantor pusat Bank bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja KPBI;
b) kantor cabang di wilayah kerja KPBI bagi bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja KBI.
2) Central Registry melalui KBI setempat cq. Seksi PKM, bagi
Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak
memiliki kantor cabang di wilayah kerja KPBI.
b. Dalam hal data dalam formulir SPPR-FoP sebagaimana dimaksud
dalam huruf a tidak lengkap dan atau salah, Bank Indonesia
memberitahukan hal tersebut kepada Bank atau Sub Registry
melalui telepon atau faksimili untuk
dilengkapi dan atau
diperbaiki dan selanjutnya disampaikan kembali selambat-
lambatnya pukul 16.00 waktu setempat pada hari yang sama.
c.
Penyelesaian Surat Berharga dilakukan dengan mendebet
Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub Registry yang menjual
SBI dan mengkredit Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub
Registry yang membeli SBI Outright masing-masing sebesar nilai
nominal SBI Outright.
d. Dalam hal saldo Rekening Perdagangan SBI Bank atau Sub
Registry yang menjual SBI Outright untuk melakukan
Penyelesaian Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan cut-
off warning Sistem BI-RTGS, transaksi SBI Outright dinyatakan
batal.
e. Dalam hal transaksi SBI dinyatakan batal, Bank dan atau Sub
Registry dapat mengambil formulir SPPR-FoP yang telah dicap
“BATAL” ……..
32
“BATAL” secepat-cepatnya 1 (satu) hari kerja
setelah hari
pembatalan transaksi SBI di Bagian PTPU atau KBI setempat
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
VIII.TATA CARA PENCATATAN PENGAGUNAN SBI
A. Prinsip dalam Pengagunan SBI
1. Pemilik SBI yang tercatat pada Central Registry atau Sub Registry
dapat mengagunkan SBI yang dimiliki.
2. Selama masa pengagunan, SBI yang tercatat dalam Rekening Agunan
di Central Registry dan Sub Registry tidak dapat diagunkan dan
diperdagangkan lagi.
3. Jumlah SBI yang akan diagunkan tidak melebihi saldo SBI yang
terdapat pada Rekening Perdagangan SBI.
4. Pada saat jangka waktu agunan SBI berakhir, SBI yang bersangkutan
masih memiliki sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari
kerja.
B. Tata Cara Pencatatan Pengagunan SBI di Central Registry
1. Pengagunan oleh Bank
a. Bank menyampaikan Permohonan Penerbitan SKSD (PP-SKSD)
dengan menggunakan Formulir BER-16 sebagaimana contoh
dalam Lampiran 10 kepada Central Registry dari pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB.
b. Dalam hal Bank berkantor pusat di wilayah kerja KBI dan tidak
memiliki cabang di wilayah kerja KPBI, formulir sebagaimana
dimaksud butir a disampaikan melalui KBI setempat cq. Seksi
PKM.
c. Dalam ……..
33
c. Dalam hal formulir belum diisi secara lengkap dan atau salah,
Central Registry memberitahukan kepada Bank untuk mengambil
formulir dimaksud untuk dilengkapi dan atau diperbaiki dan
selanjutnya disampaikan kembali kepada Central Registry
selambat-lambatnya pukul 17.00 WIB pada hari yang sama.
d. Berdasarkan PP-SKSD, Central Registry pada hari yang sama:
1) memindahkan SBI dari Rekening Perdagangan ke Rekening
Agunan.
2) menerbitkan SKSD dengan menggunakan Formulir BER-17
sebagaimana contoh dalam Lampiran 10.
e. SKSD sebagaimana dimaksud dalam butir d.2) wajib diambil
pada hari yang sama di Central Registry. Bank yang berkantor
pusat di wilayah kerja KBI dan tidak memiliki kantor cabang di
wilayah kerja KPBI, SKSD disampaikan oleh Central Registry
kepada kantor pusat Bank yang
bersangkutan melalui KBI
setempat, yang didahului dengan faksimili SKSD dimaksud.
f. Pada hari kerja berikutnya setelah berakhirnya
pengagunan, Central
pemindahan SBI dari
Perdagangan.
periode
Registry secara otomatis melakukan
Rekening Agunan ke
Rekening
g. Bank pemberi agunan atau pihak lain penerima agunan dapat
mengajukan permohonan penglepasan agunan SBI
sebelum
berakhirnya periode pengagunan kepada Central Registry dari
pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, dengan
persyaratan sebagai berikut:
1) pihak pemberi agunan SBI menyampaikan surat permohonan
penglepasan agunan SBI dengan dilampiri SKSD asli; atau
2) pihak ……..
34
2) pihak penerima agunan SBI menyampaikan surat permohonan
penglepasan agunan SBI dan pemindahan kepemilikan SBI
untuk penerima agunan dengan dilampiri SKSD asli, surat
Permintaan Perpindahan Registrasi Surat Berharga FoP
(SPPR-FoP) dari pihak pemberi agunan dan surat kuasa yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak untuk memindahkan
kepemilikan SBI dari pemberi agunan kepada penerima
agunan.
h. Dalam hal pengajuan permohonan belum lengkap dan atau
formulir sebagaimana dimaksud huruf g belum diisi dengan
lengkap dan atau salah, Central Registry memberitahukan kepada
pemohon untuk melengkapi dan atau memperbaikinya untuk
selanjutnya disampaikan kembali kepada Central Registry
selambat-lambatnya pukul 17.00 WIB pada hari yang sama.
i. Berdasarkan permohonan penglepasan agunan SBI sebagaimana
tersebut pada huruf g, Central Registry melakukan pemindahan
SBI dari Rekening Agunan ke Rekening Perdagangan.
2. Pengagunan oleh Nasabah Sub Registry
a. Central Registry memindahkan SBI milik Sub Registry dari
Rekening Perdagangan ke Rekening Agunan berdasarkan Laporan
Pengagunan SBI dengan menggunakan
Formulir
BER-18
sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 yang disampaikan oleh
Sub Registry pada hari transaksi.
b. Satu hari kerja setelah berakhirnya periode pengagunan, Central
Registry memindahkan secara otomatis SBI yang diagunkan dari
Rekening Agunan ke Rekening Perdagangan.
c. Dalam ……..
35
c. Dalam hal terjadi pelepasan agunan sebelum berakhirnya periode
pengagunan, Central Registry memindahkan SBI yang diagunkan
dari Rekening Agunan ke Rekening Perdagangan berdasarkan
Laporan Penglepasan Agunan SBI Sebelum Berakhirnya Periode
Pengagunan dengan menggunakan Formulir BER-19 sebagaimana
contoh dalam Lampiran 10 yang disampaikan oleh Sub Registry
pada hari transaksi.
C. Tata Cara Pencatatan Pengagunan SBI di Sub Registry
1. Nasabah pemilik SBI pada Sub Registry wajib menyampaikan PP-
SKSD kepada Sub Registry.
2. Berdasarkan PP-SKSD, Sub Registry pada hari yang sama:
a. memindahkan SBI dari Rekening Perdagangan ke Rekening
Agunan;
b. menerbitkan SKSD dengan menggunakan Formulir BER-17
sebagaimana contoh dalam Lampiran 10.
3. Pada hari kerja yang sama, Sub Registry wajib menyampaikan
Laporan Pengagunan SBI dengan menggunakan Formulir BER-18
sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 kepada Central Registry
selambat-lambatnya pukul 17.00 WIB.
4. Pada saat
pengagunan
berakhir, Sub Registry secara otomatis
melakukan pemindahan SBI dari Rekening Agunan ke Rekening
Perdagangan.
5. Nasabah Sub Registry pemberi agunan atau pihak lain penerima
agunan dapat mengajukan permohonan penglepasan agunan SBI
sebelum berakhirnya periode pengagunan kepada Sub Registry dengan
persyaratan sebagai berikut :
a. pihak pemberi agunan SBI menyampaikan surat permohonan
penglepasan agunan SBI dengan dilampiri SKSD asli; atau
b. pihak ……..
36
b. pihak penerima agunan SBI menyampaikan surat permohonan
penglepasan agunan SBI dan pemindahan kepemilikan SBI
dengan dilampiri SKSD asli, SPPR-FoP dari pihak pemberi
agunan dan surat kuasa yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak untuk memindahkan kepemilikan SBI dari pemberi agunan
kepada penerima agunan.
6. Pada hari kerja yang sama, Sub Registry wajib menyampaikan kepada
Central Registry mengenai Laporan Penglepasan Agunan SBI
Sebelum Berakhirnya Periode Pengagunan dengan menggunakan
Formulir BER-19 sebagaimana contoh dalam Lampiran 10 selambat-
lambatnya pukul 17.00 WIB.
IX. TATA CARA PELUNASAN SBI
1. Bank Indonesia melunasi SBI yang jatuh waktu sebesar nilai nominal SBI
pada tanggal jatuh waktu SBI.
2. Pembayaran nilai nominal SBI dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan
saldo posisi akhir hari Rekening Perdagangan SBI di Central Registry pada
3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu SBI sebagaimana dimaksud
butir V.B.10.
3. Pembayaran SBI sebesar nilai nominal dilakukan pada saat tanggal jatuh
waktu dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk SBI milik Bank dilakukan dengan mengkredit Rekening Giro
Bank pemilik SBI, atau;
b. untuk SBI milik nasabah (non Bank) dilakukan dengan mengkredit
Rekening Giro Bank yang membawahi Sub Registry yang
bersangkutan. Selanjutnya Sub Registry membayarkan dana
pembayaran SBI dimaksud kepada pemilik SBI.
4. Pada……..
37
4. Pada saat jatuh waktu SBI, Rekening Perdagangan SBI milik Bank dan Sub
Registry yang jatuh waktu didebet sebesar nilai nominal sesuai dengan
saldo posisi Rekening Perdagangan sebagaimana dimaksud angka 3 secara
otomatis.
5. Sub Registry melalui Bank yang ditunjuk wajib melakukan pembayaran
nilai nominal SBI yang jatuh waktu pada hari yang sama kepada nasabah
yang tercatat pada Sub Registry.
X. MEKANISME PENGENAAN SANKSI
1. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi yang disebabkan Bank atau Pialang
tidak memenuhi tata cara pengajuan transaksi dalam rangka Lelang SBI
sebagaimana dimaksud dalam butir II.C.11 atau dalam rangka transaksi
SBI Repo dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir
III.A.2.h, Bank atau Pialang yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 11 dengan
tembusan kepada :
1) Direktorat Pengawasan Bank yang terkait,
dalam
hal
sanksi
diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI;
atau
2) Tim Pengawas Bank - KBI setempat, dalam hal sanksi diberikan
kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI, atau
3) Direktorat Pengelolaan Devisa, Bank Indonesia dalam hal sanksi
diberikan kepada Pialang Pasar Uang, atau
4) Badan Pengawas Pasar Modal, dalam hal sanksi diberikan kepada
Perantara Pedagang Efek, dan
b. pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5
(lima) hari kerja dalam hal Bank atau Pialang telah dikenakan sanksi
teguran……..
38
teguran tertulis untuk ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan karena pembatalan transaksi SBI di pasar perdana dan atau
pembatalan transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia dan atau
pembatalan transaksi FASBI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi yang disebabkan oleh tidak
mencukupinya saldo rekening giro Bank untuk menutupi Penyelesaian
Pembayaran transaksi Lelang SBI sebagaimana dimaksud dalam angka
VI.4 atau pelunasan
transaksi SBI Repo dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam butir VII.A.1.f, Bank yang bersangkutan
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada Lampiran 11 dengan
tembusan kepada:
1) Direktorat Pengawasan Bank yang terkait,
dalam
hal
sanksi
diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KPBI;
atau
2) Tim Pengawas Bank-KBI setempat, dalam hal sanksi diberikan
kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI, dan
b. kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai nominal
transaksi SBI yang dibatalkan atau sebanyak-banyaknya Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah), dan
c. pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5
(lima) hari kerja dalam hal Bank telah dikenakan teguran tertulis untuk
ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan karena pembatalan
transaksi SBI di pasar perdana dan atau pembatalan transaksi SBI Repo
dengan Bank Indonesia dan atau pembatalan transaksi FASBI sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
3. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi yang disebabkan
mencukupinya saldo giro Bank dan atau saldo rekening SBI milik Bank
tidak
atau……..
39
atau Sub Registry dalam rangka penyelesaian transaksi SBI Repo Antar
Bank/Sub Registry sebagaimana dimaksud dalam butir VII.A.2.i dan butir
VII.A.2.j, transaksi pelunasan SBI Repo Antar
Bank/Sub
Registry
sebagaimana dimaksud dalam butir VII.A.2.1.3) dan butir VII.A.2.m.5,
transaksi SBI Outright secara DVP sebagaimana dimaksud dalam butir
VII.B.1.i dan butir VII.B.1.j, dan transaksi SBI Outright secara FoP
sebagaimana dimaksud dalam butir VII.B.2.d, Bank/Sub Registry yang
bersangkutan dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 12 dengan
tembusan kepada:
1) Direktorat Pengawasan Bank yang terkait,
dalam
hal
sanksi
diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah KPBI; atau
2) Tim Pengawas Bank-KBI setempat, dalam hal sanksi diberikan
kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja KBI; dan
b. kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta Rupiah); dan
c. pemberhentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5
(lima) hari kerja dalam hal Bank telah dikenakan teguran tertulis untuk
ketiga kalinya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan karena pembatalan
transaksi SBI di pasar sekunder.
4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
butir 2.b. dan 3.b. dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Bank/Bank
yang membawahi Sub Registry yang bersangkutan pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
XI. CONTINGENCY PLAN
Dalam hal terjadi gangguan pada sistem yang terkait dengan sarana ABS yang
disebabkan oleh hal-hal di luar kendali Bank Indonesia, tata cara pelaksanaan
transaksi dilakukan sebagaimana SOP ABS dalam Lampiran 6.
XII. KONDISI ……..
40
XII. KONDISI DILUAR TANGGUNG JAWAB BANK INDONESIA
Bank Indonesia sebagai Central Registry tidak bertanggung jawab atas tidak
terlaksananya transaksi dan atau kerugian yang mungkin
timbul
disebabkan antara lain namun tidak terbatas pada:
1. Keterlambatan informasi atau ketidak-akuratan data yang diterima oleh
Bank Indonesia mengenai pejabat yang berwenang dari Bank atau Sub
Registry untuk melakukan perintah penyelesaian transaksi SBI.
2. Keadaan bencana alam, kebakaran, banjir, tidak berfungsinya
yang
sistem
kelistrikan secara nasional/regional, taufan, pemogokan, embargo, perang,
invasi, huru hara, revolusi, terorisme, dan berbagai gangguan alam serta
kemasyarakatan lainnya yang dapat mengganggu jalannya transaksi SBI,
penyelesaian transaksi SBI, dan penyelesaian administrasi.
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
4/20/DPM tanggal 18 November 2002 tentang Tata Cara Penerbitan, Perdagangan
dan Penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 12 Juni 2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
TARMIDEN SITORUS
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 5/9/DPM|SE-BI/2003 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Penerbitan, Perdagangan dan Penatausahaan Sertifikat Bank Indonesia. </reg_title>
<set_date> 10 Juni 2003 </set_date>
<effective_date> 12 Juni 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '4/20/DPM|SE-BI/2002' </replaced_reg>
<related_reg> '4/10/PBI/2002', '4/9/PBI/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi X' </penalty_list>
|
No. 9/3/DPM
Jakarta, 5 Maret 2007
SURAT EDARAN
Perihal : Biaya Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi
Pasar Uang
Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/2/PBI/2007 tanggal 5 Maret 2007 tentang Laporan Harian Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4706) dan Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 9/2/DPM tanggal 5 Maret 2007 perihal Laporan Harian Bank
Umum, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan tentang Biaya
Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang, dalam suatu
Surat Edaran sebagai berikut:
I. Bank Pelapor
1. Bank Indonesia menyediakan hak akses berupa user id atas sistem
Laporan Harian Bank Umum (LHBU) di Bank Indonesia dalam jumlah
tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya, baik berupa
biaya lisensi maupun biaya pemeliharaan.
2. Dalam hal Bank Pelapor menambah hak akses sistem LHBU, Bank
Pelapor dikenakan biaya lisensi dan biaya pemeliharaan sistem LHBU
yang diatur sebagai berikut:
a. Biaya lisensi sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar)
dikenakan 1 (satu) kali selama menggunakan hak akses sistem LHBU,
untuk setiap tambahan hak akses.
b. Biaya pemeliharaan sistem LHBU sebesar USD300 (tiga ratus US
Dollar) dikenakan setiap tahun, untuk setiap tambahan hak akses.
c. Pembayaran ...
2
c. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b
dilakukan dalam ekuivalen mata uang Rupiah dengan menggunakan
kurs transaksi jual Bank Indonesia pada tanggal pembayaran biaya.
d. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b
dilakukan dengan mendebet rekening giro Rupiah Bank Pelapor pada
Bank Indonesia.
e. Dalam rangka pendebetan rekening giro Rupiah Bank Pelapor
sebagaimana dimaksud dalam huruf d, Bank Pelapor memberikan surat
kuasa pendebetan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus
Manajemen Informasi, sebagaimana contoh terlampir.
II. Pelanggan Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU)
Dalam rangka memperoleh informasi PIPU, Pelanggan PIPU dikenakan biaya
lisensi, biaya pemeliharaan sistem LHBU, dan biaya perolehan informasi
PIPU yang diatur sebagai berikut:
1. Biaya lisensi untuk pertama kali memperoleh hak akses dikenakan 1 (satu)
kali sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar) yang berlaku selama
menggunakan informasi PIPU.
2. Setiap tambahan hak akses, dikenakan biaya lisensi sebesar USD1,500
(seribu lima ratus US Dollar) yang berlaku selama menggunakan hak
akses.
3. Pembayaran biaya lisensi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka
2 dilakukan dengan cara transfer melalui Bank umum dan harus sudah
diterima oleh Bank Indonesia pada saat Perjanjian Penggunaan PIPU
terkait ditandatangani.
4. Biaya pemeliharaan sistem LHBU sebesar USD300 (tiga ratus US Dollar)
setahun untuk setiap hak akses atau setiap tambahan hak akses.
5. Pembayaran biaya pemeliharaan sistem LHBU untuk setiap hak akses atau
setiap tambahan hak akses sebagaimana dimaksud pada angka 4,
dilakukan ...
3
dilakukan dengan cara transfer melalui Bank umum dan harus sudah
diterima oleh Bank Indonesia pada saat Perjanjian Penggunaan PIPU
terkait ditandatangani.
6. Biaya perolehan informasi PIPU sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta
Rupiah) sebulan untuk setiap hak akses, dan diterima Bank Indonesia
paling lambat tanggal 5 pada bulan yang bersangkutan.
7. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2 dilakukan
dalam ekuivalen mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs transaksi
jual Bank Indonesia pada tanggal pembayaran dilakukan.
8. Tata cara pembayaran biaya lisensi, biaya pemeliharaan sistem LHBU,
dan biaya untuk memperoleh informasi PIPU diatur dalam Perjanjian
Penggunaan PIPU.
Pada saat Surat Edaran ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 7/38/DPM tanggal 9 Agustus 2005 perihal Biaya Laporan Harian
Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 5...
Maret 2007.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 9/3/DPM|SE-BI/2007 </reg_id>
<reg_title> Biaya Laporan Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang </reg_title>
<set_date> 5 Maret 2007 </set_date>
<effective_date> 5 Maret 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '7/38/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '9/2/DPM|SE-BI/2007', '9/2/PBI/2007' </related_reg>
|
No. 6/27/DPM
NoAAve
Jakarta, 8 Juli 2004
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.6/17/DPM
Tanggal 6 April 2004 tentang Transaksi Perdagangan Sertifikat
Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan
Bank Indonesia Di Pasar Sekunder.
Sehubungan dengan perlu dilakukannya penyelarasan persyaratan sisa
jangka waktu transaksi Sertifikat Bank Indonesia secara Repurchase Agreement
(Repo) melalui sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System
maka Surat Edaran Bank Indonesia No.6/17/DPM tanggal 6 April 2004 tentang
Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement
(Repo) Dengan Bank Indonesia di Pasar Sekunder yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tanggal 18
November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4243),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/4/PBI/2004
tanggal 16 Februari 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4365), Peraturan Bank Indonesia
Nomor 4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4244), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 18, Tambahan
Lembaran …
2
Lembaran
Negara Nomor 4366), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank Indonesia – Scripless
Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4363), dipandang perlu untuk
diatur kembali sebagai berikut:
Mengubah ketentuan butir II.1.b sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut:
“b. Memiliki sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja.”
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 8 Juli 2004.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 6/27/DPM|SE-BI/2004 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.6/17/DPM Tanggal 6 April 2004 tentang Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar Sekunder. </reg_title>
<set_date> 8 Juli 2004 </set_date>
<effective_date> 8 Juli 2004 </effective_date>
<changed_reg> '6/17/DPM|SE-BI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '6/17/DPM|SE-BI/2004', '6/2/PBI/2004', '6/4/PBI/2004', '6/5/PBI/2004', '4/10/PBI/2002', '4/9/PBI/2002' </related_reg>
|
No.15/45/DPNP
Jakarta, 18 November 2013
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012 perihal Uji
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank
Perkreditan Rakyat
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/9/PBI/2012 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test) Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5331) dan dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan uji
kemampuan dan kepatutan maka perlu dilakukan perubahan atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012
perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank
Perkreditan Rakyat sebagai berikut:
1. Ketentuan . . .
1. Ketentuan dalam butir I.3.c diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
c. Pihak-pihak yang sudah tidak menjadi atau sudah tidak menjabat
sebagai pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, namun yang
bersangkutan diindikasikan terlibat atau bertanggung jawab
terhadap perbuatan atau tindakan yang sedang dalam proses uji
kemampuan dan kepatutan pada BPR.
Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan setiap waktu apabila
berdasarkan hasil pengawasan, pemeriksaan atau informasi dari
sumber-sumber lainnya terdapat indikasi permasalahan integritas,
kompetensi, dan/atau kelayakan/reputasi keuangan.
2. Ketentuan dalam butir II.E diubah, sehingga huruf E berbunyi sebagai
berikut:
E. Penyampaian Permohonan
Surat permohonan berikut dokumen disampaikan secara lengkap
oleh BPR kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut:
1) Kantor Regional Pengawasan Bank 1, Bank Indonesia, Jalan
M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR yang berada di
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Kabupaten/Kota
Bogor, Depok, Karawang, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan,
dan Provinsi Banten.
2) Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi BPR yang
berkantor pusat di luar wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Raya, Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Karawang, Bekasi,
Tangerang, Tangerang Selatan, dan Provinsi Banten.
3. Ketentuan dalam butir III.A.2.k diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
k. menolak memberikan komitmen dan/atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia.
Komitmen yang dimaksud antara lain adalah:
1) komitmen . . .
1) komitmen dalam rangka penyehatan BPR;
2) komitmen terhadap pengembangan operasional BPR yang sehat,
termasuk pengembangan ekonomi regional yang mengutamakan
pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil (UMK) yang produktif
dengan mempertimbangkan potensi wilayah dan ditujukan
untuk masyarakat setempat;
3) komitmen untuk tidak mengulangi tindakan atau perbuatan
pelanggaran sebagai berikut:
a) komitmen dari pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku
Pembantu untuk tidak mengulangi tindakan pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan/atau
huruf c; atau
b) komitmen untuk tidak mengulangi tindakan atau perbuatan
pelanggaran bagi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota
Direksi, dan Pejabat Eksekutif yang pernah diberikan
predikat Lulus Bersyarat (LB) karena faktor integritas
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/23/PBI/2004 tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat;
atau
4) komitmen untuk tidak melakukan dan/atau mengulangi
perbuatan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dan/atau Pasal 39 PBI Uji Kemampuan dan Kepatutan
BPR bagi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan
Pejabat Eksekutif yang pernah memiliki predikat Tidak Lulus
dalam uji kemampuan dan kepatutan, dan telah menjalani
sanksi.
4. Ketentuan dalam butir III.C.2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
2. Pihak-pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu
ditetapkan predikat Lulus apabila yang bersangkutan
menyampaikan surat pernyataan yang berisi komitmen untuk tidak
mengulangi . . .
mengulangi tindakan pelanggaran, dalam jangka waktu paling lama
14 (empat belas) hari sejak tanggal surat pemberitahuan hasil
sementara dari Bank Indonesia.
Dalam hal pihak yang dikategorikan sebagai Pelaku Pembantu tidak
menyampaikan surat pernyataan yang berisi komitmen kepada
Bank Indonesia dalam jangka waktu tersebut di atas maka yang
bersangkutan ditetapkan predikat Tidak Lulus dengan jangka waktu
3 (tiga) tahun.
Pelanggaran atas komitmen yang telah disampaikan kepada Bank
Indonesia menjadi dasar untuk dilakukan uji kemampuan dan
kepatutan kepada yang bersangkutan selama yang bersangkutan
menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau
Pejabat Eksekutif.
5. Dokumen Persyaratan Administratif bagi Calon PSP sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 1.a dan Lampiran 1.b, Calon Anggota
Dewan Komisaris BPR dan Calon Anggota Direksi BPR sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran 2.a dan Lampiran 2.b, serta Daftar Riwayat
Hidup sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2.c diubah menjadi
sebagaimana terlampir.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 18
November 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
IRWAN LUBIS
KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN
PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 15/45/DPNP|SE-BI/2013 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/36/DKBU tanggal 21 Desember 2012 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat </reg_title>
<set_date> 18 November 2013 </set_date>
<effective_date> 18 November 2013 </effective_date>
<changed_reg> '14/36/DKBU|SE-BI/2012' </changed_reg>
<related_reg> '14/9/PBI/2012', '14/36/DKBU|SE-BI/2012' </related_reg>
|
No.7/36/DPM
Jakarta, 3 Agustus 2005
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/24/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4521), dipandang perlu untuk menetapkan tata cara pemberian Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dalam suatu Surat Edaran
Bank Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Yang dimaksud dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, termasuk yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah secara bersamaan.
2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor
pusat bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional, yang
berfungsi …
2
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit
syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan
di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau
unit syariah.
3. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement.
4. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan
penatausahaan surat berharga secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Indonesia –
Scripless Securities Settlement System.
5. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI
adalah suatu sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
6. Kliring Debet adalah kegiatan SKNBI untuk transfer debet sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia.
7. Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
yang selanjutnya disebut FLIS adalah fasilitas pendanaan yang disediakan
Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan sebagai peserta Sistem BI-
RTGS dan SKNBI, yang harus dilunasi pada hari yang sama dengan hari
penggunaan.
8. FLIS dalam rangka RTGS bagi Bank yang selanjutnya disebut dengan FLIS-
RTGS adalah FLIS untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi
selama jam operasional Sistem BI-RTGS.
9. FLIS …
3
9. FLIS dalam rangka Kliring bagi Bank yang selanjutnya disebut FLIS-Kliring
adalah FLIS untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank yang terjadi saat
penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet.
10. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah yang selanjutnya
disebut FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah.
11. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SWBI adalah
bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia.
12. Pasar Uang Antarbank berdasarkan prisnip Syariah yang selanjutnya disebut
PUAS adalah pasar uang antarbank sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pasar Uang Antarbank berdasarkan
prinsip Syariah.
13. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dan pengelolan dana
untuk suatu kegiatan usaha, dengan pembagian keuntungan antara kedua
belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati.
II. PENYEDIAAN FLIS
1. Bank Indonesia menyediakan FLIS kepada Bank yang meliputi FLIS-RTGS
dan atau FLIS-Kliring.
2. Bank dapat memperoleh FLIS setelah menyampaikan:
a. Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLIS sebagaimana contoh dalam
lampiran -1 dalam rangkap 2 (dua) yang telah dibubuhi meterai cukup dan
ditandatangani oleh Direksi Bank atau pejabat Bank yag diberikan
wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa sebagai dasar bagi Bank
untuk memanfaatkan FLIS;
b. Fotokopi anggaran dasar Bank;
c.Fotokopi …
4
c. Fotokopi identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor
Direksi, Chief Executive Officer (CEO) dan atau pejabat Bank yang diberi
kuasa untuk menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan
FLIS sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang masih berlaku.
d. Khusus untu UUS, perjanjian sebagaimana huruf a ditandatangani oleh
Direksi bank konvensional atau pejabat bank konvensional yang
diberikan wewenang oleh Direksi dengan surat kuasa, atau oleh pejabat
UUS berdasarkan surat kuasa yang
konvensional.
e. Dokumen sebagaimana dimaksud huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d
disampaikan kepada Bagian Operasi Pasar Uang (OPU), Direktorat
Pengelolaan Moneter (DPM), Bank Indonesia, Jl. MH.Thamrin No.2,
Jakarta 10010, dengan tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah
(DPbS) atau Tim Pengawas Bank terkait di kantor Bank Indonesia (KBI)
yang mewilayahinya.
f. Bank Indonesia memberitahukan kepada Bank mengenai persetujuan atau
penolakan permohonan FLIS termasuk tanggal efektif pembukaan akses
kepada Bank paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah dokumen
sebagaimana dimaksud dalam angka 2 diterima secara lengkap.
g. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf f disampaikan secara
tertulis melalui surat atau sarana BI-SSSS.
h. Bank Indonesia menghentikan akses penggunaan FLIS melalui sarana BI-
SSSS apabila Bank tidak lagi memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan.
diberikan oleh Direksi bank
III. PENGAGUNAN FLIS
1. Bank dapat mengagunkan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang
diterbitkan …
5
diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan
milik Bank yang bersangkutan yang tercatat dalam rekening aktif melalui
sarana BI-SSSS.
2. Pengagunan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan
pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 diatur sebagai berikut:
a. Pengagunan dalam rangka FLIS-RTGS
1) Bank memindahkan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang
diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat
diagunkan dari rekening aktif ke rekening agunan khusus FLIS-
RTGS pada sarana BI-SSSS.
2) Pemindahan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan
pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan
dilakukan pada saat Bank membutuhkan FLIS-RTGS
(self
assessment) selama jam operasional BI-RTGS sampai dengan cut off
warning sistem BI-RTGS.
3) SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah
berdasarkan prinsip syariah yang telah diagunkan sebagaimana
dimaksud dalam angka 1) tidak dapat dipindahkan ke rekening aktif
selama Bank menggunakan FLIS RTGS.
4) Bank dapat memindahkan kembali SWBI, surat berharga dan atau
tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah
yang dapat diagunkan sebagaimana dimaksud dalam angka 1) ke
rekening aktif setelah Bank melunasi FLIS-RTGS.
b. Pengagunan dalam rangka FLIS-Kliring
1) Bank harus memindahkan surat berharga berupa SWBI, surat
berharga dan atau tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan
prinsip …
6
prinsip syariah yang dapat diagunkan dari rekening aktif ke rekening
agunan khusus FLIS-Kliring dalam rangka pemenuhan kewajiban
penyediaan pendanaan awal (prefund).
2) Pemindahan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan
pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1) dilakukan pada awal hari
sebelum Kliring Debet dimulai sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia.
3) Bank dapat memindahkan kembali SWBI, surat berharga dan atau
tagihan yang diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah
yang dapat diagunkan sebagaimana dimaksud pada angka 1) ke
rekening aktif
mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
3. Mekanisme pengagunan SWBI, surat berharga dan atau tagihan yang
diterbitkan pemerintah berdasarkan prinsip syariah yang dapat diagunkan
dalam rangka FLIS melalui sarana BI-SSSS dilakukan mengikuti tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang berlaku.
IV. PENGGUNAAN FLIS
1. Penggunaan FLIS-RTGS
a. Bank dapat menggunakan FLIS-RTGS dimulai sejak sistem BI-RTGS
dibuka sampai dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS sepanjang Bank
telah memindahkan surat berharga ke rekening agunan FLIS-RTGS
sebagaimana dimaksud pada butir III.2.a.
b. Penggunaan FLIS-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo
rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk ;
1) penyelesaian transaksi keluar (outgoing transaction) sistem BI-
RTGS; dan
2) penyelesaian …
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
7
2) penyelesaian akhir Kliring Debet, sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia.
2. Penggunaan FLIS-Kliring
Penggunaan FLIS-Kliring
dilakukan secara otomatis pada saat saldo
rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk
memenuhi kewajiban Bank
dalam penyelesaian akhir Kliring Debet
sepanjang Bank telah memindahkan surat berharga ke rekening agunan
khusus FLIS-Kliring sebagaimana dimaksud pada butir III.2.b.
3. Mekanisme penggunaan FLIS melalui sarana BI-SSSS mengikuti tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang berlaku.
V. PELUNASAN FLIS
1. Bank wajib melunasi FLIS pada hari penggunaan FLIS (T+0) selambat-
lambatnya sampai dengan pre cut-off Sistem BI-RTGS.
2. Pelunasan FLIS dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap
terdapat transaksi masuk (incoming transaction) ke rekening giro rupiah
Bank di Bank Indonesia.
3. Mekanisme pelunasan FLIS melalui sarana BI-SSSS dilakukan mengikuti
tata cara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang
berlaku.
VI. IMBALAN PENGGUNAAN FLIS
1. Bank Indonesia mengenakan imbalan atas FLIS yang digunakan oleh Bank.
2. Pengenaan imbalan FLIS sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan
pada 1 (satu) hari kerja setelah penggunaan FLIS.
3. Perhitungan imbalan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
X …
8
X = P x R x N x [T / (10,5 jam x 60 menit)] x [1/360]
Keterangan:
X = besarnya imbalan yang diterima Bank Indonesia
P = nominal penggunaan FLIS
R = rata-rata tertimbang PUAS terakhir
N = nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia (sebesar 90%)
T
= waktu penggunaan FLIS (dihitung dan dibulatkan ke atas
sampai dengan perhitungan menit terdekat)
10,5 jam = jangka waktu dari mulai dibukanya jam operasional Sistem
BI-RTGS (pk.06.30 WIB) sampai dengan cut-off warning
Sistem BI-RTGS (pk.17.00).
4. Imbalan dalam 1 (satu) jam pertama penggunaan FLIS sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 dihitung dengan cara:
a. Pembulatan waktu penggunaan menjadi 1 (satu) jam; dan
b. Nilai nominal penggunaan FLIS dalam 1 (satu) jam pertama merupakan
akumulasi dari transaksi FLIS yang diajukan Bank dalam kurun waktu
tersebut.
5. Imbalan atas penggunaan FLIS yang terjadi setelah 1 (satu0 jam pertama
sebagaimana dimaksud dalam angka 4.b dihitung per transaksi dengan
pembulatan waktu pembulatan ke atas dalam hitungan menit.
6. Contoh pembulatan waktu penggunaan dan perhitungan imbalan FLIS
sebagaimana Lampiran 2.
VII. PENGALIHAN FLIS MENJADI FPJPS
1. Dalam hal Bank tidak melunasi FLIS sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam angka V.1. maka terhadap nilai FLIS yang
tidak dilaunasi diberlakukan sebagai FPJPS dan agunan yang tercatat dalam
sarana BI-SSSS otomatis dijadikan sebagai agunan FPJPS.
2. Dengan …
9
2. Dengan pengalihan FLIS menjadi FPJPS sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 maka Bank tunduk pada ketentuan FPJPS yang berlaku antara lain
meliputi kewajiban penyampaian perjanjian pembiayaan FPJPS dan akta
pengikatan agunan, tata cara pelunasan, eksekusi agunan, pengawasan dan
sanksi atas penggunaan FPJPS.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2005
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BUDI MULYA
DIREKTORAT PENGELOLAAN MONETER
DPM
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 7/36/DPM|SE-BI/2005 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title>
<set_date> 3 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date>
<related_reg> '7/24/PBI/2005' </related_reg>
|
No. 7/32/DPM
Jakarta, 1 Agustus 2005
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Marjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar
Uang Antar Bank
Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 tanggal 12 April
2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang
Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 39
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4383), sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/11/PBI/2005 tanggal 31 Maret
2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 34, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4491), maka Bank Indonesia
menetapkan marjin suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dan pasar uang
antar bank sebagai berikut:
1. Marjin untuk Maksimum Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam Rupiah
ditetapkan sebesar:
Jangka Waktu
Simpanan
1 bulan
3 bulan
6 bulan
Marjin
(basis point)
Ditambah 0 (nol)
Ditambah 5 (lima)
Ditambah 10 (sepuluh)
12 bulan Ditambah 25 (dua puluh lima)
24 bulan Ditambah 55 (lima puluh lima)
dari …
2
dari rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 3 (tiga) bulan pada
lelang terakhir.
2. Marjin untuk Maksimum Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga dalam US Dollar
ditetapkan sebesar:
Jangka Waktu
Simpanan
1 bulan
3 bulan
Marjin
(basis point)
Ditambah 106 (seratus enam)
Ditambah 102 (seratus dua)
6 bulan Ditambah 95 (sembilan puluh lima)
12 bulan Ditambah 86 (delapan puluh enam)
24 bulan Ditambah 89 (delapan puluh sembilan)
dari rata-rata suku bunga deposito dalam US Dollar bank-bank anggota Jakarta
Inter Bank Offered Rates (JIBOR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
menurut jangka waktu tertentu selama 1 (satu) bulan sebelumnya.
3. Marjin untuk maksimum Suku Bunga PUAB ditetapkan sebagai berikut :
a. Marjin untuk maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah yang dijamin
Pemerintah ditetapkan 0 (nol) basis point di atas rata-rata tertimbang suku
bunga PUAB overnight pagi dalam Rupiah dari bank-bank anggota JIBOR
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya.
b. Marjin untuk maksimum suku bunga PUAB dalam valuta asing dalam US
Dollar yang dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar 220 (dua ratus dua
puluh) basis point di bawah rata-rata tertimbang suku bunga PUAB
overnight dalam valuta asing US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya.
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
7/20/DPM tanggal 1 Juli 2005 perihal Marjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan
Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2005.
Agar …
3
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 7/32/DPM|SE-BI/2005 </reg_id>
<reg_title> Marjin Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank </reg_title>
<set_date> 1 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 1 Agustus 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '7/20/DPM|SE-BI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '6/11/PBI/2004', '7/11/PBI/2005' </related_reg>
|
No. 14/31/DPNP
Jakarta, 31 Oktober 2012
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK
DI INDONESIA
Perihal : Laporan Kantor Pusat Bank Umum
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 190,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5349) dan
dalam rangka menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan
penyampaian Laporan Kantor Pusat Bank Umum, yang selanjutnya
disebut dengan Laporan, perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam
Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
I. BANK PELAPOR
Yang termasuk sebagai Bank Pelapor meliputi:
1. Kantor pusat dari Bank yang berbadan hukum Indonesia,
yaitu:
a. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional;
b. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah;
2. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri;
dan
3. Unit Usaha Syariah.
II. CAKUPAN ...
II.
CAKUPAN LAPORAN
A. Laporan yang disusun secara mingguan adalah laporan
proyeksi arus kas.
B. Laporan yang disusun secara bulanan terdiri atas laporan:
1. kegiatan kustodian;
2. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN);
3. penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik bulanan;
4. remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan
Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia;
5. mutasi rekening pemerintah;
6. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank
berupa produk keuangan luar negeri;
7.
transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking;
8. structured product berupa data:
a. outstanding transaksi structured product;
b. transaksi structured product yang bermasalah;
9. pejabat eksekutif;
10. jaringan kantor; dan
11. laporan keuangan publikasi bulanan.
C. Laporan yang disusun secara triwulanan terdiri atas laporan:
1. penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik
triwulanan;
2. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank
berupa data:
a. bancassurance;
b. reksadana;
3.
laporan keuangan publikasi triwulanan; dan
4. penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah.
D. Laporan ...
D. Laporan yang disusun secara tahunan adalah laporan tenaga
kerja perbankan.
III. FORMAT LAPORAN
A. Format Laporan yang Disampaikan ke Bank Indonesia
Penyusunan Laporan mengacu pada Pedoman Penyusunan
Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang selanjutnya disebut
Pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan
Petunjuk Teknis Aplikasi Laporan Kantor Pusat Bank Umum
yang selanjutnya disebut Juknis sebagaimana tercantum
dalam Lampiran 2 yang merupakan satu kesatuan dan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini, dengan menggunakan
format sebagai berikut:
1. Laporan yang disusun secara mingguan berupa laporan
proyeksi arus kas menggunakan Form 707.
2. Laporan yang disusun secara bulanan:
a. kegiatan kustodian menggunakan Form 101;
b. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN):
1)
transaksi SKBDN menggunakan Form 201;
2) pembelian wesel SKBDN menggunakan Form 202;
3) penjualan wesel SKBDN menggunakan Form 203;
c. penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik
bulanan:
1) penerbit kartu kredit menggunakan Form 301;
2) penerbit selain kartu kredit menggunakan
Form 302;
3) acquirer menggunakan Form 303;
4)
infrastruktur menggunakan Form 304;
5) fraud APMK dan uang elektronik menggunakan
Form 306;
d. remittance ...
d. remittance:
1) remittance dari TKI di luar negeri menggunakan
Form 401;
2) remittance dari TKA di Indonesia menggunakan
Form 402;
e. mutasi rekening pemerintah menggunakan Form 501;
f. aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri
menggunakan Form 703;
g. transaksi perbankan melalui delivery channel
e-banking menggunakan Form 704;
h. structured product berupa data:
1) outstanding
transaksi
menggunakan Form 705;
2)
transaksi structured product yang bermasalah
menggunakan Form 706;
i. pejabat eksekutif:
1) pengangkatan, pergantian, dan pemberhentian
pejabat eksekutif menggunakan Form 801;
2)
j.
riwayat perkerjaan individual pejabat eksekutif
menggunakan Form 802;
jaringan kantor menggunakan Form 807;
k. laporan keuangan publikasi bulanan menggunakan
Form 901.
3. Laporan yang disusun secara triwulanan:
a. penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik
triwulanan berupa penyelenggara kliring dan/atau
penyelesaian akhir (settlement) menggunakan
Form 305;
structured product
b. aktivitas ...
b. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank
berupa data:
1) bancassurance menggunakan Form 701;
2)
reksadana menggunakan Form 702;
c. laporan keuangan publikasi triwulanan menggunakan
Form 902;
d. penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah:
1)
jenis produk dan permasalahan yang diadukan
menggunakan Form 601;
2) pengaduan yang diselesaikan dalam masa laporan
menggunakan Form 602;
3) penyebab pengaduan menggunakan Form 603;
4) publikasi negatif menggunakan Form 604;
5) penyelesaian sengketa menggunakan Form 605.
4. Laporan yang disusun secara tahunan berupa data tenaga
kerja perbankan yang meliputi:
a. struktur tenaga kerja menurut jenjang informasi
pendidikan, status tenaga kerja, jenis kelamin, usia,
pendidikan, dan jabatan menggunakan Form 803;
b. perkembangan jumlah tenaga kerja pensiun, pensiun
dini, dan tenaga kerja yang diberhentikan
menggunakan Form 804;
c. prediksi jumlah kebutuhan pegawai berdasarkan jenis
pekerjaan dan kualifikasi menggunakan Form 805;
d. jumlah dan pelatihan karyawan menggunakan
Form 806.
B. Format ...
B. Format Laporan yang Disampaikan oleh Bank Pelapor
1. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional wajib menyampaikan laporan dengan
format sebagai berikut: Form 101, Form 201, Form 202,
Form 203, Form 301, Form 302, Form 303, Form 304,
Form 305, Form 306, Form 401, Form 402, Form 501,
Form 601, Form 602, Form 603, Form 604, Form 605,
Form 701, Form 702, Form 703, Form 704, Form 705,
Form 706, Form 707, Form 801, Form 802, Form 803,
Form 804, Form 805, Form 806, Form 807, Form 901, dan
Form 902.
2. Kantor Pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah wajib menyampaikan laporan
dengan format sebagai berikut: Form 101, Form 201,
Form 202, Form 203, Form 301, Form 302, Form 303,
Form 304, Form 305, Form 306, Form 401, Form 402,
Form 501, Form 601, Form 602, Form 603, Form 604,
Form 605, Form 701, Form 702, Form 704, Form 707,
Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805,
Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902.
3. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
wajib menyampaikan laporan dengan format sebagai
berikut: Form 101, Form 201, Form 202, Form 203,
Form 301, Form 302, Form 303, Form 304, Form 305,
Form 306, Form 401, Form 402, Form 501, Form 601,
Form 602, Form 603, Form 604, Form 605, Form 701,
Form 702 ...
Form 702, Form 703, Form 704, Form 705, Form 706,
Form 707, Form 801, Form 802, Form 803, Form 804,
Form 805, Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902.
4. Unit Usaha Syariah wajib menyampaikan laporan dengan
format sebagai berikut: Form 301, Form 302, Form 303,
Form 304, Form 305, Form 306, dan Form 902.
C. Bank Pelapor yang Tidak Perlu Menyampaikan Format Laporan
atas Kegiatan/Aktivitas Tertentu
1. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan
kustodian tidak menyampaikan Form 101.
2. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan APMK
dan uang elektronik tidak menyampaikan Form 301,
Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, dan Form 306.
3. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas
bancassurance tidak menyampaikan Form 701.
4. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas
sebagai agen penjual efek reksadana tidak menyampaikan
Form 702.
5. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas
keagenan produk keuangan luar negeri tidak
menyampaikan Form 703.
6. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan transaksi
perbankan melalui delivery channel e-banking tidak
menyampaikan Form 704.
7. Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan
structured product tidak menyampaikan Form 705 dan
Form 706.
IV. PENYAMPAIAN …
...
IV.
PENYAMPAIAN DAN KOREKSI LKPBU
A. Batas Waktu Penyampaian dan Koreksi LKPBU
1. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang Disusun Secara
Mingguan
a. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A.1 pada setiap hari Jumat.
Contoh:
Laporan proyeksi arus kas periode tanggal 8-12 Oktober
2012 disampaikan pada hari Jumat tanggal 5 Oktober
2012.
b. Dalam hal hari Jumat adalah hari libur maka laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A.1 disampaikan kepada Bank
Indonesia pada Hari Kerja sebelumnya.
Contoh:
Laporan mingguan proyeksi arus kas yang seharusnya
disampaikan pada hari Jumat tanggal 26 Oktober 2012
menjadi disampaikan pada hari Kamis tanggal
25 Oktober 2012, karena tanggal 26 Oktober 2012
merupakan hari libur.
2. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang Disusun Secara
Bulanan
a. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A.2.a, butir III.A.2.b,
butir III.A.2.d, butir III.A.2.e, butir III.A.2.g, butir
III.A.2.h, butir III.A.2.i, dan butir III.A.2.j paling lambat
5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan laporan berikutnya
Contoh ...
Contoh:
Laporan, form header, dan/ atau koreksi laporan
kegiatan kustodian bulan Oktober 2012 disampaikan
paling lambat pada hari Rabu tanggal 7 November
2012.
b. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A.2.k paling lambat 5 (lima)
Hari Kerja pada awal 2 (dua) bulan laporan berikutnya.
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi laporan
keuangan publikasi bank bulan Oktober 2012
disampaikan paling lambat pada hari Jumat
tanggal 7 Desember 2012.
c. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form
header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A.2.c dan butir III.A.2.f
paling lambat tanggal 15 pada bulan laporan
berikutnya.
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi laporan
penerbit kartu kredit bulan Desember 2012
disampaikan paling lambat pada hari Selasa
tanggal 15 Januari 2013.
d. Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, Minggu,
atau hari libur maka laporan, form header, dan/atau
koreksi laporan disampaikan kepada Bank Indonesia
pada Hari Kerja berikutnya.
Contoh ...
Contoh:
Laporan, form header, dan/atau koreksi laporan
penerbit kartu kredit bulan Oktober 2012 disampaikan
paling lambat hari Jumat tanggal 16 November 2012,
karena tanggal 15 November 2012 merupakan hari
libur.
3. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang Disusun Secara
Triwulanan
a. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form
header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A.3.d paling lambat 5 (lima)
Hari Kerja pada awal bulan April untuk triwulan I,
5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Juli untuk triwulan
II, 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Oktober untuk
triwulan III, dan 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan
Januari untuk triwulan IV.
Contoh:
Laporan penanganan dan pengaduan nasabah untuk
triwulan III tahun 2012 disampaikan paling lambat
tanggal 5 Oktober 2012. Data yang dilaporkan
merupakan akumulasi data dari tanggal 1 Juli 2012
sampai dengan tanggal 30 September 2012.
b. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A.3.a dan butir III.A.3.b paling
lambat pada tanggal 15 bulan April untuk triwulan I,
tanggal 15 bulan Juli untuk triwulan II,
tanggal 15 bulan Oktober untuk triwulan III, dan
tanggal 15 bulan Januari untuk triwulan IV.
.
Contoh ...
Contoh:
Laporan penyelenggara kliring dan/atau penyelesaian
akhir (settlement) untuk triwulan III tahun 2012
disampaikan paling lambat tanggal 15 Oktober 2012.
c. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A.3.c paling lambat tanggal
15 bulan Mei untuk triwulan I, tanggal 15
bulan Agustus untuk triwulan II, tanggal 15
bulan November untuk triwulan III, dan tanggal 15
bulan April untuk triwulan IV.
Contoh:
1) Laporan keuangan publikasi bank untuk triwulan
III posisi akhir bulan September 2012 disampaikan
paling lambat tanggal 15 November 2012.
2) Laporan keuangan publikasi bank untuk triwulan
IV posisi akhir bulan Desember 2012 disampaikan
paling lambat tanggal 15 April 2013.
d. Dalam hal tanggal 15 jatuh pada hari Sabtu, Minggu,
atau hari libur maka laporan, form header, dan/atau
koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b
dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia pada
Hari Kerja berikutnya.
Contoh:
Laporan, form header dan/atau koreksi laporan
penyelenggara kliring dan/atau settlement untuk
triwulan II tahun 2012 paling lambat disampaikan
kepada Bank Indonesia pada tanggal 15 Juli 2012,
namun
karena
tanggal
15 Juli 2012 jatuh pada
hari ...
hari Minggu, maka laporan tersebut paling lambat
disampaikan pada hari Senin tanggal 16 Juli 2012.
4. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang Disusun Secara
Tahunan
Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan, form header,
dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam
butir III.A.4 paling lambat pada tanggal 15 Februari tahun
berikutnya.
Contoh:
Laporan, form header dan/atau koreksi laporan tenaga
kerja tahun 2012 disampaikan kepada Bank Indonesia
paling lambat pada tanggal 15 Februari 2013.
Dalam hal tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu,
Minggu atau hari libur maka laporan, form header,
dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam
butir III.A.4 disampaikan kepada Bank Indonesia pada
Hari Kerja berikutnya.
B. Tata Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau
Koreksi Laporan
1. Sebelum menyampaikan Laporan, Bank Pelapor
melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi yang
telah ditetapkan dalam Juknis sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 2.
2. Bank Pelapor wajib menyampaikan form sesuai dengan
jenis Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir III.A.
3. Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data Laporan
sebagaimana dimaksud dalam butir III.A yang wajib
disampaikan selama periode Laporan, Bank Pelapor tetap
wajib ...
wajib menyampaikan Laporan dengan cara menyampaikan
form header.
4. Kewajiban menyampaikan form header sebagaimana
dimaksud pada angka 3 tidak berlaku bagi Bank Pelapor
yang tidak menyelenggarakan kegiatan kustodian, kegiatan
APMK dan uang elektronik, aktivitas bancassurance,
aktivitas sebagai agen penjual efek reksadana, aktivitas
keagenan produk keuangan luar negeri, transaksi
perbankan melalui delivery channel e-banking dan kegiatan
structured product.
5. Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau
konsolidasi dengan Bank Pelapor lain namun secara
operasional belum efektif berlaku, masing-masing Bank
Pelapor peserta merger atau konsolidasi tetap wajib
menyampaikan Laporan sebelum dilakukan merger atau
konsolidasi secara operasional.
Contoh:
Apabila pada tanggal 22 Juli 2013 Bank Pelapor X secara
operasional telah melakukan merger atau konsolidasi
dengan Bank Pelapor Y, maka masing-masing Bank
Pelapor wajib menyampaikan Laporan bulan Juni 2013.
Sementara itu, Laporan bulan Juli 2013 merupakan
Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh
Bank Pelapor hasil merger atau konsolidasi.
Contoh:
Apabila pada tanggal 22 Juli 2013 Bank Pelapor X secara
operasional telah melakukan merger atau konsolidasi
dengan Bank Pelapor Y, maka Laporan triwulan III
tahun 2013 merupakan Laporan konsolidasi atau
gabungan ...
gabungan yang dilaporkan oleh Bank Pelapor hasil merger
atau konsolidasi.
C. Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi
Laporan Secara On-Line
1. Sistem LKPBU secara On-Line digunakan untuk
penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sampai dengan akhir bulan periode penyampaian
Laporan.
Contoh:
a. Bank Pelapor wajib menyampaikan laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan kegiatan
kustodian bulan September 2012 secara On-line paling
lambat 5 (lima) hari kerja pada awal bulan Oktober
2012. Sistem LKPBU secara On-Line hanya dapat
digunakan untuk penyampaian laporan, form header,
dan/atau koreksi laporan kegiatan kustodian sampai
dengan akhir bulan Oktober 2012.
b. Bank Pelapor menyampaikan laporan, form header,
dan/atau koreksi laporan bancassurance untuk
triwulan III tahun 2012 secara On-Line paling lambat
tanggal 15 Oktober 2012. Sistem LKPBU secara On-Line
hanya dapat digunakan untuk penyampaian laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan bancassurance
sampai dengan akhir bulan Oktober 2012.
c. Bank Pelapor menyampaikan laporan, form header,
dan/atau koreksi laporan tenaga kerja perbankan
untuk tahun 2012 secara On-Line paling lambat tanggal
15 Februari 2013. Sistem LKPBU secara On-Line hanya
dapat ...
dapat digunakan untuk penyampaian laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan tenaga kerja
perbankan sampai dengan akhir bulan Februari 2013.
2. Khusus untuk laporan proyeksi arus kas sebagaimana
dimaksud dalam butir III.A.1, Sistem LKPBU secara
On-Line hanya dapat digunakan sampai dengan 2 (dua)
Hari Kerja setelah hari Jumat.
Contoh:
Bank Pelapor menyampaikan laporan, form header,
dan/atau koreksi laporan proyeksi arus kas untuk periode
tanggal 8-12 Oktober 2012 secara On-Line pada hari Jumat
tanggal 5 Oktober 2012. Sistem LKPBU secara On-Line
hanya dapat digunakan untuk penyampaian laporan,
form header, dan/atau koreksi laporan proyeksi arus kas
sampai dengan tanggal 9 Oktober 2012.
D. Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi
Laporan Secara Off-Line
1. Penyampaian Secara Off-Line Karena Melampaui Batas
Waktu Penyampaian Secara On-Line
Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan yang dilakukan melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud pada huruf C dilakukan secara
Off-Line.
2. Penyampaian Secara Off-Line Karena Gangguan Teknis
a. Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis
pada batas waktu penyampaian Laporan, Bank Pelapor
wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai gangguan teknis yang dialami pada hari
terjadinya gangguan teknis.
b. Pemberitahuan ...
b. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor
berwenang dan disampaikan kepada:
1) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi,
Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi
Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
2) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi,
Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan
Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang
berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia.
c. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan secara On-Line
karena gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada
huruf a wajib menyampaikan Laporan, form header,
dan/atau koreksi Laporan secara Off-Line kepada
Bank Indonesia dengan alamat:
1) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi,
Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 bagi
Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia paling lambat
pukul 10:00 WIB pada Hari Kerja berikutnya; atau
2) Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang
mewilayahi Bank Pelapor yang berkedudukan
di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia
paling lambat pukul 10:00 waktu setempat pada
Hari Kerja berikutnya.
Contoh ...
Contoh:
Pada tanggal 5 November 2012 Bank Pelapor X
mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara On-Line, maka Bank Pelapor X wajib
menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan secara Off-Line paling lambat tanggal
6 November 2012 pukul 10:00 waktu setempat.
d. Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia,
Bank Indonesia akan memberitahukan secara tertulis
dan/atau menggunakan sarana lainnya kepada Bank
Pelapor.
e. Dalam hal gangguan teknis terjadi pada batas waktu
penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A.1.a,
butir IV.A.1.b, butir IV.A.2.a, butir IV.A.2.b,
butir IV.A.2.c, butir IV.A.2.d, butir IV.A.3.a,
butir IV.A.3.b, butir IV.A.3.c, butir IV.A.3.d, dan
butir IV.A.4, Bank Pelapor wajib menyampaikan
Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan pada
Hari Kerja berikutnya secara Off-Line.
f. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan,
form header, dan/atau koreksi Laporan karena keadaan
memaksa (force majeure) wajib segera memberitahukan
secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab
terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang
ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor yang
berwenang kepada Bank Indonesia dengan alamat:
1) Departemen ...
1) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi,
Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi
Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
2) Departemen Pengelolaan Sistem Informasi,
Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan
tembusan kepada Kantor Perwakilan
Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang
berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia.
V. PENYAMPAIAN PERTANYAAN
Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan yang berkaitan
dengan sistem, materi, dan/atau ketentuan Laporan kepada Bank
Indonesia sebagai berikut:
1. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Grup Neraca
Pembayaran mengenai materi Form 101, Form 401, dan
Form 402.
2. Departemen Internasional, Grup Kerjasama dan Studi
Multilateral mengenai materi Form 201, Form 202, dan
Form 203.
3. Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran,
Divisi Perizinan dan Informasi Sistem Pembayaran dan Divisi
Pengawasan Sistem Pembayaran mengenai materi Form 301,
Form 302, Form 303, Form 304, Form 305, dan Form 306.
4. Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,
Grup Kebijakan Moneter mengenai materi Form 501.
5. Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Divisi Mediasi
Perbankan mengenai materi Form 601, Form 602, Form 603,
Form 604, dan Form 605.
6. Departemen ...
6. Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan mengenai
materi Form 701, Form 702, Form 703, Form 704, Form 705,
Form 706, dan Form 707.
7. Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan mengenai
materi Form 801, Form 802, Form 803, Form 804, Form 805,
Form 806, Form 807, Form 901, dan Form 902.
8. Departemen Pengelolaan Sistem Informasi, mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan aplikasi dan otomasi sistem
penyampaian Laporan dan akses Sistem LKPBU
di Bank Indonesia.
Pertanyan-pertanyaan yang terkait dengan hal-hal tersebut di atas
disampaikan melalui Helpdesk Bank Indonesia dengan
nomor telepon (021) 381-8000.
VI. SANKSI
Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada
Bank Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh
Bank Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar yang
dikenakan.
VII. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/3/UKMI
tanggal 8 Februari 2008 perihal Laporan Kantor Pusat
Bank Umum; dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/18/DPNP
tanggal 16 Juli 2009 perihal Pelaporan Structured Product,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada
tanggal 1 November 2012.
Agar ...
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MULYA E. SIREGAR
KEPALA DEPARTEMEN
PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
DPNP/DASP/DSM/DInt
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 14/31/DPNP|SE-BI/2012 </reg_id>
<reg_title> Laporan Kantor Pusat Bank Umum </reg_title>
<set_date> 31 Oktober 2012 </set_date>
<effective_date> 1 November 2012 </effective_date>
<replaced_reg> '11/18/DPNP|SE-BI/2009', '10/3/UKMI|SE-BI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '14/12/PBI/2012' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
|
No. 5/29/DPD
Jakarta, 18 November 2003
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA PERUSAHAAN PIALANG
PASAR UANG RUPIAH DAN VALUTA ASING
: Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia
No.5/5/PBI/2003 tanggal 1 April 2003 tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang
Rupiah dan Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
4283), dengan ini diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Perusahaan Pialang
Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing sebagai berikut.
I. TATA CARA PERIZINAN
A. Persetujuan Prinsip
1. Permohonan persetujuan prinsip diajukan oleh salah satu calon pemilik
Perusahaan Pialang, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh
format Lampiran 1.
Perihal
2. Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana diatur dalam angka 1
diajukan kepada :
Bank Indonesia
Direktorat Pengelolaan Devisa
Gedung B, Lantai 8
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110.
3. Dalam hal pemohon tidak memenuhi kelengkapan dokumen yang
dipersyaratkan, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan …
permohonan tersebut diterima oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia
memberitahukan dengan surat tertulis kepada pemohon untuk
melengkapi dokumen dimaksud.
4. Dalam hal dokumen yang dipersyaratkan telah lengkap sesuai dengan
ketentuan maka Bank Indonesia akan menerbitkan tanda terima
kelengkapan dokumen pengajuan permohonan sebagaimana tersebut di
atas selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
5. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan permohonan
persetujuan prinsip untuk melakukan kegiatan sebagai Perusahaan
Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing dengan surat tertulis
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
6. Perusahaan Pialang wajib mengajukan permohonan izin usaha
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya
persetujuan prinsip.
7. Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip dikeluarkan oleh Bank Indonesia, pihak yang telah
mendapat persetujuan prinsip belum mengajukan permohonan izin
usaha, secara otomatis, tanpa surat pemberitahuan dari Bank Ind onesia,
persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia tersebut
dinyatakan tidak berlaku lagi.
B. Izin Usaha
1. Permohonan izin usaha diajukan oleh salah satu calon pemilik
perusahaan pialang, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh
format Lampiran 2.
2. Permohonan izin usaha sebagaimana diatur dalam angka 1 diajukan
kepada:
Bank Indonesia …
Bank Indonesia
Direktorat Pengelolaan Devisa
Gedung B, Lantai 8
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110.
3. Dalam hal pemohon tidak memenuhi kelengkapan dokumen yang
dipersyaratkan, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
dokumen permohonan dimaksud diterima oleh Bank Indonesia, Bank
Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk
melengkapi dokumen dimaksud.
4. Dalam hal dokumen yang dipersyaratkan telah lengkap sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia maka Bank Indonesia akan
menerbitkan tanda terima kelengkapan dokumen pengajuan
permohonan sebagaimana tersebut di atas selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap oleh Bank Indonesia.
5. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan permohonan
izin usaha untuk melakukan kegiatan sebagai Perusahaan Pialang Pasar
Uang Rupiah dan Valuta Asing dengan surat tertulis selambat-
lambatnya 90 (sembilan puluh) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
6. Perusahaan Pialang wajib melakukan kegiatan usaha selambat-
lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal izin usaha dikeluarkan.
7. Perusahaan Pialang wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan
kegiatan operasional.
8. Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak dikeluarkannya
izin usaha Perusahaan Pialang tidak melaksanakan kegiatan usaha,
maka …
maka Bank Indonesia akan membatalkan izin usaha dengan
menerbitkan surat pembatalan izin usaha.
II. TATA CARA PENGAWASAN
A. Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Pialang,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
B. Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap Perusahaan Pialang, Bank
Indonesia dapat bekerjasama dengan pihak lain yang ditunjuk.
C. Dalam hal pengawasan langsung, Bank Indonesia melakukan
pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan umum dan atau pemeriksaan
khusus (insidentil) dalam hal diperlukan.
D. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, petugas pemeriksa dilengkapi dengan
surat penugasan dari Bank Indonesia yang memuat antara lain tujuan dan
objek pemeriksaan.
E. Objek pemeriksaan umum meliputi :
1. penelitian atas kebenaran dan keakuratan laporan-laporan yang
disampaikan ke Bank Indonesia;
2. manajemen (termasuk aspek organisasi, keuangan dan pengawasan
intern) serta sistem dan prosedur kegiatan operasional.
F. Dalam hal pengawasan tidak langsung, Bank Indonesia melakukan
pemantauan terhadap kepatuhan atas pelaksanaan ketentuan yang berlaku,
termasuk penyampaian laporan yang ditetapkan.
III. TATA CARA PELAPORAN
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan, Perusahaan Pialang wajib
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut :
A. Laporan Berkala :
1. Laporan bulanan meliputi laporan kegiatan usaha yang disampaikan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah berakhirnya
bulan …
bulan laporan yang bersangkutan dengan menggunakan format
sebagaimana contoh format Lampiran 3;
2. Laporan tahunan meliputi laporan keuangan yang telah diaudit oleh
kantor akuntan publik dan disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya tahun laporan yang bersangkutan dengan
format yang lazim dipergunakan di dunia usaha.
B. Laporan khusus meliputi laporan selain laporan berkala yang dapat
diminta sewaktu-waktu oleh Bank Indonesia sesuai dengan kebutuhan.
C. Laporan sebagaimana dimaksud pada butir III.A. dan III.B. di atas
disampaikan kepada:
Bank Indonesia
Direktorat Pengelolaan Devisa
Tim Analisis Ekonomi dan Peraturan Devisa
Gedung B, Lantai 8
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110.
IV. TATA CARA PERUBAHAN KEPEMILIKAN, SUSUNAN DIREKSI,
DAN KOMISARIS.
Tata cara izin perubahan kepemilikan, susunan direksi dan komisaris
Perusahaan Pialang diatur sebagai berikut :
A. Perusahaan Pialang mengajukan permohonan izin
perubahan
kepemilikan, susunan direksi dan komisaris secara tertulis kepada Bank
Indonesia dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh format
Lampiran 4.
B. Surat permohonan izin perubahan
kepemilikan, susunan direksi dan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam huruf A dilengkapi dengan
dokumen sebagai berikut :
1. pas foto terakhir ukuran 4x6 cm;
2. fotokopi…
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor;
3. riwayat hidup;
4. surat pernyataan pribadi bermeterai cukup yang menyatakan tidak
pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan,
dan usaha lainnya serta tidak pernah dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana kejahatan.
C. Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam butir IV.A. diajukan
kepada :
Bank Indonesia
Direktorat Pengelolaan Devisa
Gedung B, Lantai 8
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110.
D. Dalam hal dokumen yang dipersyaratkan telah diterima secara lengkap
oleh Bank Indonesia, maka Bank Indonesia akan memberikan surat tanda
terima.
E. Pemberitahuan persetujuan atau penolakan izin sebagaimana dimaksud
pada butir IV.A. tersebut di atas, dilakukan dengan memberikan surat
tertulis kepada perusahaan pialang yang bersangkutan selambat-
lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap oleh Bank Indonesia.
V. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
A. Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan pertama dengan
mengeluarkan surat peringatan pertama dalam hal Perusahaan Pialang
melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2)
PBI No. 5/5/PBI/2003.
B. Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dengan
mengeluarkan surat peringatan kedua dalam hal Perusahaan Pialang
melakukan …
melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3)
PBI No. 5/5/PBI/2003.
C. Dalam hal perusahaan pialang melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) huruf a dan huruf b PBI No.
5/5/PBI/2003 maka :
1. Bank Indonesia melakukan pemanggilan pengurus dan atau pemegang
saham Perusahaan Pialang dengan surat;
2. Pengurus dan atau pemegang saham Perusahaan Pialang membuat
surat pernyataan bermeterai cukup yang memuat rencana tindak lanjut.
D. Dalam hal Perusahaan Pialang tidak mengindahkan dan atau tidak
menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4)
huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f PBI No. 5/5/PBI/2003 selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi
pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham, Bank Indonesia
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha Perusahaan Pialang dengan
cara memberitahukan pencabutan izin usaha secara tertulis kepada
Perusahaan Pialang dengan melampirkan Keputusan Pencabutan Izin
Usaha yang menyatakan izin usaha Perusahaan Pialang yang
bersangkutan dicabut dan tidak berlaku. Selanjutnya Bank Indonesia
mengumumkan Perusahaan Pialang yang izin usahanya dicabut melalui
media cetak dan atau elektronik.
VI. TATA CARA PENDAFTARAN ULANG
A. Seluruh Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang
pernah mendapatkan izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan
pendaftaran ulang dengan menggunakan format sebagaimana contoh
format Lampiran 5. Dalam rangka pendaftaran ulang dimaksud
Perusahaan Pialang wajib menyampaikan surat disertai dokumen-
dokumen sebagai berikut :
1. Surat…
1. Surat izin usaha yang diterbitkan Bank Indonesia;
2. Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia
mengenai penetapan nama perusahaan dan pengesahan Anggaran
Dasar;
3. Akta Notaris mengenai Anggaran Dasar perusahaan;
4. Susunan Pengurus dan Pemegang Saham yang terakhir.
B. Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf A
disampaikan kepada :
Bank Indonesia
Direktorat Pengelolaan Devisa
Gedung B Lantai 8
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10110.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 18 November
2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar maklum.
BANK INDONESIA,
MADE SUKADA
DIREKTUR PENGELOLAAN DEVISA
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 5/29/DPD|SE-BI/2003 </reg_id>
<reg_title> Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing </reg_title>
<set_date> 18 November 2003 </set_date>
<effective_date> 18 November 2003 </effective_date>
<related_reg> '5/5/PBI/2003' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
|
No. 6/ 32 /DPM
Jakarta, 30 Juli 2004
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal :
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/20/DPM Tanggal
26 April 2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak
Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank
Menunjuk Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/11/PBI/2004 tanggal
12 April 2004 tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar
Uang Antar Bank, maka perlu dilakukan perubahan pada beberapa butir dalam
Surat Edaran Nomor 6/20/DPM tanggal 26 April 2004 perihal Suku Bunga
Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank, sebagai berikut:
1. Butir I.B.2 diubah sehingga menjadi sebagai berikut:
”2. Marjin Maksimum Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga ditetapkan
sebesar:
Jangka Waktu
Simpanan
1 bulan
3 bulan
6 bulan
12 bulan
24 bulan
Marjin
(basis point)
Dikurangi 4 (empat)
Ditambah 1 (satu)
Ditambah 6 (enam)
Ditambah 21 (dua puluh satu)
Ditambah 51 (lima puluh satu)
dari rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka waktu 3 (tiga) bulan
pada lelang terakhir.”
2. Butir I.B.4 diubah sehingga menjadi sebagai berikut:
“4. Marjin …
2
“4. Marjin untuk maksimum suku bunga simpanan pihak ketiga dalam valuta
asing US Dollar berjangka waktu 1, 3, 6, 12 dan 24 bulan yang dijamin
Pemerintah masing-masing ditambah 3 (tiga) basis point di atas rata-rata
suku bunga deposito dalam valuta asing US Dollar dari bank-bank anggota
Jakarta Inter Bank Offered Rates (JIBOR) yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia menurut jangka waktu tertentu selama 1 (satu) bulan sebelumnya.”
3. Butir II.B diubah sehingga menjadi sebagai berikut:
“B. Maksimum Suku Bunga PUAB
a. Maksimum suku bunga PUAB dalam Rupiah yang dijamin Pemerintah
ditetapkan sebesar 23 (dua puluh tiga) basis point di atas rata-rata
tertimbang suku bunga PUAB overnight pagi dalam Rupiah dari bank-
bank anggota JIBOR yang dipilih oleh Bank Indonesia selama 1 (satu)
bulan sebelumnya.
b. Maksimum suku bunga PUAB dalam valuta asing dalam US Dollar yang
dijamin Pemerintah ditetapkan sebesar 24 (dua puluh empat) basis point
di bawah rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight pagi valuta
asing dalam US Dollar dari bank-bank anggota JIBOR yang dipilih oleh
Bank Indonesia selama 1 (satu) bulan sebelumnya.”
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 30 Juli 2004.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
Ttd.
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 6/32/DPM|SE-BI/2004 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/20/DPM Tanggal 26 April 2004 Tentang Suku Bunga Penjaminan Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank </reg_title>
<set_date> 30 Juli 2004 </set_date>
<effective_date> 30 Juli 2004 </effective_date>
<changed_reg> '6/20/DPM|SE-BI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '6/11/PBI/2004 | Pasal 3', '6/20/DPM|SE-BI/2004' </related_reg>
|
No. 11/ 1 /DPNP
Jakarta, 21 Januari 2009
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
SECARA KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal: Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko untuk
Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Dalam rangka upaya meningkatkan penyaluran kredit kepada usaha
mikro, kecil, dan menengah serta sehubungan dengan pengaturan dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, maka perlu diatur
kembali ketentuan mengenai perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko yang
selanjutnya disebut ATMR untuk Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
yang selanjutnya disebut KUMKM dalam Surat Edaran Bank Indonesia dengan
pokok-pokok ketentuan sebagai berikut:
I. UMUM
A. Sejalan dengan upaya menggerakkan perekonomian dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka peran perbankan
dalam …
dalam pembiayaan pembangunan terutama dalam rangka penyaluran
kredit terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah perlu ditingkatkan.
B. Sebagian besar usaha mikro, kecil, dan menengah yang layak,
menghadapi permasalahan dalam pemenuhan persyaratan teknis
perbankan (bankable) sehingga dalam penyaluran kredit kepada usaha
mikro, kecil, dan menengah tersebut diperlukan upaya untuk
meningkatkan peran lembaga penjaminan/asuransi kredit.
C. Kebijakan dalam rangka meningkatkan peran perbankan dan lembaga
penjaminan/asuransi kredit tersebut dilakukan dengan menurunkan
penetapan bobot risiko dalam perhitungan ATMR untuk KUMKM
yang dijamin oleh lembaga penjaminan/asuransi kredit yang
memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
II. PERHITUNGAN ATMR
A. KUMKM
Dalam perhitungan ATMR, KUMKM dikenakan bobot risiko sebesar
85% (delapan puluh lima persen).
KUMKM dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini adalah kredit atau
pembiayaan untuk modal kerja atau investasi yang diberikan Bank
kepada nasabah usaha mikro, kecil, dan menengah dengan jumlah
maksimum fasilitas sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
untuk membiayai kegiatan usaha yang produktif.
Usaha mikro, kecil, dan menengah adalah usaha yang memenuhi
kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan …
Ketentuan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang No. 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
B. Bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit
berstatus BUMN
1. Dalam perhitungan ATMR, bagian KUMKM yang dijamin
lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN dikenakan
bobot risiko sebesar 20% (dua puluh persen) sepanjang memenuhi
persyaratan tertentu.
Persyaratan tertentu dimaksud meliputi:
a. KUMKM memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Kredit yang diberikan termasuk dalam kategori KUMKM
sebagaimana dimaksud dalam huruf A; dan
2) Rata-rata fasilitas KUMKM per debitur paling tinggi
0,2% dari total KUMKM. Formula yang digunakan untuk
pemantauan batasan tersebut adalah sebagai berikut:
Total KUMKM/ jumlah debitur < 0,2% x Total
KUMKM.
Sebagai contoh:
Bank memberikan penyaluran KUMKM kepada beberapa
debitur sebagai berikut:
Jumlah Debitur
200
150
100
50
25
Fasilitas
500.000.000
400.000.000
50.000.000
15.000.000
10.000.000
Total
100.000.000.000
60.000.000.000
5.000.000.000
750.000.000
250.000.000
Sesuai …
Sesuai data penyaluran kredit tersebut maka
Total KUMKM adalah Rp. 166.000.000.000,-, sedangkan
jumlah debitur adalah 525 sehingga Total KUMKM/
jumlah debitur adalah Rp. 166.000.000.000,-/ 525 =
Rp. 316.190.476,-.
Selanjutnya 0,2% dari Total KUMKM adalah 0,2% x
Rp. 166.000.000.000,- = Rp. 332.000.000,-.
Dengan demikian maka KUMKM tersebut memenuhi
persyaratan yaitu rata-rata fasilitas KUMKM per debitur
paling tinggi 0,2% dari total KUMKM (Rp. 316.190.476,-
< Rp. 332.000.000,-).
b. Skema penjaminan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Pangsa penjaminan KUMKM oleh lembaga penjaminan/
asuransi kredit berstatus BUMN paling tinggi 70% (tujuh
puluh persen) dari KUMKM yang diberikan Bank;
2) Bank wajib segera mengajukan klaim yang disampaikan
kepada lembaga penjaminan/asuransi kredit paling lambat
1 (satu) bulan setelah debitur memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a) Terjadi tunggakan pokok, bunga, dan atau tagihan
lainnya yang menjadikan kualitas kredit tersebut
dinilai “Diragukan” sesuai ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku walaupun belum jatuh tempo; atau
b) Tidak diterimanya pembayaran pokok, bunga, dan
atau tagihan lainnya pada saat kredit jatuh tempo;
3) Pembayaran penjaminan paling lambat 15 (lima belas)
hari kerja setelah klaim diajukan Bank dan dokumen
diterima …
diterima secara lengkap oleh lembaga penjaminan
/asuransi kredit;
4) Jangka waktu penjaminan paling kurang sama dengan
jangka waktu kredit; dan
5) Penjaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak
dapat dibatalkan (irrevocable).
Persyaratan pada huruf b angka 1) sampai dengan angka 5)
wajib dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dengan
lembaga penjaminan/asuransi kredit.
c. Lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) didukung oleh dana penjaminan (modal) termasuk setoran
dana dari pemerintah dengan gearing ratio yang mengacu
pada ketentuan yang berlaku yang dikeluarkan oleh
otoritas yang mengatur lembaga penjaminan, paling tinggi
10 (sepuluh) kali; dan
2) mematuhi ketentuan mengenai lembaga penjaminan/
asuransi kredit yang diatur oleh otoritas yang berwenang.
2. Bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi
kredit berstatus BUMN yang tidak memenuhi persyaratan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam huruf B.1, dalam perhitungan
ATMR dikenakan bobot risiko sebesar 50% (lima puluh persen).
C. Bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit
berstatus bukan BUMN
1. Dalam perhitungan ATMR, bagian KUMKM yang dijamin
lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus bukan BUMN yang
memenuhi …
memenuhi persyaratan tertentu dikenakan bobot risiko sesuai
dengan peringkat lembaga penjaminan/asuransi yaitu sebagai
berikut:
Peringkat
Lembaga Penjaminan/
Asuransi Kredit
AAA s.d AA- atau
Aaa s.d Aa3
A+ s.d BBB- atau
A1 s.d Baa3
BB+ s.d B- atau
Ba1 s.d B3
Bobot Risiko
20%
50%
75%
Peringkat lembaga penjaminan/asuransi tersebut adalah peringkat
yang diterbitkan dalam 1 (satu) tahun terakhir oleh lembaga
pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia.
Bagi lembaga pemeringkat yang menggunakan simbol peringkat
yang berbeda maka peringkat tersebut disesuaikan dengan simbol
peringkat yang setara yang digunakan oleh lembaga pemeringkat
yang diakui oleh Bank Indonesia dimaksud.
Dalam hal lembaga penjaminan/asuransi kredit memiliki lebih
dari 1 (satu) peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat
yang diakui oleh Bank Indonesia maka perhitungan ATMR
menggunakan peringkat yang terendah.
Persyaratan tertentu dimaksud meliputi:
a. KUMKM memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
angka II.B.1.a.
b. Skema …
b. Skema penjaminan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada angka II.B.1.b.
c. Lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus bukan BUMN
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Pendirian lembaga penjaminan kredit sesuai peraturan
yang berlaku mengenai lembaga penjaminan;
2) Memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui
oleh Bank Indonesia;
3) Didukung oleh dana penjaminan (modal) dengan gearing
ratio paling tinggi 10 (sepuluh) kali;
4) Mematuhi
ketentuan mengenai
lembaga
penjaminan/asuransi kredit yang diatur oleh otoritas yang
berwenang; dan
5) Bukan merupakan pihak terkait Bank (independen),
kecuali keterkaitan karena hubungan kepemilikan oleh
Pemerintah Daerah.
Penentuan pihak terkait Bank didasarkan pada hubungan
kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan hubungan
keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai Batas Maksimum
Pemberian Kredit, namun keterkaitan tersebut hanya
dilihat sampai dengan derajat (layer) kedua.
2. Bagian KUMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi
kredit berstatus bukan BUMN yang tidak memenuhi peringkat
dan/atau persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam angka
II.C.1, dalam perhitungan ATMR dikenakan bobot risiko sebesar
85% (delapan puluh lima persen).
III. PELAPORAN …
III. PELAPORAN
A. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan mengenai
KUMKM yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud
angka II.B dan angka II.C, sesuai dengan Lampiran 1 Surat Edaran
Bank Indonesia ini setiap bulan paling lambat tanggal 24 bulan
berikutnya. Apabila tanggal 24 jatuh pada hari Sabtu/Minggu/Libur,
maka laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
B. Dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada huruf A, maka perhitungan ATMR akan
dilakukan berdasarkan data yang tersedia dalam Laporan Bulanan
Bank Umum untuk bulan yang sama.
C. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf A hanya
berlaku sampai dengan posisi laporan bulan Desember 2009.
D. Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf A disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan alamat:
1. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta 10350 bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
kantor pusat Bank Indonesia;
2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat
di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
IV. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka
angka II.1 Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/3/DPNP tanggal 30 Januari
2006 perihal Perubahan Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko
untuk Kredit Usaha Kecil, Kredit Pemilikan Rumah, dan Kredit Pegawai/
Pensiunan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan …
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku
pada tanggal 31 Januari 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MULIAMAN D. HADAD
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 11/1/DPNP|SE-BI/2009 </reg_id>
<reg_title> Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko untuk Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah </reg_title>
<set_date> 21 Januari 2009 </set_date>
<effective_date> 31 Januari 2009 </effective_date>
<replaced_reg> '8/3/DPNP|SE-BI/2006 | angka II.1' </replaced_reg>
<related_reg> '10/15/PBI/2008' </related_reg>
|
No.5/ 28 /DPM
Jakarta, 17 November 2003
S U R A T E D A R A N
Perihal : Tata Cara Penyelenggaraan Pusat Informasi Pasar Uang
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/24/PBI/2003 tanggal 31 Oktober 2003 tentang Pusat Informasi Pasar Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 119, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4329) yang diberlakukan sejak tanggal 17 November
2003, perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Tata Cara Penyelenggaraan
Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) sebagai berikut:
I. ANGGOTA DAN PELANGGAN PIPU
A. Tata Cara Menjadi Anggota PIPU
1. Bank yang belum menjadi Anggota PIPU terhitung sejak berlakunya
ketentuan ini wajib membuat pernyataan kesediaan menjadi Anggota
PIPU secara tertulis kepada Bank Indonesia yang memuat:
a. kesediaan menanggung biaya sebagai Anggota PIPU;
b. kesediaan menyiapkan sambungan telepon langsung; dan
c. kesediaan menyiapkan perangkat keras (hardware) yang memadai
untuk pemasangan PIPU,
sebagaimana contoh pada Lampiran 1, serta menyampaikan surat kuasa
pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank
Indonesia guna membayar biaya yang berkaitan dengan PIPU
sebagaimana contoh pada Lampiran 2.
2. Bank yang telah menjadi Anggota PIPU sebelum berlakunya ketentuan
ini wajib menyampaikan surat kuasa pendebetan rekening giro Rupiah
Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sebagaimana contoh pada
Lampiran 2 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender sejak
berlakunya ketentuan ini.
3. Pernyataan …
2
3. Pernyataan kesediaan menjadi Anggota PIPU dan surat kuasa pendebetan
rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2, disampaikan kepada Bank
Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter, cq. Bagian Penyelesaian
Transaksi Pasar Uang Jl.M.H.Thamrin No.2, Jakarta 10010.
4. Bank Indonesia memberikan persetujuan secara tertulis mengenai
keanggotaan dalam PIPU terhadap Bank yang telah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 1.
5. Kewajiban sebagai Anggota PIPU berlaku efektif sejak PIPU berfungsi
dan dapat diakses oleh Bank, yang ditegaskan secara tertulis oleh Bank
Indonesia.
B. Tata Cara Menjadi Pelanggan PIPU
1. Calon Pelanggan PIPU mengajukan permohonan menjadi Pelanggan
PIPU secara tertulis kepada Bank Indonesia yang memuat:
a. kesediaan menanggung biaya sebagai Pelanggan PIPU;
b. kesediaan menyiapkan sambungan telepon langsung; dan
c. kesediaan menyiapkan perangkat keras (hardware) yang memadai
untuk pemasangan PIPU,
sebagaimana contoh pada Lampiran 3.
2. Permohonan menjadi Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan
Moneter, cq. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang Jl.M.H. Thamrin
No.2, Jakarta 10010.
3. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada calon Pelanggan
PIPU mengenai disetujui atau tidak disetujuinya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1.
4. Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia, calon Pelanggan
PIPU diminta untuk menandatangani surat Perjanjian mengenai
penggunaan PIPU antara Bank Indonesia dengan Pelanggan PIPU yang
bersangkutan sebagaimana contoh pada Lampiran 4.
C. Biaya …
3
C. Biaya PIPU
1. Biaya PIPU terdiri dari:
a. Biaya sistem yang dikenakan atas pemakaian aplikasi, pemakaian
perangkat pusat komputer PIPU, sarana penunjang, ruangan dan biaya
operasional; dan
b. Biaya komunikasi yang dikenakan atas pemakaian saluran komunikasi
yang menghubungkan pusat komputer PIPU dengan lokasi Anggota
PIPU dan Pelanggan PIPU secara langsung.
2. Biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sebesar
Rp2.838.804,00 (dua juta delapan ratus tiga puluh delapan ribu delapan
ratus empat Rupiah) dengan rincian sebagai berikut:
a. Biaya sistem sebesar Rp858.804,00 (delapan ratus lima puluh delapan
ribu delapan ratus empat Rupiah) per akses (port jaringan) per bulan.
b. Biaya komunikasi sebesar Rp1.980.000,00 (satu juta sembilan ratus
delapan puluh ribu Rupiah) per akses (port jaringan) per bulan.
3. Biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2 diterima Bank
Indonesia selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulan berikutnya. Dalam
hal tanggal 10 pada bulan yang bersangkutan adalah hari libur maka
pembayaran dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
4. Pembayaran biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2, untuk
Anggota PIPU dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara pendebetan
rekening giro Rupiah Anggota PIPU yang bersangkutan di Bank
Indonesia.
5. Pembayaran biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2, untuk
Pelanggan PIPU dilakukan oleh Pelanggan PIPU dengan cara
pentransferan ke rekening 3040.40.00.430.0 “Penerimaan karena jasa
pemberian informasi pasar uang” di Bank Indonesia dengan sandi satker
980.743 Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang.
6. Besarnya biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2 sudah
termasuk bea meterai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%
(sepuluh per seratus) sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang berlaku.
7. Besarnya …
4
7. Besarnya biaya PIPU sebagaimana dimaksud angka 2 dapat disesuaikan
sewaktu-waktu.
8. Biaya bagi Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU yang melakukan
penambahan akses (port jaringan) PIPU akan disesuaikan dengan
menambah biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2 untuk
setiap penambahan akses (port jaringan).
9. Biaya bagi Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU yang melakukan
pengurangan akses (port jaringan) PIPU akan disesuaikan dengan
mengurangi biaya PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 2 untuk
setiap pengurangan akses (port jaringan).
II. PENYAMPAIAN DATA
A. Jenis Data dan Keluaran PIPU
1. Jenis data yang wajib disampaikan kepada Bank Indonesia oleh Anggota
PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional terdiri dari
data :
a. Transaksi pasar uang yang meliputi data volume dan tingkat suku
bunga Transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dalam mata uang
Rupiah dan USD masing-masing untuk sesi pagi dan sore.
b. Perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder yang
meliputi data volume transaksi, tingkat diskonto dan jangka waktu
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Commercial Paper.
c. Simpanan dana pihak ketiga yang meliputi data suku bunga Deposito
Berjangka dalam mata uang Rupiah dan USD maupun Sertifikat
Deposito dalam mata uang Rupiah.
d. Penyaluran dana bank yang meliputi data tingkat suku bunga dasar
kredit (Base Lending Rates) dalam mata uang Rupiah dan USD.
2. Jenis data yang wajib disampaikan kepada Bank Indonesia oleh
Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah atau Anggota PIPU yang mempunyai Unit Usaha Syariah (UUS)
terdiri dari data :
a. Transaksi …
5
a. Transaksi pasar uang yang meliputi data nilai nominal investasi,
nisbah bagi hasil, jangka waktu investasi dan tingkat indikasi imbalan
sertifikat Investasi Mudharabah (IMA) antar bank yang dilakukan
dalam transaksi Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip Syariah
(PUAS) serta tingkat realisasi imbalan sertifikat IMA.
b. Simpanan dana pihak ketiga yang meliputi tingkat realisasi imbalan
deposito investasi Mudharabah sesuai jangka waktu.
3. Data yang disampaikan oleh Anggota PIPU sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dan 2 akan diproses oleh PIPU dan atau Bank Indonesia untuk
menghasilkan informasi dalam bentuk keluaran PIPU yang dapat diakses
oleh Anggota PIPU dan Pelanggan PIPU.
B. Tata Cara Penyampaian Data PIPU
1. Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam angka II.A.1 ke PIPU
segera setelah terjadinya transaksi secara lengkap dan benar pada setiap
hari kerja.
2. Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah atau yang mempunyai UUS menyampaikan data sebagaimana
dimaksud angka II.A.2 setiap terjadi transaksi ke PIPU secara lengkap
dan benar pada hari kerja yang sama.
3. Dalam hal Anggota PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional mempunyai UUS maka penyampaian data sebagaimana
dimaksud dalam angka II.A.2 dilakukan melalui kantor pusat Anggota
PIPU yang bersangkutan.
4. Penyampaian data sebagaimana dimaksud dalam angka II.A.1 dan angka
II.A.2 yang bersifat non transaksi wajib dilakukan pada setiap hari kerja.
5. Dalam hal terjadi kesalahan atas data yang disampaikan sebagaimana
dimaksud angka II.A.1 dan angka II.A.2, Anggota PIPU wajib melakukan
koreksi terhadap data dimaksud segera setelah diketahui adanya
kesalahan.
6. Pengkoreksian …
6
6. Pengkoreksian data sebagaimana dimaksud dalam angka 5 oleh Anggota
PIPU yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah atau yang
mempunyai UUS dilakukan segera setelah diketahui adanya kesalahan
pada hari kerja yang sama.
7. Waktu penyampaian atau pengkoreksian data ke PIPU bagi Anggota
PIPU yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional diatur
sebagai berikut:
a. Transaksi PUAB:
1) Rupiah
a) PUAB Pagi
b) PUAB Sore
2) USD
Pukul 07.00 s.d 12.00 WIB
Pukul 12.00 s.d 18.00 WIB
Pukul 07.00 s.d 18.00 WIB
b. Perdagangan surat berharga pasar uang di pasar sekunder:
1) Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
2) Commercial Paper
c. Simpanan dana pihak ketiga:
1) Suku bunga deposito berjangka
(Rupiah dan USD)
2) Suku bunga sertifikat deposito
d. Penyaluran dana bank:
Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)
Pukul 07.00 s.d 17.00 WIB
Pukul 07.00 s.d 17:00 WIB
Pukul 07.00 s.d 17:00 WIB
Pukul 07.00 s.d 17:00 WIB
Pukul 07.00 s.d 17:00 WIB
8. Dalam hal PIPU pada Anggota PIPU mengalami gangguan dan atau
kerusakan pada sistem dan atau jaringan maka penyampaian atau
pengkoreksian data sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2 dan 5
dilakukan secara manual melalui faksimile pada hari yang sama saat
terjadinya gangguan atau kerusakan.
III. PENGEMBANGAN
A. Tata Cara Perubahan Akses PIPU
1. Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU yang akan melakukan perubahan
akses baik dengan cara menambah, mengurangi dan atau memodifikasi
akses …
7
akses PIPU wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia.
2. Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU yang akan melakukan perubahan
akses PIPU berupa penambahan atau modifikasi akses PIPU sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 wajib menyediakan perangkat komputer yang
memadai dan saluran telepon langsung.
3. Dalam hal dipandang perlu Bank Indonesia dapat menyetujui permohonan
perubahan akses PIPU sebagaimana dimaksud dalam angka 1 melalui
pemberitahuan secara tertulis kepada Anggota PIPU atau Pelanggan PIPU
yang bersangkutan.
4. Berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, Bank
Indonesia akan melakukan perubahan akses PIPU.
B. Tata Cara Pengembangan PIPU
1. Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Anggota PIPU dan
Pelanggan PIPU mengenai pengembangan PIPU.
2. Anggota PIPU dan Pelanggan PIPU berkewajiban melakukan
penyesuaian yang diperlukan terhadap pengembangan PIPU berdasarkan
pemberitahuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 1.
IV. PENGAWASAN
Tata Cara Pengawasan Anggota PIPU dan Pelanggan PIPU
1. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan tidak langsung (off-site
supervision) dan atau pengawasan langsung (on-site supervision) terhadap
Anggota PIPU.
2. Pengawasan tidak langsung terhadap Anggota PIPU sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 dilakukan dengan cara mengecek kebenaran data yang
disampaikan Anggota PIPU melalui layar monitor PIPU dan melakukan
pengecekan silang dengan sumber data lainnya.
3. Pengawasan langsung terhadap Anggota PIPU sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dapat dilakukan melalui pemeriksaan (on the spot supervision)
terhadap Anggota PIPU yang bersangkutan berdasarkan hasil pengecekan
data …
8
data yang disampaikan atau pertimbangan-pertimbangan lainnya dari Bank
Indonesia.
4. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan tidak langsung (off-site
supervision) terhadap Pelanggan PIPU.
5. Pengawasan tidak langsung terhadap Pelanggan PIPU sebagaimana dimaksud
dalam angka 4 dilakukan dengan memantau pemenuhan hak dan kewajiban
Pelanggan PIPU berdasarkan isi Perjanjian.
V. SANKSI
A. Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Anggota PIPU
Pengenaan sanksi oleh Bank Indonesia atas pelanggaran oleh Bank diatur
sebagai berikut:
1. Pelanggaran atas kewajiban menjadi Anggota PIPU
a. Dalam hal Bank tidak menyatakan kesediaan menjadi Anggota PIPU
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berlakunya
ketentuan ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis.
b. Dalam hal Bank yang bersangkutan tidak mengindahkan dan atau
tidak menindaklanjuti teguran tertulis sebagaimana dimaksud huruf a
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kalender sejak sanksi teguran
tertulis, Bank Indonesia melakukan pemanggilan terhadap pengurus
Bank yang bersangkutan.
c. Dalam hal Bank yang bersangkutan tidak mengindahkan dan atau
tidak menindaklanjuti pemanggilan sebagaimana dimaksud huruf b
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kalender sejak sanksi
pemanggilan pengurus maka Bank yang bersangkutan dikenakan
sanksi kewajiban membayar.
d. Besarnya jumlah kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
huruf c adalah sebesar biaya PIPU perbulan dan dibebankan pada
rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia
selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulan selama Bank belum
menjadi Anggota PIPU.
2. Pelanggaran …
9
2. Pelanggaran atas kewajiban penyampaian data sebagaimana dimaksud
dalam butir A.II.1 dan A.II.2 oleh Anggota PIPU diatur sebagai berikut:
a. Anggota PIPU yang tidak menyampaikan data sampai batas waktu
yang ditetapkan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu Rupiah) untuk setiap
transaksi dan sebanyak-banyaknya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
Rupiah) per hari.
b. Anggota PIPU yang menyampaikan data secara tidak benar dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu
Rupiah) untuk setiap kesalahan dan sebanyak-banyaknya sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) per hari.
c. Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf
b dibebankan pada rekening giro Rupiah Anggota PIPU yang
bersangkutan di Bank Indonesia.
B. Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggan PIPU
1. Pelanggan PIPU yang tidak melunasi biaya PIPU sampai dengan tanggal
10 setiap bulan berikutnya, dikenakan sanksi teguran tertulis dan sanksi
kewajiban membayar sebesar 1 0/00 (satu perseribu) dari biaya PIPU
perbulan untuk setiap hari keterlambatan.
2. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dilakukan oleh Pelanggan PIPU dengan cara transfer ke rekening
3040.40.00.470.0 “Penerimaan karena sanksi administratif” di Bank
Indonesia dengan sandi satker 980.743 Bagian Penyelesaian Transaksi
Pasar Uang.
3. Dalam hal Pelanggan PIPU tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
kalender sejak dikenakannya sanksi dimaksud, Bank Indonesia mencabut
keikutsertaan sebagai Pelanggan PIPU.
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka:
1. Surat …
10
1. Surat Edaran Bank Indonesia No.27/16/UPG tanggal 10 Mei 1994 perihal
Pusat Informasi Pasar Uang; dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia No.4/22/DPM tanggal 17 Desember 2002
perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.27/16/UPG tanggal
10 Mei 1994 perihal Pusat Informasi Pasar Uang,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 17 November 2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
Ttd.
BUDI MULYA
DIREKTUR PENGEL OLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 5/28/DPM|SE-BI/2003 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Penyelenggaraan Pusat Informasi Pasar Uang </reg_title>
<set_date> 17 November 2003 </set_date>
<effective_date> 17 November 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '27/16/UPG|SE-BI/1994', '4/22/DPM|SE-BI/2002' </replaced_reg>
<related_reg> '5/24/PBI/2003' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
|
No. 7/30/DPM
Jakarta, 25 Juli 2005
SURAT EDARAN
Perihal: Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/19/PBI/2005 tanggal 25 Juli 2005 tentang Penerbitan, Penjualan dan Pembelian
serta Penatausahaan Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4517), dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4363) maka dipandang perlu untuk mengatur petunjuk pelaksanaan mengenai
Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagai berikut :
I. Ketentuan Umum
1. Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan dan dijual dengan cara
lelang di Pasar Perdana terdiri dari :
a. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yaitu SUN dalam mata uang
Rupiah yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan,
dengan pembayaran bunga secara diskonto; dan
b. Obligasi Negara yaitu SUN dalam mata uang Rupiah yang berjangka
waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan atau dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
2. Pihak yang dapat membeli SUN dalam Lelang SUN di Pasar Perdana
yaitu orang perseorangan, perusahaan, Bank Indonesia, usaha bersama,
asosiasi atau kelompok yang terorganisasi.
3. Pihak …
2
3. Peserta Lelang adalah pihak yang dapat mengikuti Lelang SUN di Pasar
Perdana yang terdiri dari Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah
dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek yang telah disetujui oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia.
4. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing sebagai
Peserta Lelang dapat mengikuti Lelang SUN di Pasar Perdana hanya
untuk SPN.
5. Pembeli selain Bank Indonesia mengajukan penawaran pembelian SUN
melalui Peserta Lelang.
6. Penawaran pembelian lelang dapat dilakukan dengan cara Penawaran
Pembelian Kompetitif atau dengan cara kombinasi Penawaran
Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif.
7. Penawaran Pembelian Kompetitif (competitive bidding) adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan
tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar.
8. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (non-competitive bidding) adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa
tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar.
9. Persentase untuk Penawaran Pembelian Kompetitif dan Penawaran
Pembelian Non-kompetitif ditentukan sebelum Lelang SUN. Dalam hal
Penawaran Pembelian Kompetitif melebihi target yang ditetapkan
sedangkan Penawaran Pembelian Non-kompetitif lebih kecil dari target
yang
ditetapkan, atau sebaliknya, alokasi persentase Penawaran
Pembelian Kompetitif dan Penawaran Pembelian Non-kompetitif dapat
disesuaikan untuk menyerap kelebihan atau kekurangan pada salah satu
jenis penawaran lelang.
10. Bank …
3
10. Bank Indonesia dapat membeli SUN di Pasar Perdana hanya untuk SPN,
dengan persyaratan sebagai berikut :
a. penawaran pembelian dilakukan secara langsung tanpa melalui
Peserta Lelang;
b. penawaran pembelian hanya untuk Penawaran Pembelian Non-
kompetitif.
11. Setelmen
hasil Lelang SUN di Pasar Perdana dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. SPN dilakukan pada satu hari kerja berikutnya setelah hari
pelaksanaan lelang SPN (T+1);
b.
Obligasi Negara paling lambat dilakukan pada 5 (lima) hari kerja
berikutnya setelah pengumuman hasil pemenang lelang Obligasi
Negara (T+5).
12. Pihak pembeli SUN wajib memiliki :
a. Rekening surat berharga di Central Registry atau Sub-Registry
untuk pelaksanaan setelmen hasil Lelang SUN;
b. Rekening giro Rupiah di Bank Indonesia atau menunjuk Bank
pembayar untuk pelaksanaan setelmen dana.
13. Dalam rangka setelmen hasil Lelang SUN di Pasar Perdana, Bank
Indonesia berwenang melakukan pendebetan rekening giro Rupiah Bank
di Bank Indonesia milik pemenang Lelang SUN atau Bank yang ditunjuk
sebagai Bank pembayar untuk setelmen dana.
14. Setelmen hasil Lelang SUN yang dilakukan Bank Indonesia cq. Bagian
Penyelesaian Transaksi Pasar Uang - Direktorat Pengelolaan Moneter,
terdiri dari :
a. Setelmen …
4
a. Setelmen surat berharga (securities settlement)
Setelmen
surat berharga dilakukan secara gross dengan
cara
mengkredit rekening surat berharga pembeli SUN di Central
Registry melalui Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement
System ( BI-SSSS) sebesar nilai nominal SUN.
b. Setelmen dana (fund settlement)
Setelmen dana dilakukan secara gross atau netting dengan mendebet
rekening giro Rupiah di Bank Indonesia milik pemenang Lelang
SUN atau Bank yang ditunjuk sebagai Bank pembayar, dan
mengkredit rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia
melalui Sistem Bank Indonesia
- Real Time Gross Settlement
(BI-RTGS) sebesar harga setelmen Lelang SUN.
II. Tata Cara Lelang SUN
A. Ketentuan dan Persyaratan
1. Lelang SUN dilakukan berdasarkan target kuantitas dengan
memperhatikan tingkat diskonto atau yield dari penawaran yang
diterima.
2. Bank dan Perusahaan Efek dapat mengajukan penawaran Lelang
SUN untuk dan atas nama diri sendiri dan pihak lain yaitu orang
perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok
yang terorganisasi.
3. Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing hanya dapat
mengajukan penawaran Lelang SPN untuk kepentingan pihak lain
yaitu orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau
kelompok yang terorganisasi.
4. Dalam …
5
4. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN
baik secara langsung maupun melalui Peserta Lelang lain untuk dan
atas nama diri sendiri maka penawaran pembelian dapat dilakukan
hanya dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif.
5. Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran pembelian SUN
untuk dan atas nama pihak
lain yaitu orang
perusahaan, usaha bersama, asosiasi atau kelompok
perseorangan,
yang
terorganisasi maka pengajuan penawaran dilakukan dengan
persyaratan sebagai berikut :
a. Pengajuan penawaran pada Lelang SPN dilakukan dengan cara
Penawaran Pembelian Kompetitif.
b. Pengajuan penawaran pada Lelang Obligasi Negara dilakukan
dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif dan atau
Penawaran Pembelian Non-kompetitif.
6. Dalam hal Lelang SUN dilaksanakan maka pelaksanaan dilakukan
pada hari Selasa, atau pada hari kerja lain apabila hari Selasa jatuh
pada hari libur. Setiap perubahan jadwal Lelang SUN diumumkan
oleh Bank Indonesia melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan
atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
7. Sarana yang digunakan untuk pengajuan penawaran Lelang SUN
adalah Automatic Bidding System yang merupakan salah satu fungsi
dalam BI-SSSS (ABS BI-SSSS).
8. Bank Indonesia mengumumkan rencana
target kuantitas
lelang
berupa target indikatif paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum hari
pelaksanaan Lelang SUN melalui BI-SSSS, PIPU dan atau sarana
lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
9. Dalam …
6
9. Dalam hal menggunakan ABS BI-SSSS maka Peserta Lelang harus
memenuhi persyaratan sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai
BI-SSSS yang berlaku.
10. Dalam hal Bank mengajukan penawaran Lelang SUN melalui
Peserta Lelang maka Bank yang bersangkutan wajib menetapkan
batas maksimum nominal penawaran (broker bidding limit) per hari
bagi Peserta Lelang SUN yang ditunjuk.
11. Dalam hal pihak lain selain Bank mengajukan penawaran Lelang
SUN melalui Peserta Lelang maka yang
bersangkutan
wajib
menunjuk Sub-Registry untuk melakukan setelmen hasil lelang SUN.
12. Sub-Registry yang ditunjuk pihak lain selain Bank untuk melakukan
setelmen hasil lelang SUN sebagaimana dimaksud dalam angka 11,
harus menetapkan batas maksimum nominal penawaran (broker
bidding limit) per hari bagi Peserta Lelang untuk kepentingan
nasabah Sub-Registry.
13. Penetapan broker bidding limit sebagaimana dimaksud dalam angka
10 dan 12, harus diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank atau
Sub-Registry dengan Peserta Lelang
dengan format perjanjian
diserahkan kepada masing-masing pihak sesuai dengan kebutuhan.
14. Perjanjian penetapan broker bidding limit merupakan pemberian
wewenang dari Bank atau Sub-Registry kepada Peserta Lelang untuk
melakukan penawaran (bidding) per hari dalam Lelang SUN untuk
dan atas nama Bank atau nasabah Sub-Registry, maksimum sebesar
jumlah limit bidding yang diberikan.
15. Bank atau Sub-Registry harus melakukan pengelolaan broker bidding
limit dalam BI-SSSS untuk semua Peserta Lelang yang ditunjuk
sebagai …
7
sebagai perantara dalam pengajuan penawaran SUN, melalui BI-
SSSS Terminal (ST) pada menu Supervisory - Broker Bidding Limit.
B. Tata cara Pelaksanaan Lelang SUN
1. Bank Indonesia mengumumkan target indikatif dan tanggal
pelaksanaan Lelang SUN melalui BI-SSSS, PIPU dan atau sarana
lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
2. Pengumuman rencana Lelang SUN antara lain memuat:
a. jenis SUN;
b. waktu pelaksanaan lelang;
c. target indikatif yang ditawarkan;
d. jangka waktu SUN;
e. tanggal penerbitan dan tanggal jatuh tempo;
f. mata uang;
g. waktu pembukaan dan penutupan penawaran pembelian (bid);
h. waktu pengumuman hasil lelang;
i. tanggal setelmen;
j. alokasi untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif dalam hal
dilakukan kombinasi lelang kompetitif dan non-kompetitif;
k. sarana pengajuan penawaran lelang.
3. Pada hari pelaksanaan Lelang SUN, Peserta Lelang mengajukan
penawaran kuantitas dan tingkat diskonto atau yield untuk
Penawaran Pembelian Kompetitif atau penawaran kuantitas untuk
Penawaran Pembelian Non-kompetitif, dari pukul 10.00 WIB sampai
dengan pukul 12.00 WIB.
4. Peserta Lelang mengajukan penawaran Lelang SUN kepada Bank
Indonesia cq. Bagian Operasi Pasar Uang - Direktorat Pengelolaan
Moneter …
8
Moneter yang mencakup penawaran kuantitas dan tingkat diskonto
atau yield diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengajuan penawaran kuantitas dari masing-masing
Lelang sekurang-kurangnya 1.000 (seribu)
Peserta
unit
atau Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah), dan selebihnya
dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp100.000.000,00
(seratus juta Rupiah);
b. penawaran diskonto atau yield diajukan dengan kelipatan 1/32
atau 0,03125.
5. Peserta Lelang bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran
pembelian yang diajukan.
6.
Peserta Lelang
yang
telah mengajukan penawaran dilarang
membatalkan penawarannya.
C. Penentuan Pemenang Lelang SUN
1. Menteri
Keuangan Republik
Indonesia menetapkan
hasil
dan
pemenang Lelang SUN di Pasar Perdana berdasarkan target indikatif
SUN yang akan dijual pemerintah.
2. Metode penentuan pemenang Lelang SUN dilakukan dengan sistem
Stop-Out Rate yang selanjutnya disebut SOR yaitu tingkat diskonto
atau yield tertinggi yang dihasilkan dari penawaran Lelang SUN di
Pasar Perdana dalam rangka mencapai target indikatif SUN yang
akan dijual Pemerintah. SOR ditetapkan oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia.
3. Penentuan harga dan kuantitas pemenang Lelang SUN dilakukan
dengan metode harga beragam (multiple price), sebagai berikut:
a. Penawaran Pembelian Kompetitif
i. Dalam …
9
1) Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield lebih rendah
dari SOR, Peserta Lelang memperoleh seluruh penawaran
kuantitas SUN yang diajukan dengan tingkat diskonto atau
yield yang diajukan.
2) Dalam hal penawaran tingkat diskonto atau yield sama dengan
SOR, Peserta Lelang dapat memperoleh seluruh atau sebagian
penawaran kuantitas SUN yang
diajukan
berdasarkan
perhitungan secara proporsional, dengan tingkat diskonto atau
yield yang diajukan.
Penetapan pemenang Lelang SUN dengan metode harga beragam
(multiple price) sebagaimana contoh perhitungan pada
Lampiran 1.
b. Penawaran Pembelian Non-kompetitif
1) Penetapan harga SUN bagi pemenang Lelang SUN dihitung
berdasarkan harga rata-rata tertimbang (weighted average
price) dari hasil lelang Penawaran Pembelian Kompetitif.
2) Penetapan kuantitas SUN bagi pemenang lelang dilakukan
sebagai berikut :
i. Dalam hal jumlah penawaran lebih kecil dari alokasi
maksimum penawaran pembelian Non-kompetitif, Peserta
Lelang memperoleh seluruh kuantitas yang diajukan.
ii. Dalam hal jumlah penawaran lebih besar dari alokasi
maksimum penawaran pembelian Non-kompetitif, Peserta
Lelang memperoleh sebagian penawaran kuantitas yang
diajukan, berdasarkan perhitungan secara proporsional.
4. Dalam hal penawaran yang diajukan menghasilkan tingkat diskonto
atau yield di luar batas kewajaran, Menteri Keuangan Republik
Indonesia …
10
Indonesia dapat menyesuaikan realisasi kuantitas Lelang SUN atau
menolak seluruh penawaran lelang yang masuk.
D. Pengumuman Hasil Lelang SUN
1. Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SUN melalui BI-SSSS,
PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia pada
akhir hari
pelaksanaan Lelang SUN.
Pengumuman
kurangnya mencakup:
a. kuantitas lelang secara keseluruhan;
b. rata-rata tertimbang tingkat diskonto atau yield;
c. penawaran tingkat diskonto atau yield terendah dan tertinggi.
2. Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SUN berupa kuantitas
dan tingkat diskonto atau yield kepada Peserta Lelang
memenangkan Lelang SUN melalui BI-SSSS.
yang
3. Dalam hal Menteri Keuangan Republik Indonesia menolak seluruh
atau atau sebagian penawaran pembelian Lelang SUN, Bank
Indonesia mengumumkan penolakan dimaksud melalui BI-SSSS,
PIPU dan atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
III. Perhitungan Harga Setelmen Hasil Lelang SUN
1. Jangka waktu SUN dinyatakan dalam jumlah hari sebenarnya (actual
days) dan dihitung dari tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
tempo.
2. Jumlah hari bunga (day count) untuk perhitungan accrued interest
menggunakan basis Actual per Actual (A/A).
3. Perhitungan harga setelmen dana dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk SPN :
sekurang-
Harga …
11
Harga setelmen = (Harga bersih per unit SPN yang
sudah
dibulatkan) x (jumlah unit SPN yang
dimenangkan)
b. Untuk Obligasi Negara dengan sistem kupon :
Harga setelmen = (Harga bersih per unit Obligasi Negara yang
sudah dibulatkan ditambah accrued interest per
unit Obligasi Negara yang sudah dibulatkan) x
(jumlah unit Obligasi Negara yang dimenangkan)
c. Untuk Obligasi Negara dengan sistem diskonto (zero coupon bond)
Harga setelmen = (Harga bersih per unit Obligasi Negara yang
sudah dibulatkan) x (jumlah unit Obligasi Negara
yang dimenangkan)
Perhitungan harga per unit SPN dan Obligasi Negara sebagaimana contoh
perhitungan pada Lampiran 2.
IV. Tata Cara Setelmen dan Pencatatan Kepemilikan SUN
Tata cara setelmen Lelang SUN dan pencatatan kepemilikan SUN dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai BI-SSSS yang berlaku.
V. Pembatalan Transaksi Hasil Lelang dan Pengenaan Sanksi kepada Peserta
Lelang
1. Dalam hal Peserta Lelang yang memenangkan Lelang SUN tidak
memenuhi kewajibannya sampai dengan cut off warning Sistem BI-
RTGS akibat Bank yang melakukan setelmen dana tidak memiliki saldo
yang mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia
maka seluruh hasil Lelang SUN yang setelmennya dilakukan melalui
Bank tersebut dinyatakan batal.
2. Terhadap Peserta Lelang
yang
transaksinya dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dikenakan sanksi tidak boleh
mengikuti …
12
mengikuti lelang SUN sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut sejak
transaksinya dinyatakan batal.
3. Bank Indonesia mengirimkan surat pemberitahuan kepada Peserta
Lelang mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 dengan tembusan surat kepada Direktorat Pengelolaan Surat
Utang Negara, Departemen Keuangan Republik Indonesia.
VI. Penutup
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank Indonesia
nomor 6/10/DPM tanggal 16 Februari 2004 perihal Tata Cara Lelang Surat
Utang Negara di Pasar Perdana sebagaimana telah diubah dengan Surat
Edaran nomor 6/30/DPM tanggal 12 Juli 2004 dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 25 Juli 2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
ASLIM TADJUDDIN
DEPUTI GUBERNUR
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lampiran 1
Contoh Perhitungan Hasil Lelang SUN
SOR dengan Multiple Price
• Target indikatif : Rp 10 Triliun
• Dengan alokasi Penawaran Pembelian Kompetitif 60% dan untuk Penawaran
Pembelian Non-Kompetitif 40%
Rincian Penawaran Pembelian Kompetitif (Tabel -1):
P E N A W A R A N
NO NOMINAL
(RP
MILIAR)
1
2
3
4
50 50
1.250 2.000
5 500 2.500
6
7 250
8
10
1.500 6.250
9 750 7.000
2.000 4.500
4.750
0,7
450 500 6,9
250 750
10,3
27,6
34,5
62,1
65,5
86,2
96,6
250 7.250 100,0
13,62500
13,75000
13,75000
14,00000
14,00000
14,00000
14,00000
14,00000
14,25000
14,37500
KUMULATIF
(RP MILIAR)
KUMULATIF
(%)
DISKONTO
(%)
Rata-Rata
Tertimbang
(%)
13,62500
13,73800
13,74200
13,90300
13,92300
13,95700
13,96900
13,99900
14,01200
Weighted
average
pada
kumulatif
13,95900 239
13,96730%
Rp 6 triliun
=
H A S I L
NOMINAL
DIMENANGKAN
(RP MILIAR)
KUMULATIF
(RP MILIAR)
50 50
450 500
250 750
1.193 1.943
477 2.420
1.909 4.330
4.568
1.432 6.000
0 6.000
0 6.000
Rincian Penawaran Pembelian Non-Kompetitif (Tabel -2):
P E N A W A R A N
H A S I L
NO NOMINAL
(RP
MILIAR)
1
2
3 450
375 375
400 775
1225
4 500 1725
5 525 2250
6 550 2800
7 575 3375
8 600 3975
9 625
10
4600
650 5250
7.14
14.76
23.33
32.86
42.86
53.33
64.29
75.71
87.62
100.00
KUMULATIF
(RP MILIAR)
KUMULATIF
(%)
NOMINAL
DIMENANGKAN
(RP MILIAR)
KUMULATIF
(RP MILIAR)
286 286
305 590
343
933
381 1314
400 1714
419 2133
438 2571
457 3029
476 3505
495 4000
Berdasarkan penawaran yang masuk, Menteri Keuangan Republik Indonesia
menetapkan SOR pada tingkat 14,00000%.
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lanj. Lampiran 1
Jumlah penawaran yang masuk melebihi target indikatif sebesar Rp.10 triliun,
dimana untuk Penawaran Pembelian Kompetitif sebesar 60% atau Rp 6 triliun dan
untuk Penawaran Pembelian Non-kompetitif sebesar 40% atau Rp4 triliun. Jumlah
penawaran yang masuk melebihi target indikatif baik pada Penawaran Pembelian
Kompetitif maupun Penawaran Pembelian Non-kompetitif, maka tidak semua
peserta memenangkan lelang. Pemenang lelang ditentukan sebagai berikut:
1. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Kompetitif
Pemenang lelang adalah Peserta Lelang yang mengajukan penawaran dengan
tingkat diskonto atau yield yang sama atau lebih kecil dari SOR (stop-out rate)
yaitu 14,00000%. Dengan demikian pemenang lelang adalah Peserta Lelang
yang mengajukan penawaran tingkat diskonto atau yield sama atau lebih kecil
dari 14,00000%, yaitu peserta pertama s.d. peserta kedelapan.
Peserta keempat s.d. peserta kedelapan memenangkan lelang secara proposional
sesuai bobot jumlah penawaran masing-masing dibandingkan jumlah
penawaran untuk tingkat diskonto atau yield 14,00000%. Rincian jumlah yang
dimenangkan Peserta Lelang kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada
tabel kanan atas (Tabel-1).
2. Untuk Peserta Lelang dengan Penawaran Pembelian Non-Kompetitif
Seluruh Peserta Lelang non-kompetitif memperoleh yield sebesar 13,96730%
atau sebesar rata-rata tertimbang (weighted average) yang diperoleh dari
pemenang lelang kompetitif. Kuantitas SUN yang diperoleh berdasarkan
perhitungan secara proposional. Rincian jumlah yang dimenangkan untuk
Peserta Lelang non-kompetitif secara proporsional dapat dilihat pada tabel
kanan atas (Tabel 2).
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lampiran 2
PERHITUNGAN HARGA SETELMEN SURAT PERBENDAHARAAN
NEGARA
Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
adalah sebagai berikut:
PSPN
N
=
1 i+ ×
dimana,
PSPN
365
D
= Harga Setelmen per unit SPN;
N = nilai nominal SPN per unit;
i = Yield dalam persentase, sampai dengan 5 (lima) desimal dengan
kelipatan 0,03125 atau 1/32;
D = jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung- sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo.
Harga Setelmen dibulatkan ke dalam rupiah penuh, dengan ketentuan apabila
dibawah dan sama dengan 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi nol, sedangkan
di atas 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi Rp1,00 (satu rupiah).
Contoh Penghitungan Harga Setelmen SPN
Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan SPN dengan nilai nominal
per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). SPN ini jatuh tempo pada tanggal 19
Maret 2003. Jika Yield yang disepakati sebesar 12,00000% (dua belas persen) dan
setelmen dilakukan pada tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit
SPN dihitung sebagai berikut:
N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
i = 12,00000% (dua belas persen);
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lanj. Lampiran 2
D = 28 (dua puluh delapan) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya yang dihitung
sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen (20 Februari 2003) sampai
dengan tanggal jatuh tempo (19 Maret 2003);
Rp. 1.000.000,00
28
PSPN
=
1+ 12,00000% x
365
= Rp990.878,49
≈ Rp990.878,00
Jadi Harga Setelmen per unit SPN setelah dibulatkan adalah Rp990.878,00
(sembilan ratus sembilan puluh ribu delapan ratus tujuh puluh delapan
rupiah).
PERHITUNGAN HARGA SETELMEN OBLIGASI NEGARA
I.
Harga Setelmen Obligasi Negara Dengan Kupon
Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dengan kupon
adalah sebagai berikut:
Langkah 1 : Harga bersih (clean price) per unit dihitung sebagai berikut:
P
=
N
1+
n
i
F 1− +
E
d
= N ××
n
c
E
a
+ ∑
=
F
k 1
1+
N×
n
i
n
c
k 1− +
E
d
dimana bunga berjalan (accrued interest) per unit dihitung sebagai berikut:
AI
− × ×
N
n
c
E
a
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lanj. Lampiran 2
Langkah 2 : Harga Setelmen per unit dihitung sebagai berikut:
PK
= P AI+
II.
Harga Setelmen Obligasi Negara Tanpa Kupon (Zero Coupon Bond)
Cara perhitungan Harga Setelmen per unit Obligasi Negara tanpa kupon
adalah sebagai berikut:
PZ
=
()i1
N
+
365
D
dimana,
PK = Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dengan kupon;
PZ = Harga Setelmen per unit Obligasi Negara tanpa kupon;
P = harga bersih (clean price) per unit Obligasi Negara dengan kupon;
AI = bunga berjalan (accrued interest) per unit Obligasi Negara dengan
kupon;
N = nilai nominal Obligasi Negara per unit;
D = jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo;
a = jumlah hari sebenarnya (actual day) dihitung dari 1 (satu) hari sesudah
tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal Setelmen;
c = tingkat kupon (coupon rate);
d = jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal Setelmen sampai dengan tanggal pembayaran kupon
berikutnya;
E = jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal dimulainya periode kupon sampai dengan tanggal
pembayaran kupon berikutnya, dimana pelaksanaan Setelmen terjadi;
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lanj. Lampiran 2
i = Imbal Hasil sampai jatuh tempo (yield to maturity) dalam persentase,
sampai dengan 5 (lima) desimal, dengan kelipatan 0,03125 atau 1/32;
k = 1, 2, 3, …, F;
F = jumlah frekuensi pembayaran kupon yang
Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo;
n = frekuensi pembayaran kupon dalam setahun.
Harga bersih (clean price) dan bunga berjalan (accrued interest) masing-
masing dibulatkan ke dalam rupiah penuh, dengan ketentuan apabila dibawah
dan sama dengan 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi nol, sedangkan di
atas 50 (lima puluh) sen dibulatkan menjadi Rp1,00 (satu rupiah).
Contoh Penghitungan Harga Setelmen Obligasi Negara Dengan Kupon
Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara dengan
nilai nominal per unit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan dengan kupon sebesar
12,00% (dua belas persen) per tahun. Obligasi Negara ini jatuh tempo pada tanggal
15 Februari 2005 dan kupon dibayarkan di belakang pada tanggal 15 Februari dan
15 Agustus setiap tahunnya. Jika yield to maturity yang disepakati sebesar
12,50000% (dua belas koma lima nol persen) dan Setelmen dilakukan pada tanggal
19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dihitung dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
N = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
i = 12,500000% (dua belas koma lima nol persen);
c = 12,00% (dua belas persen);
a = 4 (empat) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual day) yang dihitung
sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon (16 Februari
2003) sampai dengan tanggal Setelmen (19 Februari 2003);
tersisa dari tanggal
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lanj. Lampiran 2
d = 177 (seratus tujuh puluh tujuh) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual
day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen (20
Februari 2003) sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya (15
Agustus 2003);
E = 181 (seratus delapan puluh satu) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual
day) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode
kupon sampai dengan tanggal pembayaran kupon berikutnya, dimana
pelaksanaan Setelmen terjadi (16 Februari 2003 sampai dengan 15 Agustus
2003);
n = 2 (dua) kali dalam satu tahun (semiannually), yaitu setiap tanggal 15
Februari dan 15 Agustus;
F = 4 (empat) kali, yaitu jumlah pembayaran kupon yang terjadi dari tanggal
Setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo (19 Februari 2003 sampai
dengan 15 Februari 2005);
Langkah 1: Harga bersih (clean price) per unit dihitung sebagai berikut:
P =
+
1+
12,50000%
2
Rp1.000.000,00
+
1
12,50000%
2
4 1− +
181
177
+
Rp1.000.000,00×
12,00%
2
2 1− +
181
177
+
1+
12,50000%
2
Rp1.000.000,00×
+
1
12,50000%
2
12,00%
2
1 1− +
181
177
Rp1.000.000,00×
12,00%
2
3 1− +
181
177
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lanj. Lampiran 2
Rp1.000.000,00×
+
1+
12,50000%
2
12,00%
2
4 1− +
181
177
= Rp785.716,91 + Rp206.998,81 – Rp1.325,97
= Rp991.389,75
≈ Rp991.390,00
Jadi harga bersih per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp991.390,00
(sembilan ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus sembilan puluh rupiah).
Dimana bunga berjalan (accrued interest) per unit dihitung sebagai berikut:
AI = Rp1.000.000,00×
= Rp1.325,97
≈ Rp1.326,00
Jadi bunga berjalan per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah Rp1.326,00
(seribu tiga ratus dua puluh enam rupiah).
Langkah 2: Harga Setelmen per unit dihitung sebagai berikut:
PK = Rp991.390,00 + Rp1.326,00
= Rp992.716,00
Jadi Harga Setelmen per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah
Rp992.716,00 (sembilan ratus sembilan puluh dua ribu tujuh ratus enam belas
rupiah).
12,00%
2
×
181
4
− Rp1.000.000,00×
12,00%
2
×
181
4
Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/30/DPM tanggal 25 Juli 2005
Lanj. Lampiran 2
Contoh Penghitungan Harga Setelmen Obligasi Negara Tanpa Kupon (Zero
Coupon Bonds)
Pada tanggal 19 Februari 2003, Pemerintah menerbitkan Obligasi Negara dengan
nilai nominal per unit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah). Obligasi Negara ini jatuh
tempo pada tanggal 15 Februari 2005. Jika yield to maturity yang disepakati
sebesar 12,50000% (dua belas koma lima nol persen) dan Setelmen dilakukan pada
tanggal 19 Februari 2003, maka Harga Setelmen per unit Obligasi Negara dihitung
sebagai berikut:
N = Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah);
i = 12,50000% (dua belas koma lima puluh persen);
D = 727 (tujuh ratus dua puluh tujuh) hari, yaitu jumlah hari sebenarnya (actual
days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal Setelmen (20
Februari 2003) sampai dengan tanggal jatuh tempo (15 Februari 2005);
PZ =
Rp1.000.000,00
()
1+12,50000%
= Rp.790.888,73
≈ Rp.790.889,00
Jadi Harga Setelmen per unit Obligasi Negara setelah dibulatkan adalah
Rp.790.889,00 (tujuh ratus sembilan puluh ribu delapan ratus delapan puluh
sembilan rupiah).
365
727
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 7/30/DPM|SE-BI/2005 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana </reg_title>
<set_date> 25 Juli 2005 </set_date>
<effective_date> 25 Juli 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '6/30/DPM|SE-BI/2004', '6/10/DPM|SE-BI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '7/19/PBI/2005', '6/2/PBI/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
|
No. 15/6/DPNP
Jakarta, 8 Maret 2013
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal : Kegiatan Usaha Bank Umum Berdasarkan Modal Inti
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor
Berdasarkan Modal Inti Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 286, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5384) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5029), perlu diatur ketentuan pelaksanaan mengenai Kegiatan Usaha
Bank Umum Berdasarkan Modal Inti dalam Surat Edaran Bank
Indonesia sebagai berikut:
I. UMUM …
I. UMUM
A. Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum
dikelompokkan berdasarkan Modal Inti, yang selanjutnya
disebut Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU).
Pengelompokan Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha
dimaksud terdiri dari 4 (empat) BUKU. Semakin tinggi Modal
Inti Bank, semakin tinggi BUKU Bank dan semakin luas
cakupan Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh Bank.
B. Pelaksanaan Kegiatan Usaha Bank Umum dilakukan dengan
menerbitkan produk maupun melaksanakan aktivitas
tertentu untuk memenuhi kebutuhan nasabah.
C. Dalam menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas,
Bank perlu memiliki modal yang cukup untuk mendukung
penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitasnya, serta
menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk
memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh produk atau aktivitas
tersebut.
II. KEGIATAN USAHA BANK UMUM
A. Kegiatan Usaha Bank Umum
1. Kegiatan Usaha Bank Umum meliputi penerbitan produk
atau pelaksanaan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan
nasabah.
Produk Bank adalah instrumen keuangan yang
diterbitkan oleh Bank. Produk dimaksud adalah produk
yang diciptakan, diterbitkan, dan/atau dikembangkan
oleh Bank yang terkait dengan kegiatan penghimpunan
dan penyaluran dana.
Aktivitas adalah jasa yang disediakan oleh Bank kepada
nasabah.
2. Kegiatan …
2. Kegiatan Usaha Bank yang meliputi produk atau aktivitas
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Penghimpunan dana
Produk atau aktivitas penghimpunan dana berupa:
1) giro, tabungan atau deposito;
2) penerbitan sertifikat deposito;
3) pinjaman yang diterima;
4) penerbitan surat utang termasuk surat utang
dengan fitur ekuitas;
5) sekuritisasi aset; dan
6) produk atau aktivitas penghimpunan dana
lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Penyaluran dana
Produk atau aktivitas penyaluran dana berupa:
1) kredit termasuk kredit sindikasi;
2) anjak piutang;
3) pembelian surat berharga berupa surat berharga
korporasi, Surat Berharga Negara (SBN) atau
Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
4) penempatan pada Bank Indonesia;
5) penempatan pada Bank lain;
6) penerbitan bank garansi; dan
7) produk atau aktivitas penyaluran dana lainnya
yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Pembiayaan perdagangan (trade finance)
Aktivitas pembiayaan perdagangan berupa:
1) pembiayaan …
1) pembiayaan transaksi dalam negeri dengan Surat
Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN);
2) pembiayaan ekspor impor dengan menggunakan
Letter of Credit (L/C);
3) pembiayaan ekspor impor tanpa menggunakan
Letter of Credit (L/C); dan
4)
jasa atau layanan pembiayaan perdagangan
lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank Umum
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
d. Kegiatan treasury
Kegiatan treasury berupa:
1)
jual beli Uang Kertas Asing (Bank Notes);
2) transaksi tunai valuta asing berupa transaksi tod,
tom dan spot;
3) transaksi derivatif yang bersifat plain vanilla,
antara lain forward, swap, atau option dengan
fitur, karakteristik dan underlying asset yang
tergolong sederhana;
4) transaksi derivatif kompleks, antara lain transaksi
forward, swap, atau option yang bersifat
kompleks, structured products dan credit
derivative; dan
5) transaksi valuta asing dan derivatif lainnya yang
lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
e. Kegiatan keagenan dan kerjasama
Aktivitas keagenan dan kerjasama berupa:
1) agen …
1) agen penjual Reksadana;
2) agen penjual Surat Berharga Negara (SBN);
3) Bancassurance model bisnis referensi, distribusi
dan integrasi;
4) Payment point; dan
5) aktivitas keagenan atau kerjasama lainnya yang
lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
f. Kegiatan sistem pembayaran dan electronic banking
Produk atau aktivitas sistem pembayaran dan
electronic banking berupa:
1) penyelenggara kliring;
2) penyelenggara penyelesaian akhir transaksi antar
Bank (settlement);
3) penyelenggara alat pembayaran dengan
menggunakan kartu;
4) penyelenggara uang elektronik (e-money);
5) Phone Banking;
6) SMS Banking;
7) Mobile Banking;
8) Internet Banking; dan
9) produk atau aktivitas sistem pembayaran dan
electronic banking lainnya yang lazim dilakukan
oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Jasa atau layanan lain
Jasa atau layanan lain berupa:
1) penyediaan ...
1) penyediaan safe deposit box;
2) pembayaran gaji karyawan secara massal (payroll);
3) pengelolaan kas (cash management);
4) Layanan Nasabah Prima (LNP);
5) kustodian;
6) wali amanat;
7) penitipan dengan pengelolaan (trust); dan
8)
jasa atau layanan lainnya yang lazim dilakukan
oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Bank yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada angka 2 dalam valuta asing wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia
untuk melakukan kegiatan dalam valuta asing.
4. Selain dapat melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada angka 2, Bank dapat melakukan:
a. kegiatan penyertaan modal
Kegiatan berupa penanaman dana Bank dalam
bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di
bidang keuangan, termasuk penanaman dalam
bentuk surat utang konversi (convertible bonds)
dengan opsi saham (equity options) yang bersifat
mandatory atau jenis transaksi tertentu yang
berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham
pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan.
b. kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka
penyelamatan kredit
Kegiatan berupa penyertaan modal oleh Bank pada
perusahaan debitur untuk mengatasi kegagalan kredit
(debt …
(debt to equity swap) sebagaimana diatur dalam
ketentuan mengenai penyertaan modal Bank Umum.
5. Definisi atau karakteristik umum produk atau aktivitas
sebagaimana dimaksud pada angka 2 mengacu pada
Lampiran I.
B. Cakupan Kegiatan Usaha Bank Umum menurut BUKU
1. Cakupan Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan Bank
pada masing-masing BUKU sebagai berikut:
a. BUKU 1
BUKU 1 dapat melakukan Kegiatan Usaha dalam
Rupiah berupa kegiatan penghimpunan dana dan
kegiatan penyaluran dana berupa produk atau
aktivitas dasar, kegiatan pembiayaan perdagangan
(trade finance), kegiatan keagenan dan kerjasama
dengan cakupan terbatas, kegiatan sistem
pembayaran dan electronic banking dengan cakupan
terbatas dan penyediaan jasa atau layanan lainnya.
Bank juga dapat melakukan kegiatan penyertaan
modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit
dan kegiatan sebagai Pedagang Valuta Asing (PVA).
b. BUKU 2
BUKU 2 dapat melakukan Kegiatan Usaha dalam
Rupiah dan valuta asing yang meliputi kegiatan
penghimpunan dana, kegiatan penyaluran dana
dengan cakupan yang lebih luas, kegiatan
pembiayaan perdagangan (trade finance), kegiatan
treasury secara terbatas, kegiatan sistem pembayaran
dan electronic banking dengan cakupan lebih luas,
kegiatan …
kegiatan keagenan dan kerjasama dengan cakupan
lebih luas dan penyediaan jasa atau layanan lainnya.
Bank juga dapat melakukan kegiatan penyertaan
modal pada lembaga keuangan di Indonesia dan
kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka
penyelamatan kredit.
c. BUKU 3
BUKU 3 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha
baik dalam Rupiah maupun valuta asing. Bank juga
dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga
keuangan di Indonesia dan/atau di luar negeri
terbatas pada wilayah regional Asia.
d. BUKU 4
BUKU 4 dapat melakukan seluruh Kegiatan Usaha
baik dalam Rupiah maupun valuta asing. Bank juga
dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga
keuangan dengan jumlah lebih besar dari BUKU 3 di
Indonesia dan/atau seluruh wilayah di luar negeri.
2. Cakupan Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan oleh
Bank sesuai dengan BUKU mengacu pada Lampiran II.
III. PENERBITAN PRODUK ATAU PELAKSANAAN AKTIVITAS BANK
UMUM
A. Ketentuan Umum
Bank dapat menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas
sebagaimana dimaksud dalam butir II.A.2 dengan memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1. merupakan produk atau aktivitas yang diperkenankan
pada masing-masing BUKU;
2. rencana …
2. rencana penerbitan produk yang belum pernah
diterbitkan
atau
dilaksanakan sebelumnya wajib dicantumkan dalam
Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan
rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
tersebut;
3. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang
merupakan produk atau aktivitas dasar tidak
memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia;
4. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang
bukan merupakan produk atau aktivitas dasar dan/atau
memiliki risiko serta kompleksitas tinggi, wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia;
dan
5. menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk
memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh penerbitan
produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum.
Rincian mengenai produk atau aktivitas sebagaimana
dimaksud dalam angka 1, angka 3, dan angka 4 mengacu
pada Lampiran II.
B. Produk atau Aktivitas Baru
1. Produk atau aktivitas baru merupakan produk atau
aktivitas Bank yang memenuhi kriteria berikut:
a. tidak pernah diterbitkan atau dilaksanakan
sebelumnya oleh Bank; atau
aktivitas yang belum pernah
merupakan …
merupakan pengembangan, kombinasi atau variasi
dari produk
atau aktivitas yang telah diterbitkan
atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank yang
menyebabkan perubahan atau peningkatan profil
risiko produk atau aktivitas yang telah diterbitkan
sebelumnya. Pengembangan yang menyebabkan
perubahan atau peningkatan profil risiko produk atau
aktivitas yang telah diterbitkan sebelumnya antara
lain sebagai berikut:
1) pengembangan, kombinasi atau variasi dari
produk yang telah diterbitkan sebelumnya oleh
Bank misalnya:
a) penerbitan surat utang dengan fitur yang
berbeda dari surat utang sebelumnya misalnya
penerbitan surat utang dengan fitur opsi
konversi menjadi saham; atau
b) penerbitan structured product dengan struktur,
fitur, karakteristik, imbal hasil, jangka waktu
dan/atau underlying asset yang berbeda
dengan produk sebelumnya;
2) pengembangan dari aktivitas kerjasama yang telah
dilaksanakan sebelumnya oleh Bank, misalnya
aktivitas bancassurance model bisnis referensi
dikembangkan menjadi model bisnis distribusi
atau integrasi sehingga mengakibatkan perubahan
pada profil risiko aktivitas tersebut.
2. Produk atau aktivitas baru yang tidak memerlukan
persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam butir A.3 antara lain meliputi:
a. penerbitan …
a. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dasar,
berupa:
1) penghimpunan dana dalam bentuk giro,
tabungan, deposito, sertifikat deposito dan
pinjaman yang diterima;
2) penyaluran dana dalam bentuk kredit, pembelian
surat berharga, penempatan pada Bank Indonesia
dan penempatan pada Bank lain; dan
3) trade finance, transaksi derivatif plain vanilla dan
aktivitas pemindahan dana (transfer);
b. pengembangan dari produk atau aktivitas dasar yang
pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya
oleh Bank;
c. aktivitas penjualan produk yang diterbitkan oleh
Pemerintah, misalnya aktivitas agen penjual Surat
Berharga Negara (SBN);
d. penanaman dana dalam rangka investasi, misalnya
pembelian Reksadana pendapatan tetap dan
pembelian surat berharga; dan
e. penyaluran dan penghimpunan dana dalam rangka
pengelolaan likuiditas, antara lain penempatan antar
Bank dan penerimaan pinjaman antar Bank.
3. Produk atau aktivitas baru yang wajib memperoleh
persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam butir A.4 adalah produk atau aktivitas yang bukan
merupakan cakupan produk atau aktivitas dasar
dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi,
antara lain meliputi:
a. penghimpunan …
a. penghimpunan dana berupa penerbitan surat utang,
surat utang yang memiliki fitur ekuitas dan
sekuritisasi aset;
b. aktivitas treasury berupa penerbitan derivatif
kompleks, structured product atau credit derivative;
c. keagenan dan kerjasama berupa aktivitas
bancassurance dan reksadana;
d. kegiatan sistem pembayaran antara lain berupa
penyelenggara kliring, penyelenggara alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan penyelenggara uang
elektronik (E-Money), Phone Banking, SMS Banking,
Mobile Banking dan Internet Banking; dan
e.
jasa atau layanan lain seperti kustodian, wali amanat
dan trust.
4. Rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
baru yang dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank
menggunakan format sebagaimana dimaksud pada
Lampiran III huruf A, yang paling kurang memuat
informasi dan penjelasan sebagai berikut:
a.
jenis dan deskripsi umum produk atau aktivitas baru;
b. waktu penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
baru;
c. tujuan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
baru;
d. keterkaitan produk atau aktivitas baru dengan
strategi bisnis Bank;
e. risiko atas penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas baru; dan
f. mitigasi risiko atas penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru.
5. Dalam …
5. Dalam rangka penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas yang wajib memperoleh persetujuan Bank
Indonesia, Bank mengajukan surat permohonan
persetujuan penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas baru kepada Bank Indonesia yang disertai
dengan dokumen pendukung yang paling kurang memuat
informasi dan penjelasan sebagai berikut:
a.
informasi umum mengenai produk atau aktivitas baru
meliputi antara lain nama produk atau jenis aktivitas,
rencana waktu penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas, target pasar dan/atau nasabah, rencana
atau target nilai transaksi dalam 1 (satu) tahun
pertama, informasi mengenai skim atau fitur produk
yang akan diterbitkan atau penjelasan mengenai
aktivitas yang akan dilaksanakan;
b. manfaat dan biaya bagi Bank;
c. manfaat dan risiko bagi nasabah;
d. prosedur pelaksanaan (standard operating
procedures/SOP), organisasi dan kewenangan untuk
menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas
baru;
e. rencana kebijakan dan prosedur terkait dengan
penerapan program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Teroris (APU dan PPT);
f.
identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian terhadap risiko yang melekat pada
produk atau aktivitas baru;
g. hasil analisis aspek hukum dan aspek kepatuhan atas
produk atau aktivitas baru;
h. dokumen …
h. dokumen atau konsep dokumen dalam rangka
transparansi kepada nasabah yang terkait dengan
penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang
meliputi antara lain perjanjian antara Bank dengan
nasabah atau pihak lain, brosur, leaflet, prospektus,
dan/atau formulir aplikasi;
i. sistem informasi akuntansi termasuk penjelasan
singkat mengenai keterkaitan sistem informasi
akuntansi tersebut dengan sistem informasi akuntansi
Bank secara menyeluruh, dan/atau sistem pencatatan
administrasi;
j. dokumen yang menyatakan bahwa Bank telah
memperoleh persetujuan atau izin dari otoritas yang
berwenang, apabila aktivitas Bank dimaksud
memerlukan persetujuan dari otoritas tersebut.
Dalam hal dokumen dimaksud belum diterbitkan,
maka Bank dapat menyampaikan fotokopi bukti
permohonan persetujuan atau izin kepada otoritas
yang berwenang. Selanjutnya, setelah otoritas
menerbitkan persetujuan atau izin, maka Bank wajib
menyampaikannya kepada Bank Indonesia sebagai
kelengkapan dokumen; dan
k. kesiapan dan hasil uji coba Bank (apabila ada) atas
produk atau aktivitas baru.
Informasi dan penjelasan dalam dokumen pendukung
permohonan persetujuan rencana penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru berpedoman pada Lampiran
III.B.
6. Permohonan persetujuan penerbitan produk atau
aktivitas baru sebagaimana dimaksud pada angka 5
disampaikan …
disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum
penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru.
7. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan
penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling
lambat 60 (enam puluh) hari setelah seluruh persyaratan
dipenuhi dan dokumen permohonan diterima secara
lengkap oleh Bank Indonesia.
8. Dalam hal masih diperlukan tambahan dokumen
dan/atau penjelasan berkenaan dengan evaluasi yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dalam memberikan
persetujuan maka batas waktu 60 (enam puluh) hari
dihitung sejak Bank melengkapi dokumen dan/atau
memberikan penjelasan yang diminta oleh Bank
Indonesia.
9. Bank harus menerbitkan produk atau melaksanakan
aktivitas baru paling lama 6 (enam) bulan sejak
persetujuan diberikan oleh Bank Indonesia. Apabila
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak persetujuan
diberikan oleh Bank Indonesia, Bank tidak menerbitkan
produk atau melaksanakan aktivitas baru maka
persetujuan Bank Indonesia menjadi tidak berlaku.
10. Dalam hal persetujuan Bank Indonesia sudah tidak
berlaku sebagaimana dimaksud pada angka 9, namun
Bank tetap akan menerbitkan produk atau melaksanakan
aktivitas baru, maka Bank wajib menyampaikan kembali
permohonan persetujuan penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru kepada Bank Indonesia.
11. Bank wajib menyampaikan laporan realisasi penerbitan
produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling lambat 7
(tujuh) hari kerja setelah produk diterbitkan atau
aktivitas baru dilaksanakan.
Realisasi…
Realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
baru dihitung sejak tanggal produk atau aktivitas tersebut
sudah dapat dibeli atau dimanfaatkan oleh nasabah.
Laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas baru paling kurang memuat informasi dan
penjelasan sebagai berikut:
a. jenis dan nama produk atau aktivitas baru;
b. tanggal penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
baru; dan
c. kesesuaian produk yang diterbitkan atau aktivitas
baru yang dilaksanakan dengan produk atau aktivitas
yang telah disetujui oleh Bank Indonesia.
IV. PERLAKUAN TERHADAP BANK UMUM YANG MENGALAMI
PENURUNAN MODAL INTI
A. Bank yang mengalami penurunan Modal Inti sehingga
menjadi tidak sesuai dengan persyaratan Modal Inti Minimum
sesuai BUKU Bank selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, wajib
menyampaikan:
1. rencana tindak (action plan) dalam rangka pemenuhan
persyaratan Modal Inti sesuai BUKU Bank; atau
2. rencana tindak dalam rangka penyesuaian Kegiatan
Usaha yang tidak sesuai dengan BUKU Bank.
B. Rencana tindak pemenuhan Modal Inti sesuai BUKU Bank
paling kurang menguraikan:
1. penyebab penurunan Modal Inti;
2. mekanisme dan tahapan pemenuhan Modal Inti; dan
3. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank
Indonesia.
C. Rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha yang tidak
sesuai dengan BUKU Bank paling kurang menguraikan:
1. produk …
1. produk dan/atau aktivitas yang harus dihentikan serta
nilai nominal (outstanding) dan sisa jangka waktu terlama
untuk produk atau aktivitas yang wajib dihentikan;
2. rencana waktu penyelesaian akhir produk dan/atau
aktivitas yang tidak sesuai;
3. rencana komunikasi atau pemberitahuan kepada nasabah
atau stakeholders mengenai penghentian produk
dan/atau aktivitas;
4. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank
Indonesia.
D. Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf B atau
huruf C wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lama pada bulan keempat sejak terjadinya penurunan Modal
Inti sehingga menyebabkan tidak sesuai dengan persyaratan
Modal Inti sesuai BUKU Bank, dengan alamat sebagai
berikut:
1. Departemen Pengawasan Bank, Jalan M.H. Thamrin No.2,
Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia, bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia.
E. Bank wajib menyelesaikan rencana tindak pemenuhan Modal
Inti sebagaimana dimaksud dalam huruf B paling lama 1
(satu) tahun sejak rencana tindak disetujui oleh Bank
Indonesia.
F. Bank yang tidak mampu memenuhi rencana tindak
pemenuhan Modal Inti dalam waktu 1 (satu) tahun sejak
rencana tindak disetujui oleh Bank Indonesia wajib
menyampaikan rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha
yang …
yang tidak sesuai dengan BUKU Bank sebagaimana dimaksud
pada huruf C.
G. Bank wajib menyelesaikan rencana tindak penyesuaian
Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf C
sampai dengan berakhirnya sisa jangka waktu perjanjian
produk dan/atau aktivitas yang tidak sesuai dengan BUKU
Bank. Dalam hal sisa jangka waktu perjanjian produk
dan/atau aktivitas lebih dari 3 (tiga) tahun, Bank wajib
menyelesaikan penghentian produk atau aktivitas dimaksud
paling lama 3 (tiga) tahun sejak rencana tindak disetujui oleh
Bank Indonesia.
H. Bagi Bank yang telah memperoleh persetujuan atas rencana
tindak pemenuhan persyaratan Modal Inti sesuai BUKU yang
diajukan kepada Bank Indonesia maka:
1. Bank tetap dapat melaksanakan Kegiatan Usaha yang
telah dilakukan meskipun tidak sesuai dengan cakupan
Kegiatan Usaha yang diperkenankan pada BUKU Bank,
termasuk melakukan transaksi baru dengan nasabah,
sepanjang memenuhi tahapan pemenuhan Modal Inti
yang telah disetujui Bank Indonesia;
2. Bank tidak diperkenankan melakukan transaksi baru
dengan nasabah sampai dengan terpenuhinya Modal Inti
minimum menurut BUKU, apabila terdapat pelanggaran
terhadap tahapan pemenuhan Modal Inti yang telah
disetujui Bank Indonesia.
I. Bank yang mengajukan rencana tindak penyesuaian Kegiatan
Usaha dilarang menawarkan, menjual dan/atau melakukan
perjanjian atau transaksi baru atas produk dan/atau
aktivitas yang harus dihentikan sejak bulan keempat sejak
terjadinya penurunan Modal Inti sehingga menyebabkan tidak
sesuai …
sesuai dengan persyaratan Modal Inti berdasarkan BUKU
Bank.
J. Ketentuan dalam huruf A tidak berlaku untuk Bank yang
mengalami penurunan Modal Inti selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut termasuk Bank dalam penanganan atau
penyelamatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), apabila
mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia untuk
melakukan Kegiatan Usaha tertentu dengan pertimbangan
stabilitas sistem keuangan dan/atau mendorong
perkembangan perekonomian nasional.
V. TINDAK LANJUT PENGAWASAN
A. Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk
menghentikan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
dalam hal di kemudian hari berdasarkan evaluasi Bank
Indonesia:
1. Produk yang diterbitkan atau aktivitas yang
dilaksanakan:
a. tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk atau
aktivitas yang diajukan kepada Bank Indonesia;
b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan
terhadap kondisi keuangan Bank;
c. berpotensi meningkatkan risiko hukum atau reputasi
Bank secara signifikan karena adanya pengaduan
atau tuntutan dari nasabah; dan/atau
d. tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Bank tidak menerapkan manajemen risiko yang memadai
atas produk yang diterbitkan atau aktivitas yang
dilaksanakan.
Penghentian ...
Penghentian tersebut dapat bersifat sementara maupun
permanen berdasarkan penilaian Bank Indonesia atas
penyimpangan yang terjadi.
B. Dalam hal Bank diperintahkan untuk menghentikan
penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sebagaimana
dimaksud dalam huruf A maka:
1. Bank wajib segera menghentikan penawaran, penjualan
dan/atau perjanjian atau transaksi baru atas produk
atau aktivitas yang wajib dihentikan; dan
2. Bank menyampaikan rencana tindak kepada Bank
Indonesia atas penyelesaian kewajiban kepada nasabah
terkait produk yang telah diterbitkan atau aktivitas yang
telah dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak Bank
diperintahkan untuk menghentikan penerbitan produk
atau pelaksanaan aktivitas.
VI. LAIN-LAIN
A. Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas produk
atau aktivitas tertentu, Bank Indonesia akan
mempertimbangkan kepentingan nasional terkait dengan
dampak penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas antara
lain untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dan/atau
mendorong perkembangan perekonomian nasional termasuk
untuk penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas Bank
dalam penanganan atau penyelamatan LPS.
B. Bank dilarang untuk memasarkan produk atau
melaksanakan aktivitas yang belum mendapatkan
persetujuan Bank Indonesia dan/atau tidak tercatat dalam
pembukuan atau administrasi Bank.
C. Dalam hal penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas
Bank telah diatur secara khusus dalam ketentuan Bank
Indonesia dan/atau ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas
lainnya …
lainnya seperti ketentuan mengenai structured product, agen
penjual SBN, agen penjual reksadana, aktivitas
bancassurance, penitipan dengan pengelolaan (trust),
pelaksana sistem pembayaran, penyediaan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan penggunaan teknologi
informasi maka penerbitan produk atau aktivitas dimaksud
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia dan/atau
ketentuan otoritas lain yang mengatur secara khusus
mengenai hal tersebut.
D. Lampiran I sampai dengan Lampiran IV merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
VII. PERALIHAN
A. Penentuan BUKU Bank berdasarkan Modal Inti, untuk
pertama kali didasarkan pada posisi Modal Inti Bank pada
akhir bulan Desember 2012.
B. Bagi Bank yang sebelum berlakunya Surat Edaran Bank
Indonesia ini telah melakukan Kegiatan Usaha yang tidak
sesuai dengan BUKU, wajib menyampaikan rencana tindak
pemenuhan Modal Inti atau rencana tindak penyesuaian
Kegiatan Usaha kepada Bank Indonesia.
C. Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf B, wajib
disampaikan oleh Bank yang tidak mampu memenuhi
persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU sampai
dengan akhir bulan Maret 2013.
D. Ketentuan dalam huruf B tidak berlaku bagi Bank yang
sampai dengan akhir bulan Maret 2013 telah mampu
memenuhi persyaratan Modal Inti minimum berdasarkan
BUKU. Namun Bank wajib menyampaikan laporan dan bukti
pendukung pemenuhan Modal Inti minimum kepada
pengawas …
pengawas Bank yang bersangkutan sebagai dasar
penyesuaian BUKU Bank.
E. Rencana tindak pemenuhan Modal Inti paling kurang
memuat:
1. sumber, jumlah dan mekanisme penambahan Modal Inti,
seperti penambahan modal melalui investor yang telah
ada (existing), investor strategis, atau merger dan
konsolidasi;
2. komposisi pemegang saham Bank setelah penambahan
Modal Inti;
3. tahapan pemenuhan Modal Inti sampai dengan
persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU Bank
terpenuhi; dan
4. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank Indonesia
terkait dengan rencana penambahan Modal Inti Bank.
F. Rencana tindak penyesuaian Kegiatan Usaha paling kurang
memuat:
1. produk dan/atau aktivitas yang harus dihentikan, nilai
nominal (outstanding) dan sisa jangka waktu terlama
produk atau aktivitas yang harus dihentikan atau
disesuaikan dan/atau penyertaan modal yang harus
disesuaikan karena melebihi batas maksimal penyertaan
modal berdasarkan BUKU;
2. rencana waktu pengakhiran produk dan/atau aktivitas
dan/atau penyesuaian penyertaan modal;
3. rencana komunikasi atau pemberitahuan kepada nasabah
dan stakeholders mengenai penghentian produk dan/atau
aktivitas; dan
4. hal …
4. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank Indonesia
terkait penghentian produk atau aktivitas yang tidak
sesuai dengan BUKU Bank dan/atau penyesuaian
penyertaan modal.
G. Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada huruf B wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada
akhir bulan Maret 2013, dengan alamat sebagai berikut:
1. Departemen Pengawasan Bank, Jalan M.H. Thamrin No.2,
Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja Kantor
Pusat
Bank Indonesia;
atau
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia, bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia.
H. Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan,
Bank Indonesia melakukan evaluasi atas rencana tindak yang
disampaikan oleh Bank.
I. Berdasarkan persetujuan Bank Indonesia atas rencana
tindak, Bank melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. melakukan revisi atas Rencana Bisnis Bank dan
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama pada
akhir bulan Juni 2013.
2. melakukan penambahan modal dan/atau menyesuaikan
Kegiatan Usaha:
a. paling lambat akhir bulan Juni 2016; atau
b. paling lambat akhir bulan Juni 2018 bagi Bank yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
3. Bank yang mengajukan rencana tindak pemenuhan
Modal Inti:
a. tetap …
a. tetap dapat melaksanakan Kegiatan Usaha yang telah
dilakukan meskipun tidak sesuai dengan cakupan
Kegiatan Usaha yang diperkenankan pada BUKU
Bank termasuk melakukan transaksi baru dengan
nasabah, sepanjang memenuhi tahapan pemenuhan
Modal Inti yang telah disetujui Bank Indonesia;
b. tidak diperkenankan melakukan transaksi baru
dengan nasabah sampai dengan terpenuhinya Modal
Inti minimum menurut BUKU, apabila terdapat
pelanggaran terhadap tahapan pemenuhan Modal Inti
yang telah disetujui Bank Indonesia.
4. Bank yang mengajukan rencana penyesuaian Kegiatan
Usaha dilarang menawarkan, menjual, dan/atau
melakukan perjanjian atau transaksi baru atas produk
dan/atau aktivitas yang harus dihentikan.
J. Bagi Bank yang telah menerbitkan produk atau
melaksanakan aktivitas yang berdasarkan Surat Edaran Bank
Indonesia ini wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia,
tetap dapat memelihara produk atau aktivitas tersebut tanpa
harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank
Indonesia, sepanjang merupakan cakupan produk atau
aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU Bank.
K. Ketentuan dalam huruf B tidak berlaku bagi Bank yang pada
posisi akhir Desember 2012 tidak memenuhi persyaratan
Modal Inti minimum sesuai BUKU namun mendapatkan
persetujuan dari Bank Indonesia untuk tetap dapat
melakukan Kegiatan Usaha tertentu berdasarkan
pertimbangan stabilitas sistem keuangan dan/atau
mendorong perkembangan perekonomian nasional, termasuk
Bank yang dalam penanganan atau penyelamatan LPS.
VIII. PENUTUP …
VIII. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini maka Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/35/DPNP tanggal 31 Desember
2009 perihal Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku
pada tanggal 8 Maret 2013.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MULYA E. SIREGAR
KEPALA DEPARTEMEN
PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 15/6/DPNP|SE-BI/2013 </reg_id>
<reg_title> Kegiatan Usaha Bank Umum Berdasarkan Modal Inti </reg_title>
<set_date> 8 Maret 2013 </set_date>
<effective_date> 8 Maret 2013 </effective_date>
<replaced_reg> '11/35/DPNP|SE-BI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '5/8/PBI/2003', '14/26/PBI/2012', '11/25/PBI/2009' </related_reg>
|
No. 10/ 20 /DASP
Jakarta, 8 Mei 2008
S U R A T E D A R A N
Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Prinsip
Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan
Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
-------------------------------------------------------------------------
Dalam rangka meningkatkan kelancaran transaksi antar Pemegang Kartu
dengan tetap memperhatikan faktor keamanan dan perlindungan kepada
Pemegang Kartu, perlu dilakukan penyesuaian batas maksimum nilai nominal
dana yang dapat ditransfer antar Penerbit dengan menggunakan Kartu ATM
melalui mesin ATM.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan perubahan
terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/60/DASP tanggal
30 Desember 2005 perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian,
serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran
Bank Indonesia No. 8/18/DASP tanggal 23 Agustus 2006, sebagai berikut:
Ketentuan butir II.3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
3. Untuk meningkatkan kelancaran transaksi antar Pemegang Kartu dengan
tetap memperhatikan faktor keamanan dan perlindungan kepada Pemegang
Kartu, ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
a. Batas maksimum nilai nominal dana yang dapat ditransfer antar Penerbit
Kartu ATM melalui mesin ATM adalah sebesar Rp25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah) per rekening dalam satu hari dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) batas …
2
1) batas maksimum nilai nominal dana berlaku untuk transfer dana
antar Penerbit dimana rekening pengirim dan penerima berada pada
Penerbit yang berbeda, dan seluruh proses transfer dana diselesaikan
melalui jaringan ATM antar Penerbit; dan
2) batas maksimum nilai nominal dana tidak berlaku untuk transfer
dana intra Penerbit Kartu ATM di mana rekening pengirim dan
penerima berada pada Penerbit yang sama.
b. Batas maksimum nilai nominal dana untuk penarikan tunai dengan Kartu
ATM dan Kartu Kredit melalui mesin ATM adalah sebesar
Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per rekening dalam satu hari.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 8 Mei 2008
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
SWD. MURNIASTUTI
DIREKTUR AKUNTING DAN
SISTEM PEMBAYARAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/20/DASP|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/60/DASP tanggal 30 Desember 2005 perihal Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu </reg_title>
<set_date> 8 Mei 2008 </set_date>
<effective_date> 8 Mei 2008 </effective_date>
<changed_reg> '7/60/DASP|SE-BI/2005' </changed_reg>
<extension_of> '8/18/DASP|SE-BI/2006' </extension_of>
<related_reg> '7/60/DASP|SE-BI/2005', '8/18/DASP|SE-BI/2006' </related_reg>
|
No. 17/38/DPM
Jakarta, 16 November 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA PERANTARA
DI INDONESIA
Perihal : Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan
Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5141) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/20/PBI/2015 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 275, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5764) dan dalam rangka upaya
penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, perlu diatur kembali
ketentuan pelaksanaan mengenai kriteria dan persyaratan Surat
Berharga, peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter dalam
Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perbankan yang berlaku, yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui
operasi pasar terbuka dan koridor suku bunga (standing
facilities).
3. Operasi …
2
3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah
kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain dalam rangka
Operasi Moneter.
4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya
disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
Rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan
penempatan dana Rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank
Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.
5. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia, Surat Berharga Negara dan surat berharga lain
yang digunakan dalam transaksi Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini.
6. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah
surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek.
7. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya
antar Bank.
8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah
Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah
surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata
uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Surat Utang Negara yang berlaku.
10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas
penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang Rupiah
maupun …
3
maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara yang berlaku.
11. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran
bunga secara diskonto.
12. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN
adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas)
bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto.
13. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disingkat ZCB adalah
Obligasi Negara tanpa kupon, dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
14. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disebut ORI adalah
Obligasi Negara yang pada pasar perdana dijual kepada individu
atau perseorangan Warga Negara Indonesia.
15. Surat Berharga Syariah Negara Ritel yang selanjutnya disebut
SBSN Ritel, atau dapat disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN
yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga
Negara Indonesia melalui agen penjual.
16. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa
kupon dan/atau secara diskonto.
17. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan Negara
Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12
(dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon
dan/atau secara diskonto.
18. Transaksi Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo adalah transaksi penjualan Surat Berharga oleh
peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan
kewajiban pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
19. Transaksi Reverse Repo adalah transaksi pembelian Surat
Berharga oleh Peserta OPT dari Bank Indonesia, dengan
kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
20. Transaksi …
4
20. Transaksi Outright adalah transaksi pembelian dan penjualan
Surat Berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank
Indonesia secara putus tanpa kewajiban penjualan dan
pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter.
21. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang
setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan
surat berharga dan setelmen dana seketika.
22. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang
selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dengan
Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan, serta
penatausahaan surat berharga, yang dilakukan secara
elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi,
penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika.
23. Sistem Bank Indonesia–Electronic Trading Platform yang
selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan
transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan
surat berharga dan setelmen dana seketika.
II. SURAT BERHARGA
1. Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Operasi
Moneter adalah sebagai berikut:
a. Surat Berharga dalam mata uang Rupiah
1) diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara
Republik Indonesia;
2)
tercatat di BI-SSSS; dan
3) tidak …
5
3)
tidak sedang diagunkan.
b. Surat Berharga dalam valuta asing
1) diterbitkan oleh pemerintah negara lain yang bank
sentralnya memiliki kerjasama dengan Bank Indonesia
antara lain dalam bentuk cross border collateral
arrangement;
2) sesuai denominasi asal negara penerbit;
3)
tercatat pada aktiva peserta Operasi Moneter yang
tercatat pada rekening surat berharga milik peserta
Operasi Moneter di lembaga kustodian yang disepakati;
4) memiliki peringkat investasi (investment grade); dan
5)
tidak sedang diagunkan.
2. Jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 terdiri atas:
a. SBI;
b. SDBI;
c. SBN, yang terdiri atas:
1) SUN, yang terdiri atas SPN dan Obligasi Negara
termasuk ZCB dan ORI; dan
2) SBSN, yang terdiri atas SBSN Jangka Pendek dan
SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel; dan
3) Surat berharga jangka pendek atau jangka panjang
yang diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereign
bond).
3. Persyaratan Surat Berharga:
Untuk Transaksi Repo dalam rangka OPT dan lending facility:
a. SBI
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja
pada saat second leg Transaksi Repo.
b. SDBI
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja
pada saat second leg Transaksi Repo.
c. SBN
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja
pada saat second leg Transaksi Repo.
d. Surat …
6
d. Surat berharga dalam valuta asing
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh)
hari kalender pada saat second leg Transaksi Repo.
III. HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA
1. Harga dan haircut Surat Berharga ditetapkan dan diumumkan
oleh Bank Indonesia di Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau
sarana lainnya.
2. Harga Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 1
ditetapkan sebagai berikut:
a. Harga SBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat
diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri
SBI.
b. Harga SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat
diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri
SDBI.
c. Harga SBN dan surat berharga dalam valuta asing
ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan
antara lain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN
serta surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond).
3. Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga Surat
Berharga.
4. Haircut Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 1
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk SBI sebesar 0% (nol persen);
b. untuk SDBI sebesar 0% (nol persen);
c. untuk SBN yang terdiri atas:
1) SUN sebesar 5% (lima persen);
2) SBSN sebesar 6,5% (enam koma lima persen);
d. sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggal
pelaksanaan transaksi untuk surat berharga dalam valuta
asing (sovereign bond).
5. Bank …
7
5. Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut
sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dan mengumumkan
perubahan tersebut melalui Sistem BI-ETP, BI-SSSS, Sistem
Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan/atau sarana lainnya.
6. Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara outright oleh
peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg
Transaksi Repo atau lending facility, harga yang digunakan
dalam perhitungan adalah harga pada tanggal Transaksi
Outright paling tinggi sebesar harga pada transaksi first leg.
7. Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara outright oleh
peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg
Transaksi Reverse Repo, harga yang digunakan dalam
perhitungan adalah harga pada tanggal Transaksi Outright
paling rendah sebesar harga pada transaksi first leg.
8. Dalam hal terjadi penjualan Surat Berharga dalam valuta asing
oleh Bank Indonesia karena kegagalan setelmen second leg
Transaksi Repo, harga yang digunakan dalam perhitungan
adalah harga penjualan surat berharga tersebut oleh Bank
Indonesia pada tanggal penjualan.
IV. PERHITUNGAN NILAI SETELMEN SURAT BERHARGA DALAM
RUPIAH
1. Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Lending Facility, Transaksi
Repo dengan Surat Berharga dalam Rupiah dan Transaksi
Reverse Repo
a. Nilai setelmen Surat Berharga adalah sebesar nilai nominal
Surat Berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan.
b. Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung
sebagai berikut:
1) SBI, SDBI, SPN, ZCB, dan SBSN Jangka Pendek
2) Obligasi …
8
2) Obligasi Negara termasuk ORI, SBSN Jangka Panjang
Keterangan:
Harga Surat
Berharga
: Harga Surat Berharga sebagaimana
diumumkan pada Sistem BI-ETP dan
BI-SSSS pada tanggal transaksi
lending facility, Transaksi Repo atau
Transaksi Reverse Repo.
Haircut
: Haircut sebagaimana diumumkan
dalam Sistem BI-ETP dan BI-SSSS
pada transaksi
lending facility,
Transaksi Repo atau Transaksi
Reverse Repo.
Accrued Interest
atau
Accrued
Imbalan
: Hak atas kupon atau imbalan Surat
Berharga yang dihitung sejak 1 (satu)
hari sesudah tanggal pembayaran
kupon atau imbalan terakhir sampai
dengan tanggal setelmen first leg.
c. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung
sebagai berikut:
Keterangan:
Jangka waktu : Jangka waktu lending facility atau
Transaksi Repo atau Transaksi Reverse
Repo.
2. Transaksi …
9
2. Transaksi Outright
Perhitungan nilai setelmen transaksi pembelian atau penjualan
Surat Berharga secara outright sebagai berikut:
a. SPN, ZCB dan SBSN Jangka Pendek
b. Obligasi Negara termasuk ORI, SBSN Jangka Panjang
Keterangan:
Harga Surat
Berharga
: 1) Transaksi Outright OPT
Harga Surat Berharga sebagaimana
ditetapkan Bank Indonesia dalam hal
Transaksi Outright dilakukan dengan
mekanisme lelang, dan/atau harga
Surat Berharga
berdasarkan
kesepakatan para pihak dalam hal
Transaksi Outright dilakukan dengan
mekanisme non lelang;
2) Transaksi Outright karena kegagalan
setelmen second leg
a) Untuk transaksi Repo, harga Surat
Berharga
sebagaimana
diumumkan pada Sistem BI-ETP
dan BI-SSSS pada tanggal
Transaksi Outright paling tinggi
sebesar harga transaksi first leg.
b) Untuk transaksi Reverse Repo,
harga
Surat Berharga
sebagaimana diumumkan pada
Sistem BI-ETP dan BI-SSSS pada
tanggal …
10
tanggal Transaksi Outright paling
rendah sebesar harga transaksi
first leg.
Accrued Interest
atau
accrued imbalan
: hak atas kupon atau imbalan Surat
Berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari
sesudah tanggal pembayaran kupon atau
imbalan terakhir sampai dengan tanggal
setelmen Transaksi Outright.
3. Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
Dalam hal terjadi kegagalan setelmen Transaksi Repo jatuh
waktu atau lending facility jatuh waktu yang menggunakan SBI,
perhitungan setelmen nilai tunai sebagai berikut:
Keterangan:
Tingkat
Diskonto
Sisa jangka
waktu
: Rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada
saat SBI diterbitkan.
: Jumlah hari sebenarnya (actual days) yang
dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal
gagal setelmen transaksi Operasi Moneter
sampai dengan tanggal jatuh waktu SBI
(maturity date).
4. Pelunasan SDBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
Early redemption terhadap SDBI dilakukan dalam hal terjadi
kegagalan setelmen Transaksi Repo jatuh waktu, lending facility
jatuh waktu atau terjadi transaksi antara Bank dengan pihak
selain Bank yang menggunakan SDBI, dengan perhitungan nilai
setelmen nilai tunai sebagai berikut:
Keterangan …
11
Keterangan:
Tingkat diskonto : Rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada
saat SDBI diterbitkan.
Sisa
waktu
jangka
: Jumlah hari sebenarnya (actual days) yang
dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah
tanggal gagal setelmen transaksi Operasi
Moneter sampai dengan tanggal jatuh
waktu SDBI (maturity date).
V. PERHITUNGAN NILAI AGUNAN DAN NILAI SETELMEN SURAT
BERHARGA DALAM VALUTA ASING
1. Nilai nominal Surat Berharga dalam valuta asing yang
diagunkan pada setelmen first leg dihitung sebagai berikut:
Keterangan:
Nilai setelmen first
leg
Kurs transaksi
Harga
Berharga
Surat
: Besarnya nominal Rupiah yang
dimenangkan pada saat setelmen first leg
: Kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia pada tanggal transaksi.
: Harga Surat Berharga sebagaimana
diumumkan pada saat pelaksanaan
transaksi untuk surat berharga dalam
valuta asing (sovereign bond).
Haircut
: Haircut sebagaimana diumumkan oleh
Bank Indonesia pada saat pelaksanaan
transaksi untuk surat berharga dalam
valuta asing (sovereign bond).
2. Kurs …
12
2. Kurs
Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen atas
transaksi yang menggunakan Surat Berharga dalam valuta asing
adalah kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi.
3. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai
berikut:
Keterangan:
Jangka waktu : Jangka waktu Transaksi Repo
VI. PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA OPERASI MONETER
1. Peserta Operasi Moneter
a. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti Operasi
Moneter dalam Rupiah adalah Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) berstatus aktif sebagai peserta di Sistem BI-ETP, BI-
SSSS, dan Sistem BI-RTGS;
2)
tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter;
3) harus memiliki rekening giro di Bank Indonesia; dan
4) harus memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.
b. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti transaksi
Operasi Moneter dalam valuta asing adalah Bank devisa,
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter;
2) harus memiliki rekening giro valuta asing di Bank
Indonesia; dan/atau
3) harus …
13
3) harus memiliki rekening surat berharga di lembaga
kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia, untuk
transaksi Operasi Moneter dengan Surat Berharga
dalam valuta asing yang tidak ditatausahakan di Bank
Indonesia.
c. Peserta Operasi Moneter wajib:
1) menyediakan dana Rupiah di rekening giro di Bank
Indonesia dan/atau Surat Berharga di rekening Surat
Berharga di BI-SSSS yang mencukupi untuk
memenuhi kewajiban setelmen transaksi Operasi
Moneter; dan/atau
2) mentransfer dana valuta asing ke rekening Bank
Indonesia di bank koresponden dan/atau Surat
Berharga dalam valuta asing ke rekening Surat
Berharga di Bank Indonesia atau ke rekening surat
berharga Bank Indonesia di lembaga kustodian yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia yang mencukupi untuk
memenuhi kewajiban setelmen transaksi Operasi
Moneter.
d. Peserta Operasi Moneter melakukan transaksi Operasi
Moneter untuk kepentingan diri sendiri.
2. Lembaga Perantara
a. Lembaga perantara melakukan transaksi OPT untuk
kepentingan peserta Operasi Moneter.
b. Lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam huruf a
terdiri atas:
1) pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing; dan
2) perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia sebagai dealer utama.
c. Perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam butir b.2)
hanya dapat menjadi lembaga perantara dalam Transaksi
Repo, Transaksi Reverse Repo dan transaksi pembelian atau
penjualan SBN secara outright di pasar sekunder.
d. Persyaratan …
14
d. Persyaratan lembaga perantara adalah sebagai berikut:
1) berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP; dan
2)
tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh
otoritas pengawas yang berwenang.
VII. KETENTUAN PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 16/22/DPM tanggal 24 Desember
2014 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan
Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16
November 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
DODDY ZULVERDI
KEPALA DEPARTEMEN
PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 17/38/DPM|SE-BI/2015 </reg_id>
<reg_title> Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter </reg_title>
<set_date> 16 November 2015 </set_date>
<effective_date> 16 November 2015 </effective_date>
<replaced_reg> '16/22/DPM|SE-BI/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '17/20/PBI/2015', '12/11/PBI/2010' </related_reg>
|
BANK INDONESIA
NO.5/ 11 /DPNP Jakarta, 26 Juni 2003
Jakarta, 26 Juni 2003
SURATEDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang
dijamin Pemerintah
Menunjuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/32/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1998 tentang Penjaminan atas Simpanan
Pihak Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 23; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4082) serta
memperhatikan Surat Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Bank
Indonesia Nomor PROG-234S/BPPN/0700 tanggal 28 Juli 2000 perihal
Penctapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga dan Maksimum Suku
Bunga Pasar Uang Antar Bank yang dijamin oleh Pemerintah, dengan ini
diberitahukan bahwa marjin suku bunga Simpanan Pihak Ketiga yang
dijamin oleh Pemerintah:
dalam Rupiah ditetapkan sebesar 100 (seratus) basis point; sedangkan
dalam valuta asing ditetapkan sebesar 100 (seratus) basis poin,
di atas rata-rata suku bunga deposito berjangka dari bank-bank anggota
JTBOR yang dipilih oleh Bank Indonesin.
B1 100(448)- 200- 1-2003- ERC
BARR ERBORBSBA
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Bank
Indoncsia Nomor 4/9/DPM tanggal 26 Juni 2002 perihal Penetapan Marjin
Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang Djamin Pemerintah dinyatakan
tidak berlaku.Ketentuan dalam Surat Edaran ini nulai berlaku sejak tanggal 1
Juli 2003,
Agar setiap orang mengetabuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indomesia.
Demikian agar maklum.
BANK,INDONESIA,
NELSON TAIVPUBOLON
DIREKTUR PENELITIAN DAN
PENGATURAN PERBANKAN
81-101 (446)-2007-12-97-AEB
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 5/11/DPNP|SE-BI/2003 </reg_id>
<reg_title> Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah </reg_title>
<set_date> 26 Juni 2003 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '4/9/DPM|SE-BI/2002' </replaced_reg>
<related_reg> '31/32/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '3/5/PBI/2001', 'PROG-2345/BPPN/0700|SRT-BPPN/2000' </related_reg>
|
No. 13/ 4 /DPM
Jakarta, 4 Februari 2011
SURAT EDARAN
Perihal : Biaya Laporan Harian Bank Umum
Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/ 8 /PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5194) dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
13/ 3 /DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum, perlu
untuk mengatur kembali ketentuan tentang biaya Laporan Harian Bank Umum
dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. Bank Pelapor
1. Bank Indonesia menyediakan hak akses berupa user id atas sistem
Laporan Harian Bank Umum (LHBU) di Bank Indonesia dalam jumlah
tertentu kepada setiap Bank Pelapor tanpa dikenakan biaya, baik berupa
biaya lisensi maupun biaya pemeliharaan.
2. Dalam hal Bank Pelapor menambah hak akses sistem LHBU, Bank
Pelapor dikenakan biaya lisensi dan biaya pemeliharaan sistem LHBU
yang diatur sebagai berikut:
a. Biaya lisensi sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar)
dikenakan 1 (satu) kali selama menggunakan hak akses sistem
LHBU, untuk setiap tambahan hak akses.
b. Biaya pemeliharaan sistem LHBU sebesar USD300 (tiga ratus US
Dollar) dikenakan setiap tahun, untuk setiap tambahan hak akses.
c. Pembayaran ...
2
c. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b
dilakukan dalam ekuivalen mata uang rupiah dengan menggunakan
kurs transaksi jual Bank Indonesia pada tanggal pembayaran biaya.
d. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b
dilakukan dengan mendebet rekening giro rupiah Bank Pelapor pada
Bank Indonesia.
e. Dalam rangka pendebetan rekening giro rupiah Bank Pelapor
sebagaimana dimaksud dalam huruf d, Bank Pelapor memberikan
surat kuasa pendebetan kepada Bank Indonesia c.q. Unit Khusus
Manajemen Informasi, sebagaimana contoh dalam lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini .
II. Pelanggan LHBU
Dalam rangka memperoleh informasi LHBU, Pelanggan LHBU dikenakan
biaya lisensi, biaya pemeliharaan sistem LHBU, dan biaya perolehan
informasi LHBU yang diatur sebagai berikut:
1. Biaya lisensi untuk pertama kali memperoleh hak akses dikenakan 1
(satu) kali sebesar USD1,500 (seribu lima ratus US Dollar) yang berlaku
selama menggunakan informasi LHBU.
2. Setiap tambahan hak akses, dikenakan biaya lisensi sebesar USD1,500
(seribu lima ratus US Dollar) yang berlaku selama menggunakan hak
akses.
3. Pembayaran biaya lisensi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan
angka 2 dilakukan dengan cara transfer melalui Bank umum dan harus
sudah diterima oleh Bank Indonesia pada saat Perjanjian Penggunaan
LHBU terkait ditandatangani.
4. Biaya ...
3
4. Biaya pemeliharaan sistem LHBU sebesar USD300 (tiga ratus US
Dollar) setahun untuk setiap hak akses atau setiap tambahan hak akses.
5. Pembayaran biaya pemeliharaan sistem LHBU untuk setiap hak akses
atau setiap tambahan hak akses sebagaimana dimaksud pada angka 4,
dilakukan dengan cara transfer melalui Bank umum dan harus sudah
diterima oleh Bank Indonesia pada saat Perjanjian Penggunaan LHBU
terkait ditandatangani.
6. Biaya perolehan informasi LHBU sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah) sebulan untuk setiap hak akses, dan diterima Bank Indonesia
paling lambat tanggal 5 pada bulan yang bersangkutan.
7. Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan
angka 4 dilakukan dalam ekuivalen mata uang rupiah dengan
menggunakan kurs transaksi jual Bank Indonesia pada tanggal
pembayaran dilakukan.
8. Tata cara pembayaran biaya lisensi, biaya pemeliharaan sistem LHBU,
dan biaya untuk memperoleh informasi LHBU diatur dalam Perjanjian
Penggunaan LHBU.
III. Ketentuan Peralihan
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Perjanjian Penggunaan
PIPU yang telah ada sebelum berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini,
dinyatakan masih tetap berlaku dan diperlakukan sebagai Perjanjian
Penggunaan LHBU sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian
yang bersangkutan.
IV. Penutup ...
4
IV. Penutup
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 9/3/DPM tanggal 5 Maret 2007 perihal Biaya Laporan
Harian Bank Umum dan Biaya Pusat Informasi Pasar Uang, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 7 Februari 2011
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDAR
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 13/4/DPM|SE-BI/2011 </reg_id>
<reg_title> Biaya Laporan Harian Bank Umum </reg_title>
<set_date> 4 Februari 2011 </set_date>
<effective_date> 7 Februari 2011 </effective_date>
<replaced_reg> '9/3/DPM|SE-BI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '13/8/PBI/2011', '13/3/DPM|SE-BI/2011' </related_reg>
|
No.16/ 4 /DKEM
Jakarta, 7 April 2014
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal
Pinjaman Luar Negeri Bank.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/7/PBI/2014
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5523), perlu untuk
dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt
tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank
sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Surat Edaran Bank
Indonesia:
a. Nomor 10/32/DInt tanggal 14 Oktober 2008 perihal Perubahan atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari
2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank;
b. Nomor 14/30/DInt tanggal 22 Oktober 2012 perihal Perubahan Kedua
atas Surat Edaran Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal
Pinjaman Luar Negeri Bank;
c. Nomor 15/36/DKEM tanggal 30 Agustus 2013 perihal Perubahan
Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15
Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank;
diubah…
diubah sebagai berikut:
Ketentuan butir I.C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
C. PLN JANGKA PENDEK
1. Bank dapat memperoleh PLN Jangka Pendek tanpa persetujuan dari
Bank Indonesia.
2. Bank wajib membatasi posisi saldo harian PLN Jangka Pendek
paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank termasuk
yang dimiliki oleh kantor cabangnya di luar negeri.
3. Pembatasan posisi saldo harian PLN Jangka Pendek sebagaimana
dimaksud dalam angka 2 dikecualikan terhadap:
a. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam
rangka mengatasi kesulitan likuiditas Bank.
PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dimaksud
dikecualikan mengingat pemegang
saham pengendali
mempunyai kewajiban untuk membantu Bank apabila Bank
mengalami kesulitan likuiditas.
Pemegang saham pengendali merupakan pemegang saham
pengendali sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur
mengenai bank umum dan bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Kesulitan likuiditas merupakan kesulitan Bank dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek yang disebabkan mismatch arus dana,
baik valas maupun Rupiah.
b. PLN Jangka Pendek dari pemegang saham pengendali dalam
rangka penyaluran kredit ke sektor riil.
Sektor riil dalam hal ini merupakan kegiatan usaha suatu entitas
di Indonesia yang menghasilkan barang dan jasa, tidak termasuk
di dalamnya kegiatan usaha di sektor keuangan.
c. Dana Usaha kantor cabang bank asing di Indonesia sampai
dengan paling
Usaha yang dinyatakan (declared Dana Usaha).
d. Giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing dan
lembaga internasional, termasuk anggota staf perwakilan negara
asing dan lembaga internasional.
Perwakilan…
tinggi 100% (seratus persen) dari Dana
Perwakilan resmi pemerintah daerah negara asing yang
melakukan tugasnya di Indonesia juga dianggap sebagai
perwakilan negara asing.
e. Giro milik Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan
investasi di Indonesia yang meliputi penyertaan langsung,
pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia,
dan/atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro milik
Bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi tidak
termasuk yang dikecualikan.
f. Giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil
penjualan kembali (divestasi) atas penyertaan langsung,
pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia,
dan/atau pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
g. Giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana untuk
pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan hasil penjualan
kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
h. Kewajiban Bank kepada Bukan Penduduk yang timbul dari
transaksi derivatif lindung nilai.
Kewajiban merupakan liabilitas Bank yang muncul akibat
kegiatan mark-to-market transaksi derivatif Bank dengan Bukan
Penduduk dan tercatat di on balance sheet.
Transaksi derivatif merupakan transaksi yang didasarkan pada
suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti
suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang
diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau
instrumen, namun tidak termasuk transaksi derivatif kredit.
Lindung nilai merupakan cara atau teknik untuk mengurangi
risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul
akibat adanya fluktuasi harga di pasar keuangan.
i. Giro milik Bukan Penduduk non pemegang saham pengendali
yang digunakan dalam rangka penyaluran kredit ke sektor riil
dan proyek-proyek infrastruktur.
j. Giro...
j. Giro milik Bukan Penduduk yang menampung dana hasil
penerbitan obligasi berdenominasi Rupiah oleh lembaga
supranasional dalam rangka pembiayaan sektor riil dan proyek-
proyek infrastruktur.
Lembaga supranasional merupakan lembaga keuangan
multilateral yang dibentuk oleh dua atau lebih negara dan dalam
kegiatannya menyediakan pembiayaan, hibah, dan/atau
bantuan teknis dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi
negara anggotanya.
4. PLN Jangka Pendek yang diperpanjang (roll over) tetap merupakan
PLN Jangka Pendek. Dalam hal akan diperpanjang lebih dari 1 (satu)
tahun maka akan diberlakukan sebagai PLN Jangka Panjang baru
yang harus mengikuti prosedur sesuai ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai PLN.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7
April 2014
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
JUDA AGUNG
KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN
EKONOMI DAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 16/4/DKEM|SE-BI/2014 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank. </reg_title>
<set_date> 7 April 2014 </set_date>
<effective_date> 7 April 2014 </effective_date>
<changed_reg> '9/1/DInt|SE-BI/2007' </changed_reg>
<extension_of> '10/32/DInt|SE-BI/2008', '14/30/DInt|SE-BI/2012', '15/36/DKEM|SE-BI/2013' </extension_of>
<related_reg> '7/1/PBI/2005', '16/7/PBI/2014', '9/1/DInt|SE-BI/2007', '10/32/DInt|SE-BI/2008', '14/30/DInt|SE-BI/2012', '15/36/DKEM|SE-BI/2013' </related_reg>
|
No. 14/ 33 /DPbS
Jakarta, 27 November 2012
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal : Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan
Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4896) dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 103, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5247) serta dalam rangka meningkatkan kehati-hatian
bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang melakukan
penyaluran pembiayaan kepemilikan rumah dan pembiayaan
kendaraan bermotor, perlu untuk mengatur mengenai penerapan
kebijakan produk pembiayaan kepemilikan rumah dan pembiayaan
kendaraan bermotor oleh Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha
Syariah (UUS) dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN …
I. KETENTUAN UMUM
A. Latar Belakang
1. Peningkatan permintaan pembiayaan kepemilikan rumah,
dan pembiayaan kendaraan bermotor yang sangat tinggi
berpotensi menimbulkan berbagai risiko bagi BUS dan
UUS.
2. Pertumbuhan pembiayaan kepemilikan rumah yang
sangat tinggi juga dapat mendorong peningkatan harga
aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya
(bubble), sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi
BUS dan UUS yang memiliki eksposur pembiayaan
properti yang besar.
3. Untuk tetap dapat menjaga perekonomian yang produktif
dan mampu menghadapi tantangan sektor keuangan di
masa yang akan datang, perlu adanya kebijakan yang
dapat memperkuat ketahanan sektor keuangan untuk
meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang dapat
timbul, termasuk pertumbuhan pembiayaan kepemilikan
rumah dan pembiayaan kendaraan bermotor yang
berlebihan.
4. Kebijakan dalam rangka meningkatkan kehati-hatian BUS
dan UUS dalam penyaluran pembiayaan kepemilikan
rumah dan pembiayaan kendaraan bermotor serta untuk
memperkuat ketahanan sektor keuangan dilakukan
melalui penetapan besaran Financing to Value, penyertaan
(sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk pembiayaan
kepemilikan rumah dan uang muka (down payment)
untuk pembiayaan kendaraan bermotor dengan
memperhatikan karakteristik produk perbankan syariah.
B. Pengertian …
B. Pengertian
1. Pembiayaan Kepemilikan Rumah yang selanjutnya disebut
KPR iB adalah pemberian pembiayaan kepada nasabah
dalam rangka kepemilikan rumah dengan menggunakan
akad berdasarkan prinsip syariah.
2. Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disebut KKB iB adalah pemberian pembiayaan kepada
nasabah dalam rangka kepemilikan kendaraan bermotor
dengan menggunakan akad berdasarkan prinsip syariah.
3. Financing to Value yang selanjutnya disebut FTV adalah
perbandingan antara nilai pembiayaan yang dapat
diberikan oleh BUS atau UUS terhadap nilai agunan pada
saat awal pemberian pembiayaan dalam rangka
kepemilikan rumah.
4. Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) adalah musyarakah atau
syirkah dalam rangka kepemilikan rumah antara BUS
atau UUS dengan nasabah, dimana penyertaan (sharing)
kepemilikan rumah oleh BUS atau UUS akan berkurang
yang disebabkan pembelian secara bertahap oleh
nasabah.
5. Uang Jaminan (Deposit) adalah uang yang harus
diserahkan oleh nasabah kepada BUS atau UUS dalam
rangka kepemilikan rumah yang dilakukan dengan akad
Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT).
6. Uang Muka (Down Payment) adalah pembayaran di muka
atau uang muka secara tunai yang sumber dananya dari
debitur (self financing) dalam rangka pembelian kendaraan
bermotor.
II. PENERAPAN…
II. PENERAPAN KEBIJAKAN PRODUK PEMBIAYAAN KEPEMILIKAN
RUMAH DAN PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
Dalam menyalurkan KPR iB dan KKB iB, BUS dan UUS wajib:
A. menerapkan manajemen risiko sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tanggal 2 November 2011
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah, dalam rangka memitigasi
berbagai risiko yang melekat pada penyaluran KPR iB dan KKB
iB, terutama risiko kredit dan risiko likuiditas; dan
B. menerapkan prinsip kehati-hatian antara lain dengan
menyusun kebijakan dan prosedur secara tertulis yang akan
menjadi acuan dalam penyaluran KPR iB dan KKB iB dengan
berpedoman pada:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah;
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008
tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah;
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang
Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank bagi Bank Umum;
4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/DPbS tanggal
7 Oktober 2008 perihal Produk Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah; dan
5. Surat Edaran Bank Indonesia ini.
III. RUANG …
III. RUANG LINGKUP PENGATURAN KPR iB DAN KKB iB
A. KPR iB
1. Ruang lingkup KPR iB meliputi pembiayaan KPR iB yang
diberikan oleh BUS dan UUS kepada nasabah perorangan
dalam rangka kepemilikan rumah tinggal, termasuk
rumah susun atau apartemen dengan tipe bangunan
lebih dari 70 m2 (tujuh puluh meter persegi), namun tidak
termasuk rumah kantor dan rumah toko.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, tidak
berlaku untuk KPR iB dalam rangka pelaksanaan program
perumahan Pemerintah Indonesia berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
B. KKB iB
Ruang lingkup KKB iB meliputi pembiayaan yang diberikan
oleh BUS dan UUS kepada nasabah untuk pembelian
kendaraan bermotor.
IV. PENGATURAN FINANCING TO VALUE PADA KPR iB
A. FTV diberlakukan terhadap KPR iB yang menggunakan akad
murabahah atau akad istishna’.
B. Perhitungan FTV yang merupakan perbandingan antara nilai
pembiayaan terhadap nilai agunan, adalah sebagai berikut:
1. nilai pembiayaan ditetapkan berdasarkan harga pokok
pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana
tercantum dalam akad pembiayaan; dan
2. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai pengikatan
agunan oleh BUS dan UUS.
C. FTV …
C. FTV KPR iB sebagaimana dimaksud pada huruf B ditetapkan
paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen).
V. PENGATURAN PENYERTAAN (SHARING) DAN UANG JAMINAN
(DEPOSIT) PADA KPR iB
A. Penyertaan (sharing) BUS atau UUS dalam rangka kepemilikan
rumah diberlakukan terhadap KPR iB dengan skema
Musyarakah Mutanaqisah (MMQ).
B. Penyertaan (sharing) BUS atau UUS sebagaimana dimaksud
pada huruf A ditetapkan paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen) dari harga perolehan rumah.
C. Uang Jaminan (Deposit) dalam rangka kepemilikan rumah
diberlakukan terhadap KPR iB dengan akad IMBT.
D. Uang Jaminan (Deposit) sebagaimana dimaksud pada huruf C
ditetapkan paling rendah sebesar 20% (dua puluh persen) dari
harga perolehan rumah yang disewakan kepada nasabah.
E. Uang Jaminan (Deposit) sebagaimana dimaksud pada huruf D
akan diperhitungkan sebagai uang muka pembelian rumah
pada saat akad IMBT jatuh tempo. Dalam hal nasabah tidak
mengambil opsi untuk membeli rumah, maka Uang Jaminan
(Deposit) tersebut dikembalikan kepada nasabah.
VI. PENGATURAN UANG MUKA (DOWN PAYMENT) PADA KKB iB
A. Uang Muka (Down Payment) KKB iB ditetapkan sebesar
persentase tertentu dari harga pembelian kendaraan bermotor
yang dibiayai oleh BUS atau UUS.
B. Uang …
B. Uang Muka (Down Payment) sebagaimana dimaksud pada
huruf A ditetapkan sebagai berikut:
1. paling rendah 25% (dua puluh lima persen), bagi
kendaraan bermotor roda dua atau roda tiga;
2. paling rendah 30% (tiga puluh persen), bagi kendaraan
bermotor roda empat untuk keperluan non produktif;
3. paling rendah 20% (dua puluh persen), bagi kendaraan
bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan
produktif.
Kriteria kendaraan bermotor untuk keperluan produktif
adalah sebagai berikut:
a. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang; dan/atau
b. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang
memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung
kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya.
VII. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
1. Bank Indonesia meminta BUS atau UUS untuk menghentikan
kegiatan produk KPR iB dan/atau KKB iB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah dalam hal BUS atau UUS melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam butir IV.C, butir V.B, butir V.D,
dan butir VI.B Surat Edaran Bank Indonesia ini.
2. BUS…
2. BUS atau UUS yang tidak menghentikan kegiatan produk KPR
iB dan/atau KKB iB sesuai permintaan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada huruf A, dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
VIII. KETENTUAN LAIN-LAIN
A. Besaran FTV untuk KPR iB sebagaimana dimaksud dalam
butir IV.C, besaran penyertaan (sharing) untuk KPR iB
sebagaimana dimaksud dalam butir V.B, dan besaran Uang
Jaminan (Deposit) untuk KPR iB sebagaimana dimaksud dalam
butir V.D, serta besaran Uang Muka (Down Payment) untuk
KKB iB sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B dapat
disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi
perekonomian Indonesia.
B. Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap
pelaksanaan Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain
melalui pelaporan Sistem Informasi Debitur (SID) oleh BUS
dan UUS maupun melalui pengawasan dan pemeriksaan BUS
dan UUS.
IX. KETENTUAN PERALIHAN
BUS dan UUS yang telah memiliki kebijakan dan prosedur tertulis
mengenai penyaluran KPR iB dan/atau KKB iB sebelum Surat
Edaran ini berlaku, wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur
KPR iB dan/atau KKB iB serta menyampaikannya kepada Bank
Indonesia paling lambat pada tanggal 31 Maret 2013.
X. KETENTUAN…
X. KETENTUAN PENUTUP
Ketentuan mengenai besaran FTV untuk KPR iB sebagaimana
dimaksud dalam butir IV.C, besaran penyertaan (sharing) untuk
KPR iB sebagaimana dimaksud dalam butir V.B, dan besaran Uang
Jaminan (Deposit) untuk KPR iB sebagaimana dimaksud dalam
butir V.D, serta besaran Uang Muka (Down Payment) untuk KKB iB
sebagaimana dimaksud dalam butir VI.B mulai berlaku pada
tanggal 1 April 2013.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
27 November 2012
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DEPUTI GUBERNUR
DPbS
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 14/33/DPbS|SE-BI/2012 </reg_id>
<reg_title> Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. </reg_title>
<set_date> 27 November 2012 </set_date>
<effective_date> 27 November 2012 </effective_date>
<related_reg> '13/23/PBI/2011', '10/17/PBI/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VII' </penalty_list>
|
No. 2/18/DPM
Jakarta, 19 September 2000
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal: Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang
Dapat Diperdagangkan bagi Bank Umum Peserta Program
Rekapitalisasi Perbankan
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
1/10/PBI/1999 tanggal 3 Desember 1999 tentang Portofolio Obligasi
Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi dan Peraturan
Bank Indonesia No.2/10/PBI/2000 tanggal 29 Maret 2000 tentang Perubahan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang Portofolio
Obligasi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi, diatur ketentuan
tentang jumlah, jenis dan seri Obligasi yang dapat diperdagangkan serta
kewenangan Bank Indonesia untuk menetapkan peningkatan prosentase
Obligasi yang dapat diperdagangkan.
Dengan mempertimbangkan bahwa transaksi perdagangan Obligasi
di pasar sekunder oleh perbankan dewasa ini cenderung meningkat dan
guna mengantisipasi kebutuhan lembaga perbankan untuk menggunakan
OBLIGASI PEMERINTAH……
1
Obligasi Pemerintah di waktu mendatang sebagai agunan baik dalam
transaksi di pasar uang maupun dalam rangka memperoleh Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari Bank Indonesia, dipandang perlu
untuk meningkatkan prosentase Obligasi Pemerintah yang dapat
diperdagangkan di pasar sekunder dengan ketentuan sebagai berikut:
I. JUMLAH DAN SERI OBLIGASI YANG DAPAT DIPERDAGANGKAN
1. Jumlah prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan yang semula
ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10% (sepuluh perseratus)
ditingkatkan menjadi setinggi-tingginya sebesar 15% (lima belas
perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi Pemerintah yang dibeli
pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah
sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank Umum.
2. Bank wajib memindah-bukukan seluruh Obligasi Pemerintah yang
akan diperdagangkan dari portofolio investasi ke dalam portofolio
perdagangan sebesar jumlah nominalnya.
3. Obligasi Pemerintah yang dapat dipindahkan kedalam portofolio
perdagangan adalah Obligasi Pemerintah yang telah dapat
perdagangkan pada pasar sekunder yaitu seri FR0001, FR0002, FR0003,
FR0004, FR0005, VR0001, VR0002 dan VR0005, sebagaimana ditetapkan
oleh Bank Indonesia pada tanggal 1 Februari 2000 dalam Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 2/14/DPNP/2000 Tanggal 27 Juni 2000
tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0002 untuk
Diperdagangkan di Pasar Sekunder, Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 2/16/DPNP/2000 Tanggal 25 Juli 2000 Tentang Penetapan
Obliogasi Pemerintah Seri FR0003, FR0004 dan FR0005 untuk
Diperdagangkan di Pasar Sekunder.
II. TATA CARA ….…
2
II. TATA CARA PENGAJUAN PENAMBAHAN JUMLAH OBLIGASI YANG
DAPAT DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER
1. Bank wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia
mengenai seri dan tambahan jumlah dari Obligasi yang akan
dipindahkan kedalam portofolio perdagangan;
2. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, wajib
dilengkapi dengan jumlah nominal yang akan diperdagangkan;
3. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2
diajukan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter – Bank Indonesia,
Gedung B – Lantai 11, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta, dengan tembusan
kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait.
III. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 19
September 2000.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
3
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 2/18/DPM|SE-BI/2000 </reg_id>
<reg_title> Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan </reg_title>
<set_date> 19 September 2000 </set_date>
<effective_date> 19 September 2000 </effective_date>
<related_reg> '1/10/PBI/1999', '2/10/PBI/2000' </related_reg>
|
No. 3/ 18 /DPM
Jakarta, 31 Juli 2001
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal: Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR0006, VR0008,
VR0010, VR0012, VR0014 dan VR0016 Untuk
Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Serta Peningkatan
Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat
Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Oleh Bank Umum
Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999
tanggal 3 Desember 1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank
Umum Peserta Program Rekapitalisasi dan Peraturan Bank Indonesia
No.2/10/PBI/2000 tanggal 29 Maret 2000 tentang Perubahan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang Portofolio Obligasi Bank
Umum Peserta Program Rekapitalisasi, Bank Indonesia berwenang
menetapkan dan mengumumkan jenis dan seri Obligasi Pemerintah yang
dapat diperdagangkan di pasar sekunder serta meningkatkan prosentase
Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder,
melalui suatu Surat Edaran.
Dengan mempertimbangkan bahwa transaksi perdagangan Obligasi
di pasar sekunder oleh perbankan dewasa ini semakin meningkat termasuk
antisipasi terhadap peningkatan penggunaan Obligasi Pemerintah oleh
perbankan pasca Sidang Istimewa MPR tahun 2001 dalam waktu dekat
bagi keperluan-keperluan antara lain :
a. sebagai ….
a. sebagai agunan, baik dalam transaksi di pasar uang maupun dalam
rangka memperoleh Fasilitas Likuiditas Intrahari dan Fasilitas Pinjaman
Jangka Pendek;
b. untuk memenuhi kebutuhan likuiditas melalui transaksi perdagangan
dipasar sekunder baik secara “outright (jual lepas)” maupun “repurchase
agreement (repo)”,
maka dipandang perlu untuk menambah seri Obligasi Pemerintah yang
dapat diperdagangkan di pasar sekunder dan meningkatkan prosentase
Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder dengan
ketentuan sebagai berikut :
I. TAMBAHAN SERI OBLIGASI PEMERINTAH YANG DAPAT
DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER
1. Obligasi Pemerintah Seri VR0006, VR0008, VR0010, VR0012,
VR0014, dan VR0016 dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
Dengan demikian, semua seri Obligasi Pemerintah dapat
diperdagangkan sejak berlakunya Surat Edaran ini.
2. Bank wajib memindahbukukan Obligasi Pemerintah dimaksud diatas
sebesar jumlah nominal yang akan diperdagangkan dari portofolio
investasi kedalam portofolio perdagangan.
II. JUMLAH DAN SERI OBLIGASI PEMERINTAH YANG DAPAT
DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER
1. Jumlah prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan di pasar
sekunder yang semula ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 50%
(lima puluh perseratus) ditingkatkan menjadi setinggi-tingginya
sebesar 100% (seratus perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi
Pemerintah yang dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai
dari Pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank
Umum.
2. Bank wajib memindah-bukukan sejumlah Obligasi Pemerintah yang
akan diperdagangkan di pasar sekunder dari portofolio investasi ke
dalam portofolio perdagangan sebesar jumlah nominalnya.
3. Obligasi Pemerintah….
3. Obligasi Pemerintah yang dapat dipindahkan kedalam portofolio
perdagangan adalah Obligasi Pemerintah yang dapat diperdagangkan
pada pasar sekunder yaitu seri-seri sebagai berikut :
FR0001, FR0002, FR0003, FR0004, FR0005, FR0006, FR0007,
FR0008, FR0009, VR0001, VR0002, VR0003, VR0004, VR0005,
VR0006, VR0007, VR0008, VR0009, VR0010, VR0011, VR0012,
VR0013, VR0014, VR0015, dan VR0016 sebagaimana ditetapkan oleh
Bank Indonesia pada :
- Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/14/DPNP tanggal 27 Juni
2000 tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0002 untuk
Diperdagangkan di Pasar Sekunder.
- Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/16/DPNP tanggal 25 Juli
2000 Tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0003,
FR0004 dan FR0005 untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder.
- Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/26/DPM tanggal 8
Desember 2000 Tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri
FR0006, FR0007, FR0008 dan FR0009 untuk Diperdagangkan di
Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi
Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan.
- Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/6/DPM tanggal 9 Februari
2001 Tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR0003,
VR0004, VR0007, VR0009, VR00011, VR0013 dan VR0015 untuk
Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase
Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan oleh
Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan.
III. TATA CARA PENGAJUAN PENAMBAHAN JUMLAH OBLIGASI YANG
DAPAT DIPERDAGANGKAN DI PASAR SEKUNDER
1. Bank wajib melaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia
mengenai jenis, seri dan tambahan jumlah dari Obligasi yang akan
dipindahkan kedalam portofolio perdagangan;
2. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, wajib
dilengkapi dengan jumlah nominal yang akan diperdagangkan;
3. Surat …
3. Surat pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2
diajukan kepada Direktorat Pengelolaan Moneter – Bank Indonesia,
Gedung B – Lantai 11, Jl. MH. Thamrin No.2 Jakarta, dengan
tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait.
IV. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 31 Juli
2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Tarmiden Sitorus
Deputi Direktur
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 3/18/DPM|SE-BI/2001 </reg_id>
<reg_title> Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR0006, VR0008, VR0010, VR0012, VR0014 dan VR0016 Untuk Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Serta Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan Di Pasar Sekunder Oleh Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan </reg_title>
<set_date> 31 Juli 2001 </set_date>
<effective_date> 31 Juli 2001 </effective_date>
<related_reg> '1/10/PBI/1999', '2/10/PBI/2000' </related_reg>
|
No. 6 / 15 /DPNP
Jakarta, 31 Maret 2004
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
-----------------------------------------------------------------------
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003 tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4334), maka perlu
diatur ketentuan pelaksanaan atas Peraturan Bank Indonesia tersebut sebagai
berikut :
I. UMUM
1. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas,
penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan oleh Bank Indonesia
terhadap :
a. Calon Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan calon Pengurus
Bank (new entry); dan
b. PSP yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia, serta
Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat di Bank
(existing).
2. Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon PSP dan calon
Pengurus Bank, termasuk calon Pemimpin Kantor Perwakilan Bank
Asing, dilakukan dalam rangka menilai apakah yang bersangkutan
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan yang dilakukan melalui
penelitian administratif dan wawancara.
3. Penilaian …
3. Penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap PSP yang telah mendapat
persetujuan Bank Indonesia serta Pengurus dan Pejabat Eksekutif yang
sedang menjabat di Bank dilakukan setiap waktu, khususnya apabila
dari hasil pengawasan, pemeriksaan atau dari sumber-sumber lainnya
diperoleh informasi adanya indikasi penyimpangan dari praktek
perbankan yang sehat.
4. Penilaian kemampuan dan kepatutan tidak dilakukan terhadap calon
Pejabat Eksekutif Bank. Adapun bagi Pejabat Eksekutif Bank dan
Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing yang sedang menjabat,
penilaian kemampuan dan kepatutan hanya dilakukan dalam hal
terdapat indikasi bahwa yang bersangkutan memiliki peranan :
a. dalam perumusan kebijakan dan kegiatan operasional yang secara
negatif mempengaruhi kegiatan usaha Bank; dan atau
b. atas terjadinya pelanggaran atau penyimpangan dalam kegiatan
operasional Bank atau Kantor Perwakilan Bank asing.
II. PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER
TEST) BAGI CALON PEMEGANG SAHAM PENGENDALI DAN
CALON PENGURUS BANK
A. Cakupan Penilaian
1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 15 Peraturan Bank
Indonesia tersebut di atas, faktor yang dinilai meliputi :
a. Integritas dan kelayakan keuangan calon PSP; dan
b. Integritas, kompetensi dan reputasi keuangan calon Pengurus.
2. Pihak-pihak yang wajib mengikuti penilaian kemampuan dan
kepatutan, antara lain adalah:
a. Seseorang dan atau Badan Hukum yang akan melakukan
pembelian, menerima hibah atau menerima hak waris atas saham
Bank sehingga mengakibatkan yang bersangkutan tergolong
sebagai PSP;
b. Pemegang …
b. Pemegang Saham Bank yang tidak tergolong sebagai PSP (Non
PSP) yang melakukan pembelian saham, atau menerima hibah
saham bank atau menerima hak waris atas saham bank,
sehingga yang bersangkutan tergolong sebagai PSP;
c. Non PSP yang melakukan penambahan atau penyetoran modal
sehingga yang bersangkutan tergolong sebagai PSP;
d. Non PSP yang secara sukarela mengajukan diri menjadi PSP;
e. Seseorang dan atau badan hukum yang digolongkan sebagai
pengendali Bank karena adanya perubahan struktur kelompok
usaha Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Peraturan
Bank Indonesia tersebut di atas;
f. Seseorang yang belum pernah menjadi Pengurus Bank, yang
dicalonkan menjadi Pengurus Bank;
g. Seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai Pengurus
Bank, yang dicalonkan menjadi Pengurus pada Bank lainnya;
h. Komisaris Bank yang beralih jabatan menjadi Direksi pada Bank
yang sama;
i. Direktur yang beralih jabatan menjadi Direktur Kepatuhan pada
Bank yang sama;
j. Seseorang yang dicalonkan menjadi Pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing;
k. Anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang beralih
jabatan ke jabatan yang lebih tinggi pada Bank yang sama
(hanya penelitian administratif);
l. Direktur yang beralih jabatan menjadi Komisaris pada Bank
yang sama (hanya penelitian administratif).
B. Persyaratan Administratif bagi Calon PSP
1. Permohonan Bank untuk memperoleh persetujuan atas calon PSP
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilengkapi persyaratan
administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
tersebut …
tersebut di atas dan ketentuan lain yang mengatur tentang
persyaratan pemegang saham Bank, yaitu :
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/37/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang
Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank yang
Berkedudukan di Luar Negeri;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/50/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum;
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum;
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal 15
Desember 2000 tentang Bank Umum; dan
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27
Maret 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum
Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh
Bank Umum Konvensional.
Rincian dokumen persyaratan administratif dimaksud adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1a dan 1b.
2. Persyaratan laporan keuangan 3 (tiga) tahun buku terakhir dari Bank
dan Badan Hukum yang akan mengakuisisi Bank sebagaimana
tercantum dalam lampiran 1 a angka 3 huruf c, sekurang-kurangnya
terdiri dari laporan neraca dan perhitungan laba rugi beserta
penjelasannya yang telah diaudit oleh Akuntan Publik. Laporan
keuangan tersebut disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku.
3. Selain dokumen-dokumen tersebut bank juga menyampaikan Daftar
Isian sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1c dan 1d yang telah diisi
lengkap dan ditanda-tangani oleh calon PSP/Ultimate shareholders.
C. Persyaratan …
C. Persyaratan Administratif bagi Calon Pengurus
Permohonan Bank untuk memperoleh persetujuan atas calon Pengurus
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilengkapi persyaratan
administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut
di atas dan ketentuan lain yang mengatur tentang persyaratan Pengurus
Bank, yakni:
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/37/KEP/DIR
tanggal 12 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan
Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari
Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri;
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/6/PBI/1999 tanggal 20 September
1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director)
dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum;
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember
2000 tentang Bank Umum; dan
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002
tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank
Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.
Rincian dokumen persyaratan administratif dimaksud adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran 2a sampai dengan 2f.
D. Dokumen Pendukung Persyaratan Administratif
Dalam hal dianggap perlu, Bank Indonesia dapat meminta dokumen
pendukung atas dokumen-dokumen administratif yang dipersyaratkan.
Dokumen pendukung tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari dokumen administratif yang dipersyaratkan.
Contoh …
Contoh dokumen pendukung yang dapat diminta antara lain adalah
perjanjian konsorsium apabila pembelian saham dilakukan secara bersama-
sama dengan pihak lainnya, dokumen sah yang menunjukkan keterkaitan
antara PSP dengan ultimate shareholders, dokumen keuangan yang dapat
menunjukan kemampuan keuangan calon PSP/ultimate shareholders,
dokumen keuangan yang dapat menunjukkan aliran dana pembelian saham,
dan atau dokumen-dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk analisis
atau meyakini bahwa dokumen-dokumen utama atau pernyataan-
pernyataan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dapat dipertanggung-
jawabkan kebenarannya atau kewajarannya.
E. Tata Cara/Prosedur Penilaian
1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 20 Peraturan Bank
Indonesia tersebut di atas, penilaian kemampuan dan kepatutan
terhadap calon PSP dan calon Pengurus Bank dilakukan melalui
penelitian administratif dan wawancara.
2. Penelitian administratif antara lain meliputi :
a. Bagi Calon PSP
Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen administratif,
penelitian track record, penelitian kelayakan keuangan, serta
penelitian terhadap struktur kelompok usaha yang disampaikan
kepada Bank Indonesia.
b. Bagi Calon Pengurus
Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen administratif,
penelitian track record serta penelitian reputasi keuangan.
3. Dokumen permohonan dinyatakan telah diterima secara lengkap,
apabila dokumen administratif dan dokumen pendukungnya (apabila
diperlukan) telah diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia.
4. Wawancara …
4. Wawancara dilakukan untuk konfirmasi atas informasi yang telah
diperoleh dan atau untuk menggali informasi lebih lanjut dari calon
PSP dan calon Pengurus yang diajukan dalam rangka memperoleh
keyakinan dan melengkapi informasi yang disampaikan oleh Bank atau
telah dimiliki oleh Bank Indonesia. Wawancara hanya dilakukan
terhadap calon PSP dan calon Pengurus yang telah memenuhi
persyaratan dalam penelitian administratif.
5. Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan berupa persetujuan atau
penolakan permohonan sebagai calon PSP atau calon Pengurus
disampaikan secara tertulis kepada Bank. Apabila diperlukan, hasil
penilaian dapat disampaikan pula kepada pihak yang berkepentingan,
seperti Pemerintah dan Pemegang Saham Bank.
6. Prosedur penilaian kemampuan dan kepatutan yang berlaku bagi calon
Pengurus tidak dilakukan untuk perpanjangan jabatan Pengurus Bank.
Termasuk dalam pengertian perpanjangan jabatan adalah setiap
penugasan kembali dalam tingkat jabatan yang sama, baik sebelum
maupun sesudah masa jabatan yang bersangkutan berakhir.
Perpanjangan jabatan Pengurus tersebut dilaporkan kepada Bank
Indonesia, sesuai dengan tata cara penyampaian laporan yang diatur
dalam angka romawi III huruf E.
F. Alamat Penyampaian Surat Permohonan dan Dokumen Administratif
Surat permohonan berikut dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada
huruf B, C dan D di atas disampaikan oleh Bank kepada :
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan,
Bank Indonesia
Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110;
dengan tembusan kepada :
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank Umum yang berkantor Pusat di wilayah
Jabotabek; atau
b. Kantor …
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah Jabotabek.
III. PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER
TEST) BAGI PSP, PENGURUS DAN PEJABAT EKSEKUTIF BANK
A. Tata Cara Pelaksanaan Penilaian
1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia
tersebut di atas, penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap PSP
yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia maupun Pengurus dan
Pejabat Eksekutif yang sedang menjabat di Bank dilakukan setiap
waktu apabila dianggap perlu, khususnya apabila dari hasil
pengawasan, hasil pemeriksaan dan atau dari sumber-sumber lain
diperoleh informasi mengenai adanya indikasi penyimpangan dari
praktek perbankan yang sehat.
2. Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan dapat dilakukan
melalui pemeriksaan khusus atau dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan lainnya.
B. Tata Cara Penentuan Hasil Penilaian
Penentuan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan dilaksanakan dengan
pemberian nilai faktor untuk masing-masing faktor yang dinilai sebagai
berikut :
1. Untuk PSP, pemberian nilai faktor untuk masing-masing faktor yang
dinilai meliputi :
a. Faktor Integritas
1) perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang
menyimpang dari ketentuan perbankan diberikan nilai faktor
sebesar 20 (dua puluh);
2) perbuatan menolak memberikan komitmen atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau
Pemerintah diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh);
3) perbuatan …
3) perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar
kepada pemilik, Pengurus, pegawai, dan atau pihak lain yang
dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank diberikan
nilai faktor sebesar 15 (lima belas);
4) perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang
perbankan diberikan nilai faktor sebesar 10 (sepuluh).
b. Faktor Kelayakan Keuangan
1) tercantum dalam daftar kredit macet diberikan nilai faktor
sebesar 5 (lima);
2) dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyatakan pailit diberikan nilai faktor sebesar 20
(dua puluh);
3) tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi komitmen dalam
mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi
Bank diberikan nilai faktor setinggi-tingginya sebesar 10
(sepuluh).
2. Untuk Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif, pemberian nilai faktor
untuk masing-masing faktor yang dinilai meliputi :
a. Faktor Integritas
1) perbuatan rekayasa atau praktek-praktek perbankan yang
menyimpang dari ketentuan perbankan diberikan nilai faktor
sebesar 20 (dua puluh);
2) perbuatan menolak memberikan komitmen atau tidak memenuhi
komitmen yang telah disepakati dengan Bank Indonesia dan atau
Pemerintah diberikan nilai faktor sebesar 20 (dua puluh);
3) perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar
kepada pemilik, Pengurus, pegawai, dan atau pihak lain yang
dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Bank diberikan
nilai faktor sebesar 15 (lima belas);
4) perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang
perbankan diberikan nilai faktor sebesar 10 (sepuluh);
5) perbuatan dari Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif yang tidak
independen diberikan nilai faktor sebesar 5 (lima).
b. Faktor …
b. Faktor Kompetensi
1) pengetahuan di bidang perbankan yang memadai dan relevan
dengan jabatannya diberikan nilai faktor setinggi-tingginya
sebesar 4 (empat);
2) keahlian dan pengalaman di bidang perbankan dan atau bidang
keuangan diberikan nilai faktor setinggi-tingginya sebesar 4
(empat);
3) kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam
rangka pengembangan Bank yang sehat diberikan nilai faktor
setinggi-tingginya sebesar 4 (empat).
Penilaian faktor kompetensi didasarkan atas skala penilaian sebagai
berikut:
a) Baik diberikan nilai faktor sebesar 0
b) Kurang Baik diberikan nilai faktor sebesar 2
c) Tidak Baik diberikan nilai faktor sebesar 4
c. Faktor Reputasi Keuangan
1) tercantum dalam daftar kredit macet diberikan nilai faktor
sebesar 5 (lima);
2) dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyatakan pailit diberikan nilai faktor sebesar 20
(dua puluh).
3. Dalam penilaian atas faktor integritas sebagaimana dimaksud pada
angka 1 huruf a dan angka 2 huruf a, ditetapkan bobot sebagai berikut :
a. pelaku, pemutus, pemrakarsa, atau penanggung jawab diberikan
bobot sebesar 100% (seratus perseratus);
b. pelaksana, pihak yang turut menandatangani, atau pihak yang turut
menyetujui diberikan bobot sebesar 60% (enam puluh perseratus);
c. pihak yang hanya mengetahui diberikan bobot sebesar 25% (dua
puluh lima perseratus).
Penetapan hasil akhir untuk faktor integritas dilakukan setelah
memperhitungkan nilai faktor sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 huruf a atau angka 2 huruf a dengan bobot sebagaimana
tersebut di atas.
4. Penetapan …
4. Penetapan hasil akhir penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan
dengan menjumlahkan hasil penilaian :
a. faktor integritas dan faktor kelayakan keuangan, untuk PSP;
b. faktor integritas, faktor kompetensi dan faktor reputasi keuangan,
untuk Pengurus dan Pejabat Eksekutif.
C. Tata Cara Penentuan Predikat Hasil Penilaian
Berdasarkan hasil akhir penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf B
angka 4, maka PSP, Pengurus dan atau Pejabat Eksekutif diberikan
predikat :
a. Lulus, apabila hasil akhir penilaian sebesar 0 (nol);
b. Lulus Bersyarat, apabila hasil akhir penilaian lebih dari 0 (nol) namun
kurang dari 20 (dua puluh);
c. Tidak Lulus, apabila hasil akhir penilaian sama dengan atau lebih besar
dari 20 (dua puluh).
D. Kriteria Penentuan Faktor Materialitas dalam Penetapan Jangka Waktu
Pengenaan Sanksi
1. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Bank
Indonesia tersebut di atas, salah satu faktor untuk penetapan jangka
waktu pengenaan sanksi larangan bagi pihak-pihak yang diberikan
predikat tidak lulus didasarkan atas faktor materialitas pengaruh
kerugian yang ditimbulkan terhadap permodalan Bank sebagai akibat
dari perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan. Sehubungan
dengan itu perlu ditetapkan kriteria terhadap faktor materialitas
dimaksud, yaitu sebagai berikut:
a. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori
menimbulkan kerugian yang berpengaruh tidak material pada
permodalan Bank apabila kerugian yang ditimbulkan menyebabkan:
1) berkurangnya rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
sebesar kurang dari 0,5% (setengah perseratus); dan
2) rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank masih
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Perbuatan …
b. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori
menimbulkan kerugian yang berpengaruh cukup material pada
permodalan Bank apabila kerugian yang ditimbulkan menyebabkan:
1) berkurangnya rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
sebesar 0,5% (setengah perseratus) sampai dengan kurang dari
2% (dua); dan
2) rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank masih
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Perbuatan dan atau tindakan yang bersangkutan termasuk kategori
menimbulkan kerugian yang berpengaruh sangat material pada
permodalan Bank apabila kerugian yang ditimbulkan menyebabkan:
1) berkurangnya rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
sebesar sama atau lebih dari 2 % (dua perseratus); atau
2) rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank menjadi
lebih rendah dari ketentuan yang berlaku.
2. Permodalan Bank yang dijadikan dasar perhitungan tingkat materialitas
kerugian yang ditimbulkan adalah posisi permodalan terakhir yang
tersedia pada saat terjadinya perbuatan dan atau tindakan yang
bersangkutan dengan memperhitungkan bobot pelaku dari pihak-pihak
yang dinilai.
3. Tata cara perhitungan tingkat materialitas:
a. Penentuan kerugian terhadap setiap perbuatan dan atau tindakan
yang terjadi ditentukan atas beban masing-masing pihak yang
terlibat berdasarkan bobot pelaku sebagaimana dimaksud dalam
huruf B angka 3.
b. Beban kerugian yang ditimbulkan untuk masing-masing pihak pada
huruf a, kemudian diperhitungkan dengan permodalan pada saat
perbuatan dan atau tindakan tersebut terjadi.
c. Dalam hal terdapat beberapa perbuatan dan atau tindakan yang
dinilai dengan posisi permodalan pada bulan yang berbeda, maka
perhitungan dilakukan dengan menetapkan hasil perhitungan yang
memberikan dampak perhitungan jangka waktu larangan yang
paling lama di antara beberapa metode sebagai berikut :
1) pengaruh …
1) pengaruh kerugian terhadap modal bank dari setiap perbuatan
dan atau tindakan dibandingkan dengan posisi permodalan pada
saat terjadinya perbuatan dan atau tindakan tersebut;
2) pengaruh kerugian terhadap modal bank yang dihitung secara
kumulatif atas beberapa perbuatan dan atau tindakan yang
berakhir pada tanggal tertentu dibandingkan dengan posisi
permodalan periode terakhir dari beberapa perbuatan dan atau
tindakan tersebut;
3) pengaruh kerugian terhadap modal bank yang dihitung secara
kumulatif dari seluruh perbuatan dan atau tindakan dibandingkan
dengan posisi permodalan pada periode terakhir dari seluruh
perbuatan dan atau tindakan tersebut.
E. Alamat Penyampaian Laporan, Pernyataan Tertulis serta Permohonan
Peninjauan Kembali
Laporan, pernyataan tertulis dan atau permohonan peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud dalam Bab II huruf D angka 6 Surat Edaran ini,
serta Bab IV dan Bab V Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas,
disampaikan oleh Bank dan atau pihak-pihak yang dinilai kepada :
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H.
Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank Umum yang berkantor Pusat
di wilayah Jabotabek; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah Jabotabek,
dengan tembusan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan,
Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110.
IV. LAPORAN STRUKTUR KELOMPOK USAHA
Laporan struktur kelompok usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas mencakup seluruh pihak yang
terkait dengan Bank dari segi pengendalian sampai dengan ultimate
shareholders.
Dalam …
Dalam hal keterkaitan pengendalian tersebut disebabkan oleh aspek
kepemilikan, maka wajib dicantumkan porsi kepemilikan dan susunan
kepengurusan tiap-tiap pihak yang terkait. Contoh pelaporan struktur
kelompok usaha adalah sebagaimana pada lampiran 3a dan 3b. Laporan
struktur kelompok usaha disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat
sebagaimana angka romawi III huruf E.
V. PENUTUP
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 2/22/DPNP tanggal 6 November 2000 perihal Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan (Fit and Proper Test) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal
31 Maret 2004
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
Ttd.
NELSON TAMPUBOLON
DIREKTUR PENELITIAN DAN
PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 6/15/DPNP|SE-BI/2004 </reg_id>
<reg_title> Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2004 </set_date>
<effective_date> 31 Maret 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '2/22/DPNP|SE-BI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '5/25/PBI/2003' </related_reg>
|
No. 18/ 18 /DKMP
Jakarta, 22 Agustus 2016
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal: Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
17/17/DKMP Tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro
Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
bagi Bank Umum Konvensional.
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia
Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam
Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5478) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
18/14/PBI/2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 174, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5921),
perlu melakukan perubahan ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib
Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional, sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Surat
Edaran Bank Indonesia:
a. Nomor 17/47/DKEM tanggal 30 November 2015; dan
b. Nomor 18/3/DKEM tanggal 15 Maret 2016;
sebagai berikut:
1. Ketentuan …
2
1. Ketentuan butir IV.A.1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
IV. TATA CARA PERHITUNGAN GWM LFR
Tata cara perhitungan GWM LFR diatur sebagai berikut:
A. Besaran dan Parameter GWM LFR
1. Besaran dan parameter yang digunakan dalam
perhitungan GWM LFR ditetapkan sebagai berikut:
a. Batas bawah LFR Target sebesar 80% (delapan
puluh persen).
b. Batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan
puluh dua persen).
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen).
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma
satu).
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma
dua).
2. Lampiran III mengenai Contoh Perhitungan GWM dalam Rupiah dan
Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar diubah sehingga menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
3. Lampiran IV mengenai Contoh Perhitungan GWM bagi Bank yang
Melakukan Merger diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 24
Agustus 2016.
Agar …
3
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
ERWIN RIJANTO
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 18/18/DKMP|SE-BI/2016 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP Tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. </reg_title>
<set_date> 22 Agustus 2016 </set_date>
<effective_date> 24 Agustus 2016 </effective_date>
<changed_reg> '17/17/DKMP|SE-BI/2015' </changed_reg>
<extension_of> '17/47/DKEM|SE-BI/2015', '18/3/DKEM|SE-BI/2016' </extension_of>
<related_reg> '17/17/DKMP|SE-BI/2015', '15/15/PBI/2013', '18/14/PBI/2016', '17/47/DKEM|SE-BI/2015', '18/3/DKEM|SE-BI/2016' </related_reg>
|
1
No. 17/33/DPSP
Jakarta, 13 November 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK PESERTA
SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT
Perihal : Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan
Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5762), perlu untuk mengatur kembali tata cara
penggunaan fasilitas likuiditas intrahari sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI
adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia
kepada Bank Peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional
maupun berdasarkan prinsip syariah dalam rangka mengatasi
kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem
BI-RTGS dan/atau pada saat Setelmen dana atas hasil
perhitungan dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia.
2. FLI RTGS adalah FLI yang digunakan untuk mengatasi kesulitan
pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS.
3. FLI Kliring adalah FLI yang digunakan untuk mengatasi
kesulitan pendanaan pada saat Setelmen dana atas hasil
perhitungan dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
4. Sistem...
2
4. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang
setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual.
5. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang
selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana Penatausahaan Transaksi dan
Penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara
elektronik.
6. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank
Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring
Berjadwal untuk memproses Data Keuangan Elektronik pada
Layanan Transfer Dana, Layanan Kliring Warkat Debit, Layanan
Pembayaran Reguler, dan Layanan Penagihan Reguler.
7. Bank Peserta Sistem BI-RTGS adalah Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan Bank Umum Syariah termasuk
Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, yang telah
menjadi Peserta Sistem BI-RTGS.
8. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia, Pemerintah, dan/atau lembaga lain yang
ditatausahakan pada BI-SSSS.
9. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah
surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek.
10. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya
antar Bank.
11. Sertifikat...
3
11. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat
SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah
berjangka waktu pendek dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia.
12. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah
Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai Surat Utang Negara dan Surat
Berharga Syariah Negara.
13. Transaksi Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo adalah transaksi penjualan Surat Berharga
kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
II. PENGGUNAAN FLI
1. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan FLI apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Penggunaan FLI RTGS
1) memiliki Surat Berharga yang tercatat pada BI-SSSS;
dan
2) memiliki status kepesertaan aktif pada Sistem BI-RTGS
dan BI-SSSS.
b. Penggunaan FLI Kliring
1) memiliki Surat Berharga yang tercatat di BI-SSSS; dan
2) memiliki status kepesertaan aktif pada Sistem BI-RTGS,
BI-SSSS, dan SKNBI.
2. FLI dilakukan melalui Transaksi Repo dengan menggunakan
Surat Berharga milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang
bersangkutan yang tercatat pada BI-SSSS.
3. Mekanisme pelaksanaan Transaksi Repo dalam rangka
penggunaan FLI sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan BI-SSSS.
4. Surat Berharga yang dapat direpokan dalam rangka FLI berupa:
a. SBI...
4
a. SBI, SDBI, dan/atau SBN dalam mata uang Rupiah, untuk
Peserta Sistem BI-RTGS berupa bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; atau
b. SBIS dan/atau SBSN dalam mata uang Rupiah, untuk
Peserta Sistem BI-RTGS berupa bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
termasuk Unit Usaha Syariah.
5. Dalam hal Surat Berharga yang direpokan berupa SBIS
dan/atau SBSN dalam mata uang Rupiah maka klausul
pengagunan SBIS dalam rangka repo SBIS dan/atau klausul
janji (wa’ad) untuk membeli kembali SBSN dimuat dalam
perjanjian penggunaan Sistem BI-RTGS yang ditandatangani
oleh Bank Peserta Sistem BI-RTGS dengan Bank Indonesia.
6. Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada angka 4 harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
b. memiliki sisa jangka waktu jatuh tempo (maturity date)
sebagai berikut:
1) untuk SBI, SBIS, dan SDBI, memiliki sisa jangka waktu
paling singkat 5 (lima) hari kalender pada saat
penggunaan FLI; dan
2) untuk SBN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 6
(enam) hari kalender pada saat penggunaan FLI.
7. Dalam kondisi tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan
penyesuaian sisa jangka waktu jatuh tempo (maturity date)
sebagaimana dimaksud dalam butir 6.b. Penyesuaian sisa jangka
waktu jatuh tempo (maturity date) tersebut disampaikan oleh
Bank Indonesia melalui administrative message Sistem BI-RTGS
atau sarana lainnya.
8. Dalam hal Surat Berharga yang direpokan berupa SBI, SDBI,
dan/atau SBN maka harga, haircut, dan perhitungan nilai
Setelmen Surat Berharga yang akan direpokan mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan
persyaratan surat berharga, peserta dan lembaga perantara
dalam operasi moneter.
9. Dalam...
tidak sedang diagunkan kepada Bank Indonesia atau pihak
lain;
5
9. Dalam hal Surat Berharga yang direpokan berupa SBIS maka
harga, marjin, dan perhitungan nilai Setelmen SBIS yang akan
direpokan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai tata cara transaksi repo SBIS dengan Bank
Indonesia.
10. Dalam hal Surat Berharga yang direpokan berupa SBSN maka
harga, haircut, dan perhitungan nilai Setelmen SBSN yang akan
direpokan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai tata cara transaksi repo SBSN dengan Bank
Indonesia dalam rangka standing facilities syariah.
11. Pelaksanaan Transaksi Repo sebagaimana dimaksud pada angka
2 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi Repo dalam rangka FLI RTGS
1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan FLI
RTGS sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut
off warning Sistem BI-RTGS sepanjang Bank Peserta
Sistem BI-RTGS telah memindahkan Surat Berharga
melalui BI-SSSS ke Rekening Surat Berharga yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2) Penggunaan FLI RTGS dilakukan berdasarkan
kecukupan nilai Surat Berharga yang tersedia di
rekening sebagaimana dimaksud pada angka 1).
3) Penggunaan FLI RTGS dilakukan secara otomatis pada
saat dana dalam Rekening Setelmen Dana milik Bank
Peserta Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk
melaksanakan transaksi keluar (outgoing transaction).
4) Pencairan dana dalam rangka penggunaan FLI RTGS
sebagaimana dimaksud pada angka 3) dilakukan
sebesar kebutuhan dana Peserta Sistem BI-RTGS.
5) Jumlah Surat Berharga yang direpokan memiliki total
nilai paling sedikit sebesar pencairan dana
sebagaimana dimaksud pada angka 4).
6) Perhitungan nominal atas Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada angka 5) mengacu pada
kelipatan unit terkecil Surat Berharga di BI-SSSS
dengan pembulatan ke atas.
b. Transaksi...
6
b. Transaksi Repo dalam Rangka FLI Kliring
1) Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat menggunakan FLI
Kliring apabila telah memindahkan Surat Berharga
melalui BI-SSSS ke Rekening Surat Berharga yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2) Pemindahan Surat Berharga sebagaimana dimaksud
pada angka 1) dilakukan dalam rangka penyediaan
prefund debit sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan transfer
dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia.
3) Penggunaan FLI Kliring dilakukan berdasarkan
kecukupan nilai Surat Berharga yang tersedia di
rekening sebagaimana dimaksud pada angka 1).
4) Penggunaan FLI Kliring dilakukan secara otomatis pada
saat dana dalam Rekening Setelmen Dana milik Bank
Peserta Sistem BI-RTGS tidak mencukupi untuk
pelaksanaan Setelmen dana atas hasil perhitungan
layanan kliring warkat debit dan/atau layanan
penagihan regular dalam penyelenggaraan SKNBI.
5) Pencairan dana dalam rangka penggunaan FLI Kliring
sebagaimana dimaksud pada angka 4) dilakukan
sebesar kebutuhan dana Peserta Sistem BI-RTGS.
6) Jumlah Surat Berharga yang direpokan memiliki total
nilai paling sedikit sebesar pencairan dana
sebagaimana dimaksud pada angka 5).
7) Perhitungan nominal atas Surat Berharga sebagaimana
dimaksud pada angka 6) mengacu pada kelipatan unit
terkecil Surat Berharga di BI-SSSS dengan pembulatan
ke atas.
12. Mekanisme pencairan dana dalam rangka penggunaan FLI
sebagaimana dimaksud pada butir 11.a.4) dan 11.b.5) dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan Sistem BI-RTGS.
III. BIAYA...
7
III. BIAYA ATAS PENGGUNAAN FLI
1. Bank Indonesia mengenakan biaya atas penggunaan FLI yang
dibebankan ke Rekening Setelmen Dana milik Bank Peserta
Sistem BI-RTGS pada hari kerja berikutnya setelah penggunaan
FLI.
2. Biaya sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan sebagai
berikut:
Biaya = N x [ t / (10,5 jam x 60 menit)] x i x [1/360 ]
Keterangan:
N
t
i
= nilai nominal penggunaan FLI
= waktu penggunaan FLI
= a. rata-rata tertimbang PUAB overnight pagi pada
hari penggunaan FLI, untuk Peserta Sistem BI-
RTGS berupa Bank Umum, dan
b. rata-rata tertimbang PUAS overnight pagi (SIMA
Aset Tetap) 1 (satu) hari sebelum penggunaan
FLI, untuk Peserta Sistem BI-RTGS berupa
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
10,5 jam = jangka waktu dari mulai dibukanya jam
operasional Sistem BI-RTGS (06.30 WIB) sampai
dengan cut-off warning Sistem BI-RTGS (17.00
WIB).
3. Biaya atas penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam angka
2 dihitung dengan cara sebagai berikut:
a. Biaya penggunaan FLI dalam 1 (satu) jam pertama dihitung
berdasarkan akumulasi nilai nominal FLI yang digunakan
Bank Peserta Sistem BI-RTGS dengan waktu penggunaan
dibulatkan menjadi 1 (satu) jam.
b. Biaya penggunaan FLI setelah 1 (satu) jam dihitung sesuai
dengan posisi (outstanding) nilai nominal FLI yang
digunakan dengan waktu penggunaan dibulatkan ke atas
dalam hitungan menit terdekat.
4. Contoh...
8
4. Contoh perhitungan biaya atas penggunaan FLI sebagaimana
dimaksud pada angka 2 dapat dilihat dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
IV. PELUNASAN FLI
1. Bank Peserta Sistem BI-RTGS harus melunasi penggunaan FLI
pada hari penggunaan FLI.
2. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat melakukan pelunasan
untuk setiap penggunaan FLI sepanjang jam operasional sampai
dengan batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
3. Pelunasan FLI sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan
melalui BI-SSSS sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penyelenggaraan BI-SSSS.
4. Dalam hal sampai dengan batas akhir periode cut-off warning
Sistem BI-RTGS Bank Peserta Sistem BI-RTGS belum melunasi
FLI, Bank Indonesia menerbitkan instruksi Setelmen dana dalam
rangka pelunasan FLI pada awal periode pre cut-off Sistem BI-
RTGS.
5.
Instruksi Setelmen dana sebagaimana dimaksud pada angka 4,
berupa pendebitan Rekening Setelmen Dana milik Peserta Sistem
BI-RTGS.
6. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat memindahkan kembali
Surat Berharga yang digunakan dalam FLI RTGS sebelum batas
akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS, dalam hal:
a. Bank Peserta Sistem BI-RTGS telah melunasi penggunaan
FLI RTGS; dan/atau
b. nilai Surat Berharga yang tersisa di rekening yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia masih dapat meng-cover FLI
RTGS.
V. PERLAKUAN FLI YANG TIDAK LUNAS
1. Dalam hal Bank Peserta Sistem BI-RTGS tidak dapat melunasi
penggunaan FLI sebagaimana dimaksud dalam butir IV.4,
terhadap nilai FLI yang tidak dapat dilunasi diberlakukan
sebagai...
9
sebagai transaksi
Indonesia.
lending/financing facility dengan Bank
2. Mekanisme lending/financing facility sebagaimana dimaksud
pada angka 1 mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai koridor suku bunga (standing facilities), tata
cara transaksi repo SBIS dengan Bank Indonesia, dan tata cara
transaksi repo SBSN dengan Bank Indonesia dalam rangka
standing facilities syariah.
VI. KETENTUAN LAIN-LAIN
Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, Perjanjian
Penggunaan FLI dan Perjanjian Penggunaan FLIS menjadi tidak
berlaku.
VII. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/17/DPM tanggal 7 Juli
2009 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas Intrahari
Berdasarkan Prinsip Syariah;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/4/DASP tanggal 1
Februari 2010 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 11/17/DPM perihal Tata Cara Pemberian
Fasilitas Likuiditas Intrahari Berdasarkan Prinsip Syariah;
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/29/DASP tanggal 10
November 2010 perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum; dan
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/34/DASP tanggal 27
Agustus 2013 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 12/29/DASP perihal Tata Cara Pemberian
Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
16 November 2015.
Agar...
10
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
BRAMUDIJA HADINOTO
KEPALA DEPARTEMEN PENYELENGGARAAN
SISTEM PEMBAYARANDPSP
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 17/33/DPSP|SE-BI/2015 </reg_id>
<reg_title> Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari </reg_title>
<set_date> 13 November 2015 </set_date>
<effective_date> 16 November 2015 </effective_date>
<replaced_reg> '12/29/DASP|SE-BI/2010', '12/4/DASP|SE-BI/2010', '11/17/DPM|SE-BI/2009', '15/34/DASP|SE-BI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '17/18/PBI/2015' </related_reg>
|
No. 12/ 7 /DSM
Jakarta, 10 Maret 2010
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM
tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4950) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/18/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5010) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/2/PBI/2010 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5113), perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan
Bank Umum sebagai berikut :
1. Ketentuan…
1. Ketentuan Romawi I angka 3 diubah, sehingga Romawi I berbunyi sebagai
berikut :
I. UMUM
1. Laporan Bulanan Bank Umum, yang selanjutnya disebut Laporan,
disampaikan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh informasi
mengenai kondisi keuangan dan kegiatan usaha Bank baik secara
individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, guna
mendukung pengambilan kebijakan di bidang moneter, sistem
pembayaran, dan pengawasan perbankan.
2. Dalam hal Bank telah mampu menyusun dan mengirimkan Laporan per
Kantor dari seluruh atau sebagian Kantor Cabangnya secara terpusat atau
sentralisasi, Laporan dimaksud dapat disusun dan dikirim oleh kantor
pusat Bank atau kantor Bank yang bertindak sebagai koordinator, dengan
terlebih dahulu menyampaikan surat permohonan secara tertulis kepada
Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim
Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Menara Sjafruddin
Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
3. Bank yang sistem antar kantornya belum online dan memiliki lebih dari
100 (seratus) Kantor Cabang dapat menyampaikan koreksi Laporan per
Kantor sampai dengan tanggal 7 bulan berikutnya dan dinyatakan
terlambat apabila menyampaikan koreksi Laporan per Kantor sampai
dengan tanggal 10 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan
yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu menyampaikan permohonan
tertulis…
tertulis, yang dilengkapi dengan data berupa jumlah Kantor Cabang yang
dimiliki, jumlah Kantor Cabang yang sudah online, jumlah Kantor
Cabang yang belum online dan sebab-sebab belum online, serta rencana
perbaikan sistem di masa yang akan datang kepada Bank Indonesia,
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Menara Sjafruddin
Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350.
2. Ketentuan Romawi VIII ditambah dengan ketentuan sebagai berikut :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Romawi I angka 3 mulai berlaku
sejak pelaporan data bulan Januari 2011.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 10 Maret 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HARTADI A. SARWONO
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 12/7/DSM|SE-BI/2010 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum </reg_title>
<set_date> 10 Maret 2010 </set_date>
<effective_date> 10 Maret 2010 </effective_date>
<changed_reg> '11/2/DSM|SE-BI/2009' </changed_reg>
<related_reg> '10/40/PBI/2008', '12/2/PBI/2010', '11/18/PBI/2009', '11/2/DSM|SE-BI/2009' </related_reg>
|
No. 12/13/DPbS
Jakarta, 30 April 2010
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal: Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah
Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/3/PBI/2009 tanggal 29 Januari 2009 tentang Bank Umum Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4978), Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/10/PBI/2009 tanggal 19 Maret 2009 tentang Unit Usaha Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4992), dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 175, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5085) maka diperlukan ketentuan lebih lanjut
yang diatur dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok-pokok
ketentuan sebagai berikut:
A. UMUM …
2
A. UMUM
1. Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) pada industri
perbankan syariah harus berlandaskan pada lima prinsip dasar.
Pertama, transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam
mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan
dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas
(accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan
pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan
secara efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu
kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat.
Keempat, profesional (professional) yaitu memiliki kompetensi,
mampu bertindak obyektif, dan bebas dari pengaruh/tekanan dari
pihak manapun (independen) serta memiliki komitmen yang tinggi
untuk mengembangkan bank syariah. Kelima, kewajaran (fairness)
yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Dalam pelaksanaan GCG, Bank perlu melakukan check and balance,
menghindari benturan kepentingan (conflict of interest) dalam
pelaksanaan tugas serta meningkatkan perlindungan bagi kepentingan
stakeholders khususnya nasabah pemilik dana dan pemegang saham
minoritas. Dalam rangka mendukung hal tersebut, secara internal
diperlukan keberadaan Komisaris Independen dan Pihak Independen.
3. Dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelaksanaan GCG,
Bank diwajibkan secara berkala melakukan self assessment secara
komprehensif terhadap kecukupan pelaksanaan GCG. Apabila masih
terdapat kekurangan dalam implementasinya, Bank segera
menetapkan langkah perbaikan yang diperlukan.
4. Sebagai …
3
4. Sebagai salah satu bentuk implementasi prinsip transparansi
(transparency), Bank diwajibkan untuk menyampaikan Laporan
Pelaksanaan GCG kepada stakeholders. Laporan dimaksud diperlukan
untuk meningkatkan pemahaman stakeholders dan mendorong
stakeholders melakukan check and balance.
B. DEWAN KOMISARIS
1. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak
memiliki:
a.
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau
hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali,
anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi;
atau
b. hubungan keuangan dan/atau hubungan kepemilikan saham
dengan BUS,
sehingga dapat mendukung kemampuannya untuk bertindak
independen.
2. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan
pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lainnya
dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang menerima
penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari:
a.
b.
c.
anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota Direksi
BUS; dan/atau
suatu perusahaan dimana anggota Dewan Komisaris lainnya
dan/atau anggota Direksi BUS menjadi pemegang saham
pengendali.
3. Yang …
pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali
terakhir (ultimate shareholders);
4
3. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepengurusan dengan
pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lainnya
dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang menduduki
jabatan sebagai:
a.
anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif pada
perusahaan yang menjadi pemegang saham pengendali BUS
sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders);
b.
anggota Dewan Komisaris atau Direksi pada perusahaan dimana
anggota Dewan Komisaris lainnya menjadi anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi; dan/atau
c.
anggota Dewan Komisaris atau Direksi pada suatu perusahaan
dimana anggota Dewan Komisaris lainnya dan/atau anggota
Direksi BUS menjadi pemegang saham pengendali.
4. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham
dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris
lainnya dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang:
a. memiliki saham pada perusahaan yang menjadi pemegang saham
pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate
shareholders); dan/atau
b. memiliki saham pada perusahaan yang secara bersama-sama
dimiliki oleh pemegang saham pengendali BUS sampai dengan
pengendali terakhir (ultimate shareholders), anggota Dewan
Komisaris lainnya, dan/atau anggota Direksi sehingga bersama-
sama menjadi pemegang saham pengendali pada perusahaan
tersebut.
5. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga dengan
pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lainnya
dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang memiliki
hubungan …
5
hubungan keluarga dengan pihak-pihak tersebut sampai dengan
derajat kedua baik vertikal maupun horizontal, yang meliputi:
a.
b.
c.
orang tua kandung/tiri/angkat;
saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
anak kandung/tiri/angkat;
d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
e.
cucu kandung/tiri/angkat;
f.
g.
saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau
istrinya;
suami/istri;
h. mertua;
i.
besan;
j.
suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat;
k. kakek atau nenek dari suami atau istri;
l.
m.
suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat; atau
saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami
atau istrinya.
Dalam hal pemegang saham pengendali BUS berbentuk badan hukum,
maka hubungan keluarga antara Komisaris Independen dengan
pemegang saham pengendali BUS dimaksud dilihat dari hubungan
keluarga dengan pemegang saham pengendali dari badan hukum
tersebut sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders).
6. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan BUS”
adalah apabila seseorang menerima/memberi penghasilan, bantuan
keuangan, atau pinjaman dari/kepada BUS yang menyebabkan pihak
yang memberi penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman memiliki
kemampuan untuk memengaruhi pihak yang menerima penghasilan,
bantuan keuangan atau pinjaman, seperti:
a. pihak …
6
a.
pihak terafiliasi yang memberikan jasanya kepada BUS, antara
lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai,
konsultan hukum dan konsultan lainnya; dan/atau
b. pihak yang melakukan transaksi keuangan dengan BUS yang
dapat memengaruhi baik kelangsungan usaha BUS maupun
kelangsungan usaha pihak yang melakukan transaksi keuangan
tersebut, antara lain debitur inti, deposan inti, dan perusahaan
yang sebagian besar sumber pendanaannya diperoleh dari BUS.
Yang dimaksud dengan “debitur inti dan deposan inti” adalah
debitur inti dan deposan inti sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai Laporan Berkala Bank
Umum Syariah.
7. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham
dengan BUS” adalah apabila seseorang:
a. memiliki saham BUS dimaksud lebih dari 5% (lima persen) dari
modal disetor BUS;
b. memiliki saham BUS dimaksud kurang dari 5% (lima persen)
dari modal disetor BUS namun dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian pada BUS dimaksud; dan/atau
c.
bersama-sama BUS menjadi pemegang saham pengendali di
perusahaan lain.
8. Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi Komisaris
Independen pada BUS yang bersangkutan sebelum menjalani masa
tunggu (cooling off period) paling kurang selama 6 (enam) bulan.
Ketentuan masa tunggu tersebut tidak berlaku bagi mantan anggota
Direksi BUS yang melakukan fungsi pengawasan yaitu Direktur
Kepatuhan.
9. Perubahan status jabatan dari Komisaris menjadi Komisaris
Independen pada BUS yang sama harus mendapat persetujuan Bank
Indonesia …
7
Indonesia. Untuk mendapatkan persetujuan, calon Komisaris
Independen harus menyampaikan surat pernyataan independen dengan
format sebagaimana Lampiran 1. Persetujuan Bank Indonesia
diberikan setelah dilakukan penilaian administratif antara lain
terhadap kebenaran surat pernyataan independen.
10. Pengajuan permohonan perubahan status dari Komisaris menjadi
Komisaris Independen disampaikan kepada:
a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta
10350, bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia; atau
b. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta
10350, dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat, bagi BUS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia.
11. Dalam hal rapat Dewan Komisaris menggunakan teknologi
telekonferensi, maka BUS harus melengkapi dengan hal-hal sebagai
berikut:
a. ketentuan internal Bank mengenai penyelenggaraan rapat dengan
menggunakan teknologi telekonferensi; dan
b. bukti rekaman audio visual penyelenggaraan rapat.
C. DIREKSI
1. Presiden Direktur atau Direktur Utama yang selanjutnya disebut
Presdir, wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang
saham pengendali. Independensi dari seorang Presdir dapat dipenuhi
apabila yang bersangkutan tidak memiliki hubungan keuangan,
kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga
dengan pemegang saham pengendali BUS.
2. Yang …
8
2. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan
pemegang saham pengendali” adalah apabila seseorang menerima
penghasilan, bantuan keuangan, atau pinjaman dari pemegang saham
pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate
shareholders).
3. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepengurusan dengan
pemegang saham pengendali” adalah apabila seseorang menduduki
jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pejabat
Eksekutif pada perusahaan yang menjadi pemegang saham pengendali
BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders).
4. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham
dengan pemegang saham pengendali” adalah apabila seseorang:
a. memiliki saham pada perusahaan yang menjadi pemegang saham
pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate
shareholders); dan/atau
b. memiliki saham BUS dimaksud lebih dari 5% (lima persen) dari
modal disetor BUS.
5. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga dengan
pemegang saham pengendali” adalah apabila seseorang memiliki
hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali dimaksud
sampai dengan derajat kedua baik vertikal maupun horizontal, yang
meliputi:
a.
b.
c.
orang tua kandung/tiri/angkat;
saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
anak kandung/tiri/angkat;
d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
e.
cucu kandung/tiri/angkat;
f.
saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau
istrinya;
g.
suami/istri …
9
g.
suami/istri;
h. mertua;
i.
besan;
j.
suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat;
k. kakek atau nenek dari suami atau istri;
l.
m.
suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat; atau
saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami
atau istrinya.
Dalam hal pemegang saham pengendali BUS berbentuk badan hukum,
maka hubungan keluarga antara seorang Presdir dengan pemegang
saham pengendali BUS dilihat dari hubungan keluarga Presdir dengan
pemegang saham pengendali dari badan hukum pemegang saham
pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate
shareholders).
D. KOMITE-KOMITE
1. Anggota Komite yang berasal dari Pihak Independen dinilai memiliki
keahlian apabila yang bersangkutan paling kurang memiliki
pengetahuan yang memadai dan pengalaman kerja yang cukup di
bidangnya masing-masing berdasarkan penilaian BUS.
2. Pihak Independen adalah pihak di luar BUS yang tidak memiliki:
a.
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau
hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali,
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi; atau
b. hubungan keuangan dan/atau hubungan kepemilikan saham
dengan Bank,
sehingga dapat mendukung kemampuannya untuk bertindak
independen.
3. Yang …
10
3. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan
pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi” adalah apabila seseorang menerima penghasilan,
bantuan keuangan, atau pinjaman dari:
a.
b.
c.
anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi BUS;
dan/atau
suatu perusahaan dimana anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi BUS menjadi pemegang saham pengendali.
4. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepengurusan dengan
pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi” adalah apabila seseorang menduduki jabatan
sebagai:
a.
anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif pada
perusahaan yang menjadi pemegang saham pengendali BUS
sampai dengan pengendali terakhir (ultimate shareholders);
b.
anggota Dewan Komisaris atau Direksi pada perusahaan dimana
anggota Dewan Komisaris BUS menjadi anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi; dan/atau
c.
anggota Dewan Komisaris atau Direksi pada suatu perusahaan
dimana anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
BUS menjadi pemegang saham pengendali.
5. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham
dengan pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris
dan/atau anggota Direksi” adalah apabila seseorang:
a. memiliki saham pada perusahaan yang menjadi pemegang saham
pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir (ultimate
shareholders); dan/atau
b. memiliki …
pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali
terakhir (ultimate shareholders);
11
b. memiliki saham pada perusahaan yang secara bersama-sama
dimiliki oleh pemegang saham pengendali BUS sampai dengan
pengendali terakhir (ultimate shareholders), anggota Dewan
Komisaris, dan/atau Direksi sehingga bersama-sama menjadi
pemegang saham pengendali pada perusahaan tersebut.
6. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keluarga dengan
pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau
anggota Direksi” adalah apabila seseorang memiliki hubungan
keluarga dengan pihak-pihak tersebut sampai dengan derajat kedua
baik vertikal maupun horizontal, yang meliputi:
a.
b.
c.
orang tua kandung/tiri/angkat;
saudara kandung/tiri/angkat beserta suami atau istrinya;
anak kandung/tiri/angkat;
d. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
e.
cucu kandung/tiri/angkat;
f.
g.
saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua beserta suami atau
istrinya;
suami/istri;
h. mertua;
i.
besan;
j.
suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat;
k. kakek atau nenek dari suami atau istri;
l.
m.
suami/istri dari cucu kandung/ tiri/angkat; atau
saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami
atau istrinya.
Dalam hal pemegang saham pengendali BUS berbentuk badan hukum,
maka hubungan keluarga antara Pihak Independen dengan pemegang
saham pengendali BUS dilihat dari hubungan keluarga Pihak
Independen dengan pemegang saham pengendali dari badan hukum
pemegang …
12
pemegang saham pengendali BUS sampai dengan pengendali terakhir
(ultimate shareholders).
7. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan keuangan dengan BUS”
adalah apabila seseorang menerima/memberi penghasilan, bantuan
keuangan, atau pinjaman dari/kepada BUS yang menyebabkan pihak
yang memberi penghasilan, bantuan keuangan atau pinjaman memiliki
kemampuan untuk memengaruhi pihak yang menerima penghasilan,
bantuan keuangan atau pinjaman, seperti:
a.
pihak terafiliasi yang memberikan jasanya kepada BUS, antara
lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai,
konsultan hukum dan konsultan lainnya; dan/atau
b. pihak yang melakukan transaksi keuangan dengan BUS yang
dapat memengaruhi baik kelangsungan usaha BUS maupun
kelangsungan usaha pihak yang melakukan transaksi keuangan
tersebut, antara lain debitur inti, deposan inti, dan perusahaan
yang sebagian besar sumber pendanaannya diperoleh dari BUS;
Yang dimaksud dengan “debitur inti dan deposan inti” adalah
debitur inti dan deposan inti sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai Laporan Berkala Bank
Umum Syariah.
Penghasilan yang diterima oleh Pihak Independen karena jabatan
rangkapnya sebagai anggota Komite lainnya pada BUS yang sama,
tidak termasuk dalam hubungan keuangan dimaksud.
8. Yang dimaksud dengan “memiliki hubungan kepemilikan saham
dengan BUS” adalah apabila seseorang:
a. memiliki saham BUS dimaksud lebih dari 5% (lima persen) dari
modal disetor BUS;
b. memiliki …
13
b. memiliki saham BUS dimaksud kurang dari 5% (lima persen)
dari modal disetor BUS namun dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian pada BUS dimaksud; dan/atau
c.
bersama-sama BUS menjadi pemegang saham pengendali di
perusahaan lain.
9. Mantan anggota Direksi BUS tidak dapat menjadi Pihak Independen
pada BUS yang bersangkutan sebelum menjalani masa tunggu
(cooling off period) paling kurang selama 6 (enam) bulan. Ketentuan
masa tunggu tersebut tidak berlaku bagi mantan anggota Direksi BUS
yang melakukan fungsi pengawasan, yaitu Direktur Kepatuhan.
10. Anggota Komite yang berasal dari Pihak Independen dapat merangkap
jabatan sebagai Pihak Independen dalam keanggotaan Komite lainnya
pada Bank yang sama, Bank lain, dan/atau perusahaan lain, sepanjang
yang bersangkutan:
a. memenuhi kriteria independensi;
b. memenuhi kriteria keahlian;
c. mampu menjaga rahasia Bank;
d. memperhatikan kode etik yang berlaku; dan
e.
tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
sebagai anggota Komite.
11. Bank harus meneliti kebenaran seluruh dokumen atau data pendukung
pemenuhan persyaratan Pihak Independen.
12. Komite Audit, Komite Pemantau Risiko serta Komite Remunerasi dan
Nominasi, harus memiliki kebijakan intern yang paling kurang
meliputi pedoman kerja dan tata tertib kerja, dalam rangka
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
E. DEWAN …
14
E. DEWAN PENGAWAS SYARIAH
1. Mekanisme pengangkatan calon anggota Dewan Pengawas Syariah
adalah sebagai berikut:
a. Komite Remunerasi dan Nominasi memberikan rekomendasi
calon anggota Dewan Pengawas Syariah kepada Dewan
Komisaris;
b. Berdasarkan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi
tersebut, Dewan Komisaris mengusulkan calon anggota Dewan
Pengawas Syariah kepada Direksi;
c. Berdasarkan pertimbangan tertentu dengan memperhatikan
rekomendasi Dewan Komisaris, rapat Direksi menetapkan calon
anggota Dewan Pengawas Syariah untuk dimintakan
rekomendasi kepada Majelis Ulama Indonesia;
d. Majelis Ulama Indonesia memberikan atau tidak memberikan
rekomendasi calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang
disampaikan oleh Direksi;
e. Bank mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank
Indonesia atas calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang
telah mendapatkan rekomendasi Majelis Ulama Indonesia;
f. Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas
calon anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud; dan
g. Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat anggota Dewan
Pengawas Syariah yang telah mendapat rekomendasi Majelis
Ulama Indonesia dan persetujuan Bank Indonesia. Dalam hal
pengangkatan anggota Dewan Pengawas Syariah oleh Rapat
Umum Pemegang Saham tersebut dilakukan sebelum adanya
persetujuan BI, maka pengangkatan tersebut baru akan efektif
jika anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut telah disetujui
oleh Bank Indonesia.
2. Penetapan …
15
2. Penetapan masa jabatan anggota Dewan Pengawas Syariah paling
lama sama dengan masa jabatan yang ditetapkan bagi anggota Direksi
atau Dewan Komisaris. Yang dimaksud dengan “masa jabatan” adalah
masa jabatan dalam 1 (satu) periode pengangkatan.
3. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah
meliputi antara lain:
a. Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas
pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank;
b. Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai
dengan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia;
c. Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya;
d. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip
Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan
e. Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari
satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
4. Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada angka 3 dilakukan dengan cara antara lain:
a. Melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk
baru Bank; dan
b. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan Bank.
5. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan terhadap proses
pengembangan produk baru Bank sebagaimana dimaksud pada angka
4.a. dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Meminta penjelasan dari pejabat Bank yang berwenang
mengenai tujuan, karakteristik, dan akad yang digunakan dalam
produk baru yang akan dikeluarkan;
b. Memeriksa …
16
b. Memeriksa apakah terhadap akad yang digunakan dalam produk
baru telah terdapat fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia.
1) Dalam hal telah terdapat fatwa, maka Dewan Pengawas
Syariah melakukan analisa atas kesesuaian akad produk
baru dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis
Ulama Indonesia.
2) Dalam hal belum terdapat fatwa, maka Dewan Pengawas
Syariah mengusulkan kepada Direksi Bank untuk
melengkapi akad produk baru dengan fatwa dari Dewan
Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia.
c. Mereview sistem dan prosedur produk baru yang akan
dikeluarkan terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah; dan
d. Memberikan pendapat syariah atas produk baru yang akan
dikeluarkan.
6. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan terhadap kegiatan
Bank sebagaimana dimaksud pada angka 4.b. dengan melakukan hal-
hal sebagai berikut:
a. Menganalisis laporan yang disampaikan oleh dan/atau yang
diminta dari Direksi, pelaksana fungsi audit intern dan/atau
fungsi kepatuhan untuk mengetahui kualitas pelaksanaan
pemenuhan Prinsip Syariah atas kegiatan penghimpunan dana
dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank;
b. Menetapkan jumlah uji petik (sampel) transaksi yang akan
diperiksa dengan memperhatikan kualitas pelaksanaan
pemenuhan Prinsip Syariah dari masing-masing kegiatan;
c. Memeriksa dokumen transaksi yang diuji petik (sampel) untuk
mengetahui pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana
dipersyaratkan dalam SOP, antara lain:
1)
ada …
17
1)
ada tidaknya bukti pembelian barang, untuk akad
murabahah sebagai bukti terpenuhinya syarat jual-beli
murabahah;
2)
ada tidaknya laporan usaha nasabah, untuk akad
mudharabah/musyarakah, sebagai dasar melakukan
perhitungan distribusi bagi hasil;
d. Melakukan inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan
dan/atau konfirmasi kepada pegawai Bank dan/atau nasabah
untuk memperkuat hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana
dimaksud pada huruf c., apabila diperlukan;
e. Melakukan review terhadap SOP terkait aspek syariah apabila
terdapat indikasi ketidaksesuaian pelaksanaan pemenuhan
Prinsip Syariah atas kegiatan dimaksud;
f. Memberikan pendapat syariah atas kegiatan penghimpunan dana
dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan
g. Melaporkan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah kepada
Direksi dan Dewan Komisaris.
7. Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah wajib
disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua)
bulan setelah periode semester berakhir. Yang dimaksud dengan
“semester” adalah periode 6 (enam) bulanan yang berakhir pada bulan
Juni dan Desember. Penyampaian Laporan tersebut menggunakan
format surat sebagaimana Lampiran 2.
8. Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah memuat hasil
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah
selama 1 (satu) semester, yang meliputi antara lain:
a. Kertas kerja pengawasan terhadap proses pengembangan produk
baru Bank; dan
b. Kertas kerja pengawasan terhadap kegiatan Bank.
Laporan …
18
Laporan tersebut disampaikan dengan menggunakan format laporan
sebagaimana Lampiran 3.
9. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah, Bank menyediakan
fasilitas yang layak bagi Dewan Pengawas Syariah antara lain ruang
kerja, telepon, dan lemari arsip.
10. Bank menugaskan paling kurang 1 (satu) orang pegawai untuk
mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah.
11. Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas Syariah dilakukan
berdasarkan musyawarah mufakat. Apabila dalam proses pengambilan
keputusan terdapat perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat
tersebut dapat dicantumkan dalam risalah rapat beserta alasannya.
12. Dalam rangka pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada
angka 11, Dewan Pengawas Syariah dapat meminta pertimbangan dari
Majelis Ulama Indonesia, apabila diperlukan.
13. Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang merangkap jabatan
sebagai konsultan di seluruh BUS dan/atau UUS.
Yang dimaksud dengan “konsultan” adalah meliputi konsultan,
penasihat atau yang dapat dipersamakan dengan itu, baik individu
maupun perusahaan, termasuk pemilik dari perusahaan yang
memberikan jasa konsultasi bagi BUS dan/atau UUS. Dalam hal
konsultan berbentuk perusahaan maka pegawai/perorangan yang
bekerja pada perusahaan tersebut, namun tidak bertugas sebagai
konsultan bagi BUS dan/atau UUS, tidak dikategorikan sebagai
konsultan.
Yang dimaksud dengan “jasa konsultasi” adalah terbatas pada jasa
konsultasi terkait kegiatan usaha perbankan syariah.
14. Dalam …
19
14. Dalam hal Dewan Pengawas Syariah tidak melaksanakan tugasnya
dengan baik sampai dengan izin usaha Bank dicabut, maka anggota
Dewan Pengawas Syariah dimaksud dapat dikenakan sanksi berupa
pelarangan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di perbankan
syariah paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan izin
usaha Bank oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “Dewan Pengawas Syariah tidak
melaksanakan tugasnya dengan baik sampai dengan izin usaha Bank
dicabut” meliputi antara lain:
a. Tidak memberikan nasihat dan saran kepada Direksi atas hasil
pengawasan yang dilakukan Dewan Pengawas Syariah;
b. Tidak menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas
pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank;
c. Tidak mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar
sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia;
d. Tidak melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip
Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank; dan/atau
e. Tidak menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan Dewan
Pengawas Syariah secara semesteran.
yang mengakibatkan izin usaha Bank dicabut.
F. SELF ASSESSMENT PELAKSANAAN GOOD CORPORATE
GOVERNANCE
1. Penilaian atas pelaksanaan GCG bagi BUS, dilakukan terhadap 11
(sebelas) faktor sebagai berikut:
a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris;
b. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi;
c. Kelengkapan …
20
c. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite;
d. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah;
e. Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan penghimpunan dana
dan penyaluran dana serta pelayanan jasa;
f. Penanganan benturan kepentingan;
g. Penerapan fungsi kepatuhan;
h. Penerapan fungsi audit intern;
i. Penerapan fungsi audit ekstern;
j. Batas Maksimum Penyaluran Dana; dan
k. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS, laporan
pelaksanaan GCG serta pelaporan internal;
2. Penilaian atas pelaksanaan GCG bagi UUS, dilakukan terhadap 5
(lima) faktor sebagai berikut:
a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS;
b. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah;
c. Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan penghimpunan dana
dan penyaluran dana serta pelayanan jasa;
d. Penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan
penyimpanan dana oleh deposan inti; dan
e. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS, laporan
pelaksanaan GCG serta pelaporan internal;
3. Bank wajib melakukan self assessment atas pelaksanaan GCG
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 paling kurang 1
(satu) kali dalam setahun.
4. Self assessment sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilakukan
dengan menggunakan Kertas Kerja Self Assessment sebagaimana
Lampiran 4 …
21
Lampiran 4 (bagi BUS) dan Lampiran 5 (bagi UUS). Pengisian Kertas
Kerja Self Assessment dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Menyusun analisis self assessment, dengan cara membandingkan
pemenuhan setiap Kriteria/Indikator dengan kondisi Bank
berdasarkan data dan informasi yang relevan. Berdasarkan hasil
analisis tersebut ditetapkan peringkat masing-masing
Kriteria/Indikator. Adapun kriteria peringkat adalah sebagai
berikut:
1) Peringkat 1: hasil analisis self assessment menunjukkan
bahwa pelaksanaan GCG Bank sangat sesuai dengan
Kriteria/Indikator.
2) Peringkat 2: hasil analisis self assessment menunjukkan
bahwa pelaksanaan GCG Bank sesuai dengan
Kriteria/Indikator.
3) Peringkat 3: hasil analisis self assessment menunjukkan
bahwa pelaksanaan GCG Bank cukup sesuai dengan
Kriteria/Indikator.
4) Peringkat 4: hasil analisis self assessment menunjukkan
bahwa pelaksanaan GCG Bank kurang sesuai dengan
Kriteria/Indikator.
5) Peringkat 5: hasil analisis self assessment menunjukkan
bahwa pelaksanaan GCG Bank tidak sesuai dengan
Kriteria/Indikator.
b. Menetapkan peringkat sub faktor, berdasarkan hasil analisis self
assessment, dengan mengacu pada kriteria peringkat
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c. Menetapkan peringkat faktor, berdasarkan peringkat sub faktor.
Dalam hal tidak terdapat sub faktor, maka peringkat faktor
dimaksud ditetapkan berdasarkan hasil analisis self assessment,
dengan …
22
dengan mengacu pada kriteria peringkat sebagaimana dimaksud
pada huruf a; dan
d. Menyusun kesimpulan untuk masing-masing faktor yang juga
memuat permasalahan dan langkah perbaikan secara
komprehensif dan sistematis beserta target waktu
pelaksanaannya.
5. Untuk mendapatkan nilai dari masing-masing faktor, Bank
mengalikan peringkat dari masing-masing faktor dengan bobot
tertentu. Bobot masing-masing faktor ditetapkan sebagaimana tabel
berikut:
a. Bagi BUS
No
Faktor
1 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan
Komisaris
4 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan
Pengawas Syariah
5 Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa
6 Penanganan benturan kepentingan
7 Penerapan fungsi kepatuhan Bank
8 Penerapan fungsi audit intern
9 Penerapan fungsi audit ekstern
10 Batas Maksimum Penyaluran Dana
11 Transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan, laporan pelaksanaan GCG dan
pelaporan internal
TOTAL
Bobot
(%)
12.50
2 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi 17.50
3 Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite
10.00
10.00
5.00
10.00
5.00
5.00
5.00
5.00
15.00
100.00
b. Bagi …
23
b. Bagi UUS
No
Faktor
1 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur
UUS
2 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan
Pengawas Syariah
3 Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa
4 Penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan
inti dan penyimpanan dana oleh deposan inti
5 Transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan, laporan pelaksanaan GCG dan
pelaporan internal
TOTAL
Bobot
(%)
35.00
20.00
10.00
10.00
25.00
100.00
6. Untuk mendapatkan nilai komposit, Bank menjumlahkan nilai dari
seluruh faktor. Berdasarkan nilai komposit tersebut, Bank menetapkan
predikat komposit sebagaimana tabel berikut:
Nilai Komposit
Nilai Komposit < 1.5
1.5 ≤ Nilai komposit < 2.5
2.5 ≤ Nilai Komposit < 3.5
3.5 ≤ Nilai Komposit < 4.5
4.5 ≤ Nilai Komposit ≤ 5
Predikat Komposit
Sangat Baik
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
Tidak Baik
Penetapan …
24
Penetapan predikat komposit tersebut juga memperhatikan ketentuan
sebagai berikut:
a. Apabila terdapat faktor yang nilai peringkat faktor-nya 5, maka
predikat komposit tertinggi yang dapat dicapai Bank adalah
”Cukup Baik”.
b. Apabila terdapat faktor yang nilai peringkat faktor-nya 4, maka
predikat komposit tertinggi yang dapat dicapai Bank adalah
”Baik”.
7. Penghitungan sebagaimana dimaksud pada angka 5 dan 6 dilakukan
dengan menggunakan tabel Ringkasan Perhitungan Nilai Komposit
Self Assessment, sebagaimana Lampiran 6 (bagi BUS) dan Lampiran 7
(bagi UUS).
8. Kertas Kerja Self Assessment dan dokumen pendukung self assessment
harus didokumentasikan dengan baik sehingga memudahkan
penelusuran oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
9. Berdasarkan Kertas Kerja Self Assessment dan Ringkasan Perhitungan
Nilai Komposit Self Assessment di atas, Bank membuat Kesimpulan
Umum pada lembar tersendiri yang paling kurang meliputi:
a. Gambaran umum pelaksanaan GCG termasuk peringkat masing-
masing faktor serta nilai komposit dan predikatnya;
b. Kelemahan dan kekuatan pelaksanaan GCG secara umum;
c. Langkah perbaikan beserta target waktu pelaksanaannya; dan
d. Realisasi pelaksanaan langkah perbaikan periode sebelumnya
beserta waktu penyelesaian dan kendala penyelesaiannya,
apabila ada.
10. Kesimpulan Umum sebagaimana dimaksud pada angka 9, harus
ditandatangani oleh Komisaris Utama dan Direktur Utama Bank.
11. Bank harus menyampaikan hasil self assessment pelaksanaan GCG
secara lengkap kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah …
25
setelah tahun buku berakhir, yang meliputi: Kertas Kerja Self
Assessment, Ringkasan Perhitungan Nilai Komposit Self Assessment,
dan Kesimpulan Umum.
G. LAPORAN PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
BAGI BANK UMUM SYARIAH
1. Laporan Pelaksanaan GCG dapat digabungkan ke dalam Laporan
Tahunan BUS (menjadi bab tersendiri) atau disajikan secara terpisah
dari Laporan Tahunan BUS. Dalam hal Laporan Pelaksanaan GCG
digabungkan ke dalam Laporan Tahunan BUS maka Laporan
Pelaksanaan GCG tetap disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah tahun buku berakhir.
2. Laporan Pelaksanaan GCG bagi BUS paling kurang terdiri dari:
a. Kesimpulan Umum dari hasil self assessment atas pelaksanaan
GCG BUS;
b. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris yang mencapai
5% (lima persen) atau lebih dari modal disetor, yang meliputi
jenis dan jumlah lembar saham pada BUS yang bersangkutan;
c. kepemilikan saham anggota Direksi yang mencapai 5% (lima
persen) atau lebih dari modal disetor, yang meliputi jenis dan
jumlah lembar saham pada BUS yang bersangkutan, bank lain,
dan perusahaan lain yang berkedudukan baik di dalam maupun
di luar negeri;
d. hubungan keuangan anggota Dewan Komisaris dengan
pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lain
dan/atau anggota Direksi BUS;
e. hubungan …
26
e.
hubungan keuangan anggota Direksi dengan pemegang saham
pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
lain;
f.
hubungan keluarga anggota Dewan Komisaris dengan pemegang
saham pengendali, anggota Dewan Komisaris lain dan/atau
anggota Direksi BUS;
g. hubungan keluarga anggota Direksi dengan pemegang saham
pengendali, anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
lain;
h.
i.
j.
rangkap jabatan anggota Dewan Komisaris pada perusahaan atau
lembaga lain;
rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada
lembaga keuangan syariah lainnya;
struktur komite, keanggotaan komite, dan keahlian anggota
komite;
k. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu
yang digunakan oleh BUS;
Pengungkapan mengenai konsultan paling kurang mencakup
nama perusahaan konsultan, tujuan, dan ruang lingkup kerja.
Dalam hal konsultan adalah individu, cukup disebutkan nama
yang bersangkutan.
l.
kebijakan remunerasi dan fasilitas lainnya (remuneration
package) yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham bagi
Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah.
Yang dimaksud dengan kebijakan remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham antara
lain meliputi:
1)
dalam …
remunerasi yaitu penghasilan dalam bentuk keuangan (non
natura) antara lain gaji, tunjangan (benefit), kompensasi
27
dalam bentuk saham, bonus dan bentuk remunerasi lainnya;
dan
2)
fasilitas lain yaitu fasilitas yang diterima tidak dalam
bentuk keuangan (natura), antara lain fasilitas perumahan,
fasilitas transportasi, fasilitas asuransi kesehatan, fasilitas
telekomunikasi, dan fasilitas lainnya, yang dapat dimiliki
maupun tidak dapat dimiliki.
Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham
mencakup jumlah anggota Dewan Komisaris, jumlah anggota
Direksi, dan jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah serta
jumlah keseluruhan remunerasi dan fasilitas lainnya yang
ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham, sebagaimana tabel di
bawah ini:
Jumlah Diterima dalam 1 Tahun
Jenis Remunerasi dan
Fasilitas lainnya
1. Remunerasi
2. Fasilitas
lainnya*) :
a. yang dapat
dimiliki
b. yang tidak
dapat dimiliki
Total
*) dinilai dalam ekuivalen Rupiah.
Jumlah anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan
Pengawas Syariah yang menerima remunerasi dalam satu tahun
dikelompokkan …
Dewan
Komisaris
Orang
jutaan
Rupiah
Dewan
Direksi
Orang
jutaan
Rupiah
Pengawas
Syariah
Orang
jutaan
Rupiah
28
dikelompokkan dalam kisaran tingkat penghasilan, sebagaimana
tabel di bawah ini:
(satuan orang)
Jumlah Remunerasi*)
per orang dalam 1 tahun
di atas Rp 2 miliar
di atas Rp 1 miliar s.d.
Rp 2 miliar
di atas Rp 500 juta s.d.
Rp 1 miliar
Rp 500 juta ke bawah
*) yang diterima dalam bentuk keuangan (non natura)
m.
rasio gaji tertinggi dan gaji terendah;
Yang dimaksud dengan ”gaji” adalah hak pegawai yang diterima
dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
perusahaaan atau pemberi kerja kepada pegawai yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pegawai dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah dilakukannya.
Pengungkapan mengenai rasio gaji tertinggi dan gaji terendah
dalam skala perbandingan berikut:
1)
2)
3)
4)
rasio gaji pegawai yang tertinggi dan terendah;
rasio gaji Direksi yang tertinggi dan terendah;
rasio gaji Komisaris yang tertinggi dan terendah; dan
rasio gaji Direksi tertinggi dan pegawai tertinggi.
Gaji yang dibandingkan dalam rasio gaji tersebut di atas, adalah
gaji yang diterima oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi dan
pegawai …
Jumlah
Dewan
Komisaris
Jumlah
Direksi
Jumlah
Dewan
Pengawas
Syariah
29
pegawai per bulan. Yang dimaksud dengan “pegawai” adalah
pegawai tetap BUS sampai batas pelaksana.
n.
frekuensi rapat Dewan Komisaris;
Pengungkapan mengenai frekuensi rapat Dewan Komisaris,
paling kurang mencakup:
1)
2)
jumlah rapat yang diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun;
tingkat kehadiran masing-masing anggota di setiap rapat
yang dihadiri baik secara fisik maupun melalui teknologi
telekonferensi.
o.
frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah;
Pengungkapan mengenai frekuensi rapat anggota Dewan
Pengawas Syariah, paling kurang mencakup:
1)
2)
jumlah rapat yang diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun;
tingkat kehadiran masing-masing anggota di setiap rapat
yang dihadiri baik secara fisik maupun melalui teknologi
telekonferensi.
p.
jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya
penyelesaian oleh BUS;
Yang dimaksud dengan ”internal fraud” adalah
penyimpangan/kecurangan yang dilakukan oleh Dewan
Komisaris, Direksi, pegawai tetap, dan/atau pegawai tidak tetap
(honorer dan outsourcing) terkait dengan proses kerja dan/atau
kegiatan operasional Bank yang memengaruhi kondisi keuangan
Bank secara signifikan. Yang dimaksud dengan ”memengaruhi
kondisi keuangan Bank secara signifikan” adalah apabila
dampak penyimpangannya lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pengungkapan mengenai
mencakup:
internal fraud paling kurang
1)
jumlah …
30
1)
2)
3)
4)
jumlah internal fraud yang telah diselesaikan;
jumlah internal fraud yang sedang dalam proses
penyelesaian di internal Bank;
jumlah internal fraud yang belum diupayakan
penyelesaiannya; dan
jumlah internal fraud yang telah ditindaklanjuti melalui
proses hukum,
sebagaimana tabel di bawah ini:
Jumlah Kasus yang Dilakukan oleh
Internal Fraud
dalam 1 tahun
Total Fraud
Telah
diselesaikan
Dalam proses
penyelesaian di
internal Bank
Belum
diupayakan
penyelesaiannya
Telah
ditindaklanjuti
melalui proses
hukum.
q.
jumlah permasalahan hukum dan upaya penyelesaian oleh BUS;
Yang dimaksud dengan “permasalahan hukum” adalah
permasalahan hukum perdata dan pidana yang dihadapi BUS
selama periode tahun laporan dan telah diajukan melalui proses
hukum.
Pengungkapan …
Dewan Komisaris
/ Direksi
Thn
sebelum
nya
Thn
berjalan
Pegawai
Tetap
Thn
sebelum
nya
Thn
berjalan
Pegawai tidak Tetap
Thn
Sebelum
nya
Thn
Berjalan
31
Pengungkapan mengenai permasalahan hukum paling kurang
mencakup:
1)
jumlah permasalahan hukum perdata dan pidana yang
dihadapi dan telah selesai (telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap); dan
2)
jumlah permasalahan hukum perdata dan pidana yang
dihadapi dan masih dalam proses penyelesaian,
sebagaimana tabel di bawah ini:
Permasalahan Hukum
Telah selesai (telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap)
Dalam proses penyelesaian
Total
r.
transaksi yang mengandung benturan kepentingan;
Pengungkapan mengenai transaksi yang mengandung benturan
kepentingan, paling kurang mencakup nama dan jabatan pihak
yang memiliki benturan kepentingan, nama dan jabatan
pengambil keputusan transaksi yang mengandung benturan
kepentingan, jenis transaksi, nilai transaksi, dan keterangan
mengenai ketidaksesuaian dengan sistim dan prosedur yang
berlaku.
s.
buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS;
Yang dimaksud dengan “buy back shares” atau “buy back
obligasi” adalah upaya mengurangi jumlah saham atau obligasi
yang telah diterbitkan BUS dengan cara membeli kembali saham
atau obligasi tersebut, yang tata cara pembayarannya
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengungkapan …
Jumlah
Perdata Pidana
32
Pengungkapan mengenai buy back shares dan/atau buy back
obligasi paling kurang mencakup:
1) kebijakan dalam melakukan buy back shares dan/atau buy
back obligasi;
2)
jumlah lembar saham dan/atau obligasi yang dibeli
kembali;
3) harga pembelian kembali per lembar saham dan/atau
obligasi;
4) peningkatan laba per lembar saham dan/atau obligasi.
t.
penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun
pihak penerima dana; dan
u. pendapatan non halal dan penggunaannya.
Contoh sumber pendapatan non halal antara lain pendapatan
bunga dari penempatan pada bank konvensional. Pengungkapan
mengenai pendapatan non halal dan penggunaannya paling
kurang meliputi sumber pendapatan non halal, nilai, dan
penggunaannya. Dalam hal penggunaan pendapatan non halal
dimaksud digabungkan menjadi satu dengan penggunaan ”dana
qardh lainnya” dan tidak dapat dikaitkan lagi sumber dengan
penggunaannya maka cukup diberi keterangan ”dijadikan satu
dengan penggunaan dana qardh”.
H. LAPORAN PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
BAGI UNIT USAHA SYARIAH
1. Laporan pelaksanaan GCG UUS dapat digabungkan ke dalam laporan
pelaksanaan GCG bank umum konvensional yang menjadi induknya
(menjadi bab tersendiri) atau disajikan secara terpisah dari laporan
pelaksanaan GCG bank umum konvensional yang menjadi induknya.
Dalam …
33
Dalam hal laporan pelaksanaan GCG UUS digabungkan ke dalam
laporan tahunan bank umum konvensional maka laporan pelaksanaan
GCG tetap disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun
buku berakhir.
2. Laporan pelaksanaan GCG bagi UUS paling kurang terdiri dari:
a. Kesimpulan Umum dari hasil self assessment atas pelaksanaan
GCG UUS;
b.
rangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada
lembaga keuangan syariah lainnya;
c. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu
yang digunakan oleh UUS;
Pengungkapan mengenai konsultan paling kurang mencakup
nama perusahaan konsultan, tujuan, dan ruang lingkup kerja.
Dalam hal konsultan adalah individu, cukup disebutkan nama
yang bersangkutan.
Pengungkapan konsultan dalam laporan ini hanya untuk
konsultan yang ruang lingkup kerjanya terkait UUS.
d. kebijakan remunerasi dan fasilitas lainnya (remuneration
package) yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham bagi
Dewan Pengawas Syariah:
Yang dimaksud dengan kebijakan remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham antara
lain meliputi:
1)
remunerasi yaitu penghasilan dalam bentuk keuangan (non
natura) antara lain gaji, tunjangan (benefit), kompensasi
dalam bentuk saham, bonus dan bentuk remunerasi lainnya;
dan
2)
fasilitas lain yaitu fasilitas yang diterima tidak dalam
bentuk keuangan (natura), antara lain fasilitas perumahan,
fasilitas …
34
fasilitas transportasi, fasilitas asuransi kesehatan, fasilitas
telekomunikasi, dan fasilitas lainnya, yang dapat dimiliki
maupun tidak dapat dimiliki.
Pengungkapan mengenai kebijakan remunerasi dan fasilitas
lainnya yang ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham
mencakup jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah dan jumlah
keseluruhan remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan
Rapat Umum Pemegang Saham, sebagaimana tabel di bawah ini:
Jenis Remunerasi dan
Fasilitas lainnya
Jumlah Diterima dalam 1 Tahun
Orang
jutaan Rupiah
1. Remunerasi
2. Fasilitas lainnya*) :
a.
yang
dimiliki
b. yang tidak dapat
dimiliki
Total
*) dinilai dalam ekuivalen Rupiah.
Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah yang menerima
remunerasi dalam satu tahun dikelompokkan dalam kisaran
tingkat penghasilan, sebagaimana tabel di bawah ini:
(satuan orang)
Jumlah Remunerasi*) per orang
dalam 1 tahun
di atas Rp 2 miliar
di atas Rp 1 miliar s.d. Rp 2 miliar
di atas Rp 500 juta s.d. Rp 1
miliar
Rp 500 juta ke bawah
*) yang diterima dalam bentuk keuangan (non natura)
Jumlah Dewan Pengawas
Syariah
dapat
e.
frekuensi …
35
e.
frekuensi rapat Dewan Pengawas Syariah;
Pengungkapan mengenai frekuensi rapat anggota Dewan
Pengawas Syariah, paling kurang mencakup:
1)
2)
jumlah rapat yang diselenggarakan dalam 1 (satu) tahun;
tingkat kehadiran masing-masing anggota di setiap rapat
yang dihadiri baik secara fisik maupun melalui teknologi
telekonferensi
f.
jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya
penyelesaian oleh UUS;
Yang dimaksud dengan ”internal fraud” adalah
penyimpangan/kecurangan yang dilakukan oleh Dewan
Komisaris, Direksi, pegawai tetap, dan/atau pegawai tidak tetap
(honorer dan outsorcing) terkait dengan proses kerja dan/atau
kegiatan operasional UUS yang memengaruhi kondisi keuangan
UUS secara signifikan. Yang dimaksud dengan ”memengaruhi
kondisi keuangan UUS secara signifikan” adalah apabila dampak
penyimpangannya lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pengungkapan mengenai
internal fraud paling kurang
mencakup:
1)
2)
3)
4)
jumlah internal fraud yang telah diselesaikan;
jumlah internal fraud yang sedang dalam proses
penyelesaian di internal UUS;
jumlah internal fraud yang belum diupayakan
penyelesaiannya; dan
jumlah internal fraud yang telah ditindaklanjuti melalui
proses hukum,
sebagaimana …
36
sebagaimana tabel di bawah ini:
Jumlah Kasus yang Dilakukan oleh
Internal Fraud
dalam 1 tahun
Total Fraud
Telah
diselesaikan
Dalam proses
penyelesaian di
internal UUS
Belum
diupayakan
penyelesaiannya
Telah
ditindaklanjuti
melalui proses
hukum.
g.
jumlah permasalahan hukum dan upaya penyelesaian oleh UUS;
Yang dimaksud dengan ”permasalahan hukum” adalah
permasalahan hukum perdata dan pidana yang dihadapi UUS
selama periode tahun laporan dan telah diajukan melalui proses
hukum.
Pengungkapan mengenai permasalahan hukum paling kurang
mencakup:
1)
jumlah permasalahan hukum perdata dan pidana yang
dihadapi dan telah selesai (telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap); dan
2)
jumlah permasalahan hukum perdata dan pidana yang
dihadapi dan masih dalam proses penyelesaian,
sebagaimana …
Dewan Komisaris
/ Direksi
Thn
sebelum
nya
Thn
berjalan
Pegawai
Tetap
Thn
sebelum
nya
Thn
berjalan
Pegawai tidak
Tetap
Thn
Sebelum
nya
Thn
Berjala
n
37
sebagaimana tabel di bawah ini:
Permasalahan Hukum
Telah selesai (telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap)
Dalam proses penyelesaian
Total
h. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun
pihak penerima dana; dan
Yang dimaksud dengan penyaluran dana adalah penyaluran dana
yang sumber dananya berasal dari UUS.
i.
pendapatan non halal dan penggunaannya.
Contoh sumber pendapatan non halal antara lain pendapatan
bunga dari penempatan pada bank konvensional. Pengungkapan
mengenai pendapatan non halal dan penggunaannya paling
kurang meliputi sumber pendapatan non halal, nilai, dan
penggunaannya. Dalam hal penggunaan pendapatan non halal
dimaksud digabungkan menjadi satu dengan penggunaan ”dana
qardh lainnya” dan tidak dapat dikaitkan lagi sumber dengan
penggunaannya maka cukup diberi keterangan ”dijadikan satu
dengan penggunaan dana qardh”.
I. ALAMAT PENYAMPAIAN
1. Penyampaian Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah,
hasil self assessment pelaksanaan GCG, dan Laporan Pelaksanaan
GCG oleh BUS kepada Bank Indonesia dialamatkan kepada:
a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No. 2, Jakarta
10350, bagi BUS yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Pusat Bank Indonesia;
b. Kantor …
Jumlah
Perdata Pidana
38
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi BUS yang berkantor pusat
di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan
tembusan kepada Direktorat Perbankan Syariah.
2. Penyampaian Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah,
hasil self assessment pelaksanaan GCG dan Laporan Pelaksanaan
GCG oleh UUS kepada Bank Indonesia dialamatkan kepada:
a. Direktorat Perbankan Syariah, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta
10350, bagi UUS yang Bank Umum Konvensional yang menjadi
induknya berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi UUS yang Bank Umum
Konvensional yang menjadi induknya berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dengan tembusan
kepada Direktorat Perbankan Syariah.
J. PENUTUP
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka:
1. Surat Edaran Nomor 9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 perihal
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
dinyatakan tidak berlaku bagi UUS sepanjang hal-hal yang telah diatur
dalam Surat Edaran ini dan dinyatakan tidak berlaku bagi Bank
Umum Syariah.
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/19/DPbS tanggal 24 Agustus
2006 tentang Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan
Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah dinyatakan tidak
berlaku bagi BUS dan UUS.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 30 April
2010.
Agar …
39
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MULIAMAN D. HADAD
DEPUTI GUBERNUR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 12/13/DPbS|SE-BI/2010 </reg_id>
<reg_title> Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah </reg_title>
<set_date> 30 April 2010 </set_date>
<effective_date> 30 April 2010 </effective_date>
<replaced_reg> '9/12/DPNP|SE-BI/2007', '8/19/DPbS|SE-BI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '11/3/PBI/2009', '11/10/PBI/2009', '11/33/PBI/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'Huruf E Angka 14' </penalty_list>
|
No.18/6/DKEM
Jakarta, 22 April 2016
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA KORPORASI NONBANK DI INDONESIA
Perihal: Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan
Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri
Korporasi Nonbank.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam
Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 394, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5651), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/4/PBI/2016 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5874 ), perlu melakukan perubahan kedua atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/24/DKEM tanggal 30 Desember
2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang
Luar Negeri Korporasi Nonbank, sebagaimana telah diubah dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 17/18/DKEM tanggal 30 Juni 2015,
sebagai berikut:
1. Ketentuan butir I.A.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
2. Piutang sebagaimana dimaksud dalam butir 1.e diatur dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Piutang terdiri atas piutang usaha kepada Penduduk dan
bukan Penduduk yang akan jatuh waktu:
1) sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir
triwulan; dan/atau
2) lebih ...
2)
lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan
ke depan sejak akhir triwulan;
yang bersifat jual putus atau tidak dapat dikembalikan
dan setelah dikurangi penyisihan penurunan nilai.
b. Piutang usaha kepada Penduduk sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dihitung sebagai komponen Aset Valuta Asing
sepanjang telah memiliki kontrak atau perjanjian yang
ditandatangani sebelum tanggal 1 Juli 2015 sampai dengan
berakhirnya perjanjian tertulis tersebut.
c. Piutang usaha kepada Penduduk yang kontrak atau
perjanjiannya ditandatangani sejak tanggal 1 Juli 2015
dapat tetap dihitung sebagai komponen Aset Valuta Asing
sepanjang:
1) berkaitan dengan proyek infrastruktur strategis dan
mendapat persetujuan Bank Indonesia; atau
2)
transaksi yang mendasarinya diperkenankan dilakukan
dalam Valuta Asing sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia.
Cakupan proyek infrastruktur yang dapat dipertimbangkan
untuk diakui sebagai proyek infrastruktur strategis
mengacu pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
d. Penentuan proyek infrastruktur strategis sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.1) dibuktikan dengan:
1) surat keterangan dari kementerian atau lembaga
pemerintah yang berwenang; dan
2) surat persetujuan dari Bank Indonesia.
e. Untuk piutang usaha sebagaimana dimaksud dalam butir
c.2) dibuktikan dengan surat persetujuan dari Bank
Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di
wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
2. Ketentuan...
2. Ketentuan butir II.2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
2. Pengecualian kewajiban pemenuhan ketentuan minimum
Peringkat Utang (Credit Rating) diberikan bagi:
a. ULN dalam Valuta Asing yang digunakan untuk
menggantikan ULN sebelumnya (refinancing);
b. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan proyek
infrastruktur yang bersumber dari:
1) seluruhnya dari kreditor lembaga internasional
(bilateral atau multilateral);
2) pinjaman sindikasi dengan kontribusi kreditor lembaga
internasional (bilateral atau multilateral) lebih besar
dari 50% (lima puluh persen);
c. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan proyek
infrastruktur pemerintah baik pusat maupun daerah;
d. ULN dalam Valuta Asing yang dijamin oleh lembaga
internasional (bilateral atau multilateral);
e. ULN dalam Valuta Asing berupa utang dagang (trade credit);
f. ULN dalam Valuta Asing berupa utang lainnya (other loans);
atau
g. ULN dalam Valuta Asing yang dimiliki perusahaan
pembiayaan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan minimum
“Sehat” yang terakhir dikeluarkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK); dan
2) memenuhi gearing ratio maksimum sebagaimana diatur
oleh OJK.
h. ULN dalam Valuta Asing yang dimiliki Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia (LPEI).
Cakupan proyek infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam
butir b dan butir c tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
3. Lampiran I diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Bank Indonesia ini.
4. Menambahkan ...
4. Menambahkan 1 (satu) lampiran yakni Lampiran III sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22
April 2016
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
JUDA AGUNG
KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN
EKONOMI DAN MONETER
LAMPIRAN I
SURAT EDARAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/6/DKEM TANGGAL 22 APRIL
2016
PERIHAL PERUBAHAN KEDUA ATAS
SURAT EDARAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/24/DKEM TANGGAL 30
DESEMBER 2014 PERIHAL PENERAPAN
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI
KORPORASI NONBANK
DAFTAR LEMBAGA PEMERINGKAT YANG DIAKUI BANK INDONESIA
UNTUK DIGUNAKAN DALAM PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN
DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK
Nama Lembaga Pemeringkat
Lembaga
Pemeringkat
Dalam Negeri
Lembaga
Pemeringkat
Luar Negeri
PT. Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO)
PT. Fitch Ratings Indonesia
Moody’s Investors Service
Standard & Poor’s
Fitch Ratings
Japan Credit Rating Agency
Rating and Investment Information Inc.
Peringkat
Setara BB-
idBB-
BB-(idn)
Ba3
BB-
BB-
BB-
BB-
KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN
EKONOMI DAN MONETER
JUDA AGUNG
LAMPIRAN III
SURAT EDARAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/6/DKEM TANGGAL 22 APRIL
2016
PERIHAL PERUBAHAN KEDUA ATAS
SURAT EDARAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/24/DKEM TANGGAL 30
DESEMBER 2014 PERIHAL PENERAPAN
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI
KORPORASI NONBANK
DAFTAR CAKUPAN PROYEK INFRASTRUKTUR
a. Infrastruktur transportasi, antara lain:
1) penyediaan dan/atau pengelolaan fasilitas dan/atau
pelayanan jasa kebandarudaraan, termasuk fasilitas
pendukung seperti terminal penumpang dan kargo;
2) penyediaan dan/atau pengelolaan fasilitas dan/atau
pelayanan jasa kepelabuhanan;
3) sarana dan/atau prasarana perkeretaapian;
4) sarana dan prasarana angkutan massal perkotaan dan lalu
lintas; dan/atau
5) sarana dan prasarana penyeberangan laut, sungai, dan/atau
danau.
b.
Infrastruktur jalan, antara lain:
1)
2)
3)
c.
jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal;
jalan tol; dan/atau
jembatan tol.
Infrastruktur sumber daya air dan irigasi, antara lain:
1) saluran pembawa air baku; dan/atau
2)
jaringan irigasi dan prasarana penampung air beserta
bangunan pelengkapnya, antara lain waduk, bendungan, dan
bendung.
d. Infrastruktur ...
2
d. Infrastruktur air minum, antara lain:
1) unit air baku;
2) unit produksi; dan/atau
3) unit distribusi.
e. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat, antara lain:
1) unit pelayanan;
2) unit pengumpulan;
3) unit pengolahan;
4) unit pembuangan akhir; dan/atau
5) saluran pembuangan air, dan sanitasi.
f.
Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat, antara lain:
1) unit pengolahan setempat;
2) unit pengangkutan;
3) unit pengolahan lumpur tinja;
4) unit pembuangan akhir; dan/atau
5) saluran pembuangan air, dan sanitasi.
g.
Infrastruktur sistem pengelolaan persampahan, antara lain:
1) pengangkutan;
2) pengolahan; dan/atau
3) pemrosesan akhir sampah.
h.
Infrastruktur telekomunikasi dan informatika, antara lain:
1)
2)
3)
jaringan telekomunikasi;
infrastruktur e-government; dan/atau
infrastruktur pasif seperti pipa saluran media transmisi kabel
(ducting).
i. Infrastruktur energi dan ketenagalistrikan, termasuk infrastruktur
energi terbarukan, antara lain:
1)
infrastruktur ketenagalistrikan, antara lain:
i. pembangkit listrik;
ii. transmisi tenaga listrik;
iii. gardu induk; dan/atau
iv. distribusi tenaga listrik.
2)
infrastruktur minyak dan gas bumi, termasuk bioenergi,
antara lain:
i. pengolahan;
ii. penyimpanan ...
3
ii. penyimpanan;
iii. pengangkutan; dan/atau
iv. distribusi.
j.
Infrastruktur konservasi energi, antara lain:
1) penerangan jalan umum; dan/atau
2) efisiensi energi.
k.
Infrastruktur ekonomi fasilitas perkotaan, antara lain:
1) saluran utilitas (tunnel); dan/atau
2) pasar umum.
l.
Infrastruktur kawasan, antara lain:
1) kawasan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
inovasi termasuk pembangunan science and technopark;
dan/atau
2) kawasan industri.
m. Infrastruktur pariwisata, antara lain pusat informasi pariwisata
(tourism information center).
n.
Infrastruktur fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan,
antara lain:
1) sarana pembelajaran;
2)
laboratorium;
3) pusat pelatihan;
4) pusat penelitian atau pusat kajian;
5) sarana dan prasarana penelitian dan pengembangan;
6)
inkubator bisnis;
7) galeri pembelajaran;
8)
ruang praktik siswa;
9) perpustakaan; dan/atau
10) fasilitas pendukung pembelajaran dan pelatihan.
o.
Infrastruktur fasilitas sarana olahraga, kesenian dan budaya,
antara lain:
1) gedung atau stadion olahraga; dan/atau
2) gedung kesenian dan budaya.
p.
Infrastruktur kesehatan, antara lain:
1)
rumah sakit, seperti bangunan rumah sakit, prasarana rumah
sakit, dan peralatan medis;
2) fasilitas...
4
2)
fasilitas pelayanan kesehatan dasar, seperti bangunan,
prasarana, dan peralatan medis baik untuk puskesmas
maupun klinik; dan/atau
3)
laboratorium kesehatan, seperti bangunan laboratorium
kesehatan, prasarana laboratorium kesehatan dan peralatan
laboratorium.
q.
Infrastruktur pemasyarakatan, antara lain:
1)
lembaga pemasyarakatan;
2) balai pemasyarakatan;
3)
4)
5)
6)
7)
r.
rumah tahanan negara;
rumah penyimpanan benda sitaan dan barang rampasan
negara;
lembaga penempatan anak sementara;
lembaga pembinaan khusus anak; dan/atau
rumah sakit pemasyarakatan.
Infrastruktur perumahan rakyat, antara lain:
1) perumahan rakyat untuk golongan rendah; dan/atau
2)
rumah susun sederhana sewa.
KEPALA DEPARTEMEN KEBIJAKAN
EKONOMI DAN MONETER
JUDA AGUNG
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 18/6/DKEM|SE-BI/2016 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. </reg_title>
<set_date> 22 April 2016 </set_date>
<effective_date> 22 April 2016 </effective_date>
<changed_reg> '16/24/DKEM|SE-BI/2014' </changed_reg>
<extension_of> '17/18/DKEM|SE-BI/2015' </extension_of>
<related_reg> '16/24/DKEM|SE-BI/2014', '18/4/PBI/2016', '17/18/DKEM|SE-BI/2015', '16/21/PBI/2014' </related_reg>
|
No. 11/ 36 /DPNP
Jakarta, 31 Desember 2009
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 7/19/DPNP tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan
Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas
Berkaitan dengan Reksa Dana.
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5029), maka dipandang perlu untuk melakukan
beberapa perubahan pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/19/DPNP
tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang
Melakukan Aktivitas Berkaitan dengan Reksa Dana sebagai berikut:
1. Mengubah . . .
1. Mengubah angka IV sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
IV. RENCANA DAN PELAPORAN
A. Bank yang pertama kali akan melaksanakan aktivitas sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian
1. Bank wajib mencantumkan rencana pelaksanaan aktivitas
baru sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank
Kustodian dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang
sama dengan rencana pelaksanaan aktivitas tersebut.
Kewajiban menyusun Rencana Bisnis Bank mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai rencana
bisnis Bank Umum. Format pencantuman rencana
pelaksanaan aktivitas baru sebagai Agen Penjual Efek
Reksa Dana atau Bank Kustodian dalam Rencana Bisnis
Bank mengacu pada Lampiran 1 Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
2. Bank yang telah memenuhi ketentuan pada angka 1, wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan aktivitas baru kepada
Bank Indonesia yang terdiri dari:
a. Laporan rencana pelaksanaan aktivitas baru sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian;
dan
b. Laporan realisasi pelaksanaan aktivitas baru sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian.
3. Penyampaian laporan rencana pelaksanaan aktivitas baru
sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana atau Bank
Kustodian, sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf a
dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk . . .
a. Untuk aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa
Dana terdiri dari 2 (dua) laporan, yaitu:
1) Laporan Rencana Menjadi Agen Penjual Efek
Reksa Dana
a) Laporan wajib disampaikan paling lambat
60 (enam puluh) hari sebelum pelaksanaan
aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa
Dana.
b) Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf
a), paling kurang memuat hal-hal terkait
dengan aktivitas sebagai Agen Penjual
Efek Reksa Dana sebagai berikut:
(1)
informasi umum yang antara lain
memuat tujuan, gambaran potensial
nasabah,
analisa
kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman
(Strengths,Weaknesses,Opportunities,
Threats/SWOT);
(2) analisa manfaat dan biaya (cost and
benefits analysis);
(3) prosedur pelaksanaan (standard
operating procedure/SOP), organisasi
dan kewenangan pelaksanaan
dengan memperhatikan pengaturan
penerapan Manajemen Risiko pada
butir II.B.2;
(4) kesiapan . . .
(4) kesiapan sumber daya manusia paling
kurang mengacu pada persyaratan
pada butir II.B.2.a;
(5) kesiapan Bank terkait sistem
informasi;
(6)
rencana kebijakan dan prosedur
terkait dengan penerapan program
Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Teroris (APU
dan PPT) dengan mengacu pada
pengaturan butir II.B.2.j;
(7) hasil analisa aspek hukum dan aspek
kepatuhan;
(8) penilaian Bank atas kesiapan sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan
(9) Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana yang
dikeluarkan oleh Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(BAPEPAM-LK).
Dalam hal Surat Tanda Terdaftar
belum diterbitkan, maka Bank
dapat menyampaikan kepada Bank
Indonesia fotokopi bukti permohonan
pendaftaran sebagai Agen Penjual
Efek Reksa Dana kepada
BAPEPAM-LK.
Selanjutnya,
. . .
Selanjutnya, setelah BAPEPAM-LK
menerbitkan Surat Tanda Terdaftar
sebagai Agen Penjual Efek Reksa
Dana, maka Bank wajib
menyampaikannya kepada Bank
Indonesia sebagai kelengkapan
dokumen.
c) Format Laporan Rencana Menjadi Agen
Penjual Efek Reksa Dana mengacu pada
Lampiran 2 Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
d) Bank Indonesia menyampaikan surat
penegasan terhadap rencana menjadi Agen
Penjual Efek Reksa Dana setelah seluruh
persyaratan dipenuhi dan dokumen
pelaporan diterima secara lengkap oleh
Bank Indonesia.
2) Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa Dana
a) Laporan wajib disampaikan paling lambat
45 (empat puluh lima) hari sebelum
pelaksanaan penjualan efek Reksa Dana.
b) Laporan sebagaimana dimaksud pada huruf
a), paling kurang memuat hal-hal terkait
dengan rencana penjualan efek Reksa Dana
sebagai berikut:
(1) informasi
. . .
(1)
informasi umum terkait efek Reksa
Dana paling kurang meliputi:
jenis, bentuk Reksa Dana, dan
komposisi underlying asset, serta
prospektus;
(2) penilaian terhadap manajer investasi
mengacu pada butir II.A.1.a dan butir
II.B.2.e.2);
(3) dokumen dalam rangka transparansi
kepada nasabah yang meliputi antara
lain: brosur, leaflet, dan/atau formulir
aplikasi, dengan mengacu pada
butir II.B.2.f.2), butir II.B.2.g, dan
butir II.B.2.h;
(4) Manajemen Risiko yang meliputi
identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian terhadap Risiko
yang melekat atas aktivitas sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana;
(5) dokumen yang terkait dengan
aktivitas sebagai Agen Penjual Efek
Reksa Dana antara lain draft
final perjanjian antara Bank dengan
pihak-pihak yang terkait dengan
penjualan efek Reksa Dana dengan
mengacu pada butir II.B.2.d;
(6) Surat
. . .
(6) Surat Efektif Pernyataan Pendaftaran
Reksa Dana yang dikeluarkan oleh
BAPEPAM-LK.
Dalam hal Surat Efektif Pernyataan
Pendaftaran Reksa Dana belum
diterbitkan, maka Bank dapat
menyampaikan kepada Bank
Indonesia fotokopi bukti permohonan
Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana
kepada BAPEPAM-LK. Selanjutnya,
setelah BAPEPAM-LK menerbitkan
Surat Efektif Pernyataan Pendaftaran
Reksa Dana, maka Bank wajib
menyampaikannya kepada Bank
Indonesia sebagai kelengkapan
dokumen.
c) Format Laporan Rencana Penjualan Efek
Reksa Dana mengacu pada Lampiran 3
Surat Edaran Bank Indonesia ini.
d) Bank Indonesia menyampaikan surat
penegasan terhadap rencana penjualan efek
Reksa Dana setelah seluruh persyaratan
dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima
secara lengkap oleh Bank Indonesia.
Surat penegasan Bank Indonesia tersebut
merupakan penegasan bahwa dari aspek
Manajemen Risiko, Bank dinilai mampu
untuk . . .
untuk menerapkan Manajemen Risiko yang
memadai atas aktivitas penjualan efek
Reksa Dana.
e) Setelah mendapat surat penegasan dari
Bank Indonesia terhadap rencana menjadi
Agen Penjual Efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam butir
IV.A.3.a.1).d) dan mendapat surat
penegasan dari Bank Indonesia terhadap
rencana penjualan efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam butir
IV.A.3.a.2).d), Bank dapat melakukan
aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa
Dana.
b. Untuk aktivitas sebagai Bank Kustodian,
penyampaian laporan rencana pelaksanaan aktivitas
baru sebagai Bank Kustodian dilakukan sebagai
berikut:
1) Laporan wajib disampaikan paling lambat 60
(enam puluh) hari sebelum pelaksanaan
aktivitas.
2) Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1),
paling kurang memuat informasi dan penjelasan
dalam rangka pelaporan produk atau aktivitas
baru sesuai Surat Edaran Bank Indonesia yang
mengatur mengenai pelaporan produk atau
aktivitas baru.
B. Bank . . .
B. Bank yang sudah pernah melaksanakan aktivitas dan terdaftar
atau memperoleh izin sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana
atau Bank Kustodian
1. Untuk aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana
a. Bank wajib memenuhi ketentuan yang terkait dengan
Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa Dana apabila
penerbitan Reksa Dana memerlukan Pernyataan
Pendaftaran Reksa Dana dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
b. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
huruf a berupa Laporan Rencana Penjualan Efek
Reksa Dana dilakukan sebagai berikut:
1) Laporan wajib disampaikan paling lambat
45 (empat puluh lima) hari sebelum pelaksanaan
penjualan efek Reksa Dana.
2) Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1),
paling kurang memuat hal-hal terkait dengan
rencana penjualan efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam butir
IV.A.3.a.2).b)
3) Format Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa
Dana mengacu pada Lampiran 3 Surat Edaran
Bank Indonesia ini
c. Persyaratan pelaksanaan aktivitas sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana mengacu pada pengaturan
sebagaimana dimaksud pada butir IV.A.3.a.2).d) dan
butir IV.A.3.a.2).e)
2. Untuk . . .
2. Untuk aktivitas sebagai Bank Kustodian
Perubahan atau pengembangan terhadap aktivitas Bank
sebagai kustodian tidak termasuk dalam kriteria aktivitas
baru, sehingga pengembangan aktivitas sebagai Bank
Kustodian oleh Bank yang sudah pernah melakukan
aktivitas tersebut tidak terkena kewajiban pelaporan
rencana pelaksanaan aktivitas baru.
C. Laporan Realisasi Pelaksanaan Aktivitas Bank sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian
1. Laporan wajib disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja setelah aktivitas baru tersebut direalisasikan
pelaksanaannya.
2. Yang dimaksud dengan tanggal realisasi adalah tanggal
sejak aktivitas tersebut mulai ditawarkan oleh Bank dan
sudah dapat dibeli atau dimanfaatkan oleh nasabah.
3. Laporan realisasi pelaksanaan aktivitas baru paling kurang
memuat informasi dan penjelasan sebagai berikut:
a)
jenis dan tanggal realisasi aktivitas baru oleh Bank;
dan
b) kesesuaian realisasi aktivitas baru dengan laporan
rencana pelaksanaan aktivitas baru yang telah
disampaikan.
D. Laporan . . .
D. Laporan Berkala terkait Pelaksanaan Aktivitas sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana dan/atau Bank Kustodian
1. Bank yang telah melaksanakan aktivitas sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana dan/atau Bank Kustodian wajib
menyusun laporan berkala terkait pelaksanaan aktivitas
sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana secara bulanan.
2. Laporan berkala terkait pelaksanaan aktivitas sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada
angka 1 disampaikan kepada Bank Indonesia secara berkala
setiap triwulan yang meliputi posisi setiap akhir bulan
untuk periode 3 (tiga) bulan berturut-turut dengan
menggunakan format Lampiran 4 paling lambat tanggal
15 (lima belas) setelah akhir bulan ke 3 (tiga) dari triwulan
yang bersangkutan. Untuk pertama kali laporan tersebut
disampaikan untuk posisi akhir bulan Maret 2010. Dalam
hal tanggal 15 (lima belas) adalah hari libur maka laporan
disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya setelah hari libur dimaksud.
3. Laporan berkala terkait pelaksanaan aktivitas sebagai Bank
Kustodian mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai
Laporan Kantor Pusat Bank Umum.
E. Alamat Penyampaian Laporan
1. Laporan rencana pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana
dimaksud dalam butir IV.A dan butir IV.B serta laporan
realisasi pelaksanaan aktivitas baru sebagaimana dimaksud
dalam butir IV. C disampaikan kepada Bank Indonesia
dengan alamat:
a. Direktorat . . .
a. Direktorat Pengawasan Bank
terkait,
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank
yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang
berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia.
2. Laporan Berkala terkait Pelaksanaan Aktivitas sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana
a. Laporan berkala terkait pelaksanaan aktivitas sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana
dimaksud pada butir IV.D disampaikan secara on-line
melalui Laporan Kantor Pusat Bank Umum
(LKPBU).
b. Selama format Laporan sebagaimana dimaksud pada
huruf a belum dapat disampaikan secara on-line
melalui LKPBU, laporan tersebut wajib disampaikan
secara off-line oleh Bank kepada Bank Indonesia
dengan alamat sebagai berikut:
1) Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin
No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor
pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia; atau
2) Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank
yang berkantor pusat di luar wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia,
dengan tembusan kepada Direktorat Penelitian dan
Pengaturan Perbankan c.q. Biro Stabilitas Sistem
Keuangan, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350.
2. Mengubah . . .
2. Mengubah angka VI sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
VI. SANKSI
1. Pelanggaran atas penerapan Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam angka II dapat dikenakan sanksi administratif
antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau
pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat
predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan
kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku; dan/atau
e. pemberhentian pengurus Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009.
2. Pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam butir IV.A.3, butir IV.B.1.b, butir IV.C.1 dan
butir IV.E.2.b dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam
Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal
19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi
Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009.
3. Di antara . . .
3. Di antara angka VI dan angka VII disisipkan satu angka baru yakni
angka VI A yang berbunyi sebagai berikut:
VI A. KETENTUAN PERALIHAN
1. Bank yang telah melakukan aktivitas sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana atau Bank Kustodian setelah tanggal
1 Juli 2009 dan sebelum berlakunya Surat Edaran Bank
Indonesia ini namun belum menyampaikan pelaporan sesuai
dengan ketentuan ini, wajib menyampaikan laporan sesuai
dengan ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia ini paling
lambat 60 hari setelah berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia
ini.
Untuk aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana,
penyampaian laporan tersebut disertai dengan dokumen
dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam butir
IV.A.3.a.1).b), butir IV.A.3.a.2).b) dan/atau butir IV.C.3.a.
Untuk aktivitas sebagai Bank Kustodian, penyampaian laporan
disertai informasi dan penjelasan dalam rangka pelaporan
produk atau aktivitas baru sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan
produk atau aktivitas baru.
2. Dalam hal Bank telah menyampaikan Laporan Rencana
Menjadi Agen Penjual Efek Reksa Dana atau laporan rencana
pelaksanaan aktivitas baru sebagai Bank Kustodian dan/atau
Laporan Rencana Penjualan Efek Reksa Dana sebelum
berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini namun belum
memperoleh surat penegasan dari Bank Indonesia, maka Bank
wajib menyesuaikan pelaporan tersebut dengan Surat Edaran
Bank Indonesia ini.
Ketentuan . . .
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 31 Desember 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HALIM ALAMSYAH
DIREKTUR PENELITIAN DAN
PENGATURAN PERBANKAN
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 11/36/DPNP|SE-BI/2009 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/19/DPNP tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Berkaitan dengan Reksa Dana. </reg_title>
<set_date> 31 Desember 2009 </set_date>
<effective_date> 31 Desember 2009 </effective_date>
<changed_reg> '7/19/DPNP|SE-BI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '5/8/PBI/2003', '11/25/PBI/2009', '7/19/DPNP|SE-BI/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'Angka 2 Romawi VI' </penalty_list>
|
No. 5/ 1 /DSM
Jakarta, 30 Januari 2003
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
DI INDONESIA
Perihal: Perubahan atas Surat Edaran Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni
2001 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh
Lembaga Keuangan Non Bank
Menunjuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28
Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan
Lembaga Keuangan Non Bank dan Surat Edaran Nomor 3/14/DSM tanggal 13
Juni 2001 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Lembaga
Keuangan Non Bank dan sehubungan dengan adanya penyempurnaan sarana
pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Lembaga Keuangan Non Bank
kepada Bank Indonesia, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Edaran
Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni 2002 sebagai berikut :
1. Menambah ketentuan pada butir III.D. dengan butir III.D.3. yang berbunyi
sebagai berikut :
“3. Khusus bagi Lembaga Keuangan Non Bank pelapor yang berkedudukan
di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek),
penyampaian laporan kegiatan lalu lintas devisa, selain melalui surat atau
faksimili dapat dilakukan dengan menyampaikan disket yang disertai
dengan…
dengan form identitas yang sudah ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang. Penyampaian laporan dengan disket tersebut disampaikan
kepada Bank Indonesia, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q.
Bagian Statistik Neraca Pembayaran, Gedung B, Lantai 14, Jl. MH.
Thamrin No. 2 Jakarta. Bank Indonesia akan menyampaikan tanda terima
atas setiap laporan yang masuk pada saat laporan diterima, sesudah disket
di-up load oleh petugas Bank Indonesia.”
2. Mengubah paragraf pertama dalam butir IV. Koreksi dan Klarifikasi Laporan
menjadi berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal laporan yang diterima oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam butir III.D. masih tidak lengkap dan atau tidak benar, maka
LKNB pelapor harus menyampaikan Laporan Koreksi melalui surat,
faksimili atau disket.”
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret
2003, untuk Periode Laporan bulan Februari 2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
Ttd
TREESNA WILDA SUPARYONO
DEPUTI DIREKTUR STATISTIK
EKONOMI DAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 5/1/DSM|SE-BI/2003 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni 2001 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Lembaga Keuangan Non Bank </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2003 </set_date>
<effective_date> 1 Maret 2003 </effective_date>
<changed_reg> '3/14/DSM|SE-BI/2001' </changed_reg>
<related_reg> '3/14/DSM|SE-BI/2001', '1/9/PBI/1999' </related_reg>
|
No. 17/6/DPM
Jakarta, 31 Maret 2015
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal
: Suku Bunga Penawaran Antarbank
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/2/PBI/2015 tentang Suku Bunga Penawaran Antarbank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5681), perlu mengatur ketentuan
pelaksanaan mengenai Suku Bunga Penawaran Antarbank dalam Surat
Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. PENGERTIAN
1. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR
adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan
(unsecured) yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk
ditransaksikan oleh Bank Kontributor kepada Bank Kontributor
lain untuk meminjamkan rupiah untuk tenor tertentu di
Indonesia.
2. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
3. Bank Kontributor adalah Bank yang menyampaikan suku bunga
indikasi kepada Bank Indonesia untuk digunakan dalam
penetapan Suku Bunga Penawaran Antarbank.
4. Asking…
2
4. Asking Bank adalah Bank Kontributor yang meminta Quoting Bank
untuk melakukan transaksi dengan Asking Bank.
5. Quoting Bank adalah Bank Kontributor yang menerima
permintaan Asking Bank untuk melakukan transaksi dengan
Asking Bank.
6. Hari Kerja adalah adalah hari pada saat Kantor Pusat Bank
Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan sistem Bank
Indonesia - Real Time Gross Settlement.
II. PENETAPAN BANK KONTRIBUTOR
1. Bank Indonesia menetapkan Bank-Bank yang menjadi Bank
Kontributor.
2. Bank Indonesia menunjuk Bank sebagai Bank Kontributor
berdasarkan:
a. keaktifan Bank dalam melakukan transaksi pinjaman tanpa
agunan (unsecured) di pasar uang antarbank;
b. credit rating; dan
c. kriteria lain yang ditetapkan berdasarkan kewenangan Bank
Indonesia.
3. Penunjukan Bank Kontributor sebagaimana dimaksud dalam
angka 2 disampaikan melalui surat Bank Indonesia.
4. Bank Indonesia melakukan review atas daftar Bank
Kontributor 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
5. Dalam hal diperlukan, sewaktu-waktu Bank Indonesia dapat
melakukan review atas daftar Bank Kontributor.
6. Berdasarkan review sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dan
angka 5, Bank Indonesia dapat melakukan penambahan dan/atau
pengurangan Bank Kontributor.
III. PENYAMPAIAN SUKU BUNGA INDIKASI OLEH BANK KONTRIBUTOR
1. Bank Kontributor menyampaikan suku bunga indikasi pinjaman
tanpa agunan (unsecured) dimana Bank Kontributor bersedia
untuk:
a. meminjamkan…
3
a. meminjamkan rupiah kepada Bank Kontributor lain (offer rate);
dan
b. meminjam rupiah dari Bank Kontributor lain (bid rate),
masing-masing untuk tenor overnight, 1 (satu) minggu, 1 (satu)
bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, dan 12 (dua belas) bulan,
dengan day count convention aktual/360 (tiga ratus enam puluh).
2. Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 disampaikan setiap Hari Kerja dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 09.30 WIB; dan
b. waktu koreksi sampai dengan pukul 09.45 WIB.
3. Tata cara penyampaian kuotasi suku bunga indikasi sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank
umum.
4. Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 memperhatikan spread antara offer rate dan bid rate
paling lebar:
a. 10 (sepuluh) basis points (bps) untuk tenor overnight
dan 1 (satu) minggu; dan
b. 20 (dua puluh) bps untuk tenor 1 (satu) bulan, 3 (tiga)
bulan, 6 (enam) bulan, dan 12 (dua belas) bulan.
IV. PENETAPAN SUKU BUNGA PENAWARAN ANTARBANK
1. Bank Indonesia menetapkan Suku Bunga Penawaran Antarbank
dalam bentuk JIBOR berdasarkan data offer rate yang
disampaikan oleh Bank Kontributor.
2. Penetapan JIBOR sebagaimana dimaksud dalam
angka 1 dilakukan dengan menggunakan metode rata-rata
sederhana (simple average), setelah mengeluarkan 15% (lima belas
persen) data offer rate tertinggi dan 15% (lima belas persen) data
offer rate terendah.
3. Publikasi JIBOR beserta suku bunga indikasi individual Bank
Kontributor yaitu offer rate dan bid rate dilakukan melalui situs
Bank Indonesia setiap Hari Kerja pada pukul 10.00 WIB.
V. PEMENUHAN…
4
V. PEMENUHAN PERMINTAAN TRANSAKSI
1. Asking Bank dapat meminta Quoting Bank untuk:
a. meminjam rupiah dari Asking Bank; atau
b. meminjamkan rupiah kepada Asking Bank,
pada tingkat suku bunga sesuai suku bunga indikasi yang
disampaikan oleh Quoting Bank.
2. Quoting Bank wajib memenuhi permintaan transaksi (deal) dari
Asking Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sepanjang
memenuhi batasan waktu dan batasan tertentu, yaitu:
a. permintaan transaksi oleh Asking Bank dilakukan dari
pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 10.10 WIB;
b. jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah paling
lama 1 (satu) bulan;
c. permintaan transaksi dari Asking Bank paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
d. total permintaan transaksi dari seluruh Asking Bank yang
dipenuhi oleh Quoting Bank
tidak melebihi
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) per hari; dan
e. availability of fund dan credit limit dari Quoting Bank kepada
Asking Bank.
3. Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam angka 2, Asking Bank harus menyampaikan
informasi mengenai penolakan tersebut secara tertulis dengan
disertai bukti-bukti pendukung kepada Bank Indonesia c.q. Pusat
Program Transformasi Bank Indonesia, Program Pendalaman
Pasar Keuangan, paling lama 5 (lima) Hari Kerja sejak tanggal
penolakan.
VI. TATA CARA PENGENAAN SANKSI
Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi permintaan transaksi (deal)
dari Asking Bank sebagaimana dimaksud dalam butir V.2, Bank
Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis melalui tata cara
sebagai berikut:
a. berdasarkan…
5
a. berdasarkan informasi mengenai penolakan yang diterima dari
Asking Bank sebagaimana dimaksud dalam butir V.3, Bank
Indonesia meminta Quoting Bank untuk memberikan alasan
penolakan transaksi disertai dengan bukti-bukti pendukung.
b. Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap informasi
mengenai penolakan yang diterima dari Asking Bank dan alasan
penolakan transaksi serta bukti pendukung dari Quoting Bank.
c. Dalam melakukan penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf
b, Bank Indonesia dapat melibatkan asosiasi di pasar uang
dan/atau perbankan.
d. Dalam hal menurut penelitian Bank Indonesia Quoting Bank tidak
mempunyai alasan yang kuat untuk menolak permintaan
transaksi (deal) dari Asking Bank maka Bank Indonesia
memberikan sanksi berupa teguran tertulis kepada Quoting Bank.
VII. KETENTUAN PENUTUP
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 April
2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
BANK INDONESIA,
MIRZA ADITYASWARA
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 17/6/DPM|SE-BI/2015 </reg_id>
<reg_title> Suku Bunga Penawaran Antarbank </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2015 </set_date>
<effective_date> 1 April 2015 </effective_date>
<related_reg> '17/2/PBI/2015' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
|
No.15/19/DPM
Jakarta, 15 Mei 2013
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DEVISA
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 10/48/DPD perihal Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 198,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4945)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/14/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5003), dan kebutuhan adanya acuan kurs yang kredibel untuk
pembentukan harga yang efisien, perlu untuk melakukan perubahan
atas ketentuan angka 1 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
10/48/DPD tanggal 24 Desember 2008 perihal Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 11/12/DPD tanggal 20 April 2009, sebagai
berikut:
1. Transaksi …
2
1. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan/atau terhadap
valuta asing lainnya untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah atas dasar suatu kontrak sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut PBI, Pasal 2 ayat (1)
diatur sebagai berikut:
a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan/atau terhadap
valuta asing lainnya untuk kepentingan sendiri adalah
apabila Bank berperan sebagai counterparty dalam
bertransaksi dengan Nasabah, dimana kedudukan Bank
dan Nasabah setara.
Contoh:
Bank A melakukan transaksi spot USD/IDR sebesar
USD1,000,000 (satu juta US Dollar) dengan Nasabah X.
Dalam hal ini, posisi Bank A sebagai counterparty dari
Nasabah X.
b. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan/atau terhadap
valuta asing lainnya untuk kepentingan Nasabah adalah
apabila Bank bertransaksi atas nama Nasabah, dimana
Bank bertindak sebagai pihak yang mewakili kepentingan
Nasabah.
Contoh:
Nasabah A meminta kepada Bank B untuk mewakili
Nasabah A tersebut untuk melakukan transaksi dengan
Bank X, Ltd di luar negeri. Dalam hal ini, transaksi yang
terjadi adalah antara Nasabah A dengan Bank X, Ltd,
dimana posisi Bank B hanya merupakan perantara.
c. Kontrak yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah dan/atau terhadap valuta asing lainnya
yang …
3
yang dilakukan Bank untuk kepentingan sendiri paling
kurang berisi:
1) nomor kontrak;
2) tanggal transaksi dan tanggal valuta;
3) nilai nominal transaksi;
4) nama counterparty;
5) mata uang (denominasi); dan
6) rekening Bank koresponden.
d. Kontrak yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah dan/atau terhadap valuta asing lainnya
yang dilakukan Bank untuk kepentingan Nasabah paling
kurang berisi:
1) nomor kontrak;
2) hak dan kewajiban dari kedua belah pihak (Bank dan
Nasabah) dalam hal Bank diberi kewenangan untuk
mewakili Nasabah;
3) tanggal transaksi dan tanggal valuta;
4) nilai nominal transaksi;
5) pagu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah;
6) jenis valuta yang diperjualbelikan;
7) jenis transaksi yang digunakan;
8) besarnya komisi; dan
9) rekening Bank koresponden.
e. Dalam hal kontrak yang dilakukan Bank atas Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam huruf c dan huruf d mencantumkan penggunaan
acuan kurs dalam penyelesaian transaksi pada saat jatuh
tempo, Bank harus mengacu pada kurs referensi yang
diterbitkan Bank Indonesia.
f. Kurs referensi yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf e yang selanjutnya disebut Jakarta
Interbank …
4
Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) merupakan
representasi harga spot US Dollar terhadap Rupiah dari
transaksi antar Bank di pasar domestik termasuk transaksi
Bank dengan bank di luar negeri, yang dilaporkan Bank
melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah (SISMONTAVAR).
g. JISDOR yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf f diatur sebagai berikut:
1) Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari kerja
pada pukul 10.00 WIB melalui website Bank Indonesia
dan/atau media lainnya.
2) Penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi US Dollar
terhadap Rupiah.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
20 Mei 2013 .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
FILIANINGSIH HENDARTA
KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 15/19/DPM|SE-BI/2013 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/48/DPD perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. </reg_title>
<set_date> 15 Mei 2013 </set_date>
<effective_date> 20 Mei 2013 </effective_date>
<changed_reg> '10/48/DPD|SE-BI/2009' </changed_reg>
<extension_of> '11/12/DPD|SE-BI/2009' </extension_of>
<related_reg> '10/48/DPD|SE-BI/2008', '10/37/PBI/2008', '11/12/DPD|SE-BI/2008', '11/14/PBI/2009' </related_reg>
|
No.5/18/DSM
Jakarta, 16 September 2003
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.2/19/DSM Tanggal
3 Oktober 2000 Perihal Laporan Bulanan Bank Umum.
Menunjuk Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/19/DSM tanggal 3
Oktober 2000 perihal Laporan Bulanan Bank Umum, khususnya pada Bab II
mengenai Format Laporan dan Tata Cara Pelaporan Bank Umum, serta
memperhatikan adanya tambahan informasi yang dibutuhkan dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan bank dan perluasan cakupan statistik moneter,
maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Format Laporan dan Tata
Cara Pelaporan pada beberapa bab dalam Buku Pedoman Penyusunan Laporan
Bank Umum (LBU) yang merupakan lampiran dari Surat Edaran tersebut di atas.
Adapun perubahan pada Buku Pedoman Penyusunan LBU dimaksud
mencakup perubahan berupa penambahan dan pengurangan sandi transaksi pada
beberapa bab yang merupakan lampiran dari Surat Edaran ini.
Perubahan-perubahan tersebut terdapat pada beberapa bab sebagai berikut :
1. Bab.IV.2.1. Formulir-02: Laporan Laba /Rugi, berikut
penjelasannya.
2. Bab.IV.4.2. Sandi Rincian Penempatan Pada Bank Lain, berikut penjelasannya.
3. Bab.IV.6.2..…
Lanj. SE. No.5/ /DSM tgl. September 2003
3. Bab.IV.6.2. Sandi Rincian Kredit Yang Diberikan, berikut penjelasannya.
4. Bab.IV.7.2. Sandi Rincian Tagihan Lainnya, berikut penjelasannya.
5. Bab.IV.17.2. Sandi Rincian Kewajiban Kepada Bank Lain, berikut
penjelasannya.
6. Bab.IV.20.2. Sandi Rincian Kewajiban Lainnya, berikut penjelasannya.
7. Bab.IV.24.2. Sandi Rincian Rupa-Rupa Pasiva, berikut penjelasannya.
8. Bab.IV.25.2. Sandi Rincian Modal Pinjaman, berikut penjelasannya.
9. Bab.IV.31.1. Daftar Persetujuan Kredit Dalam Bulan Laporan, berikut
penjelasannya.
10.Bab.IV.35.2. Sandi Rincian Transaksi Derivatif, berikut penjelasannya.
11.Lampiran i. Daftar Sandi Bank.
Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan diberlakukan pertama
kali untuk laporan bulanan bank yang disampaikan pada bulan Oktober 2003
dengan data bulan September 2003.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HARTADI A. SARWONO
DEPUTI GUBERNUR
DSM
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 5/18/DSM|SE-BI/2003 </reg_id>
<reg_title> Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No.2/19/DSM Tanggal 3 Oktober 2000 Perihal Laporan Bulanan Bank Umum. </reg_title>
<set_date> 16 September 2003 </set_date>
<effective_date> 16 September 2003 </effective_date>
<changed_reg> '2/19/DSM|SE-BI/2000' </changed_reg>
<related_reg> '2/19/DSM|SE-BI/2000 | Bab II' </related_reg>
|
No. 12/ 33 /DKBU
Jakarta, 1 Desember 2010
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT
DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
8/31/DPBPR Tanggal 12 Desember 2006 Perihal Bank
Perkreditan Rakyat
Mempertimbangkan perlunya petunjuk pelaksanaan sanksi atas
pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006
tanggal 8 November 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4656) yang selanjutnya disebut PBI BPR, khususnya
terkait dengan sanksi atas pelanggaran ketentuan permodalan, jumlah anggota
Direksi dan Dewan Komisaris, serta terkait dengan sertifikasi bagi anggota
Direksi, maka perlu untuk melakukan perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 8/31/DPBPR tanggal 12 Desember 2006 perihal Bank
Perkreditan Rakyat sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam angka II diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
II. PERUBAHAN KEPEMILIKAN BPR
1. Tata cara pelaporan atau permohonan persetujuan perubahan
anggaran dasar BPR karena perubahan kepemilikan, tunduk kepada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi BPR berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), bukti
pelaporan ...
2
pelaporan atau pengesahan perubahan anggaran dasar yang
disampaikan kepada Bank Indonesia berupa :
a. surat penerimaan pemberitahuan dalam hal perubahan anggaran
dasar cukup diberitahukan kepada Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Menkumham) atau tidak memerlukan
persetujuan Menkumham; atau
b. surat persetujuan dalam hal permohonan perubahan anggaran
dasar wajib mendapatkan persetujuan dari Menkumham.
Bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah (PD) dan Koperasi,
perubahan anggaran dasar dan pelaporan atau persetujuannya
dilakukan sesuai Peraturan Daerah (Perda) atau ketentuan yang
mengatur mengenai badan hukum Koperasi yang berlaku.
2. BPR menyampaikan laporan perubahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah dipenuhinya aspek ekonomis dan aspek
yuridis atas perubahan kepemilikan dimaksud.
Yang dimaksud dengan pemenuhan aspek ekonomis dan aspek
yuridis adalah:
a. aspek ekonomis berupa setoran modal oleh pemegang saham
BPR yang telah efektif, dan
b. aspek yuridis berupa pengesahan perubahan kepemilikan oleh
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Anggota
dan perubahan anggaran dasar tersebut telah dilaporkan kepada
instansi yang berwenang.
2. Ketentuan dalam angka III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
III. PERSYARATAN ANGGOTA DIREKSI, PEMENUHAN JUMLAH
ANGGOTA DIREKSI/DEWAN KOMISARIS DAN SERTIFIKASI
KELULUSAN BAGI ANGGOTA DIREKSI
1.Calon ...
3
1. Calon anggota Direksi yang belum berpengalaman sebagai pejabat
di bidang operasional perbankan paling singkat selama 2 (dua)
tahun, wajib mengikuti magang paling singkat selama 3 (tiga) bulan
pada BPR di bidang pendanaan dan perkreditan yang dibuktikan
dengan surat keterangan telah mengikuti magang dari BPR tempat
calon anggota Direksi mengikuti magang yang ditandatangani oleh
Direktur BPR tempat magang tersebut.
2. Dalam hal calon anggota Direksi telah lulus ujian sertifikasi namun
yang bersangkutan belum menerima sertifikat kelulusan maka surat
pemberitahuan hasil kelulusan ujian yang diterbitkan oleh Lembaga
Sertifikasi berlaku sebagai bukti sementara pemenuhan kewajiban
memiliki sertifikat kelulusan. Dalam hal sertifikat kelulusan telah
diterima oleh yang bersangkutan, maka fotokopi sertifikat tersebut
harus segera disampaikan kepada Bank Indonesia.
3. BPR wajib memiliki Direksi dan Dewan Komisaris paling kurang 2
(dua) anggota Direksi dan 2 (dua) anggota Dewan Komisaris.
4. Dalam hal BPR tidak memenuhi jumlah anggota Direksi dan
Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada angka 3, Bank
Indonesia mengenakan sanksi sebagaimana diatur dalam PBI BPR
sebagai berikut:
a. menutup Kantor Cabang dan Kantor Kas,
b. menghentikan Kegiatan Kas di Luar Kantor, dan
c. menghentikan kegiatan usaha sebagai Pedagang Valuta Asing
(PVA).
Pengenaan sanksi penutupan Kantor Cabang dan Kantor Kas serta
penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan kegiatan usaha
sebagai PVA adalah bentuk pencabutan izin pembukaan Kantor
Cabang dan kegiatan usaha sebagai PVA, larangan pembukaan
Kantor ...
4
Kantor Kas dan melakukan Kegiatan Kas di Luar Kantor, dan
dikenakan pada seluruh jaringan kantor yang dimiliki oleh BPR.
Pengenaan sanksi tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan
ketentuan dalam angka 8, angka 9 dan angka 10.
5. Bagi BPR yang tidak memiliki jaringan kantor dan/atau kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada angka 4 wajib memenuhi
jumlah Direksi dan Dewan Komisaris sesuai ketentuan dan tidak
diperkenankan untuk membuka Kantor Cabang/Kantor Kas dan
menyelenggarakan Kegiatan Kas di Luar Kantor serta kegiatan
usaha sebagai PVA.
6. Dalam hal BPR mengalami kekurangan jumlah anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 3
maka BPR wajib segera memenuhi kekurangan dimaksud.
7. Dalam kondisi tertentu dimana pemenuhan kekurangan anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
angka 6 tidak dapat segera dilaksanakan maka pemenuhan
kekurangan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
BPR dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Yang
dimaksud dengan kondisi tertentu adalah apabila kekurangan
dimaksud disebabkan karena anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. dilarang menjadi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.
8. Bagi BPR yang mengalami kekurangan jumlah anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris BPR karena meninggal dunia atau
mengundurkan ...
5
mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada angka 7 huruf a
dan b, maka BPR tersebut harus segera mengangkat anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris baru paling lambat 180 (seratus
delapan puluh) hari sejak terjadinya kekurangan tersebut.
Jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari dihitung sejak
tanggal anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris:
a. meninggal dunia; atau
b. mengundurkan diri.
Bagi BPR berbadan hukum PT, pengunduran diri anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris dinyatakan efektif terhitung
sejak RUPS menyetujui pengunduran diri yang bersangkutan
atau lewatnya jangka waktu yang diatur dalam anggaran dasar
BPR apabila RUPS tidak terselenggara.
Bagi BPR berbadan hukum PD atau Koperasi, pengunduran
diri anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris dinyatakan
efektif sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Daerah atau ketentuan yang mengatur mengenai badan hukum
Koperasi yang berlaku.
9. Bagi BPR yang mengalami kekurangan jumlah anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris BPR karena dilarang menjadi anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris oleh Bank Indonesia sesuai
ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada angka 7 huruf
c, maka BPR harus segera mengangkat anggota Direksi dan/atau
Dewan Komisaris baru paling lambat 90 (sembilan puluh) hari
sejak tanggal surat pemberitahuan Bank Indonesia.
10. Bagi BPR yang mengalami kekurangan jumlah anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada angka 3
karena ...
6
karena masa jabatan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
berakhir atau pensiun atau diberhentikan oleh RUPS/Rapat
Anggota maka kekurangan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris harus dipenuhi pada tanggal masa jabatan anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris berakhir atau pensiun atau
diberhentikan oleh RUPS/Rapat Anggota. Dalam hal RUPS tidak
menetapkan tanggal pemberhentian anggota Direksi dan/atau
Dewan Komisaris maka pemberhentian dinyatakan efektif pada
tanggal terselenggaranya RUPS.
Bagi BPR yang berbadan hukum PD, pemberhentian anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris dinyatakan efektif sesuai surat
keputusan kepala daerah.
11. BPR yang sampai dengan batas waktu yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada angka 8, angka 9 dan angka 10 tidak
memenuhi ketentuan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada angka 3, wajib menutup Kantor
Cabang dan/atau Kantor Kas dan/atau menghentikan Kegiatan Kas
di Luar Kantor dan/atau kegiatan usaha sebagai PVA terhitung 1
(satu) hari kerja setelah berakhirnya batas waktu pemenuhan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 8, angka 9, dan
angka 10, serta melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. mengumumkan penutupan Kantor Cabang dan/atau Kantor Kas
dan/atau penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan/atau
kegiatan usaha sebagai PVA kepada masyarakat pada tanggal
yang sama dengan tanggal pelaksanaan penutupan kantor dan
penghentian kegiatan usaha. Pengumuman selain memuat
informasi mengenai penutupan, juga memuat tata cara
penyelesaian hak dan kewajiban kepada nasabah. Pengumuman
dilakukan ...
7
dilakukan dalam surat kabar harian lokal atau pada papan
pengumuman di seluruh kantor BPR;
b. menyelesaikan seluruh kewajiban kepada nasabah serta pihak-
pihak lain yang terkait dengan penutupan Kantor Cabang
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak penutupan kantor.
Termasuk dalam pengertian penyelesaian kewajiban kepada
nasabah adalah pengalihan administrasi nasabah Kantor
Cabang ke Kantor Pusat BPR dalam hal nasabah Kantor
Cabang menyepakati pengalihan dimaksud;
c. menjual/mencairkan seluruh aktiva valuta asing (valas) apabila
BPR memiliki kegiatan usaha sebagai PVA menjadi mata uang
Rupiah selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak
penghentian kegiatan usaha sebagai PVA;
d. melaporkan pelaksanaan penutupan Kantor Cabang dan/atau
Kantor Kas dan/atau penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor
dan/atau kegiatan usaha sebagai PVA kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal penutupan Kantor
Cabang dan/atau Kantor Kas dan/atau penghentian Kegiatan
Kas di Luar Kantor dan/atau kegiatan usaha sebagai PVA,
disertai dengan bukti pengumuman penutupan Kantor Cabang
dan/atau Kantor Kas dan/atau penghentian Kegiatan Kas di
Luar Kantor dan/atau kegiatan usaha sebagai PVA;
e. melaporkan penyelesaian seluruh kewajiban nasabah Kantor
Cabang dan penjualan/pencairan seluruh aktiva valas ke dalam
mata uang Rupiah apabila BPR memiliki kegiatan usaha
sebagai PVA disertai dengan:
1) surat pernyataan seluruh anggota Direksi BPR bahwa BPR
telah ...
8
telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada nasabah
dan pihak lain yang terkait dengan penutupan Kantor
Cabang BPR dan apabila terdapat tuntutan di kemudian
hari menjadi tanggung jawab BPR.
2) surat pernyataan seluruh anggota Direksi BPR bahwa BPR
telah melakukan penjualan/pencairan seluruh aktiva valas.
Laporan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah batas akhir penyelesaian kewajiban dan
penjualan/pencairan seluruh aktiva valas sebagaimana
dimaksud pada huruf b dan c.
12. Kantor Cabang BPR yang telah ditutup tidak diperkenankan
melakukan kegiatan operasional kecuali dalam rangka untuk
menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada angka 11
huruf b.
13. Dalam hal batas akhir pemenuhan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 8, angka 9, angka 10 dan angka 11 jatuh pada
hari Sabtu atau hari libur maka batas akhir pemenuhan ketentuan
adalah hari kerja berikutnya.
14. BPR yang telah menjalani sanksi tetap harus memenuhi kewajiban
pemenuhan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
sesuai ketentuan.
15. BPR yang telah menjalani sanksi dan telah memenuhi jumlah
anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sesuai ketentuan dapat
mengajukan permohonan:
a. pembukaan Kantor Cabang, Kantor Kas dan/atau Kegiatan Kas
di Luar Kantor dengan mengacu pada prosedur pembukaan
Kantor Cabang, Kantor Kas dan/atau Kegiatan Kas di Luar
Kantor ...
9
Kantor sebagaimana diatur pada ketentuan yang mengatur
tentang BPR.
b. kegiatan usaha sebagai PVA dengan mengacu pada prosedur
sebagaimana diatur pada ketentuan yang mengatur tentang
PVA.
16. Bagi BPR yang melanggar ketentuan pemenuhan jumlah anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
angka 3 namun tidak melaksanakan sanksi penutupan Kantor
Cabang dan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada angka 11
dalam jangka waktu yang ditetapkan dikenakan sanksi sebagaimana
ketentuan yang berlaku.
3. Ketentuan dalam angka VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
VI. PEMENUHAN MODAL DISETOR SECARA BERTAHAP
1. BPR wajib memenuhi modal disetor sebesar 100% (seratus
perseratus) dari yang dipersyaratkan sesuai ketentuan yang berlaku
paling lambat tanggal 31 Desember 2010.
2. Pemenuhan modal sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat
dilakukan melalui setoran modal, merger, konsolidasi atau akuisisi.
3. BPR yang melanggar ketentuan pemenuhan modal disetor 100%
(seratus perseratus) dari modal disetor yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud pada angka 1, dikenakan sanksi berupa:
a. larangan penyediaan dana baru;
Yang dimaksud dengan penyediaan dana baru adalah :
1) pemberian kredit kepada debitur baru dan/atau perpanjangan
kredit kepada debitur; atau
2) penempatan dana dan/atau memperpanjang penempatan
dana pada bank lain dalam bentuk tabungan, deposito
berjangka ...
10
berjangka, sertifikat deposito dan kredit yang diberikan.
Larangan penyediaan dana baru tidak berlaku terhadap
permohonan kredit calon debitur yang telah disetujui dan
dibuatkan surat Perjanjian Kredit serta telah ditandatangani oleh
BPR dan debitur.
b. menutup Kantor Cabang dan Kantor Kas;
1) dalam rangka menjalani sanksi berupa penutupan Kantor
Cabang dan Kantor Kas, BPR wajib melakukan langkah-
langkah sebagaimana dimaksud pada angka III.11.
2) pengenaan sanksi berupa penutupan Kantor Cabang dan
Kantor Kas diberlakukan kepada seluruh jaringan kantor
yang dimiliki oleh BPR.
c. menghentikan Kegiatan Kas di Luar Kantor;
1) dalam rangka menjalani sanksi berupa penghentian Kegiatan
Kas di Luar Kantor, BPR wajib melakukan langkah-langkah
sebagaimana dimaksud pada angka III.11.
2) pengenaan sanksi berupa penghentian Kegiatan Kas di Luar
Kantor diberlakukan kepada seluruh kegiatan usaha yang
dilakukan oleh BPR.
d. menghentikan kegiatan usaha sebagai PVA;
1) dalam rangka menjalani sanksi berupa penghentian kegiatan
usaha sebagai PVA, BPR wajib melakukan langkah-langkah
sebagaimana dimaksud pada angka III.11.
2) pengenaan sanksi berupa penghentian kegiatan usaha
sebagai PVA diberlakukan kepada seluruh kegiatan usaha
PVA yang dilakukan oleh seluruh kantor BPR.
e. memindahkan alamat kantor ke wilayah yang sesuai dengan
tahapan pemenuhan modal disetor.
1) Pengenaan ...
11
1) Pengenaan sanksi berupa pemindahan alamat kantor BPR ke
wilayah yang sesuai dengan modal disetor bagi BPR yang
melanggar ketentuan pemenuhan modal disetor 100%
(seratus perseratus) dari yang dipersyaratkan, wajib dipenuhi
paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung
sejak tanggal 1 Januari 2011 atau sejak tanggal penolakan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 8,
angka 10, dan angka 12. Pemindahan alamat kantor BPR
adalah pemindahan alamat Kantor Pusat BPR.
2) Dalam rangka menjalani sanksi berupa pemindahan alamat
kantor BPR ke wilayah yang sesuai dengan modal disetor,
BPR melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a) menyampaikan rencana secara tertulis mengenai
pemindahan alamat kantor BPR yang baru kepada Bank
Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal 1 Januari 2011 atau sejak tanggal
penolakan oleh Bank Indonesia. Rencana dimaksud
paling kurang memuat tahapan sebagai berikut:
(1) pengumuman kepada masyarakat mengenai rencana
pemindahan alamat kantor BPR melalui surat kabar
harian lokal atau pada papan pengumuman di
seluruh kantor BPR yang bersangkutan;
(2) penyelesaian kewajiban dan tagihan;
(3) penyiapan kantor BPR yang baru termasuk
sarananya;
(4) pelaksanaan pemindahan kantor BPR ke alamat
yang baru.
b) Melaksanakan rencana sebagaimana dimaksud pada
huruf a) yang meliputi:
(1) pengumuman ...
12
(1) pengumuman mengenai rencana pemindahan kantor
BPR ke alamat yang baru kepada masyarakat paling
lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
1 Januari 2011 atau sejak tanggal penolakan oleh
Bank Indonesia;
(2) penyampaian bukti pengumuman sebagaimana
dimaksud pada angka (1) kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal
pelaksanaan pengumuman;
(3) penyelesaian seluruh kewajiban dan tagihan BPR
sebelum pemindahan alamat kantor BPR. Pengertian
penyelesaian seluruh kewajiban dan tagihan adalah
penyelesaian kewajiban dan tagihan BPR termasuk
pengalihan tagihan dan kewajiban BPR kepada
pihak/ Bank lain yang ditunjuk oleh BPR dan
disepakati oleh nasabah;
(4) penyampaian laporan kepada Bank Indonesia
mengenai pelaksanaan penyelesaian kewajiban dan
tagihan BPR pada setiap akhir bulan. Dalam hal
BPR telah menyelesaikan seluruh kewajiban dan
tagihannya maka laporan disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat 5 (lima) hari setelah
pelaksanaan penyelesaian kewajiban dan tagihan
BPR;
(5) penyampaian laporan kesiapan operasional kantor
BPR yang akan ditempati beserta prasarana
pendukungnya kepada Bank Indonesia sebelum
pemindahan alamat kantor BPR dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan
pemindahan ...
13
pemindahan alamat kantor;
(6) pemindahan alamat kantor BPR ke alamat baru yang
sesuai dengan tahapan pemenuhan modal disetor
paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2011 atau sejak
tanggal penolakan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada angka 8, angka 10, dan angka 12.
(7) penyampaian laporan pelaksanaan pemindahan
alamat kantor BPR sebagaimana dimaksud pada
angka (6) paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
pelaksanaan pemindahan alamat kantor BPR disertai
dengan:
(a) surat pernyataan seluruh anggota Direksi BPR
bahwa BPR telah menyelesaikan seluruh tagihan
dan kewajiban BPR terkait dengan pemindahan
alamat kantor BPR dan apabila terdapat tuntutan
di kemudian hari menjadi tanggung jawab BPR;
dan
(b) surat pernyataan seluruh anggota Direksi BPR
bahwa BPR telah melakukan penjualan/
pencairan seluruh aktiva valas ke dalam mata
uang Rupiah bagi BPR yang memiliki kegiatan
usaha sebagai PVA.
3) Dalam hal batas akhir pelaksanaan sanksi/pemenuhan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka
2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur maka batas akhir
pelaksanaan sanksi/pemenuhan ketentuan adalah pada hari
kerja berikutnya.
4) Sejak BPR memindahkan alamat kantor ke wilayah yang
sesuai ...
14
sesuai dengan tahapan pemenuhan modal disetor, BPR dapat
kembali melakukan penyediaan dana baru.
5) BPR yang telah melaksanakan pemindahan alamat kantor ke
wilayah yang sesuai dengan persyaratan modal disetor dapat
mengajukan permohonan di wilayah yang baru tersebut
untuk:
a) Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Kas, Kegiatan Kas
di Luar Kantor dan pemindahan alamat kantor dengan
mengacu pada prosedur sebagaimana diatur pada PBI
BPR.
b) Kegiatan usaha sebagai PVA dengan mengacu pada
prosedur sebagaimana diatur pada PBI tentang PVA.
4. BPR yang telah melakukan setoran modal secara riil namun belum
didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk digolongkan
sebagai modal disetor, dinyatakan telah memenuhi persyaratan
modal disetor sebagaimana dimaksud pada Pasal 69 ayat (1) PBI
BPR sepanjang telah melapor kepada atau meminta
persetujuan/pengesahan dari instansi berwenang.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4 tidak mengurangi
kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan penelitian mengenai
kebenaran sumber dana untuk setoran modal dan pihak-pihak yang
melakukan penyetoran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
14 dan Pasal 15 PBI BPR, dalam rangka memberikan
persetujuan/penolakan atas setoran modal yang dilakukan oleh
BPR.
6. BPR yang sudah melakukan penyetoran modal sebagaimana
dimaksud pada angka 4, wajib melaporkan setoran modal tersebut
kepada ...
15
kepada Bank Indonesia. Dalam rangka penelitian atas setoran
modal tersebut, BPR wajib menyampaikan dokumen berupa:
a. Bukti penyetoran;
b. Risalah RUPS atau Rapat Anggota;
c. Perubahan anggaran dasar yang telah dinotariilkan;
d. Bukti pelaporan perubahan anggaran dasar kepada instansi yang
berwenang dalam bentuk hasil cetak (print out) melalui Sistem
Administrasi Badan Hukum (SABH) atau tanda terima dari
instansi yang berwenang baik untuk perubahan anggaran dasar
yang cukup diberitahukan kepada Menkumham maupun yang
memerlukan persetujuan Menkumham. Bagi BPR berbentuk
hukum PD, permintaan pengesahan atau pelaporan/permintaan
persetujuan dibuktikan oleh dokumen tertulis dari Kepala
Daerah kepada DPRD. Bagi BPR berbentuk hukum Koperasi,
dibuktikan dengan permintaan pengesahan atau pelaporan/
permintaan dari Direksi kepada instansi berwenang.
e. Surat pernyataan dari pihak yang melakukan setoran modal
sebagaimana dimaksud pada angka 4 bahwa setoran modal yang
dilakukan:
1) Tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan
dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain, dan
2) Tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
f. Daftar pemegang saham dengan adanya setoran modal
sebagaimana pada angka 4 berikut rincian besarnya masing-
masing kepemilikan saham, bagi BPR yang berbentuk hukum
PT atau PD, atau daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok
dan ...
16
dan simpanan wajib serta daftar hibah, bagi BPR yang
berbentuk hukum Koperasi.
7. Dalam hal proses penelitian oleh Bank Indonesia atas setoran
modal sebagaimana dimaksud pada angka 5 melampaui tanggal 31
Desember 2010 maka setoran modal dimaksud dapat diakui sampai
dengan adanya persetujuan/penolakan atas setoran modal dari Bank
Indonesia.
8. Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia, tambahan
setoran modal BPR ditolak karena tidak sesuai dengan ketentuan
persyaratan setoran modal sehingga jumlah modal disetor BPR
tidak memenuhi ketentuan pemenuhan modal disetor sebesar 100%
(seratus perseratus) sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka
BPR dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang
berlaku efektif sejak tanggal sebagaimana diberitahukan dalam
surat Bank Indonesia kepada BPR.
9. Bagi BPR yang pemenuhan modalnya dilakukan dengan cara
merger atau konsolidasi dan telah menyampaikan permohonan izin
merger atau konsolidasi kepada Bank Indonesia sebelum tanggal 31
Desember 2010 maka BPR dimaksud dianggap telah memenuhi
ketentuan mengenai kecukupan modal disetor sampai dengan
adanya persetujuan/penolakan atas merger atau konsolidasi dari
Bank Indonesia sepanjang:
a. permohonan izin merger atau konsolidasi diajukan oleh Direksi
masing-masing BPR yang akan melakukan merger atau
konsolidasi dilampiri dengan dokumen berupa:
1) Notulen RUPS;
2) Akta Merger atau Konsolidasi dan Akta Perubahan
Anggaran ...
17
Anggaran Dasar BPR hasil Merger atau Akta Pendirian BPR
hasil Konsolidasi;
3) Bukti pengumuman ringkasan rancangan Merger atau
Konsolidasi;
4) Bukti setoran modal bagi BPR yang memerlukan
penambahan modal;
5) Daftar calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris BPR
hasil merger atau konsolidasi dengan dokumen yang
dipersyaratkan; dan
6) Dokumen pendukung lain sesuai ketentuan yang berlaku.
b. berdasarkan perhitungan Bank Indonesia:
1) perhitungan CAR BPR hasil merger atau konsolidasi
memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan
mengenai Merger atau Konsolidasi BPR; dan
2) jumlah modal disetor BPR hasil merger atau konsolidasi
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1.
10. Dalam hal permohonan izin merger atau konsolidasi ditolak karena
tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
sehingga berakibat modal disetor BPR tidak memenuhi ketentuan
pemenuhan modal disetor sebesar 100% (seratus perseratus)
sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka BPR dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang berlaku efektif sejak
tanggal sebagaimana diberitahukan dalam surat Bank Indonesia.
11. Bagi BPR yang pemenuhan modalnya dilakukan dengan cara
akuisisi dan telah menyampaikan permohonan izin akuisisi kepada
Bank Indonesia sebelum tanggal 31 Desember 2010 maka BPR
dimaksud dianggap telah memenuhi ketentuan mengenai
kecukupan ...
18
kecukupan modal disetor sampai dengan adanya
persetujuan/penolakan atas akuisisi dari Bank Indonesia sepanjang:
a. permohonan izin akuisisi dilampiri dengan dokumen berupa:
1) Notulen RUPS yang menyetujui akuisisi;
2) Rancangan Akuisisi yang disusun bersama oleh Direksi
BPR yang akan diakuisisi dan pihak yang akan mengakuisisi
yang telah mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris
BPR yang akan diakuisisi;
3) Bukti setoran modal bagi BPR untuk memenuhi kecukupan
modal sebesar 100% (seratus perseratus);
4) Daftar pihak yang mengakuisisi disertai dengan dokumen
yang dipersyaratkan; dan
5) Dokumen pendukung lain sesuai ketentuan yang berlaku.
b. berdasarkan perhitungan Bank Indonesia jumlah modal disetor
BPR setelah akuisisi memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 1.
12. Dalam hal permohonan izin Akuisisi ditolak karena tidak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga
berakibat modal disetor BPR tidak memenuhi ketentuan
pemenuhan modal disetor sebesar 100% (seratus perseratus)
sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka BPR dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang berlaku efektif sejak
tanggal sebagaimana diberitahukan dalam surat Bank Indonesia.
13. BPR yang berlokasi di wilayah dengan persyaratan modal paling
kurang sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
belum memenuhi persyaratan modal disetor, tetap dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d ...
19
huruf d. Dalam hal BPR tersebut tidak memiliki jaringan kantor dan
tidak melakukan kegiatan usaha PVA, BPR dikenakan sanksi
larangan penyediaan dana selama persyaratan modal belum
dipenuhi. BPR tersebut wajib memenuhi persyaratan modal disetor
seusai ketentuan dan tidak diperkenankan untuk membuka Kantor
Cabang/Kantor Kas dan menyelenggarakan Kegiatan Kas di Luar
Kantor serta kegiatan usaha sebagai PVA.
14. BPR yang melanggar ketentuan pemenuhan modal disetor
sebagaimana dimaksud pada angka 1 namun tidak melaksanakan
sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 3 dalam jangka waktu
yang ditetapkan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
4. Diantara angka VII.3 dan angka VII.4 disisipkan 1 (satu) angka baru yaitu
angka VII.3.A yang berbunyi sebagai berikut:
VII.3.A. FORMAT PENGUMUMAN DAN LAPORAN PELAKSANAAN
DALAM RANGKA PENGENAAN SANKSI
a. Pengumuman dan Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang
dan Kantor Kas BPR serta Penghentian Kegiatan Kas di Luar
Kantor dan kegiatan usaha sebagai PVA karena sanksi atas
pelanggaran ketentuan jumlah anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris BPR diatur sebagai berikut:
1) Pengumuman Penutupan Kantor Cabang/Kantor Kas BPR dan
Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor/kegiatan usaha
sebagai PVA, menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam lampiran 39.a;
2) Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang/Kantor Kas
BPR dan Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor/Kegiatan
Usaha sebagai PVA, menggunakan format sebagaimana
tercantum ...
20
tercantum dalam lampiran 39.b;
3) Laporan Penyelesaian Kewajiban atas penutupan Kantor
Cabang dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam lampiran 39.c. Laporan ini dilampiri dengan surat
pernyataan seluruh anggota Direksi mengenai penyelesaian
seluruh kewajiban, menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam lampiran 39.d;
4) Laporan Penjualan/Pencairan Aktiva Valas ke dalam mata uang
Rupiah bagi BPR yang mempunyai kegiatan usaha sebagai
PVA dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam lampiran 39.e. Laporan ini dilampiri dengan surat
pernyataan seluruh anggota Direksi mengenai
penjualan/pencairan seluruh aktiva valas, menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.f;
b. Pengumuman dan Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang
dan Kantor Kas serta Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor dan
kegiatan usaha sebagai PVA serta Laporan Pelaksanaan
Pemindahan Alamat Kantor ke Wilayah yang sesuai dengan Modal
Disetor karena sanksi atas pelanggaran ketentuan jumlah modal
disetor diatur sebagai berikut:
1) Pengumuman Penutupan Kantor Cabang/Kantor Kas dan
Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor/kegiatan usaha
sebagai PVA, menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam lampiran 39.a;
2) Laporan Pelaksanaan Penutupan Kantor Cabang/Kantor Kas
dan Penghentian Kegiatan Kas di Luar Kantor/Kegiatan Usaha
sebagai PVA, menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam lampiran 39.b;
3) Laporan Penyelesaian Kewajiban atas penutupan Kantor
Cabang ...
21
Cabang dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam lampiran 39.c. Laporan ini dilampiri dengan surat
pernyataan seluruh anggota Direksi mengenai penyelesaian
seluruh kewajiban, menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam lampiran 39.d;
4) Laporan Penjualan/Pencairan Aktiva Valas ke dalam mata uang
Rupiah bagi BPR yang mempunyai kegiatan usaha sebagai
PVA dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam lampiran 39.e. Laporan ini dilampiri dengan surat
pernyataan seluruh anggota Direksi mengenai
penjualan/pencairan seluruh aktiva valas, menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.f;
5) Laporan Rencana Pemindahan Alamat Kantor ke Wilayah yang
sesuai dengan Modal Disetor, menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.g;
6) Pengumuman Rencana Pemindahan Alamat Kantor ke Wilayah
yang sesuai dengan Modal Disetor, menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.h;
7) Laporan kesiapan operasional kantor yang akan ditempati,
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran
39.i;
8) Laporan Pelaksanaan Pemindahan Alamat Kantor ke Wilayah
yang sesuai dengan Modal Disetor, menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.j;
9) Laporan Penyelesaian atau Pengalihan Tagihan dan Kewajiban
atas pemindahan alamat kantor dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam lampiran 39.k. Laporan ini
dilampiri dengan surat pernyataan seluruh anggota Direksi
mengenai penyelesaian seluruh tagihan dan kewajiban,
menggunakan ...
22
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam lampiran
39.l;
5. Ketentuan dalam angka VII.4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
VII.4. ALAMAT PENGAJUAN PERMOHONAN IZIN, PENGAJUAN
RENCANA DAN/ATAU PENYAMPAIAN LAPORAN
a. Permohonan pendirian BPR ditujukan kepada:
1) Dewan Gubernur Bank Indonesia u.p. Direktorat Kredit, BPR
dan UMKM, Bank Indonesia, Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta
10350, bagi BPR yang akan didirikan di wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Raya, Kabupaten/kota Bogor, Depok,
Karawang, Bekasi dan Provinsi Banten.
2) Dewan Gubernur Bank Indonesia u.p. Direktorat Kredit, BPR
dan UMKM, Bank Indonesia, Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta
10350, dengan tembusan kepada Kantor Bank Indonesia
setempat bagi BPR yang akan didirikan di luar wilayah
sebagaimana dimaksud dalam angka 1), dengan mengacu
kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia pada
Lampiran 41.
b. Permohonan selain untuk pendirian BPR, pengajuan rencana dan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam PBI BPR
ditujukan kepada:
1) Bank Indonesia u.p. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, Bank
Indonesia, Jl. M. H. Thamrin No.2 Jakarta 10350, bagi BPR di
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Kabupaten/kota
Bogor, Depok, Karawang, Bekasi dan Provinsi Banten.
2) Bank Indonesia u.p. Kantor Bank Indonesia setempat bagi BPR
yang berkantor pusat di luar wilayah sebagaimana dimaksud
dalam ...
23
dalam angka 1), dengan mengacu kepada pembagian wilayah
kerja Kantor Bank Indonesia pada Lampiran 41.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember
2010.12 November 2010
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA
S. BUDI ROCHADI
DEPUTI GUBERNUR
DKBU
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 12/33/DKBU|SE-BI/2010 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/31/DPBPR Tanggal 12 Desember 2006 Perihal Bank Perkreditan Rakyat </reg_title>
<set_date> 1 Desember 2010 </set_date>
<effective_date> 1 Desember 2010 </effective_date>
<changed_reg> '8/31/DPBPR|SE-BI/2006' </changed_reg>
<related_reg> '8/26/PBI/2006', '8/31/DPBPR|SE-BI/2006' </related_reg>
<penalty_list> 'Angka 2 Romawi III Butir 4', 'Angka 2 Romawi III Butir 16', 'Angka 3 Romawi VI Angka 3', 'Angka 3 Romawi VI Angka 8', 'Angka 3 Romawi VI Angka 10', 'Angka 3 Romawi VI Angka 12', 'Angka 3 Romawi VI Angka 13', 'Angka 3 Romawi VI Angka 14', 'Angka 4 Romawi VII.3.A' </penalty_list>
|
No.8/ 23/DPbS
Jakarta, 20 Oktober 2006
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DI INDONESIA
Perihal: Lembaga Sertifikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/25/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat
Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4651, perlu ditetapkan ketentuan pelaksanaan mengenai Lembaga Sertifikasi
bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (BPRS) dalam
Surat Edaran yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
I. UMUM
1. Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, yang
selanjutnya disebut dengan BPRS, adalah Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan …
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
2. Sistem Sertifikasi Profesional bagi BPRS, yang selanjutnya disebut
Sistem Sertifikasi, adalah serangkaian kegiatan yang meliputi
penyusunan standar kurikulum pelatihan, pemberian akreditasi kepada
pengajar dan Lembaga Pelatihan, penentuan penyelenggaraan
pelatihan, pelaksanaan ujian, pemberian sertifikat kelulusan, dan
pencabutan akreditasi dan sertifikat.
3. Lembaga Sertifikasi adalah lembaga yang bertugas untuk mengatur
dan menetapkan Sistem Sertifikasi dan telah mendapat pengesahan
dari instansi yang berwenang berdasarkan rekomendasi Bank
Indonesia.
4. Lembaga Pelatihan adalah lembaga yang melaksanakan pelatihan dan
ujian sertifikasi yang telah ditunjuk dan telah mendapat akreditasi dari
Lembaga Sertifikasi.
5. Dewan Sertifikasi adalah organ tertinggi yang berwenang menetapkan
arah kebijakan Lembaga Sertifikasi.
6. Komite Kurikulum Nasional adalah komite yang bertugas membantu
Dewan Sertifikasi untuk melakukan penelitian dan pengembangan
kurikulum untuk meningkatkan kualitas Sistem Sertifikasi.
7. Manajemen adalah organ yang mengelola seluruh kegiatan sehari-hari
Lembaga Sertifikasi.
II. LEMBAGA SERTIFIKASI BAGI BPRS
1. Tujuan dan Persyaratan Lembaga Sertifikasi
a. Tujuan dibentuknya Lembaga Sertifikasi adalah untuk:
1) Menjamin kualitas Sistem Sertifikasi;
(2) Menjamin …
2) Menjamin pelaksanaan Sistem Sertifikasi; dan
3) Meningkatkan kualitas dan kemampuan profesionalisme
sumber daya BPRS.
b. Persyaratan yang harus dipenuhi Lembaga Sertifikasi adalah:
1) Memiliki visi dan misi untuk meningkatkan dan
mengembangkan kualitas sumber daya manusia BPRS yang
mendukung terciptanya kondisi industri BPRS yang sehat, kuat
dan efisien.
2) Memiliki organ yang sekurang-kurangnya terdiri dari:
a) Dewan Sertifikasi, dengan anggota yang paling sedikit
terdiri dari:
i. Bank Indonesia c.q. Direktur Direktorat Perbankan
Syariah;
ii. Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah.
b) Komite Kurikulum Nasional, dengan anggota terdiri dari
profesional yang kompeten di bidang ekonomi, keuangan,
perbankan syariah, dan hukum.
c) Manajemen dengan bagian paling sedikit terdiri dari:
i. Bagian Standarisasi Materi dan Sistem;
ii. Bagian Sertifikasi, Akreditasi, dan Ujian;
iii. Bagian Keuangan; dan
iv. Bagian Umum, Hukum, dan Informasi.
3) Memiliki dan melaksanakan tugas atas dasar kompetensi dan
komitmen untuk mengatur, menetapkan dan menyusun Sistem
Sertifikasi yang termasuk namun tidak terbatas pada:
a) Menetapkan standar kurikulum pelatihan bagi pengajar dan
sumber daya manusia BPRS sesuai dengan kebutuhan;
b) Mempersiapkan …
b) Mempersiapkan mitra pelatihan apabila perlu;
c) Menetapkan standar akreditasi bagi pengajar dan Lembaga
Pelatihan;
d) Memberikan persetujuan terhadap rencana pelaksanaan
pelatihan oleh Lembaga Pelatihan baik untuk pengajar
maupun untuk sumber daya manusia BPRS;
e) Menetapkan materi dan jadwal ujian;
f) Memberikan sertifikat kelulusan kepada peserta ujian yang
memenuhi syarat kelulusan;
g) Menetapkan kode etik Sistem Sertifikasi;
h) Mencabut sertifikat apabila berdasarkan informasi Bank
Indonesia, anggota Direksi pemegang sertifikat dinyatakan
tidak lulus dalam penilain kemampuan dan kepatutan;
i) Melaporkan kepada Bank Indonesia pemegang sertifikat
yang telah dicabut sertifikat kelulusannya;
j) Melakukan penelitian dan pengembangan Sistem
Sertifikasi.
2. Tugas Organ Lembaga Sertifikasi
a. Tugas Dewan Sertifikasi mencakup namun tidak terbatas pada:
1) Menjamin terlaksananya Sistem Sertifikasi dan seluruh
kebijakan serta prosedur yang ditetapkan oleh Lembaga
Sertifikasi dalam rangka mencapai tujuan Lembaga Sertifikasi;
2) Melakukan evaluasi dan memberikan persetujuan atas usulan
Komite Kurikulum Nasional antara lain mengenai modifikasi
kurikulum dan identifikasi kebutuhan pelatihan dan modul-
modul pelatihan yang baru;
3) Melakukan …
3) Melakukan evaluasi terhadap kinerja manajemen Lembaga
Sertifikasi.
b. Tugas Komite Kurikulum Nasional mencakup namun tidak
terbatas pada:
1) Menyusun modifikasi kurikulum;
2) Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan modul-modul
pelatihan yang baru.
c. Tugas Manajemen mencakup namun tidak terbatas pada:
1) Menyusun tata tertib, tata kerja dan prosedur pelaksanaan
kebijakan Lembaga Sertifikasi dan Sistem Sertifikasi yang
telah disetujui oleh Dewan Sertifikasi;
2) Menjamin terlaksananya seluruh kegiatan sesuai dengan
ketentuan, tata tertib dan keputusan Dewan Sertifikasi;
3) Menjalankan kepengurusan sehari-hari, mengadministrasikan,
dan menjamin kerahasiaan dokumen-dokumen sertifikasi.
III. PROSEDUR PERMOHONAN REKOMENDASI PENDIRIAN
LEMBAGA SERTIFIKASI KEPADA BANK INDONESIA
1. Lembaga sertifikasi yang akan melaksanakan Sistem Sertifikasi harus
memperoleh izin dari instansi yang berwenang berdasarkan
rekomendasi Bank Indonesia.
2. Permohonan untuk memperoleh rekomendasi diajukan oleh pengurus
atau pejabat sesuai dengan ketentuan intern yang berlaku di lembaga
yang bersangkutan kepada Bank Indonesia dengan alamat Direktorat
Perbankan Syariah, Jl MH Thamrin No.2, Jakarta 10350, dengan
melampirkan:
a. Anggaran Dasar yang telah disahkan oleh notaris;
b. Kurikulum …
b. Kurikulum, modul dan kerangka materi pelatihan;
c. Struktur organisasi;
d. Rencana kegiatan;
e. Referensi tertulis dari asosiasi bank syariah; dan
f. Daftar riwayat hidup pendiri dan pengurus atau anggota lembaga.
3. Bank Indonesia tidak mengakui sertifikat yang telah dikeluarkan oleh
lembaga sertifikasi yang tidak mendapat rekomendasi dari Bank
Indonesia.
IV. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal 20 Oktober 2006.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 8/23/DPbS|SE-BI/2006 </reg_id>
<reg_title> Lembaga Sertifikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah </reg_title>
<set_date> 20 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 20 Oktober 2006 </effective_date>
<related_reg> '8/25/PBI/2006', '6/17/PBI/2004' </related_reg>
|
No. 10 /2/DPM
Jakarta, 31 Januari 2008
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM
Perihal : Transaksi Repurchase Agreement Dengan Bank Indonesia di Pasar
Sekunder.
Dalam rangka memperluas jenis surat berharga yang dapat ditransaksikan
secara Repurchase Agreement (Repo) dengan Bank Indonesia, dipandang perlu
untuk mengatur kembali ketentuan transaksi Repo yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tanggal
18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4243), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4533), Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 tanggal
18 November 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4244), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4366) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004
tentang Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4363) sebagai berikut :
I. KETENTUAN ....
2
I. KETENTUAN UMUM
Yang dimaksud dalam Surat Edaran ini dengan :
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan
transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank
dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter.
3. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
Pemerintah dan/atau lembaga lainnya, yang ditatausahakan dalam Bank
Indonesia - Scripless Securities Settlement System.
4. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
5. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga
yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, yang terdiri
atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara.
6. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah SUN
yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
7. Obligasi Negara yang selanjutnya disebut ON adalah SUN yang berjangka
waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
8. BI-Rate adalah suku bunga kebijakan dengan tenor 1 (satu) bulan yang
ditetapkan Bank Indonesia secara periodik sebagai sinyal kebijakan
moneter untuk jangka waktu tertentu serta diumumkan kepada publik.
9. Sistem ....
3
9. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana
elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang
penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual.
10. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya, dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem BI-RTGS.
11. Transaksi Surat Berharga secara Repurchase Agreement yang selanjutnya
disebut Repo adalah transaksi penjualan bersyarat Surat Berharga oleh
Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
12. Rekening Giro adalah rekening dana milik Bank dalam Rupiah di Bank
Indonesia.
13. Rekening Perdagangan adalah rekening Surat Berharga milik Bank yang
digunakan untuk mencatat kepemilikan Surat Berharga di Central Registry
yang dapat diperdagangkan.
14. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem-
LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank Indonesia secara harian,
termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank
Indonesia.
15. Hair Cut adalah marjin yang ditetapkan Bank Indonesia sebagai faktor
pengurang harga Surat Berharga.
II. PERSYARATAN UMUM
1. Bank Indonesia membuka window time transaksi Repo dengan jangka
waktu 1 (satu) hari melalui pengumuman di sarana BI-SSSS dan/atau
Sistem-LHBU.
2. Surat Berharga yang digunakan dalam transaksi Repo adalah Surat
Berharga dalam mata uang Rupiah.
3. Transaksi ....
4
3. Transaksi Repo sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dilakukan dengan
prinsip sell and buy back, yaitu penjualan Surat Berharga oleh Bank yang
wajib dibeli kembali oleh Bank yang bersangkutan pada saat transaksi
Repo jatuh waktu.
4. Pihak yang dapat mengajukan transaksi Repo adalah Bank untuk
kepentingan sendiri.
5. Bank Indonesia mengenakan bunga atas transaksi Repo (Repo rate)
sebesar BI-Rate yang berlaku pada tanggal transaksi ditambah marjin 300
(tiga ratus) basis points, yang harus dilunasi pada tanggal transaksi Repo
jatuh waktu.
6. Bank yang melakukan transaksi Repo dengan Bank Indonesia bertanggung
jawab atas kebenaran data penawaran transaksi Repo yang diajukan.
7. Bank dapat mengajukan transaksi Repo apabila Bank tersebut tidak dalam
masa pengenaan sanksi penghentian sementara (suspend) sebagai peserta
BI-SSSS.
8. Setelmen transaksi Repo dilaksanakan pada hari transaksi (same-day
settlement) melalui mekanisme Delivery Versus Payment.
9. Bank wajib memiliki seri Surat Berharga yang mencukupi dalam Rekening
Perdagangan untuk setelmen penjualan Surat Berharga secara Repo paling
lambat pada saat window time transaksi Repo ditutup pada tanggal
transaksi Repo (first leg).
10. Bank wajib memiliki saldo Rekening Giro yang mencukupi untuk
setelmen pembelian kembali Surat Berharga pada tanggal transaksi Repo
jatuh waktu (second leg).
11. Bank Indonesia dapat mengubah atau menutup window time transaksi
Repo yang diumumkan melalui sarana BI-SSSS dan/atau Sistem-LHBU
paling lambat pada 1 (satu) hari kerja sebelum perubahan atau penutupan
window time tersebut.
III. PERSYARATAN ....
5
III. PERSYARATAN DAN NILAI SURAT BERHARGA
1. Surat Berharga yang dapat direpokan adalah Surat Berharga dalam bentuk
SBI dan/atau SUN milik Bank sebagaimana tercatat dalam Rekening
Perdagangan pada sarana BI-SSSS.
2. Pada saat transaksi Repo jatuh waktu, Surat Berharga yang direpokan harus
memiliki sisa jangka waktu :
a. paling singkat 2 (dua) hari kerja untuk SBI dan SPN; atau
b. paling singkat 10 (sepuluh) hari kerja untuk ON termasuk ORI dan
ZCB.
3. Surat Berharga yang dapat direpokan oleh Bank paling banyak sebesar nilai
nominal Surat Berharga yang dimiliki Bank pada 1 (satu) hari kerja
sebelum tanggal transaksi.
4. Bank Indonesia menetapkan nilai jual Surat Berharga dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. SBI
1) Nilai jual SBI merupakan nilai nominal dikalikan dengan harga SBI.
2) Harga setiap seri SBI sebagaimana tercantum dalam BI-SSSS
ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan harga teoritis SBI yang
mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat
penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SBI.
b. SUN
1) SUN dalam bentuk SPN :
a) Nilai jual SPN merupakan nilai nominal dikalikan dengan harga
SPN.
b) Harga SPN sebagaimana tercantum dalam BI-SSSS ditetapkan
berdasarkan harga teoritis SPN yang mempertimbangkan rata-
rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan, sisa jangka
waktu dan pajak atas diskonto setiap seri SPN.
c) Dalam hal pemerintah melakukan penerbitan kembali (re-
opening) seri SPN yang telah diterbitkan sebelumnya, maka rata-
rata ....
6
rata tertimbang tingkat diskonto yang digunakan dalam
perhitungan harga teoritis SPN sebagaimana huruf b) adalah
rata-rata tertimbang tingkat diskonto hasil lelang re-opening SPN
terakhir.
2) SUN dalam bentuk ON :
a) ON dengan sistem kupon termasuk Obligasi Negara Ritel (ORI)
(1) Nilai jual ON merupakan nilai nominal dikalikan dengan
harga ditambah dengan nilai atas accrued interest yang
dihitung dari tanggal pembayaran kupon terakhir sampai
dengan tanggal transaksi (dirty price).
(2) Harga ON dengan sistem kupon, termasuk ORI
sebagaimana tercantum dalam BI-SSSS ditetapkan
berdasarkan harga rata-rata tertimbang transaksi
perdagangan ON sesuai serinya yang setelmennya terjadi
pada 1 (satu) hari kerja sebelum transaksi Repo atau
berdasarkan harga teoritis ON dalam hal seri ON tidak
memiliki data transaksi di pasar sekunder pada 1 (satu) hari
kerja sebelum pengajuan Repo (T-1).
b) ON dengan sistem tanpa kupon atau Zero Coupon Bond (ZCB)
(1) Nilai jual ZCB merupakan nilai nominal dikalikan dengan
harga ZCB.
(2) ZCB sebagaimana tercantum dalam BI-SSSS ditetapkan
berdasarkan harga teoritis ZCB yang mempertimbangkan
rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan
sisa jangka waktu setiap serinya.
(3) Dalam hal pemerintah melakukan penerbitan kembali (re-
opening) seri ZCB, maka rata-rata tertimbang tingkat
diskonto yang digunakan dalam perhitungan harga teoritis
sebagaimana dimaksud angka (2) adalah rata-rata
tertimbang ....
7
tertimbang tingkat diskonto hasil lelang re-opening
terakhir.
5. Untuk menentukan nilai setelmen Penjualan Repo, Bank Indonesia
menetapkan besarnya Hair Cut masing-masing jenis Surat Berharga.
6. Harga atas Surat Berharga yang digunakan dalam perhitungan penjualan
Surat Berharga pada tanggal transaksi Repo (first leg) sama dengan harga
atas Surat Berharga yang digunakan dalam perhitungan pembelian kembali
Surat Berharga pada tanggal transaksi Repo jatuh waktu (second leg).
7. Bank Indonesia menetapkan jenis dan/atau seri Surat Berharga yang dapat
direpokan.
IV. PENGAJUAN TRANSAKSI REPO SURAT BERHARGA
1. Bank Indonesia – Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Biro Operasi
Moneter (DPM-BOpM) mengumumkan Repo rate, Hair Cut dan jangka
waktu transaksi Repo melalui sarana BI-SSSS dan/atau Sistem-LHBU
paling lambat sebelum waktu pengajuan transaksi (window time) Repo
dibuka (T+0).
2. Window time transaksi Repo ditetapkan dari pukul 16.00 WIB sampai
dengan pukul 17.00 WIB pada setiap hari kerja.
3. Selama window time transaksi Repo dibuka, Bank mengajukan transaksi
secara langsung melalui sarana BI-SSSS yang mencakup antara lain jenis,
seri, dan nominal Surat Berharga yang direpokan serta jangka waktu
transaksi.
4. Nilai setelmen atas setiap Surat Berharga yang direpokan dihitung
berdasarkan nilai nominal, harga, Repo rate, jangka waktu dan Hair Cut
masing-masing jenis Surat Berharga. Contoh perhitungan transaksi Repo
adalah sebagaimana terlampir.
5. Dalam hal transaksi Repo sebagaimana dimaksud pada butir II.1 dilakukan
pada 1 (satu) hari kerja sebelum hari libur, maka tanggal transaksi Repo
jatuh waktu adalah pada hari kerja berikutnya.
6. Jumlah ....
8
6. Jumlah hari dalam perhitungan Repo rate yang harus dibayar oleh Bank
dihitung berdasarkan hari kalender.
V. SETELMEN
1. Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter – Bagian Penyelesaian
Transaksi Pengelolaan Moneter (DPM-PTPM) melakukan setelmen
transaksi Repo melalui sarana BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian
transaksi per transaksi (gross to gross).
2. Setelmen transaksi Repo sebagaimana dimaksud pada angka 1 terdiri dari:
a. Setelmen penjualan Surat Berharga (first leg).
1) Pada tanggal transaksi Repo, DPM-PTPM melakukan setelmen first
leg setelah window time transaksi Repo tutup.
2) Nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud dalam angka 1)
dihitung sebagai berikut :
a) Untuk Repo dengan menggunakan SBI, SPN dan ZCB, yaitu:
Nilai Setelmen
first leg
=
Nominal Surat
Berharga yang
direpokan
× (harga – Hair cut)
b) Untuk Repo dengan menggunakan ON termasuk ORI, yaitu :
Nilai
Setelmen
first leg
=
Nominal Surat
Berharga yang
direpokan
× (harga – Hair cut) +
Accrued
Interest
3) Setelmen first leg dilakukan dengan cara :
a) Mendebet Rekening Perdagangan sebesar nilai nominal dari jenis
Surat Berharga yang direpokan; dan
b) Mengkredit Rekening Giro sebesar nilai setelmen dana first leg
sebagaimana dimaksud dalam angka 2).
4) Bank wajib menyediakan Surat Berharga yang mencukupi sesuai
seri Surat Berharga yang direpokan untuk setelmen first leg .
5) Dalam ....
9
5) Dalam hal Bank tidak memiliki Surat Berharga yang mencukupi
sebagaimana dimaksud angka 4), sarana BI-SSSS secara otomatis
membatalkan setelmen first leg.
6) Pembatalan setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada angka 5)
hanya dikenakan untuk transaksi Repo yang tidak memiliki seri
Surat Berharga yang mencukupi.
7) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen first
leg pada hari yang sama, pembatalan transaksi dihitung sebanyak 1
(satu) kali.
8) Bank dikenakan sanksi OPT atas pembatalan setelmen sebagaimana
dimaksud pada angka 5) sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Setelmen pembelian kembali Surat Berharga (second leg)
1) Setelmen second leg dilakukan secara otomatis pada saat sarana
BI-SSSS dibuka pada tanggal transaksi Repo jatuh waktu.
2) Nilai atas setelmen second leg dihitung sebesar :
Nilai
Setelmen
second leg
=
Nilai Setelmen
first leg
+
Nilai atas bunga
transaksi Repo
3) Setelmen second leg dilakukan dengan cara :
a) Mendebet Rekening Giro sebesar nilai setelmen dana second leg
sebagaimana dimaksud dalam angka 2); dan
b) Mengkredit Rekening Perdagangan sebesar nilai nominal Surat
Berharga yang direpokan.
4) Bank wajib menyediakan saldo Rekening Giro yang mencukupi
untuk setelmen second leg.
5) Dalam hal Bank tidak memiliki saldo Rekening Giro yang
mencukupi sampai dengan cut off warning Sistem BI-RTGS,
BI-SSSS otomatis membatalkan setelmen second leg.
6) Pembatalan setelmen second leg hanya dikenakan pada transaksi
Repo jatuh waktu yang tidak memiliki kecukupan dana.
7) Dalam ....
10
7) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen
second leg pada hari yang sama, pembatalan transaksi dihitung
sebanyak 1 (satu) kali.
8) Bank dikenakan sanksi OPT atas pembatalan setelmen second leg
sebagaimana dimaksud dalam angka 5) sesuai ketentuan yang
berlaku.
9) Dalam rangka pemenuhan kewajiban Bank untuk pelunasan
transaksi Repo jatuh waktu atas kegagalan setelmen second leg,
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Bank Indonesia mendebet Rekening Giro melalui Sistem
BI-RTGS untuk penyelesaian nominal bunga Repo yang harus
dibayar.
b) Bank Indonesia melakukan penyelesaian Surat Berharga sebesar
nominal Surat Berharga yang gagal dilakukan setelmen dengan
cara :
i. Pelunasan seri SBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
secara otomatis melalui sarana BI-SSSS; dan/atau
ii. Memperlakukan seri SUN yang gagal dibeli kembali oleh
Bank sebagai transaksi jual putus (outright selling) secara
otomatis melalui sarana BI-SSSS.
VI. SANKSI
1. Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam butir
V.2.a.4), V.2.a.5) dan V.2.a.8) atau V.2.b.4), V.2.b.5) dan V.2.b.8)
dikenakan sanksi OPT berupa :
a. Teguran tertulis, dengan tembusan kepada:
1) Direktorat Pengawasan Bank terkait, dalam hal sanksi diberikan
kepada Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia (KPBI); atau
2) Tim ....
11
2) Tim Pengawas Bank di Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat,
dalam hal sanksi diberikan kepada Bank yang berkantor pusat di
wilayah kerja KBI; dan
b. Kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai nominal
transaksi yang dinyatakan batal atau paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar Rupiah); dan/atau
c. Penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OPT selama 5 (lima)
hari kerja dalam hal Bank dikenakan sanksi teguran tertulis karena
pembatalan transaksi kegiatan OPT untuk ketiga kalinya dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan.
2. Nilai nominal transaksi sebagaimana dimaksud dalam butir 1.b. dihitung
sesuai pembatalan nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud butir
V.2.a.5) atau nilai setelmen second leg sebagaimana dimaksud dalam butir
V.2.b.5).
3. Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 1.a.
dan pemberitahuan sanksi pemberhentian sementara untuk mengikuti
kegiatan OPT sebagaimana dimaksud dalam butir 1.c. dilakukan pada 1
(satu) hari kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi.
4. Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
butir 1.b. dilakukan dengan mendebet Rekening Giro pada 1 (satu) hari
kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi.
VII. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran ini mulai berlaku maka:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/4/DPM tanggal 7 Februari 2006
perihal Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia secara
Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia di Pasar Sekunder;
dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/6/DPM tanggal 26 Maret 2007
perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.8/4/DPM Tanggal
7 Februari ....
12
7 Februari 2006 perihal Transaksi Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia
Secara Repurchase Agreement (Repo) Dengan Bank Indonesia Di Pasar
Sekunder,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
EDDY SULAEMAN YUSUF
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
DPM
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 10/2/DPM|SE-BI/2008 </reg_id>
<reg_title> Transaksi Repurchase Agreement Dengan Bank Indonesia di Pasar Sekunder. </reg_title>
<set_date> 31 Januari 2008 </set_date>
<effective_date> 1 Februari 2008 </effective_date>
<replaced_reg> '9/6/DPM|SE-BI/2007', '8/4/DPM|SE-BI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '6/2/PBI/2004', '7/30/PBI/2005', '6/5/PBI/2004', '4/10/PBI/2002', '4/9/PBI/2002' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi VI' </penalty_list>
|
No.11/21/DKBU
Jakarta, 10 Agustus 2009
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT
DI INDONESIA
Perihal : Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/13/PBI/2009 tanggal 17 April 2009 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5002),
maka perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam Surat Edaran Bank Indonesia
dengan pokok-pokok sebagai berikut:
I. UMUM
1. BPR dalam menyediakan dana perlu memperhatikan prinsip kehati-
hatian antara lain dengan penyebaran portofolio penyediaan dana yang
diberikan agar risiko penyediaan dana tersebut tidak terpusat pada
Peminjam atau kelompok Peminjam tertentu.
2. Dalam rangka pemantauan penyediaan dana, BPR menyampaikan
laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) secara berkala
kepada Bank Indonesia.
3. Pelaporan …
2
3. Pelaporan BMPK disampaikan oleh kantor pusat BPR secara on-line
yang mencakup data kantor pusat dan data seluruh kantor cabang
BPR.
II. PERHITUNGAN BMPK
1. BMPK untuk Kredit
Perhitungan BMPK untuk Kredit dilakukan berdasarkan baki debet
seluruh kredit yang diterima oleh debitur yang bersangkutan, termasuk
pemberian kredit atas nama debitur lain yang digunakan untuk
keuntungan debitur yang bersangkutan. Untuk kredit dalam bentuk
rekening koran, perhitungan BMPK dilakukan berdasarkan baki debet
tertinggi pada bulan laporan.
2. BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank dalam bentuk tabungan
Perhitungan BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank dalam
bentuk tabungan dilakukan berdasarkan saldo tertinggi pada bulan
laporan.
3. BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank dalam bentuk deposito
Perhitungan BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank dalam
bentuk deposito dilakukan berdasarkan jumlah nominal sebagaimana
tercantum dalam seluruh bilyet deposito pada BPR yang sama.
4. BMPK untuk penyediaan dana kepada Pihak Terkait
Perhitungan BMPK untuk penyediaan dana kepada Pihak Terkait
dilakukan berdasarkan jumlah seluruh baki debet kredit Pihak Terkait
dan seluruh nominal atau baki debet penempatan dana (tabungan,
deposito, dan kredit) kepada seluruh BPR lain Pihak Terkait sebesar
10% (sepuluh persen) dari modal BPR.
5. BMPK …
3
5. BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain Pihak
Tidak Terkait
Perhitungan BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR
lain Pihak Tidak Terkait dilakukan berdasarkan jumlah seluruh
nominal atau baki debet Penempatan Dana Antar Bank (tabungan,
deposito, dan kredit) di masing-masing BPR Pihak Tidak Terkait
sebesar 20% (dua puluh persen) dari modal BPR.
6. Penyediaan dana dalam bentuk kredit kepada satu atau lebih
Peminjam Pihak Tidak Terkait yang merupakan bagian dari kelompok
Peminjam Pihak Tidak Terkait
Perhitungan BMPK untuk penyediaan dana dalam bentuk kredit
kepada satu atau lebih Peminjam Pihak Tidak Terkait yang merupakan
bagian dari kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait dihitung
berdasarkan pemberian kredit kepada masing-masing Peminjam dan
pemberian kredit kepada satu kelompok Peminjam Pihak Tidak
Terkait. BMPK pemberian kredit kepada satu kelompok Peminjam
Pihak Tidak Terkait sebesar 30% (tiga puluh persen) dari modal BPR.
III. PELANGGARAN BMPK
1. BPR dinyatakan melakukan pelanggaran BMPK apabila terdapat
selisih lebih antara persentase penyediaan dana pada saat
direalisasikan terhadap Modal BPR dengan BMPK yang
diperkenankan. BPR tetap dinilai melanggar BMPK selama
pelanggaran BMPK tersebut belum diselesaikan.
2. Modal BPR yang digunakan dalam perhitungan BMPK adalah jumlah
Modal Inti dan Modal Pelengkap sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum BPR
pada posisi bulan terakhir sebelum realisasi penyediaan dana.
3. Dalam …
4
3. Dalam hal terdapat pelanggaran BMPK berupa penyediaan dana
dalam bentuk kredit kepada satu atau lebih Peminjam Pihak Tidak
Terkait yang merupakan bagian dari kelompok Peminjam Pihak Tidak
Terkait maka pelanggaran BMPK dihitung berdasarkan penjumlahan
pelanggaran atas pemberian kredit kepada masing-masing Peminjam
dan pelanggaran pemberian kredit kepada satu kelompok Peminjam
Pihak Tidak Terkait.
4. Contoh Perhitungan BMPK:
Contoh 1: Kredit dengan angsuran yang ditarik sekaligus
BPR ”X” memberikan fasilitas kredit dengan pembayaran angsuran
kepada debitur A (Pihak Tidak Terkait) yang penarikannya dilakukan
secara sekaligus dengan kondisi sebagai berikut:
a. Modal BPR
: - per akhir Juni 2009 sebesar Rp1.500
juta
- per akhir Juli 2009 sebesar Rp1.400 juta
b. BMPK Pihak Tidak Terkait : 20%
- bulan Juli 2009 sebesar Rp300 juta (= 20% x Rp1.500 juta)
- bulan Agustus 2009 sebesar Rp280 juta (= 20% x Rp1.400 juta)
c. Fasilitas kredit
d. Jangka waktu
: Rp400 juta
: 18 (delapan belas) bulan
e. Tanggal akad kredit : 15 Juli 2009
f. Realisasi kredit
g. Baki debet
: Pencairan Kredit sekaligus pada tanggal
15 Juli 2009
: - per akhir Juli 2009 sebesar Rp375 juta
- per akhir Agustus 2009 sebesar Rp350
juta
Perhitungan …
5
Perhitungan Pelanggaran BMPK
1) Bulan Juli 2009
Berdasarkan persentase atas baki debet pada saat
realisasi/pencairan kredit debitur A yaitu sebesar Rp400 juta
terhadap modal BPR per akhir Juni 2009 sebesar Rp1.500 juta
dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Tidak Terkait (20%),
diperoleh hasil sebagai berikut:
(400 juta / 1.500 juta x 100%) – 20% = 6,67%
Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 6,67%.
2) Bulan Agustus 2009
Berdasarkan persentase atas baki debet debitur A pada akhir
Agustus 2009 yaitu sebesar Rp350 juta terhadap modal BPR per
akhir Juli 2009 sebesar Rp1.400 juta dikurangi dengan persentase
BMPK Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil sebagai
berikut:
(350 juta / 1.400 juta x 100%) – 20% = 5,00%
Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 5,00%.
Contoh 2: Kredit yang pencairannya dilakukan secara bertahap
BPR ”Y” memberikan fasilitas kredit kepada debitur B (Pihak
Terkait) yang pencairannya dilakukan secara bertahap dengan kondisi
sebagai berikut:
a. Modal BPR
: - per akhir Juli 2009 sebesar Rp2.000 juta
- per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.500
juta
b. BMPK Pihak Terkait : 10%
- bulan Agustus 2009 sebesar Rp200 juta (= 10% x Rp2.000 juta)
- bulan …
6
- bulan September 2009 sebesar Rp150 juta (= 10% x Rp1.500
juta)
c. Fasilitas kredit
d. Jangka waktu
: Rp200 juta
: 24 (dua puluh empat) bulan
e. Tanggal akad kredit : 10 Agustus 2009
f. Realisasi kredit
: Pencairan Kredit secara bertahap
- Pencairan tahap I, tanggal 10 Agustus 2009 : Rp100 juta
- Pencairan tahap II, tanggal 10 September 2009 : Rp100 juta
Perhitungan BMPK
1) Bulan Agustus 2009
Berdasarkan persentase atas baki debet pada saat
realisasi/pencairan kredit debitur B tahap I sebesar Rp100 juta
terhadap modal BPR per akhir Juli 2009 sebesar Rp2.000 juta
dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Terkait (10%),
diperoleh hasil sebagai berikut:
(100 juta / 2.000 juta x 100%) – 10% = -5%
Tidak terdapat pelanggaran BMPK.
2) Bulan September 2009
Dengan adanya realisasi/pencairan kredit debitur B tahap II
sebesar Rp100 juta sehingga baki debet menjadi sebesar Rp200
juta maka persentase atas baki debet tersebut terhadap modal BPR
per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.500 juta dikurangi dengan
persentase BMPK Pihak Terkait (10%), diperoleh hasil sebagai
berikut:
(200 juta / 1.500 juta x 100%) – 10% = 3,33%
Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 3,33%.
Contoh 3: …
7
Contoh 3: Kredit dengan fasilitas rekening koran
BPR ”Y” memberikan fasilitas kredit rekening koran kepada debitur C
(Pihak Tidak Terkait) dengan kondisi sebagai berikut:
a. Modal BPR
: per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.800
juta
b. BMPK Pihak Tidak Terkait : 20% atau sebesar Rp360 juta
(= 20% x Rp1.800 juta)
c. Fasilitas kredit
d. Jangka waktu
: Rp400 juta
: 12 (dua belas) bulan
e. Tanggal akad kredit : 5 September 2009
f. Realisasi baki debet pada bulan September 2009:
Tanggal
Penarikan
8 September 2009 Rp370.000.000,-
15 September 2009
28 September 2009 Rp35.000.000,-
29 September 2009
Penyetoran
Saldo Debet
Rp370.000.000,-
Rp5.000.000,- Rp365.000.000,-
Rp400.000.000,-
Rp15.000.000,- Rp385.000.000,-
Perhitungan BMPK
Perhitungan BMPK didasarkan pada persentase atas baki debet
tertinggi pada bulan yang bersangkutan (September 2009) yaitu
sebesar Rp400 juta terhadap modal BPR per akhir Agustus 2009
sebesar Rp1.800 juta dikurangi dengan persentase BMPK Pihak Tidak
Terkait (20%), dengan perhitungan sebagai berikut:
(400 juta / 1.800 juta x 100%) – 20% = 2,22%
Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 2,22%.
Contoh 4: …
8
Contoh 4: Pemberian kredit yang secara individu Peminjam tidak
melebihi BMPK namun secara kelompok Peminjam melebihi
BMPK
BPR ”X” memberikan fasilitas kredit kepada debitur A (Pihak Tidak
Terkait) dan debitur PT B (PT B menjamin kredit yang diberikan oleh
BPR ”X” kepada debitur A) yang pencairannya dilakukan secara
sekaligus dengan kondisi sebagai berikut:
a. Modal BPR
: per akhir September 2009 sebesar Rp3.000
juta
b. BMPK Pihak Tidak Terkait:
- Individu Peminjam : 20% atau sebesar Rp600 juta
(= 20% x Rp3.000 juta)
- Kelompok Peminjam : 30% atau sebesar Rp900 juta
(= 30% x Rp3.000 juta)
c. Fasilitas kredit
d. Jangka waktu
: - debitur A sebesar Rp500 juta
- debitur PT B sebesar Rp600 juta
: masing-masing 24 (dua puluh empat) bulan
e. Tanggal akad kredit : - debitur A, tanggal 15 Oktober 2009
- debitur PT B, tanggal 20 Oktober 2009
f. Realisasi kredit
: Pencairan dilakukan sekaligus
- debitur A, tanggal 15 Oktober 2009
- debitur PT B, tanggal 20 Oktober 2009
Perhitungan BMPK
1) BMPK Individu Peminjam
a) Pemberian kredit BPR ”X” kepada debitur A sebesar Rp500
juta tidak melanggar BMPK dengan perhitungan sebagai
berikut: …
9
berikut:
(500 juta / 3.000 juta x 100%) – 20% = -3,34%
b) Pemberian kredit BPR ”X” kepada debitur PT B sebesar
Rp600 juta tidak melanggar BMPK dengan perhitungan
sebagai berikut:
(600 juta / 3.000 juta x 100%) – 20% = 0%
2) BMPK Kelompok Peminjam
Mengingat debitur A dan PT B memenuhi kriteria kelompok
Peminjam maka perhitungan BMPK juga dihitung berdasarkan
baki debet kelompok Peminjam yaitu sebesar Rp1.100 juta
(Rp500 juta + Rp600 juta). BMPK kelompok Peminjam Pihak
Tidak Terkait yaitu 30%. Perhitungan BMPK kelompok
Peminjam tersebut sebagai berikut:
(1.100 juta / 3.000 juta x 100%) – 30% = 6,67%
Terdapat Pelanggaran BMPK kelompok Peminjam Pihak Tidak
Terkait sebesar 6,6,7%
Berdasarkan perhitungan angka 1) dan angka 2) diatas, pemberian
kredit kepada masing-masing Peminjam yaitu debitur A dan PT B
tidak melanggar BMPK namun secara kelompok Peminjam
melanggar BMPK sebesar 6,67%.
Contoh 5: Pemberian Kredit dan Penempatan dana pada BPR
lain yang secara individu Peminjam melebihi BMPK namun
secara kelompok Peminjam tidak melebihi BMPK
BPR ”Y” menempatkan dananya pada BPR ”Z” dan memberikan
fasilitas kredit kepada debitur PT A (Pihak Tidak Terkait yang
memiliki saham BPR ”Z” sebesar 40%) dengan kondisi sebagai
berikut:
a. Modal …
10
a. Modal BPR
: per akhir Oktober 2009 sebesar Rp5.000
juta
b. BMPK Pihak Tidak Terkait:
- Individu Peminjam : 20% atau sebesar Rp1.000 juta
(= 20% x Rp5.000 juta)
- Kelompok Peminjam : 30% atau sebesar Rp1.500 juta
(= 30% x Rp5.000 juta)
c. Penyediaan Dana BPR ”Y” pada BPR ”Z” berupa:
- Deposito
- Kredit
: Rp500 juta, jangka waktu 3 (tiga) bulan
(10 November 2009 – 10 Februari 2010)
: Rp700 juta
d. BPR ”Y” memberikan kredit kepada debitur PT A sebesar Rp800
juta
e. Jangka waktu
: 36 (tiga puluh enam) bulan
f. Tanggal akad kredit : - BPR ”Z”, tanggal 4 November 2009
- debitur PT A, tanggal 11 November 2009
g. Realisasi kredit
: Pencairan dilakukan sekaligus
- BPR ”Z” pada tanggal 4 November 2009
- debitur PT A pada tanggal 11 November
2009
Perhitungan BMPK:
1) BMPK Individu Peminjam
a) Penempatan dana BPR ”Y” pada BPR ”Z” berupa deposito
sebesar Rp500 juta dan kredit sebesar Rp700 juta, sehingga
jumlah penempatan dana sebesar Rp1.200 juta. BMPK
Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain yaitu sebesar
20%. Perhitungan BMPK Penempatan Dana Antar Bank
tersebut …
11
tersebut sebagai berikut:
(1.200 juta / 5.000 juta x 100%) – 20% = 4,00%
b) Pemberian kredit BPR ”Y” kepada debitur PT A sebesar
Rp800 juta tidak melanggar BMPK dengan perhitungan
sebagai berikut:
(800 juta / 5.000 juta x 100%) – 20% = -4,00%
2) BMPK Kelompok Peminjam
Mengingat debitur PT A dan BPR ”Z” memenuhi kriteria
kelompok Peminjam maka perhitungan BMPK juga dihitung
berdasarkan kelompok Peminjam. Berdasarkan perhitungan,
BMPK kelompok Peminjam tidak melanggar BMPK karena
secara keseluruhan jumlah baki debet dalam bentuk kredit
masing-masing kepada debitur PT A Rp700 juta dan BPR ”Z”
Rp800 juta yaitu sebesar Rp1.500 juta, tidak melebihi BMPK
kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait yaitu paling tinggi 30%,
dengan perhitungan sebagai berikut:
(1.500 juta / 5.000 juta x 100%) – 30% = 0,00%
Berdasarkan perhitungan diatas, maka:
- Penempatan dana BPR ”Y” pada BPR ”Z” melanggar BMPK
untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain sebesar
4,00%.
- Pemberian kredit BPR ”Y” kepada debitur PT A tidak
melanggar BMPK.
- Pemberian kredit kepada BPR ”Z” dan debitur PT A sebagai
kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait juga tidak
melanggar BMPK.
Contoh 6: …
12
Contoh 6: Pemberian Kredit yang secara individu dan kelompok
Peminjam melebihi BMPK
BPR ”B” memberikan fasilitas kredit kepada debitur Pihak Tidak
Terkait PT X dan PT Y. PT X dan PT Y dimiliki oleh Sdr. S dengan
kepemilikan saham pada masing-masing PT tersebut 50%. Pencairan
kredit dilakukan sekaligus dengan kondisi sebagai berikut:
a. Modal BPR
: per akhir November 2009 sebesar Rp4.000
juta
b. BMPK Pihak Tidak Terkait:
- Individu Peminjam : 20% atau sebesar Rp800 juta
(= 20% x Rp4.000 juta)
- Kelompok Peminjam : 30% atau sebesar Rp1.200 juta
(= 30% x Rp4.000 juta)
c. Fasilitas kredit
d. Jangka waktu
: - debitur PT X sebesar Rp1.000 juta
- debitur PT Y sebesar Rp900 juta
: masing-masing 48 (empat puluh delapan)
bulan
e. Tanggal akad kredit : - debitur PT X, tanggal 7 Desember 2009
- debitur PT Y, tanggal 15 Desember 2009
f. Realisasi kredit
: Pencairan dilakukan sekaligus
- debitur PT X, tanggal 7 Desember 2009
- debitur PT Y, tanggal 15 Desember 2009
Perhitungan BMPK
1) BMPK Individu Peminjam
a) Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT X sebesar
Rp1.000 juta melanggar BMPK dengan perhitungan sebagai
berikut: …
13
berikut:
(1.000 juta / 4.000 juta x 100%) – 20% = 5,00%
b) Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT Y sebesar
Rp900 juta melanggar BMPK dengan perhitungan sebagai
berikut:
(900 juta / 4.000 juta x 100%) – 20% = 2,50%
2) BMPK Kelompok Peminjam
Mengingat debitur PT X dan PT Y memenuhi kriteria kelompok
Peminjam Pihak Tidak Terkait maka perhitungan BMPK juga
dihitung berdasarkan kelompok Peminjam yaitu sebesar Rp1.900
juta (Rp1.000 juta + Rp900 juta). BMPK kelompok Peminjam
Pihak Tidak Terkait yaitu 30%. Perhitungan BMPK kelompok
Peminjam tersebut sebagai berikut:
(1.900 juta / 4.000 juta x 100%) – 30% = 17,50%
Berdasarkan perhitungan diatas, maka
- Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT X secara
individu melanggar BMPK sebesar 5%.
- Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT Y secara
individu melanggar BMPK sebesar 2,5%.
- Pemberian kredit BPR ”B” kepada debitur PT X dan PT Y
sebagai kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait melanggar
BMPK kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebesar
17,50%.
Dengan demikian persentase jumlah keseluruhan pelanggaran BMPK
yang dilakukan oleh BPR ”B” adalah 25%.
Contoh 7: …
14
Contoh 7: Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain dalam
bentuk deposito
BPR ”Y” menempatkan dananya dalam bentuk deposito pada BPR
”Z” dengan kondisi sebagai berikut:
a. Modal BPR ”Y” : - per akhir Agustus 2009 sebesar Rp4.900 juta
- per akhir September 2009 sebesar Rp5.000
juta
b. BMPK Penempatan Dana pada BPR lain : 20%
- bulan September 2009 sebesar Rp980 juta (= 20% x Rp4.900
juta)
- bulan Oktober 2009 sebesar Rp1.000 juta (= 20% x Rp5.000
juta)
c. Penyediaan Dana BPR ”Y” pada BPR ”Z” berupa:
- Deposito I
- Deposito II
: Rp700 juta dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan
(10 Juli 2009 – 10 Oktober 2009)
: Rp500 juta dengan jangka waktu 1 (satu) bulan
(2 Oktober 2009 – 2 November 2009)
Perhitungan BMPK
1) Bulan September 2009
Berdasarkan persentase atas jumlah nominal sebagaimana
tercantum dalam bilyet deposito I sebesar Rp700 juta terhadap
modal BPR per akhir Agustus 2009 sebesar Rp4.900 juta
dikurangi dengan persentase BMPK Penempatan Dana Antar
Bank pada BPR lain Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil
sebagai berikut:
(700 juta / 4.900 juta x 100%) – 20% = -5,71%
Tidak terdapat pelanggaran BMPK.
2) Bulan …
15
2) Bulan Oktober 2009
Dengan adanya penempatan deposito II sebesar Rp500 juta pada
tanggal 2 Oktober 2009 maka jumlah seluruh penempatan
deposito pada BPR ”Z” pada tanggal tersebut menjadi sebesar
Rp1.200 juta. Dengan demikian persentase atas nominal
Penempatan Dana Antar Bank tersebut terhadap modal BPR per
akhir September 2009 sebesar Rp5.000 juta dikurangi dengan
persentase BMPK Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain
Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil sebagai berikut:
(1.200 juta / 5.000 juta x 100%) – 20% = 4,00%
Terdapat pelanggaran BMPK sebesar 4,00%.
5. Berdasarkan contoh perhitungan sebagaimana dimaksud pada angka 4
contoh 1, 3, 4, 5 dan 6 maka selain melanggar BMPK, BPR juga
melanggar Pasal 3 ayat (1) PBI No.11/13/PBI/2009 tanggal 17 April
2009 tentang BMPK BPR yang menyatakan bahwa BPR dilarang
membuat Perjanjian Kredit yang mewajibkan BPR untuk
menyediakan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran
BMPK.
IV. PELAMPAUAN BMPK
1. Penyediaan dana oleh BPR dikategorikan sebagai pelampauan BMPK
apabila terjadi selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang
telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan
dengan BMPK yang diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran
BMPK.
2. Pelampauan BMPK dapat disebabkan oleh penurunan modal BPR,
penggabungan usaha (merger), peleburan usaha (konsolidasi),
pengambilalihan usaha (akuisisi), perubahan struktur kepemilikan
dan/atau …
16
dan/atau kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait
dan/atau kelompok Peminjam, dan/atau perubahan ketentuan.
3. Contoh Perhitungan Pelampauan BMPK karena penurunan
modal
BPR ”X” memberikan fasilitas kredit dengan pembayaran angsuran
kepada debitur A (Pihak Tidak Terkait) yang penarikannya dilakukan
secara sekaligus dengan kondisi sebagai berikut:
a. Modal BPR
: - per akhir Agustus 2009 sebesar Rp1.500
juta
- per akhir September 2009 sebesar
Rp1.200 juta
b. BMPK Pihak Tidak Terkait : 20%
- bulan September 2009 sebesar Rp300 juta (= 20% x Rp1.500
juta)
c. Fasilitas kredit
d. Jangka waktu
- bulan Oktober 2009 sebesar Rp240 juta (= 20% x Rp1.200 juta)
: Rp300 juta
: 18 (delapan belas) bulan
e. Tanggal akad kredit : 17 September 2009
f. Realisasi kredit
g. Baki debet
: Pencairan Kredit sekaligus pada tanggal 21
September 2009
: - per akhir September 2009 sebesar Rp300
juta
- per akhir Oktober 2009 sebesar Rp285
juta
Perhitungan …
17
Perhitungan pelampauan BMPK
1) Bulan September 2009
Berdasarkan persentase atas baki debet pada saat realisasi kredit
debitur A yaitu sebesar Rp300 juta terhadap modal BPR per akhir
Agustus 2009 sebesar Rp1.500 juta dikurangi dengan persentase
BMPK Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil sebagai
berikut:
(300 juta / 1.500 juta x 100%) – 20% = 0%
Tidak terdapat pelanggaran BMPK.
2) Bulan Oktober 2009
Berdasarkan persentase atas baki debet debitur A pada akhir
Oktober 2009 yaitu sebesar Rp285 juta terhadap modal BPR per
akhir September 2009 sebesar Rp1.200 juta dikurangi dengan
persentase BMPK Pihak Tidak Terkait (20%), diperoleh hasil
sebagai berikut:
(285 juta / 1.200 juta x 100%) – 20% = 3,75%
Terdapat pelampauan BMPK sebesar 3,75%.
V. PENYAMPAIAN LAPORAN BMPK DAN/ATAU KOREKSI
LAPORAN BMPK
1. BPR pelapor menyampaikan laporan BMPK kepada Bank Indonesia
secara on-line melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana
teknologi lainnya paling lambat tanggal 14 (empat belas) pada bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
2. BPR pelapor menyampaikan koreksi laporan BMPK kepada Bank
Indonesia secara on-line melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia
atau sarana teknologi lainnya paling lambat tanggal 20 (dua puluh)
pada …
18
pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
3. Dalam hal laporan disampaikan melewati batas waktu sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dan angka 2 maka BPR dinyatakan terlambat
menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK.
4. Penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara
on-line dilakukan sampai dengan akhir bulan laporan. Laporan BMPK
dan/atau koreksi laporan BMPK secara on-line tersebut dapat
disampaikan pada hari libur atau hari Sabtu.
5. Dalam hal BPR tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK sampai dengan akhir bulan laporan maka BPR
dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK.
6. Dalam hal penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan
BMPK dilakukan setelah berakhirnya bulan laporan maka laporan
tersebut hanya dapat disampaikan secara off-line. Penyampaian
laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara off-line
dilakukan dalam bentuk disket atau media perekam data elektronik
lainnya disertai hasil validasi yang telah ditandatangani oleh
penanggung jawab dan disampaikan kepada Bank Indonesia yang
mewilayahi kantor pusat BPR.
7. Dalam hal terjadi kerusakan disket atau media perekam data
elektronik lainnya yang telah diterima oleh Bank Indonesia secara off-
line, BPR pelapor menyampaikan ulang disket atau media perekam
data elektronik lainnya setelah diminta oleh Bank Indonesia.
8. Dalam hal tanggal 14 (empat belas) atau tanggal 20 (dua puluh) jatuh
pada hari Sabtu atau hari libur maka BPR yang menyampaikan
laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara off-line wajib
menyampaikan …
19
menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK pada
hari kerja sebelumnya.
9. Hari libur yang terkait dengan penyampaian laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK secara off-line adalah hari libur nasional dan
hari libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
VI. FORMAT DAN TATA CARA PENYUSUNAN LAPORAN BMPK
DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN BMPK
1. Format dan tata cara penyusunan laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK berpedoman pada Lampiran 1 mengenai Pedoman
Penyusunan Laporan BMPK dan/atau Koreksi Laporan BMPK BPR,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
2. Prosedur pengoperasian aplikasi laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK diatur dalam Lampiran 2 mengenai Petunjuk Teknis
Aplikasi Data Entry Laporan BMPK BPR dan Lampiran 3 mengenai
Petunjuk Teknis Aplikasi Web BPR Laporan BMPK BPR, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
VII. SARANA DAN PERSIAPAN PELAPORAN
Dalam rangka penyusunan dan penyampaian laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK, BPR perlu melakukan persiapan dan menyediakan
sarana sebagai berikut:
1. Komputer dengan memenuhi konfigurasi minimal hardware dan
software sebagaimana tercantum dalam Petunjuk Teknis Aplikasi
Data Entry Laporan BMPK BPR dan Petunjuk Teknis Aplikasi Web
BPR Laporan BMPK BPR.
2. BPR …
20
2. BPR menunjuk:
a. Pegawai yang ditugaskan (Petugas) untuk mengoperasikan
aplikasi dan melakukan verifikasi laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK.
b. Pejabat atau Pegawai BPR yang bertanggungjawab
(Penanggungjawab) untuk melakukan verifikasi ulang dalam
rangka meyakini kebenaran laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK serta menyampaikan laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK kepada Bank Indonesia.
3. Nama Petugas dan Penanggungjawab sebagaimana dimaksud pada
angka 2, wajib disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia yang
mewilayahi kantor pusat BPR.
4. BPR menyusun pedoman tertulis tentang sistem dan prosedur
penyusunan dan penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK dengan mengacu pada Pedoman Penyusunan Laporan
BMPK BPR, Petunjuk Teknis Aplikasi Data Entry Laporan BMPK
BPR dan Petunjuk Teknis Aplikasi Web BPR Laporan BMPK BPR.
5. BPR memiliki:
a. sistem pengamanan yang memadai terhadap: sarana komputer,
aplikasi, dan data laporan BMPK dan/atau koreksi laporan
BMPK.
b. back up data laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK
yang ditatausahakan dengan baik.
VIII. TATA
CARA
MEMBAYAR
Pembayaran sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
2. BPR …
Pasal
PENYELESAIAN
SANKSI
KEWAJIBAN
21
Pasal 27 PBI No.11/13/PBI/2009 tanggal 17 April 2009 tentang BMPK
BPR dilakukan oleh kantor pusat BPR pelapor kepada Bank Indonesia
secara tunai atau non tunai dengan cara sebagai berikut:
1. Pembayaran secara tunai
a. bagi BPR pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta
Raya, Provinsi Banten, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi,
menyetor kepada Bagian Pengelolaan Uang Kas Keluar (BPUK),
b. bagi BPR pelapor yang berkedudukan di luar wilayah
sebagaimana dimaksud pada huruf a, menyetor kepada Kantor
Bank Indonesia,
pada setiap hari kerja, waktu layanan kas, pukul 08.00 s.d 12.00 waktu
setempat (hari Senin s.d. Kamis) atau pukul 08.00 s.d 11.30 waktu
setempat (hari Jumat), untuk untung rekening nomor 566.000447 -
”Rekening antara sehubungan dengan penerimaan sanksi administratif
BPR”.
2. Pembayaran secara non tunai
a. Kliring
Transfer ditujukan ke rekening nomor 566.000447 - ”Rekening
antara sehubungan dengan penerimaan sanksi administratif BPR”,
dengan mencantumkan ”pembayaran sanksi kewajiban membayar
dari BPR XXX atas kesalahan/keterlambatan/tidak menyampaikan
laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK periode MM-
YYYY” pada kolom keterangan.
b. BI-RTGS
Transfer ditujukan ke rekening nomor 566.000447 - ”Rekening
antara sehubungan dengan penerimaan sanksi administratif BPR”,
dengan …
22
dengan mencantumkan Transaction Reference Number (TRN)
BIRBK566 dan pada kolom keterangan dicantumkan ”pembayaran
sanksi kewajiban membayar dari BPR XXX atas
kesalahan/keterlambatan/tidak menyampaikan laporan BMPK
dan/atau koreksi laporan BMPK periode MM-YYYY”.
3. BPR pelapor menyampaikan fotokopi bukti pembayaran sanksi
kewajiban membayar kepada Bank Indonesia dengan alamat
sebagaimana dimaksud pada butir IX.2.
IX. ALAMAT
1. Laporan BMPK dan/atau laporan koreksi BMPK disampaikan kepada
Bank Indonesia secara on-line melalui fasilitas jaringan ekstranet
Bank Indonesia.
2. BPR pelapor yang berkedudukan di wilayah yang belum memiliki
fasilitas jaringan ekstranet atau mengalami keadaan memaksa (force
majeure), laporan disampaikan secara off-line kepada Kantor Bank
Indonesia (KBI) yang mewilayahi BPR pelapor.
3. Dalam hal terjadi masalah/gangguan pada ekstranet, BPR pelapor
menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK
secara off-line kepada:
a. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM cq. Bagian Informasi,
Dokumentasi dan Administrasi (IDAd), Jl. M.H. Thamrin No.2
Jakarta 10350, bagi BPR pelapor yang berkedudukan di wilayah
DKI Jakarta Raya, Provinsi Banten, Bogor, Depok, Karawang,
dan Bekasi.
b. Kantor Bank Indonesia yang mewilayahi BPR pelapor, bagi BPR
pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana
dimaksud …
23
dimaksud pada huruf a.
4. Penyampaian nama petugas, penanggungjawab dan nomor telepon
yang digunakan untuk menyampaikan laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK serta perubahan nama dan nomor telepon
tersebut ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana
dimaksud pada angka 3.
5. Pertanyaan yang berkaitan dengan aplikasi laporan BMPK
disampaikan kepada help desk Bank Indonesia dengan alamat Jl. M.H.
Thamrin No.2 Jakarta 10350, telp. (021) 3818000 (hunting), faksimili
(021) 3866071 atau email address: helpdesk@bi.go.id.
X. PENUTUP
Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 10 Agustus 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
RATNA E. AMIATY
DIREKTUR KREDIT, BPR DAN UMKM
DKBU
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 11/21/DKBU|SE-BI/2009 </reg_id>
<reg_title> Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat </reg_title>
<set_date> 10 Agustus 2009 </set_date>
<effective_date> 10 Agustus 2009 </effective_date>
<related_reg> '11/13/PBI/2009' </related_reg>
|
No. 12/ 2 /DPM
Jakarta, 22 Januari 2010
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK, PERUSAHAAN EFEK DAN
LEMBAGA KUSTODIAN BUKAN BANK DI INDONESIA
Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/6/DPM
tanggal 10 Februari 2009 perihal Tata Cara Penatausahaan Surat
Berharga Syariah Negara Ritel
Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/13/PBI/2008 tanggal 21 Agustus 2008 tentang Lelang dan Penatausahaan
Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888),
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 215/KMK.08/2008 tanggal 15 Agustus
2008 tentang Penunjukan Bank Indonesia Sebagai Agen Penata Usaha, Agen
Pembayar dan Agen Lelang Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Dalam
Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.08/2008 tanggal 16
Desember 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara
Ritel di Pasar Perdana Dalam Negeri, maka dalam rangka menyempurnakan
mekanisme setelmen Surat Berharga Syariah Negara Ritel, dipandang perlu
untuk mengubah ketentuan angka II huruf A Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 11/6/DPM tanggal 10 Februari 2009 perihal Tata Cara Penatausahaan
Surat Berharga Syariah Negara Ritel dalam Surat Edaran Bank Indonesia sebagai
berikut :
II . TATA…
2
II. TATA CARA PENATAUSAHAAN SUKUK NEGARA RITEL
A. Setelmen Sukuk Negara Ritel di Pasar Perdana
1. Bank Indonesia melakukan setelmen Sukuk Negara Ritel di Pasar
Perdana berdasarkan penetapan hasil penjualan oleh Direktur Jenderal
Pengelolaan Utang untuk dan atas nama Menteri Keuangan paling
lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal penetapan hasil penjualan
Sukuk Negara Ritel (T+2).
2. Setelmen sebagaimana dimaksud angka 1 berupa :
a. setelmen dana dengan cara mendebet rekening giro rupiah milik
Bank pembayar di Bank Indonesia, serta mengkredit rekening giro
rupiah Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai setelmen; dan
b. Setelmen surat berharga dengan mencatatkan penerbitan seri Sukuk
Negara Ritel dalam BI-SSSS sesuai ketentuan dan persyaratan
(terms and conditions) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
serta mengkredit rekening surat berharga Sub-Registry yang
ditunjuk oleh investor pembeli Sukuk Negara Ritel.
3. Pada hari yang sama dengan hari pengkreditan rekening surat berharga
Sub-Registry, Sub-Registry :
a. wajib mencatat kepemilikan Sukuk Negara Ritel atas nama investor
yang memperoleh penjatahan Sukuk Negara Ritel secara individual
pada sistem Sub-Registry; dan
b. mengirimkan daftar rincian individual investor Sukuk Negara Ritel
kepada BI cq. DPM-PTPM yang mencakup Account Identifier
(AId), nama nasabah, securities code, status investor, tipe investor
dan nominal transaksi melalui sarana pelaporan yang ditentukan
Bank Indonesia.
4.Dalam…
3
4. Dalam hal dana pada rekening giro rupiah Bank pembayar di Bank
Indonesia tidak mencukupi sampai dengan batas waktu setelmen dana
di Sistem BI-RTGS (cut-off warning) maka setelmen Sukuk Negara
Ritel yang dilakukan melalui Bank pembayar tersebut dinyatakan
gagal.
5. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kegagalan setelmen
tersebut kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Pengelolaan
Utang.
Ketentuan dalam Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal 22 Januari 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDAR
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 12/2/DPM|SE-BI/2010 </reg_id>
<reg_title> Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/6/DPM tanggal 10 Februari 2009 perihal Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara Ritel </reg_title>
<set_date> 22 Januari 2010 </set_date>
<effective_date> 22 Januari 2010 </effective_date>
<changed_reg> '11/6/DPM|SE-BI/2009' </changed_reg>
<related_reg> '10/13/PBI/2008', '11/6/DPM|SE-BI/2009', '218/PMK.08/2008|PER-MENKEU/2008', '215/KMK.08/2008|KEP-MENKEU/2008' </related_reg>
|
No. 16/22/DPM
Jakarta, 24 Desember 2014
S U R A T E D A R A N
Kepada
SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA PERANTARA
DI INDONESIA
Perihal : Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan
Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter.
Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5141) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/5/PBI/2013 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5440) dan dalam rangka upaya
meminimalkan potensi terjadinya gangguan likuiditas sistem keuangan
melalui penyediaan instrumen Operasi Moneter dengan menggunakan
surat berharga dalam valuta asing, perlu untuk dilakukan pengaturan
kembali ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan Surat Berharga,
peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter dalam suatu Surat
Edaran Bank Indonesia sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perbankan, yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional.
2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui
Operasi Pasar Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing
Facilities).
3. Operasi …
2
3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah
kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan Peserta OPT dalam rangka Operasi Moneter.
4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya
disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
Rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan
penempatan dana Rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank
Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.
5. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia, Surat Berharga Negara dan surat berharga lain
yang digunakan dalam transaksi Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini.
6. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah
surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek.
7. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat
SDBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya
antar Bank.
8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah
Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah
surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata
uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Surat Utang Negara.
10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas
penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang Rupiah
maupun …
3
maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara.
11. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12
(dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran
bunga secara diskonto.
12. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN
adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas)
bulan, dengan pembayaran bunga secara diskonto.
13. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disingkat ZCB adalah
Obligasi Negara tanpa kupon, dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
14. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disebut ORI adalah
Obligasi Negara yang pada pasar perdana dijual kepada individu
atau perseorangan Warga Negara Indonesia.
15. Surat Berharga Syariah Negara Ritel yang selanjutnya disebut
SBSN Ritel, atau dapat disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN
yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga
Negara Indonesia melalui agen penjual.
16. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa
kupon dan/atau secara diskonto.
17. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan Negara
Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12
(dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon
dan/atau secara diskonto.
18. Transaksi Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut
Transaksi Repo adalah transaksi penjualan Surat Berharga oleh
peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia dengan
kewajiban pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter
sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
19. Transaksi Reverse Repo adalah transaksi pembelian Surat
Berharga oleh Peserta OPT dari Bank Indonesia, dengan
kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
20. Transaksi …
4
20. Transaksi Outright adalah transaksi pembelian dan penjualan
Surat Berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank
Indonesia secara putus tanpa kewajiban penjualan dan
pembelian kembali oleh peserta Operasi Moneter.
21. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang
selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan
Bank Indonesia termasuk penatausahaannya, dan
penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung
langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank
Indonesia-Real Time Gross Settlement.
22. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang
selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu
sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS
dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan
secara seketika per transaksi secara individual.
II. SURAT BERHARGA
1. Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Operasi
Moneter adalah sebagai berikut:
a. Surat Berharga dalam mata uang Rupiah
1) diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara
Republik Indonesia;
2)
3)
tercatat di BI-SSSS; dan
tidak sedang diagunkan.
b. Surat Berharga dalam valuta asing
1) diterbitkan oleh negara lain yang bank sentralnya
memiliki kerja sama dengan Bank Indonesia antara
lain dalam bentuk cross border collateral arrangement;
2) sesuai denominasi asal negara penerbit;
3)
tercatat pada aktiva peserta Operasi Moneter yang
tercatat pada rekening surat berharga milik peserta
Operasi Moneter di lembaga kustodian yang disepakati;
4) memiliki peringkat investasi (investment grade); dan
5)
tidak sedang diagunkan.
2. Jenis …
5
2. Jenis-jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 terdiri atas:
a. SBI;
b. SDBI;
c. SBN, yang terdiri atas:
1) SUN, yang terdiri atas SPN dan Obligasi Negara
termasuk ZCB dan ORI; dan
2) SBSN, yang terdiri atas SBSN Jangka Pendek dan
SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel; dan
d. Surat berharga jangka pendek atau jangka panjang yang
diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereign bond).
3. Persyaratan Surat Berharga:
Untuk Transaksi Repo dalam rangka OPT dan lending facility:
a. SBI
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja
pada saat second leg Transaksi Repo.
b. SDBI
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja
pada saat second leg Transaksi Repo.
c. SBN
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja
pada saat second leg Transaksi Repo.
d. Surat berharga dalam valuta asing
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh)
hari kalender pada saat second leg Transaksi Repo.
III. HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA
1. Harga dan haircut Surat Berharga ditetapkan dan diumumkan
oleh Bank Indonesia di BI-SSSS dan/atau sarana lainnya.
2. Harga Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam angka 1
ditetapkan sebagai berikut:
a. Harga SBI ditetapkan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat
diskonto …
6
diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri
SBI.
b. Harga SDBI ditetapkan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat
diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri
SDBI.
c. Harga SBN dan surat berharga dalam valuta asing
ditetapkan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan
antara lain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN
serta surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond).
3. Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga Surat
Berharga.
4. Haircut sebagaimana dimaksud dalam angka 1 ditetapkan
sebesar:
a. 0% (nol persen) untuk SBI;
b. 0% (nol persen) untuk SDBI;
c. 5% (lima persen) untuk SBN;
d. sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada saat
pelaksanaan transaksi untuk surat berharga dalam valuta
asing (sovereign bond).
5. Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut
sebagaimana dimaksud dalam angka 4 dan mengumumkan
perubahan tersebut melalui BI-SSSS, Sistem Laporan Harian
Bank Umum (LHBU) dan/atau sarana lainnya.
6. Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara outright oleh
peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg
Transaksi Repo atau lending facility, harga yang digunakan
dalam perhitungan adalah harga pada tanggal Transaksi
Outright paling tinggi sebesar harga pada transaksi first leg.
7. Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara outright oleh
peserta Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg
Transaksi Reverse Repo, harga yang digunakan dalam
perhitungan adalah harga pada tanggal Transaksi Outright
paling rendah sebesar harga pada transaksi first leg.
8. Dalam …
7
8. Dalam hal terjadi penjualan Surat Berharga dalam valuta asing
oleh Bank Indonesia karena kegagalan setelmen second leg
Transaksi Repo, harga yang digunakan dalam perhitungan
adalah harga penjualan surat berharga tersebut oleh Bank
Indonesia pada tanggal penjualan.
IV. PERHITUNGAN NILAI SETELMEN SURAT BERHARGA DALAM
RUPIAH
1. Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Lending Facility, Transaksi
Repo dengan Surat Berharga dalam Rupiah dan Transaksi
Reverse Repo
a. Nilai setelmen Surat Berharga adalah sebesar nilai nominal
Surat Berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan.
b. Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung
sebagai berikut:
1) SBI, SDBI, SPN, ZCB, dan SBSN Jangka Pendek
nilai
setelmen
first leg
=
nominal Surat
Berharga yang
di-repo-kan
×
harga Surat
berharga
− haircut
2) Obligasi Negara termasuk ORI, SBSN Jangka Panjang
nilai
setelmen
first leg
Keterangan:
Harga Surat
Berharga
=
nominal Surat
Berharga yang
di-repo-kan
×
harga Surat
Berharga
− haircut +
accrued
interest/imbalan
: Harga Surat Berharga sebagaimana
diumumkan pada BI-SSSS pada
tanggal transaksi
lending facility,
Transaksi Repo atau Transaksi
Reverse Repo.
Haircut
: Haircut sebagaimana diumumkan
dalam BI-SSSS pada transaksi
lending facility, Transaksi Repo atau
Transaksi Reverse Repo.
Accrued Interest : Hak atas kupon atau imbalan Surat
atau …
8
atau
Imbalan
Accrued
Berharga yang dihitung sejak 1 (satu)
hari sesudah tanggal pembayaran
kupon atau imbalan terakhir sampai
dengan tanggal setelmen first leg.
c. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung
sebagai berikut:
nilai
setelmen =
second leg
nilai
setelmen
first leg
bunga transaksi
repo/reverse repo/
lending facility
=
+
nilai
setelmen
first leg
×
bunga transaksi
repo/reverse repo
/lending facility
repo/reverse
repo rate/
lending facility
×
jangka waktu
360
Keterangan :
Jangka waktu : Jangka waktu lending facility atau
Transaksi Repo atau Transaksi Reverse
Repo.
2. Transaksi Outright
Perhitungan nilai setelmen transaksi pembelian atau penjualan
Surat Berharga secara outright sebagai berikut:
a. SPN, ZCB dan SBSN Jangka Pendek
nilai
setelmen
outright
=
nominal
Surat
Berharga
×
harga
Surat
Berharga
b. Obligasi Negara termasuk ORI, SBSN Jangka Panjang
nilai
setelmen
outright
=
nominal
Surat
Berharga
Keterangan
Harga Surat
Berharga
×
harga
Surat
Berharga
+ accrued
interest
: 1) Transaksi Outright OPT
Harga Surat Berharga
sebagaimana ditetapkan Bank
Indonesia dalam hal transaksi
outright dilakukan dengan
mekanisme lelang, dan/atau
harga …
9
harga
Surat Berharga
berdasarkan kesepakatan para
pihak dalam hal Transaksi
Outright dilakukan dengan
mekanisme non lelang;
2) Transaksi Outright karena
kegagalan setelmen second leg
Harga Surat Berharga
sebagaimana diumumkan pada
BI-SSSS pada tanggal Transaksi
Outright, atau paling tinggi
sebesar harga transaksi first leg
untuk Transaksi Repo dan paling
rendah sebesar transaksi first leg
untuk Transaksi Reverse Repo.
Accrued Interest
atau
accrued
imbalan
: hak atas kupon atau imbalan Surat
Berharga yang dihitung sejak 1 (satu)
hari sesudah tanggal pembayaran
kupon atau imbalan terakhir sampai
dengan tanggal setelmen outright.
3. Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
Dalam hal terjadi kegagalan setelmen Transaksi Repo jatuh
waktu dan lending facility jatuh waktu yang menggunakan SBI,
perhitungan setelmen nilai tunai sebagai berikut :
nilai tunai
early redemption=
Keterangan :
Tingkat
Diskonto
Sisa jangka
waktu
nilai nominal × 360
360 + (tingkat diskonto × sisa jangka waktu
: rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada
saat SBI diterbitkan.
:
jumlah hari sebenarnya (actual days) yang
dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal
gagal setelmen transaksi Operasi Moneter
sampai dengan tanggal jatuh waktu SBI
(maturity …
10
(maturity date).
4. Pelunasan SDBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
Early redemption terhadap SDBI dilakukan dalam hal terjadi
kegagalan setelmen transaksi repo jatuh waktu, lending facility
jatuh waktu atau terjadi transaksi antara Bank dengan pihak
selain Bank yang menggunakan SDBI, dengan perhitungan nilai
setelmen nilai tunai sebagai berikut :
nilai tunai
early redemption =
Keterangan:
Tingkat
diskonto
Sisa jangka
waktu
yang gagal setel × 360
nilai nominal
360+
tingkat diskonto × sisa jangka waktu
: Rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada
saat SDBI diterbitkan.
: Jumlah hari sebenarnya (actual days) yang
dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal
gagal setelmen transaksi Operasi Moneter
sampai dengan tanggal jatuh waktu SDBI
(maturity date).
V. PERHITUNGAN NILAI AGUNAN DAN NILAI SETELMEN SURAT
BERHARGA DALAM VALUTA ASING
1. Nilai nominal Surat Berharga dalam valuta asing yang
diagunkan pada setelmen first leg dihitung sebagai berikut:
nilai nominal
Surat Berharga dalam
valuta asing yang diagunkan
Keterangan:
Nilai setelmen
first leg
Kurs transaksi
Harga
Berharga
Surat
=
kurs
transaksi
×
nilai setelmen
first leg
harga
Surat Berharga
− haircut
: Besarnya nominal Rupiah yang
dimenangkan pada saat setelmen first leg
: Kurs tengah dari kurs transaksi Bank
Indonesia pada tanggal transaksi
: Harga Surat Berharga sebagaimana
diumumkan pada saat pelaksanaan
transaksi …
11
transaksi untuk surat berharga dalam
valuta asing (sovereign bond).
Haircut
: Haircut sebagaimana diumumkan oleh
Bank Indonesia pada saat pelaksanaan
transaksi untuk surat berharga dalam
valuta asing (sovereign bond).
2. Kurs
Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen atas
transaksi yang menggunakan Surat Berharga dalam valuta asing
adalah kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi.
3. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai
berikut:
nilai
setelmen =
second leg
bunga
Transaksi Repo
nilai
setelmen
first leg
=
+
bunga
Transaksi Repo
nilai
setelmen
first leg
× repo rate ×
jangka waktu
360
Keterangan :
Jangka waktu : Jangka waktu Transaksi Repo
VI. PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA OPERASI MONETER
1. Peserta Operasi Moneter
a. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti Operasi
Moneter dalam Rupiah adalah Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) berstatus aktif sebagai peserta di BI-SSSS dan Sistem
BI-RTGS;
2)
tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter;
3) wajib memiliki rekening giro di Bank Indonesia; dan
4) wajib memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.
b. Peserta …
12
b. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti transaksi
Operasi Moneter dalam valuta asing adalah Bank devisa,
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter;
2) wajib memiliki rekening giro valuta asing di Bank
Indonesia; dan/atau
3) wajib memiliki rekening surat berharga di lembaga
kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia, untuk
transaksi Operasi Moneter dengan Surat Berharga
dalam valuta asing yang tidak ditatausahakan di Bank
Indonesia.
c. Peserta Operasi Moneter wajib:
1) menyediakan dana Rupiah di rekening giro di Bank
Indonesia dan/atau Surat Berharga di rekening Surat
Berharga di BI-SSSS yang mencukupi untuk
memenuhi kewajiban setelmen transaksi Operasi
Moneter.
2) mentransfer dana valuta asing ke rekening Bank
Indonesia di bank koresponden dan/atau Surat
Berharga dalam valuta asing ke rekening Surat
Berharga di Bank Indonesia atau ke rekening surat
berharga Bank Indonesia di lembaga kustodian yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia yang mencukupi untuk
memenuhi kewajiban setelmen transaksi Operasi
Moneter.
d. Peserta Operasi Moneter melakukan transaksi Operasi
Moneter untuk kepentingan diri sendiri.
2. Lembaga Perantara
a. Lembaga perantara melakukan transaksi OPT untuk
kepentingan peserta Operasi Moneter.
b. Lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam huruf a
terdiri atas:
1) pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing; dan
2) perusahaan …
13
2) perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia sebagai dealer utama.
c. Perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam butir b.2)
hanya dapat menjadi lembaga perantara dalam Transaksi
Repo, Transaksi Reverse Repo dan transaksi pembelian atau
penjualan SBN secara outright di pasar sekunder.
d. Persyaratan lembaga perantara adalah sebagai berikut:
1) berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS; dan
2)
tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh
otoritas pengawas yang berwenang.
VII. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/16/DPM tanggal 6 Juli
2010 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta,
dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/30/DPM tanggal 27
Agustus 2013 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 12/16/DPM tanggal 6 Juli 2010 perihal
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga
Perantara, dalam Operasi Moneter.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 12
Januari 2015
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
FILIANINGSIH HENDARTA
KEPALA DEPARTEMEN PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 16/22/DPM|SE-BI/2014 </reg_id>
<reg_title> Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter. </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 12 Januari 2015 </effective_date>
<replaced_reg> '15/30/DPM|SE-BI/2013', '12/16/DPM|SE-BI/2010' </replaced_reg>
<related_reg> '15/5/PBI/2013', '12/11/PBI/2010' </related_reg>
|
No. 3/ 9 /BKr
Jakarta, 17 Mei 2001
S U R A T E D A R A N
kepada
SEMUA BANK UMUM
DI INDONESIA
Perihal :
Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil
----------------------------------------------------------------
Menunjuk Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal
4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil, dengan ini kami
beritahukan Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil sebagai
berikut:
I. UMUM
1. Kriteria Usaha Kecil
Usaha kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
c. milik Warga Negara Indonesia;
d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung,
maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar;
e. berbentuk ....
Lanjt. SE No. 3/
/BKr tanggal
2001
-----------------------------------------------------------------------
e. berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum,
atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
2. Cakupan Kredit Usaha Kecil (KUK)
a. Yang termasuk dalam KUK sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 2
Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian
Kredit Usaha Kecil adalah kredit atau pembiayaan dari Bank untuk
investasi dan atau modal kerja, yang diberikan dalam Rupiah dan atau
Valuta Asing kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit
keseluruhan maksimum Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
untuk membiayai usaha yang produktif, termasuk pula kredit
program.
b. Kredit program adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada usaha
kecil dan koperasi dalam rangka membantu program Pemerintah,
yang dananya baik sebagian maupun seluruhnya berasal dari
Pemerintah, termasuk bantuan luar negeri, dana Kredit Likuiditas
Bank Indonesia yang dikelola oleh BUMN, dana bank sendiri yang
disubsidi dan atau dijamin oleh Pemerintah atau pihak lain
berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
II. RENCANA PEMBERIAN KUK
1. Rencana pemberian KUK merupakan bagian dari Rencana Kerja
Anggaran Tahunan (RKAT). Pada setiap awal tahun takwim, Bank
diwajibkan membuat rencana pemberian KUK yang besarnya ditentukan
sendiri oleh bank sesuai dengan arah kebijakan perkreditannya. Besarnya
rencana pemberian KUK dinyatakan dalam nominal dan persentase
terhadap rencana pemberian kredit keseluruhan.
2. Dalam ...
Lanjt. SE No. 3/
/BKr tanggal
2001
-----------------------------------------------------------------------
2. Dalam hal terdapat perubahan rencana pemberian KUK dari rencana yang
telah ditetapkan pada tahun berjalan, Bank wajib menyampaikan
perubahan berikut alasannya kepada Bank Indonesia.
3. Tata cara pelaporan rencana pemberian KUK maupun pelaporan
perubahan rencana pemberian KUK dan penyampaiannya berpedoman
pada ketentuan tentang RKAT.
III. PENCAPAIAN PEMBERIAN KUK
1. Untuk keperluan statistik, Bank Indonesia melakukan perhitungan
pencapaian pemberian KUK dengan perbandingan antara posisi jumlah
KUK dengan jumlah kredit yang diberikan untuk seluruh kantor bank di
dalam negeri, dengan formula sebagai berikut:
Total KUK
= --------------------- x 100%
Total Kredit
a. Total KUK adalah jumlah baki debet KUK dalam Rupiah dan valuta
asing pada posisi akhir bulan laporan. Dalam Laporan Bulanan Bank
Umum, total KUK merupakan penjumlahan dari nilai pada:
- formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” jenis valuta
Rupiah dan valuta asing, dan Golongan Kredit KUK lainnya (sandi
19);
- formulir 30 “Daftar Rincian Penerusan Kredit” jenis valuta Rupiah
dan valuta asing, jenis kredit KUK dalam rangka penerusan kredit
dari Bank Indonesia (sandi 10), dan KUK lainnya (sandi 20);
- formulir 04 “Daftar Rincian Penempatan pada Bank Lain” jenis
Kredit yang diberikan dalam rangka KUK (sandi 65) dengan Sandi
Bank 600 (BPR).
Lanjt. SE No. 3/
/BKr tanggal
2001
-----------------------------------------------------------------------
b. Total ...
b. Total kredit adalah jumlah baki debet kredit dalam Rupiah dan valuta
asing pada posisi akhir bulan laporan. Dalam Laporan Bulanan Bank
Umum, total kredit merupakan penjumlahan dari nilai pada:
- formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” jenis valuta
Rupiah dan valuta asing”;
- formulir 30 “Daftar Rincian Penerusan Kredit” jenis valuta Rupiah
dan valuta asing, jenis kredit sandi 10 sampai dengan 99;
- formulir 04 “Daftar Rincian Penempatan pada Bank Lain” jenis
Kredit yang diberikan dalam rangka KUK (sandi 65) dengan Sandi
Bank 600 (BPR);
IV. LAPORAN PELAKSANAAN PEMBERIAN KUK
1. Setiap bulan Bank wajib melaporkan posisi atas Pemberian KUK melalui
Laporan Bulanan Bank Umum (LBU).
2. Tata cara pelaporan pelaksanaan pemberian KUK mengacu kepada
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum (LBU).
V. PENGUMUMAN PENCAPAIAN PEMBERIAN KUK
1. Bank wajib mengumumkan pemberian KUK kepada masyarakat, dengan
mencantumkan dalam Laporan Keuangan Publikasi.
2. Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada
butir 1 dilakukan sesuai dengan ketentuan tentang Laporan Keuangan
Publikasi yang berlaku.
VI. KERJASAMA ...
Lanjt. SE No. 3/
/BKr tanggal
2001
-----------------------------------------------------------------------
VI. KERJASAMA DALAM RANGKA PEMBERIAN KUK
1. Pemberian kredit dari Bank Umum kepada BPR
Dalam hal Bank memberikan kredit kepada BPR sampai dengan
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), maka dilaporkan dalam LBU
pada formulir 04 “Daftar Rincian Penempatan pada Bank Lain” jenis
Kredit yang diberikan dalam rangka KUK (sandi 65) dengan Sandi Bank
600 (BPR);
2. Pembiayaan Bersama
Dalam hal Bank melakukan kerjasama dengan Bank lain dalam pemberian
KUK, maka baik Bank yang bertindak sebagai bank induk maupun bank
peserta masing-masing mengadministrasikan pemberian KUK dan
dilaporkan dalam LBU sebesar pangsanya. Kredit dimaksud dilaporkan
pada formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” dengan Sifat
Pembiayaan Bersama (sandi 10) jenis valuta Rupiah dan atau valuta asing
Golongan Kredit KUK lainnya (sandi 19); khusus untuk Bank Syariah
dengan Sifat Pembiayaan Musyarakah (sandi 50) Golongan Kredit KUK
lainnya (sandi 19).
3. Penerusan Kredit
a. Pada saat Bank melimpahkan dana kepada Bank lain dan atau BPR
yang belum disalurkan kepada nasabah KUKnya, Bank pemilik dana
melaporkan kredit tersebut dalam LBU pada formulir 04 “Daftar
Rincian Penempatan pada Bank lain” jenis “Kredit yang diberikan”
lainnya (sandi 69).
b. Pada saat Bank melimpahkan dana kepada Lembaga Pembiayaan dan
belum disalurkan kepada nasabah KUKnya, Bank pemilik dana
melaporkan...
Lanjt. SE No. 3/
/BKr tanggal
2001
-----------------------------------------------------------------------
melaporkan kredit tersebut dalam LBU pada formulir 06 “Daftar
Rincian Kredit yang diberikan” jenis valuta Rupiah dan atau valuta
asing Golongan Kredit bukan KUK (sandi 20).
c. Pada saat Bank lain, BPR atau Lembaga Pembiayaan telah
menyalurkan dana tersebut kepada nasabah KUKnya dan
menyampaikan Daftar Nominatif Nasabah KUK kepada Bank pemilik
dana, maka kredit dimaksud diperhitungkan sebagai KUK dan Bank
pemilik dana melaporkannya dalam LBU formulir 06 “Daftar Rincian
Kredit yang diberikan” jenis valuta Rupiah dan atau valuta asing Sifat
Penyaluran kredit melalui lembaga lain - channelling (sandi 20) dan
Golongan Kredit KUK lainnya (sandi 19), dengan mencantumkan
jumlah nasabah yang telah menerima KUK pada kolom jumlah
rekening.
4. Pengambilalihan Kredit
a. Pengambilalihan kredit adalah pemindahan seluruh hak dan risiko
atas kredit dari Bank lain, BPR atau Lembaga Pembiayaan kepada
Bank pengambil alih. Kredit yang diambil alih dapat diperhitungkan
sebagai KUK jika kredit tersebut memenuhi kriteria KUK.
b. Pengambilalihan KUK pada huruf a dilaporkan dalam LBU pada
formulir 06 “Daftar Rincian Kredit yang diberikan” jenis valuta
Rupiah dan atau valuta asing kolom sifat Pengambilalihan Kredit
(sandi 40) dan Golongan Kredit KUK lainnya (sandi 19).
c. Pengambilalihan KUK ini akan mengurangi total KUK yang dimiliki
oleh Bank lain yang diambil alih KUKnya dan akan menambah total
KUK Bank pengambil alih.
VII. BANTUAN...
Lanjt. SE No. 3/
/BKr tanggal
2001
-----------------------------------------------------------------------
VII. BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PEMBERIAN KUK
1. Bantuan teknis yang diberikan Bank Indonesia bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan Bank dalam pemberian KUK.
2. Bantuan teknis yang diberikan berupa:
a. Pelatihan kepada pegawai/pejabat bank yang menangani KUK dan
atau,
b. Penyediaan informasi yang berkaitan dengan pemberian kredit usaha
kecil, antara lain sosialisasi, workshop dan penelitian.
3. Bank penyalur KUK yang membutuhkan bantuan teknis dapat meminta
informasi dan atau mengajukan permohonan bantuan teknis tersebut
kepada Bank Indonesia sebagai berikut:
a. Untuk bank yang berkedudukan di wilayah kerja Bank Indonesia
Jabotabek disampaikan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia cq.
Biro Kredit dengan alamat Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat.
b. Untuk bank yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek
disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia yang mewilayahinya.
4. Bank Indonesia akan melakukan seleksi permohonan tersebut dan
memberitahukan kepada bank yang bersangkutan mengenai
keikutsertaannya dalam bantuan teknis dimaksud.
5. Dalam pelaksanaan bantuan teknis tersebut, Bank Indonesia dapat
bekerja sama dengan lembaga lain.
VIII. LAIN-LAIN
Ketentuan lain yang menyangkut pemberian KUK yang tidak diatur dalam
Surat Edaran ini seperti suku bunga kredit, jangka waktu kredit dan lain
sebagainya...
Lanjt. SE No. 3/
/BKr tanggal
2001
-----------------------------------------------------------------------
sebagainya diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Bank pemberi
kredit sesuai kelaziman perbankan dan perundang-undangan yang berlaku.
IX. KETENTUAN PERALIHAN
1. Bagi bank yang merencanakan menyalurkan KUK namun belum
memasukkan rencana pemberian KUK tersebut dalam RKAT tahun 2001,
wajib menyampaikan rencana pemberian KUK sebagai tambahan RKAT
yang telah disampaikan oleh Bank paling lambat tanggal 30 Juni 2001.
2. Pengumuman pencapaian KUK untuk pertama kali dicantumkan dalam
Laporan Keuangan Publikasi Maret 2001.
3. Untuk pertama kali program bantuan teknis dalam rangka pemberian KUK
dilaksanakan Juni 2001.
X. PENUTUP
1. Dengan dikeluarkannya Surat
Edaran ini maka Surat
Edaran
No. 30/1/UK tanggal 4 April 1997 perihal Kredit Usaha Kecil (KUK)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
2. Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
BANK INDONESIA
Abdul Azis
Kepala Biro
BKr
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 3/9/BKr|SE-BI/2001 </reg_id>
<reg_title> Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil </reg_title>
<set_date> 17 Mei 2001 </set_date>
<replaced_reg> '30/1/UK|SE-BI/1997' </replaced_reg>
<related_reg> '3/2/PBI/2001' </related_reg>
|
No. 12/ 16 /DPM
Jakarta, 6 Juli 2010
SURAT EDARAN
Kepada
SEMUA BANK UMUM DAN LEMBAGA PERANTARA
Perihal : Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga
Perantara dalam Operasi Moneter
Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor
12/11/PBI/2010 tanggal 2 Juli 2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5141), perlu ditetapkan ketentuan mengenai kriteria
dan persyaratan Surat Berharga, peserta dan lembaga perantara dalam Operasi
Moneter dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia, sebagai berikut :
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perbankan yang berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar
Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities).
3. Operasi …
2
3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan
transaksi di pasar uang dalam rangka Operasi Moneter yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan Peserta Operasi Moneter.
4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut
Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending
facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah
(deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi
Moneter.
5. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat
berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat
Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
7. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga
yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara
Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau
dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syariah, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing,
sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
9. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua
belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara
diskonto.
10. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah SUN
yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan, dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
11. Zero …
3
11. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disebut ZCB adalah Obligasi
Negara tanpa kupon, dengan pembayaran bunga secara diskonto.
12. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disebut ORI adalah Obligasi
Negara yang pada pasar perdana dijual kepada individu atau
perseorangan Warga Negara Indonesia.
13. Surat Berharga Syariah Negara Ritel atau yang selanjutnya disebut
SBSN Ritel, atau dapat disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN yang
dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia
melalui agen penjual.
14. Transaksi Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut transaksi
repo adalah transaksi penjualan Surat Berharga oleh peserta Operasi
Moneter kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali
oleh peserta Operasi Moneter sesuai dengan harga dan jangka waktu
yang disepakati.
15. Transaksi Outright adalah transaksi pembelian dan penjualan Surat
Berharga oleh peserta Operasi Moneter kepada Bank Indonesia secara
putus tanpa kewajiban penjualan dan pembelian kembali oleh peserta
Operasi Moneter.
16. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia
termasuk penatausahaannya, dan penatausahaan surat berharga secara
elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.
17. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana
elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang
penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara
individual.
II. SURAT…
4
II. SURAT BERHARGA
1. Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter
adalah sebagai berikut :
a. diterbitkan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik
Indonesia;
b. dalam mata uang rupiah;
c. ditatausahakan di BI-SSSS;
d. tercatat di rekening perdagangan/aktif (active) di BI-SSSS; dan
e. tidak sedang diagunkan.
2. Jenis-jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada angka 1 terdiri dari :
a. SBI; dan
b. SBN, yang terdiri dari :
a. SUN, yang terdiri dari SPN dan Obligasi Negara termasuk ZCB
dan ORI; dan
b. SBSN termasuk SBSN Ritel.
3. Persyaratan Surat Berharga :
Untuk transaksi repo dalam rangka OPT dan lending facility :
a. SBI
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada
saat second leg transaksi repo.
b. SBN
Memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada
saat second leg transaksi repo.
III. HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA
1. Harga dan haircut Surat Berharga ditetapkan dan diumumkan oleh Bank
Indonesia di BI-SSSS dan/atau sarana lainnya.
2. Harga …
5
2. Harga Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan
sebagai berikut :
a. Harga SBI ditetapkan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan
antara lain rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan
sisa jangka waktu setiap seri SBI.
b. Harga SBN ditetapkan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan
antara lain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN.
3. Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga Surat Berharga.
4. Haircut sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan sebesar :
a. 0% (nol per seratus) untuk SBI; dan
b. 5% (lima per seratus) untuk SBN.
5. Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut sebagaimana
dimaksud pada angka 4 dan mengumumkan perubahan tersebut melalui
BI-SSSS, Sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan/atau sarana
lainnya.
6. Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara outright oleh peserta
Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg transaksi repo
atau lending facility, maka harga yang digunakan dalam perhitungan
adalah harga pada tanggal transaksi outright paling tinggi sebesar harga
pada transaksi first leg.
7. Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara outright oleh peserta
Operasi Moneter karena kegagalan setelmen second leg transaksi reverse
repo, maka harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga pada
tanggal transaksi outright paling rendah sebesar harga pada transaksi first
leg.
IV. PERHITUNGAN …
6
IV. PERHITUNGAN NILAI SETELMEN
1. Perhitungan nilai setelmen transaksi lending facility, transaksi repo dan
transaksi reverse repo
a. Nilai setelmen Surat Berharga adalah sebesar nilai nominal Surat
Berharga yang direpokan atau direverse repokan.
b. Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung sebagai berikut:
1) SBI, SPN, ZCB dan SBSN tanpa kupon
setelmen
Nilai
f leg
irst
Nominal Surat
= Berharga yang ×
direpo kan
Harga
Berharga
Surat
2) Obligasi Negara termasuk ORI
Nominal Surat
setelmen
Nilai
f leg
irst
3) SBSN
setelmen
Nilai
f leg
irst
= Berharga yang ×
direpo kan
Keterangan:
Harga Surat Berharga : Harga Surat Berharga sebagaimana
diumumkan pada BI-SSSS pada
tanggal transaksi lending facility,
transaksi repo dan transaksi reverse
repo.
Haircut
: Haircut sebagaimana diumumkan
pada BI-SSSS pada transaksi lending
facility, transaksi repo dan transaksi
reverse repo.
Accrued Interest dan
Accrued Imbalan
: Hak atas kupon/imbalan Surat
Berharga yang dihitung sejak 1 (satu)
hari sesudah tanggal pembayaran
kupon/imbalan
dengan tanggal setelmen first leg.
c. Nilai …
Nominal Surat
Berharga
H Surat
arga
- Haircut
+
Accrued
Imbalan
= Berharga yang ×
direpo kan
Berharga
H Surat
arga
- Haircut
- Haircut
+
Interest
Accrued
terakhir sampai
7
c. Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai
berikut:
setelmen
Nilai
s ond leg
ec
=
setelmen
Nilai
first
Transaksi R oep Reverse Repo / =
Lending F
Bunga
/
acility
Keterangan:
Jangka waktu
leg
Bunga
+ Transaksi Repo/Rever s Repoe
Lending Facility
setelmen
Nilai
first
leg
/
R oe
×
epo
p Reverse
/
×
R rate
Jangka waktu
360
: Jangka waktu lending facility atau
transaksi repo atau transaksi reverse
repo
2. Transaksi Outright
Perhitungan nilai setelmen transaksi pembelian atau penjualan Surat
Berharga secara outright sebagai berikut :
a. SPN, ZCB dan SBSN tanpa kupon
Setelmen
Nilai
Outright
Setelmen
Nilai
Outright
c. SBSN
Setelmen
Nilai
Outright
=
Nominal
Berharga
Surat
×
Berharga
Surat
Harga
+
Accrued
imbalan
=
Nominal
=
Berharga
Surat
x
Berharga
Surat
Harga
b. Obligasi Negara termasuk ORI
Nominal
Berharga
Surat
×
Berharga
Surat
Harga
+
Accrued
interest
Keterangan …
8
Keterangan :
Harga Surat Berharga : Harga Surat Berharga dimaksud
sebagaimana diumumkan pada BI-SSSS
pada tanggal transaksi outright, atau paling
tinggi sebesar harga transaksi first leg.
Accrued interest dan
accrued imbalan
: hak atas kupon/imbalan surat Berharga
yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah
tanggal pembayaran kupon/imbalan
terakhir sampai dengan tanggal setelmen
outright.
3. Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption)
Dalam hal terjadi kegagalan setelmen transaksi repo jatuh waktu dan
lending facility jatuh waktu yang menggunakan SBI, perhitungan
setelmen nilai tunai sebagai berikut :
N Tunai
ilai
=
early
redemption
Keterangan :
Tingkat diskonto
360 + (Tingkat Diskonto
x Sisa Jangka Waktu )
: rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada
saat SBI diterbitkan.
V. PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA OPERASI MONETER
1. Peserta Operasi Moneter
a. Peserta Operasi Moneter adalah Bank.
b. Persyaratan peserta Operasi Moneter adalah sebagai berikut:
a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;
b. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk
mengikuti kegiatan Operasi Moneter;
c. wajib memiliki rekening giro di Bank Indonesia; dan
d. wajib memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.
c. Peserta Operasi Moneter wajib menyediakan dana di rekening giro di
Bank Indonesia dan/atau surat berharga di rekening surat berharga di
BI-SSSS …
N Nominal
ilai
x 360
9
BI-SSSS yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen
transaksi Operasi Moneter.
d. Peserta Operasi Moneter melakukan transaksi Operasi Moneter
untuk kepentingan diri sendiri.
2. Lembaga Perantara
a. Lembaga Perantara melakukan transaksi OPT untuk kepentingan
peserta Operasi Moneter.
b. Lembaga Perantara sebagaimana dimaksud pada huruf a terdiri dari:
1) Pialang pasar uang rupiah dan valuta asing; dan
2) Pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Republik Indonesia sebagai Dealer Utama.
c. Pialang pasar modal sebagaimana dimaksud pada butir b.2) hanya
dapat menjadi lembaga perantara dalam transaksi repo, transaksi
reverse repo dan transaksi pembelian atau penjualan Surat Berharga
secara outright.
d. Persyaratan Lembaga Perantara adalah sebagai berikut :
1) berstatus aktif sebagai Peserta BI-SSSS; dan
2) tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas
pengawas yang berwenang.
VI. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 7 Juli 2010.
Agar …
10
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Demikian agar Saudara maklum.
BANK INDONESIA,
HENDAR
DIREKTUR PENGELOLAAN MONETER
| <reg_type> SE-BI </reg_type>
<reg_id> 12/16/DPM|SE-BI/2010 </reg_id>
<reg_title> Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter </reg_title>
<set_date> 6 Juli 2010 </set_date>
<effective_date> 7 Juli 2010 </effective_date>
<related_reg> '12/11/PBI/2010' </related_reg>
|
Yth.
1. Direksi Bank Umum Konvensional; dan
2. Direksi Bank Umum Syariah,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 37 /SEOJK.03/2016
TENTANG
LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI
OTORITAS JASA KEUANGAN
Sehubungan dengan peraturan-peraturan yang terkait dengan penggunaan
peringkat dari suatu eksposur yang dimiliki Bank, perlu diatur ketentuan
pelaksanaan mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui
Otoritas Jasa Keuangan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai
berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Pengaturan mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang
diakui Otoritas Jasa Keuangan dilakukan antara lain dengan
menyempurnakan cakupan penilaian, termasuk parameter dalam
kriteria penilaian, yang digunakan Otoritas Jasa Keuangan dalam
melakukan penilaian terhadap lembaga pemeringkat.
2. Lembaga pemeringkat merupakan salah satu elemen penting yang
berperan dalam mendukung operasional suatu sistem keuangan,
antara lain untuk membantu terciptanya transparansi pasar
keuangan dan mendorong investasi yang efisien yang dapat
mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi.
3. Dalam kegiatan usaha perbankan, penetapan peringkat oleh lembaga
pemeringkat terhadap eksposur yang dimiliki oleh Bank merupakan
salah satu alat bantu bagi Bank dalam pengelolaan risiko.
4. Lembaga ...
- 2 -
4. Lembaga pemeringkat yang dapat diakui oleh Otoritas Jasa
Keuangan adalah lembaga pemeringkat yang memenuhi penilaian
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
5. Peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan merupakan peringkat
yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan.
6. Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengkinian terhadap daftar
lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan berdasarkan hasil penilaian dan pemantauan terhadap
lembaga pemeringkat dimaksud berdasarkan standar internasional
yang berlaku.
II. PENILAIAN LEMBAGA PEMERINGKAT
A. Prinsip Umum
Prinsip umum dalam melakukan penilaian terhadap lembaga
pemeringkat antara lain:
1. penilaian yang dilakukan tidak menghambat perkembangan
industri pemeringkatan, dapat menstimulasi kompetisi yang
sehat, dan mendorong terciptanya disiplin pasar (market
discipline);
2. penilaian ditujukan untuk mendorong agar lembaga
pemeringkat menghasilkan peringkat yang dapat diandalkan;
dan
3. penilaian dilakukan dengan mengacu pada standar dan praktek
internasional yang sehat untuk mendukung terciptanya
konsistensi diantara regulator lainnya, khususnya dalam
melakukan penilaian dan pengakuan terhadap lembaga
pemeringkat yang berskala regional maupun internasional.
B. Cakupan Penilaian
Penilaian terhadap lembaga pemeringkat dilakukan berdasarkan
pemenuhan atas kriteria penilaian serta media publikasi dan
cakupan pengungkapan, sebagai berikut:
1.
Kriteria yang menjadi acuan dalam melakukan penilaian
terhadap lembaga pemeringkat adalah:
a.
Independensi
Kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat independensi
atau kebebasan lembaga pemeringkat dari segala bentuk
kepentingan ...
- 3 -
kepentingan, seperti kepentingan ekonomi, sosial dan/atau
politik, baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap hasil pemeringkatan yang diterbitkan.
Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria
independensi adalah:
1) independensi kedudukan dan kondisi lembaga
pemeringkat, dalam hal ini lembaga pemeringkat tidak
berada di bawah tekanan ekonomi, sosial dan/atau
politik yang dapat mempengaruhi proses dan hasil
pemeringkatan;
2) independensi kegiatan usaha, dalam hal ini lembaga
pemeringkat beroperasi sebagai badan usaha yang
berdiri sendiri dan terpisah dari kegiatan usaha
lainnya yang tidak berkaitan dengan penyediaan jasa
pemeringkatan;
3) independensi prosedur pemeringkatan, dalam hal ini
lembaga pemeringkat
memiliki
prosedur
pemeringkatan yang dapat menjaga independensi dari
benturan kepentingan dengan pihak yang diperingkat,
yang dapat timbul antara lain karena pihak yang
diperingkat dikenakan biaya pemeringkatan;
4) independensi kontrak perjanjian pemeringkatan, dalam
hal ini lembaga pemeringkat mempertahankan
independensi dalam setiap kontrak perjanjian
pemeringkatan. Independensi harus diperhatikan
terutama apabila lembaga pemeringkat melakukan
kegiatan usaha lainnya yang berkaitan dengan
penyediaan jasa pemeringkatan kepada pihak yang
diperingkat; dan
5) independensi kegiatan operasional, dalam hal ini
lembaga pemeringkat memiliki kebijakan, pengamanan
operasional, dan code of conduct yang dapat menjamin
independensi kegiatan operasional lembaga
pemeringkat.
b. Obyektivitas
Kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat obyektivitas
dan efektivitas dari prosedur dan metodologi yang
digunakan ...
- 4 -
digunakan dan dikembangkan, kewajaran dan konsistensi
dari kriteria pemeringkatan, serta obyektivitas proses
penetapan peringkat.
Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria
obyektivitas adalah:
1) obyektivitas prosedur pemeringkatan, dalam hal ini
lembaga pemeringkat
memiliki
prosedur
pemeringkatan yang sistematis yang mengacu pada
standar internasional dan dirancang untuk
menghasilkan peringkat yang dapat diandalkan;
2) obyektivitas metodologi pemeringkatan, dalam hal ini
lembaga pemeringkat memiliki metodologi
pemeringkatan bagi setiap segmen pasar yang dapat
diandalkan, sistematis, memperhitungkan seluruh
eksposur risiko dari pihak yang diperingkat, dan
melalui tahapan pengujian (backtesting) serta validasi
berdasarkan pengalaman historis paling sedikit 1
(satu) tahun terakhir, namun diutamakan mencakup
periode 3 (tiga) tahun terakhir;
3) obyektivitas proses penetapan peringkat, dalam hal ini
lembaga pemeringkat memiliki komite pemeringkat
(rating committee) untuk memastikan tercapainya
obyektivitas, kewajaran serta analisis yang menyeluruh
dalam proses penetapan peringkat;
4) obyektivitas hasil pemeringkatan, antara lain dinilai
dari faktor-faktor:
(a)
lembaga pemeringkat mengungkapkan seluruh
faktor yang mempengaruhi hasil pemeringkatan
dan memiliki keberanian untuk menerbitkan
suatu peringkat yang tidak populer atau tidak
sejalan dengan ekspektasi umum;
(b) lembaga pemeringkat memperhatikan batasan
(system boundary) yang telah ditetapkan. Sebagai
contoh untuk pemeringkatan perusahaan,
lembaga pemeringkat antara lain harus
memperhatikan seluruh sektor usaha dari
perusahaan ...
- 5 -
perusahaan yang terkait dengan pihak yang
diperingkat; dan
(c)
lembaga pemeringkat memperhatikan isu-isu dan
peraturan di suatu negara secara spesifik yang
berkaitan dengan pelaksanaan pemeringkatan;
5) obyektivitas standar pemeringkatan, antara lain dinilai
dari faktor-faktor:
(a) lembaga pemeringkat menggunakan standar
minimum yang diakui secara internasional dalam
melakukan
pemeringkatan,
termasuk
pemeringkatan terhadap bidang baru; dan
(b) memiliki kebijakan mengenai pemeringkatan yang
dilakukan atas inisiatif lembaga pemeringkat
(unsolicited rating); dan
6)
kaji ulang (review) oleh lembaga pemeringkat secara
berkala terhadap praktik, prosedur, kriteria, dan
metodologi pemeringkatan paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun untuk memastikan kualitas,
konsistensi, dan obyektivitas hasil pemeringkatan. Kaji
ulang dilakukan oleh unit atau pejabat yang memiliki
kompetensi dan tidak terlibat dalam proses
pemeringkatan.
c. Pengungkapan Publik (Disclosure)
Kriteria ini digunakan untuk menilai pengungkapan segala
sesuatu mengenai lembaga pemeringkat sehingga
memungkinkan publik maupun otoritas yang berwenang
melakukan penilaian terhadap independensi, obyektivitas,
kapabilitas, dan operasional lembaga pemeringkat serta
pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria
pengungkapan publik adalah:
1) kemudahan akses bagi publik, dalam hal ini lembaga
pemeringkat menyediakan kemudahan akses bagi
publik agar tercipta pemahaman yang lebih baik
terhadap lembaga pemeringkat, proses pemeringkatan,
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga
pemeringkat;
2) pengungkapan ...
- 6 -
2) pengungkapan informasi yang terkait dengan proses,
kriteria, metodologi pemeringkatan, rentang waktu
pemeringkatan, definisi dari masing-masing peringkat,
dan transisi hasil pemeringkatan,
termasuk
penyesuaian yang dilakukan, serta data default rate
terkini untuk tiap kategori pemeringkatan termasuk
definisi, yang mengacu pada standar internasional
serta best practices, baik yang bersifat kualitatif
maupun kuantitatif yang memungkinkan publik
melakukan perbandingan;
3) pengungkapan benturan kepentingan, dalam hal ini
lembaga pemeringkat mengungkapkan kebijakan,
prosedur, dan aktivitas, yang berkaitan dengan
benturan kepentingan;
4) pengungkapan perubahan internal, dalam hal ini
lembaga pemeringkat mengungkapkan perubahan
internal yang signifikan yang dapat mempengaruhi
kemampuan lembaga pemeringkat untuk menerbitkan
peringkat yang dapat diandalkan;
5) pengungkapan informasi mengenai kode etik dan
kompensasi dengan pihak yang diperingkat; dan
6) prosedur pengungkapan, dalam hal ini lembaga
pemeringkat memiliki prosedur yang sistematis
mengenai pengungkapan sebagaimana pada angka 2)
sampai dengan angka 5).
d. Transparansi Pemeringkatan
Kriteria ini digunakan untuk menilai keterbukaan lembaga
pemeringkat kepada publik atas seluruh informasi yang
terkait dengan hasil pemeringkatan, termasuk asumsi dan
latar belakang penerbitan hasil pemeringkatan.
Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria
transparansi adalah:
1)
transparansi hasil pemeringkatan, dalam hal ini
lembaga pemeringkat mempublikasikan seluruh hasil
pemeringkatan setelah mendapat persetujuan pihak
yang diperingkat sehingga dapat diakses secara tidak
terbatas dan tanpa biaya oleh setiap pihak, baik
pemeringkatan ...
- 7 -
pemeringkatan yang dilakukan atas inisiatif pihak
yang diperingkat (solicited rating) maupun atas inisiatif
lembaga pemeringkat (unsolicited rating). Lembaga
pemeringkat tidak diperbolehkan memberikan lebih
dahulu hak akses atas informasi hasil pemeringkatan
kepada pihak yang dapat mengakses hasil
pemeringkatan;
2)
transparansi hasil pemantauan peringkat, dalam hal
ini lembaga pemeringkat mempublikasikan hasil
pemantauan dan penyesuaian peringkat (jika ada)
melalui penetapan watch list, serta pencantuman
periode terakhir pelaksanaan pengkajian secara
menyeluruh;
3)
4)
transparansi faktor-faktor yang mempengaruhi
pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat
mempublikasikan latar belakang pemikiran termasuk
faktor-faktor kritikal dalam analisis dan pengambilan
keputusan untuk setiap hasil pemeringkatan, hasil
pemantauan, dan penyesuaian peringkat sebagaimana
pada angka 1) dan angka 2), dengan tetap berpegang
pada prinsip kerahasiaan informasi;
transparansi
proses,
kriteria,
metodologi
pemeringkatan terkait hasil pemeringkatan, rentang
waktu pemeringkatan, definisi dari masing-masing
peringkat, dan transisi hasil pemeringkatan, termasuk
penyesuaian yang dilakukan, serta data default rate
terkini untuk tiap kategori pemeringkatan termasuk
definisi, dalam hal ini lembaga pemeringkat
mempublikasikan hal-hal dimaksud yang digunakan
dalam menghasilkan suatu peringkat. Publikasi
mencakup pula hal-hal yang bersifat struktural seperti
metodologi yang digunakan untuk mengevaluasi risiko-
risiko material yang terkandung dalam berbagai
instrumen keuangan dan industri tertentu serta
asumsi, ekspektasi, dan argumentasi yang mendasari
analisis hasil pemeringkatan; dan
5) transparansi ...
- 8 -
5)
transparansi metode analisa
dalam proses
pemeringkatan, dalam hal ini lembaga pemeringkat
mengungkapkan metode analisa yang digunakan
dalam proses pemeringkatan antara lain:
(a) analisa
dipublikasikan;
(b) analisa
statistik atas informasi yang
dipublikasikan yang dikonfirmasikan melalui
diskusi antara lembaga pemeringkat dan pihak
yang diperingkat; dan/atau
(c) analisa atas informasi yang dipublikasikan dan
informasi yang tidak dipublikasikan, yang
diperoleh dari hasil diskusi antara lembaga
pemeringkat dan pihak yang diperingkat.
e. Sumber Daya (Resources)
Kriteria ini digunakan untuk menilai kemampuan lembaga
pemeringkat dalam memberikan jasa pemeringkatan, baik
dari aspek sumber daya manusia (human resources), aspek
sumber daya keuangan (financial resources), maupun
dukungan pemegang saham, yang memungkinkan lembaga
pemeringkat beroperasi secara independen dan profesional.
Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria sumber
daya adalah:
1)
statistik atas informasi yang
sumber daya manusia antara lain dinilai dari faktor-
faktor sebagai berikut:
(a) memiliki kebijakan dan prosedur yang memadai
mengenai pengadaan, pengelolaan, dan
pengembangan sumber daya manusia;
(b) mengungkapkan informasi terkini mengenai
kualifikasi dan pengalaman dari analis
pemeringkat, serta sektor maupun pihak-pihak
yang diperingkat oleh analis; dan
(c) melakukan koordinasi dan komunikasi secara
rutin dengan pejabat pada level senior dan
pegawai pada level teknis atau operasional dari
pihak yang diperingkat;
2) sumber ...
- 9 -
2) sumber daya keuangan, antara lain dinilai dari
kemampuan dan kinerja keuangan yang baik;
3) dukungan pemegang saham, dalam hal ini terdapat
komitmen tertulis dari pemegang saham yang
menyatakan bahwa lembaga pemeringkat akan
beroperasi di Indonesia dalam jangka panjang dan
kesediaan untuk membantu mengatasi permasalahan
dalam hal lembaga pemeringkat mengalami kesulitan
keuangan; dan
4) pendekatan pemeringkatan, dalam hal ini lembaga
pemeringkat melakukan proses pemeringkatan dengan
menggunakan metodologi yang menggabungkan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
f.
Kredibilitas
Kriteria ini digunakan untuk menilai pengakuan dan
akseptabilitas oleh pasar terhadap keberadaan lembaga
pemeringkat sebagai penyedia jasa pemeringkatan yang
dapat diandalkan.
Parameter yang digunakan untuk mengukur kriteria
kredibilitas lembaga pemeringkat adalah:
1) memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan atau otoritas
yang berwenang lainnya;
2) telah menjalankan kegiatan operasional paling sedikit
1 (satu) tahun;
3) telah mempublikasikan paling sedikit 2 (dua) hasil
pemeringkatan;
4) memiliki kebijakan dan prosedur internal untuk
mencegah penyalahgunaan dan/atau penyebaran
informasi non-publikasi kepada pegawai atau pihak
yang tidak berwenang serta pihak eksternal, yang
dapat memperoleh keuntungan atas informasi
tersebut; dan
5) memiliki rekam jejak dalam penerbitan hasil
pemeringkatan yang dapat diandalkan. Pendekatan
dalam menilai rekam jejak antara lain dilakukan
melalui evaluasi terhadap studi terjadinya default
(default study). Untuk lembaga pemeringkat yang baru
berdiri ...
- 10 -
berdiri, penilaian rekam jejak dilakukan dengan
mempertimbangkan jumlah dan pengalaman analis
pemeringkat yang dimiliki.
2. Media publikasi dan cakupan pengungkapan, dalam hal ini
lembaga pemeringkat harus memiliki situs web yang mudah
untuk diakses oleh publik yang memuat seluruh informasi yang
harus diungkapkan atau dipublikasikan sebagaimana pada
angka 1. Dalam hal situs web lembaga pemeringkat merupakan
bagian dari situs web perusahaan induk, lembaga pemeringkat
harus memiliki situs web atau region site tersendiri.
III. PUBLIKASI LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI
OTORITAS JASA KEUANGAN
1. Berdasarkan penilaian terhadap pemenuhan kriteria sebagaimana
tercantum pada angka II, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan dalam suatu daftar yang digunakan dalam pelaksanaan
ketentuan-ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang terkait dengan
penggunaan peringkat suatu eksposur.
2. Daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana pada angka 1 dipublikasikan melalui situs
web Otoritas Jasa Keuangan pada www.ojk.go.id.
IV. PENGKINIAN DAFTAR LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG
DIAKUI
1. Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengkinian atas daftar lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan
dalam hal diperlukan, berdasarkan hasil penilaian dan pemantauan
terhadap pemenuhan kriteria penilaian serta media publikasi dan
cakupan pengungkapan sebagaimana pada butir II.B.
2. Untuk keperluan pengkinian sebagaimana pada angka 1, Otoritas
Jasa Keuangan berwenang meminta kepada lembaga pemeringkat
untuk menyampaikan laporan kinerja keuangan tahunan yang telah
diaudit. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta
informasi tertulis mengenai setiap perubahan yang signifikan, antara
lain mengenai struktur organisasi atau manajemen, formasi analis
pemeringkat, prosedur dan metodologi pemeringkatan, dan/atau
informasi ...
- 11 -
informasi lain, yang dapat mempengaruhi kemampuan lembaga
pemeringkat dalam menghasilkan peringkat yang dapat diandalkan.
3. Lembaga pemeringkat dapat dikeluarkan dari daftar lembaga
pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan:
a. hasil penilaian Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
b. permintaan lembaga pemeringkat.
4. Lembaga pemeringkat dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat
dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan hasil
penilaian Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana pada butir 3.a dalam
hal:
a. lembaga pemeringkat diketahui memberikan informasi yang
keliru (misleading);
b. lembaga pemeringkat dikenakan sanksi oleh otoritas yang
berwenang yang dapat mengganggu kelangsungan usaha
lembaga pemeringkat;
c. lembaga pemeringkat melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain
menciptakan pasar semu atau insider trading dan/atau
melakukan rekayasa untuk menghasilkan peringkat yang lebih
tinggi dari yang seharusnya; dan/atau
d.
lembaga pemeringkat tidak memenuhi kriteria penilaian serta
publikasi dan pengungkapan sebagaimana pada butir II.B.
5. Sebelum mengeluarkan lembaga pemeringkat dari daftar lembaga
pemeringkat yang diakui, Otoritas Jasa Keuangan melakukan
klarifikasi terhadap permasalahan yang menyebabkan lembaga
pemeringkat tersebut akan dikeluarkan dari daftar lembaga
pemeringkat yang diakui Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga
pemeringkat diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan
atas permintaan klarifikasi tersebut dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
6. Lembaga pemeringkat yang mengajukan permintaan untuk
dikeluarkan dari daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang
diakui Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana pada butir 3.b, harus
memenuhi persyaratan:
a. memastikan masa berlaku peringkat yang diterbitkan telah
habis atau memastikan terdapat lembaga pemeringkat pengganti
untuk ...
- 12 -
untuk menerbitkan peringkat baru dalam hal eksposur yang
diperingkat belum jatuh tempo;
b. telah menyelesaikan seluruh kewajiban kepada pihak yang
diperingkat sebelum kegiatan operasional dihentikan;
c. menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum rencana
penghentian kegiatan operasional; dan
d. mengumumkan kepada publik mengenai rencana penghentian
kegiatan operasional paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
penghentian kegiatan operasional.
7. Lembaga pemeringkat asing yang memutuskan akan menghentikan
kegiatan operasionalnya di Indonesia harus memenuhi persyaratan
sebagaimana pada angka 6.
V. KETENTUAN LAIN-LAIN
1. Bank tetap harus melakukan penilaian terhadap eksposur yang
diperingkat oleh lembaga pemeringkat.
2. Bank sepenuhnya bertanggung jawab atas penggunaan
pemeringkatan yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang
diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan.
3. Permohonan dari lembaga pemeringkat untuk dicantumkan dalam
daftar lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Otoritas Jasa
Keuangan diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan up. Departemen
Penelitian dan Pengaturan Perbankan.
4. Proses penilaian dan pengkinian lembaga pemeringkat dan peringkat
yang diakui Otoritas Jasa Keuangan dilakukan selain berdasarkan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini juga memperhatikan
ketentuan terkait lainnya mengenai lembaga pemeringkat.
VI. KETENTUAN PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini maka Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 13/31/DPNP tanggal 22 Desember 2011
perihal Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan ...
- 13 -
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 September 2016
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 37/SEOJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> LEMBAGA PEMERINGKAT DAN PERINGKAT YANG DIAKUI OTORITAS JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 8 September 2016 </set_date>
<effective_date> 8 September 2016 </effective_date>
<replaced_reg> '13/31/DPNP|SE-BI/2011' </replaced_reg>
|
- 1 -
Yth.
1. Direksi Bank Umum Konvensional; dan
2. Direksi Bank Umum Syariah,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 35 /SEOJK.03/2017
TENTANG
PEDOMAN STANDAR SISTEM PENGENDALIAN INTERN BAGI BANK UMUM
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5861) dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.03/2016 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5988), serta sehubungan dengan
beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa
keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, perlu untuk mengatur kembali pelaksanaan mengenai pedoman
standar sistem pengendalian intern bagi bank umum dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
1. Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum
merupakan acuan standar sistem pengendalian intern yang harus
dipenuhi oleh Bank sehingga Bank dapat memperluas dan memperdalam
sesuai dengan kebutuhan Bank.
2. Bank yang telah memiliki sistem pengendalian intern namun belum
memenuhi acuan Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank
Umum, harus menyesuaikan dan menyempurnakan sistem pengendalian
intern Bank dengan berpedoman pada Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 2 -
3. Dalam penyusunan sistem pengendalian intern, Bank harus
mempertimbangkan total aset, produk dan jasa yang ditawarkan,
termasuk produk dan jasa baru, kompleksitas operasional, jaringan
kantor, profil Risiko dari setiap kegiatan usaha, metode yang digunakan
untuk pengolahan data dan pengukuran Risiko, serta ketentuan terkait.
4. Pedoman Standar Sistem Pengendalian Intern bagi Bank Umum paling
sedikit meliputi 5 (lima) komponen pokok, yaitu:
a. pengawasan oleh manajemen dan budaya pengendalian;
b. identifikasi dan penilaian Risiko;
c. kegiatan pengendalian dan pemisahan fungsi;
d. sistem akuntansi, informasi dan komunikasi; dan
e. kegiatan pemantauan dan tindakan koreksi penyimpangan.
Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia No. 5/22/DPNP perihal Pedoman Standar Sistem
Pengendalian Intern bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 35/SEOJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN STANDAR SISTEM PENGENDALIAN INTERN BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 7 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 7 Juli 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '5/22/DPNP|SE-BI' </replaced_reg>
<related_reg> '18/POJK.03/2016', '65/POJK.03/2016' </related_reg>
|
Yth.
PT Taspen (Persero)
di Tempat
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13/SEOJK.05/2013
TENTANG
LAPORAN BULANAN PT TASPEN (PERSERO)
Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
3/POJK.05/2013 tanggal 12 September 2013 tentang Laporan
Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5443), maka perlu diatur
ketentuan pelaksanaan mengenai laporan bulanan PT Taspen
(Persero) dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai
berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Laporan Bulanan adalah laporan keuangan yang disusun
oleh lembaga jasa keuangan non bank untuk kepentingan
OJK, yang meliputi periode tanggal 1 sampai dengan akhir
bulan berjalan dan disampaikan sesuai format dan menurut
tata cara yang ditentukan oleh OJK.
II. BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN BULANAN
Bentuk dan susunan serta pedoman penyusunan Laporan
Bulanan bagi PT Taspen (Persero), adalah sebagai berikut:
a. untuk...
-2-
a. untuk Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
b. untuk Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II, dan
c. untuk Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil dan
Bukan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran OJK ini.
III. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN
1. PT Taspen (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan
kepada OJK paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2. Dalam hal tanggal 10 sebagaimana dimaksud pada angka 1
jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan wajib
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
IV. TATA CARA PENYAMPAIAN
1. Penyampaian Laporan Bulanan dilakukan secara online
melalui sistem jaringan komunikasi data OJK.
2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK belum
tersedia maka Laporan Bulanan disampaikan secara online
melalui surat elektronik (email) resmi perusahaan dengan
melampirkan softcopy Laporan Bulanan dalam format
spreadsheet ke LB.ASOS@ojk.go.id
3. Dalam hal Laporan Bulanan disampaikan secara offline,
penyampaian dilakukan melalui surat yang ditandatangani
oleh direksi dan ditujukan kepada:
Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Direktur Pengawasan Perasuransian
Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14
Jl. Lapangan...
-3-
Jl. Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4
Jakarta 10710
4. Penyampaian Laporan Bulanan secara offline sebagaimana
dimaksud pada angka 3 dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a. diserahkan langsung ke kantor OJK;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan.
5. PT Taspen (Persero) dinyatakan telah menyampaikan
Laporan Bulanan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk penyampaian secara online melalui email,
dibuktikan dengan email tanda terima dari OJK,
b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan:
1) surat tanda terima dari OJK, apabila laporan
diserahkan langsung ke kantor OJK; atau
2) tanda terima pengiriman dari kantor pos atau
perusahaan jasa pengiriman/titipan, apabila laporan
dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa
pengiriman/titipan.
6. Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik
(email) OJK sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan/atau
perubahan alamat kantor OJK sebagaimana dimaksud pada
angka 3, OJK akan menyampaikan perubahan alamat
melalui surat atau pengumuman.
V. KETENTUAN...
-4-
V. KETENTUAN SANKSI
1. OJK menetapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis
pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan
OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank dengan jangka waktu
pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif berupa teguran tertulis pertama.
2. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
angka 1 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum
dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat
(4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan
Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka
waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif berupa teguran tertulis kedua.
3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
angka 2 kewajiban penyampaian Laporan Bulanan belum
dipenuhi, OJK menetapkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat
(4) Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2013 tentang Laporan
Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dengan jangka
waktu pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan Bulanan
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi
administratif berupa teguran tertulis ketiga.
VI. KETENTUAN...
-5-
VI. KETENTUAN PERALIHAN
1. PT Taspen (Persero) wajib menyampaikan Laporan Bulanan
kepada OJK untuk periode laporan bulan September 2013
sampai dengan periode laporan bulan Agustus 2014 paling
lambat akhir bulan berikutnya.
2. Dalam hal akhir bulan berikutnya sebagaimana dimaksud
pada angka 1 jatuh pada hari libur, maka Laporan Bulanan
wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya.
3. Selama periode laporan bulan September 2013 sampai dengan
periode laporan bulan Agustus 2014, PT Taspen (Persero) tidak
diwajibkan untuk menyampaikan laporan bulan September
2013, Desember 2013, Maret 2014, dan Juni 2014.
VII. PENUTUP
Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Surat Edaran OJK ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2013
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS IKNB
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
FIRDAUS DJAELANI
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Bantuan Hukum
Direktorat Hukum
Ttd.
Mufli Asmawidjaja
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 13/SEOJK.05/2013 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BULANAN PT TASPEN (PERSERO) </reg_title>
<set_date> 25 November 2013 </set_date>
<effective_date> 25 November 2013 </effective_date>
<related_reg> '3/POJK.05/2013' </related_reg>
<penalty_list> 'Romawi V' </penalty_list>
|
-1-
Yth.
1. Direksi Bank Umum Syariah;
2. Direksi Bank Umum Konvensional yang Memiliki Unit Usaha Syariah,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /SEOJK.03/2016
TENTANG
PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN
UNIT USAHA SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI
Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan
Modal Inti Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 18,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5842), perlu diatur
ketentuan pelaksanaan mengenai Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS).
2. Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan
kemampuan keuangan yang memadai, antara lain tercermin pada
ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank
(Theoretical Capital), dengan tetap mempertimbangkan
pengembangan perbankan syariah ke depan.
3. Otoritas Jasa Keuangan memberikan kemudahan Pembukaan
Jaringan Kantor bagi Bank yang dapat meningkatkan efisiensi dalam
pengelolaan Bank dan menyalurkan pembiayaan kepada Usaha
Mikro...
-2-
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)/Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
dalam jumlah tertentu.
4. Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor,
Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah yang kurang
terlayani oleh jasa perbankan syariah, guna mendukung upaya
pengembangan pembangunan nasional.
II. RUANG LINGKUP
1. Jaringan Kantor Bank dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini adalah:
a. kantor Bank di dalam negeri yang meliputi Kantor Cabang,
Kantor Wilayah yang melakukan kegiatan operasional, Kantor
Cabang Pembantu, Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan
operasional, atau Kantor Kas;
b. kantor Bank di luar negeri yang meliputi Kantor Cabang atau
jenis kantor lainnya yang bersifat operasional di luar negeri,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah.
2. Pembukaan Jaringan Kantor dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini adalah pembukaan kantor Bank termasuk pembukaan
kantor Bank yang berasal dari pemindahan alamat atau perubahan
status kantor Bank.
3. Pemindahan alamat kantor Bank sebagaimana dimaksud pada angka
2 tidak termasuk pemindahan alamat kantor Bank pada:
a. zona yang sama; atau
b. zona yang lebih rendah persyaratan alokasi Modal Intinya;
dan tidak terdapat peningkatan status kantor Bank.
4. Layanan Syariah Bank dan Layanan Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan yang mengatur mengenai Bank Umum Syariah atau
Unit Usaha Syariah, tidak diperhitungkan sebagai Pembukaan
Jaringan Kantor Bank.
III. PENETAPAN ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA
1. Dalam rangka Pembukaan Jaringan Kantor di dalam negeri, Otoritas
Jasa Keuangan mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di
Indonesia…
-3-
Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai dengan Zona
6.
2. Pembagian zona sebagaimana dimaksud pada angka 1 ditetapkan
berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan
pembangunan dalam masing-masing zona, antara lain menggunakan
parameter pertumbuhan pendapatan domestik bruto, pertumbuhan
pendapatan domestik regional bruto, kinerja penyaluran, dan
penghimpunan dana yang dikaitkan dengan populasi di setiap
provinsi.
3. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6
menunjukkan zona yang paling tidak jenuh. Untuk setiap zona
ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi
yaitu 5 untuk zona yang paling jenuh dan angka koefisien terendah
yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh.
4. Pembukaan Jaringan Kantor Bank di luar negeri dikelompokkan ke
dalam Zona 1.
5. Pengelompokan provinsi di masing-masing zona dapat dievaluasi dan
dikinikan.
6. Dalam hal terdapat provinsi baru hasil pemekaran maka provinsi
tersebut mengikuti zona provinsi asal sebelum pemekaran sepanjang
Otoritas Jasa Keuangan belum menetapkan zona bagi provinsi baru
tersebut.
7. Daftar zona dan koefisien dari masing-masing zona adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
IV. PENETAPAN BIAYA INVESTASI PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK
1. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan biaya investasi Pembukaan
Jaringan Kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk masing-
masing Bank berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU).
Rincian biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II.
2. Pengelompokan BUKU untuk UUS didasarkan pada Modal Inti Bank
Umum Konvensional yang menjadi induknya.
3. Biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor dapat dievaluasi dan
dikinikan.
V. PERTIMBANGAN…
-4-
V. PERTIMBANGAN PENCAPAIAN TINGKAT EFISIENSI DALAM PEMBUKAAN
JARINGAN KANTOR
1. Perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti mempertimbangkan
pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui
rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
dan rasio Net Operating Margin (NOM).
Khusus untuk UUS, penilaian pencapaian tingkat efisiensi dihitung
menggunakan pencapaian tingkat efisiensi yang berlaku bagi Bank
Umum Konvensional yang menjadi induknya secara konsolidasi yaitu
rasio BOPO dan rasio Net Interest Margin (NIM).
2. Bank yang dapat meningkatkan efisiensi sehingga mencapai rentang
efisiensi tertentu diberikan pengurangan alokasi Modal Inti.
3. Terhadap Bank yang tidak mencapai rentang efisiensi tertentu,
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengurangi jumlah rencana
Pembukaan Jaringan Kantor Bank walaupun Bank memiliki alokasi
Modal Inti yang mencukupi.
4.
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan koefisien terkait pencapaian
efisiensi untuk masing-masing BUKU sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III.
VI. PERHITUNGAN ALOKASI MODAL INTI BANK
1. Bank memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis
kantor terhadap jaringan kantor yang sudah ada (existing) dan
terhadap rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru.
2. Kantor Bank yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud pada
angka 1 adalah kantor yang telah berdiri kurang dari atau sama
dengan 2 (dua) tahun.
3. Perhitungan alokasi Modal Inti diperoleh dari hasil perkalian antara
koefisien zona untuk lokasi Jaringan Kantor Bank dengan biaya
investasi Pembukaan Jaringan Kantor sesuai jenis kantor untuk
masing-masing BUKU dan koefisien terkait pencapaian efisiensi,
dengan perhitungan sebagai berikut:
TC=…
-5-
TC = Kz x B x KF
TC = Alokasi Modal Inti di suatu zona
Kz
= Koefisien masing-masing zona
B = Biaya investasi Pembukaan Jaringan Kantor sesuai
jenis kantor untuk masing-masing BUKU
KF = Koefisien terkait pencapaian efisiensi
4. Perhitungan alokasi Modal Inti untuk UUS menggunakan Modal Inti
Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya.
VII. PERHITUNGAN KETERSEDIAAN ALOKASI MODAL INTI BANK
1. Bank yang mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib
mencantumkan perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti dalam
Rencana Bisnis Bank (RBB).
2. Ketersediaan alokasi Modal Inti dilakukan berdasarkan perhitungan
sebagai berikut:
n
E M TC JKE )
p1
TC (
ETC
M
TCp
JKEp
p
p
= Ketersediaan alokasi Modal Inti
= Modal Inti
= Jumlah alokasi Modal Inti di suatu zona
= Jumlah Jaringan Kantor Bank yang sudah ada
(existing) pada suatu zona
3. Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada angka
2:
a. Bank dengan nilai ketersediaan alokasi Modal Inti positif,
memiliki kelebihan kapasitas Modal Inti yang dapat dialokasikan
untuk membuka Jaringan Kantor.
b. Bank dengan nilai ketersediaan alokasi Modal Inti nol atau
negatif, tidak memiliki kelebihan kapasitas Modal Inti yang
dapat dialokasikan untuk membuka Jaringan Kantor.
4. Persyaratan….
-6-
4. Persyaratan ketersediaan alokasi Modal Inti tidak berlaku terhadap:
a. pembukaan Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan
operasional khusus penyaluran pembiayaan kepada UMK; atau
b. Pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah dalam wilayah provinsi tempat kedudukan
kantor pusatnya.
Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat Bank
dimaksud meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah
sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah
belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor
pusat di provinsi hasil pemekaran.
5. Perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti untuk UUS
diperhitungkan dalam ketersediaan alokasi Modal Inti Bank Umum
Konvensional yang menjadi induknya dengan mengacu pada
penetapan biaya investasi sebagaimana dimaksud dalam butir IV.1
dan penetapan kantor Bank yang sudah ada (existing) sebagaimana
dimaksud dalam butir VI.2.
VIII. PENETAPAN JUMLAH PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK
1. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki
ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor dapat
melakukan Pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai
dengan ketersediaan alokasi Modal Inti.
Bank dimaksud dapat memperoleh insentif tambahan jumlah
Pembukaan Jaringan Kantor apabila Bank menyalurkan pembiayaan
kepada:
a. UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total
portofolio pembiayaan; dan/atau
b. UMK paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total portofolio
pembiayaan
Persyaratan pemenuhan tingkat kesehatan untuk UUS didasarkan
pada penilaian tingkat kesehatan Bank Umum Konvensional yang
menjadi induknya.
Penilaian pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM atau
UMK untuk UUS dihitung dengan menggunakan jumlah penyaluran
pembiayaan…
-7-
pembiayaan dan kredit kepada UMKM atau UMK yang dilakukan
UUS dan Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya secara
konsolidasi.
Jumlah insentif tambahan Jaringan Kantor yang dapat dibuka
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV.
2. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak
memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis
kantor dapat melakukan Pembukaan Jaringan Kantor apabila:
a. Bank menyalurkan pembiayaan kepada:
1) UMKM paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total
portofolio pembiayaan; atau
2) UMK paling rendah 10% (sepuluh persen) dari total
portofolio pembiayaan;
dan
b. Bank melakukan pemupukan modal yang berasal dari alokasi
laba dan/atau tambahan setoran modal.
Pemupukan modal yang dilakukan Bank sebagian besar wajib
dialokasikan untuk menutupi kekurangan alokasi Modal Inti
bagi Jaringan Kantor yang sudah ada (existing), paling banyak
sebesar kekurangan alokasi Modal Inti bagi Jaringan Kantor
yang sudah ada (existing), dan sisanya untuk mendukung
rencana Pembukaan Jaringan Kantor.
3. Otoritas Jasa Keuangan dapat mengurangi jumlah rencana
Pembukaan Jaringan Kantor Bank walaupun Bank memiliki alokasi
Modal Inti yang mencukupi.
Contoh perhitungan penetapan jumlah Pembukaan Jaringan Kantor
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V.
IX. PERIMBANGAN PENYEBARAN JARINGAN KANTOR BANK PADA ZONA
TERTENTU
Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank,
Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3 atau BUKU 4 diatur
sebagai berikut:
1. Pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2 wajib
diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC di Zona 5 atau Zona 6.
2. Pembukaan...
-8-
2. Pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau
Zona 2 wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KCP atau 1 (satu)
KC di Zona 5 atau Zona 6.
3. Kewajiban pembukaan KC atau KCP di Zona 5 atau Zona 6
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 untuk Bank
Umum Konvensional yang memiliki UUS dengan ketentuan:
a. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona
2 merupakan kantor konvensional maka kewajiban sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dan angka 2 wajib diikuti dengan
pembukaan 1 (satu) KC atau KCP berupa KC atau KCP
konvensional atau syariah.
b. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona
2 merupakan kantor syariah maka kewajiban sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dan angka 2 wajib diikuti dengan
pembukaan 1 (satu) KC atau KCP syariah.
4. Kewajiban pembukaan KC atau KCP di Zona 5 atau Zona 6
sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 3, tetap
harus memperhitungkan kecukupan alokasi Modal Inti.
5. Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dihitung secara
kumulatif.
Contoh:
Bank A (BUKU 4) pada tahun 2015 melakukan pembukaan 2 (dua)
KC di Zona 1 dan pada tahun 2016 Bank A melakukan pembukaan
4 (empat) KC di Zona 1. Dengan demikian, Bank A harus membuka 2
(dua) KC di Zona 5 dan/atau Zona 6.
6. Bank yang mempunyai kewajiban untuk membuka KC dan/atau KCP
di Zona 5 atau Zona 6 sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan
angka 2 namun belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC
dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat melakukan
pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3, dan Zona 4.
7. Kewajiban Pembukaan Jaringan Kantor sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dan angka 2, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh
Pemerintah...
-9-
Pemerintah Daerah dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona
1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan
kantor pusatnya.
Contoh:
Bank yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang
berkantor pusat di Provinsi DKI Jakarta (Zona 1) dan termasuk BUKU
3, apabila akan membuka 3 (tiga) KC di Provinsi DKI Jakarta, Bank
dimaksud tidak wajib membuka 1 (satu) KC di Zona 5 atau Zona 6.
8. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat Bank sebagaimana
dimaksud pada angka 7 meliputi juga provinsi hasil pemekaran
wilayah, sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran
wilayah tersebut belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang
berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran.
Contoh:
Bank A (BUKU 3) merupakan Bank yang mayoritas sahamnya dimiliki
oleh Pemerintah Daerah yang berkantor pusat di Provinsi X yang
berada pada Zona 2. Terjadi pemekaran wilayah pada Provinsi X
menjadi Provinsi X dan Provinsi X1. Dalam hal Bank A akan membuka
3 (tiga) KC di Provinsi X1, Bank A tidak wajib membuka 1 (satu) KC di
Zona 5 atau Zona 6, sepanjang Pemerintah Daerah Provinsi X1 belum
memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor pusat di
Provinsi X1.
X. LAIN-LAIN
1. Perhitungan jumlah Modal Inti, jumlah Jaringan Kantor yang sudah
ada (existing), pencapaian efisiensi dan pencapaian penyaluran
pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam
rencana Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data
posisi akhir bulan September.
2.
Otoritas Jasa Keuangan menilai Modal Inti, pencapaian efisiensi, dan
pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK,
baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam
RBB...
-10-
RBB maupun pada saat Bank mengajukan permohonan rencana
Pembukaan Jaringan Kantor kepada Otoritas Jasa Keuangan.
3. Prosedur, tata cara, dan persyaratan lainnya untuk memperoleh izin
atau penegasan Pembukaan Jaringan Kantor Bank juga wajib
memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai:
a. Bank Umum Syariah; atau
b. Unit Usaha Syariah.
4. Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, dan Lampiran V
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini.
XI. KETENTUAN PERALIHAN
Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2016 wajib
dicantumkan dalam revisi RBB tahun 2016 dengan mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai RBB dan disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan, dengan alamat sebagai berikut:
1. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat di
wilayah Provinsi DKI Jakarta; atau
2. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat bagi
Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi DKI Jakarta.
XII. KETENTUAN...
-11-
XII. KETENTUAN PENUTUP
1. Dengan berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini maka
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPBS tanggal 27 Maret
2013 perihal Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
2. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2016
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
LAMPIRAN I
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /SEOJK.03/2016
TENTANG
PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI
-1-
ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA
Zona 1
Koefisien = 5
DKI Jakarta
Luar Negeri
Zona 2
Koefisien = 4
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Zona 3
Koefisien = 3
Kalimantan
Timur
Kepulauan Riau
Sumatera Utara
Riau
Sumatera
Selatan
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Papua
Zona 4
Koefisien = 2
Zona 5
Koefisien = 1
Aceh
Jambi
Sumatera Barat
Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Kalimantan
Barat
Sulawesi
Tenggara
Kalimantan
Utara
Zona 6
Koefisien = 0,5
Nusa Tenggara
Timur
Nusa Tenggara
Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku Utara
Maluku
Papua Barat
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2016
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Yuliana
LAMPIRAN II
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /SEOJK.03/2016
TENTANG
PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI
-1-
BIAYA INVESTASI PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK
Jenis Kantor
Kantor Cabang
Kantor Wilayah yang Bersifat Operasional
Kantor Cabang Pembantu
Kantor Fungsional yang Melakukan
Kegiatan Operasional
Kantor Kas
Kantor lainnya yang bersifat operasional di
luar negeri
Biaya Investasi Pembukaan
Jaringan Kantor pada
BUKU 1 dan BUKU 2
Rp3.000.000.000,00
Rp3.000.000.000,00
Rp1.500.000.000,00
Rp1.500.000.000,00
Rp500.000.000,00
Rp500.000.000,00
Biaya Investasi Pembukaan
Jaringan Kantor pada
BUKU 3 dan BUKU 4
Rp5.000.000.000,00
Rp5.000.000.000,00
Rp2.000.000.000,00
Rp2.000.000.000,00
Rp1.000.000.000,00
Rp1.000.000.000,00
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2016
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Yuliana
LAMPIRAN III
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /SEOJK.03/2016
TENTANG
PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI
-1-
PENGURANGAN ALOKASI MODAL INTI (AMI) DAN KOEFISIEN TERKAIT PENCAPAIAN EFISIENSI BANK
1. BUKU 1
BUKU 1
<80
≥4
≥3.5-<4
≥3-<3.5
KF = 0,4
NOM
(%)
≥2.5-<3
KF = 0,5
Pengurangan AMI 0%
≥2-<2.5
KF = 1
<2
KF = 1
KF = 1
Tindakan Pengawasan
KF = 1
KF = 0,6
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 0,5
KF = 1
Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 40% Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
≥80 - <85
KF = 0,2
KF = 0,4
BOPO (%)
≥85 - <90
Pengurangan AMI 100% Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 0%
KF = 0
KF = 1
Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 0%
KF = 0,2
KF = 1
Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0%
≥90 - <95
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
≥95
2. BUKU ...
Tindakan Pengawasan
-2-
2. BUKU 2
BUKU 2
<80
≥4
≥3.5-<4
≥3-<3.5
NOM
(%)
KF = 0,4
≥2.5-<3
KF = 0,5
Pengurangan AMI 0%
≥2-<2.5
KF = 1
<2
KF = 1
KF = 1
Tindakan Pengawasan
KF = 1
KF = 0,6
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 0,5
KF = 1
Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 40% Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
≥80 - <85
KF = 0,2
KF = 0,4
BOPO (%)
≥85 - <90
Pengurangan AMI 100% Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 0%
KF = 0
KF = 1
Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 0%
KF = 0,2
KF = 1
Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0%
≥90 - <95
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
≥95
3. BUKU ...
Tindakan Pengawasan
-3-
3. BUKU 3
BUKU 3
<70
≥4
≥3.5-<4
KF = 0,2
≥3-<3.5
NOM
(%)
KF = 0,4
≥2.5-<3
KF = 0,5
Pengurangan AMI 0%
≥2-<2.5
KF = 1
<2
KF = 1
KF = 1
Tindakan Pengawasan
KF = 1
KF = 0,6
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 0,5
KF = 1
Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 40% Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 0,4
KF = 1
Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
≥70 - <75
KF = 0,2
BOPO (%)
≥75 - <80
Pengurangan AMI 100% Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 0%
KF = 0
KF = 1
Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 0%
≥80 - <85
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
≥85
4. BUKU ...
Tindakan Pengawasan
-4-
4. BUKU 4
BUKU 4
<70
≥4
≥3.5-<4
KF = 0,2
≥3-<3.5
NOM
(%)
≥2.5-<3
KF = 0,5
Pengurangan AMI 0%
≥2-<2.5
KF = 1
<2
KF = 1
KF = 1
Tindakan Pengawasan
KF = 1
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 0,4
KF = 0,5
Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
KF = 0,4
KF = 1
Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 50% Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
≥70 - <75
KF = 0,2
BOPO (%)
≥75 - <80
Pengurangan AMI 100% Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 0%
KF = 0
KF = 1
Pengurangan AMI 80% Pengurangan AMI 60% Pengurangan AMI 0%
≥80 - <85
Pengurangan AMI 0%
KF = 1
Pengurangan AMI 0%
≥85
Ditetapkan…
Tindakan Pengawasan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2016
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
NELSON TAMPUBOLON
LAMPIRAN IV
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /SEOJK.03/2016
TENTANG
PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI
-1-
INSENTIF TAMBAHAN JUMLAH PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR APABILA BANK MENYALURKAN PEMBIAYAAN KEPADA
USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DAN/ATAU USAHA MIKRO DAN KECIL (UMK)
Pangsa Pembiayaan UMKM terhadap Total Pembiayaan
>80%
>65% s/d <80%
>50% s/d <65%
>35% s/d <50%
>20% s/d <35%
Pangsa Pembiayaan UMK terhadap Total Pembiayaan
>70%
>55% s/d <70%
>40% s/d <55%
>25% s/d <40%
>10% s/d <25%
Jumlah Tambahan Jaringan Kantor*)
35%
30%
25%
20%
15%
Jumlah Tambahan Jaringan Kantor*)
35%
30%
25%
20%
15%
*) dari jumlah rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang didukung oleh kecukupan alokasi Modal Inti
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2016
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
LAMPIRAN V
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /SEOJK.03/2016
TENTANG
PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI
-1-
CONTOH PERHITUNGAN PENETAPAN JUMLAH JARINGAN KANTOR YANG DAPAT DIBUKA
CONTOH 1:
Berdasarkan data posisi akhir September 2016, Bank A:
a. Modal Inti Rp300.000.000.000,00 (BUKU 1).
b. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan (PK TKS) 2 dalam 1 (satu) tahun terakhir.
c. Telah memiliki Jaringan Kantor dalam 2 (dua) tahun terakhir sebagai berikut:
13 KC (8 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah), 10 KCP (5 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah), serta 10 KK (4 di DKI
Jakarta dan 6 di Jawa Tengah).
d. BOPO dan NOM masing-masing 84% dan 3,2%.
e. Pencapaian pembiayaan UMKM adalah 45% dari total pembiayaan.
Apabila Bank A merencanakan untuk membuka 8 KC di DI Yogyakarta, perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti adalah
sebagai berikut:
- Bank memperoleh pengurangan alokasi Modal Inti akibat pencapaian efisiensi sebesar 50% dengan Koefisien terkait
pencapaian efisiensi (KF) sebesar 0,5.
Jenis…
-2-
Biaya Investasi
Pembukaan
Jenis Kantor
Zona
Provinsi
Jaringan Kantor
(B)
(1)
Jaringan kantor yang sudah ada (existing)
KC
1 DKI Jakarta
2
KCP
Jawa Tengah
1 DKI Jakarta
2
KK
Jawa Tengah
1 DKI Jakarta
2
Jawa Tengah
3.000
3.000
1.500
1.500
500
500
(2)
5
4
5
4
5
4
Total alokasi Modal Inti untuk kantor yang sudah ada (existing)
Modal Inti
Ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC)
Rencana Pembukaan Jaringan Kantor
KC
2 DI Yogyakarta
3.000
4
Kebutuhan alokasi Modal Inti untuk Rencana Pembukaan Jaringan Kantor
Sisa alokasi Modal Inti
0,5
8
Koefisien
Zona (KZ)
Koefisien
Pencapaian
Efisiensi
(KF)
(3)
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Jumlah Kantor
(Existing/Rencana)
(4)
8
5
5
5
4
6
Dalam jutaan Rp
Jumlah AMI
(TC)
(5 = 1 x 2 x 3 x 4)
60.000
30.000
18.750
15.000
5.000
6.000
134.750
300.000
165.250
48.000
48.000
117.250
Berdasarkan…
-3-
Berdasarkan perhitungan alokasi Modal Inti, Bank A memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC) yang mencukupi
untuk membuka 8 (delapan) KC di DI Yogyakarta sesuai dengan rencana.
- Selanjutnya karena penyaluran pembiayaan UMKM Bank A adalah 45% dari total pembiayaan, maka Bank A akan
mendapatkan tambahan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka sebesar 20% dari jumlah kantor yang direncanakan
yang telah memenuhi kecukupan alokasi modal inti, yaitu sebanyak:
Jenis Kantor
KC
Zona
2
Jumlah Rencana Pembukaan
Jaringan Kantor Sesuai
Kecukupan AMI
(1)
8
Insentif Tambahan
Jaringan Kantor
(2)
20%
Tambahan Jaringan
Kantor
(3)=(1) x (2)
1
Kesimpulan:
Bank A dapat membuka jaringan kantor sebanyak 8 KC di DI Yogyakarta sesuai dengan yang direncanakan dan memperoleh
tambahan 1 KC atau di bawah KC yang dapat dibuka pada zona yang sama atau zona yang lebih rendah persyaratan jumlah
alokasi modal intinya dari zona dalam rencana pembukaan jaringan kantor.
CONTOH…
-4-
CONTOH 2:
Berdasarkan data posisi akhir September 2016, Bank B:
a. Modal Inti Rp7.000.000.000.000,00 (BUKU 3)
b. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan (PK TKS) 2 dalam 1 (satu) tahun terakhir
c. Telah memiliki Jaringan Kantor sebagai berikut:
50 KC (20 di DKI Jakarta, 15 di Jawa Tengah dan 15 di Sumatera Utara), 150 KCP (60 di DKI Jakarta, 55 di Jawa Tengah
dan 35 di Sumatera Utara dan 160 KK (60 di DKI Jakarta, 50 di Jawa Tengah dan 50 di Sumatera Utara).
d. BOPO dan NOM masing-masing 86% dan 0,7%.
e. Pencapaian UMKM adalah 55% dari total pembiayaan.
Apabila Bank B merencanakan untuk membuka 30 KC di Zona 2 (5 KC di Jawa Timur, 10 KC di Jawa Barat dan 15 KC di
Jawa Tengah) dan 15 KCP di Zona 3 (Sumatera Utara), perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti adalah sebagai berikut:
-
Bank tidak memperoleh pengurangan alokasi Modal Inti akibat tidak mencapai rentang efisiensi tertentu dan Bank dapat
dikenakan tindakan pengawasan oleh OJK.
Jenis…
-5-
Dalam jutaan Rp
Biaya
Jenis
Kantor
Zona
Provinsi
Investasi
Pembukaan
Jaringan
Kantor (B)
(1)
Jaringan kantor yang sudah ada (existing)
KC
1
2
3
1
KCP
2
3
1
KK
2
3
Jawa Tengah
Sumatera
Utara
1.000
1.000
4
3
Total Alokasi Modal Inti untuk kantor yang sudah ada (existing)
Modal Inti
Ketersediaan Alokasi Modal Inti (ETC)
-
-
50
50
Jawa Tengah
Sumatera
Utara
DKI Jakarta
2.000
2.000
1.000
4
3
5
-
-
-
55
35
60
DKI Jakarta
Jawa Tengah
Sumatera
Utara
DKI Jakarta
5.000
5.000
5.000
2.000
Koefisien
Zona (KZ)
(2)
5
4
3
5
Koefisien
Pencapaian
Efisiensi
(KF)
(3)
-
-
-
-
Jumlah Kantor
(Existing/Rencana)
(4)
20
15
15
60
Jumlah
alokasi
Modal Inti
(TC)
(5 = 1 x 2 x 4)
500.000
300.000
225.000
600.000
440.000
210.000
300.000
200.000
150.000
2.925.000
7.000.000
4.075.000
Rencana…
-6-
Rencana pembukaan jaringan kantor
Biaya
Jenis
Kantor
Zona
KC
KCP
2
2
2
3
Provinsi
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
Sumatera
Utara
Investasi
Pembukaan
Jaringan
Kantor (B)
(1)
5.000
5.000
5.000
2.000
Koefisien
Zona (KZ)
(2)
4
4
4
3
Koefisien
Pencapaian
Efisiensi
(KF)
(3)
-
-
-
-
Kebutuhan Alokasi Modal Inti untuk rencana pembukaan jaringan kantor
Sisa alokasi Modal Inti
Jumlah Kantor
(Existing/Rencana)
(4)
5
10
15
15
Jumlah
alokasi
Modal Inti
(TC)
(5 = 1 x 2 x 4)
100.000
200.000
300.000
90.000
690.000
3.385.000
Berdasarkan perhitungan alokasi Modal Inti, Bank B memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC) yang mencukupi
untuk membuka 30 KC di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah serta 15 KCP di Sumatera Utara sesuai dengan
rencana.
-
Selanjutnya karena penyaluran pembiayaan UMKM Bank B adalah 55% dari total pembiayaan, maka Bank B akan
mendapatkan tambahan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka sebesar 25% dari jumlah kantor yang direncanakan
yang telah memenuhi kecukupan alokasi modal inti, yaitu sebanyak:
Jenis…
-7-
Jenis
Kantor
KC
KCP
Zona
2
3
Jumlah Rencana Pembukaan
Jaringan Kantor Sesuai
Kecukupan AMI
(1)
30
15
Insentif Tambahan
Jaringan Kantor
(2)
25%
25%
Tambahan Jaringan Kantor
(3)=(1) x (2)
7
3
Kesimpulan:
Berdasarkan perhitungan kecukupan alokasi Modal Inti dan pencapaian penyaluran pembiayaan UMKM, Bank B dapat
membuka jaringan kantor sebanyak 30 KC di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah serta 15 KCP di Sumatera Utara
sesuai dengan yang direncanakan dan memperoleh tambahan:
a. 7 KC dan/atau di bawah KC yang dapat dibuka pada zona yang sama atau zona yang lebih rendah persyaratan jumlah
alokasi modal intinya dari zona dalam rencana pembukaan jaringan kantor.
b. 3 KCP dan/atau di bawah KC yang dapat dibuka pada zona yang sama atau zona yang lebih rendah persyaratan jumlah
alokasi modal intinya dari zona dalam rencana pembukaan jaringan kantor.
Namun demikian, mengingat rentang efisiensi Bank berada dalam rentang tindakan pengawasan, OJK dapat mengurangi
jumlah rencana Pembukaan Jaringan kantor yang dapat dibuka oleh Bank.
CONTOH 3:
Berdasarkan data posisi akhir September 2016, Bank C:
a. Modal Inti Rp1.500.000.000.000,00 (BUKU 2)
b. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan (PK TKS) 2 dalam 1 (satu) tahun terakhir
c. Telah memiliki Jaringan Kantor sebagai berikut:
40…
-8-
40 KC (20 di DKI Jakarta dan 20 di Jawa Tengah), 100 KCP (50 di DKI Jakarta dan 50 di Jawa Tengah dan 150 KK (75 di
DKI Jakarta dan 75 di Jawa Tengah).
d. BOPO dan NOM masing-masing 83% dan 2,3%.
e. Pencapaian UMKM adalah 85% dari total pembiayaan.
- Bank C merencanakan untuk membuka 2 KC dan 5 KCP di Zona 2 (Jawa Timur). Bank memperkirakan akan memperoleh
laba pada tahun 2017 sebesar Rp80 Milyar. Perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti adalah sebagai berikut:
Biaya
Jenis
Kantor
Zona
Provinsi
Investasi
Pembukaan
Jaringan
Kantor (B)
(1)
Jaringan kantor yang sudah ada (existing)
KC
KCP
KK
1
2
1
2
1
2
DKI Jakarta
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Jawa Tengah
Ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC)
3.000
3.000
1.500
1.500
500
500
Koefisien
Zona (KZ)
(2)
5
4
5
4
5
4
Total alokasi Modal Inti untuk kantor yang sudah ada (existing)
Modal Inti
Koefisien
Pencapaian
Efisiensi
(KF)
(3)
1
1
1
1
1
1
Jumlah Kantor
(Existing)
(4)
20
20
50
50
75
75
Dalam jutaan Rp
Jumlah
alokasi Modal
Inti (TC)
(5 = 1 x 2 x 3 x 4)
300.000
240.000
375.000
300.000
187.500
150.000
1.552.500
1.500.000
(52.500)
Berdasarkan…
-9-
Berdasarkan perhitungan alokasi Modal Inti, Bank C tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti (ETC) yang mencukupi
sehingga pada dasarnya Bank C tidak dapat melakukan pembukaan jaringan kantor. Namun demikian, mengingat Bank C
telah menyalurkan pembiayaan kepada UMKM lebih dari 20% dari total pembiayaan, maka Bank C menjadi dapat melakukan
pembukaan jaringan kantor. Jumlah modal inti yang digunakan untuk pembukaan jaringan kantor menggunakan rencana
pemupukan modal yang akan dilakukan oleh Bank C pada tahun 2017 dengan perhitungan sebagai berikut:
-
Kebutuhan alokasi Modal Inti untuk rencana pembukaan 7 jaringan kantor
Biaya Investasi
Pembukaan
Jenis Kantor
KC
KCP
Zona
Provinsi
2 Jawa Timur
2 Jawa Timur
Jaringan
Kantor (B)
(1)
3.000
1.500
Koefisien
Zona (KZ)
(2)
4
4
Koefisien
Pencapaian
Efisiensi
(KF)
(3)
1
1
Kebutuhan alokasi Modal Inti untuk rencana pembukaan jaringan kantor
Rencana pemupukan modal
Jumlah Rencana
Pembukaan
Jaringan Kantor
(4)
2
5
Dalam jutaan Rp
Jumlah
alokasi Modal
Inti (TC)
(5 = 1 x 2 x 3 x 4)
24.000
30.000
54.000
80.000
Rencana…
-10-
Rencana pemupukan modal adalah Rp80 Milyar yang akan dialokasikan sebesar 60% (Rp48 Milyar) untuk menutupi
kekurangan alokasi Modal Inti jaringan kantor yang telah ada/existing, dan sisanya sebesar 40% (Rp32 Milyar) dapat
digunakan untuk membuka jaringan kantor baru.
- Dengan demikian, maka alokasi pemupukan modal untuk pembukaan jaringan kantor baru hanya cukup untuk membuka
2 KC dan 1 KCP di Jawa Timur.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 2016
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
NELSON TAMPUBOLON
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 28/SEOJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PEMBUKAAN JARINGAN KANTOR BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH BERDASARKAN MODAL INTI </reg_title>
<set_date> 21 Juli 2016 </set_date>
<effective_date> 21 Juli 2016 </effective_date>
<replaced_reg> '15/8/DPBS|SE-BI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '6/POJK.03/2016' </related_reg>
|
-1-
Yth.
Direksi/Pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan,
di Tempat.
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13/SEOJK.07/2014
TENTANG
PERJANJIAN BAKU
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431), maka perlu diatur ketentuan
mengenai petunjuk pelaksanaan untuk menyesuaikan klausula dalam Perjanjian
Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22, dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara
sepihak oleh PUJK dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk,
maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk
dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal.
2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat PUJK, adalah
Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat
Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan
Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya
secara konvensional maupun secara syariah.
3. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau
memanfaatkan pelayanan yang tersedia di PUJK antara lain nasabah
pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada
Perasuransian ...
-2-
Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
II. KLAUSULA DALAM PERJANJIAN BAKU
1. PUJK wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam
pembuatan perjanjian dengan Konsumen.
2. Dalam hal PUJK merancang, merumuskan, menetapkan, dan
menawarkan Perjanjian Baku, PUJK wajib mendasarkan pada ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada angka 1.
3. Klausula dalam Perjanjian Baku yang dilarang adalah yang memuat:
a. Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak
dan/atau mengurangi kewajiban PUJK, atau mengurangi hak
dan/atau menambah kewajiban Konsumen.
b. Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku
yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan. Contoh terhadap
kondisi ini misalkan memanfaatkan kondisi Konsumen yang
mendesak karena kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat dan
secara sengaja atau tidak sengaja PUJK tidak menjelaskan manfaat,
biaya dan risiko dari produk dan/atau layanan yang ditawarkan.
4. Perjanjian Baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK
kepada Konsumen;
b. menyatakan bahwa PUJK berhak menolak pengembalian uang yang
telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang
dibeli;
c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUJK, baik
secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala
tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen,
kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
d. mewajibkan Konsumen untuk membuktikan dalil PUJK yang
menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan
yang dibeli oleh Konsumen bukan merupakan tanggung jawab PUJK;
e. memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi kegunaan produk
dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang
menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;
f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak
oleh ...
-3-
oleh PUJK dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau
layanan yang dibelinya; dan/atau
g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUJK untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas
produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara
angsuran.
III. FORMAT PERJANJIAN BAKU
1. Perjanjian Baku yang memuat hak dan kewajiban Konsumen dan
persyaratan yang mengikat Konsumen secara hukum, wajib
menggunakan huruf, tulisan, simbol, diagram, tanda, istilah, frasa yang
dapat dibaca, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia
yang mudah dimengerti oleh Konsumen.
2. Apabila Konsumen menemukan ketidakjelasan, PUJK wajib memberikan
penjelasan atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan
tanda yang belum dipahami oleh Konsumen, baik secara tertulis di
dalam Perjanjian Baku, maupun secara lisan sebelum Perjanjian Baku
ditandatangani.
3. Dalam hal Perjanjian Baku menggunakan istilah, frasa, dan/atau
kalimat dari bahasa lain selain Bahasa Indonesia, maka istilah, frasa,
dan/atau kalimat dari bahasa lain tersebut harus disandingkan dengan
istilah, frasa, dan/atau kalimat dalam Bahasa Indonesia.
4. Dalam Perjanjian Baku wajib memuat pernyataan sebagai berikut:
“PERJANJIAN INI TELAH DISESUAIKAN DENGAN KETENTUAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERMASUK KETENTUAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN”.
5. Selain berbentuk cetak, Perjanjian Baku dapat berbentuk digital atau
elektronik atau disebut e-contract untuk ditawarkan oleh PUJK melalui
media elektronik.
6. Dalam hal Perjanjian Baku berbentuk cetak, maka berlaku hal-hal
sebagai berikut:
a. PUJK wajib memastikan terdapat persetujuan tertulis Konsumen
dengan cara antara lain membubuhkan tanda tangan dalam
Perjanjian Baku atau dokumen lain yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Perjanjian Baku yang menyatakan persetujuan
Konsumen.
b. PUJK dapat menggandakannya sehingga transaksi dapat memenuhi
tujuan, yaitu cepat, efektif, efisien, berulang, dan memberikan
kepastian hukum.
c. PUJK ...
-4-
c. PUJK memberikan waktu yang cukup bagi Konsumen untuk
membaca dan memahami Perjanjian Baku sebelum
menandatanganinya atau sebelum efektif berlakunya Perjanjian
Baku.
d. PUJK wajib mematuhi ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, antara lain undang-undang yang mengatur
mengenai informasi dan transaksi elektronik.
IV. KETENTUAN LAIN – LAIN
1. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini, PUJK melakukan penyesuaian terhadap klausula dalam Perjanjian
Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan, maka PUJK harus memberitahukan kepada
Konsumen.
2. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini, PUJK belum selesai melaksanakan pemenuhan penyesuaian
ketentuan dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, maka PUJK membuat action plan yang disetujui oleh Bidang
Pengawasan masing-masing PUJK terkait.
V. KETENTUAN PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Agustus 2014
ANGGOTA DEWAN KOMISIONER BIDANG
EDUKASI DAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN,
Ttd.
KUSUMANINGTUTI S. SOETIONO
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 13/SEOJK.07/2014 </reg_id>
<reg_title> PERJANJIAN BAKU </reg_title>
<set_date> 20 Agustus 2014 </set_date>
<effective_date> 20 Agustus 2014 </effective_date>
<related_reg> '1/POJK.07/2013' </related_reg>
|
Yth.
1. Direksi Bank Umum Konvensional; dan
2. Direksi Bank Umum Syariah,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 12 /SEOJK.03/2017
TENTANG
KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 56/POJK.03/2016 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 287, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5981), yang selanjutnya disebut POJK
Kepemilikan Saham Bank Umum, perlu mengatur ketentuan pelaksanaan
mengenai Kepemilikan Saham Bank Umum dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan, sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dominasi kepemilikan Bank oleh salah satu pihak sering menghambat
Bank dalam menerapkan Tata Kelola yang baik. Pengalaman krisis pada
masa lalu membuktikan bahwa Bank yang terkena dampak krisis adalah
Bank yang dimiliki secara dominan oleh pemegang saham tertentu. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penyebaran kepemilikan saham Bank dengan
menerapkan batas maksimum kepemilikan saham Bank sehingga Bank
dapat menerapkan Tata Kelola yang baik.
II. PENERAPAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM BANK
A. Calon Pemegang Saham Bank
1. Calon pemegang saham dapat memiliki saham Bank paling tinggi
sebesar batas maksimum kepemilikan saham pada saat menjadi
pemegang saham Bank.
- 2 -
2. Batas maksimum kepemilikan saham bagi calon pemegang saham
Bank berupa Pemerintah Daerah dipersamakan dengan batas
maksimum kepemilikan saham Bank bagi badan hukum bukan
lembaga keuangan yaitu 30% (tiga puluh persen) dari Modal Bank
untuk masing-masing Pemerintah Daerah.
3. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company),
yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban terhadap ketentuan
mengenai kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, dalam
hal akan melakukan akuisisi Bank lain maka batas maksimum
kepemilikan sahamnya adalah sebesar batas kepemilikan yang
tertinggi dari kategori pemegang saham dari Perusahaan Induk di
Bidang Perbankan (Bank Holding Company).
4. Dalam hal calon pemegang saham berupa badan hukum yang
berkedudukan di luar negeri akan menjadi Pemegang Saham
Pengendali (PSP), harus memiliki peringkat investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c POJK Kepemilikan Saham
Bank Umum. Posisi peringkat investasi calon pemegang saham yang
digunakan paling sedikit 1 (satu) tahun terakhir sebelum menjadi
PSP Bank.
B. Pemegang Saham Bank
1. Pemegang saham yang memiliki saham Bank kurang dari batas
maksimum kepemilikan saham Bank, dapat melakukan
penambahan kepemilikan sampai dengan batas maksimum
kepemilikan saham Bank.
2. Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas
maksimum kepemilikan saham Bank, dapat melakukan
penambahan kepemilikan saham sepanjang tidak menambah
persentase kepemilikan saham yang bersangkutan.
3. Pemegang saham yang melakukan penjualan saham yang dimiliki
atas inisiatif sendiri wajib menyesuaikan kepemilikan saham sesuai
dengan batas maksimum kepemilikan saham Bank dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak penjualan saham
yang dimiliki, sebagaimana diatur dalam POJK Kepemilikan Saham
Bank Umum.
Yang dimaksud dengan pemegang saham yang melakukan
penjualan saham yang dimiliki atas inisiatif sendiri adalah
pemegang saham Bank langsung dan/atau ultimate shareholder
- 3 -
yang melakukan penjualan sahamnya secara langsung maupun
tidak langsung sehingga mengakibatkan:
a. perubahan pemegang saham Bank langsung atau perubahan
ultimate shareholder; dan/atau
b. perubahan persentase kepemilikan saham Bank oleh pemegang
saham langsung atau perubahan persentase kepemilikan
ultimate shareholder pada Bank yang secara tidak langsung
mempengaruhi jumlah pengendalian pada Bank.
4. Dalam hal terdapat penjualan saham oleh pemegang saham
sebagaimana pada angka 3 maka pemegang saham langsung Bank
wajib menyesuaikan dengan batas maksimum kepemilikan saham
sesuai POJK Kepemilikan Saham Bank Umum.
III. PERSYARATAN KHUSUS KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM
A. Kepemilikan Saham Bank Lebih Dari 40% (Empat Puluh Persen)
1. Persyaratan untuk dapat memiliki saham Bank lebih dari 40%
(empat puluh persen) antara lain memperoleh penilaian Tingkat
Kesehatan Bank dengan Peringkat Komposit 1 atau Peringkat
Komposit 2 atau Peringkat Tingkat Kesehatan Bank yang setara
bagi lembaga keuangan bank yang berkedudukan di luar negeri,
memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah sesuai profil
risiko, dan memiliki modal inti (tier 1) paling sedikit 6% (enam
persen).
2. Posisi penilaian yang digunakan untuk ketiga persyaratan tersebut
adalah posisi penilaian paling lama 1 (satu) tahun terakhir.
B. Persyaratan Peringkat Investasi
Persyaratan peringkat investasi bagi calon PSP berupa badan hukum
yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2) huruf c POJK Kepemilikan Saham Bank Umum adalah posisi
peringkat investasi paling lama 1 (satu) tahun sebelum yang
bersangkutan menjadi PSP Bank.
- 4 -
IV. PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN DAN/ATAU TATA KELOLA SELAMA 3
(TIGA) PERIODE PENILAIAN BERTURUT-TURUT
Yang dimaksud dengan 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut atas
penilaian Tingkat Kesehatan Bank dan/atau penilaian penerapan Tata
Kelola adalah penilaian yang dilakukan secara berkala sebagaimana
diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum serta Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
V. PENTAHAPAN KEPEMILIKAN SAHAM BANK LEBIH DARI 40% (EMPAT
PULUH PERSEN)
1. Batas maksimum kepemilikan saham bagi badan hukum lembaga
keuangan bank adalah paling tinggi sebesar 40% (empat puluh persen)
dari Modal Bank.
2. Badan hukum lembaga keuangan bank hanya dapat memiliki saham
Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) dari Modal Bank, dengan
memenuhi ketentuan:
a. bagi calon pemegang saham Bank hanya dapat memiliki saham
Bank sebesar 40% (empat puluh persen) terlebih dahulu; dan
b. selanjutnya pemegang saham Bank dapat meningkatkan
kepemilikan saham lebih dari 40% (empat puluh persen) sepanjang
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) POJK Kepemilikan Saham Bank
Umum.
3. Kepemilikan saham Bank oleh badan hukum lembaga keuangan bank
lebih dari 40% (empat puluh persen) dilakukan dengan mekanisme
sebagai berikut:
a. Calon pemegang saham mengajukan permohonan kepada Otoritas
Jasa Keuangan melalui Bank yang akan dimiliki dengan
melampirkan dokumen administratif sebagaimana pada Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan ini.
b. Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian atas pemenuhan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) POJK
Kepemilikan Saham Bank Umum.
c. Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan penilaian sebagaimana
dimaksud pada huruf b, akan memberikan persetujuan bagi calon
- 5 -
pemegang saham yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40%
(empat puluh persen) yaitu:
1) persetujuan untuk memiliki saham Bank sebesar 40% (empat
puluh persen) dari Modal Bank; dan
2) persetujuan untuk dapat meningkatkan jumlah kepemilikan
saham dengan kewajiban mengajukan kembali permohonan
persetujuan untuk meningkatkan jumlah kepemilikan
sahamnya. Permohonan dapat diajukan kembali dalam hal
Bank yang dimiliki memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan
Bank dengan Peringkat Komposit 1 atau Peringkat Komposit 2
dan penilaian Tata Kelola dengan Peringkat 1 (satu) atau
Peringkat 2 (dua) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-
turut dalam periode 5 (lima) tahun sejak persetujuan
kepemilikan saham Bank sebesar 40% (empat puluh persen).
d. Bagi PSP berupa lembaga keuangan bank yang telah memiliki
saham Bank kurang dari 40% (empat puluh persen) dan akan
meningkatkan kepemilikan sahamnya menjadi lebih dari 40%
(empat puluh persen) dapat mengajukan permohonan dalam hal
Bank yang dimiliki memperoleh penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dengan Peringkat Komposit 1 atau Peringkat Komposit 2, dan
penilaian Tata Kelola dengan Peringkat 1 (satu) atau Peringkat 2
(dua) selama 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut dalam periode
5 (lima) tahun sebelum permohonan kepemilikan saham Bank lebih
dari 40% (empat puluh persen) diajukan.
Permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk meningkatkan
kepemilikan saham lebih dari 40% (empat puluh persen) diajukan
oleh PSP melalui Bank yang dimiliki dengan melampirkan dokumen
administratif sebagaimana dimaksud pada Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini.
VI. KOMITMEN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN
INDONESIA
Bagi calon PSP yang merupakan:
1. warga negara asing;
2. badan hukum yang berkedudukan di luar negeri; atau
3. badan hukum lembaga keuangan bank yang berkedudukan di luar
- 6 -
negeri yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh
persen) dari Modal Bank,
harus memenuhi persyaratan antara lain memiliki komitmen untuk
mendukung pengembangan perekonomian Indonesia melalui Bank yang
akan dimiliki, dalam bentuk:
a. Komitmen tertulis, yang paling sedikit memuat:
1) sektor ekonomi yang akan diprioritaskan; dan
2) wilayah di Indonesia yang akan menjadi prioritas.
b. Rencana kegiatan calon PSP dalam rangka pengembangan Bank yang
akan dimiliki untuk paling sedikit 5 (lima) tahun ke depan, yang paling
sedikit memuat:
1) Rencana penyaluran kredit atau pembiayaan produktif ke sektor
ekonomi dan wilayah di Indonesia yang akan diprioritaskan.
Sektor ekonomi dan wilayah di Indonesia yang menjadi prioritas
mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Besarnya jumlah penyaluran kredit atau pembiayaan kepada
usaha produktif mengacu pada kewajiban penyaluran kredit atau
pembiayaan kepada usaha produktif sesuai ketentuan Otoritas
Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Kegiatan Usaha dan
Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
2) Ringkasan strategi bisnis yang akan dijalankan.
c. Komitmen tertulis sebagaimana pada huruf a dan rencana kegiatan
sebagaimana pada huruf b, disampaikan pada saat permohonan izin
sebagai calon PSP atau pemegang saham lembaga keuangan bank
mengajukan permohonan untuk meningkatkan kepemilikan saham
Bank lebih dari 40% (empat puluh persen).
d. Dalam hal permohonan calon pemegang saham disetujui oleh Otoritas
Jasa Keuangan, rencana kegiatan calon pemegang saham sebagaimana
pada huruf b harus tercantum dalam rencana bisnis Bank.
VII. REKOMENDASI DARI OTORITAS PENGAWASAN DARI NEGARA ASAL
Bagi calon PSP yang merupakan:
1. badan hukum lembaga keuangan yang berkedudukan di luar negeri,
atau
2. badan hukum lembaga keuangan bank yang berkedudukan di luar
- 7 -
negeri yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh
persen) dari Modal Bank,
harus pula memenuhi persyaratan antara lain mendapatkan rekomendasi
dari otoritas pengawasan negara asal lembaga keuangan tersebut yang
paling sedikit memuat:
a. Keterangan calon PSP mengenai:
1) reputasi yang baik; dan
2) tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan;
dan
b. Otoritas pengawasan negara asal PSP Bank mendukung kebijakan
Otoritas Jasa Keuangan di bidang pengawasan yang antara lain
bertujuan untuk memperbaiki kinerja Bank dan/atau memelihara
stabilitas sistem keuangan di tempat kedudukan Bank.
VIII. SURAT UTANG YANG BERSIFAT EKUITAS
Sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 7 POJK Kepemilikan Saham Bank
Umum, calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham Bank
lebih dari 40% (empat puluh persen) harus memiliki komitmen untuk
membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang
akan dimiliki, dan Bank yang akan dimiliki harus memiliki persetujuan
untuk menerbitkan surat utang yang bersifat ekuitas, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Komitmen Calon Pemegang Saham Berupa Lembaga Keuangan Bank
a. Calon pemegang saham berupa lembaga keuangan bank yang akan
memiliki saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen) harus
memiliki komitmen tertulis untuk memenuhi kewajiban membeli
surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan Bank yang dimiliki,
yang paling sedikit memuat:
1) kesediaan calon pemegang saham berupa lembaga keuangan
bank untuk membeli surat utang bersifat ekuitas yang
diterbitkan Bank yang dimiliki, dalam hal Bank yang dimiliki
diperkirakan mengalami kesulitan pada waktu yang akan datang
untuk memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum
(KPMM) sesuai profil risiko, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bagi bank umum dan kewajiban
penyediaan modal minimum bagi bank umum syariah; dan
- 8 -
2) jumlah surat utang bersifat ekuitas yang akan dibeli yaitu paling
sedikit sebanding dengan persentase kepemilikan saham.
Pemegang saham berupa lembaga keuangan bank tersebut
harus membeli sisa surat utang bersifat ekuitas, dalam hal
setelah ditawarkan, pemegang saham lain tidak bersedia
membeli surat utang dimaksud.
b. Komitmen ditandatangani oleh pihak yang berwenang mewakili
calon pemegang saham sesuai anggaran dasar.
c. Komitmen disampaikan pada saat PSP berupa lembaga keuangan
bank mengajukan permohonan untuk meningkatkan kepemilikan
saham Bank lebih dari 40% (empat puluh persen).
2. Persetujuan Penerbitan Surat Utang yang Bersifat Ekuitas oleh Bank
yang Dimiliki
a. Bank yang dimiliki oleh pemegang saham sebagaimana pada
angka 1 harus memiliki persetujuan untuk menerbitkan surat
utang yang bersifat ekuitas setelah pemegang saham sebagaimana
pada angka 1 merealisasikan pembelian saham lebih dari 40%
(empat puluh persen).
b. Surat utang yang bersifat ekuitas paling sedikit memenuhi
ketentuan:
1) memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum dan kewajiban penyediaan modal
minimum bank umum syariah; dan
2) merupakan surat utang yang dapat dikonversi menjadi saham
atau mengandung hak opsi untuk memperoleh saham.
c. Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit
memuat:
1) Bank akan menerbitkan surat utang bersifat ekuitas dalam hal
Bank diperkirakan mengalami kesulitan pada waktu yang akan
datang untuk memenuhi rasio KPMM sesuai profil risiko
sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank
umum dan kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank
umum syariah;
2) jumlah surat utang bersifat ekuitas yang akan diterbitkan
adalah sebesar jumlah tambahan modal yang dibutuhkan untuk
- 9 -
mengatasi potensi kekurangan pemenuhan rasio KPMM sesuai
profil risiko; dan
3) surat utang bersifat ekuitas dimaksud harus dikonversi menjadi
saham dalam hal rasio KPMM sesuai profil risiko kurang dari
ketentuan yang berlaku.
d. Bentuk persetujuan sebagaimana pada huruf a disesuaikan dengan
anggaran dasar Bank.
e. Persetujuan sebagaimana pada huruf a disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 6 (enam) bulan sejak
pemegang saham sebagaimana pada huruf a merealisasikan
peningkatan jumlah kepemilikan saham menjadi lebih dari 40%
(empat puluh persen).
IX. KEWAJIBAN MENYESUAIKAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN SAHAM
BAGI PEMEGANG SAHAM PADA BANK UMUM SYARIAH HASIL
PEMISAHAN (SPIN OFF) UNIT USAHA SYARIAH
1. Pemegang saham pada Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off)
Unit Usaha Syariah yang dilakukan sebelum dan setelah diterbitkan
POJK Kepemilikan Saham Bank Umum wajib menyesuaikan dengan
batas maksimum kepemilikan saham paling lama akhir Desember
2028 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 POJK Kepemilikan
Saham Bank Umum.
2. Bank Umum Syariah hasil pemisahan (spin off) mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai Unit Usaha Syariah.
- 10 -
X. PENUTUP
Pada saat Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tanggal 6 Maret 2013 perihal
Kepemilikan Saham Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Maret 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
NELSON TAMPUBOLON
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 12/SEOJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> KEPEMILIKAN SAHAM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 17 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 17 Maret 2017 </effective_date>
<replaced_reg> '15/4/DPNP|SE-BI/2013' </replaced_reg>
<related_reg> '56/POJK.03/2016' </related_reg>
|
Yth.
Pelaku Pasar Modal
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/SEOJK.04/2014
TENTANG
KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DAN
PENGUMUMAN KEPADA MASYARAKAT OLEH PELAKU PASAR MODAL YANG BATAS
WAKTUNYA JATUH PADA HARI LIBUR
Sehubungan dengan kewajiban penyampaian laporan oleh pelaku Pasar Modal
kepada Otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal, perlu diatur ketentuan mengenai kewajiban penyampaian laporan
oleh pelaku Pasar Modal kepada Otoritas Jasa Keuangan yang batas waktu
penyampaiannya jatuh pada Hari Libur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
a. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga
yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
b. Hari Libur adalah hari libur nasional atau hari libur yang ditetapkan oleh
OJK.
II. PENYAMPAIAN LAPORAN OLEH PELAKU PASAR MODAL KEPADA OJK
a. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal, diatur
bahwa pelaku Pasar Modal mempunyai kewajiban penyampaian laporan
kepada OJK baik secara berkala maupun secara insidentil dengan batas
waktu akhir kewajiban penyampaian laporan masing-masing.
b. Batas waktu akhir kewajiban penyampaian laporan oleh pelaku Pasar
Modal kepada OJK dapat jatuh pada Hari Libur.
c.
Jika batas waktu akhir kewajiban penyampaian laporan dalam peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal jatuh pada Hari Libur dan
telah diatur batas waktu akhir kewajiban penyampaiannya, laporan
dimaksud wajib disampaikan kepada OJK paling lambat pada 1 (satu) hari
kerja...
-2-
kerja sebelum Hari Libur atau pada 1 (satu) hari kerja setelah Hari Libur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang
mengatur mengenai kewajiban pelaporan dimaksud.
d.
Jika batas waktu akhir kewajiban penyampaian laporan dalam peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal jatuh pada Hari Libur dan
tidak diatur batas waktu akhir kewajiban penyampaiannya yaitu pada 1
(satu) hari kerja sebelum Hari Libur atau pada 1 (satu) hari kerja setelah
Hari Libur, laporan dimaksud wajib disampaikan kepada OJK paling
lambat 1 (satu) hari kerja setelah Hari Libur tersebut.
III. PENGUMUMAN KETERBUKAAN INFORMASI OLEH PELAKU PASAR MODAL
KEPADA MASYARAKAT
a.
Jika batas waktu akhir kewajiban pengumuman keterbukaan informasi
kepada masyarakat dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal jatuh pada Hari Libur dan telah diatur batas akhir kewajiban
pengumumannya, pengumuman dimaksud wajib dilakukan paling lambat
pada 1 (satu) hari kerja sebelum Hari Libur atau pada 1 (satu) hari kerja
setelah Hari Libur sesuai dengan peraturan yang terkait kewajiban
pengumuman dimaksud.
b.
Jika batas waktu akhir kewajiban melakukan pengumuman keterbukaan
informasi kepada masyarakat dalam peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal jatuh pada Hari Libur dan tidak diatur batas waktu
akhir kewajiban pengumumannya yaitu pada satu hari kerja sebelum Hari
Libur atau pada satu hari kerja setelah Hari Libur, pengumuman
dimaksud wajib dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Hari
Libur tersebut.
IV. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
OJK ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2014
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PASAR MODAL,
Ttd.
NURHAIDA
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 11/SEOJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DAN PENGUMUMAN KEPADA MASYARAKAT OLEH PELAKU PASAR MODAL YANG BATAS WAKTUNYA JATUH PADA HARI LIBUR </reg_title>
<set_date> 24 Juli 2014 </set_date>
<effective_date> 24 Juli 2014 </effective_date>
|
Yth.
1. Akuntan Publik;
2. Aktuaris; dan
3. Penilai Independen,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 17/SEOJK.05/2015
TENTANG
PENUNJUKAN AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS,
DAN/ATAU PENILAI INDEPENDEN SEBAGAI PEMERIKSA
LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK
Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung
Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5576), perlu untuk mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai
penunjukan akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagai
pemeriksa lembaga jasa keuangan non-bank dalam Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang selanjutnya disingkat LJKNB
adalah:
a. perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah, sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian;
b. perusahaan pembiayaan, termasuk yang menyelenggarakan seluruh
atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana
dimaksud ...
-2-
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lembaga
pembiayaan;
c. dana pensiun, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau
sebagian usahanya dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun; dan
d. lembaga jasa penunjang industri keuangan non-bank yang meliputi
perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi,
kantor jasa penilai publik, perusahaan penilai kerugian asuransi,
kantor akuntan publik dan lembaga jasa penunjang lainnya yang
mendukung industri keuangan non-bank.
2. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan mencari,
mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau
keterangan mengenai LJKNB yang dilakukan di kantor LJKNB dan di
tempat lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan
kegiatan LJKNB.
3. Pemeriksa adalah pihak yang ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan Pemeriksaan Langsung.
4. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga
yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
II. PENUNJUKAN AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS, DAN/ATAU PENILAI
INDEPENDEN SEBAGAI PEMERIKSA
1. OJK dapat menunjuk akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai
independen sebagai Pemeriksa.
2. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagaimana
dimaksud pada angka 1 harus memenuhi kriteria:
a. bukan pihak terafiliasi terhadap pihak yang diperiksa;
b. memiliki sikap mental yang baik dan etika serta tanggung jawab
profesi yang tinggi;
c. tidak pernah dihukum karena tindak pidana di sektor jasa keuangan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap;
d. bersikap …
-3-
d. bersikap independen, jujur, dan obyektif; dan
e. kompeten di bidangnya dan memahami peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan dan peraturan perundang-
undangan lainnya.
3. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagaimana
dimaksud pada angka 1 juga harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki izin profesi dari instansi yang berwenang; dan
b. tidak memberikan jasa kepada LJKNB yang akan diperiksa paling
singkat dalam 2 (dua) tahun sebelum tanggal penunjukan sebagai
Pemeriksa.
4. Tata cara penunjukan akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai
independen sebagai Pemeriksa dilakukan sesuai dengan Peraturan
Dewan Komisioner OJK tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa
OJK.
5. Penunjukan akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen
sebagai Pemeriksa dituangkan dalam surat perintah kerja.
6. Surat perintah kerja sebagaimana dimaksud pada angka 5
ditandatangani oleh Deputi Komisioner OJK yang membawahkan fungsi
pengawasan LJKNB.
III. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS,
DAN/ATAU PENILAI INDEPENDEN YANG DITUNJUK SEBAGAI PEMERIKSA
1. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen yang ditunjuk
sebagai Pemeriksa bertugas melaksanakan Pemeriksaan Langsung
sesuai Peraturan Dewan Komisioner OJK tentang Tata Cara Pemeriksaan
Langsung dan Surat Edaran Dewan Komisioner OJK tentang Pedoman
Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang
ditetapkan oleh OJK.
2. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen sebagaimana
dimaksud pada angka 1 bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas
sebagaimana ditetapkan dalam surat perintah kerja.
IV. HAK ...
-4-
IV. HAK DAN KEWAJIBAN AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS, DAN/ATAU PENILAI
INDEPENDEN YANG DITUNJUK SEBAGAI PEMERIKSA
1. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen yang ditunjuk
sebagai Pemeriksa berhak atas honorarium dan/atau imbalan jasa
lainnya sebagaimana ditetapkan dalam surat perintah kerja sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di OJK.
2. Akuntan publik, aktuaris, dan/atau penilai independen yang ditunjuk
sebagai Pemeriksa wajib menjaga kerahasiaan informasi terkait LJKNB
yang diperiksa.
V. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengumuman Surat Edaran
OJK ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Ttd..
Ttd.
Sudarmaji
FIRDAUS DJAELANI
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 48 TANGGAL
16 JUNI 2015
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 17/SEOJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PENUNJUKAN AKUNTAN PUBLIK, AKTUARIS, DAN/ATAU PENILAI INDEPENDEN SEBAGAI PEMERIKSA LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 8 Juni 2015 </set_date>
<effective_date> 8 Juni 2015 </effective_date>
<related_reg> '11/POJK.05/2014 | Pasal 6 ayat (3)' </related_reg>
|
Z`
Yth.
1. Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek;
2. Direksi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Manajer Investasi; dan
3. Direksi Bank Umum yang menjalankan fungsi Kustodian,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 47 /SEOJK.04/2017
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN
PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR PASAR MODAL
Dalam rangka pelaksanaan amanat Pasal 68 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6035), perlu mengatur
ketentuan pelaksanaan mengenai penerapan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor pasar modal dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
a. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal yang
selanjutnya disebut PJK di Sektor Pasar Modal adalah
perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau
manajer investasi, serta bank umum yang menjalankan fungsi
kustodian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
-2-
b. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud
dalam
c. Pendanaan Terorisme adalah
pendanaan
Undang-Undang mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pendanaan
Terorisme.
d. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
yang selanjutnya disingkat APU dan PPT adalah upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang
dan Pendanaan Terorisme.
e. Direksi bagi PJK di sektor Pasar Modal adalah Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perseroan terbatas.
f. Dewan Komisaris bagi PJK di sektor Pasar Modal adalah Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai perseroan terbatas.
2. PJK di Sektor Pasar Modal sangat rentan terhadap kemungkinan
digunakan sebagai media Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme, PJK di Sektor Pasar Modal dimungkinkan menjadi pintu
masuk harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana atau
merupakan pendanaan kegiatan terorisme ke dalam sistem
keuangan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pelaku kejahatan. Misalnya untuk pelaku Pencucian Uang, harta
kekayaan tersebut dapat ditarik kembali sebagai harta kekayaan
yang seolah-olah sah dan tidak lagi dapat dilacak asal-usulnya.
Sedangkan untuk pelaku Pendanaan Terorisme, harta kekayaan
tersebut dapat digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme.
3. Semakin berkembangnya kompleksitas produk dan layanan jasa
keuangan termasuk pemasarannya (multi channel marketing), serta
semakin meningkatnya penggunaan teknologi informasi pada
industri jasa keuangan, mengakibatkan semakin tinggi risiko PJK di
Sektor Pasar Modal digunakan sebagai sarana Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme.
4. Dalam kaitan tersebut perlu adanya peningkatan kualitas penerapan
program APU dan PPT yang didasarkan pada pendekatan berbasis
risiko (risk based approach) sesuai dengan prinsip-prinsip umum
-3-
yang berlaku secara internasional, serta sejalan dengan penilaian
risiko nasional (national risk assessment/NRA) dan penilaian risiko
sektoral (sectoral risk assessment/SRA).
5. Penerapan program APU dan PPT berbasis risiko paling sedikit
meliputi:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kebijakan dan prosedur;
c. pengendalian internal;
d. sistem manajemen informasi; dan
e. sumber daya manusia dan pelatihan.
6. Gambaran Umum Tindak Pidana Pencucian Uang
a. Tindak pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah
menjadi harta kekayaan yang sah.
b. Pada dasarnya proses Pencucian Uang dapat dikelompokkan ke
dalam 3 (tiga) tahap kegiatan yang meliputi:
1) penempatan (placement), yaitu upaya menempatkan uang
tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem
keuangan (financial system);
2) transfer (layering), yaitu upaya untuk mentransfer harta
kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money)
yang telah berhasil ditempatkan pada PJK (terutama bank)
sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke PJK yang
lain. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan jejak sumber
dana hasil tindak pidana melalui beberapa lapis (layer)
transaksi keuangan; dan/atau
3) penggunaan harta kekayaan (integration), yaitu upaya
menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak
pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem
keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan sah (clean money),
untuk kegiatan bisnis yang sah atau untuk membiayai
-4-
kembali kegiatan kejahatan.
c. Beberapa metode, teknis, skema, dan instrumen dalam
Pencucian Uang, seperti:
1) penukaran mata uang/konversi uang tunai, yaitu teknik
yang digunakan untuk membantu penyelundupan ke
yurisdiksi lain atau untuk memanfaatkan rendahnya
persyaratan pelaporan pada jasa penyedia jasa pertukaran
mata uang untuk meminimalkan risiko terdeteksi,
contohnya melakukan pembelian cek perjalanan untuk
membawa nilai ke yurisdiksi lainnya;
2) pembawaan uang tunai/penyelundupan mata uang, yaitu
teknik yang dilakukan untuk menyembunyikan
perpindahan dari mata uang untuk menghindari transaksi
atau mengukur pelaporan uang tunai;
3) structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan
dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah
transaksi menjadi lebih kecil namun dengan frekuensi
yang tinggi;
4) smurfing, yaitu metode yang dilakukan dengan
menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang
berbeda-beda untuk kepentingan satu orang tertentu;
5) underground banking atau alternatif jasa pengiriman uang,
yaitu kegiatan pengiriman uang melalui mekanisme jalur
informal yang dilakukan atas dasar kepercayaan.
Seringkali mekanisme ini bekerja secara paralel dengan
sektor perbankan tradisional dan kemungkinan melanggar
hukum di beberapa yurisdiksi. Teknik ini dimanfaatkan
oleh pelaku Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
untuk memindahkan nilai uang tanpa terdeteksi dan
untuk mengaburkan identitas yang mengendalikan uang
tersebut;
6) Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme berbasis
perdagangan, yaitu teknik yang mencakup manipulasi
faktur dan menggunakan rute jalur keuangan dan
komoditas untuk menghindari transparansi hukum dan
keuangan;
-5-
7) mingling, yaitu teknik dengan menggunakan cara
mencampurkan atau menggabungkan hasil kejahatan
dengan hasil usaha bisnis yang sah dengan tujuan untuk
mengaburkan sumber dana;
8) penggunaan jasa profesional, yaitu teknik dengan
menggunakan pihak ketiga, dalam hal ini yaitu jasa
profesional seperti advokat, notaris, perencana keuangan,
akuntan, dan akuntan publik. Hal tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk mengaburkan identitas penerima
manfaat dan sumber dana hasil kejahatan;
9) penggunaan perusahaan boneka (shell company), yaitu
sebuah teknik yang dilakukan dengan mendirikan
perusahaan secara formal berdasarkan aturan hukum
yang berlaku. Namun, dalam praktiknya perusahaan
tersebut tidak digunakan untuk melakukan kegiatan
usaha. Perusahaan boneka tersebut didirikan hanya untuk
melakukan transaksi fiktif atau menyimpan aset pihak
pendiri atau orang lain. Selain itu, teknik tersebut
bertujuan untuk mengaburkan identitas orang yang
mengendalikan dana dan memanfaatkan persyaratan
pelaporan yang relatif rendah;
10) penggunaan transfer kawat (wire transfer), yaitu teknik
yang bertujuan untuk melakukan transfer dana secara
elektronik antara lembaga keuangan dan sering kali ke
yurisdiksi lain untuk menghindari deteksi dan penyitaan
aset;
11) teknologi pembayaran baru (new payment technologies),
yaitu teknik yang menggunakan teknologi pembayaran
yang baru muncul untuk Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme, contohnya sistem pembayaran dan pengiriman
uang berbasis telepon seluler (ponsel);
12) penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang
dilakukan dengan menggunakan identitas palsu sebagai
upaya untuk mempersulit terlacaknya identitas dan
pendeteksian keberadaan pelaku Pencucian Uang. Dalam
perkembangannya, tren penggunaan identitas palsu
menunjukan peningkatan yang cukup signifikan melalui
-6-
berbagai cara, di antaranya, melakukan penipuan melalui
penggunaan identitas palsu dalam proses pembukaan
rekening;
13) penggunaan nama orang lain (nominee), wali amanat,
anggota keluarga, dan pihak ketiga, yaitu teknik yang biasa
digunakan untuk mengaburkan identitas orang yang
mengendalikan dana hasil kejahatan;
14) pembelian aset atau barang mewah (properti, kendaraan,
dan lain-lain), yaitu menginvestasikan hasil kejahatan ke
dalam bentuk aset/barang yang memiliki nilai tawar tinggi.
Hal tersebut bertujuan untuk mengambil keuntungan dari
mengurangi persyaratan pelaporan dengan maksud
mengaburkan sumber dana hasil kejahatan;
15) pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan
dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat
terdeteksi oleh sistem keuangan dalam pengukuran rezim
anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
Contohnya, pertukaran secara langsung antara heroin
dengan emas batangan;
16) u turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal-usul hasil
kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi untuk
kemudian dikembalikan ke rekening asalnya;
17) cuckoo smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal-usul
sumber dana dengan mengirimkan dana dari hasil
kejahatannya melalui rekening pihak ketiga yang
menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak
menyadari bahwa dana yang diterimanya tersebut
merupakan proceed of crime; dan/atau
18) penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan
dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan
menghindari terdeteksinya identitas dari pihak yang
sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana.
7. Gambaran Umum Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
a. Setiap aksi terorisme yang dilakukan di Indonesia pada
dasarnya membutuhkan dukungan, baik dalam bentuk
persenjataan (senjata api, tajam, dan peledak), tempat tinggal,
kendaraan untuk mobilisasi, fasilitas perang, dan penyediaan
-7-
kebutuhan anggota yang kesemuanya dapat diartikan sebagai
pendanaan berdasarkan definisi dana dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dalam tindak pidana
kejahatan terorisme, uang atau dana diperuntukan sebagai
sarana untuk melakukan aksi dan bukan sebagai sasaran yang
ingin dicari sehingga berbagai cara akan dilakukan oleh para
pelaku untuk mendapatkan dana baik secara sah maupun
dengan aksi kejahatan. Dana yang terkumpul dipergunakan
untuk mendapatkan persenjataan, membeli bahan peledak,
membangun jaringan atau perekrutan anggota, pelatihan
perang, mobilisasi anggota dari atau ke suatu tempat demi
terlaksananya aksi teror.
b. Tindak pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) adalah penggunaan
harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk
kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris. Pendanaan
terorisme pada dasarnya merupakan jenis tindak pidana yang
berbeda dari TPPU, namun demikian keduanya mengandung
kesamaan yaitu menggunakan jasa keuangan sebagai sarana
untuk melakukan suatu tindak pidana.
c. Berbeda dengan TPPU yang tujuannya untuk menyamarkan
asal-usul harta kekayaan, tujuan TPPT adalah membantu
kegiatan terorisme, baik dengan harta kekayaan yang
merupakan hasil dari suatu tindak pidana ataupun dari harta
kekayaan yang diperoleh secara sah. Untuk mencegah PJK di
Sektor Pasar Modal digunakan sebagai sarana TPPT, PJK di
Sektor Pasar Modal perlu menerapkan program APU dan PPT
secara memadai.
d. Beberapa modus Pendanaan Terorisme yang banyak digunakan
oleh pelaku Pendanaan Terorisme adalah:
1) pendanaan dalam negeri melalui sumbangan ke yayasan
menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan
untuk pengelolaan jaringan teroris;
2) pendanaan dalam negeri melalui penyalahgunaan dana
yayasan menggunakan instrumen uang tunai yang
digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris;
3) pendanaan dalam negeri melalui berdagang/usaha
-8-
(barang/jasa) menggunakan instrumen uang tunai yang
digunakan untuk pengelolaan jaringan teroris;
4) pendanaan dalam negeri melalui tindakan kriminal
menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan
untuk pengelolaan jaringan teroris; dan/atau
5) pendanaan dalam negeri melalui penyalahgunaan dana
yayasan untuk membuka kegiatan usaha baru
(barang/jasa) yang hasilnya untuk pengelolaan jaringan
teroris.
Modus tersebut merupakan modus Pendanaan Terorisme
berisiko tinggi.
II. PROGRAM APU DAN PPT BERBASIS RISIKO (RISK BASED APPROACH)
1. Kewajiban Penerapan Program APU dan PPT Berbasis Risiko
a. PJK di Sektor Pasar Modal wajib menerapkan program APU dan
PPT berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
sampai dengan Pasal 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di
Sektor Jasa Keuangan.
b. Dalam penerapan program APU dan PPT berbasis risiko, PJK di
Sektor Pasar Modal harus merujuk dan mempertimbangkan
risiko sebagaimana yang tercantum dalam NRA dan SRA.
Adapun risiko yang tercantum dalam NRA dan SRA tersebut
dapat berkembang dan mengalami perubahan. Oleh karena itu,
penerapan program APU dan PPT yang dimiliki PJK di Sektor
Pasar Modal harus responsif terhadap perubahan risiko
tersebut.
2. Konsep Risiko
a. Definisi Risiko
Risiko secara sederhana dapat dilihat sebagai kombinasi
peluang yang mungkin terjadi dan tingkat kerusakan atau
kerugian yang mungkin dihasilkan dari suatu peristiwa. Dalam
konteks Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, risiko
diartikan:
1) Pada tingkat nasional adalah suatu ancaman dan
kerentanan yang disebabkan oleh Pencucian Uang dan
-9-
Pendanaan Terorisme yang membahayakan sistem
keuangan nasional serta keselamatan dan keamanan
nasional.
2) Pada tingkat PJK di Sektor Pasar Modal adalah suatu
ancaman dan kerentanan yang menempatkan PJK di
Sektor Pasar Modal digunakan sebagai sarana Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme.
Adapun definisi ancaman dapat diartikan berupa pihak atau
objek yang dapat menyebabkan kerugian. Dalam konteks
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, ancaman dapat
berupa pelaku tindakan kriminal, fasilitator (pihak yang
membantu pelaksanaan tindakan kriminal), dana para pelaku
kejahatan, atau bahkan kelompok teroris.
Sementara kerentanan adalah unsur kegiatan usaha yang dapat
dimanfaatkan oleh ancaman yang telah teridentifikasi. Dalam
konteks TPPU dan TPPT kerentanan dapat berupa pengendalian
internal yang lemah dari PJK di Sektor Pasar Modal ataupun
penawaran produk atau jasa yang berisiko tinggi.
Dalam menilai risiko PJK di Sektor Pasar Modal juga
mempertimbangkan dampak risiko tersebut, dimana dampak
suatu risiko dilihat dari tingkat kerusakan dan kerugian yang
serius yang timbul jika terdapat TPPU dan TPPT yang material.
b. Manajemen Risiko
Manajemen risiko merupakan suatu proses yang dilakukan
untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Dalam
kaitannya dengan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme,
manajemen risiko dimaksud mencakup pemahaman terhadap
risiko Pencucian Uang dan risiko Pendanaan Terorisme,
penilaian atas kedua risiko tersebut, serta pengembangan
metode untuk mengelola dan memitigasi risiko yang telah
diidentifikasi.
Dalam menerapkan manajemen risiko atas risiko Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK di Sektor Pasar Modal
dapat mengembangkan metode manajemen risiko sesuai
dengan karakteristik PJK di Sektor Pasar Modal dengan tetap
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai APU PPT.
-10-
c.
Risiko Bawaan (Inherent Risk) dan Risiko Residual (Residual
Risk)
Dalam melakukan penilaian risiko, penting untuk membedakan
antara risiko bawaan dan risiko residual. Risiko bawaan adalah
risiko yang melekat pada suatu peristiwa atau keadaan yang
telah ada sebelum penerapan tindakan pengendalian. Risiko
bawaan ini terkait dengan kegiatan usaha dan nasabah PJK di
Sektor Pasar Modal. Pada sisi lain, risiko residual adalah tingkat
risiko yang tersisa setelah implementasi langkah mitigasi risiko
dan pengendalian.
d. Pendekatan Berbasis Risiko
Dalam konteks Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme,
pendekatan berbasis risiko adalah suatu proses yang meliputi
hal sebagai berikut:
1) Penilaian risiko yang mencakup 4 (empat) faktor risiko,
yaitu:
a) nasabah;
b) negara atau area geografis;
c) produk, jasa, atau transaksi; dan
d)
jaringan distribusi (delivery channels).
2) Mengelola dan memitigasi risiko yang dilakukan melalui
penerapan pelaksanaan pengendalian internal dan langkah
yang sesuai dengan risiko yang telah diidentifikasi.
3) Melakukan pemantauan atas nasabah, transaksi, dan
hubungan bisnis sesuai dengan tingkat risiko yang telah
dinilai.
Dalam melakukan penilaian, pengelolaan dan mitigasi risiko
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK di Sektor Pasar
Modal perlu memahami bahwa kegiatan penilaian dan mitigasi
tersebut bukanlah sesuatu yang statis. Risiko yang telah
diidentifikasi dapat berubah sejalan dengan perkembangan
produk baru atau ancaman baru sehingga harus dilakukan
pengkinian penilaian risiko secara berkala sesuai dengan
kebutuhan dan penilaian risiko PJK di Sektor Pasar Modal.
-11-
3. Siklus Pendekatan Berbasis Risiko
a. Dalam melakukan pendekatan berbasis risiko (risk based
approach), PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan 6
(enam) langkah kegiatan sebagai berikut:
1) melakukan identifikasi, pemahaman, dan penilaian
terhadap risiko bawaan;
2) menetapkan toleransi risiko;
3) menyusun langkah pengurangan dan pengendalian risiko;
4) melakukan evaluasi atas risiko residual;
5) menerapkan pendekatan berbasis risiko; dan
6) melakukan peninjauan dan evaluasi atas pendekatan
berbasis risiko yang telah dimiliki.
b. Alur siklus pendekatan berbasis risiko (risk based approach)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
4. Langkah Pendekatan Berbasis Risiko
a.
Identifikasi, pemahaman dan penilaian terhadap risiko bawaan
1) Dalam melakukan identifikasi risiko bawaan, PJK di
Sektor Pasar Modal harus mempertimbangkan kerentanan
PJK di Sektor Pasar Modal untuk digunakan sebagai
sarana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
Langkah awal PJK di Sektor Pasar Modal dalam melakukan
penilaian risiko yaitu dengan memahami kegiatan usaha
PJK secara keseluruhan dengan perspektif yang luas.
Pemahaman tersebut akan memungkinkan PJK di Sektor
Pasar Modal untuk mempertimbangkan di mana risiko
terjadi, apakah risiko terjadi pada kegiatan usaha,
nasabah, atau produk tertentu.
2) PJK di Sektor Pasar Modal harus mempertimbangkan
unsur yang memicu timbulnya risiko baik dari sisi
nasabah, geografis/negara/yurisdiksi, produk, jasa, atau
transaksi, dan jaringan distribusi (delivery channels).
Jumlah aktual atas risiko yang diinventarisasi oleh PJK di
Sektor Pasar Modal akan bervariasi bergantung pada
kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal, dan produk
atau jasa yang ditawarkan.
-12-
3) Risiko Nasabah
PJK di Sektor Pasar Modal harus memperhatikan risiko
yang mungkin timbul dari nasabah. Untuk itu, PJK di
Sektor Pasar Modal perlu mengategorikan nasabah
berdasarkan tingkat risiko. Pengategorian tersebut dapat
mengacu pada klasifikasi risiko yang ditetapkan oleh PJK
di Sektor Pasar Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan standar internasional yang
berlaku.
Beberapa kategori nasabah yang aktivitasnya dapat
diindikasikan memiliki risiko tinggi antara lain:
a) nasabah yang melakukan hubungan usaha atau
transaksi yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan
profil nasabah, seperti:
(1) jarak geografis yang signifikan dan tidak dapat
dijelaskan antara tempat tinggal atau lokasi
bisnis nasabah dengan lokasi di mana transaksi
dilakukan; dan
(2) nasabah yang melakukan transaksi dengan pola
dan nilai transaksi yang jauh berbeda dengan
yang biasa dilakukan;
b) nasabah korporasi yang struktur kepemilikannya
kompleks dan menimbulkan kesulitan untuk
diidentifikasi siapa yang menjadi pemilik manfaat
(beneficial owner), pemilik akhir (ultimate owner) atau
pengendali akhir (ultimate controller) dari korporasi;
c) nasabah yang termasuk dalam kategori orang yang
populer secara politis (politically exposed person) yang
selanjutnya disingkat PEP, termasuk anggota
keluarga atau pihak yang terkait (close associates) dari
PEP;
d) nasabah yang pemilik manfaatnya (beneficial owner)
tidak diketahui; dan
e) nasabah yang tidak bersedia memberikan data dan
informasi dalam proses identifikasi atau nasabah yang
memberikan informasi yang sangat minim atau
informasi yang patut diduga sebagai informasi fiktif.
-13-
4) Risiko Negara atau Area Geografis
Risiko negara atau risiko area geografis bersama dengan
faktor risiko lainnya, menyediakan informasi yang sangat
bermanfaat untuk penilaian risiko Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme. Dalam melakukan penilaian risiko,
PJK di Sektor Pasar Modal harus mengidentifikasi unsur
risiko tinggi terkait dengan lokasi geografis, baik lokasi
geografis PJK di Sektor Pasar Modal maupun lokasi
geografis nasabah atau lokasi tempat terjadinya hubungan
usaha, dan dampaknya pada keseluruhan risiko.
Risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme pada
kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal meningkat
apabila:
a) dana diterima dari atau dikirim ke negara/yurisdiksi
yang berisiko tinggi; atau
b) nasabah memiliki hubungan yang signifikan dengan
negara/yurisdiksi berisiko tinggi.
Risiko yang terkait dengan domisili, kewarganegaraan,
atau transaksi harus dinilai sebagai bagian dari risiko
bawaan dari nasabah PJK di Sektor Pasar Modal.
Indikator yang menentukan suatu negara atau wilayah
geografis berisiko tinggi terhadap Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme seperti:
a) yurisdiksi yang oleh organisasi yang melakukan
mutual assessment terhadap suatu negara (seperti:
Financial Action Task Force on Money Laundering
(FATF), Asia Pacific Group on Money Laundering (APG),
Caribbean Financial Action Task Force (CFATF),
Committee of Experts on the Evaluation of Anti-Money
Laundering Measures and the Financing of Terrorism
(MONEYVAL), Eastern and Southern Africa Anti-Money
Laundering Group (ESAAMLG), The Eurasian Group on
Combating Money Laundering and Financing of
Terrorism (EAG), The Grupo de Accion Financiera de
Sudamerica (GAFISUD), Intergovernmental Anti-Money
Laundering Group in Africa (GIABA) atau Middle East &
North Africa Financial Action Task Force (MENAFATF))
-14-
diidentifikasi sebagai yurisdiksi yang tidak secara
memadai melaksanakan Rekomendasi FATF;
b) negara yang diidentifikasi sebagai yang tidak
cooperative atau Tax Haven oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD);
c) negara yang memiliki tingkat tata kelola (good
governance) yang rendah sebagaimana ditentukan
oleh World Bank;
d) negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang
tinggi sebagaimana diidentifikasi dalam Transparancy
International Corruption Perception Index;
e) negara yang diketahui secara luas sebagai tempat
penghasil dan pusat perdagangan narkoba;
f) negara yang dikenakan sanksi, embargo, atau yang
serupa, antara lain oleh PBB; atau
g) negara atau yurisdiksi yang diidentifikasi oleh
lembaga yang dipercaya, sebagai penyandang dana
atau mendukung kegiatan terorisme, atau yang
membolehkan kegiatan organisasi teroris di
negaranya.
5) Risiko Produk/Jasa/Transaksi
Penilaian risiko secara keseluruhan juga harus
mengikutsertakan penentuan risiko potensial yang muncul
dari berbagai produk atau jasa yang ditawarkan oleh PJK
di Sektor Pasar Modal, hal berikut dapat meningkatkan
profil risiko produk atau jasa:
a) Produk atau jasa yang menawarkan keleluasaan
dalam penarikan dengan biaya tertentu seperti
layanan pinjam-meminjam dana nasabah yang dapat
diambil sewaktu-waktu, transaksi pembelian atau
penjualan unit penyertaan reksa dana yang tidak
dibatasi dan dapat diambil sewaktu-waktu.
b) Produk atau jasa yang memiliki nilai kas yang tinggi.
c) Penerimaan pembayaran dari pihak ketiga yang tidak
dikenal atau tidak ada hubungan,
seperti
penyelesaian pembayaran transaksi efek langsung ke
rekening perusahaan.
-15-
d) Transaksi menggunakan online trading.
e) Penerimaan pembayaran dengan menggunakan
pembayaran tunai seperti penyetoran tunai pada saat
margin call.
6) Risiko Jaringan Distribusi (delivery channels)
Jaringan distribusi merupakan media yang digunakan
untuk memperoleh suatu produk atau jasa, atau media
yang digunakan untuk melakukan suatu transaksi.
Jaringan distribusi harus dipertimbangkan sebagai risiko
transaksi. Jaringan distribusi, yang memungkinkan
adanya transaksi tanpa pertemuan langsung (non face to
face), memiliki risiko bawaan yang lebih tinggi.
Beberapa jaringan distribusi dapat digunakan tanpa
pertemuan langsung (face to face), misalnya internet atau
telepon, dan dapat diakses 24 (dua puluh empat) jam per
hari, 7 (tujuh) hari dalam seminggu, dari manapun. Hal ini
dapat digunakan untuk mengaburkan identitas
sebenarnya dari nasabah atau pemilik manfaat (beneficial
owner) sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi. Meskipun
beberapa jaringan distribusi telah lazim digunakan
misalnya online trading, hal tersebut tetap perlu
dipertimbangkan sebagai bagian dari faktor yang dapat
menyebabkan risiko nasabah atau risiko produk menjadi
lebih tinggi.
Beberapa indikator yang dapat menyebabkan jaringan
distribusi berisiko tinggi, antara lain:
a)
transaksi tanpa pertemuan langsung;
b) penggunaan agen; dan/atau
c) pembelian produk atau jasa secara online.
7) Risiko Relevan lainnya
Faktor lain yang relevan yang dapat memberikan dampak
pada risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme,
seperti:
a)
tren tipologi, metode, teknik, dan skema Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme; dan
b) model bisnis PJK di Sektor Pasar Modal.
-16-
PJK di Sektor Pasar Modal perlu mempertimbangkan model
bisnis, skala usaha, jumlah cabang, dan jumlah karyawan
yang dimiliki oleh PJK dimaksud sebagai faktor risiko
bawaan dalam internal PJK di Sektor Pasar Modal.
8) Penskoran (scoring) Penilaian Risiko
a) Setelah melakukan identifikasi dan dokumentasi
risiko bawaan, PJK di Sektor Pasar Modal perlu
memberikan level pada setiap risiko.
b) Skala risiko perlu disusun, disesuaikan dengan skala
bisnis dan jenis usaha PJK di Sektor Pasar Modal.
c) Usaha dengan skala bisnis kecil yang melakukan
transaksi sederhana dapat mengategorikan risiko
dalam 2 (dua) kategori rendah dan tinggi.
d) Untuk kegiatan usaha bisnis dengan skala bisnis lebih
besar diharapkan dapat mengategorikan risiko dalam
beberapa level, misalnya menengah, menengah-tinggi
(medium-high), atau tinggi (high).
9) Untuk membantu PJK di Sektor Pasar Modal melakukan
penilaian risiko, PJK di Sektor Pasar Modal dapat
menggunakan matriks kemungkinan dan dampak
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini.
10) Dalam melakukan tahapan identifikasi dari risiko bawaan,
PJK di Sektor Pasar Modal harus mampu menjelaskan
seluruh penilaian risiko yang telah dilakukan oleh PJK di
Sektor Pasar Modal dengan alasan dan pertimbangannya.
PJK di Sektor Pasar Modal dapat menyediakan informasi
yang telah terdokumentasi yang menunjukkan bahwa PJK
di Sektor Pasar Modal telah memperhatikan indikator-
indikator yang berisiko tinggi dalam penilaian risikonya.
b. Menetapkan Toleransi Risiko
1) Toleransi risiko merupakan tingkat dan jenis risiko yang
secara maksimum ditetapkan oleh PJK di Sektor Pasar
Modal. Toleransi risiko merupakan penjabaran dari tingkat
risiko yang akan diambil (risk appetite). Toleransi risiko
-17-
adalah komponen penting dari manajemen risiko yang
efektif.
2) Sebelum mempertimbangkan mitigasi risiko, PJK di Sektor
Pasar Modal harus menetapkan toleransi risiko.
3) Pada saat mempertimbangkan ancaman, konsep toleransi
risiko akan membuat PJK di Sektor Pasar Modal mampu
untuk menentukan tingkat ancaman terpapar risiko yang
dapat ditoleransi oleh PJK di Sektor Pasar Modal.
4) Dalam menetapkan toleransi risiko, PJK di Sektor Pasar
Modal perlu mempertimbangkan kategori risiko di bawah
ini, yaitu:
a)
b)
risiko regulator (regulatory risk);
risiko reputasi (reputational risk);
c) risiko hukum (legal risk); dan
d)
risiko keuangan (financial risk).
c. Menyusun Langkah Pengurangan dan Pengendalian Risiko
1)
Mitigasi risiko adalah penerapan pengendalian internal
untuk membatasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme yang telah diidentifikasi dalam melakukan
penilaian risiko.
2)
Mitigasi risiko akan membantu kegiatan usaha PJK di
Sektor Pasar Modal tetap berada dalam batas toleransi
risiko yang telah ditetapkan. Dalam hal hasil penilaian
risiko menunjukan bahwa PJK di Sektor Pasar Modal
memiliki tingkat risiko tinggi, PJK di Sektor Pasar Modal
harus mengembangkan strategi mitigasi risiko secara
tertulis berupa kebijakan dan prosedur untuk memitigasi
risiko tinggi tersebut dan menerapkannya pada area atau
hubungan usaha yang berisiko tinggi sebagaimana yang
telah diidentifikasi.
3) Pengendalian internal dan mitigasi risiko yang tinggi
didasarkan pada toleransi risiko dan penerimaan risiko
(risk appetite). Diharapkan pengendalian internal dan
mitigasi risiko akan sepadan dengan risiko yang telah
diidentifikasi oleh PJK di Sektor Pasar Modal.
4) Dalam semua situasi, kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar
Modal harus mempertimbangkan pengendalian internal
-18-
yang akan berpengaruh dalam memitigasi keseluruhan
risiko yang telah diidentifikasi.
5) Dalam penilaian risiko, semua area berisiko tinggi yang
telah diidentifikasi harus dimitigasi dengan pengendalian
internal atau langkah lain, serta didokumentasikan dengan
baik.
6) Untuk semua nasabah dan hubungan usaha, PJK di Sektor
Pasar Modal harus:
a) melakukan pemantauan terhadap seluruh hubungan
usaha; dan
b) mendokumentasikan informasi terkait dan langkah-
langkah yang telah dilakukan.
7) Untuk nasabah dan hubungan usaha yang berisiko tinggi,
PJK di Sektor Pasar Modal harus:
a) melakukan pemantauan yang lebih sering terhadap
hubungan usaha tersebut; dan
b) mengambil langkah yang lebih ketat dalam
melakukan identifikasi dan pengkinian data.
8) Dengan adanya kegiatan mitigasi risiko, diharapkan PJK di
Sektor Pasar Modal dapat:
a) melakukan pengkinian dan penatausahaan terhadap
informasi nasabah dan penerima manfaat (beneficial
owner);
b) menetapkan dan melaksanakan kegiatan pemantauan
berkelanjutan pada setiap tingkatan hubungan usaha
PJK di Sektor Pasar Modal (bagi nasabah berisiko
rendah dilakukan secara periodik dan bagi nasabah
berisiko tinggi dilakukan lebih sering);
c) melaksanakan mitigasi terhadap area berisiko tinggi.
Strategi mitigasi risiko ini harus tercantum dalam
kebijakan dan prosedur; dan
d) menerapkan prosedur pengendalian internal secara
konsisten.
9) PJK di Sektor Pasar Modal juga harus dapat menunjukkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan bahwa langkah mitigasi
tersebut telah dilaksanakan secara efektif, misalnya
ditunjukkan melalui audit internal.
-19-
d. Melakukan Evaluasi atas Risiko Residual
1) Risiko residual merupakan risiko yang tersisa setelah
penerapan pengendalian internal dan mitigasi risiko.
2) PJK di Sektor Pasar Modal perlu memperhatikan bahwa
seketat apapun mitigasi risiko dan manajemen risiko yang
dimiliki oleh PJK di Sektor Pasar Modal, PJK di Sektor
Pasar Modal tetap memiliki risiko residual yang harus
dikelola secara baik.
3) Jenis Risiko residual harus sesuai dengan jenis toleransi
risiko yang telah ditetapkan.
4) PJK di Sektor Pasar Modal harus memastikan bahwa
tingkat risiko residual tidak lebih besar dari tingkat
toleransi risiko yang telah ditetapkan PJK di Sektor Pasar
Modal.
5) Dalam hal risiko residual masih lebih besar daripada
toleransi risiko, atau dalam hal pengendalian internal dan
mitigasi terhadap area berisiko tinggi tidak memadai, PJK
di Sektor Pasar Modal wajib kembali melakukan langkah
pengurangan dan pengendalian risiko sebagaimana
dimaksud dalam huruf c dan meningkatkan level atau
kuantitas dari langkah mitigasi yang telah ditetapkan.
6) Ciri risiko residual adalah:
a) Risiko telah ditoleransi/diterima
Dalam risiko ini, risiko tetap ada meskipun telah
ditoleransi. Penerimaan terhadap risiko yang
ditoleransi diartikan bahwa tidak ada keuntungan
dalam usaha mengurangi risiko. Namun demikian,
risiko yang ditoleransi tersebut dapat meningkat dari
waktu ke waktu, misalnya ketika terdapat produk
baru atau ketika terjadi ancaman baru Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme.
b) Risiko telah dimitigasi
Dalam risiko ini, risiko tetap ada meskipun telah
dimitigasi. Risiko ini telah dikurangi, namun tetap
tidak dapat dihilangkan. Dalam praktiknya,
pengendalian internal yang telah ditetapkan mungkin
tidak dapat diterapkan, misalnya sistem pemantauan
-20-
atau proses pemantauan transaksi gagal, sehingga
menyebabkan beberapa transaksi tidak dilaporkan.
7) Dengan adanya kegiatan evaluasi terhadap risiko residual,
diharapkan PJK di Sektor Pasar Modal dapat:
a) melakukan evaluasi terhadap risiko residual yang
dimiliki; dan
b) PJK di Sektor Pasar Modal perlu menyesuaikan
tingkat risiko yang dimiliki dengan risiko yang
ditoleransi/diterima.
e. Menerapkan Pendekatan Berbasis Risiko
1) Setelah PJK di Sektor Pasar Modal melakukan penilaian
risiko, PJK di Sektor Pasar Modal harus menerapkan
pendekatan berbasis risiko terhadap kegiatan/aktivitas
usaha sehari-hari. Walaupun telah menggunakan
pendekatan berbasis risiko, kewajiban yang ada seperti
identifikasi, verifikasi, dan pemantauan, tetap perlu
dilakukan sebagai persyaratan minimum.
2) Pendekatan berbasis risiko yang dimiliki PJK di Sektor
Pasar Modal perlu didokumentasikan dalam bentuk
kebijakan dan prosedur untuk menunjukan tingkat
kepatuhan PJK di Sektor Pasar Modal.
3) Kebijakan dan prosedur terkait pendekatan berbasis risiko
harus dikomunikasikan, dipahami, dan dipatuhi oleh
semua pegawai, khususnya pegawai yang melakukan
identifikasi dan penatausahaan data dan informasi
nasabah serta pelaporan transaksi kepada otoritas terkait.
4) Kebijakan dan prosedur terkait pendekatan berbasis risiko
harus memenuhi persyaratan minimal sebagai berikut:
a)
identifikasi nasabah;
b) penilaian risiko;
c) tindakan khusus terhadap area berisiko tinggi;
d) penatausahaan; dan
e) pelaporan.
5) PJK di Sektor Pasar Modal perlu melakukan pemantauan
secara berkala terhadap seluruh hubungan usaha yang
dilakukan, dan terhadap hubungan usaha yang berisiko
tinggi terhadap Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
-21-
6) PJK di Sektor Pasar Modal menerapkan langkah khusus
yang lebih ketat terhadap nasabah atau hubungan usaha
yang berisiko tinggi.
7) PJK di Sektor Pasar Modal perlu memperhatikan bahwa
dalam manajemen risiko dan mitigasi risiko dibutuhkan
kepemimpinan dan keterlibatan pejabat senior.
8) Pejabat senior bertanggung jawab dalam pengambilan
keputusan terkait kebijakan, prosedur, dan proses
pengendalian internal dan mitigasi risiko Pencucian Uang
dan Pendanaan Terorisme dalam kegiatan/aktivitas usaha
yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal.
9) Dengan adanya pendekatan berbasis risiko, diharapkan
PJK di Sektor Pasar Modal dapat:
a) memastikan bahwa penilaian risiko yang telah
dilakukan menggambarkan proses pendekatan
berbasis risiko, frekuensi pemantauan nasabah yang
berisiko rendah dan berisiko tinggi, dan juga
menggambarkan langkah pengendalian internal yang
diberlakukan untuk mengurangi risiko tinggi yang
telah diidentifikasi;
b) menerapkan pendekatan berbasis risiko;
c) melakukan pengkinian data dan informasi terhadap
nasabah dan penerima manfaat (beneficial owner);
d) melakukan pemantauan terhadap seluruh hubungan
usaha yang dimiliki;
e) melakukan pemantauan yang lebih sering terhadap
hubungan usaha yang berisiko tinggi terkait
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme;
f) melakukan langkah tertentu terhadap nasabah
berisiko tinggi; dan/atau
g) melibatkan pejabat senior dalam menghadapi situasi
atau area berisiko tinggi (misalnya untuk PEP,
pemberian persetujuan melakukan hubungan usaha
diberikan oleh pejabat senior).
f.
Peninjauan dan evaluasi atas Pendekatan Berbasis Risiko yang
telah dimiliki
-22-
1) Penilaian risiko yang dimiliki oleh PJK di Sektor Pasar
Modal harus ditinjau berdasarkan kebutuhan untuk
menguji efektivitas dari kepatuhan penerapan program anti
Pencucian Uang dan pencegahan Pendanaan Terorisme,
yang meliputi:
a) kebijakan dan prosedur;
b) penilaian risiko terkait Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme; dan
c) program pelatihan sumber daya manusia (bagi
karyawan dan pejabat senior).
2) Dalam hal terhadap perubahan struktur kegiatan usaha
dan adanya penawaran atas produk dan jasa baru,
pengkinian atas penilaian risiko harus dilakukan untuk
kebijakan dan prosedur, langkah mitigasi dan
pengendalian internal.
3) Peninjauan atas penilaian risiko terkait Pencucian Uang
dan Pendanaan Terorisme harus mencakup seluruh unsur
termasuk kebijakan dan prosedur terhadap penilaian
risiko, mitigasi risiko dan pemantauan berkelanjutan yang
lebih intensif.
4) peninjauan dapat membantu dalam mengevaluasi
kebutuhan untuk menyempurnakan kebijakan dan
prosedur yang ada, atau untuk pembentukan kebijakan
dan prosedur yang baru.
5) Risiko yang telah diidentifikasi dapat berubah atau
berkembang pada saat ada produk dan ancaman baru
terhadap kegiatan usaha. Pada akhirnya, prosedur
peninjauan dimaksud akan mempengaruhi efektivitas dari
pelaksanaan pendekatan berbasis risiko.
6) Dengan adanya peninjauan pada pendekatan berbasis
risiko, diharapkan PJK di Sektor Pasar Modal dapat:
a) melakukan peninjauan sesuai dengan kebutuhan PJK
atau dalam hal terdapat perubahan model bisnis,
akuisisi portofolio baru dan sebagainya;
b) menghasilkan tinjauan yang mencakup kepatuhan
kebijakan dan prosedur, penilaian risiko terhadap
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, dan
-23-
program pelatihan untuk menguji efektivitas
pendekatan berbasis risiko;
c) melakukan penatausahaan terhadap proses
peninjauan dan melaporkan kepada pejabat senior;
dan
d) melakukan penatausahaan hasil peninjauan bersama
dengan penetapan langkah yang bersifat korektif
untuk ditindaklanjuti.
III. PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan dilaksanakan
dengan cara sebagai berikut:
1. Pengawasan aktif Direksi
a. Direksi bertanggung jawab atas kebijakan, pengawasan, serta
prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme.
b. Direksi memberikan persetujuan yang bersifat teknis atas
kebijakan, pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan
mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang
berkaitan dengan teknis pelaksanaan tugas Direksi.
c. Dalam mendukung efektivitas penerapan program APU dan PPT,
Direksi harus:
1) memiliki pemahaman yang memadai mengenai risiko
Pencucian Uang dan Pendanaan Teroris yang melekat pada
seluruh aktivitas operasional PJK di Sektor Pasar Modal
sehingga Direksi mampu mengambil tindakan yang
diperlukan sesuai dengan profil risiko PJK di Sektor Pasar
Modal;
2) menyusun kebijakan dan prosedur tertulis terkait
penerapan program APU dan PPT untuk diusulkan kepada
Dewan Komisaris yang paling sedikit memuat:
a)
latar belakang penyusunan kebijakan dan prosedur
tertulis;
-24-
b) struktur, tugas, wewenang dan tanggung jawab
satuan kerja atau penanggung jawab penerapan
program APU dan PPT;
c) kebijakan dan prosedur penerapan progam APU dan
PPT;
d) pengawasan atas penerapan program APU dan PPT;
dan
e)
rencana pengendalian internal atas hasil pengawasan;
3) memberikan arahan yang jelas atas kebijakan,
pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi
risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme;
4) membentuk unit kerja khusus (UKK) dan/atau menunjuk
pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan program
APU dan PPT;
5) memantau pelaksanaan tugas unit kerja khusus dan/atau
pejabat yang bertanggung jawab atas penerapan program
APU dan PPT; dan
6) memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis
mengenai penerapan program APU dan PPT dapat
diterapkan dalam berbagai situasi terutama responsif
terhadap perubahan dan pengembangan produk, jasa dan
teknologi di sektor jasa keuangan serta mampu untuk
mendeteksi modus Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme.
2. Pengawasan Aktif Dewan Komisaris
a. Dewan Komisaris bertanggung jawab atas kebijakan,
pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
b. Dewan Komisaris memberikan persetujuan yang bersifat
strategis atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur
pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme yang berkaitan dengan kebijakan, pengawasan, dan
prosedur yang sifatnya signifikan dan mendasar dalam
penerapan program APU dan PPT.
c. Dalam mendukung efektivitas penerapan program APU dan PPT,
Dewan Komisaris harus:
1) memiliki pemahaman terkait risiko yang dihadapi PJK di
-25-
Sektor Pasar Modal terutama risiko nasabah, risiko negara
atau geografis, risiko produk atau jasa, dan risiko jaringan
distribusi (delivery channels);
2) memberikan persetujuan atas kebijakan dan prosedur
tertulis mengenai penerapan program APU dan PPT yang
diusulkan oleh Direksi;
3) melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Direksi
dalam penerapan program APU dan PPT;
4) memastikan struktur organisasi memadai untuk
penerapan program APU dan PPT; dan
5) mengagendakan pembahasan program penerapan APU dan
PPT dalam rapat Dewan Komisaris dengan Direksi.
3. Penanggung Jawab Penerapan Program APU dan PPT
a. Berdasarkan pertimbangan beban tugas operasional dan
kompleksitas usaha, PJK di Sektor Pasar Modal membentuk
UKK dan/atau menunjuk pejabat penanggung jawab penerapan
program APU dan PPT di kantor pusat dan/atau di kantor
cabang.
b. Dalam menjalankan tugasnya, UKK dan/atau pejabat
penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, melapor
dan bertanggung jawab kepada anggota Direksi yang
membawahkan fungsi kepatuhan atau salah satu anggota
Direksi yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT.
c. Agar tugas UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan
program APU dan PPT dapat dilaksanakan dengan baik, PJK di
Sektor Pasar Modal harus memiliki mekanisme kerja yang
memadai, serta dilaksanakan oleh setiap unit kerja terkait
dengan memperhatikan ketentuan anti tipping off dan
kerahasiaan informasi.
d. UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program
APU dan PPT memenuhi kriteria:
1) independen terhadap kegiatan yang dimonitor;
2) mampu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh
Direksi untuk memperoleh gambaran tentang kondisi PJK
di Sektor Pasar Modal terkait dengan manajemen risiko dan
kepatuhan; dan
3) memiliki akses yang tepat dan tidak dibatasi untuk
-26-
dokumen identifikasi nasabah, rekening terdaftar, catatan
akuntansi lain, dan informasi terkait lainnya.
e. UKK paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang yang bertindak
sebagai pimpinan dan 1 (satu) orang yang bertindak sebagai
pelaksana.
f. Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menunjuk pejabat
penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor
pusat, maka pejabat penanggung jawab dilakukan oleh pejabat
atau pegawai paling rendah setingkat di bawah Direksi.
g. Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menunjuk pejabat
penanggung jawab penerapan program APU dan PPT di kantor
cabang, maka pejabat penanggung jawab dilakukan oleh
pejabat atau pegawai paling rendah setingkat dengan penyelia
(supervisor).
h. Untuk kantor cabang yang hanya terdapat unit kerja yang
berhubungan dengan nasabah maka pejabat dan/atau pegawai
penanggung jawab penerapan program APU dan PPT dapat:
1) berasal dari unit kerja dan/atau pejabat penanggung jawab
penerapan program APU dan PPT dari kantor cabang
lainnya; atau
2) berasal dari kantor pusat apabila seluruh hubungan usaha
dan transaksi nasabah di kantor cabang dikontrol
sepenuhnya oleh kantor pusat.
4. UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program APU
dan PPT di kantor cabang dapat dibantu oleh kepala kantor cabang
dalam penerapan program APU dan PPT.
IV. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
1. Identifikasi dan Verifikasi Calon Nasabah, Nasabah, dan Pemilik
Manfaat (beneficial owner)
a. Kebijakan Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Dilligence/CDD)
1)
Uji tuntas nasabah (Customer Due Dilligence/CDD)
merupakan kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan
pemantauan yang dilakukan PJK di Sektor Pasar Modal
untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai
dengan profil calon nasabah atau nasabah. CDD
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi terkini
-27-
mengenai profil nasabah berdasarkan pendekatan berbasis
risiko untuk memastikan kesesuaian antara profil nasabah
dengan transaksi yang dilakukan. CDD dapat dilakukan
baik terhadap seluruh informasi maupun hanya terhadap
sebagian informasi.
2) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan prosedur CDD
pada saat:
a) melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah,
misalnya pada saat pembukaan rekening efek.
b) terdapat transaksi keuangan dengan mata uang
rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling
sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Contoh:
Nasabah umum (walk in customer) yang melakukan
pemesanan efek di pasar perdana paling sedikit senilai
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
c) terdapat indikasi transaksi keuangan mencurigakan
yang terkait dengan Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme, misalnya transaksi yang
memenuhi salah satu kriteria dari transaksi keuangan
mencurigakan namun masih perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah
transaksi tersebut tergolong sebagai transaksi
keuangan mencurigakan yang harus dilaporkan
kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK).
d) PJK di Sektor Pasar Modal meragukan kebenaran
informasi yang diberikan oleh nasabah, penerima
kuasa, dan/atau pemilik manfaat (beneficial owner).
Contoh: penerima kuasa adalah individual yang tidak
memiliki hubungan afiliasi atau hubungan kerja sama
sekali dengan pemilik manfaat (beneficial owner). PJK
di Sektor Pasar Modal dapat melakukan konfirmasi
terkait kebenaran atas kewenangan pihak yang
mewakili atau bertindak untuk dan atas nama pemilik
manfaat (beneficial owner).
-28-
b. Kebijakan dan Prosedur Penerimaan dan Identifikasi Calon
Nasabah
PJK di Sektor Pasar Modal harus memiliki kebijakan tentang
penerimaan dan identifikasi calon nasabah yang paling sedikit
mencakup hal sebagai berikut:
1) permintaan informasi mengenai calon nasabah;
2) permintaan salinan atau rekaman dari dokumen identitas
nasabah yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi nasabah
yang memiliki KTP berdasarkan Undang-Undang mengenai
administrasi kependudukan atau dokumen lain yang dapat
menunjukan nomor induk kependudukan (NIK) bagi
nasabah yang belum memiliki KTP;
3) penelitian atas kebenaran dokumen pendukung identitas
calon nasabah;
4) permintaan kartu identitas lebih dari satu yang
dikeluarkan pihak yang berwenang, jika terdapat keraguan
terhadap kartu identitas yang ada;
5) apabila diperlukan dapat dilakukan wawancara dengan
calon nasabah untuk memperoleh keyakinan atas
kebenaran informasi, bukti identitas, dan dokumen
pendukung calon nasabah;
6) larangan untuk membuka atau memelihara rekening
anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif;
7) pertemuan langsung (face to face) dengan calon nasabah
pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka
meyakini kebenaran identitas calon nasabah;
8) kewaspadaan terhadap transaksi atau hubungan usaha
dengan calon nasabah yang berasal atau terkait dengan
negara yang belum memadai dalam melaksanakan
rekomendasi Financial Action Task Force (FATF); dan
9) penyelesaian proses verifikasi identitas calon nasabah dan
pemilik manfaat (beneficial owner) dilakukan sebelum
membina hubungan usaha dengan calon nasabah.
c. Kebijakan dan Prosedur Identifikasi Pemilik Manfaat (beneficial
owner)
1) Dalam hal calon nasabah mewakili pemilik manfaat
(beneficial owner) untuk membuka hubungan usaha atau
-29-
melakukan transaksi, PJK di Sektor Pasar Modal harus
melakukan prosedur CDD terhadap pemilik manfaat
(beneficial owner) yang sama ketatnya dengan prosedur
CDD bagi calon nasabah.
2) Dalam hal pemilik manfaat (beneficial owner) tergolong
sebagai PEP maka prosedur yang diterapkan adalah
prosedur CDD yang lebih ketat atau uji tuntas lanjut
(enhanced due dilligence/EDD).
3) Dalam melakukan identifikasi terhadap calon nasabah
korporasi, PJK di Sektor Pasar Modal harus menetapkan
pemilik manfaat (beneficial owner).
4) Bagi pemilik manfaat (beneficial owner) berupa lembaga
pemerintahan, instansi pemerintah, atau perusahaan yang
terdaftar di bursa efek (listing), kewajiban penyampaian
dokumen dan/atau identitas pengendali akhir tidak perlu
dilakukan. Yang termasuk pengertian perusahaan yang
terdaftar di bursa efek adalah:
a) nasabah perusahaan yang merupakan anak
perusahaan (subsidiary) dari perusahaan yang
terdaftar di bursa efek, dimana kepemilikan
perusahaan induk adalah mayoritas; dan/atau
b) nasabah perusahaan yang bukan merupakan
perusahaan yang terdaftar di bursa efek namun
kebijakan internal perusahaan tersebut meharuskan
adanya paparan publik (public expose) yang
memaparkan kepada publik untuk menjelaskan
mengenai kinerja perusahaan tersebut sebagaimana
yang berlaku pada perusahaan yang terdaftar di bursa
efek.
5) Pengecualian terhadap kewajiban penyampaian dokumen
dan/atau identitas pengendali akhir pemilik manfaat
(beneficial owner) harus didokumentasikan.
6) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal meragukan atau
tidak dapat meyakini identitas pemilik manfaat (beneficial
owner), PJK di Sektor Pasar Modal harus menolak untuk
melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan calon
nasabah.
-30-
7) Terhadap calon nasabah atau pemilik manfaat (beneficial
owner) yang hubungan usaha atau transaksinya ditolak,
PJK di Sektor Pasar Modal harus memperoleh paling sedikit
informasi nama, nomor identitas, alamat, dan tempat
tanggal lahir sesuai dengan salinan dokumen identitas
yang diperoleh PJK di Sektor Pasar Modal untuk
kepentingan pelaporan laporan transaksi keuangan
mencurigakan (LTKM).
d.
Verifikasi Calon Nasabah, Nasabah, dan Penerima Manfaat
(beneficial owner).
1) PJK di Sektor Pasar Modal harus meneliti kebenaran
informasi yang disampaikan oleh calon nasabah, nasabah,
dan pemilik manfaat (beneficial owner) dengan melakukan
verifikasi terhadap dokumen pendukung berdasarkan
dokumen dan/atau sumber independen lainnya serta
memastikan kekinian informasi tersebut.
2) Dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon
nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner)
verifikasi dilakukan dengan:
a) pertemuan langsung (face to face) dengan calon
nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial
owner) pada awal melakukan hubungan usaha;
b) melakukan wawancara dengan calon nasabah,
nasabah, dan pemilik manfaat apabila diperlukan;
c) mencocokkan kesesuaian profil calon nasabah,
nasabah, dan pemilik manfaat dengan foto diri yang
tercantum dalam kartu identitas;
d) mencocokan kesesuaian tanda tangan, cap jempol,
atau sidik jari dengan dokumen identitas atau
dokumen lainnya yang mencantumkan tanda tangan,
cap jempol, atau sidik jari. Dokumen lainnya antara
lain surat pernyataan calon nasabah, nasabah, dan
pemilik manfaat, kartu keluarga, atau kartu kredit;
e) meminta kepada calon nasabah, nasabah, dan pemilik
manfaat untuk memberikan lebih dari satu dokumen
identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang
-31-
apabila timbul keraguan terhadap kartu identitas
yang ada;
f) menatausahakan salinan dokumen kartu identitas
setelah dilakukan pencocokan dengan dokumen asli
yang sah;
g) melakukan pengecekan silang untuk memastikan
adanya konsistensi dari berbagai informasi yang
disampaikan oleh calon nasabah, nasabah, dan
pemilik manfaat. Pengecekan silang dilakukan dengan
cara, antara lain:
(1) menghubungi calon nasabah, nasabah, dan
pemilik manfaat melalui telepon (rumah atau
kantor);
(2) menghubungi pejabat sumber daya manusia
tempat calon nasabah, nasabah, dan pemilik
manfaat bekerja apabila pekerjaan calon
nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat adalah
karyawan suatu perusahaan atau instansi;
(3) melakukan konfirmasi atas penghasilan calon
nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat dengan
mensyaratkan rekening koran dari bank lainnya;
atau
(4) melakukan analisis informasi geografis untuk
melihat kondisi hutan melalui teknologi remote
sensing terhadap calon nasabah, nasabah, dan
pemilik manfaat perusahaan yang bergerak di
bidang kehutanan;
h) memastikan bahwa calon nasabah, nasabah, dan
pemilik manfaat tidak memiliki rekam jejak negatif
dengan melakukan verifikasi identitas calon nasabah,
nasabah dan pemilik manfaat menggunakan sumber
independen lainnya antara lain sebagai berikut:
(1) daftar teroris dan/atau daftar terduga teroris dan
organisasi
teroris yang diterbitkan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
(2) daftar hitam nasional (DHN); atau
-32-
(3) data lainnya yang dimiliki PJK di Sektor Pasar
Modal, identitas pemberi kerja dari calon
nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat,
rekening telepon, dan rekening listrik; dan/atau
i) memastikan adanya kemungkinan hal-hal yang tidak
wajar atau mencurigakan.
3)
Verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face),
sebagaimana dimaksud pada angka 2) huruf a), dengan
calon nasabah, nasabah dan pemilik manfaat pada awal
melakukan hubungan usaha dapat digantikan dengan
verifikasi melalui sarana elektronik, dengan persyaratan
sebagai berikut:
a) what you have, yaitu dokumen identitas yang dimiliki
oleh calon nasabah yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP)
elektronik; dan
b) what you are, yaitu data biometrik antara lain dalam
bentuk sidik jari milik calon nasabah, nasabah, dan
pemilik manfaat (beneficial owner).
4) Proses verifikasi identitas calon nasabah, nasabah, dan
pemilik manfaat (beneficial owner) harus diselesaikan
sebelum membina hubungan usaha dengan calon
nasabah, nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner).
5) Dalam kondisi tertentu, proses verifikasi dapat
diselesaikan kemudian setelah dilakukannya hubungan
usaha.
6) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 5)
yaitu:
a) kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat
hubungan usaha akan dilakukan misalnya karena
dokumen masih dalam proses pengurusan. Untuk itu,
calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat
(beneficial owner) dapat menyampaikan dokumen
setelah melakukan hubungan usaha, dengan jangka
waktu sebagaimana yang ditetapkan oleh PJK di
Sektor Pasar Modal; dan/atau
-33-
b) apabila tingkat risiko calon nasabah, nasabah, dan
pemilik manfaat (beneficial owner) perorangan
tergolong rendah.
e. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence/EDD)
1) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menilai nasabah
berisiko tinggi maka PJK di Sektor Pasar Modal
menerapkan kadar CDD yang lebih tinggi berupa EDD
terhadap Nasabah yang bersangkutan.
2) EDD sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilaksanakan
dengan melakukan verifikasi informasi calon nasabah,
nasabah, dan pemilik manfaat (beneficial owner),
didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber
informasi, dan jenis informasi terkait.
3)
Verifikasi informasi dalam pelaksanaan EDD sebagaimana
dimaksud pada angka 2) dapat dilakukan antara lain
dengan cara:
a) mencari informasi tambahan tentang nasabah
bersangkutan dan melakukan pengkinian atas data
identitas nasabah atau pemilik manfaat (beneficial
owner);
b) mencari informasi tambahan tentang sifat peruntukan
dari hubungan bisnis tersebut;
c) mencari informasi tambahan mengenai sumber dana
atau sumber kekayaan nasabah tersebut;
d) mencari infromasi tambahan mengenai alasan dari
transaksi yang dimaksud atau yang dilakukan;
e) meminta persetujuan dari pejabat senior untuk
memulai atau meneruskan hubungan bisnis tersebut;
dan/atau
f) melakukan pemantauan yang semakin diperketat
terhadap hubungan bisnis tersebut, yaitu dengan
menambah jumlah dan waktu pengawas yang dipakai,
dan memiliki pola transaksi yang memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.
4) PJK di Sektor Pasar Modal menatausahakan dokumen
terkait EDD serta melakukan pengkinian atas data
nasabah secara berkala atau sesuai dengan kebutuhan
-34-
dan kompleksitas PJK di Sektor Pasar Modal.
f. Dalam melaksanakan hubungan usaha dengan calon nasabah,
nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner) yang mendapat
perlakuan EDD, PJK di Sektor Pasar Modal harus menunjuk
pejabat senior sebagai penanggung jawab atas hubungan usaha
dengan calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat
(beneficial owner) tesebut.
g. CDD sederhana (Simplified CDD)
1) PJK di Sektor Pasar Modal harus mendokumentasikan
Nasabah yang mendapat perlakuan CDD sederhana dalam
daftar yang memuat informasi mengenai alasan penetapan
risiko sehingga digolongkan sebagai risiko rendah.
2) Nasabah yang telah mendapatkan perlakuan CDD
sederhana (simplified CDD) harus dikeluarkan dari daftar
nasabah CDD sederhana (simplified CDD) apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) diindikasikan terkait dengan Pencucian Uang atau
Pendanaan Terorisme; atau
b) tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme di Sektor Jasa Keuangan.
3) Nasabah yang dikeluarkan dari daftar nasabah CDD
sederhana sebagaimana dimaksud pada angka 2),
nasabah tersebut harus:
a) dilakukan CDD atau EDD sesuai dengan tingkat risiko
nasabah terkini; dan/atau
b) dilaporkan dalam LTKM apabila transaksi
diindikasikan terkait dengan Pencucian Uang atau
Pendanaan Terorisme.
h. CDD oleh Pihak Ketiga
1) PJK di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan hasil CDD
yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon
nasabahnya yang telah menjadi nasabah pada pihak ketiga
tersebut. Pihak ketiga dimaksud telah mempunyai
hubungan usaha dengan nasabah yang bersifat
-35-
independen dari hubungan usaha yang dilakukan antara
nasabah dengan PJK di Sektor Pasar Modal yang
menggunakan hasil CDD pihak ketiga, dan pihak ketiga
tersebut menerapkan prosedur CDD sendiri.
2) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah
sebagai berikut:
a) PJK di sektor perbankan dan di sektor industri
keuangan non bank, misalnya apabila perusahaan
efek menerima nasabah yang merupakan nasabah
bank, perusahaan efek dapat menggunakan hasil
CDD yang telah dilakukan oleh bank dimaksud
sepanjang perusahaan efek telah menandatangani
kerjasama CDD pihak ketiga dengan bank tersebut
dan perusahaan efek dapat sesegera mungkin
mendapatkan informasi dan salinan dokumen
pendukung apabila perusahaan efek membutuhkan
dalam rangka penerapan program APU dan PPT.
b) Lembaga keuangan dan penyedia barang dan/atau
jasa dan profesi tertentu yang memiliki prosedur CDD
dan tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Contoh dari lembaga keuangan yaitu penyelenggara
kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank
(money changer) dan penyelenggara kegiatan usaha
pengiriman uang. Perusahaan efek tetap harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
huruf a).
3) Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menggunakan hasil
CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga, PJK di Sektor
Pasar Modal wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme di Sektor Jasa Keuangan yaitu pelaksanaan
CDD oleh pihak ketiga hanya terbatas pada tahap
identifikasi dan verifikasi nasabah sedangkan tahap
-36-
pemantauan transaksi dan pengkinian data nasabah tetap
dilakukan oleh PJK di Sektor Pasar Modal.
4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1), angka
2), dan angka 3) tidak berlaku untuk hubungan keagenan.
Dalam hal PJK di Sektor Pasar Modal menggunakan agen
dalam menerapkan prosedur CDD, penerapan prosedur
CDD dimaksud dilakukan oleh agen untuk dan atas nama
PJK di Sektor Pasar Modal yang mendelegasikan.
Hasil CDD yang dilakukan oleh agen sebagaimana
dimaksud diserahkan kepada PJK di Sektor Pasar Modal
yang mendelegasikan.
Sebagai contoh, dalam hal Manajer Investasi menggunakan
agen penjual efek reksa dana (APERD) dalam memasarkan
produk reksa dana, penerapan CDD dilakukan oleh APERD
untuk dan atas nama Manajer Investasi sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan oleh Manajer Investasi, dan di
bawah pengawasan Manajer Investasi.
2. Penolakan dan Penutupan Hubungan Usaha
a. Penolakan Hubungan Usaha
1) PJK di Sektor Pasar Modal wajib melakukan penolakan
hubungan usaha dengan calon nasabah dalam hal:
a) calon nasabah ingin melakukan transaksi namun
calon nasabah tidak bersedia memberikan informasi
dan/atau melengkapi dokumen yang dipersyaratkan
PJK di Sektor Pasar Modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 28
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme di Sektor Jasa Keuangan; dan/atau
b) calon nasabah memberikan informasi dan/atau
dokumen yang tidak sesuai atau patut diduga sebagai
dokumen palsu atau informasi yang diragukan
kebenarannya.
2) PJK di Sektor Pasar Modal harus mendokumentasikan
calon nasabah yang terkena penolakan hubungan usaha
sebagaimana dimaksud pada angka 1) dalam daftar
-37-
tersendiri.
b. Penutupan Hubungan Usaha
1) PJK di Sektor Pasar Modal melakukan penutupan
hubungan usaha dengan calon nasabah atau nasabah
dalam hal:
a) calon nasabah atau nasabah tidak bersedia
memberikan informasi dan/atau melengkapi
dokumen yang dipersyaratkan PJK di Sektor Pasar
Modal;
b) calon nasabah atau nasabah memberikan informasi
dan/atau dokumen yang tidak sesuai atau patut
diduga sebagai dokumen palsu atau informasi yang
diragukan kebenarannya;
c) sumber dana transaksi yang dimiliki calon nasabah
atau nasabah diketahui dan/atau patut diduga
berasal dari hasil tindak pidana; dan
d) calon nasabah atau nasabah tercatat dalam daftar
teroris dan/atau daftar terduga teroris dan organisasi
teroris.
2) PJK di Sektor Pasar Modal harus memberitahukan secara
tertulis kepada nasabah mengenai penutupan hubungan
usaha tersebut.
3) Pemberitahuan tertulis dapat dilakukan dengan
penyampaian surat yang ditujukan kepada nasabah sesuai
dengan alamat yang tercantum dalam database PJK di
Sektor Pasar Modal atau diumumkan melalui media cetak,
media elektronik, maupun media lainnya.
4) Apabila setelah dilakukan pemberitahuan tertulis,
nasabah tidak mengambil sisa dana yang tersimpan di PJK
di Sektor Pasar Modal, maka penyelesaian terhadap sisa
dana nasabah tersebut dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, antara lain dengan
menyerahkan sisa dana ke Balai Harta Peninggalan. Dalam
hal penutupan hubungan usaha terkait dengan transaksi
transfer dana, maka prosedur penutupan hubungan usaha
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai transfer dana.
-38-
5) PJK di Sektor Pasar Modal harus mendokumentasikan
calon nasabah atau nasabah yang terkena penutupan
hubungan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1)
dalam daftar tersendiri.
3. Pemantauan dan Pengkinian
a. Pemantauan
1) Tingkat dan sifat pemantauan yang dilakukan oleh PJK di
Sektor Pasar Modal akan begantung pada skala usaha
perusahaan, tingkat risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal, dan
jenis kegiatan usaha perusahaan.
2) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan kegiatan
pemantauan yang paling sedikit:
a) dilakukan secara berkesinambungan untuk
mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi
nasabah dengan profil nasabah dan menatausahakan
dokumen tersebut, terutama terhadap hubungan
usaha atau transaksi dengan nasabah dan/atau PJK
di Sektor Pasar Modal dari negara dengan program
APU dan PPT kurang memadai;
b) melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang
tidak sesuai dengan profil nasabah; dan
c)
apabila diperlukan, meminta informasi tentang latar
belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi
yang tidak sesuai dengan profil nasabah, dengan
memperhatikan ketentuan anti tipping off
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai pencegahan dan pemberantasan TPPU.
3) Kegiatan pemantauan profil dan transaksi nasabah
dilakukan secara berkesinambungan meliputi kegiatan:
a) memastikan kelengkapan informasi dan dokumen
nasabah;
b) meneliti kesesuaian antara profil transaksi dengan
profil nasabah; dan
c)
meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan
nama yang tercantum dalam:
(1) database daftar teroris;
-39-
(2) daftar terduga teroris dan organisasi teroris;
(3) nama tersangka atau terdakwa yang
dipublikasikan dalam media massa atau oleh
otoritas yang berwenang; dan
(4) daftar hitam nasional (DHN).
4) Sumber informasi yang dapat digunakan untuk memantau
nasabah yang ditetapkan sebagai status tersangka atau
terdakwa dapat diperoleh antara lain melalui:
a) database yang dikeluarkan oleh pihak berwenang
seperti PPATK; atau
b) media massa, seperti koran, majalah, televisi, dan
internet.
5) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan klasifikasi
terkait transaksi dan nasabah yang membutuhkan
pemantauan khusus. Pemantauan terhadap rekening
nasabah harus dipantau lebih ketat apabila terdapat
nasabah berisiko tinggi.
6) Seluruh kegiatan pemantauan didokumentasikan dengan
baik dalam bentuk tertulis baik melalui dokumen formal
seperti memo, nota, atau catatan maupun melalui
dokumen informal seperti korespondensi melalui surat
elektronik (email).
b. Pengkinian Data
1) PJK di Sektor Pasar Modal harus menerapkan prosedur
CDD terhadap nasabahnya dalam rangka pengkinian data,
untuk mengkinikan materialitas data dan risiko. CDD
tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
waktu pelaksanaan CDD sebelumnya dan kecukupan data
yang diperoleh.
2) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan pengkinian
data terhadap informasi dan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai APU dan PPT
serta menatausahakannya.
3) PJK di Sektor Pasar Modal harus memastikan bahwa
dokumen, data, atau informasi yang dihimpun dalam
proses CDD selalu diperbarui dan relevan dengan
melakukan pemeriksaan kembali terhadap data yang ada,
-40-
khususnya yang terkait dengan nasabah berisiko tinggi.
4) PJK di Sektor Pasar Modal harus mengkinikan data
nasabah yang dimiliki agar identifikasi dan pemantauan
transaksi keuangan yang mencurigakan dapat berjalan
efektif.
5) Pengkinian data nasabah dilakukan dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan risiko yang mencakup pengkinian
profil nasabah dan transaksinya. Dalam hal sumber daya
yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal terbatas, kegiatan
pengkinian data dilakukan dengan skala prioritas.
6) Parameter untuk menetapkan skala prioritas sebagaimana
dimaksud pada angka 5) antara lain:
a) tingkat risiko nasabah tinggi;
b) transaksi dengan jumlah yang signifikan dan/atau
menyimpang dari profil transaksi atau profil nasabah
(red flag);
c) terdapat perubahan saldo yang nilainya signifikan;
dan/atau
d) informasi yang ada pada customer identification file
(CIF) belum sesuai dengan Peraturan OJK mengenai
APU dan PPT.
7) Pengkinian data dilakukan secara berkala sesuai dengan
kebutuhan dan kompleksitas PJK di Sektor Pasar Modal
dan didasarkan pada tingkat risiko nasabah atau
transaksi.
8) Pelaksanaan pengkinian data terhadap nasabah yang
tercantum dalam laporan rencana pengkinian data dapat
dilakukan antara lain pada saat:
a) pembukaan hubungan usaha tambahan;
b) perpanjangan penggunaan produk atau jasa PJK di
Sektor Pasar Modal;
c) penggantian dokumen data dan identitas nasabah;
atau
d) penutupan hubungan usaha.
9) Seluruh kegiatan pengkinian data harus
diadministrasikan.
-41-
4. Dalam hal nasabah yang akan dilakukan pengkinian data telah
menjadi nasabah sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di
Sektor Jasa Keuangan, PJK di Sektor Pasar Modal harus
memberitahukan secara tertulis kepada nasabah dimaksud
mengenai keharusan PJK di Sektor Pasar Modal untuk menolak
transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan
usaha sebagaimana tercantum pada angka IV angka 2.
5. Pemeliharaan data yang akurat terkait dengan transaksi,
penatausahaan proses CDD, dan penatausahaan kebijakan dan
prosedur paling sedikit memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. pendokumentasian data nasabah diklasifikasikan sesuai
dengan tingkat risiko nasabah;
b. dokumen yang ditatausahakan paling sedikit mencakup:
1) salinan atau rekaman dari dokumen identitas nasabah
yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi nasabah yang
memiliki KTP berdasarkan Undang-Undang mengenai
administrasi kependudukan atau dokumen lain yang dapat
menunjukan nomor induk kependudukan (NIK) bagi
nasabah yang belum memiliki KTP;
2) berkas terkait proses CDD dan EDD, termasuk hasil
analisis yang dilakukan; dan
3) informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan
jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah
transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening
yang terkait dengan transaksi;
c.
jangka waktu penatausahaan dokumen adalah sebagai berikut:
1) dokumen yang terkait dengan data nasabah dengan jangka
waktu paling sedikit 5 (lima) tahun sejak:
a) berakhirnya hubungan usaha dengan nasabah;
dan/atau
b) ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan
tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha;
2) dokumen yang terkait dengan transaksi keuangan nasabah
dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang mengenai dokumen perusahaan;
-42-
d. PJK di Sektor Pasar Modal harus memastikan bahwa seluruh
dokumen baik yang terkait dengan data nasabah maupun
dokumen yang terkait dengan transaksi nasabah dapat
disediakan setiap saat untuk kebutuhan otoritas yang
berwenang.
6. Pelaporan kepada Pejabat Senior, Direksi, dan Dewan Komisaris
terkait Penerapan Program APU dan PPT
a. Dalam hal proses CDD menunjukkan adanya calon nasabah
atau nasabah yang dikategorikan berisiko tinggi maka pegawai
PJK di Sektor Pasar Modal yang melaksanakan CDD
melaporkan kepada pejabat senior. Pejabat senior bertanggung
jawab terhadap penerimaan dan/atau penolakan hubungan
usaha dengan calon nasabah dan nasabah yang berisiko tinggi.
b. Dalam hal pejabat senior menyetujui hubungan usaha dengan
nasabah berisiko tinggi, pejabat senior bertanggung jawab
dalam memantau transaksi nasabah berisiko tinggi.
c. Pejabat senior harus melaporkan kepada Direksi yang
membawahkan fungsi penerapan program APU dan PPT terkait
jumlah calon nasabah atau nasabah yang berisiko tinggi
termasuk jumlah nasabah berisiko tinggi yang ditolak, diterima,
atau dilakukan penutupan hubungan usaha.
d. Direksi harus memberikan arahan atas laporan yang
disampaikan pejabat senior dan menetapkan langkah mitigasi
risiko.
e.
Direksi melaporkan kepada Dewan Komisaris terkait hasil
pemantauan atas penerapan program APU dan PPT secara
keseluruhan sebagaimana kebijakan dan prosedur tertulis yang
telah ditetapkan PJK.
f.
Direksi dapat mengusulkan pengkinian kebijakan dan prosedur
dalam hal terdapat perkembangan risiko yang perlu dimitigasi
oleh PJK di Sektor Pasar Modal, yang belum tercantum dalam
kebijakan dan prosedur tertulis.
V. PENGENDALIAN INTERNAL
1. Pelaksanaan pengendalian internal dalam rangka penerapan
program APU dan PPT dilaksanakan oleh penanggung jawab
kepatuhan atau satuan kerja audit internal (SKAI).
-43-
2. Sistem pengendalian internal yang efektif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang
dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan,
harus mampu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan dari
penerapan program APU dan PPT.
3. Dalam rangka pelaksanaan pengendalian internal yang efektif
sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 ayat (2) Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
di Sektor Jasa Keuangan, PJK di Sektor Pasar Modal harus memiliki
kerangka pengendalian internal yang meliputi:
a. penunjukan UKK dan/atau pejabat yang bertanggung jawab
dalam mengelola penerapan program APU dan PPT;
b. pemantauan khusus terhadap kegiatan operasional yang
berpotensi berisiko tinggi baik dari nasabah, produk ataupun
wilayah geografis termasuk terhadap hal yang dinilai rentan,
dan berpotensi berkaitan dengan transaksi yang mencurigakan,
dan/atau hal yang atas saran dan informasi dari asosiasi
industri atau regulator dan penegakan hukum perlu mendapat
perhatian khusus;
c. penyampaian informasi yang cepat dan tepat dalam hal terdapat
indikasi dan/atau dugaan terkait TPPU dan TPPT, inisiatif
kepatuhan, kekurangan terkait kepatuhan, tindakan korektif
diambil, dan laporan aktivitas yang mencurigakan;
d. penerapan kebijakan, prosedur dan kontrol atas uji tuntas
nasabah (CDD);
e. penyediaan kontrol yang memadai bagi nasabah, transaksi dan
produk yang berisiko tinggi, seperti batasan transaksi atau
persetujuan manajemen; dan
f. pengujian terhadap keefektifan dari pelaksanaan program APU
dan PPT dengan mengambil contoh secara acak (random
sampling) dan melakukan pendokumentasian atas pengujian
yang dilakukan.
-44-
VI. SISTEM INFORMASI MANAJEMEN
1. Sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisis,
memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah PJK di Sektor
Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017
tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan, paling sedikit
memiliki kriteria sebagai berikut:
a. dapat menyimpan data dan informasi nasabah yang akurat,
lengkap, dan terkini. Data dan informasi dimaksud wajib
digunakan sebagai salah satu parameter dalam melakukan
pemantauan transaksi nasabah;
b. dapat menyediakan informasi rincian orang, bidang usaha, dan
negara yang memenuhi kriteria area berisiko tinggi dan wajib
dilakukan pengkinian secara reguler;
c. dapat mengidentifikasi transaksi keuangan yang mencurigakan
dengan menggunakan parameter yang disesuaikan secara
berkala dan memperhatikan kompleksitas usaha, volume
transaksi, dan risiko yang dimiliki PJK di Sektor Pasar Modal;
d. dapat menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah; dan
e. dapat memungkinkan PJK di Sektor Pasar Modal untuk
menelusuri setiap transaksi (individual transaction), baik untuk
keperluan internal dan/atau OJK, maupun dalam kaitannya
dengan kasus peradilan.
2. PJK di Sektor Pasar Modal wajib memiliki dan memelihara profil
nasabah secara terpadu (single customer identification file). Single
customer identification file dimaksud berupa nomor tunggal identitas
pemodal (single investor identification/SID) yang disediakan oleh
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
3. PJK di Sektor Pasar Modal wajib memastikan pemantauan transaksi
nasabah dengan menggunakan sistem informasi dapat terlaksana
secara efektif dan berkesinambungan.
4. PJK di Sektor Pasar Modal wajib memastikan keamanan dan
keandalan sistem informasi.
-45-
5. PJK di Sektor Pasar Modal wajib memiliki mekanisme atau prosedur
operasional standar berkaitan dengan penggunaan sistem informasi
termasuk menetapkan batasan akses bagi setiap pengguna sistem
informasi.
6. Kebijakan dan prosedur tertulis yang dimiliki PJK di Sektor Pasar
Modal harus mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang
berpotensi disalahgunakan oleh pelaku Pencucian Uang atau
Pendanaan Terorisme, seperti: pembukaan rekening melalui internet,
wesel atau perintah transfer dana melalui fax atau telepon, dan
transaksi elektronik lainnya.
VII. SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN
1. Sumber Daya Manusia
Dalam rangka pencegahan penggunaan PJK di Sektor Pasar Modal
sebagai media atau tujuan Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme, PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan:
a. prosedur penyaringan (pre-employee screening) pada saat
penerimaan calon karyawan baru sebagai bagian dari
penerapan know your employee (KYE), dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) metode screening yang disesuaikan dengan kebutuhan,
kompleksitas usaha, dan profil risiko PJK di Sektor Pasar
Modal; dan
2) metode screening sebagaimana dimaksud pada angka 1),
antara lain:
a) mengharuskan calon karyawan membuat surat
pernyataan tidak pernah melakukan perbuatan
tercela dan/atau menyerahkan surat keterangan
catatan kepolisian (SKCK);
b) melakukan verifikasi identitas dan pendidikan formal
terakhir yang telah diperoleh calon karyawan;
c) memastikan rekam jejak (track record) calon
karyawan; dan
d) melakukan penelitian profil calon karyawan melalui
media informasi lainnya;
b. pengenalan dan pemantauan profil karyawan antara lain
mencakup perilaku dan gaya hidup karyawan, antara lain:
-46-
1) melakukan verifikasi pemantauan dan verifikasi terhadap
karyawan yang mengalami perubahan gaya hidup yang
cukup signifikan;
2) memastikan bahwa karyawan telah memahami dan
menaati kode etik karyawan (staff code of conduct); dan
3) mengevaluasi karyawan yang bertanggung jawab pada
aktivitas yang tergolong berisiko tinggi yaitu memiliki akses
pada data PJK di Sektor Pasar Modal dan berhadapan
dengan calon nasabah atau nasabah; dan
c. prosedur penyaringan (pre-employee screening), pengenalan dan
pemantauan terhadap profil karyawan dituangkan dalam
kebijakan know your employee yang berpedoman pada
ketentuan yang mengatur mengenai penerapan strategi anti
fraud.
2. Pelatihan
PJK di Sektor Pasar Modal wajib menyelenggarakan pelatihan terkait
penerapan program APU dan PPT yang dilakukan secara
berkesinambungan sesuai kebutuhan, kompleksitas usaha, dan
penilaian risiko PJK di Sektor Pasar Modal dengan cara sebagai
berikut:
a. peserta pelatihan:
1) PJK di Sektor Pasar Modal harus memberikan pelatihan
mengenai penerapan program APU dan PPT kepada
seluruh karyawan.
2) Dalam menentukan peserta pelatihan, PJK di Sektor Pasar
Modal mengutamakan karyawan yang tugas sehari-harinya
memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut:
a) berhadapan langsung dengan nasabah (pelayanan
nasabah);
b) melakukan pengawasan pelaksanaan penerapan
program APU dan PPT; atau
c)
terkait dengan penyusunan pelaporan kepada PPATK
dan OJK.
3) Karyawan yang melakukan pengawasan pelaksanaan
penerapan program APU dan PPT harus mendapatkan
pelatihan secara berkala, sedangkan karyawan lainnya
harus mendapatkan pelatihan paling sedikit 1 (satu) kali
-47-
dalam masa kerjanya. Karyawan yang berhadapan
langsung dengan nasabah (front liner) harus mendapatkan
pelatihan sebelum penempatan.
b. Metode Pelatihan
1) Pelatihan dapat dilakukan secara elektronik (online base)
maupun melalui tatap muka.
2) Pelatihan secara elektronik (online base) dapat
menggunakan media e-learning baik yang disediakan oleh
otoritas berwenang seperti PPATK atau yang disediakan
secara mandiri oleh PJK di Sektor Pasar Modal.
3) Pelatihan melalui tatap muka dilakukan secara interaktif
(misal workshop) atau tatap muka satu arah (misal
seminar).
c. Topik Pelatihan
Topik pelatihan paling sedikit mengenai:
1) implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan program APU dan PPT;
2) teknik, metode, dan tipologi Pencucian Uang atau
Pendanaan Terorisme termasuk tren dan perkembangan
profil risiko produk PJK di Sektor Pasar Modal; dan
3) kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT
serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah
dan memberantas Pencucian Uang atau Pendanaan
Terorisme, termasuk konsekuensi apabila karyawan
melakukan tipping off.
Kedalaman topik pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan PJK
di Sektor Pasar Modal dan kesesuaian dengan tugas dan
tanggung jawab karyawan.
d. Evaluasi pelatihan
1) Untuk mengetahui tingkat pemahaman karyawan dan
kesesuaian materi pelatihan, PJK di Sektor Pasar Modal
harus melakukan evaluasi terhadap pelatihan yang telah
diselenggarakan.
2) Evaluasi dapat dilakukan secara langsung melalui
wawancara atau secara tidak langsung melalui tes.
-48-
3) PJK di Sektor Pasar Modal harus melakukan upaya tindak
lanjut dari hasil evaluasi pelatihan melalui
penyempurnaan materi dan metode pelatihan.
VIII. PELAPORAN
1. Pelaporan rencana kegiatan pengkinian data dan laporan realisasi
pengkinian data dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
laporan ditujukan kepada:
1) Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A, Otoritas
Jasa Keuangan, bagi perusahaan efek.
2) Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2B, Otoritas
Jasa Keuangan, bagi bank kustodian.
b.
isi laporan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
bentuk dokumen cetak dan dapat pula disiapkan dalam format
digital dengan menggunakan media digital cakram padat
(compact disk).
c.
laporan sesuai dengan format sebagaimana dimuat dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
2. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
elektronik, pelaporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat
disampaikan melalui sistem elektronik tersebut.
IX. PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 September 2017
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PASAR MODAL
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
HOESEN
- 1 -
LAMPIRAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 47 /SEOJK.04/2017
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN
PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR PASAR MODAL
- 1 -
SIKLUS PENDEKATAN BERBASIS RISIKO (RISK BASED APPROACH)
Risiko Jaringan Distribusi
Media yang digunakan untuk
memperoleh atau menawarkan barang
dan jasa, apakah secara langsung,
melalui agen dan/atau secara online
- 2 -
PEMISAHAN RISIKO YANG TERKAIT DENGAN KEGIATAN USAHA PJK DI
SEKTOR PASAR MODAL
A. Tabel berikut menyajikan beberapa contoh faktor risiko yang mungkin
dihadapi oleh PJK di Sektor Pasar Modal sebagai bagian dari penilaian
risiko yang berhubungan dengan kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar
Modal. Tabel tersebut juga memaparkan alasan-alasan rasional yang
dapat membantu PJK di Sektor Pasar Modal untuk membedakan setiap
peringkat risiko.
B. PJK di Sektor Pasar Modal dapat memutuskan skala risiko yang ingin
digunakan oleh PJK di Sektor Pasar Modal. Pedoman ini tidak mewajibkan
PJK di Sektor Pasar Modal untuk menentukan skala risiko tinggi,
menengah, dan rendah. PJK di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan
skala tinggi dan rendah saja sesuai dengan kegiatan usaha, kebutuhan,
dan kompleksitas PJK di Sektor Pasar Modal.
C. Perlu diketahui bahwa penggunaan tabel ini bukan merupakan penerapan
Pendekatan Berbasis Risiko karena penerapan pendekatan berbasis risiko
harus memenuhi siklus Risk Based Approach. Tabel ini membantu PJK di
Sektor Pasar Modal dalam melakukan penilaian risiko atas kegiatan usaha
PJK di Sektor Pasar Modal, namun tidak mempertimbangkan risiko
nasabah.
D. Tabel risiko ini menyajikan contoh risiko bawaan (inherent risk) yang
belum dimitigasi,
E. Mitigasi risiko diperlukan bagi risiko-risiko yang dikategorikan tinggi.
TABEL CONTOH PEMISAHAN RISIKO
Faktor
Produk atau
Jasa-
Transaksi
Elektronik
contoh:
online trading
Rendah
PJK di Sektor
Pasar Modal tidak
menyediakan
layanan transaksi
elektronik.
contoh: online
trading
Menengah
PJK di Sektor
Pasar Modal
memiliki beberapa
layanan transaksi
elektronik.
contoh: online
trading namun
hanya untuk
Tinggi
PJK di Sektor Pasar
Modal menawarkan
beragam layanan
transaksi
elektronik.
contoh: online
trading
- 3 -
Faktor
Rendah
Menengah
produk dan
layanan tertentu.
PJK di Sektor
Pasar Modal
memiliki batasan
untuk penggunaan
layanan transaksi
elektronik
Struktur
Kepemilikan
PJK di Sektor
Pasar Modal
dimiliki oleh
BUMN
Geografi-
Wilayah
berdasarkan
tingkat risiko
TPPU dan
TPPT
PJK di Sektor
Pasar Modal
berlokasi di
wilayah yang
memiliki tingkat
risiko TPPU dan
TPPT yang
rendah.
PJK di Sektor
Pasar Modal
dimiliki oleh swasta
Kantor Pusat atau
beberapa kantor
cabang atau kantor
di luar kantor
cabang PJK di
Sektor Pasar Modal
berada di wilayah
yang memiliki
tingkat risiko TPPU
dan TPPT
menengah atau
sedang.
Geografi-
negara
berisiko tinggi
PJK di Sektor
Pasar Modal tidak
memiliki
hubungan usaha
dengan negara
berisiko tinggi.
PJK di Sektor
Pasar Modal
memiliki hubungan
usaha dengan
negara berisiko
tinggi dengan
volume transaksi
menengah atau
sedang.
PJK di Sektor Pasar
Modal memiliki
hubungan usaha
dengan negara
berisiko tinggi
dengan volume
transaksi tinggi.
PJK di Sektor Pasar
Modal dimiliki oleh
Asing
Kantor Pusat atau
beberapa kantor
cabang atau kantor
di luar kantor
cabang PJK berada
di wilayah yang
memiliki tingkat
risiko TPPU dan
TPPT yang tinggi.
Tinggi
- 4 -
Beberapa indikator dalam tabel di atas bersifat samar atau membutuhkan
penjelasan lebih lanjut seperti penggunaan kata beberapa atau signifikan.
PJK di Sektor Pasar Modal dapat mengintepretasikan hal tersebut sesuai
dengan skala kegiatan usaha PJK di Sektor Pasar Modal.
- 5 -
MATRIKS KEMUNGKINAN DAN DAMPAK (LIKELIHOOD AND IMPACT MATRIX)
A. Dalam melakukan identifikasi risiko, salah satu alat bantu yang dapat
digunakan oleh PJK di Sektor Pasar Modal ialah matriks kemungkinan
dan dampak (likelihood and impact matrix). Matriks tersebut membantu
PJK di Sektor Pasar Modal dalam menetapkan seberapa besar upaya
atau pemantauan yang perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko
bawaan (inherent risk). Perlu diperhatikan bahwa matriks tersebut hanya
merupakan contoh. PJK di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan alat
bantu lain atau bentuk matriks lain yang sesuai dengan skala usaha,
kebutuhan, dan kompleksitas PJK di Sektor Pasar Modal sehingga
benar-benar dapat menggambarkan risiko yang dihadapi PJK di Sektor
Pasar Modal.
1. Kemungkinan (likelihood)
Kemungkinan (likelihood) atas risiko pencucian uang dan pendanaan
terorisme (berupa ancaman dan kerentanan) terjadi dalam kegiatan
usaha PJK di Sektor Pasar Modal. Peluang terjadi risiko ialah
kemungkinan (likelihood) itu sendiri. PJK di Sektor Pasar Modal perlu
memahami kemungkinan (likelihood) risiko yang telah teridentifikasi
benar-benar terjadi. Kemungkinan (likelihood) merujuk pada tingkat
risiko yang telah diidentifikasi sebagai bagian dari penilaian risiko.
Dalam hal ini PJK di Sektor Pasar Modal dapat menggunakan skala
risiko yang pada umumnya digunakan yaitu:
Peringkat Kemungkinan (Likelihood) risiko pencucian uang dan
pendanaan terorisme
Tinggi
Kemungkinan risiko pencucian uang dan pendanaan
terorisme terjadi.
Menengah Kemungkinan terjadinya risiko dapat diterima.
Rendah
Tidak terdapat kemungkinan terjadinya risiko.
2. Dampak (Impact)
Dampak dalam hal ini merujuk pada tingkat keseriusan atau
konsekuensi dari suatu kerusakan atau kerugian yang terjadi apabila
terjadi risiko.
Timbulnya dampak (impact) bergantung pada kondisi internal PJK di
Sektor Pasar Modal. Dampak (impact) atas terjadinya risiko pencucian
uang dan pendanaan terorisme dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang, antara lain:
- 6 -
a. Risiko reputasi dan dampaknya terhadap kegiatan usaha PJK di
Sektor Pasar Modal;
b. Dampak regulasi;
c. Kerugian finansial bagi PJK di Sektor Pasar Modal; dan/atau
d. Risiko hukum.
Dampak (impact) atas terjadinya risiko pencucian uang dan
pendanaan terorisme akan sangat spesifik untuk setiap PJK di Sektor
Pasar Modal, oleh karena itu hanya PJK di Sektor Pasar Modal yang
dapat menentukan dampak (impact) atas risiko yang terjadi.
Skala yang digunakan untuk menghitung dampak (impact) tidak jauh
berbeda dengan skala dalam menghitung kemungkinan (likelihood).
Peringkat
Konsekuensi atas risiko pencucian uang dan
pendanaan terorisme
Tinggi
Menengah
Rendah
Risiko memiliki konsekuensi yang berat.
Risiko memiliki konsekuensi yang moderat.
Risiko memiliki konsekuensi yang kecil atau tidak
signifikan.
B. Matriks kemungkinan (likelihood) dan dampak (impact) akan membantu
PJK di Sektor Pasar Modal untuk memutuskan hal yang perlu dilakukan
dengan mempertimbangkan risiko secara keseluruhan. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, pendekatan berbasis risiko merupakan
proses yang memungkinkan PJK di Sektor Pasar Modal untuk
menerapkan langkah-langkah yang sepadan dengan risiko yang
teridentifikasi sebagai bagian dari penilaian risiko.
Setiap kotak dalam matriks menunjukan sumber daya yang dibutuhkan
untuk melakukan:
Action (contoh: risiko perlu segera ditindaklanjuti)
Effort (contoh: tingkat upaya dalam melakukan mitigasi risiko)
Monitoring (contoh: tingkat pemantauan yang perlu dilakukan PJK di
Sektor Pasar Modal)
- 7 -
C. Cara membaca matriks prioritas
1. Kotak 6
Kondisi pada kotak 6 menunjukan kemungkinan dan dampak
terjadinya risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme rendah
sehingga PJK di Sektor Pasar Modal tidak perlu mengambil tindakan,
upaya atau pemantauan khusus.
2. Kotak 3
Kondisi pada kotak 3 menunjukan bahwa PJK di Sektor Pasar Modal
perlu mengalokasikan sumber daya untuk melakukan tindakan,
upaya dan pemantauan. Terdapat kemungkinan terjadinya risiko
pencucian uang dan pendanaan terorisme dengan dampak yang
dapat dikategorikan moderat. Untuk itu, PJK di Sektor Pasar Modal
perlu memperhatikan seluruh kegiatan usaha dan hubungan usaha
yang ada, sehingga tidak menimbulkan peningkatan risiko (tidak
berubah menjadi kotak 2 atau kotak 1).
- 8 -
3. Kotak 1
Kondisi pada kotak 1 menunjukan bahwa kemungkinan terjadinya
risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme sangat tinggi
termasuk besarnya dampak atas risiko tersebut. Pada kondisi
tersebut dibutuhkan sumber daya yang lebih banyak, tindakan
khusus, upaya khusus, serta pemantauan berkala untuk
meminimalisasi risiko tersebut.
- 9 -
LAPORAN RENCANA PENGKINIAN DATA
(Nama PJK di Sektor Pasar Modal)
Posisi .....
Jumlah SID
No
(a)
Jenis Nasabah dan
Tingkat Risiko
(b)
1 Nasabah orang perseorangan
a. Risiko Tinggi
b. Risiko Menengah
c. Risiko Rendah
2 Nasabah Korporasi
a. Non Usaha Mikro dan Kecil
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
3) Risiko Rendah
b. Usaha Mikro dan Kecil
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
3) Risiko Rendah
c. Penyedia Jasa Keuangan
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
SID yang
akan
Dikinikan
(c)
% terhadap
jumlah
seluruh
SID
(d)
Informasi
yang akan
Dikinikan
(e)
Metode/Strategi
(f)
Persentase
Pemenuhan SID
yang telah dikinikan
(g)
- 10 -
Jumlah SID
No
(a)
Jenis Nasabah dan
Tingkat Risiko
(b)
3) Risiko Rendah
d. Yayasan
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
3) Risiko Rendah
e. Selain perusahaan dan
yayasan (berbadan hukum
maupun tidak berbadan
hukum)
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
3) Risiko Rendah
3 Lembaga Negara, Instansi
Pemerintah,
lembaga
internasional, dan perwakilan
negara asing
a. Risiko Tinggi
b. Risiko Menengah
c. Risiko Rendah
SID yang
akan
Dikinikan
(c)
% terhadap
jumlah
seluruh
SID
(d)
Informasi
yang akan
Dikinikan
(e)
Metode/Strategi
(f)
Persentase
Pemenuhan SID
yang telah dikinikan
(g)
- 11 -
Keterangan:
(a) Diisi dengan nomor
(b) Sesuai Kolom
(c) Diisi dengan rencana jumlah SID yang akan dikinikan untuk 1 (satu) tahun berikutnya
(d) Diisi dalam persentase
(e) Informasi dapat diisi lebih dari satu, seperti pengkinian alamat tempat tinggal atau pekerjaan.
(f) Metode atau strategi dapat diisi lebih dari satu, seperti korespondensi melalui surat atau surat elektronik.
(g) Target waktu disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masing-masing PJK di Sektor Pasar Modal, misalnya secara
triwulanan.
- 12 -
LAPORAN REALISASI PENGKINIAN DATA
(Nama PJK di Sektor Pasar Modal)
Posisi ......
No
(a)
Jenis Nasabah dan Tingkat
Risiko
(b)
1 Nasabah Perorangan
a. Risiko Tinggi
b. Risiko Menengah
c. Risiko Rendah
2 Nasabah Korporasi
a. Usaha Mikro dan Kecil
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
3) Risiko Rendah
b. Non Usaha Mikro dan Kecil
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
3) Risiko Rendah
c. Penyedia Jasa Keuangan
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
3) Risiko Rendah
d. Yayasan
Target
(c)
Perkembangan
Realisasi
(d)
Deviasi (%)
(e)
Kendala
(f)
Upaya yang akan
Dilakukan
(g)
- 13 -
No
(a)
Jenis Nasabah dan Tingkat
Risiko
(b)
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
3) Risiko Rendah
e. Selain perusahaan dan
yayasan (berbadan hukum
maupun tidak berbadan
hukum)
1) Risiko Tinggi
2) Risiko Menengah
3) Risiko Rendah
3 Lembaga Negara, Instansi
Pemerinah,
Lembaga
Internasional, dan Perwakilan
Negara Asing
a. Risiko Tinggi
b. Risiko Menengah
c. Risiko Rendah
Keterangan:
(a) Diisi dengan nomor
(b) Sesuai Kolom
(c) Diisi dengan target jumlah SID yang dikinikan
Target
(c)
Perkembangan
Realisasi
(d)
Deviasi (%)
(e)
Kendala
(f)
Upaya yang akan
Dilakukan
(g)
- 14 -
(d) Diisi dengan realisasi jumlah SID yang dikinikan
(e) Diisi dengan selisih persentase antara target jumlah SID yang dikinikan (c) dengan realisasi jumlah SID yang dikinikan (d).
(f) Kendala dapat diisi lebih dari satu.
(g) Diisi dengan upaya untuk mengatasi kendala dan dapat lebih dari satu.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 September 2017
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PASAR MODAL,
ttd
HOESEN
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 7/SEOJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PENYAMPAIAN PERMOHONAN PERIZINAN, PENDAFTARAN, PENCATATAN, PERSETUJUAN, DAN PELAPORAN SECARA ELEKTRONIK BAGI PELAKU DI BIDANG PENGELOLAAN INVESTASI </reg_title>
<set_date> 27 Januari 2017 </set_date>
<effective_date> 27 Januari 2017 </effective_date>
<related_reg> '8/UU/1995', 'KEP-479/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 | lampiran Peraturan Nomor V.A.3', 'KEP-26/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | lampiran Peraturan Nomor V.C.1', 'KEP-50/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM-LK/1997 | lampiran Peraturan Nomor IX.C.9', 'KEP-423/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | lampiran Peraturan Nomor IX.C.15', 'KEP-70/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan X.F.1', 'KEP-283/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | lampiran Peraturan Nomor X.N.1', '23/POJK.04/2014', '25/POJK.04/2014', '37/POJK.04/2014', '39/POJK.04/2014', '50/POJK.04/2015', '19/POJK.04/2016', '23/POJK.04/2016', '27/POJK.03/2016', 'KEP-496/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | lampiran Peraturan Nomor II.A.4' </related_reg>
|
Yth.
Direksi Bank Umum Syariah
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 35 /SEOJK.03/2015
TENTANG
PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO
UNTUK RISIKO PASAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE STANDAR
BAGI BANK UMUM SYARIAH
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 352, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5630),
selanjutnya disebut POJK KPMM BUS, perlu diatur lebih lanjut mengenai
pelaksanaan perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk
Risiko Pasar dengan menggunakan Metode Standar bagi Bank Umum Syariah
dalam suatu Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan, sebagai berikut:
I. UMUM
1. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening
administratif akibat perubahan harga pasar, antara lain risiko berupa
perubahan nilai dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan.
2. Sesuai POJK KPMM BUS, dalam menghitung Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM) baik secara individu maupun secara
konsolidasi dengan Perusahaan Anak, Bank yang memenuhi kriteria
tertentu wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Pasar.
3. Risiko Pasar dalam perhitungan KPMM mencakup risiko benchmark
suku bunga, risiko nilai tukar, risiko ekuitas, dan/atau risiko
komoditas.
4. Bank secara individu dan secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak
wajib memperhitungkan risiko benchmark suku bunga dan/atau risiko
nilai tukar.
5. Bank...
- 2 -
5. Bank secara konsolidasi selain memperhitungkan risiko sebagaimana
dimaksud pada angka 4, juga wajib memperhitungkan:
a. risiko ekuitas, apabila Bank memiliki Perusahaan Anak yang
terekspos risiko ekuitas; dan/atau
b. risiko komoditas, apabila Bank memiliki Perusahaan Anak yang
terekspos risiko komoditas.
6. Dalam menghitung ATMR untuk Risiko Pasar, Bank dapat
menggunakan 2 (dua) jenis pendekatan, yaitu:
a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau
b. Model Internal (Internal Model).
Untuk penerapan tahap awal, Bank yang memenuhi kriteria tertentu
wajib terlebih dahulu menggunakan Metode Standar dalam
memperhitungkan Risiko Pasar.
II. PERHITUNGAN ATMR RISIKO PASAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE
STANDAR
A. PERHITUNGAN RISIKO BENCHMARK SUKU BUNGA
1. Ketentuan Umum
a. Perhitungan risiko benchmark suku bunga dilakukan terhadap
instrumen keuangan dalam Trading Book yang terekspos risiko
benchmark suku bunga antara lain surat berharga syariah atau
sukuk.
b. Perhitungan beban modal untuk risiko benchmark suku bunga
meliputi:
1) risiko spesifik dari setiap instrumen keuangan pada posisi
long;
2) risiko umum dari keseluruhan portofolio pada posisi long.
c. Nilai pasar surat berharga syariah atau sukuk yang digunakan
dalam perhitungan risiko spesifik dan risiko umum adalah dirty
price, yaitu nilai pasar surat berharga syariah atau sukuk
(clean price) ditambah dengan present value atas imbalan yang
akan diterima (dicatat secara accrual). Present value atas
imbalan yang akan diterima dapat tidak dilakukan apabila
berdasarkan jangka waktu pembayaran kupon, nilai present
value tidak menimbulkan perbedaan yang material dengan nilai
imbalan yang akan diterima.
2. Perhitungan...
- 3 -
2. Perhitungan Risiko Spesifik
a. Perhitungan beban modal untuk risiko spesifik dirancang
untuk melindungi Bank dari risiko kerugian akibat perubahan
harga dari setiap instrumen keuangan yang dimiliki akibat
faktor-faktor yang berkaitan dengan penerbit instrumen
keuangan (issuer).
b. Pembebanan risiko spesifik dibagi dalam kategori pembobotan
mengacu pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Penerbit dan Bobot Risiko (Risiko Spesifik)
Penerbit
1. Pemerintah Indonesia
2. Pemerintah Negara Lain
a. peringkat AAA sampai dengan AA-
b. peringkat A+ sampai dengan BBB- dengan:
i. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh
tempo kurang dari atau sama dengan 6
(enam) bulan
ii. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh
tempo lebih dari 6 (enam) bulan sampai
dengan 24 (dua puluh empat) bulan
iii. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh
tempo lebih dari 24 (dua puluh empat)
bulan
c. peringkat BB+ sampai dengan B-
d. peringkat kurang dari B-
e. tanpa peringkat
3. Kualifikasi (Qualifying)
a. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh
tempo kurang dari atau sama dengan 6
(enam) bulan
b. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh
tempo lebih dari 6 (enam) bulan sampai
dengan 24 (dua puluh empat) bulan
c. sisa jangka waktu sampai dengan jatuh
tempo lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan
0,25
1,00
1,60
4. Lainnya...
0,25
1,00
1,60
8,00
12,00
8,00
Bobot
Risiko (%)
0,00
0,00
- 4 -
Penerbit
Bobot
Risiko (%)
4. Lainnya
a. korporasi dengan:
i. peringkat jangka pendek A-1
ii. peringkat jangka pendek A-2
iii. peringkat jangka pendek A-3
iv. peringkat jangka pendek kurang dari A-3
v. peringkat AAA sampai dengan AA-
vi. peringkat A+ sampai dengan A-
vii. peringkat BBB+ sampai dengan BB-
viii. peringkat kurang dari BB-
ix. tanpa peringkat
b. bank yang tergolong:
i. Tagihan Jangka Pendek
1) peringkat jangka pendek kurang dari
A-3
2) peringkat BB+ sampai dengan B-
3) peringkat kurang dari B-
4) tanpa peringkat
ii. Tagihan Jangka Panjang
1) peringkat jangka pendek kurang dari
A-3
2) peringkat BB+ sampai dengan B-
3) peringkat kurang dari B-
4) tanpa peringkat
c. entitas sektor publik dan bank pembangunan
multilateral dan lembaga internasional
i. peringkat BB+ sampai dengan B-
ii. peringkat kurang dari B-
8,00
12,00
iii. tanpa...
12,00
8,00
12,00
8,00
12,00
4,00
12,00
4,00
1,60
4,00
8,00
12,00
1,60
4,00
8,00
12,00
12,00
- 5 -
Penerbit
Bobot
iii. tanpa peringkat
Risiko (%)
8,00
1) Pemerintah Indonesia
Yang termasuk kategori instrumen keuangan Pemerintah
Indonesia adalah seluruh instrumen yang dikeluarkan,
dijamin atau dijamin dengan efek yang dikeluarkan oleh:
a) Pemerintah Pusat Republik Indonesia;
b) Bank Indonesia;
c) Badan-badan dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya
yang seluruh pendanaan operasionalnya berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Pemerintah Republik Indonesia.
2) Pemerintah Negara Lain
Yang termasuk kategori instrumen keuangan pemerintah
negara lain adalah seluruh instrumen yang dikeluarkan,
dijamin atau dijamin dengan efek yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat atau bank sentral negara lain.
3) Kualifikasi
a) Yang termasuk kategori instrumen keuangan kualifikasi
(qualifying) adalah:
(1) surat berharga syariah yang dikeluarkan, dijamin
atau dijamin dengan efek yang dikeluarkan oleh:
(a) pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam
ketentuan perundang-undangan mengenai
pemerintahan daerah;
(b) bank;
(c ) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana
diatur dalam ketentuan perundang-undangan
mengenai BUMN, yang tidak tergolong sebagai
bank;
(d) bank pembangunan multilateral, yaitu World
Bank Group yang terdiri atas International Bank
for Reconstruction and Development (IBRD) dan
International Finance Corporation (IFC), Asian
Development...
- 6 -
Development Bank (ADB), African Development
Bank (AfDB), European Bank for Reconstruction
and Development
(EBRD),
Inter-American
Development Bank (IADB), European Investment
Bank (EIB), European Investment Fund (EIF),
Nordic Investment Bank (NIB), Caribbean
Development Bank (CDB), Islamic Development
Bank (IDB), dan Council of Europe Development
Bank (CEDB);
(e) lembaga internasional yaitu Bank for
International Settlements, International Monetary
Fund (IMF), dan European Central Bank,
yang memiliki peringkat investasi (investment grade)
dari 1 (satu) lembaga pemeringkat yang diakui
Otoritas Jasa Keuangan.
Bank sebagaimana dimaksud pada huruf (b)
mencakup bank yang beroperasi di Indonesia dan
bank yang beroperasi di luar Indonesia, termasuk
Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai lembaga pembiayaan ekspor Indonesia.
(2) surat berharga syariah yang diterbitkan oleh pihak
selain sebagaimana dimaksud dalam angka (1), yang
memiliki peringkat investasi (investment grade) dari
paling sedikit 2 (dua) lembaga pemeringkat yang
diakui Otoritas Jasa Keuangan.
b) Peringkat domestik digunakan untuk surat berharga
syariah atau sukuk dalam mata uang Rupiah.
Peringkat internasional digunakan untuk surat berharga
syariah atau sukuk dalam valuta asing.
4) Lainnya
Yang termasuk kategori lainnya adalah seluruh surat
berharga syariah atau sukuk yang dikeluarkan, dijamin
atau dijamin dengan efek yang dikeluarkan oleh korporasi,
bank, entitas sektor publik, bank pembangunan
multilateral dan lembaga internasional yang tidak termasuk
dalam...
- 7 -
dalam kategori Pemerintah Indonesia, pemerintah negara
lain, dan kualifikasi.
Yang dimaksud dengan korporasi, bank, entitas sektor
publik, bank pembangunan multilateral dan lembaga
internasional adalah pihak-pihak yang termasuk dalam
Tagihan kepada Korporasi, Tagihan kepada Bank, Tagihan
kepada Entitas Sektor Publik, dan Tagihan kepada Bank
Pembangunan Multilateral dan Lembaga Internasional
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai perhitungan aset
tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dengan
menggunakan pendekatan standar.
3. Perhitungan Risiko Umum
a. Perhitungan beban modal untuk Risiko Umum dimaksudkan
untuk melindungi Bank dari risiko kerugian akibat perubahan
dalam benchmark suku bunga pasar.
b. Risiko umum dikenakan terhadap posisi surat berharga syariah
atausukuk dan tercatat pada Trading Book.
c. Metode perhitungan yang dapat dilakukan untuk perhitungan
risiko umum adalah dengan menggunakan Metode Jatuh
Tempo (Maturity Method) atau Metode Jangka Waktu (Duration
Method). Bank dapat menentukan pilihan terhadap 2 (dua)
metode tersebut sepanjang dilakukan secara konsisten dan
akurat. Bagi Bank yang menggunakan Metode Jangka Waktu
(Duration Method), manajemen Bank harus dapat memastikan
bahwa Bank memiliki kapasitas untuk menerapkan metode
tersebut dengan berdasarkan prinsip kehati-hatian.
d. Bank harus memberitahukan secara tertulis kepada Direktorat
Pengawasan Perbankan Syariah, Kantor Regional atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat apabila Bank akan
menggunakan Metode Jangka Waktu (Duration Method) dalam
perhitungan risiko umum.
e. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada
huruf d harus dilengkapi dokumen dan informasi yang
meliputi:
1) Kebijakan...
- 8 -
1) kebijakan dan prosedur pelaksanaan Metode Jangka Waktu
(Duration Method);
2) instrumen yang dihitung dengan Metode Jangka Waktu
(Duration Method);
3) sistem yang mendukung pelaksanaan prosedur perhitungan;
4) proses dan prosedur pengendalian terhadap metode
perhitungan;
5) validasi internal oleh pihak independen terhadap metode
perhitungan Risiko Pasar yang digunakan.
f. Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan
terhadap Metode Jangka Waktu (Duration Method) yang
digunakan Bank untuk memastikan kebenaran dokumen dan
informasi sebagaimana dimaksud pada huruf e.
g. Metode Jatuh Tempo (Maturity Method)
1) Posisi long dari seluruh posisi surat berharga syariah atau
sukuk dipetakan ke dalam jenjang maturitas (maturity
ladder) yang terdiri atas 13 (tiga belas) skala waktu (time
band). Yang dimaksud dengan jenjang maturitas adalah
tabel yang disusun berdasarkan pengelompokkan sisa jatuh
tempo atau jangka waktu sampai dengan penetapan imbalan
berikutnya dari suatu surat berharga syariah atau sukuk.
2) Instrumen dengan imbalan tetap (fixed) dialokasikan sesuai
sisa jatuh tempo sedangkan instrumen dengan imbalan
mengambang (variable) dialokasikan sesuai jangka waktu
sampai dengan saat penetapan imbalan berikutnya (next
repricing date).
3) Pembebanan Risiko Umum dibagi dalam kategori
pembobotan mengacu pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Skala Waktu dan Bobot Risiko (Risiko Umum -
Maturity Method)
Skala Waktu
< 1 bulan
> 1 – 3 bulan
> 3 – 6 bulan
> 6 – 12 bulan
> 1 – 2 tahun
> 2 – 3 tahun
> 3 – 4 tahun
> 4 – 5 tahun
Bobot Risiko (%)
0,00
0,20
0,40
0,70
1,25
1,75
2,25
2,75
> 5-7 tahun...
- 9 -
Skala Waktu
> 5 – 7 tahun
> 7 – 10 tahun
> 10 – 15 tahun
> 15 – 20 tahun
> 20 tahun
Bobot Risiko (%)
3,25
3,75
4,50
5,25
6,00
4. Perlakuan terhadap Transaksi Repo
a. Surat berharga syariah yang diserahkan kepada counterparty
sebagai collateral dalam transaksi Repo yang dicatat dalam
Trading Book sesuai standar akuntansi yang berlaku, dicatat
sebagai posisi long dalam perhitungan risiko spesifik dan risiko
umum.
b. Perhitungan Risiko Spesifik
Perhitungan Risiko Spesifik dari surat berharga syariah atau
sukuk ditentukan dari:
1) kategori penerbit; dan
2) peringkat dan/atau sisa jatuh tempo.
c. Perhitungan Risiko Umum
Perhitungan Risiko Umum didasarkan pada sisa jatuh tempo
untuk surat berharga syariah atau sukuk dengan imbalan
tetap atau sisa jangka waktu sampai penyesuaian tingkat
imbalan berikutnya untuk surat berharga syariah atau sukuk
dengan imbalan mengambang.
B. PERHITUNGAN RISIKO NILAI TUKAR
1. Perhitungan risiko nilai tukar dilakukan terhadap posisi valuta
asing dalam Trading Book dan Banking Book yang terekspos risiko
nilai tukar termasuk emas dengan mengacu pada perhitungan
Posisi Devisa Neto sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku mengenai posisi devisa neto. Posisi terhadap emas
diperhitungkan sama dengan valuta asing dengan pertimbangan
bahwa pergerakan harga emas hampir sama dengan pergerakan
nilai tukar valuta asing dan Bank memperlakukan transaksi emas
sama dengan transaksi valuta asing.
2. Perhitungan beban modal untuk risiko nilai tukar dari posisi
valuta asing dibebankan sebesar 8% (delapan persen) terhadap
Posisi Devisa Neto secara keseluruhan pada akhir hari.
3. Dalam...
- 10 -
3. Dalam perhitungan risiko nilai tukar, Bank dapat mengecualikan
Posisi Struktural dari perhitungan Posisi Devisa Neto sepanjang
memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang berlaku mengenai posisi devisa neto.
a. Bila Bank memilih untuk mengecualikan Posisi Struktural
tersebut maka pengecualian tersebut harus dilakukan secara
konsisten dan memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
b. Dalam rangka memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan, Bank wajib menyampaikan dokumen pendukung
yang terkait dengan status dari Posisi Struktural dan bukti
pembukuan transaksi.
Contoh:
Posisi Struktural berupa aset tetap di luar negeri perlu
didukung antara lain dengan dokumen yang berupa bukti
kepemilikan, bukti pembayaran, dan dokumen pembukuan.
c. Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan dokumen
kepada Bank untuk memastikan kelayakan dari suatu Posisi
Struktural yang akan dikecualikan dari perhitungan Posisi
Devisa Neto.
C. PERHITUNGAN RISIKO EKUITAS
1. Perhitungan Risiko Ekuitas bagi Bank secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak dilakukan terhadap posisi instrumen keuangan
dalam Trading Book yang terekspos risiko ekuitas, yang meliputi
saham biasa (common stocks) dengan atau tanpa hak suara (voting
rights), surat berharga syariah atau sukuk yang dapat dikonversi
menjadi saham (convertible securities), atau instrumen keuangan
lainnya yang memiliki karakteristik seperti saham namun tidak
termasuk penyertaan saham di Perusahaan Anak dan penyertaan
saham sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan yang
diperlakukan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan modal
Bank serta saham preferen yang tidak dapat dikonversi (non-
convertible preference shares).
2. Perhitungan beban modal untuk risiko ekuitas dalam Trading Book
meliputi:
a. Risiko...
- 11 -
a. Risiko spesifik dari posisi ekuitas yang merupakan penjumlahan
nilai posisi long dari setiap instrumen keuangan yang terekspos
risiko ekuitas yang diterbitkan oleh setiap emiten di setiap pasar
keuangan.
Dalam hal instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas
diperdagangkan pada lebih dari satu pasar keuangan maka
instrumen keuangan tersebut diperlakukan sebagai posisi di
pasar keuangan dimana instrumen keuangan dimaksud
diperdagangkan secara utama (primary listing).
b. Risiko umum dari posisi ekuitas yang merupakan penjumlahan
nilai posisi long dari setiap instrumen keuangan yang terekspos
risiko ekuitas di setiap pasar keuangan.
3. Perhitungan Risiko Spesifik
a. Perhitungan beban modal untuk risiko spesifik dirancang untuk
melindungi Bank dari risiko kerugian akibat perubahan harga
dari setiap instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas
akibat faktor-faktor yang berkaitan dengan emiten. Risiko yang
terkait dengan pihak lawan dalam transaksi tersebut
diperhitungkan tersendiri dalam perhitungan risiko kredit akibat
kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk).
b. Perhitungan beban modal untuk risiko spesifik adalah sebesar
8% (delapan persen) dari posisi ekuitas.
4. Perhitungan Risiko Umum
a. Perhitungan beban untuk risiko umum dimaksudkan untuk
melindungi Bank dari risiko kerugian akibat perubahan faktor
pasar.
b. Perhitungan beban modal untuk risiko umum adalah sebesar
8% (delapan persen) dari posisi ekuitas.
Contoh:
Perusahaan
A
B
Jumlah
Saham
10.000
20.000
Posisi
Long
Long
Harga pasar/
saham
Rp100
Rp200
Jumlah posisi long =Rp1.000.000,00+Rp4.000.000,00=
Rp5.000.000,00
Risiko Spesifik
Risiko Umum
Risiko Ekuitas
Harga pasar
Rp1.000.000
Rp4.000.000
= Rp5.000.000,00 x 8% = Rp400.000,00
= Rp5.000.000,00 x 8% = Rp 400.000,00
= Rp400.000,00 + Rp400.000,00= Rp800.000,00
Dari...
- 12 -
Dari perhitungan tersebut, maka beban modal untuk risiko ekuitas
adalah sebesar Rp800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah).
D. PERHITUNGAN RISIKO KOMODITAS
1. Perhitungan risiko komoditas bagi Bank secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak dilakukan terhadap posisi instrumen keuangan
dalam Trading Book dan Banking Book yang terekspos risiko
komoditas. Yang termasuk sebagai komoditas antara lain produk
fisik yang dapat diperdagangkan seperti produk agrikultur, mineral
(termasuk minyak), dan logam berharga (precious metal) namun
tidak termasuk emas.
2. Risiko Komoditas yang harus diperhitungkan meliputi:
a. Directional risk, yaitu risiko yang timbul dari perubahan harga
spot atas posisi komoditas terbuka neto (net open positions),
khususnya untuk posisi komoditas dari transaksi
perdagangan spot atau perdagangan fisik.
b. Basis risk, yaitu risiko yang timbul dari pergerakan harga
yang tidak berkorelasi sempurna antara komoditas yang
serupa namun tidak identik, yang antara lain dapat
disebabkan oleh kualitas komoditas.
3. Dalam perhitungan risiko komoditas, Bank harus mengkonversi
posisi bruto (yaitu penjumlahan posisi long dan short) untuk setiap
komoditas (yang diukur dalam barrel, kilogram, atau unit
pengukuran lainnya yang digunakan untuk komoditas) ke dalam
satuan mata uang berdasarkan harga pasar terkini dari setiap
komoditas tersebut;
4. Dalam perhitungan risiko komoditas, Bank dapat melakukan
proses saling hapus antara posisi long dan short apabila bersifat
identik, yaitu:
a. komoditas yang mendasari sama; atau
b. komoditas yang mendasari berbeda namun masuk dalam
kelompok yang sama.
5. Metode perhitungan yang dapat dilakukan untuk perhitungan
risiko komoditas adalah dengan menggunakan Metode Sederhana
(Simplified Approach) atau Metode Jatuh Tempo (Maturity Ladder
Approach). Bank dapat menentukan pilihan terhadap 2 (dua)
metode tersebut sepanjang dilakukan secara akurat dan konsisten.
6. Metode...
- 13 -
6. Metode Sederhana (Simplified Approach)
Beban modal untuk risiko komoditas adalah sebesar penjumlahan
dari perhitungan:
a. 15% (lima belas persen) dari posisi neto, baik long atau short,
dari setiap posisi komoditas untuk mengantisipasi directional
risk; dan
b. 3% (tiga persen) dari posisi bruto (penjumlahan dari nilai
absolut posisi long dan short) dari setiap posisi komoditas
untuk mengantisipasi basis risk.
7. Metode Jatuh Tempo (Maturity Ladder Approach)
a. Posisi dalam setiap jenis komoditas harus dilaporkan
berdasarkan skala waktu dalam jenjang maturitas (maturity
ladder) yang terpisah mengacu pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Skala Waktu dan Spread Rate (Risiko Komoditas)
Skala Waktu
< 1 bulan
> 1 – 3 bulan
> 3 – 6 bulan
> 6 – 12 bulan
> 1 – 2 tahun
> 2 – 3 tahun
> 3 tahun
Spread Rate
1,5%
1,5%
1,5%
1,5%
1,5%
1,5%
1,5%
b. Beban modal untuk risiko komoditas adalah sebesar
penjumlahan dari perhitungan:
1) 1,5% (satu koma lima persen) (spread rate) dari jumlah
posisi long dan posisi short yang matched dalam setiap skala
waktu;
2) 0,6% (nol koma enam persen) dari posisi residu (unmatched
position) yang berasal dari setiap skala waktu yang dikalikan
dengan jumlah skala antara skala waktu sebelumnya
dengan skala waktu berikutnya; dan
3) 15% (lima belas persen) dari posisi residu yang tersisa
(remaining unmatched position).
Contoh:
a. Perusahaan Anak menyepakati kontrak salam dan
salam paralel komoditas gula dengan jatuh tempo dan
harga sebagai berikut:
Kontrak...
- 14 -
Kontrak
salam
salam paralel
Salam
salam paralel
Skala waktu
< 1 bulan
> 1 – 3 bulan
> 3 – 6 bulan Long 800
Short 1.000
[800 (Long) +
800 (Short)
(posisi
matched)] x
1,5%
200 (Short)
(posisi
residu
yang tersisa)
yang
diperhitungkan
ke 3 skala
waktu
berikutnya
yaitu
skala waktu >
2- 3 tahun
200 X 3 x 0.6%
> 6 – 12 bulan
> 1 – 2 tahun
> 2 – 3 tahun Long 600
[200 (Long) +
200 (Short)
(posisi
matched)] x
1,5%
400
(Long)
(posisi residu
yang tersisa)
yang
diperhitungkan
ke 1 skala
waktu
berikutnya
yaitu
skala
waktu > 3
tahun
400 X 1 x 0.6%
> 3...
2.4
6
24
Jatuh tempo
4 bulan
5 bulan
2,5 tahun
7 tahun
Posisi
(Rp 000)
Harga
(dalam Rp. 000)
800
1.000
600
600
Perhitungan Beban
Modal
3.6
- 15 -
> 3 tahun
Short 600
[400 (Long) +
400 (Short)
(posisi matched)
x 1,5%
200 (posisi
residu
tersisa) x 15%
Total Beban Modal
78
III. PELAPORAN
1. Sesuai dengan Pasal 42 POJK KPMM BUS, Bank wajib menyampaikan
laporan perhitungan KPMM baik secara individu maupun secara
konsolidasi, yaitu:
a. laporan perhitungan ATMR Risiko Pasar untuk Bank secara
individu disampaikan setiap bulan untuk posisi akhir bulan; dan
b. laporan perhitungan ATMR Risiko Pasar untuk Bank secara
konsolidasi disampaikan setiap triwulan untuk posisi akhir bulan
Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember, bagi
Bank yang memiliki perusahaan anak;
dengan mengacu pada format dan pedoman pengisian dalam Lampiran
I dan Lampiran II Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
2. Laporan perhitungan ATMR Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada
angka 1 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara online
melalui Laporan Berkala Bank Umum Syariah. Tata cara penyampaian
dan pengenaan sanksi mengacu pada ketentuan yang mengatur
mengenai laporan berkala bank umum syariah.
3. Selama pelaporan secara online sebagaimana dimaksud pada angka 2
belum dapat dilaksanakan maka Bank wajib menyampaikan laporan
secara offline paling lambat:
a. tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah bulan
laporan yang bersangkutan untuk laporan perhitungan ATMR
Risiko Pasar Bank secara individu sebagaimana dimaksud pada
butir 1.a;
b. tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah akhir
masing-masing triwulan untuk laporan perhitungan ATMR Risiko
Pasar Bank secara konsolidasi, sebagaimana dimaksud pada butir
1.b;
yang
12
30
4. Apabila...
- 16 -
4. Apabila tanggal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
angka 3 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu atau hari libur maka
laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
5. Laporan sebagaimana dimaksud pada angka 3 disampaikan kepada:
a. Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat
di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
(Jabodetabek), serta Provinsi Banten; atau
b. Kantor Regional dan Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi
Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), serta Provinsi Banten.
6. Bank yang tidak menyampaikan laporan atau menyampaikan laporan
tidak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan
angka 4, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 POJK
KPMM BUS.
IV. LAIN-LAIN
Lampiran I dan Lampiran II merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
V. PENUTUP
Dengan berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini maka butir
III.4 dan Lampiran 2 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/53/DPBS
tanggal 22 November 2005 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 8/10/DPbS tanggal 7 Maret 2006, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Surat...
- 17 -
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2016.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS PERBANKAN
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
NELSON TAMPUBOLON
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 35/SEOJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO PASAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2016 </effective_date>
<replaced_reg> '7/53/DPBS|SE-BI/2005 | butir III.4 dan Lampiran 2', '8/10/DPbS|SE-BI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/POJK.03/2014' </related_reg>
|
Yth.
1. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah; dan
2. Direksi Perusahaan Reasuransi Syariah,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /SEOJK.05/2016
TENTANG
PENCABUTAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25/SEOJK.05/2015 TENTANG PENILAIAN INVESTASI
SURAT BERHARGA SYARIAH DAN PERHITUNGAN DANA UNTUK
MENGANTISIPASI RISIKO KEGAGALAN PENGELOLAAN KEKAYAAN
DAN/ATAU KEWAJIBAN PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH DAN
PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH
Sehubungan dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha
Reasuransi dengan Prinsip Syariah, Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-07/BL/2011 tentang Pedoman
Perhitungan Jumlah Dana Yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko
Kerugian Pengelolaan Dana Tabarru’ dan Perhitungan Jumlah Dana Yang Harus
Disediakan Perusahaan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Yang Mungkin
Timbul Dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan
Prinsip Syariah, dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
25/SEOJK.05/2015 tanggal 31 Agustus 2015 tentang Penilaian Investasi Surat
Berharga Syariah dan Perhitungan Dana Untuk Mengantisipasi Risiko
Kegagalan Pengelolaan Kekayaan dan/atau Kewajiban Perusahaan Asuransi
Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah, selanjutnya disebut SEOJK Nomor
25/SEOJK.05/2015, serta memperhatikan kondisi perekonomian dan pasar
saat ini, perlu menetapkan pencabutan SEOJK Nomor 25/SEOJK.05/2015
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Berdasarkan SEOJK Nomor 25/SEOJK.05/2015 telah ditetapkan
penilaian investasi surat berharga syariah agar mencerminkan nilai
- 2 -
yang wajar dan penyesuaian dana untuk mengantisipasi risiko
kegagalan pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban yang
diperhitungkan dalam perhitungan tingkat solvabilitas sebagai
dampak dari kondisi keuangan global yang mengakibatkan nilai pasar
dari investasi surat berharga syariah menunjukkan nilai yang tidak
wajar.
2. Kondisi keuangan global sebagaimana dimaksud pada angka 1, telah
mengakibatkan penurunan tingkat solvabilitas perusahaan asuransi
syariah dan perusahaan reasuransi syariah kurang dari tingkat
solvabilitas yang dipersyaratkan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan
Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
3. Bahwa kondisi keuangan global dan perkembangan perekonomian
Indonesia saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang
positif, yang tercermin dari indikator pasar:
a.
b.
Nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dollar Amerika
Serikat sejak bulan Oktober 2015 terus menguat dan stabil.
Nilai suku bunga Bank Indonesia sejak bulan Desember 2015
terus mengalami penurunan dan stabil.
c. Country Rate atas Indonesia sejak bulan Oktober 2015 terus
menguat dan stabil.
d.
Indeks Harga Saham Gabungan sejak bulan Oktober 2015
mengalami peningkatan dan terus menunjukkan tren kenaikan.
4. Bahwa berdasarkan kondisi dan perkembangan sebagaimana
dimaksud pada angka 3, maka kondisi keuangan global sudah
menunjukkan nilai yang wajar bagi pasar investasi surat berharga
syariah.
5. Bahwa berdasarkan angka 4, maka penetapan kondisi penilaian
investasi surat berharga syariah agar mencerminkan nilai yang wajar
dan penyesuaian dana untuk mengantisipasi risiko kegagalan
pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban yang diperhitungkan
dalam perhitungan tingkat solvabilitas yang dipersyaratkan dalam
SEOJK Nomor 25/SEOJK.05/2015 sebagai dasar bagi perusahaan
asuransi syariah dan perusahaan reasuransi syariah melakukan
perhitungan atas surat berharga syariah yang dimiliki dan
penyesuaian dana untuk mengantisipasi risiko kegagalan pengelolaan
- 3 -
kekayaan dan/atau kewajiban yang diperhitungkan dalam
perhitungan tingkat solvabilitas perlu untuk dicabut.
II. PENETAPAN PENCABUTAN SEOJK NOMOR 25/SEOJK.05/2015
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam romawi I, maka
SEOJK Nomor 25/SEOJK.05/2015 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
III. PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juni 2016
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
FIRDAUS DJAELANI
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 22/SEOJK.05/2016 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25/SEOJK.05/2015 TENTANG PENILAIAN INVESTASI SURAT BERHARGA SYARIAH DAN PERHITUNGAN DANA UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KEGAGALAN PENGELOLAAN KEKAYAAN DAN/ATAU KEWAJIBAN PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH </reg_title>
<set_date> 27 Juni 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Juni 2016 </effective_date>
<replaced_reg> '25/SEOJK.05/2015' </replaced_reg>
<related_reg> 'PER-07/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011', '25/SEOJK.05/2015', '11/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 | Pasal 7' </related_reg>
|
Yth. Manajer Investasi
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 49 /SEOJK.04/2016
TENTANG
KRITERIA KHUSUS PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM
RANGKA MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK
Dalam rangka pelaksanaan Pasal 19 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 26/POJK.04/2016 tentang Produk Investasi Di Bidang Pasar Modal
Dalam Rangka Mendukung Undang-Undang Tentang Pengampunan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 145, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5906), perlu mengatur mengenai
kriteria khusus atas produk investasi di bidang Pasar Modal dalam rangka
mendukung Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Pengelola Harta Wajib Pajak yang berperan sebagai pintu masuk
pengalihan dan/atau pengelolaan dana Wajib Pajak, yang
selanjutnya disebut Gateway, adalah Bank, Manajer Investasi, atau
Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk oleh Menteri untuk
menerima pengalihan Harta Wajib Pajak dan/atau melakukan
pengelolaan dan penempatan dana Wajib Pajak pada instrumen
investasi dalam rangka Pengampunan Pajak.
2. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola
Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio
investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan
- 2 -
asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan
usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan
Terbatas, yang selanjutnya disebut Reksa Dana Penyertaan Terbatas,
adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari
pemodal profesional yang selanjutnya diinvestasikan oleh Manajer
Investasi pada Portofolio Efek yang berbasis Kegiatan Sektor Riil.
4. Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara
Individual adalah jasa pengelolaan dana yang dilakukan Manajer
Investasi kepada satu nasabah tertentu dimana berdasarkan
perjanjian tentang pengelolaan Portofolio Efek, Manajer Investasi
diberi wewenang penuh oleh nasabah untuk melakukan pengelolaan
Portofolio Efek berdasarkan perjanjian dimaksud.
5. Penawaran adalah kegiatan menyampaikan informasi atau
meneruskan leaflet, brosur, dan/atau hal-hal sejenis yang memuat
informasi dan/atau penjelasan.
6. Pemodal adalah Wajib Pajak berupa orang pribadi atau badan yang
berdasarkan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak telah
memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak.
7. Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset, yang selanjutnya
disingkat KIK-EBA, adalah kontrak antara Manajer Investasi dan
Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset dimana
Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio
investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk
melaksanakan Penitipan Kolektif.
8. Efek Beragun Aset, yang selanjutnya disingkat EBA, adalah Efek
yang diterbitkan oleh KIK-EBA yang portofolionya terdiri dari aset
keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial,
tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari (future
receivables), pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau
- 3 -
apartemen, Efek bersifat utang yang dijamin oleh Pemerintah,
Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement)/Arus Kas (Cash
Flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang
berkaitan dengan aset keuangan tersebut.
9. Dana Investasi Real Estat, yang selanjutnya disingkat DIRE, adalah
wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset
Real Estat, Aset Yang Berkaitan Dengan Real Estat, dan/atau kas
dan setara kas.
10. Kreditur Awal (Originator) adalah Pihak yang telah mengalihkan aset
keuangannya kepada para pemegang Efek Beragun Aset secara
kolektif dimana aset keuangan tersebut diperoleh Pihak yang
bersangkutan karena pemberian pinjaman, penjualan, dan/atau
pemberian jasa lain yang berkaitan dengan usahanya.
II. REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS
1. Dalam hal Perusahaan Sasaran melakukan Penawaran Umum,
Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada
Efek bersifat ekuitas Perusahaan Sasaran wajib menjual Efek
bersifat ekuitas dimaksud dalam jangka waktu sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
37/POJK.04/2014 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Penyertaan Terbatas atau jangka waktu tertentu yang lebih
lama sepanjang ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif.
2. Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas dapat
melakukan pembelian untuk kepentingan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas atas Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi
dengan Manajer Investasi, dengan ketentuan:
a. transaksi pembelian Efek Perusahaan Sasaran wajib dilakukan
dalam kondisi arm’s length dimana transaksi antar para Pihak
dilakukan secara independen dan pada harga yang wajar;
b. dalam hal Efek Perusahaan Sasaran yang akan dibeli berupa
Efek bersifat utang, Efek tersebut wajib didukung dengan
- 4 -
jaminan kebendaan berupa jaminan fidusia dan/atau hak
tanggungan senilai paling sedikit 100% (seratus persen) dari
nilai nominal Efek bersifat utang dimaksud, kecuali Efek
bersifat utang yang telah diperingkat oleh Perusahaan
Pemeringkat Efek yang memperoleh izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan dengan peringkat layak investasi (investment
grade);
c. dalam hal Efek Perusahaan Sasaran yang akan dibeli berupa
Efek bersifat ekuitas, uji tuntas (due diligence) Perusahaan
Sasaran dan kegiatan sektor riil wajib didukung dengan laporan
hasil penilaian independen yang dibuat oleh Penilai yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan
d. Manajer Investasi wajib mengungkapkan informasi mengenai
investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas pada Efek yang
diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi dengan Manajer Investasi
dalam dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
3. Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib
memiliki Unit Penyertaan dari masing-masing Reksa Dana
Penyertaan Terbatas yang dikelolanya paling sedikit 1.000.000 (satu
juta) Unit Penyertaan sampai dengan bubarnya Reksa Dana
Penyertaan Terbatas.
III. PENGELOLAAN PORTOFOLIO EFEK UNTUK KEPENTINGAN NASABAH
SECARA INDIVIDUAL
1. Manajer Investasi yang ditunjuk sebagai Gateway dapat
menggunakan jasa pihak lain untuk melakukan Penawaran atas
Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara
Individual kepada calon Pemodal.
2. Pihak lain sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat berupa:
a. Perantara Pedagang Efek yang ditunjuk sebagai Gateway; atau
b. bank umum yang ditunjuk sebagai Gateway atau Bank
Persepsi.
- 5 -
3. Dalam melakukan Penawaran, kewenangan pihak lain terbatas pada:
a. meneruskan informasi terkait Pengelolaan Portofolio Efek Untuk
Kepentingan Nasabah Secara Individual dari Manajer Investasi
kepada Pemodal; atau
b. menyediakan informasi mengenai Pemodal kepada Manajer
Investasi atas persetujuan Pemodal.
4. Kegiatan Penawaran yang dilakukan oleh pihak lain kepada calon
Pemodal dapat dilakukan baik melalui pertemuan langsung (face to
face), surat, dan/atau media elektronik.
5. Manajer Investasi yang menggunakan jasa pihak lain untuk
melakukan Penawaran atas Pengelolaan Portofolio Efek Untuk
Kepentingan Nasabah Secara Individual wajib:
a. membuat kebijakan dan prosedur tertulis terkait Pengelolaan
Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual
yang ditawarkan melalui pihak lain;
b. menyediakan informasi terkait Pengelolaan Portofolio Efek
Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual untuk keperluan
Penawaran;
c. membuat perjanjian tertulis antara Manajer Investasi dengan
pihak lain, yang paling sedikit memuat:
1) hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing pihak;
2) biaya-biaya; dan
3) penyelesaian dalam hal terjadi perselisihan; dan
d. bertanggung jawab untuk menyelesaikan pengaduan nasabah.
6. Setoran awal Pemodal dalam Pengelolaan Portofolio Efek Untuk
Kepentingan Nasabah Secara Individual dapat berupa Efek yang
paling sedikit nilainya setara dengan Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
7. Dalam hal setoran awal Pemodal berbentuk Efek, maka nilai awal
investasi Efek pada Pengelolaan Portofolio Nasabah Secara Individual
- 6 -
wajib dinilai berdasarkan nilai pasar wajar yang dihitung
berdasarkan Peraturan Nomor IV.C.2, Lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-
367/BL/2012 tanggal 9 Juli 2012 tentang Nilai Pasar Wajar Dari
Efek Dalam Portofolio Reksa Dana.
IV. KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF EFEK BERAGUN ASET (KIK-EBA)
1. Pengalihan aset keuangan dari Kreditur Awal (Originator) kepada
KIK-EBA wajib memenuhi kriteria jual beli atau tukar menukar
putus/lepas sebagai berikut:
a. aset keuangan harus dipisahkan dari aset keuangan milik
Kreditur Awal (Originator);
b. Kreditur Awal (Originator) harus mengalihkan semua hak dan
kewajiban yang terkait dengan aset keuangan kepada KIK-EBA
dan dilarang untuk menahan setiap manfaat dari aset keuangan
tersebut;
c. Kreditur Awal (Originator) tidak lagi bertindak sebagai pemegang
hak atas aset keuangan tersebut, baik langsung atau tidak
langsung;
d. Kreditur Awal (Originator) tidak boleh berada dalam posisi
sebagai pengendali KIK-EBA dalam transaksi sekuritisasi aset
keuangan;
e. KIK-EBA tidak mempunyai hak untuk meminta kembali
(recourse) kepada Kreditur Awal (Originator) atas kerugian yang
ditimbulkan dari aset keuangan tersebut;
f. dalam hal Kreditur Awal (Originator) juga bertindak sebagai
penyedia jasa (servicer), jasa sebagai penyedia jasa (servicer)
harus diberikan berdasarkan prinsip kewajaran (arm’s length
basis);
g. dalam hal Kreditur Awal (Originator) juga bertindak sebagai agen
pembayar (paying agent), tidak boleh terdapat kewajiban yang
dikenakan kepada Kreditur Awal (Originator) untuk memberikan
- 7 -
dana kepada KIK-EBA kecuali sampai dengan dana tersebut
diterima dari debitur; dan
h. meskipun telah ditetapkan kriteria sebagaimana dimaksud pada
huruf a sampai huruf g:
1) dalam hal aset keuangan dalam KIK-EBA telah menurun ke
skala yang tidak ekonomis, Kreditur Awal (Originator)
memiliki hak untuk menolak melakukan pembelian
kembali aset keuangan dalam KIK-EBA tersebut pada nilai
yang wajar; atau
2) Kreditur Awal (Originator) dapat membeli kembali aset
keuangan dari KIK-EBA dalam hal Kreditur Awal
(Originator) berdasarkan transaksi sekuritisasi memiliki
kewajiban untuk melakukannya karena Kreditur Awal
(Originator) melanggar kondisi atau jaminan dalam
transaksi sekuritisasi.
2. Pemenuhan kriteria jual beli atau tukar menukar putus/lepas
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dapat cukup didukung dengan
pendapat Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan.
V. DANA INVESTASI REAL ESTAT
1. DIRE dapat berinvestasi pada sebagian dari suatu aset Real Estat,
dengan ketentuan akuisisi aset Real Estat dilakukan demi
kepentingan terbaik dari pemegang Unit Penyertaan DIRE.
2. DIRE dapat berinvestasi pada aset Real Estat secara tidak langsung
melalui pengambilalihan saham perusahaan pemilik aset Real Estat,
dengan ketentuan Real Estat yang dimiliki perusahaan yang
sahamnya diambilalih DIRE wajib telah menghasilkan pendapatan.
3. Dalam hal DIRE berinvestasi pada aset Real Estat sebagaimana
dimaksud pada angka 2, Manajer Investasi dikecualikan untuk
memiliki dan mengadministrasikan dokumen yang terkait dengan
- 8 -
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Dana
Investasi Real Estat sebagai berikut:
a. perjanjian pengelolaan Real Estat;
b. dokumen penilaian Real Estat;
c. salinan perjanjian sewa menyewa yang terkait dengan Real
Estat;
d. salinan perjanjian jual beli Real Estat; dan
e.
fotokopi sertifikat hak guna bangunan dan sertifikat hak atas
tanah dan/atau bangunan lainnya.
VI. KETENTUAN PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Desember 2016
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PASAR MODAL,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
NURHAIDA
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 49/SEOJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> KRITERIA KHUSUS PRODUK INVESTASI DI BIDANG PASAR MODAL DALAM RANGKA MENDUKUNG UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK </reg_title>
<set_date> 19 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 19 Desember 2016 </effective_date>
<related_reg> '26/POJK.04/2016 | Pasal 19' </related_reg>
|
Yth.
1. Direksi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Umum;
2. Direksi Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah dan Perusahaan Asuransi
Umum Syariah;
3. Direksi Perusahaan Pialang Asuransi;
4. Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan;
5. Direksi Perusahaan Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan Syariah;
6. Direksi Perusahaan Modal Ventura dan Perusahaan Modal Ventura
Syariah;
7. Direksi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur;
8. Direksi Perusahaan Pergadaian; dan
9. Direksi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia,
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 37 /SEOJK.05/2017
TENTANG
PEDOMAN PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR INDUSTRI
KEUANGAN NON-BANK
Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 68 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6035), perlu untuk
mengatur lebih lanjut mengenai pedoman penerapan program anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor industri keuangan non-
bank sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
- 2 -
a. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.
b. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
c. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha pialang asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.
d. Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang selanjutnya disingkat
DPLK adalah dana pensiun lembaga keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun.
e. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa,
termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian
usahanya berdasarkan prinsip syariah.
f. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat PMV
adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha modal
ventura, pengelolaan dana ventura, kegiatan jasa berbasis fee,
dan kegiatan lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan,
termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian
usahanya berdasarkan prinsip syariah.
g. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang
didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana pada proyek infrastruktur.
h. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya
disingkat LPEI adalah lembaga pembiayaan ekspor Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
i. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan pergadaian swasta
dan perusahaan pergadaian pemerintah yang diatur dan diawasi
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
j.
Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Industri Keuangan Non-Bank
yang selanjutnya disebut PJK IKNB adalah Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang
- 3 -
Asuransi, DPLK, Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur, LPEI, dan Perusahaan Pergadaian.
k. Direksi:
1) bagi PJK IKNB berbentuk badan hukum perseroan terbatas
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas;
2) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pembiayaan,
PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dan
Perusahaan Pergadaian berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perkoperasian;
3) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Perusahaan Pialang Asuransi berbentuk badan hukum
usaha bersama adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam anggaran dasar perusahaan;
4) bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer
adalah yang setara dengan direksi sebagaimana dimaksud
dalam anggaran dasar perusahaan;
5) bagi DPLK adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai dana pensiun;
dan
6) bagi LPEI adalah direktur eksekutif sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai LPEI.
l. Dewan Komisaris:
1) bagi PJK IKNB berbentuk badan hukum perseroan terbatas
adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perseroan
terbatas;
2) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pembiayaan,
PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dan
Perusahaan Pergadaian berbentuk badan hukum koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai perkoperasian;
3) bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
atau Perusahaan Pialang Asuransi berbentuk badan hukum
- 4 -
usaha bersama adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan;
4) bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer
adalah yang setara dengan dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan;
5) bagi DPLK adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai dana
pensiun; dan
6) bagi LPEI adalah dewan direktur sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai LPEI.
m. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
n. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pendanaan
Terorisme.
o. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
yang selanjutnya disingkat APU dan PPT adalah upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang
dan Pendanaan Terorisme.
2. PJK IKNB sangat rentan terhadap kemungkinan digunakan sebagai
media Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK IKNB
dimungkinkan menjadi pintu masuk harta kekayaan yang
merupakan hasil tindak pidana Pencucian Uang atau merupakan
pendanaan kegiatan terorisme ke dalam sistem keuangan yang
selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelaku
kejahatan. Misalnya untuk pelaku Pencucian Uang, harta kekayaan
tersebut dapat ditarik kembali sebagai harta kekayaan yang seolah-
olah sah dan tidak lagi dapat dilacak asal usulnya. Sedangkan untuk
pelaku Pendanaan Terorisme, harta kekayaan tersebut dapat
digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme.
3. Semakin berkembangnya kompleksitas produk dan layanan jasa
keuangan termasuk pemasarannya (multi channel marketing), serta
semakin meningkatnya penggunaan teknologi informasi pada industri
jasa keuangan, mengakibatkan semakin tinggi risiko PJK IKNB
digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
- 5 -
Terorisme.
4. Dalam kaitan tersebut perlu adanya peningkatan kualitas penerapan
program APU dan PPT yang didasarkan pada pendekatan berbasis
risiko (risk based approach) sesuai dengan prinsip umum yang
berlaku secara internasional dan sejalan dengan penilaian risiko
nasional (national risk assessment/NRA) serta penilaian risiko
sektoral (sectoral risk assessment/SRA).
5. Penerapan Program APU dan PPT berbasis risiko (risk based
approach) paling sedikit mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kebijakan dan prosedur;
c. pengendalian intern;
d. sistem informasi manajemen; dan
e. sumber daya manusia dan pelatihan.
6. Gambaran Umum Tindak Pidana Pencucian Uang
a. Tindak pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah
menjadi harta kekayaan yang sah.
b. Pada dasarnya proses Pencucian Uang dapat dikelompokkan ke
dalam 3 (tiga) tahap kegiatan yang meliputi:
1) penempatan (placement), adalah upaya menempatkan uang
tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem
keuangan (financial system), atau upaya menempatkan
uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-
lain) kembali ke dalam sistem keuangan;
2) pemisahan/pelapisan (layering), adalah upaya untuk
mengaburkan asal usul harta kekayaan yang berasal dari
tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan
pada pelaku jasa keuangan. Dalam kegiatan ini terdapat
proses pemindahan harta kekayaan yang berasal dari
tindak pidana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu
sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian
- 6 -
transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan
dan menghilangkan jejak sumber harta kekayaan tersebut;
dan/atau
3) penggabungan (integration) adalah upaya menggabungkan
atau menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah,
baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam
berbagai jenis produk keuangan dan bentuk material
lainnya, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis
yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan
tindak pidana.
c. Beberapa metode, teknis, skema, dan instrumen dalam
Pencucian Uang, antara lain:
1) penukaran mata uang/konversi uang tunai, yaitu teknik
yang digunakan untuk membantu penyelundupan ke
yurisdiksi lain atau untuk memanfaatkan rendahnya
persyaratan pelaporan pada penyedia jasa pertukaran mata
uang untuk meminimalisir risiko terdeteksi, contohnya
melakukan pembelian cek perjalanan untuk membawa nilai
uang ke yurisdikasi lainnya;
2) penyeludupan uang tunai, yaitu teknik yang digunakan
untuk mengaburkan asal usul harta dengan memindahkan
sejumlah uang tunai melewati batas negara atau membawa
harta hasil tindak pidana tersebut ke negara yang tidak
memiliki pengaturan mata uang yang ketat;
3) structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan
dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah
transaksi menjadi lebih kecil namun dengan frekuensi yang
tinggi;
4) smurfing, yaitu metode yang dilakukan dengan
menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang
berbeda-beda untuk kepentingan satu orang tertentu;
5) underground banking atau alternatif jasa pengiriman uang,
yaitu kegiatan pengiriman uang melalui mekanisme jalur
informal yang dilakukan atas dasar kepercayaan. Seringkali
mekanisme ini bekerja secara paralel dengan sektor
perbankan tradisional dan kemungkinan melanggar hukum
di beberapa yurisdiksi. Teknik ini dimanfaatkan oleh pelaku
- 7 -
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme untuk
memindahkan nilai uang tanpa terdeteksi dan untuk
mengaburkan identitas yang mengendalikan uang tersebut;
6) Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme berbasis
perdagangan, yaitu teknik yang mencakup manipulasi
faktur dan menggunakan rute jalur keuangan dan
komoditas untuk menghindari transparansi hukum dan
keuangan;
7) mingling, yaitu teknik dengan menggunakan cara
mencampurkan atau menggabungkan hasil kejahatan
dengan hasil usaha bisnis yang sah dengan tujuan untuk
mengaburkan sumber dana;
8) penggunaan jasa profesional, yaitu sebuah teknik dengan
menggunakan pihak ketiga, yaitu jasa profesional seperti
advokat, notaris, perencana keuangan, akuntan, dan
akuntan publik. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan
untuk mengaburkan identitas penerima manfaat dan
sumber dana hasil kejahatan;
9) penggunaan perusahaan boneka (shell company), yaitu
sebuah teknik yang dilakukan dengan mendirikan
perusahaan secara formal berdasarkan aturan hukum yang
berlaku. Namun, dalam praktiknya perusahaan tersebut
tidak digunakan untuk melakukan kegiatan usaha.
Perusahaan boneka tersebut didirikan hanya untuk
melakukan transaksi fiktif atau menyimpan aset pihak
pendiri atau orang lain. Selain itu teknik tersebut bertujuan
untuk mengaburkan identitas orang yang mengendalikan
dana dan memanfaatkan persyaratan pelaporan yang relatif
rendah;
10) penggunaan transfer kawat (wire transfer), yaitu teknik
yang bertujuan untuk melakukan transfer dana secara
elektronik antara lembaga keuangan dan sering kali ke
yurisdiksi lain untuk menghindari deteksi dan penyitaan
aset;
11) teknologi pembayaran baru (new payment technologies),
yaitu teknik yang menggunakan teknologi pembayaran yang
baru muncul untuk Pencucian Uang dan Pendanaan
- 8 -
Terorisme, contohnya termasuk sistem pembayaran dan
pengiriman uang berbasis telepon seluler (ponsel);
12) penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan
dengan menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk
mempersulit terlacaknya identitas dan pendeteksian
keberadaan pelaku
Pencucian Uang.
Dalam
perkembangannya, tren penggunaan identitas palsu
menunjukan peningkatan yang cukup signifikan melalui
berbagai cara, diantaranya melakukan penipuan melalui
penggunaan identitas palsu dalam proses pembukaan
rekening;
13) penggunaan nama orang lain (nominee), wali amanat,
anggota keluarga, dan pihak ketiga, yaitu teknik yang biasa
digunakan untuk mengaburkan identitas orang yang
mengendalikan dana hasil kejahatan;
14) pembelian aset atau barang mewah (properti, kendaraan,
dan lain-lain), yaitu menginvestasikan hasil kejahatan ke
dalam bentuk aset/barang yang memiliki nilai tawar tinggi.
Hal tersebut bertujuan untuk mengambil keuntungan dari
mengurangi persyaratan pelaporan dengan maksud
mengaburkan sumber dana hasil kejahatan;
15) pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan
dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat
terdeteksi oleh sistem keuangan. Dalam kaitannya dengan
penilaian risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme,
contoh pertukaran barang antara lain pertukaran secara
langsung antara heroin dengan emas batangan;
16) u turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal usul hasil
kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi untuk
kemudian dikembalikan ke rekening asalnya;
17) cuckoo smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal usul
sumber dana dengan mengirimkan dana dari hasil
kejahatannya melalui rekening pihak ketiga yang menunggu
kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari bahwa
dana yang diterimanya tersebut merupakan proceed of
crime; dan/atau
- 9 -
18) penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan
dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan
menghindari terdeteksinya identitas dari pihak yang
sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana.
7. Gambaran Umum Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
a. Setiap aksi terorisme yang dilakukan di Indonesia pada dasarnya
membutuhkan dukungan, baik dalam bentuk persenjataan (senjata
api, tajam, dan peledak), tempat tinggal, kendaraan untuk mobilisasi,
fasilitas perang, dan penyediaan kebutuhan anggota yang
kesemuanya dapat diartikan sebagai pendanaan berdasarkan definisi
dana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme. Dalam tindak pidana kejahatan terorisme, uang atau dana
diperuntukan sebagai sarana untuk melakukan aksi dan bukan
sebagai sasaran yang ingin dicari sehingga berbagai cara akan
dilakukan oleh para pelaku untuk mendapatkan dana baik secara
sah seperti berjualan pulsa, meminta sumbangan, berjualan alat
komputer, berjualan herbal, membuka jasa warung internet, maupun
dengan aksi kejahatan seperti perampokan, penipuan, sampai
kepada peretasan situs investasi dalam jaringan (online investation).
Dana yang terkumpul dipergunakan untuk mendapatkan
persenjataan, membeli bahan peledak, membangun jaringan atau
perekrutan anggota, pelatihan perang, mobilisasi anggota dari atau
ke suatu tempat demi terlaksananya aksi teror.
b. Tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) adalah penggunaan harta
kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan
terorisme, organisasi teroris, atau teroris. Pendanaan Terorisme pada
dasarnya merupakan jenis tindak pidana yang berbeda dari TPPU,
namun demikian keduanya mengandung kesamaan yaitu
menggunakan jasa keuangan sebagai sarana untuk melakukan suatu
tindak pidana.
c. Berbeda dengan TPPU yang tujuannya untuk menyamarkan asal-
usul harta kekayaan, maka tujuan TPPT adalah membantu kegiatan
terorisme, baik dengan harta kekayaan yang merupakan hasil dari
suatu tindak pidana ataupun dari harta kekayaan yang diperoleh
secara sah. Untuk mencegah PJK IKNB digunakan sebagai sarana
- 10 -
TPPT, maka PJK IKNB perlu menerapkan program APU dan PPT
secara memadai.
d. Beberapa modus Pendanaan Terorisme antara lain:
1) pendanaan dalam negeri melalui sumbangan ke yayasan
menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk
pengelolaan jaringan teroris;
2) pendanaan dalam negeri melalui penyalahgunaan dana yayasan
menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk
pengelolaan jaringan teroris;
3) pendanaan dalam negeri melalui berdagang/usaha (barang/jasa)
menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk
pengelolaan jaringan teroris;
4) pendanaan dalam negeri melalui tindakan kriminal
menggunakan instrumen uang tunai yang digunakan untuk
pengelolaan jaringan teroris; dan/atau
5) pendanaan dalam negeri melalui penyalahgunaan dana yayasan
untuk membuka kegiatan usaha baru (barang/jasa) yang
hasilnya untuk pengelolaan jaringan teroris.
Modus tersebut merupakan modus Pendanaan Terorisme berisiko
tinggi.
II. PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT BERBASIS RISIKO (RISK-BASED
APPROACH)
1. Kewajiban Penerapan Program APU dan PPT Berbasis Risiko (Risk
Based Approach)
a. Program APU dan PPT merupakan program yang harus
diterapkan PJK IKNB dalam melakukan hubungan usaha
dengan pengguna jasa. Program tersebut antara lain mencakup
hal yang diharuskan dalam Financial Action Task Force (FATF)
Recommendation sebagai upaya untuk melindungi PJK IKNB
agar tidak dijadikan sebagai sarana atau sasaran kejahatan baik
yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh
pelaku kejahatan.
Rekomendasi 1 FATF menegaskan bahwa PJK IKNB wajib
mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana
Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme
terkait dengan nasabah, negara/area geografis/yurisdiksi,
- 11 -
produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi (delivery
channels).
PJK IKNB melakukan penilaian sendiri dan menerapkan proses
kerangka kerja manajemen risiko yang efektif. PJK IKNB wajib
melakukan pengkinian data terkait penerapan program APU dan
PPT serta bersikap responsif dalam rangka mendukung
penilaian risiko nasional.
b. Penerapan program APU dan PPT berbasis risiko (risk based
approach) mendukung PJK IKNB dalam menerapkan tindakan
pencegahan dan mitigasi risiko yang sepadan dengan risiko
TPPU dan TPPT yang teridentifikasi. PJK IKNB selanjutnya dapat
mengalokasikan sumber dayanya sesuai dengan profil risiko
yang dihadapi PJK IKNB, mengelola pengendalian intern,
struktur internal, dan implementasi kebijakan dan prosedur
untuk mencegah serta mendeteksi Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme.
c. Dalam penerapan program APU dan PPT berbasis risiko (risk
based approach), PJK IKNB harus merujuk dan
mempertimbangkan risiko yang menjadi perhatian nasional yang
tercantum dalam NRA dan SRA. Adapun risiko yang tercantum
dalam NRA dan SRA tersebut dapat berkembang dan mengalami
perubahan, karena itu penerapan program APU dan PPT yang
dimiliki PJK IKNB harus responsif terhadap perubahan risiko
tersebut.
2. Konsep Risiko
a. Definisi Risiko
Risiko dapat didefinisikan sebagai kemungkinan (likelihood)
suatu kejadian dan konsekuensinya. Secara sederhana, risiko
dapat dilihat sebagai kombinasi peluang yang mungkin terjadi
dan tingkat kerusakan atau kerugian yang mungkin dihasilkan
dari suatu peristiwa. Dalam konteks Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme, risiko diartikan:
1) pada tingkat nasional adalah suatu ancaman dan
kerentanan yang disebabkan oleh Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme yang membahayakan sistem
keuangan nasional serta keselamatan dan keamanan
nasional;
- 12 -
2) pada tingkat PJK IKNB adalah ancaman dan kerentanan
yang menempatkan PJK IKNB pada risiko dimana PJK IKNB
digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme.
Ancaman dapat berupa pihak atau obyek yang dapat
menyebabkan kerugian. Dalam konteks Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme, ancaman dapat berupa pelaku tindakan
kriminal, fasilitator (pihak yang membantu pelaksanaan
tindakan kriminal), dana para pelaku kejahatan, atau bahkan
kelompok teroris.
Kerentanan adalah unsur kegiatan usaha yang dapat
dimanfaatkan oleh ancaman yang telah teridentifikasi. Dalam
konteks TPPU dan TPPT kerentanan dapat diartikan
pengendalian internal yang lemah dari PJK IKNB ataupun
penawaran produk/jasa/transaksi yang berisiko tinggi.
Dampak mengacu pada tingkat kerusakan dan kerugian yang
serius yang timbul jika terjadi TPPU dan TPPT.
b. Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah proses yang secara luas digunakan
pada sektor publik dan sektor privat untuk membantu dalam
pembuatan keputusan. Dalam kaitannya dengan Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme, proses dimaksud mencakup
pemahaman terhadap risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme, penilaian atas kedua risiko tersebut, dan
pengembangan metode untuk mengelola dan memitigasi risiko
yang telah diidentifikasi.
Dalam menerapkan manajemen risiko atas risiko Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK IKNB dapat
mengembangkan metode manajemen risiko sesuai dengan
karakteristik PJK IKNB dengan tetap mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai APU dan PPT.
c.
Risiko Bawaan (Inherent Risk) dan Risiko Residual (Residual
Risk)
Dalam melakukan penilaian risiko, penting untuk membedakan
antara risiko bawaan (inherent risk) dan risiko residual (residual
risk). Risiko bawaan (inherent risk) adalah risiko yang melekat
pada suatu peristiwa atau keadaan yang telah ada sebelum
- 13 -
penerapan tindakan pengendalian. Risiko bawaan (inherent risk)
ini terkait dengan kegiatan usaha dan nasabah PJK IKNB. Pada
sisi lain, risiko residual (residual risk) adalah tingkat risiko yang
tersisa setelah implementasi langkah mitigasi risiko dan
pengendalian.
d. Pendekatan Berbasis Risiko (Risk-Based Approach)
Dalam konteks Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme,
pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) adalah suatu
proses yang meliputi hal sebagai berikut:
1) Penilaian risiko yang mencakup 4 (empat) faktor risiko,
yaitu:
a) nasabah;
b) negara/area geografis/yurisdiksi;
c) produk/jasa/transaksi; atau
d)
jaringan distribusi (delivery channels); dan
2) PJK IKNB mempertimbangkan seluruh faktor risiko yang
relevan.
3) PJK IKNB mengelola dan memitigasi risiko melalui
pelaksanaan pengendalian intern dan langkah yang sesuai
dengan risiko yang telah diidentifikasi, dan melakukan
pemantauan transaksi dan hubungan bisnis sesuai dengan
tingkat risiko yang telah dinilai.
4) Dalam melakukan penilaian, pengelolaan, dan mitigasi
risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, PJK IKNB
perlu memahami bahwa kegiatan tersebut bukanlah
sesuatu yang statis. Risiko yang telah diidentifikasi dapat
berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan
perkembangan produk baru atau ancaman baru yang
masuk dalam kegiatan usaha. PJK IKNB harus melakukan
pengkinian penilaian risiko secara berkala sesuai dengan
kebutuhan dan penilaian risiko PJK IKNB.
3. Siklus Pendekatan Berbasis Risiko (Risk-Based Approach)
a. Dalam melakukan pendekatan berbasis risiko (risk-based
approach), PJK IKNB harus melakukan 6 (enam) langkah
kegiatan sebagai berikut:
1) melakukan identifikasi terhadap risiko bawaan (inherent
risk);
- 14 -
2) menetapkan toleransi risiko;
3) menyusun langkah pengurangan dan pengendalian risiko;
4) melakukan evaluasi atas risiko residual (residual risk);
5) menerapkan pendekatan berbasis risiko
approach); dan
(risk-based
6) melakukan tinjauan dan evaluasi atas pendekatan berbasis
risiko (risk-based approach) yang telah dimiliki.
b. Alur siklus pendekatan berbasis risiko (risk-based approach)
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan ini.
4. Langkah Pendekatan Berbasis Risiko (Risk-Based Approach)
a.
Identifikasi Risiko Bawaan (Inherent Risk)
1) Dalam melakukan identifikasi risiko bawaan (inherent risk),
PJK IKNB harus mempertimbangkan kerentanan PJK IKNB
untuk digunakan sebagai sarana Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme. Langkah awal dalam melakukan
penilaian risiko ialah dengan memahami kegiatan usaha
PJK IKNB secara keseluruhan dengan prespektif yang luas.
Pemahaman tersebut akan memungkinkan PJK IKNB untuk
mempertimbangkan di mana risiko terjadi, apakah risiko
terjadi pada kegiatan usaha, nasabah, atau produk
tertentu.
2) Jumlah aktual atas risiko yang diinventarisasi oleh PJK
IKNB akan bervariasi bergantung pada kegiatan usaha,
serta produk/jasa/transaksi yang ditawarkan.
3) PJK IKNB harus mempertimbangkan unsur yang memicu
timbulnya risiko bagi PJK IKNB baik dari sisi nasabah,
negara/area geografis/yurisdiksi, produk/jasa/transaksi,
atau jaringan distribusi (delivery channels). PJK IKNB
memahami unsur apa saja yang merupakan risiko bawaan
(inherent risk) dan risiko residual (residual risk).
4) Risiko Nasabah
PJK IKNB harus memperhatikan risiko yang mungkin
timbul dari nasabah. Untuk itu, PJK IKNB perlu
mengkategorikan nasabah berdasarkan dengan tingkat
risiko. Pengkategorian tersebut dapat mengacu pada
- 15 -
klasifikasi risiko yang ditetapkan oleh PJK IKNB, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
standar internasional.
Beberapa kategori nasabah yang aktivitasnya dapat
diindikasikan memiliki risiko tinggi mencakup antara lain:
a) nasabah yang melakukan hubungan usaha atau
transaksi yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan
profil nasabah, antara lain:
i.
jarak geografis yang signifikan dan tidak dapat
dijelaskan antara tempat tinggal atau lokasi bisnis
nasabah dengan lokasi di mana transaksi
dilakukan;
ii.
frekuensi dan pergerakan transaksi yang tidak
dapat dijelaskan, terkait transaksi keuangan pada
penyedia jasa keuangan lainnya, baik di sektor
IKNB maupun di sektor jasa keuangan lainnya;
dan/atau
iii.
frekuensi dan pergerakan dana yang tidak dapat
dijelaskan yang terjadi antara lembaga jasa
keuangan diberbagai wilayah geografis;
b) nasabah korporasi yang struktur kepemilikannya
kompleks dan menimbulkan kesulitan untuk
diidentifikasi siapa yang menjadi pemilik manfaat
(beneficial owner), pemilik akhir (ultimate owner), atau
pengendali akhir (ultimate controller) dari korporasi;
c) nasabah yang mencari atau menerima
produk/jasa/transaksi PJK IKNB yang tidak sesuai
dengan kebutuhan atau tidak menguntungkan
nasabah tersebut;
d) organisasi amal atau organisasi non-profit lainnya
yang tidak diatur dan diawasi;
e) gatekeeper seperti akuntan, pengacara atau profesi
lainnya yang bertindak mewakili nasabah sehubungan
dengan rekening/kontrak pada PJK IKNB dan dimana
PJK IKNB bergantung pada keberadaan gatekeeper
tersebut;
- 16 -
f) nasabah yang termasuk dalam kategori orang yang
populer secara politis (politically exposed person/PEP),
termasuk anggota keluarga atau pihak yang terkait
(close associates) dari PEP;
g) nasabah yang mana pemilik manfaatnya (beneficial
owner) tidak diketahui;
h) nasabah yang proses verifikasinya tanpa pertemuan
langsung (non face to face);
i) nasabah yang menggunakan metode pembayaran yang
tidak biasa seperti kas atau setara kas (ketika
pembayaran menggunakan kas atau setara kas tidak
lazim digunakan) atau instrumen moneter yang
terstruktur;
j) nasabah yang mencari produk yang dapat dilunasi
lebih dini, khususnya atas biaya nasabah, atau
dimana pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga yang
tampaknya tidak terkait atau pengembalian
pembayaran secara langsung diberikan kepada pihak
ketiga lain yang seolah-olah tidak terkait dengan
nasabah;
k) nasabah yang mengalihkan manfaat atas
produk/jasa/transaksi PJK IKNB kepada pihak ketiga
yang tidak memiliki hubungan dengan nasabah;
l) nasabah yang tidak tertarik pada kinerja produk
investasi PJK IKNB tetapi lebih memperhatikan adanya
pelunasan dini atas produk tersebut; dan
m) nasabah yang tidak bersedia memberikan data dan
informasi dalam proses identifikasi atau nasabah yang
memberikan informasi yang sangat minim atau
informasi yang patut diduga sebagai informasi fiktif.
5) Risiko Negara/Area Geografis/Yurisdiksi
Risiko negara, risiko area geografis, atau risiko yurisdiksi
bersama dengan faktor risiko lainnya, menyediakan
informasi yang sangat bermanfaat untuk penilaian risiko
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Dalam
melakukan penilaian risiko,
PJK IKNB harus
mengidentifikasi unsur risiko tinggi terkait dengan lokasi
- 17 -
geografis, baik lokasi geografis PJK IKNB maupun lokasi
geografis nasabah, atau lokasi tempat terjadinya hubungan
usaha, dan dampaknya pada keseluruhan risiko.
Risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme pada
kegiatan usaha PJK IKNB meningkat apabila:
a) dana diterima dari atau dikirim ke negara atau
yurisdiksi yang berisiko tinggi; atau
b) nasabah memiliki hubungan yang signifikan dengan
negara atau yurisdiksi berisiko tinggi.
Risiko yang terkait dengan domisili, kewarganegaraan, atau
transaksi harus dinilai sebagai bagian dari risiko bawaan
(inherent risk) dari nasabah PJK IKNB.
Indikator yang menentukan suatu negara/area
geografis/yurisdiksi berisiko tinggi terhadap Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme antara lain:
a) yurisdiksi yang oleh organisasi yang melakukan mutual
assessment terhadap suatu negara (seperti: Financial
Action Task Force (FATF) on Money Laundering, Asia
Pacific Group on Money Laundering (APG), Caribbean
Financial Action Task Force (CFATF), Committee of
Experts on the Evaluation of Anti-Money Laundering
Measures and the Financing of Terrorism (MONEYVAL),
Eastern and Southern Africa Anti-Money Laundering
Group (ESAAMLG), The Eurasian Group on Combating
Money Laundering and Financing of Terrorism (EAG),
The Grupo de Accion Financiera de Sudamerica
(GAFISUD), Intergovernmental Anti-Money Laundering
Group in Africa (GIABA), atau Middle East & North
Africa Financial Action Task Force (MENAFATF))
diidentifikasi sebagai tidak secara memadai
melaksanakan rekomendasi FATF;
b) negara yang diidentifikasi tidak kooperatif atau suaka
pajak (tax haven) oleh Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD);
c) negara yang memiliki tingkat tata kelola (good
governance) yang rendah sebagaimana ditentukan oleh
World Bank;
- 18 -
d) negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang tinggi
sebagaimana diidentifikasi dalam Transparancy
International Corruption Perception Index;
e) negara yang diketahui secara luas sebagai tempat
penghasil dan pusat perdagangan narkoba;
f) negara yang dikenakan sanksi, embargo, atau yang
serupa, misalnya PBB; atau
g) negara atau yurisdiksi yang diidentifikasi oleh lembaga
yang dipercaya, sebagai penyandang dana atau
mendukung kegiatan terorisme, atau yang
membolehkan kegiatan organisasi teroris di negaranya.
6) Risiko Produk/Jasa/Transaksi
Penilaian risiko secara keseluruhan harus mencakup
penentuan risiko yang dapat terjadi atas berbagai
produk/jasa/transaksi ditawarkan. PJK IKNB harus
memperhatikan risiko yang berhubungan dengan
produk/jasa/transaksi tertentu yang tidak secara khusus
ditawarkan oleh PJK IKNB, namun memanfaatkan
infrastruktur yang dimiliki PJK IKNB dalam menyediakan
produk/jasa/transaksi.
Hal berikut cenderung dapat meningkatkan profil risiko
produk/jasa/transaksi, antara lain:
a) penerimaan pembayaran atau penerimaan pemberian
uang dari pihak ketiga;
b) penerimaan pembayaran dengan nilai nominal yang
sangat tinggi atau tidak terbatas atau penerimaan
besar dari pembayaran yang bernilai nominal kecil;
c) penerimaan pembayaran dalam bentuk tunai atau
wesel atau cek tunai;
d) penerimaan pembayaran yang sering dilakukan, yang
berada di luar kebijakan premi yang normal/wajar
atau yang berada di luar jadwal pembayaran normal;
e) penerimaan uang dari penarikan yang dilakukan pada
saat kapanpun yang dikenai biaya jasa (chargers/fees)
tertentu;
f) penerimaan yang digunakan sebagai agunan pinjaman
dan/atau yang tercatat dalam aset finansial yang
- 19 -
selalu dapat digunakan (discretionary) atau aset
finansial lain yang selalu memiliki risiko yang
meningkat;
g) produk yang menerima pembayaran penuh (lump-sum
payment) yang bernilai tinggi, yang juga memiliki fitur
likuiditas yang baik; dan
h) produk yang memperbolehkan terjadinya pengalihan
penerima manfaat, yang dilakukan tanpa
sepengetahuan PJK IKNB hingga terjadinya klaim.
7) Risiko Jaringan Distribusi (delivery channels)
Jaringan distribusi (delivery channels) merupakan media
yang digunakan untuk memperoleh suatu
produk/jasa/transaksi, atau media yang digunakan untuk
melakukan suatu transaksi.
Jaringan
distribusi (delivery channels) harus
dipertimbangkan sebagai risiko transaksi. Jaringan
distribusi (delivery channels), yang memungkinkan adanya
transaksi tanpa pertemuan langsung (non face to face),
memiliki risiko bawaan yang lebih tinggi.
Jaringan distribusi (delivery channels) dilakukan tanpa
pertemuan langsung (non face to face), sebagai contoh
pemasaran dengan menggunakan internet atau telepon,
dan dapat diakses 24 (dua puluh empat) jam per hari, 7
(tujuh) hari dalam seminggu, dari manapun, sangat
mungkin digunakan untuk mengaburkan identitas
sebenarnya dari nasabah atau pemilik manfaat (beneficial
owner) sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi. Meskipun
beberapa jaringan distribusi (delivery channels) telah lazim
digunakan (misalnya penggunaan internet banking), hal
tersebut tetap perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari
faktor yang dapat menyebabkan risiko nasabah atau risiko
produk menjadi lebih tinggi.
Beberapa indikator yang dapat menyebabkan jaringan
distribusi (delivery channels) berisiko tinggi, antara lain:
a)
transaksi tanpa pertemuan langsung (non face to face);
b) penggunaan agen; dan/atau
c) pembelian produk/jasa/transaksi secara online.
- 20 -
8) Risiko Relevan Lainnya
Faktor lain yang relevan yang dapat memberikan dampak
pada risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme,
antara lain:
a)
tren tipologi, metode, teknik, dan skema Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme; dan
b) model bisnis PJK IKNB.
PJK IKNB perlu mempertimbangkan bisnis model, skala
usaha, jumlah cabang, dan jumlah karyawan sebagai faktor
risiko bawaan (inherent risk) dalam internal PJK IKNB.
9) Penentuan Skala Risiko
a) Setelah melakukan identifikasi dan dokumentasi risiko
bawaan (inherent risk), PJK IKNB perlu memberikan
skala pada setiap risiko.
b) Skala risiko disusun dengan mempertimbangkan
karakteristik dan kompleksitas kegiatan usaha.
c) Untuk kegiatan usaha dengan karakteristik dan
kompleksitas usaha rendah, PJK IKNB dapat
mengkategorikan risiko dalam 2 (dua) kategori yaitu
rendah dan tinggi.
d) Untuk kegiatan usaha dengan karakteristik dan
kompleksitas usaha tinggi diharapkan dapat
mengkategorikan risiko dalam beberapa level, misalnya
sedang (medium), sedang-tinggi (medium-high), atau
tinggi (high).
e) Untuk menentukan skala risiko setiap kegiatan usaha,
PJK IKNB dapat menggunakan contoh pemisahan
risiko sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini.
10) Setiap unsur risiko yang telah teridentifikasi sebagai risiko
tinggi, harus dimitigasi dan didokumentasikan.
PJK IKNB harus dapat menjelaskan kepada Otoritas Jasa
Keuangan langkah mitigasi terhadap unsur risiko tinggi,
contohnya langkah dalam kebijakan dan prosedur atau
program pelatihan.
- 21 -
11) PJK IKNB juga harus dapat menunjukkan kepada Otoritas
Jasa Keuangan bahwa langkah mitigasi risiko tersebut telah
dilaksanakan secara efektif, misalnya ditunjukkan melalui
hasil audit internal atau audit independen.
12) Untuk membantu PJK IKNB melakukan evaluasi penilaian
risiko, PJK IKNB dapat menggunakan matriks
kemungkinan (likelihood) dan dampak (impact) sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan ini.
13) Dalam melakukan tahapan identifikasi dari risiko bawaan
(inherent risk), PJK IKNB harus mampu menjelaskan
seluruh proses identifikasi risiko yang telah dilakukan oleh
PJK IKNB dan alasan atau pertimbangannya.
14) PJK IKNB harus menyediakan informasi yang telah
terdokumentasi, yang menunjukkan bahwa PJK IKNB telah
secara khusus memperhatikan indikator yang berisiko
tinggi dalam penilaian risikonya.
b. Menetapkan Toleransi Risiko
1) Toleransi risiko merupakan tingkat dan jenis risiko yang
secara maksimum ditetapkan oleh PJK IKNB. Toleransi
risiko merupakan penjabaran dari tingkat risiko yang akan
diambil (risk appetite).
2) Toleransi risiko adalah komponen penting dari manajemen
risiko yang efektif.
3) Sebelum mempertimbangkan mitigasi risiko, PJK IKNB
harus menetapkan toleransi risiko.
4) Pada saat mempertimbangkan ancaman, konsep toleransi
risiko akan memampukan PJK IKNB untuk menentukan
tingkat ancaman risiko yang dapat ditoleransi oleh PJK
IKNB.
5) Dalam menetapkan toleransi risiko, PJK IKNB perlu
mempertimbangkan kategori risiko di bawah ini yang dapat
mempengaruhi PJK IKNB, antara lain:
a) risiko pengaturan (regulatory risk);
b) risiko reputasi (reputational risk);
c) risiko hukum (legal risk); dan
- 22 -
d) risiko keuangan (financial risk).
c. Langkah Pengurangan dan Pengendalian Risiko
1)
Mitigasi risiko adalah penerapan pengendalian internal
untuk membatasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme yang telah diidentifikasi dalam melakukan
penilaian risiko. Mitigasi risiko akan membantu agar
kegiatan usaha PJK IKNB tetap berada dalam batas
toleransi risiko yang telah ditetapkan PJK IKNB. Dalam hal
hasil penilaian risiko menunjukan bahwa PJK IKNB
memiliki tingkat risiko tinggi, PJK IKNB harus
mengembangkan strategi mitigasi risiko secara tertulis
(berupa kebijakan dan prosedur untuk memitigasi risiko
tinggi) dan menerapkannya pada area atau hubungan
usaha yang berisiko tinggi sebagaimana yang telah
diidentifikasi.
2) Pengendalian internal dan mitigasi risiko pada area atau
hubungan usaha yang berisiko tinggi didasarkan pada
toleransi risiko dan penerimaan risiko (risk appetite).
Diharapkan pengendalian internal dan mitigasi risiko akan
sepadan dengan risiko yang telah diidentifikasi oleh PJK
IKNB.
3) Dalam semua situasi, kegiatan usaha PJK IKNB harus
mempertimbangkan pengendalian internal yang akan
berpengaruh dalam memitigasi keseluruhan risiko yang
telah diidentifikasi.
4) Dalam penilaian risiko, semua area berisiko tinggi yang
telah diidentifikasi sebagai bagian dari penilaian risiko
harus dimitigasi dengan pengendalian internal atau langkah
lain, serta didokumentasikan dengan baik.
5) Untuk semua nasabah dan hubungan usaha, PJK IKNB
harus:
a) melakukan pemantauan terhadap seluruh hubungan
usaha; dan
b) mendokumentasikan informasi terkait dan langkah
yang telah dilakukan.
- 23 -
6) Untuk nasabah dan hubungan usaha yang berisiko tinggi,
PJK IKNB harus:
a) melakukan pemantauan yang lebih sering terhadap
hubungan usaha tersebut; dan
b) mengambil langkah yang lebih ketat dalam melakukan
identifikasi dan pengkinian data.
7) Dengan adanya kegiatan mitigasi risiko, PJK IKNB
diharapkan dapat:
a) melakukan pengkinian dan penatausahaan terhadap
informasi nasabah dan pemilik manfaat (beneficial
owner);
b) menetapkan dan melaksanakan kegiatan pemantauan
berkelanjutan pada setiap tingkatan hubungan usaha
PJK IKNB (bagi nasabah berisiko rendah dilakukan
secara periodik dan bagi nasabah berisiko tinggi
dilakukan lebih sering);
c) melaksanakan mitigasi terhadap area berisiko tinggi.
Strategi mitigasi risiko ini harus tercantum dalam
kebijakan dan prosedur; dan
d) menerapkan prosedur pengendalian internal secara
konsisten.
d. Melakukan Evaluasi atas Risiko Residual (Residual Risk)
1) Risiko residual (residual risk) merupakan risiko yang tersisa
setelah penerapan pengendalian internal dan mitigasi
risiko. PJK IKNB perlu memperhatikan bahwa seketat
apapun mitigasi risiko dan manajemen risiko yang PJK
IKNB miliki, PJK IKNB tetap akan memiliki risiko residual
(residual risk) yang harus dikelola secara baik.
2) Risiko residual (residual risk) harus sesuai dengan toleransi
risiko yang telah ditetapkan. PJK IKNB harus memastikan
bahwa risiko residual (residual risk) tidak lebih besar dari
toleransi risiko yang telah ditetapkan PJK IKNB. Dalam hal
risiko residual (residual risk) masih lebih besar daripada
toleransi risiko, atau dalam hal pengendalian internal dan
mitigasi terhadap area berisiko tinggi tidak memadai, PJK
IKNB wajib kembali melakukan langkah pengurangan dan
pengendalian risiko, sebagaimana dimaksud dalam huruf c
- 24 -
dan meningkatkan level atau kuantitas dari langkah
mitigasi yang telah ditetapkan.
3)
Ciri-ciri risiko residual (residual risk) adalah:
a) risiko telah ditoleransi/diterima:
Dalam risiko ini, risiko tetap ada meskipun telah
ditoleransi. Penerimaan terhadap risiko yang
ditoleransi diartikan bahwa tidak ada keuntungan
dalam usaha mengurangi risiko. Namun demikian,
risiko yang ditoleransi tersebut dapat meningkat dari
waktu ke waktu. Sebagai contoh, ketika adanya
produk baru atau ketika terjadi ancaman baru
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
b)
risiko telah dimitigasi:
Dalam risiko ini, risiko tetap ada meskipun telah
dimitigasi. Risiko ini telah dikurangi, namun tetap
tidak dapat dihilangkan. Dalam prakteknya,
pengendalian internal yang telah ditetapkan mungkin
tidak dapat diterapkan (misalnya, sistem pemantauan
atau proses pemantauan transaksi gagal, sehingga
menyebabkan beberapa transaksi tidak dilaporkan).
4) Dengan adanya kegiatan evaluasi terhadap risiko residual
(residual risk), PJK IKNB diharapkan dapat:
a) melakukan evaluasi terhadap risiko residual yang
dimiliki; dan
b) melakukan penyesuaian tingkat risiko yang dimiliki
dengan risiko yang ditoleransi/diterima.
e. Penerapan Pendekatan Berbasis Risiko (risk-based approach)
1) Setelah PJK IKNB melakukan penilaian risiko, PJK IKNB
harus menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based
approach) terhadap kegiatan/aktivitas usaha sehari-hari.
Walaupun adanya pendekatan berbasis risiko (risk-based
approach), kewajiban yang ada, seperti identifikasi,
verifikasi, dan pemantauan, tetap perlu dilakukan sebagai
persyaratan minimun.
2) Pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) yang
dimiliki PJK IKNB perlu didokumentasikan untuk
menunjukkan tingkat kepatuhan PJK IKNB. Kebijakan dan
- 25 -
prosedur terkait pendekatan berbasis risiko (risk-based
approach) harus dikomunikasikan, dipahami, dan dipatuhi
oleh semua pegawai, khususnya pegawai yang melakukan
identifikasi dan penatausahaan data dan informasi nasabah
serta pelaporan transaksi kepada otoritas terkait. PJK IKNB
harus menyediakan informasi yang cukup untuk
memproses dan melengkapi transaksi, sesuai dengan
identifikasi dan penatausahaan data dan informasi nasabah
sebagaimana dipersyaratkan.
3) Prosedur dan kebijakan pendekatan berbasis risiko (risk-
based approach) harus memenuhi persyaratan minimal
sebagai berikut:
a)
identifikasi nasabah;
b) penilaian risiko;
c) tindakan khusus terhadap area berisiko tinggi;
d) penatausahaan; dan
e) pelaporan.
4) Kebijakan dan prosedur dalam pendekatan berbasis risiko
(risk-based approach) juga mencakup hal terkait
pendeteksian transaksi mencurigakan dan penentuan jenis
pemantauan yang disesuaikan dengan tingkat risiko
nasabah atau hubungan usaha, serta aspek pemantauan
baik dari sisi frekuensi, tata cara pelaksanaan, dan evaluasi
terhadap hasil pemantauan.
5) PJK IKNB perlu melakukan pemantauan secara berkala
terhadap seluruh hubungan usaha yang dilakukan, dan
terhadap hubungan usaha yang berisiko tinggi terhadap
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. PJK IKNB
menerapkan langkah khusus yang lebih ketat terhadap
nasabah atau hubungan usaha yang berisiko tinggi.
6) PJK IKNB perlu memperhatikan bahwa dalam manajemen
risiko dan mitigasi risiko dibutuhkan kepemimpinan dan
keterlibatan pejabat senior. Pejabat senior bertanggung
jawab dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan,
prosedur, dan proses pengendalian internal dan mitigasi
risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dalam
kegiatan/aktivitas usaha yang dimiliki PJK IKNB.
- 26 -
7) Dengan adanya pendekatan berbasis risiko (risk-based
approach), PJK IKNB diharapkan dapat:
a) memastikan bahwa penilaian risiko yang telah
dilakukan menggambarkan proses pendekatan
berbasis risiko (risk-based approach), frekuensi
pemantauan nasabah yang berisiko rendah dan
berisiko tinggi, dan juga menggambarkan langkah
pengendalian internal yang diberlakukan untuk
mengurangi risiko tinggi yang telah diidentifikasi;
b) menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based
approach);
c) melakukan pengkinian data dan informasi terhadap
nasabah dan pemilik manfaat (beneficial owner);
d) melakukan pemantauan terhadap seluruh hubungan
usaha yang dimiliki;
e) melakukan pemantauan yang lebih sering terhadap
hubungan usaha yang berisiko tinggi terkait Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme;
f) melakukan langkah tertentu terhadap nasabah
berisiko tinggi; dan/atau
g) melibatkan pejabat senior dalam menghadapi situasi
atau area berisiko tinggi (misalnya untuk PEP,
pemberian persetujuan melakukan hubungan usaha
diberikan oleh pejabat senior).
f.
Peninjauan dan Evaluasi Pendekatan Berbasis Risiko (Risk-
Based Approach)
1) Penilaian risiko yang dimiliki oleh PJK IKNB harus ditinjau
berdasarkan kebutuhan untuk menguji efektivitas dari
kepatuhan penerapan program APU dan PPT, yang meliputi:
a) kebijakan dan prosedur,
b) penilaian risiko terkait Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme; dan
c) program pelatihan sumber daya manusia (bagi
karyawan dan pejabat senior).
2) Dalam hal terhadap perubahan struktur kegiatan usaha
dan adanya penawaran atas produk dan jasa baru,
pengkinian atas penilaian risiko harus dilakukan untuk
- 27 -
kebijakan dan prosedur, langkah mitigasi, dan
pengendalian internal.
3) Peninjauan atas penilaian risiko terkait Pencucian Uang
dan Pendanaan Terorisme harus mencakup seluruh unsur
termasuk kebijakan dan prosedur terhadap penilaian risiko,
mitigasi risiko dan pemantauan berkelanjutan yang lebih
intensif. Peninjauan dapat membantu PJK IKNB dalam
mengevaluasi penyempurnaan kebijakan dan prosedur yang
ada, atau untuk pembentukan kebijakan dan prosedur
yang baru. Risiko yang telah diidentifikasi dapat berubah
atau berkembang seiring dengan pengembangan produk
baru atau timbulnya ancaman baru terhadap kegiatan
usaha. Pada akhirnya, prosedur peninjauan dimaksud akan
mempengaruhi efektivitas dari pelaksanaan pendekatan
berbasis risiko (risk-based approach).
4) Dengan adanya peninjauan pada pendekatan berbasis
risiko (risk-based approach), PJK IKNB diharapkan dapat:
a) melakukan peninjauan sesuai dengan kebutuhan PJK
IKNB atau dalam hal terdapat perubahan model bisnis,
akuisisi portofolio baru dan sebagainya;
b) menghasilkan tinjauan yang mencakup kepatuhan
kebijakan dan prosedur, penilaian risiko terhadap
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme serta
program pelatihan untuk menguji efektivitas
pendekatan berbasis risiko (risk-based approach);
c) melakukan penatausahaan terhadap proses
peninjauan dan melaporkan kepada pejabat senior;
dan
d) melakukan penatausahaan hasil peninjauan bersama
dengan penetapan langkah yang bersifat korektif
untuk ditindaklanjuti.
III. PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
1. Pengawasan Aktif Direksi
Pengawasan aktif Direksi paling sedikit meliputi:
a. memastikan PJK IKNB memiliki kebijakan dan prosedur
penerapan program APU dan PPT;
- 28 -
b. mengusulkan kebijakan dan prosedur tertulis yang bersifat
strategis mengenai penerapan program APU dan PPT kepada
Dewan Komisaris yang paling sedikit memuat:
1)
latar belakang penyusunan kebijakan dan prosedur
tertulis;
2)
struktur, tugas, wewenang dan tanggung jawab satuan
kerja atau penanggung jawab penerapan program APU dan
PPT;
3) kebijakan dan prosedur penerapan progam APU dan PPT;
4) pengawasan atas penerapan program APU dan PPT; dan
5)
rencana pengendalian internal atas hasil pengawasan;
c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan
sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah
ditetapkan;
d. membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat yang
bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan PPT;
e. melakukan pengawasan atas kepatuhan unit kerja dalam
menerapkan program APU dan PPT, termasuk memantau
pelaksanaan tugas UKK dan/atau pejabat yang bertanggung
jawab atas penerapan program APU dan PPT;
f. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
penerapan program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan
pengembangan produk, jasa, dan teknologi di sektor jasa
keuangan serta sesuai dengan perkembangan modus Pencucian
Uang dan/atau Pendanaan Terorisme, serta dapat diterapkan
dalam berbagai situasi;
g. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari
satuan kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan
yang berkaitan dengan penerapan program APU dan PPT secara
berkala, termasuk menjadwalkan pelatihan;
h. bertanggung jawab atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur
pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme;
i. memberikan persetujuan yang bersifat teknis atas kebijakan,
pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang berkaitan
dengan teknis pelaksanaan tugas Direksi; dan
- 29 -
j. dalam mendukung efektivitas penerapan program APU dan PPT,
Direksi harus:
1) memiliki pemahaman yang memadai mengenai risiko
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang melekat
pada seluruh aktivitas operasional PJK IKNB sehingga
Direksi mampu mengambil tindakan yang diperlukan
sesuai dengan profil risiko PJK IKNB;
2) memberikan arahan yang jelas atas kebijakan, pengawasan,
serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme; dan
3) melakukan pengawasan dan mitigasi risiko secara aktif
khususnya risiko nasabah, risiko
negara/area
geografis/yurisdiksi, risiko produk/jasa/transaksi, dan
risiko jaringan distribusi (delivery channels).
2. Pengawasan Aktif Dewan Komisaris
Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling sedikit meliputi:
a. memberikan persetujuan atas kebijakan dan prosedur
penerapan program APU dan PPT yang diusulkan oleh Direksi;
b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab
Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT;
c. memastikan adanya pembahasan terkait Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme dalam rapat Direksi dan Dewan
Komisaris dengan mengagendakan pembahasan program
penerapan APU dan PPT dalam rapat Dewan Komisaris dengan
Direksi;
d. bertanggung jawab atas kebijakan, pengawasan, serta prosedur
pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme;
e. memberikan persetujuan yang bersifat strategis atas kebijakan,
pengawasan, serta prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang berkaitan
dengan kebijakan, pengawasan, dan prosedur yang sifatnya
signifikan dan mendasar dalam penerapan program APU dan
PPT; dan
f. dalam mendukung efektivitas penerapan program APU dan PPT,
Dewan Komisaris harus:
- 30 -
1) memiliki pemahaman terkait risiko yang dihadapi PJK IKNB
terutama risiko nasabah, risiko
negara/area
geografis/yurisdiksi, risiko produk/jasa/transaksi, dan
risiko jaringan distribusi (delivery channels); dan
2) memastikan struktur organisasi memadai untuk penerapan
program APU dan PPT.
3. Penanggung Jawab Penerapan Program APU dan PPT
a. Berdasarkan pertimbangan beban tugas operasional dan
kompleksitas usaha, PJK IKNB membentuk UKK dan/atau
menunjuk pejabat penanggung jawab penerapan program APU
dan PPT di kantor pusat dan di kantor cabang atau kantor di
luar kantor pusat.
b. Dalam menjalankan tugasnya, UKK dan/atau pejabat
penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, melapor
dan bertanggung jawab kepada Direksi yang membawahkan
fungsi kepatuhan, fungsi manajemen risiko atau salah satu
anggota Direksi yang terkait dengan penerapan program APU
dan PPT.
c. Agar tugas UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan
program APU dan PPT dapat dilaksanakan dengan baik, PJK
IKNB harus memiliki mekanisme kerja yang memadai, serta
dilaksanakan oleh setiap unit kerja terkait dengan
memperhatikan ketentuan mengenai anti tipping off dan
kerahasiaan informasi.
d. UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program
APU dan PPT memenuhi kriteria:
1) independen terhadap kegiatan yang dimonitor;
2) mampu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh
Direksi untuk memperoleh gambaran tentang kondisi PJK
IKNB terkait dengan manajemen risiko dan kepatuhan; dan
3) memiliki akses yang tepat dan tidak dibatasi untuk
dokumen identifikasi nasabah, rekening terdaftar, catatan
akuntansi lain, informasi terkait lainnya.
e. UKK paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang yang bertindak
sebagai pimpinan dan 1 (satu) orang yang bertindak sebagai
pelaksana.
- 31 -
f. Dalam hal PJK IKNB menunjuk pejabat penanggung jawab
penerapan program APU dan PPT di kantor pusat, maka pejabat
penanggung jawab dilakukan oleh pejabat atau pegawai paling
rendah setingkat di bawah Direksi.
g. Dalam hal PJK IKNB menunjuk pejabat penanggung jawab
penerapan program APU dan PPT di kantor cabang atau kantor
di luar kantor pusat, maka pejabat penanggung jawab dilakukan
oleh pejabat atau pegawai paling rendah setingkat dengan
penyelia (supervisor).
h. Untuk kantor cabang atau kantor di luar kantor pusat, dengan
kompleksitas usaha tinggi dan di dalamnya hanya terdapat unit
kerja yang berhubungan dengan nasabah maka pejabat atau
pegawai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT
dapat:
1) berasal dari kantor pusat atau kantor wilayah dengan tugas
dan tanggung jawab khusus mengawasi pelaksanaan
program APU dan PPT di beberapa kantor cabang tertentu;
atau
2) dirangkap oleh pegawai dari unit kerja yang tidak
berhubungan dengan nasabah (non operasional) pada
kantor cabang lainnya seperti unit kerja manajemen risiko.
Rangkap
jabatan
diperkenankan
dengan
mempertimbangkan bahwa unit kerja yang melaksanakan
kebijakan dan prosedur program APU dan PPT terpisah dari
unit kerja yang mengawasi penerapannya.
i. Untuk kantor cabang atau kantor di luar kantor pusat, dengan
kompleksitas usaha rendah maka pejabat atau pegawai yang
bertanggung jawab dalam penerapan program APU dan PPT
dapat dirangkap oleh pegawai yang berasal dari unit kerja yang
berhubungan dengan nasabah (operasional), sepanjang tugas
operasional tersebut tidak mempengaruhi independensi dan
profesionalisme pegawai tersebut dalam melaksanakan
tugasnya.
j. UKK dan/atau pejabat penanggung jawab penerapan program
APU dan PPT di kantor cabang atau kantor di luar kantor pusat
bagi PJK IKNB dibantu oleh kepala kantor dalam penerapan
program APU dan PPT di kantor di luar kantor pusat.
- 32 -
IV. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
1. PJK IKNB wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola
dan memitigasi risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme yang diidentifikasi sesuai dengan penilaian risiko.
2. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT dimaksud
paling sedikit meliputi:
a. identifikasi dan verifikasi nasabah;
b. identifikasi dan verifikasi pemilik manfaat (beneficial owner);
c. penutupan hubungan usaha atau penolakan transaksi;
d. pengelolaan risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme yang berkelanjutan terkait dengan nasabah,
negara/area geografis/yurisdiksi, produk/jasa/transaksi, atau
jaringan distribusi (delivery channels);
e. pemeliharaan data yang akurat terkait dengan transaksi,
penatausahaan proses kebijakan uji tuntas nasabah (customer
due dilligence, dan penatausahaan kebijakan dan prosedur;
f. pengkinian dan pemantauan;
g. pelaporan kepada pejabat senior, Direksi dan Dewan Komisaris
terkait pelaksanaan kebijakan dan prosedur penerapan program
APU dan PPT; dan
h. pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK).
3. Identifikasi dan verifikasi calon nasabah, nasabah, dan pemilik
manfaat (beneficial owner) terdiri dari:
a. Kebijakan Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Dilligence/CDD)
1)
Uji tuntas nasabah (customer due dilligence/CDD)
merupakan kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan
pemantauan yang dilakukan oleh PJK IKNB untuk
memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik,
dan/atau pola transaksi calon nasabah, atau nasabah.
2) PJK IKNB wajib melakukan prosedur CDD pada saat:
a) melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah;
b) terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah
dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit
atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah);
- 33 -
c) terdapat indikasi transaksi keuangan mencurigakan
yang terkait dengan Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme; atau
d) PJK IKNB meragukan kebenaran informasi yang
diberikan oleh calon nasabah, nasabah, penerima
kuasa, dan/atau pemilik manfaat (beneficial owner).
3) CDD dengan pendekatan berbasis risiko (risk-based
approach) dimaksudkan untuk mendapatkan informasi
yang terkini mengenai profil nasabah untuk memastikan
kesesuaian antara profil nasabah dengan transaksi yang
dilakukan. CDD dapat dilakukan baik terhadap seluruh
informasi maupun hanya terhadap sebagian informasi.
4) Dalam hal PJK IKNB menilai terdapat perubahan tingkat
risiko dari nasabah, CDD berdasarkan pendekatan berbasis
risiko (risk-based approach) dapat dilakukan kembali
apabila:
a) terdapat peningkatan nilai transaksi yang signifikan;
b) terdapat perubahan profil nasabah yang bersifat
signifikan;
c) informasi pada profil nasabah yang tersedia dalam
customer identification file (CIF) belum dilengkapi
dengan dokumen dalam rangka verifikasi; dan/atau
d) menggunakan rekening anonim atau rekening yang
menggunakan nama fiktif.
b. Prosedur Penerimaan dan Identifikasi Calon Nasabah
PJK IKNB harus memiliki kebijakan tentang penerimaan dan
identifikasi calon nasabah yang paling sedikit mencakup hal-hal
sebagai berikut:
1) permintaan informasi mengenai calon nasabah;
2) permintaan bukti identitas dan informasi pendukung dari
calon nasabah;
3) penelitian atas kebenaran dokumen pendukung identitas
calon nasabah;
4) permintaan kartu identitas calon nasabah lebih dari satu
yang dikeluarkan pihak yang berwenang, jika terdapat
keraguan terhadap kartu identitas yang ada;
- 34 -
5) apabila diperlukan dapat dilakukan wawancara dengan
calon nasabah untuk memperoleh keyakinan atas
kebenaran informasi, bukti identitas dan dokumen
pendukung calon nasabah;
6) larangan untuk membuka atau memelihara rekening
anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif;
7) pertemuan langsung (face to face) dengan calon nasabah
pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka
meyakini kebenaran identitas calon nasabah;
8) kewaspadaan terhadap transaksi atau hubungan usaha
dengan calon nasabah yang berasal atau terkait dengan
negara yang belum memadai dalam melaksanakan
rekomendasi FATF; dan
9) penyelesaian proses verifikasi identitas calon nasabah
dilakukan sebelum membina hubungan usaha dengan
calon nasabah.
c. Prosedur Identifikasi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
1) Apabila calon nasabah mewakili pemilik manfaat (beneficial
owner) untuk membuka hubungan usaha atau melakukan
transaksi, PJK IKNB harus melakukan prosedur CDD
terhadap pemilik manfaat (beneficial owner) yang sama
ketatnya dengan prosedur CDD bagi calon nasabah.
2) Dalam hal pemilik manfaat (beneficial owner) tergolong
sebagai PEP, maka prosedur yang diterapkan adalah
prosedur CDD yang lebih ketat atau uji tuntas lanjut
(Enhanced Due Dilligence/EDD).
3) Dalam melakukan identifikasi terhadap calon nasabah
korporasi, PJK IKNB harus menetapkan pemilik manfaat
(beneficial owner).
4) Bagi pemilik manfaat (beneficial owner) berupa lembaga
negara atau instansi pemerintah, perusahaan yang
mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara, atau perusahaan
publik atau emiten, tidak memiliki keharusan untuk
menyampaikan dokumen dan/atau identitas pengendali
akhir.
- 35 -
5) Pengecualian terhadap keharusan penyampaian dokumen
dan/atau identitas pengendali akhir pemilik manfaat
(beneficial owner) harus didokumentasikan.
6) Apabila PJK IKNB meragukan atau tidak dapat meyakini
identitas pemilik manfaat (beneficial owner), PJK IKNB
harus menolak untuk melakukan hubungan usaha atau
transaksi dengan calon nasabah.
7) Terhadap calon nasabah atau pemilik manfaat (beneficial
owner) yang hubungan usaha atau transaksinya ditolak,
PJK IKNB harus memperoleh paling sedikit informasi nama,
nomor identitas, alamat, dan tempat tanggal lahir sesuai
dengan salinan dokumen identitas yang diperoleh PJK IKNB
untuk kepentingan pelaporan Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM).
d.
Verifikasi Calon Nasabah, Nasabah, dan Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner)
1) PJK IKNB harus meneliti kebenaran informasi yang
disampaikan oleh calon nasabah dengan melakukan
verifikasi terhadap dokumen pendukung berdasarkan
dokumen dan/atau sumber independen lainnya serta
memastikan kekinian informasi tersebut.
2) Dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon nasabah
verifikasi dilakukan dengan:
a) pertemuan langsung (face to face) dengan calon
nasabah pada awal melakukan hubungan usaha;
b) melakukan wawancara dengan calon nasabah apabila
diperlukan;
c) mencocokkan kesesuaian profil calon nasabah dengan
foto diri yang tercantum dalam kartu identitas;
d) mencocokan kesesuaian tanda tangan, cap jempol,
atau sidik jari dengan dokumen identitas atau
dokumen lainnya yang mencantumkan tanda tangan,
cap jempol, atau sidik jari. Dokumen lainnya antara
lain surat pernyataan calon nasabah, kartu keluarga,
atau kartu kredit;
e) meminta kepada calon nasabah untuk memberikan
lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan
- 36 -
oleh pihak yang berwenang apabila timbul keraguan
terhadap kartu identitas yang ada;
f) menatausahakan salinan dokumen kartu identitas
setelah dilakukan pencocokan dengan dokumen asli
yang sah;
g) melakukan pengecekan silang untuk memastikan
adanya konsistensi dari berbagai informasi yang
disampaikan oleh calon nasabah. Pengecekan silang
dilakukan dengan cara, antara lain:
i. menghubungi calon nasabah melalui telepon
(rumah atau kantor);
ii. menghubungi pejabat sumber daya manusia
tempat calon nasabah bekerja apabila pekerjaan
calon nasabah
adalah karyawan suatu
perusahaan atau instansi;
iii. melakukan konfirmasi atas penghasilan calon
nasabah dengan mensyaratkan rekening koran
dari bank atau penyedia jasa keuangan lain; atau
iv. melakukan analisis informasi geografis untuk
melihat kondisi hutan melalui teknologi remote
sensing terhadap calon nasabah perusahaan yang
bergerak dibidang kehutanan;
h) memastikan bahwa calon nasabah tidak memiliki
rekam jejak negatif dengan melakukan verifikasi
identitas calon nasabah menggunakan sumber
independen lainnya antara lain:
i. daftar teroris dan/atau daftar terduga teroris dan
organisasi teroris yang diterbitkan oleh Kepolisian
Republik Indonesia;
ii. daftar hitam nasional (DHN); atau
iii. data lainnya yang dimiliki PJK IKNB, identitas
pemberi kerja dari calon nasabah, rekening
telepon dan rekening listrik; dan/atau
i) memastikan adanya kemungkinan hal yang tidak wajar
atau mencurigakan.
3)
Verifikasi melalui pertemuan langsung (face to face),
sebagaimana dimaksud pada angka 2) huruf a) dapat
- 37 -
digantikan dengan verifikasi melalui sarana elektronik,
dengan persyaratan sebagai berikut:
a) what you have, yaitu dokumen identitas yang dimiliki
oleh calon nasabah yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP)
elektronik; dan
b) what you are, yaitu data biometrik antara lain dalam
bentuk sidik jari milik calon nasabah.
4) Proses verifikasi identitas calon nasabah dan pemilik
manfaat (beneficial owner) harus diselesaikan sebelum
membina hubungan usaha dengan calon nasabah.
5) Dalam kondisi tertentu, proses verifikasi dapat diselesaikan
kemudian setelah dilakukannya hubungan usaha.
6) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 5)
yaitu:
a) kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat
hubungan usaha akan dilakukan misalnya karena
dokumen masih dalam proses pengurusan. Untuk itu,
calon nasabah dapat menyampaikan dokumen setelah
melakukan hubungan usaha, dengan jangka waktu
sebagaimana yang ditetapkan oleh PJK IKNB;
dan/atau
b) apabila tingkat risiko calon nasabah perorangan
tergolong rendah.
e. CDD Sederhana (Simplified CDD)
1) Dalam hal PJK IKNB menilai bahwa risiko calon nasabah
atau nasabah tergolong sangat rendah atau untuk
transaksi yang tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang
atau Pendanaan Terorisme tergolong rendah, PJK IKNB
dapat menerapkan CDD sederhana (simplified CDD).
2) PJK IKNB harus mendokumentasikan nasabah yang
mendapat perlakuan CDD sederhana dalam daftar yang
memuat informasi mengenai alasan penetapan risiko
sehingga digolongkan sebagai risiko rendah.
3) Nasabah yang telah mendapatkan perlakuan CDD
sederhana (simplified CDD) harus dikeluarkan dari daftar
nasabah CDD sederhana (simplified CDD) apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
- 38 -
a) diindikasikan terkait dengan Pencucian Uang atau
Pendanaan Terorisme; atau
b) tidak sesuai dengan tujuan awal pembukaan rekening,
antara lain untuk pembayaran atau penerimaan gaji.
4) Nasabah yang dikeluarkan dari daftar nasabah CDD
sederhana (simplified CDD) sebagaimana dimaksud pada
angka 3) harus:
a) dilakukan CDD atau EDD sesuai dengan tingkat risiko
nasabah terkini; dan/atau
b) dilaporkan dalam Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM) apabila transaksi diindikasikan
terkait dengan Pencucian Uang atau Pendanaan
Terorisme.
f. CDD oleh Pihak Ketiga
1) PJK IKNB dapat menggunakan hasil CDD yang telah
dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon nasabahnya
yang telah menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut.
2) Dalam hal PJK IKNB menggunakan hasil CDD pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK IKNB wajib:
a. memahami maksud dan tujuan hubungan usaha; dan
b. mengidentifikasi dan memverifikasi nasabah dan
pemilik manfaat (beneficial owner).
3) Dalam hal PJK IKNB menggunakan hasil CDD yang telah
dilakukan oleh pihak ketiga, tanggung jawab CDD tetap
berada pada PJK IKNB tersebut.
4) Dalam hal PJK IKNB menggunakan CDD pihak ketiga:
a. PJK IKNB wajib sesegera mungkin mendapatkan
informasi yang diperlukan terkait dengan prosedur
CDD;
b. PJK IKNB wajib memiliki kerja sama dengan pihak
ketiga dalam bentuk kesepakatan tertulis;
c. PJK IKNB wajib mengambil langkah yang memadai
untuk memastikan bahwa pihak ketiga bersedia
memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen
pendukung segera apabila dibutuhkan oleh PJK IKNB
dalam rangka penerapan program APU dan PPT;
- 39 -
d. PJK IKNB wajib memastikan bahwa pihak ketiga
merupakan lembaga keuangan dan penyedia barang
dan/atau jasa dan profesi tertentu yang memiliki
prosedur CDD dan tunduk pada pengawasan dari
otoritas berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
e. PJK IKNB wajib memperhatikan informasi terkait risiko
negara tempat pihak ketiga tersebut berasal.
5) PJK IKNB memastikan bahwa pihak ketiga berada dalam
negara yang patuh terhadap standar FATF; dan
6) CDD oleh pihak ketiga tidak berlaku untuk hubungan
keagenan atau outsourcing.
g. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence/EDD)
1) PJK IKNB wajib melakukan penilaian untuk menentukan
calon nasabah, nasabah, atau pemilik manfaat (beneficial
owner) adalah PEP.
2) Dalam hal PJK IKNB menilai calon nasabah, nasabah, dan
pemilik manfaat (beneficial owner) berisiko tinggi termasuk
PEP, maka PJK IKNB menerapkan EDD.
3) EDD sebagaimana dimaksud pada angka 2) dilaksanakan
dengan melakukan verifikasi informasi calon nasabah,
nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner), termasuk
PEP, didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran
sumber informasi dan jenis informasi terkait.
4)
Verifikasi informasi dalam pelaksanaan EDD sebagaimana
dimaksud pada angka 3) dapat dilakukan antara lain
dengan cara:
a) mencari informasi tambahan tentang nasabah
bersangkutan dan melakukan pengkinian atas data
identitas nasabah atau pemilik manfaat (beneficial
owner);
b) mencari informasi tambahan tentang sifat peruntukan
dari hubungan bisnis tersebut;
c) mencari informasi tambahan mengenai sumber dana
atau sumber kekayaan nasabah tersebut;
d) mencari informasi tambahan mengenai alasan dari
transaksi yang dimaksud atau yang dilakukan;
- 40 -
e) meminta persetujuan dari pejabat senior untuk
memulai atau meneruskan hubungan bisnis tersebut;
dan/atau
f) melakukan pemantauan yang semakin diperketat
terhadap hubungan bisnis tersebut, yaitu dengan
menambah jumlah dan waktu pengawas yang dipakai,
dan memiliki pola transaksi yang memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.
5) PJK IKNB menatausahakan dokumen terkait EDD serta
melakukan pengkinian atas data nasabah secara berkala
atau sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas PJK IKNB.
6) Dalam melaksanakan hubungan usaha dengan calon
nasabah, nasabah atau pemilik manfaat (beneficial owner),
termasuk PEP, yang mendapat perlakuan EDD, PJK IKNB
harus menunjuk pejabat senior sebagai penanggung jawab
atas hubungan usaha tersebut.
4. Penolakan Transaksi dan Penutupan Hubungan Usaha
1) PJK IKNB melakukan penolakan transaksi atau penutupan
hubungan usaha dengan calon nasabah atau nasabah dalam
hal:
a) calon nasabah atau nasabah tidak bersedia memberikan
informasi dan/atau melengkapi dokumen yang
dipersyaratkan PJK IKNB;
b) calon nasabah atau nasabah memberikan informasi
dan/atau dokumen yang tidak sesuai atau patut diduga
sebagai dokumen palsu atau informasi yang diragukan
kebenarannya;
c) sumber dana transaksi yang dimiliki calon nasabah atau
nasabah diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil
tindak pidana; dan/atau
d) calon nasabah atau nasabah tercatat dalam daftar teroris
dan/atau daftar terduga teroris dan organisasi teroris.
2) PJK IKNB wajib memberitahukan secara tertulis kepada
nasabah mengenai penutupan hubungan usaha.
3) Pemberitahuan tertulis dapat dilakukan dengan penyampaian
surat yang ditujukan kepada nasabah sesuai dengan alamat
- 41 -
yang tercantum dalam database PJK IKNB atau diumumkan
melalui media cetak, media elektronik maupun media lainnya.
4) Dalam hal pemberitahuan tertulis telah dilakukan dan nasabah
tidak mengambil sisa dana yang tersimpan di PJK IKNB, maka
penyelesaian terhadap sisa dana nasabah tersebut dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara
lain dengan menyerahkan sisa dana ke Balai Harta Peninggalan.
5) PJK IKNB harus mendokumentasikan calon nasabah atau
nasabah yang terkena penolakan transaksi atau penutupan
hubungan usaha sebagaimana dimaksud pada angka 1) dalam
daftar tersendiri.
5. Pengelolaan Risiko Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme
yang Berkelanjutan Terkait dengan Nasabah, Negara/Area
Geografis/Yurisdiksi, Produk/Jasa/Transaksi,
atau
Jaringan
Distribusi (Delivery Channels)
a. PJK IKNB menerapkan kebijakan, prosedur dan kontrol untuk
mengurangi potensi Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
terutama terkait dengan nasabah,
negara/area
geografis/yurisdiksi, produk/jasa/transaksi, atau jaringan
distribusi (delivery channels) yang dapat menimbulkan risiko
yang lebih tinggi.
b. Pengendalian dan mitigasi yang dapat diterapkan paling sedikit
meliputi:
1) mengembangkan sistem untuk mengidentifikasi dan
memantau risiko nasabah yang lebih tinggi dan transaksi
dalam seluruh kegiatan usaha PJK IKNB;
2) meningkatkan CDD menjadi EDD yang dilakukan seiring
dengan bertambahnya pemahaman PJK IKNB terhadap
nasabah, sumber dana yang digunakan untuk membeli
produk/jasa/transaksi, dan perilaku nasabah dalam
membeli produk dan jasa;
3)
eskalasi atau persetujuan berjenjang untuk pembukaan
hubungan usaha atau transaksi melalui persetujuan
pejabat senior;
4) peningkatan monitoring transaksi (frekuensi, ambang
batas, volume, dan lain-lain); dan
- 42 -
5) meningkatkan frekuensi pengawasan dan melakukan
peninjauan kembali atas hubungan usaha secara
berkelanjutan.
6. Pemeliharaan Data yang Akurat terkait dengan Transaksi,
Penatausahaan Proses CDD, dan Penatausahaan Kebijakan dan
Prosedur
a. PJK IKNB harus menatausahakan semua data atau dokumen
transaksi, yang diperoleh melalui langkah CDD yang dilakukan
baik dalam maupun luar negeri paling sedikit 5 (lima) tahun. Hal
tersebut sebagai upaya untuk membantu pihak yang berwenang
dalam melakukan penyidikan terhadap dana yang diindikasikan
berasal dari hasil kejahatan atau membantu pelaksanaan tugas
dari otoritas berwenang. Dengan demikian, dokumen yang
dimiliki atau disimpan PJK IKNB harus memadai sebagai alat
bantu rekonstruksi terhadap transaksi individu (termasuk
besarnya dan jenis mata uang yang digunakan, jika ada)
sehingga dapat dijadikan bukti (jika perlu) dalam melakukan
penuntutan terhadap aktivitas kejahatan.
b. Jangka waktu penatausahaan dokumen adalah sebagai berikut:
1) dokumen yang terkait dengan data nasabah dengan jangka
waktu paling sedikit 5 (lima) tahun sejak:
a) berakhirnya hubungan usaha dengan nasabah;
dan/atau
b) ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan
tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha;
2) dokumen yang terkait dengan transaksi keuangan nasabah
dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam undang-
undang mengenai dokumen perusahaan; dan
3) dokumen yang ditatausahakan paling sedikit mencakup:
a)
identitas nasabah termasuk dokumen pendukungnya,
antara lain salinan atau rekaman dari dokumen
identitas nasabah berupa kartu tanda pengenal, surat
izin mengemudi, paspor, atau dokumen lainnya;
b) informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan
jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah
transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor
rekening yang terkait dengan transaksi;
- 43 -
c) hasil analisis yang telah dilakukan; dan
d) korespondensi dengan nasabah, termasuk berkas
rekening dan korespondensi bisnis, antara lain hasil
analisis yang dilakukan melalui penyelidikan yang
dilakukan untuk memastikan latar belakang dan
tujuan dari transaksi yang besar, rumit, dan tidak
lazim.
c. PJK IKNB wajib memberikan data, informasi, dan/atau
dokumen yang ditatausahakan apabila diminta oleh Otoritas
Jasa Keuangan dan/atau otoritas lain yang berwenang.
7. Pemantauan dan Pengkinian
a. Pemantauan
1) Tingkat dan sifat pemantauan yang dilakukan oleh PJK
IKNB akan bergantung pada karakteristik PJK IKNB,
kompleksitas usaha, tingkat risiko Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme yang dimiliki PJK IKNB.
2) PJK IKNB harus melakukan kegiatan pemantauan yang
paling sedikit:
a) dilakukan secara berkesinambungan untuk
mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi nasabah
dengan profil nasabah dan menatausahakan dokumen
tersebut, terutama terhadap hubungan usaha atau
transaksi dengan nasabah dan/atau PJK IKNB dari
negara dengan program APU dan PPT yang kurang
memadai;
b) melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang
tidak sesuai dengan profil nasabah; dan
c)
apabila diperlukan, meminta informasi tentang latar
belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi
yang tidak sesuai dengan profil nasabah, dengan
memperhatikan ketentuan anti tipping off sebagaimana
diatur dalam undang-undang mengenai pencegahan
dan pemberantasan TPPU.
3) Kegiatan pemantauan profil dan transaksi nasabah
dilakukan secara berkesinambungan meliputi kegiatan:
a) memastikan kelengkapan informasi dan dokumen
nasabah;
- 44 -
b) meneliti kesesuaian antara profil transaksi dengan
profil nasabah; dan
c)
meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama
yang tercantum dalam:
i. database daftar teroris;
ii. daftar terduga teroris dan organisasi teroris;
iii. nama tersangka atau terdakwa yang
dipublikasikan dalam media massa atau oleh
otoritas yang berwenang; dan
iv. daftar hitam nasional (DHN).
4) Sumber informasi yang dapat digunakan untuk memantau
nasabah yang ditetapkan sebagai status tersangka atau
terdakwa dapat diperoleh antara lain melalui:
a) database yang dikeluarkan oleh pihak berwenang
seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK); atau
b) media massa, seperti koran, majalah, televisi, dan
internet.
5) PJK IKNB harus melakukan klasifikasi terkait transaksi
dan nasabah yang membutuhkan pemantauan khusus.
Pemantauan terhadap rekening nasabah harus lebih ketat
apabila terdapat nasabah berisiko tinggi.
6) Seluruh kegiatan pemantauan didokumentasikan dengan
baik dalam bentuk tertulis melalui dokumen formal seperti
memo, nota, atau catatan maupun melalui dokumen
informal seperti korespondensi melalui email.
b. Pengkinian Data
1) PJK IKNB harus menerapkan prosedur CDD terhadap
nasabahnya dalam rangka pengkinian data, untuk
mengkinikan materialitas data dan risiko. CDD tersebut
dapat dilakukan dengan mempertimbangkan waktu
pelaksanaan CDD sebelumnya dan kecukupan data yang
diperoleh.
2) PJK IKNB harus melakukan pengkinian data terhadap
informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan
- 45 -
program APU dan PPT di sektor jasa keuangan serta
menatausahakannya.
3) PJK IKNB harus memastikan bahwa dokumen, data atau
informasi yang dihimpun dalam proses CDD selalu
diperbaharui dan relevan dengan melakukan pemeriksaan
kembali terhadap data yang ada, khususnya yang terkait
dengan nasabah berisiko tinggi.
4) PJK IKNB harus mengkinikan data nasabah yang dimiliki
agar identifikasi dan pemantauan transaksi keuangan yang
mencurigakan dapat berjalan efektif.
5) Pengkinian data nasabah dilakukan dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan risiko. Dalam hal sumber daya
yang dimiliki PJK IKNB terbatas, kegiatan pengkinian data
dilakukan dengan skala prioritas.
6) Parameter untuk menetapkan skala prioritas sebagaimana
dimaksud pada angka 5) antara lain:
a) tingkat risiko nasabah tinggi;
b) transaksi dengan jumlah yang signifikan dan/atau
menyimpang dari profil transaksi atau profil nasabah
(red flag);
c) terdapat perubahan saldo yang nilainya signifikan;
dan/atau
d) informasi yang ada pada customer identification file
(CIF) belum sesuai dengan peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerapan program APU dan PPT
di sektor jasa keuangan.
7) Pengkinian data dilakukan secara berkala sesuai dengan
karakteristik dan kompleksitas kegiatan usaha PJK IKNB.
8) Pelaksanaan pengkinian data terhadap nasabah yang
tercantum dalam laporan rencana pengkinian data dapat
dilakukan antara lain pada saat:
a) pembukaan hubungan usaha tambahan;
b) perpanjangan penggunaan produk/jasa/transaksi PJK
IKNB;
c) penggantian dokumen data dan identitas nasabah;
atau
d) penutupan hubungan usaha.
- 46 -
9) Seluruh kegiatan pengkinian data harus diadministrasikan.
10) Dalam hal nasabah yang akan dilakukan pengkinian data
telah menjadi nasabah sebelum peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai penerapan program APU dan PPT di
sektor jasa keuangan berlaku, PJK IKNB harus
memberitahukan secara tertulis kepada nasabah dimaksud
mengenai keharusan PJK IKNB untuk menolak transaksi
dan/atau menutup hubungan usaha sebagaimana
tercantum dalam Romawi IV angka 4.
8. Pelaporan Kepada Pejabat Senior, Direksi dan Dewan Komisaris
terkait Pelaksanaan Kebijakan dan Prosedur Penerapan Program APU
dan PPT
a. Dalam hal proses CDD menunjukkan adanya calon nasabah
atau nasabah yang dikategorikan berisiko tinggi maka pegawai
PJK IKNB yang melaksanakan CDD melapor kepada Pejabat
Senior. Pejabat Senior bertanggung jawab terhadap penerimaan
dan/atau penolakan hubungan usaha dengan calon nasabah
atau nasabah yang berisiko tinggi.
b. Dalam hal pejabat senior menyetujui hubungan usaha dengan
nasabah berisiko tinggi maka pejabat senior bertanggung jawab
dalam memantau transaksi nasabah berisiko tinggi.
c. Pejabat Senior harus melaporkan kepada Direksi yang
membawahkan fungsi penerapan program APU dan PPT terkait
jumlah calon nasabah atau nasabah yang berisiko tinggi
termasuk jumlah nasabah berisiko tinggi yang ditolak, diterima
atau dilakukan penutupan hubungan usaha.
d. Direksi harus memberikan arahan atas laporan yang
disampaikan pejabat senior dan menetapkan langkah-langkah
mitigasi risiko.
e.
Direksi melaporkan kepada Dewan Komisaris terkait hasil
pemantauan atas penerapan program APU dan PPT secara
keseluruhan sebagaimana kebijakan dan prosedur tertulis yang
telah ditetapkan PJK IKNB.
f.
Direksi dapat mengusulkan pengkinian kebijakan dan prosedur
dalam hal terdapat perkembangan risiko yang perlu dimitigasi
oleh PJK IKNB, yang belum tercantum dalam kebijakan dan
prosedur tertulis.
- 47 -
9. Pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK)
a. PJK IKNB wajib menyampaikan Laporan Transaksi keuangan
Mencurigakan (LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai
(LTKT), dan laporan lain kepada Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang.
b. Dalam hal PJK IKNB menemukan adanya indikasi transaksi
keuangan tunai yang melibatkan pembawaan uang tunai dan
instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar wilayah
Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan
ruang udara di atasnya serta zona tertentu yang merupakan
zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya
berlaku undang-undang mengenai kepabeanan.
c. PJK IKNB harus menyampaikan laporan lain terkait penerapan
program APU dan PPT dalam hal terdapat permintaan informasi
dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
V. PENGENDALIAN INTERN
1. Penerapan program APU dan PPT berbasis risiko (risk based
approach) yang efektif harus diimplementasikan dalam pengendalian
intern dan diinternalisasikan dalam budaya PJK IKNB.
2. Pejabat senior bertanggung jawab untuk memastikan bahwa PJK
IKNB memiliki struktur pengendalian internal yang efektif termasuk
untuk memantau dan melaporkan transaksi keuangan
mencurigakan.
3. Pejabat senior harus menciptakan budaya manajemen risiko dan
kepatuhan, memastikan bahwa pegawai taat terhadap kebijakan dan
prosedur yang ditujukan untuk membatasi dan mengontrol risiko.
4. Selain kepatuhan atas pengendalian internal, penerapan program
APU dan PPT juga dipengaruhi oleh faktor berikut:
a. skala dan kompleksitas PJK IKNB;
b. keragaman kegiatan usaha atau operasional PJK IKNB,
termasuk keragaman negara/area geografis/yurisdiksi, nasabah,
- 48 -
produk/jasa/transaksi, dan aktivitas transaksi PJK IKNB secara
keseluruhan;
c.
jaringan distribusi (delivery channels) yang digunakan;
d. volume dan skala transaksi;
e.
tingkat penilaian risiko atas setiap kegiatan usaha PJK IKNB;
dan/atau
f. hubungan antara PJK IKNB dengan nasabah baik secara
langsung atau melalui perantara, pihak ketiga, koresponden,
atau komunikasi tanpa pertemuan langsung (non face to face).
5. PJK IKNB harus memiliki kerangka pengendalian intern yang
meliputi:
a. penunjukan UKK dan/atau pejabat yang bertanggung jawab
dalam mengelola penerapan program APU dan PPT;
b. pemantauan khusus terhadap kegiatan operasional yang
berpotensi berisiko tinggi termasuk pemantauan terhadap hal
yang dinilai rentan dan berpotensi berkaitan dengan transaksi
yang mencurigakan atau perlu mendapat perhatian khusus
berdasarkan saran dan informasi dari asosiasi industri,
regulator, atau penegakan hukum;
c. penyediaan tinjauan rutin atas penilaian risiko dan manajemen
proses dengan mempertimbangkan lokasi tempat PJK IKNB
beroperasi;
d. memastikan terdapat kontrol yang memadai sebelum penawaran
produk/jasa/transaksi baru atau ketika ada penawaran
produk/jasa/transaksi yang dimodifikasi sedemikian rupa yang
berpotensi terhadap peningkatan risiko Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme;
e. penyampaian informasi secara cepat dan tepat dalam hal
terdapat indikasi dan/atau dugaan terkait risiko Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme, langkah perbaikan yang
dilakukan, hasil identifikasi kelemahan atas peraturan yang
dimiliki, rencana tindak untuk perbaikan, dan pelaporan yang
telah disampaikan kepada pihak berwenang;
f.
fokus pada pengumpulan hal terkait ketentuan peraturan
perundangan-undangan,
persyaratan
pelaporan
rekomendasi terkait kepatuhan atas penerapan program APU
dan PPT dan melakukan pengkinian atas perubahan peraturan;
serta
- 49 -
g. menerapkan kebijakan, prosedur dan kontrol atas uji tuntas
nasabah (CDD);
h. penyediaan kontrol yang memadai bagi nasabah, transaksi dan
produk yang berisiko tinggi, seperti batasan transaksi atau
persetujuan manajemen;
i. memberikan pengawasan yang memadai terhadap pegawai PJK
IKNB yang melengkapi laporan, menerima hibah, memantau
aktivitas yang mencurigakan, atau terlibat dalam kegiatan lain
yang merupakan bagian dari penerapan program APU dan PPT;
j.
mengintegrasikan kepatuhan terhadap penerapan program APU
dan PPT dalam deskripsi pekerjaan dan evaluasi kinerja yang
tepat;
k. menyediakan pelatihan terkait program APU dan PPT yang tepat
dan relevan untuk diberikan kepada semua pegawai;
l. untuk kelompok usaha, harus memiliki kerangka kerja
pengendalian bersama; dan
m. melakukan pengujian terhadap keefektifan dari pelaksanaan
program APU dan PPT dengan mengambil contoh secara acak
(random sampling) dan melakukan pendokumentasian atas
pengujian yang dilakukan.
VI. SISTEM INFORMASI MANAJEMEN
1. Penerapan program APU dan PPT harus didukung oleh sistem
informasi manajemen yang dapat mengidentifikasi, menganalisa,
memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan nasabah dengan
menggunakan parameter yang disesuaikan secara berkala dan
memperhatikan kompleksitas usaha, volume transaksi, dan risiko
yang dimiliki PJK IKNB.
2. Kebijakan dan prosedur tertulis yang dimiliki PJK IKNB wajib
mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi
disalahgunakan oleh pelaku Pencucian Uang atau Pendanaan
Terorisme, misalnya pembukaan rekening melalui internet, wesel atau
perintah transfer dana melalui faksmili atau telepon, dan transaksi
elektronik lainnya.
- 50 -
3. Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan PJK IKNB
untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction), baik
untuk keperluan internal dan/atau Otoritas Jasa Keuangan, maupun
dalam kaitannya dengan kasus peradilan.
4. Untuk memudahkan pemantauan dalam rangka menganalisis
transaksi keuangan yang mencurigakan, PJK IKNB wajib memiliki
dan memelihara profil nasabah secara terpadu (single customer
identification file/single CIF).
5.
Informasi yang terdapat dalam single CIF mencakup seluruh produk
dan jasa yang digunakan oleh nasabah pada suatu PJK IKNB yaitu
antara lain asuransi kendaraan, asuransi jiwa, asuransi kepemilikan
rumah, dan asuransi unit link.
6. Untuk rekening bersama (joint account) maka CIF dibuat atas masing-
masing pihak pemilik rekening bersama (joint account). Contohnya
rekening bersama (joint account) atas nama A dan B, maka CIF yang
dibuat adalah 2 (dua) CIF yaitu CIF atas nama A dan B dengan
menginformasikan bahwa baik A maupun B memiliki rekening
bersama (joint account).
7. Untuk keperluan pemeliharaan single CIF, PJK IKNB harus
menetapkan kebijakan bahwa untuk setiap penambahan rekening
dan/atau jasa atau produk PJK IKNB oleh nasabah yang sudah ada,
PJK IKNB harus mengkaitkan rekening, jasa, atau produk tambahan
tersebut dengan nomor informasi nasabah dari nasabah yang
bersangkutan.
VII. SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN
1. Sumber Daya Manusia
Untuk mencegah digunakannya PJK IKNB sebagai media atau tujuan
Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang melibatkan
pihak intern, PJK IKNB wajib melakukan:
a. prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan karyawan
baru (pre-employee screening) sebagai bagian dari penerapan
know your employee (KYE), dengan ketentuan sebagai berikut:
1) metode screening disesuaikan dengan kebutuhan,
kompleksitas usaha PJK IKNB, dan profil risiko PJK IKNB;
- 51 -
2) metode screening paling sedikit memastikan profil calon
karyawan tidak memiliki catatan kejahatan, antara lain
mengharuskan calon karyawan membuat surat pernyataan
dan/atau menyerahkan surat keterangan catatan
kepolisian (SKCK);
3) melakukan verifikasi identitas dan pendidikan yang telah
diperoleh calon karyawan;
4) memastikan apakah calon karyawan memiliki kredit
macet;
5) memastikan track record calon karyawan dalam jangka
waktu tertentu, misalnya 5 (lima) tahun terakhir;
dan/atau
6) melakukan penelitian melalui media informasi lainnya.
b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan,
mencakup perilaku dan gaya hidup karyawan, antara lain:
1) memastikan karyawan tidak memiliki kredit macet;
2) melakukan penelitian melalui media internet;
3) melakukan verifikasi terhadap karyawan yang mengalami
perubahan gaya hidup yang cukup signifikan;
4) memantau rekening karyawan;
5) memastikan bahwa karyawan telah memahami dan
mentaati kode etik karyawan (staff code of conduct);
dan/atau
6) mengevaluasi karyawan yang bertanggung jawab pada
aktivitas yang tergolong berisiko tinggi antara lain memiliki
akses ke data PJK IKNB, berhadapan dengan calon
nasabah atau nasabah, dan terlibat dalam pengadaan
barang dan jasa.
c. Prosedur penyaringan (pre-employee screening), pengenalan dan
pemantauan terhadap profil karyawan dituangkan dalam
kebijakan KYE yang berpedoman pada ketentuan yang
mengatur mengenai penerapan strategi anti fraud.
2. Pelatihan
a. Peserta Pelatihan
1) PJK IKNB wajib menyelenggarakan pelatihan yang
berkesinambungan tentang kebijakan dan prosedur
penerapan program APU dan PPT serta peran dan
- 52 -
tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme kepada seluruh karyawan.
2) Dalam menentukan peserta pelatihan, PJK IKNB
mengutamakan karyawan yang tugas sehari-harinya
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) berhadapan langsung dengan nasabah (pelayanan
nasabah);
b) melakukan pengawasan pelaksanaan penerapan
program APU dan PPT; atau
c)
terkait dengan penyusunan pelaporan kepada Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
dan Otoritas Jasa Keuangan.
3) Karyawan yang melakukan pengawasan pelaksanaan
penerapan program APU dan PPT harus mendapatkan
pelatihan secara berkesinambungan, sedangkan karyawan
lainnya harus mendapatkan pelatihan paling sedikit 1
(satu) kali dalam masa kerjanya. Karyawan yang
berhadapan langsung dengan nasabah (front liner) harus
mendapatkan pelatihan sebelum penempatan.
b. Metode Pelatihan
1) Pelatihan dapat dilakukan secara elekronik (online base)
maupun melalui tatap muka.
2) Pelatihan
secara elektronik (online base) dapat
menggunakan media e-learning baik yang disediakan oleh
otoritas berwenang seperti Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) atau yang disediakan secara
mandiri oleh PJK IKNB.
3) Pelatihan melalui tatap muka dilakukan dengan
menggunakan pendekatan antara lain:
a) tatap muka secara interaktif (misalnya workshop)
dengan topik pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan
peserta. Pendekatan ini digunakan untuk karyawan
yang mendapatkan prioritas dan dilakukan secara
berkesinambungan, misalnya setiap tahun; dan/atau
b) tatap muka satu arah (misalnya seminar) dengan topik
pelatihan adalah berupa gambaran umum dari
- 53 -
penerapan program APU dan PPT. Pendekatan ini
diberikan kepada karyawan yang tidak mendapatkan
prioritas dan dilakukan apabila terdapat perubahan
ketentuan yang signifikan.
c. Materi dan Evaluasi Pelatihan
1) PJK IKNB dapat mengembangkan materi pelatihan terkait
penerapan program APU dan PPT sesuai dengan
kebutuhan. Beberapa topik yang dapat menjadi materi
dalam pelatihan antara lain:
a) pelatihan implementasi ketentuan
perundang-undangan yang terkait dengan program
APU dan PPT;
b) tren dan perkembangan profil risiko produk sektor
keuangan untuk pelatihan teknik, metode, dan tipologi
tindak pidana Pencucian Uang atau Pendanaan
Terorisme; dan/atau
c) konsekuensi apabila karyawan melakukan tipping off
untuk pelatihan kebijakan dan prosedur penerapan
program APU dan PPT serta peran dan tanggung jawab
pegawai dalam mencegah dan memberantas tindak
pidana Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme.
2) Kedalaman materi pelatihan disesuaikan dengan
kebutuhan karyawan dan kesesuaian dengan tugas dan
tanggung jawab karyawan.
3) Untuk mengetahui tingkat pemahaman karyawan dan
kesesuaian materi pelatihan, PJK IKNB harus melakukan
evaluasi terhadap setiap pelatihan yang telah
diselenggarakan.
4) Evaluasi dapat dilakukan secara langsung melalui
wawancara atau secara tidak langsung melalui tes.
5) PJK IKNB harus melakukan upaya tindak lanjut dari hasil
evaluasi pelatihan melalui penyempurnaan materi dan
metode pelatihan.
VIII. PELAPORAN
1. Laporan Action Plan
a. Laporan action plan paling sedikit memuat langkah
peraturan
- 54 -
pelaksanaan program APU dan PPT dalam rangka kepatuhan
terhadap peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penerapan program APU dan PPT di sektor jasa keuangan yang
harus dilaksanakan oleh PJK IKNB sesuai dengan target waktu
selama periode tertentu sebagaimana ditetapkan dalam action
plan, yaitu memuat antara lain:
1) penyesuaian sistem, perjanjian pembukaan hubungan
usaha, dan mitigasi risiko terkait penerapan CDD
sederhana (simplified CDD);
2) pengelompokan nasabah berdasarkan pendekatan berbasis
risiko (risk-based approach);
3) penyempurnaan infrastruktur terkait dengan teknologi
informasi;
4) persiapan dalam pembangunan single customer
identification file (single CIF);
5) penunjukkan pejabat/pegawai yang menjalankan fungsi
UKK di kantor cabang yang kompleksitas usahanya tinggi;
6) penyiapan sumber daya manusia yang memadai; dan/atau
7) penyesuaian teknologi informasi untuk pelaksanaan
program pengkinian data nasabah dan pemilik manfaat
(beneficial owner).
b. Laporan action plan harus disetujui dan disampaikan oleh
anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan atau
salah satu anggota Direksi yang bertanggung jawab terhadap
penerapan program APU dan PPT.
c. Dalam hal terdapat perubahan atas action plan, kebijakan dan
prosedur penerapan program APU dan PPT, laporan rencana
kegiatan pengkinian data, yang telah disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan, PJK IKNB wajib menyampaikan
perubahan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
perubahan dilakukan.
2. Laporan Penyesuaian Kebijakan dan Prosedur Penerapan Program
APU dan PPT
PJK IKNB yang telah memiliki kebijakan dan prosedur penerapan
program APU dan PPT harus menyampaikan laporan penyesuaian
kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT sesuai
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan
- 55 -
program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
di sektor jasa keuangan paling lambat tanggal 16 September 2017.
3. Laporan Rencana Kegiatan Pengkinian Data dan Laporan Realisasi
Kegiatan Pengkinian Data
a. Laporan rencana kegiatan pengkinian data dan laporan
realisasi kegiatan pengkinian data harus disetujui dan
disampaikan oleh Direksi yang membawahkan fungsi
kepatuhan atau salah satu anggota Direksi yang bertanggung
jawab terhadap penerapan program APU dan PPT.
b. Penyampaian laporan rencana pengkinian data sesuai
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan
program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme di sektor jasa keuangan dilakukan oleh Direksi yang
membawahi fungsi kepatuhan atau salah satu anggota Direksi
yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan
PPT setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember.
c. Penyampaian laporan realisasi pengkinian data sesuai
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan
program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme di sektor jasa keuangan dilakukan oleh Direksi yang
membawahi fungsi kepatuhan atau salah satu anggota Direksi
yang bertanggung jawab terhadap penerapan program APU dan
PPT setiap tahun paling lambat akhir bulan Desember.
d. Penyampaian laporan rencana pengkinian data sesuai
peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan
program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf b untuk pertama kalinya disampaikan paling
lambat akhir bulan September 2017. Sementara penyampaian
laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud
dalam huruf c untuk pertama kalinya disampaikan setiap
tahun paling lambat akhir bulan Desember 2017.
e. Perubahan atas laporan rencana kegiatan pengkinian data
dapat dilakukan sepanjang terdapat perubahan yang terjadi di
luar kendali PJK IKNB dan disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan
dilakukan.
- 56 -
4. Tata Cara Penyampaian Laporan Penerapan Program APU dan PPT
a. PJK IKNB harus menyampaikan laporan penerapan program
APU dan PPT yang telah ditandatangani oleh Direksi, dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) surat pengantar penyampaian laporan penerapan
program APU dan PPT yang ditandatangani oleh Direksi
disampaikan dalam bentuk hasil cetak komputer
(hardcopy); dan
2)
isi laporan penerapan program APU dan PPT
disampaikan dalam bentuk elektronik (softcopy).
b. Alamat penyampaian laporan untuk DPLK:
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Direktur Pengawasan Dana Pensiun
Gedung Menara Merdeka Lantai 22
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110
c. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Pembiayaan,
PMV, dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur:
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan
Gedung Menara Merdeka Lantai 19
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110
dan bagi Perusahaan Pembiayaan dan PMV yang memiliki
unit usaha syariah, disampaikan kepada:
Direktur IKNB Syariah
Gedung Menara Merdeka Lantai 23
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110
- 57 -
d. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Pergadaian
dan LPEI:
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Khusus
Gedung Menara Merdeka Lantai 26
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110
dan bagi Perusahaan Pergadaian yang memiliki unit usaha
syariah, disampaikan kepada:
Direktur IKNB Syariah
Gedung Menara Merdeka Lantai 23
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110
e. Alamat penyampaian laporan untuk Perusahaan Pembiayaan,
PMV, dan Perusahaan Pergadaian yang menjalankan seluruh
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah:
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
u.p. Direktur IKNB Syariah
Gedung Menara Merdeka Lantai 23
Jl. Budi Kemuliaan I Nomor 2
Jakarta 10110
5. Dalam hal terdapat perubahan alamat Kantor Otoritas Jasa
Keuangan untuk penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
angka 4, Otoritas Jasa Keuangan akan menyampaikan
pemberitahuan mengenai perubahan alamat melalui surat atau
pengumuman.
6. Penyampaian laporan bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, dan Perusahaan Pialang Asuransi, dan Perusahaan
Asuransi yang memiliki unit usaha syariah adalah penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai laporan berkala perusahaan perasuransian.
- 58 -
IX. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2017
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
FIRDAUS DJAELANI
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 37/SEOJK.05/2017 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME DI SEKTOR INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 17 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 17 Juli 2017 </effective_date>
<related_reg> '12/POJK.01/2017 | Pasal 68' </related_reg>
|
Yth.
Agen Penjual Efek Reksa Dana
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 51 /SEOJK.04/2016
TENTANG
PELAKSANAAN PENJUALAN EFEK REKSA DANA DI GERAI PENJUALAN
EFEK REKSA DANA
Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
39/POJK.04/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Agen Penjual Efek
Reksa Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
396, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5653), perlu
mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan penjualan Efek Reksa Dana
di gerai penjualan Efek Reksa Dana dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
a. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan
bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Agen Penjual Efek Reksa Dana adalah Pihak yang
melakukan penjualan Efek Reksa Dana berdasarkan
kontrak kerja sama dengan Manajer Investasi pengelola
Reksa Dana.
c. Gerai Penjualan Efek Reksa Dana yang selanjutnya disebut
Gerai adalah tempat penjualan Efek Reksa Dana, yang
dibuka berdasarkan kerja sama antara Agen Penjual Efek
Reksa Dana dengan pihak lain yang memiliki jaringan
-2-
usaha luas dalam kegiatan usahanya setelah terlebih
dahulu memperoleh persetujuan Manajer Investasi.
2. Kegiatan penjualan Efek Reksa Dana di Gerai mencakup
kegiatan yang berkaitan dengan penjualan, pembelian kembali,
pengalihan dari Unit Penyertaan dan/atau saham suatu Reksa
Dana ke Unit Penyertaan dan/atau saham Reksa Dana lain yang
dikelola oleh Manajer Investasi yang sama.
3. Penjualan Efek Reksa Dana di Gerai wajib memenuhi:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608); dan
b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
39/POJK.04/2014 tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
396, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5653).
II. PENJUALAN EFEK REKSA DANA DI GERAI
1. Penerimaan nasabah baru Reksa Dana secara langsung di Gerai
wajib dilakukan oleh tenaga pemasaran Agen Penjual Efek Reksa
Dana yang mempunyai izin Wakil Perusahaan Efek atau Wakil
Agen Penjual Efek Reksa Dana.
2. Penerimaan nasabah baru Reksa Dana meliputi pembukaan
rekening Efek Reksa Dana dan penjualan pertama kali untuk
setiap Reksa Dana.
3. Penjualan Efek Reksa Dana di Gerai dapat dilakukan:
a. secara manual melalui tenaga pemasaran Agen Penjual Efek
Reksa Dana yang mempunyai izin Wakil Perusahaan Efek
atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana;
b. melalui sistem pembayaran yang terdapat di Gerai hanya
untuk penambahan (top up); atau
c. melalui sistem elektronik penjualan Efek Reksa Dana yang
terdapat di Gerai.
4. Penjualan Efek Reksa Dana melalui sistem pembayaran yang
terdapat di Gerai sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b
-3-
dapat dilakukan tanpa Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana
namun terbatas pada penambahan (top up).
5. Penjualan Efek Reksa Dana melalui sistem elektronik di Gerai
sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf c wajib
memperhatikan ketentuan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 07/SEOJK.04/2014 tentang Penerapan
Pelaksanaan Pertemuan Langsung (Face To Face) Dalam
Penerimaan Pemegang Efek Reksa Dana Melalui Pembukaan
Rekening Secara Elektronik, Serta Tata Cara Penjualan
(Subscription) Dan Pembelian Kembali (Redemption) Efek Reksa
Dana Secara Elektronik.
6. Agen Penjual Efek Reksa Dana yang melakukan kerja sama
dengan pihak lain yang memiliki jaringan usaha luas dalam
rangka penjualan Efek Reksa Dana wajib:
a. bertanggung jawab atas penjualan Efek Reksa Dana yang
dilakukan oleh pihak lain yang melakukan kerja sama
dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana;
b. melakukan penerapan prinsip mengenal nasabah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. memastikan keandalan dan keamanan sistem yang ada
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
memiliki prosedur operasional standar berkaitan dengan
penjualan Efek Reksa Dana yang dilakukan.
III. KETENTUAN PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Desember 2016
KEPALA EKSEKUTIF
PENGAWAS PASAR MODAL,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
NURHAIDA
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 51/SEOJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> PELAKSANAAN PENJUALAN EFEK REKSA DANA DI GERAI PENJUALAN EFEK REKSA DANA </reg_title>
<set_date> 19 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 19 Desember 2016 </effective_date>
<related_reg> '39/POJK.04/2014' </related_reg>
|
Yth.
Direksi Lembaga Keuangan Mikro
di tempat.
SALINAN
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /SEOJK.05/2015
TENTANG
LAPORAN KEUANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Sehubungan dengan amanat ketentuan Pasal 27 Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 343, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5622),
perlu untuk mengatur pelaksanaan mengenai laporan keuangan lembaga
keuangan mikro dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
1. Laporan Keuangan adalah laporan keuangan yang disusun oleh
lembaga keuangan mikro sesuai format dan tata cara yang ditentukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
2. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah
lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui
pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota
dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari
keuntungan.
3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah
lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai OJK.
II. ISI ...
- 2 -
II.
ISI LAPORAN KEUANGAN
1. Laporan Keuangan yang wajib disampaikan oleh LKM terdiri dari:
a. profil LKM;
b. laporan posisi keuangan;
c. laporan kinerja keuangan; dan
d. daftar rincian.
2. Bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
serta menjalankan fungsi sosial yaitu menerima dan menyalurkan dana
sosial, LKM juga wajib menyampaikan:
a. laporan sumber dan penyaluran dana zakat; dan
b. laporan sumber dan penyaluran dana infak dan sodaqoh.
3. Pedoman penyusunan Laporan Keuangan LKM adalah sebagai berikut:
a. bagi yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional adalah
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
b. bagi yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran OJK
ini.
III. WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN
1. LKM wajib menyampaikan Laporan Keuangan secara berkala setiap 4
(empat) bulan untuk periode yang berakhir pada tanggal 30 April, 31
Agustus, dan 31 Desember kepada OJK.
2. Penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada butir 1
dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
3. Apabila LKM memperoleh izin usaha kurang dari 4 (empat) bulan dari
kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 1,
kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2
mulai berlaku untuk periode penyampaian Laporan Keuangan
berikutnya.
4. Apabila batas akhir penyampaian Laporan Keuangan sebagaimana
dimaksud pada butir 2 jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian
laporan adalah hari kerja pertama berikutnya.
IV. TATA ...
- 3 -
IV. TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN
1. Penyampaian Laporan Keuangan dilakukan secara online melalui
sistem jaringan komunikasi data OJK.
2. Dalam hal sistem jaringan komunikasi data OJK mengalami gangguan
atau LKM belum dapat menyampaikan secara online sebagaimana
dimaksud pada butir 1, penyampaian Laporan Keuangan dilakukan
secara offline:
a. menggunakan media simpan antara lain dalam bentuk cakram
padat (compact disc) atau media penyimpan (flashdisk), atau
b. dalam bentuk salinan cetak (hardcopy),
melalui surat yang ditandatangani Direksi LKM dan ditujukan kepada
OJK c.q. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat atau pihak lain
yang ditunjuk oleh OJK.
3. Kondisi yang menyebabkan LKM belum dapat menyampaikan secara
online sebagaimana dimaksud dalam butir 2 antara lain:
a. LKM berkedudukan di daerah yang fasilitas jaringan
telekomunikasinya belum memadai;
b. jaringan telekomunikasi di wilayah LKM mengalami gangguan;
c. LKM mengalami gangguan teknis yang menyebabkan LKM tidak
dapat menyampaikan secara online antara lain kebakaran,
kerusakan sistem komputer, dan gangguan jaringan listrik;
d. adanya keadaan memaksa (force majeur) antara lain bencana alam
seperti gempa bumi dan banjir, kerusuhan massa, dan perang; atau
e. LKM belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk
menyampaikan Laporan Keuangan secara online.
4. Penyampaian Laporan Keuangan secara offline sebagaimana dimaksud
pada butir 2, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. diserahkan langsung ke kantor Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan.
5. LKM ...
- 4 -
5. LKM dinyatakan telah menyampaikan Laporan Keuangan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk penyampaian secara online melalui sistem jaringan
komunikasi data OJK dibuktikan dengan tanda terima dari sistem
jaringan komunikasi data OJK;
b. untuk penyampaian secara offline, dibuktikan dengan:
1) surat tanda terima dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau
pihak yang lain yang ditunjuk oleh OJK, apabila diserahkan
langsung ke Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak
yang lain yang ditunjuk oleh OJK; atau
2) tanda terima pengiriman dari kantor pos atau perusahaan jasa
pengiriman/titipan, yang menunjukkan tanggal cap pos atau
tanggal penerimaan dokumen laporan oleh perusahaan jasa
pengiriman/titipan, apabila laporan dikirim melalui kantor pos
atau perusahaan jasa pengiriman/titipan.
V. PENUTUP
Ketentuan dalam Surat Edaran OJK ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 September 2015
KEPALA EKSEKUTIF PENGAWAS
PERASURANSIAN, DANA PENSIUN,
LEMBAGA PEMBIAYAAN, DAN
LEMBAGA JASA KEUANGAN LAINNYA
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
FIRDAUS DJAELANI
ttd
| <reg_type> SEOJK </reg_type>
<reg_id> 29/SEOJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN KEUANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO </reg_title>
<set_date> 29 September 2015 </set_date>
<effective_date> 29 September 2015 </effective_date>
<related_reg> '13/POJK.05/2014 | Pasal 27' </related_reg>
|